Anda di halaman 1dari 10

Metode Penerjemahan Bahasa ala Newmark

Posted: 12 Juni 2010 by chekie in Tarjamah


Tag:Metode Penerjemahan Bahasa ala Newmark

Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada, setiap pakar penerjemahan mengelompokkan


penerjemahan-penerjemahan di bawah ini ke dalam jenis, metode atau teknik. Peneliti, dalam
hal ini, mengadopsi pendapat Newmark (1988) dalam pengelompokan metode penerjemahan.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah metode diartikan sebagai cara
yang teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan
yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan
guna mencapai tujuan yang ditentukan (2005:740).

Berkaitan dengan batasan istilah metode penerjemahan (Translation Method), Molina dan
Albir (2002:507) menyatakan bahwa ”Translation method refers to the way of a particular
translation process that is carried out in terms of the translator’s objective, i’e., a global
option that affects the whole texts”. Dari batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa metode
penerjemahan lebih cenderung pada sebuah cara yang digunakan oleh penerjemah dalam
proses penerjemahan sesuai dengan tujuannya, misalnya sebuah opsi global penerjemah yang
mempengaruhi keseluruhan teks. Jadi metode penerjemahan sangat mempengaruhi hasil
terjemahan. Artinya hasil terjemahan teks sangat ditentukan oleh metode penerjemahan yang
dianut oleh penerjemah karena maksud, tujuan dan kehendak penerjemah akan berpengaruh
terhadap hasil terjemahan teks secara keseluruhan. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat
Newmark dalam Ordudary (2007:1) yang menyatakan: “[w]hile translation methods relate to
whole texts, translation procedures are used for sentences and the smaller units of
language”. Selanjutnya Newmark (1988:45) telah mengelompokkan metode-metode
penerjemahan berikut ke dalam dua kelompok besar. Empat metode pertama lebih ditekankan
pada Bsu, yaitu Word-for-word translation, Literal translation, Faithful translation, dan
Semantic translation dan empat metode kedua lebih ditekankan pada Bsa, Adaptation, Free
translation, Idiomatic translation, dan Communicative translation.

1. Penerjemahan Kata-demi-kata
Dalam metode penerjemahan kata-demi-kata (word-for-word translation), biasanya kata-kata
Tsa langsung diletakkan di bawah versi Tsu atau disebut dengan interlinear translation.
Metode penerjemahan ini sangat terikat pada tataran kata, sehingga susunan kata sangat
dipertahankan. Dalam melakukan tugasnya, penerjemah hanya mencari padanan kata Bsu
dalam Bsa. Susunan kata dalam kalimat terjemahan sama persis dengan susunan kata dalam
kalimat Bsu. Setiap kata diterjemahkan satu-satu berdasarkan makna umum atau di luar
konteks, sedangkan kata-kata yang berkaitan dengan budaya diterjemahkan secara harfiah.
Umumnya metode ini digunakan pada tahapan prapenerjemahan pada saat penerjemah
menerjemahkan teks yang sukar atau untuk memahami mekanisme Bsu. Jadi metode ini
digunakan pada tahap analisis atau tahap awal pengalihan. Biasanya metode ini digunakan
untuk penerjemahan tujuan khusus, namun tidak lazim digunakan untuk penerjemahan yang
umum. Kecuali jika struktur kalimat bahasa Inggris sama dengan struktur kalimat bahasa
Indonesia (lihat contoh nomor 3 dan 4 di bawah ini) (Catford, 1978:25; Soemarno, 1983:25;
Newmark, 1988:45-46; Machali, 2000:50-51; Nababan, 2003:30).
Berikut adalah beberapa contoh hasil terjemahan yang menggunakan contoh metode
penerjemahan kata-demi-kata menurut beberapa pakar tersebut di atas:
1. Tsu : Look, little guy, you-all shouldn’t be doing that.
1
Tsa : *Lihat, kecil anak, kamu semua harus tidak melakukan ini.
Berdasarkan hasil terjemahan tersebut, kalimat Tsu yang dihasilkan sangatlah rancu dan
janggal karena susunan frase “kecil anak” tidak berterima dalam tatabahasa Indonesia dan
makna frase “harus tidak” itu kurang tepat. Seharusnya kedua frase tersebut menjadi “anak
kecil” dan “seharusnya tidak”. Demikian pula dengan kata “that” yang sebaiknya
diterjemahkan menjadi “itu” bukan “ini”. Sehingga alternative terjemahan dari kalimat
tersebut menjadi:
‘Lihat, anak kecil, kamu semua seharusnya tidak melakukan itu.’
2. Tsu : I like that clever student.
Tsa : *Saya menyukai itu pintar anak.
Hasil terjemahannya tidak berterima dalam bahasa Indonesia karena susunan kata yang benar
bukan ’itu pintar anak’ tetapi ’anak pintar itu’, sehingga kalimat yang benar seharusnya:
”Saya menyukai anak pintar itu.”
3. Tsu : I will go to New York tomorrow.
Tsa : Saya akan pergi ke New York besok.
4. Tsu : Joanne gave me two tickects yesterday.
Tsa : Joanne memberi saya dua tiket kemarin.
Hasil terjemahan kalimat ke-3 dan ke-4 tidak separah hasil terjemahan kalimat ke-1 dan ke-2
karena struktur kalimat dari kedua teks tersebut hampir sama. Artinya bahwa hasil terjemahan
kedua kalimat tersebut masih dalam kategori berterima walaupun masih terasa janggal.
Walaupun demikian ada beberapa alternatif hasil terjemahan yang tampak lebih alamiah dan
berterima misalnya:
3. ‘Besok pagi saya akan pergi ke New York.’
4. ‘Kemarin Joanne memberiku dua buah tiket.’

2. Penerjemahan Harfiah
Penerjemahan harfiah (literal translation) atau disebut juga penerjemahan lurus (linear
translation) berada di antara penerjemahan kata-demi-kata dan penerjemahan bebas (free
translation). Dalam proses penerjemahannya, penerjamah mencari konstruksi gramatikal Bsu
yang sepadan atau dekat dengan Bsa. Penerjemahan harfiah ini terlepas dari konteks.
Penerjemahan ini mula-mula dilakukan seperti penerjemahan kata-demi-kata, tetapi
penerjemah kemudian menyesuaikan susunan kata-katanya sesuai dengan gramatikal Bsa
(Soemarno, 1983:25; Newmark, 1988:46; Machali, 2000: 51; Nababan, 2003:33; Moentaha,
2006:48). Perhatikan beberapa contoh berikut:
1. Tsu : Look, little guy, you-all shouldn’t be doing that.
Tsa : Lihat, anak kecil, kamu semua seharusnya tidak berbuat seperti itu.
2. Tsu : It’s raining cats and dogs.
Tsa : Hujan kucing dan anjing.
3. Tsu : His hearth is in the right place.
Tsa : Hatinya berada di tempat yang benar.
4. Tsu : The Sooner or the later the weather will change.
Tsa : Lebih cepat atau lebih lambat cuaca akan berubah.
Jika dilihat dari hasil terjemahannya, beberapa kalimat-kalimat yang diterjemahkan secara
harfiah masih terasa janggal, misalnya kalimat ke-2 sebaiknya diterjemahkan “Hujan lebat”
atau “Hujan deras”. Kalimat ke-3 sebaiknya diterjemahkan menjadi “Hatinya tenteram”.
Namun jika demikian hasil terjemahannya, memang lebih condong pada penerjemahan bebas.
Demikian pula dengan kalimat ke-4 sebaiknya diterjemahkan menjadi “Cepat atau lambat
cuacanya akan berubah”.

2
3. Penerjemahan Setia
Dalam penerjemahan setia (faithful translation), penerjemah berupaya mereproduksi makna
kontekstual dari teks asli dengan tepat dalam batasan-batasan struktur gramatikal teks
sasaran. Di sini kata-kata yang bermuatan budaya diterjemahkan, tetapi penyimpangan tata
bahasa dan pilihan kata masih tetap ada atau dibiarkan. Penerjemahan ini berpegang teguh
pada maksud dan tujuan Tsu, sehingga hasil terjemahan kadang-kadang masih terasa kaku
dan seringkali asing (Newmark, 1988:46; Machali, 2000:51). Perhatikan contoh terjemahan
berikut ini:
1. Tsu : Ben is too well aware that he is naughty.
Tsa : Ben menyadari terlalu baik bahwa ia nakal.
2. Tsu : I have quite a few friends.
Tsa : Saya mempunyai samasekali tidak banyak teman.

4. Penerjemahan Semantis
Penerjemahan semantis (semantic translation) lebih luwes daripada penerjemahan setia.
Penerjemahan setia lebih kaku dan tidak kompromi dengan kaidah Bsa atau lebih terikat
dengan Bsu, sedangkan penerjemahan semantis lebih fleksibel dengan Bsa. Berbeda dengan
penerjemahan setia, penerjemahan semantis harus mempertimbangkan unsur estetika teks
Bsu dengan cara mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran (Newmark,
1988:46; Machali, 2000:52). Perhatikan contoh berikut:
Tsu : He is a book-worm.
Tsa : *Dia (laki-laki) adalah seorang yang suka sekali membaca.
Frase book-worm diterjemahkan secara fleksibel sesuai dengan konteks budaya dan batasan
fungsional yang berterima dalam Bsa. Tetapi terjemahan di atas kurang tepat dan seharusnya
diterjemahkan menjadi: ’Dia seorang kutu buku.’

5. Adaptasi (Saduran)
Adaptasi (adaptation) oleh Newmark (1988:46) disebut dengan metode penerjemahan yang
paling bebas (the freest form of translation) dan paling dekat dengan Bsa. Istilah ”saduran”
dapat diterima di sini, asalkan penyadurannya tidak mengorbankan tema, karakter atau alur
dalam Tsu. Memang penerjemahan adaptasi ini banyak digunakan untuk
menerjemahkan puisi dan drama. Di sini terjadi peralihan budaya Bsa ke Bsu dan teks asli
ditulis kembali serta diadaptasikan ke dalam Tsa. Jika seorang penyair menyadur atau
mengadaptasi sebuah naskah drama untuk dimainkan, maka ia harus tetap mempertahankan
semua karakter dalam naskah asli dan alur cerita juga tetap dipertahankan, namun dialog Tsu
sudah disadur dan disesuaikan dengan budaya Bsa.
Berikut adalah contoh lirik lagu dari sebuah yang disadur dari bahasa Inggris ke dalam
bahasa Indonesia (http://anotherfool.wordpress.com):
Tsu : Hey Jude, don’t make it bad
Take a sad song and make it better
Remember to let her into your heart
Then you can start to make it better
(Hey Jude-The Beatles, 196)
Tsa : Kasih, dimanakah Mengapa kau tinggalkan aku
Ingatlah-ingatlah kau padaku
Janji setiamu tak kan kulupa

3
6. Penerjemahan Bebas
Penerjemahan bebas (free translation) merupakan penerjemahan yang lebih mengutamakan
isi dari pada bentuk teks Bsu. Biasanya metode ini berbentuk parafrase yang lebih panjang
daripada bentuk aslinya, dimaksudkan agar isi atau pesan lebih jelas diterima oleh pengguna
Bsa. Terjemahannya bersifat bertele-tele dan panjang lebar, bahkan hasil terjemahannya
tampak seperti bukan terjemahan (Newmark, 1988:46; Machali, 2003:53). Soemarno
(2001:33-37) memberi contoh sebagai berikut:
1. Tsu : The flowers in the garden.
Tsa : Bunga-bunga yang tumbuh di kebun.
2. Tsu : How they live on what he makes?
Tsa : Bagaimana mereka dapat hidup dengan penghasilannya?
Dalam contoh nomor 1 terjadi pergeseran yang disebut dengan shunt up (langsir ke atas),
karena dari frase preposisi in the garden menjadi klausa ’yang tumbuh di kebun’. Sedangkan
pada nomor 2 terjadi pergeseran yang disebut dengan shunt down (langsir ke bawah), karena
klausa on what he makes menjadi frase ’dengan penghasilannya’. Contoh-contoh lainnya
adalah:
3. Tsu : Tatik is growing with happiness.
Tsa : Tati, hatinya berbunga-bunga.
4. Tsu : Look, little guy, you-all shouldn’t be doing this.
Tsa : Dengar nak, mengapa kamu semua melakukan hal-
hal seperti ini. Ini tidak baik.
Berikut adalah sebuah contoh terjemahan bebas yang tampak sangat ekstrim yang
dikemukakan oleh Moentaha (2006:52):
5. Tsu : I kissed her.
Tsa : Saya telah mencetak sebuah ciuman pada bibirnya yang merah.
Terjemahan di atas tampak lebih radikal, sekalipun tetap mempertahankan isi atau pesan.
Padahal terjemahannya bisa saja menjadi ’Saya telah menciumnya’.

7. Penerjemahan Idiomatik
Larson dalam Choliludin (2006:23) mengatakan bahwa terjemahan idiomatik (idiomatic
translation) menggunakan bentuk alamiah dalam teks Bsa-nya, sesuai dengan konstruksi
gramatikalnya dan pilihan leksikalnya. Terjemahan yang benar-benar idiomatik tidak tampak
seperti hasil terjemahan. Hasil terjemahannya seolah-olah seperti hasil tulisan langsung dari
penutur asli. Maka seorang penerjemah yang baik akan mencoba menerjemahkan teks secara
idiomatik. Newmark (1988:47) menambahkan bahwa penerjemahan idiomatik mereproduksi
pesan dalam teks Bsa dengan ungkapan yang lebih alamiah dan akrab daripada teks Bsu.
Choliludin (2006:222-225) memberi beberapa contoh terjemahan idiomatik sebagai berikut:
1. Tsu : Salina!, Excuse me, Salina!
Tsa : Salina!, Permisi, Salina!
2. Tsu : I can relate to that.
Tsa : Aku mengerti maksudnya.
3. Tsu : You’re cheery mood.
Tsa : Kamu kelihatan ceria.
4. Tsu : Tell me, I am not in a cage now.
Tsa : Ayo, berilah aku semangat bahwa aku orang bebas.
5. Tsu : Excuse me?
Tsa : Maaf, apa maksud Anda?

4
8. Penerjemahan Komunikatif
Menurut Newmark (1988:47), penerjemahan komunikatif (communicative translation)
berupaya untuk menerjemahkan makna kontekstual dalam teks Bsu, baik aspek kebahasaan
maupun aspek isinya, agar dapat diterima dan dimengerti oleh pembaca. Machali (2000:55)
menambahkan bahwa metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, yaitu mimbar
pembaca dan tujuan penerjemahan. Contoh dari metode penerjemahan ini adalah
penerjemahan kata spine dalam frase ‘thorns spines in old reef sediments.’ Jika kata tersebut
diterjemahkan oleh seorang ahli biologi, maka padanannya adalah spina (istilah teknis Latin),
tetapi jika diterjemahkan untuk mimbar pembaca yang lebih umum, maka kata itu
diterjemahkan menjadi ’duri’.
Di samping itu Nababan (2003:41) menjelaskan bahwa penerjemahan komunikatif pada
dasarnya menekankan pengalihan pesan. Metode ini sangat memperhatikan pembaca atau
pendengar Bsa yang tidak mengharapkan adanya kesulitan-kesulitan dan ketidakjelasan
dalam teks terjemahan. Metode ini juga sangat memperhatikan keefektifan bahasa
terjemahan. Kalimat ’Awas Anjing Galak’ dapat diterjemahkan menjadi Beware of the dog!
daripada Beware of the vicious dog! Karena bagaimanapun juga kalimat terjemahan ke-1
sudah mengisyaratkan bahwa anjing itu galak (vicious).
Berdasarkan pengamatan peneliti, setiap penerjemah memiliki gaya masing-masing dalam
menerjemahkan suatu karya. Gaya yang dia pakai akan sangat berkaitan erat, misalnya,
dengan metode penerjemahkaan yang dia gunakan bergantung tujuan penerjemahan yang dia
lakukan. Di antara para penerjemah ada yang menggunakan metode penerjemahan setia,
seperti yang telah dilakukan oleh penerjemah novel Harry Potter and the Phylosopher’s
Stone. Alasannya adalah bahwa dia tidak mau melepaskan makna kontekstual dalam Tsu-nya.
Dia berusaha mempertahankan istilah-istilah yang berkaitan dengan sosio-budaya dan latar
dari Bsu, misalnya mempertahankan kata Mr dan Mrs serta nama-nama diri para karakter
dalam novel itu. Dia tidak melakukan suatu adaptasi atau domestikasi tetapi mempertahankan
ideology forenisasinya. Ini dilakukan demi menjaga keaslian unsur-unsur cerita dan nilai-nilai
budaya yang melatari ceritera tersebut sehingga pembaca diajak untuk mengenali tema,
karakter, latar dan atmosfir budaya asing. Para penerjemah novel lainnya masing-masing
berbeda dalam memilih metode penerjemahan. Di antaranya ada yang menggunakan
penerjemahan bebas, semantis, idiomatik, dan adaptasi. Hal tersebut dilakukan bergantung
kepada kebiasaan serta gaya yang menjadi ciri khas mereka. Mungkin pula bergantung pada
tujuan penerjemahan itu sendiri.
Sumber: Teori Penerjemahan (A Handbook for Translators)
Penulis : Rudi Hartono, S.S., M.Pd.

Sumber: http://kiflipaputungan.wordpress.com/2010/06/12/metode-penerjemahan-bahasa-ala-
newmark/ (Diakses Senin 13 Desember, 2010)

KAJIAN TEORI TERJEMAH

1. Pengertian Terjemah

Kata terjemah berasal dari bahasa Arab, yaitu tarjama (‫)ترجججججم‬, yutarjimu (‫)يججججترجم‬,
dan tarjamatan(‫( )ترجمة‬Louis Mal'uf, 1986: 60). Adapun padanannya dalam bahasa Inggris
adalah translation yang berasal dari kata kerja translate. Menurut Az-Zarqoni dalam Ainin
(2003: 54), secara etimologis kata terjamah digunakan untuk mengacu pada empat
makna. Pertama, berarti menyampaikan pembicaraan kepada orang lain yang pembicaraan
5
tersebut tidak sampai kepadanya. Kedua, berarti menafsirkan pembicaraan dengan bahasa
yang sama dengan bahasa pembicaraan itu. Ketiga, berarti menafsirkan pembicaraan dengan
bahasa bukan bahasa pembicaraan, dan yang Keempat, berarti proses pengalihan dari satu
bahasa ke bahasa yang lain. Perlu dibedakan pula antara kata penerjemahan dan
terjemahan sebagai padanan dari translation. Kata penerjemahan mengandung
pengertian proses alih pesan, sedangkan kata terjemahan artinya hasil dari suatu
terjemahan (M. Rudolf Nababan, 2003: 18). Hal ini sesuai dengan uaraian Katefurid
(1991: 33) sebagimana berikut: ‫ أن يستبدل بمحتويات نص في لغة )لم( ما يقابلها من محتويات نص في‬:‫الترجمة‬
(‫لغة أخرى )له‬.

Rochayah Machalli (1993: 4) mendefinisikan penerjemahan "the replacement of textual


material in one language (SL) by equivalent textual material in another language
(TL)"penggantian materi teks dalam suatu bahasa (bahasa sumber) dengan materi teks yang
setara (ekuivalen) dalam bahasa lain (bahasa sasaran). Hal senada juga dikemukakan oleh
Al-'Azaby sebagai berikut: penggantian materi teks suatu bahasa (bahasa sumber) dengan
materi teks yang setara dalam bahasa lain (bahasa sasaran). Kedua definisi ini menekankan
bahwa dalam penerjemahan terdapat penggantian materi baik materi bahasa yang berupa
kata, frasa, klausa, dan kalimat maupun makna dalam teks bahasa sumber dengan materi yang
setara dalam bahasa sasaran. Begitupula disebutkan oleh Akram Mukmin (2000: 7)‫الترجمة هي‬
‫فن نقل الكلما من لغة إلى لغة أخرى‬.

Namun lebih jelasnya lagi, Newmark (1993: 4) memberikan definisi serupa "rendering the
meaning of a texs into another language in the way that the author intended the text", yaitu
menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksud
pengarang. Definisi ini hampir sama dengan yang dikemukakan As'ad M. Hakim (1989: 75)
bahwa penerjemahan adalah upaya mengganti teks dari suatu bahasa ke bahasa lain dengan
tetap menjaga keutuhan makna.

Dalam bukunya Approuches to Translation, Newmark Peter (1981) menulis


bahwa Translation is a craft consisting in the attempt to replace a written massage and or
statement in one language by the same message and or statament in another language.

Secara bebas definisi tersebut bisa diterjemahkan sebagai berikut: "Penerjemahan adalah
suatu kiat yang merupakan usaha untuk mengganti suatu pesan atau pernyataan tertulis
dalam satu bahasa dengan pesan atau pernyataan yang sama dengan bahasa lain".

Ada dua hal yang bisa diperbincangkan dalam definisi ini. Pertama, Newmark memandang
penerjemahan (translation) menyangkut teks tertulis. Ada kemungkinan ini dimaksudkan
untuk membedakan dengan interpretation untuk penerjemahan lisan. Yang kedua, pakar
penerjemahan ini tidak menggunakan istilah ekuivalen atau padanan, tetap ia memakai istilah
yang sama dalam bahasa lain. Tetapi secara luas, terjemah dapat diartikan sebagai semua
kegiatan manusia dalam mengalihkan seperangkat informasi atau pesan (message) – baik
verbal maupun non verbal – dari informasi asal atau informasi sumber (source information)
ke dalam informasi sasaran (target information) (Suhendra Yusuf, 1994: 8).

6
2. Proses Penerjemahan

Pengalihan amanat dan pengungkapan dalam bahasa sasaran dengan


mempertimbangkan gaya bahasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari setiap proses
penerjemahan. Proses penerjemahan perlu dipahami oleh para calon penerjemah agar mereka
dapat menentukan langkah-langkah penting dalam melakukan tugasnya.

Proses ialah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja. Proses penerjemahan
dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang penerjemah pada
saat dia mengalihkan amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Proses
penerjemahan dapat pula diartikan sebagai suatu sistem kegiatan dalam aktivitas
menerjemahkan. Oleh karena itu, dalam melakukan suatu kegiatan menjermahkan diperlukan
kehati-hatian karena kesalahan dalam satu tahap akan menimbulkan kesalahan dalam tahap
lainnya. Apabila hal yang seperti itu terjadi, terjemahan yang dihasilkan akan mengandung
kesalahan-kesalahan (M. Rudolf Nababan, 2003: 25).

Dr. Ronald H. Bathgate, dalam karangannya yang berjudul "A Survey of Translation Theory",
mengungkapkan tujuh unsur, langkah atau bagian integral dari proses penerjemahan sebagai
berikut ini: 1. Tuning (Penjajagan), 2. Analysis (Penguraian), 3. Understanding (Pemahaman),
4. Terminology (Peristilahan), 5. Restructuring (Perakitan), 6. Checking (Pengecekan) dan
7. Discussion (Pembicaraan) (A. Widyamartaya, 1989: 15). Sedangkan menurut Ibnu Burdah
(2004: 29), menyebutkan bahwa secara garis besar, ada sedikitnya tiga tahapan kerja dalam
proses menerjemah, yaitu: a. Penyelaman pesan naskah sumber yang kehendak diterjemah, b.
Penuangan pesan naskah sumber ke dalam bahasa sasaran dan c. Proses editing.

Jadi sebagaimana menurut Langgeng Budianto (2005: 4) penerjemah dapat menghasilkan


suatu terjemahan bagus dan efektif apabila dalam penyampaian intensi penulis merupakan
tujuan setiap proses penerjemahan. Keefektifan terjemahan ditentukan oleh tiga faktor: 1.
Derajat pengetahuan penerjemah, 2. Derajat pencapaian tujuan penerjemahan, dan 3. Derajat
kepuasan penerjemah.

3. Klasifikasi Terjemah

Terjemahan dapat diklasifikasikan dalam berbagai jenis. Apabila dilihat dari tujuan
penerjemahan, Brislin (dalam Emzir, 1999: 4) menggolongkan terjemahan ke dalam empat
jenis, yaitu:

a. Terjemahan Pragmatis, yaitu terjemahan yang mementingkan ketepatan atau akurasi


informasi.

b. Terjemahan Astetis-Puitis, yaitu terjemahan yang mementingkan dampak efektif, emosi


dan nilai rasa dari satu versi bahasa yang orisinal.

c. Terjemahan Etnografis, yaitu terjemahan yang bertujuan menjelaskan konteks budaya


antara bahasa sumber dan bahasa sasaran.

d. Terjemahan Linguistik, yaitu terjemahan yang mementingkan kesetaraan arti dari unsur-
unsur morfem dan bentuk gramatikal dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran.

7
Dilihat dari jauh dekatnya terjemahan dari bahasa sumber dan bahasa sasaran, terjemah dapat
diklasifikasikan ke dalam jenis. Kedelapan jenis terjemahan tersebut dapat dikategorisasikan
dalam dua bagian besar. Pertama, terjemahan yang lebih berorientasi pada bahasa sumber,
dalam hal ini penerjemah berupaya mewujudkan kembali dengan setepat-tepatnya makna
kontekstual penulis, meskipun dijumpai hambatan sintaksis dan semantik yakni hambatan
bentuk dan makna. Kedua, terjemahan yang lebih berorientasi pada bahasa sasaran. Dalam
hal ini penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif sama dengan yang
diharapkan oleh penulis asli terhadap pembaca versi bahasa sasaran (Choliludin, 2005: 205).

a. Klasifikasi terjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber:

1) Terjemahan kata demi kata (word for word translation). Penerjemahan jenis ini dianggap
yang paling dekat dengan bahasa sumber. Urutan kata dalam teks bahasa sumber tetap
dipertahankan, kata-kata diterjemahkan menurut makna dasarnya diluar konteks. Kata-kata
yang bermuatan budaya diterjemahkan secara harfiah. Terjemahan kata demi kata berguna
untuk memahami mekanisme bahasa sumber atau untuk menafsirkan teks yang sulit sebagai
proses awal penerjemahan. Contoh:‫ رجعججت زهججبر إلججى بيتهججا أمججس‬. Apabila kalimat tersebut
diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa Indonesia, maka hasilnya adalah telah
kembali Zuhairah ke rumahnya kemarin. Terjemahan ini terkesan kaku dan tidak sesuai
dengan sistem kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Hasil terjemahan yang lebih
tepat ialah Zuhairah kembali ke rumahnya kemarin.

2) Terjemahan Harfiah (literal translation) atau sering juga disebut terjemahan struktural.
Dalam terjemahan ini konstruksi gramatikal bahasa sumber dikonversikan ke dalam
padanannya dalam bahasa sasaran, sedangkan kata-kata diterjemahkan di luar konteks.
Sebagaimana proses penerjemahan awal terjemah harfiah ini dapat membantu melihat
masalah yang perlu diatasi. Contoh: ‫طويل النجاد رفيججع العمججاد كثججبر الرمججاد‬. Ia adalah orang yang
panjang sarung pedangnya, tiangnya tinggi dan banyak abu dapurnya.

3) Terjemahan setia (faithful translation). Terjemahan ini mencoba menghasilkan kembali


makna kontekstual walaupun masih terikat oleh struktur gramatikal bahasa sumber. Ia
berpengang teguh pada tujuan dan maksud bahasa sumber sehingga terkesan kaku.
Terjemahan ini bermanfaat sebagai proses awal tahap pengalihan. Sebagai contoh: ‫طويل النجاد‬
‫رفيع العماد كثير الرماد‬. Apabila pasemon (kinayah) ini diterjemahkan dengan terjemahan setia,
maka hasil terjemahannya "ia adalah orang yang pemberani karena ia memiliki sarung
pedang yang panjang, ia adalah seorang yang kaya atau berkedudukan yang tinggi karena
tiang rumahnya yang tinggi, ia adalah seorang yang pemurah karena banyak abunya". Dari
terjemahan ini terlihat bahwa penerjemah berusaha untuk tetap setia pada bahasa sumber,
meskipun sudah tertlihat ada upaya untuk mereproduksi makna kontekstual. Kesetiaan
tersebut tampak pada adanya upaya untuk tetap mempertahankan ungkapan metaforis yang
tersurat dalam teks asli misalnya ungkapan sarung pedangnya yang panjang, tiang tertinggi,
dan banyak abunya.

4) Terjamahan semantis (semantic translation). Berbeda dengan terjemahan setia.


Terjemahan semantis lebih memperhitungkan unsur estetika teks bahasa sumber, sedang
kreatif dalam batas kewajaran. Selain itu terjemahan setia sifatnya masih terkait dengan
bahasa sumber, sedangkan penerjemahan semantis lebih fleksibel. Apabila ungkapan
pasemon (kinayah) di atas terjemahan secara semantis, maka hasil terjemahnanya adalah 'dia
laki-laki adalah seorang pemberani, terhormat dalam lingkungan keluarga dan
masyarakatnya, dan seorang dermawan' (Murtdho, 1999).
8
b. Klasifikasi terjemahan yang berorientasi pada bahasa sasaran:

1) Terjemahan adaptasi (adaptation). Terjemahan inilah yang dianggap paling bebas dan
paling dekat kebahasaan sasaran. Terutama untuk jenis terjemahan drama dan puisi, tema,
karakter dan alur biasanya dipertahankan. Dalam karangan ilmiah logikanya diutamakan,
sedangkan contoh dikurangi atau ditiadakan.

2) Terjemahan bebas (free translation). Penerjemahan bebas adalah penulisan kembali tanpa
melihat tanpa aslinya. Biasanya merupakan parafrase yang dapat lebih pendek atau lebih
panjang dari aslinya.

3) Terjemahan idiomatik (idiomatic translation). Dalam terjemahan jenis ini pesan bahasa
sumber disampaikan kembali tetapi ada penyimpangan nuansa makna karena mengutamakan
kosa kata sehari-hari dan idiom dan tidak ada di dalam bahasa sumber tetapi bisa dipakai
dalam bahasa sasaran.

4) Terjemahan komunikatif (communicative translation). Terjermahan ini berusaha


menyampaikan makna kontekstual dari bahasa sumber sedemikian rupa, sehingga isi dan
bahasanya berterima dan dapat dipahami oleh dunia pembaca bahasa sasaran. Terjemahan ini
biasanya dianggap terjemahan yang ideal.

4. Makna dan Terjemah

Istilah makna mengacu pada pengertian yang sangat luas. Ullmann menyatakan bahwa makna
adalah salah satu dari istilah yang paling kabur dan kontroversial dalam teori bahasa. Ogden
dan Richard dalam bukunya The Meaning of Meaning (1923) mendaftar enam belas rumusan
pengertian makna yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya (Frans Sayogie, 2005: 108).
Dalam hal ini Ullmann mengemukakan bahwa ada dua aliran dalam linguistik pada masa
kini, yaitu pendekatan analitik dan referensial yang mencari esensi makna dengan cara
memisah-misahnyaknya menjadi kompenen-komponen utama. Yang kedua, pendekatan
rasional yang mempelajari kata dalam operasinya, yang kurang memperhatikan persoalan
apakah makna itu, tetapi lebih tertarik pada persoalan bagaimana kata itu bekerja.

Makna dan terjemah mempunyai hubungan yang sangat erat. Menurut Newmark (1991: 27)
menerjemahkan berarti memindahkan makna dari serangkaian atau satu unit linguistik dari
satu bahasa ke bahasa yang lain. Yang perlu dicermati adalah di dalam sebuah wacana
terdapat lebih dari satu macam makna. Oleh sebab itu Menurut Suryawinata (1989: 21-22)
ada lima macam makna, yaitu makna leksikal, gramatikal, tekstual, kontekstual atau
situasional, dan makna sosiokultural.

Disisi lain, istilah makna, maksud dan informasi ini sering dipertukarkan begitu saja, padahal
satu sama lainnya sangatlah berbeda. Makna adalah isi semantis sebuah unsur bahasa,
fenomena yang berada di dalam bahasa itu sendiri (internal phenomenon), sementara maksud
adalah fenomena yang berada pada pemakai bahasa itu sendiri. Sedangkan informasi adalah
sesuatu yang berada di luar bahasa (external phenomenon), yakni sesuatu (obyek) yang
dibicarakannya. Apabila makna bersifat linguistik, maka maksud itu bersifat subjektif dan
informasi bersifat objektif. Kita mengetahui bahwa makna frase kurang pandai itu
antara bodoh tetapi tidak akan tahu apa maksud seseorang apabila dalam satu situasi orang itu
berkata, Ah, kau ini kurang pandai rupanya! Dan juga tidak akan dapat menangkap informasi

9
apa yang ia sampaikan jika saja tidak dapat menghubungkan kalimat itu dengan konteks
keadannya (Suhendra Yusuf, 1994:104).

Larson (1984: 26) yang membicarakan makna dalam penerjemahan, mengemukakan bahwa
untuk melihat bentuk dan makna ialah dengan memikirkannya sebagai struktur lahir, yang
mencakup struktur leksikal, gramatikal, dan fonologis. Struktur batin yang merupakan makna
semantis yang tidak tersusun sama seperti struktur lahir. Struktur lahir berkaitan dengan
informasi eksplisit yang memberikan informasi yang diungkapkan secara jelas dengan unsur
leksikal dan bentuk gramatikal. Sedangkan unsur batin berkaitan dengan informasi implisit
yang tidak memiliki bentuk, tetapi merupakan bagian dari keseluruhan informasi yang
dimaksudkan oleh penulis dalam teks bahasa sumber.

Dalam hal ini, seorang penerjemah dihadapkan pada pelbagai masalah. Menurut Savory
(dalam Soemarno, 1983) kesulitan dalam penerjamahan dapat bersumber pada jenis dan
bahasa yang diterjemahkan. Savory mengkategorikan naskah terjemahan sebagai berikut: 1.
Teks yang bersifat informatif, 2. Teks yang berisi cerita, 3. Teks yang bernuansa karya-karya
sastra dan 4. Teks yang berisi ilmu pengetahuan dan teknik.

Sumber: http://drmiftahulhudauin.multiply.com/journal/item/14 (Diakses Senin 13 Desember,


2010)

10

Anda mungkin juga menyukai