Anda di halaman 1dari 17

DEKUBITUS

MATA KULIAH
Ilmu Dasar Keperawatan II
Dosen Pembimbing : Ns. Reni Sulung Utami, S.Kep., M.Sc

Disusun oleh :
KELOMPOK 4
A18.1
Eka Alia Ramadhani 22020118120010
Fitri Ayu Saputri 22020118120022
Naila Dhiya’ul Muna 22020118120035
Listiana Nurbaeti 22020118120049
Nola Monisa Intarwidi 22020118130058
Khoirotun Nisa Fatona 22020118130070
Fadhil Bumantara 22020118130081
Wiwin Pujiati 22020118130094
Ainun Mutia H 22020118130107
Maulida Faizatul C 22020118130120
Dhea Rizqa M 22020118130135

UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
A. PENGERTIAN
Dalam buku potter perry (2010) Dekubitus atau ulkus tekan adalah
kerusakan pada kulit dan jaringan lain yang berada di bawahnya akibat
tekanan, gaya gesek maupun pecukuran, biasanya berada di atas
penonjolan tulang (National Pressure Ulcer Panel (NPUAP), 2007). Selain
itu, decubitus dapat diartikan sebagai kerusakan yang terjadi pada bagian
bawah kulit dan jaringan yang disebabkan oleh adanya tekanan yang lama,
sehingga mengakibatkan pembuluh darah terjepit dan jaringan yang berada
di sekitar area tersebut tidak memperoleh suplai makanan dan oksigen dari
darah yang akan mengakibatkan jaringan tersebut mati.
B. KLASIFIKASI DAN STADIUM
1. Klasifikasi Dekubitus
Dekubitus akan terjadi apabila pasien tidak dilakukan mobilisasi
selama 6 jam. Bila dekubitus sudah ada, berdasarkan gambaran klinis
Djunaedi dkk (1990) membagi dekubitus dalam 4 stadium :
a. Stadium I
Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema
pada kulit. Penderita dengan sensibilitas baik akan mengeluh
nyeri. Stadium ini umumnya reversibel dan dapat sembuh dalam
5-10 hari. Yang dirasakan pada dekubitus stadium I ini seperti
nyeri di tubuh dan timbul kemerah-merahan di kulit.
b. Stadium II
Ulserasi mengenai dermis dan meluas sampai jaringan
adipose, terlihat eritema dan indurasi (melepuh) Stadium ini dapat
sembuh dalam 10-15 hari. Dan yang dirasakan pada dekubitus
stadium II ini yaitu kulit menjadi melepuh.
c. Stadium III
Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkutis dan otot,
sudah mulai terganggu dengan adanya edema, inflamasi, infeksi,
dan hilangnya struktur. Tepi ulkus tidak teratur dan terlihat hiper
atau hipopigementasi dengan fibrosis. Biasanya sembuh dalam
waktu sekitar 3-8 minggu.
d. Stadium IV
Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia, otot, tulang
serta sendi dapat terjadi arthritis septic atau osteomelitis, dan
sering disertai anemia. Dapat sembuh dalam waktu sekitar 3-6
bulan.

C. FAKTOR INTRINSIK
1. Hipoalbumin
Menurut Moya (1992) albumin merupakan protein terbanyak
dalam plasma yang berperan dalam penyembuhan penyakit atau
recovery (pemulihan) setelah luka atau tindakan operasi (Supriyatna,
2010). Albumin berfungsi mempertahankan tekanan osmotik koloid
dalam pembuluh darah dan fungsi penting lainnya.
Albumin bergungsi menghantarkan dan melarutkan molekul-
molekul kecil dalam darah (contohnya bilirubin, kalsium, progesteron
dan obat-obatan) dan merupakan tempat penyimpanan protein dan
partikel utama yang menentukan tekanan onkotik plasma. Apabila
kadar albumin rendah maka kejadian dekubitus akan naik atau jika
kadar albumin tinggi maka kejadian dekubitus akan turun.
2. Penurunan sensasi persepsi
Hilangnya sensasi persepsi diartikan sebagai gangguan
yang terjadi pada anggota gerak motoric tubuh yang permanen
(lumpuh) yang merasakan anggota geraknya mati rasa. Sebagai contoh
paraplegia, hemiparesis, neuropati penfer. Contoh penyakit tersebut
membuat penderitanya tidak bisa menggerakkan kaki maupun
tangannya sehingga kulit pasien yang menempel pada suatu
permukaan dalam jangka waktu lama akan menyebabkan penyakit
decubitus.
3. Penurunan kemampuan system kardiovaskuler
Jika system kardiovaskuler turun maka apabila terjadi decubitus
maka tubuh yang kekurangan energy karena terdapat gangguan pada
sitem kardiovaskuler akan sulit memulihkan luka decubitus yang
lama-kelamaan akan semakin parah.
4. Penyakit yang dapat merusak pembuluh darah
Penyakit yang dapat merusak pembuluh darah contohnya seperti
hipertensi dan aterosklerosis. Jika terdapat penyakit di dalam
pembuluh darah, pembuluh darah lama-lama akan semakin tipis dan
apabila terdapat tekanan dari luar maka dapat menyebabkan penyakit
decubitus.
5. Usia (diatas 70 tahun)
Menurut Revis (2015), usia merupakan faktor intrinsik
penyebab dekubitus karena pada usia lanjut telah terjadi penurunan
elastisitas dan vaskularisasi sehingga meningkatkan resiko terjadi luka
tekan. Akibat proses penuaan umumnya lansia mengalami kehilangan
elastisitas otot, penurunan kadar serum albumin, penurunan respon
inflamatori, serta penurunan kohesi antara epidermis dan dermis.
Risiko tersebut semakin meningkat karena pada lansia terjadi
penurunan kemampuan fisiologis tubuh antara lain berkurangnya
toleransi terhadap tekanan dan gesekan, berkurangnya jaringan lemak
subkutan, berkurangnya jaringan kolagen dan elastin, serta
menurunnya efisiensi kolateral kapiler pada kulit. Kemampuan lansia
untuk merasakan sensasi nyeri akibat tekanan berkurang sebagai
dampak penurunan persepsi sensori.
6. Malnutrisi
Malnutrisi merupakan ketidakseimbangan asupan kalori dengan
protein yang dibutuhkan tubuh. Kekurangan nutrisi protein
mengakibatkan jaringan yang lunak menjadi mudah terjadi kerusakan.
Kekurangan nutrisi mengakibatkan ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit. Klien yang kehilangan protein berat, hipoalbuminemia
dapat mengakibatkan pergeseran cairan dari ekstraseluler menuju
jaringan yang berakhir pada edema. Kemudian edema dapat
meningkatkan resiko pembentukan luka tekan. Suplai darah menuju
jaringan edema menurun, produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya
perubahan tekanan pada sirkulasi dan pada dasar kapiler. (Murni,
2010)
7. Anemia
Anemia merupakan suatu kondisi kekurangan sel darah merah
dalam tubuh, sehingga penderita anemia mudah lelah dalam
melakukan aktivitas apapun. Anemia dapat terjadi karena 3 hal, akibat
kekurangan zat besi, kekurangan vitamin, dan akibat penyakit kronis.
Dekubitus dapat terjadi akibat anemia, hal tersebut dikarenakan darah
yang diproduksi oleh tubuh sangat berpengaruh terhadap keoptimalan
tubuh seseorang.
8. Merokok
Penderita dekubitus kebanyakan dari perokok aktif. Afinitas
hemoglobin dan nikotin, serta meningkatnya radikal bebas diduga
sebagai penyebab penyakit dekubitus pada perokok (Bryant, 2007).
9. Mobilitas dan Aktivitas
Mobilitas yakni kemampuan untuk mengontrol dan merubah
tubuh, sedangkan aktivitas yakni kemampuan untuk berpindah.
Imobilitas merupakan ketidakmampuan untuk merubah posisi tubuh
tanpa adanya bantuan dari orang lain, biasanya terjadi pada lansia.
Mobilisasi perlu dilakukan guna mengajarkan kepada keluarga klien
untuk merawat penderita dekubitus dengan baik dan benar.
10. Penurunan Kesadaran
Klien dengan dekubitus merasa bingung akibat merasakan
tekanan, akan tetapi tidak mengetahui cara untuk menghilangkan
tekanan tersebut. Penurunan kesadaran ini menyebabkan klien tidak
dapat melindungi diri dari dekubitus.

D. FAKTOR EKSTRINSIK
1. Kelembaban
Adanya kelembaban dan durasi kelembaban pada kulit
meningkatkan resiko pembentukan kejadian dekubitus. Kelembaban
kulit dapat berasal dari drainase luka, perspirasi yang berlebihan, serta
inkontinensia fekal dan urine. Kelembaban yang disebabkan karena
inkontinensia dapat mengakibatkan terjadinya maserasi pada jaringan
kulit. Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah mengalami
erosi. Selain itu, kelembaban juga mengakibatkan kulit mudah terkena
pergesekan (friction) dan pergeseran (shear). Inkontinensia alvi lebih
signifikan dalam perkembangan luka daripada inkontinensia urine
karena adanya bakteri dan enzim pada feses yang dapat meningkatkan
PH kulit sehingga dapat 22 merusak permukaan kulit.
2. Gesekan
Gaya gesek (Friction) adalah tekanan pada dua permukaan
bergerak melintasi satu dan yang lainnya seperti tekanan mekanik
yang digunakan saat kulit ditarik melintasi permukaan kasar seperti
seprei atau linen tempat tidur. Cidera akibat gesekan memengaruhi
epidermis atau lapisan kulit yang paling atas. Kulit akan merah, nyeri
dan terkadang disebut sebagai bagian yang terbakar. Cidera akibat
gaya gesek terjadi pada pasien yang gelisah, yang memiliki
pergerakan yang tidak terkontrol seperti keadaan spasme dan pada
pasien yang kulitnya ditarik bukan diangkat dari permukaan tempat
tidur selama perubahan posisi. Pergesekan terjadi ketika dua
permukaan bergerak dengan arah yang berlawanan. Pergesekan dapat
mengakibatkan abrasi dan merusak permukaan epidermis kulit.
Pergesekan bisa terjadi pada saat pergantian seprei pasien yang tidak
berhati-hati.
3. Pergeseran
Gaya geser adalah peningkatan tekanan yang sejajar pada kulit
yang berasal dari gaya gravitasi, yang menekan 23 tubuh dan tahanan
(gesekan) diantara pasien dan permukaan. Contoh yang paling sering
adalah ketika pasien diposisikan pada posisi semi fowler yang
melebihi 30°. Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari Jaul (2010)
bahwa pada lansia akan cenderung merosot kebawah ketika duduk
pada kursi atau posisi berbaring dengan kepala tempat tidur dinaikkan
lebih dari 30°. Pada posisi ini pasien bisa merosot kebawah, sehingga
mengakibatkan tulangnya bergerak kebawah namun kulitnya masih
tertinggal. Hal ini dapat mengakibatkan oklusi dari pembuluh darah,
serta kerusakan pada jaringan bagian dalam seperti otot, namun hanya
menimbulkan sedikit kerusakan pada permukaan kulit.

E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Faktor resiko :
 Penurunan mobilitas  Berat badan berlebih
 Hipertermia (suhu tubuh  Kurangnya pengetahuan
meningkat drastic dari suhu tentang faktor yang dapat
normal) diubah
 Nutrisi yang tidak adekuat  Kelembapan kulit
 Periode imobilitas pada  Merokok
permukaan keras yang lama  Friksi permukaan
 Inkontinensia (kondisi tidak  Penggunaan linen dengan
bisa mengontrol pengeluaran bahan kurang meyerap
urine lembab
 Kurang pengetahuan tentang  Kekuatan gesekan
pencegahan dekubitus  Kurang merawat diri
 Dehidrasi  Tekanan pada tonjolan
 Kulit kering tulang
 Kulit kasar

2. Populasi beresiko :
 Dewasa : Nilai Braden  Riwayat stroke
Scale < 17
 Nilai klasifikasi status fisik  Riwayat decubitus
menurut American Society of  Riwayat trauma
Anasthesiologists (ASA) ≥ 2  Skala Risk Assesment
 Anak : Braden Q Scale ≤ 16 Pressure Sore (RAPS)
 Wanita bernilai rendah
 Usia ekstrim  Fungsi klasifikasi menurut
 Berat badan ekstrim New York Heart Association
(NYHA) ≥ 1

3. Kondisi terkait :
 Anemia  Gangguan sirkulasi
 Gangguan sensasi  Agens farmaseutika
 Gangguan kognitif  Limfopenia (kelainan jumlah
 Penyakit kardiovaskuler limfosit yang rendah)
 Kadar albumin serum  Imobilisasi fisik (penurunan
menurun aktivitas dari biasanya
 Oksigenasi jaringan turun bahkan kehilangan

 Perfusi jaringan turun kemampuan gerak secara

 Edema (pembengkakan total)

bagian tubuh akibat  Peningkatan suhu 1-2⁰C

penumpukan cairan)  Ketebalan lipatan kulit trisep

 Fraktur panggul turun

F. RESIKO
G. SKALA PENGKAJI DEKUBUTUS
1. Skala Norton
Pada skala Norton memiliki lima parameter yang menjadi risiko
faktor terjadinya dekubitus yakni kondisi mental, kondisi fisik,
aktivitas, mobilisasi dan inkontinensia. Untuk total skala nilai yaitu
pada rentang 5 sampai 20. Apabila mencapai nilai 16 maka dapat
dikatakan sebagai nilai yang berisiko, sedangkan jika nilai yang
dihasilkan menunjukkan 14 maka sudah dinyatakan diambang resiko
dekubitus dan jika nilai yang dihasilkan kurang dari atau sama dengan
12 maka dapat dikatakan berisiko tinggi terkadinya dekubitus.

2. Skala Branden
Skala Branden terdiri dari enam parameter terhadap risiko
terjdainya debitus yaitu meliputi persepsi sensori, kelembaban,
aktivitas, mobilisasi, nutrisi, pergeseran dan gesekan. Skala penilain
antara 6 sampai 23. Jika nilai yang didapatkan adalah 15-18 dikatakan
untuk risiko rendah dekubitus, 13-14 risiko sedang, 10-12 risiko tinggi
dan kurang dari 9 sangat berisiko (Ayello and Braden, 2002). Skala
Braden adalah skala yang sering digunakan untuk mengkaji dekubitus.
Sensitivitas skala Braden 29% - 100% dan spesifitas 34% - 100%.
3. Skala Glamorgan
Skala Glamorgan merupakan instrumen pengkaji dekubitus
untuk pediatrik yang dikenalkan oleh Jane Willock pada tahun 2008.
Menurut penilitian yang Debbie Lona skala glamorgan memiliki
sensitivitas 80% dan spesifisitas 44%. Pada skala ini terdapat delapan
parameter yakni signifikan anemia, persisten pyrexia, perfusi
peripheral buruk, mobilitas, nutrisi, gesekan, kadar serum albumin,
dan inkontentinensia. Terdapat empat kategori risiko yang
digolongkan yakni nilai 0 tidak berisiko, 10-14 berisiko, 15-19
berisiko inggi dan lebih dari 20 berisiko sangat tinggi (Willock, 2008)
4. Skala Waterlow
Pada tahun 2005 terdapat hasil revisi yang menghasilkan
sembilan kategori pada skala waterlow yang meliputi tipe kulit dan
area risiko yang tampak, tinggi badan dan peningkatan berat badan,
skrining, malnurisi, mobilitas, jenis kelamin dan usia, malnutrisi
jaringan, riwayat pembedahan atau terdapatnya trauma, riwayat
pengobatan serta defisit neurologis(AWMA,2012). Apabila nilai yang
didapatkan kurang dari atau sama dengan 20 dapat diprediksi risiko
yang sangat tinggi terjadinya dekubitus kaena pada skala ini semakin
tinggi nilai maka semakin tinggi pula risiko terjadinya dekubitus.

5. Skala Gosnel
Skala Gosnel merupakan skala yang mengacu pada skala
norton. Pada skala ini terdapat lima parameter diantaranya adalah
status mental, mobilisasi, aktivitas, kontinenisa dan nutrisi. Rentang
nilai 5 sampai 20 dimana semaki tingggi maka risiko terjadinya
dekubitus semakin tinggi.
6. Skala Knoll
Pada skala ini dikembangkan menurut faktor risiko pasien yang
ada di ruang perawatan akut Rumah Sakit Besar. Terdapat delapan
parameter terhadapap dekibitus seperti status kesehatan umum, status
mental, mobilisasi, aktivitas, asupan nutrisi melalui oral,
inkontinensia, asupan cairan melalui oral, dan penyakit yang menjadi
faktor predisposisi. Rentang nilai anatara 0 sampai 33 semakin tinggi
semakin risiko tinggi untuk mengalami di dekubitus.

H. PENGOBATAN DEKUBITUS
1. Pemberian nurtrisi yang adekuat
Pasien yang lebih beresiko terjadi luka dekubitus ialah yang
memilihi berat badan kurang dari 90% berat badan idealnya atau berat
badan lebih dari 110% berat badan ideal (Hanan & Scheele, 1991).
Meskipun badan bukan merupakan indikator yang baik, tapi jika
diukur dari jumlah serum albumin atau protein yang terdapat pada
tubuh, indikator ini mempengaruhi berat badan ideal pasien dan
mempengaruhi timbulnya luka dekubitus. Disarankan untuk
memenuhi nutrisi yang ideal dan tetap menjaga diet tetap bukan ketat.
Standar pemberian makanan untuk pasien dengan dekubitus antara
lain intake energi/kalori 30-35 kal/kg per kgBB/hari, 1-15 protein/kg
per kgBB/hari dan 30 ml cairan/kg per kgBB/hari direkomendasikan
oleh Australian Wound Management Association (AWMA,2012).

2. Penggunaan alat-alat pendukung permukaan


Penggunaan alat-alat bantu ditujukan untuk mengurangi jumlah
serta mengurangi durasi tekanan pada individu. Klasifikasi
penggunaan disesuaikan pada derajat atau tingkatan luka dekubitus.
Pada pasien dengan dekubitus derajat 1 atau 2 disarankan untuk
ditempatkan pada kasur dan menggunakan bantal agar mengurangi
tekanan yang ditimbulkan. Sedangkan pasien pada luka dekubitus
derajat 3 atau 4 lebih dikhusukan memakai alat dengan tekanan rendah
konstan (CLP). Selain itu, pengaturan posisi juga dapat dilakukan agar
mengurangi gesekan pada luka.
3. Penanganan nyeri
Penanganan nyeri yang tepat pada pasien luka dekubitus dapat
melalui pemberian obat atau dapat juga dinetralisir atau dicegah
dengan perawatan luka yang baik. Spasme otot pada area ulserasi
dapat dicegah dengan pemberian obat-obatan seperti relaksan otot.
Pemberian anestesi topikal krim lidokain-prilokain dapat diberikan 30
menit sebelum debridment atau pengangkatan jaringan nekrotik atau
jaringan mati agar dapat mengurangi rasa nyeri saat dilakukan
perawatan luka.
4. Perawatan luka dan kulit
Pasien dengan luka dekubitus harus tetap dijaga agar kondisi
kulit tetap bersih dan kering. Pada kulit yang lembab lebih beresiko
untuk terkena gesekan dan tekanan sehingga memunculkan luka
dikarenakan kulit yang lembab sensitif. Penelitian yang dilakukan
oleh Henny, Laura, dan Daniel dari mahasiswa program ners,
Universitas Mutiara Indonesia memaparkan keefektifan penggunaan
Nigella Sativa Oil. Pada Nigella Sativa Oil ini mengandung berbagau
karbohidrat rendah gula, protein, asam amino, asam lemak, vitamin,
mineral, dan serat. Saponon yang terkandung dapat membantu proses
penyembuhan luka. Dalam penelitian ini juga ditujukan untuk pasien
luka dekubitus dengan status bedrest total.

5. Pembedahan
Tindakan pembedahan dilakukan pada pasien dekubitus pada
derajat 3 atau 4 karena pada tingkat ini telah muncul jaringan nekrotik
atau jaringan mati, sehingga dapat dilakukan debridement untuk
mencegah adanya organisme patogen. Debridement dapat dilakukan
dengan cara mekanis, enzimatik, pembedahan, atau autolitik.

I. PENCEGAHAN DEKUBITUS
Pencegahan dekubitus merupakan tindakan yang perlu dilakukan
perawat terhadap setiap pasien, baik yang mempunyai keterbatas bergerak
atau mobilitas maupun pasien yang tidak mempunyai kendala dalam
mobilitasnya. Tidak hanya dalam pencegahan namun perawat juga perlu
untuk mengetahui bagaimana cara dalam menghambat jika pasien sudah
mengalami tanda-tanda adanya dekubitus pada tubuhnya.
Menurut kozier (2010), dalam mencegah terjadinya dekubitus
perawat perlu melakukan beberapa tindakan pencegahan seperti menjaga
kebersihan kulit pasien untuk mempertahankan integritas kulit,
mengajarkan pasien dan keluarga untuk pencegahan dan memberikan
asuhan keperawatan mengenai cara mencegah dekubitus. Terdapat juga
lima hal yang perlu diperhatikan agar pencegahan terhadap dekubitus
dapat dilakukan secara maksimal atau penilaian terhadap faktor resiko
dekubitus (National Pressure Ulcer Advisory Panel, 2007). Kelima hal
tersebut antara lain :
1. Pengkajian Resiko Dekubitus
Ketika pasien masuk masuk kerumah sakit, atau awal terhadap
penurunan kesehatannya, disitulah dimulai dalam mengidentifikasi
faktor resiko yang akan terjadi atau yang terjadi pada pasien, seperti
halnya paparan kelembapan, pasien yang berbaring ditempat tidur atau
menggunakan kursi roda, gesekan yang didaptkan, imobiitas,
penurunan status mental, dan gizi yang didapatkan. Faktor-faktor
tersebutlah yang digunakansebagai panduan dalam pencegahan
terhadap dekubitus serta dapat dijadikan acuan dalam modifikasi
perawatan yang sesuai faktor resiko yang ada guna memaksimalkan
perawatan yang diberikan dalam rangka pencegahan terhadap
dekubitus.
2. Perawatan Pada Kulit
Dalam hal melakukan pencegahan terhadap dekubitus
perawatan kulit adalah salah satu yang paling utama, dengan menjaga
kebersihan serta kelembapan kulit pasien baik dengan cream atau
lotion tentu akan ada penurunan resiko dekubitus. Tidak hanya itu saja
perawatan pada kulit pasien juga dilihat berbagai segi seperti inspeksi
kulit pasien setiap harimya, pengkontrolan keringat, saliva, cairan
luka, urine dan juga tumpahan dari makanan atau minuman yang
terdapat di tempat tidurnya. Pada perkembangan nya terdapat minyak-
minyak yang dibuat untuk pencegahan ulkus dekubitus ini, seperti
Virgin Coconut Oil oleh Handayani (2011), dan Nigella Sativa Oil
oleh Utomo (2014) dan diberikan dengan massage tentunya
pencegahan terhadap dekubitus dapat berhasil.
3. Memperbaiki Gizi Pasien
Australian Wound Management Association (AWMA, 2012)
memberikan rekomendasi untuk standar pemberian makanan kepada
pasien ulkus dekubitus antara lain intake energi/kalori 30 – 35 kal/kg
per kgBB/hari, 1 – 1,5 g protein/kg per kg BB/hari dan 30 ml
cairan/kg per kg BB/hari.
4. Support Surface
Hal yang diperhatikan adalah tempat pasien dalam berbaring
seperti tempat tidur pasien, matras pada meja pemeriksaan atau meja
operasi, kursi roda, dan perlengkapan yang lain seperti bantal, guling
dan juga selimut yang dipakai oleh pasien. Hal-hal tersebut perlu
diperhatikan untuk mengurangi tekanan, gesekan, dan pergerseran
yang dilakukan atau didapatkan oleh pasien (AWMA. 2012).

5. Memberikan Edukasi
Pendidikan kesehatan dilakukan kepada pasien serta keluarga
pasien, perawat perlu memberikan edukasi secara terprogam, dan
komprehensif dengan materi yang mudah dipahami oleh pasien
maupun perawat. Menurut NPUAP (2014) ada 31 topik yang perlu
disampaikan kepada pasien maupun keluarga pasien dalam pemberian
edukasi, diantaranya : etiologi dan faktor resiko dekubitus, pengkajian
kulit, aplikasi penggunaan tool pengkajian resiko, perawatan kulit
individual, memilih dan atau gunakan dukungan permukaan,
demonstrasi posisi yang tepat untuk mengurangi resiko dekubitus,
demonstrasi posisi untuk mengurangi resiko kerusakan jaringan,
dokumentasi yang akurat dari data yang berhubungan, dan mekanisme
untuk mengevaluasi program efektifitas dalam mencegah dekubitus.

J. PERTANYAAN DAN JAWABAN


Monica Adelia Puspitasari
Bagaimanakah hubungan antara decubitus dengan faktor ekstrinsik
lembab?
Jawab :
Dekubitus adalah suatu penyakit yang dapat terjadi pada jaringan
tubuhyang rentan akan tekanan pada posisi yang sama dan dalam jangka
waktu yang lama. Sehingga dalam keadaan ini, pasien yang mengalami
tirah baring dapat dilakukan alih baring agar meminimalisir terjadinya
dekubitus. Dekubitus terjadi pada kulit kering yang rentan akan suhu
panas. Oleh kareba itu, harus dipaastikan suhu kulit tetap terjaga
kelembabannya agar terhindar dari dekubitus.
DAFTAR PUSTAKA

Potter, Perry. (2010). Fundamental Of Nursing: Consep, Proses and Practice.


Edisi 7(3). Jakarta : EGC
Arif widodo.(2007).Uji kepekan instrumen pengkajian risiko dekubitus dalam
mendeteksi dini risiko kejadian dekubitus di RSIS. Journal Penelitian Sains
& Teknologi,8(1):39-54.
Morison, Moya J. (1992). Manajemen Luka. Terjemahan oleh dr. Tyasmono A.F.
Jakarta:EGC.
Harmyastuti, Ika. (2015). Hubungan Kadar Albumin Dan Indeks Massa Tubuh
(Imt) Dengan Kejadian Dekubitus Pada Pasien Immobilisasi Di RSUD DR.
Moewardi [skripsi]. Surakarta (ID): STIKES KUSUMA HUSADA.
Sulidah&Susilowati. (2017). Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Kesehatan. Pengaruh
Tindakan Pencegahan Terhadap Kejadian Dekubitus Pada Lansia
Imobilisasi. Volume 15 No.3.
Sulis, M. (2010). Hubungan Status Nutrisi dengan Kejadian Dekubitus pada
Penderita Stroke di Yayasan Stroke Sarno Klaten. Skripsi
Nur, M. (2017). Gambaran Pengetahuan dan Persepsi Family Caregiver tentang
Pencegahan Dekubitus pada Anggota Keluarga yang Beresiko Dekubitus
Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan dan Ciputat. Skripsi
Supriadi, S. (2017). Dekubitus. Diakses pada 5 April 2019, dari
http://repository.umy.ac.id
Sulidah, S. (2017). Pengaruh tindakan pencegahan terhadap kejadian dekubitus
pada lansia imobilisasi. Jurnal ilmiah ilmu-ilmu kesehatan, 15
Morison, M. J. (2004). Manajemen luka. Penerbit buku kedokteran
Australian Wound Management Association (AWMA). (2012). Pan Pacific
Clinical Practice Guideline for the Prevention and Management of
Pressure Injury. Cambridge Media. Osborne Park, WA.
Jaul, E. (2010). Assessment And Management Of Pressure Ulcers In The Elderly.
Drugs & Aging, 27(4), 311-325.
Ns. Supriadi, M. (2018). INSTRUMEN LUKA TEKAN (PRESSURE ULCER).
stikeshamzar.ac.id.

Australian Wound Management Association. (2012). Pan Pacific Clinical


Practice Guideline for The Prevention and Management of Pressure
Injury. Australian : Cambridge Media Osborne Par
Ayello, E. A. (2007). Predicting pressure ulcer risk. Try this: best practices in
nursing care to older adults. AJN, 107(11), 45-47.
Utomo, W. 2012. Luka tekan (pressure ulcer) : penyebab dan pencegahan. Dikutip
pada tanggal 04 April 2019, dari : http://www.inna-ppni.or.id/index.php?
nama=News&file=print&sid=12k
Utomo, W. 2012. Efektifitas nigella sativa oil untuk mencegah terjadinya ulkus
dekubitus pada pasien tirah baring lama. Jurnal Ners Indonesia, Vol. (2) :
151-157. Dikutip pada 04 April 2019.

Anda mungkin juga menyukai