Anda di halaman 1dari 11

1

POLITIK ISLAM
1. Pengertian politik Islam
Politik Islam yang disebut juga sebagai “as-Siyāsah asy-Syar’iyyah”.
Secara bahasa terdiri dari dua kata “as-Siyāsah” dan “asy-Syar’iyyah”.
Dalam buku berjudul “al-Madkhal ilā as-Siyāsah asy-Syar’iyyah” (1993: 13-
53) Syekh Abdul ‘Āhmad menjelaskan pengertian politik Islam beserta bidang
kajiannya dengan cukup lugas.
Kata “as-Siyâsah” diderivasi dari kata kerja: ‫سسسياَسسسسةة‬-‫سيسسسسووسس‬-‫ سسسساَسس‬yang
maknanya berkisar pada: mengurusi, mengelola, mengatur sesuatu (sesuai)
dengan kemaslahatan (kepentingan). Menurut pendapat terkuat, kata ini
bukanlah kata asing yang diimpor dari bahasa selain Arab.
- Advertisement –
Sedangkan kata “asy-Syar’iyyah” secara bahasa berarti dinisbatkan
pada syariat. Kata “Syari’ah” berarti jalan, metode atau cara. Yang dimaksud
di sini adalah syariat Islam. Jadi, yang dimaksud dengan “as-Siyâsah asy-
Syar’iyyah” (Politik Islam) secara bahasa bermakna mengurus sesuatu sesuai
kemaslahatan (umat) berdasarkan syariat Islam.
Adapun makna politik Islam (as-Siyâsah asy-Syar’iyyah ) menurut
istilah ‘fuqahā’ (ulama fikih) adalah membina (membangun atau mendasari)
hukum sesuai dengan tuntutan maslahat (kepentingan) umat yang tidak
terdapat dalil khusus dan rinci mengenainya.
Dengan ungkapan lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
politik Islam adalah pemimpin yang mengatur urusan umat mewujudkan
(merealisasikan) maslahat (kepentingan) yang kembali kepada individu dan
jemaah (masyarakat).
Bisa juga dikatakan, “Pemimpin mengurusi sesuatu untuk
kemaslahatan yang dilihatnya (untuk umat) terhadap sesuatu yang tidak
terdapat nash secara khusus dan pada urusan yang tidak permanen (tetap), tapi
berubah-ubah (dinamis) mengikuti perubahan situasi-kondisi, waktu, tempat
dan maslahat-maslahat.

2. Politik Islam Vesus Islam Politik


Dalam leksikon politik Islam sering muncul istilah Islam politik.
Apakah Islam politik itu? Apa bedanya dengan politik Islam? Dari ideologi
dan praktik sejarah, Islam politik sekurang-kurangnya bertolak dan dikenali
dari empat cara pandang.
Pertama, Islam adalah agama kâffah, agama sekaligus negara (‫الدين‬
‫)والدولسسة‬, ibadah dan politik. Kadar paling radikal meletakkan politik dan
2

penegakan sistem politik sebagai pokok dan rukun agama (‫اصل من اصول الدين‬
َ‫)وركسسن مسسن اركاَنهسسا‬. Dengan paradigma ini, orang Islam yang tidak berjuang
menegakkan sistem politik Islam adalah kafir karena mengabaikan pokok
agama. Mereka harus diperangi, meski mengucapkan syahadat, salat, puasa,
zakat, dan haji.
Pandangan ini bisa disimak dari ceramah-ceramah Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) yang tersiar di berbagai media. Ini berbeda dengan paradigma
lain, yang saya ikuti, bahwa politik itu penting untuk menunjang agama, tetapi
bukan perkara pokok yang tetap (‫ )ثاَبت‬dan baku (‫ )جاَمد‬. Politik adalah perkara
cabang yang berubah (ّ‫ )متغيير‬dan dinamis (‫)متطيور‬. Imam Syafi’i, misalnya,
meletakkan politik sebagai cabang, bukan cabang akidah pula, tetapi sekadar
cabang syariah:

َ‫السياَسة جزء من اجزاء الشرّيعة وفرّع من فرّوعها‬


“Politik adalah bagian dari syariah dan salah satu cabang di antara cabang-
cabangnya.”

Dalam perkara cabang, terbuka ruang ijtihad dan inovasi. Konsepsi ini
bisa disebut sebagai politik Islam, politik yang dipengaruhi nilai-nilai Islam.
Karena Islam adalah sumber inspirasi, penjelmaan politik Islam tidak baku,
tunggal, dan monolitik. Berbagai bentuk ekspresi politik Islam diakui,
termasuk yang berwawasan kebangsaan.
Dengan paradigma ini, “ayat-ayat politik” dalam nash tidak dipahami
sebagai qath’î (imperatif kategoris) yang jelas dan pasti, tetapi dhannî
(imperatif hipotetis) yang kondisional dan fleksibel. Karena bukan perkara
pokok yang qathi’î, pilihan politik atau ijtihad politik tidak mempengaruhi
status agama seseorang. Dalam terang ini, haram menyebut ahlul qiblat
sebagai kafir karena tidak setuju negara Islam atau memilih pemimpin politik
non-Muslim.
Perbedaan Islam politik dan politik Islam bisa ditarik dari sini. Islam
politik menjadikan tegaknya sistem politik Islam (‫ دولسسۃ اسسسلميۃ‬atau ‫خلفسسۃ‬
‫ )اسلميۃ‬sebagai aspirasi dan tujuan politik. Politik Islam, di seberang lain,
menganggap politik penting dan nilai-nilai Islam perlu diadaptasi sebagai
inspirasi politik. Namun, politik adalah sarana (‫ )وسيلة‬karena tujuan atau ‫غاَية‬
sebenarnya adalah kehidupan adil, makmur, dan sejahtera (‫)بلدة طيبة ورب غفور‬.
Sarananya boleh negara-bangsa dan demokrasi.
Kedua, tujuan penegakan sistem politik Islam (‫ دولۃ اسلميۃ‬atau ‫خلفۃ‬
‫ )اسسسلميۃ‬adalah formalisasi syariat Islam dalam pengertian sempit yaitu
3

penerapan hukum jinâyat Islam (hudûd) seperti potong tangan, jilid, rajam,
qishâs, ta’zîr, dan semacamnya. Di berbagai tempat, syariat Islam telah
dijalankan secara swadaya tanpa intervensi negara seperti salat dan puasa.
Di Indonesia, negara memfasilitasi pelaksanaan syariat Islam lain
seperti haji, zakat, perkawinan, dan keuangan berbasis syariah. Namun,
pelaksanaan syariat Islam dianggap belum kâffah karena belum mengadopsi
hukum pidana Islam. Orang Islam yang berhenti berjuang menegakkan hudûd
adalah pembela thâghût (‫ )انصاَرالطاَغوت‬karena menerima selain hukum Allah.
Mereka belum dihitung menegakkan syariat Islam, meski rajin salat, selalu
bayar zakat, tekun puasa, haji, dan menabung perbankan syariah. Dalilnya
paten (QS. al-Maidah/5: 44, 45, 47):

(‫ومن لم يحكم بماَ أنزل ال فأولئك هم الكاَفرّون )فأولئك هم الظاَلمون( )فأولئك هم الفاَسقون‬

“Siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka
mereka itu kafir, (maka mereka itu zalim), (maka mereka itu fasik).”

Penafsiran harfiah terhadap ayat ini akan membuat semua orang Islam
ngeri dan merasa bersalah karena hidup di dalam sistem sekuler. Muslim yang
tidak berjuang menegakkan hukum Islam seperti potong tangan dan rajam
mendapat cap langsung dari al-Qur’an sebagai kafir, zalim, dan fasik.
Benarkah demikian?

Sewaktu sekolah setingkat Aliyah, saya belum menemukan jawaban


tuntas kenapa Indonesia tidak menerapkan hukum Islam dan bagaimana ayat
ini harus dipahami. Saya rasa ini juga tengah menimpa anak-anak muda
zaman now, termasuk mahasiswa cerdik pandai di kampus-kampus ternama,
yang lantang berteriak Khilâfah dan syariat Islam kâffah. Mereka terpapar
pengajian-pengajian politis, mencela pemerintahan sekuler, dan mengutuk
para pembelanya.
Hasilnya, sejarah Islam politik dipenuhi oleh narasi pemberontakan
terhadap sistem sekuler. Di berbagai tempat, termasuk Indonesia, untuk bisa
menerapkan hudûd, mereka memanggul senjata, mengorbankan nyawa sendiri
dan nyawa orang lain. Di Mesir, jutaan nyawa melayang, hingga kini, akibat
amandemen konstitusi tahun 2012 yang berupaya mengubah frase “negara
didirikan berdasarkan prinsip-prinsip syariah” menjadi “negara didirikan
berdasarkan hukum syariah.”
Frase pertama jelas berbeda dengan frase kedua. Hukum penjara
selaras dengan prinsip syariah karena hudûd pada dasarnya adalah batas
4

tertinggi (al-hadd al-a’lâ) untuk memberi efek jera bagi pelaku kejahatan. Ini
tidak bisa diterima oleh mereka yang memahami hudûd sebagai praktik
harfiah penghukuman masa silam. Di Indonesia, DI/TII memberontak karena
tidak legowo Piagam Jakarta dihapuskan dan syariat Islam batal diadopsi
sebagai hukum positif negara.
Ketiga, selain menghendaki formalisasi Islam dan positivisasi syariah,
Islam politik menghendaki representasi dan nominasi pemimpin/politisi
Muslim serta alokasi kue ekonomi kepada umat Islam. Islam dalam “politik
biting” (nominal politics) adalah bentuk. Ukuran keberhasilannya adalah
sejauhmana umat Islam mendominasi politik dan pengusaha Muslim
mendominasi ekonomi. Perkara politiknya berisi kebajikan umum atau
ekonominya berkeadilan adalah urusan lain.
Politik cacah ini, misalnya, menjelma dalam Pilkada DKI kemarin
dalam slogan #MuslimLebihBaik. Pidato Gubernur DKI terpilih soal pribumi
menyiratkan pesan serupa. Makna pribumi di situ tidak lain adalah pribumi
Muslim yang bukan Tionghoa. Golongan keturunan Arab dianggap pribumi
karena Muslim. Penghayat kepercayaan dan aliran kebatinan bukan maksud
“saatnya pribumi menjadi tuan rumah” karena dia bukan Muslim. Ini mirip
dengan politik perkauman Malaysia di mana Islam bercampur dengan
kemelayuan.
Dibanding dua yang pertama, asumsi ketiga ini paling moderat.
Mereka yang setuju nominasi, representasi, dan afirmasi umat Islam dalam
politik dan ekonomi belum tentu setuju konsep Khilâfah dan adopsi syariah
Islam sebagai hukum positif negara. Namun, mereka yang setuju afirmasi
politik Islam dapat “naik kelas” menjadi pendukung positivisasi syariah dan
Khilâfah.
Para pendukung Khilâfah, pada tingkat minimal, juga dapat bertemu
dengan pendukung afirmasi politik Islam. Kasus Pilkada Jakarta, misalnya,
memperjumpakan berbagai elemen itu dalam serangkaian drama kolosal yang
disebut dengan Aksi 212. Di reuni akbar 212 pekan lalu, bendera Khilâfah
berkibar di tengah penguatan identitas politik Islam.

Keempat, Islam politik cenderung mengaburkan agama dan politik.


Praktik yang kerap terjadi adalah Islam menjadi tameng dan alat perjuangan
politik. Cara terselubung ini efektif karena, siapa pun yang menentang
mereka, akan dipukul sebagai melawan Islam. Siapa tidak ngeri dituduh anti-
Islam? Kasus Pilkada Jakarta adalah contoh sempurna. Misi menjadikan
5

gubernur Muslim adalah perjuangan politik. Alatnya adalah khotbah di masjid


dan mimbar-mimbar pengajian.
Apakah salah misi memenangkan gubernur Muslim? Sama sekali
tidak! Yang salah adalah caranya. Menuduh Muslim yang berbeda pilihan
politik sebagai munafik dan menolak menyalatkan jenazah Muslim
pendukung Ahok merupakan contoh nyata politik bersampul agama.

3. Paradigma Politik Islam; Hubungan Agama dan Negara


Persoalan hubungan agama dan negara di masa modern merupakan
salah satu subjek penting, yang meski telah diperdebatkan para pemikir Islam
sejak hampir seabad lalu hingga sekarang ini tetap belum terpecahkan secara
tuntas.Hal ini dapat dilihat perdebatan yang terus berkembang.Fenomena yang
mengedepan ini bisa jadi dikarenakan keniscayaan sebuah konsep Negara
dalam pergaulan hidup masyarakat di wilayah tertentu.Suatu negara
diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial secara bersama-sama dan untuk
mencapai cita-cita suatu masyarakat.Di sini otoritas politik memiliki
urgensinya dan harus ada yang terwakilkan dalam bentuk institusi yang
disebut negara.Berdasarkan realitas tersebut, di antara kaum muslimin merasa
perlu untukmerumuskan konsep negara.
Para sosiolog teoretisi politik Islam merumuskan beberapa teori
tentang hubungan agama dan negara.Teori-teori tersebut secara garis besar
dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran yaitu paradigma integralistik
(unified paradigm), paradigma simbiotik (symbiotic paradigm), dan
paradigma sekularistik (secularistic paradigm).
Paradigma Integralistik(Unified Paradigm) Paradigma ini
memecahkan masalah dikotomi tersebut dengan mengajukan konsep
bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan negara, dalam hal ini, tidak
dapat dipisahkan (integrated). Wilayah agama juga meliputi politik atau
negara.Karenanya, menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik
dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar
"kedaulatan Ilahi" (divine sovereignty), karena memang kedaulatan itu berasal
dan berada di "tangan" Tuhan Ajaran normatif bahwa Islam tidak mengenal
pemisahan agama dari negara didukung pula oleh pengalaman umat Islam di
Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad.Terhadap paradigma ini,
penjelasan lebih tegas dikemukakan Bahtiar Effendy yang mengemukakan:
Pada ujung satu spektrum, beberapa kalangan Muslim beranggapan bahwa
Islam harus menjadi dasar negara; bahwa Syari'ah harus diterima sebagai
konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa
6

gagasan tentang negara-bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep


ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik atau
kedaerahan; dan bahwa, sementara mengakui prinsip syura(musyawarah),
aplikasi prinsip itu berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam
diskursus politik modern dewasa ini. Dengan kata lain, dalam konteks
pandangan semacam ini, sistem politik modern di mana banyak negara Islam
yang baru merdeka telah mendasarkan bangunan politiknya diletakkan dalam
posisi yang berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam.Pernyataan Khomeini ini
diperkuat oleh pernyataan Abu al-A'la Al-Mawdudi, salah seorang tokoh
pendukung paradigma ini, bahwa kedaulatan adalah milik Allah.Dia (Allah)
sendirilah yang menetapkan hukum. Tak seorang
pun, bahkan nabi pun tidak berhak memerintah atau menyuruh orang lain
untuk melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu atas dasar hak atau
kemauannya sendiri. Nabi sendiri juga terikat kepada perintah-perintah
Allah.Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan
mempunyai fungsi menyelenggarakan "kedaulatan Tuhan", negara, dalam
perspektif Syi'ah, bersifat teokratis. Negara teokrasi mengandung unsur
pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada di tangan Tuhan, dan konstitusi
negara berdasarkan pada wahyu Tuhan (Syari’ah). Sifat teokratis negara
dalam pandangan Syi'ah dapat ditemukan dalam pemikiran banyak ulama
politik Syi'ah.Khomeini, umpamanya, menyatakan bahwa "Dalam Negara
Islam wewenang menetapkan hukum berada pada Tuhan.Tiada seorang pun
berhak menetapkan hukum Dan yang boleh berlaku hanyalah hukum dari
Tuhan.Paradigma "penyatuan" agama dan negara juga menjadi anutan
kelompok "fundamentalisme Islam" yang cenderung berorientasi nilai-nilai
Islam yang dianggapnya mendasar dan prinsipil.Paradigma fundamentalisme
menekankan totalitas Islam, yakni bahwa Islam meliputi seluruh aspek
kehidupan.Menurut salah seorang tokoh kelompok ini, al-Maududi (w. 1979),
syari'ah tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau antara
agama dan negara."Syari'ah adalah skema kehidupan yang sempurna dan
meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan; tidak ada yang lebih dan tidak ada
yang kurang. Negara Islam yang berdasarkan syari'ah itu, dalam pandangan
al-Maududi, harus didasarkan pada empat prinsip dasar, yaitu: bahwa ia
mengakui kedaulatan Tuhan menerima otoritas Nabi Muhammad saw,
memiliki status "wakil Tuhan", dan menerapkan musyawarah. Berdasarkan
prinsip-prinsip tersebut, kedaulatan yang sesungguhnya berada pada
Tuhan.Negara berfungsi sebagai kendaraan politik untuk menerapkan hukum-
7

hukum Tuhan, dalam statusnya sebagai wakil Tuhan.Dalam perspektif


demikian, konsepsi Maududi tentang negara Islam bersifat teokratis, terutama
menyangkut konstitusi negara yang harus berdasarkan Syari'ah. Tetapi al-
Maududi sendiri menolak istilah tersebut dan lebih memilih istilah "teo-
demokratis", karena konsepsinya mengandung unsur demokratis, yaitu adanya
peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin Negara.Berdasarkan uraian di
atas dapat dapat disimpulkan bahwa paradigma di atas, asumsinya ditegakkan
di atas pemahaman bahwa Islam adalah satu agama sempurna yang
mempunyai kelengkapan ajaran di semua segmen kehidupan manusia,
termasuk di bidang praktik kenegaraan.Karenanya, umat Islam berkewajiban
untuk melaksanakan sistem politik Islami sebagaimana telah dicontohkan oleh
Nabi Muhammad dan empat Al-Khulafa' al-Rasyidin.Pandangan ini
menghendaki agar negara menjalankan dwifungsi secara bersamaan, yaitu
fungsi lembaga politik dan keagamaan.Menurut paradigma ini,
penyelenggaraan suatu pemerintahan tidak berdasarkan kedaulatan rakyat
melainkan merujuk kepada kedaulatan ilahi (divine sovereignity), sebab
penyandang kedaulatan paling hakiki adalah Tuhan.Pandangan ini
mengilhami gerakan fundamentalisme.
Paradigma Simbiotik(Symbiotic Paradigm) Agama dan negara,
menurut paradigma ini, berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan
yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan.Dalam hal ini, agama
memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat
berkembang.Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan
agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-
spiritual.Dengan alur argumentasi semacam ini, pembentukan sebuah negara
Islam dalam pengertiannya yang formal dan ideologis tidaklah begitu
penting.Bagi mereka, yang terpenting adalah bahwa Negara karena posisinya
yang bisa menjadi instrumental dalam merealisasikan ajaran-ajaran agama
menjamin tumbuhnya nilai-nilai dasar seperti itu. Jika demikian halnya, maka
tidak ada alasan teologis atau religius untuk menolak gagasan-gagasan politik
mengenai kedaulatan rakyat, negara, bangsa sebagai unit teritorial yang sah,
dan prinsip-prinsip umum teori politik modern lainnya. Dengan kata lain,
sesungguhnya tidak ada landasan yang kuat untuk meletakkan Islam dalam
posisi yang bertentangan dengan sistem politik modern. Aliran dan model
pemikiran yang kedua lebih menekankan substansi daripada bentuk negara
yang legal dan formal.Karena wataknya yang substansialis itu (dengan
menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah, dari partisipasi,
8

yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam), kecenderungan itu


mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat
menghubungkan Islam dengan sistem politik modern, di mana negara-bangsa
merupakan salah satu unsur utamanya. Bahwa penegakan negara merupakan
tugas suci yang dituntut oleh agama sebagai salah satu perangkat untuk
mendekatkan manusia kepada Allah.Di dalam konsep ini, syari'ah (hukum
Islam) menduduki posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas
politik.Demikian juga negara mempunyai peranan yang besar untuk
menegakkan hukum Islam dalam porsinya yang benar.Dengan demikian,
dalam paradigma simbiotik ini masih tampak adanya kehendak
"mengistimewakan" penganut agama mayoritas untuk memberlakukan
hukum-hukum agamanya di bawah legitimasi negara.Atau paling tidak,
karena sifatnya yang simbiotik tersebut, hukum-hukum agama masih
mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam
masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai
hukum negara.Hal di atas bisa saja terjadi karena sifat simbiotik antara agama
dan negara mempunyai tingkat dan kualitas yang berbeda.
Dengan melihat model-model tersebut, proses politik hukum Islam di
Indonesia mempunyai kecenderungan semakin meningkatnya aspek agama
yang masuk ke wilayah negara dengan disahkannya ketentuan-ketentuan
agama melalui proses legislasi atau dikenal dengan islamisasi hukum di
Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa paradigma
Simbiotik (Symbiotic Paradigm)berpendirian, agama dan negara berhubungan
secara simbiotik, antara keduanya terjalin hubungan timbal balik atau saling
memerlukan.Dalam kerangka ini, agama memerlukan negara, karena dengan
dukungan negara agama dapat berkembang.Sebaliknya negara membutuhkan
agama, karena agama menyediakan seperangkat nilai dan etika untuk
menuntun perjalanan kehidupan bernegara. Paradigma ini berusaha keluar dari
belenggu dua sisi pandangan yang berseberangan: integralistik dan
sekularistik.
Selanjutnya, paradigma ini melahirkan gerakan modernisme dan
neomodernisme. Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm) Paradigma
ini menolak kedua paradigma di atas.Sebagai gantinya, paradigma sekularistik
mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara
atas agama.Konsep Ad-dunya al-akhirah,ad-din ad-dawlahatau umur ad-dunya
umur ad-dindidikhotomikan secara diametral.Dalam konteks Islam,
paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak,
9

menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari Negara. Pemrakarsa


paradigma sekularistik, salah satunya, adalah 'Aliy 'Abd.ar-Raziq (1887-1966
M.). Paradigma sekularistik, salah satunya, adalah 'Aliy'Abd.ar-Raziq (1887-
1966 M.),seorang cendekiawan Muslim dari Mesir. Dalam bukunya, Al-Islam
wa Ushul al-Hukm, 'Abd al-Raziq mengatakan bahwa Islam hanya sekadar
agama.

4. Poltik Islam Indonesia dalam pentas sejarah


Pada Februari ini umat Islam Indonesia menggelar Kongres Umat
Islam Indonesia (KUII) VI. KUII ini idealnya tak bisa dilepaskan dari agenda
dan tantangan zaman penyelenggaraan kongres sebelumnya yang telah
melahirkan tonggak monumen sejarah pergerakan umat Islam Indonesia dari
masa ke masa.
Pertama, Kongres Islam di Cirebon pada 1922. Kemudian Kongres
Umat Islam pada 1937 di Yogyakarta yang melahirkan MIAI sebagai embrio
Masyumi di era penjajahan Jepang. Pada Oktober 1945, Kongres Umat Islam
Indonesia di Yogyakarta mengesahkan kata jihad fi sabilillah sebagai bentuk
pengesahan resolusi jihad NU yang digelorakan di Surabaya. Pada tahun yang
sama pula lahirlah Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai
wadah permusyawaratan umat Islam Indonesia.
Kongres umat Islam Indonesia berikutnya mengalami dinamika
artikulatif dan konsolidatif. MUI yang lahir pada 1975 baru mengambil peran
aktif untuk merevitalisasi kongres umat Islam pada 1999 di awal reformasi
dan disemati sebagai KUII ketiga. KUII keempat digelar 2005 dan KUII
kelima dihelat pada 2010.
Salah satu tema KUII VI ini yang diyakini merepresentasikan isu dan
kepentingan paling menonjol dinamika Islam Indonesia adalah tentang
penguatan peran politik umat Islam Indonesia. Muslim Indonesia setidaknya
mempraktikkan empat format politik Islam. Pertama, politik Islam substansif.
Dalam format substansifisme, agenda keislaman diusung dengan
mengesampingkan simbol keislaman dan lebih menonjolkan pesan substansif
kepentingan Islam.
Salah satu pesan penting substansifisme politik Islam ini bisa
menghindarkan Islam dari jebakan perbedaan yang bersifat formalistis dan
simbolis. Namun, format substansif berakibat makna dan kepentingan Islam
"menyublim" atau melebur dalam ruang kehidupan. Alih-alih mengharapkan
kehadiran peran dan kontribusi Islam secara kelembagaan, definisi Islam
10

secara genuine dan formil justru menjadi nisbi dan sumir. Sementara, dalam
kontestasi riil di ruang sosial, aspek formalitas tak dapat diabaikan begitu saja.
Kedua, politik Islam formalistik. Dalam formalisme, politik Islam
yang sejatinya bermakna luas dan mencakup seluruh bidang kehidupan umat
tereduksi menjadi Islam politik, seolah-olah tidak ada Islam tanpa berpolitik
praktis. Rumusnya menjadi sangat kaku, misalnya tidak ada Islam tanpa
adanya khilafah dan syariah.
Dalam konteks ini, khilafah dan syariah hanya boleh ditafsirkan
sebagai tujuan kepentingan politis semata, bukan metode. Eksistensi dan
esensi Islam menjadi tereduksi hanya dalam makna politik praktis dan
kekuasaan belaka. Substansifisme dan formalisme politik Islam memiliki
masalah reduksionisme Islam itu sendiri, yaitu menjadikan kekuasaan sebagai
tujuan dan bahasa orang Islam di Indonesia.
Ketiga, politik Islam eklektik. Dalam eklektifisme, di manakah
sejatinya identitas Islam sebagai agama dalam hubungan dengan kehidupan
bernegara? Apakah dalam ajarannya saja atau juga konstruksi kehidupan
berbangsa dan bernegara sebagaimana civil religion atau sekaligus keduanya?
Pada politik Islam eklektik ini, problemnya adalah identitas fundamental
Islam. Fundamentalisme agama memang tak ideal untuk Muslim Indonesia.
Namun, unsur-unsur fundamental beragama tidak bisa dan juga tak boleh
ditinggalkan oleh umat beragama, termasuk Islam Indonesia.
Keempat, politik Islam konstitusionalis. Dalam konstruksi
konstitusionalis, dimensi Islam dan negara masing-masing memiliki identitas
otentik, meski dalam beberapa hal—bahkan banyak—terjadi sinkronisasi.
Misalnya, peraturan daerah tentang larangan peredaran minuman keras secara
bebas, lahirnya UU Antipornografi dan Pornoaksi.
Dalam format politik Islam konstitusionalis tidak terjadi hilangnya
unsur genuinitas Islam dan komitmen berbangsa-bernegara. Politik Islam
konstitusionalis sesuai dengan yang Bung Karno pernah sampaikan perihal
politik agama di awal masa kemerdekaan bahwa masing-masing agama
dipersilakan mengegolkan agenda, dakwah, dan misi agamanya di Indonesia
dengan catatan masih dalam koridor komitmen Pancasila, UUD 1945, NKRI,
dan Bhinneka Tunggal Ika.
Melalui hak dan kewajiban penguatan peran politiknya, umat Islam
Indonesia memiliki ruang gerak dinamis-partisipatoris untuk di satu sisi bisa
konsolidasi internal umat Islam di segala bidang tanpa harus "risih" atau
permisif dengan problem pluralitas dan demokrasi, termasuk politik praktis,
meskipun itu bukan satu-satunya identitas politik Islam Indonesia.
11

Urusan politik praktis bagi umat Islam Indonesia bukan saja masalah
tabu atau disebut pula "politik rendah". Dalam hal kontestasi demokrasi,
politik praktis ini bisa menjadi masalah penting bagi pemenuhan hak umat
Islam. Umat Islam Indonesia harus terikat dengan sistem koordinasi dan
harmonisasi sesama partai Islam, ormas Islam, tokoh Islam, lembaga
pendidikan Islam, dalam memperjuangkan hak dasar dan prinsip umat Islam,
baik di ranah politik praktis, pendidikan, keagamaan, maupun kehidupan
bermasyarakat lainnya.
Di sisi lain, umat Islam Indonesia harus berkontribusi dalam agenda
penguatan kehidupan kebangsaan yang bersifat fundamental, seperti
mewujudkan kehidupan berbangsa yang penuh damai, memperjuangkan
keadilan kesejahteraan anak bangsa, dan menjadikan negara bangsa Indonesia
dihormati dan disegani negara lainnya. Umat Islam Indonesia terikat dengan
sistem koordinasi dan harmonisasi sesama partai Islam, ormas Islam, tokoh
Islam, lembaga pendidikan Islam, dalam mengawal empat komitmen
kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika
dari ancaman radikalisme, komunisme, dan sekularisme.
Politik Islam Indonesia hematnya tidak dipersempit hanya dalam
pengertian politik praktis, meskipun politik praktis termasuk salah satu bentuk
manifestasi politik Islam Indonesia itu sendiri. Sebagai masyarakat dengan
populasi terbanyak di negeri sendiri, umat Islam yang berkualitas terbaik
sepantasnya berhak menjadi pemimpin. Umat Islam Indonesia hendaknya
menjadi garda terdepan untuk mengatakan tidak terhadap pola kepemimpinan
yang koruptif, manipulatif, dan borjuis serta menjauhkan Indonesia dari
karakter adiluhung warisan bangsa sendiri.
Politik Islam Indonesia di sini dalam makna yang luas, tapi jelas.
Politik Islam Indonesia diartikan dengan bagaimana Islam dipraktikkan utuh
oleh umat Islam di berbagai aspek kehidupan dalam komitmen keindonesiaan
untuk tujuan kesejahteraan, keadilan, dan berperadaban rakyat bangsa. Pada
titik inilah menjadi jelas perbedaan antara politik Islam dan Islam politik.
Identitas hakiki politik Islam Indonesia adalah harmonisasi gerakan
umat Islam Indonesia di bidang ekonomi, budaya, demokrasi, dan bargaining
diplomasi dengan masyarakat global untuk mewujudkan bangsa Indonesia
yang maju dan berdaya.

Anda mungkin juga menyukai