Anda di halaman 1dari 16

Mtmahami Kandunpan Alquran

:
ikan Allah sendiri, bahwa usaha mendiskreditkan Alquran oleh kaum
orientalis dan berbagai upaya menghalang-halangi pengamalan dan
pelaksanaan nilai-nilaiya pasti akan mengalami kegagalan. Keyakinan
ini bukan semata-mata karena adanya janji Allah yang memelihara ke-
sucian dan kemurnian Alqur'an (QS al-Hijr, 15: 9), melainkan karena
para mufasir selalu meluruskan paham-paham yang bengkok tentang
Alquan. Mereka berjuang keras u n t u k membantah dan mematahkan
paham-paham keliru dan salah terhadap Alquran.
Iculah letak arti penting (signifikansi) dari kebutuhan umat Islam
terhadap keberadaan ilmu tafsir. Itu pula yang menjadi penyebab
status hukum mempelajari ilmu tafsir oleh ulama dihukumi wajib,
setidaknya wajibkifayah (kewajiban kolektif). Bahkan, wajib 'ain bagi
yang berkemampuan khusus dan berkesempatan luas untuk melaku-
kannya. Berkenaan dengan keistimewaan ilmu tafsir dan kebutuhan
tcrhadapnya, Muhammad Abd al-Azhim az-Zarqani berkomentar:
"Kemajuan masyarakat mus/im daI am konteks perorangan dan keumatan mus-
tahil bisa terbebaskan dari ikhtiar-usaha untuk mewujudkannya dari kemudahan
yang tidak ada gangguan, dan dari hal-hal yang rnembingungkan, kecuali harus
melibatkan berbagaipetunjuk Allah denganjalan mempelajari Alquran, berikut
rangkaian susunan kata-katanya yangsangat bijaksana dan mengjndahkan semua
unsur kebahagiaan untuk umat manusia. Lebili penting lagi, semua itu tidak
mungkin diperoleh kecuali setelah memahami Alquran dan merenungi maktianya.
Jadi, makna ilmu tafsir merupakan kunci perbendaharaan dan warisan yang
ternuat da/am Alquran yang ditun/nnkan untuk kemaslahatan manusia. Tanpa
ilmu tafsir yang menjadi sasaran-tujuan pokoknya, mustahi! kita sampai pada
perbendaharaan dan simpanan (kekayaan) yang terdapat da!am Alquran".

Kewajiban mempelajari ilmu tafsir bisa didukung pula oleh kaidah ushul-
fiqh yang menyatakan al-amr bisyai-in amara bi wasilatih, perintah terhadap
scsuatu berarti perintah pula terhadap wasilahnya. Jika kaidah ushul-fiqh
ini dihubungkan dengan tafsir Alquran dan ilmu tafsir akan lahir sebuah
prinsip bahwa jika memahami Alquran itu diperintah (wajib), mempelajari
ilmu tafsirnya juga menjadi wajib karena mustahil bisa memahami Alquran
yang wajib itu tanpa mempelajari ilmu tafsir sebagai alatnya.

Terjemah Alquran
Secara harfiah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu
pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa lainnya (singkatnya mengali-
hbahasakan, to translate). Jadi, terjemahan berarti salinan bahasa atau
"I • lumul Imuran:
Memahami Kandunftin Alquran

alih-bahasa dari suatu bahasa ke bahasa alin. Terjemah, yang dalam


bahasa Inggris dikenal dengan istilah translation, dalam literatur Arab
dikenal dengan tarjatnah. Secara etomologis, terjemah berarti mene-
rangkan atau menjelasakan sesuatu seperti dalam ungkapan tarjamah
al-kalan, maksudnya adalah bayyinahu wa wadhahahu (menerangkan
pembicaraan dan menjelaskan maksudnya). M e n u r u t M u h a m m a d
Husayn al-Dzahabi, salah seorang pakar dan ahli ilmu Alquran dari
Universitas Azhar, Kairo, Mesir, kata tarjamah lazim digunakan untuk
dua macam pengertian.
a. Mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu
bahasa ke bahasa lainnya tanpa menerangkan makna dari bahasa
asal yang diterjemahkan.
b. Menafsirkan suatu pembicaraan dengan menerangkan maksud yang
terkandung di dalamnya dengan menggunakan bahasa yang lain.

Berdasarkan paparan singkat tentang terjemah di atas dapat diformu-


lasikan bahwa terjemah, pada dasarnya, ialah menyalin dan atau mengalih-
bahasakan serangkaian pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lainnya
supaya inti-pembicaraan bahasa asal yang diterjemahkan bisa dipahami
oleh orang-orang yang tidak mampu memahami secara langsung bahasa
asal yang diterjemahkan. Misalnya, terjemahan buku-buku berbahasa as-
ing (bahasa Arab atau Inggris) ke dalam bahasa Indonesia. Demikian pula
sebaliknya, buku-buku berbahasa Indonesia diterjemahkan atau dialih-
bahasakan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa Arab, atau lainnya.
Kata terjemah dalam bahasa Arab juga lazim diartikan sebagai bi-
ografi (riwayat hidup) seseorang. Misalnya, ungkapan tarjamah al-Imam
al-Bukhari dan tarjamah al-Imam al-Mus/im, yang berarti biografi Imam
Bukhari dan Imam Muslim. Demikian pula halnya dengan biografi-
biografi tokoh lainnya seperti tarjamah al-Imam Abu Hanifah dan tarjamah
al-Imam Malik. Orangyang menerjemahkan sesuatu, Alquran misalnya,
ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah disebut penerjemah,
juru-terjemah atau juru-bahasa, sedangkan dalam bahasa Arab disebut
mutarjim, tarjuman atau turjuman. Misalnya, ungkapan Ibn Abbas tarjuman
al-Quran, Ibn Abbas adalah juru-bahasa atau penerjemah Alquran.

1. Jenis T e r j e m a h
Sesuai dengan pengertiannya, teijemah lazim dibedakan dalam dua
macam: terjemah harfiah dan tafsiriah. Terjemah harfiah yang juga umum
disebut terjemah lafziah ialah terjemahan yang dilakukan apa adanya
Vhtmtl fjunln:
Mtmahami Kandunpqn Alqurdn

-rgantung pada susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemah-


an. Muhammad Husayn al-Dzahabi membedakan terjemah harfiah
alam dua mode: terjemah harfiah bi al-mitsil dan harfiah bi ghair mitsil.
ierjemah liatfiah bi al-mitsil ialah terjemahan yang dilakukan apa adanya
ang terikat oleh susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan,
edangkan terjemah harfiah bi ghair mitsil ialah terjemahan yang lebih
snggar keterikatannya dengan susunan dan struktur bahasa asal yang
literjemahkan.
Terjemah tafsiriah (lazim juga disebut terjemah maknawiyah) ialah
terjemahan yang lebih mengedepankan maksud atau isi kandungan
yang terkandung dalam bahasa asal yang diterjemahkan. Terjemah
'afsiriyah atau maknawiyah tidak terikat oleh susunan dan struktur
gaya bahasa yang diterjemahkan. Jadi, dapat dikatakan bahwa jika
terjemah harfiah identik dengan terjemah leterlek atau terjemah lurus
dalam bahasa Indonesia, yakni terjemahan yang dilakukan dengan
menyalin kata demi kata {wordfor word translation), terjemah tafsiriah
atau maknawiyah sama persis dengan istilah terjemah bebas.
Perlu diingat pula bahwa terjemah tafsiriah tetap berbeda dengan
tafsir sungguhpun ada penggunaan kata yang sama, yakni tafsir. Dengan
perkataan lain, terjemah tafsiriah bukanlah tafsir. "Perbedaan diantara
keduanya sedemikian jelas" ungkap Muhammad Husain al-Dzahabi:
a. Bahasa yang digunakan. Bahasa tafsir di'mungkinkan sama persis
dengan bahasa asli (misalnya, Alquran yang ditafsirkan), sedang-
kan terjemah tafsiriah pasti menggunakan bahasa yang berbeda dari
bahasa asli yang diterjemahkan.
b. Dalam tafsir, pembaca kitab atau buku tafsir dimungkinkan mela-
cak buku (teks) aslinya ketika ia menemui keraguan. Ini berbeda
dengan terjemah tafsiriah yang tidak mudah u n t u k mengecek
aslinya ketika ia menemui keraguan atau kesalahan.

Berbeda dengan terjemah harfiah yang terikat oleh struktur dan


susunan bahasa asal yang diterjemahkan yang karenanya terjemah har-
fiah, lafziah, leterlek, atau terjemah lurus itu bersifat kaku, terjemah
tafsiriah, maknawiyah, atau terjemah bebas terasa sangat luwes atau
elastis. Kerigidan terjemah harfiah dan keluwesan terjemah tafsiriah akan
semakin terasa ketika digunakan untuk menerjemahkan Alquran.

% l U i i j f i j k . ^ - j 4 %
I lumm ^yHluri •
JAimdbami Kanduntftn Alqurdn

Jika ayat di atas diterjemahkan secara harfiah, pengertiannya berarti


Allah melarang seseorang membelenggu atau mengikat tangannya di
atas pundaknya. Padahal, yang dimaksud oleh ayat 29 surat al-Isra'
(17) di atas adalah larangan bersikap pelit dalam membelanjakan harta,
selain larangan bersikap boros (mubazir).
fCJ), U 01
' ' ' /

Bila diartikan secara leterlek, p e m a h a m a n n y a bahwa Allah selalu


mengintai-intai hamba-Nya. Padahal, yang dikehendaki oleh ayat di
atas ialah bahwa Allah senantiasa mengingatkan hamba-Nya u n t u k
tidak bersikap lengah dalam m e m p e r s i a p k a n diri d e n g a n sebaik
mungkin dalam seluruh aktivitas kehidupannya.
Adanya kekakuan terjemahan harfiah di atas, tidaklah sulit untuk
menerima sikap dan pendapat mufasir (misalnya adz-Dzahabi) yang
menyatakan bahwa kita mustahil bisa menerjamahkan Alquran secara
harfiah. Apalagi jika terjemahan itu adalah terjemahan harfiah bi al-mitsil.
Alasannya, menurut adz-Dzahabi, setidak-tidaknya karena dua hal.
Pertama, tujuan diturunkannya Alquran ke bumi adalah untuk menjadi
bukti kebenaran bagi kenabian Muhammad Saw., sekaligus mukjizatnya
yang terbesar; sedangkan terjemah Alquran (lebih-lebih terjemahan
harfiah) tidak mungkin dapat menerangkan semua isi-kandungan
Alquran sebagaimana yang dikehendaki oleh bahasa Alquan. Kedua,
Alquran diturunkan sebagai kitabal-hidayah (buku petunjuk) yangsarat
nilai dan rambu-rambu petunjuk bagi kehidupan umat insani di dunia
dan akhirat. Mengingat luasnya jangkauan isi-kandungan Alquran yang
harus diurai oleh us/ub (gaya bahasa) yang khas, sangatlah sulit untuk
tidak mengatakan mustahil menerjemahkan Alquran secara harfiah.

Kebenaran statement adz-Dzahabi di atas tentang kemustahilan pener-


jemahan Alquran secara harfiah dapat diterima sepanjang terjemahan yang
dilakukan oleh mutarjim bermaksud untuk menerangkan isi-kandungan
Alquran yang sangat luas dan dalam itu. Tetapi, boleh jadi, tidak tepat
pula bila sasaran yangdituju atau motivasi utama dari pener-jemah hanya
sebatas memperkenalkan makna kosakata Alquran secara utuh dan me-
nyeluruh (holistik) dengan cara menerjemahkannya secara tahlili, kata-
demi kata, dari awal hingga akhir Alquran. Penerjemahan yang seperti
inilah yangsekarang jumlahnya cukup banyak dan sering dilakukan oleh
para mutarjim, tak terkecuali di Indonesia.

m
'Vlumul Qurun:
Mcmabami Kunduntpn Atifuntn

2 Syarat Penerjemah
Kegiatan menerjemah, lebih-lebih menerjemahkan Alquran ke dalam
khasa asing, bukan merupakan perbuatan mudah yang bisa dilakukan
ttmbarang orang, kapan dan di mana pun. Kegiatan penerjemahan tergo-
long pekerjaan berat, meskipun tidak berarti mustahil dilakukan seseorang,
terutama oleh merekayangberbakat dan berminat untuk menjadi mutarjim.
Hihkan, bagi penerjemah-profesional, boleh jadi, ia tidak mengalami kesuli-
tan berarti dalam menerjemahkan buku dan lainnya, termasuk Alquran.
'lerlepas dari soal berat-ringannya kegiatan menerjemah, sesederhanaapa
pun suatu perbuatan, pasti memerlukan sejumlah persyaratan formal yang
harus dipcnuhi oleh pelakunya. Terlebih lagi perbuatan yang tergolong berat
dan memerlukan perhatian serius seperti pe-neijemahan Alquran ke dalam
bahasa asing. Untuk meneijemahkan Alquran, khususnya, dan bahasa-bahasa
lain, seorangcalon mutarjim harus memenuhi beberapa persyaratan. Syarat-
syarat terpentingyang dimaksud, menurut adz-Dzahabi, sebagai berikut.
a. Mutarjim Alquran harus memenuhi prasyarat yang dikenakan pada
mufasir seperti memiliki/'Wwz/baik, niatyangtulus (husn an-niyah),
menguasai ilmu-ilmuyangdiperlukan (antaralain ilmu kalam, fikih,
usul-fikih, dan ilmu akhlak). Melalui syarat ini, seorang penerjemah
Alquran bisa terhindar dari kemungkinan salah atau keliru dalam
menerjemahkan Alquran.
b. Mutarjim Alquran harus memiliki akidah Islam yang kuat dan lurus
(shihhat al-itiqad). Seseorang yang tidak memiliki akidah Islam yang
sehat tidak diperbolehkan menerjemahkan atau menafsirkan Alquran
karena tidak sejalan dengan tujuan utama dari penurunan Alquran,
yakni menjadi kitabal-hidayah. Jika penerjemahan Alquran diserahkan
kepada orang-orang yang tidak beriman (misalnya orientalis) dan tidak
berkepentingan dalam pengamalan Alquran sangat mungkin bila ter-
jemahannya itu bercampur-aduk dengan kesalahan dan kerancuan.
c. Mutarjim harus menguasai dengan baik dua bahasa yang bersang-
kutan: bahasa asal yang diterjemahkan (misalnya, bahasa Alquran,
bahasa Arab) dan bahasa terjemahan (misalnya, bahasa Indonesia
atau bahasa daerah). Jadi,mutarjim bahasa Alquran ke dalam bahasa
Indonesia tidak hanya dituntut menguasai dengan baik bahasa
Alquran (bahasa Arab) yang terjemahkan, tetapi juga harus mum-
puni dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik-benar. Bila
hanya menguasai salah satunya, tidaklah mungkin dapat melahirkan
terjemahan Alquran (buku lainnya) yang benar-benar handal.

MfjMJ^T'
mmm WHm •.
'('lumuiQuran:
Memahami Kandunfqn Alquran

Tentang urgensi penguasaan bahasa terjemahan oleh mutarjim,


selain bahasa asal yang diterjemahkan olehnya, sungguh sangat me-
narik untuk merenungi kritik-konstruktifyangdilontarkan Mutrofin,
meskipun kritik-konstruktif ini dikemukakan bukan dalam konteks
penerjemahan Alquran. Menurutnya, "Dalam hal penerjemahan karya-
karya ilmiah yang ditulis dalam bahasa asisng (termasuk Alquran)
sebagai bahasa sumber, dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia
sebagai bahasa sasaran, mengalami hal yang sama (banyak memiliki
kelemahan). Ini terjadi karena penerjemah sering mengabaikan peng-
uasaan teori-teori penerjemahan. Mereka lebih menekankan pada
penguasaan format-correspondence yang menekankan pada bentuk
pesan bahasa sumber daripada unsur makna ujaran bahasa sumber
dalam bahasa Indonesia yang mungkin sama bentuk, struktur dan
satuan-satuan gramatiknya. Ini jelas-jelas sebuah kekeliruan atau ke-
sengajaan karena terjemahan kata demi kata {wordfor wordtranslation)
tentu saja akan menimbulkan kejanggalan. Pun, sasarannya kurang
mengena dan sering menimbulkan kesalahpahaman.

Pada zaman modern (di mana Alquran telah diterjemahkan ke


dalam sejumlah bahasa asing) tidak tertutup kemungkinan sese-
orang menerjemahkan Alquran bukan dari bahasa aslinya yang Arab,
melainkan dari terjemahan Alquran itu sendiri seperti dari terjemah
Alquran yang berbahasa Inggris, Perancis, atau bahasa lainnya.
Terlepas dari sikap pro-kontra dan tanpa bermaksud meng urangi
rasa hormat kepada mereka yang menempuh terjemahan Alquran
melalui lika-liku jalan tak langsung tersebut, upaya penerjemahan
dan pemahaman Alquran secara langsung dari bahasa asalnya tampak
lebih ideal dan relatif lebih kecil kemungkinan risiko kekeliruannya
daripada melalui sumber sekunder.

d. Sebelum penerjemahan Alquran dilakukan, seorang penerjemah


harus lebih dulu menuliskan ayat-ayat Alquran yang hendak diter-
jemahkannya, lalu ia menerjemahkan dan atau menafsirkannnya
sekaligus. Langkah ini selain untuk memudahkan pembaca me-
meriksa makna yang sesungguhnya ketika terdapat terjemahan
Alquran yangdiragukan kebenarannya, juga untuk mempertahankan
otentitas teks Alquran sebagai wahyu Allah itu. Berbeda dengan tiga
syarat sebelumnya, syarat keempat ini tampak paling memperoleh
perhatian serius dari kalangan mutarjim Alquran. Hampir semua
terjemahan Alquran ke dalam bahasa asing, tak terkecuali bahasa
Indonesia dan bahasa daerah lainnya di Indonesia, selalu menyer-
X'kmulQuran:
Mtmahami Kandunpqn Alqurdn

takan Alquran dalam teks aslinya (Arab). Mereka berupaya keras


u n t u k menghindari kemungkinan transliterasi ayat-ayat Alquran
k e dalam bahasa lain (terjemah) yang kaku walau dalam beberapa
ayat, apatah lagi keseluruhan Alquran.

lAerkenaan dengan hal-ihwal upaya transliterasi Alquran itu, Wah-


^ az-Zuhaily memberi kesimpulan bahwa menyalin teks Alquran
^'ansliterasi) ke dalam bahasa asing haram hukumnya, dan tidak sah
^ n u r u t syariat. Argumentasinya, papar az-Zuhayli, mengingat hal
j ^ g demikian (transliterasi Alquran) merupakan hal yang mustahil.
^ y e b a b n y a , katanya, dalam bahasa Arab dikenal majaz, ist'Tarah,
tQ
'lbih dan lai n-lain yang tidak mungkin penuangannya dilakukan ke
d ^ a m bahasa asing yang secara umum memang memiliki perbedaan-
Pctbedaan mendasar dengan bahasa Arab. Sekiranya penyalinan teks
^•anliterasi) Alquran itu tetap dipaksakan, ungkap az-Zuhayli lebih
ail
jut, sudah dapat dipastikan bahwa pengertian Alquran akan menjadi
r
*Jsak dan susunan kalimatnya pun menjadi kacau. Cepat atau lambat,
Pada gilirannya, kesucian Alquran akan menjadi berkurang. Keagungan
^an kefasihannya menjadi hampa. Padahal, seperti yangdiyakini kaum
n
'uslimin, salah satu bentuk kemukjizatan Alquran justru terletak pada
^ i n d a h a n bahasanya, selain maknanya.
Pcndapat yang dikemukakan oleh az-Zuhayli tersebut, sesung-
& J hnya, juga pernah dikemukakan oeh ulama tafsir terdahulu. Ulama
ta
tsiryang paling vokal tentanghal ini tercatat ada nama IbnTaymiyah
^61-728 H), salah seorang ulama pembaharu terkenal yang paling
tc
gas karena beliau mengharamkan transliterasi dan membaca Alquran
dengan selain bahasa Arab. Dalam kitab, Iqtidha' ash - Shir at a/-Mustaqm,
ar
>tara lain, beliau mengemukakan demikian.

Bahasa m e r u p a k a n salah satu unsur penting dari sekian banyak sy-


iar (identitas) yang membedakan antara kelompok u m a t yang satu
dan lainnya. Allah telah memilih bahasa Arab sebagai bahasa umat
Islam. Dia menurun-kan kitab-Nya (Alquran) dalam bahasa Arab dan
menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa penutup para nabi (khataman
an-nabiyyiti), y a k n i Nabi M u h a m m a d Saw.

Bahasa A r a b adalah bahasa agama, d a n mengenalinya merupakan


kewajiban, b a h k a n fardhu. Alasannya, memahami Alquran dan as-
Sunnah adalah fardhu (kewajiban mutlak). Seseorang tidak mungkin
bisa m e m a h a m i Alquran d a n a s - S u n n a h kecuali d e n g a n mema-
hami b a h a s a A r a b sebagai alat a t a u sarananya. I b n u Taymiyah.
Mtmabumi Kiinduneun ALjwdn

mengutip kaidah fikih yang menyatakan bahwa ma la yatm al-wajb


al-ibahfa huwa wajib, sesuatu (dalam konteks ini p e n g u a s a a n bahasa
Arab) yang tidak sempurna tentang kewajiban (dalam hal ini
memahami Alquran dan as-Sunnah), kecuali dengan sesuatu itu
(bahasa Arab), sesuatu itu sendiri menjadi wajib (wajibun).

Senafas dengan pernyataan az-Zuhaily dan Ibnu Taymiyah di acas,


K.H. Siradjuddin Abbas (salah seorang ulama Indonesia) secara lugas
menolak transliterasi Alquran ke dalam bahasa Latin. Menurutnya,
transliterasi Alquran ke dalam bahasa Latin jelas-jelas "merusak ba-
tang tubuh" Alquran. Lalu, beliau merinci kerusakan-kerusakan yang
dimaksud yang ringkasnya sebagai berikut.
1. Menukarhuruf Arab dengan huruf Latin, padahal Allah tidak per-
nah menurunkan Alquran dengan huruf Latin. Lagi pula, bahasa
Arab memiliki kekhasan tersendiri yang tidak bisa dipadankan
apalagi ditandingi oleh huruf-huruf lain, termasuk Latin.
2. Mengubah tata-cara huruf Alquran yang seharusnya ditulis dari
kanan ke kiri. Jika disalin ke dalam bahasa Latin menjadi ter-
balik, dari kiri ke kanan. Perbuatan ini, m e n u r u t Siradjuddin
Abbas, tergolong ke dalam perbuatan mengubah-ubah kitab suci
seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi (QS an-Nisa, 4: 46).
Mill al-ladzina hadti yuharrifuna al-kalim 'an mawadhi'ih, di antara
orang-orang Yahudi ada orang-orang yang mengubah perkataan-
perkataan Tuhan (dalam Taurat) dari tempatnya.
3. Menghilangkan universalitas Alquran yang diturunkan Allah untuk
segenap umat manusia di segala penjuru dan tempat. Jadi, bahasa
Alquran adalah bahasa persatuan dunia Islam.
4. Menghilangkan kemukjizatan Alquran, padahal Alquran adalah
mukjizat terbesar bagi Nabi Muhammad Saw.
5. Menambah dan atau mengurangi huruf Alquran yang beijumlah 29
hurufMja'iya/i. Padahal abjad Indonesia hanya memiliki 26 huruf. Belum
lagi berdasarkan kenyataan bahwa ada 8 huruf dari abjad Indonesia
yang tidak terpakai dalam bahasa Arab: a-o-e-c-i-p-x-u, sedangkan
huruf-huruf a-u-i tidak termasuk menjadi huruf dalam bahasa Arab
karena ketiganya hanyalah merupakan harakat (tanda baca).

Masih dalam kaitan larangan mentransliterasikan Alquran ke dalam


huruf Latin, K.H. Sirajuddin Abbas, mengatakan kesulitan yang tak
terbayangkan untuk mengukur bacaan panjang (mad) yang ukurannya
'I "btmulQuran:
Mimaljumi Kandunean Alquran

tervariasi antara 1 hingga 3 alif (2 sampai 6 harakat), tanda syiddah


'•bacaan tebal), dan lain-lain. K.H. Sirajuddin Abbas tidak menafikan
fcmungkinan adanya upaya menandai mad'itu dengan menambah huruf
sejenis, misalnya, tanda panjang (mad) digunakan huruf rangkap (ii) atau
(ie) untuk kasrah. Tetapi, penggunaan huruf rangkap seperti ini hanya
digunakan untuk hurufz/Wyang panjangnya hanya 1 alif atau 2 harakat.
I'adahal, seperti diketahui, dalam ilmu tajvvid telah diatur sedemikian
'upa sehingga ada harakat yang panjangnya 3 alif sama dengan 6 harakat.
Ulu, apakah huruf rangkapnya harus enam seperti dalam kataaba-a-uhum
Ia panjangnya 2 alif, dan ba panjangnya 3 alif)? K.H. Sirajuddin Abbas juga
ttengingatkan tentang kesulitan transliterasi Alquran ke dalam bahasa
Latin, termasuk Indonesia, biladiperhadapkan dengan makhrajal-huruf
(tempat keluar huruf) yang telah diatur sedemikian rupa sehingga cang-
gih dan indah dalam ilmu tajwid.

Pelarangan atau pengharaman upaya transliterasi Alquran, terutama


yang berbentuk transliterasi ke dalam bahasa asing, sesungguhnya
telah berjalan sangat lama. Jauh sebelum ulama kontemporer, ulama
salaf pun telah melarangnya. Ibn Taymiyah (661-728H/1263-1328
M), misalnya, dengan mengutip berbagai pendapat Jumhur Ulama,
termasuk imam mazhab selain Abu Hanifah menyata-kan ketidak-
bolehan membaca Alquran selain dengan bahasa Arab. Menurutnya,
tradisi penggunaan bahasa Arab (lebih-lebih bahasa Alquran) sangat
berpengaruh bagi kematangan akal, akhlak-moral, dan agama (ad-din)
seseorang. Lagi pula, ujar Ibnu Taymiyah, substansi bahasa Arab itu
sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama, dan karena
itu, hukum mengetahuinya menjadi wajib (fard/iu). Alasannya, tambah
Ibn'laimiyah, memahami Alquran dan as-Sunnah itu hukumnya fardhu,
padahal, tidaklah mungkin keduanya bisa dipa-hami tanpa lebih dahulu
memahami bahasa Arab.
Alasan yang lebih rasional lagi tentang pengharaman transliterasi
Alquran ke dalam bahasa asing diilhami oleh pengalaman umat ber-
gama lainnya, khususnya Yahudi dan Nasrani yang belakangan tidak
lagi memiliki kitab suci agama yang sesuai dengan teks asli. Di antara
pcnyebabnya adalah kecerobohan mereka karena transliterasi kitab tidak
menyertakan teks aslinya. Pengalaman pahit kaum Yahudi dan Nasrani
yang menyangkut nasib kekaburan bahasa asli kitab suci itu sulit sekali
dilacak. Inilah yang seharusnya memberi inspirasi sangat berharga bagi
kcdcwasaan kaum muslimin yang terkesan sudah terikat dengan kon-
sensus untuk menyertakan teks asli Alquran dalam setiap penerjemahan

* "m Vtm
..M
'('lumul Quran:
Mtmahami Kandun»an Alquran

dan atau penafsiran Alquran. Keaslian bahasa Alquran yang terpelihara


hingga sekarang dan sampai nanti itu merupakan salah satu instrumen
paling mendasar untuk mengakui kevvahyuan Alquran dan kebenarannya
yang sulit ditandingi oleh umat agama manapun. Inilah salah satu letak
keunggulan Alquran dibandingkan kitab suci lainnya.
Statement az-Zuhaily yang mengharamkan transliterasi Alquran
ke dalam bahasa lain tidak otomatis melarang penerjemahan makna-
makna Alquran seperti yang telah berjalan selama ini. Menurutnya,
penerjemahan makna-makna Alquran ke dalam bahasa asing hukumnya
boleh dengan catatan harus tetap diyakini bahwa terjemah Alquran,
bahkan tafsirnya dalam bahasa Arab sekalipun, bukanlah Alquran. Az-
Zuhaily menambahkan bahwa mengistimbatkan hukum dari terjema-
han Alquran tidak diperkenankan karena pemahamannya sangat rawan
mengandung kesalahan yang timbul akibat kesalahan penerjemahan.
Karena penerjemahan Alquran bukanlah pekerjaan ringan, meski-
pun tidak berarti mustahil dikerjakan oleh orangyang berke-sanggupan
dan berkemauan keras, ia tetap memberi kemungkinan bagi adanya
kekeliruan. Kekeliruan ini merupakan hal yang bisa dipastikan adanya,
baik terjemahan yang dilakukan oleh perseorangan (individu) maupun
kolektif. Dalam Alquran dan Terjemahnya yang disusun oleh Tim Ahli
vang terdiri atas ulama terpandang dan diterbitkan oleh D e p a r t e m e n
Agama Republik Indonesia, misalnya, tetap saja ada kekeliruan atau
kesalahan. Salah satu contohnya sebagai berikut.

^ „ " - . „ t %'
^ - J U ^ E l l j ^ l Ai^

Dan, perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara perempuan-


perempuanjikakamu ragu-ragu (tentangmasaiddahnya), iddah mereka adalah tiga
bulan, dan begitupula bagi wanita-wanitayang tidak haid (QS at-Thalaq, 65:4).

Kata ya-isna min al-mahidh yang tercantum pada ayat di atas oleh
Tim Penerjemah diterjemahkan sebagai putus-asa dari haid. Padahal
yang dimaksud adalah kaum wanita yang telah berhenti dari haid,
antara lain, karena usia yang sudah lanjut. Demikian pula, kata
baqaratun yang diterjemahkan sapibetina, baik ketika menerjemahkan
nama surat al-Baqarah itu sendiri maupun penerjemahan setiap kata
baqaratun yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 67, 68, 69, 70, dan
VlumulQurin:
Memahami Kanduntqn Alquran

7l. Penerjemahan kaca baqaratun dengan sapi betina tidak cukup dengan
sapi. Penerjemahan ini patut diduga kuat berdasarkan pemuanatsan
(pewanitaan) kata yang menggunakan huruf ta marbutha (baqaratun).
ftdahal, menurut Raghib al-Asfihani, baqaratun adalah kata tunggal dari
kata (jamak) baqaratun atau al-baqaru.
Bertalian dengan kata al-baqaru, penyusun kamus al-Mu'jam al-
Hhit/i, menyebutkan bahwa penggunaan kata itu bisa untuk jenis
nuh&akkar (laki-laki, jantan), sekaligus mu'annats (perempuan, betina).
Dalam Kamus al-Munawwir, susunan Ahmad Warsin, disebutkan bahwa
kata al-baqaru bentuk jamaknya adalah buqarun, abqarun, atau abaqirudan
hqirun, serta baqirun menurut al-Ashfahani. Penyusun Kamus al-Mu'jam
al-Wdsith, Hasan ath-Thabarsi, dan pengarang kitab Majma' al-Bayan ft
lafsiral-Quran juga menyebutkan bahwa kataal-baqarah adalah bentuk
isim lial-mu'amats (kata nama untuk perempuan) dari jenis hewan ini,
sekaligus bisa menjadi nama bagi hewan sejenis yang jantan.
Jika kata baqaratun bisa digunakan untuk makna mudzakkar, seka-
ligus mu'annats, hemat kami, akan lebih luwes bila kata baqarah dalam
surat al-Baqarah diartikan dengan sapi atau lembu saja. Jadi, kata al-
Baqarah bisa berarti sapi jantan, sekaligus betina. Tetapi, ketika kata
itu diartikan sebagai sapi betina, sapi jantan seolah-olah tidak termasuk
kc dalam surat al-Baqarah padahal kata sapi dalam ayat tersebut tidak
dikhususkan untuk sapi betina. Menariknya, hampir semua (atau
•sctidak-tidaknya) sebagian besar penerjemah dan mufasir Alquran di
Indonesia seolah-olah ada kesepakatan untuk mengartikan kata baqarah
dengan sapi betina atau sapibikang dalam bahasa Sunda. Sedikit sekali
di antara mereka yang mengartikan kata baqarah atau baqar dengan
sapi saja, tanpa menambahkan kata betina untuk al-baqarah dan jantan
untuk al-baqar. A/ereka yang menafsirkan kata al-baqarah atau baqarah
dengan sapi betina tampaknya tidak konsisten karena mereka meng-
artikan kata al-baqar pada ayat 70 surat al-Baqarah dengan kata sapi,
tanpa membubuhkan kata "jantan" padahal kata al-baqar adalah isim
mudzakkar.

3. Terjemah Alquran dalam Bahasa Asing


Alquran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi M u -
hammad Saw. melalui perantaraan Malaikat Jibril dalam bentuk lafal
Arab. Mengingat Alquran diturunkan dalam bahasa (uslub) yang k h a s
qurani yang karenanya berbeda dari bahasa lain, termasuk bahasa A r a b
sekalipun, mudah dipahami jika tidak setiap muslim mampu m e m a h a -
mi nya secara langsungdari teks aslinya. Padahal, pada saat bersamaan ,
'(1lumulQurin:
Memahami Kandungu Alquran

Alquran sebagai kitab al-hidayah harus dapat dipahami dengan benar


dan baik oleh setiap orang yang mengaku diri min al-muslimin. Atas
dasar itu, dari satu generasi ke generasi lainnya, dan dari t e m p a t satu
ke tempat lainnya kaum muslimin melalui para cerdik-cendekianya
harus selalu berusaha u n t u k mampu menerjemahkan dan menafsirkan
Alquran ke dalam bahasa nasional atau daerah. Upaya transliterasi atau
pengalihan-bahasa ini akan sangat m e m b a t u umat Islam lainnya yang
tidak atau belum berkemampuan untuk m e m a h a m i Alquran secara
langsung. Sayangnya, keinginan dan antusiasme mereka tidak segera
mendapatkan respon atau belum terpenuhi pada masa lampau.
Di antara faktor penyebab kemandegan ini, selain karena persoalan
teknis yang memang rumit dan pengeluaran biaya yang tidak mudah
untuk ukuran waktu itu, penerjemahan Alquran ke dalam bahasa asing
juga terhambat oleh alasan yuridis-formal yang belum memungkinkan.
Pada masa lalu, tidak sedikit ulama yang tegas-tegas mengharamkan,
sekaligus menolak, hadirnya gagasan-terobosan untuk menerjemah-
kan Alquran. Ironisnya, di tengah-tengah perbedaan pendapat dan
perde-batan sengit antarsesama ulama Islam tentang boleh-tidaknya
pener-jemahan Alquran ke dalam bahasa asing, secara diam-diam,
orang-orang non-muslim justru melakukan penerjemahan Alquran ke
dalam bahasa mereka. U n t u k pertama kalinya, tepatnya sekitar abad
enam belas Hijrah atau abad dua belas masehi (1145-1146 Masehi)
Alquran diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa (baca: bahasa Latin).
Dari penerjemahan bahasa Latin itu, lahirlah terjemahan Alquran
dalam beberapa bahasa Eropa terkenal lainnya, terutama Perancis
dan Inggris, selain Italia, Jerman, dan Belanda. Beberapa terjemahan
Alquran yang terkenal, antara lain, disusun oleh Abu Bakar Aceh.

m> JlfcliTsiem

i Adrew Arrevabene Itali -

2 Johanes Adnreas Aragin (Spanyol) 1500


3 Schwigger Jerman 1616
4 Alezander Ross Perancis 1637
5 J.H. Glazemaker (du ruyer) Belanda 1658
6 Geoge Sale Inggis 1734
7 Megerlin Jerman 1772
XJlumul Quran:
Memahami Kandungtu Alquran

8 Savary Perancis 1783


9 Wohl Jerman 1826
10 Rodwell Inggris 1829
11 Garsen du Tasi Perancis 1840
12 Kasimirsky Jerman 1840
13 Dr.L. Uhlmann Inggris 1840

Lalu, pada akhir abad 19 atau awal abad 20, terjemahan Alquran
s e m a k i n berkembang karena bukan saja bahasa Eropa yang sebagian
darinya telah dikemukakan di atas, melainkan juga bahasa lainnya.
' Terjemahan Alquran berbahasa Tionghoa untuk pertama kalinya mun-
c u l pada 1927 yang diterjemahkan oleh Li T i Cin yangnotabene adalah
n o n m u s l i m . Berbarengan dengan itu, kalangan muslim sendiri tidak
berpangku tangan. Banyak ulama ahli Alquran yang berusaha sekuat
tenaga u n t u k menerjemahkan kitab suci yang memag harus dijunjung
tinggi. U n t u k pertama kalinya, terjemahan Alquran dilakukan Syekh
Sa'adi as-Siraji pada 1313 M ke dalam bahasa Parsi. Orang kedua yang
meneijemahkan Alquran ke dalam bahasa asing dari kalangan muslimin
ialah Syeikh Wali Allah ad-Dahlawi (1703-1762), salah seorang ulama
terkenal yang berpikiran maju yang berasal dari India.
Setelah itu proyek penerjemahan awal berhasil, terjemahan Alquran
pun semakin berkembang sangat pesat. Selain penerjemahan ke dalam
bahasa Eropa, khususnya Inggris dan Perancis, penerjemahan juga
dilakukan ke dalam bahasa lainnya yang digunakan kaum muslimin se-
perti Persia, Urdu, Turki, Tamil, Patho, Benggali, dan beberapa bahasa
lain di Kepulauan Timur, serta beberapa bahasa di Benua Afrika.

4. Terjemahan Alquran dalam Bahasa Indonesia


Orang pertama yang d i s e b u t - s e b u t sebagai penggagas proyefc.
penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Indonesia (dulu lebih p o p u l e r
dengan sebutan bahasa Melayu) ialah Syekh Abd ar-Rauf Ibn 'Ali al —
Emshuri (1035-1105/1615-1693 M), alim kelahiran Aceh yang j u g a
dikenal dengan julukan Abd ar-Rauf Singkel (al-Singkali). P e n o b a t a n
al-Singkali sebagai mutarjim Alquran p e r t a m a ke bahasa Melayu-Indc> —
nesia berdasarkan karyanyayangsetebal 612 halaman kertas folio d a n
berukuran 33,4 x 24,2 c m yang ditulis dengan menggunakan h u r v a f
Arab-Melayu.

ESS
TUunrul Quran:
.Memahami Kandun&an Alquran

Oleh penyusunnya, buku ini tidak secara k h u s u s diniatkan u n t u k


m e n e r j e m a h k a n Alquran yang bersifat spesifik, t e t a p i hanya merupa-
k a n terjemahan dari tafsir Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Tawil karangan
Imam al-Baydhawi (w. 685 atau 691 H ) , mufasir terkenal abad t u j u h
Hijriah. Karena al-Fanshuri m e n e r j e m a h k a n n y a secara sitematis dan
metodologis semua ayat Alquran, selain juga karena tafsirannya yang
dibuat al-Baydhawi, dapat dikatakan bahwa dialah penerjemah Alquran
pertama ke dalam bahasa Indonesia.
Ditinjau dari sudut ilmu bahasa Indonesia m o d e r n , sungguhpun
terjemahan Abd ar-Rauf Singkel masih belum s e m p u r n a , simpul Abu
Bakar Aceh, tetapi pekerjaan dan karya besamya tidak dapat dipungkiri
bahwa itulah karya besamya dan jasanya sebagai pekerjaan perintis
jalan tak ternilai. Sayangnya, usaha keras al-Singkili ini tidak segera
ditindaklanjuti oleh ulama Melayu waktu itu. Selama lebih kurang
dua abad setelah karya 'Abd ar-Rauf lahir, tidak m u n c u l satu pun karya
serupa hingga abad dua puluh. H e m a t kami, di antara penyebabnya,
adalah faktor finansial dan teknis, termasuk alasan klasik (yuridis-
formal), yakni diharamkannya penerjemahan Alquran. Sebagai ilus-
trasi, Mahmud Yunus menggoreskan pengalamannya pada saat yang
bersangkutan aktif berusaha menerjemahkan Alquran.
Pada 1922, demikian kata Mahmud Yunus almarhum, saya mulai
menerjemahkan Alquran dan diterbitkan tiga juz dengan huruf Arab-
Melayu. Masa itu, pada umumnya, ulama Islam mengatakan haram
untuk menerjemahkan Alquran. Tetapi, tidak saya terima bantahan-
bantahan ulama terhadap usaha saya untuk terus menerjemahkan
Alquran.
PadaRamadhan 1354 H (Desember 1935), Mahmud Yunus memu-
lai kembali usahanya untuk menerjemahkan Alquran, berikut tafsirnya,
dari ayat-ayat yang terpentingyang dinamai Tafsir Quran Karim. Tafsir
ini beliau selesaikan 30 juz pada 1938. Usaha keras Mahmud Yunus di
atas tampaknya tidak mengalami jalan mulus karena menjelang kitab
itu dicetak pada 1950, konon di antara ulama Indonesia dari Yogyakarta
ada yang berkirim surat kepada Menteri Agama RI (waktu itu K.H. A.
Wahid Hasyim) supaya menghentikan penerbitan terjemahan Alquran
Mahmud Yunus dengan alasan haram hukumnya.
Mahmud Yunus tetap berusaha keras dan tak bergeming niatnya
sedikitpun untuk menerbitkan karyanya. Tetapi, penentangan itu
muncul kembali pada 1953 ketika salah seorang ulama lainnya berkirim
VhemulQurdu:
Memahami Kamthagm AIe}urtbe

s u r a t kepada Presiden (Soekarno) dan kepadaMahmudYunus sendiri.


D e n g a n gigih pula Mahmud Yunus membantah dalil-dalil ulama yang
r n e n g h a r a m k a n terjemahan Alquran itu sehingga kemudian Mahmud
Yu n u s dapat menerbitkan karya monumentalnya itu.
Usaha menerjemahkan Alquran ke dalam basaha Indonesia (Me-
l a y u ) tampaknya tidak hanya dilakukan oleh Mahmud Yunus seorang
d i r i , tetapi juga diprakarsai oleh ulama lainnya, baik perseorangan
r n a u p u n kelompok. Secara umum, pertumbuhan dan perkembangan
t e rjemahan Alquran ke dalam bahasa Indonesia dapat dilihat dari tabel
berikut.

nfairaffiffiKlit

l Tarfsir Qur'an Karim Prof.H.Mahmud Yunus 1960


2 Tafsir al-Furqan Al-Hasan 1956
3 Tarsif Qur'an H.Zainuddin Hamidy 1959
4 Alquran dan Tim Depag RI 1982
terjemahannnya
5 Tafsir Rahmat H.Oemar Bakry 1983
6 Terjemah dan Tafsir quran Bactiar Surin -

7 Tafsir Alquran 30 Juz Firma Sumatera -

Tarjamah Lafzhiyah
8 Alquran dan Terjemahan Tim Bintalad -

Indonesia
9 Alquran Bahasa Mulia H.B Yasin -
1
10 Terjemah Kalimat Alquran Abdul Muhaimin
Muhammad Anis Adnar• " 1
Selain s e j u m l a h t e r j e m a h a n A l q u r a n d a l a m b a h a s a M e l a y u -
Indonesia, sesungguhnya di Indonesia juga dapat dijumpai beberapa
ter-jemahan Alquran dalam bahasa daerah, khususnya bahasa Jawa
dan Sunda, antara lain, sebagai berikut.

1 n
m KfenEQlMkD

I
Quran Kejawen Yayasan Kemajuan
Yogyakarta

..-MP
JKAtmahami Kandungin Alquran

2 Tafsir Quran Suci Prof.KH.R.Muhammad 1981


Adnan
3 Al-Kitabul Mubin Tafsir KH.Mhd.Romli 1982
Alquran (bahsa Sunda)
4 Al-Amin Alquran KH.Q.Shales,HAA 1971
Tarjamah Sunda
5 Tafsir Alquran Al-Aziz Dahlan&Rusamsi
Al-Ibriz li Ma'rifat KH.Bisri Mustafa
1 ^ -

Berdasarkan beberapa penerbitan buku-buku t e r j e m a h a n Alquran


di atas dapatlah diketahui bahwa t e r j e m a h a n Alquran di Indone-
sia sungguh sangat menggembirakan. Dikatakan demikian karena
Alquran telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, juga dalam
bahasa daerah (khususnya Jawa dan Sunda) sangat m e m b a n t u kaum
awam u n t u k memahami bahasa Alquran. Keteladanan ulama Jawa
dan Sunda dalam menerjemahkan Alquran sungguh sangat ternilai
dan memang menjadi kewajiban mereka. Seharusnya, langkah para
pendahulu t e r s e b u t diikuti oleh ulama daerah lainnya dalam rangka
memasyarakatkan Alquran u n t u k membangun dan memberda-yakan
kehidupan masyarakat muslim Indonesia yang bahasa daerahnya sangat
majemuk.

Anda mungkin juga menyukai