ARTIKEL ILMIAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah Pengantar Kritik Sastra
yang dibina oleh Dr. Muakibatul Hasanah, M.Pd.
Offering A
Disusun oleh Kelompok 6:
Achmad Fatchur Rizqi (180211604580)
Yustia Riska Azzahra (180211604527)
Zakaria Kreswantono (180211604624)
Oleh: Achmad Fatchur Rizqi, Yustia Riska Azzahra, dan Zakaria Kreswanto
Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Malang
ABSTRAK
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Puisi dianggap sebagai karya sastra yang berstruktur. Struktur tersebut
mempunyai arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang
bersistem, dan setiap unsur-unsurnya terjadi timbal balik dan saling berhubungan.
Menurut Pradopo (2010:119), struktur ini terlihat dari adanya rangkaian kesatuan
yang meliputi tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi, dan ide
pengaturan diri sendiri (self regulation).
Analisis struktural merupakan tugas prioritas atau tugas pendahuluan. Sebab
karya sastra mempunyai kebulatan makna intrinsik yang dapat digali dari karya itu
sendiri. Analisis struktural yang digunakan, akan menghasilkan gambaran yang
jelas terhadap diksi, citraan, bahasa kias (majas), sarana retorika, nilai bunyi,
persajakan, narasi, emosi, dan ide yang digunakan dalam menulis puisi. Analisis
puisi dalam kritik sastra berguna untuk pengembangan serta pembinaan ilmu
sastra (teori sastra). Jadi dapat disimpulkan bahwa analisis struktural puisi
merupakan analisis terhadap unsur-unsur dan fungsinya dalam struktur puisi serta
2
penguraian bahwa tiap unsur tersebut mempunyai makna dan berkaitan dengan
unsur-unsur lainnya.
Penyair Indonesia yang banyak melahirkan karya puisi yang dapat dianalisis
secara struktural adalah Chairil Anwar. Chairil Anwar adalah seorang penyair
kelahiran Medan. Puisi-puisinya dapat membuat para pembaca terpesona dan
melihat sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terlihat menggunakan mata
telanjang dengan sudut pandang yang berbeda. Melalui kepribadian dan puisinya,
Chairil memberikan sumbangan terhadap pembentukan bangsa Indonesia. Ia turut
mempertahankan cita-cita mulia bangsa dalam bentuk hubungan yang paling
dalam yaitu puisi. Chairil bahkan dijuluki sebagai Si Binatang Jalang dari
karyanya yang fenomenal berjudul “Aku”. Selain itu, Chairil juga dikenal sebagai
penyair yang hidup dan matinya tidak dapat dilepaskan dari puisi Indonesia
modern. Ia menjadi pelopor Angkatan ‘45 dan berjasa dalam pembaharuan puisi
di Indonesia.
Nama angkatan ’45 sebenarnya baru terkenal mulai tahun 1949 pada saat
Rosihan Anwar melansir istilah angkatan ’45 pada suatu uraiannya dalam majalah
Siasat tanggal 9 Januari 1949 (Sulistyorini, 2012:56). Puisi yang lahir pada
angkatan ’45 memiliki karakteristik (1) bentuk bebas, (2) isinya bersifat realistis,
(3) bahasa yang digunakan sederhana, serta (4) bertema tentang perjuangan
kemerdekaan. Hal ini dapat dijumpai pada puisi-puisi fenomenal karya Chairil
Anwar sebagai pelopor berdirinya angkatan ‘45 yang terdapat dalam buku
kumpulan puisi berjudul Deru Campur Debu berisi 27 puisi, Kerikil Tajam berisi
38 puisi, dan Aku Ini Binatang Jalang berisi 83. Dari ketiga kumpulan puisi
tersebut dipilih lima puisi yang berjudul Aku, Sia-sia, Penerimaan, Doa, dan
Kesabaran. Alasan memilih lima puisi tersebut berdasarkan kriteria memiliki
struktur bentuk puisi yang berbeda dengan yang lain, yang sesuai dengan kriteria
yang layak dianalisis secara struktural dan akan dibahas pada bagian pembahasan
artikel ini.
B. Landasan Teori
Karya sastra disebut sebagai hasil ciptaan yang bersifat otonom karena
memiliki dunianya sendiri dan tidak mengacu pada karya sastra yang lain.
Berdasarkan pengertian tersebut, karya sastra merupakan struktur yang tersusun
dari lapis-lapis norma yang saling berjalinan. Di samping itu, karya sastra juga
merupakan struktur makna atau stuktur yang bermakna. Oleh karena itu,
mengkritik atau menganalisis karya sastra adalah usaha menangkap makna dan
memberi makna kepada teks sastra (Culler, 1977). Hal ini mengingat bahwa karya
sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan
medium bahasa, sistem tanda tingkat pertama. Karya sastra merupakan struktur
ketandaan yang kompleks. Oleh karena itu, untuk memahami karya sastra,
perlulah karya sastra dianalisis secara struktural. Teeuw (1983: 61) menyatakan
bahwa analisis struktural merupakan prioritas pertama sebelum yang lainnya,
3
tanpa analisis itu kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya
sastra itu sendiri tidak tertangkap.
Analisis struktural bertujuan membongkar dan memaparkan dengan cermat,
teliti, dan merenik keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra yang
bersama-sama menghasilkan makna seutuhnya (Geuw, 1984: 135). Menurut
Teeuw (1983) analisis struktural bertujuan membongkar dan memaparkan dengan
cermat, mendetail, dan mendalam mengenai keterkaitan semua aspek karya sastra
yang bersama-sama membangun, dan menghasilkan makna karya tersebut dalam
tujuannya menginterpretasikan totalitas makna. Dengan adanya analisis struktural,
termasuk analisis lapis norma maka makna dari karya sastra akan dapat diketahui
serta dapat dipahami atau dinilai sebagai karya seni yang memiliki nilai estetika.
Metode dalam analisis struktural pada tiga kumpulan puisi karya Chairil
Anwar dibagi menjadi lima tahapan. Tahap pertama, pengumpulan data. Data-data
yang diambil sebagai objek analisis struktural berasal dari media tiga buku
kumpulan puisi karya Chairil Anwar, yaitu Deru Campur Debu, Aku Ini Binatang
Jalang, Kerikil Tajam. Tahap kedua, membaca tiga kumpulan puisi karya Chairil
Anwar. Hal ini dilakukan untuk mengetahui isi puisi pada tiga kumpulan puisi
tersebut. Tahap ketiga, memilih lima puisi dari tiga kumpulan puisi yang cocok
untuk dianalisis secara struktural berdasarkan karakteristik analisis struktural.
Karakteristik puisi yang dipilih meliputi (1) memiliki dunianya sendiri (berdiri
sendiri), (2) memiliki keserasian komponen yang membentuk keseluruhan
struktur, (3) puisi mengandung isi yang dapat dianalisis secara objektif dan dapat
dikaji setiap unsur yang ada di dalamnya. Tahap keempat, yaitu menganalisis
puisi secara struktural dan menemukan unsur-unsur pembangun puisi yang
terdapat pada dunia puisi yang akan dianalisis. Tahap kelima, menyajikan hasil
analisis dalam wujud tabel analisis puisi.
PEMBAHASAN
HASIL ANALISIS
1) Struktur Bentuk
a. Bunyi
Kreasi penulisan sastra tidak dapat dilepaskan dari penggunaan bahasa dengan
berbagai bentuk manipulasinya berupa unsur kebahasaan. Unsur kebahasaan
tersebut meliputi bunyi, kata, kalimat, maupun hubungan dalam satuan lain yang
lebih besar (Aminuddin, 1995: 125). Dalam puisi, bunyi berfungsi untuk
memperdalam ucapan, menimbulkan bayangan angan yang jelas,dan suasana yang
khusus (Pradopo, 1997: 22). Penggunaan bunyi dalam karya sastra khususnya
puisi memiliki beberapa ciri, antara lain: (1) rima yaitu persamaan bunyi di akhir
larik, (2) asonansi yaitu perulangan bunyi vokal di akhir kata, (3) konsonansi yaitu
perulangan bunyi konsonan di akhir kata, (4) aliterasi yaitu perulangan bunyi
konsonan di awal kata, awal atau tengah larik, dan vokal sama atau beda, (5)
4
onomatope yaitu kata-kata dari tiruan bunyi atau suara di alam, (6) efoni yaitu
kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu, riang, dan ringan, (7) kakofoni yaitu
kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, sedih, dan suasana tertekan (k, p, t, s).
b. Diksi
Diksi adalah pilihan dan penggunaan kata yang memperkuat keindahan dan
kedalaman makna serta pesan puisi. Diksi atau pilihan kata memiliki pernanan
yang penting dalam mencapai keefektifan dalam penulisan suatu karya sastra.
Seoarang penyair harus memahami secara baik masalah kata dan maknanya, serta
mampu memperluas dan mengaktifkan kosakata, mampu memilih kata yang tepat
dan sesuai dengan situasi yang dihadapi. Dalam pembahasan diksi puisi, juga
berkaitan dengan makna konotatif dan makna denotatif (kata konkrit dan kata
khusus), kata simbol, dan kata arkaik.
c. Citraan (Imaji)
Citraan atau imaji yang dimaksud dalam analisis puisi adalah kekuatan puisi
dalam memunculkan daya imajinasi pembacanya. Istilah lain yang berkaitan
dengan imaji adalah pencitraan. Terdapat beberapa citraan atau imaji, diantaranya
ialah citraan visual (penglihatan), citraan auditif (efek suara), citraan taktil (efek
rasa, bau, cecap, dan kulit).
d. Majas
Majas merupakan penggunaan bahasa yang dibentuk dengan menggunakan
atau membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, majas
menggunakan perbandingan sebagai bahan baku atau sarana pembentukanmya.
e. Sarana retorika
Sarana retorika merupakan salah satu unsur pembangun puisi yang digunakan
penyair sebagai alat untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan gagasan kepada
pembaca atau pendengar. Kedudukannya untuk mendukung makna dari sebuah
puisi. Menurut (Pradopo: 2005), pada umumnya sarana retorika menimbulkan
ketegangan puitis karena pembaca harus memikirkan efek apa yang ditimbulkan
dan dimaksudkan oleh penyairnya. Dalam puisi sarana retorika berupa rangkaian
kata-kata, frasa, atau kalimat yang akan merangsang pikiran.
2) Struktur Batin
a. Tema
Tema merupakan suatu gagasan pokok atau ide pikiran tentang suatu hal,
salah satunya dalam membuat suatu tulisan atau karya sastra. Tema bisa berupa
persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, serta tradisi atau adat
istiadat yang erat dengan masalah kehidupan. Tema tersebut tersirat dalam
keseluruhan isi puisi, persoalan-persoalan yang diungkapkan itu merupakan
penggambaran suasana batin atau berupa respon penyair terhadap kenyataan sosial
budaya sehingga puisi merupakan sarana protes ataupun simpati penyair.
b. Nada dan Suasana
Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca, sedangkan suasana
adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi tersebut atau akibat
5
psikologis yang ditimbulkan puisi terhadap pembaca. Nada dan suasana dalam
puisi saling berhubungan karena nada puisis menimbulkan suasana terhadap
pembacanya.
c. Amanat
Amanat merupakan suatu pesan yang ingin disampaikan penyair dalam
puisinya. Pesan-pesan tersebut dihadirkan dalam ungkapan yang tersembunyi.
Amanat ini dirumuskan sendiri oleh pembaca dan amanat itu akan selaras dengan
tema puisi tersebut.
A. Puisi “Do’a”
1) Struktur Bentuk
a. Bunyi
Bunyi yang digunakan dalam puisi Do’a ini sangatlah bervariasi
diantaranya sebagai berikut: (1) Aliterasi: pada larik ke tiga aku masih
menyebut namaMu, terjadi perulangan bunyi konsonan /m/ di awal kata, pada
larik ke empat biar susah sungguh, terjadi perulangan bunyi konsonan /s/ di
awal kata, dan pada larik ke tujuh tinggal kerdip lilin di kelam sunyi terjadi
perulangan bunyi konsonan /k/ pada awal kata, (2) konsonansi: pada larik ke
empat dan ke lima biar susah sungguh, mengingat Kau penuh seluruh terjadi
perulangan bunyi konsonan /h/ di akhir kata, (3) asonansi: pada larik ke dua
belas aku mengembara di negeri asing terjadi perulangan bunyi vokal /i/ di
akhir kata.
6
b. Diksi
Diksi yang digunakan pada puisi Do’a ini terdiri dari (1) kata khusus yaitu
Tuhanku, termangu, cayaMu, kerdip, sunyi, remuk, negeri, (2) kata konkrit
yaitu lilin, (3) kata konotasi yaitu dipintuMu aku mengetuk.
c. Majas
Terdapat tiga majas yang digunakan dalam puisi Doa karya Chairil Anwar
yaitu majas metafora, personifikasi, dan hiperbola sebagai berikut. Pada bait
tiga cayaMu panas suci; tinggal kerdip lilin dikelam sunyi. Pada kalimat
cayaMu panas suci merupakan majas metafora karena membandingkan
sebuah cahaya dengan sesuatu yang di anggap suci secara tidak langsung.
Kemudian pada kalimat kerdip lilin, merupakan majas personifikasi karena
pada kalimat tersebut lilin dianggap dapat melakukan kegiatan kerdip atau
mengerdip seperti halnya mata manusia.
Pada bait lima Aku hilang bentuk; Remuk. Merupakan majas hiperbola
yaitu majas yang terkesan melebih-lebihkan. Pada bait terakhir Di pintuMu
aku mengetuk, merupakan majas metafora karena penggunaan kata pintu dan
mengetuk saling berkaitan. Pintu merupakan majas metafora untuk ampunan
dan lindungan. Sedangkan, mengetuk adalah suatu bentuk permohonan. Kata
pintu dan mengetuk dianggap sebagai majas metafora karena membandingkan
pintu (ampunan) dan mengetuk (memohon) tanpa menggunakan kata
pembanding (seperti dan bagai) atau secara tidak langsung.
d. Citraan
Citraan yang digunakan terdiri dari (1) empat citraan visual (penglihatan)
yaitu dalam termangu, tinggal kerdip lilin dikelam sunyi, aku hilang bentuk;
remuk, dipintuMu aku mengetuk, (2) lima citraan auditif (efek suara) yaitu
Tuhanku yang diulang sebanyak empat kali, dan aku masih menyebut
namaMu, (3) satu citraan taktil (efek rasa, bau, cecap, kulit) yaitu cayaMu
panas suci.
e. Sarana Retorika
Sarana retorika yang digunakan pada puisi Do’a ini yaitu repetisi. Repetisi
adalah pengulangan kata atau frasa dalam larik yang berbeda. Pengulangan
tersebut terjadi pada kata Tuhanku yang di ulang sebanyak empat kali dalam
larik yang berbeda.
2) Struktur Batin
a. Tema
Dalam puisi tersebut menggambarkan tokoh Aku yang sedang berada
dalam situasi kebingungan, dan merasakan kesunyian dalam dirinya. Ia
merasa sedang ada pada titik lemah dalam keimanan seperti kutipan dalam
puisi tinggal kerdip lilin. Jadi dapat disimpulkan bahwa tema dalam puisi
Do’a ini adalah tentang ketuhanan, yaitu hubungan seorang hamba dengan
Tuhan-nya.
7
B. Puisi “Kesabaran”
1) Struktur Bentuk
a. Bunyi
Bunyi yang digunakan dalam puisi Kesabaran ini sangatlah bervariasi
diantaranya sebagai berikut: (1) Aliterasi: pada larik ke dua Orang ngomong,
anjing nggonggong terjadi perulangan bunyi konsonan /n/ di awal kata, pada
larik ke lima di sebelahnya api dan abu terjadi perulangan bunyi vokal /a/ di
awal kata, pada larik ke delapan Suaraku hilang, tenaga terbang terjadi
8
perulangan bunyi konsonan /t/ di awal kata, pada larik ke sepuluh Ini dunia
enggan di sapa terjadi perulangan bunyi konsonan /d/ di awal kata.
Pada larik ke dua belas Dan hidup bukan hidup lagi terjadi perulangan
bunyi konsonan /h/ di awal kata, pada larik ke tiga belas Kuulangi yang dulu
kembali terjadi perulangan bunyi konsonan /k/ di awal kata, pada larik ke
empat belas Sambil bertutup telinga, berpicing mata terjadi perulangan bunyi
konsonan /b/ di awal kata, pada larik terakhir Menunggu reda yang mesti tiba
terjadi perulangan bunyi konsonan /m/ di awal kata, (2) konsonansi: pada larik
ke dua dan delapan Orang ngomong, anjing nggonggong; Suaraku hilang,
tenaga terbang terjadi perulangan bunyi konsonan /ng/ di akhir kata. (3)
asonansi: pada larik ke sembilan, empat belas dan lima belas Ini dunia enggan
di sapa; Sambil bertutup telinga, dan berpicing mata; Menunggu reda yang
mesti tiba terjadi perulangan bunyi vokal /a/ di akhir kata.
b. Diksi
Diksi yang digunakan pada puisi Kesabaran ini terdiri dari (1) kata khusus
yaitu tidur, dunia, kelam, di hantam, suara, bicara, hilang, tenaga, terbang,
keras, membeku, hidup, bertutup, berpicing, menunggu, reda, dan tiba, (2)
kata konkrit yaitu anjing, batu, api, abu, air kali, telinga, mata.
c. Majas
Majas yang digunakan dalam puisi Kesabaran ini adalah majas
personifikasi. Majas personifikasi merupakan majas yang melekatkan sifat-
sifat manusiawi pada sesuatu benda atau benda hidup yang bukan manusia
(hewan, tumbuhan), sehingga seolah-olah dapat bersikap layaknya manusia.
Seperti pada larik ke enam Di sebelahnya api dan abu. Seakan-akan
menggambarkan dua orang yangs sedang duduk bersebelahan, padahal pada
kenyataannya api dan abu tidak dapat melakukan kegiatan duduk seperti yang
dilakukan oleh manusia. Selain itu, terdapat pula majas personifikasi animali
pada larik ke delapan Suaraku hilang, tenaga terbang, menggambarkan
tenaga yang seakan-akan seperti hewan yang dapat melakukan kegiatan
terbang, misalnya burung.
d. Citraan
Citraan yang digunakan terdiri dari (1) empat citraan visual (penglihatan)
yaitu Dunia jauh mengabur, Di sebelahnya api dan abu, keras membeku air
kali, sambil bertutup telinga, berpicing mata, (2) empat citraan auditif (efek
suara) yaitu Orang ngomong, anjing ngonggong, Dihantam suara bertalu-
talu, Aku hendak bicara, Suaraku hilang, tenaga terbang.
e. Sarana Retorika
Sarana retorika yang digunakan pada puisi Kesabaran ini yaitu enumerasi.
Enumerasi merupakan sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau
keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu
lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar (merinci). Seperti pada bait
pertama dari larik empat sampai ke enam sebagai berikut.
9
C. Puisi “Sia-sia
10
1) Struktur Bentuk
a. Bunyi
Pada puisi Sia-sia ini menggunakan tiga bentuk bunyi, yaitu aliterasi,
asonansi, dan konsonansi. Penggunaan bunyi aliterasi terlihat pada larik satu,
tiga, empat, dan duabelas. Aliterasi /k/ pada larik ke satu “penghabisan kali
itu kau datang”, aliterasi /m/ pada larik ke tiga dan suabelas “mawar merah
dan melati putih/ Ah! Hatiku yang tak mau memberi”, dan aliterasi /d/ pada
larik ke empat “darah dan suci”.
Penggunaan bunyi asonansi juga banyak di pakai pada puisi ini yang
terlihat pada larik ke lima, tujuh, sembilan, sepuluh dan sebelas. Asonansi /u/
digunakan pada larik ke lima, tujuh dan sebelas yaitu “kau tebarkan
depanku/lalu kita sama termanggu/Ah! Hatiku yang tak mau memberi”,
asonansi /a/ digunakan pada larik ke tujuh, sembilan, dan sepuluh, yaitu lalu
“kita sama termanggu/ cinta? Kita berdua tak mengerti/ sebari kita bersama.
Tak hampir-menghampiri”, dan asonansi /i/ digunakan pada larik ke sepuluh,
yaitu “sebari kita bersama. Tak hampir-menghampiri”. Penggunaan bunyi
konsonansi digunakan pada larik ke dua yaitu membawa kembang berkarang.
b. Diksi
Pada puisi Sia-sia ini menggunakan dua diksi yaitu kata konkret dan kata
khusus. Kata konkret yang ada dalam puisi Sia-sia, yaitu “kembang, datang,
pandang, mawar merah, melati putih, darah, sepi, dan hatiku”. Kata khusus
yang digunakan dalam puisi ini yaitu “tebarkan dan mampus”.
c. Citraan
Citraaan yang digunakan dalam puisi Sia-sia ini terdiri dari citraan visual,
citraan auditif, dan citraan taktil. Citraan visual pada “penghabisan kala itu
kau datang/membawa kembang berkarang/kau tebarkan depanku/serta
pandang yang memastikan: untukmu” dari kata-kata tersebut pembaca bisa
membayangkanya dan seras dapat melihat apa yang sedang dilakukan dalam
puisi tersebut.
Citraan auditif pada “saling bertanya: apakah ini? Cinta? Kita bersua tak
mengerti”, pada kata saling bertanya pasti diperlukanya pengucapan yang
harus dilontarkan dan pasti akan diterima oleh indra pendengaran. Citraan
taktil yang berhubungan dengan indra peraba pada puisi ini ada pada
“mampus kau dikoyak-koyak sepi”, menimulkan rasa dikoyak atau dicabik
yang pasti akan berdampak luka pada suatu yang dikoyak.
d. Majas
Majas yang ada pada puisi ini adalah majas personifikasi yang tampak
pada larik ke duabelas yaitu “mampus kau dikoyak-koyak sepi”. Dapat
dimasukkan ke dalam majas personifikasi karena benda mati seakan menjaddi
makhluk hidup. Sepi pada puisi tersebut digambarkan seperti makhluk hidup
yang mampu mengoyak-koyak sesuatu selayknya makhluk hidup.
11
e. Sarana retorika
Sarana retorika yang digunakan pada puisi Sia-sia ini adalah sarana
retorika paradoks yang terlihat pada “sebari kita bersama. Tak hampir-
menghampiri”. “Sebari kita bersama,” menunjukkan pada saat kondisi dua
orang yang bersama pada suatu tempat yang seharunya bertatap muka dan
bertemu satu sama lain sedangkan selanjutnya ditambahi “tak hampir-
menghampiri” yang merupakan kebalikan dari kebersamaan pada puisi
tersebut.
2) Struktur Batin
a. Tema
Tema puisi Sia-sia ini tentang percintaan. Digambarkan jelas tema
percintaan pada kata cinta di larik ke sembilan “Cinta? Kita berdua tak
mengerti”.
b. Nada dan suasana
Nada pada puisi ini menunjukkan perasaan cinta. Pada bait pertama
digambarkan pada suatu hari seorang perempuan datang membawa kembang
karangan mawar merah dan melati putih yang mewakili darah dan suci. Darah
yang mengalir disekucur tubuh dan kesuciaanya siap diberikan pada lelaki
yang dipastikannya dengan pandang yang hanya untuknya.
Suasana kebingungan dan keputusan yang tak mau memberi dari penyair
memberikn kegundahan hati yang dikoyak-koyak sepi. Dalam bait ke dua,
keduanya ragu dengan perasaannya masing-masing. Diakhiri dengan
keputusan hati yang tak mau memberi.
c. Amanat
Kegoyahan hati pada saat tibanya cinta itu pasti. Dalam hidup pada
umumnya rasa cinta dijalin dengan sebuah hubungan kebersamaan yang
mendalam, sedangkan dalam puisi ini datang seorang perempuan yang siap
mempersembahkan segalanya untuknya, tapi kala hati masih ragu untuk
memberi menyebabkan sakit yang berlebih. Hati-hati dalam menyikapi hati.
D. Puisi “Penerimaan”
1) Struktur bentuk
12
a. Bunyi
Bunyi puisi yang ada dalam puisi Penerimaan antara lain ada aliterasi,
asonansi, dan konsonansi. Aliterasi yang digunakan yaitu aliterasi /k/ pada
larik ke satu, empat, dan tujuh seperti “jika kau mau, kuterima kau
kembali/kutahu kau bukan yang dulu lagi/jika kau mau, kuterima kau
kembali”.
Asonansi terlihat pada larik ke satu, empat, lima, tujuh, dan delapan.
Asonansi /a/ ada pada larik ke satu dan tujuh yaitu “jika kau mau, kuterima
kau kembali/jika kau mau, kuterima kau kembali”, asonansi /u/ pada larik ke
satu, empat, dan tujuh yaitu “jika kau mau, kuterima kau kembali/kutahu kau
bukan yang dulu lagi/jika kau mau, kuterima kau kembali” dan asonansi /i/
pada larik ke lima dan delapan yaitu “bak kembang sari sudah terbagi/tapi
untukku sendiri”. Konsonansi yang digunakan adalah konsonansi /n/ pada
larik ke enam dan sembilan yaitu “jangan tunduk! Tentang aku dengan
berani/sedang dengan cermin aku enggan berbagi”.
b. Diksi
Diksi yang digunakan pada puisi Penerimaan adalah kata konkret dan kata
khusus. Kata konkret yaitu “hati, sendiri, kembang, dan cermin”. Kata khusus
yang ada yaitu “kembali, tunduk,dan kembali”.
c. Majas
Majas yang digunakan adalah majas simile dan personifikasi. Majas simile
digunakan pasa larik ke lima “bak kembang sai sudah terbagi” yang unsur
pembandingnya dituliskan jelas pada kata “bak” yang kata lainya adalah bagai
atau seperti dan lainya. Majas personifikasi yang digunakan terlihat pada larik
terakhir “sedang dengan cermin aku enggan berbagi” cermin di sini dibuat
seakan dia seorang manusia yang penyairnya pun enggan berbagi denganya.
d. Citraan
Citraan yang digunakan pada puisi ini adalah citraan visual dan citraan
perasaan. Citraan visual pada larik ke tiga dan enam yaitu “aku masih tetap
sendiri/jangan tunduk tentang aku dengan berani” dan citraan perasaan pada
larik ke lima yaitu “kutahu kau bukan yang dulu lagi/bak kembang sari sudah
terbagi”.
e. Sarana retorika
Sarana retorika yang digunakan adalah sarana retorika enumerasi.
Enumerasi menjelaskan suatu hal dengan lebih terperinci untuk menguatkan
penjelasan atau keadaan, itu terlihat pada “kutahu kau bukan yang dulu
lagi/bak kembang sari sudah terbagi”.
2) Struktur batin
13
a. Tema
Tema puisi penerimaan ini tentang percintaan. Itu digambarkan pada
seluruh bagian puisi yang menyatakan sebuah perasaan penyair yang masih
berharap dengan seseorang.
b. Nada dan suasana
Nada yang digunakan pada puisi ini adalah perasaan cemas dan ketegasan,
cemas dengan perasaannya yang membrikan kesempatan untuk wanita yang ia
cintai dan tegas dengan memberi hanya dua pilihan iya atau tidak. Suasana
yang digambarkan tentang harapan penyair terhadap perasaannya yang masih
ada pada seorang perempuan.
c. Amanat
Dalam urusan cinta kita harus bersikap tegas.
E. Puisi “Aku”
1) Struktur Bentuk
a. Bunyi
Irama yang digunakan oleh Chairil hampir ada pada setiap bait puisi. Ada
beberapa perulangan bunyi asosiasi. Keunikannya, semua bunyi asonansi yang
muncul berupa asonansi /u/. Hal ini dapat dilihat pada larik-larik berikut. Pada
bait pertama puisi terdapat rima vokal /u/. Selain itu, pada larik pertama,
kedua, keempat, ketujuh, dan terakhir terdapat asonansi /u/, aliterasi /m/, dan
aliterasi /s/ yaitu Kalau sampai waktuku; Ku tak mau seorang kan merayu;
tak perlu sedu sedan itu, Biar peluru menembus kulitku; Aku mau hidup
seribu tahun lagi.
Perulangan bunyi /u/ tersebut bukanlah hal yang disengaja. Chairil bermaksud
ingin meluapkan semangatnya melalui bunyi /u/. Seperti pada larik terakhir
14
bahwa semangat juangnya ingin terus hidup dan tidak terkikis oleh zaman.
Dalam puisi tersebut, juga nampak perulangan bunyi konsonan /ng/ yang
dapat dilihat pada larik kelima dan keenam, yaitu Aku ini binatang jalang;
Aku tetap meradang menerjang.
Pada dua larik di atas dapat diketahui bahwa perulangan bunyi /ng/ seperti
ini menunjukkan bahwa pilihan kata yang digunakan Chairil benar-benar
diperhatikan. Selain itu, terdapat pula aliterasi yang berulang. Aliterasi yang
digunakan Chairil pada puisi tersebut yaitu aliterasi /k/, /m/ , /h/, /p/ dan /a/
sebagai berikut. Ku mau tak seorang kan merayu; Aku tetap meradang
menerjang; Hingga hilang pedih peri; Dan aku akan lebih tidak perduli.
Dari analisis bunyi di atas, dapat diketahui bahwa puisi berjudul Aku karya
Chairil Anwar ini menggunakan pilihan kata yang baik. Banyak perulangan
bunyi yang terkandung dalam setiap bait. Sehingga akan muncul keindahan
bentuk puisi. Maka al ini semakin menambah estetika puisi itu sendiri.
b. Diksi
Pemilihan diksi yang digunakan oleh Chairil adalah kata yang mudah
dipahami namun mempunyai rasa semangat juang yang kuat. Tidak banyak
menggunakan kata konotatif, tapi lebih ke kata denotatif.
Kata denotatif yang digunakan kebanyakan kata khusus, seperti kata
waktu, sedu sedan, pedih peri. Kata konkret yang terdapat dalam puisi ini
yaitu peluru, kulit, dan luka. Pada salah satu larik puisi terdapat kata simbolik
yaitu pada kutipan “Aku ini binatang jalang”. Kata jalang di sini merupakan
kata yang jarang digunakan oleh masyarakat umumnya, bahkan oleh para
penyair. Sehingga dapat disebut sebagai kata arkaik.
c. Majas
Tidak banyak majas yang digunakan digunakan Chairil. Dia lebih
menampakkan makna daripada struktur kebahasaan dalam puisinya. Chairil
menggunakan majas metafora untuk menggambarkan semangatnya, seperti
pada larik “Aku ini binatang jalang”. Selain itu, juga terdapat majas hiperbola
pada dua larik puisi tersebut, yaitu “Aku tetap meradang menerjang” dan
“Aku mau hidup seribu tahun lagi”.
d. Citraan
Dalam puisi ini, banyak terdapat imaji taktil (rasa) yang menunjukkan
bahwa penyair ingin menumbuhkan pembayangan seolah pembaca turut
merasakan apa yang diciptakan oleh penyair. Hal ini dapat dilihat pada tiga
larik berikut.
“Biar peluru menembus kulitku”
“Luka dan bisa kubawa berlari”
“Hingga hilang pedih peri”
Citraan auditif dapat dilihat pada dua larik puisi tersebut, yaitu “’Ku tak mau
seorang ‘kan merayu” dan “Aku tetap meradang menerjang”.
e. Sarana retorika
15
SIMPULAN
Berdasarkan paparan hasil penelitian dapat di simpulkan bahwa puisi
dianggap sebagai karya sastra yang berstruktur. Struktur tersebut mempunyai arti
bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, dan setiap
unsur-unsurnya terjadi timbal balik dan saling berhubungan. Analisis struktural
yang digunakan, akan menghasilkan gambaran yang jelas terhadap diksi, citraan,
bahasa kias (majas), sarana retorika, nilai bunyi, persajakan, narasi, emosi, dan ide
yang digunakan dalam menulis puisi. Analisis puisi dalam kritik sastra berguna
untuk pengembangan serta pembinaan ilmu sastra (teori sastra). Jadi dapat
disimpulkan bahwa analisis struktural puisi merupakan analisis terhadap unsur-
unsur dan fungsinya dalam struktur puisi serta penguraian bahwa tiap unsur
16
DAFTAR PUSTAKA
2. Rhodiah
Pertanyaan: Menurut kelompok penyaji apa keunikan dari pendekatan
structural dalam mengkaji sebuah puisi.
Jawab: Puisi memiliki dunia otonom atau dunianya sendiri yang hanya ada
dalam sebuah karya sastra. Dengan pendekatan struktural ini dapat
mengetahui bagaimana penulis mengekspresikanya sehingga pembaca dapat
memahami makna yang terkandung dalam puisi tersebut.
STRUKUR BENTUK
PUISI
Bunyi Diksi Majas Citraan Sarana Retorika
AKU B I U … U
Berlari
Hingga hilang pedih peri Al /h/, /p/ K. khu Tak
Aku mau hidup seribu tahun lagi! Aso /u/ K. kono Hiperbola
Nada dan Suasana Berwibawa, tegas, lugas, dan jelas dalam penyampaian puisi. Suasananya penuh perjuangan, optimis dan kekuatan emosi yang cukup tinggi.
Amanat Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun rintangan menghadang.
STRUKUR BENTUK
PUISI
Bunyi Diksi Majas Citraan Sarana Retorika
21
KESABARAN
Tema Menceritakan kehidupan sosial penyair yang kemungkinan besar berusaha sabar dalam menghadapi orang lain.
Nada dan Suasana Kelugasan penyair dalam mengemukakan pengalamannya, tidak bersikap menggurui.
STRUKUR BENTUK
PUISI
Bunyi Diksi Majas Citraan Sarana Retorika
22
DOA
Nada dan Suasana Sedih. Menggambarkan suasana yang menyedihkan dan mengharukan.
Amanat Menyadari terhadap apa yang diperbuat dari kesalahan dengan memohon ampunan kepada Tuhan.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi Ali /m/ dan aso /u/ K. Konk
Mampus kau dikoyak-koyak sepi K. Khu Person tak
Pebruari 1943
Tema Percintaan
Menuangkan perasaan bingung pada apa yang sedang terjadi padanya, suasana penyair pada saat itu bingung dengan situasi yang dialaminya yang
Nada dan Suasana
menemukan sesosok perempuan yang siap memberikan segalanya untuknya. Tapi ia bingung dengan hati yang enggan memberi.
STRUKTUR BENTUK
PUISI
Bunyi Diksi Citraan Majas Sarana Retorika
PENERIMAAN
24
Jika kau mau, kuterima kau kembali Aso /u/ /a/, ali /k/ K. Khu
Dengan sepenuh hati K. Konk
Kutahu kau bukan yang dulu lagi Ali /k/, aso /u/ enumerasi
Bak kembang sari sudah terbagi Aso /i/ K. Konk simile Tak
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani Kons /n/ K. Khu Vis, aud
Jika kau mau, kuterima kau kembali Ali /k/, aso /a/ /u/ K. Khu
Tapi untukku sendiri Aso /i/ K. Khu
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi Kons /n/ K. Konk Person
Maret 1945
Tema Percintaan
Perasaan harap-harap cemas dan ketegasan. Lelaki masih berharap pada perempuan tetapi ia tahu bahwa si perempuan sudah dengan yang lain dan
Nada dan Suasana
ingin mengetahui jawaban yang pasti atas tawaran yang telah ia berikan
Amanat Dalam urusan cinta, kita juga harus bersikap tegas.