Anda di halaman 1dari 3

Dekonstruksi Hukum Derrida

Sejak zaman yunani kuno, keadilan dilukiskan sebagai arete


(keutamaan) yang patut dikejar, sebuah keutamaan yang
menjadi landasan seluruh hubungan sosial dan politis. Orang
romawi memiliki warisan yang dihadiahkan kepada kita, yakni
dewi Iustitia, Dewi Keadilan. Dengan kedua matanya ditutupi
kain, dewi ini memegang sebuah neraca di tangannya, dan
sebilah pedang di tangan yang lainnya. Gambaran ini
melambangkan keadilan secara simbolis. Kedua matanya yang
tertutup melambangkan sifat tidak memihak. Neraca itu
mengacu pada ide setiap orang sesuai dengan haknya, yakni
gagasan tentang kesetaraan.dan pedang itu menggambarkan
tindakan memutuskan dari berdsarkan otoritas tertentu. Dari
ungkapan simbolis ini jelaslah bahwa keadilan bersifat dinamis
dan banyak makna. Mengembalikan keadilan itu pada satusatunya makna bukan hanya tidak mungkin, melainkan juga
bertentangan dengan makna keadilan itu sendiri. Misalnya, jika
orang menerangkan sikap tidak memihak sebagai perlakuan
yang sama tanpa memandang kebutuhan pribadi-pribadi
terkait, dan bila seseorang melakukan hal tersebut secara
konsekuen, perlakuan tersebut justru bisa mengarah kepada
ketidakadilan, karena keadilan juga menuntut diperhatikannya
setiap individu dengan kebutuhannya yang berbeda-beda.
Pelaksanaan secara konsekuen prinsip kesamaan ternyata
dapat membawa ketidakadilan.
Pertanyaan tentang otoritas yang mendasari keadilan juga
tidak mudah dijawab. Mengapa kita harus bertindak adil, bila
bertindak tidak adil dalam situasi-situasi tertentu jutru
menguntungkan, sementara bertindak adil merugikan? Dalam
dialog Politea, Plato merumuskan pemikiran ini melalui mulut
seorang sofis. Thyrasimachos, sofis tersebut berpendapat,
bahwa keadilan adalah keuntungan bagi yang lebih kuat.
Meksudnya, keadilan adalah konsep tatanan yang terkait
dengan kepentingan penguasa. Ketidakadilan yangdilakukan
dengan kelihaian yang luar biasa di mata rakyat akan
mengesankan suatu keadilan dan karenanya akan lebih

berdaya daripada keadilan yang seungguhnya. Jadi, di mana


otoritas keadilan, kalau tidak pada penguasa yang lihai itu?
Manusia religius percaya pada kekuasaan keadilan itu sendiri.
Dia berpikir bahwa meskipun keadilan secara empiris tidak
berdaya, ketakberdayaannya itu hanya tampaknya saja. Bila
kita percaya pada otoritas Ilahi, demikian pendiriannya,
kepercayaan itu akan menjamin kita bahwa keadilan pada
akhirnya akan mengalahkan ketidakadilan. Keadilan terletak di
luar hubungan-hubungan empiris dan dijamin oleh Allah. Orang
Yunani kuno, misalnya, percaya akan kekuatan keadilan yang
terkait dengan kekuasaan dewa zeus. Orang Yahudi, Kristen
maupun Islam percaya bahwa Allah mereka maha adil, yaitu
keadilan Allah melampaui keadilan manusia di dunia yang fana
ini. Pertanyaannya sekarang, di manakah letak kekuatan
keadilan, bila kepercayaan keagamaan tidak lagi menjadi tolakukur di dalam ruang publik dan otoritas religius telah
kehilangan daya pengikatnya? Di manakah dasar keadilan, bila
agama surut ke ruang privat atau ditinggalkan manusia?
Sejak Kant, ada upaya mendasarkan keadilan tidak lagi secara
religius, melainkan secara filosofis. Para filsuf modern
berpendapat bahwa dasar keadilan terletak pada rasio itu
sendiri, yakni pada akal-budi manusia. Di zaman kita Jurgen
Habermas dan John Rawls, misalnya, mendasarkan keadilan
pada praksis komunikasi demokratis tanpa kekerasan. Namun
dengan pendasaran rasional macam ini justru timbul
pertanyaan yang lebih meresahkan: Apakah pemberlakuan
suatu hukum merupakan suatu yang murni rasional? Apakah
keadilan dapat diidentikkan dengan hukum? Apakah yang adil
sama dengan yang sesuai hukum?
Karya Jacques Derrida, Force de loi. fondement mystique de
lautorite--- yang saya baca dari terjemahan bahasa
Jermannya--- bertolak dari permasalahan yang baru saja
diuraikan di atas. Dalam buku itu, Derrida tidak bermaksud
menjawab permasalahan keadilan secara tuntas. Derrida justru
menawarkan satu percobaan yang provokatif untuk mencairkan

setiap pembakuan makna keadilan dan mempersoalkan secara


radikal setiap pemastian makna keadilan. Percobaan ini
menurut hemat saya sangat menarik, karena istilah
dekonstruksi yang erat kaitannya dengan pemikiran Derrida
dan biasanya dihubungkan dengan cara membaca teks secara
radikal, kali ini tidak memusatkan diri pada interpretasi sastra,
melainkan juga menawarkan sebuah pemahaman tentang
politik. Percobaan tersebut juga provokatif, karena dekonstruksi
yang beroperasi dengan absennya suatu aturan, suatu norma,
atau suatu kriteria yang pasti (Gesetzeskraft, 9) mencoba
memberikan kontribusi terhadap diskusi tentang hukum dan
keadilan, yaitu tentang aturan, norma dan kriteria yang
menentukan apakah sesuatu dapat disebut adil atau tidak adil.
Dalam uraian ini saya tidak mau masuk ke seluruh teks Derrida.
Saya memusatkan pembahasan saya pada dekonstruksi
Derrida atas konsep keadilan. Saya akan membandingkan
pendirian Derrida itu dengan dua pendirian lain. Uarian ini akan
saya
susun
dalam
lima
tahap,
tentunya
setelah
memperkenalkan konsep dekonstruksi itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai