Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FILSAFAT ILMU

EPISTEMOLOGI

DOSEN PENGAMPU:
PROF.DR.MANTASIAH R M .HUM

Disusun oleh:
MAYA :220507500006
RIO GEREND :220507501003
ASTI RAMADHANI :220507501010
FEMMEY SONIATI :220507500002
AULIA SINDI :220507500007
NURUL AZIZAH RAHMAN :220507501006
OKTA VIANI SULING ALLO :220507501001

PENDIDIKAN BAHASA MANDARIN


UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita ucapkan kepada Allah swt.yang telah memberikan kesempatan dan
kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.Adapun tugas
makalah dibuat ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok dari dosen pada

mata kuliah Filsafat Ilmu”.Makalah ini berjudul“Epistimologi”.

Penulis tidak dapat menyelesaikan makalah ini tanpa adanya dukungan,doa,

dan nasihat dari semuanya.Selanjutnya,penyusun ingin mengucapkan salam dan terimakasih


kepada

Semua yang sudah ikut hadir membantu baik bahan dan keaktifan serta waktu untuk
melengkapi makalah ini.Penyusun menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna.Oleh
karena itu,kritik dan saran dari pembaca sungguh dihargai.Penyusun sangat harap bahwa
makalah saya ini dapat memberikan kontribusi berharga bagi para pembaca.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................... ...................... ......... ............. ......................i


DAFTAISI.................... ....................... ....... ............... ........................ ............ii

BAB I PENDAHULUAN

A..Latar Belakang.............................. .................... .... ....................... ...............1

B.Rumusan Masalah........................ ....................... ..... ................. ...................1

C.Tujuan Penulisan................... ...................... ......... ............. .............................1

BAB II PEMBAHASAN

A.Pengertian Epistemologi........................ ........................ .... ............... ............2

B.Sumber Epistemologi.............................................. ................ ..... ............. ….4

C.Pandangan Epistemologi....................................................................................6

BAB PENUTUP

A Kesimpulan ............................................................... ......... ............. ................11

B. Daftar pustaka............................................................... ......... ............. ................12


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia tidak hanya memerlukan kebutuhan pokok saja,akan tetapi manusia juga
memerlukan informasi untuk mengetahui keadaan di lingkungan sekitar
mereka.Dalam upaya untuk memperoleh informasi,manusia seringkali melakukan
komunikasi ataupun cara-cara lain yang bisa digunakan.Salah satu informasi yang
didapat dari komunikasi adalah pengetahuan .Pengetahuan sangat diperlukan bagi
kehidupan manusia karena dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi
kehidupan.Dalam mencari pengetahuan,tak jarang manusia harus belajar
Epistemologi.Epistemologi Merupakan cabang dari filsafat yang membicarakan
mengenai sumber-sumber,karakteristik,sifat danke benaran
pengetahuan.Epistemologi sering kali disebut dengan teori pengetahuan atau filsafat
pengetahuan,karena yang dibicarakan dalam epistemologi ini berkenaan dengan
hal-hal yang ada mengangkut pautnya dengan masalah
pengetahuan.Misalnya,Apakah pengetahuan itu?Dari mana Asalnya?Apakah
Sumber-sumber pengetahuan?Bagaimana Manusia Mendapatkan Pengetahuan?
Dari Mana Pengetahuan Yang benar?Apa yang menjadi karakteristik pengetahuan?
Apakah pengetahuan itu tergolong benar atau salah,dan sebagainya.Beberapa
pertanyaan inilah yang kemudian disebut dengan masalah epistemologi.

. B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Epistemologi.
2. Apa saja sumber Epistemologi.
3. Bagaimana Instrumen Epistemologi.

C.TUJUAN PENULISAN
1. Memahami arti dari Epistemologi.
2. Mengetahui sumber-sumber Epistemologi ilmu.
3. Dana memahami instrumen dari Epistemologi.
BAB II
PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN EPISTEMOLOGI.

Epistemologi berasal dari Bahasa Yunani Episteme dan Logos. Episteme biasa diartikan
pengetahuan atau kebenaran, dan Logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Secara etimologi
Epistemologi dapat diartikan, teori pengetahuan yang benar, dan lazimnya hanya disebut teori
pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi Theory of Knowledge.
Epistemologi (ma’rifah) dalam bahasa Arab mempunyai banyak penggunaan, tetapi lazimnya
berarti pengetahuan (knowledge), kesadaran (awareness), dan informasi. Adakalanya
digunakan dalam arti pencerahan khusus (idrak juz’i/ particular perception), kadang-kadang
juga dipakai dalam arti ilmu yang sesuai dengan kenyataan dan melahirkan kepastian dan
keyakinan. Pengetahuan yang menjadi pokok bahasan epistemologi boleh jadi mempunyai
salah satu pengertian tersebut atau pengertian lainnya. Pembahasan mengenai epistemologis
tidak terbatas pada satu jenis pengetahuan. Konsep pengetahuan merupakan salah satu konsep
paling jelas dan nyata (badihi/ self-evident). Epistemologis dapat didefinisikan sebagai
“bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran
kebenaran.”
Teori epistemologi bertalian erat dengan persoalan idea. Menurut Plato pengetahuan
(ma’rifah) tidak lain adalah pengingatan kembali, artinya apabila panca indera kita
berhadapan dengan sesuatu, maka teringatlah kita akan contoh-contohya (mutsul), dan
muncullah kembali pengetahuan yang kita peroleh sewaktu kita masih hidup dalam suatu
alam, dimana kita dapat melihat ide yang azali dengan jalan pengabstrakan terhadap
gambaran-gambaran dari wujud-wujud inderawi.
Dan karena epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan Tentang
“bagaimana kita mendapatkan pengetahuan?” sehingga untuk memperoleh jawabannya, kita
harus terlebih dahulu mengetahui sumber pengetahuannya dan tentang terjadinya
pengetahuan maupun asal mulanya pengetahuan. Dan harus menggunakan metode ilmiah
sehingga pengetahuan itu dapat dipastikan kebenarannya.
B. SUMBER-SUMBER EPISTEMOLOGI

Teori pengetahuan tidak dapat menghindarkan pembahasan tentang sumber-sumber


pengetahuan tempat bahan-bahannya diperoleh. Sumber-sumber itu menurut filosof, tidak
lain adalah indra, akal dan hati. Ada juga yang berpendapat bahwa sumber-sumber
epistemologi itu antara lain adalah sebagai berikut:

1. Alam Adalah Sumber Epistemologi


Salah satu sumber epistemologi adalah alam semesta ini. Yang dimaksud dengan
alam, adalah alam materi, alam ruang dan waktu, dalam gerakan, alam yang sekarang kita
tengah hidup didalamnya, dan kita memiliki hubungan dengan alam ini dengan menggunakan
berbagai alat indera kita. sedikit sekali fakultas yang menolak alam sebagai sumber
epistemologi, tetapi baik pada masa dahulu dan juga pada masa sekarang ini ada beberapa
ilmuwan yang tidak mengakui alam sebagai suatu sumber epistemologi. Plato tidak mengakui
alam sebagai suatu sumber epistemologi, karena hubungan manusia dengan alam adalah
dengan perantaraan alat indera, dan sifatnya partikular (juz’i), karena ia meyakini bahwa
partikular bukanlah suatu hakikat. Pada dasarnya ia hanya meyakini rasio sebagai sumber
epistemologi, dan dengan menggunakan suatu metode argumentasi, dimana Plato
menamakan metode dan cara tersebut dengan “dialektika”.
Bahkan Descartes yang merupakan salah seorang dari dua filsuf ( Descartes dan
Francis Bacon) yang menempatkan ilmu pengetahuan pada jalur yang baru, meskipun ia
seorang filosof yang cenderung pada alam, meskipun ia selalu menyampaikan ajakan untuk
meneliti dan mengkaji alam, ia tidak mengakui alam sebagai sumber epistemologi dan tidak
mengakui indera sebagai alat epistemologi. Descartes mengatakan, “Alam mesti dikaji dan
dipelajari dengan menggunakan indera, tetapi hal ini tidak akan mengantarkan kita pada suatu
hakikat. Pengetahuan ilmiah hanya bermanfaat bagi aktivitas kita, dan kita tidak memiliki
suatu keyakinan bahwa apakah sesuatu yang kita ketahui itu, realitasnya adalah persis
sebagaimana yang kita ketahui. Alam memiliki nilai praktis (‘amali) dan bukan nilai teoritis
(nazhari) serta ilmiah (‘ilmi).”
Tetapi diantara para ilmuwan dunia, sedikit sekali yang memiliki pandangan semacam
itu. Sebagian besar dari mereka adalah meyakini bahwa alam ini adalah sumber epistemologi.
Sekarang, apakah ilmu pengetahuan modern yang ada ini, ketika manusia melihat
bidang industri dan teknologi telah mengalami kemajuan dan perkembangan yang
menakjubkan sesuai dengan epistemologi yang betul? Yakni apakah (pengetahuan itu)
menunjukkan kepada kita mengenai hakikat, realitas dan objektivitas alam ini? ataukah yang
benar adalah ucapan Descartes, “Memberi kekuatan dan tenaga pada kita, memiliki nilai
praktis, tetapi kita tidak dapat merasa yakin bahwa ilmu pengetahuan manusia pada masa
sekarang ini, mampu menunjukkan realitas yang ada.”
Sungguh amat mengherankan, hari demi hari nilai praktis ilmu pengetahuan semakin
bertambah, dan ilmu ini juga semakin memberi kekuatan dan tenaga kepada manusia dalam
upaya menguasai alam, tetapi begitu juga hari demi hari nilai teoritis, ilmiah dan objektifitas
alam yang ditunjukkan oleh ilmu itu, semakin berkurang, sampai-sampai suatu perkara yang
paling jelas pun, yang menurut pandangan para ilmuwan kuno dan masyarakat awam adalah
sesuatu yang pasti, tetapi menurut pandangan ahli fisika sekarang ini, perkara itu adalah suatu
perkara yang masih diragukan.
Jika timbul pertanyaan dengan menggunakan bahasa ilmiah, apa hakikat alam ini?
Apakah di dalamnya terdapat sebuah sistem? Jawabnya mungkin tidak diketahui. Karena,
dalam alam ini ada beberapa poin yang sifatnya global, dan ada pula berbagai bencana di
alam ini yang tidak beraturan, tidak berlandaskan pada suatu sistem, ketentuan, dasar dan
asas. Ilmu pengetahuan modern, tidak dapat memberikan kepastian pada perkara apapun, dan
semua pengetahuan itu sifatnya hanya dugaan (hipotesis).
Walaupun para filosof materialis, di antaranya adalah Russel, telah diguncang oleh
bentuk filosofis ini. Tetapi perlu ditegaskan bahwa filsafat adalah seorang yang memiliki
bentuk pemikiran bebas dan terbuka, dan pemikirannya bukan berasal dari dikte. Ia akan
mengatakan sesuatu yang ia ketahui dan pahami sekalipun hal itu bertentangan dengan dasar
pemikiran dan fakultasnya.
Sekarang hipotesa yang ada adalah bahwa alam ini merupakan salah satu sumber
epistemologi. Alhasil, jika epistemologi itu diartikan secara lebih umum, yakni epistemologi
ialah sesuatu yang dapat memberikan kepada kita suatu kekuatan dan tenaga praktis, ataupun
sesuatu yang dapat menunjukkan suatu hakikat, tentu tidak ada lagi keraguan padanya
(epistemologi itu).
2.Rasio Dan Hati

Rasio dana hati adalah Dua Sumber Lain Epistemologi Sumber yang lain yang masih
perlu dibahas adalah masalah kekuatan rasio dan pikiran manusia. Setelah kita mengetahui
bahwa alam ini merupakan “sumber luar” bagi epistemologi, lalu apakah manusia juga
memiliki “sumber dalam” bagi epistemologi ataukah tidak memiliki? Hal ini tentunya
berkaitan erat dengan masalah rasio, berbagai perkara yang rasional, berbagai perkara yang
sifatnya fitrah. Ada beberapa fakultas yang menyatakan bahwa kita memiliki (“sumber
dalam” itu), sementara sebagian yang lain menafikan keberadaannya. Ada sebagian fakultas
yang meyakini keterlepasan rasio dari indera, dan sebagian lain tidak mayakini keterlepasan
rasio dari indera.
Selanjutnya sumber selanjutnya adalah hati (jiwa). Semestinya kita tidak
menyebutnya dengan “alat”, tetapi kita harus menyebutnya dengan “sumber”. Tidak ada satu
pun dari fakultas materialisme yang mengakui keberadaan sumber ini. Karena jika meyakini
hati sebagai satu sumber, sedangkan manusia pada awal dilahirkan tidak memiliki suatu
pengetahuan apapun, dan di dalam hatinya tidak terdapat sesuatu apapun, dan juga meyakini
bahwa hati dapat menerima berbagai ilham (dan wahyu merupakan peringkat ilham yang
paling sempurna), maka sama halnya dengan mengakui adanya suatu alam yang ada di balik
alam materi ini, karena materi tidak dapat memberikan berbagai ilham semacam itu kepada
manusia. Unsur ilham adalah unsur metafisika.
Alat-alat epistemologi antara lain:
1) Indera, yang merupakan alat untuk alam materi. Dengan alat ini manusia
memperoleh epistemologi dari alam materi.
2) Berbagai argumen Logika, argumen yang rasional yang dalam ilmu logika
disebut dengan qiyas (silogisme) atau burhan (demonstrasi), yang ini
adalah suatu bentuk praktik yang dilakukan oleh rasio manusia. Alat ini
(rasio) dapat diberlakukan, jika diyakini sebagai suatu sumber
epistemologi. Jika membatasi sumber epistemologi pada alam materi saja,
dan membatasi alat epistemologi hanya indera saja, menolak rasio sebagai
sumber epistemologi, dan juga menolak nilai alat silogisme dan
demonstrasi. Selama tidak mengakui rasio sebagai sumber epistemologi,
maka tidak dapat bersandar pada alat silogisme dan demonstrasi. Yakni
tidak dapat mengakuinya sebagai suatu alat epistemologi.

Alat untuk sumber epistemologi ini (hati atau jiwa), adalah penyucian hati atau jiwa
(tazkiyah an-nafs). Hati manusia ibarat satu sumber dan manusia dapat mengambil manfaat
sumber itu dengan menggunakan alat “penyucian hati”(tazkiyah an-nafs).
Di antara para ilmuwan yang ada pada masa sekarang ini, para ilmuwan yang memiliki pola
pikir materialis, menolak sumber dan alat ini. Sedangkan para ilmuan yang mamiliki pola
pikir ilahi (meyakini keberadaan Tuhan), mereka amat percaya dan yakin terhadap sumber
dan alat ini. Misalnya Bergson, atau yang biasa disebut William James. Ia adalah seorang
filsuf terkenal berkebangsaan Amerika, dan banyak lagi para ilmuwan lainnya yang percaya
dan yakin terhadap sumber dan alat ini.
Hal-hal yang berhubungan dengan hati sebagai sumber epistemologi:
a. Pandangan Al-Qur’an terhadap hati sebagai sumber Epistemologi
Berbagai pertanyaan yang muncul mengenai pandangan Al-Qur’an yang berkenaan
dengan berbagai perkara yang ada di alam ini. Dan pada kenyataanya terdapat keraguan,
bahwa apakah Al-Qur’an benar-benar mengakui sumber dan alat itu (hati dan penyucian
jiwa), ataukah Al-Qur’an benar-benar cenderung pada alam semesta. Dan semua itu (Hati
dan penyucian jiwa) adalah suatu bentuk pemikiran yang telah menyebar di tengah
masyarakat sebelum kedatangan Al-Qur’an, dan pada dasarnya tujuan utama Al-Qur’an
adalah semata-mata untuk melenyapkan bentuk pemikiran tersebut yang biasa disebut
dengan “cenderung pada hal-hal yang di dalam” atau menurut istilah yang sangat keliru
“cenderung pada takhayul” dan diubah menjadi cenderung pada realitas, cenderung pada
alam.
Al-Qur’an bukan hanya satu, dua atau sepuluh ayat saja dalam mengingatkan manusia
agar memperhatikan alam, memperhatikan sejarah dan berbagai sistem sosial,
memperhatikan jiwa dan bagian dalam diri yang merupakan salah satu dari alam ini, hal ini
cukup jelas. Tetapi hal itu bukan berarti pengalihan dari berbagai bentuk maknawiah, segala
yang ada di dalam, dan yang batin. Al-Qur’an menaruh perhatian terhadap hal-hal yang lahir,
dengan tanpa menafikan hal-hal yang batin. Ungkapan bahwa Al-Qur’an hanya menaruh
perhatian pada hal-hal yang sifatnya lahir, inderawi, adalah suatu ungkapan yang salah.
Karena perhatian Al-Qur’an terhadap alam dan sejarah merupakan suatu penafian atas
berbagai perkara yang sifatnya metafisika, batin, gaib, dan maknawiah.
b. Al-Qur’an dan tidak terpisahnya antara “Cenderung ke Dalam” dan “Cenderung ke
Luar” Islam dengan jelas mengatakan, seperti yang terdapat dalam suatu ayat Al-Qur’an.
Bahwa bertakwalah agar memperoleh suatu alat pembeda dalam hati. Sucikanlah jiwa,
agar jiwa kita senantiasa bersih, dan Allah Yang Mahatinggi akan memberikan cahaya
dalam hati kita, akan memberi suatu alat yang dapat membedakan antara hak dan batil.
Barang siapa yang menerima hidayah, maka Allah akan menambah hidayah kepadanya.
Jika kita berjalan selangkah menuju Allah, maka Allah akan berjalan dengan langkah
yang lebih besar menuju kita, untuk menambah petunjuk kepada kita.
Sebagaimana Al-Qur’an berbicara tentang kisah Ashabul Kahfi (para pemuda),
bagaimanakah dalam menyatukan antara maknawi dan materi yang menurut istilah disebut
dengan “dalam” dan “luar”. Yakni dalam suatu ayat Al-Qur’an.
Dimana dalam ayat tersebut menceritakan tentang sebuah kisah nyata dan bukan sebuah
dongeng, bahwa terdapat orang-orang pemberani yang beriman kepada Tuhannya dan tunduk
serta patuh kepada Tuhannya, sehingga bertambahlah hidayah maknawi mereka. Mereka
mendapat kecerahan hati dan ketabahan hati, yang pada ayat yang lain Al-Qur’an
menyebutnya dengan Inzal as-sakinah (menurunkan ketenangan). Seperti yang disebutkan
dalam suatu ayat Al-Qur’an.
Dimana dalam ayat tersebut menjelaskan mengenai orang mukmin. Mereka hidup dalam
pemerintahan yang penuh dengan perbuatan syirik, lalu mereka bangkit dan berjuang
melawan pemerintahan itu. Dan berdasarkan pada keimanan dan dan keyakinan, sehingga
mereka mendapat pandangan yang tajam, ketabahan hati, keberanian dan semangat dalam
jiwa. Karena semua itu merupakan pahala bagi mereka. Lalu mereka berkata: “Tuhan kami
adalah Tuhan langit dan bumi,” Tuhan yang harus kita tunduk di hadapan-Nya, suatu
kekuatan yang kita harus tunduk pada kekuatan itu yang tidak lain hanyalah Tuhan pemilik
langit dan bumi, dan tidak akan beriman selain kepada-Nya. Sungguh sangat keliru dan sesat
jika memilih sesembahan yang lain, selain Tuhan Yang Maha Mengetahui. Semua itu
menunjukan kesatuan antara keduanya, yaitu sisi dalam dan sisi luar (maknawi dan materi).
Sebagian besar manusia berada pada posisi ifrath (terlalu berlebihan) ataupun tafrith (terlalu
kurang) dan sedikit sekali yang berada pada posisi di tengah-tengah. Selama berabad-abad,
manusia tenggelam dalam badai “kecenderungan sisi dalam” dan menentang “kecenderungan
sisi luar”, dan terasa bahwa sedikit demi sedikit mulai mengarah pada “kecenderungan sisi
luar” dan menentang “sisi dalam”, dan itu dengan alasan Islam tidak menjelaskan masalah
ini.
c. Ali Bin Abi Thalib ra dalam menyifati Orang Arif Najh al-Balaghah adalah jenis
sebuah buku yang dimuliakan dan dihormati oleh para pemuda. Dan apakah buku tersebut
adalah sebuah buku yang “cenderung terhadap dalam” ataukah “cenderung terhadap
luar”? dan mengetahui sebatas mana buku tersebut “cenderung terhadap luar”, tetapi
apakah dalam buku tersebut kita mengetahui berbagai sisi “cenderung terhadap dalam”?
kecenderungan terhadap dalam yang paling tinggi, paling indah dan paling rinci adalah
yang termaktub dalam buku tersebut.
Nahj al-Balaghah menyifati seorang arif telah melakukan penyucian jiwa (tazkiyah
an-nafs); ia menghidupkan rasionya, mematikan nafsu amarahnya, mempertipis kesalahan-
kesalahannya, baik kesalahan jasmani maupun kesalahan rohani (seorang yang sepanjang
hidupnya ia habiskan untuk makan dan minum, dan tubuhnya dipenuhi dengan lemak, sama
sekali tidak akan dapat menjadi manusia sejati), ia menyucikan diri dari berbagai kesalahan
ini, dengan menggunakan latihan-latihan maknawinya. Menyucikan diri dari pengaruh
bebagai kesenangan dan kenikmatan yang membekas pada dirinya. Ia membersihkan
berbagai kesalahan yang melekat pada rohnya dan menguruskan tubuhnya, “sampai badannya
menjadi kurus, tubuhnya menjadi ringan.” Secercah cahaya yang terang benderang memancar
dalam jiwanya. “dan suatu sinar cahaya dari kecerahan yang luar biasa bersinar darinya.”
Cahaya yang terang itu menyinari jalannya untuk masuk ke suatu pintu, dan (cahaya itu pula)
membimbingnya memasuki pintu yang satu ke pintu yang lain, sehingga sampai di pintu yang
terakhir; pintu istana Ilahi dan istana ketuhanan.
Inilah Ali bin Abi Thalib as yang ada di medan laga, ia yang pedangnya berlumuran
darah di medan pertempuran, ia yang pada malam hari bangun dari tidurnya dan keluar
menuju rumah anak-anak yatim dan para janda, ia yang tidak kuat membendung air mata
ketika berhadapan dengan seorang anak yatim. Ia adalah seorang yang pada masanya dikenal
dengan menangis tersedu-sedu dan tertawa terbahak-bahak. Ketika berhadapan dengan
musuh di medan pertempuran, wajahnya tampak berseri-seri dan tersenyum gembira,
sedangkan ketika beribadah di mihrab, dalam memohon dan berdoa kepada Tuhannya ia
merintih dan menangis tersedu-sedu.
Karena sungguh, Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi telah membuat ingatan
kepada-Nya, cahaya bagi hati yang mendengar dengan pertolongan-Nya walaupun tuli,
melihat dengan pertolongan-Nya walaupun buta, dan menjadi patuh dengan pertolongan-Nya
walaupun ada kerusuhan. Inilah pandangan Al-Qur’an, inilah pandangan Islam, inilah
pandangan Rasul saw dan Ali bin Abi Thalib ra. Rasul saw bersabda, “Barangsiapa yang
memurnikan niatnya untuk Allah selama empat puluh hari, maka akan mengalir sumber-
sumber hikmah dari hati menuju lisannya. ”Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa
seseorang yang memurnikan niatnya semata-mata untuk Allah, tidak ada sesuatu yang selain
Allah. Maka berbagai sumber hikmah (kata-kata yang benar) yang ada dalam hatinya akan
mengalir melalui lisannya.
Dengan demikian, maka Islam tergolong kelompok yang mengakui hati sebagai suatu
sumber epistemologi dan alatnya adalah “penyucian jiwa” (tazkiyah an-nafs).
3. Sejarah Merupakan Sumber Lain Epistemologi
Sejarah adalah sumber lain epistemologi yang sekarang ini dianggap sebagai suatu
sumber yang sangat penting. Al-Qur’an juga sangat mementingkan sumber ini. Karena
menurut Al-Qur’an, selain alam, rasio dan hati, masih ada satu sumber lain yaitu, sejarah.
Jika kita mengatakan bahwa alam adalah sumber epistemologi, maka di dalamnya
juga berisi sejarah. Al-Qur’an secara jelas dan tegas menyatakan bahwa sejarah merupakan
bahan kajian. Dengan demikian, maka sejarah itu merupakan salah satu sumber epistemologi.
Seperti disebutkan dalam suatu ayat.
Dalam salah satu ayat tersebut timbul pertanyaan, kenapa mereka tidak mengelilingi
bumi? Yakni pergi dan perhatikanlah berbagai peninggalan sejarah, kemudian perhatikanlah
perubahan sejarah yang terdapat dalam kehidupan dan sosial manusia. Inilah yang menurut
pandangan Al-Qur’an dan berbagai riwayat bahwa sejarah itu sendiri merupakan sumber
epistemologi.

4. Pengalaman Indra (Sense Experience


Orang sering merasa bahwa pengindraan adalah alat yang paling vital dalam
memperoleh pengetahuan. Memang dalam hidup manusia tampaknya pengindraan adalah
satu-satunya alat untuk mencerap segala objek yang ada di luar diri manusia. Karena terlalu
menekankan pada kenyataan, paham demikian dalam filsafat disebut realisme. Realisme
adalah suatu paham yang berpendapat bahwa semua yang dapat diketahui hanya kenyataan.
Jadi, pengetahuan berawal dari kenyataan yang dapat diindrai. Tokoh pemula dari pandangan
ini adalah Aristoteles, yang berpendapat bahwa pengetahuan terjadi bila subjek diubah di
bawah pengaruh objek, artinya bentuk dari dunia luar meninggalkan bekas dalam kehidupan
batin. Objek masuk dalam diri subjek melalui persepsi indra (sensasi). Yang demikian ini
ditegaskan pula oleh Aristoteles yang berkembang pada abad pertengahan adalah Thomas
Aquinas yang mengemukakan bahwa tiada sesuatu dapat masuk lewat ke dalam akal yang
ditangkap oleh indra.
5. Nalar (Reason)
Nalar adalah salah satu corak berpikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau
lebih dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam masalah ini tentang asas-asas pemikiran, yaitu sebagai berikut:
a) Principium Identitas yaitu sesuatu itu sama dengan dirinya sendiri (A=A). Asas ini
biasa disebut asas kesamaan.
b) Principium contradictioad yaitu apabila dua pendapat yang bertentangan, tidak
mungkin kedua-duanya benar dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain pada
subjek yang sama tidak mungkin terdapat dua predikat yang bertentangan pada satu
waktu. Asas ini biasa disebut asas pertentangan.
c) Principium tertii exclusi yaitu apabila dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin
keduanya benar dan tidak mugkin keduanya salah. Kebenaran hanya terdapat satu
diantara kedua itu, tidak perlu ada pendapat yang ketiga. Asas ini biasa disebut asas tidak
adanya kemungkinan ketiga
6. Otoritas (Authority)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui
kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber pengetahuan, karena kelompoknya
memiliki pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam
pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi
karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibawaan tertentu.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa pengetahuan karena adanya otoritas terjadi melalui
wibawa seseorang sehingga orang lain mempunyai pengetahuan.
7. Intuisi (Intuition)
Intuisi adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia melalui proses kejiwaan
tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan berupa
pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan seketika atau
melalui kenyataan karena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu.
Dengan demikian, peran intuisi sebagai sumber pengetahuan adalah adanya kemampuan
dalam diri manusia yang dapat melahirkan pernyataan-pernyataan berupa pengetahuan.
8. Wahyu (Revelation)
Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi-Nya untuk
kepentingan umatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan
tentang sesuatu yang disampaikan itu. Seseorang yang mempunyai pengetahuan melalui
wahyu secara dogmatik akan melaksanakan dengan baik. Wahyu dapat dikatakan sebagai
salah satu sumber pengetahuan, karena kita mengenal sesuatu dengan melalui kepercayaan
kita
9. Keyakinan (Faith)
Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui
kepercayaan. Sesungguhnya antara sumber pengetahuan berupa wahyu dan keyakinan ini
sangat sukar untuk dibedakan secara jelas, karena keduanya menetapkan bahwa alat lain yang
dipergunakannya adalah kepercayaan. Perbedaannya barangkali jika keyakinan terhadap
wahyu yang secara dogmatik diikutinya adalah peraturan yang berupa agama. Adapun
keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakan pematangan (maturation) dari
kepercayaan. Karena kepercayaan itu bersifat dinamik mampu menyesuaikan dengan keadaan
yang sedang terjadi. Sedangkan keyakinan itu sangat statik, kecuali ada bukti-bukti baru yang
akurat dan cocok buat kepercayaannya.

C. BEBERAPA PANDANGAN EPISTEMOLOGI

1. Aliran Filsafat dan Epistemologi Science Modern


a. Empirisme
Secara radikal empirisme berpendirian bahwa sebenarnya kita hanya bisa memperoleh
pengetahuan melalui pengalaman dengan menggunakan indra ilmiah. Thomas Hobbes,
salah seorang penganut empirisme mengemukakan bahwa empiris (pengalaman) adalah
awal dari segala pengetahuan. Karena itu semua diturunkan dari pengalaman. Tokoh
empiris lain adalah John Locke. Ia terkenal dengan teori Tabula Rasanya. Menurut Locke,
rasio manusia pada mulanya sebagai lembaran kertas putih (as white paper). Apa yang
kemudian mengisinya, seluruhnya berasal dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah
(sensation) maupun pengalaman batiniah (reflection). George Barkeley adalah tokoh lain
empiris yang mengemukakan teori immaterialisme atas dasar prinsip empirisisme.
Menurutnya sama sekali tidak ada substansi yang bersifat material. Yang ada hanyalah
ciri-ciri yang dapat diamati, atau dengan kata lain, yang ada hanyalah pengalaman dalam
jiwa saja (being is being perceived). David Hume tidak menerima konsep mengenai
substansi, sebab menurutnya, apa yang dialami manusia hanyalah kesan-kesan tentang
beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama
b. Rasionalisme
Penganut rasionalisme berpandangan bahwa ia dapat dicapai dengan menggunakan
akal budi (intellect) sebagai sumber utama. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa
pada dasarnya pengetahuan adalah suatu sistem dedukatif yang dapat dipahami secara
rasioanal dengan ukuran kebenaran adalah konsistensi logis. Penganut rasionalisme
meyakini bahwa metode rasional yang dedukatif, rasional, matematis dan inferensial
dapat digunakan untuk mencapai pengetahuan.

c. Kritisisme
Kritisisme adalah suatu aliran filsafati, yang dalam epistemologi berupaya
menunjukkan jalan untuk mencapai pengetahuan tanpa harus terjebak dalam ekstrimitas
empirisme dan rasionalisme. Menurut Kant, memang benar bahwa kita punya
pengalaman inderawi, tapi sama benarnya juga bahwa kita mempunyai pengetahuan yang
menghubungkan hal-hal, yang untuk mencapainya, kita harus keluar menembus
pengalaman. Bagi Kant, pengetahuan manusia pada dasarnya terjadi alas unsur-unsur
aposteriori (sesudah pengalaman) dan apriori (mendahului pengalaman)

2. Landasan Al Quran dan Epistemologi Islami


a. Pemikiran dedukatif sederhana mengenai epistemologi Qurani adalah
sebagai berikut :
Ø Sumber ilmu satu-satunya hanya Allah. Karena pada hakikatnya hanya Dia yang
mengetahui baik alam nyata maupun alam gaib, dan Dia Maha Pengasih dan Penyayang
(Al Hasyr 22).
Ø Manusia tidak lahir dalam kedaan berpengetahuan, namun pada dirinya terkandung
potensi internal berpengatuhan yang dikaruniakan Allah padanya (An Nahl 78).
Ø Allah Yang Maha Pengasih menciptakan manusia mengajarkannyaAl Quran, dan
mengajarkannya Al Bayaan (penjelasan-penjelasan) (Ar Rahman 1-4).
Ø Manusia diperintahkanNya membaca dengan menjadikan petunjukNya sebagai
petunjuk utama sebagai proses manusia diajarkan ilmu olehNya (Al’Alaq 3-5).
Ø Bayan atau kejelasan-kejelasan ayat-ayat Allah potensi diperoleh manusia apabila ia
memanfaatkan potensi akalnya (Ali Imran 118).
Ø Yang memiliki potensi berakal adalah qalb (hati) demikian pula yang memiliki potensi
mengindera secara non-fisik (Al Haj 46).
Ø Alam semesta dan diri manusia adalah ayat-ayat Allah yang padanya terkandung
potensi pengetahuan yang perlu diperhatikan (Az Zariat 21).
Ø Alam semesta diperlihatkan oleh Allah kepada manusia hingga jelas bagi mereka
kebenaran yang terkandung dalam Al Quran. Artinya ada hubungan antara kebenaran
yang dinyatakan dalam Al Quran dengan kebenaran yang dinyatakan dalam alam semesta
serta diri manusia (Fushshilat 53).
Ø Dalam rangka memperoleh pengetahuan, Allah mengakui keberadaan orang-orang
yang telah memperoleh pengetahuan, yang pengetahuannya dapat dijadikan acuan untuk
pengembangan lebih lanjut (Al Anbiya 7).
Ø Manusia diperintahkan agar membaca segala obyek bacaan dengan berlandaskan Isim
RububiyahNya, sehingga setiap fenomena yang dibaca dapat dimaknai menurut hukum-
hukum yang diturunkan dari sifat RububiyahNya itu (Al Alaq 1-3)
b. Epistemologi Qurani
Merujuk pada AL Quran untuk membangun suatu pandangan epistemologi adalah
merupakan konsistensi pandangan filsafati mengenai sumber pengetahuan, yakni Allah
adalah Sumber Pengetahuan. Al Quran adalah petunjuk dari Sumber Pengetahuan yang
ditujukan pada manusia untuk berilmu. Allah dengan kemahapemurahanNya,
mengajarkan pengetahuan kepada manusia dengan perantaraan qalam (Q.S Al Alaq 1-5).
Secara epistemologis hal ini dapat dipahami bahwa manusia potensial memperoleh
pengetahuan karena kepemurahan Allah. Al Quran mempertegas adanya fuad sebagai
indra batiniah ini, misalnya melaui, ayat 11 Surah An Najm yang artinya “Tiadalah
berdusta fuad (hati) terhadap apa yang dilihatnya.” Ayat tersebut menegaskan kebenaran
penginderaan fuad Nabi Muhammad SAW ketika mengindera dengan cara “melihat”
berbagai fenomenal dari realitas alam gaib, yaitu malaikat Jibril, Sidratul Muntaha dan
Jannatul Ma’wa.
Ø Penginderaan fuad dan penginderaan indera fisik sebagai berikut :
Indera lahiriah mempersepsi fenomena alam sebagai fenomena fisik, misalnya benda,
unsur, warna dan sebagainya. Fuad sebagai indera qalbu mempersepsi terwujudnya
kualitas dari sifat-sifat Allah “pada obyek alam fisik tersebut.
Ø Peranan Akal adalah sebagai berikut :
Akal mengarahkan perhatian untuk memahami suatu obyek pemahaman Pengarahan
akal tersebut diterima oleh sistem saraf pusat yang kemudian mementahkan indera fisik
melakukan tindak mempersepsi.
Hasil persepsi indera fisik diterima kembali oleh sistem saraf pusat atas pengarahan
akal dan mensistematisirnya dalam kerangka kemungkinan penalaran untuk kemudia
dibuat hubungan-hubungan logisnya.
Pemahaman yang terjadi dari hubungan-hubungan logis dilakukan oleh akal. Artinya,
pada tingkat kerja akal (aql, qalb) itulah sesungguhnya pemahaman itu difinalkan sebagai
suatu pengetahuan logis, yaitu pengetahuan yang menjelaskan seluk-beluk hubungan
satuan-satuan konsep pembentuk pengetahuan.
Dari penjelasan tersebut terlihat betapa perbedaan pengertian mengenai akal dalam
filsafat science modern dengan filsafat ilmu islami. Jika dalam filsafat science modern
akal diidentikkan dengan otak, maka dalam filsafat ilmu islami akal adalah qalb (hati)
yang khusus untuk fungsi pengakalannya disebut aql, dimana otak dipandang sebagai
pengkonstruksi satuan-satuan pemahaman.

Ø Potensialitas berpengatuhan manusia menurut landasan Al Quran adalah sebagai


berikut :
o Tuhan sebagai Sumber Pengetahuan
o Al Quran sebagai Otoritas Utama
o Indera-Indera Lahir sebagai Alat
o Qalb sebagai Alat dengan 3 potensi :
* Fuad sebagai “alat” yang bersifat tidak lahiriah, dengan potensi
penginderaannya mengindera dan mempersepsi realitas non-lahiriah.
* Aql sebagai alat yang bersifat tidak lahiriah dengan potensi untuk
melakukan penalaran terhadap hasil persepsi indera-indera lahir dan dua
* Lubb sebagai alat yang bersifat tidak lahiriah, dengan potensi pemahaman
untuk memahami dan menghayati makna dalam totalitas pandangan
ontologis, epistemologis dan aksiologis.
3. Perbandingan Epistemologi
Secara sangat jelas epistemologi science modern meletakkan pandangan bahwa
pencapaian pengetahuan ilmiah semata-mata merupakan fungsi dari bekerjanya indera
dan akal manusia. Hal ini ditunjukkan oleh filsafat rasionalisme dan empirisme secara
sendiri-sendiri, maupun oleh kritisisme secara bersama-sama. Filsafat science modern
hanya meletakkan pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan sains) secara sempit dalam
wilayah keterjangkauan indera lahiriah dan/atau kemampuan rasional manusia.
Pandangan epistemologi Islami sebenarnya juga meletakkan pandangan bahwa
pengetahuan ilmiah dapat dicapai antara lain dengan indera dan akal. Akan tetapi
penggunaan indera dan akal tidak ditetapkan secara mutlak berlaku untuk seluruh obyek
pengetahuan, dan indera serta akal itu sendiri mempunyai pengertiannya yang berbeda
secara mendasar dengan pandangan epistemologi science modern.
Pertama mengenai indera. Dalam hal ini epistemologi Islami meletakkan pandangan
adanya dua kategori indra yaitu indera lahiriah dan indera batiniah (indera kalbu) atau
fuad. Indera batiniah (fuad) inilah yang tidak dikenal dalam epistemologi science modern.
Padahal dalam rangka berpengetahuan, peranan indera batiniah ini sangat jelas, yaitu
untuk mempersepsi realitas non fisik.
Selanjutnya mengenai akal. Filsafat science modern mengenai akal identik dengan otak
pada manusia dengan keseluruhan fungsi sistem sarafnya. Apa yang dipahami science
modern sebagai yang masuk akal atau rasional adalah hubungan-hubungan logis
(dedukatif maupun induktif) yang kemudian dikembangkan pemahamannya.
Dalam Konsep epistemologi Islami yang telah dikemukakan di atas, akal adalah sekedar
sebuah benda secara terminologis yang sesungguhnya menunjuk pada qalb (hati).

4. Pengujian Kebenaran Ilmiah


Dalam dunia ilmu dikenal tiga pandangan mengenai pengujian kebenaran ilmiah sebagai
berikut :
1) Teori Koresponden (Uji Persamaan dengan Fakta)
Menurut teori ini, suatu pernyataan pengetahuan (sepertinya yang dinyatakan
dalam hipotesis) bisa diterima kebenarannya secara ilmiah apabila ia dapat dibuktikan
bersesuaian kebenarannya dengan obyek empirik yang dinyatakannya.
2) Teori Koherensi (Uji Konsistensi)
Teori ini menyatakan suatu pernyataan pengetahuan dapat diterima kebenarannya
secara ilmiah apabila pernyataan pengetahuan tersebut menunjukkan koheren dengan
teori-teori ilmiah yang kebenarannya telah diterima sebelumnya.
3) Teori Pragmatik (Uji Kemanfaatan)
Teori ini menilai kebenaran suatu pernyataan pengetahuan secara ilmiah
apabila pernyataan pengetahuan tersebut memang potensial digunakan untuk
memecahkan berbagai permasalahan kehidupan secara berguna.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian mengenai sumber-sumber epistemologi tersebut maka
dapat disimpulkan, bahwa epistemologi adalah teori pengetahuan yang merupakan cabang
filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-
pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai
pengetahuan yang dimiliki. Dengan adanya penjelasan mengenai epistemologi, maka
akan diketahui asal mulanya pengetahuan, terjadinya pengetahuan, dan sumber-sumber
pengetahuan. Sehingga kita mengetahui dengan jelas dari mana kita mendapatkan
pengetahuan dan cara memperolehnya.
Sumber-sumber pengetahuan tersebut antara lain adalah alam, akal, hati,
pengalaman indera, sejarah, intuisi, keyakinan, dan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh
manusia melalui akal, indra, dan sumber-sumber tersebut mempunyai metode tersendiri
dalam pengetahuan tersebut. Dan tanpa sumber-sumber tersebut maka kita tidak tahu
darimana pengetahuan itu berasal.

B.DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, M.A. Pengantar Filsafat Islam, cet.V. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991.
Amsal Bakhtiar. Filsafat Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Jujun S.Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, cet.18. Jakarta:Pustaka Sinar
Harapan, 2005.

Kartanegara, Mulyadhi. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Bandung:


Mizan, 2003
Muhammad Baqir Ash-Shadr. Falsafatuna. Cet.VI. Bandung: Mizan, 1998

Muthahhari, Murtadha. Mengenal Epistemologi: Sebuah Pembuktian Terhadap Rapuhnya


Pemikiran Asing Dan Kokohnya Pemikiran Islam. Jakarta: Lentera, 2001.

Surajiyo, Filsafat Ilmu Dan Perkembangannya di Indonesia: SuatuPengantar.ed.I,cet.3.


Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Yazdi,M.Taqi Mishbah. Buku Daras Filsafat Islam, cet.1. Bandung: Mizan, 2003.

Anda mungkin juga menyukai