Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu
untuk suatu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap
menjadi bersikap benar, dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu.
Belajar tidak hanya sekedar memetakan pengetahuan atau informasi yang
disampaikan. Namun bagaimana melibatkan individu secara aktif membuat atau
pun merevisi hasil belajar yang diterimanya menjadi suatu pengalamaan yang
bermanfaat bagi pribadinya. Pembelajaran merupakan suatu sistim yang membantu
individu belajar dan berinteraksi dengan sumber belajar dan lingkungan.
Teori adalah seperangkat azaz yang tersusun tentang kejadian-kejadian
tertentu dalam dunia nyata dinyatakan oleh McKeachie dalam grendel 1991 : 5
(Hamzah Uno, 2006:4). Sedangkan Hamzah (2003:26) menyatakan bahwa teori
merupakan seperangkat preposisi yang didalamnya memuat tentang ide, konsep,
prosedur dan prinsip yang terdiri dari satu atau lebih variable yang saling
berhubungan satu sama lainnya dan dapat dipelajari, dianalisis dan diuji serta
dibuktikan kebenarannya. Dari dua pendapat diatas Teori adalah seperangkat azaz
tentang kejadian-kejadian yang didalamnnya memuat ide, konsep, prosedur dan
prinsip yang dapat dipelajari, dianalisis dan diuji kebenarannya. Teori belajar adalah
suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar
mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang akan
dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Teori Belajar ?


2. Bagaimana Peran Filsafat Pendidikan dalam Pengembangan Teori
Belajar
3. Apa yang dimaksud dengan Teori – Teori Funsionalistik ?

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui Pengertian Teori Belajar


2. Mengetahui Peran Filsafat Pendidikan dalam Pengembangan Teori
Belajar
3. Mengetahui Teori Funsionalistik

1
D. Manfaat Pembahasan

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN JENIS TEORI BELAJAR
Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling
berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena
dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar
variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah.

Menurut Slavin dalam Catharina Tri Anni (2004), belajar merupakan proses
perolehan kemampuan yang berasal dari pengalaman. Menurut Gagne dalam
Catharina Tri Anni (2004), belajar merupakan sebuah sistem yang didalamnya
terdapat berbagai unsur yang saling terkait sehingga menghasilkan perubahan
perilaku. Sedangkan menurut Bell-Gredler dalam Udin S. Winataputra (2008)
pengertian belajar adalah proses yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan
aneka ragam competencies, skills, and attitude. Kemampuan (competencies),
keterampilan (skills), dan sikap (attitude) tersebut diperoleh secara bertahap dan
berkelanjutan mulai dari masa bayi sampai masa tua melalui rangkaian proses
belajar sepanjang hayat.

Dengan demikian belajar dapat sdisimpulkan rangkaian kegiatan atau


aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan
dalam dirinya berupa penambahan pengetahuan atau kemahiran berdasarkan alat
indera dan pengalamannya.Oleh sebab itu apabila setelah belajar peserta didik tidak
ada perubahan tingkah laku yang positif dalam arti tidak memiliki kecakapan baru
serta wawasan pengetahuannya tidak bertambah maka dapat dikatakan bahwa
belajarnya belum sempurna.

Adapun yang dimaksud pembelajaran Menurut Gagne, Briggs, dan wagner


dalam Udin S. Winataputra (2008) dalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk
memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Sedangkan menurut UU Nomor
20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkingan belajar.

Jadi pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik


dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan
bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan
pengetahuan. Jadi dapat pengertian Teori belajar merupakan upaya untuk
mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita semua
memahami proses inhern yang kompleks dari belajar. Selain itu pengertian Teori
Belajar dapat pula diartikan sebagai teori yang mempelajari perkembangan
intelektual (mental) siswa.
Dalam proses mengajar belajar, penguasaan seorang guru dan cara
menyampaikannya merupakan syarat yang sangat essensial. Penguasaan guru
terhadap materi pelajaran dan pengelolaan kelas sangatlah penting, namun
demikian belum cukup untuk menghasilkan pembelajaran yang optimal. Selain
menguasai materi matematika guru sebaiknya menguasai tentang teori-teori

3
belajar, agar dapat mengarahkan peserta didik berpartisipasi secara intelektual
dalam belajar, sehingga belajar menjadi bermakna bagi siswa. Hal ini sesuai
dengan isi lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas)
Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Guru yang menyebutkan bahwa penguasaan teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik menjadi salah satu unsur kompetensi pedagogik
yang harus dimiliki guru.
Jika seorang guru akan menerapkan suatu teori belajar dalam
proses belajar mengajar, maka guru tersebut harus memahami seluk beluk teori
belajar tersebut sehingga selanjutnya dapat merancang dengan baik bentuk
proses belajar mengajar yang akan dilaksanakan. Psikologi belajar atau disebut
dengan Teori Belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan intelektual
(mental) siswa.
Penjelasan berikut merangkum berbagai jenis Teori belajar, antara lain:
A. Teori Belajar Behavioristik
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai
akibat adanya interaksi antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan).
Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa
dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai
hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar
sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan pada tingkah lakunya.

Menurut teori ini hal yang paling penting adalah input (masukan) yang
berupa stimulus dan output (keluaran) yang berupa respon. Menurut toeri ini,
apa yang tejadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat
diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan
guru (stimulus) dan apa yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat
diamati dan diukur. Teori ini lebih mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadinya
perubahan tungkah laku tersebut. Faktor lain yang juga dianggap penting adalah
faktor penguatan. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya
respon. Bila penguatan diitambahkan maka respon akan semakin kuat. Begitu
juga bila penguatan dikurangi maka responpun akan dikuatkan.

B. Teori Belajar Kognitif


Berbeda dengan teori behavioristik, teori kognitif lebih mementingkan proses
belajar dari pada hasil belajarnya. Teori ini mengatakan bahwa belajar tidak
sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, melainkan tingkah
laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi
yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Teori kognitif juga menekankan
bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh
konteks situasi tersebut. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu
proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-
aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses
berpikir yang sangat kompleks.

4
C. Teori Belajar Konstruktivistik
Konstruktivistik merupakan metode pembelajaran yang lebih
menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali
pengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi pengalaman atau
dengan kata lain teori ini memberikan keaktifan terhadap siswa
untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau
teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan
dirinya sendiri. Dalam proses belajarnya pun, memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa
sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa
menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang
subyek untuk aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam
interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur
kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi
kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur
kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif
senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan
lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses
penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses
rekonstruksi

D. Teori Belajar Humanistik


Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk
kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar
humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori
kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori
humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu
sendiri serta lebih banyak berbiacara tentang konsep-konsep pendidikan untuk
membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam
bentuk yang paling ideal.

Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa


belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan
terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah
dimilikinya. Teori humanistic berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat
dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai
aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar, secara
optimal.

Teori humanistik bersifat sangat eklektik yaitu memanfaatkan atau


merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan
manusia dan mencapai tujuan yang diinginkan karena tidak dapat disangkal
bahwa setiap teori mempunyai kelebihan dan kekurangan.

5
E. Teori Teori Sibernetik
Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang relatif baru
dibandingkan dengan teori-teori yang sudah dibahas sebelumnya. Menurut teori
ini, belajar adalah pengolahan informasi. Proses belajar memang penting dalam
teori ini, namun yang lebih penting adalah system informasi yang diproses yang
akan dipelajari siswa. Asumsi lain adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun
yang ideal untuk segala situasi, dan yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara
belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi.

F. Teori Belajar Revolsi Sosiokultural


Pembahasan pada teori ini diarahkan pada hal-hal seperti teori belajar Piagetin
dan teori belajar Vygotsky. Berikut ini pembahasan tentang kedua teori tersebut.

1. Teori Belajar Piagetin


Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu
proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dalam bentuk perkembangan
syaraf. Kegiatan belajar terjadi seturut dengan pola tahap-tahap perkembangan
tertentu dan umur seseorang. Perolehan kecakapan intelektual akan
berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka
rasakan dan ketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu
fenomena baru sebagai pengalaman dan persoalan. Untuk memperoleh
keseimbangan atau equilibrasi, seseorang harus melakukan adaptasi dengan
lingkungannya. Proses adaptasi terdiri dari asimilasi dan akomodasi. Melalui
asimilasi siswa mengintegrasikan pengetahuan baru dari luar ke dalam struktur
kognitif yang telah ada dalam dirinya.sedangkan melalui akomodasi siswa
memodifikasi struktur kognitif yang ada dalam dirinya dengan pengetahuan yang
baru.

Teori konflik-sosiokognitif Piaget ini mampu berkembang luas dan merajai bidang
psikologi dan pendidikan. Namun bila dicermati ada beberapa aspek dari teori
Piaget yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kontraproduktif pada
kegiatan pembelajaran jika dilihat dari perspektif revolusi-sosiokultural saat ini.
Dilihat dari asal usul pengetahuan, Piaget cenderung menganut teori
psikogenesis. Artinya, pengetahuan berasal dari dalam diri individu. Dalam
proses belajar, siswa berdiri terpisah dan berinteraksi dengan lingkungan social.
Ia mengkonstruksi pengetahuannya lewat tindakan yang dilakukannya terhadap
lingkungan sosial.

Di samping itu, dalam kegiatan belajar Piaget lebih mementingkan interaksi


antara siswa dengan kelompoknya. Perkembangan kognitif akan terjadi dalam
interaksi antara siswa dengan kelompok sebayanya dari pada dengan orang-
orang yang lebih dewasa. Pembenaran terhadap teori ini jika diterapkan dalam
kegiatan pendidikan dan pembelajaran akan kurang sesuai dengan perspektif
revolusi-sosiokultural yang sedang diupayakan saat ini.

2. Teori Belajar Vygotsky

6
Pandangan yang mampu mengakomodasi teori revolusi-sosiokultural dalam teori
belajar dan pembelajaran dikemukakan oleh Lev Vygotsky. Ia mengatakan bahwa
jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya.
Artinya, untuk memahami pikiran seseorang bukan dengan cara menelusuri apa
yang ada di balik otaknya dan pada kedalaman jiwanya, melainkan dari asal usul
tindakan sadarnya, dari interaksi social yang dilatari oleh sejarah hidupnya.

Mekanisme teori yang digunakan untuk menspesifikasi hubungan antara


pendekatan sosio-kultural dan pemfungsian mental didasarkan pada tema
mediasi semiotik, yang artinya adalah tanda-tanda atau lambang-lambang
beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penengah antara
rasionalitas dalam pendekatan sosio-kultural dan manusia sebagai tempat
berlangsungnya proses mental.

Menurut Vygotsky, perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif


seseorang seturut dengan teori sociogenesis. Dimensi kesadaran social bersifat
primer, sedangkan dimensi individualnya bersifat derivative atau merupakan
turunan dan bersifat sekunder. Artinya, pengetahuan dan perkembangn kognitif
individu berasal dari sumber-sumber sosial di luar dirinya. Konsep-konsep
penting teori sociogenesis Vygotsky tentang perkembangan kognitif yang sesuai
dengan revolusi-sosiokultural dalam teori belajar dan pembelajaran adalah:
a. Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development)
Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumuh dan berkembang
melewati dua tataran, yaitu tataran sosial tempat orang-orang memebentuk
lingkungan sosialnya, dan tataran psikologis di dalam diri orang yang
bersangkutan. Pandang teori ini menempatkan intermental atau lingkungan
sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan
serta perkembangan kognitif seseorang.

b. Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)


Menurut Vygotsky, perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke
dalam dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan perkembangan
potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang
untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara
mandiri. Ini disebut kemampuan intramental. Sedangkan tingkat perkembangan
potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas
dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau ketika
berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten, ini disebut
kemampuan itermental. Jarak antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan
aktual dan potensial ini disebut zona perkembangan proksimal. Zona
perkembangan proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-
kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses pematangan.
Gagasan Vygotsky tentang zona perkembangan proksimal ini mendasari
perkembangan teori belajar dan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas dan
mengoptimalkan perkembangan kognitif anak. Beberapa konsep kunci yang perlu
dicatat adalah bahwa perkembangan dan belajar bersifat interdependen atau
saling terkait, perkembangan kemampuan seseorang bersifat context dependent

7
atau tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, dan sebagai fundamental dalam
belajar adalah partisipasi dalam kegiatan sosial.

c. Mediasi
Ada dua jenis mediasi, yaitu mediasi metakognitif dan mediasi kognitif. Mediasi
metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan untuk
melakukan regulasi diri, meliputi self planning, self-monitoring, self-checking, dan
self-evaluating. Sedangkan mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif
untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu atau
subject-domain problem serta berkaitan pula dengan konsep spontan (yang bisa
salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya).

Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget
yang kemudian berkembang ke dalam aliran konstruktivistik juga masih
dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang
dipandang dapat menimbulkan implikasi kontraproduktif dalam kegiatan
pembelajaran, karena lebih mencerminkan ideologi

G. Teori Belajar Gestalt


Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai
“bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau
peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang
terorganisasikan.

H. Teori Belajar Kecerdasan Ganda


Kecerdasan adalah suatu kemampuan untuk memecahkan masalah atau
menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan di dalam latar budaya tertentu.
Seseorang dikatakan cerdas bila ia dapat memecahkan masalah yang dihadapi
dalam hidupnya dan mampu menghasilkan sesuatu yang berharga atau berguna
bagi dirinya maupun umat manusia. Howard Gardner memperkenalkan hasil
penelitiannya yang berkaitan dengan teori kecerdasan ganda, yaitu teorinya
tentang menghilangkan anggapan yang ada selama ini tentang kecerdasan
manusia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada satupun kegiatan
manusia yang hanya menggunakan satu macam kecerdasan, melainkan seluruh
kecerdasan yang ada. Semua kecerdasan tersebut bekerja sama sebagai satu
kesatuan yang utuh dan terpadu. Komposisi keterpaduannya tentu saja berbeda-
beda pada masing-masing orang. Namun kecerdasan tersebut dapat diubah dan
ditingkatkan.

I. Teori Pembelajaran social


Konsep motivasi belajar berkaitan erat dengan prinsip bahwa perilaku
yang memperoleh penguatan(reinforcement) di masa lalu lebih memiliki
kemungkinan diulang dibandingkan dengan perilaku yang tidak memperoleh
penguatan atau perilaku yang terkena hukuman (punishment). Dalam
kenyataannya, daripada membahas konsep motivasi belajar, penganut teori
perilaku lebih memfokuskan pada seberapa jauh siswa telah belajar untuk

8
mengerjakan pekerjaan sekolah dalam rangka mendapatkan hasil yang
diinginkan (Bandura, 1986 dan Wielkeiwicks, 1995).

J. Teori Belajar Sosial


Dalam dasawarsa terakhir, penganut teori konstruktivisme memperluas
fokus tradisionalnya pada pembelajaran individual ke dimensi pembelajaran
kolaboratif dan sosial. Konstruktivisme sosial bisa dipandang sebagai perpaduan
antara aspek-aspek dari karya Piaget dengan karya Bruner dan karya Vyangotsky.
Istilah Konstruktivisme komunal dikenalkan oleh Bryn Holmes di tahun 2001.
Dalam model ini, "siswa tidak hanya mengikuti pembelajaran seperti halnya
air mengalir melalui saringan namun membiarkan mereka membentuk
dirinya." Dalam perkembangannya muncullah istilah Teori Belajar Sosial dari
para pakar pendidikan. Pijakan awal teori belajar sosial adalah bahwa
manusia belajar melalui pengamatannya terhadap perilaku orang lain. Pakar
yang paling banyak melakukan riset teori belajar sosial adalah Albert Bandura
dan Bernard Weiner.

K. Teori Belajar Van Hiele


Dalam pembelajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan
oleh van Hiele (1954) yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental
anak dalam geometri. van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang
mengadakan penelitiandalam pembelajaran geometri. Penelitian yang
dilakukan van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-
tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. van
Hielemenyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri

L. Teori Belajar Bermakna


David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan.
Ausubel memberi penekanan pada proses belajar yang bermakna.
Teori belajar Ausubel terkenal dengan belajar bermakna dan
pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Menurut Ausubel belajar
dapat dikalifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan
dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa
melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara
bagimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang
telah ada, yang meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan
diingat oleh siswa.

Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan


pada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan
informasi itu dalam bentuk final, maupun dengan bentuk belajar
penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian
atau seluruh materi yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa
menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang
telah dimilikinya, dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Akan tetapi, siswa
itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu, tanpa

9
menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur
kognitifnya, dalam hal ini terjadi belajar hafalan

Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi


baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang. Dalam belajar bermakna informasi baru
diasimilasikan pada subsume-subsume yang telah ada. Ausubel
membedakan antara belajar menerima dengan belajar menemukan. Pada
belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghapalkannya,
sedangkan pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi
siswa tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu terdapat
perbedaan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna, pada
belajar menghapal siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya,
sedangkan pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu
dikembangkannya dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.

Menurut Ausubel (dalam Dahar, 1988:116) prasyarat-prasyarat belajar


bermakna ada dua sebagai berikut. (1) Materi yang akan dipelajari
harus bermakna secara potensial; kebermaknaan materi tergantung dua
faktor, yakni materi harus memiliki kebermaknaan logis dan
gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif
siswa. (2) Siswa yang akan belajar harus bertujuan untuk melaksanakan
belajar bermakna. Dengan demikian mempunyai kesiapan dan niat untuk
belajar bermakna.

B. PERAN FILSAFAT DALAM PENGEMBANGAN TEORI BELAJAR


Agar memperoleh pijakan berpikir, tentunya cukup strategis jika sebelum
mengenal berbagai teori belajar dipahami dulu peran berbagai filsafat pendidikan
dalam mengembangkan teori belajar.

Filsafat penidikan berkembang sejak keperluan atas pendidikan sendiri


berkembang, kebutuhan semacam ini dirasakan menguat sejak zaman yunani kuno.
Tidak heran jika kita bicara tentang filsafat pendidikan muncul nama-nama seperti
Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Banyak sekali mazhab atau aliran tentang filsafat
pendidikan yang berkembang, tetapi dari sekian banyak aliran itu hanya aliran
behaviorisme yang secara utuh menyajikan sekaligus teori belajar, teori
behaviorisme. Sementara itu, kebanykan teori belajar yang lain muncul karena
menerapkan gagasan dasar, basic ideas, dari beberapa atau sejumlah filsafat
pendidikan. Misalnya teori belajar konstruktivisme berkembang sebagai
implementasi gagasan dasar dari filsafat pragmatisme dan rekonstruksiinisme sosial.
Filsafat pragmatisme kemudian berkembang menjadi progresivisme.

Mengapa filsafat pendidikan itu penting? Tidak dapat ipungkiri bahwa setiap
praktik pendidikan di sekolah, setiap pembelajaran oleh guru, selalu dilandasi oleh
seperanvkat keyakinan, yang bersumber kepada filsafat penidikan, dan berpengaruh
terhadap apa dan bagaimana seharusnnya siswa dibelajarkan. Filsafat sebagai karya
pikir manusia mampu menunjukkan pengertian hakiki tentang sesuatu dan

10
digunakan oleh manusia. Filsafat pendidikan menjawab berbagai pertanyaan tentang
tujuan persekolahan, peranan guru, dan tentang apa yang harus diajarkan,
kurikulum, dan dengan metode apa hal itu harus diajarkan. Atas dasar itu pendidikan
menyususn deskripsi tentang apa yang seyogianya dapat dilakukan melalui
pendidikan untuk mengembangkan potensi manusia.

Dalam konteks bagaimana pembelajaran dilakukan, secara historis filsafat


pendidikan dibagi menjadi dua, yaitu filsafat pendidikan yang berasumsi guru
sebagai pusat pembelajaran (teacher-centered philosophies) dan filsafat pendidikan
yang berasumsi siswa sebagai pusat pembelajaran (student-centered philosophies).
Teacher-centered philosophy dikatakan cenderung lebih otoriter dan konservatif,
dan menekankan pengembangan nilai-nilai dan pengetahuan yang telah hadir sejak
dulu samapi sekarang. Aliran pokok dari filsafat yang berpusat kepada guru, yaitu
esensialisme dan perenialisme. Student-centered philosopy lebih berfokus kepada
kebutuhan pembelajaran, kontenporer dan relevan, serta menyiapkan siswa untuk
perubahan di masa depan. Sekolah dipandang sebagai suatu lembaga yang bekerja
dengan kaum muda untuk membangun dan memperbaiki masyarakat atau
membantu para siswa menyadari tanggung jawab indivifual mereka di masyarakat.
Aliran pokok dari paham ini adalah progresivisme, rekonstruksionisme sosial, dan
eksistensialisme. Dalam paham ini siswa dan guru bekerja sama untuk menentukan
apa saja yang harus dipelajari dan bagaimana cara terbaik untuk mempelajarinya.

C. TEORI FUNSIONALISTIK
Fungsionalisme memandang bahwa pikiran, proses mental, persepsi indrawi, dan
emosi adalah adaptasi organisme biologis. Fungsionalisme lebih menekankan pada
fungsi-fungsi dan bukan hanya fakta-fakta dari fenomena mental, atau berusaha
menafsirkan fenomena mental dalam kaitan dengan peranan yang dimainkannya
dalam kehidupan. Fungsionalisme juga memandang bahwa psikologi tak cukup
hanya mempersoalkan apa dan mengapa terjadi sesuatu (strukturalisme) tetapi juga
mengapa dan untuk apa (fungsi) suatu tingkah laku tersebut terjadi. Fungsionalisme
lebih menekankan pada aksi dari gejala psikis dan jiwa seseorang yang diperlukan
untuk melangsungkan kehidupan dan berfungsi

Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan yang berupa stimulus dan
keluaran yang berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada
siswa. Sedangkan respons adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus
yang diberikan oleh guru.[1] Ada beberapa tokoh dalam aliran teori belajar
fungsionalistik,antara lain:

a. Teori Belajar Menurut Edward Lee Thorndike (1874-1949)


Menurut Edwar Lee Thorndike lahir di Williamsburg pada tahun 1874. Thorndike
mengatakan belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respons, dimana
perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau
yang non konkret (tidak bias diamati).[2]

Berdasarkan eksperimen yang dilakukannya ia memperoleh tiga buah hukum dalam


belajar, yaitu law of effect, law of exercise, dan law of readiness. Law of effect

11
adalah tercapainya keadaan yang memuaskan akan memperkuat hubungan antara
stimulus dan respon. Maksudnya, bila respons terhadap stimulus menimbulkan
sesuatu yang memuaskan. Bila hubungan S-R tidak diikat oleh sesuatu yang
memuaskan maka respons itu akan melemah atau bahkan tidak akan ada respons
sama sekali. Secara umum law of effect yaitu sesuatu yang menimbulkan efek yang
mengenakkan akan cenderung diulangi atau sebaliknya.

Law of exercise yaitu respons terhadap stimulus dapat diperkuat seringnya respons
digunakan. Hal ini menghasilkan implikasi bahwa praktik, khususnya pengulangan
dalam pengajaran adalah penting dilakukan. Sedangkan law of readiness yaitu dalam
memberikan respon subjek harus siap dan disiapkan. Hukum ini menyangkut
kematangan dalam pengajaran, baik kematangan fisik maupun mental dan intelek.
Stimulus tidak akan direspons, atau responsnya akan lemah, bila pelajar kurang atau
belum siap[3].

Menurut Edwar Lee Thorndike sebelum guru masuk dalam kelas mulai mengajar,
maka anak-anak disiapkan mentalnya terlebih dahulu. Misalnya anak disuruh duduk
yang rapi, tenang dan sebagainya. Guru mengadakan ulangan yang teratur, bahkan
dengan ulangan yang ketat atau. Guru memberikan bimbingan, pemberian hadiah,
pujian, bahkan bila perlu hukuman sehingga memberikan motivasi proses belajar
mengajar.

Ada kelemahan dalam teori belajar menurut Thorndike yaitu, pertama, memandang
belajar hanya merupakan asosiasi stimulus dan respons. Dengan demikian yang
dipentingkan dalam belajar adalah memperkuat asosiasi dengan latihan-latihan atau
ulangan yang terus-menerus. Kedua, proses belajar yang dipandang mekanistik
antara stimulus dan respons.

b. Teori Belajar Menurut Burrhus Frederic Skinner


Burrhus Frederic Skinner (1904-1990) lahir di Susquehanna, Pennsylvania. Dia
meraih gelar master pada 1930 dan Ph.D pada 1931 dari Harvard University. Gelar
B.A. diperoleh dari Hamilton College, New York, dimana dia mengambil jurusan
Sastra Inggris. Tahun 1936 dan 1945, Skinner mengajar Psikologi di University of
Minnesota dan menghasilkan salah satu bukunya yang berjudul, The Behavior of
Organisme.

Skinner menganggap reinforcement merupakan factor penting dalam belajar.


Peneguhan diartikan sebagai suatu konsekuensi perilaku yang meperkuat perilaku
tertentu.ada dua macam peneguhan yaitu positif dan negative. Penguhan positif
adalah rangsangan yang semakin memperkuat atau mendorong suatu tindak
balas[4]. Sedangkan peneguhan negative adalah peneguhan yang mendorong
individu untuk menghindari suatu tindak balas tertentu yang tidak memuaskan.[5]

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat
negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman
harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon
yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar

12
respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum
karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan
kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah
ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan
negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk
memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan
penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

Skinner juga berpendapat tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang dan
respons. Skinner membuat perincian dengan membedakan respons menjadi dua
bagian:

Respondent Response
Respons ini ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu, misalnya keluar air
liur setelah melihat makanan tertentu. Pada umumnya perangsang-perangsang yang
demikian ini mendahului respon yang ditimbulkannya. Jenis respons ini sangat
terbatas pada manusia saja.

Operante Response
Respons ini adalah respon yang timbul dan berkembang yang dikuti oleh
perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian itu disebut reinforcing
stimulus karena perangsang itu memperkuat respons yang telah dilakukan oleh
oraganisme.[6]

Skinner melakukan eksperimen melalui tikus dalam sangkar, teori ini terkenal
dengan Skinner Box. Dimana tikus dalam kondisi lapar di dalam sangkar mencium
benda-benda yang ada disekitarnya, maka tikus berlari ke sana kemari, aksi ini
disebut “emitted behavior”(tingkah laku yang terpancar). Kemudian pada gilirannya,
secara kebetulan salah satu emitted behavior dapat menekan pengungkit sehingga
tekanan pengungkit mengakibatkan munculnya butir-butir makanan ke dalam
wadahnya. Butir-butir makanan yang muncul merupakan reinforcement bagi
penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah disebut tingkah laku
operant.[7]

c. Teori Belajar Menurut Clark Leonard Hull


Clark Leonard Hull mengikuti jejak Thorndike dalam uasahanya mengembangkan
teori belajar. Prinsip-prinsip yang digunakannyamirip apa yang dikemukakan oleh
para behavioris, yaitu dasar stimulu, respons dan adanya penguatan
(reinforcement). Clark Hull mengemukakan teorinya, yaitu bahwa suatu kebutuhan
atau keadaan terdorong oleh motif, tujuan, maksud, aspirasi harus ada di dalam diri
seseorang yang belajar, sebelum suatu respons dapat diperkuat atas dasar
pengurangan kebutuhan. Dalam hal ini, efisiensi belajar pada besarnya tingkat
pengurangan dan kepuasan motif yang menyebabkan timbulnya usaha belajar oleh
respons-respons yang dibuat oleh individu tersebut.[8]

13
Menurut Hull dalam proses belajar ada dua teori yaitu adanya incentive motivation
(motivasi incentiv) dan drive stimulus reduction (pengurangan stimulus pendorong).
Penggunaan praktis teori belajar Hull untuk kegiatan di dalam kelas adalah: pertama,
ruang kelas harus diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan terjadinya proses
belajar. Kedua, pelajaran harus dimulai dari yang sederhana atau mudah menuju
yang lebih kompleks. Ketiga, kecemasan harus ditimbulkan untuk mendorong
kemauan belajar. Latihan didistribusikan dengan hati-hati supaya tidak terjadi
inhibisi[9].

C. Kelebihan dan Kekurangan Teori Fungsionalistik


Kelebihan teori Fungsionalistik
Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar.
Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri.
Jika menemukan kesulitan, baru ditanyakan kepada guru yang bersangkutan.
Mampu membentuk suatu perilaku yang dinginkan mendapatkan penguatan positif
dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative.
Dapat mengganti stimulus yang satu dengan yang lainnya dan seterusnya sampai
respons yang dinginkan muncul.
Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membentuk praktik dan
pembiasaan yang mengandung unsur-unsur kecepatan, spontanitas dan daya tahan.
Teori fungsionalistik juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominasi peran orang dewasa, dengan berbagai rangsangan berupa
penghargaan-penghargaan.[10]
Kekurangan Teori Fungsionalistik
Sebuah konsekuensi bagi guru untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang
sudah siap.
Tidak setiap mata pelajaran bisa menggunakan metode ini.
Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan oleh guru.
Cendrung untuk mengarahkan siswa untuk berfikir linier, tidak kreatif, tidak
produktif, dan mendudukan siswa sebagai individu yang pasif.[11]
Pembelaaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mikanistik dan hanya
berorientasi pada hasil yang didapat dan diukur.
Penerapan metode yang salah akan mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran
yang tidak menyenangkan[12].
Pandangan teori ini juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.
Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai
kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya
terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan fungsionalistik hanya mengakui adanya stimulus dan
respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran
atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.[13]

D. Aplikasi Teori Fungsionalistik dalam Pembelajaran


Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah

14
aliran fungsinonalistik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori fungsionalistik dengan model hubungan stimulus
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon
atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.

Aplikasi teori fungsionalistik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa


hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
berpijak pada teori fungsionalistik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif,
pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga
belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pelajar. Fungsi mind
atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan
dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan
tersebut.

Tujuan pembelajaran menurut teori fungsionalistik ditekankan pada penambahan


pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut
pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada
ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke
keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga
aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks atau buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks atau buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.[14]

Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang
benar. Maksudnya bila pelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan
guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran,
dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan
evaluasi pada kemampuan pelajar secara individual.[15]

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan teori belajar ini adalah ciri-ciri
kuat yang mendasarinya sebagai berikut:[16]

Mementingkan pengaruh lingkungan


Mementingkan peranan reaksi
Mengutakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus dan
respons.
Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya.
Mementingkan pembiaasaan melalui latihan dan pengulangan.
Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang dinginkan.

15
E. Kesimpulan
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan yang berupa stimulus dan
keluaran yang berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada
siswa. Sedangkan respons adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus
yang diberikan oleh guru.

Menurut Edwar Lee Thorndike Berdasarkan eksperimen yang dilakukannya ia


memperoleh tiga buah hukum dalam belajar, yaitu law of effect, law of exercise, dan
law of readiness.

Sedangkan menurut Skinner dalam pembelajaran ada teori Respondent Response


dan Operante Response serta adanya peneguhan positif dan peneguhan
negatifdalam proses belajar mengajar. Menurut Hull dalam proses belajar ada dua
teori yaitu adanya incentive motivation (motivasi incentiv) dan drive stimulus
reduction (pengurangan stimulus pendorong). Penggunaan praktis teori belajar Hull
untuk kegiatan di dalam kelas adalah: pertama, ruang kelas harus diatur sedemikian
rupa sehingga memudahkan terjadinya proses belajar. Kedua, pelajaran harus
dimulai dari yang sederhana atau mudah menuju yang lebih kompleks. Ketiga,
kecemasan harus ditimbulkan untuk mendorong kemauan belajar. Latihan
didistribusikan dengan hati-hati supaya tidak terjadi inhibisi.

Aplikatif dari teori ini dalam pembelajaran ada kelemahan dan kelibihan teori ini
dalam proses pembelajaran pada saat ini masih banyak menggunakan teori belajar
fungsionalistik walaupun seiring berkembangnya tehnologi dan ilmu pengetahuan,
sehinggu dibutuhkan kepekaan guru untuk dapat melihat kondisi dan situasi belajar
dikelas dalam menggunakan teori yang tepat.

16
BAB III
KESIMPULAN

17
DAFTAR PUSTAKA

https://ainamulyana.blogspot.com/2015/12/mengenal-berbagai-jenis-teori-
belajar.html
http://biologi-lestari.blogspot.com/2013/03/teori-teori-belajar-dan-
pembelajaran.html
https://www.areapendidikan.com/2017/12/peran-filsafat-pendidikan-dalam.html
Budiningsih, Asri. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Renika Cipta. 2005.

Muhammad Thobroni & Arif Mustofa. Belajar dan Pembelajara Pengembangan


Wacana dan Praktik Pembelajara dalam Pembangunan Nasional, Jogjakarta: AR-
Ruzz Media. 2011.

Suprijono, Agus. Coopertatatif Learning: Teori dan Aplikasi PIKEM,


Jogjakarta: Pustaka Pelajar.2009.

Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT


Remaja Rosda Karya. 2005.

Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: PT Remaja


Rosda Karya. 1995.

Uno, Hamzah. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta: PT Bumi


Aksara. 2006.

18

Anda mungkin juga menyukai