Anda di halaman 1dari 9

METODE TERJEMAH AL-QUR’AN

Sifat-Sifat Terjemahan Al-Qur’an Untuk Berdakwah

Disusun oleh:

Muhammad Haikal (190303086)


M. Alif Akbar (180303100)
Nur Amalia (180303070)
Rizki Maulana Z (180303025)
Bayu Maulana (180303029)

Dosen Pembimbing:
Ilham Hidayatullah, Lc., MA.

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA ACEH


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
2021
A. Pengertian Terjemah

Terjemah adalah kegiatan manusia dalam mengalihkan makna atau pesan, baik
verbal maupun non verbal, dari suatu bentuk ke bentuk yang lainnya. Menurut Anwar
Nurul Yamin “Yang di maksud penerjemahan di sini adalah pengalihbahasaan Al-
Qur’an dari bahasa aslinya, yakni bahasa Arab ke dalam bahasa si penerjemah,
misalnya ke dalam bahasa inggris atau bahasa Indonesia”.1
Terjemah ialah menjelasakan apa yang diinginkan oleh kalimat dalam bahasa
asalnya, bahkan detail-detail teks aslinya, untuk di alihbahasakan kedalam teks
penerjemah. Sebagai contoh, kadangkala sebuah ungkapan tidak untuk menunjukkan
makna, melainkan untuk menampakkan penyesalan atau menampakkan kesedihan dan
lain sebagainya. Terjemahan itu harus sedemikian akurat hingga bisa
mengalihbahasakan makna penyesalan dan kesedihan, tidak hanya memindahkan
makna hakiki, atau majasi suatu lafazh.
Terkadang sebuah kata bisa dimengerti ketika berada dalam susunan kalimat.
Oleh karena itu syarat penerjemah ialah harus mengerti dua bahasa untuk bisa
mengartikulasikan secara mendetail maksud dari kalimat yang akan dialihbahasakan
dengan sempurna. Ringkasnya naskah hasil terjemahan harus mencerminkan naskah
aslinya secara sempurna agar tidak terjadi kekurangan sedikit pun.
B. Urgensi Terjemah Al-Qur’an sebagai Sarana Dakwah

Penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa lain dengan tujuan


mengenalkan bahasa Arab dan hakikat pengetahuan Qurani kepada bangsabangsa
asing, harus menjadi salah satu alasan keharusan berdakwah. Para mubaligh Islam
selalu membimbing manusia ke jalan yang lurus dengan terjemahan dan tafsiran yang
ayat-ayat dan surah-surah Al-Qur’an. Hingga saat ini tak ada satupun ulama dan fakih
yang melarang penerjemahan AlQur’an ke dalam bahasa-bahasa lain. Tujuannya
adalah berdakwah tentang agama Islam dan memperkenalkan syariat dan hakikat Al-
Qur’an kepada semua orang.2
Penerjemahan Al-Qur’an sejak dahulu hingga sekarang sudah menjadi bagian
sejarah yang digeluti para ilmuwan Muslim. Saat ini salah satu sana tablig terbaik

1
Anwar Nurul Yamin, Taman Mini Ajaran Islam Alternatif Mempelajari Al-Qur’an, (Bandung:
PT Remaja Rosdaskarya, 2004), hal. 101
2
Muhammad Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-quran..., hal. 275-276
adalah menterjmahkan ayat-ayat al-Quran dan mengenalkan hakikat-hakikat dan
ilmu-ilmu Al-Qur’an berikut syarah dan tafsirnya kepada penduduk dunia. Sejatinya
penduduk dunia ingin mengetahui hakikat-hakikat Al-Quran yang terbukti membuat
bangsa-bangsa dengan budaya beraneka ragam menjadi satu bangsa dan menjadikan
mereka bersatu menghadapi orang-orang zalim.
Dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an itu sangat perlu diterjemahkan kesemua
bahasa-bahasa dunia untuk bisa mereka miliki agar mengambil manfaat dari Al-
Qur’an secara langsung. Tentunya pekerjaan ini harus mendapat bimbingan dari
orang-orang ahli dan saleh.

C. Sifat-Sifat Terjemahan Al-Qur’an

1. Terjemahan Harfiah (Literal Translation)


Secara umum terjemahan harfiah adalah terjemahan yang mengutamakan
padanan kata atau ekspresi di dalam BSa yang mempunyai rujukan atau makna
yang sama dengan kata atau ekspresi dalam BSu. Sebelumnya dapat kita ketahui
Bsu ialah padanan struktural bahasa al-Quran (Bsu) dan Sedangkan Bsa yaitu
bahasa Indonesia (Bsa). Terjemahan harfiah dapat juga dikatakan tarjamah
lafziyyah atau musâwiyyah yang diikuti oleh Yohaânâ ibn al-Batriq, Ibnu
Nâ’imah, al Himsa, dan sebagainya.3 Yang menjadi sasaran dalam terjemahan
harfiah adalah kata. Sehingga dalam menerjemahkan BSu ke dalam BSa, seorang
penerjemah pertama kali memahami teks, lalu menggantinya dengan BSa pada
posisi dan tempat kata BSu. Dengan menggunakan terjemahan harfiyah,
penerjemah hanya mencari padanan Bsu dengan Bsa-nya baik dari kata per kata
maupun posisi kata itu sendiri, sehingga susunan kata dalam kalimat terjemahan
sama persis dengan kalimat aslinya. Terjemahan harfiah semacam itu masih tetap
mempertahankan struktur BSu, meskipun struktur itu tidak berterima di dalam
Bsa.

2. Terjemahan bersifat Dinamis


Terjemahan Dinamis ini seperti yang dianjurkan oleh Nida dan Taber di
dalam bukunya The Theory and Practice of Translation harus berpusat pada
konsep tentang padanan dinamis dan sama sekali berusaha menjauhi konsep
3
Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005) h. 69.
padanan formal dan bentuk.4 Namun secara eksplisit, mereka tidak menjelaskan
unsur-unsur terjemahan dinamis ini, kecuali Suryawinata yang menjelaskan
bahwa ragam terjemahan ini mengandung lima unsur, yaitu: 1) reproduksi pesan,
2) ekuivalensi atau padanan, 3) padanan yang alami, 4) padanan yang paling dekat
dan 5) mengutamakan makna.5
Terjemahan yang baik tentu saja terjemahan yang memiliki tingkat
keterbacaan yang tinggi. Keterbacaan yang tinggi, menurut Nida dan Taber, dapat
dicapai apabila si penerjemah mampu melahirkan padanan alami dari BSu yang
sedekat mungkin di dalam BSa, sehingga terjemahan itu mempunyai pengaruh
dan dampak yang ditimbulkannya pada pembaca BSa sama dengan yang
ditimbulkannya pada pembaca BSu.6
Seperti yang diuraikan di atas, terjemahan dinamis harus mengandung
padanan yang alami. Dilihat dari teori Semantik, hal ini sepertinya tidak mungkin
terwujud, karena pada dasarnya tidak ada dua kata yang mempunyai makna yang
persis sama, apalagi bila dua kata itu berasal dari bahasa dengan latar sosial dan
budaya yang benar-benar berbeda. Dalam terjemahan ini, istilah sepadan sering
menimbulkan kesulitan bagi penerjemah. Jika keserupaan pesan di dalam BSu
terhadap BSa itu tidak menjadi masalah, maka bisa diterjemahkan sesuai dengan
pesan yang terkandung di dalam BSu tadi. Namun, masalahnya apakah pesan
tersebut bisa dipahami oleh pembaca BSa. Oleh karena itu, si penerjemah dalam
terjemahan dinamis ini jangan berpikir “Bagaimana kalimat ini diterjemahkan?”,
tetapi “Bagaimana pesan dalam teks ini terungkapkan dalam BSa?”.
Contoh ayat al-Quran yang bisa dikategorikan terjemahan dinamis seperti
terjemahan ayat 268 surah al-Baqarah: “Setan menjanjikan kemiskinan
kepadamu...” Kata kemiskinan pada ayat tersebut merupakan terjemahan dari kata
al-faqr yang seharusnya diterjemahkan kefakiran. Tetapi beberapa terjemahan al-
Quran Indonesia seperti yang disusun oleh Mahmud Junus, HB. Jassin dan Depag
RI menerjemahkan al-Faqr dengan kemiskinan. Padahal sebagaimana telah
diketahui antara kemiskinan dan kefakiran berbeda istilah dan makna menurut

4
Konsep padanan formal dan bentuk ini dekat sekali dengan konsep terjemahan harfiah.
5
Suryawinata, Terjemahan: Pengantar Teori dan Praktek (Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti,
PPLPTK, 1989), h. 8.
6
Eugene A. Nida dan Charles R. Taber The Theory and Practice of Translation (Leiden: E.J.
Brill, 1982), h. 22.
konteks golongan penerima zakat. Kemudian, penggunaan kemiskinan dalam
terjemahan ayat tersebut lebih bermakna dan mudah diterima oleh pembaca Bsa
daripada kefakiran, karena istilah-istilah yang banyak digunakan dan
diperdengarkan oleh masyarakat Indonesia adalah kemiskinan, misalnya
pengentasan kemiskinan, di bawah garis kemiskinan, dan sebagainya.

3. Terjemahan Idiomatis
Terjemahan jenis ini tidak jauh berbeda dengan terjemahan harfiah. Si
penerjemah sangat berperan dalam menentukan apakah terjemahan itu harfiah
atau idiomatis. Jadi penerjemah berusaha menciptakan kembali makna dalam
BSu, yakni makna yang diinginkan penulis atau penutur asli, di dalam kata atau
kalimat yang luwes di dalam BSa. Terjemahan yang betul-betul idiomatis tidak
akan terasa seperti terjemahan, tetapi terasa seperti tulisan atau ungkapan asli.
Oleh karena itu, menurut Larson, tujuan akhir setiap terjemahan hendaknya
terjemahan idiomatis dan seorang penerjemah yang baik adalah penerjemah yang
selalu berusaha menciptakan terjemahan idiomatis. Di dalam contoh berikut,
dilihat dari struktur BSu maupun BSa sama persis. Jadi terjemahan ini sudah
memadai dalam ragam terjemahan harfiah maupun idiomatis.
‫انا احبها‬
BSa : i love her
BSa : Aku mencintainya
Karena kesamaan struktur dalam BSu dan BSa pada contoh di atas,maka
terjemahan tersebut dapat dikategorikan pada terjemahan kata-demi-kata (word-
for-word) Akan tetapi dalam banyak kasus, struktur ini tidak bisa diterima di
dalam BSa. Misalnya:
‫ما اسمك‬
BSu : what is your name
Harfiah : apa nama kamu
Idomatis : siapa nama kamu
Terjemahan harfiah di atas tidak bisa berterima bagi orang
Indonesia,karena pertanyaan tentang nama tidak diungkapkan dengan ungkapan
Apa namamu? Melainkan dengan ungkapan siapa namamu? Masih banyak lagi
contoh-contoh terjemahan idiomatis, seperti ungkapan-ungkapan BSu yang
disampaikan saat berjumpa atau berpisah dengan teman atau saudara : yaitu,
ahlan wa sahlan “selamat datang”, Sabah al khair “selamat pagi”, masa al khair
“selamat sore”, kaifa haluk “bagaimana kabarmu”, bi al khair “baik-baik saja”,
syukran “terima kasih”, ma'a al Salamah “selamat jalan” dan sebagainya.
Ada beberapa ungkapan Al Quran yang identik dengan ungkapan di atas
Yang dapat diterjemahkan menurut terjemahan idiomatis seperti ayat 54 surah Al
An'am : ‫فقل سالم عليكم‬
Maka katakanlah : salam sejahtera untuk kamu. Ungkapan salam ‘alaikum
banyak ditemukan di dalam al-Quran Hingga 19 tempat. Kemudian, ungkapan ini
dapat juga dialihkan makna Bsa Menjadi salam sejahtera. Pengalihan makna
tersebut bisa saja terjadi dalam terjemahan menurut ragam terjemahan idiomatis,
karena ungkapan salam sejahtera sudah menjadi ungkapan resmi dalam bahasa
lisan maupun tulisan di kalangan masyarakat Indonesia. Dalam terjemahan, ragam
terjemahan idiomatis jarang sekali terjadi secara keseluruhan. Yang sering adalah
campuran antara terjemah harfiah, terjemah idiomatis; sebagian diterjemahkan
secara harfiah karena memang sudah cukup dan sebagian yang lain diterjemahkan
secara idiomatis.

4. Terjemahan Semantic dan Terjemahan Komunikatif


Di antara terjemahan harfiah dan idiomatis ini ada terjemahan semantis
dan komunikatif. Keduanya saling bersinggungan. Terkadang keduanya tidak bisa
dibedakan untuk beberapa kasus, namun untuk kasus-kasus yang lain, keduanya
bisa dibedakan. Terjemahan semantis pada dasarnya terjemahan yang bersifat
objektif. Karena berusaha menerjemahkan apa yang ada, tidak menambah,
mengurangi atau mempercantik. Ragam terjemahan ini hanya ingin memindahkan
makna dan gaya bahasa teks BSu ke dalam teks BSa. Gaya bahasa BSu tidak bisa
dikorbankan selama bisa dimengerti di dalam BSa.
Banyak ayat-ayat al-Quran yang mengandung gaya bahasa yang memang
maknanya langsung bisa dipahami, sehingga teks Indonesia tetap mencerminkan
teks Bahasa al-Quran. Di antara ayat yang dapat diterjemahkan secara semantis
adalah ayat 223 :surah al-Baqarah ‫" نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم‬Isteri-isterimu
adalah ladang bagimu, Maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara
yang kamu sukai."
Contoh ayat di atas terdapat kata nisa'ukum yang diterjemahkan dengan
makna istri-istrimu. Kata nisâ merupakan bentuk jamak dari kata mar`ah atau
imra'ah yang berarti orang perempuan atau wanita. Meskipun kata wanita, dan
perempuan memiliki perbedaan, tetapi semuanya memiliki unsur kesesuaian ciri-
ciri semantik antara unsur leksikal yang satu dengan unsur leksikal yang lain.
Terjemahan komunikatif juga berlaku pada terjemahan al-Quran, seperti
"dan langit itu Kami bangun dengan tangan (kami)." Ayat 47 surah al-Dzâriyât.
Menurut kajian stylistik, gaya bahasa al-Quran pada ayat tersebut menggunakan
majâz mursal atau sepadan dengan gaya bahasa sinekdoke dalam bahasa
Indonesia. Dengan munculnya arti tangan pada ayat tersebut, berarti ada sebagian
makna yang hilang. Karena itu, penyederhanaan makna pada ayat-ayat seperti di
atas menciptakan sikap, pemikiran dan penafsiran para pembacanya.
Newmark menyatakan bahwa terjemahan semantis biasa digunakan untuk
menerjemahkan teks-teks otoritatif (authoritative) atau teks ekspresif, yakni teks-
teks yang isi dan gayanya, gagasan dan kata-kata serta strukturnya sama-sama
pentingnya. meskipun banyak ragam terjemahan sebagai alternatif dan model
pengembangan dalam terjemahan, penerjemah tetap harus memiliki prinsip-
prinsip dasar yang harus dimilikinya. Yang dimaksud dengan prinsip prinsip
terjemahan di sini adalah seperangkat acuan dasar yang seharusnya
dipertimbangkan oleh para penerjemah.

Pada kenyataannya. Terjemahan al-Quran Depag RI tetap menganut dua


prinsip di atas, karena ragam terjemahan yang diembannya tidak sebatas
terjemahan harfiyah, melainkan terjemahan semantis, idiomatis dan komunikatif
yang semuanya bisa dan mungkin terjadi. Hal itu disebabkan oleh teks al-Quran
sebagai teks keagamaan yang berbentuk prosa dengan bahasa yang puitis. Di
samping itu, teks al-Quran mengandung ajaran-ajaran teologis yang tentunya akan
berpengaruh dalam memahami teks aslinya dan bagaimana menetapkan
terjemahannya.7

Kesimpulan

7
Peter Newmark, Approaches to Translation (Oxford: Pergamon Press, 1981), h. 51
Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab.
Secara Teologis, secara teologis versi Al-Qur’an dalam bahasa Arablah yang
dianggap sebagai Al-qur’an yang asli, firman yang berasal langsung dari Allah,
dan dibaca dalam praktik ibadah. Tidak satupun terjemahan yang bisa disejajarkan
dengan Al-Qur’an, atau sebagai firman Allah, dan tidak ada satupun terjemahan
itu yang memiliki status yang sama dengan versi Arabnya.
Terjemahan hanya dipandang kaum muslimin hanya sebagai alat untuk
memahami makna-makna Al-Qur’an. Semua muslim Arab maupun non Arab
dengan maksud mendapatkan kepuasan dan berkah pengucapan firman suci;
firman inilah yang terucap dari mulut Nabi dan dibaca oleh sahabat-sahabatnya,
maupun oleh generasi muslim berikutnya, di negeri-negeri yang berbeda dan di
sepanjang era Islam.
Dapat disimpulkan Al-Qur’an sangat perlu diterjemahkan ke semua
bahasa-bahasa dunia untuk bisa mereka miliki agar dapat mengambil manfaat dari
Al-Qur’an secara langsung. Tentunya harus mendapat bimbingan dari orang-orang
ahli dan shaleh.
Adapun mengenai Sifat-sifat Terjemahan Al-Qur’an terbagi empat sifat
yakni terjemahan harfiah (Literal Translation), terjemahan dinamis, selanjutnya
terjemahan bersifat idiomatis, terakhir yaitu terjemahan semantis dan terjemahan
komunikatif.
Dan untuk Terjemahan Al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia
bersifat semantis. Kecenderungan terjemahan semantis dapat diketahui dari
objektifitasnya, yakni tidak terikat dengan Bsu maupun Bsa secara penuh. Struktur
Bsu (padanan struktural bahasa Al-Quran), makna dan gaya bahasanya tetap
dipertahankan dalam terjemahan Bsa (padanan struktural bahasa Indonesia),
sehingga terjemahan al-Quran masih tetap terasa sedikit kaku tetapi tidak sekaku
terjemahan harfiah.

Referensi :
 Eugene A. Nida dan Charles R. Taber The Theory and Practice of Translation (Leiden:
E.J.Brill, 1982)
 Peter Newmark, Approaches to Translation (Oxford: Pergamon Press, 1981)
 Suryawinata, Terjemahan: Pengantar Teori dan Praktek (Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti,
PPLPTK, 1989)
 Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005).

Anda mungkin juga menyukai