Anda di halaman 1dari 43

15

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teori.

1. Penerjemahan

1.1. Definisi Penerjemahan

Penerjemahan dapat diartikan sebagai pengalihbahasaan keseluruhan

teks, kalimat demi kalimat dengan mempertimbangkan aspek emosi, gaya

dan nuansa budaya dari penulis maksud dari teks aslinya aslinya. Tujuan

pokok menerjemahkan adalah untuk mengalihkan pesan yang tertulis dalam

BSu ke dalam BSa dengan mengutamakan kesepadanan makna (Newmark,

1981:7; Newmark, 1988: 5). Tercapainya kesepadanan makna sangatlah

ditentukan oleh kompetensi atau kemampuan penerjemah dalam memahami

TSu dan menuangkan pesan makna ke dalam TSa.

Lebih lanjut, Nababan (2003: 24) mendefinisikan penerjemahan sebagai

pengalihan amanat dan pengungkapannya dalam bahasa sasaran dengan

mempertimbangkan gaya bahasa yang tidak terpisahkan dari setiap proses

penerjemahan. Oleh karenanya, seorang penerjemah harus menentukan

ragam bahasa terjemahan sesuai dengan jenis teks yang sedang digunakan.

Sehubungan dengan ini, penerjemahan perlu kehati-hatian karena kesalahan

dalam satu tahap akan menimbulkan kesalahan dalam tahap lainnya.

Selanjutnya, Larson (1998: 3) mendefinisikan penerjemahan sebagai

pengalihan makna dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran melalui tiga

15
16

(3) langkah pendekatan, yakni: 1) mempelajari leksikon, struktur

gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari teks bahasa

sumber, 2) menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya,

dan 3) mengungkapkan kembali makna yang sama dengan menggunakan

leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran.

Nida dan Taber (1982: 12) menjelaskan bahwa penerjemahan adalah

sebuah proses untuk menghasilkan padanan alami yang paling mendekati

dari pesan Bsu ke dalam bahasa penerima, pertama pada tingkat makna dan

kedua pada tingkat gaya. Tampaknya pendapat ini mirip dengan pendapat

Nababan (2003) bahwa penerjemahan harus juga memperhatikan amanat

dan pengungkapan maknanya dengan mempertimbangkan gaya bahasanya.

Penerjemahan haruslah bertujuan utama pada kegiatan reproduksi

pesan. Penerjemah, dalam mereproduksi pesan ke dalam Bsa harus

melakukan banyak penyesuaian gramatikal dan juga leksikal. Untuk

menghasilkan padanan alami yang ekuivalen, pesan Bsu lebih diutamakan

daripada bentuknya, sehingga kadang-kadang penerjemah melakukan

perubahan yang cukup ketat terhadap bentuk teks demi menjaga pesan agar

tetap ekuivalen atau sepadan. Perubahan bentuk tersebut hanya terbatas pada

struktur ujaran atau kalimat, karena penerjemah tetap harus menjaga

kesepadanan bentuk, dalam hal ini gaya kedua teks. Sebagai contoh, sebuah

teks dengan proses verbal harus diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran

dalam bentuk atau gaya sebuah teks juga harus verbal. Jika sebuah klausa

dengan partisipannya adalah token di Bsu maka harus diterjemahkan juga


17

sebaga token di Bsa. Hal ini bila dilihat dari segi leksikogramatikalnya.

Contoh lain, sebuah teks pidato yang bersifat persuasif di Bsu, maka di Bsa

juga harus bersifat persuasif.

Dari pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa

penerjemahan adalah proses pengalihan pesan atau makna dari bahasa

sumber ke bahasa sasaran dengan mempertimbangkan aspek kesepadanan.

Kesepadanan makna di sini meliputi kesepadanan struktur makro hingga

mikro, leksikal maupun gramatikal, tekstur teks, dan nuansa gaya

bahasanya.

1.2. Proses Penerjemahan

Proses penerjemahan adalah serangkaian proses atau tahapan yang dilalui

oleh penerjemah (Nida dan Taber, 1982: 33; Nababan, 1999: 24; Machali,

2009: 9). Proses yang dimaksud adalah proses kognitif untuk mengalihkan

pesan atau amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dari awal

menerjemahkan sampai akhir. Secara umum proses penerjemahan dibagi

menjadi tiga tahap yaitu analisis, pengalihan/transfer dan rekonstruksi.

Menurut Nida dan Taber (1982: 33-34) tahapan-tahapan tersebut sebagai

berikut:
18

A (source) B (receptor)

(analysis) (restructuring)

X (Transfer) Y

Gambar 2.1 Proses Penerjemahan menurut Nida dan Taber (1982: 33)

Dari gambar di atas bisa disimpulkan bahwa penerjemahan melibatkan

tiga proses atau tahap. Pertama adalah tahap analisis. Pada tahap ini

penerjemah berusaha mencari makna dengan mempelajari teks sumber baik

bentuk maupun isinya. Penerjemah berusaha memahami dan menangkap

pesan teks BSu. Penguasaan dan pemahaman penerjemah atas struktur dan

sistem BSu (khususnya semantis dan sintaksis), konteks situasi dan budaya,

serta pengetahuan umum sangat membantu dalam tahap analisis ini.

Kedua adalah tahap pengalihan atau transfer. Yakni mengalihkan bentuk

untuk mendapatkan makna yang sepadan. Mengalihkan bentuk di sini

maksudnya adalah dengan mengganti unsur teks BSu ke dalam teks BSa

yang sepadan, sehingga diperoleh makna yang setepat-tepatnya atau paling

tidak yang sedekat-dekatnya. Masalah utama dalam penerjemahan adalah

menemukan padanan yang tepat (Catford, 1965; Bassnett, 1988; Baker,

1992; Nababan, 2008).

Padanan yang dimaksudkan adalah penggantian materi tekstual dari satu

bahasa dengan materi tekstual yang sama dalam bahasa lain. Dalam hal ini
19

padanan menjadi faktor penting karena padanan itu sendiri memiliki gradasi

makna yang berbeda-beda. Sebab, penerjemah akan dihadapkan pada

pilihan-pilihan kata untuk diterjemahkan dengan tepat ke dalam BSa.

Masalah menentukan padanan kadang-kadang sangat sulit dan dilematis

karena sebuah kata mempunyai makna sebanyak situasi atau konteksnya.

Ketiga adalah tahap restrukturisasi atau penyesuaian. Maksudnya adalah

penyesuaian hasil penerjemahan dengan kaidah dan pemikiran pembaca BSa

dalam bentuk bahasa yang sewajar mungkin. Dalam tahap ini penerjemah

diharapkan mampu memberikan nuansa alamiah terjemahan sehingga

pembaca tidak merasa seperti membaca karya terjemahan.

Tampaknya dari penjelasan Nida & Taber (1982) di atas hampir sama

dengan penjelasan Nababan (2004) dan Machali (2009) bahwa

penerjemahan sangat dipengaruhi oleh konteks situasi dan budaya pembaca

sasaran. Nababan (2004) mengatakan bahwa “terjemahan merupakan alat

komunikasi. Sebagai alat komunikasi, terjemahan mempunyai tujuan

komunikatif, dan tujuan komunikatif itu ditetapkan oleh penulis teks bahasa

sumber, penerjemah sebagai mediator, dan klien atau pembaca teks bahasa

sasaran. Penetapan tujuan itu sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan

budaya serta ideologi penulis teks bahasa sumber, penerjemah, dan klien

atau pembaca teks bahasa sasaran”.

Sebagaimana dikatakan di atas, beda perspektif dapat disengaja dan dapat

pula karena kesalahpahaman budaya. Machali (2009: 182) mendefinisikan

dalam teori penerjemahan, kasus perbedaan perspektif tersebut dapat


20

dikaitkan dengan perdebatan klasik: apakah seorang penerjemah harus setia

(loyal) kepada pengarang teks asli serta menghasilkan terjemahan yang setia

(faithful translation) ataukah ia harus berorientasi ke pembaca dan

menghasilkan terjemahan yang lebih bebas (free translation). Bagi

kepentingan dunia penerjemahan, persoalannya dapat dilihat dari segi peran

penerjemah dan tujuan penerjemahan.

Proses penerjemahan Nida dan Taber (1982) pada dasarnya sama dengan

proses penerjemahan yang digambarkan oleh Larson (1998) dalam diagram

berikut:

Translation
Source Language

Discover the meaning Re-express the meaning

Meaning

Gambar 2.2. Proses Penerjemahan menurut Larson (1998: 4)

Dalam diagram tersebut, Larson menggambarkan proses penerjemahan

yang terdiri dari tahap analisis gramatikal, leksikal dan konsep budaya yang

terkandung dalam teks sumber, kemudian makna yang telah didapat tersebut

diungkapkan kembali dalam bahasa penerima (Bsa). Proses pengungkapan

kembali tersebut secara otomatis menghasilkan teks terjemahan. Larson

menggambarkan proses tersebut tidak secara terpisah, melainkan menyatu

dalam proses re-express the meaning. Jika dilihat secara sekilas gambar

proses penerjemahan Larson terlihat lebih sederhana, namun sebenarnya


21

proses penerjemahan tersebut terdiri atas tahapan yang sama dengan proses

yang dikemukakan oleh Nida dan Taber.

1.3. Teknik dan Strategi Penerjemahan

Molina dan Albir (2002) membedakan strategi dan teknik penerjemahan

berdasarkan logika bahwa strategi berlangsung dalam benak penerjemah,

ketika seorang penerjemah memikirkan cara untuk mengatasi masalah

dalam penerjemahan. Dalam hal ini, strategi berorientasi pada proses

penerjemahan. Sedangkan teknik penerjemahan adalah cara yang dilakukan

oleh penerjemah dalam mengatasi masalah penerjemahan yang dilihat dari

produk penerjemahannya (teks terjemahan). Teknik penerjemahan

berorientasi pada hasil, dan berlangsung pada tataran mikro teks. Berikut

adalah delapan belas teknik penerjemahan yang direkomendasikan oleh

Molina dan Albir (2002):

Tabel 2.1. Teknik Penerjemahan Molina dan Albir (2002)

No Teknik Definisi
Penerjemahan
1 Adaptasi (adaptation) Mengganti unsur budaya Bsu dengan unsur
budaya Bsa
2 Amplifikasi(amplification) Menyertakan detail yang tidak tercantum
dalam Bsu, dalam bentuk informasi dan/ atau
parafrase eksplisit.
3 Peminjaman (borrowing) Mempertahankan istilah dalam Bsu. Teknik
peminjaman dapat berupa peminjaman murni
ataupun peminjaman dengan penyesuaian
(naturalisasi).
4 Kalke (calque) Teknik ini merupakan bentuk penerjemahan
literal sebuah kata atau frasa asing. Kalke
dapat bersifat leksikal maupun structural atau
gramatikal.
5 Kompensasi Konsep ini hampir sama dengan konsep
(compensation) amplifikasi, yaitu menambahkan unsur
informasi ke dalam teks Bsa karena unsur
22

tersebut hilang dalam Bsa yang disebabkan


oleh perbedaan struktur sintaksis maupun
budaya kedua bahasa.
6 Deskripsi (description) Menggantikan suatu istilah dalam Bsu dengan
deskripsi dalam Bsa.
7 Kreasi Diskursif Membuat padanan sementara yang sangat
(discursive creation) tidak sesuai dengan konteks.
8 Padanan tetap (established Menggunakan istilah atau ekspresi yang sudah
equivalence) dikenal oleh kamus, atau sudah lazim dalam
Bsa.
9 Generalisasi Menggunakan istilah yang lebih netral dan
(generalization) umum
10 Amplifikasi Linguistik Menambahkan unsur- unsur linguistic. Teknik
(linguistic amplification) ini sering dipakai dalam penerjemahan lisan
konsekutif dan sulih suara (dubbing).
11 Kompresi Linguistik Teknik ini berkebalikan dengan teknik
(linguistic compression) amplifikasi linguistik. Teknik ini memadatkan
elemen- elemen linguistik, dan diterapkan
dalam penerjemahan lisan simultan dan
penerjemahan film (subtitling).
12 Penerjemahan Literal Konsep ini sama dengan penerjemahan kata
(literal translation) demi kata. Teknik ini sejalan dengan konsep
kesepadanan formal Nida.
13 Modulasi (modulation) Teknik ini diterapkan dengan cara mengubah
sudut pandang penerjemah terhadap teks yang
dihadapinya baik secara leksikal maupun
struktural.
14 Partikularisasi Menggunakan istilah yang lebih khusus /
(particularization) spesifik dan konkret.
15 Pengurangan/reduksi Teknik ini mengurangi informasi teks Bsu di
(reduction) dalam Bsa.Tujuan dari teknik ini adalah untuk
memadatkan informasi dari bahasa sumber ke
dalam bahasa sasaran. Teknik ini adalah
kebalikan dari teknik amplifikasi.
16 Substitusi (linguistik, Dalam teknik ini, unsur linguistik diubah
paralinguistik) / menjadi unsur paralinguistik (intonasi, gerak
substitution (linguistic, tubuh / gesture), atau sebaliknya.
paralinguistic)
17 Transposisi Dengan teknik ini, penerjemah mengubah
(transposition) struktur kalimat Bsu dalam Bsa agar diperoleh
terjemahan yang logis.
18 Variasi (variation) Teknik ini mengubah unsur linguistik ataupun
paralinguistik (intonasi, gesture) yang
berpengaruh terhadap aspek variasi linguistik
yaitu perubahan ciri tekstual, gaya, dialek
sosial, dialek geografis, dan sebagainya,
23

seperti mengubah ciri dialek tokoh dalam


drama, atau mengubah warna suatu novel
ketika diadaptasi untuk anak- anak.

Dan berikut contoh dari penerapan teknik penerjemahan dari Molina dan

Albir (2002):

Tabel 2.2. Contoh penerapan teknik penerjemahan

No Teknik Contoh
Penerjemahan Bsu Bsa

1 Adaptasi (adaptation) as white as snow Seputih kapas


2 Amplifikasi(amplification) Employees of all Karyawan-karyawan
industries took part in dari semua cabang
the conference industry mengambil
bagian dalam
konferensi tersebut

3 Peminjaman murni (pure They represent Keduanya hanya


borrowing) different ends on a merepresentasikan
continuum hasil akhir yang
berbeda, namun tetap
dalam satu continuum
Peminjaman naturalisasi Others have called Peneliti lain lebih
(naturalized borrowing) them paradigms , suka menyebutnya
epistemologies and paradigm
ontologies epistemologi dan
ontologi

4 Kalke (calque) This plan involves Rancangan tersebut


several decisions melibatkan sejumlah
keputusan
5 Kompensasi or using closed-ended atau berdasarkan
(compensation) questions rather than pertanyaan-
open-ended questions pertanyaan yang
tertutup dan yang
terbuka

6 Deskripsi (description) Arini is wearing Arini memakai baju


kimono tradisional Jepang
7 Kreasi Diskursif When Indonesia Ketika Timor Timur,
(discursive creation) annexed the former sebagai bekas daerah
Portuguese colony of jajahan portugis,
24

East Timor in 1975 berintegrasi dengan


many Australians Indonesia pada tahun
understood this as 1975, banyak orang
part of the process of Australia yang
decolonization menganggapnya
sebagai proses
dekolonisasi
8 Padanan lazim conference attendees, peserta seminar
(established equivalence)
9 Generalisasi John has a big John memiliki tempat
(generalization) apartment tinggal yang besar.
10 Amplifikasi Linguistik Pardon me Bisakah diulangi lagi
(linguistic amplification) pernyataan anda?
11 Kompresi Linguistik I want you bow! Berlututlah!
(linguistic compression)
12 Penerjemahan Literal Pragmatists do not see Kaum pragmatis
(literal translation) the world as an tidak melihat dunia
absolute unity. sebagai kesatuan
. yang mutlak.

13 Modulasi (modulation) I cut my finger Jariku terpotong


14 Partikularisasi Air transportation Pesawat terbang
(particularization)
15 Pengurangan/reduksi The month of fasting Ramadhan
(reduction)
16 Substitusi (linguistik, No parking P
paralinguistik) /
substitution (linguistic,
paralinguistic)
17 Transposisi researchers’ personal pengalaman pribadi si
(transposition) experiences, peneliti,
18 Variasi (variation) By the way Ngomong-ngomong

1.4. Metode Penerjemahan

Beberapa pakar mencoba untuk mendefinisikan istilah metode. Istilah

metode berasal dari kata method dalam bahasa Inggris. metode didefinisikan

sebagai cara khusus untuk melakukan sesuatu (Mcquire Dictionary (1982)

dalam Machali dan Oxford English Dictionary (2006)). Senada dengan

pendapat di atas, menurut Molina (2002), metode penerjemahan merujuk


25

pada cara melakukan suatu proses penerjemahan yang digunakan untuk

mengungkapkan tujuan penerjemah, misalnya pilihan penerjemah secara

umum yang mempengaruhi keseluruhan teks ”Transalation refers to the

way a particular transalation process is carried out in terms of translator`s

objective”. Ada beberapa metode penerjemahan yang dapat digunakan,

penggunaannya tergantung pada tujuan penerjemahan tersebut. Lebih teknis

lagi, Newmark (1988) menjelaskan bahwa metode meliputi dua kategori.

Pertama yaitu metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sumber

(Bsu) dan kedua adalah metode yang memberikan penekanan terhadap

bahasa sasaran (Bsa).

Metode jenis pertama mengupayakan bahwa penerjemah mewujudkan

kembali dengan setepat-tepatnya makna kontekstual teks sumber, meskipun

dijumpai hambatan yang bersifat semantik dan sintaksis pada teks sasaran

(bentuk dan makna). Pada metode yang kedua, penerjemah berupaya efek

yang relatif sama dengan yang diharapkan penulis asli terhadap pembaca

pada versi bahasa sumber. Perbedaan dasar pada kedua metode di atas

terletak pada penekanannya saja. Dan di luar perbedaan ini keduanya saling

berbagi permasalahan. Masalah yang dimaksud adalah masalah tentang

field, tenor, dan mode.

Keterbagian masalah ini menyangkut hal-hal seperti: 1) maksud atau

tujuan dalam sebuah teks Bsu sebagaimana tercermin pada fungsi teks,

apakah fungsi tersebut memaparkan, menceritakan, menghimbau, atau

mengajukan argumentasi; 2) tujuan penerjemah, misalnya, apakah ia ingin


26

menambah atau mengurangi gaya atau nuansa tertentu. 3) Pembaca dan

setting teks, misalnya menyangkut siapa pembacanya, jenis kelamin, usia,

tingkat pendidikan.

Lebih lanjut, Newmark (1988:45) menggambarkan delapan metode

penerjemahan dalam sebuah diagram yang dikenal dengan diagram V (V-

diagram). Diagram tersebut digambarkan sebagai berikut:

SL Emphasis TL Emphasis

word-for-word translation adaptation

literal Translation free translation

faithful translation idiomatic translation

semantic trans communicative trans

Gambar 2.3. Metode Penerjemahan Newmark (1988:45)

1) Metode Penerjemahan Kata Demi Kata

Penerjemahan kata demi kata merupakan metode penerjemahan yang

terikat dalam tataran kata. Dalam proses penerjemahannya, penerjemah

hanya mencari padanan kata bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran,

tanpa merubah susunan kata atau yang lainnya. Menurut Nababan (2003),

jenis metode ini hanya bisa dilakukan jika kedua bahasa baik bahasa

sumber maupun bahasa sasaran memiliki susunan struktur yang sama.

Sebaliknya, kalau struktur kedua bahasa itu berbeda satu sama llain,

penerjemahan kata demi kata sebaiknya dihindari karena hasilnya akan

sulit dipahami dan tentu struktur kalimatnyapun menyalahi struktur

kalimat bahasa sasaran. Mari kita lihat contoh berikut ini:


27

Bsu: I like that clever student

Bsa: Saya menyukai itu pintar anak

Penutur asli bahasa Indonesia secara spontanakan mengatakan bahwa

strktur kalimat terjemahan di atas salah meskipun makna kalimatnya bisa

ditangkap.

2) Metode Penerjemahan Harfiah (Terjemahan Harfiah)

Menurut Nababan (2003:32) penerjemahan harfiah ini terletak

diantara penerjemahan kata demi kata dan penerjemahan bebas. Mengingat

proses awal penerjemahan harfiah dimulai dengan penerjemahan kata

demi kata, tetapi penerjemahan kemudian menyesuaikan susunan kata

dalam kalimat terjemahan yang sesuai dengan struktur bahasa sasaran.

Penerjemahan tipe ini biasanya diterapkan apabila struktur bahasa sumber

berbeda dengan struktur bahasa sasaran. Ungkapan-ungkapan idiomatic

dan peribahasa seringkali diterjemahkan secara bebas seperti to play truant

(membolos), to kick something around (membahas), dan killing two birds

with one stone (menyelam sambil minum air).

3) Metode Penerjemahan Setia

Penerjemahan setia menggunakan prinsip memegang teguh maksud

dan tujuan teks bahasa sumber, sehingga hasil terjemahannya terasa kaku

dan asing. Menurut Machali (2009: 79), penerjemahan setia mencoba

menghasilkan makna kontekstual teks bahasa sumber kembali dengan

dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Pada penggunaan metode

penerjemahan ini, kata-kata yang bermuatan budaya dialihbahasakan,


28

namun penyimpangan dari segi tata bahasa dan pilihan kata masih tetap

dibiarkan. Mari kita lihat contoh berikut:

Bsu: Ben is too well aware that he is naughty (kebetulan tanpa muatan

budaya)

Bsa: Ben menyadari terlalu baik bahwa ia nakal.

Terjemahan ini terasa sebagai terjemahan yang dihasilkan oleh

mahasiswa asing yang belajar bahasa Indonesia pada tingkat pralanjutan.

Meskipun maknanya sangat dekat dengan Tsu namun hasil TSa terasa

sangat kaku dan tidak lazim dalam satu kalimat bahasa Indonesia. Kalimat

itu akan terasa lebih baik jika diperbaiki atau dipoles sesuai dengan kaidah

Teks bahasa sasaran menjadi “Ben sangat sadar bahwa ia nakal”. Dalam

penyerasian tersebut, penerjemahan itu sudah tidak setia lagi karena terjadi

pergeseran nuansa makna dalam penyangatan yang terkandung dalam

frase “too well”, namun demikian penyerasian penerjemahan diatas lebih

berterima dari pada hasil penerjemahan setia tersebut.

4) Metode Penerjemahan Semantik

Penerjemahan semantik lebih menekankan pada pencarian padanan

pada tataran kata dengan tetap terikat pada budaya bahasa sumber. Metode

ini berusaha mengalihkan makna kontekstual bahasa sumber yang paling

dekat dengan struktur sintaksis dan semantik bahasa sasaran. Bila

dibandingkan dengan metode penerjemahan setia, penerjemahan semantic

lebih luwes dan fleksibel. Contoh: He is a book-worm yang diterjemahkan

menjadi “Dia (laki-laki) adalah seorang yang suka sekali membaca”.


29

Keempat metode di atas adalah metode yang lebih menekankan pada

bahasa sumber. Selain melalui penekanan pada Bsu seperti yang dijelaskan

di atas, metode penerjemahan dapat pula ditekankan pada Bsa. Ini berarti

bahwa selain pertimbangan kewacanaan, penerjemah juga harus

mempertimbangkan hal lain yang berkaitan dengan bahasa sasaran.

5) Metode Penerjemahan Adaptasi

Ialah penerjemahan yang mengadaptasi atau mengganti unsur budaya

bahasa sumber dengan unsur budaya bahasa sasaran. Bisa dikatakan

bahwa metode ini disebut juga dengan “saduran” (Machali, 2009: 80).

Asalkan penyadurannya tidak mengorbankan hal-hal penting dalam Bsu

seperti tema, karakter, atapun alur. Biasanya metode ini dipakai dalam

penerjemahan drama atau puisi (Newmark, 1988: 46; Machali, 2009: 80).

Sebagai contoh adalah penerjemahan drama Shakespeare berjudul

“Machbeth” yang disadur penyair terkenal W.S. Rendra di tahun 1994 dan

dimainkan di Jakarta. Semua karakter di naskah dan alur cerita

dipertahankan, tetapi dialognya disesuaikan dengan budaya sasaran yakni

Indonesia.

6) Metode Penerjemahan Bebas

Dalam proses penerjemahan, penggunaan metode ini tidak terikat pada

pencarian padanan kata atau kalimat. Namun metode ini memfokuskan

pada pengalihan pesan dalam tataran paragraf atau wacana. Penerjemah

harus mampu menangkap pesan dalam bahasa sumber pada tataran

paragraf atau wacana secara keseluruhan dan kemudian mengalihkan serta


30

mengungkapkannya ke dalam bahasa sasaran. Contoh berikut

menunjukkan penerjemahan judul berita secara bebas:

Tsu: (Time, May 28th, 1990): “Hollywood Rage for Remakes”

Tsa: (Suara Merdeka, 15 Juli 1990): “Hollywood Kekurangan Cerita:

Lantas Rame-Rame Bikin Film Ulang”.

7) Metode Penerjemahan Idiomatis

Metode penerjemahan ini dengan menggunakan kesan keakraban dan

ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada teks bahasa sumber. Menurut

Newmark (1988:47) “idiomatic translation reproduces the ‘message’ of

the original but tends to distort nuances of meaning by preferring

colloqualisms and idioms where these do not exist in the original”.

Sebagai contoh:

Bsa: I’ll shout you a beer.

Bsu: Mari minum bir sama-sama, saya yang bayar.

Dalam terjemahan di atas, versi bahasa Inggrisnya (Australian English)

lebih idiomatic daripada versi asli. Terjemahan semantisnya dapat

berbunyi “Let me buy you a beer”.

8) Metode Penerjemahan Komunikatif

Ialah metode penerjemahan yang mementingkan tersampainya pesan.

Diusahakan hasil terjemahan dalam bentuk yang berterima dan wajar di

dalam bahasa sasaran. Sebagai contoh adalah penerjemahan kata spine

dalam frase thorns spines in old reef sediment. Bila kata tersebut

diterjemahkan untuk para ahli biologi, padanannya adalah spina (istilah


31

teknis latin), tetapi bila diterjemahkan untuk pembaca umum, kata tersebut

diterjemahkan menjadi “duri” (Machali, 2009: 83).

1.5. Ideologi Penerjemahan

Dalam penerjemahan, istilah ideologi diartikan sebagai prinsip atau

keyakinan tentang “betul atau salah”, “baik atau buruk”, yakni terjemahan

seperti apa yang terbaik bagi masyarakat pembaca Bsa atau terjemahan

seperti apa yang cocok dan disukai oleh masyarakat. (Hoed, 2006: 83).

Dalam ideologi penerjemahan, penulis dihadapkan hal yang berlawanan

dan dilematis. Satu pilihan condong pada bahasa sumber sedangkan

pilihan yang lainnya condong pada bahasa sasaran. Penerjemah akan

selalu dihadapkan pada dua pilihan tersebut. Memilih mempertahankan

budaya atau istilah asing berarti lebih cenderung ke bahasa sumber atau

oleh Venuti (1995 dalam Hoed, 2006) disebut foreignization, sedangkan

memilih menggunakan bahasa sasaran berarti cenderung ke budaya atau

istilah bahasa sasaran, oleh Venuti disebut domestikasi.

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konteks

budaya yang berbeda antara teks sumber dan sasaran harus

dipertimbangkan dalam penerjemahan. Jika penerjemah cenderung ke

bahasa sasaran, kemungkinan akan diterima di budaya sasarannya.

Sebaliknya, jika penerjemah cenderung ke teks sumber, resikonya

mungkin terjemahannya ditolak karena berbeda dengan nilai-nilai sosial

dan norma di budaya sasarannya.


32

Namun demikian, seperti yang dikatakan oleh Nababan (2003),

seorang penerjemah tidak mungkin secara total menganut salah satu dari

dua ideologi tersebut. Yang dapat terjadi adalah kecenderungan ke arah

mana penerjemah berpihak, ke arah Bsu, atau ke arah Bsa. Dengan kata

lain, penerjemah akan secara sadar maupun tidak sadar menganut kedua

ideologi tersebut, tentu saja dengan prosentase atau tingkat kecenderungan

yang berbeda.

1.6. Penilaian Kualitas Terjemahan

Teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemahan sangat

mempengaruhi kualitas terjemahan. Para pakar teori penerjemahan

mengklasifikasikan aspek-aspek penilaian penerjemahan berbeda-beda.

Penilaian terhadap kualitas terjemahan ini bertujuan untuk mengetahui

kelebihan dan kelemahan terjemahan yang dihasilkan oleh penerjemah. Al-

Qinai (2002), misalnya, menyatakan bahwa suatu teks terjemahan sering

kali dipandang oleh pembacanya sebagai suatu hasil akhir proses

penerjemahan yang siap untuk dianalisis dengan mendalam tanpa

menelusuri bagaimana terjemahan tersebut dihasilkan. Penelitian yang

kemudian dilakukan adalah penelitian yang berorientasi kepada produk atau

teks terjemahan.

Senada dengan pernyataan di atas, Nababan (2012), mengatakan bahwa

terjemahan yang berkualitas harus memenuhi tiga aspek, yaitu aspek

keakuratan, aspek keberterimaan dan aspek keterbacaan. Ketiga aspek

tersebut diuraikan di bawah ini:


33

1.6.1. Keakuratan (Accuracy)

Keakuratan terkait dengan tepat atau tidaknya terjemahan yang

dihasilkan atau dialihkan. Keakuratan terkait erat dengan kesepadanan

makna dan informasi antara Bsu dengan Bsa (Larson 1998: 530; Nababan

dkk, 2012). Lebih lanjut, Nida (1982: 12) menambahkan bahwa

kesepadanan harus mengacu tiga hal penting yaitu padanan konteks,

kewajaran atau kelaziman, dan kedekatan makna. Berikut table instrumen

penilaian keakuratan menurut Nababan dkk (2012):

Tabel 2.3. Instrumen Penilaian Keakuratan Terjemahan


Kategori Skor Parameter Kualitatif
Terjemahan
Akurat 3 Makna kata, istilah teknis, frasa, kelompok nomina,
klausa atau kalimat bahasa sumber dialihkan secara
akurat ke dalam bahasa sasaran; sama sekali tidak
terjadi distorsi makna
Kurang akurat 2 Sebagian besar makna kata, istilah teknis, frasa,
kelompok nomina, klausa atau kalimat bahasa sumber
dialihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran.
Namun masih terdapat distorsi makna atau
terjemahan ganda (taksa) atau ada makna yang
dihilangkan, yang mengganggu keutuhan pesan.
Tidak akurat 1 Makna kata, istilah teknis, frasa, kelompok nomina,
klausa atau kalimat bahasa sumber dialihkan secara
tidak akurat ke dalam bahasa sasaran atau dihilangkan

Instrumen penilai tingkat keakuratan terjemahan tersebut menganut

skala 1 sampai dengan 3. Semakin tinggi skor yang diberikan penilai,

maka semakin akurat terjemahan yang dihasilkan. Sebaliknya, semakin

rendah skor yang diberikan terhadap terjemahan, maka semakin rendah

tingkat keakuratan terjemahan tersebut.


34

1.6.2. Keberterimaan (Acceptability)

Seperti yang disampaikan Nida di atas, kewajaran dan kealamiahan inilah

yang dimaksud dengan keberterimaan. Keberterimaan diperoleh dari hasil

terjemahan yang tidak kaku, wajar dalam struktur gramatikalnya di bahasa

sasaran tetapi dalam penyampaiannya tidak mengurangi pesan yang ada

dalam bahasa sumber. Nababan dkk (2012) menyatakan bahwa

keberterimaan merujuk pada apakah suatu terjemahan sudah diungkapkan

sesuai dengan kaidah-kaidah, norma, dan budaya yang berlaku dalam

bahasa sasaran atau belum baik pada tataran mikro maupun makro. Berikut

tabel instrumen penilaian keberterimaan menurut Nababan dkk (2012):

Tabel 2.4. Instrumen Penilaian Keberterimaan Terjemahan


Kategori Skor Parameter Kualitatif
Terjemahan
Berterima 3 Terjemahan terasa alamiah; istilah teknis yang
digunakan lazim di bidangnya dan akrab bagi
pembaca; frasa, kelompok nomina, klausa atau
kalimat yang digunakan sudah sesuai dengan kaidah
bahasa Indonesia
Kurang berterima 2 Pada umumnya terjemahan sudah terasa alamiah;
namun ada sedikit masalah pada penggunaan istilah
teknis atau terjadi sedikit kesalahan gramatikal
Tidak berterima 1 Terjemahan tidak alamiah atau terasa seperti karya
terjemahan; istilah teknis yang digunakan adalah
tidak lazim digunakan dalam bidangnya dan tidak
akrab bagi pembaca; klausa atau kalimat yang
digunakan tidak sesuai dengan kaidah bahasa
Indonesia

Instrumen penilai tingkat keberterimaan terjemahan merupakan

pedoman bagi penilai dalam menentukan tingkat keberterimaan

terjemahan. Skala yang disediakan berkisar antara 1 sampai dengan 3.


35

Setiap skor yang diberikan merupakan cerminan dari tingkat

keberterimaan terjemahan.

1.6.3. Keterbacaan

Keterbacaan, dalam bahasa Inggris dikenal dengan readability merujuk

pada derajat kemudahan sebuah tulisan dipahami maksudnya. hal ini terkait

dengan pemahaman isi terjemahan oleh pembaca. Keterbacaan suatu teks

ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut berasal dari faktor

kebahasaan teks (Richard, 1985 dalam Nababan, 2003: 63) dan faktor

pembaca itu sendiri (Chall, 1984 dalam Nababan, 2003: 63). Teks yang

tersusun atas kalimat-kalimat panjang, kata-kata yang bersifat ambigu, kata-

kata sing atau daerah, kata-kata baru, kalimat yang tak lengkap, kalimat-

kalimat kompleks, dan alur pikiran yang tidak logis dapat mengurangi

tingkat keterbacaan teks. Selain faktor kebahasaan, faktor kemampuan

membaca dan memahami isi teks pembaca juga menentukan tingkat

keterbacaan teks. Berikut tabel instrumen penilaian keberterimaan menurut

Nababan dkk (2012):

Tabel 2.5. Instrumen Penilaian Keterbacaan Terjemahan


Kategori Skor Parameter Kualitatif
Terjemahan
Tingkat 3 Kata, istilah teknis, frasa, kelompok nomina, klausa,
keterbacaan tinggi dan kalimat dapat dipahami dengan mudah oleh
pembaca
Tingkat 2 Pada umumnya terjemahan dapat dipahami oleh
keterbacaan pembaca; namun ada bagian tertentu yang harus
sedang dibaca lebih dari satu kali untuk memahami terjemaha
Tingkat 1 Terjemahan sulit dipahami oleh pembaca
keterbacaan
rendah
36

2. Konsep Kesepadanan

Tercapainya kesepadanan makna sangatlah ditentukan oleh kompetensi

atau kemampuan penerjemah dalam memahami TSu dan menuangkan pesan

makna ke dalam TSa. Banyak pakar teori penerjemahan yang menyatakan

bahwa masalah mendasar dalam penerjemahan meliputi kesepadanan

(Catford, 1965; Nida & Taber, 1974; Newmark, 1988; Baker, 1992). Tujuan

pokok menerjemahkan adalah untuk mengalihkan pesan yang tertulis dalam

BSu ke dalam BSa dengan mengutamakan efek kesepadanan yang sama

(Newmark, 1988: 48). Lebih lanjut, Hoed (2003) mengatakan bahwa tidak

ada terjemahan yang benar atau salah secara mutlak. “benar-salah” dalam

penerjemahan juga tergantung pada “untuk siapa dan untuk tujuan apa

penerjemahan itu dilakukan”.

Lain halnya dengan Nida dan Taber (1974:12) mengemukakan bahwa

penerjemahan “Consists in reproducing in the receptor language the natural

equivalent of the source language message first in terms of meaning and

secondly in terms of style”. Pertama, kesepadanan makna dalam

penerjemahan lebih menekankan pada makna pesan yang terkandung dalam

bahasa sumber. Kedua, kesepadanan pada gaya bahasa pada bahasa sumber.

Kesepadanan makna dalam kegiatan penerjemahan zaman sekarang ini lebih

dikaitkan dengan fungsi teks, dan metode penerjemahan dipilih dalam

kaitannya dengan fungsi tersebut. Dengan demikian, ukuran kesepadanan

pun harus dilihat dalam kerangka ini.


37

Berbeda dengan Nida dan Taber (1974), Catford (1965) mengemukakan

bahwa kesepadanan meliputi dua jenis. Pertama, kesepadanan formal

(formal equivalence) yang merupakan kesepadanan kategori Bsu yang

diterjemahkan sama dengan kategori di Bsa. Misalnya menerjemahkan kata

benda menjadi kata benda. Kedua, kesepadanan tekstual yang dikaitkan

dengan isi teks meliputi pesan/amanat, dan kohesi pada seluruh bentuk

bahasa yang ada di dalam teks.

Kemudian menurut Baker (1992), kesepadanan merupakan hubungan

antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Hubungan tersebut memiliki

tingkatan yang berbeda-beda. Seperti yang diungkapkannya bahwa “the

notion of equivalence at different levels: at word level, equivalence above

word level. These levels of equivalence are closely related to the translation

process, including all different aspects of translation and hence putting

together the linguistic and communicative approach”. Bisa disimpulkan

bahwa kesepadanan bisa berada di tataran kata dan di atas kata.

Nampaknya, kelimanya hampir sama bahwa kesepadanan meliputi

kesepadanan makna (fungsi teks) dan bentuk (susunan gramatikalnya).

Lebih kompleks lagi, selanjutnya, menurut Tack (2000) dalam Santosa

(2009: 5) menerjemahkan teks juga harus memperhatikan metafungsinya.

Kesulitan dalam menerjemahan makna fungsi tekstual, ideasional, dan

interpersonal akan ditemukan. Sebagian besar para pakar penerjemahan

setuju bahwa maksud dari padanan dalam penerjemahan itu adalah

kesepadanan tekstual (Robinson, 1997; Tack, 2000; Lateva, 2000; Dimitriu,


38

2000 dalam Santosa, 2009). Dalam tinjauan linguistik sistemik fungsional,

kesepadanan melibatkan keseluruhan aspek semiotika sosial seperti konteks

sosio kultural, genre, dan register. Kesepadanan genre meliputi kesepadanan

jenis-jenis genre beserta fungsi sosialnya yang dikehendaki oleh penulis teks

asli. Sedangkan, kesepadanan register meliputi kesepadanan satu kesatuan

tiga metafungsi yang direalisasikan dalam struktur teks dan teksturnya

seperti semantik wacana, leksikogramatika, fonologi, dan grafologi).

2.1. Kesepadanan Konteks Sosio-kultural

Seperti yang diungkapkan Machali (2009) konfigurasi kontekstual antara

field (medan), tenor (pelibat), dan sarana (mode) antar teks sumber dan teks

sasaran. Dengan demikian, analisis yang sangat sederhana ini akan

menggiring penerjemah secara tidak langsung pada idelogi yang penerjemah

terapkan. Apakah foregnisasi atau domestikasi (Santosa, 2009). Dari dua

pendapat di atas dapat diperoleh suatu pengertian bahwa teks adalah bahasa

yang sedang melaksanakan tugas untuk mengungkapkan fungsi atau makna

sosial dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural (Halliday &

Mathiessen, 2014). Dengan melihat kenyataan ini, teks dapat dilihat dari dua

sisi. Pertama teks dipandang sebagai suatu 'proses'; yaitu proses interaksi

dan aktivitas sosial antar partisipan dalam mengekspresikan fungsi

sosialnya. Kedua, teks dipahami dalam bentuk ‘produk’. Sebagai sebuah

bentuk produk teks dapat direkam dan dapat disimpan dan dikeluarkan

kembali untuk keperluan proses sosial lainnya.


39

2.2. Kesepadanan Genre dan Fungsi Sosial

Seperti yang telah dibahas pada kesepadanan sebelumnya, nilai-nilai

kultural direalisasikan dalam proses sosial verbal dan proses sosial non-

verbal. Proses sosial verbal ada ada di masyarakat meliputi musyawarah,

diskusi, seminar, dan lain sebagainya. Proses sosial verbal inilah yang

disebut dengan genre. Sedangkan proses sosial yang non verbal meliputi

sistem kekerabatan, tata ruang, ekonomi, politik, hukum, dan lain

sebagainya. Artinya genre merupakan representasi nilai dan norma kultural

yang menentukan fungsi sosial atau tujuan sosial dari suatu proses sosial

tertentu (goal oriented). Dan untuk mencapai tujuan sosial itu genre

dianalisis secara bertahap (Martin, 1992 dalam Santosa, 2003: 29).

2.3. Kesepadanan Register

Di dalam konsep ini, register tidak hanya terbatas pada variasi pilihan

kata atau diksi tetapi register dalam konsep ini termasuk pilihan tekstur

(fonologi atau grafologi, leksikogramatika, sistem kohesi) dan struktur

teksnya. Itulah mengapa para pakar linguistik menyebut register adalah gaya

bahasa (Fowler, 1977, 1986 dalam Santosa, 2009). Variasi pilihan bahasa

akan bergantung pada konteks situasi yang melibatkan tiga aspek: field

(medan), tenor (pelibat), dan mode (sarana).

Field (medan) merujuk pada apa yang sedang terjadi, apa yang sedang

dilakukan partisipan dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Medan ini juga menyangkut pertanyaan yang terkait dengan lingkungan

kejadian seperti: kapan, di mana, bagaimana kejadian itu terjadi, mengapa


40

kejadian itu terjadi, dan sebagainya. Tenor (pelibat) merujuk pada siapa

yang berperan dalam kejadian sosial itu. Terakhir, mode (sarana) merujuk

pada bagian mana yang diperankan oleh bahasa dan melibatkan medium

yang digunakan untuk mengekspresikan bahasa tersebut. Apakah bersifat

lisan atau tulisan. Dan ketiga aspek itu bekerja scara simultan untuk

membentuk konfigurasi makna atau konfigurasi kontekstual (Halliday &

Hasan, 1985).

2.3.1. Kesepadanan Struktur Teks

Struktur teks merupakan satu kesatuan bentuk (simbol / tekstual) dan

makna (eksperiensial, logis, dan interpersonal) suatu teks yang secara

keseluruhan menunjukkan tujuan / fungsi sosial teks. Secara umum satu

kesatuan bentuk dan makna teks ini terdiri dari struktur pembukaan

(opening), isi (body), dan penutup (closing). Artinya secara simultan

ketiganya bekerja untuk mencapai fungsi atau tujuan sosial teks yang

merupakan realisasi dari genre (Mann & Thompson, 1988; Stuart & Smith,

2007 dalam Santosa 2009).

2.3.2. Kesepadanan Tekstur

Tekstur dalam linguistik sistemik fungsional meliputi sistem kohesi,

leksikogramatika, dan fonologi atau grafologi dalam sebuah wacana.

Pertama adalah sistem kohesi. Ada dua jenis kohesi yaitu kohesi leksikal

dan gramatikal. Kohesi leksikal mengungkap hubungan leksikal yang

digunakan dalam suatu teks. Hubungan leksikal ini bisa bersifat taksonomis

maupun non-taksonomis (Martin, 1992; Ventola, 1987 dalam Santosa,


41

2009). Sedangkan kohesi gramatikal merupakan hubungan logis antara

bentuk dan makna sebagai hasil dari hubungan gramatikal baik di dalam

maupun di luar klausa. Hubungan kohesi dalam klausa sering terdapat

antara subjek dan finite-nya atau dengan kata kerjanya, deiktik dengan

thing-nya, pronomina dengan nominanya, konektor dengan kelompok

nomina, verba, dan lain sebagainya (Halliday, 1985; Mathiessen, 1992

dalam Santosa 2003). Kohesi klausa sering disebut gramatika atau tata

bahasa. Sementara itu kohesi antar klausa oleh Martin diklasifikasikan

menjadi item rujukan, substitusi, elipsis, dan konjungsi.

2.4. Kesepadanan Leksikogramatika

Istilah leksikogramatika terdiri dari istilah leksis dan gramatika. Leksis

sendiri artinya adalah kata yang sedang digunakan di dalam teks, berbeda

dengan leksikon, yang merupakan daftar kata-kata yang terdapat dalam

kamus, yang terpisah dari konteks penggunaan bahasa. Leksiko-gramatikal

merealisasikan tiga metafungsi: ideasional, interpersonal, dan tekstual.

Seperti yang diungkapkan Halliday dan Matthiessen (2014) sebuah teks

yang sedang digunakan di dalam suatu konteks tertentu merealisasikan tiga

metafungsi sekaligus yang saling terkait. Ketiga metafungsi tersebut adalah

metafungsi ideasional yang merealisasikan bahasa sebagai media untuk

mengungkapkan ide atau gagasan yang terdiri dari fungsi eksperiensial dan

logikal. Fungsi eksperensial mengkonstruksi pengalaman atau realitas

sedangkan fungsi logikal mengkonstruksi hubungan logis antar realitas.

Metafungsi interpersonal yang merealisasikan bahasa sebagai alat


42

komunikasi, realitas sosial, transaksional, dan interpersonal. Dan metafungsi

tekstual yang merealisasikan bahasa selalu terkait dengan konteks situasi.

Adapun, makna tekstual berkaitan dengan realitas simbol-simbol yang

digunakan untuk menata fungsi ideasional dan interpersonal dalam teks,

sehingga makna metafungsional berkenaan dengan cara penciptaan teks

(Halliday dan Hasan, 1989: 18-23; Butt dkk, 1995: 12; Matthiessen, 1995:

19, Halliday dan Matthiessen, 2004: 29-30).

Dalam grammar, makna ideasional direalisasikan dalam transitivitas,

makna interpersonal direalisasikan dalam sistem MOOD dan struktur mood.

sedangkan makna tekstual direalisasikan dalam struktur theme-rheme.

Ketiga sistme klausa dalam metafungsi ini bekerja secara simultan dalam

membantu merealisasikan tekstur teks di dalam konteks tertentu. Di tesis ini

akan dibahas khusus mengenai makna ideasional yang merepresentasikan

transitivitas.

3. Transitivitas

3.1. Fungsi Eksperiensial Transitivitas

Seluruh proses yang ada di tiap metafungsi itulah yang menjadi kunci

betapa sangat pentingnya makna teks yang sepadan itu dibutuhkan. Proses

interpretasi ini menjadi sangat penting karena di sinilah segala jurus dan

bentuk analisis bermuara untuk bekerja secara simultan dan holistik. Seperti

yang dinyatakan Teich (1999) dan Halliday dan Matthiessen (2014) struktur

fungsi eksperensial merealisasikan kandungan makna yang ada dalam teks


43

sedangkan struktur fungsi logikal lebih berorientasi pada hubungan makna

antar konstituen dalam bangunan sebuah kalimat. Yang dimaksud fungsi

eksperensial di sini adalah penggunaan bahasa yang berfungsi untuk

merefleksikan pengalaman partisipan berupa pengalaman pribadi dan

pengalaman orang lain. Bentuk realisasi adalah transitivitas dengan cara

menganalisis partisipan, proses, dan sirkumstannya. Sementara itu, bentuk

komponen logikal adalah klausa kompleks, kelompok nomina, kelompok

verba, dan sebagainya.

Di dalam sebuah kalimat terdiri dari dua tataran yakni lexicogrammar

dan phonology (Morley, 2000; Halliday & Matthiessen, 2014). Dilihat dari

tingkatan leksikogramatikanya, tersusun atas beberapa satuan lingual yang

disebut rank. Rank terdiri dari klausa (clause), kelompok kata

(group/phrase), kata (word), dan morfem (morpheme). Sedangkan pada

tataran fonologi hanya terdiri dari tone group.

Di dalam tataran klausa, leksikogramatika ini akan melihat sistem atau

struktur klausa di dalam merealisasikan makna ideasional: eksperiensial.

Gramatika yang merealisasikan struktur klausa yang merepresentasikan

makna ideasioanal eksperiensial ini disebut transitifitas (Santosa, 2003: 78).

Dalam kajian LFS, Halliday (2014: 44) mengemukakan bahwa bahasa

adalah konfigurasi sebuah sistem yang tidak bisa berdiri sendiri. Singkatnya,

bahasa adalah sebuah realitas baik itu realitas sosial dan realitas semiotika.

Dengan demikian, sistem realitas sosial melibatkan situasi (konteks), teks

(semantik), dan klausa (leksikogrammar) yang merupakan bagian integral


44

dari suatu sistem semotika. Satu per satu, rangkaian ini terdiri dari rangkaian

konfigurasi proses, partisipan yang terlibat, dan hadirnya sirkumstan sebagai

tambahan informasi.

3.2. Proses

Proses di dalam realitas merupakan inti kejadian dalam suatu

pengalaman, baik itu pengalaman fisik, mental, verbal, perilaku, relasional,

maupun eksistensial. Setiap jenis proses ini secara alami menentukan jenis

partisipannya yang meiputi pelaku proses, sesuatu yang dikenai proses,

fenomena, atau sesuatu yang dikatakan, dan lain sebagainya, tergantung

jenis prosesnya. Sementara itu sirkumstan adalah lingkungan baik fisik

maupun non fisik dalam suatu kejadian. Di dalam tataran simbol, proses

direalisasikan ke dalam ke dalam kelompok verba, partisipan direalisasikan

dengan kelompok nomina, sedangkan sirkumstan direalisasikan dengan

kelompok adverbial.

a. Proses Material

Proses material adalah suatu proses fisik murni tanpa unsur mental

maupun behavioral. Proses materi ini terdiri dari dua macam yaitu

doing (melakukan sesuatu) dan happening (kejadian). Proses materi

doing bisa bersifat kreatif, yaitu membuat sesuatu (misalnya membuat,

mengembangkan, mendisain, mengirim, dan memetik). Biasanya

proses doing mempunyai konstituen yang terdiri dari actor-proses.

Sementara itu, partisipan di dalam proses materi ini adalah aktor, goal,

range, dan beneficiary (recipient atau client). Aktor adalah partisipan


45

yang melakukan proses, goal adalah partisipan yang dikenai proses,

range merupakan skup atau jangkauan atau perluasan proses itu

sendiri, dan beneficiary adalah partisipan yang menerima goal sebagai

barang atau servis. Contoh proses materi kejadian (happening).

My father Went to work


Actor Proses material

Contoh proses materi melakukan dengan goal dan benefisiari.

John is cooking pizza for her mother


Actor Proses goal resipien

Contoh proses materi dengan range

They Play tennis


Actor Proses range

b. Proses Mental

Proses mental adalah proses berpikir, mengindera, dan merasa.

Oleh karena itu proses ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu

proses mental: kognitif, perseptif, dan afektif. Proses mental kognitif

berkaitan erat dengan penggunaan otak untuk berproses, misalnya

berfikir, melamun, mengerti, dan sebagainya. Proses mental perseptif

berkaitan erat dengan penggunaan indera untuk berproses, misalnya

melihat, mendengar, merasa. Sedangkan proses mental afektif

berkaitan erat dengan penggunaan perasaan atau hati (mental afektif

oleh orang Indonesia dan Jawa lebih menggunakan hati, tetapi orang

Inggris tetap menggunakan otak untuk berproses, misalnya: mencintai,


46

membenci, menyukai, tidak suka, dan sebagainya. Partisipan proses ini

hanya ada dua yaitu senser (yang berfikir, mengindera, atau merasa)

dan fenomenon (yang dipikir, diindera, atau dirasa). Sebagai contoh:

They don’t like pizza


Senser proses mental fenomenon

Untuk membedakan dengan proses materi dan proses lain, proses

mental memiliki keunikan tersendiri. Pertama, yaitu di dalam bahasa

Inggris dalam present tense ini hanya bisa dengan simple present

tense, tidak pernah dengan simple continuous tense. Contoh: She

knows him. Tidak pernah she is knowing him. Kedua, proses mental

bekerja secara dua arah (bi-directional). Contoh:

They Believe Him


Senser proses mental fenomenon
bisa diubah

He Convinces them
Fenomenon proses mental senser

Di dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa tampaknya tidak

demikian, misalnya: “Mereka mempercayainya”. Tidak pernah

menjadi “ia mempercayakan mereka”.

c. Proses Verbal

Proses verbal adalah proses berkata murni, tidak ada unsur

perilakunya. Dalam bahasa Inggris hanya terdapat di beberapa verba

seperti: say, ask, tell. Partisipan proses ini disebut sayer (yang
47

mengatakan sesuatu), verbiage (sesuatu yang dikatakan), dan yang

menerima verbiage disebut receiver. Contoh

They Said that it was good


Sayer proses verbal verbiage

d. Proses Perilaku

Proses ini mempunyai dua jenis, yaitu proses perilaku verbal dan

proses perilaku mental. Proses perilaku verbal adalah proses yang

menggunakan verbal dalam melakukan tindakan. Misalnya:

menyarankan, mengklaim, mendiskusikan, menjelaskan, dan

mengolok-olok, dan sebagainya. Partisipannya adalah behaver (yang

melakukan proses perilaku verbal), verbiage (sesuatu yang dikatakan),

dan receiver (yang menerima). Contoh:

John talked to her about the test


They chatted each other about the game
Behaver process receiver verbiage

Sementara itu proses perilaku mental lebih merupakan gabungan

antara proses materi dan mental. Secara fisik proses ini dapat

diketahui tidak hanya sekedar fisik tapi juga unsur mental di balik

proses fisiknya seperi: menyelidiki, mempelajari, mengecek, meneliti,

dan lain sebagainya. Partisipannya adalah behaver

(pemikir/pengindera/yang merasa), dan fenomenon (sesuatu yang

dikenai proses). Contoh:

The police are investigating the case


Behaver process Fenomenon
48

e. Proses Relasional

Proses ini dapat didefinisikan sebagai suatu proses penandaan atau

penyifatan, yaitu sesuatu yang dikatakan memiliki sifat atau penanda.

Proses relasional berfungsi untuk menghubungkan suatu entitas

dengan makhluk atau lingkungan lain dalam hubungan intensif,

sirkumstan, ataupun kepemilikan dengan cara identifikasi atau atribut.

Kata kerja yang dapat dikategorikan ke dalam proses ini, misalnya

linking verb atau copula seperti become, feel, go, run, dan sebagainya.

Ada dua jenis dari proses relasional ini yakni proses relasional atributif

dan relasional identifikasi. Pertama, proses relasional atributif adalah

proses menghubungkan antara partisipan yang satu dengan yang lain

dengan cara memberi atribut. Partisipannya adalah carrier (pembawa

atau yang diberi atribut), dan atribut (partisipan yang direalisasikan

kata atau frasa benda, keadaan atau sifat atau keberadaan suatu entitas

yang direalisasikan dengan ajektiva atau adverbial. Contoh:

They are very angry


The cases are in the process
Carrier Proses Atribut

Yang kedua, proses relasional identifikasi merupakan proses yang

menghubungkan antara partisipan yang satu dengan yang lain dengan

cara memberi nilai pada partisipan tersebut. Partisipan proses ini

meliputi token (sesuatu yang diberi nilai) dan value (nilai dari sesuatu

itu). Verba yang merealisasikan proses ini antara lain: show, indicate,
49

symbolize, express, realize, imply, define, equal to, personify, dan

sebagainya. Dan proses ini memiliki keunikan yakni bisa dibalik.

John is the actor


token proses value

Bisa menjadi:

The actor is John


Value Proses token

f. Proses Eksistensial

Proses wujud (eksistensial) adalah suatu proses yang

mengekspresikan keberadaan suatu benda dan tempat benda itu

memang nyata atau benar-benar ada. Ada beberapa kata kerja yang

dapat dikategorikan ke dalam proses eksistensial, misalnya muncul,

terjadi, tumbuh, dan sebagainya. Dalam bahasa Inggris proses ini

ditunjukkan melalui struktur klausa dengan subjek gramatikal there

is/are atau dengan verba exist. Partisipan dari proses ini hanya ada satu

yaitu eksisten (sesuatu yang dimunculkan). Contohnya:

There is a book on the table


Proses Eksisten sirkumstan

Ebola existed in Ethiopia


Eksisten Proses Sirkumstan

3.4. Sirkumstan

Sirkumstan adalah lingkungan fisik yang melingkupi proses. Sirkusmtan

direalisasikan dengan kata keterangan atau frasa adverbial. Sirkumstan


50

berada di luar jangkauan proses. Oleh karena itu, sirkumstan berlaku dalam

semua jenis proses. Sirkumstan dapat disetarakan dengan keterangan yang

lazim digunakan dalam tata bahasa tradisional. Terdapat depalan macam

sirkumstan, yaitu: angle, extent, location, manner, cause, accompaniment,

matter, dan role. Selanjutnya, pada bagan berikut dirangkum bentuk

sirkumstan, baik dalam frasa maupun klausa.

Tabel 2.6. Jenis-jenis sirkumstan.

No Jenis Sirkumstan Subkategori Cara Realisasi dalam


Mengidentifikasi Frasa dan Klausa

1 Rentang (extent) Waktu Berapa lamanya? Dia berjalan tiga jam


Tempat Berapa jauhnya? Kami berjalan 6
kilometer.
2 Lokasi (location) Waktu Kapan? Pesta itu akan
diadakan pada
minggu ini.
Tempat Di mana? Adikku dilahirkan di
Medan.
3 Cara (manner) Kualitas Bagaimana? Mereka berlari
dengan cepat.
Alat Dengan apa? John memasak pizza
dengan microwave.
Perbandingan Seperti apa? Tidak seperti yang
lain, bapak berlari
dengan sepatu
bagus.
4 Sebab (cause) Alasan Mengapa? Pak guru keluar dari
kelas karena
kelasnya gaduh.
Tujuan Untuk apa? Guru itu keluar
untuk keperluan
sekolahnya.
Kondisi Bagaimana jika? Jika hujan, mereka
tidak jadi berangkat.
Konsesi - John menyiapkan
presentasi meskipun
dia sakit.
Atas nama Untuk siapa? Mereka ikut lomba
(behalf) atas nama klub
51

mereka.
5 Penyerta - Dengan siapa? Mereka pergi dengan
(accompaniment) dia.
6 Peran (role) - Sebagai apa? Dia bermain drama
sebagai Rose.
7 Masalah (matter) - Tentang apa? Mereka
membicarakan
tentang bisnis
mereka.
8 Sudut pandang Menurutnya, kasus
(angle) ini bisa menjadi
berbahaya.
(Santosa, 2003: 92)

4. Penelitian yang Relevan

Banyak penelitian yang mengkaji tentang sistem transitivitas. Seperti

Kajian tentang analisis transitivitas dari teks pidato (Bayanthi, 2011;

Langkameng, 2013; Muhammad dan Roviqur, 2015) yang dilihat dari fungsi

ideasional, interpersonal, dan tekstualnya. Namun masih terlalu umum dan

belum spesifik dalam membahas suatu metafungsi tertentu dan kajian sistem

transitivitas masih belum membahas jenis partisipan dan sirkumstannya

sebagai bagian dari sistem transitivitas. Selain itu kajian mereka juga belum

secara komprehensif dikaitkan dengan penerjemahan.

Selanjutnya, penelitian LSF yang mengkaji perbedaan karakteristik

metafungsi bahasa antara dua media online di Inggris dan Cina dalam

memberitakan konflik perang di Libya (Seo, 2013). Penelitian ini

memfokuskan pada headline berita dalam mempengaruhi pembacanya dengan

mengkaji analisis wacana kritis dilihat dari aspek transitivitasnya. Media

online Inggris (The Guardian) cenderung lebih banyak menggunakan proses

materi dalam membuat headline berita dibanding media online Cina (The
52

People’s Daily). Sebaliknya, proses verba pada media online Cina lebih

banyak daripada media online Inggris. Dan perbedaan kecenderungan

penggunaan pola transitivitas menentukan jenis kejadian dan partisipannya.

Sehingga masing-masing merefleksikan konteks sosialnya dalam membangun

struktur teks berita. Tentunya hal ini berimbas pada ideologi yang dianut

masing-masing media dalam mempengaruhi pembacanya.

Penelitian lain mengkaji permasalahan metafungsi bahasa dalam teks

pembelajaran IPS dan Bahasa Indonesia (Adisaputra, 2008). Penelitian ini

juga membahas tentang variasi buku teks pelajaran dilihat dari transitivitas,

tema rema, konteks dan inferensinya. Dari aspek sirkumstannya, teks Bahasa

Indonesia kurang variatif dibandingkan dengan teks mata pelajaran IPS.

Penelitian di atas senada dengan penelitian Ayomi dan Candra (2016) yang

meneliti tentang dominasi genre dalam buku teks pelajaran Bahasa Inggris

dan Bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa genre faktual mendominasi

kedua buku. Dilihat dari transitivitasnya teks buku mata pelajaran Bahasa

Indonesia lebih banyak prosesnya daripada teks buku mata pelajaran Bahasa

Inggris. Namun bila dilihat dari sirkumstannya, buku teks Bahasa Inggris

memiliki sirkumstan yang lebih bervariasi dan lebih spesifik daripada buku

teks Bahasa Indonesia. Akan lebih sempurna jika penelitian ini diulas juga

tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis partisipan dan sirkumstan yang

digunakan. Meskipun kedua penelitian di atas sebagian besar meneliti hingga

tingkat wacana yang memiliki ragam bahasa tertentu, penelitian dengan

pendekatan ini masih belum fokus pada satu aspek yang rinci. Lebih lanjut,
53

mereka juga masih berkutat pada tataran bentuk dan belum mengaitkannya

dengan fungsi dan maknanya dalam penerjemahan.

Lain halnya dengan penelitian yang mengkaji transitivitas ditinjau dari

penggunaan dialek (Dios, 2013; Idrus, Nor, Ismail, 2014). Kabanyakan

penelitian dengan pendekatan LFS hanya mengkaji di tataran teks tulis namun

penelitian mereka mengambil ranah tataran wacana (discourse analysis). Dios

(2013) telah mencoba mengklasifikasikan variasi kata kerja baik itu yang

berbentuk transitif maupun intransitif yang bergantung pada konteks dan

maksud dalam dialek British English dan American English. Penelitiannya

masih terbatas dari verba-verba tertentu yang dilihat dari bentuk ergatifnya.

Sedangkan Idrus, Nor, dan Ismail (2014) meneliti tipe proses yang sering

muncul dalam dua dialek dengan bahasa Malaysia dan Singapura dengan

membandingkan keduanya dari sebuah dokumen persidangan (legal

discourse). Jenis proses (material, mental, verbal) yang muncul dari dokumen

persidangan sengketa pihak Malaysia cenderung lebih banyak daripada

frekuensi jenis proses dokumen persidangan sengketa milik Singapura. Proses

yang paling dominan dalam dokumen Malaysia adalah proses materi

sedangkan proses yang paling dominan dalam dokumen Singapura adalah

proses mental.

Penelitian tentang perbandingan transitivitas dalam sebuah ragam bahasa

pernah dilakukan dengan mengkaji dari berbagai perspektif untuk mengetahui

ideologi dan genre sebuah teks baik lisan maupun tulisan (Darani, 2014;

Shahrokhi dan Lotfi, 2012). Darani (2014) meneliti transitivitas pada tataran
54

teks (teks sastra) berupa tuturan yang melihat bagaimana gaya bahasa

persuasif digunakan yang direalisasikan tipe-tipe proses sebagai bagian dari

fungsi ideasional. Penelitian ini sengaja memfokuskan pada tataran makna

ideasional dengan melihat ciri khas penggunaan verba pada bahasa persuasif

untuk melihat genre dan ideologi dari sebuah cerita. Namun sama sekali

penelitian di atas tidak mengaitkan secara rinci tentang kesepadanan bentuk

dan makna sebuah tuturan yang mengandung gaya bahasa persuasif.

Berbicara tentang kesepadanan berarti tidak lepas dari penerjemahan.

Shahrokhi dan Lotfi (2012) mengkaji tentang perbandingan transitivitas

dalam tuturan bahasa Inggris orang Persia dan bahasa Inggris orang Amerika.

Namun penelitian mereka juga belum mengaitkan dengan penerjemahan

untuk mencari kesepadanannya baik bentuk maupun maknanya.

Banyak penelitian penerjemahan yang menggunakan pendekatan SFL

dengan berbagai topik dalam satu dekade terakhir. Penelitian mengenai teknik

penerjemahan dengan pendekatan SFL di satu dekade terakhir masih

menekankan pada keragaman bentuk dan struktur, misalnya kajian nominal

group. (Purwaningsih, 2010; Hidayah, 2013; Pramuditya, 2016). Selain

analisis terjemahan nominal group dengan pendekatan SFL, banyak kajian

penerjemahan lainnya seperti analisis wacana, analisis terjemahan

intralingual, analisis terjemahan pidato politik, dan pergeseran theme

(Madsen, 2014; Prasetyani, 2015; Pamungkas, 2016; Sujono, 2016). Misi

mereka adalah menganalisis tentang jenis-jenis pergeseran dalam

penerjemahan dan masih dalam tataran bentuk namun belum sampai pada
55

menganalisis makna. Ketiganya juga belum meneliti tentang teknik

penerjemahan dan dampaknya terhadap kualitas terjemahan.

Selanjutnya penelitian teknik penerjemahan (Susilowati, 2010; Sumarli,

2017) menyatakan bahwa terdapat teknik yang akan menghasilkan pergeseran

yaitu teknik transposisi dan modulasi namun satu dari penelitian mereka

belum mengkaji dampak teknik terhadap kualitas terjemahan. Tampaknya

penelitian Madsen (2014) dan Pamungkas (2016) memberi sumbangan yang

besar dalam penelitian ini untuk meneliti lebih jauh mengenai transitivitas

dan mengkaji tentang pidato politik. Tidak hanya dari perspektif jenis proses

saja namun juga mengenai sub-sub dari jenis proses tersebut untuk

mengetahui makna yang dikatakan oleh penutur. Selain itu, untuk mengetahui

kesepadanan makna dari bahasa sumber dan sasaran yang dilihat dari

konstituennya.

Lebih lanjut, ada beberapa pakar yang mengkaji LFS sebagai pendekatan

yang pantas dipertimbangkan dalam mengkaji teks (Santosa, 2009; Manfredi,

2013; To, Le dan Le, 2015). Santosa (2009) dan Manfredi (2013) membahas

tentang kesepadanan dalam penerjemahan. Khususnya kesepadanan pada

tataran teks seperti kesepadanan struktur teks dan kesepadanan tekstur (kohesi

dan leksikogramatika) dalam sebuah klausa.

Akhirnya, LSF mampu menjawab kebutuhan kajian bahasa sebagai sistem

semiotika sosial. LSF juga mampu menjadi alat yang bersifat teoritis dalam

kajian linguistic baik yang bersifat mikro maupun makro. Tampaknya

gabungan penelitian Santosa (2009), Manfredi (2013), dan Madsen (2014)


56

dan penelitian penerjemahan yang lain tentang kesepadanan yang

memberikan masukan yang besar dalam penelitian teks terjemahan sistem

transitivitas ini. Karena semua penelitian tersebut pada dasarnya

memfokuskan pada kesepadanan bentuk (tekstual) untuk mencapai

kesepadanan makna jika dilihat dari leksikogramatikanya.

Berdasarkan review di atas, peneliti mempunyai peluang melakukan

penelitian terkait dengan analisis teknik penerjemahan transitivitas baik dari

tipe partisipan, proses, dan sirkumstannya dalam pidato pelantikan Barack

Hussein Obama dan Donald Trumph beserta kualitas terjemahannya. Hal ini

disebabkan para peneliti teks penerjemahan sebagian besar masih berbasis

pada karya fiktif belaka dan masih terbatas untuk meneliti karya-karya ilmiah

dan teks lisan dalam hal ini teks pidato. Siapa yang menjadi petutur pidato

ikut memengaruhi bentuk bahasa di dalamnya (Bloor & Bloor, 2004: 12;

Dick, 2006).

B. Kerangka Berpikir Penelitian

Skema berikut adalah gambaran dari alur penelitian yang dimaksudkan

untuk mempermudah memahami alur penelitian ini.


57

Teks Bsu Teks Bsa

Transitivitas: jenis proses

Teknik penerjemahan

Kualitas terjemahan

Rater

Keakuratan Keberterimaan Keterbacaan

Gambar 2.4. Skema Kerangka Berpikir

Anda mungkin juga menyukai