Anda di halaman 1dari 5

BAB VI

TANGGUNG JAWAB DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Ilmu Pendidikan Islam

Dengan Dosen Pengampu Achmad Sudja’i

Oleh:

1. Siti Rohmah (1908056040)


2. Faqih Ndaru Ramadhan (1908056045)
3. Hafiza Rahmah (1908056057)
4. Halwatu Lulu (1908056061)

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERO WALISONGO SEMARANG
2019
5.
BAB VI

TANGGUNG JAWAB DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Dalam islam konsep tanggung jawab itu melekat pada konsep amanah. Amanah adalah
suatu sistem nilai yang melekat pada diri manusia karena begitu kita hidup dan mengenyam
kehidupan yang merupakan pemberian Tuhan, kita harus mempertanggung jawabkan kepada-
Nya, karena kehidupan manusia berbeda dengan kehidupan makhluk lainnya. Manusia berperan
sebagai khalifatullah fil-‘ard yang tugasnya memakmurkan bumi, membudayakan alam sekitar,
dan tujuan hidupnya hanyalah untuk beribadah kepada-Nya.

Peran, tugas, dan tujuan hidup itu harus ditegakkan, dilaksanakan, dan dilestarikan pada
generasi berikutnya demi kelangsungan tata kehidupan yang baik. Langkah strategi dalam upaya
pelestarian itu ialah pendidikan. Dalam skala makro pendidikan tidak akan cukup bila hanya
dilakukan secara individual, ia harus bersama seluruh masyarakat.

Bertolak diri cara berpikir di atas dan berdasarkan konsep amanah, tanggung jawab
dalam pendidikan islam dibebankan pada orang tua atau keluarga, masyarakat, negara dan diri
sendiri sebagai subjek didik.

A. ORANG TUA ATAU KELUARGA


1. Anak Sebagai Amanah
Anak sebagai dambaan setiap orang tua di satu sisi, merupakan anugerah Allah,
tetapi di sisi lain, merupakan amanah. Orang tua dimintai pertanggung jawaban oleh
Allah, apakah anak-anaknya bisa mengemban peran, tugas, dan tujuan hidup. Dalam
bahasa GBHN apakah orang tua dapat menghadirkan manusia yang berkualitas, dengan
ciri-ciri iman dan taqwa, berbudi luhur dan lain sebagainya. Seperti firman Allah swt.,
dalam Surah An-Nisa’ ayat ke 9 yang berarti, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-
orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatirkan terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Dalam ayat yang lain konsep anak sebagai amanah lebih dipertegas dengan ungkapan
“anak sebagai batu ujian bagi orang tuanya” , sebagaimana firman Allah yang berarti,
“Ketauhilah bahwa harta-hartamu dan anak-anakmu itu adalah sebagai ujian (cobaan)
dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.” (Q.S Al-Anfal: 28)

Dengan konsep amanah ini kita tidak boleh terlalu bangga dengan anak-anak kita
karena kita sedang dalam ujian, yang lulus tidaknya masih dipertanyakan. Sikap yang
paling utama ialah bersyukur kepada Allah, untuk mewujudkannya yaitu dengan cara
berusaha mengasuh, memelihara, dan membimbingnya dengan ikhlas dan sungguh-
sungguh. Keikhlasan dan kesungguhan dalam melaksanakan usaha itu ibadah. Dan
keberhasilan dalam mengasuh anak merupakan prestasi besar yang nilai gunanya abadi,
baik di dunia maupun di akhirat.

2. Keluarga yang Kondusif bagi Pendidikan


Suatu keluarga diawali dari sepasang suami istri, kemudian lahir anak-anak
mereka. Itulah keluarga inti tempat berinteraksi yang pertama kali bagi setiap anak.
Disitulah berkembangnya individu dan di situ pula tahap tahap awal proses pembentukan
kepribadian anak melalui internalisasi nilai-nilai yang terpantul dari emosi, minat, sikap,
dan perilaku orang tuanya. Ketenangan, kedamaian, dan keharmonisan keluarga sangat
menentukan terciptanya situasi yang kondusif bagi pendidikan anak-anak.
Pedoman mengenai keluarga yang kondusif bagi pendidikan, yaitu :
1. Tujuan berumah tangga untuk mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan
kedamaian dengan dilandasi saling cinta dan kasih sayang, sekaligus diniati
untuk beribadah kepada Allah
2. Memilih pasangan ideal dengan mengutamakan persyaratan akhlak dan
agamanya.
3. Menyadari dan memenuhi hak dan tanggung jawab masing-masing,
contohnya : suami isteri hendaknya saling mengerti, saling menghormati, dan
saling menghargai.
3. Fungsi Keluarga dalam Pendidikan
Pendidikan dalam keluarga merupakan pembentukan landasan kepribadian anak.
Itulah fungsi utama keluarga, yang penjabarannya telah diungkapkan dalam Al-Qur’an
Surat Luqman ayat 13-19 sebagai berikut :
1. Menanamkan iman dan tauhid,
2. Menumbuhkan sikap hormat dan bakti pada orang tua,
3. Menumbuhkan semangat bekerja dengan penuh kejujuran,
4. Mendorong anak untuk taat beribadah (terutama sholat),
5. Menanamkan cinta kebenaran (ma’ruf) dan menjauhi yang buruk (munkar),
6. Menanamkan jiwa sabar dalam menghadapi cobaan,
7. Menumbuhkan sikap rendah hati, tidak angkuh dan sombong dalam pergaulan,
dan
8. Menanamkan sikap hidup sederhana.

Apabila sikap hidup dan perilaku seperti tersebut di atas ditumbuh kembangkan sejak
dini akan sangat membekas pada diri anak dan merupakan landasan kepribadian yang
kokoh untuk menuju terbentuknya pribadi muslim, kepribadian manusia seutuhnya.
Dalam hal ini, Ibnu Sina mengingatkan bahwa pendidikan dan pengajaran pada usia dini
(masa kanak-kanak) ibarat mengukir di atas batu, membekas sehingga tidak mudah
terhapus.

B. MASYARAKAT
Selain keluarga, anak memperoleh kesempatan berinteraksi yang lebih luas dalam
masyarakat. Bermacam-macam nilai dan perilaku masyarakat akan diserap oleh anak secara
langsung atau tidak langsung. Menurut Attaumy, masyarakat itu sendiri merupakan suatu faktor
yang pokok mempengaruhi pendidikan, disamping itu merupakan arena tempat berkisarnya
pendidikan.
Ada 2 kebutuhan pokok yang sangat diharapkan oleh pendidikan dari masyarakat.
Pertama, situasi sosiokultural yang mendukung proses internalisasi nilai-nilai luhur yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat yang bersangkutan. Kedua, wahana perluasan wawasan hidup
penguasaan ilmu pengetahuan dan berbagai keterampilan untuk meningkatkan kualitas hidup
manusia.
Dalam Islam dikenal adanya istilah fiqhiyyah (hukum wajib a’in dan wajib kifayah).
Wajib a’in ialah sesuatu yang harus dikerjakan oleh setiap orang Islam misalnya salat lima waktu
dan puasa Ramadhan. Wajib kifayah ialah sesuatu yang sudah dipandang cukup bila ada
sekelompok anggota masyarakat yang telah menunaikannya misalnya merawat atau menyalatkan
jenazah. Lain dengan contoh tersebut di atas tanggung jawab masyarakat dalam pendidikan baik
untuk memenuhi kebutuhan yang pertama maupun yang kedua sesungguhnya merupakan wajib
a’in.
Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang pertama jelas merupakan wajib a’in.
Karena setiap individu muslim dituntut sebagai manusia dakwah yang bertugas melaksanakan
amar ma'ruf nabi munkar dalam hal ini sekurang-kurangnya harus menjadikan dirinya sebagai
panutan.
Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang kedua juga termasuk wajib a’in walaupun
dalam batas-batas tertentu tidak perlu terlibat langsung di dalamnya, tetapi cukup mengambil
salah satu aspek saja. Misalnya menyumbangkan tenaga, pikiran atau dana, sesuai dengan
kemampuannya setidak-tidaknya. Jangan sampai acuh tak acuh terhadap keberadaannya lembaga
pendidikan yang telah diprogramkan.

C. PEMERINTAH

Secara struktural, pemerintah berada dalam kedudukan yang paling tinggi maka sudah
semestinya pemerintah mengemban tanggung jawab paling tinggi pula dalam upaya
mengembangkan dan meningkatkan taraf hidup dan kehidupan rakyatnya melalui apa yang
disebut dengan pembangunan. Pembangunan disini bukan hanya berlaku dalam hal
pembangunan proyek saja, namun juga pembangunan dalam hal lain yang salah satu contohnya
adalah pendidikan. Keberhasilan pendidikan akan menentukan kejayaan kehidupan bangsa dan
Negara di masa depan bahkan akan menentukan kelangsungan pembangunan itu sendiri.

Dalam islam tanggung jawab pemerintah dalam pendidikan ini didasarkan atas adanya
hubungan antara hak dan kewajiban antara rakyat dan pemerintah, setelah amanat kepemimpinan
diserahkan pada pemerintah. Seperti yang ada dalam Al-Qur’an dalam firman-Nya, surah An-
Nisa’: 59 yang berarti, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul(-Nya), dan
ulil amri(pemerintah) di antara kamu.” Sebaliknya pemerintah diwajibkan berusaha memenuhi
hak-hak rakyat yang dipimpinnya. Di antara hak-hak rakyat ialah:

a. Hak hidup,
b. Hak kemerdekaan,
c. Hak memperoleh pendidikan,
d. Hak kehormatan, dan
e. Hak memiliki.

Tangung jawab pemerintah dalam pendidikan secara garis besar mencakup dua tugas pokok,
yaitu:

a. Mengusahakan pemerataan kesempatan rakyat untuk memperoleh pendidikan, dan


b. Mengusahakan peningkatan kualitas pendidikan.

Terpenuhinya hak dan kewajiban antara rakyat dan pemerintah khususnya bidang
pendidikan, disitulah terkandung makna demokrasi pendidikan. Dalam UUD 1945 ada pasalnya
yaitu dalam pasal 31, bahwa (1) “Tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran” dan
bahwa (2) “ Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional
yang diatur dengan undang-undang.”

D. DIRI SENDIRI

Dengan menggunakan qa’idah fiqih, orang islam dewasa dan berakal sehat disebut mukallaf,
ia dibebani syari’at. Sehubung dengan itu apabila manusia telah mencapai tingkat mukallaf,
maka ia bertanggung jawab sendiri dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran agama islam.

Kalau dikaitkan dengan pendidikan, maka orang mukallaf berarti orang yang sudah dewasa,
sehingga sudah semestinya ia bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan, termasuk apa
yang harus ditinggalkan dan apa yang harus dikerjakan.

Dengan ditegaskannya tanggung jawab diri sendiri ini tercegah adanya pelemparan tanggung
jawab kepada pihak-pihak lain. Lebih dari itu, penegasan itu juga mendorong setiap individu
untuk mengembangkan fitrah dan pontensi atau sumber daya insaninya menuju
kesempurnaannya.

Sampai disini terlihat pula bahwa penggunaan istilah subjek didik terhadap si terdidik atau
anak didik terasa lebih tepat karena akhirnya mereka sendirilah yang harus menjalani proses
becoming-nya menuju realisasi diri, bukan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai