Anda di halaman 1dari 10

Nama : Sy.

Faika Muzaenab Al-Habsyi


NIM : F021181308
Prodi : Sastra Bugis-Makassar
Matkul : Terjemahan Lontaraq

Pertemuan 1: Pappaseng
Pappaseng : paseng (pesan/ wasiat/ berita/) adalah salah satu puisi Bugis.

Contoh:
Mau orowané
massipa’ makkunrai,
makkunrai mui asenna

Meskipun lelaki
jika bersifat perempuan,
maka ia adalah perempuan

Pertemuan 2: Defenisi dan Proses Penerjemahan


Nida dan Taber (1969) menyatakan secara lebih jelas proses penerjemahannya:
Translating consists of reproducing in the receptor language the closest natural
equivalent of the source language message, first in terms of meaning and secondly in
terms of style.
“Penerjemahan adalah usaha mencipta kembali pesan dalam bahasa sumber (BSu)
ke dalam bahasa sasaran (BSa) dengan padanan alami yang sedekat mungkin,
pertama-tama dalam hal makna dan kemudian gaya bahasanya.”
Dalam penjelasan tersebut, Nida dan Taber tidak mempermasalahkan
bahasa-bahasa yang terlibat dalam penerjemahan, tetapi lebih tertarik pada cara kerja
penerjemahan, yakni mencari padanan alami yang semirip mungkin sehingga pesan
dalam BSu bisa disampaikan dalam BSa.
Brislin (1976:1) menuliskan dalam bukunya Translation: Applications and
Research:
Translation is the general term referring to the transfer of thoughts and ideas from
one language (source) to another (target), whether the languages are in written or
oral form; whether the languages have established orthographies or do not have such
standardization or whether one or both languages is based on signs, as with sign
languages of the deaf.
“Penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada proses pengalihan buah
pikiran dan gagasan dari satu bahasa (sumber) ke dalam bahasa lain (sasaran), baik
dalam bentuk tulisan maupun lisan; baik kedua bahasa tersebut telah mempunyai
sistem penulisan yang telah baku ataupun belum, baik salah satu atau keduanya
didasarkan pada isyarat sebagaimana bahasa isyarat orang tuna rungu.”
Dari definisi ini dapat diketahui bahwa Brislin memberi batasan yang luas pada
istilah penerjemahan. Bagi dia, penerjemahan adalah pengalihan buah pikiran atau
gagasan dari satu bahasa ke dalam bahasa lain. Kedua bahasa ini bisa serumpun,
seperti bahasa Sunda dan Jawa, seperti bahasa Inggris dan Indonesia, atau bahkan
bahasa yang sama tetapi dipakai pada kurun waktu yang berbeda. Misalnya bahasa
Bugis toriyoloe dan bahasa Bugis masa sekarang. Namun, dalam definisi ini tidak
tersirat proses penerjemahan dan kriteria terjemahan yang baik.
Selain itu, menurut Pinhhuck (1977: 38):
Translation is a process offinding a TL equivalent for an SL utterance.
“Penerjemahan adalah proses penemuan padanan ujaran bahasa sumber di dalam
bahasa sasaran.”
Dalam definisi-definisi yang muncul terkait penerjemahan dalam kurun waktu
1960-1970-an bisa dilihat adanya tiga kesamaan.
- Pertama, adanya perubahan dari bahasa satu ke bahasa yang lainnya;
- kedua adalah adanya makna atau pesan yang dipertahankan;
- terakhir adalah adanya kewajiban dari penerjemah untuk mengusahakan
padanan di dalam bahasa sasaran yang sedekat mungkin.
Di antara ketiga hal tersebut, konsep tentang padananlah yang menarik untuk
dicermati, karena setiap penulis mempunyai konsep atau lingkup yang berbeda.
Catford (1969:21), misalnya, hanya menyebutkan equivalent textual material. Dia
tidak menyebutkan kata makna atau pesan dalam definisinya. Jadi, Materi
tekstualnyalah yang harus padan menurut Catford. Ini bisa jadi kosakatanya,
struktumya (gayanya), dan juga maknanya karena tidak mungkin penerjemahan dapat
mengabaikan maknanya demi padanan struktur bahasanya saja.
Masalah utama dalam penerjemahan (Catford, 1969) adalah bagaimana
menemukan padanan terjemahan di dalam BSa. Sementara itu, tugas utama teori
penerjemahan adalah memberi batasan akan hakikat dan syarat-syarat padanan
terjemahan.
Catford menyatakan bahwa di dalam penerjemahan total, teks atau butir-butir
BSu dan BSa adalah padanan terjemahan jika teks-teks tersebut bisa saling ditukar
dalam situasi yang sama. Jadi, idealnya padanan terjemahan haruslah
berkorespondensi satu-satu: jika X ada di dalam BSu, maka Y ada di dalam BSa; jika
Y ada di dalam BSa, maka X ada di dalam BSu.
Sementara itu, Savory menyebutkan bahwa yang seharusnya padan adalah buah
pikiran atau gagasannya. Yang sangat jelas membahas masalah ini adalah Nida dan
Taber yang menyebutkan closest natural equivalent of the SL message. Jadi, menurut
kedua ahli itu yang harus padan dulu adalah pesan dari naskah yang diterjemahkan,
dan padanannya pun harus yang alami dan semirip mungkin sehingga bisa membawa
pesan yang sama.
1. Proses Penerjemahan
Proses penerjemahan adalah suatu model yang dimaksudkan untuk menerangkan
proses pikir (internal) yang dilakukan manusia saat melakukan penerjemahan.

Teks BSu Teks BSa


Preses penerjemahan linear

Gambar di atas menjelaskan bahwa penerjemah langsung menuliskan kembali


teks BSu dalam teks BSa. Sekilas memang begitulah tampaknya. Perhatikan contoh
berikut.
She kicked the farmer. (Dia menendang petani itu.)
Jika Anda diberi kalimat tersebut, tentu Anda pun langsung menerjemahkan
begitu. Langsung dan satu arah. Akan tetapi, jika yang harus diterjemahkan adalah
kalimat yang lebih kompleks, coba terjemahkan kalimat berikut.
Social control is a process whereby conformity to norms is maintained in a
society.
Kita tidak bisa secepat menerjemahkan She kicked the farmer tadi. Kita terpaksa
dengan hati-hati berusaha mendapatkan makna dari kalimat itu dengan segala cara,
dengan melihat kamus, dengan mempertimbangkan struktur yang disebut relative
clause, dan sebagainya.
Oleh karena itu, Nida dan Taber (1969:33) menggambarkan proses
penerjemahannya, yakni penerjemahan dinamis, sebagai berikut.

Bentuk teks BSu Bentuks teks BSa


↓ ↑
Analisis Restrukturisasi
↓ ↑
Isi teks BSu ―Transfer― isi teks BSa

a. Proses penerjemahan Dinamis


Dalam proses ini terdapat tiga tahap, yaitu tahap analisis, transfer, dan
restrukturisasi. Dalam tahap analisis, penerjemah menganalisis teks BSu dalam
hal (a) hubungan gramatikal yang ada dan (b) makna kata dan rangkaian
kata-kata untuk memahami makna atau isinya secara keseluruhan. Hasil tahap ini,
yaitu makna BSu yang telah dipahami,
b. Proses Penerjemahan yang Disempurnakan
1) Tahap analisis atau pemahaman. Dalam tahap ini struktur lahir (atau
kalimat yang ada) dianalisis menurut hubungan gramatikal, menurut makna kata
atau kombinasi kata, makna tekstual, dan makna kontekstual. Ini merupakan
proses transformasi balik.
2) Tahap transfer. Dalam tahap ini materi yang sudah dianalisis dan
dipahami maknanya tadi diolah penerjemah dalam pikirannya dan dipindah dari
BSu ke dalam BSa. Dalam tahap ini belum dihasilkan rangkaian kata; semuanya
hanya teriadi di dalam batin penerjemah.
3) Tahap restrukturisasi. Dalam tahap ini penerjemah berusaha mencari
padanan kata, ungkapan, dan struktur kalimat yang tepat dalam BSa sehingga isi,
makna, dan pesan yang ada dalam teks BSu tadi bisa disampaikan sepenuhnya
dalam BSa.
4) Tahap evaluasi dan revisi. Setelah didapat hasil terjemahan di BSa, hasil
itu dievaluasi atau dicocokkan kembali dengan teks aslinya. Kalau dirasa masih
kurang padan, maka dilakukanlah revisi.
Dari uraian dalam bab ini bisa dikemukan dua kesimpulan. Pertama, dari definisi
penerjemahan bisa disimpulkan bahwa penerjemahan adalah suatu kegiatan untuk
mengungkapkan kembali makna dari teks BSu dengan padanan yang tepat di dalam
teks BSa.
Dari bahasan tentang proses penerjemahan bisa disimpulkan bahwa pada
dasarnya proses penerjemahan terdiri dari dua tahap: (a) analisis teks asli dan
pemahaman makna dan/atau pesan teks asli dan (b) pengungkapan kembali makna
dan/atau pesan tersebut di dalam BSa dalam kata-kata atau kalimat yang berterima di
dalam BSa.

Pertemuan 3: Prinsip-Prinsip Terjemahan


Terjemahan yang setia kepada penulis aslinya maksudnya adalah terjemahan
yang penerjemahnya berusaha mempertahankan ciri-ciri ekspresi atau gaya ungkap
penulisnya. Ciri-ciri ekspresi ini tercermin di dalam teks BSu, oleh karena itu, baik
dalam hal pilihan kata maupun struktal berarti penerjemah juga berusaha
mempertahankan gaya tulisan teks BSu. Secara lebih terperinci, penerjemah dikatakan
mempertahankan pilihan kata teks BSu apabila ia menerjemahkan setian kata teks
BSu tanpa atau dengan penyesuaian sesedikit mungkin. Mempertahankan struktur
kalimat teks BSu dilakukan dengan tidak mengubah bentuk kalimat teks BSu di dalam
teks BSa, misalnya, kalimat aktif diterjemahkan menjadi kalimal aktif, kalimat pasif
menjadi kalimat pasif.
Sementara itu, penerjemah yang setia kepada pembaca teks BSa akan berusaha
menuliskan kembali makna atau pesan teks BSu di dalam teks BSa dengan kata yang
mudah dimengerti dan struktur yang tersusun rapi. Terjemahan yang setia terhadap
teks BSa akan selalu terbaca seperti layaknya teks asli, bukan teks terjemahan.
a. Prinsip-Prinsip Terjemahan yang Setia kepada Teks BSu
Untuk penerjemahan yang setia kepada penulis/teks BSu ini, prinsip-prinsip yang
bisa dipakai adalah sebagai berikut.
1. Terjemahan harus memakai kata-kata teks BSu.
2. Kalau dibaca, terjemahan harus terasa seperti terjemahannya.
3. Terjemahan harus mencerminkan gaya bahasa teks BSu.
4. Terjemahan harus mencerminkan waktu ditulisnya teks asli (contemporary of
the author).
5. Terjemahan tidak boleh menambah atau mengurangi hal-hal yang ada di teks
BSu.
6. Genre sastra tertentu harus dipertahankan di dalam terjemahan.
b. Prinsip-Prinsip Terjemahan yang Setia kepada Pembaca Teks BSa
Untuk penerjemahan yang setia kepada pembaca/teks BSa, prinsip-prinsip berikut
bisa dijadikan pedoman.
1. Terjemahan harus memberikan ide teks BSu, dan tidak perlu kata-katanya.
2. Kalau dibaca, terjemahan harus terasa seperti teks asli dalam hal
keluwesannya.
3. Terjemahan harus memiliki gayanya sendiri.
4. Terjemahan harus menggambarkan waktu saat teks BSu itu diterjemahkan.
5. Terjemahan boleh menambah atau mengurangi teks BSu.
6. Terjemahan tidak harus mempertahankan genrenya.

Pertemuan 4: Jenis-Jenis Terjemahan


1. Terjemahan Harfiah
Secara umum terjemahan harfiah adalah terjemahan yang mengutamakan
padanan kata atau ekspresi di dalam BSa yang mempunyai rujukan atau makna yang
sama dengan kata atau ekspresi dalam BSu. Sebagai contoh, kata cat adalah kucing
dalam bahasa Indonesia dan tidak boleh ditafsirkan lebih dari binatang berkaki empat,
bertubuh kecil, dan berada dalam famili feline.
Dalam hal struktur kalimat, ada dua pendapat yang berbeda. Bagi Nida dan Taber
(1969) dan Larson (1984), terjemahan harfiah harus mempertahankan struktur kalimat
BSu-nya meskipun truktur itu tidak berterima di dalam BSa. Terjemahan yang disebut
terjemahan harfiah oleh Nida, Taber dan Larson adalah terjemahan kata-demi-kata
menurut Newmark. Dalam terjemahan ini, tata bahasa BSu dan susunan katanya
dipertahankan di dalam BSa (Newmark, J988: 69). Sebagai contoh: He works in the
house bisa diterjemahkan menjadi Dia bekerja di dalam itu rumah.
Terjemahan harfiah menurut Newmark, harus menggunakan struktur kalimat
yang berterima di dalam BSa. Jadi, terjemahan harfiah versi Newmark ini sama
dengan terjemahan harfiah yang dimodifikasi Lanson. Menurut Newmark, terjemahan
harfiah bisa saja berupa terjemahan satu demi satu (misalnya, garden diterjemahkan
menjadi taman, tetapi tidak harus kebun), frasa demi frasa (a beautiful garden
menjadi sebuah taman yang indah), klausa demi klausa (When that was done menjadi
begitu hal itu selesai), atau bahkan kalimat demi kalimat (There comes the man
menjadi Datanglah orang itu). Terjemahan ini mungkin juga kurang tepat karena
yang dimaksud bisa saja itu dia orangnya datang).
2. Terjemahan Dinamis
Konsep terjemahan dinamis sebenarnya tidak pernah disebutkan secara eksplisit
di literatur-literatur tentang penerjemahan, kecuali Suryawinata yang sekilas menulis
bahwa terjemahan dinamis adalah terjemahan yang mengandung lima unsur dalam
batasan yang dibuat oleh Nida dan Taber yaitu:
(1) reproduksi pesan,
(2) ekuivalensi atau padanan,
(3) padanan yang alami,
(4) padanan yang paling dekat,
(5) mengutamakan makna.
Dari hal tersebut jelas bahwa yang dimaksud terjemahan dinamis adalah
terjemahan seperti yang dianjurkan Nida dan Taber di dalam bukunya The Theory and
Practice of Translation (1969). Jenis terjemahan ini berpusat pada konsep tentang
padanan dinamis dan sama sekali berusaha menjauhi konsep padanan formal atau
bentuk.
Perhatikan contoh berikut.
BSu : Pada pagi buta ia pulang dari mengayuh becak. la masuk angin dan
minta dikeroki.
Dinamis : Before dawn he came back from pedalling the pedicab. He got a cold
and asked for a massage.
Bsu : Alat-alat elektronik itu harus dilengkapi dengan penyerap kelembaban.
3. Terjemahan Harfiah dan Terjemahan Idiomatis
Terjemahan harfiah, menurut Larson (1984: 16), adalah terjemahan yang
berusaha meniru bentuk BSu. Yang dimaksud bentuk di sini adalah kata-kata dan
struktur yang digunakan. Dengan kata lain, dalam terjemahan harfiah, penerjemah
menggunakan kata-kata BSa yang mempunyai arti literal yang sama dengan kata-kata
BSu-nya. Sementara itu, stuktur dalam hasil terjemahannya masih menggunakan
struktur BSu-nya. Kadang-kadang struktur aslinya ini bisa diterima atau bahkan tidak
bisa diterima di dalam BSa.
Perhatikan contoh-contoh berikut.
BSu : What is your name?
Harf : Apa namamu?
Idiom : Siapa namamu? atau Siapa nama Anda?
BSu : Can I have your name?
Harf : Bisakah saya memperoleh namamu?
Idiom : Siapa nama Bapak? atau Siapa nama Ibu? atau Siapa nama Anda?
Menurut Larson (1984:16-17), ragam terjemahan ini dikontraskan dengan
terjemahan idomatis. Terjemahan jenis ini menggunakan bentuk, dalam hal ini
kata-kata dan struktur kalimat BSa yang luwes. Terjemahan ini berusaha menciptakan
makna yang ingin disampaikan penulis atau penutur asli, di dalam kata dan tata
kalimat yang luwes di dalam BSa. Dengan demikian, terjemahan yang betul-betul
idiomatis tidak akan terasa seperti terjemahan, tetapi terasa seperti tulisan asli. Oleh
karena itu, menurut Larson (1984:16) tujuan akhir setiap penerjemahan hendaknya
terjemahan idiomatis.
4. Terjemahan Semantis dan Komunikatif

Berpihak pada BSu Berpihak pada BSa

harfiah (literal) bebas (free)

solia (faithful) idomatik (idiomatic)

Semantis Komunikatif
Dalam bagan tersebut, ragam terjemahan dilihat dari derajat keberpihakannya
terhadap teks atau kepada pembacanya. Terjemahan yang sangat berpihak pada teks
BSu adalah terjemahan harfiah. Terjemahan jenis ini berusaha untuk mempertahankan
bentuk (gaya) dan makna yang ada di dalam teks BSu di dalam terjemahannya tanpa
memperhitungkan apakah bentuk atau gaya bahasa itu wajar di dalam BSa, apakah
pembaca teks BSa-nya bisa mengerti terjemahan itu dengan mudah atau tidak.
Di antara terjemahan setia dan idiomatis ini ada terjemahan semantik dan
komunikatif. Keduanya bersinggungan. Keduanya mungkin saja tidak bisa dibedakan
untuk beberapa kasus, namun untuk kasus-kasus yang lain mereka memang berbeda.
Mereka tidak berbeda bila struktur atau gaya bahasa teks BSu sama dengan struktur
atau gaya bahasa teks BSa, dan isinya bersifat umum. Perhatikan contoh berikut.
BSu : The young man is wearing a heavy light blue jacket.
Sem./Kom : Pemuda itu memakai jaket tebal berwarna biru muda.
Harfiah : Lelaki muda itu memakai jaket berat biru muda.
Bila struktur atau gaya bahasa di teks BSu bersifat unik, artinya BSa tidak
mempunyai struktur itu, maka kedua terjemahan ini berbeda karena terjemahan
semantis harus mempertahankan gaya bahasa itu sedapat mungkin, sementara
terjemahan komunikatif harus mengubahnya menjadi struktur yang tidak hanya
berterima di BSa, tetapi harus luwes dah cantik. Terjemahan komunikatif berusaha
menciptakan efek yang dialami oleh pembaca BSa sama dengan efek yang dialami
oleh pembaca BSu. Oleh karena itu, sama sekali tidak boleh ada bagian terjemahan
yang sulit dimengerti atau terasa kaku.
Biasanya terjemahan semantis tetap dalam lingkup budaya BSu, tetapi
penerjemah bisa memberi sedikit konsesi bagi pembaca BSa dengan sekadar
mengubah makna yang bersifat tidak begitu penting kalau itu memang bisa membantu
pembaca untuk membaca teks BSa tersebut. Sementara itu terjemahan komunikatif
cocok untuk sebagian besar teks non-sastra. Meskipun pada tataran teori kedua
macam terjemahan ini bisa dipisahkan, tetapi dalam praktek penerjemahan teks yang
cukup panjang keduanya bisa sama-sama diterapkan.
Newmark (1991: 10) menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada terjemahan
semantis atau komunikatif murni. Yang ada adalah sebuah terjemahan yang lebih
cenderung ke arah semantis atau komunikatif, atau bahkan dalam bagian-bagian
tertentu bersifat semantis dan pada bagian lain bersifat komunikatif.

Pertemuan 5: Aksara Bugis dan Karakteristiknya


Karakteristik dalam aksara Bugis:

1. Aksara Bugis berciri aksara vokal, yakni setiap aksara dasar berupa konsonan
mengandung bunyi vokal a (contoh: k, g, G, K, p, b, P, t, d, dst).

2. Aksara Bugis memiliki ciri bentuk dan bunyi silabik dan aksaranya non alphabetic.
Unsur-unsur gejala sillabic mencakup beberapa hal sebagai berikut:

a. Setiap satu kata dapat dibaca lebih dari satu bunyi, baik bunyi yang
mengandung arti maupun yang tidak mengandung arti. Contoh: kata [bo]
bunyi yang dapat muncul adalah bola, bolla’, bolang, bongla, bonglang,
bongla’, bo’la, bo’lang, dan bo’la’; dua kata yang pertama mengandung arti
sedangkan yang lainnya tidak memiliki arti.
b. Tidak terdapat simbol bunyi “ng” dalam bentuk aksara. Dalam bahasa lisan,
luncuran bunyi “ng” dalam pengucapan kata Bugis kerapkali muncul, akan
tetapi dalam penulisan aksara/kata kode sama sekali tidak ada. Contoh:
aulE, harus dibaca uleng, bEl, harus dibaca bellang. Pembacaan setiap
kata secara benar tergantung kemampuan pembaca melakukan identifikasi
bunyi secara tepat yang didukung kemampuan atau penguasaan bahasa lisan.

c. Tidak terdapat simbol bunyi glotal stop pada kata atau suku kata. Dalam
pengucapan atau pembunyian kata bunyi glotalstop muncul tetapi tidak ada
penanda-penanda berupa bentuk pada penulisan aksaranya. Contoh: kata bErE
secara literer bentuknya:[be-re], tetapi bacaan seharusnya adalah bereq
(harus diikuti glotal stop di belakang suku kata re).

d. Tidak terdapat simbol untuk bunyi geminasi atau penebalan bunyi untuk suku
kata tertentu. Contoh: mkutn [ma-ku-ta-na], tetapi bunyi dan bentuk yang
seharusnya adalah [ma-kku-ta-na].

3. Bahasa Bugis lebih berciri sebagai bahasa vokal (bunyi) daripada bahasa tulis
(bentuk). Arti atau makna suatu kata sangat tergantung pada kode-kode bunyi,
bukan pada kode-kode aksara. Sebuah kata bentuknya tidak berubah akan tetapi
dapat memunculkan arti atau makna yang berbeda dengan membuat variasi
bunyi misalnya dengan membuat geminasi pada suku kata tertentu. Contoh:
mnsu [manasu] atau [mannasu]. lri [lari; llari]. Masing-masing dua kata
mempunyai arti yang berbeda meskipun lahir dari bentuk yang sama.

Anda mungkin juga menyukai