Anda di halaman 1dari 23

METODOLOGI STUDI ISLAM

Memahami Perkembangan
Lembaga Pendidikan Islam Di Aceh

|||
DISUSUN OLEH:

Amarullah,S.Pd
NIM: 221003019

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA UIN AR-RANIRY
BANDA ACEH
2022 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkankan ke hadirat Allah swt, dengan qudrah
iradah Allah sehingga penulis dapat menyusun makalah ini. Shalawat beserta salam
dipanjatkan kepada Nabi Muhammmad saw, telah membawa umat manusia kepada
peradaban yang mulia. Dalam makalah ini penulis membahas Sejarah dan
Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam di Aceh. Hal ini dilakukan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam.
Makalah ini dibuat menggunakan referensi-referensi yang berkaitan dengan
judul pembahasan. Berikutnya, Penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada
Prof. M. Hasbi Amiruddin selaku pengasuh mata kuliah Metodologi Studi Islam.
Ucapan terima kasih juga kepada mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam program
Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh angkatan 2022.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan agar
mencapai kesempurnaan makalah. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua.

Banda Aceh, 24 Desember 2022

Amarullah

i
DAFTAR IS

KATA PENGANTAR ......................................................................................i


DAFTAR ISI ...............................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................1
B. Rumusan Masalah ...................................................................1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pendidikan Islam di Aceh .......................................................2
B. Jenis-jenis lembaga pendidikan di Aceh ..................................4
C. Perkembangan kondisi lembaga pendidikan Islam di Aceh......10
D. Menatap pendidikan Islam di Aceh masa depan ......................16
BAB III : PENUTUP
A. Analisis ...................................................................................17
B. Kesimpulan.............................................................................17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi setiap muslim, tentunya harus memahami dan mengerti pendidikan


Islam. Juga harus memahami sejarah lembaga pendidikan. Hal ini penting untuk
memberikan arah baru dalam merekonstruksi sejarah-sejarah Islam terutama
dalam bidang pendidikan Islam.
Pembahasan yang dibahas dalam makalah ini berkaitan dengan sejarah dan
perkembangan lembaga pendidikan Islam di Aceh. Isi makalah secara lebih
spesifik membahas tentang lembaga pendidikan Islam di aceh, jenis-jenisnya dan
juga perkembangan dari kerajaan sampai kemerdekaan
Pembahasan ini sedikit dari sekian banyak pembahasan berkaitan dengan
metodelogi studi Islam. hal ini penting untuk diketahui sebagai sebuah wawasan
dalam memahami kondisi pendidikan dahulu dengan pendidikan sekarang ini.

B. Rumusan Maasalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Apakah pengertian lembaga pendidikan Islam?
2. Apa saja jenis pendidikan Islam di Aceh?
3. Bagaimana perkembangan lembaga pendidikan Islam di Aceh ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendidikan Islam di Aceh

Pendidikan merupakan suatu proses generasi muda untuk dapat


menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan
efisien. Pendidikan lebih daripada pengajaran, karena pengajaran sebagai suatu
proses transfer ilmu belaka, sedang pendidikan merupakan transformasi nilai dan
pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.
Pengertian pendidikan secara umum yang dihubungkan dengan Islam,
sebagai suatu sistem keagamaan menimbulkan pengertian-pengertian baru, yang
secara implisit menjelaskan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya.
Pendidikan tersebut mempunyai sisi perbedaan dinatara keduanya. 1
Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam
inheren dengan istilah “Tarbiyah , Ta’lim, dan Ta’dib” yang harus dipahami
secara bersama-sama. Ketiga istilah ini mengandung makna yang mendalam
menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya
dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus
menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam.
Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses
penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan
nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia
dan memetik hasilnya di akhirat. Ahmad D. Marimba memberikan pengertian
bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan
hukum-hukum islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut
ukuran-ukuran Islam. Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu
1
Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rosda, 2009), hal. 14

2
kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia
penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.
Jadi, definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang
secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempat-
tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga
membimbing ke arah pengenalan kepada Tuhan .
Pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling
tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara
istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga
pendidikan kepada hewan.
Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam
Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa
kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat.
Dalam konteks sosiologi, pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil ‘alamin,
baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah
yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.
Berbicara pendidikan Islam dalam kontek ke Acehan sangatlah menarik,
mengingat Aceh sebagai salah satu wilayah yang religius dan kental nilai-nilai
keislaman. Eksistensi Islam di tengah-tengah komunitas masyarakat Aceh telah
memberikan warna tersendiri dalam sejarah perkembangan sosio-kultural bagi
masyarakat yang berada di propinsi ujung pulau Sumatera.
Ditinjau secara historis, Aceh terdiri dari berbagai kerajaan-kerajaan kecil
seperti Peureulak, Samudra Pasai, Pidie dan Daya. Karenanya awal abad XVI,
Aceh adalah satu negara yang besar setelah seluruh kerajaan bersatu di bawah
bendera kekuasaan Aceh Darussalam (cikal bakal nama propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam pasca era reformasi).
Namun ketika Aceh diperintah oleh empat ratu dan sultan-sultan
berikutnya, kerajaan Aceh mengalami kemunduran yang pada akhirnya saat

3
Indonesia merdeka, para pemimpin Aceh memutuskan untuk bergabung dengan
Republik Indonesia.
Dalam perkembangannya, agama Islam terus mengalami kemajuan dan
begitu mengakar dalam masyarakat melalui peran dan perjuangan para ulama. Hal
ini dilakukan bersama lembaga pendidikan yang dibangun , diasuh dan dibinanya.
Diantara lembaga pendidikan yang populer di Aceh yaitu Dayah. Lembaga
pendidikan ini di samping berperan sebagai tempat pembelajaran dan mendidik
kader ulama dan pemimpin Aceh secara berkesinambungan juga berperan besar
sebagai lembaga sosial kemasyarakatan yang banyak memberikan jasa dan
prakarsa bagi pemberdayaan masyarakat sekitarnya.

B. Jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam di Aceh

1. Meunasah
Meunasah sudah ada sejak terbentuknya masyarakat Islam di Aceh.
Perkembangan meunasah menjadi sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional
Aceh baru diketahui pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Munculnya
meunasah sebagai lembaga pendidikan berhubungan dengan transfer sistem
pendidikan dari Madrasah Nizamiyah ke Aceh Darussalam yang dipadukan
dengan sistem pemerintahan sehingga dapat ditemukan hubungan erat antara adat
dan agama.
Meunasah atau madrasah menjadi sekolah permulaan yang memiliki
kesamaan dengan sekolah dasar. Didirikan pada masing-masing kampung atau
desa.2 Murid tidak terbatas hanya berasal dari kampung tersebut, boleh jadi
berasal dari kampung tetangga.
Sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar, meunasah memiliki sistem
pembelajaran; (1) kurikulumnya lebih difokuskan pada penguasaan bacaan al-
Qur'an dan pengetahuan dasar agama; (2) Sistem pembelajarannya dengan sistem

2
Eka Srimulayani, dkk. Sejarah Peradaban Islam. (Banda Aceh: Pusat Studi Wanita
IAIN Ar-Raniry, 2009), hal. 220

4
halaqah dan sorogan, metodenya menggunakan metode mengeja untuk tahap awal
dan menghafal pada tahap berikutnya, serta praktek ibadah; (3) hubungan antara
teungku dan murid/aneuk miet beut (anak didik) bersifat kekeluargaan, yang terus
kontinuitas sampai murid menginjak dewasa; (4) teungku dipilih oleh masyarakat
gampong yang dikepalai oleh Keuchik dan usia anak didik meunasah berkisar 6-7
tahun; (5) di meunasah juga diajarkan kesenian (sya’ir) yang bernafaskan Islam
seperti qasidah, rapai, dikê, seulaweut dan dalail khairat.
Kelancaran pendidikan agama tingkat dasar (meunasah) didukung oleh tiga
faktor utama yaitu: pertama orangtua merasa bertanggung jawab dan
berkewajiban untuk memberikan pendidikan agama kepada anak-anaknya sejak
awal. Kedua lembaga ini merupakan tempat belajar agama bagi anggota
masyarakat, tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin atau status sosial
dalam masyarakat. ketiga pendidikan ini gratis tanpa dipungut biaya. 3

2. Rangkang
Menurut ketentuan qanun Meukuta Alam, bahwa dalam tiap-tiap Mukim
harus didirikan satu mesjid. Mesjid selain digunakan sebagai pusat beribadah,
juga berfungsi sebagai tempat pendidikan Islam. Dalam konteks ini pendidikan
tingkat mukim yang sentralnya di mesjid, setara dengan pendidikan menengah
pertama.
Pada awalnya kebanyakan murid mondok di mesjid, tetapi akibat murid
yang semakin hari semakin banyak maka pada tahap berikutnya dirasa perlu
membangun pondok-pondok sekeliling mesjid sebagai asrama, inilah kemudian
dikenal dengan istilah “rangkang”, oleh karena itu lembaga pendidikan islam
tingkat menengah pertama dinamakan rangkang. 4
Menurut Snouck Hurgronje, seorang advisor pemerintah kolonial Belanda,
rangkang dibangun dalam bentuk rumah kediaman, tetapi lebih sederhana,

3
Ibrahim Husin. (1986, Januari- April), Fungsi Dayah/Pesantren Dalam Pembangunan
Masyarakat Desa, Sinar Darussalam, hal. 57
4
Eka Srimulayani, dkk. Sejarah Peradaban Islam...hal. 221

5
bukannya tiga lantai melainkan satu lantai, yang sama tinggi seluruh bagian kiri
dan kanan, fungsinya sebagai tempat kediaman bagi satu sampai tiga murid. 5
Pendidikan rangkang diajarkan oleh teungku, mereka disebut dengan
Teungku rangkang. Pendidikan pada tingkat ini mengajarkan tentang fiqh, tauhid,
tasawwuf, sejarah Islam, bahasa Arab, dan buku-buku ajar berbahasa Arab
disamping menggunakan buku-buku pelajaran yang berbahasa Melayu (jawi),
seperti Kitab Bidayah, Sirat Al-Mustaqim dan kitab-kitab Melayu lainnya.

3. Dayah
Lembaga pendidikan Islam khas Aceh yang selanjutnya disebut dengan
dayah, yaitu sebuah lembaga yang pada awalnya memposisikan dirinya sebagai
pusat pendidikan pengkaderan ulama. Kehadirannya sebagai sebuah institusi
pendidikan Islam di Aceh bisa diperkirakan hampir bersamaan tuanya dengan
Islam di Nusantara.
Kata Dayah berasal dari bahasa Arab, yakni zawiyah, yang berarti pojok.6
Istilah zawiyah, yang secara literal bermakna sudut, diyakini oleh masyarakat
Aceh pertama kali digunakan sudut mesjid Madinah ketika Nabi Muhammad saw
berdakwah pada masa awal Islam.
Pada abad pertengahan, kata zawiyah difahami sebagai pusat agama dan
kehidupan dari penganut tasawuf, karena itu, didominasi hanya oleh ulama
perantau, yang telah dibawa ke tangah-tengah masyarakat. Kadang-kadang
lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada saat tertentu
juga zawiyah dijadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual.
Dayah-dayah di Aceh yang populer pada masa kesultanan antara lain
sebagai berikut:
a) Dayah Cot Kala, Aceh Timur.
b) Dayah Seureuleu, Aceh Utara.
c) Dayah Blang Pria, Geudoeng.
5
Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis Jilid II, (Jakarta: Yayasan Soko Guru,
1985), hal. 31
6
Teuku Zulkhairi, Sejarah dan Peran Dayah Di Era Modern: Sebuah Telaah Kritis dan
Konstruktif dalam Perspektif Kurikulum, (Banda Aceh: Badan Pembinaan Pendidikan Dayah
(BPPD) Aceh, 2002), hal. 2

6
d) Dayah Batu Karang.
e) Dayah Lam Keuneu’eun.
f) Dayah Tanoh Abee, Aceh Besar.
g) Dayah Tiro, Pidie.

Eksistensi dayah memberikan warna tersendiri dalam kemajuan pendidikan


di Aceh. Kebiasaan orang belajar di dayah, atau sering disebut meudagang,
biasanya membutuhkan waktu yang tak terbatas. Artinya seorang murid datang
dan meninggalkan dayah kapan ia suka. Beberapa aneuk dayah (santri) belajar di
beberapa dayah, berpindah dari satu dayah ke dayah lainnya, setelah belajar
beberapa tahun.
Jumlah tahun yang dihabiskan oleh seorang murid tergantung pada
ketekunannya atau pengakuan guru bahwa murid itu telah selesai dalam studinya.
Kadang-kadang murid tersebut ingin melanjutkan studinya di dayah sampai ia
sanggup mendirikan dayahnya sendiri. Dalam kaitan ini, tidak ada penghargaan
secara diploma. Karena itu, setelah belajar dan mendapat pengakuan dari teungku
chik (pimpinan dayah) mereka terjun ke dunia masyarakat dan bekerja
sebagai Teungku di meunasah-meunasah, menjadi da’i atau imam di mesjid-
mesjid.
Dayah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang tertua dan memunyai
peranan yang sangat penting dalam masyarakat mempunyai tujuan yang snagat
mulia. Tujuan pendidikan Dayah/pesantren adalah “menciptakan dan
mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau
berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi
masyarakat, mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian,
menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-
tengah masyarakat, dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan
kepribadian manusia muhsin.

7
4. Jami’ah Baiturrahman
Setelah berdiri dayah-dayah di Aceh, berikutnya di Ibu Kota kerajaan
Aceh Darussalam didirikan jami’ah Baiturrahman. Jami’ah ini setingkat
Universitas jika dibandingkan saat ini. Posisinya menjadi kesatuan Mesjid
Baiturrahman Banda Aceh. Pada jami’ah ini terdapat daar atau fakultas-fakultas,
setidaknya ada 17 fakultas yaitu:
a) Daar Tafsir wal Hadist ( Fakultas Tafsir dan Hadist).
b) Daar At-Thibb (Fakultas Kedokteran).
c) Daar Al-Kimya (Fakultas Kimia).
d) Daar At-Tarikh (Fakultas Sejarah).
e) Daar Al-Hisab (Fakultas Sains).
f) Daar As-Siyasah (Fakultas Politik).
g) Daar Al-Aqli (Fakultas Ilmu Akal).
h) Daar Az-Zira’ah (Fakultas Pertanian).
i) Daar Al-Ahkam (Fakultas Hukum).
j) Daar Al-Falsafah (Fakultas Filsafat).
k) Daar Al-Kalam (Fakultas Teologi).
l) Daar Al-Wizara’ah (Fakultas Pemerintahan).
m) Daar Kahazaanah Bait Al-Maal (Fakultas Ilmu Keuangan Negara).
n) Daar Al-Ardhi (Fakultas Pertambangan).
o) Daar An-Nahwi ( Fakultas Bahasa Arab).
p) Daar Al-Mazahib (Fakultas Ilmu Agama).
q) Daar Al- Harb (Fakultas Ilmu Perang).

Masa Iskandar Muda, Jami’ah ini mendapatkan perhatian yang luar biasa
dari elit kerajaan. Bahkan guru-guru pengajar selain berasal dari Aceh, juga
didatangkan dari luar Aceh, seperti dari Arab, Turki, Persia, dan India.
berdasarkan dari berbagai sumber, setidaknya terdapat 44 guru yang didatangkan
dari luar Aceh.

8
Diantara nama-nama guru yang didatangkan khusus antara lain Syaikh
Faqih Zainal Abidin, Syaikh Aliuddin Muhammad, Syaikh Taqiyuddin bin Hasan,
Syaikh Abdul Fatah Al-Amin, Syaikh syamsuddin bin Musa, Syaikh Said bin
Yahya, Syaikh Umar bin Usman, Syaikh Abdurrahman bin Qasim, Syaikh Adam
bin Syiz dan para guru kenamaan lainnya. 7
Menurut Azyumardi Azra, intellectual boom Islam di Nusantara sejak
abad ke 16 berlanjut lebih intens pada abad-abad berikutnya. Pada periode ini
dapat di catat ulama-ulama produktif seperti Abdussamad Al-Palimbani,
Muhammad Arsyad Al-Banjari, Muhammad Nafis Al-Banjari, Nawawi Al-
Bantani, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Mereka termasuk dalam jaringan
ulama dengan dinamika intelektual yang sangat intens.8
Apa yang disampaikan oleh Azyumardi, juga terjadi di Aceh. para ulama
banyak menulis karya-karya, diantara karya ulama Aceh yang monumental yaitu:
Hamzah Fansuri menulis kitab Asyrabul Asyiqin wa zinatul Muwahhidin, Asrarul
Arifin Fi Ilmis suluk wa Tauhid. Syamuddin As-Sumatrani menulis kitab mir’atul
Mukminin, Jauhar haqaiq, mir’atul muhaqqiqin.
Nurruddin Ar-Raniry menulis kitab Al-shiratul Mustaqim, Darul Faraid bi
syahril aqaid, Al-Tibyan Al-Makrifatil Aydan, Bustanussaltin, Fathul Mubil ‘ala
mulhidin. Syaikh Abdurrauf menulis karya turjumanul Mustafid, Mir’atut
thullab,umdatul ahkam, umdatul muhtajin ila suluki maslaki mufradin. Jalaluddin
Tursani menulis kitab Mudharul ajla ila rutbatil a’la.
Syekh Abbas Kuta karang seorang ulama yang menjadi qadhi malikul adil
di zaman Sultan Alaidin Ibrahim Mansur Syah (1273-1286 H), ia termasuk
pengarang besar, banyak menulis tentang ilmu kedokteran dan ilmu falaq, diantara
kitabnya yang terkenal sirajul zalam fi ma’rifati sa’di wal nahas (ilmu bintang)

7
Tim Redaksi, (2008, Oktober), Dayah Sejak Sulthan Hingga Sekarang, Majalah Dayah,
hal 24
8
Azyumardi Azra, Menggapai Solidaritas: Tensi Antara Demokrasi, Fundamentalisme
dan Humanisme, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2022), hal. 227

9
dan kitabur rahmah (tentang obat-obatan). Syaikh Daud Rummi menulis kitab
risalah masailal muhtadihi ikhwanil mubtadi.9
Demikianlah gambaran pendidikan Aceh yang dilaksanakan oleh orang-
orang terdahulu. Dalam hal ini ulama dan dan Sulthan memegang peranan penting
untuk memajukan pendidikan melalui lembaga pendidikan yang berbentuk dayah
dan jami’ah. Mereka mendatangkan guru-guru besar dari luar sehingga taraf
pendidikan mencapai kemajuan bahkan melahirkan cendikiawan-cendikiawan
yang di[perhitungkan di dunia luar.

C. Perkembangan Kondisi Lembaga Pendidikan Islam di Aceh


Sejarah tumbuhnya dan berkembangnya lembaga pendidikan Islam di
Aceh erat kaitannya dengan perjalanan dakwah Islam di daerah tersebut. Kondisi
lembaga pendidikan Islam di Aceh, secara umum dapat diklasifikasi menjadi tiga
periode, diantaranya yaitu:

1. Periode Kesultanan
Tome Pires mencatat bahwa pada sekitar abad ke-16 di Samudra Pasee
telah terdapat kota-kota besar yang di dalamnya terdapat pula orang-orang yang
berpendidikan. Hal ini diperkuat oleh Ibnu Batutah yang menyebutkan bahwa
pada saat itu Pasee sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara dan di
sini banyak berkumpul ulama-ulama dari negeri-negeri Islam.
Ibnu Batutah juga menyebutkan bahwa Sultan Malikul Zahir (1297-1326
M) adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Ketika hari
Jumat tiba, Sultan melaksanakan salat di Mesjid dengan mengenakan pakaian
ulama dan setelah itu mengadakan diskusi dengan para ulama. 10 Ulama-ulama
terkenal pada waktu itu antara lain Amir Abdullah dari Delhi, Kadhi Amir Said

9
Eka Srimulayani, dkk. Sejarah Peradaban Islam...hal. 224
10
Muhhammad bin Abdullah bin Bathuthah, Rihlah Ibnu Bathuthah, (terj. Muhammad
Muchson), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), hal. 601

10
dari Shiraz, Tajuddin dari Isfahan. Teungku Cot Mamplam dan Teungku Cot
Geureudong.
Perkumpulan (halaqah) semacam itu, yang dilakukan di sudut-sudut
bagian masjid untuk menyampaikan ajaran Islam atau mendiskusikan
permasalahan-permasalahan yang timbul yang berkaitan dengan ajaran Islam
lazim disebut zawiyah. Keaktifan juga berlaku bagi lembaga pendidikan tingkah
dasar dan menengah.
Para cendikiawan-cendikiawan selain memahami ilmu pengetahuan juga
memiliki budaya menulis, sehingga banyak menghasilkan karya-karya yang
mampu memberikan pengetahuan bagi masyarakat yang hidup pada era tersebut,
bahkan untuk generasi hari ini. Karya para ulama sudah disebutkan pada
pembahasan sebelumnya. Diantara kitab-kitab karangan ulama Aceh saat ini
masih terdapat di Dayah Tanoh Abee, Aceh Besar. Disini masih terdapat
manuskrip-manuskrip lama, selain itu juga terdapat perpustakaan Kuno. Banyak
peneliniti mendatangi untuk mengkaji karya ulama Aceh tempo dulu. Dalam buku
tamu tahun 1987, disebutkan ada 36 negara yang mengunjungi zawiyah Tanoh
Abee. 11 Maka periode ini Kehadiran lembaga pendidikan Islam benar-benar sudah
mengakar kuat di Aceh dan memberi kontribusi yang banyak terhadap kemajuan
ilmu pengetahuan.

2. Periode Kolonial
Belanda memaklumkan perang dengan Aceh pada tanggal 26 Maret 1873.
Perang Aceh terjadi karena keinginan Belanda menguasai wilayah Kesultanan
Aceh yang menjadi sangat penting setelah Terusan Suez dibuka. Sebelum Perang
Aceh terjadi, Belanda berhasil menguasai wilayah Kesultanan Deli, mulai dari
Langkat, Asahan, hingga Serdang melalui Perjanjian Siak tahun 1858. Padahal,

11
Muhajir Al-Fairusy, Retrospeksi Budaya Hemispheric Islam di Zawiyah Tanoh Abee,
(Bali: Pustaka Larasan, 2014), hal. 163

11
wilayah-wilayah tersebut sebenarnya masuk ke dalam kekuasaan Kesultanan
Aceh.
Sebelumnya, merujuk pada Perjanjian London 1824, Belanda harusnya
mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh atas wilayah-wilayahnya. Namun, dengan
adanya Perjanjian Siak dan masuknya Belanda ke beberapa wilayah Aceh,
membuat Kesultanan Aceh geram dan menuding Belanda melanggar Perjanjian
London.
Pada masa kolonial lembaga pendidikan Islam berangsur-angsur menurun.
karena sejumlah ulama dan para santri harus berperang, tidak sedikit dari mereka
yang syahid dalam medan pertempuran. Dayah-dayah juga di bakar oleh pihak
penjajah, mengakibatkan hilangnya kitab-kitab yang ditulis oleh ulama Aceh
maupun ulama luar Aceh.
Selain kehilangan ulama, dayah dan sejumlah kitab, Belanda mengontrol
lembaga pendidikan apa saja yang ada dibawah kekuasaannya. Mereka melaramg
mengajarkan beberapa mata pelajaran yang berhubungan dengan politik dan yang
dianggap dapat memajukan kebudayaan umat. karena itu banyak pelajaran yang
tidak diajrkan lagi di dayah ketika itu. 12
Masa belanda, Islam dibagi menjadi dua kategori, yaitu Islam religius dan
Islam Politik. Terhadap masalah agama, pemerintah belanda disarankan agar
bersikap toleran, yang dijabarkan dalam Islam religius. Tetapi jika Islam sudah
berpolitik harus dicurigai, karena akan mengakibatkan kerugian bagi kedudukan
kolonial Belanda. 13
Pada awal akhir abad ke 19, Belanda mulai menjalankan politik kolonial
baru atau sering juga politik disebut dengan politik etis. 14 Pada masa ini Belanda
lebih banyak mencampuri urusan-urusan kemasyarakatan, termasuk urusan

12
Hasbi Amiruddin, Aceh dan Serambi Makkah, (Banda Aceh: Pena, 2008), hal. 30
13
Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009),
hal. 305
14
Rz. Leirissa, Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950, (Jakarta: Akademica Presindo,
1985, hal. 21

12
pendidikan orang pribumi. Upaya–upaya yang dilakukan oleh Belanda sangat
halus dan sistematis.
Dalam pendidikan, mereka membangun berbagai tingkat sekolah, Seperti
eerste school (sekolah angka satu),pendidikan tingkat ini selama 6 tahun dan
muridnya banyak dari golongan priyayi. Kemudian ada tweede school (sekolah
tingkat dua), sekolah ini diperuntukkan untuk rakyat pada umumnya yang ada
dipedesaan. Lamanya 3 tahun, pada tingkat ini diajarkan menghitung, membaca
dan menulis saja.
Pada tahun tahun 1914, sekolah angka satu diubah namanya menjadi
Hollandsh Inlansche School (HIS), dibangun dikota-kota untuk pendidikan anak
priyayi. Di tahun yang sama juga didirikan sekolah Meer Uitgebreid Laanger
Onderwijs (MULO). Selain itu juga membuat sekolah STOVIA (sekolah
kedokteran) dan sekolah-sekolah lainnya.
Hadirnya pendidikan corak kolonial ini menjadi permasalahan tersendiri
bagi eksistensi lembaga-lembaga pendidikan Islam di Aceh. Pada masa kolonial
ini kepopuleran lembaga pendidikan Islam sudah jauh jika dibandingkan sekolah-
sekolah Belanda. Apalagi peran Snouck Hurgronje melaksanakan politik adu
domba bagi masyarakat Aceh, membuat pendidikan semakin kacau.

3. Periode Menghadapi Kemerdekaan


Penjajahan yang dilakukan Belanda membuat masyarakat Islam yang ada
di Aceh secara khusus dan Indonesia secara umum, terbatas dalam mendapatkan
pendidikan. Di dunia Islam saat itu sudah muncul gerakan-gerakan pembaruan,
seperti gerakan Pan Islamisme, sebuah gerakan yang dibentuk oleh Jamaluddin
Al-Afgani (1897).15 Tujuan gerakan ini untuk memberikan kesadaran umat Islam
dan mengejar ketertinggalan akibat penajajahan
Lahirnya gerakan Pan Islamisme ini memberi pengaruh besar terhadap
bangkitnya gerakan-gerakan yang ada di semua negara-negara muslim, termasuk
15
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal.
257

13
di Indonesia. Di Padang pembaruan pendidikan mulai dilakukan, dan pada saat
yang bersamaan orang-orang Arab yang ada di Indonesia juga melakukan hal
yang sama.
Pengenalan dan pertumbuhan pemikiran dan kegiatan pembaruan, pada
umumnya dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pertama gerakan
pendidikan dan sosial di satu sisi, kedua gerakan politik di sisi lainnya. 16 Peran
ganda ini sangat efektif untuk mewujudkan tujuan pembaruan.
Pembaruan pendidikan di mulai dengan menyamakan persepsi perubahan
di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Murid-murid membaca dan mempelajari
tulisan Muhammad Abduh secara diam-diam, seperti majalah Al-‘Urwat Al-
Wutsqa dan tafsir Al-Manar. Awalnya majalah dan tafsir tersebut dilarang beredar
oleh pihak Belanda, tetapi para pengajar tetap mempelajarinya dengan sembunyi-
sembunyi. Lama- kelamaan para murid juga diperbolehkan membaca majalah dan
tafsir tersebut.
Semangat pembaruan ini kemudian juga diwujudkan dengan aksi, yaitu
didirikan sekolah-sekolah Islam modern. Sumatera Barat wilayah yang pertama
melakukan pembaruan pendidikan di bagian Sumatera, karena banyak orang-
orang Minangkabau menuntut ilmu di Timur tengah dan terpengaruh pemikiran
modernis. Tokoh pembaruan terkenal di Sumatera Barat diantaranya Syaikh
Ahmad Khatib, Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli, Syaikh Muhammad Djamil Djambek
dan banyak lainnya.
Mereka mendirikan sekolah-sekolah dengan kurikulum modern, seperti
sekolah Adabiyah di Padang, Surau Jambatan Besi, dan Sumatera Thawalib. Pada
lembaga pendidikan tersebut dirubah kurikulumnya, bahkan terdapat mata
pelajaran khusus untuk menumbuhkan semangat Nasionalisme.
Di Aceh, pendidikan serupa juga didirikan seperti dibangun
Jami’atuddiniyah Sa’adah Al-Abadiah di Blang Paseh. Pada madrasah tersebut

16
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900- 1942, (Jakarta:LP3ES, 1996),
hal, 71

14
kurikulum di ubah, tidak sebagaimana pendidikan di dayah-dayah. Selain belajar
Ilmu agama, disini juga diajarkan ilmu-ilmu umum seperti ilmu politik, tafsir,
ilmu hayah, matematemika dan ilmu sains yang lainnya. 17Di Bireun lahir Normal
Islam Institut, Madrasah Diniyah Idi yang dibangun oleh M Nur el Ibrahimi,
JADAM di Montasik dan sebagainya.
Pada tahap-tahap berikutnya banyak lahir madrasah-madrasah di Aceh.
Pendidikan corak seperti ini memberi dampak yang sangat besar bagi masyarakat
Aceh, sehingga memberikan kesadaran–kesadaran bagi masyarakat untuk
melepaskan diri dari belenggu penjajah, artinya kehadiran lembaga pendidikan
islam seperti itu membangkitkan rasa Nasionalisme masyarakat. Banyak diantara
alumni sekolah Islam ikut berjihad dengan sungguh-sungguh sehingga terciptanya
suatu tatanan baru yang lepas dari kolonialis.
Selain pendidikan, penguatan sosial politik juga sangat penting dilakukan,
mengingat kondisi perpolitikan pada saat itu di dominasi oleh pihak Belanda,
mereka memegang kendali atas pengambilan kebijakan. Kesadaran politik ini
setidaknya menjadi penyeimbang kekuatan (balance of power) atas politik
Belanda. Gerakan sosial politik yang dimainkan oleh umat muslim di Indonesia
kala itu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Selain itu menguatkan posisi
pendidikan yang sedang diperbaharui.
Maka muncul organisasi-organisasi pergerakan Islam seperti Sarekat
Dagang Islam (SDI), Nahdatul Ulama (1926), Muhammadiyah (1912), Persatuan
Islam Persis (1920), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Persatuan Muslimin
Indonesia, Persatuan Islam Indonesia, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (1930) dan
orgaisasi Islam lainnya. Kehadiran organisasi Islam membawa semangat baru,
meskipun berbeda nama, berbeda daerah, dan berbeda cara namun semua
organisasi islam tersebut memiliki musuh bersama yaitu penjajah. semnagat inilah
kemudian memicu lahirnya perlawanan fisik dan gagasan dengan penjajah.

17
Amarullah Yacob, Jami’atuddiniyah Blang Paseh: Lembaga Pendidikan Kaum
Moderat. (Serambi Indonesia, Rabu januari 2020).

15
D. Menatap Pendidikan Islam di Aceh Masa Depan
Lembaga pendidikan Islam di Aceh sudah pernah mengalami kejayaan,
tepatnya sebelum kedatangan penjajah, kondisi ini berubah semenjak terjadinya
perang Aceh. Setelah itu berangsur-angsur melemah, meskipun pada abad 20
mencoba untuk bangkit dan mengulang kejayaan.
Agaknya ulama-ulama alumni dayah sekarang menyadari atau tidak telah
termarginalisasi, sebagian besar hanya terus tinngal di dayah. Sebagian besar
diantara yang terjun dalam masyarakat tidak terlihat secara jelas peranannya,
meskipun gaungnya dalam masyarakat masih kuat. Peran-peran sebagai pemikir
dan penulis seperti ulama dahulu tidak muncul lagi pada alumni dayah sekarang. 18
Di tengah krisis global seperti ini, hendaknya ulama-ulama dari lembaga
pendidikan Islam, khususnya dayah, memiliki andil besar terhadap persoalan-
persoalan yang menimpa umat Islam di Aceh. Kehadiran ulama tidak hanya
semata-mata mengurusi perihal akhirat tetapi juga terhadap permasalahan
duniawi.
Masyarakat Aceh sangat menginginkan adanya perubahan-perubahan
besar, lembaga pendidikan Islam hari ini belum dapat menjawab tantangan zaman.
Terbukti dengan penguasaan ilmu oleh lulusan lembaga pendidikan Islam yang
hanya terbatas pada ilmu-ilmu islam murni (fiqh, tauhid, dan tasawwuf) semata.
Alangkah bagusnya jika hari ini lulusan lembaga pendidikan Islam selain
menguasai ilmu islam murni juga menguasai ilmu-ilmu sains supaya eksistensi
mereka di tengah masyarakat dapat dijadikan solusi bagi umat.
Jika lembaga pendidikan Islam masih menggunakan pola-pola lama yang
tidak berkemajuan maka manfaat yang dirasakan oleh umat sangat terbatas, hanya
terpusat pada urusan-urusan keagamaan saja. Tetapi jika mampu menguasai ilmu-
ilmu eksanta penulis sangat yakin bahwa kehadiran mereka akan memberikan
dampak bagi kemajuan umat Islam di masa yang akan datang.

18
M. Hasbi Amiruddin, Dayah 2050: Menatap Masa Depan Dayah Dalam Era
Transformasi Ilmu dan Gerakan Keagamaan, (Yogyakarta: Hexagon bekerjasama dengan
Lembaga Studi Agama dan Masyarakat Aceh,2013), hal. 8

16
BAB III
PENUTUP
A. Analisis

Lembaga pendidikan Islam di Aceh era kesultanan memberikan sumbangsih


besar dalam dunia intelektual Asia Tenggara, tidak hanya ilmu agama saja,
melainkan juga ilmu-ilmu umum. Masa kolonial gaung intelektual sudah
melemah, pengaruh kolonial sangat berdampak pada cara berpikir orang Aceh
terhadap pendidikan Islam.
Hari ini, masih terdapat terdapat dikotomi pendidikan Islam di Aceh,
seakan-akan lembaga pendidikan Islam dikhususkan untuk mengkaji perkara
agama saja, sementara jika mengkaji diluar konteks tersebut seperti melakukan
sebuah kesalahan. Dalam realitas-realitas sekarang contohnya jika ada ulama yang
berpolitik itu dikucilkan, ulama cukup berada di pengajian-pengajian saja
mendidik masyarakat tentang ilmu agama. Dalam sejarah Islam, banyak ditulis
ahli-ahli agama juga memiliki kapasitas pengetahuan umum, bahkan mereka
mengetahui hal-hal yang belum dapat dijangkau oleh orang Eropa kala itu.
Dengan kondisi umat Islam di Aceh seperti ini, sangat diharapkan bahwa
kehadiran lembaga pendidikan Islam tidak hanya mencetak generasi yang pandai
dibidang agama saja, tetapi juga perlu ahli agama yang memahami dunia sains
dan ilmu-ilmu umum lainnya, sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
islam terdahulu, sehingga mampu membawa Islam ke arah yang lebih maju dan
berwibawa.

B. Kesimpulan
1. Definisi pendidikan islam adalah proses pembentukan kepribadian manusia
kepribadian islam yang luhur. Bahwa pendidikan islam bertujuan untuk
menjadikannya selaras dengan tujuan utama manusia menurut islam, yakni
beribadah kepada Allah swt.
2. Jenis-jenis pendidikan di Aceh: Meunasah, Ragkang, Zawiyah atau Dayah,
Jami’ah.
3. Perkembangan lembaga pendidikan Islam di Aceh dapat dikategorikan
menjadi 3 periode:

17
a. Masa kesultanan: Pendidikan Islam di Aceh sangat maju, ulama-ulama
banyak menghasilkan karya. Kemampuan ilmu agama dan umum
membuat pendidikan di Aceh menjadi maju.
b. Masa kolonial: Pendidikan Islam di Aceh mulai di batasi, pembelajarannya
tidak boleh lagi mengajarkan ilmu politik, dan ilmu-ilmu lainya yang
dapat merugikan Belanda. Pada periode ini pendidikan Islam berangsur
menurun.
c. Masa Menghadapi kemerdekaan: periode ini pendidikan Islam di Aceh
mulai bangkit kembali untuk menyembaingi dominasi barat dalam
pendidikan. Lahir organisasi-organisasi, madrasah-madrasah bercorak
Islam. Kemudian dari lembaga-lembaga ini lahirlah gerakan-gerakan yang
ingin melepaskan diri dari belenggu penajajahan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra, Menggapai Solidaritas: Tensi Antara Demokrasi,


Fundamentalisme dan Humanisme, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2022).

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008).

Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Intermasa,


2009).

Eka Srimulayani, dkk. Sejarah Peradaban Islam. (Banda Aceh: Pusat Studi
Wanita IAIN Ar-Raniry, 2009).

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900- 1942, (Jakarta:LP3ES,


1996),

Hasbi Amiruddin, Aceh dan Serambi Makkah, (Banda Aceh: Pena, 2008).

Hasbi Amiruddin, Dayah 2050: Menatap Masa Depan Dayah Dalam Era
Transformasi Ilmu dan Gerakan Keagamaan, (Yogyakarta: Hexagon
bekerjasama dengan Lembaga Studi Agama dan Masyarakat Aceh, 2013).

Muhhammad bin Abdullah bin Bathuthah, Rihlah Ibnu Bathuthah, (terj.


Muhammad Muchson), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012).

Muhajir Al-Fairusy, Retrospeksi Budaya Hemispheric Islam di Zawiyah Tanoh


Abee, (Bali: Pustaka Larasan, 2014).

Rz. Leirissa, Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950, (Jakarta: Akademica


Presindo, 1985).

Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis Jilid II, (Jakarta: Yayasan Soko
Guru, 1985).

Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rosda, 2009).

Teuku Zulkhairi, Sejarah dan Peran Dayah Di Era Modern: Sebuah Telaah Kritis
dan Konstruktif dalam Perspektif Kurikulum, (Banda Aceh: Badan
Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh, 2002).

19
Majalah dan Surat Kabar:

Ibrahim Husin. (1986, Januari- April), Fungsi Dayah/Pesantren Dalam


Pembangunan Masyarakat Desa, Sinar Darussalam.

Tim Redaksi, (2008, Oktober), Dayah Sejak Sulthan Hingga Sekarang,


Majalah Dayah, hal 24.

Amarullah Yacob, Jami’atuddiniyah Blang Paseh, Lembaga Pendidikan


Kaum Moderat. (Serambi Indonesia, Rabu januari 2020).

20

Anda mungkin juga menyukai