Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN TUTORIAL MODUL 1

KELOMPOK 21

BLOK 2.6
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
A. STEP 1 : Terminologi
1. Efusi pleura bilateral : Adanya cairan di dalam cavum pleura pada kedua paru
2. Onkologi : Sub bidang medis yang mempelajari tumor
3. Kanker paru : Sel yang tumbuh secara tidak terkendali pada paru
4. Mimisan : Perdarahan akut yang berasal dari lubang atau ringga hidung
5. Biopsi : Pengambilan dan pemeriksaan, biasanya mikroskopik untuk menegakkan
diagnosis
6. Kavum nasi sinistra : Rongga hidung sebelah kiri
7. THT : Telinga Hidung Tenggorok
8. Alergi : Sistem tubuh yang tidak normal akibat adanya reaksi dengan zat asing

B. STEP 2 dan 3
1. Apa penyebab efusi pleura? Bagaimana gejalanya?
 Transudatif, disebabkan oleh meningkatnya tekanan dalam pembuluh darah atau
berkurangnya protein dalam darah
 Eksudatif, terjadi karena perdangan pada paru dan tumor
 Gejala nya, sesak nafas, nyeri saat menarik nafas, batuk
 Sesak nafas disebabkan oleh adanya efusi pleura sehingga pergerakan paru tidak
maksimal
 Bisa juga disebabkan oleh penyakit atau peningkatan produksi pleura

2. Mengapa paras mengeluhkan sesak nafas hebat sejak 4 jam yang lalu?
 Kanker paru yang semakin parah dan merokok  inhalasi zat karsinogen  iritasi
jalan nafas  endapan karsinogen pada bronkus  mutasi gen  tumor 
bronkus spasme
 Efusi pleura (akumulasi cairan pada pleura)  produksi cairan di pleura parietal
meningkat dan tidak diimbangi oleh absorpsi

3. Bagaimana pengaruh usia dan jenis kelamin dengan keluhan paras?


 Jenis Kelamin  laki laki merokok, aktivitas fisik lebih banyak dari perempuan
 Usia  risiko terhadap penyakit jantung dan paru meningkat, otot pernafasan
semakin lemah, dan imum melemah sehingga risiko terkena kanker juga tinggi

4. Bagaimana seseorang bisa dikatakan sesak nafas hebat?


 Apabila pernafasan nya lebih dari 25x/menit
 Tidak bisa berbicara lagi
 Penurunan kesadaran

5. Bagaimana kanker bisa menyebabkan efusi pleura bilateral?


 Kanker  sel aktif dan berkembang tanpa bisa terkontrol  produksi cairan yang
berlebihan oleh sel kanker yang ada pada paru
 Sel Onkogen  merangsang proliferasi sel
 Sel suppressor tumor  menghambat proliferasi sel
 Pada keadaan normal, sel onkogen dan suppressor akan saling mengimbangi
namum pada mutasi gen sel suppressor tumor dihambat  terjadi proliferasi sel
yang tidak terkontrol
6. Mengapa perlu ditanyakan ada riwayat kelainan jantung dan paru?
 Untuk menegakkan diagnosis
 Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan selanjutnya

7. Apa saja penyebab dan faktor risiko dari kanker paru?


 Merokok
 Asap polusi
 Gizi yang tidak seimbang
 Makanan yang ada pengawetnya

8. Mengapa saat pemberian oksigen keluhan pasien menurun?


 Sesak nafas  kurang nya oksigen yang masuk ke paru karena tidak mengembang
secara maksimal  pertukaran oksigen dengan karbon di oksigen berkurang
 PAsien minta oksigen karena pasien mengalami sesak

9. Apa yang menyebabkan olta mengalami mimisan?


 Buang ingus terlalu kencang
 Massa pada rongga hidung  tumor atau polip perubahan struktus kapiler 
mudah perdarahan
 Kelainan pada pembekuan darah
 Udara yang dingin dan kering
 Tidak sengaja melukai dinding rongga hidung  Pembuluh darah letaknya
superfisial untuk menghangatkan
 Sinusitis akut/kronis
 Penggunaan obat-obat antikoagulan
 Limfoma  mengikis bagian dalam pembuluh darah
 Leukimia  mimisan tidak hebat
 Karsinoma nasofaring  mimisan berulang dan pada ingus

10. Apa hubungan riwayat alergi dengan mimisan?


 Alergi  bersin-bersin dan gatal sehingga cenderung menggosok hidung
pembuluh darah bisa pecah
 Penggunaan obat semprot untuk alergi  hidung kering

11. Tatalaksana pemberhentian mimisan?


1. Tegak dan jangan berbaring
2. Keluarkan darah dengan mencondonkan badan, jangan di masukin lagi
3. Pencet hidung selama 10 menit menggunakan ibu jari dan telunjuk

12. Apa hubungan masa pada rongga hidung dengan keluhan?

13. Apa yang menyebabkan adanya massa dan bagaimana pengaruh dari proses respirasi?
14. Mengapa perlu biopsy? Bagaimana pelaksanaannya, apa saja indikasi dan kontra
indikasinya?
 Untuk mengetahui apa jenis sel nya untuk menegakkan diagnosis
 Merupakan langkah untuk menentukan apa penatalaksanaan selanjutnya

C. STEP 4 – SKEMA

D. STEP 5 – LEARNING OBJECTIVE


1. M3 Tumor dan Like-tumor pada saluran nafas atas
2. M3 Tumor dan Like-tumor pada paru
3. M3 Tumor dan Like-tumor lainnya

E. STEP 6 – BELAJAR MANDIRI


1. Kanker Nasofaring

1.1.Definisi Kanker Nasofaring


Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma yang muncul pada daerah
nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung), yang menunjukkan bukti
adanya diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau ultrastruktur.

1.2.Epidemiologi Kanker Nasofaring


• Di Indonesia, Kanker Nasofaring merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah
kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru.
• Berdasarkan GLOBOCAN 2012.
-87.000 kasus baru nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru
terjadi pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan)
- 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada
perempuan)
• KNF terutama ditemukan pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan
wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun.
• Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni
sebesar 40 - 50 kasus kanker nasofaring diantara 100.000 penduduk. Kanker
nasofaring sangat jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika Utara dengan
angka kejadian sekitar <1/100.000 penduduk.

1.3.Faktor Risiko Kanker Nasofaring


1. Jenis Kelamin Wanita
Pria lebih banyak daripada wanita, yaitu 3 : 1.
2. Ras Asia dan Afrika Utara
Data epidemiologi menyebutkan bahwa ras Mongoloid memiliki angka
kejadian yang tinggi untuk menderita karsinoma nasofaring.
3. Umur 30 – 50 tahun
4. Makanan yang diawetkan
Ikan asin memiliki kandungan nitrosamin yang merupakan salah satu faktor
pencetus kanker ini. Nitrosamin juga diteliti terkandung dalam beberapa jenis
makanan yang diawetkan, seperti daging olahan.
5. Infeksi Virus Epstein-Barr
Nitrosamin merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus Epstein-
Barr yang memicu mekanisme kanker.
6. Riwayat keluarga
7. Faktor Gen HLA (Human Leokcyte Antigen) dan Genetik
Berdasarkan studi genetik juga terdapat adanya hubungan antara alel Human
Leukocyt Antigen (HLA) kelas I dan II dalam populasi dan risiko KNF.
8. Merokok
9. Minum Alkohol

1.4.Etiologi Kanker Nasofaring


Penyebab KNF bersifat multifaktorial, dikaitkan dengan adanya interaksi antara
infeksi kronik oncogenic gamma herpesvirus Epstein-Barr virus yang mana virus
Epstein-Barr telah menginfeksi lebih dari 95% populasi dunia. Selain itu faktor
lingkungan dan faktor genetik, juga terlibat dalan proses multistep karsinogenik.

1.5.Patogenesis dan Patofisiologis Kanker Nasofaring


Hampir semua sel KNF mengandung komponen dari virus Epstein-Barr (EBV),
dan kebanyakan orang dengan KNF memiliki bukti pernah terinfeksi oleh virus ini
dalam darah mereka. Hubungan antara infeksi EBV dan KNF sangat kompleks dan
belum sepenuhnya dipahami. Infeksi EBV saja tidak cukup untuk menyebabkan
KNF. Faktor-faktor lain, seperti gen seseorang, dapat mempengaruhi bagaimana
tubuh menghadapi infeksi EBV, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi
kontribusi EBV dalam perkembangan KNF. Pada beberapa studi yang lain,
dikatakan bahwa alkohol dan rokok memiliki peran dalam terbentuknya KNF. Agar
sebuah kanker bisa terjadi, maka sel-sel yang terkena zat karsinogen harus
mengalami dua tahapan, yaitu yang disebut sebagai tahap inisiasi dan tahap promosi.
Tahap inisiasi dari kanker biasanya terjadi secara cepat dan menimbulkan
kerusakan secara langsung dalam bentuk terjadinya mutasi pada DNA. Mekanisme
perbaikan DNA akan mencoba melakukan perbaikan tetapi bila mekanisme tersebut
gagal, maka kerusakan tersebut akan terbawa pada sel anak yang dihasilkan dari
proses pembelahan.
Dalam tahap promosi, akan terjadi perkembangbiakan pada sel yang rusak,
dimana hal tersebut biasanya terjadi ketika sel-sel yang mengalami mutasi tersebut
terkena bahan yang bisa mendorong mereka untuk melakukan pembelahan secara
cepat. Seringkali terdapat jeda waktu yang cukup panjang diantara kedua tahapan
tersebut. Tahap promosi tersebut sebenarnya adalah sebuah tahap yang
membutuhkan pengulangan agar sel yang rusak tersebut mampu berkembang biak
lebih lanjut menjadi kanker.

1.6.Manifestasi Klinis Kanker NAsofaring


1.6.1. Gejala Dini
1.6.1.1.Gejala Telinga
1. Kataralis/sumbatan tuba Eutachius
Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang
disertai dengan gangguan pendengaran.Gejala ini merupakan gejala
yang sangat dini.
2. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga.
Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat
penyumbatan muara tuba, dimana rongga teliga tengah akan terisi
cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga
akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan
pendengaran

1.6.1.2. Gejala Hidung


1. Mimisan
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan
sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan.Keluarnya
darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali
bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu.
2.Sumbatan hidung
Sumbutan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor
ke dalam rongga hidung dan menutupi koana.Gejala menyerupai
pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman
dan adanya hingus kental.
1.6.2. Gejala Lanjutan
1.6.2.1.Limfadenopati Servikal
Tidak semua benjolan leher menandakan pemyakit ini.Yang khas jika
timbulnya di daerah samping leher, 3-5 cm di bawah daun telinga dan
tidak nyeri.Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai
pertahanan pertama sebelum sel tumor ke bagian tubuh yang lebih
jauh.Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus
kelenjar dan mengenai otot di bawahnya.Kelenjarnya menjadi lekat pada
otot dan sulit digerakan.Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut
lagi.Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter.

1.6.2.2.Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar


Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah
rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai
saraf otak dan menyebabkan gejala akibat kelumpuhan otak syaraf yang
sering ditemukan ialah penglihatan dobel (diplopia), rasa baal (mati rasa)
di daerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, bahu, leher
dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya
dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak,
rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena
tumor.
Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja
(unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke
dua sisi tubuh.

1.7.Prinsip Diagnosis Kanker Nasofaring


Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu KNF, protokol di
bawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor :
 Anamnesis dan pemeriksaan fisik (Pemeriksaan nasofaring dan neuro-
oftalmologi)
 Pemeriksaan penunjang (Biopsi, radiologi, dan serologi)

1.7.1. Anamnesis
 Penyakit terdahulu ( peradangan pada THT )
 Riwayat terdapatnya kanker dalam keluarga
 Riwayat kontak dengan zat karsinogen
 Lingkungan dan gaya hidup
1.7.2. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi/ palpasi: benjolan pada leher (lateral)
 Massa di nasofaring (rinoskopi, laringoskopi)
 Otoskopi, tes pendengaran
 Pemeriksaan saraf cranial
1.7.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi konvensional foto tengkorak potongan antero-
postoriolateral, dan posisi waters tampak jaringan lunak di daerah
nasofaring. Pada foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang
daerah fosa serebri media.
 CT-Scan Leher dan Kepala
Merupakan pemeriksaan yang paling dipercaya untuk menetapkan
stadium tumor dan perluasan tumor.Pada stadium dini terlihatasimetri
torus tubarius dan dinding posterior nasofaring. Scan tulang dan foto
torak untuk mengetahui ada tidaknya metatasis jauh.
 Pemeriksaan serologi, berupa pemeriksaan titer antibodi terhadapvirus
Epsten-Barr ( EBV ) yaitu lg A anti VCA dan lg A anti EA.
 Pemeriksaan aspirasi jarum halus, bila tumor primer di
nasofaringbelum jelas dengan pembesaran kelenjar leher yang diduga
akibatmetastaisis KNF.
 Diagnosa pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi
nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu : dari hidung atau dari
mulut.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya ( blind
biopsy ). Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter
nelaton yang dimasukkan melalui hidung.Kemudian dengan kaca laring
di lihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor
melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan
melalui mulut, masa tumor akan terlihat lebih jelas.
 Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi adanya
metatasis.

1.8.Penatalaksanaan Komprehensif Kanker Nasofaring


1.8.1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring.Penatalaksanaan pertama untuk
karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
1.8.2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pda karsinoma nasofaring ternyata
dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut
atau pada keadaan kambuh.
1.8.3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sis
kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat
bahwa tumor primer sudah di nyatakan bersih yang di buktikan dengan
pemeriksaan radiologic dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu
operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya
residu pada nasofaring yang tidak berhasil di terpai dengan cara lain.
1.8.4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat
diberikan imunoterapi.
1.9.Komplikasi Kanker Nasofaring
Telah disebutkan terdahulu, bahwa tumor ganas nasofaring dapat menyebabkan
penurunan pendengaran tipe konduksi yang refersibel.Hal ini terjadi akibat pendesakan
tumor primer terhadap tuba Eustachius dan gangguan terhadap pergerakan otot levator
pelatini yang berfungsi untuk membuka tuba. Kedua hal diatas akan menyebabkan
terganggunya fungsi tuba.
Infiltrasi tumor melalui liang tuba Eustachius dan masuk kerongga telinga tengah
jarang sekali terjadi. Dengan radiasi, tumor akan mengecil atau menghilang dan gangguan-
gangguan diatas dapat pula berkurang atau menghilang, sehingga pendengaran akan
membaik kembali. Terlepas dari hal-hal diatas, radiasi sendiri dapat juga menurunkan
pendengaran, baik bertipe konduksi maupun persepsi.

1.10. Prognosis Kanker Nasofaring


Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis
diperburuk oleh beberapa faktor, seperti:
 Stadium yang lebih lanjut
 Usia lebih dari 40 tahun
 Ras Cina dari pada ras kulit putih
 Adanya pembesaran kelenjar leher
 Adanya kelumpuhan saraf otak
 Adanya kerusakan tulang tengkorak
 Adanya metastasis jauh
Kanker Laring

2. Kanker Laring

2.1.Definisi Kanker Laring


The larynx is a part of the throat, between the base of the tongue and the trachea.
The larynx contains the vocal cords, which vibrate and make sound when air is
directed against them. The sound echoes through the pharynx, mouth, and nose to
make a person's voice.
There are three main parts of the larynx:
 Supraglottis: The upper part of the larynx above the vocal cords,
including the epiglottis.
 Glottis: The middle part of the larynx where the vocal cords are located.
 Subglottis: The lower part of the larynx between the vocal cords and the
trachea (windpipe).

Laryngeal cancer forms in the tissues of the larynx (area of the throat that
contains the vocal cords). The larynx includes the supraglottis, glottis (vocal cords),
and subglottis. The cancer may spread to nearby tissues or to the thyroid, trachea,
or esophagus. It may also spread to the lymph nodes in the neck, the carotid artery,
the upper part of the spinal column, the chest, and to other parts of the body (not
shown).
Most laryngeal cancers form in squamous cells, the thin, flat cells lining the
inside of the larynx.
Laryngeal cancer is a type of head and neck cancer.
2.2.Epidemiologi Kanker Laring
2.2.1. Frequency
According to the SEER Cancer Statistics Review of the National Cancer
Institute, an estimated 12,260 men and women will be diagnosed with cancer
of the larynx in 2013; of those, 3,670 patients will die. The age-adjusted
incidence is 3.6 per 100,000 with a mortality of 1.3 per 100,000.
2.2.2. Sex
A study by Marchiano et al indicated that subglottic squamous cell
carcinoma cases have a male-to-female ratio of 3.83:1. The report included
889 cases from the National Cancer Institute’s Surveillance, Epidemiology,
and End Results (SEER) program database.
2.2.3. Age
According to the Marchiano study, subglottic squamous cell carcinoma
predominantly occurs in the fifth to seventh decade of life.
2.3.Etiologi dan Faktor Risiko Kanker Laring
Until the complex molecular interactions of all associated etiologic agents for
any cancer can be understood, these interactions are best thought of as associations.
Thinking of intrinsic (eg, genetic) factors and/or extrinsic (eg, smoking) factors as
causes is too simple.
To most people, a cause implies a condition that is both necessary and sufficient
to produce a prespecified result. Laryngeal carcinomas have multiple associations.
The foremost risk factor for the development of laryngeal cancer is tobacco use.
The risk of developing laryngeal cancer with tobacco increases with use and
decreases after cessation. When associated with the intake of alcohol, a strong
synergistic effect is created. However, whether or not alcohol alone is an
independent risk factor is still unclear. Potential risk factors linked to the
development of laryngeal cancer include:
 Tobacco use
 Excessive ethanol use
 Male sex
 Infection with human papillomavirus
 Increasing age
 Diets low in green leafy vegetables
 Diets rich in salt preserved meats and dietary fats
 Metal/plastic workers
 Exposure to paint
 Exposure to diesel and gasoline fumes
 Exposure to asbestos
 Exposure to radiation
 Laryngopharyngeal reflux

A study by Zhao et al suggested that an association exists between


overexpression of histone deacetylase 1 (HDAC1) and the clinical characteristics of
laryngeal squamous cell carcinoma. A correlation was indicated, for example,
between upregulation of HDAC1 expression and T classification, tumor clinical
stage and location, lymph node metastases, and the cancer’s sensitivity to
radiotherapy, with higher expression of HDAC1 found in the low-sensitivity
squamous cell cancer samples. Patients in whom HDAC1 was overexpressed and
with low sensitivity to radiotherapy had a poorer overall 5-year survival rate.
2.4.Patogenesis dan Patofisiologis Kanker Laring
The larynx is an essential organ that is responsible for the following vital functions:
 Maintaining an open air way
 Vocalizing
 Protecting the lungs from direct exposure to noxious fumes and gases of
unsuitable temperatures
 Protecting the lungs from aspiration of solids and liquids
 Allowing leverage, by closing the glottis during a Valsalva maneuver, to
increase upper-body strength and to ease defecation

Malignant tumors of the larynx may affect laryngeal physiology depending on


tumor location and size. Supraglottic tumors may not alter laryngeal function until
they reach a relatively large size, at which time airway obstruction may be the first
symptom. Conversely, glottic tumors alter voice quality early in their development
and are thus often discovered at an early stage. In addition, malignant tumors of the
larynx affect swallowing physiology. The mechanism of swallowing is altered when
tumors invade and alter the physiology of the swallowing muscles. This may lead to
either dysphagia or aspiration.
Development and progression of malignant tumors of the larynx occurs at the
molecular and histologic level. The molecular steps involved in tumorigenesis have
not been fully elucidated and likely vary from patient to patient. Histologic
progression occurs from normal laryngeal mucosa to dysplastic mucosa to
carcinoma in situ to invasive carcinoma. This progression is a multistep process of
accumulated genetic events that lead to the development of larynx tumors.
2.5.Manifestasi Klinis Kanker Laring
2.5.1. Suara sesak
Gejala yang paling awal muncul, disebabkan gangguan fungsi fonasi.
Kualitas nada sangat di pengaruhi besar celah glottis, ketajaman iota suara,
besar pita suara, kecepatan getaran, dan keteganagan pita suara.
Tumor ganas laring membuat permukaan pita suara tidak teratur, menyumbat
celah lubang glottis, mempengaruhi gerakan pita suara, sehingga
menyebabkan gagalnya pita suara menghasilkan kualitas suara yang baik.
Seral, hingga kehilangan suara bahkan menyumbat jalan napas.
2.5.2. Dispnea dan tridor
Dikarnakan sumbatan jalan napas oleh massa tumor, ttumpukan secret
ataupun fikasasi suara, gejala utama dari kanker subglotis adalah sesak nafas
dan stridor inspirasi dan ekspirasi.
2.5.3. Disfagia
Tanda khas pada tumor, supra glotik, hipofaring, dan piripornis, dan paling
sering pada postkrikoid. Perasaan nyeri menelan yang menandai keberadaan
tumor yang mengenai stuktur ekstra laring.
2.5.4. Batuk dan hemoptysis
Timbul karna tertekan nya hipofaring disertai secret yang mengalir ke dalam
laring dapat ditemukan pembesaran kelenjer geteh bening leher, yang
menunjukkan metastasis tumor ganas pada stadium lanjut nyeri tekan laring
menunjukan komplikasi supurasi tumor yang menyerang kartilago tiroid dan
perikondrium

2.6.Prinsip Diagnosis Kanker Laring


Pasien dengan gejala suara parau lebih daru 2 minggu harus di lakukan
pemeriksaan laringoskopi langsung dan dinilai. Diagnose pasti adalah dengan
mengambil biopsy laring lalu dilakukan pemeriksaan patologi anatomi. Dapat juga
dilakukan aspirasi jarum halus pada massa di leher atau pada kelenjer getah bening
yang membesar untuk melihat keterlibatan kelenjer linfe, pemeriksaan tersebut
untuk menentukan stadium tumor dan jenis patologi anatominya.

2.7.Penatalaksanaan Komprehensif Kanker Laring


Stadium dan lokasi tumor menentukan tatalaksana yang di berikan dan tatalaksana
yang terbaik adalah operasi
1. Stadium I dan stadium II biasanya suara berat dan kasar dapat dilakukan
laringotomi sebagian atau dilakukan radiasi
2. Stadium III dilakukan operasi pengangkatan laring secara total dengan diseksi
leher. Modalitas tambahan seperti kemoradiasi dapat jadi pertimbangan
3. Stadium IV dilakukan operasi rekontruksi bila masih memungkinkan, atau
hanya mendapatkan radiasi saja.

2.8.Prognosis Kanker Laring


Merupakan tumor dengan prognosis paling di antara tumor tumor di daerah traktus
aero-digestivus bila di tatalaksana dengan cepat, tepat, dan radikal.

3. Kanker Paru

3.1.Definisi dan Klasifikasi Kanker Paru


Kanker paru adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali dalam jaringan
paru yang dapat disebabkan oleh sejumlah karsinogen, terutama asap rokok.
Menurut World Health Organization (WHO), kanker paru merupakan penyebab
kematian utama dalam kelompok kanker. Kanker paru memerlukan penanganan
yang tepat. Buruknya diagnosis penyakit ini berkaitan dengan jarangnya penderita
datang ke dokter karena penyakitnya masih berada pada stadium awal
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003:1). Menurut Zhou, et al (2002: 2)
hanya 15% kasus kanker paru yang ditemukan sejak stadium awal. Deteksi dini
dan penanganan yang tepat pada pasien yang menderita kanker paru diharapkan
mampu mengurangi angka kematian yang diakibatkan oleh kanker paru dan dapat
meningkatkan angka harapan hidup.

Jenis Kanker Paru


Terdapat dua jenis kanker paru, yaitu (Varalakhsmi, 2013: 63):
a. Small Cell Lung Cancer (SCLC)
SCLC adalah jenis kanker paru yang tumbuh lebih cepat daripada jenis kanker
NSCLC, akan tetapi pertumbuhan SCLC lebih dapat terkendali dengan
kemoterapi. Sekitar 20% kasus kanker paru adalah SCLC, atau sekitar 30.000
pasien setiap tahunnya terdiagnosis penyakit tersebut.
b. Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC)
Sekitar 75%-80% kasus kanker paru adalah NSCLC. Terdapat 3 tipe NSCLC,
yaitu:
1) Adenokarsinoma
Adenokarsinoma adalah jenis dari NSCLC yang paling umum dari kanker
paru dan lebih banyak muncul pada wanita. Kanker tipe ini berkembang
dari sel-sel yang memproduksi lendir pada permukaan saluran udara.
2) Karsinoma skuamosa
Jenis ini paling umum dari kanker paru serta paling banyak terjadi pada
pria dan orang tua. Karsinoma skuamosa berkembang dalam sel yang
mengisi saluran udara, dan kanker ini tumbuh relatif lambat.
3) Karsinoma sel besar
Pertama kali muncul biasanya di saluran pernapasan yang lebih kecil dan
dapat menyebar dengan cepat. Tipe ini sering disebut juga karsinoma tidak
berdiferensiasi karena bentuk sel kanker ini bundar besar.

3.2.Epidemiologi Kanker Paru


Di seluruh dunia, kanker paru merupakan kanker paling umum dari segi insiden
dan mortalitas. Pada 2008, terdapat 1,61 juta kasus baru, dan 1,38 juta kematian
akibat kanker paru. Tingkat tertinggi ada di Eropa dan Amerika Utara. Segmen
populasi yang paling mungkin menderita kanker paru adalah orang berusia di atas
50 tahun yang mempunyai riwayat merokok. Berlawanan dengan tingkat mortalitas
pria, yang mulai menurun lebih dari 20 tahun yang lalu, tingkat mortalitas kanker
paru wanita telah meningkat dalam dekade terakhir, dan baru saja mulai stabil. Di
AS, risiko seumur hidup untuk terkena kanker paru adalah 8% pada pria dan 6%
pada wanita.
Untuk setiap 3–4 juta rokok yang diisap, akan terjadi satu kematian karena
kanker paru. Pengaruh dari "Big Tobacco" memainkan peranan penting dalam
budaya merokok. Orang muda bukan perokok yang melihat iklan tembakau punya
kecenderungan untuk mulai merokok. Peran dari merokok pasif makin diakui
sebagai faktor risiko kanker paru, yang memunculkan intervensi kebijakan untuk
menurunkan paparan yang tidak dikehendaki para non-perokok terhadap asap
tembakau orang lain. Buangan dari mobil, pabrik, dan instalasi pembangkit listrik
juga punya risiko potensial.
Eropa Timur mempunyai angka mortalitas tertinggi di kalangan pria, sedangkan
Eropa utara dan AS mempunyai angka mortalitas tertinggi di kalangan wanita. Di
Amerika Serikat, pria dan wanita kulit hitam mempunyai insiden lebih tinggi.
Tingkat kanker paru saat ini lebih rendah pada negara berkembang.Dengan
meningkatnya kebiasaan merokok di negara berkembang, diduga tingkat kanker ini
akan naik dalam beberapa tahun ke depan, khususnya di negara Cina dan India.
Sejak 1960-an, tingkat adenokarsinoma paru mulai meningkat relatif terhadap
jenis kanker paru yang lain. Hal ini sebagian disebabkan karena munculnya sigaret
filter. Penggunaan filter menghilangkan partikel-partikel besar dari asap tembakau,
sehingga mengurangi deposisi pada saluran pernapasan besar. Namun, perokok
harus menghisap lebih dalam untuk mendapatkan nikotin dalam jumlah yang sama,
meningkatkan deposisi partikel dalam saluran pernapasan kecil tempat
adenokarsinoma cenderung muncul. Insiden adenokarsinoma paru terus meningkat.

3.3.Etiologi dan Faktor Risiko Kanker Paru


Seperti umumnya kanker yang lain penyebab pasti belum diketahui, tapi
paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat karsinogenik merupakan faktor
risiko utama selain adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik dan lain-
lain.8 Merokok diduga menjadi penyebab utama kanker paru. Lombard dan Doering
(1928), telah melaporkan tingginya insidensi kanker paru pada perokok
dibandingkan dengan yang tidak merokok.8 Setidaknya 80% dari kematian akibat
kanker paru-paru disebabkan oleh merokok. Namun, tidak semua orang yang terkena
kanker paru-paru adalah perokok. Banyak orang dengan kanker paru adalah mantan
perokok, tetapi sebagian lain tidak pernah merokok sama sekali.
Kanker paru pada orang yang tidak merokok dapat disebabkan oleh polusi
udara, paparan zat karsinogenik di tempat kerja, perokok pasif, atau faktor lainnya.
Perokok pasif adalah orang yang menghirup asap rokok dari orang lain. Hal ini dapat
meningkatkan risiko kanker paru sekitar 30%.17 Anak-anak yang terpapar asap
rokok selama 25 tahun pada usia dewasa akan terkena risiko kanker paru dua kali
lipat dibandingkan dengan yang tidak terpapar. Wanita yang hidup dengan pasangan
perokok juga terkena risiko kanker paru 2-3 kali lipat.
Kanker paru yang penyebabnya tidak berhubungan dengan paparan inhalasi
cenderung terjadi pada usia muda, seringkali karena terjadinya perubahan gen
tertentu. Perubahan ini dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak normal dan
dapat berlanjut menjadi kanker. Beberapa gen berisi instruksi untuk mengontrol
ketika sel-sel tumbuh, membelah untuk membuat sel-sel baru dan untuk mati.
Gen yang membantu sel-sel tumbuh dan membelah disebut onkogen. Gen yang
memperlambat pembelahan sel atau menyebabkan sel mati pada waktu yang tepat
disebut gen supresor tumor. Kanker dapat disebabkan oleh perubahan DNA yang
mengaktifkan onkogen atau mematikan gen supresor tumor. Beberapa orang
mewarisi mutasi DNA dari orang tua mereka yang sangat meningkatkan risiko
mereka untuk menderita kanker tertentu. Hal ini sangat berperan pada beberapa
keluarga dengan riwayat kanker paru.

3.4.Patogenesis dan Patofisiologis Kanker Paru


Seperti jenis kanker lainnya, kanker paru diinisiasi oleh aktivasi onkogen atau
inaktivasi gen supresor tumor. Onkogen diyakini menjadikan orang lebih rentan
terhadap kanker. Proto-onkogen diyakini berubah menjadi onkogen ketika terpapar
karsinogen tertentu. Mutasi pada proto-onkogen K-ras bertanggung jawab atas 10–
30% adenokarsinoma paru. Reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR)
mengatur proliferasi sel, apoptosis, angiogenesis, dan invasi tumor. Mutasi dan
amplifikasi EGFR biasa ditemukan pada kanker paru bukan-sel-kecil dan
memberikan dasar pengobatan menggunakan inhibitor-EGFR. Her2/neu lebih
jarang terpengaruh. Kerusakan kromosomal bisa menyebabkan hilangnya
heterozigositas. Hal ini bisa menyebabkan inaktivasi gen supresor tumor. Kerusakan
pada kromosom 3p, 5q, 13q, dan 17p secara spesifik ditemukan pada kanker bukan-
sel-kecil. Gen supresor tumor p53, yang terdapat di kromosom 17p, terpengaruh
pada 60-75% kasus. Gen-gen lain yang sering dimutasi atau dikuatkan adalah c-
MET, NKX2-1, LKB1, PIK3CA, dan BRAF.

3.5.Manifestasi Klinis Kanker Paru


Manifestasi klinis baik tanda maupun gejala kanker paru sangat bervariasi.
Faktor-faktor seperti lokasi tumor, keterlibatan kelenjar getah bening di berbagai
lokasi, dan keterlibatan berbagai organ jauh dapat mempengaruhi manifestasi klinis
kanker paru. Manifestasi klinis kanker paru dapat dikategorikan menjadi :
a. Manifestasi Lokal Kanker Paru (Intrapulmonal Intratorakal)
Gejala yang paling sering adalah batuk kronis dengan/tanpa produksi sputum.
Produksi sputum yang berlebih merupakan suatu gejala karsinoma sel
Universitas Sumatera Utara bronkoalveolar (bronchoalveolar cell carcinoma).
Hemoptisis (batuk darah) merupakan gejala pada hampir 50% kasus. Nyeri
dada juga umum terjadi dan bervariasi mulai dari nyeri pada lokasi tumor atau
nyeri yang lebih berat oleh karena adanya invasi ke dinding dada atau
mediastinum. Susah bernafas (dyspnea) dan penurunan berat badan juga sering
dikeluhkan oleh pasien kanker paru. Pneumonia fokal rekuren dan pneumonia
segmental mungkin terjadi karena lesi obstruktif dalam saluran nafas. Mengi
unilateral dan monofonik jarang terjadi karena adanya tumor bronkial
obstruksi. Stridor dapat ditemukan bila trakea sudah terlibat.
b. Manifestasi Ekstrapulmonal Intratorakal.
Manifestasi ini disebabkan oleh adanya invasi/ekstensi kanker paru ke
struktur/organ sekitarnya. Sesak nafas dan nyeri dada bisa disebabkan oleh
keterlibatan pleura atau perikardial. Efusi pleura dapat menyebabkan sesak
nafas, dan efusi perikardial dapat menimbulkan gangguan kardiovaskuler.
Tumor lobus atas kanan atau kelenjar mediastinum dapat menginvasi atau
menyebabkan kompresi vena kava superior dari eksternal. Dengan demikian
pasien tersebut akan menunjukkan suatu sindroma vena kava superior, yaitu
nyeri kepala, wajah sembab/plethora, lehar edema dan kongesti, pelebaran
vena-vena dada. Tumor apeks dapat meluas dan melibatkan cabang simpatis
superior dan menyebabkan sindroma Horner, melibatkan pleksus brakialis dan
menyebabkan nyeri pada leher dan bahu dengan atrofi dari otot-otot kecil
tangan. Tumor di sebelah kiri dapat mengkompresi nervus laringeus rekurens
Universitas Sumatera Utara yang berjalan di atas arcus aorta dan menyebabkan
suara serak dan paralisis pita suara kiri. Invasi tumor langsung atau kelenjar
mediastinum yang membesar dapat menyebabkan kompresi esophagus dan
akhirnya disfagia.
c. Manifestasi Ekstratorakal Non Metastasis
Kira-kira 10-20% pasien kanker paru mengalami sindroma paraneoplastik.
Biasanya hal ini terjadi bukan disebabkan oleh tumor, melainkan karena zat
hormon/peptida yang dihasilkan oleh tumor itu sendiri. Pasien dapat
menunjukkan gejala-gejala seperti mudah lelah, mual, nyeri abdomen,
confusion, atau gejala yang lebih spesifik seperti galaktorea (galactorrhea).
Produksi hormon lebih sering terjadi pada karsinoma sel kecil dan beberapa
sel menunjukkan karakteristik neuro-endokrin.

3.6.Komplikasi Kanker Paru


Komplikasi tersering adalah kanker paru yang bermetastasis ke tulang serta
kematian.
3.7.Prognosis Kanker Paru
Prognosis umumnya buruk. Dari semua penderita kanker paru, 15% bertahan
selama 5 tahun setelah prognosis. Sering terjadi stadium sudah lanjut pada saat
diagnosis. Pada presentasi, 30–40% kasus NSCLC ada pada stadium IV, dan 60%
SCLC ditemukan pada stadium IV.
Faktor prognostik dalam NSCLC termasuk ada atau tidak adanya gejala paru,
ukuran tumor, (histologi) jenis sel, derajat penyebaran (stadium), dan metastasis ke
beberapa nodus limfatik, serta invasi pembuluh darah. Untuk penderita dengan
penyakit yang tidak dapat dioperasi, hasilnya lebih buruk bagi yang
memiliki kondisi umum buruk dan kehilangan berat badan lebih dari 10%. Faktor
prognostik dalam kanker paru sel kecil termasuk kondisi umum, jenis kelamin,
stadium penyakit, dan keterlibatan sistem saraf pusat atau organ hati pada saat
diagnosis.
Untuk NSCLC, prognosis terbaik didapatkan dengan reseksi bedah lengkap
penyakit stadium IA, dengan tingkat kelangsungan hidup lima tahun sebesar
70%. Untuk SCLC, keseluruhan tingkat kelangsungan hidup lima tahunnya sekitar
5%.Penderita SCLC tingkat ekstensif mempunyai rerata tingkat kelangsungan hidup
lima tahun kurang dari 1%. Rerata waktu kelangsungan hidup untuk penyakit
stadium terbatas adalah 20 tahun, dengan tingkat kelangsungan hidup lima tahun
sebesar 20%.
Menurut data yang disediakan oleh National Cancer Institute, usia median pada
diagnosis kanker paru di Amerika Serikat adalah 70 tahun, dan usia median saat
kematian adalah 72 tahun. Di AS, orang yang memiliki asuransi kesehatan
cenderung mempunyai hasil yang lebih baik.

4. Hipertrofi Adenoid

4.1. Epidemiologi Hipertrofi Adenoid


Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM
selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi
Tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus)
dan terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit
Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan
kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi.

4.2. Etiologi Hipertrofi Adenoid


Etiologi pembesaran adenoid dapat di ringkas menjadi dua yaitu secara
fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami hipertrofi
pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun. Biasanya asimptomatik, namun jika cukup
membesar akan menyebabkan gejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak
yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas atau ISPA.
4.3.Patogenesis Hipertrofi Adenoid
Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak
berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid
(pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang
memfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai
peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun
selular, seperti pada bagian epithelium kripte, folikel limfoid dan bagian
ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap
kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme pathogen
Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan
tersumbatnya jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha
yang keras untuk bernapas sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang
terbuka. Adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal
sehingga mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi
pada tuba eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan
dalam telinga tengah akibat tuba eustachius yang tidak bekerja efisien karena adanya
sumbatan.

4.4. Manifestasi Klinis Hipertrofi Adenoid


Obstruksi nasi oleh karena adenoid menyumbat parsial atau total respirasi
hidung sehingga terjadi ngorok, percakapan hiponasal, dan membuat anak-anak
akan terus bernafas melalui mulut. Bernafas melalui mulut juga menyebabkan udara
pernafasan tidak disaring dan kelembabannya kurang, sehinnga mudah terjadi
infeksi saluran pernafasan bagian bawah facies adenoid yang berupa mulut yang
terbuka, gigi atas yang prominen dan bibir atas yang pendek (namun sering juga
muncul pada anak-anak yang minum susu dengan menghisap dari botol dalam
jangka panjang), hidung yang kecil, maksila tidak berkembang/hipoplastik, sudut
alveolar atas lebih sempit, arkus palatum lebih tinggi

4.5. Prinsip Diagnosis Hipertofi Adenoid


Diagnosis ditegakkan berdasarkan
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisis, yang terbagi dua :
Directa:
- Dengan melihat transoral langsung ke dalam nasofaring setelah palatum
molle di retraksi.
- Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas palatum molle waktu
mengucapkan "i" yang terhambat oleh pembesaran adenoid, hal ini disebut
fenomena palatum molle yang negative
Indirecta:
- Dengan cermin dan lampu kepala melihat nasofaring dari arah
orofaring dinamakan rhinoskopi posterior.
- Dengan nasofaringioskop, suatu alat seperti scytoskop yang
mempunyai sistem lensa dan prisma dan lampu diujungnya,
dimasukkan lewat cavum nasi, seluruh nasofaring dapat dilihat.
c. Palpasi
Jari telunjuk yang dimasukkan ke nasofaring dapat meraba adenoid yang
membesar.
d. Pemeriksaan penunjang
a. Radiologi
Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam
mendiagnosis hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena
ruang postnasal kadang sulit dilihat pada anak-anak, dan dengan
pengambilan foto lateral bias menunjukkan ukuran adenoid dan derajat
obstruk
b. Endoskopi
Endoskopi yang flexible membantu dalam mendiagnosis adenoid
hipertrofi, infeksi pada adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi),
juga dalam menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi nasal

4.6. Tatalaksana Hipertrofi Adenoid


Tidak ada bukti yang mendukung bahwa adanya pengobatan medis untuk
infeksi kronis adenoid, pengobatan dengan menggunakan antibiotik sistemik
dalam jangka waktu yang panjang untuk infeksi jaringan limfoid tidak berhasil
membunuh bakteri. Sebenarnya, banyak kuman yang mengalami resistensi pada
penggunaan antibiotik jangka panjang. Beberapa penelitian menerangkan manfaat
dengan menggunakan steroid pada anak dengan hipertrofi adenoid. Penelitian
menujukkan bahwa selagi menggunakan pengobatan dapat mengecilkan adenoid
(sampai 10%). Tetapi jika pengobatan tersebut itu dihentikan adenoid tersebut akan
terulang lagi. Pada anak dengan efusi telinga tengah yang persisten atau otitis media
yang rekuren, adeinoidektomi meminimalkan terjadinya rekuren.
Indikasi Adenoidektomi adalah:
1. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut
2. Sleep apnea
3. Gangguan menelan
4. Gangguan berbicara
5. Kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid face)
6. Infeksi
7. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas

Adenoidektomi dan tonsilektomi dilakukan dengan anestesi general


dan penyembuhan terjadi dalam waktu 48 hingga 72 jam. Terdapat beberapa
keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat
diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan
manfaat dan risikonya, keadaan tersebut antara lain:
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat
Eksisi melalui Hidung adalah Satu-satunya teknik bermanfaat untuk
memindahkan adenoid melaui rongga hidung dengan menggunakan alat
mikrodebrider. Dengan prosedur ini, jika terjadi perdarahan dikontrol dengan
menggunakan cauter suction.

4.7. Komplikasi Hipertrofi Adenoid


Komplikasi dari tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila
pengerokan adenoid kurang bersih. Jika terlalu dalam menyebabkan akan terjadi
kerusakan dinding belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka torus
tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba eustachius dan timbul tuli
konduktif.

4.8.Prognosis Hipertrofi Adenoid


Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada kebanyakan
individu. Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat sembuh sempurna.

Anda mungkin juga menyukai