Anda di halaman 1dari 118

Editor:

Dr. dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn, KAR.


Dr. dr. I Made Gede Widnyana, SpAn, KAR.

Kontributor Seri Buku Ajar Anestesiologi dan Terapi Intensif:


Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO.
Dr. dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn, KAR.
Dr. dr. I Made Gede Widnyana, M.Kes., SpAn, KAR.
dr. I Gusti Ngurah Mahaaalit Aribawa, SpAn, KAR, FIPM.
dr. I Gusti Agung Gede Agung Utara Hartawan, S.Ked., SH, MARS, SpAn.
dr. Christopher Ryalino, S.Ked., M.Biomed., SpAn
dr. Adinda Putra Pradhana, S.Ked., M.Biomed., SpAn
Dr. dr. Wayan Suranadi, SpAn, KIC
dr. I Gede Budiarta, SpAn, KMN
dr. Made Subagiarta, SH, MH, SpAn, KAKV
dr. Putu Kurniyanta, SpAn, KAP
dr. I Kadek Agus Heryana Putra, SpAn, KAP
dr. Tjahya Aryasa, SpAn
dr. I Ketut Wibawa Nada, SpAn, KAKV
dr. Putu Agus Surya Panji, SpAn, KIC
dr. I Made Agus Kresna Sucandra, SpAn, KIC
dr. Pontisomaya Parami, MARS, SpAn, FIC
dr. Cynthia Dewi Sinardja, MARS, SpAn, FIC
Dr. dr. I Putu Pramana, M.Kes., SpAn, KNA, KMN, FIPM.
SAMBUTAN
DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang maha Esa, karena atas berkatNya Buku Ajar Ilmu
Anestesi dan Terapi Intensif ini terwujud. Buku ini sangat bermanfaat dan penting dalam
proses belajar mengajar khususnya di bidang ilmu terkait. Sudah banyak sekali buku-buku
serupa yang beredar, namun keunggulan buku ini adalah lebih simple, mudah dimengerti dan
mudah untuk diterapkan serta tidak mengesampingkan kaidah ilmu terkini (evidence-based
medicine) di bidang Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif.
Terdapat tiga unsur penting dalam pendidikan di Fakultas Kedokteran UNUD antara
lain kognitif (ilmu pengetahuan), afektif (etika-sopan santun), dan psikomotor (keterampilan
klinis). Ketiga hal ini merupakan komponen yang tidak bisa terlepas dan terkait satu dengan
yang lain yang harus tercapai oleh peserta didik pada masa pendidikannya. Buku ini adalah
untuk menunjang unsur kognitif dan terkait erat dengan psikomotor dari peserta didik.
Saya menyambut gembira Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif di Program
Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUD yang dapat dipergunakan sebagai
pegangan para peserta didik baik PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif maupun PPDS
program study yang terkait dengan keilmuan anestesi dan terapi intensif, mahasiswa Program
Profesi Dokter, dokter umum, dan paramedis, untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
sesuai amanah kurikulum dan tujuan keilmuan yang ingin dicapai.
Terimakasih kepada seluruh anggota tim penyusun buku ini yang sangat bermanfaat
bagi kita semua. Teriring dengan doa semoga kita semua dilimpahkan kesehatan dan dapat
tetap mengabdi untuk kepentingan pendidikan.

Denpasar, 3 Agustus 2020


Dekan FK UNUD

Prof. Dr. dr. I Ketut Suyasa, SpB, SpOT(K)Spine


KATA PENGANTAR

Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif ini disusun berisikan materi pilihan yang
dipakai sebagai pegangan praktis dalam proses belajar mengajar Ilmu Anestesi dan Terapi
Intensif baik dalam kompetensi kognitif maupun psikomotor untuk peserta didik PPDS Ilmu
Anestesi dan Terapi Intensif, Program Pendidikan Profesi Dokter FK UNUD, maupun untuk
paramedis yang berminat menekuni Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif. Buku Ajar ini adalah
buku pertama dari rangkaian buku ajar di Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif.
Uraian dalam Buku Ajar ini cukup sederhana dan jelas mencakup hampir semua tindakan
praktis penerapan ilmu anestesi dan terapi intensif sehingga dapat dengan mudah dipahami
oleh semua pihak yang berminat untuk mendalaminya.
Bagi peserta didik PPDS Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, tentunya buku ini tidak
bisa dianggap sebagai satu-satunya sumber bacaan, sehingga mereka harus melengkapinya
dengan bacaan-bacaan buku teks yang dianjurkan untuk meningkatkan taraf kompetensi
kognitifnya. Bagi mahasiswa Program Pendidikan Profesi Dokter, buku ini sudah cukup
memadai untuk memahami dan mengenal ilmu dasar Anestesi dan Terapi Intensif beserta
cabang ilmu lain yang termasuk di dalamnya. Bagi paramedis, buku ini sangat membantu
untuk menambah pengetahuannya dalam keikutsertaannya sebagai mitra kerja dalam praktik
Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada seluruh staf dan
karyawan Departemen Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif (khususnya Nyoman Ariawan, Ni
Ketut Santi Diliani, SH., Ketut Adi Purnata, S.Kom., dan Triyanto, S.Kom.), residen,
mahasiswa, dan paramedis, atas dukungannya sehingga Buku Ajar ini dapat diselesaikan.
Ibarat tidak ada gading yang tidak retak, maka segala kritik, saran, dan masukan yang
konstruktif untuk menyempurnakan buku ini kami akan terima dengan tangan terbuka. Besar
harapan kami buku ini bisa bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Tjokorda Gde Agung Senapathi


&
I Made Gede Widnyana
BAB I
SELAYANG PANDANG TENTANG ILMU ANESTESI

Made Wiryana, Tjokorda Gde Agung Senapathi, I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa

PENGERTIAN
Anestesi berasal dari bahasa Yunani Kuno, an- yang berarti tidak, dan aestesia yang berarti sensasi
atau rasa. Maka ilmu anestesi (anestesiologi) adalah ilmu yang mempelajari tata laksana untuk
menghilangkan berbagai sensasi (utamanya nyeri dan cemas), sehingga pasien dapat merasa
nyaman.

RUANG LINGKUP
Menurut Permenkes No 519/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi
dan Terapi Intensif di Rumah Sakit, maka pelayanan anestesi di Indonesia mencakup:
1. Memberikan pelayanan anestesia, analgesia dan sedasi yang aman, efektif,
berperikemanusiaan dan memuaskan bagi pasien yang menjalani pembedahan, prosedur
medis atau trauma yang menyebabkan rasa nyeri, kecemasan dan stres psikis lain.
2. Menunjang fungsi vital tubuh terutama jalan napas, pernapasan, peredaran darah dan
kesadaran pasien yang mengalami gangguan atau ancaman nyawa karena menjalani
pembedahan, prosedur medis, trauma atau penyakit lain.
3. Melakukan terapi intensif dan resusitasi jantung, paru, otak (bantuan hidup dasar, lanjutan
dan jangka panjang) pada kegawatan mengancam nyawa dimanapun pasien berada (ruang
gawat darurat, kamar bedah, ruang pulih, ruang terapi intensif/ICU).
4. Menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, asam basa dan metabolisme tubuh pasien yang
mengalami gangguan atau ancaman nyawa karena menjalani pembedahan, prosedur medis,
trauma atau penyakit lain.
5. Menanggulangi masalah nyeri akut di rumah sakit (nyeri akibat pembedahan, trauma,
maupun nyeri persalinan).
6. Menanggulangi masalah nyeri kronik dan nyeri membandel (nyeri kanker dan penyakit
kronis).
7. Memberikan bantuan terapi inhalasi.
Dari hal-hal tersebut di atas, ruang lingkup seorang ahli anestesi mencakup empat hal utama:
kedokteran perioperatif, kedokteran gawat darurat, kedokteran perawatan intensif, dan menajemen
nyeri.

Kedokteran Perioperatif
Kedokteran perioperatif adalah sebuah cabang ilmu kedokteran multidisiplin yang
terdiri dari berbagai bidang spesialis yang mampu mengidentifikasi dan melakukan
intervensi pada pasien dari efek buruk tindakan pembedahan secara efektif.1 Kedokteran
perioperatif digunakan tidak saja sebelum, namun juga selama dan setelah operasi. Seorang
ahli anestesi, dengan riwayat pendidikan, keterampilan, dan pengalamannya, merupakan
pilihan terbaik untuk memimpin bidang ini.2
Tidak ada pasien yang sudah dijadwalkan untuk pembedahan elektif merasa senang
atau bersemangat dalam menyambut operasinya. Saat seperti inilah kunjungan pra anestesi
dapat memberikan manfaat dalam kedokteran perioperatif, dimana seorang ahli anestesi
dapat memberikan konseling dan informasi yang dapat memberikan rasa aman bagi pasien
(cognitive behavior therapy/CBT). Tentu saja CBT tidaklah selalu dapat memberikan rasa
aman dan nyaman, terlebih dengan kewajiban kita untuk selalu menginformasikan risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi selama pembedahan. Saat inilah obat-obat anti ansietas
dapat berguna untuk memberikan rasa tenang kepada pasien.
Kedokteran perioperatif tidak saja berkutat seputar kunjungan pra anestesi, namun
juga bagaimana seorang ahli anestesi dapat menjaga stabilitas hemodinamik pasien
sepanjang operasi. Pada lebih dari 90% kasus, hal ini dapat merupakan sebuah tugas yang
mudah. Namun selalu ada suatu porsi dari populasi yang membutuhkan sebuah intervensi
yang jitu dari seorang ahli anestesi dalam menjaga stabilitas hemodinamik. Pada pasien yang
termasuk kelompok tersebut, tidak saja jenis obat yang tepat, bahkan dosis obat yang tepat
dapat menjadi suatu pembeda antara hidup dan mati.
Pada hampir semua pasien yang akan dioperasi, ketika ditanya mengapa mereka takut
dioperasi, mereka menjawab karena ketakutan akan merasakan nyeri setelah dioperasi.
Seorang ahli anestesi bertanggung jawab untuk menangani nyeri pada periode paska operasi.
Sebagian besar pasien paska bedah membutuhkan terapi opioid untuk meredakan nyeri.
Sebagian lagi membutuhkan terapi injeksi dengan analgetik intravena. Sisanya mungkin
hanya membutuhkan terapi analgetik oral. Adalah tugas seorang ahli anestesi untuk meracik
dan menggabungkan obat yang tepat untuk memberikan rasa nyaman kepada pasien,
sehingga pembedahan tersebut tidak menjadi sebuah pengalaman yang buruk dan traumatik
bagi pasien secara psikologis.

Kedokteran gawat darurat


Kedokteran gawat darurat adalah suatu cabang ilmu kedokteran yang berkaitan dengan
suatu penyakit atau kejadian cedera yang membutuhkan penanganan medis yang cepat dan
tepat. Kasus kegawatdaruratan tidak mengenal usia, waktu, dan tempat. Sebagai seorang
yang ahli di bidang kedaruratan, seorang ahmi anestesi mampu untuk memulai resusitasi dan
stabilisasi, dan memulai pemeriksaan serta melakukan intervensi untuk mendiagnosis dan
mengobati penyakit atau keadaan tersebut pada fase akut.
Wilayan kerja cabang ilmu kedokteran gawat darurat mencakup kedokteran bencana,
toksikologi, ultrasonografi, kedokteran perawatan kritis, kedokteran hiperbarik, kedokteran
olahraga, perawatan paliatif, dan kedokteran bertekanan tinggi (di bawah laut dan luar
angkasa).
Pada setiap kegawatan yang mengancam nyawa, dokter diberikan suatu hak khusus
yang tidak didapatkan pada cabang ilmu lain, yakni hak untuk mendapatkan informed
consent setelah melakukan tindakan life-saving. Walaupun demikian, pada kenyataannya,
hal ini sangat jarang didapatkan di rumah sakit. Harus diingat bahwa dalam menangani
pasien di rumah sakit, kita selalu bekerja sama secara tim dalam menangani kasus gawat
darurat. Oleh karenanya tindakan life-saving tetap dapat dilakukan dengan tidak mengurangi
makna atau kekuatan hukum yang didapat dari informed consent. Jadi kedua hal tersebut
sering kali dapat dilakukan secara simultan di rumah sakit. Tentu saja dalam kondisi bencana
atau di luar rumah sakit, keadaannya akan berbeda.
Bagi dokter yang tidak berkutat dalam bidang kegawatdaruratan, banyak yang
berpikir bahwa hal yang paling sulit dalam kegawatan itu adalah menangani trauma multipel
yang mengancam nyawa. Namun bagi orang yang memahami kedokteran kegawatdaruratan,
hal tersebut bukanlah hal yang sulit. Mereka dilatih untuk itu dan tahu bagaimana menangani
pasien yang kritis. Yang tersulit dalam menangani kedaruratan adalah adanya ekspektasi,
baik dari pasien maupun keluarganya, yang tidak realistis.
Kedokteran perawatan intensif
Pasien yang membutuhkan perawatan intensif misalnya syok, ketidakstabilan
kardiovaskular, sepsis, dan aritmia jantung yang berpotensi mematikan. Penyebab lain
termasuk gangguan saluran napas atau pernapasan, gagal ginjal akut, atau efek kumulatif
dari kegagalan organ multipel yang lebih umum sekarang disebut sebagai sindrom disfungsi
organ multipel. Pasien yang memerlukan pemantauan intensif, baik invasif maupun non-
invasif, misalnya paska pembedahan mayor juga sebaiknya dipantau secara intensif.
Manajemen ruang perawatan intensif berbeda di setiap negara. Pada ruang intensif
dengan sistem manajemen tertutup, spesialis anestesi dan terapi intensif mengambil peran
sebagai pemimpin dalam penanganan pasien. Beberapa negara memilih untuk menjalankan
ruang intensifnya secara terbuka, di mana pemimpin perawatan pasiennya tidak selalu
seorang intensivist.
Saat ini sudah banyak bukti kuat dari penelitian-penelitian bahwa unit perawatan
intensif yang dikelola secara tertutup yang dipimpin oleh seorang intensivist memberikan
hasil yang lebih baik bagi pasien. Di Indonesia, kebanyakan ruang intensif menggunakan
manajemen semi-tertutup, dimana semua dokter yang merawat pasien berhak untuk
memberikan usulan terapi, namun keputusan akhir apakah terapi diberikan atau tidak berada
di tangan ahli anestesi dan terapi intensif.

Manajemen nyeri
Nyeri akut paskabedah biasanya lebih mudah ditangani dan nyeri akan berkurang
seiring dengan berkurangnya reaksi inflamasi akibat trauma pembedahan dan anestesi.
Namun nyeri kronis lebih sulit ditangani dan terkadang hasilnya tidak memuaskan. Seorang
ahli anestesi, yang karena kemampuan dan pengalamannya dalam “bermain’ dengan
berbagai dosis opioid, dapat memberikan sesuatu yang tidak didapatkan dari bidang keahlian
lain.
Tentu saja dalam beberapa dekade terakhir, cabang ilmu ini mengalami kemajuan yang
sangat cepat. Selain terapi medikamentosa, berbagai penelitian telah menemukan bahwa
CBT, terapi musik, terapi dengan distraksi, radiofrequency, dan berbagai invasif dapat
mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien.
SEJARAH SINGKAT ANESTESIOLOGI
Dari semua tonggak dan pencapaian dalam dunia kedokteran, menaklukkan rasa sakit
adalah salah satu dari sedikit penemuan yang humanis di dunia. Hal itu dimulai pada tahun 1846
dimana salah satu ketakutan terbesar umat manusia saat itu, nyeri saat dioperasi, dihilangkan.
William TG Morton (1819–1868), seorang dokter gigi muda di Boston, sedang mencari
agen anestesi yang lebih baik daripada N2O. Dengan keuletannya, Morton dan seorang ahli bedah
terkenal di Massachusetts General Hospital, John Collins Warren (1778–1856), membuat sejarah
pada 16 Oktober 1846 dengan melakukan prosedur bedah pertama yang berhasil dilakukan dengan
anestesi. Morton menunjukkan kepada dunia bahwa eter adalah gas, yang bila dihirup dalam dosis
yang tepat, memberikan anestesi yang aman dan efektif.3 Pencapaian Morton ini disebut sebagai
the most humane discovery in mankind, atau penemuan paling manusiawi dalam sejarah umat
manusia.
Demonstrasi ini mengubah praktik kedokteran. Berita mengenai keberhasilan Morton
menyebar dengan cepat di dunia kedokteran. Dua bulan kemudian, Francis Boott dan James
Robinson berhasil melakukan pencabutan gigi menggunakan eter. Kemudian dua hari setelahnya,
Robert Liston melakukan amputasi dengan eter. Pencapaian mereka ditulis pada bulan Januari di
tahun berikutnya di London Illustrated News.4
Salah satu orang pertama yang menggunakan pipa endotrakeal adalah seorang dokter anak,
Joseph O'Dwyer (1841-1898). Dia menggunakan tabung logam O'Dwyer dalam kotak difteri dan
memasukkannya tanpa penuntun ke dalam trakea. Penggunaan cuff pada pipa endotrakeal
dipopulerkan oleh Arthur Guedel (1883–1956) dan Ralph M. Waters (1883–1979) pada tahun
1932. Temuan ini memberi kemampuan bagi dokter untuk memberikan ventilasi tekanan positif.
Ahli anestesi Chevalier Jackson (1865–1958) mempromosikan laringoskop genggamnya
untuk pemasangan tabung endotrakeal dan popularitasnya dengan cepat menarik perhatian. Teknik
terobosan laringoskopi langsung Sir Robert Reynolds Macintosh (1897–1989) muncul setelah ia
diangkat menjadi profesor anestesi di Universitas Oxford pada tahun 1937. Ia adalah orang
pertama yang menggambarkan penempatan ujung laryngoscope di epiglotis yang melekat pada
pangkal lidah, dimana posisi itu akan membuka laring secara optimal.
Penggunaan barbiturat sebagai anestesi intravena dimulai pada tahun 1932. Sodium
thiopental mulai populer setelah penggunaannya dijelaskan secara rinci oleh John Lundy (1894–
1973) dari Mayo Clinic. Berbagai obat intravena lainnya telah dicoba selama puluhan tahun, tetapi
obat induksi terbaru yang bernama propofol mampu memberikan periode pemulihan yang jauh
lebih singkat dan menekan refleks laring telah membawa banyak manfaat. Diperkenalkan secara
klinis pada tahun 1977, propofol menunjukkan banyak efek positif, tidak saja sebagai agen anestesi
namun juga sebagai obat anti-emetik.
Sebelum bulan Oktober 1846, operasi dan rasa sakit adalah sama tetapi tidak sesudahnya.
Ketika kita kini memasuki era informasi di mana infrastruktur kedokteran yang berbasis bukti,
dimana genetika, transplantasi, dan bahkan sel induk menjadi begitu cepat dapat diintegrasikan ke
dalam dunia kedokteran, sangatlah mungkin kita dapat memprediksi masa depan yang sangat baik
bagi kemajuan dunia anestesi.

PERSEPSI MASYARAKAT UMUM TENTANG AHLI ANESTESI


Anestesiologi adalah salah satu dari sedikit spesialisasi medis yang kurang dipahami oleh anggota
masyarakat dan oleh para profesional kesehatan lainnya. Banyak pasien tidak menyadari bahwa
ahli anestesi adalah seorang dokter atau mereka juga memiliki tanggung jawab di luar ruang
operasi.
Dalam penelitian di Swiss dan Austria, 93–99% pasien tahu bahwa ahli anestesi adalah
dokter.5 Selain itu, mereka juga menyadari bahwa seorang ahli anestesi terlibat dalam kegiatan di
luar ruang operasi. Namun, dalam studi yang dilakukan di Singapura, Pakistan, dan India, hanya
56-66% pasien yang menyadari bahwa ahli anestesi adalah seorang dokter, dan sebagian besar
pasien memiliki pengetahuan yang sangat terbatas tentang peran ahli anestesi di kamar operasi.6
Berbeda dengan temuan ini, sebuah studi Finlandia melaporkan bahwa ahli anestesi
umumnya diakui sebagai dokter spesialis dan dihargai tinggi. Di Inggris, perkumpulan-
perkumpulan yang terdiri atas ahli anestesi memprakarsai National Anaesthesia Day pada tanggal
25 Maret 2000, dalam upaya untuk meningkatkan profil ahli anestesi. Hal seperti ini dapat
meningkatkan kesadaran dan persepsi publik tentang ahli anestesi dan mengenai fungsi penting
mereka sebagai bagian dari upaya pelayanan kesehatan yang komprehensif.
Di Indonesia, belum ada penelitian yang menjelaskan persepsi publik tentang
anestesiologi. Sebagian besar masyarakat Indonesia kemungkinan hanya mengenal seorang ahli
anestesi sebagai seseorang yang melakukan pembiusan ketika pasien akan menjalani operasi.
Tidak jarang mereka akan mengkerutkan muka atau bertanya-tanya ketika mereka kedatangan
seorang ahli anestesi di luar kamar operasi. Kita bisa dengan aman mengasumsikan bahwa
masyarakat tidak mengetahui bahwa seorang dokter anestesi juga memberikan pelayanan di ruang
perawatan intensif, manajemen nyeri akut dan kronis, dan kegawatdaruratan. Tanpa adanya usaha-
usaha untuk meningkatkan profil seorang ahli anestesia di Indonesia, kita tidak bisa mengharapkan
adanya perubahan pada persepsi masyarakat ini. Kita bisa dengan mudah berargumen mengenai
kurangnya tingkat pendidikan di masyarakat Indonesia secara umum apabila dibandingkan dengan
Inggris atau Finlandia, tetapi kita tidak bisa beranggapan bahwa ahli anestesi di Indonesia juga
turut berperan serta membatasi pengetahuan masyarakat mengenai anestesi itu sendiri.
Mungkin sebuah usaha bersama di berbagai kota mungkin bisa dilakukan pada World
Anesthesia Day yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober (di tanggal dimana dunia pertama kali
menyaksikan keberhasilan eter dalam memberikan anestesia pada tahun 1946). Berbagai opsi bisa
dilakukan, misalnya berbagai bentuk edukasi kepada masyarakat ataupun pelayanan kesehatan
yang berhubungan dengan ilmu anestesi. Tentunya, usaha ini sebaiknya dilakukan secara masif di
berbagai kota di Indonesia, utamanya kota-kota yang memiliki pusat pendidikan anestesiologi.
Dengan dilakukannya promosi kepada masyarakat secara berkesinambungan, kita bisa saja
melihat sebuah bentuk perbaikan dalam persepsi masyarakat terhadap anestesi. Jangan pula
terkejut apabila hal ini berefek di masa depan dimana ekspektasi masyarakat terhadap seorang ahli
anestesi meningkat. Dan apabila ini terjadi, sudah siapkah kita?

MASA DEPAN ILMU ANESTESI


Akan ada pilihan sulit yang dihadapi oleh ahli anestesi di masa depan. Obat-obatan baru dan alat
pemantauan yang semakin canggih akan memfasilitasi anestesi yang lebih aman. Teknologi masa
depan akan sangat mungkin mengaplikasikan praktek anestesi jarak jauh. Ahli anestesi harus
memutuskan apakah akan mempertahankan area kerja mereka saat ini, atau terus mengembangkan
diri sesuai dengan perkembangan kondisi di masa depan.
Ilmu anestesiologi juga akan menghadapi banyak tantangan di tahun-tahun mendatang.
Ilmu kedokteran perioperatif bisa menjadi peluang terbaik bagi seorang ahli anestesi untuk
bertahan dan berkembang. Perluasan layanan anestesiologi ke dalam domain kedokteran
nonoperatif mungkin juga akan mendapat tantangan dari bidang spesialisasi lainnya. Sampai
sejauh ini, anestesiologi telah berkembang dari ilmu kedokteran intraoperatif ke area pencegahan
nyeri, kedokteran untuk penyakit kritis, resusitasi kardiopulmoner, dan kedokteran perioperatif.
Dan mungkin hanya waktu yang akan bisa menjawab ke arah mana perkembangan anestesiologi
di masa depan.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kemajuan telah terjadi dalam ilmu dasar
anestesiologi, seperti manajemen nyeri secara multimodal, pemahaman yang lebih dalam
mengenai fisiologi reseptor di dalam sel, farmakologi obat-obat anestesi, dan respon terhadap
sepsis di tingkat seluler. Untuk membuat anestesiologi terus berkembang sebagai sebuah cabang
ilmu, sangatlah penting melakukan penelitian-penelitian original yang nantinya akan memberi
wawasan baru bagi cabang ilmu ini. Tanpa adanya kemajuan dan perkembangan intelektual,
anestesiologi akan berada dalam bahaya menjadi suatu disiplin ilmu teknis yang statis. Apalagi
jika dibarengi dengan fakta bahwa cabang ilmu kedokteran lainnya terus berkembang dan
memperluas cakupan layanannya.
Departemen Anestesiologi di universitas-universitas terkemuka di Indonesia harus
menyadari betapa pentingnya untuk mengirim stafnya ke luar, baik untuk tujuan akademik,
maupun berkolaborasi dengan peneliti-peneliti yang bertaraf internasional. Dengan melakukan itu,
kita bisa saja akan melihat anestesiologi dari sebuah perspektif yang sangat berbeda dari apa yang
kita lihat sekarang. Menyerah terhadap tuntutan untuk berkembang ini akan mengancam kemajuan
ilmu ini dan masa depan penelitian dan pendidikan anestesi.
Kesiapsiagaan dalam menghadapi perubahan di masa depan adalah elemen penting dari
pendidikan dan perkembangan semua cabang ilmu kedokteran, tidak terkecuali ilmu anestesi.
Pergeseran paradigma di masa depan mungkin terdengar menakutkan bagi kita, dimana akan selalu
ada peluang bagi seorang ahli anestesi saat ini untuk menjalani pendidikan atau pelatihan sebuah
hal yang baru, atau sekedar memahami sebuah konsep pola pikir baru. Namun, jika berhasil
diterapkan, hal tersebut akan memperkuat posisi ahli anestesi sebagai seseorang yang dihormati
oleh cabang ilmu lain dan dapat melaksanakan pelayanan perioperatif, nyeri, penyakit kritis, dan
kegawatdaruratan, dalam suatu lanskap kedokteran modern yang berubah dengan cepat.
Referensi
1. Grocott MPW, Pearse RM. Perioperative medicine: The future of anaesthesia? Br J Anaesth.
2012;108(5):723- 726. doi:10.1093/bja/aes124
2. Hamilton M, Mythen MG. Welcome to Perioperative Medicine. Perioper Med. 2012.
doi:10.1186/2047-0525- 1-1
3. Robinson DH, Toledo AH. Historical development of modern anesthesia. J Investig Surg. 2012.
doi:10.3109/08941939.2012.690328
4. Whalen FX, Bacon DR, Smith HM. Inhaled anesthetics: An historical overview. Best Pract Res Clin
Anaesthesiol. 2005. doi:10.1016/j.bpa.2005.02.001
5. Kindler C, Harms C, Alber C. The patients’ perception of the anaesthetist in a Swiss university
hospital. Anaesthesist. 2002;51(11):890-896. doi:10.1007/s00101-002-0382-x
6. Khan F, Hassan S, Zaidi A. Patients view of the anaesthetist in a developing country. J Pak Med
Assoc. 1999;49(1):4-7.
BAB II
ALAT YANG DIGUNAKAN PADA ANESTESIA

Tjokorda Gde Agung Senapathi, I Gusti Agung Gede Utara Hartawan

Tindakan anestesia yang aman tidak bisa lepas dari kelengkapan alat-alat anestesia dan alat pantau
yang baik. Peralatan yang baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi alat yang baik selalu
dapat diandalkan dan dapat berfungsi sesuai dengan tujuannya. Inilah sebabnya mengapa
pengetahuan peralatan secara umum harus diketahui oleh semua orang yang akan melakukan
tindakan anestesia.
Alat-alat anestesia sangat bervariasi, mulai dari alat-alat yang paling sederhana, misalnya
alat anestesia inhalasi eter, sampai alat canggih yang dilengkapi dengan pemberian ventilasi
mekanik, serta alat-alat pemantauan fungsi organ yang diatur dengan komputer. Perlu diperhatikan
bahwa kesalahan atau kerusakan pada alat anestesia bisa saja terjadi. Oleh karena itu pengetahuan
tentang farmakologi klinik obat-obat anestesia yang dipakai harus dipahami dengan baik.

ALAT ANESTESIA INHALASI KLASIK


Beberapa alat anestesia inhalasi yang sering digunakan di masa lalu adalah:
1. Sistem tetes terbuka (open drop system).
Sistem tetes terbuka mempergunakan sungkup muka
yang dibuat dari rangka kawat yang dibalut dengan kain
kasa. Obat anestesia yang biasa digunakan adalah eter,
diberikan dengan cara meneteskannya pada permukaan
luar sungkup muka tersebut. Proses penguapan akan
berlangsung melalui bantuan udara kamar sehingga di
dalam sungkup, eter akan berubah menjadi uap dan
selanjutnya akan dihirup oleh pasien. Cara ini dapat
diberikan tanpa O2.
2. Trilene inhaler
Trilene inhaler terdiri dari alat penguap khusus untuk
trilene dan sungkup muka tanpa sirkuit nafas. Diciptakan
pada tahun 1947 oleh Trilite Ltd. (Inggris), alat ini
berupa sebuah batang logam yang diisi dengan
trichloroethylene. Biasanya pada ujungnya
disambungkan dengan sebuah sungkup muka dan pasien
diminta untuk menghirupnya apabila merasakan nyeri.

3. Sistem EMO
Sistem EMO (Epstein-MacIntosh-Oxford) yang terdiri
dari alat penguap berupa EMO inhaler, kantong
penampung udara, dan pipa aliran nafas yang dilengkapi
dengan katup searah serta sungkup muka.

MESIN ANESTESIA MODERN


Mesin anestesia yang populer digunakan pada saat ini terdiri dari 3 komponen yang saling
berhubungan, yaitu komponen sistem aliran gas segar, komponen sistem aliran udara respirasi, dan
komponen penghubung.
1. Komponen Sistem Aliran Gas Segar.
Komponen ini terdiri dari sumber gas, susunan perpipaan dari tempat masukan gas (inlet),
yang dilengkapi dengan petunjuk aliran gas (flowmeter), satu atau dua buah alat penguap
(vaporizer), dan diakhiri dengan tempat keluaran (outlet).
1.1 Sumber gas anestesia
Sumber gas yang dialirkan kedalam mesin anestesia bisa berasal dari tabung gas yang
merupakan satu kesatuan dengan mesin anestesia. Atau bisa berasal dari sistem aliran
gas sentral yang ada di Rumah Sakit yang terdiri dari beberapa tabung dan beberapa
jenis gas misalnya N2O, oksigen, udara dan CO2. Gas tersimpan dalam tabung-tabung
khusus bertekanan tinggi bisa dalam bentuk gas, misalnya oksigen murni dan udara
atau dalam bentuk cair misalnya N2O dan CO2. Masing-masing tabung gas dilengkapi
dengan alat pengatur tekanan (pressure regulator) yang berfungsi untuk menurunkan
tekanan gas dalam tabung. Mesin anestesia diatur sedemikan rupa oleh pembuatnya,
bekerja pada tekanan 60-50 PSI (pound per square-inch) atau 3-4 Atm. Sebelum
membuka tabung gas, yakinkanlah bahwa regulator sudah benarbenar terpasang dan
sudah dihubungkan dengan pipa aliran gas atau flowmeter.
1.2 Alat penunjuk aliran gas (flowmeter)
Alat ini berbentuk tabung gelas yang berskala dalam satuan liter/menit atau ml/menit,
dan di dalamnya terdapat indikator pengukur yang umumnya berbentuk bola atau
rotameter. Flowmeter masing-masing gas dibuat dengan ciri-ciri yang khas yang
berbeda antara gas yang satu dengan gas yang lainnya. Flowmeter dapat dibuka dengan
cara memutar tombol pemutar kearah berlawanan dengan arah jarum jam. Apabila
indikator yang dipakai berbentuk bola, maka flowmeter dibaca setinggi bagian tengah
bola dan apabila memakai rotameter, dibaca seti nggi bagian atas rotameter.
Gas anestesia dan oksigen yang telah keluar melewati meter aliran, selanjutnya akan
bercampur pada satu pipa aliran menuju alat penguap zat anestesia cair. Melalui
mekanisme tertentu yang ada pada masing-masing alat penguap, campuran gas ini
berperan aktif untuk menguapkan zat anestesia cair yang berada di dalam alat pengaup,
selanjutnya campuran gas dan uap anestesia ini siap digunakan untuk tujuan
pembiusan.
1.3. Alat penguap (vaporizer)
Vaporizer adalah salah satu komponen dari mesin anestesia berfungsi untuk
menguapkan zat anestesia cair yang mudah menguap. Alat ini dilengkapi dengan
angka penunjuk (dial) yang berfungsi untuk mengatur besar kecil konsentrasi zat
anestesia yang keluar. Alat penguap ini ada yang terbuat dari gelas (Goldman dan
Boyle) atau logam (Fluotec Mark II dan III, EMO, dan Copper Kettle).
Prinsip kerja alat-alat penguap obat anestesia inhalasi ini berdasarkan pada sifat-sifat
fisik zat cair dan penguapannya, yaitu dilakukan dengan cara:
a. Memperluas permukaan penguapan dengan menggunakan sumbu, membuat
aliran berkelok-kelok, atau dengan memberikan gelembung-gelembung gas
melalui zat anestesia.
b. Mengatur pintu aliran gas dengan cara memutar dial alat penguap sehingga kadar
zat anestesia yang keluar sesuai dengan pembukaan “pintu” aliran gas yang masuk
melalui kedalam ruang penguapan. Pada dial posisi “off” maka pintu aliran gas yang
melalui ruang penguapan akan tertu tup. Disamping itu kadar uap yang keluar juga
dipengaruhi oleh kecepatan aliran gas.
c. Mempertahankan suhu ruang penguapan dengan fasilitas khusus pada alat penguap,
seperti misalnya mempergunakan bahan tembaga sebagai bahan dari alat penguap
atau dengan memberi pelindung air (water jacket) sebagai isolator sehingga suhu
tak banyak berubah. Contoh klasik dari cara kerja seperti ini adalah EMO.

2. Komponen Sistem Aliran Udara Respirasi


Campuran gas dan uap anestesia yang lazim disebut dengan aliran gas segar (fresh gas
flow/FGF), dan disalurkan menuju sistem aliran udara respirasi yang merupakan komponen
penting dalam mesin anestesia. Dalam anestesia modern ada empat macam sistem aliran
udara respirasi yang biasa digunakan, yaitu:
2.1. Sistem sirkuit, adalah sistem aliran udara nafas yang merupakan lingkaran yang
terdiri dari dua pipa plastik yang ujungnya dihubungkan dengan pipa Y dan
pangkalnya masing-masing dihubungkan dengan katup inspirasi dan katup ekspirasi.
Selanjutnya katup-katup tersebut dihubungkan dengan kanister (tempat kapur
penyerap gas CO2) dan kantong penampung udara. Bahan penyerap CO2 yang
digunakan adalah kapur soda atau baralyme. Pada soda lime, perubahan warna yang
terjadi adalah putih menjadi biru, sedangkan pada baralyme, perubahan warna yang
terjadi adalah merah muda menjadi putih.
2.2. Sistem Magill, adalah sistem aliran udara respirasi satu arah yang terdiri dari 1 (satu)
pipa karet/plastik dilengkapi dengan satu katup ekspirasi dan kantong penampung
udara. Inlet FGF bisa ditempatkan pada pangkal pipa atau di antara katup ekspirasi
dengan ujung pipa yang menghubungkannya dengan pasien. Dalam praktek anestesia,
pemakaian alat ini memerlukan aliran gas segar lebih banyak dari volume semenit
pasien, untuk mencegah aliran balik udara ekspirasi kedalam udara inspirasi. Akibat
pemakaian aliran gas yang besar, sebagian gas/uap anestesia terbuang ke udara kamar,
menyebabkan pencemaran kamar operasi. Pada decade terakhir ini, sistem Magill
jarang digunakan dalam praktek anestesia.
2.3. Sistem To and Fro, adalah sistem aliran udara respirasi satu arah, terdiri dari satu
kanister dilengkapi dengan katup ekspirasi pada bagian ujungnya dan kantong
penampung udara pada bagian pangkalnya. Inlet FGF ditempatkan pada bagian
proksimal dari katup ekspirasi. Alat ini tidak dilengkapi dengan pipa nafas. Dalam
praktek anestesia, alat ini termasuk dalam sistem rebreathing dan dewas ini sudah
sangat jarang digunakan dalam praktek anestesia.
2.4. Sirkuit nafas untuk bayi/anak (Jackson-Rees), yaitu alat anestesia yang
digunakan khusus untuk bayi/anak adalah pipa yang berbentuk huruf T. Salah satu
tangan dari pipa T menjadi katup ekspirasi, dan tangan yang satu lagi dihubungkan
dengan pipa korugated karet/plastik yang ujungnya berakhir dengan kantong
penampung aliran gas. Kaki dari pipa T menjadi konektor antara alat dengan pasien.
Keistimewaan dari alat ini adala: sederhana, ringan, tahanan jalan nafas minimal,
memerlukan FGF besar (2-3 kali volume semenit) dan hanya digunakan untuk
bayi/anak yang mempunyai berat badan
<20 kg.

3. Komponen Penghubung Mesin Anestesia-Pasien


Komponen ini terdiri dari:
3.1. Konektor, alat ini menghubungkan mesin
anestesia dengan sungkup muka atau dengan
pipa endotrakeal yang dipasang ke dalam
trakea pasien.
3.2. Sungkup muka, adalah alat yang menyungkup
muka pasien khusus pada daerah mulut dan
hidung. Mempunyai ukuran sesuai dengan
kelompok usia pasien dan bentuk yang hampir
sama, yaitu segitiga dengan variasi tertentu
sesuai dengan produsennya. Khusus untuk
bayi dan anak ada yang berbentuk bulat dan
transparan dengan ukuran tersendiri
disesuaikan
dengan besarnya area mulut-hidung.
3.3 Pipa endotrakea, adalah pipa yang dipasang ke
dalam trakea melalui mulut atau hidung.
Pemasangannya dibantu dengan laringoskop
(alat untuk melihat laring). Pipa ini dibuat dari
karet atau plastik yang hanya boleh digunakan
sekali saja, dan mempunyai ukuran yang
berbeda sesuai dengan kelompok umum.
Umunya ukuran dipilih berdasarkan rumus: 4
+ (usia dalam tahun/4).

ALAT BANTU UNTUK MEMBERIKAN SUPLEMENTASI OKSIGEN


1. Kanula nasal
Kanula nasal (nasal cannula) adalah alat yang
digunakan untuk memberikan oksigen
tambahan pada pasien yang membutuhkan
bantuan pernapasan. Perangkat ini terdiri dari
tabung ringan yang pada ujung proksimal
yang terbelah menjadi dua cabang yang
ditempatkan di masing-masing lubang hidung
untuk memberikan aliran oksigen. Pada
suplementasi oksigen dengan kecepatan 1 liter
per menit (LPM), fraksi oksigen yang
dikirimkan adalag 24%. Fraksi ini meningkat
4% pada setiap peningkatan 1 LPM, sehingga
pada 5 LPM kanula nasal mampu memberikan
fraksi oksigen sebesar 40%.
2. Oropharygeal airway (OPA)
OPA adalah alat yang digunakan untuk
mempertahankan atau membuka jalan napas
pasien. Fungsinya adalah untuk mencegah
lidah menutupi epiglotis, yang bisa
menyebabkan sumbatan jalan nafas.
3. Nasopharyngeal airway (NPA)
NPA berfungsi sama seperti OPA, namun alat
ini dipasang pada hidung pasien. Ujung
proksimal yang melebar dibuat untuk
mencegah agar alat ini tidak hilang di dalam
hidung pasien.

4. Face mask (FM)


Masker wajah dibuat dari bahan karet atau
silikon yang menutupi mulut dan hidung
pasien. Karena variasi dalam ukuran dan
bentuk wajah, beberapa ukuran dan bentuk
dari masker wajah yang berbeda harus selalu
tersedia. Biasanya, masker wajah dibuat dari
plastik atau karet bening yang memungkinkan
mulut dan hidung pasien terlihat sehingga
benda asing dan kondensasi dapat diamati.
5. Non-rebreather mask (NRB)
Tidak seperti kanula hidung, NRB
memungkinkan untuk memberikan fraksi
oksigen yang lebih tinggi. NRB memiliki
kantong reservoir yang terhubung ke sumber
oksigen. Sebelum NRB dipasang pada pasien,
kantung penampung dipompa menjadi lebih
dari dua pertiga penuh oksigen, dengan
kecepatan 15 LPM. Kira-kira sepertiga udara
dari reservoir akan terpakai ketika pasien
berinhalasi, dan kemudian diganti oleh aliran
dari suplai O2. Udara hembusan nafas
dialirkan keluar melalui katup satu arah yang
mencegah inhalasi kembali dari nafas yang
dihembuskan.
6. Laryngeal mask airway (LMA)
LMA adalah sebuah perangkat jalan nafas
supraglotik yang dapat digunakan sebagai
metode sementara untuk mempertahankan
jalan napas terbuka selama pemberian
anestesi. LMA juga digunakan sebagai alat
bantu darurat dalam kasus jalan nafas yang
sulit atau gagal intubasi.
7. Pipa endotrakeal (endotracheal tube/ET)
ET adalah alat fleksibel yang dapat
dimasukkan ke trakea melalui mulut atau
hidung untuk memberikan nafas artifisial
kepada pasien. Proses memasukkan ET
disebut intubasi endotrakeal. Sebagian besar
ET dewasa ini terbuat dari bahan polivinil
klorida (PVC). Sebagian besar tabung
memiliki cuff untuk menutup sisa lumen
trakea sehingga menjaga pasien dari aspirasi
isi lambung, darah, sekresi, ataupun benda
asing lainnya ke jalan nafas bawah. Bersama
dengan trakeostomi, intubasi endotrakeal
dikenal sebagai salah satu cara dalam
menyediakan patensi jalan nafas pada pasien
yang membutuhkan.

PEMANTAUAN STANDAR INTRAOPERATIF MENURUT ASA


Istilah "ASA standard monitoring" atau pemantauan standar ASA sering digunakan untuk
merujuk pada monitor dasar yang direkomendasikan oleh ASA. Pemantauan standar menurut ASA
standar terdiri dari oksimetri, elektrokardiografi, tekanan darah non-invasif, monitor suhu,
pemantauan end-tidal CO2 (EtCO2), dan pemantauan fraksi oksigen inspirasi (FiO2). Pemantauan
standar menurut rekomendasi ASA ini dianggap sebagai pemantauan minimal yang diperlukan
untuk tercapainya pemantauan perioperatif yang aman. Pemantauan ini hanya boleh dihentikan,
baik sementara atau seterusnya, apabila keberadaannya mengganggu upaya-upaya menyelamatkan
nyawa pasien atau bila terdapat dugaan alat pemantauan tidak memberikan gambaran yang
semestinya. Perlu dipahami bahwa bahkan monitor yang paling canggih pun tidak bisa
menggantikan keberadaan dokter anestesi di kamar operasi selama periode anestesi.
Selain itu, penting dipahami perbedaan antara continuous monitoring dan continual
monitoring. Continual monitoring didefinisikan sebagai pengukuran yang dilakukan secara teratur
dan periodik (misalnya, pengukuran tekanan darah otomatis noninvasif), sedangkan continuous
monitoring adalah yang pengukuran yang dilakukan secara terus menerus dan tidak terputus
(misalnya, pemantauan EKG dan oksimeteri).

Tabel 2.1 Pemantauan standar ASA


Fungsi Pemeriksaan Fisik Monitor
Oksigenasi Warna kulit dan membran mukosa Pulse oximeter, FiO2
Ventilasi Suara nafas, gerakan mengangkat pada dada Ventilator, EtCO2
Sirkulasi Kuat angkat nadi, suara auskultasi jantung EKG, tekanan darah, laju nadi
Temperatur Suhu permukaan kulit Probe suhu
Referensi
1. Lobo FA, Shander A. Modern Anesthetic Noninvasive Monitoring: A Deep Look into Perioperative
Care. Journal of Cardiothoracic and Vascular Anesthesia. 2019;33(Suppl 1):S1-S2.
2. Lenart J. Atlas of Airway Management: Techniques and Tools. Anesthesiology 2008;108(1):174-175.
3. Ahmed A, Khan FA, Ismail S. Reliability and validity of a tool to assess airway management skills in
anesthesia trainees. J Anaesthesiol Clin Pharmacol. 2016;32(3):333-338. doi:10.4103/0970-
9185.168171
4. Avva U, Lata JM, Kiel J. Airway Management. [Updated 2020 Mar 18]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470403/
BAB III
EVALUASI PRA-ANESTESIA

Christopher Ryalino, Tjokorda Gde Agung Senapathi

PENGERTIAN
Evaluasi pra-anestesia (disebut juga pemeriksaan pra-anestesia atau kunjungan pre-anestesia)
adalah serangkaian pemeriksaan medis dan penunjang yang dilakukan oleh pemberi anestesi
sebelum operasi, untuk menilai kondisi fisik pasien, masalah medis, atau penyakit yang mungkin
diderita pasien. Tujuan dari evaluasi pra-anestesia ini bukan untuk memberikan persetujuan pada
pasien dan operator bahwa pasien siap untuk menjalani operasi elektif, tetapi untuk mengevaluasi
dan, apabila diperlukan, menerapkan langkah-langkah untuk mempersiapkan pasien yang berisiko
lebih tinggi untuk dapat menjalani operasi.
Evaluasi pra-anestesia dapat mengurangi lama tinggal pasien di rumah sakit serta
meminimalkan angka penundaan atau pembatalan operasi. Seorang ahli anestesi harus memahami
risiko yang terkait dengan jenis operasi dan mengkorelasikan risiko tersebut dengan masalah medis
akut dan kronis yang diderita pasien. Evaluasi pra-anestesia yang dilakukan dengan baik akan
dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang secara signifikan meningkatkan risiko komplikasi.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan secara
terstruktur dan komprehensif, namun tetap harus efektif karena ini akan berkaitan dengan biaya.
Pasien yang tidak memiliki masalah medis mungkin membutuhkan waktu dan pemeriksaan yang
lebih singkat. Namun mereka yang memiliki komorbiditas haruslah dapat dioptimalkan untuk
dapat menjalani prosedur bedah dan anestesi dengan aman. Oleh karenanya, evaluasi pra-anestesia
tidak seharusnya dilakukan menjelang waktu operasi dimulai agar dapat lebih memberikan waktu
kepada tim dokter yang merawat untuk menerapkan langkah-langkah yang tepat untuk
mengoptimalkan kondisi pasien apabila diperlukan.
Penelitian menunjukkan bahwa komplikasi perioperatif terjadi pada 17% pasien.
Morbiditas dan mortalitas pada pembedahan umumnya terkait dengan salah satu dari tiga hal
berikut: komplikasi kardiovaskular, komplikasi pernapasan, dan infeksi.
TUJUAN EVALUASI PRA-ANESTESIA
Tujuan utama dari evaluasi pra-anestesia adalah untuk mengurangi morbiditas atau mortalitas
perioperatif dan memulihkan pasien ke kondisi yang optimal secepat mungkin. Sangat penting
bagi kita untuk menyadari bahwa risiko perioperatif bersifat multifaktorial yang terfantung dari
kondisi pra-operatif pasien, prosedur bedah yang dilakukan, dan tehnik anestesi yang diberikan.
Pada umumnya, tujuan dari evaluasi pra-anestesia ini adalah mengidentikasi pasien dan
permasalahannya, menentukan status fisik pasien, mengetahui jenis operasi, memilih tehnik
anestesi yang paling aman bagi pasien, mengidentifikasi kemungkinan penyulit yang muncul, dan
mendapatkan persetujuan pasien untuk menerima prosedur anestesia (informed consent).

PEMILIHAN WAKTU DALAM MELAKUKAN EVALUASI PRA-ANESTESI


Sampai saat ini tidak ada publikasi penelitian yang membahas waktu evaluasi pra-anestesia yang
paling ideal. Menurut American Society of Anesthesiologists (ASA), terdapat tiga opsi dalam
menentukan waktu evaluasi pra-anestesia: (1) sebelum hari operasi, (2) baik pada atau sebelum
hari operasi, dan (3) pada hari operasi. ASA menyatakan bahwa untuk prosedur bedah yang
kompleks, evaluasi pra-anestesi harus dilakukan sebelum hari operasi oleh seorang ahli anestesi.
Sedangkan untuk prosedur bedah yang sederhana, penilaian pra-anestesia dapat dilakukan pada
hari operasi.
Tabel 3.1. Waktu yang dipilih untuk melakukan evaluasi pra-anestesia1
Prosedur kompleks Prosedur sedang Prosedur sederhana
Tingkat kesulitan prosedur
Konsultan Anggota ASA Konsultan Anggota ASA Konsultan Anggota ASA
pembedahan
(N=72) (N=234) (N=72) (N=234) (N=72) (N=234)
Lebih dari sehari sebelum hari
89% 75% 58% 33% 17% 11%
operasi
Sehari sebelum atau pada hari
11% 24% 39% 61% 69% 59%
operasi
Pada hari operasi 0% 1% 3% 6% 14% 30%
ASA: American Society of Anesthesiologists

TATALAKSANA EVALUASI PRA-ANESTESIA


Belum ada publikasi penelitian yang menjelaskan dampak klinis dari evaluasi pra-anestesi. Pada
umumnya, wawancara dan pemeriksaan fisik haruslah lebih dulu dilakukan sebelum meminta
pemeriksaan penunjang lainnya. Pemeriksaan penunjang yang dipilih harus sesuai dan spesifik
untuk pasien tersebut, kecuali pada beberapa kasus dimana pemeriksaan penunjang rutin dapat
digeneralisir.
Anamnesis
Anamnesis pada evaluasi pra-anestesia biasanya mencakup:
1. Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau sedang diderita (selain penyakit yang
terkait dengan tindakan pembedahan). Hal ini penting diketahui karena akan banyak
mempengaruhi pilihan tehnik anestesi yang akan dipilih.
2. Riwayat pemakaian obat yang sedang digunakan yang mungkin berinteraksi dengan obat
anestesia. Pengetahuan mengenai obat-obatan ini akan berpengaruh dengan jenis dan/atau
dosis obat-obat yang akan kita gunakan dalam memberikan anestesia.
3. Riwayat operasi terdahulu dan pilihan anestesia yang digunakan. Hal yang juga penting
untuk ditanyakan adalah apakah terjadi komplikasi terkait pembedahan dan anestesia
terdahulu.
4. Kebiasaan buruk, misalnya perokok, peminum alkohol, atau pengguna obat-obat terlarang.
Pengguna narkotika biasanya membutuhkan dosis opiat yang lebih besar, pada orang yang
mengkonsumsi alkohol biasanya terjadi perlemakan pada hati, dan perokok biasanya
diasosiasikan dengan gangguan jalan nafas (inflamasi kronis) dan gangguan paru
(bronkitis).
5. Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain. Selain obat, hal-hal penting yang juga terkait
dengan kondisi operasi juga harus ditanyakan. Misalnya alergi terhadap suhu yang dingin,
alergi terhadap desinfektan, plester, dll.

Pemeriksaan Fisik
Hal-hal yang harus dievaluasi pada evaluasi pra-anestesia:
1. Tanda-tanda vital. Tanda vital mencakup tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas,
suhu tubuh, dan skala nyeri. Hal-hal ini dapat menentukan tehnik anestesia kita, dan juga
dapat memberikan kita mengenai status umum pasien.
2. Status nutrisi dan hidrasi. Status nutrisi mencakup berat badan, tinggi badan, dan indeks
massa tubuh (IMT). Hal-hal ini akan memberikan gambaran apakah kita perlu melakukan
penyesuaikan dosis pada obat-obat yang kita gunakan. Pada pasien dengan status hidrasi
yang tidak baik (dehidrasi ataupun overhidrasi), harus dilakukan optimalisasi status
cairannya terlebih dahulu apabila memungkinkan. Malnutrisi telah lama diketahui
berkorelasi dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas bedah. Oleh karenanya evaluasi
status nutrisi sebaiknya rutin dilakukan, utamanya pada manula. Pada jenis operasi tertentu,
pasien sering kali dipuasakan baik sebelum maupun sesudah operasi, sehingga dapat
mengganggu status gizi lebih lanjut.
3. Evaluasi semua sistem organ. Biasanya kita menggunakan evaluasi sistem organ dengan
singkatan 6B untuk mempermudah kita mengingat: brain (sistem saraf pusat), breathing
(sistem respirasi), blood (sistem kardiovaskular), bowel (sistem gastrointestinal dan
hepatobiliar), bladder (sistem urogenital), dan bones (sistem muskuloskeletal). Hal ini
penting agar kita tidak melewatkan satupun kelainan yang dialami oleh pasien. Penting
diingat bahwa sistem endokrin dan sistem integumen belum termasuk pada 6B di atas dan
oleh karenanya harus dievaluasi secara mandiri.
4. Evaluasi kesulitan jalan nafas. Beberapa metode evaluasi yang dapat dilakukan misalnya
pemeriksaan Mallampati, skor LEMON, skor IDS, ataupun pemeriksaan jarak kulit ke
epiglotis dengan menggunakan bantuan ultrasonografi (USG).

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium pra-operasi seringkali secara rutin mencakup hitung darah lengkap,
profil kimia darah, urinalisis, status koagulasi, elektrokardiogram (EKG), dan radiografi dada.
Sejumlah penelitian kemudian menunjukkan bahwa sebagian besar tes ini diminta tanpa ada
indikasi yang jelas, dan bahwa hanya sebagian kecil dari hasil pemeriksaan tersebut yang secara
tak terduga ditemukan abnormal. Bahkan di antara sebagian kecil pasien dengan hasil abnormal
itu, manajemen operasi dan anestesi tidak terpengaruh.2 Sejak tahun 1996, ASA sudah
merekomendasikan tes rutin yang lebih sedikit dan menyarankan pemeriksaan laboratorium
tambahan hanya berdasarkan indikasi spesifik pada pasien.3
Pada umumnya, pemeriksaan hitung darah lengkap dilakukan pada pasien sehat sampai
usia 40 tahun. Pada kelompok usia 40-65 tahun, ditambahkan pemeriksaan EKG dan foto polos
thorax. Sedangkan pada golongan usia geriatri, disarankan pemeriksaan tambahan berupa tes
fungsi ginjal, gula darah, dan elektrolit.

PUASA SEBAGAI PERSIAPAN OPERASI


Topik puasa sebelum operasi telah dibahas dalam literatur sejak anestesi modern dimulai pada
tahun 1847. Pada tahun 1858, John Snow menyatakan bahwa puasa akan membantu menghindari
muntah yang terkait dengan anestesi. Pada abad ke-19, puasa disebut akan membantu mengurangi
risiko regurgitasi dan aspirasi paru isi lambung. Bukti terbaru menunjukkan bahwa puasa, dalam
bahasa Inggris disebut dengan nil per os (NPO), untuk kategori cairan bening (clear liquid) tidak
diperlukan dan malah dapat menyebabkan terjadinya efek buruk pada periode perioperatif.4
Canadian Anesthesiologists Society pada tahun 1998 memasukkan kebijakan puasa yang lebih
liberal ini, yang diikuti oleh ASA pada tahun 1999.5,6 Dewasa ini, waktu puasa yang panjang
menjadi sesuatu yang tidak populer pada ahli anestesi, utamanya yang banyak berperan dalam
anestesia pediatri.
Meskipun publikasi pengetahuan ini telah dikembangkan dan disebarkan selama lebih dari
20 tahun, pedoman pada banyak rumah sakit lokal tampaknya tidak berubah. Di Indonesia pada
umumnya, hampur semua rumah sakit tetap berpegang pada puasa 6-8 jam sebelum tindakan
operasi dijadwalkan. Apabila jadwal operasi mundur akibat sesuatu dan lain hal, maka waktu puasa
pasien akan menjadi lebih panjang. Dan hal ini tidak terjadi di Indonesia saja.
Evaluasi pra-anestesi harus mencakup pemberian informasi tentang persyaratan puasa dan
alasannya, yang kemudian harus dievaluasi ulang lagi di ruang persiapan. Ketika protokol puasa
tidak diikuti, seorang ahli anestesi harus mempertimbangkan risiko dan manfaat dari melanjutkan
tindakan anestesi dan operasi. Dan harus diketahui juga, bahwa ketika rekomendasi puasa diikuti
secara baik pun, tidak serta merta akan menjamin bahwa lambung pasien sudah kosong saat
dilakukan anestesia atau pembedahan.

Tabel 3.2 Pedoman puasa pra-operasi di beberapa negara


Jenis makanan AS Kanada Australia Eropa
Makanan padat 6 jam 8 jam - 6 jam
Makanan non-padat dan susu formula 6 jam 6 jam 6 jam 6 jam
ASI 4 jam 4 jam 6 jam 4 jam
Cairan jernih 2 jam 2 jam 2 jam 2 jam

EVALUASI JALAN NAFAS


Intubasi trakea dapat menjadi sumber morbiditas dan mortalitas pada periode perioperatif,
khususnya ketika tingkat kesulitannya tinggi. Kompleksitas intubasi sering disebutkan dalam
literatur, tetapi sayangnya tidak ada metode deskripsi yang seragam tentang hal tersebut. Hal ini
juga terjadi karena keunikan anatomi manusia yang khas antar satu manusia dengan yang lainnya.
Kemudian adanya faktor-faktor lain seperti obesitas dan kondisi patologis yang mungkin
menyebabkan obstruksi ataupun lapangan pandang yang sempit ketika melakukan intubasi, Oleh
karenanya, kejadian kesulitan intubasi sangat bervariasi antar kasus dan hampir mustahil untuk
membandingkannya secara langsung.
Seperti telah disebutkan di atas, pada evauasi pra-anestesi, seorang ahli anestesi harus
mengevaluasi kemungkinan ada tidaknya risiko manajemen jalan nafas yang sulit, untuk akhirnya
mengantisipasi kesulitan tersebut dengan mempersiapkan alat bantu yang diperlukan. Beberapa
model alat evaluasi jalan nafas telah divalidasi, namun tidak ada sebuah model pun yang dapat
diusulkan menjadi suatu alat evaluasi standar untuk menilai patensi jalan nafas preoperatif.
Pedoman pengelolaan jalan napas sulit yang disebutkan oleh ASA menyarankan bahwa beberapa
fitur atau karakteristik jalan napas harus selalu dinilai pada saat evaluasi pra-anestesia. Namun,
bobot dari masing-masing fitur tersebut tidak jelas dan jarang dipelajari.

Pemeriksaan Mallampati
Skor Mallampati adalah sistem penilaian predisi kesulitan intubasi berdasarkan visualisasi struktur
faring selama laringoskopi. Skor Mallampati didasarkan dari sebuah penelitian terhadap 210
pasien yang menilai tiga struktur pada faring (uvula, palatum molle, dan pilar faucial) sebagai
prediktor tingkat kesulitan ketika melakukan direct laringoskopi.
Pada tahun 1975, Seshagiri Rao Mallampati, seorang ahli anestesi AS kelahiran India,
mendapatkan kasus intubasi trakea yang sulit pada saat menjalani operasi caesar. Tidak ada
mortalitas ataupun efek buruk dari kejadian tersebut bagi ibu atau bayinya, tetapi peristiwa inilah
yang membuat Mallampati membuat sebuah penelitian untuk memprediksi kasus intubasi sulit dan
mengembangkan skor Mallampati.
Ia kemudian menulis surat kepada pemimpin redaksi Canadian Anesthetists Society
Journal pada tahun 1983 dan berhipotesis bahwa penilaian jalan nafas sebelum operasi harus dapat
memprediksi kasus intubasi sulit. Pemimpin redaksi jurnal tersebut, Douglas Craig, membalas
suratnya untuk menyarankan dia melanjutkan pekerjaannya dengan studi prospektif.
Pada tahun 1985, ia bersama dengan rekan-rekannya menerbitkan hasil penelitiannya di
jurnal yang sama. Saat itulah pertama kalinya skor Mallampati diperkenalkan kepada dunia.7 Pada
tahun 1987 Samson dan Young menambahkan kelas ke-4 ke dalam skor Mallampati, dan
klasifikasi itulah yang masih digunakan secara luas hingga saat ini.
Skor Mallampati ini berdasar dari teori bahwa jika pangkal lidah berukuran relatif besar
secara tidak proporsional dengan kapasitas orofaring, maka visualisasi kita terhadap pilar faucial,
bagian posterior uvula, dan akhirnya langit-langit lunak (berturut-turut dalam urutan ini), akan
menjadi terhalang. Skor Mallampati 3 dan 4 diasosiasikan dengan prediksi terjadinya kesulitan
pada saat melakukan intubasi endotrakeal.

Gambar 3.1 Klasifikasi skor Mallampati

Intubation Difficulty Scale (IDS)


Karena skor Mallapati bisa bersifat subjektif, maka pada tahun 1997 ASA merekomendasikan IDS
untuk sarana pelaporan tingkat kesulitan intubasi.8 IDS terdiri dari tujuh parameter yang mampu
menghasilkan penentuan kuantitatif yang progresif dari kesulitan intubasi. Skor ini dapat dihitung
oleh operator atau pengamat independen segera setelah intubasi. IDS kemudian dapat digunakan
untuk membandingkan tingkat kesulitan intubasi pada berbagai keadaan dengan mengisolasi
variabel spesifik.
Skor ini dibuat dengan berdasarkan asumsi bahwa intubasi yang ‘normal’ dapat
didefinisikan sebagai suatu intubasi sukses yang dilakukan tanpa usaha tambahan, berhasil pada
upaya pertama, dilakukan oleh satu orang operator, menggunakan satu teknik, serta mendapatkan
visualisasi penuh dari apertura laring dan pita suara. Intubasi seperti itu diberi nilai IDS 0. Setiap
variasi dari kondisi intubasi yang ideal dianggap meningkatkan tingkat kesulitan. Karena IDS ini
idealnya didapatkan setelah melakukan intubasi, maka skor ini mungkin baru akan berguna apabila
pasien pernah memiliki riwayat dilakukan intubasi dan pencatatan anestesia dibuat lengkap oleh
pelaku anestesi.

Table 3.3 Parameter dan interpretasi Intubation Difficulty Score


Parameter yang dinilai Skor Keterangan
Jumlah percobaan >1 N1 Jumlah upaya yang dilakukan untuk melakukan intubasi. Contoh:
satu kali langsung berhasil, skor=0, dua kalu baru berhasil,
skor=1, dst.
Jumlah operator >1 N2 Jumlah jumlah orang yang melakukan intubasi, bukan membantu
melakukan intubasi. Contoh: satu orang, skor=0, dua orang,
skor=1, dst.
Jumlah tehnik alternatif yang dicoba N3 Jumlah teknik alternatif yang digunakan, misalkan mengubah
dari intubasi oral menjadi intubasi nasotrakeal, atau dari blade
melengkung ke blade lurus. Setiap perubahan tehnik memberi
tambahan 1 poin. Berbagai teknik yang digunakan harus dicatat
dalam urutan kronologis.
Nilai Cormack -1 N4 Sesuai dengan penilaian skor Cormack. Contoh: skor Cormack 1,
skor=0 skor Cormack 2, skor=1, dst.
Kuat angkat IDS adalah jumlah dari N1 sampai N7.
Normal N5=0
Kuat N5=1 Interpretasi:
Manuver Sellick
Tidak perlu dilakukan N6=0 Skor IDS 0: mudah intubasi
Dilakukan N6=1 Skor IDS 1-5: tingkat kesulitan ringan
Pita suara Skor IDS >5: tingkat kesulitan berat
Abduksi N7=0 Skor IDS ~ : tidak berhasil dilakukan intubasi
Adduksi N7=1

Kriteria LEMON
LEMON adalah singkatan dari look externally, evaluate 3-3-2, Mallampati, obstruction, and neck
mobility. Singkatan ini dibuat untuk mempermudah kita dalam mengingat hal-hal penting yang
berhubungan dengan evaluasi jalan nafas. Metode ini diajukan oleh US National Emergency
Airway Management Course.
Sistem penilaian ini mencakup sebagian besar karakteristik yang terkait dengan kesulitan
intubasi seperti obesitas, mobilitas kepala dan leher, fleksibilitasmandibula, karakteristik gigi seri
atas yang panjang, skor Mallampati, jarak thyromental, dan leher yang pendek.9 Skor LEMON
berkisar antara 0 (skor minimal) dan 10 (skor maksimal). Skor LEMON tidak membuat sebuah
nilai batas di skor berapa intubasi diperkirakan sulit, namun lebih kepada konsep dimana semakin
besar skor maka kemungkinan terjadi kesulitan intubasi akan semakin besar.
Tabel 3.4 Parameter penilaian skor LEMON
LEMON Parameter Skor
Look externally Trauma maksilofasial 1
Gigi seri yang besar dan/atau condong ke anterior 1
Adanya kumis dan/atau janggut 1
Ukuran lidah yang relatif besar terhadap rongga mulut 1
Evaluate 3-3-2 Jarak gigi seri atas dan bawah <3 ruas jari pada posisi pembukaan mulut maksimal 1
Jarak tulang hyoid ke dagu <3 ruas jari 1
Jarak tiroid ke mulut <2 ruas jari 1
Mallampati Skor Mallampati >2 1
Obstruction Adanya obstruksi pada jalan nafas, misalnya adanya tumor intraoral, epiglotitis, abses 1
peritonsilar, trauma, dll.
Neck mobility Pergerakan leher yang terbatas 1

STATUS FISIK ASA


Klasifikasi status fisik ASA telah digunakan selama lebih dari 60 tahun. Tujuan dari sistem ini
adalah untuk menilai dan mengkomunikasikan kondisi komorbiditas pada periode preoperatif.
Sistem klasifikasi ini saja tidak memprediksi risiko perioperatif, tetapi apabila diinterpretasikan
dan digunakan dengan tepat bersama faktor-faktor, dapat membantu dalam memprediksi risiko
perioperatif. Menetapkan tingkat klasifikasi status fisik adalah keputusan klinis berdasarkan
banyak faktor.
Tabel 3.5 di bawah diadaptasi dari publikasi terbaru ASA pada saat buku ini ditulis pada
tahun 2020. Penambahan huruf ‘E’ setelah status fisik ASA menunjukkan operasi darurat. Operasi
darurat didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana penundaan operasi akan menyebabkan
peningkatan yang signifikan dalam ancaman terhadap kehidupan atau bagian tubuh pasien.

Tabel 3.5 Definisi dan contoh dari masing-masih status fisik ASA10
ASA Definisi Contoh
I Pasien tanpa penyakit sistemik dan kebiasaan buruk Pasien sehat tanpa riwayat merokok dan tidak ada
riwayat penggunaan alkohol yang berlebihan
2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan, atau tanpa Perokok aktif, peminum alkohol, kehamilan normal,
ada keterbatasan fungsional. obesitas, diabeter atau hipertensi yang terkontrol
baik, penyakit paru ringan tanpa keterbatasan
3 Pasien dengan penyakit sistemik yang parah, atau DM atau hipertensi yang tidak terkontrol, PPOK,
dengan adanya keterbatasan fungsional yang obesitas morbid, hepatitis aktif, ketergantungan atau
substansial. penyalahgunaan alkohol, terpasang implant alat
pacu jantung, gangguan LVEF sedang, ESRD
dengan dialisis rutin, bayi prematur, riwayat MI,
CVA, TIA, atau CAD/stent >3 bulan.
4 Pasien dengan penyakit sistemik berat yang Riwayat MI, TIA, CAD, penyakit serebrovaskular
mengancam nyawa <3 bulan terakhir, disfungsi katup jantung yang
berat, gangguan LFEV berat, sepsis, DIC, AKI,
ESRD yang tidak dilakukan dialisis secara teratur.
5 Pasien yang diperkirakan tidak akan bertahan hidup Ruptur aneurysme abdominal/toraks, trauma masif,
tanpa operasi perdarahan intrakranial dengan efek massa, iskemik
usus, kondisi patologis jantung yang signifikan atau
disfungsi organ/sistem organ multipel.
6 Seorang pasien yang telah dinyatakan mati batang
otak yang dijadwalkan untuk menjalani
pembedahan untuk tujuan donor organ

REVISED CARDIAC RISK INDEX (RCRI)


RCRI, atau sering disebut sebagai Indeks Lee, adalah sebuah alat diagnostik yang digunakan untuk
memperkirakan risiko komplikasi jantung perioperatif pasien. Pada tahun 1977, Goldman dkk.11
mengembangkan sebuah indeks risiko jantung yang mencakup sembilan variabel yang terkait
dengan peningkatan risiko komplikasi jantung perioperatif. Indeks ini kemudian dikenal sebagai
Indeks Risiko Jantung Original, atau sering pula disebut sebagai Indeks Goldman. Pada tahun
1999, Lee dkk.12 menerbitkan indeks risiko jantung yang berasal dari data 2.893 pasien dan
divalidasi pada 1.422 pasien yang berusia ≥50 tahun yang menjalani operasi non-kardiak. Indeks
ini kemudian dikenal sebagai RCRI atau Indeks Lee.
Lee mengidentifikasi enam variabel independen yang memperkirakan peningkatan risiko
komplikasi jantung. RCRI memberikan skor 1 untuk setiap keadaan berikut: pembedahan risiko
tinggi, riwayat penyakit jantung iskemik, riwayat gagal jantung kongestif, riwayat penyakit
serebrovaskuler, riwayat diabetes yang memerlukan terapi insulin, dan nilai kreatinin serum >2
mg/dl. Pada kenyataannya, sering kali dokter spesialis jantung atau penyakit dalam yang
melakukan penilaian dari Indeks Lee ini, namun tentunya seorang ahli anestesi juga harus
memahami mengenai hal ini karena pada pembedahan darurat kadang kita tidak bisa menunggu
dokter lain untuk datang mengevaluasi pasien.
Tabel 3.5 Interpretasi dari Revised Cardiac Risk Index (RCRI)
Kelas Risiko Skor total RCRI Risiko komplikasi jantung
Sangat rendah (Lee Class I) 0 0,4%
Rendah (Lee Class II) 1 0,9%
Sedang (Lee Class III) 2 7,0%
Tingi (Lee Class IV) >2 11,0%
METABOLIC EQUIVALENT (METS)
Salah satu cara lain dalam melakukan evaluasi fungsi kardiovaskuler adalah dengan menilai nilai
METS. Satu METS didefinisikan sebagai jumlah oksigen yang dikonsumsi saat duduk diam,
dimana jumlahnya sekitar 3,5 mlO2/kg/min. Konsep METS mewakili prosedur yang sederhana,
praktis, dan mudah dipahami untuk mengekspresikan biaya energi dari aktivitas fisik sebagai
kelipatan laju metabolisme istirahat. Kebutuhan energi dari suatu aktivitas dapat ditentukan
dengan membagi kebutuhan oksigen relatif dari aktivitas tersebut (mlO2/kg/menit) dengan 3,5.
METS merangkum dan menyajikan nilai kebutuan energi untuk berbagai kegiatan rumah
tangga dan rekreasi dalam satuan METS dan Watt. Terlepas dari keterbatasannya, konsep METS
menyediakan metode evaluasi yang mudah dilakukan untuk menggambarkan kapasitas fungsional
atau toleransi kardiovaskular seseorang.

Tabel 3.6 Konversi nilai METS dalam kegiatan aktivitas sehari-hari

METS Ekuivalen dengan aktivitas berikut


1 Membaca, menonton televisi, makan, berpakaian
2-3 Berjalan dengan kecepatan 4-5 km/jam pada permukaan yang rata, mengerjakan pekerjaan rumah
tangga yang ringan
4 Menaiki anak tangga, berjalan dengan kecepatan 6 km/jam pada permukaan yang rata, berlari dalam
jarak pendek, mengerjakan pekerjaan rumat tangga yang berat, mampu berolahraga sedang (golf,
menari)
>10 Mampu berolahraga yang berat (tenis, sepak bola)

MEMILIH TEHNIK ANESTESIA


Mengatakan suatu tehnik anestesi secara mutlak lebih superior dibandingkan tehnik lainnya pada
suatu jenis operasi tertentu masih kontroversial. Anestesia umum dan regional masing-masing
memiliki kelebihan kekurangan baik dari sudut pandang keamanan maupun efikasinya. Meskipun
saat ini tidak ada bukti yang cukup meyakinkan bahwa morbiditas dan mortalitas pasien akan
menurun pada salah satu teknik, konsensus umum yang digunakan saat ini lebih mendukung
anestesi regional apabila memungkinkan.
Keunggulan utama anestesi regional kemampuannya dalam memberikan efek analgesia
pasca operasi, dimana hal ini akan berimplikasi terhadap mobilisasi dini dan lama tinggal di RS,
yang pada akhirnya akan menurunkan biaya bagi pasien. Untuk operasi tertentu, anestesi regional
menawarkan keuntungan yang berbeda dibandingkan dengan anestesi umum, demikian pula
sebaliknya. Tehnik apapun yang dipilih, seorang ahli anestesi harus menguasai tehnik anestesi
pilihannya dan juga selalu melibatkan pasien dalam menentukan tehnik anestesi yang dipilih.
Beberapa faktor berikut ini biasanya dipakai sebagai pertimbangan dalam memilihi tehnik
anestesia.

Usia
Pilihan anestesia pada pasien bayi dan anak adalah anestesia umum karena kelompok usia ini
biasanya kurang kooperatif. Pada pasien dewasa bisa diberikan anestesia umum atau analgesia
regional, tergantung dari jenis operasi yang akan dikerjakan. Pada kelompok usia geriatri biasanya
anestesia regional lebih dipilih, kecuali apabila jenis tindakan pembedahan yang dikerjakan tidak
memungkinkan untuk dilakukan dengan anestesia regional.

Jenis Kelamin
Faktor emosional dan rasa malu yang lebih dominan pada pasien perempuan, utamanya pada usia
muda, merupakan faktor pendukung untuk memilih anestesia umum. Apabila kita melakukan
anelgesia regional pada pasien wanita, sebaiknya diberikan tambahan obat sedatif yang juga
memiliki efek amnesia.

Jenis operasi
Analisis terhadap tindakan pembedahan atau operasi menghasilkan empat kategori masalah
operasi, yaitu:
(1) Lokasi operasi. Misalnya: pada operasi di daerah kepala leher, kita cenderung memilih
anestesia umum dengan pemasangan pipa endotrakea untuk menjaga patensi jalan nafas.
Sedangkan pada operasi di daerah abdomen bawah, genitalia, atau ekstremitas bawah, kita
dapat melakukan anestesia regional.
(2) Posisi operasi. Misalnya: operasi spine yang dikerjakan pada posisi prone harus dilakukan
anestesia umum dengan pemasangan pipa endotrakea.
(3) Manipulasi operasi. Misalnya: operasi laporotomi dengan manipulasi intraabdominal yang
luas dengan segala risikonya membutuhkan relaksasi lapangan operasi optimal, dan
sebaiknya dilakukan dengan anestesia umum dengan pemasangan pipa endotrakea.
(4) Durasi operasi. Misalnya: kraniotomi yang berlangsung lebih dari dua jam sebaiknya
dilakukan dengan anestesia umum dengan pemasangan pipa endotrakea.
Keterampilan operator dan peralatan yang dipakai
Hal ini berkaitan dengan durasi tindakan pembedahan sehingga pilihan anestesia harus disesuaikan
dengan kondisi yang dihadapi. Alat baru di bidang pembedahan pasti memiliki sebuah kelebihan
tersendiri, misalnya penggunaannya lebih mudah, angka komplikasi lebih kecil, nyeri
paskaoperasi yang minimal, dan lain sebagainya. Tetapi kita juga harus siap dengan sebuah asumsi
dimana ketika suatu alat baru dipakai untuk pertama kalinya, operator juga mungkin saja belum
fasih dalam menggunakannya, sehingga dapat berimplikasi pada memanjangnya waktu operasi.

Kemampuan pelaksana anestesi dan sarana


Seorang ahli anestesi yang mampu dan berpengalaman dalam melakukan berbagai teknik anestesia
mampu memberikan pelayanan anestesia yang memadai dengan memanfaatkan sarana yang
tersedia. Tentu saja kemampuan saja tanpa adanya sarana pendukung yang memadai akan
mengurangi efektivitas pelayanan anestesi di suatu rumah sakit.

Permintaan pasien
Pada semua kasus, pasien harus diberikan waktu, informasi, dan bahan pertimbangan yang cukup
untuk dapat memilih tehnik anestesi. Selama pilihan pasien itu memungkinkan dan tetap aman
untuk pasien, ahli anestesi dapat menyesuaikan tehnik anestesia yang akan diberikan sesuai dengan
permintaan pasien. Namun apabila pilihan pasien tidak memungkinkan atau relatif kurang aman
bagi pasien, tugas seorang ahli anestesi pada saat kunjungan pra-anestesi adalah memberikan
pemahaman yang cukup baik pada pasien dan keluarganya.
Referensi
1. Practice Advisory for Preanesthesia Evaluation. Anesthesiology. 2002;96(2):485-496.
doi:10.1097/00000542-200202000-00037
2. Kaplan E, Sheiner L, Boeckmann A, et al. The Usefulness of Preoperative Laboratory Screening.
JAMA - J Am Med Assoc. 1985;253(24):3576-3581. doi:10.1001/jama.1985.03350480084025
3. Marcello P, Roberts P. “Routine” preoperative studies. Which studies in which patients? Surg Clin
North Am. 1996;76(1):11-23. doi:10.1016/s0039-6109(05)70418-7
4. Nygren J. The metabolic effects of fasting and surgery. Best Pr Res Clin Anaesthesiol.
2006;20(3):429-438. doi:10.1016/j.bpa.2006.02.004
5. Merchant R, Chartrand D, Dain S, et al. Guidelines to the Practice of Anesthesia - Revised Edition
2016. Can J Anaesth. 2016;63(1):86-112. doi:10.1007/s12630-015-0470-4
6. American Society of Anesthesiologist Task Force on Preoperative Fasting. Practice Guidelines for
Preoperative Fasting and the Use of Pharmacologic Agents to Reduce the Risk of Pulmonary
Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures. Anesthesiology.
1999;90(3):896-905.
7. SR Mallampati, Gatt S, Gugino L, et al. A clinical sign to predict difficult tracheal intubation: a
prospective study. Can Anaesth Soc J. 1985;32(4):429-434. doi:10.1007/BF03011357
8. Adnet F, Borron SW, Racine SX, et al. The Intubation Difficulty Scale (IDS) : Proposal and
Evaluation of a New Score Characterizing the Complexity of Endotracheal Intubation.
Anesthesiology. 1997;87(6):1290-1297.
9. Reed M, Dunn M, McKeown D. Can an airway assessment score predict difficulty at intubation in
the emergency department ? 2005:99-102. doi:10.1136/emj.2003.008771
10. ASA House of Delegates/Executive Committee. ASA Physical Status Classification System.
https://www.asahq.org/standards-and-guidelines/asa-physical-status-classification-system.
Published 2019.
11. Goldman L, Caldera D, Nussbaum S, et al. Multifactorial Index of Cardiac Risk in Noncardiac
Surgical Procedures. N Engl J Med. 297(16):845-850. doi:10.1056/NEJM197710202971601
12. Lee T, Marcantonio E, Mangione C, et al. Derivation and Prospective Validation of a Simple Index
for Prediction of Cardiac Risk of Major Noncardiac Surgery. Circ 1999 Sep 7;100(10)1043-9.
1999;100(10):1043-1049. doi:10.1161/01.cir.100.10.1043
BAB IV
OBAT YANG DIGUNAKAN PADA ANESTESIA

Adinda Putra Pradhana, Tjokorda Gde Agung Senapathi

Seperti halnya obat lain, obat anestesia di samping mempunyai efek terapi yang diinginkan
oleh ahli anestesi, juga memiliki efek samping yang bisa menguntungkan atau merugikan pasien.
Pemberian obat anestesia sesungguhnya adalah tindakan “meracuni” pasien secara terkendali.
Pemberiannya bukanlah untuk menyembuhkan pasien, tetapi justru membuat pasien berada dalam
keadaan kritis yang setiap saat dapat mengancam nyawa. Oleh karena itu, siapapun yang
memberikan obat anestesia harus mempunyai kemampuan untuk menanggulangi kedaruratan
medis yang terjadi.
Pilihan obat anestesia tergantung dari beberapa faktor, antara lain: usia, status fisik pasien,
rencana pembedahan, jenis/teknik anestesia yang dipilih, kemampuan ahli anestesi, dan
penguasaan farmakologi obat yang akan digunakan. Untuk mencapai trias anestesia bisa dilakukan
dengan mempergunakan satu jenis obat yang berkhasiat majemuk atau dengan mempergunakan
beberapa jenis obat yang masing-masing mempunyai khasiat yang spesifik.

OBAT-OBAT PREMEDIKASI
Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obat pendahuluan
yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik, sedatif, dan analgetik. Tidak akan pernah ada
seorang pasien yang direncanakan untuk tindakan pembedahan merasa senang dan bersukaria.
Hampir semua pasien yang akan dilakukan pembedahan pasti akan merasa cemas, tegang,
kesakitan, dan berbagai kondisi emosional yang tidak menyenangkan lainnya. Keadaan ini bisa
diatasi melalui pendekatan psikologis (cognitive behavioral therapy/CBT) atau farmakologi
dengan memberikan obat-obat premedikasi.

Tujuan premedikasi
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
2. Mencegah mual-muntah selama periode perioperatif.
3. Mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus
4. Memperlancar induksi
5. Mengurangi dosis obat anestesia.
6. Mengurangi rasa nyeri paskabedah.

Obat-obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah:


1. Obat anti kholinergik
2. Obat sedatif
3. Obat analgetik narkotik

Obat golongan antikholinergik.


Obat golongan antikholinergik adalah obat-obatan yang berkhasiat menekan/menghambat
aktivitas kholinergik atau parasimpatis. Tujuan utama pemberian obat golongan antikholinergik
untuk premedikasi adalah
1. Mengurangi sekresi kelenjar: saliva, saluran cerna dan saluran nafas.
2. Mencegah spasme laring dan bronkus.
3. Mencegah bradikardi
4. Mengurangi motilitas usus
5. Melawan efek depresi narkotika terhadap pusat nafas.
Obat golongan antikholonergik yang digunakan dalam praktek anestesia adalah preparat alkaloid
belladona, yang turunannya adalah:
1. Sulfas atropin
2. Skopolamin
Mekanisme kerja
Menghambat mekanisme kerja asetilkholin pada organ yang diinervasi oleh serabut saraf
otonom para simpatis atau serabut saraf yang mempunyai neurotransmiter asetilkholin.
Alkaloid belladona menghambat muskarinik secara kompetitif yang ditimbulkan oleh
asetilkholin pada sel efektor organ terutama pada kelenjar eksokrin, otot polos dan otot jantung.
Khasiat sulfas atropin lebih dominan pada otot jantung, usus dan bronkus, sedangkan
skopolamin lebih dominan pada iris, korpus siliare dan kelenjar.
Efek terhadap susunan saraf pusat.
Sulfas atropin tidak menimbulkan depresi susunan saraf pusat, sedangkan skopolamin
mempunyai efek depresi sehingga menimbulkan rasa ngantuk, euforia, amnesia dan rasa lelah.
Efek terhadap respirasi.
Menghambat sekresi kelanjar pada hidung, mulut, faring, trakea dan bronkus,
menyebabkan mukosa jalan nafas kekeringan, menyebabkan relaksasi otot polos bronkus dan
bronkhioli, sehingga diameter lumennya melebar akan menyebabkan volume ruang rugi
bertambah.
Efek terhadap kardiovaskular.
Menghambat aktivitas vagus pada jantung, sehingga denyut jantung meningkat, tetapi tidak
berpengaruh langsung pada tekanan darah. Pada hipotensi karena refleks vagal, pemberian obat
ini akan meningkatkan tekanan darah.
Efek terhadap saluran cerna.
Menghambat sekresi kelenjar liur sehingga mulut terasa kering dan sulit menelan,
mengurangi sekresi getah lambung sehingga, keasaman lambung bisa dikurangi. Mengurangi
tonus otot polos sehingga motilitas usus menurun.
Efek terhadap kelenjar keringat.
Menghambat sekresi kelenjar keringat, sehingga menyebabkan kulit kering dan badan terasa
panas akibat pelepasan panas tubuh terhalang melalui proses evaporasi.
Cara pemberian dan dosis.
1. Intramuskular, dosis 0,01 mg/kg BB, diberikan 30-45 menit sebelum induksi.
2. Intravena, dengan dosis 0,005 mg/kg BB, diberikan 5-10 sebelum induksi.
Kontra indikasi
Alkaloid belladona ini kontraindikasi untuk diberikan pada pasien yang menderita demam,
takikardi, glukoma, dan tirotoksikosis, karena akan memperburuk kondisi dan gejala yang
muncul.
Kemasan dan sifat fisik.
Dikemas dalam bentuk ampul 1 ml mengandung 0,25 dan 0,50mg, tidak berwarna dan larut
dalam air.

Obat golongan sedatif/trankuilizer


Obat golongan sedatif adalah obat-obat yang berkhasiat antIcemas dan menimbulkan rasa kantuk.
Tujuan pemberian obat golongan ini adalah untuk memberikan suasana nyaman bagi pasien
prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut, sehingga pasien menjadi tidak peduli dengan
lingkungannya. Untuk keperluan ini, obat golongan sedatif/trankuilizer yang sering digunakan
adalah:
• Derivat fenothiazin
• Derivat benzodiazepin
• Derivat butirofenon
• Derivat barbiturat
• Antihistamin

Derivat fenothiazin.
Derivat fenothiasin yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah prometazin. Obat ini
pada mulanya digunakan sebagai antihistamin.
Efek terhadap saraf pusat.
Menimbulkan depresi saraf pusat, bekerja pada formasio retikularis dan hipotalamus
menekan pusat muntah dan mengatur suhu, obat ini berpotensi dengan sedatif lainnya.
Efek terhadap respirasi.
Menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas dan menghambat sekresi kelenjar.
Efek terhadap kardiovaskular.
Menyebabkan vasodilatasi sehingga dapat memperbaiki perfusi jaringan.
Efek terhadap saluran cerna.
Menurunkan peristaltik usus, mencegah spasme dan mengurangi sekresi kelenjar. Efek
lainnya adalah menekan sekresi katekolamin dan sebagai antikholinergik. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa khasiat promethazin sebagai obat premedikasi adalah
sebagai: sedatif, antiemetik, antikhonergik, antihistamin, bronkodilator dan antipiretika.
Cara pemberian dan dosis.
1. Intramuskular dosis 1 mg/kg bb dan diberikan 30-45 menit sebelum induksi
2. Intravena, dengan dosis 0,5 mg/kg bb diberikan 5 - 10 menit sebelum induksi
Kemasan dan sifat fisik.
Dikemas dalam bentuk ampul 2 ml mengandung 50 mg. Tidak berwarna dan larut
dalam air.

Derivat benzodiazepin.
Derivat benzodiazepin yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah diazepam dan
midazolam. Derivat yang lain adalah: klordiazepoksid, nitrazepam dan oksazepam.
Efek terhadap saraf pusat dan medula spinalis.
Mempunyai khasiat sedasi dan anticemas yang bekerja pada sistem limbik dan pada
ARAS serta bisa menimbulkan amnesia anterograd. Sebagai obat antikejang yang bekerja
pada kornu anterior medula spinalis dan hubungan saraf otot. Pada dosis kecil bersifat
sedatif, sedangkan dosis tinggi sebagai hipnotik.
Efek terhadap respirasi.
Pada dosis kecil (0,2 mg/kgbb) yang diberikan secara intravena, menimbulkan
depresi ringan yang tidak serius. Bila dikombinasikan dengan narkotik menimbulkan
depresi nafas yang lebih berat.
Efek terhadap kardiovaskular.
Pada dosis kecil, pengaruhnya kecil sekali pada kontraksi maupun denyut jantung,
akan tetapi pada dosis besar menimbulkan hipotensi yang disebabkan oleh efek dilatasi
pembuluh darah.
Efek terhadap saraf-otot.
Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supra spinal dan
spinal, sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka sepert
pada tetanus.
Penggunaan klinis.
Dalam praktek anestesia obat ini digunakan sebagai:
1. Premedikasi, diberikan intramuskular dengan dosis 0,2 mg/kg BB atau peroral
dengan dosis 5-10 mg.
2. Induksi, diberikan intravena dengan dosis 0,2-0,6 mg/kg BB
3. Sedasi pada analgesia regional, diberikan secara intravena
4. Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.
Penggunaan lainnya, adalah:
1. Anti kejang pada kasus-kasus epilepsi, tetanus dan eklamsi
2. Sedasi pasien rawat inap
3. Sedasi pada tindakan kardioversi atau endoskopi
Pada pemberian intramuskular atau intravena, obat ini tidak bisa dicampur dengan
obat lain karena bisa terjadi presipitasi. Jalur vena yang dipilih sebaiknya melalui vena-
vena besar untuk mencegah flebitis. Pemberian intramuskular kurang disenangi oleh
karena menimbulkan rasa nyeri pada daerah suntikan.
Kemasan.
Kemasan injeksi berbentuk larutan emulsi dalam ampul 2 ml yang mengandung 10
mg, berwarna kuning, sukar larut dalam air dan bersifat asam. Kemasan oral dalam bentuk
tablet 2 dan 5 mg, disamping itu ada kemasan supositoria atau pipa rektal (rectal tube) yang
diberikan pada anak-anak. Sedangkan midazolam yang ada dipasaran adalah hanya dalam
bentuk larutan tidak berwarna, mudah larut dalam air dan kemasan dalam ampul yang
mengandung 5 mg/ml atau 1mg/ml.

Derivat butirofenon.
Derivat ini disebut juga sebagai obat golongan neroleptika, karena sering digunakan
sebagai neroleptik. Derivat butirofenon yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah
dehidrobenzperidol atau populer disebut DHBP.
Efek terhadap saraf pusat.
Berkhasiat sebagai sedatif atau trankuilizer. Disamping itu mempunyai kasiat
khusus sebagai anti muntah yang bekerja pada pusat muntah di “chemoreceptor trigger
zone”. Efek samping yang tidak dikehendaki adalah timbulnya rangsangan ekstrapiramidal
sehingga menimbulkan gerakan tak terkendali (parkinsonsm) yang bisa diatasi dengan
pemberian obat anti Parkinson.
Efek terhadap respirasi.
Menimbulkan sumbatan jalan nafas akibat dilatasi pembuluh darah rongga hidung.
Juga menimbulkan dilatasi pembuluh darah paru sehingga indikasi kontra pada pasien
asma.
Efek terhadap sirkulasi.
Menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah perifer, sehingga sering digunakan
sebagai anti syok. Tekanan darah akan turun tetapi perfusi dapat dipertahankan selama
volume sirkulasi adekuat.
Penggunaan klinik.
1. Premedikasi, diberikan intramuskular, dosis 0,1 mg/kg/bb
2. Sedasi untuk tindakan endoskopi dan analgesia regional
3. Anti hipertensi
4. Anti muntah
5. Suplemen anestesia.
Kemasan.
Dalam bentuk ampul 2 ml dan 10 ml, mengandung 2,5 mg/ml. Tidak berwarna
dan bisa dicampur dengan obat lain.

Derivat barbiturat.
Derivat barbiturat yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah pentobarbital
dan sekobarbital. Digunakan sebagai sedasi dan penenang prabedah, terutama pada anak-anak.
Pada dosis lazim, menimbulkan depresi ringan pada respirasi dan sirkulasi. Sebagai
premedikasi diberikan intramuskular dengan dosis 2 mg/kg BB atau peroral.

Preparat antihistamin.
Obat golongan ini yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah derivat
defenhidramin. Khasiat yang diharapkan adalah sedatif, anti muntah ringan, dan antipiretk.
Sedangkan efek sampingnya adalah hipotensi yang sifatnya ringan.

OBAT-OBAT ANESTESI UMUM INTRAVENA


Obat-obat anestesia intravena adalah obat anestesia yang diberikan melalui jalur intravena, baik
obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot. Setelah masuk ke dalam
pembuluh darah vena, obat-obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi
umum, selanjutnya akan menuju ke target organ masing-masing dan akhirnya diekskresikan sesuai
dengan farmakokinetiknya masing-masing.
Dalam praktik anestesia, yang dimaksud dengan obat anestesia intravena adalah obat-obat
seperti thiopentone (thiopenthal atau pentothal), methoheksital, althesin, propanidid, gamma
hidroksibutirik, ketamin hidroklorida, etomidat, dehidrobenzperidol, dan diisopropilfenol
(propofol). Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa obat-obat tersebut sudah tidak digunakan
lagi karena berbagai alasan. Obat-obat anestesia umum intravena yang sampai saat ini ada dan
sudah didapat di pasar Indonesia serta umum digunakan dalam praktek anestesia adalah
thiopentone, dexmedetomidine, ketamin hidroklorida, dan propofol.

Pentothal
Merupakan obat anestesia intravena yang tergolong tua. Pentothal disintesis pertama kali
oleh Volwiler dan Tabern pada tahun 1932, dan diperkenalkan pertama kali dalam praktek
anestesi oleh Lundy di klinik Mayo pada tahun 1934.
Sifat-sifat fisik dan kimia
Berupa bubuk yang berwarna putih kekuningan, bersifat higroskopis, rasanya pahit,
berbau seperti bawang putih, dan sediaannya selalu dicampur dengan sodium karbonat
anhidrous, sehingga mudah larut dalam air. Dikemas dalam bentuk bubuk dalam ampul
yang mengandung 0,5 atau 1,0 gram. Sebelum digunakan, dilarutkan dalam akuades,
menjadi larutan 2,5% atau 5%. Larutan ini tidak boleh disimpan, dan bersifat alkalis
dengan pH 10,8.
Efek farmakologi terhadap sistem saraf pusat
Pada pemberian intra vena, obat ini sangat cepat berdifusi ke jaringan otak dan
efeknya akan segera tampak dalam 30 detik. Karena efeknya sangat cepat, populer disebut
sebagai “ultra short-acting barbiturate”. Setelah pemberian intravena, akan beredar ke
seluruh jaringan tubuh dan bekerja di pusat kesadaran pada semua level. Derajat depresinya
sangat tergantung dari dosis yang diberikan, makin tinggi dosis yang diberikan, depresinya
makin berat. Pentothal tidak mempunyai efek analgesia. Pada dosis rendah, akan
meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri, sehingga timbul efek hiperalgesia.
Efek farmakologis terhadap sistem respirasi
Pada pemberian intravena secara cepat, menimbulkan depresi pusat nafas
menyebabkan pasien henti nafas. Derajat depresi nafas tergantung dari dosis yang
diberikan dan kecepatan pemberiannya. Pada bronkus, bisa menimbulkan spasme karena
pengaruhnya terhadap peningkatan tonus vagal.
Efek farmakologis terhadap sistem kardiovaskular
Efek yang segera timbul setelah pemberian pentothal adalah penurunan tekanan
darah yang sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan
karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung turun, dan dilatasi
pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan
disritmia bila terjadi retensi CO2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat
ringan akan pulih normal dalam beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara cepat atau
dosisnya tinggi, dapat terjadi hipotensi yang berat. Hal ini terutama akibat dilatasi
pembuluh darah karena depresi pusat vasomotor. Di lain pihak turunnya tekanan darah juga
dapat terjadi oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard.
Efek farmakologis terhadap otot rangka dan uterus
Pada dosis lazim, tidak ada pengaruhnya terhadap tonus otot rangka dan uterus yang
hamil. Bila dosis yang diberi tinggi, bisa terjadi penurunan tonus dan bisa melewat barier
uteroplasenta.
Efek farmakologis terhadap metabolisme
Menurunkan laju metabolisme sel sehingga konsumen O2 akan berkurang sesuai
dengan dalamnya anestesia.
Farmakokinetik
Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh,
selanjutnya diikat oleh jaringan saraf dan jaringan lain yang kaya dengan vaskularisasi.
Secara perlahan akan mengalami difusi ke dalam jaringan lain seperti hati, otot, dan
jaringan lemak. Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat dalam plasma, konsentrasi
dalam otak juga akan turun dan pada konsentrasi obat dalam plasma ini terutama oleh
karena redistribusi obat dari otak ke dalam jaringan lemak. Dalam darah, pentothal diikat
oleh protein plasma. Pada keadaan hipoproteinemia, pentothal yang terikat lebih sedikit
dibandingkan bentuk bebas, sehingga efek hipnotiknya lebih dalam. Jumlah pentothal yang
terikat dalam protein plasma tergantung dari pH darah, semakin tinggi pH darah semakin
tinggi konsentrasinya dalam plasma dan efeknya lebih efektif. Pemecahannya terutama di
hati dan ekskresinya melalui urin dan feses dalam bentuk hasil metabolit. Sangat sedikit
yang diekskresi dalam bentuk utuh. Proses pemecahannya sangat lambat, hanya 10-15%
dalam satu jam dan sekitar 30% dari jumlah obat yang diberikan masih ada dalam tubuh
setelah 24 jam. Dengan demikian bila dalam periode ini diperlukan dosis tambahan, maka
akan terjadi efek kumulatif sehingga dosis tambahan perlu dikurangi.
Sifat anestesi Pentothal
1. Merupakan hipnotik yang sangat kuat.
2. Induksinya cepat, lancar, dan tidak diikut oleh eksitasi
3. Pola respirasi tenang dan dapat terjadi hipoventilasi.
4. Tidak mempunyai khasiat analgetik
5. Tidak menimbulkan relaksasi otot
6. Pemulihan cepat, tetapi masih ada rasa ngantuk
7. Efek samping mual dan muntah jarang dijumpai.
Indikasi pemakaian
1. Induksi anestesia
2. Obat tambahan pada analgesia regional/anestesia imbang
3. Anti kejang
4. Anestesia tunggal misalnya pada tindakan reposisi
5. Hipnotik pada pasien di ruang terapi intensif
Dosis dan cara pemakaian.
Untuk induksi, dibuat larutan dalam akuades atau NaCL 0,9% dengan konsentrasi
2,5% atau 5,0%. Dosis untuk induksi adalah 4-5 ml/kgBB, diberikan IV pelan-pelan. Pada
anak, orang tua dan pasien malnutrisi, dilakukan modifikasi dosis. Pada saat injeksi,
hendaknya dipastikan bahwa kanul berada di dalam pembuluh darah. Apabila terjadi
ekstravasasi, pasien akan menderita nyeri hebat akibat iritasi jaringan dan selanjutnya
timbul nekrosis jaringan di sekitar tempat suntikan. Penanggulangannya adalah segera
suntikkan obat anestesia lokal isobarik atau hipobarik kedalam jaringan yang mengalami
ekstravasasi.
Efek samping
1. Hipoventilasi sampai henti nafas
2. Menimbulkan risiko spasme laring dan bronkus
3. Depresi kardiovaskular
4. Bisa menimbulkan nekrosis sentral hati
Indikasi kontra
1. Penyakit paru obstruktif kronis
2. Dekompensasi kordis
3. Syok yang berat
4. Insufisiensi adrenokortikal
5. Status asmatikus
6. Porphyria

Ketamin hidroklorida
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan “rapid-
acting non-barbiturat general anesthetic” yang populer disebut sebagai Ketalar sebagai
nama dagang, pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carsen pada tahun 1965 yang
digunakan sebagai obat anestesia umum.
Sifat fisik
Merupakan larutan tidak berwarna, bersifat agak asam, dan sensitif terhadap cahaya
dan udara. Karena sangat sensitif terhadap cahaya, obat ini disimpan dalam botol (vial)
berwarna coklat agar terhindar dari pengaruh langsung sinar matahari. Terdapat tiga
kemasan vial dengan konsentrasi 100 mg/ml, 50 mg/ml, dan 10 mg/ml yang masing-
masing kemasan berisi 10 ml. Sebelum digunakan, dibuat larutan yang mengandung 10
mg/ml dengan akuades sebagai bahan pengencernya.
Efek farmakologi terhadap susunan saraf pusat.
Mempunyai efek analgesia sangat kuat, akan tetapi efek hipnotiknya kurang dan
disertai dengan efek disosiasi, artinya pasien mengalami perubahan persepsi terhadap
rangsang dan lingkungannya. Pada dosis lebih besar, efek hipnotiknya lebih sempurna.
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik maka pasien akan mengalami
perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata
terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak
disadari, seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor, dan kejang. Apabila diberikan
secara intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit. Ketamin sering
mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien
mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan
intra kranial. Efek-efek tersebut di atas dapat dikurangi dengan pemberian benzodiazepine
atau obat lain yang mempunyai khasiat amnesia sebelum diberikan ketamin.
Efek farmakologis terhadap mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus, dan kelopak mata terbuka secara spontan.
Terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus
koroidalis.
Efek farmakologis terhadap sistem kardiovaskular
Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa
meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung. Peningkatan tekanan darah disebabkan
oleh karena efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Efek farmakologis terhadap sistem respirasi
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi. Bisa
menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimet knya, sehingga merupakan obat
pilihan pada pasien asma.
Efek farmakologis terhadap pada otot
Tonus otot bergaris meningkat, bahkan bisa terjadi rigiditas sampai kejang-kejang.
Keadaan ini bisa dikurangi dengan pemberian diazepam terlebih dahulu, karena diazepam
menurunkan tonus otot. Kontraksi spontan otot kelompok mata menyebabkan mata terbuka
spontan dan kontraksi ritmis otot bola mata menyebabkan timbulnya nistagmus. Juga
terjadi peningkatan tonus otot uterus, yang sesuai dengan dosis yang diberikan
Efek terhadap refleks-refleks proteksi
Refleks proteksi jalan nafas masih utuh, oleh karena itu hendaknya hati-hati
melakukan isapan-isapan pada daerah jalan nafas atas, karena tindakan ini bisa
menimbulkan spasme laring.
Efek terhadap metabolisme
Ketamin merangsang sekresi hormon-hormon katabolik seperti: katekolamin,
kortisol, glukagon, tiroksin dan lain-lainnya, sehingga laju katabolisme tubuh meningkat.
Penggunaan klinik
Ketamin sangat populer digunakan dalam praktik anestesia, terutama untuk
pelayanan anestesia di rumah sakit dengan sarana terbatas. Penggunaannya sering
dikombinasikan dengan benzodiazepine untuk menekan efek buruk ketamin. Pada
umumnya ketamin digunakan untuk induksi anestesia, obat utama anestesia, operasi di
daerah superfisial yang berlangsung singkat dan tidak memerlukan relaksasi otot
maksimal, dan analgetik paskatrauma atau paskabedah.
Dosis dan cara pemberian.
1. Untuk induksi.
Diberikan intravena dalam bentuk larutan 1%, dengan dosis lazim 1-2/kg pelan-pelan.
Pada seksio sesaria, dosis dikurangi, yaitu 0,5-1,0 mg/kg. Pada anak-anak balita, untuk
induksi diberikan secara intramuskular (tanpa pengenceran) dengan dosis 5-10 mg/kg.
2. Untuk pemeliharaan.
Diberikan intravena intermiten atau tetes kontinyu. Pemberian secara intermiten
diulang setiap 10-15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi
selesai. Sedangkan pemberian secara infus tetes kontinyu hanya dilakukan pada
pembedahan tertentu saja.
Efek samping
1. Pada susunan saraf pusat, akibat efek disosiasinya menimbulkan halusinasi, mimpi
buruk dan kadang-kadang terjadi gaduh gelisah dan “banjir” kata-kata.
2. Pada respirasi, sering timbul spasme laring akibat rangsangan pada jalan nafas atas.
3. Pada kardiovaskular, terjadi hipertensi dan takikardi
4. Pada endokren, terjadi peningkatan kadar gula darah.
5. Pada otot rangka terjadi rigiditas.
6. Meningkatkan konsumsi oksigen jaringan
7. Meningkatkan jumlah perdarahan pada luka operasi.
Indikasi kontra
Mengingat efek farmakodinamiknya yang relatif kompleks sepert yang telah
disebutkan di atas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien
yang menderita penyakit sistemik, penggunaannya harus mempertimbangkan untung rugi.
Kontra indikasi penggunaan ketamin adalah:
1. Tekanan intra kranial meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi-
operasi intrakranial.
2. Tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada operasi
intra okuler.
3. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat-obat
simpatomimetik, seperti: hipertensi, tirotoksikosis, diabetes melitus, paeokromositoma,
penyakit jantung koroner, dan lain-lain.
Propofol
Merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-isoprofil fenol yang banyak dipakai
sebagai obat anestesia intravena. Pertama kali dipergunakan dalam praktik anestesi pada
tahun 1977 sebagai obat induksi.
Sifat fisik dan kimia serta kemasan
Berupa cairan berwarna putih sepert susu, tidak larut dalam air dan bersifat asam.
Dikemas dalam bentuk ampul, berisi 20 ml/ampul, yang mengandung 10 mg/ml.
Efek farmakologi terhadap susunan saraf pusat
Sebagai obat induksi, mulai kerjanya cepat. Penurunan kesadaran segera terjasi
setelah pemberian obat ini secara intravena. Pada pemberian dosis induksi (2 mg/kg),
pemulihan kesadaran berlangsung cepat, pasien akan bangun setelah 4-5 menit tanpa
disertai efek samping sepert misalnya mual muntah, sakit kepala, dan lain-lainnya. Khasiat
farmakologinya adalah hipnotik murni, tidak mempunyai efek analgetik maupun relaksasi
otot. Walaupun terjadi penurunan tonus otot rangka, hal ini disebabkan karena efek
sentralnya.
Terhadap sistem respirasi
Menimbulkan depresi respirasi yang beratnya sesuai dengan dosis yang diberikan.
Pada beberapa pasien, bisa disertai dengan henti nafas sesaat. Dibandingkan dengan
tiopenton, kejadian henti nafas lebih sering terjadi pada pemberian diprivan ini.
Terhadap sistem kardiovaskular
Depresi pada sistem kardiovaskular yang ditimbulkannya sesuai dengan dosis yang
diberikan. Tekanan darah turun yang segera diikut dengan kompensasi peningkatan denyut
nadi.
Terhadap sistem organ lain-lain
Tidak menimbulkan depresi sintesa hormon steroid adrenal dan tidak menimbulkan
pelepasan histamin, baik pada tempat suntikan maupun sistemik.
Penggunaan klinik dan dosis
1. Induksi anestesia, dengan dosis 2,0-2,5 mg/kg. Pada lansia dan bayi dosis ini harus
disesuaikan.
2. Suplemen anestesia umum dan analgesis regional.
3. Anestesia tunggal pada prosedur singkat, misal: reposisi.
4. Sedasi di ruang perawatan intensif.

Dexmedetomidine
Dexmedetomidine adalah agonis reseptor α2-adrenergik (α2-AR) generasi baru
yang sangat selektif yang dikaitkan dengan efek sparing terhadap obat penenang dan
analgesik, mengurangi delirium dan agitasi, simpatolisis perioperatif, efek penstabil
kardiovaskular, dan pelestarian fungsi pernapasan. Dexmedetomidine memiliki
keuntungan terutama pemulihan fungsi respirasi yang sangat baik pada pasien dengan
ventilasi mekanis sehingga dapat memfasilitasi penyapihan dini. Atas keuntungan yang
dimiliki oleh dexmedetomidine tersebut, obat ini lebih banyak digunakan di ruang terapi
intensif (ICU), meskipun juga banyak digunakan untuk keperluan anestesi.
Efek farmakologis pada sistem saraf pusat
Dexmedetomidine menurunkan aliran darah otak dan kebutuhan metabolisme otak
oksigen tetapi pengaruhnya terhadap tekanan intrakranial (ICP) belum jelas.
Dexmedetomidine memodulasi memori kerja spasial, meningkatkan kinerja kognitif selain
memiliki efek sedasi, analgesik, dan ansiolitik melalui α2-AR. Dexmedetomidine juga
memiliki efek neuroprotektifnya dengan mengurangi kadar katekolamin yang bersirkulasi
dan otak dan dengan demikian menyeimbangkan rasio antara pasokan oksigen otak,
mengurangi eksitotoksisitas, dan meningkatkan perfusi pada penumbra di area iskemik.
Selain itu, dexmedetomidine juga dapat menekan kadar glutamat yang berperan terhadap
cedera otak tingkat seluler, terutama pada perdarahan subaraknoid.
Terhadap respirasi
Dexmedetomidine tidak menekan fungsi pernapasan, bahkan pada dosis tinggi.
Dexmedetomidine tidak memiliki efek negatif langsung pada laju pernapasan dan
pertukaran gas ketika digunakan pada pasien yang bernapas spontan setelah operasi. Hal
ini menjadi hal yang menguntungkan karena dapat mempertahankan sedasi tanpa terjadi
ketidakstabilan kardiovaskular atau depresi pernafasan dan karenanya dapat memfasilitasi
penyapihan dan ekstubasi pada pasien trauma / bedah yang telah gagal dalam upaya
penyapihan sebelumnya karena agitasi dan respons kardiopulmoner hiperdinamik.
Terhadap kardiovaskular
Dexmedetomidine membangkitkan respons tekanan darah yang bifasik, yaitu fase
hipertensi yang singkat dan dan diikuti dengan fase hipotensi. Dua fase ini terjadi karena
mediasi oleh dua subtipe α2-AR yang berbeda, yaitu α-2B AR bertanggung jawab untuk
fase hipertensi awal, sedangkan hipotensi dimediasi oleh α2A-AR. Pada pasien yang lebih
muda dengan tingkat vagal yang tinggi, bradikardia dan sinus arrest dapat terjadi dan bisa
secara efektif diatasi dengan agen antikolinergik (atropin, glikoprolrolat).
Terhadap endokrin dan ginjal
Dexmedetomidine mengaktifkan presinaptik α2-AR perifer yang mengurangi
pelepasan katekolamin, dan karenanya mengurangi respons simpatik terhadap
pembedahan. Namun penelitian pada hewan telah menunjukkan terjadinya natriuresis dan
diuresis. Dexmedetomidine adalah agen imidazol tetapi tidak seperti etomidate, karena
tidak menghambat steroidogenesis ketika digunakan sebagai infus untuk sedasi jangka
pendek.
Penggunaan klinis dan dosis
Dexmedetomidine digunakan sebagai adjuvant untuk premedikasi, terutama pada
pasien yang rentan terhadap stres praoperasi dan perioperatif, karena memiliki sifat sedatif,
ansiolitik, analgesik, simpatolitik, dan hemodinamik yang stabil. Dexmedetomidine
mengurangi konsumsi oksigen pada periode intraoperatif (hingga 8%) dan pada periode
pasca operasi (hingga 17%). Dosis premedikasi adalah 0,33 hingga 0,67 mg/kg IV
diberikan 15 menit sebelum operasi (dosis ini meminimalkan efek samping hipotensi dan
bradikardia).
Dexmedetomidine menumpulkan respons hemodinamik terhadap intubasi dan
ekstubasi dengan simpatolisis. Mengingat tidak adanya depresi pernapasan, penggunaanya
tetap dapat dilanjutkan pada periode ekstubasi tidak seperti obat lain. Dexmedetomidine
mempotensiasi efek anestesi dari semua agen anestesi terlepas dari cara pemberian
(intravena, inhalasi, blok regional). Pemberian dexmedetomidine dalam konsentrasi yang
lebih rendah telah mengurangi kebutuhan agen anestesi lainnya; lebih sedikit intervensi
untuk mengobati takikardia; dan pengurangan insiden iskemia miokard. Namun, efek
samping seperti bradikardia dan hipotensi adalah keterbatasan penggunaannya sehingga
memerlukan terapi farmakologis jika sampai jatuh kedalam kondisi yang beresiko atau
telah memberikan dampak klinis. Efek ini dapat bersinergi dengan efek anestesi volatil
seperti vasodilatasi dan depresi miokard. Dexmedetomidine yang diberikan dalam
konsentrasi tinggi dapat menyebabkan hipertensi sistemik dan paru karena efek vaskular
perifer langsung atau dapat mengganggu fungsi miokard dan tekanan darah. Dosis umum
dexmedetomidine yang dapat diberikan untuk sedasi prosedural adalah 1mcg/kg,
dilanjutkan dengan pemberian kontinyu 0.2mcg/kg/jam, atau bila diperlukan dapat
diberikan titrasi dengan rentang dosis 0.2-1mcg/kg/jam. Onset dapat dicapai dalam kurang
dari 5 menit, sementara efek puncak tercapai dalam kurun waktu 15 menit.

Tabel 4.1 Perbandingan farmakokinetik dan farmakodinamik beberapa obat anestesia intravena
PEN PRO KET MID DEX
Dosis induksi (mg/kg) 2-5 2,0-2,5 1-2 0,1-0,3
Dosis kontinyu (mcg/kg/mnt) 200-300 100-200 10-100 0,25-1,0 0,2-0,71
Dosis sedasi (mcg/kg/mnt) 30-80 25-75 5-20 0,25-1,0 0,2-0,71
Durasi kerja (menit) 5-10 3-8 3-8 15-20 -
Protein binding (%) 83 97 12 94 94
Efek farmakodinamik
Ventilasi ↓ ↓ ? ? ?
Laju respirasi ↓ ↓ ? ? ?
Respon terhadap CO2 ↓ ↓ ? ? ?
Cerebral blood flow ↓ ↓ ↑ ? ?
CMRO2 ↓ ↓ ↑ ? ↓
Tekanan intrakranial ↓ ↓ ↑ ? ?
Efek antikonvulsan Ya ↔ ? Ya ?
Efek anxiolisis Tidak Tidak Tidak Ya Ya
Analgesia Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
Delirium saat mulai sadar Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
Nausea/vomiting ? ↓ ? ? ?
Supresi adrenocortical Tidak Tidak Tidak Ya Tidak
Nyeri saat injeksi Tidak Ya Tidak Tidak Tidak
PEN: pentothal; PRO: propofol; KET: ketamin; MID: midazolam; DEX: dexmedetomidine; CMRO2: cerebral
oxygen metabolic rate; ?: belum jelas; 1dosis dalam mcg/kg/jam

Obat anestesi umum inhalasi


Obat-obat anestesia inhalasi adalah obat-obat anestesia yangberupa gas atau cairan mudah
menguap, yang diberikan melalui sistem respirasi pasien. Campuran gas atau uap obat anestesia
dan oksigen masuk mengikut aliran udara inspirasi, mengisi seluruh rongga paru, selanjutnya
mengalami difusi dari alveoli ke kapiler paru sesuai dengan sifat fisik masing-masing gas.
Konsentrasi minimal fraksi gas atau uap obat anestesia di dalam alveoli yang mampu menimbulkan
efek analgesia pada pasien dipakai sebagai satuan potensi dari obat anestesia inhalasi, yang populer
disebut dengan MAC atau minimal alveolar concentration.
Berdasarkan kemasannya, obat anestesia umum inhalasi ada 2 macam. Yang pertama
adalah obat anestesia umum inhalasi yang berupa cairan yang mudah menguap misalnya derivat
halogen hidrokarbon (halotan, trikhloroetilin, khloroform) dan derivat eter (dietileter,
metoksifluran, enfluran, isofluran). Yang kedua adalah obat anestesia umum inhalasi yang berupa
gas, misalnya N2O. Metoksifluran tidak digunakan lagi, karena efek sampingnya sangat toksik
terhadap ginjal.

Halotan (F3C-CHBrCl)
Halotan disintesis pertama kali oleh CW Suckling di laboratorium “Imperial
Chemical Industries” Manchester pada tahun 1951. Digunakan pertama kali oleh M.
Johnstone di klinik Manchester, selanjutnya diikuti oleh Bryce-Smith dan O’ Brien di
Oxford.
Sifat fisik dan kimiawi.
Halotan atau disebut dengan nama kimia 2,bromo-2-khloro-1.1.1.trifluoroetan,
mempunyai berat molekul: 197, berat jenis 1.18 (pada suhu 25 derajat celsius) dan titik
didih 50 derajat celsius dan mempunyai MAC 0,87%.
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau harum tidak mudah terbakar atau
meledak, tidak iritatif dan tidak tahan terhadap sinar matahari. Apabila kena sinar matahari,
akan mengalami dekomposisi menjadi HCl, Hbr, Klorin, Bromin dan Fosgen bebas, diisi
timol 0,01% sebagai pengawet. Halotan bisa diserap oleh karet sirkuit anestesia, tetapi
kurang larut dalam polietilin dan tidak mengalami dekomposisi bila melewat karbon
absorben.
Efek farmakologi terhadap susunan saraf pusat.
Menimbulkan depresi pada sistem saraf pusat di semua komponen otak. Depresi
pusat kesadaran menimbulkan efek hipnotik, depresi pada pusat sensorik menimbulkan
khasiat analgesia dan depresi pada pusat motorik menimbulkan otot. Tingkat depresinya
tergantung dari dosis yang diberikan. Terhadap pembuluh darah otak menyebabkan
vasodilatasi, sehingga aliran darah otak meningkat dan hal ini menyebabkan tekanan
intrakranial meningkat, oleh karena itu tidak dipilih untuk anestesi pada kraniotomi.
Terhadap sistem kardiovaskular.
Menimbulkan depresi langsung “S-A Node” dan otot jantung, relaksasi otot polos
dan inhibisi baroreseptor. Keadaan ini akan menyebabkan hipotensi yang derajatnya
tergantung dari dosis dan adanya interaksi dengan obat lain, misalnya dengan tubokurarin.
Gangguan irama jantung kerapkali terjadi, sepert bradikardi, ekstrasistol ventrikel,
takikardi ventrikel, bahkan bisa terjadi fibrilasi ventrikel. Hal ini disebabkan karena
peningkatan eksitagen maupun eksogen serta adanya retensi CO2. Batas keamanan halotan
terhadap kardiovaskular sangat sempit, maksudnya, konsentrasi obat untuk mencapai efek
farmakologi yang diharapkan sangat dekat dengan efek depresinya.
Terhadap sistem respirasi.
Pada konsentrasi tinggi, menimbulkan depresi pusat nafas, sehingga pola nafas
menjadi cepat dan dangkal, volume tidal dan volume nafas semenit menurun dan
menyebabkan dilatasi bronkus.
Terhadap ginjal.
Halothane pada dosis lazim secara langsung akan menurunkan aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus, tetapi efek ini temporer dan tidak mempengaruhi autoregulasi
aliran darah ginjal. Hasil metabolitnya terutama bromidnya akan diekskresikan melalui
ginjal dan apabila terdapat gangguan fungsi ginjal, ekskresinya akan terhambat sehingga
akan terjadi akumulasi.
Terhadap otot rangka.
Berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot golongan non depolarisasi, sehingga pada
pemakaian kombinasi kedua obat ini, perlu dilakukan modifikasi dosis. Pada saat
persalinan normal, begitu juga pada seksio sesaria.
Terhadap hati.
Pada konsentrasi 1,5 vol%, akan menurunkan aliran darah pada lobulus sentral hati
sampai 25-30%. Faktor-faktor yang lain disamping halotan yang ikut berpengaruh tehadap
aliran darah, antara lain aktivitas sistem saraf simpatis, tindakan pembedahan, hipoksia,
hiperkarbia dan refleks splancnik. Penurunan aliran darah pada lobulus sentral ini
menimbulkan nekrosis sel pada sentral hati yang diduga sebagai penyebab dari “hepatitis
post-halothane”. Kajadian ini akan lebih menifes, apabila diberikan halotan berulang dalam
waktu relatif singkat. Kejadian “hepatitis post-halothane”, pertama kali dilaporkan di USA
pada tahun 1958, selanjutnya pada tahun 1966 diadakan penelitian besar-besaran untuk
membukt kan laporan tersebut. Dilakukan evaluasi pada 850.000 kasus pasien yang
diberikan anestesi halotan. Ternyata penelitian ini menyangkal anggapan bahwa halotan
menimbulkan nekrosis sel hati. Selanjutnya beberapa percobaan laboratorium juga gagal
membuktikan efek toksik langsung halotan pada hepar. Jadi sikap yang disepakati pada
saat ini adalah bahwa mungkin saja terjadi nekrosis sel hati setelah anestesia dengan
halotane, tetapi mekanisme masih belum jelas.
Terhadap suhu tubuh.
Induksi dengan halotan akan sehera menurunkan suhu sentral tubuh 1 derajat
Celsius, tetapi meningkatkan suhu permukaan tubuh akibat redistribusi panas tubuh ke
permukaan. Selanjutnya pada periode pemeliharaan anestesia, suhu permukaanpun akan
turun akibat dilatasi pembuluh darah sehingga terjadi pelepasan panas tubuh.
Penggunaan klinik.
Halotan digunakan terutama sebagai komponen hipnot k dalam pemeliharaan
anestestesia umum. Disamping efek hipnotik, halotan juga mempunyai efek analgetik
ringan dan relaksasi otot ringan. Pada bayi dan anal-anak yang tidak kooperatif, halotan
digunakan untuk induksi bersama-sama dengan N2O secara inhalasi.
Untuk mengubah cairan halotan menjadi uap, diperlukan alat penguap
(“vaporizer”) khusus halotan, misalnya: Fluotec, Halomix, Copper kettle, Drager dan lain-
lainnya.
Dosis.
1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 2,0 – 3,0%
bersama-sama dengan N2O.
2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, konsentrasinya berkisar antara 1,0%
- 2,5%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar antara 0,5-1,0%.
Indikasi kontra.
Penggunaan halotan tidak dianjurkan pada pasien:
1. Menderita gangguan fungsi hati dan gangguan irama jantung.
2. Operasi kraniotomi.
Keuntungan dan Kelemahan.
1. Keuntungannya adalah: induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap mukosa jalan
nafas, pemulihannya relatif cepat, tidak menimbulkan mual-muntah dan tidak meledak
atau terbakar.
2. Kelemahannya adalah: batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan dosis):
analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain:
menimbulkan hipotensi, gangguan irama jantung dan hepatotoksik: dan menimbulkan
menggigil pasca anestesia.

Isofluran
Merupakan merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak
berwarna, tidak eksplosif, tidak mengandung zat pengawet dan relatif tidak larut dalam
darah tapi cukup iritatif terhadap jalan nafas sehingga pada saat induksi inhalasi sering
menimbulkan batuk dan spasme jalan nafas. Proses induksinya dan pemulihannya relatif
cepat dibandingkan dengan obat-obat anestesia inhalasi yang ada pada saat ini tapi masih
lebih lambat dibandingkan dengan Sevofluran.
Efek farmakologi terhadap sistem saraf pusat.
Efek depresinya pada SSP sesuai dengan dosis yang diberikan. Isoflurane tidak
menimbulkan kelainan EEG sepert yang ditimbulkan oleh Enflurane. Pada dosis anestesia
tidak menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebral serta mekanisme
autoregulasi aliran darah otak tetap stabil.Kelabihan lain yang dimiliki oleh isoflurane
adalah penurunan konsumsi oksigen otak. Sehingga dengan demikian isoflurane
merupakan obat pilihan untuk anestesia pada kraniotomi, karena tidak berpengaruh pada
tekanan intrakranial, mempunyai efek proteksi serebral dan efek metaboliknya yang
menguntungkan pada teknik hipotensi kendali.
Terhadap sistem kardiovaskular.
Efek depresinya pada otot jantung dan pembuluh darah lebih ringan dibanding
dengan obat anestesia volatil yang lain. Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama
anestesia. Dengan demikian merupakan obat pilihan untuk anestesia pasien yang menderita
kelainan kardiovaskular.
Terhadap sistem respirasi.
Sepert halnya dengan obat anestesia inhalasi yang lain, Isoflurane juga
menimbulkan depresi pernafasan yang derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan.
Terhadap otot rangka.
Menurunkan tonus otot skelet melalui mekanisme depresi pusat motoris pada
serebrum, sehingga dengan demikian berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot non
depolarisasi. Walaupun demikian masih diperlukan obat pelumpuh otot untuk
mendapatkan keadaan relaksasi otot yang optimal terutama pada operasi laparotomi.
Terhadap ginjal.
Pada dosis anestesia, isofluran menurunkan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glumerulus menurun sehingga produksi urin berkurang, akan tetapi masih dalam batas
normal.
Terhadap hati.
Isofluran tidak menimbulkan perubahan fungsi hati. Sampai saat ini belum ada
laporan hasil penelitian yang menyatakan bahwa Isofluran hepatotoksik.
Biotransformasi.
Hampir seluruhnya dikeluarkan untuk melalui udara ekspirasi, hanya 0,2%
dimetabolisme dalam tubuh. Konsentrasi metabolitnya sangat rendah, tidak cukup untuk
menimbulkan gangguan fungsi ginjal.
Penggunaan klinik.
Sama seperti halotan dan enfluran, isofluran digunakan terutama sebagai komponen
hipnotik dalam pemeliharaan anestesia umum. Disamping efek hipnotik, juga mempunyai
efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan. Untuk mengubah cairan isofl uran menjadi
uap, diperlukan alat penguap (“vaporizer”) khusus isofluran.
Dosis.
1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 2,0 - 3,0%
bersama-sama dengan N2O.
2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, konsentrasinya berkisar antara 1,0%
- 2,5%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar antara 0,5 - 1,0%.
Indikasi kontra.
Tidak ada kontra indikasi yang unik. Hati-hati pada hipovolemik berat
Keuntungan dan kelemahan.
1. Keuntungannya adalah: induksi cepat dan lancar, tapi cukup iritatif terhadap mukosa
jalan nafas, pemulihannya lebih cepat dibandingkan dengan halotan dan enfluran, tidak
menimbulkan mual-muntah dan tidak menimbulkan kejadian menggigil pasca
anestesia dan tidak mudah meledak atau terbakar. Penilaian terhadap pemakaian
Isoflurane saat ini adalah bahwa isofluran tidak menimbulkan goncangan terhadap
fungsi kardiovaskular, tidak mengubah sensitivitas otot jantung terhadap katekolamin,
sangat sedikit yang mengalami pemecahan dalam tubuh dan tidak menimbulkan efek
eksitasi SSP.
2. Kelemahannya adalah: batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan dosis):
analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain.

Sevofluran
Merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak berwarna, tidak
eksplosif, tidak berbau dan tidak iritatif sehingga baik untuk induksi inhalasi. Proses
induksi dan pemulihannya paling cepat dari semua obat-obat anestesia inhalasi yang ada
pada saat ini. Dapat dirusak oleh kapur soda tetapi belum ada laporan yang membahayakan.
Efek farmakologi terhadap sistem saraf pusat.
Efek depresinya pada SSP hampir sama dengan Isoflurane. Aliran darah otak
sedikit meningkat sehingga sedikit meningkatkan tekanan intrakranial. Laju metabolisme
otak menurun cukup bermakna, sama dengan isofluran.
Terhadap sistem kardiovaskular.
Relatif stabil dan tidak menimbulkan aritmia selama anestesia dengan sevofluran.
Tahanan vaskular dan curah jantung sedikit menurun sehingga tekanan darah sedikit
menurun.
Terhadap sistem respirasi.
Seperti halnya dengan obat anestesia inhalasi yang lain, sevofl urane juga
menimbulkan depresi pernafasan yang derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan
sehingga volume tidal akan menurun, tapi frekuensi nafas sedikit meningkat.
Terhadap otot rangka.
Efeknya terhadap tonus otot rangka lebih lemah dibandingkan dengan isofluran.
Terhadap ginjal.
Pada dosis anestesia, efek sevofluran terhadap aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glumerulus lebih ringan dibandingkan isofl uran. Belum diketahui dengan pasti efeknya
terhadap laju filtrasi glomerulus dan produksi urin.
Terhadap hati.
Tidak toksik dan tidak menimbulkan perubahan fungsi hati. Aliran darah hati
sedikit menurun
Biotransformasi.
Hampir seluruhnya dikeluarkan untuk melalui udara ekspirasi, hanya sebagian kecil
2-3% dimetabolisme dalam tubuh. Konsentrasi metabolitnya sangat rendah, tidak cukup
untuk menimbulkan gangguan fungsi ginjal.
Penggunaan klinik.
Sama sepert agen volatil yang lain, sevofluran digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesia umum. Disamping efek hipnotik, juga
mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan. Pada bayi dan anak-anak yang
tidak kooperatif, sangat baik digunakan untuk induksi. Untuk mengubah cairan isofluran
menjadi uap, diperlukan alat penguap (“vaporizer”) khusus sevofluran.
Dosis.
1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 3.0 - 5.0%
bersama-sama dengan N2O.
2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, konsentrasinya berkisar antara 2.0%
- 3%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar antara 0.5 - 1.0%.
Indikasi kontra.
Hati-hat pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced hyperthermia”,
hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.
Keuntungan dan kelemahan.
1. Keuntungannya adalah: induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap mukosa jalan
nafas, pemulihannya paling cepat dibandingkan dengan agen volatil yang lain.
2. Kelemahannya adalah: batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan dosis):
analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain.

Desfluran
Merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinis nya sama dengan
isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan dengan agen volatil yang lain.
Memerlukan alat penguap khusus (TEC-6) elektrik tidak seperti agen yang lain.
Efek farmakologi
Efek klinisnya hampir sama dengan isofluran. Hanya efeknya terhadap respirasi
dapat menimbulkan rangsangan pada jalan nafas sehingga tidak digunakan untuk induksi.
Bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi tetapi tidak bermakna meningkatkan
tekanan darah. Terhadap hepar dan ginjal sama dengan sevofluran.
Biotransformasi.
Hampir seluruhnya dikeluarkan untuk melalui udara ekspirasi, hanya <0,1%
dimetabolisme dalam tubuh.
Penggunaan Klinik.
Sama seperti agen volatil yang lain, desfluran digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesia umum. Disamping efek hipnotik, juga
mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan.
Dosis.
1. Untuk induksi, disesuaikan dengan kebutuhan
2. Untuk pemeliharaan tergantung dengan racikan obat yang lain dan disesuikan dengan
kebutuhan.
Indikasi Kontra
Hati-hati pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced hyperthermia”,
hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.
Keuntungan dan kelemahan.
1. Keuntungannya hampir sama dengan isofluran
2. Kelemahannya adalah: batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan dosis):
analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain.

Nitrous Oksida (N2O)


Ditemukan oleh Priestley pada tahun 1772, kemudian pada tahun 1779, oleh
Humphrey Davy menyatakan bahwa N2O mempunyai efek anestesia. Pada tahun 1844
Cotton dan Wells mempergunakan dalam praktik klinik. Populer disebut dengan gas gelak.
Kemasan dan sifat fisik.
N2O dibuat dengan cara memanaskan amonium nitrat dalam retor (sejenis labu)
dari besi sampai suhu mencapai 240°C. Gas yang dihasilkan ditampung, dipurifikasi dan
dekompresi ke dalam silider metal warna biru pada tekanan 51 atm-750 lb.per.sq.in. N2O
merupakan gas yang tidak berwarna, berbau harum manis, t dak mudah terbakar dan tidak
mudah meledak tetapi membantu proses kebakaran akibat gas lain. Mempunyai berat
molekul 44, tekanan kritis 71,7 atm, suhu kritis 36,5°C, berat jenis 1,5 (udara 1).
Absorpsi, Distribusi dan Eliminasi.
Berdasarkan saturasinya dalam darah, absorpsi N2O bertahap; pada 5 menit
pertama absorsinya mencapai saturasi 100% dicapai setelah 5 jam. Pada tingkat saturasi
100% tidak ada lagi absorpsi dari alveoli dan dalam darah. Pada keadaan ini konsentrasi
N2O dalam darah sebanyak 47 ml N2O dalam 100 ml darah. Di dalam darah, N2O tidak
terikat dengan hemoglobin tetapi larut dalam plasma dengan kelarutan 15 kali lebih besar
dari kelarutan oksigen. N2O mampu berdifusi ke dalam semua rongga-rongga dalam tubuh,
sehingga bisa menimbulkan hipoksia-difusi apabila diberikan tanpa kombinasi dengan
oksigen, oleh karena itu setiap mempergunakan N2O harus selalu dikombinasikan dengan
oksigen.
Terhadap sistem saraf pusat.
Berkhasiat analgesia dan tidak mempunyai khasiat hipnotikum. Khasiat
analgesianya relatif lemah akibat kombinasinya dengan oksigen. N2O tidak mengikut
klasifikasi stadium anestesia dari Guedel dalam kombinasinya dengan oksigen dan sangat
tidak mungkin mencoba memakai N2O tanpa oksigen hanya karena ingin tahu gambaran
stadium anestesia dari Guedel. Efeknya terhadap tekanan intrakranial sangat kecil bila
dibandingkan dengan obat anestesia yang lain. Terhadap susunan saraf otonon, N2O
merangsang reseptor alfa saraf simpatis, tetapi tahanan perifer pembuluh darah tidak
mengalami perubahan.
Terhadap sistem-organ yang lain.
Pada pemakaian yang lazim dalam praktik anestesia, N2O tidak mempunyai
pengaruh negatif terhadap sistem kardiovaskular, hanya sedikit menimbulkan dilatasi pada
jantung.
Terhadap sistem respirasi, ginjal sistem reproduksi, endokrin dan metabolisme
serta sistem otot rangka tidak mengalami perubahan, tonus otot tetap tidak berubah
sehingga dalam penggunaannya mutlak memerlukan obat pelumpuh otot. Dilaporkan pada
pemakaian jangka lama secara terus menerus lebih dari 24 jam bisa menimbulkan depresi
pada fungsi hematopoietik. Anemia megaloblastik sebagai salah satu efek samping pada
pemakaian N2O jangka lama.
Efek samping.
Walaupun N2O dikatakan sebagai obat anestetik non toksik dan mempunyai
pengaruh yang sangat menimal pada sistem organ seperti tersebut di atas, kadang-kadang
terjadi juga efek samping seperti berikut:
1. N2O akan meningkatkan efek depresi nafas dari obat tiopenton terutama setelah
diberikan premedikasi narkotik.
2. Kehilangan pendengaran pasca anestesia, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan
solubilitas antara N2O dan N2 sehingga terjadi perubahan tekanan pada rongga telinga
tengah.
3. Pemanjangan proses pemulihan anestesia akibat difusinya ketubuh seperti misalnya
pneomotoraks.
4. Pemakaian jangka panjang menimbulkan depresi sumsum tulang sehingga bisa
menyebabkan anemia aplastik.
5. Mempunyai efek teratogenik pada embrio terutama pada umur embrio 8 hari – 6
minggu, yang dianggap periode kritis.
6. Hipoksia difusi pasca anestesia. Hal ini terjadi sebagai akibat dari sifat difusinya yang
luas sehingga proses evaluasinya terlambat. Oleh karena itu pada akhir anestesia,
oksigenasinya harus diperhatikan.
Penggunaan Klinik.
Dalam praktik anestesia, N2O digunakan sebagai obat dasar dari anestesia umum
inhalasi dan selalu dikombinasikan dengan Oksigen dengan perbandingan antara N2O : O2
= 70: 30 (untuk pasien normal), 60: 40 (untuk pasien yang memerlukan tunjangan oksigen
lebih banyak) atau 50 : 50 ( untuk pasien yang berisiko tinggi). Oleh karena N2O hanya
berkhasiat analgesia lemah, maka dalam penggunaannya selalu dikombinasikan dengan
obat lain yang berkhasiat sesuai dengan target “trias anestesia” yang ingin dicapai.
Kecelakaan dalam penggunaan N2O.
Kecelakaan dalam praktik anestesia mempergunakan N2O sering kali terjadi. Hal
ini disebabkan oleh faktor alat atau mesin anestesia yang digunakan dan faktor manusianya,
akibat kelalaian. Seperti telah diuraikan di atas, pemakaian N2O harus selalu diberikan
bersama-sama dengan oksigen. Kecelakaan bisa terjadi pada saat induksi, pada saat
pemeliharaan atau pada saat akhir anestesia. Pada saat induksi, petugas anestesia ingin
memberikan oksigen, tetapi yang dialirkan justru N2O.
Pada saat pemeliharaan, persediaan oksigen habis dan petugas tidak waspada. Pada
saat akhir anestesia, petugas anestesia bermaksud memberikan oksigenasi, tetapi yang
dialirkan justru N2O. Untuk mengurangi risiko kecelakaan dalam penggunaan N2O,
dilakukan modifikasi dan penyempurnaan sarana sistem perpipaan gas di Rumah Sakit dan
mesin anestesia. Kemasan tabung gas diberi tanda/warna/label tertentu, sistem perpipaan
dilengkapi dengan alat pengaman dan mesin anestesia dibuat sedemikian rupa sehingga
tanpa aliran oksigen, gas N2O tidak bisa mengalir

OBAT-OBAT ANALGETIK
Analgetik adalah hal yang sangat penting dalam suatu tindakan anestesi. Tingkat kepuasan
pasien terhadap tindakan pembedahan dan juga tindakan anestesi selalu dinilai dari manajemen
nyeri, baik pada saat sebelum, saat, dan sesudah tindakan operasi. Pengenalan yang baik terhadap
jenis-jenis analgetik akan memudahkan seorang ahli anestesi untuk memberikan kombinasi obat
analgetik dengan baik, sehingga dosis dapat dikurangi, efek samping yang lebih rendah dan
berujung pada tingkat kepuasan pasien yang lebih baik. Pemberian analgetik dengan format
multimodal merupakan strategi penanganan yang paling ideal saat ini.

Golongan analgetik narkotik atau opioid.


Berdasarkan struktur kimia, analgetik narkotik atau opioid, dibedakan menjadi 3 kelompok:
1. Alkaloid opium (natural): morfin dan kodein
2. Derivat semisintetik: diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oksimorfon, hidrokodon dan
oksikodon.
3. Derivat sintetik
a. Fenilpiperidine: petidin, fentanil, sulfentanil, alfentanil dan remifentanil.
b. Benzmorfans: Pentazosin, fenazosin dan siklazosin.
c. Morfinans: lavorvanol
d. Propionanilides: metadon
e. Tramadol
Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada reseptorreseptor opioid yang
diketahui ada 4 reseptor, yaitu:
1. Reseptor Mu.
Stimulasi pada reseptor ini akan menimbulkan analgesia, rasa segar, euforia, dan depresi
respirasi. Contoh obat: Morfin, fentanil
2. Reseptor Kappa
Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi dan anestesia. Contoh obat: morfin,
oxykodon
3. Reseptor Sigma.
Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi, pupil midriasis dan
stimulasi respirasi. Opioid endogen seperti endorfin, leuenkephalin berikatan pada reseptor
ini
4. Reseptor Delta.
Pada manusia peran reseptor ini belum diketahui dengan jelas. Diduga memperkuat
reseptor Mu. Contoh obat: pentazosin
Golongan narkotik yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah: petidin dan morfin.
Sedangkan fentanil dan golongan lain lebih sering digunakan sebagai suplemen anestesia.
Efek terhadap susunan saraf pusat.
Sebagai analgetik, obat ini bekerja pada talamus dan substansia gelatinosa medula spinalis,
disamping itu, narkotik juga mempunyai efek sedasi
Efek terhadap respirasi.
Menimbulkan depresi pusat nafas terutama pada bayi dan orang tua. Efek ini akan lebih
kuat pada keadaan umum pasien yang buruk sehingga perlu pertimbangan seksama dalam
penggunaannya. Namun demikian efek ini dapat dipulihkan dengan nalorpin atau nalokson.
Efek terhadap bronkus
Petidin menyebabkan dilatasi bronkus, sedangkan morfin menimbulkan konstriksi akibat
pengaruh pelepasan histamin.
Efek terhadap sirkulasi.
Tidak menimbulkan depresi sistem sirkulasi, sehingga cukup aman diberikan pada semua
pasien kecuali bayi dan orang tua. Pada kehamilan, narkotik dapat melewat barier plasenta
sehingga bisa menimbulkan depresi nafas pada bayi baru lahir.
Efek terhadap sistem lain.
Merangsang pusat muntah, menimbulkan spasme spinter kandung empedu sehingga
menimbulkan kolik abdomen. Morfin merangsang pelepasan histamin sehingga bisa
menimbulkan rasa gatal seluruh tubuh atau minimal pada daerah hidung, sedangkan petidin,
pelepasan histaminnya bersifat lokal ditempat suntikan.
Penggunaan klinik.
Morfin mempunyai kekuatan 10 (sepuluh) kali dibandingkan dengan petidin, ini berarti bahwa
dosis morfin sepersepuluh dari petidin, sedangkan fentanil 100 kali dari petidin. Berikut
gambaran dosis ekuianalgesia opiat
Nama obat Parenteral (mg) Oral (mg)

Morfin 10 30
Buprenorfin 0.3 0.4

Kodein 100 200

Fentanil 0.1 Tidak tersedia

Hidrokodon Tidak tersedia 30

Hidromorfon 1.5 7.5

Pethidin 100 300

Oxykodon 10 20

Tramadol 100 120

Analgetik narkotik dapat digunakan sebagai:


1. Premedikasi: petidin diberikan intramuskular dengan dosis 1 mg/kg bb atau intravena
0,5mg/kgbb, sedangkan morfin sepersepuluhnya dari petidin, sedangkan fentanil
seperseratus dari petidin.
2. Analgetik untuk pasien yang menderita nyeri akut/kronis, diberikan sistemik
(intravena atau transdermal) atau regional intratekal/epidural.
3. Suplemen anestesia atau analgesia.
4. Analgetik pada tindakan endoskopi atau diagnostik lain
5. Suplemen sedasi dan analgetik di Unit Terapi Intensif.
Kontra indikasi
Pemberian narkotik harus hati-hat pada pasien orang tua atau bayi dan keadaan umum yang
buruk. Perhatian khusus untuk diberikan pada pasien yang mendapatkan preparat penghambat
monoamin oksidase, pasien asma dan penderita penyakit hati.
Efek samping atau tanda-tanda intoksikasi
1. Memperpanjang masa pulih anestesia.
2. Depresi pusat nafas hingga pasien bisa henti nafas
3. Pupil miosis
4. Spasme bronkus pada pasien asma terutama akibat morfin
5. Kolik abdomen akibat spasme sphincter kandung empedu
6. Mual muntah dan hipersalivasi
7. Gatal-gatal seluruh tubuh
Penanggulangan efek samping ini dilakukan dengan jalan memberikan bantuan hidup
dasar dan segera memberikan obat reversal.
Toleransi dan adiksi.
Toleransi adalah suatu kondisi pasien yang memerlukan dosis lebih besar dari dosis
sebelumnya untuk memperoleh efek yang sama, sedangkan adiksi adalah kondisi pasien yang
mengalami ketergantungan terhadap opiat. Kedua kondisi ini disebabkan karena pemakaian
berulang dan dalam jangka waktu lama.
Sindrom Abstinensia (Withdrawal syndrome)
Apabila seorang pemadat opiat, dihentikan pemberiannya secara mendadak, maka
akan terjadi “sindrom withdrawal” yang akan muncul dalam 10-12 jam setelah pemakaian
obat dihentikan. Gejala- gejalanya adalah: menguap, ingusan, berkeringat, gelisah,
lakrimasi, sukar tidur, pupil midriasis, kram, mual-muntah dan diare. Gejala ini mencapai
puncak dalam waktu 72 jam dan mereda setelah 7–10 hari.

Kemasan.
1. Petidin dalam bentuk ampul 2 ml yang mengandung 50mg/ml tidak berwarna.
2. Fentanil dikemas steril dalam bentuk ampul 100mcg dan 500mcg, tiap ml mengandung
50mcg/100mcg, berupa cairan jernih dan tidak berwarna. Fentanil juga tersedia dalam
bentuk patch transdermal dengan berbagai sediaan yang berbeda tergantung farmasi. Di
Indonesia, patch transdermal fentanil tersedia dalam dosis 12.5mcg/jam, 25mcg/jam, dan
50mcg/jam.
3. Morfin dalam bentuk ampul 1 ml yang mengandung 10 mg, tidak berwarna dan bisa
dicampur dengan obat lain. Morfin juga tersedia dalam bentuk tablet lepas lambat dan tablet
biasa.
4. Oxycodone dalam bentuk ampul 10mg dan 20mg, cairan jernih dan tidak berwarna.
Oxykodon juga tersedia dalam bentuk tablet lepas lambat dan kapsul aksi cepat.
5. Remifentanil dalam bentuk vial 1mg dan 5mg. Dikemas dalam bentuk serbuk, dan biasa
dilarutkan dengan NaCl 0,9% sesuai kebutuhan. Untuk penggunaannya sebaiknya dengan
cara titrasi menggunakan TCI (target-controlled infusion)

Golongan analgetik Cycloocygenase Inhibitor (COX)


Cyclooxygenase (COX) adalah enzim yang terlibat dalam konversi asam arakidonat menjadi
prostaglandin H2, yang merupakan prekursor beberapa molekul, termasuk prostaglandin,
prostasiklin, dan tromboxan. Penghambatan COX yang menjadi faktor kunci dalam pembentukan
prostaglandin dapat menghilangkan gejala peradangan dan rasa sakit. COX terbagi menjadi 2
macam, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 memiliki reseptor yang tersebar secara luas diseluruh
bagian tubuh, termasuk di saluran pencernaan dan platelet. Sementara itu COX-2 diproduksi
sebagai respon dari inflamasi atau peradangan. Obat analgetik yang menghambat COX secara
tidak selektif (mengenai COX-1 dan COX-2 sekaligus) dapat meredakan demam, inflamasi, nyeri,
dan thrombosis. Namun tentunya dengan penghambatan pada COX-1, maka jenis obat tersebut
juga akan memberikan efek inhibisi platelet dan efek negatif pada gastrointestinal. Obat yang
menghambat COX secara tidak selektif sering disebut sebagai Non steroid anti inflammatory drugs
(NSAIDs). Sebaliknya, untuk analgetik yang secara spesifik hanya menghambat COX-2 dapat
digunakan tanpa perlu merisaukan efeknya terhadap fungsi platelet dan efek negatif ke
gastrointestinal. Namun, penggunaan COX-2 akan berdampak meningkatkan resiko trombosis
sehingga juga akan meningkatkan resiko terjadinya serangan jantung dan stroke.
Jenis-jenis obat NSAID (Nonsteroid anti inflammatory drug) ini adalah:
1. Penghambat COX yang tidak selektif
• Salisilat: aspirin (acetylsalicylic acid), diflunisal
• Turunan asam proprionat: ibuprofen, ketoprofen, dexketoprofen
• Turunan asam asetat: indometasin, sulindak, ketorolak, diklofenak
• Turunan asam enolat (oksikam): piroksikam, meloksikam, fenilbutason
• Turunan asam entralinat: asam mefenamat
2. Penghambat COX-2 selektif
• Coxib: Celecoxib, Parecoxib, Etoricoxib
• Sulfonanilida: Nimesulida
3. Golongan lain
Obat-obat yang berada digolongan ini adalah obat-obat yang sering menjadi perdebatan
untuk dianggap sebagai NSAID atau memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan
kedua jalur utama diatas.
• Penghambat COX-3: parasetamol, metamizole/metampiron, phenacetin,
antipyrine.
• Penghambat lipooksigenase: Licofelone

Efek terhadap kardiovaskular


Analgetik penghambat COX tidak berdampak secara langsung pada sistem kardiovaskular,
melainkan sebagai efeknya terhadap fungsi koagulasi. Prostaglandin menjaga patensi duktus
arteriosus, sehingga penghambat prostaglandin sering diberikan pada neonatus dengan
persistent ductus arteriosus (PDA) untuk merangsang penutupannya.
Efek terhadap respirasi
Analgetik penghambat COX tidak berdampak pada sistem respirasi dan paru jika diberikan
pada dosis klinis. Penggunaan aspirin dengan dosis yang berlebihan dapat memberikan efek
yang kompleks pada keseimbangan asam basa dan respirasi.
Efek terhadap gastrointestinal
Analgetik penghambat COX-1 memberikan efek klasik pada gastrointestinal. Dalam kasus
yang ekstrim seperti pada penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan perdarahan pada
saluran cerna bagian atas. Hal tersebut merupakan dampak langsung dari obat yang
menghambat efek perlindungan mukosa oleh prostaglandin, dan juga akibat dari gangguan
fungsi perdarahan. Penggunaan parasetamol yang berlebihan juga dikaitkan dengan kegagalan
fungsi hati.
Efek terhadap ginjal
NSAID juga dikaitkan dengan insiden yang cukup tinggi dari efek merugikan pada ginjal
dan dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis. Hal ini disebabkan oleh perubahan aliran
darah ginjal. Prostaglandin yang seharusnya berperan dalam terjadinya dilatasi arteriol aferen
glomeruli akan dihambat oleh obat golongan ini. Sehingga akan terjadi gangguan perfusi
glomerulus dan laju filtrasi glomerulus (GFR), yang tampak dari indikator pemeriksaan fungsi
ginjal. Proses tersebut terutama terjadi saat di mana ginjal berusaha mempertahankan tekanan
perfusi ginjal dengan peningkatan kadar angiotensin II. Karena NSAID memblokir efek
dilatasi arteriol aferen yang dimediasi prostaglandin ini, sehingga akan menyebabkan
konstriksi arteriol aferen yang signifikan dan penurunan aliran perfusi ginjal dan GFR.
Agen ini juga dapat menyebabkan kerusakan ginjal, terutama dalam kombinasi dengan
agen nefrotoksik lainnya. Resiko kegagalan ginjal akan meningkat jika obat golongan ini
digunakan bersama dengan ACE inhibitor (yang menghambat vasokonstriksi angiotensin II
dari arteriol eferen) dan diuretik (yang menurunkan volume plasma dan berujung pada
terjadinya penurunan aliran perfusi ginjal)

OBAT-OBAT PELUMPUH OTOT


Relaksasi otot rangka merupakan salah satu dari trias anestesia yang harus dipenuhi pada
operasi-operasi besar sepert misalnya laparatomi, torakotomi dan operasi-operasi yang
memerlukan nafas kendali. Relaksasi otot rangka ini bisa diperoleh dari efek obat anestesia, seperti
misalnya eter, halotan dan obat inhalasi yang lain, namun mencapai relaksasi otot yang optimal
memerlukan dosis yang besar sehingga akan muncul efek samping yang justru lebih berbahaya.
Untuk mendapatkan khasiat relaksasi yang optimal tanpa harus menghadapi efek samping obat
yang berbahaya bagi pasien, digunakan obat pelumpuh otot. Walaupun sesungguhnya pada
kebanyakan kepustakaan, obat pelumpuh otot ini tidak termasuk dalam obat anestesia, akan tetapi
sepert telah dijelaskan sebelumnya, relaksasi otot merupakan salah satu dari trias anestesia, maka
ini berarti bahwa obat pelumpuh otot juga termasuk obat anestesia.
Agar memahami mekanisme kerja obat pelumpuh otot, diperlukan pemahaman tentang
fisiologi saraf - otot rangka.
Mekanisme hambatan saraf otot.
Transmisi rangsang saraf ke otot terjadi pada “neuro-muscular junction” atau hubungan
saraf-otot melalui mediator atau neuro transmiter asetilkholin. Asetilkolin adalah sejenis mediator
yang dihasilkan oleh ujung saraf motoris melalui proses asetilasi kolin ekstra sel dan ko-enzim A,
selanjutnya akan bekerja pada reseptor otot rangka pada hubungan saraf otot yang bersangkutan.
Dengan demikian akan terjadi hantaran saraf-otot, sehingga tonus otot dapat dipertahankan secara
fisiologis.
Mekanisme hambatan (blok) saraf otot akan terjadi pada hubungan saraf otot melalui
mekanisme sebagai berikut:
1. Hambatan penggabungan aset lkolin dengan reseptor di membran ujung motor atau otot,
antara lain akibat pengaruh obat tubokurarin, pankuronium, alkuronium dan atrakurium.
Hambatan (blok) ini sering disebut hambatan kompetisi atau hambatan non depolarisasi.
2. Hambatan penurunan kepekaan membran ujung motor atau otot, hal ini terjadi akibat
pemberian obat pelumpuh otot golongan depolarisasi misalnya suksinilkolin. Hambatan ini
sering disebut hambatan (blok) depolarisasi.
3. Hambatan pelepasan asetilkolin pada ujung saraf motoris, antara lain disebabkan oleh
karena pengaruh obat analgesia lokal, toksin botulismus, antibiotik golongan
aminoglikosida, keadaan hipokalsemia dan hipermagnesemia.
Dalam sub pokok bahasan ini, akan dibahas hanya hambatan non depolarisasi dan hambatan
depolarisasi.

Hambatan non depolarisasi


Hambatan ini terjadi karena serabut otot mendapat rangsangan depolarisasi yang menetap,
sehingga otot kehilangan respons kontraksi yang akan menyebabkan kelumpuhan otot. Pemulihan
fungsi saraf otot sangat tergantung pada kemampuan daya hidrolisis enzim pseudokholinesterase.
1. Terjadi fasikulasi otot rangka yang menyeluruh yang dimulai pada otot rangka yang kecil
2. Berpotensiasi dengan antikolinesterase.
3. Kelumpuhannya berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot non depolarisasi dan
asidosis.
4. Kelumpuhannya tidak bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik
5. Masa kerja singkat
6. Belum dapat diatasi dengan obat spesifik.

Obat-obat pelumpuh otot


Berdasarkan pola hambatan seperti telah diuraikan di atas, obat pelumpuh otot dapat dibagi
menjadi 2 (dua) golongan.
1. Non Depolarisasi.
• Derivat benzyl-isoquinolone: atrakurium, cisatrakurium
• Steroidal: Pankuronium, vekuronium, rokuronium
• Klorofumarat: Gantakurium
Penggunaan klinik.
• Untuk fasilitas intubasi endotrakea
• Membuat relaksasi lapangan operasi
• Menghilangkan spasme laring dan refleks jalan nafas
• Memudahkan nafas kendali
• Mencegah fasikulasi otot akibat suksinilkolin
Penggunaan obat golongan non depolarisasi harus hati –hati pada pasien yang menderita
“miastenia gravis”.
2. Depolarisasi, misalnya: suksinilkholin.
Penggunaannya.
• Untuk fasilitas intubasi pipa endotrakea.
• Relaksasi otot pada reposisi fraktur tertutup atau dislokasi sendi
• Menghilangkan spasme laring
• Relaksasi lapangan operasi terutama pada operasi yang berlangsung singkat.
Penggunaannya harus hati-hati pada pasien yang menderita gangguan fungsi hati, luka
bakar, hiperkalemi dan pada pasien yang menderita gangguan fungsi hati , luka bakar dan
hiperkalemi

Berdasarkan lama kerjanya, pelumpuh otot Non Depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang, sedang
dan pendek. Sementara pelumpuh otot depolarisasi memiliki waktu kerja yang sangat singkat.
Dosis
Waktu kerja Waktu onset Dosis Dosis pemeliharan
dosis intubasi dosis intubasi intubasi pemeliharaan kontinyu
(dalam menit) (dalam (mg/kg) (mg/kg) (mcg/kg/menit)

Waktu kerja singkat menit)

Gantakurium 4-10 1-2 0.2 - -

Waktu kerja sedang

Atrakurium 30-45 2.5-3 0.5 0.1 5-12

Cisatrakurium 40-75 2-3 0.2 0.02 1-2

Vekuronium 45-90 2-3 0.12 0.01 1-2

Rokuronium 35-75 1.5 0.8 0.15 9-12

Waktu kerja panjang

Pankuronium 60-120 2-3 0.12 0.01 -

Pilihan obat pelumpuh otot


1. Gangguan fungsi ginjal: atrakurium dan vekuronium
2. Gangguan fungsi hati: atrakurium
3. Miastenia gravis: kalau perlu dosis 1/10 atrakurium
4. Bedah singkat: atrakurium, rokuronium, mivakurium
5. Kasus obstetri: semua dapat digunakan kecuali galamin
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot pada saat operasi:
1. Cegukan
2. Dinding perut kaku
3. Ada tahanan pada inflasi paru.

Pankuronium bromida
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang populer digunakan dalam praktek
anestesia di Indonesia. Obat ini termasuk steroid sintetis yang dikemas dalam bentuk ampul yang
berisi 2 ml, mengandung 2 mg/ml, tidak berwarna dan larut dalam air.
Farmakologi
Mulai kerjanya 2-3 menit setelah pemberian dan masa kerjanya berkisar antara 30-45
menit. Dalam sirkulasi akan berikatan kuat dengan globulin dan berikatan sedang dengan albumin,
sehingga pada keadaan hipoproteinemia dosisnya harus dikurangi. Mempunyai efek akumulasi
pada pemberian berulang, oleh karena itu pemberian dosis ulangan harus dikurangi dan waktu
pemberian harus diperpanjang. Mempunyai efek inotropik dan kronotropik positif sehingga
menyebabkan hipertensi dan takikardi. Disamping itu menyebabkan pelepasan histamin tapi
sifatnya ringan sehingga tidak perlu khawatir pada pasien yang menderita asma. Sebanyak 15-40%
mengalami metabolisme asetilasi dalam tubuh, selanjutnya sebagian besar (60-80%) diekskresikan
melalui ginjal dan sisanya (20-40%) dieksresikan melalui empedu. Memiliki efek blokade vagal
yang baik.
Dosis dan cara pemberian
1. Untuk menghilangkan fasikulasi otot rangka akibat suksinilkolin, diberikan intravena
dengan dosis seperempat dosis untuk relaksasi optimal.
2. Untuk dosis intubasi (besar dosis dapat dilihat pada tabel), diberikan secara bolus
intravena.
3. Untuk dosis rumatan (besar dosis dapat dilihat pada tabel), diberikan secara bolus
intravena.
4. Pada bayi dan anak-anak balita dosis dikurangi.
5. Tidak dianjurkan memberikan secara intarmuskular dan dengan model kontinyu, karena
mulai kerja dan efeknya lama.

Atrakurium besilat
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai
struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leont ce Leontopeltalum. Obat ini dikemas
dalam bentuk ampul berisi 2.5 ml atau 5 ml, yang mengandung 10 mg/ml. Sebaiknya disimpan
dalam suasana dingin dan terhindar dari sinar matahari.
Farmakologi
Mula dan lama kerjanya tergantung pada dosis yang diberikan. Besar dosis dan lama kerja
dapat dilihat pada tabel diatas. Berbeda dengan pankuronium, atrakurium mengalami metabolisme
di dalam darah atau plasma melalui reaksi kimia yang unik yang disebut eliminasi Hoffman yang
tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal, sehingga penggunaannya pada penyakit hati atau
ginjal tidak memerlukan perhatian khusus. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian
berulang, sehingga masa kerjanya singkat. Tidak mempengaruhi fungsi kardiovaskular, sehingga
merupakan pilihan pada pasien yang menderita kelainan fungsi kardiovaskular, seperti misalnya
penyakit jantung koroner, hipertensi dan lainlainnya. Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi
secara spontan sesudah masa kerjanya berakhir, atau apabila diperlukan bisa diberikan obat
antikolenesterase. Mempunyai efek pelepasan histamin meski tidak besar.
Dosis dan cara pemberian
1. Untuk intubasi endotrakea, diberikan secara bolus intravena. Besar dosis dan waktu onset
dapat dilihat pada tabel.
2. Untuk pemeliharan relaksasi otot, diberikan secara bolus intravena intermiten atau bisa
juga dengan mode kontinyu. Besar dosis dan waktu kerja dapat dilihat pada tabel diatas.

Vekuronium
Vekuronium adalah obat turunan dari pankuronium, dengan adanya perubahan pada
struktur kimia untuk menghilangkan efek yang merugikan tanpa mempengaruhi potensi obat.
Farmakologi
Vekuronium di metabolisme di hati, dan secara primer sangat dipengaruhi oleh ekresi bilier
dan secara sekunder eleh ekskresi ginjal. Meskipun dapat digunakan dengan aman pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal, namun durasi kerja akan memanjang. Bila dibandingkan dengan
pankuronium, vekuronium memiliki waktu paruh yang lebih pendek dengan bersihan yang lebih
cepat dan lebih baik. Vekuronium memiliki bentuk aktif yang akan diakumulasi oleh tubuh,
sehingga penggunaan yang berkelanjutan dalam jangka waktu panjang akan menyebabkan durasi
blokade neuromuskular yang memanjang. Selain itu, penggunaan dalam jangka waktu panjang
dikaitkan dengan kejadian polineuropati, khususnya pada pasien wanita, gagal ginjal, penggunaan
steroid dalam jangka waktu lama dan dosis besar, dan pada kondisi sepsis. Pada penggunaan
jangka waktu lama juga meningkatkan kejadian toleransi terhadap dosis obat.
Pada sistem kardiovaskular, vekuronium tidak memberikan dampak langsung. Namun
dapat terjadi potensiasi terhadap kondisi bradikardi yang disebabkan oleh opiat pada beberapa
pasien. Pada kondisi gagal hati tidak menyebabkan durasi kerja dari vekuronium memanjang,
kecuali dosis yang diberikan lebih besar dari 0.15mg/kg. Usia tidak mempengaruhi kebutuhan
dosis inisial vekuronium, meskipun kebutuhan dosis rumatan menurun pada usia neonatus dan
infan. Jenis kelamin wanita lebih sensitif sekitar 30% pada vekuronium dibandingkan dengan pria.
Hal tesebut dibuktikan dengan derajat blokade yang lebih tinggi dan durasi kerja yang lebih
panjang pada wanita. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan anatomi-fisiologi yang berkaitan
dengan jenis kelamin, seperti kadar lemak tubuh dan masa otot, ikatan dengan protein, volume
distribusi serta aktivitas metabolik. Durasi kerja vekuronium juga memanjang pada pasien post
partum dikarenakan adanya alterasi di aliran darah liver.
Dosis dan cara pemberian
1. Untuk intubasi endotrakea, diberikan secara bolus intravena. Besar dosis dan waktu onset
dapat dilihat pada tabel.
2. Untuk pemeliharan relaksasi otot, diberikan secara bolus intravena intermiten atau bisa
juga dengan mode kontinyu. Besar dosis dan waktu kerja dapat dilihat pada tabel diatas

Rokuronium
Rokuronium memiliki struktur kimia yang analog dengan vekuronium, dengan fokus
alterasi ditujukan pada kecepatan onset obat. Merupakan salah satu obat pelumpuh otot dengan
onset cepat dan reversibel, sehingga bisa dijadikan pilihan pada kondisi dimana diperlukan efek
pelumpuh otot yang cepat.
Farmakologi
Rokuronium memiliki cara kerja yang mirip dengan obat pelumpuh otot non-depolarisasi
lainnya, yaitu bekerja di lokasi nikotinik neuromuskular-junction dengan bekerja pada sinaps.
Sinaps adalah area khusus di mana ujung saraf prejungsional berinteraksi dengan bagian
postjunctional. Kedua situs pre dan postjunctional ini memiliki konsentrasi asetilkolin (Ach) dan
nikotinat asetilkolin (nAchR) yang lebih tinggi. Biasanya ketika impuls listrik mencapai terminal
saraf prejunctional, masuknya kalsium menyebabkan pelepasan ligan Ach yang kemudian
berinteraksi di reseptor nikotinik asetilkolin yang terletak di membran postjunctional untuk
menyebabkan perubahan permeabilitas listrik membran khususnya natrium dan kalium.
Pergerakan ion yang cepat ini menyebabkan penurunan potensial transmembran untuk mencapai
ambang potensial yang mengarah pada pembentukan potensial aksi yang bergerak melintasi
membran otot dan menyebabkan kontraksi otot.
Obat-obatan nondepolarisasi seperti rocuronium adalah senyawa amonium kuaterner yang
bekerja sebagai sebuah obat yang intermediate-acting dan sangat terionisasi. Rocuronium tidak
mengalami metabolisme menjadi metabolit aktif dan memiliki kelarutan lemak yang sangat
rendah. Karena itu obat-obatan ini tidak melewati sawar darah-otak, sawar plasenta, dan sawar
membran lipid lainnya. Jadi rocuronium tidak memiliki efek pada sistem saraf pusat, efek pada
janin, reabsorpsi ginjal minimal, serta penyerapan yang tidak efektif jika diberikan secara oral.
Rocuronium sebagian besar di ekskresi dalam bentuk yang tidak berubah melalui empedu dan
sekitar 30% di ekskresi melalui ginjal. Faktor-faktor seperti hipotermia, hipovolemia, agen volatil,
serta penyakit ginjal dan hati memperpanjang efek rocuronium.
Rocuronium telah terbukti tidak memiliki efek langsung pada sistem kardiovaskuler.
Kondisi dimana rokuronium mempengaruhi aktivitas kardiovaskuler adalah saat didapatkan reaksi
anafilaktik atau alergi terhadap obat tersebut, yang berujung pada kolaps kardiovaskular.
Meskipun dapat digunakan dengan aman dalam mode kontinyu, namun dilaporkan kejadian durasi
kerja obat yang memanjang disertai miopati pada beberapa pasien. Hal tersebut bisa terjadi pada
pasien yang menggunakan steroid dalam jangka waktu lama atau pada pasien dengan gagal organ
multipel. Pada kondisi-kondisi tersebut sangat disarankan untuk tidak menggunakan rokuronium
dalam mode kontinyu lebih dari 48 jam.
Dosis dan cara pemberian
1. Untuk intubasi endotrakea, diberikan secara bolus intravena. Besar dosis dan waktu onset
dapat dilihat pada tabel.
2. Untuk pemeliharan relaksasi otot, diberikan secara bolus intravena intermiten atau bisa
juga dengan mode kontinyu. Besar dosis dan waktu kerja dapat dilihat pada tabel diatas

Suksamethonium (Suksinil Kholin)


Merupakan obat pelumpuh otot depolarisasi yang masa kerjanya singkat. Saat buku ini
dibuat, Suksinilkolin sudah tidak beredar di Indonesia. Obat ini telah dikeluarkan dari daftar obat
esensial nasional (DOEN) di Indonesia sejak tahun 2013 karena tidak terdaftar di BPOM
dikarenakan memiliki efek samping yang dianggap berbahaya. Obat ini biasanya dikemas dalam
botol vial, ada yang berbentuk bubuk warna putih, larut dalam air dan mengandung 100 atau
200mg setiap botol. Sebelum digunakan, dilarutkan terlebih dahulu dalam akuades dengan
konsentrasi 25 mg/ml. Disamping dikemas dalam bentuk bubuk ada juga yang berbentuk larutan
dalam botol vial.
Farmakologi
Mulai kerjanya cepat 1-2 menit setelah pemberian intravena dan berlangsung selama 3-5
menit, selanjutnya tonus otot akan berangsur-angsur pulih seperti semula. Sebagai obat pelumpuh
otot depolarisasi, akan menimbulkan fasikulasi pada otot rangka. Fasikulasi akan bertambah hebat
pada pasien atletis dengan otot rangka yang mengalami hipertropi. Fasikulasi ini menimbulkan
pergeseran ion-ion dalam plasma, kalium akan keluar dari dalam sel otot, sehingga kadar kalium
dalam plasma meningkat. Peningkatan ion kalium ini akan bertambah hebat apabila pasien
menderita luka bakar, gagal ginjal atau keadaan asidosis. Hal ini akan menyebabkan gangguan
irama jantung sampai bisa terjadi fibrilasi ventrikel. Disamping itu, fasikulasi akan menimbulkan
rasa nyeri pada otot rangka seluruh tubuh. Fasikulasi akan meningkatkan tekanan intra abdomen
yang pada gilirannya akan meningkatkan tekanan intragaster, dengan risiko terjadinya regurgitasi
isi lambung yang akan mengancam jalan nafas, terutama pada pasien yang tidak dipuasakan
prabedah. Salah satu cara yang populer untuk mengurangi fasikulasi ini adalah dengan melakukan
prekurarisasi, yaitu pemberian obat pelumpuh otot non depolarisasi 1/4 (seperempat) dosis secara
intravena sebelum pemberian suksinilkholin. Suksinilkholin mengalami distribusi sangat cepat ke
seluruh cairan tubuh termasuk dalam sirkulasi uteroplasenta dan mengalami hidrolisis yang cepat
pula oleh enzim pseudokholin esterase di dalam plasma sehingga efek dan masa kerjanya singkat.
Efek terhadap kelenjar terutama kelenjar liur dan pernafasan yaitu akan menimbulkan
hipersekresi dan terhadap jantung menimbulkan bradikardi, sehingga memerlukan sulfas atropin
untuk pencegahannya.
Dosis dan cara pemberian
1. Untuk intubasi, dosisnya 1-2 mg/kg BB, diberikan secara intravena.
2. Untuk tindakan reposisi dislukasi, dosisnya sama seperti di atas
3. Untuk pemeliharaan, diberikan infus tetes kontinyu.
4. Pada bayi dan anak, bisa diberikan melalui sub-lingual.
Efek samping.
1. Bradikardi sampai asistol, terutama pada bayi atau pada pemberian ulangan.
2. Sebaliknya, bisa juga terjadi takikardi atau takiaritmia.
3. Peningkatan tekanan intra-okuler
4. Hiperkalemia dengan segala akibatnya
5. Nyeri otot pasca fasikulasi
6. Pemanjangan efek, misalnya pada gangguan fungsi hati, malnutrisi, hipoproteinemia dan
kadar enzim pseudokholin esterase yang rendah.
Antagonis obat pelumpuh otot non depolarisasi
Pemulihan tonus otot rangka akibat pengaruh obat pelumpuh otot non depolarisasi bisa
berlangsung secara spontan setelah masa kerja obat berakhir. Namun untuk mempercepat
pemulihannya perlu diberikan obat antagonisnya, yaitu golongan obat antikolin esterase. Salah
satu obat yang termasuk golongan ini yang populer digunakan adalah neostigmin metilsulfat atau
prostigmin.
Neostigmin metilsulfat atau prostigmin.
Merupakan obat antikolinesterase yang berkhasiat menghambat kerja enzim kolinesterase
untuk menghidrolisis aset lkolin, sehingga terjadi akumulasi aset lkolin pada hubungan
saraf otot atau pada ujung saraf kolinergik. Akumulasi asetilkolin pada hubungan saraf otot
akan meningkatkan kemampuan asetikolin untuk berkompetisi dengan obat pelumpuh otot
non depolarisasi, sehingga hantaran saraf otot kembali berlangsung normal dan tonus otot
pulih kembali. Di pihak lain, akumulasi asetilkolin pada ujung saraf kolinergik
menyebabkan peningkatan aktivitas saraf kolinergik baik nikotiniknya maupun
muskariniknya.
Peningkatan aktivitas kolinergik tersebut akan menimbulkan tanggapan pada beberapa
organ, antara lain akan terjadi bradikardi, hiperperistaltik dan spasme saluran cerna,
peningkatan sekresi kelenjar saluran cerna, saluran nafas dan kelenjar keringat: apasme
bronkus, miosis dan kontraksi kandung kecing. Hampir sebagian besar efek peningkatan
aktivitas kolinergik ini dapat dinetralisir oleh obat ant kolinergik (sulfas atropin), sehingga
dalam setiap penggunaannya untuk memulihkan efek obat pelumpuh otot non depolarisasi,
neostigmin harus diberikan bersama-sama dengan sulfas atropin, dalam satu spuit atau
diberikan terpisah, tergantung kondisi pasien pada saat itu.
Penggunaan klinik prostigmin.
1. Untuk pemulihan tonus otot setelah pemakaian obat pelumpuh otot non depolarisasi
2. Untuk memulihkan peristaltik usus akibat manipulasi pembedahan atau paralitik ileus.
3. Digunakan sebagai obat pilihan pada miastenia gravis.
Dosis dan cara pemberian
Untuk memulihkan tonus otot akibat pengaruh obat pelumpuh otot, neostigmin diberikan
secara bertahap mulai dengan dosis 0,5 mg intravena, selanjutnya dapat diulang sampai
dosis total 5 mg. Neostigmin diberikan bersama-sama dengan sulfas atropin dengan dosis
1-1 ,5 mg. Pada keadaan tertentu misalnya; takikardi atau demam, pemberian sulfas atropin
dipisahkan dan diberikan setelah prostigmin.
Kemasan.
Prostigmin yang digunakan dalam anestesia, dikemas dalam ampul berisi 0,5 mg/ml tidak
berwarna dan larut dalam air.

Sugammadex
Saat buku ini ditulis, suggamadex terlah tersedia di Indonesia. Sugammadex adalah
obat reversal neuromuskuler bloker yang unik; sebuah produk dari golongan siklodekstrin
yang baru, generasi yang pertama dalam kelas baru dari zat selective relaxant binding
agents, yang membalikkan blokade neuromuskuler (NMB) dengan pelumpuh otot otot
non-depolarisasi rocuronium dan vecuronium. Sugammadex dapat membalik NMB pada
saat ikatan moderat atau bahkan dalam. Penggunaan klinis sugammadex menjanjikan
untuk menghilangkan banyak kekurangan dalam praktik anestesi saat ini sehubungan
dengan antagonisme rocuronium dan pelemas otot aminosteroid lainnya.
Mekanisme kerja
Sugammadex membuat rocuronium tidak aktif dengan mengenkapsulasi
(chelating) molekul bebas untuk membentuk kompleks yang stabil. Struktur memiliki
rongga hidrofobik dan eksterior hidrofilik karena adanya gugus hidroksil polar. Interaksi
hidrofobik menjebak obat ke dalam rongga siklodekstrin, menghasilkan pembentukan
kompleks tamu-inang yang larut dalam air. Sugammadex memberikan efeknya dengan
membentuk kompleks yang sangat ketat pada perbandingan 1:1 dengan relaksan otot
aminosteroid (rocuronium>vecuronium>>pancuronium). Tekanan intermolekul (van der
Waals), ikatan termodinamika (hidrogen) dan interaksi hidrofobik membuat kompleks
sugammadex-rocuronium sangat kuat. Kompleks sugammadex-rocuronium memiliki
tingkat asosiasi yang sangat tinggi (konstanta asosiasi 107 M-1) dan tingkat disosiasi yang
sangat rendah. Diperkirakan, untuk setiap 25 juta kompleks sugammadex-rocuronium,
hanya satu kompleks yang terlepas. Pengurangan yang dihasilkan dalam konsentrasi
plasma rocuronium bebas menciptakan gradien antara kompartemen jaringan (termasuk
Neuromuscular junction - NMJ) dan plasma; rocuronium bebas bergerak dari jaringan ke
plasma, dengan pengurangan jumlah yang berikatan dengan reseptor nikotinik di NMJ.
Distribusi
Sugammadex tidak berikatan dengan protein plasma ataupun dengan sel darah
merah.
Metabolisme dan eleminasi
Sugammadex tidak menghasilkan sisa metabolit apapun, dan hampir semuanya
diekskresikan melalui urin dalam bentuk yang tidak berubah dalam kurun waktu 24 jam.
Sebagian kecil ada yang ikut terbuang bersama feses atau pada udara yang dikeluarkan saat
bernafas (hanya sekitar 0.02%)
Efek samping
Efek samping yang paling sering dilaporkan dari penggunaan obat ini adalah
adanya disgeusia (rasa logam atau pahit) yang biasanya muncul setelah pemberian dosis
diatas 32mg/kg. Selain itu kejadian rekurensi efek blokade pelumpuh otot, pergerakan tidak
wajar pada tangan atau tubuh saat obat dimasukkan, batuk, muncul ekspresi meringis atau
seperti menghisap PET, serta ada kemungkinan terjadi hipotensi.
Indikasi
1. Pada pasien yang menggunakan pelumpuh otot jenis aminosteroidal
2. Penggunaan sugammadex dapat langsung digunakan untuk mereversal obat
pelumpuh otot yang masih bekerja dalam durasi kerja nya, sehingga
penggunaan pelumpuh otot pada prosedur yang singkat menjadi lebih aman.
3. Pada penggunaan rokuronium dosis tinggi untuk mencapai onset pada RSI, jika
diperlukan
4. Pada pasien yang memiliki kontraindikasi pada antikolinesterase
5. Pada kondisi “Can not intubate, can not ventilate” yang memerlukan pelumpuh
otot golongan aminosteroidal karena indikasi tertentu
Kontra indikasi
Hipersensitivitas terhadap sugammadex adalah kontraindikasi mutlak untuk
diberikan obat ini.
Karena bersihan obat ini terutama adalah melalui ginjal, maka penggunaan harus
lebih berhati hati pada pasien dengan penurunan fungsi faal ginjal. Meskipun efeknya pada
pasien tersebut tidak berkurang, namun keamanannya belum dapat dibuktikan. Sehingga
ada baiknya untuk dihindari pada pasien tersebut.
Penggunaannya pada pasien geriatri dikaitkan dengan efek pemulihan yang lebih
lama bila dibandingkan dengan pada pasien dewasa muda. Sementara pada pasien pediatri,
obat ini memiliki profil farmakokinetik yang hampir sama dengan orang dewasa. Namun
keamanannya untuk digunakan pada anak berusia kurang dari 2 tahun masih belum dapat
dibuktikan.
Dosis dan penggunaan klinik
Dosis minimum yang efektif untuk reversal adalah 2mg/kg IV. Namun besar dosis
juga menyesuaikan dengan tingkat kedalaman blokade pelumpuh otot. Untuk blokade yang
lebih dalam, dapat digunakan dosis 4mg/kg IV. Dan jika diperlukan efek reversal yang
segera, dapat digunakan dalam dosis yang lebih besar, yaitu 16mg/kg IV.
Obat tersedia dalam kemasan untuk injeksi intravena saja, dalam bentuk kemasan
vial 200mg (2ml) atau 500mg (5ml) dan tidak boleh disimpan di tempat yang dingin seperti
kulkas.

OBAT-OBAT ANESTESI LOKAL


Obat anestesi lokal adalah obat yang mengandung suatu ikatan kimia yang mampu
menghambat konduksi saraf perifer apabila obat ini disuntikkan didaerah perjalanan serabut saraf
dengan dosis tertentu tanpa menimbulkan kerusakan permanen pada serabut saraf tersebut. Sifat
hambatannya pada saraf umumnya bersifat total, tetapi ada juga yang bersifat selektif, misalnya
hanya menghilangkan rasa nyeri saja, sedangkan rasa raba dan rasa tekan masih ada. Hal ini sangat
tergantung pada dosis atau konsentrasi obat yang digunakan.
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh obat anestetik lokal.
1. Poten, artinya efektif dalam dosis rendah
2. Daya penetrasinya baik
3. Mulai kerjanya cepat
4. Masa kerjanya lama
5. Toksisitas sistemik rendah
6. Tidak iritatif terhadap jaringan saraf
7. Efeknya reversibel
8. Mudah disucihamakan.

Mekanisme kerja obat anestesi lokal


Obat anestesi lokal mencegah proses terjadinya depolarisasi membran saraf pada tempat
suntikan obat tersebut, sehingga membran akson tidak akan dapat bereaksi dengan asetil kholin
sehingga membran akan tetap dalam keadaan semipermeabel dan tidak terjadi perubahan
potensial. Keadaan ini menyebabkan aliran impuls yang melewat saraf tersebut terhenti, sehingga
segala macam rangsang atau sensasi tidak sampai ke susunan saraf pusat. keadaan ini
menyebabkan timbulnya parastesia sampai analgesia, paresis sampai paralisis dan vasodilatasi
pembuluh darah pada daerah yang terblok.
Hambatan depolarisasi dilakukan melalui mekanisme:
1. Penggantian ion kalsium pada membran dengan bagian/ struktur dari obat anestetik lokal.
2. Mengurangi permeabilitas membran sel terhadap natrium.
3. Menurunkan laju depolarisasi aksi potensial membran.
4. Menurunkan derajat depolarisasi sampai ambang potensial.
5. Menggagalkan perkembangan penyebaran aksi potensial.
Proses yang terjadi sejak obat disuntikkan ke dalam jaringan hingga timbul efek:
1. Difusi obat ke dalam urat saraf.
2. Proses penetrasi ke dalam sel saraf.
3. Distribusi obat-obat di dalam serat saraf.
4. Fiksasi obat pada membran sel.
Proses hilangnya efek obat anestesi lokal:
1. Obat yang berada di luar saraf akan diabsorbsi oleh sistem pembuluh darah kapiler.
2. Serat saraf akan melepaskan ikatannya dengan obat anestesia lokal. Hal ini disebabkan
karena adanya perbedaan konsentrasi obat di dalam dengan di luar sel.
3. Setelah obat diabsorbsi oleh sistem sirkulasi, didistribusikan ke organ-organ lain.
4. Detoksifikasi dan eliminasi.
Efek farmakologi yang lain.
Selain efek farmakologi tersebut di atas, obat anestesi lokal juga menimbulkan efek pada
sistem organ lain pada tubuh. Efek ini disebabkan karena obat tersebut mengalami proses absorbsi
dan distribusi kedalam sirkulasi dan jaringan tubuh sama seperti yang dialami oleh obat yang lain.
Efek terhadap sistem saraf pusat.
Obat anestesia lokal bisa melewat barier darah-otak sehingga menunjukkan efek stabilisasi
yang sama pada sel-sel neuron di otak. Khasiat ini bisa dimanfaatkan untuk mengobat pasien yang
mengalami status epileptikus. Pada umumnya neuron inhibisi lebih sensitif dibandingkan dengan
neuron eksitasi, sehingga bila diberikan langsung kedalam sirkulasi, terlebih dahulu akan timbul
kejang, tremor, gelisah, kejang klonik, selanjutnya baru kemudian paralisis, kolaps sirkulasi dan
koma. Hal ini berlaku untuk semua jenis obat anestetik lokal, kecuali kokain. Kokain
menyebabkan stimulasi pada korteks sehingga akan menambah semangat dan kesiapsiagaan
pemakai. Hal ini yang menyebabkan pemakaian kokain berbahaya karena dapat disalahgunakan
untuk tujuan tertentu.
Efek terhadap ganglion otonom dan hubungan saraf otot.
Obat anestesia lokal menghambat transmisi impuls pada ganglion otonum dan hubungan
saraf otot melalui mekanisme hambatan pada pelepasan asitekolin dan mekanisme hambatan
kompetitif non depolarisasi.
Efek terhadap kardiovaskular.
Pada jantung, obat anestetik lokal mempunyai efek stabilisasi jaringan konduksi jantung,
sehingga berkhasiat untuk memperpanjang periode refrakter, memperpanjang waktu konduksi dan
menekan kepekaan otot jantung. Oleh karena itu obat ini bermanfaat untuk mengobat disritmia
ventrikuler. Pada pembuluh darah, obat anestestik lokal mempunyai efek langsung pada arteriole,
sehingga menimbulkan vasodilatasi. Dengan demikian akan terjadi penurunan tekanan darah pada
pemberian langsung secara intravena.
Efek terhadap sistem respirasi.
Pada dosis kecil akan merangsang pusat nafas, sehingga frekuensi nafas meningkat.
Selanjutnya pada dosis lebih besar, akan menimbulkan depresi pusat nafas, sehingga terjadi
penurunan frekunsi nafas dan volume tidal, sampai henti nafas. Obat anestesi lokal juga
mempunyai efek seperti atropin, yaitu efek spasmolitik yang menyebabkan dilatasi bronkus. Selain
itu obat ini juga mempunyai efek anti histamin ringan pada saluran nafas.
Toksisitas obat anestetik lokal.
Reaksi toksik bisa timbul apabila konsentrasinya dalam darah sangat tinggi dan terjadi
secara mendadak. Hal ini bisa terjadi karena dosis yang diberikan berlebihan, penyuntikan
langsung kedalam sirkulasi, absorbsinya terlalu cepat dan detoksikasi terlambat misalnya pada
penyakit hati.
Gejala dan tanda toksisitas.
Pada toksisitas ringan: pasien tampak pucat, gelisah, mual, pasien merasakan rasa seperti
logam, telinga berdenging, mata berkunang-kunang, selanjutnya diikut kejang-kejang, bradikardi,
hipotensi dan depresi nafas. Pada toksisitas berat akan terjadi kolaps kardiovaskular, henti nafas
dan koma.
Jenis-jenis Obat Analgesia Lokal.
Berdasarkan ikatan kimia, obat analgetik lokal dibagi menjadi:
1. Derivat Ester, terdiri dari:
• Derivat asam benzoat, misalnya: kokain.
• Derivat asam para amino benzoat: prokain dan klorprokain.
2. Derivat Amide: lidokain, prilokain, mepivakain, bupivacain, dan ropivakain.
Berdasarkan potensi dan lama kerja atau durasi.
1. Potensi rendah dan durasi singkat.
• Prokain : potensi 1 dan durasi 60 - 90 menit
• Klorprokain : potensi 1 dan durasi 30 - 60 menit
2. Potensi dan durasi sedang.
• Mepivakain : Potensi 2 dan durasi 120 - 240 menit
• Prilokain : Potensi 2 dan durasi 120 - 240 menit
• Lidokain : Potensi 2 dan durasi 90 - 200 menit
3. Potensi kuat dan durasi panjang
• Tetrakain : Potensi 8 dan durasi 180 - 600 menit
• Bupivakain : Potensi 8 dan durasi 180 - 600 menit
• Ropivakain : Potensi 8 dan durasi 180 - 600 menit
Berdasarkan berat jenis (konsentrasi) dan penggunaannya.
1. Isobarik, digunakan untuk: infiltrasi lokal, blok lapangan, blok saraf, blok pleksus dan blok
epidural.
Jenis dan konsentrasi obat:
• Prokain : 1 - 2%
• Klorprokain : 1 - 3%
• Lidokain : 1 - 2%
• Mepivakain : 1 - 2%
• Prilokain : 1 - 3%
• Tetrakain : 0,25 - 0,5%
• Bupivakain : 0,25 - 0,5%
• Ropivakain : 0.2 - 1%
2. Hipobarik, digunakan untuk analgesia regional intravena. Konsentrasi obat dibuat separuh
dari konsentrasi isobarik.
3. Hiperbarik, digunakan khusus untuk injeksi intratekal atau blok subarakhnoid. Konsentrasi
obat dibuat lebih tinggi, misalnya: lidokain 5% hiperbarik dan bupivakain 0,5% hiperbarik
yang telah dikemas khusus untuk blok subarakhnoid oleh pembuatnya.

Prokain
Dibuat pertama kali oleh Einhorn pada 1905. Nama lain untuk preparat ini adalah Novokain atau
Neokain.
Nama kimia
Para aminobenzoic acid aster dari diethylamino.
Spesifikasinya.
Berupa kristal berwarna putih, larut dalam air/alkohol, dan bersifat basa. Ikatannya dengan Hcl
sangat cepat larut dalam air tetapi tidak begitu larut dalam alkohol. Apabila kontak dengan udara,
akan mengalami dekomposisi. Dalam bentuk larutan tahan terhadap panas, sehingga bisa
disterilkan. Dehidrolisis oleh enzim kholinesterase. Prokain dianggap sebagai standar baik dalam
potensi maupun dalam toksisitas suatu obat anestesi lokal. Ditetapkan potensi dan toksisitas serta
indeks anestesianya = 1. Dibanding dengan kokain maka toksisitas prokain - 1/4 toksisitas cocain.
Penggunaan klinik.
Dosisnya tergantung dari cara pemberian, untuk infiltrasi lokal pada orang dewasa diberikan
larutan. 0,5% - 1,0% dengan dosis maksimal 1gram (200 ml). Untuk blok saraf diberikan larutan
1% - 2% sebanyak 75 ml, sedangkan untuk blok pleksus dipakai larutan 1% sebanyak 30 ml, untuk
blok epidural diberikan larutan 1% sebanyak 15 - 50 ml dan untuk blok subarakhnoid diberikan
larutan 5% sebanyak 2.cc.

Lidokain
Sering disebut dengan nama dagang: lidokain atau xylokain. Pertama kali disentesis oleh
Lofgren pada tahun 1943.
Spesifikasi
Sangat mudah larut dalam air dan sangat stabil, dapat dididihkan selama 8 jam dalam larutan HCl
30% tanpa risiko dekomposisi. Dapat disterilkan beberapa kali dengan proses autoklaf tanpa
kehilangan potensi.Tidak iritatif terhadap jaringan walaupun diberikan dalam konsentrasi larutan
88%. Toksisitasnya 1,5 kali prokain. Diperlukan waktu 2 jam untuk hilang sama sekali dari tempat
suntikan. Apabila larutan ini ditambah adrenalin, maka waktu yang diperlukan untuk hilang sama
sekali dari tempat suntikan 4 jam. Mempunyai afinitas tinggi pada jaringan lemak. Detoksikasi
terjadi oleh hati. Daya penetrasinya sangat baik, mulai kerjanya dua kali lebih cepat dari prokain
dan lama kerjanya 2 kali dari prokain.
Penggunaan klinik.
• Untuk infiltrasi lokal diberikan larutan 0,5%.
• Blok saraf yang kecil diberikan larutan 1%.
• Blok saraf yang lebih besar diberikan larutan 1.5%
• Blok epidural diberikan larutan 1,5% - 2%.
• Untuk blok subarahnoid diberikan larutan hiperbarik 5%.
• Dosis untuk orang dewasa: 50 mg - 750 mg (7 - 10 mg/kg BB).
• Dipergunakan sebagai obat anti distritmia terutama pada disritmia ventrikuler.

Prilokain
Sering disebut sebagai: Propitocain, Xylonest, Citanest dan Distanest sebagai nama
dagang. Ditemukan oleh Lofgren dan Tegner dan uji farmakologinya dilakukan oleh Wiedling,
selanjutnya digunakan di klinik pertama kali oleh Gordh pada tahun 1959.
Spesifikasi
Efek iritasi lokal pada tempat suntikan lebih kecil dibandingkan dengan lidokain bahkan
jauh lebih kecil dari prokain. Toksisitasnya kira-kira 60% dari toksisitas lidokain dan potensinya
sama dengan lidokain. Mengalami metabolisme di hati, ginjal dan oleh amidase, lebih cepat
dibanding dengan lidokain dengan toksisitas lebih rendah dari lidokain. Menimbulkan
methaemoglobinemia pada penggunaan dosis tinggi, lebih dari 600 mg, sehingga timbul gejala
sianosis yang bisa hilang sendiri selama 24 jam. Dibanding dengan lidokain, prilokain lebih kuat,
daya penetrasinya lebih baik, mulai kerjanya lebih lama dan lama kerjanya lebih lama dan efektif
pada konsentrasi 0,5% - 5,0%.
Penggunaan klinik.
• Untuk Infiltrasi lokal digunakan larutan 0.5%
• Blok pleksus digunakan larutan 2% - 3%
• Blok epidural digunakan larutan 2% - 4%
• Untuk blok subarakhnoid digunakan larutan 5%.
• Dosis: maksimak tanpa adrenalin 400 mg sedangkan dengan adrenalin bisa diberikan
sampai dosis 600 mg.

Bupivakain
Disintesis pada 1957 eleh Ekstam dkk pada tahun 1957 dan digunakan pertama kali di klinik oleh
Telivuo pada tahun 1963.
Spesifikasi
Ikatan dengan HCL mudah larut dalam air. Sangat stabil dan dapat diautoclaf berulang.
Potensinya 3 - 4 kali dari lidokain dan lama kerjanya 2 - 5 kali lidokain. Sifat hambatan sensorisnya
lebih dominan dibandingkan dengan hambatan motorisnya. Jumlah obat yang terikat pada saraf
lebih banyak dibandingkan dengan yang bebas dalam tubuh. Dikeluarkan dari dalam tubuh melalui
ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh dan sebagian besar dalam bentuk metabolitnya.
Penggunaan klinik.
• Untuk Infiltrasi lokal digunakan larutan 0,25%
• Blok saraf kecil digunakan larutan 0,25%
• Blok saraf yang lebih besar digunakan larutan 0,5%
• Blok epidural digunakan larutan 0,5% - 0,75%
• Untuk blok spinal digunakan larutan 0,5% - 0,75%
• Dosis: 1 - 2 mg/kg BB.

Ropivakain
Ropivacaine adalah anestesi regional berdurasi kerja panjang yang secara struktural mirip
dengan Bupivacaine. Ropivakain memiliki enansiomer S (-) murni, tidak seperti Bupivacaine,
yang merupakan racemic, yang dikembangkan untuk tujuan mengurangi toksisitas potensial dan
meningkatkan profil sensorik dan blok motorik relatif.
Spesifikasi
Ropivacaine adalah agen anestesi lokal amida kerja panjang dan pertama kali diproduksi
sebagai enansiomer murni. Ropivakain memiliki cara kerja yang mirip dengan anestesi lokal
lainnya yaitu melalui penghambatan masuknya ion natrium di serat saraf. Ropivakain lebih sedikit
lipofilik daripada bupivacaine dan lebih kecil kemungkinannya untuk menembus serat motor
myelinated besar, dan oleh karenanya memiliki efek blokade motorik yang relatif lebih kecil.
Namun demikian, ropivakain memiliki derajat diferensiasi sensorik motorik yang lebih besar, yang
dapat bermanfaat ketika blokade motorik tidak diinginkan. Berkurangnya lipofilisitas juga akan
menimbulkan potensi toksisitas sistem saraf pusat dan kardiotoksisitas yang lebih rendah.
Ropivakain dimetabolisme terutama di hati dan diekskresikan melalui urin.
Pada suatu studi menunjukkan bahwa efek terhadap susunan saraf pusat muncul lebih awal
daripada gejala kardiotoksik apabila diberikan secara infus (IV) intravena (10 mg/menit
ropivacaine) pada orang coba. Perubahan pada fungsi jantung yang melibatkan kontraktilitas,
waktu konduksi dan pelebaran segmen QRS ditemukan secara signifikan lebih kecil pada
ropivacaine dibandingkan dengan bupivacaine.
Penggunaan klinik
Di Indonesia sampai saat ini ropivakain hanya tersedia dalam satu macam sediaan, yaitu
kemasan ampul steril 0.75% isobarik, tanpa pengawet. Penggunaan terutama ditujukan untuk
epidural, meskipun beberapa ahli menggunakannya juga untuk intratekal. Penggunaan pada blok
saraf perifer juga memberikan efek blokade sensorik dan motorik yang baik, meskipun durasinya
lebih pendek untuk blokade sensorik bila dibandingkan dengan bupivakain.

Levobupivakain
Levobupivakain adalah obat anestesi lokal dengan enansiomer tunggal yang terdiri dari S
enantiomer bupivakain. Dibandingkan dengan racemic bupivakain, levobupivakain memiliki efek
toksisitas SSP dan kardiovaskular yang minimal, memungkinkan dosis yang lebih besar diberikan.
Profil klinis dan potensi levobupivakain sangat mirip dengan bupivakain, dengan durasi blok yang
sedikit lebih lama. levobupivakain dianggap sangat berguna ketika dosis besar diperlukan, seperti
untuk blok pleksus yang dilakukan tanpa panduan ultrasonografi.
Dibandingkan dengan bupivacaine, levobupivacaine dikaitkan dengan kejadian vasodilatasi
yang lebih sedikit dan memiliki durasi aksi yang lebih lama. Levobupivakain kira-kira 13 persen
lebih poten (berdasarkan molaritas) daripada bupivacaine rasemik dan memiliki waktu onset blok
motor yang lebih lama. Reaksi obat yang merugikan jarang terjadi ketika diberikan dengan benar.
Namun jika muncul, sebagian besar berhubungan dengan teknik pemberian (menghasilkan
paparan sistemik) atau efek farmakologis dari anestesi, namun reaksi alergi jarang dapat terjadi.

Efek pada sususan saraf pusat (SSP) dapat termasuk eksitasi SSP (gugup, kesemutan di sekitar
mulut, tinitus, tremor, pusing, penglihatan kabur, kejang) diikuti oleh depresi (kantuk, kehilangan
kesadaran, depresi pernapasan, dan apnea). Efek kardiovaskular termasuk hipotensi, bradikardia,
aritmia, dan / atau henti jantung - beberapa di antaranya mungkin disebabkan oleh hipoksemia
sekunder akibat depresi pernapasan. Levobupivakain bersifat toksik bagi tulang rawan dan injeksi
intraartikular dapat menyebabkan chondrolisis glenohumeral.
Penggunaan klinik
Levobupivakain diindikasikan untuk anestesi lokal termasuk infiltrasi, blok saraf perifer,
epidural, dan anestesi intratekal. Levobupivakain memiliki kontraindikasi untuk digunakan
sebagai anestesi regional intra vena (IVRA)

OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN PADA KEGAWATDARURATAN


Tindakan anestesi berhubungan sangat erat dengan kejadian emergensi. Hampir seluruh
tindakan anestesi memiliki resiko tinggi untuk terjadi kondisi kegawat daruratan yang mengancam
nyawa. Oleh karena itu seorang ahli anestesi harus terampil dalam melakukan tindakan resusitasi.
Dan pengetahuan atas obat-obat emergensi adalah mutlak untuk dikuasai oleh seorang ahli
anestesi. Sehingga resusitasi bisa dilakukan dengan optimal untuk hasil capaian yang maksimal,
dan menurunkan angka mortalitas serta morbiditas. Ada banyak sekali obat-obat emergensi yang
biasa digunakan dalam situasi kegawat daruratan, namun dalam bab ini akan dibahas obat-obat
emergensi yang paling sering digunakan.
Obat-obat emergensi yang akan dibahas adalah:
• Adrenalin/epinefrin
• Efedrin
• Norepinefrin
• Dobutamin
• Dopamin
Pembahasan tentang atropin dapat mangacu pada subbab premedikasi.
Adrenalin/epinephrine
Adrenalin atau biasa lebih dikenal dengan epinefrin adalah katekolamin,
simpatomimetik monoamina yang berasal dari asam amino fenilalanin dan tirosin.
Epinefrin adalah suatu hormon simpatomimetik aktif yang dikeluarkan dari medula adrenal
pada sebagian besar spesies. Epinefrin bekerja dengan merangsang sistem alfa dan beta-
adrenergik, menyebabkan vasokonstriksi sistemik dan relaksasi gastrointestinal,
menstimulasi jantung, dan melebarkan bronkus dan pembuluh darah serebral. Oleh karena
itu, epinefrin biasa digunakan pada asma, gagal jantung, dan juga digunakan sebagai
adjuvan anestesi lokal untuk menurunkan kecepatan penyerapan anestesi lokal sehingga
dapat memperpanjang durasi kerjanya. Epinefrin juga menyempitkan arteriol di kulit dan
usus sambil melebarkan arteriol di otot-otot kaki. Memiliki efek meningkatkan kadar gula
darah dengan meningkatkan hidrolisis glikogen menjadi glukosa di hati, dan pada saat yang
sama memulai pemecahan lipid dalam adiposit. Epinefrin memiliki efek menekan pada
sistem kekebalan tubuh.
Penggunaan lain yang paling sering adalah pada kondisi anafilaksis dan juga pada
kondisi ventrikular fibrilasi. Efek samping yang mungkin terjadi dan harus diantisipasi
adalah kemungkinan terjadinya perdarahan serebral, iskemik koroner, dan ventrikular
disritmia. Penggunaan gas anestesi inhalasi seperti halotan dapat berpotensi meningkatkan
efek disritmia dari epinefrin
Penggunaan Klinis
Epinefrin di Indonesia tersedia dalam satu macam bentuk sediaan, yaitu berupa
ampul 1ml dengan konsentrasi 1:1000 atau 1mg/ml. Pada kondisi emergensi seperti pada
henti jantung dan renjatan, epinefrin diberikan secara bolus dengan dosis 0.05-1mg,
tergantung dari severitas kondisi pasien. Pada kondisi reaksi anafilaktik mayor, epinefrin
sebaiknya diberikan dengan dosis 100-500mcg (dapat diulang bila diperlukan) dan
dilanjutkan dengan mode kontinyu. Demikian juga untuk kondisi dimana diperlukan untuk
meningkatkan kontraktilitas jantung atau kecepatan denyut jantung, dapat diberikan
dengan mode kontinyu dengan dosis 2-20mcg/menit. Pada pasien pediatri, sediaan bisa
dilarutkan menjadi konsentrasi 1:100.000.

Norepinephrine
Norepinefrin (NE), juga disebut noradrenalin (NA) atau noradrenalin, adalah bahan
kimia organik dalam keluarga katekolamin yang berfungsi di otak dan tubuh sebagai
hormon dan neurotransmitter. Fungsi umum norepinefrin adalah untuk memobilisasi otak
dan tubuh untuk bertindak. Pelepasan norepinefrin adalah yang terendah selama tidur, naik
selama terjaga, dan mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi selama situasi stres atau
bahaya. Di otak, norepinefrin meningkatkan kewaspadaan meningkatkan pembentukan dan
pengambilan memori, dan memusatkan perhatian selain itu juga meningkatkan kegelisahan
dan kecemasan. Di seluruh tubuh, norepinefrin meningkatkan denyut jantung dan tekanan
darah, memicu pelepasan glukosa dari cadangan energi, meningkatkan aliran darah ke otot
rangka, mengurangi aliran darah ke sistem pencernaan, dan menghambat berkemihnya
kandung kemih dan motilitas gastrointestinal.
Norepinefrin bekerja secara langsung dengan menstimulasi reseptor 1 dan juga
sedikit mempengaruhi 2. Hal tersebut menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pada aterial
dan vena. Peningkatan tekanan darah terjadi akibatnya peningkatan kontraktilitas dari
jantung sebagai pengaruh reseptor 1 yang disertai dengan vasokonstriksi perifer.
Peningkatan tekanan darah terjadi pada sistolik dan diastolik, namun karena adanya reflek
bradikardi sehingga menjaga dari peningkatan kardiak output. Penggunaan norepinefrin
pada kejadian shock perlu dilakukan dengan hati-hati karena efek norepinefrin yang
memberikan efek penurunan aliran darah ke renal dan splanchnik dan meningkatkan
kebutuhan oksigen miokardial. Ekstravasasi norepinefrin pada tempat pemberian intravena
dapat menyebabkan nekrosis jaringan.
Penggunaan klinis
Norepinefrin tersedia dalam satu macam bentuk sediaan, berupa cairan jernih dalam
kemasan ampul berisi 4ml, dengan kandungan 1mg/ml. Norepinefrin biasa diberikan
dengan mode kontinyu dikarenakan waktu paruh nya yang sangat pendek. Dosis yang biasa
diberikan adalah 2-20mcg/menit, diberikan secara titrasi sesuai hemodinamik.

Ephedrine
Efedrin adalah sebuah obat simpatomimetik non-katekolamin yang memiliki efek
mirip dengan epinefrin, yaitu meningkatkan tekanan darah, laju jantung, kontraktilitas
jantung dan kardiak output. Selain itu efedrin juga memberikan bronkodilator. Perbedaan
yang utama dari epinefrin adalah pada durasi kerjanya. Efedrin memiliki durasi kerja yang
lebih panjang, dengan potensi yang lebih rendah, memiliki efek direk dan indirek, serta
menstimulasi susunan saraf pusat. Efedrin juga meningkatkan konsentrasi minimum
alveolar. Efek indirek dari efedrin adalah akibat dari pelepasan norepinefrin pada post
sinaps perifer, atau dengan menghambat ambilan kembali (reuptake) dari norepinefrin.
Oleh karena sifatnya tersebut, efedrin lebih sering digunakan pada saat pelaksanaan
anestesi, khususnya pada kejadian hipotensi paska spinal. Hal lain yang menguntungkan
dari efek efedrin adalah tidak menurunkan aliran darah uterus sehingga sangat tepat
digunakan pada kasus obstetri. Selain itu, efedrin juga disebutkan memiliki efek
antiemetik, terutama yang terkait kondisi hipotensi akibat spinal anestesi. Premedikasi
dengan klonidin juga disebutkan dapat menguatkan efek efedrin.
Penggunaan klinis
Efedrin hanya tersedia dalam satu kemasan berupa cairan jernih dalam kemasan
ampul 1ml, dengan kandungan 50mg/ml. Pada pasien dewasa, efedrin diberikan dalam
bentuk bolus intravena dengan dosis 2.5-10mg. Sementara pada anak dapat diberikan
dengan dosis 0.1mg/kg. Pemberian yang berulang akan menyebabkan munculnya kondisi
takifilaksis, yaitu suatu kondisi dimana pemberian dosis pengulangan tidak lagi
memberikan efek atau berkurang efektivitasnya. Hal tersebut diduga karena habisnya
cadangan norepinefrin sebagai akibat dari aksi indirek dari epinefrin.

Dopamin
Dopamin adalah sebuah agonis non-selektif adrenergik endogen, yang dapat
bekerja secara direk dan indirek. Efek dan target kerja yang bervariasi tergantung besaran
dosis yang diberikan. Dopamin telah dimasukkan ke dalam Daftar Obat Esensial
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Penggunaan klinis
Dopamin biasa dikemas dalam bentuk ampul berisi cairan jernih yang memiliki
sedikit bau asam klorida. Sediaan ampul berisi 5ml dengan kandungan 40mg/ml. Larut
dengan bebas dalam air dan larut dalam alkohol. Dopamin HCl peka terhadap kondisi
alkali, garam besi, dan zat pengoksidasi. Dopamin memiliki rentang dosis yang relatif
lebar, dengan efek yang dihasilkan tergantung dari dosis yang diberikan. Pada dosis rendah
(0.5-3mcg/kg/menit), dopamin bekerja dengan mengaktivasi reseptor dopaminergik, yang
mana memberikan efek berupa vasodilatasi pembuluh darah ginjal sehingga akan
memberikan efek diuresis dan natriuresis. Dulu dosis ini dikenal dengan sebutan dosis renal
(renal dose) dan digunakan untuk tujuan memperbaiki fungsi ginjal. Namun beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa dosis renal tidak memberikan perubahan yang
menguntungkan pada fungsi ginjal. Ketika digunakan pada dosis yang lebih besar (3-
10mcg/kg/menit), dopamin akan bekerja pada reseptor 1 yang mana akan memberikan
efek peningkatan kontraktilitas miokard, laju jantung, tekanan darah sistolik dan juga
kardiak output. Hal tersebut tentunya meningkatkan kebutuhan dan konsumsi oksigen
miokard. Pada dosis yang lebih besar (10-20mcg/kg/menit), dopamin akan bekerja
terutama pada reseptor 1 yang akan bekerja meningkatkan resistensi vaskular perifer yang
disertai penurunan aliran darah ke ginjal. Sementara itu efek indirek dari dopamin adalah
bekerja dengan melepaskan norepinefrin dari presinaps ganglion saraf simpatik.

Dobutamin
Dobutamin adalah obat yang bekerja langsung pada adrenoreseptor 1 yang ada
pada jantung, sehingga dapat memberikan efek berupa peningkatan kontraktilitas jantung
dan menghasilkan peningkatan kardiak output. Meskipun demikian, sebenarnya dobutamin
merupakan sebuah campuran racemic dari dua isomer dengan afinitas pada reseptor 1 dan
2. Efek dari ikatannya pada reseptor 2 yang mencegah terjadinya peningkatan agresif dari
tekanan darah arterial dan vasodilatasi ringan. Selain itu, dobutamin juga menyebabkan
tekanan pengisian ventrikel kiri berkurang, sehingga aliran darah koroner akan meningkat.
Oleh karena efeknya yang sangat menguntungkan untuk jantung, dobutamin menjadi
pilihan idel untuk digunakan pada pasien yang mengalami kombinasi gagal jantung
kongestif dan penyakit jantung koroner. Efek samping dobutamin yang paling berbahaya
adalah peningkatan risiko aritmia, termasuk aritmia yang fatal.
Penggunaan klinis
Dobutamin di Indonesia tersedia dalam 3 macam sediaan, yaitu dalam bentuk
ampul, vial, dan infus. Sediaan vial berisi 10 mL dengan kandungan 25 mg/mL. Sediaan
ampul berisi 20 mL per ampul dengan kandungan 12.5mg/ml, dan ampul berisi 5 mL
dengan kandungan 50 mg/mL. Sementara untuk sediaan infus berisi 50 ml, dengan
kandungan 5mg/ml. Karena memiliki waktu paruh yang pendek, dobutamin biasa
diberikan dengan mode kontinyu, dosis 2-20mcg/kg/menit.
Referensi
1. Grigg EB, Martin LD, Ross FJ, Roesler A, Rampersad SE, et al. Assessing the Impact of the
Anesthesia Medication Template on Medication Errors During Anesthesia: A Prospective
Study, Anesthesia & Analgesia. 2017;124(5):1617-1625
2. Sheen MJ, Chang FL, Ho ST. Anesthetic premedication: New horizons of an old practice. Acta
Anaesthesiologica Taiwanica. 2014;52(3):134-142.
3. Motayagheni N, Phan S, Eshraghi C, Nozari A, Atala A: A Review of Anesthetic Effects on
Renal Function: Potential Organ Protection. Am J Nephrol 2017;46:380-389.
4. Egan TD. Are opioids indispensable for general anaesthesia? BJA. 2019;122(6):E127-E135.
5. Boysen PG 2nd, Pappas MM, Evans B. An Evidence-Based Opioid-Free Anesthetic Technique
to Manage Perioperative and Periprocedural Pain. Ochsner J. 2018;18(2):121-125.
6. Becker DE. Emergency drug kits: pharmacological and technical considerations. Anesth Prog.
2014;61(4):171-179.
7. Kassiri N, Ardehali SH, Rashidi F, Hashemian SM. Inhalational anesthetics agents: The
pharmacokinetic, pharmacodynamics, and their effects on human body. Biomed Biotechnol Res
J 2018;2:173-177.
8. Chitilian HV, Eckenhoff RG, Raines DE. Anesthetic drug development: Novel drugs and new
approaches. Surg Neurol Int. 2013;4(Suppl 1):S2-S10
9. Khan KS, Hayes I, Buggy DJ. Pharmacology of anaesthetic agents I: intravenous anaesthetic
agents. Continuing Education in Anaesthesia Critical Care & Pain. 2014;14(3):100–105.
10. Tanious MK, Beutler SS, Kaye AD, Urman RD. New Hypnotic Drug Development and
Pharmacologic Considerations for Clinical Anesthesia. Anesthesiol Clin. 2017;35(2):e95-e113.
11. Mahmoud M, Mason KP. Recent advances in intravenous anesthesia and anesthetics.
F1000Res. 2018;7:F1000.
BAB V
ANESTESIA UMUM

Tjokorda Gde Agung Senapathi, Adinda Putra Pradhana

PENGERTIAN
Anestesia umum adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh
hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesia. Rees & Gray membagi
anestesia menjadi tiga komponen, yaitu hipnotika, anestesia, dan relaksasi otot. Ketiga hal tersebut
populer disebut sebagai Trias Anestesia. Saat ini fitur keempat sudah ditambahkan, yakni amnesia.

MONITORED ANESTHESIA CARE (MAC)


MAC bukanlah sebuah bagian dari anestesi umum, namun penting untuk mengetahui pengertian
dan perbedaan MAC dari anestesi umum. ASA mendefinisikan MAC sebagai layanan anestesi
untuk prosedur diagnostik atau terapeutik yang dilakukan di bawah anestesi lokal dengan bantuan
obat-obatan sedatif dan analgesia yang dititrasi sampai kedalaman tertentu seraya menjaga
pernafasan spontan pasien dan refleks jalan nafas.
MAC pada dasarnya terdiri dari tiga komponen dasar: sedasi, anti-ansietas, dan
pengendalian nyeri yang efektif. MAC harus dilakukan oleh seseorang yang memiliki kualifikasi
dan keterampilan untuk mengendalikan jalan napas atau mengubahnya menjadi anestesi umum
jika keadaannya memaksa. Oleh karena itu, MAC adalah sebuah tindakan yang harus dipimpin
oleh seorang ahli anestesi. Standar perawatan pada dasarnya sama dengan anestesi umum atau
regional, mencakup evaluasi pra-anestesi, pemantauan intraoperatif, dan perawatan rutin
paskaoperasi. Obat-obat yang biasanya digunakan untuk MAC adalah obat-obat yang memiliki
properti antiansietas dan sedatif (midazolam, dexmedetomidine) dan golongan analgetika
(ketamin, opioid).
Sebuah penelitian muticenter pada 321 pasien yang menjalani berbagai prosedur bedah
atau diagnostik dengan MAC mendapatkan dexmedetomidine memberikan tingkat kepuasan
pasien yang lebih tinggi, kebutuhan opioid yang lebih sedikit, dan lebih sedikit kejadian depresi
pernapasan dibandingkan dengan midazolam dan fentanyl.1 Dexmedetomidine dapat ditoleransi
dengan baik pada berbagai kelompok umur. Meskipun biaya lebih tinggi, dexmedetomidine
tampaknya menjadi alternatif pengganti opioid yang efektif, terutama karena sifatnya sebagai obat
penenang yang memiliki efek analgesik ringan, kemampuan mempertahankan refleks jalan nafas
yang lebih baik, dan menjaga ventilasi.

JENIS ANESTESIA UMUM


1. Anestesia umum intravena
a. Anestesia umum intravena klasik
b. Anestesia umum intravena total
c. Anestesia-analgesia neuroleptik
2. Anestesia umum inhalasi
a. Anestesia umum inhalasi sungkup muka
b. Anestesia umum inhalasi dengan pemasangan LMA
c. Anestesia umum inhalasi dengan pemasangan pipa endotrakeal
3. Konsep Anestesia Umum Seimbang (balanced anesthesia)

ANESTESIA UMUM INTRAVENA


Merupakan tehnik anestesia umum yang dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesia secara
parenteral. Tehnik ini dapat dibagi menjadi anestesia umum intravena klasik, anestesia umum
intravena total, dan anestesia-analgesia neuroleptik.

Anestesia umum intravena klasik


Definisi
Pemakaian kombinasi obat ketamin hidroklorida dengan sedati f misalnya: diazepam, midazolam
atau dehidro benzperidol. Komponen trias anestesia yang dipenuhi dengan teknik ini adalah:
hipnotik dan anestesia.
Indikasi
Operasi kecil dan sedang yang tidak memerlukan relaksasi lapangan operasi yang optimal dan
berlangsung singkat, dengan perkecualian operasi di daerah jalan nafas dan intraokuler.
Kontraindikasi
1. Pasien yang sensitif terhadap obat-obat simpatomimetik, misalnya penderita diabetes
melitus, hipertensi, tirotoksikosis, dan pheochromocytoma.
2. Pasien dengan hipertensi intrakranial.
3. Pasien yang menderita glaukoma.
4. Operasi intraokuler.
Tata laksana
1. Pasang alat pantau yang diperlukan dan berikan suplementasi oksigen yang cukup.
2. Induksi dengan salah satu obat sedatif, misalnya midazolam 0,05-0,1 mg/kg.
3. Tunggu onset obat dimulai.
4. Berikan Ketamin HCl dengan dosis 1-2 mg/kg.
5. Dosis tambahan dapat diberikan setiap interval waktu 15 menit dengan dosis setengahnya
dari dosis awal.
6. Untuk mendalamkan anestesi bisa diberikan sedatif atau hipnotik, misalnya tiopental.

Anestesia umum intravena total (Total intravenous anesthesia/TIVA)


Batasan
Pemakaian kombinasi obat anestesi intravena yang berkhasiat hipnotik, analgetik, dan relaksasi
otot secara berimbang.
Indikasi
Operasi-operasi yang memerlukan relaksi lapangan operasi optimal.
Kontraindikasi
Tidak ada indikasi kontra yang absolut.
Tata laksana
1. Pasang alat pantau yang diperlukan dan berikan suplementasi oksigen yang cukup.
2. Siapkan alat-alat dan obat-obat resusitasi.
3. Siapkan STATICS dan pastikan mesin anestesia sudah siap dipergunakan.
4. Berikan suplementasi oksigen yang adekuat.
5. Masukkan analgetika golongan opioid sesuai dengan dosis.
6. Berikan obat hipnotikum dengan dosis induksi.
7. Berikan bantuan pernafasan melalui sungkup muka dengan oksigen 100%.
8. Berikan obat pelumpuh otot apabila jalan nafas sudah dikuasai dengan baik.
9. Setelah onset obat pelumpuh otot tercapai, lakukan laringoskopi intubasi dan pasang
endotracheal tube (ET) dengan ukuran yang benar.
10. Setelah ET terpasang, sambungkan ET dengan sirkuit nafas dan lanjutkan memberikan
bantuan nafas kepada pasien.
11. Konfirmasi letak ET dengan melakukan auskultasi dada dan memastikan bahwa suara
nafas pada semua lapangan dada sudah simetris.
12. Fiksasi ET dengan baik agar ET tidak sampai tertarik atau terdorong secara tidak sengaja.
13. Sesuaikan proporsi pemberian campuran gas (campuran oksigen dan N2O atau oksigen dan
compressed air).
14. Berikan dosis rumatan agen analgetika, hipnotika, dan pelumpuh otot secara intravena, baik
intermiten atau kontinyu.
15. Setelah operasi selesai, pemberian obat-obatan tadi dihentikan dan pernafasan pasien
dipulihkan perlahan sampai volume tidal pasien adekuat. Apabila diperlukan, bisa
diberikan antidotum yang sesuai.
16. Setelah pasien mampu bernafas spontan dan adekuat, ekstubasi ET. Ekstubasi bisa
dilakukan dengan tehnik ekstubasi sadar ataupun ekstubasi dalam, sesuai dengan indikasi
dan jenis operasi pasien.

Anestesia umum intravena neuroleptika


Definisi
Keadaan anestesia umum yang dicapai dengan menggunakan kombinasi obat neuroleptik dengan
opiat secara intravena.
Indikasi
1. Tindakan diagnostik endoskopik, misalnya: laringoskopi, bronkoskopi, esofagoskopi,
rektoskopi, dll.
2. Sebagai suplemen tindakan anestesia lokal.
Kontraindikasi
Tidak ada indikasi kontra yang absolut.
Tata laksana
1. Sebagai premedikasi, bisa diberikan obat-obat anti-ansietas dan obat-obat yang mencegah
PONV.
2. Pasang alat pantau yang diperlukan.
3. Untuk analgetika berikan opioid dengan masa kerja pendek seperti fentanil atau
remifentanil sesuai dengan dosis.
4. Induksi dengan agen hipnotikum seperti propofol sesuai dengan dosis yang dianjurkan
5. Tunggu beberapa saat sampai onset obat-obat yang digunakan tersebut tercapai.

ANESTESIA UMUM INHALASI


Anestesia umum inhalasa merupakan tehnik anestesia umum yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesia inhalasi berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap
melalui alat/mesin anestesia langsung ke udara inspirasi.

Anestesia Umum Inhalasi Sungkup Muka


Definisi
Anestesia umum inhalasi yang diberikan melalui sungkup muka dengan mempertahankan pola
nafas spontan.
Indikasi
Pada operasi kecil dan sedang di daerah permukaan tubuh yang berlangsung singkat dengan posisi
supine.
Kontraindikasi
Tehnik ini tidak disarankan untuk dilakukan pada operasi di daerah kepala dan jalan nafas, serta
operasi dengan posisi miring atau tertelungkup.
Tata laksana
1. Pasang alat pantau yang diperlukan.
2. Siapkan alat-alat dan obat-obat resusitasi.
3. Siapkan mesin anestesia dengan sistem sirkuitnya dan gas anestesia yang dipergunakan.
4. Berikan opioid sebagai analgetika sesuai dosis.
5. Induksi dengan agen hipnotika intravena sesuai dosis induksi.
6. Berikan obat anestesia inhalasi dikombinasikan dengan campuran oksigen-N2O atau
oksigen-compressed air.
7. Awasi pola nafas pasien, apabila tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan nafas bantuan
intermiten dan sinkronkan sesuai dengan irama nafas pasien.
8. Apabila operasi sudah selesai, hentikan aliran gas/obat anestesia inhalasi dan berikan
oksigen 100% sambil menunggu pasien sadar.

Anestesia Umum Inhalasi dengan pemasangan Laryngeal Mask Airway (LMA)


Definisi
Anestesi umum obat seperti tersebut di atas secara inhalasi melalui sungkup laring dengan pola
nafas spontan.
Indikasi
Pada operasi kecil dan sedang di daerah permukaan tubuh, berlangsung singkat, dengan posisi
supine.
Kontraindikasi
Tehnik ini tidak dianjurkan pada operasi di daerah rongga mulut dan operasi dengan posisi
tertelungkup.
Tata laksana
1. Pasang alat pantau yang diperlukan dan berikan suplementasi oksigen yang cukup.
2. Siapkan alat-alat dan obat-obat resusitasi.
3. Siapkan STATICS dan pastikan mesin anestesia sudah siap dipergunakan.
4. Berikan suplementasi oksigen yang adekuat.
5. Masukkan analgetika golongan opioid sesuai dengan dosis.
6. Berikan obat hipnotikum dengan dosis induksi.
7. Berikan bantuan pernafasan melalui sungkup muka dengan oksigen 100%.
8. Pasang LMA dengan menggunakan tehnik yang benar.
9. Setelah LMA terpasang, sambungkan LMA dengan sirkuit nafas dan lanjutkan memberikan
bantuan nafas kepada pasien.
10. Fiksasi LMA dengan baik agar tidak sampai tertarik atau terdorong secara tidak sengaja.
11. Sesuaikan proporsi pemberian campuran gas (campuran oksigen dan N2O atau oksigen dan
compressed air) dan agen anesthesi inhalasi.
12. Awasi pola nafas pasien, apabila tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan nafas bantuan
intermiten dan sinkronkan sesuai dengan irama nafas pasien.
13. Setelah operasi selesai dan volume tidal pasien adekuat, lepaskan LMA secara perlahan dan
pasangkan OPA pada pasien. Apabila diperlukan, lakukan suctioning secara hat-hati.
14. Matikan agen anestesi inhalasi dan tunggu pasien tersadar.

Anestesia Umum Inhalasi dengan pemasangan pipa endotrakeal


Batasan
Pemakaian kombinasi obat anestesi inhalasi yang berkhasiat hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot
secara berimbang.
Indikasi
Operasi-operasi yang memerlukan relaksi lapangan operasi optimal.
Kontraindikasi
Tidak ada indikasi kontra yang absolut.
Tata laksana
1. Pasang alat pantau yang diperlukan dan berikan suplementasi oksigen yang cukup.
2. Siapkan alat-alat dan obat-obat resusitasi.
3. Siapkan STATICS dan pastikan mesin anestesia sudah siap dipergunakan.
4. Berikan suplementasi oksigen yang adekuat.
5. Masukkan analgetika golongan opioid sesuai dengan dosis.
6. Berikan obat hipnotikum dengan dosis induksi.
7. Berikan bantuan pernafasan melalui sungkup muka dengan oksigen 100%.
8. Berikan obat pelumpuh otot apabila jalan nafas sudah dikuasai dengan baik.
9. Setelah onset obat pelumpuh otot tercapai, lakukan laringoskopi intubasi dan pasang
endotracheal tube (ET) dengan ukuran yang benar.
10. Setelah ET terpasang, sambungkan ET dengan sirkuit nafas dan lanjutkan memberikan
bantuan nafas kepada pasien.
11. Konfirmasi letak ET dengan melakukan auskultasi dada dan memastikan bahwa suara nafas
pada semua lapangan dada sudah simetris.
12. Fiksasi ET dengan baik agar ET tidak sampai tertarik atau terdorong secara tidak sengaja.
13. Sesuaikan proporsi pemberian campuran gas (campuran oksigen dan N2O atau oksigen dan
compressed air).
14. Berikan dosis rumatan agen analgetika dan hipnotika secara inhalasi, baik intermiten atau
kontinyu. Pelumpuh otot dan opiat bisa ditambahkan sesuai indikasi secara intravena.
15. Setelah operasi selesai, pemberian obat-obatan tadi dihentikan dan pernafasan pasien
dipulihkan perlahan sampai volume tidal pasien adekuat. Apabila diperlukan, bisa diberikan
antidotum yang sesuai.
16. Setelah pasien mampu bernafas spontan dan adekuat, ekstubasi ET. Ekstubasi bisa dilakukan
dengan tehnik ekstubasi sadar ataupun ekstubasi dalam, sesuai dengan indikasi dan jenis
operasi pasien.

Konsep Anestesia Umum Seimbang (Balanced anesthesia)


Merupakan tehnik anestesia dengan mempergunakan kombinasi obat-obatan intravena maupun
obat inhalasi. atau kombinasi teknik anestesia umum dengan analgesia regional, untuk mencapai
trias anestesia secara optimal dan berimbang. Prinsipnya adalah menggunakan kombinasi dari
berbagai obat yang digunakan dalam anestesia dalam dosis kecil, untuk mencapai efek yang
optimal untuk pembedahan dan mampu menangani nyeri perioperatif, tanpa meningkatkan insiden
efek samping dari masing-masing obat tersebut.
Konsep anestesi seimbang diperkenalkan oleh John Lundy pada tahun 1926 yang
menggambarkan suatu kombinasi yang terdiri dari premedikasi, analgesia regional, dan anestesi
umum yang menggunakan satu atau lebih agen untuk mencapai efek yang diinginkan. Anestesi
dengan agen tunggal dapat membutuhkan dosis yang menghasilkan depresi nafas atau gangguan
hemodinamik. Opioid, sebagai salah satu komponen penting dari anestesi seimbang, dapat
mengurangi nyeri, mengurangi respons somatik dan otonom terhadap manipulasi jalan napas,
menjaga stabilitas hemodinamik, menurunkan kebutuhan anestesi inhalasi, dan memberikan efek
analgesia pasca operasi. Meskipun tujuan menggabungkan opioid dengan sedatif-hipnotik
dan/atau anestesi volatil adalah untuk menghasilkan kondisi anestesi dengan hemodinamik stabil,
hal ideal ini tidak selalu tercapai.
Pemberian opioid sebelum manipulasi jalan nafas mengurangi respon fisiologis. Opioid
berinteraksi secara sinergis dan sangat mengurangi dosis propofol dan obat penenang-hipnotik
lainnya. Opioid juga dapat mengurangi atau menghilangkan respons negatif tubuh terhadap rapid
sequence induction (RSI). Waktu, tingkat pemberian, dan dosis opioid tambahan harus disesuaikan
dengan kondisi pasien dan durasi operasi untuk menghindari nyeri paskaoperasi atau timbulnya
depresi nafas.
Referensi
1. Yu H, Wu D. Effects of different methods of general anesthesia on intraoperative awareness in
surgical patients. Medicine. 2017;96(42):pe6428.
2. Pavel MA, Petersen EN, Wang H, Lerner RA, Hansen SB. Studies on the mechanism of general
anesthesia. Proceedings of the National Academy of Sciences. 2020;117(24):13757-13766.
3. Ovassapian A. Laryngeal Mask Anesthesia: Principles and Practice, 2nd Edition. Anesthesiology.
2006;105(3):636.
4. Guglielminotti J, Landau R, Li G. Adverse Events and Factors Associated with Potentially
Avoidable Use of General Anesthesia in Cesarean Deliveries. Anesthesiology. 2019;130(6):912-
922.
BAB VI
ANESTESIA REGIONAL

Tjokorda Gde Agung Senapathi, I Made Gede Widnyana, Christopher Ryalino

PENGERTIAN
Anestesia regional adalah tehnik anestesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat
anestesia lokal pada serat saraf yang menginervasi regio tertentu, yang dapat menyebabkan
hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.

JENIS ANESTESIA REGIONAL


1. Bier’s block (Blok Bier)
2. Blok subarachnoid (BSA)
3. Blok epidural
4. Blok kaudal
5. Blok saraf perifer (akan dibahas pada buku tersendiri)

BLOK BIER
Blok Bier, dikenal juga dengan istilah blok anestesi regional intravena, pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1908 oleh ahli bedah Jerman yang bernama August Bier. Blok Bier pada dasarnya
dilakukan dengan menyuntikkan larutan anestesi lokal ke dalam sistem vena sebuah ekstremitas
yang telah diisolasi dari sistem sirkulasi tubuh dengan menggunakan tourniquet.
Bier menggunakan Prokain dalam konsentrasi 0,25-0,5% yang disuntikkan melalui kanula
intravena, yang ditempatkan di antara dua tourniquet yang membagi ekstremitas tersebut menjadi
komponen proksimal dan distal. Bier mendapatkan ada dua jenis efek anestesi yang berbeda pada
pasien yang dilakukan perosedur tersebut yang dinamakan efek anestesi direk (terjadi segera
setelah memasukkan obat anestesi lokal ke intravena) dan indirek (terjadi 5-7 menit setelah obat
anestesi lokal dimasukkan). Efek direk adalah pengaruh dari obat anestesi lokal yang merendam
ujung saraf di jaringan (blok infiltrasi perifer), sedangkan efek indirek kemungkinan besar
disebabkan oleh anestesi lokal yang diangkut ke substansi saraf melalui vasa nervorum, di mana
blok konduksi terjadi (blok konduksi).
Blok Bier dapat digunakan untuk prosedur bedah
singkat atau manipulasi ekstremitas atas atau bawah.
Tehnik ini lebih banyak digunakan untuk ekstremitas
atas karena tingginya angka komplikasi ketika
digunakan pada ekstremitas bawah. Blok Bier juga telah
terbukti mengurangi peradangan neurogenik, sebuah
fenomena yang mungkin terkait dengan complex
regional pain syndrome (CRPS), dengan sedikit gangguan fungsi sensorik. Meskipun Blok Bier
adalah metode yang aman dan efektif untuk memberikan anestesi lokal untuk anestesia dan
analgesia, satu studi menyatakan bahwa sebagian besar pelaku anestesi melakukan kurang dari 10
kali Blok Bier per tahun.

Langkah-langkah melakukan Blok Bier


1. Masukkan kateter intravena ke dalam vena perifer sedalam mungkin dengan mengikuti
tindakan pencegahan aseptik yang benar.
2. Pasang tourniquet pneumatik ganda proksimal pada lengan atas (untuk ekstremitas atas) atau
pada paha (untuk ekstremitas bawah).
3. Elevasi ekstremitas tadi untuk memungkinkan darah keluar dari ekstremitas tersebut secara
pasif (eksanguinasi tertutup). Untuk membantu eksanguinasi, pasang perban dengan erat dari
arah distal ke proksimal dengan arah spiral sehingga menghasilkan efek kompresi pembuluh
darah.
4. Manset tourniquet pneumatik proksimal dipompa hingga 50-100 mmHg di atas tekanan darah
arteri sistolik. Setelah tekanan ini tercapai, perban kompresor tadi bisa dilepas.
5. Masukkan 30-50 mL lidokain HCl 0,5% melalui kateter intravena yang sudah dipasang,
(volume obat disesuaikan dengan ukuran lengan pasien). Ekstremitas bawah memerlukan
volume obat anestesi lokal yang lebih besar karena perbedaan ukuran yang signifikan antara
ekstremitas atas dan bawah. Volume yang lebih besar ini (sampai dengan 100 mL) diperlukan
untuk mengisi kompartemen vaskular ekstremitas bawah.
6. Ketika pasien mengeluhkan nyeri karena tourniquet, manset distal dipompa sampai tekanan
yang sama dan manset proksimal dikempiskan untuk meminimalkan nyeri tourniquet. Manset
distal ini kemudian tidak boleh dikempiskan setidaknya 30 menit setelah injeksi anestesi lokal,
bahkan apabila operasi telah selesai sebelum 30 menit.
7. Apabila operasi sudah selesai, kempeskan manset secara perlahan-lahan sampai tekanannya
nol, selanjutnya dipompa lagi sampai tekanan semula, lalu kempeskan lagi perlahan-lahan,
demikian seterusnya dilakukan berulang-ulang sampai setidaknya lima kali.
8. Pasien harus terus dipantau di PACU selama setidaknya 15 menit setelah deflasi tourniquet.
Tabel 6.1 Keuntungan, kerugian, dan komplikasi Bier’s block
Keuntungan Kerugian Komplikasi
Tidak dibutuhkan waktu puasa Hanya dapat digunakan untuk Terkait obat anestesi lokal (efek
prosedur dengan durasi yang pendek toksisitas lidokain)
Pasien dapat terjaga sepanjang
prosedur (sistem respirasi hampir Tidak nyaman bagi pasien Komplikasi terkait torniquet yang
tidak mengalami stres) akan berakibat efek blok tidak
Kerusakan pada torniquet akan optimal. (Misalnya: deflasi manset
Waktu pemulihan pendek dapat menyebabkan masuknya obat yang tidak disengaja atau sebelum
anestesi lokal dosis tinggi ke waktunya, kerusakan pada manset)
sirkulasi

Tidak memiliki efek analgesia


paskaoperasi
BLOK SUBARACHNOID (BLOK SPINAL)
Blok subarachnoid (BSA) telah berkembang pesat
sejak 1885. Setiap aspek, mulai dari peralatan yang
selalu diperbaharui, pilihan obat anestesi lokal,
hingga pemahaman yang kompleks tentang fisiologi
dan anatomi, telah membuat BSA semakin aman.
Pengetahuan klinis yang didapat dari publikasi-
publikasi telah menyebabkan pergeseran dalam apa
yang dianggap sebagai kontraindikasi untuk anestesi
spinal. Evolusi teknik baru, misalnya penggunaan
ultrasonografi untuk membantu seorang ahi anestesi
dalam melakukan BSA, telah memungkinkan BSA
dilakukan dalam situasi yang sebelumnya dianggap
mustahil. Meskipun demikian, harus diingat bahwa
tidak ada prosedur media yang bebas risiko, dan
semua upaya harus selalu dilakukan untuk
mencegah komplikasi.
Saat akan melakukan BSA, penting untuk mengidentifikasi secara akurat landmark
anatomy pada pasien. Garis tengah diidentifikasi dengan meraba proses spinosus. Crista iliaca
biasanya memiliki ketinggian vertikal yang sama dengan prosesus spinosus L4 atau spatium
intervertebralis pada L4-L5. Untuk menolong kita dalam mengidentifikasi landmark ini, kita dapat
menggambar suatu garis khayal yang melewati kedua puncak crista iliaca. Tergantung dari
keperluan pembedahan, spatium intervertebralis L3-L4 atau L4-L5 dapat digunakan untuk
melakukan BSA. Harus diingat bahwa medula spinalis biasanya berakhir pada level L1- L2,
sehingga akan sangat bijaksana untuk tidak mencoba melakukan BSA pada atau di atas level ini.
Melakukan BSA harus dibarengi dengan pengetahuan yang benar mengenai marka
dermatom yang penting untuk BSA. Dermatome adalah area kulit yang dipersarafi oleh serat
sensorik dari suatu saraf tulang belakang. Sebagai contoh, dermatom T10 berada di ketinggian
yang sama dengan umbilikus, dermatom T6 berada setinggi processus xiphoideus, dan dermatom
T4 berada pada ketinggian papilla mammae pada pasien pria. Untuk mencapai keadekuatan
anestesi, BSA harus mencapai tingkat dermatomal tertentu. Tingkat dermatom yang dibutuhkan
BSA untuk beberapa prosedur bedah tercantum pada Tabel 6.3.

Tabel 6.2 Kontraindikasi dan kompilasi dari blok subarachnoid


Kontraindikasi Komplikasi
Absolut Relatif Ringan Sedang Berat
Pasien menolak Koagulopati Mual dan muntah Prosedur gagal Infeksi (meningitis ,
arachnoiditis, abses)
Infeksi pada lokasi Sepsis Hipotensi Postdural puncture
suntikan heacache (PDPH) Hematoma kanalis
Penyakit neurologis Menggigil vertebralis
Hipovolemia yang yang belum jelas
belum dikoreksi sebabnya Gatal Iskemia spinal cord

Alergi terhadap obat Gangguan Sindrom cauda equina


anestesi lokal pendengaran
Cedera saraf tepi
Peningkatan tekanan Retensi urin
intrakranial Total blok
Kolaps pada sistem
kardiovaskular

Kematian

Tabel 6.3 Ketinggian dermatom yang dibutuhkan pada beberapa jenis operasi
Jenis Operasi Ketinggian dermatom yang diharapkan
Abdomen atas T4
Pembedahan di intestinal, ginekologi, dan urologi T6
TURP, persalinan vaginal, operasi panggul T10
Pembedahan di regio femur dan kruris L1
Pembedahan di regio ankle dan pedis L2
Pembedahan di regio anal dan perineum S2-S5
Langkah-langkah melakukan Blok Subarachnoid
1. Pasang alat pantau yang diperlukan.
2. Posisikan pasien sesuai dengan jenis operasi.
BSA dapat dilakukan dalam posisi duduk,
lateral dekubitus kanan, ataupun lateral
dekubitus kiri.
3. Desinfeksi area lumbal dan tutup dengan duk
lubang steril. Kerjakan semuanya sesuai dengan
protokol prosedur steril.
4. Tusuk jarum spinal ukuran pada celah
interspinosum lumbal 3-4 atau 4-5 sampai
keluar cairan likuor serebrospinalis.
5. Masukkan obat anestesia lokal.
6. Tutup luka tusukan dengan kasa steril dan
fiksasi menggunakan plester.
7. Atur posisi pasien sedemikian rupa agar posisi kepala dan tungkai lebih tinggi dari badan.
8. Nilai ketinggian blok dengan menggunakan skor Bromage.
9. Pantau tanda vital pasien sepanjang pengaruh anestesia lokal berjalan.
Tabel 6.4 Keuntungan dan kerugian blok subarachnoid
Keuntungan Kerugian
Relatif mudah untuk dilakukan Harus dilakukan oleh orang yang berpengalaman
Memberikan analgesia yang adekuat Selalu ada risiko terjadinya kegagalan
Tidak menggunakan agen sedatif Terjadi blok dari sistem otonom
Tidak mengganggu sistem pernafasan Membutuhkan pasien yang kooperatif
Dapat dilakukan tehnik lateralisasi
Biaya relatif lebih murah dibanding anestesi umum
Relatif lebih aman pada pasien dengan lambung yang penuh

BLOK EPIDURAL
Indikasi klinis untuk anestesi dan analgesia yang diberikan melalui ruang epidural telah
berkembang secara signifikan selama beberapa dekade terakhir. Analgesia epidural sering
digunakan untuk melengkapi anestesi umum untuk prosedur bedah pada pasien dengan
komorbiditas. Selain itu, blok epidural juga digunakan untuk memberikan analgesia pada periode
paskaoperasi dan peripartum, dan dapat juga digunakan sebagai anestesi primer untuk operasi
setinggi mediastinum sampai ekstremitas bawah. Saat ini, tehnik epidural semakin banyak
digunakan dalam manajemen nyeri akut dan kronis. Blok epidural juga diketahui dapat
mengurangi respons stres pembedahan, risiko kekambuhan pada kasus keganasan, peristiwa
tromboemboli perioperatif, dan morbiditas dan mortalitas pada pemebedahan mayor yang berisiko
tinggi.
Tabel 6.5 Kontraindikasi pemasangan kateter epidural
Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relatif
Pasien menolak Sepsis
Gangguan fungsi koagulasi Tekanan intrakranial meningkat
Riwayat penggunaan antikoagulan
Trombositopenia
Gangguan SSP atau neuromuskular
Infeksi pada lokasi insersi
Kondisi preload dependen (misalnya stenosis aorta)
Riwayat cedera pada tulang belakang
Nyeri punggung

Langkah-langkah melakukan Blok Epidural


Pendekatan Median
1. Pasang alat pemantauan yang diperlukan. Kit epidural ditempatkan dalam jangkauan dokter
anestesi.
2. Identifikasi landmark anatomi permukaan.
3. Berikan anestesi lokal melalui injeksi subkutan dengan anestesi lokal (biasanya digunakan
lidokain 1%-2%). Anestesi lokal ini harus cukup untuk menghasilkan efek analgesia pada
pasien namun tidak sampai mengganggu identifikasi landmark.
4. Masukkan jarum epidural beserta
penuntunnya (stylet). Jarum epidural akan
melalui lapisan kulit, jaringan subkutan,
jaringan lemak, ligamentum supraspinosus,
ligamentum interspinosus, dan ligamentum
flavum. Penting untuk mempertahankan
proyeksi ujung jarum tetap berada di garis
tengah. Jika poros jarum menyimpang dari
garis tengah, ujung jarum biasanya tidak memasuki ligamen dengan sudut yang benar.
Ligamentum interspinosus terasa seperti jarum kita menempus kumpulan pasir, sementara
saat menembus ligamentum flavum biasanya terasa resistensi yang lebih besar. Jarak antara
kulit ke ligamentum flavum umumnya berkisar antara 4-6 cm pada orang dewasa, meskipun
jarak ini dapat sangat bervariasi.
5. Lepaskan stylet dari jarum epidural dan pasangkan syringe 10 cc ke hub jarum. Jarum suntik
dapat diisi dengan udara atau dapat diisi dengan NaCl 0,9%.
6. Tangan yang tidak dominan bertumpu pada punggung pasien dengan ibu jari dan telunjuk
menstabilkan hub jarum, dan tangan dominan digunakan untuk mendorong jarum epidural
perlahan sambil menekan plunger syringe yang sudah dipasang tadi seraya mengidentifikasi
apabila terasa loss of resistance (LOR).
7. Saat LOR terasa, sejumlah kecil saline dari syringe dapat disuntikkan ke ruang epidural
untuk melebarkan ruang epidural, sehingga akan mengurangi risiko kanulasi vena epidural
dan memfasilitasi pemasangan kateter.
8. Perhatikan kedalaman jarum di kulit. Tanda pada jarum di kulit mewakili jarak dari kulit ke
ruang epidural.
9. Masukkan kateter epidural ke hub jarum epidural sampai tanda 15 cm. Lalu keluarkan jarum
tanpa mencabut kateter. Sebaiknya kedalaman kateter di dalam ruang epidural berkisar
antara 5-6 cm, apabila lebih pendek akan berisiko untuk terjadi translokasi, dan apabila lebih
panjang maka akan berisiko untuk terjadi kinking kateter di dalam ruang epidural. Misalnya,
jika jarum memasuki ruang epidural pada 6 cm, kateter harus diamankan pada tanda 11 cm
di kulit untuk memastikan bahwa 5 cm kateter terletak di ruang epidural.
10. Pasangkan perangkat yang berbentuk seperti mulut buaya di ujung distal kateter epidural.
Apabila posisi kateter sudah benar, aspirasi pada kateter akan menyebabkan katater epidural
dimasuki oleh gelembung udara yang terlihat putus-putus. Untuk memastikan, gunakan test
dose epidural. Dosis uji yang paling populer dan efektif adalah 3 mL lidokain 1,5% dengan
epinefrin 1:200.000. Apabila terjadi kanulasi kateter ke pembuluh darah epidural, maka
denyut jantung pasien akan meningkat >20% dari baseline dalam waktu satu menit setelah
test dose dimasukkan.
11. Fiksasi lokasi insersi kateter epidural secara steril, kemudian tutup dengan kasa steril atau
dengan perban dan plester transparan. Pasangkan perangkat ujung distal kateter epidural,
lalu fiksasi pula sepanjang kateter epidural sampai melewati bahu.
Pendeketan Paramedian
Pendekatan paramedian memberikan celah
yang lebih besar ke ruang epidural
dibandingkan pendekatan median, dan sangat
berguna untuk pasien yang tidak dapat
diposisikan dengan ideal atau yang tidak dapat
melakukan fleksi tulang belakang selama
prosedur pemasangan kateter epidural. Tehnik
ini juga berguna untuk pasien dengan ligamen
yang terkalsifikasi atau kelainan bentuk tulang belakang (misalnya, kyphosis, scoliosis, operasi
lumbar sebelumnya), dan untuk teknik pemasangan kateter setinggi thoracal rendah ke bawah.
Prosesus spinosus T4-T9 memiliki angulasi tajam dan ujung yang mengarah ke kaudal, sehingga
akan membuat insersi jarum epidural melalui garis tengah akan lebih sulit.
Pendekatan paramedian berbeda dari pendekatan median karena perbedaan jaringan yang
ditembus. Ligamen supraspinosus dan interspinosus adalah struktur yang tidak dilewati pada
pendekatan paramedian. Sebagai gantinya, jarum epidural menembus jaringan paraspinosus (yang
memiliki resistensi lebih kecil) sebelum memasuki ligamentum flavum.
Setelah melakukan identifikasi ketinggian yang diinginkan, pendekatan ini dilakukan
dengan memberikan injeksi anestesi lokal subkutan pada 1 cm ke caudal dan 1 cm ke lateral dari
spatium intervertebralis yang diidentikasi. Jarum epidural dimasukkan 15° dari bidang sagital,
diproyeksikan ke arah garis tengah dengan kemiringan ke arah cephalad. Apabila jarum epidural
membentur tulang (kemungkinan besar suatu lamina), tarik jarum sedikit kemudian arahkan lagi
ke arah lebih cephalad dari insersi sebelumnya.

Pendekatan Taylor
Pendekatan Taylor adalah pendekatan paramedian yang
dimodifikasi dengan memanfaatkan ruang antar L5-S1
yang besar. Pendekatan ini sangat baik untuk operasi
panggul atau untuk operasi ekstremitas bawah pada pasien
trauma yang tidak dapat mentolerir posisi duduk.
Pendekatan ini juga dapat memberikan akses ke ruang epidural pada pasien dengan ligamen yang
mengeras.
Pendekatan ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Identifikasi spasium L4-L5, kemudian suntikkan anestesia lokal pada 1 cm medial dan 1
cm caudal dari spina iliaka superior posterior.
2. Jarum epidural dimasukkan ke arah medial dan sefalad dengan sudut 45-55°.
3. Seperti pada pendekatan paramedian klasik, resistensi pertama yang dirasakan sebelum
masuk ke ruang epidural adalah saat masuk ke ligamentum flavum.
4. Jika jarum epidural membentur tulang (biasanya tulang sakrum), maka arahkan kembali
jarum ke ruang epidural dalam arah yang lebih medial dan lebih cephalad.

Pendekatan Caudal
Pendekatan kaudal umumnya digunakan pada populasi
pediatri, baik dengan metode suntikan tunggal ataupun
kontinu, sebagai analgesia intraoperatif dan postoperatif.
Sakrum adalah tulang berbentuk segitiga yang dibentuk oleh
fusi vertebra sakral. Lengkung tulang sakral kelima yang tidak
berfusi membentuk struktur yang dikenal sebagai hiatus
sakralis, yang ditutupi oleh ligamentum sacrococcygeal
(perpanjangan dari ligamentum flavum), dan dibatasi oleh
tonjolan tulang yang dikenal sebagai cornu sacralis. Hiatus
sakralis, titik akses ke ruang epidural sakral, biasanya dapat diidentifikasi sebagai sebuah
cekungan di atas tulang coccygeus.
Pendekatan ini biasanya dikerjakan dengan menggunakan langkah berikut:
1. Tempatkan pasien dalam posisi lateral atau prone. Pada posisi lateral, kaki dependen
sedikit ditekuk, sedangkan kaki nondependen ditekuk maksimal.
2. Identifikasi hiatus sakralis dengan mengidentikasi puncak segitiga sama sisi yang
menghubungkan kedua spina iliaka posterior superior dan mengarah ke caudal.
3. Masukkan jarum pada kemiringan 45° terhadap permukaan kulit.
4. Rasakan adanya perubahan tahanan ketika jarum menembus membran sacrococcygeal.
5. Tarik sedikit jarum, kurangi sudut masuk jarum sehinnga mencapai sudut sekitar 10-15°
dengan bidang koronal tubuh pasien.
6. Ketika merasakan LOR, lanjutkan memasukkan jarum sedikit ke arah kanalis. Kemudian
aspirasi jarum untuk memastikan tidak ada darah atau CSF sebelum menyuntikkan LA.
7. Suntikkan perlahan anestesi lokal yang diinginkan. Atau, masukkan kateter epidural
melalui jarum yang digunakan tersebut sampai ke ketinggian yang diinginkan.
Referensi
1. Wahal C, Kumar A, Pyati S. Advances in regional anaesthesia: A review of current practice,
newer techniques and outcomes. Indian J Anaesth. 2018;62(2):94-102.
doi:10.4103/ija.IJA_433_17
2. Hutton M, Brull R, Macfarlane AJR. Regional anaesthesia and outcomes. BJA Education.
2018;18(2):52-56.
3. Albrecht E, Chin KJ. Advances in regional anaesthesia and acute pain management: a narrative
review. Anaesthesia. 2020;75:e101-e110.
4. Liu SS, McDonald SB. Current Issues in Spinal Anesthesia. Anesthesiology. 2001;94(5):888-906.
5. Bauer M, George JE 3rd, Seif J, Farag E. Recent advances in epidural analgesia. Anesthesiol Res
Pract. 2012;2012:309219.
6. Kraus GP, Fitzgerald BM. Bier Block. [Updated 2020 Feb 6]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430760/
7. Wiegele M, Marhofer P, Lönnqvist PA. Caudal epidural blocks in paediatric patients: a review
and practical considerations. Br J Anaesth. 2019;122(4):509-517.
8. Kao SC, Lin CS. Caudal Epidural Block: An Updated Review of Anatomy and Techniques.
Biomed Res Int. 2017;2017:9217145. doi:10.1155/2017/9217145

Anda mungkin juga menyukai