:
ikan Allah sendiri, bahwa usaha mendiskreditkan Alquran oleh kaum
orientalis dan berbagai upaya menghalang-halangi pengamalan dan
pelaksanaan nilai-nilaiya pasti akan mengalami kegagalan. Keyakinan
ini bukan semata-mata karena adanya janji Allah yang memelihara ke-
sucian dan kemurnian Alqur'an (QS al-Hijr, 15: 9), melainkan karena
para mufasir selalu meluruskan paham-paham yang bengkok tentang
Alquan. Mereka berjuang keras u n t u k membantah dan mematahkan
paham-paham keliru dan salah terhadap Alquran.
Iculah letak arti penting (signifikansi) dari kebutuhan umat Islam
terhadap keberadaan ilmu tafsir. Itu pula yang menjadi penyebab
status hukum mempelajari ilmu tafsir oleh ulama dihukumi wajib,
setidaknya wajibkifayah (kewajiban kolektif). Bahkan, wajib 'ain bagi
yang berkemampuan khusus dan berkesempatan luas untuk melaku-
kannya. Berkenaan dengan keistimewaan ilmu tafsir dan kebutuhan
tcrhadapnya, Muhammad Abd al-Azhim az-Zarqani berkomentar:
"Kemajuan masyarakat mus/im daI am konteks perorangan dan keumatan mus-
tahil bisa terbebaskan dari ikhtiar-usaha untuk mewujudkannya dari kemudahan
yang tidak ada gangguan, dan dari hal-hal yang rnembingungkan, kecuali harus
melibatkan berbagaipetunjuk Allah denganjalan mempelajari Alquran, berikut
rangkaian susunan kata-katanya yangsangat bijaksana dan mengjndahkan semua
unsur kebahagiaan untuk umat manusia. Lebili penting lagi, semua itu tidak
mungkin diperoleh kecuali setelah memahami Alquran dan merenungi maktianya.
Jadi, makna ilmu tafsir merupakan kunci perbendaharaan dan warisan yang
ternuat da/am Alquran yang ditun/nnkan untuk kemaslahatan manusia. Tanpa
ilmu tafsir yang menjadi sasaran-tujuan pokoknya, mustahi! kita sampai pada
perbendaharaan dan simpanan (kekayaan) yang terdapat da!am Alquran".
Kewajiban mempelajari ilmu tafsir bisa didukung pula oleh kaidah ushul-
fiqh yang menyatakan al-amr bisyai-in amara bi wasilatih, perintah terhadap
scsuatu berarti perintah pula terhadap wasilahnya. Jika kaidah ushul-fiqh
ini dihubungkan dengan tafsir Alquran dan ilmu tafsir akan lahir sebuah
prinsip bahwa jika memahami Alquran itu diperintah (wajib), mempelajari
ilmu tafsirnya juga menjadi wajib karena mustahil bisa memahami Alquran
yang wajib itu tanpa mempelajari ilmu tafsir sebagai alatnya.
Terjemah Alquran
Secara harfiah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu
pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa lainnya (singkatnya mengali-
hbahasakan, to translate). Jadi, terjemahan berarti salinan bahasa atau
"I • lumul Imuran:
Memahami Kandunftin Alquran
1. Jenis T e r j e m a h
Sesuai dengan pengertiannya, teijemah lazim dibedakan dalam dua
macam: terjemah harfiah dan tafsiriah. Terjemah harfiah yang juga umum
disebut terjemah lafziah ialah terjemahan yang dilakukan apa adanya
Vhtmtl fjunln:
Mtmahami Kandunpqn Alqurdn
% l U i i j f i j k . ^ - j 4 %
I lumm ^yHluri •
JAimdbami Kanduntftn Alqurdn
m
'Vlumul Qurun:
Mcmabami Kunduntpn Atifuntn
2 Syarat Penerjemah
Kegiatan menerjemah, lebih-lebih menerjemahkan Alquran ke dalam
khasa asing, bukan merupakan perbuatan mudah yang bisa dilakukan
ttmbarang orang, kapan dan di mana pun. Kegiatan penerjemahan tergo-
long pekerjaan berat, meskipun tidak berarti mustahil dilakukan seseorang,
terutama oleh merekayangberbakat dan berminat untuk menjadi mutarjim.
Hihkan, bagi penerjemah-profesional, boleh jadi, ia tidak mengalami kesuli-
tan berarti dalam menerjemahkan buku dan lainnya, termasuk Alquran.
'lerlepas dari soal berat-ringannya kegiatan menerjemah, sesederhanaapa
pun suatu perbuatan, pasti memerlukan sejumlah persyaratan formal yang
harus dipcnuhi oleh pelakunya. Terlebih lagi perbuatan yang tergolong berat
dan memerlukan perhatian serius seperti pe-neijemahan Alquran ke dalam
bahasa asing. Untuk meneijemahkan Alquran, khususnya, dan bahasa-bahasa
lain, seorangcalon mutarjim harus memenuhi beberapa persyaratan. Syarat-
syarat terpentingyang dimaksud, menurut adz-Dzahabi, sebagai berikut.
a. Mutarjim Alquran harus memenuhi prasyarat yang dikenakan pada
mufasir seperti memiliki/'Wwz/baik, niatyangtulus (husn an-niyah),
menguasai ilmu-ilmuyangdiperlukan (antaralain ilmu kalam, fikih,
usul-fikih, dan ilmu akhlak). Melalui syarat ini, seorang penerjemah
Alquran bisa terhindar dari kemungkinan salah atau keliru dalam
menerjemahkan Alquran.
b. Mutarjim Alquran harus memiliki akidah Islam yang kuat dan lurus
(shihhat al-itiqad). Seseorang yang tidak memiliki akidah Islam yang
sehat tidak diperbolehkan menerjemahkan atau menafsirkan Alquran
karena tidak sejalan dengan tujuan utama dari penurunan Alquran,
yakni menjadi kitabal-hidayah. Jika penerjemahan Alquran diserahkan
kepada orang-orang yang tidak beriman (misalnya orientalis) dan tidak
berkepentingan dalam pengamalan Alquran sangat mungkin bila ter-
jemahannya itu bercampur-aduk dengan kesalahan dan kerancuan.
c. Mutarjim harus menguasai dengan baik dua bahasa yang bersang-
kutan: bahasa asal yang diterjemahkan (misalnya, bahasa Alquran,
bahasa Arab) dan bahasa terjemahan (misalnya, bahasa Indonesia
atau bahasa daerah). Jadi,mutarjim bahasa Alquran ke dalam bahasa
Indonesia tidak hanya dituntut menguasai dengan baik bahasa
Alquran (bahasa Arab) yang terjemahkan, tetapi juga harus mum-
puni dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik-benar. Bila
hanya menguasai salah satunya, tidaklah mungkin dapat melahirkan
terjemahan Alquran (buku lainnya) yang benar-benar handal.
MfjMJ^T'
mmm WHm •.
'('lumuiQuran:
Memahami Kandunfqn Alquran
* "m Vtm
..M
'('lumul Quran:
Mtmahami Kandun»an Alquran
^ „ " - . „ t %'
^ - J U ^ E l l j ^ l Ai^
Kata ya-isna min al-mahidh yang tercantum pada ayat di atas oleh
Tim Penerjemah diterjemahkan sebagai putus-asa dari haid. Padahal
yang dimaksud adalah kaum wanita yang telah berhenti dari haid,
antara lain, karena usia yang sudah lanjut. Demikian pula, kata
baqaratun yang diterjemahkan sapibetina, baik ketika menerjemahkan
nama surat al-Baqarah itu sendiri maupun penerjemahan setiap kata
baqaratun yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 67, 68, 69, 70, dan
VlumulQurin:
Memahami Kanduntqn Alquran
7l. Penerjemahan kaca baqaratun dengan sapi betina tidak cukup dengan
sapi. Penerjemahan ini patut diduga kuat berdasarkan pemuanatsan
(pewanitaan) kata yang menggunakan huruf ta marbutha (baqaratun).
ftdahal, menurut Raghib al-Asfihani, baqaratun adalah kata tunggal dari
kata (jamak) baqaratun atau al-baqaru.
Bertalian dengan kata al-baqaru, penyusun kamus al-Mu'jam al-
Hhit/i, menyebutkan bahwa penggunaan kata itu bisa untuk jenis
nuh&akkar (laki-laki, jantan), sekaligus mu'annats (perempuan, betina).
Dalam Kamus al-Munawwir, susunan Ahmad Warsin, disebutkan bahwa
kata al-baqaru bentuk jamaknya adalah buqarun, abqarun, atau abaqirudan
hqirun, serta baqirun menurut al-Ashfahani. Penyusun Kamus al-Mu'jam
al-Wdsith, Hasan ath-Thabarsi, dan pengarang kitab Majma' al-Bayan ft
lafsiral-Quran juga menyebutkan bahwa kataal-baqarah adalah bentuk
isim lial-mu'amats (kata nama untuk perempuan) dari jenis hewan ini,
sekaligus bisa menjadi nama bagi hewan sejenis yang jantan.
Jika kata baqaratun bisa digunakan untuk makna mudzakkar, seka-
ligus mu'annats, hemat kami, akan lebih luwes bila kata baqarah dalam
surat al-Baqarah diartikan dengan sapi atau lembu saja. Jadi, kata al-
Baqarah bisa berarti sapi jantan, sekaligus betina. Tetapi, ketika kata
itu diartikan sebagai sapi betina, sapi jantan seolah-olah tidak termasuk
kc dalam surat al-Baqarah padahal kata sapi dalam ayat tersebut tidak
dikhususkan untuk sapi betina. Menariknya, hampir semua (atau
•sctidak-tidaknya) sebagian besar penerjemah dan mufasir Alquran di
Indonesia seolah-olah ada kesepakatan untuk mengartikan kata baqarah
dengan sapi betina atau sapibikang dalam bahasa Sunda. Sedikit sekali
di antara mereka yang mengartikan kata baqarah atau baqar dengan
sapi saja, tanpa menambahkan kata betina untuk al-baqarah dan jantan
untuk al-baqar. A/ereka yang menafsirkan kata al-baqarah atau baqarah
dengan sapi betina tampaknya tidak konsisten karena mereka meng-
artikan kata al-baqar pada ayat 70 surat al-Baqarah dengan kata sapi,
tanpa membubuhkan kata "jantan" padahal kata al-baqar adalah isim
mudzakkar.
m> JlfcliTsiem
Lalu, pada akhir abad 19 atau awal abad 20, terjemahan Alquran
s e m a k i n berkembang karena bukan saja bahasa Eropa yang sebagian
darinya telah dikemukakan di atas, melainkan juga bahasa lainnya.
' Terjemahan Alquran berbahasa Tionghoa untuk pertama kalinya mun-
c u l pada 1927 yang diterjemahkan oleh Li T i Cin yangnotabene adalah
n o n m u s l i m . Berbarengan dengan itu, kalangan muslim sendiri tidak
berpangku tangan. Banyak ulama ahli Alquran yang berusaha sekuat
tenaga u n t u k menerjemahkan kitab suci yang memag harus dijunjung
tinggi. U n t u k pertama kalinya, terjemahan Alquran dilakukan Syekh
Sa'adi as-Siraji pada 1313 M ke dalam bahasa Parsi. Orang kedua yang
meneijemahkan Alquran ke dalam bahasa asing dari kalangan muslimin
ialah Syeikh Wali Allah ad-Dahlawi (1703-1762), salah seorang ulama
terkenal yang berpikiran maju yang berasal dari India.
Setelah itu proyek penerjemahan awal berhasil, terjemahan Alquran
pun semakin berkembang sangat pesat. Selain penerjemahan ke dalam
bahasa Eropa, khususnya Inggris dan Perancis, penerjemahan juga
dilakukan ke dalam bahasa lainnya yang digunakan kaum muslimin se-
perti Persia, Urdu, Turki, Tamil, Patho, Benggali, dan beberapa bahasa
lain di Kepulauan Timur, serta beberapa bahasa di Benua Afrika.
ESS
TUunrul Quran:
.Memahami Kandun&an Alquran
nfairaffiffiKlit
Tarjamah Lafzhiyah
8 Alquran dan Terjemahan Tim Bintalad -
Indonesia
9 Alquran Bahasa Mulia H.B Yasin -
1
10 Terjemah Kalimat Alquran Abdul Muhaimin
Muhammad Anis Adnar• " 1
Selain s e j u m l a h t e r j e m a h a n A l q u r a n d a l a m b a h a s a M e l a y u -
Indonesia, sesungguhnya di Indonesia juga dapat dijumpai beberapa
ter-jemahan Alquran dalam bahasa daerah, khususnya bahasa Jawa
dan Sunda, antara lain, sebagai berikut.
1 n
m KfenEQlMkD
I
Quran Kejawen Yayasan Kemajuan
Yogyakarta
..-MP
JKAtmahami Kandungin Alquran