Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN TUTORIAL MODUL 5

KELOMPOK 21 D

BLOK 2.6 – GANGGUAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS
A. STEP 1 – TERMINOLOGI
1. Bronchovesiculer : Campuran bunyi bronkial dan vesicular yang normalnya
terdengar di atas manubrium dan didaerah intraskapula
2. Nonrebreathing mask : Alat bantuan untuk memberikan oksigen dengan
konsentrasi oksigen yang lebih tinggi dimana udara inspirasi dan ekspirasi tidak
akan tercampur

B. STEP 2 & 3 – BRAINSTORMING


1. Mengapa pak Badu bisa sesak nafas dan sianosis?
 Sesak nafas  asma akut : penyakit saluran pernafasan bawah yang disebabkan
oleh peradangan. Bronkus bengkak, mucus berlebihan, udem mukosa
 Pneumothorax spontan  gejala khas sianosis, yang disebabkan oleh masuknya
udara namun tidak bisa keluar  akumulasi karbon dioksida  menekan dada
 dada nyeri.
 Merokok  akumulasi karbon dioksida  Hiperkapnia
 Sesak nafas  kardiogenik
 Sesak nafas  nonkardiogenik, seperti sistem pernafasan. Bisa jadi karena
salurannya yang kecil atau gangguan pada parenkim paru nya
 Saluran nafas yang mengecil  tidak ada sianosis
 Gangguan pada parenkim paru  Gangguan difusi  CO2 terperangkap pada
paru  Sianosis
 Cairan pada rongga pleura  Hambatan pengembangan paru  sesak nafas
 Pak Badi  kena serangan asma (pak Badu tidak ada nyeri dada, bukan
pneumothorax)  IL 5 mengaktifkan eosinophil yang akan menyebabkan
kerusakan endotel dan dalam jangka panjang bisa menyebabkan penebalan
epitel, udem dan fibrosis pada bronkus  diameter bronkus menjadi sempit

2. Mengapa pak Badu masih mengeluhkan sesak nafas menciut terus menerus
padahal sudah diberi pengobatan rutin?
 Asma Kronik
 Penurunan fungsi paru karena merokok
 Perubahan stuktur dari bronkus
 Penyempitan saluran nafas pada bronchitis kronik (PPOK) wheezing

3. Apakah ada kaitannya batuk berdahak dengan keluhan sebelumnya? Apa


hubungannya dengan kebiasaan merokok?
 Sekresi mucus  batuk sebagai refleks terhadap zat asing
 Merokok  tenggorokan kering & silia mati  tenggorokan gatal  batuk
 Merokok  pengeluaran faktor inflamasi  fibrosis paru

4. Mengapa di berikan terapi berupa oksigen dan kenapa yang digunakan


nonrebreathing mask? Bagaimana indikasinya?
 Indikasi : Pasien dengan PCO2 tinggi, PPOK, pernafasan tidak stabil, sianosis
 Nonrebreathing mask : dibutuhkan konsentrasi
 Terapi O2 diberikan karena pasien sianosis sebagai tatalaksana awal 
sianosis menandakan lebih banyak CO2 dibandingkan O2
 Kegawatdaruratan  diberikan O2 karena otak dan jantung sangat
membutuhkan oksigen. Kalau ga diberikan oksigen bisa menyebabkan
keadaan yang tidak diinginkan

5. Bagaimana interpretasi pemeriksaan pada pak Badu dan mengapa bisa


terjadi?
 Sesak  kompensasi kekurangan O2 dan banyak CO2
 Sianosis  kadar O2 yang menurun
 Gelisah  hiperkapnia
 Nadi meningkat  darah dipompakan dengan cepat sebagai kompensasi
rendahnya konsentrasi O2 dalam darah
 Frekuensi nafas meningkat  Sebagai kompensasi hipoksia
 Tidak ada demam  tidak ada infeksi
 Bronkovesikular  penyumbatan saluran nafas pada bronkus dan alveoli
 Wheezing  penyempitan saluran nafas
 Saturasi Oksigen menurun (normal 95-100%)  hipoksia dan hiperkapnia
6. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium apa yang mungkin dijalani pak
Badu, bagaimana hasil yang akan didapatkan? Bagaimana hasil dari analisis
gas darah?
 Radiologi  posisi PA dan lateral
 Laboratorium  Sputum BTA atau kultur bakteri
 Spirometri  pemeriksaan fungsi paru
 Analisis gas darah yang diperiksa pH, bikarbonat, O2, dan CO2
 Hasil analisis gas darah  Hipoksia dan hiperkapnia

7. Bagaimana tatalaksana awal untuk kegawatdaruratan?


 Terapi oksigen, cairan intravena (RL untuk rehidrasi), dan WSD untuk efusi
pleura

8. Apa kemungkinan penyakit yang diderita pak Badu?


 Asma serangan akut berat
 PPOK eksaserbasi
 Efusi Pleura

C. STEP 4 – SKEMA
D. STEP 5 – LEARNING OBJECTIVE
1. M3 semua penyakit kegawatdaruratan

E. STEP 6 – BELAJAR MANDIRI


1. Pneumothorax
1.1.Definisi Pneumothorax
Pneumothorax adalah adanya udara yang terdapat antara pleura visceralis
dan cavum pleura. Pneumothorax dapat terjadi secara spontan atau karena trauma.
Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paruparu dapat
leluasa mengembang terhadap rongga dada.Udara dalam kavum pleura ini dapat
ditimbulkan oleh karena adanya kerobekan pleura visceralis sehingga saat inspirasi
udara yang berasal dari alveolus akan memasuki kavum pleura.

1.2.Klasifikasi Pneumothorax

A. Pneumotoraks Spontan
1. Idiopatik primer
2. Bleb sekunder
a. Penyakit paru kongenital :
 CCAM
 Kista bronkogenik
 Hipoplasia paru

b. Kondisi yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intra torakal


 Asma
 Bronkiolitis
 Sindrom blokade udara pada neonatus
 Fibrosis kistik
 Benda asing saluran napas

c. Infeksi
 Pneumatokel
 Abses paru
 Fistula bronko-pleura

d. Penyakit paru difus


 Histositosis sel Langerhans
 Tuberosklerosis
 Sindrom Marfan
 Sindrom Ehlers-Danlos
 Neoplasma metastatik (osteosarkoma)

B. Pneumotoraks Traumatik
1. Non Iatrogenik
a. Penetrasi trauma
b. Trauma tumpul
c. Tekanan udara tinggi

2. Iatrogenik
a. Torakotomi
b. Torakoskopi, torakosentesis
c. Trakeostomi
d. Pungsi
e. Ventilasi mekanis

1.3.Epidemiologi Pneumothorax
Insiden pneumothorax laki-laki lebih banyak dari pada perempuan (5:1). Kasus
pneumothorax spontan primer di Amerika Serikat 7,4/100.000 per tahun untuk
laki-laki dan 1,2/100.000 per tahun untuk perempuan. Sedangkan insiden
pneumothorax spontan sekunder dilaporkan 6,3/100.000 per tahun untuk lakilaki
dan 2/100.000 per tahun untuk perempuan (Sudoyo et al., 2009). Pneumothorax
bilateral kira-kira 2% dari seluruh pneumothorax spontan. Insiden dan pravalensi
pneumothorax ventil 3% sampai dengan 5% dari pneumothorax spontan.
Kemungkinan berulangnya pneumothorax ialah 20% untuk kedua kali dan 50%
untuk ketiga kali (Alsagaff and Mukty, 2010).
Johnston & Dovnarsky (Appley, 2000) memperkirakan keja dian pneumotoraks
berkisar antara 2,4 – 17,8 per 100.000 per tahun. Beberapa karakteristik pada
pneumotoraks antara lain: laki-laki lebih sering daripada wanita (4: 1), paling
sering pada usia 20-30 tahun. Pneumotoraks merupakan kegawatan paru. Angka
kejadian Inggris laki-laki 24 per 100.000 penduduk dan perempuan 9,8 per 100.000
penduduk per tahun. Kasus pneumotoraks lebih sering terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Penelitian Khan dkk pada tahun 2009 di Pakistan kasus
pneumotoraks laki-laki 63,58% dan perempuan 36,42%, sesuai penelitian
didapatkan kasus pneumotoraks laki-laki 64,10% dan perempuan 35,90% dengan
rerata umur 49,13 tahun.

1.4.Etiologi dan Faktor Risiko Pneumothorax


Terdapat beberapa jenis pneumotoraks yang dikelompokkan berdasarkan
penyebabnya:

1. Pneumotoraks primer: terjadi tanpa disertai penyakit paru yang mendasarinya.


2. Pneumotoraks sekunder: merupakan komplikasi dari penyakit paru yang
mendahuluinya.
3. Pneumotoraks traumatik: terjadi akibat cedera traumatik pada
dada.Traumanya bisa bersifat menembus(luka,tusuk,peluru atau
tumpul(benturan pada kecelakaan bermotor). Pneumotoraks juga bisa
merupakan komplikasi dari tindakan medis tertentu(misal torakosentesis).
(Alsegaf,2004)

1.5.Patogenesis dan Patofisiologi Pneumothorax


Patalogi adalah perjalanan klinis suatu penyakit dari awal sampai akhir. Apabila
pneumotoraks terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki tekanan yang
lebih tinggi daripada udara dalam paru sebelahnya.Udara memasuki rongga pleura
dari tempat ruptur pleura yang bekerja seperti katup satu arah. Kesulitan dalam
proses ekspirasi akan mengarah pada terperangkapnya udara didalam pulmo, yang
dikenal sebagai hiperinflasi. Rongga besarberisi udara yang terperangkap. Pada
foto polos thorax,tampaksebagai lesi yang timbul di parenkim pulmo yang normal,
yang dibatasi olehmembran fibrous yang tipis dan irreguler. Pada keadaan infeksi,
selain terisi udara, juga akan terisi cairan. Selain dapat menimbulkan ostruksipada
jaringan pulmo yang berdekatan, juga dapatmenimbulkan tekanan pada pulmo
kontralateral sehingga menggangu fungsinya.Dapat disimpulkan, bahwa bahkan
jaringan pulmo yang tidak terpengaruh. Langsung, akan menjadi kurang efektif.
Sebagian besarmembesar dalam waktu lama. Namun terdapat kasus
dimanamembesar dalam waktu singkat, sehingga secara cepat akan
mempengaruhiparenkim pulmo di sekitarnya. Selain dengan terapi yang bersifat
invasif,dapat menghilang atau mengecil baik secara spontan atau setelah terjadi
infeksiatau perdarahan(Jennifer, 2011).
Keseimbangan antara kecenderungan jaringan paru untuk kolaps dan
kecenderungan dinding dada secara alamiah untuk mengembang menghasilkan
tekanan negatif dalam rongga pleura. Apabila terdapat udara pada rongga pleura
maka paru akan kolaps. Pada pneumotoraks simpel, tekanan intrapleura menyamai
tekanan atmosfir sehingga jaringan paru yang kolaps dapat mencapai 30%. Pada
kondisi yang lebih berat (tension pneumotoraks), kebocoran yang terus terjadi akan
menyebabkan peningkatan tekanan positif pada rongga pleura yang lebih jauh
dapat menyebabkan kompresi paru, pendorongan struktur mediastinum ke kontra
lateral, penurunan venous return, dan penurunan cardiac output.
1.6.Diagnosis Pneumothorax
1.6.1. Keluhan
- Nyeri dada hebat yang tiba-tiba pada sisi paru terkena khususnya
padasaat bernafas dalam atau batuk.
- Sesak, dapat samapai berat, kadang bisa hilang dalam 24 jam, apabila
sebagian paru yang kolaps sudah mengembang kembali
- Mudah lelah pada saat beraktifitas maupun beristirahat.
- Warna kulit yang kebiruan disebabkan karena kurangnya oksigen
(cyanosis)

1.6.2. Pemeriksaan Fisik


- Inspeksi: dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan nafas,
tertinggal pada sisi yang sakit
- Palpasi: Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau melebar,
iktus jantung terdorong kesisi thoraks yang sehat. Fremitus suara melemah
atau menghilang.
- Perkusi: Suara ketok hipersonor samapi tympani dan tidak bergetar,
batas jantung terdorong ke thoraks yang sehat, apabila tekanannya tinggi
- Auskultasi: suara nafas melemah sampai menghilang, nafas dapat amforik
apabila ada fistel yang cukup besar

1.6.3. Pemeriksaan Penunjang


a) Radiologis:
1. Tampak bayangan hiperlusen baik bersifat lokal maupun general
2. Pada gambaran hiperlusen ini tidak tampak jaringan paru, jadi
avaskuler.
3. Bila pneumotoraks hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya kolaps
dari paru- paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru yang terdesak
ini lebih padat dengan densitas seperti bayangan tumor.
4. Biasanya arah kolaps ke medial
5. Bila hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya perdorongan pada
jantung misalnya pada pneumotoraks ventil atau apa yang kita kenal
sebagai tension pneumothorax
6. Juga mediastinum dan trakea dapat terdorong kesisi yang berlawanan.
b) BGA: untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah pasien

1.7.Tatalaksana Pneumothorax
1.7.1. Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks
Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan
stabiisasi leher hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera cervical
dengan cara memasang cervical collar atau dengan kantong berisi pasir.
Evaluasi tingkat kesadaran dengan menyapa pasien dan dilaknjutkan dengan
pemeriksaan ABC (airway, breathing, circulation) (Boon, 2008).
Pada pemeriksaan jalan nafas yaitu membuka jalan nafas dengan jaw
thrust (bila dicurigai terdapat cedera cervical/pada pasien tidak sadar) atau head
tilt chin lift dilanjutkan dengan membersihkan rongga mulut dengan swab
mengunakan jari telunjuk, mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka. Pada
pasien tidak sadar dilakukan pemasangan orofaringeal tube untuk mencegah
lidah jatuh dan menutup jalan nafas (Boon, 2008).
Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan
dilakukan secara bersamaan. Pada pasien dengan pneumotoraks perkembangan
dinding dada asimetris, deviasi trakea ke paru yang sehat, JVP meningkat, suara
nafas menurun bahkan menghilang dan pada perkusi didapatkan hipersonor.
Bila didapatkan tanda-tanda tersebut, langsung dilakukan tindakan needle
thoracostomy (Boon, 2008).
Pemeriksaan nadi carotis dan radialis didapatkan takhikardi, akral dan
memeriksa capillary refill test. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila
terjadi perdarahan masif dilakukan pemasangan double line dengan cairan
kristaloid (Boon, 2008).

1.7.2. Penatalaksanaan Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)


Kebanyakan simple pneumothoraces akan membutuhkan pemasangan
intecostal chest drain sebagai terapi definitif. Pneumothoraces kecil, khususnya
yang hanya terlihan dengan CT dapat diobservasi. Keputusan untuk data
diobservasi berdasarkan status klinis pasien prosedur yang direncanakan
berikutnya. Pemasangan chest tube cocok pada kasus yang terdapat multiple
injury, pasien yang menjalani anestesia yang berkepanjangan, atau pasien yang
akan ditransfer dengan jarak yang jauh dimana deteksi peningkatan atau tension
pneumothorax mungkin sulit atau tertunda (Brohi, 2004).
1.7.3. Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Oksigen 100% harus diberikan melalui facemask. Intubasi harus
dipertimbangkan bila oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat. Intubasi tidak
boleh menunda pemasangan chest tube dan penutupan luka. Manajemen
definitif pada open pneumotoraks adalah menutup luka dan segera memasang
intercostal chest drain (Brohi, 2004).
Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa
melakukan terapi definitif perban dapat diletakkan di atas luka dan diplester
pada tiga sisinya. Secara teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk
memungkinkan udara keluar dari pneumotoraks selama ekspirasi, namun tidak
masuk selama inspirasi. Hal ini mungkin sulit bila dilakukan pada luka yang
luas dan efeknya sangat bervariasi. Sesegera mungkin chest drain harus
dipasang dan luka ditutup (Brohi, 2004).
1.7.4. Penatalaksanaan Tension Pneumothorax
1.7.4.1.Needle Thoracostomy
Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada
emergensi dengan needle toracostomy. Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan pada
Intercostal Space (ICS) II Mid Clavicular Line (MCL). Jarum dipertahankan
hingga udara dapat dikeluarkan melalui spuit yang terhubung dengan jarum.
Jarum ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di udara. Udara yang keluar dengan
cepat dari dada menunjukkan adanya tension pneumothorax. Manuver ini
mengubah tension pnemothorax menjadi simple pneumothorax (Brohi, 2004).
1.7.4.2.Pemasangan Chest Tube
Pemasangan chest tube merupakan terapi definitif pada tension
pnemothorax. Chest tube harus tersedia dengan cepat di ruang resusitasi dan
pemasangannnya biasanya cepat. Pemasangan terkontrol chest tube lebih baik
untuk blind needle thoracostomy. Hal ini menyebabkan status respiratori dan
hemodinamik pasien akan menoleransi beberapa menit tambahan untuk
melakukan surgical thoracostomy. Setelah pleura dimasuki (diseksi tumpul),
tekanan akan didekompresi dan pemasangan chest tube dapat dilakukan tanpa
terburu-buru. Hal ini terutama berlaku bagi pasien yang terventilasi manual
dengan tekanan positif (Brohi, 2004).
1.8.Komplikasi dan Prognosis Pneumothorax
Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumotoraks antara lain adalah
pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Pneumomediastinum dapat terjadi
melalui tiga tahap yang umum disebut dengan efek Macklin. Urutan kejadiannya
adalah terjadinya ruptur alveolar kemudian terjadi diseksi sepanjang seubung
bronkovaskuler menuju daerah hilus dan akhirnya udara mencapai mediastinum.
Pneumomediastinum jarang menyebabkan komplikasi klinis yang signifikan.
Tetapi pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum dapat menyebabkan
peningkatan tekanan mediastinum sehingga terjadi penekanan langsung terhadap
jantung atau menurunkan aliran darah balik sehingga terjadi penurunan curah
jantung. Pneumomediastinum dapat berkembang menjadi emfiesema subkutis.
Apabila udara pada subkutan dan mediastinum sangat banyak dapat terjadi
kompresi jalan napas dan jantung (Carolan, 2010).

Gambar 2.1 Pneumomediastinum

Mediastinum berhubungan dengan daerah submandibula, retrofaringeal, dan


selubung pembuluh darah leher, dan toraks lateral (Carolan, 2010). Emfisema
subkutis terjadi akibat udara memasuki daerah-daerah tersebut dan bermanifestasi
sebagai pembengkakan tidak nyeri. Pada palpasi akan terasa seperti kertas.
Gambaran radiologis untuk emfisema subkutis adalah radiolusen di tepian struktur
anatomi terkait.Komplikasi ini dapat memperparah keadaan pasien dengan
pneumotoraks akibat kompresi jalan napas. Pertolongan pertama yang dapat
dilakukan apabila terjadi distres adalah insisi kulit dengan pisau pada daerah kulit
yang mengalami pembengkakan (Paramasivam, 2008).
2. Edema Paru
2.1.Definisi Edema Paru
Edema paru didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi perpindahan
cairan dari vaskular paru ke interstisial dan alveoli paru. Pada edema paru terdapat
penim-bunan cairan serosa atau serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang
interstisial dan alveoli paru. Edema yang terjadi akut dan luas sering disusul oleh
kematian dalam waktu singkat.

2.2.Etiologi Edema Paru


Edema paru biasanya diakibatkan oleh peningkatan tekanan pembuluh kapiler
paru dan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat peningkatan
permeabilitas kapiler paru sering disebut acute respiratory distress syndrome
(ARDS).
Pada keadaan normal terdapat kese-imbangan tekanan onkotik (osmotik) dan
hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang meningkat
pada gagal jantung menyebabkan edema paru, sedangkan pada gagal ginjal terjadi
retensi cairan yang menyebabkan volume overload dan diikuti edema paru.
Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan
onkotik menurun sehingga terjadi edema paru. Pada tahap awal edema paru terdapat
peningkatan kandungan cairan di jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli.
Pada edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru perlu dipikirkan
bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari suatu
fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan
melekat pada sel endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin,
radikal bebas, dan mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin.
Proses kompleks ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit
dengan hasil akhir kerusakan endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas
kapiler alveolar. Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein
dan banyak mengandung neutrofil dan sel-sel inflamasi sehingga terbentuk
membran hialin. Karakteristik edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler
paru ialah tidak adanya peningkatan tekanan pulmonal (hipertensi pulmonal).
Penyebab edema paru kardiogenik ialah:
1. Gagal jantung kiri, yang dapat diakibatkan oleh: infark miokard, penyakit
katup aorta dan mitral, kardiomiopati, aritmia, hipertensi krisis, kelainan
jantung bawaan (paten duktus arteriosus, ventrikel septal defek)
2. Volume overload
3. Obstruksi mekanik aliran kiri
4. Insufisiensi limfatik, yang terjadi sebagai akibat lanjut transplantasi
5. paru, karsinomatosis limfangi-ektasis, atau limfangitis fibrosis

2.3.Patofisiolofi Edema Paru


Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi aliran yang kontinyu dari cairan
dan protein intravaskular ke jaringan interstisial dan kembali ke sistem aliran darah
melalui saluran limfa yang memenuhi hukum Starling Q = K (Pc-Pt) - d (c-t).
Edema paru terjadi bila cairan yang difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler lebih
banyak daripada yang bisa dikeluarkan yang berakibat alveoli penuh terisi cairan
sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran gas. Faktor-faktor penentu
yang berperan disini yaitu perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen
kapiler dan interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, larutan, dan
molekul besar seperti protein plasma. Adanya ketidakseimbangan dari satu atau
lebih dari faktor-faktor diatas akan menimbulkan terjadinya edema paru.
Pada edema paru kardiogenik (volume overload edema) terjadinya peningkatan
tekanan hidrostatik dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan filtrasi cairan
transvaskular. Bila tekanan interstisial paru lebih besar daripada tekanan
intrapleural maka cairan bergerak menuju pleura viseral yang menyebabkan efusi
pleura. Bila permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka cairan edema yang
meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein rendah. Peningkatan tekanan
hidrostatik ka-piler paru biasanya disebabkan oleh meningkatnya tekanan di vena
pulmonalis yang terjadi akibat meningkatnya tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
dan tekanan atrium kiri (>25 mmHg). Dalam keadaan normal tekanan kapiler paru
berkisar 8-12 mmHg dan tekanan osmotik koloid plasma 28 mmHg.1,3,7,10,11
Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh
proses-proses sebagai berikut:
1. Meningkatnya kongesti paru menye-babkan desaturasi dan menurunnya
pasokan oksigen miokard memperburuk fungsi jantung.
2. Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi
pul-monal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan yang melalui
mekanisme interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi
ventrikel kiri.
3. Insufisiensi sirkulasi menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi
jantung.

Keluarnya cairan edema dari alveoli paru tergantung pada transpor aktif ion
Na+ dan Cl- melintasi barier epitel yang terdapat pada membran apikal sel epitel
alveolar tipe I dan II serta epitel saluran napas distal. Ion Na+ secara aktif
ditranspor keluar ke ruang insterstisial oleh kerja Na/K-ATPase yang terletak pada
membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui
aquaporins yang merupakan saluran air pada sel tipe I.

Edema paru kardiogenik dapat terjadi akibat dekompensasi akut pada gagal
jantung kronik maupun akibat gagal jantung akut pada infark miokard dimana
terjadinya bendungan dan peningkatan tekanan di jantung dan paru akibat
melemahnya pompa jantung.11 Kenaikan tekanan hidrostatik kapiler paru
menyebabkan transudasi cairan ke dalam ruang interstisial paru, dimana tekanan
hidrostatik kapiler paru lebih tinggi dari tekanan osmotik koloid plasma. Pada
tingkat kritis, ketika ruang interstitial dan perivaskular sudah terisi, maka
peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan penetrasi cairan ke dalam ruang
alveoli.

Terdapat tiga tingkatan fisiologi dari akumulasi cairan pada edema paru
kardiogenik:

- Tingkat 1: Cairan dan koloid berpindah dari kapiler paru ke interstisial paru
tetapi terdapat peningkatan cairan yang keluar dari aliran limfatik
- Tingkat 2: Kemampuan pompa sistem limfatik telah terlampauisehingga
cairan dan koloid mulai terakumulasi pada ruang interstisial sekitar bronkioli,
arteriol, dan venula.
- Tingkat 3: Peningkatan akumulasi cairan menyebabkan terjadinya edema
alveoli. Pada tahap ini mulai terjadi gangguan pertukaran gas

2.4. Gambaran Klinis dan Diagnosis Edema Paru


Manifestasi klinis edema paru baik kardiogenik maupun non-kardiogenik bisa
serupa; oleh sebab itu sangat penting untuk menetapkan gejala yang dominan dari
kedua jenis tersebut sebagai pedoman pengobatan.
Gambaran klinis edema paru yaitu dari anamnesis ditemukan adanya sesak
napas yang bersifat tiba-tiba yang dihubungkan dengan riwayat nyeri dada dan
riwayat sakit jantung. Perkembangan edema paru bisa berangsur-angsur atau tiba-
tiba seperti pada kasus edema paru akut. Selain itu, sputum dalam jumlah banyak,
berbusa dan berwarna merah jambu. Gejala-gejala umum lain yang mungkin
ditemukan ialah: mudah lelah, lebih cepat merasa sesak napas dengan aktivitas
yang biasa (dyspnea on exertion), napas cepat (takipnea), pening, atau kelemahan.
Tingkat oksigenasi darah yang rendah (hipoksia) mungkin terdeteksi pada pasien
dengan edema paru. Pada auskultasi dapat didengar suara-suara paru yang
abnormal, seperti ronki atau crakles.
Pemeriksaan penunjang yang dilaku-kan untuk menegakkan diagnosis, yaitu:
- Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien dengan
CHF) dan adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi bilateral
dengan pola butterfly, gambaran vaskular paru dan hilus yang berkabut
serta adanya garis-garis Kerley b di interlobularis. Gambaran lain yang
berhubungan dengan penyakit jantung berupa pembesaran ventrikel kiri
sering dijumpai. Efusi pleura unilateral juga sering dijumpai dan
berhubungan dengan gagal jantung kiri.
- EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium kiri,
pembesaran ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun infark.
- Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan fungsi
dari ventrikel kiri dan adanya kelainan katup-katup jantung.
- Pemeriksaan laboratorium enzim jantung perlu dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis infark miokard. Peningkatan kadar brain natriuretic
peptide (BNP) di dalam darah sebagai respon terhadap peningkatan tekanan
di ventikel; kadar BNP >500 pg/ml dapat membantu menegakkan diagnosis
edema paru kardiogenik.
- Analisis gas darah (AGDA) dapat memperlihatkan penurunan PO2 dan
PCO2 pada keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit selanjutnya
PO2 semakin menurun sedangkan PCO2 meningkat. Pada kasus yang berat
biasanya dijumpai hiperkapnia dan asidosis respiratorik.
- Kateterisasi jantung kanan: Pengukuran P pw (pulmonary capillary wedge
pressure) melalui kateterisasi jantung kanan merupakan baku emas untuk
pasien edema paru kardiogenik yaitu berkisar 25-35 mmHg sedangkan pada
pasien ARDS P pw 0-18 mmHg.
- Kadar protein cairan edema: Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan
edema dibandingkan protein plasma dapat digunakan untuk membedakan
edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik. Bahan pemeriksaan diambil
dengan pengisapan cairan edema paru melalui pipa endotrakeal atau
bronkoskop dan pengambilan plasma. Pada edema paru kardiogenik,
konsentrasi protein cairan edema relatif rendah dibanding plasma (rasio
<0,6). Pada edema paru non-kardiogenik konsentrasi protein cairan edema
relatif lebih tinggi (rasio >0,7) karena sawar mikrovaskular berkurang.

2.5.Tatalaksana Edema Paru


Edema paru kardiogenik merupakan salah satu kegawatan medis yang perlu
penanganan secepat mungkin setelah ditegakkan diagnosis. Penatalaksanaan utama
meliputi pengobatan suportif yang ditujukan terutama untuk mempertahankan
fungsi paru (seperti pertukaran gas, perfusi organ), sedangkan penyebab utama juga
harus diselidiki dan diobati sesegera mungkin bila memungkinkan.
Prinsip penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat, restriksi
cairan, dan mempertahankan fungsi kardiovaskular.
a. Sumplementasi Oksigen
Hipoksemia umum pada edema paru merupakan ancaman utama bagi
susunan saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun
terjadinya syok. Oleh karena itu suplementasi oksigen merupakan terapi
intervensi yang penting untuk meningkatkan pertukaran gas dan menurunkan
kerja pernapasan, mengopti-malisasi unit fungsional paru sebanyak mungkin,
serta mengurangi overdistensi alveolar.
Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan dengan kanul hidung atau
masker muka (face mask). Continuous positive airway pressure (CPAP) sangat
membantu pada pasien edema paru kardiogenik. Masip et al. mendapatkan
bahwa peng-gunaan CPAP menurunkan kebutuhan akan intubasi dan angka
mortalitas.
Pada pasien dengan edema paru kardiogenik akut, induksi ventilasi non-
invasif dalam gangguan pernapasan dan gangguan metabolik meningkat lebih
cepat daripada terapi oksigen standar tetapi tidak berpengaruh terhadap
mortalitas jangka pendek.Ventilasi non-invasif dengan CPAP telah terbukti
menurunkan intubasi endotrakeal dan kematian pada pasien dengan edema paru
akut kardiogenik. Menurut penelitian Agarwal et al., noninvasive pressure
support ventilation (NIPSV) tampaknya aman dan berkhasiat sebagai CPAP,
daripada jika bekerja dengan titrasi pada tekanan tetap.
Penelitian Winck et al. mendukung penggunaan CPAP dan non-invasive
positive pressure ventilation (NPPV) pada edema paru akut kardiogenik. Kedua
teknik tersebut dipakai untuk menurunkan need for endotracheal intubation
(NETI) dan kematian dibandingkan standard medical therapy (SMT), serta tidak
menunjukkan peningkatan risiko infark miokard akut. CPAP dianggap sebagai
intervensi pertama dari NPPV yang tidak menunjukkan khasiat yang lebih baik
bahkan pada pasien dengan kondisi lebih parah, tetapi lebih murah dan lebih
mudah untuk diimplementasikan dalam praktek klinis. Intubasi dan penggunaan
ventilasi mekanik dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) diperlukan
pada kasus yang berat

b. Obat-obatan yang menurunkan preload


c. Nitrogliserin
Nitrogliserin (NTG) dapat menurun-kan preload secara efektif, cepat,
dan efeknya dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena diawali dengan
dosis rendah (20μg/menit) dan kemudian dinaikkan secara bertahap (dosis
maksimal 200μg/menit).

d. Loop diuretics
Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2 mekanisme,
yaitu: diuresis dan venodilatasi. Dosis furosemide dapat diberikan per oral 20-
40 mg/hari pada keadaan yang ringan hingga 5-40 mg/jam secara infus pada
keadaan yang berat.
e. Morfin sulfat
Morfin sulfat digunakan untuk menu-runkan preload dengan dosis 3 mg
secara intra vena dan dapat diberikan berulang.
f. Obat-obatan yang menurunkan afterload
g. ACE inhibitors
Angiotensin-converting enzyme inhi-bitors (ACE inhibitors)
menunurunkan after load, serta memperbaiki volume sekuncup dan curah
jantung. Pemberian secara intra vena (enalapril 1,25 mg) ataupun sublingual
(captopril 25 mg) akan memperbaiki keluhan pasien. Pada suatu meta analisis
didapati bahwa pemberian ACE inhibitors akan menurunkan angka mortalitas.

h. Obat-obatan golongan inotropic


Obat-obatan golongan inotropik diberikan pada edema paru kardiogenik
yang mengalami hipotensi, yaitu dobutamin 2-20 μg/kg/menit atau dopamin 3-
20 μg/kg/menit

3. Efusi Pleura
3.1.Definisi Efusi Pleura
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan pleura yang abnormal yang
disebabkan oleh karena pembentukan cairan pleura lebih cepat dari prose
absorpsinya. Sebagian besar efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan
pembentukan cairan pleura dan penurunan kecepatan absorpsi cairan
pleuratersebut. Pada pasien dengan daya absorpsi normal, pembentukan cairan
pleura harus meningkat 30 kali lipat secara terus menerus agar dapat menimbulkan
suatu efusi pleura. Di sisi lain, penurunan daya absorpsi cairan pleura saja tidak
akan menghasilkan penumpukan caian yang signifikan dalam rongga pleura
mengingat tingkat normal pembentukan cairan pleura sangat lambat. (Lee YCG,
2013) Efusi pleura bisa disebabkan oleh penyakit yang berasal dari paru, pleura
ataupun penyakit di luar paru. (Light RW, 2011).
Efusi pleura terbagi menjadi transudat dan eksudat. (Light RW, 2011)
Berdasarkan kriteria Light, dikatakan efusi pleura eksudat jika memenuhi satu atau
lebih kriteria berikut (1) rasio kadar protein cairan pleura/kadar protein serum lebih
besar dari 0,5, (2) rasio kadar LDH cairan pleura/kadar LDH serum lebih besar dari
0,6 atau (3) kadar LDH cairan pleura lebih besar dari dua pertiga dari batas atas
normal LDH serum. (Mayse M.L, 2008)
Light dan Rodriguez membuat sebuah skema untuk klasifikasi dan
penatalaksanaan efusi pleura berdasarkan jumlah cairan, kekeruhan, dan
karakteristik biokimia cairan dan apakah cairan terlokalisir. Berdasarkan
klasifikasi di atas, maka efusi yang bersifat transudat diangap sebagai
uncomplicated pleural effusion, yang dapat ditangani dengan pengobatan
konservatif atau hanya dengan antibiotik. Efusi pleura eksudat atau efusi pleura
terlokalisir yang luas, diklasifikasikan sebagai complicated pleural effusion harus
dilakukan drainase. Yang termasuk complicated pleural effusion yaitu empiema,
efusi pleura ganas dan hemotoraks. Untuk kasus complicated pleural effusion,
sangat penting untuk dilakukan evakuasi cairan supaya paru dapat kembang untuk
prognosis yang labih baik. Pilihan terapinya adalah torakosentesis untuk terapeutik,
pemasangan selang dada, terapi fibrinolitik, pleurodesis dan pembedahan. (Yu H, 2011)

3.2.Klasifikasi Efusi Pleura


1) Berdasarkan foto thorax
a. Efusi Pleura Sederhana
Suatu efusi pleura dikatakan sederhana jika
- Pada foto toraks postero anterior posisi tegak cairan biasanya
terakumulasi mengikuti gravitasi dengan batas atasnya didefinisikan
sebagai meniscus sign.
- Pada posisi terlentang, suatu efusi pleura sederhana akan terakumulasi
pertama sekali di bagian posterior dada dan meniscus sign kadang tidak
terlihat.
- Terdapat peningkatan secara keseluruhan yang membayangi
hemitoraks yang dapat dengan mudah diabaikan
- Jika ukuran efusi cukup besar, makan akan tampak adanya penebalan
yang jelas di tepi pleura yang disebabkan oleh perpindahan posisi paru
yang menjadi terpisah dari dinding dada oleh karena cairan.
- Jika posisi pasien semi-tegak maka cairan akan terakumulasi di bagian
belakang kostofrenikus yang tersembunyi dan di posterior rongga
pleura.
- Secara keseluruhan hasilnya adalah peningkatan opasitas pada daerah
yang lebih rendah dengan tetap mempertahankan bayangan diafragma,
tanpa ada meniskus, dan bahkan sudut kostofrenikus masih normal.
Kolapsnya lobus paru tidak tergantung posisi pasien.

b. Efusi Pleura Kompleks


Suatu efusi pleura dikatakan kompleks jika
- Ketika bentuk efusi tidak membentuk meniscus sign seperti dijelaskan
di atas tetapi malah lurus atau cembung, ini menunjukkan bahwa efusi
tersebut adalah kompleks dan biasanya mengandung cairan yang kental
dan atau bersekat.
- Efusi pleura kompleks tidak selalu terakumulasi di daerah paling
bawah dan oleh karena itu cairan dapat terakumulasi di mana saja di
dalam rongga pleura
- Suatu efusi pleura kompleks mungkin disebabkan oleh adanya
empiema atau hematom, tetapi efusi pleura sederhana yang kronis
dapat menjadi kompleks tanpa adanya infeksi yang menyertai dan
suatu efusi pleura sederhana yang berada dalam rongga pleura yang
kompleks dapat menunjukkan gambaran efusi pleura kompleks
misalnya pada pasien yang sebelumnya pernah dilakukan intervensi
bedah atau pernah terjadi infeksi sebelumnya.

2) Berdasarkan pemeriksaan USG


a. Efusi Pleura Sederhana
- Gambaran anechoic yang homogen

b. Efusi Pleura Kompleks


- Tidak bersekat dengan gambaran hipoechoic
- Terdapat lebih dari satu sekat
- Gambaran echoic yang homogen

3.3.Patogenesis dan Patofisiologis Efusi Pleura


Dalam rongga pleura yang normal, cairan masuk dan keluar dengan jumlah
yang sama secara terus – menerus karena adanya filtrasi yang berkelanjutan dari
sejumlah kecil cairan rendah protein dalam pembuluh darah mikro yang normal.
Pada akhir abad ke-19, Starling dan Tubby mengeluarkan sebuah hipotesis, bahwa
pertukaran cairan mikrovaskuler dan zat terlarut diatur oleh keseimbangan antara
tekanan hidrostatik, tekanan osmotik, dan permeabilitas membran. (McGrath E,
Anderson PB, 2011)
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan yang berlebihan di dalam rongga
pleura. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara produksi dan
penyerapan cairan pleura. Pada keadaan normal, rongga pleura hanya terisi
sejumlah kecil cairan, biasanya hanya 0,1-0,2 ml/kgBB.
Cairan pleura terbentuk dan diserap kembali secara lambat, dengan jumlah
yang sama dan mempunyai kadar protein yang rendah dibandingkan dengan paru
dan kelenjar getah bening perifer. Beberapa mekanisme terbentuknya cairan pleura
antara lain : (Yataco JC, Dweik RA, 2005)
- Peningkatan tekanan hidrostatik dalam sirkulasi pembuluh darah kecil. Data
klinis menunjukkan bahwa peningkatan tekanan intra kapiler merupakan
faktor yang paling sering menyebabkan efusi pleura pada gagal jantung
kongestif.
- Penurunan tekanan onkotik di sirkulasi pembuluh darah kecil disebabkan oleh
hipoalbuminemia yang cenderung meningkatkan cairan di dalam rongga
pleura.
- Peningkatan tekanan negatif di rongga pleura juga menyebabkan peningkatan
jumlah cairan pleura. Hal ini biasanya disebabkan oleh atelektasis.
- Pemisahan kedua permukaan pleura dapat menurunkan pergerakan cairan
dalam rongga pleura dan dapat menghambat drainase limfatik pleura. Hal ini
bisa disebabkan oleh trapped lung.
- Peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler yang disebabkan oleh
mediator inflamasi sangat memungkinkan terjadinya kebocoran cairan dan
protein melewati paru dan pleura visceral ke rongga pleura. Hal ini telah
dibuktikan dengan adanya infeksi seperti pneumonia
- Gangguan drainase limfatik permukaan pleura karena penyumbatan oleh
tumor atau fibrosis
- Perembesan cairan ascites dari rongga peritoneal melalui limfatik diafragma
atau dari defek diafragma.

3.4.Diagnosis Efusi Pleura


1. Anamnesis
- Identitas pasien
- Keluhan pasien

2. Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan patu

3. Pemeriksaan Penunjang
- Foto toraks dada
- USG toraks
- Pungsi pleura (torakosentesis) dan analisis cairan pleura

3.5.Tatalaksana Efusi Pleura


Tatalaksana kegawatdaruratan menggunakan Water Sealed Drainage (WSD)
a. Pengertian WSD
WSD(Water Seal Drainage) adalah suatu tindakan pemasangan kateter
pada rongga thoraks, rongga pleura ,mediastinum dengan tujuan untuk
mengeluarkan udara atau cairan dari rongga tersebut.

b. Macam-macam metode dari WSD


- Sistem WSD Botol Tunggal
Sistem ini terdiri dari satu botol dengan penutup segel. Penutup
mempunyai dua lubang, satu untuk ventilasi udara dan lubang yang lain
memungkinkan selang masuk kedalam botol.

- Sistem WSD Dua Botol


Sistem dua botol, botol pertama adalah sebagai botol penampung san
botol ke dua bekerja sebagai pembatas antara tekanan udara bebas dan
udara dalam(water seal). Pada sistem dua botol, penghisapan dapat
dilakukan pada segel botol dalam air dengan menghubungkannya ke
ventilasi udara.

- Sistem WSD Tiga Botol


Pada sistem tiga botol, sistem dua botol ditambah dengan satu botol lagi
yang berfungsi untuk mengatur / mengontrol jumlah drainage dan
dihubungkan dengan suction. Pada sistem ini yang terpenting adalah
kedalaman selang dibawah air pada botol ketiga. Jumlah penghisap
didinding yang diberikan botol ketiga harus cukup untuk menciptakan
putaran-putaran lembut gelembung dalam botol. Gelembung yang kasar
menyebabkan kehilangan air, mengubah tekanan penghisap dan
meningkatkan tingkat kebisingan .
- Sistem WSD sekali pakai / disposable

c. Jenis-jenisnya :
- Pompa penghisap Pleural Emerson
- Fultur valve
- Calibrated spring mechanism

d. Indikasi Pemasangan
- Hemotoraks :trauma dada, neoplasma, robekan pleura, pasca bedah
thoraks
- Pneumotoraks : ruptur , penyakit paru,
- Efusi pleura : neoplasma , impflamasi ,
- Emfisema
- Hemipneumotoraks
- Tension pneumotoraks

e. Tujuan Pemasangan WSD


- Mempercepat pengeluaran udara dan cairan dari rongga pleura dan
mencegah refluks
- Mengembalikan pengembangan jarigan paru dengan mengembaliakan
tekanan negatif rongga pleura
- Mencegah pergeseran mediastinumdan kolaps jaringan dengan
menyamakan tekanan thorakskiri dan kanan

f. Penempatan tube WSD


- Untuk membuang udara , letak selang : intercostal ke-2 sepanjang
midklavikula. Sedangkan untuk membuang cairan ,letak selang antara
interkodtal ke-5 atau ke-6
- Pasien bedah jantung selang di letakandi seitar mediastnum untuk
membuang darah dari depan dan bawahjantung

g. .Kompikasi Pemasangan
- Emphysema sebcutan
- Emboli paru
- Disritmia jantung
- Perdarahan
- Tromboplebetis
- Infeksi

h. Persiapan Pemasangan WSD


- Surat persetujuan
- Kasa steril
- Sarung tangan steril dan masker
- Motor suction
- Duk steril
- Sumber cahaya
- Sedative ( jika siperlukan )
- Lidokain 1 % tanpa epinephrine ( 20 ml )
- Spuit ukuran 10 ml dengan needle no 18 dan 23
- Tube / selang WSD steril
- Sistem drainage dan penyedot/suction ( pompa emerson )
- Botol drain
- mata pisau scalpel dan tangkainya no 10 dan no 11
- Naalpocdes,Klem,duk berlubang steril.
- Trocart
- Klem mosquito 6 buah
- Klem Kelly bengkok yang besar
- Gunting jaringan 2 buah
- Gunting jahitan 2 buah
- Gunting diseksi bengkok metsenbaum 2 buah
- Forsep daringan dengan dan tanpa gigi
- Plester / hipavik
- Benang jahitan
- bengkok / tempat sampah
- gunting plester dan betadine

i. Prosedur Pemasangan WSD


- Kaji airway,breathing dan circulation klien
- Lakukan tindakan untuk melindungi airway,dengan membebaskan jalan
napas
- Lakukan tindakan pemasangan O2 sesuai yang dibutuhkan’
- Pasang intravena line untuk menjaga sirkulasi
- Kaji klien terhadap kemungkinan adanya cidera pada dada
- Kaji adanya tanda-tanda komplikasi pernapasan
- Periksa nilai Analisa gas darah ( AGD )
- Hadirkan ahli terapi pernapasan jika diperlukan
- Kaji apakah klien ada allergi dengan obat-obatan atau betadine
- Jelaskan prosedur tindakan kepada klien dan keluarga
- Posisikan klien dengan posisi fowler atau supinasi atau miring dengan
sisi yang sehat mengarah ketempat tidur dan posisi tangan diangkat
keatas kepala.
- Tentukan lokasi insisi tempat pemasangan selang,cuci tangan.

3.6.Komplikasi Efusi Pleura


- Syok neurogenic
- Perdarahan
- Pneumotoraks iatrogenic
- Edem paru

4. Kegawatdaruratan Benda Asing


4.1.Definisi
Corpus alineum atau benda asing adalah benda yang berasal dari luar atau dalam
tubuh yang dalam keadaan normal tidak ada pada tubuh.

4.2.Klasifikasi
Benda asing dalam suatu organ dapat terbagi atas benda asing eksogen (dari
luar tubuh) dan benda asing endogen (dari dalam tubuh). Benda asing eksogen
terdiri dari benda padat, cair atau gas. Benda asing eksogen padat terbagi terdiri
dari zat organik seperti kacang-kacangan (yang berasal dari tumbuh-tumbuhan),
tulang (yang berasal dari kerangka bintang) dan zat organik seperti paku, jarum,
peniti, batu dan lain-lain. Benda asing eksogen cair dibagi dalam benda cair yang
bersifat iritatif seperti zat kimia, dan benda cair non iritatif yaitu cairan dengan pH
7,4. Benda asing eksogen dapat berupa sekret kental, darah, bekuan darah, nanah,
krusta. Benda asing pada hidung merupakan masalah kesehatan keluarga yang
sering terjadi pada anak-anak. Pada anak-anak cenderung mengeksplorasi
tubuhnya, terutama daerah yang berlubang, termasuk telinga, hidung, dan mulut.
Benda-benda asing yang sering ditemukan pada anak-anak antaranya kacang hijau,
manik-manik, dan lain-lain. Pada orang dewasa yang relatif sering ditemukan
adalah kapas cotton bud, atau serangga kecil seperti kecoa, semut atau nyamuk.

4.3.Anatomi
Bagian hidung dalam terdiri atas stuktur yang membentang dari os internum
di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagia oleh septum, dinding lateral terdapat konka
superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan
dasar hidung dianamakan meatus inferior, berikutnya celah anatara konka mendia
dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus
superior.
Gambar 1.
Anatomi rongga hidung ( Handoko Aditya)

4.4.Epidemiologi
Kasus benda asing di hidung paling sering terjadi pada anak, terutama 1-4
tahun, anak cenderung mengeksplorasi tubuhnya, terutama daerah yang berlubang
termasuk hidung. Mereka dapat memasukkan benda asing sebagai
upayamengeluarkan sekret atau benda asing yang sebelumnya ada di dalam hidung,
atau untuk mengurangi gatal atau perih akibat iritasi yang sebelumnya sudah
terjadi. Benda asing yang paling sering ditemukan adalah sisa makanan, permen,
manik-manik dan kertas. Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda
asing dalam hidung antara lain faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan,
kondisi sosial dan temat tinggal) kegagalan mekanisme proteksi normal (keadaan
tidur, penurunan kesadaran, alkoholisme, dan epilepsy) ukuran, bentuk, serta sifat
benda asing, serta faktor kecerobohan. Benda asing dapat menyebabkan morbiditas
bahkan mortalitas bila masuk ke saluran nafas bawah.

4.5.Etiologi
Berdasarkan jenis bendanya, etiologi corpus alienum di hidung dapat di bagi
menjadi:
a. Benda asing hidup (benda organik)
1) Larva lalat
Beberapa kasus miasis hidung yang pernah ditemukan di hidung manusia
dan hewan di Indonesia disebabkan oleh larva lalat dari spesies Chryssonya
bezziana adalah serangga yang termasuk dalam famili Calliphoridea, ordo
dipteral subordo Cyclorrapha kelas Insecta. Lalat dewasa berukuran sedang
berwarna biru atau biru kehijauan dan berukuran 8-10 mm, bergaris gelap pada
thoraks dan pada abdomen melintang. Lalat dewasa meletakkan telurnya pada
jaringan hidup misalnya pada luka, lubang lubang pada tubuh seperti hidung,
mata, telinga, dan traktus urogenital.
2) Lintah
Lintah (Hirudinaria javanica) merupakan spesies dari kelas hirudinae.
Hirudinae adalah kelas dari anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk
filum annelida. Anggota jenis cacing ini tidak mempunyai rambut, parapodia, dan
seta. Tempat hidup hewan ini ada yang berada di air tawar, air laut, dan di darat.
Lintah merupakan hewan penghisap darah. Pada saat menghisap darah, lintah
mengeluarkan zat penghilang rasa sakit dan mengeluarkan zat anti pembekuan
darah sehingga darah pada pasin tidak akan membeku. Setelah selesai menghisap
darah, lintah akan menjatuhkan diri.

3) Cacing
Ascaris Lumbricoides merupakan nematode usus yang masih menjadi
masalah di negara berkembang seperti Indonesia. Hidung dapat menjadi part
d’entry atau tempat cacing tersebut bermigrasi dari usus untuk mendapatkan
oksigen yang lebih banyak.

b. Benda asing tak hidup (benda anorganik)


Benda asing tak hidup yang tersering adalah manik-manik, baterai logam, dan
kancing baju. Kasus baterai logam di hidung merupakan salah satu kegawatan
yang harus segera dikeluarkan karena kandungan zat kimianya yang dapat
bereaksi terhadap mukosa hidung.

Gambar 3.
Benda asing mati; manik-manik (Handoko Aditya)

4.5.Patofisiologi
Daerah hidung merupakan daerah yang mudah diakses karena lokasinya yang
berada di wajah. Memasukkan badan asing ke dalam cavum nasi sering kali terjadi
pada pasien anak yang kurang dari 5 tahun disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain rasa penasaran untuk mengekspolarsi orifisium atau lubang. Hal ini disebabkan
pula oleh mudahnya akses terhadap benda asing tersebut, kurang perhatian saat
pengasuhan anak. Hal–hal lain yang menjadi penyebab antara lain kebosanan,
untuk membuat lelucon, retardasi mental, gangguan jiwa, dan gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktivitas (GPPH). Benda asing hidung dapat ditemukan di
setiap bagian rongga hidung, sebagian besar ditemukan di dasar hidung, tepat di
bawah konka inferior atau di bagian atas fossa nasal anterior hingga ke bagian
depan konka media. Benda-benda kecil yang masuk ke bagian anterior rongga
hidung dapat dengan mudah dikeluarkan dari hidung.

Gambar 4.
Lokasi tersering benda asing hidung ( Steven WH, Karen LM, 2007)

Beberapa benda asing menetap di dalam rongga hidung tanpa menimbulkan


perubahan mukosa. Namun, kebanyakan objek yang berupa benda mati
menyebabkan kongesti dan edema pada mukosa hidung, dapat terjadi ulserasi,
epistaksis, jaringan granulasi, erosi, dan dapat berlanjut menjadi sinusitis. Sekret
yang tertinggal, dekomposisi benda asing, dan ulserasi yang menyertai dapat
menghasilkan fetor yang berbau busuk. Benda asing yang berupa benda hidup,
menyebabkan reaksi inflamasi dengan derajat bervariasi, dari infeksi local sampai
destruksi masif tulang rawan dan tulang hidung dengan membentuk daerah
supurasi yang dalam dan berbau. Cacing askaris di hidung dapat menimbulkan
iritasi dengan derajat yang bervariasi karena gerakannya. Perubahan-perubahan ini
apabila lebih lanjut, maka akan memengaruhi benda asing karena dikelilingi oleh
udema, granulasi, dan kotoran. Benda asing organik, seperti kacang-kacangan,
mempunyai sifat higroskopik, mudah menjadi lunak dan mengembang oleh air,
serta menyebabkan iritasi pada mukosa. Kadang-kadang, reaksi inflamasi dapat
menghasilkan toksik. Benda asing anorganik, menimbulkan rekasi jaringan yang
lebih ringan dan lebih mudah didiagnosa dengan pemeriksaaan radiologis karena
umumnya benda asing anorganik bersifat radiopak. Sebuah benda asing dapat
menjadi inti peradangan apabila tertanam dalam jaringan granulasi yang terpapar
oleh kalsium, magnesium fosfat, karbonat, dan kemudian akan menjadi rhinolith.
Kadang-kadang, proses ini dapat terjadi di sekitar area mukopus dan bekuan darah.
Rhinolit biasanya terletak dekat bagian basal hidung dan bersifat radiopak. Baterai
cakram dapat menyebabkan destruksi pada septum nasi karena tersusun atas
beberapa logam berat, seperti merkuri, zink, perak, nikel, cadmium, dan lithium.
Beberapa faktor dikatakan berperan dalam timbulnya komplikasi akibat baterai
cakram ini antara lain interval waktu saat baterai masuk hingga dikeluarkan dan
kontak antara permukaan mukosa hidung dan kutub negatif baterai (anode). Karena
itu, perforasi septum (90 jam setelah baterai masuk ke hidung) umumnya terjadi
ketika adanya kontak antara mukosa hidung dan kutub negatif baterai.

Etiologi kerusakan jaringan diyakini terdiri atas 3 bagian, yaitu (1) perembesan
substansi baterai dengan sifat korosif langsung yang menyebabkan kerisakan, (2)
efek langsung ke mukosa, (3) nekrosis oleh tekanan. Dari hasil dari reaksi ini, dapat
menyebabkan perforasi septum (umumnya 7 jam setelah baterai masuk ke hidung),
sinekia, konstriksi, dan stenosis kavum nasi.

4.6.Manifestasi Klinis
Gejala sumbatan benda asing tergantung pada lokasi benda asing, derajat
sumbatan (total atau sebagian), sifat, bentuk, dan ukuran benda asing. Gejala yang
timbul bervariasi, dari tanpa gejala sampai kematian sebelum diberi pertolongan,
akibat sumbatan total. Benda asing di hidung pada anak sering luput dari perhatian
otang tua karena tidak ada gejala dan bertahan untuk waktu yang lama. Dapat
timbul rinolith di sekitar benda asing. Gejala yang paling sering adalah hidung
tersumbat, rinore unilateral, dengan cairan kental dan berbau. Kadang-kadang
terdapat rasa nyeri, demam, epistaksis, bersin, dan disertai bekuan darah. Akan
tetapi, adanya benda asing dalam hidung terkadang tidak menimbulkan nyeri,
terbukti dengan adanya kasus benda asing yang telah berada dalam hidung selama
bertahun-tahun tanpa adanya gejala apapun. Namun, walaupun jarang ditemukan,
nyeri dan sakit kepala pada sisi yang terlibat disertai dengan epistaksis intermitten
dan bersin pernah ditemukan dalam beberapa kasus. Pada pasien dengan benda
asing hidung yang hidup, gejala-gejala yang muncul biasanya terdapat pada hidung
bilateral. Hidung tersumbat, sakit kepala, dan bersin dengan kotoran seropurulen
biasanya merupakan gejala yang tampak. Peningkatan suhu tubuh dan adanya bau
tidak sedap yang berasal dari rongga hidung dapat pula muncul. Leukositosis dapat
terjadi akibat adanya infeksi sekunder. Rhinolith biasanya tidak bergejala dan
kemudian menyebabkan obstruksi apabila membesar.

4.7.Diagnosis
1) Anamnesis
Diagnosis klinis benda asing di saluran napas ditegakkan berdasarkan
anamnesis adanya riwayat tersedak sesuatu, tiba-tiba muncul choking (rasa
tercekik), gejala, dan tanda lainnya. Anamnesis yang cermat perlu ditegakkan
karena kasus aspirasi benda asing sering tidak segera dibawa ke dokter saat
kejadian. Perlu diketahui macam benda atau bahan yang teraspirasi dan telah
berapa lama tersedak benda asing itu.

2) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis hidung, dapat digunakan rhinoskopi anterior.
Namun, kadang-kadang edema dan granulasi mukosa menutupi benda asing
tersebut. Pada beberapa kasus, diperlukan penyemprotan agen vasokonstriktor
untuk memperkecil mukosa pada saat pemeriksaan. Seringkali, tindakan ini
memperjelas penampakan badan asing tersebut. Pada anak-anak kecil dan
kurang kooperatif, kadang diberikan anestesi umum untuk mempermudah
dalam menemukan benda asing. Pemeriksaan fisis di rongga hidung dapat
ditemukan destruksi luas pada mukosa membran, tulang, dan kartilago.
Mukosa hidung menjadi lunak dan mudah berdarah. Selain itu, pada
pemeriksaan tampak pula edema dengan inflamasi mukosa hidung unilateral
dan dapat terjadi ulserasi. Benda asing biasanya tertutupi oleh mukopus,
sehingga disangka sinusitis. Dalam hal demikian, bila akan menghisap
mukopus haruslah hati-hati supaya benda asing tersebut tidak terdorong ke
arah nasofaring yang kemudian dapat masuk ke laring, trakea, dan bronkus.
Pada kasus rhinolith, pemeriksaan fisis kadang ditemukan pada kavum nasi
massa berwarna keabu-abuan yang irregular, di sepanjang dasar rongga hidung
yang bertulang, keras, dan terasa berpasir pada pemeriksaan.
3) Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus benda asing di saluran napas dapat dilakukan pemeriksaan
radiologik untuk membantu menegakkan diagnosis. Benda asing yang bersifat
radiopak dapat dibuat foto radiologik segera setelah kejadian, sedangkan
benda asing radiolusen (seperti kacang-kacangan) dibuatkan foto radiologik
setelah 24 jam kejadian karena sebelum 24 jam kejadian belum menunjukkan
gambaran radiologis berarti. Video fluoroskopi merupakan cara terbaik untuk
melihat saluran napas secara keseluruhan, dapat mengevaluasi saat pada saat
inspirasi dan ekspirasi dan adanya obstruksi parsial. Emfisema obstruktif
merupakan bukti radiologic pada benda asing di saluran napas setelah 24 jam
benda teraspirasi.

Gambaran Benda asing/opak pada rongga hidung, potongan sagittal dan


coronal (Okhakhu AL, Okalugbo NE, Onyeagwana NC, 2013)

Selain dengan radiologi, dapat pula digunakan endoskopi. Diagnosis pasti


benda asing di saluran napas ditegakkan setelah dilakukan tindakan endoskopi,
yaitu endoskopi nasal dengan sudut 0o atau 30o. Endoskopi nasal ini juga ideal
dalam penegakan diagnosis untuk anak-anak, namun sebelum pemeriksaan
umumnya didahului dengan pemberian anestesi umum. Selain untuk
diagnosis, penggunaan endoskopi nasal ini juga berguna dalam ekstraksi atau
pengeluaran benda asing hidung.
Gambar 6.
Gambaran endoskopi benda asing Rongga hidung (Steven WH, Karen
LM. 2007)

4.8.Penatalaksanaan
Untuk dapat menanggulangi kasus aspirasi benda asing dengan cepat dan tepat
perlu diketahui dengan sebaik-baiknya gejala tersangkutnya benda asing tersebut.
Adapun pemilihan teknik untuk mengeluarkan benda asing sebaiknya didasarkan
pada lokasi yang tepat, bentuk, dan komposisi benda asing. Pengeluaran benda
asing hidung jarang bersifat emergensi dan dapat menunggu saran dari spesialis
terkait. Bahaya utama pengeluaran benda asing pada hidung adalah aspirasi,
terutama pada anak-anak yang tidak kooperatif dan menangis, pasien gelisah yang
kemungkinan dapat menghirup benda asing ke dalam jalan napas dan melukai
jaringan sekitar, sehingga menimbulkan keadaan emergensi.
Beberapa persiapan pengeluaran benda asing pada hidung antara lain :

1. Posisi ideal saat pengeluaran benda asing pada hidung adalah meminta pasien
untuk duduk, pada pasien pediatrik maka akan di pangku, kemudian akan
menahan tangan dan lengan pasien, dan seseorang lainnya akan membantu
menahan kepala pasien dalam posisi ekstensi 30o.

2. Visualisasi yang adekuat penting untuk membantu pengeluaran benda asing


pada hidung. Lampu kepala dan kaca pembesar dapat membantu pemeriksa
untuk memeroleh sumber pencahayaan yang baik dan tidak perlu di pegang,
sehingga kedua tangan pemeriksa dapat digunakan untuk melakukan tindakan.
3. Anestesi lokal sebelum tindakan dapat memfasilitasi ekstraksi yang efisien dan
biasanya dalam bentuk spray. Lignokain (Lidokain) 4% merupakan pilihan
yang biasa digunakan, walaupun kokain biasa digunakan dan bersifat
vasokonstriktor. Namun, penggunaan kokain pada anak-anak dapat
menimbulkan toksik, sehingga biasanya digantikan dengan adrenalin
(epinefrin) 1:200.000. Akan tetapi, penggunaan anestesi local tidak terlalu
bermanfaat pada pasien pediatric, sehingga anestesi umum lebih sering
digunakan pada kasus anak-anak.

Alat-alat yang diguanakan dalam proses ekstraksi benda asing pada hidung
adalah forsep bayonet, serumen hook, kateter tuba eustasius, dan suction. Adapun,
beberapa teknik pengeluaran benda asing pada hidung yang dapat digunakan antara
lain :

1) Penatalaksanaan benda asing hidung yang tidak hidup


1. Pengeluaran atau ekstraksi benda yang berbentuk bulat merupakan hal
yang sulit karena tidak mudah untuk mencengkram benda asing tersebut.
Serumen hook yang sedikit dibengkokkan merupakan alat yang paling
tepat untuk digunakan. Pertama-tama, pengait menyusuri hingga bagian
atap cavum nasi hingga belakang benda asing hingga terletak di
belakangnya, kemudian pengait diputar ke samping dan diturunkan
sedikit, lalu ke depan. Dengan cara ini benda asing itu akan ikut terbawa
keluar. Selain itu, dapat pula digunakan suction. Tidaklah bijaksana bila
mendorong benda asing dari hidung kearah nasofaring dengan maksud
supaya masuk ke dalam mulut. Dengan cara itu, benda asing dapat terus
masuk ke laring dan saluran napas bagian bawah yang menyebabkan sesak
napas, sehingga menimbulkan keadaan yang gawat. Pemberian antibiotika
sistemik selama 5-7 hari hanya diberikan pada kasus benda asing hidung
yang telah menimbulkan infeksi hidung maupun sinus.
2. Suction (teknik tekanan negatif) biasanya digunakan apabila ekstraksi
dengan forsep atau hook tidak berhasil dan juga digunakan pada benda
asing berbentuk bulat. Suction dapat dengan mudah ditemukan pada
bagian emergensi dan kemudian diatur pada tekanan 100 dan 140 mmHg
sebelum digunakan.
3. Benda asing mati yang bersifat non-organik pada hidung lainnya seperti
spons dan potongan kertas dapat diekstraksi dengan menggunakan forsep.
4. Benda asing mati lain yang bersifat organik seperti kacang-kacangan
dapat diekstraksi dengan menggunakan pengait tumpul.
5. Apabila tidak terdapat peralatan atau instrument, dapat digunakan cara :
pasien dapat mengeluarkan benda asing hidung tersebut dengan cara
menghembuskan napas kuat-kuat melalui hidung sementara lubang
hidung yang satunya di tutup. Jika cara ini tidak berhasil atau benda asing
pada hidung tersebut terdapat pada pasien pediatrik yang tidak kooperatif,
maka dapat digunakan ventilasi tekanan positif melalui mulut. Pada teknik
ini, orang tua penderita melekatkan mulutnya ke mulut anaknya, lalu
menutup lubang hidung yang tidak terdapat benda asing dengan jari, lalu
meniupkan udara secara lembut dan cepat melalui mulut. Walaupun
secara reflex epiglottis anak akan tertutup untuk melindungi paru-paru
dari tekanan, penting diperhatikan bahwa tidak boleh diberikan hembusan
bertekanan tinggi dan volume yang banyak.

2) Penatalaksanaan benda asing hidung yang hidup


1. Teknik berbeda diterapkan pada benda asing hidup. Pada kasus benda
asing hidup berupa cacing, larva, dan lintah, penggunaan kloroform 25%
yang dimasukkan ke dalam hidung dapat membunuh benda asing hidup
tersebut. Hal ini mungkin harus kembali dilakukan 2-3 perminggu selama
6 minggu hingga semua benda asing hidup mati. Setiap tindakan yang
selesai dilakukan, ekstraksi dapat dilanjutkan dengan suction, irigasi, dan
kuretase. 8,11
2. Pada pasien myasis dengan angka komplikasi dan morbiditas yang tinggi,
dilakukan operasi debridement dan diberikan antibiotik parenteral, serta
Ivermectin (antiparasit) dapat dipertimbangkan.

Setelah proses ekstraksi selesai dilakukan, pemeriksaan yang teliti harus


dilakukan untuk mengeksklusi kehadiran benda asing lainnya. Orang tua juga harus
diberikan edukasi untuk menjauhkan paparan benda asing hidung potensial lainnya
dari anak-anaknya.
4.9.Komplikasi
Komplikasi dapat muncul sebagai akibat dari benda asing itu sendiri,
pemeriksaan, ataupun teknik ekstraksi (baik oleh tenaga kesehatan maupun
pasien). Beberapa komplikasi yang ditemukan, antara lain abrasi, perdarahan,
infeksi pada struktur sekitar, aspirasi, dan perforasi, serta pembentukan dan
perkembangan rhinolith. Selain sinusitis akut, ditemukan pula infeksi sekunder
lain, yaitu selulitis periorbital, meningitis, epiglositis akut, difteri, dan tetanus.
Badan asing kaustik, seperti baterai dapat menyebabkan ulserasi dan nekrosis
mukosa hidung.

Anda mungkin juga menyukai