Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“TERJEMAHAN AL – QUR’AN’’
“Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu tafsir’’

Disusun Oleh:

Husnul Khotimah Zuhri 3323061


Fikri Fajri 3323059

:Dosen Pengampu
Gusnanda, S.TH.IM.AG

KELAS PS B
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) BUKITTINGGI
TAHUN 2023

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,yang
telah melimpahkan Rahmat serta InayahNya sehingga kami mampu menyelesaikan
penulisan makalah Ilmu Tafsir dan tak lupa kami ucapakan terima kasih kepada teman-
teman yang ikut berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini. Sarana penunjang makalah
ini kami susun berdasarkan referensi yang bermacam-macam. Hal ini dengan tujuan untuk
membantu para mahasiswa untuk mengetahui, memahami bahkan menerapkannya.

Adapun makalah ini kami susun dengan tujuan: Pertama, mempermudah mahasiswa
untuk menyampaikan materi yang ada. Kedua, mempermudah mahasiswa untuk belajar.
Ketiga, dapat memperlancar proses belajar dan mengajar, sehingga mahasiswa menjadi
aktif.

Namun demikian, dalam penulisan makalah ini masih terdapat kelemahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak sangat di harapkan.

Akhirul kalam, semoga yang tersaji ini dapat memberikan bantuan kepada para
mahasiswa dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar di Kampus. Aamiin

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bukittinggi, 20 November 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................................3
BAB I............................................................................................................................4
PENDAHULUAN........................................................................................................4

A. Latar Belakang.............................................................................................4

B. Rumusan Masalah.......................................................................................4

C. Manfaatnya.................................................................................................4

BAB II...........................................................................................................................5
PEMBAHASAN...........................................................................................................5

A. Pengertian Terjemahan...............................................................................5

B. Macam – macam Terjemahan.....................................................................7

C. Hukum Terjemah.......................................................................................10

D. Bacaan Shalat Selain Dengan Bahasa Arab................................................12

BAB III.......................................................................................................................16
PENUTUP..................................................................................................................16

A. Kesimpulan................................................................................................16

B. Saran..........................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al- Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat
Jibril merupakan penyempurna kitab-kitab terdahulu sebagai kitab yang diturunkan
agarmanusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang. Selain itu, Al-Qur’an
juga merupakan kitab petunjuk bagi manusia dan masih banyak lagi fungsi Al -
Qur’an bagi kehidupan manusia

Namun, dengan banyaknya fungsi Al- Qur’an tersebut tidak akan dipahami
olehmanusia apabila manusia tidak mampu membuka kunci yang terdapat pada Al-
Qur’an tersebut. Salah satunya adalah bahasa. Sudah menjadi keinginan setiap
manusia untukmemahami apa yang terkandung dalam Al- Qur’an, sementara Al-
Qur’an turun dalamBahasa Arab, maka dengan alasan itulah penerjemahan Al-
Qur’an ke dalam berbagai bahasa sangat

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian terjemahan Al – Qur’an ?


2. Apa tujuan penerjemahan Al – Qur’an ?
3. Apa macam – macam penerjemahan Al- Qu’an ?

C. Manfaatnya
1. Mengetahui pengertian terjemah Al – Qur’an secara umum dan khusus.
2. Mengetahui tujuan penerjemahan Al – Qur’an.
3. Mengetahui macam – macam penerjemahan Al – Qur’an.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Terjemahan
Secara etimologis, pengertian terjemah memiliki beberapa arti,
diantaranya :

1. Menyampaikan pembicaraan (kalam) kepada orang yang belum pernah


menerimanya. Sebagaimana ungkapan sebuah syair :

‫ ﻗﺪ اﺣﻮﺟﺖ ﲰﻌﻰ اﱃ ﺗﺮﲨﺎن‬- ‫ان اﻟﺜﻤﺎﻧﲔ وﺑﻠﻐﺘﻬﺎ‬


(Sungguh diusiaku yang telah mencapai delapan puluh tahun, aku ingin
mendengar sesuatu yang belum pernah aku dengar).

2. Menafsirkan pembicaraan (kalam) dengan menggunakan bahasa itu sendiri. Hal


ini sebagaimana sabda Nabi SAW. Kepada Ibnu Abbas adalah : "Innahu
Tarjumani Al-Qur'an " (Sesungguhnya Ibnu Abbas adalah sebagai orang yang
menjelaskan isi kandungan Al-Qur'an).

3. Menafsirkan pembicaraan (kalam) dengan menggunakan bahasa selain bahasa


itu sendiri. Makna ini seperti dijelaskan dalam Lisan al-'Arab, terjemah adalah
orang yang menafsirkan suatu pembicaraan

4. Mengalihkan pembicaraan (kalam) dari satu bahasa ke bahasa lain. Hal ini
sebagaimana diungkapkan dalam kitab Lisan al-'Arab :

Yang dimaksud dengan turjuman (dengan menggunakan dhummah) atau


tarjuman (dengan fathah) adalah yang menterjemahkan kalam (pembicaraan),
yaitu memindahkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain.1

Sedangkan pengertian terjemah secara terminologis, sebagaimana didefinisikan


oleh Muhammad Abd Al – Azim Az – Zarqani sebagai berikut :

‫اﻟﱰﲨﺔ ﻫﻲ اﻟﺘﻌﺒﲑ ﻋﻦ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺑﻜﻼم اﺧﺮ ﻣﻦ ﻟﻐﺔ اﺧﺮى ﻣﻊ اﻟﻮﻓﺎء ﲜﻤﻴﻊ ﻣﻌﺎﻧﻴﻪ وﻣﻘﺎﺻﺪﻩ‬

(Terjemah ialah mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) yang


1
Muhammad 'Abd al-'Azim aZ-Zarqany, Manahilu al-'Irfan fi 'Ulum Al-Qur'an, Jilid II, Daru al-Fikr
al-'Ilmiyah, Beirut, 1988, hlm. 119-120
5
terkandung dalam suatu bahasa dengan kalam yang lain dan dengan
menggunakan bahasa yang lain (bukan bahasa pertama), dengan memenuhi
semua makna dan maksud-maksudnya).

Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, dalam buku mereka The Theory
and Practice of Translation, memberikan definisi penerjemahan sebagai
berikut : Translating consists in reproducing in the receptor language the
closest natural equivalent of the source language message, first in terms of
meaning and secondly in term of style. (Menerjemahkan merupakan kegiatan
menghasilkan kembali di dalam bahasa penerima barang yang secara sedekat-
dekatnya dan sewajarnya sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber,
pertama-tama menyangkut maknanya dan kedua menyangkut gayanya).2 Dari
definisi di atas, kedua penulis ini tidak mempermasalahkan bahasa-bahasa
yang digunakan dalam penerjemahan, tetapi lebih fokus pada response
penerima pesan. kedua tokoh ini lebih menekankan pada cara kerja
penerjemahan, yakni mencari langgam atau idiom dengan menggunakan
bahasa kita sendiri (natural equivalent) sehingga pesan dalam bahasa sumber
dapat dipahami dalam bahasa sasaran (bahasa penerima). Dengan tetap
memperhatikan makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa
sumber.
Tidak jauh berbeda dengan Nida dan Taber, selanjutnya Harimurti
Kridalaksana (1985) mendefinisikan penerjemahan sebagai pemindahan suatu
amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan pertama-tama
mengungkapkan maknanya dan kemudian gaya bahasanya. Tokoh satu ini
mempunyai beberapa alasan dalam pendapatnya. Pertama, suatu konsep
dapat diungkapkan dalam dua bahasa yang berbeda. Kata mobil dan car, misalnya,
mengandung konsep yang sama dan menunjuk pada objek atau referen yang sama
pula tetapi kedua kata itu termasuk dalam dua bahasa yang berbeda. Kedua, setiap
pesan yang dialihkan pasti diungkapkan atau diwujudkan dalam bentuk bahasa baik
secara lisan maupun tertulis. Ketiga, gaya bahasa terjemahan merupakan salah satu
aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam setiap kegiatan menerjemahkan.3

B. Macam – macam Terjemahan


Muhammad Abd Azim Az – Zarqani membagi terjemah menjadi dua
bagian, yaitu : terjemahan Harfiyah atau disebut juga dengan terjemahan Lafziyah
atau Musawiyah, dan Tafsiriyah atau disebut juga dengan terjemahan
Maknawiyah.4 Menurut manna Al – Qattan dalam kitabnya Mabahis Ulum Al –
Quran, terjemahan dalam artian pertama adalah :
2
A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, Kanisius, Yogyakarta, 1991, hlm. 11
3
Faizin, Hammam. Sejarah Pencetakan Al-Qur’an. Yogyakarta: Era Baru Pressindo, 2009.
4
M. Rudolf Nababan, Teori Menerjemah Bahasa Inggris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 19-20
6
‫اﻟﱰﲨﺔ اﳊﺮﻓﻴﺔ ﻫﻲ ﻧﻘﻞ اﻟﻔﺎظ ﻣﻦ ﻟﻐﺔ اﱃ ﻧﻈﺎﺋﺮﻫﺎ ﻣﻦ اﻟﻠﻐﺔ اﻷﺧﺮى ﲝﻴﺚ ﻳﻜﻮن‬

‫ واﻟﱰﺗﻴﺐ ﻣﻮاﻓﻘﺎ ﻟﻠﱰﺗﻴﺐ‬, ‫اﻟﻨﻈﻢ ﻣﻮاﻓﻘﺎ ﻟﻠﻨﻈﻢ‬


Mengalihkan lafadz-lafadz dari satu bahasa ke dalam lafadz-lafadz
yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan
tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.5

Sementara menurut Husain Az – Zahaby dalam kitabnya At – Tafsir Wa Al –


Mufassirun, Mendefinisikan :

‫ ﻣﻊ ﻣﺮاﻋﺎة اﳌﻮاﻓﻘﺔ ﰱ اﻟﻨﻈﻢ‬,‫اﻟﱰﲨﺔ اﳊﺮﻓﻴﺔ ﻫﻲ ﻧﻘﻞ اﻟﻜﻼم ﻣﻦ ﻟﻐﺔ اﱃ ﻟﻐﺔ اﺧﺮى‬

‫ واﶈﺎﻓﻈﺔ ﻋﻠﻰ ﲨﻴﻊ ﻣﻌﺎﱏ اﻷﺻﻞ اﳌﱰﺟﻢ‬,‫واﻟﱰﺗﻴﺐ‬

Terjemah harfiyah ialah mengalihkan suatu kalam (pembicaraan) dari satu


bahasa ke dalam bahasa yang lain dengan tetap menjaga kesesuaian susunan dan
tertib kalimatnya, serta tetap menjaga seluruh makna-makna yang dikandung oleh
bahasa pertama (bahasa yang diterjemahkan).6

Berkaitan dengan terjemah harfiyah terhadap Al-Qur'an, Muhammad


Husain Az-Zahaby telah membaginya menjadi dua bagian, pertama, terjemah
harfiyah secara leterlek (terjemah al-harfiyah bi al- misl), dan yang kedua,
terjemah harfiyah yang tidak leterlijk (terjemah al-harfiyah bi gairi al-misl).
Untuk tipe yang disebutkan pertama maksudnya adalah menerjemahkan Al-Qur'an
dengan bahasa lain secara persis sama baik dalam hal susunan kalimatnya,
mufradatnya, uslub- uslubnya, segi balagahnya, bahkan hukum-hukum syari'atnya,
sehingga antara bahasa pertama (Al-Qur'an) dengan bahasa kedua (terjemah) tidak
ada perbedaan sama sekali. Dan hal yang demikian ini tidak mungkin dilakukan
pada Al-Qur'an, karena Al-Qur'an diturunkan Allah SWT. kepada Nabi Muhammad
SAW. mempunyai dua tujuan yang fundamental, yaitu : (1) bahwa keberadaan Al-
Qur'an merupakan landasan (dalil) atas kebenaran Nabi SAW. terhadap apa yang
disampaikannya, juga merupakan mukjizat (kekuatan yang dapat melemahkan)
bagi manusia, terbukti bahwa tak seorangpun di antara mereka yang mampu
mendatangkan satu surah Al-Qur'an yang semisal dengannya, meskipun jin,
manusia, dan makhluk lain dikumpulkan untuk membuat yang serupa dengan Al-

5
Manna' al-Qattan, Mabahis fi 'Ulum Al-Qur'an, Muassasatu ar-Risalah, Beirut, 1994, hlm. 313
6
Muhammad Husain az-Zahaby, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, Cet. 2, 1976, hlm. 23
7
Qur'an; (2) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi kemaslahatan umat manusia baik di
dunia maupun kelak di akhirat.7

Adapun untuk tipe yang disebutkan kedua, yaitu terjemah yang tidak
leterlek maksudnya adalah menerjemahkan susunan Al-Qur'an ke dalam bahasa
yang lain menurut kemampuan manusia dengan perangkat pengetahuan bahasa
yang luas yang dimiliki seorang penterjemah. Tipe yang kedua ini mungkin
untuk dilakukan, tetapi hanya boleh dilakukan berkaitan dengan kalam
manusia, dan tidak diperbolehkan untuk kitab Allah SWT.

Pengertian terjamah dalam artian kedua yang disebut dengan terjemah


tafsiriyah atau maknawiyah, menurut Manna' Al-Qattan adalah :
‫اﻟﱰﲨﺔ اﻟﺘﻔﺴﺮﻳﺔ او اﳌﻌﻨﻮﻳﺔ ﻫﻲ ﺑﻴﺎن ﻣﻌﲎ اﻟﻜﻼم ﺑﻠﻐﺔ اﺧﺮى ﻣﻦ ﻏﲑ ﺗﻘﻴﻴﺪ ﺑﱰﺗﻴﺐ‬

‫ﻛﻠﻤﺎت اﻷﺻﻞ او ﻣﺮاﻋﺎة ﻟﻨﻈﻤﻪ‬

Menjelaskan makna pembicaraan dengan


bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-
kata bahasa asal atau memperhatikan
susunan kalimatnya.

Sedangkan menurut Muh}ammad H{usain az\-Z|ahaby, terjemah


tafsiriyah atau maknawiyah adalah :

‫ ﺑﺪون ﻣﺮاﻋﺎة ﻟﻨﻈﻢ‬,‫اﻟﱰﲨﺔ اﻟﺘﻔﺴﺮﻳﺔ ﻫﻲ ﺷﺮح اﻟﻜﻼم وﺑﻴﺎن ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺑﻠﻐﺔ اﺧﺮى‬

‫ وﺑﺪون اﶈﺎﻓﻈﺔ ﻋﻠﻰ ﲨﻴﻊ ﻣﻌﺎﻧﻴﻪ اﳌﺮادة ﻣﻨﻪ‬,‫اﻟﻸﺻﻞ وﺗﺮﺗﻴﺒﻪ‬


Mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) dan menjelaskan makna-
maknanya dengan menggunakan bahasa lain tanpa terikat oleh susunan dan
tertib bahasa pertama ; serta tidak terikat oleh seluruh makna yang
dimaksud oleh bahasa pertama, ia hanya memahami makna yang terdapat
pada bahasa yang pertama kemudian mengungkapkannya dengan susunan
kalimatnya sendiri dengan tetap berpegang pada maksud yang dikandung
oleh bahasa pertama.
7
Harun dkk, Salman. Kaidah-Kaidah Tafsir, Bekal Mendasar Untuk Memahami Makna Al-Qur’an dan
Mengurangi Kesalahpahaman Pemahaman. Jakarta: QAF, 2017.
8
Secara operasional, seorang penerjemah tafsiriyah dalam hal ini berusaha
menangkap makna yang ditunjukkan oleh kalimat bahasa pertama (asal) lalu
memahaminya. Kemudian makna itu dituangkan dalam bahasa lain (terjemah),
sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh penuturnya, tanpa memaksakan diri
untuk mencari makna kata perkata yang terdapat dalam bahasa pertama.12
Sebagai contoh di bawah ini akan dikemukakan firman Allah SWT. dalam Q. S.
al-Isra' : 29.

‫َو اَل َتْج َع ْل َيَدَك َم ْغ ُلْو َلًة ِاٰل ى ُع ُنِقَك َو اَل َتْبُس ْطَها ُك َّل اْلَبْس ِط َفَتْقُعَد َم ُلْو ًم ا‬
‫َّم ْح ُسْو ًرا‬
Artinya : " Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu
pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya
karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal." (Q. S. al-
Isra’ : 29)

Ayat di atas jika dipahami dengan menggunakan terjemah h}arfiyah


akan menunjukkan sebagai larangan untuk mengikatkan tangan pada leher dan
mengulurkan tangan sepanjang-panjangnya. Inilah makna yang mungkin akan
dipahami penerjemah selama masih berpegang pada tertib susunan bahasa
aslinya, tanpa berusaha memahami makna yang sebenarnya dimaksud Al-
Qur'a>n. Bahkan mungkin penerjemah akan bertanya, "kenapa Allah SWT.
melarang perbuatan yang dimaksud dalam Al-Qur'a>n." Namun apabila ayat di
atas diterjemahkan secara tafsiriyah, maka ayat tersebut akan dipahami
sebagai tamsil (contoh) orang-orang yang berlebih-lebihan (mengulurkan
tangan sepanjang-panjangnya) dan terlalu kikir (mengikat tangan pada leher).
Dengan terjemahan tafsiriyah, maka menjadi jelas tujuan yang dikehendaki
Allah SWT. dalam ayat tersebut.

C. Hukum Terjemah

Berdasarkan jenis-jenis terjemahan di atas, maka hukum terjemah


dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hukum terjemah harfiyah atau
disebut juga dengan terjemah lafziyah atau musawiyah. Kedua, terjemah
tafsiriyah atau disebut juga dengan terjemah maknawiyah.

1. Hukum Terjemahan Harfiyah

9
Atas dasar pertimbangan di atas maka tidak seorang pun merasa
ragu tentang haramnya menerjemahkan Al-Qur'an dengan terjemah
harfiyah. Sebab Al-Qur'an adalah kalamullah yang diturunkan kepada rasul-
Nya, merupakan mukjizat dengan lafad} dan maknanya, serta membacanya
dipandang sebagai suatu ibadah. Di samping itu, tidak seorang manusia pun
berpendapat, kalimat-kalimat Al-Qur'an itu jika diterjemahkan dinamakan
pula kalamullah. Sebab Allah tidak berfirman kecuali dengan Al-Qur'an
yang kita baca dalam bahasa Arab , dan kemukjizatan pun tidak akan terjadi
dengan terjemahan, karena kemukjizatan hanya khusus bagi Al-Qur'an yang
diturunkan dalam bahasa Arab. Kemudian yang dipandang sebagai ibadah
dengan membacanya ialah Al-Qur'an berbahasa Arab yang jelas, berikut
lafaz-lafaz, huruf-huruf dan tertib kata-katanya.
Selain alasan di atas, ada beberapa faktor tidak diperbolehkannya
terjemah harfiyah, sebagai berikut:

1. Bahwasannya tidak boleh menulis Al-Qur'a>n bukan dengan huruf-


huruf bahasa Arab, dimaksud agar tidak menjadi penyalahgunaan dan
perubahan arti.
2. Bahas-bahasa yang bukan bahasa Arab di dalamnya tidak terdapat
lafaz}-lafaz}, kosa-kata dan kata ganti yang bisa menduduki lafaz}-
lafaz} bahasa Arab.
3. Meringkas lafaz}-lafaz} bahasa Arab, besar kamungkinan menimbulkan
kerusakan arti yang menyebabkan cacat dalam redaksi dan susunan.8

Sebagian ulama mengatakan bahwa terjemah harfiyah dapat saja


dilakukan pada beberapa ayat. Namun demikian hukumnya dapat
menjadi haram karena tidak mungkin bisa menjadi alat penyampai pesan
kandungan-kandungan ayat secara menyeluruh dan tidak pula bisa
menanamkan pengaruh pada jiwa seperti Al-Qur'a>n dengan bahasa
aslinya.9
Untuk itu, sekalipun terjemah h}arfiyah pada lahirnya dapat dilakukan
pada beberapa kata, hukumnya tetap dilarang dalam pandangan syari'at.
Terkecuali bagi orang yang tidak dapat sama sekali memahami Al-Qur'an.

2. Hukum Terjemahan Tafsiriyah


Para ulama sepakat bahwa hukum terjemah tafsiriyah atau

8
Mohammad Aly ash-Shabuny, Pengantar Study Al-Qur'an (At-Tibyan), al-Ma'arif, Bandung, 1987, hlm.
278
9
Muhammad Bin Shaleh Al-'Utsaimin, Ushulun fi al-Tafsir, Terj. H. S. Agil Husin Al-
Munawwar, dan H. Ahmad Rifqi Muchtar, Dina Utama, Semarang, 1989, hlm. 41
10
maknawiyah terhadap Al-Qur'an pada dasarnya boleh dilakukan, sebab
tidak ada alasan yang tepat untuk melarangnya, karena Allah SWT.
mengutus Muhammad SAW. untuk menyampaikan risalah Islam kepada
seluruh umat manusia. Bahkan terkadang menjadi wajib ketika terjemah
tafsiriyah menjadi sarana penyampaian ajaran-ajaran Al- Qur'an dan Islam,
sementara manusia yang dihadapinya tidak bisa memahami bahasa Al-
Qur'an. Oleh karena itu, jalan satu-satunya yang dapat ditempuh ialah
menerjemahkan tafsir Al-Qur'an yang mengandung asas-asas dakwah
dengan cara yang sesuai dengan nash- nash kitab dan sunnah, ke dalam
bahasa setiap suku bangsa. Yaitu yang berkenaan dengan tauhid dan
rukun-rukun ibadah, tidak lebih dari itu. Sedang mereka yang ingin
menambah pengetahuannya, diperintahkan untuk mempelajari bahasa Arab.

Jadi jelas, terjemah semacam ini tidak boleh dinamakan Al- Qur'an tetapi
dinamakan "Tafsir Al-Qur'an ", sebab Allah menganggap kita beribadah apabila
kita mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur'an.

Oleh karena itu tentang sabda Rasulullah SAW. boleh kita


meriwayatkannya dengan artinya saja. Misalnya kita katakan : "Rasulullah
SAW. bersabda yang artinya demikian." Tetapi untuk Al- Qur'an sama sekali
tidak diperbolehkan meriwayatkan dengan artinya saja. Maka tidak benar
kalau kita katakan : "Allah SWT. berfirman yang artinya demikian." Bahkan
Al-Qur'an harus dibaca lengkap dengan huruf-huruf dan lafaz -lafaznya
karena Al-Qur'an langsung diwahyukan dari Allah SWT. dan Al-Qur'an
merupakan mukjizat baik lafad} maupun maknanya.

Diperbolehkannya terjemah secara tafsiriyah bukan berarti hasil


penafsirannya tanpa cacat, hal ini dikarenakan pemindahan makna-makna
asli ke dalam bahasa lain tidak terlepas dari kerusakan. Karena satu buah lafaz
di dalam Al-Qur'an terkadang mempunyai dua makna atau lebih yang
diberikan oleh ayat. Maka dalam keadaan demikian biasanya penerjemah hanya
meletakkan satu lafaz yang hanya menunjukkan satu makna, karena ia tidak
mendapatkan lafaz serupa dengan lafaz Arab yang dapat memberikan lebih dari
satu makna itu.

Terkadang Al-Qur'an menggunakan sebuah lafaz} dalam pengertian majaz


(kiasan), maka dalam hal demikan penerjemah hanya mendatangkan suatu satu
lafaz yang sama dengan lafaz Arab dimaksud dalam pengertiannya yang hakiki.
Karena hal ini dan hal lain maka terjadilah banyak kesalahan dalam
penerjemahan makna-makna Al-Qur'an.

11
D. Bacaan Shalat Selain Dengan Bahasa Arab

Pendirian para ulama dalam hal pembacaan al-Qur’an dalam shalat dengan
selain bahasa Arab, terbagi atas dua mahzab:

1. Boleh secara mutlak, atau di saat tidak sanggup mengucapkan dengan bahasa Arab.

2. Haram, dan shalat dengan bacaan seperti ini tidak sah.

Pendapat pertama adalah pendapat ulama madzab Hanafi.

Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia berpendapat, boleh dan sah membaca
al- Qur’an dalam shalat dengan bahasa Persia. Dan atas dasar ini, sebagian
shahabat [murid]nya memperbolehkan pula membacanya dalam bahasa Turki, India
dan bahasa-bahasa lainnya. Nampaknya mereka dalam hal ini memandang al-
Qur’an adalah nama bagi makna-makna [substansi, hakekat] yang ditunjukkan oleh
lafadz-lafadz Arab. Sedangkan makna-makna itu tidaklah berbeda-beda karena
perbedaan lafadz dan bahasa.

Dua orang murid Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Husain,
membatasi hal tersebut dengan “dalam keadaan darurat”. Mereka membolehkan
bagi yang tidak mampu mengucapkan bahasa Arab, membaca al-Qur’an dalam
shalat dengan bahasa asing, tetapi tidak bagi yang tidak sanggup membacanya
dengan bahasa Arab. Dalam Mi’rajud Diraayah dikemukakan, kami
memperbolehkan membaca terjemah al-Qur’an [dalam shalat] bagi yang tidak
mampu jika hal itu tidak termasuk makna, sebab terjemahan tersebut adalah al-
Qur’an juga dilihat dari segi cakupannya terhadap makna. Oleh karena itu makna
membacanya lebih baik daripada meninggalkannya samasekali karena pembebanan
[taklif] itu sesuai dengan kemampuan.10

Diriwayatkan, Abu Hanifah telah mencabut kembali “kebolehan secara


mutlak” yang dinukil dari beliau tersebut.

Pendapat kedua adalah pendapat jumhur. Ulama madzab Hanafi, Syafi’i


dan Hambali tidak membolehkan bacaaan terjemahan al-Qur’an dalam shalat, baik
yang mampu membaca bahasa Arab maupun tidak, sebab terjemahan al-Qur’an
bukanlah al-Qur’an. Al-Qur’an adalah susunan perkataan mukjizat, yaitu
kalamullah yang menurut-Nya sendiri, ber-“bahasa Arab.” Dan dengan
10
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya dengan transliterasi, Departemen Agama RI, Semarang: PT.
Karya Toha Putra,t.t.
12
menerjemahkannya hilanglah kemukjizatannya dan terjemahannya bukanlah
kalamullah.

Berkata Qadi Abu Bakar Ibnul ‘Arabi, salah seorang fuqaha Maliki, ketika
menafsirkan firman Allah yang artinya: “Dan jikalau Kami jadikan al-Qur’an itu
suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab, tentulah mereka mengatakan:
‘Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?’ Apakah [patut al-Qur’an itu] dalam
bahasa asing sedang [Rasul adalah orang] Arab?” (Fushshillat: 44) sebagai berikut:

“Para ulama kita mengatakan, ayat ini membatalkan pendapat Abu Hanifah
yang menyatakan bahwa menerjemahkan al-Qur’an dengan menggantikan bahsa
Arabnya dengan bahasa Persia itu boleh. Sebab, Allah telah berfirman dalam surah
Fushshilat ayat 44. Dalam ayat ini Allah menafikan jalan bagi bahasa asing untuk
masuk ke dalam al-Qur’an. Tetapi mengapakah Abu Hanifah malah membawanya
kepada apa yang dinafikan Allah tersebut?”

Lebih lanjut Ibnul ‘Arabi mengatakan: “Bayan dan kemukjizatan hanya bisa
direalisasikan dengan bahasa Arab. Karena itu seandainya al-Qur’an diganti dengan
bahasa selain Arab tentulah penggantiannya itu tidak dinamakan al-Qur’an dan
Bayan, juga tidak menimbulkan kemukjizatan.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar, salah seorang fuqaha Syafi’i, dalam Fathul Baari
berkata: “Jika seseorang sanggup membacanya dalam bahasa Arab, maka ia tidak
boleh beralih darinya, dan shalatnya tidak sah, dengan membaca terjemahan
tersebut, walaupun ia tidak sanggup membacanya dengan bahasa Arab.” Kemudian
ia menyebutkan, Syari’ [Allah, Rasul] telah membuat bagi mereka yang tidak
sanggup membaca dengan bahasa Arab, penggantinya, yaitu dzikir.

Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, salah seorang fuqaha Hambali,


sekalipun ia mempunyai ijtihad-ijtihad sendiri: “Adapun mendatangkan lafadz
untuk menjelaskan makna seperti penjelasan lafadz-lafadz al-Qur’an maka hal ini
tidak mungkin sama sekali. Oleh karen itu para pemimpin agama berpendapat,
tidak boleh membaca al-Qur’an dengan selain bahasa Arab, baik bagi mereka yang
mampu membaca dengan bahasa Arab maupun bagi yang tidak mampu, sebab yang
demikian akan mengeluarkan al-Qur’an dari statusnya sebagai al-Qur’an yang
diturunkan Allah.” (Balaaghatul Qur’an, hal 15)

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidaa’ush Shiraatil Mustaqiim, ketika


membicarakan perbedaan pendapat para fuqaha tentang bacaan-bacaan shalat,
bolehlah diucapkan dalam bahasa selain Arab, berkata: “Adapun al-Qur’an tidak
13
boleh dibaca dengan selain bahasa Arab, baik bagi orang yang mampu maupun bagi
orang yang tidak mampu, menurut jumhur. Inilah pendapat yang benar dan tidak
mengandung keraguan. Bahkan tidak hanya seorang yang berpendapat, tidak boleh
menerjemahkan suatu surah atau bagian-bagian al-Qur’an yang dapat mewujudkan
kemukjizatan.” Ibn Taimiyah menentukan satu surah atau bagian-bagian yang dapat
mewujudkan kemukjizatan itu sebagai isyarat terhadap tantangan al-Qur’an yang
paling sedikit.

Agama mewajibkan kepada para pemeluknya agar mempelajari bahasa Arab,


karena bahasa ini adalah bahasa al-Qur’an dan kunci untuk memahaminya. Dan
berkata juga Ibnu Taimiyah dalam al-iqtida’, “Juga, karena bahasa Arab itu sendiri
termasuk agama. Dan mengetahuinya adalah fardlu yang wajib, karena memahami
kitab dan sunnah adalah fardlu. Keduanya tidak dapat dipahami kecuali dengan
memahami bahasa Arab. Sesuatu, yang kewajiban tidak dapat dijalankan secara
sempurna kecuali dengannya, maka ia adalah wajib.”

Adapun pendapat ulama madzab Hanafi mengenai kebolehan shalat dengan


terjemahan al-Qur’an, maka mereka yang membolehkan memandang kebolehan ini
hanya sebagai rukshah [dispensasi] bagi orang yang tidak mampu. Namun mereka
tetap sependapat bahwa terjemahan al-Qur’an tidaklah dinamakan al-Qur’an.
Terjemahan ini sama dengan status dzikir kepada Allah dalam pendapat ulama di
luar madzab Hanafi.

Mengenai penerjemahan dzikir [bacaan] dalam shalat, baik yang wajib


seperti takbiratul ihram maupun bukan, masih diperselisihkan. Dzikir yang wajib
tidak boleh diterjemahkan menurut Malik, Ishak dan Ahmad dalam satu riwayatnya
yang paling shahih, tetapi boleh menurut Abu Yusuf, Muhammad dan Syafi’i.
Sedang dzikir-dzikir lainnya tidak boleh diterjemahkan menurut Malik, Ishak dan
sebagian murid-murid Syafi’i. Dan bila dzikir-dzikir itu diselang-selingi terjemahan
maka batalah shalat. Sementara itu Imam Syafi’i sendiri menegaskan, bahwa hal
demikian adalah makruh jika tidak dapat membaca bahasa Arab. Pendapat ini
adalah juga pendapat murid-murid Ahmad.11

11
bi Al-Hasan, Syaifuddin Ali Ibn Muhammad Al-Amidi. Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam. Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiah 1994
14
15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa Al-Qur’an merupakan teks suci
dan sumber hukum umat Islam yang paling fundamental, sehingga dalam
menerjemahkannya pun harus memperhatikan tradisi yang sudah berlaku di
kalangan umat Islam. Namun demikian, bagi sebagian kalangan, Al-Qur’an
tertutup untuk dimaknai atau diterjemahkan dengan cara yang tidak biasa, atau
cara pembacaan baru.

Dari sudut pandang terjemah, usaha penerjemahan dari dan ke bahasa apapun
tidak mungkin 100% secara harfiah diterapkan, melainkan perlu menimbang
banyak aspek sehingga bahasa sasaran dapat secara utuh menangkap pesan dari
bahasa asal dan menyajikannya dalam pola dan struktur kalimat dalam bahasa
sasaran. Dalam penerjemahan Al-Qur’an, masalah makin kompleks sebab
melibatkan pula banyak aspek seperti keindahan puitisnya, kebiasaan dalam
budaya bahasa Arab sebagai bahasa pengantar Al-Qur’an, dzauq atau cita rasa
bahasa asal yang mungkin tergerus ketika diterjemahkan, dst. Oleh karenanya,
penerjemahan selalu terbuka untuk direvisi, apalagi bila mengingat bahwa suatu
bahasa (dalam hal ini berarti bahasa sasaran) pasti mengalami perkembangan

B. Saran
Dari kesimpulan-kesimpulan di atas, maka penulis dapat memberikan
beberapa saran, yaitu melakukan penelitian secara lebih mendalam terhadap karya
terjemah Al-Qur’an berbahasa Prancis, 105 mengingat di zona ini masih banyak
peneliti dari Indonesia yang belum begitu menguasainya, sementara banyak
pemikir asal Afrika Utara dan Prancis yang secara brilian mampu membuat
koneksi antara tradisi Barat dan tradisi Timur. Kedua, melakukan penelitian lebih
terhadap pemikiran Jacques Berque, sebab apa yang dituangkan dalam tesis ini
belum mencakup pemikiran Berque secara mendalam
DAFTAR PUSTAKA

A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, Kanisius, Yogyakarta, 1991, hlm. 11

Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya dengan transliterasi, Departemen Agama


RI, Semarang: PT. Karya Toha Putra,t.t.

Bi Al-Hasan, Syaifuddin Ali Ibn Muhammad Al-Amidi. Al-Ihkam Fi Ushul Al-


Ahkam. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah 1994

Faizin, Hammam. Sejarah Pencetakan Al-Qur’an. Yogyakarta: Era Baru Pressindo,


2009.

Harun dkk, Salman. Kaidah-Kaidah Tafsir, Bekal Mendasar Untuk Memahami


Makna Al-Qur’an dan Mengurangi Kesalahpahaman Pemahaman. Jakarta:
QAF, 2017.

Muhammad 'Abd al-'Azim aZ-Zarqany, Manahilu al-'Irfan fi 'Ulum Al-Qur'an, Jilid


II, Daru al-Fikr al-'Ilmiyah, Beirut, 1988, hlm. 119-120

M. Rudolf Nababan, Teori Menerjemah Bahasa Inggris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,


2003, hlm. 19-20
Manna' al-Qattan, Mabahis fi 'Ulum Al-Qur'an, Muassasatu ar-Risalah, Beirut, 1994,
hlm. 313
Muhammad Husain az-Zahaby, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, Cet. 2, 1976, hlm.
23

Mohammad Aly ash-Shabuny, Pengantar Study Al-Qur'an (At-Tibyan), al-Ma'arif,


Bandung, 1987, hlm. 278
Muhammad Bin Shaleh Al-'Utsaimin, Ushulun fi al-Tafsir, Terj. H. S. Agil Husin Al-
Munawwar, dan H. Ahmad Rifqi Muchtar, Dina Utama, Semarang, 1989,
hlm. 41

17

Anda mungkin juga menyukai