Pertemuan 1: Pappaseng
Pappaseng : paseng (pesan/ wasiat/ berita/) adalah salah satu puisi Bugis.
Contoh:
Mau orowané
massipa’ makkunrai,
makkunrai mui asenna
Meskipun lelaki
jika bersifat perempuan,
maka ia adalah perempuan
Semantis Komunikatif
Dalam bagan tersebut, ragam terjemahan dilihat dari derajat keberpihakannya
terhadap teks atau kepada pembacanya. Terjemahan yang sangat berpihak pada teks
BSu adalah terjemahan harfiah. Terjemahan jenis ini berusaha untuk mempertahankan
bentuk (gaya) dan makna yang ada di dalam teks BSu di dalam terjemahannya tanpa
memperhitungkan apakah bentuk atau gaya bahasa itu wajar di dalam BSa, apakah
pembaca teks BSa-nya bisa mengerti terjemahan itu dengan mudah atau tidak.
Di antara terjemahan setia dan idiomatis ini ada terjemahan semantik dan
komunikatif. Keduanya bersinggungan. Keduanya mungkin saja tidak bisa dibedakan
untuk beberapa kasus, namun untuk kasus-kasus yang lain mereka memang berbeda.
Mereka tidak berbeda bila struktur atau gaya bahasa teks BSu sama dengan struktur
atau gaya bahasa teks BSa, dan isinya bersifat umum. Perhatikan contoh berikut.
BSu : The young man is wearing a heavy light blue jacket.
Sem./Kom : Pemuda itu memakai jaket tebal berwarna biru muda.
Harfiah : Lelaki muda itu memakai jaket berat biru muda.
Bila struktur atau gaya bahasa di teks BSu bersifat unik, artinya BSa tidak
mempunyai struktur itu, maka kedua terjemahan ini berbeda karena terjemahan
semantis harus mempertahankan gaya bahasa itu sedapat mungkin, sementara
terjemahan komunikatif harus mengubahnya menjadi struktur yang tidak hanya
berterima di BSa, tetapi harus luwes dah cantik. Terjemahan komunikatif berusaha
menciptakan efek yang dialami oleh pembaca BSa sama dengan efek yang dialami
oleh pembaca BSu. Oleh karena itu, sama sekali tidak boleh ada bagian terjemahan
yang sulit dimengerti atau terasa kaku.
Biasanya terjemahan semantis tetap dalam lingkup budaya BSu, tetapi
penerjemah bisa memberi sedikit konsesi bagi pembaca BSa dengan sekadar
mengubah makna yang bersifat tidak begitu penting kalau itu memang bisa membantu
pembaca untuk membaca teks BSa tersebut. Sementara itu terjemahan komunikatif
cocok untuk sebagian besar teks non-sastra. Meskipun pada tataran teori kedua
macam terjemahan ini bisa dipisahkan, tetapi dalam praktek penerjemahan teks yang
cukup panjang keduanya bisa sama-sama diterapkan.
Newmark (1991: 10) menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada terjemahan
semantis atau komunikatif murni. Yang ada adalah sebuah terjemahan yang lebih
cenderung ke arah semantis atau komunikatif, atau bahkan dalam bagian-bagian
tertentu bersifat semantis dan pada bagian lain bersifat komunikatif.
1. Aksara Bugis berciri aksara vokal, yakni setiap aksara dasar berupa konsonan
mengandung bunyi vokal a (contoh: k, g, G, K, p, b, P, t, d, dst).
2. Aksara Bugis memiliki ciri bentuk dan bunyi silabik dan aksaranya non alphabetic.
Unsur-unsur gejala sillabic mencakup beberapa hal sebagai berikut:
a. Setiap satu kata dapat dibaca lebih dari satu bunyi, baik bunyi yang
mengandung arti maupun yang tidak mengandung arti. Contoh: kata [bo]
bunyi yang dapat muncul adalah bola, bolla’, bolang, bongla, bonglang,
bongla’, bo’la, bo’lang, dan bo’la’; dua kata yang pertama mengandung arti
sedangkan yang lainnya tidak memiliki arti.
b. Tidak terdapat simbol bunyi “ng” dalam bentuk aksara. Dalam bahasa lisan,
luncuran bunyi “ng” dalam pengucapan kata Bugis kerapkali muncul, akan
tetapi dalam penulisan aksara/kata kode sama sekali tidak ada. Contoh:
aulE, harus dibaca uleng, bEl, harus dibaca bellang. Pembacaan setiap
kata secara benar tergantung kemampuan pembaca melakukan identifikasi
bunyi secara tepat yang didukung kemampuan atau penguasaan bahasa lisan.
c. Tidak terdapat simbol bunyi glotal stop pada kata atau suku kata. Dalam
pengucapan atau pembunyian kata bunyi glotalstop muncul tetapi tidak ada
penanda-penanda berupa bentuk pada penulisan aksaranya. Contoh: kata bErE
secara literer bentuknya:[be-re], tetapi bacaan seharusnya adalah bereq
(harus diikuti glotal stop di belakang suku kata re).
d. Tidak terdapat simbol untuk bunyi geminasi atau penebalan bunyi untuk suku
kata tertentu. Contoh: mkutn [ma-ku-ta-na], tetapi bunyi dan bentuk yang
seharusnya adalah [ma-kku-ta-na].
3. Bahasa Bugis lebih berciri sebagai bahasa vokal (bunyi) daripada bahasa tulis
(bentuk). Arti atau makna suatu kata sangat tergantung pada kode-kode bunyi,
bukan pada kode-kode aksara. Sebuah kata bentuknya tidak berubah akan tetapi
dapat memunculkan arti atau makna yang berbeda dengan membuat variasi
bunyi misalnya dengan membuat geminasi pada suku kata tertentu. Contoh:
mnsu [manasu] atau [mannasu]. lri [lari; llari]. Masing-masing dua kata
mempunyai arti yang berbeda meskipun lahir dari bentuk yang sama.