KELOMPOK 21 D
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
A. STEP 1 – TERMINOLOGI
1. Bronchovesiculer : Campuran bunyi bronkial dan vesicular yang normalnya
terdengar di atas manubrium dan didaerah intraskapula
2. Nonrebreathing mask : Alat bantuan untuk memberikan oksigen dengan
konsentrasi oksigen yang lebih tinggi dimana udara inspirasi dan ekspirasi tidak
akan tercampur
2. Mengapa pak Badu masih mengeluhkan sesak nafas menciut terus menerus
padahal sudah diberi pengobatan rutin?
Asma Kronik
Penurunan fungsi paru karena merokok
Perubahan stuktur dari bronkus
Penyempitan saluran nafas pada bronchitis kronik (PPOK) wheezing
C. STEP 4 – SKEMA
D. STEP 5 – LEARNING OBJECTIVE
1. M3 semua penyakit kegawatdaruratan
1.2.Klasifikasi Pneumothorax
A. Pneumotoraks Spontan
1. Idiopatik primer
2. Bleb sekunder
a. Penyakit paru kongenital :
CCAM
Kista bronkogenik
Hipoplasia paru
c. Infeksi
Pneumatokel
Abses paru
Fistula bronko-pleura
B. Pneumotoraks Traumatik
1. Non Iatrogenik
a. Penetrasi trauma
b. Trauma tumpul
c. Tekanan udara tinggi
2. Iatrogenik
a. Torakotomi
b. Torakoskopi, torakosentesis
c. Trakeostomi
d. Pungsi
e. Ventilasi mekanis
1.3.Epidemiologi Pneumothorax
Insiden pneumothorax laki-laki lebih banyak dari pada perempuan (5:1). Kasus
pneumothorax spontan primer di Amerika Serikat 7,4/100.000 per tahun untuk
laki-laki dan 1,2/100.000 per tahun untuk perempuan. Sedangkan insiden
pneumothorax spontan sekunder dilaporkan 6,3/100.000 per tahun untuk lakilaki
dan 2/100.000 per tahun untuk perempuan (Sudoyo et al., 2009). Pneumothorax
bilateral kira-kira 2% dari seluruh pneumothorax spontan. Insiden dan pravalensi
pneumothorax ventil 3% sampai dengan 5% dari pneumothorax spontan.
Kemungkinan berulangnya pneumothorax ialah 20% untuk kedua kali dan 50%
untuk ketiga kali (Alsagaff and Mukty, 2010).
Johnston & Dovnarsky (Appley, 2000) memperkirakan keja dian pneumotoraks
berkisar antara 2,4 – 17,8 per 100.000 per tahun. Beberapa karakteristik pada
pneumotoraks antara lain: laki-laki lebih sering daripada wanita (4: 1), paling
sering pada usia 20-30 tahun. Pneumotoraks merupakan kegawatan paru. Angka
kejadian Inggris laki-laki 24 per 100.000 penduduk dan perempuan 9,8 per 100.000
penduduk per tahun. Kasus pneumotoraks lebih sering terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Penelitian Khan dkk pada tahun 2009 di Pakistan kasus
pneumotoraks laki-laki 63,58% dan perempuan 36,42%, sesuai penelitian
didapatkan kasus pneumotoraks laki-laki 64,10% dan perempuan 35,90% dengan
rerata umur 49,13 tahun.
1.7.Tatalaksana Pneumothorax
1.7.1. Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks
Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan
stabiisasi leher hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera cervical
dengan cara memasang cervical collar atau dengan kantong berisi pasir.
Evaluasi tingkat kesadaran dengan menyapa pasien dan dilaknjutkan dengan
pemeriksaan ABC (airway, breathing, circulation) (Boon, 2008).
Pada pemeriksaan jalan nafas yaitu membuka jalan nafas dengan jaw
thrust (bila dicurigai terdapat cedera cervical/pada pasien tidak sadar) atau head
tilt chin lift dilanjutkan dengan membersihkan rongga mulut dengan swab
mengunakan jari telunjuk, mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka. Pada
pasien tidak sadar dilakukan pemasangan orofaringeal tube untuk mencegah
lidah jatuh dan menutup jalan nafas (Boon, 2008).
Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan
dilakukan secara bersamaan. Pada pasien dengan pneumotoraks perkembangan
dinding dada asimetris, deviasi trakea ke paru yang sehat, JVP meningkat, suara
nafas menurun bahkan menghilang dan pada perkusi didapatkan hipersonor.
Bila didapatkan tanda-tanda tersebut, langsung dilakukan tindakan needle
thoracostomy (Boon, 2008).
Pemeriksaan nadi carotis dan radialis didapatkan takhikardi, akral dan
memeriksa capillary refill test. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila
terjadi perdarahan masif dilakukan pemasangan double line dengan cairan
kristaloid (Boon, 2008).
Keluarnya cairan edema dari alveoli paru tergantung pada transpor aktif ion
Na+ dan Cl- melintasi barier epitel yang terdapat pada membran apikal sel epitel
alveolar tipe I dan II serta epitel saluran napas distal. Ion Na+ secara aktif
ditranspor keluar ke ruang insterstisial oleh kerja Na/K-ATPase yang terletak pada
membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui
aquaporins yang merupakan saluran air pada sel tipe I.
Edema paru kardiogenik dapat terjadi akibat dekompensasi akut pada gagal
jantung kronik maupun akibat gagal jantung akut pada infark miokard dimana
terjadinya bendungan dan peningkatan tekanan di jantung dan paru akibat
melemahnya pompa jantung.11 Kenaikan tekanan hidrostatik kapiler paru
menyebabkan transudasi cairan ke dalam ruang interstisial paru, dimana tekanan
hidrostatik kapiler paru lebih tinggi dari tekanan osmotik koloid plasma. Pada
tingkat kritis, ketika ruang interstitial dan perivaskular sudah terisi, maka
peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan penetrasi cairan ke dalam ruang
alveoli.
Terdapat tiga tingkatan fisiologi dari akumulasi cairan pada edema paru
kardiogenik:
- Tingkat 1: Cairan dan koloid berpindah dari kapiler paru ke interstisial paru
tetapi terdapat peningkatan cairan yang keluar dari aliran limfatik
- Tingkat 2: Kemampuan pompa sistem limfatik telah terlampauisehingga
cairan dan koloid mulai terakumulasi pada ruang interstisial sekitar bronkioli,
arteriol, dan venula.
- Tingkat 3: Peningkatan akumulasi cairan menyebabkan terjadinya edema
alveoli. Pada tahap ini mulai terjadi gangguan pertukaran gas
d. Loop diuretics
Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2 mekanisme,
yaitu: diuresis dan venodilatasi. Dosis furosemide dapat diberikan per oral 20-
40 mg/hari pada keadaan yang ringan hingga 5-40 mg/jam secara infus pada
keadaan yang berat.
e. Morfin sulfat
Morfin sulfat digunakan untuk menu-runkan preload dengan dosis 3 mg
secara intra vena dan dapat diberikan berulang.
f. Obat-obatan yang menurunkan afterload
g. ACE inhibitors
Angiotensin-converting enzyme inhi-bitors (ACE inhibitors)
menunurunkan after load, serta memperbaiki volume sekuncup dan curah
jantung. Pemberian secara intra vena (enalapril 1,25 mg) ataupun sublingual
(captopril 25 mg) akan memperbaiki keluhan pasien. Pada suatu meta analisis
didapati bahwa pemberian ACE inhibitors akan menurunkan angka mortalitas.
3. Efusi Pleura
3.1.Definisi Efusi Pleura
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan pleura yang abnormal yang
disebabkan oleh karena pembentukan cairan pleura lebih cepat dari prose
absorpsinya. Sebagian besar efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan
pembentukan cairan pleura dan penurunan kecepatan absorpsi cairan
pleuratersebut. Pada pasien dengan daya absorpsi normal, pembentukan cairan
pleura harus meningkat 30 kali lipat secara terus menerus agar dapat menimbulkan
suatu efusi pleura. Di sisi lain, penurunan daya absorpsi cairan pleura saja tidak
akan menghasilkan penumpukan caian yang signifikan dalam rongga pleura
mengingat tingkat normal pembentukan cairan pleura sangat lambat. (Lee YCG,
2013) Efusi pleura bisa disebabkan oleh penyakit yang berasal dari paru, pleura
ataupun penyakit di luar paru. (Light RW, 2011).
Efusi pleura terbagi menjadi transudat dan eksudat. (Light RW, 2011)
Berdasarkan kriteria Light, dikatakan efusi pleura eksudat jika memenuhi satu atau
lebih kriteria berikut (1) rasio kadar protein cairan pleura/kadar protein serum lebih
besar dari 0,5, (2) rasio kadar LDH cairan pleura/kadar LDH serum lebih besar dari
0,6 atau (3) kadar LDH cairan pleura lebih besar dari dua pertiga dari batas atas
normal LDH serum. (Mayse M.L, 2008)
Light dan Rodriguez membuat sebuah skema untuk klasifikasi dan
penatalaksanaan efusi pleura berdasarkan jumlah cairan, kekeruhan, dan
karakteristik biokimia cairan dan apakah cairan terlokalisir. Berdasarkan
klasifikasi di atas, maka efusi yang bersifat transudat diangap sebagai
uncomplicated pleural effusion, yang dapat ditangani dengan pengobatan
konservatif atau hanya dengan antibiotik. Efusi pleura eksudat atau efusi pleura
terlokalisir yang luas, diklasifikasikan sebagai complicated pleural effusion harus
dilakukan drainase. Yang termasuk complicated pleural effusion yaitu empiema,
efusi pleura ganas dan hemotoraks. Untuk kasus complicated pleural effusion,
sangat penting untuk dilakukan evakuasi cairan supaya paru dapat kembang untuk
prognosis yang labih baik. Pilihan terapinya adalah torakosentesis untuk terapeutik,
pemasangan selang dada, terapi fibrinolitik, pleurodesis dan pembedahan. (Yu H, 2011)
2. Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan patu
3. Pemeriksaan Penunjang
- Foto toraks dada
- USG toraks
- Pungsi pleura (torakosentesis) dan analisis cairan pleura
c. Jenis-jenisnya :
- Pompa penghisap Pleural Emerson
- Fultur valve
- Calibrated spring mechanism
d. Indikasi Pemasangan
- Hemotoraks :trauma dada, neoplasma, robekan pleura, pasca bedah
thoraks
- Pneumotoraks : ruptur , penyakit paru,
- Efusi pleura : neoplasma , impflamasi ,
- Emfisema
- Hemipneumotoraks
- Tension pneumotoraks
g. .Kompikasi Pemasangan
- Emphysema sebcutan
- Emboli paru
- Disritmia jantung
- Perdarahan
- Tromboplebetis
- Infeksi
4.2.Klasifikasi
Benda asing dalam suatu organ dapat terbagi atas benda asing eksogen (dari
luar tubuh) dan benda asing endogen (dari dalam tubuh). Benda asing eksogen
terdiri dari benda padat, cair atau gas. Benda asing eksogen padat terbagi terdiri
dari zat organik seperti kacang-kacangan (yang berasal dari tumbuh-tumbuhan),
tulang (yang berasal dari kerangka bintang) dan zat organik seperti paku, jarum,
peniti, batu dan lain-lain. Benda asing eksogen cair dibagi dalam benda cair yang
bersifat iritatif seperti zat kimia, dan benda cair non iritatif yaitu cairan dengan pH
7,4. Benda asing eksogen dapat berupa sekret kental, darah, bekuan darah, nanah,
krusta. Benda asing pada hidung merupakan masalah kesehatan keluarga yang
sering terjadi pada anak-anak. Pada anak-anak cenderung mengeksplorasi
tubuhnya, terutama daerah yang berlubang, termasuk telinga, hidung, dan mulut.
Benda-benda asing yang sering ditemukan pada anak-anak antaranya kacang hijau,
manik-manik, dan lain-lain. Pada orang dewasa yang relatif sering ditemukan
adalah kapas cotton bud, atau serangga kecil seperti kecoa, semut atau nyamuk.
4.3.Anatomi
Bagian hidung dalam terdiri atas stuktur yang membentang dari os internum
di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagia oleh septum, dinding lateral terdapat konka
superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan
dasar hidung dianamakan meatus inferior, berikutnya celah anatara konka mendia
dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus
superior.
Gambar 1.
Anatomi rongga hidung ( Handoko Aditya)
4.4.Epidemiologi
Kasus benda asing di hidung paling sering terjadi pada anak, terutama 1-4
tahun, anak cenderung mengeksplorasi tubuhnya, terutama daerah yang berlubang
termasuk hidung. Mereka dapat memasukkan benda asing sebagai
upayamengeluarkan sekret atau benda asing yang sebelumnya ada di dalam hidung,
atau untuk mengurangi gatal atau perih akibat iritasi yang sebelumnya sudah
terjadi. Benda asing yang paling sering ditemukan adalah sisa makanan, permen,
manik-manik dan kertas. Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda
asing dalam hidung antara lain faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan,
kondisi sosial dan temat tinggal) kegagalan mekanisme proteksi normal (keadaan
tidur, penurunan kesadaran, alkoholisme, dan epilepsy) ukuran, bentuk, serta sifat
benda asing, serta faktor kecerobohan. Benda asing dapat menyebabkan morbiditas
bahkan mortalitas bila masuk ke saluran nafas bawah.
4.5.Etiologi
Berdasarkan jenis bendanya, etiologi corpus alienum di hidung dapat di bagi
menjadi:
a. Benda asing hidup (benda organik)
1) Larva lalat
Beberapa kasus miasis hidung yang pernah ditemukan di hidung manusia
dan hewan di Indonesia disebabkan oleh larva lalat dari spesies Chryssonya
bezziana adalah serangga yang termasuk dalam famili Calliphoridea, ordo
dipteral subordo Cyclorrapha kelas Insecta. Lalat dewasa berukuran sedang
berwarna biru atau biru kehijauan dan berukuran 8-10 mm, bergaris gelap pada
thoraks dan pada abdomen melintang. Lalat dewasa meletakkan telurnya pada
jaringan hidup misalnya pada luka, lubang lubang pada tubuh seperti hidung,
mata, telinga, dan traktus urogenital.
2) Lintah
Lintah (Hirudinaria javanica) merupakan spesies dari kelas hirudinae.
Hirudinae adalah kelas dari anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk
filum annelida. Anggota jenis cacing ini tidak mempunyai rambut, parapodia, dan
seta. Tempat hidup hewan ini ada yang berada di air tawar, air laut, dan di darat.
Lintah merupakan hewan penghisap darah. Pada saat menghisap darah, lintah
mengeluarkan zat penghilang rasa sakit dan mengeluarkan zat anti pembekuan
darah sehingga darah pada pasin tidak akan membeku. Setelah selesai menghisap
darah, lintah akan menjatuhkan diri.
3) Cacing
Ascaris Lumbricoides merupakan nematode usus yang masih menjadi
masalah di negara berkembang seperti Indonesia. Hidung dapat menjadi part
d’entry atau tempat cacing tersebut bermigrasi dari usus untuk mendapatkan
oksigen yang lebih banyak.
Gambar 3.
Benda asing mati; manik-manik (Handoko Aditya)
4.5.Patofisiologi
Daerah hidung merupakan daerah yang mudah diakses karena lokasinya yang
berada di wajah. Memasukkan badan asing ke dalam cavum nasi sering kali terjadi
pada pasien anak yang kurang dari 5 tahun disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain rasa penasaran untuk mengekspolarsi orifisium atau lubang. Hal ini disebabkan
pula oleh mudahnya akses terhadap benda asing tersebut, kurang perhatian saat
pengasuhan anak. Hal–hal lain yang menjadi penyebab antara lain kebosanan,
untuk membuat lelucon, retardasi mental, gangguan jiwa, dan gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktivitas (GPPH). Benda asing hidung dapat ditemukan di
setiap bagian rongga hidung, sebagian besar ditemukan di dasar hidung, tepat di
bawah konka inferior atau di bagian atas fossa nasal anterior hingga ke bagian
depan konka media. Benda-benda kecil yang masuk ke bagian anterior rongga
hidung dapat dengan mudah dikeluarkan dari hidung.
Gambar 4.
Lokasi tersering benda asing hidung ( Steven WH, Karen LM, 2007)
Etiologi kerusakan jaringan diyakini terdiri atas 3 bagian, yaitu (1) perembesan
substansi baterai dengan sifat korosif langsung yang menyebabkan kerisakan, (2)
efek langsung ke mukosa, (3) nekrosis oleh tekanan. Dari hasil dari reaksi ini, dapat
menyebabkan perforasi septum (umumnya 7 jam setelah baterai masuk ke hidung),
sinekia, konstriksi, dan stenosis kavum nasi.
4.6.Manifestasi Klinis
Gejala sumbatan benda asing tergantung pada lokasi benda asing, derajat
sumbatan (total atau sebagian), sifat, bentuk, dan ukuran benda asing. Gejala yang
timbul bervariasi, dari tanpa gejala sampai kematian sebelum diberi pertolongan,
akibat sumbatan total. Benda asing di hidung pada anak sering luput dari perhatian
otang tua karena tidak ada gejala dan bertahan untuk waktu yang lama. Dapat
timbul rinolith di sekitar benda asing. Gejala yang paling sering adalah hidung
tersumbat, rinore unilateral, dengan cairan kental dan berbau. Kadang-kadang
terdapat rasa nyeri, demam, epistaksis, bersin, dan disertai bekuan darah. Akan
tetapi, adanya benda asing dalam hidung terkadang tidak menimbulkan nyeri,
terbukti dengan adanya kasus benda asing yang telah berada dalam hidung selama
bertahun-tahun tanpa adanya gejala apapun. Namun, walaupun jarang ditemukan,
nyeri dan sakit kepala pada sisi yang terlibat disertai dengan epistaksis intermitten
dan bersin pernah ditemukan dalam beberapa kasus. Pada pasien dengan benda
asing hidung yang hidup, gejala-gejala yang muncul biasanya terdapat pada hidung
bilateral. Hidung tersumbat, sakit kepala, dan bersin dengan kotoran seropurulen
biasanya merupakan gejala yang tampak. Peningkatan suhu tubuh dan adanya bau
tidak sedap yang berasal dari rongga hidung dapat pula muncul. Leukositosis dapat
terjadi akibat adanya infeksi sekunder. Rhinolith biasanya tidak bergejala dan
kemudian menyebabkan obstruksi apabila membesar.
4.7.Diagnosis
1) Anamnesis
Diagnosis klinis benda asing di saluran napas ditegakkan berdasarkan
anamnesis adanya riwayat tersedak sesuatu, tiba-tiba muncul choking (rasa
tercekik), gejala, dan tanda lainnya. Anamnesis yang cermat perlu ditegakkan
karena kasus aspirasi benda asing sering tidak segera dibawa ke dokter saat
kejadian. Perlu diketahui macam benda atau bahan yang teraspirasi dan telah
berapa lama tersedak benda asing itu.
2) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis hidung, dapat digunakan rhinoskopi anterior.
Namun, kadang-kadang edema dan granulasi mukosa menutupi benda asing
tersebut. Pada beberapa kasus, diperlukan penyemprotan agen vasokonstriktor
untuk memperkecil mukosa pada saat pemeriksaan. Seringkali, tindakan ini
memperjelas penampakan badan asing tersebut. Pada anak-anak kecil dan
kurang kooperatif, kadang diberikan anestesi umum untuk mempermudah
dalam menemukan benda asing. Pemeriksaan fisis di rongga hidung dapat
ditemukan destruksi luas pada mukosa membran, tulang, dan kartilago.
Mukosa hidung menjadi lunak dan mudah berdarah. Selain itu, pada
pemeriksaan tampak pula edema dengan inflamasi mukosa hidung unilateral
dan dapat terjadi ulserasi. Benda asing biasanya tertutupi oleh mukopus,
sehingga disangka sinusitis. Dalam hal demikian, bila akan menghisap
mukopus haruslah hati-hati supaya benda asing tersebut tidak terdorong ke
arah nasofaring yang kemudian dapat masuk ke laring, trakea, dan bronkus.
Pada kasus rhinolith, pemeriksaan fisis kadang ditemukan pada kavum nasi
massa berwarna keabu-abuan yang irregular, di sepanjang dasar rongga hidung
yang bertulang, keras, dan terasa berpasir pada pemeriksaan.
3) Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus benda asing di saluran napas dapat dilakukan pemeriksaan
radiologik untuk membantu menegakkan diagnosis. Benda asing yang bersifat
radiopak dapat dibuat foto radiologik segera setelah kejadian, sedangkan
benda asing radiolusen (seperti kacang-kacangan) dibuatkan foto radiologik
setelah 24 jam kejadian karena sebelum 24 jam kejadian belum menunjukkan
gambaran radiologis berarti. Video fluoroskopi merupakan cara terbaik untuk
melihat saluran napas secara keseluruhan, dapat mengevaluasi saat pada saat
inspirasi dan ekspirasi dan adanya obstruksi parsial. Emfisema obstruktif
merupakan bukti radiologic pada benda asing di saluran napas setelah 24 jam
benda teraspirasi.
4.8.Penatalaksanaan
Untuk dapat menanggulangi kasus aspirasi benda asing dengan cepat dan tepat
perlu diketahui dengan sebaik-baiknya gejala tersangkutnya benda asing tersebut.
Adapun pemilihan teknik untuk mengeluarkan benda asing sebaiknya didasarkan
pada lokasi yang tepat, bentuk, dan komposisi benda asing. Pengeluaran benda
asing hidung jarang bersifat emergensi dan dapat menunggu saran dari spesialis
terkait. Bahaya utama pengeluaran benda asing pada hidung adalah aspirasi,
terutama pada anak-anak yang tidak kooperatif dan menangis, pasien gelisah yang
kemungkinan dapat menghirup benda asing ke dalam jalan napas dan melukai
jaringan sekitar, sehingga menimbulkan keadaan emergensi.
Beberapa persiapan pengeluaran benda asing pada hidung antara lain :
1. Posisi ideal saat pengeluaran benda asing pada hidung adalah meminta pasien
untuk duduk, pada pasien pediatrik maka akan di pangku, kemudian akan
menahan tangan dan lengan pasien, dan seseorang lainnya akan membantu
menahan kepala pasien dalam posisi ekstensi 30o.
Alat-alat yang diguanakan dalam proses ekstraksi benda asing pada hidung
adalah forsep bayonet, serumen hook, kateter tuba eustasius, dan suction. Adapun,
beberapa teknik pengeluaran benda asing pada hidung yang dapat digunakan antara
lain :