EPISTEMOLOGI
DOSEN PENGAMPU:
PROF.DR.MANTASIAH R M .HUM
Disusun oleh:
MAYA :220507500006
RIO GEREND :220507501003
ASTI RAMADHANI :220507501010
FEMMEY SONIATI :220507500002
AULIA SINDI :220507500007
NURUL AZIZAH RAHMAN :220507501006
OKTA VIANI SULING ALLO :220507501001
Puji Syukur kita ucapkan kepada Allah swt.yang telah memberikan kesempatan dan
kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.Adapun tugas
makalah dibuat ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok dari dosen pada
Semua yang sudah ikut hadir membantu baik bahan dan keaktifan serta waktu untuk
melengkapi makalah ini.Penyusun menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna.Oleh
karena itu,kritik dan saran dari pembaca sungguh dihargai.Penyusun sangat harap bahwa
makalah saya ini dapat memberikan kontribusi berharga bagi para pembaca.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
C.Pandangan Epistemologi....................................................................................6
BAB PENUTUP
A. LATAR BELAKANG
Manusia tidak hanya memerlukan kebutuhan pokok saja,akan tetapi manusia juga
memerlukan informasi untuk mengetahui keadaan di lingkungan sekitar
mereka.Dalam upaya untuk memperoleh informasi,manusia seringkali melakukan
komunikasi ataupun cara-cara lain yang bisa digunakan.Salah satu informasi yang
didapat dari komunikasi adalah pengetahuan .Pengetahuan sangat diperlukan bagi
kehidupan manusia karena dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi
kehidupan.Dalam mencari pengetahuan,tak jarang manusia harus belajar
Epistemologi.Epistemologi Merupakan cabang dari filsafat yang membicarakan
mengenai sumber-sumber,karakteristik,sifat danke benaran
pengetahuan.Epistemologi sering kali disebut dengan teori pengetahuan atau filsafat
pengetahuan,karena yang dibicarakan dalam epistemologi ini berkenaan dengan
hal-hal yang ada mengangkut pautnya dengan masalah
pengetahuan.Misalnya,Apakah pengetahuan itu?Dari mana Asalnya?Apakah
Sumber-sumber pengetahuan?Bagaimana Manusia Mendapatkan Pengetahuan?
Dari Mana Pengetahuan Yang benar?Apa yang menjadi karakteristik pengetahuan?
Apakah pengetahuan itu tergolong benar atau salah,dan sebagainya.Beberapa
pertanyaan inilah yang kemudian disebut dengan masalah epistemologi.
. B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Epistemologi.
2. Apa saja sumber Epistemologi.
3. Bagaimana Instrumen Epistemologi.
C.TUJUAN PENULISAN
1. Memahami arti dari Epistemologi.
2. Mengetahui sumber-sumber Epistemologi ilmu.
3. Dana memahami instrumen dari Epistemologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN EPISTEMOLOGI.
Epistemologi berasal dari Bahasa Yunani Episteme dan Logos. Episteme biasa diartikan
pengetahuan atau kebenaran, dan Logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Secara etimologi
Epistemologi dapat diartikan, teori pengetahuan yang benar, dan lazimnya hanya disebut teori
pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi Theory of Knowledge.
Epistemologi (ma’rifah) dalam bahasa Arab mempunyai banyak penggunaan, tetapi lazimnya
berarti pengetahuan (knowledge), kesadaran (awareness), dan informasi. Adakalanya
digunakan dalam arti pencerahan khusus (idrak juz’i/ particular perception), kadang-kadang
juga dipakai dalam arti ilmu yang sesuai dengan kenyataan dan melahirkan kepastian dan
keyakinan. Pengetahuan yang menjadi pokok bahasan epistemologi boleh jadi mempunyai
salah satu pengertian tersebut atau pengertian lainnya. Pembahasan mengenai epistemologis
tidak terbatas pada satu jenis pengetahuan. Konsep pengetahuan merupakan salah satu konsep
paling jelas dan nyata (badihi/ self-evident). Epistemologis dapat didefinisikan sebagai
“bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran
kebenaran.”
Teori epistemologi bertalian erat dengan persoalan idea. Menurut Plato pengetahuan
(ma’rifah) tidak lain adalah pengingatan kembali, artinya apabila panca indera kita
berhadapan dengan sesuatu, maka teringatlah kita akan contoh-contohya (mutsul), dan
muncullah kembali pengetahuan yang kita peroleh sewaktu kita masih hidup dalam suatu
alam, dimana kita dapat melihat ide yang azali dengan jalan pengabstrakan terhadap
gambaran-gambaran dari wujud-wujud inderawi.
Dan karena epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan Tentang
“bagaimana kita mendapatkan pengetahuan?” sehingga untuk memperoleh jawabannya, kita
harus terlebih dahulu mengetahui sumber pengetahuannya dan tentang terjadinya
pengetahuan maupun asal mulanya pengetahuan. Dan harus menggunakan metode ilmiah
sehingga pengetahuan itu dapat dipastikan kebenarannya.
B. SUMBER-SUMBER EPISTEMOLOGI
Rasio dana hati adalah Dua Sumber Lain Epistemologi Sumber yang lain yang masih
perlu dibahas adalah masalah kekuatan rasio dan pikiran manusia. Setelah kita mengetahui
bahwa alam ini merupakan “sumber luar” bagi epistemologi, lalu apakah manusia juga
memiliki “sumber dalam” bagi epistemologi ataukah tidak memiliki? Hal ini tentunya
berkaitan erat dengan masalah rasio, berbagai perkara yang rasional, berbagai perkara yang
sifatnya fitrah. Ada beberapa fakultas yang menyatakan bahwa kita memiliki (“sumber
dalam” itu), sementara sebagian yang lain menafikan keberadaannya. Ada sebagian fakultas
yang meyakini keterlepasan rasio dari indera, dan sebagian lain tidak mayakini keterlepasan
rasio dari indera.
Selanjutnya sumber selanjutnya adalah hati (jiwa). Semestinya kita tidak
menyebutnya dengan “alat”, tetapi kita harus menyebutnya dengan “sumber”. Tidak ada satu
pun dari fakultas materialisme yang mengakui keberadaan sumber ini. Karena jika meyakini
hati sebagai satu sumber, sedangkan manusia pada awal dilahirkan tidak memiliki suatu
pengetahuan apapun, dan di dalam hatinya tidak terdapat sesuatu apapun, dan juga meyakini
bahwa hati dapat menerima berbagai ilham (dan wahyu merupakan peringkat ilham yang
paling sempurna), maka sama halnya dengan mengakui adanya suatu alam yang ada di balik
alam materi ini, karena materi tidak dapat memberikan berbagai ilham semacam itu kepada
manusia. Unsur ilham adalah unsur metafisika.
Alat-alat epistemologi antara lain:
1) Indera, yang merupakan alat untuk alam materi. Dengan alat ini manusia
memperoleh epistemologi dari alam materi.
2) Berbagai argumen Logika, argumen yang rasional yang dalam ilmu logika
disebut dengan qiyas (silogisme) atau burhan (demonstrasi), yang ini
adalah suatu bentuk praktik yang dilakukan oleh rasio manusia. Alat ini
(rasio) dapat diberlakukan, jika diyakini sebagai suatu sumber
epistemologi. Jika membatasi sumber epistemologi pada alam materi saja,
dan membatasi alat epistemologi hanya indera saja, menolak rasio sebagai
sumber epistemologi, dan juga menolak nilai alat silogisme dan
demonstrasi. Selama tidak mengakui rasio sebagai sumber epistemologi,
maka tidak dapat bersandar pada alat silogisme dan demonstrasi. Yakni
tidak dapat mengakuinya sebagai suatu alat epistemologi.
Alat untuk sumber epistemologi ini (hati atau jiwa), adalah penyucian hati atau jiwa
(tazkiyah an-nafs). Hati manusia ibarat satu sumber dan manusia dapat mengambil manfaat
sumber itu dengan menggunakan alat “penyucian hati”(tazkiyah an-nafs).
Di antara para ilmuwan yang ada pada masa sekarang ini, para ilmuwan yang memiliki pola
pikir materialis, menolak sumber dan alat ini. Sedangkan para ilmuan yang mamiliki pola
pikir ilahi (meyakini keberadaan Tuhan), mereka amat percaya dan yakin terhadap sumber
dan alat ini. Misalnya Bergson, atau yang biasa disebut William James. Ia adalah seorang
filsuf terkenal berkebangsaan Amerika, dan banyak lagi para ilmuwan lainnya yang percaya
dan yakin terhadap sumber dan alat ini.
Hal-hal yang berhubungan dengan hati sebagai sumber epistemologi:
a. Pandangan Al-Qur’an terhadap hati sebagai sumber Epistemologi
Berbagai pertanyaan yang muncul mengenai pandangan Al-Qur’an yang berkenaan
dengan berbagai perkara yang ada di alam ini. Dan pada kenyataanya terdapat keraguan,
bahwa apakah Al-Qur’an benar-benar mengakui sumber dan alat itu (hati dan penyucian
jiwa), ataukah Al-Qur’an benar-benar cenderung pada alam semesta. Dan semua itu (Hati
dan penyucian jiwa) adalah suatu bentuk pemikiran yang telah menyebar di tengah
masyarakat sebelum kedatangan Al-Qur’an, dan pada dasarnya tujuan utama Al-Qur’an
adalah semata-mata untuk melenyapkan bentuk pemikiran tersebut yang biasa disebut
dengan “cenderung pada hal-hal yang di dalam” atau menurut istilah yang sangat keliru
“cenderung pada takhayul” dan diubah menjadi cenderung pada realitas, cenderung pada
alam.
Al-Qur’an bukan hanya satu, dua atau sepuluh ayat saja dalam mengingatkan manusia
agar memperhatikan alam, memperhatikan sejarah dan berbagai sistem sosial,
memperhatikan jiwa dan bagian dalam diri yang merupakan salah satu dari alam ini, hal ini
cukup jelas. Tetapi hal itu bukan berarti pengalihan dari berbagai bentuk maknawiah, segala
yang ada di dalam, dan yang batin. Al-Qur’an menaruh perhatian terhadap hal-hal yang lahir,
dengan tanpa menafikan hal-hal yang batin. Ungkapan bahwa Al-Qur’an hanya menaruh
perhatian pada hal-hal yang sifatnya lahir, inderawi, adalah suatu ungkapan yang salah.
Karena perhatian Al-Qur’an terhadap alam dan sejarah merupakan suatu penafian atas
berbagai perkara yang sifatnya metafisika, batin, gaib, dan maknawiah.
b. Al-Qur’an dan tidak terpisahnya antara “Cenderung ke Dalam” dan “Cenderung ke
Luar” Islam dengan jelas mengatakan, seperti yang terdapat dalam suatu ayat Al-Qur’an.
Bahwa bertakwalah agar memperoleh suatu alat pembeda dalam hati. Sucikanlah jiwa,
agar jiwa kita senantiasa bersih, dan Allah Yang Mahatinggi akan memberikan cahaya
dalam hati kita, akan memberi suatu alat yang dapat membedakan antara hak dan batil.
Barang siapa yang menerima hidayah, maka Allah akan menambah hidayah kepadanya.
Jika kita berjalan selangkah menuju Allah, maka Allah akan berjalan dengan langkah
yang lebih besar menuju kita, untuk menambah petunjuk kepada kita.
Sebagaimana Al-Qur’an berbicara tentang kisah Ashabul Kahfi (para pemuda),
bagaimanakah dalam menyatukan antara maknawi dan materi yang menurut istilah disebut
dengan “dalam” dan “luar”. Yakni dalam suatu ayat Al-Qur’an.
Dimana dalam ayat tersebut menceritakan tentang sebuah kisah nyata dan bukan sebuah
dongeng, bahwa terdapat orang-orang pemberani yang beriman kepada Tuhannya dan tunduk
serta patuh kepada Tuhannya, sehingga bertambahlah hidayah maknawi mereka. Mereka
mendapat kecerahan hati dan ketabahan hati, yang pada ayat yang lain Al-Qur’an
menyebutnya dengan Inzal as-sakinah (menurunkan ketenangan). Seperti yang disebutkan
dalam suatu ayat Al-Qur’an.
Dimana dalam ayat tersebut menjelaskan mengenai orang mukmin. Mereka hidup dalam
pemerintahan yang penuh dengan perbuatan syirik, lalu mereka bangkit dan berjuang
melawan pemerintahan itu. Dan berdasarkan pada keimanan dan dan keyakinan, sehingga
mereka mendapat pandangan yang tajam, ketabahan hati, keberanian dan semangat dalam
jiwa. Karena semua itu merupakan pahala bagi mereka. Lalu mereka berkata: “Tuhan kami
adalah Tuhan langit dan bumi,” Tuhan yang harus kita tunduk di hadapan-Nya, suatu
kekuatan yang kita harus tunduk pada kekuatan itu yang tidak lain hanyalah Tuhan pemilik
langit dan bumi, dan tidak akan beriman selain kepada-Nya. Sungguh sangat keliru dan sesat
jika memilih sesembahan yang lain, selain Tuhan Yang Maha Mengetahui. Semua itu
menunjukan kesatuan antara keduanya, yaitu sisi dalam dan sisi luar (maknawi dan materi).
Sebagian besar manusia berada pada posisi ifrath (terlalu berlebihan) ataupun tafrith (terlalu
kurang) dan sedikit sekali yang berada pada posisi di tengah-tengah. Selama berabad-abad,
manusia tenggelam dalam badai “kecenderungan sisi dalam” dan menentang “kecenderungan
sisi luar”, dan terasa bahwa sedikit demi sedikit mulai mengarah pada “kecenderungan sisi
luar” dan menentang “sisi dalam”, dan itu dengan alasan Islam tidak menjelaskan masalah
ini.
c. Ali Bin Abi Thalib ra dalam menyifati Orang Arif Najh al-Balaghah adalah jenis
sebuah buku yang dimuliakan dan dihormati oleh para pemuda. Dan apakah buku tersebut
adalah sebuah buku yang “cenderung terhadap dalam” ataukah “cenderung terhadap
luar”? dan mengetahui sebatas mana buku tersebut “cenderung terhadap luar”, tetapi
apakah dalam buku tersebut kita mengetahui berbagai sisi “cenderung terhadap dalam”?
kecenderungan terhadap dalam yang paling tinggi, paling indah dan paling rinci adalah
yang termaktub dalam buku tersebut.
Nahj al-Balaghah menyifati seorang arif telah melakukan penyucian jiwa (tazkiyah
an-nafs); ia menghidupkan rasionya, mematikan nafsu amarahnya, mempertipis kesalahan-
kesalahannya, baik kesalahan jasmani maupun kesalahan rohani (seorang yang sepanjang
hidupnya ia habiskan untuk makan dan minum, dan tubuhnya dipenuhi dengan lemak, sama
sekali tidak akan dapat menjadi manusia sejati), ia menyucikan diri dari berbagai kesalahan
ini, dengan menggunakan latihan-latihan maknawinya. Menyucikan diri dari pengaruh
bebagai kesenangan dan kenikmatan yang membekas pada dirinya. Ia membersihkan
berbagai kesalahan yang melekat pada rohnya dan menguruskan tubuhnya, “sampai badannya
menjadi kurus, tubuhnya menjadi ringan.” Secercah cahaya yang terang benderang memancar
dalam jiwanya. “dan suatu sinar cahaya dari kecerahan yang luar biasa bersinar darinya.”
Cahaya yang terang itu menyinari jalannya untuk masuk ke suatu pintu, dan (cahaya itu pula)
membimbingnya memasuki pintu yang satu ke pintu yang lain, sehingga sampai di pintu yang
terakhir; pintu istana Ilahi dan istana ketuhanan.
Inilah Ali bin Abi Thalib as yang ada di medan laga, ia yang pedangnya berlumuran
darah di medan pertempuran, ia yang pada malam hari bangun dari tidurnya dan keluar
menuju rumah anak-anak yatim dan para janda, ia yang tidak kuat membendung air mata
ketika berhadapan dengan seorang anak yatim. Ia adalah seorang yang pada masanya dikenal
dengan menangis tersedu-sedu dan tertawa terbahak-bahak. Ketika berhadapan dengan
musuh di medan pertempuran, wajahnya tampak berseri-seri dan tersenyum gembira,
sedangkan ketika beribadah di mihrab, dalam memohon dan berdoa kepada Tuhannya ia
merintih dan menangis tersedu-sedu.
Karena sungguh, Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi telah membuat ingatan
kepada-Nya, cahaya bagi hati yang mendengar dengan pertolongan-Nya walaupun tuli,
melihat dengan pertolongan-Nya walaupun buta, dan menjadi patuh dengan pertolongan-Nya
walaupun ada kerusuhan. Inilah pandangan Al-Qur’an, inilah pandangan Islam, inilah
pandangan Rasul saw dan Ali bin Abi Thalib ra. Rasul saw bersabda, “Barangsiapa yang
memurnikan niatnya untuk Allah selama empat puluh hari, maka akan mengalir sumber-
sumber hikmah dari hati menuju lisannya. ”Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa
seseorang yang memurnikan niatnya semata-mata untuk Allah, tidak ada sesuatu yang selain
Allah. Maka berbagai sumber hikmah (kata-kata yang benar) yang ada dalam hatinya akan
mengalir melalui lisannya.
Dengan demikian, maka Islam tergolong kelompok yang mengakui hati sebagai suatu
sumber epistemologi dan alatnya adalah “penyucian jiwa” (tazkiyah an-nafs).
3. Sejarah Merupakan Sumber Lain Epistemologi
Sejarah adalah sumber lain epistemologi yang sekarang ini dianggap sebagai suatu
sumber yang sangat penting. Al-Qur’an juga sangat mementingkan sumber ini. Karena
menurut Al-Qur’an, selain alam, rasio dan hati, masih ada satu sumber lain yaitu, sejarah.
Jika kita mengatakan bahwa alam adalah sumber epistemologi, maka di dalamnya
juga berisi sejarah. Al-Qur’an secara jelas dan tegas menyatakan bahwa sejarah merupakan
bahan kajian. Dengan demikian, maka sejarah itu merupakan salah satu sumber epistemologi.
Seperti disebutkan dalam suatu ayat.
Dalam salah satu ayat tersebut timbul pertanyaan, kenapa mereka tidak mengelilingi
bumi? Yakni pergi dan perhatikanlah berbagai peninggalan sejarah, kemudian perhatikanlah
perubahan sejarah yang terdapat dalam kehidupan dan sosial manusia. Inilah yang menurut
pandangan Al-Qur’an dan berbagai riwayat bahwa sejarah itu sendiri merupakan sumber
epistemologi.
c. Kritisisme
Kritisisme adalah suatu aliran filsafati, yang dalam epistemologi berupaya
menunjukkan jalan untuk mencapai pengetahuan tanpa harus terjebak dalam ekstrimitas
empirisme dan rasionalisme. Menurut Kant, memang benar bahwa kita punya
pengalaman inderawi, tapi sama benarnya juga bahwa kita mempunyai pengetahuan yang
menghubungkan hal-hal, yang untuk mencapainya, kita harus keluar menembus
pengalaman. Bagi Kant, pengetahuan manusia pada dasarnya terjadi alas unsur-unsur
aposteriori (sesudah pengalaman) dan apriori (mendahului pengalaman)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian mengenai sumber-sumber epistemologi tersebut maka
dapat disimpulkan, bahwa epistemologi adalah teori pengetahuan yang merupakan cabang
filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-
pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai
pengetahuan yang dimiliki. Dengan adanya penjelasan mengenai epistemologi, maka
akan diketahui asal mulanya pengetahuan, terjadinya pengetahuan, dan sumber-sumber
pengetahuan. Sehingga kita mengetahui dengan jelas dari mana kita mendapatkan
pengetahuan dan cara memperolehnya.
Sumber-sumber pengetahuan tersebut antara lain adalah alam, akal, hati,
pengalaman indera, sejarah, intuisi, keyakinan, dan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh
manusia melalui akal, indra, dan sumber-sumber tersebut mempunyai metode tersendiri
dalam pengetahuan tersebut. Dan tanpa sumber-sumber tersebut maka kita tidak tahu
darimana pengetahuan itu berasal.
B.DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, M.A. Pengantar Filsafat Islam, cet.V. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991.
Amsal Bakhtiar. Filsafat Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Jujun S.Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, cet.18. Jakarta:Pustaka Sinar
Harapan, 2005.
Yazdi,M.Taqi Mishbah. Buku Daras Filsafat Islam, cet.1. Bandung: Mizan, 2003.