POLITIK ISLAM
1. Pengertian politik Islam
Politik Islam yang disebut juga sebagai “as-Siyāsah asy-Syar’iyyah”.
Secara bahasa terdiri dari dua kata “as-Siyāsah” dan “asy-Syar’iyyah”.
Dalam buku berjudul “al-Madkhal ilā as-Siyāsah asy-Syar’iyyah” (1993: 13-
53) Syekh Abdul ‘Āhmad menjelaskan pengertian politik Islam beserta bidang
kajiannya dengan cukup lugas.
Kata “as-Siyâsah” diderivasi dari kata kerja: سسسياَسسسسةة-سيسسسسووسس- سسسساَسسyang
maknanya berkisar pada: mengurusi, mengelola, mengatur sesuatu (sesuai)
dengan kemaslahatan (kepentingan). Menurut pendapat terkuat, kata ini
bukanlah kata asing yang diimpor dari bahasa selain Arab.
- Advertisement –
Sedangkan kata “asy-Syar’iyyah” secara bahasa berarti dinisbatkan
pada syariat. Kata “Syari’ah” berarti jalan, metode atau cara. Yang dimaksud
di sini adalah syariat Islam. Jadi, yang dimaksud dengan “as-Siyâsah asy-
Syar’iyyah” (Politik Islam) secara bahasa bermakna mengurus sesuatu sesuai
kemaslahatan (umat) berdasarkan syariat Islam.
Adapun makna politik Islam (as-Siyâsah asy-Syar’iyyah ) menurut
istilah ‘fuqahā’ (ulama fikih) adalah membina (membangun atau mendasari)
hukum sesuai dengan tuntutan maslahat (kepentingan) umat yang tidak
terdapat dalil khusus dan rinci mengenainya.
Dengan ungkapan lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
politik Islam adalah pemimpin yang mengatur urusan umat mewujudkan
(merealisasikan) maslahat (kepentingan) yang kembali kepada individu dan
jemaah (masyarakat).
Bisa juga dikatakan, “Pemimpin mengurusi sesuatu untuk
kemaslahatan yang dilihatnya (untuk umat) terhadap sesuatu yang tidak
terdapat nash secara khusus dan pada urusan yang tidak permanen (tetap), tapi
berubah-ubah (dinamis) mengikuti perubahan situasi-kondisi, waktu, tempat
dan maslahat-maslahat.
penegakan sistem politik sebagai pokok dan rukun agama (اصل من اصول الدين
َ)وركسسن مسسن اركاَنهسسا. Dengan paradigma ini, orang Islam yang tidak berjuang
menegakkan sistem politik Islam adalah kafir karena mengabaikan pokok
agama. Mereka harus diperangi, meski mengucapkan syahadat, salat, puasa,
zakat, dan haji.
Pandangan ini bisa disimak dari ceramah-ceramah Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) yang tersiar di berbagai media. Ini berbeda dengan paradigma
lain, yang saya ikuti, bahwa politik itu penting untuk menunjang agama, tetapi
bukan perkara pokok yang tetap ( )ثاَبتdan baku ( )جاَمد. Politik adalah perkara
cabang yang berubah (ّ )متغييرdan dinamis ()متطيور. Imam Syafi’i, misalnya,
meletakkan politik sebagai cabang, bukan cabang akidah pula, tetapi sekadar
cabang syariah:
Dalam perkara cabang, terbuka ruang ijtihad dan inovasi. Konsepsi ini
bisa disebut sebagai politik Islam, politik yang dipengaruhi nilai-nilai Islam.
Karena Islam adalah sumber inspirasi, penjelmaan politik Islam tidak baku,
tunggal, dan monolitik. Berbagai bentuk ekspresi politik Islam diakui,
termasuk yang berwawasan kebangsaan.
Dengan paradigma ini, “ayat-ayat politik” dalam nash tidak dipahami
sebagai qath’î (imperatif kategoris) yang jelas dan pasti, tetapi dhannî
(imperatif hipotetis) yang kondisional dan fleksibel. Karena bukan perkara
pokok yang qathi’î, pilihan politik atau ijtihad politik tidak mempengaruhi
status agama seseorang. Dalam terang ini, haram menyebut ahlul qiblat
sebagai kafir karena tidak setuju negara Islam atau memilih pemimpin politik
non-Muslim.
Perbedaan Islam politik dan politik Islam bisa ditarik dari sini. Islam
politik menjadikan tegaknya sistem politik Islam ( دولسسۃ اسسسلميۃatau خلفسسۃ
)اسلميۃsebagai aspirasi dan tujuan politik. Politik Islam, di seberang lain,
menganggap politik penting dan nilai-nilai Islam perlu diadaptasi sebagai
inspirasi politik. Namun, politik adalah sarana ( )وسيلةkarena tujuan atau غاَية
sebenarnya adalah kehidupan adil, makmur, dan sejahtera ()بلدة طيبة ورب غفور.
Sarananya boleh negara-bangsa dan demokrasi.
Kedua, tujuan penegakan sistem politik Islam ( دولۃ اسلميۃatau خلفۃ
)اسسسلميۃadalah formalisasi syariat Islam dalam pengertian sempit yaitu
3
penerapan hukum jinâyat Islam (hudûd) seperti potong tangan, jilid, rajam,
qishâs, ta’zîr, dan semacamnya. Di berbagai tempat, syariat Islam telah
dijalankan secara swadaya tanpa intervensi negara seperti salat dan puasa.
Di Indonesia, negara memfasilitasi pelaksanaan syariat Islam lain
seperti haji, zakat, perkawinan, dan keuangan berbasis syariah. Namun,
pelaksanaan syariat Islam dianggap belum kâffah karena belum mengadopsi
hukum pidana Islam. Orang Islam yang berhenti berjuang menegakkan hudûd
adalah pembela thâghût ( )انصاَرالطاَغوتkarena menerima selain hukum Allah.
Mereka belum dihitung menegakkan syariat Islam, meski rajin salat, selalu
bayar zakat, tekun puasa, haji, dan menabung perbankan syariah. Dalilnya
paten (QS. al-Maidah/5: 44, 45, 47):
(ومن لم يحكم بماَ أنزل ال فأولئك هم الكاَفرّون )فأولئك هم الظاَلمون( )فأولئك هم الفاَسقون
“Siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka
mereka itu kafir, (maka mereka itu zalim), (maka mereka itu fasik).”
Penafsiran harfiah terhadap ayat ini akan membuat semua orang Islam
ngeri dan merasa bersalah karena hidup di dalam sistem sekuler. Muslim yang
tidak berjuang menegakkan hukum Islam seperti potong tangan dan rajam
mendapat cap langsung dari al-Qur’an sebagai kafir, zalim, dan fasik.
Benarkah demikian?
tertinggi (al-hadd al-a’lâ) untuk memberi efek jera bagi pelaku kejahatan. Ini
tidak bisa diterima oleh mereka yang memahami hudûd sebagai praktik
harfiah penghukuman masa silam. Di Indonesia, DI/TII memberontak karena
tidak legowo Piagam Jakarta dihapuskan dan syariat Islam batal diadopsi
sebagai hukum positif negara.
Ketiga, selain menghendaki formalisasi Islam dan positivisasi syariah,
Islam politik menghendaki representasi dan nominasi pemimpin/politisi
Muslim serta alokasi kue ekonomi kepada umat Islam. Islam dalam “politik
biting” (nominal politics) adalah bentuk. Ukuran keberhasilannya adalah
sejauhmana umat Islam mendominasi politik dan pengusaha Muslim
mendominasi ekonomi. Perkara politiknya berisi kebajikan umum atau
ekonominya berkeadilan adalah urusan lain.
Politik cacah ini, misalnya, menjelma dalam Pilkada DKI kemarin
dalam slogan #MuslimLebihBaik. Pidato Gubernur DKI terpilih soal pribumi
menyiratkan pesan serupa. Makna pribumi di situ tidak lain adalah pribumi
Muslim yang bukan Tionghoa. Golongan keturunan Arab dianggap pribumi
karena Muslim. Penghayat kepercayaan dan aliran kebatinan bukan maksud
“saatnya pribumi menjadi tuan rumah” karena dia bukan Muslim. Ini mirip
dengan politik perkauman Malaysia di mana Islam bercampur dengan
kemelayuan.
Dibanding dua yang pertama, asumsi ketiga ini paling moderat.
Mereka yang setuju nominasi, representasi, dan afirmasi umat Islam dalam
politik dan ekonomi belum tentu setuju konsep Khilâfah dan adopsi syariah
Islam sebagai hukum positif negara. Namun, mereka yang setuju afirmasi
politik Islam dapat “naik kelas” menjadi pendukung positivisasi syariah dan
Khilâfah.
Para pendukung Khilâfah, pada tingkat minimal, juga dapat bertemu
dengan pendukung afirmasi politik Islam. Kasus Pilkada Jakarta, misalnya,
memperjumpakan berbagai elemen itu dalam serangkaian drama kolosal yang
disebut dengan Aksi 212. Di reuni akbar 212 pekan lalu, bendera Khilâfah
berkibar di tengah penguatan identitas politik Islam.
secara genuine dan formil justru menjadi nisbi dan sumir. Sementara, dalam
kontestasi riil di ruang sosial, aspek formalitas tak dapat diabaikan begitu saja.
Kedua, politik Islam formalistik. Dalam formalisme, politik Islam
yang sejatinya bermakna luas dan mencakup seluruh bidang kehidupan umat
tereduksi menjadi Islam politik, seolah-olah tidak ada Islam tanpa berpolitik
praktis. Rumusnya menjadi sangat kaku, misalnya tidak ada Islam tanpa
adanya khilafah dan syariah.
Dalam konteks ini, khilafah dan syariah hanya boleh ditafsirkan
sebagai tujuan kepentingan politis semata, bukan metode. Eksistensi dan
esensi Islam menjadi tereduksi hanya dalam makna politik praktis dan
kekuasaan belaka. Substansifisme dan formalisme politik Islam memiliki
masalah reduksionisme Islam itu sendiri, yaitu menjadikan kekuasaan sebagai
tujuan dan bahasa orang Islam di Indonesia.
Ketiga, politik Islam eklektik. Dalam eklektifisme, di manakah
sejatinya identitas Islam sebagai agama dalam hubungan dengan kehidupan
bernegara? Apakah dalam ajarannya saja atau juga konstruksi kehidupan
berbangsa dan bernegara sebagaimana civil religion atau sekaligus keduanya?
Pada politik Islam eklektik ini, problemnya adalah identitas fundamental
Islam. Fundamentalisme agama memang tak ideal untuk Muslim Indonesia.
Namun, unsur-unsur fundamental beragama tidak bisa dan juga tak boleh
ditinggalkan oleh umat beragama, termasuk Islam Indonesia.
Keempat, politik Islam konstitusionalis. Dalam konstruksi
konstitusionalis, dimensi Islam dan negara masing-masing memiliki identitas
otentik, meski dalam beberapa hal—bahkan banyak—terjadi sinkronisasi.
Misalnya, peraturan daerah tentang larangan peredaran minuman keras secara
bebas, lahirnya UU Antipornografi dan Pornoaksi.
Dalam format politik Islam konstitusionalis tidak terjadi hilangnya
unsur genuinitas Islam dan komitmen berbangsa-bernegara. Politik Islam
konstitusionalis sesuai dengan yang Bung Karno pernah sampaikan perihal
politik agama di awal masa kemerdekaan bahwa masing-masing agama
dipersilakan mengegolkan agenda, dakwah, dan misi agamanya di Indonesia
dengan catatan masih dalam koridor komitmen Pancasila, UUD 1945, NKRI,
dan Bhinneka Tunggal Ika.
Melalui hak dan kewajiban penguatan peran politiknya, umat Islam
Indonesia memiliki ruang gerak dinamis-partisipatoris untuk di satu sisi bisa
konsolidasi internal umat Islam di segala bidang tanpa harus "risih" atau
permisif dengan problem pluralitas dan demokrasi, termasuk politik praktis,
meskipun itu bukan satu-satunya identitas politik Islam Indonesia.
11
Urusan politik praktis bagi umat Islam Indonesia bukan saja masalah
tabu atau disebut pula "politik rendah". Dalam hal kontestasi demokrasi,
politik praktis ini bisa menjadi masalah penting bagi pemenuhan hak umat
Islam. Umat Islam Indonesia harus terikat dengan sistem koordinasi dan
harmonisasi sesama partai Islam, ormas Islam, tokoh Islam, lembaga
pendidikan Islam, dalam memperjuangkan hak dasar dan prinsip umat Islam,
baik di ranah politik praktis, pendidikan, keagamaan, maupun kehidupan
bermasyarakat lainnya.
Di sisi lain, umat Islam Indonesia harus berkontribusi dalam agenda
penguatan kehidupan kebangsaan yang bersifat fundamental, seperti
mewujudkan kehidupan berbangsa yang penuh damai, memperjuangkan
keadilan kesejahteraan anak bangsa, dan menjadikan negara bangsa Indonesia
dihormati dan disegani negara lainnya. Umat Islam Indonesia terikat dengan
sistem koordinasi dan harmonisasi sesama partai Islam, ormas Islam, tokoh
Islam, lembaga pendidikan Islam, dalam mengawal empat komitmen
kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika
dari ancaman radikalisme, komunisme, dan sekularisme.
Politik Islam Indonesia hematnya tidak dipersempit hanya dalam
pengertian politik praktis, meskipun politik praktis termasuk salah satu bentuk
manifestasi politik Islam Indonesia itu sendiri. Sebagai masyarakat dengan
populasi terbanyak di negeri sendiri, umat Islam yang berkualitas terbaik
sepantasnya berhak menjadi pemimpin. Umat Islam Indonesia hendaknya
menjadi garda terdepan untuk mengatakan tidak terhadap pola kepemimpinan
yang koruptif, manipulatif, dan borjuis serta menjauhkan Indonesia dari
karakter adiluhung warisan bangsa sendiri.
Politik Islam Indonesia di sini dalam makna yang luas, tapi jelas.
Politik Islam Indonesia diartikan dengan bagaimana Islam dipraktikkan utuh
oleh umat Islam di berbagai aspek kehidupan dalam komitmen keindonesiaan
untuk tujuan kesejahteraan, keadilan, dan berperadaban rakyat bangsa. Pada
titik inilah menjadi jelas perbedaan antara politik Islam dan Islam politik.
Identitas hakiki politik Islam Indonesia adalah harmonisasi gerakan
umat Islam Indonesia di bidang ekonomi, budaya, demokrasi, dan bargaining
diplomasi dengan masyarakat global untuk mewujudkan bangsa Indonesia
yang maju dan berdaya.