Anda di halaman 1dari 4

HASIL PENELITIAN

Secara kuantitatif Lorazepam lebih menekan REM pada 2,5


jam pertama tidur dan pada 2,5 jam terakhir tidur, dibandingkan kontrol maupun Coriandri fructus (Grafik 1 dan 2). Hal ini
merupakan efek tidak baik lorazepam terhadap distribusi
REMS, karena tidur REM biasanya terdistribusi pada sepertiga
akhir malam (Coble et al., 1974). Namun demikian tidak ada
perbedaan bermakna antara ketiga kelompok pada pengukuran parameter yang berhubungan dengan REMS.
Grafik 1. REMS pada 2,5 jam pertama tidur selama Overnight Polysomnography pada subyek yang tidur diinduksi lorazepam, plasebo, dan Coriandri fructus.

Sampel
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
Rata-rata
Standar deviasi

Perlakuan
Lorazepam
Kontrol
32.5
25.5
46.5
10
17
35.5
8
14
48.5
69
17
29.41
19.15

35.5
14.5
56.5
23
45.5
22
25
0
37
27.5
12.5
27.18
15.89

Coriandri fructus
47.5
14.5
13.5
8
20.5
35
20
6.5
20
3.5
49
21.64
15.70

Tabel 1. REMS pada 2,5 jam kedua tidur selama Overnight Polysomnography
pada subyek yang tidur diinduksi lorazepam, plasebo, dan Coriandri fructus.
Hasil ANOVA untuk REMS pada 2,5 jam kedua tidur p = 0,55

Rata-rata REMS pada 2,5 jam terakhir tidur selama Overnight


Polysomnography pada subyek yang tidur diinduksi plasebo
adalah 39,625,59 menit. Sedangkan rata-rata REMS pada 2,5
jam terakhir tidur selama Overnight Polysomnography pada subyek
yang tidur diinduksi lorazepam adalah 34 20,69 menit dan pada
subjek yang tidur diinduksi Coriandri fructus 38,7 20,38 menit.
Hasil ANOVA untuk REMS pada 2,5 jam terakhir tidur p=0,823.

SIMPULAN
Lorazepam berpengaruh buruk pada distribusi REMS. Distribusi
REMS pada tidur yang diinduksi Coriandri fructus tidak terlihat
berbeda dibandingkan kontrol. Dengan demikian tidur yang
diinduksi lorazepam lebih rendah kualitasnya bila dibandingkan
dengan kontrol dan tidur yang diiduksi Coriandri fructus.
DAFTAR PUSTAKA
1.

Carskadon MA, Dement W.C. Normal Human Sleep: An Overview. Dalam:


Principles and Practice of Sleep Medicine. Kryger MH, Roth T, Dement
WC. (eds), 2nd ed. Philadelphia: WB. Saunders Co. 1994.

2.

Hobbs WR, Rall TW, Verdoorn TA. Hypnotics and Sedatives: Ethanol.
Dalam: Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of Therapeutics.
Hardman JG, Gilman GA, Limbird LE. (eds). 9th ed. McGraw-Hill. 1996.

3.

Nishino S, Mignot E, Dement WC. Sedative-Hypnotics. Dalam Textbook of


Psychopharmacology. Schatzberg AF, Nemeroff CB. (eds). 2nd ed. The
American Psychiatric Press, Inc. Washington DC, London, England. 1998.

4.

Trevor JA, Way WL. Sedative-Hypnotic Drugs. Dalam: Basic & Clinical
Pharmacology. Katzung BG (ed.) 7th ed. Appleton & Lange, Stamford,
Connecticutt. 1998.

5.

Bonnet MH. Sleep Deprivation. Dalam: Principles and Practice of Sleep


Medicine. Kryger MH, Roth T, Dement WC. (eds). 2nd ed. Philadelphia: WB.
Saunders Co. 1994.

6.

Gaillard JM. Benzodiazepines and GABA-ergic Transmission. Dalam:


Principles and Practice of Sleep Medicine Kryger MH, Roth T, Dement WC
(eds). 2nd ed. Philadelphia: WB. Saunders Co. 1994.

7.

Roth T, Roehrs TA, Carskadon MA, Dement W.C. Daytime Sleepiness and
Alertness. Dalam: Principles and Practice of Sleep Medicine. Kryger MH,
Roth T, Dement WC. (eds), 2nd ed. Philadelphia: WB. Saunders Co. 1994.

8.

Kotagal S, Pianosi P. Sleep disorders in children and adolescents. BMJ


2006;332:828-832 .

9.

Homann CN, Wenzel K, Suppan K, Ivanic G, Kriechbaum N, Crevenna R,


Ott E. Sleep attack in patients taking dopamine agonists: review. BMJ
2002;324: 1483-7.

10. Wegelin J, McNamara P, Durso R, Brown A, McLaren D. Correlates of


excessive daytime sleepiness in Parkinsons disease. Parkinsonism and
Related Disorder 2005; 11: 441-448.
11. Mendelson W. Pharmacology and Clinical Use of Sedative Drugs for
Insomnia. Paper presented at General Pharmacology and Therapeutics
in Sleep. 9th Annual APPS Meeting. Nashville, Tennessee. 1995.
12. Lamberg L. World Health Organization targets Insomnia. JAMA 1997; 278
(20): 1652.
Grafik 2. REMS pada 2,5 jam terakhir tidur selama Overnight Polysomnography
pada subyek yang tidur diinduksi lorazepam, plasebo, dan Coriandri fructus.

336

13. Pope JE, Bellamy N. Sample Size Calculation in Scleroderma: A


Rational Approach to Choosing Outcome Measurements in Scleroderma
Trials. Clinical and Investigation Medicine 1995;18(1): 1-10.

CDK 165/vol.35 no.6/September - Oktober 2008

TINJAUAN PUSTAKA

Penatalaksanaan
Rehabilitasi Neurogenic Bladder
Syarief Hasan Lutfie
Rumah Sakit Amanda, Bekasi, Jawa Barat

PENDAHULUAN
Istilah Neurogenic Bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis
spesifik ataupun menunjukkan etiologinya ; melainkan lebih menunjukkan suatu gangguan fungsi urologi akibat kelainan neurologik.
Banyak penyebab dapat mendasari timbulnya Neurogenic Bladder
sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum
diagnosis ditegakkan. Penyebab tersering adalah gangguan medula
spinalis; trauma merupakan penyebab akut serta memberikan
manifestasi klasik. Dalam kesempatan ini dibahas Neurogenic
Bladder akibat cedera spinal.
EPIDEMOLOGI
Salah satu penelitian pertama prevalensi Neurogenic Bladder di
Asia adalah sebuah survai oleh APCAB (Asia Pacific Continence
Advisory Board) pada tahun 1998 yang mencakup 7875 laki-laki
dan perempuan (sekitar 70% perempuan) dari 11 negara (termasuk
499 dari Indonesia) ; didapatkan bahwa prevalensi Neurogenic
Bladder secara umum pada orang Asia adalah sekitar 50,6%.
ANATOMI
1. Kandung Kemih
Kandung kemih dibentuk oleh anyaman serat otot polos. Lapisan
paling dalam terdiri dari serat-serat yang berjalan longitudinal,
lapisan tengah serat-serat sirkuler, sedangkan lapisan paling
luar oleh serat-serat longitudinal kembali.
2. Bladder Neck
Otot detrusor melanjutkan perjalanannya ke arah uretra membentuk suatu "pipa" yang disebut bladder neck.
3. Sfingter uretra
Sfringter uretra dibentuk oleh serat-serat otot lurik. Peranannya
ialah untuk menahan miksi untuk sementara waktu atau segera
menghentikan proses miksi bila dikehendaki
4. Trigonum
Daerah ini merupakan kelanjutan otot ureter dan tak mempunyai
peranan dalam proses miksi. Fungsinya adalah memperlancar
arus urin dari ureter ke arah kandung kemih.
5. Hubungan ureter-vesika
Struktur ini merupakan katup yang membuka saat pengisian
kandung kemih dan menutup saat kontraksi otot detrusor.
PERSARAFAN MOTORIK
Terdapat 3 macam persarafan motorik katup yang mengatur otototot kandung kemih yaitu detrusor, sfingter uretra dan trigonum.

CDK 165/vol.35 no.6/September - Oktober 2008

PERSARAFAN SENSORIK
Serabut-serabut sensorik mengikuti serabut-serabut motorik dalam
perjalanannya menuju ke medula spinalis setinggi sakral 2-3-4
(somatik dan parasimpatik) dan torakal 11- lumbal 2 (simpatik).
Sensorik kandung kemih terdiri dari dua jenis : eksteroseptif
mukosa dan proprioseptif otot detrusor (stretch receptor)
FISIOLOGI MIKSI
Kandung kemih adalah organ penampung urin; di samping itu
berfungsi pula mengatur pengeluarannya. Proses miksi dimulai
oleh tekanan intramural otot detrusor. Tekanan ini dahulu dianggap
semata-mata akibat persarafan; akan tetapi bukti-bukti menunjukkan bahwa tekanan intramural otot detrusor lebih ditentukan
oleh keadaan fisik kandung kemih (berisi penuh atau tidak). Jika
kandung kemih terisi, karena sifatnya ia mampu mengembang;
sementara itu tekanan intravesika tetap, sehingga sesuai dengan
hukum Laplace, tekanan intramural otot detrusor akan meningkat.
Peningkatan ini sampai titik tertentu akan merangsang stretch
receptor. Timbullah impuls ke arah pusat refleks miksi di medula
spinalis S 2-3-4. Dalam keadaan normal impuls tidak akan
segera terjawab. Impuls diteruskan ke pusat-pusat yang lebih tinggi,
yakni inti-inti dalam talamus yang bertindak sebagai relay untuk
girus sentral-belakang, tempat keinginan untuk miksi disadari.
Selain ke arah kortikal, impuls juga dikirim ke daerah-daerah lain
yang berkaitan, seperti ganglia basal, serebelum, pons serta
hipotalamus. Daerah-daerah ini masing-masing mempengaruhi
pusat refleks miksi, baik bersifat inhibisi maupun aktivasi. Berarti
proses miski belum terlaksana bila belum ada perintah dari pusatpusat lebih tinggi tersebut. Walaupun refleks miksi terutama diatur
oleh susunan saraf otonom, miksi adalah proses yang dapat
ditunda atau dihentikan mendadak, dapat diatur oleh kemauan.
Jika pusat-pusat mengijinkan miksi terlaksana maka impuls aktivasi
akan disalurkan secara desenden melalui berkas-berkas parasimpatik splanknikus. Miksi dimulai oleh kontraksi detrusor, diikuti
oleh pembukaan bladder neck dan relaksasi sfingter uretra.
Diketahui pula bahwa kontraksi otot detrusor secara reflektoris
mengakibatkan inhibisi impuls tonik ke arah sfingter uretra sehingga
sfingter uretra menjadi kendur. Sebaliknya, kontraksi tonik sfingter
uretra secara reflektoris akan menghambat kontraksi otot detrusor.
Di samping itu kontraksi otot detrusor akan menambah rangsangan
terhadap stretch receptor sehingga menambah kekuatan kontraksi
otot detrusor, Jadi, suatu proses miksi normal secara keseluruhan
berlangsung sekunder terhadap kontraksi otot detrusor.

337

TINJAUAN PUSTAKA
TERMINASI MIKSI
Berakhirnya suatu miksi dimulai oleh penutupan sfingter uretra.
Kemudian kontraksi otot-otot perineum mengembalikan kedudukan kandung kemih ke posisi semula. Setelah itu bladder neck
menutup. Terakhir relaksasi otot detrusor.

- Gangguan/kelainan uretra
- Hidronefrosis
- Vesicourethral reflux
- Batu traktus urinarius
- Penderita tidak kooperatif

REHABILITASI NEUROGENIC BLADDER


Bladder Training atau latihan kandung kemih adalah salah satu
upaya mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami
gangguan, ke keadaan normal atau ke fungsi optimalnya sesuai
dengan kondisi.

Program kateterisasi kontinyu


Kateterisasi kontinyu tidaklah fisiologis karena kandung kemih
selalu kosong, sehingga kehilangan potensi sensasi miksi; terjadi
atrofi serta penurunan tonus otot kandung kemih; ditambah lagi
dengan sepsis dan bakteriuri. Oleh karena itu dianjurkan program
kateterisasi intermiten. Waktu yang diperlukan untuk mencapai
keadaan bebas kateter berkisar antara 3 - 278 hari atau sekitar
8-10 minggu, jika tidak ada obstruksi.

Mencegah/mengurangi infeksi saluran kemih, mencegah komplikasi saluran kemih lebih lanjut akan menurunkan angka kematian,
terutama pada penderita cedera medula spinalis. Gagal ginjal
merupakan penyebab utama kematian pada pasien cedera
medula spinalis.
Untuk mencegah komplikasi tersebut, diupayakan mempertahankan fungsi pengosongan kandung kencing dengan residu urine
seminimal mungkin, mencegah masuknya mikroorganisme ke
dalam sistem saluran kemih, serta eradiksi dini terhadap infeksi
saluran kemih yang mungkin terjadi.
Ketiga upaya tersebut tercakup dalam penatalaksanaan neurogenic bladder yang akan dibahas, yang bertujuan mempertahankan fungsi ginjal secara efektif sehingga penderita cedera medula
spinalis dapat mandiri mengatur kandung kencingnya.
Tujuan rehabilitasi:
1. Kelancaran aliran urine mulai dari ginjal
- bebas kateter kandung kemih dan uretra
- menghilangkan obstruksi uretra
2. Keadaan abakterial
- sterile intermittent catherization
- pengosongan kandung kemih secara sering dan teratur
3. Pengosongan kandung kemih secara tuntas pada setiap masa
pengosongan dengan cara mengembangkan/ meningkatkan
kekuatan ekspulsi pada waktu yang cukup, sesuai dengan
yang dibutuhkan.
Hal-hal yang tercakup dalam pengertian bladder training :
1. Kateterisasi intermiten
2. Pengaturan dan pengontrolan masuknya cairan ke dalam tubuh
3. Refleks stimulasi terhadap kandung kemih
4. Crede manuever
5. Bantuan medikamentosa yang dapat mempunyai efek terhadap kandung kemih.
Hal tersebut dapat diatur kombinasinya sesuai kondisi neruogenic bladder.
Kontra indikasi bladder training:
- Sistitis berat
- Pielonefritis

338

Paremeter keberhasilan
1) Penderita dapat mengeluarkan urine dengan baik dan lancar,
baik secara spontan, dengan bantuan stimulasi refleks ataupun dengan crede/valsava manuever secara mudah.
2) Residual urine kurang atau sama dengan l00 ml.
Tak didapat perubahan patologis pada saluran kemih.
3) Penderita bebas kateter.
Program Kateterisasi Intermiten
Metoda ini dengan teknik non touch pertama kali diperkenalkan
oleh Guttmann. Karena hasilnya memuaskan, cara ini dengan
cepat diikuti oleh klinik-klinik lain. Pada saat ini hampir seluruh
klinik di seluruh dunia menganggap kateterisasi intermiten merupakan method of choice. Sebagian kecil penulis meragukan
perbedaannya dibandingkan dengan metoda lain.
Keberatan atau kerugian tersebut antara lain adalah:
a) Bahaya distensi kandung kemih tetap ada.
b) Risiko trauma uretra akibat kateter yang keluar masuk secara
berulang.
c) Risiko infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar atau
dari ujung distal uretra (flora normal).
Terhadap bahaya-bahaya tersebut diajukan beberapa cara pencegahan :
a) Restriksi cairan. Bila penderita dirawat dalam ruangan ber-AC,
maka jumlah cairan total yang dapat diberikan ialah 1500 ml/hari,
dibagi rata tiap 2 jam. Kateterisasi dilakukan tiap 6 jam.
Berdasarkan ketentuan ini maka pada tiap kateterisasi akan
diperoleh urin tidak lebih dari 500 ml. Bila ternyata lebih, maka
pemberian cairan dikurangi atau frekuensi kateterisasi ditambah.
Tentunya restriksi cairan ini harus disesuaikan bila ruang
perawatan tanpa AC.
b) Risiko trauma uretra dapat dicegah, paling tidak dikurangi
dengan menggunakan kateter jenis lunak yang biasanya
dibuat dari bahan polivinil. Sebaiknya dengan ujung bulat
(misalnya kateter Jacques polivinil no. 14 Fr).
c) Sebelum pemasangan, baik pada kateter maupun uretra diberi
pelumas terlebih dahulu. Jangan sekali-kali memasang kateter
pada seorang penderita pria dalam keadaan refleksi ereksi.

CDK 165/vol.35 no.6/September - Oktober 2008

Aman - Praktis - Mudah Digunakan

TINJAUAN PUSTAKA
d) Pencegahan infeksi dilakukan dengan teknik "non touch".
Di samping itu berikan cairan antibiotika/antiseptika ke dalam
kandung kemih setiap habis kateterisasi; bahan yang dipergunakan bervariasi antara satu klinik dengan klinik lainnya.

Setelah menjalani program kateterisasi intermiten, bila residu


urine < l00 ml, frekuensi kateterisasi dikurangi dan jumlah urin
ditambah. Ditunggu sampai 3 kali berturut-turut. Demikian
seterusnya sampai bebas kateter.

Kandung Kemih UMN (Upper Motor Neuron)


Pada tahap akut pengosongan kandung kemih dilakukan
dengan cara kateterisasi intermiten. Dua hari kemudian lakukan
pemeriksaan refleks bulbokavernosus dan tes air dingin. Bila
belum ada respons, evaluasi diulang tiap 72 jam. Setelah
percobaan-percobaan tersebut positif, latihan kandung kemih
dimulai. Caranya adalah dengan ketokan pada dinding abdomen daerah suprapubis setiap 2 jam. Tindakan yang dimaksudkan untuk merangsang refleks miksi ini harus dilakukan oleh
penderita di luar jam-jam tidur (kecuali penderita tetraplegi).
Pada jam-jam tidur pekerjaan diambil alih oleh perawat Bila
jumlah urin yang dapat dikeluarkan melalui cara ini kira-kira
sebanyak jumlah urin yang didapat melalui kateter, maka pada
jadual tersebut tak perlu kateterisasi. Jika kurang, kateterisasi
tetap dilakukan. Mudah dipahami bahwa makin efisien refleks
miksi, makin kurang frekuensi kateterisasi. Kateterisasi dapat
dihentikan sama sekali bila keadaan ini sudah tercapai, restriksi
cairan dapat dilonggarkan.

Apabila terdapat kendala, misalnya sampai 7 hari sisa urin masih


lebih dari 200 ml atau bila dalam 2 hari program tanda-tanda
miksi spontan negatif, dapat diberi urocholin dengan dosis
maksimum 100 mg/hari. Dimulai dengan 15-60 mg/hari dibagi 3
dosis. Dosis awal : 5 mg (3x5 mg) diobservasi tiap 2 hari. Bila
respon kurang, dosis dapat ditingkatkan sampai dosis efektif.
Pemberian dihentikan bila sisa urine menetap sampai 1 minggu.
Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, pemberian obatobatan dapat dipertimbangkan.

Kadang-kadang bladder training tak memberikan hasil memuaskan:


biasanya disebabkan oleh dua kemungkinan:
1. Kontraksi otot detrusor kurang efisien
2. Sfingter uretra kurang efisien
Kandung Kemih LMN (Lower Motor Neuroni)
Prosedur rehabilitasi kandung kemih LMN biasanya tidak sulit.
Miksi spontan dilaksanakan dengan manipulasi Crede dengan
hasil memuaskan. Hanya sedikit penulis yang meragukan efektifitasnya. Di samping itu biasanya penderita masih mempunyai
kemampuan mengejan sehingga dapat membantu evakuasi urin.
Langkah-Langkah Pelaksanaan Program Kateterisasi Intermiten :
Menentukan tipe kandung kemih UMN, LMN atau campuran;
caranya:
- Lakukan pemeriksaan ACR/BCR
- Tentukan fase shock sudah terlewati atau belum (dribble)
- Bila telah dribble, lakukan pengukuran IBV (Initial Bladder
Volume) yaitu mengukur jumlah urin spontan, residu urin dan
dengan tapping/express.
- Lakukan pemeriksaan IWT (Ice Water Test)
Bila hasil positif; berarti fungsi otot detrusor masih baik.
Dari hasil pemeriksaan di atas dapat ditentukan jenis/tipe bladder
dan jumlah cairan yang diminum.
Jika IBV > 400 ml, minum 125 ml/2 jam
Jika IBV < 400 ml, minum 150 ml/2 jam
Kateterisasi dilakukan setiap 6 jam
Sebelum menjalani program ini sebaiknya dilakukan pemeriksaan antara lain : urine, kultur dan sensitifitas, serum kreatin dan
serum urea nitrogen, bila perlu pemeriksaan radiologi maupun
uretro sistografi.

340

OBAT UNTUK RETENSIO URINAE


A. Jenis Penyekat Alfa
Cara Kerja:
1) Merelaksasi otot polos
2) Meningkatkan urinary flow rate pada obstruksi akibat
spasme
Efek samping:
Sedasi, dizziness, hipotensi postural, depresi, nyeri kepala,
mulut kering, mual, takhkardi dan palpitasi
Obat yang dipakai:
1. Alfuzozin HCl 2,5 mg/tbl
Dosis 2,5 mg tiga kali sehari dengan max lOmg/hari
2. Indoramin 20 mg/tbl
Dosis 20 mg dua kali sehari, dapat ditingkatkan setiap 2
minggu 1 tbl. sSampai 100 mg/hari
3. Prazosin HCl (Minipress 1 mg/2 mg/tbl.)
Dosis 0,5 mg dua kali sehari dapat ditingkatkan setiap
3-7 hari sampai max 2x2 mg.
4. Terazosin HCl (Hytrin 1 mg/2 mg/tbl)
Dosis awal 1 mg saat tidur dapat ditingkatkan 1 mg
setiap minggu sampai max lOmg/hari dosis tunggal.
Jika pasien mengeluh pusing, suruh tetap tidur sampai
pusingnya hilang.
B. Jenis Para Simpatomimetik
Cara kerja:
- 1) Meningkatkan efek muskarinik
- 2) Meningkatkan aktivitas m. detrusor
- Pada keadaan tidak ada obstruksi jalan keluar kandung
kemih, peranannya untuk mengatasi retensio urine terbatas.
Efek samping : Keringat, bradikardi, kolik intestinal
Obat yang dipakai:
1. Carbachol 2 mg/tbl
2. Bethanechol chloride Urecholin lOmg/tbl)
Dosis 3-4 x 10-25mg _ jam sebelum makan
3. Distigmine bromide 5 mg/tbl
Dosis 5 mg/hari atau 2 hari _ jam sebelum makan
OBAT UNTUK INKONTINENSIA URINAE
Bersifat anti muskarinik untuk meningkatkan kapasitas kandung
kemih dengan mengurangi kontraksi m. detrusor yang tidak stabil.
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, glaukoma.

CDK 165/vol.35 no.6/September - Oktober 2008

TINJAUAN PUSTAKA
Obat yang dipakai:
1. Flavoxate HCl lOOmg/tbl
Indikasi: Inkontinensia, disuria, spasme kandung kemih
akibat kateterisasi
Dosis : 3 x 200 mg/hari
2. Oxybutynin HCl 2,5 mg/5 mg/tbl.
Indikasi: Inkontinensia, Neurogenic Bladder instability noctural
enuresis
Dosis : 2-3 x 5 mg/hari maksimum. 4x5 mg/hari
Untuk orang tua dosis dimulai dari 2x2,5 mg perhari dengan
dosis maksimum 2x5 mg/hari; untuk anak di atas usia 5 tahun
dimulai dari 2x2,5 mg/hari maksimum.3x5 mg/hari.
Hati hati pada: gagal ginjal/hepar, hipertiroid, penyakit jantung,
hipertrofi prostat, kehamilan dan menyusui
Kontraindikasi: obstruksi/atoni intestinal atau bladder glaucoma
3. Propantheline bromide
Dosis: 2-3 x 15-30 mg/hari satu jam sebelum makan.
4. Ani depresan trisiklik
Imipramine HCl (Tofranil 25 mg/tbl)
Indikasi: Inkontinensia, noctural enuresis
Dosis : 1-3 x 25 mg/hari dapat ditingkatkan bertahap setiap
minggu sampai maksimum 6-8 tbl/hari.
Untuk enuresis pada anak-anak di atas 5 tahun diberikan dosis
tunggal setelah makan malam; usia 5-8 tahun: 1 tbl, usia 8-12
tahun: 1-2 tbl usia 12 tahun : sampai maksimum 3 tbl.
Jangan diberikan bersama obat MAO
Toleransi terhadap alkohol berkurang, bila terjadi reaksi kulit,
stop pemberian agranulositosis, hati-hati pada kehamilan
Kontraindikasi tidak diketahui; relatif pada penyakit jantung,
gangguan kandung kemih akibat obstruksi, glaucoma.
Jika bladder training dan obat-obatan masih belum berhasil baik,
beberapa prosedur konservatif non operatif, dapat dipertimbangkan.
Tindakan-tindakan tersebut ialah:
a. Anestesi mukosa kandung kemih
Berlawanan dengan kandung kemih normal, pada neurogenic
bladder, kontraksi otot detrusor kadang-kadang justru mengakibatkan aktivasi impuls tonik pada sfingter uretra; akibatnya
sfingter uretra menjadi sulit terbuka. Di pihak lain keadaan tonik
sfingter uretra secara reflektoris akan mengakibatkan inhibisi
kontraksi otot detrusor, sehingga kontraksi makin lemah, jadi
timbul keadaan kontraksi otot sulit terbuka. Pemberian anestesi
lokal ke dalam kandung kemih diharapkan dapat mengurangi
rangsangan, sehingga refleks miksi tidak berlebihan. Dianjurkan
mengulangi prosedur ini tiap hari untuk kira-kira dua minggu.
b. Blok n. pudendus
Prosedur ini diindikasikan pada keadaan sfingter uretra terlampau spastik. Dengan blok n. pudendus bilateral diharapkan
impuls tonik pada sfingter uretra berkurang.
Secara reflektoris kontraksi otot detrusor juga diharapkan lebih
efisien, Bahan yang biasa dipergunakan adalah larutan fenol
atau lignokain.
FOLLOW UP
Follow up harus teratur dan berkesinambungan. Pada tahun pertama dapat dilakukan tiap 2-3 bulan.

CDK 165/vol.35 no.6/September - Oktober 2008

Pada tahun-tahun selanjutnya mungkin cukup tiap 4-6 bulan.


Patokan ini untuk penderita dengan kandung kemih yang tergolong memuaskan (residu < 80 ml). Untuk penderita dengan
kandung kemih yang tergolong tidak memuaskan (> 150 ml) ada
baiknya lebih sering memeriksakan diri, karena volume residual
urine yang besar mempunyai kecenderungan menyebabkan reinfeksi (potensi wash-out rendah).
Pada dasarnya hal-hal yang perlu dilakukan pada follow up ialah :
1. Urinalisis
2. Ada tidaknya hambatan arus miksi. Dinilai dari catatan titik
terjauh pancaran urin.
3. Kultur urin
Biasanya spesimen diambil dari urin pancaran tengah midstream
urine). Perlu ditekankan bahwa ada tidaknya infeksi kandung
kemih yang membakat jangan didasarkan atas gejala klinis;
pada penderita paraplegi/tetraplegi biasanya secara subjektif
terlambat ketimbang orang normal. Pedoman berikut patut
dipergunakan sebagai referensi:
a. Bila jumlah koloni < 104 per ml, dianggap tak ada infeksi
b. Bila jumlah koloni > 105 per ml, infeksi sudah membakat
sehingga perlu pemberian terapi adekuat.
c. Bila jumlah koloni antara 104-105 per ml, meragukan sehingga
perlu kultur ulang.
4. Residual urine
Diharapkan volume residual urine berkurang, paling tidak menetap.
Bila ternyata bertambah, maka harus dilakukan evaluasi ulang,
terutama untuk menilai efisiensi kontraksi otot detrusor dan
ada tidaknya resistensi outflow yang bertambah
5. Tes fungsi ginjal
6. IVP/sistouretrografi ada kalanya perlu dilakukan atas indikasi.
Umumnya follow up membutuhkan rawat inap selama 1-2 hari;
suatu spinal unit yang baik selalu menyediakan beberapa
tempat tidur kosong untuk maksud tersebut.
KESIMPULAN
Neurogenic Bladder merupakan gangguan kandung kemih akibat
persarafan yang memerlukan penatalaksanaan rehabilitasi medik
berupa program bladder training yang akan mempengaruhi prognosis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Austin GM. The Spinal Cord, 3rd ed., University of Southern California, IgakuShoin New York, Tokyo 1983
2. Bloch FR. Management of Spinal Cord Injuries, William & Wilkins 2002
3. Ciccone DC. Pharmacology in Rehabilitation, FA Davis Co. Philadelphia,
Department Of Rehabilitation Medicine Emory University School of Medicine,
Atlanta, Georgia 1990
4. Downey JA, The Physiological Basis of Rehabilitation
Medicine, 2nd ed. British Library Cataloging in Publication Data, ButterworthHeinemann, 1994
5. Ganong WF. Fisiologi Kedokteran, Large Medical Publ. terjemah EGC
6. Greenwood R et al. Neurological Rehabilitation, Neurogenic Bladder dysfunction
and its management, Churchill Livingstone, 1993.
7. Chusid JG. Neuroanatomi Korelatif & Neurologi Fungsional, Jilid 1, Hartono
A.(terj.) Gajah Mada University Press, 1991
8. Mochtar AC, Perkina OKI. Overeaction Bladder, Sub bag Urologi, Bag Bedah
FKUI RSCM
9. Pearman JW, England EJ. The Urological Management of the Patient
Following Spinal Cord Injury, Charles Thomas, Springfield.
10. Thamrinsyam H. Bladder Training. URM RSUD dr. Soetomo/FK Unair
Surabaya, 1992

341

TINJAUAN PUSTAKA
d) Pencegahan infeksi dilakukan dengan teknik "non touch".
Di samping itu berikan cairan antibiotika/antiseptika ke dalam
kandung kemih setiap habis kateterisasi; bahan yang dipergunakan bervariasi antara satu klinik dengan klinik lainnya.

Setelah menjalani program kateterisasi intermiten, bila residu


urine < l00 ml, frekuensi kateterisasi dikurangi dan jumlah urin
ditambah. Ditunggu sampai 3 kali berturut-turut. Demikian
seterusnya sampai bebas kateter.

Kandung Kemih UMN (Upper Motor Neuron)


Pada tahap akut pengosongan kandung kemih dilakukan
dengan cara kateterisasi intermiten. Dua hari kemudian lakukan
pemeriksaan refleks bulbokavernosus dan tes air dingin. Bila
belum ada respons, evaluasi diulang tiap 72 jam. Setelah
percobaan-percobaan tersebut positif, latihan kandung kemih
dimulai. Caranya adalah dengan ketokan pada dinding abdomen daerah suprapubis setiap 2 jam. Tindakan yang dimaksudkan untuk merangsang refleks miksi ini harus dilakukan oleh
penderita di luar jam-jam tidur (kecuali penderita tetraplegi).
Pada jam-jam tidur pekerjaan diambil alih oleh perawat Bila
jumlah urin yang dapat dikeluarkan melalui cara ini kira-kira
sebanyak jumlah urin yang didapat melalui kateter, maka pada
jadual tersebut tak perlu kateterisasi. Jika kurang, kateterisasi
tetap dilakukan. Mudah dipahami bahwa makin efisien refleks
miksi, makin kurang frekuensi kateterisasi. Kateterisasi dapat
dihentikan sama sekali bila keadaan ini sudah tercapai, restriksi
cairan dapat dilonggarkan.

Apabila terdapat kendala, misalnya sampai 7 hari sisa urin masih


lebih dari 200 ml atau bila dalam 2 hari program tanda-tanda
miksi spontan negatif, dapat diberi urocholin dengan dosis
maksimum 100 mg/hari. Dimulai dengan 15-60 mg/hari dibagi 3
dosis. Dosis awal : 5 mg (3x5 mg) diobservasi tiap 2 hari. Bila
respon kurang, dosis dapat ditingkatkan sampai dosis efektif.
Pemberian dihentikan bila sisa urine menetap sampai 1 minggu.
Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, pemberian obatobatan dapat dipertimbangkan.

Kadang-kadang bladder training tak memberikan hasil memuaskan:


biasanya disebabkan oleh dua kemungkinan:
1. Kontraksi otot detrusor kurang efisien
2. Sfingter uretra kurang efisien
Kandung Kemih LMN (Lower Motor Neuroni)
Prosedur rehabilitasi kandung kemih LMN biasanya tidak sulit.
Miksi spontan dilaksanakan dengan manipulasi Crede dengan
hasil memuaskan. Hanya sedikit penulis yang meragukan efektifitasnya. Di samping itu biasanya penderita masih mempunyai
kemampuan mengejan sehingga dapat membantu evakuasi urin.
Langkah-Langkah Pelaksanaan Program Kateterisasi Intermiten :
Menentukan tipe kandung kemih UMN, LMN atau campuran;
caranya:
- Lakukan pemeriksaan ACR/BCR
- Tentukan fase shock sudah terlewati atau belum (dribble)
- Bila telah dribble, lakukan pengukuran IBV (Initial Bladder
Volume) yaitu mengukur jumlah urin spontan, residu urin dan
dengan tapping/express.
- Lakukan pemeriksaan IWT (Ice Water Test)
Bila hasil positif; berarti fungsi otot detrusor masih baik.
Dari hasil pemeriksaan di atas dapat ditentukan jenis/tipe bladder
dan jumlah cairan yang diminum.
Jika IBV > 400 ml, minum 125 ml/2 jam
Jika IBV < 400 ml, minum 150 ml/2 jam
Kateterisasi dilakukan setiap 6 jam
Sebelum menjalani program ini sebaiknya dilakukan pemeriksaan antara lain : urine, kultur dan sensitifitas, serum kreatin dan
serum urea nitrogen, bila perlu pemeriksaan radiologi maupun
uretro sistografi.

340

OBAT UNTUK RETENSIO URINAE


A. Jenis Penyekat Alfa
Cara Kerja:
1) Merelaksasi otot polos
2) Meningkatkan urinary flow rate pada obstruksi akibat
spasme
Efek samping:
Sedasi, dizziness, hipotensi postural, depresi, nyeri kepala,
mulut kering, mual, takhkardi dan palpitasi
Obat yang dipakai:
1. Alfuzozin HCl 2,5 mg/tbl
Dosis 2,5 mg tiga kali sehari dengan max lOmg/hari
2. Indoramin 20 mg/tbl
Dosis 20 mg dua kali sehari, dapat ditingkatkan setiap 2
minggu 1 tbl. sSampai 100 mg/hari
3. Prazosin HCl (Minipress 1 mg/2 mg/tbl.)
Dosis 0,5 mg dua kali sehari dapat ditingkatkan setiap
3-7 hari sampai max 2x2 mg.
4. Terazosin HCl (Hytrin 1 mg/2 mg/tbl)
Dosis awal 1 mg saat tidur dapat ditingkatkan 1 mg
setiap minggu sampai max lOmg/hari dosis tunggal.
Jika pasien mengeluh pusing, suruh tetap tidur sampai
pusingnya hilang.
B. Jenis Para Simpatomimetik
Cara kerja:
- 1) Meningkatkan efek muskarinik
- 2) Meningkatkan aktivitas m. detrusor
- Pada keadaan tidak ada obstruksi jalan keluar kandung
kemih, peranannya untuk mengatasi retensio urine terbatas.
Efek samping : Keringat, bradikardi, kolik intestinal
Obat yang dipakai:
1. Carbachol 2 mg/tbl
2. Bethanechol chloride Urecholin lOmg/tbl)
Dosis 3-4 x 10-25mg _ jam sebelum makan
3. Distigmine bromide 5 mg/tbl
Dosis 5 mg/hari atau 2 hari _ jam sebelum makan
OBAT UNTUK INKONTINENSIA URINAE
Bersifat anti muskarinik untuk meningkatkan kapasitas kandung
kemih dengan mengurangi kontraksi m. detrusor yang tidak stabil.
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, glaukoma.

CDK 165/vol.35 no.6/September - Oktober 2008

TINJAUAN PUSTAKA
Obat yang dipakai:
1. Flavoxate HCl lOOmg/tbl
Indikasi: Inkontinensia, disuria, spasme kandung kemih
akibat kateterisasi
Dosis : 3 x 200 mg/hari
2. Oxybutynin HCl 2,5 mg/5 mg/tbl.
Indikasi: Inkontinensia, Neurogenic Bladder instability noctural
enuresis
Dosis : 2-3 x 5 mg/hari maksimum. 4x5 mg/hari
Untuk orang tua dosis dimulai dari 2x2,5 mg perhari dengan
dosis maksimum 2x5 mg/hari; untuk anak di atas usia 5 tahun
dimulai dari 2x2,5 mg/hari maksimum.3x5 mg/hari.
Hati hati pada: gagal ginjal/hepar, hipertiroid, penyakit jantung,
hipertrofi prostat, kehamilan dan menyusui
Kontraindikasi: obstruksi/atoni intestinal atau bladder glaucoma
3. Propantheline bromide
Dosis: 2-3 x 15-30 mg/hari satu jam sebelum makan.
4. Ani depresan trisiklik
Imipramine HCl (Tofranil 25 mg/tbl)
Indikasi: Inkontinensia, noctural enuresis
Dosis : 1-3 x 25 mg/hari dapat ditingkatkan bertahap setiap
minggu sampai maksimum 6-8 tbl/hari.
Untuk enuresis pada anak-anak di atas 5 tahun diberikan dosis
tunggal setelah makan malam; usia 5-8 tahun: 1 tbl, usia 8-12
tahun: 1-2 tbl usia 12 tahun : sampai maksimum 3 tbl.
Jangan diberikan bersama obat MAO
Toleransi terhadap alkohol berkurang, bila terjadi reaksi kulit,
stop pemberian agranulositosis, hati-hati pada kehamilan
Kontraindikasi tidak diketahui; relatif pada penyakit jantung,
gangguan kandung kemih akibat obstruksi, glaucoma.
Jika bladder training dan obat-obatan masih belum berhasil baik,
beberapa prosedur konservatif non operatif, dapat dipertimbangkan.
Tindakan-tindakan tersebut ialah:
a. Anestesi mukosa kandung kemih
Berlawanan dengan kandung kemih normal, pada neurogenic
bladder, kontraksi otot detrusor kadang-kadang justru mengakibatkan aktivasi impuls tonik pada sfingter uretra; akibatnya
sfingter uretra menjadi sulit terbuka. Di pihak lain keadaan tonik
sfingter uretra secara reflektoris akan mengakibatkan inhibisi
kontraksi otot detrusor, sehingga kontraksi makin lemah, jadi
timbul keadaan kontraksi otot sulit terbuka. Pemberian anestesi
lokal ke dalam kandung kemih diharapkan dapat mengurangi
rangsangan, sehingga refleks miksi tidak berlebihan. Dianjurkan
mengulangi prosedur ini tiap hari untuk kira-kira dua minggu.
b. Blok n. pudendus
Prosedur ini diindikasikan pada keadaan sfingter uretra terlampau spastik. Dengan blok n. pudendus bilateral diharapkan
impuls tonik pada sfingter uretra berkurang.
Secara reflektoris kontraksi otot detrusor juga diharapkan lebih
efisien, Bahan yang biasa dipergunakan adalah larutan fenol
atau lignokain.
FOLLOW UP
Follow up harus teratur dan berkesinambungan. Pada tahun pertama dapat dilakukan tiap 2-3 bulan.

CDK 165/vol.35 no.6/September - Oktober 2008

Pada tahun-tahun selanjutnya mungkin cukup tiap 4-6 bulan.


Patokan ini untuk penderita dengan kandung kemih yang tergolong memuaskan (residu < 80 ml). Untuk penderita dengan
kandung kemih yang tergolong tidak memuaskan (> 150 ml) ada
baiknya lebih sering memeriksakan diri, karena volume residual
urine yang besar mempunyai kecenderungan menyebabkan reinfeksi (potensi wash-out rendah).
Pada dasarnya hal-hal yang perlu dilakukan pada follow up ialah :
1. Urinalisis
2. Ada tidaknya hambatan arus miksi. Dinilai dari catatan titik
terjauh pancaran urin.
3. Kultur urin
Biasanya spesimen diambil dari urin pancaran tengah midstream
urine). Perlu ditekankan bahwa ada tidaknya infeksi kandung
kemih yang membakat jangan didasarkan atas gejala klinis;
pada penderita paraplegi/tetraplegi biasanya secara subjektif
terlambat ketimbang orang normal. Pedoman berikut patut
dipergunakan sebagai referensi:
a. Bila jumlah koloni < 104 per ml, dianggap tak ada infeksi
b. Bila jumlah koloni > 105 per ml, infeksi sudah membakat
sehingga perlu pemberian terapi adekuat.
c. Bila jumlah koloni antara 104-105 per ml, meragukan sehingga
perlu kultur ulang.
4. Residual urine
Diharapkan volume residual urine berkurang, paling tidak menetap.
Bila ternyata bertambah, maka harus dilakukan evaluasi ulang,
terutama untuk menilai efisiensi kontraksi otot detrusor dan
ada tidaknya resistensi outflow yang bertambah
5. Tes fungsi ginjal
6. IVP/sistouretrografi ada kalanya perlu dilakukan atas indikasi.
Umumnya follow up membutuhkan rawat inap selama 1-2 hari;
suatu spinal unit yang baik selalu menyediakan beberapa
tempat tidur kosong untuk maksud tersebut.
KESIMPULAN
Neurogenic Bladder merupakan gangguan kandung kemih akibat
persarafan yang memerlukan penatalaksanaan rehabilitasi medik
berupa program bladder training yang akan mempengaruhi prognosis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Austin GM. The Spinal Cord, 3rd ed., University of Southern California, IgakuShoin New York, Tokyo 1983
2. Bloch FR. Management of Spinal Cord Injuries, William & Wilkins 2002
3. Ciccone DC. Pharmacology in Rehabilitation, FA Davis Co. Philadelphia,
Department Of Rehabilitation Medicine Emory University School of Medicine,
Atlanta, Georgia 1990
4. Downey JA, The Physiological Basis of Rehabilitation
Medicine, 2nd ed. British Library Cataloging in Publication Data, ButterworthHeinemann, 1994
5. Ganong WF. Fisiologi Kedokteran, Large Medical Publ. terjemah EGC
6. Greenwood R et al. Neurological Rehabilitation, Neurogenic Bladder dysfunction
and its management, Churchill Livingstone, 1993.
7. Chusid JG. Neuroanatomi Korelatif & Neurologi Fungsional, Jilid 1, Hartono
A.(terj.) Gajah Mada University Press, 1991
8. Mochtar AC, Perkina OKI. Overeaction Bladder, Sub bag Urologi, Bag Bedah
FKUI RSCM
9. Pearman JW, England EJ. The Urological Management of the Patient
Following Spinal Cord Injury, Charles Thomas, Springfield.
10. Thamrinsyam H. Bladder Training. URM RSUD dr. Soetomo/FK Unair
Surabaya, 1992

341

Anda mungkin juga menyukai