Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH TUTORIAL KASUS 1

BLOK FUNDAMENTAL BASIC SCIENCE 2

JEJAS

Anggota:

1. Alma Yufada Alfianiar 2010211119


2. Bhagawanta Aptakayana 2010211150
3. Dafina Lena Nur Qintharina 2010211083
4. Fadilla Salbi 2010211016
5. Karimani Salsabila Prasetyanto 2010211046
6. Kharisma Ikhwani 2010211001
7. Malik Tito Al Fikri 2010211068
8. Novelistya Rainy Hadiat 2010211038
9. Putu Anggita Swari 2010211127
10. Richelle Elivyana Mamahi 2010211101

S-1 KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tutorial ini. Pembuatan makalah ini adalah kesempatan yang sangat
baik dalam rangkaian pembelajaran tutorial pada blok FBS 2 ini. Kami bersyukur dan
mengucapkan rasa terima kasih kepada sesama anggota kelompok tutorial A1, yang telah
berpartisipasi dalam tiap diskusi. Terima kasih atas ilmu dan waktu yang berharga selama
pembelajaran blok kedua di Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta, yakni FBS 2.

Tak lupa, terima kasih juga kami sampaikan kepada yang terhormat ibu Andri
Pramesyanti Pramono, MBiomed. PhD sebagai dosen tutor kami dalam 7 minggu ini. Sebuah
pelajaran berharga kami dapatkan, bukan hanya dalam lingkup akademis terkait kasus tutorial,
melainkan juga pelajaran hidup yang akan berguna untuk kehidupan kami kedepannya selama
menjadi mahasiswa kedokteran.

Harapan kami atas selesai nya blok FBS 2 ini tidak hanya mendapatkan ilmu, tetapi
juga sebagai pegangan untuk menjalani blok-blok selanjutnya.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih untuk semua pihak yang terlibat dalam proses
pembelajaran dan pembuatan makalah ini. Sekian yang dapat kami sampaikan. Mohon maaf
jika terdapat kesalahan dalam kata maupun perbuatan.

Jakarta, 8 Januari 2021

Penyusun
I. ALUR KASUS
Ny. W (58 tahun) bersemangat mengikuti acara jalan santai di kelurahannya, Ia
menggunakan sepatu baru karena sepatu yang lama sudah rusak. Sepatu tersebut masih
kaku tetapi Ny. W tetap menggunakannya supaya terbiasa. Sore harinya nampak lecet
pada tumit kaki kanan, tetapi tidak terasa nyeri. Ny. W tetap menggunakan sepatu
tersebut untuk jalan pagi. Lama kelamaan lecet berubah menjadi luka, kulit sekitarnya
berwarna kemerahan, bengkak, disertai sedikit nyeri. Ny. W diketahui memiliki riwayat
penyakit gula sejak 8 tahun yang lalu, kontrol sekali sekali ke klinik dokter.
Sekarang luka tersebut sudah makin besar dan tiga hari lalu tampak bernanah
dan berbau. Anak Ny. W akhirnya membawa ibunya ke dokter. Setelah pemeriksaan,
dokter membersihkan luka tersebut dan membuang jaringan nekrotik pada luka, Ia
menjelaskan luka tersebut harus dirawat dan dibersihkan tiap hari sampai nanti terjadi
proses pemulihan jaringan. Ny. W juga harus mengendalikan kadar gula darahnya dan
menjaga kakinya agar tidak terluka atau mengalami lecet lagi. Dua minggu kemudian
tampak jaringan parut di bekas luka. Untung saja kaki Ny. W masih dapat diselamatkan.

II. MEKANISME JEJAS PADA NY. W


ANALISIS
INFLAMASI
Inflamasi secara umum adalah suatu respons proaktif yang ditujukan untuk
menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membunuh sel dan jaringan nekrotik yang
disebabkan oleh kerusakan sel. Inflamasi melaksanakan tugas pertahanannya dengan
mengencerkan, menghancurkan, atau menetralkan agen berbahaya. Inflamasi ini
selanjutnya menggerakkan berbagai kejadian yang akhirnya menyembuhkan dan
menyusun kembali tempat terjadinya jejas. Dengan demikian, inflamasi juga terkait erat
dengan proses perbaikan, yang mengganti jaringan yang rusak dengan regenerasi sel
mesenkim atau dengan pengisian setiap defek yang tersisa dengan jaringan parut
fibrosa.
Walaupun radang membantu menghilangkan infeksi dan stimulus
membahayakan lainnya dan memulai proses penyembuhan jaringan, reaksi radang dan
proses penyembuhan jaringan dapat pula mengakibatkan kerugian. Komponen reaksi
radang yang merusak dan mengeliminasi mikroba dan jaringan mati dapat juga
mengakibatkan jejas pada jaringan normal. Reaksi radang akut dapat dipicu oleh
berbagai stimulus:
• Infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit) merupakan penyebab radang tersering dan
terpenting dalam klinis.
• Trauma (tumpul atau tajam) dan berbagai agen fisis dan kimia (misalnya jejas
termal, seperti luka bakar atau luka pembekuan; radiasi; toksisitas akibat
pengaruh kimia lingkungan) akan mencederai sel tubuh dan memicu reaksi
radang.
• Nekrosis jaringan (akibat semua sebab), termasuk iskemia (seperti pada infark
miokardium) dan jejas fisis dan kimia.
• Benda asing (serpihan, kotoran, jahitan, deposit kristal). Reaksi imun (juga
disebut reaksi hipersensitif) terhadap substansi lingkungan atau terhadap
jaringan "sendiri". Karena stimulus untuk respons radang ini tidak dapat
dieliminasi atau dicegah, maka reaksi itu cenderung menetap, dengan gambaran
reaksi radang kronik. Istilah "penyakit radang akibat reaksi imun" dipergunakan
untuk kelompok kelainan ini.

BERNANAH
Nanah adalah cairan berwarna putih kekuningan atau kuning kecokelatan
sebagai hasil reaksi sistem imun tubuh Anda ketika melawan infeksi. Infeksi akan
menimbulkan nanah ketika bakteri atau jamur masuk ke tubuh Anda melalui kulit yang
luka, terhirup dari batuk atau bersin, dan tubuh yang tidak bersih.
Banyak jenis infeksi yang dapat menyebabkan munculnya nanah. Infeksi yang
terjadi akibat paparan bakteri Staphylococcus aureus atau Streptococcus pyogenes
adalah penyebab nanah yang paling umum.
Cairan nanah mengandung protein dan sel darah putih mati. Bila penumpukan
berada pada atau di dekat permukaan kulit, itu disebut pustule. Akumulasi cairan nanah
di dalam jaringan tertutup disebut abses.
Mengapa nanah punya warna berbeda?
Warna nanah yang putih keputihan, kuning, kuning-coklat, dan kehijauan
merupakan hasil akumulasi sel darah putih yang mati.
Namun, nanah terkadang bisa berwarna hijau karena beberapa sel darah putih
menghasilkan protein antibakteri hijau yang disebut myeloperoxide. Bakteri penyebab
tersebut adalah Pseudomonas aeruginosa menghasilkan pigmen hijau yang disebut
pyocyanin.
Cairan kehijauan disebabkan infeksi yang disebabkan oleh P. aeruginosa sangat
berbau busuk. Jika darah masuk ke daerah yang terkena, warna kekuningan atau
kehijauan mungkin bisa menjadi kemerahan.

Nekrosis merupakan jenis kematian sel yang dihubungkan dengan hilangnya


integritas membran dan bocornya isi sel sehingga terjadi kerusakan sel, terutama akibat
pengaruh enzim yang merusak sel yang mengalami jejas fatal. Isi sel yang bocor keluar
akan mengakibatkan reaksi lokal pejamu yang disebut radang yang merupakan upaya
untuk menghilangkan sel yang mati dan memulai proses perbaikan. Enzim yang
mengakibatkan pencernaan sel berasal dari lisosom sel mati dan dari lisosom leukosit
yang dikerahkan sebagai bagian dari reaksi radang karena adanya sel yang mati.
Proses terjadinya luka diabetes melitus Luka diabetes melitus terjadi karena
kurangnya kontrol diabetes melitus selama bertahun-tahun yang sering memicu
terjadinya kerusakan syaraf atau masalah sirkulasi yang serius yang dapat menimbulkan
efek pembentukan luka diabetes melitus (Maryunani, 2013).
Ada 2 tipe penyebab ulkus kaki diabetes secara umum yaitu:
a. Neuropati
Neuropati diabetik merupakan kelainan urat syaraf akibat diabetes melitus karena
kadar gula dalam darah yang tinggi yang bisa merusak urat syaraf penderita dan
menyebabkan hilang atau menurunnya rasa nyeri pada kaki, sehingga apabila
penderita mengalami trauma kadang- kadang tidak terasa. Gejala- gejala neuropati
meliputi kesemutan, rasa panas, rasa tebal di telapak kaki, kram, badan sakit semua
terutama malam hari (Maryunani,2013).
b. Angiopathy
Angiopathy diabetik adalah penyempitan pembuluh darah pada penderita diabetes.
Apabila sumbatan terjadi di pembuluh darah sedang/ besar pada tungkai, maka
tungkai akan mudah mengalami gangren diabetik, yaitu luka pada kaki yang merah
kehitaman atau berbau busuk. Angiopathy menyebabkan asupan nutrisi, oksigen
serta antibiotik terganggu sehingga menyebabkan kulit sulit sembuh. (Maryunani,
2013).

III. MATERI
A. Definisi Jejas
Jejas merupakan keadaan di mana sel beradaptasi secara berlebih, atau
sebaliknya, sel tidak memungkinkan untuk beradaptasi secara normal. Jejas berawal
dari adanya sel normal yang mengalami stress karena lingkungan atau agen-agen,
seperti racun, agen toxic, maupun agen lainnya yang bisa menyebabkan stress pada
sel.
Jika stress dapat diatasi, sel dapat kembali ke keadaan normal. Namun, jika
gagal, akan terjadi cedera sel (cell injury) karena sel tidak lagi beradaptasi terhadap
rangsangan. Apabila mengalami cedera, sel dapat mengalami perubahan dalam
ukuran dan bentuk. Namun, cedera yang terlalu berat dapat menimbulkan kematian
pada sel.

B. Etiologi Jejas
1. Hipoksia
Hipoksia, atau defisiensi oksigen, mengganggu respirasi aerobik
oksidatif dan merupakan penyebab jejas dan kematian sel yang sangat penting.
Hipoksia perlu dibedakan dengan iskemia yang merupakan berkurangnya suplai
darah ke jaringan akibat terganggunya aliran arteri atau menurunnya aliran
vena. Pada keadaan iskemia, otomatis terjadi penurunan O2. Defisiensi O2
terjadi karena oksigenasi yang tidak memadai.
2. Agen kimia
Peningkatan jumlah beberapa zat kimia (glukosa, garam, air) dalam
konsentrasi banyak atau berlebihan dapat merusak keseimbangan osmotik
sehingga mengakibatkan jejas sel atau kematian sel.
Agen racun akan mengakibatkan kerusakan sel dengan mengganggu
permeabilitas membran, homeostasis osmotik, dan integritas enzim atau
kofaktor. Kemudian racun tersebut dapat mengakibatkan kematian seluruh
organisme.
Bahan berpotensi toksik pada lingkungan, misalnya polusi udara,
insektisida, CO, asbes, dan etanol, serta obat-obatan dengan pemakaian yang
tidak tepat juga dapat mengakibatkan jejas pada sel.
3. Agen infeksi
Agen penyebab infeksi bervariasi, di antaranya virus, bakteri, dan jamur
4. Reaksi imunologi
Walaupun sistem imun melindungi tubuh terhadap mikrobakteri
patogen, reaksi imun juga dapat mengakibatkan cedera sel dan jaringan. Contoh
reaksi imun yang merugikan adalah reaksi autoimun terhadap jaringannya
sendiri dan reaksi alergi terhadap substansi lingkungan pada penderita dengan
gangguan genetik.
5. Faktor genetik
Gangguan genetik dapat mengakibatkan kelainan patologis yang
mencolok, seperti malformasi kongenital (bawaan lahir) berhubungan dengan
sindrom Down atau kelainan ringan seperti pergantian satu asam amino pada
hemoglobin S yang mengakibatkan anemia sel sabit (sickle). Defek genetik
dapat mengakibatkan jejas sel karena defisiensi protein fungsional seperti
defisiensi protein fungsional yang menyebabkan gangguan metabolisme
bawaan, atau penimbunan beberapa kerusakan DNA atau kesalahan pelipatan
protein, yang keduanya bisa mengakibatkan kematian sel apabila terjadi dalam
proses perbaikan.
Contoh: terjadi pada DNA akibat defisiensi enzimatik kongenital, atau
kesalahan pelipatan protein, yang keduanya bisa mengakibatkan kematian sel.

6. Imbalans nutrisi
Penyebab tersering pada jejas sel. Nutrisi berlebih atau obesitas akan
meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2. Selain itu, terlalu banyak diet yang
mengandung lemak hewani akan mengakibatkan aterosklerosi, yakni
penyempitan pembuluh darah arteri akibt penumpukan plak kolesterol.
Contoh : defisiensi vitamin
7. Agen fisika
Agen fisika yang dapat menyebabkan jejas meliputi trauma, suhu
ekstrem, radiasi, dan syok listrik.
8. Penuaan
Penuaan pada sel menimbulkan gangguan replikasi dan perubahan
kemampuan perbaikan. Perubahan tersebut menyebabkan penurunan
kemampuan respons terhadap rangsangan dan cedera. Dampaknya, berakhir
dengan kematian sel, bahkan organisme.

C. Jenis Jejas
Jejas dapat menyebabkan inflamasi (peradangan) yang merupakan respons
biologis terhadap cedera jaringan dan infeksi. Proses inflamasi merupakan suatu
mekanisme perlindungan dimana tubuh berusaha untuk menetralisasi agen-agen
yang berbahaya pada tempat cedera dan nantinya mempersiapkan keadaan untuk
perbaikan jaringan. Ketika proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vaskuler
dimana cairan, elemen darah, sel darah putih (leukosit), dan mediator kimia
berkumpul pada tempat cedera jaringan atau infeksi.
Tanda-tanda umum, misalnya, pada kasus Ny. W yang ketika menggunakan
sepatu barunya terjadi lecet kemudian menimbulkan luka sehingga kulit sekitarnya
berwarna merah, disertai bengkak dan nyeri.

Gambar di atas merupakan perbandingan bentuk sel tubuh. Ketika telah terpapar
zat-zat tertentu, sel dapat mengalami jejas yang terbagi menjadi dua jenis.
1. Reversible
Karakteristik jejas reversible:
a. Jejas bisa dihilangkan dan kembali menjadi sel normal
b. Perubahan bersifat patologik
c. Membran plasma tidak rusak, hanya ada pemisahan organel-organel,
dan perubahannya ini tidak menyeabkan kematian sel
d. Perubahan dapat kembali jika rangsangan dihilangkan. Jika
penyebabnya masih ringan, maka sel dapat pulih seperti sebelumnya
atau kembali ke bentuk normal

Perubahan pada jejas reversible:


- Perubahan morfologik
Dua kelainan morfologik penting yang berkaitan dengan jejas reversibel
pada sel ialah pembengkakan sel dan degenerasi lemak.
- Pembengkakan sel merupakan akibat kegagalan pompa ion yang
tergantung tenaga/ energi dependen pada membran plasma,
mengakibatkan sel tidak mampu mempertahankan homeostasis ion
dan cairan.
- Degenerasi lemak terjadi akibat jejas hipoksia dan berbagai cedera
toksik dan metabolit yang tampak sebagai vakuol kecil atau besar di
dalam sitoplasma.
- Perubahan intrasel
- Perubahan membran plasma seperti penonjolan, distorsi microvilli,
dan lepasnya unsur intersel.
- Gangguan mitokondria, misalnya pembengkakan dan timbulnya
benda amorf mengandung fosfolipid (benda mielin)
- Dilatasi retikulum endoplasma
- Perubahan inti, misalnya berupa penggumpalan kromatin

2. Irreversible
Jika paparan terus berlanjut, dapat terjadi jejas irreversible dengan karakteristik:
- Terjadi karena keadaan dimana cedera yang dirasakan oleh sel terlalu
lama dan berat
- Membran sel beserta organelnya akan membesar atau membengkak
- Adanya kerusakan yang luas pada membran plasmanya
- Perubahan patologiknya menetap atau permanen, bahkan menyebabkan
kematian sel

a. Nekrosis
Nekrosis adalah proses kematian sel yang terjadi pada kondisi ekstrem
yang berbeda dari kondisi normalnya. Hal ini memicu terjadinya kerusakan
pada lingkungan internal sel.
Nekrosis merupakan jenis kematian sel yang dihubungkan dengan
hilangnya integritas membran dan bocornya isi sel sehingga terjadi
kerusakan sel. Kerusakan sel ini terutama disebabkan oleh adaya aktivitas
suatu enzim lisozim yang keluar karena rusaknya membran lisosom. Isi sel
yang bocor keluar mengakibatkan reaksi lokal inflamasi. Inflamasi atau
peradangan ini merupakan upaya untuk menghilangkan sel yang mati dan
memulai proses perbaikan. Terdapat beberapa jenis nekrosis, yaitu:
1. Nekrosis Koagulatif
Jejas merusak protein dan enzim pencerna sel sehingga tidak
terjadi proteolisis sel yang mati dan terjadi penumpukan sel mati.
Nekrosis koagulatif adalah karakteristik infark (daerah nekrosis
iskemik) dan terjadi pada semua organ padat, kecuali otak.
2. Nekrosis Liquefaktifa
Infeksi jamur atau bakteri yang mengakibatkan akumulasi sel
radang dan enzim leukosit yang mencerna jaringan. Apabila proses ini
terjadi pada radang akut, seperti pada infeksi bakteri, terbentuk cairan
berwarna kuning kental dan disebut nanah.
3. Nekrosis Kaseosa
Infeksi tuberkulosa. Terdapat gambaran putih kekuningan
seperti keju. Berbeda dengan nekrosis koagulatifa, arsitektur jaringan
dirusak secara menyeluruh dan gambaran sel tidak dapat dikenal lagi.
4. Nekrosis Lemak
Sel mengalami destruksi lemak yang merupakan akibat dari
pelepasan enzim lipase pankreas yang teraktifkan ke dalam jaringan
pancreas dan rongga peritoneum.
5. Nekrosis Fibrinoid
Umumnya terjadi pada reaksi imun dimana kompleks antigen
dan antibodi mengendap pada dinding arteri.
6. Nekrosis Gangrenosa
Iskemia atau kurangnya aliran darah ke jaringan sehingga sel
kekurangan oksigen dan mati.

b. Apoptosis
Apoptosis merupakan proses regular dari kematian sel di dalam tubuh
suatu individu, merupakan proses normal yang terjadi pada sel untuk
menjaga keseimbangan dalam menjalankan kondisi normal tubuh.
Apoptosis merupakan jalur kematian sel dengan mengaktifkan enzim
yang merusak DNA inti sel itu sendiri dan protein pada inti dan sitoplasma.
Membran plasma sel apoptotik tetap utuh, tetapi berubah sehingga sel dan
fragmen yang terlepas akan menjadi target fagosit. Sel yang mati dan
fragmennya akan segera dibersihkan sebelum isi sel bocor keluar, sehingga
tidak menimbulkan reaksi radang pada pejamu. Apoptosis dapat terjadi pada
keadaan fisiologis (normal) dan patologis.
1. Pada situasi fisiologis, apoptosis berperan untuk menghilangkan sel
yang potensial berbahaya dan sel yang telah selesai masa fungsinya,
meliputi:
- Destruksi sel terprogram saat embriogenesis, contohnya
pembentukan jari
- Involusi jaringan yang bergantung pada hormon saat terjadi
kekurangan hormon, misalnya pada luruhnya sel endometrium
saat siklus menstruasi
- Hilangnya sel pada populasi sel yang sedang proliferatif,
misalnya pada epitel kripta usus yang sedang membelah akan
terjadi penghilangan sel agar jumlah sel tetap sama
- Eliminasi pada sel yang telah selesai melakukan tugasnya,
misalnya neutrofil pada reaksi inflamasi akut
2. Pada keadaan fisiologis, apoptosis terjadi pada sel rusak yang tidak
dapat diperbaiki lagi, meliputi:
- Kerusakan DNA, disebabkan oleh radiasi, obat sitotoksik
antikanker, suhu ekstrim, dan hipoksia.
- Akumulasi dari protein yang salah bentuk (misfolded),
disebabkan oleh mutasi gen yang menyandi protein atau karena
faktor ekstrinsik seperti radikal bebas.

Mekanisme Apoptosis

1. Pemberian signal
Apoptosis dipicu oleh berbagai sinyal seperti embryogenesis,
kekurangan factor pertumbuhan, radiasi, salah lipat protein.
2. Kontrol dan Integrasi
Pada tahap ini terjadi aktivasi enzim kaspase yang dapat terjadi
melalui 2 jalur, yaitu jalur mitokondria (jalur intrinsik) dan jalur reseptor
kematian (jalur ekstrinsik).
a. Jalur Intrinsik
Ketika sel tidak mengandung factor pertumbuhan dan
sinyal ketahanan hidup, sensor protein BH3 yang merupakan
bagian dari kelompol protein BCL-2 diaktifkan. Sensor ini akan
menghambat molekul antiapoptotik BCL-2 dan BCL-XL
sehingga memudahkan kebocoran dari mitokondria. Sensor ini
juga mengaktifkan dua jenis dari kelompok proapoptotik yang
disebut BAX dan BAK, yang mengalami dimerisasi, masuk ke
dalam membrane mitokondria, dan membentuk terowongan
tempat sitokrom C dan protein mitokondria lain keluar menuju
ke sitosol. Sitokrom C berikatan dengan APAF-1 (apoptosis
aktivasi factor 1) untuk membentuk kompleks apoptosis yang
disebut apoptosom dan kompleks ini yang mengikat kaspase 9.
b. Jalur ekstrinsik
Pada jalur ekstrinsik, interaksi antara reseptor Fas dan
FasL menyebabkan pengikatan protein adaptor melalui daerah
kematian yang kemudian mengaktifkan kaspase-8.
3. Eksekusi
Jalur intrinsik dan ekstrinsik diawali dengan mengaktifkan
kaspase insiator, yaitu kaspase-9 dan -8. Kemudian, hal ini yang akan
mengaktifkan kaspase eksekutor. Aktivasi enzim kaspase eksekutor
mengaktifkan enzim endonuklease yang mengakibatkan fragmentasi
DNA. Selain itu juga menyebabkan pecahnya sitoskeleton sehingga
volume dan bentuk sel berubah, terjadi juga aktivasi transglutaminase.
Transglutaminase mengubah protein sitoplasmik mudah larut dan dapat
berfragmentasi menjadi badan apoptotik.
4. Pembersihan Sel Mati (Fagositosis)
Badan apoptotik membuat sinyal agar dimakan oleh makrofag
dengan cara memindahkan phosphatidylserine yang berada pada bagian
dalam membran sel ke bagian luar membran sel. Oleh karena itu, badan
apoptotik dapat dikenali oleh makrofag dan terjadi fagositosis badan
apoptotik.

Berikut adalah tabel mengenai gambaran umum dari perbedaan nekrosis dan apoptosis.

NEKROSIS APOPTOSIS
Kemampuan Bisa, jika kerusakan tidak Tidak bisa
memperbaiki diri terlalu parah
Kebutuhan energi Tidak butuh Butuh, merupakan programmed
cell death
Kerusakan sel Organel di dalam sel - Membran sel utuh (tidak
membesar rusak)
- Organel di dalam sel
menyusut
- DNA dalam nukleus
terkondensasi (memadat)
sehingga rusak
- Mitokondria berhenti - Membran memproduksi
memproduksi ATP badan apoptotic
- Membran sel rusak - Badan apoptotic akan
sehingga komponen- difagositosis oleh makrofag
komponen di dalamnya
keluar
- Menghasilkan zat kimia,
menstimulasi terjadinya
inflamasi

D. Mekanisme Jejas
Beberapa faktor yang memengaruhi mekanisme jejas diantaranya:
- Jenis, durasi, dan tingkat keparahan stimulus luka
- Tipe, keadaan, dan kemampuan adaptasi sel yang mengalami luka
- Mekanisme biokimia
Mekanisme biokimia menghubungkan jejas dengan manifestasi yang kompleks,
dan sering dikaitkan dengan mekanisme intrasel. Mekanisme yang berperan
dengan patogenesis baik reversible dan irreversible bersifat multifaktor.
Kompleks dan sangat terintegrasi. Jejas sel bersifat kompleks, tetapi dapat
dikelompokkkan berdasarkan prinsip yang relevan:
o Respon terhadap rangsangan jejas bergantung paa jenis jejas, lama dan
intensitasnya
o Konsekuensi jejas bergantung jenis, keadaan dan kemampuan adaptasi
sel-sel yang mengalami jejas
o Jejas sel terjadi karena abnormalitas pada satu/ >5 komponen sel yang
esensial: respirasi aerobic (fosofrilasi oksidatif mitokondria dan
reproduksi ATP). Integritas membran sel, sintesis protein, sitoskeleton
intarsel, integritas apparatus genetic.

1. Deplesi ATP
Keadaan ini terjadi karena menurunnya suplasi oksigen dan glukosa,
kerusakan pada mitokondria, dan akibat toksin. Berkurangnya jumlah ATP
berpengaruh pada berbagai sintesis dan degradasi sel sehingga terjadi kegagalan
pada pompa Ca2+, penimbunan laktat akibat aktivitas glokolisis anaerob, dan
pembengkakan sel. Berikut rincian dari dampak deplesi ATP:
a. Aktivitas membran plasma yang bergantung “pompa natrium” menurun,
dengan akumulasi natrium di intraselular dan difusi kalium keluar sel.
Peningkatan zat terlarut sodium diikuti isoosmotik air menghasilkan
pembengkakan sel akut. Nantinya, hal ini akan meningkatkan pemenuhan
osmotik dan akumulasi dari hasil metabolsime lain, seperti fosfat inorganik,
asam laktat, dan nukleotida purine.

b. Glikolisis anaerob meningkat karena penurunan ATP dan diikuti


meningkatnya adenosine monophosphate (AMP) yang menstimulasi enzim
phosphofructokinase. Jalur ini meningkatkan asam laktat yang menurunkan
pH intraselular.

c. Penurunan pH intraselular dan level ATP menyebabkan ribososm lepas dari


reticulum endoplasma kasar dan polysome berpisah menjadi monosome,
sehingga sintesis protein berkurang. Akhirnya terjadi kerusakan irreversible
pada membran mitokondria dan lisosom yang dapat menjadi nekrotik.

2. Kerusakan Mitokondria
Kegagalan fosforilasi oksidatif akan mengakibatkan deplesi ATP yang
progesif, berakhir dengan nekrosis sel,
Jejas seperti hipotoksia, toksin, dan radiasi memicu kerusakan pada
mitokondria yang mempunyai peran dalam ketersediaan ATP, sehingga dapat
mengakibatkan deplesi ATP, terbentuknya reactive oxygen species (ROS), dan
hilangnya potensial membran mitokondria. Kerusakan mitokondria
mengakibatkan:
a. Kegagalan fosforalisasi oksidatif menyebabkan deplesi ATP yang progresif,
berkahir dengan nekrosis sel.

b. Fosoralisasi oksidatif abnormal akan menghasilkan pembentukan spesies


oksigen reaktif (ROS) yang akan memberikan efek yang merugikan

c. Kerusakan mitokondria dikaitkan dengan dibentuknya jalur konduksi tinggi


pada membran mitokondria, disebut pori transisi permeablitas mitokondria.
Terbentuknya jalur ini mengakibatkan hilangnya potensial membran
mitokondria dan perubahan pH, sehingga memudahkan terjadinya
fosforalisasi oksidatif.

d. Mitokondria juga mengandung protein yang apabila dilepaskan ke


sitoplasma akan memberi tanda pada sel bahwa telah terjadi jejas inernal
dan akan mengakibatkan jalur apoptosis.

3. Peningkatan Kalsium
Ischemia dan beberapa toksik menyebabkan influx kalsium melewati
membrane plasma serta dikeluarkannya kalsium dari mitokondria dan reticulum
endoplasma yang menyebabkan dikeluarkannya kalsium intraselular sangat
tinggi dari keadaan normal. Meningkatnya konsentrasi kalsium intaseluler ini
berakibat dalam aktivasi enzim yang potensial berefek buruk pada sel. Enzim-
enzim itu diantaranya ATPase (mempercepat kehabisan ATP), phospholipase
(kerusakan membrane plasma), protease (memecah membrane dan protein
sitoskeleton), dan endonuclease (fragmentasi DNA dan kromatin). Selain itu,
seperti yang telah diuraikan sebelumnya, peningkatan kalsium sitosol juga dapat
menyebabkan meningkatnya permeabilitas membrane mitokondria dan
menginisiasi apoptosis.
4. Akumulasi Radikal Bebas
Reactive oxygen species (ROS) ialah radikal bebas yang berasal dari
oksigen serta berperan jelas pada jejas sel. Jejas sel terjadi akibat kerusakan oleh
radikal bebas; keadaan ini termasuk reperfusi iskemia, jejas kimia dan radiasi,
toksin dari oksigen dan gas lain, penuaan sel, kematian mikroba oleh sel fagosit,
dan kerusakan jaringan akibat sel radang.
ROS dibentuk dalam jumlah kecil pada semua sel selama reaksi reduksi-
oksidasi (redoks) yang terjadi selama proses respirasi mitokondria dan
pembentukan energi. Pada proses ini molekul oksigen akan berkurang di
mitokondria karena terjadinya penambahan empat elektron untuk menghasilkan
air. Namun, reaksi ini tidak lengkap, dan sejumlah kecil toksin yang amat reaktif
tetapi berusia singkat akan dibentuk ketika oksigen menurun secara parsial.
Hasil sementara ini termasuk superoksida (O2), yang akan diubah menjadi
hidrogen peroksida (H2O2) secara spontan dan dengan pengaruh enzim
superoksida dismutase. H2O2 lebih stabil dari O2 dan dapat melalui membran
biologis. Adanya unsur logam, misalnya Fe2+, maka H2O2 diubah menjadi
hidroksil radikal yang amat reaktif OH melalui reaksi Fenton.
Pembentukan radikal bebas meningkat pada beberapa keadaan, di
antaranya:
a. Absorpsi energi radiasi, misalnya sinar ultraviolet dan sinar X. Radiasi ion
akan menghidrolisis air menjadi radikal bebas hidroksil (OH) dan gugus
hidrogen (H).

b. Metabolisme enzim zat kimia eksogen, misalnya karbon tetraklorida.

c. Radang, di mana radikal bebas dihasilkan oleh leukosit.

5. Kerusakan DNA dan Protein


Sel mempunyai mekanisme perbaikan kerusakan DNA, tetapi apabila
kelainan ini terlalu parah untuk diperbaiki (misalnya setelah jejas radiasi atau
stress oksidatif), sel akan memulai program bunuh diri dan mati akibat
apoptosis. Reaksi serupa bisa terjadi apabila ada pemicu berupa protein salah
rangkaian, yang dapat timbul dari mutasi bawaan atau pengaruh eksternal
seperti radikal bebas.

E. Adaptasi Sel
Adaptasi sel merupakan perubahan reversibel dari jumlah, ukuran, fenotipe,
atau fungsi sel dalam memberikan respons tehadap perubahan lingkungan. Karena
adaptasi ini bersifat reversible, maka sel dapat kembali lagi ke bentuk semula
apabila stimulus dihilangkan.
Adaptasi dapat terjadi secara fisiologis dan anatomis. Adaptasi fisiologis
umumnya merupakan respon terhadap stimulus normal oleh hormone atau mediator
kimia endogen, contohnya adalah seperti pembesaran uterus ketika hamil karena
pengaruh dari hormone estrogen. Sementara itu adaptasi patologis merupakan
respons terhadap stress yang memungkinkan sel untuk menyesuaikan struktur dan
fungsinya sehingga dapat menghindari jejas. Contohnya adalah pembesaran jantung
akibat hipertensi.

1. Jenis Adaptasi Sel


a. Atrofia
Atrofia adalah keadaan menyusutnya ukuran sel akibat
hilangnya substansi sel. Mekanisme atrofia ini merupakan kombinasi
antara degradasi protein dan penurunan sintesa protein dalam sel.
Penyebabbisa terjadi karena berkurangnya beban kerja, hilangnya
persarafan, berkurangnya suplai darah, hilangnya stimulasi endokri, dan
penuaan.

Salah satu contoh atrofi bisa dilihat pada gambar ini. Sebelah
kiri adalah gambar otak normal, sementara sebelah kanan adalah otak
dari pasien yang mengalami penyakit aterosklerosis. Menurunnya
suplai darah akan menyebabkan penyempitan pada girus dan pelebaran
pada sulkus.
b. Hipertrofia
Hipertrofia adalah meningkatnya ukuran sel yang
mengakibatkan organ bertambah besar. Sel sel yang mengalami
hipertrofia mengandung protein dan organel structural yang lebih
banyak dari keadaan normal.

Contoh hipertrofia: pembesaran uterus pada masa kehamilan dan


pembesaran jantung karena hipertensi
c. Hiperplasia
Hiperplasia adalah pertambahan jumlah sel yang terjadi karena
proliferasi sel yang telah mengalami diferensiasi

Contoh hiperplasia: proliferasi epitel kelenjar payudara saat hamil yang


disebabkan oleh pengaruh hormone estrogen.
d. Metaplasia
Pada metaplasia, sel yang sensitif terhadap suatu stress tertentu
akan diganti oleh sel yang lebih mampu bertahan di lingkungan yang
tidak menopang
Adaptasi ini terkadang menjadi pedang bermata dua karena
meskipun epitel yang baru memiliki daya tahan yang menguntungkan,
namun terdapat beberapa mekanisme protektif yang menghilang seperti
sekresi mukosa dan silia.

Contoh metaplasia: perubahan epitel kolumnar bersilia menjadi epitel


berlapis skuamosa pada trakea dan bronkus seorang perokok menahun.
Epitel skuamosa ini dapat bertahan terhadap zat kimia berbahaya yang
ada pada asap rokok sementara epitel sebelumnya tidak dapat bertahan.

e. Dysplasia
Ditandai dengan perubahan morfologis dimana bentuknya
menjadi tidak teratur
Contoh dysplasia: displasia pinggul

2. Adaptasi Subselular
a. HETEROFAG DAN AUTOFAG
Lisosom merupakan organela intrasel yang dilapisi membran
yang mengandung beragam enzim hidrolitik. Lisosom terlibat dalam
pemecahan material yang dicerna melalui heterofag (bahan yang
dicerna dari luar sel) atau autofag (bahan yang dicerna berasal dari
dalam sel).

HETEROFAG
Heterofag merupakan proses pengambilan material dari
lingkungan eksternal melalui proses endositosis. Pengambilan partikel
yang berukuran lebih besar dan berwujud padat disebut fagositosis,
sedangkan pengambilan makromolekul berukuran kecil yang dapat larut
dan berwujud cair dinamakan pinositosis.

AUTOFAG

Autofag terjadi di dalam sel untuk mencerna molekul internal


dan organel. Proses ini terlibat dalam penyingkiran organela yang rusak
atau mati dan perbaikan sel disertai dengan diferensiasi. Akan tetapi,
autofag juga memungkinkan kematian sel ketika menghancurkan
organel yang aktif di dalamnya, seperti mitokondria.

b. HIPERTROFI RETIKULUM ENDOPLASMA HALUS


Selain berperan dalam sintesis lemak, RE halus juga berperan
dalam detoksifikasi obat dan racun. Penetralan racun biasanya
melibatkan penambahan gugus hidroksil ke dalam struktur obat yang
membuat obat menjadi mudah larut dan mudah dikeluarkan dari tubuh.
Contoh obat yang dimetabolisme dengan cara ini pada RE halus
misalnya obat golongan barbiturat yang merupakan suatu obat
penenang. Baik barbiturat ataupun alkohol ternyata memengaruhi
proliferasi (pertumbuhan sel yang sangat cepat dalam keadaan
abnormal) RE halus dan enzim penetral racun lainnya. Akibatnya, zat-
zat tersebut meningkatkan toleransi yang berarti dibutuhkan dosis yang
lebih tinggi untuk mencapai efek tertentu, misal efek menenangkan.
Dampak lebih luas, proliferasi RE halus juga memengaruhi respons
terhadap obat-obat lainnya. Misal penyalahgunaan barbiturat dapat
menurunkan kemanjuran antibiotika tertentu.

c. PERUBAHAN MITOKONDRIA
Dalam beberapa kondisi patologis nonletal dapat terjadi berbagai
perubahan jumlah, ukuran, bentuk, serta fungsi mitokondria. Pada
hipertrofi selular, terdapat peningkatan ukuran mitokondria dalam sel.
Sebaliknya, ukuran mitokondria mengalami penurunan selama atrofi
sel. Disfungsi mitokondria berperan penting pada jejas sel akut dan
kematian sel. → penyakit hati alkoholik (pembesaran mitokondria)

DISFUNGSI MITOKONDRIA
Disfungsi mitokondria merupakan keadaan mitokondria
mengalami gangguan atau kegagalan dalam menjalankan fungsinya
dalam memproduksi energi untuk keberlangsungan hidup sel. Beberapa
faktor pemicu disfungsi mitokondria adalah mutasi mtDNA, signaling
protein tertentu, senyawa-senyawa tertentu, asam lemak, etil ester,
alkohol, thimerosal, merkuri, dan bebeberapa senyawa radikal bebas
lainnya.
Disfungsi mitokondria yang terjadi pada sel jantung disebabkan
karena adanya pemicu senyawa alkohol yang menyebabkan terjadinya
kerusakan membran mitokondria. Hal ini akan mempengaruhi
permeabilitas membran mitokondria serta mengganggu transpor
metabolit yang digunakan untuk produksi energi dalam mitokondria.
Gangguan permeabilitas membran mitokondria akan memicu
penurunan aktivitas respirasi pada sel sehingga energi yang dihasilkan
juga akan menurun. Akibatnya pada sel, sel akan mengalami penurunan
fungsi karena organel-organelnya tidak terpasok cukup energi untuk
melakukan suatu fungsi, sehingga sel akan mati.

d. ABNORMALITAS SITOSKELETON
Hipertrofi dan atrofi selular mengharuskan terjadi penambahan
atau pengurangan unsur sitoskeletal. Namun, tidak cukup hanya sekadar
terdapat kelebihan atau kekurangan protein. Unsur tersebut harus
terorganisasi secara fungsional untuk memberikan kekuatan, aktivitas
kontraktil, atau atribut fisiologi lain yang diperlukan. Oleh karena itu,
sel dan jaringan berespons terhadap stresor lingkungan (misal, stress
regangan dalam pembuluh darah atau peningkatan tekanan dalam
jantung), dengan memperbaiki kembali perancah intraselularnya secara
konstan. Terjadi pada kondisi patologik. → obat-obatan antitumor

e. PROTEIN SYOK PANAS


Berperan penting pada pemeliharaan atau perawatan protein
intrasel normal. Diinduksi setelah rangsangan berbahaya yang tak
terduga berperan penting dalam pelipatan kembali polipeptida yang
mengalami denaturasi. Untuk memperbaiki fungsinya sebelum
menimbulkan disfungsi atau kematian sel yang serius
Heat shock protein (HSPs) adalah protein spesifik yang
terbentuk ketika sel terpapar suhu di atas suhu pertumbuhan normalnya.
Ada berbagai factor yang memicu pembentukan HSP, di antaranya
oksidan, racun, logam berat, radikal bebas, virus, dan pemicu stres
lainnya, HSP terkadang disebut 'protein stres'. Peningkatan suhu yang
tidak mematikan menekan sintesis protein dalam sel, mengaktifkan heat
shock factor (HSF) yang merupakan activator transkripsi, dan
meningkatkan transkripsi gen kejutan panas. Sementara itu, paparan
suhu yang mematikan akan memulai proses apoptosis (kematian sel
terprogram). Jika stress kembali terjadi, HSPs menghambat apoptosis
dan memberikan stabilitas termal sel. HSP juga berperan dalam
mengatur pelipatan kembali (refolding) protein-protein secara benar
akibat pemicu stress serta degradasi protein yang terdenaturasi. Respon
terhadap kejutan panas dilemahkan saat sel kembali normal setelah stres
dihilangkan, HSF berubah menjadi bentuk tidak aktif dan diangkut ke
sitoplasma.

PERAN HSP TERHADAP RESISTENSI INSULIN

Resistensi insulin didefinisikan sebagai ketidakmampuan tubuh


untuk menghasilkan efek yang seharusnya terjadi pada keadaan normal,
walaupun menggunakan dosis yang sama. Resistensi insulin selalu
mendahului diabetes melitus tipe 2. Diabetes melitus merupakan suatu
kerusakan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia akibat
kerusakan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
Heat shock protein ditemukan berperan dalam resistensi insulin
penyandang diabetes. Penelitian yang dilakukan Kurucz et al.
menunjukkan ekspresi protein HSP-72 lebih rendah pada penyandang
diabetes dibandingkan dengan orang sehat. Lebih lagi, terapi olahraga
yang saat ini digunakan untuk pengelolaan diabetes selain meningkatkan
sensitivitas insulin, melalui peningkatan translokasi GLUT4, ternyata
juga terbukti meningkatkan produksi HSP ketika olahraga dilakukan.
Hal tersebut yang mendasari pemikiran bahwa HSP memiliki peran
penting dalam perbaikan resistensi insulin, yang pada akhirnya akan
membantu dalam penerapan untuk pengelolaan diabetes melitus.

3. Akumulasi Intrasel
Pada beberapa keadaan, sel akan mengakumulasi berbagai zat dalam
jumlah abnormal yang mungkin tidak berbahaya atau dikaitkan dengan berbagai
tingkat jejas. Akumulasi intraseluler sering diakibatkan oleh perubahan
lingkungan atau ketidakmampuan sel untuk memproses material. Substasi
normal atau abnormal yang tidak dapat dimetabolisme dapat terakumulasi di
dalam sitoplasma. Substansi ini dapat berupa endogen (dihasilkan dalam tubuh)
atau eksogen (dihasilkan oleh lingkungan), dan substansi ini disimpan oleh sel
yang pada awalnya normal. Contoh substansi eksogen adalah partikel karbon,
partikel silika, partikel logam yang ditimbun dan diakumulasi karena sel tidak
dapat dihancurkan atau dipindahkan ke tempat lain. Perubahan umum di dalam
dan di sekitar sel mencakup akumulasi lipid, protein, steatosis (fatty liver),
kolestrol, hialin, pigmen, dan glikogen.
Ada empat jalur utama terjadinya akumulasi intrasel yang abnormal:
• Pembuangan kurang baik dari zat normal akibat dari defek mekanisme
pengumpulan dan pengiriman, seperti degenerasi lemak di hati.
• Akumulasi zat endogen abnormal akibat defek genetik atau defek didapat
dalam pelipatan, pengumpulan, pengiriman, atau pengeluaran, seperti
terjadi pada bentuk mutasi tertentu otrantitripsin.
• Kegagalan mendegradasi metabolit akibat defisiensi enzim bawaan
(inherited)
• Penempatan dan pengumpulan yang abnormal zat eksogen, ketika sel tidak
mempunyai peralatan enzimatik untuk mendegradasi zat itu atau tidak
memiliki kemampuan membawa zat itu ke tempat lain. Akumulasi partikel
karbon atau silika adalah contoh dari kelainan ini.

4. Kalsifikasi Patologis
Kalsifikasi patologis merupakan proses yang biasa dijumpai pada
berbagai keadaan penyakit. Terdapat penempatan garam kalsium abnormal,
biasanya bersama dengan sedikit besi, magnesium, dan mineral lain. Ada
beberapa jenis kalsifikasi, yaitu:
- Kalsifikasi distropik, merupakan endapan kalsium abnormal dalam jaringan
mati atau akan mati, misalnya pada keadaan aterosklerosis, katup jantung
yang rusak, dan daerah nekrosis. Pada kasus ini, tidak terdapat gangguan
metabolism kalsium.
- Kalsifikasi metastatik, merupakan penempatan garam abnormal di jaringan
normal dan seringkali berkaitan dengan hiperkalasemia, misalnya ketika
terjadi destruksi jaringan tulang, kelainan berhubungan dengan vitamin D,
dan gagal ginjal.

F. Inflamasi
Inflamasi adalah suatu respons perlindungan atau protektif. Inflamasi
dilaksanakan dengan pengenceran, penghancuran, dan penetralan agen berbahaya.
Inflamasi bertujuan untuk mengeliminasi penyebab awal jejas sel, menghncurkan
mikroorganisme yang mungkin masuk, menonaktifkan toksin, sampai terjadinya
proses pemulihan jaringan sehingga akan menyembuhkan dan menyusun kembali
tempat dimana terjadinya jejas.
Inflamasi terkait dengan proses perbaikan, yakni meregenerasi jaringan rusak
dengan diisi oleh jaringan parut fibrosa. Komponen yang terlibat dalam proses
inflamasi, yaitu:
1. Leukosit dari sumsum tulang (neutrofil, eusinofil, basofil, limfosit, dan
monosit), serta trombosit.
2. Protein, meliputi faktor pembekuan, kininogen, dan komplemen.
3. Pembuluh darah. Dindingnya yang meliputi sel endotel berkontak langsung
dengan darah. Sel otot polos yang mendasarinya dan memberi tonus pada
pembuluh darah.
4. Sel jaringan ikat, meliputi sentinel untuk invasi seperti makrofag, limfosit, dan
fibroblast yang mensintesis matriks ekstrselular. Selain itu juga dapat
berproliferasi untuk mengisi luka.
5. Matriks ekstraseluler

Tanda-tanda inflamasi

1. Rubor
Rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah
yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran
arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Dengan demikian, lebih
banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan
cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti,
menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya
hyperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh baik secara
neurogenik maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat seperti histamin.
2. Kalor
Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi
peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan
normal lebih dingin dari 37 °C yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan
pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya sebab darah yang disalurkan
tubuh kepermukaan daerah yang terkena lebih banyak daripada yang disalurkan
kedaerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah
yang terkena radang jauh di dalam tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut
sudah mempunyai suhu inti 37°C, hyperemia lokal tidak menimbulkan
perubahan.
3. Dolor
Dolor atau rasa sakit, dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan
berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat
merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat
bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh
tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang.
Pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan
lokal yang tanpa diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit.
4. Tumor
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar
ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-
jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah
peradangan disebut eksudat meradang. Pada keadaan dini reaksi peradangan
sebagian besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada lepuhan yang
disebabkan oleh luka bakar ringan. Kemudian sel-sel darah putih atau leukosit
meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian dari eksudat.
5. Functio Laesa
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang
(Dorland, 2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah
dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme
terganggunya fungsi jaringan yang meradang.
Garis besar inflamasi:

1. Stimulus memicu pelepasan mediator kimiawi dari plasma atau sel jaringan ikat
2. Mediator bekerja sama untuk memperkuat respons awal radang
3. Response radiant berakhir ketika stimulus yang membahayakan menghilang.

Inflamasi terbagi menjadi dua pola dasar:

1. Inflamasi akut
Respons segera terhadap jejas. Dirancang untuk mengirim leukosit ke
tempat jejas. Leukosit akan membersihkan invasi mikroba dan memulai proses
penguraian jaringan nekrotik. Terdiri atas dua komponen utama:
a. Perubahan vaskular
Vasodilatasi untuk meningkatkan aliran darah dan penyumbatan lokal
pada aliaran darah kapiler selanjutnya.
b. Perubahan struktural
Perubahan struktural agar protein plasma dapat meninggalkan sirkulasi.
Selanjutnya, masuknya cairan kaya protein ke jaringan menyebabkan
konsentrasi sel darah meningkat dan memperlambat sirkulasi,
dinamakan keadaan stasis. Saat stasis, leukosit, terutama neutrofil,
berakumulasi di permukaan pembuluh darah dan bermigrasi ke jaringan
interstisial.

Peristiwa terjadi pada sel

a. Marginasi dan rolling


Marginasi adalah proses akumulasi leukosit pada permukaan sel
endotel pembuluh darah. Selanjutnya, akan terjadi peristiwa rolling atau
berguling-guling dan melekat di sepanjang perjalanannya.
b. Adhesi dan transmigrasi
Penempelan kuat pada permukaan endotel, selanjutnya
transmigrasi dengan merembes di antara sel menuju tempat jejas.
c. Kemotaksis dan aktivasi
Leukosit pada tempat jejas akan mendekati gradient kimiawi
yang disebut kemotaksis, serta aktivasi leukosit.
d. Fagositosit dan degranulasi
Pengenalan dan pelekatan partikel pada leukosit, lalu akan
ditelan oleh leukosit dengan pembentukan vakuola fagositik, lalu
pembunuhan dan degradasi material yang ditelan.

Akibat Inflamasi akut

a. Resolusi sempurna, berupa pembuangan mediator kimiawi, normalisasi


permeabilitas vaskular, penghentian emigrasi, dan apoptosis neutrofil.
b. Fibrosis, berupa pembentukan jaringan parut pada jaringan yang tidak
beregenerasi
c. Inflamasi kronik

2. Inflamasi kronik
Terjadi ketika respons tidak dapat mengatasi karena agen jejas menetap,
sehingga ada gangguan proses penyembuhan. Dapat terjadi sampai berminggu-
minggu hingga tahun.

Tanda inflamasi kronik:


- Infiltrasi dari mononuclear (makofag, limfosit, sel plasma)
- Makrofag untuk menyaring mikroba dan merangsang limfosit T dan B
- Limfosit B untuk sekresi antibodi melawan antigen dan limfosit T untuk
sekresi sitokin untuk pengumpulan neutrofil
- Sel plasma memproduksi limfosit B untuk sekresi antibodi
- Eusinofil untuk infeksi parasite
- Sel mast menghasilkan sitokin untuk melawan infeksi
- Destruksi jaringan sebagian besar diatur oleh sel radang
- Repair (perbaikan), melibatkan proliferasi pembuluh darah baru
(angiogenesis) dan fibrosis
Inflamasi kronik biasanya terjadi pada infeksi virus, infeksi mikroba persisten,
dan penyakit autoimun

Klasifikasi bedasarkan proses:

- Non supurativa kronik (penderita asma) = Epitel silindris bersilia bersel


goblet
- Supurativa kronik (penderita asma dan perokok)
- Granulamatosa (spesifik)

Efek inflamasi

- Lokal (pada satu bagian), misalnya keadaan edema, hyperemia, kongesti,


dan hematoma
- Sistemik (mengenai seluruh tubuh), misalnya keadaan demam, hipotensi,
anoreksia, penurunan kesadaran, dll.

G. Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka kulit melibatkan regenerasi epitel dan pembentukan jaringan
ikat parut dan merupakan contoh prinsip umum yang
berlaku untuk semua jaringan. Bergantung pada sifat dan besarnya
luka, dapat terjadi penyembuhan perprimam atau penyembuhan
persekundam.

PENYEMBUHAN PERPRIMAM
Salah satu contoh sederhana pemulihan luka, ialah penyembuhan dari
luka insisi bedah yang bersih tanpa infeksi dan dijahit dengan benang. Hal ini
disebut penyatuan primer, atau penyembuhan perprimam. Insisi hanya akan
mengakibatkan gangguan lokal kontinuitas epitel membran basalis dan kematian
terbatas sel epitel dan jaringan ikat. Akibatnya, regenerasi epitel merupakan
mekanisme utama pemulihan jaringan. Suatu jaringan parut yang kecil terbentuk,
tapi hanya ada pengerutan luka terbatas. Ruang insisi yang kecil mulamula diisi
dengan fibrin beku darah, kemudian segera diganti oleh
jaringan granulasi dan dilapisi epitel baru. Langkah pada proses ini
ialah:
- Dalam 24 jam, neutrofil dijumpai pada tepi insisi, migrasi menuju
bekuan fibrin. Sel basal di tepi insisi epidermis akan memperlihatkan
aktivitas mitosis yang bertambah.
- Dalam 24 hingga 48 jam,
sel epitel kedua tepi mulai bermigrasi dan berproliferasi sepanjang
dermis, mengendapkan komponen membran basalis selama
proses. Sel akan bertemu di garis tengah di permukaan di bawah
sisa sel yang cedera, membentuk lapisan epitel tipis yang kontinu.
- Pada hari ke 3, neutrofil telah digantikan oleh makrofag, dan jaringan
granulasi secara progresif mengisi ruang insisi. Serat kolagen
sekarang tampak di tepi insisi, tetapi letak memanjang dan tidak
menghubungkan insisi. Proliferasi sel epitel berlanjut, membentuk
lapisan penutup epidermis.
- Pada hari ke 5, neovaskularisasi terbentuk lengkap dan jaringan
granulasi mengisi ruang insisi. Serat kolagen dijumpai makin
banyak dan mulai menghubungkan kedua tepi insisi. Tebal epidermis
menjadi normal kembali dan diferensiasi sel permukaan membentuk
arsitektur epidermis matur dengan keratinisasi di permukaan.
- Selama minggu kedua, terjadi akumulasi kolagen terus menerus dan
proliferasi fibroblas. Infiltrasi leukosit, edema, dan pembuluh darah
yang meningkat perlahan-lahan berkurang. Proses pemulihan yang
panjang dimulai dengan deposit kolagen dalam luka parut insisi dan
regresi pembuluh darah.
- Pada akhir bulan pertama, jaringan parut mengandungi jaringan ikat
seluler, tanpa sel radang, dilapisi epitel epidermis normal. Namun,
apendiks kulit yang rusak pada garis insisi, hilang selamanya, tidak
diganti. Kekuatan daerah luka akan meningkat dengan berlalunya
waktu, seperti akan dibicarakan kemudian.
PENYEMBUHAN PERSEKUNDAM
Apabila kerusakan sel atau jaringan lebih ekstensif, misalnya pada luka
yang luas, pada tempat pembentukan abses, ulserasi, dan nekrosis
iskemik (infark) di organ parenkim, proses penyembuhan lebih
kompleks dan melibatkan kombinasi regenerasi dan pembentukan
jaringan parut. Pada penyembuhan persekundam pada luka kulit,juga
disebut penyembuhan melalui penyatuan sekunder ; juga, reaksi radang lebih intens,
dan terjadi jaringan granulasi yang luas, dengan akumulasi ECM dan pembentukan
jaringan parut yang luas, diikuti dngan kontraksi luka dimediasi oleh miofibroblas.
Penyembuhan persekundam berbeda dengan penyembuhan perpriman dalam
beberapa aspek:
- Beku darah yang besar atau bekas sisa jaringan kaya fibrin dan
fibronektin terbentuk di permukaan luka.
- Inflamasi lebih intens karena defek luas dengan sisa jaringan
nekrotik yang banyak, eksudat, dan fibrin yang harus dibuang
bertambah. Sebaliknya, defek yang luas mempunyai potensi yang
lebih besar untuk menimbulkan radang sekunder akibat jejas.
- Defek yang besar membutuhkan volume jaringan granulasi yang
besar untuk mengisi rongga yang besar dan kerangka jaringan
untuk proses pertumbuhan epitel kembali. Volume jaringan
granulasi yang besar akan mengakibatkan jaringan parut yang
luas.
- Penyembuhan persekundam berkaitan dengan kontraksi luka.
Dalam 6 minggu, sebagai contoh, defek kulit yang luas akan
berkurang menjadi 5% hingga 10% lebih kecil dari ukuran semula,
terutama karena terjadinya kontraksi. Proses ini dijelaskan
dengan adanya miofibroblas, yang merupakan fibroblas, yang
telah dimodifikasi, yang mempunyai kemampuan berbagai fungsi
ultrastruktural dan fungsional sel otot polos.

FASE-FASE
1. Fase Awal (Hemostasis dan Inflamasi)
Pada luka yang menembus epidermis, akan merusak pembuluh darah
menyebabkan pendarahan. Untuk mengatasinya terjadilah proses hemostasis.
Proses ini memerlukan peranan platelet dan fibrin. Pada pembuluh darah
normal, terdapat produk endotel seperti prostacyclin untuk menghambat
pembentukan bekuan darah. Ketika pembuluh darah pecah, proses pembekuan
dimulai dari rangsangan collagen terhadap platelet. Platelet menempel dengan
platelet lainnya dimediasi oleh protein fibrinogen dan faktor von Willebrand.
Agregasi platelet bersama dengan eritrosit akan menutup kapiler untuk
menghentikan pendarahan.4 Saat platelet teraktivasi, membran fosfolipid
berikatan dengan faktor pembekuan V, dan berinteraksi dengan faktor
pembekuan X. Aktivitas protrombinase dimulai, memproduksi trombin secara
eksponensial. Trombin kembali mengaktifkan platelet lain dan mengkatalisasi
pembentukan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin berlekatan dengan sel darah
merah membentuk bekuan darah dan menutup luka. Fibrin menjadi rangka
untuk sel endotel, sel inflamasi dan fibroblast.5 Fibronectin bersama dengan
fibrin sebagai salah satu komponen rangka tersebut dihasilkan fibroblast dan sel
epitel. Fibronectin berperan dalam membantu perlekatan sel dan mengatur
perpindahan berbagai sel ke dalm luka. Rangka fibrin – fibronectin juga
mengikat sitokin yang dihasilkan pada saat luka dan bertindak sebagai
penyimpan faktor – faktor tersebut untuk proses penyembuhan.4 Reaksi
inflamasi adalah respon fisiologis normal tubuh dalam mengatasi luka.
Inflamasi ditandai oleh rubor (kemerahan), tumor (pembengkakan), calor
(hangat), dan dolor (nyeri). Tujuan dari reaksi inflamasi ini adalah untuk
membunuh bakteri yang mengkontaminasi luka.5,6 5 Pada awal terjadinya luka
terjadi vasokonstriksi lokal pada arteri dan kapiler untuk membantu
menghentikan pendarahan. Proses ini dimediasi oleh epinephrin, norepinephrin
dan prostaglandin yang dikeluarkan oleh sel yang cedera. Setelah 10 – 15 menit
pembuluh darah akan mengalami vasodilatasi yang dimediasi oleh serotonin,
histamin, kinin, prostaglandin, leukotriene dan produk endotel. Hal ini yang
menyebabkan lokasi luka tampak merah dan hangat.2,4 Sel mast yang terdapat
pada permukaan endotel mengeluarkan histamin dan serotonin yang
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler. Hal ini
mengakibatkan plasma keluar dari intravaskuler ke ekstravaskuler.5 Leukosit
berpindah ke jaringan yang luka melalui proses aktif yaitu diapedesis. Proses
ini dimulai dengan leukosit menempel pada sel endotel yang melapisi kapiler
dimediasi oleh selectin. Kemudian leukosit semakin melekat akibat integrin
yang terdapat pada permukaan leukosit dengan intercellular adhesion moleculer
(ICAM) pada sel endotel. Leukosit kemudian berpindah secara aktif dari sel
endotel ke jaringan yang luka.4 Agen kemotaktik seperti produk bakteri,
complement factor, histamin, PGE2, leukotriene dan platelet derived growth
factor (PDGF) menstimulasi leukosit untuk berpindah dari sel endotel. Leukosit
yang terdapat pada luka di dua hari pertama adalah neutrofil. Sel ini membuang
jaringan mati dan bakteri dengan fagositosis. Netrofil juga mengeluarkan
protease untuk mendegradasi matriks ekstraseluler yang tersisa. Setelah
melaksanakan fungsi fagositosis, neutrofil akan difagositosis oleh makrofag
atau mati. Meskipun neutrofil memiliki peran dalam mencegah infeksi,
keberadaan neutrofil yang persisten pada luka dapat menyebabkan luka sulit
untuk mengalami proses penyembuhan. Hal ini bisa menyebabkan luka akut
berprogresi menjadi luka kronis.1,3 6 Pada hari kedua / ketiga luka, monosit /
makrofag masuk ke dalam luka melalui mediasi monocyte chemoattractant
protein 1 (MCP-1). Makrofag sebagai sel yang sangat penting dalam
penyembuhan luka memiliki fungsi fagositosis bakteri dan jaringan mati.
Makrofag mensekresi proteinase untuk mendegradasi matriks ekstraseluler
(ECM) dan penting untuk membuang material asing, merangsang pergerakan
sel, dan mengatur pergantian ECM. Makrofag merupakan penghasil sitokin dan
growth factor yang menstimulasi proliferasi fibroblast, produksi kolagen,
pembentukan pembuluh darah baru, dan proses penyembuhan lainnya.4,6
Limfosit T muncul secara signifikan pad hari kelima luka sampai hari ketujuh.
Limfosit mempengaruhi fibroblast dengan menghasilkan sitokin, seperti IL-2
dan fibroblast activating factor. Limfosit T juga menghasilkan interferon-γ
(IFN- γ), yang menstimulasi makrofag untuk mengeluarkan sitokin seperti IL-1
dan TNF-α. Sel T memiliki peran dalam penyembuhan luka kronis.5
2. Fase Intermediate (Proliferasi)
Pada fase ini terjadi penurunan jumlah sel – sel inflamasi, tanda – tanda
radang berkurang, munculnya sel fibroblast yang berproliferasi, pembentukan
pembuluh darah baru, epitelialisasi dan kontraksi luka. Matriks fibrin yang
dipenuhi platelet dan makrofag mengeluarkan growth factor yang mengaktivasi
fibroblast. Fibroblast bermigrasi ke daerah luka dan mulai berproliferasi hingga
jumlahnya lebih dominan dibandingkan sel radang pada daerah tersebut. Fase
ini terjadi pada hari ketiga sampai hari kelima.4 Dalam melakukan migrasi,
fibroblast mengeluarkan matriks mettaloproteinase (MMP) untuk memecah
matriks yang menghalangi migrasi. Fungsi utama dari 7 fibroblast adalah
sintesis kolagen sebagai komponen utama ECM. Kolagen tipe I dan III adalah
kolagen utama pembentuk ECM dan normalnya ada pada dermis manusia.
Kolagen tipe III dan fibronectin dihasilkan fibroblast pada minggu pertama dan
kemudian kolagen tipe III digantikan dengan tipe I. Kolagen tersebut akan
bertambah banyak dan menggantikan fibrin sebagai penyusun matriks utama
pada luka.4,7 Pembentukan pembuluh darah baru / angiogenesis adalah proses
yang dirangsang oleh kebutuhan energi yang tinggi untuk proliferasi sel. Selain
itu angiogenesis juga dierlukan untuk mengatur vaskularisasi yang rusak akibat
luka dan distimulasi kondisi laktat yang tinggi, kadar pH yang asam, dan
penurunan tekanan oksigen di jaringan.5,6 Setelah trauma, sel endotel yang
aktif karena terekspos berbagai substansi akan mendegradasi membran basal
dari vena postkapiler, sehingga migrasi sel dapat terjadi antara celah tersebut.
Migrasi sel endotel ke dalam luka diatur oleh fibroblast growth factor (FGF),
platelet-derived growth factor (PDGF), dan transforming growth factor-β (TGF-
β). Pembelahan dari sel endotel ini akan membentuk lumen. Kemudian deposisi
dari membran basal akan menghasilkan maturasi kapiler.3,5 Angiogenesis
distimulasi dan diatur oleh berbagai sitokin yang kebanyakan dihasilkan oleh
makrofag dan platelet. Tumor necrosis factor-α (TNF-α) yang dihasilkan
makrofag merangsang angiogenesis dimulai dari akhir fase inflamasi. Heparin,
yang bisa menstimulasi migrasi sel endotel kapiler, berikatan dengan berbagai
faktor angiogenik lainnya. Vascular endothelial growth factor (VEGF) sebagai
faktor angiogenik yang poten dihasilkan oleh keratinosit, makrofag dan
fibroblast selama proses penyembuhan.4 8 Pada fase ini terjadi pula
epitelialisasi yaitu proses pembentukan kembali lapisan kulit yang rusak. Pada
tepi luka, keratinosit akan berproliferasi setelah kontak dengan ECM dan
kemudian bermigrasi dari membran basal ke permukaan yang baru terbentuk.
Ketika bermigrasi, keratinosis akan menjadi pipih dan panjang dan juga
membentuk tonjolan sitoplasma yang panjang. Pada ECM, mereka akan
berikatan dengan kolagen tipe I dan bermigrasi menggunakan reseptor spesifik
integrin. Kolagenase yang dikeluarkan keratinosit akan mendisosiasi sel dari
matriks dermis dan membantu pergerakan dari matriks awal. Keratinosit juga
mensintesis dan mensekresi MMP lainnya ketika bermigrasi.7 Matriks fibrin
awal akan digantikan oleh jaringan granulasi. Jaringan granulasi akan berperan
sebagai perantara sel – sel untuk melakukan migrasi. Jaringan ini terdiri dari
tiga sel yang berperan penting yaitu : fibroblast, makrofag dan sel endotel. Sel
– sel ini akan menghasilkan ECM dan pembuluh darah baru sebagai sumber
energi jaringan granulasi. Jaringan ini muncul pada hari keempat setelah luka.
Fibroblast akan bekerja menghasilkan ECM untuk mengisi celah yang terjadi
akibat luka dan sebagai perantara migrasi keratinosit. Matriks ini akan tampak
jelas pada luka. Makrofag akan menghasilkan growth factor yang merangsang
fibroblast berproliferasi. Makrofag juga akan merangsang sel endotel untuk
membentuk pembuluh darah baru.6 Kontraksi luka adalah gerakan centripetal
dari tepi leka menuju arah tengah luka. Kontraksi luka maksimal berlanjut
sampai hari ke-12 atau ke-15 tapi juga bisa berlanjut apabila luka tetap terbuka.
Luka bergerak ke arah tengah dengan rata – rata 0,6 sampai 0,75 mm / hari.
Kontraksi juga tergantung dari jaringan kulit sekitar yang longgar. Sel yang
banyak ditemukan pada kontraksi luka adalah myofibroblast. Sel ini berasal dari
fibroblast normal tapi mengandung mikrofilamen di sitoplasmanya.4,5 9
3. Fase Akhir (Remodelling)
Fase remodelling jaringan parut adalah fase terlama dari proses
penyembuhan Proses ini dimulai sekitar hari ke-21 hingga satu tahun.
Pembentukan kolagen akan mulai menurun dan stabil. Meskipun jumlah
kolagen sudah maksimal, kekuatan tahanan luka hanya 15 % dari kulit normal.
Proses remodelling akan meningkatkan kekuatan tahanan luka secara drastis.
Proses ini didasari pergantian dari kolagen tipe III menjadi kolagen tipe I.
Peningkatan kekuatan terjadi secara signifikan pada minggu ketiga hingga
minggu keenam setelah luka. Kekuatan tahanan luka maksimal akan mencapai
90% dari kekuatan kulit normal.

H. Pemulihan Luka pada Pasien Diabetes Melitus


Diabetes mellitus merupakan penyakit atau gangguan metabolisme kronis yang
disebabkan oleh gagalnya organ pankreas yang memproduksi jumlah hormon
insulin secara memadai. Sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam
darah (hiperglikemia) dan dapat mengakibatkan kerja sel dan jaringan (pembuluh
darah dan syaraf) terganggu.

Penyebab:

1. Faktor genetik
2. Faktor usia
3. Auto imun
4. Resistensi insulin
5. Kondisi medis tertentu

ANALISIS KONDISI GULA DARAH

- Diabetes adalah penyakit progresif, sehingga pasien tidak bisa


menggunakan obat yang sama selama bertahun-tahun.
- Kasus pada Ny. W ini merupakan tidak terkontrol dikarenakan dia hanya
sekali-sekali kontrol ke dokter. Sehingga dapat menyebabkan gula darahnya
semakin naik dan dapat memperlambat proses penyembuhan pada luka di
bagian kakinya.

PENGARUH KADAR GULA TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN LUKA


- Penderita diabetes yang tidak terkontrol mungkin tidak merasakan adanya
luka lecet atau trauma pada tungkai yang dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti sepatu yang terlalu sempit, tergores sesuatu, menginjak
benda, dan berbagai trauma yang lainnya.
- Tingginya kadar gula dalam darah dapat berpengaruh terhadap nutrisi dan
oksigen yang semestinya dapat memberikan energi terhadap sel dan sistem
kekebalan tubuh (imunitas), tidak dapat berfungsi secara normal.
- Sehingga oksigen dan sel darah putih sulit mencapai jaringan, imunitas
tubuh menurun, dan terjadi penurunan fungsi sel darah putih dalam
melawan kuman yang masuk ke dalam tubuh.
- Akibat jika luka tidak segera ditangani akan terjadi infeksi parah yang dapat
menyebabkan pembusukan lalu berakibat diamputasi.

SOLUSI
- Ketika terjadi luka, segera dibersihkan lalu diberi salep (obat luar) dan diberi
kasa. Jangan sampai dibiarkan infeksi.
- Luka harus terjaga juga kelembaban-nya. Kelembaban yang terlalu tinggi
akan menghalangi fungsi sitokin.

Anda mungkin juga menyukai