Anda di halaman 1dari 9

HAJI()

By:

Universitas Islam Negeri


Alauddin Makassar

- : /

- , ,

Kata HAJI disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 12 kali dengan


perincian dan penjelasan sebagai berikut:

. :
: , : ,

AYAT-AYAT TENTANG HAJI

189. Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-
rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung(Al-Baqarah).

196. Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang
oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu
mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang
sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu:
berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang
ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (didalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang
mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah
sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang
keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil-haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah).
Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya(Al-Baqarah).

197. (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam
bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di
dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah
kepada-Ku hai orang-orang yang berakal(Al-Baqarah).

158. Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang
beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara
keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka
sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui(Al-Baqarah).

097. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam(Al-Imran).

003. Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji
akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika
kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-
orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih(At-Taubah).

019. Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan
mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan
petunjuk kepada kaum yang zalim(At-Taubah).

027. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu
dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh(Al-
Hajj).
TAFSIRAN AYAT

197. (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam
bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di
dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah
kepada-Ku hai orang-orang yang berakal(Al-Baqarah).

Musim atau waktu haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, yaitu bulan-
bulan syawal, dzulqadah, dan 9 dzulhijjah, ditambah malam kesepuluh, yakni
malam hari lebaran idul adha. Ayat ini tidak menyebut kata musim atau waktu
dalam redaksi di atas. Itu untuk memberi kesan bahwa bulan-bulan itu sendiri
memiliki kesucian pada dirinya dan akibat terlaksananya ibadah haji ketika itu.
Kesan ini pada gilirannya mengharuskan setiap orang, baik yang melaksanakan
haji maupun yang tidak, untuk menghormatinya dan memelihara kesuciannya
dengan menghindari bukan hanya peperangan tetapi juga segala macam dosa.

Bulan-bulan ini dimaklumi, yakni diketahui oleh masyarakat arab sejak sebelum
diutusnya nabi Muahammad SAW. Maka barang siapa yang mewajibkan atas
dirinya dengan menetapkan niat untuk berhaji dalam bulan-bulan itu, maka
hendaklah ia mengetahui bahwa tidak ada rafats, tidak ada kefasikan, dan tidak
ada juga berbantah-bantahan, yakni pertengkaran di dalam masa mengerjakan
haji.

Anak kalimat dalam bulan-bulan itu mengisyaratkan, bahwa ibadah haji dapat
terlaksana walaupun tidak dilaksanakan sepanjang bulan-bulan tersebut. Dengan
demikian, waktu haji bukan seperti waktu puasa ramadhan yang harus
dilaksanakan sejak awal ramadhan hingga akhirnya, kecuali yang memiliki uzur
yang dapat dibenarkan mengganti puasanya di hari lain.

Bulan-bulan tertentu yang telah dimaklumi atau diketahui itu, antara lain
merupakan waktu permulaan berniat untuk melaksanakan haji. Niat berhaji
sebelum bulan-bulan yang disebut di atas tidak sah menurut banyak ulama. Di sisi
lain, walau waktunya demikian panjang, yakni dua bulan sepuluh hari, namun ada
amalan-amalan haji yang tidak sah dilaksanakan kecuali pada hari-hari tertentu,
seperti wukuf di arafah yang tidak boleh sebelum tanggal 9 Dzulhijjah, tidak juga
setelah terbitnya fajar 10 Dzulhijjah.

Waktu yang berkepanjangan itu antara lain dimaksudkan untuk memantapkan


niat, melakukan persiapan bekal jasmani dan rohani serta melakukan perjalanan
yang hingga kini lebih-lebih di masa lalu-membutuhkan waktu yang cukup lama.

Bagi yang telah memantapkan niat untuk melaksanakan ibadah haji, yang
ditandai dengan memakai pakaian ihram, maka ia sangat terlarang untuk
melaksanakan ( )rafats, yakni bersetubuh atau bercumbu, tidak juga berbuat
( )fusuq/kefasikan, yakni ucapan dan perbuatan yang melanggar norma-
norma susila atau agama. Tidak juga ( )jidal, yakni perbantahan yang dapat
mengakibatkan permusuhan, perselisihan, perpecahan.

Demikian dapat terlihat, bahwa dalam ibadah haji calon jamaah dituntut untuk
menghindari interaksi yang dapat menimbulkan disharmoni, kesalahpahaman,
dan keretakan hubungan, sebagaimana mereka dituntut juga untuk menghindari
kata-kata cabul dan pemuasan nafsu seksual. Ketiga hal yang dilarang di atas
dikemukakan bukan dalam redaksi larangan, yakni ayat itu tidak berkata: jangan
melakukan rafats, fusuk, dan jidal, tetapi berkata: tidak ada rafats, dan tidak ada
fusuq, dan tidak ada juga jidal di dalam masa mengerjakan haji. Redaksi demikian
mengisyaratkan, bahwa substansiibadah haiji bertentangan dengan ketiga hal
yang dilarang itu. Ini bedasar rumus yang menyatakan bahwa: segala yang
melanggar, dilarang, dan segala yang bertentangan, yakni dinyatakan tiada. Di
sisi lain, redaksi tersebut juga mengisyaratkan bahwa bukan saja dilarang bila
ketiganya berkumpul bersama, tetapi ia dilarang walau hanya berdiri sendiri. Ini
dipahami dari pengulangan kata tidak pada masing-masing keburukan itu.

Kalau diatas ada tuntutan dan tuntunan menghindari interaksi yang dapat
menimbulkan kesalahpahaman, maka penggalan berikut dari ayat ini, yakni: dan
apapun yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya,
mengandung tuntutan dan tuntunan agar para jemaah haji menjalin hubungan
harmonis serta mengucapkan kalimat-kalimat sopan dan baik agar jiwa mereka
dapat lebih terarah kepada ketinggian rohani, saling bantu-membantu dan
nasehat-menasehati, khususnya dengan jemaah haji lain, baik dalam bidang
material dan spiritual. Dari sini lahir pesan berikutnya: berbekallah!

Bekal dimaksud ada dua macam. Pertama bekal materi sehingga masing-masing
calon tidak terganggu pikirannya atau resah jiwanya, tidak juga harus membuang
air mukanya dengan meminta-minta akibat kekurangan bekal, bahkan jemaah haji
dituntut agar dapat saling membantu dan saling memberi. Bekal kedua adalah
dalam bidang rohani.

Bekal jenis kedua ini menuntut kesiapan mental, ilmu pengetahuan khususnya
menyangkut ibadah yang akan dilaksanakan, karena kesempurnaan haji bukan
pada gerakan fisik, tetapi pada kemantapan jiwa menghadap Allah swt.

Salah satu yang amat penting untuk diketahui, ditegaskan oleh ayat ini, yaitu
Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Takwa,
yakni upaya menghindari siksa dan sanksi Tuhan, baik dinuawi akibat pelanggaran
terhadap hukum-hukum Allah yang berlaku pada alam maupun ukhrawi akibat
hukum-hukum Allah yang ditetapkan-Nya dalam syariat.

Pesan berbekallah maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dapat


juga dipahami dalam arti berbekallah dan bertakwalah kepada Allah dalam
mneyiapkan dan membawa bekal itu. Jangan jadikan bekal yang engkau
persiapkan atau bawa merupakan hasil dari pelanggaran atau harta yang haram.
Jangan juga membawa bekal yang tidak dibenarkan Allah atau peraturan yang
ditetapkan pemerintah yang berwenang mengatur urusan masyarakat, baik di
tempat kamu maupun di tempat yang kamu tuju. Jangan juga membawa bekal
yang berlebihan sehingga mubazzir, atau mengakibatkan pemborosan. Itu
agaknya akan menjadi sebab sehingga pesan ini diakhiri dengan perintah
bertakwalah sekali lagi, yaitu firman-Nya, dan bertakwalah kepada-Ku, wahai Ulul
al-Albab.

Perintah kali ini ditujukan kepada Ulul al-Albab, yakni mereka yang memiliki
akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, yakni ide yang dapat
melahirkan kerancuan dalam berfikir. Ulul al-Albab adalah mereka yang tidak lagi
terbelenggu oleh nafsu kebinatangan atau dikuasai oleh ajakan unsur debu
tanahnya. Agaknya, penutupan ayat ini ditujukan kepada mereka untuk
mengisyaratkan bahwa para jemaah hajii yang melaksanakan tuntunan dan
tuntutan di atas wajar untuk menyandang sifat tersebut.

Larangan melakukan jidal, yakni perbantahan yang dikemukakan pada ayat


yang lalu menimbulkan kesan, bahwa jual beli atau berupaya mencari rezeki tidak
dibenarkan dalam musim haji, karena jual beli seringkali disertai dengan jidal
atau tarik menarik kemaslahatan. Di sisi lain, anjuran berbekal dalam bidang
material dan saling membantu mengundang pertanyaan tentang jual beli kerena
aktifitas ini dapat menghasilkan keuntungan dan menambah bekal.

Haji dan umrah dikenal sebelum kehadiran nabi Muhammad SAW. Keduanya
adalah ibadah yang diajarkan nabi Ibrahim AS. Beliaulah yang diperintah Allah
mengumandakannya (Quran AL-Hajj;22;27). Tetapi sebagian dari praktek-praktek
haji dan umrah ketika itu, sungguh menyimpan dari tuntutan Allah yang telah
disampaikan oleh bapak para nabi itu, Ibrahim AS. Dari sini, Allah memerintahkan
untuk menyempurnakan kedua macam ibadah itu.

Kata atimmu/sempurnakanlah( )di permulaan ayat sebelumnya oleh


sementara ulama dipahami dalam arti, laksanakanlah masing-masing dengan
sempurna , sehingga tidak ada salah satu unsurnya pun yang tersisa. Perintah ini
dipahami oleh sementara ulama dalam arti perintah melaksanakan keduanya
sebagaimana ditetapkan syariat, dan dengan demikian hukum haji dan umrah
adalah wajib. Ada juga yang memahami perintah penyemprnaan itu dalam arti,
sempurnakanlah keduanya sesuai dengan apa yang seharusnya dilaksanakan
dalam kegiatan umrah dan haji. Redaksi tersebut menurut pendapat ini tidaak
berbicara tentang hukumk pelaksanaan haji dan umrah dari segi syariat, apakah
wajib atau sunnah, tetapi yang dituntut hanya kesempurnaan pelaksanaan
keduanya sebaik mungkin. Betapa pun perbedaan itu terjadi, yang pasti ialah,
ibadah haji wajib bagi setiap muslim yang mampu sekali seumur hidup. Nabi
Muhammad SAW pun hanya sekali berhaji, sedang ibadah umrah hukumkan
diperselisihkan ulama, ada yang menilainya wajib dan ada juga yang berpendapat
hukumnya hanya sunnah nabi SAW. Melaksanakan umrah sebanyak empat kali.

Haji dan umrah itu dituntut agar dilaksanakan karena Allah()lillah, walaupun
semua ibadah harus dilaksanankan karena Allah, namun ditemukan bahwa dari
kelima rukun islam hanya haji yang digaris bawahi dengan kata lillah(baca juga
QS.alimran:97). Ini disebabkan karena pada masa jahiliah kaum musyrikin
melaksanakannya untuk aneka tujuan yang tidak sejalan dengan tuntutan Allah,
mungkin saja dengan maksud berdagang semata-mata, atau sekedar berkumpul
bersama. Hal ini masih dapat terjadi dikalangan sebagian jamaah haji hungga kini.
Ayat ini disepakati ulama turun pada tahun keenam Hijrah sebelum stabilnya
keadaan keamanan di Mekah dan sekitarnya. Sementara ulama berpendapat
bahwa pelaksanaan haji baru dilaksanakan pada tahun kesembilan hijrah, padahal
perintah melaksanakannya telah turun jauh sebelum itu. Karena itu wajar jika
Allah memberi petunjuk bagaimana melaksanakannya dalam keadaan terhalang
atau tidak stabil. Tuntutan yang dimaksud adalah, jika kamu terkepung, yakni
terhalang semata-mata oleh musuh, bukan hal lain yang menghalangi. Ini adalah
pendapat imam syafiI, sedang menurut ulama lain, disamping terhalang oleh
musuh juga karena dihalangi oleh hal-hal lain seperti sakit, atau kekurangan
biaya,atau alasan apapun, setelah kamu telah berniat melaksanakannya. Maka
untuk membatalkan niatmu dan memungkinkan kamu terbebaskan dari larangan-
larangan ihram, maka sembelihlah seekor kurban yang mudah di dapat di tempat
kamu terhalang, baik unta, sapi, kambing, atau domba.

Kesimpulan

Haji wajib bagi yang mampu.

Musim atau waktu haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, yaitu bulan
syawal, dzulqadah, dan 9 dzulhijjah, ditambah malam kesepuluh yakni
malam hari raya idhul Adha.

Bagi yang memantapkan niat untuk melaksanakan haji yang ditandai dengan
memakai pakaian ihram, maka ia sangat terlarang untuk melaksanak rafats
yakni bersetubuh/bercumbu.

Juga tidak boleh fusuq yakni ucapan dan perbuatan yang melanggar norma-
norma susila atau agama.

Tidak juga jidal yakni perbantahan yang dapat mengakibatkan permusuhan,


perselisihan, dan perpecahan.

Harus punya bekal jasmani, rohani serta materi yang halal dll.

Anda mungkin juga menyukai