Anda di halaman 1dari 23

KAJIAN PUISI

Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Puisi yang Diampu
Ahmad Sultoni, M.Pd.

Oleh
Devi Agung Rahmadhani
1901040054
4-B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
MARET 2021
1. Sutradji Calzoum Bachri (24 Juni 1941-25 Februari 2018)

Tapi

aku bawakan bunga padamu


tapi kau bilang masih
aku bawakan resah padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padmu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!
1981
( Sumber : https://contoh-analisis-puisi.blogspot.com/2014/09/analisis-puisi-tapi-sutardji-
calzoum.html?m=1)

2. Amir Hamzah ( 28 Februari 1911- 16 Maret 1946)


Hari Menuai
Lamanya sudah tiada bertemu
Tiada kedengaran suatu apa
Tiada tempat duduk bertanya
Tiada teman kawan berberita
Lilu aku diharu sendu
Samar sapur cuaca mata
Sesak sempit gelanggang dada
Senag terhentak raga kecewa
Hibuk mengamuk hati tergari
Melolong meraung menyentak rentak
Tiada percaya pada siapa
Kutilik diriku kuselam tahunku
Timbul terasa terpancar terang
Istimewa lama mereka terang
Merona percaya pada siapa
Kutilik diriku kuselam tehunku
Timbu; terasa terpancar terang
Istimewa lama mereka terang
Merona rawan membunga sedan
Tahu aku
Kini hari menuai api
Mengetam ancam membelam redam
Ditulis dilukis jari tanganku
1963
( Sumber : https://www.sepenuhnya.com/2001/02/puisi-hari-menuai-karya-amir-
hamzah.html?m=1)
3. Chairil Anwar (26 Juli 1922 - 28 April 1949)
Aku

Kalau sampai waktuku


Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup serobu tahun lagi
1934
( Sumber : http://www.agoeshendriyanto.com/2020/04/analisi-puisi-aku-ahairil-
anwar.html?m=1)

4. Taufik Ismail ( 25 Juni 1935)


Salemba

Alma Mater, janganah bersedih


Bila arakan ini bergerak perlahan
Menuju pemakaman
Siang ini
Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani
1966
(Sumber : https://www.sepenuhnya.com/2017/12/puisi-salemba-karya-taufiq-
ismail.html?m=1)

5. Mochtar Lubis ( 7 Maret 1922-2 Juli 2004)

Gas Air Mata

Anakku, Ade, kelas dua SMP


Ikut dengan kappi ke Deplu
Mereka disernag dengan gas air mata
Tapi lalu mengamuk menghantam
Dan kemudain pulang, mata merah
tapi hati banga, membawa
secabik kain pintu Deplu
perliharkan pada adiknya, Ira,
nah, ini tanda mata dari Bandrio
katanya bangga.
1966
( Sumber : https://www.sepenuhnya.com/2021/01/puisi-gas-air-mata.html?m=1)
6. Sapardi Djoko Damono ( 20 Maret 1940-19 Juli 2020)
Yang Fana Adalah Waktu
Daun-daun jatuh selembar demi selembar
kaupun tengah menyaksikannya lewat jendela
Mereka semua para tetangga kita, yang selalu mengangguk
setiap kita menyingkapkan tirai jendela;
barangkali pernah kukatakan sesuatu yang buruk
tentang nasib kita (tanpa kusengaja tentunya),
dan barangkali kaupun pernah mengeluh
tentang cuaca yang membuatmu batuk dan selesma,
pastilah mereka telah mendengar itu semuanya.
Pernah kaudengarkah mereka mempercakapkan kita?
Daun-daun jatuh selembar demi selembar
setelah terlampau banyak tahu tentang tingkah-laku manusia;
pastilah mereka saksikan bunga-bunga yang mekar dari cinta kita,
mereka dengarkan igauan-igauan selama kau tidur,
dan mereka cium mau busuk dari mimpi-mimpi kita.
Sapulah saja bangkai-bangkai itu
sebelum membusuk dan mengotori pekarangan rumah kita;
ketika angin keras menggoncang entah dari mana
daun-daun itu gugurlah sebab hanya bertumpu pada cuaca yang fana,
tetapi kita, sayangku
tetapi kita tetap mengeluh, tetap bermimpi, tetap mengigau
akan tetap bertahan sebab kita berjejak
pada Alam yang diluar raih tangan kita.
1960
( Sumber : https://jateng.tribunnews.com/2020/09/04/puisi-yang-fana-adala waktu-
sapardi-djoko-damono)
7. Taufik Ismail ( 25 Juni 1935)
Lewat Jendela

Sebuah jendela meraihkan malam bagiku


Seperti beribu malam yang lain
Pada engsel waktu ia membawa tempias
Debu dan cahaya bulan persegi yang
Jatuh miring ke atas meja tulis
Dua daun paru-paru yang menapasi kamar ini
Setiap bayangan menye;lip
Rusuh bayangan menyelinap
Rusuh diburu berikut pada engsel waktu
Diseberang awan tersangkut di pucuk-
pucuk cemara memberi siang matahari
Langit di waktu jarum berpacu dengan angina
Bisik renyai sore gerimis
Turun tertegun kulekapkan dahiku ke kaca
Dan kuguratkan namau diatasnya
Perlahan dengan jariku
Yang gemetan pada kaca gerimis
Berlinganan
1960
(Sumber : https://www.sepenuhnya.com/2018/04/puisi-lewat-jendela-karya-taufiq-
ismail.html?m=1)
8. Mansur Samin (29 Apri; 1930 -31 Mei 2003)
Agustus

Berdirilah hening dalam kehampaan malam


jiwa siapa yang patut dikenang
hitung dari mula
kerna letak kejadian indah
adalah hadirnya upacara duka
membangun kepercayaan teguh

Apakah mereka dengan kita bicara


menghitung hari-hari silam kehilangan rupa
atas rumah-rumah di lingkaran gelap
atas anak-anak di ketiadaan harap
dari dulu terduga selalu

Berdirilah hening dalam kehampaan malam


ucapkan lunak kesanggupan yang bimbang
jangan tangisi, jangan hindari kenyataan ini
kerna fajar pagi akan membuka langit letihnya
menyediakan tanya untuk kita saling tidak bicara

Di mendung gerimis Agustus ini


simpanlah risalah lama melantung kedalaman
tentang hari-hari gemilang yang akan datang
tentang akhir-akhir hutang yang tiada pegangan
heningkan di sini, jangan dengan separo hati!

Berdirilah hening dalam kehampaan malam


melupakan cedera kehilangan rupa
tegakkan pula
suatu bentuk baru di hatimu mengorak jauh

suatu pandangan kudus di pilumu diam bergalau


kita pun semua tahu untuk apa mengenang itu.

1960

( Sumber : https://www.sepenuhnya.com/2020/06/puisi-agustus.html?m=1)
9. Mohamad Yamin (24 Agustus 1903- 17 Oktober 1962)
Tanah Air

Pada batasan, Bukit Barisan


Memandang aku, ke bawag memandang
Tampak Hutan timba dan ngarai
Lagi pun sawah, sungai yang permai
Serta gerangan , lihatlah pula
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk daun kelapa
Itulah tanah, tanah airku
Sumatra namanya, tumpah darahku
Sesayup mata, hutam semata
Bergunung bukit, lembah sedikit
Jauh di sana , disebalah situ,
Dipagari gunung satu persatu
Adalah gerangan sebuah surge,
Bukannya janat bumi kedua
Firdaus melayu di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi
Sumatra namnya, yang kujujungi
Pada batasan , Buki barisam
Memandang ke pantai, teluk permai
Tampaklah air, air segala
Itulah laut, Samudra Hindia
Tampaklah air, air segala
Itulah laut, Samudra Hindia
Tempaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah ke pasir, lalu berderai
“Wahai Andalas, lalu berderai,
“Haru,ku nama, selatan utara!
(1922)
(Sumber : http://sastranesia.com/puisi-tanah-air-oleh-muhammad-yamin/)

10. Rustam Effendi (13 Mei 1903-24 Mei 1979)


Mengeluh

Bukanlah beta berpijak bunga,


Melalui hidup menuju makam
Setiap saat disimbur sukar,
Bermandi darah dicucurkan dendam.
Menangis mata melihat makhluk,
Berharta bukan berhak pun bukan
Inilah nasib negeri ‘nanda,
Memerah madu menguruskan badan.
Ba’mana beta bersuka cita,
Ratapan ra’yat riuhan gaduh,
Membobos masuk menyatu kalbuku.
Ba’mana boleh berkata beta,
Suara sebat sedanan rusuh,
Menghimpit madah, gubahan cintaku.
1926
(Sumber : https://www.sepenuhnya.com/2020/06/puisi-mengeluh.html?m=1)

11. Amir Hamzah ( 28 Februari 1911-20 Maret 1946)


Padamu Jua

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu
Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa darah dibalik tirai
Kasihku sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu—bukan giliranku
Mati hari—bukan kawanku
1937
(Sumber : https://asepsopyan.com/2018/08/25/amir-hamzah-padamu-jua-puisi/)

12. Goenawan Mohamad (29 Juli 1941-19 Juli 2020)


Perjalanan Malam

Mereka berkuda sepanjang malam,


Sepanjang pantai terguyur garam.
Si bapak memeluk dan si anak dingin,
Menembus kelam dan gempar angina
Adakah sekejap anak tertidur
Atau takutkan ombak melimbur?
“Bapak, aku tahu langkah si hantu,
Ia memburuku di ujung itu’
Si bapak diam meregang sanggurdi,
Merasakan sesuatu akan terjadi.
Kita tersukan saja sampai sampai,sampai tak lagi terbujur pantaia.”
“Tapi ‘ku tahu apa nasibku,
lepaskanlah aku darii pelukmu.”
“ Tahanlah , buyung, dan tinggalhah diam,
Mungkin ada cahaya tenggelam.”
Namun di hantu tak lama menunggu:
Silepasakn cinta (bagai belenggu)
Si anak pun terbang ke sebuah cuaca:
“Bapak, aku mungkin kangen di sana.”
(1976)
(Sumber : https://jateng.tribunnews.com/2020/11/26/puisi-perjalanan-malam-goenawan-
mohamad)

13. Sutardji Calzoum Bachri (24 Juni 1941)


MANTERA

lima percik mawar


tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puah!
kau jadi Kau!
Kasihku.
1995
(Sumber : https://www.sepenuhnya.com/2018/11/puisi-mantera.html?m=1)

14. Sitor Situmorang ( 2 Oktober 1923- 21 Desember 2014)


Surat Kertas Hijau

Segala kedaraannya tersaji hijau muda


Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh
Segala kemontokan menonjol di kata-kata
Menepis dalam kelakar sonder dusta
Harum anak dara
Mengimbau dari seberang benua
Mari, Dik, tak lama hidup ini
Semusim dan semusim lagi
Burung pun berpulangan
Mari, Dik, kekal bisa semua ini
Peluk goreskan di tempat ini
Sebelum kapal dirapatkan
1953
(Sumber : https://tubanbicara.pikiran-rakyat.com/sastra/pr-1291406618/puisi-surat-
kertas-hijau-karya-sitor-situmorang)

15. Joko Pinurbo ( 11 Mei 1962)


BOLONG

Bahkan celana memilih nasibnya sendiri:


ia pergi ke pasar loak justru ketika aku sedang giat
belajar bugil dan mandi.
“Selamat tinggal pantat. Selamat tinggal jagoan kecil
yang tampak pemalu tapi hebat.”
Entah berapa pantat telah ia tumpangi,
berapa kenangan telah ia singgahi,
sampai suatu hari aku menemukannya kembali
di sebuah kota, di sebuah kuburan.
“Pulang dan pakailah celana kesayanganmu ini,”
kata perempuan tua penjaga makam.
Sampai di rumah, kupakai kembali si celana hilang itu
dan aku terheran: “Kok celanaku makin kedodoran!”
Aku termenung melihat seorang bocah
di dalam cermin sedang sibuk mencoba celana
yang sudah bolong di bagian tengahnya.
2002
(Sumber : https://tubanbicara.pikiran-rakyat.com/sastra/pr-1291406618/puisi-surat-
kertas-hijau-karya-sitor-situmorang)

16. Remy Silado ( 12 Juni 1945-)


Peringatan

Jika rakyat pergi


Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah. Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan.
Maka hanya ada satu kata: lawan!.
1986
( Sumber : https://contohpantunpuisicerpen.blogspot.com/2016/09/10-contoh-puisi-remy-
sylado.html?m=1)

17. Mustohfar Bisri ( 10 Agustus 1915 – 16 Februasri 1977)


Guruku

Ketika aku kecil dan menjadi muridnya


Dialah di mataku orang terbesar dan terpintar
Ketika aku besar dan menjadi pintar
Kulihat dia begitu kecil dan lugu
Aku menghargainya dulu
Karena tak tahu harga guru
Ataukah kini aku tak tahu
Menghargai guru?
1987
( Sumber : https://www.sepenuhnya.com/2002/01/puisi-guruku-karya-mustofa-
bisri.html?m=1)

18. W.S Rendra (7 November 1935- 6 Agustus 2009)


Sajak Sebatas Lingsong

menghisap sebatang lisong


melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka
matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak kanak
tanpa pendidikan
aku bertanya
tetapi pertanyaan pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan
delapan juta kanak kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan
dan di langit
para teknokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
gunung gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam
aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak kanak tanpa pendidikan
termangu mangu di kaki dewi kesenian
bunga bunga bangsa tahun depan
berkunang kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
kita mesti berhenti membeli rumus rumus asing
diktat diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan
1978
(Sumber : http://sastranesia.com/sajak-sebatang-lisong-karangan-ws-rendra/)

19. Abdul Wachid B.S (7 Oktober 1966)


Tamu Puisi

Kubiarkan puisi tidak mampir


ke rumahku, aku tidak siap
melayaninya sebagai tamu yang
mulia
kata siapa, karena dia puisi
bukanlah orang lain
maka kau aku tak perlu
menjadi tuan rumah yang baik
aku selalu bersiap diri bila tibatiba
dia hadir tanpa rencana
dia tanpa kutahu mengisi ruang
dan waktuku yang mana
bertambah hari, bertambah mencari
ataukah hanya menanti puisi?
seperti napas, bukan soal oksigen yang
habis, tetapi puisi tak bisa ditawar lagi
2019
(Sumber : https://basabasi.co/sajak-sajak-abdul-wachid-b-s/)

20. Roestam Effendi (13 Mei 1903- 24 Mei 1979)


Mencahari

Bersalut ratna diselang emas berhari-hari,


Itulah kalung perjalanan hidupku,
Membenturkan kesenangan cahaya nubari,
Tiadalah pernah digetus pilu, rantaian mutu.
Menggeleng hati, menampik kata yang beta sebut,
Timbullah kurang, di untaian permata,
Merenggutkan gembiraku ke dalam selaput,
Menungan dada. Menurut beta, sepanjang data
Seperti sayap rajawali datang menyerang kalbu,
Menutup sinar persenyuman sejahtera,
Demikian kegelapan di dalam hatiku.
Seperti buta mencahari jalan, meraba-raba,
Begitu beta bergontaian seorangku,
Menuruti kebenaran tujuan bangsaku.

1963
( Sumber : https://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/
puisi-puisi-rustam-effendi)

21. Anjani Kanastren ( 18 Januari 1963)


Kelambu dan Lampu Sentir

Lemari tua itu, masih ada di pojok ruang


Dulu waktu kecil
Aku senang sembunyi di belakangnya
Ruangan itu masih menyimpan kenangan
Meski tak ada lagi kelambu dan lampu sentir
Yang dulu selalu eyang pasang
Menjelang maghrib
Semua telah tiada
Ditelan waktu
Tapi dalam kenanganku
Semua segar membayang
Bagai baru usai kemarin
Aku termangu di ruang bisu
Anganku hadir
Andai aku kembali kecil.
1985
( Sumber : https://www.sepenuhnya.com/2019/07/puisi-kelambu-dan-lampu-sentir.html?
m=1)

22. Afrizal Malna( 7 Juni 1957)


Tanaman Tahun

Satu dua orang datang satu dua orang pergi


Pohon tumbuh sendiri, sapi berjalan sendiri
Kemarin aku berjanji menjengukmu
Nonton bersama
Satu dua orang datang satu dua orang pergi
Tak ada halaman lain pada tubuhmu
Waktu telah jadi bentangan kain
Potongan-potongan baju, ke Selatan ke Utara
Jam 10 malam, toko-toko telah tutup
Satu dua orang datang satu dua orang pergi
Siapa yang mau menunggu di sini
Orang-orang berlalu
Halaman rumah belum disapu
Semua orang datang semua orang pergi
Besok aku berjanji menjengukmu
Tanpa dirimu lagi
1983
(Sumber : http://wikipuisimagz.blogspot.com/2018/06/puisi-puisi-afrizal-malna.html?
m=1)

23. Ajip Rosidi( 31 Januari 1938-29 Juli 2020)


Dukaku yang Risau

Berjalan, berjalan selagi di diri duka


Bernapas lega menemu perempuan
Kami berpandangan: lantas tahu
Segalanya tinggal masa kenangan
Kami berjalan memutar danau
Namun kutahu: dukaku yang risau
Takkan mendapatkan pelabuhan aman
Kecuali dalam pelukan penghabisan
Kupandang matanya:
Tak kukenal siapa pun juga
Didindingi kabut samar
1954
( Sumber : http://toppuisi2013.blogspot.com/2010/04/puisi-tentang-dukaku-yang-
risau.html?m=1)

24. Mansur Samin ( 29 April 1930 – 31 Mei 2003)


Buku Harian Prajurit

Malam tengadah di atas kaca


akan sepi bermukim asing di sini
napas sisi jendela, jeriji besi-besi tua
menghisap angin dingin atas kekerdilan hati
Mengapa palu itu tak segera memutus
apah mereka tahu aku bukan pembunuh
hukum dunia mengnal noda untuk kira-kira
dada bunda hanya kenal sorga atau neraka
Malam tengadah di atas kaca
jauh dari hati melebur hari-hari pergi
kalung mentega, lonceng gereja dan layap mata
diliput batin ini antara hidup dan mati
kalaupun sesal tinggal dendam
berbeda harap dengan permintaan
Demi hukum keadilan, haii anak lajang!
tabir dosa kekal adalah garis penyelesaian
memberatimu saksi tangan, titik bukti tebal
adakah misal satu-satunya kau kenal?
Begitu hati, wahai hati yang takut mati
sampaikan salam dunia dan diri sepi
kuyup mata, ruang dahaga dan doa setiap bunda
tiada mengharapkan dosa
Demi hukum keadilan haii anak lajang!
kami bawakan pelita melewati jalan-jalan sesal
kitab suci, sumpah murni dan tangis hati
akan memberkahi segi-segi yang bakal lahir
Dalam pemeriksaan dan misal kelanjutan
lenyap nilai jawab di tubuh jatuh terlentang
Dari hati yang tersirat, pengadilan yang terhormat!
aku bukan pembunuh Tuhan pun tahu
hidup ini bermain pada kira-kira dan sia-sia
dosa kita mencari bukti dalam misal
Jika salamku hilang ke tengah dunia
kasih pada hari-hari silam belum berakhir
dengan dosaku dan kemelut tahun yang berduka
tinggal garis henti, semua kata hilang arti.
1959
(Sumber : https://www.sepenuhnya.com/2020/06/puisi-buku-harian-prajurit.html?m=1)
25. Slamet Sukirnanto ( 3 Maret 1941-23 Agustus 2014)
Layang-Layang Miliku

Layang-layang milikku, kumanjakan kau


Membubung di langit biru
Di alam raya bersama burung-burung yang bebas
Lihatlah dari sana, negeri-negeri yang jauh
Adakah negeri-negeri bebas yang angkuh?
Satu pesan yang kusampaikan dari bumi ini
Janganlah meninggalkan daku, kemudian kau pergi
Sebab jarak antara kita akan semakin jauh
Di kota ini aku sendiri dengan pijar nasib.
Layang-layang milikku, Kumanjakan kau
Membubung di langit biru
Sampaikan Salam: hidup teguh di sini
Nyanyian bumi dalam wujud puisi.
1966
(Sumber : https://tugaskuliahhome.blogspot.com/2018/05/puisi-layang-layang-milikku-
karya.html?m=1)

26. Toto Sudarto Bachtiar ( 12 Oktober 1929 – 9 Oktober 2007)


Gadis Peminta-minta

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil


Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kauhafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku. ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda
1956
(Sumber : https://contoh-analisis-puisi.blogspot.com/2014/03/gadis-pemina-minta.html?
m=1)

27. Sultan Takdir Alisjahbana ( 11 Februari 1908- 17 Juli 1994)


Kalah Dan Menang

Tidak, bagiku tidak ada kalah dan menang!


Sebab kuputuskan, bahwa kemenangan sudah
pasti untukku saja. Kalah tinggal pada mereka yang lain:
Yang mengeluh bila terjatuh,
Yang menangis bila teriris,
Yang berjalan berputar-putar dalam belantara
Di padang lantang yang kutempuh ini,
aku tak mungkin dikalahkan:
Sebab disini jatuh sama artinya dengan bertambah
kukuh berdiri.
Tiap-tiap pukulan yang dipukulkan berbalik berlipat
ganda kepada sipemukul.
Malahan algojoku sekalipun yang akan menceraikan
kepalaku dari badanku, akan terpancung sendiri seumur
hidupnya:
Melihat mataku tenang menutup dan bibirku berbunga senyum.
1944

(Sumber : https://bahteraaumm2015.wordpress.com/2016/03/04/kalah-dan-menang-
sutan-takdir-alisjahbana-anista-emilia/)

28. Asrul Sani ( 10 Juni 1927-11 Januari 2004)


Anak Laut
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan
Pasir dan air seakan b ercampur
Awan tiada menutup
mata dan hatinya rindu
melihat laut terbentang biru
Sekali aku pergi
dengan perahu
ke negeri jauhan
dan menyanyi
kekasih hati
lagu merindukan
daku
Tenggelam matahari
Ufuk sana tiada nyata
bayang-bayang bergerak perlahan
aku kembali kepadanya
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan.
1997
( Sumber : https://agroedupolitan.blogspot.com/2017/03/kajian-puisi-anak-laut.html?
m=1)

29. Sasuni Pane ( 14 November 1905- 2 Januari 1968)


Sajak

O, bukanlah dalam kata yang rancak


Kata yang pelik kebagusan sajak
O, pujangga buanglah segala kata
Yang kan mempermainkan mata
Dan hanya dibaca sepintas lalu
Karena tak keluar dari sukma
Seperti matahari mencintai bumi
Memberi sinar selama-lamanya
Tidak meminta sesuatu kembali
Harus cintamu senantiasa
1931
(Sumber : https://pustamun.blogspot.com/2018/11/arti-puisi-sajak-karya-sanusi-
pane.html?m=1)

30. Subagio Sastrowardojo ( 1 Februari 1924- 18 Juli 1995)


Simphoni

“Aku tidak bermain bagi babi-babi!”


gerutu Beethoven.
Kita yang berdiri di tengah abad
di bilang dua puluh
dan menyangka harijadi
telah tertinggal jauh
makin samar:
mana asal, mana kejadian
mana jumlah, mana kadar
makin samar:
mana mulia, mana hina
mana kemajuan, mana kemunduran
1957
(Sumber : https://catatanpringadi.com/puisi-subagio-sastrowardoyo/)

Anda mungkin juga menyukai