Puji syukur kehadapan Tuhan Yang maha Esa, karena atas berkatNya Buku Ajar Ilmu
Anestesi dan Terapi Intensif ini terwujud. Buku ini sangat bermanfaat dan penting dalam
proses belajar mengajar khususnya di bidang ilmu terkait. Sudah banyak sekali buku-buku
serupa yang beredar, namun keunggulan buku ini adalah lebih simple, mudah dimengerti dan
mudah untuk diterapkan serta tidak mengesampingkan kaidah ilmu terkini (evidence-based
medicine) di bidang Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif.
Terdapat tiga unsur penting dalam pendidikan di Fakultas Kedokteran UNUD antara
lain kognitif (ilmu pengetahuan), afektif (etika-sopan santun), dan psikomotor (keterampilan
klinis). Ketiga hal ini merupakan komponen yang tidak bisa terlepas dan terkait satu dengan
yang lain yang harus tercapai oleh peserta didik pada masa pendidikannya. Buku ini adalah
untuk menunjang unsur kognitif dan terkait erat dengan psikomotor dari peserta didik.
Saya menyambut gembira Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif di Program
Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUD yang dapat dipergunakan sebagai
pegangan para peserta didik baik PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif maupun PPDS
program study yang terkait dengan keilmuan anestesi dan terapi intensif, mahasiswa Program
Profesi Dokter, dokter umum, dan paramedis, untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
sesuai amanah kurikulum dan tujuan keilmuan yang ingin dicapai.
Terimakasih kepada seluruh anggota tim penyusun buku ini yang sangat bermanfaat
bagi kita semua. Teriring dengan doa semoga kita semua dilimpahkan kesehatan dan dapat
tetap mengabdi untuk kepentingan pendidikan.
Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif ini disusun berisikan materi pilihan yang
dipakai sebagai pegangan praktis dalam proses belajar mengajar Ilmu Anestesi dan Terapi
Intensif baik dalam kompetensi kognitif maupun psikomotor untuk peserta didik PPDS Ilmu
Anestesi dan Terapi Intensif, Program Pendidikan Profesi Dokter FK UNUD, maupun untuk
paramedis yang berminat menekuni Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif. Buku Ajar ini adalah
buku pertama dari rangkaian buku ajar di Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif.
Uraian dalam Buku Ajar ini cukup sederhana dan jelas mencakup hampir semua tindakan
praktis penerapan ilmu anestesi dan terapi intensif sehingga dapat dengan mudah dipahami
oleh semua pihak yang berminat untuk mendalaminya.
Bagi peserta didik PPDS Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, tentunya buku ini tidak
bisa dianggap sebagai satu-satunya sumber bacaan, sehingga mereka harus melengkapinya
dengan bacaan-bacaan buku teks yang dianjurkan untuk meningkatkan taraf kompetensi
kognitifnya. Bagi mahasiswa Program Pendidikan Profesi Dokter, buku ini sudah cukup
memadai untuk memahami dan mengenal ilmu dasar Anestesi dan Terapi Intensif beserta
cabang ilmu lain yang termasuk di dalamnya. Bagi paramedis, buku ini sangat membantu
untuk menambah pengetahuannya dalam keikutsertaannya sebagai mitra kerja dalam praktik
Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada seluruh staf dan
karyawan Departemen Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif (khususnya Nyoman Ariawan, Ni
Ketut Santi Diliani, SH., Ketut Adi Purnata, S.Kom., dan Triyanto, S.Kom.), residen,
mahasiswa, dan paramedis, atas dukungannya sehingga Buku Ajar ini dapat diselesaikan.
Ibarat tidak ada gading yang tidak retak, maka segala kritik, saran, dan masukan yang
konstruktif untuk menyempurnakan buku ini kami akan terima dengan tangan terbuka. Besar
harapan kami buku ini bisa bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
Made Wiryana, Tjokorda Gde Agung Senapathi, I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa
PENGERTIAN
Anestesi berasal dari bahasa Yunani Kuno, an- yang berarti tidak, dan aestesia yang berarti sensasi
atau rasa. Maka ilmu anestesi (anestesiologi) adalah ilmu yang mempelajari tata laksana untuk
menghilangkan berbagai sensasi (utamanya nyeri dan cemas), sehingga pasien dapat merasa
nyaman.
RUANG LINGKUP
Menurut Permenkes No 519/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi
dan Terapi Intensif di Rumah Sakit, maka pelayanan anestesi di Indonesia mencakup:
1. Memberikan pelayanan anestesia, analgesia dan sedasi yang aman, efektif,
berperikemanusiaan dan memuaskan bagi pasien yang menjalani pembedahan, prosedur
medis atau trauma yang menyebabkan rasa nyeri, kecemasan dan stres psikis lain.
2. Menunjang fungsi vital tubuh terutama jalan napas, pernapasan, peredaran darah dan
kesadaran pasien yang mengalami gangguan atau ancaman nyawa karena menjalani
pembedahan, prosedur medis, trauma atau penyakit lain.
3. Melakukan terapi intensif dan resusitasi jantung, paru, otak (bantuan hidup dasar, lanjutan
dan jangka panjang) pada kegawatan mengancam nyawa dimanapun pasien berada (ruang
gawat darurat, kamar bedah, ruang pulih, ruang terapi intensif/ICU).
4. Menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, asam basa dan metabolisme tubuh pasien yang
mengalami gangguan atau ancaman nyawa karena menjalani pembedahan, prosedur medis,
trauma atau penyakit lain.
5. Menanggulangi masalah nyeri akut di rumah sakit (nyeri akibat pembedahan, trauma,
maupun nyeri persalinan).
6. Menanggulangi masalah nyeri kronik dan nyeri membandel (nyeri kanker dan penyakit
kronis).
7. Memberikan bantuan terapi inhalasi.
Dari hal-hal tersebut di atas, ruang lingkup seorang ahli anestesi mencakup empat hal utama:
kedokteran perioperatif, kedokteran gawat darurat, kedokteran perawatan intensif, dan menajemen
nyeri.
Kedokteran Perioperatif
Kedokteran perioperatif adalah sebuah cabang ilmu kedokteran multidisiplin yang
terdiri dari berbagai bidang spesialis yang mampu mengidentifikasi dan melakukan
intervensi pada pasien dari efek buruk tindakan pembedahan secara efektif.1 Kedokteran
perioperatif digunakan tidak saja sebelum, namun juga selama dan setelah operasi. Seorang
ahli anestesi, dengan riwayat pendidikan, keterampilan, dan pengalamannya, merupakan
pilihan terbaik untuk memimpin bidang ini.2
Tidak ada pasien yang sudah dijadwalkan untuk pembedahan elektif merasa senang
atau bersemangat dalam menyambut operasinya. Saat seperti inilah kunjungan pra anestesi
dapat memberikan manfaat dalam kedokteran perioperatif, dimana seorang ahli anestesi
dapat memberikan konseling dan informasi yang dapat memberikan rasa aman bagi pasien
(cognitive behavior therapy/CBT). Tentu saja CBT tidaklah selalu dapat memberikan rasa
aman dan nyaman, terlebih dengan kewajiban kita untuk selalu menginformasikan risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi selama pembedahan. Saat inilah obat-obat anti ansietas
dapat berguna untuk memberikan rasa tenang kepada pasien.
Kedokteran perioperatif tidak saja berkutat seputar kunjungan pra anestesi, namun
juga bagaimana seorang ahli anestesi dapat menjaga stabilitas hemodinamik pasien
sepanjang operasi. Pada lebih dari 90% kasus, hal ini dapat merupakan sebuah tugas yang
mudah. Namun selalu ada suatu porsi dari populasi yang membutuhkan sebuah intervensi
yang jitu dari seorang ahli anestesi dalam menjaga stabilitas hemodinamik. Pada pasien yang
termasuk kelompok tersebut, tidak saja jenis obat yang tepat, bahkan dosis obat yang tepat
dapat menjadi suatu pembeda antara hidup dan mati.
Pada hampir semua pasien yang akan dioperasi, ketika ditanya mengapa mereka takut
dioperasi, mereka menjawab karena ketakutan akan merasakan nyeri setelah dioperasi.
Seorang ahli anestesi bertanggung jawab untuk menangani nyeri pada periode paska operasi.
Sebagian besar pasien paska bedah membutuhkan terapi opioid untuk meredakan nyeri.
Sebagian lagi membutuhkan terapi injeksi dengan analgetik intravena. Sisanya mungkin
hanya membutuhkan terapi analgetik oral. Adalah tugas seorang ahli anestesi untuk meracik
dan menggabungkan obat yang tepat untuk memberikan rasa nyaman kepada pasien,
sehingga pembedahan tersebut tidak menjadi sebuah pengalaman yang buruk dan traumatik
bagi pasien secara psikologis.
Manajemen nyeri
Nyeri akut paskabedah biasanya lebih mudah ditangani dan nyeri akan berkurang
seiring dengan berkurangnya reaksi inflamasi akibat trauma pembedahan dan anestesi.
Namun nyeri kronis lebih sulit ditangani dan terkadang hasilnya tidak memuaskan. Seorang
ahli anestesi, yang karena kemampuan dan pengalamannya dalam “bermain’ dengan
berbagai dosis opioid, dapat memberikan sesuatu yang tidak didapatkan dari bidang keahlian
lain.
Tentu saja dalam beberapa dekade terakhir, cabang ilmu ini mengalami kemajuan yang
sangat cepat. Selain terapi medikamentosa, berbagai penelitian telah menemukan bahwa
CBT, terapi musik, terapi dengan distraksi, radiofrequency, dan berbagai invasif dapat
mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien.
SEJARAH SINGKAT ANESTESIOLOGI
Dari semua tonggak dan pencapaian dalam dunia kedokteran, menaklukkan rasa sakit
adalah salah satu dari sedikit penemuan yang humanis di dunia. Hal itu dimulai pada tahun 1846
dimana salah satu ketakutan terbesar umat manusia saat itu, nyeri saat dioperasi, dihilangkan.
William TG Morton (1819–1868), seorang dokter gigi muda di Boston, sedang mencari
agen anestesi yang lebih baik daripada N2O. Dengan keuletannya, Morton dan seorang ahli bedah
terkenal di Massachusetts General Hospital, John Collins Warren (1778–1856), membuat sejarah
pada 16 Oktober 1846 dengan melakukan prosedur bedah pertama yang berhasil dilakukan dengan
anestesi. Morton menunjukkan kepada dunia bahwa eter adalah gas, yang bila dihirup dalam dosis
yang tepat, memberikan anestesi yang aman dan efektif.3 Pencapaian Morton ini disebut sebagai
the most humane discovery in mankind, atau penemuan paling manusiawi dalam sejarah umat
manusia.
Demonstrasi ini mengubah praktik kedokteran. Berita mengenai keberhasilan Morton
menyebar dengan cepat di dunia kedokteran. Dua bulan kemudian, Francis Boott dan James
Robinson berhasil melakukan pencabutan gigi menggunakan eter. Kemudian dua hari setelahnya,
Robert Liston melakukan amputasi dengan eter. Pencapaian mereka ditulis pada bulan Januari di
tahun berikutnya di London Illustrated News.4
Salah satu orang pertama yang menggunakan pipa endotrakeal adalah seorang dokter anak,
Joseph O'Dwyer (1841-1898). Dia menggunakan tabung logam O'Dwyer dalam kotak difteri dan
memasukkannya tanpa penuntun ke dalam trakea. Penggunaan cuff pada pipa endotrakeal
dipopulerkan oleh Arthur Guedel (1883–1956) dan Ralph M. Waters (1883–1979) pada tahun
1932. Temuan ini memberi kemampuan bagi dokter untuk memberikan ventilasi tekanan positif.
Ahli anestesi Chevalier Jackson (1865–1958) mempromosikan laringoskop genggamnya
untuk pemasangan tabung endotrakeal dan popularitasnya dengan cepat menarik perhatian. Teknik
terobosan laringoskopi langsung Sir Robert Reynolds Macintosh (1897–1989) muncul setelah ia
diangkat menjadi profesor anestesi di Universitas Oxford pada tahun 1937. Ia adalah orang
pertama yang menggambarkan penempatan ujung laryngoscope di epiglotis yang melekat pada
pangkal lidah, dimana posisi itu akan membuka laring secara optimal.
Penggunaan barbiturat sebagai anestesi intravena dimulai pada tahun 1932. Sodium
thiopental mulai populer setelah penggunaannya dijelaskan secara rinci oleh John Lundy (1894–
1973) dari Mayo Clinic. Berbagai obat intravena lainnya telah dicoba selama puluhan tahun, tetapi
obat induksi terbaru yang bernama propofol mampu memberikan periode pemulihan yang jauh
lebih singkat dan menekan refleks laring telah membawa banyak manfaat. Diperkenalkan secara
klinis pada tahun 1977, propofol menunjukkan banyak efek positif, tidak saja sebagai agen anestesi
namun juga sebagai obat anti-emetik.
Sebelum bulan Oktober 1846, operasi dan rasa sakit adalah sama tetapi tidak sesudahnya.
Ketika kita kini memasuki era informasi di mana infrastruktur kedokteran yang berbasis bukti,
dimana genetika, transplantasi, dan bahkan sel induk menjadi begitu cepat dapat diintegrasikan ke
dalam dunia kedokteran, sangatlah mungkin kita dapat memprediksi masa depan yang sangat baik
bagi kemajuan dunia anestesi.
Tindakan anestesia yang aman tidak bisa lepas dari kelengkapan alat-alat anestesia dan alat pantau
yang baik. Peralatan yang baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi alat yang baik selalu
dapat diandalkan dan dapat berfungsi sesuai dengan tujuannya. Inilah sebabnya mengapa
pengetahuan peralatan secara umum harus diketahui oleh semua orang yang akan melakukan
tindakan anestesia.
Alat-alat anestesia sangat bervariasi, mulai dari alat-alat yang paling sederhana, misalnya
alat anestesia inhalasi eter, sampai alat canggih yang dilengkapi dengan pemberian ventilasi
mekanik, serta alat-alat pemantauan fungsi organ yang diatur dengan komputer. Perlu diperhatikan
bahwa kesalahan atau kerusakan pada alat anestesia bisa saja terjadi. Oleh karena itu pengetahuan
tentang farmakologi klinik obat-obat anestesia yang dipakai harus dipahami dengan baik.
3. Sistem EMO
Sistem EMO (Epstein-MacIntosh-Oxford) yang terdiri
dari alat penguap berupa EMO inhaler, kantong
penampung udara, dan pipa aliran nafas yang dilengkapi
dengan katup searah serta sungkup muka.
PENGERTIAN
Evaluasi pra-anestesia (disebut juga pemeriksaan pra-anestesia atau kunjungan pre-anestesia)
adalah serangkaian pemeriksaan medis dan penunjang yang dilakukan oleh pemberi anestesi
sebelum operasi, untuk menilai kondisi fisik pasien, masalah medis, atau penyakit yang mungkin
diderita pasien. Tujuan dari evaluasi pra-anestesia ini bukan untuk memberikan persetujuan pada
pasien dan operator bahwa pasien siap untuk menjalani operasi elektif, tetapi untuk mengevaluasi
dan, apabila diperlukan, menerapkan langkah-langkah untuk mempersiapkan pasien yang berisiko
lebih tinggi untuk dapat menjalani operasi.
Evaluasi pra-anestesia dapat mengurangi lama tinggal pasien di rumah sakit serta
meminimalkan angka penundaan atau pembatalan operasi. Seorang ahli anestesi harus memahami
risiko yang terkait dengan jenis operasi dan mengkorelasikan risiko tersebut dengan masalah medis
akut dan kronis yang diderita pasien. Evaluasi pra-anestesia yang dilakukan dengan baik akan
dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang secara signifikan meningkatkan risiko komplikasi.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan secara
terstruktur dan komprehensif, namun tetap harus efektif karena ini akan berkaitan dengan biaya.
Pasien yang tidak memiliki masalah medis mungkin membutuhkan waktu dan pemeriksaan yang
lebih singkat. Namun mereka yang memiliki komorbiditas haruslah dapat dioptimalkan untuk
dapat menjalani prosedur bedah dan anestesi dengan aman. Oleh karenanya, evaluasi pra-anestesia
tidak seharusnya dilakukan menjelang waktu operasi dimulai agar dapat lebih memberikan waktu
kepada tim dokter yang merawat untuk menerapkan langkah-langkah yang tepat untuk
mengoptimalkan kondisi pasien apabila diperlukan.
Penelitian menunjukkan bahwa komplikasi perioperatif terjadi pada 17% pasien.
Morbiditas dan mortalitas pada pembedahan umumnya terkait dengan salah satu dari tiga hal
berikut: komplikasi kardiovaskular, komplikasi pernapasan, dan infeksi.
TUJUAN EVALUASI PRA-ANESTESIA
Tujuan utama dari evaluasi pra-anestesia adalah untuk mengurangi morbiditas atau mortalitas
perioperatif dan memulihkan pasien ke kondisi yang optimal secepat mungkin. Sangat penting
bagi kita untuk menyadari bahwa risiko perioperatif bersifat multifaktorial yang terfantung dari
kondisi pra-operatif pasien, prosedur bedah yang dilakukan, dan tehnik anestesi yang diberikan.
Pada umumnya, tujuan dari evaluasi pra-anestesia ini adalah mengidentikasi pasien dan
permasalahannya, menentukan status fisik pasien, mengetahui jenis operasi, memilih tehnik
anestesi yang paling aman bagi pasien, mengidentifikasi kemungkinan penyulit yang muncul, dan
mendapatkan persetujuan pasien untuk menerima prosedur anestesia (informed consent).
Pemeriksaan Fisik
Hal-hal yang harus dievaluasi pada evaluasi pra-anestesia:
1. Tanda-tanda vital. Tanda vital mencakup tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas,
suhu tubuh, dan skala nyeri. Hal-hal ini dapat menentukan tehnik anestesia kita, dan juga
dapat memberikan kita mengenai status umum pasien.
2. Status nutrisi dan hidrasi. Status nutrisi mencakup berat badan, tinggi badan, dan indeks
massa tubuh (IMT). Hal-hal ini akan memberikan gambaran apakah kita perlu melakukan
penyesuaikan dosis pada obat-obat yang kita gunakan. Pada pasien dengan status hidrasi
yang tidak baik (dehidrasi ataupun overhidrasi), harus dilakukan optimalisasi status
cairannya terlebih dahulu apabila memungkinkan. Malnutrisi telah lama diketahui
berkorelasi dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas bedah. Oleh karenanya evaluasi
status nutrisi sebaiknya rutin dilakukan, utamanya pada manula. Pada jenis operasi tertentu,
pasien sering kali dipuasakan baik sebelum maupun sesudah operasi, sehingga dapat
mengganggu status gizi lebih lanjut.
3. Evaluasi semua sistem organ. Biasanya kita menggunakan evaluasi sistem organ dengan
singkatan 6B untuk mempermudah kita mengingat: brain (sistem saraf pusat), breathing
(sistem respirasi), blood (sistem kardiovaskular), bowel (sistem gastrointestinal dan
hepatobiliar), bladder (sistem urogenital), dan bones (sistem muskuloskeletal). Hal ini
penting agar kita tidak melewatkan satupun kelainan yang dialami oleh pasien. Penting
diingat bahwa sistem endokrin dan sistem integumen belum termasuk pada 6B di atas dan
oleh karenanya harus dievaluasi secara mandiri.
4. Evaluasi kesulitan jalan nafas. Beberapa metode evaluasi yang dapat dilakukan misalnya
pemeriksaan Mallampati, skor LEMON, skor IDS, ataupun pemeriksaan jarak kulit ke
epiglotis dengan menggunakan bantuan ultrasonografi (USG).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium pra-operasi seringkali secara rutin mencakup hitung darah lengkap,
profil kimia darah, urinalisis, status koagulasi, elektrokardiogram (EKG), dan radiografi dada.
Sejumlah penelitian kemudian menunjukkan bahwa sebagian besar tes ini diminta tanpa ada
indikasi yang jelas, dan bahwa hanya sebagian kecil dari hasil pemeriksaan tersebut yang secara
tak terduga ditemukan abnormal. Bahkan di antara sebagian kecil pasien dengan hasil abnormal
itu, manajemen operasi dan anestesi tidak terpengaruh.2 Sejak tahun 1996, ASA sudah
merekomendasikan tes rutin yang lebih sedikit dan menyarankan pemeriksaan laboratorium
tambahan hanya berdasarkan indikasi spesifik pada pasien.3
Pada umumnya, pemeriksaan hitung darah lengkap dilakukan pada pasien sehat sampai
usia 40 tahun. Pada kelompok usia 40-65 tahun, ditambahkan pemeriksaan EKG dan foto polos
thorax. Sedangkan pada golongan usia geriatri, disarankan pemeriksaan tambahan berupa tes
fungsi ginjal, gula darah, dan elektrolit.
Pemeriksaan Mallampati
Skor Mallampati adalah sistem penilaian predisi kesulitan intubasi berdasarkan visualisasi struktur
faring selama laringoskopi. Skor Mallampati didasarkan dari sebuah penelitian terhadap 210
pasien yang menilai tiga struktur pada faring (uvula, palatum molle, dan pilar faucial) sebagai
prediktor tingkat kesulitan ketika melakukan direct laringoskopi.
Pada tahun 1975, Seshagiri Rao Mallampati, seorang ahli anestesi AS kelahiran India,
mendapatkan kasus intubasi trakea yang sulit pada saat menjalani operasi caesar. Tidak ada
mortalitas ataupun efek buruk dari kejadian tersebut bagi ibu atau bayinya, tetapi peristiwa inilah
yang membuat Mallampati membuat sebuah penelitian untuk memprediksi kasus intubasi sulit dan
mengembangkan skor Mallampati.
Ia kemudian menulis surat kepada pemimpin redaksi Canadian Anesthetists Society
Journal pada tahun 1983 dan berhipotesis bahwa penilaian jalan nafas sebelum operasi harus dapat
memprediksi kasus intubasi sulit. Pemimpin redaksi jurnal tersebut, Douglas Craig, membalas
suratnya untuk menyarankan dia melanjutkan pekerjaannya dengan studi prospektif.
Pada tahun 1985, ia bersama dengan rekan-rekannya menerbitkan hasil penelitiannya di
jurnal yang sama. Saat itulah pertama kalinya skor Mallampati diperkenalkan kepada dunia.7 Pada
tahun 1987 Samson dan Young menambahkan kelas ke-4 ke dalam skor Mallampati, dan
klasifikasi itulah yang masih digunakan secara luas hingga saat ini.
Skor Mallampati ini berdasar dari teori bahwa jika pangkal lidah berukuran relatif besar
secara tidak proporsional dengan kapasitas orofaring, maka visualisasi kita terhadap pilar faucial,
bagian posterior uvula, dan akhirnya langit-langit lunak (berturut-turut dalam urutan ini), akan
menjadi terhalang. Skor Mallampati 3 dan 4 diasosiasikan dengan prediksi terjadinya kesulitan
pada saat melakukan intubasi endotrakeal.
Kriteria LEMON
LEMON adalah singkatan dari look externally, evaluate 3-3-2, Mallampati, obstruction, and neck
mobility. Singkatan ini dibuat untuk mempermudah kita dalam mengingat hal-hal penting yang
berhubungan dengan evaluasi jalan nafas. Metode ini diajukan oleh US National Emergency
Airway Management Course.
Sistem penilaian ini mencakup sebagian besar karakteristik yang terkait dengan kesulitan
intubasi seperti obesitas, mobilitas kepala dan leher, fleksibilitasmandibula, karakteristik gigi seri
atas yang panjang, skor Mallampati, jarak thyromental, dan leher yang pendek.9 Skor LEMON
berkisar antara 0 (skor minimal) dan 10 (skor maksimal). Skor LEMON tidak membuat sebuah
nilai batas di skor berapa intubasi diperkirakan sulit, namun lebih kepada konsep dimana semakin
besar skor maka kemungkinan terjadi kesulitan intubasi akan semakin besar.
Tabel 3.4 Parameter penilaian skor LEMON
LEMON Parameter Skor
Look externally Trauma maksilofasial 1
Gigi seri yang besar dan/atau condong ke anterior 1
Adanya kumis dan/atau janggut 1
Ukuran lidah yang relatif besar terhadap rongga mulut 1
Evaluate 3-3-2 Jarak gigi seri atas dan bawah <3 ruas jari pada posisi pembukaan mulut maksimal 1
Jarak tulang hyoid ke dagu <3 ruas jari 1
Jarak tiroid ke mulut <2 ruas jari 1
Mallampati Skor Mallampati >2 1
Obstruction Adanya obstruksi pada jalan nafas, misalnya adanya tumor intraoral, epiglotitis, abses 1
peritonsilar, trauma, dll.
Neck mobility Pergerakan leher yang terbatas 1
Tabel 3.5 Definisi dan contoh dari masing-masih status fisik ASA10
ASA Definisi Contoh
I Pasien tanpa penyakit sistemik dan kebiasaan buruk Pasien sehat tanpa riwayat merokok dan tidak ada
riwayat penggunaan alkohol yang berlebihan
2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan, atau tanpa Perokok aktif, peminum alkohol, kehamilan normal,
ada keterbatasan fungsional. obesitas, diabeter atau hipertensi yang terkontrol
baik, penyakit paru ringan tanpa keterbatasan
3 Pasien dengan penyakit sistemik yang parah, atau DM atau hipertensi yang tidak terkontrol, PPOK,
dengan adanya keterbatasan fungsional yang obesitas morbid, hepatitis aktif, ketergantungan atau
substansial. penyalahgunaan alkohol, terpasang implant alat
pacu jantung, gangguan LVEF sedang, ESRD
dengan dialisis rutin, bayi prematur, riwayat MI,
CVA, TIA, atau CAD/stent >3 bulan.
4 Pasien dengan penyakit sistemik berat yang Riwayat MI, TIA, CAD, penyakit serebrovaskular
mengancam nyawa <3 bulan terakhir, disfungsi katup jantung yang
berat, gangguan LFEV berat, sepsis, DIC, AKI,
ESRD yang tidak dilakukan dialisis secara teratur.
5 Pasien yang diperkirakan tidak akan bertahan hidup Ruptur aneurysme abdominal/toraks, trauma masif,
tanpa operasi perdarahan intrakranial dengan efek massa, iskemik
usus, kondisi patologis jantung yang signifikan atau
disfungsi organ/sistem organ multipel.
6 Seorang pasien yang telah dinyatakan mati batang
otak yang dijadwalkan untuk menjalani
pembedahan untuk tujuan donor organ
Usia
Pilihan anestesia pada pasien bayi dan anak adalah anestesia umum karena kelompok usia ini
biasanya kurang kooperatif. Pada pasien dewasa bisa diberikan anestesia umum atau analgesia
regional, tergantung dari jenis operasi yang akan dikerjakan. Pada kelompok usia geriatri biasanya
anestesia regional lebih dipilih, kecuali apabila jenis tindakan pembedahan yang dikerjakan tidak
memungkinkan untuk dilakukan dengan anestesia regional.
Jenis Kelamin
Faktor emosional dan rasa malu yang lebih dominan pada pasien perempuan, utamanya pada usia
muda, merupakan faktor pendukung untuk memilih anestesia umum. Apabila kita melakukan
anelgesia regional pada pasien wanita, sebaiknya diberikan tambahan obat sedatif yang juga
memiliki efek amnesia.
Jenis operasi
Analisis terhadap tindakan pembedahan atau operasi menghasilkan empat kategori masalah
operasi, yaitu:
(1) Lokasi operasi. Misalnya: pada operasi di daerah kepala leher, kita cenderung memilih
anestesia umum dengan pemasangan pipa endotrakea untuk menjaga patensi jalan nafas.
Sedangkan pada operasi di daerah abdomen bawah, genitalia, atau ekstremitas bawah, kita
dapat melakukan anestesia regional.
(2) Posisi operasi. Misalnya: operasi spine yang dikerjakan pada posisi prone harus dilakukan
anestesia umum dengan pemasangan pipa endotrakea.
(3) Manipulasi operasi. Misalnya: operasi laporotomi dengan manipulasi intraabdominal yang
luas dengan segala risikonya membutuhkan relaksasi lapangan operasi optimal, dan
sebaiknya dilakukan dengan anestesia umum dengan pemasangan pipa endotrakea.
(4) Durasi operasi. Misalnya: kraniotomi yang berlangsung lebih dari dua jam sebaiknya
dilakukan dengan anestesia umum dengan pemasangan pipa endotrakea.
Keterampilan operator dan peralatan yang dipakai
Hal ini berkaitan dengan durasi tindakan pembedahan sehingga pilihan anestesia harus disesuaikan
dengan kondisi yang dihadapi. Alat baru di bidang pembedahan pasti memiliki sebuah kelebihan
tersendiri, misalnya penggunaannya lebih mudah, angka komplikasi lebih kecil, nyeri
paskaoperasi yang minimal, dan lain sebagainya. Tetapi kita juga harus siap dengan sebuah asumsi
dimana ketika suatu alat baru dipakai untuk pertama kalinya, operator juga mungkin saja belum
fasih dalam menggunakannya, sehingga dapat berimplikasi pada memanjangnya waktu operasi.
Permintaan pasien
Pada semua kasus, pasien harus diberikan waktu, informasi, dan bahan pertimbangan yang cukup
untuk dapat memilih tehnik anestesi. Selama pilihan pasien itu memungkinkan dan tetap aman
untuk pasien, ahli anestesi dapat menyesuaikan tehnik anestesia yang akan diberikan sesuai dengan
permintaan pasien. Namun apabila pilihan pasien tidak memungkinkan atau relatif kurang aman
bagi pasien, tugas seorang ahli anestesi pada saat kunjungan pra-anestesi adalah memberikan
pemahaman yang cukup baik pada pasien dan keluarganya.
Referensi
1. Practice Advisory for Preanesthesia Evaluation. Anesthesiology. 2002;96(2):485-496.
doi:10.1097/00000542-200202000-00037
2. Kaplan E, Sheiner L, Boeckmann A, et al. The Usefulness of Preoperative Laboratory Screening.
JAMA - J Am Med Assoc. 1985;253(24):3576-3581. doi:10.1001/jama.1985.03350480084025
3. Marcello P, Roberts P. “Routine” preoperative studies. Which studies in which patients? Surg Clin
North Am. 1996;76(1):11-23. doi:10.1016/s0039-6109(05)70418-7
4. Nygren J. The metabolic effects of fasting and surgery. Best Pr Res Clin Anaesthesiol.
2006;20(3):429-438. doi:10.1016/j.bpa.2006.02.004
5. Merchant R, Chartrand D, Dain S, et al. Guidelines to the Practice of Anesthesia - Revised Edition
2016. Can J Anaesth. 2016;63(1):86-112. doi:10.1007/s12630-015-0470-4
6. American Society of Anesthesiologist Task Force on Preoperative Fasting. Practice Guidelines for
Preoperative Fasting and the Use of Pharmacologic Agents to Reduce the Risk of Pulmonary
Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures. Anesthesiology.
1999;90(3):896-905.
7. SR Mallampati, Gatt S, Gugino L, et al. A clinical sign to predict difficult tracheal intubation: a
prospective study. Can Anaesth Soc J. 1985;32(4):429-434. doi:10.1007/BF03011357
8. Adnet F, Borron SW, Racine SX, et al. The Intubation Difficulty Scale (IDS) : Proposal and
Evaluation of a New Score Characterizing the Complexity of Endotracheal Intubation.
Anesthesiology. 1997;87(6):1290-1297.
9. Reed M, Dunn M, McKeown D. Can an airway assessment score predict difficulty at intubation in
the emergency department ? 2005:99-102. doi:10.1136/emj.2003.008771
10. ASA House of Delegates/Executive Committee. ASA Physical Status Classification System.
https://www.asahq.org/standards-and-guidelines/asa-physical-status-classification-system.
Published 2019.
11. Goldman L, Caldera D, Nussbaum S, et al. Multifactorial Index of Cardiac Risk in Noncardiac
Surgical Procedures. N Engl J Med. 297(16):845-850. doi:10.1056/NEJM197710202971601
12. Lee T, Marcantonio E, Mangione C, et al. Derivation and Prospective Validation of a Simple Index
for Prediction of Cardiac Risk of Major Noncardiac Surgery. Circ 1999 Sep 7;100(10)1043-9.
1999;100(10):1043-1049. doi:10.1161/01.cir.100.10.1043
BAB IV
OBAT YANG DIGUNAKAN PADA ANESTESIA
Seperti halnya obat lain, obat anestesia di samping mempunyai efek terapi yang diinginkan
oleh ahli anestesi, juga memiliki efek samping yang bisa menguntungkan atau merugikan pasien.
Pemberian obat anestesia sesungguhnya adalah tindakan “meracuni” pasien secara terkendali.
Pemberiannya bukanlah untuk menyembuhkan pasien, tetapi justru membuat pasien berada dalam
keadaan kritis yang setiap saat dapat mengancam nyawa. Oleh karena itu, siapapun yang
memberikan obat anestesia harus mempunyai kemampuan untuk menanggulangi kedaruratan
medis yang terjadi.
Pilihan obat anestesia tergantung dari beberapa faktor, antara lain: usia, status fisik pasien,
rencana pembedahan, jenis/teknik anestesia yang dipilih, kemampuan ahli anestesi, dan
penguasaan farmakologi obat yang akan digunakan. Untuk mencapai trias anestesia bisa dilakukan
dengan mempergunakan satu jenis obat yang berkhasiat majemuk atau dengan mempergunakan
beberapa jenis obat yang masing-masing mempunyai khasiat yang spesifik.
OBAT-OBAT PREMEDIKASI
Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obat pendahuluan
yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik, sedatif, dan analgetik. Tidak akan pernah ada
seorang pasien yang direncanakan untuk tindakan pembedahan merasa senang dan bersukaria.
Hampir semua pasien yang akan dilakukan pembedahan pasti akan merasa cemas, tegang,
kesakitan, dan berbagai kondisi emosional yang tidak menyenangkan lainnya. Keadaan ini bisa
diatasi melalui pendekatan psikologis (cognitive behavioral therapy/CBT) atau farmakologi
dengan memberikan obat-obat premedikasi.
Tujuan premedikasi
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
2. Mencegah mual-muntah selama periode perioperatif.
3. Mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus
4. Memperlancar induksi
5. Mengurangi dosis obat anestesia.
6. Mengurangi rasa nyeri paskabedah.
Derivat fenothiazin.
Derivat fenothiasin yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah prometazin. Obat ini
pada mulanya digunakan sebagai antihistamin.
Efek terhadap saraf pusat.
Menimbulkan depresi saraf pusat, bekerja pada formasio retikularis dan hipotalamus
menekan pusat muntah dan mengatur suhu, obat ini berpotensi dengan sedatif lainnya.
Efek terhadap respirasi.
Menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas dan menghambat sekresi kelenjar.
Efek terhadap kardiovaskular.
Menyebabkan vasodilatasi sehingga dapat memperbaiki perfusi jaringan.
Efek terhadap saluran cerna.
Menurunkan peristaltik usus, mencegah spasme dan mengurangi sekresi kelenjar. Efek
lainnya adalah menekan sekresi katekolamin dan sebagai antikholinergik. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa khasiat promethazin sebagai obat premedikasi adalah
sebagai: sedatif, antiemetik, antikhonergik, antihistamin, bronkodilator dan antipiretika.
Cara pemberian dan dosis.
1. Intramuskular dosis 1 mg/kg bb dan diberikan 30-45 menit sebelum induksi
2. Intravena, dengan dosis 0,5 mg/kg bb diberikan 5 - 10 menit sebelum induksi
Kemasan dan sifat fisik.
Dikemas dalam bentuk ampul 2 ml mengandung 50 mg. Tidak berwarna dan larut
dalam air.
Derivat benzodiazepin.
Derivat benzodiazepin yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah diazepam dan
midazolam. Derivat yang lain adalah: klordiazepoksid, nitrazepam dan oksazepam.
Efek terhadap saraf pusat dan medula spinalis.
Mempunyai khasiat sedasi dan anticemas yang bekerja pada sistem limbik dan pada
ARAS serta bisa menimbulkan amnesia anterograd. Sebagai obat antikejang yang bekerja
pada kornu anterior medula spinalis dan hubungan saraf otot. Pada dosis kecil bersifat
sedatif, sedangkan dosis tinggi sebagai hipnotik.
Efek terhadap respirasi.
Pada dosis kecil (0,2 mg/kgbb) yang diberikan secara intravena, menimbulkan
depresi ringan yang tidak serius. Bila dikombinasikan dengan narkotik menimbulkan
depresi nafas yang lebih berat.
Efek terhadap kardiovaskular.
Pada dosis kecil, pengaruhnya kecil sekali pada kontraksi maupun denyut jantung,
akan tetapi pada dosis besar menimbulkan hipotensi yang disebabkan oleh efek dilatasi
pembuluh darah.
Efek terhadap saraf-otot.
Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supra spinal dan
spinal, sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka sepert
pada tetanus.
Penggunaan klinis.
Dalam praktek anestesia obat ini digunakan sebagai:
1. Premedikasi, diberikan intramuskular dengan dosis 0,2 mg/kg BB atau peroral
dengan dosis 5-10 mg.
2. Induksi, diberikan intravena dengan dosis 0,2-0,6 mg/kg BB
3. Sedasi pada analgesia regional, diberikan secara intravena
4. Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.
Penggunaan lainnya, adalah:
1. Anti kejang pada kasus-kasus epilepsi, tetanus dan eklamsi
2. Sedasi pasien rawat inap
3. Sedasi pada tindakan kardioversi atau endoskopi
Pada pemberian intramuskular atau intravena, obat ini tidak bisa dicampur dengan
obat lain karena bisa terjadi presipitasi. Jalur vena yang dipilih sebaiknya melalui vena-
vena besar untuk mencegah flebitis. Pemberian intramuskular kurang disenangi oleh
karena menimbulkan rasa nyeri pada daerah suntikan.
Kemasan.
Kemasan injeksi berbentuk larutan emulsi dalam ampul 2 ml yang mengandung 10
mg, berwarna kuning, sukar larut dalam air dan bersifat asam. Kemasan oral dalam bentuk
tablet 2 dan 5 mg, disamping itu ada kemasan supositoria atau pipa rektal (rectal tube) yang
diberikan pada anak-anak. Sedangkan midazolam yang ada dipasaran adalah hanya dalam
bentuk larutan tidak berwarna, mudah larut dalam air dan kemasan dalam ampul yang
mengandung 5 mg/ml atau 1mg/ml.
Derivat butirofenon.
Derivat ini disebut juga sebagai obat golongan neroleptika, karena sering digunakan
sebagai neroleptik. Derivat butirofenon yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah
dehidrobenzperidol atau populer disebut DHBP.
Efek terhadap saraf pusat.
Berkhasiat sebagai sedatif atau trankuilizer. Disamping itu mempunyai kasiat
khusus sebagai anti muntah yang bekerja pada pusat muntah di “chemoreceptor trigger
zone”. Efek samping yang tidak dikehendaki adalah timbulnya rangsangan ekstrapiramidal
sehingga menimbulkan gerakan tak terkendali (parkinsonsm) yang bisa diatasi dengan
pemberian obat anti Parkinson.
Efek terhadap respirasi.
Menimbulkan sumbatan jalan nafas akibat dilatasi pembuluh darah rongga hidung.
Juga menimbulkan dilatasi pembuluh darah paru sehingga indikasi kontra pada pasien
asma.
Efek terhadap sirkulasi.
Menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah perifer, sehingga sering digunakan
sebagai anti syok. Tekanan darah akan turun tetapi perfusi dapat dipertahankan selama
volume sirkulasi adekuat.
Penggunaan klinik.
1. Premedikasi, diberikan intramuskular, dosis 0,1 mg/kg/bb
2. Sedasi untuk tindakan endoskopi dan analgesia regional
3. Anti hipertensi
4. Anti muntah
5. Suplemen anestesia.
Kemasan.
Dalam bentuk ampul 2 ml dan 10 ml, mengandung 2,5 mg/ml. Tidak berwarna
dan bisa dicampur dengan obat lain.
Derivat barbiturat.
Derivat barbiturat yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah pentobarbital
dan sekobarbital. Digunakan sebagai sedasi dan penenang prabedah, terutama pada anak-anak.
Pada dosis lazim, menimbulkan depresi ringan pada respirasi dan sirkulasi. Sebagai
premedikasi diberikan intramuskular dengan dosis 2 mg/kg BB atau peroral.
Preparat antihistamin.
Obat golongan ini yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah derivat
defenhidramin. Khasiat yang diharapkan adalah sedatif, anti muntah ringan, dan antipiretk.
Sedangkan efek sampingnya adalah hipotensi yang sifatnya ringan.
Pentothal
Merupakan obat anestesia intravena yang tergolong tua. Pentothal disintesis pertama kali
oleh Volwiler dan Tabern pada tahun 1932, dan diperkenalkan pertama kali dalam praktek
anestesi oleh Lundy di klinik Mayo pada tahun 1934.
Sifat-sifat fisik dan kimia
Berupa bubuk yang berwarna putih kekuningan, bersifat higroskopis, rasanya pahit,
berbau seperti bawang putih, dan sediaannya selalu dicampur dengan sodium karbonat
anhidrous, sehingga mudah larut dalam air. Dikemas dalam bentuk bubuk dalam ampul
yang mengandung 0,5 atau 1,0 gram. Sebelum digunakan, dilarutkan dalam akuades,
menjadi larutan 2,5% atau 5%. Larutan ini tidak boleh disimpan, dan bersifat alkalis
dengan pH 10,8.
Efek farmakologi terhadap sistem saraf pusat
Pada pemberian intra vena, obat ini sangat cepat berdifusi ke jaringan otak dan
efeknya akan segera tampak dalam 30 detik. Karena efeknya sangat cepat, populer disebut
sebagai “ultra short-acting barbiturate”. Setelah pemberian intravena, akan beredar ke
seluruh jaringan tubuh dan bekerja di pusat kesadaran pada semua level. Derajat depresinya
sangat tergantung dari dosis yang diberikan, makin tinggi dosis yang diberikan, depresinya
makin berat. Pentothal tidak mempunyai efek analgesia. Pada dosis rendah, akan
meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri, sehingga timbul efek hiperalgesia.
Efek farmakologis terhadap sistem respirasi
Pada pemberian intravena secara cepat, menimbulkan depresi pusat nafas
menyebabkan pasien henti nafas. Derajat depresi nafas tergantung dari dosis yang
diberikan dan kecepatan pemberiannya. Pada bronkus, bisa menimbulkan spasme karena
pengaruhnya terhadap peningkatan tonus vagal.
Efek farmakologis terhadap sistem kardiovaskular
Efek yang segera timbul setelah pemberian pentothal adalah penurunan tekanan
darah yang sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan
karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung turun, dan dilatasi
pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan
disritmia bila terjadi retensi CO2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat
ringan akan pulih normal dalam beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara cepat atau
dosisnya tinggi, dapat terjadi hipotensi yang berat. Hal ini terutama akibat dilatasi
pembuluh darah karena depresi pusat vasomotor. Di lain pihak turunnya tekanan darah juga
dapat terjadi oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard.
Efek farmakologis terhadap otot rangka dan uterus
Pada dosis lazim, tidak ada pengaruhnya terhadap tonus otot rangka dan uterus yang
hamil. Bila dosis yang diberi tinggi, bisa terjadi penurunan tonus dan bisa melewat barier
uteroplasenta.
Efek farmakologis terhadap metabolisme
Menurunkan laju metabolisme sel sehingga konsumen O2 akan berkurang sesuai
dengan dalamnya anestesia.
Farmakokinetik
Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh,
selanjutnya diikat oleh jaringan saraf dan jaringan lain yang kaya dengan vaskularisasi.
Secara perlahan akan mengalami difusi ke dalam jaringan lain seperti hati, otot, dan
jaringan lemak. Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat dalam plasma, konsentrasi
dalam otak juga akan turun dan pada konsentrasi obat dalam plasma ini terutama oleh
karena redistribusi obat dari otak ke dalam jaringan lemak. Dalam darah, pentothal diikat
oleh protein plasma. Pada keadaan hipoproteinemia, pentothal yang terikat lebih sedikit
dibandingkan bentuk bebas, sehingga efek hipnotiknya lebih dalam. Jumlah pentothal yang
terikat dalam protein plasma tergantung dari pH darah, semakin tinggi pH darah semakin
tinggi konsentrasinya dalam plasma dan efeknya lebih efektif. Pemecahannya terutama di
hati dan ekskresinya melalui urin dan feses dalam bentuk hasil metabolit. Sangat sedikit
yang diekskresi dalam bentuk utuh. Proses pemecahannya sangat lambat, hanya 10-15%
dalam satu jam dan sekitar 30% dari jumlah obat yang diberikan masih ada dalam tubuh
setelah 24 jam. Dengan demikian bila dalam periode ini diperlukan dosis tambahan, maka
akan terjadi efek kumulatif sehingga dosis tambahan perlu dikurangi.
Sifat anestesi Pentothal
1. Merupakan hipnotik yang sangat kuat.
2. Induksinya cepat, lancar, dan tidak diikut oleh eksitasi
3. Pola respirasi tenang dan dapat terjadi hipoventilasi.
4. Tidak mempunyai khasiat analgetik
5. Tidak menimbulkan relaksasi otot
6. Pemulihan cepat, tetapi masih ada rasa ngantuk
7. Efek samping mual dan muntah jarang dijumpai.
Indikasi pemakaian
1. Induksi anestesia
2. Obat tambahan pada analgesia regional/anestesia imbang
3. Anti kejang
4. Anestesia tunggal misalnya pada tindakan reposisi
5. Hipnotik pada pasien di ruang terapi intensif
Dosis dan cara pemakaian.
Untuk induksi, dibuat larutan dalam akuades atau NaCL 0,9% dengan konsentrasi
2,5% atau 5,0%. Dosis untuk induksi adalah 4-5 ml/kgBB, diberikan IV pelan-pelan. Pada
anak, orang tua dan pasien malnutrisi, dilakukan modifikasi dosis. Pada saat injeksi,
hendaknya dipastikan bahwa kanul berada di dalam pembuluh darah. Apabila terjadi
ekstravasasi, pasien akan menderita nyeri hebat akibat iritasi jaringan dan selanjutnya
timbul nekrosis jaringan di sekitar tempat suntikan. Penanggulangannya adalah segera
suntikkan obat anestesia lokal isobarik atau hipobarik kedalam jaringan yang mengalami
ekstravasasi.
Efek samping
1. Hipoventilasi sampai henti nafas
2. Menimbulkan risiko spasme laring dan bronkus
3. Depresi kardiovaskular
4. Bisa menimbulkan nekrosis sentral hati
Indikasi kontra
1. Penyakit paru obstruktif kronis
2. Dekompensasi kordis
3. Syok yang berat
4. Insufisiensi adrenokortikal
5. Status asmatikus
6. Porphyria
Ketamin hidroklorida
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan “rapid-
acting non-barbiturat general anesthetic” yang populer disebut sebagai Ketalar sebagai
nama dagang, pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carsen pada tahun 1965 yang
digunakan sebagai obat anestesia umum.
Sifat fisik
Merupakan larutan tidak berwarna, bersifat agak asam, dan sensitif terhadap cahaya
dan udara. Karena sangat sensitif terhadap cahaya, obat ini disimpan dalam botol (vial)
berwarna coklat agar terhindar dari pengaruh langsung sinar matahari. Terdapat tiga
kemasan vial dengan konsentrasi 100 mg/ml, 50 mg/ml, dan 10 mg/ml yang masing-
masing kemasan berisi 10 ml. Sebelum digunakan, dibuat larutan yang mengandung 10
mg/ml dengan akuades sebagai bahan pengencernya.
Efek farmakologi terhadap susunan saraf pusat.
Mempunyai efek analgesia sangat kuat, akan tetapi efek hipnotiknya kurang dan
disertai dengan efek disosiasi, artinya pasien mengalami perubahan persepsi terhadap
rangsang dan lingkungannya. Pada dosis lebih besar, efek hipnotiknya lebih sempurna.
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik maka pasien akan mengalami
perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata
terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak
disadari, seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor, dan kejang. Apabila diberikan
secara intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit. Ketamin sering
mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien
mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan
intra kranial. Efek-efek tersebut di atas dapat dikurangi dengan pemberian benzodiazepine
atau obat lain yang mempunyai khasiat amnesia sebelum diberikan ketamin.
Efek farmakologis terhadap mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus, dan kelopak mata terbuka secara spontan.
Terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus
koroidalis.
Efek farmakologis terhadap sistem kardiovaskular
Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa
meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung. Peningkatan tekanan darah disebabkan
oleh karena efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Efek farmakologis terhadap sistem respirasi
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi. Bisa
menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimet knya, sehingga merupakan obat
pilihan pada pasien asma.
Efek farmakologis terhadap pada otot
Tonus otot bergaris meningkat, bahkan bisa terjadi rigiditas sampai kejang-kejang.
Keadaan ini bisa dikurangi dengan pemberian diazepam terlebih dahulu, karena diazepam
menurunkan tonus otot. Kontraksi spontan otot kelompok mata menyebabkan mata terbuka
spontan dan kontraksi ritmis otot bola mata menyebabkan timbulnya nistagmus. Juga
terjadi peningkatan tonus otot uterus, yang sesuai dengan dosis yang diberikan
Efek terhadap refleks-refleks proteksi
Refleks proteksi jalan nafas masih utuh, oleh karena itu hendaknya hati-hati
melakukan isapan-isapan pada daerah jalan nafas atas, karena tindakan ini bisa
menimbulkan spasme laring.
Efek terhadap metabolisme
Ketamin merangsang sekresi hormon-hormon katabolik seperti: katekolamin,
kortisol, glukagon, tiroksin dan lain-lainnya, sehingga laju katabolisme tubuh meningkat.
Penggunaan klinik
Ketamin sangat populer digunakan dalam praktik anestesia, terutama untuk
pelayanan anestesia di rumah sakit dengan sarana terbatas. Penggunaannya sering
dikombinasikan dengan benzodiazepine untuk menekan efek buruk ketamin. Pada
umumnya ketamin digunakan untuk induksi anestesia, obat utama anestesia, operasi di
daerah superfisial yang berlangsung singkat dan tidak memerlukan relaksasi otot
maksimal, dan analgetik paskatrauma atau paskabedah.
Dosis dan cara pemberian.
1. Untuk induksi.
Diberikan intravena dalam bentuk larutan 1%, dengan dosis lazim 1-2/kg pelan-pelan.
Pada seksio sesaria, dosis dikurangi, yaitu 0,5-1,0 mg/kg. Pada anak-anak balita, untuk
induksi diberikan secara intramuskular (tanpa pengenceran) dengan dosis 5-10 mg/kg.
2. Untuk pemeliharaan.
Diberikan intravena intermiten atau tetes kontinyu. Pemberian secara intermiten
diulang setiap 10-15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi
selesai. Sedangkan pemberian secara infus tetes kontinyu hanya dilakukan pada
pembedahan tertentu saja.
Efek samping
1. Pada susunan saraf pusat, akibat efek disosiasinya menimbulkan halusinasi, mimpi
buruk dan kadang-kadang terjadi gaduh gelisah dan “banjir” kata-kata.
2. Pada respirasi, sering timbul spasme laring akibat rangsangan pada jalan nafas atas.
3. Pada kardiovaskular, terjadi hipertensi dan takikardi
4. Pada endokren, terjadi peningkatan kadar gula darah.
5. Pada otot rangka terjadi rigiditas.
6. Meningkatkan konsumsi oksigen jaringan
7. Meningkatkan jumlah perdarahan pada luka operasi.
Indikasi kontra
Mengingat efek farmakodinamiknya yang relatif kompleks sepert yang telah
disebutkan di atas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien
yang menderita penyakit sistemik, penggunaannya harus mempertimbangkan untung rugi.
Kontra indikasi penggunaan ketamin adalah:
1. Tekanan intra kranial meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi-
operasi intrakranial.
2. Tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada operasi
intra okuler.
3. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat-obat
simpatomimetik, seperti: hipertensi, tirotoksikosis, diabetes melitus, paeokromositoma,
penyakit jantung koroner, dan lain-lain.
Propofol
Merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-isoprofil fenol yang banyak dipakai
sebagai obat anestesia intravena. Pertama kali dipergunakan dalam praktik anestesi pada
tahun 1977 sebagai obat induksi.
Sifat fisik dan kimia serta kemasan
Berupa cairan berwarna putih sepert susu, tidak larut dalam air dan bersifat asam.
Dikemas dalam bentuk ampul, berisi 20 ml/ampul, yang mengandung 10 mg/ml.
Efek farmakologi terhadap susunan saraf pusat
Sebagai obat induksi, mulai kerjanya cepat. Penurunan kesadaran segera terjasi
setelah pemberian obat ini secara intravena. Pada pemberian dosis induksi (2 mg/kg),
pemulihan kesadaran berlangsung cepat, pasien akan bangun setelah 4-5 menit tanpa
disertai efek samping sepert misalnya mual muntah, sakit kepala, dan lain-lainnya. Khasiat
farmakologinya adalah hipnotik murni, tidak mempunyai efek analgetik maupun relaksasi
otot. Walaupun terjadi penurunan tonus otot rangka, hal ini disebabkan karena efek
sentralnya.
Terhadap sistem respirasi
Menimbulkan depresi respirasi yang beratnya sesuai dengan dosis yang diberikan.
Pada beberapa pasien, bisa disertai dengan henti nafas sesaat. Dibandingkan dengan
tiopenton, kejadian henti nafas lebih sering terjadi pada pemberian diprivan ini.
Terhadap sistem kardiovaskular
Depresi pada sistem kardiovaskular yang ditimbulkannya sesuai dengan dosis yang
diberikan. Tekanan darah turun yang segera diikut dengan kompensasi peningkatan denyut
nadi.
Terhadap sistem organ lain-lain
Tidak menimbulkan depresi sintesa hormon steroid adrenal dan tidak menimbulkan
pelepasan histamin, baik pada tempat suntikan maupun sistemik.
Penggunaan klinik dan dosis
1. Induksi anestesia, dengan dosis 2,0-2,5 mg/kg. Pada lansia dan bayi dosis ini harus
disesuaikan.
2. Suplemen anestesia umum dan analgesis regional.
3. Anestesia tunggal pada prosedur singkat, misal: reposisi.
4. Sedasi di ruang perawatan intensif.
Dexmedetomidine
Dexmedetomidine adalah agonis reseptor α2-adrenergik (α2-AR) generasi baru
yang sangat selektif yang dikaitkan dengan efek sparing terhadap obat penenang dan
analgesik, mengurangi delirium dan agitasi, simpatolisis perioperatif, efek penstabil
kardiovaskular, dan pelestarian fungsi pernapasan. Dexmedetomidine memiliki
keuntungan terutama pemulihan fungsi respirasi yang sangat baik pada pasien dengan
ventilasi mekanis sehingga dapat memfasilitasi penyapihan dini. Atas keuntungan yang
dimiliki oleh dexmedetomidine tersebut, obat ini lebih banyak digunakan di ruang terapi
intensif (ICU), meskipun juga banyak digunakan untuk keperluan anestesi.
Efek farmakologis pada sistem saraf pusat
Dexmedetomidine menurunkan aliran darah otak dan kebutuhan metabolisme otak
oksigen tetapi pengaruhnya terhadap tekanan intrakranial (ICP) belum jelas.
Dexmedetomidine memodulasi memori kerja spasial, meningkatkan kinerja kognitif selain
memiliki efek sedasi, analgesik, dan ansiolitik melalui α2-AR. Dexmedetomidine juga
memiliki efek neuroprotektifnya dengan mengurangi kadar katekolamin yang bersirkulasi
dan otak dan dengan demikian menyeimbangkan rasio antara pasokan oksigen otak,
mengurangi eksitotoksisitas, dan meningkatkan perfusi pada penumbra di area iskemik.
Selain itu, dexmedetomidine juga dapat menekan kadar glutamat yang berperan terhadap
cedera otak tingkat seluler, terutama pada perdarahan subaraknoid.
Terhadap respirasi
Dexmedetomidine tidak menekan fungsi pernapasan, bahkan pada dosis tinggi.
Dexmedetomidine tidak memiliki efek negatif langsung pada laju pernapasan dan
pertukaran gas ketika digunakan pada pasien yang bernapas spontan setelah operasi. Hal
ini menjadi hal yang menguntungkan karena dapat mempertahankan sedasi tanpa terjadi
ketidakstabilan kardiovaskular atau depresi pernafasan dan karenanya dapat memfasilitasi
penyapihan dan ekstubasi pada pasien trauma / bedah yang telah gagal dalam upaya
penyapihan sebelumnya karena agitasi dan respons kardiopulmoner hiperdinamik.
Terhadap kardiovaskular
Dexmedetomidine membangkitkan respons tekanan darah yang bifasik, yaitu fase
hipertensi yang singkat dan dan diikuti dengan fase hipotensi. Dua fase ini terjadi karena
mediasi oleh dua subtipe α2-AR yang berbeda, yaitu α-2B AR bertanggung jawab untuk
fase hipertensi awal, sedangkan hipotensi dimediasi oleh α2A-AR. Pada pasien yang lebih
muda dengan tingkat vagal yang tinggi, bradikardia dan sinus arrest dapat terjadi dan bisa
secara efektif diatasi dengan agen antikolinergik (atropin, glikoprolrolat).
Terhadap endokrin dan ginjal
Dexmedetomidine mengaktifkan presinaptik α2-AR perifer yang mengurangi
pelepasan katekolamin, dan karenanya mengurangi respons simpatik terhadap
pembedahan. Namun penelitian pada hewan telah menunjukkan terjadinya natriuresis dan
diuresis. Dexmedetomidine adalah agen imidazol tetapi tidak seperti etomidate, karena
tidak menghambat steroidogenesis ketika digunakan sebagai infus untuk sedasi jangka
pendek.
Penggunaan klinis dan dosis
Dexmedetomidine digunakan sebagai adjuvant untuk premedikasi, terutama pada
pasien yang rentan terhadap stres praoperasi dan perioperatif, karena memiliki sifat sedatif,
ansiolitik, analgesik, simpatolitik, dan hemodinamik yang stabil. Dexmedetomidine
mengurangi konsumsi oksigen pada periode intraoperatif (hingga 8%) dan pada periode
pasca operasi (hingga 17%). Dosis premedikasi adalah 0,33 hingga 0,67 mg/kg IV
diberikan 15 menit sebelum operasi (dosis ini meminimalkan efek samping hipotensi dan
bradikardia).
Dexmedetomidine menumpulkan respons hemodinamik terhadap intubasi dan
ekstubasi dengan simpatolisis. Mengingat tidak adanya depresi pernapasan, penggunaanya
tetap dapat dilanjutkan pada periode ekstubasi tidak seperti obat lain. Dexmedetomidine
mempotensiasi efek anestesi dari semua agen anestesi terlepas dari cara pemberian
(intravena, inhalasi, blok regional). Pemberian dexmedetomidine dalam konsentrasi yang
lebih rendah telah mengurangi kebutuhan agen anestesi lainnya; lebih sedikit intervensi
untuk mengobati takikardia; dan pengurangan insiden iskemia miokard. Namun, efek
samping seperti bradikardia dan hipotensi adalah keterbatasan penggunaannya sehingga
memerlukan terapi farmakologis jika sampai jatuh kedalam kondisi yang beresiko atau
telah memberikan dampak klinis. Efek ini dapat bersinergi dengan efek anestesi volatil
seperti vasodilatasi dan depresi miokard. Dexmedetomidine yang diberikan dalam
konsentrasi tinggi dapat menyebabkan hipertensi sistemik dan paru karena efek vaskular
perifer langsung atau dapat mengganggu fungsi miokard dan tekanan darah. Dosis umum
dexmedetomidine yang dapat diberikan untuk sedasi prosedural adalah 1mcg/kg,
dilanjutkan dengan pemberian kontinyu 0.2mcg/kg/jam, atau bila diperlukan dapat
diberikan titrasi dengan rentang dosis 0.2-1mcg/kg/jam. Onset dapat dicapai dalam kurang
dari 5 menit, sementara efek puncak tercapai dalam kurun waktu 15 menit.
Tabel 4.1 Perbandingan farmakokinetik dan farmakodinamik beberapa obat anestesia intravena
PEN PRO KET MID DEX
Dosis induksi (mg/kg) 2-5 2,0-2,5 1-2 0,1-0,3
Dosis kontinyu (mcg/kg/mnt) 200-300 100-200 10-100 0,25-1,0 0,2-0,71
Dosis sedasi (mcg/kg/mnt) 30-80 25-75 5-20 0,25-1,0 0,2-0,71
Durasi kerja (menit) 5-10 3-8 3-8 15-20 -
Protein binding (%) 83 97 12 94 94
Efek farmakodinamik
Ventilasi ↓ ↓ ? ? ?
Laju respirasi ↓ ↓ ? ? ?
Respon terhadap CO2 ↓ ↓ ? ? ?
Cerebral blood flow ↓ ↓ ↑ ? ?
CMRO2 ↓ ↓ ↑ ? ↓
Tekanan intrakranial ↓ ↓ ↑ ? ?
Efek antikonvulsan Ya ↔ ? Ya ?
Efek anxiolisis Tidak Tidak Tidak Ya Ya
Analgesia Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
Delirium saat mulai sadar Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
Nausea/vomiting ? ↓ ? ? ?
Supresi adrenocortical Tidak Tidak Tidak Ya Tidak
Nyeri saat injeksi Tidak Ya Tidak Tidak Tidak
PEN: pentothal; PRO: propofol; KET: ketamin; MID: midazolam; DEX: dexmedetomidine; CMRO2: cerebral
oxygen metabolic rate; ?: belum jelas; 1dosis dalam mcg/kg/jam
Halotan (F3C-CHBrCl)
Halotan disintesis pertama kali oleh CW Suckling di laboratorium “Imperial
Chemical Industries” Manchester pada tahun 1951. Digunakan pertama kali oleh M.
Johnstone di klinik Manchester, selanjutnya diikuti oleh Bryce-Smith dan O’ Brien di
Oxford.
Sifat fisik dan kimiawi.
Halotan atau disebut dengan nama kimia 2,bromo-2-khloro-1.1.1.trifluoroetan,
mempunyai berat molekul: 197, berat jenis 1.18 (pada suhu 25 derajat celsius) dan titik
didih 50 derajat celsius dan mempunyai MAC 0,87%.
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau harum tidak mudah terbakar atau
meledak, tidak iritatif dan tidak tahan terhadap sinar matahari. Apabila kena sinar matahari,
akan mengalami dekomposisi menjadi HCl, Hbr, Klorin, Bromin dan Fosgen bebas, diisi
timol 0,01% sebagai pengawet. Halotan bisa diserap oleh karet sirkuit anestesia, tetapi
kurang larut dalam polietilin dan tidak mengalami dekomposisi bila melewat karbon
absorben.
Efek farmakologi terhadap susunan saraf pusat.
Menimbulkan depresi pada sistem saraf pusat di semua komponen otak. Depresi
pusat kesadaran menimbulkan efek hipnotik, depresi pada pusat sensorik menimbulkan
khasiat analgesia dan depresi pada pusat motorik menimbulkan otot. Tingkat depresinya
tergantung dari dosis yang diberikan. Terhadap pembuluh darah otak menyebabkan
vasodilatasi, sehingga aliran darah otak meningkat dan hal ini menyebabkan tekanan
intrakranial meningkat, oleh karena itu tidak dipilih untuk anestesi pada kraniotomi.
Terhadap sistem kardiovaskular.
Menimbulkan depresi langsung “S-A Node” dan otot jantung, relaksasi otot polos
dan inhibisi baroreseptor. Keadaan ini akan menyebabkan hipotensi yang derajatnya
tergantung dari dosis dan adanya interaksi dengan obat lain, misalnya dengan tubokurarin.
Gangguan irama jantung kerapkali terjadi, sepert bradikardi, ekstrasistol ventrikel,
takikardi ventrikel, bahkan bisa terjadi fibrilasi ventrikel. Hal ini disebabkan karena
peningkatan eksitagen maupun eksogen serta adanya retensi CO2. Batas keamanan halotan
terhadap kardiovaskular sangat sempit, maksudnya, konsentrasi obat untuk mencapai efek
farmakologi yang diharapkan sangat dekat dengan efek depresinya.
Terhadap sistem respirasi.
Pada konsentrasi tinggi, menimbulkan depresi pusat nafas, sehingga pola nafas
menjadi cepat dan dangkal, volume tidal dan volume nafas semenit menurun dan
menyebabkan dilatasi bronkus.
Terhadap ginjal.
Halothane pada dosis lazim secara langsung akan menurunkan aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus, tetapi efek ini temporer dan tidak mempengaruhi autoregulasi
aliran darah ginjal. Hasil metabolitnya terutama bromidnya akan diekskresikan melalui
ginjal dan apabila terdapat gangguan fungsi ginjal, ekskresinya akan terhambat sehingga
akan terjadi akumulasi.
Terhadap otot rangka.
Berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot golongan non depolarisasi, sehingga pada
pemakaian kombinasi kedua obat ini, perlu dilakukan modifikasi dosis. Pada saat
persalinan normal, begitu juga pada seksio sesaria.
Terhadap hati.
Pada konsentrasi 1,5 vol%, akan menurunkan aliran darah pada lobulus sentral hati
sampai 25-30%. Faktor-faktor yang lain disamping halotan yang ikut berpengaruh tehadap
aliran darah, antara lain aktivitas sistem saraf simpatis, tindakan pembedahan, hipoksia,
hiperkarbia dan refleks splancnik. Penurunan aliran darah pada lobulus sentral ini
menimbulkan nekrosis sel pada sentral hati yang diduga sebagai penyebab dari “hepatitis
post-halothane”. Kajadian ini akan lebih menifes, apabila diberikan halotan berulang dalam
waktu relatif singkat. Kejadian “hepatitis post-halothane”, pertama kali dilaporkan di USA
pada tahun 1958, selanjutnya pada tahun 1966 diadakan penelitian besar-besaran untuk
membukt kan laporan tersebut. Dilakukan evaluasi pada 850.000 kasus pasien yang
diberikan anestesi halotan. Ternyata penelitian ini menyangkal anggapan bahwa halotan
menimbulkan nekrosis sel hati. Selanjutnya beberapa percobaan laboratorium juga gagal
membuktikan efek toksik langsung halotan pada hepar. Jadi sikap yang disepakati pada
saat ini adalah bahwa mungkin saja terjadi nekrosis sel hati setelah anestesia dengan
halotane, tetapi mekanisme masih belum jelas.
Terhadap suhu tubuh.
Induksi dengan halotan akan sehera menurunkan suhu sentral tubuh 1 derajat
Celsius, tetapi meningkatkan suhu permukaan tubuh akibat redistribusi panas tubuh ke
permukaan. Selanjutnya pada periode pemeliharaan anestesia, suhu permukaanpun akan
turun akibat dilatasi pembuluh darah sehingga terjadi pelepasan panas tubuh.
Penggunaan klinik.
Halotan digunakan terutama sebagai komponen hipnot k dalam pemeliharaan
anestestesia umum. Disamping efek hipnotik, halotan juga mempunyai efek analgetik
ringan dan relaksasi otot ringan. Pada bayi dan anal-anak yang tidak kooperatif, halotan
digunakan untuk induksi bersama-sama dengan N2O secara inhalasi.
Untuk mengubah cairan halotan menjadi uap, diperlukan alat penguap
(“vaporizer”) khusus halotan, misalnya: Fluotec, Halomix, Copper kettle, Drager dan lain-
lainnya.
Dosis.
1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 2,0 – 3,0%
bersama-sama dengan N2O.
2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, konsentrasinya berkisar antara 1,0%
- 2,5%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar antara 0,5-1,0%.
Indikasi kontra.
Penggunaan halotan tidak dianjurkan pada pasien:
1. Menderita gangguan fungsi hati dan gangguan irama jantung.
2. Operasi kraniotomi.
Keuntungan dan Kelemahan.
1. Keuntungannya adalah: induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap mukosa jalan
nafas, pemulihannya relatif cepat, tidak menimbulkan mual-muntah dan tidak meledak
atau terbakar.
2. Kelemahannya adalah: batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan dosis):
analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain:
menimbulkan hipotensi, gangguan irama jantung dan hepatotoksik: dan menimbulkan
menggigil pasca anestesia.
Isofluran
Merupakan merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak
berwarna, tidak eksplosif, tidak mengandung zat pengawet dan relatif tidak larut dalam
darah tapi cukup iritatif terhadap jalan nafas sehingga pada saat induksi inhalasi sering
menimbulkan batuk dan spasme jalan nafas. Proses induksinya dan pemulihannya relatif
cepat dibandingkan dengan obat-obat anestesia inhalasi yang ada pada saat ini tapi masih
lebih lambat dibandingkan dengan Sevofluran.
Efek farmakologi terhadap sistem saraf pusat.
Efek depresinya pada SSP sesuai dengan dosis yang diberikan. Isoflurane tidak
menimbulkan kelainan EEG sepert yang ditimbulkan oleh Enflurane. Pada dosis anestesia
tidak menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebral serta mekanisme
autoregulasi aliran darah otak tetap stabil.Kelabihan lain yang dimiliki oleh isoflurane
adalah penurunan konsumsi oksigen otak. Sehingga dengan demikian isoflurane
merupakan obat pilihan untuk anestesia pada kraniotomi, karena tidak berpengaruh pada
tekanan intrakranial, mempunyai efek proteksi serebral dan efek metaboliknya yang
menguntungkan pada teknik hipotensi kendali.
Terhadap sistem kardiovaskular.
Efek depresinya pada otot jantung dan pembuluh darah lebih ringan dibanding
dengan obat anestesia volatil yang lain. Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama
anestesia. Dengan demikian merupakan obat pilihan untuk anestesia pasien yang menderita
kelainan kardiovaskular.
Terhadap sistem respirasi.
Sepert halnya dengan obat anestesia inhalasi yang lain, Isoflurane juga
menimbulkan depresi pernafasan yang derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan.
Terhadap otot rangka.
Menurunkan tonus otot skelet melalui mekanisme depresi pusat motoris pada
serebrum, sehingga dengan demikian berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot non
depolarisasi. Walaupun demikian masih diperlukan obat pelumpuh otot untuk
mendapatkan keadaan relaksasi otot yang optimal terutama pada operasi laparotomi.
Terhadap ginjal.
Pada dosis anestesia, isofluran menurunkan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glumerulus menurun sehingga produksi urin berkurang, akan tetapi masih dalam batas
normal.
Terhadap hati.
Isofluran tidak menimbulkan perubahan fungsi hati. Sampai saat ini belum ada
laporan hasil penelitian yang menyatakan bahwa Isofluran hepatotoksik.
Biotransformasi.
Hampir seluruhnya dikeluarkan untuk melalui udara ekspirasi, hanya 0,2%
dimetabolisme dalam tubuh. Konsentrasi metabolitnya sangat rendah, tidak cukup untuk
menimbulkan gangguan fungsi ginjal.
Penggunaan klinik.
Sama seperti halotan dan enfluran, isofluran digunakan terutama sebagai komponen
hipnotik dalam pemeliharaan anestesia umum. Disamping efek hipnotik, juga mempunyai
efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan. Untuk mengubah cairan isofl uran menjadi
uap, diperlukan alat penguap (“vaporizer”) khusus isofluran.
Dosis.
1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 2,0 - 3,0%
bersama-sama dengan N2O.
2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, konsentrasinya berkisar antara 1,0%
- 2,5%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar antara 0,5 - 1,0%.
Indikasi kontra.
Tidak ada kontra indikasi yang unik. Hati-hati pada hipovolemik berat
Keuntungan dan kelemahan.
1. Keuntungannya adalah: induksi cepat dan lancar, tapi cukup iritatif terhadap mukosa
jalan nafas, pemulihannya lebih cepat dibandingkan dengan halotan dan enfluran, tidak
menimbulkan mual-muntah dan tidak menimbulkan kejadian menggigil pasca
anestesia dan tidak mudah meledak atau terbakar. Penilaian terhadap pemakaian
Isoflurane saat ini adalah bahwa isofluran tidak menimbulkan goncangan terhadap
fungsi kardiovaskular, tidak mengubah sensitivitas otot jantung terhadap katekolamin,
sangat sedikit yang mengalami pemecahan dalam tubuh dan tidak menimbulkan efek
eksitasi SSP.
2. Kelemahannya adalah: batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan dosis):
analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain.
Sevofluran
Merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak berwarna, tidak
eksplosif, tidak berbau dan tidak iritatif sehingga baik untuk induksi inhalasi. Proses
induksi dan pemulihannya paling cepat dari semua obat-obat anestesia inhalasi yang ada
pada saat ini. Dapat dirusak oleh kapur soda tetapi belum ada laporan yang membahayakan.
Efek farmakologi terhadap sistem saraf pusat.
Efek depresinya pada SSP hampir sama dengan Isoflurane. Aliran darah otak
sedikit meningkat sehingga sedikit meningkatkan tekanan intrakranial. Laju metabolisme
otak menurun cukup bermakna, sama dengan isofluran.
Terhadap sistem kardiovaskular.
Relatif stabil dan tidak menimbulkan aritmia selama anestesia dengan sevofluran.
Tahanan vaskular dan curah jantung sedikit menurun sehingga tekanan darah sedikit
menurun.
Terhadap sistem respirasi.
Seperti halnya dengan obat anestesia inhalasi yang lain, sevofl urane juga
menimbulkan depresi pernafasan yang derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan
sehingga volume tidal akan menurun, tapi frekuensi nafas sedikit meningkat.
Terhadap otot rangka.
Efeknya terhadap tonus otot rangka lebih lemah dibandingkan dengan isofluran.
Terhadap ginjal.
Pada dosis anestesia, efek sevofluran terhadap aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glumerulus lebih ringan dibandingkan isofl uran. Belum diketahui dengan pasti efeknya
terhadap laju filtrasi glomerulus dan produksi urin.
Terhadap hati.
Tidak toksik dan tidak menimbulkan perubahan fungsi hati. Aliran darah hati
sedikit menurun
Biotransformasi.
Hampir seluruhnya dikeluarkan untuk melalui udara ekspirasi, hanya sebagian kecil
2-3% dimetabolisme dalam tubuh. Konsentrasi metabolitnya sangat rendah, tidak cukup
untuk menimbulkan gangguan fungsi ginjal.
Penggunaan klinik.
Sama sepert agen volatil yang lain, sevofluran digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesia umum. Disamping efek hipnotik, juga
mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan. Pada bayi dan anak-anak yang
tidak kooperatif, sangat baik digunakan untuk induksi. Untuk mengubah cairan isofluran
menjadi uap, diperlukan alat penguap (“vaporizer”) khusus sevofluran.
Dosis.
1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 3.0 - 5.0%
bersama-sama dengan N2O.
2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, konsentrasinya berkisar antara 2.0%
- 3%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar antara 0.5 - 1.0%.
Indikasi kontra.
Hati-hat pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced hyperthermia”,
hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.
Keuntungan dan kelemahan.
1. Keuntungannya adalah: induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap mukosa jalan
nafas, pemulihannya paling cepat dibandingkan dengan agen volatil yang lain.
2. Kelemahannya adalah: batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan dosis):
analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain.
Desfluran
Merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinis nya sama dengan
isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan dengan agen volatil yang lain.
Memerlukan alat penguap khusus (TEC-6) elektrik tidak seperti agen yang lain.
Efek farmakologi
Efek klinisnya hampir sama dengan isofluran. Hanya efeknya terhadap respirasi
dapat menimbulkan rangsangan pada jalan nafas sehingga tidak digunakan untuk induksi.
Bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi tetapi tidak bermakna meningkatkan
tekanan darah. Terhadap hepar dan ginjal sama dengan sevofluran.
Biotransformasi.
Hampir seluruhnya dikeluarkan untuk melalui udara ekspirasi, hanya <0,1%
dimetabolisme dalam tubuh.
Penggunaan Klinik.
Sama seperti agen volatil yang lain, desfluran digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesia umum. Disamping efek hipnotik, juga
mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan.
Dosis.
1. Untuk induksi, disesuaikan dengan kebutuhan
2. Untuk pemeliharaan tergantung dengan racikan obat yang lain dan disesuikan dengan
kebutuhan.
Indikasi Kontra
Hati-hati pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced hyperthermia”,
hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.
Keuntungan dan kelemahan.
1. Keuntungannya hampir sama dengan isofluran
2. Kelemahannya adalah: batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan dosis):
analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain.
OBAT-OBAT ANALGETIK
Analgetik adalah hal yang sangat penting dalam suatu tindakan anestesi. Tingkat kepuasan
pasien terhadap tindakan pembedahan dan juga tindakan anestesi selalu dinilai dari manajemen
nyeri, baik pada saat sebelum, saat, dan sesudah tindakan operasi. Pengenalan yang baik terhadap
jenis-jenis analgetik akan memudahkan seorang ahli anestesi untuk memberikan kombinasi obat
analgetik dengan baik, sehingga dosis dapat dikurangi, efek samping yang lebih rendah dan
berujung pada tingkat kepuasan pasien yang lebih baik. Pemberian analgetik dengan format
multimodal merupakan strategi penanganan yang paling ideal saat ini.
Morfin 10 30
Buprenorfin 0.3 0.4
Oxykodon 10 20
Kemasan.
1. Petidin dalam bentuk ampul 2 ml yang mengandung 50mg/ml tidak berwarna.
2. Fentanil dikemas steril dalam bentuk ampul 100mcg dan 500mcg, tiap ml mengandung
50mcg/100mcg, berupa cairan jernih dan tidak berwarna. Fentanil juga tersedia dalam
bentuk patch transdermal dengan berbagai sediaan yang berbeda tergantung farmasi. Di
Indonesia, patch transdermal fentanil tersedia dalam dosis 12.5mcg/jam, 25mcg/jam, dan
50mcg/jam.
3. Morfin dalam bentuk ampul 1 ml yang mengandung 10 mg, tidak berwarna dan bisa
dicampur dengan obat lain. Morfin juga tersedia dalam bentuk tablet lepas lambat dan tablet
biasa.
4. Oxycodone dalam bentuk ampul 10mg dan 20mg, cairan jernih dan tidak berwarna.
Oxykodon juga tersedia dalam bentuk tablet lepas lambat dan kapsul aksi cepat.
5. Remifentanil dalam bentuk vial 1mg dan 5mg. Dikemas dalam bentuk serbuk, dan biasa
dilarutkan dengan NaCl 0,9% sesuai kebutuhan. Untuk penggunaannya sebaiknya dengan
cara titrasi menggunakan TCI (target-controlled infusion)
Berdasarkan lama kerjanya, pelumpuh otot Non Depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang, sedang
dan pendek. Sementara pelumpuh otot depolarisasi memiliki waktu kerja yang sangat singkat.
Dosis
Waktu kerja Waktu onset Dosis Dosis pemeliharan
dosis intubasi dosis intubasi intubasi pemeliharaan kontinyu
(dalam menit) (dalam (mg/kg) (mg/kg) (mcg/kg/menit)
Pankuronium bromida
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang populer digunakan dalam praktek
anestesia di Indonesia. Obat ini termasuk steroid sintetis yang dikemas dalam bentuk ampul yang
berisi 2 ml, mengandung 2 mg/ml, tidak berwarna dan larut dalam air.
Farmakologi
Mulai kerjanya 2-3 menit setelah pemberian dan masa kerjanya berkisar antara 30-45
menit. Dalam sirkulasi akan berikatan kuat dengan globulin dan berikatan sedang dengan albumin,
sehingga pada keadaan hipoproteinemia dosisnya harus dikurangi. Mempunyai efek akumulasi
pada pemberian berulang, oleh karena itu pemberian dosis ulangan harus dikurangi dan waktu
pemberian harus diperpanjang. Mempunyai efek inotropik dan kronotropik positif sehingga
menyebabkan hipertensi dan takikardi. Disamping itu menyebabkan pelepasan histamin tapi
sifatnya ringan sehingga tidak perlu khawatir pada pasien yang menderita asma. Sebanyak 15-40%
mengalami metabolisme asetilasi dalam tubuh, selanjutnya sebagian besar (60-80%) diekskresikan
melalui ginjal dan sisanya (20-40%) dieksresikan melalui empedu. Memiliki efek blokade vagal
yang baik.
Dosis dan cara pemberian
1. Untuk menghilangkan fasikulasi otot rangka akibat suksinilkolin, diberikan intravena
dengan dosis seperempat dosis untuk relaksasi optimal.
2. Untuk dosis intubasi (besar dosis dapat dilihat pada tabel), diberikan secara bolus
intravena.
3. Untuk dosis rumatan (besar dosis dapat dilihat pada tabel), diberikan secara bolus
intravena.
4. Pada bayi dan anak-anak balita dosis dikurangi.
5. Tidak dianjurkan memberikan secara intarmuskular dan dengan model kontinyu, karena
mulai kerja dan efeknya lama.
Atrakurium besilat
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai
struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leont ce Leontopeltalum. Obat ini dikemas
dalam bentuk ampul berisi 2.5 ml atau 5 ml, yang mengandung 10 mg/ml. Sebaiknya disimpan
dalam suasana dingin dan terhindar dari sinar matahari.
Farmakologi
Mula dan lama kerjanya tergantung pada dosis yang diberikan. Besar dosis dan lama kerja
dapat dilihat pada tabel diatas. Berbeda dengan pankuronium, atrakurium mengalami metabolisme
di dalam darah atau plasma melalui reaksi kimia yang unik yang disebut eliminasi Hoffman yang
tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal, sehingga penggunaannya pada penyakit hati atau
ginjal tidak memerlukan perhatian khusus. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian
berulang, sehingga masa kerjanya singkat. Tidak mempengaruhi fungsi kardiovaskular, sehingga
merupakan pilihan pada pasien yang menderita kelainan fungsi kardiovaskular, seperti misalnya
penyakit jantung koroner, hipertensi dan lainlainnya. Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi
secara spontan sesudah masa kerjanya berakhir, atau apabila diperlukan bisa diberikan obat
antikolenesterase. Mempunyai efek pelepasan histamin meski tidak besar.
Dosis dan cara pemberian
1. Untuk intubasi endotrakea, diberikan secara bolus intravena. Besar dosis dan waktu onset
dapat dilihat pada tabel.
2. Untuk pemeliharan relaksasi otot, diberikan secara bolus intravena intermiten atau bisa
juga dengan mode kontinyu. Besar dosis dan waktu kerja dapat dilihat pada tabel diatas.
Vekuronium
Vekuronium adalah obat turunan dari pankuronium, dengan adanya perubahan pada
struktur kimia untuk menghilangkan efek yang merugikan tanpa mempengaruhi potensi obat.
Farmakologi
Vekuronium di metabolisme di hati, dan secara primer sangat dipengaruhi oleh ekresi bilier
dan secara sekunder eleh ekskresi ginjal. Meskipun dapat digunakan dengan aman pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal, namun durasi kerja akan memanjang. Bila dibandingkan dengan
pankuronium, vekuronium memiliki waktu paruh yang lebih pendek dengan bersihan yang lebih
cepat dan lebih baik. Vekuronium memiliki bentuk aktif yang akan diakumulasi oleh tubuh,
sehingga penggunaan yang berkelanjutan dalam jangka waktu panjang akan menyebabkan durasi
blokade neuromuskular yang memanjang. Selain itu, penggunaan dalam jangka waktu panjang
dikaitkan dengan kejadian polineuropati, khususnya pada pasien wanita, gagal ginjal, penggunaan
steroid dalam jangka waktu lama dan dosis besar, dan pada kondisi sepsis. Pada penggunaan
jangka waktu lama juga meningkatkan kejadian toleransi terhadap dosis obat.
Pada sistem kardiovaskular, vekuronium tidak memberikan dampak langsung. Namun
dapat terjadi potensiasi terhadap kondisi bradikardi yang disebabkan oleh opiat pada beberapa
pasien. Pada kondisi gagal hati tidak menyebabkan durasi kerja dari vekuronium memanjang,
kecuali dosis yang diberikan lebih besar dari 0.15mg/kg. Usia tidak mempengaruhi kebutuhan
dosis inisial vekuronium, meskipun kebutuhan dosis rumatan menurun pada usia neonatus dan
infan. Jenis kelamin wanita lebih sensitif sekitar 30% pada vekuronium dibandingkan dengan pria.
Hal tesebut dibuktikan dengan derajat blokade yang lebih tinggi dan durasi kerja yang lebih
panjang pada wanita. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan anatomi-fisiologi yang berkaitan
dengan jenis kelamin, seperti kadar lemak tubuh dan masa otot, ikatan dengan protein, volume
distribusi serta aktivitas metabolik. Durasi kerja vekuronium juga memanjang pada pasien post
partum dikarenakan adanya alterasi di aliran darah liver.
Dosis dan cara pemberian
1. Untuk intubasi endotrakea, diberikan secara bolus intravena. Besar dosis dan waktu onset
dapat dilihat pada tabel.
2. Untuk pemeliharan relaksasi otot, diberikan secara bolus intravena intermiten atau bisa
juga dengan mode kontinyu. Besar dosis dan waktu kerja dapat dilihat pada tabel diatas
Rokuronium
Rokuronium memiliki struktur kimia yang analog dengan vekuronium, dengan fokus
alterasi ditujukan pada kecepatan onset obat. Merupakan salah satu obat pelumpuh otot dengan
onset cepat dan reversibel, sehingga bisa dijadikan pilihan pada kondisi dimana diperlukan efek
pelumpuh otot yang cepat.
Farmakologi
Rokuronium memiliki cara kerja yang mirip dengan obat pelumpuh otot non-depolarisasi
lainnya, yaitu bekerja di lokasi nikotinik neuromuskular-junction dengan bekerja pada sinaps.
Sinaps adalah area khusus di mana ujung saraf prejungsional berinteraksi dengan bagian
postjunctional. Kedua situs pre dan postjunctional ini memiliki konsentrasi asetilkolin (Ach) dan
nikotinat asetilkolin (nAchR) yang lebih tinggi. Biasanya ketika impuls listrik mencapai terminal
saraf prejunctional, masuknya kalsium menyebabkan pelepasan ligan Ach yang kemudian
berinteraksi di reseptor nikotinik asetilkolin yang terletak di membran postjunctional untuk
menyebabkan perubahan permeabilitas listrik membran khususnya natrium dan kalium.
Pergerakan ion yang cepat ini menyebabkan penurunan potensial transmembran untuk mencapai
ambang potensial yang mengarah pada pembentukan potensial aksi yang bergerak melintasi
membran otot dan menyebabkan kontraksi otot.
Obat-obatan nondepolarisasi seperti rocuronium adalah senyawa amonium kuaterner yang
bekerja sebagai sebuah obat yang intermediate-acting dan sangat terionisasi. Rocuronium tidak
mengalami metabolisme menjadi metabolit aktif dan memiliki kelarutan lemak yang sangat
rendah. Karena itu obat-obatan ini tidak melewati sawar darah-otak, sawar plasenta, dan sawar
membran lipid lainnya. Jadi rocuronium tidak memiliki efek pada sistem saraf pusat, efek pada
janin, reabsorpsi ginjal minimal, serta penyerapan yang tidak efektif jika diberikan secara oral.
Rocuronium sebagian besar di ekskresi dalam bentuk yang tidak berubah melalui empedu dan
sekitar 30% di ekskresi melalui ginjal. Faktor-faktor seperti hipotermia, hipovolemia, agen volatil,
serta penyakit ginjal dan hati memperpanjang efek rocuronium.
Rocuronium telah terbukti tidak memiliki efek langsung pada sistem kardiovaskuler.
Kondisi dimana rokuronium mempengaruhi aktivitas kardiovaskuler adalah saat didapatkan reaksi
anafilaktik atau alergi terhadap obat tersebut, yang berujung pada kolaps kardiovaskular.
Meskipun dapat digunakan dengan aman dalam mode kontinyu, namun dilaporkan kejadian durasi
kerja obat yang memanjang disertai miopati pada beberapa pasien. Hal tersebut bisa terjadi pada
pasien yang menggunakan steroid dalam jangka waktu lama atau pada pasien dengan gagal organ
multipel. Pada kondisi-kondisi tersebut sangat disarankan untuk tidak menggunakan rokuronium
dalam mode kontinyu lebih dari 48 jam.
Dosis dan cara pemberian
1. Untuk intubasi endotrakea, diberikan secara bolus intravena. Besar dosis dan waktu onset
dapat dilihat pada tabel.
2. Untuk pemeliharan relaksasi otot, diberikan secara bolus intravena intermiten atau bisa
juga dengan mode kontinyu. Besar dosis dan waktu kerja dapat dilihat pada tabel diatas
Sugammadex
Saat buku ini ditulis, suggamadex terlah tersedia di Indonesia. Sugammadex adalah
obat reversal neuromuskuler bloker yang unik; sebuah produk dari golongan siklodekstrin
yang baru, generasi yang pertama dalam kelas baru dari zat selective relaxant binding
agents, yang membalikkan blokade neuromuskuler (NMB) dengan pelumpuh otot otot
non-depolarisasi rocuronium dan vecuronium. Sugammadex dapat membalik NMB pada
saat ikatan moderat atau bahkan dalam. Penggunaan klinis sugammadex menjanjikan
untuk menghilangkan banyak kekurangan dalam praktik anestesi saat ini sehubungan
dengan antagonisme rocuronium dan pelemas otot aminosteroid lainnya.
Mekanisme kerja
Sugammadex membuat rocuronium tidak aktif dengan mengenkapsulasi
(chelating) molekul bebas untuk membentuk kompleks yang stabil. Struktur memiliki
rongga hidrofobik dan eksterior hidrofilik karena adanya gugus hidroksil polar. Interaksi
hidrofobik menjebak obat ke dalam rongga siklodekstrin, menghasilkan pembentukan
kompleks tamu-inang yang larut dalam air. Sugammadex memberikan efeknya dengan
membentuk kompleks yang sangat ketat pada perbandingan 1:1 dengan relaksan otot
aminosteroid (rocuronium>vecuronium>>pancuronium). Tekanan intermolekul (van der
Waals), ikatan termodinamika (hidrogen) dan interaksi hidrofobik membuat kompleks
sugammadex-rocuronium sangat kuat. Kompleks sugammadex-rocuronium memiliki
tingkat asosiasi yang sangat tinggi (konstanta asosiasi 107 M-1) dan tingkat disosiasi yang
sangat rendah. Diperkirakan, untuk setiap 25 juta kompleks sugammadex-rocuronium,
hanya satu kompleks yang terlepas. Pengurangan yang dihasilkan dalam konsentrasi
plasma rocuronium bebas menciptakan gradien antara kompartemen jaringan (termasuk
Neuromuscular junction - NMJ) dan plasma; rocuronium bebas bergerak dari jaringan ke
plasma, dengan pengurangan jumlah yang berikatan dengan reseptor nikotinik di NMJ.
Distribusi
Sugammadex tidak berikatan dengan protein plasma ataupun dengan sel darah
merah.
Metabolisme dan eleminasi
Sugammadex tidak menghasilkan sisa metabolit apapun, dan hampir semuanya
diekskresikan melalui urin dalam bentuk yang tidak berubah dalam kurun waktu 24 jam.
Sebagian kecil ada yang ikut terbuang bersama feses atau pada udara yang dikeluarkan saat
bernafas (hanya sekitar 0.02%)
Efek samping
Efek samping yang paling sering dilaporkan dari penggunaan obat ini adalah
adanya disgeusia (rasa logam atau pahit) yang biasanya muncul setelah pemberian dosis
diatas 32mg/kg. Selain itu kejadian rekurensi efek blokade pelumpuh otot, pergerakan tidak
wajar pada tangan atau tubuh saat obat dimasukkan, batuk, muncul ekspresi meringis atau
seperti menghisap PET, serta ada kemungkinan terjadi hipotensi.
Indikasi
1. Pada pasien yang menggunakan pelumpuh otot jenis aminosteroidal
2. Penggunaan sugammadex dapat langsung digunakan untuk mereversal obat
pelumpuh otot yang masih bekerja dalam durasi kerja nya, sehingga
penggunaan pelumpuh otot pada prosedur yang singkat menjadi lebih aman.
3. Pada penggunaan rokuronium dosis tinggi untuk mencapai onset pada RSI, jika
diperlukan
4. Pada pasien yang memiliki kontraindikasi pada antikolinesterase
5. Pada kondisi “Can not intubate, can not ventilate” yang memerlukan pelumpuh
otot golongan aminosteroidal karena indikasi tertentu
Kontra indikasi
Hipersensitivitas terhadap sugammadex adalah kontraindikasi mutlak untuk
diberikan obat ini.
Karena bersihan obat ini terutama adalah melalui ginjal, maka penggunaan harus
lebih berhati hati pada pasien dengan penurunan fungsi faal ginjal. Meskipun efeknya pada
pasien tersebut tidak berkurang, namun keamanannya belum dapat dibuktikan. Sehingga
ada baiknya untuk dihindari pada pasien tersebut.
Penggunaannya pada pasien geriatri dikaitkan dengan efek pemulihan yang lebih
lama bila dibandingkan dengan pada pasien dewasa muda. Sementara pada pasien pediatri,
obat ini memiliki profil farmakokinetik yang hampir sama dengan orang dewasa. Namun
keamanannya untuk digunakan pada anak berusia kurang dari 2 tahun masih belum dapat
dibuktikan.
Dosis dan penggunaan klinik
Dosis minimum yang efektif untuk reversal adalah 2mg/kg IV. Namun besar dosis
juga menyesuaikan dengan tingkat kedalaman blokade pelumpuh otot. Untuk blokade yang
lebih dalam, dapat digunakan dosis 4mg/kg IV. Dan jika diperlukan efek reversal yang
segera, dapat digunakan dalam dosis yang lebih besar, yaitu 16mg/kg IV.
Obat tersedia dalam kemasan untuk injeksi intravena saja, dalam bentuk kemasan
vial 200mg (2ml) atau 500mg (5ml) dan tidak boleh disimpan di tempat yang dingin seperti
kulkas.
Prokain
Dibuat pertama kali oleh Einhorn pada 1905. Nama lain untuk preparat ini adalah Novokain atau
Neokain.
Nama kimia
Para aminobenzoic acid aster dari diethylamino.
Spesifikasinya.
Berupa kristal berwarna putih, larut dalam air/alkohol, dan bersifat basa. Ikatannya dengan Hcl
sangat cepat larut dalam air tetapi tidak begitu larut dalam alkohol. Apabila kontak dengan udara,
akan mengalami dekomposisi. Dalam bentuk larutan tahan terhadap panas, sehingga bisa
disterilkan. Dehidrolisis oleh enzim kholinesterase. Prokain dianggap sebagai standar baik dalam
potensi maupun dalam toksisitas suatu obat anestesi lokal. Ditetapkan potensi dan toksisitas serta
indeks anestesianya = 1. Dibanding dengan kokain maka toksisitas prokain - 1/4 toksisitas cocain.
Penggunaan klinik.
Dosisnya tergantung dari cara pemberian, untuk infiltrasi lokal pada orang dewasa diberikan
larutan. 0,5% - 1,0% dengan dosis maksimal 1gram (200 ml). Untuk blok saraf diberikan larutan
1% - 2% sebanyak 75 ml, sedangkan untuk blok pleksus dipakai larutan 1% sebanyak 30 ml, untuk
blok epidural diberikan larutan 1% sebanyak 15 - 50 ml dan untuk blok subarakhnoid diberikan
larutan 5% sebanyak 2.cc.
Lidokain
Sering disebut dengan nama dagang: lidokain atau xylokain. Pertama kali disentesis oleh
Lofgren pada tahun 1943.
Spesifikasi
Sangat mudah larut dalam air dan sangat stabil, dapat dididihkan selama 8 jam dalam larutan HCl
30% tanpa risiko dekomposisi. Dapat disterilkan beberapa kali dengan proses autoklaf tanpa
kehilangan potensi.Tidak iritatif terhadap jaringan walaupun diberikan dalam konsentrasi larutan
88%. Toksisitasnya 1,5 kali prokain. Diperlukan waktu 2 jam untuk hilang sama sekali dari tempat
suntikan. Apabila larutan ini ditambah adrenalin, maka waktu yang diperlukan untuk hilang sama
sekali dari tempat suntikan 4 jam. Mempunyai afinitas tinggi pada jaringan lemak. Detoksikasi
terjadi oleh hati. Daya penetrasinya sangat baik, mulai kerjanya dua kali lebih cepat dari prokain
dan lama kerjanya 2 kali dari prokain.
Penggunaan klinik.
• Untuk infiltrasi lokal diberikan larutan 0,5%.
• Blok saraf yang kecil diberikan larutan 1%.
• Blok saraf yang lebih besar diberikan larutan 1.5%
• Blok epidural diberikan larutan 1,5% - 2%.
• Untuk blok subarahnoid diberikan larutan hiperbarik 5%.
• Dosis untuk orang dewasa: 50 mg - 750 mg (7 - 10 mg/kg BB).
• Dipergunakan sebagai obat anti distritmia terutama pada disritmia ventrikuler.
Prilokain
Sering disebut sebagai: Propitocain, Xylonest, Citanest dan Distanest sebagai nama
dagang. Ditemukan oleh Lofgren dan Tegner dan uji farmakologinya dilakukan oleh Wiedling,
selanjutnya digunakan di klinik pertama kali oleh Gordh pada tahun 1959.
Spesifikasi
Efek iritasi lokal pada tempat suntikan lebih kecil dibandingkan dengan lidokain bahkan
jauh lebih kecil dari prokain. Toksisitasnya kira-kira 60% dari toksisitas lidokain dan potensinya
sama dengan lidokain. Mengalami metabolisme di hati, ginjal dan oleh amidase, lebih cepat
dibanding dengan lidokain dengan toksisitas lebih rendah dari lidokain. Menimbulkan
methaemoglobinemia pada penggunaan dosis tinggi, lebih dari 600 mg, sehingga timbul gejala
sianosis yang bisa hilang sendiri selama 24 jam. Dibanding dengan lidokain, prilokain lebih kuat,
daya penetrasinya lebih baik, mulai kerjanya lebih lama dan lama kerjanya lebih lama dan efektif
pada konsentrasi 0,5% - 5,0%.
Penggunaan klinik.
• Untuk Infiltrasi lokal digunakan larutan 0.5%
• Blok pleksus digunakan larutan 2% - 3%
• Blok epidural digunakan larutan 2% - 4%
• Untuk blok subarakhnoid digunakan larutan 5%.
• Dosis: maksimak tanpa adrenalin 400 mg sedangkan dengan adrenalin bisa diberikan
sampai dosis 600 mg.
Bupivakain
Disintesis pada 1957 eleh Ekstam dkk pada tahun 1957 dan digunakan pertama kali di klinik oleh
Telivuo pada tahun 1963.
Spesifikasi
Ikatan dengan HCL mudah larut dalam air. Sangat stabil dan dapat diautoclaf berulang.
Potensinya 3 - 4 kali dari lidokain dan lama kerjanya 2 - 5 kali lidokain. Sifat hambatan sensorisnya
lebih dominan dibandingkan dengan hambatan motorisnya. Jumlah obat yang terikat pada saraf
lebih banyak dibandingkan dengan yang bebas dalam tubuh. Dikeluarkan dari dalam tubuh melalui
ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh dan sebagian besar dalam bentuk metabolitnya.
Penggunaan klinik.
• Untuk Infiltrasi lokal digunakan larutan 0,25%
• Blok saraf kecil digunakan larutan 0,25%
• Blok saraf yang lebih besar digunakan larutan 0,5%
• Blok epidural digunakan larutan 0,5% - 0,75%
• Untuk blok spinal digunakan larutan 0,5% - 0,75%
• Dosis: 1 - 2 mg/kg BB.
Ropivakain
Ropivacaine adalah anestesi regional berdurasi kerja panjang yang secara struktural mirip
dengan Bupivacaine. Ropivakain memiliki enansiomer S (-) murni, tidak seperti Bupivacaine,
yang merupakan racemic, yang dikembangkan untuk tujuan mengurangi toksisitas potensial dan
meningkatkan profil sensorik dan blok motorik relatif.
Spesifikasi
Ropivacaine adalah agen anestesi lokal amida kerja panjang dan pertama kali diproduksi
sebagai enansiomer murni. Ropivakain memiliki cara kerja yang mirip dengan anestesi lokal
lainnya yaitu melalui penghambatan masuknya ion natrium di serat saraf. Ropivakain lebih sedikit
lipofilik daripada bupivacaine dan lebih kecil kemungkinannya untuk menembus serat motor
myelinated besar, dan oleh karenanya memiliki efek blokade motorik yang relatif lebih kecil.
Namun demikian, ropivakain memiliki derajat diferensiasi sensorik motorik yang lebih besar, yang
dapat bermanfaat ketika blokade motorik tidak diinginkan. Berkurangnya lipofilisitas juga akan
menimbulkan potensi toksisitas sistem saraf pusat dan kardiotoksisitas yang lebih rendah.
Ropivakain dimetabolisme terutama di hati dan diekskresikan melalui urin.
Pada suatu studi menunjukkan bahwa efek terhadap susunan saraf pusat muncul lebih awal
daripada gejala kardiotoksik apabila diberikan secara infus (IV) intravena (10 mg/menit
ropivacaine) pada orang coba. Perubahan pada fungsi jantung yang melibatkan kontraktilitas,
waktu konduksi dan pelebaran segmen QRS ditemukan secara signifikan lebih kecil pada
ropivacaine dibandingkan dengan bupivacaine.
Penggunaan klinik
Di Indonesia sampai saat ini ropivakain hanya tersedia dalam satu macam sediaan, yaitu
kemasan ampul steril 0.75% isobarik, tanpa pengawet. Penggunaan terutama ditujukan untuk
epidural, meskipun beberapa ahli menggunakannya juga untuk intratekal. Penggunaan pada blok
saraf perifer juga memberikan efek blokade sensorik dan motorik yang baik, meskipun durasinya
lebih pendek untuk blokade sensorik bila dibandingkan dengan bupivakain.
Levobupivakain
Levobupivakain adalah obat anestesi lokal dengan enansiomer tunggal yang terdiri dari S
enantiomer bupivakain. Dibandingkan dengan racemic bupivakain, levobupivakain memiliki efek
toksisitas SSP dan kardiovaskular yang minimal, memungkinkan dosis yang lebih besar diberikan.
Profil klinis dan potensi levobupivakain sangat mirip dengan bupivakain, dengan durasi blok yang
sedikit lebih lama. levobupivakain dianggap sangat berguna ketika dosis besar diperlukan, seperti
untuk blok pleksus yang dilakukan tanpa panduan ultrasonografi.
Dibandingkan dengan bupivacaine, levobupivacaine dikaitkan dengan kejadian vasodilatasi
yang lebih sedikit dan memiliki durasi aksi yang lebih lama. Levobupivakain kira-kira 13 persen
lebih poten (berdasarkan molaritas) daripada bupivacaine rasemik dan memiliki waktu onset blok
motor yang lebih lama. Reaksi obat yang merugikan jarang terjadi ketika diberikan dengan benar.
Namun jika muncul, sebagian besar berhubungan dengan teknik pemberian (menghasilkan
paparan sistemik) atau efek farmakologis dari anestesi, namun reaksi alergi jarang dapat terjadi.
Efek pada sususan saraf pusat (SSP) dapat termasuk eksitasi SSP (gugup, kesemutan di sekitar
mulut, tinitus, tremor, pusing, penglihatan kabur, kejang) diikuti oleh depresi (kantuk, kehilangan
kesadaran, depresi pernapasan, dan apnea). Efek kardiovaskular termasuk hipotensi, bradikardia,
aritmia, dan / atau henti jantung - beberapa di antaranya mungkin disebabkan oleh hipoksemia
sekunder akibat depresi pernapasan. Levobupivakain bersifat toksik bagi tulang rawan dan injeksi
intraartikular dapat menyebabkan chondrolisis glenohumeral.
Penggunaan klinik
Levobupivakain diindikasikan untuk anestesi lokal termasuk infiltrasi, blok saraf perifer,
epidural, dan anestesi intratekal. Levobupivakain memiliki kontraindikasi untuk digunakan
sebagai anestesi regional intra vena (IVRA)
Norepinephrine
Norepinefrin (NE), juga disebut noradrenalin (NA) atau noradrenalin, adalah bahan
kimia organik dalam keluarga katekolamin yang berfungsi di otak dan tubuh sebagai
hormon dan neurotransmitter. Fungsi umum norepinefrin adalah untuk memobilisasi otak
dan tubuh untuk bertindak. Pelepasan norepinefrin adalah yang terendah selama tidur, naik
selama terjaga, dan mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi selama situasi stres atau
bahaya. Di otak, norepinefrin meningkatkan kewaspadaan meningkatkan pembentukan dan
pengambilan memori, dan memusatkan perhatian selain itu juga meningkatkan kegelisahan
dan kecemasan. Di seluruh tubuh, norepinefrin meningkatkan denyut jantung dan tekanan
darah, memicu pelepasan glukosa dari cadangan energi, meningkatkan aliran darah ke otot
rangka, mengurangi aliran darah ke sistem pencernaan, dan menghambat berkemihnya
kandung kemih dan motilitas gastrointestinal.
Norepinefrin bekerja secara langsung dengan menstimulasi reseptor 1 dan juga
sedikit mempengaruhi 2. Hal tersebut menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pada aterial
dan vena. Peningkatan tekanan darah terjadi akibatnya peningkatan kontraktilitas dari
jantung sebagai pengaruh reseptor 1 yang disertai dengan vasokonstriksi perifer.
Peningkatan tekanan darah terjadi pada sistolik dan diastolik, namun karena adanya reflek
bradikardi sehingga menjaga dari peningkatan kardiak output. Penggunaan norepinefrin
pada kejadian shock perlu dilakukan dengan hati-hati karena efek norepinefrin yang
memberikan efek penurunan aliran darah ke renal dan splanchnik dan meningkatkan
kebutuhan oksigen miokardial. Ekstravasasi norepinefrin pada tempat pemberian intravena
dapat menyebabkan nekrosis jaringan.
Penggunaan klinis
Norepinefrin tersedia dalam satu macam bentuk sediaan, berupa cairan jernih dalam
kemasan ampul berisi 4ml, dengan kandungan 1mg/ml. Norepinefrin biasa diberikan
dengan mode kontinyu dikarenakan waktu paruh nya yang sangat pendek. Dosis yang biasa
diberikan adalah 2-20mcg/menit, diberikan secara titrasi sesuai hemodinamik.
Ephedrine
Efedrin adalah sebuah obat simpatomimetik non-katekolamin yang memiliki efek
mirip dengan epinefrin, yaitu meningkatkan tekanan darah, laju jantung, kontraktilitas
jantung dan kardiak output. Selain itu efedrin juga memberikan bronkodilator. Perbedaan
yang utama dari epinefrin adalah pada durasi kerjanya. Efedrin memiliki durasi kerja yang
lebih panjang, dengan potensi yang lebih rendah, memiliki efek direk dan indirek, serta
menstimulasi susunan saraf pusat. Efedrin juga meningkatkan konsentrasi minimum
alveolar. Efek indirek dari efedrin adalah akibat dari pelepasan norepinefrin pada post
sinaps perifer, atau dengan menghambat ambilan kembali (reuptake) dari norepinefrin.
Oleh karena sifatnya tersebut, efedrin lebih sering digunakan pada saat pelaksanaan
anestesi, khususnya pada kejadian hipotensi paska spinal. Hal lain yang menguntungkan
dari efek efedrin adalah tidak menurunkan aliran darah uterus sehingga sangat tepat
digunakan pada kasus obstetri. Selain itu, efedrin juga disebutkan memiliki efek
antiemetik, terutama yang terkait kondisi hipotensi akibat spinal anestesi. Premedikasi
dengan klonidin juga disebutkan dapat menguatkan efek efedrin.
Penggunaan klinis
Efedrin hanya tersedia dalam satu kemasan berupa cairan jernih dalam kemasan
ampul 1ml, dengan kandungan 50mg/ml. Pada pasien dewasa, efedrin diberikan dalam
bentuk bolus intravena dengan dosis 2.5-10mg. Sementara pada anak dapat diberikan
dengan dosis 0.1mg/kg. Pemberian yang berulang akan menyebabkan munculnya kondisi
takifilaksis, yaitu suatu kondisi dimana pemberian dosis pengulangan tidak lagi
memberikan efek atau berkurang efektivitasnya. Hal tersebut diduga karena habisnya
cadangan norepinefrin sebagai akibat dari aksi indirek dari epinefrin.
Dopamin
Dopamin adalah sebuah agonis non-selektif adrenergik endogen, yang dapat
bekerja secara direk dan indirek. Efek dan target kerja yang bervariasi tergantung besaran
dosis yang diberikan. Dopamin telah dimasukkan ke dalam Daftar Obat Esensial
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Penggunaan klinis
Dopamin biasa dikemas dalam bentuk ampul berisi cairan jernih yang memiliki
sedikit bau asam klorida. Sediaan ampul berisi 5ml dengan kandungan 40mg/ml. Larut
dengan bebas dalam air dan larut dalam alkohol. Dopamin HCl peka terhadap kondisi
alkali, garam besi, dan zat pengoksidasi. Dopamin memiliki rentang dosis yang relatif
lebar, dengan efek yang dihasilkan tergantung dari dosis yang diberikan. Pada dosis rendah
(0.5-3mcg/kg/menit), dopamin bekerja dengan mengaktivasi reseptor dopaminergik, yang
mana memberikan efek berupa vasodilatasi pembuluh darah ginjal sehingga akan
memberikan efek diuresis dan natriuresis. Dulu dosis ini dikenal dengan sebutan dosis renal
(renal dose) dan digunakan untuk tujuan memperbaiki fungsi ginjal. Namun beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa dosis renal tidak memberikan perubahan yang
menguntungkan pada fungsi ginjal. Ketika digunakan pada dosis yang lebih besar (3-
10mcg/kg/menit), dopamin akan bekerja pada reseptor 1 yang mana akan memberikan
efek peningkatan kontraktilitas miokard, laju jantung, tekanan darah sistolik dan juga
kardiak output. Hal tersebut tentunya meningkatkan kebutuhan dan konsumsi oksigen
miokard. Pada dosis yang lebih besar (10-20mcg/kg/menit), dopamin akan bekerja
terutama pada reseptor 1 yang akan bekerja meningkatkan resistensi vaskular perifer yang
disertai penurunan aliran darah ke ginjal. Sementara itu efek indirek dari dopamin adalah
bekerja dengan melepaskan norepinefrin dari presinaps ganglion saraf simpatik.
Dobutamin
Dobutamin adalah obat yang bekerja langsung pada adrenoreseptor 1 yang ada
pada jantung, sehingga dapat memberikan efek berupa peningkatan kontraktilitas jantung
dan menghasilkan peningkatan kardiak output. Meskipun demikian, sebenarnya dobutamin
merupakan sebuah campuran racemic dari dua isomer dengan afinitas pada reseptor 1 dan
2. Efek dari ikatannya pada reseptor 2 yang mencegah terjadinya peningkatan agresif dari
tekanan darah arterial dan vasodilatasi ringan. Selain itu, dobutamin juga menyebabkan
tekanan pengisian ventrikel kiri berkurang, sehingga aliran darah koroner akan meningkat.
Oleh karena efeknya yang sangat menguntungkan untuk jantung, dobutamin menjadi
pilihan idel untuk digunakan pada pasien yang mengalami kombinasi gagal jantung
kongestif dan penyakit jantung koroner. Efek samping dobutamin yang paling berbahaya
adalah peningkatan risiko aritmia, termasuk aritmia yang fatal.
Penggunaan klinis
Dobutamin di Indonesia tersedia dalam 3 macam sediaan, yaitu dalam bentuk
ampul, vial, dan infus. Sediaan vial berisi 10 mL dengan kandungan 25 mg/mL. Sediaan
ampul berisi 20 mL per ampul dengan kandungan 12.5mg/ml, dan ampul berisi 5 mL
dengan kandungan 50 mg/mL. Sementara untuk sediaan infus berisi 50 ml, dengan
kandungan 5mg/ml. Karena memiliki waktu paruh yang pendek, dobutamin biasa
diberikan dengan mode kontinyu, dosis 2-20mcg/kg/menit.
Referensi
1. Grigg EB, Martin LD, Ross FJ, Roesler A, Rampersad SE, et al. Assessing the Impact of the
Anesthesia Medication Template on Medication Errors During Anesthesia: A Prospective
Study, Anesthesia & Analgesia. 2017;124(5):1617-1625
2. Sheen MJ, Chang FL, Ho ST. Anesthetic premedication: New horizons of an old practice. Acta
Anaesthesiologica Taiwanica. 2014;52(3):134-142.
3. Motayagheni N, Phan S, Eshraghi C, Nozari A, Atala A: A Review of Anesthetic Effects on
Renal Function: Potential Organ Protection. Am J Nephrol 2017;46:380-389.
4. Egan TD. Are opioids indispensable for general anaesthesia? BJA. 2019;122(6):E127-E135.
5. Boysen PG 2nd, Pappas MM, Evans B. An Evidence-Based Opioid-Free Anesthetic Technique
to Manage Perioperative and Periprocedural Pain. Ochsner J. 2018;18(2):121-125.
6. Becker DE. Emergency drug kits: pharmacological and technical considerations. Anesth Prog.
2014;61(4):171-179.
7. Kassiri N, Ardehali SH, Rashidi F, Hashemian SM. Inhalational anesthetics agents: The
pharmacokinetic, pharmacodynamics, and their effects on human body. Biomed Biotechnol Res
J 2018;2:173-177.
8. Chitilian HV, Eckenhoff RG, Raines DE. Anesthetic drug development: Novel drugs and new
approaches. Surg Neurol Int. 2013;4(Suppl 1):S2-S10
9. Khan KS, Hayes I, Buggy DJ. Pharmacology of anaesthetic agents I: intravenous anaesthetic
agents. Continuing Education in Anaesthesia Critical Care & Pain. 2014;14(3):100–105.
10. Tanious MK, Beutler SS, Kaye AD, Urman RD. New Hypnotic Drug Development and
Pharmacologic Considerations for Clinical Anesthesia. Anesthesiol Clin. 2017;35(2):e95-e113.
11. Mahmoud M, Mason KP. Recent advances in intravenous anesthesia and anesthetics.
F1000Res. 2018;7:F1000.
BAB V
ANESTESIA UMUM
PENGERTIAN
Anestesia umum adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh
hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesia. Rees & Gray membagi
anestesia menjadi tiga komponen, yaitu hipnotika, anestesia, dan relaksasi otot. Ketiga hal tersebut
populer disebut sebagai Trias Anestesia. Saat ini fitur keempat sudah ditambahkan, yakni amnesia.
PENGERTIAN
Anestesia regional adalah tehnik anestesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat
anestesia lokal pada serat saraf yang menginervasi regio tertentu, yang dapat menyebabkan
hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.
BLOK BIER
Blok Bier, dikenal juga dengan istilah blok anestesi regional intravena, pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1908 oleh ahli bedah Jerman yang bernama August Bier. Blok Bier pada dasarnya
dilakukan dengan menyuntikkan larutan anestesi lokal ke dalam sistem vena sebuah ekstremitas
yang telah diisolasi dari sistem sirkulasi tubuh dengan menggunakan tourniquet.
Bier menggunakan Prokain dalam konsentrasi 0,25-0,5% yang disuntikkan melalui kanula
intravena, yang ditempatkan di antara dua tourniquet yang membagi ekstremitas tersebut menjadi
komponen proksimal dan distal. Bier mendapatkan ada dua jenis efek anestesi yang berbeda pada
pasien yang dilakukan perosedur tersebut yang dinamakan efek anestesi direk (terjadi segera
setelah memasukkan obat anestesi lokal ke intravena) dan indirek (terjadi 5-7 menit setelah obat
anestesi lokal dimasukkan). Efek direk adalah pengaruh dari obat anestesi lokal yang merendam
ujung saraf di jaringan (blok infiltrasi perifer), sedangkan efek indirek kemungkinan besar
disebabkan oleh anestesi lokal yang diangkut ke substansi saraf melalui vasa nervorum, di mana
blok konduksi terjadi (blok konduksi).
Blok Bier dapat digunakan untuk prosedur bedah
singkat atau manipulasi ekstremitas atas atau bawah.
Tehnik ini lebih banyak digunakan untuk ekstremitas
atas karena tingginya angka komplikasi ketika
digunakan pada ekstremitas bawah. Blok Bier juga telah
terbukti mengurangi peradangan neurogenik, sebuah
fenomena yang mungkin terkait dengan complex
regional pain syndrome (CRPS), dengan sedikit gangguan fungsi sensorik. Meskipun Blok Bier
adalah metode yang aman dan efektif untuk memberikan anestesi lokal untuk anestesia dan
analgesia, satu studi menyatakan bahwa sebagian besar pelaku anestesi melakukan kurang dari 10
kali Blok Bier per tahun.
Kematian
Tabel 6.3 Ketinggian dermatom yang dibutuhkan pada beberapa jenis operasi
Jenis Operasi Ketinggian dermatom yang diharapkan
Abdomen atas T4
Pembedahan di intestinal, ginekologi, dan urologi T6
TURP, persalinan vaginal, operasi panggul T10
Pembedahan di regio femur dan kruris L1
Pembedahan di regio ankle dan pedis L2
Pembedahan di regio anal dan perineum S2-S5
Langkah-langkah melakukan Blok Subarachnoid
1. Pasang alat pantau yang diperlukan.
2. Posisikan pasien sesuai dengan jenis operasi.
BSA dapat dilakukan dalam posisi duduk,
lateral dekubitus kanan, ataupun lateral
dekubitus kiri.
3. Desinfeksi area lumbal dan tutup dengan duk
lubang steril. Kerjakan semuanya sesuai dengan
protokol prosedur steril.
4. Tusuk jarum spinal ukuran pada celah
interspinosum lumbal 3-4 atau 4-5 sampai
keluar cairan likuor serebrospinalis.
5. Masukkan obat anestesia lokal.
6. Tutup luka tusukan dengan kasa steril dan
fiksasi menggunakan plester.
7. Atur posisi pasien sedemikian rupa agar posisi kepala dan tungkai lebih tinggi dari badan.
8. Nilai ketinggian blok dengan menggunakan skor Bromage.
9. Pantau tanda vital pasien sepanjang pengaruh anestesia lokal berjalan.
Tabel 6.4 Keuntungan dan kerugian blok subarachnoid
Keuntungan Kerugian
Relatif mudah untuk dilakukan Harus dilakukan oleh orang yang berpengalaman
Memberikan analgesia yang adekuat Selalu ada risiko terjadinya kegagalan
Tidak menggunakan agen sedatif Terjadi blok dari sistem otonom
Tidak mengganggu sistem pernafasan Membutuhkan pasien yang kooperatif
Dapat dilakukan tehnik lateralisasi
Biaya relatif lebih murah dibanding anestesi umum
Relatif lebih aman pada pasien dengan lambung yang penuh
BLOK EPIDURAL
Indikasi klinis untuk anestesi dan analgesia yang diberikan melalui ruang epidural telah
berkembang secara signifikan selama beberapa dekade terakhir. Analgesia epidural sering
digunakan untuk melengkapi anestesi umum untuk prosedur bedah pada pasien dengan
komorbiditas. Selain itu, blok epidural juga digunakan untuk memberikan analgesia pada periode
paskaoperasi dan peripartum, dan dapat juga digunakan sebagai anestesi primer untuk operasi
setinggi mediastinum sampai ekstremitas bawah. Saat ini, tehnik epidural semakin banyak
digunakan dalam manajemen nyeri akut dan kronis. Blok epidural juga diketahui dapat
mengurangi respons stres pembedahan, risiko kekambuhan pada kasus keganasan, peristiwa
tromboemboli perioperatif, dan morbiditas dan mortalitas pada pemebedahan mayor yang berisiko
tinggi.
Tabel 6.5 Kontraindikasi pemasangan kateter epidural
Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relatif
Pasien menolak Sepsis
Gangguan fungsi koagulasi Tekanan intrakranial meningkat
Riwayat penggunaan antikoagulan
Trombositopenia
Gangguan SSP atau neuromuskular
Infeksi pada lokasi insersi
Kondisi preload dependen (misalnya stenosis aorta)
Riwayat cedera pada tulang belakang
Nyeri punggung
Pendekatan Taylor
Pendekatan Taylor adalah pendekatan paramedian yang
dimodifikasi dengan memanfaatkan ruang antar L5-S1
yang besar. Pendekatan ini sangat baik untuk operasi
panggul atau untuk operasi ekstremitas bawah pada pasien
trauma yang tidak dapat mentolerir posisi duduk.
Pendekatan ini juga dapat memberikan akses ke ruang epidural pada pasien dengan ligamen yang
mengeras.
Pendekatan ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Identifikasi spasium L4-L5, kemudian suntikkan anestesia lokal pada 1 cm medial dan 1
cm caudal dari spina iliaka superior posterior.
2. Jarum epidural dimasukkan ke arah medial dan sefalad dengan sudut 45-55°.
3. Seperti pada pendekatan paramedian klasik, resistensi pertama yang dirasakan sebelum
masuk ke ruang epidural adalah saat masuk ke ligamentum flavum.
4. Jika jarum epidural membentur tulang (biasanya tulang sakrum), maka arahkan kembali
jarum ke ruang epidural dalam arah yang lebih medial dan lebih cephalad.
Pendekatan Caudal
Pendekatan kaudal umumnya digunakan pada populasi
pediatri, baik dengan metode suntikan tunggal ataupun
kontinu, sebagai analgesia intraoperatif dan postoperatif.
Sakrum adalah tulang berbentuk segitiga yang dibentuk oleh
fusi vertebra sakral. Lengkung tulang sakral kelima yang tidak
berfusi membentuk struktur yang dikenal sebagai hiatus
sakralis, yang ditutupi oleh ligamentum sacrococcygeal
(perpanjangan dari ligamentum flavum), dan dibatasi oleh
tonjolan tulang yang dikenal sebagai cornu sacralis. Hiatus
sakralis, titik akses ke ruang epidural sakral, biasanya dapat diidentifikasi sebagai sebuah
cekungan di atas tulang coccygeus.
Pendekatan ini biasanya dikerjakan dengan menggunakan langkah berikut:
1. Tempatkan pasien dalam posisi lateral atau prone. Pada posisi lateral, kaki dependen
sedikit ditekuk, sedangkan kaki nondependen ditekuk maksimal.
2. Identifikasi hiatus sakralis dengan mengidentikasi puncak segitiga sama sisi yang
menghubungkan kedua spina iliaka posterior superior dan mengarah ke caudal.
3. Masukkan jarum pada kemiringan 45° terhadap permukaan kulit.
4. Rasakan adanya perubahan tahanan ketika jarum menembus membran sacrococcygeal.
5. Tarik sedikit jarum, kurangi sudut masuk jarum sehinnga mencapai sudut sekitar 10-15°
dengan bidang koronal tubuh pasien.
6. Ketika merasakan LOR, lanjutkan memasukkan jarum sedikit ke arah kanalis. Kemudian
aspirasi jarum untuk memastikan tidak ada darah atau CSF sebelum menyuntikkan LA.
7. Suntikkan perlahan anestesi lokal yang diinginkan. Atau, masukkan kateter epidural
melalui jarum yang digunakan tersebut sampai ke ketinggian yang diinginkan.
Referensi
1. Wahal C, Kumar A, Pyati S. Advances in regional anaesthesia: A review of current practice,
newer techniques and outcomes. Indian J Anaesth. 2018;62(2):94-102.
doi:10.4103/ija.IJA_433_17
2. Hutton M, Brull R, Macfarlane AJR. Regional anaesthesia and outcomes. BJA Education.
2018;18(2):52-56.
3. Albrecht E, Chin KJ. Advances in regional anaesthesia and acute pain management: a narrative
review. Anaesthesia. 2020;75:e101-e110.
4. Liu SS, McDonald SB. Current Issues in Spinal Anesthesia. Anesthesiology. 2001;94(5):888-906.
5. Bauer M, George JE 3rd, Seif J, Farag E. Recent advances in epidural analgesia. Anesthesiol Res
Pract. 2012;2012:309219.
6. Kraus GP, Fitzgerald BM. Bier Block. [Updated 2020 Feb 6]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430760/
7. Wiegele M, Marhofer P, Lönnqvist PA. Caudal epidural blocks in paediatric patients: a review
and practical considerations. Br J Anaesth. 2019;122(4):509-517.
8. Kao SC, Lin CS. Caudal Epidural Block: An Updated Review of Anatomy and Techniques.
Biomed Res Int. 2017;2017:9217145. doi:10.1155/2017/9217145