Anda di halaman 1dari 4

WUDLU DAN MANDI BAGI PEMAKAI PERBAN (JABIRAH)

Secara definitif, jabirah adalah pembalut yang dipasang dan diletakkan pada bagian yang retak,
pecah, patah, terluka atau terlepas agar segera pulih kembali. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
hal-hal yang termasuk jabirah di antaranya adalah gips, perban, pembalut, dan lain lain[1].

1. Syarat kebolehan mengusap jabirah[2].


Orang yang pada bagian tubuhnya terdapat jabirah (shahibul jabair), ketika bersuci dari hadats
besar atau kecil, tidak diharuskan melepaskannya. Ia diperbolehkan bersuci dengan
bertayammum dan mengusapnya, tanpa harus mengulangi shalat (i’adah) dengan beberapa
syarat:
a. Tidak mungkin melepas jabirah, karena dikhawatirkan akan semakin lama sembuh,
bertambah parah atau justru akan menimbulkan luka baru.
b. Posisi jabirah tidak sampai melebihi anggota yang sehat di sekitar luka, kecuali sekedar
bagian yang diperlukan untuk melekatkan.
c. Waktu pemasangan jabirah dalam keadaan suci
d. Posisi jabirah berada di selain anggota tayammum. Syarat ini menurut pendapat masyhur
yang dipilih oleh Imam al-Nawawi. Menurut mayoritas ulama, syarat ini tidak
diperlukanm.
Apabila persyaratan di atas tidak terpenuhi, seperti contoh: jabirah memungkinkan untuk
dilepas, pemasangan dalam keadaan tidak suci, atau pemasangan melebihi bagian yang
diperlukan untuk melekatkan jabirah, maka masih diperbolehkan mengusap dan melakukan
shalat, namun ketika lukanya telah sembuh dan jabirah dilepas, maka wajib berwudlu dengan
sempurna dan mengulangi shalat (i’adah).

2. Tata cara bersuci


Saat bersuci, perban wajib dilepas dan membasuh anggota tubuh -yang sebelumnya terbalut
perban-, jika tidak khawatir akan menimbulkan bahaya pada anggota yang sakit[3]. Jika
khawatir, maka cara bersucinya sebagai berikut:

a. Hadats besar[4]
Pemakai perban yang berhadats besar dan hendak bersuci harus melakukan tiga hal:
1) Tayammum
2) Membasuh seluruh anggota tubuh yang sehat dengan air
3) Mengusap jabirah
Orang yang mandi tidak wajib tertib. Oleh karena itu, praktik bersucinya ada dua cara:
mendahulukan tayammum atau mendahulukan mandi.
*Cara pertama
 Bertayammum seperti biasa dan disunnahkan mengusap jabirah dengan debu
 Membasuh seluruh anggota yang sehat sekaligus membasuh bagian di sekitar jabirah
sebisa mungkin, dengan menggunakan lap atau kain -misalnya- dengan sedikit
menekan dan menahan sesaat, agar air dapat benar-benar sampai pada anggota
yang sehat tanpa mengenai luka.
 Mengusap seluruh jabirah menggunakan air.
Cara pertama ini lebih baik dari pada cara yang kedua, sebab dengan mengakhirkan
pembasuhan akan menghilangkan sisa debu tayammum.
*Cara kedua
 Membasuh seluruh anggota tubuh yang sehat, sekaligus membasuh anggota di sekitar
jabirah sebagaimana di atas.
 Mengusap seluruh jabirah
 Tayammum sebagaimana di atas

b. Hadats kecil[5]
Pemakai perban, berkaitan dengan bersuci dari hadats kecil, terbagi menjadi dua kondisi:
1) Jabirah terletak di luar anggota wudlu
Pada kondisi ini, jabirah tidak berpengaruh apa-apa, cara bersucinya dengan berwudlu seperti
biasa
2) Jabirah terletak pada anggota wudlu
Pada kondisi ini, pemakai perban yang hendak bersuci dari hadats kecil harus melakukan tiga
hal:
 Membasuh seluruh anggota wudlu yang sehat
 Mengusap jabirah
 Tayammum
Berkaitan dengan hal ini, karena dalam wudlu disyaratkan tertib, maka caranya sedikit berbeda
dengan orang berhadats besar. Yakni tayammum, mengusap jabirah dan membasuh anggota
yang sehat di sekitar jabirah, ketiganya dilakukan pada saat giliran membasuh anggota yang
terdapat jabirah, setelah selesai, kemudian melanjutkan bewudlu.
Mengenai urutan antara membasuh anggota yang sehat di sekitar jabirah serta mengusap jabirah
dan tayammum, tidak disyaratkan tertib[6].
Berikut adalah tata cara (kaifiyah) bersuci yang berbeda-beda menurut posisi jabirah[7].
a) Jabirah berada di wajah
Urutan yang mesti dilakukan adalah :
1. Niat wudlu bersamaan dengan membasuh bagian wajah yang sehat di sekitar jabirah
sebisa mungkin
2. Mengusap jabirah
3. Tayammum
4. Membasuh tangan
5. Mengusap sebagian kepala
6. Membasuh kedua kaki.
Pada kondisi ini, pemakai perban boleh mendahulukan pembasuhan muka sebagaimana cara di
atas atau mendahulukan tayammum kemudian mengusap jabirah dan meneruskan wudlu
b) Jabirah berada di kedua tangan atau salah satunya[8].
1. Niat wudlu bersamaan dengan membasuh bagian wajah
2. Tayammum
3. Mengusap jabirah dengan air
4. Membasuh bagian tangan yang sehat, sekaligus bagian di sekitar jabirah sedapat
mungkin
5. Mengusap sebagian kepala
6. Membasuh kedua kaki.
c. Jabirah berada di sebagian kepala
Yang harus dilakukan adalah berwudlu sebagaimana biasa, yakni dengan mengusap sebagian
kepala dengan air

d. Jabirah berada di kedua kaki atau salah satunya


1. Niat wudlu bersamaan dengan membasuh bagian wajah
2. Membasuh tangan
3. Mengusap sebagian kepala
4. Tayammum
5. Mengusap jabirah dengan air
6. Membasuh bagian kaki yang sehat di sekitar jabirah.

e. Jabirah berada di sebagian wajah dan kedua tangan


Karena jabirah berada pada dua anggota wudlu, tayammum juga harus dilakukan dua kali pada
waktu giliran membasuh keduanya. Praktiknya sebagai berikut:
1. Niat wudlu bersamaan dengan membasuh bagian wajah yang sehat di sekitar jabirah
sebisa mungkin
2. Tayammum
3. Mengusap jabirah yang ada di wajah
4. Membasuh bagian tangan yang sehat sekaligus bagian di sekitar jabirah
5. Tayammum
6. Mengusap jabirah yang ada di tangan
7. Mengusap sebagian kepala
8. Membasuh kedua kaki.
Demikian pula untuk jabirah yang ada di dua anggota wudlu atau lebih, tayammum dilakukan
berulang-ulang menurut posisi jabirah

f. Jabirah berada di seluruh wajah


1. Niat tayammum kemudian mengusap tangan dengan debu
2. Mengusap seluruh jabirah dengan air
3. Membasuh kedua tangan dengan air[9]
4. Mengusap sebagian kepala
5. Membasuh kedua kaki.
Dalam keadaan seperti ini, Ibnu Hajar mempunyai dua pendapat yang berbeda, yaitu dalam kitab
al-I’ab tidak diharuskan niat wudlu pada waktu membasuh kedua tangan dan dalam kitab
Tukhfah, beliau memilih pendapat yang mengharuskan niat wudlu

g. Jabirah berada di seluruh tangan[10]


1. Niat wudlu bersamaan dengan membasuh bagian wajah Mengusap jabirah
2. Tayammum
3. Mengusap seluruh jabirah dengan air
4. Mengusap sebagian kepala
5. Membasuh tangan
6. Membasuh kedua kaki.
Demikian pula untuk perban yang ada di seluruh kaki atau seluruh kepala, tayammum juga
dilakukan pada waktu membasuh keduanya
Catatan[11] :
1. Cara bersuci shahibul jabair yang sebenarnya adalah berwudlu (untuk hadats kecil) atau
mandi (untuk hadats besar). Tayammum disyari’atkan sebagai pengganti wudlu atau mandi
karena kondisi darurat, yaitu keberadaan luka
2. Pengusapan jabirah dengan air adalah sebagai pengganti tidak terbasuhnya anggota
tayammum yang memang diperlukan untuk melekatkan jabirah. Oleh karena itu, jabirah
yang sama sekali tidak melebihi bagian yang sehat, tidak perlu diusap. Cara bersucinya
cukup dengan wudlu dan tayammum, dan tidak perlu mengulangi shalat
3. Pada waktu bertayammum disunnahkan mengusap jabirah dengan debu
4. Tayammum adalah cara bersuci darurat yang hanya berlaku untuk melaksanakan satu shalat
fardlu serta ibadah sunnah. Oleh karena itu, selama belum berhadats, setiap kali akan
melaksanakan shalat fardlu, dia harus mengulangi tayammum tanpa melakukan wudlu dan
mengusap jabirah. Berbeda dengan ketika sudah berhadats, dia harus mengulangi cara-cara
yang telah ditentukan secara lengkap.
5. Jumlah tayammum yang dilakukan sesuai dengan jumlah jabirah yang ada pada bagian
anggota-anggota wudlu. Jika ada dua jabirah (semisal di tangan dan kaki), maka tayammum
dilakukan dua kali.

[1] Ibrohim Al-Bajuri. Al-Bajuri. Juz I hal : 97. Thoha Putra


[2] Ibid
[3] Ibnu Hajar. Tuhfah Al-Muhtaj. Juz I Hal : 570. Dar Al-Kutub
[4] Sayyid Al-Bakr Muhammad Umar Syatho. I’anah At-Tholibin. Juz I Hal : 58. Dar Al-Fikr
[5] Ibid, hal : 60
[6] Ibrohim Al-Bajuri. Al-Bajuri. Juz I hal : 96. Thoha Putra
[7] Sulaiman bin manshur Al-Jamal. Hasyiah Al-Jamal. Juz I Hal : 208-212 Dar Al-Fikr
[8]Ibrohim Al-Bajuri. Al-Bajuri. Juz I hal : 96-97. Thoha Putra
[9] Sayyid Abdurrahman bin Muhammad. Bughyah Al-Mustarsyidin. Hal : 30. Dar Al-Fikr
[10] Sulaiman bin manshur Al-Jamal. Hasyiah Al-Jamal. Juz I Hal : 208-212 Dar Al-Fikr
[11] Ibid, hal 209-210

Anda mungkin juga menyukai