Anda di halaman 1dari 47

Referat

CARDIOPULMONARY EXERCISE TESTING

Oleh:

dr. Juvenita Sartika Dewi

Pembimbing:

dr. Nurrahmah Yusuf, M. Ked (Paru) Sp. P (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS PULMONOLOGI DAN


KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BLUD RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2021
KATA PENGANTAR

Referat dengan judul “Cardiopulmonary Exercise Testing” diajukan sebagai salah satu
tugas dalam menjalani Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonolgi dan Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing dr. Nurrahmah Yusuf,
M.Ked (Paru), Sp.(P) yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan
bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa dalam referat ini masih terdapat banyak kekurangan dan
kelemahan, baik dari segi penyajian maupun dari segi materi. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan saran serta kritik yang bersifat membangun dari
berbagai pihak demi penyempurnaan tulisan ini.

Banda Aceh, September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

ABSTRAK........................................................................................................................ iii

ABSTRACT..................................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 2

2.1 Pengertian......................................................................................................... 2
2.2 Respon Fisiologi terhadap Exercise.................................................................. 2
2.2.1 Respon Kardiovaskular terhadap Exercise.............................................. 5
2.2.2 Respon Pernapasan terhadap Exercise.................................................... 7
2.2.3 Ventilasi Ruang Mati.............................................................................. 8
2.2.4 Respon Pola Napas terhadap Exercise.................................................... 9
2.2.5 Efisiensi Ventilator................................................................................. 10
2.2.6 Cadangan Ventilasi................................................................................. 11
2.2.7 Kapasitas Inspirasi.................................................................................. 12
2.2.8 Pertukaran Gas Paru................................................................................ 15
2.3 Indikasi dan Kontra Indikasi............................................................................. 17
2.4 Kinerja ............................................................................................................. 18
2.5 Interpretasi Data................................................................................................ 20
2.5.1 Penentuan Upaya Maksimal Pasien........................................................ 22
2.5.2 Evaluasi Puncak Konsumsi Oksigen....................................................... 23
2.5.3 Penentuan Keterbatasan Exercise........................................................... 24
2.6 CPET pada Penyakit Paru................................................................................. 27
2.6.1 CPET pada PPOK................................................................................... 31
2.6.2 CPET pada Asma.................................................................................... 33
2.7 CPET pada Penyakit Jantung............................................................................ 35

BAB III KESIMPULAN................................................................................................. 37

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 38

ii
ABSTRAK

Cardiopulmonary exercise testing (CEPT) adalah tes yang berisifat dinamis non ivasif yang
memberikan penilaian fungsi integratif dari paru, kardiovaskular, hematopoetik, neuropsikologis
dan metabolisme dalam exercise maksimal atau semi-maksimal. Pada orang yang sehat, dari
berbagai variabel yang terlibat dalam penyaluran oksigen, keterbatasan sistem kardiovaskular
yang paling bertanggung jawab untuk membatasi exercise, karena ventilasi dan pertukaran udara
cukup untuk mempertahankan kandungan O 2 arteri hingga exercise puncak. Pasien dengan
penyakit paru memiliki keterbatasan paru untuk exercise yang dapat menyebabkan intoleransi
exercise dan dispnea. Pada pasien ini, ventilasi tidak cukup untuk kebutuhan metabolik, seperti
yang ditunjukkan oleh cadangan pernapasan yang tidak adekuat, pembatasan aliran ekspirasi,
hiperinflasi dinamis, atau retensi CO 2 arteri. Pasien penyakit paru juga dapat mengalami
gangguan pertukaran gas dengan olahraga seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan perbedaan
tekanan O2 alveolar-ke-arteri. Penggabungan data CPRT dan konsisi klinis, dapat memberikan
metode objektif kepada dokter untuk mengevaluasi fisiologi kardiopulmoner dan penentuan
intoleransi exercise.
Kata kunci: Cardiopulmonary exercise testing, CPET, exercise, dipsnea, intoleransi olahraga.

iii
ABSTRACT

Cardiopulmonary exercise testing (CPET) is a dynamic, non-invasive technique that provides an


integrative evaluation of pulmonary, cardiovascular, hematopoietic, neuropsychological, and
metabolic function during maximal or submaximal exercise, allowing the assessment of
physiological reserves of these systems. In healthy subjects, of the variables involved in oxygen
delivery, it is the limitations of the cardiovascular system that are most responsible for limiting
exercise, as ventilation and gas exchange are sufficient to maintain arterial O 2 content up to peak
exercise. Patients with lung disease can develop a pulmonary limitation to exercise which can
contribute to exercise intolerance and dyspnea. In these patients, ventilation may be insufficient
for metabolic demand, as demonstrated by an inadequate breathing reserve, expiratory flow
limitation, dynamic hyperinflation, and/or retention of arterial CO 2. Lung disease patients can
also develop gas exchange impairments with exercise as demonstrated by an increased alveolar-
to-arterial O2 pressure difference. CPET testing data, when combined with other
clinical/investigation studies, can provide the clinician with an objective method to evaluate
cardiopulmonary physiology and determination of exercise intolerance.
Keyword: cardiopulmonary exercise testing, CPET, exercise, dyspnea, exercise intolerance

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Cardiopulmonary exercise testing (CEPT) adalah tes yang berisifat dinamis non ivasif
yang memberikan penilaian fungsi integratif dari paru, kardiovaskular, hematopoetik,
neuropsikologis dan metabolisme dalam exercise maksimal atau semi-maksimal.1,2,3 CPET
dapat mengevaluasi secara objektif dan kuantitatif kapasitas fungsional pasien, evaluasi efek
dari kelainan paru dan jantung pada performa exercise.4 Karena exercise memerlukan fungsi
integratif dari sitem kardiovaskular dan pernapasan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
dan oksigen yang meningkat untuk kontraksi otot, exercise testing ini semakin banyak
digunakan dalam praktik klinis intuk menentukan tingkat kapasitas exercise dan faktor
potensial dari intoleran execise. Pada penyakit paru obstruktif terdapat keterbatasan dalam
exercise yang merupakan hasil dari interaksi komplek antara mekanisme mekanis, fisologis,
dan psikologis.1
Dyspnea dan intoleransi exercise merupakan gejala yang paling menyusahkan yang
dilaporkan oleh pasien dengan penyakit paru kronis dan berkontribusi secara signifikan
terhadap kualitas hidup yang buruk. Selain itu, dispnea, ketidak aktifan secara fisik dan
penurunan konsumsi oksigen puncak (VO2) saling terkait erat dan telah terbukti memprediksi
kematian dini pada berbagai penyakit paru kronis.2,5,6 Tidak mengherankan, meningkatkan
dyspnea dan toleransi exercise merupakan tujuan utama dalam pengelolaan penyakit paru
kronis.2
Pasien dengan dispnea kronis secara rutin menghindari aktivitas yang memicu gejala
yang tidak menyenangkan ini dan oleh karena itu, biasanya mereka tidak melaporkan
keparahan gejala yang sebenarnya dan dampak negatif jangka panjangnya ada pada kapasitas
exercise. CPET sendiri memberikan evaluasi yang ketat antara gangguan pernapasan
(disebabkan oleh penyakit) dan penurunan kapasitas exercise pada individu di bawah tekanan
fisiologis yang diukur.2 Dengan mengukur pertukaran udara dinamis selama exercise yang
bertingkat, CPET dapat mengidentifikasi potensi kekurangan dalam sistem jantung paru. Hal
2,7
ini sering tidak tercermin dalam penilaian fungsi jantung paru pada pengukuran istirahat.
CPET semakin banyak digunakan dalam spektrum aplikasi klinis yang luas untuk evaluasi
intoleransi exercise yang tidak terdiagnosis dan untuk menentukan kapasitas dan gangguan
fungsional.7

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi
Cardiopulmonary exercise testing (CEPT) adalah tes yang berisifat dinamis non ivasif
yang memberikan penilaian fungsi integratif dari paru, kardiovaskular, hematopoetik,
neuropsikologis dan metabolisme dalam exercise maksimal atau semi-maksimal.1,2,3 CPET
dapat mengevaluasi secara objektif dan kuantitatif kapasitas fungsional pasien, evaluasi efek
dari kelainan paru dan jantung pada performa exercise.4 Karena exercise memerlukan fungsi
integratif dari sitem kardiovaskular dan pernapasan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
dan oksigen yang meningkat untuk kontraksi otot, exercise testing ini semakin banyak
digunakan dalam praktik klinis intuk menentukan tingkat kapasitas exercise dan faktor
potensial dari intoleran execise. Pada penyakit paru obstruktif terdapat keterbatasan dalam
exercise yang merupakan hasil dari interaksi komplek antara mekanisme mekanis, fisologis,
dan psikologis.1
CPET semakin banyak digunakan dalam spektrum aplikasi klinis yang luas untuk
evaluasi intoleransi exercise yang tidak terdiagnosis dan untuk menentukan kapasitas dan
gangguan fungsional. Dengan mengukur pertukaran udara dinamis selama exercise yang
bertingkat, CPET dapat mengidentifikasi potensi kekurangan dalam sistem jantung paru. Hal
ini sering tidak tercermin dalam penilaian fungsi jantung paru pada pengukuran istirahat.7,8

2. 2 Respon Fisiologi terhadap Exercise


Pada orang dewasa yang sehat, peningkatan produksi CO 2 exercise mendorong
peningkatan efisiensi ventilasi. Volume tidal meningkat, laju pernapasan dipercepat, dan
perfusi alveoli juga meningkat. Melalui mekanisme ini, tekanan parsial CO 2 dalam darah
arteri (PaCO2) dipertahankan pada tingkat yang konstan. Pada individu yang sehat, ada lebih
dari cukup ventilasi per menit (VE) untuk mempertahankan PaCO2 pada beban kerja yang
dapat dicapai. Namun, beberapa udara di saluran pernapasan yang menuju ke paru-paru (dan
alveoli) tidak berpartisipasi dalam pertukaran gas (yang disebut ruang mati [VD]). Selama
exercise, pelebaran saluran pernapasan menyebabkan VD meningkat, tetapi karena volume
tidal juga meningkat, ventilasi alveolar yang memadai dipertahankan. Selain itu, peningkatan
VE harus diimbangi dengan peningkatan aliran darah paru dan peningkatan kapasitas paru
agar terjadi peningkatan pertukaran gas.7

2
3

Pasien dengan bronkospasme, intestinal lung disease, atau gagal jantung semua akan
mengalami gangguan pada fisiologi vital ini.7,9 Bronkospasme akan membatasi kapasitas vital
untuk bronkodilatasi yang penting untuk peningkatan aliran udara. Penyakit paru-paru akan
sering menyebabkan berkurangnya alveoli sehingga terjadi pertukaran gas. Pasien dengan
gagal jantung memiliki parenkim paru tetapi perfusi paru berkurang. Tingkat di mana VE
menjadi tidak normal selama exercise berhubungan langsung dengan tingkat keparahan
penyakit dan merupakan penanda kuat dari prognosis yang buruk.10
Saat melakukan exercise bertingkat, ventilasi (VE), konsumsi oksigen (VO 2) dan
produksi CO2 (VCO2) per menit meningkat secara linear dengan kecepatan kerja dan waktu.
Dengan meningkatnya exercise, laktat mulai terakumulasi di otot dengan sikulasi bikardonat
sebagai penyangganya. VCO2 meningkat pesat melebihi proporsinya sebagai buffer HCO3-
yang dihasilkan laktat akibat kelebihan CO2 yang kemudian expired.7
Anaerobic Threshold (AT) adalah perkiraan permulaan metabolisme anaerobik yang
diinduksi asidosis laktat karena suplai oksigen: ketidakseimbangan permintaan di otot selama
exercise. Ini jarang diukur secara invasif tetapi biasanya dilakukan saat pasien mulai
menghembuskan sejumlah besar karbon dioksida (VCO2) dan volume menit kedaluwarsa
(VE) untuk mengkompensasi penumpukan asam laktat. Namun peningkatan VCO 2 dan VE di
luar proporsi peningkatan VO2 saat ini. VO2max adalah faktor penentu penting dalam CPET
karena ini menunjukkan konsumsi oksigen semaksimal mungkin. Sebuah dataran tinggi
dalam konsumsi oksigen antara dua kenaikan kecepatan kerja terakhir menunjukkan bahwa
keluaran oksigen maksimum telah tercapai. VO2max lebih dibatasi oleh cadangan
kardiovaskular (detak jantung dan stroke volume) daripada cadangan pernapasan. VO2max juga
bergantung pada mode exercise, usia, jenis kelamin, berat badan, dan peexercise.7
Jika kita memplot VCO2 terhadap VO2 (metode V-slope) selama rejimen exercise
inkremental, kemiringan awalnya serupa, namun pada beberapa waktu VCO2 meningkat
lebih banyak sehubungan dengan VO2. Titik defleksi ini mengidentifikasi AT (Gambar 1).
Metode lain adalah dengan memplot titik peningkatan ekuivalen ventilasi untuk oksigen
(VE/VO2) ke ekuivalen ventilasi konstan relatif untuk karbon dioksida (V E/VCO2) untuk
mengidentifikasi titik ambang anaerobik (Gambar 2). Pola normal perubahan V E/VO2 adalah
penurunan exercise awal ke titik nadir pada atau mendekati ambang batas anaerobik dan
kemudian meningkat saat mendekati kapasitas exercise maksimum. Peningkatan ventilasi
yang menyebabkan peningkatan VE/VO2 ini disebabkan oleh peningkatan evolusi karbon
dioksida terhadap buffer laktat. Rekomendasi dari Joint Guideline of the American Thoracic
4

Society dan American College of Chest Physicians adalah menggunakan metode V-slope dan
metode ekuivalen ventilasi (kriteria ganda) untuk meminimalkan kesalahan.7

Gambar 1. Selama exercise VCO2 dan VCO2 meningkat secara linear hingga VCO2
melampaui kenaikan VO2 (ditunjuk panah)7

Gambar 2. Ventilasi yang setara dengan O2 (VE/VO2) dan CO2 (VE/VCO2). AT (panah)
ditentukan dengan menandai titik (panah) di mana (VE/VO2) mulai meningkat sementara
(VE/VCO2) tetap konstan atau turun sedikit (karena VE meningkatkan VO2 secara tidak
proporsional tetapi proporsional dengan VCO2).7

AT harus selalu dinyatakan sebagai persentase oksigen maksimum penyerapan maks


(VO2max). AT terjadi pada sekitar 50-60% dari VO2max pada individu normal dan nilai di
bawah 40% dari VO2max merupakan indikasi pembatasan exercise yang parah. Ini adalah
5

penanda kerja maksimal yang dapat dipertahankan untuk waktu yang lama. VO2max
menurun seiring bertambahnya usia. Jadi AT 11 ml.kg-1.min-1 pada pria berusia 20
tahun akan jauh signifikan daripada hasil yang sama pada pria berusia 80 tahun.
Kegagalan untuk melakukan exercise yang cukup sampai AT tercapai namun
menunjukkan motivasi yang lebih rendah atau masalah non-jantung. AT jika tercapai
tidak akan berbeda dengan motivasi pasien dan oleh karena itu memberikan
pengukuran kapasitas fungsional dinamis yang dapat diandalkan, berulang, dan spesifik
pasien.7

2.2.1 Respon Kardiovaskular terhadap Exercise


Konsumsi oksigen maksimal (VO2max) adalah ukuran kapasitas kapasitas untuk
aerobik, dan exercise ditentukan oleh variabel yang ditemukan dalam persamaan Fick:11
VO2max = Q x (CaO2 – CvO2)
Q adalah cardiac output (hasil dari heart rate dan stoke volume) dan CaO2 dan
CvO2 adalah kadar oksigen di dalam arteri dan vena. Dari persamaan ini, faktor yang
mempengaruhi VO2max adalah fungsi jantung, kapasitas pengambilan oksigen, dan
kemampuan jaringan mengambil oksigen. 11,12,13
Pada orang sehat, variabel yang terlibat dalam penyaluran oksigen adalah yang
paling mempengaruhi sistem kardiovaskular yang berperan penting membatasi VO2max.
Ventilasi dan pertukaran gas biasanya cukup untuk mempertahankan PO2 arteri
(PaO2), dan oleh karena itu saturasi arteri (SaO2) dan CaO2 juga dipertahankan hingga
beban kerja maksimal. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa VO 2max dapat
ditingkatkan melalui exercise. Sementara adaptasi perifer terjadi dengan peexercise
yang akan meningkatkan pengambilan O2 perifer, mekanisme utama untuk peningkatan
VO2max yang diinduksi oleh exercise adalah peningkatan curah jantung sekunder untuk
peningkatan respon stoke volume untuk exercise. Memang, banyak penelitian telah
menunjukkan adaptasi jantung yang positif dengan exercise. Stroke volume meningkat
dengan hasil exercise dalam penurunan denyut jantung submaksimal dengan exercise
training; Namun, denyut jantung puncak umumnya tidak terpengaruh oleh exercise.
Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa perbaikan penyaluran O2 secara positif
akan mempengaruhi VO2max.11
VO2 meningkat seiring dengan exercise bertingkat, variabel dalam persamaan
Fick pada akhirnya akan mencapai batas atasnya, dan akibatnya plateau dari VO2 akan
terjadi. Palteau dari konsumsi oksigen meskipun terjadi peningkatan beban kerja
6

didefinisikan sebagai VO2max seseorang. Namun, banyak subjek (pasien) yang tidak
menunjukkan peningkatan ini pada VO2, karena berbagai alasan yang mungkin
termasuk gejala ketidaknyamanan bernapas (dispnea) yang tidak dapat ditoleransi,
kelelahan otot, nyeri dada, dan sebagainya. Jika plateau tidak terlihat, maka VO2
tertinggi yang dicapai, disebut VO2peak, digunakan sebagai perkiraan VO2max. Nilai-nilai
ini mewakili konsumsi oksigen maksimal dan dapat dinyatakan dalam L/menit atau
diindeks dengan berat badan dan dinyatakan dalam mL/menit/kg. American Thoracic
Society dan American College of Chest Physicians menyatakan VO2max <85% dari
prediksi rendah dan abnormal.11,14
Keterbatasan sistem kardiovaskular diterima dengan baik sebagai titik di mana
subjek sehat mencapai VO2max. Dengan demikian, jika subjek mencapai perkiraan detak
jantung (HR) maksimum untuk usia (misalnya, HR puncak> 85% dari prediksi), akan
masuk akal untuk menyimpulkan berdasarkan respons jantung bahwa mereka telah
mencapai VO2maks. Namun, ini tidak boleh digunakan sebagai penentu tunggal VO2max,
karena ada variabilitas antara subjek yang cukup besar dalam denyut jantung maksimal.
Selain itu, kondisi klinis dan pengobatan, terutama penggunaan beta blocker, dapat
mempengaruhi respon HR terhadap exercise. Jadi, dalam pengaturan ˙VO2max yang
berkurang, (yaitu, <85% dari prediksi), setiap HR maksimal menunjukkan upaya subjek
maksimal dan mungkin ada batasan jantung; Namun, ini harus dikonfirmasi dengan
memeriksa variabel. Denyut oksigen adalah jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh
jaringan per detak jantung (VO2/detak jantung). Dengan memodifikasi variabel dalam
persamaan Fick, pulse O2 dihitung sebagai berikut:11
VO 2
O 2 pulse= × SV × ¿)
HR

Pemeriksaan O2 pulse dapat memberikan informasi tentang respon stroke


volume terhadap exercise. Dalam pengaturan VO2max rendah, denyut O2 yang berkurang
akan menunjukkan respons stroke volume yang rendah terhadap exercise. Namun,
karena O2 pulse dihitung menggunakan HR, nilainya tunduk pada asumsi yang sama
mengenai respons HR terhadap exercise, dan oleh karena itu variabilitas antara subjek
yang cukup besar dalam denyut jantung maksimal dapat diterjemahkan menjadi
variabilitas substansial dalam respons O2 pulse terhadap exercise.11
Singkatnya, VO2max ditentukan oleh variabel yang menentukan penyaluran O2
dengan persamaan Fick, apa pun yang mengubah komponen persamaan Fick dapat
7

mengubah VO2max, penelitian di bidang kesehatan telah menunjukkan bahwa respon


cardiac output dan stroke volume terhadap exercise yang membatasi VO2max, dan
pada orang sehat, ˙ VO2max dibatasi oleh sistem kardiovaskular.11
2.2.2 Respon Pernapasan terhadap Exercise
Dalam persamaan Fick, O2 meningkat selama exercise. Dengan meningkatnya
konsumsi O2 maka terjadi peningkatan produksi CO2 (VCO2). Hubungan antara PaCO2,
VCO2, dan ventilasi alveolar (VA) diatur oleh persamaan ventilasi alveolar:11
VCO2
PaCO2=( )× K
VA

PaCO2 dilaporkan dalam satuan mmHg (dan diasumsikan sama dengan PCO2
alveolar), sedangkan VCO2 dan VA dilaporkan dalam satuan L/menit. VCO2 selalu
diberikan pada 0˚C, 760mmHg, kering (STPD); VA dan PaCO2 dilaporkan di bawah
suhu tubuh, tekanan sekitar dan jenuh dengan uap air (BTPS). K adalah faktor konversi
[(273 + t) × 760/273], di mana t = suhu tubuh (273 adalah 0˚C diubah menjadi ˚Kelvin).
K digunakan untuk menyesuaikan VCO2 dengan suhu dan tekanan tubuh dan sama
dengan 863mmHg di permukaan laut dan suhu tubuh normal 37˚C.11
Dengan asumsi K tidak berubah dengan exercise, untuk mempertahankan
PaCO2 pada nilai istirahat normal, VA harus meningkat dengan exercise karena
produksi CO2 meningkat. Jadi dalam kesehatan, respon normal dari istirahat ke exercise
ringan/sedang adalah peningkatan ventilasi yang sesuai dengan kebutuhan metabolik
(disebut exercise hyperpnea), dan oleh karena itu PaCO2 harus tidak berubah dari
istirahat menjadi exercise ringan/sedang. Secara praktis, subjek sering mengalami
hiperventilasi sebelum exercise (atau pada level exercise yang rendah di laboratorium),
dan oleh karena itu lazim untuk melihat peningkatan PaCO2 ke nilai yang lebih normal
dengan exerice ringan/sedang. Setelah melewati ambang ventilasi, VA meningkat relatif
secara tidak proporsional terhadap permintaan metabolik dan PaCO2 turun di bawah
nilai istirahat (hiperventilasi). PaCO2 biasanya turun menjadi 30-35mmHg pada puncak
exercise, dan puncak PaCO2 35-38mmHg menunjukkan batas efektif hiperventilasi
alveolar, sedangkan PaCO2 yang melebihi 38mmHg menunjukkan tidak adanya respons
kompensasi hiperventilasi. Jadi, nilai PaCO2 yang diperoleh dengan incremental
exercise memungkinkan untuk menentukan kecukupan atau kesesuaian ventilasi selama
exercise.11
8

Akhir tidal CO2 (PETCO2) dapat digunakan untuk memperkirakan PaCO2.


Saat istirahat PETCO2 kurang dari PaCO2 (akhir tidal O2, PETO2 lebih dari alveolar
PO2, PAO2) karena dilusi gas dari perfusi alveoli yang buruk (ruang mati). Nilai akhir
tidal digunakan untuk memprediksi tekanan alveolar yang berpotensi menurunkan
PaCO2; namun, di paru-paru yang sehat saat istirahat, ruang mati sangat rendah, dan
PETCO2 adalah perkiraan yang baik untuk PaCO2. Dengan exercise terjadi peningkatan
volume tidal (VT), ˙VCO2 dan campuran CO2 vena, sehingga fluktuasi komposisi gas
alveolar dalam napas lebih besar. Peningkatan secara cepat volume alveolar saat
inspirasi selama exercise, PCO2 akhir inspirasi jauh di bawah rata-rata PCO2 alveolar,
sedangkan selama ekspirasi, PCO2 alveolar meningkat menuju PCO2 vena campuran
lebih cepat daripada saat istirahat karena peningkatan produksi CO 2 dari exercise
berevolusi menjadi volume paru lebih kecil saat ekspirasi berlanjut. Faktor terakhir
menghasilkan PETCO2 yang lebih tinggi dari rata-rata PaCO2 selama exercise, oleh
karena itu PETCO2 berpotensi berlebih PaCO2 pada puncak exercise. Pada pasien
dengan penyakit paru-paru yang umumnya memiliki respons volume tidal yang tumpul
terhadap exercise, dan laju metabolisme puncak yang relatif rendah, fluktuasi PCO2
alveolar dalam napas kemungkinan lebih kecil daripada yang terlihat pada orang yang
sehat. Pada pasien dengan penyakit paru, terjadi peningkatan ventilasi ruang mati dan
perkiraan kemungkinan terlalu rendahnya PaCO2 dengan menggunakan PETCO2. Jones
dkk. mengembangkan persamaan untuk menghitung prediksi PaCO 2 dari PETCO2
selama exercise [PaCO2 = 5,5+ (0,90 × PETCO2) - (0,0021 × volume tidal)], perlu
dicatat bahwa persamaan ini dikembangkan dengan subjek yang exercise hingga 50%
˙VO2max. Selanjutnya, disarankan bahwa persamaan tersebut tidak boleh digunakan pada
pasien dengan fungsi paru yang abnormal atau pada anak-anak. Dengan demikian,
terdapat keterbatasan dalam menggunakan PETCO2 sebagai prediksi PaCO2 yang perlu
dipertimbangkan saat menginterpretasikan data CPET. Darah yang diarterisasi juga
dapat digunakan untuk memprediksi PaCO2 dengan akurasi yang wajar tetapi secara
praktis lebih sulit dibandingkan dengan PETCO2.11

2.2.3 Ventilasi Ruang Mati


Ventilasi per menit (VE), diukur di mulut, terdiri dari ventilasi alveolar (V A)
dan ventilasi ruang mati fisiologis (VD):11
V E=V A + V D
9

Ventilasi alveolar adalah jumlah ventilasi efektif yang berpartisipasi dalam


pertukaran gas. Ruang mati adalah ventilasi yang tidak ikut dalam pertukaran gas dan
terdiri dari ruang mati anatomis seperti saluran udara konduksi, serta ruang mati
alveolar yang merupakan alveoli yang tidak berfusi.10,11 Ruang mati fisiologis dapat
dihitung sebagai sebagian kecil dari total ventilasi menggunakan modifikasi Enghoff
dari persamaan ruang mati Bohr:11

V D PaCO2−PECO2
=
VE PaCO2

PECO2 mewakili rata-rata PCO2 di udara ekspirasi. Memeriksa persamaan ini,


ventilasi ruang mati (yaitu, rasio VD/VE) akan menjadi nol jika rata-rata PCO2
kadaluarsa sama dengan PCO2 arteri. Sebaliknya, ruang mati yang signifikan
menghasilkan ekspirasi gas yang lebih mirip dengan PCO 2 inspirasi (yaitu, bagian paru-
paru yang tidak berpartisipasi dalam pertukaran gas dan oleh karena itu memiliki PCO2
∼ 0), yang memiliki efek dilusi udara ekspirasi dan mengurangi PECO 2 relatif terhadap
PaCO2.11

2.2.4 Respon Pola Napas terhadap Exercise


Hubungan yang tepat antara ventilasi alveolar dengan laju metabolisme selama
lexercise dicapai dengan meningkatkan ventilasi menit (VE). Peningkatan ini dicapai
dengan peningkatan volume tidal dan frekuensi pernapasan. Peningkatan volume tidal
sedikit meningkatkan ruang mati jalan nafas, karena efek tethering parenkim paru pada
ukuran lumen jalan nafas. Namun, peningkatan volume tidal relatif melebihi efek ini,
dan rasio ruang mati terhadap volume tidal menurun selama exercise dari nilai istirahat
∼0.35 ke ∼0.20, yang berarti ventilasi lebih efisien. Selama exercise intensitas rendah
hingga sedang, volume tidal dan frekuensi pernapasan meningkat secara kasar
sebanding dengan intensitas exercise, sedangkan pada intensitas yang lebih tinggi,
volume tidal mencapai plateau dan peningkatan ventilasi lebih lanjut dicapai dengan
peningkatan frekuensi pernapasan.11
Peningkatan frekuensi pernapasan dicapai dengan mengurangi waktu inspirasi
(TI) dan ekspirasi (TE). Namun, rasio waktu inspirasi untuk durasi siklus nafas total
(TTOT), siklus tugas (TI/TTOT), meningkat hanya sedikit selama exercise (∼0,40 saat
istirahat menjadi ∼0,50 selama exercise intensitas tinggi). Peningkatan volume tidal
dicapai dengan mengurangi volume akhir ekspirasi paru (EELV) di bawah kapasitas
10

sisa fungsional (dicapai dengan mengaktifkan otot ekspirasi) dan meningkatkan volume
akhir inspirasi. Pada intensitas exercise yang lebih rendah, peningkatan ventilasi
sebagian besar dicapai melalui perubahan volume tidal, bukan hanya meningkatkan
frekuensi pernapasan, yang akan meningkatkan ventilasi ruang mati dan mengganggu
ventilasi alveolar yang efektif. Untuk meminimalkan kerja pernapasan selama exercise
yang lebih berat, volume tidal hanya meningkat hingga ∼70% dari kapasitas vital,
compliance paru menurun secara nyata dan produksi tekanan pernapasan yang
diperlukan untuk perubahan volume yang diberikan sangat besar, menyebabkan
ketidaknyamanan pernapasan yang berlebihan (dispnea).11

2.2.5 Efisiensi Ventilator


Efisiensi ventilasi biasanya dievaluasi dari respons V/VCO2 terhadap execise.
Efisiensi ventilasi terbukti menurun dalam beberapa kondisi klinis termasuk penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK), hipertensi arteri paru (PAH), dan gagal jantung. 15 Pada
pasien dengan PAH dan gagal jantung kronis, rasio V E/VCO2 memprediksi mortalitas.
Ketika VE/VCO2 naik, penting untuk memahami mekanisme fisiologis yang mendasari
peningkatan VE relatif terhadap laju metabolisme. VE akan meningkat karena
peningkatan ruang mati dan/atau ventilasi alveolar. Pada hipertensi arteri pulmonal,
respon karakteristik adalah hiperventilasi saat istirahat dan dengan incremental exercise
karena stimulasi reseptor di paru-paru efek sekunder tekanan vaskular yang tinggi.
Dalam kondisi ini, peningkatan respon VE/VCO2 untuk exercise adalah efek sekunder
dari VA yang lebih besar seperti yang ditunjukkan oleh rendahnya PaCO 2 (atau
PETCO2) selama exercise. Pasien dengan gagal jantung kronis (CHF) juga
menunjukkan respon VE/VCO2 yang berlebihan terhadap exercise, namun PaCO2
dapat normal. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan VE/VCO2 adalah sekunder
untuk peningkatan ventilasi ruang mati.11
Penyakit paru-paru yang berhubungan dengan keterbatasan aliran udara
dan/atau hilangnya elastisitas rekoil dapat menyebabkan perubahan ventilasi/perfusi
(VA/Q) yang sesuai di paru. Sebagai hasil dari pengurangan penyesuaian V A/Q, ruang
mati fisiologis meningkat, dan oleh karena itu VD/VT dan VE/VCO2 akan meningkat
dengan incremental excercise dibandingkan dengan kontrol. Pada pasien-pasien ini,
VE/VCO2 dibesarkan sementara PaCO2 normal atau bahkan mungkin meningkat, yang
menunjukkan bahwa peningkatan laju VE untuk laju metabolisme tertentu adalah akibat
sekunder dari peningkatan ruang mati. Penurunan efisiensi ventilasi ini selanjutnya
11

dapat mengganggu toleransi exercise dan meningkatkan dispnea pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif karena cadangan ventilasi mereka sudah berkurang, dan oleh
karena itu mereka tidak mampuan untuk meningkatkan V E karena keterbatasan aliran
udara, ditambah kebutuhan untuk memiliki VE yang lebih besar untuk meningkatkan
laju metabolisme tertentu karena perubahan penyesuasian VA/Q dan terkait peningkatan
ventilasi ruang mati. Contoh-contoh ini menyoroti bagaimana respons VE/VCO2 dan
PaCO2 terhadap exercise dapat digunakan untuk membedakan antara patologi dan
mekanisme dispnea.11

2.2.6 Cadangan Ventilasi


Secara tradisional, cadangan ventilasi dievaluasi dengan memeriksa seberapa
dekat ventilasi menit puncak pada CPET (VEmax) mendekati volume gas terbesar yang
dapat dihirup per menit dengan upaya volunter, yang disebut maximal voluntary
ventilation (MVV). Pedoman sebelumnya menyatakan bahwa breathing reserve [BR =
(MVV-VEmax) /MVV×100] harus >15% pada puncak exercise. Metode ini memberikan
perkiraan umum tentang kapasitas ventilasi, dengan sedikit analisis yang diperlukan.
Cadangan ventilasi bergantung pada dua faktor utama: kebutuhan ventilasi dan
kapasitas ventilasi Permintaan ventilasi tergantung pada kebutuhan metabolik, berat
badan, cara pengujian, ventilasi ruang mati serta faktor neuroregulasi dan perilaku.
Kapasitas ventilasi dipengaruhi oleh faktor-faktor mekanis seperti pembatas, genetik,
penuaan, dan penyakit. Kapasitas ventilasi juga dapat dipengaruhi oleh
bronkokonstriksi atau bronkodilatasi. Dengan demikian, penurunan cadangan ventilasi
dapat dijelaskan dengan peningkatan kebutuhan ventilasi (seperti selama exercise berat
pada atlet atau dengan ventilasi yang tidak efisien) dan/atau kapasitas ventilasi
berkurang (biasanya karena keterbatasan aliran udara).11
Saat melakukan MVV saat istirahat, subjek sering mengalami hiperinflasi,
yang dapat meningkatkan kerja pernapasan relatif terhadap ventilasi yang sama selama
exercise. Selain itu, MVV bergantung pada upaya pasien, dan dengan upaya yang
buruk, MVV dapat menjadi rendah dan cadangan ventilasi yang dihitung akan
berkurang. Karena kesulitan dalam mengukur MVV, MVV sering diprediksi
berdasarkan FEV1 (biasanya FEV1 dikalikan dengan 35-40, dan seperti persamaan
rediksi lainnya, ada perbedaan di sekitar keakuratan prediksi ini. Yang paling penting,
hanya menggunakan cadangan pernapasan tidak memberikan informasi tentang
12

mekanisme kendala ventilasi (yaitu, apakah ada bukti pembatasan aliran ekspirasi atau
hiperinflasi).11
13

Keterbatasan Arus Ekspirasi

Untuk mengevaluasi tingkat kendala ventilasi selama exercise, tingkat


expiratory flow limitation (EFL) dapat diperiksa dengan memplotkan exercise flow-
volume loop relative terhadap aliran maksimal. Hubungan ini dapat memberikan
informasi tentang derajat pembatasan aliran ekspirasi, volume paru-paru, serta strategi
pernapasan yang digunakan dengan incremental exercise. Tingkat EFL selama exercise
sebelumnya telah dinyatakan sebagai persen VT yang memenuhi atau melebihi batas
ekspirasi. Adanya EFL meningkatkan hiperinflasi dinamis dan tekanan ekspirasi akhir
positif intrinsik dengan meningkatkan kerja pernapasan, gangguan fungsional kekuatan
otot inspirasi, peningkatan sensasi dispnea, dan efek samping pada hemodinamik.
Ketika tingkat pembatasan aliran ekspirasi menjadi signifikan (> 40-50% VT), EELV
biasanya meningkat.11
EFL membutuhkan demonstrasi peningkatan tekanan transpulmoner tanpa
peningkatan aliran ekspirasi. Exercise dapat menyebabkan bronkodilatasi/
bronkokonstriksi. Teknik ini membutuhkan kerjasama/usaha pasien yang baik.
Kegagalan untuk memperhitungkan kompresi gas dan hasil bronkodilatasi akibat
exercise dalam perkiraan berlebihan EFL yang signifikan. Sebagai hasil dari
keterbatasan ini, penggunaan plotting tidal relatof terhadap maximal flow-volume loop
untuk mendeteksi/mengukur EFL telah dipertanyakan, meskipun banyak dari batasan
potensial ini dapat dihindari atau diminimalkan dengan penggunaan teknik standar.11
Sebagai alternatif, metode tekanan ekspirasi negatif telah dianjurkan untuk
mendeteksi EFL. Seperti namanya, teknik ini dengan tekanan negatif kecil (yaitu,
suction −3 hingga −5 cmH2O) diberikan selama ekspirasi. Metode ini didasarkan pada
prinsip bahwa dengan tidak adanya EFL, peningkatan gradien tekanan antara alveoli
dan mulut akan meningkatkan aliran, sedangkan dengan EFL meningkatkan gradien
tekanan tidak akan meningkatkan aliran. Teknik ini telah digunakan selama exercise
untuk menunjukkan EFL pada penyakit paru-paru, namun hal ini dapat mengukur
tingkat keparahan EFL dan belum digunakan dalam praktik klinis yang luas.11

2.2.7 Kapasitas Inspirasi


Dengan EFL, laju aliran ekspirasi tidak tergantung pada upaya otot ekspirasi
dan ditentukan oleh tekanan rekoil paru-paru statis dan resistensi saluran udara ke hulu
dari segmen aliran terbatas. Pada pasien dengan aliran terbatas, konstanta waktu
14

mekanis untuk pengosongan paru meningkat di banyak unit alveolar, tetapi waktu
ekspirasi yang tersedia seringkali tidak cukup untuk memungkinkan EELV kembali ke
nilai aslinya, mengakibatkan akumulasi dan retensi gas (terperangkapnya udara).
Peningkatan produksi CO2 dengan exercise memerlukan peningkatan VA dengan
meningkatkan VT dan frekuensi pernapasan untuk mempertahankan PaCO2. Namun,
peningkatan volume tidal dalam kombinasi dengan waktu ekspirasi yang berkurang
karena peningkatan frekuensi pernapasan dapat menyebabkan hiperinflasi dinamis pada
pasien dengan EFL. Dengan demikian, konsekuensi utama dari pembatasan aliran
ekspirasi selama exercise adalah perkembangan dynamic hyperinflation (DH).11
Seperti ditinjau baru-baru ini oleh O'Donnell dan Lavenziana, DH selama
exercise memiliki beberapa konsekuensi penting termasuk (1) peningkatan beban
elastis dan ambang batas yang tiba-tiba pada otot inspirasi, yang menyebabkan
peningkatan kerja dan biaya pernapasan O2. (2) Kelemahan otot inspirasi fungsional
dengan memperpendek panjang otot diafragma. (3) Mengurangi kemampuan V T untuk
mengembang secara tepat saat exercise, yang mengarah ke batasan mekanis ventilasi.
(4) Hipoventilasi dan hipoksemia pada pasien yang lebih parah. (5) Gangguan fungsi
jantung. Pada pasien PPOK, VO2peak sangat berhubungan dengan volume tidal puncak (r
= 0,68), yang berhubungan dengan IC pada puncak exercise (r = 0,79). Hasil ini
menunjukkan bahwa DH menumpulkan ekspansi volume tidal dengan exercise
tambahan, yang berkontribusi pada intoleransi exercise/penurunan VO2peak. Konsisten
dengan konsekuensi IC, selama exercise dan laju perubahan IC dengan exercise (yaitu,
hiperinflasi dinamis) adalah penentu kuat dari dispnea saat aktivitas dan intoleransi
exercise.2,11
Hiperinflasi dinamis pada exercise awal mungkin merupakan mekanisme
kompensasi untuk meningkatkan VE dengan ketidaknyamanan pernapasan yang terbatas
(atau minimal), namun dengan peningkatan exercise ambang tercapai (sekitar volume
cadangan inspirasi 0,5 L, atau dalam 10% dari total kapasitas paru), di mana V T
menjadi tinggi. Pada titik ini pernapasan terjadi pada bagian yang paling tidak sesuai
dari kurva volume tekanan sistem pernapasan; serat otot diafragma diperpendek secara
maksimal, dan dispnea berkembang dengan kecepatan yang sangat tinggi karena
perbedaan antara upaya inspirasi dan respon volume tidal.2,11
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa di bawah infleksi volume tidal (atau
plateau), dispnea meningkat secara linier dengan beban kerja, namun begitu IC turun di
bawah nilai kritis, dispnea meningkat secara tiba-tiba dan menjadi alasan yang paling
15

sering dipilih untuk penghentian exercise terlepas dari protokol exercise. Tingkat
hiperinflasi dinamis telah terbukti berkorelasi dengan diffusion capacity (DLCO /VA).
Pasien dengan DLCO yang lebih rendah diharapkan memiliki kecenderungan yang
lebih besar untuk membatasi aliran ekspirasi karena berkurangnya elastisitas paru dan
penambatan jalan napas. Pasien dengan profil klinis yang lebih seperti emfisematos
(DLCO rendah) telah terbukti memiliki tingkat hiperinflasi dinamis yang lebih besar,
ekspansi volume tidal yang lebih sedikit, dispnea yang lebih besar, dan VO 2peak yang
lebih rendah dibandingkan dengan pasien dengan obstruksi aliran udara yang serupa,
tetapi DLCO normal. Penelitian yang lebih baru telah menunjukkan bahwa pada pasien
PPOK itu mungkin mengalami erosi progresif dari IC istirahat dengan obstruksi aliran
udara yang memburuk dan hiperinflasi yang mewakili batas operating sebenarnya
untuk ekspansi volume tidal dari istirahat ke exercise.11 O’Donnell dkk. menemukan
bahwa penurunan IC saat istirahat dikaitkan dengan perkembangan pola pernapasan
cepat yang semakin dangkal dan dispnea yang memburuk pada tingkat ventilasi yang
semakin rendah selama exercise.2 Yang penting, terlepas dari tingkat keparahan batasan
aliran udara, setelah VT mencapai ambang batas yang dijelaskan sebelumnya, ada
peningkatan tajam pada dispnea. Penelitian terbaru lainnya telah menunjukkan bahwa
itu mungkin bukan penurunan IC melainkan penurunan kritis dalam volume cadangan
inspirasi yang menyebabkan plateau di VT dan peningkatan dispnea yang nyata.
Temuan ini menunjukkan bahwa EFL berkontribusi pada DH, dan begitu EELV
meningkat ke nilai kritis dan/atau volume cadangan inspirasi turun ke nilai kritis,
dispnea sangat potensial, mengakibatkan pembatasan exercise yang substansial.11
Manuver kapasitas inspirasi serial digunakan selama exercise tambahan untuk
mengevaluasi perkembangan EELV/IC dengan exercise. Penggunaan IC untuk
mendeteksi EELV selama exercise didasarkan pada asumsi bahwa total lung capacity
(TLC) tidak berubah selama exercise, dan bahwa pengurangan IC mewakili perubahan
EELV (yaitu, EELV = TLC - IC). Kapasitas inspirasi ditentukan oleh derajat
hiperinflasi, kekuatan otot inspirasi, dan tingkat beban mekanis intrinsik pada otot
inspirasi. IC juga memberikan informasi mengenai posisi volume tidal pada kurva
tekanan volume sistem pernapasan. Semakin rendah IC, semakin dekat ke arah TLC
subjek bernapas, yang merupakan bagian paling tidak sesuai dari kurva volume tekanan
sistem pernapasan. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa penentuan IC
dapat diperoleh dengan baik selama exercise. Saat melakukan pengukuran IC serial
dengan exercise tambahan, diperlukan upaya yang baik untuk menginspirasi hingga
16

TLC selama setiap manuver untuk memastikan IC tidak berkurang secara salah karena
inspirasi yang tidak memadai. Data tekanan esofagus menegaskan bahwa tekanan
esofagus puncak (perkiraan upaya) tidak berubah dengan pengukuran IC berulang,
sehingga menunjukkan bahwa IC serial valid dengan pengujian exercise tambahan.
Selain manuver IC, perubahan EELV selama exercise juga dapat dideteksi dengan
metode yang lebih baru seperti optoelectronic plethysmography atau respiratory
inducetance plethysmography, teknik ini belum diadopsi secara luas untuk penggunaan
klinis.11

2.2.8 Pertukaran Gas Paru


Pertukaran gas paru biasanya dievaluasi dengan perbedaan tekanan parsial
oksigen alveolararterial (AaDO2=PAO2−PaO2). Tekanan exercise pada pertukaran gas
paru dapat disorot dengan dua persamaan berikut. Untuk paru homogen hipotetis tanpa
heterogenitas VA/Q, definisi fisiologis dari kapasitas difusi paru untuk O 2 (DLO2)
adalah:11
VO2
DLO2 =
PAO2 −PcO2
PcO2 adalah rata-rata PO2 yang melewati kapiler paru, yang tidak dapat
diukur dan oleh karena itu diperkirakan dengan pengambilan sampel darah arteri.
Dengan asumsi PcO2=PaO2 persamaan ini dapat diatur ulang menjadi:11
VO2
AaDO2=
DLO2
Definisi fisiologis ini menunjukkan bahwa dengan peningkatan konsumsi O2
dengan exercise, paru-paru harus meningkatkan kapasitas difusifnya untuk membatasi
peningkatan AaDO2. DLO2 meningkat dengan exercise sebagai hasil dari perekrutan
kapiler, seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan kapasitas difusi dengan exercise.
Dari persamaan ini menjadi intuitif tentang bagaimana exercise dapat menyebabkan
gangguan pertukaran gas pada pasien dengan penyakit paru-paru, yang mengakibatkan
penurunan VO2max dan/atau peningkatan dispnea. Pasien dengan gangguan difusi saat
istirahat dari penebalan penghalang gas darah, seperti pada penyakit paru-paru
interstisial, diharapkan menunjukkan peningkatan AaDO2 dengan exercise, sedangkan
pasien yang memiliki ketidakmampuan untuk merekrut kapiler paru dan karena itu
meningkatkan DLO2 karena kerusakan kapiler (seperti COPD) juga akan meningkatkan
AaDO2 dengan exercise. Yang penting, selain berdampak pada peningkatan kapasitas
17

difusi, penyakit paru juga dapat menyebabkan ketidakcocokan VA/Q yang lebih besar
yang dapat diperburuk dengan exercise, yang mengakibatkan penurunan lebih lanjut
dalam pertukaran gas.11
Pada orang yang sehat, kebanyakan orang yang exercise menunjukkan
peningkatan AaDO2 dengan exercise tambahan yang mencapai puncaknya pada
˙VO2max, tetapi tetap dalam batas normal (yaitu, <35 mmHg). AaDO2 tampak paling
besar pada atlet ketahanan, dan dalam kasus yang parah dapat menyebabkan
hipoksemia, yang sedikit berlawanan dengan intuisi seperti yang diharapkan atlet
ketahanan memiliki sistem kardiopulmoner yang sangat baik. Peningkatan AaDO2
dengan exercise telah menjadi area yang menarik secara fisiologis dan kemungkinan
dijelaskan oleh kombinasi ketidakcocokan VA/Q dan keterbatasan difusi secara
sekunder untuk mengurangi waktu transit sel darah merah atau perkembangan
interstitial non-edema klinis dan/atau perekrutan pintasan arteriovenosa intrapulmoner.
Meskipun perhatian diberikan pada pertukaran gas paru dalam literatur penelitian,
hipoksemia arteri akibat exercise jarang terjadi pada semua atlet kecuali atlet aerobik.
Dengan demikian, tindak lanjut klinis lebih lanjut mungkin diperlukan pada subjek
non-atletik bergejala yang menunjukkan AaDO2 yang berlebihan (> 35 mmHg)
dan/atau penurunan PaO2 dengan exercise.11
Karena pengukuran PaO2 memerlukan kateterisasi arteri, sebagian besar studi
CPET dilakukan dengan memantau saturasi arteri dengan oksimetri nadi (SpO 2).
Meskipun SpO2 mungkin sesuai untuk pemantauan, kehati-hatian harus diberikan saat
menafsirkan data ini. Pertama, kesalahan standar perkiraan untuk monitor SpO2 adalah
antara 2% dan 5%. Monitor SpO2 juga bias rendah saat aliran darah berkurang, seperti
yang dapat terjadi dengan oksimeter jari saat subjek exercise dengan penuh semangat
menggunakan siklus ergometer. Pekerjaan sebelumnya menunjukkan bahwa oksimeter
ditempatkan di dahi memberikan pembacaan yang paling akurat. Saat menggunakan
SpO2 untuk mengevaluasi pertukaran gas selama exercise normoksik, penting untuk
dicatat bahwa dalam rentang exercise yang khas, nilai SaO2 berada pada bagian datar
dari kurva disosiasi oksigen hemoglobin, dan dalam kisaran ini perubahan yang relatif
kecil pada SaO2 dikaitkan dengan perbedaan besar PaO2. Ketidakpastian kecil di SaO2
akan memiliki efek besar pada perkiraan PaO 2. SaO2 juga dipengaruhi oleh perubahan
suhu dan pH selama exercise, dan dapat menyebabkan penurunan SpO2 sebesar 4%-5%
tanpa adanya perubahan PaO2. Akhirnya, jika hipoksemia berlanjut, tidak mungkin
untuk menentukan apakah hipoksemia sekunder akibat gangguan pertukaran gas
18

(peningkatan AaDO2) atau hipoventilasi yang signifikan dengan penurunan PAO 2 dan
PaO2 yang sesuai. Pedoman sebelumnya mendefinisikan SpO2 88% selama exercise
sebagai hipoksemia yang signifikan.11

2. 3 Indikasi dan Kontra Indikasi


American Thoracic Society dan American College of Chest Physicians menerangkan
indikasi CPET sebagai berikut:7,16
1. Evaluasi toleransi exercise, di mana diagnosis diketahui, untuk mengevaluasi secara
objektif kapasitas fungsional, kecacatan atau respons terhadap pengobatan.
2. Evaluasi intoleransi exercise yang tidak terdiagnosis di mana etiologi jantung dan
pernapasan dapat berdampingan, gejalanya tidak proporsional dengan hasil
pemeriksaan penunjang istirahat atau pemeriksaan penunjang non diagnostik.
3. Evaluasi pasien dengan penyakit kardiovaskular.
4. Evaluasi pasien dengan penyakit / gejala pernafasan.
5. Evaluasi pra-operasi.
6. Evaluasi exercise dan resep untuk rehabilitasi paru.
7. Evaluasi untuk transplantasi paru-paru, jantung dan jantung-paru.

Tabel 1. Kontraindikasi absolut dan relatif CPET7

Absolut
1. Acute Myocardial Infraction (3-5 hari)
2. Unstable angina
3. Aritmia yang tidak terkonrol yang menyebabkan gejala atau gangguan hemodinamik
4. Pingsan
5. Endokarditis
6. Miokarditis akut atau perikarditis
7. Stenosis aorta gejala berat
8. Gagal jantung tidak terkontrol
9. Emboli paru akut atau infark paru
10. Trombosis ekstremitas bawah
11. Suspek anuerisma
12. Asma tidak terkontrol
13. Edema paru
14. Saturasi oksigen saat istirahat <85%
15. Gagal napas
16. Kelaianan noncardiopulmonary akut yang berefek pada performa atau memburuk akibat
exercise (contoh: infeksi, gagal ginjal, tirotoksikosis)
17. Gangguan mental yang membuat tidak kooperatif
Relatif
1. Stenosis koroner utama kiri
2. Penyakit stenosis katup jantung sedang
3. Hipertensi berat yang tidak diobat saat istirahat (sistolik >200 dan doastolik >120mmHg)
4. Takiaritmia atau bradiaritmia
19

5. Arterioventricular block derjat tinggi


6. Hypertrophic cardiomyopathy
7. Hipertensi pulmonal
8. Advanced or complicated pregnancy
9. Gangguan elektrolit
10. Gangguan othopedi yang dapat memperburuk kinerja

2. 4 Teknik dan Prosedur CPET


CPET hampir mirip dengan stress test. Perbedaannya adalah stress test hanya menilai
fungsi jantung, sementara cardiopulmonary exercise test menilai kinerja jantung dan paru.
Agar bisa melakukan aktivitas fisik, seseorang memerlukan energi yang menggerakkan otot
dan rangka. Energi ini bisa tersedia karena ada mekanisme fisiologis paru dan jantung. Kedua
sistem ini (paru dan jantung) akan bekerja lebih berat saat seseorang berolahraga. Tujuan
cardiopulmonary exercise test adalah untuk mengevaluasi fungsi jantung dan paru pasien,
terutama ketika melakukan aktivitas fisik, tingkat kebugaran tubuh pasien, serta keberhasilan
terapi, program rehabilitasi, atau operasi yang telah dijalani oleh pasien.
Pemeriksaaan CPET dilakukam untuk: mendeteksi penyakit jantung, seperti iskemia
miokardium dan gangguan irama jantung (aritmia), melihat respons tekanan darah,
mendeteksi penyakit paru, misalnya asma yang terjadi karena aktivitas berat (exercise
induced asthma/EIA), menentukan pasien membutuhkan terapi oksigen atau tidak, serta
mengetahui penyebab di balik keluhan pasien saat beraktivitas, misalnya nyeri dada, dan
pusing.
Sebelum melakukan prosedur CPET, dilakukan beberapa persiapan terlebih dahulu.
Beberapa persiapan yang dapat dilakukan sebelum menjalani CPET meliputi:
 Menjalani pemeriksaan klinis dan berkonsultasi terlebih dahulu
 Mendiskusikan manfaat dan risiko tes
 Mengenakan pakaian yang nyaman saat pemeriksaan karena pasien akan
diminta untuk melakukan aktivitas fisik
 Tidak mengonsumsi makanan berat pada dua jam sebelum pemeriksaan
 Tidak mengonsumsi alkohol pada empat jam sebelum tes
 Tidak berolahraga berat pada 30 menit sebelum prosedur
 Berhenti merokok setidaknya satu jam sebelum menjalani pemeriksaan

Selama pemeriksaan, pasien akan diminta untuk berolahraga ringan menggunakan


sepeda statis sembari memakai mouthpiece khusus. Setiap tarikan dan hembusan napas akan
20

diukur untuk mengevaluasi fungsi paru sebelum dan selama berolahraga. Alat rekam jantung
juga akan dipasang sebelum, selama, dan setelah pasien beraktivitas fisik. Cardiopulmonary
exercise test akan berlangsung selama 40 menit. Pasien harus melakukan latihan fisik
semaksimal mungkin untuk mendapatkan hasil tes yang akurat. Petugas medis juga bisa
menghentikan aktivitas fisik pasien ketika pasien mengalami keluhan-keluhan tertentu seperti
nyeri dada, sakit kepala, sesak napas yang parah, nyeri kaki, hingga pingsan.
Prosedur CPET sebagai berikut:
 Pasang elektroda elektrokardiogram (EKG) dan manset tekanan darah.
 Jika menggunakan sepeda ergometer, sesuaikan kursi ke tingkat ketinggian
yang tepat dan null bike.
 Lakukan pengukuran EKG awal, tekanan darah, dan VO2/VCO2.
 Mulai lakukan periode latihan dan rekam data.
 Pasien didorong untuk berolahraga dengan daya tahan maksimal atau sampai
perawat mengakhiri olahraga karena gejala seperti nyeri, HA, pusing, sinkop,
dispnea berlebihan, ketidaknyamanan pada kaki.
 Masa pemulihan: 5 menit atau lebih sampai pasien kembali ke baseline.

Tes latihan treadmill memiliki beberapa keunggulan dibandingkan ergometri siklus dan
bagi kebanyakan orang, berjalan di atas treadmill adalah aktivitas yang lebih akrab daripada
bersepeda. Tes ini melibatkan massa otot yang lebih besar dan lebih banyak bekerja melawan
gravitasi. Akibatnya, PVO2 rata-rata 5-10% lebih tinggi di treadmill daripada di ergometer
siklus. Memegang pegangan tangan treadmill biasanya mengurangi biaya metabolisme
berjalan di treadmill dan harus dihindari jika memungkinkan. Sebuah ergometer siklus
kurang rentan untuk menginduksi artefak kebisingan dengan kuantifikasi yang lebih baik dari
biaya metabolisme. Umumnya lebih murah dan membutuhkan lebih sedikit ruang daripada
treadmill. Pasien dengan penyakit jantung memerlukan pemantauan EKG terus menerus dan
pengukuran tekanan darah yang sering selama pengujian latihan. Karena komunikasi verbal
biasanya tidak mungkin dilakukan dengan alat corong, isyarat tangan biasanya digunakan
oleh pasien selama latihan.

2. 5 Kinerja
Exercise tambahan untuk tujuan CPET adalah dengan menggunakan treadmill atau
ergometer siklus stasioner. Pengambilan oksigen maksimal di treadmill telah dilaporkan
21

menjadi 5-20% lebih besar dari kerja siklus ergometer yang setara karena keterlibatan lebih
banyak kelompok otot. Dalam pengaturan klinis, bagaimanapun, di mana pengujian
melibatkan individu non-atletik, seringkali mungkin untuk mencapai pengambilan oksigen
maksimal dalam kebutuhan metabolik yang lebih sederhana dari sepeda. Dengan treadmill,
pasien mungkin mengalami kesulitan dalam mempertahankan momentum maju yang
berkelanjutan.7
Peralatan tersebut terdiri dari kereta metabolik dan siklus statis/treadmill. Kereta
metabolik berisi penganalisis gas, komputer dan layar yang menampilkan analisis segmen
ECG ST 12-lead secara terus menerus, dan tampilan grafis dari perubahan fisiologis yang
terjadi selama exercise. Alat analisis gas mampu mengukur konsumsi oksigen (VO2) dan
produksi karbon dioksida (VCO2) dari napas demi napas dan kalibrasi aliran dilakukan
sebelum setiap pengujian.7
Tes dilakukan di ruangan yang berventilasi memadai dengan semua fasilitas resusitasi.
Setelah periode istirahat agar pasien terbiasa dengan peralatan dan sepeda / treadmill, nilai
Denyut Jantung (HR) istirahat, Tekanan Darah (BP), SpO2, EKG dan pertukaran gas dicatat.
Dalam siklus ergometer, ketinggian sadel disesuaikan dan pasien disarankan untuk mengayuh
pada kecepatan konstan 50 hingga 60 rpm dengan monitor terpasang dan sungkup wajah /
corong yang terpasang erat tanpa hambatan untuk waktu singkat 2 hingga 3 menit. Setelah itu
kecepatan kerja dinaikkan 10 hingga 20 W/menit oleh komputer, meningkatkan gradien dan
kecepatan (treadmill) atau meningkatkan tahanan pedal (sepeda) sementara subjek
mempertahankan kecepatan mengayuh konstan (sepeda). Durasi optimal tes ini adalah sekitar
sepuluh menit untuk asumsi VO2max yang tepat. Kapasitas aerobik maksimum yaitu VO2max
adalah VO2 tertinggi yang tercatat ketika nilai VO2 pasien mencapai dataran tinggi (plateau)
dengan kenaikan tingkat kerja dan didasarkan pada formula yang telah ditentukan
menggunakan usia, tinggi badan, jenis kelamin dan berat badan pasien (Tabel 2).7

Tabel 2. Formula untuk menentukan VO2max dan work rate increment 7

Work rate increment (W min-1) = VO2max-VO2 unloaded/100


VO2max (ml/mn1) pria = tinggi (cm) – usia (thn) x20
VO2max (ml/min) wanita = tinggi (cm) – usia (thn) x14
VO2 dibongkar (ml/min) = 150 + [6xBB (kg)]
22

Alat analisis gas harus memiliki respons cepat (kurang dari 90 milidetik) untuk
mengaktifkan pengukuran variabel pernapasan dengan pernapasan yang dirata-ratakan setiap
15 hingga 45 detik. Aliran dan volume gas dihitung dengan neumotachograph perbedaan
tekanan yang dipasang ke bagian mulut pasien atau masker yang dipasang rapat. Harus ada
pekerjaan statis minimal, karena ini tidak diukur. Latihan diakhiri dengan tahap pendinginan
di mana pasien mengayuh sepeda untuk beberapa saat melawan hambatan nol atau treadmill
diperlambat menjadi kecepatan berjalan.7
Tes dapat dihentikan pada setiap tahap karena nyeri dada yang signifikan, pusing
ringan, sesak atau kelelahan pada pasien, atau oleh teknisi jika timbul komplikasi seperti
perubahan ST yang signifikan (depresi >2 mm ST dengan nyeri atau> 3 mm ST- depresi
tanpa rasa sakit), aritmia parah (ektopi sering dan multifokal, fibrilasi atrium cepat, blok
jantung derajat dua atau tiga), penurunan atau peningkatan tekanan darah yang signifikan,
desaturasi parah (SpO2 <80%), pucat parah atau kegagalan untuk mempertahankan 40 rpm
selama lebih dari 30 detik meskipun dorongan terus-menerus. Karena pasien tidak dapat
berbicara, mereka diajari untuk berkomunikasi dalam tanda-tanda yang telah ditentukan
sebelumnya mengenai masalah yang signifikan selama pelaksanaan tes. Semua pasien
ditindaklanjuti selama sepuluh menit dengan pemantauan penuh selama periode pemulihan.
Risiko kematian adalah antara dua dan lima per 100.000 tes.7
AT perlu dilaporkan dalam konteks hasil lain sehingga penilaian yang lebih akurat
dapat dibuat tidak hanya untuk prognosis tetapi juga kemungkinan intervensi terapeutik. Hal-
hal yang perlu diperhatikan selama tes CPET adalah kerjasama dan upaya pasien; ambang
batas anaerobik (angka absolut dan sebagai persentase VO2max ); puncak dan prediksi VO2
maksimum (VO2max); iskemia jantung, jika terdeteksi, bagaimana diukur dan kapan
terjadinya; dan terakhir ringkasan dari apa yang tim rasakan tentang risiko kardiorespirasi
untuk pasien dan apakah mereka merasa intervensi atau perubahan dalam pengobatan akan
membantu.7
Pengambilan oksigen maksimum (VO2max) yang diperoleh saat exercise puncak
merupakan indikator global dari kinerja dan kepentingan relatif paru-paru pasien, sirkulasi
paru, jantung, sirkulasi perifer (pembuluh besar dan kecil), otot dan motivasi selama exercise.
Hal ini memungkinkan kami untuk menilai seluruh sistem kardiopulmoner dari atas (mulut)
ke bawah (otot) dalam satu ukuran sederhana (yaitu, laju oksigen yang mengalir melalui
berbagai subsistem yang memungkinkan exercise dilanjutkan). Penyakit tertentu, seperti
penyakit paru obstruktif atau restriktif, gagal jantung, penyakit pembuluh darah paru,
23

penyakit arteri perifer, obesitas dan dekondisi, dapat diidentifikasi dan dapat dipisahkan
berdasarkan derajat efek pertukaran gas dan pola perubahan ini.7,16

2. 6 Interpretasi Data
Sejumlah besar data diperoleh dari pengujian CPET yang ditampilkan dalam sembilan
panel plot (Gambar 3). Laju kerja dalam satuan watt dan parameter pertukaran gas metabolik
seperti konsumsi oksigen (VO2), produksi karbon dioksida (VCO2), Rasio Pertukaran
Pernafasan (RER) dan Ambang Batas Anaerobik (AT). Parameter kardiovaskular meliputi
detak jantung, EKG 12 sadapan dengan analisis ST, NIBP, dan denyut oksigen (VO 2/HR)
yang mendekati volume stroke. Pengukuran ventilasi meliputi Ventilasi menit (VE), Volume
Tidal (VT), dan laju pernapasan. Pertukaran gas paru dapat dinilai dengan mengukur SpO 2,
ventilator ekuivalen untuk oksigen (VE / VO2) dan karbon dioksida (VE / VCO2).7,14
Ketika kecepatan kerja meningkat, melatih otot membutuhkan lebih banyak oksigen
yang harus dipenuhi dengan meningkatkan curah jantung. VO2 sama dengan curah jantung
dikalikan dengan perbedaan oksigen vena campuran arteri. Output jantung meningkat secara
linier dengan VO2.7
24

Gambar 3. Pengujian CPET yang ditampilkan dalam sembilan panel plot7

Ketika VO2 diplot terhadap VCO2, hubungan tersebut terdiri dari dua komponen linier;
yang pertama dengan kemiringan sedikit kurang dari 1,0 (metabolisme aerobik) dan yang
kedua dengan kemiringan lebih dari 1,0 (metabolisme aerobik plus anaerobik). AT ditemukan
di break point antara dua komponen ini. Meskipun ada variabilitas antar-pengamat dalam
menentukan AT, hal ini dapat diterima.7
Denyut oksigen (VO2 / HR) adalah perkiraan non-invasif dari stroke volume. Ini adalah
rasio VO2 terhadap Denyut Jantung (HR) dan mencerminkan jumlah oksigen yang diekstraksi
per detak jantung. Jika HR tetap dan VO2 tetap rendah selama exercise maka jantung tidak
dapat meningkatkan volume kayuhan dan bergantung pada kecepatan untuk memenuhi setiap
25

peningkatan kebutuhan oksigen. Kegagalan peningkatan denyut oksigen dapat menjadi


indikator dari fungsi ventrikel kiri yang buruk.7

2.5.1. Penentuan Upaya Maksimal Pasien


Sebelum interpretasi dari CPET, diperlukan penentuan upaya maksimal
pasien. Pedoman sebelumnya, menentukan daftar berikut ini sebagai bukti upaya
maksimal pasien. (1) Pasien mencapai VO2peak yang diprediksi dan/atau plateau di VO2
diamati. (2) Prediksi tingkat kerja maksimal tercapai. (3) Prediksi detak jantung
maksimal tercapai. (4) Ada bukti keterbatasan ventilasi; yaitu, ventilasi exercise puncak
mendekati atau melebihi kapasitas ventilasi maksimal. (5) Respiratory exchage ratio
(RER, sering disebut respiratory quotient (RQ)) lebih besar dari 1,15. (6) Tingkat
kelelahan pasien/Borg skala 9-10 pada skala 10 poin. Krena adaptasi kardiovaskular
yang diamati pada atlet, subjek ini sering melebihi prediksi VO 2max dan prediksi
kecepatan kerja maksimal bahkan selama kerja submaksimal, dan oleh karena itu kami
menyarankan bahwa mencapai prediksi atau VO2max atau kecepatan kerja maksimum
seharusnya tidak menjadi bukti upaya maksimal. Berdasarkan hal ini dan penelitian
baru yang dirinci sebelumnya tentang EFL dan perubahan IC dengan exercise, kami
menyarankan kriteria berikut untuk penentuan upaya maksimal.11
Kriteria Upaya Maksimal:
(1) RER ≥1.1.
(2) HR >90% prediksi maks.
(3) Kelelahan pasien / skala Borg >9/10.
(4) Apakah ada dataran tinggi di VO2?
(5) Apakah ada bukti keterbatasan ventilasi (cadangan pernapasan <15% dan/atau
EFL signifikan dan/atau penurunan IC)?
Yang penting, tidak ada standar emas untuk mengevaluasi upaya maksimal.
Saat ini terdapat ketidaksepakatan mengenai apakah hipoksemia merupakan bukti dari
upaya maksimal. Karena hipoksemia dapat berkembang selama exercise submaksimal
pada beberapa pasien (misalnya, penyakit paru-paru interstisial), telah disarankan
bahwa ini bukan bukti dari tes maksimal, sementara yang lain mengindikasikan bahwa
hipoksemia memang konfirmasi dari tes maksimal.11
Sehubungan dengan kriteria yang disebutkan di atas, ketika lebih banyak
kriteria dicapai selama CPET, akan ada lebih banyak keyakinan bahwa upaya pasien
yang maksimal telah diperoleh. Khususnya, pasien sering mengalami kesulitan
26

mencapai plateau di VO2, dan mempertimbangkan variabilitas antara subjek dalam


denyut jantung maksimal, kedua kriteria (2) dan (4) sering tidak tercapai upaya
maksimal. Selanjutnya, sementara pasien mungkin mencapai kelelahan dengan
pengujian CPET (3), skala Borg mereka mungkin tinggi, tetapi tidak melebihi nilai "9"
pada skala Borg seperti yang didefinisikan oleh pedoman sebelumnya. Penting juga
untuk dicatat bahwa dengan tidak adanya penyakit pernafasan, kriteria (5) jarang
diperoleh. Sebaliknya, dengan adanya keterbatasan ventilasi yang signifikan (5),
kriteria 1, 2 dan 4 mungkin tidak dapat dicapai meskipun pasien berusaha maksimal.
Hipoksemia berat / gangguan pertukaran gas, nyeri dada, perubahan EKG iskemik, dan
penurunan denyut jantung dan tekanan darah dapat terjadi selama exercise
submaksimal dan bukan bukti upaya maksimal, tetapi mungkin sangat informatif dalam
interpretasi hasil tes.11

2.5.2. Evaluasi Puncak konsumsi oksigen


VO2peak/VO2max dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, status pengkondisian,
dan adanya penyakit atau pengobatan yang dapat mempengaruhi komponennya,
interpretasi akurat dari data exercise membutuhkan nilai referensi yang sesuai untuk
setiap pasien. Seperti kriteria lainnya, penentuan VO2peak/VO2max rendah/abnormal tidak
baku. Pernyataan American Thoracic Society/American College of Chest Physicians
tentang pengujian exercise kardiopulmoner mendefinisikan VO2peak/VO2max ≤84% dari
prediksi abnormal. Saat memeriksa kelangsungan hidup jangka panjang, subjek dengan
kapasitas exercise puncak absolut >8 metabolic equivalents (METS) tanpa memandang
usia, telah meningkatkan kelangsungan hidup dibandingkan dengan subjek dengan
beban kerja puncak 5-8 METS, atau di bawah 5 METS. Ketika kapasitas exercise
dinyatakan sebagai % dari prediksi, subjek yang mencapai VO 2maks 75% –100% dari
prediksi memiliki kelangsungan hidup yang lebih rendah daripada mereka yang
mencapai VO2maks >100% dari prediksi, dan kelangsungan hidup juga lebih rendah
untuk mereka yang memiliki VO2max 50-74% dan mereka dengan VO2max <50% dari
prediksi. Temuan ini menunjukkan bahwa VO2max di bawah perkiraan usia, tetapi masih
dalam nilai yang khas (yaitu, 75% -100% dari perkiraan), dikaitkan dengan peningkatan
mortalitas dan oleh karena itu penting secara klinis.11
VO2peak/VO2max sangat bergantung pada kebugaran fisik kronis/riwayat exercise
dan dapat ditingkatkan dengan exercise dan sebaliknya dikurangi dengan tidak adanya
aktivitas. Hal ini patut diperhatikan ketika mengevaluasi individu yang sebelumnya
27

atletis, seperti pada individu dengan VO2max ~100% yang diprediksi dapat mewakili
penurunan substansial dalam kemampuan fungsional sebelumnya. Bagian selanjutnya
sekarang akan mengulas bagaimana menentukan apakah intoleransi exercise dapat
dijelaskan oleh batasan paru atau kardiovaskular untuk exercise dan apakah batasan ini
fisiologis (yaitu normal) atau patologis.11

2.5.3. Penentuan Ketebatasan Exercise


Data yang diperoleh dari tes CPET tidak boleh diinterpretasikan secara
terpisah. Sebaliknya, interpretasi harus merupakan integrasi hasil CPET dengan
temuan/investigasi klinis lainnya.17,18 Selain data yang diperoleh langsung dari CPET,
umpan balik dari pasien, termasuk alasan penghentian exercise, dapat berguna dalam
mengevaluasi batasan exercise.11
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, VO2max ditentukan oleh persamaan Fick.
Peningkatan curah jantung/aliran darah menyebabkan peningkatan VO2max, yang
menunjukkan bahwa orang normal memiliki keterbatasan kardiovaskular untuk
exercise. Subjek ini akan melampaui ambang ventilasi mereka, dan oleh karena itu
RER diharapkan> 1,1, sedangkan HR harus mendekati batas maksimum yang
diprediksi oleh usia. Dalam hal imi EFL, peningkatan EELV, dan gangguan pertukaran
gas yang signifikan tidak akan berkembang dengan exercise. Subjek yang, meskipun
menunjukkan respons paru, kardiovaskular, dan metabolik normal terhadap exercise,
masih memiliki VO2max yang rendah akan diklasifikasikan sebagai deconditioned.
Sebaliknya, subjek yang menunjukkan perubahan EKG saat exercise, respons BP yang
berlebihan terhadap exercise, penurunan BP atau HR yang signifikan dengan exercise,
respons VE/VCO2 yang berlebihan dengan hiperventilasi, dan VO 2max yang sangat
rendah akan menunjukkan adanya keterbatasan kardiovaskular patologis untuk
exercise. Jadi, batasan kardiovaskular untuk exercise adalah interpretasi default; yaitu,
jika tidak ada respons abnormal/patologis, subjek dibatasi oleh sistem
kardiovaskularnya.11
Ketika kebutuhan ventilasi berlebihan atau kapasitas ventilasi berkurang,
batasan ventilasi untuk exercise dapat berkembang. Cadangan ventilasi terkait dengan
kebutuhan ventilasi, dan kapasitas ventilasi; namun karena kesulitan dalam menentukan
MVV dan kurangnya informasi yang diberikan tentang mekanisme kendala ventilasi,
cadangan ventilasi dalam isolasi merupakan evaluasi yang lebih mendasar dari batasan
ventilasi, dan penentuan EFL dan IC lebih disukai. Seperti disebutkan sebelumnya,
28

penentuan EFL juga memiliki keterbatasan, dan kegagalan untuk memperhitungkan


variabel seperti kompresi gas toraks dan bronkodilatasi/bronkokonstriksi yang
diinduksi oleh exercise akan menghasilkan perkiraan EFL yang berlebihan. Karena
EFL <25% VT dapat terjadi pada exercise maksimal pada subjek normal, tidak mungkin
jumlah EFL ini dianggap abnormal dan signifikan secara klinis. Perkembangan EFL
>40% -50% VT tidak normal dan dapat menyebabkan peningkatan EELV. Karena EFL
berkontribusi pada kerja pernapasan dan gangguan fungsional kekuatan otot inspirasi,
EFL yang signifikan dengan sendirinya akan berkontribusi pada dispnea yang dirasakan
dan intoleransi exercise. Perkembangan EFL dengan penurunan IC akan menunjukkan
keterbatasan pernafasan yang lebih parah dan juga mengakibatkan plaeau pada
ekspansi volume tidal dan potensiasi dispnea.2 Pada kasus yang paling parah,
hiperkapnea dan hipoksemia akan berkembang, karena ventilasi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolik. Dalam banyak kasus, keterbatasan ventilasi untuk
exercise begitu parah sehingga pasien tidak mencapai ambang ventilasi mereka (RER
<1,0 pada puncaknya) atau detak jantung maksimum yang diprediksi oleh usia.
Beberapa subjek menunjukkan penurunan IC dengan exercise meskipun fungsi paru-
paru normal dan tidak ada bukti EFL atau batasan mekanis lainnya. Dalam situasi ini,
kondisi perilaku seperti kecemasan harus dipertimbangkan. Lihat Gambar 4 untuk
klasifikasi yang disarankan dari pembatasan ventilasi.11
Sistem pernapasan selanjutnya dapat berkontribusi pada intoleransi exercise
dengan gagal mempertahankan oksigenasi arteri yang memadai. Pedoman sebelumnya
menunjukkan penurunan SaO2 ≥4%, SaO2 ≤ 88% atau PaO2 ≤ 55mmHg dianggap
signifikan secara klinis. Seperti yang disebutkan, SaO2 / SpO2 yang dievaluasi dalam
isolasi tidak memungkinkan untuk menentukan mekanisme yang mendasari hipoksemia
(yaitu, hipoventilasi versus gangguan pertukaran gas versus asidosis
laktat/hipertermia).11
Efisiensi ventilasi yang buruk (misalnya VE/VCO2 tinggi) dapat menjadi ciri
khas berbagai penyakit kardiovaskular dan paru. Yang penting, respon VE/˙VCO2 yang
abnormal mungkin merupakan sinyal untuk mendapatkan gas darah arteri selama
exercise sehingga PaCO2 dan ventilasi ruang mati dapat ditentukan secara langsung.
Rasio VE/VCO2 yang tinggi dalam isolasi dapat menyebabkan dispnea tetapi
kemungkinan tidak berkontribusi pada intoleransi exercise itu sendiri. Namun, dengan
respons ventilasi yang berlebihan untuk exercise EFL dan peningkatan EELV yang
dapat berkembang, dan komponen ini akan berkontribusi pada intoleransi exercise.11
29

Pasien lain mungkin menghentikan CPET karena masalah lain seperti nyeri
punggung dan nyeri lutut. Selain itu, staf penguji dapat menghentikan exercise karena
masalah keamanan (EKG berubah, respons BP yang berubah, dll.). Dalam situasi ini,
tes akan dihentikan karena keterbatasan nonkardiopulmoner, dan kecil
kemungkinannya pasien mencapai upaya maksimal pasien.11
Sebagai langkah terakhir, dokter harus menentukan apakah batasan untuk
exercise fisiologis (normal) atau patologis dan memerlukan tindak lanjut lebih lanjut.
Sebagai contoh, subjek dengan VO2peak rendah, tetapi tes normal, akan memiliki
keterbatasan fisiologis kardiovaskular untuk exercise di mana VO2peak rendah dijelaskan
dengan decondition. Subjek dengan VO2peak serupa, tetapi menunjukkan ECG abnormal
atau respons BP, akan memiliki batasan kardiovaskular patologis yang memerlukan
tindak lanjut lebih lanjut. Seorang pasien PPOK yang memiliki VO 2peak rendah, tetapi
tes normal (termasuk respon ventilasi normal untuk exercise), akan memiliki
keterbatasan fisiologis kardiovaskular untuk exercise di mana VO2peak rendah dijelaskan
dengan dekondisi. Sebaliknya, pasien PPOK yang memiliki VO 2peak rendah tetapi
substansi EFL dan hiperinflasi akan memiliki batasan pernapasan patologis untuk
exercise.19,20 Keterbatasan pernapasan untuk exercise biasanya bersifat patologis,
kecuali dalam kasus seorang atlet dengan fungsi kardiovaskular superior dan fungsi
paru-paru normal. Para atlet ini dapat mendemonstrasikan EFL, peningkatan EELV,
dan gangguan pertukaran gas; Namun, ini adalah contoh dari sistem kardiovaskular
yang tumbuh melebihi paru-paru, dan bukan patologi paru. Sebagai catatan, pasien
mungkin menunjukkan bukti keterbatasan kardiovaskular dan paru untuk exercise.11
30

Gambar 4. Algoritma interpretasi dari cardiopulmonary exercise testing11

2.6. CPET pada Penyakit Paru

CPET kurang digunakan pada pasien dengan COPD, kemungkinan besar


karena biaya dan persyaratannya yang lebih besar dibandingkan dengan teknik lain
seperti tes jalan kaki 6 menit; Namun, temuan penelitian mendukung kegunaannya
dalam menyesuaikan intervensi latihan untuk setiap pasien. Dalam studi tahun 2017,
69% pasien yang menjalani CPET mencapai hasil positif setelah pelatihan olahraga
dibandingkan dengan 31% dari mereka yang tidak menjalani CPET.
Orang dewasa berukuran normal yang berjalan dengan kecepatan sedang di
permukaan datar pada saat dilakukan test membutuhkan sekitar 1 L / menit untuk
pengambilan oksigen. Pada kecepatan berjalan ini hanya ada sedikit pembentukan
laktat, dispnea, atau kelelahan otot, dan seseorang mampu mempertahankan aktivitas
31

ini hampir tanpa batasan. Namun, pada pasien PPOK terdapat tiga proses
patofisiologis yang penting:
1. inefisiensi pertukaran gas paru-paru,
2. dekondisi otot, dan
3. hiperinflasi dinamis

Berkenaan dengan inefisiensi pertukaran gas, pasien PPOK menunjukkan


berbagai kombinasi hipoksia, hiperkapnia, asidosis, dan ketidaksesuaian ventilasi
dengan perfusi (VA / Q) dengan peningkatan rasio ruang mati terhadap volume tidal
(VD / VT), semuanya menghasilkan peningkatan kebutuhan ventilasi . Pasien PPOK
juga rentan terhadap kelelahan otot,darah berkurang aliran, pembentukan ATP
aerobik berkurang, asidosis laktat berlebih, dan beban CO2 tambahan dari buffer
bikarbonat dari kelebihan laktat. Akhirnya, proses hiperinflasi dinamis menyebabkan
peningkatan kerja pernapasan, resistensi saluran napas yang tinggi, obstruksi aliran
udara, peningkatan ventilasi ruang mati, dan penurunan elastisitas rekoil, semuanya
mengurangi kemampuan pasien PPOK untuk melahirkan dan memenuhi kapasitas
ventilasi yang diperlukan untuk kecepatan kerja. Oleh karena itu, kombinasi
pertukaran gas yang tidak efisien, penurunan kondisi otot, dan kegagalan progresif
pompa ventilasi yang disebabkan oleh hiperinflasi dinamis menghasilkan batasan
olahraga yang jelas dan dispnea progresif selama latihan.20
Mengingat proses patofisiologis yang penting ini, mari kita periksa respons
CPET individu yang khas terhadap olahraga pada pasien PPOK (usia 57, tinggi 174
cm, berat latihan 73,6 km, BMI 24,4) dengan obstruksi berat pada spirometri istirahat.
Pasien melakukan5 W / menit. latihan pola ramp pada siklus ergometer hingga batas
toleransi. Pasien mengalami penurunan pengambilan oksigen puncak (1,1 L / mnt)
dan kapasitas latihan yang sangat berkurang (60 w kerja pada siklus ergometer).
Ventilasi puncaknya adalah 38,5 L / mnt dan prediksi MVV-nya dari PFT adalah 42 L
/ mnt. Oleh karena itu, ia mencapai persentase yang sangat tinggi (> 90%) dari
perkiraan ventilasi puncaknya selama latihan dan cadangan pernapasannya kurang
dari 14 L / menit, semuanya menunjukkan adanya pembatasan ventilasi. Selanjutnya,
kapasitas inspirasi turun selama latihan sesuai dengan hiperinflasi dinamis. Ada
desaturasi oksigen yang signifikan, ventilasi yang setara untuk oksigen dan karbon
dioksida meningkat dan pasien memiliki hiperkapnia dasar yang memburuk dengan
32

olahraga, sekali lagi menunjukkan keterbatasan ventilasi yang parah. Menggunakan


pCO2 kapiler arterial yang ditentukan secara transkutan untuk memperkirakan VD /
VT, nilainya jauh di atas 0,3 selama latihan (0,42). Ambang asidosis laktik, denyut
O2, dan respons denyut jantung menunjukkan bahwa olahraga tidak dibatasi oleh
kardiovaskular. Respon tekanan darah untuk latihan sedikit berlebihan saatpuncak
latihan(200/100 mmHg).
Namun, pernapasan pasang surut yang dilapiskan di awal latihan berada pada
sedikit peningkatan Kapasitas Cadangan Fungsional (FRC). Saat latihan berlangsung,
loop pernapasan pasang surut bergerak secara progresif menuju Kapasitas Paru Total
(TLC) dan volume paru ekspirasi akhir (EELV) meningkat yang mengakibatkan
hilangnya kapasitas inspirasi secara progresif. Semua perubahan ini menunjukkan
hiperinflasi dinamis sebagai kontributor signifikan untuk pembatasan olahraga pada
pasien ini. Intervensi yang mengurangi hiperinflasi dinamis, mengurangi kebutuhan
ventilasi, meningkatkan pertukaran gas, dan / atau mengurangi kelelahan / penurunan
kondisi otot harus meningkatkan status fungsional pasien ini. Semua tujuan fisiologis
ini dibahas dalam rehabilitasi paru (PR) (4). Telah terbukti bahwa peningkatan
substansial dalam daya tahan olahraga dikaitkan dengan penurunan hiperinflasi
dinamis sebagai respons terhadap pelatihan olahraga dinamis.20
Beralih dari respons CPET individu di COPD ke peran CPET dalam PR,
dokter harus mengidentifikasi dimana CPET menambahkan informasi klinis penting
ke penilaian pasien di awal dan akhir PR. PR harus dipertimbangkan pada pasien
PPOK yang mengalami gejala dispnea yang ditandai, keterbatasan olahraga,
penurunan aktivitas hidup / tidak aktif sehari-hari, penurunan kualitas hidup,
eksaserbasi PPOK baru-baru ini, dekondisi, peningkatan pemanfaatan layanan
kesehatan, atau hilangnya massa tubuh tanpa lemak / cachexia ( 1, 9-20). Penilaian PR
adalah komprehensif pemeriksaan dari berbagai domain, termasuk fungsi fisik,
psikologis, farmasi, fungsi paru, diet, psikososial, status merokok, dan fungsi sosial
saat ini.
CPET hampir mirip dengan stress test. Perbedaannya adalah stress test hanya
menilai fungsi jantung, sementara cardiopulmonary exercise test menilai kinerja
jantung dan paru. Aktivitas fisik memerlukan mekanisme fisiologis paru dan jantung
untuk menyediakan energi bagi otot rangka ketika beraktivitas. Kedua sistem ini (paru
dan jantung) akan bekerja lebih berat saat seseorang berolahraga. CPET akan
33

mengevaluasi kemampuan paru dan jantung dalam merespons secara memadai


terhadap kebutuhan energi otot rangka selama aktivitas fisik.20

Tujuan cardiopulmonary exercise test adalah untuk mengevaluasi:


 Fungsi jantung dan paru pasien, terutama ketika melakukan aktivitas fisik
 Tingkat kebugaran tubuh pasien
 Keberhasilan terapi, program rehabilitasi, atau operasi yang telah dijalani oleh
pasien

Dokter bisa menganjurkan pemeriksaaan CPET untuk:20


 Mendeteksi penyakit jantung, seperti iskemia miokardium dan gangguan
irama jantung (aritmia)
 Melihat respons tekanan darah
 Mendeteksi penyakit paru, misalnya asma yang terjadi karena aktivitas berat
(exercise induced asthma/EIA)
 Menentukan pasien membutuhkan terapi oksigen atau tidak
 Mengetahui penyebab di balik keluhan pasien saat beraktivitas, misalnya nyeri
dada, dan pusing

Beberapa persiapan yang dapat dilakukan sebelum menjalani CPET meliputi:20


 Menjalani pemeriksaan klinis dan berkonsultasi dengan dokter
 Mendiskusikan manfaat dan risiko tes
 Mengenakan pakaian yang nyaman saat pemeriksaan karena pasien akan
diminta untuk melakukan aktivitas fisik
 Tidak mengonsumsi makanan berat pada dua jam sebelum pemeriksaan
 Tidak mengonsumsi alkohol pada empat jam sebelum tes
 Tidak berolahraga berat pada 30 menit sebelum prosedur
 Berhenti merokok setidaknya satu jam sebelum menjalani pemeriksaan

Selama pemeriksaan, pasien akan diminta untuk berolahraga ringan


menggunakan sepeda statis sembari memakai mouthpiece khusus. Setiap tarikan dan
hembusan napas akan diukur untuk mengevaluasi fungsi paru sebelum dan selama
berolahraga. Alat rekam jantung juga akan dipasang sebelum, selama, dan setelah
34

pasien beraktivitas fisik. Cardiopulmonary exercise test  akan berlangsung selama 40


menit. Namun pasien tidak perlu khawatir karena pasien umumnya hanya perlu
melakukan aktivitas fisik selama sekitar 10 menit. Pasien harus melakukan latihan
fisik semaksimal mungkin. Langkah ini memungkinkan dokter untuk mendapatkan
hasil tes yang akurat. Petugas medis juga bisa menghentikan aktivitas fisik pasien
ketika pasien mengalami keluhan-keluhan tertentu. Misalnya, sakit dada, sakit kepala,
sesak napas yang parah, nyeri kaki, hingga pingsan.20

Hasil CPET biasanya berupa:


 Fungsi paru: flow volume loops
 Penggunaan oksigen selama aktivitas fisik, yakni VO2 max
 Kinerja jantung saat latihan fisik
 Analisis gas darah
 Ambang ketahanan anaerob
 Elektrokardiogram (EKG) sebelum, saat, dan setelah aktivitas fisik

Bila hasil cardiopulmonary exercise test tidak normal, dokter bisa


merekomendasikan untuk menjalani pemeriksaan penunjang lainnya. Langkah ini
bertujuan memastikan diagnosis. Sementara jika hasil CPET sudah cukup untuk
menentukan diagnosis, dokter akan mendiskusikan langkah-langkah penanganan
berikutnya. CPET tergolong pemeriksaan yang aman. Pasalnya, fungsi jantung dan
paru dipantau secara saksama saat melakukan aktivitas fisik. Meski begitu, risiko
cardiopulmonary exercise test tetap ada. Misalnya, muncul nyeri dada, sesak napas,
serta pingsan saat menjalani pemeriksaan.20

2.6.1. CPET pada PPOK

Penderita PPOK sering sekali terlihat berjalan lebih lambat dibandingkan


orang lain yang seusia, kadang harus berhenti berjalan sebentar karena sesak napas,
bahkan tidak berani untuk meninggalkan rumahnya bahkan tempat tidur karena sesak
napasnya. Sesak napas membuat penderita PPOK mengalami penurunan kemampuan
latihan dan mempengaruhi kualitas hidup penderita PPOK. Sesak napas juga
berhubungan dengan resiko kematian dan kapasitas fungsional penderita.
35

Pemeriksaan Cardiopulmonary exercise test (CPET) dan 6 menit berjalan


merupakan beberapa pemeriksaan untuk mengevaluasi kapasitas fungsional pada
penderita PPOK. CPET dianggap standart emas namun pemeriksaan ini lebih mahal
dan terbukti bermanfaat. Penelitian Starobin dan kawan-kawan menunjukkan
penggunaan 6 menit berjalan untuk mengevaluasi kapasitas fungsional pada penderita
PPOK sama akuratnya dengan pemeriksaan CPET bahkan lebih murah biaya serta
lebih mudah.

a) CPET pada PPOK ringan

CPET sangat berguna untuk evaluasi mekanisme dispneu saat aktivitas pada
individu yang gejala ini tampak tidak proporsional dengan derajat gangguan
pernapasan seperti yang dinilai dengan tes fungsi paru sederhana. Dalam konteks ini,
studi epidemiologi baru-baru ini telah mengkonfirmasi bahwa dispnea terkait aktivitas
dan pembatasan aktivitas terjadi pada banyak perokok dengan spirometri normal.
Serangkaian penelitian baru-baru ini mengungkap kelainan fisiologis dinamis
heterogen selama olahraga pada perokok bergejala tanpa PPOK yang ditentukan
secara spirometri. Abnormalitas dominan pada pasien dengan PPOK ringan yang
ditentukan secara spirometri meliputi: 1) peningkatan dorongan saraf inspirasi untuk
bernapas, sekunder akibat ruang mati fisiologis yang tinggi yang diukur secara tidak
langsung oleh V′E/V′CO2; dan 2) peningkatan perangkap gas paru karena efek
gabungan dari penyakit saluran napas perifer (pembatasan aliran ekspirasi) dan
peningkatan kebutuhan ventilasi, yang bersama-sama memaksa kendala mekanis
kritis sebelumnya dan tingkat dispnea saat beraktivitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol yang sehat.

b) CPET pada PPOK sedang hingga berat


Pada tingkat lebih lanjut, gangguan fisiologis yang sama berlaku seperti pada
PPOK ringan tetapi terjadi pada V′E dan kecepatan kerja yang jauh lebih rendah.
Dorongan saraf inspirasi secara substansial lebih besar pada intensitas latihan yang
lebih rendah dibandingkan pada pasien dengan PPOK ringan yang mencerminkan
perburukan pertukaran gas paru dan kendala mekanis, dalam berbagai kombinasi.
Peningkatan drive dalam COPD lebih maju diperparah pada banyak pasien dengan
efek negatif dari ambang rendah ventilasi (dan asidosis metabolik) sekunder untuk
deconditioning dan, dalam beberapa kasus, kritis arteri O2 desaturasi (arteri O2
36

ketegangan <60 mmHg atau <8 kPa) . Perlu dicatat bahwa, berbeda dengan COPD
ringan, V′E/V′CO2 (nadir dan slope) adalah cerminan yang kurang dapat diandalkan
dari V′A/Qkelainan′ pada PPOK lanjut di mana kendala mekanis menumpulkan V′E
respondan meremehkan besarnya dorongan saraf inspirasi yang berlaku. Pengurangan
progresif beristirahat IC (sebagai beristirahat hiperinflasi paru-paru meningkat)
dengan perkembangan penyakit membantu menjelaskan batas operasi yang terus
berkurang untuk VT ekspansidan pencapaian progresif sebelumnya dari Irv minimal
selama latihan. Titik di mana VT mengembang untuk mencapai Irv minimal kritis,
titik di mana disosiasi neuromechanical dimulai, adalah sebuah peristiwa mekanik
penting selama latihan dan tanda ambang luar yang intensitas dyspnoea naik tajam
hingga mencapai tingkat yang taktertahankan.Semakin rendah IC istirahat, semakin
awal ambang batas ini dicapai. Demikian pula, dispnea /yang semakin tinggiV′E
seiring kemajuan penyakit sebagian besar dijelaskan oleh memburuknya mekanisme
pernapasan dinamis dan fungsi otot. 
 
2.6.2. CPET pada asma

Keterbatasan latihan pada individu dengan asma dapat dikaitkan dengan


berbagai faktor termasuk bronkokonstriksi yang diinduksi oleh olahraga (EIB), yang
telah terbukti mempengaruhi hingga 90% pasien dengan asma.1 Meskipun tes latihan
kardiopulmoner (CPET) umumnya digunakan untuk mengidentifikasi EIB pada
populasi ini dan pasien dengan penyakit pernapasan kronis lainnya, pendekatan ini
juga terbukti berguna dalam menilai tindakan tambahan dari fungsi serta respons
pengobatan pada asma.
Dalam review yang diterbitkan di Respiratory Medicine, Boutou dkk meneliti
bukti terbatas yang tersedia mengenai aplikasi klinis potensial CPET dalam
pengelolaan asma, seperti yang disorot di bawah ini.

a) Mengidentifikasi nonpulmonary determinants of exercise capacity


Dalam studi retrospektif dari 39 pasien dengan sulit untuk mengobati asma,
peneliti menyelidiki penggunaan CPET maksimum untuk mengidentifikasi faktor
yang berkontribusi terhadap sesak napas saat aktivitas yang terus-menerus.2
Kebanyakan pasien menunjukkan fitur penjelasan tunggal seperti EIB, hiperventilasi,
pembatasan ventilasi, atau dekondisi. Namun, para peneliti mencatat bahwa pasien
37

yang tidak menunjukkan batasan paru pada CPET telah diberi resep terapi steroid
dengan dosis yang sama dengan pasien dengan keterbatasan paru.
Penemuan ini mendorong pengurangan dosis pada kelompok terakhir (median,
1300 μg [IQR, 800-2000 μg] menjadi 800 μg [IQR, 400-1000 μg]; P <0,001),
sementara terapi tambahan ditambahkan ke rejimen untuk pasien dengan keterbatasan
paru. Studi ini menggambarkan bahwa pasien dengan "keterbatasan nonpulmoner
diresepkan terapi steroid dosis tinggi yang tidak tepat, dan [CPET] dapat
mengidentifikasi mekanisme utama sesak napas, memfasilitasi pengurangan steroid,"
penulis penelitian menyimpulkan. Studi CPET lain telah mengamati penurunan
kekuatan paha depan pada anak-anak dengan asma persisten parah dan orang dewasa
dengan asma yang sulit diobati, serta tanda-tanda disfungsi mitokondria dan
kerusakan oksidatif pada otot rangka pasien dengan kelemahan otot perifer yang
berhubungan dengan kortikosteroid.
Pada tahun 2013, sebuah penelitian terhadap 88 pasien dewasa dengan asma
persisten sedang hingga berat menunjukkan bahwa konsumsi oksigen puncak (VO2)
pada CPET maksimum membedakan antara pasien dengan tingkat depresi yang lebih
rendah dan lebih tinggi (masing-masing VO2 puncak yang lebih tinggi dan lebih
rendah), dan kesehatan yang lebih rendah- kualitas hidup terkait dicatat pada
kelompok dengan tingkat depresi yang lebih tinggi.1,3 “Hasil kami menunjukkan
hubungan antara penurunan kapasitas latihan, rendah [kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan] dan peningkatan gejala depresi pada [pasien] asma
yang stabil secara klinis,” menunjukkan “kebutuhan untuk menilai kebugaran fisik
dan tekanan psikososial selama asma pengobatan dan pentingnya pendekatan
multidisiplin, ”kata para peneliti.
Penelitian tambahan menunjukkan bahwa perubahan VO2 yang rendah pada
rasio perubahan kecepatan kerja dan nilai tinggi kemiringan VE / VCO2 terhadap
rasio puncak VO2 pada CPET dapat membantu membedakan antara masalah
dekondisi dan peredaran darah sebagai penyebab pembatasan olahraga pada pasien
asma. Penyelidikan lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi peran CPET dalam
menetapkan kontributor nonpulmonary untuk melakukan pembatasan pada asma. 

b) Mendeteksi hiperinflasi dinamis


Dalam studi sebelumnya, hiperinflasi dinamis tercatat pada CPET pada 13 dari
20 pasien dengan asma stabil yang memiliki hasil spirometri normal dan tidak adanya
38

asma akibat olahraga.4 Peneliti lain menemukan hiperinflasi dinamis selama CPET
pada 72,2% wanita obesitas dengan asma (vs 38,9% pasien non-obesitas dengan
asma, P <0,05), dan temuan ini juga terkait dengan penurunan kapasitas latihan pada
kelompok ini.5 Hasil ini menunjukkan hiperinflasi dinamis sebagai faktor signifikan
dalam pembatasan olahraga yang sering diamati pada pasien asma.

c) Mengevaluasi respon pengobatan


Selain kegunaannya dalam menilai peningkatan kapasitas latihan dari waktu
ke waktu, data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa CPET dapat berperan
dalam mengevaluasi peningkatan hasil terkait penyakit yang terkait dengan latihan
yang diresepkan pada pasien asma. Setelah pelatihan olahraga, penilaian CPET telah
menunjukkan peningkatan dalam ukuran kebugaran aerobik, kualitas hidup, dan
pengendalian penyakit pada anak-anak dengan asma persisten sedang hingga berat;
kapasitas latihan dan kualitas hidup orang dewasa dengan asma; dan puncak VO2 dan
kapasitas ventilasi pada pasien dengan asma ringan.

2.7. CPET pada Penyakit Jantung

Dengan pengobatan atau tindakan tertentu tingkat kebugaran atau kapasitas


aerobik seseorang dapat meningkat, atau ambang batas iskemia dapat meningkat
bahkan tak tampak lagi gambaran iskemia. Uji latih jantung yang dilakukan untuk
evaluasi pengobatan/tindakan secara khusus harus dibandingkan dengan ULJ yang
dilakukan sebelum dilakukan pengobatan/tindakan tersebut. Diupayakan ULJ
dilakukan dengan protokol yang sama, obat-obatan tidak perlu dihentikan karena
tujuan ULJ ini ingin menguji kondisi individu dalam keadaan mendapat pengobatan
tersebut. Tatacara pemeriksaan secara umum sama, namun yang harus diperhatikan
dan harus dilaporkan adalah pada waktu, atau beban, atau stage, atau laju jantung atau
double product berapa keluhan atau kondisi abnormal seperti pada ULJ sebelumnya
muncul. Apakah pada beban, atau stage yang lebih tinggi, atau pada waktu, atau laju
jantung atau double product yang lebih tinggi atau sebaliknya. Apabila tidak ada
keluhan atau abnormalitas yang muncul, maka dibandingkan juga beban atau tingkat
kebugaran maksimal yang dapat dicapai, laju jantung atau double product yang
dicapai.
39

Aritmia yang mungkin muncul atau dikeluhkan hanya pada saat aktifitas fisik
seringkali tidak terdeteksi pada pemeriksaan EKG istirahat. Untuk mengetahui jenis
aritmia yang muncul selain dilakukan Holter monitoring EKG selama 24 jam, dapat
juga dilakukan ULJ. 
Dengan ULJ dapat diketahui dan direkam irama yang muncul, waktu, atau
beban, atau laju jantung saat timbulnya aritmia, serta perubahan irama saat ULJ
dilanjutkan atau dihentikan dan pemulihan, apakah aritmia tersebut menghilang,
menetap atau berubah. Untuk evaluasi pengobatan/ intervensi aritmia, secara umum
sama dengan ULJ yang dilakukan untuk indikasi lain, namun sedapat mungkin
dilakukan dengan protocol yang sama, dan pada saat interpretasi perlu dibandingkan
dengan hasil ULJ sebelumnya sehingga dapat disimpulkan apakan pengobatan atau
intervensi yang telah dilakukan telah berhasil memperbaiki kondisi subjek atau
belum.
BAB III
KESIMPULAN

Cardiopulmonary exercise testing (CEPT) adalah tes yang berisifat dinamis non ivasif
yang memberikan penilaian fungsi integratif dari paru, kardiovaskular, hematopoetik,
neuropsikologis dan metabolisme dalam exercise maksimal atau semi-maksimal. Saat
melakukan exercise, pengiriman oksigen dan pengambilan O2 otot lokal harus meningkat
secara tepat untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Ventilasi juga harus ditingkatkan untuk
mengkompensasi peningkatan produksi CO2 dan mempertahankan ventilasi alveolar, dan
kapasitas difusi juga harus ditingkatkan untuk mempertahankan PO2 arteri.
Pasien yang sehat memiliki cadangan pernapasan bahkan pada exercise maksimal,
dan oleh karena itu pembatasan aliran ekspirasi dan/atau hiperinflasi tidak boleh terjadi saat
exercise. Selain itu, subjek yang sehat mempertahankan oksigenasi hingga exercise puncak
karena peningkatan kapasitas difusi yang sesuai. Kegagalan untuk memiliki respon
kardiovaskular, ventilasi, atau pertukaran gas yang sesuai untuk exercise dapat menyebabkan
dispnea saat aktivitas dan/atau toleransi exercise yang lebih besar. Sebagaimana diuraikan
dalam makalah, pemeriksaan respons kardiopulmoner terhadap CPET dapat memberikan data
klinis tambahan yang tidak tersedia melalui tes istirahat fungsi paru dan jantung dan dapat
membantu dokter menentukan mekanisme untuk intoleransi exercise dan / atau dispnea.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Boutu, AK., et. al. 2020. Cardiopulmonary Exercise Testing in Patients with Asthma:
What is Its Clinical Value?. Respiratory Medicine 167 (2020) 105953
https://doi.org/10.1016/j.rmed.2020.105953
2. O’Donnel DE, et. al. 2017. Advance in the Evaluation of Respiratory Pathophysiology
during Exercise in Chronic Lung Disease. Frontiers in Physiology.
https://doi.org/10.3389/fphys.2017.00082
3. Berry, NC., et.al. 2015. Protocol for Exercise Hemodynamic Assessment: Performing an
Invasive Cardiopulmonary Exercise Test in Clinical Practice. Pulmonary Vascular
Research Institute http://www.jstor.org/stable/10.1086/683815
4. Boutou AK., et. al. 2016. Phenotype Exercise Limitation in Systemic Sclerosis: The Use
of Cardiopulmonary Exercise Testing. Respiration https://doi.org/10.1159/000442888
5. Waschki, B. et. al. 2011. Physical activity is the strongest predictor of all-cause mortality
in patient with COPD: a prospective cohort study. Chest 140, 331–342.
https://doi.org/10.1378/chest.10-2521
6. Ley, B., et.al. 2016. Predictors of mortality poorly predict common measures of disease
progression in idiopathic pulmonary fibrosis. Am. J. Respir. Crit. Care Med. 194, 711–
718 https://doi.org/10.1164/rccm.201508-1546OC
7. Chatterje S., et. al. 2013.Cardiopulmonary Exercise Testing: A Review of Techniques and
Applications. H Anesthe Clinic Res https://doi.org/10.4172/2155-6148.1000340
8. Urquhart. DS., Vendrusculo, FM. 2015. Clinical interpretation of Cariopulmonary
Exercise Testing in cystic fibrosis and Implications fo Exercise Counselling. Pedriatric
Respiratory Reviews http://dx.doi.org/10.1016/j.prrv.2015.09.009
9. Boutou, AK., et. al. 2014. Non Invasive Markers of Pulmonary Hypertention in Intestinal
Lung Disease: Is Cardiopulmonary Exercise Testing the Holy Grail?. Respirology Vo. 19,
621-622
10. Forman, DE., et.al. 2010. Cardiopulmonary Exercise Testing: Relevant but Underused.
Post Graduate Medicine.
11.K. Stickland, MK., et. al. 2012. Assesing Exercise Limitation Using Cardiopulmonary
Exercise Testing. Pulmonary Medicine https://doi.org/10.1155/2012/824091
12.Balady, GJ., et. al. 2010. Clinical’s Guide to Cardiopulmonaru Exercise Testing in
Adults. AHA Sciencetific Statement https://doi.org/10.1161/CIR.0b013e3181e52e69
13.Brunjes, DL., et. al. 2017. Exercise Capacity, Physical Activity, and Morbidity. Heart Fail
Rev https://doi.org/10.1007/s10741-016-9592-1
14. Guanzi, M. 2014. How to Interpret cardiopulmonary Exercise Test. Heart Maetab 63:31-
36.
15. R. J. Oudiz., et. al. 2010. “Usefulness of right-to-left shunting and poor exercise gas
exchange for predicting prognosis in patients with pulmonary arterial hypertension”.
American Journal of Cardiology, vol. 105, no.8, pp. 1186–1191.
16.Stringer, Willian W. 2014. Cardiopulmonary Exercise Testing: Current Applications.
Expert Review of Respiratory Medicine https://doi.org/10.1586/ers.10.8

41
17.Guanzi, M., et.al. 2017. Cardiopulmonary Exercise Testing: What is its Value?. Journal
of the American Collage of Cardiology https://doi.org/10.1016/j.jacc.2017.08.012
18.Milne KM, et.al. 2020. Evaluation of Dynamic Respiratory Mechanical Abnormalities
During Conventional CPET. Frontiers in Medicine
https://doi.org/10.3389/fmed.2020.00548
19.Arena, R dan Kathy ES. 2011. Cardiopulmonary Exercise Testing in the Clinical
Evaluation of Patients with Heart and Lung Disease. Circulation AHA journals
https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.109.914788
20. George Eliot Hospital (NHS). http://www.geh.nhs.uk/directory-of-services/specialties-
and-services/c/cardio-respiratory-unit-cru/cardiopulmonary-exercise-testing-cpet/
Diakses pada 5 Maret 2021

42

Anda mungkin juga menyukai