Anda di halaman 1dari 80

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 3.2 MODUL 2

KELOMPOK 7B :
Rezki Zamri (1710311011)
Miftah Ar Rahmah (1710311012)
Felicia Catherina (1710311054)
Windy Syafutra (1710311074)
Puji Anugrah (1710312048)
Rana Anasya Taqy (1710312080)
Athaya Zelvisena (1710313003)
M. Ikhlasul Amal Eel Taslim (1710313025)
Ihsan Otriami (1710313028)
Hanifatusyifa Amalina (1710313032)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS


TP 2019/2020

SKENARIO MODUL 2

Ostia, remaja perempuan berusia 20 tahun saat ini masih kuliah di salah satu universitas di kotanya.Tiap bulan
dia selalu datang ke puskesmas untuk mendapatkan obat. Ostia mengalami infeksi tulang yang sampai saat ini belum
sembuh juga. Dari tulang tibianya keluar cairan yang selalu membasahi kassa balutannya. Dokter mendiagnosis Ostia
mengalami osteomielitis.
Setahun yang lalu Ostia pernah mengalami bengkak di lutut, dan didiagnosis sebagai suatu penyakit
autoimun. Ketika itu diperiksa Rh factor (RF) dan ACPA. Rencana akan diberikan DMARD’s tapi hasilnya tidak
signifikan. Bengkak bertambah besar, keluarga merasa tidak puas dengan pengobatan RS dan dibawa ke tempat
pengobatan alternatif dengan pemijatan. Setelah beberapa kali dipijat, bengkaknya pecah dan mengeluarkan nanah.
Ostia dibawa ke puskesmas, awalnya diberikan antibiotika, namun setelah beberapa bulan tidak menunjukkan hasil,
akhirnya dirujuk ke RS.
Di Rumah Sakit, Ostia menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan laboratorium dan pencitraan. Hasil
laboratorium menunjukkan LED dan CRP meningkat, hasilX-ray cruris didapatkan sequester dan involucrum.
Dokter merencanakan tindakan operasi terhadap Ostia.
Nenek Ostia di rumah terlihat sangat bersedih, karena sakit lutut yang diderita. Kesedihan hati nenek semakin
dalam karena saat ini beliau tidak bisa melakukan ibadah shalat seperti biasa dan harus duduk di kursi saat shalat
karena nyeri lutut. Nenek sudah mencoba minum obat rematik yang dijual bebas di toko obat, namun tidak ada
perbaikan. Keluarga memutuskan membawa nenek ke dokter untuk berkonsultasi.
Pada pemeriksaan fisik, dokter mendapatkan lutut nenek membengkak, ada krepitasi ketika digerakkan, dan
keterbatasan gerakan fleksi dan ekstensi. Dokter memutuskan untuk melakukan pemeriksaan rongent pada lutut
nenek. Dari pemeriksaan rongent, diketahui nenek menderita kerusakan sendi lutut akibat faktor usia. Kerusakan
lutut ini diperberat karena nenek overweight. Berdasarkan pemeriksaan rongent dokter menyimpulkan kerusakan
lutut nenek sudah mencapai derajat 3 menurut kriteria Kellgren Lawrence.
Dokter menerangkan bahwa penyakit nenek tidak bisa sembuh sempurna, namun untuk mengoptimalkan
fungsi sendi, nenek harus berusaha menurunkan berat badan, dan mengurangi aktivitas yang banyak membebani
sendi lutut. Dokter memberikan analgetik dan merencanakan akan memberikan injeksi Hyaluronic acid. Talaksana
ini dilakukan untuk mengantisipasi penyulit yang mungkin timbul. Bagaimana anda menjelaskan apa yang terjadi
pada Ostia dan neneknya?

A. STEP 1 – TERMINOLOGI
1. Osteomielitis : Infeksi yang terjadi pada jaringan tulang, biasanya karena bakteri piogenik. Peradangan
tersebut mencakup sumsum tulang dan korteks, terjadi secara eksogen maupun hematogen.
2. Rh factor : Imunoglobulin yang bereaksi dengan IgG untuk mendiagnosis RA
3. ACPA : Anti-Citrullinated Protein Antibody adalah antibody terhadap protein atau peptide yang
mengandung sitrulin. ACPA test adalah pemeriksaan untuk mendiagnosis RA
4. DMARD’s : adalah pilihan obat-obatan untuk RA sesuai etiologinya yaitu menurunkan respon imun
sehingga menurunkan inflamasi yang terjadi pada sendi
5. Sequester : Segmen tulang yang mejadi nekrotik karena iskemik yang disebabkan oleh proses peradangan
dan berada diluar dari bagian jaringan tulang
6. Involucrum : Lapisan pertumbuhan tulang baru yang distimulasi oleh adanya nekrosis jaringan tulang lain
dimana lapisan ini tumbuh diantara korteks dan periosteum
7. Xray cruris : Xray yang dilakukan pada tungkai bawah yang meliputi tibia dan fibula
8. Kriteria Kellgren Lawrence : Kriteria yang digunakan untuk menilai derajat osteoarthritis
9. Hyaluronic Acid : Molekul yang terdapat di permukaan kulit yang berfungsi sebagai bantalan sendi, saraf,
dan memberi hidrasi untuk kulit dan rambut. Merupakan salah satu komponen cairan synovial pada sendi

B. STEP 2 – IDENTIFIKASI MASALAH


1. Apa penyebab terjadinya infeksi tulang yang tidak kunjung sembuh? Dan Mengapa datang setiap
bulan ke puskesmas untuk mengambil obat?
 Bisa disebabkan :
- Eksogen : infeksi bakteri piogenik yang akan dibantu dengan adanya trauma terlebih dahulu
sehingga bakteri bisa masuk kedalam tulang, atau karena iatrogenic yaitu tatalaksana terhadap
tulang yang tidak steril
- Endogen : infeksi secara hematogen seperti staphylococcus aureus
 Infeksi kronik yang terjadi karena tidak ditatalaksana langsung
 Tidak sembuh sembuh karena
- Virulensi mikroba : seperti kuman Staphylococcus aureus  masuk kedalam osteoblast 
berkembang biak  memproduksi biovilem yang tidak bisa ditembus oleh antibiotik
- Kondisi Host : HIV, DM
- Ketidaksesuaian antibiotik yang diberikan pada pasien yang bisa disebabkan karena salah
diagnosis. Bisa juga dicegah dengan test kesensitivitasan bakteri
- Sirkulasi yang kurang  nekrosis pada tulang
 Selain jalur hematogen, bisa melalui luka terbuka, luka terbakar, inokulasi langsung
 Pembentukan sequestur  berbentuk seperti jaringan nekrotik  bisa berproliforasi  sulit diatasi
hanya dengan pemberian antibiotic

2. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan pasien?


 Usia
- Semakin bertambah, semakin sering.
- Anak lebih sering terjadi pada metafisis, pada orang dewasa lebih sering terjadi pada vertebrae
- Namun usia tidak terlalu signifikan
-
 Jenis Kelamin : Pada pria lebih sering daripada wanita, karena hygiene yang buruk dan sering
mengalami trauma
3. Mengapa dari tulang tibia bisa keluar cairan yang membasahi balutan?
 Virulensi mikroba yang kuat
- Apabila bisa menghindar dari sistem imun
- Mampu melekat pada tulang
- Mampu menembus jaringan
- Mampu membentuk koloni pada matriks tulang
 Pada bagian metafisis, terjadi perlambatan aliran darah  kalau ada bakteri pada darah  bisa terjadi
infeksi pada bagian metafisis dan adanya focus infeksi  tekanan pada tulang lebih besar daripada
tekanan pada vaskuler  iskemi di bagian metafisis  nyeri  bisa terjadi ekspansi ke medulla dan
korteks tulang  bila infeksi sudah melewati periosteum dan melewati kulit, terbentuk sinus dari
tulang ke kulit  pus keluar ke kulit sehingga membasahi balutan
 APC  sel T helper mengeluarkan sitokin  mengaktivkan antibodi, Sel T  perlawanan antara
mikroorganisme dengan leukosit  Antigen – antibody kompleks bercambur dengan debris
membentuk pus  pus semakin banyak  membentuk fistel ke kutaneus  pus keluar
 Cidera atau trauma pada tulang

4. Mengapa dokter mendiagnosis osteomyelitis?


 Dilihat dari gejalanya yaitu infeksi dan peradangan
 Harus bahas lebih banyak
 Tanda dan gejala
- Demam
- Dehidrasi
- Panas
- Nyeri
- Tanda-tanda abses
 Anamnesis : adanya tanda tanda peradangan seperti kalor (panas), dolor (nyeri), rubor (merah), tumor
(pembengkakan), dan perubahan fungsi
 Pemfis : adanya pus yang keluar dan ditemukan pada kassa balutan

5. Mengapa dokter melakukan pemeriksaan Rh faktor dan ACPA pada Ostia?


 Untuk menentukan Ostia Rematoid Arthritis
 Rf muncul pada 75 – 80 % pasien RA
 Tanya puji dan feli

6. Mengapa dokter memberikan DMARD’s namun tidak mengalami hasil yang signifikan?
 DMARD’s menekan sistem imun untuk mengontrol penyakit autoimun  namun membutuhkan
waktu yang lama untuk mendapatkan respon terapeutik yang baik (6 bulan)  jika tidak menunjukan
manfaatnya  penggunaan obat dihentikan dan diganti dengan OAINS
 Merupakan obat tahap awal untuk mencegah kerusakan jaringan tulang, tendon, ligament
 Merupakan obat spesifik pada orang yang terkena Rheumatoid Arthritis dan tidak ada pada layaran
primer
 Kenapa Ostia tidak mengalami hasil yang signifikan karena
- Ostia masih kuliah  melakukan banyak aktivitas dimana harus nya banyak beristirahat
- Tidak teratur minum obat
 RA  tidak bisa sembuh dan hanya bisa dikontrol  oleh DMARD’s

7. Mengapa Ostia mengalami bengkak lutut 1 tahun yang lalu dan didiagnosa mengalami kelainan
autoimun? Apakah ada kaitannya penyakit autoimun dengan keluhannya yang sekarang?
 Penyakit rematik autoimun  tidak bisa disembuhkan
 Makrofag
- keluar sitokin inflamasi seperti IL1 IL6 dan TNF alfa  membrane lebih opermeable
- berperan sebegai APC  reaksi imun  terbentuk panus
 Adanya autoimun  lebih rentan terkena infeksi
 TNF alfa merangsang
- Osteoklas
- Kondrosit  celah antara sendi menjadi sempit
- Tanya amah

8. Mengapa bengkak dilutut ostia bisa bertambah besar?


 Infeksi  penyeluaran sitokin  proliferasi synoviosit A dan B  sendi bertambah besar

9. Apa komplikasi dari pemijatan yang diberikan kepada Ostia?


 Dipijat dengan Teknik yang benar dan sesuai dengan kondisi medis pasien  dapat mengurangi
keluhan
- Triger point massage
10. Mengapa setelah diberikan antibiotik keluhannya tidak mengalami perbaikan?
 Osteomyelitis kronis  biasanya karena poli mikroba  diberikan antibiotic spektrum sempit 
tidak sembuh
 Setelah diberikan antibiotic spesifik tp tidak merespon  diberikan MRSA

11. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan laboratorium dan radiologi?


 CRP : jika terjadi inflamsi bisa meningkat
 LED : meningkat pada proses inflamasi (dipengaruhi fibrinogen, sel darah merah, plasma darah,
gravitasi, protein darah, teknis,
 Xray : telah terjadi inflamasi disana karena ada sequester dan involucrum
- Sequester : Nampak lusen hitam karena nekrosis
- Involuctrum : gambaran radioopak
- Sehingga tulang nampak bengkak

12. Mengapa dokter merencanakan tindakan operasi pada Ostia?


 Indikasi
- Tidak merespon terhadap antibiotik (ditinjau dulu selama 4 sampai 6 minggu)
- Mencegah penyebaran infeksi
 Bisa pengangkatan jaringan, pengangkatan pus, sampai amputasi

13. Mengapa bisa terjadi sakit lutut pada nenek dan disertai nyeri?
 Cairan synovial yang verkurang, sendi kaku, jaringan pelindung tidak ada, dan diperparah dengan usia
tua dan overweight  memperberat kondisi sendi
 Penipisan kartilago  Pelapasan ________ 
 Osteoarhtritis  gejala mirip dengan RA
 Nyeri : proteoglikan untuk fungsi kondrosit, pada seseorang yang mengalamai osteoarthritis
pengahncuran kolagen dan proteglikan lebih banyak dibanding pembentukan  kaku sendi
 Fase menopause mempengaruhi fungsi sendi

14. Bagaimana efek samping yang mungkin timbul setelah minum obat rematik tanpa resep dokter?
Biasanya : OAINS.
Bisa Efek Samping : gastropati. Menghambat prostaglandin. Sehingga aliran darah ke mukosa gaster
terhambat. Jadi bisa gastritis. Bahaya bila dimakan dalam jangka panjang.
Jadi dipilih obat2 yg selektif thdp prostaglandin.
Kortikosteroid dapat menekan kelenjar adrenal. Bagian korteks adrenalnya.

15. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik nenek?


Bengkak : inflamasi
Krepitasi : cairan sinovial menyebabkan jarak antara 2 tulang menyempit.
Fleksi dan ekstensi : terbatas.

16. Apa hubungan usia dan overweight thdp nyeri lutut nenek?
 Usia
Dengan pertambahan usia akan terjadi penurunan volume kartilago, kandungan proteoglikan,
vaskularisasi kartilago, dan perfusi kartilago. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan
karakteristik yang dapat ditemukan pada gambaran radiologi, termasuk penipisan pada celah
persendian, dan timbulnya ostheopite. Namun demikian, penelitian mengenai biokimia dan
patofisiologi OA mendukung gagasan bahwa usia itu sendiri sudah cukup menjadi penyebab OA.
 Obesitas
Obesitas meningkatkan tekanan mekanik pada sendi yang menjadi tumpuan tubuh. Hal tersebut erat
kaitannya dengan OA pada lutut dan pada bagian yang terendah dari panggul. Sebuah studi yang
mengevaluasi hubungan di antara body mass index (BMI) lebih dari 14 tahun dan nyeri lutut pada
tahun 15 pada 594 wanita ditemukan bahwa BMI yang tinggi pada tahun 1 dan sebuah peningkatan
BMI yang signifikan lebih dari 15 tahun merupakan predictor dari nyeri lutut secara bilateral pada
tahun ke 15. Hubungan di antara peningkatan BMI dan nyeri lutut tidak tergantung pada perubahan
radiologi (Carlos J Lozada et al, 2015). Selain berpengaruh pada efek mekanik, obesitas mungkin
menjadi faktor resiko terjadinya inflamasi pada OA. Obesitas berhubungan dengan peningkatan level
(baik sistemik maupun intra articular) adipokinesis (sitokin yang berasal dari jaringan adipose), yang
mungkin menyebabkan inflamasi pada sendi. Setiap kilogram penambahan berat badan atau masa
tubuh dapat meningkatkan beban tekan lutut sekitar 4 kilogram.
 Usia : bagian sendi kan ada pelumas alami. Seiring bertambah usia semakin berkurang. Jd sendi kering
fan sering tjd pergesekan.
 Overweight : banyak jaringan lemak. Meningkatkan tekanan pada persendian. Gula darah bisa tinggi
juga.
17. Mengapa dilakukan rontgen dan bagaimana interpretasinya?
Untuk melihat sudah sejauh mana derajat kellgren lawrencenya. Berdasarkan osteofit.

18. Bagaimana kerusakan lutut nenek berdasar kriteria Kellgren-lawrence?


Berdasarkan gambaran radiologi, OA lutut dapat diklasifikasikan dalam lima grade menurut Kellgren –
Lawrence, yaitu:
Grade 0 : tidak ditemukan penyempitan ruang sendi atau perubahan reaktif „
Grade 1 : penyempitan ruang sendi meragukan dengan kemungkinan bentukan osteofit „ Grade 2 : osteofit
jelas, kemungkinan penyempitan ruang sendi „
Grade 3 : osteofit sedang, penyempitan ruang sendi jelas, nampak sklerosis, kemungkinan deformitas pada
ujung tulang „
Grade 4 : osteofit besar, penyempitan ruang sendi jelas, sklerosis berat, nampak deformitas ujung tulang

Adapun gambaran radiologis sendi yang menyokong diagnosis OA adalah :


 Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung beban)
 Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
 Kista tulang
 Osteofit pada pinggir sendi
 Perubahan struktur anatomi sendi.
Ada deformitas tulang dan penyempitan celah sendinya. Dibandingkan dengan kedua sendinya.
19. Mengapa penyakit nenek tidak bisa sembuh sempurna?
OA sebagai penyakit degeneratif yaitu kronis dan progresif.

C. STEP 5 – LEARNING OBJECTIVE


1. Definisi dan Klasifikasi dari Infeksi, Inflamasi, dan Autoimun Sistem Musculosceletal
2. Epidemiologi dari Infeksi, Inflamasi, dan Autoimun Sistem Musculosceletal
3. Faktor Risiko dan Etiologi dari Infeksi, Inflamasi, dan Autoimun Sistem Musculosceletal
4. Patofisiologi dan Patogenesis dari Infeksi, Inflamasi, dan Autoimun Sistem Musculosceletal
5. Gejala Klinis dari Infeksi, Inflamasi, dan Autoimun Sistem Musculosceletal
6. Prinsip Diagnosis dari Infeksi, Inflamasi, dan Autoimun Sistem Musculosceletal
7. Tatalaksana dari Infeksi, Inflamasi, dan Autoimun Sistem Musculosceletal
8. Komplikasi dan Prognosis dari Infeksi, Inflamasi, dan Autoimun Sistem Musculosceletal
9. Kasus Rujukan dari Infeksi, Inflamasi, dan Autoimun Sistem Musculosceletal

D. STEP 6 – BELAJAR MANDIRI


1. OSTEOMIELITIS

DEFINISI
Osteomielitis adalah penyakit peradangan tulang dan sumsumnya yang disebabkan oleh
infeksi mikroorganisme yaitu bakteri, mycobacterium, atau jamur - nekrosis tulang steril,
seperti avascular necrosis of the bone dan chronic multifocal reccurent osteomyelitis adalah
golongan penyakit yang berbeda - Selain tulang, infeksi dapat meluas ke jaringan sekitarnya. Osteomielitis
kebanyakan terjadi pada satu lokasi / region tubuh, namun dapat terjadi
bersamaan pada lebih dari satu regio (multifokal), terutama pada pasien dengan gangguan
metabolik maupun sistem imun.
EPIDEMIOLOGI
Insidensi osteomieilitis pada anak adalah 13 / 100,000 / tahun (8 untuk kasus akut dan 5
untuk kasus subakut). Insidensi osteomielitis lebih tinggi pada anak di bawah usia 3 tahun
dibandingkan dengan anak usia tua. Osteomielitis non-vertebral (10 per 100.000) juga
memiliki insidensi yang lebih tinggi dibandingkan osteomielitis vertebral (3 per 100.000) pada
anak-anak. Osteomielitis vertebral lebih sering terjadi pada anak perempuan.
Insidens osteomielitis pada orang dewasa adalah 21.8 / 100,000 / tahun lebih tinggi
pada pria dibandingkan pada wanita dan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Insidensi ini juga dilaporkan meningkat, contohnya pada tahun 1969 – 1979 insidensi
osteomielitis hanya 11.4 / 100,000 / tahun, dan pada tahun 2000 – 2009 insidensi osteomielitis
meningkat menjadi 24.4 / 100,000 / tahun.
KLASIFIKASI
Osteomielitis biasanya dibagi berdasarkan durasi yaitu akut, subakut, dan kronis. -perlu
diingat, tidak ada batas yang tegas durasi infeksi yang membedakan ketiga kondisi tersebut
sehingga hanya dapat dijadikan acuan umum saja-. Kondisi akut terjadi pada infeksi baru
(beberapa hari sampai minggu pertama ) dimana tanda- tanda radang akut terlihat jelas disertai
demam, malaise, dan iritabilitas pasien. – pada neonates, kondisi sistemik mungkin tidak jelas
akibat belum maturnya sistem imun, pada dewasa, demam terjadi hanya pada 50% kasus.
Kondisi subakut terjadi dalam minggu pertama sampai beberapa bulan, dimana kondisi
inflamasi lokal terlihat ringan dan tidak terdapat gejala sistemik yang jelas. Kondisi kronis
terjadi dalam beberapa bulan, ditandai dengan kondisi inflamasi lokal kronis dengan perubahan
warna kulit, jaringan parut, bengkak hilang timbul, dan keluarnya cairan dari lubang di kulit
(draining sinus) berulang. Deteksi dini saat kondisi akut dan terapi antibiotika spesifik yang
sesuai dapat berhasil. Untuk kondisi subakut dan kronis, diperlukan tindakan bedah eksisi
jaringan mati tulang
Pembagian lain adalah berdasarkan patogenesisnya. Tipe pertama adalah osteomielitis
akibat penyebaran kuman langsung ke tulang (contiguous-focus). Mekanisme terjadinya infeksi
berupa sebagai berikut:
1. Akibat trauma, fraktur terbuka, tusukan benda tajam ke tulang, maupun tindakan
operasi pemasangan implant dan prostesis pada tulang. Biasanya terjadi pada orang dewasa dan
mengenai tulang tibia-Operasi penggantian sendi di seluruh dunia terus meningkat jumlahnya,
sehingga osteomyelitis akibat prostesis akan lebih meningkat pula jumlahnya. Saat ini, melalui teknik sterilitas dan
pemberian antibiotik profilaksis yang baik, angka infeksi pada penggantian
sendi panggul yang dapat diterima adalah kurang dari 1 %, sedangan untuk sendi yang lain,
angkanya lebih tinggi dari itu karena lokasinya yang lebih dekat dengan kulit.
2. Luka di kulit yang terinfeksi dan infeksinya menyebar langsung ke tulang di dekatnya
(selulitis, abses)
3. Gangguan dari kulit di sekitar tulang akibat kerusakan pembuluh darah dan saraf
(angiopathy dan neuropathy).Osteomielitis pada pasien dengan gangguan vaskuler maupun
neuropati didominasi oleh pasien diabetes mellitus, dimana luka pada kulit kaki menjadi pintu
masuk mikroorganisme untuk mencapai tulang. Luka mudah timbul akibat gangguan mekanisme
daya tahan tubuh, berkurangnya atau memburuknya aliran darah perifer, dan penurunan
sensibilitas kulit.- waspada dengan sumbatan arteri perifer, tindakan pembersihan
osteomielitis saja tanpa penanganan sumbatan akan memperburuk keadaan lukaPada tipe contiguous-focus ini,
infeksi dimulai dari korteks tulang bagian luar, kemudian
menyebar ke arah medulla tulang.
Pada orang tua, septic arthritis (paling sering lutut) dapat
menyebabkan osteomielitis melalui penyebaran dan infiltrasi panus ke epifisis dan metafisis
sendi. Demam ringan, nyeri di tempat infeksi dan luka berair mungkin terjadi.
Tipe kedua adalah osteomielitis akibat penyebaran kuman melalui aliran darah
(hematogenik).
Pada anak-anak, metafisis tulang panjang tibia dan femur adalah yang paling
sering terkena, sedangkan pada orang dewasa, korpus vertebra lumbal, diikuti torakal kemudian
servikal secara berurutan menurut frekuensi adalah yang sering terlibat.
Osteomielitis vertebral pada orang dewasa memiliki gejala yang tidak spesifik sehingga
diagnosisnya sering terlambat. Pada orang muda kondisi jarang fatal, namun pada orang tua,
osteomielitis vertebral dapat menjadi dapat menjadi sumber bakteremia dan endokarditis dan
menimbulkan kematian.
Pada anak, infeksi dapat menyebar ke sendi di dekatnya, menyebabkan terjadinya septic
arthritis. Hal ini mudah terjadi pada sendi dimana metafisisnya terletak di dalam kapsul sendi,
sehingga destruksi infeksius korteks metafisis langsung menyebarkan mikroorganisme ke dalam
sendi (sendi panggul dan sendi radiocapitular elbow). Pada neonatus, masih terdapat pembuluh
darah dari metafisis yang menembus lempeng epifise, sehingga infeksi metafisis dapat langsung menyebar ke epifisis
dan langsung ke sendi.- kondisi septic arthritis adalah kondisi urgen
dimana nanah yang mengandung enzim proteolitik harus segera dikeluarkan dari sendi sebelum
menimbulkan kerusakan permanen pada tulang rawan sendi yang akan menyebabkan cacat
permanen.
Pada tipe osteomielitis hematogenik, mikroorganisme turut dalam peredaran darah dan
kemudian berkoloni di metafisis tulang. Kesempatan untuk menempel di metafisis diakibatkan melambatnya aliran
darah di metafisis akibat looping arteri mendekati dan menjauhi epiphyseal plate pada anak-anak, ditambah dengan
trauma yang mengakibatkan edema lokal - anak dengan nyeri intens beberapa hari setelah trauma ringan di tungkai
sering disalah pahami sebagai keseleo atau patah tulang oleh orang tua, sehingga memperlambat penanganan-
Sumber infeksi dapat berasal dari infeksi saluran napas, kulit maupun saluran kemih, maupun pencernaan. Jenis ini
kebanyakan terjadi pada anak prepubertal dan pada orang tua. Pada anak-anak, bagian yang
sering terinfeksi adalah metafisis tulang panjang femur dan tibia. Pada orang tua, vertebra lumbal
diikuti thorakal adalah bagian yang umumnya terlibat.
Dari sisi praktikal, klasifikasi yang banyak saat ini adalah berdasarkan Cierny-Madder /
University of Texas Medical Branch, yang menggabungkan antara tipe infeksi dengan status
imun dari pasien. Klasifikasi ini membantu ahli bedah untuk menentukan jenis tindakan dan
kapan harus dilakukan.
The UTMB Staging System for Adult Osteomyelitis
Anatomic Type
I Medullary osteomyelitis
II Superficial osteomyelitis
III Localized osteomyelitis
IV Diffuse osteomyelitis
Physiologic Class
Good immune system and
A
delivery
Compromised locally (BL)
B
or systematically (BS)
Requires suppressive or no
treatment; minimal
disability;
C
treatment worse than
disease; not a surgical
candidate
Clinical Stage
Type + Class = Clinical Stage
Example: Stage IV BS = a diffuse lesion in a
systematically compromised host 3

ETIOLOGI
Penyebab tersering osteomielitis adalah Staphylococcus aureus. Pada bayi baru lahir dan
infant, selain S.aureus, penyebab lainya adalah S.epidermidis, Streptococcus b hemoliticus dan E
coli. Sumber infeksi biasanya adalah pemasangan central venous catheters.Infeksi dapat terjadi
multifokal, dan setengah dari kasus menyebabkan septic arthritis sendi di dekatnya.
Pada anak, penyebab tersering adalah S.aureus, diikuti oleh Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenza type B dan Kinsella kingae. Anak dengan penyakit sickle cell memiliki
resiko lebih tinggi mengalami osteomielitis, dengan penyebab utama Salmonela species, S
aureus, Serratia species, dan Proteus mirabilis
Sedangkan pada orang tua, infeksi dapat disebabkan oleh bakteri gram negatif seperti
E.coli, Proteus mirabilis, dan lainnya. Pada pasien yang teridentifikasi salmonella sebagai
penyebabnya, perlu dideteksi adanya kemungkinan sickle cell disease, sedangkan pada infeksi
akibat ganguan neurovaskular, kemungkinan terdapat infeksi campuran (polimikrobial), aerob
dan anaerob.1,2- keberhasilan pengobatan osteomyelitis adalah dengan mengidentifikasi
mikrorganisme spesifik penyebab infeksi, baik melalui kultur darah maupun biopsi tulang.
PATOFISIOLOGI
Proses mikroorganisme untuk menempel dan membentuk koloni dalam tulang
dipengaruhi virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, dan kondisi lokal jaringan. Virulensi
mikroorganisme ditentukan oleh kemampuan untuk melekat pada matriks tulang, bertahan
terhadap mekanisme fagositosis pertahanan tubuh,dan kemampuan untuk menembus jaringan.
Kemampuan melekat dibentuk oleh polisakarida yang diproduksi oleh mikroorganisme.
Penghindaran terhadap mekanisme pertahanan tubuh dilakukan melalui produksi protein,
sedangkan kemampuan invasi kuman dilakukan melalui enzim hidrolase. Staphylococcus
aureus, juga memiliki kemampuan untuk hidup intrasel, dan membentuk biofilm sehingga
mempersulit mekanisme pertahanan tubuh alami untuk membunuh mikroorganisme tersebut.
Biofilm adalah lapisan koloni mikroorganisme patogen yang saling terhubung dalam
membrane dengan metabolism lebih rendah. Hubungan antar sel tersebut memudahkan distribusi nutrisi, dan
metabolism yang rendah menjadikan antibiotika kurang efektif. Lapisan membran
tersebut juga menghambat difusi antibiotika dan mekanisme fagositosis tubuh.- biofilm ini
adalah salah satu sebab sulitnya mengeliminasi infeksi pada pemasangan prostesis, sehingga
prostesis harus diganti atau dilepas saat operasi pembersihan -
Infeksi kuman ke dalam darah terjadi melalui abrasi kulit, trauma benda tajam, penyakit
gigi, melalui tali pusat yang terinfeksi pada neonatus, maupun pemasangan IV line terutama
pada neonates. Pada osteomielitis hematogenik, bersarangnya kuman pada metafisis tulang
panjang anak diduga akibat melambatnya aliran darah yang disebabkan melengkungnya
(looping) pembuluh darah saat mendekati dan menjauhi lempeng epifisis, serta tiadanya lapisan
membranosa di bagian itu. Sehingga menimbulkan kondisi yang bersifat relatif avaskular di
dekat lempeng epifisis dan mungkin ditambah dengan adanya trauma lokal di daerah tersebut.
Aliran yang lambat ini memungkinkan kuman melekat dan berproliferasi di daerah metafisis
tersebut.
Proliferasi kuman pada fokus infeksi menyebabkan meningginya tekanan intraoseus
lokal melebihi tekanan kapiler darah sehingga terjadi kondisi iskemia jaringan.-ini menjelaskan
nyeri konstan intens yang dirasakan pasien di ujung tulang panjang - Proses pertahanan tubuh
selular maupun humoral untuk mengeliminasi infeksi, dikombinasikan dengan enzim dari
mikroorganisme dan kondisi iskemia jaringan menyebabkan destruksi trabekula tulang. Pada
area sekitar fokus infeksi terjadi proses penyerapan tulang oleh osteoklas, yang akhirnya
membuat fokus infeksi terpisah dari jaringan tulang di sekitarnya. Tulang nekrotik yang terpisah
dari jaringan sekitarnya terputus dari aliran darah tubuh dinamakan sequester. Sequester
menjadi tempat bersarangnya koloni mikroorganisme yang tidak terjangkau oleh mekanisme
pertahanan tubuh maupun antibiotika,dan merupakan penyebab kegagalan terapi medikamentosa.

Selanjutnya terjadi ekspansi dari infeksi terjadi ke arah medulla dan ke arah korteks.
Penyebaran kearahluar mendestruksi korteks sendi, dan pus yang terbentuk mengangkat
periosteum dari korteks, merangsang pembentukan tulang baru di bawah perisosteum yang
terangkat, yang dinamakan involukrum. Infeksi kemudian bergerak menuju permukaan kulit,
dan pus keluar dari kulit melalui sinus. Infeksi juga dapat merabat melalui periosteum menuju
epifisis dan sendi didekatnya dan mengakibatkan artritis septik.Kadang dapat terjadi kerusakan korteks yang luas
pada tulang panjang yang memungkinkan serpihan tulang mati terdorong
keluar tubuh. Lubang di korteks tulang itu dinamakan kloaka.
Selama proses tersebut, tulang melakukan reaksi untuk melokalisir proses infeksi dengan
melakukan pembentukan tulang baru di sekitar fokus infeksi. Bila berhasil, fokus infeksi akan
terlokalisir dan dormant di dalam bungkusan penebalan tulang yang disebut abses Brodie,
dengan manifestasi klinis minimal. Bila ekspansi dan virulensi kuman melebihi kemampuan
daya tahan tubuh, tulang hanya mampu membuat involukrum, untuk mencegah kerusakan tulang
yang lebih luas dan fraktur patologis
Pada anak –anak, proses infeksi ke arah epifisis dan sendi tertahan di lempeng epifisis
yang bersifat avaskular. Ekstensi infeksi dari osteomielitis pada metafisis dapat mencapai
jaringan lunak di sekitar sendi dan membentuk infeksi sendi sekunder (septic arthritis). Infeksi
sendi sekunder lebih mudah terjadi pada sendi-sendi dengan metafisis yang secara anatomis
berada di dalam sendi, seperti hip joint dan radiocapitular joint.
Pada orang dewasa, penyebaran osteomielitis dapat terjadi pada 2 korpus vertebrae yang
berdekatan karena diperdarahi oleh 1 segmental arteri yang sama. Proses destruksi tulang,
diawali di daerah end plate dari korpus vertebrae, menyerupai proses ekstensi infeksi yang
terjadi pada metafisis anak. Ekstensi kearah diskus mengakibatkan kerusakan dan kolaps dari
diskus antara 2 vertebra yang terinfeksi. - Keterlibatan diskus ini penting untuk membedakan
dengan proses neoplasma yang biasanya tidak melibatkan diskus intervertebralis-.
Proses osteomielitis pada pemasangan prosteis dan implan adalah melalui implantasi
mikroorganisme langsung pada tulang melalui implan. Mikroorganisme terutama S.aureus
memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm pada permukaan implan, yang relatif resisten
terhadap sistem imunitas tubuh dan antibiotika.
MANIFESTASI KLINIS
Osteomielitis hematogenik akut pada anak, keluhan awal berupa nyeri di ujung tulang
panjang yang persisten dengan intensitas yang semakin berat, diikuti oleh demam, rewel,
malaise, . Biasanya anak memiliki kecenderungan untuk tidak menggunakan atau menggerakan ekstremitas yang
terinfeksi, dan tidak membiarkan area yang terinfeksi disentuh. Bisa didapatkan
adanya riwayat cedera muskuloskeletal beberapa hari sebelumnya, sehingga kadang keluarga
pasien menyangka nyeri adalah sprain atau patah tulang akibat cedera. Sesudah itu tanda
peradangan mulai nampak seperti edema, kemerahan, hangat, nyeri tekan pada jaringan tulang
sekitar sendi. Tanda- tanda lokal tersebut biasanya mereda setelah 5 sampai 7 hari, sehingga
kadang disangka infeksi sudah membaik.
Pada osteomielitis hematogenik subakut, gambaran klinis yang ditunjukkan bersifat lebih
ringan, bisa diakibatkan virulensi rendah dari patogen atau daya tahan tubuh pasien yang lebih
resisten atau kombinasi keduanya dengan lokasi predileksi yang sama dengan osteomielitis
hematogenik akut. Gambaran klinis bisa berupa nyeri pada area mendekati sendi untuk beberapa
minggu. Dari pemeriksaan fisik bisa didapatkan terlihat lemas, bengkak minimal, atrofi otot, dan
nyeri tekan lokal. Suhu tubuh biasanya normal.
Pada kasus yang mendekati kronis didapatkan pus yang keluar dari kulit melalui lubang
yang dinamakan sinus. Sejalan dengan progresivitas menjadi kronis, terjadi perubahan bentuk
tulang, hiperpigmentasi kulit, jaringan parut pada sinus yang menutup. Draining sinus berulang
merupakan konfirmasi telah terjadi proses kronik infeksi. Limfadenopati juga sering ditemukan
walaupun bersifat tidak spesifik pada osteomielitis. Perlu diingat bahwa gambaran klinis ini
dapat berubah bila pasien sudah mendapatkan antibiotik.6
Pada kasus osteomielitis pasca trauma dapat ditemukan deformitas tulang atau nonunion, sedangkan pada
osteomielitis akibat pemasangan prostesis atau implan biasanya tandatanda infeksi baru akan mulai muncul antara 3
minggu – 1 tahun pasca operasi. Pada awalnya,
nyeri yang ditimbulkan sulit dibedakan dengan nyeri akibat instabilitas atau loosening dari
implant. Yang memperkuat terjadinya infeksi adalah tanda-tanda peradangan lokal dengan
adanya cairan purulen saat diaspirasi, atau terbentuknya sinus yang berhubungan dengan
prostesis.
Pada neonatus dan bayi, dapat ditemukan limitasi dari tungkai atau ekstremitas yang
terkena infeksi (pseudoparalisis), gangguan konstitusional yang bersifat ringan, gangguan
tumbuh kembang, terlihat mengantuk dan gelisah. Namun perlu diwaspadai karena demam
belum tentu dapat ditemukan akibat dari sistem imun yang belum matur, sehingga reaksi
inflamasi tidak akan seberat dari anak yang lebih tua atau orang dewasa. Pada orang tua keluhan dapat berupa nyeri
di daerah punggung yang dirasa makin bertambah dan dapat disertai demam.
Nyeri ini tidak hilang walaupun pasien beristirahat dengan berbaring.
DIAGNOSIS
Imaging
Osteomielitis dapat terdeteksi melalui pemeriksaan x ray, dimana didapatkan adanya
destruksi tulang, reaksi periosteum, pembengkakan jaringan lunak, dan pembentukan sequester.
Pada kasus subakut bisa didapatkan adanya lesi berbatas tegas, bulat, bersifat radiolusen berupa
kavitas dengan diameter berukuran 1 – 2 cm. Kavitas dapat dikelilingi oleh sklerosis (abses
Brodie).

Namun perlu diingat, pada tahap awal infeksi, gambaran x-ray bisa terlihat normal.
Manifestasi tulang pada osteomielitis hematogenis akut didapatkan setelah 10 sampai 21 hari
pasca infeksi sehingga diagnosis klinis pada kasus akut tidak boleh didasarkan pada gambaran x
ray.– osteomielitis hematogenik akut adalah diagnostik klinis tanpa perlu menunggu manifestasi
radiologi. Ultrasonography berguna untuk melihat adanya edema periosteum dan kumpulan cairan di permukaan
tulang.– deteksi cairan di permukaan tulang dengan ultrasonography pada pasien dengan nyeri tulang akut tanpa
trauma mengarah ke diagnosis osteomyelitis.
MRI merupakan modalitas pencitraan yang sangat baik untuk mendeteksi kondisi infeksi
awal, yaitu adanya edema pada metafisis tulang, pembengkakan jaringan lunak, dan
pembentukan pus. Pada kondisi infeksi awal, didapatkan abnormalitas pada sumsum tulang
berupa gambaran penurunan intensitas pada T1weighted image dan peningkatan intensitas pada
T2 weighted image.
CT scan baik untuk melihat ekstensi dari sequester, destruksi tulang, asal dari sinus,
sehingga berguna dalam persiapan tindakan bedah untuk memprediksi seberapa banyak tulang
sehat yang tersisa dan menentuka perlu tidaknya pemasangan implant untuk memperkuat tulang
post operasi, CT scan kurang baik untuk pemeriksaan osteomielitis post pemasanangan prostesis
dan implan karena gambaran yang kurang jelas akibat mekanisme scattered.

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah radionuklir (bone scan), biasanya
ditujukan terutama untuk osteomielitis yang bersifat multifokal,dengan sensitivitas lebih dari
98% dan spesifisitas mencapai lebih dari 70%. Pada pemeriksaan bone scan dapat terlihat adanya
peningkatan uptake yang biasanya dapat disimpulkan adanya inflamasi. Peningkatan uptake ini
tidak hanya terjadi pada proses inflamasi, namun dapat terjadi juga pada lempeng epifisis sebagai
lempeng pertumbuhan sehingga sukar untuk membedakan proses inflamasi dan fisiologis dari
epifisis itu sendiri.Pemeriksaan radiolabeling pada leukosit lebih spesifik terhadap proses
infeksi namun jarang dilakukan. Bika peningkatan uptake terjadi radiolabel leukosit tapi hasil
scan 99m bone marrow scan negatif, dapat disimpulkan terjadi osteomielitis.

Pemeriksaan radionuklir lainnya seperti FDG/PET scan memiliki sensitifitas dan


spesifisitas tinggi terhadap osteomielitis ( 97.5% dan 86.3%) namun kurang efektif bila terdapat
implan.
LABORATORIUM
Pada kasus akut seperti osteomielitis hematogenik akut pada anak, dapat terjadi kenaikan
jumlah leukosit, namun leukosit dapat ditemukan normal pada bayi dan orang tua. Pada
osteomielitis juga dapat ditemukan peningkatan dari ESR dan CRP. Namun perlu diingat baikbaik, bahwa
peningkatan dari leukosit, ESR, dan CRP tidak hanya terjadi pada kasus
osteomielitis, sehingga ketiga pemeriksaan tersebut bersifat tidak spesifik. Pada osteomyelitis hematogenik subakut,
hitung leukosit dan kultur darah dapat menunjukkan hasil yang normal,
terjadi peningkatan ESR secara minimal.
Kultur darah untuk mencari penyebab hanya dalam 50% kasus. Sebaiknya dilakukan
sebelum pemberian antibiotika atau 48 jam sesudah antibiotika dihentikan. Hal ini terutama
berguna untuk kasus osteomielitis hematogenik akut – lakukan pengambilan darah terlebih
dahulu untuk kultur sebelum memberikan antibiotika pada kasus akut –
Marker yang rutin dipakai dalam follow up pengobatan osteomielitis adalah CRP dan
ESR. CRP diharapkan membaik 1 minggu sejak pengobatan dan ESR setelah 1 bulan
pengobatan.
HISTOPATOLOGI
Mikroorganisme penyebab osteomielitis dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan
kultur dan histopatologi yang berasal dari tulang yang terkena. Biopsi dan kultur untuk
osteomielitis harus mencakup tulang yang terkena, dan tidak melalui daerah sinus atau ulkus
karena rawan terkontaminasi bakteri flora normal kulit. Hal ini juga berlaku untuk luka neuropati
pada kaki osteomielitis.10 –tindakan swab melalui luka kulit terbatas manfaatnya, sehingga tidak
dianjurkan. Pengambilan sampel tulang hars melalui jaringan sehat –
Pada sebagian jaringan dilakukan pemeriksaan pewarnaan gram dan Ziehl Nielssen
untuk memberikan hasil yang lebih cepat dan menyingkirkan penyebab mycobacterium .
Pemeriksaan kultur yang dilakukan adalah pemeriksaan aerob dan anaerob, dan bila tidak
ditemukan koloni kuman tumbuh, pemeriksaan dilanjutkan dengan kultur mycobacterium dan
fungus yang membutuhkan waktu lebih lama.
Bila dari pemeriksaan histopatologi didapatkan hasil neutrofil lebih dari 6 per lapang
pandang besar, mengindikasikan positif terjadinya proses infeksi. Pewarnaan Ziehl Nelssen dan penemuan sel
polidatia Langhans pada pemeriksaan histopatologi merujuk pada
mycobacterium sehingga terapi segera dapat dilaksanakan tanpa menunggu hasil kultur. Pada
kecurigaan infeksi pada implan, biopsi harus dilakukan pada beberapa tempat untuk memastikan
representasi dari jaringan yang diambil. Minimal dilakukan 3 biopsi dari jaringan periprostesis
dan dilakukan pemeriksaan kultur.
TATALAKSANA
Pada dasarnya terapi dari osteomielitis berupa: (1) memberikan obat analgesik dan
suportif; (2) mengistirahatkan bagian yang terinfeksi; (3) mengidentifikasi organisme yang
terlibat dan memberikan terapi antibiotik yang efektif; (4) mengeluarkan pus sedini mungkin;
(5) menstabilisasi tulang bila terjadi fraktur; (6) mengeradikasi jaringan nekrosis dan avaskular;
(7) mengisi ruangan kosong pada tulang yang sudah dbersihkan dari jaringan mati (8)
mempertahankan jaringan lunak dan kulit sekitar.
Prinsip pemberian antibiotika pada osteomielitis adalah sesuai dengan hasil pemeriksaan
resistensi berdasarkan kultur dan diberikan dalam jangka waktu yang adekuat. Biasanya
dibutuhkan durasi 4 sampai 6 minggu dan seringkali membutuhkan antibiotika intravena
sehingga menimbulkan biaya tinggi dan lamanya perawatan di rumah sakit.
Pemberian secara oral dapat dilakukan pada kuman yang sensitif terhadap golongan
quinolone, macrolid, dan rifampisin karena konsentrasinya cukup di dalam jaringan dengan
pemberian obat oral. Pada osteomielitis akibat pemasangan prostesis atau implan dibutuhkan
terapi antibiotik yang bersifat kombinasi. Monitor keberhasian terapi biasanya dilakukan dengan
monitor kadar CRP selain tanda-tanda klinis, yang konsentrasinya kembali normal1 minggu
setelah respons yang baik terhadap antibiotika.
Pada osteomielitis hematogenik akut dengan deteksi dini, penegakan diagnosis secara
klinis saja, dan pemberian antibiotika yang adekuat dalam 48 jam sejak onset dapat
menghilangkan infeksi, sehingga pembedahan dapat tidak dilakukan.Pembedahan dilakukan bila
tidak terjadi perbaikan gambaran klinis dalam waktu 36 jam dari awal pemberian terapi. Bila
pada saat dilakukan pembedahan dilakukan biopsi tulang, drilling beberapa lubang pada tulang
yang terinfeksi dengan direksi yang berbeda-beda, dan luka dirawat terbuka.14
Tatalaksana osteomielitis hematogenik subakut bersifat konservatif. Dilakukan
imobilisasi, rest, dan pemberian antibiotika. Biopsi disertai kuretase dilakukan bila tidak ada
perbaikan dengan terapi antibiotika.5Osteomielitis hematogenik akut & subakut yang tidak ditangani secara adekuat
biasanya dapat berujung ke osteomielitis kronis. Usia tua, diabetes,
penyakit vaskular perifer, infeksi kulit, malnutrisi, lupus eritematosa atau berbagai jenis
imunodefisiensi lainnya merupakan faktor predisposisi osteomielitis kronis. Trauma lokal,
fraktur terbuka, operasi tulang yang berkepanjangan terutama melibatkan implan juga
merupakan faktor predisposisi yang sering ditemukan pada osteomielitis kronis.
Tatalaksana dari osteomielitis pasca trauma lebih berpusat pada pencegahannya.
Pemberian antibiotika secara dini di ruang emergensi, pembersihan luka dan stabilisasi tulang
yang baik dapat mencegah terjadinya osteomelitis pasca trauma. Terapi pembedahan pada
osteomielitis pasca trauma berupa eliminasi jaringan nekrosis, dan fiksasi yang stabil. Defek
tulang yang terbentuk dapat diisi dengan implantasi semen polymethylmethacrylate (PMMA)
yang digabungkan dnegan antibiotika, sehingga memberikan konsentrasi lokal antibiotika yang
tinggi dalam jangka panjang. Defek yang luas meliputi tulang, jaringan lunak dan kulit yang
terinfeksi ditutup dengan kombinasi osteomusculocutaneous flap.
Pada osteomielitis akibat pemasangan prostesis atau implan, dilakukan pengeluaran
implan yang terinfeksi, dan dipasang temporary implant /spacer sesudah pembersihan, bila
infeksi sudah tereliminasi 4 sampai 6 minggu kemudian, dilakukan pemasangan prostesis atau
implan yang baru.
KOMPLIKASI
Pada kasus akut, komplikasi yang sering ditemukan berupa suppurative arthritis, sepsis,
Pada anak, dapat terjadi gangguan pertumbuhan tulang bila infeksi mengenai lempeng epifise
dan fraktur patologis. Dapat terjadi abses paravertebral yang menekan persarafan pada
osteomielitis vertebral, dan dapat terjadi loosening implant. Penanganan yang tepat merupakan kunci dalam
pencegahan terjadinya komplikasi, sedangkan keterlambatan penanganan dari osteomielitis kronis juga
meningkatkan risiko meluasnya kerusakan tulang dan merupakan sumber dari septikemia berulang yang dapat
menyebabkan infeksi ke bagian tubuh lain.–terapi antibiotik spesifik sedini mungkin merupakan kunci untuk
mencegah terjadinya komplikasi dari osteomyelitis.
2. GOUT ARTRITIS
A. PENGERTIAN
Gout Artritis adalah :
1. Suatu sindrom yang mempunyai gambaran khusus, yaitu artritis akut yang banyak pada pria daripada wanita
(Helmi, 2011).
2. Gout merupakan terjadinya penumpukan asam urat dalam tubuh dan terjadi kelainan metabolisme purin. Gout
merupakan kelompok keadaan heterogenous yang berhubungan dengan defek genetik pada metabolisme purin
(hiperurisemia) (Brunner dan Suddarth, 2012).
3. Suatu penyakit metabolik yang merupakan salah satu jenis penyakit reumatik dimana pembentukan asam urat
tubuh yang berlebihan / penurunan ekskresi asam urat (Arif, 2010).

B. ETIOLOGI
Gejala artritis akut disebabkan karena inflamasi jaringan terhadap pembentukan kristal monosodium urat monohidrat.
Dilihat dari penyebabnya penyakit ini termasuk dalam golongan kelainan metabolik. Kelainan ini berhubungan
dengan gangguan kinetik asam urat yaitu Hiperurisemia. Hiperurisemia pada penyakit ini terjadi karena:
1. Pembentukan asam urat yang berlebihan
a. Gout primer metabolik disebabkan sintesis langsung yang bertambah.
b. Gout sekunder metabolik disebabkan pembentukan asam urat berlebihan karena penyakit lain seperti
leukemia terutama bila diobati dengan sitostatika; psoriasis; polisitemia vera, mielofibrosis.
2. Kurangnya pengeluaran asam urat melalui ginjal
a. Gout primer renal terjadi karena gangguanekskresi asam urat ditubuli disital ginjal yang sehat, penyebabnya
tidak diketahui.
b. Gout sekunder renal disebabkan oleh kerusakan ginjal misalnya pada glomerulonefritis kronik /gagal ginjal
kronik.
3. Perombakan dalam usus yang berkurang.

C. PATOFISIOLOGI
Goat akut biasanya monoatikular dan timbulnya tiba-tiba. Tanda-tanda awitan serangan gout adalah rasa sakit yang
hebat dan peradangan lokal. Pasien juga menderita demam dan jumlah sel darah putih meningkat. Serangan akut
biasanya didahului oleh tindakan pembedahan, obat, alkohol dan stress emosional. Meskipun yang paling sering
terserang pertama adalah ibu jari kaki (Sendi metatarsofa longeal) tetapi sendi lainnya dapat juga terserang, semakin
lama penyakit makan sendi jari, lutut, pergelangan tangan, pergelangan kaki dan siku dapat terserang gout. Serangan
akut akan berkurang setelah 10-14 hari walapun tanpa pengobatan. Produk buangan termasuk asam urat dan garam-
garam anorganik dibuang melalui saluran ginjal, kandung kemih, dan saluran kemih dalam bentuk urin. Kegagalan
ginjal dalam proses pembuangan asam urat dalam jumlah yang cukup banyak dapat meningkatkan kadar asam urat
dalam darah. Hal tersebut juga dapat, menimbulkan komplikasi yaitu pengendapan asam urat dalam ginjal yang
akhirnya terjadi pembentukan batu ginjal dari kristal asam urat.
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Artritis Akut
Artritis Akut ini bersifat sangat berat. Pasien tidak dapat berjalan (kalau yang terkena adalah kaki) tidak dapat
memakai sepatu dan tidak dapat terganggu, perasaan sakit sangat hebat (excruciating). Rasa sakit ini mencapai
puncaknya dalam 24 jam setelah mulai timbul gejala pertama.
2. Lokasi Sendi
Serangan akut biasnaya bersifat monoartikular disertai gejala lengkap proses inflamasi yaitu : merah, bengkak, teraba
panas dan sakit. Lokasi yang paling sering pada serangan pertama adalah sendi metaatarso – falongeal pertama
(MTP–I). Hampir semua kasus lokasi artritis terutama ada sendi perifer dan jarang pada sendi sentral.
3. Remisi sempurna antara serangan akut (Inter Critical Gout)
Serangan akut dapat membaik pada serangan pertama dan selanjutnya diikuti oleh remisi sempurna sampai serangan
berikutnya. Apabila hiperurisemia (kalau ada) tidak dikoreksi, akan timbul artritis gout menahun.
4. Hiperurisemia
Keadaan hiperurisemia tidak selalu identik dengan artritis gout akut artinya tidak selalu artritis gout akut disertai
dengan peninggalan kadar asam urat darah. Banyak orang dengan peninggian asam urat, namun tidak pernah
menderita serangan artritis gout ataupun terdapat tofi.
5. Thopy
Thopy adalah penimbunan kristal urat pada jaringan. Mempunyai sifat yang karakteristik sebagai benjolan dibawah
kulit yang bening dan tofi paling sering timbul pada seseorang yang menderita artritis gout lebih dari 10 tahun.
E. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Serangan Akut
Obat yang diberikan :
a. Kolkisin merupakan pilihan utama dalam pengobatan serangan artritis gout maupun pencegahan dengan dosis
rendah.
b. Obat anti inflamasi non steroid (DAINS) yang paling sering digunakan adalah indometasin.
c. Kortikosteroid.
d. Analgesik diberikan bila rasa nyeri sangat berat.
e. Tirah baring.
2. Penatalaksanaan periode antara
Bertujuan mengurangi endapan urat dalam jaringan dan menurunkan frekuensi serta keparahan serangan
a. Diet
1) Hindari alkohol dan makanan tinggi purin (hati, ginjal, ikan sarden, daging kambing dan sebagainya).
2) Perbanyak minum.
b. Hindari obat-obatan yang mengakibatkan hiperurisemia seperti tiozid, diaretik, aspirin, dan asam nikotinat
yang menghambat ekskresi asam urat dan ginjal.
c. Kolkisin secara teratur
1) Mencegah serangan gout yang akan datang.
2) Menekan serangan akut.
d. Penurunan kadar asam urat serum
Diindikasikan pada artrtitis akut yang sering dan tidak terkontrol dengan kolkisin terdapat tofi / kerusakan ginjal.
1) Obat Urikosurik menghambat reabsorbsi tubulus terhadap asam urat yang telah difiltrasi dan mengurangi
penyimpanannya, mencegah pembentukan tofi baru dan mengurangi ukuran yang telah terbetnuk.
2) Inhibitar Xantin Oksidase / Alopurinal
a) Menurunkan produksi asam urat
b) Meningkatkan pembentukan xantin dan hipoxantin dengan menghambat enzim xantin oksidase.
3) Tujuan Utama Pengobatan Artritis Goat adalah :
a) Mengobati serangan akut secara baik dan benar.
b) Mencegah serangan ulangan artritis goat akut.
c) Mencegah kelainan sendi yang berat akibat penimbunan kristal urat.
d) Mencegah komplikasi yang dapat terjadi akibat peninggian asam urat pada jantung, ginjal dan pembuluh
darah.
e) Mencegah pembentukan batu pada saluran kemih.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk memastikan seseorang terkena gout adalah dengan dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :
1. Pemeriksaan kadar asam urat dalam darah.
Apabila kadar asam urat dalam darah pada laki-laki lebih dari 7 mg/dl dan pada wanita lebih dari 6 mg/dl. Maka
dikatakan menderita asam urat tinggi yang memicu terjadinya gout.
2. Pemeriksaan kadar asam urat dalam urin per 24 jam.
Kadar asam urat dalam urin berlebihan bila kadarnya lebih dari 800 mg/24 jam pada diet biasa atau lebih dari 600
mg / 24 jam.

G. PENGKAJIAN
1. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, alamat, Tgl MRS, No.
Reg., dx medis.
2. Riwayat Penyakit
a. Keluahan Utama
Nyeri disertai pembengkakan dan kemerahan dari sendi yang sakit (terutama pada sendi metatarsofalongeal) pertama
dari ibu jari.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
P : Provokatif / Pallatif / Penyebab
Kaji penyebab
Q : Quantitas / Quantitas Nyeri
Kaji seberapa sering px menyerangiai, tindakan apa yang dapat menyebabkan nyeri.
R : Regional / area yang sakit
Sering mengenai sendi dipangkal ibu jari kaki, pergelangan kaki, lutut, pergelangan tangan dan sikut.
S : Severtity / Tingkat Keparahan
Kaji derajat nyeri px
- demam - menggigil
T : Time
Kapan keluhan dirasakan ?
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji dan tanyakan pada klien apakah sebelumnya klien pernah mengalami penyakit yang sama seperti saat ini ?
4. Riwayat Penyakit / Kesehatan Keluarga
a. Apakah ada anggota keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama dengan klien ?
b. Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit serius yang lain seperti (HT, DM, TB, Pneumonia,
dll.)
5. Riwayat Psikologis Spiritual
a. Psikologi : Tanyakan kepada klien apakah bisa menerima penyakit yang dideritanya ?
b. Sosial : Bagaimana interaksi klien terhadap lingkungan di Rumah Sakit dan apakah klien bisa
beradaptasi dengan klien yang lain ?
c. Spiritual : Apakah klien tetap beribadah dan melaksanakan ibadahnya menurut agamanya ?
6. Pemenuhan Kebutuhan
a. Pola Nutrisi
Makan : Pada umumnya pasien gout artritis diberikan diit rendah putin pantangan makanan kaya protan.
Minum : Kaji jenis dan frekuensi minum sesuai dengan indikasi
b. Pola Eliminasi
BAK : Kaji frekwensi, jumlah, warna dan bau.
BAB : Kaji frekwensi, konsistensi dan warna
c. Pola Aktivitas
Biasanya pasien gout artritis pada saat melakukan aktivitas mengalami keterbatasan tentang gerak, kontrktur
/ kelainan pada sendi.
d. Istirahat tidur
Kaji pola kebiasaan pasien pada saat istirahta tidur dirumah maupun di rumah sakit.
e. Personal Hygiene
Kaji kebiasaan pasien dalam kebiasaan diri. (Mandi, gosok gigi, cuci tangan, kebersihan rambut, dll.)
7. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
b. TTV
c. Kesadaran
d. GCS
8. Pemeriksaan Persistem
a. Otot, Tulang, integumen
Otot, tulang
1) Mengalami atrofi pada otot.
2) Kontraktur / kelainan pada sendi.
Integumen
3) Kaji tumor kulit.
4) Kulit tampak merah, keunguan, kencang, licin, teraba hangat pada waktu sendi membengkak.
b. Pulmonaile
1) Kaji bentuk dada, frekwensi pernafasan. Apakah ada nyeri tekan.
2) Dan apakah ada kelainan pada bunyi nafas.
c. Cardiofaskuler
1) Inspeksi : terjadi distensi vena
2) Palpasi : Takhikardi
3) Auskultasi : Apakah ada suara jantung normal S1 dan S2 tunggal
d. Abdomen
Pada penderita Gout Artritis biasanya terjadi anoreksia dan konstipasi.
e. Urologi
Hampir pada 20 % penderita Gout Artritis memiliki batu ginjal.
f. Muskuluskeletal
1) Ukuran sendi normal dengan mobilitas penuh bila pada remisi.
2) Tofi dengan gout kronik, ini temuan paling bermakna. Tofi adalah pembesaran jaringan permanen
diakibatkan dari deposit kristal urat natrium, dapat terjadi dimana saja pada tubuh tetapi umum ditemukan pada sendi
sinovial, bursa alecranon dan vertebrate.
3) Laporan episode serangan gout adalah nyeri berdenyut, berat dan tak dapat ditoleransi.
g. Reproduksi
Biasanya mengalami gangguan pada saat melakukan aktivitas sexual akibat kekauan sendi.

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri dan keterbatasan gerak sendi
2. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan nyeri / sekunder terhadap fibrositas.
3. Risiko tinggi terhadap isolasi sosial yang berhubungan dengan kesulitan ambulasi dan keletihan
4. Kurangnya defisit perawatan diri yang berhubungan dengan keterbatasan sekunder terhadap penyakit.
5. Kurangnya defisit perawatan diri yang berhubungan dengan keterbatasan sekunder terhadap penyakit.

I.INTERVENSI
3. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri dan keterbatasan gerak sendi
Tujuan :
Kriteria Hasil :
a. Adanya dan tingkat nyeri.
b. Fungsi dan mobilitas sendi :
1) Keterbatasan pada rentang gerak.
2) Adanya deformitas.
c. Kekuatan Otot
Intervensi :
a. Berikan penghilang nyeri sesuai kebutuhan.
Rasional : Nyeri dapat berperan dalam menurunkan mobilitas.
b. Berikan dorongan kepatuhan pada program latihan yang ditentukan, yang dapat meliputi latihan berikut :
1) Rentang gerak
2) Penguatan otot
3) Ketahanan
Rasional : Program latihan teratur meliputi aktivitas rentang gerak, isometrik dan aerobik tertentu dapat membantu
mempertahankan integritas fungsi sendi.
c. Berikan dorongan untuk melakukan latihan yang sesuai denga tingkat aktivitas penyakit.
Rasional : Selama periode inflamasi akut, individu dapat mengimbolisasi sendi pada posisi yang paling nyaman.
4. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan nyeri / sekunder terhadap fibrositas.
Kriteria Hasil :
a. Kebutuhan Tidur yang lazim, pola, terbangun pada malam hari.
b. Adanya nyeri pada malam hari.
c. Adanya fibrositis sekunder, ditandai oleh :
1) Kesulitan mempertahankan tidur atau tidur non restoratif.
2) Karakteristik titik tubuh nyeri tekan setempat.
Intervensi :
a. Dorong klien untuk mandi dengan air hangat / pancur sebelum tidur, juga mungkin bermanfaat mandi pancur
pada pagi-pagi untuk mengurangi kekakuan pagi.
Rasional : Air hangat meningkatkan sirkulasi sendi yang emngalami inflamasi dan merilekskan otot
b. Dorong pelaksanaan ritual menjelang tidur. Misal : aktivitas hygiene, membaca atau minum hangat.
Rasional : Ritual menjelang tidur membantu meningkatkan relaksasi dan menyiapkan tidur.
c. Lakukan tindakan penghilang nyeri sebelum tidur distraksi dan relaxsasi.
Rasional : Klien dengan penyakit inflamasi sendi sering mengalami gejala yang memburuk pada malam hari.
d. Anjurkan posisi sendi yang tepat :
1) Bantal untuk posisi ekstremitas.
2) Bantal servikal
Rasional : Posisi tepat dapat membantu mencegah nyeri selama tidur dan terjaga.
5. Risiko tinggi terhadap isolasi sosial yang berhubungan dengan kesulitan ambulasi dan keletihan
Kriteria Hasil :
a. Pola sosial ini dan sebelumnya.
a. Perubahan yang diantisipasi, keinginan terhadap suatu peningkatan.
Intervensi :
a. Dorong px untuk mengungkapkan perasaan dan mengevaluasi pola sosialisasinya.
Rasional : klien yang dapat menentukan apakah ola sosialisasinya memuaskan atau tidak.
b. Diskusikan keuntungan menggunakan waktu luang untuk mempercayai diri (Membaca / membuat kerajinan
tangan).
Rasional : Aktivitas hiburan dapat membuat seseorang lebih tertarik pada orang lain.
c. Hindari menonton televisi berlebihan.
Rasional : Selain pendidikan dokumenter, TV mendorong partisipasi pasif dan biasnaya tidak menantang intelektual.
d. Identifikasi hambatan utnuk kontak sosial.
1) Kurang transportasi
2) Nyeri
3) Penurunan mobilitas.
Rasional : Masalah mobilitas umumnya menghambat mobilisasi, tetapi banyak kesulitan yang berkaitan dapat diatasi
dengan perencanaan.
6. Kurangnya defisit perawatan diri yang berhubungan dengan keterbatasan sekunder terhadap penyakit.
Kriteria Hasil :
a. Kebutuhan akan dan kemampuan untuk menggunakan alat bantu.
b. Besarnya ketidakmampuan pada aktivitas perawatan diri bisa teratasi.
Intervensi :
a. Rujuk ke terapi akupasi untuk instruksi teknik penghematan energi dan penggunaan alat bantu.
Rasional : Terapi akupasi dapat memberikan instruksi khusus dan bantuan lebih lanjut.
b. Berikan privasi dan lingkungan kondusif untuk melakukan setiap aktivitas.
Rasional : Lingkungan yang nyaman, aman, dapat menurunkan ansietas dan meningkatkan kemampuan perawatan
diri.
c. Jadwalkan aktivitas untuk memberikan periode istirahat adekuat.
Rasional : Kelelahan menurunkan motivasi untuk aktivitas perawatan diri.
d. Jelaskan keterbatasan bahan rujukan swa.bantu sepertii dari Yayasan Rematik.
Rasional : Meningkatkan swa.bantu untuk meningkatkan harga diri.
7. Kurangnya defisit perawatan diri yang berhubungan dengan keterbatasan sekunder terhadap penyakit.
Kriteria Hasil :
a. Untuk meningkatkan pengetahuan px tentang atau pengalaman kondisi artritis baik pribadi atau saudara,
teman : perasaan beban dan pertanyaan.
b. Membantu kesiapan dan kemampuan px dan keluarga px untuk belajar dan menyerap informasi.
Intervensi :
a. Jelaskan tentang artritis inflamasi menggunakan alat bantu. Pengajaran yang sesuai dengan tingkat pengertian
px dan keluarga px tentang :
1) Proses inflamasi
2) Fungsi dan Struktur sendi
3) Penyakit kronis alamiah
Rasional : Untuk menekankan pengertian yang baik terhadap proses penyakit dan tindakan yang dilakukan klien
utnuk mengatasi gejala dan meminimalkan dampak.
b. Ajarkan klien untuk menggunakan obat yang diresepkan dengan tepat dan untuk segera melaporkan gejala
efek samping.
Rasional : Mentaati jadwal dapat membantu mencegah fluktuasi kadar obat dalam darah yang dapat menurunkan
efek samping.
c. Jelaskan penggunaan modalitas tindakan lain seperti :
1) Penggunaan pemanas atau pendingin lokal.
2) Alat bantu
3) Latihan
Rasional : Cedera dapat menurunkan mobilitas lebih jauh dan motivasi untuk melanjutkan terapi
d. Jelaskan hubungan stress pada penyakit inflamasi. Diskusikan tentang teknik penatalaksanaan stress :
1) Relaksasi pronfesik
2) Bimbingan imajinasi
3) Latihan teratur.
Rasional : Penggunaan efektif teknik penatalaksanaan stress dapat membantu meminimalkan efek stress pada proses
penyakit.
e. Pertegas pentingnya perawatan tindak lanjut rutin.
Rasional; : Perawatan tindak lanjut dapat mengidentifikasi dini komplikasi dan membantu mengurangi
ketidakmampuan karena disuse.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & suddath.2012. Buku Ajar Bedah Medikal Bedah. Vol 3. Penerbit Buku Kedokteran. EGC: Jakarta

Carpenito, Lynda Juall, 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC : Jakarta
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid 2. Media Aesculapius FKUI : Jakarta
Helmi, Zairin Helmi. 2011. Buku Ajar GangguanMuskuloskeletal. Cetakan kedua. Jakarta : Salemba Medika.

Rasjad, Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 3. Cetakan kelima.Jakarta : Yarsif Watampone.
A. Konsep Medis
1. Anatomi dan Fisiologi
a. Anatomi Fisiologi Rangka
Muskuloskeletal berasal dari kata muscle (otot) dan skeletal (tulang). Rangka (skeletal) merupakan bagian tubuh
yang terdiri dari tulang, sendi dan tulang rawan (kartilago), sebagai tempat menempelnya otot dan memungkinkan
tubuh untuk mempertahankan sikap dan posisi.
Rangka manusia dewasa tersusun dari tulang – tulang (sekitar 206 tulang ) yang membentuk suatu kerangka tubuh
yang kokoh. Walaupun rangka terutama tersusun dari tulang, rangka di sebagian tempat dilengkapi dengan kartilago.
Rangka digolongkan menjadi rangka aksial, rangka apendikular, dan persendian.
1) Rangka aksial, melindungi organ-organ pada kepala, leher, dan torso.
a) Kolumna vertebra
b) Tengkorak
- Tulang cranial : menutupi dan melindungi otak dan organ-organ panca indera.
- Tulang wajah : memberikan bentuk pada muka dan berisi gigi.
- Tulang auditori : terlihat dalam transmisi suara.
- Tulang hyoid : yang menjaga lidah dan laring.
2) Rangka apendikular, tulang yang membentuk lengan tungkai dan tulang pectoral serta tonjolan pelvis yang
menjadi tempat melekatnya lengan dan tungkai pada rangkai aksial.
3) Persendian, adalah artikulasi dari dua tulang atau lebih.

Fungsi Sistem Rangka :


1) Tulang sebagai penyangga (penopang); berdirinya tubuh, tempat melekatnya ligamen-ligamen, otot, jaringan
lunak dan organ, juga memberi bentuk pada tubuh.
2) Pergerakan ; dapat mengubah arah dan kekuatan otot rangka saat bergerak, adanya persendian.
3) Melindungi organ-organ halus dan lunak yang ada dalam tubuh.
4) Pembentukan sel darah (hematopoesis / red marrow).
5) Tempat penyimpanan mineral (kalium dan fosfat) dan lipid (yellow marrow).

Menurut bentuknya tulang dibagi menjadi 4, yaitu :


F Tulang panjang, terdapat dalam tulang paha, tulang lengan atas
F Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak tetap dan didalamnya terdiri dari tulang karang, bagian luas terdiri dari
tulang padat.
F Tulang ceper yang terdapat pada tulang tengkorak yang terdiri dari 2 tulang karang di sebelah dalam dan tulang
padat disebelah luar.
F Bentuk yang tidak beraturan (vertebra) sama seperti tulang pendek.

Struktur Tulang
Dilihat dari bentuknya tulang dapat dibagi menjadi tulang pendek, panjang, tulang berbentuk rata (flat) dan tulang
dengan bentuk tidak beraturan. Terdapat juga tulang yang berkembang didalam tendon misalnya tulang patella
(tulang sessamoid). Semua tulang memiliki sponge tetapi akan bervariasi dari kuantitasnya. Bagian tulang tumbuh
secara longitudinal,bagian tengah disebut epiphyse yang berbatasan dengan metaphysic yang berbentuk silinder.
Vaskularisasi. Tulang merupakan bagian yang kaya akan vaskuler dengan total aliran sekitar 200-400 cc/menit.Setiap
tulang memiliki arteri menyuplai darah yang membawa nutrient masuk di dekat pertengahan tulang kemudian
bercabang ke atas dan ke bawah menjadi pembuluh darah mikroskopis, pembuluh ini menyuplai korteks, morrow,
dan sistem harvest.
Persarafan. Serabut syaraf simpatik dan afferent (sensorik) mempersarafi tulang dilatasi kapiler dan di control oleh
saraf simpatis sementara serabut syaraf efferent menstramisikan rangsangan nyeri.

Pertumbuhan dan Metabolisme Tulang


Setelah pubertas tulang mencapai kematangan dan pertumbuhan maksimal. Tulang merupakan jaringan yang dinamis
walaupun demikian pertumbuhan yang seimbang pembentukan dan penghancuran hanya berlangsung hanya sampai
usia 35 tahun. Tahun –tahun berikutnya rebsorbsi tulang mengalami percepatan sehigga tulang mengalami penurunan
massanya dan menjadi rentan terhadap injury.Pertumbuhan dan metabolisme tulang di pengaruhi oleh mineral dan
hormone sebagai berikut :
· Kalsium dan Fosfor. Tulang mengandung 99% kalsium dan 90% fosfor. Konsentrasi ini selalu di pelihara dalam
hubungan terbalik. Apabila kadar kalsium meningkat maka kadar fosfor akan berkurang, ketika kadar kalsium dan
kadar fosfor berubah, calsitonin dan PTH bekerja untuk memelihara keseimbangan.
· Calsitonin di produksi oleh kelenjar tiroid memiliki aksi dalam menurunkan kadar kalsium jika sekresi meningkat
di atas normal. Menghambat reabsorbsi tulang dan meningkatkan sekresi fosfor oleh ginjal bila di perlukan.
· Vit. D. diproduksi oleh tubuh dan di trasportasikan ke dalam darah untuk meningkatkan reabsorbsi kalsium dan
fosfor dari usus halus, juga memberi kesempatan untuk aktifasi PHT dalam melepas kalsium dari tulang.

Proses Pembentukan Tulang


Pada bentuk alamiahnya, vitamin D di proleh dari radiasi sinar ultraviolet matahari dan beberapa jenis makanan.
Dalam kombinasi denagan kalsium dan fosfor, vitamin ini penting untuk pembentukan tulang.
Vitamin D sebenarnya merupakan kumpulan vitamin-vitamin, termasuk vitamin D2 dan D3. Substansi yang terjadi
secara alamiah ialah D3 (kolekalsiferol), yang dihasilkan olehakifitas foto kimia pada kulit ketika dikenai sinar
ultraviolet matahari. D3 pada kulit atau makanan diwa ke (liver bound) untuk sebuah alfa – globulin sebagai
transcalsiferin,sebagaian substansi diubah menjadi 25 dihidroksi kolekalsiferon atau kalsitriol. Calcidiol kemudian
dialirkan ke ginjal untuk transformasi ke dalam metabolisme vitamin D aktif mayor, 1,25 dihydroxycho lekalciferol
atau calcitriol. Banyaknya kalsitriol yang di produksi diatur oleh hormone parathyroid (PTH) dan kadar fosfat di
dalam darah, bentuk inorganic dari fosfor penambahan produksi kalsitriol terjadi bila kalsitriol meningkat dalam
PTH atau pengurangan kadar fosfat dalam cairan darah.
Kalsitriol dibutuhkan untuk penyerapan kalsium oleh usus secara optimal dan bekerja dalam kombinasi dengan PTH
untuk membantu pengaturan kalsium darah. Akibatnya, kalsitriol atau pengurangan vitamin D dihasilkan karena
pengurangan penyerapan kalsium dari usus, dimana pada gilirannya mengakibatka stimulasi PHT dan
pengurangan,baik itu kadar fosfat maupun kalsium dalam darah.
· Hormon parathyroid. Saat kadar kalsium dalam serum menurun sekresi hormone parathyroid akan meningkat
aktifasi osteoclct dalam menyalurkan kalsium ke dalam darah lebih lanjutnya hormone ini menurunkan hasil ekskresi
kalsium melalui ginjal dan memfasilitasi absorbsi kalsium dari usus kecil dan sebaliknya.
· Growth hormone bertanggung jawab dalam peningkatan panjang tulang dan penentuan matriks tulang yang
dibentuk pada masa sebelum pubertas.
· Glukokortikoid mengatur metabolism protein. Ketika diperlukan hormone ini dapat meningkat atau menurunkan
katabolisme untuk mengurangi atau meningkatkan matriks organic. Tulang ini juga membantu dalam regulasi
absorbsi kalsium dan fosfor dari usus kecil.
· Seks hormone estrogen menstimulasi aktifitas osteobalstik dan menghambat hormone paratiroid. Ketika kadar
estrogen menurun seperti pada masa menopause, wanita sangat rentan terjadinya massa tulang (osteoporosis).

Persendian
Persendian dapat diklasifikasikan menurut struktur (berdasarkan ada tidaknya rongga persendian diantara
tulang-tulang yang beratikulasi dan jenis jaringan ikat yang berhubungan dengan paersendian tersebut) dan menurut
fungsi persendian (berdasarkan jumlah gerakan yang mungkin dilakukan pada persendian).
Ø Klasifikasi struktural persendian :
ü Persendian fibrosa
ü Persendian kartilago
ü Persendian synovial.
Ø Klasifikasi fungsional persendian :
ü Sendi Sinartrosis atau Sendi Mati
Secara structural, persendian ii dibungkus dengan jaringan ikat fibrosa atau kartilago.
ü Amfiartrosis
Sendi dengan pergerakan terbatas yang memungkinkan terjadinya sedikit gerakan sebagai respon terhadap torsi dan
kompresi .
ü Diartrosis
Sendi ini dapat bergerak bebas,disebut juga sendi sinovial.Sendi ini memiliki rongga sendi yang berisi cairan
sinovial,suatu kapsul sendi yang menyambung kedua tulang, dan ujung tilang pada sendi sinovial dilapisi kartilago
artikular.
Ø Klasifikasi persendian sinovial :
ü Sendi sfenoidal : memungkinkan rentang gerak yang lebih besar,menuju ke tiga arah. Contoh : sendi panggul dan
sendi bahu.
ü Sendi engsel : memungkinkan gerakan ke satu arah saja. Contoh : persendian pada lutut dan siku.
ü Sendi kisar : memungkinkan terjadinya rotasi di sekitar aksis sentral.Contoh : persendian antara bagian kepala
proximal tulang radius dan ulna.
ü Persendian kondiloid : memungkinkan gerakan ke dua arah di sudut kanan setiap tulang. Contoh : sendi antara
tulang radius dan tulang karpal.
ü Sendi pelana : Contoh : ibu jari.
ü Sendi peluru : memungkinkan gerakan meluncur antara satu tulang dengan tulang lainnya. Contoh : persendian
intervertebra.
a. Anatomi Fisiologi Otot.
Otot (muscle) adalah jaringan tubuh yang berfungsi mengubah energi kimia menjadi kerja mekanik sebagai respon
tubuh terhadap perubahan lingkungannya. Jaringan otot, yang mencapai 40% -50% berat tubuh,pada umumnya
tersusun dari sel-sel kontraktil yang serabut otot. Melalui kontraksi, sel-sel otot menghasilkan pergerakan dan
melakukan pekerjaan.
Ø Fungsi sistem Muskular
ü Pergerakan
ü Penopang tubuh dan mempertahankan postur
ü Produksi panas.
Ø Ciri-ciri otot
ü Kontraktilitas
ü Eksitabilitas
ü Ekstensibilitas
ü Elastisitas
Ø Klasifikasi Jaringan Otot
Otot diklasifikasikan secara structural berdasarkan ada tidaknya striasi silang (lurik), dan secara fungsional
berdasarkan kendali konstruksinya,volunteer (sadar) atau involunter (tidak sadar), dan juga berdasarkan
lokasi,seperti otot jantung, yang hanya ditemukan di jantung.
Ø Jenis-jenis Otot
ü Otot rangka adalah otot lurik,volunter, dan melekat pada rangka.
ü Otot polos adalah otot tidak berlurik dan involunter. Jenis otot ini dapat ditemukan pada dinding organ berongga
seperti kandung kemih dan uterus, serta pada dinding tuba, seperti pada sistem respiratorik, pencernaan,reproduksi,
urinarius, dan sistem sirkulasi darah.
ü Otot jantung adalah otot lurik,involunter, dan hanya ditemukan pada jantung.
1. Pengertian
Gout adalah penyakit metebolik yang ditandai dengan penumpukan asam urat yang nyeri pada tulang sendi, sangat
sering ditemukan pada kaki bagian atas, pergelangan dan kaki bagian tengah. (Merkie, Carrie. 2005).
Gout merupakan penyakit metabolic yang ditandai oleh penumpukan asam urat yang menyebabkan nyeri pada sendi.
(Moreau, David. 2005).
Gout merupakan kelompok keadaan heterogenous yang berhubungan dengan defek genetic pada metabolism purin
atau hiperuricemia. (Brunner & Suddarth. 2001).
Artritis pirai (gout) merupakan suatu sindrom klinik sebagai deposit kristal asam urat di daerah persendian yang
menyebabkan terjadinya serangan inflamasi akut.
Jadi, Gout atau sering disebut “asam urat” adalah suatu penyakit metabolik dimana tubuh tidak dapat mengontrol
asam urat sehingga terjadi penumpukan asam urat yang menyebabkan rasa nyeri pada tulang dan sendi.

2. Etiologi
Penyebab utama terjadinya gout adalah karena adanya deposit / penimbunan kristal asam urat dalam sendi.
Penimbunan asam urat sering terjadi pada penyakit dengan metabolisme asam urat abnormal dan Kelainan metabolik
dalam pembentukan purin dan ekskresi asam urat yang kurang dari ginjal.
Beberapa factor lain yang mendukung, seperti :
a. Faktor genetik seperti gangguan metabolisme purin yang menyebabkan asam urat berlebihan (hiperuricemia),
retensi asam urat, atau keduanya.
b. Penyebab sekunder yaitu akibat obesitas, diabetes mellitus, hipertensi, gangguan ginjal yang akan menyebabkan
:
- Pemecahan asam yang dapat menyebabkan hiperuricemia.
- Karena penggunaan obat-obatan yang menurunkan ekskresi asam urat seperti : aspirin, diuretic, levodopa,
diazoksid, asam nikotinat, aseta zolamid dan etambutol..

3. Pathofisiologi
Adanya gangguan metabolisme purin dalam tubuh, intake bahan yang mengandung asam urat tinggi, dan sistem
ekskresi asam urat yang tidak adequat akan menghasilkan akumulasi asam urat yang berlebihan di dalam plasma
darah (Hiperurecemia), sehingga mengakibatkan kristal asam urat menumpuk dalam tubuh. Penimbunan ini
menimbulkan iritasi lokal dan menimbulkan respon inflamasi.
Hiperurecemia merupakan hasil :
a. Meningkatnya produksi asam urat akibat metabolisme purine abnormal.
b. Menurunnya ekskresi asam urat.
c. Kombinasi keduanya.
Saat asam urat menjadi bertumpuk dalam darah dan cairan tubuh lain, maka asam urat tersebut akan mengkristal dan
akan membentuk garam-garam urat yang akan berakumulasi atau menumpuk di jaringan konectiv diseluruh tubuh,
penumpukan ini disebut tofi. Adanya kristal akan memicu respon inflamasi akut dan netrofil melepaskan lisosomnya.
Lisosom tidak hanya merusak jaringan, tapi juga menyebabkan inflamasi.
Pada penyakit gout akut tidak ada gejala-gejala yang timbul. Serum urat maningkat tapi tidak akan menimbulkan
gejala. Lama kelamaan penyakit ini akan menyebabkan hipertensi karena adanya penumpukan asam urat pada ginjal.
Serangan akut pertama biasanya sangat sakit dan cepat memuncak. Serangan ini meliputi hanya satu tulang sendi.
Serangan pertama ini sangat nyeri yang menyebabkan tulang sendi menjadi lunak dan terasa panas, merah. Tulang
sendi metatarsophalangeal biasanya yang paling pertama terinflamasi, kemudian mata kaki, tumit, lutut, dan tulang
sendi pinggang. Kadang-kadang gejalanya disertai dengan demam ringan. Biasanya berlangsung cepat tetapi
cenderung berulang dan dengan interval yang tidak teratur.
Periode intercritical adalah periode dimana tidak ada gejala selama serangan gout. Kebanyakan pasien mengalami
serangan kedua pada bulan ke-6 sampai 2 tahun setelah serangan pertama. Serangan berikutnya disebut dengan
polyarticular yang tanpa kecuali menyerang tulang sendi kaki maupun lengan yang biasanya disertai dengan demam.
Tahap akhir serangan gout atau gout kronik ditandai dengan polyarthritis yang berlangsung sakit dengan tofi yang
besar pada kartilago, membrane synovial, tendon dan jaringan halus. Tofi terbentuk di jari, tangan, lutut, kaki, ulnar,
helices pada telinga, tendon achiles dan organ internal seperti ginjal. Kulit luar mengalami ulcerasi dan mengeluarkan
pengapuran, eksudat yang terdiri dari Kristal asam urat.
4. Manifestasi Klinis
a. Nyeri tulang sendi
b. Kemerahan dan bengkak pada tulang sendi
c. Tofi pada ibu jari, mata kaki dan pinna telinga
d. Peningkatan suhu tubuh.
Gangguan akut :
o Nyeri hebat
o Bengkak dan berlangsung cepat pada sendi yang terserang
o Sakit kepala
o Demam.
Gangguan kronis :
o Serangan akut
o Hiperurisemia yang tidak diobati
o Terdapat nyeri dan pegal
o Pembengkakan sendi membentuk noduler yang disebut tofi (penumpukan monosodium urat dalam jaringan).
5. Penatalaksanaan Medik
Tujuan untuk mengakhiri serangan akut secepat mungkin, mencegah serangan berulang, dan pencegahan komplikasi.
a. Pengobatan serangan akut dengan Colchicine 0,6 mg (pemberian oral), Colchicine 1,0-3,0 mg (dalam NaCl
intravena), phenilbutazone, Indomethacin.
b. Sendi diistirahatkan (imobilisasi pasien)
c. Kompres dingin
d. Diet rendah purin
e. Terapi farmakologi (Analgesic dan antipiretik)
f. Colchicines (oral/IV) tiap 8 jam sekali untuk mencegah fagositosis dari Kristal asam urat oleh netrofil sampai
nyeri berkurang.
g. Nonsteroid, obat-obatan anti inflamasi (NSAID) untuk nyeri dan inflamasi.
h. Allopurinol untuk menekan atau mengontrol tingkat asam urat dan untuk mencegah serangan.
i. Uricosuric (Probenecid dan Sulfinpyrazone) untuk meningkatkan ekskresi asam urat dan menghambat
akumulasi asam urat (jumlahnya dibatasi pada pasien dengan gagal ginjal).
j. Terapi pencegahan dengan meningkatkan ekskresi asam urat menggunakan probenezid 0,5 g/hari atau
sulfinpyrazone (Anturane) pada pasien yang tidak tahan terhadap benemid atau menurunkan pembentukan asam urat
dengan Allopurinol 100 mg 2 kali/hari.
6. Komplikasi
a. Erosi, deformitas dan ketidakmampuan aktivitas karena inflamasi kronis dan tofi yang menyebabkan degenerasi
sendi.
b. Hipertensi dan albuminuria.
c. Kerusakan tubuler ginjal yang menyebabkan gagal ginjal kronik.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laju sedimentasi eritrosit (LSE) meningkat, yang menunjukkan inflamasi
b. SDP meningkat (leukositosis)
c. Ditemukan kadar asam urat yang tinggi di dalam darah
d. Pada pemeriksaan terhadap contoh cairan sendi di bawah mikroskop khusus akan tampak kristal urat yang
berbentuk seperti jamur
e. Pemeriksaan sinar X dari daerah yang terkena untuk menunjukkan masa tefoseus dan destruksi tulang dan
perubahan sendi
8. Pencegahan
a. Pembatasan purin : Hindari makanan yang mengandung purin yaitu : Jeroan (jantung, hati, lidah ginjal, usus),
Sarden, Kerang, Ikan herring, Kacang-kacangan, Bayam, Udang, Daun melinjo.
b. Kalori sesuai kebutuhan : Jumlah asupan kalori harus benar disesuaikan dengan kebutuhan tubuh berdasarkan
pada tinggi dan berat badan. Penderita gangguan asam urat yang kelebihan berat badan, berat badannya harus
diturunkan dengan tetap memperhatikan jumlah konsumsi kalori. Asupan kalori yang terlalu sedikit juga bisa
meningkatkan kadar asam urat karena adanya badan keton yang akan mengurangi pengeluaran asam urat melalui
urine.
c. Tinggi karbohidrat : Karbohidrat kompleks seperti nasi, singkong, roti dan ubi sangat baik dikonsumsi oleh
penderita gangguan asam urat karena akan meningkatkan pengeluaran asam urat melalui urine.
d. Rendah protein : Protein terutama yang berasal dari hewan dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah.
Sumber makanan yang mengandung protein hewani dalam jumlah yang tinggi, misalnya hati, ginjal, otak, paru dan
limpa.
e. Rendah lemak : Lemak dapat menghambat ekskresi asam urat melalui urin. Makanan yang digoreng, bersantan,
serta margarine dan mentega sebaiknya dihindari. Konsumsi lemak sebaiknya sebanyak 15 persen dari total kalori.
f. Tinggi cairan : Selain dari minuman, cairan bisa diperoleh melalui buah-buahan segar yang mengandung banyak
air. Buah-buahan yang disarankan adalah semangka, melon, blewah, nanas, belimbing manis, dan jambu air. Selain
buah-buahan tersebut, buah-buahan yang lain juga boleh dikonsumsi karena buah-buahan sangat sedikit mengandung
purin. Buah-buahan yang sebaiknya dihindari adalah alpukat dan durian, karena keduanya mempunyai kandungan
lemak yang tinggi.
g. Tanpa alkohol : Berdasarkan penelitian diketahui bahwa kadar asam urat mereka yang mengonsumsi alkohol
lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak mengonsumsi alkohol. Hal ini adalah karena alkohol akan
meningkatkan asam laktat plasma. Asam laktat ini akan menghambat pengeluaran asam urat dari tubuh
A. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Nama, umur (sekitar 50 tahunan), alamat, agama, jenis kelamin (biasanya 95% penderita gout adalah pria), dll
b. Keluhan Utama
Pada umumnya klien merasakan nyeri yang luar biasa pada sendi ibu jari kaki (sendi lain)
c. Riwayat Penyakit Sekarang
P (Provokatif) : Kaji penyebab nyeri
Q (Quality / qualitas) : Kaji seberapa sering nyeri yang dirasakan klien
R (Region) : Kaji bagian persendian yang terasa nyeri (biasanya pada pangkal ibu jari)
S (Saverity) :` Apakah mengganggu aktivitas motorik ?
T (Time) : Kaji kapan keluhan nyeri dirasakan ? (Biasanya terjadi pada malam hari)
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan pada klien apakah menderita penyakit ginjal ?
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan apakah pernah ada anggota keluarga klien yang menderita penyakit yang sama seperti yang diderita klien
sekarang ini.
f. Pengkajian Psikososial dan Spiritual
Psikologi : Biasanya klien mengalami peningkatan stress
Sosial : Cenderung menarik diri dari lingkungan
Spiritual : Kaji apa agama pasien, bagaimana pasien menjalankan ibadah menurut agamanya
g. Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari
1) Kebutuhan nutrisi
a) Makan : Kaji frekuensi, jenis, komposisi (pantangan makanan kaya protein)
b) Minum : Kaji frekuensi, jenis (pantangan alkohol)
2) Kebutuhan eliminasi
a) BAK : kaji frekuensi, jumlah, warna, bau
b) BAB : kaji frekuensi, jumlah, warna, bau
3) Kebutuhan aktivitas
Biasanya klien kurang / tidak dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari secara mandiri akibat nyeri dan
pembengkakan

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum :
1) Tingkat kesadaran
2) GCS
3) TTV
b. Peningkatan penginderaan
1) Sistem integument
Kulit tampak merah atau keunguan, kencang, licin, serta teraba hangat
2) Sistem penginderaan
Mata : Kaji penglihatan, bentuk, visus, warna sklera, gerakan bola mata
Hidung : Kaji bentuk hidung, terdapat gangguan penciuman atau tidak
Telinga : Kaji pendengaran, terdapat gangguan pendengaran atau tidak, biasanya terdapat tofi pada telinga
3) Sistem kardiovaskuler
Inspeksi : Apakah ada pembesaran vena jugularis
Palpasi : Kaji frekuensi nadi (takhikardi)
Auskultasi : Apakah suara jantung normal S1 + S2 tunggal / ada suara tambahan
4) Sistem penceranaan
Inspeksi : Kaji bentuk abdomen, ada tidaknya pembesaran pada abdomen
Palpasi : Apakah ada nyeri tekan pada abdomen
Perkusi : Apakah kembung / tidak
Auskultasi : Apakah ada peningkatan bising usus
5) Sistem muskuluskeletal
Biasanya terjadi pembengkakan yang mendadak (pada ibu jari) dan nyeri yang luar biasa serta juga dapat terbentuk
kristal di sendi-sendi perifer, deformitas (pembesaran sendi)
6) Sistem perkemihan
Hampir 20% penderita gout memiliki batu ginjal
c. Pemeriksaan diasnostik.
Gambaran radiologis pada stadium dini terlihat perubahan yang berarti dan mungkin terlihat osteoporosis yang
ringan. Pada kasus lebih lanju, terlhat erosi tulang seperti lubang-lubang kecil (punch out).

3. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri sendi b. d peradangan sendi, penimbunan kristal pada membrane sinovia, tulang rawan artikular, erosi
tulang rawan, prolifera sinovia dan pembentukan panus.
b. Hambatan mobilisasi fisik b. d penurunaan rentang gerak, kelemahan otot, pada gerakan, dan kekakuan pada
sendi kaki sekunder akibat erosi tulang rawan, proloferasi sinovia, dan pembentukan panus.
c. Gangguan citra diri b. d perubahan bentuk kaki dan terbenuknya tofus.
d. Perubahan pola tidur b.d nyeri
4. Intervensi Keperawatan
a. Dk. I : Nyeri sendi b. d peradangan sendi, penimbunan Kristal pada membrane sinovia, tulang rawan arikular,
erosi tulang rawan, prolifera sinovia dan pembentukan panus.
Tujuan keperawatan : Nyeri berkurang, hilang, teratasi.
Kriteria hasil :
o Klien melaporkan penelusuran nyeri.
o menunjukan perilaku yang lebiih rileks.
o memperagakan keterampilan reduksi nyeri.
o Skala nyeri 0 – 1 atau teratasi.

INTERVENSI
RASIONAL
MANDIRI
· Kaji lokasi, intensitas,an tipe nyeri. Observasi kemajuan nyeri ke daerah yang baru. Kaji nyeri dengan skala0
– 4.
· Bantu klien dalam mengidentifikasi factor pencetus.
· Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri nonfamakologi dan non – invasif.
· Ajarkan relaksasi: teknik terkait ketegangan otot rangka yang dapat mengurangi intensitas nyeri.
· Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
· Tingkatkan pengetahuaan tentang penyebab nyeri dan hubungan dengan berapa lama nyeri akan berlangsung.
· Hindarkan klien meminum alcohol, kafein, dan obat diuretik.
KOLABORASI
Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian alopurinol
· Nyeri merupakan respon subjektif yangbdapat dikaji dengan menggunakan skala nyeri. Klien melaporkan
nyeri biasanya di atas tingkat cedera.
· Nyeri dipengaruhi oleh kecemasan dan peradangan pada sendi.
· Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan farmakologilain menunjukan keefektifan dalam mengurangi
nyeri.
· Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan oksigen pada jaringan terpenuhi dan mengurangi
nyeri.
· Mengalikan perhatian klien terhadap nyeri ke hal yang menyenangkan.
· pegetahuan tersebut membatu mengurangi nyeri dan dapat menbatumeningkatkan kepatuhan klien terhadap
rencana terapeutik
· pemakaian alkohol, kafein, dan obat-obatan diuretik akan menambah peningkatan kadar asam urat dalam
serum.
· Alopurinol menghambat biosentesis asam urat sehingga menurunkan kadar asam urat serum.
b. Dk. II : Hambatan mobilisasi fisik b. d penurunaan rentang gerak, kelemahan otot, pada gerakan, dan kekakuan
pada sendi kaki sekunder akibat erosi tulang rawan, proloferasi sinovia, dan pembentukan panus.
Tujuan keperawatan : klien mampu melaksanakan aktifitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
Kreteria hasil :
o Klien ikut dalam program latihan
o Tidak mengalami kontraktur sendi
o Kekuatan otot bertambah
o Klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas dan mempertahankan koordinasi optimal.
INTERVENSI
RASIONAL
MANDIRI
· Kaji mobilitas yang ada dan observasi adanya peningkatan kerusakan.
· Ajarkan klien melakukan latihan gerak aktif pada ekstermitas yang tidak sakit.
· Bantu klien melakukan latihan ROM dan perawatan diri sesuai toleransi.
· Pantau kemajuan dan perkembangan kemamapuan klien dalam melakukan aktifitas

KOLABORASI
· Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien.
· Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktifitas.
· Gerakan aktif memberi masa tonus, dan kekuatan otot, serta memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan.
· Untuk mempertahankan fleksibilitas sendi sesuai kemampauan.
· Untuk mendeteksi perkembangan klien.
· Kemampuan mobilisasi ekstermitas dapat ditingkatkan dengan latihan fisik dari tim fisioterapi.
c. Dk. III : Gangguan citra diri b. d perubahan bentuk kaki dan terbenuknya tofus.
Tujuan perawatan : Citra diri klien meningkat
Kriteria hasil :
o Klien mampu mengatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang
terjadi
o Mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi
o Mengakui dan menggabungkan perubhan dalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa merasakan harga
dirinya negatif.

INTERVENSI
RASIONAL
MANDIRI
§ Kaji perubhan perspsi dan hubungannya dengan derajat kletidak mampuan.

§ Ingantkan kembali realitas bahwa masih dapat menggunakan sisi yang sakit dan belajar mengontrol sisi yang sehat.
§ Bantu dan ajurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan.
§ Anjurkan orang terdekat untuk mengizinkan klien melakukan sebanyak mungkin hal untuk dirinya.
§ Bersama klien mencari alternatif koping yang positif.
§ Dukung prilaku atau usaha peningkata minat atau partisipasi dalam aktifitas rehabilitasi.
KOLABORASI
Kolaborasi denagn ahli neuropsikologi dan konseling bila da indikasi .
§ Menetukan bantuan individual dalm menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi
§ Membantu klien melihat bahwa peraat menerima kedua bagian dari seluruh tubuh dan mulai menerima situasi
baru.
§ Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan mengontrol lebih dari satu area kehidupan.
§ Menghidupkan kembali perasaan mandiri dn membatu perkemabangan harga diri serta memengaruhi proses
rehabilitasi.
§ Dukungan perawat kepada klien dapat meningkat kan rasa percaya diri klien.
§ Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan memahami peran individu dimasa mendatang.

§ Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk perkembangan perasaan.


d. DK IV : Perubahan Pola Tidur b/d Nyeri.
Kriteria Hasil : Klien dapat memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur.

INTERVENSI
RASIONAL
· Tentukan kebiasaan tidurnya dan perubahan saat tidur.
· Buat rutinitas tidur baru yang dimasukkan dalam pola lama dan lingkungan baru.
· Tingkatkan regimen kenyamanan waktu tidur, misalnya mandi hangat dan massage.
· Gunakan pagar tempat tidur sesuai indikasi ; rendahkan tempat tidur jika memungkinkan.
· Kolaborasi dalam pemberian obat sedative, hipnotik sesuai dengan indikasi.
· Mengkaji pola tidurnya dan mengidentifikasi intervensi yang tepat.
· Bila rutinitas baru mengandung aspek sebanyak kebiasaan lama, stress dan ansietas yang berhubungan dapat
berkurang
Membantu menginduksi tidur
· Dapat merasakan takut jatuh karena perubahan ukuran dan tinggi tempat tidur, memberikan kenyamanan pagar
tempat untuk membantu mengubah posisi.
· Tidur tanpa gangguan lebih menim- bulkan rasa segar, dan pasien mungkin tidak mampu untuk kembali ke
tempat tidur bila terbangun.
· Di berikan untuk membantu pasien tidur atau istirahat.

3. SPONDILITIS
Defenisi
Spondilitis adalah gejala penyakit berupa peradangan pada ruas tulang belakang, umumnya disebabkan oleh
kuman tuberkulosis.[1] Penyebab lainnya, karena infeksi kuman lain.[1] Proses radang tersebut merusak badan ruas tulang belakang
sampai membentuk tulang agak runcing ke depan.[1] Tekanan gaya berat mengakibatkan tulang belakang membengkok ke belakang
pada tempat rusaknya badan ruas tulang belakang.[1] Biasanya radang tersebut menyerang daerah punggung yang kemudian
mengakibatkan daerah tersebut menonjol atau melengkung ke belakang.[1] Peristiwa tersebut disebut gibbus atau kifosis.[1] Akibat lain,
tulang sumsum belakang biasanya ikut tergencet, sehingga penderita spondilitis dapat mengalami kelumpuhan pada kedua kaki yang
bersifat kaku (spastik), dan kehilangan perasaan pada bagian bawah kedua kaki sampai setinggi daerah di mana saraf tersebut
tergencet.[1] Spondilitis juga diakibatkan oleh gangguan defekasi dan miksi.[1]
Istilah Spondilitis biasa juga disebut Spondilitis ankilosa, penyakit inflamasi progreif yang biasanya mengenai pria dewasa muda,
sering disertai riwayat penyakit dalam keluarga, 95% pasien membawa antigen leukosit manusia (antigen HLA-B27).[2] Gejalanya
adalah serangan nyeri dan kaku punggung, serta anoreksia dan penurunan berat badan.[2] Dalam gambaran radiologi (rontgen),
perubahan terjadi pada sendi sakrailiaka, perubahan spinal, dan keterlibatan sendi perifer.[2]

Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per tahun. Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia
terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan China yaitu dengan
penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB menular 262.000 orang dan angka kematian140.000 orang pertahun.1,3
Kejadian TB ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling sering terkena adalah tulang
belakang yaitu terjadi hampir setengah dari kejadian TB ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan sendi.1,6 Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota
ordo Actinomicetales dan famili Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah yaitu sulit
untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus walaupun dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman
batang tahan asam. Hal ini disebabkan oleh karena kuman bakterium memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri dari lapisan
lilin dan lemak (asam lemak mikolat). Selain itu bersifat pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta memiliki
panjang sekitar 2-4 μm.7
Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran bakteri sangat kecil 1- 5 μ, kuman TB yang
terhirup mencapai alveolus dan segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang-
biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.7 Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui
saluran limfe menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfeke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang
terkena. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan
saluran limfe yang meradang (limfangitis).3,5 Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogendan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer sedangkan pada penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.6 Penyebaran
hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread),
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya
otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Bagian pada tulang belakang yang sering
terserang adalah peridiskal terjadi pada 33% kasus spondilitis TB dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan penyebaran
melalui ligamentum longitudinal anterior terjadi sekitar 2,1% kasus spondilitis TB. Penyakit dimulai dan menyebar dari
ligamentum anterior longitudinal. Radiologi menunjukkan adanya skaloping vertebra anterior, sentral terjadi sekitar 11,6%
kasus spondilitis TB. Penyakit terbatas pada bagian tengah dari badan vertebra tunggal, sehingga dapat menyebabkan kolap
vertebra yang menghasilkan deformitas kiposis. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni
kuman sebelum terbentuk imunitas selular yang akan membatasi pertumbuhan.6,8 Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih
dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi
hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks
epifisis, diskus intervertebralis, dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya
kifosis. Kemudian eksudat ( yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa ) menyebar
ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai
arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan
menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol
ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus,
atau kavum pleura. Abses pada vertebra thorakalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati daerah
paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga
timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah
ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat
mengikuti pembuluh darah femoralis.
Manifestasi Klinik
Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, pasien mengalami keadaan sebagai berikut, berat badan menurun selama
3 bulan berturutturut tanpa sebab yang jelas, demam lama tanpa sebab yang jelas.1,2.8 Gejala pertama biasanya dikeluhkan
adanya benjolan pada tulang belakang yang disertai oleh nyeri. Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien akan enggan
menggerakkan punggungnya, sehingga seakan-akan kaku. Pasien akan menolak jika diperintahkan untuk membungkuk atau
mengangkat barang dari lantai. Nyeri tersebut akan berkurang jika pasien beristirahat. Keluhan deformitas pada tulang belakang
(kyphosis) terjadi pada 80% kasus disertai oleh timbulnya gibbus yaitu punggung yang membungkuk dan membentuk sudut,
merupakan lesi yang tidak stabil serta dapat berkembang secara progresif. Kelainan yang sudah berlangsung lama dapat disertai
oleh paraplegia ataupun tanpa paraplegia. Abses dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat menjalar ke rongga dada bagian
bawah atau ke bawah ligamen inguinal.1,4,9,10 Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal
dengan istilah Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi ditemukan pada stadium awal dari penyakit yaitu dikenal dengan
onset awal, dan paraplegia pada pasien yang telah sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah penyakit primer
sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat.11
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium laju endap darah (LED) dilakukan dan LED yang meningkat dengan hasil >100 mm/jam.
Pemeriksaan radiologi pada tulang belakang sangat mutlak dilaksanakan untuk melihat kolumna vertebralis yang terinfeksi
pada 25%- 60% kasus. Vertebra lumbal I paling sering terinfeksi. Pemeriksaan radiologi dapat ditemukan fokus infeksi pada
bagian anterior korpus vertebre dan menyebar ke lapisan subkondral tulang. 1-3 Pada beberapa kasus infeksi terjadi di bagian
anterior dari badan vertebrae sampai ke diskus intervertebrae yang ditandai oleh destruksi dari end plate. Elemen posterior
biasanya juga terkena. Penyebaran ke diskus intervertebrae terjadi secara langsung sehingga menampakkan erosi pada badan
vertebra anterior yang disebabkan oleh abses jaringan lunak. Ketersediaan computerized tomography scan (CT scan) yang
tersebar luas dan magnetic resonance scan (MR scan) telah meningkat penggunaannya pada manajemen TB tulang belakang.
CT scan dikerjakan untuk dapat menjelaskan sklerosis tulang belakang dan destruksi pada badan vertebrae sehingga dapat
menentukan kerusakan dan perluasan ekstensi posterior jaringan yang mengalami radang, material tulang, dan untuk
mendiagnosis keterlibatan spinal posterior serta keterlibatan sacroiliac join dan sacrum. Hal tersebut dapat membantu memandu
biopsi dan intervensi perencanaan pembedahan. Pemeriksaan CT scan diindikasikan bila pemeriksaan radiologi hasilnya
meragukan. Magnetic resonance imaging (MRI) dilaksanakan untuk mendeteksi massa jaringan, appendicular TB, luas
penyakit, dan penyebaran subligamentous dari debris tuberculous. 10 Biopsi tulang juga dapat bermanfaat pada kasus yang
sulit, namun memerlukan tingkat) pengerjaan dan pengalaman yang tinggi serta pemeriksaan histologi yang baik. Pada
pemeriksaan histologi akan ditemukan nekrosis kaseosa dan formasi sel raksasa, sedangkan bakteri tahan asam tidak ditemukan
dan biakan sering memberikan hasil yang negatif.11
Diagnosis
Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan klinis secara lengkap termasuk riwayat kontak dekat
dengan pasien TB, epidemiologi, gejala klinis dan pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern seperti X ray, CT scan,
MRI dan ultrasound akan sangat membantu menegakkan diagnosis spondilitis TB, pemeriksaan laboratorium dengan ditemukan
basil Mycobacterium tuberculosis akan memberikan diagnosis pasti. 4,11 Diagnosis banding Spondilitis TB dapat dibedakan
dengan infeksi piogenik yang menunjukkan gejala nyeri di daerah infeksi yang lebih berat. Selain itu juga terdapat gejala
bengkak, kemerahan dan pasien akan tampak lebih toksis dengan perjalanan yang lebih singkat dan mengenai lebih dari 1
tingkat vertebrae. Tetapi gambaran yang spesifik tidak ada sehingga spondilitis TB sulit dibedakan dengan infeksi piogenik
secara klinis.12 Selain itu spondilitis TB juga dapat dibedakan dengan tumor, yang menunjukkan gejala tidak spesifik.1,2,9
Tata laksana
Pengobatan non-operatif dengan menggunakan kombinasi paling tidak 4 jenis obat anti tuberkulosis. Pengobatan dapat
disesuaikan dengan informasi kepekaan kuman terhadap obat. Pengobatan INH dan rifampisin harus diberikan selama seluruh
pengobatan.6,12 Regimen 4 macam obat biasanya termasuk INH, rifampisin, dan pirazinamid dan etambutol. Lama pengobatan
masih kontroversial. Meskipun beberapa penelitian mengatakan memerlukan pengobatan hanya 6-9 bulan, pengobatan rutin
yang dilakukan adalah selama 9 bulan sampai 1 tahun. Lama pengobatan biasanya berdasarkan dari perbaikan gejala klinis atau
stabilitas klinik pasie. Pengobatan non operatif dari paraplegia stadium awal akan menunjukkan hasil yang meningkat pada
setengah jumlah pasien dan pada stadium akhir terjadi pada seperempat jumlah pasien pasien. Jika terjadi Pott’s paraplegia
maka pembedahan harus dilakukan. paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif, paraplegia memburuk
atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif, kehilangan kekuatan motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan
setelah dilakukan pengobatan konservatif, paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak terkontrol oleh karena suatu keganasan
dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan atau adanya risiko terjadi nekrosis akibat tekanan pada kulit, paraplegia yang berat
dengan onset yang cepat, dapat menunjukkan tekanan berat oleh karena kecelakaan mekanis atau abses dapat juga merupakan
hasil dari trombosis vaskular tetapi hal ini tidak dapat didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia flaksid, paraplegia dalam
keadaan fleksi, kehilangan sensoris yang komplit atau gangguan kekuatan motoris selama lebih dari 6 bulan. Paraplegia
berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal sering tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang
disertai nyeri yang diakibatkan oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi seperti batu atau terjadi
infeksi saluran kencing. Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang mengalami paraplegi adalah
costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan laminektomi.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh karena kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat
sehingga tulang yang mengalami destruksi sangat besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya paraplegia pada ekstremitas
inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s paraplegia.
Prognosis
Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik yang terjadi. Prognosis yang buruk berhubungan dengan
TB milier, dan meningitis TB, dapat terjadi sekuele antara lain 4(2) tuli, buta, paraplegi, retardasi mental, gangguan bergerak
dan lain-lain. Prognosis bertambah baik bila pengobatan lebih cepat dilakukan. Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak dengan
usia kurang dari 5 tahun sampai 30%.5

4. Ulkus Pada Tungkai


Definisi
Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir dan ulkus adalah kematian jaringan yang luas
dan disertai invasif kuman saprofit. Adanya kuman saprofit tersebut menyebabkan ulkus menjadi berbau.
Ulkus pada tungkai adalah penyakit arteri, vena, kapiler dan pembuluh darah limfe yang dapat menyebabkan
kelainan pada kulit. Insiden penyakit ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

Epidemiologi
Di negara tropis, insidens ulkus kruris lebih kurang 2% dari populasi dan didominasi oleh ulkus neurotropik dan
ulkus varikosum. Wanita lebih banyak terserang ulkus varikosum daripada pria, dengan perbandingan 2:1, dengan
usia rata-rata di atas 37 tahun untuk prevalensi varises.

Trauma, higiene yang buruk, gizi buruk, gangguan pada pembuluh darah dan kerusakan saraf perifer dianggap
sebagai penyebab yang paling sering. Kerusakan saraf perifer biasanya terjadi pada penderita diabetes mellitus dan
penderita kusta. Hipertensi juga dikaitkan sebagai salah satu penyebab rusaknya pembuluh darah. Pembagian ulkus
kruris dibagi ke dalam empat golongan yaitu, ulkus tropikum, ulkus varikosus, ulkus arterial dan ulkus neurotrofik.

Klasifikasi dan Etiologi


Etiologi
Penyebab utama
1. Hipertensivena kronik. Biasanya disebabkan ketidak mampuan katup pada vena profunda dan vena perpforans.
2. Penyakit arteri. Oklusi aterosklerotik pada pembuluh darah besar atau arteritis pada pembuluh darah
kecil,mengakibatkan iskemia jaringan.
3. Gabungan hipertensi vena dan penyakit arteri.
Penyebab lain :
1. Keganasan. Karsinoma sel skuamosa, melanoma atau karsinoma sel basal.
2. Infeksi.Tuberkolusis, lempra, spilis, infeksi jamur krokunda.
3. Gangguan darah. Polisitemia, hemoglobinnopatik.
4. Gangguan metrobalik.pioderma garden, miksoedema pretibial.
5. Limfedema. Secara normal hanya berhubungan dengan ulserasi apabila hipertensi vena juga terjadi ataupun akibat
selilitis.
6. Trauma. Biasanya sebab langsung ulserasi pada kebanyakan kasus, dan penyebab primer ada sedikit kasus dimana
terdapat secara klin is masalah vaskuler yang mendasarinya.
7. Iatrogenik. Memasang perban terlalu kencang atau gips plester yang terlalu kencang.
8. Luka yang disengaja

Patofisiologi
Pertukaran dan nutrisi lain yang tidak adekuat dijaringan merupakan dasar metabolis penyebab ulkus tungkai.
Ketika metabolisme sel tidak mampu menjaga kesetimbangan energi, terjadilah kematian sel (nekrosis) kerusakan
pembuluh darah pada tungkai arteri, kapiler dan vena dapat mempengaruhi proses seluler dan mengakibatkan
terjadinya ulkus.

Gambar : Tahapan pengembangan ulkus

Manifestasi klinis
Gambaran klinis dan sifat-sifat khas ulkus tungkai ditentukan oleh penyebab ulkus. Penting dicatat bahwa
kebanyakan ulkus tungkai pada manula, memiliki lebih dari satu penyebab. Gejalanya tergantung dari penyebabnya,
apakah berasal dari arteri atau vena. Ulkus itu sendiri tampak sebagai luka inflamasi terbuka, bisa terdapat cairan
atau tertutup oleh eskar (krusta keras, hitam).
Secara khas ulkus arteri adalah kecil, bulat, dan dalam pada ujung jari kaki atau sela jari kaki. Ulkus sering
terjadi disisi media ibu jari kaki atau disisi lateral jari kaki kelima dan disebabkan karena kombinasi tekanan dan
iskemia.
Insufisiensi vena kronis ditandai dengan nyeri yang digambarkan dengan ngilu dan rasa berat disertai edema
pada kaki dan tumit. Ulserasi bisa terjadi dimeleolus medialis maupun lateralis (area gaitor). Ulkus biasanya besar,
superfisial, dan sangat oksidatif.

Diagnosa
Keluhan

Pasien datang dengan luka pada tungkai bawah. Luka bisa disertai dengan nyeri atau tanpa nyeri.
Terdapat penyakit penyerta lainnya yang mendukung kerusakan pembuluh darah dan jaringan saraf perifer.

Anamnesa:

1. Dapat ditanyakan kapan luka pertama kali terjadi. Apakah pernah mengalami hal yang sama di daerah yang
lain.
2. Perlu diketahui apakah pernah mengalami fraktur tungkai atau kaki. Pada tungkai perlu diperhatikan apakah
ada vena tungkai superfisial yang menonjol dengan tanda inkompetensi katup.
3. Perlu diketahui apakah penderita mempunyai indikator adanya penyakit yang dapat memperberat kerusakan
pada pembuluh darah.
Faktor Risiko: usia penderita, berat badan, jenis pekerjaan, penderita gizi buruk, mempunyai higiene yang
buruk, penyakit penyerta yang bisa menimbulkan kerusakan pembuluh darah.

Pemeriksaan Fisik.
1. Inspeksi
Inspeksi tungkai dilakukan dari distal ke proksimal dari depan ke belakang. Region perineum, pubis, dan dinding
abdomen. Vena normalnya terlihat distensi hanya pada kaki dan pergelangan kaki. Pelebaran vena superfisial yang
terlihat pada region lainnya pada tungkai biasanya merupakan suatu kelainan. Ulkus dapat terjadi dan sulit untuk
sembuh, bila ulkus berlokasi pada sisi media tungkai maka hal ini disebabkan oleh adanya insufusiensi vena.
2. Palpasi
Seluruh permukaan kulit dilakukan palpasi dengan jari tangan untuk mengetahui adanya dilatasi vena walaupun tidak
terlihat ke permukaan kulit, Palpasi diawali dari sisi permukaan anteromedial untuk menilai keadaan SVM kemudian
dilanjutkan pada sisi lateral diraba apakah ada varises dari vena nonsafena yang merupakan cabang kolateral dari
VSM, selanjutnya dilakukan palpasi pada permukaan posterior untuk meinail keadaan VSP. Selain pemeriksaan
vena, dilakukan juga palpasi denyut arteri distal dan proksimal untuk mengetahui adanya insufisiensi arteri dengan
menghitung indeks ankle-brachial.
3. Perkusi
Perkusi dilakukan untuk mengetahui kedaan katup vena superficial. Caranya dengan mengetok vena bagian distal
dan dirasakan adanya gelombang yang menjalar sepanjang vena di bagian proksimal.
Diagnosis Banding

Keadaan dan bentuk luka dari keempat jenis ulkus ini sulit di bedakan pada stadium lanjut. Pada ulkus tropikum yang
kronis dapat menyerupai ulkus varikosum atau ulkus arteriosum.

Gambar Ulkus Varikosum

Penatalaksanaan

1. Non medikamentosa

 Perbaiki keadaan gizi dengan makanan yang mengandung kalori dan protein tinggi,
serta vitamin dan mineral.
 Hindari suhu yang dingin
 Hindari rokok
 Menjaga berat badan
 Jangan berdiri terlalu lama dalam melakukan pekerjaan

2. Medikamentosa

 Pengobatan yang akan dilakukan disesuaikan dengan tipe dari ulkus tersebut.Pada ulkus varikosum
lakukan terapi dengan meninggikan letak tungkai saat berbaring untuk mengurangi hambatan aliran
pada vena, sementara untuk varises yang terletak di proksimal dari ulkus diberi bebat elastin agar
dapat membantu kerja otot tungkai bawah memompa darah ke jantung.
 Pada ulkus arteriosum, pengobatan untuk penyebabnya dilakukan konsul ke bagian bedah.

Pasien dengan ulkus tungkai harus ditangani dengan baik oleh perawat berpengalaman berkolaborasi dengan
dokter. Semua ulkus berpotensi mengalami infeksi.
 Terapi antibiotik.
Terapi antibiotik diberikan bila ada infeksi; antibiotik spesifik ditentukan berdasarkan kultur dan sensitifitas.biasanya
diberikan antibiotik pada oral karena antobiotik terbukti tidak efektif untuk ulkus tungkai,
 Depridemen
Untuk mempercepat penyembuhan,luka dijaga tetap kering dari derainase dan jaringan nekrotik.metode yang paling
biasa adalah dengan cairan saling noapabila tidak berhasil perluh dilakukan depritdemen.depritdemen adalah
pengangkatan mati dari luka.penggangkatan jaringan mati sangat penting bila ada infeksi,
 Pembalutan luka
Metode paling sederhana adalah menggunakan bahan kontak misalnya tegapore tepat pada dasar luka dan ditutup
dengan kasa.tegapore dapat menjaga suasana lembab,dapat didiamkan secara beberapa haridan tidak akan
mengganggu dasar kapiler ketika evaluasi.
Tabel Penatalaksanaan terapi pada ulkus tungkai

Konseling dan Edukasi :

1. Edukasi perawatan kaki


2. Olah raga teratur dan menjaga berat badan ideal
3. Menghindari trauma berulang, trauma dapat berupa fisik, kimia dan panas yang biasanya berkaitan dengan
aktivitas atau jenis pekerjaan.
4. Menghentikan kebiasaan merokok.
5. Merawat kaki secara teratur setiap hari, dengan cara :

 Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih.


 Membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air mengeringkan dengan sempurna dan hati-hati
terutama diantara jari-jari kaki.
 Memakai krim kaki yang baik pada kulit yang kering atau tumit yang retak- retak. Tidak memakai bedak,
sebab ini akan menyebabkan kering dan retak- retak.
 Menggunting kuku, lebih mudah dilakukan sesudah mandi, sewaktu kuku lembut.
 Menghindari penggunaan air panas atau bantal panas.
 Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir.

Komplikasi

1. Hematom dan infeksi pada luka


2. Thromboembolisme (resiko muncul akibat dilakukan pembedahan)
3. Terjadi kelainan trofik dan oedem secara spontan
4. Resiko amputasi jika keadaan luka memburuk

Kriteria Rujukan
Respon terhadap perawatan ulkus tungkai akan berbeda. Hal ini terkait lamanya ulkus, luas dari ulkus dan penyebab
utama.

Prognosis

1. Ad vitam : Dubia
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Dubia

5. SLE
1. Definisi

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat. Autoimun berarti
bahwa sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Pada SLE ini, sistem imun terutama menyerang inti sel (Matt,
2003).
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun multisystem dimana organ, jaringan ,dan sel
mengalami kerusakan yang dimediasi oleh autoantibody pengikat jaringan dan kompleks imun. Gambaran klinis SLE
dapat berubah, baik dalam hal aktivitas penyakit maupun keterlibatan organ.

Imunopatogenesis SLE kompleks dan sejalan dengan gejala klinis yang beragam. Tidak ada mekanisme aksi
tunggal yang dapat menjelaskan seluruh kasus, dan kejadian awal yang memicunya masih belum diketahui.

Sesuai dengan teori, pada kasus ini juga terdapat penglibatan multisystem yaitu systemukokutan (malarrash)
,muskoloskeletan (arthritis), hematology (anemia), neurology (serebri) dan ginjal (nefritis).

2. Epidemiologi

Prevalensi LES diberbagai Negara sangat bervariasi antara 2.9/100.000-400/100.000. dalam 30 tahun
terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. LES lebih sering ditemukan pada ras
tertentu seperti bangsa Negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi
distribusi penyakit. LES dapat ditemukan pada semua usia, namun paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa
reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan pria yaitu berkisar (5,5-9) : 1. Pada LES yang disebabkan
obat, rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2.

Di Indonesia sendiri jumlah penderita LES secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama atau bahkan
lebih besar daripada jumlah penderita LES di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan LES Indonesia, 2012),
sedangkan berdasardata dari riset kesehatan dasar tahun 2013 (RISKESDAS) Kementrian Kesehatan Indonesia
prevalensi LES dari populasi penduduk belum didapatkan data. Data YLI menunjukkan bahwa jumlah penderita
penyakit LES di Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada 2012 menjadi 13.300 jiwa per April 2013. Setiap tahun
ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Belum terdapat data epidemiologi LES yang mencakup semua wilayah
Indonesia. Data tahun 2010 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan1.4% kasus LES dari total
kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam (Data RSCM, 2010) , sementara di RS Hasan Sadikin
Bandung terdapat 291 Pasien LES atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun
2010 (Data RS Hasan Sadikin , 2010). Dan di RS dr. Moewardi Surakarta terdapat 2,75% kunjungan pasien LES di
poli Reumatologi Penyakit dan 8,25% di poli VIP (Data RS dr. Moewardi, 2012).

3. Etiologi

Etiopatologi dari LES belum diketahui secara pasti namun diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan
multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Interaksi antara jenis kelamin, status hormonal, dan aksi
Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis LES. Adanya gangguan dalam
mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan
konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini.

Hilangnya toleransi imun, meningkatknya beban antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi
sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktifitas sel B dan memproduksi
autoantibodipatogenik. Respon imun yang terpapar faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet atau infeksi
virus dalam periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun.

Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik,faktor lingkungan,
danfaktor hormonal terhadap respons imun.Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan
resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen
respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan
komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2)
telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan
sitokin.
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-
obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis
keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan
dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila
normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit.

Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal. Mayoritas penyakit ini
menyerang wanita muda dan beberapa penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon
estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktifasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi
berlebihan pada pasien LES.

Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Selain
itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat
dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktifasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi
pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal

4. Gejala klinis

Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita LES dan biasanya mendahului
berbagai manifestasi klinis lainnya..Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat
menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu
kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau
latihan.

Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum
diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan
gejala gastrointestinal.

Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena
suhu tubuh lebih dari 40°C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak
disertai menggigil.

 Manifestasi Kulit

Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus
(SCLE), lupus profundus / paniculitis, alopecia. Selain itu dapat pula berupa lesi vaskuler berupa eritema periungual,
livedo reticularis, telangiektasia, fenomena Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol bewarna putih
perak dan dapat pula ditemukan bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau
depigmentasi pada bibir.

 Manifestasi Muskuloskeletal

Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal. Keluhan dapat berupa nyeri otot
(mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan
ini sering dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Namun
pada umumnya pada LES tidak meyebabkan kelainan deformitas.

 Manifestasi Paru

Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis, emboli paru, hipertensi
pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lung syndrome.Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut
menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi
sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak.
Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang sering
apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan tidak hanya pemberian
steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau pemberian sitostatika.

 Manifestasi kardiovaskuler

Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa perikarditis ringan, efusi
perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia,
aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.

 Manifestasi Ginjal

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita
LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala
atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.

 Manifestasi gastrointestinal

Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat merupakan cerminan keterlibatan
berbagai organ pada penyakit LES atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya
menonjol walaupun tidak didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas. Dispepsia
dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta
didapatkan adanya ulkus.

 Manifestasi Hemopoetik

Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia normositik normokrom yang
terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahandan anemia
hemolitik autoimun

 Manifestasi Neuropsikiatrik

Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan
ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan
klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat.

5. Diagnosis

Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini diartikan sebagai terpenuhinya minimum
kriteria (definitif) atau banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari American College of
Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997. Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda LES dan pada kondisi
tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus, maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi.LES pada tahap
awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakitlainmisalnya artritis reumatoid, glomerulonefritis, anemia,
dermatitis dan sebagainya.

Diagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of
Rheumatology (ACR), pada tahun 1997, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana apabila didapatkan
4 kriteria, diagnosis LES dapat ditegakkan.
Pemeriksaan Penunjang

1) Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

2) Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin

3)Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)

4)PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid

5)Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)

6)Foto polos thorax

-Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring

-Setiap 3-6 bulan bila stabil

-Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tesANA generik. Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya padapasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita
LESditemukantes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif padabeberapa penyakit
lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LESmisalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun
(misalnya Mixed connective tissuedisease (MCTD), artritis reumatoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada
orangnormal.

6. Tatalaksana

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita LES,
terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita
atau dengan membentuk kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah
penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami fotosensitifitas sehingga penderita harus selalu diingatkan
untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Selain itu, penderita LES juga harus menghindari rokok.

Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu diingatkan bila mengalami demam
yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat
sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika
harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur
invasif lainnya.

Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita dengan nefritis, atau penderita
yang mendapat obat-obat yang merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau siklofosfamid.
Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab
itu, pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.

Terapi Konserfatif

 Artritis, Artralgia & Mialgia

Artritis, artralgia, dan mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita LES. Pada keluhan
yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada
penggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping
terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin serum
secara berkala.

 Lupus Kutaneus

Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut LES dapat timbul bila penderita
terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-kadang juga sinar fluoresensi. Penderita
fotosensitifitas harus berlindung terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca
jendela yang digelapkan, menghindari paparan langsung dan menggunakan sunscreen. Sebagian besar sunscreen
topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan
sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau
berkeringat

 Kelelahan dan keluhan sistemik

Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita LES, demikian juga penurunan berat
badan dan demam. Kelelahan juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan
demam dapat juga diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan
aktivitas penyakit LES dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.

Terapi Agresif

o Kortikosteroid

Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus segera dimulai bila timbul
manifestasi serius LES dan mengancam nyawa, misalnya vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliarthritis,
poliserositis, miokarditis pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik,
trombositopenia, sindrom otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus
(demam tinggi, prostrasi).

o Siklofosfamid

Indikasi siklofosfamid pada LES :

1)Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing agent)

2)Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi

3)Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau berulang
4)Glomerulonefritis difus awal

5)LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid

6)Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa adnya faktor-faktor ekstrarenal lainnya

7)LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.

o Azatioprin

Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap siklofosfamid dengan
dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan secara per oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita
LES; setelah penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga
dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik.

Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan enzim hati dan mencetuskan
keganasan.

o Mofetil-mikofenolat (MMF)

MMF dapat menurunkan aktifitas dan mortalitas penderita LES. Pada nefritis lupus, MMF memiliki efek
yang sebanding dengan siklofosfamid dalam hal tingkat remisi, kekambuhan dan risiko infeksi. MMF dapat
mempertahankan tingkat remisi nefritis lupus sebanding dengan siklofosfamid jangka panjang. MMF tidak
berhubungan dengan penekanan sumsum tulang, atau amenorrhea. Dosis MMF adalah 500 –1500 mg, 2 kali perhari.

7. Prognosis

Penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat. Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat
tinggi. Mortalitas pada pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat
kelangsungan hiduppenderita pada 5 tahun pada LESkurang dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita
pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir
adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhirdi Asia dan Afrika secara signifikan
lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan
diagnosis yang terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan
medis umum

6. Osteoartritis
Definisi
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang melibatkan kartilago, lapisan sendi,
ligamen, dan tulang sehingga menyebabkan nyeri dan kekakuan pada sendi (CDC, 2014). Dalam Perhimpunan
Reumatologi Indonesia Osteoartritis secara sederhana didefinisikan sebagai suatu penyakit sendi degeneratif yang
terjadi karena proses inflamasi kronis pada sendi dan tulang yang ada disekitar sendi tersebut (Hamijoyo, 2007).
Sjamsuhidajat, dkk (2011) mendefinisikan OA sebagai kelainan sendi kronik yang disebabkan karena
ketidakseimbangan sintesis dan degradasi pada sendi, matriks ekstraseluler, kondrosit serta tulang subkondral pada
usia tua (Sjamsuhidajat et.al, 2011).

Klasifikasi
Menurut Kellgren dan Lawrence osteoartritis dalam pemeriksaan radiologis diklasifikasikan sebagai berikut:
Grade 0: Normal, Tidak tampak adanya tanda-tanda OA pada radiologis.
Grade 1: Ragu-ragu, tanpa osteofit.
Grade 2: Ringan, osteofit yang pasti, tidak terdapat ruang antar sendi.
Grade 3: Sedang, osteofit sedang, terdapat ruang antar sendi yang cukup besar.
Grade 4: Berat atau parah, osteofit besar, terdapat ruang antar sendi yang lebar dengan sklerosis pada tulang
subkondral.
Tabel 1. Klasifikasi osteoartritis menurut Kellgren dan Flawrence (dalam Petersson, et. al, 2014)
Klasifikasi osteoartritis berdasarkan pemeriksaan radiologis menurut Kellgren dan Flawrence
Tingkatan 0 1 2 3 4
Radiografi
Klasifikasi Normal Ragu-ragu Ringan Sedang Berat
Deskripsi Tanpa osteofit Tanpa osteofit Osteofit yang Osteofit yang Osteofit yang
pasti, tetapi sedang, dan besar, ruang
tidak terdapat terdapat ruang antar sendi
ruang antar antar sendi yang lebar,
sendi yang cukup dengan
besar sklerosis pada
tulang
subkondral

American College of Rheumatology (1987) mendeskripsikan kesehatan seseorang berdasarkan derajat keparahan.
Antara lain sebagai berikut:
 Derajat 0 : Tidak merasakan tanda dan gejala.
 Derajat 1 : Terbentuk taji kecil, nyeri dirasakan ketika beraktifitas cukup berat, tetapi masih bisa dilokalisir
dengan cara mengistirahatkan sendi yang terkena osteoartritis.
 Derajat 2 : Osteofit yang pasti, mungkin terdapat celah antar sendi, nyeri hampir selalu dirasakan, kaku sendi
pada pagi hari, krepitus, membutuhkan bantuan dalam menaiki tangga, tidak mampu berjalan jauh,
memerlukan tenaga asisten dalam menyelesaikan pekerjaan rumah.
 Derajat 3-4 : Osteofit sedang-berat, terdapat celah antar sendi, kemungkinan terjadi perubahan anatomis
tulang, nyeri disetiap hari, kaku sendi pada pagi hari, krepitus pada gerakan aktif sendi, ketidakmampuan
yang signifikan dalam beraktivitas .

Etiologi
Berdasarkan etiopatogenesisnya OA dibagi menjadi dua, yaitu OA primer dan OA sekunder.
 OA primer disebut juga OA idiopatik yang mana penyebabnya tidak diketahui dan tidak ada hubunganya
dengan penyakit sistemik, inflamasi ataupun perubahan lokal pada sendi
 OA sekunder merupakan OA yang ditengarai oleh faktor-faktor seperti penggunaan sendi yang berlebihan
dalam aktifitas kerja, olahraga berat, adanya cedera sebelumnya, penyakit sistemik, inflamasi.
 OA primer lebih banyak ditemukan daripada OA sekunder

Faktor Risiko

- Perbedaan ras
Perbedaan ras menunjukkan distribusi sendi OA yang terkena, misalnya rata-rata wanita dengan Ras Afrika-
Amerika terkena OA lutut lebih tinggi daripada wanita ber ras Kaukasia. Ras Afrika hitam, China, dan Asia-Hindia
menunjukkan prevalensi OA panggul dari pada ras Eropa-Kaukasia.

- Usia
Gejala dan tanda pada radiologi OA lutut sangat banyak dideteksi sebelum usia 40 tahun. Bertambahnya usia,
insiden OA juga semakin meningkat. Insiden meningkat tajam pada usia sekitar 55 tahun.

- Faktor genetik
Faktor genetik merupakann faktor penting. Anak perempuan dengan ibu yang memiliki OA berisiko lebih
tinggi dari pada anak laki-laki karena OA diwariskan diwariskan kepada anak perempuan secara dominan sedangkan
pada laki-laki diwariskan secara resesif. Selain itu genetik menyumbang terjadinya OA pada tangan sebanyak 65%,
OA panggul sebanyak 50%, OA lutut sebanyak 45%, dan 70% OA pada cervical dan spina lumbar.

- Obesitas
Obesitas merupakan faktor penting terkait perkembangan OA pada lutut tetapi hubungan ini lebih kuat pada
wanita. Risiko terjadinya OA dua kali lebih besar pada orang dengan berat badan berlebih dari pada kelompok orang
dengan berat badan normal. Selain itu dilihat dari perubahan radiologis, obesitas merupakan prediktor
ketidakmampuan yang progresif. Tetapi hubungan ini tidak jelas pada OA panggul dan OA tangan.

- Riwayat bedah lutut atau trauma


Trauma pada sendi merupakan faktor risiko berkembangnya penyakit OA. Hal ini dikarenakan kemungkinan
adanya kerusakan pada mayor ligamen, tulang pada sekitar sendi tersebut. Trauma merupakan faktor risiko pada OA
lutut karena kerusakannya bisa menyebabkan perubahan pada meniskus, atau ketidakseimbangan pada anterior
ligamen krusial dan ligamen kolateral.

- Aktivitas berat yang berlangsung lama


Penggunaan sendi dalam aktivitas berat yang berlangsung lama menjadi faktor risiko berkembangnya
penyakit OA. Pekerjaan seperti kuli angkut barang, memanjat menyebabkan peningkatan OA lutut, hal ini biasanya
terjadi pada laki-laki. Selain itu kebiasaan yang membungkuk terlalu lama seperti petani, atau tukang cuci
meningkatkan risiko terjadinya OA panggul. Altet olahraga wanita ataupun lelaki menunjukkan faktor risiko besar
terjadinya OA lutut dan panggul.

Patogenesis

OA terjadi karena degradasi pada rawan sendi, remodelling tulang, dan inflamasi. Terdapat 4 fase penting
dalam proses pembentukan osteoartritis yaitu fase inisiasi, fase inflamasi, nyeri, fase degradasi.

- Fase inisiasi
Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan sendi berupaya melakukan perbaikan sendiri dimana
khondrosit mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru. Fase ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu
polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel, faktor tersebut seperti Insulin-like
growth factor (IGF-1), growth hormon, transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni stimulating factors (CSFs).
Faktor-faktor ini menginduksi khondrosit untuk mensintesis asam deoksiribo nukleat (DNA) dan protein seperti
kolagen dan proteoglikan. IGF-1 memegang peran penting dalam perbaikan rawan sendi.

- Fase inflamasi
Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitif terhadap IGF-1 sehingga meningkatnya pro-inflamasi sitokin
dan jumlah leukosit yang mempengaruhi sendi. IL-1(Inter Leukin-1) dan tumor nekrosis faktor-α (TNF-α)
mengaktifasi enzim degradasi seperti collagenase dan gelatinase untuk membuat produk inflamasi pada osteoartritis.
Produk inflamasi memiliki dampak negatif pada jaringan sendi, khususnya pada kartilago sendi, dan menghasilkan
kerusakan pada sendi.
- Fase nyeri
Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini
menyebabkan penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga menyebabkan
terjadinya iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini mengakibatkan lepasnya mediator kimia seperti prostaglandin dan
interleukin yang dapat menghantarkan rasa nyeri. Rasa nyeri juga berupa akibat lepasnya mediator kimia seperti
kinin yang dapat menyebabkan peregangan tendo, ligamen serta spasme otot-otot. Nyeri juga diakibatkan oleh
adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan
vena intramedular akibat stasis vena pada pada proses remodelling trabekula dan subkondrial.

- Fase degradasi
IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi yaitu meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi
rawan sendi. Peran makrofag didalam cairan sendi juga bermanfaat, yaitu apabila terjadi jejas mekanis, material asing
hasil nekrosis jaringan atau CSFs akan memproduksi sitokin aktifator plasminogen (PA). Sitokin ini akan
merangsang khondrosit untuk memproduksi CSFs. Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan sendi.

Faktor pertumbuhan dan sitokin membawa pengaruh yang berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung
merangsang degradasi komponen matriks rawan sendi sedangkan faktor pertumbuhan merangsang sintesis

Manifestasi Klinis
OA dapat mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Distribusi OA dapat mengenai sendi leher, bahu, tangan,
kaki, pinggul, lutut.
 Nyeri : Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada sinovium, tekanan pada sumsum tulang, fraktur daerah
subkondral, tekanan saraf akibat osteofit, distensi, instabilnya kapsul sendi, serta spasme pada otot atau
ligamen. Nyeri terjadi ketika melakukan aktifitas berat. Pada tahap yang lebih parah hanya dengan aktifitas
minimal sudah dapat membuat perasaan sakit, hal ini bisa berkurang dengan istirahat.
 Kekakuan sendi : kekakuan pada sendi sering dikeluhkan ketika pagi hari ketika setelah duduk yang terlalu
lama atau setelah bangun pagi.
 Krepitasi : sensasi suara gemeratak yang sering ditemukan pada tulang sendi rawan.
 Pembengkakan pada tulang biasa ditemukan terutama pada tangan sebagai nodus Heberden (karena adanya
keterlibatan sendi Distal Interphalangeal (DIP)) atau nodus Bouchard (karena adanya keterlibatan sendi
Proximal Phalangeal (PIP)). Pembengkakan pada tulang dapat menyebabkan penurunan kemampuan
pergerakan sendi yang progresif.
 Deformitas sendi : pasien seringkali menunjukkan sendinya perlahan-lahan mengalami pembesaran, biasanya
terjadi pada sendi tangan atau lutut (Davey, 2006).

Pemeriksaan Penunjang
Untuk menentukan diagnostik OA selain melalui pemeriksaan fisik juga diperlukan pemeriksaan penunjang
seperti radiologis dan pemeriksaan laboratorium. Foto polos dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis
OA walaupun sensivitasnya rendah terutama pada OA tahap awal. USG juga menjadi pilihan untuk menegakkan
diagnosis OA karena selain murah, mudah diakses serta lebih aman dibanding sinar-X, CT-scan atau MRI (Amoako
dan Pujalte, 2014).

Radiologi
Setiap sendi yang menyangga berat badan dapat terkena osteoartritis, seperti panggul, lutut, selain itu bahu,
tangan, pergelangan tangan, dan tulang belakang juga sering terkena. Gambaran radiologi OA sebagai berikut:
 Pembentukan osteofit: pertumbuhan tulang baru (semacam taji) yang terbentuk di tepi sendi.
 Penyempitan rongga sendi : hilangnya kartilago akan menyebabkan penyempitan rongga sendi yang tidak
sama.
 Badan yang longgar : badan yang longgar terjadi akibat terpisahnya kartilago dengan osteofit.
 Kista subkondral dan sklerosis: peningkatan densitas tulang di sekitar sendi yang terkena dengan
pembentukan kista degeneratif

Bagian yang sering terkena OA


Lutut :
Sering terjadi hilangnya kompartemen femorotibial pada rongga sendi.
Kompartemen bagian medial merupakan penyangga tubuh yang utama, tekanannya lebih besar sehingga hampir
selalu menunjukkan penyempitan paling dini.

Tulang belakang :
Terjadi penyempitan rongga diskus.
Pembentukan tulang baru (spuring/pembentukan taji) antara vertebra yang berdekatan sehingga dapat
menyebabkan keterlibatan pada akar syaraf atau kompresi medula spinalis.
Sklerosis dan osteofit pada sendi-sendi apofiseal invertebrata.
Panggul :
Penyempitan pada sendi disebabkan karena menyangga berat badan yang terlalu berat, sehingga disertai
pembentukan osteofit femoral dan asetabular.
Sklerosis dan pembentukan kista subkondral.
Penggantian total sendi panggul menunjukkan OA panggul yang sudah berat.

Tangan :
Biasanya mengenai bagian basal metakarpal pertama.
Sendi-sendi interfalang proksimal ( nodus Bouchard ).
Sendi-sendi interfalang distal ( nodus Heberden ) (Patel, 2007).

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada OA untuk mengurangi tanda dan gejala OA, meningkatkan kualitas hidup,
meningkatkan kebebasan dalam pergerakan sendi, serta memperlambat progresi osteoartritis. Spektrum terapi yang
diberikan meliputi fisioterapi, pertolongan ortopedi, farmakoterapi, pembedahan, rehabilitasi.

a. Terapi konservatif
Terapi konservatif yang bisa dilakukan meliputi edukasi kepada pasien, pengaturan gaya hidup, apabila
pasien termasuk obesitas harus mengurangi berat badan, jika memungkinkan tetap berolah raga (pilihan olah raga
yang ringan seperti bersepeda, berenang).

b. Fisioterapi
Fisioterapi untuk pasien OA termasuk traksi, stretching, akupuntur, transverse friction (tehnik pemijatan
khusus untuk penderita OA), latihan stimulasi otot, elektroterapi.

c. Pertolongan ortopedi
Pertolongan ortopedi kadang-kadang penting dilakukan seperti sepatu yang bagian dalam dan luar didesain
khusus pasien OA, ortosis juga digunakan untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi sendi (Michael et. al,
2010).
d. Farmakoterapi

- Analgesik / anti-inflammatory agents.

COX-2 memiliki efek anti inflamasi spesifik. Keamanan dan kemanjuran dari obat anti inflamasi harus selalu
dievaluasi agar tidak menyebabkan toksisitas.
Contoh: Ibuprofen : untuk efek antiinflamasi dibutuhkan dosis 1200-2400mg sehari.
Naproksen : dosis untuk terapi penyakit sendi adalah 2x250-375mg sehari. Bila perlu diberikan 2x500mg sehari.
- Glucocorticoids
Injeksi glukokortikoid intra artikular dapat menghilangkan efusi sendi akibat inflamasi.
Contoh: Injeksi triamsinolon asetonid 40mg/ml suspensi
hexacetonide 10 mg atau 40 mg.
- Asam hialuronat

- Kondroitin sulfat

- Injeksi steroid seharusnya digunakan pada pasien dengan diabetes yang telah hiperglikemia.

Setelah injeksi kortikosteroid dibandingkan dengan plasebo, asam hialuronat, lavage (pencucian sendi), injeksi
kortikosteroid dipercaya secara signifikan dapat menurunkan nyeri sekitar 2-3 minggu setelah penyuntikan (Nafrialdi
dan Setawati, 2007).
e. Pembedahan

- Artroskopi merupakan prosedur minimal operasi dan menyebabkan rata infeksi yang rendah (dibawah 0,1%). Pasien
dimasukkan ke dalam kelompok 1 debridemen artroskopi, kelompok 2 lavage artroskopi, kelompok 3 merupakan
kelompok plasebo hanya dengan incisi kulit. Setelah 24 bulan melakukan prosedur tersebut didapatkan hasil yang
signifikan pada kelompok 3 dari pada kelompok 1 dan 2.
- Khondroplasti : menghilangkan fragmen kartilago. Prosedur ini digunakan untuk mengurangi gejala osteofit pada
kerusakan meniskus.
- Autologous chondrocyte transplatation (ACT)

- Autologous osteochondral transplantation (OCT)


7. ARTRITIS REUMATOID

A. Definisi
Kata arthritis mempunyai arti inflamasi pada sendi (“arthr” berarti sendi “itis” berarti inflamasi). Inflamasi
menggambarkan tentang rasa sakit, kekakuan, kemerahan, dan pembengkakan. Artritis reumatoid (AR) adalah
penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama.

B. Epidemiologi

Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1 %. Prevalensi
yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing- masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Sedangkan di
China, Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%. Penyakit ini tiga kali lebih sering terjadi pada
wanita. Pada wanita di atas 50 tahun prevalensinya meningkat hampir 5%. Puncak kejadian RA terjadi pada usia 20-
45 tahun.

C. Faktor Risiko

Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis kelamin perempuan, ada
riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok. Konsumsi kopi lebih dari tiga
cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated mungkin juga berisiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh dan
penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan penurunan risiko. Tiga dari empat perempuan dengan AR
mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah
melahirkan.

D. Patogenesis
Rheumatoid arthritis merupakan akibat disregulasi komponen humoral dan dimediasi oleh sel imun. Pada
pasien RA menghasilkan antibodi yang disebut dengan faktor reumatoid (RF). Pasien yang mempunyai RF
seropositif cenderung memiliki perjalanan penyakit yang lebih agresif dari pasien yang seronegatif. RA termasuk
penyakit autoimun sistemik yang menyerang persendian. Reaksi autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Proses
fagositosis menghasilkan enzim dalam sendi, kemudian enzim memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi
membran sinovial dan akhirnya membentuk pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan
erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot juga
terkena karena serabut otot mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan
kontraksi otot.

E. Manifestasi Klinis

• Awitan (onset)
Kurang lebih 2/3 penderita AR, awitan terjadi secara perlahan, artritis simetris terjadi dalam beberapa minggu
sampai beberapa buIan dari perjalanan penyakit. Artritis sering kali diikuti oleh kekakuan sendi pada pagi hari yang
berlangsung selama satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga mempunyai gejala konstitusional berupa
kelemahan, kelelahan, anoreksia dan demam ringan.
• Manifestasi artikular
Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi, walaupun ada
sepertiga penderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi
(nyeri,bengkak, kemerahan dan teraba hangat) mungkin ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan
(flare), namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada AR yang kronik.
Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran sinovial yang membungkus
sendi. Sinovitis akan menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi.
Ankilosis tulang (destruksi sendi di- sertai kolaps dan pertumbuhan tulang yang berlebihan) bisa terjadi pada
beberapa sendi khususnya pada per- gelangan tangan dan kaki. Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat,
demikian juga sendi interfalang proksimal dan metakarpofal.angeal. Sendi interfalang distal dan sakroiliaka tidak
pernah terlibat.
• Manifestasi ekstraartikular
Walaupun artritis merupakan manifestasi klinis utama, tetapi AR merupakan penyakit sistemik sehingga
banyak penderita juga mempunyai manifestasi ekastraartikular. Manifestasi ekastraartikular pada umumnya
didapatkan pada penderita yang mempunyai titer faktor reumatoid (RF) serum tinggi. Nodul reumatoid merupakan
manifestasi kulit yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak memerlukan intervensi khusus. Nodul reumatoid
umumnya ditemukan di daerah ulna, olekranon, jari tangan, tendon achilles atau bursa olekranon.
Manifestasi paru juga bisa di-dapatkan, tetapi beberapa perubahan patologik hanya ditemukan saat otopsi.
Beberapa mani- festasi ekstraartikular seperti vaskulitis dan Felty syndrome jarang dijumpai, tetapi sering
memerlukan terapi spesifik.

F. Diagnosis

Selama ini diagnosis AR memakai kriteria ACR tahun 1987 dengan sensitivitas 77-95% dan spesifisitas 85-
98%. Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut American College ofRheumato-
logy/ European League Against Rheumatism 2010 (Tabel 9). Diagnosis AR ditegakkan bila pasien memiliki skor 6
atau lebih.

G. Penatalaksanaan
Destruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak timbulnya gejala, terapi sedini mungkin akan
menurunkan angka perburukan penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan diagnosis dan memulai
terapi sedini mungkin.ACRSRA merekomendasikan bahwa penderita dengan kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3
bulan sejak timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis dan inisiasi terapi DMARDs (Disease-modifying antirheu-
matic drugs).Modalitas terapi untuk AR meliputi terapi non farmakologik dan farmakologik.
• Terapi Non Farmakologik

Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada penderita AR. Terapi puasa, suplementasi asam lemak
esensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan hasil yang baik. Pemberian suplemen minyak ikan (cod liver oil) bisa
digunakan sebagai NSA/D-sparing agents pada penderita AR. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin
dalam perawatan penderita, bisa memberi- kan manfaat jangka pendek. Penggunaan terapi herbal, acupuncture dan
splinting belum didapatkan bukti yang meyakinkan. Pembedahan harus dipertimbangkan bila : 1) terdapat nyeri berat
yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif, 2) keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan
fungsi yang berat, 3) ada ruptur tendon.

• Terapi Farmakologik

Dalam jurnal “The Global Burden Of Rheumatoid Arthritis In The Year 2000”, Obat-obatan dalam terapi RA terbagi
menjadi lima kelompok, yaitu (Symmons, 2006) :

1. NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs) untuk mengurangi rasa nyeri dan kekakuan sendi.
2. Second-line agent seperti injeksi emas (gold injection), Methotrexat dan Sulphasalazine. Obat-obatan ini
merupakan golongan DMARD. Kelompok obat ini akan berfungsi untuk menurukan proses penyakitdan mengurangi
respon fase akut. Obat-obat ini memiliki efek sampingdan harus di monitor dengan hati-hati.
3. Steroid, obat ini memiliki keuntungan untuk mengurangi gejala simptomatis dan tidak memerlukan montoring,
tetapi memiliki konsekuensi jangka panjang yang serius.
4. Obat-obatan immunosupressan. Obat ini dibutuhkan dalam proporsi kecil untuk pasien dengan penyakit sistemik.
5. Agen biologik baru, obat ini digunakan untuk menghambat sitokin inflamasi. Belum ada aturan baku mengenai
kelompok obat ini dalam terapi RA.
Terapi yang dikelompokan diatas merupakan terapi piramida terbalik, dimana pemberian DMARD dilakukan sedini
mungkin.

7. OSTEOPOROSIS

II.1 . Definisi

Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya masa tulang secara nyata

yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang. Akibatnya tulang menjadi rapuh

dan mudah patah. Menurut Dr . R obert P. Heaney dalam R eitz (1993) penyakit

osteoporosis paling umum diderita oleh orang yang telah

berumur, dan paling banyak menyerang wanita yang telah menopause (Hortono,

2000).

Osteoporosis merupakan penyakit metabolik tulang atau disebut juga

penyakit tulang rapuh atau tulang keropos. Osteoporosis diistilahkan juga

dengan penyakit silent epidemic karena sering tidak mem berikan gejala hingga

akhirnya terjadi fraktur (patah) (Dalimartha, 2002).

II.2 . Etiologi

Ada 2 penyebab utama osteoporosis, yaitu pem bentukan massa puncaktulangyang

selama masa pertum buhan dan meningkatnya pengurangan massa tulang setelah

menopause. Massa tulang meningkat secara konstan dan mencapai puncak sam pai

usia 40 tahun, pada wanita lebih muda sekitar 30-35 tahun. Walaupun demikian

tulang yang hidup tidak pernah beristirahat dan akan selalu

mengadakan remodelling dan mem perbaharui cadangan


mineralnya sepanjang garis beban mekanik. Faktor pengatur f or masi dan resorpsi

tulang dilaksanakan melalui 2 proses yang selalu berada dalam keadaan seim bang

dan disebut coupling. Proses coupling ini memungkinkan aktivitas f or masi tulang

sebanding dengan aktivitas resorpsi tulang. Proses ini

berlangsung 12 minggu pada orang muda dan 16-20 minggu pada usia
menengah atau lanjut. Remodelling rate adalah 2-10% massa skelet per tahun

(Sudoyo et al., 2006). Proses remodelling ini dipengaruhi oleh beberapa fa ktor,

yaitu faktor lokal yang menyebabkan terjadinya satu rangkaian kejadian pada

konsep Activation ± Resorption ± Formation (ARF). Proses ini dipengaruhi

oleh protein mitogenik yang berasal dari tulang yang merangsang

preosteoblas supaya mem belah mem belah menjadi osteoblas akibat adanya aktivitas

resorpsi oleh osteoklas. Faktor lain yang mem pengaruhi proses remodelling adalah

f aktor hor monal. Proses remodelling akan ditingkatkan

oleh hormon paratiroid, hormon pertumbuhan dan 1,25 (OH)2 vitamin D.

Sedang yang mengham bat proses remodelling adalah kalsitonin, estrogen dan

glukokortikoi d. Proses-proses yang mengganggu remodelling tulang inilah yang

menyebabkan osteoporosis.

Selain gangguan pada proses remodelling tulang faktor lainnya adalah

pengaturan metabolisme kalsium dan fosfa t. Walaupun terdapat variasi

asupan kalsium yang besar, tubuh tetap memelihara konsentrasi kalsium

serum pada kadar yang tetap. Pengaturan homeostasis kalsium serum dikontrol

oleh organ tulang, ginjal dan usus melalui pengaturan paratiroid hor mon (PTH),

hor mon kalsitonin, kalsitriol (1,25(OH)2 vitamin D) dan

penurunan fosfa t serum. Faktor lain yang berperan adalah hor mon tiroid,

glukokortikoi d dan insulin, vitamin C dan inhibitor mineralisasi tulang (pirofosfat

dan pH darah). Pertukaran kalsium sebesar 1.000 mg/harinya antara tulang

dan cairan ekstraseluler dapat bersifat kinetik melalui fase f or masi dan resorpsi

tulang yang lam bat. A bsorpsi kalsium dari gastrointestinal yang ef isien

tergantung pada asupan kalsium harian, status.


vitamin D dan umur. Didalam darah absorpsi tergantung kadar protein tubuh, yaitu

albumin, karena 50% kalsium yang diserap oleh tubuh terikat oleh albumin, 40%

dalam bentuk kompleks sitrat dan 10% terikat fosfat (Sinnatham by, 2010).

II.3 . Faktor Risiko Osteoporosis

1. Usia

Tiap peningkatan 1 dekade, resiko meningkat 1,4-1,8

2. Genetik

y Etnis (kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia)

y Seks (wanita > pria)

y Ri wayat keluarga

3. Lingkungan, dan lainnya

y Def isiensi kalsium

y Aktivitas f isik kurang

y Obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin,

siklosporin)

y Merokok, alkohol

y R esiko terjatuh yang meningkat (gangguan keseim bangan,

licin, gangguan penglihatan)

y Hor monal dan penyakit kronik

o Def isiensi estrogen, androgen

o Tirotoksikosis, hiperparatiroidisme primer,

hiperkortisolisme.
o Penyakit kronik (sirosis hepatis, gangguan ginjal,

gastrektomi)

y Sif at fi sik tulang

o Densitas (massa)

o Ukuran dan geometri

o Mikroarsitektur

o Komposisi

4. Faktor resiko f aktur panggul yaitu,:

a. Penurunan respons protektif

y Kelainan neuromuscular

y Gangguan penglihatan

y Gangguan keseim bangan

b. Peningkatan fragilitas tulang

y Densitas massa tulang rendah

y Hiperparatiroidisme

c. Gangguan penyediaan energi

y Malabsorpsi

II. 4 Klasifikasi Osteoporosis

1. Osteoporosis Primer

a. Osteoporosis primer tipe 1 adalah osteoporosis pasca menopause.

Pada masa menopause, f ungsi ovarium menurun sehingga produksi

hor mon estrogen dan progesteron juga menurun. Estrogen berperan

dalam proses mineralisasi tulang dan mengham bat resorbsi tulang

serta pem bentukan osteoklas melalui produksi sitokin. K etika


kadar hor mon estrogen darah menurun, proses pengeroposan tulang

dan pem bentukan mengalami ketidakseim bangan. Pengeroposan tulang

menjadilebihdominan (Wirakusumah, 2007).

b. Osteoporosis primer tipe II adalah osteoporosis senilis yang

biasanya terjadi lebih dari usia 50 tahun. Osteopososis terjadi akibat

dari kekurangan kalsium berhubungan dengan makin

bertam bahnya usia (Hortono, 2000).

c. Tipe III adalah osteoporosis idiopatik merupakan osteoporosis

yang penyebabnya tidak diketahui.Osteoporosis ini sering menyerang

wanita dan pria yang masih dalam usia muda yang relative jauh lebih

muda (Hortono, 2000).

2. Osteoporosis sekunder

Osteoporosis sekunder terjadi kerana adanya penyakit tertentu yang

dapat mem pengaruhi kepadatan massa tulang dan gaya hidup yang tidak sehat.

Faktor pencetus dominan osteoporosis sekunder adalah sepeti di bawa (

Wirakusumah, 2007) :

a. Penyakit endokrin : tiroid, hiperparatiriod, hipogonadisme

b. Penyakit saluran cerna yang memyebabkan absorsi gizi kalsium.fosfor.

vitamin D) terganggu.

c. Penyakit keganasan ( kanker )

d. Konsumsi obat ±obatan seprti kortikosteriod

e. Gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kurang olahraga.


II.5 . Patogenesis

-Pem bentukan ulang tulang adalah suatu proses yang terus

menerus. Pada osteoporosis, massa tulang berkurang, yang menunjukkan

bahwa laju resorpsi tulang pasti melebihi laju pem bentukan tulang. Pem bentukan

tulang lebih banyak terjadi pada korteks

A. Proses Remodelling Tulang dan Homeostasis Kalsium


Kerangka tubuh manusia merupakan struktur tulang yang terdiri dari

substansi organik (30%) dan substansi mineral yang paling banyakterdiri dari

kristal hidroksiapatit (95%) serta sejumlah mineral lainnya (5%) seperti Mg,

Na, K, F, Cl, Sr dan P b. Substansi organik ter diri dari sel tulang (2%) seperti

osteoblas, osteosit dan osteoklas dan matriks tulang (98%) ter diri dari kolagen

tipe I (95%) dan protein nonkolagen (5%) seperti osteokalsin,

osteonektin, proteoglikan tulang, protein morf ogenik tulang, proteolipid tulang

dan f osf oprotein tulang.

-Tanpa matriks tulang yang ber f ungsi sebagai perancah, proses

mineralisasi tulang tidak mungkin dapat berlangsung. Matriks tulang

merupakan makromolekul yang sangat bersifat anionik dan berperan

penting dalam proses kalsif ikasi dan f iksasi kristal hidroksi apatit pada serabut

kolagen. Matriks tulang tersusun sepanjang garis dan beban mekanik sesuai

dengan hukum Wolf, yaitu setiap perubahan f ungsi tulang akan diikuti

oleh perubahan tertentu yang menetap pada arsitektur internal

dan penyesuaian eksternal sesuai dengan hukum matematika. Dengan kata lain,

hukum Wolf dapat diartikan sebagai ³bentuk akan selalu mengikuti f ungsi´.
B. Pat ogenesis Osteoporosis primer

Setelah menopause maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama


pada dekade awal setelah menopause, sehingga insidens fraktur, terutama
fraktur vertebra dan radius distal meningkat. Estrogen juga berperan
menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-
sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF- yang berperan meningkatkan
kerja osteoklas, dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause
akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas
osteoklas meningkat.

Untuk mengatasi keseim bangan negatif kalsium akibat menopause,


maka kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga
osteoporosis akan semakin berat. Pada menopause, kadangkala didapatkan
peningkatan kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya
volume plasma, meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga
meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin dan juga kadarkalsium
dalam bentuk garam kom pleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause
terjadi akibat penurunan rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif asidosis
respiratorik.

C. Pat ogenesis Osteoporosis Sekunder

Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya


sebesar 42% dan kehilangan tulang f emurnya sebesar 58%. Pada dekade ke-8
dan 9 kehidupannya, terjadi ketidakseim bangan remodeling tulang, dimana
resorpsi tulang meningkat, sedangkan f or masi tulang tidak
berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa
tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan resiko fraktur .

Def isiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang
tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang,
anoreksia, malabsorpsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Def isiensi
vitamin K juga akan menyebabkan osteoporosis karena akan
meningkatkan karboksilasi protein tulang misalnya osteokalsin. Penurunan
kadar estradiol dibawah 40 pMol/L pada laki-laki akan menyebabkan
osteoporosis, karena laki-laki tidak pernah mengalami menopause ( penurunan
kadar estrogen yang mendadak ), maka kehilangan massa tulang
yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Dengan
bertam bahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan menurun sedangkan
kadar Se x Hormone Binding Globulin (SHBG) akan meningkat. Peningkatan
SHBG akan meningkatkan pengikatan estrogen dan testosteron
mem bentuk kom pleks yang inaktif.

Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa

tulang pada orang tua adalah fa ktor genetik dan lingkungan (merokok,

alkohol, obat-obatan, imobilisasi lama). Resiko fraktur yang juga harus

diperhatikan adalah resiko terjatuh yang lebih tinggi pada orang tua

dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini berhubungan dengan

penurunan kekuatan otot, gangguan keseim bangan dan stabilitas postural,

gangguan penglihatan, lantai yang licin atau tidak rata,

II.6 . Gambaran Klinis

Osteoporosis dapat berjalan lam bat selama beberapa dekade, hal ini

disebabkan karena osteoporosis tidak menyebabkan gejala frakturtulang. Beberapa

fraktur osteoporosis dapat terdeteksi hingga beberapa tahun kemudian. Tanda

klinis utama dari osteoporosis adalah fraktur pada vertebra, pergelangan

tangan, pinggul, humerus, dan tibia. Gejala yang

paling lazim dari fraktur korpus vertebra adalah nyeri pada punggung dan

def or mitas pada tulang belakang. Nyeri biasanya terjadi akibat kolaps vertebra

terutama pada daerah dorsal atau lum bal. Secara khas awalnya akut dan sering

menyebar kesekitar pinggang hingga kedalam perut. Nyeri


dapat meningkat walaupun dengan sedikit gerakan misalnya berbalikditempat

tidur. Istirahat ditem pat tidaur dapat meringankan nyeri untuk sementara, tetapi

akan berulang dengan jangka waktu yang ber variasi. Serangan nyeri

akut juga dapat disertai oleh distensi perut dan ileus

Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan osteoporosis bila

didapatkan :

y Patah tulang akibat trauma yang ringan.

y Tubuh makin pendek, kif osis dorsal bertam bah, nyeri tulang.

y Gangguan otot (kaku dan lemah)

y Secara kebetulan ditemukan gam baran radiologik yang khas.

II.7 . Diagnosis

Diagnosis osteoporosis umumnya secara klinis sulit dinilai, karena

tidak ada rasa nyeri pada tulang saat osteoporosis terjadi walau osteoporosis

lanjut. Khususnya pada wanita-wanita menopause dan pasca menopause, rasa

nyeri di daerah tulang dan sendi dihubungkan dengan adanya nyeri akibat

def isiensi estrogen. Masalah rasa nyeri jaringan lunak (wallaca tahun1981) yang

menyatakan rasa nyeri tim bul setelah bekerja, memakai

baju, pekerjaan rumah tangga, taman dll. Jadi secara anamnesa mendiagnosis

osteoporosis hanya dari tanda sekunder yang menunjang terjadinya osteoporosis

seperti

y Tinggi badan yang makin menurun.

y Obat-obatan yang diminum.


12

y Penyakit-penyakit yang diderita selama masa reproduksi,


klimakterium.
y Jumlah kehamilan dan menyusui.

y Bagaimana keadaan haid selama masa reproduksi.

y A pakah sering beraktivitas di luar rumah , sering mendapat paparan


matahari cukup.
y A pakah sering minum susu, Asupan kalsium lainnya.

y A pakah sering merokok, minum alkohol

II.8 . Pemeriksaan Fisik

Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap penderita

osteoporosis. Demikian juga gaya berjalan penderita osteoporosis, def or mitas

tulang, nyeri spinal. Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kif osis

dorsal atau gibbus dan penurunan tinggi badan.

II.9 . Pemeriksaan Radiologi

Gam baran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan

korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen. Hal ini akan tam pak pada

tulang-tulang vertebra yang mem berikan gam baran picture-frame vertebra.

II.10 . Pemeriksaan Densitas Massa tulang (Densitometri)

Densitas massa tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan resiko

fraktur . untuk menilai hasil pemeriksaan Densitometri tulang, digunakan

kriteria kelom pok kerja WHO, yaitu:

1. Nor mal bila densitas massa tulang di atas -1 SD rata-rata nilai densitas

massa tulang orang dewasa muda (T-score)


2. Osteopenia bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD dari

T-score.

3. Osteoporosis bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau kurang.

4. Osteoporosis berat yaitu osteoporosis yang disertai adanya fraktur .

II.11 . Penatalaksanaan

Terapi pada osteoporosis harus mem pertim bangkan 2 hal, yaitu terapi

pencegahan yang pada umumnya bertujuan untuk mengham bat hilangnya massa

tulang. Dengan cara yaitu memperhatikan fa ktor makanan, latihan f isik (

senam pencegahan osteoporosis), pola hidup yang aktif dan paparan sinar ultra

violet. Selain itu juga menghindari obat-obatan dan jenis makanan yang

merupakan fa ktor resiko osteoporosis seperti alkohol, kafein, diuretika,

sedatif, kortikosteroid.

Selain pencegahan, tujuan terapi osteoporosis adalah meningkatkan massa

tulang dengan melakukan pem berian obat-obatan antara lain hor mon

pengganti (estrogen dan progesterone dosis rendah). Kalsitrol, kalsitonin,

bifosfa t, raloxifene, dan nutrisi seperti kalsium serta senam beban.

Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur,

terutama bila terjadi fraktur panggul.

II.12 . Pencegahan

Pencegahan osteoporosi meliputi:

1. Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dengan

mengonsumsi kalsium yang cukup


Mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup sangat ef ektif,

terutama sebelum tercapainya kepadatan tulang maksimal (sekitarumur30

tahun). Minum 2 gelas susu dan tam bahan vitamin D setiap hari, bisa

meningkatkan kepadatan tulang pada wanita setengah baya yang

sebelumnya tidak mendapatkan cukup kalsium. Akan tetapi tablet kalsium

dan susu yang dikonsumsi setiap hari akhir - akhir ini menjadi

per debatan sebagai pemicu terjadi osteoporosis, berhubungan dengan

teori osteoblast.

2. Melakukan olah raga dengan beban

Olah raga beban (misalnya berjalan dan menaiki tangga) akan

meningkatkan kepadatan tulang. Berenang tidak meningkatkan kepadatan

tulang.

3. Mengkonsumsi obat (untuk beberapa orang tertentu).

Estrogen mem bantu mem pertahankan kepadatan tulang pada wanita

dan sering diminum bersamaan dengan progesteron. Terapi sulih

estrogen paling ef ektif dimulai dalam 4-6 tahun setelah menopause;

tetapi jika baru dimulai lebih dari 6 tahun setelah menopause, masih bisa

mem perlam bat kerapuhan tulang dan mengurangi risiko patah tulang.

Ra loksifen merupakan obat menyerupai estrogen yang baru, yang

mungkin kurang ef ektif daripada estrogen dalam mencegah kerapuhan

tulang, tetapi tidak memiliki efekterhadappayudara atau rahim. Untuk mencegah

osteroporosis,

bisf osf onat (contohnya alendronat), bisa digunakan sendiri atau

bersamaan dengan terapi sulih hor mon.


II.4 . Definisi

Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya masa tulang secara nyata

yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang. Akibatnya tulang menjadi rapuh

dan mudah patah. Menurut Dr . R obert P. Heaney dalam R eitz (1993) penyakit

osteoporosis paling umum diderita oleh orang yang telah

berumur, dan paling banyak menyerang wanita yang telah menopause (Hortono,

2000).

Osteoporosis merupakan penyakit metabolik tulang atau disebut juga

penyakit tulang rapuh atau tulang keropos. Osteoporosis diistilahkan juga

dengan penyakit silent epidemic karena sering tidak mem berikan gejala hingga

akhirnya terjadi fraktur (patah) (Dalimartha, 2002).

II.5 . Etiologi

Ada 2 penyebab utama osteoporosis, yaitu pem bentukan massa puncaktulangyang

selama masa pertum buhan dan meningkatnya pengurangan massa tulang setelah

menopause. Massa tulang meningkat secara konstan dan mencapai puncak sam pai

usia 40 tahun, pada wanita lebih muda sekitar 30-35 tahun. Walaupun demikian

tulang yang hidup tidak pernah beristirahat dan akan selalu

mengadakan remodelling dan mem perbaharui cadangan

mineralnya sepanjang garis beban mekanik. Faktor pengatur f or masi dan resorpsi

tulang dilaksanakan melalui 2 proses yang selalu berada dalam keadaan seim bang

dan disebut coupling. Proses coupling ini memungkinkan aktivitas f or masi tulang

sebanding dengan aktivitas resorpsi tulang. Proses ini

berlangsung 12 minggu pada orang muda dan 16-20 minggu pada usia
4

menengah atau lanjut. Remodelling rate adalah 2-10% massa skelet per tahun

(Sudoyo et al., 2006). Proses remodelling ini dipengaruhi oleh beberapa fa ktor,

yaitu faktor lokal yang menyebabkan terjadinya satu rangkaian kejadian pada

konsep Activation ± Resorption ± Formation (ARF). Proses ini dipengaruhi

oleh protein mitogenik yang berasal dari tulang yang merangsang

preosteoblas supaya mem belah mem belah menjadi osteoblas akibat adanya aktivitas

resorpsi oleh osteoklas. Faktor lain yang mem pengaruhi proses remodelling adalah

f aktor hor monal. Proses remodelling akan ditingkatkan

oleh hormon paratiroid, hormon pertumbuhan dan 1,25 (OH)2 vitamin D.

Sedang yang mengham bat proses remodelling adalah kalsitonin, estrogen dan

glukokortikoi d. Proses-proses yang mengganggu remodelling tulang inilah yang

menyebabkan osteoporosis.

Selain gangguan pada proses remodelling tulang faktor lainnya adalah

pengaturan metabolisme kalsium dan fosfa t. Walaupun terdapat variasi

asupan kalsium yang besar, tubuh tetap memelihara konsentrasi kalsium

serum pada kadar yang tetap. Pengaturan homeostasis kalsium serum dikontrol

oleh organ tulang, ginjal dan usus melalui pengaturan paratiroid hor mon (PTH),

hor mon kalsitonin, kalsitriol (1,25(OH)2 vitamin D) dan

penurunan fosfa t serum. Faktor lain yang berperan adalah hor mon tiroid,

glukokortikoi d dan insulin, vitamin C dan inhibitor mineralisasi tulang (pirofosfat

dan pH darah). Pertukaran kalsium sebesar 1.000 mg/harinya antara tulang

dan cairan ekstraseluler dapat bersifat kinetik melalui fase f or masi dan resorpsi

tulang yang lam bat. A bsorpsi kalsium dari gastrointestinal yang ef isien

tergantung pada asupan kalsium harian, status


5

vitamin D dan umur. Didalam darah absorpsi tergantung kadar protein tubuh, yaitu

albumin, karena 50% kalsium yang diserap oleh tubuh terikat oleh albumin, 40%

dalam bentuk kompleks sitrat dan 10% terikat fosfat (Sinnatham by, 2010).

II.6 . Faktor Risiko Osteoporosis

1. Usia

Tiap peningkatan 1 dekade, resiko meningkat 1,4-1,8

2. Genetik

y Etnis (kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia)

y Seks (wanita > pria)

y Ri wayat keluarga

3. Lingkungan, dan lainnya

y Def isiensi kalsium

y Aktivitas f isik kurang

y Obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin,

siklosporin)

y Merokok, alkohol

y R esiko terjatuh yang meningkat (gangguan keseim bangan,

licin, gangguan penglihatan)

y Hor monal dan penyakit kronik

o Def isiensi estrogen, androgen

o Tirotoksikosis, hiperparatiroidisme primer,

hiperkortisolisme
6

o Penyakit kronik (sirosis hepatis, gangguan ginjal,

gastrektomi)

y Sif at fi sik tulang

o Densitas (massa)

o Ukuran dan geometri

o Mikroarsitektur

o Komposisi

4. Faktor resiko f aktur panggul yaitu,:

a. Penurunan respons protektif

y Kelainan neuromuscular

y Gangguan penglihatan

y Gangguan keseim bangan

b. Peningkatan fragilitas tulang

y Densitas massa tulang rendah

y Hiperparatiroidisme

c. Gangguan penyediaan energi

y Malabsorpsi

III. 4 Klasifikasi Osteoporosis

1. Osteoporosis Primer

a. Osteoporosis primer tipe 1 adalah osteoporosis pasca menopause.

Pada masa menopause, f ungsi ovarium menurun sehingga produksi

hor mon estrogen dan progesteron juga menurun. Estrogen berperan

dalam proses mineralisasi tulang dan mengham bat resorbsi tulang

serta pem bentukan osteoklas melalui produksi sitokin. K etika


7

kadar hor mon estrogen darah menurun, proses pengeroposan tulang

dan pem bentukan mengalami ketidakseim bangan. Pengeroposan tulang

menjadilebihdominan (Wirakusumah, 2007).

b. Osteoporosis primer tipe II adalah osteoporosis senilis yang

biasanya terjadi lebih dari usia 50 tahun. Osteopososis terjadi akibat

dari kekurangan kalsium berhubungan dengan makin

bertam bahnya usia (Hortono, 2000).

c. Tipe III adalah osteoporosis idiopatik merupakan osteoporosis

yang penyebabnya tidak diketahui.Osteoporosis ini sering menyerang

wanita dan pria yang masih dalam usia muda yang relative jauh lebih

muda (Hortono, 2000).

2. Osteoporosis sekunder

Osteoporosis sekunder terjadi kerana adanya penyakit tertentu yang

dapat mem pengaruhi kepadatan massa tulang dan gaya hidup yang tidak sehat.

Faktor pencetus dominan osteoporosis sekunder adalah sepeti di bawa (

Wirakusumah, 2007) :

a. Penyakit endokrin : tiroid, hiperparatiriod, hipogonadisme

b. Penyakit saluran cerna yang memyebabkan absorsi gizi kalsium.fosfor.

vitamin D) terganggu.

f. Penyakit keganasan ( kanker )

g. Konsumsi obat ±obatan seprti kortikosteriod

h. Gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kurang olahraga.


II.13 . Patogenesis

-Pem bentukan ulang tulang adalah suatu proses yang terus

menerus. Pada osteoporosis, massa tulang berkurang, yang menunjukkan

bahwa laju resorpsi tulang pasti melebihi laju pem bentukan tulang. Pem bentukan

tulang lebih banyak terjadi pada korteks

A. Proses Remodelling Tulang dan Homeostasis Kalsium


Kerangka tubuh manusia merupakan struktur tulang yang terdiri dari

substansi organik (30%) dan substansi mineral yang paling banyakterdiri dari

kristal hidroksiapatit (95%) serta sejumlah mineral lainnya (5%) seperti Mg,

Na, K, F, Cl, Sr dan P b. Substansi organik ter diri dari sel tulang (2%) seperti

osteoblas, osteosit dan osteoklas dan matriks tulang (98%) ter diri dari kolagen

tipe I (95%) dan protein nonkolagen (5%) seperti osteokalsin,

osteonektin, proteoglikan tulang, protein morf ogenik tulang, proteolipid tulang

dan f osf oprotein tulang.

-Tanpa matriks tulang yang ber f ungsi sebagai perancah, proses

mineralisasi tulang tidak mungkin dapat berlangsung. Matriks tulang

merupakan makromolekul yang sangat bersifat anionik dan berperan

penting dalam proses kalsif ikasi dan f iksasi kristal hidroksi apatit pada serabut

kolagen. Matriks tulang tersusun sepanjang garis dan beban mekanik sesuai

dengan hukum Wolf, yaitu setiap perubahan f ungsi tulang akan diikuti

oleh perubahan tertentu yang menetap pada arsitektur internal

dan penyesuaian eksternal sesuai dengan hukum matematika. Dengan kata lain,

hukum Wolf dapat diartikan sebagai ³bentuk akan selalu mengikuti f ungsi´.
B. Pat ogenesis Osteoporosis primer

Setelah menopause maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama


pada dekade awal setelah menopause, sehingga insidens fraktur, terutama
fraktur vertebra dan radius distal meningkat. Estrogen juga berperan
menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-
sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF- yang berperan meningkatkan
kerja osteoklas, dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause
akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas
osteoklas meningkat.

Untuk mengatasi keseim bangan negatif kalsium akibat menopause,


maka kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga
osteoporosis akan semakin berat. Pada menopause, kadangkala didapatkan
peningkatan kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya
volume plasma, meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga
meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin dan juga kadarkalsium
dalam bentuk garam kom pleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause
terjadi akibat penurunan rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif asidosis
respiratorik.

C. Pat ogenesis Osteoporosis Sekunder

Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya


sebesar 42% dan kehilangan tulang f emurnya sebesar 58%. Pada dekade ke-8
dan 9 kehidupannya, terjadi ketidakseim bangan remodeling tulang, dimana
resorpsi tulang meningkat, sedangkan f or masi tulang tidak
berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa
tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan resiko fraktur .

Def isiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang
tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang,
anoreksia, malabsorpsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Def isiensi
vitamin K juga akan menyebabkan osteoporosis karena akan
meningkatkan karboksilasi protein tulang misalnya osteokalsin. Penurunan
kadar estradiol dibawah 40 pMol/L pada laki-laki akan menyebabkan
osteoporosis, karena laki-laki tidak pernah mengalami menopause ( penurunan
kadar estrogen yang mendadak ), maka kehilangan massa tulang
yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Dengan
bertam bahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan menurun sedangkan
kadar Se x Hormone Binding Globulin (SHBG) akan meningkat. Peningkatan
SHBG akan meningkatkan pengikatan estrogen dan testosteron
mem bentuk kom pleks yang inaktif.

Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa

tulang pada orang tua adalah fa ktor genetik dan lingkungan (merokok,

alkohol, obat-obatan, imobilisasi lama). Resiko fraktur yang juga harus

diperhatikan adalah resiko terjatuh yang lebih tinggi pada orang tua

dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini berhubungan dengan

penurunan kekuatan otot, gangguan keseim bangan dan stabilitas postural,

gangguan penglihatan, lantai yang licin atau tidak rata,

II.14 . Gambaran Klinis

Osteoporosis dapat berjalan lam bat selama beberapa dekade, hal ini

disebabkan karena osteoporosis tidak menyebabkan gejala frakturtulang. Beberapa

fraktur osteoporosis dapat terdeteksi hingga beberapa tahun kemudian. Tanda

klinis utama dari osteoporosis adalah fraktur pada vertebra, pergelangan

tangan, pinggul, humerus, dan tibia. Gejala yang

paling lazim dari fraktur korpus vertebra adalah nyeri pada punggung dan

def or mitas pada tulang belakang. Nyeri biasanya terjadi akibat kolaps vertebra

terutama pada daerah dorsal atau lum bal. Secara khas awalnya akut dan sering

menyebar kesekitar pinggang hingga kedalam perut. Nyeri


dapat meningkat walaupun dengan sedikit gerakan misalnya berbalikditempat

tidur. Istirahat ditem pat tidaur dapat meringankan nyeri untuk sementara, tetapi

akan berulang dengan jangka waktu yang ber variasi. Serangan nyeri

akut juga dapat disertai oleh distensi perut dan ileus

Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan osteoporosis bila

didapatkan :

y Patah tulang akibat trauma yang ringan.

y Tubuh makin pendek, kif osis dorsal bertam bah, nyeri tulang.

y Gangguan otot (kaku dan lemah)

y Secara kebetulan ditemukan gam baran radiologik yang khas.

II.15 . Diagnosis

Diagnosis osteoporosis umumnya secara klinis sulit dinilai, karena

tidak ada rasa nyeri pada tulang saat osteoporosis terjadi walau osteoporosis

lanjut. Khususnya pada wanita-wanita menopause dan pasca menopause, rasa

nyeri di daerah tulang dan sendi dihubungkan dengan adanya nyeri akibat

def isiensi estrogen. Masalah rasa nyeri jaringan lunak (wallaca tahun1981) yang

menyatakan rasa nyeri tim bul setelah bekerja, memakai

baju, pekerjaan rumah tangga, taman dll. Jadi secara anamnesa mendiagnosis

osteoporosis hanya dari tanda sekunder yang menunjang terjadinya osteoporosis

seperti

y Tinggi badan yang makin menurun.

y Obat-obatan yang diminum.


y Penyakit-penyakit yang diderita selama masa reproduksi,
klimakterium.
y Jumlah kehamilan dan menyusui.

y Bagaimana keadaan haid selama masa reproduksi.

y A pakah sering beraktivitas di luar rumah , sering mendapat paparan


matahari cukup.

y A pakah sering minum susu, Asupan kalsium lainnya.

y A pakah sering merokok, minum alkohol

II.16 . Pemeriksaan Fisik

Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap penderita

osteoporosis. Demikian juga gaya berjalan penderita osteoporosis, def or mitas

tulang, nyeri spinal. Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kif osis

dorsal atau gibbus dan penurunan tinggi badan.

II.17 . Pemeriksaan Radiologi

Gam baran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan

korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen. Hal ini akan tam pak pada

tulang-tulang vertebra yang mem berikan gam baran picture-frame vertebra.

II.18 . Pemeriksaan Densitas Massa tulang (Densitometri)

Densitas massa tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan resiko

fraktur . untuk menilai hasil pemeriksaan Densitometri tulang, digunakan

kriteria kelom pok kerja WHO, yaitu:

5. Nor mal bila densitas massa tulang di atas -1 SD rata-rata nilai densitas

massa tulang orang dewasa muda (T-score)


6. Osteopenia bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD dari

T-score.

7. Osteoporosis bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau kurang.

8. Osteoporosis berat yaitu osteoporosis yang disertai adanya fraktur .

II.19 . Penatalaksanaan

Terapi pada osteoporosis harus mem pertim bangkan 2 hal, yaitu terapi

pencegahan yang pada umumnya bertujuan untuk mengham bat hilangnya massa

tulang. Dengan cara yaitu memperhatikan fa ktor makanan, latihan f isik (

senam pencegahan osteoporosis), pola hidup yang aktif dan paparan sinar ultra

violet. Selain itu juga menghindari obat-obatan dan jenis makanan yang

merupakan fa ktor resiko osteoporosis seperti alkohol, kafein, diuretika,

sedatif, kortikosteroid.

Selain pencegahan, tujuan terapi osteoporosis adalah meningkatkan massa

tulang dengan melakukan pem berian obat-obatan antara lain hor mon

pengganti (estrogen dan progesterone dosis rendah). Kalsitrol, kalsitonin,

bifosfa t, raloxifene, dan nutrisi seperti kalsium serta senam beban.

Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur,

terutama bila terjadi fraktur panggul.

II.20 . Pencegahan

Pencegahan osteoporosi meliputi:

4. Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dengan

mengonsumsi kalsium yang cukup


Mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup sangat ef ektif,

terutama sebelum tercapainya kepadatan tulang

maksimal (sekitarumur30 tahun). Minum 2 gelas susu

dan tam bahan vitamin D setiap hari, bisa

meningkatkan kepadatan tulang pada wanita

setengah baya yang sebelumnya

tidak mendapatkan cukup kalsium. Akan tetapi

tablet kalsium dan susu yang dikonsumsi setiap hari

akhir - akhir ini menjadi

per debatan sebagai pemicu terjadi

osteoporosis, berhubungan dengan teori osteoblast.

5. Melakukan olah raga dengan beban

Olah raga beban (misalnya berjalan dan

menaiki tangga) akan meningkatkan kepadatan

tulang. Berenang tidak meningkatkan kepadatan

tulang.

6. Mengkonsumsi obat (untuk beberapa orang


tertentu).

Estrogen mem bantu mem pertahankan kepadatan

tulang pada wanita dan sering diminum bersamaan

dengan progesteron. Terapi sulih estrogen paling

ef ektif dimulai dalam 4-6 tahun setelah menopause;

tetapi jika baru dimulai lebih dari 6 tahun setelah

menopause, masih bisa mem perlam bat kerapuhan

tulang dan mengurangi risiko patah tulang.

Raloksifen merupakan obat menyerupai estrogen


yang baru, yang mungkin kurang ef ektif daripada

estrogen dalam mencegah kerapuhan tulang, tetapi

tidak memiliki efekterhadap payudara atau rahim.

Untuk mencegah osteroporosis,

bisf osf onat (contohnya alendronat), bisa digunakan


sendiri atau

bersamaan dengan terapi sulih hor mon.

9.SELULITIS

A. Pengertian

Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

jaringan subkutan biasanya disebabkan oleh invasi bakteri melalui suatu area

yang robek pada kulit, meskipun demikian hal ini dapat terjadi tanpa bukti sisi

entri dan ini biasanya terjadi pada ekstrimitas bawah (Tucker, 1998 : 633).

Selulitis adalah inflamasi supuratif yang juga melibatkan sebagian

jaringan subkutan (mansjoer, 2000; 82). Selulitis adalah infeksi bakteri yang

menyebar kedalam bidang jaringan (Brunner dan Suddarth, 2000 : 496).

Jadi selulitis adalah infeksi pada kulit yang disebabkan oleh bakteri

stapilokokus aureus, streptokokus grup Adan streptokokus piogenes.

B. Etiologi

Penyebab dari selulitis menurut Isselbacher (1999;634) adalah bakteri

streptokokus grup. A, streptokokus piogenes dan stapilokokus aureus.

C. Patofisiologi

Patofisiologi menurut Isselbacher (1999; 634) yaitu :

Bakteri patogen yang menembus lapisan luar menimbulkan infeksi

pada permukaan kulit atau menimbulkan peradangan, penyakit infeksi sering

berjangkit pada orang gemuk, rendah gizi, kejemuan atau orang tua pikun dan

pada orang kencing manis yang pengobatannya tidak adekuat.


2

Gambaran klinis eritema lokal pada kulit dan system vena dan limfatik

pada kedua ektrimitas atas dan bawah. Pada pemeriksaan ditemukan kemerahan

yang karakteristik hangat, nyeri tekan, demam dan bakterimia.

Selulitis yang tidak berkomplikasi paling sering disebabkan oleh

streptokokus grup A, sterptokokus lain atau staphilokokus aureus, kecuali jika

luka yang terkait berkembang bakterimia, etiologi microbial yang pasti sulit

ditentukan, untuk absses lokalisata yang mempunyai gejala sebagai lesi kultur

pus atau bahan yang diaspirasi diperlukan. Meskipun etiologi abses ini biasanya

adalah stapilokokus, abses ini kadang disebabkan oleh campuran bakteri aerob

dan anaerob yang lebih kompleks. Bau busuk dan pewarnaan gram pus

menunjukkan adanya organisme campuran.

Ulkus kulit yang tidak nyeri sering terjadi. Lesi ini dangkal dan

berindurasi dan dapat mengalami super infeksi. Etiologinya tidak jelas, tetapi

mungkin merupakan hasil perubahan peradangan benda asing, nekrosis, dan

infeksi derajat rendah.

2
3

D. Pathway
Bakteri Patogen
Streptokokus piogenes, streptokokus grup A, Stapilokokus aureus

Menyerang kulit dan jaringan subkutan

Meluas kejaringan yang lebih dalam

Menyebar secara sistemik

Terjadi peradangan akut

eritema local pada kulit oedem,kemerahan

lesi nyeri tekan

Kerusakan Ganguan rasa


integritas kulit Nyaman Nyeri

(Isselbacher,1999:634)
E. Manifestasi Klinis

Menurut Mansjoer (2000:82) manifestasi klinis selulitis adalah

Kerusakan kronik pada kulit sistem vena dan limfatik pada kedua ekstrimitas,

kelainan kulit berupa infiltrat difus subkutan, eritema local, nyeri yang cepat

menyebar dan infitratif ke jaringan dibawahnya, Bengkak, merah dan hangat

nyeri tekan, Supurasi dan lekositosis.

F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

1. Pemeriksaan darah, menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih,

eosinofil dan peningkatan laju sedimentasi eritrosit (Tucker, 1998:633).

3
4

2. Pewarnaan gram dan kultur pus atau bahan yang diaspirasi diperlukan,

menunjukkan adanya organisme campuran (Issebacher 1999:634).

3. Rontgen Sinus-sinus para nasal (selulitis perioribital).

G. Penatalaksanaan Medis

Rawat inap di rumah sakit, Insisi dan drainase pada keadaan terbentuk

abses. Pemberian antibiotik intravena seperti oksasilin atau nafsilin, obat oral

dapat atau tidak digunakan, infeksi ringan dapat diobati dengan obat oral pada

pasien diluar rumah sakit, analgesik, antipretik. Posisi dan imobilisasi

ekstrimitas, Bergantian kompres lembab hangat ( Long, 1996 : 670).

H. Diagnosa Medis

1. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan inflamasi jaringan

(Tucker, 1998).

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan turgor sirkulasi

dan edema (Tucker, 1998).

3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi

menyebabkan penatalaksanaan perawatan dirumah(Tucker, 1998)

I. Fokus Intervensi

1. Gangguaan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan inflamasi jaringan.

Tujuan : nyeri berkurang atau hilang.

Kriteria hasil : pasien menampakkan ketenangan, ekspresi muka rileks

ketidaknyamanan dalam batas yang dapat ditoleransi.

4
5

Intervensi

a. Kaji intensitas nyeri menggunakan skala / peringkat nyeri

b. Pertahankan ekstrimitas yang dipengaruhi dalam posisi yang

ditemukan

c. Jelaskan kebutuhan akan imobilisasi 49 – 72 jam

d. Berikan anal gesik jika diperlukan, kaji keefektifan

e. Ubah posisi sesering mungkin, pertahankan garis tubuh untuk

menccegah penekanan dan kelelahan.

f. Bantuan dan ajarkan penanganan terhadap nyeri, penggunaan

imajinasi, relaksasi dan lainnya.

g. Tingkatkan aktivitas distraksi. (Tucher, 1998)

2. Kerusakan ingritas kulit berhubungan dengan perubahan turgor.

Tujuan : menunjukkan regenerasi jaringan.

Kriteria hasil : Lesi mulai pulih dan area bebas dari infeksi lanjut, kulit

bersih, kering dan area sekitar bebas dari edema, suhu normal.

Intervensi :

a. Kaji kerusakan, ukuran, kedalaman warna cairan

b. Pertahankan istirahat di tempat tidur dengan peningkatan ekstremitas

dan mobilitasasi.

c. Pertahankan teknik aseptic

d. Gunakan kompres dan balutan

e. Pantau suhu laporan, laoran dokter jika ada peningkatan. (tucker,

1998).

5
6

3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi Mengenai :

penatalaksanaan perawatan di rumah

Tujuan : pasien mengerti tentang perawatan dirumah

Criteria hasil : melaksanakan perawatan luka dengan benar menggunakan tindakan kewaspadaan

aseptic yang tepat.

Mengekspresikan pemahaman perkembangan yang diharapkan tanpa infeksi dan jadwal obat.

Intervensi :

a. Demonstasikan perawatan luka dan balutan, ubah prosedur, tekankan pentingnya teknik aseptic.

b. Diskusikan tentang mempertahankan peninggian dan imobilisasi ekstrimitas yang ditentukan

c. Dorong melakukan aktivitas untuk mentoleransi penggunaan alat penyokong.

d. Jelaskan tanda-tanda dan gejala untuk dilaporkan ke dokter

e. Diskusikan jadwal pengobatan

f. Tekankan pentingnya diet nutrisi. (Tucker, 1998)

6
7
8
9

Anda mungkin juga menyukai