Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia merupakan situasi atau keadaan dimana jumlah sel darah merah dan
atau konsentrasi hemoglobin berkurang dibawah noramal.
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang relatif jarang
ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh
pansitopenia dan aplasia sumsum tulang dan pertama kali dilaporkan tahun 1888
oleh Ehrlich pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah
menderita penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan, dan hiperpireksia.
Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum tulang
yang hiposelular (tidak aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali
menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya defenisi anemia
aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan pendapat
bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun
1959. Gejala klinik dari anemia aplastik dapat termanifestasi menjadi beberapa tanda
sesuai dengan etiologi yang mendasarinya seperti anemia, leucopenia, dan
trombositopenia. Salah satunya dapat menyebabkan terjadinya peradangan (ulserasi)
pada mukosa mulut, yang akan dibahas lebih lanjut pada bab berikutnya (Mugiyanti,
2007).
Stomatitis merupakan peradangan pada bagian mucosa mulut yang bisa
disebabkan karena infeksi maupun non infeksi seperti trauma, defisiensi nutrisi,
alergi, gangguan imunitas, dan manifestasi dari penyakit sistemik di mulut.
TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui dan memahami lebih dalam tentang manifestasi anemia aplastik


pada kelainan mulut pada anak-anak.
2. Mengetahui penatalaksanan dari kelainan mulut yang disebabkan karena
anemia aplastik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anemia Aplastik

DEFINISI
Anemia aplastik adalah anemia yang disertai oleh pansitopenia (atau
bisitopenia) pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum
tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau
pendesakan sumsum tulang. Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus
bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga sebagai
anemia hipoplastik.

EPIDEMIOLOGI
Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di negara
maju: 3 – 6 kasus/1 juta penduduk/tahun. Epidemiologi anemia aplastik di Timur
jauh mempunyai pola yang berbeda dengan di negara Barat. Di negara Timur (Asia
Tenggara dan Cina) insidennya 2 – 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan di negara
Barat, insiden anemia aplastik di dapat di eropa dan Israel sebanyak 2 kasus per 1
juta penduduk. laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan wanita, faktor
lingkungan, mungkin infeksi virus, antara lain virus hepatitis, diduga memegang
peranan penting (Mugiyanti, 2007).

ETIOLOGI
Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-70%) tidak diketahui, atau
bersifat idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh
proses penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Di samping itu juga disebabkan
oleh belum tersedianya model binatang percobaan yang tepat. Sebagian besar
penelusuran etiologi dilakukan melalui penelitian epidemiologik. Penyebab anemia
aplastik Primer
1. Kelainan Kongenital :
Sindrom fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti
microcephali, strabismus, anomaly jari, kelaianan ginjal dan sebaliknya.
2. Idiopatik: penyebabnya tidak dapat ditentukan Sekunder
a. Akibat radiasi, bahan kimia atau obat
b. Akibat idiosinkratik
c. Karena penyebab lain:
Infeksi Virus: Epstein-Barr virus (EBV)
Akibat kehamilan (Hasan, 2007)

KLASIFIKASI
Berdasarkan derajat pansitopenia tepi, anemia aplastik didapat
diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat, atau sangat berat Risiko morbiditas dan
mortalitas lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia ketimbang selularitas
sumsum tulang. Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja
untuk pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80%: infeksi jamur
dan sepsis bakterial merupakan penyebab kematian utama. Anemia aplasik tidak
berat jarang mengancam jiwa dan sebagai besar tidak membutuhkan terapi
(Mugiyanti, 2007).

GEJALA KLINIK
Gejala klinik anemia aplastik timbul akibat adanya anemia, leukopenia dan
trombositopenia . gejala ini dapat berupa :
a. Sindrom anemia : gejala anemia bervariasi mulai dari ringan sampai berat.
b. Gejala perdarahan : paling sering timbul dalam bentuk perdarahn kulit
seperti petekie dan akimosis. Perdarahan organ dalam lebih jarang di jumpai,
tetapi jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal.
c. Tanda-tanda infeksi dapat berupa febris, ulserasi mulut (stomatitis) atau syok
septic (Hasan, 2007).

PEMERIKSAAN FISIS
Hasil pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi.
Pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan perdarahan ditemukan
pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali yang sebabnya bermacam-
macam, ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak
ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru
meragukan diagnosis (Mugiyanti, 2007).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Tepi. Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu
ditemukan. Jenis anemia adalah normokrom nomositer. Kadang-kadang, ditemukan
pula makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritorsit muda atau
leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan
trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus.
Laju endap darah. Selalu meningkat, bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai laju
endap darah lebih dari 100 mm dalam jam pertama.
Sum-sum tulang. Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang
mungkin teraspirasi, maka sering di perlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan
melakukan biopsi sum-sum tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik.
DIAGNOSIS
Pada dasarnya diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia
atau bisitopenia di darah tepi dengan hipoplasia sum-sum tulang, serta dengan
menyingkirkan adanya infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang. Kriteria diagnosis
anemia aplastik menurut International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study
Group (IAASG) adalah:
1. Satu dari tiga sebagai berikut:
a. hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang dari 30% ,
b. trombosit kurang dari 50x10 /L
c. leukosit kurang dari 3,5x10 /L, atau netrofil kurang dari 1,5 x 109/L
2. Dengan retikulosit < 30xl09/L (<1%)
3. Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat):
a. Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel
hemopoetik atau selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal dengan
deplesi seri granulosit dan megakariosit.
b. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik

PENATALAKSANAAN
a. Mengobati masalah yang berbahaya dulu seperti perdarahan, infeksi, gagal jantung
konjesti
b. Transplantasi sumsum dengan donor HLA-identik (sibling) kalau kasus anemia
aplastik berat sekali.
c. Rx imunosupresif: anti-thymocyte globulin (ATG), cyclosporine, kortikosteroid,
steroid androgenik, growth factors
d. Siaga untuk kemungkinan kecil pasien aplastik kemudian menderita
leukemia(Hasan, 2007).
Stomatitis

DEFINISI

Stomatitis adalah peradangan pada mukosa (lapisan lendir) mulut yang bisa
mengenai mukosa pipi, bibir dan langit-langit. Stomatitis merupakan infeksi yang
dapat terjadi secara tersendiri atau bisa merupakan bagian dari penyakit sistemik.
Dapat berupa radang yang terjadi di daerah mukosa mulut, biasanya berupa bercak
putih kekuningan dengan permukaan yang agak cekung, bercak itu dapat berupa
bercak tunggal maupun kelompok (Sasanti, 2009)

JENISNYA SECARA KLINIS

Secara klinis stomatitis aphtosa ini dapat dibagi menjadi 3 subtipe, diantaranya:

1. Stomatitis aphtosa minor

Sebagian besar pasien menderita stomatitis aphtosa bentuk minor ini. Yang
ditandai oleh luka (ulser) bulat atau oval, dangkal, dengan diameter kurang
dari 5mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang eritematus. Ulserasi ini
cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa labial,
mukosa bukal dan dasar mulut. Ulserasi bisa tunggal atau merupakan
kelompok yang terdiri atas empat atau lima dan akan sembuh dalam jangka
waktu 10-14 hari tanpa meninggal bekas (Nurhayati, 2010)

2. Stomatitis aphtosa major

sebagian kecil dari pasien yang terjangkit stomatitis aphtosa jenis ini.
Namun jenis stomatitis aphtosa pada jenis ini lebih hebat daripada stomatitis
jenis minor. Secara klasik, ulser ini berdiameter kira-kira 1-3 cm, dan
berlangsung selama 4minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana
saja dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin.
Stomatitis aphtosa major ini meninggalkan bekas, bekas pernah
adanya ulser seringkali dapat dilihat penderita; jaringan parut terjadi karena
keseriusan dan lamanya lesi (Nurhyati, 2010).

3. Ulserasi herpetiformis (HU)

Istilah ’herpetiformis’ digunakan karena bentuk klinis dari HU (yang dapat


terdiri atas 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan
gingivostomatitis herpetik primer, tetapi virus-virus herpes initidak
mempunyai peran etiologi pada HU atau dalam setiap bentuk ulserasi
aphtosa (Nurhayati, 2010).

GEJALA

Gejalanya berupa rasa panas atau terbakar yang terjadi satu atau dua hari
yang kemudian bisa menimbulkan luka (ulser) di rongga mulut. Bercak luka yang
ditimbulkan akibat dari sariawan ini agak kaku dan sangat peka terhadap gerakan
lidah atau mulut sehingga rasa sakit atau rasa panas yang dirasakan ini dapat
membuat kita susah makan, susah minum, ataupun susah berbicara (Sasanti, 2009).

Penderita penyakit ini biasanya juga banyak mengeluarkan air liur. Biasanya
sariawan ini akan sembuh dengan sendirinya adalam waktu empat sampai 20 hari.
Bila penyakit ini belum sembuh sampai waktu 20 hari maka penderita harus
diperiksa lebih lanjut untuk menentukan apakah ada sel kankernya atau tidak. Pada
stomatitis aphtosa yang berat, dapat digunakan suatu alat pelindung mulut yang
bersih dengan pengolesan anestetik lokal dibawah alat tersebut (Widjaya, 2010).

DAERAH YANG TERINFEKSI

Biasanya daerah yang paling sering timbul stomatitis aphtosa


(sariawan) ini pada daerah mukosa pipi bagian dalam, bibir bagian dalam,
lidah, gusi serta langit-langit dalam rongga mulut.
PATOFISIOLOGI
pada anemia aplastik dapat terjadi leucopenia atau menurunnya jumlah sel
darah putih (leucosit) kurang dari 4500-10.000/mm3 penurunan sel darah putih ini
akan menyebabkan agranulositosis dan akhirnya menekan respon inflamasi.
Respon inflamasi yang tertekan akan menyebabkan infeksi dan penurunana
system imunitas fisis meksnik dimana dapat menyerang pada selaput lender, kulit,
silia, saluran nafas sehingga bila selaput lendirnya yang terkena maka akan
mengakibatkan stomatitis yang berupa ulserasi dan nyeri pada mulut serta faring,
sehingga mengalami kesulitan dalam menelan dan menyebabkan penurunan
masukan diet dalam tubuh (Widjaya, 2010).
Selain itu juga dapat terjadi trombositopenia, dimana jumlah trombosit
dibawah 100.000/mm3 . akibat dari trombositopenia antara lain ekimosis, ptecie,
epistaksis, perdarahan saluran kemih, perdarahan susunan syaraf dan perdarahan
saluran cerna. Gejla dari perdarahan saluran cerna adalah anoreksia, nausea,
konstipasi, atau diare dan stomatitis (sariawan pada lidah dan mulut) perdarahan
saluran cerna dapat menyebabkan hematemesis melena. Perdarahan akibat
trombositopenia mengakibatkan aliran darah ke jaringan menurun (Widjaya,
2010).

PENATALAKSANAAN
Dalam mengatasi sariawan ini, dapat menggunakan beberapa jenis obat, baik
dalam bentuk salep (yang mengandung antibiotika dan penghilang rasa sakit),
obat tetes, maupun obat kumur. Jika sariawan sudah terlalu parah, bisa digunakan
antibiotika dan obat penurun panas (bila sudah kronis disertai dengan demam).
Ada beberapa jenis obat yang dikenal di masyarakat dan bisa membantu
meredakan keluhan akibat sariawan. Ada jenis obat berbentuk salep dengan
kandungan kortikosteroid yang dioleskan pada luka sariawan. Ada juga obat tetes
yang digunakan untuk meredakan sariawan ini dengan gentien violet, perak nitrat,
atau obat kumur yang dapat membantu mengurangi rasa sakit pada penderita
sariawan. Dan juga pemberian vitamin C atau zat besi dalam dosis tinggi pada
penderita sariawan yang kekurangan zat-zat tersebut sering dapat menolong.
Untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan vitamin, akan lebih baik bila diperoleh
dari sayuran dan buah-buahan yang merupakan vitamin natural. Mengonsumsi
vitamin natural lebih efetif dibandingkan dengan mengonsumsi suplemen. Bila
dikonsumsi berlebihan tidak akan merusak tubuh, karena kelebihannya akan
dikeluarkan oleh tubuh. Selain itu juga lebih mudah diserap oleh tubuh. Dan jika
sariawan sudah terlalu parah, bisa digunakan antibiotika dan obat penurun panas
(bila sudah kronis disertai dengan demam).
Pada stomatitis juga dapat ditatalaksana dengan menggunakan obat kortikosteroid,
Kortikosteroid dianggap mendesak pengaruh-pengaruh anti-inflamatorinya yang
kuat melalui penghambatan pelepasan fosfolipase A2, sebuah enzim yang
bertanggungjawab untuk pembentukan prostaglandin, leukotriene, dan turunan
yang lain dari jalur asam arachidonik. Kortikosteroid juga menghambat faktor-
faktor transkripsi, seperti protein aktivator 1 dan faktor nuklear KB, yang terlibat
dalam aktivasi gen-gen pro-inflammatory. Gen-gen telah diketahui diupregulasi
oleh kortikosteroid-kortikosteroid dan gen-gen tersebut berperan dalam resolusi
inflamasi termasuk lipocortin dan p11/protein yang mengikat calpactin, yang
keduanya terlibat dalam pelepasan asam arachidonik. Lipocortin I menghambat
fosfolipase A2, yang mengurangi pelepasan asam arachidonik dari fosfolipid.
Kortikosteroid juga menurunkan pelepasan interleukin 1α (IL-1α), sebuah sitokin
pro-inflamatori yang penting, yang berasal dari keratinosit. Mekanisme-
mekanisme lainnya yang diusulkan untuk pengaruh-pengaruh anti-inflamatori dari
kortikosteroid termasuk penghambatan fagositosis dan stabilisasi membran
lisosom pada sel-sel fagosit.
Sebagian  besar keefektifan kortikosteroid juga disebabkan oleh kemampuan
imunosuppresifnya. Kortikosteroid menekan produksi dan pengaruh-pengaruh
faktor humoral yang terlibat pada respon inflamatori, menghambat migrasi
leukosit menuju ke bagian inflamasi, dan mengganggu fungsi sel-sel endothel,
granulosit, sel-sel mast, dan fibroblast. Sehingga kortikosteroid juga efektif dalam
menangani anemia aplastik sekaligus menangani stomatitisnya.
PENCEGAHAN
Dengan mengetahui penyebabnya, kita diharapkan dapat menghindari
terjadinya stomatitis aphtosa (sariawan) ini, diantaranya dengan menjaga
kebersihan rongga mulut serta mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama pada
makanan yang mengandung vitamin B12 dan zat besi. Selain itu, anda juga
dianjurkan untuk menghindari stress. Namun bila sariawan selalu hilang timbul,
anda dapat mencoba dengan kumur-kumur air garam hangat dan berkonsultasi
dengan dokter gigi dengan meminta obat yang tepat sariawannya.
Ada beberapa usaha lain yang dilakukan untuk mencegah munculnya
sariawan. Misalnya, menjaga kesehatan umum terutama kesehatan pada mulut,
menghindari luka pada mulut saat menggosok gigi atau saat menggigit makanan,
menghindari pasta gigi yang merangsang, menghindari kondisi stress,
menghindari makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin, sering
mengkonsumsi buah dan sayuran, terutama vitamin B, vitamin C, dan zat besi;
serta menghindari makanan dan obat-obatan atau zat yang dapat menimbulkan
reaksi alergi pada rongga mulut (Hasan, 2007).
BAB III
KESIMPULAN

Anemia aplastik merupaka keadaan yang disebabkan bekurangnya sel


hematopoetik dalam darah tepi seperti eritrosit, leukosit dan trombosit sebagai akibat
terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum tulang. Dan dari
pemeriksaan berupa anemia, leukopeni, dan trombositopeni dapat termanifestasikan
menjadi beberapa gejala klinis, yang salah satunya dapat memicu terjadinya
ulcuserasi pada mucosa mulut atau biasa disebut dengan stomatitis apthosa.
Penatalksanaan stomatitis yang terjadi karena anemia aplstik dapat dilakukan
dengan Menggunakan antibiotic dan obat penghilang rasa sakit yang berupa obat
tetes maupun kumur. Selain itu juga perlu didukung dengan memperbaiki causa
penyebabnya. Serta diharapkan kebersihan mulut dapat terpelihara dengan baik, yang
diharapkan dapat menurunkan resiko terjadinya stomatitis pada anemia aplastik.
Asupan nutrisi yang adekuat juga diperlukan dalam usaha pemulihannya.
Pada penatalaksanaan stomatitis yang terjadi karena anemia aplastik dapat
menggunakan obat kortikosteroid, yang dapat bermanfaat sekaligus bagi keduanya.
Dimana kortikosteroid memiliki efek sebagai kemampuan imunosuppresifnya.
Kortikosteroid menekan produksi dan pengaruh-pengaruh faktor humoral yang
terlibat pada respon inflamatori, menghambat migrasi leukosit menuju ke bagian
inflamasi, dan mengganggu fungsi sel-sel endothel, granulosit, sel-sel mast, dan
fibroblast. Sehingga kortikosteroid juga efektif dalam menangani anemia aplastik
sekaligus menangani stomatitisnya.
DAFTAR PUSTAKA

Hasan Rusepno et all, 2007, Ilmu Kesehatan Anak 1: cetakan ke 11,


Infomedika: Jakarta.

Nurhayati Desiana, 2011, Stomatitis pada anak, word press, rubric bunda magazine.

Sasanti Harum, 2009, Stomatitis yang sering dijumpai di klinik, staf pengajar FKG
UI, Jakarta.

Mugiyanti, 2007, cermin dunia kedokteran: anemia aplastik, word press: Jakarta.

Widjaya agustinus,2010, Peyakit Anemia Aplastik merupakan penyakit defisit


darah, Menyebabkan Pendarahan dan Rentan terhadap Infeksi,
www.emedicine.com

Anda mungkin juga menyukai