FBS 2
Jejas Sel
Halaman 2
Lima hari setelah kejadian, luka dilututnya masih terasa nyeri.Luka tersebut mengalami infeksi dan
bernanah.Asep memutuskan memeriksakan lukanya ke klinik.tampak jaringan mati dan nekrotik pada
luka. Dokter membershikan luka., membuang jaringan nekrotik dan memberikan antibiotik. Ia
menerangkan bahwa bagian yang luka itu nanti akan mengalami proses pemulihan jaringan. Dua minggu
kemudian tampak jaringan parut di bekas luka.
Terminologi
Halaman 1
Learning issue
1. Jejas Sel
1) Definisi.
2) Etiologi
3) Mekanisme
2. Adaptasi sel (atrofi, hipertrofi, hiperpasia, metaplasia, displasia)
1) Respon subselular terhadap jejas
2) Akumulasi intraseluler
3) Kalsifikasi patologik
3. Jejas reversible dan irreversible
1) Definisi
2) Mekanisme
3) Perbedaan diantara keduanya
4. Regenerasi sel
1.) Pengendalian pertumbuhan dan diferensiasi sel
2.) Mediator yang berperan
3.) Interaksi matriks sel dan matris ekstraseluler
5. Inflamasi akut dan kronis
1.) Definisi dan mekanisme
2.) Cardinal sign
3.) Peran kelenjar dan pembuluh getah bening dalam inflamasi
6. Proses pemulihan jaringan
1.) Angiogenesis
2.) Fibrosis
3.) Remodeling jaringan parut
4.) Aspek patologis dari proses pemulihan
7. Proses penyembuhan luka
1.) Penyembuhan primer
2.) Penyembuhan sekunder
3.) Kekuatan luka
JEJAS SEL
Jejas sel/cedera sel adalah kerusakan sel secara structural/fungsinya, diakibatkan
kemampuan yg berlebihan terhadap stress/ sel tidak dapat berdaptasi terhadap stress
patologis/fisiologis.
1. Selular repon, untuk merangsang/perangsang cedera tergantung pada tipe cedera sel, dan
kekejamannya.
Contoh :
Dosis racun yang sedikit atau durasi yang rendah dari iskemia memicu cedera sel
reversible.
Tingginya dosis racun dan panjangnya durasi iskemia menyebabkan cedera sel
irreversible dan kematian sel.
2. Dampak dari stimulus cedera tergantung pada tipe, status, kemampuan adaptasi, dan
genotip dari sel yang kena cedera.
Cedera yang sama dapat berdampak berbeda tergantung dari tipe sel nya.
Contoh :
Otot skeletal mengalamai 2-3 jam iskemia, tidak akan mengalami irreversible.
Otot jantung mengalami 20-30 menit, maka akan mengalami kematian sel.
3. Cedera sel disebabkan dari abnormalitas fungsi dan biokimia di satu atau lebih dari
beberapa komponen selular esensial.
Prinsip target dan mekanisme dari cedera sel adalah :
a. Mitokondria kemampuan mereka untuk menghasilkan ATP dan ROS (reactive
oksigen spesies) dibawah kondisi patologi
b. Gangguan homeostasis kalsium
c. Kerusakaan membran seluler (plasma dan lisosom)
d. Kerusakaan DNA dan kegagalann pembentukan protein (misfolding protein)
Dengan latar belakang ini, kita dapat mendiskusikan mekanisme biokimia dari jejas sel :
3. Influks Kalsium
Kalsium bebas di sitosol normalnya dipertahankan oleh transpor kalsium yang
bergantung pada ATP pada konsentrasi 10.000 kali lebih rendah dibanding konsentrasi
kalsium ekstrasel atau dari sisa mitokondria intrasel dan retikulum endoplasma.Iskemia
atau toksin menyebabkan kalsium masuk ke sitosol dari ekstraseluler melalui membran
plasma, dan dari deposit intraseluler. Hal ini menyebabkan :
Aktivasi bermacam fosfolipase (pencetus kerusakan membran)
Aktivasi enzim protease (mengatabolisasi protein membran dan struktural)
Aktivasi Enzim ATP-ase (mempercepat deplesi ATP)
Endonuklease (memecah material genetik)
Meningkatnya kalsium intraseluler juga menimbulkan apoptosis, dengan aktivasi
langsung caspase dan dengan meningkatkan permeabiltas mitokondria.
Tempat yang mengalami kerusakan membran selama cedera sel adalah membran
mitokondria, membran plasma, dan membran lisosom :
reaksi Fenton (Fe+++H2O2 Fe++++OH.+OH-). Oleh karena sebagian besar zat besi
bebas intrasel dalam bentuk ferri (Fe+++), pertama-tama zat besi harus direduksi
menjadi ferro (Fe++) untuk berpartisipasi dalam reaksi Fenton. Tahap reduksi itu
dikatalis oleh ion superoksida sehingga zat besi dan superoksida bersinergi untuk
memperoleh cedera sel oksidatif maksimal.
2. Nitrit Oksida (NO) merupakan mediator kimiawi penting yang normalnya disintesis
oleh berbagai tipe sel yag dapat berperan sebagau radikal bebas atau dapat diubah
menjadi spesies nitrit yang sangat reaktif
3. Penyerapan energi radian (misalnya, sinar uv, sinar X). Radiasi pengion dapat
meghidrolisis air menjadi gugus hidroksil (OH.) dan radikal bebas hidrogen (H.)
4. Metabolisme enzimatik zat kimiawi eksogen (misalnya, karbon tetraklorida)
Tiga reaksi yang paling relevan dengan hehas sel yang diperantarai radikal bebas
1. Peroksidasi lipid membrane. Ikatan ganda pada lemak tak jenuh membrane mudah
terkena serangan radikal bebas berasal dari oksigen. Interaksi radikal lemak
menghasilkan peroksida, yang tidak stabil dan reaktif, dan terjadi reaksi autokatalitik.
2. Fragmentasi DNA. Reaksi radikal bebas dengan timin pada DNA mitokondriadan
nuclear menimbulkan rusaknya untai tunggal. Kerusakan DNA tersebut telah
memberikan implikasi pada pembunuhan sel dan perubahan sel menjadi ganas.
3. Ikatan silang protein. Radikal bebas mencetuskan ikatan silang protein yang
diperantarai sulfihidril, menyebabkan peningkatan kecepatan degradasi atau
hilangnya aktivitas enzimatik. Reaksi radikal bebas juga secara langsung
menyebabkan fragmentasi polipeptida.
Selain merupakan akibat jejas kimiawi dan radiasi, pembentukan radikal bebas juga
merupakan bagian normal respirasi dan aktivitas seluler rutin lainnya, termasuk
pertahanan mikroba.Untungnya, radikal bebas memang tidak stabil, dan umumnya rusak
secara spontan; misalnya superoksida, sangat cepat rusak dengan adanya air yang masuk
ke dalam oksigen dan hydrogen peroksida. Namun, sel juga membentuk beberapa sistem
enzimatik untuk menonaktifkan radikal bebas :
Perubahan itu menggambarkan kemunduran sel menjadi lebih kecil dan masih
memungkinkan bertahan hidup, suatu keseimbangan tercapai antara ukuran sel dan
berkurangnya suplai darah, nutrisi, atau stimulasi trofik.
Pengaturan degradasi protein memiliki peran kunci pada atrofi.Pada sel normal, sintesis dan
degradasi isi sel dipengaruhi sejumlah hormon, termasuk Insulin, TSH, dan glukokortikoid.
Sel mamalia memiliki dua sistem proteolitik yang menjalankan fungsi degradasi berbeda :
o Lisosom mengandung protease dan enzim lain pendegradasi molekul yang diendositosis
serta mengatabolisme komponen subseluler, seperti organela yang menunjukan proses
penuaan.
o Jalur ubiquitin proteasome bertanggung jawab untuk degradasi banyak protein
sitosolik dan inti
Contoh :
2. Hipertrofi
Sel otot lurik, baik sel otot jantung maupun otot rangka mengalami hipertrofi murni karena
sel yang sudah tidak mampu untuk membelah.Akibatnya, sintesis protein dan miofilamen
yang lebih banyak dari tiap sel. Hal ini memungkinkan peningkatan beban kerja dengan
tingkat aktivitas metabolik yang normal.
Pada mekanisme hipertrofi akan tercapai suatu batas yang pembesaran masa ototnya tidak
lagi dapat melakukan kompensasi untuk peningkatan beban, pada kasus jantung dapat
terjadi gagal jantung.
Contoh :
3. Hiperplasia
Hiperplasia Fisiologis :
1. Hiperplasia Hormonal : poliferasi epitel kelenjar payudara saat masa pubertas dan
kehamilan.
2. Hiperplasia Kompensatoris : terjadi saat sebagian jaringan dibuang atau sakit.
Contoh: pada sel hati.
Hiperlpasia Patologis : dapat terjadi pada perangsangan hormon yang berlebihan.
Contohnya penyakit akromegali.
Hiperlpasia kompensasi : dijumpai di sel sel hati, terjadi setelah pengangkatan sebagian
jaringan hati melalui pembedahan.
Contoh :
3. Metaplasia
Metaplasia merupakan adaptasi seluler, yang selnya sensitif terhadap stres tertentu,
digantikan oleh jens sel lain yang mampu lebih bertahan pada lingkungan kebalikan.
Merupakan respon terhadap cedera iritasi kontinyu yang timbul pada peradangan jaringan
yang kronik. Metaplasia diperkirakan berasal dari pemrograman kembali genetik stem sel
epitelial atau sel mesenkimal jaringan ikat yang tidak berdiferensiasi.
Walaupun epitel metaplastik adaptif mungkin mempunyai keuntungan dalam daya tahan
hidup, mekanisme perlindungan yang penting hilang.
Contoh : perubahan sel sel saluran pernapasan dari epitel kolumnar bersilia menjadi sel
epitel skuamukosa bertingkat sebagai respo terhadap merokok jangka panjang. Sel epitel
bertingkat lebih mampu bertahan terhadap kerusakan asap. Sayangnya sel sel ini tidak
memiliki peran pelindung seperti sel sel bersilia.
Metaplasia bagai pedang bermata dua, pengaruh yang menginduksi transformasi metaplastik,
jika menetap, dapat menginduksi transformasi kanker pada epitel yang metaplastik.
4. Displasia
Kerusakan pertumbuhan sel yang menyebabkan lahirnya sel sel berbeda ukuran, bentuk,
dan penampakannya dibandingkan sel asalnya.
Tempat
tersering
terjadinya
displasia
adalah saluran
pernapasan (terutama skuamukosa yang muncul akibat metaplasia) dan serviks wanita.
1. Katabolisme Lisosomal
Ada dua macam lisosom, yaitu lisosom primer dan sekunder.
a. Lisosom primer : memproduksi enzim enzim yang belum aktif, fungsinya sebagai
vokoula makanan. Belum terlibat dalam aktivitas pencernaan sel.
b. Lisosom Sekunder : Lisosom yang berperan dalam kegiatan mencerna melalui satu dari
dua cara : heterofagi atau autofagi.
o Heterofagi : material diambil dari lingkugannya dengan di ensoditosis. Pengambilan
material yang berukuran lebih besar disebut fagositosis dan yang lebih kecil di sebut
pinositosis. Vokoula yang mengalami endositosis kemudian berfusi dengan lisosom
membentuk lisosom sekunder, menyebabkan degradasi material.
o Autofagi : material di asingkan dari sitoplasma dalam vokoula autofagik. Kemudian
berfusi dengan lisosom primer membentuk autofagolisosom. Autofagi merupakan
fenomena umum yang terlibat dalam penyingkiran organela rusak atau mati, dan pada
perbaikan kembali sel yang disertai remodelling.
Lisosom dengan debris yang tidak dapat dicerna bisa menetap dalam sel sebagai badan badan
residual atau bisa dipaksa keluar.
3. Perubahan Mitokondrial
Pada beberapa kondisi patologik nonletal terjadi berbagai perubahan, ukuran, bentuk.
Misalnya pada hipertrofi seluler terdapat penambahan jumlah mitokondria dalam sel, jumlah
mitokondria berkurang selama atrofi sel.
4. Abnormalitas Sitoskeletal
Hipertrofi dan atrofi mengharuskan terjadi penambahan atau pengurangan unsursitoskeletal.
Tidak cukup hanya sekedar terdapat kelebihan atau kekurangan protein, unsur tersebut harus
terorganisasi secara fungsional untuk memberikan kekuatan, aktivasi kontraktil, atau atribut
fisiologi lain yang diperlukan.
Perubahan itu dapat direfleksikan dengan suatu gambaran dan fungsi sel abnormal, gerakan
organel yang menyimpang, defek daya gerak sel, atau akumulasi material fibrilar intraseluler.
Misalkan, perturbasi pada organisme mikrotubulus dapat menyebabkan strelitas dengan
menghambat motilitas sperma, imobilisasi silis epitel respirasi, menyebabkan infeksi kronik
akibat defek pada pembersih bakteri yang terinhalasi.
Merupakan salah satu respon biologik adaptif yang dijaga dalam hierarki filogenetik adalah
induksi protein stres setelah rangsang yang berpotensi berbahaya. Pada mulanya disebut
protein syok panas karena protein ini terurai dalam larva lalat buah setelah terjadi
peningkatan ringan temperatur (4-5 derajat), namun protein yang sama diuraikan dalam sel
normal dan sebagau respon terhadap beragam rnagsang fisik dan kimiawi pada semua
spesies.
HSP berperan dalam pemeliharaan protein intrasel normal, termasuk proses pelipatan protein,
desagrasi kompleks protein, dan transpor protein menuju berbagai organel intraseluler.
HSP dapat dihasilkan atau sintesis dapat meningkat setelah stres selular yang mengakibatkan
agegrasi dan denaturasi protein. HSP meningkat untuk pelipatan kembali polipeptida yang
mengalami denaturasi, untuk memperbaiki fungsinya sebelum menimbulkan disfungsi atau
kematian sel serius.Kalau pelipatan kembali tidak berhasil ditandai dengan ikatan molekul
HSP ubiquintin untuk di degradasi.
AKUMULASI INTRASEL
Sel dapat mengakumulasi sejumlah zat abnormal.Akumulasi tersebut dapat membahayakan atau
menyebabkan berbagai tingkat cedera.Terdapat berbagai jalur umum yang selnya dapat
menambah akumulasi intrasel abnormal.
Zat normal diproduksi dengan kecepatan normal atau kecepatan meningkat, tetapi kecepatan
metababolik tidak adekuat untuk menyingkirkannya.
Zat endogen normal atau abnormal menumpuk karena defek genetik atau didapat pada
metabolisme pengemasan, transpor, dan sekresinya.
Zat eksogen abnormal disimpan dan menumpuk karena sel tidak memiliki mesin enzimatik
untuk mendegradasi zat dan tidak mampu mengangkutnya ke tempat lain.
KALSIFIKASI PATOLOGIK
Merupakan proses umum dalam berbagai ragam penyakit, kalsifikasi patologik secara tak
langsung menunjukan desposisi abnormal garam kalsium, bersama dengan sejumlah kecil zat
besi magnesium, dan mineral lain.
Kalsifikasi :
Jejas Reversibel
Jejas reversibel merupakan cedera sel yang dapat kembali ke keadaan normal. Jejas
reversibel mengakibatkan beberapa perubahan struktur yaitu
Pada jejas reversibel, akan tampak beberapa morfologi dibawah mikroskop, yaitu akan
terlihat adanya pembengkakkan dan perlemakkan. Pembengkakan terjadi karena sel tidak
mampu mempertahankan homeostasis ionik dan cairan. Peristiwa ini merupakan dampak utama
untuk menunjukkan jejas sel. Di mikroskop akan terlihat vakuola kecil dengan sitoplasma dan
retikulum endoplasma menekuk. Pembengkakkan merupakan cedera tak mematikan, terkadang
disebut hidropik change atau degenerasi vakuola.Selain pembengkakkan juga terjadi
perlemakakkan.Perlemakan terjadi pada cedera hipoksia dan cedera racun/metabolisme.
Dibawah mikroskop akan terdapat lipid vakuola di sitoplasma. Biasanya terjadi di sel hati
(hepatosit) dan sel miokardial.
Jejas Irreversibel
Jejas irreversibel merupakan cedera yang persisten atau berlebihan karena telah melewati
batas ambang. Efek yang akan terjadi karena jejas irreversibel adalah:
Empat sistem yang sering terkena efek dari jejas irreversibel antara lain integritas membran
sel, pembentukkan ATP, sintesis protein, integritas aparatus genetik.
a. Nekrosis
Nekrosis merupakan perubahan morfologis yang menunjukkan kematian sel tak
terprogram.Nekrosis disebabkan oleh denaturasi enzimatik sel dan degradasi protein.
a. Denaturasi Enzimatik Sel
Peristiwa yang terjadi adalah autolisis atau heterolisis. Sel mati dicerna dan sering
meninggalkan cacat jaringan yang diisi oleh leukosit imigran dan menimbulkan abses
b. Denaturasi Protein
Jejas atau asidosis intrasel menyebabkan denaturasi protein struktur dan protein enzim,
sehingga menghambat proteolisis sel menyebabkan morfologi sel dipertahankan untuk
sementara.Denaturasi protein mengakibatkan eosinofilia dalam hematoxylin dan bercak
eosin.
Klasifikasi Nekrosis:
Nekrosis Koagulatif
Menunjukkan secara tidak langsung pemeliharaan kerangka structural dasar sel atau
jaringan terkoagulasi selama jangka waktu beberapa hari.Jejas yang terjadi mendenaturasi
tidak hanya protein structural, tetapi juga protein enzim sehingga menghambat proteolisis
seluler. Contoh: infark mitokondrial.
Nekrosis Liquefaktif
Terjadi ketika autolysis atau heterolysis lebih dominan dari pada denaturasi
protein.Terlihat pada infeksi bakteri fokal atau fungal. Kematian hipoksik sel dalam
system seraf menghasilkan nekrosis liquefaktif
Nekrosis kaseosa
Sering ditemukan pada focus infeksi tubekulosis.
Gambaran makroskopik : putih, seperti keju didaerah nekrotik sentral.
Gambaran mikroskopik : focus nekrotik tersusun atas debris granular amorf
Nekrosis gangrenosa
Bukan merupakan pola jejas kematian sel, tapi masih sering digunakan pada istilah
pembedahan. Menunjukkan nekrosis koagulatif iskemik (sering kali ekstremitas); ssat
terjadi infeksi yang menumpangi dengan komponen liquefaksi,lesi disebut gangrene
basah.
Nekrosis lemak
Terjadi pada kegawatdaruratan
abdomen yang membahayakan dan
dikenal sebagai pancreatitis
akut.Terlihat dijaringan adipose,
aktivase lipase melepaskan asam
lemak dari trigliserida yang kemudian
membentuk kompleks kalsium.
Morfologi Nekrosis
Ruptur lisosom
Pembengkakkan retikulum endoplasma
Hilangnya ribosom
Fragmentasi membran plasma dan
nukleus
Mekanisme
Sel yang mati memperlihatkan peningkatan eosinofil (pulasan merah muda dari
pewarnaan eosin) disebabkan oleh:
a. Denaturasi protein intrasitoplasmik
b. Hilangnya basofil yang normalnya ditanam oleh RNA di dalam sitoplasma (basofil
terpulas biru dari pewarnaan hematoksilin)
Perubahan inti karena pemecahan non spesifik DNA
Piknosis : Pengecilan inti dan bertambahnya basofil, DNA kondensasi menjadi massa
yang padat
Karioreksis: Sebagian piknosis mengalami fragmentasi nukleus (DNA) secara tidak
spesifik dan teratur. Dalam 1-2 hari inti dalam sel yang mati benar benar menghilang,
membran nukleus robek.
Kariolisis: Inti sel tercerna sampai hilang
b. Apoptosis
Apoptosis merupakan kematian sel secara program. Pada proses fisiologik penting dan proses
patologik, meliputi:
1) Kerusakan sel terprogram selama embryogenesis , seperti implantasi, organogenesis dan
involusi
2) Involusi fisiologik bergantung hormone, seperti involunsi endometrium selama siklus
menstruasi
3) Delesi sel pada populasi yang berproliferasi seperti epitel kripta usus atau kematian sel
tumor
4) Delesi sel T autoreaktif ditimus (>95% timosit mati dalam timus selama proses maturasi).
Kematian sel dari limfosit yang kekurangan sitokin atau kematian sel yang diinduksi oleh
sel T sitotoksik
5) Berbagai rangsangan cedera ringan (panas, radiasi, bahan sitotoksik) yang menyebabkan
kerusakan DNA yang tidak dapat diperbaiki.
Morfologi Apoptosis
Melibatkan satu atau sekelompok sel yang terlihat dengan potongan yang diwarnai H & E
Massa bulat atau oval dengan sitoplasma yang sangat eosinofilik
Kromatin inti memadat dan beragregasi perifer
Pembentukkan tonjolan sitoplasma
Mekanisme
Signaling (pemberian sinyal)
Apoptosis dipicu dengan berbagai sinyal , misalnya kekurangan factor tumbuh, integrasi
ligan reseptor spesifik atau agen jejas tertentu (radiasi).
Kontrol & integrasi
Kontrol dan integrasi dilengkapi oleh protein spesifik yang menghubungkan sinyal
kematian asli dengan program eksekusi akhir.
Transmisi langsung sinyal kematian dengan protein pencocok (adapter proteins)
terhadap mekanisme eksekusi.
Pengaturan permeabilitas mitokondrial oleh anggota family protein BCL-2
Pembentukkan pori dalam membrane mitokondrial menyebakan reduksi potensial
membrane, dengan pengurangan produksi ATP pembengkakan mitokondrial;
peningkatan permeabilitas membrane mitokondrial luar melepaskan pencetus
apoptotic, sitokorm c, ke dalam sitosol. Terdapat dugaan bahwa sitoplasma c yang
dilepas mengikat protein sitosol tertentu dan mengaktifkannya, mencetuskan aktivasi
kaspase eksekusi dan pengaturan gerakan kejadian proteolitik yang membunuh sel.
BCL-2 (ditemukan pada membrane mitokondria) menekan apoptosin dengan
mencegah peningkatan permeabilitas mitokondrial dan menstabilkan protein.
Eksekusi
Ditandai dengan konstelasi kejadian biokimiawi khas yang dihasilkan dari sintesis atau
aktivasi sejumlah katabolic sitosilik.
Pola-pola pokok yang umumnya diaplikasi pada semua bentuk apoptosis
Pemecahan protein
Kaspase sistein sisi aktif dan pecah setelah residu asam aspartat.Kaspase
mengakibatkan apoptosis seluler. Aktivasi atu atau lebih enzim kaspase secara tak
terduga menimbulkan rentetan bertingkat aktivasi protease lain.
Ikatan silang protein yang luas
Melalui aktivasi transglutaminase mengubah protein sitoplasmik mudah larut &
terutama protein sitoskeletal menjadi selubung memadat berikatan secara kovalen
yang dapat berfragmentasi menjadi bahan bahan apoptik.
Pemecahan DNA
Pemecahan DNA menjadi fragmen berpasangan.
Pengangkatan sel mati
Terjadi pengenalan dan fagositosis dini sel apoptotic tanpa pelepasan mediator
proinflanmasi.
REGENERASI SEL
A. Proses Pengendalian Pertumbuhan dan Diferensiasi Sel
Jumlah sel yang ada pada suatu jaringan merupakan fungsi kumulatif antara masuknya sel
baru dan keluarnya sel yang ada pada populasi. Masuknya sel baru dipengaruhi oleh kecepatan
poliferasinya sedangkan keluarnya sel yang telah ada dipengaruhi oleh kematian sel atau
berdiferensiasi menjadi sel lain. Pengaturan yang terpenting adalah penginduksian sel istirahat
agar memasuki siklus sel.
Sel Labil : sel ini terus membelah. Regenerasi terhadi dari suatu populasi sel stem dengan
kemampuan poliferasi relatif tidak terbatas.
Contoh : sel hematopoesis, rongga mulut, vagina, serviks
Sel Stabil : dalam keadaan normal sel ini dianggap istirahat, namun mampu membelah diri
dengan capat dalam hal merespon cedera.
Contoh : hati, ginjal, pankreas, dan sel endotel yang melapisi pembuluh darah.
Sel permanen : Sel ini dianggap telah mengalami diferensiasi tahap akhir dan nonproliferatif
dalam kehidupan pasca kelahiran. Tidak bisa membelah lagi.
Contoh : sel syaraf
B. Mediator Yang Berperan dalam Regenerasi
Mediator terlarut
Pertumbuhan dan diferensiasi sel bergantung pada sinyal ekstrasel yang berasal dari mediator
terlarut dan matriks ECM.Yang terpenting adalah faktor pertumbuhan polipeptida yang
beredar dalam serum atau yang diproduksi secara lokal oleh sel.
Sebagian besar faktor pertumbuhan memiliki efek pleiotropik, yaitu selain merangsang
poliferasi sel, faktor ini juga memerantai beragam aktivitas lainnya, termasuk migrasi dan
deferensiasi sel serta remodelling jaringan.
Faktor pertumbuhaan menginduksi poliferasi sel
Berubah menjadi onkogen, yang berperan pada karakteristik pertumbuhan sel yang tidak
terkendali pada kanker
Pemberian sinyal oleh mediator terlarut
Pemberian sinyal dapat berlangsung secara langsung pada sel yang berdekatan, atau melewati
jarak yang lebih jauh.
Sel yang berdekatan berhubungan melalui Gap junctio, yaitu saluran hidrofilik sempit yang
menghubungkan sitoplasma sel dengan baik.Saluran tersebut memungkinkan pergerakan ion
kecil berbagai metabolit, dan molekul secon messenger, tetapi bukan makromolekul.
Pada jarak jauh, pemberian sinyal ekstrasel melalui mediator dalam empat bentuk :
Autokrin
Parakrin
Sinaptik
Endokrin
Protein resepor dapat berada pada permukaaan sel, atau mungkin intrasel.Pada protein yang
berikatan intrasel, ligan harus bersifat hidrofobikagar dapat memasuki sel, misalnya vitamin
D, hormon steroid dan tiroid.
Reseptor permukaan sel :
a. Resept
or
kanal
ion.
b. Reseptor dengan
aktivasi kinase
intrinsik
c. Reseptor G berpasangan
Matriks interstisial : terdapat dalam ruang antarsel dalam jaringan ikat, serta antara epitel
dan struktur pembuluh darah dan otot polos. Penyusun utamanya adalah kolagen fibril
dan nonfibril, proteoglikan, glikoprotein.
Membran basalis : dibentuk dari matriks interstisial. Terletak dibawah epitel. Unsur
utamanya adalah kolagen tipe IV nonfibril amorf dan glikoprotein adesif.
Skema yang menunjukan bahwa interaksi ECM dan faktor pertumbuhan dapat
mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi motilitas, dan sitesis protein sel. Integrin mengikat
ECM dan berinteraksi dengan sitoskeleton pada kompleks adhesi fokal.Hal ini dapat
menginisiasi produksi second messenger intrasel atau dapat secara langsung memerantai
sinyal nukleus.
INFLAMASI
Inflamasi adalah suatu respons protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal
jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal
Etiologi
Tujuan Inflamasi
Pola dasar
1 Radang akut
Radang yang berlangsung relatif singkat dari beberapa menit sampai beberapa hari,
ditandai eksudasi cairan dan protein plasma serta akumulasi lekosit netrofilik yang
menonjol.
Terdapat dua fase dalam radang akut, yaitu fase vaskular dan fase cellular. Fase vaskular
dimulai dengan adanya fase kontriksi pembuluh darah sesaat setelah terjadi luka, lalu
pembuluh darah mengalami fase dilatasi dan terjadilah lima cardinal sign pada jaringan
yang terluka tersebut. Setelah itu, terjadilah fase cellular dimana netrofil bermigrasi dari
pembuluh darah menuju organ yang terluka tersebut karena adanya sinyal kemotaksis
dari organ yang terkena luka. Terjadilah proses fagositosis sel yang sudah mati dan
mikroba yang terdapat pada luka tersebut. Terbentuklah eksudasi dimana berisi netrofil
yang selesai melakukan fagositosis dan banyak cairan lainnya.
Mediator
o Histamin : vasodilatasi, peningkatan permeabilitas membran, dan aktivasi endhotelial
o Serotonin : vasokontriksi
o Prostaglandid : vasodilatasi, rasa sakit, demam
o Leukotrienes : sinyal kemotaksis
2 Radang kronis
Berlangsung berhari-hari sampai bertahun-tahun, ditandai influk limfosit dan makrofag
disertai dengan proliferasi pembuluh darah dan pembentukan jaringan parut. Apabila
inflamasi akut belum mampu untuk menyelesaikan penyembuhan luka maka akan
terjadinya inflamasi kronis sebagai lanjutan dari terjadinya inflamasi akut.
Adanya efek sistemik jika terjadinya radang kronis, yaitu :
o Demam
o Peningkatan somnolen
o Malaise
o Anoreksia
o Degradasi protein otot skelet dipercepat
o Hipotensi
o Sintesis hepatik berbagai protein (protein komplemen & koagulasi)
o Perubahan pool sel darah putih dalam sirkulasi
Leukositosis
Sitokin IL-1, IL-6 dan TNF mediator reaksi fase akut yang paling penting
Mediator
o Makrofag : fagositosis sel yang mati dan mikroba
o Limfosit : sistem imun spesifik
o Sel plasma : antibodi untuk melawan antigen
o Eosinofil : reaksi imun yang berkaitan dengan alergi
o Sel mast : berisikan histamin dan mediator lainnya
KALOR (panas)
RUBOR (merah)
TUMOR (edema)
DOLOR (nyeri)
FUNCTIOLAESA (gangguan fungsi)
A. Angiogenesis
Proses saat pembuluh darah yang telah ada sebelumnya akan mengeluarkan tunas-tunas
kapiler baru yang selanjutnya akan membentuk pembuluh darah baru. Pembuluh darah
baru rentan kebocoran, sehingga sering sekali mengalami pembengkakan pada jaringan
granulasi (edema).
Faktor pertumbuhan yang mempengaruhi pembentukan angiogenesis dan fibrosis adalah;
1. Faktor pertumbuhan dasar fibroblas (bFGF)
2. Faktor pertumbuhan endotel vaskuler (VEGF) yang di sekresikan stroma
Dalam waktu 24 jam, neutrofil akan muncul pada tepi insisi, dan bermigrasi menuju bekuan
fibrin. Sel basal pada tepi irisan epidermis mulai menunjukan peningkatan aktivitas mitosis.
Dalam waktu 24 hingga 48 jam, sel epitel dari kedua tepi irisan telah mulai bermigrasi dan
berprofilerasi di sepanjang dermis, dan mendepositkan komponen membrane basalis saat
dalam perjalanannya. Sel tersebut bertemu di garis tengah di bawah keropeng permukaan,
menghasilkan suatu lapisan epitel tipis yang tidak putus.
Pada hari ke-3, neutrofil sebagian telah besar digantikan oleh makrofag, dan jaringan
granulasi secara progresif menginvasi ruang insisi. Serat kolagen pada tepi insisi sekarang
timbul, tetapi mengarah vertical dan tidak menjebatani insisi. Proliferasi sel epitel berlanjut,
menghasilkan suatu lapisan epidermis penutup yang menebal.
Pada hari ke-5, neovaskularisasi mencapai puncaknya karena jaringan granulasi mengisi
ruang insisi. Serabut kolagen menjadi lebih berlimpah dan mulai menjebatani insisi.
Epidermis mengembalikan ketebalan normalnya karena diferensiasi sel permukaan
menghasilkan arsitektur epidermis matur yang disertai dengan keratinisasi permukaan.
Selama minggu kedua, penumpukan kolagen dan proliferasi fibroblast masih berlanjut,.
Infiltrate leukosit, edema, dan peningkatan vaskularitas telah amat berkurang. Proses panjang
pemutihan dimulai, dilakukan melalui peningkatan deposisi kolagen di dalam jaringan
parut bekas insisi dan regresi saluran pembuluh darah.
Pada akhir bulan pertama, jaringan parut yang bersangkutan terdiri atas suatu jaringan ikat
sel yang sebagian besar tanpa disertai sel radang dan ditutupi oleh suatu epidermis yang
sangat normal. Namun, tambahan dermis yang hancur pada garis insisi akan menghilang
permanen. Kekutan regang pada luka meningkat bersama perjalanan waktu, seperti yang
akan digambarkan kemudian.
Penyembuhan sekunder
Jika kehilangan sel atau jaringan terjadi lebih luas, seperti infark, ulserasi radang, pembentukan
abses, atau bahkan luka besar, proses pemulihannya menjadi lebih kompleks. Pada keadaan ini,
regenerasi sel parenkim saja tidak dapat mengembalikan arsitektur asal. Akibatnya, tterjadi
pertumbuhan jaringan granulasi yang luas kea rah dalam dari tepi luka, diikuti dengan
penumpukan ECM serta pembentukan jaringan parut. Bentuk penyembuhan ini disebut sebagai
penyatuan sekunder, atau penyembuhan sekunder. Penyembuhan sekunder berbeda dengan
penyembuhan primer dalam beberapa hal:
Secara intrinsik, kerusakan jaringan yang luas mempunyai jumlah debris nekrotik, eksudat,
dan fibrin yang lebih besar yang harus disingkirkan. Akibatnya, reaksi radang menjadi lebih
hebat, dan berpotensi lebih besar mengalami cedera sekunder yang diperantarai radang.
Jaringan granulasi akan terbentuk dalam jumlah yang jauh lebih besar. Kerusakan yang lebih
luas meningkatkan jumlah jaringan granulasi yang lebih besar untuk mengisi kekosongan
dalam arsitektur stroma dan menyediakan kerangka pertumbuhan kembali epitel jaringan
yang mendasari. Pada umumnya, jaringan granulasi yang lebih besar akan menghasilkan
suatu massa jaringan parut yang lebih besar.
Penyembuhan sekunder menunjukan fenomena kontraksi luka. Sebagai contoh, dalam waktu
6 minggu kerusakan kulit yang luas dapat berkurang menjadi 5%-10% dari ukuran semula,
terutama melalui kontraksi. Proses ini dianggap berasal dari adanya miofibroblas, yaitu
fibroblast yang diubah yang menunjukkan berbagai gambaran ultrastruktural dan fungsional
sel otot polos kontraktil.
Kekuatan luka
Luka yang dijahit dengan cermat mempunyai kira-kira 70% kekuatan dibandingkan kekuatan
kulit yang tidak terluka, sebagian besar disebabkan oleh penempatan jahitan. Jika jahitan dilepas,
biasanya setelah 1 minggu, kekuatan luka menjadi kira-kira 10% dari kulit yang tidak terluka,
tetapi kekuatan ini meningkat dengan cepat selama 4 minggu berikutnya. Pemulihan kekuatan
peregangan diakibatkan oleh adanya sintesis kolagen yang melebihi degradasinya selama 2 bulan
pertama, dan oleh perubahan structural kolagen (misalnya, pertautan silang dan peningkatan
ukuran serabut) ketika sintesisnya berkurang disaat selanjutnya. Kekuatan luka mencapai kira-
kira 70%-80% dari normal pada bulan ke-3, tetapi biasanya tidak akan meningkat melebihi
angka tersebut.
Referensi
Robbins Stanley L, Kumar Vinay, Cotran Ramzi S, MD. 2003. Buku Ajar
Patologi Edisi 7 Volume I, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.