Anda di halaman 1dari 60

MAKALAH KASUS 1

JEJAS SEL, INFLAMASI, DAN PEMULIHAN


JARINGAN

Disusun oleh Tutorial Kelompok B1


Nama Anggota Kelompok :
Cantika Vadia Aqli 1910211029
Balqis Salsabila 1910211030
Anastasia Joanne 1910211031
E. Amirul Haibansyah 1910211037
Naufalda Almira 1910211097
Zahra Nur Aulia Rahma 1910211100
Yudivaniel Zihono 1910211106
Azzahra Roudhotul Jannah 1910211121
Putri Nabilla Febrianty 1910211123

PROGRAM STUDI SI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2019/2020

1
DAFTAR ISI

Daftar Isi ………………................................................................................... 2

Overview Case …………................................................................................ 3

JEJAS SEL ...................................................................................................... 4

ETIOLOGI ...................................................................................................... 5

JENIS JEJAS ................................................................................................... 10

MEKANISME JEJAS ...................................................................................... 17

ADAPTASI SEL .............................................................................................. 21

INFLAMASI .................................................................................................... 30

REGENERASI SEL ........................................................................................ 39

PEMULIHAN JARINGAN IKAT................................................................... 48

PENYEMBUHAN LUKA ............................................................................... 53

Daftar Pustaka .................................................................................................. 58

2
KASUS 1
JEJAS SEL, ADAPTASI SEL, INFLAMASI, DAN PEMULIHAN
JARINGAN

Overview Case

Ny. R (65 thn)


riwayat DM 12 thn lalu

menggunakan sepatu baru

lecet tumit kaki kanan

luka (kulit merah, bengkak, nyeri)

inflamasi

luka membesar

3 hari lalu bernanah dan berbau

berobat (luka dibersihkan, membuang jaringan nekrotik)

pemulihan jaringan

reversible

pembentukan jaringan parut

3
JEJAS SEL
Sel merupakan partisipan aktif di lingkungannya, yang secara tetap
menyesuaikan stuktur dan fungsinya untuk mengakomodasi tuntutan perubahan
dan stress ekstrasel. Sel cenderung mempertahankan lingkungan segera dan
intraselnya dalam rentang parameter fisiologis yang relatif sempit. sel
mempertahankan homeostasis normalnya. Ketika mengalami stres fisiologis atau
rangsang patologis, sel bisa beradaptasi, mencapai kondisi baru dan
mempertahankan kelangsungan hidnpnya. Respons adaptasi utama adalah antrofi,
hipertrofi, hiperplansin dan metanplansia. jika kemampuan adaptatif berlebihan,
sel mengalami jejas. Dalam batas waktu tertentu, cedera bersifat reversibel, dan
sel kembali ke kondisi stabil semula; namun, dengan stress berat atau menetap,
terjadi cedera ireversibel dan sel yang terkena mati. Dua pola dasar kematian sel
telah dikenal; pola tersebut mempunyai mekanisme yang berbeda, tetapi terdapat
juga pertimbangan yang tumpang-tindih di antara dua proses:
nekrosis (khususnya nekrosis koagulatif) terjadi setelah suplai darah
hilang atau setelah terpajan toksin dan ditandai dengan pembengkakan se1,
denaturasi protein dan kerusakan organela. Jalur lintas kematian sel tersebut dapat
menyebabkan disfungsi berat jaringan.
Apoptosis terjadi sebagai akibat program "bunuh diri" yang dikontrol
secara internal, setelah sel mati yang disingkirkan dengan gangguan minimal dari
jaringan sekitarnya. Keadaan tersebut terjadi dalam kondisi fisiologis, saat sel
yang tidak dikehendaki dieliminasi (misal, embriogenesis), dan dalam berbagai
kondisi patologis (misal, kerusakan mutasi yang tidak dapat diperbaiki).
Miokardium menjadi sasaran terhadap peningkatan beban yang menetap, seperti
pada hipertensi atau dengan katup sienotik, beradaptasi dengan mengalami
hipertrofi. Suatu penambahan ukuran sel dan akhirnya seluruh jantung untuk
menimbulkan tekanan lebih tinggi yang diperlukan. Sebaliknya, selama masa
kelaparan yang lama atau kakeksis (kehilangan berat badan, seperti akibat tumor
ganas), miokardium mengalami atr ofi pengurangan ukuran sel tanpa perubahan
dalam jumlah sel. Miokardium menjadi sasaran terhadap penurunan aliran darah
(iskemia) dari arteria koronaria yang mengaiami oklusi, yang bisa menyebabkan
cedera reversibel apabila oklusi tidak lengkap atau cukup singkat, atau dapat

4
mengalami cedera ireversibel (infark) setelah sumbatan lengkap atau dalam waktu
lama. Stres dan jejas tidak hanya berpengaruh terhadap gambaran morfologik,
tetapi juga pada status fungsional sel dan jaringan. Jadi, miosit yang mengalami
jejas reversibel tidak mati dan, kenyataannya, hampir mirip miosit normal.
Namun, miosit itu sementara nonkontraktil sehingga dapat berdampak klinis yang
secara potensial bersifat letal. Apakah bentuk khas stres menginduksi adaptasi
atau menyebabkan jejas reversibel atau ireversibel tidak hanya bergantung pada
sifat dan keparahan stres, tetapi juga pada beberapa variabei 1ain, termasuk tipe
sel yang bersifat mudah mengalami jejas, diferensiasi sel, suplai darah, dan status
nutrisi.

ETIOLOGI
Stres yang dapat menginduksi jejas sel berkisar dari trauma fisik menyeluruh
akibat kecelakaan motor sampai defek gen tunggal yang menghasilkan enzim
rusak yang menjadi penyebab penyakit metaboli spesifik. Sebagian besar
penyebab dapat digolongkan menjadi kategori luas berikut ini.
1. Deprivasi Oksigen.
Hipoksia, atau defisiensi oksigen, mengganggu respirasi oksidatif aerobik
dan merupakan penyebab cedera se1 tersering dan terpenting, serta menyebabkan
kematian. Hipoksia harus dibedakan dengan iskemio, yang merupakan terhentinya
suplai darah dalam jaringan akibat gangguan aliran darah. arteri atau
berkurangnya drainase vena. Iskemia merupakan penyebab tersering hipoksia,
defisiensi oksigen dapat juga disebabkan oleh oksigenasi darah yang tidak
adekuat, seperti pada pneumonia, atau berkurangnya kemampuan pengangkutan
oksigen darah, seperti pada anemia atan keracunan karbon monoksida (CO) (CO
membentuk ikatan kompleks yang stabil dengan hemoglobin sehingga
menghalangi pengikatan oksigen).
2. Bahan Kimia
Sebenarnya, semua bahan kimia dapat menyebabkan jejas. bahkan, zat tak
berbahaya, seperti glukosa atau garam, jika terkonsentrasi cukup banyak, akan
merusak keseimbangan lingkungan osmotik sehingga mencederai atau
menvebabkan kematian sel. Oksigen dalam tekanan yang cukup tinggi juga

5
bersifat toksik. Bahan yang sering dikenal sebagai racun menyebabkan kerusakan
serius pada tingkat selular dengan mengubah permeabilitas membran, homeostasis
osmotik, atau keutuhan enzim atau kofaktor, dan dapat berakhir dengan kematian
seluruh organ. Bahan berpotensi toksik lainnya ditemukan setiap hari di
lingkungan kita, bahan tersebut meliputi polusi udara, insektisida, karbon
monoksida, asbes, dan "stimulan" sosial, seperti etanol. Bahkan, obat terapeutik
dapat menyebabkan jejas sel atau jaringan pada pasien yang rentan atau pada
pemakaian yang tidak tepat.
3. Agen Infeksius
Berkisar dari virus submikroskopik sampai cacing pita yang panjangnya
beberapa meter; di antara rentang itu terdapat riketsia, bakteri, fungi, dan
protozoa.
4. Reaksi Imunologi.
Walaupun sistern imun melindungi tubuh dalam melawan benda asing, reaksi
imun yang disengaja atau tidak disengaja dapat menyebabkan jejas sel dan
jaringan. Anafilaksis terhadap protein asing atau suatu obat merupakan contoh
klasik. Selain itu, hilangnya toleransi dengan respons terhadap antigen sendiri
merupakan penyebab sejumlah penyakit autoimun.
5. Defek Genetik.
Defek genetik dapat menyebabkan perubahan patologis yang menyolok,
sepertri malformasi kongenital yang disebabkan oleh sindrom Down atau tak
kentara, seperti substitusi asam amino tunggal pada hemoglobin S anemia sel
sabit. Beberapa kesalahan metabolisme saat lahir akibat defisiensi enzimatik
kongenital merupakan contoh kerusakan sel dan jaringan yang disebabkan oleh
perubahan “sepele" yarrg sering kali terjadi pada asam deoksiribonukleat (DNA).
Ketidakseirnbangan Nutrisi
Bahkan di zaman berkembangnya kemakmuran global sekarang ini,
defisiensi nutrisi masih rnerupakan penyebab utama jejas sel. Insufisiensi
(ketidakcukupan) kalori-protein pada masyarakat yang serba kekurangan
merupakan contoh nyat, defisiensi vitamin tertentu sering terjadi, bahkan di
negara industrialis dengan standar hidup relatif tinggi. Ironisnya, nutrisi yang
berlebihan juga merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas. misalnya,

6
obesitas jelas meningkatkan risiko penyakit disbetes melitus tipe 2 (dahulu disebut
tidak dependen insulin, onset dewasa). Selain itu, diet kaya lemak hewani sangat
bersangkut-paut pada perkembangan aterosklerosis serta kerentanan terhadap
banyak gangguan, termastuk kanker.
6. Agen Fisik.
Trauma, temperatur yang ekstrim, radiasi, syok elektrik, dan perubahan
mendadak pada tekanan atmosfer, semuanya mempunyai efek dengan kisaran luas
pada jejas sel.
7. Penuaan Sel
Sejumlah fungsi sel menurun secara progresif seiring penuaan. Fosforilasi
oksidatif mitokondria menurun, seperti sintesis protein struktural, enzimatik dan
reseptor. Sel yang mengalami proses penuaan memiliki kapasitas untuk ambilan
nutrien dan perbaikan kerusakan kromosom yang berkurang. Pembahan
morfologik pada sel yang menua meliputi ketidakteraturan inti, mitokondria
bervakuola pleomorfik, pengurangan retikulurn endoplasma, dan penyimpangan
aparatus golgi.
Walaupun terdapat banyak teori, jelas bahwa proses penuaan sel adalah
multifaktorial. Proses itu melibatkan efek kumulatif, baik siklus jam molekular
intrinsik dari penuaan sel maupun stresor ekstrinsik dari lingknngan sel
(kerusakan sel).
Teori penuaan sel intrinsik berpegang bahwa proses penuaan sel terjadi
karena pemrograman genetik yang telah ditetapkan. Teori semacam ini didukung
oleh pengamatan jangka panjang bahwa fibroblas manusia dewasa normal pada
kultur sel, memiliki rentang masa hidup tertentu, fibroblas berhenti membelah dan
menjadi menua setelah kira-kira 50 kali penggandaan (sehingga disebut fenomena
Hayflick). Fibroblas neonatus mengalami sekitar 65 kali penggandaan sebelum
berhenti membelah, sementara itu fibroblast dari pasien dengan progerin, yang
berusia prematur, hanya memperlihatkan 35 kali penggandaan atau Iebih.
Mengapa sel dan organisme harus mempunyai sejumlah tertentu replikasi,
kami mulai rnengerti bagaimann sel "mengenal/tahu" jumlah pembelahan yang
telah dialami. Dua mekanisme yang diusulkan adalah:
 Replilkasi inkomplet

7
Ujung-ujung kromosom (pemendekan telomer). Oleh karena mekanisme
replikasi DNA, setiap pembelahan sel normal menghasilkan kopi tiap kromosom
dengan agak sedikit terpotong. Tanpa beberapa mekanisme untuk melindungi
ketepatan proses replikasi, gen di dekat ujung kromosom akan secara bertahap
menghilang setelah sejumlah pembelahan dan sel rupa-rupanya menghentikan
fungsi normalnya. Strategi molekular untuk mengatasi masalah ini menggunakan
telomer. sekuens pendek DNA nontranskripsi yang dapat diulang berulang-kali
(TTAGGG), yang terletak di ujung kromosom. Selain memberikan stratu buffer
DNA nontranskripsi yang bisa diperpendek berulang-kali tanpa memengaruhi
replikasi gen fungsional, sekuens telomer melindungi ujung terminal kromosom
dari fusi dan degradasi. Pada saat sel somatik bereplikasi, satu potongan kecil tiap
susunan telomer tidak berduplikasi, dan telomer memendek secara progresif.
Akhirnya, setelah pembelahan sel yang multipel, telomer vang terpotong parah
diperkirakan mensinyal proses penuaan sel. Namun demikian, pada sel germ dan
sel stem (tetapi biasanya bukan di sel somatik), yang memerlukan siklus replikasi
yang tidak menentu, panjang telomer diperbaiki setelah pembelahan tiap sel oleh
enzim khusus yang disebut telomerase. Ha1 yang menarik adalah telomerase juga
diaktivasi pada sel kanker immortal.
 Jam gen.
Konsep bahwa kontrol waktu genetic terhadap masa penuaan didukung
oleh identifikasi jam gen, terutama pada makhluk hidup, misalnya gen clk-1 pada
nematoda Caenorhabditis elegans, mengubah kecepatan pertumbuhan dan waktu
multiplikasi proses pertumbuhan. Cacing dengan mutasi c/k-1 mengalami
penurunan kecepatan pertumbuhan sampai 50% dari masa hidupnya,
dibandingkan dengan cacing normal.
Beragam hipotesis mengenai penvebab selular kerusakan sel dan
melibatkan keracunan radikal bebas, terjadi oleh pengaruh pajanan lingkungan
yang berulang-ulang, misalnya radiasi pengion, suatu reduksi progresif
mekanisme pertahanan antioksidan (misalnya, vitamin E, glutation peroksidase),
atau keduanya. Akumulasi lipofuscin pada sel tua merupakan petunjuk adanya
kerusakan itu, tetapi tidak ada bukti bahwa pigmen lipofuscin sendiri yang bersifat
toksik terhadap sel. Lagi pula, radikal bebas dapat menginduksi kerusakan

8
mitokondria dan nuclear DNA, cedera radikal bebas diperkirakan menyebabkan
modifikasi 10.000 basa per sel per hari. Konsisten dengan teori penuaan adalah
hasil pengamatan sebagai berikut: (1) panjang umur di antara spesies berbeda
berbanding terbalik dengan kecepatan pembentukan radikal superoksid
mitokondria; (2) ekspresi berlebih enzim dismutase superoksid antioksidatif dan
katalase memperlama masa hidup pada penelitian model penuaan; dan (3)
pembatasan asupan kalori menurunkan derajat status (kondisi) mantap terhadap
kerusakan oksid tif, memperlambat perubahan yang berhubungan dengan usia,
dan memperlama masa hidup maksimal mamalia.
Mekanisme kerusakan sel kedua meliputi modifikasi protein intrasel dan
ekstrasel pascatranslasi. Salah satu modifikasi itu adalah oksidasi radikal bebas;
modifikasi lainnya adalah glikosilasi nonenzimatik, mengakibatkan pembentukan
AGE yang mampu berikatan silang dengan protein yang berdekatan. Glikosilasi
protein lensa yang berkaitan dengan umur. mendasari katarak senilis, dan AGE
sistemik kemungkinan bertanggung jawab terhadap komplikasi diabetes melitus).
Mekanisme penuaan sel melibatkan kejadian terprogram, dan konsekuensi
cedera Iingkungnn yang progresif. Penuaan terprogram, menanggung urutan
kejnadian yang ditetapkan sebelumnya, termasuk represi dan depresi program
genetic spesifik ynng akhirnya berakibat padna proses penuaan (senescence).
Namun demikian, banyak terjadi perubahan pada ekspresi gen selama penuaan
sel, dan kabar bahwa perubahan itu mewakili penyebab penuaan daripada suatu
efek proses penuaan (senescence) masih belum terpecahkan. Selanjutnya, strat
penuaan sel terprogram merupakan penjelasan yang bisa dimengerti dari suatu
proses penuaan sel yang aktif secara mitosis.

9
JENIS JEJAS
Terdapat dua jenis jejas, yaitu jejas reversibel dan jejas irreversibel. Kelainan sel
pada jejas reversibel dapat dikoreksi. Apabila stimulus yang menyebabkan jejas
dihilangkan, sel dapat kembali normal. Cedera yang terus menerus dan berat akan
mengakibatkan sel mengalami “point of return” atau melewati ambang batasnya
dan menuju jejas irreversibel yang mengakibatkan kematian sel.
1. Jejas Reversibel

Dua kelainan morfologik penting yang berkaitan dengan jejas reversibel pada sel
adalah pembengkakan sel dan degenerasi lemak. Pembengkakan sel diakibatkan
oleh kegagalan pompa ion bergantung energi pada membran plasma sehingga sel
tidak mampu mempertahankan homeostasis ion dan cairan. Degenerasi lemak
terjadi akibat jejas hipoksia dan berbagai cedera toksik dan metabolit yang tampak
sebagai vakuol kecil atau besar di dalam sitoplasma.
Pembengkakan sel merupakan manifestasi pertama jejas reversibel pada sel yang
sulit dikenal pada mikroskop cahaya, tetapi lebih tampak pada tingkat organ. Jika
pembengkakan terdapat pada banyak sel di suatu organ, mengakibatkan warna
pucat (akibat dari tekanan pada kapiler), turgor meningkat, dan berat organ akan
meningkat. Gambaran mikroskopik menunjukkan vakuol kecil jernih dalam
sitoplasma; menandakan segmen retikulum endoplasmik (ER) yang melebar dan
terlepas. Pola jejas non- letal ini kadang-kadang disebut degenerasi hidrofik atau
degenerasi vakuolar. Degenerasi lemak tampak sebagai vakuol lemak dalam
sitoplasma. Biasanya dijumpai pada sel yang terlibat dalam metabolisme lemak
(contoh sel hati, sel miokardium) dan bersifat reversibel.
Perubahan intrasel berkaitan dengan jejas reversibel termasuk (1) perubahan
membran plasma seperti penonjolan, distorsi mikrovilli dan lepasnya unsur
intersel; (2) gangguan mitokondria misalnya pembengkakan dan timbulnya benda
amorf mengandung fosfolipid (benda mielin); (3) dilatasi ER dan lepasnya
ribosom; dan (4) perubahan inti, berupa penggumpalan kromatin. Selain itu,
sitoplasma dapat mengandung benda mielin, yaitu massa fosfolipid yang
terbentuk dari membran sel yang rusak tapi tidak sebanyak pada jejas irreversibel.
2. Jejas Irreversibel

10
Dua hal menjadi ciri khas irevisibilitas, yaitu ketidakmampuan untuk
memperbaiki disfungsi mitokondria (tidak terjadinya fosforilasi oksidatif dan
pembentukan ATP) walaupun penyebab jejas telah dihilangkan, dan gangguan
pada fungsi membran. Berbagai stimulus yang dapat membahayakan sel dapat
mengakibatkan kematian sel melalui nekrosis atau melalui apoptosis.
A. Nekrosis

Nekrosis merupakan kematian sel yang disertai dengan hilangnya integritas


membran sel dan bocornya isi sel sehingga terjadi kerusakan sel. Kerusakan sel ini
terutama disebabkan oleh adaya aktivitas suatu enzim lisozim yang keluar karena
rusaknya membran lisosom. Isi sel yang bocor keluar mengakibatkan reaksi lokal
inflamasi. Inflamasi atau peradangan ini merupakan upaya untuk menghilangkan
sel yang mati dan memulai proses perbaikan. Terdapat berbagai gambaran
morfologik pada nekrosis jaringan yang dapat menjelaskan penyebabnya. Jenis
nekrosis tersebut, yakni:
1) Nekrosis Koagulatif
Pada nekrosis koagulatif, jejas merusak protein dan enzim pencerna sel
sehingga tidak terjadi proteolisis sel yang mati dan terjadi penumpukan sel
mati.
2) Nekrosis Liquefaktifa
Nektosis liquefaktifa disebabkan oleh infeksi jamur atau bakteri yang
mengakibatkan akumulasi sel radang dan enzim leukosit yang mencerna
jaringan.
3) Nekrosis Kaseosa
Nekrosis kaseosa disebabkan oleh infeksi tuberkulosa. Terdapat gambaran
putih kekuningan seperti keju.
4) Nekrosis Lemak
Sel mengalami destruksi lemak yang merupakan akibat dari pelepasan
enzim pankreas yang teraktifkan ke dalam jaringan pankreas.
5) Nekrosis Fibrinoid
Terjadi pada reaksi imun dimana kompleks antigen dan antibodi
mengendap pada dinding arteri.
6) Nekrosis Gangrenosa

11
Terjadi akibat iskemia atau kurangnya aliran darah ke jaringan sehingga
sel kekurangan oksigen dan mati.

B. Apoptosis

Apoptosis merupakan jalur kematian sel yang terprogram dengan mengaktifkan


enzim yang merusak DNA inti sel itu sendiri dan protein pada inti dan sitoplasma.
Membran plasma sel apoptotik tetap utuh, tetapi berubah sehingga sel dan
fragmen yang terlepas akan menjadi target fagosit. Fragmen sel yang mengalami
apoptosis akan terlepas, memberikan gambaran yang sesuai dengan namanya
(apoptosis, "lepas"). Sel yang mati dan fragmennya akan segera dibersihkan
sebelum isi sel bocor keluar sehingga tidak menimbulkan reaksi radang pada
pejamu. Apoptosis dalam hal ini berbeda dengan nekrosis, yang memberikan
gambaran kerusakan integritas membran, pencernaan enzimatik sel, bocornya isi
sel, dan terjadi reaksi radang pada pejamu. Apoptosis yang diinduksi oleh
stimulus patologis dapat berkembang menjadi nekrosis.
Apoptosis dapat terjadi pada keadaan fisiologis (normal) dan patologis. Pada
keadaan fisiologis, apoptosis berperan untuk menghilangkan sel yang potensial
berbahaya dan sel yang telah selesai masa fungsinya. Sedangkan pada keadaan
patologis, apoptosis terjadi pada sel rusak yang tidak dapat diperbaiki lagi,
khususnya apabila kerusakan mengenai DNA atau protein sel. Sel yang tidak
dapat diperbaiki tersebut akan dieliminasi tanpa menimbulkan reaksi tubuh
berlebihan sehingga kerusakan jaringan yang terjadi serendah mungkin.
Apoptosis pada situasi fisiologis meliputi:
- destruksi sel terprogram saat embriogenesis, contohnya pembentukan jari
- involusi jaringan yang bergantung pada hormon saat terjadi kekurangan
hormon, yaitu pada luruhnya sel endometrium saat siklus menstruasi
- hilangnya sel pada populasi sel yang sedang proliferatif, misalnya pada
epitel kripta usus yang sedang membelah akan terjadi penghilangan sel
agar jumlah sel tetap sama
- eliminasi pada sel yang telah selesai melakukan tugasnya, misalnya
neutrofil pada reaksi inflamasi akut

Apoptosis pada situasi patologis meliputi:

12
- Kerusakan DNA, disebabkan oleh radiasi, obat sitotoksik antikanker, suhu
ekstrim, dan hipoksia. Apabila proses perbaikan DNA tidak dapat
mengatasi jejas, sel akan memicu apoptosis untuk menghindari terjadinya
mutasi di dalam DNA rusak
- Akumulasi dari protein yang salah bentuk (misfolded), disebabkan oleh
mutasi gen yang menyandi protein atau karena faktor ekstrinsik seperti
radikal bebas. Akumulasi berlebihan protein misfolded di ER akan
menyebabkan stres ER yang berakhir dengan kematian apoptosis

Mekanisme Apoptosis
Apoptosis terjadi karena aktivasi enzim kaspase yang merupakan protease sistein
yang membelah protein setelah menjadi sisa aspartik. Aktivasi kaspase tergantung
dari keseimbangan antara produksi protein pro dan anti-apoptotik. Dua jalur
berbeda akan bersatu untuk mengaktifkan kaspase: jalur mitokondria dan jalur
reseptor kematian. Walaupun kedua jalur ini dapat bertemu, namun masing-
masing diinduksi dalam kondisi berbeda, melibatkan molekul berbeda, dan
mempunyai peran tersendiri pada fisiologi dan penyakit.

1. Signaling (Pemberian Sinyal)


Apoptosis dipicu oleh berbagai sinyal seperti:

13
- kejadian terprogram intrinsik (embriogenesis)
- kekurangan faktor tumbuh
- interaksi ligan-reseptor spesifik
- pelepasan granzim dari sel t sitotoksik
- agen jejas (contohnya radiasi)

2. Kontrol dan Integrasi


Tahap ini dilengkapi dengan protein spesifik yang menghubungkan sinyal
kematian dengan program eksekusi akhir. Pada tahap ini terjadi aktivasi
enzim kaspase yang dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur mitokondria
dan jalur reseptor kematian.
1) Jalur Mitokondria

Mitokondria mengandung beberapa protein yang mampu menginduksi


apoptosis, yaitu sitokrom c dan juga protein lain yang akan
menetralkan penghambat apoptosis endogen. Ketika sel tidak
mengandung faktor pertumbuhan dan sinyal ketahanan hidup, terdapat
agen yang menyebabkan kerusakan DNA, terdapat akumulasi protein

14
misfolded yang jumlahnya sudah tidak dapat diterima, atau sinyal
lainnya, sensor protein BH3 yang merupakan bagian dari kelompok
protein BCL-2 diaktifkan. Sensor ini akan menghambat molekul
antiapoptotik BCL-2 dan BCL-XL sehingga memudahkan kebocoran
mitokondria. Sensor ini juga membuat protein proapoptotik BAX dan
BAK mengalami dimerisasi lalu masuk ke dalam membran
mitokondria dan membentuk lubang. Lubang yang terbentuk ini
menyebabkan sitokrom c dan protein lainnya yang terdapat pada
mitokondria bocor keluar menuju sitosol. Sitokrom c berikatan dengan
Apaf-1 yang berada di sitosol sehingga mengaktifkan kaspase-9.
Protein lain yang keluar dari mitokondria menghalangi aktivitas
antagonis kaspase yang berfungsi sebagai inhibitor apoptosis.
Sedangkan ketika sel mengandung faktor pertumbuhan dan sinyal
ketahanan hidup, terjadi sintesis dua jenis protein antiapoptotik dari
kelompok BCL-2, yaitu BCL-2 itu sendiri dan BCL-XL. Kedua
protein antiapoptotik tersebut bekerja menghambat aktivitas protein
proapoptotik BAX dan BAK sehingga tidak dapat membentuk lubang
pada membran mitokondria.
2) Jalur Reseptor Kematian
Pada jalur reseptor kematian, sel mengekspresikan reseptor
permukaan, yaitu reseptor TNF-1 dan Fas yang disebut reseptor
kematian karena memicu apoptosis. Ligan Fas (FasL) akan mengenali
dan kemudian menempel reseptor Fas. FasL merupakan protein yang
berekspesi terutama pada limfosit T yang aktif. Interaksi antasa
reseptor Fas dan FasL menyebabkan pengikatan protein adaptor
melalui daerah kematian yang kemudian mengaktifkan kaspase-8.
Jalur mitokondria dan jalur reseptor kematian diawali dengan mengaktifkan
kaspase inisiator, yaitu kaspase-9 dan kaspase-8. Kaspase inisiator akan
mengaktifkan kaspase eksekutor yang menyebabkan terjadinya proses eksekusi
apoptosis.
3. Eksekusi

15
Aktivasi enzim kaspase eksekutor mengaktifkan enzim protease lainnya, yaitu
endonuklease yang mengakibatkan fragmentasi DNA. Aktivasi kaspase juga
menyebabkan pecahnya sitoskeleton sehingga volume dan bentuk sel berubah.
Selain itu, terjadi juga aktivasi transglutaminase yang menyebabkan terbentuknya
badan apoptotik. Transglutaminase mengubah protein sitoplasmik mudah larut
dan terutama protein sitoskeletal menjadi selubung memadat yang berikatan
secara kovalen dan dapat berfragmentasi menjadi badan apoptotik.
4. Pembersihan Sel Mati (Fagositosis)

Badan apoptotik membuat sinyal agar dimakan oleh makrofag dengan cara
memindahkan phosphatidylserine yang berada pada bagian dalam membran sel ke
bagian luar membran sel. Oleh karena itu, badan apoptotik dapat dikenali oleh
makrofag dan terjadi fagositosis badan apoptotik.

16
MEKANISME JEJAS
Mekanisme biokimia yang berperan penting dalam jejas atau kematian sel yaitu:
a. Deplesi ATP
Penurunan sintesis ATP dan deplesi ATP merupakan konsekuensi yang
umum terjadi karenan jejas iskemia maupun toksik. Hipoksia akan meningkatkan
glikolisis anaerob dengan deplesi glikogen, meningkatkan produksi asam laktat
atau asidosis intrasel. Berkurangnya sintesis ATP akan berdampak besar terhadap
transpor membran, pemeliharaan gradien ionik (khusus Na+, K+ dan Ca2+) dan
sintesis protein.

b. Akumulasi radikal bebas


Akumulai radikal bebas yang berasal dari oksigen Iskemia yang terjadi dapat
menyebabkan jejas sel dengan mengurangi suplai oksigen seluler. Jejas sel
tersebut juga dapat mengakibatkan rekruitmen sel radang yang terjadi lokal dan
selanjutnya sel radang tersebut akan melepaskan jenis oksigen reaktif berkadar
tinggi yang 8 akan mencetuskan kerusakan membran dan transisi permeabilitas

17
mitokondria. Disamping itu, sel yang mengalami jejas juga memiliki pertahanan
antioksidan yang terganggu.

c. Influks kalsium
Influks kalsium intrasel dan gangguan homeostasis kalsium Kalsium bebas sitosol
dipertahankan pada kadar yang sangat rendah oleh transportasi kalsium yang
terganggu ATP. Iskemia atau toksin dapat menyebabkan masuknya kalisum
ekstrasel melintasi membran plamsa dan diikuti dengan pelepasan kalsium dari
deposit intraseluler di mitokondria serta retikulum endoplasma. Penginkatan
kalsium sitosol dapat mengaktifkan enzim fosfolpase (mencetuskan kerusakan
membran), protease (mengkatabolis protein membran serta sitoskeleton), ATPase
(mempercepat depleso ATP) dan endonuklease (menyebabkan fragmentasi
kromatin).

d. Defek pada permeabilitas membran plasma Membran plasma dapat


berlangsung dirusak oleh toksin bakteri tertentu seperti protein virus, komponen
komplemen, limfosit sitolitik atau sejumlah agen fisik dan kimiawi. Perubahan
permeabilitas membran bisa juga sekunder yang disebabkan oleh hilangnya

18
sintesis fosfolipid yang berkaitan dengan deplesi ATP atau disebabkan oleh
aktivasi fosfolipase yang dimediasi kalsium yang mengakibatkan degradasi
fosfolipid. Hilangnya barier membran menimbulkan kerusakan gradien
konsentrasi metabolit yang diperlukan untuk mempertahankan aktivitas metabolik
sel.

e. Kerusakan mitokondria
Sel-sel tubuh sangat bergantung pada metabolisme oksidatif, maka keutuhan
mitokondria sangat penting bagi pertahanan hidup sel. Kerusakan mitokondria
dapat terjadi langsung karenan hipoksia atau toksin atau sebagai akbiat
meningkatnya Ca2+ sitosol, stress oksidatif intrasel atau pemecahan fosfolipid
dapat menyebabkan akumulasi pada saluran membran mitokondria interna yang
nantinya akan mencegah pembentukan dari ATP.

19
20
ADAPTASI SEL
Adaptasi adalah perubahan reversible dari jumlah, ukuran, fenotipe,
aktivitas metabolit atau fungsi sel dalam memberikan respons terhadap perubahan
lingkungan. Adaptasi dibagi dua yaitu fisiologis dan patologis.
 fisiologis, umumnya merupakan respon sel terhadap stimulus
normal oleh hormon atau mediator kimia endogen
 patologis, merupakan respon terhadap stress yang memungkinkan
sel untuk menyesuaikan struktur dan fungsi sehingga menghindari
jejas
1. Adaptasi sel
Atrofi
Mengecilnya ukuran sel akibat hilangnya substansi sel. Terjadi pengecilan
ukuran jaringan atau organ, penurunan fungsi sel tapi selnya tidak
mengalami kematian. Penyebab atrofi antara lain:
a. Pengurangan beban kerja
b. Nutrisi yang tidak adekuat
c. Penuaan
d. Berkurangnya rangsangan saraf
e. Berkurangnya stimulasi endokrin
f. Berkurangnya suplai darah

Fisiologis: berkurangnya stimulasi hormon pada menopause


Patologis: denervasi
Hipertrofi
Meningkatnya ukuran sel yang mengakibatkan organ bertambah besar,
disebabkan oleh peningkatan kebutuhan fungsional yang meningkat atau
stimulasi faktor hormonal atau pertumbuhan.
Fisiologis: pembesaran otot bisep pada atlet angkat besi
Patologis: pembesaran jantung akibat hipertensi
Hiperplasia
Penambahan jumlah sel yang terjadi karena proliferasi sel yang telah
mengalami diferensiasi. Dapat melakukan replikasi
Fisiologis:

21
a. Hormonal: proliferasi epitel kelenjar-kelenjar payudara saat
pubertas dan saat kehamilan
b. Kompensatorik, keadaan bertambahnya jaringan sisa setelah
pengeluaran atau penghilangan bagian dari
suatu organ

Patologis: ketidakteraturan menstruasi karena stimulasi hormon yang tidak


seimbang
Metaplasia
Perubahan reversible dimana satu jenis sel dewasa digantikan oleh sel
dewasa jenis lain.
Displasia
Kelainan perkembangan, pertumbuhan dan diferensiasi jaringan. Apabila
tidak ditangani dengan baik, displasia dapat berkembang menjadi kanker
2. Respon subseluler terhadap jejas
Katabolisme lisosom
Lisosom merupakan organel intrasel berupa kantong yang mengandung
enzim hidrolitik
a) Heterofagi
Terjadi proses endositosis oleh vakuola. Vakuola yang mengalami
endositosis akan berdifusi dengan lisosom kemudian terjadi
degradasi materi yang ditelan
b) Autofagi
Terjadi pemecahan organel intrasel di vakuola autofag. Vakuola
bertemu dengan lisosom primer dan terjadi pembentukan
autofagolisosom, dimana nantinya enzim lisosom akan mencerna
komponen sel.
Autofagi dipicu oleh kompleks protein yang mendeteksi adanya
kekurangan gizi dan menstimulasi pembentukan vakuola autofag

22
Induksi RE halus
Adaptasi barbiturate di induksi dengan penambahan volume RE halus.
Tujuan modifikasi enzim adalah meningkatkan daya larut. Sehingga
adaptasi sel menjadi lebih efektif dengan modifikasi
Perubahan mitokondria
Penambahan jumlah mitokondria dalam sel terjadi saat hipertrofi.
Sedangkan, pengurangan jumlah mitokondria terjadi pada atrofi
Abnormalitas sitoskeleton
Selain berfungsi dalam mempertahankan struktur dasar sel, sitoskeleton
juga berfungsi dalam pengorganisasian aktivitas sel. Abnormalitas
sitoskeleton dapat menyebabkan gerakan organel yang menyimpang, defek
daya gerak sel dan akumulasi material fibrilar intraseluler
Protein syok panas
Terjadi saat induksi protein stress setelah rangsang yang berpotensi
berbahaya. Berfungsi dalam pemeliharaan protein intrasel, pelipatan
protein dan transport protein menuju organel intraseluler.

Akumulasi lntrasel
Pada beberapa kondisi, sel dapat mengakumulasikan sejumlah zat abnormal.
Akumulasi tersebut dapat membahayakan atan menyebabkan berbagai tingkat
cedera. Lokasi substansi tersebut mungkin di dalam sitoplasma, organel
(khususnya lisosom), atau dalam nukleus. Zat dapat disintesis oleh sel yang
terkena atau dapat diproduksi di tempat lain.
Klasifikasi bahan-bahan yang tertimbun (akumulasi)
 Komponen sel normal (air, lipid, karbohidrat, protein)
 Bahan abnormal (eksogen maupun endogen)
 Pigmen

Dapat berupa :
 Isi sel normal yang terkumpul berlebihan.
 Bahan abnormal, biasanya produk metabolisme abnormal
 Suatu pigmen

23
Terdapat tiga jalur umum yang selnya dapat menambah akumulasi intrasel
abnormal
a. Zat normal diproduksi dengan kecepatan normal atau kecepatan yang
meningkat, tetapi kecepatan metabolik tidak adekuat untuk
rnenyingkirkannya.Suatu contoh untuk jenis proses tersebut adalah perlemakan
hati.

b. Zat endogen normal atau abnormal menumpuk karena defek genetik atau
didapat pada metabolisme, pengemasan, transpor, atau sekresinya. Suatu
contohnya adalah defek enzimatik genetik pada jalur metabolik spesifik;
gangguan yang dihasilkan disebut penyakit simpanan. pada kasus lain, mutasi
menyebabkan defek pelipatan dan transpor,dan akhirnya akumulasi protein (misal,
defisiensia a-antitripsin).

c. Zat eksogen abnormal disimpan dan menumpuk karena sel tidak rnemiliki
mesin enzimatik untuk mendegradasi zat, dan juga tidak mampu mengangkutnya
ke tempat lain. Akumulasi partikel karbon atau silika merupakan contoh jenis
perubahan tersebut.
Mekanisme umum akumulasi intraselular:
(1) metabolisme abnormal, seperti pada perlemakan di hati,
(2) mutasi yang menyebabkan perubahan pelipatan dan transpor protein sehingga
menyebabkan molekul yang defektif menumpuk intrasel;
(3) defisiensi enzim penting yang berlanggung jawab untuk pemecahan se
(4) ketidakmampuan mendegradasi partikel yang difagositosis, seperti pada
akumulasi pigmen karbon.

 Perlemakan (Steatosis).

/Perlemakan menunjukkan setiap akumulasi abnormal trigliserida dalam sel


parenkim. Walaupun perlemakan merupakan indikator jejas yang reversibel,
kadang-kadang perlemakan ditemukan dalam sel yang berdekatan dengan sel yang
mengalami nekrosis. Perlemakan sering terlihat di hati karena mempakan organ
utama yang terlibat dalam metabolisme lemak, tetapi juga dapat terjadi di jantung,

24
otot rangka, ginjal, dan organ lain. Steatosis dapat disebabkan oleh toksin,
malnutrisi protein, diabetes melitus, obesitas, dan anoksia. Namun demikian,
penyalahgunan alkohol tidak diragukan lagi merupakan penyebab tersering
perlemakan hati di negara industri.

Asam lemak bebas dari jaringan adiposa atau makanan yang ditelan normalnya
diangkut ke dalam hepar; di hepar makanan diesterifikasi menjadi trigliserida,
diubah menjadi kolesterol atau fosfolipid, atau dioksidasi menjadi badan keton.
Beberapa asam lemak juga disintesis dari asetat di dalam hepatosit. Keiuarnya
trigliserida dari hepar harus berikatan dengan apoprotein untuk membentuk
lipoprotein, yang kemudian melintasi sirkulasi. Akumulasi berlebihan trigliserida
dapat disebabkan oleh defek pada setiap tahapan dari masukrva asam lemak
sampai keluarnya lipoprotein, sehingga menyebabkan kejadian perlemakan hati
setelah berbagai gangguan hati.
Hepatotoksin (misal, alkohol) mengubah fungsi SER dan rnitokondria; CCl4 dan
malnutrisi protein menurunkan sintesis apoprotein; anoksia menghambat oksidasi
asam lemak; dan kelaparan meningkatkan mobilisasi asam lemak dari cadangan
perifer.
Signifikansi perlemakan bergantung pada penyebab dan keparahan akumulasi.
Apabila ringan, pertremakan tidak mempunyai efek pada fungsi sel. Perlemakan
yang lebih berat secara transien dapat mengganggu fungsi sel, tetapi kecuali jika
beberapa proses intrasel terganggu secara ireversibel (misal, pada keracunan CCI),
perlemakan bersifat reversibel. Dalam bentuk yang berat, perlemakan dapat
mengawali kematian sel, tetapi harus ditekankan bahwa sel dapat mati tanpa
mengalami perlemakan.
Di setiap tempat, akumulasi lemak tampak sebagai vakuola jernih dalam sel
parenkim. Perlemakan paling sering tampak di hati dan jantung. Di hati,
perlemakan ringan tidak memengaruhi gambaran makroskopik. Dengan
akumulasi, organ membesar dan menjadi kekuningan secara progresif sampai,
pada kasus ekstrem, mencapai berat 3 sampai 6 kg (1,5 sampai 3 kali berat
normal) dan tampak kuning cerah, lunak, dan berminyak. Perlemakan dini tampak
dengan mikroskop cahaya sebagai vakuola lemak yang kecildalam sitoplasma di

25
sekitar nukleus. pada stadium akhir, vakuola bergabung untuk membentuk ruang
jernih yang mendorong nukleus ke tepi sel. Kadang-kadang, sel yang berdekatan
ruptur dan gelembung lemak yang tertutup menyatu untuk menghasilkan apa yang
disebut kista lemak.

Materi perlemakan berbentuk vakuola-vakuola intrasel mendesak nukleus ke tepi.


Kadang sel pecah, beratu membentuk kista lemak. Sel lemak akan terlihat jernih
dalam sitoplasma.

 Protein

Secara morfologis, akumulasi protein yang terlihat lebih jarang terjadi


dibandingkan akumulasi lipid; akumulasi protein dapat terjadi karena kelebihan
protein disajikan pada sel atau karena sel mensintesis protein dalam jumlah yang
berlebih.
Di ginjal misalnya, sejumlah kecil albumin yang disaring melewati glomerulus
secara normal direabsorpsi oleh proses pinositosis pada tubulus kontortus
proksimalis. Namun, pada gangguan dengan kebocoran protein berat melewati
filter ginjal (misalnya, sindrom nefrotik), terdapat peningkatan yang sepadan pada
reabsorpsi pinositik proten. Fusi vesikel pinositik dengan lisosom menghasilkan
gambaran histologik berwarna merah muda droplet sitopiasma hialin. Proses ini
reversibei; jika proteinuria berkurang, droplet protein dimetabolisme dan
menghilang.

 Pigmen

Pigmen merupakan substansi berwarna yang bersifat eksogen, berasal dari luar
tubuh, atau endogen, disintesis dalam tubuh sendiri.

Pigmen eksogen yang tersering adalah karbon (misalnya, debu batu bara), suatu
polutan udara yang ada di sekeliling kehidupan perkotaan. Bila terinhalasi, debu

26
tersebut difagositosis oleh makrofag alveolar dan diangkut melalui saluran
limfatik menuju kelenjar getah bening trakeobronkial regional. Agregat pigmen
nyata sekali menghitamkan aliran kelenjar getah bening dan parenkim paru
(antrakosis). Akumulasi berat dapat menginduksi emfisema atau reaksi
fibroblastik yang dapat mengakibatkan penyakit paru serius, disebut
pneumokoniosis paru.
Pigmen endogen meliputi lipofuscin, melanin, dan derivat tertentu hemoglobin.
Melanin adalah pigmen hitam-cokelat endogen yang dibentuk oleh melanosit saat
enzim tirosinase enzim mengatalisis oksidasi tirosin menjadi
dihidroksifenilalanin. Melanin disintesis secara ekslusif oleh melanosit, sel
spesifik yang secara khas ditemukan pada epidermis dan berperan sebagai tabir
endogen melawan radiasi ultraviolet yang sangat berbahaya.
Waiaupun melanosit adalah satu-satunya sumber melanin, keratinosit basal yang
berdekatan di kulit dapat mengakumulasi pigmen (misalnya, bintik-bintik di
kulit), atau bisa diakumulasi dalam makrofag dermal.

Hemosiderin adalah pigmen granular yang berasal dari hemoglobin yang


berwarna kuning-keemasan sampai cokelat dan berakumulasi dalam jaringan saat
terdapat kelebihan zat besi lokal atau sistemik . Zat besi yang dalam keadaan
normal tersimpan dalam sel berhubungan dengan apoferitin protein, yang
membentuk misel feritin. Pigmen hemosiderin menggambarkan agregat besar
misel feritin tersebut, yang dengan mudah divisualisasikan dengan miskroskop
cahaya dan elektron; zat besi dapat diidentifikasi tanpa ambigu dengan reaksi
histokimiawi biru Prussian. Walaupun biasanya patologik, sejumlah kecil
hemosiderin normal dalam fagosit mononuklear sumsum tulang, limpa, dan hati;
di tempat tersebut terdapat pemecahan sel darah merah yangng luas.

Klalsifikasi Patologilk
Klasifikasi patologik meruakan proses umun dalam berbagai ragam penyakit;
klasifikasi patologik secara tak langsung menunjukkan deposisi abnormal garam
kalsium, bersama dengan sejumiah kecil zat besi, magnesium, dan mineral lain.
Bila terjadi deposisi di jaringan yang telah mati atau akan mati, disebut klasifikasi

27
distrofik; terjadi dalam keadaan tidak ada kekacauan metabolik kalsium (yaitu,
dengan kadar kalsium dalam serum yang normal). Sebalikrrya, deposisi garam
kalsium pada jaringan normal dikenal sebagai klasifikasi metabolik dan hampir
selalu menunjukkan kekacaun metabolik kalsium ( hiperkalsemia).

 Klasifikasi Distrofik.

Klasifikasi distrofik ditemukan di berbagai area nekrosis jenis apapun. Klasifikasi


tersebut sebenarnya pasti terjadi pada ateroma aterosklerosis lanjut, area jejas
intima di aorta dan arteri besar yang ditandai dengan akumulasi lipid. Walaupun
hanya dapat menggambarkan bukti jejas sel terdahulu, kalsifikasi distrofik sering
merupakan penyebab disfungsi organ. Misal, kalsifikasi kuspal berkembang pada
penuaan atau katup jantung yang rusak, yang menyebabkan gangguan gerakan
katup yang berat. Kalsifikasi distrofik katup aorta merupakan penyebab penting
stenosis aorta pada orang tua.
Patogenesis kalsifikasi distrofik meliputi inisiasi (atau nukleasi) dan propagasi,
keduanya dapat intrasel atau ekstrasel; produk akhir puncak adalah pembentukan
kristal kalsium fosfat. Inisiasi di tempat ekstrasel terjadi pada vesikel yang
dibungkus oleh membran dengan diameter sekitar 200 nm; pada kartilago dan
tulang normal, dikenal sebagai vesikel matriks, dan pada kalsifikasi patologik
berasal dari sel-sel yang mengalami degenerasi. Diperkirakan kalsium pertama-
tama terkonsentrasi dalam vesikel tersebut dengan afinitasnya untuk membran
fosfolipid, sedangkan akumulasi fosfat terjadi akibat kerla fosfatase yang
dibungkus oleh membran. Inisiasi kalsifikasi intrasel ini terjadi dalam mitokondria
sel yang telah mati atau akan mati, yang telah kehilangan kemampuannya untuk
mengatur kalsium intrasel. Setelah inisiasi di salah satu lokasi, terjadi propagasi
pembentukan kristal. Keadaan tersebut bergantung pada konsentrasi Ca** dan
PO4-di ruang ekstrasel, adanya inhibitor mineral, dan derajat kolagenisasi.
Kolagen meningkatkan kecepatan pertumbuhan kristal, tetapi protein lain seperti
osteopontin (suatu fosfoprotein asam yang mengikat kalsium) juga terlibat.

 Kalsifikasi Metastatik.

28
Kalsifikasi rnetastatik dapat terjadi di jaringan normal setiap kali terdapat
hiperkalsemia; jelas, hiperkalsemia juga memperburuk kalsifikasi distrofik.
Empat penyebab utama hiperkalsemia adalah
(1) peningkatan sekresi hormon paratiroid, akibat tumor paratiroid primer atau
produksi oleh tumor ganas lain;
(2) destruksi tulang akibat pengaruh penggantian yang terakselerasi (misalnya,
penyakit Paget), imobilisasi, atau tumor (peningkatan katabolisme tulang yang
disebabkan oleh multipel mieloma, leukemia, atau metastasis skeletal difus);
(3) gangguan yang berhubungan dengan vitamin D, termasuk intoksikasi vitamin
D dan snrcoidosis (makrofag mengaktifkan prekursor vitamin D); dan
(4) gagal ginjal, yang retensi fosfatnya menimbulkan hiperparatirotisme sekunder.

29
INFLAMASI
Inflamasi Secara Umum
Inflamasi merupakan reaksi pertahanan tubuh terhadap adanya luka maupun
infeksi yang disebabkan oleh nekrosis sel dan jaringan pada tubuh. Fungsi dari
inflamasi adalah untuk membawa zat-zat mediator dan sel-sel pertahanan tubuh,
seperti leukosit dan plasma protein, ke lokasi yang terdapat infeksi. Walaupun
berperan dalam proses penyembuhan, inflamasi yang berlebihan juga dapat besifat
berbahaya bagi tubuh.
Inflamasi dapat menunjukkan tanda-tanda sebagai reaksi dari proses
penyembuhan. Tanda-tanda tersebut disebut sebagai cardinal signs. Tanda-tanda
tersebut adalah panas (Calor), kemerahan (Rubor), bengkak (Tumor), rasa sakit
(Dolor), hilangnya fungsi (Functio Laesa). Inflamasi juga terkontrol dan terbatas
pada proses penyingkiran sumber infeksi dan proses penyembuhan. Apabila
infeksi telah teratasi, zat-zat mediator terdegradasi atau menjadi inaktif.
Inflamasi dapat terbagi menjadi dua jenis berdasarkan parahnya infeksi, yaitu
inflamasi akut dan inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan inflamasi akibat
luka yang tidak parah atau membahayakan, sedangkan inflamasi kronis
merupakan inflamasi akibat dari luka yang parah sehingga memerlukan usaha
yang lebih bila dibandingkan dengan inflamasi akut. Kedua inflamasi ini akan
dijelaskan lebih jelas dibawah.

Inflamasi Akut Secara Umum

30
Definisi dari inflamasi akut adalah inflamasi yang reaksinya cepat dan terus
bekerja dalam jangka waktu berhari-hari hingga berminggu-minggu. Luka yang
mengaktifkan mekanisme inflamasi akut biasanya luka ringan dan tidak terlalu
membahayakan nyawa. Beberapa stimulus untuk inflamasi akut adalah sebagai
berikut:
A. Infeksi bakteri, virus, jamur, dan patogen
B. Trauma akibat tusukan, hantaman, luka bakar, dan frostbite
C. Nekrosis jaringan
D. Benda asing yang masuk ke tubuh seperti serpihan dan debu
E. Reaksi imun berlebihan atau hypersnsitivity reactions.

Mekanisme Inflamasi Akut


Pada sel epitel, sel fagosit, dan sel-sel yang berfungsi untuk menangkap
mikroba dan memulai respon pertahanan tubuh, terdapat reseptor-reseptor yang
berfungsi untuk mengenali struktur dari zat yang dihasilkan mikroba asing dan
struktur zat yang dihasilkan oleh sel yang telah mati. Jenis dari reseptor tersebut
terbagi menjadi dua berdasarkan jenis struktur yang dikenali.
Pertama adalah Toll-Like Receptors yang mengenali zat yang dihasilkan oleh
mikroba asing. Zat tersebut dapat berupa endotoksin, DNA bakteri, RNA virus,
dan patogen lainnya. Reseptor ini berada di membran plasma dan endosom
sehingga dapat mendeteksi mikroba di ekstraseluler. Bila reseptor ini mengenali
zat-zat tadi, reseptor ini akan menghasilkan perotein mediator untuk melawan
infeksi.
Kedua adalah Inflammasome yang mengenali zat yang dihasilkan oleh sel-sel
yang telah mati. Zat-zat tersebut dapat berupa asam urat dan ATP ekstraseluler.
Pengaktifan dari resptor ini akan mengaktifkan enzim Caspase-1 yang
mengaktifkan sitokin Interleukin-1b sebagai prekursor proses inflamasi.

31
Setelah pengaktifan reseptor, akan terjadi mekanisme inflamasi akut.
Mekanisme yang pertama adalah perubahan vaskuler. Pembuluh vaskuler akan
mengalami vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas untuk membawa sel-sel
pertahanan tubuh ke lokasi infeksi.
Proses vasodilatasi membuat laju aliran darah meningkat. Selain itu, plasma
protein akan keluar dari pembuluh darah menuju lokasi infeksi untuk
meningkatkan viskositas darah. Setelah itu, neutrofil akan keluar dari pembuluh
darah menuju lokasi infeksi untuk memulai proses fagositosis.
Tak hanya pembuluh darah, pembuluh limfatik pun juga turut bekerja.
Pembuluh limfa akan meningkatkan laju peredarannya untuk menangkap dan
membawa plasma protein yang berlebihan, sel-sel mati, dan leukosit berlebih.
Test

32
Recruitment and Activation of Leukocytes
Neutrofil-neutrofil yang ada di tubuh akan dibawa ke lokasi infeksi untuk
proses pertahanan diri. Proses pembawaan neutrofil ke lokasi infeksi disebut
dengan Leukocytes Recruitment. Tahapan prosesnya dibagi menjadi empat.
Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Margination and Rolling
Neutrofil-neutrofil akan bergerak menuju perifer dari pembuluh darah
dan berkumpul di perifer pembuluh darah. Neutrofil kemudian menggelinding
di sepanjang perifer pembuluh darah hingga sampai ke posisi infeksi.
2. Adhesion
Setelah menggelinding di perifer pembuluh darah, neutrofil akan melekat
pada reseptor-reseptor yang ada di perifer pembuluh darah sambil
menggelinding mendekati celah menuju ke posisi infeksi.
3. Transmigration
Ketika neutrofil mencapai celah antara pembuluh darah dengan lumen,
neutrofil akan berpindah menuju lumen. Proses perpindahan disebut sebagai
diapedesis.
4. Chemotaxis
Setelah neutrofil tiba di lumen, neutrofil akan bergerak menuju lokasi
infeksi secara kemotaksis, yaitu bergerak dengan adanya rangsangan zat
kimiawi yang dihasilkan oleh bakteri.

33
Setelah proses rekrutmen, neutrofil akan mengalami proses aktivasi yang
disebut sebagai Leukocytes Activation. Proses aktivasi ini akan membuat neutrofil
mampu melakukan proses fagositosis. Terdapat tiga tahap sebagai berikut:
 Recognition and Attachment
Neutrofil akan mengenali bakteri yang menginvasi tubuh dahulu. Proses
pengenalan adalah dengan menggunakan reseptor fagosit yang ada di
neutrofil.
 Engulfment
Setelah mengenali bakteri, neutrofil akan memulai proses fagositosis.
Bakteri kemudian ‘dimakan’ oleh neutrofil di dalam vakuola.
 Killing and Degradation
Vakuola yang berisi bakteri akan bergabung dengan vakuola yang berisi
enzim lisosomal. Enzim ini dapat melisiskan bakteri. Setelah kedua vakuola
bergabung, enzim lisosomal akan melisiskan bakteri sehingga bakteri mati.

Inflamasi Kronis Secara Umum


Definisi dari inflamasi kronis adalah inflamasi yang membutuhkan waktu
lebih lama untuk bereaksi dan dapat bekerja dalam jangka waktu berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun. Luka yang mengaktifkan mekanisme inflamasi kronis
biasanya adalah luka yang berat dan sangat berbahaya bagi tubuh. Beberapa
stimulus dari inflamasi ini adalah sebagai berikut:

34
 Infeksi yang sulit untuk diatasi, seperti Myobacterium tuberculosis yang
mengharuskan Limfosit-T untuk mengaktifkan respon delayed-type
hypersnsitivity.
 Immune-mediated inflammatory diseases yang menyebabkan sistem imun
untuk bekerja terus-menerus secara eksesif. Dapat menyebabkan penyakit
autoimun dimana sistem imun justru menyerang jaringan tubuh yang
sehat.
 Paparan langsung secara terus-menerus terhadap agen toksik atau
berbahaya bagi tubuh. Salah satu contohnya adalah paparan asbes dan silika
secara terus-menerus.

Mekanisme Inflamasi Kronis (Makrofag)


Pada inflamasi kronis, sel-sel yang bekerja sebagian besar adalah makrofag
dan limfosit. Makrofag dan limfosit ini memiliki perannya masing-masing namun
saling berpengaruh satu dengan yang lain.
Makrofag sebenarnya ada di seluruh bagian tubuh. Akan tetapi, ketika tubuh
mengalami luka dan terjadi infeksi, sebagian besar makrofag akan dibawa menuju
tempat infeksi untuk segera mengatasi penyebab infeksi. Makrofag berfungsi
sebagai filter untuk partike-partikel yang masuk ke dalam tubuh, efektor untuk
menghancurkan mikroba asing, respon imun, dan berperan dalam inisiasi proses
penyembuhan jaringan.
Makrofag berawal dari monosit. Monosit berasal dari prekursor yang
dihasilkan di sumsum tulang. Ketika monosit memasuki lumen, monosit
kemudian berubah menjadi makrofag.
Pada saat makrofag teraktivasi untuk menghadapi infeksi, cara pengaktifan
akan terbagi menjadi dua sesuai dengan fungsi dan cara pengaktifannya.
A. Classical Macrophage Activation
Fungsi utama pengaktifan adalah untuk melawan mikroba secara
fagositosis di tempat infeksi. Dapat diaktifkan oleh produk-produk yang
dihasilkan oleh mikroba seperti endotoksin. Selain itu dapat juga diaktifkan
oleh sinyal dari sel limfosti-T, dan Cytokine IFN-J (Gamma). Apabila

35
diaktivasi dapat menghasilkan enzim lisosomal, NO, ROS, dan partikel-
partikel tertentu yang dapat dikenal oleh makrofag.
B. Alternative Macrophage Activation
Fungsi utama perngaktifan adalah untuk inisiasi proses penyembuhan
jaringan. Dapat diaktifkan oleh Cytokines selain Cytokine IFN-J (Gamma),
diproduksi oleh sel limfosit-T, sel mast, dan eosinofil. Apabila diaktivasi
dapat menyekresi growth factor yang memulai proses angiogenesis,
mengaktifkan fibroblas, dan menstimulasi kolagen.

Mekanisme Inflamasi Kronis (Limfosit, Eosinofil, dan Sel Mast)


Selain makrofag terdapat juga limfosit. Limfosit merupakan sel yang kerja
dan perannya paling besar dalam proses sistem imun, biasanya ketika terjadi
infeksi dan inflamasi baik yang menggunakan sistem imun (Myobacterium
tuberculosis) maupun yang tidak (trauma). Limfosit terbagi menjadi dua, yaitu
Limfosit-T yang berfungsi untuk sekresi Cytokines dan Limfosit-B yang dapat
berubah menjadi plasma sel ketika memasuki jaringan.
Produk yang biasa dihasilkan oleh limfosit-T adalah sebagai berikut:
 Th1 : Menghasilkan Cytokine IFN-J (Gamma) untuk proses Classical
Macrophage Activation

36
 Th2 : Menghasilkan IL-4, IL-5, IL-13 yang berfungsi dalam proses
recruit and activate eosinophil
 Th17: Menghasilkan IL-17 untuk proses kemokines

Walaupun makrofag dan limfosit berperan besar dalam proses inflamasi


kronis, terdapat beberapa sel lain yang juga berperan penting dalam proses
inflamasi seperti eosinofil yang mengandung granula dan sel mast yang memiliki
antibodi IgE. Granula-granula eosinofil bersifat toksik bagi parasit dan antibodi
IgE berperan penting sebagai inisiator inflamasi akut.

Kesimpulan
Inflamasi merupakan salah satu cara tubuh untuk mengatasi infeksi. Terdapat
dua jenis inflamasi, yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronis. Berikut adalah tabel
perbedaan inflamasi akut dan inflamasi kronis dan diagram aktivasi dari plasma
protein, neutrofil, dan makrofag berdasarkan waktu.

37
Tabel Perbedaan Inflamasi Akut dan Inflamasi Kronis

Diagram Aktivasi Plasma Protein (Edema), Neutrofil, dan Makrofag

38
REGENERASI SEL

PENGENDALIAN PERTUMBUHAN DAN DIFERENSIASI SEL


Masuknya sel baru ke dalam populasi jaringan sebagian besar ditentukan
oleh kecepatan proliferasinya, sementara sel dapat meninggalkan populasinya
karena kematian sel ataupun karena berdiferensiasi menjadi jenis sel lain. Oleh
karena itu, meningkatnya jumlah sel dalam populasi tertentu dapat terjadi karena
peningkatan proliferasi ataupun karena penurunan kematian atau berdiferensiasi
sel.
Proliferasi sel dapat dirangsang oleh faktor pertumbuhan intrinsic, jejas,
kematian sel, atau bahkan oleh deformasi mekanis jaringan. Kelebihan stimulator
atau kekurangan inhibitor menyebabkan pertumbuhan sel yang sesungguhnya.
Kendali pengaturan yang terpenting adalah penginduksian sel istirahat pada fase
G0 agar memasuki siklus sel.

39
Proliferasi sel normal adalah siklus sel. Siklus sel tersebut terdiri atas G1, S,
G2, dan M. Jika sel tidak menerima sinyal maju-terus pada G 1, sel akan keluar dari
siklus sel dan beralih ke kondisi tak membelah yang disebut G0.
Molekul-molekul peregulasi siklus sel ini terutama terdiri dari dua tipe,
yaitu protein kinase dan protein siklin. Protein kinase adalah enzim yang
mengaktivasi atau menginaktivasi protein lain dengan cara memfosforilasinya.
Sedangkan, protein siklin adalah protein yang mengendalikan masuk dan
berkembangnya sel melalui siklus sel.
Banyak kinase yang menggerakkan siklus sel sebenarnya terdapat pada
konsentrasi konstan dalam sel yang sedang bertumbuh, namun dalam sebagian
besar waktunya berada dalam bentuk inaktif. Agar aktif, kinase harus melekat
dengan siklin yang disebut kinase bergantung-siklin (CDK, cyclin-dependent
kinase). Kadar siklin naik selama fase S dan G 2 dan kemudian merosot tajam
selama fase M.
CDK disintesis secara konstitutif, tetapi hanya diaktifkan jika menyatu
dengan siklin. Siklin hanya disintesis pada tahap tertentu dan kemudian
didegradasi saat sel meningkat ke fase selanjutnya. CDK yang sesuai itu akan
menjadi inaktif.
Faktor pendorong kedewasaan atau MPF (M-phase promoting factor)
merupakan pemicu lewatnya sel melalui titik pemeriksaan G2 untuk memasuki
fase M. Ketika siklin yang terakumulasi selama G 2 berasosiasi dengan molekul
CDK, kompleks MPF yang dihasilkan akan momfosforilasi berbagai protein dan
mitosis pun terinisiasi. MPF menyebabkan fosforilasi berbagai protein, seperti :
1. Mendorong fragmentasi selaput nucleus selama prometafase mitosis pada
lamina nucleus
2. Kondensasi kromosom
3. Pembentukan gelendong selama profase
4. Menginisiasi proses yang menyebabkan kehancuran siklinnya sendiri
selama anafase
Bagian nonsiklin dari MPF, CDK, bertahan di sel dalam bentuk inaktif
hingga berasosiasi dengan molekul siklin baru yang disintesis selama fase S dan
G2 pada putaran berikutnya.

40
MEDIATOR TERLARUT
Faktor pertumbuhan menginduksi proliferasi sel dengan memengaruhi
pengeluaran gen yang terlibat dalam jalur pengendalian pertumbuhan normal yang
disebut protoonkogen. Perubahan pada struktur atau pengeluaran protoonkogen
dapat mengubah gen tersebut menjadi onkogen yang berperan pada karakteristik
pertumbuhan sel yang tidak terkendali pada kanker.
Pemberian sinyal oleh mediator terlarut terjadi dalam empat bentuk yang
berbeda, yaitu :
1. Autokrin.
Autokrin adalah mediator terlarut bekerja secara menonjol pada sel
yang menyekresinya. Seperti pada respons imun dan hyperplasia epitel
kompensatoris.
2. Parakrin
Parakrin adalah mediator yang memengaruhi sel yang sangat
berdekatan. Seperti untuk merekrut sel radang menuju tempat infeksi dan
proses penyembuhan luka control
3. Sinaptik
Sinaptik adalah jaringan saraf yang teraktivasinya menyekresi
neurotransmitter pada suatu penghubung sinaps menuju sel target.
4. Endokrin
Endokrin adalah hormone yang dilepaskan ke dalam aliran darah dan
bekerja pada sel target yang berjauhan.

41
Protein reseptor dapat berada pada permukaan sel dan mungkin intrasel.
Pada protein yang terdapat di intrasel, ligan harus cukup hidrofobik agar dapaat
memasuki sel. Untuk reseptor intrasel, pengikatan ligan mengakibatkan
pembentukan kompleks reseptor ligan yang secara lagnsung berhubungan dengan
DNA inti sel dan selanjutnya mengaktifkan atau menghentikan transkripsi gen.

42
Untuk reseptor permukaan sel, terdapat empat jenis reseptor yang umum,
yaitu :
1. Reseptor kanal ion
Pengikatan ligan mengubah konformasi reseptor sehingga
mengakibatkan perubahan pada potensial listrik yang melewati sel.
Contohnya adalah reseptor asetilkolin pada penghubung saraf-otot
2. Reseptor dengan aktivitas kinase intrinsic
Reseptor ini merupakan molekul transmembrane dimer dengan sautu
daerah pengikatan ligan ekstrasel. Pengikatan ligan menyebabkan dimerisasi
stabil disertai fosforilasi yang saling menguntungkan pada subunit reseptor.
Sekali difosforilasi, reseptor tersebut dapat berikatan dengan protein intrasel
lainnya dan merangsang suatu kaskade peristiwa sehingga masuk ke dalam
fase S.
3. Reseptor protein G-berpasangan
Semua reseptor ini mengandung tujuh segmen transmembrane.
Setelah berikatan dengan ligan spesifiiknya, reseptor tersebut berhubungan
dengan protein yang menghidrolisis GTP intrasel dan menjadi aktif. Setelah

43
menjadi aktif, kemudian berdisosiasi dan dapat merangsang beragam protein
lainnya.
4. Reseptor tanpa aktivitas enzimatik intrinsic
Reseptor ini merupakan transmembrane monomer dengan suatu daerah
pengikatan ligan ekstrasel. Interaksi ligan akan menginduksi perubahan
konformasional intrasel yang berhubungan dengan kinase protein intrasel
dan mengaktifkannya. Hal ini menimbulkan fosforilasi kompleks reseptor
serta suatu kaskade aktivasi yang melibatkan kinase Janus (JAK) dan STAT
(signal transducer and activator of transcription).

INTERAKSI MATRIKS EKSTRASELULAR DAN SEL MATRIKS

ECM (Matriks Ekstraselular) merupakan suatu kompleks makromolekul


yang mengalami remodeling secara dinamis dan konstan yang disintesis secara
local. ECM terdapat dalam dua bentuk dasar, yaitu :
1. Matriks interstisial
Bentuk ini terdapat dalam ruang antarsel dalam jaringan ikat, serta
antara epitel dan struktur pembuluh darah dan otot polos yang menopang.
Oleh karena itu, matriks ini disintesis oleh sel mesenkim dan cenderung
membentuk suatu gel amorf tiga dimensi.
Penyusun utamanya adalah kolagenn fibril dan nonfibril, proteoglikan,
dan glikoprotein adhesive.
2. Membrane basalis

44
Membrane ini tersusun atas matriks interstisial yang sangat tertata rapi
di sekitar sel epitel, sel endotel, dan sel otot polos. Membran Basalis (BM)
terletak di bawah epitel dan disintesis oleh epitel di atasnya dan sel
mesenkim di bawahnya.
Membrane ini cenderung membentuk suatu anyaman yang
menyerupai cakram. Unsur utamanya adalah kolagen tipe IV nonfibril
amorf dan glikoprotein adhesive.
Peranan ECM sebagai berikut :
1. Penyokong mekanis
2. Penentuan orientasi sel (prioritas). Bagian basal dan apical merupakan
pembeda bagi sebagian besar sel dalam hal fungsi
3. Pengendalian pertumbuhan sel. Pertumbuhan dan diferensiasi diatur oleh
adhesi dan bentuk sel. Semakin kuat perlekatan suatu sel, maka sifatnya
akan semakin proliferative
4. Pemeliharaan diferensiasi sel. ECM yang sama dapat memiliki efek yang
berbeda bergantung pada konteks mekanis pada tempatnya
5. Scaffolding (dasar) untuk pembaruan jaringan. Meskipun sel labil dan sel
stabil mampu berregenerasi, cedera pada jaringan tersebut tidak selalu dapat
memulihkan struktur normal. Jika membrane basalis rusak. Sel
berproliferasi secara kacau sehingga menghasilkan jaringan yang
nonfungsional
6. Pembentukan lingkungan mikrojaringan. BM bertindak sebagai batas antara
epitel dan jaringan ikat yang mendasari. ECM juga sebagai dasar yang
digunakan sel radang untuk mencari agen infeksi
7. Penyimpanan dan penyajian molekul pengatur.

45
Terdapat tiga komponen dasar ECM, yaitu protein structural fibrosa, gel,
dan glikoprotein adhesive. Berikut adalah penjabarannya :
1. Kolagen
Kolagen merupakan protein structural fibrosa yang memberikan
kekuatan regang. Protein ini tersusun atas tiga rantai peptide terpisah yang
teranyam menjadi suatu Salinan pilinan rangkap tiga menyerupai tali.
2. Elastin
Elastin merupakan kemampuan jaringan untuk mengerut kembali
(rekoil) dan kembali ke struktur dasarnya setelah terjadi tekanan fisik. Hal
ini penting terutama dalam dinding pembuluh darah yang besar serta pada
uterus, kulit, dan iigamentum.
Secara morfologis, serabut elastis terdiri atas protein elastin pada
daerah sentralnya, yang dikelilingi oleh jaringan glikoprotein menyerupai
jaring. Seperti kolagen, elastin memerlukan glisin pada setiap posisi
ketiganya, tetapi berbeda dengan kolagen karena mempunyai lebih sedikit
pertautan silang. Anyaman fibrilin berfungsi sebagai dasar (scaffold) untuk
deposisi elastin dan menyusun serabut elastis.
3. Proteoglikan
Molekul ini membentuk gel yang sangat berair yang memberikan daya
pegas dan pelumasan. Molekul ini terdiri atas berbagai polisakarida panjang

46
yang disebut dengan glikosaminoglikan yang berhubungan dengan tulang
punggung protein.
Fungsi proteoglikan yaitu :
a. Memberikan kekenyalan pada suatu jaringan
b. Tempat penyimpanan faktor pertumbuhanyang disekresikan ke dalam
ECM.
c. Mampu mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel
4. Glikoprotein adhesive dan integrin
Glikoprotein adhesive merupakan molekul yang strukturnya
bermacam-macam. Peran utamanya adalah melekatkan komponen ECM
satu sama lain dan melekatkan ECM pada sel melalui integrin permukaan
sel. Glikoprotein adhesive meliputi fibronectin (komponen utama ECM
interstisial) dan laminin (penyusun utama BM).
5. Fibronectin
Fibronectin merupakan suatu heterodimer besar yang dihubungkan
oleh sulfide yang disintesis oleh sel fibroblast, monosit, dan endotel.
Fibronectin ini berhubungan dengan permukaan sel, BM, serta matriks
periselular. Fibronectin dapat berlekatan pada integrin sel melalui motif
tripeptide arginin-glisin-asam aspartate. Rangkaian ini berperan kunci pada
perlekatan sel ECM.

6. Laminin
Laminin merupakan suatu heterotrimer bersilangan yang
menghubungkan sel dengan komponen ECM di bawahnya, seperti kolagen
tipe IV dan heparan sulfat.
Tugas laminin yaitu :
a. Memerantarai perlekatan pada BM

47
b. Mengatur kelangsungan hidup, proliferasi, diferensiasi, dan motilitas
sel.

PEMULIHAN JARINGAN IKAT


Jejas jaringan berat atau menetap yang disertai kerusakan pada sel parenkim dan
kerangka stroma menimbulkan suatu keadaan yang pemulihannya tidak dapat
dilaksanakan melalui regenerasi parenkim saja. Dalam kondisi seperti ini,
pemulihan terjadi melalui penggantian sel parenkim nonregeneratif oleh jaringan
ikat. Terdapat empat komponen umum proses ini, yaitu pembentukan pembuluh
darah baru (angiogenesis), migrasi dan proliferasi fibroblast, deposisi ECM, dan
maturasi dan reorganisasi jaringan fibrosa (remodeling).
Pemulihan dimulai dalam waktu 24 jam setelah jejas melalui emigrasi fibroblas
dan induksi proliferasi fibroblas dan sei endotel. Dalam 3 sampai 5 hari, muncul
jenis jaringan khusus yang mencirikan terjadinya penyembuhan, yang disebut
jaringan granulasi. Istilah jaringan granulasi berasal dari gambaran
makroskopisnya yang berwama merah muda, lembut, dan bergranula, seperti yang
terlihat di bawah keropeng pada luka kulit. Jaringan granulasi kemudian akan
mengumpulkan matriks jaringan ikat secara progresif, yang akhirnya
menghasilkan fibrosis padat, yang dapat melakukan remodeling lebih lanjut sesuai
perjalanan waktu. Selanjutnya, kami akan membahas mekanisme yang mendasari
tahapan pembentukan jaringan parut.

1. Angiogenesis

48
Angiogenesis merupakan suatu proses penting dalam penyembuhan pada
lokasi jejas, dalam pengembangan sirkulasi kolateral pada lokasi iskemia,
dan dalam memberi kemungkinan pada tumor untuk semakin membesar
melampaui desakan pasokan darahnya semula. Oleh karena itu, banyak hal
telah diiakukan untuk memahami mekanisme yang mendasari
neovaskularisasi semacam itu, dan terapi untuk memacu (misalnya, untuk
meningkatkan aliran darah menuju jantung yang terganggu oleh
aterosklerosis) ataupun menghambat proses tersebut (untuk menghambat
pertumbuhan tumor) mulai segera muncul. Empat tahapan umum yang
terjadi dalam perkembangan pembuluh darah kapiler yang baru :
 Degradasi proteolitik pada pembuluh darah induk BM,
memungkinkan pembentukan suatu tunas kapiler
 Migrasi sel endotel dari kapiler asal menuju suatu rangsang
angiogenik
 Proliferasi sel endotel di belakang ujung terdepan sel yang
bermigrasi
 Maturasi sel endotel dengan penghambatan pertumbuhan dan
penataan menjadi pembuluh kapiler; tahapan ini mencakup
rekrutmen dan proliferasi perisit (untuk kapiler) dan sel otot polos
(untuk pembuluh darah yang lebih besar) untuk menyokong
pembuluh endotel dan untuk memberikan fungsi tambahan

49
Pembuluh darah baru ini mengalami kebocoran karena tidak terbentuknya
interendothelial junction secara sempurna dan meningkatnya transitosis.
Sesungguhnya, kebocoran ini menjelaskan mengapa jaringan granulasi
sering kali mengalarni edema dan sebagian turut berperan pada terladinya
edema yang dapat menetap pada penyembuhan luka, lama setelah respons
peradangan akut mereda.
Beberapa faktor menginduksi angiogenesis, tetapi yang terpenting adalah
factor pertumbuhan dasar fibroblas (bFGF) dan faktor pertumbuhan
endotel vaskular (VEGF). Keduanya disekresikan oleh sejumlah sel
stroma, dan bFGF dapat berikatan dengan proteoglikan dalam BM,
kemungkinan akan dilepaskan saat struktur tersebut rusak. Meskipun
faktor angiogenik dihasilkan oleh berbagai jenis sel, pada sebagian besar
reseptor hal tersebut terbatas pada sel endotel saja. Selain menyebabkan
proliferasi, faktor tersebut menginduksi sel endotel untuk menyekresi
proteinase untuk mendegradasi membran basalis, meningkatkan migrasi
sel endotel, dan mengarahkan (bersama laminin) pembentukan pembuluh
darah dari populasi sel endotel yang semakin meluas.
Protein ECM struktural juga mengatur pembentukan tunas pembuluh
darah pada angiogenesis, terutama melalui interaksi dengan integrin pada
sel endotel yang bermigrasi. Protein ECM nonstruktural berperan dalam
proses tersebut dengan mendestabilkan interaksi sel ECM untuk
memudahkan migrasi sel yang berlanjut (misalnya, trombospondin dan
tenascin C), atau memecah ECM agar memungkinkan terjadinya
remodeling (misalnya, aktivator plasminogen dan metaloproteinase
matriks).

2. Fibrosis (Pembentukan Jaringan Parut)


Fibrosis atau pembentukan jaringan parut, menambah kerangka jaringan
granulasi pada pembuluh darah baru dan ECM longgar yang berkembang
dini pada tempat pemulihan. Proses fibrosis berlangsung dalam dua
langkah: (1) emigrasi dan proliferasi fibroblas ke dalam tempat jejas, dan
(2) deposisi sel ini pada ECM. Rekrutmen dan stimulasi fibroblast

50
dikendalikan oleh banyak faktor pertumbuhan yang akan digambarkan
kemudian, meliputi faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit
(PDGF), bFGF, dan TGF-β. Salah satu sumber dari berbagai faktor ini
adalah endotel teraktivasi. Namun, dan mungkin lebih penting adalah
fakior pertumbuhan juga dihasilkan oleh sel radang. Secara khusus,
makrofag merupakan unsur sel yang penting pada jaringan granulasi, dan
selain membersihkan debris ekstrasel dan fibrin pada tempat jejas,
makrofag juga mengelaborasi suatu pejamu mediator yang menginduksi
proliferasi fibroblas dan produksi ECM. Tempat peradangan juga kaya sel
mast, dan dengan lingkungan kemotaksis yang sesuai, dapat muncul pula
limfosit. Tiap-tiap sel ini dapat turut berperan langsung ataupun tidak
langsung terhadap proliferasi dan aktivasi fibroblas.

Ketika proses penyembuhan mengalami kemajuan, jumlah fibroblas yang


berproliferasi dan pembuluh darah baru akan berkurang; namun, secara
progresif fibroblas akan lebih mengambil fenotipe sintesis sehingga terjadi
peningkatan deposisi ECM. Secara khusus, sintesis kolagen sangat penting
uniuk pengembangan kekuatan pada tempat penyembuhan luka. Seperti
yang akan digambarkan kemudian, sintesis kolagen oleh fibroblas dimulai
sejak awal proses penyembuhan luka (hari ke-3 hingga ke-5) dan berlanjut
selama beberapa minggu, bergantung pada ukuran lukanya. Banyak faktor
pertumbuhan serupa yang mengatur proliferasi fibroblas juga berperan
serta dalam perangsangan sintesis ECM. Sebagai contoh, sintesis kolagen
diinduksi oleh sejumlah molekul, meliputi faktor pertumbuhan (PDGF,
bFGF, dan TGF-β) serta sitokin (interleukin 1 [IL-1] dan faktor nekrosis
tumor [TNF]) yang disekresikan oleh leukosit dan fibroblas. Nsmun,
penumpukan kolagen yang sesungguhnya tidak hanya bergantung pada
peningkatan sintesis, tetapi juga pada degradasi kolagen. Pada akhirnya,
bangunan dasar jaringan granulasi berkembang menjadi suatu jaringan
parut yang sebagian besar terdiri atas fibroblas inaktif berbentuk
kumparan, kolagen padat, fragmen jaringan elastis, dan komponen ECM
lainnya. Saat jaringan parut menjadi matang, akhirnya regresi pembuluh

51
darah akan mengubah jaringan granulasi yang sangat banyak pembuluh
darahnya menjadi suatu jaringan parut yang pucat dan sangat avaskular.

3. Remodeling
Perubahan dari jaringan granulasi menjadi jaringan parut melibatkan
perubahan dalam komposisi ECM; bahkan, setelah sintesis dan
deposisinya, ECM jaringan parut akan terus diubah dan dilakukan
remodeling. Hasil akhir dari setiap tahapan adalah keseimbangan
antara sintesis dan degradasi ECM. Degradasi kolagen dan komponen
ECM lainnya dilakukan oleh suatu kelompok metaloproteinase (disebut
demikian karena ketergantungannya pada ion seng untuk melakukan
aktivitasnya); metaloproteinase ini harus dibedakan dengan elastase
neutrofil, katepsin G, plasmin, dan proteinase serin lain yang dapat pula
memecah ECM, tetapi bukan metaloenzim. Metaloproteinase, meliputi
kolagenase interstisial, yang memecah kolagen fibril tipe I,II, dan III;
gelatinase (atau kolagenase tipe IV), yang memecah kolagen amorf dan
fibronektin; dan stromelisin, yang mengatabolisasi berbagai unsur pokok
ECM, termasuk proteoglikan, laminin, fibronektin, dan kolagen amorf.

Enzim ini dihasilkan oleh berbagai macam jenis sel (fibroblas, makrofag,
neutrofil, sel sinovial, dan beberapa sel epitel), serta sintesis dan
sekresinya diatur oleh faktor pertumbuhan, sitokin, fagositosis, bahkan
tekanan fisik. Sintesis dihambat oleh TGF-β dan secara farmakologis dapat
ditekan dengan steroid. Karena berpotensi menimbulkan kerusakan berat
pada jaringan, aktivitas metaloproteinose dikendalikan secara ketat. Oleh
karena itu, enzim ini secara khusus dihasilkan sebagai prekursor inaktif
(zimogen) yang harus diaktifkan pertama kali; hal ini dilakukan oleh bahan
kimiawi tertentu (misalnya, HOCI) atau protease tertentu (misalnya,
plasmin) yang mungkin hanya muncul pada tempat jejas. Selain itu,
kolagenase aktif dapat dihambat dengan cepat oleh inhibitor
metaloproteinase jaringan (TIMP, tissue inhibitor of metalloproteinase)
tertentu, yang dihasilkan oleh sebagian besar sel mesenkim. Kolagenase

52
dan inhibitornya diatur secara spasial dan temporal (ruang dan waktu)
pada penyembuhan luka. Enzim tersebut penting untuk pembersihan
(debridement) lokasi yang mengalami jejas dan untuk remodeling ECM
yang diperlukan untuk memulihkan setiap defek jaringan.

53
PENYEMBUHAN LUKA
Secara klinis dibagi menjadi 2 tipe, yaitu penyembuhan luka kulit dan fibrosis
organ perenkim

1. Penyembuhan Luka Kulit


Penyembuhan luka kulit melibatkan regenerasi epitel dan pembentukan
jaringan ikat parut dan merupakan contoh prinsip umum yang berlaku untuk
semua jaringan. Bergantung pada sifat dan besarnya luka, dapat terjadi
penyembuhan perprimam (primer) atau penyembuhan persekundam (sekunder).
a. Penyembuhan primer

Penyembuhan dari luka insisi bedah yang bersih tanpa infeksi dan dijahit
dengan benang. Insisi hanya akan mengakibatkan gangguan lokal kontinuitas
epitel membran basalis dan kematian terbatas sel epitel dan jaringan ikat.
Akibatnya, regenerasi epitel merupakan mekanisme utama pemulihan jaringan.
Suatu jaringan parut yang kecil terbentuk, tapi hanya ada pengerutan luka terbatas.
Ruang insisi yang kecil mula-mula diisi dengan fibrin beku darah, kemudian
segera diganti oleh jaringan granulasi dan dilapisi epitel baru. Langkah pada
proses ini ialah:

 Dalam 24 jam, neutrofil dijumpai pada tepi insisi, migrasi menuju bekuan
fibrin. Sel basal di tepi insisi epidermis akan memperlihatkan aktivitas

mitosis yang bertambah. Dalam 24 hingga 48 jam, sel epitel kedua tepi

mulai bermigrasi dan berproliferasi sepanjang dermis, mengendapkan

komponen membran basalis selama proses. Sel akan bertemu di garis

tengah di permukaan di bawah sisa sel yang cedera, membentuk lapisan

epitel tipis yang kontinu.

 Pada hari ke 3, neutrofil telah digantikan oleh makrofag, dan jaringan


granulasi secara progresif mengisi ruang insisi. Serat kolagen sekarang
tampak di tepi insisi, tetapi letak memanjang dan tidak menghubungkan

54
insisi. Proliferasi sel epitel berlanjut, membentuk lapisan penutup
epidermis.

 Pada hari ke 5, neovaskularisasi terbentuk lengkap dan jaringan granulasi


mengisi ruang insisi. Serat kolagen dijumpai makin banyak dan mulai
menghubungkan kedua tepi insisi. Tebal epidermis menjadi normal
kembali dan diferensiasi sel permukaan membentuk arsitektur epidermis
matur dengan keratinisasi di permukaan.

 Selama minggu kedua, terjadi akumulasi kolagen terus menerus dan


proliferasi fibroblas. Infiltrasi leukosit, edema, dan pembuluh darah yang
meningkat perlahan-lahan berkurang. Proses pemulihan yang panjang
dimulai dengan deposit kolagen dalam luka parut insisi dan regresi
pembuluh darah.

 Pada akhir bulan pertama, jaringan parut mengandungi jaringan ikat


seluler, tanpa sel radang, dilapisi epitel epidermis normal. Namun,
apendiks kulit yang rusak pada garis insisi, hilang selamanya, tidak
diganti. Kekuatan daerah luka akan meningkat dengan berlalunya waktu,
seperti akan dibicarakan kemudian.

55
b. Penyembuhan sekunder

Apabila kerusakan sel atau jaringan lebih ekstensif, misalnya pada luka yang luas,
pada tempat pembentukan abses, ulserasi, dan nekrosis iskemik (infark) di organ
parenkim, proses penyembuhan lebih kompleks dan melibatkan kombinasi
regenerasi dan pembentukan jaringan parut. Pada tahap ini juga reaksi radang
lebih intens, dan terjadi jaringan granulasi yang luas, dengan akumulasi ECM dan
pembentukan jaringan parut yang luas, diikuti dngan kontraksi luka dimediasi
oleh miofibroblas. Penyembuhan persekundam berbeda dengan penyembuhan
perpriman dalam beberapa aspek:

 Beku darah yang besar atau bekas sisa jaringan kaya fibrin dan
fibronektin terbentuk di permukaan luka.

 Inflamasi lebih intens karena defek luas dengan sisa jaringan nekrotik
yang banyak, eksudat, dan fibrin yang harus dibuang bertambah.
Sebaliknya, defek yang luas mempunyai potensi yang lebih besar untuk
menimbulkan radang sekunder akibat jejas.

 Defek yang besar membutuhkan volume jaringan granulasi yang besar


untuk mengisi rongga yang besar dan kerangka jaringan untuk proses
pertumbuhan epitel kembali. Volume jaringan granulasi yang besar akan
mengakibatkan jaringan parut yang luas.

 Penyembuhan persekundam berkaitan dengan kontraksi luka. Dalam 6


minggu, sebagai contoh, defek kulit yang luas akan berkurang menjadi
5% hingga 10% lebih kecil dari ukuran semula, terutama karena
terjadinya kontraksi. Proses ini dijelaskan dengan adanya miofibroblas,
yang merupakan fibroblas, yang telah dimodifikasi, yang mempunyai
kemampuan berbagai fungsi ultrastruktural dan fungsional sel otot polos.

56
c. Kekuatan Luka

Luka yang dijahit dengan hati-hati mempunyai 70% kekuatan kulit normal,
terutama karena letak benang jahitan. Apabila benang jahitan diangkat, biasanya
setelah 1 minggu, kekuatan luka hanya 10% dari kulit yang tidak terluka, tetapi
kekuatannya akan meningkat dengan cepat dalam 4 minggu berikut. Pemulihan
kekuatan terjadi karena sintesa kolagen yang melebihi degradasi pada 2 bulan
pertama, dan dari modifikasi struktur kolagen (misal cross-linking, ukuran serat
yang membesar) apabila proses sintesa menurun kemudian. Kekuatan luka akan

57
mencapai kira-kira 70% hingga 80% dari normal dalam waktu 3 bulan dan
kemudian tidak berubah setelah mencapai titik tersebut.

2. Fibrosis Organ Parenkim


Deposit kolagen merupakan bagian normal dari penyembuhan luka. Istilah
fibrosis dipakai untuk menyatakan adanya deposit berlebihan kolagen dan
komponen ECM lain di jaringan. Seperti telah dibahas sebelumnya, istilah
jaringan parut dan fibrosis dipergunakan bergantian, tetapi fibrosis sering dipakai
pada deposit kolagen pada penyakit kronik.
Mekanisme dasar fibrosis dan pembentukan jaringan parut sama pada
proses pemulihan jaringan. Tetapi, pemulihan jaringan akan terjadi setelah
stimulus merugikan singkat dan akan diikuti dengan sekuens teratur selanjutnya,
sedangkan fibrosis terjadi setelah induksi stimulus merugikan yang persisten
seperti infeksi, reaksi imunologi, dan jejas jaringan lain. Fibrosis pada penyakit
kronik seperti fibrosis paru akan mengakibatkan disfungsi organ dan bahkan
kegagalan organ.

58
59
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi
9. Singapura: Elsevier Saunders.

Campbell, N. A. & J. B. Reece.2008. Biologi, Edisi Kedelapan Jilid 1.


Terjemahan: Damaring Tyas Wulandari. Jakarta: Erlangga.

Kumar V., Cotran R.S., Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta:
EGC.

60

Anda mungkin juga menyukai