Anda di halaman 1dari 31

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Hakikat Penerjemahan

1. Definisi Penerjemahan

Sebelum meneliti lebih lanjut tentang proses penerjemahan novel

berikut adalah beberapa pendapat ahli tentang pengertian

penerjemahan:

a. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan penerjemahan

adalah “proses, cara, pembuatan menerjemahkan,

pengalihbahasaan”

b. Benny Hoedoro Hoed (2008: 28) penerjemahan adalah upaya

untuk mengungkapkan (kembali) pesan yang terkandung dalam

teks suatu bahasa atau teks sumber (BSu/TSu) ke dalam bentuk

teks dalam bahasa lain atau teks sasaran (Bsa/Tsa).

c. Peter Newmark (1988: 5) dalam A Text Book of Translation

menjelaskan bahwa “Translation is rendering the meaning of a

text into another language in the way that the author intended the

text” atau diartikan penerjemahan adalah menerjemahkan makna

suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan keinginan penulis.

d. Eugene A. Nida dan Charles R. Taber (1974: 12) menjelaskan

“Translating consist in reproducing in the receptor language the


closest natural equivalent of the source-language message, first in
terms of meaning and secondly in terms of style.”
“Penerjemahan terdiri dari meniru bahasa sasaran secara alami
yang mendekati isi pesan dari bahasa sumber, pertama dari segi
makna dan yang kedua dari segi gaya bahasa.”

Dari semua pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

penerjemahan adalah proses mengalihbahasakan dari bahasa sumber

ke bahasa sasaran dengan mementingkan isi pesan dari bahasa sumber

sehingga pembaca yang bukan pengguna bahasa sumber dapat paham

dengan pesan yang disampaikan penulis dalam teks yang dibuat.

2. Proses Penerjemahan

Penerjemahan memiliki proses, dan proses penerjemahan menurut

Nida dan Taber (1969: 22) menggambarkan “penerjemahan sebagai

suatu proses komunikasi. Penerjemahan berdiri di antara dua bahasa.

Ia menjadi penerima BSu dan kemudian pengirim dalam Bsa.”

Jadi dalam penerjemahan yang menjadi alat berkomunikasi harus

memiliki proses. Penerjemahan BSu/TSu ke dalam BSa/TSa tidak

dapat terjadi begitu saja tanpa adanya proses.

Dalam melakukan proses mengalihkahbahasa diperlukan beberapa

teori yang membantu proses penerjemahan. Beberapa teori tersebut

dijadikan sebagai acuan di dalam penerjemahan suatu bahasa.

Seperti yang dikemukakan oleh Hoed (2006: 39) “Secara teoritis

penerjemahan merupakan suatu proses satu arah, yakni dari BSu ke

BSa. Jadi, terjemahan adalah suatu “reproduksi”, yakni hasil upaya

memproduksi pesan dalam bahasa lain.” Sehingga secara tidak


langsung, proses penerjemahan ini merupakan suatu pengalihan bahasa

dari satu bahasa (BSu) ke dalam bahasa lain (BSa).

Sesuai dengan pernyataan Hoed, terdapat beberapa teori

terjemahan yang dapat menjadi tumpuan dalam proses penerjemahan.

Salah satunya adalah proses penerjemahan menurut Nida (2015: 12)

penerjemahan terdiri dari 3 prosedur yaitu “analisis, transfer, dan

restrukturisasi”.

A (Source) B (Receptor)

(Analysis) Restructuring

X (Transfer) Y

Gambar 2.1 Proses Penerjemahan Tiga Tahap Nida dan Taber

(1974: 12)

a. Analysis, in which the suface structure (i.e., the message as given

in language A) is analyzed in terms of (a) the gramatical

relationship and (b) the meaning of the words and combination of

words,

b. Transfer, in which the analyzed material is transfered in the mind

of the translator from language A to language B,


c. Restructuring, in which the transferred material is restructure in

order to make the final message fully acceptable in the receptor

language. (Nida dan Taber 1974: 33)

Dari yang dikemukakan oleh Nida dan Taber dapat disimpulkan

penerjemahan diawali dengan menganalisis makna dan pesan dari teks

BSu lalu dari teks yang sudah dianalisis, kemudian ditransfer ke dalam

BSa, setelah itu direstrukturisasi agar berterima dengan Bsa.

Kemudian menurut Catford (1965: 20) mengemukakan bahwa:

a. In a full translation the entire text is submitted to the translation

process. That is, every part of Source Language (SL) text is

replaced by Target Language (TL) text material.

b. In a partial translation, some part or parts of the SL text are left

untranslated. They are simply transferred to and incorporated in

the TL text.

c. The distinction between full and partial translation is hardly a

(linguistically) technical one.

Dalam melakukan proses penerjemahan secara penuh maupun

sebagian, ada perbedaan cara yang digunakan. Seperti saat

menerjemahkan secara sebagian, ada beberapa teks yang dibiarkan

atau tidak diterjemahkan. Hanya ditransfer dan dimasukan ke dalam

BSa.

3. Teknik Penerjemahan
Untuk membantu menerjemahkan suatu teks dari suatu bahasa ke

bahasa lain, selain memerlukan metode juga memerlukan teknik.

Teknik penerjemahan ialah cara yang digunakan untuk mengalihkan

pesan dari BSu ke BSa, diterapkan pada tataran kata, frasa, klausa

maupun kalimat.

Menururt Hoed (2006: 72-78) dalam penerjemahan, seorang

penerjemah dituntut memecahkan persoalan penerjemahan pada

tataran kata, kalimat, atau paragraf. Cara penanggulangan itu disebut

teknik. Ada beberapa teknik yang penting untuk diketahui, yaitu

transposisi, modulasi, penerjemahan deskriptif, penjelasan tambahan,

catatan kaki, penerjemahan fonologis, penerjemahan resmi/baku, tidak

diberikan padanan, dan padanan budaya.

a. Transposisi

Penerjemah mengubah struktur kalimat agar dapat memperoleh

terjemahan yang betul.

Contohnya:

BSu: このホテルにはどちらもありません

Kono hoteru ni wa dochira mo arimasen

Diterjemahkan:

BSa: Hotel ini tidak memiliki apa-apa

Dari contoh di atas terjadi transposisi pergeseran struktur kalimat,

jika hanya menggunakan metode word-for-word, maka hasil


terjemahan dari contoh kalimat di atas akan menjadi “Ini (この)

hotel (ホテル) apa-apa (どちら) tidak memiliki (ありません)”.

b. Modulasi

Penerjemah memberikan padanan yang secara semantic berbeda

artinya atau cakupan maknanya, tetapi dalam konteks yang

bersangkutan memberikan pesan maksud yang sama.

Contohnya:

BSu: 腹へた

Haraheta

Diterjemahkan

BSa: Lapar

c. Penerjemahan Deskriptif

Penerjemah membuat “uraian” yang berisi makna kata yang

bersangkutan, karena tidak menemukan padanan kata BSu, baik

karena tidak tahu maupun karena tidak ada atau belum ada dalam

BSa.

Contohnya:

BSu: 木漏れ日

Komorebi

Diterjemahkan:

BSa: Sinar matahari yang menembus dedaunan


d. Penjelasan Tambahan

Penerjemah memberikan kata (-kata) khusus untuk mejelaskan

suatu kata yang tidak dapat dipahami (misalnya nama makanan

atau minuman yang masih dianggap asing oleh khalayak pembaca

BSa).

Contohnya:

BSu: 日本で秋のとき、紅葉がたくさんあります

Nihon de aki no toki, momiji ga takusan arimasu

Diterjemahkan:

BSa: Ketika musim gugur di jepang, ada banyak daun (?) momiji

e. Catatan Kaki

Penerjemah memberikan keterangan dalam bentuk catatan kaki

untuk memperjelas makna kata terjemahan, sebab tanpa kata

penjelasan tersebut kata terjemahan diperkirakan tidak akan

dipahami dengan baik oleh pembaca.

Contohnya:

BSu: 物の哀れ

Mono no aware

Diterjemahkan:

BSa: Mono no aware1


1
Mono no aware: Dapat berarti “Empati” atau “Mengasihani

sesuatu”. Berasal dari kanji 物 yang berarti “sesuatu”, dan kanji 哀

れ “kasihan”.

f. Penerjemahan Fonologis

Penerjemah membuat kata baru yang diambil dari bunyi kata

yang bersangkutan dalam BSu untuk disesuaikan dengan sistem

bunyi (fonologi) dan ejaan (grafologi) BSa.

Contohnya:

BSu: ハンバーガー

Hanbaagaa

Diterjemahkan:

BSa: Hamburger

g. Penerjemahan Resmi/Baku

Penerjemah langsung menggunakan sejumlah istilah, nama dan

ungkapan yang sudah baku atau resmu dalam BSa.

Contohnya:

BSu: 寿司

Sushi

Diterjemahkan:

BSa: Sushi

h. Tidak Diberikan Padanan


Penerjemah untuk sementara mengutip bahasa aslinya karena

belum ditemukan terjemahannya dalam BSa.

Contohnya:

BSu: 晩ごはんを上げましょう!いっただきます!

Bangohan wo agemashou! Ittadakimasu!

Diterjemahkan:

Bsa: Ayo kita makan malam! Ittadakimasu!

i. Padanan Budaya

Penerjemah menerjemahkan dengan memberikan padanan

berupa unsur kebudayaan yang ada dalam BSu.

Contohnya:

BSu: ワンワン

Wan Wan

Diterjemahkan:

BSa: Guk Guk

Maka seperti yang dikatakan Hoed sebelumnya, teknik

penerjemahan merupakan cara menanggulangi persoalan pada

tataran kata, kalimat, dan paragraf. Karena tanpa menggunakan

teknik, maka hasil terjemahan akan menjadi kurang jelas atau

kurang berterima.

Sedangkan menurut Molina dan Albir (2002: 509), teknik

penerjemahan memiliki 5 karakteristik yaitu:


a. Teknik penerjemahan mempengaruhi hasil terjemahan.

b. Teknik diklasifikasikan dengan perbandingan pada teks BSu.

c. Teknik berada di tataran mikro.

d. Teknik tidak saling berkaitan tetapi berdasarkan konteks tertentu.

e. Teknik bersifat fungsional.

Selain itu Molina dan Albir juga mengemukakan 18 teknik

penerjemahan. Berikut adalah 18 teknik penerjemahan tersebut:

a. Adaptasi (Adaptation)

Teknik ini dikenal dengan teknik adaptasi budaya. Teknik ini

dilakukan dengan mengganti unsur-unsur budaya yang ada pada

BSu dengan unsur budaya yang mmirip dan ada pada BSa. Hal

tersebut bisa dilakukan karena unsur budaya dalam BSu tidak

ditemukan dalam BSa, ataupun unsur budaya pada BSa tersebut

lebih akrab bagi pembaca sasaran. Teknik ini sama dengan teknnik

padanan budaya yang dikemukakan oleh Hoed sebelumnya.

b. Amplifikasi (Amplification)

Teknik penerjemahan dengan mengeksplisitkan atau

memparafrase suatu informasi yang implisit dalam BSu. Teknik ini

sama dengan eksplisitasi, penambahan, parafrasa eksklifatif.

Catatan kaki yang dijelaskan Hoed sebelumnya merupakan bagian

dari amplifikasi. Teknik reduksi adalah kebalikan dari teknik ini.

c. Peminjaman (Borrowing)
Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan meminjam kata

atau ungkapan dalam BSu. Peminjaman itu bisa bersifat murni

(pure borrowing) tanpa penyesuaian atau peminjaman yang sudah

dinaturalisasi (naturalized borrowing) dengan penyesuaian pada

ejaan ataupun pelafalan. Kamus resmi pada BSa menjadi tolak

ukur apakah kata atau ungkapan tersebut merupakan suatu

pinjaman atau bukan.

Contohnya:

BSu: 抹茶

Matcha

Diterjemahkan:

BSa: Matcha (Peminjaman murni)

Teh matcha (Peminjaman naturalisasi)

d. Kalke (Calque)

Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan menerjemahkan

frasa atau kata BSu secara literal. Teknik ini serupa dengan teknik

penerimaan (acceptation).

Contohnya:

BSu: スマートフォンアプリ

Sumaatofon apuri

Diterjemahkan:

BSa: Aplikasi Smartphone


e. Kompensasi (Compensation)

Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan menyampaikan

pesan pada bagian lain dari teks penerjemahan. Hal ini dilakukan

karena pengaruh stilistik (gaya) pada BSu tidak bisa diterapkan

pada BSa. Teknik ini sama dengan teknik konsepsi.

Contohnya:

BSu: せーの!

Se-no!

Diterjemahkan:

BSa: Satu, dua, tiga

f. Deskripsi (Description)

Teknik penerjemahan yang diterapkan dengan

menggantikan sebuah istilah atau ungkapan dengan deskripsi

bentuk dan fungsinya.

g. Kreasi Diskursif (Discursive Creation)

Teknik penerjemahan dengan menggunakan padanan yang

keluar konteks. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian calon

pembaca.

Contohnya:

BSu: ゲームの神様

Geemu no kamisama

Diartikan:
BSa: Sang Dewa Permainan

h. Padanan Lazim (Establish Equivalence)

Teknik dengan penggunaan istilah atau ungkapan yang sudah

lazim (berdasarkan kamus atau penggunaan sehari-hari). Teknik ini

sama dengan penerjemahan harifah yang diungkapkan oleh Hoed.

i. Generalisasi (Generalization)

Teknik ini menggunakan istilah yang lebih umum pada BSa

untuk BSu yang lebih spesifik. Hal tersebut dilakukan karena BSa

tidak memiliki padanan yang spesifik. Teknik ini serupa dengan

teknik penerimaan (acceptation).

Contohnya:

BSu: 町、街

Machi

Diartikan:

BSa: Kota

j. Amplifikasi Linguistik (Linguistic Amplification)

Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan menambahkan

unsur-unsur linguistik dalam BSa. Teknik ini lazim diterapkan

pada pengalihbahasaan konsekutif dan sulih suara.

Contohnya:

BSu: 片思い

Kataomoi
Diartikan:

BSa: Cinta bertepuk sebelah tangan

k. Kompresi Linguistik (Linguistic Compression)

Teknik yang dilakukan dengan mensintesa unsur-unsur

linguistik pada BSa. Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik

amplifikasi linguistik. Teknik ini lazim digunakan pada

pengalihbahasaan simultan dan penerjemahan teks film.

Contohnya:

BSu: 僕らの出会いがもし偶然ならば?運命ならば?

Bokura no deai ga moshi guuzen naraba? Unmei naraba?

Diterjemahkan:

BSa: Kita bertemu karena kebetulan? Atau takdir?

l. Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)

Teknik yang dilakukan dengan cara menerjemahkan kata demi

kata dan penerjemah tidak mengaitkan dengan konteks.

m. Modulasi (Modulation)

Teknik penerjemahan yang diterapkan dengan mengubah sudut

pandang, fokus atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan BSu.

Perubahan sudut pandang tersebut dapat bersifat leksikal atau

struktural.

n. Partikularisasi (Particualarization)

Teknik penerjemahan dimana penerjemah menggunakan istilah

yang lebih konkrit, presisi atau spesifik, dari superordinat ke


subordinat. Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik

generalisasi.

Contohnya:

BSu: 甘酸っぱいデザート

Amazuppai dezaato

Diartikan:

BSa: Hidangan penutup

o. Reduksi (Reduction)

Teknik yang diterapkan dengan penghilangan secara parsial,

karena penghilangan tersebut dianggap tidak menimbulkan distorsi

makna. Dengan kata lain, mengimplisitkan informasi yang eksplisit.

Teknik ini kebalikan dari teknik amplifikasi.

Contohnya:

BSu: Jokowi、インドネシアの大統領

Jokowi, indoneshia no daitouryou

Diartikan:

BSa: Jokowi

p. Subtitusi (Subtitution)

Teknik ini dilakukan dengan mengubah unsur-unsur linguistik

dan paralinguistik (intonasi atau isyarat).

Contohnya: Bahasa isyarat dalam bahasa Jepang, yaitu ketika

membentuk linkaran dengan ibu jari dan telunjuk lalu


memperlihatkan samping kelingking kepada lawan bicara

menunjukan ada sesuatu yang disepakati bersama.

q. Transposisi (Transposition)

Teknik penerjemahan dimana penerjemah melakukan

perubahan kategori gramatikal. Teknik ini sama dengan teknik

pergeseran kategori, struktur dan unit. Seperti kata menjadi frasa.

r. Variasi (Variation)

Teknik dengan mengganti elemen linguistik atau paralinguistik

(intonasi, isyarat) yang berdampak pada variasi linguistik.

B. Kesepadanan Budaya dalam Penerjemahan

Kesepadanan dalam penerjemahan berhubungan erat dengan makna

penerjemahan yang sudah dibahas di definisi penerjemahan yaitu

mengalihbahasakan suatu teks di mana pesan atau amanatnya

tersampaikan dalam teks yang sudah diterjemahkan. Menurut Nida dan

Taber (1974:12) menyatakan bahwa penerjemahan merupakan suatu

kegiatan untuk mencari padanan yang terdekat dan wajar (closest natural

equivalence) dalam Bsa. Padanan harus memiliki makna yang terdekat

dengan makna Bsu, khususnya dalam konteks bahasa dan budaya Bsu.

Namun untuk membuat pesan yang disampaikan benar-benar

tersampaikan dengan sempurna sangat susah karena perbedaan struktur

dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Karena hal tersebut maka dapat terjadi

padanan yang tidak terealisasikan.

Padanan yang tidak terealisasikan terbagi menjadi dua jenis yaitu:


a. Padanan Zero (Zero Equivalent)

Padanan zero adalah padanan yang tidak muncul dalam TSa

karena tidak mendapatkan padanan formal dalam BSa

BSu: パンをたべます

Pan o tabemasu

Diterjemakan:

BSa: Makan roti

b. Padanan Nil (Nil Equivalent)

Padanan ini adalah padanan yang tidak muncul dalam TSa karena

konsep yang dialihkan tidak dikenal dalam masyarakat BSa.

BSu: 私は英語を話すことができます

Watashi wa eigo wo hanasu koto ga dekimasu

Diterjemahkan:

BSa: Saya bisa berbicara bahasa Inggris

Walaupun terdapat padanan yang tidak terealisasikan bukan

berarti terjemahan tersebut tidak berkualitas. Terjemahan yang

berkualitas emenuhi 3 aspek, yaitu aspek keakuratan,

keberterimaan, dan aspek keterbacaan.

C. Linguistik

1. Fonologi

2. Morfologi

a. Pengertian Morfologi (Keitairon)


Morfologi adalah cabang linguistik yang mempelajari seluk-

beluk bentuk kata serta fungsi perubahan bentuk kata itu, baik

fungsi gramatikal maupun fungsi semantik. Menurut Crystal

dalam Ba’dulu (2010: 1) morfologi adalah cabang tata bahasa

yang menelaah struktur atau bentuk kata, utamanya melalui

penggunaan morfem.

b. Objek Kajian Morfologi

3. Sintaksis

a. Pengertian Sintaksis

Sintaksis adalah ~ Menurut Francis dalam Ba’dulu (2010:

43) sintaksis adalah sub bagian tata bahasa yang menelaah tentang

struktur kelompok-kelompok kata.

b. Objek Kajian Sintaksis

4. Semantik

5. Pragmatik

D. Kelas Kata

Kata adalah sekumpulan huruf yang memiliki arti dan memiliki jenis

yang bermacam-macam. Karena memiliki jenis yang bermacam-macam

itulah kata dibagi menjadi beberapa kategori. Dalam bahasa Indonesia,

pembagian kategori itu disebut Kelas Kata atau 「品詞」 Hinshi dalam

bahasa Jepang. Perlu diketahui, seperti pengkategorian kata menjadi Kata

Benda, Kata Sifat, Kata Kerja, dan sebagainya itulah yang disebut Kelas

Kata. Hal itu dibuat untuk mempermudah pembelajar dalam memahami


kata secara mendalam. Mengingat kata sendiri adalah unsur terpenting

sebagai pembangun kalimat.

Kelas kata dalam bahasa Jepang (hinshi bunrui) diklasifikasikan ke

dalam 10 bagian yaitu doushi (verba), i-keiyoushi (adjektiva), na-keiyoushi

(adjektiva), meishi (nomina), fukushi (adverbia), rentaishi (pronomina),

setsuzokushi (konjungsi), kandoushi (interjeksi), jodoushi (verba bantu),

dan joshi (partikel) (Sutedi, 2004:70).

1. Doushi

Menurut Sudjianto (2004: 149), doushi (verba) adalah salah satu

kelas kata dalam bahasa Jepang. Kelas kata ini dipakai untuk

menyatakan aktivitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Perhatikan

contoh kalimat-kalimat pada light novel No Game No Life berikut.

a. 白がその無慈悲な解法を示す。

Shiro ga sono mujihina kaihou o shimesu.

Shiro mengutarakan idenya yang tak kenal ampun.

b. 「あー。はいよ、今開ける」

“A-. Haiyo, ima akeru”

“Ah~. Sebentar ya, biar kubukakan pintunya.”

Kata shimesu dan akeru pada kalimat-kalimat di atas termasuk ke

dalam doushi. Kata shimesu pada kalimat a menyatakan aktivitas Shiro

yang mengutarakan idenya, kata akeru pada kalimat b menyatakan

aktivitas pada pintu yang akan dibuka oleh seseorang. Kata-kata


tersebut dapat mengalami perubahan tergantung pada konteks

kalimatnya.

Doushi memiliki beberapa jenis, Sudjianto (2005: 150)

menyatakan banyak istilah yang menunjukan jenis-jenis doushi

tergantung pada dasar pemikiran yang dipakainya. Beberapa jenis

doushi yang dimaksud adalah jidoushi, tadoushi, dan shodoushi.

Dari beberapa jenis doushi yang ada, Terada Takano dalam

Sudjianto (2004: 150) menambahkan fukugodoushi, haseigo toshite no

doushi, dan hojo doushi sebagai jenis-jenis doushi.

a. Fukugodoushi

Fukugodoushi adalah doushi yang terbentuk dari gabungan

dua buah kata atau lebih. Gabungan kata tersebut secara

keseluruhan dianggap sebagai satu kata (Sudjianto, 2004: 150).

Dalam hal ini, doushi yang digabungkan menjadi satu yang

membentuk doushi dengan makna yang berbeda dapat disebut

fukugodoushi. Senada dengan hal tersebut, Alwi dalam Taqdir,

dkk (2015: 50) mengemukakan bahwa verba majemuk adalah

verba yang terbentuk melalui proses penggabungan satu kata

dengan kata yang lain.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa

fukugodoushi dalam bahasa Jepang dapat disepadankan dengan

istilah verba majemuk dalam bahasa Indonesia.


Himeno dalam Taqdir, dkk (2014: 50) mengemukakan

bahwa verba majemuk dalam bahasa Jepang dapat dibentuk

dari penggabungan dua kelas kata. Pembentukan tersebut

meliputi pembentukan berkonstruksi nomina + verba, verba +

verba, adjektiva + verba dan adverbia + verba. Selanjutnya

dikatakan pembentukan verba yang berkonstruksi verba +

verba dalam bahasa bahasa Jepang dapat dibentuk dari dua

macam pembentukan yaitu verba bentuk te + verba dan verba

bentuk renyoukei + verba. Verba yang bergabung dengan verba

bentuk bentuk te disebut hojoudoushi (verba bantu), sedangkan

verba yang digabungkan dengan verba bentuk renyoukei

disebut fukugoudoushi (verba majemuk).

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

verba majemuk adalah verba yang terbentuk dari gabungan dua

buah kata atau lebih. Verba majemuk dalam pembahasan ini

adalah verba majemuk yang merupakan pembentukan

berkonstruksi verba dengan verba. Verba awal sering juga

disebut zenkoudoushi dan verba akhir disebut koukoudoushi.

(Taqdir, dkk, 2014)

Menurut Tjandra (2015: 124-125), verba majemuk adalah

verba yang terdiri dari 2 morfem leksikal atau lebih. Ditinjau

dari pembentukannya, verba majemuk dapat diidentifikasi

menjadi 3 jenis:
1) Verba Majemuk SURU

Verba Majemuk suru adalah verba majemuk yang

terdiri dari gabungan nomina verbal berposisi di depan

dan verba umum ‘suru’ bermakna “melakukan”

berposisi di belakang; dua-duanya mengandung makna

leksikal seperti contoh berikut ini:

a) Shurisuru, “reparasi” menjadi “memperbaiki”

b) Shugosuru, “kumpul” menjadi “berkumpul”

2) Verba Majemuk Tanpa Sufiks

Verba Majemuk Tanpa Sufiks adalah verba majemuk

yang merupakan gabungan dari verba tunggal; verba

berposisi di depan adalah inti, dan verba tunggal

berposisi di belakang adalah pelengkap, dua-duanya

bermakna leksikal.

a) Verba Tunggal: Kaku ‘mengaduk + Mazeru

‘menampur’

Verba Majemuk: Kakimazeru ‘mengaduk-aduk’

b) Verba Tunggal: Utsu ‘memukul’ + Otosu

‘menjatuhkan’

Verba Majemuk: Uchiotosu ‘menggeprak’

3) Verba Majemuk Bersufiks

Verba Majemuk Bersufiks adalah verba majemuk yang

terdiri dari verba tunggal berposisi di depan dan


bermakna leksikal, dengan sufiks yang berasal dari

verba atau adjektif tetapi bermakna gramatikal berposisi

di belakang seperti contoh berikut ini.

a) Sufiks ‘dasu’ bermakna “suatu kegiatan mulai

terjadi secara serentak, berasal dari verba ‘dasu’

bermakna “mengeluarkan”

Furu ‘turun’ + Dasu = Furidasu ‘(hujan) mulai

turun’

b) Sufiks ‘komu’ bermakna “keadaan masuk ke dalam”.

Berasal dari verba ‘komu’ bermakna “penuh sesak”

Hairu ‘masuk’ + Komu = Hairikomu ‘menyelinap’

*contoh*

b. Haseigo toshite no doushi

Di antara doushi ada juga doushi yang memakai prefiks

atau doushi yang terbentuk dari kelas kata lain dengan cara

menambahkan suffiks. Kata-kata tersebut secara keseluruhan

dianggap sebagai satu kata. (Sudjianto, 2004: 151)

c. Hojo doushi

Hojo doushi adalah doushi yang menjadi bunsetsu

tambahan. Verba-verba yang pada kalimat yang membantu

verba-verba yang ada pada bagian sebelumnya dan menjadi

predikat sebagaimana halnya fuzokugo. (Sudjianto, 2004: 151-

152)
2. I-keiyoushi

Kitahara dalam Sudjianto (2004: 154) menyatakan i-keiyoushi

‘adjektiva-i’ sering disebut juga keiyoushi yaitu kelas kata yang

menyatakan sifat atau keadaan sesuatu, dengan sendirinya dapat

menjadi predikat dan dapat mengalami perubahan bentuk. Dengan kata

lain, i-keiyoushi merupakan kelas kata yang menyatakan kata sifat.

Setiap kata yang termasuk i-keiyoushi selalu diakhiri dengan

silabel /i/ dalam bentuk kamusnya, dapat menjadi predikat, dan dapat

menjadi kata keterangan yang menerangkan kata lain dalam suatu

kalimat (Sudjianto, 2004: 154).

3. Na-keiyoushi

Sudjianto dalam Kartika (2017: 99) mengatakan, na-keiyoushi

sering disebut juga keiyoudoushi (termasuk jiritsugo) yaitu kelas kata

yang dengan sendirinya dapat membentuk sebuah bunsetsu (frasa),

dapat berubah bentuknya (termasuk yoogen), dan bentuk shuushikei-

nya berakhiran dengan da atau desu. Karena perubahannya mirip

dengan doushi sedangkan artinya mirip dengan keiyoushi, maka kelas

kata ini dinamakan keiyoudoushi.

Adjektiva ini mengutarakan perasaan, keadaan, dan sifat orang,

benda atau suatu hal. Secara morfologis adjektiva-na berbeda dengan

adjektiva-i ketika ia berfungsi sebagai rentaikei “prenomina”

4. Meishi
Matsuoka dalam Sudjianto (2004: 155) menyatakan, meishi adalah

kata-kata yang menyatakan orang, benda, peristiwa, dan sebagainya,

tidak mengalami konjugasi, dan dapat dilanjutkan dengan kakujoshi.

Dengan kata lain, meishi dalam bahasa jepang tidak akan mengalami

perubaha bentuk, baik tunggal maupun jamak.

5. Rentaishi

Rentaishi adalah kelas kata yang termasuk kelompok jiritsugo yang

tidak mengenal konjugasi yang digunakan hanya untuk menerangkan

nomina (Sudjianto, 2004: 162). Rentaishi termasuk ke dalam kelas kata

yang tidak dapat berdiri sendiri dan tidak mengenal konjugasi atau

deklinasi, hal ini yang membedakannya dengan doushi (verba),

keiyoushi (kata sifat) dan jodoushi (verba bantu). Kemudian, rentaishi

tidak dapat menjadi subjek, objek ataupun predikat. Rentaishi hanya

menerangkan taigen atau meishi (nomina).

6. Fukushi

Matsuoka dalam Sudjianto (2004) menyatakan, fukushi adalah

kata-kata yang menerangkan verba, adjektiva, dan adverbia yang

lainnya, tidak dapat berubah, dan berfungsi menyatakan keadaan atau

derajat suatu aktivitas, suasana, atau perasaan pembicara. Hamzon

dalam Syahputra (2012) menyebutkan juga bahwa fukushi juga dapat

berfungsi menerangkan taigen (nomina) dan adverbia lain.

7. Kandoushi
Kandoushi adalah salah satu kelas kata yang termasuk jiritsugo

yang tidak dapat berubah bentuknya, tidak dapat menjadi subjek, tidak

dapat menjadi keterangan, dan tidak dapat menjadi konjungsi. Namun

kelas kata ini dengan sendirinya dapat menjadi sebuah bunsetsu

walaupun tanpa bantuan kelas kata lain. Di dalam kandoushi

terkandung kata-kata yang mengungkapkan perasaan seperti rasa

terkejut dan rasa gembira, namun selain itu di dalamnya terkandung

juga kata-kata yang menyatakan panggulan atau jawaban terhadap

orang lain (Sudjianto, 2004: 169).

8. Setsuzokushi

Setsuzokushi adalah salah satu kelas kata yang termasuk ke dalam

kelompok jiritsugo yang tidak dapat mengalami perubahan. Kelas kata

setsuzokushi tidak dapat menjadi subjek, objek, predikat ataupun kata

yang menerangkan kata lain (shuushokugo). Setsuzokushi berfungsi

menyambungkan suatu kalimat dengan kalimat lain atau

menghubungkan bagian kalimat dengan bagian kalimat lain (Sudjianto,

2004: 170).

9. Jodoushi

Menurut Sudjianto (2004: 174) jodoushi adalah kelompok kelas

kata yang termasuk fuzokugo yang dapat berubah bentuknya. Kelas

kata ini dengan sendirinya tidak dapat membentuk bunsetsu. Ia akan

membentuk bunsetsu apabila dipakai bersamaan dengan kata lain yang

dapat menjadi sebuah bunsetsu.


10. Joshi

Joshi adalah kelas kata yang termasuk fuzokugo yang dipakai

setelah suatu kata untuk menunjukan hubungan antara kata tersebut

dengan kata lain serta untuk menambah arti kata tersebut lebih jelas

lagi (Sudjianto, 2004: 181). Senada dengan Hirai dalam Azzahro

(2011) mengatakan Joshi adalah kelas kata yang termasuk fuzokugo

(kata tambahan). Fuzokugo adalah kelompok kelas kata yang tidak bisa

berdiri sendiri tanpa bantuan kata lain untuk membentuk kalimat,

dipakai setelah suatu kata yang menunjukkan hubungan antara kata

tersebut dengan kata lain serta untuk menambah arti kata tersebut agar

menjadi lebih jelas lagi. Kelas kata Joshi tidak mengalami perubahan

bentuknya.

E. Light Novel

Novel ringan atau light novel (ライトノベル) adalah sejenis novel yang

sering disertai dengan ilustrasi anime atau manga, biasanya ditunjukan

untuk pembaca remaja usia sekolah menengah. (Enomoto: 2008).

Novel ringan Jepang tidak hanya terseusun dari kata demi kata saja,

namun terdapat variasi yang menggambarkan karakteristik dari novel

tersebut, seperti ilustrasi gambar yang menyerupai anime atau manga.

Sasaran dari novel ringan ditujukan untuk pelajar menengah atau remaja

yang biasanya memiliki ketertarikan khusus untuk membaca novel ringan.

Novel ringan juga biasa disebut ranobe atau LN yang merupakan

singkatan dari Light Novel. Novel ringan biasanya memiliki kata-kata yang
tidak lebih dari 40.000 sampai 50.000 kata, dan biasanya tidak melebihi

200 halaman. Novel ringan juga memiliki jadwal rilis yang padat, dirilis

dengan ukuran bunkobon (A6), dan memiliki gambar ilustrasi di dalamnya.

Novel ringan dirilis secara berkala di majalah antologi sebelum akhirnya

merilis novel ringan dengan judul sendiri.

Novel ringan adalah evolusi dari majalah roman picisan Jepang (pulp

magazine). Untuk menarik minat pembaca, mulai tahun 1970-an, majalah

jenis ini mulai menyisipkan ilustrasi ke daam cerita dan menyertakan

artikel mengenai film, anime, dan game populer.

Seusai dengan perkembangan sejarahnya, novel ringan ini merupakan

suatu perubahan karya sastra yang dimulai dari novel seperti pada

umumnya dan mulai menyisipkan gambar ilustrasi ke dalam cerita. Tidak

hanya memiliki cerita yang monoton, seiring perkembangan zaman, novel

ringan juga mengalami perubahan mulai dari penyertaan artikel dari

berbagai macam sumber, sehingga membuat pembaca merasa tertarik

untuk membacanya.

Narasi yang berkembang menyesuaikan minat generasi baru dan pada

akhirnya penuh dengan ilustrasi dengan gaya modern. Dari generasi ke

generasi, novel ringan berkembang pesat dengan menyesuaikan pada

perkembangan zaman, di mana peminat yang ditunjukan kepada remaja

kini beralih ke semua kalangan.

Yang membedakan novel ringan dengan novel biasa adalah, novel

ringan memiliki cerita yang lebih pendek dan hanya memiliki beberapa
gambar ilustrasi saja. Novel ringan juga mudah dibaca karena

mengandung lebih banyak kanji modern yang ada di dalam teksnya.

1. Sinopsis

No Game No Life adalah komedi surealis di mana Sora dan Shiro,

pasangan kakak beradik hikikomori dan NEET (Not in Education,

Employment, or Training) atau pengangguran yang merupakan

pasangan duet pemain game online legendaris yang merupakan

pemilik username “ 「 」 ”. Mereka menganggap kehidupan nyata

hanyalah sebuah game cacat; tetapi secara tiba-tiba muncul sebuah e-

mail yang menantang mereka untuk bertanding catur yang kemudian

mengubah segalanya. Sora dan Shiro terjun ke dalam dunia lain di

mana mereka bertemu dengan Tet, sang Dewa Permainan.

Dewa misterius tersebut menyambut Sora dan Shiro ke Disboard ,

dunia di mana segala jenis konflik mulai dari yang remeh seperti

pertengkaran kecil hingga yang menentukan takdir sebuah negara tidak

ditentukan dengan perang, melainkan dengan mempertaruhkannya

dalam permainan. Cara ini berjalan karena sebuah peraturan mutlak di

mana setiap masing-masing dari suatu kelompok atau individu harus

mempertaruhkan sesuatu yang dianggap sebanding dengan apa yang

dipertaruhkan oleh kelompok atau individu lainnya. Di dunia seperti

ini, di mana takdir ditentukan oleh permainan anak-anak, Sora dan

Shiro sebagai pasangan jenius dalam permainan yang awalnya acuh

tak acuh akhirnya menemukan alasan untuk tetap bermain game: untuk
menyatukan 16 ras di dalam Disboard, mengalahkan Tet, dan menjadi

dewa di dunia di mana game adalah segalanya.

F. Penelitian yang Relevan

Pada penelitian ini penulis menggunakan penelitian yang relavan

dengan penelitian sebelumnya yaitu;

1. Hasil penelitian relevan yang pertama dari Puji Laksono pada tahun

2014 dari Universitas Sains Al Qur’an Wonosobo yang berjudul

Analisis Metode Penerjemahan dalam Menerjemahkan Novel Revolusi

di Nusa Damai ke Revolt in Paradise. Hasil penelitian tersebut

menjelaskan bahwa dalam menerjemahkan Novel Revolusi di Nusa

Damai ke Revolt in Paradise, metode penerjemahan yang digunakan

adalah milik Vinay dan Darbenet yang membagi metode penerjemahan

menjadi tujuh bagian, yaitu peminjaman, calque, penerjemahan harfiah,

transposisi, modulasi, padanan, dan adaptasi. Berbagai macam metode

penerjemahan digunakan dalam menerjemahkan novel ini. Pemilihan

metode penerjemahan harus dilakukan dengan hati-hati dengan melihat

berbagai faktor yang ada.

2. Hasil penelitian relevan yang kedua berasal dari penelitian Ahmad

Fadly pada tahun 2016 dari Universitas Muhammadiyah Jakarta yang

berjudul Ideologi dalam Penerjemahan Budaya: Analisis Pada Novel

Terjemahan “Negeri 5 Menara” Karya Ahmad Fuadi. Hasil penelitian

tersebut menjelaskan bahwa pada terjemahan novel Negeri 5 Menara,

prosedur yang digunakan oleh penerjemah adalah transferensi,


naturalisasi, padanan budaya, padanan fungsional, padanan deskriptif,

transposisi, modulasi, kompensasi, pengurangan, perluasan kuplet, dan

catatan. Prosedur yang paling sering digunakan oleh penerjemah

adalah padanan fungsional dan padanan budaya. Hal ini menunjukan

bahwa tujuan penerjemah menerjemahkan TSu adalah untuk

memudahkan pembaca TSa memahami inti cerita, bukan mengenalkan

budaya BSu kepada pembaca TSa.

Hasil penelitian relevan ketiga berasal dari penelitian Nastiti Puji Nooraini

pada tahun 2013 dari Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul

Analisis Penerjemahan Kala Plus-Que-Parfait Bahasa Perancis pada

Novel Bonjour Tristesse Karya Françoise Sagan ke dalam Bahasa

Indonesia pada Novel ‘Lara Kusapa’ Karya Ken Nadya. Hasil penelitian

tersebut menjelaskan bahwa pergeseran yang terjadi pada padanan plus-

que-parfait bahasa Perancis dalam bahasa Indonesia yaitu pergeseran

tataran dan pergeseran kategori. Pergeseran tataran yang dimaksud yaitu

bergesernya tataran gramatikal dalam BSu menjadi tataran leksikal dalam

BSa. Untuk menyatakan kala plus-que-parfait, bahasa Perancis betul-betul

pada tataran gramatikal yang ditunjukan dengan penggunaan auxiliaire

avoir atau être (yang dikonjugasikan dalam kata imparfait) serta participe

passé. Sedangkan bahasa Indonesia karena tidak mengenal konjugasi

maka untuk mengungkapkan kata lampau, dinyatakan dengan leksem

tertentu.

Anda mungkin juga menyukai