Anda di halaman 1dari 453

l't·rc.

:i�tab111:
Saga OLdll'it ra
.JJn. Kubnngsari XI nt1 �9:1
Bandung--lO i :! I
Ceta kn n I. -Ia nu.ui �01:1
Copvright :wI:l
Hak Cipt» ada pada l'c·ngarang
Dilindungi undang--undHng
llllISBN IIHl/ ll/!f/ltlll II/ 11//!III
ltll /I818-918-15518-�-8
. ' .. . . '. ' ..- . . . . . - . � . . .... ·. . . •,
. . .. .. � .
'
. � . . ' . , . . ' '
'. KONTRIBUTOR.. BUKU ANESTESI OBSTETRI . .
- �-· .. ·. .. �·�:. :: ;_ ... -· ·.·. ,.�- :-, . _-' -.·.· ·.�: � �·- ·. ·. .t.: .-
Achsanuddin Guru Bc sar Anestesiologi
Hana fie Spesiahs Anestesiologi Kens ult an Intensive Care dun
Konsultan Ancstes: Obstct ri
Fakultas Kcdokteran Univcr sitas Sumatra Utnrn
RS. Adam Malik - Medan
Bambang Suryono Spesialis Ancstcsiologi Konsultan Neuroanestesia d an
Suwondo Konsultan Anestesi Obstetri
Fakult as Kedokteran Univer sitas Gadjah Mada
RS. Dr. Sardjito-Yogyakarta
Borahima Lami Spcsialis Anestesiologi Konsult an Ancstcsi
Kardiovaskuler dan Konsultan Ane stcsi Obstctr i
Fakultas Kedokteran Univer sitas Hasanudin
l�S. Dr. Wahidin Socdirohusodo-Makassar
Chairul Mursin Spe siaiis Anestesiologi Kon sultan Ane stesi Obstetri
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara
RS. Adam Malik - Medan
Dewi Yulianti Bisri Kandidat Doktor Anestesiologi
Spesialis Anestesiologi Konsultan Neuroanestesia dan
Konsultan Anestesi Obstetri
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RS. Dr. Hasan Sadikin-Bandung
Diana Christine Kandidat Doktor Anestcsiologi
Lalenoh Spesialis Anestesiologi Konsultan Neuroanestesia dan
Konsultan Anestesi Obstetri
Fakultas Kedokteran Universitas Samratulangi
RS.Prof. R.D. Kandou- Manado
Eddy Rahardjo Guru Besar Anestesiologi
Doktor Anestesiologi
Spesialis Anestesiologi Konsultan Intensive Care dan
Konsultan Anestesi Obstetri
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
RS. Dr. Soetomo-Surabaya
Ery Leksana Spesialis Anestesiologi Konsultan Intensive Care dan
Konsultan Anestesi Obstetri
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
RS. Dr. Kariyadi-Semarang
Emilzon Taslim Spesialis Anestesiologi Konsultan Anestesi Obstetri
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
RS. Dr. M. Djamil-Padang
:
••
• \ • • • ; � ' ' • -._ I • ' '• • • :. •
r • •
• •
KONTRIBUTOR�UKU ANESTESI OBST�TRI ·,:. ' .. >:.·
,,_:_._- ·'1� ·.:. :�':- -·�_":.� :,- ·.: ..... ·.:
�·· .. ', .· . .;.. ·,:_, ....._.·:. .: .• '::<:.·;;.
Gatut Dwidjo Spe sialis Anestcsiolog: Konsulmn rntcn sive .. Care dun
Prijambodo Konsultan Anestcsi Obstet ri
Fakulias Kedokteran Universuas Airlangga
RS. Dr. �,oetomo-Sur abaya
Hari Bagianto Doktor Ancstesiologi
Spesialis Anestcsiologi Kousuh an Intensive Care dan
Konsultan Aneste si Obstctn
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
RS. Saiful Anwar-Malang
Hermanus Jacobus Kandidat Doktor Anesrcsiologi
Lalenoh Spesialis Ancstesiologi Konsultan Managemen Nyeri
dan Konsultan Ancstcsi Ohstctri
Fakultas Kedokteran Universitas Samratulangi
RS. Prof. Kandau-Manado
Kaswiyan Adipradja Guru Besar Anestesiologi
Spesialis Anestesiologi Konsultan Anestesi Pediatrik
dan Konsultan Anestesi Obstetri
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RS. Dr. Hasan Sadikin-Bandung
Made Wiryana Guru Besar Anestesiologi
Doktor Anestesiu!ogi
Spesialis Anestesiologi Konsultan Intensive Care dan
Konsultan Anestesi Obstetri
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
RS. Sangiah Deripasar-Bali
Marwoto Guru Besar Anestesiologi
Spesialis Anestesiologi Konsultan Intensive Care dan
Konsultan Anestesi Obstetri
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
RS. Dr. Kariyadi-Semarang
Muhamad Ramli Doktor Anestesiologi
Achmad Spesialis Anestesiologi Konsultan Anestesi Obstetri
dan Konsultan Managemen Nyeri
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin
RSUP. Dr. Wahidin Soedirohusodo-Makassar
Nazlina Santoso Spesialis Anestesiologi Konsultan Anestesi Pediatrik
dan Konsultan Anestesi Obstetri
Magister Hukum Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Riau
RS. Arifin Achrnad-Pekanbaru
KoN,-IU13uTo�
� • '\ •

B�Ku J\NEsTESI oBSTE;Rt .. ·.. • ... · -,


• ,r ' , • • , '• ' • • ,
• • ! • •. •
Purwoko Spcsiali:-; Ancstcsiolog: l\onsultan Anestt.:�i
Kardiovask uler dan Konsuuau Ancstcsi Obstct ri
luk ultus Kcdoktcran Univcrsuus Scbcias Maret
RS. Dr. Mocwardi-Solo
Rose Mafiana Kandidat Doktor
Spesialis Ane stc siologi Konsult an Ncuroane stcsi dan
Konsuitan Ancstcsi Obstctri
Fakultas Kedokte ran Univcrsitas Sriwijaya
RS. Mohammad Hoe sin-Palembaug
Sri Wahjoeningsih Guru Be ear Anestcsiologi
Sprsialis Ancstcsiologi Konsultan Intensive Care clan
Konsultan Anestc si Obstetri
Fakultas Kedokteran Universitas Airlnngga
RS. Dr. Soetorno-Sur abaya
Sri Rahardjo Doktor Anestesiologi
Spesialis Anestesioiogi Konsultan Neuroanestesia dan
Konsultan Anestesi Obstetri
Fakultas Kedokteran Univer sitas Gadjah Mada
RS Dr. Sardjito-Yogyakarta
Tatang Bisri Guru Besar Anestesiologi
Doktor Anestesiologi
Spcsialis Anestesiologi Konsultan Neuroanestesia clan
Konsultan Anestesi Obstetri
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RS. Dr. Hasan Sadikin-Bandung
Yusmein Uyun Kandidat Doktor
Spesialis Anestesiologi Konsultan Anestesi Obstetri
Fakultas Kedokteran Univer sitas Gadjah Mada
RS. Dr. Sardjito-Yogyakarta
: ' . �. ' .,. . . . .·· . . . . - , . . ' .' ' .. . '
KATA PENG.ANTAR , , . ':. . . . .
_·. : : ·.
· �!u�)<o�_�s( ���-�DI��-.�� KAT�: .: . : ·._.
Anglea kematian ibu dan anak masih sangat tinggi di
Indonesia. Usaha unruk mengurangi kejadian tcrsebut
mcmcrl ukan kerjasarna yang baik dari semua unsur tenaga
keschatan , fasilitas, pemcrintah, dsbnya. Dokter Spesialis
Anestesiologi Konsultan Obstetri Anestesi berkewajiban untuk
rnclaksanakan pendidikan dalam bidang Ancstesiologi clan
khususnya Obstetri Anestesi unt uk meningkatkan kualit as,
kompetensi tenaga medis (residen anestesi, dokter spesialis
Anestesiologi, dokter spesialis lain) yang bekecimpung dalam
masalah perianganan ibu harnil.
Buku Anestesi Obstetri ini disusun oleh 23 orang
Spcsialis Anestesiologi yang mendalami bidang Anestesi Obstetri
dan dibuat berdasarkan literatur asing yang baru (up to date)
dan pengalaman di lapangan dari masing-masing penulisnya.
Mudah-mudahan ada manfaatnya.
Yogyakarta, Januari 2013
Ketua Komisi Pendidikan Spesialis
Anestesiologi Korisultan Anestesi Obstetri •
Kolegium Anestesiologi dan Terapi lntensif
Indonesia,
Bambang Suryono Suwondo
Para Sejawat Perdatin sekalian,
Untuk sambutan dalarn peluncuran buku Anestesi
Obstetri saya ingin meriekankan beberapa unsur sejarah dalarn
perspektif sejar ah bcrkembangnya profesi Anestesiologi. Dalam
perjalanan waktu yang relatif singkat, sedikit lebih dari
setengah abad, berbagai upaya telah dirintis, baik yang berupa
intensifikasi dan ekstensifikasi domain yang tercakup dibawah
nama Anestesiologi irn. Semua upaya dan kontribusi
pengembangan ini merupakan usaha menjawab tantangan dari
dunia pelayanan medis dan konsumen jasa medis yang
senantiasa meningkat seolah-olah tanpa batas. Sejak tiga
dekade yang lalu kita merintis Intensive Care, dimulai dari
scratches hingga mencapai kondisi secanggih sekarang. Saat ini
sudah empat dari 11 pusat pendidikan Spesialis Anestesiologi
dan Terapi Intensif yang telah mendidik dan menghasilkan
lulusan Intensivist yang banyak dibutuhkan untuk memimpin
ICU. Empat pusat itu adalah Jakarta, Surabaya, Bandung dan
Makassar. Dalam tahap berikutnya kita mulai mengembangkan
Neuroanesthesia. Perjuangan inipun tidak ringan. Namun
dengan segala jerih payah maka Bandung disepakati untuk
menjadi Pusat Pendidikan Neuroancsthesia dengan ditunjang
para pendidik yang berasal dari sebelas IPDS lainnya.
Beberapa tahun terakhir ini Pemerintah mengedepankan
upaya upaya untuk menekan angka kematian ibu bersalin
(MMR) seiring dengan target ke 5 dari Millenium Development
Goals. Saat ini penyebab tertinggi kematian ibu bersalin adalah
perdarahan. Pada sebagian besar kasus, perdarahan ini hanya
bisa dihentikan dan diatasi dengan pembedahan besar yang
memerlukan peran dokter Spesialis Anestesiologi. Dari sisi
kebutuhan masyarakat, permintaan yang makin meningkat
untuk peiayanan persalinan be bas nyeri misalnya,
membutuhkan pembekalan tambahan bagi PPDS agar mereka
kelak dapat memberikan anestesia dan perioperative care yang
menjamin patient safety bagi ibu dan bayi yang dilahirkan,
termasuk resusitasi jika diperlukan.
Disatu sisi diperlukan peningkatan jumlah dokter
Spesialis Anestesiologi dan disisi lain diperlukan peningkatan
penyebarannya. Dalam konteks ini jelas bahwa selain upaya
pemercepatan pendidikan dengan menambah jumlah institusi
pendidikan, diperlukan juga peningkatan muatan anestesia
ii
··· .··?
/ . . ' •: . •·>·. ".. ,; ::!: ./. : . · · ... ·. .. < .·.··•. ·.·.·. •· ..
obstetrik dalarn kurikulum PPDS Ane stcsiologi clan Terapi
lntensif. Dasar inilah yang antara lain melandusi bcrdirinya
pcndidikan Konsultan Anestcsia Obst ct rik (KAO). Da sar ini
sejalan dengan ketentuan Kernendiknas yang menyatakan
bahwa pendidikan Sp-1 hanya boleh dilakukan olch jenjang
diatas Sp- 1. Jawaban untuk itu, rnengharuskan lnstitusi
Pendidikan untuk memiliki staf dengan kwalifikasi Doktor / S-3
atau Spesialis Konsultan yang oleh beberapa narasumber
diidentikkan dengan Sp-2. Keberadaan Konsultan Anestesia
Obstetrik ini dirnasa depan akan lebih memastikan muru
pendidikan muatan anestesia obstetrik bagi para Iulu san
pendidikan SpAn.
Rintisan ini masih memerlukan perjalanan panjang.
Setelah proses pemutihan beberapa founding fathers bagi setiap
IPDS (11 institusi), disusunlah kurikulum dan materi
pendidikannya. Apa yang tertulis dan disusun dalam buku ini
adalah purwarupa yang masih perlu disempurnakan dari waktu
ke waktu. Peran serta para pendidik sangat diperlukan untuk
kesempurnaannya.
Kolegium Anestesiologi dan Terapi lntensif akan
memandu dan menata proses selanjutnya, agar dapat dicapai
proses pendidikan yang selain akan memenuhi kebutuhan
pelayanan medik bagi masyarakat juga akan meningkatkan •
harkat profesi dalam jajaran profesi Dokter Spesialis di
Indonesia.
Demikian sambutan, penjelasan dan harapan KATI.
Semoga semangat yang telah mendasari perjuangan mulia ini
terus dikobarkan demi sukses profesi Anestesiologi dan Terapi
Intensif, profesi Konsultan Anestesia Obstetrik dan demi tugas
mulia kita bersama mengabdi kepada kemanusiaan serta
bangsa dan negara Indonesia. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa senantiasa ridho dan berkenan melimpahkan rahmat
dan lindunganNya kepada perjuangan kita semua.
Wabillahi taufik wal hidayah
Wassalamualaikum wr wb
Surabaya akhir Des ember 20 12
Ketua KATI,
Prof. Dr. H.R. Eddy Rahardjo, dr, SpAn KIC
Ill
Kata Pengantar Ketua Komisi Pendidikan Konsultan
Anestesi Obstetri Kolegium Anestesiologi dan
Terapi Intensif Indonesia (KATI)
Kata Pengantar Ketua Kolegium Anestesiologi ii
dan Terapi Intensif Indonesia (KATI)
BAB 1 ANATOMI DAN FISIOLOGI WANITA HAMIL
Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri
BAB2 FARMAKOLOGI PERINATAL 15
Diana Christine Lalenoh, Sri Wahjoeningsih
BAB3 ALIRAN DARAH UTEROPLASENTA 41
Chaerul Mursin, Marwoto
BAB4 ANESTESI REGIONAL UNTUK SEKSIO 57
SESAREA
Yusmeiri Uyun, Kaswiyan Adipradja
BAB 5 ANESTESI UMUM UNTUK SEKSIO 63
SESAREA
Hermanus Jacobus Lalenoh, Sri Rahardjo
BAB6 TERAPI CAIRAN DAN TRANSFUSI PADA 71
KAHAMILAN
Chaerul Mursin, Bambang Suryono Suwondo
BAB7 PENGELOLAAN MENDELSON SYNDROME 79
Diana Christine Lalenoh, Sri Wahjoeningsih
BAB 8 EMBOLI AIR KETUBAN 89
Nazlina Santoso, Achsanuddin Hanafie
BAB9 SEKSIO SESAREA PADA PASIEN ASMA 107
Nazlina Santoso, Eddy Rahardjo
v
.

: BAB 10 SEKSIO SESAREA PADA PENYAKIT 119
KATUP JANTUNG
Gatut Dwidjo Prijamhodo, Eddy Rahardjo
BAB 11 SEKSIO SESAREA PADA PASIEN 129
KARDIOMIOPATI
Gatut Dwidjo Prijambodo, Eddy Rahardjo
)>
z
m
en BAB 12 SEKSIO SESAREA PADA PASIEN 135
-I
m EKLAMPSI DAN PREEKLAMPSI

0 Gatut Dwidjo Priuambodo, Bambanq Suryono
CD
en Suwondo
;rl
-I
� BAB 13 SEKSIO SESAREA PADA PASIEN 153
PERDARAHANPREPARTUM
Muhamad Ramli Achmad, Borahima Lami
BAB 14 SEKSIO SESAREA PADA PASIEN 167
OBESITAS
Ery Leksana, Yusmein Uyun
BAB 15 SEKSIO SESAREA PADA PASIEN GEMELLI 171
Yusmein Uyu.n, Achsanuddin Hanafie
BAB 16 SEKSIO SESAREA PADA PASIEN 175
PENYAKIT AUTOIMUN
Muhamad Ramli Achmad, Borahima Lami
BAB 17 SEKSIO SESAREA PADA PASIEN HIV 189
Muhamad Ramli Achmad, Borahima Lami
BAB 18 SEKSIO SESAREA PADA PASIEN TUMOR 201
OTAK
Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri
BAB 19 SEKSIO SESAREA PADA PASIEN 205
ANEURISMA INTRAKRANIAL/ AVM/
STROKE
Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri
BAB20 SEKSIO SESAREA PADA CEDERA OTAK 213
TRAUMATIK
Diana C. Lalenoh, Tatang Bisri
VJ
BAB 21 TRAUMA PADA KEHAMILAN 223
Sri Rahardjo, Yusmein Uyun
BAB22 SEKSIO SESAREA PADA PASIEN 239
DIABETES MELLITUS
Ery Leksana, Chaerul Mursin
BAB23 SEKSIO SESAREA DENGAN FASILITAS 243 c
ANESTESITERBATAS �
Sri Rahardjo, Marwoto
-
.,�
BAB24 SEKSIO SESAREA PADA PROLAPS 249 �
UMBILIKUS
Sri Rahardjo, Marwoto
BAB25 SEKSIO SESAREA PADA PASIEN 253
INFLUENZA
Sri Wahjoeningsih, Eddy Rahardjo
BAB26 SEKSIO SESAREA PADA PASIEN PANAS 257
Sri Wahjoeningsih, Achsanuddin Hanafi
BAB27 SEKSIO SESAREA PADA PASIEN DENGAN 269
DIABETES INSIPIDUS
Hermanu.s Jacobus Lalenoh, Ery Leksana
BAB28 PENATALAKSANAAN OBSTETRI ANESTESI 275
PADA GANGGUAN HEPAR DAN GINJAL
Rose Mafiana, Made Wiryana
BAB29 SEKSIO SESAREA DENGAN HIPERTIROID 293
Puriooko, Hari Bagianto
BAB30 PENGELOLAAN NYERI PASCA SEKSIO 301
SESAREA
Muhamad Ramli Achmad, Marwoto
BAB 31 MANAJEMEN NYERI PERSALINAN 315
Ery Leksana, Kaswiyan Adipradja
BAB32 ANESTESI UNTUK OPERAS! LAIN SELAMA 355
KEHAMILAN
Emilzon Taslim, Chaerul Mursin
VII
BAB 33 INTRATEKAL OPIOID PADA WANITA 369
HAMIL
Nazlina Santoso, Borahima Lami
BAB 34 ANESTESI UNTUK LIGAS! TUBA POST 381
PARTUM
Bambang Suryono Suioondo, Kaswiyan
Adipradja
BAB 35 RESUSITASI PADA NEONATUS 389
Nazlina Santoso, Kaswiyan A.dipradja
BAB 36 PENANGANAN PASIEN ATONIA UTERI 401
Hermanus Jacobus Lalenoh, Gatut Dwidjo
Prijambodo
BAB 37 ANESTESI PADA ASSISTED 405
REPRODUCTIVE TECHNOWGY
Bambang Suryono Suwondo, Achsanuddin
Hanafie
BAB 38 DIC DAN KOMPLIKASI 411
THROMBOSITOPENIA PADA IBU HAMIL
Rose Mafiana, Made Wiryana
BAB 39 SAKIT KEPALA DAN KEJANG PADA 423
KEHAMILAN
Puruioko, Hari Baqiarito
BAB 40 MORTALITAS DAN MORBIDITAS IBU 427
HAMIL
Emilzori Taslim, Hermanus Jacobus Lalenoh
Vlll
RAB 1
:_;An.�t*�i.·aa:it·: j:1;1Jibgfw�hita· 'Rafuir.-:·. >. : :
:· 1>e.i"Y..uiut(8isit, Tatug:Jlls� ·. ;:·-.' . · ···.: . .":_.: · ... ->: .. ,· :,:.'
· ./':\.:/:\ :�_i_·r=tr-:··t :,.: : /.:./=.' . �/-: \>> {· :.<1/.: :·:: :::.:.<.::: . ,.·.-·;'.: ,::�:- ;. <. -· '.\�:,:
Anesresi untuk obstcr ri berbeda dcngan tindakan
ancstcsi yang lain karenn:
1. !bu rnasuk rumah sakit pada hari saat akan
melahirkan, sehingga persiapan prabedah sangat
singkat.
2. Ada dua insan yang perlu diperhatikan, yaitu !bu clan
bayi yang akan dilahirkan.
3. Terjadi pe rubahan-perubahan fisiologi yang dimulai
pada tiga bulan terakhir kehamilan.
4. Adanya resiko rnuntah, regurgitasi, dan aspirasi
setiap saat.
S. Efek obat yang diberikan dapat mempengaruhi bayi
karena menembus barier plasenta.
Pada seksio sesarea dengan pasien normal, harus
diperhatikan perubahan-perubahan fisiologi dan anatomi,
karena perubahan tersebut akan mempengaruhi tindakan
anestesi. Parturien mengalami perubahan-perubahan Juar
biasa selama keharnilan, persalinan, dan segera pada periode
pascasalin yang secara langsung dapat mempengaruhi
teknik anestesi, karena itu pengetahuan yang mendalam
tentang perubahan fisiologis 1111 penting untuk dapat
mengelola pasien dengan tepat.
I
Bila pasien disertai penyulit Jain seperti preeklampsi,
asthma bronkhiale, maka tindakan anestesinya akan lebih
spesifik lagi. Untuk hal itu, diperlukan pengetahuan yang
mendalam mengenai fisiologi ibu hamil, farmakologi ibu
hamil, fisiologi foetal, aliran darah uterus sehingga dapat
mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Pada wanita hamil mulai 3 bulan terakhir, terjadi
perubahan dalam volume darah, sistim respirasi,
kardiovaskuler, susunan saraf pusat, susunan saraf perifer,
renal, saluran cerna, muskuloskeletal, dermatologi, jaringan
mammae, dan mata.
1. Berat Badan dan Komposisi
Berat badan rata-rata meningkat selarna kehamilan
kira-kira 17% dari BB sebelurn harnil atau kira-kira 12 kg.
Penambahan berat adalah akibat dari peningkatan ukuran
uterus dan isi uterus (uterus 1 kg, cairan amnion 1 kg, fetus
dan plasenta 4 kg), peningkatan volume darah dan cairan
interstitial (masing-masing 2 kg), dan lemak serta protein
baru kira-kira 4 kg. Penambahan BB normal selarna
trimester pertama adalah 1-2 kg dan masing-masing 5-6 kg
pada trimester 2 dan 3.
lmplikasi Klinisnya:
Konsumsi oksigen meningkat sehingga hariis diberikari
oksigen sebelum induksi anestesi wnum. Penusukan spinal
atau epidural anestesi menjadi lebih sulit. Karena
penambahan berat badan dan penambahan besar buah dada
kemungkinan menimbulkari kesulitan intubasi.
2. Sistim Respirasi
Konsumsi oksigen meningkat 30-40% selama
kehamilan yang dibandingkan dengan segera periode post
parturn sebagai kontrol. Peneliti lain yang membandingkan
dengan nilai 8-12 bulan post partum sebagai kontrol,
menemukan kenaikan konsumsi oksigen sebesar 60%
selama kehamilan. Peningkatan yang progresif mi
disebabkan terutama oleh kebutuhan metabolik fetus,
uterus, dan plasenta dan sekunder oleh kenaikan kerja
jantung dan paru. Produksi C02 menunjukkan perubahan
yang sama dengan konsumsi oksigen.
Pembesaran kapiler pada mukosa nasal,
oropharingeal, dan laring dimulai pada trimester pertama
dan meningkat secara progresif sepanjang kehamilan.
Pemafasan melalui hidung umumnya menjadi sulit, dan
dapat terjadi epistaksis akibat dari pembengkakan mukosa
nasal.
Perubahan pada parameter respirasi mulai pada
minggu ke-4 kehamilan. Perubahan fisiologi dan anatomi
selama kehamilan menimbulkan perubahan dalam fungsi
paru, ventilasi dan pertukaran gas.
Ventilasi semenit meningkat pada aterm kira-kira
45% diatas nilai waktu tidak hamil. Peningkatan volume
semenit ini disebabkan karena peningkatan volume tidal
2
(451!-1,) sedangkan Irckuerisi nafas tidak berubah. Ventilasi
alveoli mcningkat 45°1,, scperti pcningkatan volume tidal,
tetapi dead space meningkat 45'Y.,.
Paco__. menurun sarnpai 30 mmHg pada kcharnila n 12
minggu tapi tctap t idak berubah sarnpai keharnilan aterm.
Peningkatan korisent rasi progestcron selarna kcharnilan
rncnurunkan ambang pusat nafas di mcdula oblongata §
tcrhadap C02. ,2
ci
Tabcl 2. Gas darah sclarna keharnilan c
r
Trimester c
------·---- f;:
Tidak hamil 2 3
<
PaC02 (mmHg) 40 30 30 30 <
):
Pa02 (mmHg) 100 107 105 103 2
pH 7,40 7,44 7.44 7,44 -
):
HCO ,-(mEg/ L) 24 21 20 20 ::J
):
s
Pada keharnilan aterm functional residual capacity r
(FRC), expiratory reserve uolume (ERV) dan residual volume
(RV) menurun. Perubahan-perubahan ini disebabkan karena
diafragma terdorong keatas oleh uterus yang gravid. FRC
menurun 15-20%, menimbulkan peningkatan "Shunt:' dan
kurangnya cadangan oksigen. Dalam kenyataannya, "airway
closure" bertambah pada 30°/c, gravida aterm selama ventilasi
tidal. Kebutuhan oksigen meningkat sebesar 30-40%.
Peningkatan ini disebabkan kebutuhan metabolisme untuk •
foetus, uterus, plasenta serta adanya peningkatan kerja
jantung dan respirasi. Produksi C02 juga berubah sama
seperti 02. Faktor-faktor ini akan menimbulkan penurunan
yang cepat dari Pa02 selama induksi anestesi, maka untuk
menghindari kejadian ini, sebelum induksi pasien mutlak
harus diberikan oksigen 100% selama 3 menit (nafas biasa)
atau cukup 4 kali nafas dengan inspirasi maksimal (dengan
02 100%). Vital capacity dan resistensi paru-paru menurun.
Terjadi perubahan-perubahan anatomis, mukosa
menjadi vaskuler, edematus dan gampang rusak, maka
harus dihindari intubasi nasal dan ukuran pipa
endotrakheal harus yang lebih kecil daripada untuk intubasi
orotrakheal wanita yang tidak hamil.
Penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit, juga
penurunan minimum alveolar concentration (MAC) akan
menyebabkan parturien lebih mudah dipengaruhi obat
3
anestesi inhalasi dari pada penderita yang tidak hamil.
Cepatnya induksi dengan obat anestesi inhalasi karena:
hiperventilasi akan menyebabkan lebih banyaknya gas
anestesi yang masuk ke alveoli.
pengenceran gas inhalasi Jebih sedikit karena
menurunnya FRC.
MAC menurun.
Pada kala 1 persalinan, dapat terjadi hiperventilasi, ventilasi
semenit meningkat 70-140%. Pada kala 2 ventilasi semenit
meningkat 120-200% dibandingkan dengan nilai pada
wanita yang tidak hamil. PaC02 dapat menurun sarnpai 10-
15 mmHg, dan menimbulkan asidosis foetal. Pemberian
analgetik (misal: epidural analgesia) akan menolong.
Konsumsi oksigen meningkat diatas nilai sebelum persalinan
sebesar 40% pada kala 1 dan 75% pada kala 2.
Semua parameter respirasi ini akan kembali ke nilai ketika
tidak hamil dalam 6-8 minggu postpartum.
Tabel 2. Perubahan fisiologi respirasi pada kehamilan
a term
Parameter Perubahan ·1
Volume paru
Inspiratory reserve volume (IRV) + 5%
Tidal volume (TV) +45%
Expiratory reserve volume (ERV) -25%
Residual volume (RV) -15%
Kapasitas Paru
Inspiratory Capacity + 15%
Functional Residual Capacity (FRC) -20%
Vital Capacity tidak berubah
Total Lung Capacity -5%
Dead space + 45%
Laju Nafas tidak berubah
Ventilasi
Minute ventilation + 45%
Alveolar ventilation + 45%
*) Perubahan relatif dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil
4
Implikasi Klinisnya:
I. Penurunan FRC, peninqkatari uentilasi semenit, serta
adanya penurunari MAC akan menyebabkan parturieri
lebih sensitif terhadap anestetika inhalasi daripada
u/anita yang tidak: hamil.
2. Disebabk.an karena peninqkatan edema, uaskularisasi,
Jragilitas membran mukosa, horu.s dihindari intubasi
nasal, dan qunakari pipa endotrakhea yang lebih kecil
daripada untuk: wanita yang tidak hamil
3. Perubahan Volume Darah
Volume darah ibu meningkat selama kehamilan yang
dimulai pada trimester pertama ( 15%) dan meningkat
dengan cepat pada trimester kedua (50%) dan trimester
ketiga (55°1<,), termasuk peningkatan volume plasma, sel
darah merah, dan sel darah putih. Volume plasma
meningkat 40·-50%, sedangkan sel darah merah meningkat
15-20% yang menyebabkan terjadinya anemia fisiologis
(normal Hb: l 2gr%, hematokrit 35%). Disebabkan
hemodilusi ini, viskositas darah menurun kurang lebih 20%.
Mekanisme yang pasti dari peningkatan volume plasma ini
belum diketahui, tetapi beberapa hormon seperti renin-
angiotensin-aldosteron, atrial natriuretic peptide, estrogen,
dan progesteron mungkin berperan dalam mekanisme
terse but.
I ,
.1
,,Hl.lf
wsvj II
11�
I !
"'"e .·
8 ?,,
i.
!11111cs1cr Posrp.unuu
Gambar 1. Volume darah selama kehamilan, persalinan, dan
postpartum
5
Tabel 2. Parameter hematologik pada kehamilan aterm
_ Paramcte� ··--------------- Perubahan'
Volume Darah + 45%
Volume Plasma + 55%,

-----=�=
Volume Sel darah merah + 30'Yr,
Hemoglobin ll,6g/dL
Hematokrit 35,5%
*) perubahan relatif dibandingkan wanita yang tidak hamil
Faktor pembekuan I, VII,VIII, IX, X, dan XII dan
fibrinogen meningkat. Pada proses kehamilan, dengan
bertambahnya umur kehamilan, jumlah thrombosit
menurun. Perubahan-perubahan ini adalah untuk
perlindungan terhadap perdarahan katastropik tapi juga
akan merupakan predisposisi terhadap fenomena
thromboemboli. Karena plasenta kaya dengan tromboplastin,
maka pada solusio plasenta, ada risiko terjadinya
disseminated intrauascular coagulation (DIC).
Tabel. Perubahan Parameter Koagulasi dan Fibrinolitik pada
kehamilan aterm
Meningkat
Faktor I (fibrinogen)
Faktor VII (proconvertin)
Faktor VJII (antihemofilik factor]
Faktor IX (Christmas faktor)
Faktor X (Stuart-Prower factor)
Faktor XII (Hageman factor)
Tidak berubah
Faktor II (prothrombin)
Faktor V (proaccelerin)
Menurun
Faktor XI (thromboplastin antecedent)
Faktor XIII (fibrin stabilizing factor)
Prothrombin time: memendek 20%
Partial thromboplastin time: memendek 20%
Thromboelastography: hiperkoagulabel
Fibrinopeptide A: meningkat
Antithrombin III: rnenurun
Jumlah trombosit: menurun atau tidak berubah
Bleeding time: tidak berubah
Fibrin degradation product: meningkat
Plasminogen: meningkat
Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi
pen ting:
6
Untuk memelihara kebutuhan peningkatan sirkulasi
karena ada pembesaran uterus dan unit foeto-placenta.
Mengisi peningkatan reservoir vena.
Melindungi ibu dari pcrdarahan pada saat mclahirkan.
Selarna kehamilan ibu menjadi hiperkoagulopati.
Delapan minggu setelah melahirkan volume darah kembali
normal. Jumlah perdarahan normal partus pervaginam
kurang lebih 400-600ml dan 1 OOOml bila dilakukan seksio
sesarea, tapi pada umumnya tidak perlu dilakukan transfusi
darah.
Implikasi Klinis:
Peninqkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi
penting yaitu untuk memenuhi kebutuhan akibat pembesaran
uterus dan unit [eto-plasenta, menqtsi reservoir uena,
melindunqi ibu dari perdorahari akibat melahirkan; dan
karena ibu menjadi hipercoaqulabel selama proses kehamilan.
Keadaan znz berlanqsunq sampai 8 minggu setelah
melahirkan.
4. Perubahan Sistim Kardiovaskuler
Curah jantung meningkat sebesar 30-40% dan
peningkatan maksimal dicapai pada kehamilan 24 rninggu.
Permulaannya peningkatan denyut jantung ketinggalan
dibelakang peningkatan curah jantung dan kemudian •
akhirnya meningkat 10-15 kali permenit pada kehamilan 28-
32 minggu. Peningkatan curah jantung mula-mula
bergantung pada peningkatan stroke volume dan kemudian
dengan peningkatan denyut jantung, tetapi lebih besar
perubahan stroke volume daripada perubahan denyut
jantung.
Dengan ekhokardiografi terlihat adanya peningkatan
ukuran ruangan pada end diastolic dan ada penebalan
dinding ventrikel kiri. Curah jantung bervariasi bergantung
pada besarnya uterus dan posisi ibu saat pengukuran
dilakukan.
Pembesaran uterus yang gravid dapat menyebabkan
kompresi aortocaval ketika wanita hamil tersebut berada
pada posrsi supine dan hal im akan menyebabkan
penurunan aliran balik vena/ venous return dan maternal
hipotensi, menimbulkan keadaan yang disebut supine
7
hypotensiue syndrome. Sepuluh persen dari wanita hamil
menjadi hipotensi dan diaforetik bila berada dalam posrsi
terlentang, yang bila tidak dikoreksi dapat menimbulkan
perrurunan aliran darah uterus dan foetal asfiksia. Efek ini
akan lebih hebat lagi pada pasien dengan polihidramnion
atau kehamilan kernbar. Curah jantung meningkat selama
persalinan dan lebih tinggi 50%, dari saat sebelum
persalinan. Segera pada periode post partum, curah jantung
meningkat secara maksimal dan dapat mencapai 80'% diatas
periode pra persalinan dan kira-kira 100% diatas nilai ketika
wanita tersebut tidak hamil, hal ini disebabkan karena pada
saat kontraksi uterus terjadi plasental autotranfusi sebanyak
300-SOOml. Tekanan vena sentral meningkat 4-6cm H20
karena ada peningkatan volume darah ibu. Peningkatan
stroke volume dan denyut jantung adalah untuk
mempertahankan peningkatan curah jantung. Peningkatan
curah jantung ini tidak bisa ditoleransi dengan baik pada
pasien dengan penyakit katup jantung (misal: aorta stenosis,
mitral stenosis) atau penyakit jantung koroner.
Decompensatio cordis yang berat dapat terjadi pada
kehamilan 24 minggu, selama persalinan dan segera setelah
persalinan. Curah jantung, denyut jantung, stroke volume
menurun ke sampai nilai sebelum persalinan pada 24- 72
jam post partum dan kembali ke level saat tidak hamil pada
6-8 minggu setelah melahirkan. Kecuali peningkatan curah
jantung, tekanan darah sistolik tidak berubah selama
kehamilan, tetapi, tekanan diastolik turun 1-1 SmmHg. Ada
penurunan tekanan arteri rerata sebab ada penurunan
resistensi vaskuler sistemik. Hormon-hormon kehamilan
seperti estradiol 17(3 dan progesteron mungkin berperan
dalam perubahan vaskuler ini.
Turunnya pengaturan a dan f3 reseptor juga
memegang peranan penting. Selama kehamilan jantung
tergeser ke kiri dan atas karena diafragma tertekan ke atas
oleh uterus yang gravid.
Gambaran EKG yang normal pada parturien :
Disritmia benigna
Gelombang ST, T, Q terbalik
Left axis deviation
8
TJ\BLE 2-'1 Ccnlr.il H,_,111cH.lyn,1rnit<. ;tl Tenn Gestation
Par.,uneter Change·
<__ .trdt.t( <H.1lp11t • �j(J ·x.
Stroke v o h n n c- , 25•;,;,
He.1.-t ,·.,te •·25"}{.
l <'fl v,-11lri<.1il,11· <'ll<l--,11.1•.f<>frr volullH' lnc1·(·c.l<:.<·<I
t <'fl v,·11t1i, 1rl.11 r·rHl··.y·,foli, vo!u111<· No ch.1ni:<'
I j<'< t ir n : fr.1clio11 I llCn '"'-' ·d
t Pfl v,•11lricul.11 -;trok,· work illd<'x No ch.,nge
Puln,onary capill;uy wedge prcssur<' No change (
f>ul111<>n.1ry arti,ry dra<,lolic prt·',<,urc, No c.hc111ge (
C:<•nit.tf VetHHl�) No c:hangr, r
f)f'(' .... ",llfe' c
\y<.,f C'llliC Vil'SCl rl,H l'('<.,j<,l;IIH c> 20'.X, �
· R«.·lativ<' to 11011prt·gn.::u1t ,t.,l<'
..c
)
/\d,1pl<:d fr<)nl Conklin Kl\. fv\,1t,·rr1.if phy-.10101:ic.11 ,1d,1pl'1!1on<,
dtlll!l.f� !'.(",l.111<111, l.11)C>:. ,UHi l l rr ' f>ll<'lfh'lillf'll. <..;t•Jllin l\.t!('',.fft ·:()<)·J; )
-2
Io· .J .J I l/1
2
:::
;:
Tabel : Hubungan Curah jantung, Stroke Volume dan Laju
Jantung dengan Posisi dan Umur Kehamilan
Umur Kehamilan (mingguj
20-24 28-31 38-40 Postpartum
mgu mgu mgu (6-8
bulan)
Parameter Aktual % Aktual O/o Aktual O/o Nilai
Curah Jantung (L/m)
A.Supine 6.4 28 6.0 22 4.5 -12 5.1
B.Lateral 6.9 38 7.0 41 5.7 15 5.0
C.Duduk 5.9 29 6.4 39 5.2 13 4.6
I
Stroke Volume (ml)
A.Supine 88 21 77 5 52 -28 73
B.Lateral 95 33 88 23 69 -2.8 71
C.Duduk 74 30 72 28 58 -2.3 57
Laju jantunq (x/m)
A.Supine 74 7 83 20 80 23 70
B.Lateral 73 5 82 17 83 20 70
C.Duduk 83 3 92 13 89 10 81
Implikasi Klinis:
Peningkatan curoh. jantung mungkin tidak: dapat ditoleransi
oleh wanita hamil dengan penyakit katup jantung (misalnya.
stenosi.s aorta, stenosi.s mitral) atau penyakit jantung koroner.
Dekompensasio jantung berat dapat terjadi pada 24 minggu
kehamilan, selama persalinan, dan segera setelah
melahirkan.
9
5. Perubahan pada Ginjal
Glomerular filtration rate (GFR) meningkat selama
kehamilan karena peningkatan renal plasma flow. Renal
blood flow (RBF) dan GFR meningkat 150% pada trimester
pertama kehamilan, tetapi menurun lagi sampai 60% diatas
wanita yang tidak hamil pada saat kehamilan aterm. Hal ini
akibat pengaruh hormon progesteron. Kreatinin, blood urea
nitrogen, uric acid juga menurun tapi umumnya normal.
Suatu peningkatan dalam Jaju filtrasi menyebabkan
penurunan plasma blood urea nitrogen (BUN) dan
konsentrasi kreatinin kira-kira 40-SO'Yo. Reabsorpsi natrium
pada tubulus meningkat, tetapi, glukosa dan asam amino
tidak diabsorpsi dengan efisien, maka glikosuri dan amino
acid uri merupakan hal yang normal pada ibu hamil. Pelvis
renalis dan ureter berdilatasi dan peristaltiknya menurun,
Nilai BUN dan kreatinin normal pada parturien (BUN 8-9
mg/dl, kreatinin 0,4 mg/di) adalah 40% lebih rendah dari
yang tidak hamil. Maka bila pada wanita hamil, nilainya
sama seperti yang tidak hamil berarti ada kelainan ginjal.
Pasien preeklampsi mungkin ada diambang gagal ginjal,
walaupun hasil pemeriksaan laboratorium normal. Diuresis
fisiologi pada periode post partum, terjadi antara hari ke-2
'ii'.....
dan ke-5. GFR dan kadar BUN kembali ke keadaan sebelum
hamil pada minggu ke-6 post partum.
Tabel: Perubahan paqa Sistem Renal
Tidak Hamil Hamil
BUN (mg/di) 0.67 (0.14) 0.46 (0.13)
Kreatinin (mg/ di) 13 (3) 8.7 (1.5)
Implikasi Klinis:
Kadar normal BUN dan kreatinin parturien 40% lebih rendah
dari wanita yang tidak hamil, maka, bila niiai BUN dan
kreatiniri sama seperti wanita yang tidak: liamii men.unjukkan
adanya fungsi ginjal yang abnormal.
6. Perubahan pada Saluran Cerna
Perubahan anatomi dan hormonal pada kehamilan
merupakan faktor predisposisi terjadinya oesophageal
regurgitasi dan aspirasi paru. Uterus yang gravid menyebab-
kan peningkatan tekanan intragastrik dan merubah posisi
10
normal gastroocsophageal junction. Alkali fosfatase
mcningkat. Plasma cholinesterase mcnurun kira-kira 28°/t,,
kernungkinan disebabkan kareria sintcsanya yang menurun
dan kareria hemodilusi. Walaupun dosis mod erat
succnylcholine urnurnnya dimetabolisme, pasien dengan
penurunan aktivitas cholinesterase ada risiko pemanjangan
blokade ncuromuskuler.
Pcrgerakan saluran cerna, absorpsi makanan dan
tekanan sphincter oesophageal bagian distal menurun
disebabkan karcna peningkatan kadar progesteron plasma.
Peningkatan sekresi hormon gastrin akan meningkatkan
sekresi asam lambung. Obat-obat analgesik akan memper-
lambat pengosongan gaster. Pembesaran uterus akan
menyebabkan gaster terbagi menjadi bagian fundus dan
antrum, sehingga tekanan intragastrik akan meningkat.
Aktivitas serum cholinesterase berkurang 24'Yu
sebelum persalinan dan paling rendah (33%) pada hari ke-3
postpartum. Walaupun aktivitas lebih rendah, dosis normal
succinylcholine untuk intubasi ( 1-1,5 mg/kg} tidak di-
hubungkan dengan memanjangnya blokade neuromuskuler
selama kehamilan. Karena perubahan-perubahan tersebut
wanita hamil harus selalu diperhitungkan lambung penuh,
dengan tidak mengindahkan waktu makan terakhir misalnya
walaupun puasa sudah > 6 jam lambung bisa saja masih
penuh. Penggunaan antasid yang non-partikel secara rutin
adalah penting sebelum seksio sesarea dan sebelum induksi
regional anestesi. Walaupun efek mekanis dari uterus yang
gravid pada lambung hilang dalam beberapa hari tetapi
perubahan saluran cerna yang lain kembali ke keadaan •
sebelurn hamil dalam 6 minggu postpartum.
Implikasi Klinis:
Wanita hamil harus selalu dianggap lambung penuh tanpa
melihat lama puasa prabedah. Bila mungkin anestesi umum
dihindari. Dianjurkan penggunaan rutin antasid non-partikel.
Perubahan gastrointestinal akan kembali dalam 6 minggu
postpartum.
7. Perubahan Susunan Saraf Pusat (SSP) dan Susunan
Saraf Perifer.
Susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer
berubah selama kehamilan, MAC menurun 25-40% selama
11
kehamilan. Halotan menurun 25'Yr,, isofluran 40%,
methoxyflurane 32%. Peningkatan konsentrasi progesteron
dan endorfin adalah penyebab penurunan MAC tersebut.
Tetapi beberapa penelitian menunjukan bahwa konsentrasi
endorfin tidak meningkat selama kehamilan sampai pasien
mulai ada his, maka mungkin cndorfin tidak berperan dalam
terjadinya perbedaan MAC tetapi yang lebih berperan adalah
akibat progesteron.
Terdapat penyebaran dermatom yang lebih lebar pada
parturien setelah epidural anestesi bila dibandingkan
dengan yang tidak hamil. Hal ini karena ruangan epidural
menyempit karena pembesaran plexus venosus epidural
disebabkan karena kompresi aortocaval oleh uterus yang
membesar. Tetapi penelitian-penelitian yang baru menunjuk-
kan bahwa perbedaan ini sudah ada pada kehamilan muda
(8-12 minggu) dimana uterus masih kecil sehingga efek
obstruksi mekanik masih sedikit ada maka faktor-faktor lain
penyebabnya. Faktor-faktor lain itu adalah:
Respiratori alkalosis compensata.
Penurunan protein plasma atau protein likuor
serebrospinal.
Horrnon-hormon selama kehamilan (progesteron).
Walaupun mekanisme pasti dari peningkatan
sensitivitas susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer
pada anestesi umum dan antesi regional belum diketahui
tetapi dosis obat anestesi pada wanita hamil harus
dikurangi. Peningkatan sensitivitas terhadap lokal anestesi
untuk epidural atau spinal anestesi tetap ada sampai 36
jam postpartum.
Implikasi Klinis:
Dosis anestetika lokal harus dikuranqi. Peningkatan
sensitiuitas anestetika lokal yang digunakan untuk spinal dari
epidural analgesia terjadi sampai 36 jam postpartum.
8. Perubahan sistim muskuloskeletal, dermatologi,
mammae dan mata
Horman relaxin menyebabkan relaksasi ligamentum
dan melunakkan jaringan kolagen. Terjadi hiperpigmentasi
kulit daerah muka, leher, garis tengah abdomen akibat
melanocyt stimulating hormon.
12
Buah dada mernbesar. Tekanan intraokuler menurun
selarna keharnilan karcna peningkatan kadar progesteron,
adanya relaxin, penurunan produksi humor aqueus
disebabkan peningkatan sekrcsi chorionic gonadotrophin.
Akibat relaksasi ligamentum dan kolagcn pada kolumna
vertebralis dapat terjadi lordosis. Pernbcsaran buah dada
terutama pada ibu dengan lcher pendek dapat mcnyebabkan
kesulitan intubasi.
Perubahan pada tekanan intraokuler bisa
menirnbulkan gangguan penglihatan.
Implikasi Klinis:
Relaksasi ligamen dan jaringan kolagen dari columna
uertebraiis merupakan sebab utama dari te,jadinya lordosis
selama kehamilan, yang menyulitkan dilakukan spinal atau
epidural analgesi. Pembesaran buah dada, terutama pada
pasien dengan leher pendek; akan menyulitkan intubasi.
Perubah.an tekanan intraokuler dapat menimbulkan gangguan
penglihatan.
9. Plasenta
Fungsi pertukaran gas respirasi, nutrisi dan eksresi
janin tergantung dari plasenta, plasenta dibentuk dari
jaringan ibu dan janin serta mendapat pasokan darah dari
kedua jaringan terse but.
1. Anatomi fisiologi plasenta
Plasenta terdiri dari tonjolan jaringan janin (villi) yang I
terletak dalam rongga vaskuler ibu {intervillous). Sebagai
akibat dari susunan ini kapiler-kapiler janin dalam villi
dapat melakukan pertukaran substansi dengan darah
ibu, dimana darah ibu dalam rongga intervilli berasal dari
arteri spiralis cabang arteri uterina dan kemudian
mengalir kembali melalui vena uterina. Darah janin
dalam villi berasal dari 2 buah arteri um bilikal dan
kembali ke janin melalui sebuah vena umbilikal.
2. Pertukaran pada plasenta
Pertukaran plasenta dapat terjadi terutama melalui salah
satu dari empat mekanisme dibawah ini.
a. Difusi:
Gas respirasi dan ion-ion yang kecil ditransportasi
melalui proses difusi, kebanyakan obat-obat yang
digunakan dalam anestesi mempunyai berat molekul
13
dibawah 1000 dan dapat berdifusi melewati plasenta.
Zat yang larut dalam lemak seperti tiopenton paling
cepat berdifusi, sedangkan obat-obat dengan ionisasi
yang tinggi seperti semua obat pelumpuh otot sulit
berdifusi. Obat-obat dengan ikatan protein tinggi
seperti bupivacaine juga sulit berdifusi rnelewati
plaserita.
b. Transpor aktif:
Asam amino, vitamin dan beberapa ion seperti
calcium dan zat besi rnenggunakan mekanisme ini.
c. Pinositosis:
Molekul yang besar seperti immunoglobulin
ditranspor melalui pynositosis.
d. Facilitated diffusion, seperti pada glukosa.
lmplikasi Klinis:
perhatikari obat yang menembus sawar darah plasenta.
Daftar Pustaka
1. Datta S. The Obstetric Anesthesia Handbook, edisi ke-2,
St Louis: Mosby; 1995.
2. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-3,
Philadelphia: Hanley and Belfus; 2000.
3. Datta S. Anesthetic and Obstetric management of high-
risk pregnancy, edisi ke-3, New York: Springer;2004.
4. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-4, USA:
Springer; 2006.
5. Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetri Anesthesia
Handbook, edisi ke-5. New York: Springer; 2010.
6. Gaiser R. Physiologic changes of pregnancy. Dalam:
Chesnut DH, Polley LS, Tsen LC, Wong CA, eds.
Chesnut's Obstetric Anesthesia Principles and Practice.
Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009, 15-31
14
BAB 2
/F�ritta�Jjrij{P�ttttit�f'� · :· ·:, -'.��-;-_i:�-:::/�\·_.-·i((::.�.-:<:�· :_ -�:.
· Diana Christine Lalenoh; Sn Wahjoeningsih :: · : .<. · -. -. ·'-.:-: .. , · . · . ·
',.· ·>·i·-.\�{·· ._ ..-·.-_:.<<.·_.:·.:>_-. �:·;·.·.'.�.�.i_·)/ \\::::': ·: /·>:·· \::�::(::_.-.-/·.·.:.' -.�/> >
Hampir semua obat anestesi dan analgesi yang
digunakan dalam kebidanan melewati sawar plasenta secara
difusi. Karena plasenra dan sawar otak keduanya
mempunyai ketentuan yang sama terhadap lipid, maka cara
difusi yang terjadi melalui sawar otak juga terjadi di
plasenta, dari konsentrasi yang tinggi molekul-molekul
tersebut berjalan ke korisentrasi yang lebih rendah untuk
mencapai suatu keseimbangan.
Pada farmakologi perinatal harus diingat adanya 3
komponen penting yaitu ibu, plasenta dan foetus. Hanya ada
beberapa obat (insulin, heparin, protamin) yang digunakan
pada parturien yang tidak menembus plasenta. Karena
kebanyakan obat-obatan yang digunakan untuk wanita
hamil akan mempengaruhi foetus, maka farmakologi
perinatal merupakan bagian penting dari obstetri anestesi.
Pemberian obat pada ibu dapat mempengaruhi foetus
melalui 2 jalan:
efek langsung pada foetus.
secara tidak langsung dengan mempengaruhi sirkulasi
uteroplasenta.
I. Ibu:
Konsentrasi obat dalam plasma ibu tergantung dari
tempat pemberian obat dan jumlah obat yang diberikan. •
Pada obat anestesi lokal, konsentrasi plasma lbu dari yang
paling tinggi ke paling rendah, dapat dicapai melalui rute:
intravena > paracervical > caudal epidural > lumbal
epidural > intramuskuler > subarachnoid. Sekali obat
mencapai sirkulasi meternal, plasma konsentrasi maternal
akan tergantung dari beberapa faktor penting:
volume distribusi dan eliminasi.
perubahan sistem kardiovaskuler akibat kehamilan.
a. Peningkatan volume plasma:
Peningkatan volume plasma selama kehamilan
meningkatkan volume distribusi terutama obat-obat yang
larut dalam lemak. Peningkatan volume distribusi juga dapat
15
meningkatkan clearance obat. Pada wanita yang tidak hamil,
konsentrasi minimal dan maksimal obat-obatan lebih tinggi
daripada kehamilan 10-40 minggu.
b. Peningkatan volume darah:
Peningkatan volume darah ibu dan curah jantung akan
meningkatkan UPBF. Akibat pasti dari perubahan
hemodinamik ini pada transfer obat pada foetus belum
dimengerti dengan jelas. Tetapi yang menarik adalah konsep
hubungan kontraksi uterus dan transfer obat melalui
plasenta. Transfer obat melalui plasenta berkurang bila obat
disuntikkan intravena pada Ibu disaat kontraksi uterus,
karena saat kontraksi sirkulasi plasenta berhenti.
c. Konsentrasi obat bebas:
Konsentrasi obat bebas dalam arteri uterina yang
mencapai plasenta tergantung dari beberapa faktor penting :
penambahan epineprin
metabolisme dan eliminasi obat pada Ibu.
protein binding maternal.
pH dan pKa.
Penambahan epinephrin:
Dapat mengurangi konsentrasi puncak pada plasma
Ibu untuk lidokain dan mepivakain, tetapi tidak jelas
efeknya untuk bupivakain dan etidokain.
Metabolisme dan Eliminasi obat pada Ibu:
Obat-obat golongan ester seperti 2-chloroprokain,
succynil choline dan trimetaphan dirusak oleh
cholinesterase, oleh karena itu waktu paruh obat-obatan ini
dalam plasma Ibu sangat pendek, maka sebagai akibatnya
sangat sedikit obat yang dapat mencapai foetus. Sebaliknya,
nor-meperidine suatu metabolit dari meperidine menjadi dua
kali toksisitasnya, tetapi efek analgesiknya hanya
setengahnya. Metabolit ini akan mencapai foetus.
Protein binding pada Ibu:
Protein binding pada plasma mungkin penting untuk
transfer plasenta. Obat anestesi lokal seperti bupivakain dan
etidokain mempunyai protein binding plasma yang lebih
tinggi daripada lidokain dan mepivakain, maka lidokain lebih
16
sedikit menembus plasenta dan konsentrasi dalam foetus
lebih sedikit.
Ratio konsentrasi dalam vena umbilikal dan vena
maternal (UV /MVj lebih rendah pada bupivakain ddan
etidokain daripada lidokain dan mepivakain. Sebaliknya
pada penelitian hewan, rendahnya UV /MV ratio karena lebih
tingginya uptake bupivakain dan etidokain oleh jaringan <
foetal karena kelarutan dalam lemaknya yang tinggi. s;
cr
pH Ibu dan pKa obat: c
Obat-obatan dengan pKa yang mendekati pH jaringan
f,
tubuh akan dipertahankan dalam junlah besar dalam n
2
bentuk non-ion dalarn darah lbu, dan akan menyebabkan ::.
)
tingginya transfer melalui plasenta. Mepivakain dengan pKa )
7 ,6 akan menembus plasenta dalam jumlah yang lebih besar r
bila dibandingkan dengan bupivakain yang mempunyai pKa
8,1.
II. Transfer Obat Melalui Plasenta:
Transfer obat-obatan melalui plasenta akan tergantung
pada beberapa faktor penting, yaitu:
area of transfer and diffusion distance.
berat molekul obat dan konfigurasi spatial obat.
pKa.
protein binding dan lipid solubility.
interaksi obat.
metabolisme obat. I
Oleh karena itu transfer obat melalui plasenta dapat
Iilihat dari persamaan difusi di bawah ini:
KA (Cm - Cf)
Q/t = ----- -- ----- -- . ---
D
Q/t = kecepatan difusi
K = konstanta difusi
A = total area plasenta
Cm = konsentrasi obat bebas pada maternal
Cf = konsentrasi obat bebas pada foetal
D = ketebalan membran plasenta
17
a. Transfer area dan Diffusion distance:
Kecepatan transfer obat akan tergantung dari daerah
transfer. Bagian maternal plasenta terdiri dari 180-320 arteri
spiralis. Unit fungsional plasenta adalah placenton yang
dipasok oleh satu a. spiralis. Penurunan perfusi plascnta
akan meriurunkan aliran darah pada placentori dan akan
mempengaruhi transfer obat. Jarak difusi juga memegang
peranan penting. Pada preeklampsi dimana ada kelainan
plasenta, dapat meningkatkan jarak difusi.
b. Berat Molekul obat dan Konfigurasi spatial Obat:
Obat antara 100-500 Dalton (Da) akan be bas
menembus plasenta. Obat diatas 500 Da sulit menembus
plasenta dan diatas 1000 Da tidak akan menernbus
plasenta. Kebanyakan obat-obat yang digunakan pada
parturien akan menembus plasenta karena mempunyai
berat molekul rendah, kecuali insulin, heparin, protamin
tidak menembus plasenta karena mempunyai berat molekul
yang besar.
c. pKa:
Hanya obat yang berbentuk non-ion yang dapat
menembus plasenta, maka obat yang pKa-nya mendekati pH
Ibu 7,4 akan mampu menembus plasenta dengan jumlah
besar.
d. Protein binding dan Lipid solubility:
Obat yang diikat oleh protein plasma sangat sulit
menembus plasenta. Oleh karena itu obat-obat seperti
bupivakain yang mempunya.i kapasitas protein binding yang
tinggi akan sedikit melalui plasenta. Sebaliknya, makin
tinggi konsentrasi obat dalam plasma (misalnya dosis besar)
akan ada dalam bentuk yang tidak terikat oleh protein dan
akan menembus plasenta dalam jumlah besar.
Lipid solubility memudahkan transfer obat melalui
plasenta. Obat yang kelarutan dalam lemaknya tinggi seperti
barbiturat dapat mencapai foetus dalam jumlah besar
karena mudahnya menembus plasenta.
e. Interaksi Obat:
Obat yang berbeda bekerja dengan afinitas yang
berbeda untuk tempat plasma protein binding atau tissue
18
binding. Diazepam pengikatan oleh proteinnya tinggi.
Diazepam intravena setelah pemberian obat anestesi lokal
akan bersaing dengan protein binding dan meningkatkan
konsentrasi obat anestesi lokal yang bebas. Oleh kareria itu,
pemberian obat yang berrnacarn-rnacam pada waktu yang
sama pada Ibu dapat mempengaruhi transfer plasenta dan �
JJ
akhirnya mempengaruhi konsentrasi obat pada foetus.
f
f. Metabolisme Obat: 0
r
"
Plasenta dapat membuat dan mengekresi enzym 0

khusus yang merusak prednison yang diberikan pada Ibu. "C
Karena itu prednison tidak bisa menembus plasenta. m
::0
z
III. Foetus �
)>
Uptake, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat r
akan berperanan dalam konsentrasi obat pada foetus dan
efeknya pada foetus. Sekali obat mencapai foetus, berberapa
faktor akan menentukan konsentrasi obat bebas dalam
arteriol umbilikalis.
a. Uptake
Uptake obat oleh foetus tergantung dari protein
oinding, lipid solubility dan pKa. Disebabkan karena lebih
sedikitnya protein total pada foetus dibandingkan dengan
bu, maka kapasitas plasma protein binding foetus lebih
.endah daripada Ibu, oleh karena itu jumlah obat bebas •
Jada plasma akan lebih banyak. Obat-obat yang sangat larut
Ialam lemak seperti bupivakain dan etidokain diabsorpsi
ileh jaringan foetal dan akan mengurangi konsentrasi obat
ii dalam plasma.
pH foetal penting untuk menentukan bentuk ion dan
ion-ion obat. Normal pH foetus bervariasi antara 7,32-7,38
.edangkan pH Ibu antara 7,38-7,42. Dalam keadaan normal
ransfer obat dari Ibu ke foetus tergantung dari perbedaan
tonsentrasi. Bila foetus asidotik (pH < 7 ,20) maka obat
lalam bentuk non-ion dari Ibu akan mencapai foetus dan
ikhirnya dissosiasi pada bentuk ion. Bentuk ion akan
nendapatkan trapped pada foetus sebab tidak mampu
nenembus plasenta. Fenomena ini disebut sebagai ion
rapping.
19
b. Distribusi
Disebabkan uniknya sirkulasi foetal, maka ada
perbedaan konsentrasi obat yang nyata di dalam vena
umbilikal dan arteri umbilikalis. Konsentrasi dalarn
a.umbilikal merupakan rei1eksi dari konsentrasi obat dalam
otak foetal. Dari vena umbilikalis, daerah menuju hepar
melalui duktus venosus. Lobus kiri liver mendapat darah
dari vena umbilikal, sedangkan lobus kanan dari vena porta.
Pentotal intravena pada Ibu diambil oleh liver foetal
dalam jumlah yang nyata, jadi liver foetal menolong ektraksi
substantial jumlah obat yang memasuki foetus dan
menolong proteksi otak foetal. Uptake yang tinggi juga
terlihat untuk halotan, lidokain, dan cyclamate.
Dil�ang_progresif dari konsentrasi darah vena umbilikal:
Darah vena umbilikal yang memasuki hepar atau
duktus venosus didilusi oleh darah yang berasal dari
ekstrimitas inferior atau traktus gastrointestinal. Darah vena
umbilikal yang didilusi ini akan shunting ke foramen ovale
dan menuju otak foetus.
Extensive Right to Left Shunt dari sirkulasi foetal:
Kira-kira 50% curah jantung foetal kembali ke plasenta
tanpa melalui perfusi jaringan foetal. Hal ini berhubungan
dengan adanya shunting dari sirkulasi foetal melalui foramen
ovale dan ductus arteriosus. Mekanisme mi akan
menyebabkan pengurangan kontak otak foetal dengan obat-
obatan yang ada sirkulasi.
Ada 3 alasan bahwa pentotal bila diberikan dalam
dosis terapi pada Ibu (yakni 4-6mg/kg) akan mengakibatkan
bayi tetap bangun dan menjerit walaupun Ibunya tidur, hal
ini karena:
ekstraksi oleh liver foetal.
dilusi progresif dari konsentrasi dalam darah vena
umbilikal.
right to left shunt pada jantung foetus.
c. Metabolisme dan Eliminasi
Walaupun aktivitas enzym liver pada foetus lebih
rendah daripada orang dewasa, tetapi foetus dapat
mengantisipasi pemberian obat dengan dosis terapi pada
Ibu.
20
Foetus yang prernatur dapat memetabolisrne pernberian
obat anestesi lokal pada !bu. 2-kloroprokain dapat
dimetabolismc oleh foetus yang prematur. Sebaliknya
mepivacain dirnetabolisme secara tidak sempurna dan obat
ini sebagian besar diekresi rnelalui ginjal tanpa berubah
bentuk.
.,
)
J
Simpulannya: kebanyakan obat yang diberikan pada
Ibu akan menembus plasenta dan rnencapai foetus, tetapi s<
;:,
disebabkan karena uniknya foetal sirkulasi, hanya sebagian cr
kecil obat yang mencapai otak dan miokardium foetus serta c
menyebabkan depresi foetal. ,�
n
2
IV. Obat-obatan .i
l. Narkotik Analg_eti� F
Narkotik merupakan alkaloid opium. lstilah opioid
menunjukkan sebagai derivat sintesis dan sernisintesis.
Opioid dapat menstimulasi reseptor opioid mu dan kappa,
yang menyebabkan timbulnya efek analgesia. Opioid reseptor
mu yang sering digunakan untuk persalinan adalah morfin,
petidin dan fentanil. Butorphanol dan nalbuphine bekerja
pada reseptor mu dan kappa. Narkotik digunakan sebagai
analgesi selama Kala-I persalinan. Kontraindikasi pemberian
opioid adalah alergi dan pasien yang adiksi.
Efek samping narkotik adalah menurunkan motilitas
gaster dan tonus sphincter gastrooesophageal, mual muntah
dan depresi neonatus.
a.. Meperidin (petidin) •
Dosis 50-lOOmg i.m. atau 25-SOmg i.v. mencapai
puncak 40-50 menit setelah pemberian intramuskuler atau
5-10 menit setelah pemberian intravena. Lama kerja kurang
.ebih 3 jam.
o. Morfin
Digunakan untuk analgesia selama persalinan dan
.imumnya diberikan secara i.m. Dosisnya 5-1 Omg i.m. dan
nencapai puncak 1-2 jam setelah pemberian i.m. Lama kerja
mtara 4-6 jam.
21
c. Fentanil
Jarang digunakan sebagai analgesia selain digunakan
pada epidural analgesia. Bisa diberikan SOug secara
intraveria untuk pasicn yang tidak kooperatif selama
suntikan epidural.
2. Obat Tocolvtic
Adalah obat-obat yang digunakan untuk memperlambat
atau menghentikan persalinan. Jumlah kelahiran prematur
menempati presentase yang besar dari morbiditi dan
mortaliti neonatal. Sampai 85% dari kematian neonatal yang
dini dihubungkan dengan prematuritas. Umumnya tocolytic
digunakan dengan bayi pada umur kehamilan antara 20-36
minggu. Seperti telah disebut tadi, indikasi pemberian
tocolytic adalah untuk memperlambat atau menghentikan
persalinan sedangkan kontra indikasinya adalah chorio
amniositis, foetal distress, preeklampsi atau eklampsi.
Obat-obat tocolytic adalah 13-2 agonis, MgS04, calsium
blockers. Reseptor 13-adrenergik dibagi dalam dua kelompok,
yaitu 13-1 dan 13-2. 13-1 meningkatkan denyut jantung dan
kontraksi jantung, sedangkan 13-2 menyebabkan
bronkhodilatasi, vasodilatasi, dan relaksasi uterus. Contoh
13-agonis adalah ritrodine, isoxsuprine, dan terbutaline.
Sebagai tocolytic 13-2-agonis lebih cepat onsetnya daripada
MgS04.
Kontra indikasi 13-agonis adalah penyakit jantung,
hipertirodi, iskhemia serebral, hipovolemia, dan infeksi
maternal. Toksisitas dan cfek sampingnya adalah takikardia,
penurunan resistensi vaskuler sistemik, aritmia, hipoksemia,
dan edema paru.
MgS04 adalah suatu SSP depresant ringan dan
vasodilator, maka ia mempunyai efek antihipertensi ringan.
MgS04 lebih umum digunakan pada pengobatan eklampsi,
tetapi juga efektif sebagai tocolytic. Frekuensi dan kekuatan
kontraksi uterus menurun sehingga dengan relaksasi uterus,
maka UBF akan meningkat. MgS04 juga meningkatkan
sensitifitas terhadap muscle relaxant non-depolarizing dan
depolarizing dengan menurunkan jumlah acetylcholine yang
dilepaskan pada motor end plate serta menurunkan
sensitivitas motor end plate pada asetyl choline. Mengurangi
eksitasi SSP dan merintangi pelepasan asetyl cholin pada
motor end plate. Dosis 4gr i.v. diberikan selama 15 menit,
22
dilanjut ka n dengan dosis 1gr per jam. Pada pemberian
intravena onset-nya sangat cepat, lama kerja 30 menit. Efek
samping tergantung dari kadarnya didalam plasma. Level
terapeutik adalah 4-8 rneq/lt. Level yang lebih tingi akan
menyebabkan hilangnya refleks tendon (pada 1 Omeq/lt)
sarnpai henti jantung (pada 30meq/lt). Calsium blockers
seperti Nifedipin masih dalam penelitian untuk efek sebagai
tocolytic.
MgS04, ()-mimetik, Calcium channel blockers,
prostaglandine inhibitor: UPBF tergantung dari MAP Ibu.
Dengan relaksasi uterus obat-obat ini dapat meningkatkan
UPBF asalkan tekanan darah Ibu dipertahankan dalam
batas-batas normal.
Table l. Efek peningkatan kadar Magnesium Plasm_a
Plasma Mg
Effects
jmEq/L)
1.5-2.0 Kadar normal dalam plasma
4.0-8.0 Rentang terapeutik
5.0-10 Perubahan EKG
(PQ interval memanjang, QRS kompleks melebar)
10 Hilangnya refleks tendon
15 Blok Sinoatrial dan atrioventricular
15 Paralisis pernafasan
25 Henti jantung
Surnber: Shnider SM, Levinson G: Anesthesia for Obstetrics .
Baltimore: Williams & Wilkins, 1987.
3. Obat Oxytocic:
Obat oxytocic merangsang uterus untuk berkontraksi.
)xytocic bisa digunakan untuk merangsang timbulnya his
kontraksi uterus). Bila terjadi atonia uteri bisa digunakan
nethylergonovine atau prostaglandine-2-a.


l. Oksitosin Sintetis (sintosinon, Pitocine)
Sintesis oksitosin adalah hormon yang merangsang
iterus untuk berkontraksi. Uterus menjadi maksimal
.ensitivitasnya terhadap oksitosin pada kehamilan 34-36
ninggu. Waktu paruh plasma adalah 2-9 menit bila
liberikan secara intravena. Dimetabolisme oleh oksitosinase
li dalam plasma dan plasenta. Dosisnya 20-40 unit/ lOOOml
inger laktat diberikan secara infus sampai 200ml/jam.
)nsetnya kurang dari 1 menit dan lama kerjanya 2-3 menit.
23
Toksisitas dan efek sampingnya adalah:
disebabkan ada perbedaan sensitifitas terhadap oksitosin
akan terjadi stimulasi yang berlebihan pada uterus da n
terjadi kontraksi tetani uterus dan ruptur, sehingga
terjadi foetal distres dan asfiksia.
oksitosin mempunyai efek ADH, sehingga dapat terjadi
intoksikasi air.
setelah pemberian oksitosin, tekanan darah rata-rata
dapat menurun 30%, resistensi perifer menurun 50°/c,,
nadi meningkat 30% dan curah jantung meningkat 50(X,.
Kejadian ini dapat menyebabkan hipotensi dan takikardi.
Interaksi obat ini adalah dengan pentotal, yaitu dapat
memperlambat induksi dengan pentotal. Bisa terjadi
hipertensi pada pasien yang sebelumnya diberi
methoxamine.
b. Methylergonovine maleat (Methergin)
Methylergonovine maleat (Methergin) telah digunakan
dengan sukses untuk mengobati atonia uteri yang tidak
berespon terhadap oksitosin. Methergin adalah suatu ergot
alkaloid yang menyebabkan kontraksi uterus. Dosisnya
0,2mg i.m. Jangan diberikan secara intravena pada pasien
hipertensi karena methergin dapat menyebabkan hipertensi
hebat, karena itu obat ini harus digunakan dengan hati-hati
pada pasien dengan hipertensi. Onset-nya 2-5 menit setelah
pemberian intramuskuler, dan lama kerjanya 3-4 jam.
Efek sampingnya adalah hipertensi dan kemungkinan
menyebabkan spasme koroner.
c. Prostaglandine F2-a
Prostaglandine F2-a adalah hormon yang menyebabkan
kontraksi uterus. Aksi farmakologisnya dengan menambah
transport calsium melalui membran sel-sel otot uterus.
Dosisnya lmg intramiometrium dan mencapai efek puncak
dalam 1-3 menit. Lama kerjanya 90 menit. Efek sampingnya
adalah mual, muntah dan demam.
4. Obat Anestesi Intravena
a. Propofol
Pada 95% pasien yang diberikan 2,5mg/kgBB propofol
intravena menghasilkan induksi yang lancar dan cepat serta
waktu pulih sadar yang cepat dengan insidensi efek samping
24
pasca bedah yang rcnclah, lama kerjanya pendek karena
metabolismenya juga cepat .
Karena sifat khas tersebut, kini propofol mulai dipakai
sebagai obat anestesi pada operasi-operasi seksio sesarea,
walaupun awareness mungkin dapat terjadi selama operasi
tetapi ini dapat dihindarkan denan penggunaan obat volatile
,,
)>
anestetik. Sifat lainnya dari propofol adalah berat ::0
s:
)>
molekulnya yang rendah dan larut dalam lemak sehingga ;,:;
mudah menembus plasenta. Tetapi (walaupun demikian) 0
r
konsentrasi yang potensial pada vena umbilikalis untuk 0

terjadinya hipnotik tidak menyebabkan depresi janin karena -0
metabolismenya di hepar dan dilusi pada vena cava inferior m
::0
sebelum mencapai otak janin. Voltanen dkk., pada z
penelitiannya tidak mendapatkan depresi neonatal yang

bermakna pada propofol dan tiopenton yang dinilai dengan '
nilai Apgar dan analisa gas darah.
Depresi neonatal berhubungan dengan pemberian dosis
induksi, pada penelitian Gin T., dilaporkan terdapat nilai
Apgar yang rendah pada pemberian propofol dengan dosis
2,8mg/kgBB. Dengan pemberian dosis 2,0-2,Smg/kgBB
dapat digunakan sebagai obat induksi pengganti tiopenton
pada anestesi seksio sesarea karena tidak mendepresi
neonatus.
Pognoni B. dkk., meneliti empat kelompok yang masing-
masing diberikan propofol sebagai induksi, secara berkala,
secara kontinyu, dan thiopentone sebagai induksi, tidak
ditemukan awareness selama operasi dan perbedaan nilai
apgar pada keempat kelompok tersebut. Stark dkk., sangat
jarang menemukan efek samping mual, muntah dan •
perasaan melayang pada penggunaan propofol. Propofol
mempunyai efek relaksasi otot uterus tetapi secara klinis
tidak ditemukan perubahan kontraksi atau kehilangan
darah pada observasi selama operasi.
Propofol mempunyai berat molekul yang rendah dan
kelarutan yang tinggi dalam lemak sehingga mudah
ditransfer dari plasenta ke janin dengan cepat, demikian
pula dengan tiopenton.
J. Pentotal
Tiopenton mempunyai kelarutan yang tinggi dalam
emak sehingga mudah menembus sawar plasenta.
(onsentrasinya mencapai puncak pada vena umbilikalis
25
dalam 1 menit, pada arteri umbilikalis dalam 2-3 menit dan
kemudian konsentrasinya dalam darah umbilikalis menurun
dalam 10 menit. Beberapa saat setelah penyuntikan
intravena, kadarnya dalam darah janin mencapai 70-85%)
dari kadar ibu. Dari penelitian-penelitian berikutnya
disebutkan bahwa tidak ada hubungan antara besarnya
kadar tiopenton dalam darah janin dengan keadaan bayi
yang baru dilahirkan.
Dengan pemberian dosis 4mg/kgBB, kadar dalarn
sistem pusat janin tidak cukup tinggi untuk menirnbulkan
depresi, pada pemberian dosis lebih dari 8mg/kgBB akan
menyebabkan depresi neonatal. Depresi neonatal tidak akan
terjadi apabila dosis yang digunakan dalam batas yang
dianjurkan karena sirkulasi foetal akan memodifikasikan
distribusi obat-obatan tersebut. Moore J. dkk., melaporkan
pada penelitiannya terhadap 42 pasien yang dilakukan
seksio sesarea dan diberikan induksi dengan propofol dan
tiopenton, ternyata didapatkan nilai Apgar yang baik pada
keduanya antara 7 sampai 9 pada I dan 5 menit.
5. Pelemas Otot:
Vekuronium suatu obat pelemas otot golongan non-
depolarisasi dengan masa kerja sedang, cukup untuk suatu
operasi seksio sesarea, tidak mempengaruhi sistern
kardiovaskuler dan tidak ada efek pelepasan histamin atau
sedikit sekali.
Vekuronium mempunyai berat molekul yang besar dan
kelarutan yang rendah dalam lemak sehingga dalam dosis
terapi sulit untuk menembus sawar plasenta. Patricia A.
Dailey dkk. pada penelitiannya yang membandingkan efek
vekuronium dan pancuronium terhadap janin ternyata tidak
menemukan adanya penurunan dan perbedaan nilai Apgar
dan nilai Neonatal Adaptive Capacity Scale (NACS) pada
kedua kelompok obat tersebut. Devaldestin P. dkk.,
menyatakan bahwa konsentrasi vekuronium yang
didapatkan pada vena umbilikalis janin jauh lebih kecil
dibandingkan dengan yang berada dalam darah Ibu dan
tidak mempengaruhi nilai Apgar.
6. Obat Anestesi Inhalasi
N20
Nitrous oxide cepat menembus sawar plasenta,
konsentrasi nitrous oxide dalam darah tali pusat bervariasi
26
dan ditemukan lebih kecil dari darah lbu. Konsentrasi N20
di dalarn darah ibu dua kali iebih besar dari di dalarn darah
vena urnbilikalis, dan tiga kali lebih besar dari arteri
umbilikalis serta tidak rnernpengarurn nilai Apgar.
Penambahan ancstesi inhalasi seperti halothari sebagai
suplerne n nitrous oxide pada seKSIO sesarea akan �
nenurunkan angka kejadian awareness selama operasi. :0
s:::
)>
Crawford menyatakan bahwa pada pernberian halotan
),5 vol'% didapatkan awareness 0'%. Waren dkk., 6r
nembandingkan efek dari volatile agent halotan O,S'X,,

mfluran 1%, dan isofluran 0,75°/t, dalam N20/02 50%/50% "O
oada 42 orang pasien yang dilakukan seksio sesarea, m
:0
ernyata tidak didapatkan adanya perbedaan yang berrnakna z
Ialam tekanan gas darah. keseirnbangan asam basa, nilai

r
vpgar dan nilai ncurobehavioral janin. Demikian pula
lengan Abboud TK dkk., yang membandingkan efek
ialothan dan enfluran pada seksio sesarea, tidak didapatkan
iwareness dan penurunan nilai Apgar dan nilai
ieurobehaviour. Pada pemberian halothan 0,65'Yo dalam
h0/02 50%/50% pada 15 orang yang dilakukan seksio
esarea ternyata tidak didapatkan awareness dan penurunan
iilai Apgar.
Demikian pula dengan obat pelumpuh otot depolarisasi
Ian nondepolarisasi seperti succnylcholine, vekuronium,
.ancuronium serta atrakurium dalam dosis terapi tidak
apat menembus sawar plasenta karena succinylcholine
nempunyai derajat ionisasi yang tinggi dan vekuronium,
.ancuronium serta atracurium mempunyai berat molekul
ang besar dan kelarutan yang rendah dalam lemak. •
,evofluran
Induksi cepat dan intubasi merupakan standar
ndakan anestesi untuk pemberian anestesi umum pada
eksio sesarea pada pasien dengan foetal distress yang tanpa
da pemasangan anestesi regional terlebih dulu. Sebagai
kibat adanya gangguan pengosongan lambung yang
ihubungkan dengan kehamilan dan persalinan, pasien
ikelola dengan pemikiran bahwa lambungnya penuh,
arena ada resiko serius dari morbiditas dan mortalitas ibu
ila terjadi aspirasi. Induksi cepat memerlukan pemberian
oat secara intravena. Dalam keadaan yang sangat jarang
adang-kadang tidak dapat dilakukan kanulasi vena dan
')7
adanya foetal distress memerlukan tindakan yang cepat
sebelum kanulasi vena dapat dilakukan. Sehingga
pemakaian induksi irihalasi yang cepat, tanpa iritasi saluran
nafas rnerupakan alternatif yang baik. Sevot1uran
merupakan suatu anestetika inhalasi dcngan koefisien
partisi yang renclah (0,63) sehingga uptake dan climinasi
cepat serta mudah mengatur kedalaman anestesi.
Sevofluran untuk Obstetric anestesi
Penggunaan sevofluran untuk kasus obstetrik telah
dievaluasi dalam dua penelitian preklinik dan dua penelitian
klinik. Pada penelitian preklinik, sevofluran telah dievaluasi
pada biri-biri hamil dan uterus tikus yang di isolasi.
Pengaruh sevofluran terhadap aliran darah uterus telah
dibandingkan dengan isofluran. Tujuh biri-biri menerirna
isofluran dan sevofluran, dua biri-biri diberikan sevofluran
dan dua biri-biri lagi diberikan sevofluran saja. Kedua obat
diteliti pada berbagai dosis yaitu 0,5 MAC, 1 MAC dan 2,0
MAC. Dengan kcdua obat tekanan darah foetal tetap stabil
sampai dosis 2 MAC. Dengan kedua obat pH foetal tetap
tidak berubah selama eksposur. Fetal C02 bertendensi lebih
tinggi pada 2,0 MAC untuk kedua obat tadi. Tidak ada
pengaruh buruk pada hemodinamik maternal atau foetal.
Penelitinya menyimpulkan bahwa sevofluran mungkin suatu
obat anestesi yang sangat berguna bila digunakan pada
obstetri.
Pada peneltian lain, pergerakan spontan kontraksi yang
dirangsang oleh oksitosin pada uterus tikus yang di isolasi
telah dievaluasi dengan sevofluran, enfluran dan halothan.
Peneliti tersebut mencatat bahwa penghambatan kontraksi
uterus spontan paling lemah dengan sevofluran diikuti oleh
enfluran dan kemudian halotan. Pada konsentrasi sevofluran
4%, enfluran 3% dan halotan 2% kontraksi yang dirangsang
oleh oksitosin dihambat 93%, 99% dan 100%.
Pada studi klinis, sevofluran diberikan pada pasien
untuk seksio sesarea. Pada pcnelitian secara random, 55
pasien dilakukan seksio sesarea elektif dengan anestesi
umum, yang dibagi atas dua kelompok yang menerima
sevofluran 1 vol% atau isofluran 0,5% dalam 50% N20 untuk
pemeliharaan anestesi. Outcome maternal dan neonatal
dicatat. Sebagai tambahan, outcome neonatal pada kedua
kelompok dibandingkan secara Cohort pada 20 pasien yang
28
dilakukan seksio sesarea dengan spinal analgesia.
Sevofluran dan isofluran pada dosis yang ekuipoten (0,46
MAC hours) dihubungkan dengan tekanan darah dan denyut
jantung yang stabil selama pembedahan. Kehilangan darah,
tonus uterus, dan komplikasi perioperatif tidak merupakan
masalah dan sama antara kedua obat. Tidak ada perbedaan
dari emergence times, waktu pasien rnerasa cukup kuat
untuk keluar dari ruang pulih dan ketidaknyamanan
pascabedah. Bila dibandingkan anestesi urn.um dengan
kelompok spinal anastesia tidak ada perbedaan dari outcome
neonatal. Peneliti menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
yang nyata antara sevofluran 1 % dengan isofluran O,S'Yu
untuk maintenance anestesi pada seksio sesarea.
Pada penelitian lain, sevofluran diberikan kepada 16
pasien untuk seksio sesarea. Pasien diinduksi dengan
sevofluran 3-4% dan dipertahankan dengan 0-3(% sevofluran
dalam N20. Median Apgar score pada l menit adalah 7 dan
tidak ada neonatus yang diintubasi saat resusitasi. Tidak
ada efek buruk sevofluran terhadap neonatus yang
diternukan dalam 1 minggu setelah dilahirkan atau 3 bulan
setelah keluar dari rumah sakit. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa sevofluran aman dan efektif untuk
digunakan pada seksio sesarea.
Di Bandung dilakukan 2 penelitian sevofluran untuk
seksio sesarea. Penelitian pertama menggunakan sevofluran
dengan teknik induksi inhalasi triple breath induksi
sedangkan satu penelitian lagi dengan menggunakan induksi II
intravena dengan propofol. Kedua penelitian menunjukkan
hasil yang baik, Apgar score 1 menit antara 7 -8, tekanan
darah dan denyut nadi stabil sclama pembedahan, tidak ada
komplikasi selama pembedahan dan pascabedah, dan tidak
ada neonatus yang di intubasi selama resusitasi.
Untuk spesialis anestesi, pertimbangan pertama pada
seksio sesarea emergensi adalah untuk menjamin
keselamatan ibu. Pertimbangan bayi tidak menyebabkan
menempatkan ibu dalam posisi ada resiko komplikasi akibat
anestesi. Tetapi, dalam pengambilan keputusan medis selalu
harus dipertimbangkan untung ruginya dalam memilih
tindakan anestesi terbaik. Pertimbangan utama pada situasi
ini adalah parturient beresiko tinggi untuk terjadinya
aspirasi cairan Iambung, yang bila terjadi dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Untuk alasan ini,
29
induksi cepat dengan anestesi umum adalah indikasi bila
ada suatu nonreassuring denyut jantung foetus tracing atau
prolong fetal bradiardi dan terbatasnya waktu mencegah
penggunaan regional anestesia. Akan tetapi, dengan keadaan
fetus yang sangat ekstrim, yang mana setiap penundaan
persalinan dapat rnenyebabkan fetal demise, tidak ada
waktu lagi untuk obtain akses intravena yang diperlukan
untuk induksi cepat. Pada pasien ini opsinya terbatas:
infiltrasi dengan anestesi lokal atau induksi anestesi melalui
rute bukan vena. Untuk mencapai adekuat anestesi lokal
diperlukan waktu dan tekniknya belum tentu dikuasi oleh
residen ob-gin. Induksi anestesia dan paralisis melalui
suntikan intramuskuler (ketamine, succinylcholin) tidak
cukup cepat untuk menimbulkan paralisis untuk
menghindari batuk, straining atau muntah.
Disebabkan karena sevofluran baunya tidak
menyengat, sevofluran dapat ditoleransi dengan baik selama
gradual atau single breath induction anestesi. Sevofluran
mempunyai koefisien partisi yang rendah sehingga
kecepatan induksi dapat menyamai atau lehih cepat
daripada pentotal atau propofol. Induksi inhalasi dengan
N20 60% + sevofluran 8% hanya memerlukan waktu 23
detik. Pentotal 5 mg/kg memerlukan waktu 27 detik dan
propofol 2,5 mg/kg memerlukan waktu 35 detik. Selama
kehamilan, peningkatan VE dan penurunan FRC dan MAC
akan menyebabkan induksi lebih cepat. Rendahnya kejadian
iritasi jalan nafas oleh sevofluran akan risiko batuk, gasping,
retching atau nahan nafas, jadi mengurangi kemungkinan
muntah selama induksi, walaupun diperkirakan larnbung
penuh dari parturient. Sevofluran tidak mengsensitisasi
miokardium terhadap katekholarnine atau menimbulkan
takikardia selama induksi (kontras dengan desfluran).
Sebagai simpulan, sevofluran kurang potent daripada
enfluran atau halotan dalam kemampuan untuk
menghambat kontraksi uterus yang dirangsang oleh
oksitosin. Untuk parameter keamanan dan kenyamanan,
kedua penelitian pada binatang (biri-biri) dan manusia
menunjukkan bahwa sevofluran adalah sebanding dengan
isofluran.
7. Obat Anestesi Lokal
Anestesi untuk seksio sesarea dapat dilakukan dengan
anestesi regional (spinal atau epidural) atau dengan anestesi
umum, karena itu pengetahuan tentang obat anestesi lokal
dan obat anestesi urnurn perlu dipahami dengan baik.
Komponen kirnia yang menunjukkan aktivitas lokal
anestesi umumnya mempunyai ujung aromatik, ujung
amine, dan rantai intermediate. Obat anestesi lokal dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu:
amino-ester
amino-amide
Obat anestesi lokal dengan suatu rantai ester diantara
bagian aromatik dan rantai intermediate disebut amino-
ester, misalnya prokain, khloroprokain dan tetrakain. Obat
anestesi lokal dengan rantai amide antara ujung arornatik
fan rantai intermediate disebut amino-amide, misalnya
idokain, mepivakain, prilokain, bupivakain dan etidokain.
:Jerbedaan dasar antara golongan ester dan amide adalah
:lalam cara metabolisme obat dan potensial alerginya.
}olongan ester dihidrolisa di plasma oleh
oseudocholinesterase, sedangkan golongan amide dipecah
ileh enzym di liver. Metabolit hasil hidrolisa golongan ester
idalah paraaminobenzoic acid yang dapat menimbulkan
'eaksi alergi. Metabolisme golongan amide tidak
nenghasilkan paraaminobenzoic acid dan laporan adanya <:.: ,:
·eaksi dengan obat golongan ini sangat jarang. . •
Gambaran anestesi suatu komponen kimia tergantung
lari:
lipid solubility
?. proteine binding
r pKa
f. non nervous tissue diffusibility
>. intrinsic vasodilator activity
Gambaran tersebut terlihat pada tabel di halaman
ierikut ini.
,ipid Solubility:
Kelarutan dalam lemak menggambarkan potensi intrisik
bat anestesi lokal tersebut. Makin tinggi kelarutannya
alam lemak, semakin poten obat tersebut. Kelarutan dalam
emak prokain < 1, dan obat ini paling kecil potensinya.
ebaliknya koefisien partisi bupivakain, tetrakain dan
31
etidokain bervariasi dari 30 sampai 140, menunjukkan
kelarutan dalam lemak yang tinggi. Obat ini menunjukkan
blokade konduksi pada konsentrasi yang sangat rendah
karena potensi intrinsik anestesinya 20 kali lebih besar dari
prokain. Hubungan antara kelarutan dalam lemak dan
potensi intrinsik anestesi selalu konsisten dengan komposisi
lipoprotein dari membran saraf. Kira-kira 90% axolema
terdiri dari lemak. Karena itu obat anestesi lokal yang
kelarutan lemaknya tinggi dapat menembus membran saraf
dengan lebih mudah yang direfleksikan sebagai peningkatan
potensi.
Protein Binding:
Kekhasan protein binding adalah mempengaruhi lama
kerja obat anestesi Iokal tersebut. Prokain, pengikatan oleh
proteinnya buruk, karena itu lama kerjanya pendek.
Sebaliknya tetrakain, bupivakain dan etidokain protein
bindingnya tinggi, karena itu lama kerjanya paling panjang.
Hubungan antara protein binding obat anestesi lokal dan
lama kerjanya adalah konsisten dengan struktur dasar
membran saraf. Protein membran saraf _:tl0%. Karena itu
obat yang menembus axolemma dan diikat pada protein
membran bertendensi untuk memperpanjang lama aktivitas
obat.
pKa:
pKa komponen kimia didefinisikan sebagai pH dimana
bentuk ion dan non-ion ada dalam keseimbangan. Obat
anestesi lokal yang tidak berubah bentuk, bertanggungjawab
untuk difusi menembus selubung saraf. Mula kerja secara
langsung berhubungan dengan kecepatan menembus
epineurium yang korelasi dengan jumlah obat dalam bentuk
dasar. Presentasi dari obat anestesi lokal dalam bentuk
dasar bila disuntikkan ke dalam jaringan yang mempunyai
pH 7,4 adalah sebaliknya proporsional pada pKa obat
tersebut. Sebagai contoh: Lidokain yang mempunyai pKa
7,74 adalah 65% dalam bentuk ion dan 35% dalam bentuk
non-ion pada pH jaringan 7,4. Sebaliknya, tetrakain dengan
pKa 8,6 mempunyai 95% dalam bentuk ion dan 5% dalam
bentuk non-ion pada pH jaringan 7,4. Dari penelitian invivo
dan invitro telah dikonfirmasikan bahwa obat anestesi Iokal
yang mempunyai pKa hampir mendekati pH jaringan,
32
rnempunyai mula kerja yang lebih cepat daripada obat
anestesi lokal dengan pKa yang tinggi.
Non Nervous Tissue Diffusion :
Mula kerja berhubungan dengan kecepatan difusi
melalui perinerium. Pada invivo, obat anestesi lokal harus
menembus jaringan pengikat yang bukan jaringan saraf. Ada
perbedaan kecepatan menembus jaringan yang bukan saraf.
Sebagai contoh: prokain dan kloroprokain mempunyai pKa
yang sama dan onset time yang sama pada saraf yang
diisolasi (invitro), tctapi pada invivo onset time kloroprokain
lebih pendek daripada prokain. Hal ini menunjukkan bahwa
kloroprokain lebih cepat menembus jaringan yang bukan
jaringan saraf.
Intrinsic Vasodilator Activity:
Faktor ini akan mempengaruhi potensi dan lama kerja.
Tingkatan dan Iamanya blokade saraf dihubungkan dengan
jumlah obat anestesi lokal yang menembus ke reseptor pada
membran saraf. Setelah suntikan obat anestesi lokal,
sebagian obat akan diambil jaringan saraf dan beberapa
bagian lainnya akan diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi.
Derajat absorpsi vaskuler berhubungan dengan aliran darah
ke daerah dimana obat anestesi lokal disuntikkan. Semua
obat anestesi lokal (kecuali kokain) bersifat vasodilator,
tetapi derajat vasodilatasi yang ditimbulkan oleh setiap obat I
berbeda-beda. Pada penelitian invitro, telah ditunjukkan
bahwa potensi intrinsik obat anestesi lidokain lebih besar
daripada mepivakain; tetapi pada invivo, mepivacain
mempunyai potensi yang sama dan lama kerja yang lebih
panjang daripada lidokain. Pcrbedaan antara invivo dengan
invitro adalah akibat lebih besarnya aktivitas vasodilator dari
lidokain, sehingga absorpsi lidokain lebih besar dan obat
yang tersisa untuk memblokade saraf tinggal sedikit.
Pendesakan perbedaan dari potensi dan lama kerja, maka
obat-obat anestesi lokal dibagi atas 3 kelompok:
a) Obat dengan potensi yang rendah dan lama kerja yang
pendek, misalnya prokain dan kloroprokain.
b) Obat dengan potensi dan lama kerja yang sedang,
misalnya lidokain, mepivakain dan prilokain.
33
c) Obat dengan potensi yang kuat dan lama kerja yang
panjang, misalnya bupivakain, tetrakain dan etidokain.
Farmakokinetik Obat Anestesi Lokal:
Konsentrasi obat anestesi lokal dalam darah ditentukan
oleh kecepatan absorpsi dari tempat suntikan, kecepatan
distribusi jaringan, kecepatan metabolisme dan eksresi.
Faktor-faktor lain seperti umur, status kardiovaskuler dan
fungsi-fungsi hepar akan mempengaruhi konsentrasi obat
dalam darah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi sistemik
dan toksisitas obat anestesi lokal adalah:
tempat suntikan.
dosis.
penambahan vasokonstriktor.
sifat farmakologi obat anestesi lokal itu sendiri.
Perbandingan konsentrasi lidokain dalam darah setelah
penyuntikan dari beberapa tempat yang berbeda,
menunjukkan bahwa kadar lidokain dalam darah paling
tinggi setelah blokade n. intercostal, kemudian yang lebih
rendah lagi setelah epidural, lalu flexus brachialis, dan
terkecil setelah subcutis. Tingginya konsentrasi dalam darah
setelah intercostal block mungkin dihubungkan dengan
banyaknya suntikan yang diperlukan untuk blokade
interkostal dan akibat obat anestesi lokal diberikan pada
daerah yang kaya pembuluh darah sehingga absorpsinya
akan meningkat.
Pemberian topikal pada beberapa tempat yang berbeda
menunjukkan perbedaan absorpsi dan toksisitas. Pada
umumnya absorpsi akan lebih cepat setelah pemberian
intratracheal. Absorpsi dan toksisitas lebih rendah pada
pemberian intranasal, urethra dan vesica urinaria. Absorpsi
dan kadar obat anestesi lokal dalam darah lebih tergantung
dari dosis total dibandingkan dengan tempat suntikan.
Obat anestesi lokal sering dicampur dengan obat
vasokonstriktor, umumnya adrenalin, dari konsentrasi
5ug/ml sampai 20 ug/ml. Penambahan vasokonstriktor
dapat memperpanjang lama kerja. Adrenalin akan
menurunkan kecepatan absorpsi, jadi akan menurunkan
potensi potensi toksisitas. Lima ug/ml adrenalin (1/200.000)
akan menurunkan kadar puncak lidokain dan mepivakain
34
dalam darah secara nyata, tetapi udak jelas pengaruhnya
tcrhadap bupivacain, prilokain dan et idokain.
Korise ntrasi opt irnal vasokonstriktor adalah l /200.000,
pcmberian adrenalin 1 /80.000 tidak akan menurunkan
konsentrasi puncak lidokain dalam darah.
Karakterist ik farmakologis yang spesifik juga ;
mempengaruhi kecepata n dan derajat absorpsi vaskuler. :lJ
3:
Lidokain dan rnepivakain diabsorpsi lebih cepat setelah »
epidural anestesi daripada prilokain. Kemungkinan ha! ini 6
r:
karena perbedaan aktivitas vasodilator dan lipid solubiliti c

dari obat-obat tersebut. "'C
IT
:::c
Toksisitas Obat Anestesi Lokal 2
):,
Obat anestesi Iokal relatif bebas dari efek samping bila ):,
diberikan da!am dosis yang tepat dan lokasi anatomis yang r
tepat. Reaksi toksis yang cepat umurnnya bila terjadi
suntikan intravaskuler atau dosis besar subarachnoid.
Pemberian dosis yang besar tetapi lokasi anatomisnya tepat
dapat membawa ke arah toksisitas sitemik setelah absorpsi
vaskuler obat-obat anestesi lokal tersebut. Efek samping
yang spesifik dihubungkan dengan beberapa obat tertentu,
misalnya:
1. Alergi oleh grup aminoester atau jenis prokain
(procain like drug).
2. Met Hb-anemia, setelah pemberian prilokain .
3. Adiksi, setelah pemberian kokain.
4. Cardiac toksisitas, karena bupivakain.
5. lritasi neural lokal, oleh kloroprokain.
Kejadian intoksikasi antara 0,2-1,5%. Bila diberikan •
adrenalin 1 /200.000 sebagai vasokonstriktor untuk
mengurangi absorpsi vaskuler, maka kejadian intoksikasi
akan menurun. Kontra indikasi adrenalin adalah pasien
takikardi, hipertensi, aritmia, pemakaian untuk sirkumsisi
dan digital block. Waktu dari penyuntikan sampai gejala
intoksikasi, bila terjadi suntikan intravena: 15 sampai 30
detik, bila over dosis: 5 sampai 30 menit. Pengaruh toksisitas
tergantung dari kadar obat anestesi lokal dalam plasma. Bila
kadarnya 4 ug/ml terjadi gejala kepala terasa melayang,
pusing, tinnitus. Bila kadarnya 6 ug/ml gejalanya gangguan
peng-lihatan, disorientasi dan ngantuk. Bila kadarnya 10
ug/ml gejalanya tidak sadar, twitching otot, tremor (rnuka,
35
ujung ekstrimitas). Bila 12 ug/ ml timbul kejang-kejang dan
bila kadarnya 20 ug/ml terjadi henti nafas
Tabel 2. Toksisitas Anestetika Lokal
Tok.sisitas sistemi):
(I) Susunan Saraf Pu sat
Eksitasi
Depresi
(2) Sistem Kardiovaskular
Hipertensi
Hipotensi
Kolaps Kardiovaskuler
Iritasi Lokal
(1) Kerusakan saraf
���s·. (2) Kerusakan otot skelet
Lain-lain
i�t·· (1) Alergi
(2) Methemoglobinemia (Prilocaine)
�) Adiksi (Cocaine)
Toksisitas Sistemik:
Toksisitas sistemik obat anestesi lokal secara primer
[{? umumnya mengenai susunan saraf pusat dan sistem
kardiovaskuler. Pada umumnya SSP lebih dahulu terkena
daripada sistem kardiovaskuler. Penelitian pada anjing dan
biri-biri menunjukkan bahwa diperlukan dosis dan kadar
obat anestesi lokal yang lebih kecil untuk menimbulkan SSP
I toksisitas daripada kardiovaskuler toksisitas.
Toksisitas SSP:
Gejala-gejala dan tanda-tanda dari toksisitas SSP
terlihat pada Tabel di bawah ini.
Tabel 3. Tanda dan Gejala Toksisitas SSP akibat
anestetika lokal
Eksitasi SSP
Tinitus
Kepala serasa ringan (Lightheadedness)
Konfus
Circumoral numbness
HentiNafas
36
Toksisitas SSP berhubungan clengan :
1. Potensi obat
2. Kadar C02
3. pH darah
Potensi obat: markain 8 kali lebih poten daripada
prilokain, toksisitasnya jauh lebih berat. �
Bila kadar C02 darah meningkat, ambang konvulsi lJ
s:
)>
menu run.
Bila pH darah menurun, ambang convulsi menurun. 6
r
0
Pada sukarelawan yang diinfus obat anestesi lokal �
"U
merasakan adanya perasaan melayang, mengantuk, diikuti m
lJ
gangguan penglihatan dan pendengaran [seperti kesulitan

memfokuskan pandangan dan tinnitus) serta adanya

r
disorientasi dan mual. Tanda-tanda lain adalah adanya
eksitasi, menggigil, muskular twitching dan tremor pada
otot-otot muka dan bagian distal ekstrimitas dan terjadi
kejang-kejang yang menyeluruh. Bila dosis besar diberikan
secara sistemik, gejala pertama SSP eksitasi segera diikuti
oleh SSP depresi, depresi nafas, dan henti nafas. Relatif SSP
toksisitas dari bupivacain, etidokain dan lidokain adalah
4:2:l.
Toksisitas Kardiovaskuler:
Obat anestesi lokal dapat menyebabkan pengaruh yang
besar terhadap sistem kardiovaskuler. Pemberian secara
sistematis dapat mernpengaruhi otot jantung dan otot polos
dinding pembuluh darah.
Lidokain:
Lidokain biasanya digunakan untuk terapi aritmia


(ventricular extrasistole). Efek primer dari lidokain adalah
menurunkan kecepatan maksimal dari depolarisasi.
Bupivakain dapat mempresipitasi timbulnya aritmia jantung,
yaitu adanya blok unilateral dan suatu aritmia jantung tipe
reentrant. Tergantung dosis, obat anestesi lokal bisa bersifat
inotropik negatif. Makin poten obat anestesi lokal tersebut,
makin kuat mendepresi jantung. Hal ini terlihat pada tabel
di bawah ini.
37
l
Hipertensi-takhikardia
Berhubungan dengan toksisitas SSP.
Efek inotropik negatif.
Penurunan curah jantung.
Hipotensi ringan-sedang.
Vasodilatasi perifer.
--- Hipotensi berat. ----.....__
......-- Sinus bradikardia -----.
Defeck Konduksi Aritmia Ventricular
� Kola s Kardiovaskular /
Diagram 1. Diagram dari toksisitas kardiovaskuler akibat ancstetika lokal
Pada penelitian-penelitian terlihat bahwa efek
kardiodepresant dari obat anestesi lokal menunjukkan
adanya hubungan antara potensi intrinsik obat anestesi
lokal dengan efek inotropik negatif. Kerena itu bupivakain
lebih kardiotoksik daripada lidokain.
Ventricular aritmia dan fibrilasi ventrikel yang fatal
dapat terjadi setelah dosis besar bupivakain intravena, tetapi
tidak terjadi dengan lidokain. Wanita hamil lebih sensitif
terhadap efek kardiotoksik bupivakain daripada wanita yang
tidak hamil. Resusitasi kardiovaskuler lebih sulit bila kolaps
kardiovaskuler disebabkan oleh bupivakain. Adanya asidosis
dan hipoksia akan berpotensi dengan efek kardiotoksik
bupivakain.
Pencegahan terjadinya komplikasi adalah dengan
mencegah overdosis dengan memberikan obat sesuai dengan
dosis yang dianjurkan, hati-hati terjadi penyuntikan
intravena dengan cara teknik yang benar, sering diaspirasi,
test dose 10% dari dosis total, kenali gejala awal toksisitas,
terus kontak verbal dengan pasien, monitor nafas, tekanan
darah dan frekuensi nadi.
Lidokain
Onset lebih cepat dan duration lebih lama dari prokain
Efek topikalnya baik
Sering dipakai sebagai anti aritmia
Lokal anestesi yang paling banyak dipakai dan sebagai
pembanding obat lokal anestesi lainnya
korisentrasi untuk infiltrasi 0,5-1 'X,, epidural 1-2'Y.J, block
saraf 1-1,S'X,, topikal 4°/c,, spinal 5'X,.
Mula kerja-nya cepat, lama kerja 60-120 menit.
Dosis maksirnal 300rng tanpa epincphrin dan 500mg bila
dicampur dengan cpinephrin.
Dosis rata-rata 7-8mg/kgBB.
Bupiv2kain :
Potensi lebih kuat.
Lama kerja lebih lama.
Toksisitas hampir sama dengan tetrakain, :t 4-5 kali lebih
besar dari lidokain.
Motor block lebih lemah dari lidokain.
Mula kerja-nya lcbih lama dari lidokain.
Banyak dipakai pada pengelolaan nyeri pascabedah dan
analgesi pada persalinan.
Konsentrasi infiltrasi 0,25-0,5%, nerve block 0,25-0,51X,,
epidural 0,5-0,75%, spinal 0,5%.
Mula kerja lambat, lama kerja 180-300 menit.
Dosis tunggal maksimum 175mg. Rata-rata 3-4mg/kgBB.
=>rokain:
Pemberian topical tidak efektif.
Toksisitas 25-50% lebih rendah dari lidokain karena
hidrolisa dalam darah relatif cepat.
Mula kerjanya lebih lama dari lidokain tapi lama kerja
hanya 45 menit. •
Penyebarannya kurang baik, sering ada missed segmen
pada epidural anestesi.
Konsentrasi infiltrasi 1 %, epidural 2%, plexus block 2%,
spinal 10%.
Mula kerja lambat, lama kerja 30-45 menit.
Dosis SOOmg tanpa epineprin.
rosis rata-rata 10-12mg/kgBB.
'ersiapan Anestesia
Tergantung dari jenis teknik anestesia lokal yang akan
igunakan. Secara umum pasien harus diberi penjelasan
.ahwa untuk yang bersangkutan yang terbaik adalah
nestesi lokal, sedikit diberitahu tentang cara melakukan
39
tindakan anestesi lokal tersebut. Pasien tetap dianjurkan
puasa untuk me ncegah muntah bila diperlukan kombinasi
dengan anestesi umum. Diperiksa tempat yang aka n
disuntik apak.ah ada dermatitis, infeksi atau kelainan
anatornis yang tidak memungkinkan dilakukan tindakan
anestesi lokal. Diberikan prernedikasi sedativa dan analgetik
kalau perlu. Conteh premedikasi misalnya dengan diazepam
atau lorazeparn. Pada keadaan-keadaan tertentu lebih baik
tidak dilakukan anestesi Iokal, misalnya pasien tidak
kooperatif, penyakit saraf, anemia berat, ataupun infeksi
kulit.
Daftar Pustaka
1. Bisri T. Obstetri Anestesi. Bandung: Bagian Anestesiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, 1998
2. Datta S. The Obstetric Anesthesia Handbook, edisi ke-2,
St Louis: Mosby; 1995.
3. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-3,
Philadelphia: Hanley and Belfus; 2000.
4. Datta S. Anesthetic and Obstetric management of high-
risk pregnancy, edisi ke-3, New York: Springer; 2004.
I 5. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-4, USA:
Springer; 2006.
6. Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetri Anesthesia
Handbook, edisi ke-5. New York: Springer; 2010.
40
BAB3
Pemeliharaan aliran darah uteroplasenta iuteropiocenta!
blood flow /UPBFi sangat penting untuk berlangsungnya
kehidupan foetus yang baik, maka pengetahuan tentang
UPBF ini sangat penting untuk tenaga medis dan pararnedis
yang merawat penderita hamil. UPBF dirurnuskan sebagai
berikut:
UAP-UVP
UBF
UVR
UIJF =uterine bloodflow UVP =uterine venous pressure
UAP =uterine arterial pressure UVR=uterine vascular resistance
Maka semua keadaan yang menurunkan tekanan darah
rata-rata ibu atau meningkatkan resistensi vaskuler uterus
akan menurunkan UPBF dan akhirnya menurunkan
umbilical blood flow (UmBF).
UBF normalnya adalah 2% dari curah jantung, dalam
kehamilan dapat meningkat sampai 20°/.1. Pada kehamilan
aterm, 10% dari curah jantung atau sekitar 500-
700ml/menit akan memasok uterus dimana 80%-nya akan •
nemasuki plasenta. UBF biasanya diukur dengan dopler,
Iimana velositas darah pada puncak sistolik dibagi dengan
.asio SD (rasio sistolik/diastolik), hasilnya disebut indeks
·esistensi dan nilai normalnya adalah 0,58, dan bila
nencapai nilai >3 menunjukkan gangguan perfusi.
)embuluh plasenta berdilatasi secara maksimal, jadi aliran
iarah plasenta sangat tergantung pada tekanan perfusi.
Dua arteri uterina merupakan sumber utama pasokan
larah ke uterus, sedangkan pasokan dari arteri ovarica
.angat bervariasi tergantung dari spesiesnya. Kompleksnya
rasokan arteri ini menyebabkan pengukuran langsung UBF
.angat sulit, terutama pada manusia, dan pada kebanyakan
.asus keadekuatan perfusi plasenta dapat diperkirakan
.ecara tidak langsung dengan monitor denyut jantung foetus
Ian keadaan asam-basa, Pembuluh darah uterus, misalnya
uteri spiralis, banyak mengandung serabut simpatis yang
41
terutama terdapat pada tunika media. Penelitian pada
distribusi relatif a dan 13 reseptor adrenergik pada pembuluh
darah ini menunjukkan reseptor 13 ini berkurang atau
bahkan tidak ada. Karena itu terapi vasopresor dapat
membahayakan foetus. Obat a-adrenergik dapat
menurunkan UPBF.
Tabel 1. Penyebab penurunan Aliran Darah Uterus
Penurunan Tekanan Perfusi Peningkatan resistensi
Penurunan Tekanan Arteri uterus vaskuler uterus
,., Posisi Supine (kompresi Vasokonstriktor Endogen
aortocaval) Katekholamin (stress)
="' Perdarahan/hipovolemia Vasopressin (dalam respons
,,.. Obat yg menyebabkan hipotensi terhadap hipovolemia]
= Hipotensi selarna blokade sirnpatis Vasokonstriktor Exogen
Peningkatan Tekanan Vena Uterus "' Epinephrine
,.,, Kompresi vena cava ,., Vasoprcssor s (phenilephrin
a...- Kontraksi uterus > ephedrin)
"" Obat yg menyebabkan hipertonus Anestetika lokal (dalam
uterus (oksitosin, anestetika lokal) konsentrasi tinggi)
Hipertonus otot skelet [kejang,
Valsaval
Bila terjadi hipotensi pada wanita hamil (misalnya
dengan spinal/epidural analgesia), efedrin merupakan obat
terpilih, tetapi sebelumnya usahakan diterapi dengan:
=> merubah posisi Jbu.
=> Posisi uterus ke kiri.
=> beri cairan.
Drainase vena uterus merupakan ha! yang paling penting
untuk mempertahankan UBF. Sistem vena terdiri dari suatu
flexus yang saling berhubungan dengan kompleks yang
terdiri dari vena kecil dan besar tanpa klep. Selama
kehamilan vena-vena ini meningkat dalam jumlah dan
ukurannya.
I. Pengukuran Uteroplasental Blood Flow (UPBF)
Disebabkan tidak adanya alat untuk mengukur UPBF
secara non-invasif, maka data yang ada adalah dari hasil
penelitian binatang percobaan. Joupilla R. dkk ( 1978 dari
Finlandia, melakukan penelitian aliran intervilli manusia dan
42
aliran darah miometrium dengan menggunakan radio aktif
Xenon (133Xe) seperti yang terlihat pada garnbar di bawah ini.
Transfer oksigcn foetus tcrgantung pada afinitas
oksigen dan oxygen carrying capacity (OCC) dalam darah ibu
dan foetus. OCC akan tergantung pada konsentrasi Hb dan
kurfe disosiasi Oxy-Hb (afinitas oksigen). Pada foetus kurfe ;::
disosiasi oksigen bergeser kc kiri bila dibandingkan dengan :i5
)>
ibu. Konscntrasi Hb foetal tinggi ( 15gr%) bila dibandingkan z
dengan ibu (12gr%). Maka lebih tinggi afinitas oksigen sama �
halnya dengan lebih tingginya OCC dari darah foetal �
:::r
sehingga akan menguntungkan foetus dengan meningkatnya c
pengambilan oksigen melalui plasenta. -I
m
Sirkulasi uteroplasenta langsung terlibat dengan ::0
0
.,,
pertukaran gas respirasi pada neonatus. Oksigen foetus
s;:
tergantung pada kadar oksigen dalam vena uterina dan CJ)
aliran darah pembuluh umbilikal. m
z
Disebabkan adanya cadangan foetal dan perbedaan ;;!
mekanisme kompensasi, penelitian hewan menyokong
pernyataan bahwa foetus dapat mentolerir penurunan 40-
SO'Yo pasokan oksigen tanpa efek yang berbahaya. Penelitian-
penelitian binatang menunjukkan bahwa rata-rata pasokan
oksigen fetal (foetal oxygen delivery / FOO) adalah
24ml02/menit/kg, dan konsumsi oksigen 3ml02/menit/kg.
Kompensasi diambil dengan peningkatan ektraksi 02 atau
dengan redistribusi sirkulasi foetal. Stark dkk ( 1982),
menunjukkan adanya peningkatan produksi vasopressin
foetal pada keadaan hipoksia. Vasopressin mungkin
memegang peranan dalam redistribusi sirkulasi foetus.
Pertukaran C02 tergantung UBF, jadi artinya •
tergantung pada UBF. Asidosis respiratori akut dapat
disebabkan oleh akumulasi C02 sebab ada penurunan UBF
atau umbilical blood flow. Sebaliknya, bila terjadi hipoksia
pada Ibu, bisa terjadi foetal hipoksia dan asidosis. Ada tiga
mekanisme yang menerangkan kejadian ini:
l. Hipokapnia lbu (kurang dari 25mmHg) akan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah uterus
dan um bilikal.
2. Hiperventilasi mekanis akan meningkatkan tekanan
intratorakal dan mengurangi venous return, menurunkan
curah jantung, dan akhimya menurunkan UPBF.
43
3. Maternal alkalosis akan menggeser kurfe disosiasi Oxy-
Hb ke arah kiri, foetus akan kesulitan melakukan ektrasi
oksigen.
II. Faktor-faktor yang mempengaruhi UPBF
Keadekuatan perfusi uteroplasenta adalah hal yang
paling menentukan untuk kehidupan janin, dan hal ini
dipengaruhi oleh obat dan teknik anestesi. Aliran darah total
pada uterus dapat diperhitungkan sebagai jumlah dari aliran
darah ke plasenta dan bukan plasenta (miometrium dan
endometrium). Aliran ke plasenta proporsional dengan
resistensi arteri spiralis yang memasok ruang tersebut, dan
resistensi berasal dari tekanan miometrium. Jadi setiap
penurunan dari tekanan perfusi atau peningkatan resistensi
vaskuler dapat menyebabkan hipoperfusi dan asfiksia foetus.
UPBF tergantung dari tekanan perfusi.
Faktor-faktor penting yang menurunkan UBF adalah:
1) Hipotensi sistemik lbu.
2) Hiperventilasi.
3) Perubahan resistensi vaskuler uterus:
a) Sakit dan stress.
b) Anestesi umum.
c) Obat-obatan simpatomimetik.
4) Perubahan aktivitas uterus:
a) Obat anestesi yang menambah aktivitas uterus.
b) Obat-obat anestesi yang menghambat aktivitas uterus.
5) Keadaan patologis.
6) Obat-obatan :
a) Obat anestesi intravena.
b) Obat anestesi inhalasi.
c) Obat anestesi lokal.
d) Obat vasopressor.
e) Obat antihipertensi.
7) Obat tocolytic
1) Hipotensi sistemik lbu
Penurunan tekanan arteri rerata Ibu akan menurunkan
UBF dan akhimya UPBF juga menurun. Kompresi aortocaval
oleh uterus gravid yang besar (pada posisi supine)
merupakan salah satu penyebab utama dari penurunan
UBF. Faktor-faktor lain yang dapat menurunkan UBF adalah
44
.lokade simfatis pada anestesi regional dan hipovolemi
arena perdarahan hebat.
Akibat hipotcnsi sistemik lbu , tekanan perfusi melalui
uangan intervili menurun, yaitu bila tekanan darah sistolik
100 mm Hg a tau turun 30 mm Hg dari tekanan darah
)>
istolik semula. Pertanyaan tentang adanya autoregulasi r
iasih dalam pene!itian pada bermacam-macam spesies. :ii
):>
ada biri-biri, UBF turun linier dengan turunnya tekanan z
arah yang menunjukkan tidak adanya autoregulasi, tetapi �
iBF pada kelinci dipertahankan konstan pada rentang yang �
:::r:
.bar dari tekanan darah. c
--j
Tingkatan dan lamanya hipotensi yang dapat m
::0
ienyebabkan foetal distress, sangat bervariasi. Bila sirkulasi 0
teroplasenta terganggu oleh kondisi yang sebelumnya -u
ireexisting condition) sudah ada seperti diabetes melitus, �
ipertensi kronis, atau preeklampsi, maka akan lebih m
z
iempercepat terjadinya asfiksia foetal. �
Foetal bradikardi telah dilaporkan terjadi bila tekanan
arah !bu < 70 mmHg, dan gambaran denyut jantung foetal
mg abnormal, akan membawa ke arah foetal asidosis. Hal
ti terjadi bila tekanan darah sistolik < 100 mmHg selama 5-
5 menit. Denyut jantung foetus kembali normal bila
lakukan koreksi hipotensi. Penelitian pada pasien yang
lakukan seksio sesarea dengan anestesi spinal ataupun
iidural menunjukkan bahwa hipotensi maternal dapat
enyebabkan lebih tingginya kejadian depresi neonatus dan
etabolik asidosis. Pada pemeriksaan neurobehavioral bayi
mg lahir melalui seksio sesarea dengan epidural analgesia,
Ia korelasi yang nyata antara hipotensi maternal dan
-Iemahan refleks rooting dan sucking pada dua hari
.rtama.
Setiap teknik anestesi atau komplikasi obstetri yang
enyebabkan penurunan tekanan darah rata-rata ibu, dapat
erugikan pada foetus. Misalnya perdarahan ibu (plasenta
'aevia), hipovolemia atau dehidrasi, gaga! jantung kiri, obat
iestesi umum yang poten (anestesi yang dalam dengan
ilotan], terapi vasodilatasi pada pasien preeklampsi tanpa
drasi yang adekuat sebelumnya, blokade simpatis akibat
iestesi spinal ataupun epidural.
45
1) Kompresi aortocaval.
Pembesaran uterus pada ke hamilan trimester dua atau
tiga dapat menyebabkan penekanan pada vena cava inferior
dan aorta bagian bawah bila pasien dalam posisi terlentang.
Keadaan ini disebut "Supine Hypotensive Syndrome" atau
"Aorta Caval Compression Syndrome" yang telah
dipublikasikan oleh Howard, Goodson dan Mengert pada
tahun 1953. Kejadian postural hipotensi yang berat ±_ 11 %.
Penelitian pada 500 pasien gravida kejadian supine hipotensi
yang hebat _:!: 4%, tetapi penurunan tekanan darah terjadi
pada 70% kasus.
2) Hiperventilasi
Hiperventilasi sering terjadi pada pasien yang akan
melahirkan akibat dari rasa sakit dan cemas. Analisa
biokimia dari contoh darah kapiler foetus menunjukkan
bahwa pada keadaan tersebut bisa terjadi alkalosis
maternal. Tetapi alkalosis maternal akibat hiperventilasi
selama persalinan adalah "jinak" untuk foetus dan seburuk-
buruknya bisa menyebabkan sedikit penurunan Pa02 foetal.
Hal ini bisa disebabkan oleh penambahan afinitas Hb
maternal terhadap 02 dan atau pengurangan UmBF, dua
\/ fenomena yang akan mengurangi transfer oksigen ke
plasenta. Hal ini lebih nyata terlihat adanya efek yang lebih
serius terjadi akibat hiperventilasi oleh anestetis pada
anestesi umum. Bisa terjadi hipoksia foetal, asidosis dan
depresi neonatal bila PaC02 Ibu ::; 17mmHg dan pH < 7,5.
Terjadinya hiperventilasi mengakibatkan turunya tekanan
perfusi uterus (UPBF turun ± 25%), hal ini akibat adanya
efek mekanis dari !PPB, karena peningkatan tekanan
intratorakal akan menyebabkan penurunan venous return,
penurunan curah jantung, dan terjadi vasokonstriksi perifer.
3) Perubahan resistensi vaskuler uterus
Vasokonstriksi intrinsik dalam arteri uterina dan
cabang-cabangnya mungkin merupakan penyebab dari
hipoperfusi plasenta. Hal ini dapat terjadi pada preeklampsi,
hipertensi esensial, dan penyakit ginjal ataupun selama
stimulasi adrenergik yang hebat. Dalam keadaan ini tekanan
darah pada tempat inflow ke dalam ruangan intervilli
menjadi tidak adekuat, walaupun ada peningkatan tekanan
darah pada bagian terminal arteriol spiralis (TAS) seraya
46
adanya peningkatan sebesar I 00'1., pada aorta. Arteri spiralis
eridometr ium adalah tempat terjadinya penurunan tckanan
darah ynng paling bcsar. Pada kondisi optimal, MAP<
25mmHg di ujung TAS akan mengosongkan ruangan
intervilli.
)>
Persarafan otonom pembuluh darah uterus, termasuk r
juga arteri spiralis, sama halnya sepcrti viskera abdorninalis ii
)>
yang berisi ujung saraf simfatis yang secara dominan z
terdapat di tunika media. Walaupun distribusi relatif �
reseptor adrenergik a dan 13 tidak diketahui, tetapi jelas tidak �
:r:
ada reseptor �- Dengan adanya reseptor a, pernbuluh- c
pembuluh darah tersebut bereaksi pada pemberian obat- rri
obatan adrenergik dan stimulasi serabut simfatis. Stimulasi ::0
0
"O
adrenergik yang hebat pada ibu hamil bisa menyebabkan
pelepasan kate kolarnine endrogen, misalnya efek dari �
adanya stress dan emosional, atau pemberian obat-obatan m
z
simfatometik. �
a) Sakit dan Stres
Wanita yang cemas selama kehamilan akan melahirkan
bayi dengan berat badan lebih rendah dari yang tidak cemas.
Stres akut karena kecemasan dan nyeri yang biasa terjadi
selama persalinan bisa menyebabkan peningkatan sekresi
norepinefrin, penurunan UBF, dan deteriorisasi pada oksigen
foetus serta keadaan asam-basa. Ada hasil yang
menguntungkan bila diberikan sedasi. Katekolamin dapat
menimbulkan vasokonstriksi sirkulasi uterus yang
mengakibatkan terjadinya asfiksia foetal.
b) Anestesi umum
Induksi anestesi umum dengan obat anestesi intravena


(misalnya pentotal) yang kemudian diikuti dengan tindakan
intubasi endotrakeal, mengakibatkan vasokonstriksi uterus
dan perrurunan UPBF dan plasenta blood flow (PBF) yang
nyata. Anestesi ringan (50- 70% N20 dalam oksigen) sebagai
tambahan untuk induksi juga menyebabkan penurunan PBF
dan peningkatan kadar norepinefrin pada ibu, terutama bila
ada stimuli yang sangat sakit. Pada biri-biri yang hamil
penambahan halotan 0,5% atau enfluran 1 % pada campuran
N20/02 mencegah peningkatan konsentrasi norepinefrin
plasma. Tetapi penambahan obat anestesi inhalasi yang
poten pada N20 /02 untuk seksio sesarea tidak
47
menguntungkan bagi bavi yang dilihat dari APGAR score,
dan keadaan asam-basa saat lahir, serta neurobehavioral
respon pada umur 2 dan 24 jam.
c) Obat simpatomimetik
Katekolamin eksogen, seperti halnya epinefrin, dan obat
simpatornimetik lainnya, sering dihubungkan dengan
obstetri regional anestesi. Penambahan epinefrin pada obat
anestesi lokal dapat meningkatkan lamanya blokade, dan
karena lambatnya absorpsi obat akan mengurangi risiko
toksisitas sistemik. Tetapi penggunaan epinefrin pada
obstetri masih kontroversial disebabkan adanya efek yang
merugikan pada aktivitas uterus dan perfusi plasenta.
Penurunan aliran darah arteri uterina dan asfiksia feotal
tergantung dari besarnya dosis epinefrin yang diberikan
secara intravena pada biri-biri yang normotensif segera
setelah onset epidural anestesia menggunakan 2-
kloroprokain 1,5% dengan epinefrin 1: 100. 000, sedangkan
UPF tidak berubah bila tidak diberikan epinefrin. Sayangnya
obat anestesi lokal sendiri (tanpa adrenalin) juga
menyebabkan konstriksi pembuluh darah uterus. Adanya
pendapat bahwa semua obat anestesi lokal (kecuali kokain)
bersifat vasodilator tidak bisa dipertahankan lagi. Pada
penelitian in vitro, terlihat bahwa obat anestesi lokal pada
konsentrasi kecil menyebabkan vasokonstriksi, dan pada
konsentrasi besar menyebabkan vasodilatasi. Obat-obat
simpatomimetik (vasopressor) biasa digunakan untuk
mencegah atau mengoreksi hipotensi akibat blokade simfatis
• pada anestesi spinal ataupun epidural.
Tabel di bawah ini menunjukkan agrenergik a dan 13 yang
lebih dominan.
Tabell. Aktivitas Adrenergik Relatif dari Vasopresor
Vasopresor Stimulasi Reseptor Simpatetik
Epinephrin (adrenalin) 13 > a
Norepinephrin (noradrenalin) a > 13
Methoxamine a
Phenylephrine a > 13
Metaraminol a > 13
Mephentermine 13 > a
Ephedrine � > a
Catatan : efek a vasokonstriktif; efek 13 inotropik.
48
Obat yang hanya a -agonist atau �-agonist prcdominan
scperti metoksamin, fcnilcfrine, norepinefrin, dapat
menyebabkan vasokonstriksi uterus yang hebat. Apakah
untuk propilaksis ataupun terapetis, obat-obat iru
meningkatkan tekanan darah sisternis dan sirnultan dengan �
r
pcngurangan UBF. Kontrasnya, terapi hipoterisi akibat :i

anestesi spinal dengan efedrin (suatu obat yang predominan 2
�-agonist) meningkatkan tekanan darah sisternik dan UBF. j
:l
Pemberian efedrin untuk propilaksis tidak menurunkan �
:::J
UBF. Karena itu efedrin merupakan vasopressor terpilih c
untuk obstetri anestesi. n
:l
c,
4) Perubahan aktivitas uterus
Kontraksi uterus mengurangi UPBF. Kontraksi dapat ln
diukur dengan mengamati tekanan darah intrauterin. Pada 2
tekanan intra uterin 20 mmHg tidak mempengaruhi UPBF,
tetapi pada tekanan 30 rnmHg akan rnengurangi perfusi
sebanyak 50% dan pada tekanan 40 mmHg perfusi intervilli
akan berhenti (Abouleish E., 1977). Berhentinya sirkulasi ini
umumnya tidak akan mempengaruhi foetus sebab kontraksi
ini hanya berlangsung singkat. Tetapi bila cadangannya pas-
pasan, atau bila ada kontraksi tetanik, maka dapat terjadi
asfiksia foetus.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa perfusi
plasenta berkurang selama kontraksi uterus. Karena volume
ruangan intervilli pada kehamilan aterm sekitar 150 ml, I
oksigen pada ruangan ini cukup untuk konsumsi oksigen
foetal selama 1 sampai 1,5 menit. Penelitian tentang
hubungan kontraksi uterus pada denyut jantung foetal
menunjukkan bahwa hipertonisiti dan lambatnya relaksasi
kontraksi dapat menyebabkan gambaran denyut jantung
feotal yang abnormal. Banyak obat dan obat anestesi bisa
mempengaruhi uterus dengan menambah ataupun
rnenghambat intensitas atau frekuensi kontraksi.
Peningkatan aktivitas dapat mempengaruhi foetus secara
hebat, karena itu hal yang menyebabkan relaksnya
myometrium mungkin menguntungkan foetus.
a) Obat anestesi yang menambah aktivitas uterus
Konsentrasi obat anestesi lokal yang sangat besar yang
bisa terjadi pada suntikan i.v. yang tidak disengaja dapat
49
menyebabkan kontraksi tetanik. Setelah blok paracervical,
terjadi peningkatan frekuensi kontraksi dan punurunan
relaksasi. Suntikan prokain intramiometrium pada uterus
yang gravid dapat menyebabkan hipertonisitas yang hebat.
Pada penelitian dengan menyuntikkan lidokain i.v. infus
pada · tiga pasien (0,2 mg/kg/menit selama 20 menit)
aktivitas uterus meningkat dan kemudian menurun lagi bila
infus lidokain dihentikan. Setelah suntikan meperidin saat
persalinan, aktivitas uterus meningkat.
Ketamin berefek meningkatkan tonus dan aktivitas
uterus yang relatif terhadap besarnya dosis, dan bervariasi
dengan periode gestasi. Dosis di bawah lmg/kg
menyebabkan sedikit peningkatan tonus basal (10%). Dosis
2 mg/kg menyebabkan peningkatan 40% abortus pada
trimester ke-dua. Dosis yang lebih tinggi dari 2 mg/kg
menyebabkan kontraksi uterus pada kehamilan dini, tapi
tidak jelas efeknya pada kehamilan aterm. Akhimya suatu
laporan dari tekanan uterus postpartum menunjukkan
perbedaan dosis gaga! menunjukkan peningkatan tonus
uterus walaupun aktivitas uterus meningkat secara nyata.
b) Obat anestesi yang menghambat aktivitas uterus.
Beberapa obat anestesi inhalasi menyebabkan depresi
aktivitas uterus. Halotan merupakan obat anestesi inhalasi
yang paling umum digunakan bila diperlukan relaksasi
uterus yang cepat untuk manipulasi intra uterin. Penurunan
kontraksi uterus yang sama terjadi dengan dietil-eter,
enfluran dan isofluran. Dosis yang equipoten dari halotan,
enfluran dan isofluran menimbulkan relaksasi yang sama.
N20 dan siklopropan mempunyai sedikit pengaruh pada
uterus.
Relaksasi uterus dengan anestetika inhalasi bisa
menyebabkan banyaknya pendarahan setelah atau ketika
melahirkan, dan respon pada oksitosin mungkin berubah.
Penelitian Marx dkk., pada tekanan uterus setelah
melahirkan dengan mikrobalon intrauterin, sebelum-selama-
dan-setelah pemberian halotan atau enfluran dalam
konsentrasi yang berbeda-beda. Kemudian konsentrasi gas
anestesi dalam arteri diukur. Frekuensi dan intenitas
kontraksi berkurang bila konsentrasi dalam darah > 0,5
MAC pada dewasa yang tidak hamil, tetapi kembali normal
50
bila anestesi didangkalkan. Respon pada 10 mU oksitosin
dilihat pada 0,75-1 MAC.
Pada konsentrasi rendah (0,5'X, halotan atau 1 %,
enfluran) torius dan kontraksi uterus tidak dikurangi, tctapi
respon uterus pada oksitosin dikurangi. Harus hati-hati
)>
dalam pernakaian halotan dan isofluran untuk mencegah r
gangguan mctabolik foetal akibat penurunan pcrfusi �
utcroplasental dalam hubungannya dengan hipotcnsi z
0
maternal. Anestesi yang dalam menggunakan halotan
dihubungkan dengan foetal asidosis. �
::c:
Bila diberikan dengan dosis 1-1,5 MAC dimana tckanan c
darah lbu sedikit menurun, terjadi vasodilatasi pembuluh rri
::0 .
uterus dan UPBF meningkat, tetapi tidak terjadi hipoksemia 0
ataupun asidosis metabolik foetal. Dengan lebih dalamnya -0
anestesi, UPBF menurun dan foetus menjadi asidosis. Maka s
en
relaksasi uterus yang sedikit saja dicapai dengan ancstesi m
z
ringan serta menguntungkan untuk foetus karena perfusi �
plascnta yang lebih baik.
Hal yang sama juga diperoleh dengan penggunaan
13-adrenergik untuk menurunkan hiperaktivitas uterus dapat
memegang peranan dalam memperbaiki outcome pada foetus
yang asfiksia. Sejumlah obat telah berhasil menghambat
uterus manusia dengan stimulasi beta reseptor, misalnya
isoproterenol, ritodrin, isoksuprin, salbutamol, dan
terbutalin.
5) Keadaan patologis
Ada tiga keadaan patologis ibu yang mengurangi perfusi
uterus yaitu : •
=> Preeklampsi
::::::> Diabetes
=> Kehamilan serotinus
6) Obat-obatan
a) Obat anestesi intravena
Pada penelitian binatang percobaan, pentotal dan
metoheksital mengurangi UPBF, karena obat-obatan ini
menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik betina.
I'etapi dalam praktek klinis, pada induksi anestesi umum
.rntuk seksio sesarea terjadi penurunan PBF sebesar 35%
fan tidak ada penurunan tekanan arteri rerata lbu. Keadaan
51
ini disebabkan oleh adanya pelepasan katekholamin pada
anestesi ringan yang menyebabkan penurunan UPBF.
Diazepam dengan dosis 0,5 mg/kg tidak mempengaruhi
tekanan arteri rerata ibu dan UPBF. Pada dosis yang Iebih
besar akan menurunkan UPBF karena pada dosis yang lebih
besar MAP akan menurun.
Pada penelitian binatang percobaan, pemakaian
ketamin dengan dosis antara 0,5 dan 0,7 mg/kg didapatkan
penurnnan UPBF yang disebabkan oleh peningkatan MAP
betina. Tetapi pada manusia dosis klinis 1 mg/kg tidak
mempengaruhi keadaan asarn-basa neonatus setelah seksio
sesarea atau partus per vaginam.
Mc Collum dan Dundee membandingkan empat macam
obat induksi, yakni pentotal, etomidat, metoheksital dan
propofol dengan dosis yang equipoten. Propofol
menyebabkan penurunan tekanan darah yang paling besar,
tetapi etomidat paling stabil kardio-vaskulernya, maka ada
penurunan UPBF yang lebih besar dengan propofol daripada
dengan etomidat.
b) Obat anestesi inhalasi
Halotan.
Halotan pada 1 dan 1,5 MAC akan mempertahankan
UPBF dengan adanya vasodilatasi uterus, walau ada sedikit
penurunan tekanan darah maternal. Tetapi pada stadium
anestesi yang lebih dalam (2 MAC) ada penurunan UPBF
yang nyata dengan adanya penurunan MAP ibu.
Pada penelitian binatang, isofluran mempunyai efek
sama dengan halotan. Seperti halnya halotan dan isoflur an
anestesi ringan dan sedang dengan enfluran tidak mengubah
fungsi kardiovaskuler ibu, UPBF, fungsi kardiovaskuler
foetus dan status asam-basa foetus.
c) Obat anestesi Iokal
Dari penelitian in vivo pada biri-biri yang hamil,
didapati penurunan UBF yang selintas bila disuntikkan 20
mg, 40 mg, atau 80 mg bolus lidokain atau mepivakain pada
aorta dorsalis. Salah satu keterbatasan penelitian ini adalah
dosis tinggi obat anestesi lokal ini hanya dicapai bila obat
anestesi lokal disuntikkan langsung pada vena, misalnya
kecelakaan saat anestesi epidural. Level dalam darah yang
52
lcbih tinggi juga dapat dicapai pada blok paraservical yang
dapat menimbulkan bradikardi berat pada foetus.
Mekanisrne terjadinya bradikardi foetal tersebut adalah:
.:» Vasokonstriksi uterus disebabkan oleh tingginya kadar
obat anestesi lokal dan depresi langsung pada jantung
)>
foetus olch obat anestesi lokal. r

Bila lidokain yang digunakan bcrlebih sedikit (level dalarn z
darah 2-4 ug/ ml) seperti yang digunakan pada anestesi

epidural, maka tidak ada penurunan UBF yang nyata. )>
::i::
=::> Epinefrin sering di tam bahkan pada obat anestesi lokal c
-i
dengan maksud: m
::0
O menambah lama kerja 0
1J
O identifikasi bila ada suntikan instravaskuler s;:
O mengurangi absorpsi vaskuler (/)
m
Dosis epinefrin 15 ug/ml cukup baik untuk tes bila ada z
suntikan intravaskuler. Penambahan epinefrin 5 ug/ml �
cukup untuk menurunkan absorpsi vaskuler obat anestesi
lokal. Kadar epinefrin yang rendah (seperti yang terjadi pada
absorpsi sistemik dari ruangan epidural) dapat menurunkan
MAP Ibu karena efek !3-mimetik dan dapat mengurangi UPBF
jika tekanan darah tidak diperbaiki. Sebaliknya suntikan
epinefrin intravaskuler (tergantung dosisnya) dapat
menyebabkan vasokonstriksi uterus.
d) Vasopressor
Pada parturien pemberian efedrin yang terutama
bersifat beta-mimetik adalah merupakan pilihan untuk
terapi hipotensi akibat anestesi regional dan hipotensi akibat
obat-obatan lain. Efedrin akan meningkatkan tekanan darah
dengan efek inotropik dan khronotropik tanpa menurunkan


UBF. Sebaliknya, vasopressor yang mempunyai efek utama
!3-mimetik (mefentermin, metararninol, metoksamin) akan
meningkatkan tekanan darah dengan penurunan yang nyata
dari UBF. Tetapi pada penelitian baru-baru ini (penggunaan
fenilefrin) bila digunakan dalam dosis kecil secara intermiten
akan memperbaiki penurunan tekanan darah lbu tanpa
mempengaruhi keadaan asam-basa neonatus.
e) Antihipertensi
Efek obat antihipertensi terhadap tekanan darah lbu
dan UPBF diperoleh dari penelitian hewan percobaan.
53
Hidralazin menurunkan tekanan darah Ibu, tetapi
disertai dengan peningkatan UPBF. Pada
parturien dengan preeklampsi, hidralazin
menurunkan tekanan darah Ibu, tetapi
tidak ada peningkatan aliran darah intervilli.
Nitrogliserin: menurunkan tekanan darah Ibu dan
menyebabkan peningkatan UPBF.
Nitroprusid : menurunkan tekanan darah Ibu disertai
penurunan UPBF.
Verapamil tekanan darah Ibu dan menyebabkan
penurunan UPBF.
f) Obat blokade beta adrenergik
Propanolol (Inderal).
Propanolol (Inderal) digunakan untuk terapi hipertensi
karena kehamilan, tirotoksikosis, idiophatic hypertrophic
obstructive cardiomyopathy, supraventricular takikardi.
Penggunaan propanolol dapat menyebabkan hal-hal sebagai
berikut pada foetus :
O Bradikardi foetal.
O Hipoglikemi foetal.
O Pertumbuhan retardasi intrauterin.
O Depresi nafas.
O Hiperbilirubinemi.
Esmolol.
Penelitian pada biri-biri menunjukkan pemberian
esmolol pada Ibu dapat menyebabkan blokade adrenergik
dan hipoksemia pada foetus. Juga disebabkan oleh cepatnya
transfer melalui plasenta, esmolol dapat menyebabkan
bradikardi foetal secara langsung.
7) Obat Tokolitic
Obat-obat Tokolitic antara lain: MgS04, beta-mimetik,
Calcium channel blokers, prostaglandin inhibitor.
UPBF tergantung dari tekanan arteri rata-rata ibu.
Dengan relaksasi uterus obat-obat ini dapat meningkatkan
UPBF asalkan tekanan darah ibu dipertahankan dalam
batas-batas normal.
'i4
Rekomendasi klinis
Bila dalam keadaan normal ada cadangan sirkulasi
yang baik, maka foetus tidak menderita konsekuensi yang
serius dari fluktuasi kecil pada UBF dan PBF. Tetapi
cadangan ini mungkin tidak adekuat pada keadaan-keadaan
sepcrti hipcrterisi kronis, toxaemia, diabetes melitus, dan
pcnyakit ginjal.
Dengan pengecualian adanya relaksasi uterus dan
peningkatan perfusi yang bisa terjadi pada anestesi yang
mernperbaiki PBF. Pada kenyataannya kebanyakan prosedur
anestesi menyebabkan hipoperfusi plasenta, dan
menyebabkan asfiksia feotal. Sedapat mungkin hal-hal yang
merugikan tersebut harus dikurangi dengan cara:
a) Posisi pasien yang benar untuk menghindari kompresi
aortocaval. Dari mulai trimester dua, Ibu jangan
ditransportasi atau diletakkan dalam posisi supine. Posisi
lateral atau posisi miring 30° lebih disukai.
b) Hindari hipotensi yang biasa terjadi pada anestesi spinal
ataupun epidural dengan infus cepat 1 liter kristaloid (20
ml/kg BB) sebelum memulai pemberian obat anestesi
spinal. Bila tekanan darah ibu menurun, dianjurkan
pemberian efedrin.
c) Pada anestesi epidural, hati-hati jangan sampai terjadi
tusukan intravaskuler. Hal 1111 bukan saja akan
mencegah kejang-kejang pada ibu, tetapi juga mencegah
hipoperfusi plasenta. Lebih baik tidak menambah
epinefrin pada obat anestesi lokal, sebab berefek buruk
pada UBF dan tonus uterus.
d) Hindari hiperventilasi, terutama baik dilakukan anestesi •
urn um.
e) Cegah atau obati rasa cemas dan sakit untuk mencegah
peningkatan adrenalin plasma.
Daftar Pustaka
1. Bisri T. Obstetri Anestesi. Bandung: Bagian Anestesiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, 1998
2. Datta S. The Obstetric Anesthesia Handbook, edisi ke-2,
St Louis: Mosby; 1995.
55
3. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-3,
Philadelphia: Hanley and Belfus; 2000.
4. Datta S. Anesthetic and Obstetric management of high-
risk pregnancy, edisi ke-3, New York: Springer; 2004.
5. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-4, USA:
Springer; 2006.
6. Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetri Anesthesia
Handbook, edisi ke-5. New York: Springer; 2010.
7. Ngan Kee WD. Uteroplacental blood flow. Dalam: Chesnut
DH, Polley LS, Tsen LC, Wong CA, eds. Chesnut's
Obstetric Anesthesia Principles and Practice. Edisi ke-4.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009,37-48
56
tsAH 4
· ·11e�te�iJt�gion'
uamein· u�_�swiy�
�t u�tiitis.�·�si�·: si��-t�if
A!iiprad,Pi ..... , ; . _· . :.: ':· ,:·.. · .. · ... · ·. ·. . . ·::.
·. _: .· ·... · ·---�·{/:._;,._::,.·�::-:_.·:�.' .. ·:::.".: .. :-?·_;._:;·.::::.····.'.·.:.� .· ,·_ . - ·_·._:
Seksio sesarea adalah rnelahirkan bayi melalui insisi
abdominal dan dinding uterus. Ada beberapa pilihan tchnik
anestesi untuk seksio sesarea, namun ahli anestesi
(anesthesiologist) harus bener-benar memahami dan mengerti
tentang fisiologi, patofisiologi dan farmakologi ibu hamil dan
janin.
Tehnik anestesi yang biasa dilakukan adalah tehnik
anestesi regional dan anestesi umum. Anestesi regional yang
akan dibicarakan disini adalah tehnik spinal dan epidural
anestesi kareria kami jarang melakukan infiltrasi atau field
block untuk seksio sesarea.
[. Analgesia Spinal
Keuntungan anestesi spinal untuk seksio sesarea antara
lain tekniknya sederhana, induksinya cepat, kontak janin
:lengan obat-obatan minimal, pasiennya sadar dan bahaya
aspirasi minimal.
Kerugian anestesi spinal adalah tingginya kejadian
nipotenai yang sering menimbulkan kejadian mual-muntah
ntrapartum, kemungkinan timbulnya post dural puncture
1.eadaAchek(PDkP1:)d (amahkerja o�at anest�s13 t0��batas.
, •
·
. ng a eJa ian ipotensi sampai /o umumnya pa d a
awal induksi: terjadi pada sekitar 80% pasien. Selain itu, bila
olockade simpatis lebih tinggi maka resiko hipotensi akan lebih
oesar lagi sehingga dapat menimbulkan mual-muntah. Hal ini
liperbesar oleh penekanan aorta dan vena cava inferior oleh
rterus yang gravid ketika pasien dalam posisi supine.
Pada penelitian Ueland dkk., menyatakan bahwa
iengurangan tekanan darah rata-rata dari 124/72 ke 67 /38
nmHg pada Ibu yang diletakkan dalam posisi supine setelah
lilakukan anestesi spinal, tetapi bila dalam posisi lateral
ekanan darah rata-rata sekitar 100/60mmHg.
Hipotensi maternal bisa mengancam kehidupan ibu dan
anin bila penurunan tekanan darah dan curah jantung tidak
epat dikoreksi. Keadaan hipotensi maternal walaupun singkat,
.isa menyebabkan penurunan Apgar score, bahkan sampai
!apat menimbulkan asidosis bila kejadian hipotensi maternal
.erlangsung lama. Bila hipotensi tidak lebih dari 2 menit,
57
asidosis foetal minimal dan tidak ada pengaruh pada
neurobehavioral bayi yang baru lahir. Dengan lebih lamanya
periode hipotensi penelitian Holman dkk menunjukkan adanya
perubahan neurologis paling sedikit 48 jam pada infant yang
lahir dari !bu yang dilakukan seksio sesarea dengan epidural
analgesia.
Untuk mencegah terjadinya hipoten si maternal pada
anestesi spinal, maka 15-30 menit sebelum dilakukan
pemasukan intratekal, pasien diberikan infuse RL sebanyak
1000-1500 mi. Bila diberikan larutan dextrose (untuk mengisi
volume), beberapa peneliti membuktikan adanya hiperglikemia
feotal, asidosis dan akhirnya hipoglikemia neonatal. Namun
beberapa peneliti menganjurkan pemberian sedikit dekrose ( 1 %
dekrose di dalam RL) untuk mempertahankan eugiikemia.
Penggunaan sejumlah kecil koloid dikombinasikan dengan
kristaloid tidak menunjukkan hasil yang signifikan untuk
menurunkan kejadian hipotensi maternal.
Vasopressor:
Pemberian vasopressor untuk profilaksis hipotensi
maternal secara rutin masih kontrovesial, kecuali pada
beberapa kasus khusus dengan pertimbangan bila vasopressor
diberikan untuk pencegahan hipotensi maternal, namun bila
tehnik anestesi spinal gaga! maka akan timbul hipertensi
iatrogenik. Disepakati (sesuai konsensus) bila terjadi hipotensi
maternal, maka yang harus dilakukan:
Beri sejumlah volume cairan RL.
Bila memungkinkan rubah posisi pasien (menjadi miring ke
kiri)
Beri efedrin 0,1-0,2 mg/kgBB
Pada kasus-kasus tertentu seperti pemberian efedrin
dapat menimbulkan takikardi hebat, maka bila terjadi hipotensi
dapat diberikan fenileprin lOOµg intravena, intra operatif
setelah dilakukan spinal anaestesia atau epidural anestesia
untuk terapi maternal hipotensi selama seksio sesarea, tidak
mempunyai efek yang jelek pada foetus, tetapi harus diingat
bahwa penelitian tersebut dilakukan pada Ibu yang sehat, bayi
yang sehat dan tanpa insufisiensi uteroplasenta.
Kejadian hipotensi selama anestesi spinal untuk seksio
sesarea pada pasien dengan persalinan fase aktif lebih rendah
dari pada yang sedang tidak dalam persalinan, ha! ini karena
adanya:
58
Autotranfusi sekitar 300ml darah ke dalam sirkulasi
maternal akibat kontraksi uterus. )>
Penururian ukuran uterus sckunder dcngan hilangnya z
m
cairan amnion, bila ketuban sudah pecah. en
-I
m
Peningkatan ekskrcsi pada ibu yang sedang dalarn �
pcrsalinan. ::0
m
G)
Mual-rnuntah: 0
z
)>
Mual-muntah sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini r
sebagai akibat: c
z
Hipotensi sistemik yang menyebabkan aliran darah ke -!
c
:,;;:
otak menurun sehingga terjadi hipoksia serebral.
(/)
Traksi peritoneum atau visera yang menyebabkan reaksi m
vagal berupa bradikardi dan penurunan cu rah jantung. @
0
(/)
Telah dilakukan peniyian mengenai cara yang ektif untuk m
mengatasi penurunan tekanan darah dan timbulnya mual- �
::.0
muntah. Ternyata dengan segera memberikan efcdrin intravena

merupakan cara paling efektif untuk mengatasi hipotensi dan
mual-muntah. Selain itu keadaan asam basa darah umbilical
oayi dalam batas-batas normal pada ibu yang mendapat terapi
efedrin segera. Traksi pada uterus dan atau peritoneum dapat
neningkat kejadian mual-muntah apabila anestesi regional
rang diberikan tidak adekuat. Sakit akibat traksi pada visera
abdorninalis dan peritoneum akan merangsang pusat muntah
nelalui nervus vagus. Penambahan opiat intratekal atau
-pidural akan memperbaiki kualitas anestesi dan akan
nenurunkan kejadian mual-muntah selama operasi.
Mual-muntah setelah bayi lahir dapat dikurangi dengan •
iemberian dosis kecil droperidol atau metoclopramide.
,akit Kepala:
Sakit kepala pasca anestesi spinal atau PDPH merupakan
nasalah utama yang sering terjadi pada pasien obstetrik setelah
nengalami pembedahan dengan anestesi regional terutama
pinal walaupun insidensinya sekitar 0-10%.
Ada beberapa cara untuk mengurangi PDPH antara lain:
Gunakan jarum spinal pencil point atau whitecare no 27
atau 29. Kejadian post PDPH 2-3%. Kejadian PDPH ringan
dan bisa sembuh sendiri. Pemberian kafein intravena atau
peroral kadang-kadang dapat menurunkan kejadian sakit
kepala.
59
Suntikan jarum spinal harus searah dengan akar serabut
duramater.
Obat untuk Spinal Anestesi :
Obat untuk Spinal Anestesi terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.1 Obat untik anestesi s_�1n
_ _a_
·p l _
Obat Lama kerja
0.5% Tetracaine dalam 5'% dextrose 90-120 me nit
5% lidocaine dalam 7.5% dextrose 45-60 menit
dalam air
0. 75% bupivacaine dalam 8.5%,
dextrose dalam air 90- 120 mcnit
0.5%, bupivacaine dalam 8.0'Y., 90-120 menit
dextrose clalam air
Ringkasan Spinal anestesi untuk seksio sesarea:
1. Berikan cairan yang tidak mengandung dextrose (2000ml)
jika tidak ada kontra indikasi.
2. Monitor tekanan darah, nadi, EKG, saturasi 02.
3. Obat anestesi bupivacain 0,5%.
4. Gunakan jarum spinal Quincke No.27 atau Whitacre
No.25.
5. Posisi right lateral saat induksi spinal anestesi.
6. Posisi pasien miring kiri sampai bayi lahir.
7. Terapi penurunan tekanan darah Ibu dengan efedrin 5-10 mg
dan berikan cairan. Bila tidak ada berikan norephineprin 10
ug. Bila ada kontra indikasi pemberian efedrin, berikan
I phenylephrine 1 OOµg.
8. Berikan oksigen melalui masker.
Kontra indikasi spinal anestesi untuk seksio sesarea :
1. perdarahan hebat pada lbu.
2. hipotensi berat
3. gangguan pembekuan darah
4. kelainan neurologis
5. pasien menolak
6. kesulitan teknis
7. tubuh pasien pendek atau morbid obesitas
8. sepsis, baik lokal atau general.
9. Hipovolemia
61)
II. Epidural Anestesia
Keuntungan epidural analgesia untuk seksio scsarea adalah: )>
l. Kejadian dan beratnya hipotensi ibu lebih rendah. z
m
(/)
2. Tidak ada tusukan dura, menyebabkan bcrkurangnya -f
kejadian PDPH. m

3. Dcngan memasang kateter, dapat dipakai unt uk operasi :i::,
m
yang lama juga untuk mcnghilarigkan sakit pada periode G)
pascabedah. 5

r
Kerugian analgesia epidural: c
z
-f
1. teknik lebih sulit dari pada analgesia spinal
c
2. onset obat anestesi lebih lama ;,:;
(/)
3. membutuhkan obat anestesi lokal yang lebih banyak. m

Masalah: Ada perbedaan efek kardiovaskuler antara epidural 5
(/)
anestesi clan spinal anestesi untuk seksio sesarea. Penurunan m
tekanan darah umumnya lebih kurang pada epidural karena �
:i::,
onset bloknya lebih lambat. Bila ditambahkan epinephrin, maka

harus diperhatikan karena absorpsi sistemik dari epinephrin
dapat menyebabkan penurunan tekanan darah !bu akibat efek
betamimetik.
Komplikasi:
- kejadian suntikan intravaskuler melalui epidural kateter
kurang lebih 2,3%.
kejadian menusuk duramater 0,2-20%. Kejadian PDPH
dengan jarum epidural No.17 adalah 76%.
kejadian emboli udara pada vena 9,5%-65%, yang bisa
terjadi pada anestesi spinal, anestesi epidural atau anestesi •
umum.
kejadian menggigil 14-68%. Mekanismenya belum jelas, tapi
dapat diterapi dengan epidural fentanil / sufentanil atau
petidin intravena.
Kontra Indikasi:
J. Hipotensi berat 4. Pasien menolak
2. Gangguan kuagulasi 5. Kesulitan teknis
3. Ke lain an neourologis 6. Sepsis, lokal atau general.
Perbedaan spinal dan epidural analgesia terlihat pada tabel di
bawah ini:
61
Tabel 5.2. Perbedaan antara Spinal dan Epidural Anestesia
untuk Seksio Sesarea.
Spina! Anestesia Epidural Anestcsia
Kcunturigan
Sederhana, ccpat, Kejadian hipotens: rendah
reliable
Paparan obat minimal Menghindari tusukan duramater
lbu bangun Dengan kateter dapat digunakan untuk
operasi yang lama dan analgesia
pascabedah
Kerugian
Hipotensi Lebih kompleks
Mual-rnuntah Mula kerja lebih lama
Headache Diperlukan anestetika lokal yang lebih
ban ak
Daftar Pustaka
1. Datta S. The Obstetric Anesthesia Handbook, edisi ke-2,
St Louis: Mosby; 1995.
2. Datta S. Anesthetic and Obstetric management of high-
risk pregnancy, edisi ke-S, New York: Springer; 2004.
3. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-4, USA:
Springer; 2006.
4. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-S,
Philadelphia: Hanley and Belfus; 2000.
5. Datta S Kodali BS, Segal S. Obstetric Anesthesia
Handbook, edisi ke-S. New York: Springer; 2010
6. Tsen LC. Anesthesia for cesarean delivery. Dalam:
Chesnut DH, Polley LS, Tsen LC, Wong CA, eds.
Chesnut's Obstetric Anesthesia Principles and Practice.
Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009, 521-63
DAD:,
-.-i,1�s1:�·si:rimum. ·,u-rtiiiilse1t�tti s·�;i�f.�J::_:�:::
- He_riri_am.is· J. _µilenoh, Sri ,. · ·. -· · · _ _-,,_· .· .· ...
Raliar<lj� · _ ·
. - ':.· .-.-..· . .. �:� ·/_.·-. - . � .. �· .�. �-�- -· .: ':./_-� . : ·�-:/ .>:·:: - ·-. · .. :_; · .· ·.�- .-.<\�·>·�·
Kcuntungan anestesi umum adalah induksinya ccpat,
mudah dikcndalikan, kegagalan anestesi tidak ada, dapat
menghindari terjadinya hipotensi. Kerugiannya adalah:
kemungkinan adanya aspirasi, masalah pengelolaan jalan
nafas, bayi terkena obat-obat narkotik serta ada
kemungkinan awareness.
Maternal aspjrasi:
Aspirasi pneumonia akibat aspirasi cairan lambung
disebut sebagai Mendelson syndrome, maka penting sekali
menetralkan asarn lambung. Tetapi pemberian antasid
jangan berbentuk partikeL Robert dan Shirley melaporkan
adanya aspirasi isi lambung selama anestesi untuk seksio
sesarea walaupun sebelumnya diberi antasid yang
berpartikel. Pada penelitian hewan dilaporkan bila terjadi
aspirasi partikel antasid, bisa menyebabkan perubahan
struktur dan fisiologi paru-paru. Antasid yang tidak
berpartikel dapat menghilangkan masalah ini.
Glycopyrrolate suatu anticholinergic dapat
rnenurunkan sekresi gaster, tetapi dapat menyebabkan •
relaksasi sphincter gastrooesophageal, sehingga
meningkatkan risiko regurgitasi dan aspirasi. Cimetidin dan
ranitidin suatu histamin {H2) reseptor antagonis dapat
menghambat sekresi asam lambung dan menurunkan
volume gaster. Metoclopramid dapat meningkatkan motilitas
gaster dan karena itu tonus sphincter oesophagus
meningkat, sering diberikan sebelum anestesi umum pada
seksio sesarea. Metoclopramide juga berefek anti emetik
sentral yang bekerja di chemoreceptor trigger zone (CTZ).
Pengelolaan jalan nafas:
Penurunan saturasi 02 pada parturien lebih cepat
daripada pasien-pasien yang tidak hamil, seperti yang
terlihat pada tabel di bawah ini.
63
Tabel 4.1 Pa02 ibu hamil dan tidak hamil setclah Apnea
--=--=--=--=------'--'--'"----�---=p-rti::irien
a Tidak hamil-
Sebelum Setelah Sebelum Setelah
Parameter apnea apnea apnea apnea
(I menit (1 menitj
Pa02 (mmHg) 437 ± 34·>& 334 ± 43'"' 507 .i; 38 449 ± 40
PaC02 31.4 l: 2.4 40.4 ± 2.7 35.6 ± 1.8 44.3 ± 1.1
(mm Hg) 7.41 ± 0.02 7.33 ± 0.01 7.45 ± 0.02 7.35 ± 0.01
_r!:!_
Surnber: Archer GW, et al : Br J Anaesth 1974. "'P < 0.05.
Hal ini dihubungkan dengan peningkatan konsumsi 02 dan
penurunan FRC. Preoksigenasi dengan oksigen 100% mutlak
harus dilakukan sebelum mulai induksi anestesi. Norris dan
Dewo membandingkan dua cara preoksigenasi,yang pertama
dengan oksigen 100% selama 3 menit dan yang kedua
dengan 4 kali nafas dalam yang maksimal selama 30 detik.
Ternyata Pa02 rata-rata tidak berbeda antara kedua
kelompok. Oleh karena itu, dalam keadaan foetal distress
akut, 4 kali nafas dalam dengan oksigen 100% mungkin
sudah mencukupi.
lnduksi yang cepat dengan tekanan Cricoid (Sellick's
maneuver) diikuti intubasi endotrakheal adalah metode yang
sering dilakukan. Monitor 02 dan C02 harus dilakukan.
Masalah lain untuk anestesi umum pada seksio sesarea
adalah kesulitan intubasi. Bila hal itu terjadi, hams
dilakukan ventilasi melalui masker atau dipasang laryngeal
mask, tetapi masalah adanya aspirasi tetap tidak bisa
dih ilangkan.
Depresi Neonatus:
Penyebab depresi neonatus pada anestesi umum:
1. Penyebab fisiologis:
hipoventilasi Ibu
hiperventilasi lbu
penurunan perfusi uteroplasenta disebabkan
kompresi aortocaval.
2. Penyebab Farmakologi:
obat-obat induksi
pelemas otot
rendahnya konsentrasi oksigen
N20 dan obat anestesi inhalasi lainnya
64
efek memanjangnya interval induction-delivery dan
uterine incision-delivery.
1. Penyebab fisiologis:
Perubahan-perubahan fisiologis dan kehamilan
menyebabkan parturien lebih mudah terpengaruh oleh
perubahan yang cepat dari gas darah. Hipoventilasi akan
rnengurangi tekanan oksigen pada ibu dan akan
menyebabkan perubahan asam-basa pada neonatus atau
depresi biokimia. Hiperventilasi ibu selama anestesi umum
akan menyebabkan penurunan tekanan 02 feotal karena:
terjadi vasokontriksi pembuluh umbilical sekunder
terhadap hipokarbi ibu.
perubahan hemodinamik ibu akibat peningkatan tekanan
intratorakal yang menyebabkan penunman aortic blood
flow dan uterine blood flow.
Ventilasi semenit yang lebih dari lOOml/kg/menit selama
anestesi umum, harus dihindari.
Kompresi aortocaval menjadi lebih penting bila ada fetal
asfiksia. Bila pasien diletakan dalam posisi supine akan
lebih memperburuk foetus. Bayi akan lebih baik bila kita
menghindari kejadian kompresi aortocaval.
2. Penyebab farmakologis:
a. Obat induksi:
Yang paling umum dipakai adalah pentotal dengan
dosis 4mg/kgBB. Thiobarbiturat menembus plasenta dengan I
cepat dan ditemukan dalam darah feotus dalam beberapa
detik setelah suntikan intravena pada ibu. Konsentrasi
dalam darah vena umbilical lebih rendah dari darah vena
ibu, konsentrasi dalam darah arteri umbilical lebih rendah
dari darah vena umbilikal. Adanya perbedaan ini karena:
penurunan yang cepat dari konsentrasi thiobarbiturat
dalam darah ibu karena redistrubusi yang cepat.
distribusi yang tidak homogen dalam ruangan intervilli.
ekstraksi thiobarbiturat dari darah vena umbilikal oleh
liver feotus.
dilusi yang progresif melalui shunting pada sirkulasi
fetal.
Ketamin 1-1,Smg/kg mungkin merupakan obat induksi yang
terpilih pada kasus-kasus perdarahan. Propofol dengan dosis
2-2,Smg/kg tidak menunjukkan kelebihan untuk seksio
65
sesarea. Etomidate 0,3mg/kg efek depresi miokardium lebih
kecil dan hemodinamik lebih stabil dibandingkan dengan
tiopental.
Tabel 4.2 Obat Induksi Anestesi untuk Seksio Sesarea
�ental ·-- Ketamin Methohcxit;;;f·-
Dosis (mg/kg) 3 - 4 l - 1,5 1 -
Keuntungan Aman Anestesi dan Pemulihan
Obat standar analgesia. cepat
saat ini
Kerugian Depresi Meningkatkan laju Kontraindika
kardiovaskule nadi dan tekanan sipada
r darah pasien
epilepsi
---- Etomidate Midazolam P_ro_p._o_i_l
o
Dosis (mg/kg) 0,3 0,2 2 ·- 2,5
Keuntungan Perubahan Sta bi! Pemulihan
pad a kardiovaskuler. lebih cepat.
kardiorespirasi
minimal
Kerugian Masih Efek anestesi Kejadian
menekan antergrade hipotensi
kardiovaskuler lebih tinggi
b. Obat Pelumpuh Otot:
Penelitian-penelitian pada tubocurarine, pancuronium,
metocurine, dan succinylcholine menunjukkan bahwa
setelah pemberian obat-obatan ini, sedikit jumlah obat yang
I menembus plasenta dan tidak mempengaruhi fetus. Tetapi,
blokade neuromuskuler yang lama pada ibu dan bayi telah
dilaporkan setelah pemberian succynilcholine pada ibu. Hal
ini disebabkan karena atypical pseudocholine esterase pada
ibu dan bayi baru lahir. Banyak penulis menganjurkan
pemberian dosis kecil pelemas otot non depolarizing sebelum
penggunaan succinylcholine untuk mencegah fasciculasi dan
peningkatan tekanan intragastrik, tetapi tidak semua
anesthesiologist setuju pada konsep ini dengan alasan:
pada parturien jarang terjadi fasciculasi setelah
pemberian succinylcholine.
succinylcholine menyebabkan kenaikkan tekanan
intragastrik yang tidak konsisten dan tidak dapat
di perkirakan.
succinylcholin bertendensi meningkatkan tekanan
sphincter oesophageal bagian distal.
intubasi menjadi lebih sulit bila diberikan non-
depolarizing sebelum pemberian succinylcholin,
sakit otot setelah pemberian succinylcholin tidak perlu
diperhatikan setelah seksio sesarea.
Atracurium: transfer plasenta hanya 5-20'V.,.
c. Oksigenasi:
Oksigenasi feotus dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen
inspirasi !bu. Lebih tinggi konsentrasi oksigen inspirasi akan
meninggikan tekanan 02 pada ibu dan foetal dan akan
memperbaiki kondisi bayi saat lahir. Konsentrasi 02 65- 751%
cukup untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Tabe_l 4.3� Efek Pa02 arteri_ umbilikal dan ibu_£�da be_!'bagai Fi02
F;02 Maternal Pa02 Maternal (mmHg) Pa02 Arteri Umbilical
(mm!:!& _
0.21 96 15
0.47 232 19
0.74 312 21
1.0 423 25
:l. N20:
N20 menembus plasenta dengan cepat dan mencapai
·atio konsentrasi dalam darah arteri umbilical/vena
.imbilical 0,8 setelah pemberian 15 menit. Pemberian N20
consentrasi tinggi yang lama dapat menyebabkan rendahnya
\pgar score, mungkin disebabkan karena difusi hipoksia dan
iepresi susunan saraf pusat secara langsung. Dalam 1111
oraktek tidak pernah memberikan N20 lebih dari 50%.
Berbagai obat anestesi inhalasi telah dipakai bersama-
.ama N20 misalnya halotan, enfluran, isofluran dan
nendapatkan hasil yang baik dengan beberapa efek
ramping.
Efek interval Induction-delivery (ID) dan Uterine incision
delivery (UD):
Ada pemikiran yang berbeda tentang waktu optimal
mtuk melahirkan bayi bila digunakan anestesi umum untuk
eksio sesarea. Beberapa peneliti menemukan keadaan
ieonatus yang lebih baik bila interval ID kurang dari 10
nenit. Yang lebih baru, Crawford dkk, mengatakan bahwa
.ila kompresi aortocaval dihindari, konsentrasi 02 inspirasi
67
65-70%, tidak ada hipotensi, maka pada ID 30 menit tidak
terdapat pengaruh yang nyata pada status asam-basa bayi.
Bila digunakan N20/02 50% : 50% dan konsentrasi
kecil volatile untuk mendapatkan amnesia, tidak ada efek
yang nyata pada status asam-basa bayi dan Apgar score bila
bayi dilahirkan dalam waktu 10 menit. Faktor lain yang
mempengaruhi kondisi bayi adalah interval UD. Pada spinal
anestesia, bila tidak ada hipotensi, pemanjangan ID interval
tidak mempengaruhi Apgar dan status asam-basa bayi,
tetapi bila UD interval lebih dari 180 detik dihubungkan
dengan lebih rendahnya Apgar score dan bayi yang asidotik.
Selama anestesi umum, bila ID interval lebih dari 8
menit atau UD interval sama atau lebih dari 180 detik,
ditemukan adanya penurunan Apgar score (kurang dari 7)
dan asidosis neonatal.
Baru-baru ini, penelitian pemanjangan UD interval
selama regional anestesi, dihubungkan dengan peningkatan
norepinephrin arteri umbilical foetus dan dihubungkan
dengan foetal asidosis.
Hasil yang jelek karena pemanjangan UD interval
adalah karena:
efek manipulasi uterus pada aliran darah uteroplasental
dan umbilical.
tekanan pada uterus dengan menitik beratkan pada
kompresi aortocaval.
penekanan pada kepala bayi ketika kesulitan melahirkan
bayi.
inhalasi cairan amnion akibat pcrnafasan gasping bayi
dalam uterus.
Adanya peningkatan konsentrasi epineprin pada foetus
merupakan tanda adanya foetal hipoksia.
Awareness:
Masalah utama anestesi umum untuk seksio sesarea
adalah kejadian awareness karena kita memakai dosis kecil
dan konsentrasi rendah obat anestesi untuk mengurangi
efek pada foetus. Kejadian awareness sekitar 17-36%.
Penggunaan konsentrasi kecil volatile anestetic dapat
mencegah awareness dan recall tanpa efek yang jelek pada
neonatus atau perdarahan uterus yang banyak.
68
Kesimpulan anestesi umum untuk seksio sesarea:
1. Prernedikasi dengan metoclopramide dan beri antasid
yang tidak berpartikel (30 ml).
2. Monitor tekanan darah, nadi, EKG, saturasi 02, )>
z
capnograph, suhu, TOF. m
3. Pasien miring kiri. �
m
4. Preoksigenasi dengan 02 lOO'Yc,. £?
5. Induksi dengan pentotal/ketamine/propofol + relaxant. c
s:
6. Intubasi dengan endotrakheal tube + balon. c
s:
7. N20/02 50% + isofluran 0,75% atau enfluran 1%. c
8. Hindari hiperventilasi atau hipovcntilasi. z
-I
9. Kosongkan lambung dengan NGT. c:
;;,;;:
10. ID interval singkat. ffl
11. UD interval singkat. @
12. Berikan narkotik pada Ibu setelah bayi lahir. 5
(J)
13. Ekstubasi bila Ibu sudah sadar penuh. m
Daftar Pustaka �

1. Datta S. The Obstetric Anesthesia Handbook, edisi ke-2,
St Louis: Mosby; 1995.
2. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-3,
Philadelphia: Hanley and Belfus; 2000.
3. Datta S. Anesthetic and Obstetric management of high-
risk pregnancy, edisi ke-3, New York: Springer;2004. I
4. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-4, USA:
Springer; 2006.
5. Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetri Anesthesia
Handbook, edisi ke-5. New York: Springer; 2010.
6. Tsen LC. Anesthesia for cesarean delivery. Dalam:
Chesnut DH, Polley LS, Tsen LC, Wong CA, eds.
Chesnut's Obstetric Anesthesia Principles and Practice.
Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009, 521-63.
69
70
BAB 6
·:fe�·r,1· c�it�i}a�;�-Tr�i:sru�i��d,.�i;,h��iii�·tt;
:;B�ba.ng.Suryono Suw�ti40;:.Cha�rul Mu�sin.- .· .:,_ ·: ... ·· :··:.:>:: . / -c ,

:-·
4
,._ ..
�-:/. � - r :. -.· :. _- .-:· <·<·.-�:.)·:,::·�\_l. ::/{�-�:=�:,._:.:<-..�:·:\:·:· ·_ ��--<:; � :_:·:,: .: /�J�-·/_::_-.-�·:·: .. �.. �- . :·-�.:-
Cairan tubuh adalah bagian penting dari tubuh karena
sebagai pengangkut gas clan nutrisi serta metabolit yang
dibuang dari tubuh. Pada keharnilan dan per salinan sering
terjadi perdarahan yang tidak terduga dan terjadi secara
mendadak dalam jumlah yang cukup banyak. Manajemen
cairan dan darah sangat penting untuk menekan angka
morbiditas dan mortalitas. Tehnik anestesi, terutama
anestesi spinal, sering menyebabkan keadaan hipotensi yang
dalam, sehingga menimbulkan gangguan faal tubuh ibu.
Oleh karena itu, maka akses vena harus disiapkan sejak
awal pada ibu dengan persalinan yang berisiko perdarahan.
Risiko itu terjadi tidak hanya pada pasien yang menjalani
tindakan operatif, tetapi juga dapat terjadi pada pasien
dengan partus per-vaginarn. Terakhir ini dapat diprediksi
pada pasien dengan riwayat obstetric perdarahan, partus
lama dengan induksi, keadaan nutrisi ibu yang tidak baik
atau letak placenta yang berpotensi perdarahan.
Akses vena dapat diperoleh melalui: 1. Vena perifer
atau, 2. Vena sentral. Pada vena perifer, maka untuk
kepentingan resusitasi dipasang kanula vena ukuran l 6G
atau 18G yang pendek. Kanula vena vena ukuran 20G atau •
22G dapat pula dipakai asal kelancaran aliran cairan lancar, '
karena meski ukuran lebih kecil tak terjadi kerusakan
eritrosit bila dilakukan tekanan atau dilusi pada transfusi.
Berkaitan dengan kanula vena maka kecepatan infus
berbanding lurus dengan perbedaan tekanan (tingginya botol
infus digantung) dan pangkat empat dari diameter.
Sementara kecepatan infus berbanding terbalik dengan
viskositas darah dan panjang kateter. Vena sentral dapat
juga dipakai (melalui v. jugularis atau v. subclavia), selain
untuk memasukkan cairan dapat dipakai untuk mengukur
tekanan vena sentral (TVS). Karena kemungkinan komplikasi
serius dapat timbul, maka pemasangan kateter vena sentral
harus dilakukan oleh dokter yang kompeten dan dilakukan
dengan tehnik asepsis.
71
Terapi Cairan pada Peripartum
Pada umumnya anestesi pada seksio sesarea dilakukan
anestesi spinal, yang salah satu efeknya adalah perubahan
hemodinamik berupa hipotensi. Hipotensi karena blok
neuraxial dapat diantisipasi dengan pemberian vasopressor
(ephedrine 5-10 mg titrasi dengan intravena) a tau derigan
pembebanan cairan kristaloid atau koloid. Kristaloid yang
dipakai untuk pembebanan adalah ringer laktat, ringer
asetat, ringerfundin. Cara pembebanan cairan ada 2 macam
yaitu prehidrasi/preload atau dengan coload. Prehidrasi/
preload dilakukan dengan pemberian 20 ml/kg kristaloid 30
menit sebelum anestesi spinal. Sedangkan pembebanan
coload adalah pemberian cairan kristaloid 20 ml/kg pada
saat dimulai anestesi spinal (pada saat diposisikan untuk
suntik anestesi spinal atau kadang-kadang beberapa saat
sebelum anestesi spinal) selama 10-20 menit. Menurut Dyer
et al. (2004) pembebanan dengan coload lebih efektif
dibandingkan dengan preload dalam mencegah hipotensi
pada anestesi spinal. Beberapa catatan tentang cairan:
Ringer laktat adalah cairan elektrolit berimbang, bersifat
hipotonis dan dianjurkan diberikan pada suhu yang hangat.
NaCl 0,9% adalah cairan isotonis yang biasanya diberikan
sebelum pemberian darah, tetapi pemberian dalam jumlah
lebih 2 liter dalam waktu singkat akan memberikan keadaan
asidosis metabolic hiperkloremik. Cairan baru ringerfundin
adalah larutan elektrolit berimbang yang bersifat isotonis.
Larutan dextrose sebaiknya dihindari pada pasien partus.
1. Hubungan hipotensi dengan konsentrasi anestesi lokal
Konsentrasi anestesi local yang diberikan pada blok
neuraxial berhubungan dengan derajat hipotensi yang
terjadi. Pemberian bupivacaine (0.25-0.5%) banyak
memberikan kejadian hipotensi, sedangkan pemakaian
bupivacaine (0.0625 - 0.125%) ditambah opioid kejadian
hipotensi lebih jarang, sehingga pada konsentrasi ini
tidak perlu pembebanan cairan. Pembebanan cairan pada
preeclampsia berat memberi risiko edema paru lebih
besar.
2. Cairan pada pasien post dural puncture headache (PDPH).
Pada pasien dengan anestesi spinal dapat terjadi
kebocoran liquor cerebrospinalis, dimana bila terjadi
kebocoran lebih dari 20 ml dapat memberikan sindroma
PDPH. Hanya sedikit bukti bahwa pemberian
72
cairan/minum yang hanyak (3-5 !iter/hari) bermanfaat
--i
untuk PDPH. Fakta yang pasti, pasien PDPH tidak boleh m
:::0
clehidrasi kareria cairan tubuh mempengaruhi produksi )>
::!!
air susu ibu (ASIJ clan liquor cerebrospinalis. 0
)>
3. Cairan pada kehamilan clengan trauma.
Seorang ibu yang mengalarni trauma dengan perclarahan �
z
mcmbutuhkan akses vena dengan dua ukuran besar
kanula intravena perifer atau akses kanula vena sentral �
z
(CVC). Menurut standar ATLS maka diberikan ringer --i
:::0
laktat yang mcmpunyai pH 6.0 dan mengandung D- )>
z
(J)
lactate yang bereffek pro-inflammatori. Kristaloid ,,
membuat respon inflammasi, hiperkoabilitas dan risiko c
terjadinya sindroma-kompartemen abdominal. Infus
m
normal saline (NaCl 0.9°/i,) dalam jumlah lebih 2 liter �
dalam waktu singkat dapat mengakibatkan terjadinya �
;;,:;;
asidosis metabolic hiperkloremik. Koloid tidak lebih m
superior dibanding kristaloid. Dextran member �
s::
kemungkinan reaksi anafilaksis dan mempunyai effek
buruk pada koagulasi darah. Gelatin efek anafilaksis nya e
z
masih lebih besar disbanding HAES. Effek dan effek
samping HAES tergantung pada berat molekul (BM),
konsentrasi dan tingkat substitusi. Yang banyak dipakai
adalah HAES 130/0.4 dan dikatakan kejadian anafilaksis
dari HAES rendah. Sedangkan saline hipertonik belum
direkomendasikan.
Manajemen cairan pada ibu dengan trauma
tergantung pada kondisi cairan preoperatif, darah hilang
durante operasi, nilai TVS dan/ atau pemantauan
produksi urine. Bila sudah ada koagulopathi maka •
manajemen harus agresif dengan kerjasama bank darah.
Pada pasien dengan trauma dapat dilakukan resusitasi
hipovolemik atau restriksi cairan relatif, dimana
dipertahankan tekanan sistolis antara 80-90 mmHg
sampai sumber perdarahan dihentikan. Tetapi cara ini
tidak direkomendasikan pada pasien dengan trauma
kepala karena berpengarnh pada tekanan perfusi otak
dan pada ibu hamil karena berpengaruh pada perfusi
uteroplacenta. Keadaan anemia relatif (Hb 7-9 g/ dl)
belum ada bukti aman pada ibu hamil dengan trauma.
Transfusi pada Kehamilan
Orang dewasa normal toleran pada perdarahan 10-15%,
:lemikian juga pada ibu hamil tanpa gejala atau perubahan
73
tanda vital. Perdarahan mulai 40% akan terjadi perubahan
faal tubuh. Akibat adanya perdarahan maka ada rangsang
adrenergik. Nadi naik dan terjadi konstriksi vena kecil dan
veriulae sistemis. Perdarahan yang berlanjut akan
menaikkan catecholamine dan vasopressin, aktifasi sistim
renin-angiotensin sehingga menyebabkan vasokonstriksi
kulit, otot, organ splancnic dan ginjal. Mekanisme ini untuk
mernpertahankan atau ditujukan agar redistribusi darah
keotak dan jantung. Bila terjadi asidosis metabolik akan
terjadi kompensasi hiperventilasi, yang mana ini akan
meningkatkan tekanan negatif dada. Kenaikan tekanan
negatif dada akan menyebabkan darah balik ke jantung
meningkat sehingga akan meningkatkan pula volume
sekuncup (stroke volume). Kenaikan resistensi vaskuler
sistemis ditambah keadaan hipotensi akan menyebabkan
terjadinya pergeseran cairan interstitial masuk kedalam
intravascular. Sedangkan cairan intrasel karena perbedaan
osmotic akan pindah secara perlahan ke ruang interstitial.
1. Perdarahan obstetric akut
Perdarahan pada obstetric tidak dapat diramalkan,
terjadi secara mendadak dan dalam jumlah besar, dan
kebanyakan tenaga medik tidak siap untuk menghadapi
keadaan rru, Keputusan memberikan transfusi
tergantung pada observasi nadi, tensi, frekwensi nafas
dan perdarahan yang masih terus berlangsung. Pada
tahap awal maka dilakukan resusitasi cairan terlebih
dahulu dengan memakai kristaloid dan koloid. Bila
terjadi perdarahan kapiler umum dan/atau INR ;;;: 1.6
dapat diberikan fresh frozen plasma (FFP). Bila AT
(jumlah thrombosit) masih > 50.000 tidak perlu diberikan
thrombosit. Faktor rFVIla adalah factor koagulan pada
trauma, gangguan fungsi thrombosit dan penyakit hepar.
Pedoman Praktia ASA untuk anestesi obstetric
menyatakan bahwa uji silang darah rutin tidak perlu
pada persalinan vaginal atau operatif. Keputusan apakah
perlu persiapan atau permintaan darah atau uji silang
darah harus didasarkan pada anamnesis maternal,
antisipasi komplikasi perdarahan (misal: plasenta accreta
pada plasenta previa dan riwayat operasi uterus) dan
kebijakan lokal.
74
Tabcl 6. l Garnbaran klinik shock perdarahan pada kehamilan.
Beratnya shock Tanda % kehilangan darah
Tan pa Tan pa 15-20
HR< 100
Hipotcnsi ringan
Ringan Vasokonstriksi ringan 20-25
Takhikardi (100-120 bpm)
Hipotensi {SBP 80-100 mm Hg)
Gelisah
Sedang Oliguria 25-30
Takhikardi (> 120 bpm]
Hipotensi (SBP<60 mmHg)
Perubahan kesadaran
Be rat Anuria >35
2. Kapan ibu hamil ditransfusi?
Menentukan titik dimana seorang parturien harus
ditransfusi sering sulit sebab darah yang hilang selama
dan sesudah persalinan seringkali ditaksir terlalu
rendah. Pada keadaan ini, darah hilang berasal dari
beberapa tempat dan juga ada cairan amnion. Gejala
yang muncul akibat perfusi inadekuat oleh hipovolemia
adalah takikardi, penurunan tekanan nadi, takipnea,
penurunan produksi urine dan perubahan status mental.
Meskipun perubahan fisiologis pada kehamilan
membantu meringankan respon parturien terhadap
perdarahan dan tanda vital mungkin tidak berubah
sampai perdarahan > 1500 ml, tetapi pasien tetap harus II
di transfusi bila ada tanda hipoperfusi yang bermakna.
Tujuan pemberian PRBC untuk meningkatkan
kapasitas pengangkut oksigen. Dahulu target transfusi
adalah untuk mencapai Hb lOg/ di. Saat sekarang
ambang ini disanggah oleh penelitian yang melaporkan
penurunan angka kematian pada pasien kritis yang di
transfusi setelah Hb < 7 g/ di. Menurut Karpati et al.
(2004), ada 50% pasien di ICU mengalami iskemia
miokard dengan indikasi masuk ICU dengan diagnosis
perdaraham postpartum dan shock hipovolemik. Faktor
risiko untuk iskemia miokard pada kasus ini termasuk
Hb s 6 g/ dl, SBP:;; 88 mmHg, diastolic s 50 mmHg dan
HR > 115 bpm. Survei dari ahli anestesi dan ahli
obstetric menetapkan indikasi transfusi bila Hb 7 -8 g/ di.
75
Gugus tugas ASA untuk transfusi darah
menyimpulkan pemberian PRBC jarang diindikasikan
bila Hb > 10 g/ dl tetapi hampir selalu diindikasikan pada
Hb ::; 6 g/ dl. Beberapa pusat pendidikan menggunakan
analisis gas darah dipakai sebagai pedoman terapi
transfusi, dimana base deficit > 15 dan perdarahan
masih berlangsung maka harus diberi darah.
3. Transfusi masif
Yang dimaksud dengan transfusi masif apabila terjadi
penggantian darah sebanyak volume darah (atau lebih)
dalam 24 jam. Transfusi dengan golongan darah sesuai.
Pada ibu hamil maka transfusi diberikan dari donor Rh-
negatif sampai factor Rh diketahui. Bila pada transfusi
masif ternyata AT< 50.000 maka harus diberikan donor
thrombosit. Sedangkan bila INR > 1.5 diberikan FFP
atau thawed plasma. Pasien diberikan cryopresipitat bila
fibrinogen < 0.8 g/dl.
Komplikasi dari transfusi massif adalah: a.
keracunan citrate sehingga mengakibatkan kontraktilitas
dan resistensi vascular sistemik (SVR) menurun. Pada
kecepatan transfusi darah yang melebihi 30 ml/kg/jam
mengakibatkan hemodinamik tidak stabil. Bila karena
transfusi pasien menjadi hipotermia (suhu< 300 CJ dapat
terjadi aritmia ventrikel.
4. Transfusi darah autolog
Darah diambil dari pasien sendiri untuk kemudian
dimasukkan kembali pada dirinya pada waktu ada
perdarahan karena ada operasi. Darah autolog diperoleh
dengan cara:
a. Preoperatif: donasi autolog pre-operatif atau
hemodilusi normovolemik akut.
b. Perioperatif: penyelamatan darah intraoperatif
(intraoperative blood salvage).
Donasi autolog preoperative (DAP)
Tatalaksana untuk DAP: disyaratkan Hb minimal 11
g/ dl, kemudian pasien diambil 1 unit RBC tiap minggu
dalam 3 minggu. Unit darah terakhir diambil pada < 72
jam sebelum operasi. Sementara itu pasien mendapat
pengobatan Fe atau recombinant erytropoeitin bila
pengambilan darah lebih dari 3 unit. Dengan DAP tidak
akan menimbulkan respon antibodi, tidak akan
menimbulkan reaksi transfusi, tidak mungkin untuk
7f,
menularkan infeksi yang ditularkan lewat darah. Namun
demikian OAP tidak melindungi dari kemungkinan
penyebab paling sering dari reaksi transfusi fatal dan
tetap saja ada kemungkinan menularkan infeksi bakteri.
OAP jarang dipakai dibidang obstetric. Perdarahan di
obstetric masif dan tidak dapat diramalkan.
Kemungkinan indikasi dalam obstetric adalah placenta
previa.
Hemodilusi normovolemik akut (HNA)
Disini dilakukan pengumpulan 1 atau lebih unit whole
blood sebelum memulai operasi, kemudian darah di
reinfusi pada akhir operasi. Saat dilakukan phlebotomi
pasien diberi pembebanan kristaloid. Darah yang
cliperoleh merupakan darah segar, mengandung
thrombosit dan factor pembekuan. Indikasi HNA adalah
pada kasus placenta previa, placenta accreta dan fibroids
besar.
Contoh kasus: HNA sebelum caesarean hysterectomy
karena placenta accreta. Hasilnya: hematokrit predonasi
41 %, pada pasca hemodilusi hematokrit menjadi 31 %
dan pada pasca operasi (pasca transfusi) hematokrit
29.8%.
Penyelamatan darah intraoperatif
Oarah yang keluar dari pembuluh akibat operasi
dilakukan aspirasi dari tempat operasi. Darah ini masuk
pada tabung mengandung heparin dan ada microfilter
untuk masuk kantong berisi normal saline. Sel darah
merah dipisahkan dengan cara hemokonsentrasi dan
differential centrifugation. Kemudian darah dicuci dengan
normal saline untuk membuang debris, microaggregates,


fibrin, thrombosit, plasma dan komplemen (heparin).
Dilakukan filtrasi darah yang dicuci sehingga diperoleh
sel darah merah (RBC) 250 ml dengan hematokrit 55-
80%. Darah ini kemudian di reinfusi dalam 3 menit
setelah aspirasi. Penerapan tehnik ini pada kehamilan
masih kontroversial. Teknologi ini masih sangat terbatas
aplikasinya pada obstetrik.
5. Transfusi darah homolog
Pada pasien dengan kondisi medik tertentu akan lebih
beruntung bila mendapat donasi langsung dibandingkan
dengan mendapat darah dari donor anonim. Ini terutama
77
pada pasien yang masuk kategori golongan darah jarang
(misal AB), transfusi diberikan beberapa kali dan
dibutuhkan produk sel (misal: thrombosit) dari donor
dengan HLA-kompatibel. Bahwa darah dari keluarga atau
teman memberikan penurunan risiko penyakit infeksi
tidak didukung data. Transfusi limfosit donor darah
keluarga meningkatkan risiko penyakit graft-vs-host,
sehingga darah harus diirradiasi sebelum di
transfusikan.
6. Komplikasi transfusi
Transfusi bukanlah suatu tindakan yang tanpa risiko,
karena ada kemungkinan terjadi komplikasi. Komplikasi
transfusi berupa reaksi transfusi dan risiko penularan
penyakit.
Simpulan
Perubahan faal pada ibu hamil memberi konsekwensi
perbedaan terapi cairan dibanding ibu tidak hamil.
Perdarahan pada ibu hamil sering tidak terduga dan
merupakan perdarahan yang masif, sehingga diperlukan
kesiapan didalam klinik yang menangani persalinan.
Beberapa metode transfusi telah diuraikan, tetapi tetap
harus menjadi perhatian bahwa transfusi mempunyai
konsekwensi terjadinya komplikasi transfusi.
Daftar Pustaka
1. Cammann WR, Biehl DR. Antepartum and Postpartum
Hemorrhage. Dalam: Hughes SC, Levinson G, Rosen MA,
eds. Shnider and Levinson's Anesthesia for Obstetrics. 4th
ed. Lippincott Williams & Wilkins;2002.
2. Departemen Kesehatan RI. Paket Pelatihan Pelayanan
Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif. 2008.
3. Frolich M, Bucklin BA. Obstetric Emergencies. Dalam:
Bucklin BA, Cambling DR, Wlody DJ, eds. A Practical
Approach to Obstetric Anaesthesia. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
4. Mayer DC, Smith KA. Antepartum and Postpartum
Haemorrhage. Dalam: Chestnut DH, ed. Chestnut's
Obstetric Anesthesia Principles and Practice. 4th ed.
Mosby Elsevier;2009.
5. Van Hook JW. Trauma in Pregnancy. Dalam: Belfort M.
Critical Obstetrics. 5th ed. Wiley-Blackwell; 2010.
BAB 7
Aspirasi adalah masuknya benda asing dari melalui trakhea
ke paru. Benda asing terscbut dapat berasal dari larnbung,
esophagus, mulut dan hidung dan dapat berupa makanan,
darah, air Judah atau cairan Jarnbung. Masuknya cairan
lambung ke saluran napas dapat terjadi akibat muntah atau
regurgitasi. Aspirasi isi lambung merupakan kejadian yang
sangat ditakuti oleh yang melakukan anestesi. Angka
kejadian aspirasi 1 :3886 untuk pembedahan elektif dan
1 :895 untuk pembedahan darurat. Enam puluh em pat
persen pasien yang mengalami aspirasi dalam waktu 2 jam
tidak tampak gejala pada proses pernapasan, enam pasien
dilakukan pemasangan alat bantu napas (respirator) dalam
24 jam dan terjadi kernatian pada 3 pasien.
Mendelson mengemukakan ada 2 kelornpok gejala
akibat aspirasi dari isi lambung. Yang pertama adalah akibat
dari bahan padat isi larnbung yang mengakibatkan tanda
dan gejala sianosis, wheezing, coughing, takhipneu, hipotensi
dan mediastinal shift dan konsolidasi jaringan paru.
Kelompok yang lain yang dikenal dengan sindroma
Mendelson yang klasik adalah akibat dari aspirasi asam
dengan gejala spasrne bronchus, takhipneu, wheezing, •
sianosis dan panas.
Sejak diketahui bahwa aspirasi lebih mudah terjadi
pasien obstetri pada th 1930, Mendelson mengemukakan
penyebab aspirasi antara lain adanya perubahan anatomi
dan fisiologi pada ibu kehamilan, pengosongan lambung
yang memanjang dan penurunan kekuatan otot
sphincteresophagus. Untuk mengurangi kejadian angka
kejadian aspirasi, pasien dipuasakan, diberikan obat-obatan
untuk pencegahan antara lain antasida, H2 antagonis,
dilakukan rapid-sequence induction, pemakaian cuffed pada
intubasi.
Patofisiologi
Akibat dari aspirasi isi lambung dibedakan 3 bahan aspirat
berupa asam, partikel dan bakteri. Secara umum aspirasi
dapat dicegah dengan menjaga agar isi lambung tidak masuk
79
ke esophagus dan faring, yang di faring dijaga tidak masuk
trakhea dan paru. Selain bahan aspirat, volume isi lambung
menentukan keparahan akibat aspirasi sehingga jumlah
yang cairan masuk paru diupayakan menjadi lebih sedikit.
Timbulnya reaksi akibat aspirasi asam dapat terlihat segera
setelah kejadian atau gejala yang timbulnya lambat. Aspira si
asam Iarnbung terjadi 2 fase yaitu trauma pada jaringan dan
reaksi keradangan. Asam akan berreaksi dengan mukosa
trakhea dan alveoli dalam waktu 5 detik, dan dalam waktu
15 detik telah terjadi netralisasi. Enam jam kemudian akan
kehilangan Iapisan sel superfisial yang bersilia dan yang
tidak bersilia. Regenerasi terjadi dalam waktu 3 hari, dan
dalam waktu 7 hari regenerasi terjadi pada sel yang
mengalami kerusakan. Pelepasan sitokin pro-inflarnatori
seperti TNF-a dan interleukin-8 yang menginduksi
peningkatan neutrophil. Selain itu terjadi peningkatan
regulasi dari sel adhetion molecule (termasuk E-, L-, P-
selectins, B2 integrins and ICAM-1) menyebabkan
peningkatan thromboxane dan pelepasan radikal bebas
oksigen.
Aspirasi partikel besar dari isi lambung, akan tampak
gejala obstruksi jalan napas, dalam waktu pendek dapat
terjadi kematian sehingga dalam waktu pendek partikel
tersebut harus dikeluarkan. Untuk menhindari hipoksia
maka dilakukan oksigenasi dan ventilasi dengan dilakukan
intubasi untuk menghindari kontaminasi dari bahan
tersebut. Isi lambung tidak steril sehingga aspirasi yang
terjadi dapat disertai bakteri. Enam puluh sampai 100%
terdiri dari kuman anaerob. Gabungan kuman aerob dan
anaerob sering dijumpai pada aspirasi di rumah sakit.
Aspirasi pneumoni ada 2 tahap, tahap pertama yang
puncaknya hanya dalam beberapa saat adalah akibat dari
rendahnya kadar asam dari isi lambung yang terjadi pada
dasar sel alveolar-capilary interface. Tahap kedua puncaknya
pada 6 jam, yang ditandai oleh infiltrasi neutrophil ke alveoli,
jaringan intersisial paru yang tampak sebagai proses
inflamasi yang dijumpai sama dengan adanya acute lung
injury.
Predisposisi terjadinya aspirasi.
Meningkatnya kejadian aspirasi dapat disebabkan oleh
faktor pasien, faktor pembedahan, faktor anestesi dan alat.
80
Faktor pasien
Pasien dengan isi lambung yang meningkat antara lain
pada kehamilan dan obesitas terjadi kenaikan produksi ,r,
asarn lambung, pernbedahan emergensi yang waktu :;;
puasanya belum cukup, kemungkinan terjadinya aspirasi G
n
r
akan meningkat. Pengosongan lambung yang mcrnanjang c
terjadi pada kehamilan, obesitas, trauma, pemberian opioid,
kelainan gastro intestinal (obstruksi usus, hambatan pada �
:;;
proses pengeluaran dari lambung dan pada perdarahan <
saluran pcncernakan atas), neuropati anatomi karena diabet B
c"'
dan kegagalan ginjal meningkatkan kemungkinan aspirasi. n
Akibat dari menurunnya tonus sphincter esophagus, �
c
:;;
yang dijumpai pada kehamilan, obesitas dan hiatus hernia
CJ
memperbesar kemungkinan aspirasi. Pada hiatus hernia
:;;
terjadi refluk gastro esophageal, kelainan gastro intestinal, c
penyempitan dan carcinoma esophagus dan pada usia lanjut c
akan meningkatkan kemungkinan terjadinya aspirasi.
'
<
ii
Kelainan saluran napas atas. laring yang inkompeten
memudahkan terjadinya aspirasi misalnya pasien yang tidak
sadar, kelainan anatomi dan neuro muscular disorder akibat
bulbar atau pseudobulbar palsy.
Faktor peinbedahan
Manipulasi usus pada pembedahan abdomen atas dapat
terjadi reflux dari lambung sehingga dapat menyebabkan
aspirasi. Kenaikan tekanan intrabdominal akibat
pneumoperitoneum pada pembedahan Japaroscopi, posisi
lithotomy dan trendelenburg mendesak gaster kearah
proksimal menyebabkan terjadi regurgitasi. •
Faktor anestesi
Pada pemberian obat anestesi Jokal disekitar trakhea pada
saat intubasi, belum kembalinya kemampuan batuk akibat
pemberian obat pelumpuh otot (neuroblocking agent) dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya aspirasi. Timbulnya
reflek jalan napas dan reaksi gastrointestinal pada
pemberian anestesi umum yang tidak cukup dalam, tidak
dapat dihindari. Semua reflek tersebut dapat mengakibatan
kemungkinan terjadinya aspirasi. Pemberian napas buatan
dengan volume berlebih, udara dapat masuk kedalam
lambung yang mengakibatkan regurgitasi. Ekstubasi yang
terlalu dini sebelum reflek jalan napas kembali normal dapat
81
menyebabkan terjadinya aspirasi. Pemakaian laryngeal mask
atau alat pernbebas jalan napas yang berada didepan
supraglotik menyebabkan penurunan tonus spiricter
esofagus distal, keadaan ini meningkatkan kemungkinan
aspirasi.
Verghes melakukan audit prospektif pada 2359 pasien
yang dilakukan anestesi um um dengan LMA, 41 % dilakukan
positve pressure ventilation 5 pasien mengalami regurgitasi,
3 pasien terjadi pada saat pelepasan LMA pasca bedah,
hanya 1 pasien yang diketahui terjadi regurgitasi dan
pascabedah tidak ada gejala sisa. Kesulitan melakukan
intubasi sehingga harus memberikan ventilasi tekanan
dengan masker, criccoid pressure yang tidak sempurna atau
melepaskan tekanan sebelum pipa endotrakheal nya masuk
dan pemasangan pipa endotrakheal yang masuk ke
esophagus pada pasien dengan lambung penuh,
meningkatkan kemungkinan terjadinya aspirasi. Survey oleh
Brimacombe dan Berry di unit perawatan intensive 1990-
1991 dilaporkan bahwa 758 pasien dengan LMA, 8 pasien
terjadi aspirasi ada 1 orang terjadi aspirasi penumonitis,
tanpa ada kematian.
Pencegahan aspirasi
Aspirasi dapat terjadi setiap saat, sebelum, selama dan
sesudah pemberian anestesia. Aspirasi isi lambung tanpa
gejala terjadi pada 45% pasien tidur dan 75% pada pasien
tidak sadar. Kecurigaan terjadi aspirasi apabila terdengar
suara tambahan, terjadi kenaikan airway pressure atau
pengeluaran sekret yang berlebih. Adanya suara napas
tambahan berupa wheezing, rales yang menyeluruh,
takhipneu, takhikardia, dan panas yang tidak tinggi
merupakan gejala dari aspirasi isi lambung. Untuk diagnosa
pasti dapat dilakukan dengan pemeriksaan invasif misalnya
fibreoptic bronchoscopy, bronchoalveolar lavage.
Kemungkinan terjadinya aspirasi disebabkan oleh
peningkatan tekanan lambung, peningkatan terjadinya
regurgitasi dan adanya penurunan kompetensi larynx.
Pencegahan dilakukan untuk mengurangi produksi asam
lambung dan keasaman lambung. Produksi asam lambung
yang lebih dari 25ml(0,4 ml/kg) dan pH kurang dari 2,5
mempunyai resiko yang lebih besar. Apabila pH asam
lambung rne ncapai 1,5 kerusakan yang terjadi pada paru
sangar he bat.
Puasa pra pembedahan
Puasa merupakan salah sat u dari pengurangan isi lambung
yang berupa padat dan cair. Berkurangnya jurnlah asam
lambung akan meminimalkan efek terjadinya aspirasi
pneumonitis. Tujuan utama puasa adalah mengurangi
volume isi lambung dibawah 25 ml. Puasa prabedah
menyebabkan mulut kering, haus, dan meningkatkan resiko
PONV dan hipovolemi. Pengosongan cairan lambung
dikendalikan oleh bagian proksimal dari gaster dan
berkaitan langsung dengan perbedaan tekanan dari
gastroduodenal kecuali kalau adanya patologi dari pilorus
dan perubahan akibat pembedahan.
.Jurnlah isi lambung tergantung dari dimulainya waktu
puasa. Minum air putih tidak meningkatkan volume cairan
dan larnbung dan keasaman lambung, dalam 2 jam sudah
terjadi pengosongan lambung. Apabila minum ASI
pengosongan lambung terjadi dalam 4 jam. Untuk susu
formula, makanan ringan pasien dipuasakan dalam waktu 6
jam, tetapi apabila makanan berat pengosongan lambung
terjadi dalam waktu 9 jam.
Pemberian obat-obatan untuk mengurangi volume dan
keasaman lambung.
Derajat keasaman lambung sangat berpengaruh terhadap I
derajat kerusakan dan kegawatan dari aspirasi paru.
Pemberian Na sitrat akan meningkatkan pH asam lambung.
Sucralfate akan mengikat empedu dan asam lambung,
mempunyai efek untuk perdarahan lambung, tetapi apabila
terjadi aspirasi akan menyebabkan pneurnonitis akut dan
perdarahan paru. H2 reseptor antagonis yang diberikan 90-
120menit akan mengurangi produksi dan rnenaikkan pH
asam lambung. Apabila pasien sudah rnemakai obat H2
reseptor antagonis untuk beberapa waktu efektivitas untuk
mengurangi produksi dan menaikan pH asam lambung
berkurang sehingga akan meningkatan resiko akibat terjadi
aspirasi paru. Proton pump inhibitors (PPls) mengikat residu
cisteine dari H+/K+ ATPase pump mukosa gaster. PPls
menurunkan produksi dan meningkatkan pH asam
83
lambung, namun efek tersebut tidak tampak menurunkan
kejadian dan keparahan dari paru akibat aspirasi.
Obat prokinetic yang dikenal dengan metoclopramide
me rru rurrkar; resiko aspirasi dengan menurunkan volume isi
Jambung. Efek obat prokinetic akan dihambat oleh atropin
(lOug/kg), pemberian opiat yang menyebabkan
perpanjangan pengosongan lambung dan meningkatkan
tonus dinding lambung.
Tehnik anestesi
Terjadinya aspirasi tersering pada saat induksi dan
laringoskopi, kemungkinan ini dapat dikurangi dengan
mengisolasi jalan napas dengan traktus gastrointestinal.
Pemasangan endotrakheal secara sadar atau dilakukan rapid
sequence induction dengan cricoid pressure akan
mengurangi terjadinya aspirasi. Sellick mengemukakan
dengan dilakukan penekanan pada cricoid pada pasien yang
terlentang dan kepala lebih rendah (slight head down) akan
mengakibatkan isi lambung yang keluar tidak dapat masuk
dalam jalan napas. Posisi head up 45° pada saat intubasi
untuk menghindari aspirasi. Laringokopi yang dilakukan
dengan kedalaman anestesi yang tidak cukup akan
mengakibatkan batuk, bucking, muntah dan spasme laring.
Keadaan ini akan menyulitkan intubasi sehingga akan
memperbesar kemungkinan terjadi aspirasi.
Pemakaian LMA tidak mengisolasi jalan napas dengan
I traktus gastrointestinal. Dari penelitian metaanalisis
dinyatakan bahwa 2 dari 10.000 yang dilakukan dengan
LMA mengalami aspirasi.
Manajemen aspirasi
Aspirasi merupakan resiko dari tindakan anesthesia dan
pemberian obat-obatan yang mengurangi reflek proteksi
jalan napas. Aspirasi dapat menyebabkan pneumonitis dan
dapat meningkatkan kejadian pneumonia dan adult
respiratory distress syndrome (ARDS).
Tindakan segera setelah diketahui terjadi aspirasi,
pasien diposisikan head down untuk meminimalkan
kontaminasi isi lambung dengan paru. Mulut dan faring
segera dibersihkan dengan menekan cricoid. Pembersihan
jalan napas melalui endotrakheal dapat dilakukan dengan
mengisap int ratrakheal yang sebelurnnya diberikan oksigen
100"1" dengan PPV.
Bronkhoskopi dilakukan untuk membuang partikel "U
dari aspirat. Lavase dengan larutan garam atau alkali tidak m
z
G)
rnernbant u unt uk mengelola aapirasi. Pemasangan pipa m
oro/nasogastro ditujukan untuk mengosongkan lambung r
0
dan mcngukur derajat keasarnan lambung. Terapi oksigen
dan bronchodilator diberikan sesuai dengan keaclaan klinis �
z
dari pasien tersebut. Setelah diagnosis aspirasi ditegakkan 3:
m
kelanjutan dari tindakan pembedahan dapat dibicarakan z
0
dan disesuaikan dengan keadaan pasien. Setelah m
r
pembedahan, dilihat dari keadaan klinik dalam 2-4 jam en
0
setelah aspirasi, apakah pasien perlu dilakukan tindakan z
lanjutan di ruang perawatan intensif. Perubahan fungsi paru �
berkembang dengan waktu, mencapai puncaknya pada 4 z
0
jam yang dipengaruhi oleh macam aspirat kuantitas, :ll
0
kwantitasnya dan keasaman isi lambung. Gejala untuk s::
m
rnemantau perkembangan fungsi pernafasan dilihat dari
adanya takipnea, krepitasi, wheezing, atelektasis, dan
desaturation oksigen. Pada pemeriksaan oksimetri
penurunan saturasi oksigen tidak sesuai dengan yang
dihasilkan pada pemeriksaan Pa02. Pemeriksaan pulse
oksimetri tidak dapat menunjukkan keparahan akibat
terjadinya, misalnya atelektasis clan interstitial atau alveolar
edema. Dalam kasus-kasus ringan gambaran radiologis
adanya minimal atelektasis dan interstisial atau edema paru,
tidak tampak. Terapi oksigen dengan masker dapat
dilakukan pada pasien yang tidak disertai gejala distress
napas atau desaturasi oksigeni. Jika terjadi atelektasis •
dilakukan optimalisasi ventilasi-perfusi untuk mencegah
menjeleknya alveolar-arterial oxygen gradient dan terjadinya
acute lung injury. Untuk menghindari tersebut dilakukan
pemberian continuous positive ainvay pressure hingga 12
sampai 14 mm Hg melalui masker ketat. Tindakan ini akan
berhasil apabila pasien masih sadar dan tidak terjadi
obstruksi saluran napas.
Pemberian tekanan positif ventilasi dalam beberapa
jam dapat meningkatkan kmungkinan hidup (Chapman dan
Cameron, dkk). Pasien yang tidak dapat mempertahankan
jalan napas, kesadaran menurun atau tidak kooperatif, dan
kelainan radiologis akibat aspirasi, atau pertukaran gas
memburuk, memerlukan inkubasi dan ventilasi mekanik,
O<:
Httapi Olssons rnembuktikan hanya 17%, pasiennya
dip�r]ukan ventilasi. Pilihan tindakan bersifat individual
tmtu.l< merninimalkan efek sarnping pada sis tern
kardiovaskular, dan meminimalkan risiko cedera paru akibat
vt>ntHator.
Unt uk mcrnpertahankan alveoli menggunakan tekanan
· akhlr ekspirasi positif (PEEP) agar volume paru-paru
rnrbyJ<a, sehingga meminimalkan cedera parn dan terjadi
pertukaran gas. Cara Jain untuk rnenhindari over distensi
dari alveoli dilakukan dengan mengurangi irispiratoru peak
pressure, volume tidal terbatas dan hiperkapni terbatas
hasllnya mengurangi cedera akibat ventilator-paru dan
pasien mengalami perbaikan. Keadaan tersebut diatas
disertai penyapihan lebih awal angka kematian menurun.
\,Varn,·i n;eldkukan studi retrospektif pada 66 pasien
yang mcngalami aspirasi Empat puluh dua pasien dari 66
orang dalam 2 jam tidak tarnpak adanya gejala dan pasca
bedah tidak dilakukan intervensi pada pernapasan. Delapan
belas pasien yang dilakukan rawat jalan 12 pasien, pulang
pada hari tersebut. Delapan belas pasien dari 24 pasien yang
menunjukan gejala wheezing, penurunan Sp02 lebih dari
10% dan ada gambaran radiologis dari aspirasi dalam waktu
2 jam. Pasien tersebut dilanjutkan perawatan di ICU untuk
diberikan napas buatan. Tiga pasien dilakukan napas
buatan lebih dari 24 jam, dan 2 orang mengalami sindroma
distres napas dan meninggal.
Steroid telah digunakan pada masa lalu. Efek terapi
steroid menekan aktivasi neutrofil dan makrofag dan
meningkatkan risiko infeksi bakteri sekunder, sehingga tidak
ada efek menguntungkan. Steroid saat ini tidak dianjurkan
sebagai bagian dari regimen pengobatan untuk paru aspirasi
isi lambung.
Pemberian antibiotika dilakukan bila pasien sudah
dinyatakan pneumonia. Pemeriksaan mikrobiologi dari
pasien aspirasi diperlukan untuk memastikan pemberian
obat-obatan. Bahan aspirat membawa kuman masuk
kedalam jaringan paru. Dari penelitian bahan aspirat pada
kasus aspirasi berat didapatkan kuman basili gram negatif
49%, bakteri anaerob 16% dan stafilokokus 12%.
Keberadaan kuman basili gram negatif menunjukan bahwa
pasien tersebut mengalami aspiasi dari bahan traktus
gastrointestinal. Pendekatan yang lebih rasional adalah
86
dengan menghindari penggunaan antibiotik profilaksis,
setclah pada pernantau tarnpak tanda-tanda dernam ,
takikardia, leukositosis, dan produksi dahak, dan dimulai "1J
terapi antibiotik berdasarkan budaya pemeriksaan m
z
mikrobiologi positif atau pada pasien yang rnemburuk dalam G>
m
r
status klinis dan ternuan radiologis. 0
Daftar Pustaka �
z
3::
m
1. Asai T. Who is increased risk of pulmonary aspiration? z
0
Br. J Anaesth 2004; 93: 497-500 m
fn
0
2. Brimacombe J, Keller C, and Asai T. Who is at increased z
risk of aspiration? Br. J Anaesth 2005; 94(2): 251-52

0
::0
3. Cook C and Gande AR. Aspiration and death assosiated 0
with the use of laryngeal mask airway. Br. J Anaesth 3::
m
2005; 95(3):425-26
4. Cook C, Asai T. Who is at increased risk of pulmonary
aspiration. Br J Anaesth 2005; 94(5): 690-91
5. Cohen NH, Yanakakis M. Is there an optimal treatment
for aspiration? Dalam: Fleisher LA, ed. Evidence-Based
Practice. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004, Ch 20, 125-
29
6. Chan YK. Pulmonary Aspiration. Texbook of Obstetric
Anesthesia. Churchill Livingstone; 2000, Ch 33, 455- 7 4 •
7. Engelhardt T, Webster NR. Pulmonary aspiration of
gastric contents in anesthesia. Br. J Anaesth 1999; 83:
453-60
8. Fontes ML, Berger JS, Yao FF. Aspiration pneumonitis
and acute respiratory failure. Dalam: Yao FF, ed.
Anesthesiology: Problem Oriented Patient Management,
5th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2008,
Ch 3, 48-85
87
9. Kalinowski CPH, Kirsch JR. Strategies for prophylaxis
and treatment for aspiration. Best Prac Res Clin
Anesthesiol 2004; 18: 719-37
10. Tasch M. What reduces the risk of aspiration? Evidence-
Based Practice. Dalam: Fleisher LA, ed. Philadelphia:
W.B. Saunders; 2004, Ch 19, 118-24.
1 l. Vaughan RS, Campbell T, Patel S, Turner G, Brimacombe
J, Keller C. Aspiration and the laryngeal mask airway. Br.
J Anaesth 2005; 94(4): 545-47
12. Warner MA, Warner ME, Weber JG. Clinical significance
of pulmonary aspiration during perioperative period.
Anesthesiology 1993;78: 56-62
13. Warner MA. American Society of Anesthesiogist Task
Force on Perioperative Fasting. Practice guideline for
preoperative fasting and the use of pharmacologic agents
to reduce the risk of pulmonary aspiration: Application to
healthy patients undergoing elective proicedures.
Anesthesiologi 1999; 90: 896-905
I
88
BAB 8
Pada tahun 1817 seorang doktcr ahli kebidanan be rnarna Sir
Richard Croft, menemulrnn pasien dan anaknya meninggal
secara mendadak pada waktu persalinan dan diduga kareria
bunuh diri. Pasion tersebut adalah Princess Charlotte of
Wales. Setclah dilakukan investigasi, akhirnya pada tahun
1970 dinyatakan bahwa kernatian ibu dan anak disebabkan
karena emboli air ketuban yang terjadi sangat tiba-tiba dan
bukan karena kelalaian dari dokter Croft.
Amniotic Fluid Embolism (AFE) adalah suatu emergensi
obstetrik yang jarang terjadi yang dipostulatkan disebabkan
karcna cairan amnion, sel-sel fetal, rambut, atau debris lain
masuk ke sirkulasi ibu dan menyebabkan kolaps
kardiovaskuler dan sering menimbulkan kematian. Cairan
amnion adalah cairan yang mengelilingi bayi yang belum
dilahirkan (foetus) yang memberikan nutrisi dan proteksi
untuk foetus. Cairan amnion dapat memasuki sirkulasi ibu
melalui robekan atau cervix selama persalinan atau
melahirkan, atau melalui pemisahan sebagian dari plasenta.
Pada tahun 194 l , Steiner dan Luschbaugh
nenerangkan tentang AFE untuk pertama kali setelah
.nereka menemukan debris fetal di sirkulasi pulmonal wanita •

zang meninggal saat melahirkan. Data yang baru dari
National Amniotic Fluid Embolus Registry menyokong bahwa
orosesnya lebih mirip kepada anafilaksis daripada kearah
emboli, dan istilah anaphylactoid syndrome of pregnancy
elah didukung sebab jaringan fetal atau komponen cairan
imnion tidak secara umum ditemukan pada wanita yang
nempunyai gejala dan tanda AFE.
Diagnosis AFE secara tradisional telah dibuat bila pada
rtopsi ditemukan sel squamosa fetal pada sirkulasi pulmonal
naternal, akan tetapi, sel squamosa fetal biasa ditemukan
iada sirkulasi pasien yang sedang dalam proses persalinan
Ian tidak terjadi sindroma AFE. Pada pasien yang sakit
.ritis, sampel darah melalui aspirasi ujung distal kateter PA
·ang mengandung sel squamosa dipertimbangkan "mungkin"
api "bukan" diagnosa sindroma AFE. Diagnosa AFE
89
ditentukan berdasarkan gejala klinisdengan mengeluarkan
penyebab lain ketidakstabilan kardiovaskuler.
Pada tahun 1993, Benson telah mengusulkan definisi
AFE yang lebih luas. AFE tipe 1 dihubungkan dengan DIC
dan AFE tipe 2 tidak dihubungkan dengan adanya DIC.
Onset gejala yang terjadi paling lambat 48 jam postpartum
dimasukkan dalam definisi ini. Kriteria ini tidak digunakan
dalam AFE registrasi dan tidak secara luas diterima.
Meskipun demikian artikel ini memberikan bacaan yang
rnenarik tentang kemungkinan AFE yang nonfatal.
I. Patofisiologi
Patofisiologi AFE belum dimengerti dengan jelas.
Berdasarkan deskripsi awal, telah diteorikan bahwa cairan
amnion dan sel fetal masuk ke sirkulasi ibu, mentriger
reaksi anafilaksis terhadap antigen fetal. Akan tetapi,
material fetal tidak selalu ditemukan pada sirkulasi maternal
pada pasien dengan AFE, dan sebaliknya material fetal
sering ditemukan pada wanita yang tidak mengalami AFE.
Proses AFE tidak dimengerti dengan jelas, tapi
dipertimbangkan terjadi dalam 2 fase. Cotton pada tahun
1996, menyatakan patofisiolgi dari emboli air ketuban
terdiri dari dua phase.
Phase 1 :
Cairan amnion dan sel sel fetal masuk kedalam
sirkulasi maternal yang merupakan biokemikal
mediator yang akan menyebabkan vasospasme dari
arteri pulmonalis. Vasospasme 1111 akan
mengakibatkan hipertensi pulmonum dan perubahan
tekanan ventrikular kanan sehingga terjadi hipoksia
yang mengakibatkan kerusakan kapiler miokardial
dan pulmonari. Selanjutnya akan terjadi kegagalan
jantung kiri dan akut respiratori distres sindrom.
Phase 2:
Mediator biokemical akan menyebabkan DIC yang
selanjutnya terjadi fase perdarahan dengan
karekteristik perdarahan yng masif dan atoni uteri.
Bila substansi dari cairan amnion memasuki sirkulasi
darah ibu hamil, terjadi suatu reaksi yang menimbulkan
spasme pembuluh darah paru, mengganggu aliran darah
normal melalui jantung dan paru. Kurangnya pasokan darah
ini disebut hipoksia. Hipoksia penyebab kerusakan kapiler
()(\
miokardiurn dan paru dengan akihat terjadi gaga! jantung
dan inflamasi berat pada paru yang disebut Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS). lni yang disebut fase
1. Pada fase 2 terjadi perdarahan masif dari uterus, dan
abnormalitas pembekuan darah (koagulopati). Keadaan ini
disebut fase hemorrhagik. Kedua fase ini dapat membawa
kearah hen ti jantung dan kematian.
Benson dkk, menguji dua hipotesa patofisiologi AFE: 1)
Gejala klinis akibat dari degranulasi sel mast dengan
pelepasan histarnin dan triptase, atau 2) Gejala klinis akibat
dari aktivasi jalur komplemen. Sembilan wanita dengan AFE
dibandingkan dengan 22 wanita dengan persalinan normal.
Serum pasien dengan AFE dikumpulkan dalam 14 jam dari
mulainya gejala dan kemudian dibekukan. Urin
dikumpulkan dalam 12-24 jam setelah timbulnya gejala.
Pasien kontrol diukur kadar komplemennya saat masuk ke
rumah sakit, selama persalinan, dan hari saat melahirkan.
Enam dari 9 wanita dengan AFE meninggal, dan semua
pasien (9 pasien) memerlukan transfusi untuk DIC yang
terjadi. Tujuh wanita tidak ada bukti degranulasi sel mast
(misalnya histamin urin dan triptase serum). Dibandingkan
dengan pasien kontrol postpartum, level komplemen pada
kelompok AFE sangat menurun. C3 pada kelompok AFE
hanya 44 dibandingkan dengan kelompok postpartum
(117,2). C4 pada kelompok AFE 10,7 sedangkan pada
kelompok postpartum 29,4. Perbedaan ini berbeda nyata
secara statistik. Hal mi menyokong bahwa aktivasi
komplemen mungkin memegang peranan penting dalam
patofisiologi AFE. •
Farrar dan Gherman telah melaporkan kasus wanita
multipara umur 40 tahun dalam persalinan aktif dengan
onset akut dari eritema fasial, kejang, hipoksia, henti
jantung, DIC, dan akhirnya meninggal. Pada autopsi sel
squamosa fetal dan thrombus fibrin ditemukan pada
percabangan pulmonari. Pemeriksaan darah dua jam setelah
tirnbulnya gejala terlihat adanya peningkatan serum triptase
'kadarnya 4,7 ng/ml sedangkan normalnya < 1 ng/ml).
Suatu laporan kasus oleh Marcus dkk, dimana terjadi AFE
setelah ruptur membran secara spontan, menunjukkan tidak
adanya peningkatan sel mast atau degranulasi dalam
aringan paru yang ditunjukkan dengan pengecatan Giemsa.
.evel serum triptase 11,4 ng/ml (normalnya < 11,4 ng/ml).
91
Kejadian permulaannya kurang dimengerti. Akan tetapi,
umumnya selama persalinan atau prosedur lain, cairan
amnion dan debris, atau substansi yang tidak dapat
diidentifikasi, memasuki sirkulasi maternal. Hal ini
mentriger reaksi anafilaksis masif, aktivasi kaskade
komplemen, atau keduanya. Perkembangannya umumnya
terjadi dalam 2 fase. Pada fase I, vasospasme arteri
pulmonalis dengan hipertensi pulmonal dan peningkatan
tekanan ventrikel kanan menyebabkan hipoksia. Hipoksia
menyebabkan kerusakan kapiler miokardial dan pulmonal,
gagal jantung kiri, dan sindroma respiratori distres akut.
Wanita yang selamat dari fase ini akan memasuki fase 2.
Fase irn suatu fase hemorhagik yang khas dengan
perdarahan masif dengan atonia uteri dan DIC, akan tetapi,
koagulopati yang fatal mungkin merupakan yang pertama
dilihat.
II. Insidensi, Morbiditas, dan Mortalitas
Kejadian AFE di USA diperkirakan 1: 8.000-80.000
kehamilan. Kejadian yang sebenarnya tidak diketahui
disebabkan ketidak akuratan dalam diagnosa dan
ketidakkonsistenan laporan pada kasus yang tidak fatal.
Kejadian di internasional sama seperti di USA. Angka
kematian ibu mencapai 80%. Mortalitas 61 % di National
Amniotic Fluid Embolus Registry Amerika, yang mencatat 46
kasus. Lima sampai 10 % kernatian ibu di USA disebabkan
karena AFE. Pada pasien dengan AFE, 50% meninggal dalam
jam pertarna dari timbulnya gejala. Dari yang selarnat dari
fase kardiorespiratori, 50% terjadi koagulopati. Di Inggris
mortalitas 37%. Dari yang selarnat dari AFE, 75 rnengalarni
gangguan neurologis.
Jarang yang selarnat dari AFE, walaupun prognosis
menjadi lebih baik dengan diagnosa dan resusitasi dini.
Kebanyakan wanita yang selamat rnengalami kecacatan
neurologis permanen. Neonatus yang selamat sekitar 79% di
USA dan 78% di Inggris. Tidak ditentukan oleh ras.
Sebelumnya, urnur ibu yang lebih tua dipercaya merupakan
faktor resiko, pada catatan AFE di USA temyata tidak ada
hubungannya dengan urnur ibu.
Q?
III. Faktor Resiko
AFE dapat terjadi pada wanita sehat selama persalinan,
seksio sesarea, setelah melahirkan per vagina, kehamilan
semester tiga, dan dapat terjadi sarnpai 48 jam seteiah
melahirkan. Faktor resikonya adalah: Faktor resiko dari AFE
adalah: umur tua, multiparitas (lebih dari satu anak),
kontraksi uterus yang kuat (apakah terjadi secara fisiologi
atau akibat obat-obatan), trauma abdominal, seksio sesarea,
ruptur uterus, robekan uterus atau cervix, lepasnya plasenta
secara pernatur, solusio plasenta, !UFO atau fetal distress,
bayi laki-Iaki, material intestin foetus memasuki sirkulasi
darah ibu.
Kebanyakan kasus (80%) terjadi selama persalinan, tapi
dapat terjadi sebelum persalinan atau setelah melahirkan.
Kira-kira 25% akan meninggal dalam satu jam setelah
onset. Diagnosa AFE harus dipertimbangkan bila seorang
wanita dengan satu atau Iebih faktor resiko sekonyong-
konyong memburuk dengan distres nafas, perdarahan, atau
syok.
IV. Klinis
Sebelum gambaran klinik dari maternal timbul, harus
dimonitor dengan ketat denyut jantung bayi. Apabila terjadi
penurunan perfusi dari uterus akibat penurunan curahan
darah pada plasenta karena maternal hipotensi akan tejadi
penurunan dari denyut jantung bayi. Maternal hipotensi dan
hipoksia akan cepat sekali menyebabkan penurunan denyut
jantung bayi. Normal denyut jantung bayi antara 110 -
160/menit. Apabila terjadi bradikardia 6 - 25/menit sudah
I
merupakan tanda terjadinya emboli air ketuban.
Gambaran klinis pada ibu, terjadi syok yang tiba-tiba
tanpa diduga pada ibu yang dalam proses melahirkan atau
setelah melahirkan atau pada waktu operasi seksio sesarea.
Sesak didahului dengan gejala menggigil yang diikuti dengan
dyspnoe, vomitus, gelisah yang disertai dengan penurunan
darah yang cepat dan diikuti dengan dyspnoe.
Gambaran klasik dengan lima tanda;
Respiratori distres
Sianosis
Kardiogenik syok.
Perdarahan
Koma
93
Pada pemeriksaan akan didapatkan:
Saturasi oksigen tiba tiba menurun
Koagulopati terjadi 0,5 - 4 jam.
X-ray dapat normal atau tampak pleural efusion,
jantung membesar dan edema pulmonari.
Pada EKG terdapat elevasi ST-T dan takikardia
Terjadi DIC
1 0 - 15 % grand ma! seizure.
Biasanya meninggal dalam 1 jam pertama.
4.1 Anamnesa
AFE umumnya terjadi selama persalinan tapi juga bisa
juga terjadi saat abortus, setelah trauma abdominal, dan
masuknya cairan amnion kedalam sirkulasi ibu. A.FE
dipertimbangkan kejadian yang tidak dapat diprediksi dan
tidak dapat dicegah dengan penyebab yang tidak diketahui.
Dalam US National registry, 41 % pasien mempunyai riwayat
alergi. Faktor resiko untuk terjadinya AFE yang telah
dilaporkan adalah multiparitas, umur tua, bayi laki-laki, dan
trauma. Dalam suatu penelitian retrospektif selama periode
12 tahun yang meliputi 180 kaus AFE, yang mana 24 fatal,
induksi persalinan dengan obat meningkatkan resiko
terjadinya AFE. Pada penelitian yang sama, AFE secara
positif dihubungkan dengan multiparitas, seksio sesarea
atau melahirkan per vaginam operatif, solusio plasenta,
plasenta praevia, dan laserasi cervical atau ruptur uteri.
Seorang wanita pada stadium akhir persalinan tiba-tiba
dyspnoe dan hipotensi, mengalami kejang dan diikuti dengan
henti jantung. Masif DIC dihubungkan dengan perdarahan
diikuti dengan kematian. Kebanyakan pasien meninggal
dalam satu jam setelah onset. Tidak ada diagnostik definitif
yang ada. USA dan Inggris Amniotic Fluid Embolus Registry
merekomendasikan 4 kriteria berikut, yang harus ada untuk
membuat diagnosa AFE.
1. hipotensi akut atau hen ti jantung
2. hipoksia akut
3. Koagulopati atau perdarahan hebat tanpa adanya alasan
lain.
4. semua rm terjadi selama persalinan, seksio
sesarea, dilatasi dan evakuasi, atau dalam 30
menit postpartum dengan tidak ada keterangan lain yang
ditemukan.
94
4.2 Pemeriksaan Fisik
Gejala dari AFE adalah sesak nafas dan tekanan darah
yang rendah, yang dengan cepat diikut dengan henti jantung.
Pasien juga mengalami kejang-kcjang, Perdarahan masif
dihubungkan dengan pembekuan darah abnormal
(koagulopati] dan kemudian kernatian. Sampai 50'�·;, pasien
meninggal dalarn jam pcrtama setelah onset dari gejala ini
dan angka kcmatian ibu sampai 85'Yo.
Dalam laporan kasus, disebutkan pasien mcngalami
sesak nafas, kadang-kadang dengan batuk, diikuti dengan
hipotensi berat. Tanda dan gejala dibawah ini menunjukkan
kemungkinan suatu AFE:
• Hipotensi: Tekanan darah turun secara nyata dengan
hilangnya tekanan diastolik.
• Dyspnea: Bisa terjadi labored breathing dan takhipnea.
• Kejang: Tonic clonic seizures terlhat pada 50% pasien.
• Batuk: umumnya manifestasi dari dyspnea.
• Sianosis: dengan berkembangnya hypoxia/ hypoxemia,
circumoral dan periferal sianosis dan perubahan pada
membrana mukosa.
• Bradikardi fetal: Dalam respon kepada insult hipoksik,
denyut jantung fetal menurun kurang dari 110 kali per
menit. Bila penurunan ini berakhir 10 menit a tau lebih,
disebut sebagai bradikardi. Denyut jantung fetal 60
kali/menit atau kurang lebih dari 3-5 menit
menunjukkan bradikardi terminal.
• Edema paru: diidentifikasi dengan foto toraks.
• Hen ti jantung
• Atonia uteri: Atonia uteri umumnya akibat dari
perdarahan hebat setelah melahirkan. Kegagalan uterus
menjadi keras dengan masase bimanual merupakan


suatu dianosis.
• Koagulopati atau perdarahan hebat tanpa alasan lain
(DIC terjadi pada 83% pasien.)
• Perubahan status mental/confus/agitasi
4.3 Pemeriksaan Laboratorium
• Gas darah: perubahan konsisten dengan hipoksia/
hipoksemia.
o Penurunan pH levels (rentang normal = 7.40- 7.45)
o Penurunan P02 levels (rentang normal = 104-108 mm
Hg)
95
o Peningkatan PC02 levels (rentang normal 27-32
mm Hg)
o Peningkatan Base excess
• Pemeriksaan darah dengan trombosit
o Hemoglobin dan hematokrit harus dalam batas
normal.
o Trombositopenia jarang terjadi. Kalau jumlah
trombosit kurang dari 20.000/µL, atau kalau
perdarahan terjadi dan trombosit 20.000-50.000/µL,
transfusi trombosit 1-3 U / 10 kg/ hari.
• Prothrombin time (PT) dan activated partial
thromboplastin time (aPTf)
o Prothrombin time (PT) memanjang disebabkan
peningkatan penggunaan faktor pembekuan. Lakukan
intervensi bila PT 1,5 kali nilai normal, berikan fresh
frozen plasma (FFP) untuk menormalkan PT.
o Activated partial thromboplastin time (aPTf) mungkin
dalam batas normal atau memendek.
• Kalau kadar fibrinogen kurang dari 100 mg/ dL, berikan
cryoprecipitate. Setiap unit cryoprecipitate meningkatkan
fibrinogen 10 mg/ dL.
• Periksa golongan darah dalam antisipasi diperlukannya
transfusi.
Toraks Foto
• Penemuan pemeriksaan toraks foto postero-anterior dan
lateral tidak spesifik, tapi telah diobservasi bukti adanya
edema paru.
Pemeriksaan Lain
• EKG 12-lead mungkin menunjukkan adanya takikardia,
perubahan ST segment dan gelombang T.
Procedures
• Pasang arteri line untuk mengukur tekanan darah secara
akurat serta untuk mengambil sample analisa gas darah.
• Pulmonary artery catheter (PAC) untuk memantau wedge
pressure, curah jantung, oksigenasi, dan tekanan
sistemik.
96
Penemuan Histologik
Pada otopsi, pembuluh darah dapat menunjukkan
bukti dari debris fetal (misalnya sel squamosa, vernix,
musin). Aguilera dkk., melaporkan sel squamosa epitelial
menyumbat 80'X, dari kapiler pulmonal dan sel squamosa
epitelial fetal pada alveoli pada otopsi. Sampel darah dari
kateter vena sentral juga rnenunjukkan adanya squamosa
fetal. Marcus dkk., menemukan adanya perdarahan
interstitial fokal pada ginjal, ventrikel kiri, dan di septum
interventricular. Pewarnaan Alcian blue periodic acid-Schiff
(PAS) untuk musin dan pewarnaan oil red O untuk lipid
menunjukkan hasil positif pada pembuluh darah paru.
Hankins dkk., mclaporkan pada kambing yang disuntik
dengan cairan amnion scgar (n=8), cairan amnion yang
difilter (n=l4), dan cairan meconium-stained dengan solid
debris (n=7). Hewan dimatikan 3 jam setelah prosedur dan
diambil panmya sebagai sampel. Debris cairan amnion
ditemukan pada 7 dari 7 kelompok e meconium-stained, 2
dari 8 kelompok amnion segar, dan 1 dari 14 kelompok yang
difilter. Hankins dkk menyimpulkan bahwa, pada model ini,
konfirmasi histopatologik dari AFE tidak tidak dapat
dipercaya kecuali pada kasus yang diberi cairan meconium-
stained. Kobayashi dkk., menggunakan antibodi TKH-2, yang
bereaksi dengan mukonium dan musin yang berasal dari
cairan amnion (glycoprotein) untuk mewarnai jaringan paru
wanita dengan AFE. TKH-2 immunostaining merupakan I
metoda yang sensitif untuk mendeteksi musin dalam paru
wanita yang disangkanmengalami AFE.
4.4. Differensial Diagnosa
Anafilaksis, diseksi aorta, emboli kolesterol, infark
miokard, emboli paru, syok septik, solusio plasenta, aspirasi.
4.5. Pengobatan
Terapinya suportif. Bila pasien mengalami henti
jantung diperlukan resusitasi kardiopulmonal. Bila tidak
respons terhadap resusitasi, harus dilakukan seksio sesarea
emergensi setelah ibu meninggal. Fetus harus dipantau
secara ketat untuk adanya tanda distres. Tidak ada cara
pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya AFE.
97
• Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi
normal, intubasi bila diperlukan.
• Mulai resusitasi kardiopulmonal kalau pasien henti
jantung. Bila tidak respons terhadap resusitasi, lakukan
seksio sesarea emergensi perimortem.
• Terapi hipotensi dengan kristaloid dan produk darah, bila
beri vasopressor.
• Pertimbangkan pemasangan PA kateter pada pasien yang
hemodinamik tidak stabil.
• Pantau fetus secara kontinyu.
• Terapi koagulopati dengan Fresh Frozen Plasma (FFP)
bila aPTT memanjang, cryoprecipitate bila fibrinogen level
kurang dari 100 mg/ dL, and transfusi platelets bila
jumlah platelet kurang dari 20,000/µL.
• Lim dkk., melaporkan suatu kasus AFE dimana
koagulopati di terai dengan activated recombinant factor
VIIa. Rentang dosis untu mengobat perdarahan yang
serius adalah 20-120 mcg/kg.
• Hemodialysis dengan plasmapheresis dan extracorporeal
membrane oxygenation dengan intra-aortic balloon
counterpulsation telah dilaporkan dalam laporan kasus
:�;;(1, //· dengan outcome yang berhasil dalam terapi AFE dengan
-�.:.,.� .. _\:. ;. kolaps kardiovaskuler.
4.5.1 Surgical Care
Lakukan seksio sesarea emergensi pada ibu yang
meninggal yang tidak responsif terhadap resusitasi.
Goldszmidt dan Davies melaporkan 2 cases AFE dimana
perdarahan dikendalikan dengan embolisasi arteri uterine
bilateral. Pada kedua kasus tersebut, perdarahan dihentikan
dengan prosedur tersebut dan kedua pasien selamat.
The American College of Obstetricians and Gynecologist
(ACOG) merekomendasikan bahwa seksio sesarea
perimortem dipertimbangkan untuk wanita dengan
kehamilan trimester 3 yang 4 menit mengalami
cardiopulmonary arrest. Seksio sesarea nya harus dilakukan
dengan sayatan dinding abdomen dan uterus secara vertikal
dan tidak perlu dilakukan tindakan sterilitas seperti pada
seksio sesarea biasa. Rekomendasi ini berdasarkan suatu
penelitian retrospektif dan laporan kasus. Katz dkk., melihat
60 bayi yang hidup yang dilahirkan dengan cara seksio
sesarea perimortem dari tahun 1900 sampai dengan tahun
98
I 985. Mereka mcnemukan bahwa 70% bayi yang dilahirkan
dalam 5 menit sctelah ibunya meninggal, bukan saja hid up,
akan tetapi tidak terjadi morbiditas neurologis. Bila seksio
sesareanya tcrlambat, lebih dari 5 menit setelah kematian
ibu, hanya 13°/c, bayinya bisa hidup, juga bayi-bayi ini
mengalami kerusakan neurologis perrnanen , yang meningkat
dalam beratnya dengan makin jauhnya jarak antara
dilakukannya seksio sesarea dengan kematian ibu. 11
3
Mark dkk., mempresentasikan serial kasus dari 5 �
parturien yang mengalami kolaps kardiovaskuler ketika t
)
dilakukan seksio sesarea elektif. Henti jantung disebabkan 5
karena terjadi kecelakaan suntikan intravaskuler anestetika
lokal. Tiga dari parturien segera dilahirkan dan ibu serta
f..
i:
bayi mempunyai outcome yang baik. Dua parturien lain yang
melahirkannya terlambat untuk beberapa menit dan ibu �
.
mengalami kerusakan otak ireversibel. Penegasan dari
laporan kasus ini adalah seksio sesarea perimortem dapat
dilakukan sambil melakukan resusitasi ibu dengan menekan
aorta dan vena cava dan meningkatkan venous return.
4.5.2 Medikasi
Obat yang digunakan pada AFE adalah untuk
stabilisasi pasien. Presor digunakan untuk mempertahankan
tekanan darah, dan inotrop digunakan untuk memperbaiki
kontraktilitas. Penggunaan steroids telah dianjurkan
disebabkan karena disebabkan karena proses mungkin
dimediasi oleh fungsi imun. Uterotonika digunakan untuk I
mengurangi perdarahan poatpartum.
4.5.2.1 Sympathomimetic/vasopressor agents
Digunakan pada AFE untuk mempertahankan tekanan
darah.
Dopamine (Intropin)
Salah satu obat yang dapat digunakan untuk
mempertahankan perfusi. Dopamin meningkatkan
kontraktilitas miokardium dan tekanan darah sistolik
dengan sedikit meningkatkan tekanan diastolic. Juga dilatasi
pembulh darah renal, meningkatkan aliran darah ginjal dan
glomerular filtration rate (GFR). Dosis pada dewasa 2-5
mcg/kg/menit secara intravena; titrasi untuk tekanan darah
dan curah jantung. Obat Phenytoin, alpha- dan beta-
99
.adr.energic blockers, anestesi umum, dan MAOis
nw,-iingkatkan serta memperpanjang efek dopamine. Pantau
tihJresis, curah jantung, pulmonary wedge pressure, dan
t�l@nan darah selarna infus, sebelurn infus, koreksi
hifjpvolcmia dengan darah atau plasma, bila ada indikasi,
p�mantauan CVP atau left ventricular filling pressure dapat
bef�una.
lnotropes/ inotropic agents
Diijunakan untuk memperbaiki kontraksi jantung pada
ptl§ien dengan AFE.
Dl1or 'n [Lanoxin, Lanoxicaps]
c(,·::· \an,: b,,j.;, Jangsung pada otot
janttmg d�n� s.stern kouduksi. Digoksin menyebabkan
pt!ningkatan dalarn force dan velocity kontraksi sistolik,
rnemperlambat denyut jantung, dan menurunkan conduction
velocity melalui nodus AV.
4,5.2.2 Kortikosteroid
Beberapa peneliti menganjurkan penggunaan steroid dapat
berguna pada AFE karena AFE merupakan proses
ir11unologis. Dapat diberikan hidrokortison.
4,5.2.3 Uterotonika
Menyebabkan kontraksi uterus. Atonia uteri (kegagalan
uterus untuk berkontraksi dan jadi menghentikan
ptrdarahan arteri spiralis setelah plasenta dilahirkan) dapat
rnerupakan sumber perdarahan yang nyata.
O,Cytocin (Pitocin, Syntocinon)
Uterotonika yang paling banyak digunakan.
Menurunkan inflamsai dengan menekan migrasi keukosit
polymorphonuclear (PMN) dan melawan peningkatan
permeabilitas kapiler. Dosisnya adalah 10 U intramuskuler
atau 10-40 U intravena dalam 1000 mL normal salin yang
diberikan sebanyak 250 mL/jam. Efek presor dari
simpatomimetik dapat meningkat bila digunakan bersamaan
dengan obat oksitosik, menyebabkan hipertensi postpartum.
Uterus yang overstimulasi dapat berbahaya untuk ibu
dan foetus; dapat terjadi kontraksi hipertonik pada pasien
yang uterusnya hipersensitif terhadap oksitosin, tanpa
100
memendang apakah pemberiannya sudah tepat, oksitosin
mempunyai efek antidiuretik yang bila diberika n dalam infus
kontinyu clan pasicn diberikan cairan, dapat menimbulkan
intoksikasi air.
Methylergonovine (Methergine)
Bekerja langsung pada kontraksi otot polos uterus,
menimbulkan efek uterotonik tetanik terus menerus yang
mengurangi perdarahan uterus. Pemberian methylergonovin
bersarnaan dengan vasokonstriktor atau ergot alkaloids
lainnya dapat menimbulkan efek additif. Dosisnya adalah
0,2 mg intramuskuler; dapat diulangi 10-1 Smenit untuk 3
dosis.
Carboprost tromethamine (Hemabate)
Prostaglandin adalah prostaglandin yang sama dengan
F2-alpha (dinoprost), tapi mempunyai lama kerja yang lebih
panjang dan menimbulkan kontraksi miometrium yang
menimbulkan hemostasis pada sisi plasenta, yang mana
akan mengurangi perdarahan post partum. Dapat
meningkatkan toksisitas obat oksitosik. Hati-hati
pemberiannya pada pasien dengan penyakit kadiovaskuler,
asthma, hipotensi atau hipertensi, penyakit adrenal, diabetes,
renal atau hepar; jangan disuntikkan intravena karena dapat
rnenyebabkan timbulnya hipertensi dan spasme bronkhus.
Dosisnya 0.25 mg intramuskuler tidak melebihi 3 dosis.
4.6 Prognosis
I
• Kematian ibu sekitar 61 'Yo.
• Kebanyakan yang selamat mengalami defisit neurologis.
• infant survival rate adalah 70%. Status neurologis infant
secara langsung berhubungan dengan waktu antara
henti jantung ibu dan bayi dilahirkan.
4.6 Lain-lain
Medicolegal Pitfalls
• Kegagalan untuk merespon secara cepat adalah suatu
bencana. AFE adalah diagnosa klinis. Tahapannya harus
dilakukan untuk stabilisasi pasien sesegera mungkin
setelah gejalanya manifes.
• Kegagalan untuk melakukan seksio sesarea perimortem
dalam waktu yang tepat merupakan suatu bencana.
IOI
Setelah 5 menit CPR tidak berhasil, dianjurkan dilakukan
seksio sesarea.
V. Perawatan ICU
Wanita yang selamat dari AFE harus dirawat di ICU.
Bila AFE terjadi di rumahsakit level 1 atau 2, mungkin
diperlukan transfer ke rumahsakit level 3 tapi hanya bila
pasien sudah stabil. Hal ini karena disebabkan antara lain
dapat terjadi gaga! jantung kiri. Juga, wanita yang selamat
tersebut mungkin mempunyai cacat neurologis.
• Konsul perawatan ICU mulai dari transportasi ke ICU.
• Konsul neurologist bila pasien menunjukkan tanda defisit
neurologis.
Komplikasi yang terjadi dapat berupa edema paru, gaga!
jantung, DIC. Pada pasien yang selamat sering terjadi edema
paru. Berikan perhatian penuh pada intake dan output
cairan. Bisa terjadi gaga! jantung kiri, direkomendasikan
pemberian inotropik. Terapi DIC dengan komponen darah.
Pertimbangkan pemberian activated factor VIIa untuk
perdarahan hebat. Embolisasi arteri uterine bilateral telah
berhasil dalam mengendalikan perdarahan pada dua laporan
kasus.
• Monitor denyut jantung, tekanan darah, frekuensi nafas,
saturasi oksigen, dan temperatur. Data ini terlihat
semuanya pada monitor bedside.
• Pasang arteri line untuk memantau tekanan darah dan
mengambil sampel darah.
• Berikan obat-obatan termasuk untuk mensupport
tekanan darah dan sistem kardiovaskuler, juga cairan,
berikan melalui kateter vena sentral. Produk darah
termasuk fresh frozen plasma, cryoprecipitate, dan
platelets diberikan bila ada koagulopati.
• Ventilasi mekanis melalui pipa endotrakhea diperlukan
untuk membantu pernafasan. Pasien yang diventilasi
memerlukan pengisapan pipa endotrachea untuk
mengambil sekret dari paru dan jalan nafas.
• Nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik.
• Pasang kateter urin untuk mengukur urine output.
• Torak foto, dan pemeriksaan lain seprti pemeriksaan
darah, CT-scan, MRI, echocardiogram, electrocardiogram
(ECG), dan pemeriksaan urine.
102
VI. Simpulan
AFE walaupun jarang adalah merupakan suatu kedaan yang
mendebarkan pada bidang obstetrik. AFE dapat merupakan
suatu sindroma yang mematikan dengan disseminated
introuascular coagulation (D!C), gaga! nafas, kolaps sirkulasi,
dan kematian mendadak. Mengetahui adanya sindroma ini
. "1
clan terapi yang agresif dapat menyelamatkan jiwa. Prognosis �.-)
setelah AFE sangat buruk, dan kebanyakan pasien tidak f
.·,.·�
bisa selamat. Bila pasien selamat dari AFE, ada resiko
mengalami cedera otak hipoksik (kerusakan otak) sebagai
·: -�
akibat kurangnya oksigen ke otak.
£:!�
Daftar Pustaka
it
.··,'i
1. Aurangzeb I, George L, Raoof S. Amniotic fluid embolism. .
Crit Care Clin 2004;20:643-50.
2. Datta S. The Obstetric Anesthesia Handbook, edisi ke-2, St
Louis: Mosby; 1995.
3. Datta S. Anesthetic and Obstetric management of high-risk
pregnancy, edisi ke-3, New York: Springer;2004.
4. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-4, USA:
Springer; 2006.
5. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-3,
Philadelphia: Hanley and Belfus; 2000. I
6. Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetri Anesthesia Handbook,
edisi ke-5. New York: Springer; 2010.
7. Gist RS, Stafford IP, Leibowitz AB, and Beilin Y. Amniotic
Fluid Embolism. Anesth Analg 2009, 108 (5): 1599 - 1602
8. Harboe T, Benson MD, Or H, Softeland E, Bjorge L,
Guttormsen AB. Cardiopulmonary distress during
obstetrical anesthesia: attemt to diagnose amniotic fluid
embolism in a case series of suspected allergic anaphylaxis.
Acta Anesthesiologica Scandinavica 2006;50:324-30.
9. Kirby RR. Pulmonary disorder. Dalam: Bonica JJ, McDonald
JS, eds. Principles and practice of obstetri analgesia and
103
anesthesia, 2nd ed. Baltimore:Williams & Wilkins; 1995,
1062-75.
10. Kramer MS. Amniotic Fluid Embolism, incidence, risk
factors and impact on perinatal outcome. British Journal
of Obstetrics and Gynocology 2012;119:874.
11. Lau G, Chui PPS. Amniotic fluid embolism: a review of 10
fatal cases. Singapore Med J 1994;35: 180-3.
12. Malinow AM. Ernbolic disorder. Dalam: Chesnut DH, ed.
Obstetric Anesthesia. St Louis:Mosby; 1994, 722-32.
13. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical
Anesthesiology, 4th ed. New York: Lange Medical
Book/McGraw-Hill; 2006,912.
14. Perozzi KJ, Englert NC. Amniotic Fluid Embolism, An
Obstetric Emergency. Crit Care Nurse 2004,24 9 (4): 54-
61.
15. Prosper SC, Goudge CS, Lupo VR. Recombinant factor Vila
to successfully manage disseminated intravascular
coagulation from amniotic fluid embolism. Obstet Gynecol
2007; 109:524-5.
16. Ray BK, Vallejo MC, Creinin MD, Shannon KT, Mandell GL,
Kaul B, et al. Amniotic fluid embolism with second trimester
pregnancy termination: a case report. Can J Anesth
2004;51(2): 139-44.
17. Stafford I, Sheffield J. Amniotic fluid embolism. Obstet
Gynecol Clin N Am 2007;34:545--53.
18. Shechtman M, Ziser A, Markovits R, Rozenberg B. Amniotic
fluid embolism: early finding of transesophageal
electrocardiography. Anesth Analg 1999;89: 1456-8.
19. Sibai BM. Management of Acute Obstetric Emergencies,
Philadelphia, Pa: Saunders Eisevier; 2011 :71
20. Skerman J, Rajab KE. Emboli in pregnancy. Dalam: Datta S,
ed. Anesthetic and obstetric management of high-risk
pregnancy, 3rd ed. USA: Springer;2004, 347-67.
104
21. Schneider JM. Hemorrhage: related obstetric and medical
disorder. Dalarn: Ronica JJ, McDonald JS, eds. Principles
and practice of obstetri analgesia and anesthesia, 2nd ed.
Baltimore.Williams & Wilkins; 1995,865-917.
22. Tindall M. Thromboernbolic disorders in pregnancy. Dalam:
Clift J, Heazell A, eds. Obstetrics for Anesthetists.
Cambridge: Cambride University Press; 2008: 120-29.
23. Tuffnell DJ. Amniotic fluid embolism. Current Opin Obstet
Gynecol 2003; 15: 119-22.
24. Yousef J. Update on amniotic fluid embolism (AFE). Alhayat
Hospital Amman. YQ_Usefivf(a yahoo.uk.co
25. Wikipedia, Amniotic fluid embolism,
http://en.wikipedia.org/wiki/Amniotic fluid embolisfi!
I
105
I
J,'.i
r··.�:��-�:
-
106
BAB9
}�eksio )i·�;af.�i.,�.�dcl ;p�11;iti�:�;-: '. . · ' :/( ·_':",\
·.'Nazlit1a , . _.:_·�.>- ..- . ·. :·.·.: · . ·.'. ·.· .. _ ,- - ·. _.·
,': . .-':·.
:··�·.-.. �·.-'···:.� . .:. "::'.-/·� ._�· . .. ··�-��::.·· -�::·�
: .. .··.saritos9�:Eady-:Rahargjo.: �.·: ,.:-.�·:_
Asma adalah penyakit yang kronis dan umum, dapat
menyerang siapa saja, juga dapat meyerang ibu hamil. Asma
merupakan radang kronis pada jalan nafas yang berkaitan
dengan obstruksi jalan nafas, karena spasme, edema, dan
produksi mucus yang berlebihan.
Pada penelitian didapatkan ibu hamil dengan asma
akan menimbulkan resiko pada bayinya, tetapi dengan
kontrol yang baik resiko pada bayi dapat dikurangi.
Pengelolaan asma pada ibu hamil agak berbeda, karena
pengobatan harus juga memikirkan side efek pada bayi
dalam kandungan.
Goal dari terapi ibu hamil dengan asma adalah selain
untuk keselamatan ibunya juga untuk bayi yang dikandung.
Harus memperhatikan obat-obat yang dipakai apakah
mempengaruhi janin.
Insiden asma dalam kehamilan antara 4% - 7% dari
seluruh kehamilan. Pada tahun 1997 sampai 2001 di USA,
Kwon menemukan prevalensi ibu yang terserang asma
antara umur 18 - 44 tahun dan insidennya antara 3,7% -
8,4%. Turner at al melakukan pada penelitian ibu hamil •·· .
dengan asma sebanyak 1054, menemukan 29% kasus '
membaik dengan kehamilan, 49% kasus tetap pada waktu
hamil dan 22% memburuk dengan adanya kehamilan.
Ibu hamil dengan asma dapat menyelesaikan
kehamilannya sebanyak 60%, dan 10% mengalami
eksaserbasi setelah persalinan. Pengaruh kehamilan
terhadap serangan asma pada setiap penderita tidak sama,
bahkan pada seorang penderita serangan asma pada
kehamilan pertama dan berikutnya tidak sama. Biasanya
serangan asma akan timbul mulai umur kehamilan 24
minggu - 36 minggu dan berkurang pada akir kehamilan.
Penyebab terjadinya serangan asma adalah faktor alergi
(alergen) yang menyebabkan rangsangan pada otot saluran
nafas yang mengakibatkan terjadi konstriksi otot saluran
nafas, selaput lendir menebal, dinding saluran nafas
bengkak dan saluran nafas menyempit sehingga timbul
sesak nafas
107
Perubahan Sistem Pernafasan Selama Kehamilan,
disebabkan:
1. Perubahan Hormonal
Volume tidal volume akan meningkat dari 450cc menjadi
600cc sehingga terjadi peningkatan ventilasi permenit.
Peningkatan tidal volume diduga disebabkan karena
pengaruh progesteron terhadap resistensi saluran nafas
dan meningkatkan sensititas pusat pernafasan terhadap
karbondioksida.
2. Faktor rnekanik
Dengan bertambahnya umur kehamilan, abdomen juga
bertambah besar terutama pada trimester ke dua.
Dengan bertambah besarnya abdomen akan menekan
diaphragma, mengakibatkan turunnya kapasitas residual
fungsionil. Pola pernafasan juga akan berubah dari
pernafasan abdomen menjadi pernafasan torakal,
sehingga kebutuhan oksigen martenal meningkat.
Gejala Asma
Gejala asma mulai dari wheezing sampai terjadinya
bronkokonstriksi yang berat. Apabila terjadi hipoksia ringan
akan dikompensasi dengan hiperventilasi dan apabila
bertambah berat, akan terjadi kelelahan yang
mengakibatkan terjadinya ritensi C02.
Gaga! nafas akan ditandai dengan asidosis, hiperkapnia
dengan mengakibatkan adanya pernafasan yang dalam.
-Jantung akan berdenyut lebih cepat, terjadi takikardia dan
pulsus paradoksus. Otot-otot pernafasan asesoris ikut
bekerja pada pernafasan yang dalam, juga terjadi ekspirasi
yang memanjang, dan apabila berlangsung lama akan terjadi
sianosis sentral sampai gangguan kesadaran.
Manifestasi klinik asma yaitu: sesak nafas, terasa sesak
di dada, adanya wheezing, dan batuk dimalam hari karena
biasanya karena pengaruh udara dingin. Pasen biasanya
mengeluh tidak bisa tidur dan ada rasa nyeri di dada.
Apabila batuk yang terus menerus dapat memicu spasme
dan saluran nafas, akan sangat berbahaya bagi ibu. Selama
serangan asma, biasanya mukus akan menjadi lebih kental
dan mengakibatkan lebih sukar untuk bernafas.
108
Derajat dari asma
Tingkat pertama, pada pemeriksaan klinik normal, hanya
apabila ada pencetus, seperti debu atau stres akan
timbul sesak nafas (wheezing)
Tingkat kedua, pasen sudah mulai mengeluh karena
adanya gejala sesak dan pada perneriksaan fungsi paru
menunjukan adanya obstruksi jalan nafas.
Tingkat ketiga, pada pemeriksaan fisik ataupun fungsi
paru ditemukan adanya tanda-tanda obstruksi jalan
nafas.
Tingkat keempat: penderita mengeluh sesak nafas, batuk
dan nafas berbunyi. Pada pemeriksaan fisik maupun
spirornetri akan dijumpai tanda-tanda obstruksi jalan
nafas.
Tingkat kelima, keadaan yang sangat parah dan darurat,
terjadi status asmatikus, serangan akut dari asma dan
perlu tindakan terapi yang adekuat, kadang kadang
penderita perlu dirawat di ICU.
Sedangkan menurut National Asthma Education Program
(NAEP), pembagian asma adalah:
Asma Ringan
o Gejala singkat kurang dari 1 jam, eksaserbasi
biasanya terjadi kurang dari dua kali dalam satu
minggu. Apabila aliran oksigen/udara kurang dari .
80% tidak akan menimbulkan bahaya.
Asma Sedang 1
o Gejala asma kambuh lebih dari dua kali dalam
seminggu, dan terjadi gangguan akifitas. Kadang
kadang kambuhnya sampai berhari-hari. Kemampuan
volume ekspirasi berkisar antara 60 - 80%.
Asma Berat.
o Gejala terus menerus sehingga menganggu aktifitas
sehari hari. Kemampuan volume ekspirasi kurang
dari 60%, diperlukan terapi kortikosteroid untuk
menghilangkan gejala.
Patofisiologi
Pada asma terjadi penyempitan saluran pernafasan
akibat spasme otot polos dari saluran nafas, edema mukosa
daan adanya hipersekresi dari mukus yang kental. Akibat
dari penyempitan saluran nafas akan terjadi hipoventilasi
109
yang mengakitmtkan terjadinya hipokscrnia, hiper kapnia dan
ada tingkat lanjut akan terjadi asidosis.
Timbulnya serangan asma disebabkan terjadinya reaksi
antigen antibodi pada permukaan sel mast paru yang akan
diikuti dengan pelepasan mediator radang. Mediator yang
dilepaskan adalah bradikinin, leukotrin, C,D,E,
prostaglandin, PGG2, PGD2a, PGD2, tromboksan A2 yang
akan mengakibatkan spasme otot polos saluran nafas,
edema mukosa, hipersekresi yang kental, bronkokonstriksi,
kongesti vaskuler dan terganggunya mekanisme transport
mukosilia.
Pada asma non alergik terjadinya bronkokonstriksi
karena perubahan aktifitas saraf eferen vagal, sehingga tidak
ada keseimbangan tonus simpatis dan parasimpatis.
Perubahan fisiologis ibu hamil terrnasuk perubahaan
hormonal se!ama kehamilan menyebabkan prognose asma
tergantung pada perubahan tersebut. Progesteron dan
peningkatan kadar kortisol serum bebas dapat menyebabkan
vasodilatasi bronkus, sedangkan prostaglandin F2 akan
memperburuk gejala asma karena menyebabkan
vasokonstriksi.
Pengaruh kehamilan terhadap asma
Gejala klinis dari ibu hamil yang mempunyai penyakit
asma sangat bervariasi dan tidak dapat diduga. Gejala klinis
pada kehamilan pertama dan berikutnya bisa tidak sama
walaupun pada ibu yang sama. Biasanya gejala asma timbul
pada umur kehamilan 24 - 36 minggu dan berkurang pada
akhir kehamilan.
Perubahan kadar hormon progesteron dan esterogen
akan menimbulkan serangan asma, juga peningkatan dari
IgE akan memperburuk keadaan asma selama kehamilan.
Riwayat asma yang buruk sebelum hamil dan frekwensi
berat ringannya asma akan mempengaruhi gejala asma
selama kehamilan.
Pada persalinan dengan seksio sesarea resikonya
timbul eksaserbasi serangan asma dapt mencapai delapan
belas kali dibandingkan persalinan dengan per vagina.
110
Pengaruh Asma terhadap Kehamilan
Pengaruh asrna terhadap kehamilan bervariasi
tergantung berat ringannya asma. Pada asrna yang ringan
biasanya tidak mernpengaruhi keharnilan, tetapi apabila
asrna berat akan sangat berpengaruh, dari beberapa c,
n
penclitian didapatkan akan i ejadi abort us. kelahiran 6
prernatur, berat badan bayi lahir rendah dan tcrjadi hipoksia c
c,
neonatus. 11
Ada korelasi antara beratnya asma ibu dengan berat
badan bayi, dan juga didapatkan angka kernatian perinatal �
meningkat dua kali pada ibu dengan asma. Asma berat yang �,
)
tidak terkontrol dapat meningkatkan gejala hiperemesis,
perdarahan pervagina, pre eklampsia dan solutio plasenta. §
.,
Pada terapi yang adekuat dan tcratur, komplikasi kehamilan
dapat dikurangi.
1
f
.
)
Tata Laksana Selama Kehamilan dan Persalinan (
;
Penanganan penderita asma selama kehamilan 5
bertujuan menjaga ibu hamil sedapat mungkin bebas dari
gejala asma, walaupun demikian eksaserbasi akut selalu
tidak dapat dihindari.
Pemeriksaan dan monitor.
Pemeriksaan dan monitor harus dilakukan setiap bulan
untuk melihat keadaan fungsi paru-paru. Perneriksaan
termasuk test fungsi paru, secara rinci menanyakan tentang •.
.
gejala, frekwensi serangan, noktural asma, gejala yang
berhubungan dengan kegiatan, eksaserbasi dan obat yang
dirninurn.
Ibu hamil dengan asma ringan atau asma yang
terkontrol tetap harus melakukan perneriksaan rutin. Pada
ibu hamil juga hams dilakukan pemeriksaan Forced
Expiratory Volume dalam satu detik (FEVl), apabila hasilnya
<80%, akan meningkatkan angka morbiditas dan komplikasi
pada kehamilan.
Dilakukan pemeriksaan USG untuk melihat
perkembangan janin intrauterine, dimulai dari trimester
pertama dan ibu juga diharuskan memperhatikan gerakan
bayi dalam kandungan.
111
Menghindari trigerfaktor
Triger faktor antara lain debu, rokok, bulu binatang, polusi
yang semuanya dapat menimbulkan serangan asma.
Pendidikan
Pada ibu hamil harus diberikan pengetahuan tentang asrna,
bagaimana cara hidup sehat, menghindari faktor pencetus
asma dan meminum obat secara teratur yang semuanya
untuk mengurangi gejala dan eksaserbasi.
Medikasi
Pada awal penelitian dikatakan, cromolyn baik untuk ibu
yang menderita asma, tetapi pada tahun 2002 ternyata
inhalasi kortikosteroid lebih baik dari cromolyn.
Direkomendasikan penggunaan dosis rendah inhalasi
kortikosteroid dengan long acting B2 agonist atau dosis
medium inhalasi kortikosteroid.
Dilaporkan pada ibu hamil inhalasi kortikosteroid bisa
mencegah terjadinya eksaserbasi, dari 72 ibu hamil
didapatkan > 55'Yo mengurangi terjadinya eksaserbasi dan
direkomendasikan inhalasi kortikosteroid adalah obat
terpilih untuk terapi asma persisten selama kehamilan.
1. lnhalasi kortikosteroid.
Pada tahun 1993 Working Group on Asthma and
Pregnancy, menyatakan bahwa kortikosteroid obat yang
efektif sebagai anti inflamasi untuk asma. Kotikosteroid
yang baik untuk ibu hamil adalah budesonide.
2. Oral kortikosteroid
Dari data didapatkan pemberian kortikosteroid secara
sistemik dapat menyebabkan kelainan kongenital berupa
palatoschizis apabila pemberian pada trimester pertama.
Pemberian secara sistemik dapat meningkatnya terjadi
preeklampsia, low birthweight dan kelahiran prematur.
3. Short acting bronkodilator
Albuterol direkomendasi sebagai obat inhalasi, dan short
acting B agonist merupakan obat pilihan untuk ibu
hamil.
4. Long Acting B agonist
Semenjak tahun 1993, dua long acting B agonist,
salmetrol dan fotmetrol makin populer dipakai. Salmetrol
direkomendasikan untuk dipakai pada ibu hamil, karena
dapat dipergunakan untuk waktu lama.
112
5. Obat lain.
Theophyllinc, dipakai sebagai alternatif untuk mild
persisten asthma atau sebagai tambahan terapi inhalasi
kortikosteroid. Serum konsentrasi teofilin harus di
monitor secara ketat , dan dosis rendah teofilin untuk
rumatan apabila scrum antara 5 ·- 12ug/rnl.
6. Antihistamin.
Walaupun secara langsung obat ini tidak mengobati
asma, tapi berefek pada alergi yang menyertai asma.
7. Dekongestan
Untuk terapi simptom dari alergi saluran nafas bagian
atas.
8. Immunoterapi.
Diberikan secara regular untuk mengurangi sensitivitas
terhadap alergen.
Persalinan
Sebelum ibu melahirkan, sebaiknya dilakukan diskusi
dahulu mengenai proses persalinan, baik sebelum, waktu
melahirkan dan sesudah melahirkan, apakah akan
melahirkan per vaginam atau dengan operasi.
Apabila persalinan akan dilakukan secara operasi,
harus didiskusikan dulu dengan dokter anestesi tentang
prosedur yang akan dikerjakan dan mempersiapkan darah.
Seksio yang dilakukan < dari 39 minggu, harus dilakukan
pemeriksaan fungsi paru bayi post seksio sesarea.
Manajemen Obstetri
I
Untuk persalinan normal dapat dilakukan induksi
persalinan dengan oksitoksin dan juga untuk mengurangi
perdarahan. Dapat diberikan intravaginal atau intracervical
gel yang tidak akan menyebabkan bronkospasme.
Umumnya gejala asma berkurang/menghilang pada waktu
persalinan dan tidak ada gangguan pada bayinya terutama
pada respirasi, Persalinan dapat dibantu dengan forcep atau
vakum dan bayi yang lahir dengan APGAR scorenya baik.
Manajemen operasi
Anestesi harus melakukan evaluasi dari fungsi paru ibu,
serangan asma dan medikasi yang diminum selama hamil.
Tiga faktor yang dapat menyebabkan bronkospasme, antara
113
[ain: (1) medikasi anti bronkospasmc (2) terjadiriya
eksaserbasi dan (3) waktu pengobatan asrna.
Harus ditanyakan secara detail tentang:
Kapan terakhir menderita infeksi se lur an nafas.
Faktor alergi.
Presipitating faktor untuk terjadinya gejala asrna.
Pemakaian obat, termasuk obat kalau tcrjadi serangan
asma.
Kejadian sesak nafas pada waktu malam dan pagi har i.
Pada kasus asrna yang berat harus dilakukan analisa
gas darah dan test fungsi paru.
Preoperatif manajemen
Ibu yang dengan reversibel obstruksi jalan nafas dan
reaktivitas bronchial, diberikan pre operatif 82 adrenergic
agonist dan kortikosteroid untuk menghindari bronkospasme
pada waktu intubasi. Kombinasi obat tersebut dapat
memperbaiki fungsi paru dan mengurangi terjadinya
wheezing.
Merrurut Enright, manajemen pre operatif;
1. Bronkospasme di terapi dengan inhalasi 82 agonist.
2. Apabila diduga akan terjadi komplikasi diberi
prednisolone 40-60mg per hari a tau hidrokortison 1 OOmg
setiap 8 jam IV. FEVl kurang dari 80% harus diberi
steroid.
3. Infeksi di terapi dengan antibiotik.
4. Koreksi cairan, dan pemberian dosis tinggi 82 agonist
akan menyebabkan hiperkalemia dan hipomagnesia.
5. Propilaksis dengan cromolyn untuk mencegah terjadinya
degranulasi dari mast sel dan pelepasan mediator harus
dilanjutkan.
6. Lakukan fisioterapi dada.
7. Cor Pulmonale harus di terapi.
8. Berhenti merokok untuk mengurangi
karboksihemoglobin.
Pemilihan tehnik anestesi
Hiperreaktivitas bronkial pada asma merupakan resiko akan
terjadinya bronkospasme perioperatif. Kejadian ancaman
kematian pada waktu anestesi bervariasi antara 0, 17%-
4,2%. Dengan anestesi umum tanpa intubasi atau dengan
intubasi akan menyebabkan terjadi penurunan tonus palatal
I I A
dau ulot faririg karcna pcuurunan duri volume puru dun
bertambahnya sekresi dinding saluran nafas. Pada asrna
sebaiknya dihindari perangsangan daerah saluran nafas
karcna dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas.
Anestesi umum.
Apabila tidak dapat melakukan regional ancstesi maka
dilakukan anestcsi umum dengan memberikan propilaktif
antibiotik dan tindakan anestesi umum dilakukan karena
keadaan ernergcnsi.
Anestesi urnum tidak boleh dikerjakan , apabila:
Pada ibu yang tidak puasa.
Ada gastroesophageal reflux
lbu yang yang sangat obesitas.
Ada bowel obstruksi.
Gastroparesis.
Sebaiknya tidak dilakukan intubasi apabila
memungkinkan, apabila perlu intubasi harus dilakukan:
Tekanan cricoid pada waktu intubasi.
Hindari aspirasi.
Berikan 82 agonist nebulizer sebelum intubasi.
lnduksi:
Dengan short acting hipnotik sedatif: oxy lebih baik dari
thiobarbiturate karena sedikit pelepasan histamin . ,.:
Ketamin cocok tetapi tidak disenangi.
Propofol cocok dan disenangi.
Neuromuskular blok:

. 1
Menyebabkan pelepasan histamin.
Diberikan secara pelan-pelan.
Secara umum aman
Vecuronium, rocuronium dan pancuronium aman.
Pemberian atracurium dan mivacuronium harus hati-hati
karena dapat menyebabkan bronkokonstriksi tergantung
dosis yang dipakai.
Hindari reverse, karena neostigmin dapat menimbulkan
bradikardia dan bertambahnya sekresi.
Gas anestesi
Ether menyebabkan iritasi pada saluran nafas, sebaiknya
dihindari.
115
Halothane, desflurane dan sevoflurane sangat baik untuk
bronkodilator tetapi sevoflurane kurang mengiritasi
saluran nafas.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa sub anestesi
dengan sevofluranc sangat menolong pada asma yang
be rat.
Regional Anestesi
Regional anestesi lcbih baik dibandingkan anestesi
umum dan jenis regional anestesi yang dapat dilakukan
adalah spinal anaetesi dan epidural anestesi.
Epidural anestesia
Dapat mengurangi kebutuhan oksigen (oxygen
consumption) dan ventilasi permenit ( minute ventilation)
selama kala 1 dan kala 2.
Sangat baik untuk penderita asma.
Pemberian 2% lidokaine pada epidural kontinyu dapat
menghilangkan wheezing secara bertahap dan hilang
setelah 155 menit.
Spinal anestesi:
Ada gangguan motorik.
Tindakan lebih mudah dibandingkan epidural.
Kadang terjadi sakit kepala.
Pada penelitian didapatkan bahwa kematian ibu asma
yang dilakukan seksio sesarea 1 2500, sedangkan
kelahiran per vaginam, kematian ibu 1: 10.000. Pada
persalinan dengan operasi sering terjadi infeksi, perdarahan
dan thrombus pada daerah kaki atau pelvis.
Masalah bayi yang dilahirkan melalui seksio sesarea,
biasanya adalah:
Premature.
Adanya gangguan pada pernafasan, sering terjadi
transient apnoe.
Kejadian asma meningkat pada bayi sebanyak 52%
karena tidak adanya reaksi dari stres hormon dan
kompresi pada dada bayi pada waktu lahir.
116
Daftar Pustaka
l. Clark SL, National Asthma Education Program Working
Group on Asthma and Pregnancy, National Institutes of
Health, National Heart, Lung and Blood Institute, Asthma Ci
r;
in Pregnancy. Obstet Gynecol 1993:82: 1036-40 c
2. The researche council of Norway study. Caesarean c'
Ci
delivery may increase risk of developing asthma. J n
Pediatric 2008; 153: 112-16 �
:::,
n
)
3. Greenberger PA. Management of asthma during . .,
pregnancy. N Engl J Med 1985;312:897-902 )
c)
4. Namazy JA, Schatz M. Current Guidelines for the i
Management Asthma During Pregnancy. Immunol Allergy l
Clin N Am 2006, 26: 93 - 102 ii
:.
5. Kakinohana M, Fujimine T, Kakinohana 0. Propofol l<
anesthesia for emergent caesarean section in patient with s
asthma. Masui 1999,48(8):900-2
6. Schatz M, Dombrowski MP, Wise R, et al. Asthma
morbidity during pregnancy can be predicted be severity
classification. J Allergy Clin Immunol 2003; 112:283-8
7. Burburan SM, Xisto DG, Rocco PRM. Anaesthetic
Management in Asthma. Minerva Anesthesiologica 2007,
73 (6).
8. Weinberger SE, Schatz M, Dombrowski MP. Patient I
information : Asthma and Pregnancy ( Beyond the Basic )
http: //www.update.com/ contents/asthrna-and-
pregnancy-beyond -the-basics
9. Murphy VE, Gibson PG, Smith R, Clifton VL. Asthma
During Pregnancy: Mechanisms and treatment
implication. Eur Resp J 2005.25(4):731-50.
10. Wood BD, Sladen RN. Peroperative consideration for
patient with asthma and bronchospasm. Br J Anesthesia
vol 103: 157-65.
11. How you prepare and risk C Section; Mayo Clinic.
http: //www.mayoclinic.com/health/ c-
section/MY002 l 4 /DSECTION=hw-you-prepare.
117
. .....
.
110
BAB 10
- -
:seksio Se�are.a pada Penyakit :Katiip j'aittung,.
Qa:tut,Dwidjo Ptijambodo, Eddy Rahardjo _ - : -
�· :.'.-;[ ,-:--·..... :.- - ·. ·_._· .. · _,·=··' ..... ' �- -._ .-···, .
Penyakit jantung pada pasien hamil dapat
menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada pasien
tersebut. Di United Kingdom antara tahun 1991-1993 dicatat
angka kematian ibu (pada kehamilan) dengan penyakit
jantung meningkat secara signifikan. Di Brazil periode tahun
1993-1995 didapatkan angka kematian ibu adalah 50,2 dari
100.000 kelahiran, 11,3% kematian ibu ini berhubungan
dengan penyakit jantung. Beberapa kematian ibu dapat
dicegah jika perawatan prenatal diberikan dan dilakukan
dengan koordinasi multidislipin. !bu hamil dengan penyakit
jantung disertai resiko tinggi (high risk pregnant patients)
memerlukan penanganan spesialistik meliputi ahli obstetri,
ahli kardiologi dan ahli anestesiologi.
Penyakit jantung pada wanita hamil dapat berupa:
Rheumatic Heart disease
Cardiomyopathy
Congenital Heart disease
Perubahan fisiologi pada kehamilan dan pasien dengan
penyakit jantung: ··· ·· --·
Selama kehamilan normal, volume darah meningkat
40-50% dan disertai kenaikan laju jantung (heart rate) 18%
serta kenaikan curah jantung 50%. Perubahan hemodinamik
I
terjadi selama persalinan dan khususnya pada kondisi akut
selama uterus berkontraksi. Curah jantung dapat meningkat
sampai 45% selama akhir kala kedua persalinan. Segera
sesudah persalinan (immediate post-partum) curah jantung
dapat meningkat 10-20%, akibat terjadi pelepasan
penekanan vena cava oleh uterus dan terjadi penurunan
kapasitas vaskuler berhubungan dengan kelahiran bayi dan
plasenta, dan kontraksi uterus. Resistensi vaskular sistemik
meningkat dengan cepat akibat kontraksi uterus sesudah
plasenta lahir, perubahan preload dan afterload
mengakibatkan kenaikan curah jantung pada pasien dengan
jantung normal. Tetapi pada pasien dengan penyakit jantung
dapat terjadi fluktuasi hemodinamik, edema paru ataupun
gaga! jantung kongestif.
119
Ada tiga periode pada ibu hamil dengan penyakii
jantung lebih besar terjadinya kegagalan jantung yaitu:
Pertama : Pada saat kehamilan 20-24 minggu, terjadi
perubahan hemodinamik pada wanita hamil.
Pada ibu harnil dengan penyakit jantung yang
berat sering perlu perawatan di rumah sakit.
Kedua Resiko ibu hamil dengan penyakit jantung pada
saat persalinan dan kelahiran bayi adalah
adanya kontraksi uterus, rasa sakit, cernas dan
perubahan volume intravaskuler dapat
mempengaruhi sistim kardiovaskuler.
Ketiga pada saat immediate post partum, saat ini
merupakan kondisi yang kritis pada pasien
dengan penyakit, jantung, terjadi kenaikan
dengan cepat curah jantung dan resistensi
vaskular sistemik yang mengakibatkan kerja
jantung meningkat (extra myocardial work)
Oleh karena itu manajemen anestesi pada ibu hamil
dengan penyakit jantung diperlukan untuk :
- Memberikan analgesia
- Memberikan kondisi optimal pada persalinan
- Memberikan stabilisasi hemodinamik dan kardiovaskuler
selama periode intrapartum dan periode immediate post
partum.
Berdasarkan klasifikasi The New York Heart Association
(NYHA) pasien dengan penyakit jantung dibagi menjadi class
I - IV
Class I No Limitation of physical activity
Class II Symptoms with ordina,y physical activity
Class III Symptoms with less than ordina,y physical
avtivities
Class IV Symptoms at rest
(Textbook of Obstetric Anesthesia, copyright@2000 by Churchill
Livingstone p.554)
Beratnya penyakit jantung berdasarkan klasifikasi fungsionil
kadang membantu, tidak selalu absolut indikasi atau kontra
indikasi untuk pilihan teknik anestesi.
Berdasarkan kebutuhan hemodinamik pada masing-masing
penyakit jantung dan pengaruh hemodinamik dari obat dan
120
teknik ancstcsi yang berbeda, pilihan teknik anestesi yang c
disararikan seperti tabel sebagai berikut: n
6
---�ftit Teknik __ o
c
Mitra! Stenosis Regional n
Mitra! insufficiency Regional �
::i
Aortic Stenosi General
Aortic Insufficiency Regional )
,q
Pulmonary Stenosis General
Pulmona!.YliJpertension General ,§
·r.
:.
Tabet ini diambil dari table 39-3 oieh Jose Carvalho, MD tentang
Cardiovascular Disease in the pregnant patient, Textbook of Obstetric
Anesthesia, copyright <2000 by Churchill Livingstone
Kematian Ibu dihubungkan dngan Penyakit Jantung pada ,c
Kehamilan:
Group 1 : Mortality < 1 % -�
Atrial Septa! defect c
:.
Ventricular septa! defect G
Patent Ductus arteriosus
Pulmonary /Tricuspid disease
Tetralogy of fallut, corrected
Bio prosthetic valve
Mitra! stenosis, NYHA class I & II
Group 2 Mortality 5 - 15%
2A Mitral stenosis NYHA class III-IV
Aortic stenosis I
Coarctation of Aorta, without valvular
involement
Uncorrected Tetralogy of fallot
Previous myocardial infarction
Marfan syndrome with normal aorta
28 Mitra! stenosis with atrial fibrillation
Artificial valve
Group 3 Mortality 25-50%
Primary Pulpuriary Hypertension or
Eisenmenger syndrome
Marfan syndrome with aortic involument
(Dari: Brendan Carvalho and Ethan Jackson. Obstetric anethesia and
Uncommon Disorders second edition ID cambridge university press
2008 page 3)
121
Mitra! Stenosis (MS) pada Kehamilan
Mitra! stenosis terjadi pada 90% penyakit jantung
rhematik pada awal selama akhir kehamilan. Kelainan
patologis mitral stenosis pada kehamilan berhubungan
adanya edema paru akut dan penyakit katup aorta.
Simptom yang timbul tergantung beratnya mitral
stenosis, meliputi fatigue & dyspneu pada awalnya, dapat
progress timbul paroxysmal nocturnal dyspneu, orthopnea
dan nafas pendek pada saat istirahat.
Mitra! stenosis yang berat diameter katup � l cm?
Mortalitas 1 % pada MS ringan
5-15% pada MS Berat
Patofisiologi
Katup mitral yang kecil menyebabkan/menurunkan left
ventricular filling dan Left ventricle (LV) output. Keadaan ini
meningkatkan left atrial volume dan pressure, dengan
meningkatkan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
dan berkembang menjadi edema dan hipertensi pulmonal.
Juga terjadi hipertropi ventrikel kanan dan dilatasi,
kemudian terjadi kegagalan yang menyebabkan peripheral
edema.
Prinsip Manajemen
- Pertahankan sinus ritem dan cegah rapid ventricular rate,
atrial fibrillasi dan takikardi dapat memperburuk fungsi
jantung. Perlu terapi agresif terjadinya atrial fibrillasi
secara farmakologik atau dengan direct cardioversion.
Hindari turunnya systemic vascular resistance (SVR)
dengan cepat dan besar. Kondisi ini dikompensasi dengan
meningkatnya laju jantung yang dapat memperburuk
fungsi jantung.
Mencegah kenaikan volume darah sentral dengan
manajemen fluid yang hati-hati dan bila perlu diberikan
diuresis.
Hindari faktor yang dapat menaikkan pulmonary arterial
pressure (PAP). Prostaglandin dapat menaikan Pulmonary
Vascular Resistance (PVR).
Pembesaran atrium kiri dapat memudahkan timbulnya
thrombus dan perlu profilaksis anticoagulan.
Prophylaxis bacterial endocarditis masih kontroversi.
122
Pemberian beta-blockers dapat menurunkan insiden
edema paru.
Dipertimbangkan operasi katup jantung a tau
valvuloplasti.
Pilihan Anestesi
Data evidence-based untuk anestesi dan analgesik yang
ideal untuk parturicn dengan mitral stenosis masih
kurang.
- Manajemen harus individual untuk mendapatkan hasil
yang optimal.
Pada pasien dengan penyakit yang berat perlu monitoring
hemodinamik secara invasif.
- Penting mengurangi nyeri dan pelepasan katekolamin
selama persalinan dengan menggunakan analgesia c
epidural secara titrasi. Dengan epidural analgesia dapat
,-
c.
menurunkan PVR dan SVR, menurunkan PAP dan �
,If;
menurunkan curah jantung ke level baseline. c
Harus dihindari prehydrasi yang cepat. :2
c;
- Pemberian anestesi lokal dengan titrasi yang pelan untuk
menghindari perubahan hemodinamik yang mendadak.
- Terapi hipotensi dengan phenylephrine.
- Hindari epinephrine pada anestesi lokal oleh karena
potensial menimbulkan takikardi.
- Combined Spinal epidural (CSE) dapat menjadi pilihan
yang baik untuk pasien ini.
- Anestesi epidural dapat digunakan dengan sukses pada I
wanita dengan mitral stenosis (MS) berat yang dilakukan
seksio sesarea darurat.
- Jika memerlukan general anestesia, harus dihindari obat-
obat yang menyebabkan takikardi seperti atropin,
pancuronium, ketamine dan meperidine.
- Pada pasien dengan penyakit ringan (mild disease) dapat
tolerasi dengan induksi thiopental.
- Pasien yang berat dapat berguna dengan induksi obat
yang cardiostable, misal: etomidate
- Waiau alfentanil, fentanyl dapat memberikan kondisi
hemodinamik yang stabil, tapi dapat menyebabkan
depresi bayi
- Obat uterotonika dengan dosis rendah dapat
menyebabkan efek yang merugikan pada kardiovaskuler
123
- Periode intrapartum dan immediate postpartum adalah
resiko yang tinggi terjadinya PCWP yang meningkat pada
pasien dengan MS yang berat
Pada pasien ini dengan seksio sesarea dapat diikuti
dengan operasi katup mitral (closed mitral valvotomy)
Pascabedah pasien perlu perawatan intensif (ICU) dan
pemberian ventilasi mekanik (dengan ventilator)
Pasien perlu support inotropik untuk memberikan
vasodilatasi pulmoner, semacam: nitroglycerin atau
nitroprusside.
Seksio Sesarea pada Penderita dengan Stenosis
Aorta dan Stenosis Pulmonal
Symptomatic aorta stenosis berhubungan dengan
mortalitas maternal dan neonatal yang tinggi. Asymptomatik
pregnant patients with aorta stenosis dapat toleransi
terhadap kehamilan tanpa komplikasi. Pasien yang menjadi
simptomatik terjadi bila diameter katub menurun menjadi
Jcm? dan lebih kritis bila kurang 0,6cm2, terjadi sincope,
angina dan dispnea.
Lesi pada katub aorta dan katub pulmunal dibicarakan
bersama karena problema sama untuk ahli anestesiologi.
Pada awal penyakit ini didapatkan hipertropi ventrikel kiri
dan kanan, compliance rendah.
Echocardiography dipilih untuk membantu menilai
beratnya penyakit ini. Pada pasien dengan stenosis aorta
atau pulmonal ringan dapat dilakukan anestesi regional,
baik untuk persalinan dan seksio sesarea. Untuk pasien
dengan stenosis aorta atau stenosis pulmonal sedang dan
berat selama persalinan dan kelahiran dapat dilakukan
dengan opioid parenteral atau epidural infus dengan sangat
rendah. Jika dilakukan seksio sesarea dipilih dengan
anestesi general.
Patofisiologi pada Stenosis aorta
Katup aorta yang kecil menyebabkan kerja dan tekanan
ventrikel kiri meningkat, ventrikel kiri hipertropi dan
penebalan myocard dan terjadi iskemia. Akhirnya ventrikel
kiri gagal dan curah jantung turun.
124
Prinsip Manajemen Cl)
Hindari penurunan mendadak venous return dan left m
ventricle (LV) filling. Preload cairan intravcna harus hati- @
0
hati, dapat berguna untuk mernpertahankan stroke Cl)
volume (SV). Dapat terjadi eksaserbasi kongesi paru yang m
Cl)
)>
menyebabkan kegagalan vcnt rikcl kiri akibat hipervolerni :0
m
pada kehamilan. )>
Pertahankan irarna sinus, cegah timbulnya bradik ardi �
Hindari penurunan SVR �
Hindari hipoterisi. Hipotensi menyebabkan iskemia otot "ti
m
ventrikel yang hipertropi z
Dipertimbangkan valvuloplasti �
;;,:;:
=i
Pilihan Anestesi
Beberapa anestesiologist memilih anestesi umum pada s
c
'"O
pasien dengan stenosis aorta, menghindari simpatektomi c...
)>
dari anestesi regional yang menurunkan SVR dan z
menimbulkan takikardi dan hipotensi. -i
c
Beberapa kasus dengan stenosis aorta berat dapat z
G')
dilakukan epidural dengan titrasi yang hati-hati untuk
persalinan.
Spinal anesthesia kontinyu dapat digunakan pada
persalinan dan seksio sesarea.
Nyeri dan kecemasan dapat meningkatkan SVR dan
afterload, dengan epidural anesthesia menurunkan SVR
perlahan-lahan dan memperbaiki curah jantung.
Hindari epinephrine pada epidural.
Terapi hipotensi dengan phenylephrine.
Tidak ada data yang baik yang menunjukkan apakah •
anestesi umum atau anestesi regional yang lebih aman
pada pasien dengan stenosis aorta.
Remifentanil memberikan stabilitas kardiovaskuler.
Thiopental dan succinylcholine dapat menurunkan curah
jantung.
Etomidate dipilih sebagai obat induksi untuk
menghindari depresi miokard oleh thiopental dan
takikardi oleh ketamin.
Diperlukan monitoring invasif untuk pegangan terapi bila
ada perubahan hemodinamik.
Monitoring post partum adalah vital sebab mortalitas
dapat terjadi pada 3-5 hari sesudah kelahiran
125
Seksio Sesarea pada Penderita Mitral
Insufisiensi atau Regurgitasi
Regurgitasi mitral ataupun aorta yang kronis biasanya
ditoleransi dengan baik selama kehamilan bila pasien tetap
tanpa simptom atau dengan simptom yang ringan. Disfurigsi
ventrikel kiri dan gaga! jantung dapat terjadi jika kondisi
tersebut tidak diterapi. Adanya kenaikan volume selama
kehamilan dapat mengakibatkan volume overload ventrikel
kiri. Pasien juga rcsiko terjadi atrial fibrilasi, edema
pulrnonal, emboli dan endokarditis.
Patofisiologi
Regurgitasi darah dari LV ke LA terjadi selama sistol.
Ini menyebabkan pembesaran LA dan meningkatkan
tekanan LA, diteruskan ke sirkulasi pulmonal dengan
meningkatkan PVP dan PCWP, akhirnya menyebabkan
kegagalan ventrikel kanan. Ventrikel kiri juga dapat gaga!
sekunder akibat meningkatnya volume darah.
Prinsip Manajemen
Cegah kenaikan SVR, kenaikan SVR dapat memperburuk
forward flow. Terapi ditujukan pada penurunan afterload.
Pertahankan irama sinus normal atau laju jantung
meningkat sedikit
Hindari bradikardi. Laju jantung yang pelan akan
memperpanjang diastol dan memperpanjang periode
regurgitasi.
Ephedrine dipilih untuk mencegah dan terapi hipotensi,
bradikardi
Bila terjadi aritmia yang berbahaya harus segera diterapi.
Pilihan Anestesi
Pasien yang asimptomatis tidak perlu monitoring invasif.
Pasien dengan simptomatis berat perlu monitoring invasif
sebagai tuntunan terapi obat dan cairan.
Epidural analgesia dapat mengatasi nyeri persalinan dan
merupakan pilihan yang baik untuk seksio sesarea.
Jika diperlukan anestesi umum, harus menghindari
obat-obat yang menekan jantung. Dicoba obat yang
sedikit meningkatkan laju jantung (misalnya Ketamin).
126
Pasien dengan Regurgitasi Aorta
Kebanyakan pasien dengan RA tolerans terhadap
perubahan kardiovaskuler pada kehamilan, namun pasien
dapat terjadi pembesaran LV dan berkembang menjadi
kegagalan jantung.
Patofisiologi
LV volume overload menyebabkan dilatasi LV dan
meningkatkan volume LV dan akhirnya terjadi disfungsi LV.
Peningkatan volume intravaskulcr berhubungan dengan
kehamilan dan kontraksi uterus sesudah kelahiran dapat
mendorong terjadinya overload volume dan disfungsi LV.
Prinsip Manajemen dan Pilihan Anestesi
Sama dengan prinsip rnanajemen dan pilihan anestesi ,
pada mitral regurgitasi.
Daftar Pustaka
1. Carvalho J. Cardiovascular disease in the pregnant
patient. Dalam: Birnbach DJ, Gatt S, Datta S, eds
Textbook of Obstetric Anesthesia. Pensylvania: Churchill
Livingstone; 2000, 553-64.
2. Harnett M, Tsen LC. Cardiovascular disease. Dalam:
Chestnut DH, Polley LS, Tsen LC, Wong CA, eds.
Obstetric anesthesia Principles and Practice.
Philadelphia: Mosby; 2009, 881-912
3. Mangano DT. Anesthesia for the pregnant cardiac
patient. Dalam: Shnider SM, Levinson G, eds. Anesthesia
for obstetrics. Baltimore: Williams & Wilkins; 1987 ,345-
38
4. Varvalho B, Jackson E. Structural heart disease in
pregnant women. Section 1: Cardiovascular and
Respiratory Disorders, Obstetric Anesthesia and
Uncommon Disorders. 2nd. New York: Cambridge
University Press; 2008, 1-27
5. Rocke DA, Rout CC. Anesthesia and coexisting maternal
disease Part 1: Cardiac and hematologis disease. Norris M
Copyright by Pensylvania: Lippincott Co; 1993,44 7- 72
127
6. Shnider SM, Levinson G. Anesthesia for Obstetrics. 2nd
ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1987, 345-38
7. Yoyce TH. Cardiac disease. Dalam: Francis MJ, Wheeler
AS, eds. Obstetric anesthesia the complicated patient.
Philadelphia: Davis Co; 1983, 87-102
128
BAB 11
S�ksiri Se��rea p�d� P�si�·1{K�idiri�i�pa\i:::/\', ·:_: ":/\.
Gatut Dwidjo Prijambodo, Eddy Rahardjo . · _ . -· ·
. __ · .._.-._--_:\._::. ·._ -: .. , .·._ ;, .-: _.:i .. ::_· , '.: ·.: _: . . ' -�.--: · .. ·:'·--:'
Kardiomiopati merupakan salah satu penyebab kematian
yang berhubungan dengan kehamilan (8'Yu). Kardiomiopati
pada kehamilan dapat dibagi menjadi:
Peripartum cardiomyopathy (PPCM)
Dilated, hypertrophic obstructive cardiomyopathy
(Restrictive)
Peripartum Cardiomyopathy (PPCM)
PPCM didefinisikan oleh National Institutes of Health
didasarkan pada empat kriteria:
Kegagalan jantung pada periode enam bulan (bulan akhir
kehamilan sampai lima bulan pasca persalinan]
Tidak ada penyebab yang ditemukan
Tidak ada penyakit jantung sebelumnya
Pada echocardiography ditemukan disfungsi ventriker kiri
(LV): Ejection fraction < 45% dan LV end diastolic
dimension> 2.7 crny m-'.
PPSM merupakan 70% dari kematian hubungan
dengan kehamilan dengan kardiomiopati. Kematian lebih
tinggi pada wanita kulit hitam, usia < 35tahun dan pada •
kehamilan multipel. PPCM merupakan penyebab dilated
cardiomyopathy. Kemungkinan penyebabnya meliputi
iskemia, alkobolism, toxin, defisiensi thiamine, penyakit
jaringan, kelainan metabolisme, distrofi neuromuskuler,
infeksi virus atau yang lain. Dapat terjadi kegagalan jantung.
Pada penderita didapatkan lelah, dispnea, orthopnea,
palpitasi dan hemoptisis. Tekanan vena jugularis meningkat,
didapatkan murmur regurgitasi dan gallop. Pada gambaran
radiologis dijumpai kardiomegali dan tanda kegagalan
jantung. Pada EKG dijumpai aritmia dengan perubahan
gelombang ST dan T yang non spesifik. Echocardiography
menunjukkan dilatasi ventrikel (Dilated Hypokinetic
Ventricles). Penyebab PPCM tidak diketahui. Mortalitas 15-
50%, kematian akibat gaga! jantung, aritmia dan
thromboemboli. PPCM dapat berhubungan dengan hipertensi
pulmonal dan kegagalan organ multipel.
129
Prinsip manajemen PPCM
Terapi awal seperti manajemen gaga! jantung
Menurunkan preload dengan rcstriksi cairan dan garam
serta pemberian diuretika
Menurunkan afterload dengan pemberian nipedipine.
amlodipine, nitroglycerin dan hydralazine
Monitoring invasif
Pemberian obat inotropik (digoxin, dopamin, dobutamine,
milrinone) juga beta blockers.
Penggunaan defibrilator pada aritmia
Penting pemberian antikoagulan
Terapi immuno suppressif dcngan predinison oral dan
azathioprine 6-8 minggu dapat mengurangi miokarditis
dan memperbaiki fungsi ventrikel kiri.
Terapi immunoglobulin intravena dapat berhasil pada
PPCM.
Hemofiltrasi secara rutin dapat berhasil memperbaiki
PPCM bila terapi konvensional gaga!
Exchange transfusi pada PPCM dapat berhasil
Transplantasi jantung dapat dilakukan dengan sukses
Pilihan Anestesi
Pemakaian anestesi epidural merupakan pilihan yang
terbaik untuk seksio sesarea pada PPCM. Penggunaan
anestesi general dipergunakan dengan obat induksi yang
cardio-stable (misal: etomidate) dan diperlukan opioid dosis
tinggi. Dilaporkan ada satu pasien mengalami henti jantung,
tapi dapat berhasil dilakukan resusitasi.
Hypertrophic Obstuctive Cardiomyopathy
Hypertrophic obstructive cardiomyopathy (HOCM) atau
idiopathic hypertrophic subvalvular stenosis (IHSS) adalah
penyakit yang ditandai obstruksi dynamic LV outflow
disebabkan oleh contracting hypertrophied ventriccle dan
septum selama sistolik. Penyakit ini biasanya tampak pada
pasien usia 20-30 tahun dan kadang pada kehamilan. Pasien
dengan HOCM meningkatkan resiko disritmia dan kematian
mendadak.
Pasien dapat asimptomatik atau simptom ringan
(palpitasi, dispnea pada aktivitas, angina dan sinkop).
Beberapa pasien HOCM dapat progresif terjadi gagal jantung
kongestif klinis didapatkan LV hipertrophy.
130
HOCM merupakan penyakit yang ditransrnissi oleh
autosomal dominant inheritance. Tanda khas dari penyakit
ini adalah septum asimmetris dan hipertrofi ventrikel
menyebabkan obstruksi dynamic out flow selarna sisrolik.
Obstruksi LV outflow disebabkan hipertrofi masa otot pada
dasar septum intcrventrikular. Ini mengakibatkan
penurunan ventricle filling selama diastolik. Kontraksi
atrium mcnjadi faktor penting pada kenaikan Left Ventricular
End Diastolic Volume (LVEDV). Faktor yang mempengaruhi
derajat obstruksi adalah LVEDV, kekuatan kontraksi
ventrikel dan tekanan transmural.
Pada kehamilan, penurunan SVR dengan
meningkatkan HR secara fisiologis merugikan pada HOCM.
Perubahan fisiologis kehamilan ditoleransi dengan baik pada
pasien dengan HOCM. Namun adanya HOCM yang laten
dapat menyebabkan problem klinis pada kehamilan dan
kematian mendadak pada kehamilan
Prinsip manajemen
Monitoring invasif pada pasien yang simptomatis atau
pasien dengan aritmia atrial.
Hindari penurunan preload. Meningkatkan volume darah
dan mempertahankan venous return penting untuk
memperkecil obstruksi outflow
Pertahankan Jaju jantung normal dan terapi agressif
adanya aritmia atrial
Menghindari kenaikan kontraktilitas yang meningkatkan I
obstruksi dan menurunkan curah jantung.
Beta blocker dapat berguna pada HOCM untuk
mengatasi obstruksi LV outflow dengan menurunkan
kontraksi jantung dan laju jantung. Tapi beta blocker
menyebabkan bradikardi janin dan intra uterine growth
restriction (IUGR)
Esmolol menyebabkan hipotonia, hipotensi, hipoglikemi
dan bradikardi pada kelahiran bayi pada ibu hamil
dengan HOCM yang diterapi esmolol
Dapat dipilih labetalol 0,25mg - 1 mg/Kg BB
Hindari penurunan mendadak SVR
Terapi hipotensi dengan alpha agonist (misalnya
phenylephrine atau metaraminol)
Hindari ephedrine karena dapat meningkatkan
obstruksi dinamik.
131
Pilihan Anestesi
Epidural dan combined spinal-epidural (CSE) dapat
digunakan untuk analgesia pada persalinan. Dapat
mengurangi kenaikan laju jantung dan kontraktilitas akibat
pelepasan katekolamin endogen pada persalinan karena
nyeri dan cernas. Hipotensi diterapi dengan phenylephrine
(SO ug inkremental), sedang ephedrine merupakan kontra
indikasi. Anestesi umum dapat dipakai untuk seksio sesarea
pada pasien dengan HOCM. Anestesi umum dapat
menurunkan kontraksi miokard, oleh karena itu harus hati-
hati untuk menghindari penurunan mendadak dari
resistensi vaskular sistemik.
Dengan anestesi epidural secara titrasi seksio sesarea
pada pasien dengan HOCM. Hindari penggunaan anestesi
spinal yang single-shot. Pemberian oxytocin dapat
menyebabkan takikardi dan hipotensi dapat rnenjadi
problem pada pasien dengan HOCM. Namun dengan
oxytocin lewat infus dapat ditoleransi dengan baik.
Postpartum dapat terjadi edema paru, oleh karena itu
perlu monitoring yang ketat selama 48- 72 jam postpartum
Daftar Pustaka
1. Carvalho J. Cardiovascular disease in the pregnant
patient. Dalam: Birnbach DJ, Gatt S, Datta S, eds
Textbook of Obstetric Anesthesia. Pensylvania: Churchill
Livingstone; 2000, 553-64.
2. Harnett M, Tsen LC. Cardiovascular disease. Dalam:
Chestnut DH, Polley LS, Tsen LC, Wong CA, eds.
Obstetric anesthesia Principles and Practice.
Philadelphia: Mos by; 2009, 881-912
3. Mangano DT. Anesthesia for the pregnant cardiac patient.
Dalam: Shnider SM, Levinson G, eds. Anesthesia for
obstetrics. Baltimore: Williams & Wilkins; 1987 ,345-38
4. Varvalho B, Jackson E. Structural heart disease in
pregnant women. Section 1: Cardiovascular and
Respiratory Disorders, Obstetric Anesthesia and
Uncommon Disorders. 2nd. New York: Cambridge
University Press; 2008, 1-27
132
(/)
5. Rocke DA. Rout CC. Anesthesia and coexisting maternal rn
:,:;
(/)
disease Part 1: Cardiac and hernatologis disease. Norris M
0
Copyright by Pensylvania: Lippincott Co; 1993,44 7- 72 CJ)
m
(/)
)>
6. Shnider SM, Levinson G. Anesthesia for Obstetrics. 2nd ::0
ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1987, 345-38 m
)>
7. Yoyce TH. Cardiac disease. Dalarn: Francis MJ, Wheeler �
AS, eds. Obstetric anesthesia the complicated patient. �
Philadelphia: Davis Co; 1983, 87-102 �
m
z
Cl
rn
z

2

::c
0
e
s:
c


133
134
Dr\.D 1.1..
Pre-eklarnpsi adalah suatu kelainan yang tidak
manifest sebelum kehamilan 20 minggu. Kcjadian paling
tinggi pada prirni gravida, dan prevalerisi terbesar pada
multipara. Pre-eklarnpsi khas dengan adanya Trias:
Hipertensi, protein uria, dan edema yang menyeluruh.
Disebut pre-eklampsi ringan bila pada wanita yang
sebelumnya normotensi ada kenaikan tekanan diastolik
menjadi > 90 mmI--lg dengan protein uria < 0,25 gr/It.
Disebut pre-eklampsi berat bila tekanan sistolik > 160mmHg
atau diastolik > 110 mmHg, peningkatan yang cepat dari
protein uria, oliguria < 100 ml/24 jam, ada gangguan
serebral atau penglihatan, edema paru atau sianosis. Pre-
eklampsi bisa menjadi ekklampsi pada setiap tingkatan bila
terjadi kejang-kejang. Kejang-kejang bisa terjadi sebelum
persalinan, selama persalinan dan segera pada periode post
partum.
Etiologinya masih belum jelas, tapi semua peneliti
setuju bahwa kelainan yang esensial adalah adanya iskemia
utero plasental. Ada 3 faktor:
cedera imunologis pada plasenta
iskemia uterus
timbulnya koagulasi intravasculer
I
Mekanisme dasarnya dihubungkan dengan faktor
genetik, ketidak-seimbangan metabolisme prostaglandin,
gangguan defisiensi nutrisi atau kombinasi dari faktor-faktor
tadi. Yang menarik, penyakit ini mempunyai penyebaran
geographi dan sosio ekonomi, lebih banyak di negara
berkembang, nyata menurun pada daerah yang lebih
berkembang. Jelas ha! ini menyokong faktor nutrisi, genetik
dan interaksi antara kedua hal itu, tetapi walaupun hal ini
terlihat pada beberapa penelitian, etiologi pasti tetap belum
jelas. Kemungkinan ketidak-seimbangan produksi
thromboxan dan prostacycline merupakan mekanisme dasar
yang harus dipertimbangkan. Sering pada primigravida,
kejadian lebih tinggi bila ada pembesaran uterus yang cepat
misalnya kehamilan lebih dari satu (kembar), diabetes
mellitus, polyhydramnion, mola hidatidosa.
135
Oocreascd
Uteropi.:tceri1a1
a,ooo Flow
i
Decreased Piacentat
Hetease of -
Tropho:)lastic
MA:e::al '
Ang,otensmo()t:tri -1... Ar-,gio1ens1r1 l
! I
L1bera11t:.1n of t
lhrombOc>IASlln VASOCCNSTAICTION- Ang1o:ensm II
F,t,,.r.1depos,toon // \Ad,eo�Aldos.omnc
Renal Gk>meu..:1ar
Lesion
Decreased Gtomeruter
F,uratJon Rate
Increased Sodium_
Roatisorptton
fi,ROTEt�uia-;;;;J
+
I HYPERTE_':':?:@,Q j EDEMA j
L
Gambar 1. Skema patofisiologi toksemia kehamilan.
( Speroff , 2000. Toxemia of pregnancy: Mechanism and
therapeutic management. in Am J Cardiol. 32:582.)
I vasocoostncucn
--- 1 p1a1ele1 agg109at1on
J utenoe achv1ty
I uteroplacenlal
blood flow
+
. I Vasocon,ctlctton
PROST ACYCUH I Platelet Aggregation
I Utorlne Activity
\ I Utetoplacental
\ Blood flow
\
' \
t
\
\ THROMBOXANE
\
\
\
\ndoperox,de/
l
Gambar 2. Skerna perbandingan keseimbang.an aksi biologi dari prostacyclin and thromboxane dengan
adanya ketidakseimbangan yaitu peningkatan thromboxane dan penurunan prostacyclin pada wanita
hamil dengan preeclamptic pregnancy, ( Walsh,S.W,.2000, Preeclampsia: An imbalance in placental
prostacyclin and thromboxane production. in Am/ Obstet Gynecol, 152:335).
136
Patofisiologi Pre-eklampsi I Eklampsi
Perubahan patofisiologi dari pre-eklampsi disebabkan
karena. perubahan-perubahan vaskuler dalarn plasenta
selarna trimester pertarna kehamilan. Suatu reaksi antigen
antibodi antara jaringan ibu dan foetal menimbulkan
vasculitis plasenta. Pada kehamilan lebih lanjut akan
mernbawa kearah anoxia jaringan dan pelepasan
thromboplastin-like substance ke sirkulasi Ibu,
menyebabkan gejala pre-eklarnpsi. Iskemia uteroplasenta
menyebabkan ekskresi renin-Iike substance, yang
menyebabkan peningkatan produksi angiotensin dan
aldosteron.
Gambar 3. Perubahan arteri pada pre-eklampsia
Diduga ada penghambatan sistem substansi
vasodilator, terutama prostaglandin. Akibat vasokonstriksi
menimbulkan terjadinya:
hipertensi
lesi pada glomerulus yang menyebabkan protein uria
penurunan glomerular filtration rate yang menimbulkan
peningkatan reabsorpsi sodium dan terjadi edema.
Penyebab kematian lbu adalah edema paru dengan
zonqestiue heart failure, hipertensive cerebral encephalopathy,
oerdarahan otak, abruptio plasentae, renal failure, necrosis
'1.ypophyse.
137
a) Susunan Saraf Pusat:
Komplikasi neurologis dari kehamilan, terrnasuk
sakit kepala, gangguan penglihatan, hiperrefleksia adala h
tanda-tanda adanya ancaman terjadinya konvulsi, tapi
konvulsi dapat juga terjadi tanpa tarida-tanda
sebelurnnya. Konvulsi sulit diatasi, dan bisa terjadi status
epileptikus. Beberapa peneliti menyatakan edema serebral
adalah faktor utama untuk terjadinya konvulsi, tapi
penelitian baru-baru ini meragukan keterangan tadi.
Sheehan dan Lynch menemukan tidak ada fakta bahwa
ada pembengkakan otak dan menyatakan bahwa serebral
edema tidak mungkin terjadi pada eklampsi. Penelitian
dengan CT-scan pada 43 wanita hamil dengan eklampsi
menemukan edema terjadi pada 27 penderita, dan
beratnya edema dihubungkan dengan lamanya kejang-
kejang intermittent. Pada 5 penderita menunjukkan
adanya kenaikan sekilas dari tekanan intrakranial, dan
perdarahan intrakranial, yang bisa fatal, ditemukan pada
4 penderita. Daerah hipoksik-iskernia merupakan lesi
yang paling penting. Penelitian yang lain dengan CT-Scan,
MRI, dan cerebral angiography menyokong konsep bahwa
prinsip dasar patologi adalah uasospatic ischemia injury
l:t:: ·. dari pada edema yang menyeluruh. Bila konvulsi berat
dan berlangsung lama, bisa terjadi edema otak yang
menyeluruh, jadi edema ini akibat konvulsi bukan sebagai
penyebab konvulsi eklampsi.
Konvulsi eklampsi berbeda etiologinya dengan
konvulsi hipertensi encephalopathi. Pada hipertensi
I encephalopathi, konvulsi umumnya terjadinya bila
kenaikan tekanan darah melewati arnbang autoregulasi
otak. Pada keadaan tersebut, terjadi vasodilatasi di focal
area akibat rusaknya barier darah otak, dan terjadi
extravasasi.
b) Sistim Kardiovaskuler:
Terjadi penurunan volume darah kira-kira 10-15%
dibandingkan dengan wanita hamil normal. Systemic
Vascular Resistance (SVR) meningkat. Peneliti lain,
rnendapatkan bahwa sampai 25% dari pasien
menunjukkan fungsi miokardial yang sub optimal, dan
menyokong bahwa ada ketidak sesuai antara central
118
venous pressure (CVP) dan Pulmonary Capillary Wedge
Pressure (PCWP), walaupun kcduanya umumnya rendah. (
Dibandingkan dengan keharnilan yang normal, pada (
(
pre eklarnpsi volume intravaskuler menurun, curah r
jantung menurun, dan resistensi sisternik vascular �
:!
meningkat.
c) Koagulasi :
Gangguan koagulasi sering terjadi pada pasien pre eklam-
psi/ eklampsi dengan trombositopenia, terjadi pada
l / 3 pasien pre-eklampsi. Juga bisa terjadi hemolisis, l
terutama dihubungkan dengan kelainan fungsi hepar dan
f
.
disebut HELLP syndrome (Haemolysis, Elevated Liver
enzymes, Low Platelets) dan disseminated intrauascular
coagulation (DIC) terjadi kira-kira 7%, kasus. Kelton dkk,
menyokong bahwa defisit fungsi trombosit bisa terlihat
tanpa dihubungkan dengan jurnlah trombositnya.
Ramanathan dkk., menyatakan bahwa wanita dengan
pre-eklampsi berat mernpunyai bleeding time yang
memanjang dengan jumlah trombosit yang adequat,
hematokrit meningkat akibat hemokonsentrasi.
d) Sistim Respirasi:
Bisa terjadi kesulitan intubasi karena gangguan lapangan
penglihatan oleh karena adanya edema saluran nafas
bagian atas dan laryng.
e) Liver:
I
Disfungsi hepar mungkin penyebab dari keluhan sakit
epigastrium, dan telah diketahui bahwa disebabkan
karena iskemia hepatic necrosis, walaupun ha! ini juga
bisa disebabkan karena __perdarahan sub capsula hepatis.
Hipotensi yang tiba-tiba bisa disebabkan karena ruptur
hepar spontan, walaupun jarang terjadi tetapi dapat
menyebabkan kematian. Penurunan fungsi liver dapat
merubah klirens obat yang dimetabolisme di hepar dan
memerlukan penyesuaian dosis obat untuk mencegah
overdosis.
f) Ginjal:
Kerusakan ginjal dibuktikan dengan adanya protein uria,
walaupun oliguria lebih sering disebabkan hipovolemia
139
dan penurunan Renal blood flow daripada oleh kerusakan
ginjal. Telah dibuktikan bahwa lesi primernya adalah
renal vasospasme dan peningkatan pcrmeabilitas
glomerulus terhadap molekul yang besar. Dapat terjadi
ARF (Acut Renal Failure) yang memerlukan dialisis yang
bisa dipresipitasi oleh adanya terapi hipotensif yang
berlebihan atau oleh Hb-uria (adanya HELLP syndrome).
Tetapi prognosisnya baik, Sibai melaporkan dari 18 pasien
ARF akibat eklampsi, 16 pasien baik tanpa sequele.
Sedangkan yang 2 lagi, meninggal akibat penyebab di luar
ginjal.
Tabel 1. Diferensial Diagnosis dari HELLP Syndrome, Thrombotic
Trombositic Purpura (TTP), Hemolytic-Uremic Syndrome
(HUS), dan Fatty Liver of Pregnancyjf!,_P�
l _
Kelainan HELLP TTP HUS FLP
Hemolitik anemia + + +
Mikroangiopatik
Perdarahan Trombositopenik + + + +
Disfungsi Neurologik + ++ ± ±
Disfungsi Renal ± + +++ +
g) Feto-plasental unit:
Terjadinya disfungsi plasenta dengan gambaran morfologi
yang abnormal dan keabnormalan pertumbuhan plasenta
merupakan penyebab utama dari terjadinya preeklampsi.
Sering terjadi penurunan perfusi plasenta dan solutio
plasenta, sehingga bisa menimbulkan retardasi
pertumbuhan intra uterine dan terjadi kematian foetus.
Dengan pertimbangan keselamatan ibu, sering bayi segera
dilahirkan, dan sebagai akibatnya kejadian distres nafas
lebih tinggi pada neonatus yang lahir dari ibu
preeklampsi/eklampsi. Neonatus yang imature juga
menderita perkembangan sistim metabolisme yang jelek,
jadi mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap obat
dari pada infant yang sehat dari ibu yang gravida aterm.
Pengelolaan Pasien Pre-ek.lampsi
Pengelolaan pasien eklampsi/pre-eklampsi idealnya
dilakukan multidisiplin dan anestetist ikut dalam
140
pengelolaan pre-eklarnpsi berat pada stadium dini. Bila (
[
cliberikan MgS04, anestetist dapat menaksir fungsi (
neuromuskulcr, sehingga dapat memberikan advis dalam
(
proteksi jalan nafas dan depresi nafas. Terapi terbaik untuk '
pre-eklampsi adalah cepat-ccpat melahirkan foetus dan {
gejala umumnya rcda dalam 48 jam setelah bayi dilahirkan. •
Pengelolaan adalah simptornatis, sasaran utama adalah .,f
mencegah konvulsi, mernperbaiki perfusi organ dan utero
plasental, penurunan tekanan darah, koreksi gangguan
pembekuan. Pada kasus yang berat, diperlukan monitoring
tekanan arteri, CVP dan tekanan arteri pulmonalis.
a) Pengendalian Konvulsi
Terapi untuk kejang-kejang terdiri dari oksigenasi,
ventilasi, anticonvulsant. Pengendalian konvulsi pada
pasien pre eklarnpsi masih dalarn perdebatan, di Eropa/
Inggris dengan obat-obat anticonvulsant sedangkan di
Amerika dengan MgS04. Sedangkan di negara-negara lain
dengan memakai kedua obat tadi, anticonvulsant dan
MgS04. Pemberian MgS04 sendiri tidak bekerja sebagai
anticonvulsant karena tidak menembus sawar darah otak,
tetapi memberikan gambaran palsu dengan hilangnya
kejang-kejang karena efek MgSC,4 untuk blokade
neuromuskuler, tapi alasan ini tidak kena untuk pasien
yang bangun dan bernafas spontan. Prinsip adanya
serebral vasospasme menyokong pemberian MgS04
karena magnesium adalah suatu serebral vasodilator I
kuat, maka rasional kalau bisa mengendalikan komplikasi
SSP.
Dibandingkan dengan diazepam, diazepam + pentazocine,
diphenylhydantoin atau epinutum, MgS04 paling baik
untuk terapi konvulsi. Magnesium lebih unggul daripada
diazepam bila dilihat dari efeknya terhadap bayi, tapi
pada penelitian lain, yang terbaik untuk neonatus adalah
diphenyl hydantoin.
Obat-obat Anticonvulsan :
1) Magnesium Sulphate:
Magnesium Sulphate adalah suatu SSP depresant dan
vasodilator ringan. Dengan relaksasi miometrium, ia juga
menyebabkan peningkatan utero plasental blood flow.
Setelah loading dose 40-80 mg/kg secara i.v., diikuti infus
141
kontinyu 1-2 gr /jam, Magnesium Sulphate dipcrtahankan
6-8 meq/lt. Refleks tendon yang dalam dikurangi pada
kadar Magnesium Sulphate 10 meq/lt, dan bisa tcrjadi
respiratori paralisis dan heart block bila kadar Magnesium
Sulphate di atas 12-15 meq/lt. Magnesium potensiasi
dengan nondepolarizing dan depolarizing muscle
relaxant. Tranfer melalui plasenta menyebabkan bayi jadi
lemah dan depresi nafas. Calsium intraveria bisa
mengurangi kelemahan pada post operatif akibat
magnesium. Bahaya terbesar dari Magnesium infus
adalah blokade neuromuskuler, juga menurunkan
resistensi perifer, dan meningkatkan curah jantung. Efek
samping dan efek toksik magnesium pada ibu adalah:
kelemahan otot ibu
paralisis pernafasan
perubahan EKG: interval P-Q memanjang, QRS
melebar, SA dan AV blok
hilangnya reflex tendon profunda
hen ti jantung
Efek samping pada bayi:
penurunan tonus otot
depresi nafas dan apnoe
Antidotum magnesium ialah dengan pemberian calcium
intravena. Umumnya diberikan dengan dosis lgr Ca
gluconas atau Ca chlorida intravena. Magnesium
diekskresi melalui ginjal.
Tabel 2. Efek peningkatan Level Magne:5ium Plasm_a _
Kondisi mEq/L
Level plasma normal 1.5-2.0
Rentang terapi 4.0-6.0
Rentang EKG (P-Q interval memanjang, QRS 5.0-10
komplek melebar)
Hilangnya refleks tendon dalam 10
Blok Sinoatrial dan atrioventricular 15
Paralisis respirasi 15
Hen ti jantung 25
2) Diazepam:
Diazepam dengan dosis 5-1 Omg, bisa diberikan
berulang-ulang sampai ada efeknya. Dosis kontinyu 10
mg/jam sering digunakan untuk profilaksis, tapi bisa
142
menimbulkan sedasi yang dalam dengan resiko
gangguan jalan nafas. Bisa terjadi depresi foetal
terutama pada bayi prernatur karcna obat mi
meriembus barier plasenta sehingga bisa menyebabkan
neonatal hipotonia, depresi nafas dan hipoterrnia.
Penggunaan flumazenil untuk mereverse efek sedasi
pada ibu hamii, ibu dan anak, belum dilaporkan.
Karena itu tiopental 50-1 OOmg i.v. lebih disukai sebagai
anti convulsant.
3) Phenytoin:
Phenytoin lebih populer daripada diazepam karena
kurangnya efek samping sedasi dan level terapeutik 40-
100 umol/lt. Loading dose 10 mg/kg dilarutkan dalam
100 ml NaCl fisiologis, diberikan i.v. dengan kecepatan
50 mg/menit. Dua jam kernudian, diberikan bolus yang
kedua, diberikan dengan cara yang sama dengan dosis
5 mg/kg. Rumatan terapi dimulai 12 jam setelah bolus
yang kedua dengan kecepatan 200 mg/ 8 jam secara
oral atau intravena. Penggunaan cara rru sering
menimbulkan komplikasi rasa terbakar pada tempat
infus, diikuti dengan pusing dan vertigo. Komplikasi
hipotensi bisa terjadi, tapi sangat jarang. '.,•.4
. •·
b) Pengelolaan Kardiovaskuler
1. Monitoring
Tekanan darah (invasif, non invasif) I
CVP
PCWP
Masih diperdebatkan ten tang monitoring
kardiovaskuler yang paling adekuat untuk pasien dengan
pre-eklampsi berat. Harus diingat bahwa CVP tidak selalu
menunjukkan tekanan pengrsian jantung kiri, dan
konsekuensinya, ada resiko terjadinya edema paru bila ada
kelebihan volume pada pasien yang mempunyai disfungsi
ventrikel kiri. Karena volume loading sering diperlukan pada
pasien-pasien ini, maka CVP merupakan alat monitoring
yang minimal pada pasien dengan pre-eklampsi berat,
walaupun diakui bahwa CVP tidak atau kurang
menunjukkan tekanan pengisian ventrikel kiri. Bila ada
hipertensi yang berat, dan digunakan obat-obat vasodilator
kuat, mungkin sebaiknya dipasang alat monitor tekanan
143
darah invasif iarteri line). Penggunaan kateter arteri
pulmorialis jarang dipakai, karena harganya ruahal, kecuali
pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi hidralazine
dosis normal untuk mcnurunkan tekanan dar ah, edema
paru, unresponsive oliguria. Tetapi pada pengalaman-
pengalaman penggunaan monitor tekanan darah non invasif
dan CVP cukup baik untuk mengelola pasien.
2. Pengendalian hipertensi:
Pasien harus dirawat di Rumah Sakit dan istirahat.
Harus dipertimbangkan efek postural, terutama untuk
menghindari kompresi aortacaval. Pasien pre-eklampsi
umumnya relatif hipovolemia, juga ada vasospasme, yang
dapat mengurangi perfusi jaringan, sehingga akan berefek
buruk pada Ibu dan bayi. Walaupun ada anjuran untuk
terapi hipertensi secara agresif, kebanyakan penulis setuju
•.;·.!,,•
untuk menurunkan tekanan darah secara gradual sampai
level di atas tekanan normal, pada umumnya pada tekanan
diastolik 90mmHg. Perhatian ditujukan pada perfusi
plasenta dan fungsi ginjal Ibu, juga adanya cedera serebral
bila tekanan darah diturunkan terlalu cepat. Dalam hal
konsep adanya cerebral vasospasme dan cerebral iskemia,
penurunan tekanan darah secara hati-hati disertai dengan
monitoring kardiovaskuler yang adequat sangat baik sekali.
Harus diingat bahwa, sebelum pemakaian vasodilator,
harus dilakukan dulu koreksi hipovolemia, kalau tidak, bisa
terjadi penurunan tekanan darah yang hebat. Obat yang
dipilih adalah yang menimbulkan arteriolar vasodilatasi
daripada yang venodilatasi yang akan mencegah kenaikkan
curah jantung. Dihydralazine adalah obat yang paling
populer karena berefek dilatasi arterial dengan mula kerja
cepat.
a. Dihydralazine
Hydralazine (Apresoline) meningkatkan utero-plasental
serta renal blood flow dan merupakan obat vasodilator
yang paling umum digunakan. Dosis 5-10 mg i.v. berefek
dalam waktu 15 menit dan berakhir sampai 6 jam.
Penambahan dosis 5 mg secara i.v., diikuti dengan infus
5-20 mg/jam, diberikan secara titrasi tergantung tekanan
darah. Efek obat bisa menyebabkan hipotensi dan
takikardi. Mula kerja lambat, dan pengulangan dosis tidak
144
bolch diberikan dcngan interval kurang dari 20 menit, bila (/
11
tidak, akan tcrjadi hipotensi yang hebat . Meninggikan »
(/
renal blood flow dan uterine blood flow, serta c
meningkatkan denyut jantung dan curah jantung. Adanya n
o
takikardia dapat ditcrapi dengan Beta bloker misalnya �
proponolol. :I
,�
::i
b. Methyl dopa
Obat ini urnurnnya untuk pasien dengan hipertensi ,§
kronis. Dipakai dalam dosis standar. tapi dapat
menyebabkan ngantuk, depresi dan postural hipotensi, l
ii
tapi aman pada ibu hamil pada dosis 1-3 g/hari dengan :.
n
pembagian dosis.
c. b[ifedipine
s
;<
Tidak banyak penelitian dalam pemakaian nifedipine �
untuk mengendalikan tekanan darah pada eklampsi/pre- �
4
eklampsi. Prinsipnya Calcium antagonis merupakan terapi
yang logis dan dosis nifedipine sub lingual 10 mg tiap 20
menit sampai maksimum 30 mg. Ada laporan-laporan
yang menguntungkan dari fungsi ginjal, jumlah platelet.
d. Trimethaphan
Keuntungan obat ini adalah tidak adanya efek cerebral
vasodilatasi. Obat dipecah oleh cholinesterase dan karena
tidak menembus barier plasenta dapat menyebabkan
pemanjangan efek suxamethonium. Bisa terjadi takikardia
dan rnenyebabkan penurunan venous return.
I
e. Nitroprusside dan Nitrogliserine
Nitrogliserin bekerja primer pada kapasitas vena dan
terbukti kurang efektif bila sebelumnya diberikan expansi
volume. Dianjurkan untuk pengendalian tekanan darah
pada waktu intubasi. Nitroprusside, sodium nitroprusside
(Nipride) adalah suatu vasodilator dengan onset yang
cepat dan lama kerja yang pendek. Obat ini ideal untuk
mencegah peningkatan tekanan darah yang sangat
berbahaya waktu induksi anestesi atau untuk terapi
krisis hipertensi. Tetapi pada kehamilan hanya dipakai
untuk mengendalikan tekanan darah akibat intubasi,
karena ketakutan akan adanya intoksikasi sianida pada
fetus. Kedua obat rm mempunyai tendensi untuk
menaikkan tekanan intrakranial ibu.
145
r. Beta adrenergic blocking drug�
Obat-obat ini jarang digunakan karena adanya fakta-fakta
yang menyokong efek beta bloker pada foetus. Baru-baru
ini Labetalol telah dipakai pada terapi eklampsi/pre-
eklampsi dengan hasil yang baik, walaupun ada laporan
yang menganjurkan pemakaian secara hati-hati terutarna
4'

}t:-.z bila .bayinya prematur.
3. Pengendalian Volume Intravaskuler
Meskipun ada bukti-bukti yang nyata pada eklampsi/
preeklampsi terdapat penurunan volume intravaskuler,
masih ada perdebatan tentang loading cairan, setiap
pasien harus dipertimbangkan tersendiri berdasarkan
data kardiovaskulemya. Tetapi prinsip dasar adalah
:�· . ' loading cairan harus dilakukan sebelum terapi dengan
vasodilator. Apakah yang diberikan koloid atau kristaloid
masih diperdebatkan, terutama pada pasien yang
mempunyai tekanan onkotik rendah dan kebocoran
kapiler. Bila ada edema yang luas, berarti ada kebocoran
kapiler, maka volume loading harus diberikan dengan
hati-hati. Ini penting untuk dipikirkan bahwa beberapa
dari pasien-pasien ini mempunyai penurunan ventricular
compliance, dan dapat terjadi peningkatan CPWP yang
besar secara tidak diduga-duga setelah pemberian
sejumlah kecil volume loading. Konsep lama tentang
pemakaian diuretik berdasarkan pada adanya edema,
tidak disokong lagi dan kebanyakan klinisi percaya bahwa
pemakaian diuretik ini akan memperhebat defisit volume,
dan penggunaan diuretik umumnya disalahkan.
4. Pengelolaan Respirasi
Masalah utama adalah pengelolaan jalan nafas, karena
ada laporan ten tang adanya edema he bat pada jalan nafas
bagian atas. Bila ada konvulsi, bisa terjadi trauma pada
lidah yang bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas, dan
intubasi menjadi sangat sulit. Adanya edema paru
terutama disebabkan karena pemberian cairan yang
berlebihan. ARDS jarang terjadi.
5. Fungsi Ginjal
Walaupun ada oliguria dan edema, tidak dianjurkan
pemberian diuretik, sebab penyebabnya adalah
146
vasospasrne dan pe nururian volume sirkulasi darah. (J
n
Pemberian volume dan vasodilator akan meningkatkan »
(J
renal blood flow dan curah jantung. Pemakaian dopamin (
(J
dengan dosis < Sug/kg/menit, cukup menguntungkan, n
walaupun ada peningkatan sensitivitas ibu terhadap �
kathecholamin disirkulasi dengan akibat resiko terjadinya :l
hipertensi. Pernakaian nifedipine juga dicoba untuk �
l
mernperbaiki renal output. Diuretik jangan digunakan l
kecuali bila ada hiperterisi berat, congestive heart failure, ,§
retensi air yang hebat, bila diperlukan efek potensiasi l
(J
dengan obat anti hipertensi. ii
:;;
n
6. Koagulopathi :,
DIC bisa terjadi pada pre-eklampsi yang berat. Pernberian s
trombosit, fresh frozen plasma, sel darah merah sering ,3
diperlukan. Bila ada DIC, regional analgesia merupakan �
kontra indikasi. §
,:;;
:,
Teknik Anestesia n
n
Pada keadaan emergensi yang betul-betul memerlukan :,
operasi yang segera, pengoptimalan keadaan pasien harus c
selalu dijalankan. Perbaikan volume darah, pengendalian ,s

hipertensi, memperbaiki fungsi ginjal, anti konvulsi terapi
akan mempermudah pengelolaan anestesi. Regional
analgesia tidak boleh dilakukan bila jumlah trombosit <
70.000/mm3.
l .a. �pidural Anestesia :
I
Bisa digunakan untuk seksio sesarea pada pasien pre-
eklampsi dengan volume cairan dan pembekuan yang
normal. Dengan regional anestesia terjadi pengurangan
endogenous epinephrin dan norepinephrin, jadi akan
memperbaiki uteroplasental blood flow. Penurunan rasa
sakit dan kecemasan mengurangi gejolak tekanan darah
dan kebutuhan narkotik.
1. b. §pinal anestesia :
Dihubungan dengan hipotensi yang berat dan tiba-tiba
akibat blokade simpatis, yang bisa menyebabkan
penurunan perfusi uteroplasental dan fetal asfiksia.
2. Anestesi Umum :
Mungkin diperlukan untuk seksio sesarea emergensi
dengan fetal distress. Adanya edema jaringan lunak dapat
147
menyebabkan kesulitan saat induksi karena adanya
pembengkakan periglottic. Adanya hipertensi sistemik dan
hipertensi pulmonal mcningkatkan resiko terjadinya stroke
dan edema pulmonari. Dihindari pemakaian ketamin. Bisa
dipakai 0,67 MAC enfluran, halotan, isofluran , sevofluran.
Karena ada sensitasi pelumpuh otot dengan Magnesium,
perlu dipakai monitor nerve stimulator (TOF = Train of Four).
Anestesi umum indikasi untuk seksio sesarea emergensi
karena induksi cepat dan menghindari pelebaran ruangan
intravaskuler akibat blokade simfatis.
Indikasinya:
Hipovolemia yang dihubungkan dengan perdarahan.
Pasien dengan plasenta praevia atau solutio plasenta
akan lebih buruk dengan regional daripada dengan
anestesi umum.
Acut foetal distress: Pada keadaan irn diperlukan
melahirkan bayi dengan segera. Dengan regional anestesi
akan lebih lambat, karena menunggu bekerjanya obat
dan persiapannya.
Obat-obat yang dipakai selama anestesi Umum:
1. ffaO
Sedikit sekali atau hampir tidak mendepresi bayi bila
diberikan dengan minimal 50% 02 dan diberikan dalam
periode < 20 menit. Tidak ada depresi yang nyata pada
bayi, bila diberikan N20 50% sebelum bayi lahir. Untuk
seksio sesarea berikan 02 50- 70%.
2. Halotan
Pada konsentrasi anestesi menyebabkan
atonia uteri dan pendarahan post partum
depresi respirasi pada infant
Halotan jarang sekali digunakan kecuali untuk
manipulasi uterus, supaya dinding uterus menjadi rileks.
Sehingga halotan sebaiknya tidak dipakai untuk seksio
sesarea.
lndikasi pemakaian halotan hanya untuk relaxasi uterus,
misalnya: kontraksi tetanik uterus, versi luar atau versi
dalarn, pelepasan plasenta secara manual, inversi uterus,
Bandl's ring.
148
3. Pcntota.1
Pada dos is s 4 mg/kg tidak menyebabkan depresi pada
infant.
4. Muscle Rel£LXant
Untuk Iasilitas intubasi bisa dipakai succinylcholin,
vekuronium, atracurium, rocuronium, vecuronium. Obat-
obat ini tidak mcncmbus barier plascnta.
5. Pitocin
Obat-obat oxytocics yang paling sering digunakan adalah
syntetik hormon pituitary posterior yaitu oxytocin
(Pitocin) dan ergot alkaloid ergonovine (Ergotrat) dan
methyl ergonovine (methergin).
Oxytocin bekerja pada otot polos uterus untuk
menstimulasi frckuensi dan kekuatan kontraksi. Efek
pada sistim kardiovaskuler adalah penurunan tekanan
sistolik, diastolik, takikardia, aritmia. Pada dosis tinggi,
bisa bekerja sebagai antidiuretik, yang bisa membawa
kearah intoksikasi air, edema serebral, konvuisi bila
diberikan cairan i.v. yang berlebihan.
6. Ergot alkaloids
Dalam dosis kecil meningkatkan kekuatan dan frekuensi
kontraksi uterus, dilanjutkan dengan relaksasi normal
uterus. Pada dosis yang lebih tinggi, kontraksi menjadi
lebih kuat dan lama. Tonus saat istirahat meningkat,
dan terjadi kontaksi tetanic. Efek pada sisurn
kardiovaskuler adalah vasokonstriksi dan hipertensi, •
terutama dengan adanya obat-obatan vasopressor. Bisa
diberikan intramuskuler atau per oral. Suntikan
intravena bisa menimbulkan terjadinya hipertensi,
konvulsi, stroke, kerusakan retina, edema paru.
Ekstubasi:
Pada saat ekstubasi bisa terjadi kenaikan tekanan
darah. Untuk mengatasinya bisa diberikan analgetic
[fentanil), lidokain, MgS04, beta-bloker.
Pengelolaan Pascabedah:
Walaupun terapi untuk pre-eklarnpsi adalah cepat-
cepat melahirkan bayi, tetapi konvulsi masih bisa terjadi 10
149
hari sampai 2 minggu setelah melahirkan. Terapi anti
konvulsi, anti hipertensi rnungkin masih diteruskan bila ada
indikasi. Analgesi pascabedah harus diberikan kareria rasa
sakit akan menaikkan tekanan darah.
Simpulan
Pengelolaan pasien dengan pre-eklampsi berat
merupakan tantangan di klinik. Anestetist harus bekerja
dalam ha! menghilangkan rasa sakit, pengelolaan fungsi
kardiovaskuler, pengendalian balans cairan, fungsi respirasi,
SSP dan organ lain.
Kunci untuk praktek klinik:
Cegah dan terapi konvulsi dengan phenytoin atau MgS04.
Fungsi kardiovaskuler: hati-hati dalam mengganti volume
defisit dan berikan vasodilator {misal: hidralazine) untuk
terapi hipertensi.
Jika tidak ada kontra indikasi, pilihan pertama adalah
epidural anestesia.
Anestesi umum memerlukan:
pengelolaan jalan nafas yang trampil.
• pengendalian tekanan darah saat intubasi dengan
Nitroglyserine atau MgS04/ alfentanyl.
• hati-hati potensiasi dan interaksi obat, terutama
magnesium dan pelemas otot.
• hati-hati pengelolaan pascabedah.
Daftar Pustaka
1. Bisri DY, Bisri T. Anestesi untuk pasien obstetri dengan
risiko tinggi: preeklampsi dan eklampsi. Anestesia & Critical
Care 2007;25(3):303-14
2. Bisri DY, Redjeki IS. Anestesi untuk seksio caesarea pada
pasien superimposed preeclampsi dengan sindroma HELLP.
Anestesia & Critical Care 2007;25(3):291-7
3. Datta S. The Obstetric Anesthesia Handbook, edisi ke-2,
St Louis: Mosby; 1995.
4. Datta S. Anesthetic and Obstetric management of high-
risk pregnancy, edisi ke-3, New York: Springer;2004.
150
5. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-4, USA:
Springer; 2006.
6. Datta S. Obstctri Anesthesia Handbook, edisi ke-3,
Philadelphia: Hanley and Bclfus; 2000.
7. Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetri Anesthesia
Handbook, edisi ke-S. New York: Springer; 2010.
8. Gatt SP. Hypertensive disorders and renal disease in
pregnancy and labor. Textbook of obstetric anesthesia,
USA: Churcill Livingstone; 2000, 541-52
9. Polley LS. Hypertensive Disorders. Dalam: Chestnut DH.
Chestnut's Obstetric Anaesthesia. Principles and practice.
4,11 ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009, 975-1008
10. Wallace DH, Leveno KJ, Cunningham FG. Randomized
comparison of general and regional anesthesia for
cesarean delivery in pregnancy complicated by severe
preeclampsia.Obstet Gynecol 1995;86: 193-99.
I
151
BAB 13
Pcrda rahan preparturn adalah perdarahan yang terjadi
pada trimester ketiga kehamilan, yaitu pada 28 minggu
kehamiian. Perdarahan prepartum terjadi pada sekitar 6'X,
wanita hamil. Ancaman terbesar dari perdarahan prepartum
ini bukan hanya terhadap ibu, akan tetapi juga terhadap
janin. Perdarahan pervaginam selama trimester kedua dan
ketiga dihubungkan dengan angka mortalitas perinatal
sekitar 80%. Data yang terbaru menunjukkan bahwa
perdarahan prepartum akibat plasenta previa atau abrupsi
plasenta bertanggung jawab terhadap angka mortalitas
perinatal sebesar 22°1<, dan 37'Yo.
Plasenta Previa
Plasenta previa adalah perdarahan yang terjadi setelah
kehamilan 28 minggu akibat implantasi plasenta yang tidak
normal menutupi seluruh atau sebagian osium internum.
Insidensi berkisar 0,5% pada kehamilan atau sekitar 1 dari
200 kehamilan.
Faktor resiko terjadinya plasenta previa adalah
rnultiparitas, ibu usia lanjut, riwayat trauma uterus, riwayat
seksio sesarea atau operasi uterus sebelumnya, riwayat • .
plasenta previa sebelumnya, serta plasenta yang besar.
Plasenta dapat mengimplan pada area bekas Iuka
operasi sebelumnya, yang biasanya berada di segmen bawah
uterus. Plasenta dapat secara total menutupi OUI (plasenta
previa sentral atau totalis), atau dapat hanya sebagian
(plasenta previa parsial), atau didekat OUI tanpa melewati
tepinya (plasenta letak rendah atau plasenta marginalis).
Tanda klasik plasenta previa adalah perdarahan
pervaginam yang tidak disertai nyeri pada trimester kedua
dan ketiga kehamilan. Semua parturien dengan perdarahan
pervaginam harus diduga mengalami plasenta previa sampai
dibuktikan tidak. Episode pertama perdarahan biasanya
terjadi preterm, tidak disertai kontraksi, tidak menyebabkan
gawat janin. Perdarahan tersebut biasanya dengan onset
yang tidak berhubungan dengan kejadian apapun dan dapat
terjadi kapan saja namun sering berhenti spontan. Tidak
?'.·.,
, .·
;i.:·a -, ..
-'•·

,.,;; ,-· .•�·--.::·
·,:__-i:.·
.. adanya nyeri abdomen dan kontraksi uterus abnormal
. ·.
mernbantu membedakan plasenta previa dengan solusi�
· ''
·
plasenta, akan tetapi ketiadaan gejala tersebut tidak dapat
menyingkirkan kejadian solusio plasenta. Sekitar 10%
pasien dengan plasenta previa disertai dengan solusio
plascnta sebelumnya.
Pemcriksaan ultrasonografi yang akurat merupakan
pemeriksaan utarna untuk diagnosa pasti plasenta previa.
Pemeriksaan USG abdominal dapat menentukan letak
plasenta dan menegakkan diagnosis. Pemeriksaan dalam
vagina sebaiknya dihindari. Pada beberapa kasus tertentu
bila sangat diperlukan dan dirasa penting, pemeriksaan
dalam vagina dilakukan dengan teknik "double set-up"(vide
infra). Pemeriksaan ini harus dilakukan di kamar operasi
yang dihadiri oleh tim opcrasi seksio sesarea yang terdiri dari
ahli anestesi, ahli kandungan dan ahli anak dan dilengkapi
dengan persiapan peralatan Iengkap untuk operasi seksio
sesarea. Persiapan lengkap tersebut termasuk monitor ibu,
insersi dua jalur intravena, pemberian antasida
nonpartikular, peralatan steril dan drapping pada abdomen.
Ahli kandungan lalu melakukan pemeriksaan dalam vagina
dengan hati-hati. Operasi seksio sesarea dilakukan bila
terjadi perdarahan banyak atau bila ahli kandungan itu
memastikan adanya plasenta previa pada pasien dengan
janin yang sudah matur.
Penatalaksaan berdasarkan derajat perdarahan
pervaginam dan maturitas janin. Terminasi dengan seksio
sesarea dilakukan bila pasien mulai mengalami pembukaan
aktif, tcrjadi perdarahan persisten, janin matur dengan paru
matang, umur kehamilan mencapai 37 minggu, terjadi
perdarahan masif, atau berkembangnya komplikasi
kehamilan lain, misalnya preeklarnpsia.
Patogenesis terjadinya janin berisiko tinggi akibat
plasenta praevia yaitu: (1) pelepasan plasenta progresif atau
spontan yang mengganggu uteroplasenta, dan (2) kelahiran
preterm. Dahulu, operasi seksio sesarea biasanya dilakukan
setelah episode kedua perdarahan yang membutuhkan
transfusi. Saat ini, para dokter ahli bertujuan menunda
operasi seksio sesarea sampai janin benar-benar matur. Bila
pasien dengan plasenta previa dengan usia kehamilan
kurang dari 37 minggu mengalami perdarahan ringan
sampai sedang maka pasien diterapi dengan tirah baring dan
154
diobservasi ketat di rumah sakit 24-48 jam diperbolehkan
pulang bila 1 hari bebas perdarahan. Dilakukan
pemantauan tanda-tanda vital pada ibu dan level
hemoglobin diperiksa secara berkala. Evaluasi janin
termasuk · pertumbuhan pada tcs nonstres atau profil
biofisik. Pemeriksaan ultrasonografi tcrhadap perturnbuhan
janin dan kernatangan paru dilakukan hanya bila
diperlukan. Perdarahan selanjutnya dicegah dengan tirah
baring ketat dan rncnghindari pemeriksaan dalarn vagina
serta koitus. Pasien dengan plasenta letak rendah dapat
dilakukan persalinan pervaginarn, narnun jarang walaupun
perdarahannya ringan.
Para dokter kandungan biasanya rnernberikan
glukokortikoid (rnisalnya betamctason) untuk mempercepat
pematangan paru bila persalinan diramalkan akan terjadi
pada usia kehamilan 28 - 32 rninggu.
Kebanyakan pasien dengan plasenta previa mengalami
persalinan preterm. Olch karena pemeriksaan dalam vagina
untuk memastikan dilatasi serviks dikontraindikasikan,
maka sangatlah sulit untuk memastikan persalinan preterm.
Keputusan untuk melakukan terapi tokolitik juga
sangat dilematis dalam ha! ini. Para dokter ahli kandungan
harus menyeimbangkan konsekuensi kardiovaskuler
potensial akibat terapi tokolitik dengan adanya perdarahan
maternal dengan konsekuensi persalinan preterm. Pada
penelitian retrospektif pada pasien dengan plasenta previa
simptomatis oleh Besingcr et al., mengamati bahwa terapi
tokolitik dihubungkan penundaan persalinan yang signifikan
secara klinis dan peningkatan berat badan lahir bayi, akan •
tetapi terapi ha! tersebut tidak menurunkan frekuensi atau
derajat rekurensi perdarahan pervaginam. Terapi tokolitik
tidak direkomendasikan pada pasien dengan perdarahan
yang tidak terkontrol atau pada pasien yang diduga dengan
solusio plasenta.
Semua pasien dengan perdarahan antepartum
pervaginarn harus diperiksa oleh ahli anestesi. Perhatian
khusus harus diberikan pada jalan napas, dan penilaian
volume intravaskuler. Sedikitnya satu jalur intravena besar
harus dipasang, pemeriksaan hematokrit dan golongan
darah serta pengambilan sampel darah harus dilakukan.
Resusitasi cairan dengan kristaloid atau koloid segera
dilakukan.
155
Pemilihan teknik anestesi bergantung pada indikasi
dan urgensi seksio sesarea dan derajat perdarahan maternal.
Jika pasien stabil, tidak mengalami perdarahan aktif, atau
hipotensi, dan resusitasi cairan sudah diberikan, anestesia
regional lebih dianjurkan. Jika ada perdarahan aktif atau
pasien tidak stabil, maka seksio sesarea segera dilakukan
dibawah anestesi umum. Akan tetapi, beberapa pasien tetap
beresiko tinggi untuk kehilangan darah intra operasi
berdasarkan tiga alasan. Pertama, ahli kandungan dapat
memotong plasenta selama insisi uterus. Kedua, setelah
kelahiran, uterus segmen bawah tempat implantasi plasenta
tidak berkontraksi dengan baik seperti tempat implantasi
dasar yang normal. Ketiga, pasien dengan plasenta previa
beresiko tinggi untuk mengalami plasenta akreta, terutarna
pada pasien dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, sebaiknya dipasang
sedikitnya dua jalur intravena yang besar sebelum memulai
operasi elektif dan emergensi. Penelitian prospektif yang
membandingkan epidural dengan anestesi umum pada
pasien dengan plasenta previa yang menunjukkan bahwa
anestesi umum berhubungan dengan hematokrit post
operasi yang lebih rendah. Lama operasi, perkiraan
kehilangan darah, produksi urine dan Skor APGAR neonatus
sama diantara kedua kelompok tersebut. Anestesi spinal
injeksi tunggal bisa dilakukan pada kelompok pasien ini,
yang beresiko rendah terjadinya plasenta akreta.
Oleh karena minimnya waktu bagi ahli anestesi untuk
mengevaluasi pasien dengan plasenta previa yang tiba di
rumah sakit dengan perdarahan, maka evaluasi pasien,
resusitasi, persiapan untuk operasi seksio sesarea haruslah
dilakukan secara simultan. Oleh karena plasenta merupakan
penyebab utama perdarahan, maka perdarahan akan tetap
berlangsung sampai plasenta lahir dan uterus mulai
berkontraksi.
Teknik Rapid-sequence induction pada anestesi umum
adalah teknik pilihan pada pasien dengan perdarahan.
Pilihan obat untuk induksi anestesi tergantung pada
kestabilan keadaan kardiovaskuler pasien. Pada pasien
dengan syok hipovolemik, intubasi memerlukan pelumpuh
otot. Pada pasien dengan perdarahan banyak dan masih
terus berlangsung, sebaiknya menghindari penggunaan
tiopental sodium dan propofol. Ketamin dan etomidat adalah
156
agen induk si anestesi yang terbaik untuk pasien dengan (./)
perdarahan. Ketamin (dosis 0,5 - l mg/kg) memiliki angka m
@
efikasi da n keamanan yang baik pada pr aktek anestesi
0
obstetri. 1--!alusinasi dan rnimpi buruk pasca operasi jarang (./)
m
terjadi pada dosis yang tidak lebih dari lmg/kgbb. Etomidat
merupakan alternatif lain dari ketarnin dan relatif arnan �
::0
pada pasien obstetri. Sebaiknya dosis etomidat dikurangi s
dari dosis induksi biasa (0,3 mg/kg) bila akan digunakan �
sebagai obat induksi pada pasien dengn perdarahan hebat. �
Untuk pemeliharaan anestesi, agen pilihan bergantung
pada stabilitas kardiovaskuler. Pada pasien dcngan �
iii
perdarahan minimal tanpa adanya gawat janin, dapat z
-u
diberikan 50% nitrous oxide dan 50% oksigen dengan gas m
::0
anestesi dengan konsentrasi rendah untuk mencegah pasien

bangun. Konsentrasi nitrous oksida dapat dikurangi atau
tidak digunakan bila terdapat gawat janin. Oksitosin (20 �
:z:
)>
U / L) harus diinfuskan kepada pasien setelah bayi lahir. z
Segmen bawah uterus tempat plasenta berimplant tidak "O
::0
berkontraksi dengan baik sebaik kontraksi fundus uterus. m
Semua relaksan uterus harus dihentikan bila perdarahan �
tetap berlanjut. Demikian pula gas anestesi harus �
c
dihentikan bila bayi telah lahir dan diganti dengan nitrous s:
oksida 70% dan opioid intravena dosis kecil yang tidak
mendepresi fungsi kardiovaskuler.
Bila plasenta tidak dapat terpisah dengan mudah,
kemungkinan terjadi plasenta akreta, pada kasus ini, terjadi
perdarahan masif dan perlu dilakukan histerektomi segera.
Monitoring hemodinamik invasif diperlukan pada pasien
dengan tekanan darah yang tidak stabil dan pada pasien •
yang membutuhkan pemeriksaan hematokrit dan analisa gas
darah secara berkala.
Histerektomi uterus setelah bayi lahir biasanya
diperlukan untuk mengontrol perdarahan yang hebat setelah
terlepasnya plasenta. Koagulopati sering terjadi dan
membutuhkan koreksi dengan komponen-komponen darah.
Solutio Plasenta
Abrupsi atau solusio plasenta didefinisikan sebagai
pemisahan plasenta dari lapisan desidua basalis sebelum
lahirnya bayi. Perdarahan akut terjadi akibat robeknya
pembuluh darah desidual yang menyebabkan terjadinya
pelepasan plasenta.
157
Pelepasun µ1 euiutur plasenta 11u1 rnal merupakan
komplikasi kehamilan yang terjadi sekitar 1-2°/i, kehamilan,
dan diduga sering menyebabkan gawat janin dan kematian
janin intrapartum, akibat hilangnya pertukaran oksigen
antara ibu dan anak. Solusio plasenta juga dihubungkan
dengan Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT) dan malformasi
janin, yang menandakan adanya proses patologis plasenta
yang melibatkan baik ibu rnaupun janinnya.
Perdarahan sampai ke lapisan dasar desidua
menyebabkan pelepasan plasenta. Luasnya hematorna akan
mernpercepat proses pemisahan plasenta. Darah biasanya
meluas sampai ke miometrium (uterus Couvelaire).
Kebanyakan solusio sifatnya ringan (derajat I) tapi solusio
yang berat (derajat III) mencapai 25%.
Faktor risiko antara lain: hipertensi, usia tua, trauma,
tali pusat pendek, multiparitas, pecandu alkohol, pengguna
kokain, uterus abnormal dan riwayat solusio plasenta
sebelumnya.
Gambaran klasik berupa perdarahan pervaginam,
lunaknya uterus dan meningkatnya kontraksi uterus yang
disertai nyeri. Jumlah perdarahan pervaginam yang terlihat
dapat membuat kita meremehkan defisit volume
intravaskuler yang sebenarnya terjadi di uterus, terutama
pada hematom retroplasenta yang besar. Pada situasi
tersebut perdarahan uterus dapat mencapai 2500 ml.
Diagnosis ditegakkan dengan menyingkirkan
kemungkinan plasenta previa melalui ultrasound abdominal.
Pemeriksaan ultrasound juga dapat membantu
memperkirakan umur kehamilan dan memperkirakan lokasi
plasenta.
Komplikasi mayor dari solusio plasenta adalah syok
hemoragik, gagal ginjal akut, koagulopati dan gawat janin.
Solusio plasenta juga merupakan penyebab tersering
terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC) pada
kehamilan.
Solusio plasenta berat dapat menyebabkan koagulopati,
yaitu sekitar 10% dari seluruh kasus solusio plasenta.
Insidens koagulopati meningkat bila terdapat gawat janin
atau kematian janin. Kadar fibrinogen sedikit menurun (150-
250 mg/ dL) dengan solusio sedang tapi dengan cepat
berkurang dari 150 mg/ dL akibat kematian janin.
Koagulopati diduga terjadi akibat aktivasi plasminogen
sirkulasi (fibrinolieis] dan pclcpasan troruboplasrin jaringan CJ)
yang mcmprcsipitasi berkurangnya faktor V clan Vlll, serta m
:;:,;:
CJ)
peningkatan penghancurnn fibrin.
5
Oksigenasi janin bergantung pada adekuatnya (/)
kapasitas angkutan oksigen maternal, aliran darah m
CJ)
uteroplasenta dan pertukaran transplasenta. Perdarahan �
::0
maternal yang banyak menyebabkan hipotensi maternal, s
menurunkan aliran darah uterus dan menurunkan �
kapasitas angkutan oksigen maternal. Solusio juga �
menyebabkan penurunan permukaan plasenta yang tersedia
untuk pertukaran oksigen. �
iii
Prematuritas sangat berhubungan dengan morbiditas .,,mz
dan mortalitas perinatal. Solusio plasenta ringan dapat
::0
menyebabkan kontraksi terus dan akhirnya menyebabkan

pemisahan plaserrta yang lebih besar. Pada beberapa kasus ::0

tanpa tanda-tanda gawat janin mungkin perlu untuk :::c

menghambat kontraksi uterus. Sindrom depresi napas z
merupakan kornplikasi neonatus yang terjadi scbanyak .SO 'Yc. '"CJ
::0
dari persalinan dengan solusio plasenta. lnsidens janin m
dengan kecil masa kehamilan juga meningkat dengan �
::0
adanya solusio plasenta. Hal tersebut menandakan adanya -I
c
proses patologis yang berlangsung lama. s:
Komplikasi mortalitas perinatal akibat solusio plasenta
sekitar 34%. Lokasi dan besarnya jumlah perdarahan yang
terdeteksi melalui sonografi sangat berpengaruh secara
klinis. Tingkat mortalitas perinatal meningkat menjadi 50%
atau lebih pada kasus solusio plasenta dengan perdarahan
.etroplasenta yang besar, sedangkan solusio subkorion
:lengan jumlah perdarahan yang sama memiliki 10% tingkat •
nortalitas.
Solusio ringan sampai sedang dapat diatasi dengan
oersalinan pervaginam jika janin telah berusia 37 minggu,
.api seksio sesarea emergensi diharuskan saat ada tanda-
anda gawat janin. Faktor yang diperhatikan dalam memilih
mtara anestesi regional atau umum adalah tingkat
cedaruratan persalinan, kestabilan hemodinamik pasien,
Ian adanya koagulopati.
Ahli anestesi harus menilai derajat solusio dan urgensi
iersalinan. Pasien yang mendapat induksi persalinan dapat
liepidural bila hasil pemeriksaan faktor koagulasi normal
lan tidak ada penurunan volume intavaskuler.
I <;Q
Pada kebanyakan kasus dimana terjadi gawat janin
akut atau solusio plasenta berat, rnaka lebih baik dilakukan
anestesi umurn. Tiopental sodium dapat menyebabkan
terjadinya hipotensi berat disertai hipovolemi yang tak
terdeteksi. Ketamin dan ctomidat merupakan pilihan yang
baik untuk pasien dengan penurunan volume intravaskulcr
yang tidak diketahui atau telah diketahui sebelumnya.
Kctamin dosis besar dapat meningkatkan tonus uterus yang
akan mempcrberat keadaan janin. Hal tersebut tidak terjadi
pada pemberian dosis tunggal lmg/kg bb untuk induksi
anestesi. Hipotensi berat setelah pemberian tiopental sodium
lebih berbahaya dibandingkan dengan kemungkinan
peningkatan tonus uterus setelah pemberian ketamin dosis
tunggal.
Resusitasi cairan secara agresif sangat penting
dilakukan. Kedua jenis cairan, baik kristaloid maupun koloid
dapat digunakan. Pemilihan jenis cairan tidaklah terlalu
penting bila dibandingkan dengan restorasi adekuat volume
intravaskuler. Pada kasus perdarahan hebat, penanganan
resusitasi dilakukan dengan memasang kateter vena sentral
dan kateter arteri, bila diduga atau terbukti terdapat
koagulopati maka kateter vena sentral dapat dipasang di
vena antecubiti.
Pasien tersebut berada pada resiko perdarahan
persisten akibat atoni uteri atau koagulopati. Setelah
kelahiran bayi, oksitosin (20 U / L) harus diinfuskan untuk
menstimulasi kontraksi uterus. Pada kasus dengan
koagulopati, pemberian faktor pembekuan harus
dipertimbangkan.
Kebanyakan pasien dengan solusio plasenta dapat
sembuh dan membaik dengan cepat setelah persalinan,
namun sebagian kecil pasien dapat terjadi hipotensi lama,
koagulopati. Transfusi darah/produk darah masif sebaiknya
dirawat dengan pengawasan monitor di unit perawatan
intensif.
Ruptur Uteri
Ruptur pada uterus yang berisi janin sangat berbahaya
baik bagi ibu maupun bagi janin. Ruptur uteri relatif jarang
terjadi 1: 1000-3000 persalinan, terjadinya ruptur selama
kehamilan sebagai akibat: (1) dehisensi skar pada seksio
sesarea klasik sebelumnya, miomektomi luas, atau
reknnstn1k:-:i uterus: (2) manipulasi intrauterine atau
penggunaan forscps: atau (3) ruptur spontan setelah
persalinan yang lama pada pasien dengan kontraksi
hipertonik khususnya bila diinfus oksitosin, disproporsi
fetopelvik, atau pada uterus yang sangat besar, tipis dan
lemah.
r- Kondisi-kondisi yang Dihubungkan dengan Kejadian Ruptur
Uteri
-1
Trauma uterus sebelurnnya
Trauma
Trauma Tidak langsung
Trauma tumpul (misalnya trauma akibat sabuk pengaman)
Tekanan manual pada fundus yang berlebihan
Penambahan lacerasi serviks
• Trauma langsung
Luka tusuk
Manipulasi intra uterin
Aplikasi dan rotasi forceps
Ekstraksi plasenta manual
Ekstraksi dan versi
Versi luar
Penggunaan oksitosin dan/atau prostaglandin yang berlebihan
Kehamilan multipara
Anomali uterus
Plasenta perkreta
Tumor ( penyakit trofoblas, karsinoma serviks)
Masalah pada janin ( Makrosomia, letak sun san , anomali
Oleh karena variasi gejala klinis dan derajat ruptur,
maka penilaian morbiditas maternal dan janin akibat ruptur •
uteri sangatlah sulit dilakukan. Varietas disrupsi uterus
yang paling sering terjadi adalah Iuka yang terbuka atau
dehisiensi. Dehisiensi Iuka pada uterus adalah defek pada
dinding uterus yang tidak menyebabkan gawat janin atau
perdarahan hebat dan tidak membutuhkan penanganan
seksio sesarea emergensi ataupun laparatomi postpartum.
Sebaliknya, ruptur uteri adalah defek pada dinding uterus
yang menyebabkan gawat janin dan/atau perdarahan
maternal yang membutuhkan operasi seksio sesarea segera
atau laparatomi postpartum.
Ruptur bekas Iuka klasik uterus meningkatkan
morbiditas dan mortalitas oleh karena dinding uterus bagian
anterior memiliki banyak vaskularisasi dan juga termasuk
161
area implantasi plasenta. Bagian lateral dari ruptur tersebut
dapat mengenai pembuluh darah besar uterus dan biasanya
menyebabkan perdarahan hebat. Paluche dkk., meneliti 23
kasus ruptur uterus katastrofi; dan mereka mericatat tidak
ada satupun kematian ibu tetapi angka kematian bayi
mencapai 35%. Laporan dari Amerika Serikat sebelumnya
hanya menyebutkan hanya satu kematian ibu akibat ruptur
uteri.
Ruptur uteri dicurigai bila didapatkan adanya
perdarahan pervaginam yang jelas atau adanya hipotensi
akibat perdarahan abdomen tersembunyi, atau adanya
tanda-tanda gawat janin. Dahulu, para ahli kandungan
menganggap nyeri abdomen sebagai gejala khas dari ruptur
uterus, namun saat gawat janin merupakan gejala khas yang
paling baik dari dehisiensi bekas Iuka uterus ataupun ruptur
uterus.
Pasien tanpa bekas luka pada uterus sebelumnya,
ruptur uteri sangat jarang terjadi. Faktor resiko terjadinya
ruptur uteri ditemukan pada pasien kehamilan multipara,
letak sungsang dan pemberian oksitosin dan/ a tau
prostaglandin. Diagnosis tersebut dipastikan dengan
eksplorasi manual uterus selama laparatomi.
Pilihan penanganan ruptur uteri diantaranya
penjahitan uterus, ligasi arteri dan histerektomi. Penjahitan
uterus adalah pilihan pada kebanyakan kasus, akan tetapi,
resiko terjadinya ruptur uteri pada persalinan selanjutnya
tetap ada. Kekurangan dari ligasi arteri adalah bahwa ligasi
arteri tidak dapat mengontrol perdarahan dan dapat
menunda dilakukannya perawatan definitif selanjutnya.
Histerektomi merupakan prosedur definitif pilihan pada
kebanyakan kasus ruptur uteri. Pasien dengan ruptur uteri
tanpa bekas Iuka uterus sebelumnya cendenrung
membutuhkan transfusi darah dibandingkan dengan pasien
ruptur uteri dengan bekas luka uterus sebelumnya. Hal ini
disebabkan karena lapisan fibrosa pada Iuka bekas operasi
mengalami perdarahan minimal bila dibandingkan dengan
lapisan uterus intak yang baru pertama kali mengalami
trauma.
Evaluasi dan resusitasi dilakukan saat pasien mulai
disiapkan untuk operasi laparatomi darurat. Penggantian
volume cairan sesuai dengan estimasi perdarahan,
monitoring hemodinamik harus dilakukan dengan ketat.
162
Monitoring hemodinamik invasif perlu diberikan bila status (/)
volume intravaskuler tidak bisa dipastikan. Anestesi urnum m
;:,;:;
(/)
merupakan pilihan yang tepat, kecuali pada pasien yang
5
stabil atau telah dipasang anestesi epidural sebelumnya. (/)
m
Meskipun anestcsi epidural dilakukan untuk
persalinan, ruptur uteri sering mempcrccpat onset nyeri �
:::0
abdominal dan hipotensi. Untuk itu, agen anestesi lokal s
dengan konsentrasi rendah untuk anestcsi epidural pada
awal persalinan dapat digunakan. Ligasi arteri iliaka interna i
(hipogastrik) dengan atau tanpa histerektomi mungkin
diperlukan untuk mcngontrol perdarahan intraoperatif. �
iii
z
"'C
Vasa Previa m
:::0
Vasa previa merupakan insersi vilamentosa tali pusat

dimana pembuluh darah janin melewati selaput membran

janin. Ruptur rnembran dapat menyebabkan robekan
pembuluh darah janin, yang pada akhirnya akan
$
z
,:
menyebabkan kematian janin. ::t
Vasa previa jarang terjadi, 1 dari 2000-3000 kelahiran. rr
Vasa previa tidak berbahaya bagi ibu, akan tetapi �
::t
menyebabkan kehilangan darah pada janin. Vasa previa c
merupakan satu dari penyebab kematian terbanyak pada :s:
bayi (50-75%) dari semua komplikasi kehamilan. Jumlah
darah janin sekitar 250 ml, sehingga jumlah perdarahan
lebih sedikit pada vasa previa dibandingkan dcngan volume
perdarahan pada ibu dengan plasenta previa atau solusio
plasenta yang menyebabkan kematian janin, sehingga. I
kombinasi perdarahan pervaginam dengan gawat janin
harus dicurigai vasa previa. Pada beberapa kasus dengan
janin yang lahir dengan selamat, seksio sesarea darurat
dilakukan karena kesalahan diagnosa plasenta previa
maupun solusio plasenta.
Diagnosa dan perawatan dini vasa previa sangat
penting untuk mengurangi kemungkinan kematian janin.
Sayangnya, diagnosa vasa previa sering ditegakkan saat
pemeriksaan plasenta setelah kelahiran bayi. Sangat
diperlukan ketelitian tinggi dan dibutuhkan pengenalan
berbagai macam gejala klinis adanya vasa previa, antara
lain: (1) vasa previa sering terjadi pada kehamilan multipel,
biasanya pada kehamilan triplet; (2) pembuluh darah
umbilikal tidak selalu melintasi pembukaan servikal; (3)
perdarahan biasanya tidak muncul, akan tetapi pembuluh
163
darah mungkin tertekan diantara pelvis ibu dan kepala
janin, yang akhirnya menyebabkan hipoksia; (4) perdarahan
dapat terjadi dengan ketuban yang utuh ataupun robek; (5)
perdarahan dapat terjadi lama setelah ketuban pecah; da n
(6) pembuluh c!arah janin dapat diamati dan dipalpasi
melalui dilatasi cerviks. Pada beberapa kasus pembuluh
darah janin dapat terlihat pada pemeriksaan ultrasound
atau amnioskopi.
Sangat sulit untuk membedakan vasa previa dengan
solusio plasenta. Adanya perdarahan janin dapat dipastikan
dengan pemeriksaan apusan darah tepi untuk membuktikan
hemoglobin janin (tes Klcihauer-Betke) atau sel darah merah
ternukleasi.
Penatalaksanaan vasa previa secara langsung
bertujuan untuk memastikan keselamatan bayi. Ruptur vasa
previa adalah keadaan darurat obstetri yang membutuhkan
persalinan cepat, hampir selalu dengan seksio sesarea.
Resusitasi neonatal membutuhkan perhatian dini pada
penggantian cairan tubuh neonatus. Pertama-tama, dokter
ahli dapat mentransfusi kembali sejumlah darah dari janin
itu sendiri melalui pembuluh darah uteroplasenta yang
mengandung heparin. Penggantian cairan tubuh neonatus
yang adekuat juga membutuhkan cairan kristaloid ataupun
koloid. Pemilihan teknik nestesi tergantung pada urgensi
seksio sesarea.
Daftar Pustaka
1. Ananth CV, Getahun D, Peltier MR, et al. Placental
abruption in term and preterm gestations: evidence for
heterogeneity in clinical pathways. Obstet Gynecol.
2006; 107:785-92.
2. Cunningham, F Gary at al. William obstetric 21th edition.
United States of America: the mcGraw hill companies ;
2001. p. 846-57
3. Clark SL. Placenta previa and abruption placentae.
Dalam: Creasy RK, Resnik R,editors. Maternal fetal
medicine. Philadelpia, PA: WB Saunders Company; 2004.
P.715-7.
4. Faiz AS. Ananth CV. Etiology and risk factors for placenta (J)
previa: an overview and rnetaanalysis of observational m
;,;:
(J)
studies. J Matern Fetal Neonatal Med. 2003; 13(3): 175-90.
5
(J)
5. Gargano JW, Holzman CB, Senagore PK, et al. Evidence m
of placental haemorrhage and preterm delivery. BJOG. �
:0
2010;117:445-55. s
6. Hasegawa J, Matsuoka R, lchizuka K, Sckizawa A, Okai �
T. Velamentcus cord insertion: significance of prenatal §;
detection to predict perinatal complications. Taiwan J
Obstet Gynccol 45 (1):21-5. �
m
z
7. McShane PM, Heyl PS, Epstein MF. Maternal and "O
m
perinatal morbidity resulting placenta previa.Obstet ::0
Gynecol. 1985;65(2): 176-82.
o
)>
8. Oppenheimer LW, Farine D. A new classification of �
:x:
)>
placenta previa: measuring progress in obstetrics. Am J z
obstet Gynecol. 2009;201(3):227-9. "O
:0
m
9. Oyelese Y, Smulian JC. Placenta previa, placenta acreta, �
and vasa previa. Obstet Gynecol.2006; 107(4):927-41. �
c
10. Oyelese KO, Turner M, Lees CC, Campbell S. Vasa previa: s::
an avoidable RK, Resnik R, editors. Obstetric tragedy.
Obstet Gynecol Surv. 1999;54: 138-45.
11. Pent D. Vasa previa. Am J Ob stet Gynecol.
1979; 134(2): 151-5.
12. Williams MA, Lieberman E, Mittendorf R, et al. Risk
factors for abruptio placentae. Am J •
Epidemiol. 1991; 134: 965-72.
165
BAH 14
·s�ksit> · ses�r·e-� : pi,t'�·:-p��ie:11:ii6�;16i·;·:!.;_.,·: �-
·Ery Leksana, Yusmein Uyµn: -:··_·_ ·.-. · ,-·__ .: .·",·.· .,· ._:_
- \,,• _.,. , . . - ' -�
) ',
:',. · ·.· '. �-
- �- ': : , '•.' _..: •,', : . :� ' . _: .' , · ... - : ,.. -,.' ·. .: .. -· _·
Obesitas merupakan kehamilan dengan risiko tinggi
yaitu kondisi dimana maternal, fetus, atau keduanya
mendapatkan kemungkinan risiko komplikasi yang tinggi
selarna dan setelah kehamilan dan persalinan.
Obesitas
Obesitas adalah gangguan kompleks dan unik akibat
penumpukan lemak berlebihan diseluruh tubuh,
dihubungkan dengan herediter, genetik, neuronal, hormonal
dan komponen psikososial. Perubahan patofisiologis ini akan
mengakibatkan risiko tinggi pada maternal, fetus,
pembedahan yang pada akhirnya meningkatkan morbiditas
dan mortalitas.
Perubahan Patofisiologis Obesitas
1. Paru akan menyebabkan Picunkian syndrome.
2. Kardiovaskuler menyebabkan hipertensi, hipertropi
ventrikel kiri.
3. Saluran cerna: Hiatal hernia.
4. Endokrin dengan DM tipe 2.
5. Koagulasi dapat meningkatan insiden Deep Vein
Thrombosis.
6. Hepar terjadi Fatty liver.
Klasifikasi Obesitas:
I
1. Obesitas kelas 1: BMI 30 - 34,9 kgj'm?
2. Obesitas kelas 2: BMI 35 - 39,9 kg/m2
3. Obesitas kelas 3 (Morbid Obese) bila BMI ?: 40 kg/rn>
Risiko Obesitas dalam Kehamilan
A. Maternal
1. Abortus spontan dan rekuren pada trimester I
2. Mortalitas maternal atau morbiditas berat
3.
Penyakit Kardiak
4.
Preeklampsia
5. Thromboembolism
6. Seksio sesarea
7. Infeksi post seksio sesarea
8. Perdarahan postpartum
167
9. Low breastfeeding rates.
10. Disfungsi persalinan
11. Diabetes Kehamilan
B. Fetus:
l. Lahir mati dan kematian neonatus
2. Abnormal kongenital
3. Prematur.
Manajemen Obesitas
Prenatal.
Penanganan pasien obesitas harus dimulai Prenatal
test, USG, karena risiko tinggi dengan potensial problem
meningkat. Diperlukan hospitalisasi secara dini dengan
melibatkan multidisiplin seperti ahli obsgyn, ahli anestesi,
ahli penyakit dalam, ahli penyakit jantung dan lain-lain.
Mungkin dapat dilakukan Bariatric surgery untuk
menurunkan risiko selama kehamilan dan persalinan.
Merencanakan metode persalinan apakah persalinan
pervagina atau persalinan lewat SC.
Preparasi untuk analgesia dan anestesia
Preparasi untuk pasien melakukan assesmen yang teliti
seperti BM, termasuk kondisi komorbid. Jalur intravena
dipasang dini dan memberikan medikasi dan membuat
perencanaan untuk memulai pemberian analgesia regional
dan kemungkinan dilanjutkan dengan anestesia regional.
Preparasi instrumen meliputi meja operasi (electric bed)
luas, kursi roda (wheelchairs) penggerek (hoists), slide sheet
dan gaun yang besar (large gown). Mempersiapkan tim
operasi yang terdiri operator, dokter anestesi, perawat
terlatih. Untuk pengukuran tanda vital, dipilih Wide blood
pressure cuffs. Mungkin diperlukan monitoring noninvasif/
kateter intra arteri. Large compression stocking untuk
antisipasi kemungkinan Deep Vein Thrombosis (DVT). Pulse
oxymetri dan jarum spinal/ epidural panjang.
Analgesi pada kehamilan dan persalinan
Pilihan pertama analgesi pada obesitas adalah
analgesia regional dengan alternatif adalah analgesia melalui
intravena, intramuskuler dan inhalasi.
Analgesia regional yang digunakan adalah epidural
lumbal analgesia (ELA), walking epidural lumbal analgesia
168
[WELA) atau scknrnng lazirn dikenal combined spinot epidural
[CSE) dan intra labour analgesia (ILA). ILA adalah pilihan
analgesia yang praktis dan efektif. Pada ELA risiko tinggi
displaced kateter epidural, dural tap, level blok tidak dapat (/)
dipcrkirakan dan r isiko tinggi kelahiran dengan m
;:,;;
(/)
ncnggunakan inst rumen scpcrti vak urn atau Iorscp dan
cernungkinan pcrsalinan dengan SC. Monitoring dengan
5
(/)
.iltra sonography (USG) dan fetal heart rate mengurangi m
·isiko pada maternal dan fetus. �
Analgesia intravena, intrarnuskuler, inhalasi dapat �
:lilakukan dengan Patient Controlled Analgesia (PCA) intra
rcna menggunakan opioid short acting (Remifentanil). Untuk �
ntramuskuler dapat digunakan opioid. Analgesia inhalasi �
"CJ
nenggunakan Entonox (SO'X, nitrous oksida dan 50'% )>
(/)
iksigen). iii
z
0
\.nestesia pada SC OJ
m
(/)
Pilihan anestesi pada obesitas adalah anestesi regional
itau anestesi umum.
Anestesi regional epidural merupakan tekriik terpilih �
lengan kateter insitu yang bisa sebagai anestesi selama SC
Ian analgesia post SC karena durasi panjang, memperbaiki
;angguan fungsi kardiovaskuler, walaupun secara teknis
ulit.
Ancstesi spinal mempunyai onset cepat, durasi pendek,
etapi secara teknik lcbih sulit dan ketinggian blok susah
liprediksi.
Profilaksis aspirasi secara agresif dengan medikasi: 30
nl larutan Sodium Sitrat, H2 bloker, metoklopramid.
supivakain 0,5% isobarik (epidural) dan bupivakain 0,5% •
.iperbarik merupakan excelent choice.
Ramped position, pemindahan uterus kekiri tanpa
.iemandang teknik anestesi dan menggunakan Folded
-lanket.
Anestesi Umum merupakan pilihan kedua, bila anestesi
egional gagal. Pada anestesi umum ada tantangan jalan
afas dan breathing, gaga! intubasi (1 : 200), regurgitasi dan
spirasi, mudah terjadi hipoksemia dan hipoksia karena
'unqsional Residual Capacity (FRC) menurun dan
eningkatan konsumsi oksigen sehingga terjadinya
esaturasi sangat cepat. Untuk mengatasi kesulitan dalam
ielakukan anestesi umum maka perlu dipersiapkan
eralatan untuk sulit intubasi seperti bogie, stilet,
rringoskop, fibre optic.
169
Teknik melakukan anestesi umum adalah melakukan
profilaksis secara agresif dengan medikasi, peoksigenasi atau
denitrogenisasi selama 3 menit dengan tidal volume (TV) atau
deep breathing (DB) sebanyak 4 - 6 kali. Melakukan rapid
sequence induction (RSI), cricoid presure dan yang paling
penting adalah posisi pasien dengan Ramped position, left
lateral decubitus. Medikasi digunakan tiopental,
suksamethonium untuk intubasi. Post intubasi diberikan
positive end expiratory pressure (PEEP) dan posisi kepala
head up.
Medikasi post operatif dapat digunakan analgesia post
operatif seperti parasetamol, NSAID, opioid adekuat,
mobilisasi dan infiltrasi Iuka operasi, blok ilia-inguinal
bilateral atau blok TAP. Ekstubasi: sadar, posisi duduk.
Penanganan post operatif sebaiknya di PACU, CPAP, fisio
terapi, terapi oksigen, mobilisasi secepat mungkin.
Simpulan
Obesitas adalah kehamilan resiko tinggi baik pada
maternal maupun pada fetus. Perlu deteksi dini dan
persiapan untuk antisipasi persalinan apakah pervaginam
atau SC. Seksio sesarea merupakan tindakan beresiko tinggi.
Daftar Pustaka
1. Department of Anaesthetics Royal Hospital for Women
Sydney. Anaesthesia for the obese parturient. Obesity
magazine 2008; 10 (4).
2. Nielsen KC, Guller U, Susan M, Steele, Stephen M, Klein,
Roy A, Greengrass, Pietrobon R. Influence of obesity on
surgical regional anesthesia in the ambulatory setting: An
analysis of9,038 Block. Anesthesiology 2005; 102:181-7
3. Phillips J, Henderson J. Delivery and postpartum
concerns in the obese gravida. OBG Management 2009;21
(2).
4. Sugiyama T, Watanabe H, Takimoto H, Fukuoka H,
Yoshiike N, Sagawa N. Management of obesity in
pregnancy. Current Women's Health Reviews 2009; 5,
220-224.
5. Rodrigues FR, Brandao MJN. Regional anesthesia for
cesarean section in obese pregnant women: A
Retrospective Study. Rev Bras Anestesiol 2011; 61(1): 13-
20.
170
Df\.D 1:,
Seksi·� S��a�tia p�:da)>�;i�1r:��nt·�'1t1�';,· · :. :_./:_: ·. · :.�-:·
usmein Aclisanuddin.Hanafie· .' /: .·./ <- .:. ·. :. · .--, · · ·.__ .· .· :·
:" ..... ' ·.· .. '.. ..... _··:.-- .� ..
�: --�-:·�- /::'_:_. . ::_�·· --.- ��-·.· _·::,�_::··_·,."_:_:_·.-:.:,__
.. Uyu.n; ,.·.- -: .-'�·:
Gemelli pada anteparturn dan post part urn adalah
kehamilan mutipel. Merupakan resiko tinggi pada maternal
dan fetus sehingga menycbabkan peningkatan morbiditas
dan mortalitas, kelahiran prematur intrauterine growth
restriction (IUGR) dan anomali kongenital. Perlu monitoring
ketat dan follow up selama kehamilan dan perencanaan
persalinan.
Patofisiologi
Gemelli terjadi akibat fertilisasi dua ovum atau
pembelahan satu ovum menjadi dua fetus. Klasifikasi gemelli
adalah:
1. Monozigot adalah gemelli dari satu ovum dengan
pembelahan identik (4 dari 1000 a tau 1 / 3 dari gemelli).
2. Dizigot adalah gemelli dari dua ovum dengan pembelahan
tidak identik (2/3 dari gemelli) yang mengakibatkan
peningkatan FSH dan LH.
Plasentasi
Plasentasi penting diketahui untuk manajemen
kehamilan yang sesuai. Plasentasi diklasifikasikan sebagai
berikut;
1. Dikorionik - Diamniotik adalah dua plasenta dan dua
amnion.
2. Monokorionik-Diamniotik adalah satu plasenta dan dua
amnion. Insidensinya 20'% dapat mengakibatkan Twin
Tronfusion Syndrome.
3. Monokorionik - Monoamniotik adalah satu plasenta dan


satu amnion. Pada kondisi sering terjadi conjoining atau
cord entanglement.
Diagnosis
Yang paling penting pada gemelli adalah penegakan
iiagnosis dini, dengan;
l. Pemeriksaan klinis, riwayat keluarga, palpasi uterus
lebih besar, teraba banyak bagian-bagian fetus, dan
auskultasi bunyi jantung fetus.
!. Tes biokimia dari pemeriksaan HCG, alfa fetoprotein
untuk deteksi neural tube dan defek lainnya).
I. USG dan radiologi untuk menentukan plasentasi.
Penentuan Plasenta
Penentuan plasenta adalah menentukan plasenta
apakah satu atau dua plasenta. Jenis kelamin dapat dilihat
dan biasanya pada dua plasenta jenis kelamin berbeda.
Selain itu dapat ditentukan tebal tipisnya membran.
Biasanya membran yang tebal ditemui pada dua plasenta
dan dua amnion. Postpartum dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan histologis plasenta.
Manajemen Gemelli
Antepartum treatment
Pada antepartum dilakukan Early ultrasonografi untuk
menilai plasenta. Dibutuhkan medikasi dan kebutuhan
nutrisi dengan asupan 300 kcal, asam folat 1 mg dan Fe 60
mg. Pemeriksaan alfa-fetoprotein untuk menentukan neural
tube defect (NTD). Pada gemelli alfa-fetoprotein meningkat
2x lipat.
Pencegahan persalinan prematur dengan menggunakan
tocolysis, steroid. Melakukan skrining diabetes dan menilai
pertumbuhan fetus dengan serial USG, Antepartum testing
yaitu non-stress testing atau biophysical profile.
Persalinan
Manajemen yang penting pada waktu persalinan adalah
usia kehamilan. Semakin tinggi usia kehamilan mortalitas
rendah, misal kehamilan 38 minggu.
Model persalinan:
1. Pervaginam; presentasi kepala/kepala atau vertex/vertex
pada kedua fetus. Insidensi 40%.
2. Pervaginam atau SC pada presentasi vertex/non vertex.
Insidensinya 26%, Pilihan persalinan pervaginam atau Sc
tergantung estimated fetal weights (EFW).
Pervaginam dengan dilakukan manuver versi kepala
eksternal atau ekstraksi bokong jika EFW kedua fetus >
1500 g dan < 20% discordance. Jika EFW salah satu fetus
1500 g atau > 20% discordance (non vertex > vertex),
manuver versi kepala eksternal bisa dicoba. Tapi bila
versi gaga! dilakukan SC.
3. SC bila presentasi non vertex/vertex dan non vertex/non
vertex.
4. SC bila fetus lebih dari dua seperti triplet atau lebih.
17?.
Manajemen Anestesi
Pilihan ancstesi sarna dengan SC pada kasus lainnya.
Sebaiknya dilakukan pemasangan analgesia epidural baik
persalinan maupun SC. Paling penting adalah monitoring CJ>
'eta! elektronik kontinyu selarna SC dirnana akan kesulitan m
;;,;;
Cl)
Ialam mclahirkan bayi dan banyaknya cairan amnion pcrlu
antisipasi komplikasi selama SC. Post operatif monitoring 6
CJ>
cemungkinan perdarahan, maka dipertimbangkan m
(J)
)>
oenggunaan prostaglandin dan oksitosin. ::u
rn
)>
{omplikasi

Komplikasi gemelli dapat terjadi pada maternal
naupun pada fetus. �
vlaternal : �
en
I. Hiperemesis. iii
!. UT!
z
G)
l. Anemia. m
:i:
f. Kolestatis rn
r
>. Diabetes c
>. Preeklampsia.
HELLP syndrome
:. Acute fatty liver
I Abrupsi plasenta
0. Plasenta previa
1. Vasa previa
2. Persalinan prernatur
3. Ketuban pecah dini
4. Seksio sesarea
5. Perdarahan postpartum •
'etus
. Vanishing twin.
. Anomali kongenital
. IUGR
. Discordant growth
. Talipusat melilit (kehamilan monoamniotik)
. Twin transfusion syndrome (kehamilan monokorionik)
. Prematur
. Mortalitas perinatal
. Locking twins (non-vertex/vertex presentation)
omplikasi Spesifik
Kehamilan monoamniotik, diperlukan steroid SC pada
sia kehamilan 34 minggu. Twin-twin transfusion syndrom
173
adalah akibat komunikasi arteri-vena. Terapi laser
photocoagulation of communicating vessels, septostomy, atau
serial amnioreduction.
Single fetal demise. Insiden pada kehamilan > 20
minggu (2.6% - 6.8% ), koagulopati maternal.
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan Multifetal Pregnancy
Reduction, sebagai berikut:
l. Reduksi bayi hidup.
2. Injeksi KCl ke toraks fetal pada kehamilan 9-13
minggu. Tapi masih kontroversi.
Selective termination; melakukan terminasi kehamilan.
Simpulan
Kehamilan merupakan risiko tinggi pada gernelli.
Tantangan bagi anestesi, obgyn dan semua terlibat.
Manajemen direncanakan jauh hari termasuk kebutuhan
alat dan tenaga ahli.
Daftar Pustaka
1. Abdul MA. Twin births in The Comoros. East African
Medical Journal 2000; 77(11)
2. Barrett J, Bocking A. Management of twin pregnancies
(Part 11). J Soc Obstet Gynaecol Can 2000;22(8):607-10.
3. Barrett J, Bocking A. Management of twin pregnancies
(Part 1). J Soc Obstet Gynaecol Can 2000;22(7):519-29.
4. Leeker M, Beinder E. Twin pregnancies discordant for
anencephaly-management, pregnancy outcome and
review of literature. European Journal of Obstetrics &
Gynecology and Reproductive Biology 2004; 114: 15-18.
5. Suh YH, Park KH, Hong JS, Yoon BH, Shim SS, Park JS,
et al. Relationship between twin-to-twin delivery interval
and umbilical artery acid-base status in the second twin. J
Korean Med Sci 2007; 22: 248-53.
6. Twin Pregnancies French Guidelines. CNGOF (National
French College in Obstetrics and Gynecology); 2009.
7. Turnell RW. Multiple Gestation Twins, Triplets, Etc.
Reproductive Medicine and Urology Block; 2004.
174
J:jf\D 10
--5¢ksi� S�s�rea ���. �-- ;��1�;1 Pen��ki{�Jt�h�Jri·
- �t· 71i_:��'.�d·, Bo:ral1_T���-�---,_. _'._· _ ·. . .: :· . · ·_ . . _>_:. ·: :· i
Penyakit autoirnun tirnbul dari respon kekebalan yang
bersifat patologik dari tubuh terhadap zat dan jaringan
biasanya hadir dalam tubuh. Dengan kata lain, terjadi
kesalahan sistem kekebalan pada beberapa bagian dari
tubuh dan menyerang sel sendiri. Hal ini dapat melibatkan
organ tertentu atau rnelibatkan jaringan tertentu di tempat
yang berbeda. Teori yang paling banyak diterima
mengajukan bahwa proses autoimunitas disebabkan oleh
kegagalan rcgulasi normal dari sistem imun (yang terdiri dari
banyak sci-sci imunitas yang mengenali self-antigen, namun
normalnya mengalami supresi fungsi).
Kelompok penyakit dipengaruhi oleh faktor gen,
lingkungan, umur, jenis kelamin, dan status reproduksi.
Rasio perempuan: laki-laki 3-4 : 1. Efek keharnilan pada
penyakit autoimun telah berperan pada peningkatan
imunitas humoral secara relatif dan penurunan imunitas
seluler. Penderita penyakit autoimun biasanya mendapatkan
terapi imunosupresan yang menurunkan respon kekebalan
tubuh.
Penyakit autoimun yang dibahas pada materi ini ·
adalah: Lupus Eritematosa Sistemik (SLE), sindrom •
Antifosfolipid (APS), skleroderma (sklerosis sistemik), artritis •
Reumatoid, ankylosing Spondilitis, polirniositis dan
dermatomiosis, miastenia gravis, idiopatik trornbositopenik
purpura (ITP), anemia Hemolitik Autoimun.
1. Sistemik Lupus Eritematous
Penyakit autoimun yang bersifat kronik dan inflamasi
dapat terjadi pada multiorgan [jantung, sendi, kulit, paru-
paru, pembuluh darah, hati, ginjal, dan sistem saraf).
Perjalanan penyakit tidak dapat diprediksi, dengan periode
sakit (fiare) bergantian dengan remisi. Penyakit ini terjadi
sembilan kali lebih sering pada wanita dibandingkan pria,
dan kebanyakan menyerang usia produktif 15 - 50 tahun,
dengan insidens tertinggi pada umur 30 tahun, dan juga
lebih sering terjadi pada orang-orang keturunan non-Eropa.
175
Kompleks antigcn-antibodi dibentuk sebagai respon
inflamasi sekunder. Sclama keharnilan, manifestasi klinik
yang paling umum terjadi mencakup arthralgia, dernarn, lesi
kulit, dan penyakit ginjal. Diagnosis SLE ditegakkan melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta penunjang diagnosis
yang cermat sebab manifestasi SLE sangat luas, dan
seringkali mirip dengan penyakit lainnya. American College of
Rhewnatology (ACR) pada tahun 1982, rnengajukan 11
kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4
kriteria saja maka diagnosis SLE sudah dapat di tegakkan.
Kriteria tersebut adalah:
1. Ruam malar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensitifitas
4. Ulserasi di mulut atau nasofaring
5. Artritis
6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis
7. Kelainan ginjal, proteinuria persisten > 0,5 gram/hari
8. Kelainan nerologik, yaitu kejang kejang atau psikosis
9. Kelainan hematologik (anemia hemolitik, lekopenia,
limfopenia, atau trombositopenia
10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA
positif atau anti Sm positif atau tes serologik untuk sifilis
yang positip palsu
11. Antibodi antinuklear (ANA, anti nuclear antibody) positif.
Pengaruh Kehamilan pada Sistemik Lupus Eritematous
SLE dengan kehamilan seharusnya dipandang sebagai
kehamilan risiko tinggi, sehingga harus dilakukan
pengawasan ketat selama kehamilan dan masa nifas.
Persalinan prematur terjadi hampir mencapai 50%
pada penderita SLE, preeklampsia, ruptur prematur dari
membran.
Pertubuhan janin terhambat terjadi pada hampir 32%
ibu dengan SLE. Antibodi antifosfolipid, penyakit ginjal,
preeklampsia dan penyakit jantung.
Manajemen Anestesi
Perencanaan anestesi tergantung pada keparahan
penyakit dan keterlibatan organ yang luas. Pemeriksaan
jantung dan paru-paru yang komprehensif wajib dilakukan.
Secara keseluruhan pada 20-30% kehamilan dengan SLE
176
rcrjadi komplikasi pregnancy induced hypertension (PIH),
penyebabnya belurn diketahui namun rnungkin didasari oleh en
m
penyakit ginjal yang rnerupakan suatu faktor yang ;;,:;
en
berhubungan dcngan PIH dan pcrnakaian kortikosteroid 6
dosis tinggi (> 30 mg prednison) selama keharnilan. en
m
Anestesi regional (SAG atau epidural) merupakan �
pilihan yang baik jika tidak ada tanda-tanda koagulopati dan :0
m
)>
trombositopcni.

2. Antiphospholipid Syndrome (APS) �
Antiphospolipid syndrome adalah suatu keadaan

autoimun yang ditandai dengan produksi antibodi iii
antiphospholipid dalam kadar sedang sampai tinggi yang z
"CJ
menyerang langsung membran fosfolipid yang mengikat m
z
protein plasma. Gambaran klinis yang bisa ditemukan ;.'.:
adalah seperti hiperkoagulasi/trombosis (vena maupun ;::,_
=i
arteri, termasuk stroke), trombositopenia autoimun, dan )>
abortus berulang. c

Kemungkinan terjadinya APS lebih sering pada 0
penderita dengan penyakit autoimun seperti SLE disebut
f
c
I\PS sekunder, namun dapat pula terjadi pada wanita yang z
tidak mempunyai penyakit autoimun (APS primer).
fab�l 1. Kriteria klinis untuk sindroma antiphospholipid.
Kriteria diagnostik (ditemukan satu atau lebih):
I. Thrombosis vena / arteri
2. Abortus berulang
3. Persalinan prematur < 34 minggu yang berhubungan
dengan preeklamsia atau PJT
Gambaran kiinis lain
l . Trombositopenia dan anemia hemolititk
2. Livedo reticularis


3. Gangguan di otak khusunya epilepsi, infark otak, chorea
dan migrain
4. Penyakit katup jantung khususnya katup mitral
5. Hipertensi
6. Hipertensi pulmonal
__7__
. Ulkus di tungkai bawah
�fek Kehamilan pada APS
Mekanisme terjadinya trombositosis belum jelas,
ieberapa teori mencakup penurunan aktivitas plasminogen,
ieningkatan agregasi platelet, inhibisi prostasiklin dan
rrotein C, dan peningkatan aktivitas faktor VIII.
177
Komplikasi medis yang paling serius dari APS adalah
trombosis vena (70%), dan arteri. Umumnya trombosis
ekstremitas bawah, selanjutnya infark cerebri, emboli paru,
dan infark miokard. Multipel trombosis, insufisiensi renal,
hipertensi pulmonal gejala berat penyebab kematian.
Antibodi mi telah dihubungkan dengan abortus
berulang, tromboembolisme dan trombositopenia.
Efek pada Janin
Resiko tinggi untuk mati in utero. Selama 5 tahun
penelitian 260 orang wanita riwayat keguguran rekuren, 87
(34%) positif antibodi antifosfolipid. Penelitian 69 kehamilan
dalam 58 orang wanita dengan sindrom antifosfolipid, 71
kelahiran dinyatakan hidup. Tahun 1987 -2002, 13 kasus
antifosfolipid berhubungan thrombosis pada janin dan
neonatus (terutamanya thrombosis serebral).
Penatalaksanaan Anastesi
Pasien APS mungkin mengalami trombositopeni,
menyebabkan koagulopati sehingga penggunaan teknik
anestesi regional tidak dianjurkan. Pada pasien-pasien yang
mendapatkan antikoagulan, penggunaan teknik anestesi
regional diperbolehkan apabila fungsi koagulasi normal. .Jika
fungsi koagulasi di bawah kisaran normal dilakukan anestesi
umum kombinasi fentanil dan ketamin pada patient-
controlled analgesic (PCA).
Thromboprofilaksis standar heparin tidak terfraksi .:t_4
jam setelah dosis akhir heparin sebelum melakukan
anestesi spinal/ epidural. Bila ada waktu anestesi epidural.
bila mendadak anestesi spinal. Hati-hati anestesi umum
menyebabkan resiko tinggi thrombosis vena.
3. Skleroderma
Skleroderma merupakan suatu kondisi multisistemik
yang beragam, progresif, dan dikaitkan dengan adanya lesi-
lesi kulit yang menebal dan sklerotik. Angka prevalensi
sekitar 4-253 kasus per 1 juta, perbandingan perempuan:
laki-laki adalah 3: l.
Gambaran klinis bervariasi, morbiditas penyakit ini
tergantung pada luasnya permukaan kulit dan organ dalam
yang terkena. Sering ditemukan fenomena Raynauld
khususnya pada pasien dengan sindroma CREST (calcinosis
178
pada kulit, fenorncna Raynauld, dismotilitas esofagus,
sc!erodactyly dan telangicctasis]. Periderita dcngan penyakit (/)
m
yang difus akan mcnampakkan gejala arthritis x
(/)
pernbengkakan tangan dan jari serta pcnehalan k ulit yang 0
(/)
dimulai pad a jari dan tangan dan bisa meluas ke muka dan m
(/)
leher. Pada kelainan yang berat maka perrnukaan kulit yang )>
terkcna lebih luas dan terjadi deforrnitas pada tangan dan ::0
jari. Fenornena Raynauld dan kcrusakan organ dalam yang �
rerkena meriandakan adanya fibrosis arteriole dan arteri- ;';
arteri kecil, sehingga bila terjadi respons vasokonstriksi §;
karena berbagai rangsangan seperti udara yang dingin akan
menyebabkan obliterasi pembuluh darah yang komplit. �
m
z
1J
Klasifikasi Skleroderma m
z
1. Limited Cutaneous Scleroderma

;,:;
a. Riwayat fenomena Raynaud dalam waktu lama
=i
b. Keterlibatan kulit yang sebagian besar terbatas pada )>
tangan (beberapa dapat timbul pada wajah, kaki, dan c
lengan bawah) cl

c. Dilatasi kapiler pada lipatan kuku c
2. Diffuse Cutaneous Scleroderma z
a. Riwayat fenomena Raynaud dalam waktu singkat,
sebelum timbulnya perubahan kulit lain
b. Keterlibatan kulit yang meluas, khususnya pada
bagian ekstremitas proksimal dan trunkus
c. Dilatasi kapiler pada lipatan kuku
3. Scleroderma sine scleroderma (jarang)
a. Tidak ada keterlibatan kulit
b. Hanya ada keterlibatan organ viseral (ginjal, paru, •
gastrointestinal, dan miokardium)
c. Dapat timbul fenomena Raynaud
Efek Skleroderma pada Kehamilan
Abortus spontan pada ibu jarang dilaporkan namun,
persalinan prematur lebih sering terjadi. Ibu yang menderita
skleroderma cenderung memiliki bayi aterm yang kecil.
Krisis renal merupakan penyebab kematian ibu yang paling
sering terjadi pada parturien-parturien dengan skleroderma.
Parturien-parturien harus dievaluasi secara ketat
selama masa kehamilan, dengan advis dari ahli kardiologi,
1efrologi, dan fisioterapis dada. Kontraksi uterus pada saat
oersalinan menjadi kurang akibat penebalan dinding serviks,
179
hati-hati penggunaan oksitosin untuk merangsang kontraksi
uterus.
Penderita skleroderma dengan gangguan
kardiopulmoner serta gangguan ginjal dianjurkan untuk
tidak hamil, bahkan pada penderita yang hamil dianjurkan
untuk melakukan terminasi kcharnilan. Hingga saat ini
belum ada pengobatan yang mernuaskan, pada periderita
dengan fenomena Raynauld diberikan vasodilator, dan pada
skleroderma difusa diberikan terapi glukokortikoid seperti
pada penderita SLE namun kortikosteroid hanya bermanfaat
pada miositis inflamatori dan anemia hernolitik.
Persiapan Anestesi
Siapkan ACE inhibitors jika terjadi krisis hipertensi
Siapkan akses intravena sebelumnya (sulitnya kanulasi
akibat fibrotik luas)
Pengukuran tekanan darah non invasif (non inuasiue
blood pressure /NIBP) mungkin sulit & monitoring
tekanan darah invasif mungkin dibutuhkan
Radial artery catheterization kontraindikasi pada pasien
Raynaud 's karena resiko iskemia
Brachial artery catheterization kurang terjadi iskemia
pada digiti
Pembacaan pulse oximetry sulit diekstremitas
Hindari vasokontriksi
Pasien dapat terjadi abrasi kornea akibat penurunan
produksi airmata
Penatalaksanaan Anestesi
Disarankan untuk memberikan analgesi epidural dini
untuk persalinan, khususnya pada pasien-pasien dengan
potensi kesulitan intubasi. Penggunaan agen anestesi lokal
dengan dosis inkremental yang diberikan secara lambat
melalui kateter epidural atau intratekal, merupakan teknik
pilihan.
Anestesi umum sebaiknya merupakan pilihan terakhir,
karena pada wanita ini terjadi peningkatan risiko sulit
dilakukan intubasi (dipersiapkan awake fiberoptic jika
diperlukan) dan juga risiko tinggi terjadinya aspirasi.
Pemberian antasida, H-2 Blocker, dan posisi head-up, perlu
dilakukan sebagai antisipasi terjadinya aspirasi.
180
Perhatian khusus menjaga kehangatan suhu tubuh
asien dengan Raynaud sindrorna karena kulit pasien yang en
m
pis: ;:,:;:
<n
Ruangan persalinan/ OK yang hangat 0
Cairan infus yang hangat en
m
Thermal socks en
)>
tress-dose steroids selama persalinan/perioperati_f pada ::lJ
asien dengan tcrapi steroid. �
Epidural menjadi pilihan pertama dibandingkan SAB �
arena kemampuan untuk memprediksi ketinggian level blok 0
)>
an stabilitas hemodinamik lcbih baik pada epidural. Dosis
ikal anestesi diberikan secara titrasi dan pengurangan dosis �
arena pasien dengan scleroderma terjadi peningkatan iii
ensitifitas terhadap agent anestesi lokal. ,,z
m
z
. Reumatoid Arthritis (RA) �
;:,:;:
Rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit arthritis
mg kronik pada sendi sinovial yang mengenai 1 / 10.000
·ang di Amerika Serikat dengan rasio wanita : pria 3: 1 dan �
·evalensi terbanyak pada umur 35-45 tahun. Penyakit ini �
engenai sendi pergelangan tangan, lutut, bahu,
etakarpal-phalangeal dengan perlangsungan progresif
d
mbat yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi. 2
Etiologinya sampai sekarang belum diketahui, pada
.meriksaan histologi tampak sendi sinovial diinflitrasi oleh
l-sel inflamasi khususnya limfosit. Ditemukan antibodi
mg khas disebut rheumatoid factor yang bereaksi dengan
itigen membentuk kompleks imun yang ditemukan pada
novial dan cairan pleura. Kerusakan inflamasi yang terjadi I
ida sinovial menimbulkan perubahan erosif yang khas
ida sendi.
Manifestasi ekstraartikuler berupa vaskulitis,
rikarditis, neuropati perifer, dan nodul subkutan terjadi
da 20% pasien RA.
ek Reumatoid Arthritis pada Kehamilan
Hubungan antara rheumatoid arthritis (RA) dan
hamilan sangat menarik karena dalam masa kehamilan
nyakit 1111 menunjukkan perbaikan yang dramatis.
rbagai penelitian menunjukkan sedikitnya 50% pasien
ngan RA yang menunjukkan perbaikan pada sedikitnya
% kehamilan mereka. Perbaikan 1111 dimulai pada
mester pertama dan mencapai puncaknya pada trimester
a dan tiga, namun walaupun gejala penyakit ini
181
menunjukkan perbaikan tetapi fluktuasi jangka peridek
tetap terjadi seperti pada penderita yang tidak hamil.
Kortisol plasma yang meningkat selama kehamilan dan
mencapai puncaknya pada saat aterm mungkin merupakan
faktor penting dari terjadinya perbaikan RA. Bebe rapa
pendapat mengatakan bahwa protein yang beredar dalam
sirkulasi dalam jumlah yang tinggi atau khas terhadap
kehamilan dapat mcmperbaiki gejala RA, misalnya
pregnancy associated a2-glycoprotein dan y-globulin yang
dihasilkan oleh plasenta. Sedang pendapat lain mengatakan
bahwa plasenta mungkin menyebabkan perubahan pada RA
dengan membersihkan kompleks imun atau mungkin
modifikasi globulin imun selama kehamilan merubah
aktifitas inflamasinya. RA pada kehamilan, tidak
meningkatkan persalinan prematur, walaupun pertumbuhan
janin terhambat (PJT) telah dihubungkan dengan vaskulitis.
Sendi temporomandibular mungkin mengalami
ankilosis sehingga pembukaan mulut tidak adekuat dan
intubasi sulit dilakukan. Rasia perbandingan keseluruhan
antara perempuan terhadap Jaki-laki adalah sekitar 3: 1, dan
meningkat menjadi 5: I pada populasi wanita hamil.
Manajemen Anestesi
Persiapan anestesi:
Pemeriksaan awal darah rutin, gas darah, fungsi
paru, fungsi koagulasi, echo/ Stress Test
Nyeri/pengelolaan stres (menilai penggunaan steroid)
Penilaian jalan napas
Memperhitungkan posisi operasi/komplikasi
neuropati perifer
Penggunaan obat pelumpuh otot secara titrasi
Penatalaksanaan cairan sesuai kondisi fungsi organ
vital
Hindari penggunaan procainamide, hydralazine,
sulfonamida, dan anti-kejang dalam jumlah banyak.
Anestesi regional.
• Lebih disukai karena menghindari potensial kesulitan
manipulasi jalan napas akibat kekakuan sendi servikal
dan temporomandibula.
• Anestesi epidural/ spinal: mungkin sulit memposisikan
pasien akibat kekakuan sendi pinggul dan lutut.
182
i, AnkyJosing Spondilitis
Ankylosing spondiliris adalah penyakit kronik yang o:
m
ie-r sifat progresif pada sendi sakroilia ka dan seridi siriovial x
o:
ulang belakang, member ikan karaktcristik gambaran 0
(/)
bamboo spine" pada X-ray. Puncak onset umur adalah m
(/)
.iantara 15 clan 29 tahun. Perbandingan rasio laki-Iaki: p
.anita pada masa dewasa "' 3 : 1. :0
m
p
,::,
'enatalaksanaan Anestesi )>
0
Keterlibatan dini ahli anestesi untuk perawatan pasien )>
1J
alam persalinan dianjurkan, terutama dengan penempatan )>
pidural segera yang dapat digunakan untuk persalinan dan !a
m
eksio sesarea jika diperlukan. Proses osifikasi dari z
1J
gamentum interspinosum dan keterbatasan fleksi dari m
z
ertebra lumbal bisa menjadi penyulit anastesi regional.

!bu yang akan melahirkan dengan penyakit tulang �
=1
elakang servikal yang memerlukan anestesi umum )>
eharusnya mendapatkan intubasi fibroptic sadar. c
-I
Untuk analgesia sebaiknya digunakan acetaminophen. 0
SAID dan aspirin sedapat mungkin dihindari karena dapat

c
iengakibatkan gangguan hemostasis, kehamilan yang z
iemanjang dan penutupan duktus arteriosus yang dini.
emberian prednison dosis rendah menunjukkan hasil yang
'ektif namun tidak boleh digunakan untuk jangka panjang.
bat-obat lain yang sering diberikan pada penderita RA
mg progresif seperti hydroxychloroquine, sulfasalazine, D-
eniciliamine dan methotrexate merupakan kontraindikasi 111
ntuk kehamilan .
. Poliomielitis dan Dermatomielitis
Poliomiolitis dan dermatomielitis penyakit inflamasi
msupuratif otot skeletal pada tungkai proksimal, leher dan
ring. Kelemahan otot simetris, atrofi dan fibrosis kelompok
ot yang terkena. Polimiositis/dermatomiositis jarang
rjadi.
Kehamilan memicu induksi dermatomiositis setengah
anita. Sepuluh daripada 29 kehamilan berakhir kematian
nin/ abortus spontan. Aktifitas penyakit minimal <60%
.lahiran bayi aterm.
anajemen Anestesi
Mengevaluasi perjalanan penyakit dan termasuk
riyakit penyerta seperti jantung dan paru. Untuk
183
menentukan kelemahan otot atau keterlibatan otot
pernapasan dilakukan pemeriksaan spirometri. Jika ada
riwayat aspirasi dilakukan analisa gas darah dan foto
thoraks. Pemeriksaan EKG untuk menyingkirkan
abnormalitas konduksi dan aritmia.
Berhati-hati penggunaan anestcsi neuroaksial karena
dapat menyebabkan blok tinggi, menganggu fungsi otot
interkostal dan gangguan ventilasi, kelumpuhan pada
otot abdomen melambatkan proses persalinan.
Epidural analgesia dengan anestesi lokal efektif
menghilangkan nyeri tanpa mempengaruhi proses
persalinan.
Opiod intratekal merupakan metode alternatif untuk
mengurangi nyeri pada saat persalinan pasien dengan
polimiositis atau dermatomiositis.
7. Miastenia Gravis
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang
ditandai oleh kelemahan dari otot wajah, orofaringeal,
ekstraokuler dan otot anggota gerak. Kelemahan dari otot-
otot wajah dapat menyebabkan kesukaran untuk tersenyum,
mengunyah dan berbicara. Tanda utama dari penyakit ini
adalah peningkatan kelemahan otot pada aktivitas otot yang
berulang. Merupakan penyakit yang jarang dengan insiden 1
per 100.000, wanita dua kali lebih banyak dibanding pria.
Penyebabnya diduga karena serangan autoimun
terhadap reseptor asetilkolin pada neuro-rnuscular junction.
Antibodi terhadap reseptor asetilkolin atau receptor-
decamethonium complex (anti-AchR) ditemukan dalam
serum dari tigaperempat penderita miastenia gravis (MG).
Abnormalitas thymus juga ditemukan pada sebagian
besar penderita MG, sekitar 75% dengan hiperplasia folikel
kelenjar dan 10-15% dengan tumor thymic jenis
lymphoblastic atau epithelial. Tindakan thymectomy
menyebabkan remisi dan perbaikan pada masing-masing
35% dan 50% penderita sehingga diduga MG berhubungan
dengan serangan autoimun terhadap antigen pada thymus
dan motor endplate atau abnormal clone dari sel-sel imun di
thymus.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisis dan prosedur konfirmasi diagnostik,
dengan pemberian antikolinesterase kerja pendek
184
(endrophonium) 210 mg intravcna rnaka keki iatan otot
secara dramatis dapat dipulihkan. Tes lain yang lebih
canggih dengan elcktromiografi serabur t unggal dan
pcrneriksaan rangsangan saraf berulang. Pcnyakit autoimun
yang mempengaruhi transnusi neuromuskular ditandai
dengan kelemahan otot dan kelelahan setelah aktivitas
berulang.
Tanda dan gejala klinis yang paling umum mencakup
kesulitan dalam berbicara, ptosis, diplopia, disfagia, kadang-
kadang sampai menimbulkan distress pernapasan. Wanita
yang menderita miastenia gravis memiliki insidens tinggi
menderita penyakit autoimun lainnya seperti RA, tiroiditis
autoimun, dan SLE.
E:fek Kehamilan pada Miastenia Gravis
Tidak ada korelasi yang ditemukan antara derajat
ceparahan miastenia gravis sebclum hamil dan selama
ceharnilan, dan gejala klinis selama kehamilan. Eksaserbasi
ebih sering terjadi pada trimester pertama dan satu bulan
oostpartum. Antibodi reseptor asetilkolin dapat mencapai
\SI dan oleh karena itu dapat menyebabkan miastenia gravis
rada neonatus, dimana obat antikolinesterase pada ibu juga
nelewati AS! dan mungkin menyebabkan gangguan
;astrointestinal pada neonatus.
>enatalaksanaan Anestesi
Antikolinesterase yang paling umum digunakan adalah
ieostigmin, yang merniliki durasi kerja 2 hingga 3 jam.
[eostigrnin 0,5 mg intravena setara dengan 1,5 mg
ubkutan, 0,7 mg IM, dan 15 mg oral. Piridostigmin rnemiliki
lurasi kerja yang lebih panjang, 4 hingga 6 jam, dan dosis
etara neostigmin adalah 2 mg IV, 3 mg IV, dan 60 mg oral.
'ernberian edrofonium IV 1-2 mg, antikolinesterase kerja
ingkat dan dilengkapi dengan perlengkapan resusitasi jalan
iapas.
Anestesi lokal tipe amida merupakan pilihan yang lebih
man digunakan dalam dos is tinggi seperti pada anestesi
pidural untuk seksio sesarea. Wanita hamil dengan
iiastenia gravis sangat sensitif terhadap relaksan otot
ondepolarisasi, bahkan dosis kecil dapat menghasilkan efek
ang cepat dan lama. Infiltrasi kulit dengan anestesi lokal
eharusnya digunakan untuk mengurangi nyeri postoperatif.
185
Prediktor dari kebutuhan ventilasi postoperatif pada
pasien miastenia gravis
1. Durasi rniastenia gravis > 6 tahun
2. Riwayat penyakit paru kronik
3. Dosis piridostigmin lebih dari 750 mg/hari
4. Kapasitas vital preoperatif kurang dari 2.9 L
8. Idiopatik Trombositopenik Purpura
Idiopatik trombositopenik purpura adalah penyakit
perdarahan autoimun yang paling umum terjadi pada
kehamilan. Rasio wanita berbanding pria sekitar 3 : 1, dan
lebih dari 70% wanita berumur kurang dari 40 tahun. ITP
didiagnosis dengan menggunakan tes darah lengkap dan
apusan darah tepi.
: ·· Penyebab lain trombositopenia selama kehamilan
mencakup preeklampsia, SLE, infeksi human
�ii�/f . .' immunodeficiency virus (HIV), APS, trombotik
trombositopenia purpura, sindrom uremik hemolitik, dan
disseminated intravascular coagulation.
Pa tofisiologi
Kelainan ini disebabkan utamanya oleh autoantibodi
terhadap membran glikoprotein platelet, yang mengarah ke
peningkatan destruksi platelet, dan kurangnya peningkatan
yang tepat pada produksi platelet di sumsum tulang
Tanda dan gejala klinis yang paling umum terjadi
adalah mencakup peteki, ekimosis, mudah memar,
epistaksis, perdarahan gusi, dan menoragi.
Penatalaksanaan Anestesi
Epidural dilakukan pada pasien dengan jumlah platelet
70.000- 75.000 /uL. Jika jumlah platelet lebih rendah dari
70.000, disarankan patient-controlled analgesia (PCA)
dengan kombinasi fentanil dan ketamin intravena.
Transfusi platelet diperlukan, pemberiannya seharusnya
mendekati waktu operasi
Analgesia regional untuk persalinan harus dibuat untuk
meringankan resiko maternal dari anestesi umum.
9. Anemia Hemolitik Autoimun
Anemia hemolitik autoimmun terjadi kira-kira 1 dalam
200.000 orang dengan kelompok umur 20 hingga 50 tahun.
186
Pada wanita hamil, insidens meningkat menjadi 1 dalam
50.000 orang. en
m

Patofisiologi 0
Antibodi autoimun utamanya actalah autoantibodi IgG. en
m
Pcnghancuran critrosit yang membawa antibodi terjadi s
melalui antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC) ::0
m
)>
dan fagositosis dan pcnghancuran terjadi di limpa. Antibodi
IgM juga mungkin dapat ditemukan pada hemolisis ;';
autoimun selama kehamilan. �

Penatalaksanaan Anestesi iii
Pada ibu yang akan melahirkan dengan penyakit cold z
"'tJ
agglutinin berat, kamar operasi sejuk menyebabkan m
z
aglutinasi terjadi yang menyebabkan terjadinya akrosianosis,

Raynaud's phenomenon, atau nefritis kompleks imun. �
:::j
Situasi mi mengarah ke hemolisis dan mungkin )>
rnenyebabkan anemia berat, hemoglobinuria, dan gaga! c
ginjal. Plasmapheresis perioperatif, penghangatan udara a�
intraoperatif, dan penghangatan seluruh cairan intravena c
adalah teknik yang efektif untuk mencegah situasi terse but. z
Simpulan
•:• Penyakit autoimun lebih sering pada populasi wanita dan
kejadian pada ibu hamil adalah suatu hal yang tidak
lazim.
•:• Kondisi khususnya adalah aktifitas penyakit (imunitas
berlebihan yang menyerang tubuh itu sendiri) dan organ
yang terkena. •
•:• Anestesiolog harus hati-hati dalam menganalisis dampak
penyakit terhadap implikasi anestesi, serta penggunaan
obat-obatan yang berpengaruh terhadap janin.
Daftar Pustaka
1. Buyon JP. The effects of pregnancy on autoimmune
diseases. Journal of Leukocyte Biology 1998 ; 63: 281- 7.
2. Djelmis J, Sostarko M, Mayer D, Ivanisevi M. Myasthenia
gravis in pregnancy: report on 69 cases. Eur J Obstet
Gynecol Reprod Biol 2002; 104(1):21-5
3. Grange C. Autoimmune Diseases. Dalam: Gambling DR,
Douglas MJ, McKay RSF, eds. Obstetric Anesthesia and
187
Uncommon Disorders. 2ncl ed. New York: Cambridge
University Press ; 2008: 406-20
4. Harnett M, McElrath T. Autoimmune Disease. Dalam:
Datta S,eds. Anesthetic and Obstetric Management,3th ed.
New York, Springer-Verlag Inc; 2004, 265-79
5. Ostensen M, Brucato A, Carp H, Chambers S, Dolhain RJ,
Doria A, et al. Pregnancy and reproduction in autoimmune
rheumatic diseases. Rheumatology 2011;50(4): 657-64
6. Ong MG, Hawthorne LM. Autoimmune Hemolytic Anemia in
Pregnancy. Labmedicine 2010;41(5): 264-6.
7. Reid RW. Autoimmune Disorders. Dalam: Chestnuts DH,
Polley LS, Tsen LC, Wong CA, eds. Obstetric Anesthesia
Principles and Practice, 41h ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier ; 2009 : 869- 77
8. Ross G, Samrnaritano L, Nass R, Lockshin M. Effects of
mothers' autoimmune disease during pregnancy on learning
disabilities and hand preference in their children. Arch
Pediatr Adolesc Med 2007,157(4):397-402
9. Rolbin SH, Levinson G, Shnider SM, Wright R. Anesthetic
considerations for myasthenia gravis and pregnancy. Anesth
Analg 1998,57: 441-7.
10. Silver B. Systemic Lupus Erythematosus in the Pregnant
Patient. Dalam: Foley MR, Strong TH, Garite TJ, eds.
Obstetric Intensive Care Manual, 41h ed. New York: The
McGraw-Hill Companies; 2011: 329-40
11. Waldorf KMA, Nelson JL. Autoimmune disease during
pregnancy and the microchimerism legacy of pregnancy.
Immunol Invest 2008;37(5):631-44
12. Warren JB, Silver RM. Autoimmune disease in pregnancy:
systemic lupus erythematosus and antiphospholipid
syndrome. Obstet Gynecol Clin North Am 2004 ;31 (2):345··
72.
188
llAD 1 I
:" seksid ·s�s-�t��·-baJa:·p�s1e·h-: i11,( _:·:_: <<-;/(_:.:>'..:
." Muh: Ramli "Apinad, Borah�a Ea.mi· ·· · · · : ... : : . ·-- , , ..' ' . .' .. : ,,. ·:
_i ·;"·:·, .--.- .·
.-._,,' ·· .: -·.:.·.:.:_· .·:"·,:: -:, :·_/:.:.:·- :. '.:: : .---:: :-·:'._·.· >:>·-:/ . <>--·. ;: .. �: ·.:· >. ·: ,·:_.
Pada akhir tahun 2002, UNAIDS mcrnperkirakan di
seluruh dunia terdapat 42 juta orang yang hidup dengan
HIV; 19,2 juta di antaranya perempuan dan 3,2 juta anak di
bawah usia 15 tahun. Selama tahun 2002 terdapat 800.000
kasus baru dan 610.000 kematian anak yang menderita HIV.
Sebagian besar (91 %,) anak tersebut tertular HIV dari ibunya.
Diperkirakan setiap tahunnya terdapat 600.000 kasus HIV
baru akibat penularan vertikal dari ibu ke anaknya.
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan
nama Human Immunodeficiency Virus (HIV) ini adalah suatu
virus RNA dari farnili Retrouirus dan subfamily Lentiuiridae.
HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang
mempunyai reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh,
HIV akan menernpel pada sel yang permukaannya
mempunyai molekul CD4 Molekul CD4 ini mempunyai
afinitas yang sangat besar terhadap HIV.
Jumlah kasus HIV-AIDS pada kehamilan di Indonesia
dan di dunia semakin meningkat. Hal ini diakibatkan oleh
meningkatnya kasus pada penggunaan narkoba suntikan
yang pada umumnya digunakan pada usia subur (usia
reproduksi), sehingga penularan HIV dari ibu ke bayinya •
meningkat pula. Perjalanan penyakit pada bayi lebih
progresif dibandingkan dengan penderita dewasa karena
paparan pertama terjadi pada saat respons imun masih
dalam tahap perkembangan. Kelainan respons imun yang
timbul antara lain limfopenia CD4, berbagai defek limfosit B
dan T, hipergamaglobulinemia poliklonal.
Selain itu infeksi HIV juga akan mempengaruhi tumbuh
kembang anak selanjutnya. Anak yang menderita HIV
dilaporkan lebih sering mengalami penyakit infeksi bakteri
ataupun virus. Anak yang tertular HIV dari ibunya juga
mengalami keterlambatan pubertas dibandingkan anak
seusianya. Oleh karena itu infeksi HIV pada kehamilan
menjadi sangat penting dengan dasar pertimbangan efek
terhadap kehamilan, lebih dari 90% kasus HIV anak
ditularkan dari ibunya, anak yang akan dilahirkan akan
189
rnenjadi yatirn piatu dan sebagian besar wanita yang
terinfeksi HIV-AIDS berada pada usia subur.
Patogenesis dan Gejala Klinik
HIV adalah virus RNA berantai tunggal (single-stranded)
subfarnili Lentivirus dari kcluarga retrovirus. Dua subtipe
telah diidentifikasi yaitu HIV-1 dan HIV-2. HJV-1 ditemukan
diseluruh dunia dan HIV-2 endemik di Afrika barat. Seperti
keluarga retrovirus lainnya HIV berisi enzim reverse
transcriptase yang memungkinkan virus RNA akan
ditranskripsi menjadi DNA, yang kemudian dimasukkan ke
dalam genom sel inang dan dapat mereplikasi secara bebas.
Penghambatan proses replikasi virus adalah target dari agen
antiretroviral (ARV). HIV utarnanya menginfeksi limfosit T
helper (CD4 T sel) dan mengarah kepada kerusakan yang
progresif secara kuantitatif dan kualitatif, membuat tuan
rumah lebih rentan terhadap infeksi oportunistik dan
keganasan. Beberapa jenis penularan infeksi adalah melalui
hubungan seksual (60- 70%), penularan ibu ke anak (selama
keharnilan, persalinan dan menyusui) (20-30%), kontaminasi
darah, produk darah dan organ donor (3-5%) dan jarum
yang terkontaminasi (2-3%). Hal 1111 mengarah pada
identifikasi beberapa kelompok berisiko tinggi termasuk:
hetero dan homoseksual, penyakit menular seksual lainnya,
pengguna narkoba suntik, penderita hemofilia, dan pasien
dari daerah endemis. Infeksi HIV diklasifikasikan
berdasarkan gejala klinis serta tingkat keparahan dari
terdepresinya sistem imun tubuh yang tercermin dari
agregasi CD4 + T jumlah sel. Diagnosa infeksi HIV
ditegakkan ketika pasien masuk kedalam stadium 3 atau 4
dan atau immunodeficiency berat. Kondisi penyakit dengan
gejala klinis dan atau immunodefisiensi yang berat dikenal
sebagai AIDS.
190
ACLJIC Ill\.' syndrome
l'rl!tl,11}' \,'1Jc tl1�1·1u:n.ilh,n t_,( \1irtt!.
lnfl·<.1.ion Ill
Sc,d;nK of lympbo,d ,,..,,n,
= 1100
I .
\ --
J()
-:
"':: t1uo
� en
/. m
..::: @
C Hoi, ';
--
J() 6
:§ '/()() -· en
,j
:; (Hiii m
;.,
� !iOO to·� " �
..c ::0
E.;oo �
..::· :1011 �
-r
10 �
r'" :1110
� 100
j;
0 ii
..._ ., ...;::,,___.
J(}' 6,
o :1 6 9 i, l � 3 4 5 6 7 8 9 10 ii
Weeks Years iii
Gambar 1. Fase klinik dari HIV
z
:I:
<
Penularan HIV dari lbu ke Bayi
Sekitar 90% anak yang terinfeksi HIV, memperoleh
infeksi dari ibu mereka selama kehamilan dan persalinan.
HIV dapat ditularkan dari ibu ke anak selama antepartum,
intrapartum, dan periode postpartum melalui ASI.
Dalarn kebanyakan kasus penularan HIV dari ibu-ke-
bayi diyakini terjadi ketika mendekati proses kelahiran atau
pada saat melahirkan. Tanpa pengobatan profilaksis
antiretroviral tingkat transmisi berkisar antara 16%, dan •
25%. Pada bulan Februari 1994, Paediatric AIDS Clinical Trial
Group (PACTG) melaporkan bahwa profilaksis AZT dapat
mengurangi transmisi perinatal HIV hampir 70%. Pada akhir
1990-an, penggunaan gabungan dari 3 atau lebih obat
antiretroviral yang ditemukan sangat sukses dalam menekan
replikasi virus. Sejak tahun 1994, terdapat kemajuan dalam
pemahaman patogenesis infeksi HIV dan pengobatan serta
pemantauan penyakit HIV. Penularan HIV pada tingkat
perinatal dapat dikurangi mencapai 1-2% dengan terapi
antiretroviral yang efektif.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi transmisi HIV
perinatal: faktor ibu, faktor kandungan dan faktor bayi.
Mekanisme yang tepat penularan HIV dari ibu kebayi masih
belum diketahui. Transmisi dapat terjadi selama kehidupan
intrauterin, persalinan, atau menyusui. Faktor risiko
terbesar dalam penularan transmisi secara vertikal yaitu
pada ibu yang menderita penyakit tersebut pada tingkat
191
lebih lanjut. Sayangnya sekitar 30% dari wanita hamil tidak
dilakukan uji untuk HIV selama kehamilan, dan 15-20%
tidak menerima atau hanya mendapat perawatan yang
minim selama kehamilan, sehingga memiliki potensi
transmisi saat bayi baru lahir cukup besar.
Proses penularan HIV dari ibu ke bayi dapat
disimpulkan saat kehamilan terjadi melalui plasenta, air
ketuban, saat melahirkan hingga proses melahirkan,
sesudah melahirkan. Tiga puluh sampai tiga puluh lima
persen tertular ke bayi kalau tidak dilakukan pencegahan
dan salah satu pencegahan adalah melalui seksio sesarea
dengan menghindari Iuka saat melahirkan dan tidak kalah
pentingnya bila ibu diberikan obat pencegahan anti retro
viral (ARV).
Kelainan Fungsi Multisistem Organ dan Imunodepresi
Pada saat perioperatif sangat penting untuk
mengevaluasi fungsi organ yang terlibat pada pasien HIV,
baik sebagai konsekuensi dari infeksi HIV akibat infeksi
oportunistik atau neoplasma, serta yang terkait dengan
penyebab lainnya seperti efek samping dari obat-obatan
ARV.
Sistem kardiovaskular
Sistem kardiovaskular dapat terlibat dalam sejumlah
proses penularan infeksi HIV. Perikardial, miokard,
endokardium atau lesi pembuluh darah, serta neoplasma.
Hal ini mungkin secara langsung berhubungan dengan
infeksi HIV a tau efeksamping dari agen ARV, kemoterapi
atau agen anti infeksi. Komplikasi sistem kardiovaskular
yang penting umumnya adalah sebagai berikut:
kardiomiopati dilatasi, efusi perikardial, endokarditis dan lesi
katup, penyakit jantung koroner, vaskulitis dan hipertensi
pulmonary.
Sistem pernapasan
Jalan napas atas dan jalan napas bawah dapat terlibat
dalam proses infeksi HIV. Komplikasi ini dapat disebabkan
oleh infeksi HIV primer, terkait keganasan, infeksi
oportunistik atau efek samping obat. Komplikasi pernapasan
berikut terlihat: obstruksi jalan napas (sarkoma Kaposi atau
infeksi}, bronchitis, sinusitis, pneumonia, pneumonitis,
192
infeksi atipik (umumnya tuberkulosis, lainnya mikobakteri
dan infeksi jamur).
Sistem pencernaan
Biasa ditemui komplikasi pada saluran pencernaan
terkait dengan infeksi HIV maupun pada saat proses
pengobatan meliputi: kesulitan atau sakit saat menelan,
peningkatan pengosongan lambung, mudah terjadi
perdarahan yang timbul saat instrumentasi saluran napas /
insersi tabung nasogastrik, diare dehidrasi, penurunan
fungsi hepatobiliar, pankreatitis.
Sistem ginjal
Penyakit ginjal akut maupun kronis dapat dikaitkan
dengan infeksi HIV dan penyebab gangguan ginjal adalah
multifaktorial seperti: nefrotoksisitas akibat penggunaan
obat, hipertensi & diabetes, nefropati terkait HIV. Komplikasi
yang potensial ini mengharuskan untuk menghindari obat-
obat yang bersifat nefrotoksik, penyesuaian dosis obat yang
diekskresikan melaiui ginjal, kebutuhan hidrasi yang
memadai untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dari fungsi
ginjal.
Sistem neurologis
Infeksi HIV dapat mempengaruhi sistem saraf yang
diakibatkan oleh proses infeksi itu sendiri, inflamasi,
demielinasi atau proses degeneratif. Merupakan proses
sekunder terhadap infeksi oportunistik, neoplasma atau
immune defisiensi. Hal ini dapat melibatkan semua struktur •
termasuk meninges, otak, spinal kord, saraf perifer atau
otot, yang juga dikenal sebagai: penurunan neurokognitif,
ensefalopati, neuropati otonom, kejang.
Pemeriksaan neurologis pra-bedah secara menyeluruh
dengan dokumentasi yang tepat sangat penting terutama
jika mempertimbangkan untuk melakukan regional anestesi.
Sistem hematologi
Hal-hal yang biasanya terlihat selama infeksi HIV:
anemia, neutropenia, trombositopenia, limfadenopati
generalisata persisten, keganasan hematologi, gangguan
koagulasi.
193
Sistem endokrin
Efek samping yang umum dari ARV meliputi:
lipodistrofi (obesitas trunkal], bujfalo hump, perifer wasting,
sindrom metabolik (meningkatnya plasma trigliserida,
kolesterol, glukosa), gangguan dari sumbu hipotalarnus-
hipofisis-adrenal seperti Cushing syndrome dan penyakir
Addison, hiponatremia akibat SIADH atau kegagalan
adrenal, hipo-atau hipertiroidisme dan laktat asidosis.
Terapi Antiretroviral (ARV)
Penggunaan kombinasi ARV atau highly active
antiretroviraltherapy (HAART) telah mengalami kemajuan
besar dalam pengobatan infeksi HIV. Obat ini
diklasifikasikan rnenjadi empat kelas sesuai dengan
mekanisme penghambatan replikasi virus: inhibitor enzim
:,,. reverse transcri.ptase, inhibitor enzim protease, inhibitor
integrase dan inhibitor entry. Kepatuhan terhadap ART
f/:i adalah sangat penting, pada tingkat kepatuhan di bawah
95% dikaitkan dengan peningkatan viral load dan resistensi
obat.
re Beberapa contoh ARV, seperti Abacavir (ABC),
Didanosine (ddl], Emtricitabine (ITC), Lamivudine (3TC),
Stavudine (d4T), Zidovudine (AZT,ZDV), Delavirdine (DLV),
Efavirenz (EFV), Etravirine (ETR).
Me1k.ape� IW/Wmedscapa com . . ·
.
Source Nat Md c 2003 Natura Publish;ng Group
Gambar 2. Mekanisme terapi ARV
194
'ek Samping
Efek samping dari terapi ARV harus diperhatikan
lama penilaian prabedah. Efck samping dapat dibagi
enjadi empat kelompok: en
Disfungsi mitokondria: laktat asidosis, toksisitas hati, m
:;,;;
pankreatitis, ncuropatiperifer en
0
Kelainan metabolik: maldistribution lemak dan en
m
perubahan pada habitus tubuh, dislipidernia,

hiperglikemia dan resistensi insulin, gangguan tulang mis :0
m
osteopae nia, osteoporosis dan osteonekrosis )>
Penekanan sumsum tulang: anemia, neutropenia dan �
tram bosi topenia 0
)>
Reaksi alergi: ruam kulit dan respon hipersensitivitas. �
C/)
fii
teraksi obat Anestesi dan ARV z
Obat anestesi dapat berinteraksi dengan ARV, :::i::
.nycbabkan perubahan farmakodinamik untuk <
-mpengaruhi keberhasilan dan toksisitas ARV, dan efek
makokinetik dari ARV dapat mempengaruhi absorpsi,
.tribusi, metabolisme dan eliminasi obat anestesi. lnteraksi
makodinamik dapat dikelola dengan menghindari agen
estesi seperti halotan atau metoksifluran yang
nyebabkan gangguan fungsi hati atau disfungsi ginjal.
ipofol dan obat ARV golongan analog nukleitida (NRTI)
ierti Abacavir (ABC), Didanosine (ddlJ, Emtricitabine (FTC),
·nivudine (3TC), Stavudine (d4T), Zidovudine (AZT,ZDV)
·potensi meningkatkan toksisitas mitokondria dan laktat
dosis, sebaiknya dihindari pemakaian propofol kontinyus
:la pasien yang menerima ARV pada golongan tersebut.
Interaksi farmakokinetik akan menjadi lebih rumit
1 utamanya karena induksi ataupun inhibisi pada enzim
i, khususnya enzim CYP450 3A4. Interaksi obat-obat
-stesi dengan ARV yang paling sering adalah pada
:mgan Protease inhibitor (PI) dan obat ARV golongan
ilog nonnukleitida (NNRTI).
!uksi atau inhibisi dari enzim yang mempengaruhi
rt anestesi:
Opioid
Efek dari fentanil dapat meningkat akibat pemberian
ritonavir karena interaksi pada inhibisi maupun induksi
dari enzim hati. Inhibisi dari enzim tersebut mampu
195
mengurangi keluaran dari fentanil dan induksi dari
enzim mampu meningkatkan metabolisme metabolit aktif
seperti normepiridine.
Benzodiazepin.
Saquinavir dapat menghambat metabolisme midazolam.
Kalsium channel blocker dapat meningkatkan efek
hipotensi karena efek inhibisi dari enzim.
Anestesi lokal seperti lignocaine dapat meningkatkan
level plasma karena penghambatan pada tingkat enzim.
Efek neuromuskular blocker menjadi berkepanjangan,
meskipun hanya satu kali pemberian dosis vecuronium.
Perioperatif pengelolaan ARV
Meningkatnya masalah resistensi obat dalam
pengobatan HIV, direkomendasikan terapi ARV akan
berlanjut sepanjang periode perioperatif. Terapi ini tentu saja
kompatibel dengan operasi dan fungsi pencernaan pasien.
tN;r· Beberapa ARV tersedia dalam bentuk cair memungkinkan
,; ,/l;c. pemberian melalui NGT atau gastrostomy. Persiapan
parenteral terbatas pada obat AZT dan enfuvirtide saja.
fi&.t:;
Manajemen Anestesi
Dianjurkan suatu pendekatan multisystem dan
multidisiplin.
Penilaian preoperatif status infeksi HIV meliputi:
Riwayat penyakit termasuk faktor risiko
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium
Menilai fungsi organ
Riwayat penggunaan obat dan efek samping.
Investigasi harus mencakup:
Darah rutin
Profil koagulasi
Pemeriksaan gula darah, elektrolit, fungsi ginjal dan
hati
Viral load dan hitung CD4
Foto thorak untuk menyaring infeksi oportunistik dan
tuberkulosis
Elektrokardiografi dan ekokardiografi jika
memungkinkan untuk evaluasi kardiomiopati.
196
'ersiapan kamar operasi dan personil:
Persiapan kontrol infeksi termasuk kewaspadaan
universal dengan sarung tangan, celemek, visors, d!l
Perangkat pengumpulan objek tajarn dengan (/)
penanganan benda tajam yang sesuai. m
Cl)
Seluruh staf yang bekerja harus rne nyadari protokol "
0
ila terpapar saat bekerja: Cl)
m
(/)
Bilas dan cuci daerah yang terkeria dengan sabun dan air )>
Tes laboratorium penerima: HIV, hepatitis akut :::0
Tentukan sumber penularan. �
Ketersediaan profilaksis pasca pajanan harus dimulai j;
egera karena risiko kecelakaan yang mungkin timbul o
)>
lealnya dalam waktu 1 jam eksposur.
Hepatitis B immune globulin dan/ atau vaksin hepatitis B
Mencapai identifikasi awal hepatitis C kronis penyakit
imz
Protokol HIV PPP dengan 3 atau lebih ARV, jika dikenal :t:
positif donor HIV atau pasien berisiko tinggi pasien atau <
resiko rendah dengan 2 atau lebih ARV. ARV diberikan
selama 4 minggu atau sampai sumber orang tersebut
ditemukan negatif untuk HIV.
Menindak lanjuti dengan konseling dan tes HIV untuk
pasca pajanan (tes dilakukan pada awal, 6 minggu, 12
minggu dan 6 bulan).
artimbangan perioperatif untuk pasien dengan HIV:
Minimalkan interupsi pada terapi ARV untuk mengurangi
resistensi obat
Pertimbangkan interaksi obat dengan ARV dengan
penggunaan obat yang terkena dampak dengan •
menghambat enzim hati dan / atau induksi
Teknik aseptik yang ketat terutama yang rentan
terhadap infeksi bakteri
Rencana anestesi harus disesuaikan dengan keadaan
pasien dan jenis operasi.
restesi Umum
Adanya kelainan fungsi saraf (sentral maupun perifer
uropaty) menjadi pertimbangan penting. Anestesi umum
.pat menyebabkan depresi sementara pada fungsi sistem
un. Harus diperhatikan prediksi kesulitan intubasi akibat
:aryngeal lymphatic hypertrophy dan infeksi atau tumor di
r1gga mulut, serta resiko migrasi kuman patogen di rongga
197
mulut ke pulmoner. Resiko terjadinya interaksi obat anti
virus dengan agen anestesi yang dapat menyebabkan
memanjangnya efek dari obat.
Regional anestesi
Adanya infeksi HIV bukan merupakan kontraindikasi
terhadap regional anestesi dan tidak ada bukti bahwa
perkembangan penyakit HIV dapat meningkat oleh blokade
neuraxial. Komplikasi HIV dapat menimbulkan
kontraindikasi relatif terhadap daerah anestesi: mielopati,
neoplasma pada tulang belakang, infeksi SSP, koagulopati.
Hal ini penting untuk melakukan penilaian neurologis secara
menyeluruh pada evaluasi prabedah dan
mendokumentasikan setiap defisit neurologis. Ada suatu
postulat bahwa blok neuroaksial dapat menyebabkan infeksi
SSP secara primer (on site), dapat memperburuk penyakit
SSP yang sudah ada atau jadi port. de entry kuman patogen
ke SSP, namun hal ini dibantah oleh beberapa penelitian.
Pascabedah dan Nyeri
Setelah melahirkan si Ibu dan anak harus berobat dan
bayi sebaiknya diberi pengobatan antivirus selama 6 minggu
lalu diberikan susu formula. Nyeri umum terjadi pada
penyakit HIV tingkat lanjut dan bisa sangat sulit untuk
mengobati. Etiologi nyeri multifaktorial, termasuk infeksi
oportunistik seperti herpes simpleks, arthralgia terkait HIV,
neuropati perifer dan obat terkait nyeri. Hal ini berdampak
pada pengobatan nyeri pascabedah yang tentunya
memerlukan pendekatan multimodal.
Transfusi Darah
Ada bukti bahwa transfusi darah alogenik pada pasien
HIV yang terinfeksi dapat menyebabkan transfusion related
immunomodulation (TRIM) dan dapat menyebabkan
peningkatan viral load HIV. Transfusi darah hanya akan
ditransfusikan pada keadaan untuk menjaga keselamatan
pasien.
Pencegahan terhadap Infeksi HIV (Universal Precautions)
Petugas kesehatan harus melakukan pengendalian
infeksi yang universal tindakan pencegahan untuk semua
pasien dengan melindungi diri terhadap penyebaran infeksi
198
ielalui darah. Daerah yang tinggi prevalensi HIV banyak
asien asimtornatik dan dapat diklasifikasikan sebagai AS/\
-2. Resiko akumulasi untuk tertular HIV selarna bekerja
ebgai dokter anestesi karir anestesi dapat setinggi 4,5'.Y., di (/)
aerah tinggi prevalensi. Hal ini dapat terjadi melalui cedera m
A
(/)
irurn suntik risiko transmisi 0,3'!.{,. Risiko penularan melalui
0
rte mukokutan percikan dari perrnukaan mukosa atau kulit (/)
m l
(/) ii
rsak oleh cairan tubuh adalah 0,03'%. Semua petugas ;,
)>
esehatan harus diimunisasi hepatitis B. ::u �
m �-
Beberapa tindakan penccgahan yang harus diambil )>
"CJ
I
ntuk mengurangi risiko transmisi HIV pada petugas )>
I
esehatan: 0
)>
Buang benda tajam dengan aman �
(/)
Jangan menggunakan kernbali jarurn
iii I
Pakailah sarung tangan z !
Gunakan peralatan sekali pakai :r:
Peralatan dapat digunakan kembali secara bersih dan < I
benar.
Jika seorang pekerja kesehatan menderita cedera
isukan jarum atau terkena sesuatu yang berpotensi
rinfeksi darah atau cairan tubuh, langkah-langkah berikut
irus diambil:
srtolongan pertama pada kecelakaan I
Jarum atau Iuka terkontaminasi mendorong pendarahan • .
dari kulit Iuka dan membersihkan bagian itu dengan air
sabun yang banyak atau disinfektan.
Kulit utuh mencuci dengan sabun dan air.
Kontaminasi mata dilakukan bilas dengan lembut pada
mata terbuka dengan salin atau air.
Kontaminasi mulut dilakukan dengan meludahkan
cairan apapun, bilas mulut dengan air dan meludah
keluar lagi.
iftar Pustaka
Avidan MS, Groves P, Welch J, Pozniak A, Davies EM.
Low complication rate associated with cesarean section
under spinal anesthesia for HIV-I-infected women on
antiretroviral therapy. Anesthesiology 2002; 97:320-4
Behrman, Kiiegman, Jenson. Acquired Immunodeficiency
Syndrome (Human Immunodeficiency Virus). Dalam:
199
Nelson Textbook of Pediatrics. l 71h ed. Philadelphia: WB
Saunders Company; 2004 : l 109-20.
3. Chambliss LR, Myer RA. Human immunodeficiency virus
in pregnancy. Dalam: Foley MR, Strong TH, Garite TJ,
1"
eds. Obstetric Intensive Care Manual. 3 ed. New York:
McGraw Hill; 2011: 313-28.
4. Evron S, Glezerman M, Harow E, Sadan 0, Ezri T.
Human immunodeficiency virus: Anesthetic and obstetric
considerations. Anesth Analg 2004;98:503-11
5. Gronwalda C, Vowinkelb T, Hahnenkampa K. Regional
anesthetic procedures in immunosuppressed patients:
risk of infection. Current Opinion in Anesthesiology 2011,
24:698-704
6. Horlocker 'IT, Wedel DJ. Regional anesthesia in the
immunocompromised patient. Regional Anesthesia and
Pain Medicine 2006, 31(4): 334-45.
7. Imran D, Yunihastuti E, Jannis J, Sukmana N, Djauzi S
dan Karjadi TH. Infeksi oportunistik pada AIDS.
Yunihastuti S, Djauzi S, Djoerban Z. Editor. Kelompok
Studi Khusus (Pokdisus) AIDS Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Bekerja sama dengan Perhimpunan
Dokter Peduli AIDS Indonesia (PDPAI). Balai Penerbit
FKUI Jakarta 2005 : 5-55
8. Mc Farland, Elizabeth J. Human immunodeficiency virus
(HIV) infection. Dalam: Current Pediatric Diagnosis &
Treatment. 16th ed. Singapore: McGraw Hill; 2003, 1140-
50.
9. Uyainah A, Ahmad A, lmran D, Wulandari D, Nelwan EJ,
Sumartiyah E, dkk. Tatalaksana HIV/ AIDS. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran. Jakarta 2011: 63-68.
10. Volderding A, Sande A. The Medical Management of AIDS.
4th ed. United State of America: WB Saunders; 1995: 614-
32.
11. Wilson S. HIV and Anaesthesia. Update in Anaesthesia
2009, 25(2):25.
?nn
. ·:�i�·-�,�-s�t��:��i�:��l�rifJ·: ;; \I? i?':·_�f:::;{:�-����(.'.'{:·_;. ��t
.. ·)';uhantcB,sn,Tat�g.-ai�n . · ,. -, '.·::·,,·.,.':.,.:.;.:,.'.:· · _ .,; .. _.
·:' ·• .·.:::-- :��� ·: :·�---- <-;-:\.}··: .-?· /\·'._·:: _----. ,-_:-� :··-.-;,. ;:_-.:_>; _:\:. ,;··<�: :'i.:;: {<·\\.
rumor otak adalah setiap pertumbuhan sel yang abormal
irau proliferasi sel yang tidak terkendali dari otak. Kejadian
umor otak adalah 14 per l 00.000 penduduk dan
nerupakan penyebab kematian ketiga pada pasien yang
ierusia 20-29 tahun. Kebanyakan pe nelitian menunjukan
cejadian tumor otak sedikit lebih rcndah pada wanita hamil
libandingkan dengan wanita yang tidak hamil pada
telompok umur yang sama. Penyebab terjadinya tumor otak
.angat kompleks dan belum diketahui.
Pertimbangan anestesi pada seksio sesarea (SC) adalah
.danya 2 insan yang harus diperhatikan yaitu keselarnatan
bu dan janin, adanya perubahan fisiologi serta perubahan
.natomi ibu yang menyebabkan perubahan dalam teknik
!an obat anestesi yang diberikan dan adanya risiko
egurgitasi, aspirasi, dan supine hypotension syndrome.
Dari segi farmakologik harus dipikirkan obat
.ienembus sawar darah plasenta dan mempengaruhi janin.
la! penting Iainnya adalah aliran darah uteroplasenta
engan formula bahwa Uteroplacental blood flow /UBF =
JAP - UVP) / UVR. Tekanan dara uterina (uterine arterial
ressure/UAP dan tekanan vena uterina (uterine venous •
ressure/UVP) dan resistensi vena uterina (uterine vascular •
esistance./Uvfq memegang peran dalam mengatur aliran
arah ke plasenta.
Pertimbangan lain adalah ibu masuk RS pada saat
kan melahirkan sehingga persiapan prabedah minimal
-rmasuk puasa prabedah. Puasa untuk seksio sesarea
ektif adalah 6-8 jam dari makanan padat. Dengan
ernikian prinsip Obstetri Anestesi adalah menjaga outcome
mg baik bagi ibu dan fetus, pengaturan aliran darah
teroplasental, obat tidak menembus barier plasenta, dan
irget APGAR score yang baik.
Prinsip Neuroanestesia adalah mencegah terjadinya
.dera sekunder. Cedera sekunder bisa terjadi pada cedera
.ak traumatik, tumor otak, penyakit serebrovaskuler (stroke
ernorhagik, stroke iskemik). Teknik anestesi dengan ABCDE
eurcanestesi, yang sama dengan Neuroresusitasi,
europroteksi, pengelolaan neuro ICU.
Cedera Otak Sekunder pada Tumor Otak:
Sasaran anestesinya adalah menjaga otak terhadap
cedera sekunder dengan cara:
1. Menghilangkan faktor risiko seperti hipoksemia
hiperkapnia, anemia, hipotensi. memelihara autoregulasi
dan respons terhadap C02
2. Memahami tipe, berat penyakitnya dan lokasi tumor
3. Pasen tidak bergerak, memaksimalkan rclaksasi otak
untuk menurunkan tekanan retraktor,
4. Menjamin tekanan perfusi otak (cerebral perfusion
pressure/CPP) yang adekuat, pengendalian tanda vital
5. Cepat bangun sehingga bisa memberikan keadaan untuk
pemeriksaan neurologis
6. Terapi dan cegah hipertensi, batuk dan gangguan nafas
yang membahayakan pada periode pascabedah
Faktor yang menimbulkan cedera otak sekunder (pada
cedera otak traumatik, tumor, stroke) bisa sistemik dan
intrakranial.
Cedera otak primer pada tumor otak adalah tumornya
itu sendiri. Faktor yg menimbulkan cedera otak sekunder
pada tumor otak bisa sistemik dan intrakranial. Faktor
sistemik adalah hipoksemia, hipotensi, anemia, hipokarbia,
hiperkarbia, pireksia, hiponatremia, hipoglikemia,
hiperglikemia. Faktor intrakranial adalah hematoma,
peningkatan ICP, seizure, infeksi, vasospasme
Efek kehamilan pada tumor otak
Kehamilan dapat mempengaruhi perkembangan tumor
otak, namun sebaliknya tumor otak dapat mempengaruhi
kehamilan. Efek kehamilan pada tumor otak adalah:
Meningioma dan adenoma hipofise membesar selama
kehamilan, tumor metastasis dari mammae,
choroicarcinoma. Perubahan fisiologi wanita hamil dapat
mengeksaserbasi simptom tumor otak karena meningkatnya
kandungan air otak dan distensi vena intrakranial.
Efek tumor otak pada kehamilan adalah meningkatkan
risiko abortus spontan, meningkatkan resiko kematian fetal,
kemungkinan efek teratogenik dan karsinogenik dari radiasi
selama diagnosa dan terapi, kemungkinan efek teratogenik
dari terapi, dan meningkatnya risiko DVT.
Masalah SC dengan tumor otak adalah bila dilakukan
SC dulu, lalu diteruskan reseksi tumor otak, masalahnya
202
adalah operasi yang Joma (saat melakukan pengangkatan
tumor) pada kontraksi uterus.
Secara garis besarnya anestesi dilakukan dengan
(/)
anestesi urn urn. Bila ada rnasalah peningkatan !CP anestesia m
;,:_
berbasiskan anestesi intravena, sedangkan bila tidak ada (/)
peningkatan ICP, anesrcsia bcrbasiskan inhalasi < 1,5 MAC. 0
(/)
m
Simpulan �
:::0
Bila ada tanda kenaikan ICP, dengan anestesi umum. m
)>
Bila tidak ada gangguan koagulasi dapat dilakukan
dengan anestesi regional. �
§;:
Pada stroke iskemik akut, adanya hipotensi
memperburuk cedera neuron. �
(/)
Succynikholine merupakan kontraindikasi bila ada iii
z
defisit neurologik motor >24 jam karena dapat -t
menyebabkan hiperkalemia signifikan dan hen ti jantung. c
s::
Bila diberikan antikonvulsan: percepatan metabolisme 0
::0
non depol.
Bila ICP meningkat, pertahankan CPP adekuat dengan �
;,:_
meningkatkan tekanan arteri rata-rata dan menurunkan
ICP.
Pasang monitor tekanan darah invasif.
Hiperventilasi sebelum bayi lahir hanya bila peningkatan
ICP mengancam nyawa.
Mannitol: indikasi bila peningkatan ICP berat, efektif
untuk ibu tapi bisa hipovolemia fetal, siapkan untuk
resusitasi cairan bayi.
Teknik anestesi: pasien bangun cepat. untuk evaluasi
neurologik segera. •
Karena diberikan narkotik sebelum bayi lahir, siapkan
bantuan respiratori untuk bayi.
Daftar Pustaka
1. Albrecht M, Scabo M. Brain Tumor. Dalam: Pian-Smith
MCM, Leffert L, eds. Obstetric Anesthesia. Cambridge:
Cambridge University Press; 2007, 128-39.
2. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi. Bandung: Saga Olah
Citra; 2011.
3. Bruder NJ, Ravussin PA. Anesthesia for supratentorial
tumors. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of
Neuroanesthesia, 5th ed, Philadephia: Lippincott Williams &
Wilkins;2012, 115-35.
203
4. Datta S. Anesthetic and Obstetric management of high-risk
pregnancy, edisi ke-3, New York: Springer; 2004.
5. Datta S. Obstctri Anesthesia Handbook, edisi ke-4, USA:
Springer; 2006.
6. Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetri Anesthesia Handbook,
edisi ke-5. New York: Springer; 2010.
7. Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetri Anesthesia Handbook,
edisi ke-5. New York: Springer; 20 l 0.
8. Martinez-Tica J, Vadhera RB. Disorders of the central
nervous system in pregnancy. Dalam: Gambling DR,
Douglas MJ, Mckay RSF. Obstetric anesthesia and
uncommon disorders, 2nd ed, Cambridge: Cambrige
University Press; 2008, 167-89.
9. Mhuireachtaigh R, O'Gorman DA. Anesthesia in pregnant
patients for nonobstetric surgery. Journal of Clinical
Anesthesia 2006; 18: 60-66.
10. Rosen MA. Neuroanesthesia in pregnancy. Dalam: Gupta
KA, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and
neurointensive care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008,
311-14.
11. Wlody D, Velickovic I, Weems LD. Neurosurgery in pregnant
patient. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of
Neuroanesthesia, 5th ed, Philadephia: Lippincott Williams &
Wilkins;2012, 281-95.
12. Wlody D,J, Velickovic I, Weems LD. Neurosurgery in the
pregnant patients. Dalam: Niewfield P, Cottrell JE,eds.
Handbook of Neuroanesthesia, 5th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;2012,281-95.
13. Wlody DJ, Weems L. Anesthesia for neurosurgery in the
pregnant patient. Dalam: Cottreli JE, Young WL, eds.
Cottrell and Young's Neuroanesthesia, 5th ed. Philadelphia:
Mosby Elsevier;2010, 416-24.
14. Wlody DJ, Weems LD. Neurosurgery in the pregnant patient.
Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of
neuroanesthesia, 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 2007, 278-95.
15. Wang LP, Paech MJ. Neuroanesthesia for the pregnant
woman. Anesth Analg 2008; 107: 193-200.
204
t5 :-\ l5 ; 'j
.......... :.·: ... ·:. ;.---�--=� .: , .... -.·.-:"! v-_,�: .:::;,f .:··.:·.�;.•.,:-J ..• ·· ..... J:..;·. -:---:-·.·. \"':,,.- ..�·t;_·;::�:. i�·�.,/' ;-:-
_ekSl6·s�i11t�ai:Vc1�a'.�ile)t\.\u-';: : -:��din(·�:�· ":ti..,?'>?
·:· �4��!:���JI�\:r>�����<�<t;\:;/:i:_. :.:\·�-.\t"f:J/tf\�f \\\�:;{.:
Pertimbangan anest esi pada seksio sesarea (SC) adalah
adanya 2 insan yang har us cliperhatikan yaitu kcsclarnatan
ibu dan janin, adanya perubahan fisiologi serta perubahan
anatomi ibu yang menyebabkan perubahan dalam teknik
dan obat anestesi yang diberikan dan adanya risiko
regurgitasi, aspirasi, dan supine hypotension syndrome.
Dari segi farmakologik harus dipikirkan obat
menernbus sawar darah plasenta dan mempengaruhi janin.
Hal penting lainnya adalah aliran darah uteroplasenta
dengan formula bahwa Uteroplacental blood flow /UBF =
(UAP - UVP) / UVR. Tekanan dara uterina (uterine arterial
pressure/UAP dan tekanan vena uterina (uterine venous
pressure/UVP) dan resistensi vena uterina (uterine vascular
resistance/UVR) memegang peran dalam mengatur aliran
darah ke plasenta.
Pertimbangan lain adalah Ibu masuk RS pada saat
akan melahirkan sehingga persiapan prabedah minimal
termasuk puasa prabedah. Puasa untuk seksio sesarea
elektif adalah _ 6-8 jam dari makanan padat. Dengan
demikian prinsip Obstetri Anestesi adalah menjaga outcome •
yang baik bagi ibu dan fetus, pengaturan aliran darah
uteroplasental, obat tidak menembus barier plasenta, dan
target APGAR score yang baik.
Prinsip Neuroanestesia adalah mencegah terjadinya
cedera sekunder. Cedera sekunder bisa terjadi pada cedera
otak traumatik, tumor otak, penyakit serebrovaskuler (stroke
hemorhagik, stroke iskemik). Teknik anestesi dengan ABCDE
neuroanestesi, yang sama dengan Neuroresusitasi,
Neuroproteksi, pengelolaan neuro ICU.
Cedera otak primer pada aneurisma adalah adanya
aneurismanya atau AVM sendiri. Cedera Otak Sekunder
pada ruptur aneurisma terjadi dalam menit, jam, hari
setelah cedera ruptur aneurisma/ruptur AVM yang
menggambarkan proses penyulit yang dimulai setelah cedera
orimer berupa iskemia, pembengkakan dan edema,
oerdarahan intrakranial, hipertensi intrakranial, herniasi.
205
Secarn prinsip cedera otak sekurider dapat diterapi. Faktor
yang menimbulkan cedera otak sekunder pacla ruptur
o.neurisma serebri/ AVM bisa sistcrnik clan intrakranial.
Faktor Sistemik adalah hipoksemia, hipotensi, anemia,
hipokarbia, hiperkarbia, pireksia, hiponatremia,
hipoglikemia, hiperglikcmia. Fakt or intrakranial adalah
hernatorna, peningkatan ICP, seizure, infeksi, vasospasme.
Popgelolaan N euroanestesia
, A= Airway: jalan nafas bebas sepanjang wa ktu
, .. B = Breathing: ventilasi kendali, normokapnia pada TBJ
dan sedikit hipokapnia pada brain tumor.
, C = Circulation: hindari Jonjakan tekanan darah, hindari
peningkatan tekanan vena serebral, targetnya
normovolemia, iso-osmoler, normoglikemia.
• D = Drugs: hindari obat dan teknik anestesi yang aka n
meningkatkan ICP. berikan obat yg berefek proteksi otak.
, E _= Environment : pengendalian suhu-s target suhu inti
35cc di karuaroperasi dan 36CC di ICU.
Clipping Aneurisma dan Reseksi AVM
Masalah SC pada pasien aneurisma serebral adalah:
1. Apakah pasien dilakukan SC dulu, kemudian dilakukan
cliping aneurisma setelah selesai SC?
'.2. Pasien dilakukan clipping aneurisma/reseksi AVM, tapi
tidak dilakukan SC (janin belum cukup umur)?
3. Bagaimana efek kelainan otak pada janin?
4, Bagaimana efek kehamilan pada kelainan otak?
Penanganan masalah mi rnemerlukan pengertian
patofisiologi Wanita hamil dan patofisiologi kelainan serebral.
Pa&ien SAH perlu SC
Harus dipertimbangkan umur kehamilannya.
Kehamilan kurang dari 24 minggu tidak dilakukan seksio
sesarea. Operasi clipping aneurisma dapat dilakukan dengan
segera dalam waktu 0-3 hari setelah aneurisma ruptur
(early) atau late yang mana operasi dilakukam pada hari ke
11-14 dan ternyata keduanya mempunyai morbiditas dan
mortalitas yang sama.
Bila fetus sudah lebih dari 24 minggu (data luar negri), yang
pada prinsipnya adalah umur fetus yang dapat hidup bila
dilakukan seksio sesarea, maka dilakukan seksio sesarea
206
Ul
m
Ian kemudian dilanjut kan dengan kliping n ne ur isrnn , akan @
etapi ada yang membcri batas waktu umur kehamilan 32 0
Ul
m
ninggu. Bila perlu clipping, tunggu clipping dilakukan > 1 O

iari sctelah aneurisrna ruptur clengan alasan tid ak ada ::0
ierbedaan mortalitas dan morbiditas antara early dan late, �
"O
naka wakiu IO hari in i dipakai untuk mcmatangkan fetus. )>
0
)>
Vaktu Operasi dalam hubungannya dengan melahirkan �
.ayi iii
z
)>
lila direncanakan dilakukan kraniotomi selama kehamilan, z
m
okter yang merawat wanita hamil tersebut harus c
::0
1emutuskan kapan kehamilan cukup dan operasi simultan cii
apat dilakukan. Umur kehamilan 32 minggu pada s:
l>
mumnya digunakan sebagai cut off untuk mencntukan z-l
ebijakan terse but. Sebelum 32 rninggu, kehamilan ::0
iteruskan (tidak dilakukan seksio sesarea), setelah �
ehamilan berumur lebih dari 32 minggu dilakukan seksio �
esarea dan dilanjutkan dengan kraniotomi. Penentuan j:
·aktu ini bukan saja karena fetus lebih matang, akan tetapi, �
<
:tus menjadi kurang berisiko terhadap terapi untuk ibu
eperti pemberian osmotik diuretik, hiperventilasi mekanis, �
::0
an hipotensi kendali. 0
;:,;;
m
asien dengan aneurisma serebral menunjukkan perbaikan
urvival untuk ibu dan fetus bila clipping aneurisma
ilakukan setelah SAH dibandingkan dengan pengelolaan
mpa pembedahan. Karena itu, pasien dengan grading klinis
.ndah (misalnya bangun dengan tanpa atau minimal defi.sit
eurologis) setelah SAH, terapi coiling endovasculer atau
ipping harus dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
.bleeding. Kliping aneurisma serebral yang belum pecah


apat dilakukan pada periode postpartum.
eseksi A VM yang tidak pecah dapat ditunda sampai setelah
.elahirkan tanpa menunjukan adanya peningkatan
ortalitas ibu. Sebaliknya reseksi AVM simptomatis
lakukan tanpa memandang usia kehamilan. Pengelolaan
asien dengan AVM yang pecah tapi neurologis stabil masih
mtroversial. Satu penelitian menunjukkan bahwa outcome
bih baik bila dilakukan operasi segera walaupun secara
atistik tidak berbeda nyata. Sebaliknya, yang lain
enganjurkan terapi konservatif. Sampai saat ini,
207
pertanyaan apakah dilakukan operasi segera setelah ruptur
AVM, belum terjawab.
Predictor mortalitas setelah SAH adalah:
Kondisi neurologik buruk saat masuk RS.
Penurunan level kesadaran setelah SAI-l.
Umur tua
Penyakit sertaan
Peningkatan tekanan darah.
Tebalnya bckuan darah pada jaringan otak a tau ventrikel
pada CT-scan.
Perdarahan ulang
Komplikasi aneurysma SAH meliputi kornplikasi pada
susunan saraf pusat dan komplikasi sistemik. Komplikasi
SSP berupa perdarahan ulang, vasospasme, gangguan
autoregulasi, hipertensi intrakranial, hidrocephalus, seizure,
penurunan aliran darah otak, penurunan CMR0:2. Gangguan
sistemik berupa hipertensi, hipovolemia, hiponatremia,
hipokalemia, hipocalcemia, abnormalitas EKG, abnormalitas
respiratori (Neurogenic Pulmonary Edema/NPE, pneumonia,
pulmonary embolus), disfungsi hepar, disfungsi renal,
thrombositopenia, anemia, perdarahan gastrointestinal.
Induksi anestesi
Pada saat induksi anestesi harus diperhatikan tekanan
transmural (transmural pressure/TMP) karena TMP = CPP =
MAP-ICP. Apabila tekanan darah menurun dengan hebat
saat induksi anestesi maka akan terjadi iskemia otak
bahkan sampai infark otak. Bila tekanan darah meningkat
saat laringoskopi-intubasi maka dapat terjadi bahaya re-
bleeding. Kejadian ruptur aneurisma 0,5-2% dan rnortalitas
mencapai 75%.
Penurunan tekanan darah 30% dibawah nilai awal
tidak memperburuk pasien bila sebelumnya tidak ada
iskemia serebral. Hiperventilasi mengurangi aliran darah
otak (cerebral blood fiow/CBF), menurunkan ICP,
meningkatkan TMP, dan beresiko terjadi ruptur aneurisma.
Target Utama Anestesi
Pada seksio sesarea tagetnya adalah aliran darah
uterus (uterine blood fiow/UBF), yang mana UBF = {UAP -
208
(/)
m
;:,;;
(/)
UVP) / UVR. Pcnurunan yang nyata dari tekauan rerata ibu
atau pe ningkatan resistcnsi vascular uterus akan 0
(/)
menurunkan a Jiran darah uteroplasental m
sehingga
menurunkan aliran darah urnbilikal. �
:u
Pada clipping aneur isrna targetnya tekarian transmural �
(TMPJ yang maria TMP sarna dengan tekanan perfusi otak j;
(TMP CPP MAP-ICPJ. Pe ningkatan TMP dapat �
menycbabkan terjadi pecahnya ancurisma, sedangkan
penururian TMP menimbulkan iskhemia. �
m
z
Pengelolaan intraoperatif pasien untuk kliping )>
aneurisma adalah dengan memperhitungkan pernberian z
m
cairan, pengurangan volume otak. Lama kliping temporer c
:u
adalah 20 menit atau kurang. Bila bila melakukan teknik Vi
s::
)>
hipotensi dapat dengan sodium nitroprussid atau anestetika
inhalasi misalnya isofluran. Pada saat kliping aneurisma �
harus dilakukan proteksi otak dengan hipothermi 32-34°C, :0
)>
;,:;
mannitol, dexamethasone, pentotal.
Bila terjadi ruptur aneurisma intraoperatif terlihat �
z
adanya hipertensi dan bradicardia.
Untuk mendapatkan otak yang rileks dapat dilakukan �
drainase cairan serebrospinai melalui kateter lumbal dengan s::
kecepatan 5 ml/menit dan total pengambilan cairan 50-150
en
-I
:0
mi. 0
;,:;
m
Emergens
Pasien dengan grading klinis baik dibangunkan di OK.
Akan tetapi, apabiia keadaan prabedah buruk (grading klinis
Hunt & Hess 3-5) atau ada kejadian buruk intraoperatif,
misalnya pembengkakan otak, ruptur aneurisma, ligasi •
feeding vessel, pasien tetap diintubasi, beri sedatif, dan
ventilasi mekanis.
Pasien tetap tidak berespon atau ada perburukan
neurologis baru dalam 2 jam pascabedah perlu dilakukan
pemeriksaan CT-scan.
2. Stroke
Stroke adalah gangguan aliran darah yang tiba-tiba
pada otak. Subtipe: stroke iskemik, stroke hemoragik, sinus
thrombosis vena cortical
Stroke Perdarahan = Hemorrhagic stroke atau Intracranial
Hemorrhage (ICH)
209
Manifestasi klinis dapat berupa sakit kepala, mual-muntah,
defisit neurologik fokal, pandangan kabur, penurunan
kesadaran, dan kejang.
Pengaruh Kehamilan pada Stroke:
Kehamilan meningkatkan risiko stroke.
Paling sering terjadi saat melahirkan dan post partum.
Penyebab stroke: eklarnpsia, choriocarcinoma, emboli
cairan amnion, kardiomiopati peripartum.
Pengaruh stroke pada kehamilan:
Meningkatkan resiko mortalitas fetal
Kemungkinan efek karsinogenik dan teratogenik dari
radiasi saat pemeriksaan.
Kemungkinan teratogenic efek dari terapi.
Patofisiologi Stroke Iskemik
Stroke iskemik dapat akibat dari kardioemboli,
atherothrombotic pembuluh darah besar, patologi pembuluh
darah kecil (misalnya infark lacuner). Lacunar infark sering
terjadi di basal ganglia dan batang otak, dapat tanpa gejala
atau menimbulkan dementia.
Patofisiologi Stroke Hemmorrhage
Disebabkan hipertensive cercbrovascular diseases dan
terjadi paling sering di regio subcortical. Stroke hemoragik
sangat mengancam jiwa, hanya 30% pasien mampu
bertahan hidup dalam 6 bulan setelah serangan. Patofisiologi
utama: Efek massa dari hematoma post-ICH, neurotoksisitas
dan edema akibat protein darah dan produk pecahnya
darah.
Terapi ICH
A,B,C Basic method neuroresusitasi
Farmakologik
Normotermia
Kejang: terapi dengan fenitoin 15 mg/kg iv selama 20
menit dilanjutkan 5- 7 mg/kg/hari
Simpulan
Bila ada tanda kenaikan ICP ""? dengan anestesi umum.
?10
(!)
m
:,;:
(!)
Bila tidak ada gangguan koagulasi dapat dilakukan
dengan anesresi regional.
6
(!)
m
Pada stroke iskernik akut , adanya hipotensi (!)
)>
mempcrburuk cedcra neuron. ::u
Succynilcholine merupakan kontraindikasi bila ada �
defis it ncurologik motor > 24 jam karena dapat "];
menyebabkan hiperkalernia signifikan dan hcnti jantung. �
Bila diberikan antikonvulsan: percepatan metabolisme

non depol. in
Bila ICP meningkat, pertahankan CPP adekuat dengan z
)>
meningkatkan MAP dan menurunkan ICP. z
m
Pasang monitor tekanan darah invasif. c
:n
Hiperventilasi sebelum bayi lahir hanya bila peningkatan cii
ICP mengancam nyawa.
s::
)>
Mannitol: indikasi bila peningkatan ICP berat, efektif z
-l
untuk ibu rapi bisa hipovolemia fetal, siapkan untuk :0
resusitasi cairan bayi. �
:0
)>
Teknik anestesi: pasien bangun cepat, untuk evaluasi z
neurologik segera.
Karena diberikan narkotik sebelum bayi lahir, siapkan ;
barituan respiratori untuk bayi. s::

:0
Daftar Pustaka 0
:;,;;
m
1. Clewel WH. Neurologic emergencies during pregnancy .
Dalam: Foley MR, Strong TH, Garite TJ, eds. Obstetric
Intensive Care Manual, 3rd ed, New York: McGraw Hill
Medica1;2011, 191-97.
2. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi. Bandung: Saga Olah
Citra; 2011.


3. Datta S. Anesthetic and Obstetric management of high-risk
pregnancy, edisi ke-3, New York: Springer;2004.
4. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-4, USA:
Springer; 2006.
5. Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetri Anesthesia Handbook,
edisi ke-S. New York: Springer; 2010.
6. Hamid RKA, Hamid NA, Newfield P, Bendo AA. Dalam:
Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia,
211
5th ed, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2012,
148- 78.
7. Martinez-Tica J, Vadhera RB. Disorders of the central
nervous system 111 pregnancy. Dalam: Gambling DR,
Douglas MJ, Mckay RSF. Obstetric anesthesia a nd
uncommon disorders, 2nd ed. Cambridge: Carnbrige
University Press; 2008, 167-89.
8. Mhuireachtaigh R, O'Gorrnan DA. Anesthesia in pregnant
patients for nonobstetric surgery Journal of Clinical
Anesthesia 2006; 18: 60-66.
9. Rosen MA. Neuroanesthesia in pregnancy. Dalam: Gupta
KA, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and
neurointensive care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008,
311-14.
10. Wlody D, Velickovic I, Weems LO. Neurosurgery in pregnant
patient. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of
Neuroanesthesia, 5th ed, Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins;2012, 281-95.
11. Wlody DJ, Velickovic I, Weems LD. Neurosurgery in the
pregnant patients. Dalam: Niewfield P, Cottrell JE,eds.
Handbook of Neuroanesthesia, 5th ed.Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;2012,281-95.
12. Wlody DJ, Weems L. Anesthesia for neurosurgery in the
pregnant patient. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds.
Cottrell and Young's Neuroanesthesia, 5th ed. Philadelphia:
Mosby Elsevier;2010, 416-24.
13. Wlody DJ, Weems LO. Neurosurgery in the pregnant patient.
Dalam: Newfield P, Cottrell JE,eds. Handbook of
neuroanesthesia, 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 2007, 278-95.
14. Wang LP, Paech MJ. Neuroanesthesia for the pregnant
woman. Anesth Analg 2008; 107: 193-200.
212
t:SAH L.O
Trauma pada wanita hami! sangat sering dijumpai dan
mcrupakan situasi yang dapat mernbahayakan ibu maupun
janin. Wanita harnil cenderung mudah terkeria trauma
sebagaimana perubahan postur yang terjadi selama
kehamilan. Penanganan pasien hamil dengan trauma sering
dilakukan sama halnya seperti pasien yang tidak harnil.
Padahal seharusnya dibedakan penanganan pasien trauma
dengan kehamilan dan yang tidak hamil. Penanganan
pasien trauma dengan kehamilan harus dilakukan dengan
perhitungan penanganan untuk dua orang, yaitu untuk ibu
dan untuk bayinya, entah bayinya masih bertahan atau
tidak. Apapun yang terbaik untuk ibu diharapkan juga yang
terbaik untuk janin dalam kandungannya. Bila ibu
meninggal, maka bayi juga akan meninggal bila tidak
dilakukan intervensi. Gawat janin biasanya bermanifestasi
beberapa jam kemudian, tergantung berapa lama sang ibu
mengalami kejadian trauma (Avery, 2009). Perubahan
fisiologis yang terjadi pada ibu hamil berdampak langsung
pada respon ibu harnil terhadap trauma. Di pihak lain
rangkaian perjalanan cedera otak traumatika baik yang
berupa tampilan klinis maupun perubahan biomolekular
yang terjadi dapat sangat mempengaruhi ibu maupun janin
dalam kandungannya (Werner & Engelhart, 2007).
I
Pertimbangan anestesi pada Seksio Sesarea
Pada saat seorang ahli anestesi mempersiapkan pasien
seksio sesarea dengan riwayat atau saat sedang menderita
cedera otak traumatik, maka ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan. Hal pertama yang perlu diperhatikan
adalah bahwa perhatian harus ditujukan bukan hanya pada
pasien yang akan dioperasi saja tapi juga pada janin yang
ada dalam kandungan ibunya. Jadi mempertimbangkan
keselamatan ibu maupun janin dalam kandungannya juga.
Pada ibu hamil (terutama trimester 3) terjadi perubahan
fisiologi (sistem kardiovaskuler, hematologi, pernapasan,
uterus, plasenta, dan sistem gastrointestinal); serta
perubahan anatomi, dimana hal terse but juga meningkatkan
213
risiko terjadinya regurgitasi, aspirasi, serta supine
hypotension syndrome. Hal yang harus diperhatikan bahwa
penanganan bukan hanya kepada ibu, namun juga kepada
janin yang ada dalam kandungan. Di samping itu, pada saat
kchamilan terjadi perubahan fannakologik terkait obat-
obatan yang menernbus sawar darah plasenta, Hal tersebut
penting mengingat saat pemberian anestetika, baik melalui
regional anestesi maupun anestesi umum scmuanya terkait
dengan pemberian obat-obatan. Sehingga wajib pula
mempertimbangkan pcrubahan farmakologik pada wanita
hamil tersebut. Dalam penatalaksanaan anestesi juga wajib
memperhatikan aliran darah uteroplasenta/ Uteroplacental
blood flow (UBF). Oimana hal tersebut ditentukan dalam
sebuah persamaan sebagai berikut: UBF = (UAP - UVP) /
UVR. UAP Uteroplacental Arterial Pressure; UVP
Uteroplacental Venous Pressure; UVR = Uteroplacental Venous
Ressisstance. Hal lain yang tidak kalah pentingnya
diperhatikan adalah bahwa pada pasien - pasien yang akan
mcnjalani bedah sesar dengan (sedang) cedera otak
traumatik adalah bahwa ibu tersebut belum begitu siap
benar akan kepentingan untuk segera dilakukan operasi,
sehingga persipan prabedah sangat minim, terutama
masalah pengosongan lambung yang potensial beresiko
tinggi bila pasien dalam kcadaan lambung penuh.
Prinsip Obstetri Anestesi
Pada ibu hamil yang akan dibedah sesar dengan
riwayat atau sedang mengalami cedera otak traurnatika,
tetap harus mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar
obstetric anestesi untuk mencapai outcome yang baik bagi
ibu dan janin dalam kandungannya. Hal ini tidak terlepas
dari pengaturan aliran darah uteroplasental. Curah jantung
(Cardiac Output /CO), laju nadi (Heart Rate /HR) dan Stroke
Volume (SV) semuanya meningkat selama kehamilan. Curah
jantung meningkat sekitar 40-50% pada kehamilan atem,
dimana sebagian besar peningkatan mulai terjadi pada
kehamilan 20 minggu. Peningkatan aliran darah yang
didistribusikan terutama ke uterus, dimana aliran darah
meningkat sekitar 50 ml/menit pada kehamilan 10 minggu
sampai dengan 850 ml/ menit pada kehamilan aterm.
Resistensi vaskuler sistemik (systemic vascular resistance
/SVR) menurun akibat vasodilatasi perifer sebagai mediasi
?14
dari progesterone, prostasiklin, dan estrogen. Serta terjadi
pengurangan tekanan darah sistolik dan diastolik .sampai
mendekati trimester ketiga dan secara perlahan meningkat
hingga kehamilan aterrn, sekalipun nilainya tetap lebih
rendah dibanding nilai sebelurn hamil.
Kornpresi aortokaval dapat terjadi scjak pertengahan
usia keharnilan, terutama pada posisi supinasi. Hal tersebut
terjadi karena kompresi pada vena kava interior dan aorta.
Aliran balik vcna tergantung pada kompetensi sirkulasi
kolateral melalui vena-vena azygos dan ovarian. Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa aliran darah uterus berkurang
terutama sebagai akibat kompresi aorta dibanding kompresi
vena. Faktor utama yang mempengaruhi transport obat
melalui plasenta adalah aliran darah uterus. Setiap
pengurangan aliran darah ke plascnta akan mengurangi
transfer obat (dan nutrisi) ke fetus. Pengurangan aliran
darah utcroplasental dapat terjadi akibat pengurangan aliran
darah maternal secara keseluruhan (misalnya pada keadaan
hipotensi, berkurangnya curah jantung, kompresi
aortokaval, serta vasokonstriksi menyeluruh) ataupun secara
langsung akibat obstruksi aliran (kompresi aortokaval,
kontraksi uterus, serta kompresi korda umbilikalis.
Pemilihan obat selama penatalaksanaan anestesi seksio
sesarea pasien dengan cedera kepala, harus
mempertimbangkan agar obat-obatan yang digunakan tidak
menembus barier plasenta. Obat-obatan yang digunakan
dapat mempengaruhi janin pada setiap tahapan kehamilan.
Selama trimester pertama keharnilan terjadi perkembangan
sistem organ dan keseluruhan struktur tubuh, khususnya •
pada minggu ke tiga dan minggu kesepuluh; sehingga
pemberian obat-obatan pada periode tersebut dapat
menyebabkan malformasi kongenital. Selama trimester
kedua dan ketiga, pertumbuhan dan perkembangan jaringan
fetus juga masih dapat dipengaruhi. Obat-obatan yang
diberikan sebelum kelahiran janin dapat mempengaruhi
oksigenasi fetal secara tidak langsung (misalnya yang
menyebabkan hipotensi pada maternal ataupun depresi
respirasi), dapat mempengaruhi kelahiran (misalnya b-
agonis), atau dapat pula berefek pada neonatus sesudah
kelahiran, misalnya opioid.
Sebagian obat diketahui berbahaya ketika diberikan
selama kehamilan, namun untuk sebagian besar obat, tidak
215
disediakan inforrnasi yang tr-pat mengenai efeknva sclama
kehamilan. Sehingga. scca ra uruurn. obat-ob.uan ridak
diberika n scla ma kcharnilan. kccuali dengan pcrt imbanga n
efek menguntungkan yang lebih bcsar dari cfek mc-rugika n
terutama pada trimester pert ama. Scdapatnya, obat-obatan
yang sudah lama digunukan clcngan k linisi y.mg
:;t> berpengalarnan menggunakanny» lebih dipilih ketimbang
z
m obat-obat baru, dan ha! ini juga berlaku untuk obat-obatan
en
-i anestetika. Sebagai contoh. data mengenai penggunaan
m
� etornidat, alfentanil, dan fentanil yang menyatakan arnan
0 pada ibu hamil belum ditctapkan sccara pasti. Seclangkan
ID
en Propofol dan Fentanil secara spesifik harus digunakan
-i
� secara berhati-hati pada pasien obstetric. Tiopental, data
� secara epidemiologik dan bukti klinis menunjukkan
keamanannya pada kehamilan. Sedangkan atrakurium,
vekuronium, dan suxametonium dikatakan hanya digunakan
pada keadaan hamil bila perhitungan efek
menguntungkannya lebih besar dari efek merugikan. Semua
ha! di a.tas dilakukan untuk mencapai target APGAR score
yang baik.
Prinsip Neuroanestesia
Prinsip pengelolaan anestesi pada cedera kepala adalah
sama dengan pasien-pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) yang lainnya. Prinsip utama adalah
mencegah terjadinya cedera sekunder akibat hipoksia,
hiperkarbia, hipotensi, hipertensi, hipertermi, hiperglikemi,
hipoglikemi, dan lain-Iain penyebab sistemik yang dapat
mempengaruhi intrakraniaL Cedera sekunder bisa terjadi
juga pada cedera otak traumatik, tumor otak, penyakit
serebrovaskuler (stroke hemorhagik, dan stroke iskemik). Hal
tersebut dapat dilakukan dengan teknik ABCDE (Airway,
Breathing, Circulation, Drugs, Environment) neuroanestesi
yang merupakan neuroresusitasi, neuroproteksi, serta
pengelolaan neuro ICU. Di antaranya pemilihan obat-obatan
dan teknik anestesi yang merupakan kontraindikasi pada
pasien dengan cedera kepala berat adalah: premedikasi
dengan narkotik, nafas spontan, neurolept analgesia,
ketamin, N20 bila ada aerocele, halotan, spinal anestesi.
216
Cedera Otak Primer pada Cedera Otak Traumatik
Cedera kepala akut dapat menycbabkan pcngaruh
langsung yang disebut cedera primer pada sistem saraf en
m
;;,;;
pusat (SSP). Ccdera ini terjadi pada saat trauma. rncrupakan en
efek biornekanis yang mcngenai tulang tengkorak dan otak. 0
(/)
Cedera ini menimbulkan efek klinis yang segera, manifest m
en
)>
dalam waktu milidetik. Cedera otak primer tidak dapat
:0
diobati, tapi dapat cticegah. Efek langsung adalah adanya m
)>
kontusio serebral, perdarahan intraserebral, dan cedera
akson yang dapat mcnimbulkan kcmatian jaringan atau �
kematian sci neuron. Trauma itu sendiri dapat mencctuskan �
o
kaskade molekuler yang rnenimbulkan kematian sel, tapi a
m
umumnya yang memegang peranan utama adalah iskemia. :0
)>
Iskemia yang terjadi karena peningkatan TIK, kolaps 0
kardiovaskulcr, hipoksia, dan hal-hal yang menyebabkan i!
;;,:;
tidak adekuatnya tekanan perfusi otak. -t
:0
)>
Cedera Otak Sekunder pada Cedera Otak Traumatik c
s:
Cedera otak sekunder merupakan cedera tidak

langsung pada SSP yang dapat terjadi dalam menit, jam, hari �
setelah cedera kepala primer. Cedera sekunder
menggambarkan proses penyulit yang dimulai setelah cedera
primer berupa iskernia, pembengkakan dan edema,
perdarahan intrakranial, hipertensi intrakranial, herniasi.
Jenis cedera ini dapat diterapi. Adalah pentin untuk
mengingat konsep cedera sekunder karena cedera primer
tidak bisa diterapi hanya bisa dicegah. Khas adanya cedera
sekunder adalah pasien dengan cedera kepala, masih sadar
dan berbicara, tiba-tiba keadaannya memburuk, pasien •
koma dan akhirnya meninggal. Penyebab ·cedera sekunder
adalah serebral iskemia baik fokal ataupun global.
Masalah utama Cedera Kepala Berat (CKB)
Masalah utama yang dapat ditemukan pada suatu CKB
adalah adanya hipoksia dan hipotensi. Sekitar 50% CKB
mengalami hipoksia dan hipotensi, yang akhirnya akan
memperburuk outcome. Yang dimaksud dengan hipoksia
adalah Pa02 < 60 mmHg (Sp02 < 90%) dan hal yang dapat
menyebabkan hipotensi di antaranya karena hipovolemia/
shock: sistolik < 90 mmHg. Pada suatu CKB yang disertai
peningkatan TIK dapat berakibat terjadinya herniasi, iskemia
217
otak; juga bila disertai fraktur tulang servikal akan
menambah masalah tersendiri pula.
Kriteria Intubasi
Pada suatu pasien cedera kepala (terutama cedera
kepala berat) hal-hal berikut 1n1 merupakan indikasi
dilakukannya intubasi:
GCS s; 8
Pernafasan ireguler
RR < 10 a tau > 40 per men it
volume tidal « 3,5 ml/ kg BB
vital capacity < 15 ml / kg BB
Pa02 < 70 mmHg
PaC02 > 50 mmHg
Masalah Hipotensi: Terapi Cairan
Pada pasien cedera kepala penatalaksanaan cairan
bertujuan untuk mempertahankan agar sirkulasi tetap
stabil. Targetnya adalah normovolemia, normotensi, iso-
osmoler, normoglikemia. Pemilihan cairan utama adalah dari
NaCl 0,9%, Ringerfundin, hindari RL, koloid, jangan
diberikan dextrose. Pemberian Dextrose hanya bila ada
hipoglikemia (glukosa darah < 60 mg%). Pemberian cairan
rumatan 1-1,5 ml/kg/jam. Terutama yang diperhatikan
dalam pemberian cairan pada pasien cedera kepala adalah
osmolaritas. Perubahan kecil dalam osmolaritas serum (<5%)
akan meningkatkan edema otak, meningkatkan tekanan
intrakranial, dan menyebabkan penurunan tekanan perfusi
otak pada pasien dengan barier darah-otak yang normal atau
terganggu. Osmolaritas plasma 290 mOsmL, RL 273, NaCl
0,9% 308, Ringerfundin 304. Bila akan diberikan cairan
koloid, pilihlah yang osmolaritasnya lebih dari 290 mOsm/L.
Pengobatan Hipertensi Intrakranial
Pada pasien yang disertai atau dicurigai terjadi
hipertensi intrakranial, pasang monitor TIK. Pertahankan
Tekanan Perfusi Otak 50- 70 mmHg. First-tier terapi: drainase
ventrikel (bila tersedia), mannitol 0,25-1 g/kg (dapat diulang
bila osmolaritas serum <320 mOsm/L dan pasien euvolemic,
hiperventilasi untuk mencapai PaC02 30-35 mmHg. Second-
tier terapi: Hiperventilasi untuk mencapai PaC02 < 30 mmHg
(dianjurkan dipasang SJ02, AVD02, dan atau aliran darah
218
otak), dosis tinggi barbiturat. hlpoterrnia, hiperterisif terapi,
dekompresif kraniektomi. Bila perlu diberikan Mannitol pada
ibu hamil: maka diberikan setengah dosis yang dibutuhkan.
Trauma Kepala dan Kehamilan
Seorang ahli anestesi memegang penman penting pada
penatalaksanaan anestesi untuk pasien yang akan menjalani
seksio sesarea dengan riwayat atau scdang mengalami
cedera kepala. Terutama untuk mencegah terjadinya cedera
kepaJa sekunder akibat rangkaian perjalanan cedera kepala
itu sendiri, atau akibat penatalaksanaan perioperatif yang
tidak mengindahkan aturan neuroproteksi, juga dapat
terjadi sebagai akibat sekuele dari cedera kepala.
Sebagaimana dilaporkan oleh Hirsch, 2011 yang
menyebutkan bahwa pada pasien pascacedera kepala 9
tahun sebelurnnya yang menjalani seksio sesarea dengan
anestesi spinal, ternyata mengalami kejang grand ma!
sebanyak dua kali durante operasi yang menyebabkan
pasien diintubasi dan anestesi dilanjutkan dengan intubasi
dan agen inhalasi. Kejang yang dapat terjadi pascacedera
kepala pada pasien yang akan atau sedang menjalani seksio
sesarea dapat dipertimbangkan karena hal-hal sebagai
berikut: karena hipoksia, karena cedera kepala sekunder,
karena skar atau sekuele akibat cedera kepala sebelumnya,
karena obat-obatan anestetika yang digunakan (misalnya
inhalan), maupun karena obat-obatan uterotonika yang
digunakan durante operasi seperti metergin dan oksitosin.
Jadi seorang ahli anestesi juga berperan penting untuk
mencegah terjadinya kejang perioperatif dan •
mempertahankan hemodinamik ibu tetap stabil periode
kelahiran bayi sehingga tercapai hasil yang optimal pada ibu
maupun bayi.
Trauama kepala dan leher, gaga! nafas, dan syok
hipovolemik merupakan penyebab tersering kematian ibu
hamil yang berkaitan dengan trauma. Ibu hamil yang
mengalami cedera otak traumatik menimbulkan
keterbatasan yang saling bertentangan dalam hal
pengelolaan. Hal yang menjadi permasalahan adalah:
ketidakpastian ada tidaknya peningkatan tekanan
intracraniaJ, ketidakpastian ada tidaknya cedera atau fraktur
tulang Ieher, ketidakpastian ada tidaknya kesulitan jalan
nafas, ketidakpastian status volume cairan tubuh,
219
ketidakpastian penycbab gangguan kesadaran (bila ada
penurunan kesadaran, berontak, at au korna}, keticlakpastian
status kondisi lambung (pengosongan), serta ketidakpast ian
status oksigenasi (kemungkinan rncnurun). Fakror-faktor
tcr scbu t ditambah perubahan fisiologis jalan nafas dan
pernafasan akibat keharnilan, aka n menimbulkan kesulitan
yang Iebih banyak dalarn penanganan bedah sesar dengan
cedera kepala.
Simpulan
Anestesi pada seksio sesarea dengan riwayat atau
sedang mengalami cedera kepala harus mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut:
Bila ada tanda kenaikan ICP, lakukan seksio sesarea
dengan anestesi umum.
Bila tidak ada gangguan koagulasi dapat dilakukan
dengan anestesi regional.
Succynilcholine merupakan kontraindikasi bila ada
defisit neurologik motor >24 jam karena dapat
menyebabkan hiperkalemia signifikan dan hen ti jantung.
Bila diberikan antikonvulsan: percepatan metabolisme
non depol.
Bila ICP meningkat, pertahankan CPP adekuat dengan
meningkatkan MAP dan menurunkan ICP.
Pasang monitor BP invasif.
Hiperventilasi sebelum bayi lahir hanya bila peningkatan
ICP mengancam nyawa.
Mannitol: indikasi bila peningkatan ICP berat, efektif
untuk ibu tapi bisa hipovolernia fetal, siapkan untuk
resusitasi cairan bayi.
Teknik anestesi: pasien bangun cepat, untuk evaluasi
neurologik segera.
Karena diberikan narkotik sebelum bayi lahir, siapkan
bantuan respiratori untuk bayi.
Antisipasi segala kemungkinan berkaitan dengan riwayat
atau sedang menjalani cedera kepala termasuk
kemungkinan terjadinya kejang pada pasien yang akan
menjalani seksio sesarea.
??()
Daftar Pustaka
1. Avery DM. Obstetric Emergencies. Obstetric Emergencies.
American Journal of Clinical Medicine. Spring, 2009: 9
(2): 42-8.
�- Bisri T. Cedera Otak Traurnatik: Penanganan
Neuroanestesia dan Critical Care. Edisi ke-3.Bandung:
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2012: 4-33
3. Bisri DY, Bisri T. Penanganan anestesi wanita hamil
untuk kraniotomi emergensi hematoma subdural. JNI
2012,1(3):170-77.
4. Bisri DY, Bisri T. Strategi untuk mencegah aspirasi isi
lambung pada operasi cedera otak traumatika emergensi.
JNI 2012, 1(1):51-58
5. Brown HL. Trauma in Pregnancy. Obstet Gynecol
2009; 114: 147-60.
6. Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative management
of traumatic brain injury. Int J Crit Illn Inj Sci. 2011; 1
(1): 27-35.
7. Datta S. Kodali BS, Segal S. Obstetri Anesthesia
Handbook, edisi ke-5. New York: Springer; 2010.
8. Goswami A, Shinde S. Management of the head injured
patient. Anaesthesia Tutorial of The Week 264. A TOTW •
264 Management of The Head Injured Patient. Available •
from www.totw.anaesthesiologist.org
9. Harris CM. Trauma and pregnancy. Dalam: Foley MR,
Strong TH, Garite TJ, eds., edisi ke-3. New York: Mc Graw
Hill Medical: 2011, 213-21.
10. Hambly PR, Martin B. Anaesthesia for chronic spinal cord
lesions. Review Article. Anaesthesia, 1998; 53: 273-89.
11. Hirsch M. Intrapartum seizure in a patient undergoing
cesarean delivery: Differential diagnosis and causative
factors. AANA Journal. October 2011; 79 (5): 403-8.
Available from www.aana.com/aanajournalonline.aspx
12.Jones BP, Miliken BC, Penning DH. Anesthesia for
cesarean section in a patient with paraplegia resulting
from tumour metastases to spinal cord. Can J Anaesth
2000, Nov; 47 (11): 1122-8.
221
13. Kass IS, Cottrell JE, Baiping L. Brain metabolism, the
pathophysiology of brain injury, and potential beneficial
agents and techniques. Dalam: Cottrell JE, Young W, eds.
Cottrell and Young's Neuroanesthcsia. 5;,. ed.
Philadelphia: Mosby Elsevier;20 l 0, 5 - 9.
14. Pandya ST. Anaesthetic management of a part urient with
trauma. Fernandez Hospital. Peerna Anaesthesia and
Critical Care Services, Hyderabad. Health Care for Women
and The Newborn. www.fernandezhospital.com
15. Sarkar MS, Sahoo TK, Dcwoolkar LV. Anesthetic
management of a pregnant woman with epilepsy and bad
obstetrical history for emergency caesarean section. The
Internet .Journal of Anesthesiology TM 2007; 3 (2): 1-5.
16. Saleh SC. Emergency C-Section in TB!: Anesthetic
Considerations. Obstetric Anesthesia Complication. 2nd
Annual Symposium on Anesthesia Complications, 2012:
83-9.
17. Werner C, Engelhard K. Pathophysiology of Traumatic
Brain Injury. Review Articles. Br J Anaesth, 2007; 99: 4-
9.
18. Yentis S, May A, Malhotra S, Bogod D, Brighouse D, Elton
C. Analgesia, Anaesthesia and Pregnancy. A Practical
Guide. 2nct ed. Cambridge.
www.cambridge.org/9780521694 742.
222
HAH L l
.-fr�ufua"p�di.it;·ti�kh��-�;_:·._.·-;.:-: :-;·.:_·::\\_)?:.rf'?::: "_:.-: :'·_�:_:_:
-��'.-�a_h��j�'.?�s�ei�. f�:1:\-.·'._)·(, _;.:/·,:.,·:( ./·:/;:·. _}_·;_) :-.· ,_: · :-···;_:·:
Dilaporkan wanita harnil yang mengalami trauma fisik
6- 7% pada selama umur kehamilannya selanjutnya trauma
pada umur reproduksi menunjukkan 3%, wanita hamil
mengalami trauma, 8% diantaranya tidak diketahui
kepastian trauma yang terjadi pada atau diluar masa
keharnilannya. Karena sebagian besar trauma fisik yang
dialami sclama masa kehamilan relatif kecil, dan sebagian
besar tidak memerlukan penanganan medis. Faktor kritis
yang menunjukan derajat keparahan trauma serta
memperjelek kondisi fetal tidaklah selalu dapat diprediksi.
Untuk penyaringan dilakukan penilaian secara menyeluruh
pada pada wanita hamil dengan trauma. Terutama penilaian
viabilitas fetal berada diatas 22-24 minggu umur keharnilan.
Fetal death di USA akibat trauma selama kehamilan 400-500
kasus dilakukan dengan melihat sertifikat kematian yang
dikeluarkan. Trauma abdomen penetrasi selama kehamilan
merupakan problem utama bagi fetal dan maternal, fetal
akan menerima langsung moment trauma terutama diatas
pertengahan sampai akhir masa keharnilan. Tatalaksana
algoritme untuk penetrasi trauma selama kehamilan
tergantung dari umur kehamilan, objek penetrasi, dalamnya •
penetrasi serta kondisi fisik maternal. Secara umum
tatalaksana trauma pada kehamilan tidaklah berubah,
dengan tetap mempertimbangkan kondisi fetal sebagai
bahan pertimbangan untuk pengakiran kehamilannya
sendiri.
Perubahan Anatomi dan Fisiologi selama kehamilan.
Perubahan Kardiovaskuler.
Perubahan kardiovaskular pada kehamilan merupakan
upaya kompensasi dalam mencukupi kebutuhan metabolism
pertumbuhan hasil konsepsi. Perubahan tekanan darah,
223
denyut jantung scrta kornposisi darah terjadi se larna
keharnilan. Terjadi pen uru nan t ekarian darah sistolik (SBP)
10-15 mml-lg. dan tekanan darah diastolik (DBP) 5--10 mm Hg
sclama pcrtengahan semester kctiga keharnilan. Hal ini
kareria pcnur unan sisternik vascular rcsistcn (SVR) yang
)> diikuti dcngan pcningkatan uterine blood flow (UBF). SBP 80-
z
m 90 rnmHg pada kehamilan dewasa muda, bukan merupakan
� petunjuk adanya hipovolemia, dan menjadi penting bilamana
m
!!? diikuti dengan peningkatan denyut jantung 10-15 x/menit
0
0:, selama kehamilan. Pcningkatan frekwensi denyut jantung
� merupakan cerminan kebutuhan adekwasi perfusi uterus
� untuk dapat diikuti dengan peningkatan asupan oksigen
dan nutrient yang memadai. UBF meningkat dari 60
ml/menit pada nonpregnant sampai 600 ml/menit (1000%)
pada akir trimester tiga kehamilan. Distribusi curah jantung
kc uterus meningkat dari 2% menjadi 17% selama
kehamilan. Hal ini menandai bahwa status volume darah
menjadi penting pada trauma penetrasi uterus, akibat
langsung trauma tumpul dapat menyebabkan kerusakan
vaskuler uterus, ruptur uteri, avulsion vaskuler uteri serta
kehilangan volume darah yang masif.
Komposisi darah mengalami perubahan secara
dramatis mencapai maksimal pada usia kehamilan 28
minggu. Kenaikan volume darah mencapai 45% secara
keseluruhan selama kehamilan, akan lebih pada gemeli
ataupun multiple gestasi. Volume plasma meningkat relatif
• lebih banyak dibanding jumlah sel darah merah (RBC) yang
menyebabkan penurunan hematokrit fisiologi selama
kehamilan. Suatu hal yang jarang dijumpai normal
hematokrit pada nilai 33-36% selama kehamilan. Dengan
adanya SBP yang relatif rendah diikuti meningkatkan denyut
jantung, dan adanya hematokrit relatif rendah, maka pada
multiple injury memerlukan perhatian kusus karena
potensial hipovolemia dan penilaiannya hendaknya berdasar
perubahan fisiologi yang terjadi pada kehamilan. Perubahan
anatomi dan fisiologi selama kehamilan mempengaruhi
224
resusitasi terutama pada trauma yang diikuti keadaan
supine hipotensi.
Setelah melewati usia keharnilan diatas 20 minggu,
berbaring supine, posisi uterus akan menekan vena cava
inferior dan aorta, ini mempengaruhi venus return
ckstremitas inferior dan pelvis ke sirkulasi sentral. Pada
wanita hamil sehat penurunan curah jantung sampai 301X,
disebabkan penurunan venus return merupakan keadaan
mengancam UBF yang potensial pencetus fetal hipoksia.
Karena posisi tersebut mencetuskan hipoksia maka
tatalaksana terhadap posisi dilakukan untuk menghindari
keadaan tersebut. Pada kenyataannya wanita hamil yang
telah melewati masa kehamilannya diatas 20 minggu,
mengalami beberapa penyulit ketika berbaring dengan posisi
supin, posisi lateral dekubitus atau pengaturan terhadap
kedudukan uterus (manual displacement) dilakukan untuk
mencegah fetal hipoksia.
Perubahan pada Gastrointestinal
Penurunan motilitas lambung maupun intestinal
mengikuti kehamilan, diduga karena meningkatnya kadar
progesterone (smooth muscle relaxant). Perubahan ini

memperpanjang waktu pengosongan lambung yang
meningkatkan resiko terjadinya aspirasi isi lambung, maka
dianggap setiap trauma pada kehamilan untuk diasumsikan
sebagai lambung penuh.
Perubahan pada Paru
Kenaikan Volume Tidal 30-40%, penurunan residual
volume dan FRC, serta tidak diikuti dengan perubahan laju
nafas pada keharnilan. Peningkatan oksigen kosumsi pada
kehamilan mencetuskan penurunan cepat status
respiratorik ketika terjadi trauma paru yang signifikant.
Resiko penurunan status respirasi dan meningkatnya resiko
aspirasi pada trauma paru, multiple trauma lainnya pada
kehamilan tindakan untuk mempertimbangkan dilakukan
ekstubasi dini merupakan pilihan yang bijak.
225
Perubahan pada Regional Blood Flow
Terjadi peningkatan UBF sampai 1000'!-t ctari 60-60()
ml/menit yang menjadi dasar pertimbangan:
Pertama dengan adanya relatif hipovolemia maternal. Akan
terjadi uteri vasokonstriksi sebagai adaptasi unt uk
memelihara cerebral dan perfusi jantung. Pada maternal
hipoksia yang terjadi, segera lakukan resusitasi
intravaskuler untuk memelihara oksigenasi fetal karena
sebelumnya telah terjadi maternal hipovolemia dan
hematokrit yang relatif rendah.
Laserasi atau ruptur dari arteri uterina menyebabkan
eksanguasi masif. Hipertropi dari struktur vaskuler uterus
daerah retro peritoneal berkaitan dengan adanya meterrial
pelvic fracture akan menyebabkan perdarahan
retroperitoneal masif dalam waktu singkat diikuti dengan
tanda syok hipovolemia yang semakin nyata.
Perubahan Laboratorium pada Kehamilan
Terjadi perubahan dramatis pada rheologi darah
maternal wanita hamil. Kenaikan volume plasma jauh lebih
meningkat dibanding peningkatan jumlah sel darah merah
mendasari terjadinya anemia fisiologi (hematokrit 30-36%,
hemoglobin 11-13 g/dl). Lebih lanjut leukositosis (n= 15.000)
merupakan gambaran yang dianggap normal (terjadi pada
trimester kedua), sedang nilai (20-25.000) selama kehamilan
dianggap tidak normal. Angka platelet, PTT, APTT, pH
arterial, tidak berubah pada kehamilan normal, peningkatan
menit ventilasi menyebabkan penurunan C02 berkisar 35
torr sebagai kompensasi kenaikan HC03- dikarenakan
penurunan ekskresi bikarbonat melalui urin.
Trauma pada Kehamilan.
Trauma tumpul
Trauma ini biasanya akibat Motor Vehicle Accident
(MVA) sering terjadi pada kehamilan (50-65%), kekerasan
domestik pada kehamilan merupakan hal yang sering pula
terjadi (20%). Komplikasi trauma tumpul pada kehamilan
226
dapat terjadi abruption plasenta (life threatening), dengan
angka kernatian 1-3'},;,. Terjadinya "Fetal Loss" mengikuti
trauma selama keharnilan dapat pula diakibatkan karena
trauma minor maternal. Aplikasi klinisnya melakukan
obscrvasi ketat dengan mernonitor kondisi fetal mengikuti
setiap trauma yang tcrjadi pada berbagai variasi derajat
trauma pada keharnilan harus dilakukan.
Test laboratorium dan interprestasi untuk trauma
tumpul pada wanita hamil ataupun non hamil mempunyai
kesarnaan-perbedaan yang perlu diperhatikan:
Penilaian perbedaan nilai normal laboratorium pada wanita
hamil dibanding non hamil.
Penilaian terhadap adanya bukti perdarahan feto
maternal. Perlu dilakukan "Kleihauer-Betke testing" pada
setiap trauma sclama kehamilan. Rekomendasi ini berdasar
dikcternukannya fetal cell pada sirkulasi plasenta empat kali
lebih sering pada kehamilan yang mengalami trauma
tumpul. Dengan adanya fetal cells presumsi adanya indikasi
perdarahan fetomaternal dan dipergunakan dalam
penentuan pengambilan keputusan.
Wanita hamil dengan Rh negatif dengan perdarahan
fetomatemal, kemungkinan terjadi isoimunisasi akibat
perdarahan fetomatemal terse but, 300 mcg Rh
immunoglobulin dapat diberikan pada Ibu Rh-negatif yang
mengalami trauma tumpul untuk setiap 30 ml whole
blood/ 15 ml RBC dari perdarahan (EBL) yang terjadi.

Abruptio Placentae
Abruptio placentae akibat trauma (60- 70%), atau
terlepasnya plasenta dari desidua basalis endometrium
merupakan penyebab umum "fetal loss". Patofisiologi yang
terjadi adalah adanya perbedaan jumlah substansi
elastisitas pada uterus dan plasenta. Mekanisme lain
terjadinya abruptio plasenta akibat manipulasi operasi
secara tidak langsung ataukah karena countercop trauma.
227
Tanda dan Gejala Abruptio Placentae
-�----------------------- ------·-·-----
Finding Percent
Vaginal IJiecdi11g 18
Uterine tenderness or back pain 66
Fct;-il distress 60
High frequency uterine contractions )7
Uterine hypertorius J7
Feral death 15
Sumbcr: Adapted from Hurd WW, Miodovnik M, Hertzberg V,
Lavin JP: Selective management of abruptio placentae. Obstet
Gqnecol 61:467, 1983
Tanda dan gejala abruptio placentae tergantung dari
seberapa besar terlepasnya plasenta dari endometrium.
Perdarahan vagina, nyeri abdominal rnengikuti abruptio
placentae. Pada kasus yang berat kernatian fetal berkaitan
dengan bentuk kontraksi uterus yang tetanik. Metode
menilai kontraksi uterus cukup sensitif untuk mendiagnose
abruptio placentae mengikuti kejadian trauma. Dengan
memonitor kontraksi uterus untuk memonitor kondisi fetal
menggunakan monitor standard. Pada beberapa penelitian 4
kontraksi uterus atau lebih dalam periode 1 jam dalam 4 jam
pertama mengikuti kejadian trauma pada kehamilan
diindikasikan sebagai resiko terjadinya abruptio placentae.
Wanita hamil dengan umur kehamilan melewati 22 sarnpai
24 minggu secara rutin dilakukan fetal monitor, termasuk
kontraksi uterus mengikuti terjadinya trauma dengan variasi
derajat keparahan trauma yang berbeda. Penggunaan
ultrasound untuk mendiagnosa adanya abruptio placentae
akibat trauma kurang sensitif (40%) dibanding monitoring
pada kontraksi uterus.
Ruptur Uterin
Ruptur Uterin akibat trauma langsung abdominal
merupakan kasus yang jarang terjadi (0,6% kasus).
Gambaran klinis ruptur uteri sangat bervariasi, nyeri
ringan, adanya "frank peritoneal sign" bahkan hemodinamik
228
stabil sampai hipovolernik syok dapat rerjadi, da n bila ruptur
uteri total ak an tcrindentifikasi keberadaan fetal pada cavurn
peritoneal abdomen yang diikut i dengan fetal loss. Ruptur
uteri pada wanita hamil sering terjacli pada trimester ke dua-
tiga, pada trimester pertama pcmbcsaran uterus tcrjadi
belum maksirnal serta posisi uterus masih tcrlindurigi clan
berada dalarn cavum pelvis. Injury yang tcrjacli dapat
bersamaan dengan trauma pada viscera termasuk vesika
urinaria atau traktus gastrointestinal dapat terjadi.
Adanya ruptur uteri harus dipikirkan pada wanita
hamil trimester 2-3 yang mengalami trauma abdomen
langsung, adanya nyeri abdomen, tanda hipovolcrnia,
distress fetal atau kematian fetal mengarah terjadinya
ruptur uteri. Namun demikian ha! ini juga terjadi pada
abruptio plasenta. Hal yang lebih spesifik pada ruptur uteri
dapat dilakukan dengan rnenggunakan sonographic, CT MRI
atau abdominal x ray dan bukti keberadaan fetal diluar
cavurn uteri, atau sulitnya untuk mernpalpasi adanya
fundus uteri.
Riwayat adanya jaringan parut pada uterus akan
meningkatkan resiko terjadinya ruptur uteri, walaupun
kejadian ruptur uteri dapat terjadi tanpa atau dengan
adanya riwayat operasi sebelumnya pada uterus. Lavase
peritoneal positif dapat dipakai sebagai nilai penduga
terjadinya ruptur uteri, walaupun tetap untuk tidak
menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab lain dari
perdarahan intraperitoneal.


Peritoneal lavase dapat dilakukan pada beberapa
variasi umur kehamilan dan menunjukan nilai yang lebih
akurat pada non pregnant. Dengan berdasar ketidakstabilan
hemodinamik serta adanya tanda iritasi peritoneal dapat
dilakukan laparatomi eksplorasi sementara resusitasi tetap
dilanjutkan.
Fractur Pelvis, Injury langsung pada Fetal.
Fraktur pelvis selama kehamilan merupakan resiko
signifikan untuk terjadinya kematian maternal karena
229
hipertropik vaskulatur yang dapat mencetuskan terjad invn
perdara hari retroperitoneal. Manajcrncnt agrcsif
hemodinamik resusitasi merupakan ha! yang ha rus
dilakukan. karena peningkatan vo!um yang terjadi se larna
keharnilan · mcnvebabkan pcrdarahan yang tt:,jucfi
underestimated sarnpai insrabilitas hernodinamik terat asi
Pada beberapa kasus tatalaksana terhadap fraktur pelvis
dilakukan bersamaan ataupun kemudian setelah per saliria n.
( Delayed or Modified operation).
Fraktur pelvis pada trimester akir kehamilan
menempatkan resiko terjadinya skull fracture fetal karena
kepala fetal memasuki pintu atas panggul atau berada dalam
ruang pelvis pada akir kehamilan. Pada trauma langsung
pelvis yang berat dapat menyebabkan fetal loss akibat skull
fracture, intracranial hemorrhage, ruptur spleenic fetal,
intrathorakal injury, ataupun fracture ekstremitas pada
fetal. Untungnya ha! tersebut jarang terjadi. Penggunaan
ultrasound dapat dilakukan untuk mendiagnosa adanya
perdarahan intrabdominal selama kehamilan. Ultrasound
dapat menentukan dan menilai adanya trauma
intraabdominal selama keharnilan, namun demikian
mempunyai tingkat sensitiftas dalam mendiagnose abruptio
plasenta (sensitifitas 40%). Penggunaan ultrasound pada non
pregnant dapat untuk membantu menunjukkan adanya
mJury intraabdominal mengikuti trauma yang terjadi,
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang rnemadai. Penelitian
• selama 8 tahun menunjukan level 1 trauma dalarn
penggunaan abdominal ultrasound untuk mendeteksi
perdarahan intraabdominal selama kehamilan yang
dibandingkan tentang spesifisitas dan sensititivitasnya
(sensitifitas 83%, spesifisitas 93%).
Algorithm for numagc-ruvnt ur blunt abdominal trauma during pregnancy.
{b-rom Pcurlru.ui MD: Motor ,·<'hick crashes, pregnanc,· loss and prctcrrn
labor. int ,J Obxt et Gynccol 57:127.l<JY7)
STABILIZATION
Maintain Airway and Oxygenation
Deflect Uterus to left.
Maintain Circulatory Volume
Secure Cervical Spine if Head or Neck Injury Suspected

COMPLETE EXAMINATION
Control External Hemorrhage
Indentify /Stabilize Serious Injury
Examine Uterus
Pelvic Examine to indentify ruptur membrane or vaginal Bleeding
Obtain initial blood work
...- FETAL EVALUATION -....,
<20 W-24 Weeks >20 to 24 Weeks
Documents Initiated Fetal Monitoring
Presence of
..----
More than Four uterine contraction in any one hours ( >22-24 Weeks)
Ruptur of Amniotic Membrane
Vaginal Bleeding
Serious Maternal Injury
Fetal Tachycardy, late deceleration, non reactive non stress test


...
�----�------ �
YES NO
Hospitalization, continue to monitor Other definitive Treatment
Suture laceration
Necessary X Ray
+
Discharge with Follow Up and
instructions
231
Prinsip Umum Tatalaksana pada Trauma
Oksigenasi fetal sangat tergantung dari kcstabilan
hemodinamik maternal, segala usaha dari mulai evaluasi
sampai tatalaksana harus berorientasi kepada kepentingan
resusitasi maternal. Setclah melewati umur kehamilan 20
minggu fundus uteri akan terpalpasi di sekitar umbilicus,
posisi supin akan rnencetuskan sindroma hipotensi supine
karena kompresi vena cava inferior oleh uterus
mcnyebabkan penurunan venus return dari ekstremitas
inferior. Hal ini akan menyebabkan penurunan curah
jantung 25-30%. Pada keadaan hipovolemia yang diikuti
dengan sindroma hipotensi supine akan menyebabkan syok
hipovolemia. Hal ini dapat dihindari dengan mengatur secara
manual posisi uterus 4-6 inchi mendorong kearah
kontralateral. Sampai umur kehamilan 28 minngu, terjadi
kenaikan volume darah sampai 50%, kehilangan darah akan
menyebabkan respon larnbat dalam perubahan tanda vital,
perubahan tanda vital terjadi ketika perdarahan yang terjadi
bersifat masif, ini akan disikapi untuk pemenuhan
kebutuhan akan darah terjadi secara tiba-tiba. Setelah
penilaian terhadap ventilasi serta resusitasi intravascular
adekwat untuk dilanjutkan penilaian eksternal injury dari
maternal yang dilanjutkan sesegera mungkin menilai kondisi
fetal, terutama trauma pada daerah abdomen, karena nyeri
abdomen, nyeri saat ·bernafas menunjukan bukti adanya
trauma pada organ intra abdomen (laserasi liver atau lien)
atau trauma uteri, abruptio plasenta atau keduanya.
Perdarahan pervagina diikuti dengan nyeri abdominal
mengindikasikan adanya abruptio plasenta. Dalam umur
kehamilan melewati 20-24 minggu umur kehamilan monitor
fetal hendaknya dipergunakan untuk menilai kondisi
kenyamanan fetal dan merupakan sensitive test untuk
abruptio plasenta. Dengan adanya kesiapan team
pembedahan dalam rangka terminasi akan sangat
membantu untuk penyelematan fetal dan ibunya. Dilakukan
pemeriksaan lengkap pada daerah dada, intrathorak atau
intraabdominal, adakah fraktur ataukah ada perdarahan
232
pada tempat tempat tersebut yang dilakukan simultant
clengan resu sitasi. Untuk perneriksaan spesifik tetap
dilakukan dalam menentukan adakah trauma uterus-fetal.
Pemeriksaan pada abdomen akibat peritoneal irritation yang
menyebabkan ketegangan dinding abdomen karena otot
dinding perut harus dapat dibedakan pada wanita hamil
yang juga tcrdapat ketegangan dinding abdomen.
Pada kehamilan viable (22-24 minggu umur kehamilan)
monitoring terhadap fetal sesegera mungkin dilakukan
setelah kestabilan ibu tercapai, karena kejadian abruptio
plasenta dapat mengikuti trauma. Frekwensi kontraksi
uterus (4 atau Jebih dalam 1 jam), DJ3, perdarahan
pervagina, uterus irrirabilitas atau nyeri merupakan dasar
untuk dilakukan konsultasi ke SpOG. Monitoring DJ3 (fetal
heart rate), uterus kontraksi dilakukan oleh tenaga yang
terlatih, clan dilakukan secara terus menerus minimal 2-4
jam untuk memastikan adanya abruptio plasenta setelah
trauma.
Trauma Penetrasi
Luka penetrasi karena pisau atau Iuka tembak
merupakan keadaan yang jarang terjadi, namun ketika ha!
tersebut terjadi kondisi fetal harus segera ditentukan walau
kondisi maternal dalam keadaan stabil. Adanya trauma
penetrasi pada dinding depan abdomen merupakan hal yang
sangat berkaitan dengan trauma langsung ataupun
kematian fetal karena uterus mendominasi rongga abdomen


terutama pada usia kehamilan diatas 22-24 minggu. Lebih
lanjut dinding depan abdomen, dinding uterus, cairan
amnion tersebut menerima trauma langsung yang
mengancam kehidupan fetal. Pada trauma penetrasi
abdomen selama kehamilan (diatas 22-24 minggu) kematian
fetal mencapai resiko 3 kalinya dibanding kematian
maternal. Trauma penetrasi yang melalui superior ataupun
lateral uteri berkaitan dengan tanda tanda sesuai organ yang
terkena. Sedang trauma penetrasi Iuka tembak yang
melewati uterus memberi cedera organ posterior uterus
233
termasuk vena cava inferior, aorta abdorninalis. serra
sigmoid.
Tatalaksana pada Trauma Penetresi
Ketika ibu harnil rnengalarni trauma abdomen
)> pcnetrasi, 3 kepurusan yang harus segcra diambil:
z
m 1) Apakah segera dilakukan laparatomi?
� 2) Apakah segera dilakukan pengeluara fetal segera?
m
� 3) Ketika dilakukan pengeluaran fetal, rute mana yang
0
IXl
. Cl) akan dipilih?
-I
Keputusan dilakukan laparatomi atau tidak tergantung
!!l dengan kestabilan hemodinamik atau ada tidaknya
:!!
hernoperitonium, dan juga organ apa yang mengalami
trauma. Kesepakatan harus dilakukan laparatomi pada
setiap Iuka tembak penetrasi akibat peluru (Gunshot), pada
semua kasus karena kesulitan dalam memprediksi akibat
Iuka tembak tersebut. Luka tusuk pisau menyebakan cedera
ekstra uterus yang umumnya mempunyai prognose lebih
baik dibanding Iuka tembak karena lebih sedikit
menyebakan trauma visceral. Namun demikian trauma
tusuk pada daerah tengah bawah akan lebih banyak
menyebabkan trauma pada vesica urinaria. Grubb
menunjukan trauma pada non hamil kurang menyebabkan
trauma pada peritoneum pada sepertiga kasus. Trauma
ekstra peritoneal umumnya tidak memerlukan eksplorasi
lanjut kecuali trauma tersebut menyebabkan perdarahan
masif akibat perlukaan pembuluh darah pada dinding
abdomen (a. inferior epygastric), tetapi pada kehamilan
karena pembesaran uterus yang mengisi abdomen potensi
menyebabkan penetrasi peritoneal, yang harus dilakukan
beberapa test ataupun dilakukan eksplorasi laparatomi
dalam memastikan ada tidaknya penetrasi peritoneum.
Injeksi zat radiopaque melalui Iuka diikuti 2 kali
pemeriksaan radiograph dapat menunjukan Iuka lanjutan
pada traktus gastrointestinal ataukah traktus genitourinari.
Ketika didapat Iuka lanjutan diindikasikan untuk dilakukan
laparatomi. Amniosinteses dilakukan untuk menunjukan
234
pada cavurn amnion adanya darah atau bakteri. Namun
adanya bakteri atau darah pada cairan amnion tidak harus
dilanjutkan dengan pengakhiran kcharnilan, lakukan
observasi ketat serta keterlibatan SpOG dalam penenruan
kcput usarinya.
Trauma pernbuluh darah uterus adalah bentuk yg tidak
umum, karcna lokasi dari struktur pernbuluh darah terletak
disebelah lateral posterior uterus, tetapi ketika terjadi akan
menyebabkan cepatnya perubahan tanda tanda vital.
Adanya hemodinamik tidak stabil, yang terjadi pada trauma
abdominal mengindikasikan untuk segera dilakukan
laparatomi, apabila tanda vital stabil dilakukan lavase
peritoneal untuk menegakan diagnosa mengenai kepastian
adanya hemoperitoneum yang dapat mernbantu
diputuskannya dilaku.kan laparatomi atau tidak.
Sedang keputusan untuk dilakukan pengeluaran fetal
("fetal deliver") tergantung pada:
1. Umur kehamilan pada saat trauma
2. Penetrasi pada cavum amniotic
3. Bukti adanya injuri ataupun kematian fetal
4. Fetal injury yang memerlukan eksplorasi adanya
tanda dan gejala yg mengancam nyawa akibat trauma
terse but.
Keputusan ini dibuat bersama setelah mendapat masukan
dari dokter Bedah dan dokter SpOG yang tetap
mempertimbangkan untuk keselamatan ibu dan atau
bayinya.
I'rauma Thermal dan Elektrik
Publikasi mengenai trauma elektrik dan Iuka bakar
Jada kehamilan tidaklah banyak. Matthews; Iuka bakar
oada kehamilan dengan >50% body surface area disarankan
mtuk segera dilakukan 'Delivery" karena tingginya insiden
cematian ibu. Pada ibu hamil dengan Iuka bakar mempunyai
orognose yang lebih jelek dibanding ibu non hamil. Luasnya
uka bakar mempunyai nilai predictor yang cukup baik pada
uka bakar dengan kehamilan. Umumnya spontaneous labor
235
akan terjadi pada beberapa hari sampai minggu setelah
terjadinya Iuka bakar. Tatalaksana terhadap Iuka bakarnya
sama dengan non hamil. Bcberapa anjuran tatalaksana Iuka
bakar pada keharnilan:
1. Tatalaksana cairan yang mernadai
)> 2. Oksigenasi, intubasi bilamana diperlukan ventilasi
z
m mekanik.
� 3. Thromboemboli propilaksis berkaitan dengan
m
!':!? tingginya insiden verius trornboemboli pada kasus ini.
0
tn 4. Early delivery terutama pada usia kehamilan
(I)
� trimester ketiga dengan Iuka bakar luas.


Trauma elektrik,
Pierce dkk., rnelakukan serangkaian penelitian pad a
kehamilan yang mendapatkan trauma e!ektrik, tidak
diketemukan adanya kematian ataupun gejala sisa pada
maternal dalam jangka waktu lama dengan enam populasi,
serta tidak diketemukan fetal death, gangguan
pertumbuhan, sedang oligohidramion diketemukan pada 2
kasus. Berdasarkari ha! tersebut disarankan penggunaan
ultrasound untuk menilai pertumbuhan perkembangan
serta volume cairan amniotic fetal pada kehamilan yang
mengalami trauma elektrik.
Intoksikasi Carbon Monoxide
Keracunan Karban Monoksida (CO) dapat menyebabkan
kematian, CO segera larut dalam darah serta masuk
sirkulasi plasenta menyebabkan hipoksia jaringan fetal
secara cepat karena kenaikan 10-15% lebih tinggi di banding
maternal. Keracunan CO akut menyebabkan kerusakan
neurologi permanen sampai fetal death. Keracunan kronik
(Perokok) akan menyebabkan hambatan pertumbuhan.
Pengobatan pada keracunan akut dengan oksigen hiperbarik
dengan meningkatkan oksigen yang terlarut diplasma serta
meningkatkan disosiasi CO dari hemoglobin. Sedang pada
wanita hamil diawali dengan menghilangkan dengan sumber
CO serta dilanjutkan dengan pemberian 100% oksigen, serta
236
rekomendasi untuk diberikan oksigen hiperbarik 2 jam pada
2 atmosphere. Hal ini memberikan ma nfaat dan arnan pada
kehamilan dengan keracunan CO. Penggunaan oksigen
hiperbarik yang lama akan bersifat teratogenik, serta
menimbulkan abortus pada kehamilan trimester pertama.
Namun mengingat hipoksia yang lebih berbahaya pada fetal,
oksigen hiperbarik menjadi pilihan pada ibu hamil yang
mengalami keracunan CO.
Simpulan
1. Adanya bukti trauma pada wanita usia produktif
harus diikuti dengan test kehamilan karena 8%
wanita hamil tidak terdiagnosa pada usia produktif.
2. Wanita hamil dengan umur kehamilan diatas 20
rninggu untuk diposisikan pada lateral dekubitus,
posisi untuk menghindari terjadi hipotensi supine.
3. Abruptio plasenta penyebab "Fetal Loss", kontraksi
uterus yang jarang, denyut jantung fetal abnormal,
perdarahan vaginal, nyeri uterus, nyeri tekan adalah
tanda dari abruptio plasenta.
4. Trauma pada wanita hamil dengan umur fetal viable
(>22-24 minggu) untuk segera dilanjutkan monitoring
kondisi fetal dengan tocodinamometri.
5. Outcome fetal berkaitan dengan derajat keparahan
maternal, namun trauma minor dapat juga
menyebabkan Fetal Loss.

Daftar Pustaka
l. Barclay ML. Critical Physiologic Alterations in Pregnancy.
Obstetric & Gynecologic Emergencies: Diagnosis and
Management. American College of Emergency Physician.
2004; 12-20.
!. David I, Shapiro MD. Evaluation of the Trauma Patient.
Decision Making in Anesthesia. Bready,Noorily. 4th Mosby
Elsevier 2007; 550-51.
237
3. David I, Shapiro MD. Anesthesia for the Trauma Patient.
Decision Making in Anesthesia. Bready, Noorily. 4,11 Mosby
Elsevier 2007; 550-51.
4. Dean LS, de Angelo R. Anatomi and physiologi changes of
Pregnancy; Handbook of Obstetric Anesthesia. Palmer CM.
Oxford. GBR: BIOS 2002; 7-14
5. Dyne P L. Vaginal Bleeding and Other Common Complaints
in Early Pregnancy. Obstetric & Gynecologic Emergencies:
Diagnosis and Management. American College of Emergencv
Physician. 2004; 39-55 -
6. Pearlman MD. Trauma in Pregnancy. Obstetric &
Gynecologic Emergencies: Diagnosis and Management.
American College of Emergency Physician.2004; 104-113
7. Pearlman WH. Progesterone metabolism in advanced
pregnancy and in oophorectomized-hysterectomized women.
Biochem J 1957,67: 1
8. Piercy CN, Pierling G. Anemic. Obstetric Medicine. A Problem
Based Approach, Springer-Verlag London Limited 2007; 65-
·· 67
/�t�?- .: ··
�t:·?: ..
9. Rehman KS, Johnson TRB. Bleeding After 20 Weeks'
Gestation: Maternal and Fetal Assessment. Obstetric &
Gynecologic Emergencies: Diagnosis and Management.
American College of Emergency Physician. 2004; 115-37
I
238
!AH 1.1.
Diabetes Mellitus merupakan Pre-existing medical
disorder yang paling sering terjadi. Tipe 1, tipe 2 dan
;estational diabetes terjadi 2 - 5 % dari kehamilan di Inggris
Ian Wales. Jumlah penderita diabetes tipe 1 dan prevalence
ipe 2 sangat meningkat pada wanita hamil. Wanita hamil
iengan diabetes melitus mempunyai resiko tinggi untuk ibu
Ian bayi. Komplikasi mencapai 87,5 % akibat gestational
liabetes, 7,5 % karena tipe 1 dan 5 % karena tipe 2.
>atofisiologi
Se lama kehamilan, metabolisme ibu harus
nenyesuaikan untuk menyediakan nutrisi yang cukup
mtuk ibu dan perkembangan janin. Selama trimester I,
iomeostasis glukosa berubah dengan meningkatnya
iroduksi estrogen dan progesteron yang menyebabkan
iiperplasia sel-sel beta dan rneningkatkan respon insulin
erhadap glukosa. Peningkatan penggunaan glukosa di
.erifer menyebabkan ibu jatuh dalam keadaan puasa dan
ka berlanjut dapat menyebabkan hipoglikemi pada
rimester I. Keadaan "lapar yang cepat" akan diikuti dengan
ercepatan glukoneogenesis dari asam amino. Observasi dari
elatif hiperinsulinemia pada kehamilan menyebabkan • ,.·: ;,.:. .. -,.
.
pogenesis dan pengurangan lipolisis. Simpanan lemak dan
rotein ibu meningkat selama paruh pertama kehamilan.
Pada paruh kedua kehamilan, peningkatan dari Human
lacental Lactogen (HPL) yang diproduksi oleh plasenta akan
ienekan homeostasis karbohidrat dari ibu. Kerja dari
uman Placenta! Lactogen bertanggung jawab terhadap
condisi diabetogenic" pada kehamilan dengan peningkatan
imlah dan pelepasan insulin yang berhubungan dengan
esistensi insulin. Sebagai tambahan hp! menstimulasi
polisis dari jaringan lemak ibu.
Plasenta tidak hanya memproduksi hormon hormon
mg mempengaruhi ibu. Tetapi juga mengkontrol transport
utrisi ke janin. Transport glukosa melewati plasenta terjadi
engan cara difusi yang dipermudah. Oleh karena itu, level
ukosa pada janin sebanding dengan glukosa plasma
.unya. Plasenta tidak dapat dilalui hormon hormon protein
-perti insulin, glukagon, hormon pertumbuhan dan
ktogen. Keton berdifusi secara bebas melewati plasenta
239
dan berfungsi sebagai bahan bakar janin selama periode
puasa maternal.
Level glukosa janin secara normal diatur dalarn rentang
yang scmpit, karena homeostasis level glukosa maternal
diatur sangat baik. Selama keharnilan, pada wanita DM yang
tergantung insulin, periode hipcrglikemi menyebabkan fetal
hiperglikemi. Kcnaikan level glukosa yang persisten akan
merangsang pankreas janin, menyebabkan hiperplasi sel-sel
beta pankreas dan hiperinsulinemia pada janin.
Klasifikasi DM
1. Diabetes Mellitus Tipe 1.
Kerusakan fungsi sel betha di Pankreas: Idiopatik,
autoimmun
2. Diabetes Mellitus tipe 2.
Penurunan produksi Insulin atau berkurangnya daya
kerja Insulin atau keduanya
3. Diabetes Mellitus tipe Lain.
Karena kelaina genetik, penyakit Pankreas, obat, infeksi,
antibodi dan penyakit lain.
4. Diabetes pada kehamilan
Komplikasi
1. Diabetes
• Ketoacidosis,mungkin terjadi selama kehamilan
• Hipoglikemia: separuh dari wanita mengalami
hipoglikemia berulang selama kehamilan walaupun
tidak ada kaitannya dengan bayi yang dilahirkan
• Berkernbangnya komplikasi mikrovaskuler termasuk
retinopati dan nefropati: kontrol glikemik yang buruk
pada trimester pertama dan hipertensi kronis tidak
berhubungan dengan dengan progresivitas retinopati.
Memburuknya nefropati dapat mempengaruhi
tekanan darah ibu, dan nefropati dengan
superimposed pre eklamsia merupakan penyebab
terbanyak preterm delivery pada wanita diabetes.
2. Obstetrik
• Kehamilan menginduksi hipertensi: wanita tipe 2
Dibetes, resiko terhadap hipertensi meningkat selama
kehamilan
•Tromboemboli meningkat
•Lahir prematur, lebih banyak Iahir sebelum 37
minggu
740
• Angka kejadian abortus meningkat pada wanita
diabetes sebelum hamil
• Obstructed labour: separuh lahir dengan
makrosomik, 8 % lahir dengan distokia ba h u
• Polihidramnion
• Maternal infection
• Seksio sesarea, 67 'Y:,
3. Fetal dan Neonatal.
• Stillbirth
• Fetal distress
• Congenital malformation: neurologikal dan kelainan
jantung sering terjadi
• Fetal makrosomia
• Hipoglikemia
• Respiratory distress syndrome
• Jaundice
• Birth injury: angka kejadian Erb's palsy 10 kali.
• Kematian perinatal meningkat, meninggal pada
minggu pertama
Indikasi Seksio Sesarea.
45 - 70 % dilakukan SC, no one could explain why.
SC dilakukan pada usia kehamilan 38 minggu.
Sectio dilakukan:
• Persalinan tidak seperti yang diharapkan. Terjadi karena
kontraksi yang lemah (berdasarkan riset di Universitas
Liverpool, pada pasien diabetes kontraktilitas terganggu), •
bayi besar, pelvis kecil atau posisi bayi abnormal. Bila '
partus berjalan tidak seperti yang diharapkan, biasanya
diberi Pitocin/ oxytocin. Bila setelah beberapa saat, tetap
tidak berhasil akan dilakukan SC.
• Detak jantung janin menunjukan fetal distress I
• Posisi bayi transverse atau breech position
• Perdarahan hebat, terjadi pada plasenta previa dan
solutio plasenta
• Emergency
Komplikasi Seksio Sesarea.
• Infeksi (endometritis)
• Perdarahan. 1-2 % membutuhkan transfusi pasca SC,
sering karena kontraksi uterus yang jelek. Bila tidak
dapat berhenti setelah diterapi, terpaksa di histerektomi.
• Trauma organ di dalam pelvis. Vesika urinaria dan
intestinal tract
241
• Blood clots. Resiko blood clots rneningkat di daerah kaki
(DVT) dan paru-paru (ernboli paru) selarna harnil dan
pasca bersalin. Pada yang berisiko dapat diberi
antikoagulan atau intermittent compression device.
Teknik Anestesi.
Pertirnbangan anestesi untuk seksio sesarea pada pasicn
diabetes melitus adalah sama dengan analgesia pada
persalinan, yaitu:
1. Mencegah hipotensi,
2. memberikan cairan intravena non dextrose.
3. mempertahankan posisi uterus miring kekiri.
Spinal, epidural, atau anestesi umum dapat diberikan
dengan aman, tetapi pilihan teknik harus didasarkan pada
individu berdasarkan pada faktor anestetik obstetrik atau
fetal risk, oprasi elektif atau emergensi, pilihan pasieri, da n
pertimbangan ahli anestesiologi.
Pilihan blok neuroaksial lebih disukai daripada anestesi
umum pada kebanyakan seksio sesarea, akan tetapi,
mungkin saja anestesi umum lebih tepat pada kasus
tertentu seperti fetal bradikardi, ruptura uteri, perdarahan
berat, solusio plasenta.
.·�.. �· :· .
.,....; ." -.- .. Daftar Pustaka
;t?t: .-- 1. Alaf SK. Diabetes during labour: Types, mode of delivery
and fetal outcome in Erbil Maternity Teaching Hospital.
http://www.univsul.org/Bilawkirawekan u/page 117 12
5.pdf
2. Bonica JJ, McDonald JS. Principles and Practice of
Obstetric Analgesia and Anesthesia. Diabetes and Other
Endocrine Disorders. 2nd ed. Philadelphia: Williams &
Wilkins; 1995, 1040- 46.
3. C-Section vs Natural Birth in Diabetic Moms. Mercer AS
http: //www.diabetesmine.com/2012/01 /c-section-vs-
birth-in-diabetic-moms.html
4. C-section.Berghella V http://www.uptodate.com
5. Diabetes in Pregnancy http:/ /.www.
patients.co. uk/ doctor/ diabetes in pregnancy
6. De Cherney AH, et all. Diabetes Mellitus & Pregnancy.
Chapter 18. Dalam: Current Diagnosis & Treatment
Obstetrics and Gynecology, 10th ed. Philadelphia: The
McGraw-Hill; 2006.
242
i :��ltsiri. �;��e�·�·den���: ;��;;i,�.�-i :·. ·_-:·:��:��j{f��iJJ��:,
Sri Rahar dju, Mat w.oto . · ·· · ·· · _ ' · · .'
; •: �-
'' • ·-. • • • r .� •
• , ,� =. , ·; _ ;� .' • _:< • • ; .: • , ' ,_:/.: • • � • • , � � , '• � : • � • • , : •
Kerjasarna antara obstetrisian dan ancstctik obstetrik
adalah penting bagi keamanan dan kenyamanan pasien,
terutarna pada keadaan fasilitas anestesi terbatas.
Tingginya mortalitas naternal dan fetal, dan
penatalaksanaan anestesi obsterik mempunyai keterkaitan
yang penting. Audit nasional di Afrika Selatan telah
mengidentifikasi faktor-faktor yang mernpunyai andil
kematian akibat anestesi.
Kebutuhan minimal untuk keamanan pasien adalah:
keterampilan yang cukup, monitor anestesi, ketersediaan
alat dan obat-obatan, serta protokol manajemen untuk tiap-
tiap tingkat penanganan.
Perlu dipertimbangkan juga rnasalah pendidikan/
pelatihan sumber daya dan tersedianya dana.
Kematian maternal yang berhubungan dengan anestesi
biasanya disebabkan oleh aspirasi paru saat melakukan
tehnik induksi cepat.
Di Inggris antara 1967-1969 terjadi 20 per 1 juta
persalinan meninggal karena kegagalan intubasi. Namn
setelah intervensi latihan yang lebih baik, supervisi,
subspesialisasi dan perhatian yg lebih besar tehadap -
kehamilan, menghasilkan peningkatan keamanan anestesi. •
Di Inggris sejak 1985 kematian maternal yang berhubungan
dengan anestesi menurun hingga 4 per 1 juta atau kurang.
Di Zimbabwe antara 1994-2001 terjadi 1 per 482
kasus, dimana khusus untuk obstetric 1 per 293.
Di Negara berkembang, keamanan anestesi obstetrik
meningkat semng dengan peningkatan penggunanan
anestesi regional, walaupun di Afrika Selatan sejak 2005 -
2007 dilaporkan terjadi 71 kematian akibat anestesi
langsung, dimana 53 karena anestesi spinal dan 18 anestesi
umum. Jadi anestesi spinal yang ditangani oleh tenaga yang
kurang berpengalarnan juga merupakan penyebab mortalitas
meternal yang bermakna.
Kebutuhan Minimal untuk Anestesi Obstetrik
Kebutuhan minimal untuk anestesi obstetrik yang
ditetapkan oleh WFSA adalah sebagai berikut:
Table I
Minimum and optimum equipment requirements for obstetric
anaesthesia. Optimum column includes all the minimum
requirements.
E uinmcnt Minimum ---l----____QQ! imum -----�
1
1
Major upc1at111g Rcliub!c- o�:� gt·n �= rppty Piped ox� gcn and mnli{ :d
i hcauc Anaesthesia machine with hvpox!r guard air Integrated pat icnt
Ventilator monitor
Vaporiser for huloihanc or isofluraucc ECG
Patient monitoring: Autornuted NBP
Electrocardiogram ECG) Pulse oxirnet ry
Non-invasive biood pressure (NIHPi Capnogruphy
Pulse oximcrrv Inhalational ngr:nt
Capnography monitor
Additional monitoring: Peripheral nerve st irnulator
o Anaesthesia record Forced air warmer
o Hb measurement capabiity Blood glucose measurcmvm
Thermometer capability
Tilting table with lateral arm supports
Obstetric anaesthesia wedge for larernl
oli
Dcfibriliator. conducting gel and ECG
leads
(acceptable as an alternative ECG
monitor)
Colloid resuscitation
Intravenous (IV) IV cannuiae sizes 18· 14 C
solutions Access to a full
access and IV infusion sets
blood transfusion service
infusions - 20 drops I mL
- Blood administrator.
Facility for safe disposal of needles
Crystalloid solutions
Emergency blood supply
Tracheal Laryngoscope Laryngoscopes 2 handles
intubation Stylet/bougie/introducer and set of blades size 3-4
Magill's forceps set
Suction apparatus, suction tubing and
Yankhader nozzle
Endotracheal tubes
c · Neonatal. sizes 2.0. 2.5, 3.0
o Adult. sizes 6.0. 6.5, 7.0. 73. 8.0
Syringe to inflate cuff
Strapping
Laryngeal mask airway sizes 3 and 4
(or equivalent supraglottic airway;
Stethoscope to confirm endotrdcheal
tube placement
Manual Manual resuscitation bags (adult,
ventilation neonate : interchangeable connections
for all)
Oropharyngeal airways size 2-4
Face masks size 2-5
Oxygen cylinder with flow-valve/meter
and -.
oxygen masks/cubing
Additional Sterile gloves Atraumatic spinal
requirements for Sterile syringes (25 C. 90 and 120 mm),
spinal Quincke spinal needles (22 and 25 C. with introducers
anesthesia 90 mm and 120 mm)
Minimum
244
Pada kondisi fasilitas anestesi terbatas, cara-cara yang (/J
aman menjadi familier dengan obat-obat terbatas untuk m
;::,;:
anestesi obstetrik. analgesi dan resusitasi. en
0
Tiopenton adalah obat esensial untuk induksi cepat en
pada anestesi umum. Ketarnin mempunyai banyak m
keuntungan dalarn ha! efek anestetik dan analgesik pada �
::0
dosis subanestetik, tidak mcndepresi nafas dan stabilitas �
hemodinamik dipertahankan serta merupakan obat penting 0
m
untuk kasus perdarahan obstetrik, tetapi kontra indikasi z
G)
untuk pre-eklampsia. )>
z
Suksametonium merupakan pelumpuh otot esensial
untuk indukasi cepat. Pelumpuh otot nondepolarisasi dan �
obat reversal, layak untuk laparatomi. r=
Di Afrika, halotan dan eter masih Juas pemakaiannya �
en
untuk rumatan anestesi, keduanya relatif tidak mahal dan )>
z
cter tidak mendepresi ventilasi maupun sis tern m
en
kardiovaskuler, selain analgesik yang baik. -I
m
Morfin selain efektif juga murah. �
Obat anestesi spinal pada obstetrik, standard emas -I
m
tetap bupivakain hiperbarik. Fentanyl merupakan obat ::0
CD
tambahan yang baik dan meningkatkan analgesi intra
operatif. �
Vasopresor efedrin dan fenilefrin sangat efektif dan
harus tersedia dan Juas penggunaannya dalam anestesi
obstetrik.
Atropin dan adrenalin juga harus tersedia pada
kejadian kolaps kardiovaskuler.
Oksitosin merupakan uterotonika terpilih untuk
persalinan selama seksio sesaria. Dosis tunggal oksitosin •
aksi panjang misalnya karbetoksin banyak menguntungkan
pada kondisi fasilitas terbatas.
Ergometrin atau prostaglandin juga harus tersedia
selama seksio sesaria bila pasien alergi terhadap oksitosin.
Keunggulan dan risiko prostaglandin dalam rnencegah
dan mengobati perdarahan post partum setelah operasi telah
diiktiarkan dalam pedoman dan kupasan terkini.
Hydralazin dan labetalol diperlukan untuk mengatasi
hipertensi.
Magnesium sulfas adalah obat terpilih untuk mencegah
kejang pre-eklampsi.
245
Anestesi untuk seksio sesarea
Pada kondisi tcnaga dan fasiliras anesre-si t eba ta-.
protokol standard untuk anestcsi umurn, anestesi spinal d an
rcsusitasi neoriatus harus diretapkan. Analgesi rn ultimoda},
menggunakan NSAID dan parasetarnol sebagai analgcsi
da sar pasca sek s io sesaria dalarn kornbinasi dengan opiut
sisternik pen ting untuk 24 jam pertarna.
Anestesi spinal dosis tunggal adalah cara terpilih untuk
pasieri-pasien se hat, bila tenaga ahli dan perscdiaan untuk
perosedur yang lebih canggih seperti kombinasi spinal-
epidural tidak ter sedia.
Pada pasien dengan pre-eklampsi berat, anestesi spinal
dihubungkan dengan stabilitas hernodinamik. Tak ada data
klinis tentang keamanan hitung trombosit pada anestesi
spinal. Risiko intubasi harus dipertimbangkan terhadap
sangat rendahnya risiko hematom epidural.
Pada eklampsi tak ada data tcntang kemamanan
anestesi spinal.
Analisa retrospektif mendukung bahwa anestesi
regional untuk seksio sesarea aman pada pasien-pasien
dengan eklampsi dan kejang berulang, kesadaran menurun
dan jalan nafas sulit, berhasil baik. Walaupun pada
prinsipnya ini tidak direkomendasikan untuk tindakan rutin.
Kontra indikasi anestesi spinal harus digaris bawahi
secara jelas dalam protokol. Pada unit obstetrik yang sibuk,
obstetrisian bekerja tertekan dan penilaian medis kadang-
kadang tidak adekuat, khususnya keseimbangan cairan dan
tidak terdiagnosanya penyakit penyerta, seperti penyakit
katub jantung dan fungsi ventrikel yang abnormal yang
menjadi dasar hipertensi khronis atau kardiomiopati:
Anestetis adalah penilai penting dari kondisi medis maternal
dan seharusnya pasien-pasien yang kontra indikasi tidak
boleh dilakukan anestesi spinal dosis tunggaL Meskipun
dapat berkaitan dengan lebih tingginya defisit basa arteri
ambilikalis daripada anestesi umum pada pasien sehat dan
pre-eklarnpsi, menghindari intubasi trakheal tetap harus
di pertim bangkan.
Selama anestesi spinal posisi miring ke kiri harus
difahami agar meminimalkan kompresi aortokaval dan
rumatan tekanan darah serta curah jantung dengan cairan
dan vasopresor.
246
Walaupun preload koloid lebih menguntungkan en
daripada kristaloid, kristaloid merupakan alternatif pada m
kasus elektif. Koloid tidak rutin digunakan pada fasilitas @
terbatas. .Jadi intervensi cairan awal yang dirckornendasi 5
en
adalah kristaloid 20 ml / kg BB. m
en
)>
Di negara berkembang, kejaclian asidosis neonatal dan ::0
efek samping maternal scperti mual dan muntah, berkaitan �
dengan penggunaan efedrin, untuk mengatasi hipotensi 0
m
spinal, fenilefrin lebih baik. z
Harus ditekankan bahwa fenilefrin rnungkin obat �
z
berbahaya ditangan yang tidak berpengalaman. Tergantung
fosisnya, fenilefrin dapat menyebabkan depresi curah �
j=
antung maternal.
Pada fasilitas terbatas, pasien-pasien dengan �
en
oenururian fungsi ventrikuler, dosis tinggi feriletrin tidak )>
:lirekomendasikan, kareria bila terjadi peningkatan tiba-tiba
z
m
Iari resistensi vaskuler sistemik tak dapat ditoleransi dalam �
m
situasi tersebut, �
Antropin diindikasikan untuk mengatasi bradikardi dan -I
m
iipotensi selama anestesi spinal. Jarang, hipotensi menetap ::0
03
rang disebabkan berkurangnya fungsi ventrikel tak �
erdiagnosis. Segera diberikan efedrin yang diikuti dengan l;
idrenalin dosis rendah.
Anestesi umum kadang merupakan teknik terpilih pada
teadaan tertentu. Protokolnya adalah sebagai berikut:
Sebelum induksi, berikan 30 ml antasid seperti sodium
nitrat untuk menetralisir asam lam bung yang berlebihan
Posisi agak miring kekiri untuk menghindari penekanan
vena kava oleh uterus
Alirkan infusi melalui vena besar dan berikan pre-
oksigenasi
Tekan krikoid untuk mencegah regurgitasi isi lambung
Induksi dengan thiopental atau ketarnin, lakukan
intubasi setelah pemberian suksinilkholin (dengan pipa
endotrakhea yang lebih kecil, terutama pada pre-
eklampsi). Lakukan IPPV dengan pelumpuh otot.
Jangan mengunakan eter atau halotan konsentrasi
tinggi, karena dapat menurunkan tonus uterin dan
meningkatkan perdarahan
Opiat dapat diberikan setelah tali pusat diklem.
247
Siapkau dan bcrikan crgometrin atau oksitosin bila
diminta oleh operator. Pada pre-eklampsi jangan diberi
crgometrin karena dapat mcnyebabkan kr isis hipertensi
Perdarahan selarna operasi harus diganti dengan infusan
yang cukup kalau perlu transfusi darah.
Bila kondisi ibu baik, anestetis boleh membantu
)>
z resusitasi bayi, namun bila dua-duanya kritis, utamakan
m
(/) ibu.
-l Selalu dicoba untuk rnemberi pelatihan asisten pada
m
!:Q kasus seperti ini.
0
a, Pada akhir anestesi harus diingat bahwa ibu tetap dalarn
(/)
-l keadaan lambung penuh dan lakukan ekstubasi pada
� posisi lateral.
:!:!
Simpulan
Di negara berkembang morta!itas maternal sangat
tinggi dan peningkatan tirn kerja serta saling pengertian
antara ancstctis dan obstetrisian diperlukan untuk
meningkatkan hasil maternal dan neonatal.
Tahap pertama untuk mengurangi mortalitas harus
diperhatikan pada kondisi fasilitas anestesi terbatas agar
anestesi berjalan aman. Perlu dilakukan pelatihan staf yang
intensif, tersedia peralatan yang diperlukan, obat-obat dan
protokol yang relevan.
Bila tak ada kontrasindikasi, anestesi spinal dosis
tunggal merupakan tehnik pilihan untuk seksio sesarea.
Daftar Pustaka
1. Dyer EA, Beed AR, James MF, Obstetric anesthesia in
low-resource settings. Best Practice & Research Clinical
Obstetrics and Gynecology 2010; 24: 401 -12
2. Dobson MB. Anesthesia at the District Hospital. 2 nd ed.
3. Hofmeyr GJ, Hows BA, Bergetron S, et al. Obestetric care
in low-resource settings: What, who, and how to overcome
challenges to scale up ? Internasional Journal of
Gynecology and Obstetrics 2009 ; 107 : S2 l-S45.
4. Mc Cordick NI, Sanghvi BCG, Kinzie B, et al. Preventing
post partum hemorrhage in low-resource settings.
International Journal Gynecology and Obstetrics 2002;
77 : 267-75.
248
HAH24
·:seksio· S��·a:tea·:�ada Prrila�·�:-ti-�bilikus ·_· �·::·
Sri Rahardjo, Marwoto ·. ·
. . · · · ·
,_·: ..··. - .: ....... · \ . '. ....:
�:··· . ... ,, ,
-'�.-- . -:· -·.�,. _
�.-:. . .... �
Prolaps tali pusat adalah suatu keadaan gawat darurat
dalam bidang obstctrik yang mengancarn jiwa janin, dimana
pembuluh darah umbilikalis terganggu oleh kompresi tali
pusat (Khan, Naru & Nizami 2007). Prolaps tali pusat terjadi
sekitar 0,46 %, kelahiran (Kalu & Umeora 2011). Kejadian
prolaps tali pusat dilaporkan 1 dalam 160 - 714 kelahiran.
Penanganan yang lambat akan menyebabkan kematian
perinatal antara 36-162 per 1000 kelahiran yang diperburuk
oleh kondisi prematur, asfiksia lahir, dan kelainan
kongenital (Carlin & Alfirevi 2006). Laporan lain
menyebutkan bahwa angka kejadian berkisar antara 0, 1 %
sampai 0,6 kelahiran (Lin 2006, Siassakos dkk 2008).
Beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya prolaps
tali pusat seperti: malpresentasi, kehamilan multipel,
prernaturitas, multi paritas, ketuban pecah dini,
polihidramnions dan janin kecil (Kalu & Umeora 2011).
Penelitian yang dilakukan di Turki mendapatkan adanya
hubungan yang signifikan antara prolaps tali pusat dengan
intervensi obstetrik seperti insersi kateter intra uterin, rotasi
manual pada kepala janin dan induksi persalinan (Uygur,
Kis, Tuncer & Erkay 2002). Diagnosis dan intervensi segera
harus dilakukan untuk mengurangi angka kesakitan dan I
kematian perinental.
Penatalaksanaan
Waktu adalah sangat penting dalam menolong
persalinan dengan prolaps tali pusat untuk mengurangi
lama kompresi pada tali pusat. Respon waktu antara
diagnosis dengan intervensi disebut Diagnosis-Delivery
Interval (DOI) (Amankwah, Caughey & Walker 2011). Salah
satu penatalaksanaan segera adalah metode yang dapat
mengurangi tekanan bagian terendah janin pada tali pusat
dalam upaya mencegah dan meminimalkan kerusakan yang
dapat terjadi pada sirkulasi janin seperti perubahan posisi
(Carlin & Alfirevi 2006).
249
• Hadapi pasien dengan tenang, panggil asisten termasuk
anestetis, pcdiatrisian, t im kamar bedah, mungkin
diperlukan tindakan seksio sesarea.
• Bila sedang dalam infusi oksitosin, segera hentikan.
• Berikan 02 masker l .S L/menit untuk meningkatkan Pa02
pada jan in yang hipoksik.
� • Bila diagnosa telah ditegakkan, posisikan psien dengan
z
m
(/) knee-chest position atau miring kekiri dengan bantal
-I
m dibawah pinggul atau Trendelenbu.rg untuk mcngurangi
� kornpresi tali pusat.
0
CD • Lakukan colok vagina. bila terjadi ruptur mernbran
� spontan, dorong presentasi janin agar mengurangi
� tekanan pada tali pusat oleh dinding pelvis (Yago 1970).
:!.:!
• Manipulasi yang berlebihan pada tali pusat harus
dihindari.
• Bila tali pusat keluar dari vagina, masukkan secara hati-
hati dengan gaas steril yang dihangatkan dengan larutan
garam fisiologi. (Goswami 2007).
Bila persalinan segera tak memungkinkan, isi kandung
kemih dengan 500 - 750 ml larutan garam fisiologis
melalui kateter Foley dan ini akan mendorong bagian
presentasi dibawah spina iskhiadika yang akan
mengurangi tekanan terhadap tali pusat (Katz dkk 1988,
Houghton 2006).
• Berikan tokolitik untuk mengurangi kontraksi uterus dan
terbutalin 0,25 mg subkutan untuk mengatasi bradikardi
(Draycott dkk 2008).
• Pantau denyut jantung janin dengan auskultasi atau
ultra sound scan.
• • Pasang jalur infus dengan jarum besar dan ambil sampel
darah untuk pemeriksaan laboratorium.
• Selanjutnya tindakan persalinan segera akan
dipertimbangkan sebagai berikut:
l. Bila pembukaan serviks maksimal, segera pimpin
untuk persalinan pervaginam bila diperkirakan dapat
berjalan cepat da.n aman.
2. Bila kondisi janin baik, tak ada kompresi tali pusat,
memungkinkan untuk dilakukan seksio sesarea
dengan anestesi spinal.
250
3. Bila terjadi kornpresi tali pusat dan atau denyut
jantung janin abnormal, janin harus segera
dilahirkan.
Dalam hal mi memungkinkan untuk dilakukan
anestesi spinal, namun pilihan terbaik adalah
anestesi umum ( Afolabi dkk 2006).
4. Pada kejadian fetal death dan pembukaan serviks
maksimal, biasanya praktisi menghcntikan intervensi
dan mengikuti proses persalinan sampai bayi lahir.
• Selama tindakan, neonatologis yang kompeten untuk
resusitasi neonatus harus siap (Murpy & Mac Kenzie
1995).
Setelah bayi lahir, ambil darah arteri dan vena melalui
tali pusat untuk pemeriksaan analisa gas darah (Draycott
dkk 2008).
Pertimbangan tindakan anestesi adalah sebagai berikut
1. Anestesi regional :
Pengosongan lambung tidak adekuat
Terpilih bila tidak terjadi distres janin
Prosedur mudah dan cepat
Anestesi epidural merupakan pilihan lain, bila belum
ada distres janin dan kondisi janin baik
Untuk mengurangi penekanan vena cava inferior,
posisi pasien agak miring kekiri.
�- Anestesi umum:
Prosedur cepat, operasi dapat segera dilakukan
sehingga distres janin segera teratasi
Anestesi regional kemungkinan gaga! atau makan
waktu lama


Namun perlu mendapat perhatian masalah
pengosongan lam bung, pemberian antasida,
penekanan trakhea saat induksi dan laringoskopi-
intubasi serta posisi agak miring kekiri.
limpulan
Prolaps tali pusat merupakan salah satu kegawat
laruratan medis dalam obstetri sehingga perlu penegakan
.iagnosa melalui pemeriksaan colok vagina dan upaya-upaya
mtuk menghindari / mengurangi kompresi pembuluh darah
imbilikalis antara bagian presentasi janin dan tulang pelvis.
251
Bila pembukaan serviks lcngkap sorta diperkirakan
persalinan dapat berjalan cepat dan arnan , segera pimpin
persalinan pervaginam.
Bila kondisi janin baik dan tak ada kornprcsi tali pusar ,
anestesi spinal terpilih untuk tindakan seksio sesarca.
Bila terjadi komprcsi tali pusat dan atau dcnyur
)>
z jantung janin abnormal, memungkinkan untuk dilakukan
m anestesi spinal atau lebih baik anestesi urn urn. Kecluanya
en
-i harus dipilih melalui pertimbangan tertentu.
m
� Pada kejadian fetal death dan pembukaan serviks
0 sudah maksimal, biasanya praktisi mengakhiri interverisi
CD'
en dan rncngikuti proses persalinan sarnpai bayi lahir.
-i
!!l Selama persalinan neonatalogis harus siap, setelah bayi
� lahir ambil sampel darah arteri dan vena umbilikalis untuk
pemeriksaan laboratorium.
Daftar Pustaka
1. Available from: www.kjog.org Obstetric emergencies/
umbilical cord prolapse: 01-05.
2. Guideline for the Management of Umbilical cord prolapse.
The Queen Mother's hospital. MOET Course Manual,
RCOG Press, 2006.
3. Ginosar Y, Weiniger C, Elchalal U, et al. Emergency
Caesarean Delivery for umbilical cord prolapse: the head-
down, knee-chest prone position for spinal anesthesia.
Canj Anesth 2008; 55 ( 9): 612-15.
4. Jung SE, Cho SH, Park SY, et al. Fetal survival after
emergent in case of anesthesiological and pediatrician
unavailable: A case report. P 1-4.
5. Siassakos D, Hasafa Z, Sibanda T, et al. Retrospective
cohort study of Diagnosis-Delivery Interval with umbilical
cord prolapse: The effect of team training. British Journal
of Obstetrics and Gynecology, May 2009; 116: 1089-96.
6. Tafur LA, Florez EL. General Anesthesia for C-Section.
The Role of Sugammadex in the quality and safety of
anesthesia. P 75- 77. Available from:
www.revcolanest.com.co.
252
-�kstt1.:se��re�--:��i1�:-·11is:t�ri·:·1rti1J�-��a :·
ri:Wa�Jo�n.irigsilj� E.ddy RahaidjQ .: _.. ·· .· .. · . : - · · .. '; ·. · .. ·.. .:_':_-.·: ·. ·
,,;�_' :.:: �·.·.· ... ·.:�-
-� ••• .
e , '>. ' .-.: '·.-. -�:_-: . · ·.·<� -... -·_. . _:._ .·/�
Didaerah pandemi influenza, ibu hamil yang terinfeksi
influenza akan meningkatkan keparahannya. Resiko gaga!
napas dan pneumonitis yang parah meningkat akibat
perubahan fisiologi ibu hamil. Morbiditas janin yang tinggi
diakibatkan dernam dan hipoksemia. Tidak semua terapi
anti viral dapat dibcrikan pada ibu hamil. lbu hamil
trimester kedua dan kctiga dan selama 2 minggu pasca
persalinan merupakan golongan yang berisiko meskipun
hanya 1 %-2% dari populasinya.
Influenza
Influenza adalah penyakit saluran napas akut
disebabkan oleh virus dan sering disebut dcngan flu yang
disebabkan oleh virus influenza A,B dan C. Influenza
ditandai dengan keluarnya sekret dari traktus respiratorius
fan disertai gejala pireksia, mialgia, batuk dan kadang
kadang disertai dengan gejala gastro intestinal. Faktor resiko
untuk keparahan adalah kelompok umur kurang dari 5
.ahun, kehamilan, kongesti jantung kronik, penyakit paru
cronik, diabetes, penyakit syaraf kronik, pemakai obat
munosupresi, morbid obese, penyakit hepar dan ginjal • . :,>H, .
cronis dan perokok. Pemeriksaan laboratorium
nenunjukkan leukopeni, trombositopeni, kenaikan serum
amlnotransferase, CK, kreatin dan LOH. Diagnosis
iitegakkan dengan diketemukan virus RNA dari usapan
rasofaringeal. Penulit yang dapat terjadi adalah Primay
/iral pneumonia, secondary bacterial pneumonia,
.nsefalopati, transfere myelitis, miositis, miokarditis,
ierikarditis dan sindroma Reye.
bu hamil dan influenza
Perubahan sistem kekebalan tubuh ibu hamil
nemungkinkan toleransi terhadap antigen janin. Beberapa
ekanan pada sistem imunitas ibu dengan cara penurunan
iroses proliferasi limfosit sebagai respon terhadap antigen
arut dan limfosit alogenik. Efek perubahan ini tampak pada
nanifestasi yang lebih berat pada infeksi tertentu misalkan
nfluenza. Respon imum terhadap virus influenza komplek
253
dan beragam. Setelah terjadi infeksi, mekanisme kekebalan
diaktifkan untuk meughilaugkau virus. Respon kekebalan
yang dimediasi sel penting untuk pernberantasan virus d ari
pemulihan. Vaksinasi diberikan pada ibu hamil sehat
dengan vaksin influenza trivalent tidak aktif pada ke harnilan
trimester kedua dan ketiga. Hasilnya belum tampak
menunjukkan manfaat dan risiko.
Radang paru merupakan masalah pada kejadian
influenza serius didalarn kehamilan, dengan adanya
peningkatan angka kematian janin. Sebagian besar
morbiditas janin disebabkan oleh hipoksia janin pada ibu
dengan ARDS yang rnengalami hipoksia berat. !bu hamil
dengan influenza menunjukkan peningkatan resiko
komplikasi kardiopulmoner dan peningkatan suhu ibu akan
menyebabkan penyulit perinatal dengan kelahiran prematur
dan kelainan bawaan. Kasus ibu hamil yang sebclumnya
sudah dengan riwayat asma dan perneriksaan darah
abnormal (anemia, leukopenia, leukositosis, limfositosis,
trombositopenia) akan mengalami pneumonia dan atau gaga!
paru.
Kegagalan napas pada ibu hamil dengan influenza
dibutuhkan pernapasan buatan. Ibu hamil perubahan
fisiologi yang terjadi penurunan kapasitas residu fungsional
(
dan peningkatan konsumsi oksigen, hipoventilasi dan apnea
akan mempercepat terjadinya desaturasi oksigen. Edema
dan kerapuhan mukosa saluran napas atas yang terjadi
pada ibu hamil, dapat menghambat visualisasi dan
meningkatkan perdarahan. Kegagalan intubasi pada ibu
hamil delapan kali lebih sering daripada ibu normal.
Fetus dan influenza
Kehamilan menyebabkan perubahan fisiologi dari
pemapasan, pada saat persalinan dapat terjadi kegagalan
napas yang dapat mempengaruhi keadaan ibu. Perbaikan
oksigenasi harua dilakukan meskipun bukan dengan
pemberian PEEP atau complaince. Apabila janin fiabel, ibu
mengalami mengalami hipoksia harus dipikirkan
keuntungan dan kerugian untuk mengeluarkan janinnya.
Pemberian steroid untuk maturitas dari paru dapat secara
tersendiri dengan pertibangan obstetri dan pediatri.
Tindakan seksio sesarea akan menyebabkan pasien lebih
cepat dalam keadaan lebih kritis, peningkatan stres fisiologi
pada pembedahan persalinan akan mengakibatkan tingginya
kematian ibu. Oleh karena itu persalinan tidak selalu akan
254
-nempcrbaiki oksigenasi dan ventilasi dari ibu. Persiapan
..mtuk persalinan dan resusitasi bayi harus dilakukan untuk
ceadaan yang menburuk atau pcrsalinan spontan, dalam hal
ni pihak obstetri harus menentukan cara persalinan.
Bahaa E et al., melaporkan ibu hamil 34 minggu yang
:latang di Maternity Section of Ain-Shams University Hospital
Iengan gejala panas dan distres napas clilakukan
oernapasan buatan. Pada hari kedua dilakukan pemeriksaan
swab fayng dan menunjukan hasil positif. Saturasi oksigen
nenunjukan selalu dibawah 70°/c, dan pada hari ketiga DJJ
idak terdengar Jagi. Pada hari ke 5 ibu tidak menunjukan
ierbaikan dan tidak berhasil menaikkan saturasi oksigen
ian dinyatakan meninggal.
lnestesi dan influenza
Seksio sesarea dilakukan atas indikasi ibu atau janin.
bu dengan infeksi dapat mengakibatkan gawat janin. Ibu
lengan infeksi influenza dapat dilakukan seksio sesarea dini
ipabila janin sudah lebih dari 34 minggu, dan ibu dalarn
.eadaan gawat. Apabila kehamilan kurang dari 34 minggu,
.ersalinan bayi dalam fiabel ditunda 24 jam sampai 48 jam
mtuk memperbaiki kondisi bayi dengan pemberian
retametason.
Persiapan yang harus dilakukan pada seksio sesarea
.dalah memperbaiki keaadaan ibu khususnya pernapasan
an sirkulasi. lbu yang sudah mengalami sesak dan jumlah
-ernapasan Jebih dari 24 kali permenit dalam waktu pendek
apat terjadi gaga! napas. Gaga] napas yang terjadi
ibutuhkan penanganan khusus. Setelah stabilisasi dari
ernapasan dilakukan stabilisasi sirkulasi.
Zhang Hui-xin et al, melakukan penelitian pada 8
asien hamil pada fase akhir trimester ketiga dengan infeksi
11 N 1 secara retrospektif. Hasilnya 2 pasien dengan gejala


istres napas sedang dan fungsi napas masih dalam batas
ormal dilakukan dengan anestesi spinal, sedang pasien
engan gejala distres napas berat dilakukan dengan anestesi
mum dengan volume tidal kecil dan diberikan PEEP selama
embedahan.
Laporan kasus yang diJakukan oleh Lee Al et al., wanita
engan kehamilan 38 minggu, umur 39 th, dengan diagnosa
ifeksi H 1 N 1 yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan
iboratorium dengan superimposed pneumonia bilateral
.lah dilakukan analgesi epidural dengan hasil tidak ada
enyulit intra dan postpartum.
255
Pada tahun 2009 di rurnah sakit Tygerberg, wanita
hamil dcngan distres napas berat dan akut dimasukkan ke
Obstetri Critical Care Unit {OCCU). Gejala klinis yang
tampak adalah bronchopncumonia yang hasil tes yang
dilakukan pasicn terinfeksi oleh virus influenza HIN 1. Dari
13 kasus, didapatkan 5 pasien terjadi Iuka paru akut dan
)> dilakukan pernapasan buatan dan pembcrian obat inotropik,
z 3 pasicn mengalami kematian. Tiga pasien membutuhkan
m
� napas buatan dengan CPAP, tanpa obat inotropik. Semua
m pasien dimasukkan kc OCCU atau ICU dengan gejala flu
Q2
0 dengan distres napas, perubahan gambaran radiologi dengan
0,
(/) ada proses aktif difus pada perensirn paru. Seksio sesarea
-t dilakukan dengan indikasi distres janin pada enam ibu
� hamil tersebut setelah dilakukan stabilisasi dari pernapasan.

Dari 8 pasien yang dilakukan pernapasan buatan, 6 bayi
hidup.
Daftar pustaka
1. Bahaa E, El-Shaer A. Avian Influenza in Obstetric ICU.
Acase Report. Ain Shams Journal of Anesthesiologi vo. 2-
2: July 2009
2. Gwavava C, Lynch G. Intensive care management of
pandemic H 1 NI Influenza. Update in Anaesthesia; Vol 26,
Des 2010: 37-40
3. Hymel Bj, Diaz JH, Labrie-Brown CL, Kaye AD. Novel
influenza viral infection in late pregnancy: Report of a
case. The Orchsner Journal 10:32-37, 2010
4. Lapinsky SE. HlNl novel influenza in pregnant and
immunocompromised patients. Crit Care Med 20 IO vol.
38, No. 3(Suppl): Sl-S6
5. Langenegger E, Coetzee A, Jacobs S, le Roux A, Theron G.
Severe acute respiratory infection with influenza A(HlNI)
during pregnancy. SAMJ October 2009, Vol.99, No. IO
6. Lee AI, Hoffman MJ, Allen NN, Sullivan JT. Neuraxial
labor analgesia in aan obese parturient with influenza A
HIN!. Internasional Journal of Obstetric Anesthesia Vol.
19 Issue 2, 223-226, April 2010.
7. Zhang Hui-xin, Lui Yan, Hui-qun, et al. Anesthesia
management in cesarean section for H 1 N 1 influenza
infection in late trimester pregnant women. Chinese
Journal of Difficult and Complicated Caese. 2012-01.
256
BAB 26
$eksi(l�e�;t�� 'pad�··P.��i�ri-_:i�n��< :_ .. '·. . ·; -:
Sri· Wahj9eningsih, Ac�sanuddin· Hana.fit( '. __·. ·. . ·. · . · . - · ...
"..� •, '. ' . '
.. ' .. � . ·. . �· .·. ' . . . _. , . . : . - . �-- .' . . . '
': - . ·.
Infeksi dan demam adalah masalah klinis yang urnum
pada pasien kebidanan. Demam sering diketemukan pada
ibu hamil selama persalinan yang dapat menjadi masalah
tersendiri untuk rnenanganinya. Demam dapat terjadi
sebelum atau selama persalinan berlangsung. Penyebab
demam dapat berupa mikro-organisme, kelainan endokrin
atau disebabkan oleh obat-obatan
Demam dan infeksi
Hipotalamus biasanya mempertahankan suhu tubuh
pada 37oc. Suhu rata-rata oral 36,SOC .±. 0,40C (gambar I)
dengan fluktuasi dari 36,2°C pada jam 06.00 dan 37,soc
pada jam 14.00 sampai jam 16.00 orang dianggap demam
bila suhu oral lebih tinggi dari 37 ,2oc pada pagi hari dan
37,70C pada sore hari. Suhu rektal menunjukkan 0,60C lebih
tinggi dari suhu oral.
0:al ''f' ·( Ret:!111
�--;-1 '
I I
I ( Hard exer:::isP.
j 102 39
I I I F motion O! rnodPrate
Hard work, emotion j
.A. fe·"v norms: adL·11s
M,ir.y active chi'd•er.
< I
I 1100 38
I l exercise
'ew oor.�al adutts
I . ( AMa�y active ch;'dre·1


I I I
i Jsual range I
I I 37 ( :t :;; a ge
<. � � ��
ot norrnal 98
Eari)' morning
I i
\ r: ar., irorr.•r,g
/
Cold weather. e'.c. -,
II
!�-3J ( Cold weather. e1c.
Gambar I
Range of normal body temperature (from Dupois EF; Fever and the Regulation of
Body Temperature. Springfield,lL; Charles C Thoas; 1948)
257
Kehamilan dapat meningkatkan tingkat metabolisme basal
sehingga mempengaruhi suhu basal ibu hamil. Selama
persalinan suhu ibu hamil dipengaruhi oleh hyperventilasi,
keringat dan aktivitas fisik. Pasien selama masa pcrsalinan
bila tenang dan kurang aktif mempunyai suhu yang lebih
tinggi. Suhu bayi lahir sesuai dengan suhu vagina ibu.
Suhu diatur dari hipotalamus yang mengintegrasikan
afferent thermal information dari kulit, sumsum tulang
belakang dengan sistem lain yang ada dalam susunan saraf
pusat. Bila hasil suhunya menyimpang akan merangsang
termoregulator. Respon pertama pada manusia gangguan
perilaku dengan pindah tempat, memakai baju yang sesuai
atau kamarnya disesuaikan suhunya. Perubahan suhu
tersebut dimediasi oleh saraf otonom. Pada hipotermi akan
terjadi vasokonstriksi perifer dengan mengurangi aliran
darah keperifer, mcngurangi kehilangan panas dan menahan
panas. Jika vasokonstriksi tidak memadai untuk mencegah
hipotermi, maka termoregulator untuk menggigil dipicu
meningkatkan produksi panas. Susunan saraf pusat akan
mengontrol aktivitas metabolisme dari otot yang mengubah
energi kimia menjadi panas melalui menggigil. Suhu tubuh
yang meningkat akan terjadi vasodilatasi. Vasodilatasi
tersebut bersifat pasif dan ini adalah hasil pelepasan tonus
simpatik. Jika vasodilatasi tidak dapat mencegah hipertemi,
termoregulasi untuk berkeringat dirangsang dan dilakukan
juga peningkatan penguapan panas.
Suhu yang tidak normal dapat terjadi karena obat-
obatan yang mengubah nilai ambang termoregulator.
Aktivitas hipotalamus dan demam mungkin memicu pirogen
endogen yang dilepas dari sel-sel efektor kekebalan tubuh
dalam merespon invasi mikroorganisme. Meskipun tidak ada
pirogen endogen tunggal sebagai mediator respon demam,
faktor tumor nekrosis tampaknya mampu mereproduksi
banyak komponen dari reson demam. Kegiatan pirogen
endogen tergantung dari pada produksi sel endotel yang
lebih besar dari prostaglandin. (Gambar 2)
258
r::--1
W+;t
r---- ------
Mic,;;;;! !oxins !
L�r
! Heat conservation. lI _·:�;/·
L heal prcduc!ion
tt"ntcction. microbial toxins 1 J ·-- -
I ;;,ediators c,f intlammation. l l:levated ]
immune reactions I "ychc �hermo•e\julatory I
i I
r,: --:-LJ 11
i
��on:cyt�:phages.] �
--�tivJ<n'.__j
endothelial ceUs. otne-s J
Pyrog:l�a��s� I
r rH;potha1,.-,-
endothelium
cm
IL·I. IL-6. TNF. �
l----c - --- �
Garnbar 2
Chronology of events int he pathophysiology of fever. AMP, adenosinc 5'·
monophosphate; IF'N, interferon; TNF, tumor necrosis factor; IL; interleukin;
PGE,, prostaglandin E2. (From Fauci AS, Kasper DL. Longe- DL et ai.
Harrison'sPrinciples of Internal Medicine. 17th edit ion. The McGraw-Hill
Companies. Available al http:/ /www.accessrnedicine.com/)
Secara klinis suhu melebihi 380C merupakan demam.
Selama episode demam, regulator setpoint ditinggikan, dan
mekanisme termoregulator normal digunakan untuk
menjaga suhu tinggi. Situasi suhu tinggi yang tidak normal
dan regulator setpoint yang tidak berubah, maka
termoregulator hipertermi melakukan pencegahan.
Janin yang berada didalam uterus, elirninasi panas
melalui permukaan kulit janin melalui air ketuban dan
sirkulasi uteroplasenta, Janin normal mempertahankan •
suhu sekitar O,soc sampai 0,750C lebih tinggi daripada suhu
ibu.
Pengaruh panas pada kehamilan
Ibu dan janin infeksi meningkatkan angka morbiditas
perinatal. Kelahiran prematur dapat terjadi akibat langsung
dari infeksi ibu yang dapat meningkatkan morbiditas dari
bayi. Suhu yang tinggi mempunyai efek merusak janin.
Lieberman et al. melakukan studi retrospektif pada
1218 ibu nulipara dengan letak verteks dan persalinan
spontan yang afebril yang dilakukan aanalgesi epidural
menunjukan 10% dari pasien tersebut suhunya
>38.00C(> 100.40F). Skor APGAR yang kurang dari 7 dan
259
adanya tonus otot bayi yang menurun banyak dijumpai pada
persalinan ibu yang demam. Peningkatan suhu diatas 38.3°C
rneningkatan kebutuhan oksigen sehingga diperlukan
pemberian oksigen selarna per salinan. Keadaan ini t ak dapar
dikaitkan dengan kejadian kejang pada neonatal, tetapi pada
studi yang panjang ditemukan adanya hubungan kejang
)>
z dcngan demarn intraparturn.
m Perlman pada penelitian kohort , diketcmukannya
en
-l banyaknya skore APGAR 5 menit yang hasilnya 5 atau
m
Q? kurang yang mcmbutuhkan kompresi dada pada persalinan
0 ibu dengan demam diruang pcrsalinan. Studi epidemiologi
OJ
en tentang hubungan ibu panas intraparturn dengan cerebral
-l
m
-l palsy menunjukan kejadiannya 2 sampai 9 kali kelahiran
:0
bayi dengan ibu panas intrapartum lebih dari 38°C
dibanding dengan ibu yang tidak panas. Dammane et al,
menunjukan adanya kenaikan resiko defisit kognitif lebih
dari 2 SD dibawah mean tentang nonverbal intelegensia
scale pada anak usia 9 tahun yang dilahirkan dari ibu
dengan panas intraparturn. Mekanisme yang
menghubungkan cedera neurologis bayi dengan demam
tidak diketahui, kemungkinan berkaitan dengan
pembebasan sitokine selama panas.
Demam atau peningkatan suhu akan meningkatkan
detak jantung, curah jantung, kebutuhan oksigen dan
pelepasan katekolamin dari ibu .
Infeksi pada ibu hamil
1. Chorioamnionitis
2. Infeksi urologi
3. Infeksi saluran napas
4. Herpes Simplek
5. Sepsis dan syok septic
Chorioamnionitis
Diagnosa chorioamnionitis berdasar dari gejala klinis,
suhu lebih dari 380C, takhikardi ibu dan janin, nyeri rahim
dan atau bau busuk air ketuban. Kejadian chorioamnionitis
terjadi pada 1 % ibu hamil. Predisposisi terjadinya
chorioamnionitis adalah ketuban pecah prematur sehingga
bakteri dapat masuk kerongga ketuban dan ruang janin.
Selain ketuban pecah prematur penyebab lain adalah
pemeriksaan vaginal digital dan persalinan yang lama.
Komplikasi ibu akibat chorioamnionitis adalah kelahiran
260
prernatur, infeksi post partum, atonia uteri, perdarahan post
partum, sepsis dan kernatian. Komplikasi neonatal adalah
pneumonia, meningitis, sepsis dan kernatian. Setelah
diagnosa dibuat pernberian terapi antibiotika antepartum
dapat mcnurunkan morbiditas dari ibu dan neonatal. Pilihan
ancstesi regional dilakukan setelah diberikan tempi
antibiotika. Meskipun kejadian syok septik akibat
chorioamnionitis sangat langka, kecukupan hidrasi pasicn
dengan dcmam kctidak stabilan hernodinamik dapat terjadi.
Infeksi urologi
Infeksi urologi sering terjadi pada kehamilan.
Peningkatan konsentrasi progesteron menyebabkan relaksasi
otot polos saluran kemih. Rahim yang membesar
menyebabkan penekanan sehingga menyebabkan obstruksi
saluran kcmih parsial. Kedua faktor tersebut menyebabkan
tertahannya urine didalam kandung kemih sehingga
meningkatkan resiko infeksi saluran kemih.3 Perubahan
fisiologi ibu hamil memungkinkan terjadinya infeksi
kandung kemih asimtomatik akan naik keginjal sehingga
terjadi pielonefritis. Gejala pielonefritis akut berupa demam,
menggigil, nyeri panggul dan gejala lain dari infeksi saluran
kemih bagian bawah. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan piuria dan leukositosis yang bergeser kekiri.
Organisme yang diketemukan E.Colli, Klebsiela dan spesies
Proteus. Pielonefritis meningkatkan resiko persalinan
prematur.
Infek.si saluran pernapasan. •
Infeksi saluran pernapasan selama kehamilan adalah
infeksi saluran napas atas virus yang tidak menimbulkan
ancaman serius bagi ibu dan janin. Pneumonia pada
kehamilan merupakan 50% didahului oleh infeksi saluran
pernapasan atas. Hiperemi dan hipersekresi merupakan ciri
khas mukosa saluran napas selama kehamilan, perubahan
ini akan meningkatkan infeksi. Konsumsi oksigen yang
meningkat dan kapasitas fungsional residu yang menurun
memungkinkan iinfeksi tersebut mengakibatkan hipoksemi
Iari ibu.
Gejala yang tampak sama dengan pada ibu tidak hamil
/aitu demam ringan (<380C), malaise, hidung berair, bersin
Ian batuk non produktif. Suara serak dan dyspneu mungkin
261
terjadi pada 75'Y.., ibu harnil yang tidak terinfeksi, ha! ini
diseba bkan oleh pengaruh estrogen yang menyebabkan
edema mukcsa. kongesti kapiler, hiperplastik dan
hipersekresi dari glandula mukous. Suara serak dan edema
faringolaringeal mungkin juga disebabkan oleh hipertensi
karena kehamilan, pre-eklarnsia dan cairan overload.
)> Menurunnya imunitas selular dan immoral karena
z
m kehamilan akan memudahkan infeksi tersebur menjadi
� parah. Pasien hamil dapat memberi toleransi keadaan
m
� dengan Pa02 suboptimal, tetapi pemberian oksigen mutlak
0
a, diberikan untuk menghindari hipoksia janin. Edema fasial
(/)
-f dan saluran napas, stridor, disfagia dan gelisah merupakan
.!!1 tanda dari obstruksi saluran napas yang berdampak
:!2 terjadinya hipoksia.
Pneumonia merupakan lanjutan dari infeksi saluran
napas atas pada ibu hamil yang terjadi pada 50% kasus.
Pneumonia pada kehamilan harus ditangani secara agresif,
karena kemungkinan terjadi kelahiran prematur. Konsumsi
oksigen dan peningkatan ventilasi pada saat pertama proses
persalinan sehingga analgesi epidural dapat dilakukan
untuk meredam hiperventilasi dan work of breathing.
Herpes Simplek
;.·,-:.· Perhatian utama dengan infeksi HSV pada kehamilan
adalah pengaruh pada neonatus. Penularan terjadi melalui
kontak langsung dengan virus, misalkan pada saat bayi
melewati jalan lahir atau pada saat ketuban pecah terjadi
infeksi asending. Pengelolaan obstetri pasien yang diketahui
I terinfeksi diarahkan untuk menghindari paparan bayi
terhadap virus pada saluran genital, sehingga
direkomendasikan untuk kelahiran sesar. Kelajiran sesar
tidak menjarnin pencegahan penularan, 20% sampai 30%
dilaporan bayi terinfeksi pada kelahiran abdominal. Anestesi
spinal dan peridural dilakukan dengan insersi jarum jauh
dari lesi pada ibu masih dianggap aman.
Syok septik
Syok septik ditandai dengan hipotensi dan hipoperfusi
dan kegagalan multiorgan. Pada ibu hamil, penyebab syok
septik 95% adalah infeksi gram negatif. Syok septik sebagian
besar adalah efek dari mediator yang dilepaskan dari sel-sel
efektor kekebalan, seperti endotoksin, oksida nitrat, tumor
262
necrosis factor. interleukin dan rnetabolit siklooksigcnnase
asam arakidoriat. Antibodi diarahkan terhadap tumor
necrosis factor, interleukin- I antagonis dan agen
non steroidal anti inflarnatori untuk menentukan
C/)
keberhasilan rncngatasi syok septik. Syok sept ik yang dini m
;:,;;
terjacli keriaikan curah jantung dan pcnururian rcsistensi C/)
vaskular sisternik. Tanda lain adalah ekstrernitas hangat, 6
C/)
kering, hiperventilasi dan oliguria. Pada tahap lanjut, terjadi m
peningkatan perrniabilitas pembuluh darah, kebocoran �
::0
cairan intravaskuler ke ruang intcrstisial sehingga m
)>
mengalami kehilangan cairan. Gejala ini disertai tekanan -0
)>
vena sentral dan curah jantung menurun, resistensi
pembuluh darah perifer meningkat, ektremitas dingin dan �
sianosis, kadar laktat dalam darah meningkat. Hal dapat �
C/)
disertai dengan depresi miokard atau gangguan koagulasi iii
z
intravaskular diseminata. Pengobatan ditujukan pada
perbaikan status hemodinamik dan mengobati infeksi. �
z
Resusitasi cairan, obat-obatan vasopresor dan inotropik �
mungkin diperlukan. Anestesi persalinan pada pasien
dengan hemodinamik yang tidak stabil ditunda 1 atau 2 jam
setelah terjadi perbaikan. Resusitasi harus dilakukan
dengan cepat. Anestesi regional terjadi blok simpatik
merupakan kontraindikasi bila dilakukan pada pasien septik
dengan hipovolemia. Jika resusitasi telah berhasil anestesi
epidural dapat dilakukan secara titrasi. Anestesi umum
merupakan pilihan untuk persalinan darurat.
�nestesi regional pada pasien panas.
Kombinasi penyakit demam dan persalinan
nemerlukan evaluasi yang cepat. Perubahan fisiologi ibu
.iamil dapat membuat sulit untuk menentukan etiologi dari
Iernam. Prostaglandin merupakan mediator yang baik untuk
nengatasi demam pada permulaan persalinan. Uterus tidak
nempunyai sifat autoregulasi, sehingga vasodilatasi perifer,
nenggigil dan hiperemi dari organ yang terinfeksi akan
nengurangi perfusi ke uterus dan janin. Anestesi regional
lapat mengubah perfusi uterus.
Anestesi epidural untuk pembedahan, termasuk
iembedahan sesar menghasilkan efek hipotermi. Efek
rasodilatas] akibat blokade simpatis, menyebabkan
edistribusi panas dari sentral keperifer dan menyesuaikan
lengan lingkungan sekitar. Sebaliknya pasien pada masa
263
persalinan yang dilakukan analgesi neuraxial dapat
mengalami kenaikan suhu. Pacta tahun 1989, Fusi et aal.
mengamati kaitan epidural analgesia pada ibu intrapartum
dengan dernam, menunjukkan bahwa suhu vagina pada 18
ibu tersebut meningkat 1 uc selama 7 jam, dan yang
diberikan meperidin dan metoclopramide tetap konstan.
)>
z Epidural dapat menyebabkan ketidak seimbangan antara
m panas yang diproduksi dan pengeluaran panas. Carnann et
� al pada tahun 1991 rnelakukan penelitian pada 53 partu rien
m
� dengan mengukur suhu membrana timpani dan oral yang
0
0:, dilakukan analgesi epidural dan nalbuphine. Parturien
en
-i dibagi dalam 3 kelompok, kclompok pertama: epidural
!:!l dengan bupivakain, kelompok kedua: epidural dengan
;!!
bupivacain dan fentanil dan kelompok ketiga: nalbuphine
intravena. Pada 4 jam pertama kelompok epidural tidak
mempengaruhi suhu ibu, dan pada 5 jam selanjut nya suhu
membrana timpani rata-rata kelompok epidural secara
signifikan lebih tinggi dari kelompok nalbuphine intravena. i.z
(Gambar 3)
37.4
37.2

Cl)
37.0
:5
�<J
a. 36.8
E

o 366
c
0.
"'
E 36.4

36.2
4 6 e 10
0 2
Time (hours,
Gambar 3
Mean tympanic temperatures during labor in three groups of patients: Epidural
bupivacaine-fentanyl (open circles], epidural bupivacaine-onlyfx), and parenteral
opiod (teal squares) groups. *P<.O I com pa rd with epidural group; *P< .01
compared with the pre-epidural analgesia temperature. (From Camann WR.
Hortvet LA, Hughes N, et al. Maternal temperature regulation during extradural
analgesia for labour. Br J Anesth 1991;657:565-8)
264
Peneliti lain mendapatkan kenaikan suhu pada epidural
analgesia persalinan terjadi setelah 4-5 jam, keriaikannya
sekitar 0, l uc perjam. Goetz! L et al. pada tahun 2007
melakukan penelitian pada parturieri yang demam dan yang
tidak demarn, dilakukan pengukuran suhu, yang hasilnya
menunjukkan bahwa terjadi kenaikan setelah 4 jam epidural
analgesia.(Gambar 4)
�i
,:·· 101.0
�.:_-
100.s R,ma.oe<J '"""''
throughout labor
"f � Eventually
.-
;��
! 100.0 became febrile
>-!
. ·e µ9_5
l•·_!
,;,_g
�-. itl 99.0 t
\·E T
-�
98.5
2 3 4
Duration of exposure to epidural analgesia (hours)
Garn bar 4
Mean temperature in labor following epidural analgesia a women in whom •
clinical fever> 38°C( 100.4°F) eventually developed compared with those without •
fever. *P<.001. ·P<.05 ... P<.01, for difference between afebrile and eventually
febrile group. **P=.26 for change in temperature over time in the afebrile group.
(From Goetz! L, Rivers J, Zighelboim 1, et al. lntrapartum epidural analgesia and
mater temperature regulation. Obstet Gynecol 2007; 109:687-90)
Mekanisme yang menghasilkan hipertermi pada ibu
dengan epidural analgesia pada saat persalinan belum jelas.
Kemungkinan ada 3 faktor penyebabnya: faktor
termoregulator, efek opioid sistemik pada pasien yang tidak
dilakukan epidural analgesia dan faktor keradangan.
Faktor termoregulator memainkan peran untuk
penyesuaian dengan suhu lingkungan, menghilangkan
panas dan meningkatkan produksi panas. Epidural dapat
merusak mekanisme menghilangkan panas. Penurunan
keringat, berkurangnya hiperventilasi akibat nyeri persalinan
akibat epidural analgesia merupakan predisposisi untuk
pireksia. Penurunan ventilasi akan meningkatkan energi
265
yang diwujudkan dengan kenaikan suhu pada wanita
dengan persalinan. Tinggi kejadian mcnggigil pada epidural
analgesia akan mempengaruhi terjadinya demam. Kadang-
kadang menggigil, berkeringat pada persalinan tidak
mempengaruhi termoregulator, sehingga tidak jelas
menggigil merupakan penyebab dari kenaikan suhu ibu
bersalin. Opioid sisternik yang diberikan pada wanita ta npa
epidural analgesia dapat menekan demam. Epidural
analgesia dengan ropivakain(dengan atau tanpa fentanil)
tidak mempengaruhi tingginya demam, tetapi fentanil
intravena menghambat kenaikan suhu. Camann et al., tidak
menemukan perbedaan kurva suhu antara wanita yang
dilakukan epidural analgesia dan pemberian intravena
opioid. Wanita yang dilakukan epidural analgesi mempunyai
kecenderungan untuk memiliki risiko lain pada persalinan,
misalkan demam selama persalinan pecah ketuban
berkepanjangan, persalinan lama, awal dari koriamnionitis
dan pemeriksaan servik berlang.
Persalinan lama yang menggunakan epidural analgesia,
panas yang terjadi tidak mencapai keadaan yang
menyebabkan terjadinya cedera neurologis dari neonatus.
Bila ibu terjadi demam, upaya untuk menurunkan suhu ibu
dan mengidentifikasi dan mengobati infeksi maternal
dianggap ha! penting.
Infeksi sistem saraf pusat berkaitan dengan epidural,
spinal dan CSE mengakibatkan cacat permanen. Adanya
tanda-tanda infeksi sistemik, antibiotika harus diberikan
sebelum melanjutkan tindakan epidural analgesia.
Kebanyakan infeksi epidural muncul akibat trauma,
pembedahan dan penyebaran hematogen bukan karena
anestesi regional. CSE dilakukan dengan kondisi yang
semuanya prasyarat terpenuhi. Keputusan untuk memilih
anestesi regional harus berdasar rasio manfaat dan risiko
untuk setiap pasien, indikasi obstetri, urgensi dan cara
persalinan. Anestesi regional direkomendasikan pada pasien
demam dengan penyakit lokal setelah diberikan antibiotik.
Bahaya dari pemberian anesthesi regional pada pasien
dengan panas menyebarnya penyebab infeksi ke susunan
saraf pusat dan akan menyebabkan cacat permanen.
Penyulit yang dapat terjadi adalah meningitis atau epidural
abses. Spinal, epidural atau CSEA merupakan pilihan
untuk ibu dengan infeksi.
266
Anestesi umum
Parturien demam lebih mungkin untuk dilakukan
anestesi umum pada keadaan darurat dari pada pasien
tanpa demam untuk menghindari anestesi regional atau
komplikasi janin yang membutuhkan respon segera.
Evaluasi pre-operatif yang dilakukan terrnasuk penyebab
demam dan lamanya. Infeksi saluran napas atas pada
pasien demam akan meningkatkan sekresi orophafingeal dan
bronkhial, dan akan menyebabkan iritasi dari jalan napas.
Preoksigenasi yang dilakukan berguna untuk meningkatkan
saturasi oksigen hemoglobin pada ibu dan fetal. Tindakan
profilaksis terhadap aspirasi, koreksi cairan dan eiektrolit
dilakukan sebelurn anestesi dimulai. Stabilisasi
cardiovaskular maternal, rumatan uteroplacental blood flow
menentukan pilihan obat induksi dan rumatan pada
anestesi persalinan. Induksi yang lama akan menyebabkan
asfiksia janin. Anestesi umum dapat dilakukan dengan
cepat, induksi cepat, tetapi potensi aspirasi ibu dari isi
lambung meningkat, kesulitan mengamankan jalan napas,
dan potensi depresi neonatus yang lahir. Risiko kematian
anestesi umum pada persalinan 16 kali iebih besar
dibanding anestesi regional. Ketamin merupakan pilihan,
dosis yang dianjurkan 1-2 mg/kg berat badan pada pasien
kritis. Hai ini disebabkan efek depresi miokard kctarnin jika
kadar katekholaminnya rendah. Sodium tiopental
menyebabkan depresi miokard pada pasien kritis,
mengurangi dosis tidak menghilangkan masalah. Pemakaian
gabungan ketamin dan sodium tiopentai dapat mengurangi •
dosis sehingga dapat rnenurunkan kejadian dekompensasi
kardiovaskuier. Hiperkalemi setelah penggunaan
suksinilkholin dapat menjadi masalah pada sepsis yang
parah. Pretreatment dengan agen nondepolarisasi dapat
menurunkan pelepasan tetapi tidak akan menghilangkan
pelepasan kalium. Beberapa antibiotika berinteraksi dengan
obat relaksan otot, efek relaksan akan memendek. Setelah
jalan napas diamankan pemberian oksigen minimal 50%,
kecuali pada distres janin oksigen harus diberikan 100%.
267
Simpulan
Kita harus mengantisipasi masalah pasien demam
dengan gawat janin yang segera dilakukan persalinan.
Apakah anestesi umum bermanfaat ibu atau janin, dan
apakah potensi ibu lebih baik dari pada janirmya? Gawat
janin yang parah, bayi sudah dalam keadaan asfiksia berat.
)>
z Anestesi epidural atau spinal memiliki keuntungan risiko
m aspirasi dari ibu, tetapi tidak ada ancstesi yang tanpa resiko.
� Pilihan anestesi untuk bedah sesar tergantung pada
� indikasi operasi, tingkat urgensinya, keinginan pasien dan
0 ketrampilan dari anestesisnya. Pilihan anestesi regional atau
0:,
. CJ)
-I umum cenderung pada anestesi regional kalau keadaan
.<',·� pasien dan waktu mengijinkan.
Daftar Pustaka
l. Dammann 0, Drescher J, Veelken N. Maternal fever at
non verbal intelligence at age years in preterrn infants.
Dev Med Chi! Neurol 2003;45: 148-51
2. Goetz! L, Rivers J, Zighelboim I, et al. Intrapartum
epidural analgesia and mater temperature regulation.
Obstet Gynecol 2007; 109:687-90
3. Kuczkowski KM. The febrile parturient: choice of
anesthesia; Southern African Journal of Anaesthesia &
Analgesia-November 2002
4. Lieberman E, Eichenwald E, Mathur G, et al. Intrapartum
fever and unexplained siezures in term infants. Pediatrics
2000; 106:983-8
5. Negishi C, Lenhardt R, Ozaki M, et al. Opioids inhibit
febrile responses in humans, whereas epidural dos not:
an explanation for hyperthermia during epidural
analgesia. Anesthesiology 2001; 94:218-22
6. Rolbin SH, Moningstar BA. The febrile parturient. Dalam:
Birbach DJ, Gatt SP, Datta S, eds. Textbook of Obstetric
Anesthesia. Churchill Livingstone; 2000
7. Segal S. Fever and infection. Dalam: Chesnut DH, ed.
Obstetric Anesthesia, Principles and Practice.
Philadelphia: Mosby; 2009
8. Yoon BH, Romero R, Park JS, et al. Fetal exposure to an
intra-amniotic inflammation and the development of
cerebral palsy at the age of three years. AM J Obstet
Gynecol 2000; 182:675-81
268
BAB27
Diabetes insipidus pada keharnilan (Gestational
Diabetes Insipidus = GD!) merupakan kelainan endokrin
yang jarang dijumpai, dapat terjadi pada 4 : 100.000
kehamilan. Kejadian GDI merupakan kcadaan yang bersifat
mengancam kehidupan. Diabetes Insipidus (DI) dapat terjadi
secara primer (idiopatik) atau sekunder (simptomatik). DI
adalah sindroma yang ditandai secara klinik dcngan ekskresi
sejumlah besar urin yang abnormal, yang disebabkan oleh
disfungsi interaksi antara hormone antidiurerik, yang
disebut juga Arginin Vasopressin (AVP) dan reseptor
vasopressin dalam tubulus kontortus distalis serta duktus
kolektus dari medulla renalis, sehingga menghasilkan
hilangnya air di dalam urin dan hipernatremia. Penyebab
tersering DI sekunder (simptomatik) di antaranya: tumor
pituitary (benigna, maligna, atau metastatic). sifilis (biasanya
meningitis basalis atau gumata), meningitis tuberkulosa,
bcntuk konvalens dari penyakit-penyakit yang disertai
demam seperti influenza, serta cidera kepala. Usia tersering
yang mengalami DI adalah kurang dari 30 tahun. •
Angka kejadian GD! dapat meningkat selama
kehamilan dan menetap atau menghilang sesudah kelahiran;
namun bisa juga kehamilan memperburuk kondisi pasien
yang sebelumnya sudah menderita DI. Pada beberapa kasus
terlihat jumlah volume darah, kimia dawah, dan
penghlihatan biasanya normal. Namun pada kasus-kasus
tertentu DI sekunder terlihat disertai penurunan kecepatan
metabolism basal hingga sekitar 15%. Bila kecepatan
metabolisme basal meningkat sampai 18% maka
kemungkinan pasien menderita DI primer.
Penatalaksanaan GD! yang memuaskan diperoleh
ketika dilakukan tindakan operatif pada seluruh pituitari
lobus posterior. Pemberian piuitarin per oral dikatakan tidak
berguna. Namun pemberian pituitarin pernasal 0,25 gram 3-
269
S kali sehari cukup efektif. Pemberian pituitarin 1000 unit
pergram dikatakan cukup memberikan hasil yang
memuaskan. Dengan terapi pituitarin dikatakan cukup
mengurangi simptom berupa rasa haus berlebihan dan
gangguan tidur. Diet bebas garam dapat meningkatkan efek
ekstrak pituitarin. Pemberian terapi pituitarin dikatakan
tidak mcmpengaruhi kontraksi uterus.
Diabetes Insipidus Neurogenik
Diabetes insipidus neurogenik (Neurogenic Diabetes
Insipidus = ND!) juga dapat tcrjadi pada pasien dengan lesi
di hipotalamus sesudah bedah pituitary atau cedera kepala.
Sindrom ini terjadi ketika neuron-neuron yang berlokasi di
nuclei supraopptik hipotalamus gaga! untuk mcnghasilkan
sejumlah vasopressin yang cukup ke dalarn sirkulasi
sistemik. DI dikarakteristik oleh produksi sejumlah besar
urin yang encer dan osmolaritas plasma yang normal atau
meningkat. Pada kasus-kasus yang berat, urin output dapat
mencapai lebih dari satu liter per jam. DI yang tidak
diketahui secara cepat dan tidak diterapi dapat
menyebabkan dehidrasi berat, hipovolemia, dan hipotensi.
Untuk diagnose GD! sebelumnya, satu dari beberapa indeks
harus diperiksa pada pasien yang dicurigai menderita GD!
atau pasien-pasien yang beresiko. Konfirmasi diperoleh dari
dokumentasi peningkatan osmolaritas serum dan
konsentrasi sodium dalam hubungan dengan gravitas urin
yang secara spesifik menurun atau osmolaritas urin yang
menurun.
Anestesi pada Seksio Sesarea dengan Penyakit Penyerta
Diabetes Insipidus
Kejadian DI pada suatu kehamilan dapat bersifat
transient dan menghilang sesudah kelahiran. Sekalipun
demikian, GD! dapat bersifat fatal bila disertai gaga! organ
multiple dan makin memburuk serta menyebabkan
kematian janin, kecuali bila segera dilakukan tindakan
operatif (seksio sesarea) untuk mengeluarkan janin serta
pentalaksanaan anestesi yang sesuai. Fukuda dkk (1993)
270
(/)
m
mclaporkan bahwa pada kasus yang dijurnpai wariita 26 @
tahun dengan GD! pada usia kehamilan 39 rninggu yang 0
(/)
disertai disfungsi hepato-renal serta gangguan koagulasi. m
Dimana pada kasus tersebut, DI yang terjadi resisten �
::0
terhadap Arginine Vasopressin (AVP) namun berespon m
)>
terhadap l -Dearnino-8-D-Arginine Vasopressin (DOA VP/ -0
)>
Desrnopressin). Seksio sesarea dikerjakan emergensi karena �
gawat janin, tindakan anestesi dengan spinal anestesi �
fl)
kareria mempertimbangkan kemungkinan memburuknya iii
gaga! ginjal dan hepar yang sudah dialami pasien bila z
0
dilakukan anestesi umum. Sesudah kelahiran bayi kembar m
z
(pada kehamilan gemelli, sama seperti yang dilaporkan oleh �
Bleakly), maka gejala-gcjala DI berangsur-angsur membaik. z
0
GD! terjadi akibat peningkatan metabolism AVP. s
0:,
Keharnilan dapat mencctuskan DI atau DI subklinik yang
sebelumnya tidak terdeteksi. Mekanisme yang terlibat di �
(/}
antaranya l) pengurangan respons renal terhadap AVP; 2) z
(/}
peningkatan produksi vasopressin plasental (suatu
=c
aminopeptida sistein), dengan pengurangan kemampuan a
c
(/}
AVP karena peningkatan degradasi vasopressin plasental
sebanyak empat hingga enam kali lipat; 3) Pengurangan
konsentrasi sodium plasma sampai 5 mmol/L, dengan
pengurangan osmolalitas plasma dari pelepasan A VP 5
sampai 10 mOsm/kg; dan 4) Pengurangan ambang haus.
Suatu hubungan antara GD! dengan lemak hati selama
kehamilan dan preeclampsia juga telah dilaporkan. Gejala
dan tanda GD! dapat terjadi lagi pada kehamilan berikutnya.
Terapi definitif GD! adalah pengeluaran plasenta. Sekalipun


demikian, selama kehamilan, DDAVP merupakan pilihan
utama setelah diagnosis definitive ditegakkan, karena obat
tersebut tidak dimetabolisme melalui vasopressin plasental,
sehingga memungkinkan untuk membuat perbedaan
patofisiologik dari penyakit tersebut. Dosis yang
direkomendasikan adalah 1-4 µg. Terapi simptomatik
berdasarkan koreksi perlahan deficit air untuk
menormalisasi natremia dan osmolalitas. Medula renalis
membutuhkan readaptasi terhadap homeostasis baru, yang
membutuhkan waktu sekitar tiga hingga enam minggu.
271
Manifestasi klinik mayor dari hipernatremia mcliputi sistem
saraf pusat dan terrnasuk perubahan status mental,
kelemahan, iritabilitas neuromuscular, deficit neurologis
fokal, kejang, serta koma. Mortalitas yang dihubungkan
dengan kejadian hipernatremia adalah sekitar 40 hingga
)> 55%,, sekalipun masih belum begitu jelas apakah
z hipernatremia adalah rnerupakan penyebab atau penanda
m
(/)
-i dari beratnya GD!.
m
� Penatalaksanaan GDI yang akan dilakukan seksio
0 sesarea perioperatif sama seperti standar operasi
OJ
(/)
-i sebelurnnya, meliputi penilaian pasien preoperatif,
m pemasangan monitoring non invasif seperti monitor tekanan
� darah, laju nadi, saturasi, serta monitoring invasif seperti
pemasangan kateter vena sentral untuk monitoring status
cairan secara ketat. Sedapat-dapatnya dilakukan koreksi
scluruh abnormalitas metabolic preoperatif, kecuali keadaan
emergensi yang tidak memungkinkan penundaan operasi
untuk koreksi secara cepat. Hal ini dikarenakan koreksi
hiponatremi harus secara berhati-hati dan bertahap serta
tidak boleh dilakukan secara cepat karena dapat
menimbulkan udem serebri. Koreksi cepat hiponatremi
dengan larutan hipertonik untuk meningkatkan osrnolaritas
serum berbahaya, karena akumulasi osmol idiogenik oleh
sel-sel otak menyebabkan mekanisrne kompensasi untuk
mempertahankan volume otak dalam berbagai kelainan
hipertonik, suatu osmolaritas serum dapat bersifat relative
hipotonik terhadap sel-sel otak yang memiliki kumpulan
larutan idiogenik. Selanjutnya, bila osrnolalitas serum
berkurang berkurang secara cepat, akan menyebabkan
kerusakan sistem karena udem serebri yang terjadi. Pada
beberapa kasus pernilihan teknik anestesi untuk seksio
sesarea dengan GDI lebih dianjurkan dengan regional
anestesi, karena kemungkinan bisa disertai prediksi
kesulitan jalan nafas, dan juga kemungkinan interaksi obat-
obatan yang diberikan dengan obat-obat anestesi umum.
Pascaoperasi pasien sebaiknya dirawat di ICU dan
diteruskan resusitasi cairan serta koreksi abnormalitas
metabolik.
272
(f)
m
Daftar Pustaka @
5
(/)
I. Bleakly J. A Case of Diabetes Insipidus and Twin m
Pregnancy. Journal of the Royal Society of Medicine �
::x,
(Formerly Published as Medico-Chirurgical Transaction,
1938; 31 (9): 1062-4. �
-0
)>
2. Cowan MGO. Pregnancy and Diabetes Insipidus. ,J Roy $'.
Army Med.CPS. 1987; 124: 10-2.

m
z
3. Chung JH, Rho JH, Jung TH, Cha SC, ,Jung HK, Lee C, 0
Woo SC. Anesthetic Management of a Parturient for m
z
G)
Combined Cesarean Section and Surgical Removal of
Pituitary Tumor. Case Report. Korean J Anesthesia! �
2012; 62 (6): 579-83. Available from 0
j;
http: //dx.doi.org/ 10.4097/kjae.2012.62.6.579 CD

m
(/)
4. Farling PA, McBrien ME, Breslin D. Endocrine
Physiology. Update in Anesthesia. A Journal for z
(/)
Anesthetists in Developing Countries. World Anesthesia =c
2012. 5
c
(/)
5. Fukuda T, Okutani R, Kono K, Yoshimura Y, Ochai N.
Anesthetic Management for Cesarean Section of a
Patient with Transient Diabetes Insipidus and Acute
Severe Liver Dysfunction. Masui Oct 1993; 42 (10):
1511-6. Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /8230705 on
November 22, 2012. •
6. Griffiths S. The Hypothalamic Pituitary Axis. Anesthesia
for Pituitary Surgery part 2. Anesthesia Tutorial of The
Week 189, July 2010: 1-8. worldanaesthesia(cv,rnac.com
7. Gravlee GP. Intraoperative Fluid Management and Blood
Transfusion Essentials. Department of Anesthesiology
University of Colorado Denver and Health Science
Center.
8. Lacassie HJ, Muir HA, Millar S, Habib AA. Perioperative
Anesthetic Management for Cesarean Section of a
Parturient with Gestational Diabetes Insipidus.
273
Obstetrical and Pediatric Anesthesia. Can J Anesth
2005; 52 (7): 733-6. Available from
http: //v/W\.v.expertconsultbook.com I cxpertconsult/ ob/
book. do ?method =dis play&type= book
Pagc&decorator=nonc&eid=4-u l .0-8978-0-323-05908-
4-4--sO 1 l 5&isbn=978-0-323-05908-4
9. Sharman A, Low J. Vasopressin and Its Role in Critical
Care. Continuing Education in Anaesthesia. The Board
of Management and Trustees of The British Journal of
Anesthesia. Critical Care and Pain 2008; 8 (4): 134-8.
Available from http://ceaccp.oxfordjournals.org on
November 19, 2012.
10. Yasim A, Oksuz H, Ozkaya M. Open Heart Surgery in a
Patient with Diabetes lnsipidus. Case Report.
Cardiopulmonary bypass. Interactive Cardiovascular
and Thoracic Surgery. August 2008; 7: 1172-3.
274
HAH :Z�
i>eti�tata�i,;k�ii ohst�JfA��st��f��Jfqa::"·,. ·: .; -a�-:-;:/-\}.
Hf!par'.dan_ ·Ginjal . ·. . - .: . , .· · _· . -. :: . · . _· .. - .· .: ... , . _- . · .::-_. · .:.
R,ose-�afiana,_I'Made
' • ' • '

:wu:yana \ . _.· .. · _· .- ·_:: ·. - __ ·: ·::> · ·.· ::·. . _: ,-·'. _;


• • <' • � ' • I • • •, ' • -• • t • • " •
• > I
Kehamilan menyebabkan perubahan fisiologi hepar
pada ibu harnil kareria pengaruh hormon estrogen dan
progesteron selama proses kehamilan. Pengaruhnya dapat
menyebabkan disfungsi pada hepar. Hiperernesis gravidarum
(HG), intrahepatic cholestasis of pregnancy (ICP), sindroma
pre-eklampsi, Hemolysis, eleuated liver enzymes and low
platelets ( HELLP) dan acute fatty liver of pregnancy (AFLP)
dapat menyebabkan gangguan pada hepar.
Kondisi ini sangat unik dan menantang pada
kehamilan, karena dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas yang bermakna pada ibu hamil, tetapi pasca
persalinan resolusinya spontan dan biasanya tanpa gejala
sisa.
Kehamilan normal memberikan efek yang minimal
terhadap fungsi ginjal dan biasanya tidak dihubungkan
dengan disfungsi post partum. Tetapi pada kondisi patologis
seperti hipertensi, pre-eklarnpsia-eklampsia, HELLP
syndrome, AFLP, HG dan disfungsi ginjal sebelum kehamilan
bisa menyebabkan disfungsi yang berat sampai dengan gaga!

ginjal.
Gangguan Hepar pada Kehamilan
Fisiologi hepar pada kehamilan
Pada kehamilan terjadi perubahan pada rnetabolik,
sintesis dan fungsi ekskresi hepar berubah karena
meningkatnya serum estrogen dan progesteron. Hal ini
menyebabkan: 1) Penurunan serum albumin sampai
persalinan yang diikuti dengan meningkatnya volume
plasma 2) Meningkatnya aktifitas alkali fosfatase 3) Nilai
serum transaminase cenderung normal pada kehamilan,
peningkatan serum transaminase biasanya berhubungan
dengan kontraksi uterus 4) Serum y-glutamyl-transferase
(yGT) dan 5'nucleotidase tidak berubah 5) Bilirubin bebas
dan total tidak berubah, karena hemodilusi dan
275
menurunnya korisent rasi albumin (albumin merupakan
protein yang mentransportasi bilirubin).
Hiperemesie gravidarum
Ditandai dengan mual clan muntah yang hebat selama
):> kehamilan. Gejala ini rnenyebabkan perubahan yang
z abnormal pada enzyrn hepar. l nsidermya sekitar 0,3- 2'% dari
m
en
--i seluruh kehamilan. Umumnya terjadi pada 5-16 minggu
m
en keharnilan, walaupun jarang kondisi ini dapat menetap
0 sampai akhir kehamilan. Penderita HG yang ekstrim >50'%
OJ
so
--i akan dirawat dirumah sakit untuk terapi cairan , elektrolit
� dan nutrisi, dan > 25%nya pada pemeriksaan laboratorium

didapat abnormalitas pada hepar.
Peningkatan enzym transaminase ALT > AST, biasanya
kurang dari 200 u/1, pada kondisi ektrim ALT> 1000 u/l,
total bilirubin umumnya < 4mg/dl tapi dapat meningkat
lebih dari itu. Enzym amilase meningkat pada saliva dan
jarang pada pankreas. Hipertiroidi terjadi pada 60'% kasus
HG, terjadi akibat dipacu oleh peningkatan 13-human
chorionic gonadotropin mulai dari trisemester I kehamilan
pada penderita HG.
Diagnose bandingnya adalah: gastroenteritis,
kolesistitis, hepatitis viral, ulkus peptikum, ketoasidosis
diabetika, obstruksi intestinal, apendisitis, hiperparatiroid,
hipertiroid dan intoksikasi obat.
Komplikasi yang mungkin timbul pada HG adalah
gangguan cairan dan elektrolit, gangguan asam basa dan
malnutrisi. HG yang hebat dapat menyebabkan ruptur
esofageal, perdarahan retinal, pneumomediastinum dan
gangguan ginjal. Pada fetus bisa mengakibatkan berat badan
lahir rendah dan meningkatnya anomali kongenital.
lntrahepatic Cholestasis of Pregnancy
Intrahepatic Cholestasis of Pregnancy (ICP) adalah
kondisi yang jarang pada kehamilan, dengan insiden 1: 1000
sampai 1: 10.000 kehamilan. Umumnya terjadi pada
trisemester HI dan jarang sebelum minggu ke 26. ICP
meningkat insidennya pada kehmilan dengan usia tua,
276
"U
rn

kehamilan multipara, penyakit cholestasis sebelumnya dan s
pengguna obat oral kontrasepsi.

Gejala klinis yang ada pruritus, mulai dari perifer

kesentral/ wajah. Joundice terjadi pada 20-60'X, penderita, z
0
terjadi setelah pruritus 1-4 minggu. Laboratorium didapat aJ
tingginya kadar bilirubin tapi jarang melcbihi 6 mg/di. Nilai �
m
-l
alkalin fosfatase dapat normal sampai meningkat 4x nilai ;;!;!
)>
rata-rata. Nilai laboratorium yang sensitif adalah serum z
m
Cl)
asarn empedu yang bisa meningkat 10 -2Sx. -l
m
Etiologi pasti belum diketahui, banyak teori �
mengatakan faktor genetik, multi drug resistance 3 gene �
(MDR3) yaitu: gangguan pada kanalikuli transport fosfolipid, g
termasuk ekskresi bilier fosfolipid. Teori lain adalah adanya �
z
defek pada human steroid dan xenobiotic receptor ( SXR), G>
G>
reseptor ini diaktifkan oleh asam empedu, dengan cara c
)>
z
menginduksi sitokrom P-450 pada protein CYP3A yang ::i:
m
berperanan pada detoksifikasi obat dan asam empedu.Terapi
ICP dengan pemberian ursodeoxycholic acid (UDCA), �
g
fungsinya adalah untuk menormalisasi serum asam empedu z
dan menurunkan konsentrasinya sehingga transportasinya �
z
<....
melalui sawar plasenta baik. S-adenosyl-methionin (SAMe, a )>
r
gluthaione precursor) pada percobaan bekerja pada estrogen
terhadap kolelitiasis, tetapi pada kenyataannya hanya sedikit
memperbaiki nilai laboratorium dan pruritus pada ICP.
Tera pi UDCA dan SAMe secara sinergis mern berikan efek
yang baik dan tidak memberikan efek samping serta
teratogenik pada fetus. Cholestyramine tidak efektif
menurunkan pruritus, menyebabkan diare dan defisiensi vit


K. Deksametason kurang efektif dibanding UDCA untuk
mengurangi pruritus dan memperbaiki transaminase.
1
'mtagonis 5-hydroksitriptamin 3 reseptor, Ondansentron
oaik untuk mengontrol pruritus, tapi tdk mengubah hasil lab
CP lainnya. Plasmafaresis juga baik untuk terapi pruritus
rang membandel, walaupun besar kemungkinan untuk
oerulang setelah 7 hari terapi. Segerakan terminasi
ceharnilan bila fetus dianggap matur, untuk mengurangi
complikasi IUFD.
277
Diagnosa bandingnya adalah: batu ernpedu. non alkoholik
pankreatitis, non alkoholik sirosis dan hepatitis C. ICP
dihubungkan dengan kelahiran prematur, meningkatkan
mortalitas, tetapi umurnnya resolusi fungsi hepar akan
rnembaik 1-2 minggu pa sea persalinan. Tetapi 40-60°/c,nya
rekuren pada kehamilan selanjutnya.
lmplikasinya pada anestesi adalah pada ekskorias!
yang berat dapat menyulitkan akses intravena dan neuraxial
anestesi.
Preeklampsia-eklampsia
Pre-eklamps'ia terjadi pada 5- 7% kasus kehamilan,
terjadi pada trisemester II dan III kehamilan. Diagnosa
ditegakkan bila ditemukan gejala: hipertensi, proteinuria dan
edema perifer. Sedangkan eklampsia ditandai dengan kejang
bahkan koma.
Etilogi pasti tidak diketahui, selain faktor genetik
(tingginya human antigen leucocyte/HLA-DR), iskemia
sirkulasi uteroplasental dianggap penyebab aktivasi
endotelium yang memacu kaskade koagulasi, meningkatkan
sifat adesif platelet dan trombogenitas. Akibatnya memacu
efek nitro okside, tromboksan, isoprostanes, lipid
peroksidase dan menurunnya prostasiklin (PGI2) yang
berkontribusi terhadap meningkatnya sensitifitas vaskuler.
Limapuluh persen penderita Pre-eklampsia-eklarnpsia
dijumpai dengan trombositopenia moderate (7000).
Komplikasi lain yaitu: krisis hipertensi, gagal ginjal dan
komplikasi neurologis seperti kejang, gejala serebrovaskuler.
Mortalitas ibu sekitar 1 % dan >80% etiologi kematian
akibat komplikasi SSP dan hepar ( hematom atau ruptur
subkapsuler dan disfungsi/gagal hepar). Morbiditas dan
mortalitas perinatal disebabkan abrupsio plasenta,
prematuritas dan retardasi perkembangan intrautrina.
HELLP Syndrome
Diagnosa HELLP syndrome ditegakkan dengan adanya
hemolysis (H), elevated liver enzymes (EL) dan Low Platelet
(LP). Kondisi ini terjadi pada 0, 1-0,6% dari seluruh
278
kehamilan. Empat sampai 12<Y., dari preeklampsia berat
berkembang menjadi HELLP syndrome, 70'X, nya terjadi
sebelum persalinan dan 30'Yo berkembang setelah
postpartum.
Seperti pre-eklarnpsia, etiologinya adalah aktifasi dari
kaskade koagulasi dan komplemen. meningkatnya tonus
vaskuler, agregasi platelet dan perubahan rasio tromboksan:
prostasiklin. Scmua keadaan tersebut menyebabkan
perubahan mikrovaskuler dan dan endotel secara
menyeluruh, sehingga terjadi anemia hemolitik
mikroangiopatik, meningkatnya enzim hepar (meningkatnya
AST, ALT, bilirubin, LOH) dan trombositopenia. Kebanyakan
penderita mengeluh nyeri perut kwadran kanan atas, lernas,
mual dan muntah. 20��' pasien HELLP syndrome tidak
ditemukan gejala hipertensi. Untuk menegakkan
diagnosenya dilakukan pemeriksann USG hepar, CT scan
dan MRI.
Penatalaksanaan HELLP syndrome adalah, terminasi
kehamilan, bila masa gestasi < 34 minggu, ibu dan fetus
stabil, kehamilan dapat dipertahankan sampai maturitas
paru fetus tercapai. MgS04 untuk terapi kejang yang
dilanjutkan pasca terminasi dan regulasi tekanan darah
dengan hidralazin, sodium nitroprusid, labetolol. Sebaiknya
penatalaksanaan dilakukan oleh sebuah team.
Acute fatty liver of pregnancy {AFLP)
Merupakan komplikasi yang jarang dalam kehamilan
tapi berpotensi untuk fatal dan termasuk dalam kasus


emergensi obstetri. Terjadi pada trisemester III, dengan
insiden 1: 10.000-1: 15.000 kehamilan, dengan mortalitas
sebesar 18%. Emparpuluh persen penderita AFLP
mengandung bayi kembar, pada keharnilan pertama.
Etiologi dihubungkan dengan defisiensi enzym long-
chain 3-hydroxyacyl-CoA dehydrogenase (LCHA). Enzym ini
adalah salah satu enzym yang merusak rantai panjang asam
lemak bebas pada hepar, sehingga terjadi akumulasi dari
asam lemak rantai panjang. Trigliserida yang berakumulasi
279
dalam mikrovaskuler hepar, terutama pada mitokondrianya
menyebabkan kegagalan fungsi hepar dan gaga! hepar.
Gejala klinis adalah: demam, sakit kepala, diare, nyeri
punggung, myalgia, atau menunjukkan gejala gangguan
koagulasi seperti: perdarahan pervaginam, hematomesis.
)> perdarahan rnukosal, kadang-kadang muncul gejala minp
z pankreatitis, bahkan pre-eklampsia.
m
en
-I Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan skrening
m
� dcfisiensi LCHA, defisiensi transaminase (AST, ALT),
0 bilirubin, alkalin fosfatase, fungsi ginjal (BUN, Creatinin],
a,
� faktor koagulasi (trombosit, P1T, APTf).
� Komplikasi penderita ALFP adalah: gaga! ginjal,
:!!
pankreatitis, hipoglikemia, DI, perdarahan post partum,
trombositopenia, dan infeksi. Sedangkan ayi yang dilahirkan
dari ibu penderita AFLP dapat menderita kardiomiopati,
stenosis mikrovaskuler, hipoglikemia, gaga! hepar, asfiksia
dan meninggal. Pada kondisi bayi yang terlihat normal
skrining LCHA dibutuhkan untuk diet bayi dengan formula
trigliserida rantai sedang.
Penatalaksanaannya: penderita dengan AFLP umumnya
datang dengan kondisi sakit berat dan membutuhkan
perawatan di ICU dengan tim dari multidisiplin, untuk
penderita dengan gaga] ginjal, gaga! hepar, DIC, bantuan
ventilasi mekanik dll. Terminasi kehamilan dapat dilakukan
bila kondisi ibu stabil. Pemulihan AFLP sangat tergantung
pada komplikasi sebelumnya, kondisi dapat kembali seperti
semula dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.
Walaupun demikian tingkat morbiditas dan mortalitas
penderita ini tetap tinggi.
Beberapa penyakit hepar yang berhubungan dengan
kehamilan atau ditemukan pada kehamilan adalah: hepatitis
virus, autoimun hepatitis, primary biliary cirrhosis (PBC) &
Primary Sclerosing Cholangitis (PSC), batu empedu,
tromboembolisme vena, sirosis dan hipertensi portal,
adenoma hepar dan penderita hamil pasca transplantasi
hepar.
lmplikasi pada anestesi: tergantung pada gejala yang
ditimbulkan, pada edema serebral dengan peningkatan
280
ntrakranial mungkin mernbutuhkan tindakan
1yperventilasi, pemberian cairan osmotik dan sedasi.
Jangguan koagulasi dan sepsis menyebabkan neuraksial
mestesi merupakan kontraindikasi. Penurunan kesadaran
neningkatkan komplikasi aspirasi, defisie nsi plasma
colinesterasi menyebabkan kerja suksinil kolin mernanjang.
vnestcsi umum merupakan pilihan dengan
nempertimbangkan farmakologi obat. Propofol dan
-tornidate merupakan pilihan induksi, narkotik pilihan
idalah yang mempunyai eliminasi cepat remifentanil dan
ielernas otot yang dimetabolisme di enzim plsma seperti
itrakurium. Pemakaian Fentanyl atau alfentanyl harus
liantisipasi terhadap pemanjangan depresi nafas.
lepatitis eksaserbasi pada kehamilan
Penyebab hepatitis virus adalah: kontak dengan
ienderita terinfeksi, akibat endemik virus, kontak seksual
lengan penderita dan pemakaian obat-obatan terutama
njeksi. Menyebabkan gejala kuning pada ibu dan berpotensi
esiko tinggi penularan ibu-fetus.
'abel 1: Karakteristik penyakit hepar pada kehamilan
�nyakit TM Laboratorium Komelikasi
G Bilirubin< 4mg/dL. AL T<200µg/L BBLR
:p 11-111 Bilirubin-comg/dl., AL T<300ug/L Prematur.lUFD •
FLP Ill-post AL T<50011g/L, DIC T mortalitas ibu
part um trombositopenia dan fetus
E!E lII AL T<500µg/L, DIC protcinuria 1 mortal itas ibu
dan fetus
ELLP II I-post AL T<500µg/L. t rnortalitas ibu
TLFTs. I
part um platelet'< I 00.000 dan fetus
epatitis virus Ka pan AL T<500µg/L. T bilirubin T mortalitas ibu
saja
Gvhiperemesis qrauidarum, ICP=lntrahepatic cholestasis of pregnancy,
Fl.Pr-acute fatty liver of pregnancy, PE! E=preeclampsia,eclampsia, HELLP=
:molysis, elevated liver function, and low platelet, ALT= alanine
ninotransferase, DIC= disseminated intrauascular coagulation, TM= trisemester,
'3LR= be rat badan lahir rendah, IUFD= intra uterine fetal death.
iarnbil dari: Palacious QT, Mandell MS. Obstetric anesthesia, 2009.
281
Tabel 2: P��ebab g_agal hepar akut pada kasus ob�tetri �---
Deraja t disfungsi h<::par Pcnycbab disfungsi hcpar -=�: ·
Ringan - scdang Hiperemesis qrauidarum, in trohcpatic
clw/eslusis of pregnancu.
Bernt Sepsis dengan gaga! organ mulupcl.
Pre-eklampsia/ eklampsia
Acute fatty liucr ofpreqnancq
)>
z HELLP syndrome
m Hepatitis virus
en
-; Overdosis asctorninofcn
m
� Diambil dari: Pa lacious QT, Mandell MS. Obstetric anesthesia, 2009
0
CD
en
-;
Gangguan Ginjal pada Kehamilan
m
-; Fisiologi ginjal pada kehamilan
22 Kehamilan menyebabkan perubahan anatomi dan
fisiologi ginjal. Pada anatomi ukuran ginjal pada USG atau
radiologis akan terlihat membesar sekitar lcm, volurnenya
meningkat 30% dan terjadi dilatasi pada sistem kolekting
tubulus dibandingkan pada wanita tidak hamil, sehingga
pada trimester akhir sering dijumpai suatu kondisi fisiologi
hidronefrosis yang ditandai dengan nyeri abdomen.
Pada keadaan hamil terjadi peningkatan aliran darah
ginjal sekitar 35-50% dan meningkatnya kecepatan filtrasi
glomerulus, akibatnya pada laboratorium terlihat blood urea
nitrogen (BUN) dan serum kreatinin menurun pada
kehamilan. Retensi natrium menurun sekitar 4-5 mEq/L,
sehingga tekanan osmotik juga menurun yang memacu
perasaan haus pada ibu hamil dan keluarnya hormon
antidiuretik. Sirkulasi vasopresin juga meningkat pada
kehamilan sehingga menyebabkan lebih sering buang air
kecil dan haus. Pada kondisi patologis poliuri dan polidipsi
ini harus diperhitungkan sebagai gejala diabetes.
Fisiologi kehamilan juga mernpengaruhi sistem buffer
yaitu terjadi alkalosis respiratorik, ditandai dengan
menurunnya pC02 dan serum bicarbonat dibawah l 8mEq/ L,
hal mi dapat dikompensasi ginjal melalui sistem
metabolismenya. Sirkulasi 1,25 hydroxy vitamin D3 juga
meningkat selama kehamilan seiring dengan meningkatnya
kebutuhan, hal mi menyebabkan tendensi untuk
pembentukan batu ginjal selama kehamilan.
282
Ekskresi protein secara fisiologis meningkat pada
keharnilan. sehingga terjadi mikroalbuminurea ringan.
Perubahan anatomi dan fisiologi ibu harnil Juga
rnemudahkan untuk terjadi infeksi kandung kemih, dan
kcmungkinan ascending pijelonephritis.
Gangguan ginjal pada kehamilan biasanya mcrupakan
suatu kondisi patofisilogis yang discbabkan keharnilan atau
adanya penyakit dasar yang diperberat dengan kehamilan.
Gangguan ginjal yang sering timbul pada kehamilan adalah:
hypertensi, preeklampsia-eklarnpsia, HELLP syndrome, gaga!
ginjal akut dan infeksi traktus urinarius.
Hipertensi
Hipertensi adalah keadaan dimana terjadi peningkatan
tekanan darah > 140 /90 mmHg. Hipertensi pada kehamilan
dapat merupakan manifestasi beberapa penyakit termasuk
hipertensi esensial, penyakit ginjal kronis dan preeklampsia.
Hipertensi terjadi karena meningkatnya resistensi vaskuler,
meningkatnya cardiac output akibat meningkatnya aktivasi
simpatis dan menstimulus angiotensin II. Hal ini berbeda
dengan gambaran pre-eklarnpsia dimana aktivasi sistem
renin angiotensin aldosteron dan faktor hipertensi lain lebih
berperanan.
Pada kehamilan resistensi vaskuler perifer menurun,
tekanan darah pada awal kehamilan menurun sampai 10
mmHg pada TM II dibandingkan sebelum kehamilan.
Akibatnya peningkatan tekanan darah diatas 140/90 mmHg
harus diwaspadai, mean arterial pressure (MAP) > 90mmHg


pada TM II dan > 95 mmHg pada TM III dihubungkan dengan
meningkatnya perinatal mortalitas, pre-eklampsia. Hal ini
setara dengan progresivitas peningkatan kematian perinatal
untuk kenaikan MAP 5 mmHg pada setiap tahapan.
Hipertensi juga dapat yang dipicu oleh kehamilan
(hipertensi gestasional), bila ha! tersebut terjadi pada TM III
sering dikelirukan dengan preeklamsia. Hipertensi pada
wanita hamil juga bisa menjadi pencetus terjadinya gagal
ginjal. Sebelum kehamilan disfungsi ginjal tidak
menunjukkan gejala (silent) tetapi akibat perubahan fisiologi
283
ginjal seperti proteinuria. mikroskopik hernaturia
meningkatnya serum kreatinin, disfungsi ginjal tersebut
mernberat, bahkan mernpunvai kecenderungan terjad inyn
superimposed preeclampsia.
)> Pre-eklampsia/ Eklampsia
z lnsidennya sekitar 5'1;, dari kcharnilan dan bila disertai
m
� kejang disebut dengan eklampsia. Gejalanya adalah:
m
� hipertensi, proteinuri, edema dan hiperurisemia. Etiologinya
0 secara pasti belum diketahui, ada beberapa teori yang
OJ
(/)
-I berkembang seperti plasenta abnormal, disfungsi endotelial
� maternal, faktor genetik, meningkatnya respon inflamasi

maternal, faktor imunologi dan infeksi. Pre-eklarnpsia adalah
penyebab komplikasi terbesar gaga! ginjal pada keharnilan,
organ lain yang mungkin terkena adalah otak (kejang), liver
(hernolysis elevated liver enzymes low platelet/HELLP
syndrome). Selain itu gangguan vaskulernya dapat
menyebabkan penyakit kardiovaskuler seperti infark
miokardial, penyakit jantung iskemik dan stroke.
Adanya hipertensi yang dihubungkan dengan
proteinuria berat (> Sg/ hari) disertai gangguan multiorgan
seperti edema pulmonal, oliguria (<SOOml/hari),
trombositopnia (platelet < 100.000 /ul) menunjukkan pre-
eklampsia berat, dengan komplikasi mortalitas neonatal dan
maternal juga kemungkinan kelahiran prematur dan IUGR.
Secara mikroskopis, ginjal pada pre-eklampsia
cenderung membengkak terutama pada sel endokapiler (sel
mesangial dan endotelial), podosit, glomerular. Pre-eklarnpsia
menyebabkan kegagalan ginjal melalui penurunan relatif
volume intravaskuler, vasokonstriksi, aktivasi inflamasi dan
kaskade koagulasi.
Penatalaksanaanya: Terminasi kehamilan segera, bila
kondisi ibu stabil. Terapi antihipertensi dapat untuk
mencegah masalah serebrovaskuler, tapi tidak mengobati
penyebab pre-eklampsia. Terapi lain yang dianjurkan adalah
diet suplemen kalsium dan aspirin dosis kecil. Terapi
hipertensi dapat dimulai pada tekanan darah 140/90 mmHg
dengan obat oral, bila dicurigai akan berkembang kearah
284
pre-eklampsia. Pada pre-eklampsia berat, atau yang
berkembang progresif. terminasi ke hamilan dapat mulai
dipertimhangkan ketika usia keharnilan 34 minggu,
ter utama pada imminent preeklampsia, disfungsi
multiorgan, !UGR berat, suspek plasenta abrupsia. Pada
c
0
CJ
hiperterisi ensefalopati, perdarahan atau eklarnpsia, obat n
antihipertensi dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah �
)
2/3 diastolik dan 1/3 sistolik beberapa menit sampai satu ;;;
n
jam sampai tekanan darah 160/ IOOmmHg. Cl
n
MgS04 digunakan untuk profilaksis eklampsia dan
mencegah komplikasinya. Tetapi pada penderita pre-
,!i
)
eklampsia sedang, pemberian MgS04 tidak menunjukkan §
G
keuntungan termasuk pada keluaran bayi. Implikasi )
:;;
pemakaian MgS04 adalah pemanjangan masa kerja pelemas G
G
otot. c
)
:;;
:J
HELLP Syndrome
,n
)
::i
Pre-eklampsia berat 10-20%nya akan berkembang
§
menjadi HELLP syndrome dengan gambaran menonjol :;;
berupa a) anemia hemolitik mikroangiopati dengan bentukan
eritrosit dan polikromasia pada sediaan hapus darah perifer,
juga ditemukan peningkatan laktat dehidrogenase (LOH) b)
fungsi hepar yang tidak normal ditandai dengan
meningkatnya serum aspartat aminotransferase (AST) dan
alanin aminotransferase (ALT). HELLP syndrome dikatakan I
berat bila kadar platelet< 50.000/ul.
Tatalaksananya sama dengan pre-eklampsia/
eklampsia yaitu stabilkan kondisi ibu dan terminasi
kehamilan segera.
Sepsis
Sepsis merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas
pada kehamilan, umumnya terjadi pada akhir kehamilan
atau pada periode post partum misalnya pneumonia,
pyelonephritis, sespsis postpartum atau sepsis pasca aborsi.
Insiden sepsis yang berhubungan dengan Akut kidney
injuri (AKI) insidennya cukup tinggi, di India tercatat 40%
285
kasus, dan 50'X,nya membutuhkan dialisa dimana hanya
60%nya bisa pulih seperti semula.
Gangguan disfungsi ginjal karena obat-obatan
Pemilihan obat dan dosis obat dapat merupakan
problem bagi ibu hamil. Obat anti hipetensi, antikoagulan
dan antibiotik adalah obat yang sangat tergantung pada
fungsi renal. Juga dosis magnesium, litium dan morfin.
Angiotensin converting inhibitor dan angiotensi II
receptor- I antagonist adalah kontraindikasi selama
kehamilan karena menyebabkan fetopati yaitu malformasi
vaskuler, hipoplasia pulmonal dan anuria neonatal. Obat
pilihan adalah hidralazin dan metildopa, untuk penggunaan
obat hipertensi dosis harus disesuaikan terutama bila ada
disfungsi ginjal sebelumnya. Hidralazine tidak dianjurkan
untuk pemakaian > 3 bulan karena dapat mencetuskan
lupus erytematosus. Pemakaian metildopa, betabloker,
hidralazin untuk mengontrol tekanan darah selama
kehamilan meningkatkan insiden IUGR dan hipotensi
postpartum.
Antibiotik pilihan untuk ibu hamil adalah penisilin dan
beta laktamase, penyesuaian dosis dilakukan untuk
beberapa antibiotika seperti cefalosporin (misalnya
ceftazidime). Tetrasiklin, quinolon dan gentamisin sebaiknya
dihindari.
Erythropoietin digunakan untuk mengoreksi anemia
pada kehamilan karena AKI, HELLP sydrome. Hepar-hepar
untuk terjadi hipertensi pada pemberian dengan dosis tinggi
(Hmt> 33%).
Gaga! ginjal akut
Gagal ginjal akut (GGA) selama kehamilan jarang
terjadi, insidennya sekitar 1: 10.000. Diagnosa GGA
ditegakkan dengan berkurang fungsi renal yang ditandai
dengan menurunnya urin output dan atau GFR. Secara
historis GGA dibagi atas prerenal, renal dan postrenal. GGA
prerenal biasanya dihubungkan dengan penyebab
hipovolemia, kehilangan darah masif dan gaga! jantung. GGA
286
prerenal dapat menjadi GGA renal intrinsik bila tidak
ieratasi dalarn 48 jam. GGA renal intrinsik disebabkan ginjal
kehilangan daya untuk mengkonsentrasikan urin dan
kehilangan kemarnpuan untuk menggunakan elektrolit
sebagai energi di tubulus rcnalis. GGA intrinsik cenderung
kompleks dan berhubungan dengan obat (mis NSt\IDs),
toksin (radiokontras), komorbid spesifik seperti SLE dan
yang paling sering pada kcharnilan adalah hipertensi, pre-
eklampsia dan eklampsia.GGA postrenal disebabkan karena
obstruksi uropati, hidronefrosis dimana kerusakan fungsi
ginjal tergantung terhadap lamanya obstruksi.
Gaga! ginjal kronik.
Gaga! ginjal kronik ( GGK) rnenyebabkan periderita
tidak mampu untuk beradaptasi terhadap peningkatan
volume intravaskuler dan mengeksrcsikan produk hasil
metabolisme ibu dan fetus. Hemodinamik tidak stabil,
hipertensi dan cenderung terjadi perubahan cepat menjadi
hipotensi intravaskuler, perubahan elektrolit dan asam
basa pada waktu proses dialisa, yang rnempengaruhi indeks
pulsasi pada arteri umbilikalis dan denyut jantung fetus.
Anemia kronis, pemakaian antikoagulan, uremia, gangguan
metabolik dapat menyebabkan edema pulmoner, uremia
ensefalopati, perikarditis yang meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas selama kehamilan (intrauterine I
growth restriction (IUGR), BBLR, lahir belurn cukup bulan,
IUFD).
Tabel 3: Klasifikasi penyakit ginjal berdasarkan nilai GFR
Stadium GFR Deskripsi
1 > 90 Fungsi ginjal masih normal
2 60-89 Fungsi ginjal sedikit menurun
3 30-59 Penurunan fungsi ginjal sedang
4 12-29 Penurunan fungsi ginjal berat
5 <14 Stadium akhir atau GGK
Diambil dari: Palacious QT, Mandell MS. Obstetric anesthesia, 2009.
Implikasi anestesi pada gangguan fungsi ginjal.
l. Pasien dengan disfungsi ginjal sering terjadi perubahan
respon terhadap medikasi. Obat yang dieliminasi melalui
287
ginjal cenderung memanjang kerjanya dan eliminasinva
serta terjadi perubahan distribusi volumenya. Umumnya
dosis awal tidak berubah, tetapi do sis pemeliharaan
dikurangi, termasuk disini benzodiazepin dan obat-obar
yang terikat kuat pada protein. Akurnulasi metabolik aktif
mudah terjadi pada pemberian berulang tergantung
makin beratnya disfungsi ginjal, depresi pernafasan
cenderung mernanjang sehingga obat-obat narkotik dan
pelemas otot dipilih yan short acting dan tidak dieliminasi
melalui ginjal (fentanyl, remifentanil). Gaga! ginjal kronis
selalu dihubungkan dengan resiko gastroparesis dan
lambung penuh. Perubahan reseptor CNS dan
metabolisme menyebabkan sensitifitas meningkat pada
hipnotik, sedatif dan analgesik.
2. Nefrotoksin potensial.
Beberapa obat yang potesial untuk menyebabkan
nefrotoksin pada wanita hamil adalah: nonsteroidal anti-
inflamatory drug (NSAIDs), amoniglikosid, antikolinergik,
agen radiokontras. Sevofluran dikatakan meningkatkan
level flurida inorganik yang bersifat kompon A nefrotoksik,
tetapi pada manusia secara klinis tidak bermakna.
NSAIDs menurunkan RBF, sehingga hati-hati digunakan
pada penderita dengan disfungsi renal.
Persiapan preoperatif
l. Evaluasi preoperatif: anamnesa dan pemeriksaan fisik
memainkan peranan penting dalam menetapkan
diagnosa dan komplikasi yang mungkin timbul pada
penderita gaga! ginjal.
2. Laboratorium: pemeriksaan darah lengkap terutama
untuk mendeteksi anemia dan gangguan koagulasi
serta elektrolit termasuk magnesium.
3. Monitor dan cairan intravena: monitor rutin, cateter
urin, monitor DJJ fetus, monitor invasif dibutuhkan
pada fungsi ginjal yang buruk.
Penatalaksanaan anestesi
Terutama adalah optimalisasi kondisi medis ibu
sebelum tindakan SC yaitu dengan menghindari hipotensi,
obat-obat yang membuat toksik renal dan pertimbangan
obat-obat anestesi. Pemilihan tehnik sangat tergantung
288
kepada kondisi dan relatif untung rugi resiko yang mungkin
timbul. Anestesi spinal a tau epidural mungkin
mcnguntungkan untuk SC dengan disfungsi ginjal, tetapi
menjadi kontra indikasi relatif pada konclisi pasicn dengan
dialisa, hipotensi dan gangguan koagulasi. Perneriksaan
serum potasiurn penting sebelum induksi pada general
anestesi karena succynilcholine dapat meningkatkan level
serum potasiurn 0,7 mEq/1 sehingga terjadi peningkatan
cepat hiperkalemia yang menyebabkan asistole atau disritmi
ventrikuler.
Simpulan
1. Perubahan fisiologi ibu hamil akan mempengaruhi
anatomi dan fisiologi hepar dan ginjal.
2. Kondisi fisiologi ibu harnil pada keadaan terteritu dapat
rnemicu terjadinya proses patofisiologi hepar dan ginjal,
yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu
dan fetus.
3. Penyakit kehamilan yang mempengaruhi hepar dan
ginjal adalah hipertensi, Hiperemesis gravidarum, AFLP,
pre-eklampsia-eklampsia dan HELLP syndrome.
4. Penatalaksaannya adalah terminasi kehamilan segera
setelah kondisi ibu dinilai stabil.
5. Beberapa kelainan hepar dan ginjal bersifat gestasional
yaitu dapat pulih seperti semula setelah masa kehamilan
berakhir, tetapi sebagiaan lainnya menetap dan
umumnya berulang pada kehamilan berikutnya. I
Daftar Pustaka
1. Attalah AN, Hofmayr GJ, DuleyL. Calcium
suplementation during pregnancy for preventing
hypertensive disorder and related problem. Cochrane
Database Syst Rev3 2002: CD001059.
2. August P, Lenz T, Ales KL et al. Longitudinal study of
renin angiotensin-aldosteron system in hypertensive
pregnant woman: deviation related to the development of
superimposed preeclampsia. Am J Obstet Gynecol
1990; l 63(5ptl): 1612-21.
3. Bacq Y. Cute fatty liver of pregnancy. Seminars of
perinatology 1998; 22 (2): 134-40.
289
4. Benyarninov FS, Heathcote J. Liver disease in pregnancv,
American journal of gastroenterology 2004; 99: 24 79-88.·
.5. Bussen S, Sutterlin M, Steck T. Plasma endothelin and
big endothelin level in woman with severe pre-eclampsia
or HELLP syndrome. Arch Gynecol Obstet 1999; 262:
)>
113-9.
z
m 6. Canogia I, Winter J. Lye SJ, et al. Oxygen and placental
� development during the first trisernester: implication for
m
!{2 the patophysiology of pre-eclampsia. Placenta 2000; 2 l
0 (Suppl A): 525-30.
OJ
(/)
7. Chiossi G, Neri I, Cavazutti M, Basso G, Facchinetti F.
� Hyperemesis gravidarum complicated by wernicke
;!;!
encephalopathy: background, case report, and review of
the literature. Obstet Gynecol sun, 2006; 61: 255-68.
8. Davison JM, Sheills EA, Philips PR, Barron WM,
Lindheimer MD. Metabolic clearance of vasopressin and
an analogue resistant to vasopressin in human
pregnancy. Am J Physiol 1993; 264 (2pt2): F348-53.
9. Deutsch S. Renal dysfunction and anephric patients:
anesthetic consideration. Journ of the american
association of nurse anesthetists 1982; 149-54.
10. Dragun D, Haase M. Acute kidney failure during
pregnancy and postpartum. Dalam: Jorres dkk, ed .
Management akut kidney problem. Berlin: Springer;
2010, 445-58.
11. Epstein FH, Karumanchi SA. Pregnancy and the kidney.
Nephrology Rounds 2005; 3 (9) 299-304.
12. Hepburn IS. Pregnancy associated liver disorder. Dig Dis
Sci2008; 53: 2334-58.
13. Hou S, Orlowski J, Pahl M. Pregnancy in woman with
end-stage renal disease: treatment of anemia and
premature labor. Am J Kidney Dis 1993; 21: 16-22.
14. Ibdah JH, Zhao Y, Viola J, et al. Molecular prenatal
diagnosis in families with fetal mitochondrial trifunctional
protein mutation. J Pediatr 2001; 138: 396-9.
15.Jayakumar M, Prabahar MR, Fernando EM. Pregnancy
related acute renal failure. J Obstete Gynecol India 2006;
56: 308-10.
290
16. Knox TA, Olans LB. Liver disease in pregnancy. N Engl J
Med 1996; 335 (8): 569- 76.
17. Knight M. Duley L, Henderson-Smart DJ. Antiplatelet
agent for preventing and treating pre-eclampsia.
Cochrane Database Syst Rev 2000: CD000492.
18. Kumar R, Cohen WR, Epstein F'H. Vitamin D and calsium
hormones in pregnancy. N Engl J Med 1980; 302
(20):1143-5.
19. Leylek OA, Cetin A, Toyaki M, et al. Hyperthyroidism in
hyperemesis gravidarum. Int J Gynecol Obstet 1996: 55:
33-7.
20. Martin JN, Rinnehart BK, May WL. The spectrum of
severe preeclampsia: comparative analysis by HELLP
(hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count)
syndroma classification. Am J Obstet Gynecol 1999; 180:
1373-82.
21. Marge LA, Cham C, Waterman EJ. Hidralazine for
treatment of severe hypertension in pregnancy: meta
analysis. BMJ 2003; 327: 955-60.
22. Morgera S, Scholle C, Voss G. Metabolit complication
during regionale citrate anticoagulation in countinous
venovenosu hemodyalisis: single-center experience .
Nephron Clin Pract 2004; 97: c131-6.
23. Pallcr MS. Pregnancy and the kidney. Current Practice of
Medicine 1999; 2 (8): 1577-82.
24. Palacios QT, Mandell MS. Renal and hepatic disease in
the pregnant patient. Dalam: Gra vlee GP, ed. Obstetrics
anesthesia. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;


2009, 457-72.
25. Robertson C, Millar H. Hyperamylasemia in bulimia
nervosa and hyperemesis gravidarum. Int J Ear disord
1999; 26:223-7.
26. Roltes DB, Ishak ICG. Liver disease in toxemia of
pregnancy. Am J Gastroenterol 1986; 81: 1138-44.
27. Report of the national high blood pressure education
program. Working group report on high blood pressure in
pregnancy. Am J Obstet Gynecol 2000; 183: 1-22.
291
28. Sims EA. Krantz KE. Serial study of renal function during
pregnancy and the puerperium in normal women. J Clin
Invest 1958; 37(12):1764-74.
29. Sibai BM. Magnesium sulfate prophylaxis in
preeclarnpsia. Lesson learned from recent trial. Am J Obst
Gynecol 2004; 190: 1520-6.
30. Thorp M, Pulliam J. Use the recombinant erythropoetin in
a pregnant renal transplant recipient. Arn J Nephrol
1998; 18: 448-51.
31. Tsang IS, Koyuncu F. Hyperemesis gravidarum: current
concept and management. Postgrad Med 2002; 78:76-9.
32. Valenzula GJ, Munson LA, Tarbauox NM, et al. Time
dependent change in bone, placental, intestinal and
hepatic alkaline phosphatase activies in serum during
human pregnancy. Clin chem 1987; 33: 1801-68.
33. VanDyke RW. The liver in pregnancy. Dalam: Zakim,
Boyer T, eds. Hepatology: a text book a liver disease. Edisi
ke-4. Philadelphia; WB Saunders Company; 2003, 1591-
8.
": 34. Walsh SW, Vaughan JE, Wang Y, et al. Placental
isoprostane is significantly increased in pre-eclampsia.
FASB J 2000; 14:1289-96.
292
BAB 29
Hipertiroid harus dikontrol sebelurn dilakukan
pcmbedahan untuk mencegah tcrjadinya krisis tiroid. Jika
obat-obatan antitiroid digunakan, persiapan untuk operasi
tiroid memerlukan waktu sampai dengan 2 bulan.
Hipertiroid umum ditemukan pada populasi umum dan
terjadi pada 2 dari 1000 kehamilan. Penyakit Graves
rnenyebabkan 80 - 95% kasus hipertiroid pada kehamilan.
Penyebab lain diantaranya tiroiditis, adenoma toksik,
multinodular goiter, tiroiditis viral dan tumor pituitari atau
ovarium. Human chorionic gonadotropin (hCG), yang
mencapai puncak pada minggu ke-8 sampai dengan 14,
secara lemah menstimulasi reseptor Thyroid Stimulating
Hormone (TSH) dan pada beberapa kasus menyebabkan
transient hipertiroid yang berhubungan dengan hiperernesis
gravidarum. Tingkat hCG yang tinggi dengan gejala klinik
hipertiroid dapat juga terjadi pada penyakit kehamilan
trofoblastik dan kehamilan multipel.
Tabel 1. Menggambarkan _berbagai etiologi dari hiper_tiroict·
Etiolo i Hi ertiroidisrne
Stimulator Tiroid Abnormal
• Penyakit Graves
• Neoplasia trofoblastik gestasional I!
• Tumor pituitari pensekresi TSH
Otonomi Tiroid lntrinsik

�·
• Adenoma toksik
• Goiter multinoduler toksik
Penyakit lnflamasi (E.G., Tiroiditis Subakut)
Sumber Hormon Ekstrinsik
• Jaringan tiroid ektopik
• Ingesti hormon tiroid
Sumber: Houston MS, Hay ID. Practical management
h erth roidism. Am Fam Ph sician 1990; 41 :909-16.
293
I. Presentasi klinis dan diagnosis
Tarnpilan hipertiroidisrnc secara klinis sebagai keadaan
fisiologis didorninasi oleh peningkatan kecepatan
mctabolisme. Skala gejaia hipertiroid tclah dikcmbangkan
berdasarkan atas l O faktor klinis: kegugupan (nervousness),
berkcringat, intoleransi panas, hiperaktivitas, tremor.
kelernahan, prekordiurn hiperdinarnik, diare, nafsu makan
tinggi dan derajat ketidakmarnpuan. Skala gejala ini sarigat
berguna dalam mengikuti perjalanan klinis pasien dengan
penyakit Graves. Eksoftalmus atau oftalmopati infiltratif
secara klinis tampak pada mayoritas pasien dengan penyakit
Graves. Tetapi, tanda-tanda fisik lain dapat terjadi dalam
frekuensi rendah pada penderita: miksedema pretibia atau
dermopati (1 % hingga 2%) dan perubahan kuku atau
akropaki (kurang dari 1 %). Patogenesis oftalompati infiltratif
pada penyakit Graves masih belum jelas. Pada dasar
deskriptif, abnormalitas orbital primer adalah pembesaran
otot-otot ekstraokuler, yang disertai inflamasi kronis.
Hipertiroidisme menstimulasi sistem kardiovaskuler
melebihi permintaan peningkatan kecepatan metabolisme
yang mendasarinya, mengakibatkan "keadaan sirkulasi
hiperkinetik." Kontraktilitas miokard, denyut jantung,
volume sekuncup dan ukuran ventrikel semuanya
meningkat, dan resistensi vaskuler perifer menurun pada
kulit dan otot. Horman tiroid dapat mempengaruhi rasio
reseptor alfa dan beta-adrenergik pada jantung. Suatu
kardiomiopati dapat didemonstrasikan selama olahraga pada
pasien hipertiroid yang independen dari reseptor beta-
adrenergik dan bersifat reversibel dengan normalisasi fungsi
tiroid. Pasien-pasien lanjut usia dengan hipertiroidisme
terutama rentan untuk terkena fibrilasi atrium.
Diagnosis hipertiroidisme bergantung pada definisi
dokumentasi peningkatan konsentrasi serum dari T4 terikat
atau bebas. Bentuk yang lebih umum dari hipertiroidisme
(e.g., penyakit Graves, adenoma toksik, goiter multinoduler
toksik) mungkin berbeda dari bentuk yang lebih jarang
menurut penelitian mengenai ambilan radioiodin. Identifikasi
autoantibodi reseptor-TSH mungkin memiliki peranan dalam
membedakan penyakit Graves dari adenoma toksik atau
goiter multinoduler.
294
II. Interaksi dengan kehamilan
Kehamilan normal berada dalam keadaan eutiroid,
dcngan konsentrasi serum normal dari T, terikat dan bebas
meskipun terdapat peningkatan konseritrasi serum TBG dan
T� total. Hipertiroidisme selarna kehamilan diakibatkan oleh
distribusi etiologi yang serupa dengan yang ditemukan pada
pasien non-hamil. Penyakit Graves merupakan penyebab
predominan dari hipertiroidisme selama kehamilan.
Prevalensi hipertiroidisme selama kehamilan adalah 0,2%,
yang lebih rendah daripada prevalensi pada populasi umum.
Hal ini mungkin mencerrninkan suatu efek menguntungkan
dari imunotoleransi kehamilan terhadap penyakit autoimun
seperti penyakit Graves, dan juga, kehamilan manusia
dikaitkan dengan perubahan pada spesifisitas aktivitas
antibodi reseptor TSH dari aktivitas stimulasi kepada
aktivitas pemblokiran.
Neoplasma trofoblastik gestasional seringkali dikaitkan
dengan peningkatan konsentrasi hCG serum. Konsentrasi
hCG tinggi mungkin memiliki bioaktivitas stimulasi tiroid
yang signifikan karena homologi struktural antara hCG dan
TSH. Hipertiroidisme transien selama kehamilan pernah
dilaporkan berhubungan dengan hiperemesis gravidarum.
Hipertiroidisme dan hiperemesis gravidarum mungkin
merupakan proses penyakit yang paralel, dengan
peningkatan hCG sebagai mekanisme bersama .
Hipertiroidisme jarangkali disebabkan oleh dua proses
penyakit koinsiden (e.g., penyakit Graves dan struma ovarii)
baik pada pasien hamil dan non-harnil.
Nodul tiroid terjadi pada 4% hingga 7% orang dewasa. •
Kehamilan dikaitkan dengan peningkatan dalam jumlah dan
.ikuran nodul tiroid. Kehamilan paling mungkin tidak
nempengaruhi perkembangan atau proses karsinoma tiroid,
neskipun hal ini masih diperdebatkan. Evaluasi nodul tiroid
rang muncul selama kehamilan harus meliputi (1)
oengukuran konsentrasi TSH dan T4 bebas dalam serum, (2)
ierneriksaan ultrasonografi (untuk membedakan lesi solid
/ersus sistik), dan (3) aspirasi jarum halus atau biopsi jarum
ierkutan. Lesi malignan harus ditangani secara bedah
.elama kehamilan. Terapi iodin radioaktif dapat ditunda
iingga periode postpartum.
295
III. Problem anestesi
l. Takiaritrnia umum dijumpai selama anestesi. Tingginya
konsentrasi hormon tiroid menycbabkan up-regulation
pada beta adrenoseptor, sehingga dosis propanolol yang
lebih besar dari normal dibutuhkan untuk mengontrol
takikardia, dan juga karena klirens propanolol meningkat
pada keadaan ini.
2. Keadaan hipermetabolik dapat terjadi dan menyerupai
hipertermia maligna. Fibrilasi atrial dapat terjadi pada
saat induksi ancstesi. Takikardia dan peningkatan PaC02
dihubungkan dengan konscntrasi tiroxine serum 27
mikrogram/dl (normal 4,5 - 12 mikrogram/dl).
3. Edema paru dapat terjadi intraoperatif. Dengan gejala
klinik sianosis, takikardia dan distress respirasi. lni
disebabkan oleh kombinasi dari hipertensi, takikardi dan
peningkatan volume darah.
4. Kadangkala krisis tiroid atau badai tiroid terjadi setelah
operasi dengan gejala agitasi, pireksia, berkeringat,
takikardi, hipertensi dan gaga! jantung. Hal ini dapat
terjadi selama persalinan normal ataupun dengan seksio
sesarea.
5. Krisis hipertiroid dapat ditutupi (masked} oleh beta
bloker, yang tidak menghambat output dari hormon
tiroid. Sebagai tambahan, efek inotropik negatif mungkin
tidak menguntungkan. Kolaps sirkulasi pernah
dilaporkan pada penggunaan propanolol saja untuk
mengontrol tirotoksikosis berat pada pasien usia lanjut.
6. Miopati tirotoksik kadang-kadang menyebabkan pulih
yang lama dari efek obat neuromuskular blok.
7. Bila ada proptosis, mata lebih rentan mengalami
kerusakan dibandingkan dengan mata yang normal.
8. Pada kehamilan, tirotoksikosis sulit untuk didiagnosa,
karena keduanya mempunyai tampilan yang hampir
sama.
9. Peningkatan dari kadar hormon yang bebas post operasi,
karena penurunan ikatan protein.
10. Penurunan kesadaran.
11. Tirotoksik periodik paralisis, merupakan periode paralisis
hipokalemik yang terjadi pada pasien-pasien tirotoksik.
Hipofosfatemia dan hipomagnesemia ringan umum
dijumpai.
296
IV. Pengaruh pada fetus
Tirotoksikosis dapat rncnyebabkan persalinan
prematur, kelahiran prematur, preeklampsia dan IUGR. Jika
(/)
fetus hidup dcngan ibu tirotoksikosis, denyut jantung fetus m
;:,;;;
CJ)
meriunjukkan adanya takikardia, deselerasi atau tidak
0
adanya variasi denyutan. Abnormalitas denyut jantung fetus CJ)
m
secara urnurn akan mernbaik bila dilakukan koreksi

terhadap gangguan metabolik ibu. :0
m
Penggunaan 13-blocker nonselektif dapat memicu )>
"O
persalinan prernatur. Pada wanita dengan Graves' disease, )>
gondok pada janin dapat berkembang sebagai akibat dari �
:c
obat antitiroid yang melewati sawar plasenta atau antibodi =o
m
pemicu tiroid. Gondok pada janin dapat mengganggu

persalinan pervaginam, atau menyebabkan obstruksi jalan 55
0
napas pada neonatus. Gondok pada janin dapat didiagnosis 0
dengan ultrasonografi. Hipotiroidisme janin dapat
didiagnosis dengan pengambilan sampel darah tali pusar
perkutan, dan dapat diterapi dengan suntikan tiroksin
intraamniotik. Pada pasien hamil dengan penyakit Graves'
disease, konsentrasi serum TRAbs pada ibu selama trimester
ketiga dapat menjadi prediksi fungsi tiroid neonatus.
Perkembangan somatik dan intelektual yang normal telah
dilaporkan terjadi pada anak-anak dari ibu hipertiroid yang
diterapi dengan obat antitiroid. Menyusui bukan merupakan
kontraindikasi untuk ibu mendapat terapi obat antitiroid.
V. Manajemen anestesi
Belum ada penelitian prospektif terandomisasi yang


mengevaluasii efektivitas atau keamanan berbagai teknik
anestesi pada pasien dengan hipertiroidisme yang hamil
maupun tidak hamil. Beberapa kondisir hipertiroidisme yang
dapat mempengaruhi manajemen anestesi diantaranya: (1)
sistem kardiovaskular yang hiperdinamik dan kemungkinan
terjadinya kardiomiopati, (2) obstruksi jalan napas parsial
sekunder akibat pembesaran kelenjar tiroid, (3) kelemahan
otot pernafasan, dan (4) kelainan elektrolit.
Halpern menjabarkan dua pasien dengan
hipertiroidisme tidak terkontrol yang membutuhkan anestesi
297
untuk seksio sesarea. Halpern menyebutkan bahwa bai
anestesi regional ataupun general dapat dilakukan denga.
aman pada pasien hipertiroid Berdasarkan tcori,
menyarankan agar tidak digunakan epincfrin dari cairai
epidural agen anestesi lokal dan penggunaan agonis resepto
)> a-adrenergik (misa!nya fenilefrin) untuk mengatasi hipotcn s:
z Narnun, penelitian sebelurnnya pada subyek tidak harni
m
� dengan hipertiroidisrne spontan menunjukkan respoi
m
� hemodinamik normal terhadap epinefrin, norepinefrin
0 fenilefrin, atau clonidine eksogen. Oleh karena itu sepertiny.
OJ
en aman memberikan epinefrin untuk meminimalisi
-I
m
-I penyerapan anestesi lokal dan toksisitasnya selam,

pemberian anestesi epidural pada pasien eutiroid dan pasier
hipertiroid.
Pasien hipertiroid harus mendapat terapi suplemer
glukokortikoid karena kemungkinan mengalami defisiens
relatif cadangan glukokortikoid. Tampaknya lebih bai]
menghindari obat-obatan yang berkaitan dengan takikardis
(misalnya ketamin, atropin). Thiopental dapat menjadi ager
induksi pilihan karena memiliki efek antitiroid pada tikus
jantan. Pasien dengan Graves' disease dapat mengalam
eksoftalmus, yang memerlukan perawatan tambahan unruk
mencegah abrasi kornea selama dilakukan anestesi umurn.
Data klinis menunjukkan bahwa disfungsi hati pasca operasi
tidak terjadi setelah diberikan halotan atau anestesi enfluran
pada pasien hipertiroid. Penulis lain menekankan efektivitas
obat sedatif preoperatif yang dalam pada pasien hipertiroid
yang tidak hamil. Periulis tidak merekomendasikan teknik ini
pada pasien hamil karena risiko aspirasi ibu dan depresi
neonatal.
Persiapan preoperatif yang adekuat meminimalkan
risiko terjadinya krisis tiroid perioperatif. Tujuan persiapan
sebelum operasi adalah untuk membuat pasien dalam
kondisi eutiroid. Dalam keadaan darurat, pasien hipertiroid
dapat dipersiapkan untuk menjalani operasi dengan
propiltiourasil oral dan glukokortikoid intravena, natrium
iodida, dan propranolol. Anestesiolog harus siap untuk
mengatasi krisis tiroid yang terjadi selama operasi (Tabel 2).
298
Tabel 2. Terapi krisis tiroid
[ Pcncegaha n . . .
i Tcrapi Suportif Um urn I (./)
· Penggunaan selimut dingin dan kornpres es m
I ;;,.
- Klorpromazine (25-50 mg IV) atau mepcridine (25-50 mg IV) I en
untuk mcngatasi badan yang mcnggigil 5
(./)
Hidrasi intravena m
Terapi pcngganti glukosa dan clektrolit
Oksigen �
Pcmberian glukokortikoid: dexarnethasone (2-4 mg IV) atau �
hidrokortison ( I 00 -300 mg JV)
Multivitamin B-komplek
Untuk Mengurangi Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid
i
:I:
=ij
Terapi antitiroid: propiltiourasil (600-1000 mg/hari per oral)
m
atau metimazole (60-100 mg/hari per oral atau per rektal)
lodin: Sodium iodida ( I gr IV atau cairan Lugo! 30 tetes per �
::0
oral) atau cairan potassium iodida saturasi tinggi (SSKi 3 tetes 0
per oral) 5
Glukokortikoid
Unruk Mengurangi Konver si Tiroksin (T4) menjadi 3,5,3'-Triiodotironin
(T1)
Propiltiourasil
Glukokortikoid
Penggunaan agen kontras radiografi
1. Asam iopanoik (Telepaque) 3 gr per oral
2. Sodium ipodate (Oragrafin) 1 gr per oral
Propanolol
Untuk Menurunkan Efek Metabolik oleh Horman Tiroid
Penggunaan agen f3-blocker
1 . Propanolol I
2. Esmolol
Rescrpin
Guanetidin
Terapi Lainnya
Pertukaran plasma
Dantrolene
Diagnosis dan terapi penyakit yang mendasari munculnya krisis tiroid.
299
Daftar Pustaka
l. Chesnut HD. Obstetric anesthesia principles and
practice. 3,d ed. Philadelphia : Mosby Inc; 2004.
2. Mason R. Section 1 : Medical disorders and anaesthetics
)>
z problems. Dalam: Anaesthesia data book, a perioperativc
m
v, and .periparturn manual. 3,c1 ed. London: Greenwich
-I Medical Media Limited; 2001, 487 - 91.
m

0
a, 3. Mhyre JM, Polley LS. Rare endocrine disorders. Dalam:
v,
-I Gambling DR, Douglas MJ, McKay RSF, editors. Obstetric
m
-I anesthesia and uncommon disorders. 211d. New York:
:!2 Cambrigde University Press; 2008. p. 275 - 292 .

300
BAB30
:_,�J�e1_01��� l�y�r.1;'��,�.Jii-'s�1t�i�>�i��f��-.
.c '
:}1 ��f ���?· � i· ::_ -���i · . : ; _, �: � � .: i <:· ·. -_ <" /;.:}_·_:/r:;-_: .. �: . :�·
u�:
World Health Organization (WHO) melaporkan seksio
sesarea sekitar 10-1 S'Jlu dari total persalinan. Seksio sesarea
sangat bermanfaat jika pernbedahan bcrtujuan untuk
keselamatan ibu dan atau fetus, dipihak lain nampaknya
seksio sesarea meningkatkan angka rnortalitas dan
morbiditas seperti perdarahan, infeksi dan nyeri. Walaupun
penalaksaksanaan nyeri telah berkembang, namun
kepuasan pasien bervariasi tergantung dari individu dan
respon individu. Hasil terakhir yang didapatkan dari survei
nasional di US menyatakan bahwa sebesar 50- 71 %, pasien
mengalami nyeri sedang sampai berat setelah selesai operasi
seksio sesarea.
Pengelolaan nyeri pasca SC menjadi tantangan
tersendiri bagi ahli anestesi karena berbeda dengan
penanganan nyeri operasi yang Jain, dimana pada pasca SC
meningkatkan resiko terjadinya penyakit tromboemboli
selama kehamilan dan dapat terjadi eksaserbasi jika ada
imobilisasi pasien akibat penanganan nyeri yang tidak
adekuat atau sedasi berlebihan dari menggunaan opioid.
Lebih Jagi wanita pasca menjalani operasi SC mengharapkan
mereka dapat secepatnya bergerak bebas dan tidak tersedasi
untuk berintraksi dan menyusui bayinya. •
Disamping itu terapi nyeri pascabedah bertujuan untuk
kenyamanan pasien, menghambat impuls nosisepsi dan
rnenumpulkan respon neuroendokrin sehingga mempercepat
restorasi fungsi. Nyeri dan kecemasan juga mereduksi
kemampuan ibu untuk menyusui, dampak pemberian
analgesia selama periode laktasi tidak hanya kompleks tapi
juga penting sehingga pengetahuan tentang dosis terendah
yang efektif harus diberikan karena adanya resiko bayi akan
terpapar atau bahkan mangurangi produksi ASL
Pada dekade terakhir seorang anestesiologis merupakan
salah satu anggota pada tim perawatan perinatal karena
berkontribusi besar dalam tatalaksana nyeri pascabedah.
301
Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dasar yang dimiliki
mengenai perubahan fisiologi pada wanita hamil,
pengetahuan tentang neuroanatomi dan mekanisme nyeri.
farmakokinetik dan farmakodinamik obat-obatan, serta
keterampilan regional analgesia.
Kontrol Nyeri Pasca Seksio Sesarea
Nyeri pascabedah seksio sesarea secara umum
menimbulkan respon stress pembedahan, aktivasi sistem
saraf pusat dan secara tidak langsung berefek pada fungsi
banyak organ. Manajemen nyeri pascabedah seksio sesarea,
dokter harus menyeimbangkan antara kontrol nyeri dan efek
samping yang mungkin ditimbulkan, tennasuk manajemen
nyeri selama menyusuai harus diperhatikan.
Efek berbagai jenis obat analgesia selama masa Jaktasi
belum diteliti secara memadai, sehingga keputusan klinis
yang dibuat didasarkan pada bukti studi farrnakokinetik,
studi observasional dan laporan kasus. Pada kebanyakan
obat, informasi mengenai dampak terhadap bayi masih
kurang.
Beberapa prinsip umum berlaku saat memberikan obat
analgetia untuk pengelolaan nyeri selama laktasi
Pilihan obat-obatan sebaiknya didasarkan pada
pengetahuan akan akibat yang potensial terhadap ASI
dan bayi yang diberi ASI , sebagai dampak sekunder dari
transfer ASI tersebut. Sifat obat seperti larut dalam
lernak, BM rendah, ikatan protein kecil, bentuk tak
terionisasi semakin mudah diekskresi melalui ASL
Dosis efektif terendah yang memungkinkan bagi ibu
adalah yang direkomendasikan, pemberian ASI sebaiknya
dihindari apabila konsetrasi obat dalam ASI berada pada
puncaknya, dan efek terhadap bayinya akibat obat yang
terpindahkan ke dalam ASI harus diamati
Dipihak lain hal penting bahwa nyeri persisten
memberikan efek negatif pada ibu dan anaknya. Pengelolaan
nyeri akut yang tidak optimal berdampak menuju ke nyeri
kronik.
302
Seksio sesarea sebagian besar dilakukan dengan
anestesi regional clan penambahan opioid pada subaraknoid -0
m
maupun epidural menjadi teknik yang populer untuk z
G)
analgesia pascabedah. Dilaporkan bahwa lebih dari 90%, m
anestesiologis ohstetrik melakukannya.
5r

z
Tehnik dan Obat Analgetik yang digunakan Pasca Seksio z
-<
m
Sesarea
:!!
Golongan Opioid �
Opioid adalah obat yang paling sering digunakan baik �
(/)
lewat jalur sisternik maupun neuroaksial untuk pengelolaan m
nyeri. @
Analgesia sistemik terutama opioid merupakan 5
(/)
modalitas untuk pengelolaan nyeri pasca seksio sesarea, m
terutarna yang menggunakan anestesi umum. Dapat �
diberikan secara injeksi intrarnuskuler atau intravena. �
Pemberian opioid intrarnuskuler atau subkutan sering
dilakukan untuk pengelolaan nyeri pasca seksio sesarea.
Namun banyak pembatasan untuk penggunaannya.
Pertama: pemberian yang seringkali berulang sangat tidak
nyaman bagi pasien. Kedua: ada variabilitas yang luas inter
individu pada farrnakokinetik dan perierimaan obat, dalam
ha! ini setelah pembedahan abdominal untuk mencapai
konsentrasi puncak dibutuhkan waktu yang bervariasi
misalnya pada injeksi IM meperidin, ada sedikit korelasi
antara berat badan dan konsentrasi meperidin di darah yang
menyebabkan masalah dalam mengestimasi dosis regimen


yang efektif. Disamping itu kadar puncak pada pasien
tercapai, namun terjadi insiden efek samping yang tidak
diinginkan seperti samnolen dan sedasi yang jika dengan
dosis yang lebih kecil efek analgesianya inadekuat.
Patient Control Analgesia Intravenous (IVPCA)
Analgesia intra vena yang dikendalikan (IVPCA)
merupakan salah satu pilihan untuk pengelolaan nyeri.
feknik ini berupa pemberian dosis bolus intravena yang
k:ecil melalui alat yang telah diprogram dosis, interval, dosis
303
basal yang diberikan dan proteksi tarnbahan be rupa closis
maksimum pada satu periode. Kelebihan IVPCA adala h
mampu mereduksi kadar puncak clan penurunan
kon sentrasi obat di darah serta efeknya lebih superior
dibanding opioid IM konvcnsiorial pada pasien pasca seksio
)>
sesare a. Alat ini mempunyai ketcrbatasan pad a
z penggunaannya karcna ctikendalikan oleh pasien scndiri clan
m
en ada beberapa alat menghalangi ambulasi pasien dan

m
� pcrawatan bayi, namun IVPCA tetap merupakan modalitas
0 popular untuk pengelolaan nyeri pasca seksio sesarea.
Ol
� Morfin masih menjadi opioid yang paling banyak
digunakan untuk teknik ini. Suatu penelitian menunjukkan
m penggunaan opioid lebih banyak pada IVPCA (IVPCA 11±2,3
morfin (mg) dibandingkan dengan epidural 1,0±0,6 morfin
dan IM 3,8± 1, 1 morfin).
Informasi objektif tentang efek opioid sistemik tcrhadap
ibu dan bayi yang menyusui rnasih sedikit. Obat yang
diekskresikan ke air susu ibu terjadi ketika obat berikatan
dengan protein susu atau pada lemak globulus AS!. Banyak
faktor yang mempengaruhi termasuk waktu menyusui
ditentukan oleh waktu pemberian obat dan ekskresi obat
melalui ASL Obat yang larut lemak lebih terakumulasi pada
ASI. Normeperidin dan morfin-3-glukoronida terakumulasi
pada colostrum dan ASI hingga beberapa hari. Meperidin
dimetabolisme pada ibu dan anak melalui N-demetilasi
hepatik sehingga terbentuk normeperidin yang berefek
analgesia pada ibu dan depresi pada neonates, sehingga
bahwa meperidin sangat jarang digunakan sebagai analgesia
pasca seksio sesarea terutama pada wanita yang menyusui.
Pemberian berulang meperidin dapat mengakibatkan
akumulasi metabolit aktif normeperidin pada ASL
Kodein
Rasia ASI/Plasma (M/P) 2,46. Pemberian kodein pada
ibu dengan dosis 60- 720 mg/hari didapatkan konsentrasi
kodein pada infant <0,8-4,5 mg/L dengan metabolit
morfinnya 0,5-22 mg/L (pada 4 jam pasca menyusui), jika
dibandingkan dengan morfin diberikan kepada ibu 40
304
mg/ hari didapatkan konsentrasi kodein 4 mg/ L. Konsentrasi
morfin pada plasma infant pa sea pcmbcrian kodein adalah -u
m
2-4'X, yang bisa mcnjadi toksik, sejurnlah kodein ditambah z
G)
morfin di AS! dapat terakumulasi, m
r
0
Morfin �
z
Penelitian tentang ekskresi morfin lewat AS! z
-<
m
dipublikasikan pada tahun 1930. Ekskresi morfin terjadi 6
:!!
jam setelah pernberian epidural, IV, atau IM. Konsentrasi
maksimurn pada AS! 500 µg/L dan muncul setengah jam �
setelah pem berian 10 mg/ IV. Meta boli t morfin nam paknya �
terakumulasi pada kolostrum dan AS! bertahan beberapa en
m
;;,;:
hari. Morfin ditemukan di AS! 6%,, bioavailabilitas bayi 25'% en
dianggap arnan. Morfin yang mclalui metabolism konyugasi 5
en
hepatic maternal dan infant menghasilkan morfin-3- m
glukoronidase inaktif µ maupun aktif dengan rasio 9: l. �
:0
Karena mempunyai waktu paruh yang lebik lama pada �
neonatus dibanding orang dewasa maka neonatus lebih
beresiko terjadi toksisitas. Guideline Formula di lnggris
menyebutkan bahwa morfin dosis terapeutik yang diberikan
kepada ibu yang menyusui nampaknya tidak berefek pada
bayinya namun harus dilakukan evaluasi tanda dan gejala
transfer dan akumulasi obat pada neonatus. Bayi dengan
gangguan fungsi hepar dan renal dapat terjadi peningkatan
konsentrasi morfin dan morfin glukoronida pada ibu yang
.nenggunakan morfin waktu lama. •
Pe ti din
Rasio ASI/Plasma (M/P) adalah 0,85-1,59. Pemberian
oetidin 50 mg IM pada ibu konsentrasi puncak pada ASI
l30 µg/L setelah 2 jam pemberian. Korisentrasi puncak
ertinggi adalah 207 µg/L, konsentrasi berkurang 20 µg/L
.etelah 24 jam. Pemberian dosis berulang pada ibu berefek
iegatif pada bayi yang menyusui. Fenomena ini disebabkan
ingginya konsentrasi petidin pada ASI dan lambatnya
.liminasi pada infant. Meperidin menyebabkan
ieurobehavior sehingga tidak dianjurkan.
305
Fentanyl
Ratio ASI/Plasma (M/P) dan dosis relatif fentanyl pada
infant 2,10. Konsentrasi pada ASI 3%, namun mcnurun
dengan dengan cepat dan sering tidak terdeteksi lagi hingga
dibawah 0,01 µg/L maka dikategorikan aman. Rendahnya
konsentrasi pada ASI secara konsisten karena pendeknya
waktu paruh elirninasinya pada orang dewasa. Namun
fentanyl terkadang dibersihkan sangat lambat pada
neonatus, dosis kecil pada ASI berefek samping hebat pada
bayi terutama setelah pemberian dosis tunggal.
Tramadol
Tramadol berefek sebagai opioid agonis dan sebagai
inhibitor ambilan (reuptake) serotonin-noradrenalin. Oasis
yang direkomendasikan adalah 0,5-1 mg/kgBB IV dan 0,2
mg/kgBB/jam IV. Tramadol digolongkan kriteria C oleh FDA
dan penggunaannya untuk pada ibu yang menyusui tidak
direkomendasikan karena masuk ke ASI namun dalam
jumlah yang kecil dan tramadol secara umum dapat
digunakan untuk ibu yang menyusui.
Golongan Non Opioid
Nyeri sedang dapat diterapi dengan analgetik lemah
seperti parasetamoI (oral, IV) dan NSAID. Nyeri pasca seksio
sesarea setidaknya melibatkan dua komponen penting yaitu
nyeri somatik dari Iuka insisi dan nyeri viseral dari uterus.
NSAID tunggal tidak efektif untuk mengobati nyeri pasca
seksio sesarea sehingga dimasukkan ke dalam komponen
multimodal analgesia bertujuan meningkatkan kualitas
analgesia pada pemberian opioid sistemik maupun
neuroaksial. Efek hemat opioid hingga 40%- 70%.
Parasetamol
Milk/ Plasma (M / P) rasio pad a parasetamol dilaporkan
antara 0,7-1,3. Dosis maksimal dapat diberikan dan ada
sekitar 5% terpapar pada infant. Jika ibu mendapatkan dosis
maksimum yang direkomendasikn yaitu 4g maka yang
terpapar ke infant adalah 2,8mg/kgbb atau sekitar 5%
306
dengan dosis terapeutik parasetamol pada infant adalah
60mg/kgbb/hari. Parasetomol diekskresi lewat AS! 2'XJ
sehingga aman buat ibu menyusui. Pada neonatus dapat
memetabolisme parasetamol seefektif orang dewasa dan
nampaknya tidak ada reaksi efek samping obat pada infant
sehingga dapat dipertimbangkan untuk menggunakan
parasetamol untuk nyeri pasca seksio sesarea.
Aspirin
Ekskresi asarn salisilat ke AS! telah diketahui sejak
1935. Banyak yang melaporkan M/P rasio antara 0,03-0,2,
yaitu 8, 1 % pada dosis sesuai berat ibu. Waktu paruh pada
neonatus lebih lama dibanding pada dewasa. Dilaporkan
bahwa terjadi asidosis rnetabolik dan konsentrasi serum
salisilat mencapai 240mg/ L pada bayi usia 16 hari dengan
ibu yang mengkonsumsi aspirin 3, 9 mg/hari. Kejadian
trombositopeni purpura pada infant yang terpapar salisilat
melalui ASL American Academy of Pediatrics menyatakan
bahwa aspirin dapat digunakan pada ibu menyusui dengan
pegawasan ketat karena kemungkinan timbul resiko efek
samping pada bayi. Menyusui dapat dilakukan 1 jam setelah
konsumsi aspirin. Namun ada yang menyebutkan bahwa
aspmn tidak boleh digunakan selama menyusui jika
diberikan dalam waktu lama dengan dosis lebih dari 2,4 g
pada bayi berusia kurang dari 2 bulan. Namun jika harus I
menggunakan untuk periode lama dianjurkan untuk
berhenti menyusui.
Diklofenat
Diklofenak tidak terdeteksi pada ASI untuk pemberian
100 mg/hari namun pada pemberian 150 mg/hari
didapatkan konsentrasi lOOµg/L di ASL Mempunyai waktu
paruh yang singkat, disekresi ke ASI sangat minimal serta
tidak ada metabolit aktif sehingga aman untuk menyusui.
Ibuprofen
Ibuprofen mempunyai waktu paruh eliminasi sekitar 2
jam pada orang dewasa dan hasil metabolisnya merupakan
307
produk inaktif. Rasia ASI/Plasma (M/P rasio) dilaporkan
sangat rendah. Suatu penelitian yang mengukur ibuprofen
pada serum dan AS! pada pasien pasca seksio sesarea yang
·
mendapatkan ibuprofen 400mg/6jam dan terdeteksi sangat
··
rendah yaitu < 1,0 mg/ L sehingga aman digunakan.
Indometasin
Indometasin mempunyai waktu paruh 4-5 jam dengan
M/P rasio 0,01-1,48 sehingga relatif aman untuk bayi.
Namun dilaporkan kejadian kejang pada neonatus dengan
ibu yang mendapat terapi indometasin 200mg/hari selama 3
hari dimana pada kasus ini konsentrasi plasma dan ASI
indometasin tidak dapat ditentukan tapi terdeteksi pada urin
neonatus. American Academy of Pediatrics menyebutkan
bahwa obat ini cocok pada ibu yang rnenyusui namun harus
dihindari pada ibu dengan riwayat konvulsi sebelumnya.
COX-2 inhibitor (COXIB)
COX-2 inhibitor efektif sebagai analgesia pascabedah,
menurunkan skor nyeri dan konsumsi analgesia
pascabedah. Efek inhibisi fungsi platelet yang Jebih kurang
dibanding NSAID sehingga dapat dijadikan alternatif untuk
nyeri pasca seksio sesarea tapi dampaknya pada ASI belum
dievaluasi.
Neuroaksial
Teknik neuroaksial telah berkembang dan menjadi
salah satu teknik analgesia pasca seksio sesarea. Di Inggris
94,9% regional analgesia digunakan untuk seksio sesarea
elektif dan 86,7% untuk seksio sesarea emergensi,
penambahan opioid seperti morfin pada intratekal atau
epidural mudah dilakukan dan nampaknya efektif untuk
memperpanjang analgesia pasca bedah.
Fentanil yang kelarutannya dalam lemak tinggi relatif
cepat diserap ke kornu dorsalis sehingga onset aksi lebih
cepat. Hal ini juga menyebabkan konsentrasinya lebih
rendah pada cairan serebrospinal dan resiko obat berdifusi
ke tingkat spinal yang lebih tinggi jarang, dengan alasan ini
308
sehingga efek fentanil dapat segmental. Morfin merupakan
opioid berionisasi tinggi clan hidrofilik scrta tidak "U
m
berpenetrasi ke jaringan kaya lcrnak sehingga lebih lama z
G)
pada cairan serebrospinal. Sufentanil mempunyai afinitas m
r
0
yang lebh tinggi tcrhadap mu reseptor dan lebih larut lemak r
dibanding fentanil. �
z
Opioid ke sirkulasi sisternik pasca pernberian intratekal z
-<
m
nampaknya tidak signifikan karena dosis yang diberikan

relatif kecil. Hal ini menjadi penting untuk ibu yang
menyusui dan menjadi keuntungan terapi nyeri neuroaksial �
dibanding besarnya dosis jika pemberiannya sistemik pada �
(/)
pasien pasca seksio sesarea. m
Epidural fentanil mungkin bekerja pada tingkat @
supraspinal (melalui hantaran sistemik) dan spinal. 5
(/)
Konsentrasi dalam darah tergantung besarnya dinamika m
aliran dalam pleksus vena epidural dan arteri spinal. Ini i
dapat dilihat pada terganggunya aliran vena kava inferior �
saat kompresi aortokaval selama kehamilan dimana aliran
dari pelvis dan ekstremitas bawah dapat teredistribusi ke
sistem azygos melalui pleksus epidural menyebabkan
peningkatan aliran dan hantaran obat ke sirkulasi sistemik
selama kehamilan.
Interaksi Opioid dengan Anestetik Lokal
Kombinasi antara anestetik lokal dan opioid untuk I
kontrol nyeri pascabedah dapat mereduksi dosis keduanya
sehingga efek samping masing-masing dapat dikurangi.
Pasca seksio sesarea, pasien yang mendapatkan epidural
fentanil tunggal masih merasa nyeri, lebih mual muntah,
terjadi retensi urine, dan tidak nyaman.
Opioid Intratekal
Morfin, fentanil, meperidin, sufentanil dapat digunakan
intratekal sebagai analgesia pasca seksio sesarea. Dosis
tunggal morfin intratekal dapat menghasilkan analgesia yang
sempurna dengan pemanjangan durasi yang optimal. Dosis
yang dapat digunakan 0,075 mg-0,5 mg mampu
menghasilkan analgesia berkualitas hingga 24 jam pasca
309
seksio sesarea. Namun ada beberapa ceiling effect pada dosis
intratekal opioid sebagai analgesia. Suatu meta analisa
menunjukkan efikasi morfin dosis 0, 1-0,2 mg tapi tidak ada
tarnbahan perbaikan terapi nyeri pada dosis>0,2 mg dengan
rata-rata pemberian analgetik tambahan pert.arna kali pada
jam ke 27 dan kontras pada dosis <O, 1 mg narnpaknya
kurang berefek terhadap kontrol nyeri yang optimal. Efek
samping rnorfin intratekal yang dilaporkan berupa pruritus,
mual muntah, sedasi dan depresi napas. Dahl dkk
menyebutkan bahwa insiden efek samping meningkat pada
dosis 0,05-0,25 mg. Secara klinis, depresi napas jarang
terjadi pada opioid intratekal baik pada penggunaan morfin ,
?:�·,:·�--�
fentanil, sufentanil maupun buprenorfin.
=. ,.
Fentanil yang diberikan secara intratekal mempunyai
(��'-,,..:,, durasi analgesia yang relatif singkat. Rata-rata analgesia
t1:��{}: · efektif hanya 200 menit. Analgesia awal (0-6 jam pasca
?'.:>-
�.-r. seksio sesarea) nampak lebih baik dengan sufentanyl (2,5-5
��:_'.>· µg) dibanding fentanyl (10 µg). Obat-obatan yang Iarut lemak
seperti fentanil dan sufentanil nampaknya tidak menjadi
j�;i:'' predisposisi mual-rnuntah pasca seksio sesarea namun
dapat menyebabkan pruritus tapi tidak sehebat pruritus
pada morfin.
Meperidin, diamorfin, buprenorfin dan nalbufin jarang
digunakan secara intratekal untuk kontrol nyeri pasca
seksio sesarea. Meperidin mempunyai efek yang unik yang
menyerupai efek anastetik lokal yaitu menyebabkan
blockade motorik sehingga dapat saja digunakan sebagai
agen tunggal untuk blok intratekal prosedur seksio sesarea.
Opioid Epidural
Opioid epidural pada seksio sesarea dapat diberikan
secara bolus atau infus kontinyu untuk kontrol nyeri pasca
bedah. Pada beberapa pasien ditemukan bahwa kateter
epidural dan alat infus menghalangi aktifitas mereka.
Walaupun demikian epidural opioid tunggal infus kontinyu
maupun dikombinasikan dengan anestetik lokal
menghasilkan analgesia yang berkualitas. Penambahan dosis
310
kccil ancstetik lokal mcnghasilkan analgesia lebih baik
dibanding fentanil tunggal. -0
m
Epidural morfin dilaporkan pertama kali pada tahun z
G)
1979 oleh Behar dkk. Morfin tetap mcnjadi pilihan terutama m
r
0
pada epidural opioid pemberian tunggal karcna durasi lama
tapi beronset lam bat dengan dosis optimal 3, 75 mg untuk �
z
analgesia pa sea seksio sesarea" dan dosis hingga 5 mg tidak z
meningkatkan efek analgesia serta dosis dibawah 3,75 mg �
:!:!
untuk menghasilkan efek analgesia yang optimal masih

diperlukan opioid sistemik. Epidural morfin pada dosis en
o
tunggal 3-5 memberikan analgesia yang sempurna hingga 24 l>
jam pasca seksio sesarea dengan efek samping seperti en
m
depresi napas (0,33%-0,4%,), pruritus (62%-93%), mual @
(6,3'Yo- 70%), muntah ( 17%-52'Yu} dan retensi urine(4°/c,-39"/c,) 0
en
yang tidak hanya membutuhkan intervensi medis tapi juga m
dapat menurunkan kepuasan pasien. Opioid yang lipofilik �
::0
yang beronset cepat lebih banyak digunakan intraoperatif. �
Patient Control Epidural Analgesia (PCEA) dan Continous
Epidural Analgesia (CEI)
Patient controlled epidural analgesia (PCEA) dan
continous epidural analgesia (CE!) merupakan salah satu
metode kontrol nyeri yang penggunaannya semakin popular
sejak teknik epidural atau kombinasi spinal epidural
digunakan sebagai teknik anestesi seksio sesarea.
Bupivakain merupakan anestetik lokal yang paling sering
digunakan pada praktek obstetrik tapi penggunaannya
berhubungan dengan blokade motorik yang signifikan.


Levobupivakain mempunyai toksisitas yang lebih rendah
dibanding bupivakain namun tidak ada data yang cukup
tentang penggunaannya pada PCEA pasca seksio sesarea.
Ropivakain lebih popular pada obstetrik yang sering
digunakan selama persalinan dan PCEA pasca seksio
sesarea dengan efek blokade motorik yang lebih sedikit dan
toksisitas yang lebih rendah pada ibu dan bayinya. Penelitian
yang dilakukan oleh Polley dkk menyimpulkan bahwa
ropivakain dan levobupivakain mempunyai potensi yang
sama jika digunakan pada epidural selama persalinan.
311
Kornbinasi anestetik lokal dan opioid nampaknya
menghasilkan efek analgesia ranpa blokadc motor ik yang
rnenjadi sangat penting pada periode pasca seksio sesarea
sehingga ibu dapat merawat bayinya. Konsentrasi yang
ropivak.ain dan bupivakain yang rendah (0,05% dan 0, 1 %)
dengan fentanil 4mc/ml dapat digunakan pada PCEA pasca
pembedahan abdominal.
Lokal (Intrawound) Analgesia
Infiltrasi obat anastetik lokal di tempat insisi
merupakan teknik untuk mendapatkan kualitas analgesia
yang lebih baik dan secara signifikan menurunkan konsumsi
analgetik sistemik pada 24 jam pertama. Karena durasi
analgesia yang terbatas (<5 jam) sehingga teknik infiltrasi
kontinyu dapat dipertimbangkan dan teknik ini tidak
menyebabkan resiko dehisensi Iuka atau infeksi. Namun
pemberian kontinyu anestetik lokal pada Iuka operasi
menjadi terbatas karena perlu penggantian dressing yang
lebih sering karena adanya kebocoran cairan anestetik dari
Iuka.
Banyak penelitian yang memperlihatkan efikasi
analgesia infiltrasi ropivakain pada Iuka operasi tanpa ada
overdosis, toksisitas terhadap kardiovaskuler dan neurologis .
Dari semua teknik analgesia pasca seksio sesarea,
nampaknya teknik ini yang paling mudah diaplikasikan
karena efikasinya yang tak terbantahkan, sederhana, dan
juga mudah dilakukan oleh obstetrisian.
Analgesia Preventif Multimodal
Analgesia preventif bertujuan untuk menekankan
neuroplastisitas sentral ditimbulkan oleh stimulus noksius
sebelum insisi (prabedah), intraoperatif, dan pascabedah.
Tujuan analgesia preventif adalah untuk mengurangi
sensitisasi sentral akibat input rangsang kuat (noxious) yang
timbul pada seluruh periode perioperatif, dan bukan hanya
yang berasal dari insisi bedah. Jadi, analgesia preventif
merupakan definisi yang lebih luas dari analgesia preemptif,
dan meliputi semua rejimen analgetik perioperatif yang
312
dapat mengendalikan atau mengurangi proses sensitisasi
akibat pembedahan. Katz dan McCartney mcnganalisis 27
studi klinis yang mengevaluasi analgesia prcventif dan
melaporkan adanya manfaat analgesia preventif. Penemuan
ini mcnyoroti pentingnya pernberian modalitas tcrapi bukan
hanya untuk insisi bedah, namun juga untuk
memperpanjang efek analgesia hingga periode pascabedah.
Analgesia preventif yang adekuat harus mencakup teknik n
analgesia multimodal yang ditujukan untuk mengurangi ,::!
sensitisasi perifer dan sentral dengan durasi terapi yang 6
(
cukup. Analgesia multimodal preventif yang efektif berguna ):
(J
dalam mengurangi bukan hanya nyeri akut, namun juga n
nyeri kronis pascabedah dan gangguan fungsi. 6
c
CJ
Daftar Pustaka

1. Abdallah FW, Halpern SH, Margarido CB. Transversus ::i:
abdominis plane block for postoperative analgesia after �
caesarean delivery performed under spinal anaesthesia? A
systemic review and meta-analysis. Br.J Anaesth 2012: 1-
9.
2. Bell EA, Jones BP, Olufalabi AJ, Dexter F, Bute BP,
Greengrass RA, et al. Iliohypogastric-ilioinguinal
peripheral nerve block for post-cesarean delivery
decreases morphine use but not opioid-related side
effects. Can J Anesth 2002;49(7):694- 700. I
3. Donnell JG, Curley G, Carney J, Benton A, Costello J,
Maharaj CH, et al. The analgesic efficacy of transvenosus
abdominis plane block after cesarean delivery: a
randomized controlled trial. Obstetric Anesthesiology
2008; 106(1): 186-91.
4. Fong WP, Yang LC, Wu JI, Chen HS, Tan PH. Does
celecoxib have pre-emptive analgesic effect caesarean
section surgery>. Br. J Anaesth 2012:861-2.
5. Gadsden J, Hart S, Santos AC. Post-cesarean delivery
analgesia. Anest Analg 2005;101:62-9.
6. Ismail S. What is new in postoperative analgesia after
cesarean section?. Anesth, Pain & Intensive Care
2012; 16(2): 123-6.
313
7. Kuczkowski KM. Post-cesarean analgesia: quo vadis?.
Anestezjologia I Ratownictwo 2010;4:296-303.
8. Matsota P, Batistaki C, Apostolaki S, Kostopanagiotou.
Patient-controlled epidural analgesia after caesarean
section: levobupivacaine 0, 15% versus ropivacaine 0, 15%,
)> alone or combination wih fcntanyl 2 µg/ml: a comparative
z study. Arch Med Sci 2011 ;7(4):685-93.
m
� 9. Nguyen NK, Landais A, Barbaryan A, Barek MAM,
m
'� Benbaghdad Y, Gee K, et al. Analgesic efficacy of
0 pfannenstiel infiltration with ropivacain 7,Smg/ml for
DJ
caesarean section. Anesthesiology Research and Practice
:, :5
·�·
2010.doi: 10. l 155/2010/542375
10. Palmer CM, Nogami WM, Maren G, Alves OM.
Postcesarean epidural morphine: a dose response study.
Anesth Analg 2000;9(4):887-91.
11. Sausa L, Pitangui ACR, Gomes FA, Ferreira CHJ, Nakano
AMS. Measurement and characteristics of post-secarean
section pain and the relationship to limitation of physical
activities. Acta Paul Enferm 2009;22(6):741-7.
12. Spigset 0, Hagg S. Analgesics and breast-feeding.
Paediatr Drugs 2000;2(3):223-8.
13. Surakan J, Tannirandon Y. Intramuscular diclofenac for
analgesia after cesarean delivery: a randomized controlled
trial. J Med Assoc Thai 2009;92(6):733-8.
14. Vercauteren M. Analgesia after caesarean section: are
neuraxial technique outdated?. J Rom Anest Terap Int
2009; 16: 129-33.
15. Wittels B, Glosten B, Faure EAM, Moawad AH, Ismail M,
Hibbard J, et al. Postcesarean analgesia with boyh
epidural morphine and intravenous patient-controlled
analgesia: neurobehavioral outcomes among nursing
neonates. Anesth Analg l 997;85:600-6.
16. Wittels B, Glosten B, Faure EAM, Moawad AH, Ismail M,
Hibbard J, et al. Opioid antagonist adjuncts to epidural
morphine for postcesarean analgesia: maternal outcome.
Anesth Analg l 993;77:925-32.
314
BAB 31
:\\ '.>_::
- J\fa�ai�:Iit�·lt�yer� ��.:���lii-�·h:'· _ r :_':'.·,:·:·-. .. : . ).,
Ery J:-;.eksijn�;'Kaswiyan Adipradja ·. /. - . . . --· · · · _ . · · - ..
: .. �- .. · --�_-::-�' .·' --��-'·.�·�-- < .. · ·':.-.,�. -�·:.'·_�� �-�· . .: ::·. . ;·:·
Proses Persalinan
Proses persalinan adalah proses rnernbuka dan
menipisnya serviks dan turunnya janin ke jalan lahir.
Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran
janin yang terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (37-42
minggu), spontan, presentasi belakang kepala dan
berlangsung selama 18-24 jam serta tidak terjadi komplikasi
terhadap ibu ataupun janin. Proses persalinan dibagi
menjadi 4:
1. Kala I: Sejak saat persalinan dimulai sarnpai pembukaan
lengkap ( 10 cm).
Proses ini berlangsung selama 18-24 jam, dibagi dalam 2
fase:
• fase laten (± 8jam) serviks membuka 3 cm.
• fase aktif (± 7 jam) serviks membuka 3-10 cm dengan
kecepatan ± 1 cm perjam. Pada fase aktif, kontraksi
lebih sering dan kuat.
2. Kala II: Sejak pembukaan lengkap (10 cm) sampai bayi
!ahir. Proses ini berlangsung 2 jam pada primipara dan 1
jam pada multipara.
3. Kala III: Setelah bayi lahir sampai plasenta lahir,
berlangsung tidak lebih dari 30 menit.
4. Kala IV: Sejak plasenta lahir sampai 2 jam postpartum.
I
Nyeri Persalinan
Proses persalinan karakteristik dengan nyeri, kontraksi
rahim yang progresif yang disebabkan oleh dilatasi dan
penipisan leher rahim. Nyeri persalinan bervariasi baik
kualitas, intensitas maupun lokasinya, tergantung pada
tahapan persalinan.
Untuk memberikan rasa bebas nyeri pada proses
persalinan secara optimal maka pen ting bagi tim ke bidanan
untuk mengetahui mekanisme dan jaras nyeri pada proses
persalinan dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi
intensitas, durasi dan kualitas nyeri tersebut.
315
Nyeri pada persalinan kala I
Pada persalinan kala I, kontraksi uterus dan dilatasi
leher rahim menstimulasi nosiseptor rnekanis dengan
ambang rangsang tinggi, akibat distensi, regangan dan
robekan pada struktur tersebut selama berlangsungnya
kontraksi terutama bila kontraksi mencapai tekanan 25
mmHg. Prostaglandin, bradikinin dan mediator lainnya akan
dibebaskan dan akan memicu ujung bebas serat saraf.
Sensasi nyeri ini kemudian akan ditransmisikan melalui
serabut saraf A-5 yang tipis namun bermielin dan serabut
saraf C yang tidak bermielin yang bersifat aferen viseral yang
berjalan bersama dengan serabut saraf simpatik menuju
pleksus uterus dan cervix, pleksus hipogastrik inferior,
media dan superior serta pleksus aorta, kemudian melewati
rantai simpatetik lumbar, terus kearah sefalad melalui rantai
simpatetik thoracal bawah melalui ramus communican saraf
spinal T-10, T-11, T-12 dan L-1. Badan sel dari serabut
aferen ini terclapat dalam ganglion radik dorsalis. Serabut
aferen akhirnya melewati radik posterior saraf spinal
tersebut untuk bersinaps dengan interneuron di kornu
dorsalis. (Gambar 1.)
Garn bar 1. Jaras nosiseptif perifer tang terlibat dalarn persalinan
Nyeri persalinan kala I dirujuk ke dermatom-dermatom
yang dipasok oleh segmen medula spinalis yang sama
dengan yang menerima input dari uterus dan Ieher rahim.
Pada fase awal dari kala I persalinan, nyeri dirasakan seperti
aching dan terbatas pada dermatom T-11 dan T-12. Seiring
dengan majunya proses persalinan menuju fase aktif dari
316
kala 1, nyeri pada dermatom T-11 dan T-12 menjadi semakin
hebat, digarnbarkan sebagai nyeri yang tajarn, seperti kram
dan men ye bar ke dermatom T-10 dan L-1. (Garn bar 2.)
I \
I \
:l•.J, / .;:;--�'\ ··�·)
0··:c:/i i -, _ ··:/
\ ,.
r. I I /
,

._\, ' -,
\. . I\ \ { I
} ). , .---,-... I ; -, I
,1.t111.1·.-::.,,,.,:.1
\i(\'l(
"""'"' Wl�
,(<; l/) \ill'
,.,., .. , ... ,, . . ,, L.J,.•. ,., D, ...... ,,.lilW,-�,,,
Gambar 2. Distribusi nyeri selarna persalinan
Nyeri pada persalinan kala II
Saat leher rahim berdilatasi secara maksimal, stimulus
yang berasal dari struktur ini berkurang, akan tetapi
kontraksi dari badan uterus dan distensi dari segmen bawah
rahim masih berlangsung, menyebabkan rasa nyeri pada
dermatom yang sama seperti pada kala I. Lagi pula, dengan
bertambah besarnya tekanan dari presenting part pada
struktur-struktur yang peka nyeri pada pelvis serta distensi
dari jalan keluar dan perineum menjadikan suatu sumber
nyeri yang baru. Bertambahnya distensi secara progresif
menyebabkan regangan yang hebat, robekan pada fasia dan
jaringan subkutan serta penekanan pada otot rangka
perineum. Dalam persalinan kala I ini nyeri ditransmisikan
juga secara somatik melalui segmen spinal S2-S5. Nyeri
perineum ini dirasakan tajam dan terlokalisir, terutama pada
area yang dipersarafi oleh nervus pudendus. (Gambar 1.)
Pad a akhir kala I dan selama kala II, parturien
mengalami aching, rasa panas seperti terbakar atau kram,
rasa tidak nyaman pada paha bahkan juga tungkai bawah
sebagai akibat stimulasi pada struktur peka nyeri dalam
pelvis, termasuk traksi pada peritoneum parietale pelvis dan
ligamentum uterina, regangan dari ligamentum, fasia dan
,17
otot-otot dalarn rnner;a pelvis dan penekanan pada satu atau
lebih radik dari pleksus lurnbosakral. Faktor-faktor ini
biasanya hanya menimbulkan nyeri alih yang ringan ke
segmen lumbar bagian bawah dan sacral. (Gambar 2.) Akan
tetapi jika fetus berada dalam posisi yang abnormal nyeri
alih ini dapat menjadi Iebih berat.
)>
z
m
Cl) Nyeri episiotomi
Banyak dokter kebidanan dan juga bidan melakukan
fa"""' episiotomi untuk memfasilitasi persalinan, terutama pada
0 primipara, meskipun kadang-kadang juga dilakukan pada
ID
Cl)
multipara. Episiotomi profilaksis dilakukan untuk
m mengurangi Jamanya kala II dari proses persalinan, untuk
·a? melindungi terjadinya robekan, dan juga untuk memfasilitasi
pemakaian forcep bila diperlukan. Nyeri episiotomi ini juga
ditransmisikan melalui cabang dari nervus pudendus.
(Gambar 1. dan 2.)
Nyeri pada persalinan kala III dan IV
Nyeri selama kala III dan IV dari proses persalinan
menggambarkan stimulus nyeri seperti sebelumnya yang
menyertai pelepasan plasenta. Hiperalgesia mekanik dapat
menetap selama beberapa hari setelah insisi jaringan, seperti
episiotomi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri persalinan
Sebagai tambahan dari peranan faktor intrinsik seperti
intensitas, durasi, pola kontraksi dan mekanisme fisiologis
dan biokimia yang berkaitan, berat dan derajat nyeri yang
berkaitan dengan proses persalinan juga dipengaruhi oleh
faktor fisik, psikologis, emosi dan motivasi.
Efek dari Nyeri Persalinan
Nyeri persalinan menimbulkan respons stimulasi
maternal yang nyata pada pernapasan, sirkulasi, metabolik
dan mekanisme psikodinamis. Perubahan maternal ini juga
dapat menimbulkan kerugian pada fetus dan bayi yang baru
lahir.
Ventilasi
Nyeri persalinan merupakan suatu stimulus
pernapasan yang kuat, sehingga menyebabkan peningkatan
318
yang nyata dari volume tidal dan ventilasi semenit. Akibat
terjadinya hipervcntilasi ini, PaC02 menurun dari nilai
normal pada wanita hamil 32 mmHg menjadi 16 - 20 mmHg,
bahkan hingga l 0-15 mmHg, yang disertai pula dcngan
terjadinya peningkatan pH menjadi 7.55 - 7.60. Keadaan ini,
potensial menyebabkan terjadinya hipoksemia pada fetus
akibat vasokonstriksi uteroplasental dan fetoplascntal serta
pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin maternal ke kiri,
yang menyebabkan ikatan 02 yang lebih kuat pada
hemoglobin maternal dan mengganggu transfer 0:2
transplasental kc fetus.
Keadaan hipokarbia ini juga dapat menyebabkan
terjadinya keadaan hipoventilasi diantara kontraksi yang
dapat menimbulkan hipoksemia maternal dan fetal.
Kebutuhan oksigen
Kebutuhan oksigcn selama kala I meningkat 40% dan
selama kala II meningkat 75%.
Kardiovaskuler
Persalinan meningkatkan curah jantung maternal
secara progresif, peningkatan ini terutama disebabkan oleh
peningkatan volume sekuncup. Empat puluh hingga lima
puluh persen dari peningkatan curah jantung selama
tcrjadinya kontraksi rahim disebabkan oleh terjadinya .

autotransfusi darah dari rahim, sebanyak 250 - 300 ml, yang
.
akan meningkatkan venous return dari pelvis dan anggota
gerak bawah menuju sirkulasi sentral maternal. Sedangkan
sisanya disebabkan oleh terjadinya peningkatan aktifitas
simpatis yang dicetuskan oleh nyeri, kecemasan,
kekhawatiran dan aktifitas fisik selama persalinan.
Peningkatan curah jantung dan tekanan darah sistolik
menyebabkan peningkatan kerja ventrikel kiri, yang dapat
:litoleransi oleh parturien yang sehat, akan tetapi dapat
berbahaya pada parturien dengan penyakit jantung,
nipertensi yang dicetuskan oleh kehamilan, hipertensi
esensial, hipertensi paru, dan anemia berat.
�etabolik
Selama kala I dan II dari proses persalinan, kadar asam
emak bebas dan asam laktat meningkat secara bermakna,
sebagai basil dari pelepasan katekolamin yang dicetuskan
319
oleh nyeri dan sebagai konsckucnsi dari lipoliais yang
dicetuskan oleh rangsang simpatis.
Selama kala II dari proses persalinan, asidosis maternal
dihasilkan dari nyeri dan aktifitas fisik, yang tidak dapat
dipisahkan dalam usaha untuk meneran selama persalinan.
Meningkatnya kon sumsi oksigen, bersamaan dengan
kehilangan bikarbonat dari ginjal sebagai kompensasi dari
alkalosis respiratorik yang dicetuskan oleh nyeri, dan
kadang-kadang disertai dengan kurangnya asupan
karbohidrat, menghasilkan asidosis metabolik yang progresif
yang kemudian ditransfer ke fetus.
Nyeri persalinan juga mempengaruhi saluran cerna.
Pelepasan gastrin, yang dirangsang selama persalinan yang
nyeri, menghasilkan peningkatan sekresi asam lambung.
Terlebih lagi, nyeri dan kecemasan serta stres emosi,
menghasilkan penghambatan reflek segmental dan
suprasegmental dengan akibat terjadinya kelambatan
pengosongan lambung. Ditambah lagi dengan posrsi
berbaring dan penggunaan opioid dan obat-obat depresan
lainnya. Kombinasi dari nyeri dengan obat depresan dapat
menyebabkan makanan dan cairan lain selain air dapat
tertahan selama lebih dari 36 jam. Selama periode ini, udara
yang tertelan dan cairan lambung berakumulasi secara
progresif, dengan pH isi lambung menurun dibawah nilai
kritis 2.5 pada kebanyakan parturien. Semua peristiwa ini
akan meningkatkan resiko terjadinya regurgitasi dan
aspirasi isi lambung pada waktu induksi anestesi umum.
Efek psikologis
Nyeri persalinan yang hebat dapat menghasilkan
gangguan emosi jangka panjang, yang dapat mengganggu
kesehatan mental parturien, pengaruh negatif dalam
hubungannya dengan bayinya selama beberapa hari
pertama, dan menyebabkan ketakutan akan kehamilan yang
akan datang, yang dapat mempengaruhi hubungan seksual
dengan suaminya.
Efek pada aktifitas rahim dan proses persalinan
Meningkatnya sekresi katekolamin dan kortisol, nyeri
dan stres emosi dapat meningkatkan atau menurunkan
kontraktilitas rahim, sehingga mempengaruhi lamanya
proses persalinan. Norepinephrine meningkatkan aktifitas
320
rahim, sedangkan epinephrine dan kortisol mcnurunkan
aktifitas rahirn.
Pada sejurnlah kecil parturien, nyeri dan keccrnasan
menimbulkan kontraksi rahim yang tidak terkoordinasi,
dengan manifestasi pcnurunan intensitas disertai dengan
peningkatan frekuensi dan tonus rahirn.
Efek pada fetus
Selama proses persalinan, terjadinya penurunan aliran
darah intervili secara intermiten selama puncak kontraksi
menyebabkan berkurangnya pertukaran gas pada plasenta
sccara sementara. Gangguan ini kadang diperberat oleh
hipervcntilasi hebat yang dicetuskan oleh nyeri, yang
menyebabkan alkalosis respiratorik dengan akibat:
a. pergcseran kurva disosisasi oksigen maternal kc kiri,
yang dapat mengurangi transfer oksigen dari ibu ke fetus
b. hipoksemia maternal selama periodc relaksasi rahim
c. vasokonstriksi umbilikus dengan konsckuensi
penurunan aliran darah umbilikus.
d. pengurangan aliran darah rahim, yang dicetuskan oleh
peningkatan pelepasan norepinephrine dan kortisol.
Pada keadaan persalinan normal, rangkaian gangguan
pertukaran gas yang intermiten dan sementara dapat
ditoleransi oleh fetus normal, karena cadangan oksigen
dalam sirkulasi fetus dan ruang intervili mencukupi untuk
menjaga oksigenasi fetus secara adekuat selama periode
hipoperfusi plasenta yang singkat. Terlebih lagi, fetus dapat I
mengkompensasikannya dengan meningkatkan proporsi
curah jantung yang didistribusikan ke otot jantung dan otak.
Jika faktor-faktor yang merugikan tersebut dikombinasikan
dengan meningkatnya aktifitas rahim yang berlebihan, maka
dapat terjadi hipoksia, hiperkapnea dan asidosis pada fetus,
yang masih dapat ditolerir oleh fetus normal, meskipun
kemampuan untuk bertahan terhadap kekurangan oksigen
tersebut terbatas.
Tetapi, jika fetus telah mempunyai resiko karena
komplikasi obstetrik atau maternal (misalnya, pre-eklamsia,
penyakit jantung, diabetes mellitus), maka berkurangnya
transfer oksigen dan C02 yang dicetuskan oleh nyeri
merupakan faktor kritis yang dapat menimbulkan morbiditas
perinatal bahkan menimbulkan mortalitas. Asidosis
metabolik maternal yang ditransfer ke fetus, membuatnya
1?1
lebih rentan tcrhadap pcngaruh asfiksia inrrauterin yang
disebabkan oleh kornpresi, prolaps urnbilikus ataupun
komplikasi obstetrik Iainnya.
Berbagai cara untuk menghilangkan rasa sakit persalinan
Analgesia Psikologis
}>
z Termasuk didalamnya adalah metode persalinan
m alamiah dan psikoprofilaksis, dimana keduanya mcmiliki
� dasar fisioterapeutik dan psikofisiologis yang sama. Mereka
m
Y1 beranggapan bahwa nyeri persalinan dicetuskan secara
0 sosial dengan adanya pengharapan-pengharapan dari
OJ
� persalinan, sedangkan persalinan itu sendiri tidak
m
-� merupakan suatu proses yang menyakitkan karena tidak
� ada fungsi fisiologis dari tubuh yang dapat menimbulkan
nyeri pada kehidupan yang normal. Grantly Dick-Read
menekankan adanya "fear-tension-pain syndrome'', dimana
ketakutan akan menimbulkan ketegangan pada otot-otot
sirkuler dari bagian bawah rahim, dan ketegangan inilah
yang akan menimbulkan nyeri. Untuk menghilangkan nyeri,
teknik-teknik 1111 menganjurkan untuk mengubah
pengharapan-pengharapan yang salah tentang persalinan
dan menggunakan teknik relaksasi, diantaranya latihan
pernapasan dengan bernapas cepat dan dalam pada setiap
kontraksi dan menahan napas selama proses mengedan.
Velvovsky mengungkapkan adanya "conditioned reflex labor
pain" dimana nyeri kortikal dihasilkan dari impuls saraf
ll pada proses persalinan dan dirasakan sebagai nyeri karena
adanya gangguan proses eksitasi-inhibisi pada kortek dan
subkortek. Lamaze dalam programnya menambahkan juga
informasi mengenai anatomi dan fisiologi normal dari
kehamilan dan persalinan serta mendukung partisipasi
suami dalam proses persalinan untuk memberikan
dukungan dan mengingatkan penggunaan teknik
pernapasan. Namun dengan teknik-teknik ini tidak seluruh
nyeri dihilangkan, akan tetapi dapat dikurangi. Manfaat
utama dari metode ini adalah berkurangnya kecemasan
serta meningkatnya kemampuan parturien untuk mengatasi
semua proses dan mengendalikan perilakunya. Namun
Melzack menyimpulkan bahwa cara terbaik dan logis untuk
mengontrol nyeri selama proses persalinan adalah jika
latihan persiapan persalinan dikombinasikan dengan
analgesia regional.
322
Hipnosis
Hipnosis telah lama digunakan untuk mengurangi serta
menghilangkan nyeri persalinan, dan mempunyai beberapa
keuntungan, diantaranya:
a. tidak mempengaruhi reflek jalan napas maupun
mengganggu kesadaran serta menimbulkan hipoventilasi. :l:
)>
b. tidak menimbulkan hipotensi maupun menurunkan
perfusi uteroplasental. �
m
c. tidak mendepresi neonatus. 3:::
m
Hipnosis bagi wanita hamil dimulai dengan persiapan z
z
awal pada kurang lebih bulan kelima atau keenam dan -<
m
selanjutnya setiap 2-4 minggu. Hipnosis dapat 211
meningkatkan ambang rangsang terhadap nyeri pada "CJ
parturien yang rentan dan hasil akhir yang lebih baik gJ
ditimbulkan dari berkurangnya perscpsi nyeri dan juga �
r
toleransi yang Jebih tinggi terhadap nyeri. Untuk z
)>
memberikan kesan pada parturien tentang apa yang mereka z
harapkan selama persiapan dan pada saat persalinan, maka
istilah yang dipakai adalah relaksasi medis dan bukannya
hipnosis.
Akupuntur
Akupuntur Cina berdasarkan kepercayaan bahwa
energi chi (qi) yang berjalan pada 12 meridian. Ada 2 bentuk
energi, yin dan yang, yang harus berada dalam
keseimbangan; ketidak seirnbangan dapat menyebabkan
penyakit dan nyeri. Keseimbangan ini dapat dipulihkan I
kembali dengan menusukkan jarum pada titik-titik
akupuntur, yang berada pada meridian, dan dengan halus
menggetarkannya. Akupuntur dapat menimbulkan suatu
keadaan hipoalgesia, yang bervariasi berdasarkan ambang
nyeri penderita, yang dimediasikan oleh opioid endogen
(endorphin). Namun, tidak dapat menghilangkan nyeri
dengan komplit, tidak konsisten, tidak dapat diduga efeknya,
serta membutuhkan waktu. Keberhasilannya ditentukan
oleh seleksi serta motivasi penderita.
Meskipun penggunaan analgesia akupuntur untuk
pembedahan mendapat perhatian besar di Cina, akan tetapi
mereka tidak menggunakannya untuk analgesia pada
persalinan normal karena alasan budaya, dimana persalinan
dianggap suatu proses fi.siologis dan tidak membutuhkan
analgesia.
323
Hidroterapi (berada di air)
Air dapat membantu agar santai dan membuat
kontraksi kurang menyakitkan. Suhu air diatur, tidak lebih
dari 37° C agar terasa hangat dan nyaman dan suhu tubuh
ibu harus selalu dipantau.
Gas dan udara (Entonox)
• Merupakan campuran Oksigen dan gas Nitrous oxida.
• Cara kerja: Pasien menghirup gas dan udara melalui
masker. Mula kerja 15-20 detik, dihirup hanya pada saat
kontraksi.
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)
TENS merupakan teknik non-farmakologis lain, namun
penelitian klinis untuk analgesia pada persalinan masih
terbatas. Penggunaan TENS dalam kedokteran modern
berdasarkan pad a gate-control theory of pain, dimana dimana
sel-sel pada kolumna dorsalis dari gray matter medula
spinalis berfungsi sebagai gerbang. Aktifitas pada serabut
saraf aferen yang berdiameter besar dengan ambang
rangsang rendah (tidak menghantarkan nyeri) akan menutup
gerbang ke jaras nyeri. Pengalaman nyeri dikendalikan oleh
keseimbangan antara aktifitas pada serabut saraf aferen
yang berdiameter besar dengan ambang rangsang rendah,
yang tidak mempunyai fungsi nyeri, dan serabut nyeri
aferen. Selain itu, TENS juga diduga bekerja dengan
meningkatkan pelepasan opioid endogen.
Pasangan elektrode pertama biasanya ditempatkan
pada kulit diatas vertebra TIO-LI, dimana salah satu
elektrode ditempatkan sedikit lateral dari garis tengah.
Sedangkan pasangan elektrode kedua ditempatkan pada
kulit diatas kedua sisi dari vertebra S2- 84. Stimulus dengan
intensitas rendah-frekuensi tinggi (60-80Hz) diberikan secara
terus menerus melalui electrode diatas. Segera setelah
parturien merasakan nyeri yang lebih hebat akibat kontraksi
otot rahim, stimulus ditingkatkan hingga dirasakan sensasi
tingling. Umumnya TENS menghilangkan sebagian nyeri
selama kala I dari proses persalinan, namun kurang efektif
pada kala II. Diduga penempatan TENS pada titik akupuntur
akan lebih efisien.
324
------------
.
.. ,,. ·.
TENS
' "' ·- Electrode
Placement
.. .
.'
Teknik Analgesia Farmakologis Sederhana
Nyeri ringan selama awal kala I dari proses persalinan
dapat dihilangkan dengan pemberian nasehat yang
dikombinasikan dengan pemberian obat-obatan secara
sistemik, seperti sedatif, tranquilizer, bahkan opioid.
Pemberian obat-obatan secara sistemik ini merupakan ha!
yang umum terjadi, karena:
a. cara pemberian yang sederhana dan tidak memerlukan
personel anestesi
b. hanya membutuhkan pemantauan yang minimal
c. insidens komplikasi yang rendah
d. analgesia neuraksial mungkin tidak tersedia pada semua I
rumah sakit
e. analgesia regional dikontraindikasikan pada keadaan-
keadaan tertentu
f. beberapa parturien takut dengan pemakaian analgesia
regional
Namun pemberian obat-obatan secara sistemik juga
mempunyai beberapa kerugian diantaranya:
a. jarang memberikan analgesia secara sempurna
b. menyebabkan sedasi dengan kemungkinan depresi napas
pada parturien dan neonatus
c. menghambat pengosongan lambung dan dapat
mencetuskan timbulnya mual/muntah
d. berkaitan dengan efek merugikan pada fetus dan
neonatus (hilangnya beat-to-beat variability, perubahan
neurobehavioral)
325
Opioid
Timbulnya nyeri derajat sedang selama fase aktif dari
persalinan biasanya membutuhkan opioid. Dengan
pemberian opioid, parturien dapat Jebih mentolerir nyeri
persalinan akan tetapi tidak dapat memberikan analgesia
secara sernpurna.
Namun pemberian pemberian opioid secara sistemik
menjadi kurang populer karena sering tirnbulnya efek
samping pada ibu (misalnya; mual, muntah, melambatnya
pengosongan lambung, disforia, mengantuk, hipoventilasi),
serta potensi timbulnya efek samping pada neonatus.
Manfaat analgesia dan insidens terjadinya efek samping
lebih tergantung pada besarnya dosis dari pada jenis opioid.
Kemungkinan terjadinya depresi napas pada neonatus juga
tergantung pada cara dan interval waktu pemberiannya
dengan saat persalinan, dosis serta kecepatan metabolisme
maternal karena akan mempengaruhi ambilan maternal dan
transfer opioid melalui plasenta. Depresi neonatus, maksimal
terjadi 2 hingga 3 jam setelah pemberian injeksi meperidine
secara intravena, dan jika diberikan dalam waktu kurang
dari 1 jam dengan persalinan jarang terjadi depresi
neonatus.
Injeksi secara subkutis dan intramuskuler tidak hanya
menimbulkan nyeri, tetapi juga absorbsinya bervariasi
tergantung sirkulasi dari tempat injeksi, sehingga
menghasilkan mula kerja, kualitas dan masa kerja analgesia
yang bervariasi.
Pemberian secara intravena memberikan beberapa
keuntungan, diantaranya mula kerja analgesia lebih cepat,
besamya dosis dapat dititrasi untuk mencapai efek yang
diinginkan serta konsentrasi puncak dalam plasma yang
kurang bervariasi. Pemberian opioid dengan menggunakan
PCA untuk analgesia pada proses persalinan mempunyai
beberapa keuntungan, diantaranya:
a. mampu menghilangkan nyeri secara lebih baik dengan
dosis yang lebih kecil
b. resiko depresi napas pada ibu lebih rendah dibandingkan
dengan pemberian secara bolus intravena
c. transfer obat melalui plasenta lebih rendah
d. kebutuhan akan antiemetik berkurang
e. tingkat kepuasan penderita yang lebih tinggi
326
Pemberian dosis yang lebih kecil namun lebih sering,
menghasilkan konsentrasi obat dalam plasma lebih stabil
dan efek analgesia yang lebih konsistcn. Akan tetapi,
penggunaan PCA untuk analgesia pada persalinan
mempunyai keterbatasan, meskipun dengan pemberian yang
lebih sering, dosis kecil opioid tidak selalu efektif untuk
mengatasi intensitas nyeri bersalin yang berfluktuasi
terutama pada akhir kala I atau kala II dari proses
persalinan.
Tabel 1. Opioid yang digunakan dalarn analgesia pada
�salinan
Opioid Dosis lM_u_a__r�_
a j e k _ Lama kerja
Meperidine 25 mg JV/ 50 mg IM 2 - 3 jam
5 ·- 10 mnt IV / 40 - 45 mnt IM
Morfin 2 - 5 mg JV/ 10 mg IM 3-4 jam
5 mnt IV / 20 - 40 mnt IM
Fentanyl 25 - 50 meg JV/ 100 meg IM 30 - 60 mnt
2 - 3 mnt IV/ 10 mnt IM
Nalbuphine 10-20mg JV/ IM 3 -6 jam
2 - 3 mnt IV/ 15 mnt IM
Butorphanol 1 - 2 mg IV/ IM 3-4 jam
5-10 mnt IV/ IM
Pentazocine 20-40 mgJV / IM 2-3 jam
2 - 3 mnt JV/ 15-20 mnt IM
Barbiturate
Dalam stadium yang sangat dini, kecemasan dapat
diatasi dengan pemberian barbiturate secara oral atau IM,
akan tetapi, karena efek utama barbiturate adalah sedasi,
maka penggunaannya sebagai antiansietas terbatas.
Barbiturate tidak mempunyai efek analgesik, bahkan
mempunyai efek antianalgesik jika diberikan pada keadaan


nyeri dengan dosis substandar yang tanpa disertai
pemberian opioid.
Dalam dosis biasa, barbiturate hanya mempengaruhi
ventilasi maternal dan tonus rahim secara minimal. Semua
barbiturate larut dalam lemak dan dapat melewati plasenta
dengan mudah. Kadarnya dapat terukur dalam darah fetus
segera setelah pemberiannya pada ibu. Jika pemberiannya
dibatasi pada stadium dini dan proses persalinan, maka
sebuah dosis tunggal barbiturate jarang menyebabkan
depresi pada neonatus.
327
Phenothiazine
Phenothiazine sering digunakan dalam kebidanan
dalam kombinasi dengan opioid. Kombinasi ini menimbulkan
sedasi dan mengurangi mual dan muntah. Phenothiazine
rnelewati plasenta dengan cepat dan dapat menurunkan
variabilitas beat-to-beat dari denyut jantung fetus.
)>
z Yang paling banyak dipakai adalah promethazine.
m Promethazine merupakan stimulan pernapasan yang ringan,
� sehingga menghasilkan peningkatan volume semenit dan
m
� respon pernapasan terhadap C02. Efek ini dapat menekan
0
0, aksi depresi napas yang disebabkan oleh pernberian
meperidine.
Beberapa phenothiazine seperti chlorpromazine,
� promazine dan prochlorperazine jarang digunakan dalam
kebidanan karena menyebabkan blokade reseptor a-
adrenergik, yang dapat menghasilkan hipotensi maternal.
Benzodiazepine
Benzodiazepine telah digunakan untuk sedasi pada
kebidanan, tetapi tidak populer pada proses persalinan
karena efek samping yang bermakna. Diazepam dengan
mudah dapat melewati plasenta dan dapat berakumulasi
dalam fetus, dengan konsentrasi pada fetus menyamai
bahkan melebihi konsentrasi maternal. Tambahan lagi,
diazepam memiliki waktu paruh yang panjang, 24-48 jam,
serta metabolit yang aktif, desmethyldiazepam, dengan
waktu paruh yang panjang pula, 51-120 jam. Meskipun
diazepam dapat menurunkan kebutuhan opioid selama
proses persalinan, pemberian diazeparn (dengan atau tanpa
opioid) berkaitan dengan hipotonisitas, hipoaktifitas dan
depresi napas pada neonatus, juga mengganggu regulasi
suhu dan respon neonatus terhadap stres. Efek tersebut
bergantung pada besarnya dosis.
Berlainan dengan diazepam, lorazepam dan midazolam
mempunyai metabolit yang tidak aktif. Karena keduanya
menghasilkan efek amnesia yang poten, sehingga klinikus
harus menyadari akan kemungkinan berkurangnya recall
maternal terhadap persalinan, karena kebanyakan wanita
ingin mengingat pengalamannya pada waktu melahirkan.
328
Ketamine
Pemberian dosis kecil ketarnine secara intravena
maupun intramuskuler menghasilkan keadaan analgesia
disosiatif dengan atau tanpa disertai amnesia. Mula kerja
ketamine yang cepat dan lama kerja yang singkat
rnernbuatnya tidak populer untuk analgesia pada kala I dari 3::
)>
proses persalinan. Akan tetapi, ketamine dapat memberikan z
analgesia yang efektif sebelum persalinan. Ketarnine dalam l:
m
dosis kecil (10-20 mg) juga dapat diberikan sebagai 3::
m
tambahan pada penderita dengan anestcsia regional yang z
z
tidak memuaskan.

Pemberian ketamine dalam dosis kecil tidak �
menimbulkan depresi napas pada neonatus. Narnun, ,:i
m
ketamine menimbulkan efek pada tonus rahim yang ::0
bcrgantung pada besarnya dosis, dan bila digunakan dengan �
r
benar, ketarnine hanya rnenirnbulkan insiden yang rendah z
)>
akan terjadinya halusinasi maternal. z
Tabel 2. Sedatif dan nonopioid yang digunakan dalam analgesia
eada eersalinan
Ke las Obat Do sis Mula Lama
kerja kerja
Barbiturat Pen to barbital 100-200 mg PO/IM 30 - 60
mnt
Secobarbital 100 mg PO/IM
Phenothiazine Prornethazine 25 mg IV /50 mg IM 20 mnt 4-5 jam
Antihistamine Hydroxyzine 50m mg IM 30 mnt 4 jam
Benzodiazepine Diazeparn 2-5 mg IM/ 10 mg 5 mnt l - 2 jam
IM 3 -4 jam
Lorazepam 1-2 mg IV /2- 4 20 - 40 6-8jam
mg IM mnt
Midazolam 1- 5 mg IV/
bertahap
3-5 mnt 1-2 jam


Disosiatif ketamine 10-20 mg IV I 30 - 60 5 mnt
bertahap hingga 1 dtk
mg/ kg dalam 30
mnt
Teknik Analgesia dan Anestesia Regional
Pemberian analgesia dan anestesia regional selama
proses persalinan meningkat secara dramatis selama 30
tahun terakhir ini. Popularitas dari analgesia dan anestesia
regional 1111 dihasilkan dari beberapa kelebihannya
dibandingkan dengan metode Iain:
329
a. berlainan dengan pernberian narkotik dan analgesia
inhalasi, analgesia dan anestesia regional mampu
menghilangkan nyeri bersalin secara komplit pada
kebanyakan parturien.
b. bahaya aspirasi paru dari 1s1 lambung akibat anestesi
umum sangat berkurang bahkan dapat dihilangkan.
c. dengan memblokade semua nosiseptif dan jaras aferen,
mampu meniadakan reflek yang tidak diinginkan yang
diakibatkan oleh nyeri.
d. pada kebanyakan teknik, penggunaan obat anestesi lokal
pada konsentrasi rendah mampu menghasilkan blok
pada serabut nosiseptif (A-5 dan C) dengan minimal
bahkan tanpa efek pada serabut motorik dan taktil yang
berdiameter lebih besar.
e. bila diberikan dengan benar dan terhindar dari
komplikasi, analgesia dan anestesia regional tidak
menyebabkan depresi pada ibu maupun neonatus.
f. bila diberikan dengan benar, analgesia dan anestesia
regional tidak mempunyai efek klinis yang nyata pada
kemajuan proses persalinan.
g. pemberian analgesia secara epidural, bila perlu dapat
ditingkatkan untuk delivery dan dapat pula dimodifikasi
untuk bedah sesar.
h. analgesia regional rnemperbolehkan parturien untuk
tetap sadar selarna proses persalinan sehingga dapat
berpartisipasi secara aktif dalam prose persalinan
(dengan rneneran secara sadar) dan dapat segera
berhubungan dengan bayinya.
Dilain pihak, berbagai teknik analgesia dan anestesia
regional ini rnempunyai beberapa kelemahan:
a. penggunaan teknik analgesia dan anestesia regional
membutuhkan pengetahuan anatomi yang lebih dalam
dan ketrampilan yang lebih tinggi dalam pemberiannya,
dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan secara
sisternik atau anestesi umum.
b. adanya resiko kegagalan teknik, meskipun ditangan yang
berpengalaman insidennya rendah.
c. timbulnya blokade vasomotor yang tidak dapat
dipisahkan dari blok spinal, epidural maupun caudal
dapat menyebabkan terjadinya hipotensi yang bermakna
jika tidak dilakukan tindakan pencegahan.
330
ct. teknik-teknik yang menirnbulkan relaksasi otot perineum
secara prematur dapat mempengaruhi mekanisme rotasi
internal dan dapat meningkatkan insidcn posisi
occipitoposterior atau occipitotransversal.
e. Teknik-teknik yang menimbulkan analgesia pada
perineum dapat menyebabkan hilangnya impuls afferent s:
dari reflek meneran, dan jika parturien tidak diajarkan
cara meneran yang efektif maka dapat mernperpanjang �
m
kala II dari proses persalinan atau membutuhkan s::
m
tindakan forcep atau keduanya. z
f. Teknik spinal, caudal atau epidural secara lumbar dan
z
-<
m
kateter ganda, merupakan kontraindikasi relatif pada :!2
parturien dengan gangguan pembekuan darah karena
kemungkinan timbulnya perdarahan di dalam kanalis
spinal is. r
Tindakan analgesia dan anestesia regional hanya dapat
Iz
dilakukan di rumah sakit. Adapun kontraindikasi dari teknik �
analgesia dan anestesia regional adalah:
a. Jika anestesiologis tidak mempunyai ketrampilan dan
pengalaman dalam teknik, tidak mempunyai
pengetahuan tentang fisiologi dan patofisiologi pada
kehamilan serta tidak mempunyai pengetahuan tentang
cara pencegahan dan penatalaksanaan dari komplikasi
yang mungkin terjadi.
b. Adanya infeksi pada tempat injeksi atau gangguan proses
pembekuan darah atau hipovolemia serta syok yang
belum terkoreksi. I
c. Adanya penolakan dan rasa takut yang hebat dari
parturien.
d. Tidak adanya pengalaman dan penghargaan dari dokter
kebidanan tentang bagaimana teknik analgesia dan
anestesia regional mernpengaruhi penatalaksanaan
persalinan.
Untuk mencapai tujuan dari analgesia kebidanan
(menghilangkan nyeri dengan baik, dengan sedikit atau
tanpa resiko terhadap bayi ataupun pada parturien sendiri)
dengan menggunakan teknik analgesia dan anestesia
regional, maka penting bagi anestesiologis untuk memenuhi
beberapa kriteria berikut:
a. Anestesiologis harus mengerti secara mendalam tentang
jaras nyeri pada proses persalinan dan farmakologi obat
anestesi lokal harus mempunyai ketrampilan dan
331
pengalaman yang cukup tentang berbagai dan
mengetahui cara penatalaksanaan parturien selama dan
sesudah analgesia regional diberikan.
b. Anestesiologis harus mengetahui komplikasi yang
mungkin terjacli, cara-cara pencegahannya serta
penatalaksanaannya dengan segera.
c. Anestesiologis harus mernastikan bahwa tidak ada
tindakan yang climulai tanpa pernberian infus dan tanpa
tersedianya perlengkapan untuk penatalaksanaan
komplikasi dan resusitasi dengan segera.
d. Anestesiologis harus menghindari penggunaan teknik
regional bila ada kontraindikasi.
e. Kecuali pada keadaan tertentu dimana penggunaan
analgesia regional diindikasikan secara khusus dan
bermanfaat secara berrnakna dibandingkan.
f. dengan metode lainnya, analgesia regional tidak boleh
diberikan bila bertentangan dengan keinginan parturien.
g. Analgesia regional ticlak boleh climulai sebelum
kontraksinya kuat, berakhir 35 - 40 detik atau lebih clan
timbul pada interval 3 menit atau kurang, clilatasi leher
rahim yang adekuat, misalnya 5 - 6 cm untuk nullipara
clan 4 - 5 cm untuk multipara. Satu pengecualian adalah
pacla parturien yang mengalami nyeri hebat selama fase
laten clari proses persalinan clan dimana persalinan telah
cliincluksi clan clirumat dengan oksitosin
h. Parturien harus clipantau secara terus menerus selama
clan sesuclah pem berian analgesia. Tekanan darah,
clenyut nadi clan respirasi clipantau setiap 30 detik
• selama 15 menit pertama clan kemuclian setiap 5 menit
sekali.
i. Seringkah perlu melengkapi analgesia regional clengan
dukungan psikologis, dan bila perlu suatu sedatif dan
narkotik dalam closis kecil.
j. Harus ada perawat yang terlatih dan mau mengawasi
parturien dengan benar.
Obat Ancstesi Lokal
Secara teori, obat anestesi lokal yang ideal untuk
analgesia pacla proses persalinan harus memiliki sifat:
a. mula kerja yang cepat
b. mempunyai lama kerja yang panjang
c. dapat dengan cepat clititrasi
332
d. secara selektif memblok nyeri dibandingkan fungsi
motorik
e. mempunyai toksisitas yang rendah
Namun, hingga kini belum ada obat anestesi Jokal yang
memenuhi kriteria tersebut. Seorang anestesiologjs harus
memberikan prioritas diantara kriteria-kritcria tersebut, bila
akan memilih obat anestesi lokal yang akan digunakan, dan
kebanyakan lebih memprioritaskan blok motorik yang
minimal dibandingkan dengan mula kerja.
Dcngan diperkenalkannya ropivacaine, suatu obat
anestesi lokal golongan amide yang baru, yang secara
struktural menyerupai bupivacaine, namun ropivacaine
kurang kardiotoksik dan kurang menyebabkan blok motorik
dari pada bupivacaine. Sifat kardiotoksisitas yang rendah
dari ropivacaine hanya mempunyai dampak yang kecil bagi
analgesia pada persalinan, karena saat ini penggunaannya
hanya dalam dosis kecil dengan infus dalam campuran
dengan konsentrasi yang rendah, sehingga kardiotoksisitas
dari injeksi intravena yang tidak disadari menjadi sangat
kecil. Akan tetapi, kurangnya blok motorik mernpakan suatu
keuntungan. Meta-analisis menunjukkan lebih sedikitnya
persalinan dengan instrurnentasi pada pemberian
ropivacaine dibandingkan dengan bupivacaine. Oleh karena
itu, ropivacaine merupakan obat anestesi loka! terpilih
analgesia pada persalinan dengan teknik epidural.
Pemberian opioid secara intraspinal
Sera but saraf viseral dan somatik yang
mentransmisikan nyeri persalinan memasuki kornu dorsalis •
dari medula spinalis, dimana awal dari modulasi nyeri
secara alami terjadi. Para penyelidik telah mengidentifikasi
adanya reseptor opioid pada kornu dorsalis dari medula
spinalis, dimana pemberian dosis kecil opioid pada reseptor
ini menghasilkan respons opioid yang spesifik dan terbatas.
Sebaliknya, pemberian opioid secara sistemik akan
mengaktifkan reseptor di perifer yang menghasilkan
analgesia namun disertai dengan timbulnya efek samping
yang tidak diinginkan.
Pemberian opioid secara intraspinal mampu
menghilangkan nyeri dengan durasi yang lama dengan
sedikit ataupun tanpa disertai efek pada fungsi motorik
333
rnaupun torn is sirnparis , a ka n retapi tida k dapar
memberikan anestesia.
Pemberian opioid secara intraspinal rnemanfaatkan
sistim modulasi nyeri di dalam medula spinalis secara
farmakologik. Opioid menghambat transmisi informasi yang
berhubungan dengan nyeri dengan cara berikatan dengan
)> reseptor pada presinaps dan pascasinaps dari kornu dorsalis
z medula spinalis (lamina I, II dan V dari Rexed) dan di
m
.·.·�
nukleus dalam batang otak, perivascular gray matter, medial
···,,··m· talamus dan mungkin juga komponen dari sistim vagal.
':�
···oOJ Modulasi nyeri pada medula spinalis merupakan hasil
dari ikatan opioid pada beberapa populasi reseptor opioid
yang berbeda. Efek opioid tidak hanya ditentukan oleh
afinitas relatif opioid terhadap berbagai reseptor dan lokasi
reseptor tersebut, tetapi juga oleh kemampuan opioid untuk
i mencapai reseptor tersebut. Jika diberikan secara epidural,
opioid dapat mencapai reseptor dengan menembus
duramater, melalui cairan otak dan baru memasuki lamina
superfisial pada kornu dorsalis dirnana reseptor tersebut
berada. Pergerakan transmernbran dari opioid, seperti yang
juga terjadi pada obat anestesi lokal dimodulasi oleh sifat
fisikokimiawi dari opioid tersebut, termasuk berat molekul,
pKa, ikatan protein, dan kelarutannya dalam lemak.
.... ·· Semakin rendah pKa, semakin besar persentase opioid
yang berada dalam bentuk tidak bermuatan pada pH 7.4.
Dalam bentuk tidak bermuatan, penetrasi opioid melalui
duramater dan kornu dorsalis menjadi lebih mudah sehingga
menghasilkan mula kerja analgesia yang lebih cepat.
Kelarutan dalam lemak merupakan penentu utama dari
kerja opioid. Opioid yang lebih mudah larut dalam lemak,
memiliki mula kerja analgesia yang lebih cepat, namun
kerugiannya adalah bahwa obat ini mempunyai masa kerja
yang lebih singkat. Akan tetapi masalah ini dapat diatasi
dengan melakukan pemasangan kateter sehingga dapat
diberikan dos is ulangan a tau diberikan secara
berkesinambungan. Opioid yang larut dalam air, mempunyai
derajat ionisasi yang tinggi sehingga mempunyai masa kerja
yang lebih panjang, akan tetapi mula kerjanya lambat serta
insiden efek samping yang lebih tinggi (mual, muntah,
pruritus dan depresi napas secara lambat).
Sifat fisikokimiawi opioid tidak hanya menentukan
kecepatan absorbsinya saja, tetapi juga pergerakannya dalan
cairan otak. Kecepatan dan jauhnya penyebaran opioid
334
kearah rostral menentukan insidens dan beratnya efek
samping. Opioid yang hidrofilik tertahan di dalam cairan
otak, sehingga dapat bergerak cukup jauh dalam ruang
subaraknoid sebelum akhirnya bcrdifusi ke jaringan lemak
dalam medula spinalis. Opioid hidrofilik yang dalam jumlah
besar bergerak bebas dalarn cairan otak dan mendapat akses s::
ke pusat pernapasan pada bagian ventral dari medula dapat �
menyebabkan depresi napas. Sebaliknya, opioid yang mudah 2:::
m
Jarut dalam lernak mampu menembus jaringan dengan cepat s::
m
sehingga membatasi jumlah opioid yang bergerak kearah z
z
cefalad dan juga mempercepat bersihan opioid dari cairan -<
m
otak. ::!2
"C
Pemberian opioid secara epidural m
::u
CfJ
Dalam proses persalinan, analgesia yang dihasilkan )>
dari pemberian opioid (kecuali meperidine) secara epidural c
z
bervariasi dari memuaskan hingga tidak adekuat. Analgesia )>
z
menjadi tidak dapat diandalkan pada fase lanjut dari proses
persalinan dan memerlukan suplementasi analgesia. Morfin
hanya efektif pada dosis tinggi (7.5 mg), akan tetapi dosis ini
menghasilkan efek samping yang signifikan. Pemberian
morfin dengan dosis yang lebih besar ( 10 mg) ataupun dosis
berulang tidak memperbaiki kualitas analgesia maupun
masa kerja analgesia. Selama kala II dari proses persalinan,
pemberian morfin secara epidural, meskipun dalam dosis
yang lebih besar, tidak memberikan analgesia yang adekuat.
Sclain itu, mula kerja yang lambat dari morfin membatasi
penggunaannya pada analgesia persalinan. Opioid yang larut
dalam lernak, seperti fentanyl, sufentanil dan alfentanil, lebih
efektif, dan karena volume distribusi sufentanil yang lebih
besar, maka sufentanil kurang mempengaruhi fetus
dibandingkan dengan yang lain.


Akan tetapi, pemberian opioid secara epidural mungkin
sesuai pada keadaan dimana blok simpatis harus dihindari.
Tabcl 4. Dosis opioid secara epidural untuk analgesia
pada persalinan
Obat Injeksi secara bolus- Infos kontinyub
Fentanyl 50- 100 meg 2-4 mcg/ml
Sufentanil 10-15 meg 0.3 - 0.4 mcg/ml
•campur dalam 10-20 ml bupivacaine 0.125%
" campur dengan bupivacaine 0.0625% - 0.083% dan infus dengan kecepatan
10-20 mL/jam
335
Pemberian opioid secara intratekal
Pemberian opioid secara intratekal mempunyai
keuntungan dimana tindakan ini dapat dilakukan dengan
cepat dan menghasilkan rnula kerja analgesia yang cepat.
Teknik ini cukup sederhana dan dapat membantu, terutama
pada rumah sakit dimana teknik epidural analgesia tidak
dapat dilakukan.
Morfin tidak banyak dipakai pada teknik analgesia
secara intratekal, karena menirnbulkan efek samping yang
panjang. Demikian juga dengan meperidine yang selain lebih
banyak menimbulkan mual, muntah juga mempunyai sifat
seperti obat anestesi lokal sehingga dapat menimbulkan
blokade motorik yang tergantung besarnya dosis. Yang
banyak dipakai pada analgesia secara intratekal adalah
fentanyl dan sufentanil, namun keterbatasan dari keduanya
adalah masa kerjanya yang singkat meskipun memiliki mula
kerja yang cepat, sehingga sesuai bila digunakan dalam
teknik CSE.
Keterbatasan utama dari teknik pemberian opioid
secara intratekal adalah tidak adanya fleksibilitas dalam
respon terhadap perubahan kondisi selama proses
persalinan. Jika parturien rnerasakan nyeri yang bertambah
hebat atau memerlukan tindakan operasi, analgesia dari
teknik ini mungkin tidak adekuat dan membutuhkan teknik
tambahan. Teknik ini juga mengandung resiko timbulnya
sakit kepala pasca pungsi dura.
Tabel 5. Dosis opioid secara spinal dengan injeksi tunggal
untuk nyeri persalinan
Obat Dosis Lama Waktu pemberian
• kerja
(menit)

Ko men tar
Sufentanil 5-10 mcg 105-115 Awai persalinan
Fase aktif tarn bah LA
Fentanyl 25 - 35 85-95 Awai persalinan
mcg Fase aktif tam bah LA
Meperidine 10- 15 mg 100-110 Sepanjang > mual dan
persalinan muntah baik
jika alergi LA
336
Kombinasi obat anestesi lokal dan opioid
Keterbatasan dari opioid adalah efek analgesia yang
tidak efektif pada kala II dari proses persalinan, sedangkan
keuntungan dari obat anestesi lokal adalah mampu
menghasilkan analgesia yang efektif pada kala I. Dilain
pihak, keterbatasan dari obat anestesi lokal adalah analgesia
viseral yang selektif, sedangkan keuntungan opioid adalah
kemampuannya menghasilkan analgesia viseral yang kuat.
Oleh karena itu, dengan mengkombinasikan keduanya maka
diharapkan akan menghasilkan efek analgesia yang potcn
untuk menghilangkan nyeri pada persalinan.
Manfaat utama dari penambahan opioid pada obat
anestesi lokal adalah kemampuannya mengurangi dosis obat
anestesi lokal sehingga mengurangi resiko yang tidak
diinginkan seperti hipotensi, ketidakmampuan untuk
menggerakkan anggota gerak bawah, berkurangnya
kekuatan kontraksi rahim dan lambatnya kemajuan proses
persalinan, termasuk juga komplikasi yang membahayakan
sepcrti intoksikasi sistemik dengan akibat kejang, henti
jantung dan kematian. Demikian pula sebaliknya,
penambahan obat anestesi lokal pada opioid mampu
mengurangi dosis opioid sehingga mengurangi resiko efek
samping pemberian opioid dalam jumlah besar, seperti mual,
muntah, pruritus hingga depresi napas.
Namun pemberian campuran obat anestesi lokal dan
opioid dalam konsentrasi rendah memerlukan teknik
pemberian secara kontinyu dengan penggunaan pompa
untuk pemeliharaan efek analgesia yang adekuat.
Pemberian secara intratekal
Penambahan dosis kecil obat anestesi lokal pada opioid


yang diberikan secara intratekal akan meningkatkan efek
analgesia dan mengurangi kebutuhan opioid secara
bermakna.
Anestesia spinal secara kontinyu merupakan pilihan
yang beralasan setelah terjadi pungsi dura secara tidak
sengaja pada waktu pemasangan kateter epidural. Kateter
dimasukkan tidak lebih dari 2-2.5 cm ke dalam ruang
subaraknoid. lnjeksi campuran obat anestesi lokal - opioid
harus dititrasi secara hati-hati untuk menghasilkan respon
klinik yang diinginkan.
337
Pemberian secara epidural
Mula-rriula diberikan dosis awal sebanyak 10 ml dari
campuran opioid-obat anestesi lokal dengan konsentrasi
reridah sccara bolus ke dala m ruang epidural, kemudian
dilanjutkan dengan pemberian infus sccara kontinyu dengan
kecepatan 10-15 ml/jam.
)>
z Dengan korisentr asi campuran obat ancstesi lokal yang
m rcndah, umurnnya tidak menimbulkan blok motorik dan
� memperbolehkan beberapa parturien untuk berjalan
m
� ("walking epidural"). Walaupun kebanyakan parturien lebih
0 memilih untuk berbaring di tempat tidur setelah menerima
CD
� analgesia secara epidural, namun mereka sangat menghargai
bila masih dapat berjalan, paling tidak di dalam ruangan
� atau ke karnar mandi, dengan dibawah pengawasan, yang
mungkin dapat membantu bila ia terjatuh akibat kelemahan
anggota gerak bawah. Penderita ini juga tidak banyak
tergantung orang lain untuk merubah posisinya di tempat
tidur. Namun, untuk menjaga stabilitas hemodinamik,
parturien baru diperbolehkan berjalan paling kurang 30
menit setelah pemberian analgesia, serta dilakukan juga
penilaian fungsi motorik.
Pada keadaan dimana analgesia yang adekuat tidak
dihasilkan dengan pemberian campuran tersebut, maka
injeksi bolus dari campuran dengan konsentrasi yang lebih
kuat dapat diberikan untuk rnemberikan analgesia pada area
yang terlornpati. Hal ini terutarna terjadi dalam kala II
menjelang melahirkan.
Tabel 6. Penilaian motorik untuk menentukan kemampuan
untuk berjalan tanpa bantuan
Penilaiaan Penugasan
Kekuatan tungkai Straight leg Raise (kedua tungkai)
Hipotensi ortostatik Duduk ditempat tidur
Kekuatan tungkai dan hipotensi Berdiri di sisi tempat tidur
ortostatik
Kekuatan tungkai partial deep knee bend
Ambulasi 6langkah
Catalan: penilaian dilakukan 15-20 menit setclah analgesia intratekal atau 30
menit setelah analgesia epidural
338
Tabel 7. Campuran obat anestesi lokal-opioid yang dapat
digunakan u n tuk analgesia pada persalinan
pntra tekal
j Bupivacaine 2.5 mg+ Fentanyl 10 - 25 rncg
i Bupivacaine 2.5 mg+ Sufentanyl 3-1 O mcg
Ropivacainc 4 mg + Fent anyl I 0-25 mcg I
. Ropivacainc 4 mg + Sufcntanyl 3-10 mcg
I
l I
Epidural
Bupivacaine 0. 125'X, + Feritanyl I mcg/ ml
Bupivacaine 0.0625'Yu + Fent anyl 2 mcg/ml
Bupivacaine 0.125%+ Sufentanil 0.2 mcg/ml -n
Bupivacaine 0.0625% + Sufentanil 0.3 mcg/ml ,2
Bupivacaine 0.0625% + Sufentanil 0.5 mcg/ml n
Ropivacaine 0.2% + Fentanyl 1 mcg/ml
Ropivacaine 0.1 % + Fentanyl 2 mcg/ml
I '

Ropivacaine 0.2% + Sufentanil 0.2 mcg/ml c
:.
Ropivacaine 0.1 %+ Sufentanil 0.3 mcg/ml
I �
.
�_vacaine 0.1 % + Sufentanil 0.5 mcg/ml
_J "'
Blok Saraf Perifer
Blok Paraservikal
Blok paraservikal menghambat transmisi saraf aferen
pada pleksus paraservikal atau Frankenhauser, yang
terdapat di lateral dan posterior dari pertemuan antara
rahim dan leher rahim, dan mampu menghilangkan nyeri
yang ditimbulkan selam kala I dari proses persalinan. Waktu
yang optimal untuk melakukan blok paraservikal adalah I
pada fase akselerasi. Bila dilakukan pada saat leher rahim
berdilatasi 8 cm, maka akan meningkatkan resiko injeksi
obat anestesi lokal ke dalam kepala fetus. Blok paraservikal
tidak efektif pada akhir kala I, serta tidak mampu
menghilangkan nyeri kala II yang disebabkan oleh
peregangan perineum dan ditransmisikan secara somatik
melalui segmen spinal S-2 - S-5.
Dengan parturien pada posisi litotomi, jarum ukuran
22-G sepanjang 12-14 cm, dengan memakai jarum Kobak
sebagai penuntun untuk mencegah jejas pada jalan lahir dan
fetus, dan dengan dibimbing oleh jari telunjuk dan jari
tengah, ditempatkan kedalam fornik lateral dari leher rahim,
pada posisi jam 3 dan 9, sedalam kurang dari 3 mm, untuk
mengurangi resiko menempatkan obat secara langsung
kedalam pleksus vena paraservikal. Setelah dilakukan
aspirasi, 10 mL obat anestesi lokal disuntikkan secara
339
perlahan pada masing-masing s1s1. [Gam ba r 4.l Se i clah
penyuntikan, parruricn diternpatkan pada posisi left lateral
decubitu s d an dilakukan pernanrauan clenyut jantung.
tckanan dara h dan denyur jantung fetus selarna paling
kurang 30 rnenit. Blok parascrvikal dapa t diulangi hingga
rnaksimurn 4 kali.
)>
z
m

m
(/)
0
OJ
en
-I


Garnbar 4. Tcknik blok paraservikal dan blok nervus pudendus
Blok Saraf Pudendus
Selama kala II dari proses persalinan, nyeri dihasilkan
dari peregangan bagian bawah vagina, vulva dan perineum.
Saraf pudendus merupakan sumber utama sensasi dari
daerah tersebut. Pemberian blok saraf pudendus dapat
menghasi!kan anestesia yang memuaskan untuk persalinan
pervaginam secara spontan dan mungkin juga untuk
persalinan dengan forcep rendah serta perbaikan laserasi
vagina bagian bawah dan perineum. Namun tidak
menghasilkan anestesia yang adekuat untuk persalinan
dengan midforcep, repair vagina bagian atas, pemeriksaan
postpartum dan eksplorasi rongga uterus secara manual.
Teknik yang umum dilakukan adalah pendekatan
transvaginal, dimana dokter kebidanan dengan
menggunakan sebuah penuntun jarurn (kobak needle guide)
dengan jarum dijulurkan sepanjang 1.0-1.5 cm melebihi
penuntun untuk memberikan penetrasi yang adekuat bagi
injeksi obat anestesi lokal. Jarum disuntikkan melalui
mukosa vagina dan ligamentum sakrospinosus, medial dan
posterior dari ischial spine, sedalam 1 cm. Setelah dilakukan
aspirasi, 7-10 mL obat anestesi lokal disuntikkan pada
setiap sisi. (Gambar 4.) Untuk mengurangi kegagalan,
dilakukan pula infiltrasi pada perineum, terutama bila
340
pemberian blok saraf pudendus ditunda hmgga pcrsalinan.
Namun, tidak perlu untuk menunda pernberian blok saraf
pudendus, pernberiannya dapat dilakukan bila part urie n
mengeluh nyeri vagina dan perineum, dan pemberiarmya
dapat diulangi sepanjang tidak melebihi dosis maksimum
obat anestesi lokal. Untuk mengurangi absorpsi maternal
dan menurunkan resiko toksisitas sistemik dari obat
anestesi lokal pada maternal dan fetus, maka digunakan
larutan obat anestesi lokal yang diencerkan dan mcngulang
blok bila perlu saja.
n
Keuntungan dan kerugian blok paraservikal dan blok
nervus pudendus ,2
n
Kedua tindakan ini dapat dilakukan oleh dokter
kebidanan maupun dokter yang menangani parturien.
'

[
Manfaat utama dari pemakaian kedua blok ini adalah: ;;
)
a. tindakan ini berguna terutama pada kasus-kasus dimana ;;
anestesiologis tidak terscdia
b. mudah dilakukan, asalkan mengetahui anatomi dengan
baik
c. blok paraservikal menghilangkan nyeri selama kala I dari
proses persalinan sedangkan blok pudenda!
menghilangkan nyeri perineum selama kala II dan
delivery.
Adapun kerugian dari kedua blok ini adalah:
a. blok paraservikal dapat menimbulkan bradikardia I
sementara pada fetus, pada 5 -20% kasus
b. blok pudendus dapat mengganggu reflek meneran
c. keduanya mempunyai resiko terjadinya toksisitas
sistemik akibat dosis berlebih atau injeksi intravena
secara tidak sengaja
d. kemampuan menghilangkan nyeri yang kurang jika
dibandingkan dengan teknik regional lainnya.
Blok Neuroaksis Sentral
Blok subaraknoid
Blok subaraknoid yang dipakai dalam analgesia pada
persalinan seringkali juga disebut modified saddle block,
yang menghasilkan analgesia dan anestesia pada segmen
spinal antara Tl O - SS.
Beberapa manfaat penggunaan blok subaraknoid:
341
a. cara pcmberiannya re lat if seclerhana, mula kerja yang
cepat dan pasti
b. hanya menggunakan obat anestesi lokal dalarn jumlah
kecil (misalnya; Bupivacaine 5 mg). oleh karcna itu
meniadakan resiko toksisitas sistcmik
c. dapat diberikan pada kala I hingga persalinan
)>
z d. menghasilkan relaksasi perineum yang dalam , oleh
m kareria itu dapat mcmfasilitasi pemakaian forcep atau
� manuver lainnya yang mernbutuhkan relaksasi perineum
m
SQ .
0 Kerugian blok subaraknoid:
0:,
� a. menimbulkan insiden hipotensi yang lebih tinggi dan
m
':�. lebih berat dibandingkan dengan blok epidural,
·� meskipun dapat dikurangi dengan pemberian infus
sebelum melakukan tindakan
b. menimbulkan paralisis perineum secara prernatur
sehingga mempengaruhi fleksi dan rotasi internal dari
presenting part
c. meniadakan reflek mengedan, meskipun parturien dapat
secara sadar mengedan dengan efektif asalkan otot
abdomen tidak mengalarni paralisis
d. tidak hanya menimbulkan numbness, tetapi juga
paralisis anggota gerak bawah
e. mempunyai resiko sakit kepala pasca pungsi dura,
dimana insidennya tergantung pada besarnya jarum yang
digunakan dan juga jumlah pungsi yang dilakukan. Jika
rnenggunakan jarum spinal G-25, insiden sakit kepala
sebesar 1 - 5%.
Blok epidural
Blok epidural merupakan tindakan terpilih bagi
kebanyakan parturien, karena marnpu menghilangkan nyeri
secara efektif pada 85 - 95% parturien. Akan tetapi perlu
disadari bahwa kata "epidural" bukan merupakan suatu
istilah yang universal. Analgesia epidural secara sederhana
diartikan dengan hilangnya nyeri persalinan yang dihasilkan
dari pemberian obat-obatan ke dalam ruang epidural, yang
memutuskan transrnisi nyeri persalinan secara sementara.
Sekarang secara umum telah diterima bahwa analgesia
secara epidural tidak memperpanjang, dan bahkan
mempersingkat lamanya kala I dari proses persalinan.
Lamanya kala II dapat rnemanjang dan mungkin
342
rncrnbutuhkan instrurnentasi unt uk persalinan, bila teknik
ini tidak dilakuka n dcngan beriar dan bila parturien tidak
dipimpin untuk meneran secara cfekiif. Efek samping
termasuk kelernahan anggota gerak bagian bawah yang
dapat menghalangi kemampuan ibu untuk berjalan dan
meneran serta mempengaruhi micturisi secara sporita n , s
)>
bcrvariasi luas tergantung pada jenis dan korisentrasi obat z
yang digunakan. Analgesia yang tidak adekuat didaerah l:
m
perineum pada saat persalinan sering terjadi. namun hal ini ls::
m
clapat dihindari dcngan pcmberian dosis/konsentrasi obat z
z
anestesi lokal yang lebih besar saat akan terjadi per salinan -<
m
atau dengan pemberian dosis tambahan (top-up dose) pada :!:!
posisi duduk 10-15 menit sebelum persalinan. -u
m
Waktu terbaik untuk pemasangan kateter adalah saat :::0
diputuskan bahwa telah terjadi fase aktif dari proses fflr
persalinan akan tetapi sebelurn parturien mengalami nyeri z
yang hebat sehingga mendapatkan keuntungan dari efek �
analgesia.
Analgesia dan anestesia kaudal berkesinambungan
Analgesia clan anestesia kaudal secara berkesinam-
bungan merupakan suatu bentuk blok epidural yang dapat
menghilangkan nyeri selama proses persalinan clan
menghasilkan anestesia untuk persalinan pervaginam
(Gambar 5.)
A B


_ Firsr s1cc;e:
:.t� .
""�--
- - -·
�\-
_..::,\...._ -� � --
'.-··-�
·-·------------·-
��-·� -
c D

-.
F
Gambar 5. Teknik analgesia kaudal berkesinambungan.
343
Manfaat penggunaan analgesia dan ancstcsia ka udal
secara berkesinambungan diantaranya:
a. rn u Ia kerja blokade vasomotor yang lcbi h lam bar
dibanclingkan dcngan blok subaraknoid. sehingga k urarig
menimbulkan hipotensi
b. pcnggunaan obat anestesi lokal pada konsentrasi
)> 0.25')1c,)
z analgesia (rnisalnya, Bupivacaine kurang
m menirnbulkan paralisis pada perineum dan anggota gcrak
� bawah dibandingkan dengan blok subaraknoid
m
� c. tidak mcmpunyai resiko terjactinya sakit kepala pasca
0 pungsi dura.
co
� Kerugian penggunaan analgesia dan anestesia kaudal
m
-i secara berkesinambungan diantaranya:
� a. membutuhkan dosis obat anestesi lokal yang lebih besar
dibandingkan dengan teknik regional lainnya
b. lebih banyaknya kelainan anatomi di daerah sakrum
dibandingkan dengan lumbal dengan akibat lebih sulit
dalam melakukannya sehingga memiliki resiko kegagalan
yang lebih besar
c. adanya resiko menembus rektum dan kepala bayi, jika
tindakan iru dilakukan oleh personel yang tidak
berpengalaman pada akhir proses persalinan.
Patient-Controlled Epidural Analgesia (PCEA)
Karena nyeri bersalin bervariasi intensitasnya dan
karakter nyeri kadang berubah mengikuti kemajuan dari
proses persalinan, maka adalah wajar jika parturien dapat
berperan sebagai manager yang terbaik untuk mengelola
nyerinya sendiri. Dengan memperbolehkan penderita untuk
mengontrol pemberian obat-obatan dan mentitrasinya
derajat nyeri yang ingin dibebaskannya, PCEA mampu
memberikan analgesia pada proses persalinan secara
individual.
Manfaat utama dari PCEA adalah bahwa penderita
cenderung menerima lebih sedikit obat anestesi lokal oleh
karena itu sedikit sekali mengalami blok motorik, meskipun
pemberiannya berkepanjangan. Hal ini menyebabkan tingkat
kepuasan penderita yang lebih tinggi. PCEA juga mampu
mengurangi intervensi dokter, sehingga mengurangi beban
kerja.
344
Ada bebcrapa parameter yang harus diat ur sebelurn
rnengaktifkan pompa.
1. volume bolus
kare na klinikus t idak selalu harus hadir sctiap kali
penderita menerima dosis bolus, rriaka volume dosis
bolus ini harus cukup bcsar agar cfektif namun juga s:
)>
harus cukup kecil agar aman. Dosis bolus sebanyak 3 - z
5 ml dari kornbinasi obat anestesi lokal dan opioid dalam l:
m
konsentrasi rendah biasanya mencukupi s:
m
2. lockout interval z
umumnya lockout interval ditentukan dengan menyamai
z
-<
m
waktu yang dibutuhkan bagi obat untuk menjadi efektif :!!
3. background infusion ""CJ
m
ha! ini masih kontroversial. Keuntungan dari backgound :rJ
Cl)
infusion adalah analgesia yang dihasilkan kurang )>
c
z
bervariasi dengan berjalannya waktu. Sayangnya, jika )>
background infusion ini cukup tinggi, parturien tidak z
mempunyai control Jagi terhadap jumlah obat-obatan
yang ia terima, dan ha! ini dapat menimbulkan blok
motorik yang berlebihan yang menyertai meningkatnya
dosis total obat yang diterima. Karena alasan ini,
background infusion harus disesuaikan dengan
kebutuhan setiap penderita. Parturien yang menerima
background infusion sampai 5 ml/jam memperoleh
analgesia sepanjang persalinan, akan tetapi masih dapat
mengaktifkan tombol PCA untuk memperoleh
suplementasi analgesia. Parturien yang menerima
background infusion 5-10 ml/jam akan jarang
mengaktifkan tombol PCA. •
Sebclum memulai adalah penting untuk menentukan
apakan penderita sesuai dengan teknik yang akan
:l.igunakan. Penderita yang tidak ingin mengontrol obat-
»batannya ataupun yang tidak mampu melakukannya harus
iitawarkan alternatif teknik analgesia lainnya. Demikian
rula akan pentingnya pendidikan terhadap parturien.
=>arturien harus diberi instruksi dcngan jelas tentang
oagaimana dan kapan menggunakan tombol PCA dan kapan
malgesia akan menjadi efektif, serta harus diyakinkan
iahwa mereka tidak akan mendapatkan kelebihan obat
lengan alat ini. Parturien harus diinstruksikan untuk
nenekan tombol PCA jika ia mulai merasa tidak nyaman
lari pada menunggu hingga nyeri menjadi hebat, dan jika
345
setelah mendapatkan ? dnsis, parrurien masih merasa tidak
nyaman, ia dapat menerima clinician-initiated bolus.
Analgesia kombinasi spinal-epidural ( Combined Spinal-
Epidural/ CSE analgesia)
Teknik analgesia kombinasi spinal-epidural dapat
)> mcngurangi beberapa kerugian dari teknik analgesia ·
z
m ancstesia secara spinal rnaupun epidural, sementara
� rnempertahankan keuntungan dari keduanya. Salah satu
� masalah dalam teknik analgesia epidural pada proses
0 persalinan adalah lamanya waktu yang diperlukan sebelum
tD
menimbulkan efek, ha! ini penting terutama pada parturien
dengan nyeri yang hebat, dan juga kesulitan memperkirakan
j lamanya kala I dari persalinan sehingga terlam batnya
permintaan pernberian analgesia secara epidural dapat
menyebabkan terjadinya persalinan sebelurn blok epidural
menimbulkan efek.
Untuk analgesia pada proses persalinan, teknik CSE
mengkombinasikan mula kerja analgesia yang cepat, efikasi
yang tinggi serta toksisitas yang rendah dari pemberian
opioid, obat anestesi lokal atau campuran keduanya secara
intratekal dengan fleksibilitas yang tinggi dari penggunaan
kateter epidural terutama jika proses persalinan berlangsung
melebihi lama kerja dari blok spinal ataupun untuk
memperbaiki kualitas analgesia jika blok spinal tidak
adekuat. Selain itu teknik ini menggunakan kombinasi obat
anestesi lokal dan opioid dalam dosis rendah, menghasilkan
blok sensoris secara selektif tanpa disertai dengan blok
motorik sehingga dapat memperbolehkan parturien untuk
berjalan. Keuntungan ini membuat teknik analgesia CSE
makin popular dalam kebidanan.
Indikasi utama dari analgesia dengan teknik CSE
adalah jika dibutuhkan mula kerja dari analgesia yang cepat
dan dalam atau jika parturien menginginkan mobilitas yang
maksimum. Mula kerja dari analgesia yang cepat diperlukan
bagi:
a. multipara pada fase aktif dari proses persalinan
b. fase transisi atau kala II dari proses persalinan
c. kemajuan proses persalinan yang berlangsung cepat
d. parturien dengan riwayat kemajuan proses persalinan
yang berlangsung cepat
e. epidural kateter tidak berfungsi dengan baik dan perlu
diganti
346
Ada beberapa cara dalarn rnelakukan blok CSE
a. double needle - separate interspace
b. double needle (needle-through-needle) - single inter space
c. double catheter (catheter in epidural and subarachnoid
spaces)
d. double needle (needle-beside-needle] single interspace s:
)>
Teknik yang umum digunakan adalah needle-through- z
needle. Pada tcknik CSE ini, mula-rnula anestesiologis t:m
menempatkan jarurn epidural dalam ruang epidural dengan s:
m
menggunakan teknik loss of resistance, kernudian jarurn z
z
spinal dimasukkan ke dalam ruang subaraknoid melalui -<
m
jarum epidural yang ditandai dengan keluarnya cairan ::2
serebrospinal. Obat anestesi lokal dan/ a tau opioid -0
m
dimasukkan ke dalarn ruang subaraknoid melalui jarum :0
en
)>
spinal yang kemudian dicabut. Selanjutnya kateter epidural r
dimasukkan ke dalarn ruang epidural melalui jarum z
)>
epidural, (gambar 6.) Setelah nyeri terkontrol dengan injeksi z
obat anestesi lokal dan/atau opioid secara intratekal,
selanjutnya untuk pemeliharaan analgesia dilakukan
pengaktifan epidural analgesia sebelum efek analgesia
intratekal berakhir. Hal ini dapat diberikan dengan cara
pemberian dosis ulangan secara intermiten, continuous
infusion epidural analgesia atau patient-controlled epidural
analgesia.
Namun, jika tidak didapatkan cairan serebrospinal
dalam usaha memasukkan jarurn spinal setelah penempatan
jarum epidural pada posisisnya, maka ada beberapa
altematif:
a. mencabut jarum epidural dan mulai lagi dari awal •
b. memasang kateter epidural, dan kemudian mencoba
pemberian analgesia secara spinal dengan dosis tunggal
pada level yang lain
c. memasang kateter epidural dan memberikan analgesia
epidural secara konvensional.
347
Sti!J.tr:1cl1n,)r(!
Ep1dora1 space
I
space
;
I
'\.' J_
Ep1<tur:d
Spiri.11
nr·1•cllr_• }jJ'�
nt:r:,li(•
)>
f
z 1 I
m j
CJ) •· f
-i '' J
m

0

r I
Gambar 6. Teknik analgesia kombinasi spinal-epidural. double ncedlr- (needle
through ·11<:eclie} - single intct'spacr- Subararhnoid
CD
CJ)
-i
m

l
Advantages Disadvantages __J
I I --
• Efficacy Failure / technical issues
• speed, sacral blk Headache (PDPH)
• Obstetric outcome • Testing of epidural catheter
e- i normal deliveries .. Fetal bradycardia
Ambulation • Miscellaneous
• ,J, lower limb motor blk <- meningitis, nerve damage. pmritus
.. metallic fragments, catheter migration
_______ _/ ,...___ _ ,
Garnbar 7. Kelcbihan dan kekurangan CSE

__
Pencegahan komplikasi
Perhatian harus diberikan untuk menghindari 3
• komplikasi yang serius dan mengancam jiwa:
1. hipotensi pada ibu dapat dihindari atau diminimalisasi
dengan pemberian cairan infus sebanyak 1 liter 10 menit
sebelum melakukan blok spinal, epidural maupun
kaudal, untuk mengkompensasikan meningkatnya
vasodilatasi sebagai akibat dari blokade vasomotor. Juga
penting untuk memposisikan parturien secara lateral
untuk menghindari terjadinya kompresi aortokaval akibat
posisi terlentang.
2. reaksi toksisitas sistemik harus dicegah dengan
menghindari pemberian dosis berlebih atau injeksi
intravena dengan dosis terapeutik secara tidak sengaja
348
:1. anestesi spinal yang tinggi atau total sebagai hasil injeksi
subaraknoid yang t idak diserigaja dari dosis obat ane stcs:
lokal yang direricanakan untuk blok epidural.
Dosis percobaan
Dua kornplikasi terakhir dapat clicegah dengan �
)>
mencoba mengaspirasi darah atau cairan serebrospinal, dan z
dengan mernberikan dosis percobaan scbanyak 3 mL dari 2::
rn
larutan yang mengandung 45-60 mg lidocaine atau 5-7.5 mg s:
m
bupivacaine dan 15 mcg epinephrine. Jika terjadi injeksi z
z
secara tidak sengaja ke dalarn ruang subaraknoid, parturicn -<
rn
akan mengalami blok spinal reridah Tl 0-85 yang juga dapat �
digunakan, daripada memberikan blok epidural. Jika terjadi -0
m
injeksi intravena secara tidak sengaja, epinephrine akan ::u
mcnimbulkan takikardia dan hipertensi yang rnoderat dalam �
r
waktu 20-30 detik sejak injeksi dan akan berakhir dalam z
waktu 30 - 60 detik. Hal ini bcrarti denyut jantung penderita �
selarna fase dosis percobaan harus selalu dipantau. Dosis
terapeutik yang lebih besar hanya dapat diberikan jika
keduanya tidak terjadi.
Namun, efektifitas dari dosis percobaan ini sekarang
banyak diragukan mengingat hasilnya yang tidak sensitif
dan juga tidak spesifik untuk mendeteksi terjadinya
pemasangan kateter epidural secara intravena yang tidak
disengaja. Lagi pula, dosis obat anestesi lokal pada
kebanyakan dosis percobaan dapat mencapai atau bahkan
melebihi dosis yang digunakan untuk menghasilkan
analgesia epidural. Adanya ekstra obat anestesi lokal (dan
epinephrine) dalam dosis percobaan ini akan meningkatkan •
resiko terjadinya blok motorik. Juga, resiko potensial dari
epinephrine (meningkatnya blok motorik dan menurunnya
aktifitas rahim) dapat mengurangi manfaatnya. Tambahan
lagi, resiko utama dari injeksi atau infus secara intravena
dari campuran obat anestesi lokal/opioid yang diencerkan
untuk analgesia pada persalinan adalah hilangnya nyeri
yang tidak adekuat, bukannya toksisitas sistemik dari obat
anestesi lokal.
Sekarang direkomendasikan untuk memberikan injeksi
dosis kecil (3 -5 ml) obat anestesi lokal secara bertahap
melalui kateter epidural. Teknik "fractionated bolus" ini juga
disertai pengamatan secara pasif akan adanya darah atau
cairan otak setelah dengan aktif melakukan aspirasi kateter
349
epidural dalan: u pava unr uk mcndctck si migra si katctcr
secara tidak disengaja ke dalarn ruang subarak noid ataupun
pembuluh da rah. Cara ini dilakukan segcra sebclum d a n
sesudah setiap pernberian. Setiap kali pcmbcrian parturicn
harus terus dinilai aka n adanya efek intratckal ma upu n
intravaskular, sehingga setiap dosis yang diberikan me lalui
)>
z katcter epidural dianggap sebagai dosis percobaan. Injeksi
m intratekal sccara tidak disengaja dari obat anestesi lokal
� yang ditujukan ke ruang epidural dapat dengan m udah
m
� dideteksi dengan observasi mula kerja yang cepat dari
0 analgesia yang dalam seperti yang terjadi pada analgesia
OJ
(/)
-I intratekal.
!!l Beberapa contoh regimen yang digunakan untuk
� analgesia epidural pada proses persalinan:
Tabel 8. Teknik analgesia pada persalinan di Royal University
Hospital
Dosis awal
Konsentrasi
Ropivacaine 0.08°1<, + 2 mcg/ml feritanyl
Volume
Bolus hingga 20 ml dalam dosis terbagi dalam 4 fraksi masing-masing
5 mL
yang diberikan dalam waktu 5 menit, hingga rnencapai level yang
diinginkan
Dosis rumatan, ada beberapa
pilihan:
1. CIEA 10- 12 ml/jam
2. CIEA + PCEA (top-up) CIEA : 10-12 ml/jam
PCEA :bolus 5 ml; lockout 10 menit
tanpa limit 4-jam
3. CIEA + PCEA CIEA : 5 ml/jam
PCEA :bolus 5 ml; lockout 10 menit
tanpa limit 4-jam
4. PCEA PCEA : bolus 5 ml; lockout 10 menit
tanpa limit 4-iam
350
Tabcl 9. Tekriik analgesia pada persalinan di Stanford University
School of Medicine
Situasi klinis Obat anestesi lokal IAJuvan ·
Sangat dini dcngan B: None I B: Sufentanil I 0-15 meg
nyeri ringan
11: Sufentanil 0.33
(dilatasi servik = 2 cm) I: 0.0625%
Bupivacaine mcg/mL

1 I
12-15 mL/jam
Aktif labor B: 0.125% B: Sufentanil l 0-15 meg
Bupivacaine
kala II > I jam 10-15mL
l :0.0625% !: Sufentanil 0.33
Bupivacaine mcg/mL
12-15 mL/jam
Aktif labor B: 0.25% B. Sufentanil 10-15 meg
Bupivacaine
kala II < I jam I: tunda atau LSufentanil 0.33
mcg/mL,
0.0625% Bupi jika digunakan
12-15 mL/jam
Sebelumnya tenang, B: 0.25% I3: ± Sufentanil 10-15
Bupivacaine rneg
mengedan > 1 jam 7-10 mL
I: tingkatkan
kecepatan 20%
Sering membutuhkan B: 0.25% B: none, jika sudah
Bupivacaine diberi
dosis top-up 7-10 mL ekstra bolus sufentanil
1: 0.125%
Bupivacaine
10-12 mL/jam
Memasuki kala II nyeri hebat, jika lidocaine:
bicarbonate
delivery < 45 rnnt ( 10 % dari volume)
1 % Lidocaine
10-12 mL
nyeri sedang
0.25% Bupivacaine
10-12 mL
Forceps delivery 1% atau 2% Bicarbonate, 10% volume
lidocaine
Simpulan
Nyeri persalinan tidak mempunyai manfaat, dan
parturien tidak perlu mengalaminya. Sayangnya, persalinan
merupakan satu dari keadaan tersebut, dimana pemberian
analgesia secara efektif dijadikan alasan karena akan
mempengaruhi tujuan parturien dan dokter kebidanan
351
[rnisalnva, persalinan spontan pervaginam) serta masih
adanya kepercayaan bahwa mengalami nyeri persalinan
akan meningkatkan pengalaman melahirkan bagi parturien.
Dilain pihak, adanya ketakutan bahwa analgesia yang
adekuat akan mengganggu jaiannya proses persalinan.
Namun, dengan menggunakan pengetahuan yang sernakin
)>
z berkembang mengenai mekanisme nycri dan analgesia pada
m proses persalinan, anestesiologis dapat berusaha
� mernberikan analgesia yang efektif, dan aman yang tidak
m
� mempengaruhi kemajuan persalinan maupun hasil
0 akhirnya.
OJ
� Dari berbagai teknik yang tersedia, teknik analgesia
m
dan anesthesia lumbar epidural secara berkesinambungan
� dengan infus campuran obat anestesi lokal dan opioid
konsentrasi rendah, baik secara langsung ataupun didahului
dengan spinal analgesia (CSE) merupakan teknik terpilih.
Dan untuk meningkatkan kenyamanan penderita, dapat
menggunakan mesin PCA. Dengan teknik rru dapat
dihasilkan analgesia yang adekuat secara terus menerus
dengan fleksibilitas yang tinggi serta mengurangi pemakaian
obat-obatan sehingga mengurangi fluktuasi tekanan darah
serta memungkinkan penderita untuk bergerak lebih bebas.
Daftar Pustaka
1. Arkoosh VA. Neuroaxial analgesia for labor: Part II.
Intrathecal drugs. Dalam: Norris MC, ed, Obstetric
anesthesia, 2nd ed, Lippincott William & Wilkins; 1999:
317-31
2. Bonica JJ, McDonald JS. Principles and Practice of
Obstetric Analgesia and Anesthetic. William and
Wilkins. Second Ed, 1995, 1053
3. Breen TW. Combined spinal-epidural analgesia for labor.
Techniques in regional anesthesia and pain
management, 2001: 9-13
4. Campbell DC. Low-dose epidural labor analgesia.
Techniques in regional anesthesia and pain
management, 2001: 3-8
352
5. Cheek TG, Gutsche BB, Gaiser RJR. The pain of
childbirth and its effect on the mother and fetus. Dalam:
Chesnut DH, editor. Obstetric anesthesia. l\tlosby; 1994:
314 .. 29
6. Eberle RL, Norris MC. Neuroaxial analgesia for labor:
Part II. lntrathecal drugs. Dalam: Norris M, ed, Obstetric
anesthesia, 2nd ed, Lippincott William & Wilkins; 1999,
343-62
7. Glosten 8. Local anesthetic techniques. Dalam: Chesnut
DH, ed. Obstetric anesthesia. Mosby; 1994: 354-78
8. Huffnagle HJ, Huffnagle SL. Alternatives to conduction
analgesia. Dalam: Norris MC, ed, Obstetric anesthesia,
2nd ed, Lippincott Williams & Wilkins; 1999:251-82.
9. Koss BK. Opioid techniques. Dalam: Chesnut DH, ed.
Obstetric anesthesia. Mosby; 1994: 379-402
10. Lauretti GL. Mechanisms of labor pain. Dalam: Norris M,
ed. Obstetric anesthesia, 2nd ed, Lippincott Williams &
Wilkins; 1999: 235-49
11. McDonald JS. Pain of childbirth. Dalam: Loeser JD, -.
..

Butler SH, Chapman CR, Turk DC. eds. Bonica's
.
management of pain. 3rd ed, Lippincott Williams &
Wilkins, 2001: 1388-1414
12. Minnich ME. Childbirth preparation and
nonpharmacologic analgesia. Dalam: Chesnut DH, ed,
Obstetric anesthesia. Mosby; 1994: 330-39
13. Riley ET. Neuroaxial analgesia for labor: Part II. Epidural
drugs. Dalam: Norris MC, ed, Obstetric anesthesia, 2nd
ed, Lippincott William & Wilkins; 1999: 333-42
14. Rawal N. The combined spinal-epidural technique.
Permanyer publications, 1997
15. Van der Vyver M, Halpern S. Patient-controlled epidural
analgesia in labor. Techniques in regional anesthesia and
pain management, 2001: 14-17
353
16. Wakefield ML. Systemic: analgesia: opioids, ketamine,
and inhalational agents. Dalarn: Chesnut DH, ed.
Obstetric anesthesia. Mosby; 1994: 340-52
354
HAH Jl
Operas: non-obstetrik selarna kchamilan menimbulkan
sejumlah tantangan penting bagi anestesiologis karena
manajcmen anestesi harus mcrnpertimbangkan kehidupan
ibu dan fetus. Manajemen anestesi yang optimal
membutuhkan pemahaman menyeluruh terkait fisiologi ibu
dan fetus, perubahan farmakodinamik dan farmakokinetik
obat, serta pertimbangan risiko dan keuntungan intervensi.
Tujuan akhirnya adalah memberikan anestesi yang aman
bagi ibu serta meminimalisasi risiko persalinan preterm dan
kematian fetus. Efek teratogenik obat anestcsi bagi fetus,
asfiksia fetus intra-uterin, mempertahankan aliran darah
utero-plasental yang adekuat, fenomena tromboernboli,
premature rupture of membranes. abortus spontan, dan
pencegahan persalinan prematur merupakan ha! penting
yang harus diperhatikan oleh anestesiologis bagi ibu hamil
dengan operasi non-obstetrik. Sebagian besar prosedur
adalah non-elektif dan dilakukan dengan alasan mengancam
kehidupan (life threatening). Manajemen bedah bagi pasien
ini juga lebih rumit (complicated) dibandingkan pasien yang
tidak hamil. Kerjasama multidisiplin antara ahli bedah,
anestesiologis, pediatricians, dan obstetrik penting untuk •
menjamin kehidupan ibu dan fetus selama periode
periopera tif.
Efek tcratogenik obat anestesi bagi fetus, asfiksia
fetus intra-uterin, mempertahankan aliran darah utero-
plasental yang adekuat, fenomena tromboemboli, premature
rupture of membranes, abortus spontan, dan pencegahan
persalinan prematur merupakan hal penting yang harus
::liperhatikan oleh anestesiologis bagi ibu hamil dengan
operasi non-obstetrik. Sebagian besar prosedur adalah non-
elektif dan dilakukan dengan alasan mengancam kehidupan
'life threatening). Manajemen bedah bagi pasien ini juga lebih
.umit (complicated) dibandingkan pasien yang tidak hamil.
<:erjasama multidisiplin antara ahli bedah, anestesiologis,
oediatriciaris; dan obstetrik penting untuk menjamin
cehidupan ibu dan fetus selama periode perioperatif.
355
Epidemiologi
Angka kejadian ibu hamil yang membut uhkari operas:
non-obstetrik selarna pcriode ke hamilarmya rclat if jarang.
diperkirakau tcrjadi l ''.;.-'.2'!1;, dari scluruh kcharnilan.
Kepusrakaan Jain rnclaporkan angka kejadian 0, I S'Y.,-2'>;,_
Angka kejadian di Amcrika Serikat dilaporkan 50.000
kasus/tahun, sedangkan di Eropa a n ta ra 5700-76.000 ibu
harnil mcnjalani operasi non-obstetrik. Angka kejadian
mungkin Jebih tinggi dari yang clilaporkan karena ke adaan
ini sering diternukan sebelum keharnilan diketahui. Kira-kira
42'% prosedur dilaporkan pada trimester pertama keharnilan.
35% selarna trimester kedua, dan 23'% selarna trimester
ketiga kcharnilan.
Prosedur bedah non-obstetrik yang paling sering
dilakukan pada ibu hamil adalah apendiktomi ( l: 1500-2000
kehamilan], kolesistektorni ( 1-8 setiap l 0.000 kehamilan).
dan operasi adneksa (torsi dan ruptur kista ovarium].
Kehamilan mempredisposisi kolelitiasis, kira-kira 3'% ibu
hamil berkembang menjadi batu empedu (gallstones).
Prosedur bedah Jainnya adalah Iaparaskopi, neurosurgery,
cardiosurgery,trauma maternal, dan malignansi. Prosedur
operasi yang paling sering dilakukan pada ibu hamil pada
masing-masing trimester kehamilan terlihat pada Tabel 1 di
bawah ini:
Tabel I. Prosedur Operasi Tersering pada lbu Hamil pada Setiap
Trimester Kehamilan
Tipe Operasi Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3
------ �______ (%) (%)
Sistem saraf pusat 6,7 5,4 5,6
Telinga, hidung, 7,6 6,4 9,5
tenggorokan
Abdomen 19,9 30,1 22,6
Genitourinarius- 10,6 23,3 24,3
ginekologi
Laparoskopi 34,1 1,5 5,6
Ortopedik 8,9 9,3 13,7
Endoskopi 3,6 11 8,6
Kuiit 3,8 3,2 4, 1
356
I. Obat-obat Anestesi
)>
Obat sedatif dan hipnotik z
m
Barbiturat te lah dipakai sejak lama sebagai obat en
-l
m
induksi pada marrusia, dan aman digunakan pada wanita �
harnil. Pemakaian phenothiazine juga arnan. Hubungan c
z
minor tranquilizer dengan terratogcnik masih kontroversial, -l
c
;,;:
walaupun pada penclitian secara retrospektif ada hubungan
antara diazeparn dan chlordiazcpoxide dengan kejadian cacat 0
1J
bawaan. Sebaliknya pada penelitian prospektif oleh Hartz m
dkk, tidak ada efek jelek setelah menggunakan �

mernprobamate atau chlordiazepoxide. s;:
z
Narkotik en
m
Geber dan Schramm meneliti teratogerusuas dari s;:
pemberian narkotik pada hamster yang harnil pada saat s:
):,
perkembangan SSP bayi. Penelitian perbandingan ;;,;
rr
menggunakan dosis tunggal atau multipel dari diacetyl :r
):,
morphine, thebaine, pentazocine, morphine, hydromorphine, s:
meperidine menunjukkan adanya anomali foetal. �
Sebaliknya, beberapa penulis menyatakan bahwa z
pemberian kronis morfin, fentanil, sufentanil, alfentanil pada
tikus hamil tidak dihubungkan dengan efek teratogenik.
Juga tidak ada bukti bahwa opioid ini dihubungkan dengan
efek teratogenik pada manusia.
Pelemas otot I
Tidak ada bukti adanya efek yang buruk pada
perkembangan foetal setelah penggunaan obat pelemas otot.
Obat anestesi lokal
Tidak ada bukti dari efek teratogenik pada tikus hamil
setelah pemberian benzocaine, procaine, tetracaine, atau
lidokain. Sebaliknya, penggunaan kokain dihubungkan
dengan kelainan kongenital foetal pada hewan dan manusia.
Hal 1111 memungkinkan karena kokain menyebabkan
vasokonstriksi dan terjadi hipoksia jaringan foetus.
02 dan C02
Hipoksia dan hiperkarbia dihubungkan dengan
teratogenisitas pada spesies binatang, walaupun konsentrasi
tinggi oksigen pada tekanan atmosfir tidak menimbulkan
357
cfek yang jclck. tctapi korirak dcrigan oksigen h iperbar ik
pada binatang percobaan mcnimbulkan anornali foetal.
Obat anestesi inhalasi
Halotan, enfluran dan isofluran pada MAC yang
fisiologis tidak menycbabkan teratogenik pada tikus.
Penelitian lain mr-nyebutkan bahwa halotan menyebabkan
anomalia pada foetus tikus dan secara invitro juga
mengharnbat sintesa DNA. Sampai sekarang belum ada
bukti bahwa obat-obat anestesi (obat premedikasi, induksi
intravena, inhalasi, anestcsi lokal) mempunyai efek
teratogenik pada manusia. Tetapi kontak foetus dcngan obat
anestesi harus dikurangi, terutama selama trimester I.
Efek teratogenik dari N20 sangat menarik dan menjadi
topik yang menarik diantara anesthesiologist sejak Nunn dkk
meneliti efek pemberian N20 terhadap konsentrasi plasma
dari methionine, triptophan, phenylalanine, 5 ..
adenocyl methionine pada manusia. Penulis tersebut
melihat ada penurunan sebanyak 15% dari konsentrasi
tryptophan setelah kontak dengan 60-70% N20 selama rata-
rata 88 menit. Konsentrasi methionine di dalam plasma
menurunkan secara nyata setelah kontak dengan N20 50%
selama 11 hari pada tikus. Penggunaan N20 selama operasi
dan sampai 24 jam pascabedah, Skacel dan kawan-kawan,
melihat adanya penurunan konsentrasi methionine plasma
setelah operasi pembuluh darah besar pada manusia. Alasan
utama dari penurunan konsentrasi methionine plasma
adalah penghambatan sintesa enzym methionine. Jadi efek
teratogenik dari N20 mungkin dihubungkan dengan sistesa
DNA dengan merubah metabolisme folat. Keeting dkk.,
meneliti efek pengobatan dengan asam folinic pada efek
teratogenik N20 pada tikus. Kelainan skelet pada kelompok
yang menerima N20 tanpa pemberian asam folinic 5 kali
lebih besar dari pada kelompok kontrol.
Mazze dkk, juga meneliti efek teratogenik setelah
kontak dengan N20 selama 24 jam pada hari ke-8 kehamilan
(pada tikus). Yang menarik, efek teratogenik ini dapat
dicegah dengan pemberian fentanil atau campuran halogen
anestetik dengan N20. Maka peneliti menyimpulkan bahwa
mekanisme teratogenik N20 adalah bukan dalam sintesa
358
DNA tetapi karena N20 menurunkan uterine blood flow
akibat meriingkatnya aktiviras simpatis.
Kesirnpulannya, walaupun pada tikus ada hubungan antara
penggunaan N20 dengan teratogenisitas, tetapi rnekanisme
yang nyata tidak jelas sampai saat ini. Pada manusia,
kontak singkat dengan N20 selarna trimester kedua, tidak
menimbulkan efek yang buruk.
II. Keselamatan Ibu:
Pengetahuan perubahan-perubahan fisiologi !bu selama
kehamilan sangat penting dalam menganestesi pasien-pasien
tersebut. Hal tersebut telah dibahas pada Bab I, tetapi disini
akan disebut lagi hal-hal yang penting, yaitu:
a) Perubahan Sistem Respirasi:
pembcsaran kapiler dari membran mukosa tractus
respiratorius.
peningkatan ventilasi sernenit yang disebabkan
karena peningkatan volume tidal dan sedikit
peningkatan frekuensi nafas.
penurunan end Tidal C02
penurunan Functional Residual Capacity (FRC).
peningkatan kebutuhan oksigen.
b) Perubahan Sistem Kardiovaskuler:
Peningkatan curah jantung
peningkatan volume darah
kompresi aortocaval dari uterus yang gravid.
c) Perubahan Sistem Gastrointestinal:
peningkatan volume dan keasaman lambung •
disebabkan penurunan motilitas gaster.
penurunan tekanan sphincter gastrooesophageal
distal.
d) Perubahan SSP dan susunan saraf perifer:
penurunan kebutuhan obat anestesi baik untuk
anestesi umum, spinal atau epidural.
m. Fetal Well-being:
Fetal Outcome
Risiko potensial terhadap fetus akibat anestesi dan
orosedur operasi selama kehamilan meliputi abnormalitas
congenital, abortus spontan, kematian fetus intra-uterin,
fan persalinan preterm. Paparan obat anestesi terhadap
359
fetus dapat ber sifat akut yang terjadi selama anestesi operasi
atau subakut akibat paparan konsentrasi sub-anestesi obat
inhalasi.
Teratogenisitas Obat-Obat Anestesi
Teratogenisitas adalah observasi terhadap setiap
)> perubahan yang secara signifikan merubah fungsi atau
z
m bentuk fetus/ anak akibat tatalaksana prenatal. Kejadian
� perioperatif yang menyebabkan hipotensi atau hipoksemia
� berat pada ibu dapat menimbulkan risiko besar pada fetus.
0 Gangguan metabolisrne karbohidrat dan hipertermia juga
CD
berefek teratogenik, tetapi hipotermia tidak dikaitkan dengan
akibat buruk pada fetus.
� Obat-obat anestesi dapat memengaruhi sinyal
intra/interselular dan berefek terhadap sintesis DNA dan
pernbelahan sel sehingga terjadi keterlambatan
pertumbuhan sel. Efek sitotoksik dan teratogeniknya telah
dibuktikan pada berbagai penelitian invitro dan hewan
percobaan. Teratogenesitas obat anestesi yang diberikan
tergantung kepada: I) spesies, obat mungkin teratogen
untuk satu spesies, tetapi tidak untuk spesies lain, 2) waktu
fetus terpapar obat (timing of exposure), merupakan ha! yang
sangat penting karena masing-masing sistem organ memiliki
periode kritis terhadap kerentanan ketika organ tersebut
terpapar efek teratogen. Selama periode organogenesis ( 15-
56 hari gestasi) dapat terjadi abnormalitas struktural.
Setelah periode ini dapat diamati perubahan fungsional
(abnormalitas
Obat-obat anestesi yang digunakan telah diberi kode
oleh the Swedish Catalogue of Registered Pharmaceutical
Specialities (FASS). Kode tersebut merupakan pedoman
pemilihan obat-obat anestesi yang tepat dengan
mempertimbangkan efek terhadap fetus, plasenta, aliran
darah utero-plasental, dan kemungkinan induksi aborsi. The
Shepherd Catalog yang memuat obat/bahan/faktor yang
menimbulkan efek teratogenik tidak memasukkan obat
anestesi atau obat-obat yang digunakan secara rutin selama
tindakan anestesi. Penelitian yang dilakukan terhadap
sejumlah besar ibu hamil yang menjalani prosedur bedah
non-obstetrik menunjukkan tidak terdapat peningkatan
abnormalitas, tetapi terdapat peningkatan risiko abortus,
restriksi perturnbuhan, dan berat badan lahir rendah.
360
Penelitian tersebut rnenyirnpulkan bahwa penyakit primer
cian prosedur operasi lebih berpengaruh dibandingkan
paparan obat anestesi. Bcberapa penclitian menyimpulkan
bahwa pernberian hipnotik, anestesi lokal, anestesi volatil,
analgetik opioid, obat penginduksi, relaksan otot, dan sedatif
tidak mcnimbulkan efek yang merugikan terhadap embrio
atau perkembangan fetus jika diberikan pada konsentrasi
klinis dan dengan mempertahankan fisiologi maternal yang
normal.
Konsensus terbaru menyatakan bahwa benzodiazepin
tidak teratogenik dan aman digunakan pada dosis tunggal,
namun karena terdapatnya peningkatan risiko cleft palate,
penggunaan regular terutama pada trimester pertama
sebaiknya dihindari.7 Molekul polar seperti neuromuscular
blocking agents tidak melewati plasenta pada jumlah yang
signifikan. Konsentrasi relaksan otot pada darah fetus
adalah 10%-20<Yo dari konsentrasi maternal. Pemberian
Nitrogen oksida konsentrasi tinggi untuk periode yang lama
(N20 50% lebih dari 24 jam) menunjukkan efek teratogen
yang lemah pada tikus. Bukti terbaru tidak menyokong
untuk menghentikan pemberian N20 pada praktek klinis,
namun pemberian N20 dengan konsentrasi lebih dari 50%
dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan tulang fetus. Berdasarkan hal tersebut
teratogenitas N20 dapat dicegah dengan: 1) menghindari
paparan lama N20, 2) penggunaan konsentrasi inhalasi
<50%, 3) penggunaan kombinasi dengan bahan halogen yang
poten. Demikian juga dengan diazepam, tidak terdapat bukti
vang menyokong hubungan antara pemberian diazepam •
dengan defek kraniofasial. Kokain merupakan obat anestesi
vang terbukti teratogenik. Efek ini kemungkinan besar
Iiperantarai oleh aksi simpatomimetik obat yang
nenurunkan perfusi uteroplasenta.Hindari efek teratogenik
:iari obat anestesi terhadap neonatus. Harus dicoba untuk
nenghindari ketidak teraturan homeostasis neonatal, yang
Iapat disebabkan oleh obat dan teknik anestesi, baik secara
angsung atau tidak langsung. Efek teratogenik dari obat
inestesi masih kontroversial, dan belum jelas jawabannya.
(ontak dengan obat anestesi bisa akut (untuk pasien selama
iianestesi) atau kronis (untuk perawat kamar operasi, dokter
mestesi dan dokter bedah). Misalnya dengan sedativa,
361
hipnotik, narkotik, muscle relaxant, obat anestesi lokal, 02,
CC)], anestesi inhalasi.
Pengaruh Kontak Akut Obat Anestesi Terhadap Fetus
Pcngaruh kontak akut dari obat anestcsi menunjukkan
kenaikan kejadian abortus, tetapi tidak ada efek teratogenik
pada foetus. Tahun 1986 Duncan dan kawan-kawan secara
retrospektif mendata kejadian anomali kongenital dan
abortus spontan pada 2565 wanita hamil yang menjalani
operasi, ternyata bahwa ada peningkatan yang nyata dari
kejadian abortus spontan pada wanita hamil trimester I dan
II yang mengalami operasi dan tidak ada perbedaan yang
nyata terhadap kejadian abortus antara anestesi umum dan
anestesi regional.
Mazze dan Kallen juga melakukan penelitian yang sama
pada 720.000 pasien dan 6405 nya mengalarni operasi,
ternyata bahwa kejadian malformasi kongenital tidak
berbeda antara yang mengalami operasi dan yang tidak
mengalami operasi, tetapi ada insidensi yang tinggi dari bayi
yang lahir prematur dan intra uterine growth retardation
pada kelompok yang mengalami operasi.
Pengaruh Kontak Kronis Obat Anestesi Terhadap Fetus
Ada beberapa laporan tentang meningkatnya kejadian
anomali kongenital dan abortus spontan pada
anesthesiologist dan personil kamar operasi. Laporan lain,
dokter gigi wanita dan asistennya yang menggunakan
anestesi inhalasi, kejadian abortus spontan lebih tinggi dari
pada dokter gigi yang tidak menggunakan obat anestesi
inhalasi. Tetapi sebaliknya Ericson dan Kallen, menyatakan
tidak ada kenaikan resiko fetal yang jelek pada perawat
anestesi yang bekerja di kamar operasi. Sampai sekarang,
tidak ada hubungan kausal antara kontak kronik dengan
obat anestesi inhalasi dan adanya abortus spontan dan
anomali kongenital.
IV. Continuation of the Pregnancy
Operasi selama kehamilan dihubungkan dengan lebih
tingginya kejadian lahir prematur atau abortus spontan.
Kejadian itu lebih tinggi pada operasi abdomen bagian
bawah, pelvis dan cervix uteri. Obat-obat tocolytic untuk
362
terapi atau profilaksis sering digunakan untuk mencegah
kelahiran premat ur.
Operasi elektif sebaiknya diundurkan sarnpai 6 minggu
setelah Ibu melahirkan supaya perubahan fisiologi karena
keharnilan kembali normal. Pada kasus semi clektif, operasi
paling baik diundurkan sampai setelah mclewati trimester l
(pada trimester lI atau Ill). Pada kasus ernergensi, pilihan
anestesi tergantung dari lokasi dan luasnya operasi. Bila
mungkin disarankan dengan regional misal blok saraf tepi,
spinal, caudal, epidural. Tapi bila memang diperlukan dapat
dengan anestesi umum. Premedikasi dapat dengan
barbiturat atau morfin. Secara rutin dapat diberikan antasid
dan dianjurkan induksi cepat. Bila pasien akan dibcri
anestesi N20, sebelumnya terapi dengan folinic acid. Waiau
tidak ada konsensus umum adalah rasional untuk
melakukan intubasi anestesi mulai kehamilan 12 minggu.
Tergantung dari lama operasi, dapat menggunakan jenis
pelemas otot depolarizing atau nondepolarizing. Anestesi
dipelihara dengan N20/02 dan halogenated anestesi. Sebagai
analgetik dapat dengan morfin, fentanil, sufentanil atau
alfentanil. Harus dihindari hiperventilasi karena dapat
mengurangi perfusi uteroplasenta dan terjadi disosiasi kurfe
Hb ibu kekiri. Untuk regional anestesia mutlak diperlukan
pemeliharaan tekanan darah dalarn batas normal dan
dianjurkan pemberian oksigen dengan face mask.
Apakah dengan anestesia umum atau regional, posisi
pasien harus selalu miring kekiri bila kehamilan sudah I
semester II. Monitoring rutin tekanan darah, EKG, Saturasi
02, capnogram, suhu. Juga perlu monitor denyut jantung
bayi mulai kehamilan 16 minggu.
V. Manajemen Anestesi dan Rekomendasi Klinis
Tujuan yang harus dicapai oleh anestesiologis dalam
memberikan anestesi untuk prosedur operasi non-obstetrik
pada ibu hamil adalah: 1) mempertahankan fungsi fisiologis
normal maternal, 2) mempertahankan aliran darah utero-
plasental dan pengangkutan oksigen, 3)menghindari efek
obat yang tidak diinginkan pada fetus, 4) menghindari
stimulasi miometrium (efek oksitosik), 5) menghindari sadar
selama anestesi umum, 6) jika memungkinkan, gunakanlah
anestesi regional. Keamanan ibu dan tersedianya sirkulasi
uteroplasental yang adekuat merupakan tujuan utama.
363
Beberapa kepustakaan mcnya ta ka n ha hwa rek nik
anestesi urnum dan regional dapat digunakan secara aman
untuk operasi non-obstetrik pada ibu hamil dan tidak ada
penelitian yang rnenunjukkan bahwa sa!ah satu teknik lebih
unggul dalam keamanan terhadap fetus. Anestesi regional
dapat mencegah risiko potensial kegagalan intubasi dan
aspirasi serta mengurangi terpaparnya fetus terhadap
teratogcn, namun terdapat risiko komplikasi hipotensi.
Selama prosedur anestcsi dan opcrasi, fetal well-being
dapat dipertahankan melalui pemeliharaan stabilitas
parameter hemodinamik dan oksigenasi maternal serta
dilakukan pemantauan ketat respons fetus terhadap
terhadap tanda-tanda distress.
Pada penilaian preoperatif, premedikasi untuk
menghilangkan ansietas dapat dipertimbangkan dengan
alasan yang tepat, namun penggunaan diazepam sebaiknya
dihindari pada trimester pertama. Profilaks terhadap aspirasi
pneumonia dengan antagonis reseptor H2. metoclopramide,
dan antasid nonparticulate sebaiknya diberikan dari 16
minggu gestasi. Posisi terbaik adalah miring 150 ke kiri
untuk memfasilitasi perpindahan uterus. Perubahan posisi
ibu berpengaruh besar terhadap hemodinamik. Posisi
Trendelenburg atau reverse Trendelenburg selama. anestesi
dilukakan secara lambat dan hati-hati.
Induksi rapid-sequence intravena pada anestesi umum
sebaiknya didahului oleh denitrogenasi yang sangat cermat
menggunakan oksigen 100% selama 5 menit dan pernberian
tekanan krikoid yang efektif. Walaupun dianjurkan intubasi
endotrakeal, namun pada kasus-kasus kegagalan intubasi,
dapat digunakan laryngeal mask airways dengan aman.
Anestesi umum biasanya dipertahankan dengan
anestesi volatil (N20 / 02 atau udara/ oksigen). Ventilasi
tekanan positif digunakan dengan hati-hati dan kadar end-
tidal karbondioksida dipertahankan dalam batas normal
kehamilan. Pasien diekstubasi jika sadar sepenuhnya pada
posisi lateral setelah melakukan suctioning orogastrik secara
hati-hati (jika risiko aspirasi persisten sampai kernbalinya
refleks protektif saluran nafas.
The American College of Obstetricians and Gynecologists
Committee on Obstetric Practice dan American Society of
Anesthesiologists Committee on Obstetric Anesthesia
memberikan konsensus untuk operasi non-obstetrik pada
364
ibu ha mil sebagai berikut: 1) tidak menggunakan obat-obat
anestesi yang telah menunjukkan efek teratogenik pada )>:·
manusia jika diberikan pada konsentrasi standar, 2) z
m
�-
monitoring denyut jantung fetus dapat membantu
manajemen kardiorespirasi dan posisi ibu serta pcngambilan m
SQ
keputusan untuk mengeluarkan fetus. Komite ini juga c
z
-i
merekomendasikan untuk operasi elektif sebaiknya ditunda c
sarnpai proses persalinan dan jika memungkinkan operasi :,,.:
non-urgent dilakukan pada trimester kedua untuk .,,m0 .
merninimalisasi kontraksi preterm dan abortus spontan.
Laparoskopi
I

Operasi laparoskopi menjadi populer karena invasif, waktu z
(/)
rawatan yang peridek, dan penyembuhan yang cepat serta m
menyenangkan. Keuntungan lainnya adalah kurangnya �
paparan bahan toksik terhadap fetus, insisi minimal, s:
)>
kurangnya rasa nyeri, dan kebutuhan analgesik minimal. :,,.:
m
Prosedur ini telah dilakukan untuk kasus koleaistitis,
apendisitis, dan kasus emergensi abdominal lainnya selama I
kehamilan. Suatu tinjauan retrospektif mendapatkan tidak �
terdapat perbedaan yang signifikan terhadap akibat obstetrik z
yang disebabkan prosedur laparoskopi maupun laparatomi.
Prosedur laparoskopi dilakukan berdasarkan pedoman
berikut: 1) penggunaan pneumatic stocking untuk mencegah
Deep Vein Thrombosis (DVT), 2) menggunakan ultrasound
selama kolesistektomi, 3) pneumoperitoneum dengan N20,
4)tekanan intra-abdominal < 15 mmHg, 5) pengaturan
ventilasi untuk mencegah asidosis respiratorik maternal
fetus) •
VI. Simpulan
Operasi non-obstetrik selama kehamilan
nenimbulkan sejumlah tantangan bagi anestesiologis karena
nanajemen anestesi harus mempertimbangkan kehidupan
bu dan fetus. Angka kejadian ibu hamil yang membutuhkan
iperasi non-obstetrik selama kehamilan relatif jarang,
liperkirakan terjadi 1 %-2% dari seluruh kehamilan.
)rosedur bedah yang paling sering dilakukan adalah
ipendiktomi, kolesistektomi, dan operasi adneksa.
Pada kehamilan terjadi sejumlah perubahan fisiologi
naternal yang memengaruhi manajemen anestesi, meliputi
ierubahan sistem kardiovaskular dan hematologi, sistem
365
respirasi, si str-m ec1srrnintf's1in;:il, dan sistern saraf pusat
serta perifer.
Prosedur anestesi dan operasi non-obstctrik selama
kehamilan menimbulkan risiko potensial terhadap fetus
berupa abnormalitas kongenital, abortus spontan, kematian
fetus intra-uterin, dan persalinan preterm.
Kebcrhasilan rnanajemen anestcsi pada operasi non-
obstetrik selama kehamilan tergantung kepada kerjasarna
multidisiplin, penilaian preoperatif yang komprehensif,
perhatian terhadap fisiologi maternal dan fetus, serta
perawatan suportif periode postoperatif. Mempertahankan
stabilitas maternal, waktu optimal melakukan tindakan, dan
pernilihan obat serta teknik anestesi yang tepat merupakan
hal yang sangat penting diperhatikan untuk keamanan ibu
dan fetus.
Daftar Pustaka
1. ASA House of Delegates. Statement on Nonobstetric Surgery
during Pregnancy. 2009
2. Beilin Y. Anesthesia for Nonobstetric Surgery During
Pregnancy. Dalam: Reed AP, Yudkowitz FS,eds. Clinical
Cases in Anesthesia. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier;
2005, 371-8
3. Committee on Obstetric Practice. Nonobstctric Surgery
During Pregnancy. The American College of Obstetricians
and Gynecologists. 2011;474:l-2
4. Datta S. The Obstetric Anesthesia Handbook, edisi ke-2,
St Louis: Mosby; 1995.
5. Datta S. Anesthetic and Obstetric management of high-
risk pregnancy, edisi ke-3, New York: Springer;2004.
6. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-4, USA:
Springer; 2006.
7. Datta S. Obstetri Anesthesia Handbook, edisi ke-3. USA.
8. Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetri Anesthesia
Handbook, edisi ke-5. New York: Springer; 2010.
9. De Velde MV, De Buck F. Anesthesia for Non-obstetric
Surgery in the Pregnant Patient. Minerva Anestesiologica.
2007;73(4):235-40.
366
10. Hool A. Anaesthesia in Pregnancy for Non-obstetric Surgery.
Anaesthesia Tutorial of the Week. 2010: l -9 :x,
2
11. Marenco JE, Santos AC. Anesthesia for Noriobsretric Surgery rr
(/.
During Pregnancy. Dalarn: Hines RL.ed. Obstetric and rr
Gynecologic Anesthesia. The Requisites in Anesthesiology. o:
Edisi ke- l. Philadelphia: Elsevier: 2006, 18 24 c
2
12. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical c
;,;
Anesthesiology. Edisi ke-3. New York: McGraw-Hill cll
Companies; 2002 rn
:c
):,
Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener-Kronish JP, �
Young WL. Miller's Anesthesia. Edisi ke- 7. United States of

America: Elsevier; 2010 z
(/)
13. Ni Mhuireachtaigh R, O'Gorman DA. Anesthesia in Pregnant m
Patient for Nonobstetric Surgery. Journal of Clinical �
Anesthesia. 2006; 18:60-6
s:
):,
14. Walton NKD, Melachuri VK. Anaesthesia for Non-obstetric "m
:x:
83-5. Diakses dari ):,
Surgery During Pregnancy. s:
http://ceaccp.oxfordjournals.org/ content/ 6 / 2 / 83. full
tanggal 5 Desember 2012. �
z

367
)>
z
m
(fJ
-I
m
SQ
0
OJ



368
BAB33
lntratekal opioid dapat juga disebut Spinal opioid, yaitu
memasukan obat opioid atau dikombinasikan dengan obat
Iokal anestesia kedalam ruang spinal dengan tanda
keluarnya cairan spinal. Obat yang dimasukan kedalam
ruang spinal dapat lokal anastesi, atau campuran lokal
anestesi dengan opioid/narkotik atau opiod/narkotik saja.
Pemberian obat opioid/ narkotik saja hanya
menghasilkan analgesi, yaitu mengurangi rasa sakit dan
tidak ada efek anestesia. Dosis opioid/narkorik pada spinal
lebih kecil dibandingkan pemberian secara intravena dan
apabila memakai dosis besar maka side efeknya akan lebih
ban yak.
Melza dan Wall ( 1986) mengemukakan teori bahwa
saraf tulang belakang adalah situs target potensial untuk
modulasi rasa nyeri. Pert dan Snyder ( 1973) menemukan
reseptor opioid dan dapat mengidentifikasi reseptor opioid
pada kornu dorsalis pada tahun 1977.
Pada tahun 1976, Wang untuk pertama kali
mempergunakan morfin intratekal pada de!apan pasien
dengan diagnosa kanker pada daerah genito urinaria dan
sejak itu intratekal opioid dipergunakan untuk •
menghilangkan rasa nyeri.
Tehnik dari intratekal sangat mudah, tetapi apabila
menusuk dura akan timbul side efek sakit kepala yang tidak
menyenangkan bagi pasien. Sakit kepala sukar dihilangkan
:iengan obat obatan, maka pada waktu penusukan harus
hati-hati jangan sampai menusuk duramater.
M'.ekanisme Kerja Opioid
Opioid bekerja sebagai agonis pada reseptor opioid
rang tersebar luas diseluruh tubuh termasuk otak (korteks
serebral, thalamus, hipothalamus, amigdala, ganglia basalis,
oatang otak, sistem aktivasi reticular) medula spinalis dan
aringan non neural seperti traktus gastrointestinal.
Ada empat reseptor utama opiod, yaitu mu, kappa,
ielta dan nonsiseptin. Setiap opioid memiliki afinitas yang
369
berbcda berdasarkan jenis rcseprornva. dan sctiap kel.is
berhubungan dengan terapi kusus cl:111 eIek sampingnya.
Analgesia yang berasal da r: pernbcrian opioid
ncuroaksial terutarna diperantarai o k-h ikatan prcsinaps cl,111
post sinaps clari reseptor mu pada s ubs t a nsia get.u inosa pacln
corn u dorsalis medulla spinalis. Ak t iva s i re sept or presinaps
pada neuron aferen mernbawa informasi nosisept if
menghasilkan penurunan kond uk t an rnelalui sal ura n
kalsiurn (Ca') dan mnghambat infli ik s Ca ' :,ang akan
menurunkan pelepasan neurotransmitter, terjacii pcnurunan
sinyal antara neuron aferen primer dan sekundcr di kor n u
dorsalis. Ikatan reseptor opioid pada neuron afercn sckundcr
. menyebabkan terjadinya hiperpolariaasi clan penurunan aksi
potcnsial.
Opioid intratekal (lntratekal narkotik) bekerja sebagai
ligand pada reseptor opioid melalui riga cara yang berbeda
untuk menghasilkan analgesia:
l. Langsung ke kornu dorsalis medulla spinalis.
2. Supraspinal melalui aliran cairan serebrospinal, terjadi
mudulasi penghambatan nyeri secara desending.
3. Opioid dalam jumlah kecil berdifusi ke ruang epidural
dan diabsorbsi secara sistemik sehingga bekerja secara
sentral (efek minor).
Opioid intratekal mengalami merabolisme bersarna CSF,
onset serta durasi analgesi dan penyebaran ke cephalad
tergantung dari kelarutannya dalam lemak. Semakin larut
dalam lemak (lipofilik), seperti fentanil, subfentanil, difusi ke
medulla spinalis dan ikatan pada reseptornya di kornu
dorsalis semakin cepat. Hal ini menyebabkan onset analgesia
yang lebih cepat dengan penyebaran ke cephalad lebih
minimal sehingga resiko depresi nafas berkurang, tetapi
durasi analgesianya relatif singkat. Morfin kurang larut
dalam lemak (lipofilik) sehingga lebih lambat tcrikat pada
reseptor di kornu dorsalis, hal ini menyebabkan onsetnya
lehih lambat tetapi durasi analgesianya lebih panjang.
penyebaran ke cephalad lebih meningkat sehingga resiko
depresi nafas lebih besar.
370
Gambar 1. opioid intratekal setclah injeksi ke CSF Iumbal
Yang perlu diperhatikan pada intratekal (spinal)
Jarum spinal yang dipakai sebaiknya yang kecil (25,26,
27) untuk mcngurangi sakit kepala.
Daerah untuk penusukan didaerah Lumba! (3-4 atau 2-3)
Sangat mudah dibandingkan dengan epidural.
Efek dari intratekal lebih cepat dibanding dengan
epidural.
Dosis yang kecil pada intratekal, side efekpun akan kecil,
Pemberian opioid intrathecal pada ibu hamil akan
mengurangi resiko seksio sesarea, forcep dibandingkan I
pemberian secara epidural
Jntrathecal opioids sering meningkatkan terjadinya
bradikardia pada fetal, yang terjadinya secara pelan-
pelan tetapi dapat juga terjadi secara spontan.
Tehnik
Sebelum melakukan tindakan intratekal harus
dilakukan "4P", yaitu Preparation, Position, Projection and
Puncture.
Persia pan
Pertama yang dilakukan adalah persiapan alat alat dan
obat yang akan dipergunakan dan selanjutnya:
371
Me njcla skan kepada ibu teh u ik yang akari dikerjakan
scbagai inform consent dan side etek yang akan terjadi.
Apabila ibu menolak, tindakan tidak akan di!akukan.
Memilih obat yang akan dipcrgunakan.
Memilih jarum yang akan dipakai sesuai dengan
kebiasaan dan ketrarnpilan pribadi. Sebaiknya memilih
)>
z jarurn dengan nomor yang kccil untuk mengurangi efek
m
(J) sarnping.
--l Mempersiapkan spinal kit.
m

0 Kontra Indikasi Absolut:
OJ
(J)
--l Pasien menolak.
� Apabila ditemukan gejala sepsis.
� Pada keadaan hipovolemia.
Adanya kclainan darah (coagulopathy).
Gangguan neurologi.
Peningkatan tekanan intrakranial.
Deformitas tulang belakang.
Posisi
Posisi untuk intrathecal ada dua macam, lateral
decubitus dan duduk.
Untuk ibu hamil sebaiknya dilakukan posisi duduk
karena lebih nyaman bagi ibu.
Projeksi dan Puncture
Dapat dengan tehnik Midline Approach atau Paramediari
Approach
Apabila tehnik midline, maka yang akan dilalui adalah:
o Kulit
o Jaringan subkutaneus lemak.
o Ligament supraspinosus.
o Ligament interspinosus.
o Ligament flavum.
o Durarnater.
o Subdural.
o Arachnoid.
o Subarachnoid.
Tehnik paramedian:
o Kulit.
o Jaringan subcutaneus lemak.
o Ligament flavum.
372
() Durarnater.
o Subdural.
o Arachnoid.
o Subarachnoid.
Side efek dari cara periusukan jarum spinal tergantung dari:
.Jenis jarum yang dipergunakan.
Ukuran dari jarum, makin kecil rnakin kurang efek
sampingnya.
Penusukan yang berulang.
Tehnik paramedian
Intratekal Analgesia (Spinal Analgesia, Intratekal
Narkotik)
Tehriik 1111 hanya untuk menghilangkan atau
mengurangi rasa sakit, pasien dalam keadaan sadar, tidak
ada sedasi dan tidak bisa dipakai untuk operasi karena tidak
ada relaksasi. Umumnya dipakai untuk labour pain, post
operatif pain, nyeri yang membandel (akut atau kronis ) dan
kanker pain.
August Bier seorang neurologist memakai 3ml cocaine
),5% yang dipergunakan untuk persalinan. Pada tahun 1885
i.eopold Corning pertama kali mempergunakan Cocaine
.mtuk operasi pada anjing. Golongan opioid yang sering
iipakai adalah Morphin, Fentanyl, Subfentanyl.
.ntratekal Analgesia (lntratekal Narkotik)
Intratekal narkotik lebih banyak dipergunakan
iibandingkan epidural analgesia, karena tehnik lebih mudah •
Ian disukai ibu ibu hamil. Blokade Intratekal
>pioid/narkotik selektif pada transmisi sakit yang tidak
.ignifikan, baik simpatis atau motorik.
Tetapi pasien merasakan signifikan untuk
nenghilangkan rasa sakit tanpa ada rasa sedasi, hipotensi
rtau paralise dari kedua tungkai pada waktu persalinan.
�isiologi sakit pada ibu hamil
Rasa sakit pada kala pertama adalah visceral pain
ikibat kontraksi dari uterus dan dilatasi dari cervix. Input
lari CNS secara pelan berkonduksi pada unmyelinated "C"
ferent, masuk kedalam medula spinalis pada TIO - 12 dan
,1. Obat opioid/narkotik pada cairan spinal akan
373
mcngha mbat transmisi ra sa sa k it dcngan mengikat opioid
reseptor di substansia gelatinosa dibagian dorsal medula
spinalis.
Sedangkan rasa sa k i! pacla kala d ua berhubungan
dengan peregangan daerah perineal. Rangsang sakit melalui
ncrvus pudenda! pada segmen S '.2 - 3 melalui sera but
)>
z mye!inated "A". lntratekal opioid/narkotik tidak
m menghilangkan sccara signifikan somatic pain, sehingga
� kadang-kadang dipcrlukan blok pudenda!.
m
Q2 Reseptor dari opioid terletak di ( 1) Limbic system
0 daerah amyglata dan hypotalamus (2) Batang otak (:3)
OJ
� Medulla Spinalis, (4) Peripheral Tissue U, Kappa, Delta.
m
-i Mekanisme kerja opiod adalah dengan transmisi rasa sakit
:!! yang dihambat didaerah medulla spinalis dengan interaksi
opioid dengan reseptor opiate.
Pemberian ancstesi intratekal pada parturien harus
mempertimbangkan berbagai perubahan fisiologis yang
terjadi pada kehamilan, antara lain perubahan pada sistem
gastrointestinal, kardiovaskuler dan muskuloskeletal. Pada
kehamilan pengosongan lambung lebih lambat, karenanya
pencegahan aspirasi harus dilakukan sebelum pelaksanaan
anestesi.
Selain itu, kadar hormon relaxin yang meningkat pada
kehamilan menyebabkan longgarnya ligamen-ligamen.
Karena itu, anestesi neuraksial yang pada umumnya
diberikan dalam posisi hiperfleksi harus dilakukan dengan
hati-hati agar tidak terjadi trauma muskuloskeletal yang
dapat menyebabkan nyeri pinggang pasca persalinan. Pada
kehamilan juga terjadi peningkatan sensitivitas terhadap
obat anestesi lokal, sehingga dosis obat anestesi lokal harus
dikurangi sebesar 20-30%.
Tabel 1. Teori yang menjelaskan peningkatan
sensitivitas terhadap anestetik lokal selama kehamilan.
'i":"" Ruang epidural yang menyempit akibat pelebaran vena-vena di
ruang epidural
2. Peningkatan tekanan intraabdominal yang meningkatkan
penyebaran transdural obat anestetik lokal
3. Lordosis lumbai mernperluas penyebaran obat anestetik lokal ke
arah cephalad.
4. Progesteron meningkatkan sensitivitas serabut saraf terhadap obat
anestetik lokal.
374
Opioid
Pada tahun 1980 opioid dipergunakan untuk
menghilangkan rasa sakit pada persalinan, sedangkan di RS
Ottawa pada tahun 1915 memakai chloroform untk
persalinan. Opioid yang sering clipergunakan adalah Morfin
yang hidrophilik, sedangkan Fentanyl dan sufentanyl adalah
opioid yang lipophilik.
Fentanyl
Fentanil merupakan derivat fenilpiperidinc yang bersifat
poten lipofilik. Memiliki onset yang cepat (5 menit melalui
spinal, 10 menit melalui epidural) dan relatif berdurasi
singkat. fentanil tidak menghasilkan metabolit aktif dan
sekitar 800 kali lcbih larut lcmak dibandingkan morfin. "Half
life" eliminasi terminalnya ( 190 men it) dan pemberian dosis
tinggi yang berulang bisa menyebabkan akumulasi. Karena
solubilitasnya terhadap lemak yang tinggi, maka fentanil
juga lebih cepat berikatan dengan reseptor opioid di kornu
dorsalis. Dcpresi nafas dan penyebaran ke cephalad jarang
terjadi. Meskipun demikian, durasinya yang singkat menjadi
kekurangan untuk penanganan nyeri postoperatif setelah
dosis tunggal anestesi spinal.
Sufentanil
Sufentanil merupakan derivat fenilpiperidine yang
sangat larut dalam lemak. Memiliki onset yang lebih cepat
[2-3 menit melalui spinal, 4-6 menit rnelalui epidural) dan
:lurasi yang lebih singkat dibanding fentanil (1-3 jam spinal).
Potensi analgesiknya 5- 7 kali lebih besar dibandingkan •
lentanil clan kelarutan dalam Jemak sekitar 1600 kali
Iibanding morfin. Waktu paruhnya lebih singkat dibanding
'entanil ( 150 menit) sehingga resiko akumulasinya lebih
.endah. Kelarutan dalam lemak yang tinggi menyebabkan
.esiko penyebaran ke cephalad dan depresi nafas lebih
·endah. Seperti fentanil, pemberian spinal untuk analgesia
oostoperatif juga terbatas karena durasinya yang singkat.
vlorfin
Morfin adalah derivat fenantheren yang bersifat
iidrofilik dan memiliki potensi 100 kali lebih lemah
libanding fentanil. Onsetnya lambat dibanding opioid
ipofilik (15 menit melalui spinal, 30 menit melalui epidural).
375
Tetapi rnemiliki durasi yang le bi h lama (sck itar 12 - 24 jam).
Waktu paruhnya sekitar 170 menit. Morfin spinal larnbat
berikatan dengan rcsepror opioid di kornu dor sa lis kareria
kelarutannya dalarn lemak yang rendah clan opioid be bas
yang berada di CSF bisa bcrrnigrasi ke supraspinal sehingga
menyebabkan depresi nafas yang terlarnbat. Morfin
)>
z neuraksial memperlihatkan efcktivitas yang sarna dcngan
m
(/)
fentanil dalam rnernperbaiki kualitas analgesia untuk nyeri
--j
m persalinan, seksio sesarca dan lebih efektif dibanding dosis
� tunggal fentanil untuk terapi nyeri postoperatif. Sayangnya,
0 insidens mual, muntah, pruritus, retensi urine, sedasi dan
OJ
� depresi nafas yang lambat baik pembcrian melalui spinal
� atau epidural lebih tinggi dibandingkan fentanil.

Diamorfin
Diamorfin merupakan opioid sernisintetik yang bersifat
lipofilik, memiliki efek paten 2 kali morfin. Merupakan
prodrug yang akan berubah dan memiliki metabolik aktif
yang lebih banyak (morfin dan 6-monoasetilmorfin) melalui
deasetilasi di hati dan jaringan neural. Diamorfin 280 kali
lebih larut lemak dibanding morfin. Diamorfin memiliki onset
analgesia yang cepat (< 10 menit)dengan durasi yang panjang
( 10-20 jam melalui spinal dan epidural), oleh karena itu
depresi nafas yang lam bat lebih jarang terjadi. Insidens mual
dan muntah lebih kurang dibanding morfin. Efikasinya
sebanding dengan fentanil bila digunakan untuk
penanganan nyeri intraopcratif pada seksio sesarea. Durasi
dan kualitas analgesia yang dihasilkan untuk penggunaan
diamorfin spinal sama dengan penggunaannya pada
epidural, tetapi kejadian pruritus lebih tinggi pada
penggunaan spinal analgesia.
Penggunaan Intratekal Opioid (!TN)
Fentanyl bisa dipergunakan untuk nullipara atau
multi para.
Jarang dilakukan penyuntikan yang berulang.
Fentanyl lebih sering dipergunakan karena onsetnya
cepat, sedangkan morfin waktunya lebih panjang.
Single dose dari opioid cukup untuk persalinan.
Kombinasi 25ugr fentanyl dengan 250ugr morfin dan
bupivacaine 2,Smg akan memberikan efek selama 4 jam.
376
Sufentanyl 1 Ougr akan memberikan hasil onset cepat,
wakt u lebih panjang dibandingkan dengan Bupivacaine
30mg. z
Fentanyl dan Morfin memberikan analgesia yang baik -l
::0
dan merupakan opioid yang disukai bagi nullipara (lebih ::j
menyenangi !TN dibandingkan dengan Epidural). rn

r
Penelitian mengenai lntratekal opioid (ITN) 0
-0
Pemakaian opioid bisa menimbulkan terjadinya 6
bradikardia yang mendadak atau bertahap yang a
-0
mengakibatkan sering dilakukan seksio sesarea untuk )>
0
menyelamatkan bayi. )>
!TN dengan Fentanyl akan menyebabkan pembukaan iz
cervix lebih cepat dan kelahiran bayipun lebih cepat.
Fentanyl yang dikombinasikan dengan morfin akan �
memberikan waktu (duration) lebih panjang :r:
)>
Sufentanyl akan memberikan onset yang cepat, analgesia s:
r=
yang adekuat dan lebih baik dikombinasikan dengan
morfin dibandingkan dengan epinephrine.
Pemakaian morfin dengan dos is tinggi akan
menyebabkan efek samping yang tinggi.
Apabila morfin dikombinasikan dengan lidokain, onset
dan durationnya lama dan hanya sedikit efek samping
pada fetus.
Kombinasi Fentanyl dan Morfin akan memberikan hasil
yang lebih baik, tidak ada gangguan pada persalinan dan
biasanya dalam waktu 2 - 3 jam bayi akan lahir .
Kombinasi Fentanyl, Morfin, dan Naltrexone sangat
efektif untuk persalinan. •
Efek pada Persalinan
Pemberian Fentanyl akan menyebabkan dilatasi cervix
lebih cepat.
o Kala I lebih pendek dan paling lama 100 menit.
o Bayi yang dilahirkan APGAR Scorenya bagus.
o Side efek nausea kurang.
o Dapat diberikan untuk nulli atau multipara.
o Onsetnya lebih cepat.
o Apabila dikombinasikan 25ug Fentanyl + Morfin
250ug + Bupivacaine 2,Smg akan memberikan hasil 4
jam untuk pain control.
377
Morfin, dengan dosis 2mg:
o Good analgesia
o Laman ya dapat sarnpai 8 jam
c Side efeknya banyak
o Tetapi morfin 0,2mg + 25ug Fentanyl akan
mernberikan analgesia yang baik, lamanya 4 jam dan
)>
z side efek tidak berarti.
m c Hiperbarik morfin dapat dengan cara mencampur
en
-i dengan 7, 5'% Dextrose.
m

0 Efek Samping Opioid
CD
� Paling sering terjadi gatal-gatal (pruritus), diterapi dengan
Naloxone 5mcg/kgBB/jam atau dengan Nalbuphine
� 2,5mg.
Mekanisme terjadinya tidak diketahui dengan pasti, lebih
banyak terjadi pada opioid hidrophilik.
Nausea paling sering karena morfin dan di terapi dengan
12,Smg - 25mg Naltrexone. Kejadiannya terjadi sekitar 20
-25 %.
Retensio urine, terjadi sekitar 30-40%, tetapi pada
parturient tidak bermasalah, karena biasanya post
partum selalu dipasang kateter.
Depresi pernafasan, efek samping yang paling berbahaya.
Sakit kepala,sering terjadi apabila memakai jarum yang
besar dan tehnik penusukan yang memotong dura .
Depresi Pernafasan biasanya terjadi karena:
Blok sampai T4 - TS .
• Pemberian sedasi sehingga pasien tidak allert.
Dosis opioid yang terlalu tinggi (berlebihan).
Mempergunakan opioid soluble water (Morfin,
hydrophilik).
Pada high risk pasien.
Umur > 65 tahun (tidak ada pada ibu hamil).
Simpulan
Intrathecal narkotik biasanya dipergunakan untuk
persalianan, karena:
Tehniknya sangat mudah.
Dosis opioid yang dipergunakan kecil, tidak perlu
mencampur beberapa opioid, dengan satu jenis opioid
sudah memberikan hasil yang baik.
1711
Onsetnya cepat. hanya sayangnya durasinya sebentar.
Tehnik !TN hanya untuk mengurangi rasa sakit.
Biasanya diberikan suntikan tunggal.
Tidak ada gangguan motorik , pasien dapat berjalan dan
baik untuk persalinan 2-3 jam, untuk mempercepat
persalinan biasanya dokter obgin akan memberikan drip
pitocin.
Efek samping sakit kepala terjadi 1-2 %.
Opioid dapat dikombinasikan dengan opioid yang lain
atau dengan obat lokal analgetik.
Daftar Pustaka
1. Charlton JE. Core Curriculum for Education in Pain,
!ASP Press Seattle, 2005. Pain and Pregnancy and
Labour.
2. Di Cianni S. Rossi M, Casati A, Cocco C, Fanelli G. Spinal
anesthesia: an evergreen technique. Acta Biomed
2008;79:9- l 7
3. Dahlgren G, Hultstrand C, Jakobsson J, Norman M,
Eriksson EW, Martin H. Intrathecal sufentanil, fentanyl,
or placebo added to bupivacaine for cesarean section.
Anesth Analg 1997;85: 1288-93
'J.. Evans AT. Obstetrics anaesthesia. Dalam: Manual of
obstetrics. 7Th ed. Texas: Lippincott Williams and Wilkins,
2007,47-65.
J. Grieco WM, Norris MC, Leighton BL. Intrathecal
sufentanyl labour analgesia: The effect of adding
morphine or ephinephrine. Anesth Analg 1993;77: 1194-


54
J. Harten JM, Boyne I, Hannah P, Varveris D, Brown A.
Effects of a height and weight adjusted dose of local
anaesthetic for spinal anaesthesia for elective Caesarean
section. Anaesthesia 2005;60:348-53
Khangure N. Neuroaxial adjuvants. ATOTW 2011;230:1-
10.
s. Leslie NG. Intrathecal narcotics for labour analgesia : the
poor man's epidural. CJRM 2000;5(4):226-9
379
9. Mardirosoff C. Fetal bradycardia due to intrathecal
opioids for labour analgesia. British .Jourrial of Obstetrics
and Gynaecology 2002 109 : 274 - 281
10. Minty RG, Kelly L. Single dose intrathecal analgesia to
control labour pain, Is it useful alternative to epidural
analgesia. Canadian Fam Physician 2007;53:437-42
11. Pedersen H, Santos AC, Steinberg ES, Schapiro HM,
Harmon TW, Finster M. Incidence of visceral pain during
cesarean section: the effect of varying doses of spinal
bupivaeaine. Anesth Analg l 989;69:46-9.
12. Riley ET, Cohen SE, Macario A, Desai JB, Ratner EF.
Spinal versus epidural anesthesia for cesarean section: a
comparison of time efficiency, costs, charges and
complications. Anesth Analg l 995;80:709-12
13. Scott PV, Bowen FE, Cartwright P. Intrathecal morphine
as sole analgesic during labour. l3M.J 1980;28 l :351-5
14. Van de Velde M. Intrathecal sufentanil and fetal heart
rate abnormalities: double blind, double placebo -
controlled trial comparing two forms of combined spinal
epidural analgesia with epidural analgesia in labour.
Anes th Ana lg 2004 98: 11 53- 1159.
15. What is an Intrathecal?: anesthesiologyinfo.com/articles/
cbc/ blintrathecal.php.

,!Iii
B,AB 34
·. · nist�:s�·:;JJit�.:it���iflih�:·-�ri�f ;�;iu�: .· :'.
.�l;�ng_ Sucyono �t,1w�n4o, '�as_wiyan_Adip_rfilija ."< ·.. '. _·: ·. · · .·._
. . _·_�-..'. . ·:'- .'. -.�-.: ... -�:· . .-·.: � . . .-,:=.-·:.�� ·.':. ·.,. '..·.··.'�.� ··.. .--.·: .,·.-.: . ··.··.�.- � :-.··}'
Kebanyakan dokter spesialis kandungan lebih suka
melakukan ligasi tuba segera setelah ibu melahirkan atau
sebelum pasien keluar dari rumah sakit.
Hal ini mempunyai bebcrapa keuntungan antara lain:
• segera setelah rnelahirkan, fundus uteri terdapat antara
umbilicus dan symphisis pubis, maka tuba fallopii
mudah dicari, walaupun sayatan kulit di lingkaran
umbilicus.
• sterilisasi post partum sedcrhana, sehingga tidak
rnenarnbah lama tinggal di rurnah sakit, biayanya
menjadi lebih murah.
Beberapa masalah yang harus menjadi bahan
pertimbangan, antara lain:
perubahan-perubahan fisiologis karena kehamilan belum
berubah ke keadaan normal sampai 6 minggu post
partum.
tidak ada tindakan anestesi dengan lambung penuh
untuk operasi elektif seperti halnya ligasi tuba.
Pedoman praktis ASA untuk anestesi postpartum
adalah:
Waktu yang tepat secara individual, puasa makanan
padat selama 6-8 jam
mempertimbangkan profilaksis aspirasi, dianjurkan
tehnik neuraxial
epidural kateter yang terpasang untuk persalinan ada
risiko gaga! bila dipakai lama postpartum


prosedur tidak boleh mengkhawatirkan aspek lain
pengobatan.
>erubahan Anatomi dan Fisiologi Post-partum
'erubahan Kardiovaskular
Beberapa hari postpartum akan terjadi hipervolemia
elatif, kenaikan darah balik dan terjadi pergeseran cairan
nterstitial ke sirkulasi. Hal ini terjadi karena hilangnya
.ompresi vena cava inferior, turunnya tekanan pada vena
kstremitas inferior dan karena lepasnya plasenta terjadi
.utotransfusi.
381
Perubahan Gastrointestinal
Pada waktu kehamilan terjadi kenaikan progesterone,
schingga terjadi relaksasi sfingter esophagus bawah yang
membuat terjadinya refluks. Pada 24 jam persalinan maka
progesterone akan kcmbali pada level Iase lutcal pada siklus
haid. Disarnping itu uterus gravid yang merubah posisi
)>
z gaster menjadi hilang. Pengosongan lambung yang pada
m persalinan dan awal post-partum melambat, maka setelah
� postpartum lebih 18 jam akan kembali seperti keadaan
m
� tidak hamil dalarn hal pengosongan lambung, volume cairan
0
0::, dan pH lambung. Selama persalinan maka makanan padat
� Iambat melewati lambung. Pengaruh pemberian opioid baik
m
-i parenteral, epidural atau intrathecal akan lambat.
� Pengosongan cairan bening tetap normal, kecuali pasien
mendapat opioid. Sccara umum risiko aspirasi tidak
bertambah pada periodc postpartum.
Waktu untuk ligasi tuba
Ligasi tuba dapat dikerjakan pada postpartum atau
masa interval dirnana pasien tidak dalam keadaan
peripartum. Penentuan waktu untuk ligasi tuba ditentukan
oleh:
1. Faktor pasien
Faktor pasien meliputi persetujuan pasien, dipengaruhi
oleh rasa ketidak pastian, kekecewaan atau risiko
kegagalan.
2. Faktor obstetrik
Pelaksanaan Iigasi tuba dipertimbangkan ditunda bila
ada atonia uteri dan perdarahan, evaluasi prognosis
neonatus dan pada pasien risiko tinggi seperti
kegemukan dan preeklampsi.
Pertimbangan Tehnik Anestesi
Ligasi tuba adalah prosedur minor tetapi dengan
rangsang pembedahan yang intense. Kadang-kadang
diperlukan memperlebar sayatan bedah atau memasang
pack kedalarn peritoneum sehingga diperlukan anestesi
umum. Pada kasus obesitas maka harus ditentukan rencana
tipe sayatan pada dinding perut, dimana disini
rnernpengaruhi pemilihan tehnik anestesi. Diperlukan
komunikasi yang baik antara bedah dengan anestesi agar
pasien dapat ditangani dengan baik.
Risiko anestcsi pada ligasi tuba berupa kornplikasi
jarang dan mortalitas reridah (4 : 100.000). Mortalitas
biasanya berhubungan dengan kesulitan manajemen jalan
nafas terutama pada tehnik anestesi umum. Pada pasien
dipilih untuk anestesi urnum pada 8 jam postpartum maka
per!u mempertimbangkan lama puasa makanan padat dan
apakah pasien memakai opioid selama persalinan. Kemudian
harus dilihat pula apakah masih terpasang kateter epidural.
Evaluasi preoperatif
Harus ditelusuri apakah ada perdarahan pada
persalinan atau adanya atonia uteri. Bila ligasi tuba
dikerjakan kurang dari 8 jam postpartum maka pemeriksaan
hernatokrit tidak diperlukan bilamana persalinan juga
berjalan normal. Bila ligasi tuba pada hari berikut maka
diperlukan pemeriksaan hematokrit. Operasi ditunda bi!a
hemodinamik tidak stabil atau ada perdarahan hebat waktu
partus. Pasien dengan risiko tinggi sebaiknya ditunda 6-8
minggu postpartum.Profilaksis aspirasi dapat dikerjakan bila
ada faktor risiko. Antacid non-particulate yang bening dapat
berefek segera menurunkan pH lambung, sedangkan
pemakaian H2-receptor antagonist dan metoclopropamide
diperlukan waktu 2 jam untuk memperoleh effek optimal.
Pada pasien diabetes risiko aspirasi sangat tinggi, maka
dianjurkan untuk memberikan ketiga obat profilaksis
aspirasi tersebut.
Ligasi tuba postpartum
Ligasi tuba postpartum merupakan prosedur elektif. •
Tidak ada bukti bahwa menunda adalah lebih aman ataupun
tindakan segera postpartum ada hal-hal yang
mengkhawatirkan. Ligasi tuba postpartum relatif lebih
nyaman untuk pasien dan operator karena tehnik operasi
sederhana. Pasien postpartum mempunyai pH lambung
tidak lebih rendah dan volume cairan tidak lebih tinggi
disbanding pasien tidak hamil yang di operasi secara elektif.
Beberapa penelitian menyatakan pengosongan lambung
pasien postpartum melambat kareria pemakaian opioid
selama persalinan. Insidens reflux gastroesophageal kembali
normal pada hari kedua postpartum.
383
Manajemen anestesi pada ligasi tuba
Ada beberapa pilihan tehnik anestesi untuk prosedur
ligasi tuba pada pasien post parturn, antara lain:
1. Manajemen intraparturn
Bila pasien direncanakan ligasi tuba post partum, maka
intrapartum diarahkan dilakukan anestesi epidural.
)>
z Selama intrapartum dihindari pemberian opioid
m parenteral. Jangan diberi masukan melalui oral kecuali
� cairan bening. Setelah persalinan dilakukan profilaksis
m
� aspirasi, kareria prosedur akan dilakukan sesudah
0
0:, persalinan.
2. Waktu untuk operasi
� Dapat dipertimbangkan ligasi tuba segera setelah
� persalinan bila hemodinamik stabil dan telah dilakukan
profilaksis aspirasi, Kateter epidural yang dipakai pada
pcrsalinan dapat dilanjutkan dalarn waktu 10 jam
persalinan.
3. Anestesi lokal.
Pada ligasi tuba dapat dilakukan dengan anestesi local.
Poindexter et al. ( 1990) pada sterilisasi tuba secara
laparaskopik dengan midazolam (5-10 mg), fentanyl (50-
100 ug) kemudian dilakukan infiltrasi 10 ml bupivacaine
0.5%. Pasien dipasang trocard dan diinsufflasi dengan
N20. Melalui trocard disernprotkan 5 ml bupivacaine
0.5%. Pada pasien dipasang cincin pada tuba. Setelah l
jam di PACU pasien dipulangkan.
4. Anestesi epidural
Ketinggian blok sensoris pada epidural analgesia
• diharapkan sampai T4. Sesudah dosis tes epidural
negative, dipakai 3% 2-chloroprocaine, kecuali ada
rencana prosedur lebih panjang. Bila sudah terpasang
kateter epidural untuk persalinan, risiko gaga! lebih
tinggi bila jarak persalinan dengan operasi makin
panjang. Untuk analgesia intraoperatif dan postoperatif
dapat diberikan fentanyl 50-100 ug melalui kateter
epidural.
5. Anestesi spinal
Level yang harus dicapai adalah dermatom T4.
Dianjurkan pada ligasi tuba yang tertunda postpartum
atau operasi segera dan belum terpasang epidural atau
anestesi epidural yang dipasang tidak adekuat hasilnya.
Dipakai jarum kecil (27 G), non-cutting, pencil point.
1.R4
Obat yang dipakai dapat lidocairie 75 mg dengan fentanyl
10-25 ug atau bupivacaine 7.5 mg ditambah fentanyl 10-
25 ug.
Dosis anestesi lokal untuk spinal anestesi kembali ke
kebutuhan non-pregnant dalam 12-36 jam postpartum.
Analgesi rnultimodal postopcratif mcnarnbah baik
mobilisasi maternal dan infant bonding, juga membuat
pulang dari RS lebih awal.
6. Anestesi Umum
Anestesi umum dilakukan dengan RSI dengan Sellick's
maneuver. Setelah intubasi trachea dilakukan ventilasi
control. Pemakaian anestesi volatile yang dipakai jangan
dengan konsentrasi tinggi (tidak lebih dari 1 MAC). Bila
dipakai obat pelumpuh otot nori-depolarisasi diperlukan
pemantauan tingkat blockade neuromuscular. Obat
anestesi modern tidak terdapat pada AS! dalam jumlah
yang bcrpengaruh pada bayi. Lama kerja succinylcholin,
rocuronium, mivacurium, vecuronium memanjang pada
postpartum. Lama kerja atracurium tidak berubah,
sedangkan lama kerja cisatracurium jadi memendek pada
postpartum.
bu dengan risiko tinggi
Ibu dengan morbid obese atau kelainan sistemik berat
iarus dipersiapkan di rumah sakit dan dikerjakan di kamar
iperasi yang lengkap. Ibu dengan kelainan jantung seperti
;angguan kelep jantung mekanik, sindroma Eisenmenger,
.indroma Marfan (ditambah aortopathi dimana aortic root >
fO mm) atau kardiomiopathi (ditambah LVEF < 40%) maka •
iarus dipersiapkan seperti pasien dengan penyakit jantung
mtuk operasi non-jantung. Penanganan multidisiplin
liperlukan untuk mendapatkan hasil optimal.
fasalah Ligasi Tuba di Indonesia
Di Indonesia maka ligasi tuba yang dikenal sebagai
·10W (metode operasi wanita) menjadi program BKKBN. Di
ndonesia kebanyakan dilakukan secara missal dari akseptor
ang dikumpulkan oleh PLKB. Namun disini masih
erkendala biaya sehingga keselamatan pasien) (patient
afety) kurang mendapat penanganan yang optimal.
iiperlukan EBM yang berbasis pada penelitian didalam
egeri dan berdasar kendali mutu maupun kendali biaya.
385
Aspek medikolegal harus mendapat perhatian sehingga
pasien aman dilakukan secara klinik maupun secara
hukum. Pada tindakan MOW harus dibuat PTM dengan
tanda-tangan suami isteri, dibuat catatan medik dan
dilaksanakan pada fasilitas pclayarian medik yang
memenuhi persyaratan. Obat dan peralatan crnergcnsi harus
)>
z siap ditempat dan berfungsi secara baik.
Bukti klinik (EBM) di Indonesia antara lain oleh Ari
m Yuniarto et al. (2011) yang membandingkan daya guna
ill kombinasi Diazepam (0.1 mg/kg) dan Pethidin (2 mg/kg)
0 intravena dengan Diazepam (0.1 mg/kg) dan ketamin (0.3
Ill
mg/kg) intravena untuk anestesi pada operasi. Sebelum
� sayatan dilakukan infiltrasi kulit dengan lidocaine 2%. Kasus
� yang dilakukan MOW disini adalah fase interval. Hasil
penelitian diatas dapat dilihat pada tabel 1.
_!_�be! 1. Basil Penelitian_�i Yunj§lrto dkk.J�O 11�---
Diazepam.Petidin Diazepam.Ketamin p
Level sedasi
Ramsay 75% 64'Yu 0.30
Score 4-6
Ramsay 25% 36°/c, 0.36
Score 0-3
Tidak bergerak 88% 69% 0.04
irisan 1
Relaksasi usus 94% 88% 0.39
Stabilitas 100% 100%
respirasi
Stabilitas 100% 100%
kardiovaskuler
Tan pa 81% 58% 0.004
komplikasi di
RR
Sedangkan Anton S. et al. (2012) meneliti anestesi pada
MOW dengan mempertahankan level anestesi pada BIS 40-
60. Penelitian mi membandingkan kelompok A yang
mendapat propofol 1.5 mg/kg ditambah ketamin 1 mg/kg
secara bolus diteruskan dengan infuse propofol 4 mg/kg dan
ketamin 1 mg/kg per- jam, dibandingkan dengan kelompok
B yang diberikan propofol 1.5 mg/kg dan fentanyl 2 ug/kg
diteruskan secara kontinyu propofol 4 mg/kg dan fentanyl 2
ug/kg per-jam. Selama tindakan diberikan dosis rescue
386
propofol bila nilai BIS diatas 60 untuk diturunkan sampai
BIS 40-60. Hasil penelitian diatas dapat dilihat pada table 2.
fabel 2. Hasil Penelitian Anton S. dkk�;:u__
____________ Kelom:e_ok A _ Kelom�B ____:e.___
Propofol kont inyu (mg) 106.75 ±15.42 108.50 ±13.45
Propofol kontinyu (mg) 78.75 ±23.83 106.0 ±27.66 <0.05
Total propofol (mg) 264.88 ±30.03 295.29 ±42.35 <0.05
Bergerak pada sayatan 25°/i, 62.5'Y., <0.05
pertam'.1
Untuk mengetahui masalah PONV pada anestesi umum
\10W, Bintang B. et al. (2012) membuat penelitian dengan
nembandingkan kelompok A midazolam 0.05 mg/kg dan
cetarnin 0.3 mg/kg dengan kelompok B midazolam 0.05
ng/kg dan pethidine 2 mg/kg. Kejadian PONV pada
celompok A ada 29.4% dan kelompok B 49.4% (p 0.001).
\ngka PONV ini masih cukup tinggi sehingga perlu
lilakukan penelitian dengan menggunakan anti emetika.
,impulan
Anestesi pada ligasi tuba dapat dikerjakan pada
rostpartum atau masa interval. Pada periode postpartum
iarus memperhatikan perubahan fisilogi yang terjadi pada
iasca persalinan terutama yang berkaitan dengan
iemodinamik dan bahaya aspirasi. Tehnik epidural yang
likerjakan selama persalinan dapat tetap dipakai dan masih
ffektif bila dipakai kurang dari 10 jam postpartum.
Pada anestesi pada MOW masa interval maka dapat
lengan local anestesi dan instillasi rongga abdomen,
reuraksial, anestesi umum dengan TIVA atau inhalasi
.nestesi.


>aftar Pustaka
Antonius S, Calcarina FRW, Bambang SS. Perbandingan
daya guna TIVA kontinyu antara propofol 1.5 mg/kgbb iv
-ketamin 1 mg/kgbb iv dengan propofol 1.5 mg/kgbb iv -
fentanyl 2 ug/kgbb iv dalam mencapai bispectral 40-60
pada MOW 2012.Unpublished.
Ari Y, Bhirowo YP, Untung W. Perbandingan daya guna
diazepam 0.1 mg/kgbb-pethidin 2.0 mg/kgbb iv dengan
1Q7
diazepam 0.1 mg/kgBB - Ketamin 0.3 mg/kgbb iv untuk
operasi MOW 2011. Unpublished.
3. Bintang B, Sri Rahardjo, Bambang SS. Perbandingan
kejadian mual dan muntah pada anestesi midazolam
0,05 mg/kgbb iv-ketamin 0,3 mg/kgbb iv dengan
)>
z midazolarn 0.05 mg/kgbb iv-pethidin 2 mg/kgbb iv pada
m
CJ) tindakan MOW 2012. Unpublished.
-I
m
� 4. Bucklin AB. Postpartum Tubal Ligation. Dalam: Bucklin
0
0, BA, Cambling DR, Wlody DJ, eds. A Practical Approach to
en
-I Obstetric Anaesthesia. Philadelphia: Lippincott Williams
� & Wilkins; 2009.

5. Hawkins JI. Postpartum Tubal Sterilization. Dalam:
Chestnut DH. Chestnut's Obsteric Anaesthesia. Principles
and Practice. 41h ed. Mosby Elsevier; 2009.
6. Norris MC. Handbook of Obstetric Anaesthesia.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000, 530-
35.
7. Rolbin SH, Morgan PJ. Anesthesia for Postpartum
Sterilization. Dalam: Shnider and Levinson's, eds
Anaesthesia for Obstetrics. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2002.
388
B.\ B 35
Diperkirakan l 0%, bayi baru lahir mcmerlukan bantuan
untuk bernafas pada saat lahir dan hanya l '% yang
memburuhkan resusitasi yang ekstensif. Penilaian awal
har us dilakukan pada semua bayi, apakah cukup bulan,
apakah bayi bernafas, menangis, dan apakah torius bayi
baik. Pada bayi yang lahir cukup bulan, menangis, tonus
ototnya baik, bayi dikeringkan dan dipertahankan tetap
hangat, bayi dibaringkan didada ibunya. Bayi yang tidak
memenuhi kriteria seperti tersebut perlu dilakukan
resusitasi.
Anatomi Saluran Nafas
Didalam intra uterine saluran tracheobronchial diisi
oleh cairan ultrafiltrasi plasma sebanyak 30ml/kg. Pada
waktu kelahiran cairan tersebut akan hilang dari paru-paru
fetal, karena (1) pada waktu persalinan pervagina terjadi
penekanan pada rongga dada fetal, sedangkan pada
persalinan dengan seksio masih tersisa cairan tersebut, (2)
sepertiga dari cairan tersebut akan diabsorbsi oleh sistern
limfatik (3) sebagian cairan tersebut akan dikeluarkan •
sendiri oleh fetal (4) akan di suction setelah lahir.
Neonatus mempunyai otot leher yang masih
lemah/lembek, leher lebih pendek, sulit utuk menyangga
atau memposisikan kepala dengan tulang occipital yang
menonjol. Lidah besar, epiglotis berbentuk "U" dengan
proyeksi Jebih ke posterior dengan sudut kurang lebih 45
::lerajat, relatif lebih panjang dan keras, letaknya lebih tinggi,
bahkan menempel pada palatum molle sehingga cenderung
bernafas melalui hidung. Akibat perbedaan anatomis
epiglotis, saat intubasi kadang-kadang diperlukan
oengangkatan epiglotis untuk visualisasi. Lubang hidung,
slottis, pipa tracheobronchial relatif sempit, yang
nenyebabkan terjadinya peningkatan retensi jalan nafas,
sehingga mudah sekali tersumbat oleh lendir dan edema.
l'rachea pendek berbentuk seperti corong dengan diameter
ersempit pada bagian cricoid.
389
Pernafasan:
Rongga dada lemah dan kecil dcngan iga yang
horizontal dan diafragma terdorong kcat as olch 1s1 perut
yang besar. Kemampuan untuk memelihara tekanan negatif
intratorak dan volume paru rendah , schingga mudah
terjadinya kollaps alveolus da n neonatus bernafas
)>
z diaframatika.
m Pada posisi telentang dinding abdomen cenclcrung
Cf>
-t mendorong diafragma keatas, sehingga paru-paru
m
� berkembang tidak optimal yang akan menyebabkan
0 pcnurunan Functional Residual Capacity (FRC), sedangkan
OJ
� volume tidal relatif tetap. Untuk mcningkatkan ventilasi
m
-t paru-paru dapat dilakukan dengan cara meningkatkan
:!1 frekwensi pernafasan, karena itu neonatus mudah sekali
gaga! nafas. Meningkatnya frekwensi pernafasan dapat
akibat rnetabolisme neonatus yang relatif tinggi, sehingga
kebutuhan oksigen juga tinggi, dua kali dari kebutuhan
orang dewasa,
Prinsip Umum untuk Resusitasi Neonatal
Resusitasi Neonatal berdasarkan beberapa sumber
antara lain: (I) Neonatal Resuscitation Program, (2) American
Academy Pediatrics, (3) American Heart Association.
Faktor yang berpengaruh sehingga diperlukan
resusitasi adalah:
I. Faktor ibu
a. Umur ibu < 15 tahun atau >35 tahun
b. Ibu yang pendek < 150 cm atau BB, 4 7kg
c. Persalinan yang sukar atau perinatal death.
2. Kehamilan
a. Kehamilan ganda.
b. Ibu yang sakit, anemia, hepatitis, diabetes, HIV,
malaria, drug dan alkohol.
c. Post term: > 42 minggu.
3. Se lama persalinan
a. Fetal distres pada waktu persalinan.
b. Partus lama, terutama pada kala 2.
c. Adanya mukonium.
d. Tali pusat menumbung.
e. Malpresentation.
f. Pecah ketuban > 24 jam.
g. Panas pada waktu persalinan.
390
h. Perdarahan setelah 8 bulan.
L Persalinan dengan seksio sesarea atau ibu rnernakai
opioid analgesia.
j. Prematur.
:::0
m
Alat yang diperlukan untuk resusitasi: (/)
l. Pemanas (Radiant Warm) c
en
2. Alat untuk suction dengan kateter isap.
3. Bag dan Mask: LMA, oral airway, beberapa ukuran mask. �
4. Alat untuk intubasi: laringoskop, pipa endotrakheal, j;
stylet, sarung tangan. �
5. Oksigen dinding dengan 02 fl.ow meter, 02 tubing. z
m
6. Obat obatan dan cairan. 0
7. Pulse oksimetri. !
8. Cardiac Monitor. c
(/)
9. Stetoskop.
10. Baju dan masker.
11. Catatan.
Pedoman Penting pada Newborn Life Support
Pada bayi normal pengikatan tali pusat dapat dilakukan
satu menit setelah bayi lahir dan biasanya tidak perlu
dilakukan resusitasi.
Pada aterm infant cukup diberikan udara ruangan,
apabila ada masalah nafas diberikan oksigen dengan
monitor pulse oxymetri.
Preterm infant < 32 minggu langsung diberikan oksigen
dengan monitor pulse oxymetri, dan biasanya bayi
mengalami gangguan elektrolit. •
Pengisapan lendir, mukonium pada abdomen ibu tidak
dianjurkan dan apabila ada penyumbatan pada jalan
nafas karena mukonium dilakukan intubasi.
Preterm infant < 28 minggu, sering terjadi hipotermia
karena luasnya permukaan tubuh dibandingkan dengan
berat badan. Bayi harus Iangsung ditutupi dengan
selimut/plastik tanpa dikeringkan dahulu. Suhu kamar
dibuat 26 C.
Apabila diperlukan CPR, perbandingan 3: 1
Langkah awal dari resusitasi
Bayi harus diusahakan tetap hangat dengan
meletakan bayi dibawah pemancar panas dan ditutup
391
dcnga n sclimut at au plast ik , harus selalu clilakukan
pcnilaian.
Bayi lahir sehat, biru tcrapi tonusnya baik clan menangis
dalarn beberapa dct ik , dcnyut jantungnya aka n mernbaik
dalam beberapa menit. Harga normal denyut jantung
bayi: 120 - 150 x/rnenit.
Pada bayi lahir biru , tonusnya kurang baik, denyut
jantung bayi biasanya < 100 x/ menit dan respirasi tidak
adekwar, dilakukan bant uan nafas.
Bayi yang lahir tampak sakit, pucat, lernah, tidak
bernafas, denyut jantung tidak dapat didcngar, harus
secepatnya dilakukan rcsusitasi.
Denyut jantung bayi dapat dirasakan pada tali pusat,
tetapi paling baik dengan stetoskop bayi dan apabila
memungkinkan dengan pulse oksimetri.
Evaluasi dari neonatus sebaiknya dengan
mcmpergunakan Apgar score dan angka yang baik antara 8-
10.
Tabel 1. A2gar Skor
TANDA 0 1 2
Appearance Biru, pucat Tubuh merah, Merah seluruh
(warna kulit) Ekstrimitas Ekstrirnitas tubuh
biru biru
Pulse/ heart Tidak ada < 100 kali/menit >100
rate [denyut kali/menit
jantung)
Grimace Tidak ada Menyeringai Batuk, bersin
(reflek) Mcnangis
Activity Lem as Fleksi Gerakan aktif
(Tonus Otot ) Ekstrimitas Fleksi
• Respiration Tidak ada
Le mah
Tidak teratur
Ekstrirnitas
Tangis Kuat
Teratur.
�rnafasan) Dangkal
Inti dan Pengetahuan Ketrampilan Resusitasi
1. Airway, jalan nafas harus terbuka tidak ada
penyumbatan
2. Respirasi, mernberikan ventilasi dengan oksigen
3. Sirkulasi.
4. Pemberian obat
5. Mengurangi pengeluaran panas.
392
Airway (Jalan Nafas)
Sebelum melakukan tindakan pada jalan nafas, kita
harus mengetahui dahulu umur kehamilan, periksa
tonus otot, apakah bayi mcnangis dan ini dilakukan
untuk mcnentukan tindakan selanjutnya. ::0
m
Selanjutnya diperiksa denyut jantung bayi. (/)
Sccara rutin bayi harus diselimuti untuk menghindari c
(/)
hipotermia.
Jalan nafas harus terbuka, apabila ada sumbatan karena i
"U
lendir harus dilakukan pengisapan dan pengisapan )>
dimulai dari mulut dahulu. Apabila dilakukan �
pengisapan melalui hidung dahulu, akan timbul z
m
rangsangan dan bayi akan bernafas. 0
z
Kepala dalam posisi netral dan sedikit fleksi. �
Jangan mengganjal balm bayi. c
(/)
Dapat dilakukan Chin Lift a tau Jaw Trust.
Apabila ada surnbatan karena mukoniurn harus
dilakukan intubasi untuk membersihkan jalan nafas.
Mukonium adalah feces pertama dari bayi baru lahir.
Mukonium bersifat kental, pekat dan berwarna
kehijauan. Sekitar 15% kasus mukonium dikeluarkan
sebelum persalinan dan bercampur dengan air ketuban.
Tidak jelas kenapa mukonium dapat keluar sebelum
persalinan, kadang kadang karena janin tidak cukup
mendapat oksigen (gawat janin).
Membersihkan jalan nafas karena mukonium dilakukan
sebelum bayi bernafas.
- \

u, Removal of
1oCtrtlio11� from mouth
,ambar 1. Pengisapan leridir
393
Respirasi
Pada bayi yang tidak bernafas dan denyut jantung < 100
kali permenit, lakukan bant uan nafas dengan teka na n
positif dan monitor saturasi. Apabila clenyut jantung
tidak ada pcrbaikan, perhatikan apakah ada kebocoran
dari face mask dan sebaiknya dilakukan intubasi.
Selanjutnya dilakukan vcntilasi manual dengan AT piece
device dan jluw inflating baq dapat dengan face mask: saja
atau dengan ETT.
Pemasangan intubasi endotrakeal (ETT) atas indikasi:
o Pengisapan mukonium yang kcntal
o Jika ventilasi dengan balon sungkup tidak cfektif.
o Jika dilakukan resusitasi dengan kornpresi dada.
o Pada keadaan khusus seperti hernia diaphragma
kongenital atau bcrat badan bayi (BBL) yang sangat
rendah.
Seting T - piece device :
o Gas Flow Rate: 10 liter/menit
o Tekanan Maksimum: 50 cm H20
o Peak Inspiratory Pressure (PIP ), bayi aterm: 30 cm H20,
Prematur: 20 - 25 cm H20.
o Positive end Expiratoru Pressure (PEEP): 5 - 8 cm H20.
Dengan PEEP diharapkan FRC akan stabil dan
oksigenisasi lebih baik.
Frekwensi ventilasi 40-60 kali perrncnit, apabila
dilakukan hiperventilasi akan terjadi penurunan kadar
C02 (< 30 mmHg) sehingga terjadi depresi pada pusat
pernafasan dan penurunan aliran darah otak. Ventilasi
yang adekuat akan terlihat dari perubahan denyut
jantung bayi menjadi > 100 kali permenit dan
oksigenisasi-pun akan mernbaik.
Hindari melakukan hiperventilasi pada bayi dengan
kelainan paru, misalnya pada peripartum hipoksia
iskemia.
Apabila tidak ada perbaikan dan denyut jantung tidak >
100 kali permenit, diperiksa apakah tehnik yang
dilakukan adekuat dan dapat meningkatkan PIP.
Penggunaan oksigen atau oksigen ruangan:
o Pada aterm, dapat mempergunakan oksigen ruangan
(21%)
394
1
o Pada preterm (<32 minggu), oksigen 21 % - 30 Yc,
c Lakukan monitor dcngan pulse oksimetri
Bayi yang sehat dengan denyut jantung yang baik akan
mulai bernafas dalam waktu 90 detik.
Apabila bayi bernafas tidak adekuat berikan bantuan
nafas sebanyak 5 kali.
Suplemen Oksigen diberikan pada:
Bayi yang bernafas spontan tetapi kulit berwarna biru.
Oksigen diberikan 6L/menit dan jarak dari hidung 0,5
in chi.
Pada penelitian dari Davis et al, didapatkan bahwa
pernberian oksigen 21 °/rJ survival ratenya lebih tinggi
dibandingkan dengan oksigen 100% pada bayi aterm dan
preterm. Pemberian oksigen 100%, akan menghambat
nafas spontan dan menangis.
Penilaian oksigen setelah lahir :
o In utero, fetal Sp02: 50%-60'%, sedangkan pada
intrapartum: 40% - 50%
o Dalam waktu 5 menit setelah lahir Sp02: > 90'Yo dan
perubahan dari saturasi akan meningkat secara
bertahap setelah 1 menit.
Harus dilakukan monitor pernafasan dan denyut jantung
bayi dan paling baik dengan pulse oksimetri
II
Gambar 2. Suplemen oksigen
395
Nafas buatan tidak berhasil [paru-paru tidak berkembang)
dapat karena:
Posisi kepala bayi
Adanya sumbatan di oropharynx.
Adanya sumbatan di trakea.
Tidak melakukan jaw thrust.
� Sebaiknya mcrnakai guedel.
rn Diperlukan inflation time yang panjang.
-f

0
OJ

m
.:!;!
Gambar 3. Nafas buatan
Sirkulasi
Dilakukan perneriksaan denyut jantung, apabila <60
kali permenit lakuka.n kompresi dada. Pemeriksaan denyut
jantung bayi dapat melalui umbilikalis atau pada arteri
brachialis. Angka normal denyut jantung bayi antara 120 -
180 kali permenit. Apabila denyut jantung < 100 kali
permenit berarti terjadi penurunan oksigen.
Kompresi dada dilakukan apabila kita yakin bahwa paru-
paru telah berkembang (berisi oksigen).
Ratio kompresi dilakukan dengan perbandingan 3: 1.
Kompresi dada diberikan apabila denyut jantung bayi <
60x/menit.
396
Kompresi jantung dihcntikan apabila denyut jantung bayi
>60x/menit.
Obat diberikan bersarnaan dengan rcsusitasi CPR.
Resusitasi berhasil apabila ada perbaikan pada respirasi,
denyut jantung, ton us otot dan saturasi. ::0
m
(/)
Metode kompresi c
(/)
Dengan dua jari dibawah garis puting susu.
Dua tangan melingkar dada dan dua jari dibawah garis i
puting susu. �

z
m
0

c
(/)
Gambar 4. CPR •
Temperatur Kontrol
Bayi yang lahir < 1500 gram, umumnya akan terjadi
hipotermi dan harus mendapat perhatian kusus. Bayi harus
ditutupi dengan plastik polyethylene atau plastik penutup
makanan dan diletakan dibawah pemanas. Monitor suhu
bayi harus dilakukan dengan ketat. Ternperatur ruangan
diatur antara 250C-260C.
Obat
Umumnya obat jarang diberikan, apabila kompresi dada
yang dilakukan adekuat. Obat yang diberikan adrenalin ( 1:
397
10.000), Nau iuui bicarbonat (ideo lnya 4,2%) dan Dextrose
( 1 O'Yc,), pemberian paling baik melalui vena umbilikalis.
Anjuran:
Epinephrine 10 mcg/kg BB (0, lml/kgBB dengan konsentrasi
1: 10.000, bila tidak efektif dosis dinaikkan sampai 30mcg/
kgBB (0,3ml/kgBB dengan konscnirasi 1: 10.000), diberikan
melalui vena urnbilikalis.
Pemberian melalui trakea dosis 0,5 - 1 ml/kgBB dengan
konsentrasi l : 10.000 dalam spuit 3 ml - 6 ml. Denyut
jantung diperiksa setiap satu mcnit dan pernberian
epinephrine dapat diulangi setiap 3 - 5 menit.
Obat lain
Plasma ekspander jarang diberikan, pada bayi yang
overweight biasanya diberikan dextrose 1 O'lc,.
Pada hipovolemia diberikan NaCl 0,9% sebanyak
lOml/kgBB.
Natrium bikarbonat 4,2'%: 2meq/kg BB iv.
Naloxone hydrochloride: 0, 1 mg/kg BB iv, ETI', im, subkutan.
Dopamin: 5mcg/kgBB/menit dapat dinaikan sampai
20mcg/kgBB apabila diperlukan.
CPR dihentikan apabila selama 10 menit tidak memberikan
hasil pada jantung ataupun respirasi (tidak berdenyut dan
tidak bernafas) Kemungkinan ada kelainan pada organ
vitalnya atau organ belum matur.
Intrauterine Fetal Resusitasi
• Masalah selama persalinan adalah bagaimana pasokan
darah dari plasenta ke fetus. Transportasi oksigen yang
kurang pada fetus dapat menyebabkan hipoksia dengan
metabolik asidosis dan laktik asidosis. Apabila fetal distres
cepat diketahui, secepatnya bayi dilahirkan.
Resusitasi intrauterin adalah untuk memperbaiki
pasokan oksigen ke fetus:
l. Mengurangi terjadinya aortacaval kompresi dengan posisi
tidur miring ke kiri tidak telentang.
2. Oksigen, berikan suplemen oksigen 15 liter/menit
melalui Hudson Mask dengan reservoar bag.
3. Tocolysis, stop pemberian oksitoksin yang menyebabkan
terjadinya hiperstimulasi pada uterus.
398
4. Maternal sirkulasi suport, dapat diberikan liter
kristaloid apabila ada fetal distres, tetapi tidak pada pre
eklampsia. Apabila ada perdarahan secepatnya diganti
dengan darah atau koloid dan dapat diberikan
vasopresor.
Hal yang perlu diperhatikan pada resusitasi Neonatal
Sebaiknya ada pulse oxymetri untuk monitoring saturasi.
Tidak direkomendasikan melakukan penyedotan lendir
intraparturn.
LMA bisa dipergunakan apabila dengan face mask tidak
berhasil atau gaga! melakukan intubasi.
Apabila dalam waktu 10 menit resusitasi tidak berhasil
sebaiknya dihentikan.
Sedangkan tujuan dari resusitasi Neonatal adalah untuk:
o Mendapatkan bayi yang sehat.
o Waktu sangat menentukan keberhasilan.
o Kecepatan resusitasi sangat penting.
o Persiapan alat dan tenaga harus lengkap.
Rekomendasi Resusitasi pada Neonatus
Pada mukonium yang lengket dan tidak bisa dihisap baru
dilakukan intubasi.
Apabila oksigen dinding (100%) tidak berfungsi, cukup
memakai oksigen ruangan.
Cairan yang dipergunakan NaCl.
Hipertermia harus dihindarkan. I
Kompresi jantung harus dimulai, apabila denyut jantung
bayi <60x/menit.
Kompresi jantung CPR 3: 1
Kompresi jantung Iebih baik mernakai tehnik dengan dua
tangan melingkari dada bayi.
LMA dapat dipergunakan apabila intubasi gaga!.
Tidak memakai epinephrine dengan dosis tinggi.
Apabila intravena tidak dapat dipergunakan, lakukan
intra osseus.
Pada beberapa keadaan kongenital bayi, misal
anencephal, trisomi dll sebaiknya tidak usah dilakukan
resusitasi.
.199
Daftar Pustaka
J • Davidson A. Neonatal Resusitation: Techniques to
Improve Outcome. University of California-Davis, Davis,
CA, USA, 81 st Western Veterinary Conference.
2. Datta S. Kodali BS, Segal S. Obstetri Anesthesia
Handbook, edisi ke-5. New York: Springer; 2010, 231-48.
3. Iradakuna C, Lambert B, Moreiras J. Resuscitation of
Newborn, ATOTW 167, 25/ 10/2010
4. Neonatal Resuscitation Guidelines 2010, Newborn Life
Support, Resuscitation Council UK.
5. New Australian Neonatal Resuscitation Guidelines, J
Paediatri Child Health 2007, Jan -· Feb 43 (6), 504.
6. Shelby. Country EMS Training Division, Newborn
Resuscitation.
7. Wiswell TE. Neonatal Resusitation. Respiratory Care
2003,48 (3)
8. Victorian Newborn Resuscitation, http://www neoresus
org.au.
9. Wyllie J, et al. Part 11 Neonatal Resuscitation, 2010
International Consensus on Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care
Science with Treatment Recomendation Resuscitation
2010; 81S:e260-e287.

400
Kegagalan uterus untuk kontraksi sesudah kelahiran
rnerupakan penyebab perdarahan postpartum. Faktor
predisposisi dan pcnyebab dari perdarahan post part urn
salah satunya adalah atonia uteri.
Penyebab atonia uteri:
Obat anestesi inhalasi: halogenated hydrocarbons
(Halothane)
Perfusi myometrium yang jelek: terjadi hipotensi
• Perdarahan
• Analgesik
Uterus overdistended
• Gemelli
• Hydramnion
• Bayi yang besar
Prolonged Labor
Very rapid labor
Induksi oksitosin
Persalinan pada multi para •
Atonia uterus pada persalinan yang lalu ,
Chorio Amnionitis
Sesudah persalinan kelahiran bayi dan lepasnya
olasenta diikuti dengan kontraksi uterus. Bila kontraksi
.iterus gaga! akan terjadi perdarahan massif dan berakibat
atonia uteri. Wanita dengan multigravida/multipara apabila
nanajemen yang kurang benar pada stadium ketiga
oersalinan dapat menimbulkan perdarahan postpartum.
:>ada stadium ini seharusnya kelahiran plasenta dilakukan
iengan cepat secara manual. Pelepasan plasenta yang tidak
cornplit akan meningkatkan jumlah perdarahan.
Pemberian oksitosin dengan infus yang cepat tidak
-fektif, Beberapa ahli klinik memberikan methylergonovine
ntra muskular (0,2 mg).
Pemberian derivat ergot intravena dapat menyebabkan
iipertensi, ini berbahaya pada pasien dengan preeclampsi.
401
Prostaglandins
Derivat 15 methyl prostaglandin F2x (carboprost
tromethaminc) dapat digunakan untuk terapi atonia uteri.
Dosis initial 250/pg (c=0,25 mg) diberikan intra muskuler dan
diulang dengan interval 15-90 mcnit sarnpai dosis maximal 8
kali dosis.
)>
z Eick samping pernbcrian carboprost:
m Diarrnca
Cl)
-I
m Hipertcnsi
� Vomiting
0
CD Fever
� Flushing
� Takikardi
� Hal ini dihubungkan dengan adanya pulmonary airway
kontriksi dan vaso kontriksi. Beberapa pcncliti
menggunakan prostaglandine sinrctik dapat lebih efektif bila
oksitosin t idak ada perbaikan.
Misoprostal dapat digunakan untuk mencegah
perdarahan post partum. Tctapi menurut Villar dkk (2002)
meridapatkan bahwa pemberian oksitosin dan preparat ergot
selama stadium ke tiga dari persalinan lebih efektif
dibanding misoprostol untuk mencegah perdarahan post
part um.
Terapi Atonia Uterus
Bimanual uterine massage
Pemberian oksitosin atau derivat ergot
Jika uterus tidak ada respons terhadap terapi physical
dan farmakologis, bisa diberikan injeksi intra muskular
15 - methyl prostaglandin F 2u dengan interval 15-90
menit
Jika dicuragai ada sisa plasenta dilakukan explorasi dan
pelepasan plasenta secara manual
Mungkin perlu dilakukan curettage. Genetalia diperiksa
dengan teliti bila ada laserasi perlu dilakukan repair
Perlu sampel darah untuk pemeriksaan clotting time
maupun pemeriksaan yang lain: hemoglobin/hematokrit,
jurnlah thrombosit, prothrombin time, partial
prothrombin time dan fibrinogen.
Bila terapi konvensional gaga!, dicurigai adanya plasenta
akreta maka ada indikasi dilakukan laparatomy untuk
402
ligasi arteri hipogastrika bilateral atau dilakukan
histerektomi.
Pada umumnya tidak dilakukan packing karena dapat
menutupi akumulasi perdarahan yang banyak.
Daftar Pustaka
1. Cunningham FG. Williams Obstetrics. Twenty-second ed.
McGraw-Hill co; 2003, 826-27.
2. Katsuo TK. Antepartum hemorrhage. Dalarn: Birn Bach
DJB, et al, ed. Textbok of Obstetric Anesthesia. Churchill
Livingstone;2000, 392-434.
3. Norris MC. Obstetric Anesthesia. Lippincott Co; 1993,
241 ·242.

403
)>
z
m
en
-l
m

0
CJ

!:!1


404
BAB37
.:Me�t��fp�diAisist� �e�i���cti�e: te�h��ti>Ji;
Bambang Suryoi:io ·suwondo,· Achsanuddin Hamme ·.. ·. � .. :, -. · , . '.:
'·.· : ..·.� �' <.:_ ........ ·� 1\:.:... ' ·�· '. . ·. >-�:.: .:·-.,- · .. ·,, • ... .: . ,:':�.
Pada tahun 1978 Steptoe dan Edwards berhasil melahirkan
bayi tabung pertama melalui fertilisasi in-vitro (in-vitro
fertilization). Mereka dapat memperoleh oocyte tunggal,
kemudian dilakukan inseminasi in-vitro. Embryo tumbuh
pada media kultur dua setengah hari menjadi stadium
delapan sel. Dilakukan transfer embryo kedalam cavurn
uteri dan tumbuhlah embryo dalam cavum uteri menjadi
fetus.
lndikasi untuk dilakukan tehnologi reproduksi bantuan
adalah: 1) Kualitas a tau jumlah oocyte tidak adekwat (terapi
oocyte donor), tidak mempunyai uterus atau uterus tidak
dapat diperbaiki (program pinjam uterus) dan ada ko-rnorbid
yang bermakna pada ibu (penyimpanan embryo), 2)
Defisiensi sperma dan 3) Aberasi genetic tertentu pada
pasangan suami isteri.
Prosedur tehnologi reproduksi bantuan (ART) meliputi
stimulasi hormon, pengambilan oocyte melalui GIFT (gamete
intra fallopian transfer) dan ZIF'T (zygote intra fallopian
transfer), pembuahan in-vitro (IVF) dan transfer embryo
(embryo transfer/ET) kedalam cavum uteri.

.i -j--
' r--Suction](
p /
�) /.
m
LJ(
CoftectiOn tube "-----
40'i
Efek anestesi pada reproduksi
Pada tahun J 987 Boyers et al. mernperoleh oocyte dengan
lapara skopik dengan anestesi um um. Obat anestesi va ng
digunakan adalah isoflurane atau enflurane + 50"1., N_iO. Bila
proses pcngambilan oocyte ini berkcpanjangan yang bcra rt i
pula pernaparan terhadap obat ancstesi juga mcrrianjung,
maka kecil kemungkinan oocyte yang diperoleh dapat
dibuahi. Kemungkinan penyebab nya adalah: 1. Asidifikasi
cairan follikel oleh carbon dioxide intraperitoneal dan/atau
2. Effek dari anestesi. Secara spesifik obat anesresi clapat
berpengaruh dengan menilai: 1. Cara pemberian, 2. Dosis
obat anestesi 3. Kombinasi dengan obat lain, 4. Waktu
pemberian dan 5. Lama pemaparan.
Pada model binatang ternyata anestesi local lidocaine
dan 2-chloroprocaine member effek buruk pada fcrtilisasi
dan perkembangan embryo pada konsentrasi 1,0 dan 0, l
ug/ml. Sedangkan bupivacaine bereffek buruk pada 100
ug/ ml. Wilkland et al. ( 1990) melaporkan bahwa ins id ens
pembuahan oocyte dan kehamilan klinik tidak berkurang
diantara ibu dengan blok para cervical dengan lidocain
::- ..
untuk pengambilan oocyte transvaginal.
Untuk anestesi intravena, fentanyl, alfentanyl,
remifentanyl tidak mempengaruhi pembuahan dan
perkembangan embryo. Meperidin dan morphin menurunkan
kemampuan pembuahan pada sea urchins. Midazolam tidak
merusak pembuahan dan perkembangan embryo. Kornbinasi
midazolan 0,06 mg/kg dengan ketamin 0,75 mg/kg setara
dengan anestesi umum memakai isoflurane. Pada kedua
tehnik anestesi ini tidak ada perbedaan pada keberhasilan
reproduksi pada prosedur fertilisasi in-vitro.
Obat antiemetic seperti metoclopramide akan
menyebabkan hiperprolactinemia, yang mana keadaan ini
dapat merusak pematangan follikel ovarii dan fungsi corpus
luteum. Dosis tunggal metoclopramide sebelum pengambilan
oocyte temyata pengaruhnya tidak bermakna, tetapi
pemberian berulang dapat menaikkan prolactin. Bila level
406
prolactin dapat diturunkan maka pregnancy rate menjadi
lebih tinggi.
Tehnik anestesi
Obat ane stesi tidak berperan besar dalarn ke berhas ilan
teknologi fertilisasi in-vitro, tctapi factor non-ancstetik lah
yang besar pengaruhnya. Pilihan obat opioid, midazolam dan
propofol dengan dosis sedang adalah pilihan yang cukup
baik untuk prosedur fcrtilisasi m vitro. Pasien yang
menjalani ART biasanya sehat. Beberapa pasien disertai
keadaan patologi seperti obese morbid, kanker, morbiditas
karena kelainan jantung berat, paru atau ginjal.
Pengambilan oocvte dengan panduan transvaginal
ultrasonografy dapat dilakukan dengan sedasi sadar
dikombinasi dengan blok paracervikal. anestesi spinal atau
anestesi epidural. Anestesi umum dapat dilakukan pada saat
kritis dan pasien sangat cemas. Pasien dengan prosedur ini
harus tenang, tidak bergerak sehingga rasa nyeri pada saat
menusuk cul-de-sac harus dihilangkan.
Transfer embryo relatif tidak memberikan rasa nyeri
sehingga dapat dilaksanakan tanpa analgesia atau anestesia.
Pada transfer embryo ini jarang diperlukan TIVA, regional
anestesi atau anestesi umum. Pada GIFT atau ZIFT melalui
laparaskopik dapat diberikan anestesi local, blok neuraxial
atau anestesi umum. •
1. Pneumoperitoneum dan posisi trendelenburg
Gas yang dipakai pada laparaskopik adalah C02, dimana
salah satu komplikasinya adalah emboli. Emboli C02
dalam jumlah besar pada pasien teranestesi adalah
hipokapnia, hipotensi, hipoksemia, pada EKG terjadi
perubahan segmen ST dan gelombang T. Terjadi aritmia
jantung dan terdengan perubahan suara jantung. Bila
terjadi keadaan seperti ini maka tindakan yang harus
dilakukan adalah menghentikan pneumoperitoneum,
bantuan farmakologik untuk sirkulasi. Bila tidak berhasil
maka dilakukan aspirasi has dari atrium kanan.
407
Bila pada pne umopcritoneum dipakai N20 maka
effek N20 adalah menurunkan aktifitas mcthionin
svnthctase, perrurunan sintcsis DNA dan mcrusak fungsi
mitotic spindle pada biakan.
Pada GIFT clan ZIFT dimana dilakukan
)> pneumopcritoneurn clan posisr trenclelenburg dapa t
z
m terjadi perubahar: foal. Effek hemodinamika berupa sinus
� bradikardi atau heart block sarnpai terjadi henti jantung.
m
� Disamping itu terjadi pula effek pada respiratori karena
0
a, desakan udara dari abdomen dan posisi pada diafragma.
� Pada tindakan laparaskopik maka tehnik anestesi yang

� dianjurkan adalah anestesi umum. Tehnik anestesi
urnum meliputi:
a. pemberian dosis kccil pelumpuh otot non-depolarisasi
untuk mencegah fasikulasi oleh succinylcholin,
b. Induksi propofol,
c. Pemberian succinylcholin untuk fasilitas intubasi,
d. Relaksasi dengan pelumpuh otot non-depolarisasi,
e. Anestesi dengan oksigen/udara
f. Dosis kecil opioid
g. Dilakukan reversal pelumpuh otot non-depolarisasi
pada akhir anestesi .
2. Manajemen post-operatif
Pasien dilakukan hospitalisasi bila pada prosedur ART
mengalami hemoperitoneum, terjadi syncope sesudah
pengambilan oocyte dan terjadi nausea dan muntah.
Rasa tidak nyaman atau nyeri dapat diberikan fentanyl
25 sampai 50 ug intravena atau acetaminophen oral.
Obat NSAID mempengaruhi implantasi embryo sehingga
harus dihindari. Kejadian nausea dan muntah di obati
dengan non-dopaminergic. Pemakaian droperidol atau
metoclo-pramide harus dibatasi.
408
Komplikasi prosedur fertilisasi in-vitro
Ada dua komplikasi yang dapat terjadi yaitu: 1) Sindroma
hiperstirnulasi ovariurn (OHSS-Ovarian Hyperstimulation
Syndrome) dan 2) Kornplika si lain.
Sindroma hiperstimulasi ovarium (OHSS)
Sindroma ini terjadi pada lO'X, ibu yang rnenjalani prosedur
ART. Manifestasi dapat ringan sampai berat. Faktor risiko
adalah umur kurang 35 tahun dan level estrogen tinggi.
Karakteristik berupa kenaikan level thrombin-antithrombin
[II, kenaikan kompleks plasmin-c- antiplasmin pada plasma
:Ian AP1T memendek. Pada kasus ringan pasien mcngeluh
abdomen tidak nyaman, sedangkan pada keadaan berat
:erjadi cairan intraperitoneal, effuse pleural, hipotensi dan
oliguria. Gambaran klinik terjadi imbalans cairan dan
elcktrolit, torsi kista ovarial dan phenomena
hromboembolik.
r<omplikasi lain
(eberhasilan ART sekitar 40-45%. Masalah besar berkaitan
lengan kehamilan adalah kematian fetal. Komplikasi lain
idalah: kehamilan multiple, persalinan premature dengan
cernatian bayi, perdarahan per-vaginam, kelainan bawaan
Ian hipertensi pada kehamilan.
Defek lahir sesudah pembuahan buatan terjadi •
.ebanyak 8,3% pada kehamilan hasi! ART dan 5,8% pada
.ehamilan non-ART. Ini adalah hasil observasi Australia
elatan dimana ada 308.974 kelahiran yang mana 6.163
liantaranya adalah hasil pembuahan buatan. ART disana
lilakukan dengan fertilisasi in-vitro (IVF) dan ICSJ
ntracytoplasmic sperm injection). Setelah dilakukan
djustment dari data tersebut ternyata pada ART tidak
,ermakna tetapi pada JCS! bermakna (57%). Disini
isimpulkan bahwa ada hubungan dengan faktor orangtua
an JCS! secara bebas berkaitan dengan kenaikan risiko.
409
Daftar Pustaka
1. Datta S. Kodali BS. Segal S. Obsretri Anesthesia
Handbook, edisi ke-S. New York: Springer; 2010.
)> 2. Steptoe PC. Edwards RG Birth after the rcimplantation of
z
m a human embryo. Lancet. J 978;2(8085): 366.

m
� 3. Tsen LC, Vincent Jr RD. In Vitro Fertilization and Other
0
CD Assisted Reproductive Technology. Dalarn: Chestnut DH.
� Chestnut's Obstetric Anaesthesia. Principles and Practice.
!:!! 4,1t ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009.

4. Wilkland M, Evers H, Jakobsson AH, Sandqvist U,
Sjoblom P. The concentration of lidocaine in follicular
fluid when used for paracervical block in a human IVF-ET
programme. Hum Reprod. 1990;5(8):920-923.
5. 2005 Assisted Reproductive Technology (ART) Report. US
Department of Health and Human Services, Centers for
Disease Control and Prevention. Division of Reproductive
Health. Atlanta, Georgia. October 2007 .

410
BAB38
... ·. .
6,�- ,i"an K��p.;k;si +;J��O�ii�.,:�-�.· i;.. ·. :�." �--. �:·�;_-:.:i�J:: . �. a�it·
ose' Mafiana, I Made Wizyana: ·, . .

i:- .. :._·. �i._-._: _.'.). - .-· .
-<> . _.:. _..:..-: . :· -. < :_:).·-·..... :> ._... _·./_/\·.;.-: :_;.·,-.:.:/
Angka kejadian trombositopenia pada kehamilan
adalah sekitar 6'X,-10% dari scmua kehamilan. Dikatakan
suatu koridisi trornbositopenia adalah bila jurnlah platelet
dalam darah <100.000/ul. Normal jumlah platelet dalam
darah adalah 150.000-400.000/ul. Banyak ha! yang
mcnyebabkan kondisi ini, baik trombositopenia yang bersifat
spesifik karena kehamilan itu sendiri maupun
trombositopenia yang tidak sepesifik terjadi pada ibu hamil.
Beberapa kasus penyebab kasus trombositopenia
karena kehamilan adalah trombositopenia gestasional,
trombositopenia imun, trornbotik-trombositoneia purpura
(1TP) dan haemolytic uraemia syndrome (HUS).
Preeklampsia, eklampsia, HELLP syndome, Acute Fatty liver
adalah kondisi patologis yang sering menyebabkan kejadian
trombositopenia pada ibu hamil. Juga penggunaan obat-
obatan, HIV, SLE, antiphospholipid antibodies, gangguan
koagulasi perdarahan/ DIC dll.
Perdarahan pada kasus obstetri berperanan besar
terhadap ibu, tercatat 127.000 kematian setiap tahun di
dunia. Perdarahan post partum (PPH) merupakan mayoritas
penyebabnya, umumnya disebabkan gangguan koagulasi
atau koagulopati. Resiko terjadinya perdarahan meningkat •. .
pada kondisi persalinan yang lama, multipara,
polihidramnion, bayi besar, obesitas, riwayat operasi uterus
sebelumnya, dan adanya gangguan koagulopati.
Karena lingkupan gangguan koagulasi pada ibu hamil
ini sangat luas, dibutuhkan ketelitian untuk menegakkan
diagnosa dengan menyingkirkan diagnosa-diagnosa
bandingnya.
Perubahan hemostatik normal pada kehamilan
Selama kehamilan normal, terjadi beberapa perubahan
faal pada hemostasis termasuk: meningkatnya konsentrasi
pada banyak faktor pembekuan, menurunnya konsentrasi
beberapa antikoagulan natural dan aktifitas fibrinolitik.
Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan kondisi
hiperkoagulasi yang mengikuti periode kehamilan, kondisi
tersebut bermanfaat untuk menurunkan komplikasi
oerdarahan pada persalinan.
411
Semua faktor koagulasi mcningkat pada kehamilan
normal kecuali faktor XI dan XIII. Konsentrasi plasma
fibrinogen meningkat dari 2,5-4g/L menjadi 6 g/L pada akhir
kehamilan dan rnasa persalinan. Dua komponcn faktor VIII
kompleks juga meningkat yaitu faktor VIII dan antigen von
Willebrand factor (vWB). Faktor XI konsentrasinya menurun
)>
z sarnpai 60'X, dibandingkan dengan nilai pada ko ndisi waniia
m tidak hamil. Faktor XIII konsentrasinya menurun sampai
� 50'% dibandingkan tidak hamil.
m
� Kebanyakan inhibitor koagulasi darah tidak berubah,
0
0) misalnya antitrombin dan protein C. Aktifitas fibrinolitik
(/)
plasma rnenurun selama kehamilan dan persalinan dan
a kembali normal setelah satu jam plasenta lahir. Gangguan
a;!
fibrinolisis disebabkan karena meningkatnya konsentrasi
derivat aktifator- 1 plasminogen dari sel endotel dan
inhibitor-2 aktivator plasminogen dari plasenta.
Pada wanita hamil tanpa komplikasi dilaporkan jumlah
platelet turun sampai 10°/i, pada akhir semester trisemester,
yang menyebabkan hemodilusi, percepatan dest ruksi
sehingga terjadi pembentukan platelet baru.
Tabel 1: Perubahan faktor koagulasi, antikoagulan dan protein
���-fibrinolitik -���--�����--����������-
Fibrinogen it
II i
v Tidak berubah
VII r
VIII r
IX Tidak beru bah
x t
XI r
XII it
Prekallikrein Tidak berubah
High molecular weight kiniogen Tidak berubah
Diambil dari: Sharma R, Bewlay A. Coagulation disorders in pregnancy.
Trombositopenia selama kehamilan.
Trombositopenia selama kehamilan mempunyai variasi
yang besar mulai dari kondisi ringan seperti trombositopenia
gestasional insidental sampai haemolisis, elevated liver
enzym, low platelets (HELLP). Terkadang diagnose sulit
ditegakkan karena tertutup dengan fisiologis hemostatik ibu
hamil dan manifestasi gejala yang tumpang tindih.
412
0
Berctasarkan jumlah plateletnya trombositopenia dibagi atas: c5
ringan, bila jumlah plateletnya 100.000-150.000 ul, sedang �
50.000-100.000ul dan berat bila plateletnya < 50.000 ul. z
6
s:
Pembagian trombositopenia pada kehamilan lJ
r
Secara umum pcmbagian trombositopcnia pada ibu
hamil dibagi atas: 1) abnormalnya faktor pembekuan baik �
yang terjadi secara kongenital misalnya: penyakit von -I
:0
Willebrands, hernofili A dan B, defisiensi antitrombin, 0
s:
0)
rnaupun gangguan koagulasi yang didapat misalnya;
0
hipcrtensi kehamilan, abrupsi plasenta, retained dead fetus, en
emboli cairan amnion, penyakit liver, obat-obatan aspirin =l
0
dan heparin. 2) Abnorrnalnya platelet karena jumlahnya lJ
m
kurang (kwantitatif) misalnya; trombositopenia gestasional, z
idiopatik/ imunologikal trombositopenia purpura, HELLP
s
syndrome, Disseminated intravascular coagulation (DIC) �
0
)>
maupun karena fungsi plateletnya yang buruk (kwalitatif).
ixi
Tetapi secara spesifik pembagian ini dapat dibcdakan c
yang terjadi spesifik pada kehamilan clan tidak spesifik s;
hanya pada kehamilan. s:
r
Tabel 2: Penyebab trombositopenia pada kehamilan
Spesifik kehamilan Tidak spcsifik kehamil�_ _
n
Trombositopenia gestasional Trombositopenia imun primer
Preeklampsia/ ekiampsia Trombositopenia imun sekunder
HELLP syndrome infeksi virus (HIV,HcpC,CMV,EBV, dll)
Acutefatty liver Gangguan autoimun (SLE. dll)
Antibodi antifosfolipid
Mikroangiopati trombotik
Trombotik-trorn bositopenia purpura *
Hemolytic-uremic sundrome:
Disseminated intrauascular coagulation
(DIC)


Bone marrow ( MDS, myelofibrosis)
Defisiensi nutrisi
Obat-obatan
Type IIBvWD induced thrombocytopenia*
Inherited thrombocytopenia (May-Hegglin,
dll}
Hypersplenism
J-!epC= hepatitis C, CMV= cytomegalovirus, EBV= Ebstein-Barr virus, SLE=
systemic lupus eyrmathosus, MSD= matched sibling donor, vWD= van Willebrand
disease. Tanda *= menunjukkan kondisi trombositopenia bukanlah spcsifik
pada kehamilan, tetapi mempunyai insiden untuk meningkat pada kehamilan.
Diambil dari: McCrae KR. Thrombocytopenia in Pregnancy.
413
Trombositopenia Ge st asto nal
Terrnasuk suatu kc-adaa n platelet abnormal yang non
paiologis. Angka kejadian 5-8'Yc, dari scluruh kehurniln n.
Secara labolatorium nilai platelet sedik it dibawah normal
sarnpai 100.000/ul. Pcnurunan jum!ah platelet ini
berirnbang dcngan meningkatnya aktifitas platelet sehingg<1
)>
z ibu harnil yang mcndcrita trornbositoperiia gcstasiorial t idak
m mempunyai kecenderungan resiko perdarahan akibat fungsi
� plateletnya. Trornbositopenia gcstasional tidak berpcngaruh
m
!:Q terhadap kcluaran fetus dan fungsi platelet akan normal
0 kembali pada 1 atau 2 bulan persalinan.
CD
(/)
-i
� Idiopatik/ imunologikal trombositopenia purpura (ITP)
� Disebabkan gangguan imunologik karena antibodi
platelet yang diproduksi menutupi membran platelet. Kondisi
antibodi-platelet ini kemudian dihancurkan oleh sistcrn
retikulo endote!ial, akibatnya jumlah platelet baru yang
terbentuk tidak berimbang dengan ker usakan yang terjadi,
sehingga terjadilah trombositopenia.
Jumlah platelet biasanya :::: 50.000 ul. Hal iru
menyebabkan meningkatnya insiden bruising, epistaksis dan
perdarahan ginggiva. Terapinya adalah dengan menaikkan
jumlah platelet, termasuk pemberian steroid, pemberian
imunoglobulin dosis tinggi dan splenektomi.
Untuk suatu persalinan normal dibutuhkan jumlah
platelet 2: 50.000 ul. Bayi dengan kecenderungan
trombositopenia bisa diberikan antibodi antiplatelet melalui
transplasenta. Jika nilai platelet s 50.000ul sebaiknya
• persalinan dilakukan dengan seksio sesarea.
Bila jumlah platelet :,; 100.000ul, maka dibutuhkan
pemeriksaan skreening faktor pembekuan darah untuk
tindakan anestesi dengan spinal atau epidural. Jika jumlah
platelet 2: 80.000 ul dan fungsi skrening koagulasi normal
maka tehnik anestesi regional dapat dilakukan. Bila platelet
s 80.000 ul sebaiknya tehnik regional anestesi dihindari.
Trombositik trombositopenia purpura (TTP) dan
Hemolytik uremic Syndrome (HUS)
TTP secara klasik mempunyai karakteristik:
microangiopathic hemolytic anemia (MAHA),
trombositopenia, abnormalitas neurologikal sentral, demam
dan disfungsi renal. Juga dapat mempengaruhi organ Iain
414
dan mcnyebabkan pancreatrtis , infark miokardial, aritmia.
Insidennya sekitar lO'Yt, dari jumlah keharnilan. TIP terjadi
pada trisernester ke-2, rata-rata pada minggu kc 23.
Etiologinya adalah defisien si VWF-clcauing protease, ADAMTS
13. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
diternukan pcnurunan scdang platelet, insufis ierisi ginjal
skhistosis pada hapusan perifer, LOH dapat meningkat
secara ekstrim. Terapinya dengan penggantian plasma, TTP
yang tidak diterapi segera dapat berakibat fatal, dengan
mortalitas 95'%. Kernarnpuan plasma untuk mernberikan
volume yang lebih besar dari FFP dan mcnggantikan antibodi
inhibitor yang terbentuk. Pernberian platelet merupakan
kontraindikasi.
HUS rnerupakan komplikasi yang jarang pada
kehamilan. HUS mempunyai manifcstasi klinis yang mmp
dengan TIP, tetapi disfungsi renal lebih berat pada HUS
sedangkan TTP lcbih menonjol pada abnormalitas
neurologikal. Sembilan puluh persen kasus HUS terjadi pada
rata-rata 26 hari periode post partum.
Terminasi kehamilan tidak memperbaiki kondisi
penderita TTP dan HUS. Remisi mungkin terjadi baik pada
penderita dengan kehamilan atau yang tidak hamil.
Gangguan fungsi renal dan hipertensi dapat bersifat
menetap.
Preeklampsia dan HELLP syndrome
Pre-eklarnpsia adalah sindroma yang ditandai dengan:
1) meningkatnya tekanan darah ;,:: 140 mmHg sistolik dan �
;)0 mmHg diastolik, sesudah minggu ke 20 kehamilan pada •
wanita dengan tekanan darah normal 2) proteinuria yaitu
terdapat 0,3 gram protein dalam sekresi urin yang
oerkorelasi dengan + 1 pada pembacaan dipstik. Eklampsi
:erjadi bila pre-eklarnsia disertai kejang. Insiden pre-
eklampsia terjadi pada 5- 7% pad a semua kasus kehamilan
Ian sekitar 21 % dari semua kasus trombositopenia, dan
rombositopenia sendiri terjadi 50% dari kasus pre-
eklampsia. Penurunan platelet umumnya tidak berat,
sampai kemudian dijumpai klinis perdarahan yang
»erkembang kearah DIC. Empat sampai 12% kasus
oreeklampsia berkembang menjadi superimposed HELLP
.yndrome.
415
HELLP syndrome adalah suaru siridrorna yang ditaridui
dengan hemolisis. pcningkatan enzirn hepar dan penurunan
platelet. Insidcnnya adalah 0.2-0,6'�;, dari kasus kehamilan
dan terjadi pada 1 O'X, dari periderita pre-cklarnpsia, dcngan
mortalitas sebesar 2-24'X,. HELLP syndrome merupakan
sindrorna trombositopcnia yang harus diwaspadai dari suat u
)>
z pre-cklarnpsia, kareria sering keliru dcngan diagnosis
m hepatitis, ITP, penyakit kandung ernpedu dan TJ'P. Sindroma
� ini terjadi 28 minggu setelah rnasa gestasi. HELLP syndrome
m
Q? tidak selalu terjadi akibat pre-eklarnpsia bcrat, dan bisa
0 terjadi dalam 1-2 hari pendcrita antibodi antifosfolipid. Fetal
CXJ
� trombositopenia terjadi pada 30'X, kasus. Bayi yang lahir
cenderung untuk menderita retardasi mental dan sindroma
� distres pcrnafasan.
Penderita HELLP syndrome diterapi dengan MgS0.1
untuk mencegah kejang, kortikosteroid, obat antihipertensi.
kemungkinan menerima i ransfusi darah dan segera
dilakukan terrninasi kehamilan.
Pertimbangan anestesi untuk ancstesia regional pada
trombositopcnianya adalah memberikan tranfusi platelet bila
< 50.000/mmJ.
Karena simptom yang tumpang tindih sering sulit
membedakan trombositopenia pada kchamilan.
Tabel 3. Gambaran klinis dan laboratorium HELLP, TTP, HUS .
Klinis HELLP TIP HUS
Periode kehamilan > 37 mgg TM II postpartum
Tanda CNS bervariasi be rat jarang
Gaga] ginjal bervariasi sedang berat
Disfungsi hepar definitif tidak tidak
Demam tidak ada biasanya tidak
Purpura tidak be rat biasanya tidak
platclet-l ringan-sedang be rat biasanya tidak
t kreatinin sedang sedang be rat
r AST/ALT t tidak berubah tidak berubah
t LOH sedang + +
Trombus hialin ± ++ ++
Pu!ih 2ost 2artum .../ \! '\
HELLP=Haemolisis Elevated Liver Enzim, Low Platelet. TTP=thrombotic
thrombocytopenic purpura. HUS=haemolytic uraemic syndrome. AST= aspartate
aminotransferase. ALT= alanine amino transferase.
Diambil dari: Kam PCA, Thompson SA, Liew ACS. Thrombocytopenia in the
parturient.
416
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
DIC adalah suatu manifcstasi klinis akibat aktivasi
trombin. Pada keharnilan disebabkan oleh kareria kcruskan
endotelial, lepasnya jaringan plasenta, cairan amniotik,
masuknya bakteri kc sirkulasi ibu. Oulu DIC selalu
dihubungkan dengan disr upsi plaserita dan ernboli cairan
ketuban. Tetapi sekarnng para peneliti dan praktisi obstet ri
lebih sering menghubungkannya dengan syok hemoragik,
terlambatnya resusitasi dan kerusakan endotel.
Proses terjadinya DIC tidak pernah primer, selalu
kondisi sekunder akibat stirnulasi yang menyebabkan
aktivitas koagulasi yang melepaskan substansi prokoagulan
ke dalam darah, akibat bermacam-macam stimulasi. Tidak
ada test untuk mendiagnosa pasti DIC, biasanya digunakan
pemeriksaan nilai platelet, waktu pemanjangan PT dan PTT,
dregradasi fibrin meningkat dan diimbangi dengan
meningkatnya D-dimmer.
Pasien DIC dapat menunjukkan satu sarnpai empat
gejala berikut: 1) Asimptomatik: hanya dapat dibuktikan
dengan test laboratorium 2) · Perdarahan disebabkan
penurunan faktor pembekuan darah, disfungsi platelet,
trombositopenia dengan fibrinolisis luas, perdarahan bisa
sangat difus melalui jalur intravena yang terbuka, mukosa
dan Iuka 3) Trombosis vena, walaupun jarang terjadi tapi
ada laporan tentang trombosis arteri dan emboli endokarditis
non bakterial 4) Purpura fulminan, adanya ekimosis simetri
pada ekstremitas dan nekrosis kulit. Dimulai dengan I
kemerahan yang nyeri pada kulit pada ekstremitas dan
dengan cepat berkembang menjadi daerah iskemik yang
hitam. Diduga karena defisiensi protein S. Terapi yang
dianjurkan dengan plasmafaresis atau plasma ultrafiltrasi.
Secara umum terapi DIC dan trombositopenia adalah
pada penyakit yang mendasarinya dan pemberian transfusi
dengan mengganti faktor yang berkurang, usahakan untuk
menaikkan jumlah platelet > 50.000ul dan terapi heparin
dapat diberikan pada pasien dengan trombosis. Perdarahan
masif pada obstetri didefinisikan sebagai: kehilangan darah
dari uterus atau traktus genitalia > l 500ml atau penurunan
hemoglobin> 4gr/dl atau membutuhkan tranfusi darah akut
> 4 unit. Perdarahan mungkin terjadi pada antepartum yaitu
pada kehamilan :?'. 24 mmg- proses persalinan. Etiologinya
adalah plasenta previa, abruptio plasenta, perdarahan
417
pervaginama atau lesi servikal. Sedangkan perdarahan post
part urn terjadi dalam 24 jam sesudah pcrsalinan dan
etiloginya adalah: atonia uteri, reterisi jaringan, trauma pada
servikal atau traktus genital pada proses persalinan dan
ganggunn koagulopati.
Perdarahan rnasif, hypoksia, tranfusi mas if,
trornbositopcnia mcrupakan suatu kondisi pcnyebab injuri
sel yang dapat mencetuskan gangguan koagulasi/ DIC.
Karena cakupan gangguan koagulasi pada ibu harnil ini
sangat luas, dibutuhkan ketelitian untuk menegakkan
diagnosa dcngan menyingkirkan diagnosa-diagnosa
bandingnya.
T·.�·-F·
-J� s: ,·..t:·.:··.,. iJ_I.J .C·.
:.:·�rr:.xt.:·· -J :.:·.x: -� i 'J .• ·k,::,,::;:,.1•
�.r:'..1'... J"rl :· :tf� ·-�·
:_,,.� ... -
·T'i1.:·r�·J :1,·:;!.La·,··
t;-,.-_:-J·
Garnbar I: DiC: Stimulasi, akufitas koagulasi dan konsekwensinya
Diambil dari: Let sky EA. Disseminated intravascular coagulation.
Waktu perdarahan (bleeding time) tidak berkorelasi
dengan tendensi perdarahan akibat perubahan adhesi
trornbosit. Jadi waktu perdarahan bukan merupakan
pendeteksi untuk gangguan koagulasi pada kasus dimana
kemampuan platelet terhadap subendotel terganggu
misalnya pada uremia.
Ada tiga komponen penting untuk memprediksi
gangguan koagulasi yaitu, nilai platelet, nilai fibrinogen dan
pamanjangan prothrombin times.
418
Jab�! 4: Skoring DIC
Poin pcrhitungan __ o _ 2 3
------
Nilai P!atelct/nL >
100 ;;,SQ <50
D-dirner (pg/mL) s 1 1-5 >5
Fibrinogen (g/ L) >I s I
Protrornbin index ('Vt,) > 70 40-70 <40
�-i�s_koring 2 5 didiagnose sebagai DIC
Diambil dari: Marino PL. The ICU Book, 2007.
Penatalaksanaan DIC sangat tergantung pada
etiologinya. Terapi suportif pada kardiovaskuler, respiratori
dan sistem hematologi harus dilakukan secara sinergis
untuk menangani kegagalan hemostasis. Resusitasi cairan
kritaloid, kolod dan produk darah diberikan untuk
penggantian volume dan mengoreksi koagulopati. FFP
mengandung semua faktor koagulasi, sebaiknya diberikan 2
unit setiap 4-6 unit darah. Fibrinogen berguna untuk
merneliharan kadar fibrinogen > lgr per L. Mungkin
dibutuhkan FVII, untuk DIC, walaupun dosis dan
kegunaannya masih dalam penelitian.
Trombositopenia akibat pengaruh obat
Trombositopenia dapat terjadi pada wanita hamil yang
menerima heparin, asctominofen, NSAID, simetidin, ranitidin
dan vancomycin. Terapinya adalah segera mengehentikan
pernberian obat tersebut, steroid dan mungkin dibutuhkan
immunoglobulin. I
lmplikasi trombositopenia pada kehamilan
Tindakan awal harus cepat dan terfokus menemukan
pasien hamil dengan perdarahan. Oksigenasi, terapi cairan
dan evaluasi penyakit dasar serta observasi ketat. Beberapa
pemeriksaan laboratorium rutin dikerjakan seperti: hapusan
darah, hitung platelet, laktat dehidrogenase (LOH) dan waktu
perdarahan kurang spesifik dan sensitif.
Permasalah hematoma pada neuraksial anestesi
menjadi masalah pada penderita trombositopenia dan
koagulopati. Pada kondisi ini keuntungan dan kerugian
tehnik anestesi harus dipertimbangkan:
l. Apakah suatu trombositopenia merupakan proses yang
dinamis? Jika pada 4 jam sebelumnya nilai platelet jauh
419
lebih tinggi, berarti neuraksial anestesi adalah
kontraindikasi.
2. Adakah tendensi perdarahan termasuk, ptekie, ekirnosis (
terutarna pada pcmeriksaan cuff tekanan darah sebclum
tindakan), perdarahan pernasal atau perdarahan dari
tcmpat tusukan JV?
)>
z 3. Akses airway, NGT, CVP bisa memberikan resiko jalur
m perdarahan.
� 4. Apakah kondisi bisa diperbaiki lebih spesifik, bila perlu
m
� meminta advis ahli hematologi.
0
tD
� Bila tehnik neuraksial diputuskan pertimbangkan ha!
!!l berikut:
;:!;!
1. Keuntungan dan kerugian tehnik serta produk
persediaan darah yang dibutuhkan.
2. Sedapat mungkin gunakan ukuran jarurn yang
terkecil
3. Gunakan konsentrasi obat lokal anestesi yang
paling rendah, usahakan akses tersebut dengan
memonitor blok motoriknya.
4. Bila dipasang epidural cateter, instruksi harus
jelas mengenai removal kateter.
5. Waktu untuk removal kateter sangat tergantung
pada kondisi faktor koagulasi.
6. NSAID relatif kontraindikasi pada penderita
trombositopenia.
7. Observasi ketat gejala hematoma neuraksial.
Secara umum terapi DIC dan trombositopenia adalah
pada penyakit yang mendasarinya dan pemberian transfusi
dengan mengganti faktor yang berkurang, naikkan platelet >
50.000ul. Terapi heparin diberikan pada pasien dengan
trombosis.
Perdarahan masif pada obstetri didefinisikan sebagai:
kehilangan darah dari uterus atau traktus genitalia >
1500ml a tau penurunan hemoglobin > 4gr / dl a tau
membutuhkan tranfusi darah akut > 4 unit. Perdarahan
mungkin terjadi pada antepartum yaitu pada kehamilan � 24
minggu sampai proses persalinan. Etiologinya adalah
plasenta previa, abruptio plasenta, perdarahan pervaginam
atau lesi servikal. Sedangkan perdarahan postpartum terjadi
dalam 24 jam sesudah persalina11 dan etiloginya adalah:
420
0
atonia uteri, retensi jaringan, trauma pada servikal atau n
0
traktus genitalia pada proses persalinan dan gangguan >
koagulopati.
z
:;,;:
Perdarahan masif, hipoksia, transfusi masu, 0
s:
"tJ
trombositopenia merupakan suaru kondisi penyebab injuri r:
sel yang dapat mencetuskan gangguan koagulo.si/DIC.

Karena cakupan gangguan koagulasi pada ibu hamil ini �
sangat luas, dibutuhkan ketelitian untuk rnenegakkan -i
::0
diagnosa dengan menyingkirkan diagnosa-diagnosa 0
bandingnya.
s:
CD
0
en
Simpulan �
1. Fisiologi wanita hamil menyebabkan peningkatan "tJ
m
hampir semua faktor pernbekuan. z
)>
2. Patofisiologi kehamilan menyebabkan gangguan "tJ
terhadap faktor koagulasi, terutama rnenyebabkan >
0
trombositopenia dan DIC. >
CD
3. Patofisiologi kehamilan yang paling sering c
adalah: trombositopenia ::i:
mengganggu koagulasi >
gestasional, TTP, HUS, Pre-eklarnpsia-eklampsia, �
r:
HELLP syndrome, AFLP, DIC dan trombositopenia
karena pengaruh obat.
4. Implikasi pada anestesi adalah pemilihan tehnik
anestesi, dimana harus memperhitungkan
keuntungan dan kerugian serta komplikasi yang
mungkin terjadi.
Daftar Pustaka
1. Kam PCA, Thompson SA, Liew ACS. Thrombocytopenia in •
the parturient, review article. Anesthesia 2004; 59: 255-
64.
2. Kath D, Rucklidge M. Management of obstetric
haemorrage. Diunduh tanggal 12-12-2012. Tersedia dari:
www.totw.anaesthesiologist.org.
3. Letski EA. Disseminated intravascular coagulation. Best
practice & research clinical obstetrics and Gynaecology
2001; 15 (4): 623-44.
'!-. Letsky EA, Greaves. Guidelines on the investigation and
management of thrombocytopenia in pregnancy and
neonatal alloimmune thrombocytopenia. British journ. of
Haematology 1996;95:21-6.
421
:'1. McCrae KR. Thrornbocytopenia in pregnancy. American
society of hematology 2010, 397-402.
6. Sharma R, Bewlay A. Coagulation disorder in pregnancy.
Diunduh tanggal 12-12-2012. Tersedia dari: www.
Anaesthesia UK.com I WorldAnaesthesia.
)>
z 7. Thornton P, Douglas J. Coagulation in pregnancy. Best
m
(J) practice & research clinical obstetrics and gynaecology
-I 2010; 24: 339-52.
m

0 8. Wadee S, Aboseif W. Thrombocytopenia with pregnancy.
c,:,
Diunduh tanggal 12-12-20012. Tersedia clari: asja-
� eg.com/ articles I 34pdf
� 9. Marino PL. Platelet in critical illness. Dalam: Marino PL,
penyunting. The ICU Book. Edisi ke-3. Philadelphia:
Lippincott William& Wilkins ;2007: 681-93.
10. Siegmcth R, Douglas MJ. Thrombophilias/Coagulopathies.
Dalam: Gravlee G, ed. Obstetric anesthesia. Philadelphia:
Lippincott Williams &. Wilkins ;2009: 391-402 .
422
BAB 39
·akit -��;�ia·· dan I<�jari�::ka��_;K�ii�-.J1l1; .-_\f�t-�-
:. iw�ko,_ �� ·a�g'.i�to , ::. ·. ::·>·_:_-i' -:.·.:_ ·_. _· ·: ·:.·<: . .- "_.. ;:·_. /:� :·: /_·._· ;_::.
lbu hamil dengan keluhan sakit kepala dan atau kejang
harus dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang
menyeluruh untuk mcngetahui asal, rentetan kcjadian,
gejala dan tanda untuk membentuk susunan diagnosa
pembanding dari keluhan sakit kepala dan atau kejangnya.
Kemudian dipilih pemeriksaan penunjang yang mernberikan
manfaat lebih besar dari pada efek sampingnya bagi ibu dan
ianin serta perneriksaan laboratorium yang mendukung
untuk mengerucutkan berbagai diagnosa banding menjadi
:liagnosa yang paling mendekati, sebagai pegangan untuk
rnernberikan rnanajemen anestesi yang optimal. Harus
:lipertimbangkan beberapa keadaan seperti: sakit kepala,
xejang, perubahan tingkat kesadaran dan defisit neurologis.
[. Sakit Kepala
Sakit kepala adalah salah satu gejala paling umum
Iikeluhkan oleh ibu hamil (tabel 1). Penyebab sakit kepala
oada ibu hamil yang sering ditemukan adalah tension
'ieadache, migrain dan nyeri kepala yang berhubungan
iengan PIH (Pregnancy Induced Hypertension}.
Sakit kepala merupakan gambaran umum dari •
ireeklampsi dan harus dipertimbangkan pada semua
iengan kehamilan 2! trimester kedua. Disebabkan karena
ireeklampsia terdiri dari kumpulan keabnormalan keadaan
clinis dan laboratorium, maka pemeriksaan klinis dan
aboratorium yang tepat harus dilakukan.
Diagnosa banding sakit kepala pada kehamilan yang
iba-tiba dan berat adalah sama antara wanita hamil dan
idak hamil dengan penambahan preeklampsia pada wanita
iamil, Hal ini termasuk perdarahan subarachnoid (SAH),
ntracerebral hemmorhage (ICH), trombosis vena kortikal,
n.eningitis dan space occupying lesion (SOL) baik tumor
.taupun abses. SAH dapat disebabkan karena pecahnya
.neurisma cerebral, malformasi arteri-vena (AVM) ataupun
.isebabkan karena preeklampsia dan eklampsia.
423
Tabel 1. Penyebab yang umum sakit kepala selama
keharnilan
Etiologi Gejala Pola Penatalaksanaan
Tension Tumpul, sa kit I nsidcns Analgcsik
headache kepala yang meningkat Antidcprcsan
menycbar sclarna pcriodc Trisiklik
pcr ipart urn
Migrnin Sak it kcpala Mcrnbaik pada Ergotamine
yang bcrdenyut 7g% dari dikontraindikasik
di pasien sclama an sclarna
frontotcmporal keharnilan kchamilan
Gcja la awal dari Promethazine
skotorna Beta-bloker
sebagai
profilaksis
Preeklampsia Nyeri kepala Terjadi selarna Menururikan
yang kcharnilan clan tckanan darah
menycluruh kadang sampai Terrninasi
Kadang posparturn kehamilan
kadang ada
skotoma dan
atau pandangan
kabur
Iritasi Sa kit kepala Mcningkatnya Berdasarkan
meningeal menycluruh resiko etiologi
(SAH, perdarahan
meningitis) subarakhnoid
sclarna
kehamilan
Tumor otak Bervariasi Tidak ada Berdasarkan
peningkatan etiologi
insidens
selama
kehamilan,
kemungkinan
bertambahnya
kecepatan
bertumbuhnya
Pseudoturno Sakit kepala lnsidens Menghilang
r cerebri menyeluruh meningkat dan dengan
Gejala visual gejala sendirinya
memburuk sampai 3 bulan
selarna pospartum
kehamilan
Tabel 2 merupakan outline untuk evaluasi nyeri kepala
pada kehamilan.
424
Tabel 2. Work up diagnosis banding untuk sakit kepala pada
keharnilan
Singkirkan preekiampsia
Singkirkan Precklarnpsia
Evaluasi klinis tekarian darah , edema. proteinuria dan
laboratorium pcnunjang lairinya
Singkirkan SOL (Space Occupying Lession]
• MRI, CT atau MRA
Singkirkan infeksi
• Lumba! punctie
• Evaluasi klinis
Singkirkan AVM atau aneurisrna
• MRI, CT atau MRA
II. Kejang
Eklarnpsia merupakan penyebab tersering kejang pada
periode peripartum. Sehingga bila seorang ibu hamil
mengalami kejang, pertanyaan pertama adalah apakah
pasien mempunyai riwayat kejang. Pertanyaan kedua
mengarah ke preeklampsia. Kejang terjadi pada 0,5%
populasi dan merupakan komlplikasi neurologik yang paling
sering. Tabel 3 merupakan work up diagnosa banding dari
kejang.
Tabel 3. Work up diagnosis banding dari kejang
pada kehamilan
Singkirkan perdarahan otak
• MRI, CT, MRA atau LP
Konsultasi neurolog atau bedah saraf
Singkirkan infeksi SSP
• LP
Singkirkan kelainan metabolik
• Elektrolit, BUN/kreatinin, Ca dan glukosa


Singkirkan kecanduan obat
• Skrining urin (kokain, methamphetamine)
Pemeriksaan neurologik untuk tanda fokal
• EEG
Hal utama yang perlu dilakukan pada pasien dengan
kejang adalah menghentikan kejang dan menjaga patensi
dari jalan nafas untuk menjamin oksigenasi yang adekuat
bagi ibu dan janinnya serta mencegah aspirasi. Terapi
definitif dari eklampsia adalah terminasi kehamilan setelah
kontrol terhadap kejang yang adekuat. Magnesium sulfat
425
menjadi pilihan utarna unt uk me ngatusi kejaru; pada
eklarnpsia.
Menghcntika n kejang dengan benzodiazepine untuk
mencegah t im bu lnyu kejang sela njut nva yang da par
mcnycbabkan ccdcra ot ak maternal, h ipok s ia fetal. iskcrnia.
bradikardia dan kernat ian , Pada trimester pcrtarna ,
)> keunrungan unt uk mcngontro! kcjang melebihi re siko
z potensial teratogcnik dari obat-obatan Anti kcja ng.
m
� Midazolarn 5 mg mernpunyai efek depresi nafas yang
m minima! bagi fetus, bila kcjang tcrjadi mendekati pcrsalinan.

0 Ada banyak interaksi potcnsial antara obat-obat
CD anestcsi dengan obat-obat anti kcjang. Phenyt oin
en
-I
m rnenginduksi enzirn-enzim mikrosomal hati, yang berefek
-I
� terhadap peningkatan pemecahan opioid, obat pelumpuh
otot dan agcn anestesi volatil. Pada akhirnya menyebabkan
perubahan dosis obat clan terbentuknya metabolit toksik
(scpcrti fluoride dari sevot1uran).
Bcberapa agcn ancstesi bersifat epileptogenik terutama
pada kondisi hipoksia; seperti:
Metoheksital. ketamin, etomidate dan alifatik phenotiazines.
Antidepressan trisiklik menurukan level ambang kejang.
Meperidin terutama metabolit aktifnya normoperidine yang
bersifat eksitabilitas CNS. Laudanosine, metabolit dari
atrakurium dapat bersifat epileptogenik.
Ahli anestesi harus mempertimbangkan juga efek
samping dari obat-obatan antikonvulsan seperti; phenytoin
menyebabkan leukopenia, agranulositosis, anemia aplastik
serta neuropati perifer. Barbiturat menyebabkan
megaloblastik anemia. Karbamazepin menyebabkan efek
ADH yang menyebabkan retensi air, menyebabkan emesis,
konfusi, leukopenia, agranulositosis dan aplastik anemia.
• Daftar Pustaka
'
l. Bisri T. Neurologic emergencies during pregnancy.
Proceedings of the 1s1 SOAC; 2012 Nov 20-22; Jogyakarta,
Indonesia.
2. Chesnut HD. Obstetric anesthesia principles and
practice. 3rd ed. Philadelphia : Mosby Inc; 2004.
3. Tica JM, Vadhera RB. Disorders of the central nervous
system in pregnancy. Dalam: Gambling DR, Douglas MJ,
McKay RSF, editors. Obstetric anesthesia and uncommon
disorders. 2nd. New York: Cambrigde University Press;
2008. p. 167 - 229.
426
tlAl:S 4U
. Mortalit�-�- ·datfMorbidiUis·
Taali
:1ijuiia�i'1.:: /:" i·--:·
. Berman.us J. Lale-.ioh; ��u. � . · . ·_. ·: . · ·. : . · · . .· . .
. .. ·.. _,.. ... ·_·,::·-.·.:.·_. .._. ,: .. ::>-:· . ·_:·_·· '. _·\.·· :··,._::···.
Seorang ibu meninggal disebabkan oleh komplikasi
yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas
setiap menit. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), kematian ibu diperkirakan sebanyak 500.000
kematian setiap tahun, 99% diantaranya terjadi di negara
berkernbang.
Mortalitas maternal serta angka morbiditas pada
kasus-kasus obstetrik masih jarang dilaporkan. Sekalipun
masih dalam tahap penilaian kernbali, pemantauan angka
mortalitas dan morbiditas tersebut masih harus terus
dikernbangkan untuk mengurangi angka kejadiannya yang
cukup berrnakna. Perubahan demografik dari populasi
obstetrik seharusnya memungkinkan pemantauan yang
berkelanjutan guna mengendalikan peningkatan angka
mortalitas dan morbiditas yang cukup bermakna.
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tetap
tinggi. Kecenderungan yang ada, AKI terus menurun, namun
perlu upaya dan kerja keras untuk mencapai target
Millenium Development Goals (MDGs).
Sebelumnya Indonesia telah mampu melakukan penurunan
dari angka 300 per 100.000 kelahiran pada tahun 2004.
Namun, berdasarkan Sasaran Pembangunan Milenium atau I
(MDGs), kematian ibu melahirkan ditetapkan pada angka
103 per 100.000 kelahiran pada tahun 2015.
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan,
rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu
hamil menjadi faktor penentu angka kematian, meskipun
masih banyak faktor yang harus diperhatikan untuk
menangani masalah ini. Persoalan kematian yang terjadi
lantaran indikasi yang lazim muncul, yakni pendarahan,
keracunan kehamilan yang disertai kejang, aborsi, dan
infeksi, Namun, ternyata masih ada faktor lain yang juga
cukup penting. Misalnya, pemberdayaan perempuan yang
tidak begitu baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi
keluarga, lingkungan masyarakat dan politik, kebijakan juga
berpengaruh.
427
WHO mcmpcrk irakan ba hwa I S';,;,-20'\, ibu harnil baik
di ncgara maju ma upuri bcrkcmbang akan mcngalami risiko
tinggi (risti) dan Zatau komplikasi. Salah sat u earn yang
paling cfcktif unt uk rncnurunkan angka kematian ibu adalah
dcngan mcningkatkan pcrtolongan pcr salinan olch tcnaga
keschatan tcrlat ih.
)>
z Pcnurunan angka kematian ibu merupakan salah satu
m priorit as pcmbangunan kesehatan sebagaimana tercan tum
� dalarn RPJl\1N 2004-2009. Untuk mencapai sasaran
m
en terscbut, kebijakan pembangunan kesehatan terutama
0 d iarahkan pada peningkatan jurnlah, jaringan, clan k ualitas
CD
en Puskcsrnas yang disertai dengan pcningkatan kualitas dan
-l
m
-l kuantitas tenaga kesehatan. Dengan kebijakan ini, fasilitas
:::0
pelayanan kcschatan cliharapkan makin dekat dan rriudah
tcrjangkau oleh masyarakat. Dcmikian pula cakupan dan
k ualitas pclayanan kesehatan rcprocluksi, termasuk kcluarga
berencana, terus clitingkatkan.
Di srru akan dibahas mengenai tinggginya angka
kcmatian ibu, penyebab, tantangan dalam rnenurunkan dan
kebijakan yang dibuat pemerintah dalam menurunkan
angka kematian ibu di Indonesia dalam rangka mencapai
target Millenium Development Goals (MDGs) 2015 serta
berbagai gabungan kepustakaan lain yang menunjang.
Angka Kematian Ibu Melahirkan (AKI)
Angka Kematian !bu (AKI) merupakan salah satu
indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan.
Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang
telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium
(tujuan ke-5) yaitu meningkatkan kesehatan ibu, target yang
akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai
3/,. risiko jumlah kematian ibu.
Hasil survei yang dilakukan, AKI telah menunjukkan
penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya
untuk mewujudkan target tujuan pembangunan millenium
masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang
terus-menerus. Dari semua target MDGs, kinerja penurunan
angka kematian ibu secara global masih rendah. Angka
kematian ibu menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi
228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007.
Diperlukan upaya keras untuk mencapai target pada tahun
2015 sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup.
428
450
390
4(.)0
+ 334
3',0 307

300 •
228
ISO
2UO 226 '*
ISO
118 �
100 102
so
0
...., � � M ...., t--:
....,
"' 8 0 0 0 0 � � "' N N N
0
-

"' � � "' "' "'
� "' "' �
� � � � �"' N
- � � � � � � �
- -
• SDKi Target MOG "> RPJMN linear (SOKi)
'.Jambar. Kecenderunqan rwsional dan proyeksi Angka Kenzatian lbu
'1991 -2025)
Surnber: BAPPENAS. 2010.
[ndikator Angka Kematian lbu
Indikator peniiaian untuk penurunan angka kematian
bu sebesar tiga-perempatnya dalam kurun waktu tahun
l990 sampai 2015 ialah sebagai berikut:
L Angka kematian ibu melahirkan (AKI) per 100.000
kelahiran hidup.
). Proporsi kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan
(%).
Proporsi wanita 15-49 tahun berstatus kawin yang
sedang menggunakan atau memakai alat keluarga •
berencana (%).
(eadaan dan Kecenderungan AKI
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia telah mengalami
ieriurunan menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup pada
ahun 2002-2003 bila dibandingkan dengan angka tahun
994 yang mencapai 390 kematian per 100.000 kelahiran
.idup. Tetapi akibat komplikasi kehamilan atau persalinan
ang belum sepenuhnya dapat ditangani, masih terdapat
0.000 ibu yang meninggal setiap tahunnya. Dengan kondisi
1.i, pencapaian target MDGs untuk AKI akan sulit dicapai.
:PS memproyeksikan bahwa pencapaian AKI barn mencapai
ngka 163 kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran
429
hid up pada tahun 2015, sedangkan target MDC pada tahun
2015 terse but adalah l 02.
Pencapaian target MDGs akan dapat terwujud hanya
jika dilakukan upaya yang lebih intensif untuk mempercepat
laju periurunannya. Risiko kematian ibu karcna melahirkan
di Indonesia adalah I dari 65, jauh lebih tinggi dibanctingkan
)>
z dengan risiko l dari 1.100 di Thailand. Sela in itu disparitas
m kernat ian ibu antarwilayah (provinsi) di Indonesia masih
en
--! tinggi. Pertolongan pcrsalinan oleh petugas kesehatan tcrus
m
!{2 mengalami peningkatan hingga mencapai 72,41 persen pada
0
0:, tahun 2006 (Susenas). Persalinan ini sangat mcmengaruhi
en angka kematian !bu dan bayi sekaligus.
--!
� Risiko kematian ibu semakin besar dengan adanya
:!;!
anemia, kekurangan energi kronik (KEK), dan penyakit
menular seperti malaria, tuberkulosis (TB), hepatitis, serta
HlV / AIDS. Pada tahun 1995, misalnya, prevalensi anemia
pada ibu hamil mencapai 51 <Yc, dan pada ibu nifas 45 %.
Sementara pada tahun 2002 terdapat 17,6 %, wanita usia
subur yang menderita KEK. Tingkat sosial ekonorni, tingkat
pendidikan, faktor budaya, akses terhadap sarana
kesehatan, transportasi, dan tidak meratanya distribusi
tenaga terlatih terutarna bidan juga berkontribusi secara
tidak langsung terhadap kematian ibu.
WHO memperkirakan bahwa 15%-20% ibu hamil baik
di negara maju rnaupun berkembang akan mengalami risiko
tinggi (risti) dan/ a tau komplikasi. Salah satu cara yang
paling efektif untuk menurunkan angka kematian ibu adalah
dengan meningkatkan pertolongan persalinan oleh tenaga
• kesehatan terlatih. Persentase persalinan yang ditolong oleh
tenaga kesehatan terlatih meningkat dari 66, 7% pada tahun
2002 menjadi 77,34% pada tahun 2009 (Susenas). Angka
tersebut terus meningkat menjadi 82,3% pada tahun 2010
(Data Sementara Riskesdas, 2010).
Penyebab Kematian Ibu
a. Faktor Penyebab Langsung Kematian lbu
• pelayanan antenatal: pemeriksaan kehamilan,
persiapan persalinan, informasi tanda bahaya,
imunisasi, pencegahan unwanted pregnancy,
ketersediaan darah

persalinan oleh tenaga kesehatan (72,3%)

tempat Persalinan: 60% di rumah
430
• dukun: 2 x lipat jumlah bidan, menangani 31.5%,
per salinan.
• pelayanan obstetri emergency: ketersediaan
Puskesrnas PON EK dan RS PONED belurn
mencukupi.
1>. Faktor yang Memperburuk
• anemia gizi besi: 40, l '}{, ibu hamil
• wanita usia subur yang kekurangan energi kronik:
19,7%
• kekurangan zat gizi mikro: Vit A, yodium, d!l
• malaria dan TBC, HIV/ AIDS
,. Penyebab Tidak Langsung
• Perlindungan dan perilaku dalam keluarga:
o kekerasan & beban ganda,
c perilaku konsumsi,
o aborsi & perawatan persalinan,
o kawin muda,
o pandangan budaya
• Pemenuhan hak reproduksi:
o kesertaan KB,
o akses dan kualitas pelayanan KB,
o peran kesetaraan pria
• Akses dan penggunaan pelayanan kesehatan
l. Faktor Dasar
• keterbatasan pengetahuan
o pengetahuan dan budaya kesehatan reproduksi
o pendidikan kesehatan reproduksi
o pendidik, metode, dan pendekatan dalam


pendidikan kesehatan reproduksi
• Status Perempuan
o taraf pendidikan perempuan
o status sosial ekonomi perempuan
o pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga
• Kelembagaan
o kelembagaan KB dan pemberdayaan perempuan
o Posyandu
o institusi pendidikan dan keagamaan
431
2.5 Tantangan dalam menurunkan AKI
a. Tcrbatas nya akscs masvarakat terhadap fr1si!itas
pelayanan keseharan yang be rk ualita s, terutarna bagi
penduduk miskin di dae rah tertinggal, tcrpeucil,
perbatasan dan kepulauan (DTPK).
Pcnvediaan fasilitas pelayanan obstctrik neonatal
)>
z emergcnsi komprche nsif (PONEK), pelayanan obstctrik
m neonatal emergensi dasar (PONED), posyandu dan unit
(/)
-i transfusi darah belurn merata dan bclum seluruhnya
m
� terjangkau oleh seluruh penduduk. Sistem rujukan dari
0 rumah ke puskesmas dan ke rumah sakit juga belum
CD
(/)
-i berjalan dengan optimal. Ditambah lagi dengan kendala
m
-i geografis, hambatan transportasi, dan faktor budaya.

b. Terbatasnya ketersediaan tenaga kesehatan baik dari segi
jumlah, kualitas dan persebarannya, terutama bidan.
Petugas kesehatan di DTPK sering kali tidak mernperoleh
pelatihan yang memadai; kadang-kadang kekurangan
peralatan kesehatan, obat-obatan, dan persediaan darah
yang diperlukan untuk menangani keadaan darurat
persalinan.
c. Masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran
masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan dan
keselamatan ibu .
Beberapa indikator sosial ekonomi seperti tingkat
ekonomi dan pendidikan yang rendah serta determinan
faktor lainnya dapat memengaruhi tingkat pernanfaatan
pelayanan serta berkontribusi pada angka kematian ibu
di Indonesia.
d. Masih rendahnya status gizi dan kesehatan ibu hamil.
Persentase perempuan usia subur ( 15-45 tahun) yang
mengalami kurang energi kronis masih cukup tinggi yaitu
mencapai 13,6 persen (Riskesdas 2007). Rendahnya
status gizi, selain meningkatkan risiko kesehatan bagi
ibu hamil juga menjadi salah satu penyebab bayi lahir
dengan berat badan rendah (BBLR).
e. Masih rendahnya angka pemakaian kontrasepsi dan
tingginya unmet need.
432
Tingginya angka kemtian ibu mr-lahirkan dip<'nr,;:m ih i
oleh usia ibu (terlalu t ua; terlalu mudal, tingginya arigka
aborsi, dan rendahn_va angka pemakaian kontrasepsi. :ii:
0
Pengukuran AKI masih belurn tepat, kareria sistcm ::u
pencatatan penyebab kernat ian ibu masih belum �
r
adekuat.

(I)
Sejak tahun 1994, AKI diperoieh dari perkiraan usia
spesifik yang bersifat langsung terkait kernatian ibu yang 0
)>
didapat dari laporan dari saudara kandung ibu yang z
masih hidup (SDKI). Untuk mcndapatkan angka s::
0
kematian ibu yang akurat dan penyebab kematian yang ::u
CD
tepat dengan model statistik vital lengkap, (dapat a
dilakukan mclalui registrasi kematian ataupun sensus
penduduk) perlu segera diterapkan. �
CD
c
5 Kebijakan Pemerintah dalam Menurunkan AKI I
)>
Kebijakan yang akan dilaksanakan meliputi: ::\'::
Meningkatkan pelayanan outreach berbasis fasilitas r:
dengan meningkatkan kualitas dan jumlah puskesmas,
PONED, PONEK2, rumah sakit sayang ibu dan bayi serta
revitalisasi posyandu.
Meningkatkan akses layanan keluarga berencana melalui
pengembangan jaringan pelayanan kesehatan reproduksi
terpadu termasuk pelayanan kesehatan reproduksi
remaja dan pelayanan KB berkualitas dengan perhalll an
khusus pada daerah miskin dan tertinggal.
Memperkuat fungsi bidan desa, termasuk kemitraan
dengan tenaga kesehatan swasta dan dukun bayi serta
mernperkuat layanan kesehatan berbasis masyarakat •
antara lain melalui posyandu dan poskesdes.
Memperkuat sistem rujukan, untuk mengatasi masalah
tiga terlambat dan menyelamatkan nyawa ibu ketika
terjadi komplikasi melalui perawatan yang memadai tepat
pada waktunya.
Mernperkuat dukungan finansial melalui: PKH (Program
Keluarga Harapan), Jamkesmas (Jaminan Kesehatan
Masyarakat), dan BOK (Bantuan Operasional Kesehatan).
Meningkatkan pelayanan continuum of care yang
mencakup penyediaan layanan terpadu bagi ibu dan bayi
dari kehamilan hingga persalinan, periode postnatal dan
masa kanakkanak.
4.:n
·("e:io)f/u;nednq1:n'[)
1pu;reptrap resnd lB)f�U!l !P UBlBtps;:nr ueunauaqurod
uanfru ueredeouod uturefuour B)f�UB.l urejap
UBlBlf;:JS;:J)f 'auBp!q (WdS) wnW!U!W UBUB,\B{;:Jd .lBpUBlS
JOlB)f!PU!-JOlB)f!PUl ueredeouod BABdn UB)flB)f�u;u::iw ·w
"UIBJ�OJd UBBUBS)fBj;:>d UIB{Bp !�.1;:JU!S
BAU!PBr.1::il unrrefuour BUM SBlUH UBp WB.l�O.ld SBlU!{
UBB.ll!Uld}f 'rut �U!dUIBSIQ "U!)fS!Ul UBp {B�Buq.1::ii 4-e.1::i-ep
BpBd UB.lBSBS SBl!SU;:JlU! UBUB)f;:JU;:>d UB�u;:ip 'UBBAB!qw::id
BlJ;:JS '!SBTI{BA;} 'BU!JOl!UOW 'SUB{!BA.ms reropodurcur
B)f�UB.l UlB{BP l{B.l;:>Bp UBp resnd !SBUnJ q-e.t,\Bf BUM�UBl


UBp UBJ;:>d sepf.1::idw;:iUI UBBU;:ip !SBU!PJOO)f lBn)fJ;:idw;:iw 'I
J!l)fdp
'auBA poouieuroui ajvs !�;:ilBJlS-!'a;:ilB.llS ISB)f!JnU;:ip!�u;:iw
)fTilUD !dpow rn?l'eq.1;:iq unsnxuaur (!!I) trap '..res;:iq.1;:ii nqr
UBpBUl;:})f O)f!S!J !)f!{!lli;:}Ul BUBA l{BJ;:iBp UBp )fOdWO{d}( BpBd
srojoj (!!) '.Bp;:iq.1;:iq s-emBmI !)f!I!w;:iw BUB,( BlBP .roqums
rn'aBq.1;:iq UB">jlUBJUBW;:}Ul UB�u;:ip nq! UBpBW;:})f JD)f�U;:}Ul
)fDlUD S!S!{BUB opoacur-apoiaur UB}({BU;;l)f.l;:)dUJ;:}W
(1) :ue'au;:ip '!SBWJOJU! urorsrs lBD)fJ;:idw;:ii"J "){
·ueuBABI UBB!p;:i1'udd uep !SB}jO/\PB
WBjBP !BJ;;)U!S UB)fdBJ;)U;:}W BUM lB}(BJBJ\SBUl usp BlSBMS
'lOPfdS SBlUl{ 'WBJBOJd SBlU!{ UBB.ll:Uld}( ?lUO.lOpu;:iw
BlJ;}S UBBUB;JU;}J;:Jd soso.rd UBp UB)fBf!qd}( uu�hrnqw;,'au;:id
ursjnp .JDP/OLfa)fDJS !SBd!SllJBd uap uourofnuetu
'aumrnpu;:nu BUBA J!SDpUO}( UB�UD)fBll!! UB)fBld!::)U;)VI[ ·r 0:
'!ZI'a usdnse UBdD)(D::>;}}(
ururefuour l!BBU;:>p nqr IZ!B SDlBlS Df!BQJ;}dUJ;>VI[ ·1
Iii
l-
{IU!Bl{
cn
·u��l!Bl al
0
ueurru uap lB>jRIBASBlU )B}(?JUqtp
nqr UBlBlUB[;:)8;}}! en
uep ue1nq::H,.;J)f 7iUBlU;)l UB.18pBS;J>[ llB}(lB:f?lUIU;)lU UJ
I--
)[111Un lB�f818AS8lU UBlBl{;)S'1)[ mnpprpu;Jcl lllD(lB)f'.lJUJU;)VI[ 4 en
UJ
')[KllllO)j l1BlD4:->S;J)j B�1Bll;)l BUlil)fS undruauod unp z
-c
"S!7iJlBJlS UBlBl{,)S;J)J e'cieu;:n r'aBq 6Ulll!D.IJ ScJiJltl.J;)S-l/1 uap
a.JIIUas-;,.1d !11[8[;Jlll 'UB11Bf!1cl;J}j UBp UBSPJl�q.t,)d 'p,)U,XfJ;Jj
l{DJ;JBp rp un1e4.1S;:)>f e:Jmr;r1 ue4n1nq;n1 rqnu;JW,)lll
:,irnun murnn.r.u ·(srp.1Lurucc! DBBU,)l 'unpiq 'sq,irs;)ds
·ttrnurn _1,1p1op) u:iuue.1eq:JsJ;)d uup sn1qnn>J 'qqwnr
)jll�q 'u1nnl[,)S._))j l�'iirnr.)J UHnlf),)SJ;)J,))j Ull)j]U>j:ilUIU:J�'\I
pertolongan mcnggunakan laryngeal airway mask, jug
berkaitan dengan pcrbaikan tcrscbut. Pcningkatan risik
mor talitas maternal akibat ancstcsi ad alah 16 kali lcbi
tinggi pada anestesi umum dibanding ancstesi region,
dalam penelitian yang dilakukan di Amcrika.
Menurut laporan dari CEMACH dan Michigan, perh
)> ekstra hati-hati dalam rrielakukan pcnatalaksanaan jalai
z
m nafas sesudah recovery dari anestesi. Pada Iaporai
(J)
---i CEMACH, ditemukan tiga kematian yang berkaitan denzru
m
� kegagalan jalan nafas pada pasien morbid obes p•.ri, ,J,
0 postpartum, dua kasus di antaranya se sudah :. .n,·:,t<.
CD
(J)
---i umum, dan satu sesudah anestesi spinal. Pada pcnelitia.
� Michigan, Jima kematian menunjukkan bahwa kehilangai
� jalan nafas periode postoperative. Hasil ini menunjukkar
bahwa perlu perhatian khusus pada jalan nafas uritul
kasus-kasus obstetrik yang harus diteruskan sampai period:
postoperatif, dan bila memang perlu, harus ditambahkar
dengan monitoring khusus.
Secara keseluruhan kasus mortalitas maternal (kecual
kasus yang berkaitan dengan anestesi) terlihat bahws
penyebab tersering adalah komplikasi dari preeclampsis
yang mulai menurun pada periode dua decade terakhir, serts
tromboembolik yang secara umum mulai meningkat
Kematian akibat perdarahan dan emboli cairan ketuban
tetap memiliki angka kejadian yang sama. Kematian yang
berkaitan dengan penyebab anestesi adalah sangat jarang,
karena lebih banyak etioloi obstetrik mayor tersebut.
Penelitian di Amerika pada sekitar 1,5 miliar kelahiran dari
tahun 2000-2006 menunjukkan bahwa penyebab tersering
adalah sama dari tahun ke tahun, yaitu: preeclampsia>
emboli cairan ketuban> perdarahan> penyakit jantung>
tromboembolik. Pada kedua sumber yang meneliti,
disebutkan bahwa kematian paling sering ditemukan pada
seksio sesarea dibanding partus per vaginam.
Selain mortalitas, angka morbiditas maternal yang
cukup serius juga harus diperhatikan. ASA Closed Claims
melaporkan dua kali dalam dua decade terakhir untuk
penyebab yang berkaitan dengan kasus obstetrik. Laporan
terkhir menunjukkan perkembangan terbesar dibanding
yang dilaporkan sebelum dan sesudah 1990. Fraksi yang
lebih kecil berhubungan dengan masalah jalan nafas dan
aspirasi, dan lebih berkaitan dengan cedera saraf; lebih
436
ocrkaitan dengan regional dibanding anestcsi umurn; lebih
sedikit nya fasilitas perawatan yang di bawah standar, dan
cbih scdikit nya pcmbayaran. Pernbayara n tertinggi dibuat s:
0
Jada kasus kcmatian maternal, kerusakan otak maternal, lJ
Ian kerusakan otak neonatal. Pada kasus ccdera otak ;;!
r:
ieonat al. kurangnya kornunikasi antara tim obstetrik dan

uiestesiolog serta keterlambatan penatalaksanaan anesresi en
lihubungkan dcngan cedera pada perawat an anesthesia.

z
Hmpulan s:
0
Angka kernatian ibu (AKI) di Indonesia masih terap lJ
OJ
inggi. Kecenderungan yang ada, AKI terus rnenurun, namun a
ierlu upaya dan kerja keras unruk rnencapai target
Jillenium Development Goals (MDGs). Berdasarkan data dari �
lcpartcmen kesehatan rendahnya kcsadaran rnasyarakat ro
c
cntang keschatan ibu hamil rnenjadi faktor pcnentu angka I
)>
.ematian, meskipun masih banyak faktor yang harus s::
;::::
iperhatikan untuk rnenangani rnasalah ini.
Penurunan angka kematian ibu merupakan salah satu
,rioritas pembangunan kesehatan sebagaimana tercantum
alam RPJMN 2004-2009. Untuk mencapai sasaran
ersebut, kebijakan pembangunan kesehatan terutama
iarahkan pada peningkatan jumlah, jaringan, dan kualitas
uskesmas yang disertai dengan peningkatan kualitas dan
uantitas tenaga kesehatan.
Penatalaksanaan anestesi hanya sedikit kontribusinya
ada mortalitas maternal dan anestesiolog mengalami
emajuan daiam ha! mengurangi angka mortalitas maternal
an morbiditas mayor yang disebabkan oleh perawatan •
nestesi. Perlu perhatian yang lebih pada populasi obstetrik
erta perawatan obstetrik untuk meneruskan pengembangan
-knik penatalaksanaan perioperatif yang lebih aman.
aftar Pustaka
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Laporan
Pencapaian Millenium Development Goals 2007. Jakarta:
Sadan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Depkes RI. Angka Kematian !bu Melahirkan. Jakarta:
Depkes RI; 2010.
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas.
Rancang Bangun Percepatan Penurunan Angka Kematian
437
Ibu untuk Mencapai Sasaran Millenium Development Goals.
Jakarta: Bappenas; 2010.
4. Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetri Anesthesia Handbook,
edisi ke-5. New York: Springer: 2010.
5. Kerncnterian Pcrencanaan Pembangunan Nasional/ Badan
)> Perericanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Laporan
z Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia.
m
� Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan
m Nasional/Sadan Perencanaan Pembangunan Nasional

0 (BAPPENAS); 2010.
III
en 6. WHO. Millennium Development Goals (MDGs). 2012.
-i
m Download from http://www.who.int/mediacentre pada 05
� Desernber 2012.
438
Jn��k�··. -: ...·• '• >·.·· .: ··
•• - - • : • • ' - ¥ - -
� > • '

-
A E
:\hn1pt11• pl:ln·.t!;t. 1:�;·. 22·; . .'.!X l-:kdr111. ·l.! .. fq. �,:-{. 2·1:"l . ...?·17
:\,lrc-1u-ri-=.1k . .!.!. ·L!. }11.1. .L1s Ekl;•rnpsi . .! 2. 1.r,·.: .\H
:\dre11cwor11n,1ropw 1111;·!111111. .',-1. .:. .S. 2·1:",. E111holi. K<J. t)J. t>7. <JH
2� I Eudorflu. I.'
:\Fl·. l,;1111,;ot/l" Ji;ud 1·111/iulis;:JI. ��CJ l·.11lit:r:,n . .'!I . .!H. _>q�
:\FI.P (u< 11!1' fu!llf /1;·1·1 ''./ J..r1·,1w;rw11i . ..:��;--;_ i·:111111t:,:-:. 1 h' , .. L.'·1
2�J 2Hj . . . 1·::-;.:r11gn1.;:; .l ! :=i. 1.\'I. ·101)
1\ll>S. I S<J. i<J I J-:tu111id;1t. :'>.!. 2l(i. ·l.'.\
:\in,·ci!J .. ;, K.!. S.S. l'-:7 . ..!Ut>,..!lti l·:T lc11d,r.,u 11.111:--krl. ·ii'S
Akupuut or. . i2.\ .. 1-1 !-:pi1ll'phri11. ih. :1tJ. ·L!. ·IX .. \tJS
:\h'.I (:\11gk;1 ht·fll;1ti;111 11,,q. tJ.?. IJ:-1. J JtJ. 1-:pidl!Ltl. 2.-l, 12. I ;)b .. tH)
:\27 !·:pih·p:,;.i. ht,.177
:\!IHiJlli:� .. !i·:-,. fill J-:1id1ik;1i11. lt:. I/. ltJ .. , I
Allc.::11;11n·I. I ;)O. -�SI. ·lUt1
F
:\lft·111;m.il. J .�.l. 2 I Ci. JJ:=; Ft·111;111,·I. I :1U. 2·1:;. ·10�
:\n;ilg1..·si;1. -t.12. JI. 2). -�2 Fl"lal. )s . .21 S. 2...\.1
:\rn·s1t·si;1 .. HJ. 2�. =iS
Antusicl. 1 l. (,:\. /q G
:\;oiihintik. �;-;. I I ·I (ii!· r 11.•.;111h·1,· in11:i t�11!,,p1.111 trn u slc-r]. ·h.lS.
·\111i,.·11w1 ik .. ·\)11 ·Hf,'. ·J·1�,
:\1uil(,:-.fo!iJ>td. 17.S.1 ·,-,.. .,, ·1 lh
:\pg;11·. 2:=;, )<i. rt. ;;·,- H
,\l..'.US. X.1. l·ltl 1bl,,1;111. !..! . ..\S. ·�7. Su . .!<JX
.vn rn ls. 17;;_ 17<, I II\'. I :..:1,, 1 �:11. ·I I : . -I I.!
:\l�\':a111i fC'lru vir.i}. Jt)' ll1d11J\1·:.1p: .. :_1.1
c\SI. .!UI ll;,11,Tfro11l:11 flh:•tnn·tn·1· 1·unlium11ufJ<Hl111
Asm.t. I U7. I UIJ Ii IOl':\11. I.!().: .1d . .
:\spir;1si. I .1 U. I IO I l11>('rko.:1gul,1hl'l. f)
Aspu-in. 1 S.1. 2�H J lipcrtc11si . .!·I . .1f,. I ..!<J. -101
:\s�is.:t·d l,?q,n,tlucfi1·c T1·d111i<11w (:\!�Tl. -lfl:i I lipnnsis .. ).!.1
AVi\L .!U;). 2U<, . .207 tlipn1•·ns1. 7. X. -.l.!. --l·l. .HiO
c\ \.D< , ... .! Is I fipt·111:rrni. .! I<,
.!SlJ. _1h.:;
J lu11:;111 Pl;1tT111:tl l.;1dn:J,t.'ll. .2.1<-)
B Ill :s (h;1emol�·1k tu'ru-rnin «vudronu-j . --11 J
Hnrbirur.u . I K. 11 <J
Bc-r.u lJaci,111. 2.1:"i;l
l�l'tod>l•,k<'r. }K(:.
8l'11zocli,1zt·1>i11. I <-ifl. lK� lbuprcfc-n . .1U7 ..1UK
Buph·:1c;1i11·. 1-4. -H)h ICII fintr.ic-cn·hral h1·1rn,trhai,!l'). 20<..J. 21<>
Idiop.uik Trombosi:01Jt·11ik Purpura. I
! 7�1. ISh
c I r·,don1t·\;1�in . .)f 1k
Cc1Jciwn c huruu-l blokc-r. :=i.t
lntc-rva! ID. h7
CBF {c<'rchr(I/ IJJood f1oH�. 20X
lnt•·1y;d L=U. 1>"'
CD-i. \.�9. JI.JO. :<Jh
/1:lt';·i<·1:kin. ,'·H.J. J:ill. 2111
Cl'111r.:d \'en<J1.1s Prvs.curv. ! .t:;
bollur,111. 12.1..is. 2U<J
Chlqropnw:1i11. 184 . ...\0() !\"F (/11 ;·irrn frrtilizationl. ·H):i . ..JOtJ. 4 JO
Cis.:11r;1('l11'ium. 3S:)
iuru. 277. ]s;
Cox· 2 inhibitor JOH IT\ li11'rC1!l1('cul 11(ln·uric) . .117 .. {/lJ
CPf' lccrchrol 11t·1.·;i1s1P11 /Jrt·-.:-.:urcJ. 2fJ2
Crin>id pn-s surc. X..\
K
CSE. 12.1. i.12. 2uf,
ht·1;1mi:1. I�. 1.::i<>. J:>K
Curah j.un uru; 1cr,t<.Jiuc ,,.,11w11. 7. 8. ,)_ � I
r\f-�K lkl'kur.111g;111 t'l1l'l).:i k rr mi kl. -4.10. 4.11
Contiunu» Epiduru l :\1wlgl'si;1 (CE:\) .. 11 :
1'loroprok,ti11. 21. :�.1 . ..JS
Ko,!c-in ..1(1�
D
Dnhon. IS
L
Dcsflurnn. JU. l 1 h
Labor p;1111 ..12.". ..1�.1
Diab,·t('S mcllu us: [)I. N DI. G DI. i.is. 234.
l.c]; \ ·c.•lfrin,ior Encl {)1<t.-.:toi1c \'"olumc
.l21 . !LVEIJV). 1.11
Diabetes l ns ipidus , 2f>9. 270. 273
Lidoknin. 69.111>. H<J
Diazeparn . 19.4U.141.,·12.14J
Lipid. I�. 17.18 . .11. 278
Diarnorfin. 310 . .176
L�l1\ ..l'J I . .l<J<J
DIC: skoring. 419
Oiklofenat. .107
ONA. I 71i. I <JO .•1'>8
439

Anda mungkin juga menyukai