Anda di halaman 1dari 53

REFERAT

ANESTESI PADA PEDIATRIK

Disusun oleh :

Wilson Saputra W.

030.13.206

Pembimbing :

Kolonel Laut (K) dr. Tjangeta Liempy Sasanaputra, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 19 FEBRUARI – 24 MARET 2018


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena atas rahmat dan
izin-Nyalah, penyusun dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu
Anestesi, RSAL DR.MINTOHARDJO JAKARTA, mengenai Anestesi pada Pediatrik.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang dihadapi.
Namun penyusun menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan semua pihak, sehingga kendala-kendala yang penyusun
hadapi dapat teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada Kolonel Laut (K) dr. Tjangeta Liempy Sasanaputra, Sp.An
sebagai dokter pembimbing dalam pembuatan referat ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat kekurangan.
Oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan dapat membantu sejawat dalam
memahami mengenai Anestesi pada Pediatrik.

Jakarta, Maret 2018

Penyusun

1
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN
REFERAT
ANESTESI PADA PEDIATRIK

DISUSUN OLEH :
Wilson Saputra W.
030.13.206

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing


Kolonel Laut (K) dr. Tjangeta Liempy Sasanaputra, Sp.An

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan kepaniteraan klinik
Departemen Ilmu Anestesi di RSAL dr.Mintohardjo periode 19 Februari – 24 Maret 2018

Jakarta, Maret 2018

Pembimbing
Kolonel Laut (K) dr. Tjangeta Liempy Sasanaputra, Sp.An

2
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................1
HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4
BAB II ANESTESI PADA PEDIATRIK.................................................................................5
2.1 Anatomi dan fisiologi pediatrik...............................................................................5
2.2 Farmakologi..........................................................................................................16
2.3 Manajemen anestesi pediatrik...............................................................................18
2.4 Medikasi................................................................................................................30
2.5 Komplikasi anestesi..............................................................................................48
BAB III KESIMPULAN........................................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................52

3
BAB I PENDAHULUAN

Anestesia pada anak berbeda dengan anestesia pada dewasa, dimana banyak faktor
seperti anatomi dan fisiologi yang belum matang, salah satu yang sering menjadi masalah
adalah jalan napas.1 Pediatrik pada anestesia dibagi atas neonatus (0-1 bulan), bayi (1-12
bulan), balita (12-24 bulan), dan anak kecil (2-12 tahun) dimana pembagian usia penting
dalam menilai perkembangan organ sehingga mengetahui perubahan anatomi dan fisiologi
dikaitkan dengan masalah anestesia.2
Di Amerika, sekitar 1 dari 33 kelahiran memiliki defek, dimana dapat bersifat minor,
namun pada 1 dari 100-200 bayi ditemukan defek jantung, diikuti defek tabung saraf,
orofasial dan traktus urinarius. Defek ini memicu risiko penyakit tinggi dan disabilitas, serta
kematian pada 20% bayi. Setiap tahunnya, 25% dari anak-anak membutuhkan tindakan medis
termasuk terapi yang membutuhkan bantuan anestesi pediatrik. Kebutuhan anak dalam
anestesi pediatrik diperkirakan lewat jumlah operasi anak sebanyak 640.000 pertahun.3
Pediatric Perioperative Cardiac Arrest (POCA) Registry memberi data untuk
mengasesmen risiko anestesi. Kasus anak mengalami henti jantung atau kematian saat diberi
obat atau saat pemulihan dari anestesi pada anestesi umum atau digabung anestesi regional.
Dalam 289 kasus henti jantung, anestesi berkontribusi >50% (150 kasus), sehingga risiko
henti jantung pada anestesi pediatrik sekitar 1,4 dalam 10.000 anestesi. Perlu diingat, walau
mortalitas pada status fisik American Society of Anesthesiologists (ASA) 1 dan 2 hanya 4%,
namun 33% mortalitas pasien akibat henti jantung, dan 55% dari mortalitas itu berasal dari
neonatus. Tidak hanya masalah henti jantung, namun gangguan respirasi ditemukan termasuk
laringospasme, obstruksi jalan napas dan kesulitan intubasi.2
Berkembangnya pengetahuan terhadap anestesi pediatrik terutama anestesi umum dan
toksisitas, menyebabkan kita harus memahami dunia pediatrik. Mulai dari embriologi,
anatomi, fisiologi hingga farmakologi terkait dengan anestesi, guna mengurangi komplikasi-
komplikasi anestesi tersebut.

4
BAB II ANESTESI PADA PEDIATRIK

2.1. Anatomi dan Fisiologi Pediatrik


2.1.1 Saluran Napas
a. Tengkorak1
Tengkorak berkembang dari neurokranium membranosa dan kartilaginosa.
Neurokranium membranosa akan membentuk tulang pipih tengkorak (calvaria) dan
neurokranium kartilaginosa (kondrokranium) membentuk dasar tengkorak/basis
kranii. Pembentukan dasar tengkorak merupakan hasil proses antara basis kranii,
faring, wajah dan palatum. Pada janin, pertumbuhan cepat otak dominan
mempengaruhi pembentukan dasar tengkorak, sementara pada usia <1 tahun lebih
dominan akibat nasal, dan pada anak pembentukan lebih dipengaruhi faring karena
fungsi bicara. Anak memiliki kepala dan oksiput lebih besar dibanding badan
sehingga fleksi leher memicu obstruksi jalan napas ketika posisi supine.
b. Hidung1
Hidung berasal dari ektoderm kranial dan terdiri dari hidung ekternal dan
kavum nasal. Hidung eksternal dari tulang nasal, bagian nasal os.frontal dan prosesus
frontal dari maksila. Kavum nasal dibagi dua oleh septum nasi. Dalam perkembangan,
kavum nasal meluas dibawah pengaruh fusi prosesus palatum. Perubahan ini
menyebabkan membran yang memisahkan prosesus palatum dari kavum oral menjadi
lebih tipis dan akhirnya ruptur membentuk koana. Pasase udara utama berasal dari
konka inferior, dan ketika intubasi dengan endotracheal tube disarankan mengikuti
rute ini dengan melalui secara langsung ke belakang mengikuti dasar hidung. Pada
bagian posterior sering terasa resistensi pasase akibat hipertrofi adenoid. Pernapasan
anak dominan lewat hidung, akibat apertura nasal anak mudah tersumbat oleh sekresi,
edema atau darah akan memicu sulitnya manajemen jalan napas.
c. Faring1
Jalur utama pernapasan melalui faring dimana tersambung dengan kavum
nasal, mulut dan laring. Nasofaring tersambung melalui istmus faring, dimana tertutup
saat menelan. Persarafan sensorik dari trigeminal dan glosofaring. Selama
perkembangan, kedalaman nasofaring meningkat akibat remodeling palatum serta
perubahan angulasi dasar tengkorak sehingga membentuk jalan napas hidung
membesar.

5
Orofaring memanjang dari palatum molle ke ujung epiglotis, dimana
menempel dengan basis lidah lewat lipatan glosoepiglotika. Persarafan sensorik
orofaring dari saraf glosofaring dan laringeal superior. Respon refleks sirkulatorik
terhadap laringoskop direk dan intubasi trakeal menyebabkan stimulasi dinding faring
oleh bilah laringoskop, respon kecil terbentuk akibat endotracheal tube pada korda
vokalis. Pada anak, inflamasi tonsil sering mengobstruksi saluran napas. Ukuran lidah
besar, dan penurunan tonus otot meningkatkan risiko obstruksi. Pada usia <1 tahun
dengan posisi supine, lidah biasa meratakan palatum molle pada inspirasi dan
menetap saat ekspirasi pasif lewat hidung. Ekstensi kepala pada sendi atlanto-oksipita,
dengan servikal ke anterior mungkin meningkatkan patensi jalan napas hipofaring,
namun tidak mengubah posisi lidah.
Laringofaring memanjang dari ujung epiglotis ke bagian bawah kartilago
krikoid. Laring menonjol ke tengah laringofaring, membentuk fosa piriformis, dimana
sering impaksi benda asing tajam.

d. Laring1,2
Merupakan organ fonasi dan proteksi trakeobrakial ketika menelan dan batuk.
Mulai berkembang pada usia 3 minggu kehamilan dengan pembentukan tuba
laringotrakeal dari dinding ventral foregut. Laring dapat diidentifikasi pada 41 hari
kehamilan, kartilago krikoid dan tiroid mulai kondrifikasi pada minggu ke 7, dan
glotis terbentuk pada minggu ke 10 dimana terjadi saat korda vokalis membelah.
Gangguan proses ini menyebabkan perlengketan/atresia laring.

6
Laring terdiri dari kartilago tiroid, kartilago krikoid, sepasang aritenoid dan
epiglotis, bersamaan dengan kartilago kornikulatum dan kuneiformis. Fondasi
kartilago terikat oleh ligamen, dimana bergerak mengikuti pergerakan otot laring.
Kartilago terbesar adalah kartilago tiroid, dimana terbuka secara posterior dan
membentuk prominensia laring (jakun). Sewaktu lahir, batas bawah kartilago krikoid
pada batas bawah vertebra servikal keempat. Saat usia 6 tahun, batas bawah berada
pada vertebra servikal kelima, dan saat sudah dewasa berada pada vertebra servikal
keenam. Karena kartilago krikoid anak (<5 tahun) berukuran kecil dan kartilago
berupa cincin penuh, maka menjadi bagian tersempit jalan napas dan edema mukosa
dapat memicu obstruksi saluran napas terutama bila intubasi trakea lama/berulang.
Kartilago aritenoid tempat menempel ligamen vokalis. Lipatan vestibularis/pita palsu
merupakan mukosa yang menutupi otot tiroaritenoid, sementara pita asli merupakan
lipatan vokalis dilingkupi mukosa. Refleks adduksi dari pita suara asli dan palsu
dikenal sebagai laringospasme dan dapat diakibatkan stimulasi lokal laring atau
stimulasi pembedahan karena anestesi kurang.

7
Epiglotis berbentuk seperti daun menempel pada batas posterior kartilago
tiroid oleh ligamen tiroepiglotis. Epiglotis dewasa lebar, sementara pada anak lebih
sempit, halus dan horizontal. Karena itu memakai bilah laringoskop lurus untuk
mengangkat epiglotis. Epiglotis bayi neonatus tampak lebih melekuk atau bentuk V.
Pada usia 4 atau 5 tahun, epiglotis biasanya dapat divisualisasi memakai bilah
laringoskop lengkung. Pintu masuk laring dan permukaan inferior epiglotis dipersarafi
nervus vagus, ketika epiglotis diangkat dengan bilah lurus, dapat terjadi hipotensi dan
bradikardi akibat refleks vagus. Ketika memakai bilah lengkung, ujung ditempatkan
pada sudut antara epiglotis dan basis lidah (dipersarafi glosofaring), sehingga tidak
terjadi hipotensi dan bradikardi.

e. Paru-paru3,4
Perkembangan paru dibagi beberapa stadium; embrionik, pseudoglandular,
kanalikular, sakular dan alveolar. Fase embrionik ditandai dengan formasi tunas paru
dan bronkus. Fase pseudograndular ditandai dengan pembentukkan saluran napas
besar dari paru. Pembagian trakea, bronkus segmental dan subsegmental terjadi pada
minggu ke 7, dan pembagian lengkap bronkus pada minggu ke 16. Fase kanalikular
ditandai lengkapnya jalan napas hingga ke bronkiolus. Fase sakular terjadi pada

8
minggu ke 24, dan terus berlanjut hingga usia matang. Ketika fase ini, terdapat
perubahan celah udara, kapiler dan mesenkim dimana terjadi perluasan membran
alveolokapiler. Fase alveolar diinisiasikan ketika perkembangan paru, alveolarisasi
akan memberikan luas permukaan untuk pertukaran gas. Sakulus primitif membentuk
septum primer yang membagi sakulus ke duktus alveolus, dan memisahkan antara
celah (septum sekunder) yang membentuk alveoli sekunder. Maturasi mikrovaskular
penting dalam perkembangan paru tahap ini, dimana baru dimulai minggu ke 36.

Perkembangan paru setelah lahir merupakan perkembangan paru postnatal,


dimana terbagi beberapa stadium, alveoli sesungguhnya yang mengandung septa
sekunder tampak pada minggu ke 36, dimulai pada fase alveolar dan berakhir pada
usia 1-2 tahun. Alveolarisasi postnatal dimulai pada fase pembesaran alveolarisasi

9
dalam 6 bulan pertama lahir. Maturasi mikrovaskular merupakan tahap berikutnya,
dimana terjadi dari beberapa bulan kelahiran hingga usia 3 tahun. Mengikuti usia, dari
usia 2 tahun hingga dewasa, jaringan paru meluas dengan volume paru mengikuti
peningkatan berat badan.

2.1.2 Sistem Kardiovaskular3-5


Kardiogenesis dan vaskular dimulai pada minggu ke 2 gestasi. Mesoderm
akan membentuk jantung dan perikardial. Pada usia 15 hari, bulan sabit kardiogenik
menjadi tabung jantung primitif. Tabung jantung linear akan menjadi atrium,
ventrikel, bulbus kordis dan trunkus arteriosus. Bulbus kordis berkontribusi dalam
pembentukan ventrikel dan pembuluh besar. Formasi putaran kardiak terbentuk pada
hari ke 21, tabung jantung terfiksasi pada perikardium. Septum atrial terbentuk
minggu ke 4, terdapat septum primer dimana terdiri dari 2 foramen (foramen
superior/ostium sekundum dan foramen inferior primum), seturut bertambah usia
foramen primum menutup sementara foramen sekundum tetap terbuka hingga lahir.
Septum sekundum terbentuk pada minggu ke 5 dan 6 gestasi, tumbuh dari septum
primum. Septum sekundum dan septum primum inferior membentuk foramen ovale.

10
Miokard neonatus tidak terlalu kontraktil sehingga ventrikel kurang komplians
dan kurang dalam menghasilkan tekanan ketika kontraksi yang membatasi ukuran
volume sekuncup. Parasimpatis vagus lebih dominan sehingga mudah terjadi
bradikardi. Bradikardi dihubungkan dengan penurunan curah jantung dan memicu
hipoksia sehingga perlu oksigen dan ventilasi. Curah jantung sekitar 300-
400ml/kgBB/menit saat lahir, dan 200ml/kgBB/menit setelah beberapa bulan, atau
dapat dinilai memakai rumus indeks kardiak CI = CO dibagi luas permukaan tubuh m2
(normal pada 3,5-4,5L/menit/m2)

11
Rata-rata volume darah bayi baru lahir 85-90ml/kg, usia 6 minggu-2 tahun
85ml/kg, dan 2 tahun hingga pubertas 80ml/kg. Sel darah merah dibuat dari kavitas
medula dan spons, seturut pubertas sumsum akan digantikan lemak dan produksi sel
darah merah hanya pada bagian atas femur dan humerus, vertebra, sternum, iga,
skapula dan inominata. Untuk pembetukan sel darah merah dibutuhkan asam amino,
besi, vitamin B12 dan B6, dan asam folat.

12
2.1.3 Sistem Saraf Pusat
a. Otak
Embriogenesis otak dimulai dari selapis sel dan melalui tahap: neurulasi,
kanalisasi, dan diferensiasi retrogresif. Dalam 2 minggu kehamilan, akan terbentuk
alur pada ektoderm embrionik, dimana mengandung sel yang akan menjadi otak dan
korda spinalis. Pada usia 1 bulan, neurulasi lengkap dan ujung lateral alur akan
tergabung menjadi tabung neural. Hasil neuralisasi ini adalah otak dan korda spinalis
L2-L4. Tabung neural akan menjadi proensefalon, mesensefalon dan rhombensefalon.
Proensefalon jadi telensefalon (korteks serebri, nukleus basal) dan diensefalon (retina,
talamus, hipotalamus), mesensefalon jadi otak tengah, kolikuli superior dan inferior,
serta rhombensefalon jadi metensefalon (pons, serebelum) dan mielensefalon (medula
oblongata).3
Otak dapat cidera akibat aliran darah ke otak berlebih seperti pada
peningkatan TIK, maka terdapat mekanisme untuk mengatur aliran darah yaitu respon
vasokonstriksi, autoregulasi tekanan dan kopeling neurovaskular. Pada bayi matur,
pembuluh darah sudah fungsional, sementara pada prematur belum fungsional dan
lebih rapuh sehingga hipoksia, hiperkarbia, hipernatremia, manipulasi jalan napas
sadar, pemberian bikarbonat dan fluktuasi tekanan darah/aliran darah berisiko
perdarahan otak. Sawar otak pada bayi belum berkembang baik sehingga barbiturat,
opioid, antibiotik dan bilirubin dapat mudah menyebrang dan memicu lama kerja obat
memanjang. Sementara narkotik memiliki risiko tinggi depresi respon ventilasi
terhadap peningkatan PaCO2. 3
Fungsi temperatur sudah berfungsi sejak lahir, bayi mengandalkan lemak
coklat (4% berat badan bayi) untuk menghasilkan panas karena fungsi menggigil, dan
vasokonstriksi masih belum maksimal. Selian itu, panas dibentuk dari metabolisme,
menggigil dan refleks pilomotor. Akan tetapi bila terus menerus dapat menyebabkan
penumpukan asam lemak bebas dan terjadi asidosis metabolik.5
b. Medula spinalis3
Embriogenesis korda spinalis dari medula ke segmen lumbal. Neuroporus
akan memanjang untuk membentuk korda spinalis distal dan konus medularis.
Kanalisasi merupakan fusi notokorda dan epitel saraf menjadi massa sel kaudal untuk
membentuk sakrum dan koksigis pada bulan ke 1-2 gestasi. Diferensiasi retrogresif
merupakan nekrosis sel berlebih pada fase kanalisasi di tabung saraf, meninggalkan

13
filum terminal dan kauda equina, proses yang berlanjut hingga awal kelahiran.
Kolumna vertebra bertumbuh melebihi pertumbuhan korda spinalis, menyebabkan
peninggian konus medularis dari L3 saat lahir menjadi L1 saat dewasa.
c. Nyeri3
Persarafan nyeri nosiseptif terbentuk pada trimester kedua dan ketiga dengan
perubahan mengikuti pematangan selama 2 tahun pertama kehidupan. Nosiseptif
dimulai sebagai sensasi stimulus pada saraf perifer yang berasal dari ujung saraf
bebas. Reseptor sensoris kulit mulai terbentuk saat 7 minggu gestasi, meluas ke
tangan dan kaki pada minggu ke 11, dan pada seluruh tubuh saat minggu ke 20.
Perkembangan refleks sensoris dimulai dari sinaptogenesis antara serabut aferen dan
neuron sensorik di kornu dorsalis korda spinalis. Efek dari nyeri dapat meningkatkan
tekanan intrakranial, tekanan darah, frekuensi nadi dan keringat tangan, sementara
dapat menurunkan aliran ke otak, tekanan oksigen transkutan, dan tonus vagus.

2.1.4 Metabolisme
a. Hati3
Hati dan alat pencernaan berasal dari modifikasi usus primitif, dimana hati
merupakan penebalan endoderm pada permukaan ventral. Sel endoderm proliferasi
membentuk divertikulum hepatik, menciptakan hepatoblas yang dapat menjadi
hepatosit, kanalikuli bilus atau duktus hepatik. Hati mencangkupi 10% berat badan
janin pada minggu ke 9, berkurang menjadi 4% saat neonatus dan menjadi 2% saat
dewasa. Hepatosit janin lebih kecil dari sel matur, sistem enzim masih kurang dan
defisien glikogen.
Tugas utama hati dalam metabolisme substansi yang diserap oleh usus,
menunjukkan bahwa hati memiliki banyak sistem enzim untuk mengubah substansi
xenobiotik. Imaturitas hati dapat mengubah fungsi pembersihan obat, menyebabkan
mudah rusak dan pemecahan produk. Metabolisme obat bayi bergantung pada massa
hati, ikatan protein dan aliran darah, serta metabolisme enzimatik dan proses
pembersihan. Metabolisme obat menyertakan proses perubahan struktur kimia, diikuti
konjugasi supaya lebih polar (larut air), sehingga dapat diekskresi lewat urin.
Fase pertama reaksi merupakan hasil transfer elektron oleh enzim sitokrom
P450-nicotinamide adenine dinucleotide phospate/NADPH dan NADPH-sitokrom C
reduktase. Fase ini menyebabkan oksidasi dengan pelepasan elektron atau reduksi

14
dengan penambahan elektron. Selain itu terdapat pula hidrolisis ester dan amida,
sulfasi, dehalogenasi, N-dealkilasi dan O-demetilasi. Sitokrom P450/CYP sendiri
sekelompok enzim terikat membran yang mengandung besi pada retikulum
endoplasma dan mitokondria.
Fase kedua reaksi menyertakan konjugasi dengan substrat sehingga menjadi
lebih polar dan dapat larut air, seperti glukuronida, sulfat atau derivat asetilat.
Glukuronidasi menambahkan glukosa teraktivasi (asam glukuronik difosfat uridin,
UDPGA) oleh enzim transferase glukuronil. Komponen glukuronida dibentuk supaya
mudah diekskresi urin atau bila komponen besar maka lewat empedu. Namun
aktivitas transferase glukuronil bayi masih sedikit, sehingga banyak hemolisis akan
melebihi kapasitas konjugasi dan menyebabkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi.
Fenobarbital dipakai untuk menginduksi enzim ini. Enzim ini berguna mengkatalisis
glukuronidasi bilirubin, serta barbiturat, morfin dan asetaminofen. Kemampuan
glukuronidasi morfin mencapai matur pada bayi usia 2-6 bulan.

b. Ginjal3,4
Prekursor embrionik ginjal berasal dari pronefroi dan mesonefroi. Walaupun
keduanya degenerasi, mereka dibutuhkan untuk perkembangan ginjal. Perkembangan
ginjal permanen pada minggu ke 5, dimana muncul divertikulum tunas ureterik
sebagai prekursor ureter dan ginjal. Nefron terbentuk pada minggu ke 8, bertambah
secara cepat mulai minggu ke 18 dan lengkap pada minggu ke 34-36 dengan jumlah
800.000-1.000.000 nefron per ginjal.
Filtrasi glomerulus merupakan proses air dan zat terlarut melewati membran
glomerulus. Ultrafiltrat merupakan plasma dengan protein sangat kecil. Pada
pediatrik, berat ginjal dan laju filtrasi glomerulus/GFR berkorelasi dengan luas
permukaan. Luas permukaan tubuh berdasarkan rumus BSA (m2) = 0,024265 x
Berat0,5378 x Tinggi0,3964. Filtrasi dimulai sejak janin minggu ke 9, pada prematur
minggu ke 30 mencapai 12mL/min/1,73m 2, dan bayi matur 20mL/min/1,73m 2.
Maturasi terjadi cepat pada postnatal dengan GFR meningkat 2 kali lipat dalam 2
minggu, dan GFR dewasa dicapai saat usia 18-24 bulan. GFR rendah diakibatkan
vasokonstriksi lewat sistem renin-angiotensin untuk adaptasi kehilangan cairan dan
elektrolit berlebih karena tubulus masih imatur. Dampak tubulus imatur tampak pada
ekskresi natrium cukup tinggi pada bayi (terutama prematur) sehingga pada minggu

15
pertama kelahiran ekskresi lebih banyak dibanding intake, sementara ekskresi
bikarbonat baru terkontrol pada usia 1 tahun. Namun pada tubulus imatur, kalium dan
fosfat mengalami ekskresi lebih sedikit dibanding dewasa. Pengaturan ekskresi air
sudah dimiliki sejak hari kedua lahir, dengan minimal 1mL/kg/jam.

2.2. Farmakologi3,6
Anak bukanlah dewasa kecil, karena secara fisiologi dan anatomi berbeda.
Dari ukuran, dibandingkan dengan dewasa, bayi memiliki kepala besar, badan besar, dan
kaki pendek. Komposisi tubuh berbeda dimana total cairan tubuh berkurang dari 80-85%
pada minggu ke26 gestasi jadi 75% pada bayi matur. Selain itu, kompartemen ekstrasel
juga berkurang dari 65% saat minggu ke26 gestasi jadi 40% saat matur lalu berkurang
jadi 26% saat 1 tahun dan jadi 18% saat dewasa, sehingga volume distribusi obat
hidrofilik seperti suksinilkolin lebih tinggi dibanding dewasa. Membran imatur
menyebabkan obat hidrofobik/lipofilik di otak lebih tinggi dibanding dewasa.
Pengosongan lambung dan transit usus lambat, dan pH lebih basa menyebabkan absorpsi
obat kurang menentu, namun dengan hati imatur dapat berisiko potensi obat meningkat.
Manusia memiliki dua transporter utama untuk pengambilan dan eliminasi di
sel membran yaitu solute carrier/SLC dan ATP-binding cassette/ABC. SLC bertugas
untuk pengambilan dan kadang transporter bidireksional, sementara ABC untuk pompa
efluks pengeluaran zat dari sel. SLC banyak ditemukan pada jantung, hati, otak, ginjal
dan plasenta, salah satu tipenya berfungsi ekskresi simetidin dan prokainamid. ABC
dibentuk dari gen multidrug-resistant, sehingga untuk ekskresi endo- dan xenobiotik
seperti bilirubin tidak terkonjugasi dan obat antikejang. ABC banyak ditemukan pada
sawar otak, sawar cairan serebrospinal, usus, hati, dan ginjal.

16
Obat-obatan umumnya terikat dengan serum protein terutama albumin dan
glikoprotein. Obat bersifat asam seperti tiopental dan propofol terikat dengan albumin
sementara basa terikat glikoprotein. Kemampuan ikatan tergantung dari jenis ikatan dan
lama transit organ, dimana otak dan jantung memiliki waktu transit cepat sehingga ikatan
protein penting mengatur jumlah obat terabsorpsi. Albumin memiliki 2 tempat ikatan
utama. Lokasi 1 untuk warfarin, tiopental, propofol dan lainnya, sementara lokasi 2 untuk
asam karboksilik endogen (eikosanoid, asam lemak), propofol, anestesi volatil dan
NSAID. Glikoprotein, biasa dikenal orosomukoid, merupakan fase akut protein.
Glikoprotein ini awalnya cuma 1/3-1/4 jumlah dewasa, sehingga memudahkan obat
melewati sawar, serta peningkatan jumlah obat bebas dan memperberat klirens hepatik.
Selain obat sifat basa seperti lokal anestesi dan opioid fenilpiperidin (fentanil, sufentanil,
alfentanil), beberapa obat sifat asam (seperti fenilbutazon) dan netral juga terikat
glikoprotein. Saat inflamasi, jumlah glikoprotein meningkat (termasuk saat setelah
operasi) sehingga pembuangan cepat terjadi.

2.3. Manajemen Anestesi Pediatrik

17
2.3.1 Preoperatif
a. Kunjungan preanestetik
Kunjungan preanestetik diperlukan untuk meninjau rekam medis terutama
berhubungan riwayat anestesi sebelumnya dan masalah, teknik manajemen jalan
napas, dan riwayat penyakit kardiorespirasi atau anomali saluran napas. Bayi dan
anak memiliki risiko tinggi kematian terkait anestesi, terutama akibat komplikasi
pernapasan dan jantung. Klasifikasi ASA tidak didesain utnuk anak sehingga kurang
akurat sebagai prediktor. Risiko komplikasi pernapasan anak termasuk laringospasme,
bronkospasme, hipoksia dan stridor postekstubasi. Faktor risiko komplikasi adalah
infeksi saluran napas atas, asma, obstructive sleep apnea/OSA, displasia
bronkopulmoner, obesitas, perokok pasif, riwayat keluarga asma/atopik, serta kondisi
spesial (seperti sindrom Down).6
Identifikasi masalah psikologis diperlukan karena kondisi perioperatif dapat
memicu stres bagi anak dan keluarga. Ansietas dan prilaku stres sering pada anak, dan
diasosiasikan dengan hasil postoperatif dimana muncul delirium, peningkatan nyeri,
pemakaian analgesik berlebih, ansietas dan kesulitan tidur. Konsultasi preoperasi
diperlukan untuk membina raport dengan anak dan mengurangi ansietas dan distres.
Penilaian ansietas dapat memakai skoring seperti modified Yale Preoperative Anxiety
Scale. Untuk mengurangi risiko stres, dapat dilakukan intervensi kognitif (distraksi,
hipnosis), intervensi orangtua (akupuntur, psikoedukasi), dan intervensi kontekstual
(kehadiran orangtua, ruang induksi, pakai pakaian sendiri). Selain itu, edukasi
diperlukan kepada anak dan orang tua mengenai perioperasi. Anak kecil lebih tertarik
terhadap pengenalan ruang operasi, sementara anak remaja dilakukan pendekatan
lewat jenis anestesi, prosedur, nyeri dan komplikasi.6
Pemeriksaan fisik pada bayi untuk operasi minor dapat dinilai dari segi nutrisi,
warna kulit, pernapasan, dan adanya sekret hidung. Saat memeriksa anak, perlu
diperhatikan beberapa hal. Usia 4-8 tahun, anak harus dicek giginya karena gigi susu
mulai lepas. Penilaian infeksi saluran napas anak dengan batuk, rinitis dan faringitis,
dan harus diperhatikan apakah rinitis pasien berupa infeksi, alergi atau akibat
menangis. Pembesaran nodus servikalis dan otitis media dihubungkan dengan infeksi
saluran napas.3,6

18
19
2.3.2 Perioperatif
a. Perencanaan3
Kompleksitas perencanaan tergantung dengan kebutuhan pasien dan keluarga.
Pertimbangan dalam perencanaan perioperatif termasuk:
 Identifikasi setting operasi: tipe rumah sakit, lokasi operasi, tipe admisi
 Menyusun praktisi yang kompeten: anestesiologis pediatrik disarankan
terutama dengan risiko besar, serta subspesialis anestesiologis pediatrik (bila
terdapat risiko spesifik seperti penyakit jantung)
 Formulasi rencana anestesi spesifik: preparasi dan premedikasi, perencanaan
puasa, induksi (jenis induksi, parenteral), managemen intraoperatif (monitor,
analgesia), dan managemen postoperatif (destinasi dan monitoring khusus)
 Identifikasi keperluan alat khusus

b. Manajemen jalan napas3,6


20
Peralatan untuk jalan napas perlu dipersiapkan sebelum pasien datang, terdiri
dari sungkup, laringoskop dan bilahnya, tracheal pipe, oral airway, laryngeal mask
dan kateter suction. Pemberian suksinilkolin 4-5mg/kgBB IM harus tersedia bila
timbul laringospasme. Ventilasi sungkup harus disesuaikan ukuran dengan hidung dan
mulut. Saat induksi inhalan, sungkup menutupi hidung-mulut dan dipertahankan
selama stadium rangsangan. Sesudah hilang kesadaran, pemberian tekanan positif
kontinu 5-10cmH2O. Triple manuver terdiri dari head tilt, chin lift, dan jaw thrust
guna mengembalikan patensi jalan napas dan mengurangi obstruksi. Oral airway
berguna untuk anak yang terbangun dengan mencegah menggigit tracheal tube dan
patensi jalan napas sesudah ekstubasi. Pemasangan laryngeal mask semakin sulit pada
usia pasien semakin muda, jaw thrust dapat membantu dengan memposisikan
epiglotis terangkat dan memungkinkan ujung masker masuk ke spingter esofagus atas
tanpa melipat epiglotis.

Intubasi trakea diindikasikan berdasarkan jenis operasi dan risiko aspirasi dari
isi lambung. Sebagai aturan umum, intubasi diindikasikan pada prosedur pembukaan
pada abdomen atau dada, prosedur intrakranial, bila kontrol PCO 2 arteri diperlukan,
dan bila ada limitasi akses karena prosedur kepala-leher atau posisi tengkurap/lateral.
Dalam intubasi trakea bayi, pemberian bantal tidak disarankan karena oksiput besar
akan menyebabkan fleksi yang dapat mengobstruksi jalan napas. Laringoskop direk
sering dipakai untuk intubasi anak. Bilah lurus memberikan kontrol lebih terhadap
lidah dan dapat mengangkat langsung epiglotis (ujung bilah pada epiglotis). Intubasi
nasotrakeal lebih susah dilakukan terutama anak dikarenakan sering terjadi epistaksis
(biasa pada hipertrofi adenoid). Pemberian oksimetazolin 0,05% atau lidokain dengan
epinefrin dapat diberikan pada mukosa nasal untuk vasokonstriksi dan cegah
epistaksis berat. Untuk pemilihan ukuran pipa, dapat dipakai rumus:
 Diameter dalam pipa trakea tanpa kaf (mm) = 4 + ¼ umur (tahun)
 Diameter dalam pipa trakea dengan kaf (mm) = 3 + ¼ umur (tahun)
21
 Panjang pipa orotrakeal (cm) = diameter dalam x 3
 Panjang pipa nasotrakeal (cm) = diameter dalam x 4
Pemakaian pipa trakea tanpa kaf untuk anak <8 tahun, karena bentuk laring berbentuk
kerucut dengan cincin krikoid sirkuler (kaku) sebagai bagian tersempit, dan kemudian
menjadi lebih silinder seturut usia. Selain itu, pipa tanpa kaf memungkinkan diameter
dalam lebih besar, sehingga resistensi berkurang dan menurunkan kerja pernapasan.
Untuk bayi, dapat memakai rule of thumb “1234-78910” dimana bayi 1kg posisi pipa
7cm dari jembatan alveolar maksila, 2kg pada posisi 8cm dan seterusnya.
Prioritas utama postoperasi adalah mempatensikan jalan napas. Asesmen
terhadap efek residual dari agen anestetik, opiodi dan sedatif, managemen jalan napas
intraoperatif, prosedur operasi, dan tindakan postoperasi. Ketika perbaikan,
pemposisian kepala-leher penting, pada posisi supine dapat diberi bantalan dibawah
pundak atau dapat dilakukan posisi mantap/lateral. Bila ada tanda sisa opioid, dapat
diberi nalokson 0,5-1mcg/kgBB. Namun bila tidak ada perbaikan, maka
dipertimbangkan untuk reintubasi.
Pasien pediatrik dengan kesulitan jalan napas terbagi atas: kesulitan untuk
ventilasi masker, dan kesulitan untuk intubasi trakea oleh praktisi dengan laringoskop
direk. Untuk menilai dan mempertimbangkan rencana primer dan sekunder, dapat
menggunakan akronim AVAD (Anesthesia, Ventilation, Adjuncts, Devices).

c. Monitoring6

22
Risiko henti jantung akibat anestesi ditemukan 3-5 kali lebih tinggi pada anak
dibanding dewasa. Pada anak <1 tahun, insidensi 17 per 10.000 anestesi. Pedoman
monitoring intraoperasi berdasarkan American Society of Anesthesiologists/ASA,
standar monitoring pasien adanya pengawasan anestesiologis atau perawat anestesi,
dengan peralatan monitor oksigenasi, status elektrokardiograf, dan kecukupan
ventilasi serta sirkulasi. Standar minimal monitor oksigenasi termasuk oksigen
analizer pada sirkuit pernapasan, iluminasi untuk warna kulit, dan oksimeter. Pada
intubasi trakea, perlu dilakukan deteksi ekspirasi CO2 dengan kapnografi. Standar
monitoring sirkulasi diperlukan EKG, tekanan darah dan frekuensi nadi minimal
setiap 5 menit. Selain itu, dapat dilakukan metode lainnya berupa palpasi nadi,
auskultasi suara jantung, USG nadi perifer dan lainnya. Serta pemeriksaan temperatur
harus tersedia ketika secara klinis, terjadi perubahan temperatur tubuh.
i) Pemeriksaan fisik
Kedalaman anestesi dapat dinilai dari observasi, dimana dilihat frekuensi dan
pola napas, dan obstruksi jalan napas dapat dilihat dari retraksi dada/gerakan
see-saw. Warna kulit dan mukosa untuk oksigenasi adekuat dan capillary refill
time untuk curah jantung. Auskultasi dapat berguna menilai perubahan
frekuensi dan karakteristik suara jantung dan napas, sehingga dapat menilai
alterasi fisiologi pada anak.
ii) EKG
Untuk anestesi pediatrik, EKG penting melihat frekuensi nadi dan tanda
aritmia dimana tersering bradikardi dan supraventrikular takikardi, serta dapat
menilai abnormalitas elektrolit. Frekuensi nadi bayi umumnya 120-160x/menit

23
iii) Tekanan darah
Pengukuran tekanan darah dapat secara noninvasif (oksilotonometri) dan direk
(kateter arteri). Dengan noninvasif, pemasangan manset biasanya pada lengan
atas, namun bisa di lengan bawah, paha atau betis. Pengukuran direk dengan
memasukkan kateter arteri, berguna bila perlu monitoring ketat atau menilai
gas darah arteri. Biasanya memakai arteri radial, namun bisa juga arteri ulna,
dorsalis pedis, tibialis posterior & femoralis(neonatus di umbilikus/vena cava).

iv) Temperatur
Anak berisiko timbul hipotermi atau hipertermi sebagai reaksi fisiologis, serta
risiko tinggi terjadi hipertermi malignan.
v) Output urin
Pada minggu pertama kehidupan, laju filtrasi hanya 25% dari dewasa.
Neonatus memproduksi 0,5-4ml/kgBB/jam pada 3 jam pertama kehidupan,
dan pada akhir minggu pertama produksi 0,5-5ml/kgBB/jam. Bila sudah lewat
neonatus, fungsi ginjal mulai mampu mengontrol cairan sehingga aliran urin
biasa 0,5-1ml/kgBB/jam.
vi) Monitor gas
Monitoring gas CO2 menggunakan kapnometri pada sirkuit pernapasan, dan
untuk O2 dapat memakai oksimeter. Monitoring ini penting karena konsumsi
oksigen tinggi dan kapasitas residu fungsional sedikit sehingga risiko
hipoksemia tinggi.
vii) Monitor neuropsikologi

24
Berguna untuk menilai anestesi pada pasien dengan melihat aktivitas
bioelektrik pada kepala dan permukaan tubuh.

d. Cairan
Pemberian cairan pada anak harus ketat, sehingga disarankan dengan pompa
infus atau pemakaian mikrodrip. Kelebihan cairan dapat dilihat dari vena menonjol,
kulit memerah, tekanan darah naik, penurunan sodium dan hilangnya lipatan kelopak
mata atas. Terapi cairan dibagi atas rumatan, defisit dan pengganti.2
Kebutuhan cairan rumatan pada pediatrik dapat memakai aturan “4:2:1” :
4ml/kgBB/jam untuk 10kg pertama, 2ml/kgBB/jam pada 10kg kedua dan
1ml/kgBB/jam setiap kilogram berikutnya. Pemberian cairan D5 ½NS dengan
20mEq/L KCL cukup untuk rumatan. Pada neonatus, D5 ¼NS lebih cocok karena
kemampuan mengatur sodium masih terbatas. Hingga usia 8 tahun, butuh glukosa
6mg/kgBB/menit untuk menjaga euglikemia (40-125mg/dL); neonatus prematur
butuh 6-8mg/kgBB/menit; remaja dan dewasa hanya butuh 2mg/kgBB/menit karena
dipertahankan glikogenolisis hepatik dan glukoneogenesis.2
Pemenuhan defisit cairan dihitung memakai aturan 4:2:1, misalnya bayi 5kg
tidak mendapat cairan dalam 4 jam sebelum operasi, 5kg x 4ml/kg/jam x 4 jam =
80ml. Berbeda dengan dewasa, respon bayi terhadap dehidrasi dengan penurunan
tekanan darah tanpa peningkatan frekuensi nadi. Pemberian cairan defisit biasa
ditambahkan dengan kebutuhan rumatan per jam, yaitu 50% pada jam pertama, 25%
pada jam kedua dan ketiga. Misalnya dari hitungan diatas, 5kg x 4ml/kg/jam =
20ml/jam, jadi pada jam pertama diberi 80ml x 50% + 20ml = 60ml, lalu jam kedua
dan ketiga 80ml x 25% + 20ml = 40ml. Bolus dekstrosa harus dihindari karena risiko
hiperglikemi, dan cairan Ringer laktat lebih baik dibanding normal salin karena
kurang berisiko asidosis hiperkloremik.2
Kebutuhan cairan pengganti dibagi menjadi kehilangan darah dan hilang celah
ketiga. Volume darah prematur 100ml/kgBB, aterm 85-90ml/kgBB, dan bayi
80ml/kgBB. Terjadi perubahan hematokrit dimana dari 55% dapat turun ke 30% pada
usia 3 bulan dan naik kembali ke 35% pada usia 6 bulan akibat perubahan hemoglobin
dari 75% HbF jadi 100% HbA. Kekurangan darah dapat diganti kristaloid tanpa
glukosa (1ml darah = 3ml kristaloid), atau koloid (1ml darah = 1ml koloid).2 Transfusi
pada pediatrik boleh dilakukan bila Hb <10g/dL, dan wajib bila Hb <6g/dL.

25
Pemberian packed red cell/PRC dengan dosis 10ml/kgBB dapat meningkatkan Hb 1-2
g/dL. Transfusi fresh frozen plasma/FFP hanya diindikasikan bila pengembalian
darurat efek warfarin, koreksi perdarahan koagulopati (peningkatan PT/APTT), atau
koreksi perdarahan koagulopati dengan transfusi masif. Dosis FFP pediatrik 10-
20ml/kgBB. Sementara transfusi platelet bila platelet <100x106/dL (prematur sakit)
atau <50x106/dL (prematur sehat), atau dapat dipersiapkan bila platelet antara 50-
100x106/dL dengan rencana operasi invasif. Dosis platelet 1 IU/10kgBB akan
meningkatkan 50x106/dL.6
Kehilangan “celah ketiga” tidak dapat diukur dan hanya dapat diperkirakan
berdasarkan prosedur bedah. Pedoman utama diberikan 0-2ml/kgBB/jam pada
pembedahan atraumatik (misal koreksi strabismus) dan 6-10ml/kgBB/jam pada
pembedahan traumatik (misal abses abdominal).2

e. Induksi, pemeliharaan dan bangun dari anestesi3


Preparasi ruang operasi disingkat menjadi Suction, stylet and solution,
Airways oral and nasal, Laryngoscope, Tubes, Equipment, Drugs (SALTED). Untuk
monitoring perlu disiapkan EKG, tekanan darah, oksimetri, CO2 tidal-akhir,
temperatur dan monitor opsional (monitor kedalaman anestesi, oksigenasi serebral
dan monitor invasif). Pengobatan darurat yang perlu disediakan adalah atropin,
suksinilkolin, propofol dan obat inotropik.
Metoda induksi anestesi dimulai dengan menghilangkan ansietas (anksiolisis).
Untuk menurunkan ansietas, dapat dengan kehadiran orangtua (untuk usia 1-6 tahun)
serta orangtua perlu diedukasi pula mengenai reaksi anak (menangis, perlawanan,
pergerakan involunter). Teknik distraksi dengan memakai buku gambar, cerita, video
dan website digunakan untuk mengendalikan emosi dan ansietas. Sedasi farmakologi
tersering dengan midazolam sebagai premedikasi (dapat memakai midazolam oral
dengan perasa), karena efek anksiolitik perlahan dan memungkinkan separasi dengan
orangtua secara baik. Alternatifnya dapat diberi ketamin oral 5-6mg/kgB dengan efek
samping mual-muntah postoperasi, klonidin 2mcg/kgBB dan dexmedetomedin
2mcg/kgBB dengan efek samping bradikardi dan anestesi memanjang.
Induksi anestesi adalah transisi dari terbangun menjadi kondisi teranestesi,
dimana memakai inhalasi, intravena, intramuskular atau rektal. Induksi inhalasi dapat
dimulai dengan oksigen 5-7L/menit dengan N2O 70% hingga tidak ada respon verbal.

26
Kemudian dilakukan peningkatan sevofluran hingga 8% dan menurunkan aliran udara
jadi 3-4L/menit. Berikutnya dapat dilakukan pemasangan jalur IV serta pemberian
propofol (N2O boleh distop), dan dipasangkan LMA/pipa trakea. Anestesi dilanjutkan
dengan sevofluran 8% dalam 100% oksigen. Induksi intravena dimulai dengan
pemberian propofol (dapat diberi lidokain untuk pereda nyeri atau N 2O 70%) atau
alternatifnya bisa ketamin, etomidat (biasa untuk syok sepsis), dan tiopental (waktu
bangun lama karena metabolisme lambat). Intramuskular dengan ketamin jarang
dilakukan karena nyeri suntik. Induksi rektal (biasa dipakai anak <5 tahun) sudah
jarang dipakai karena kadar sulit terkontrol, risiko laringospasme dan waktu bangun
lambat, dimana dapat diberi metoheksital 15-25mg/kgBB, midazolam, ketamin atau
tiopental.
Pemeliharaan anestesi biasa dengan anestesi inhalasi (isofluran, sevofluran
dan desfluran). Ketiga anestesi ini menjaga homeostasis kardiorespiratorik, namun
desfluran dapat memicu resistensi paru pada penderita asma berat. Kecepatan bangun
dari desfluran lebih cepat dibanding isofluran dan sevofluran. TIVA dipakai terutama
pada pasien dengan riwayat hipertermia malignan, operasi vertebra, dan riwayat mual-
muntah hebat perioperatif. TIVA biasa menggunakan propofol dan ketamin.
Pembangunan dan pemulihan dari anestesi dimulai dengan menurunkan
inhalasi atau infus obat IV. Blokade neuromuskular diantagonis dan fungsi simpang
neuromuskular diases sebelum ekstubasi, serta manajemen jalan napas. Penilaian
utama adalah jalan napas anak, kemampuan bernapas dan kemampuan melindungi
napas dari darah/muntah saat ekstubasi (pelepasan alat napas bila refleks jalan napas
kembali). Ekstubasi dapat dilakukan secara dalam atau dangkal/bangun. Ekstubasi
dangkal lebih aman karena pasien sudah terbangun dan jalan napas paten. Fase
pembangunan terdiri dari tiga fase pada anak: awal, tengah dan akhir. Fase awal
dimana anak mulai batuk, gag, melawan dan meronta. Fase ini cepat berganti ke
menengah atau fase diam, dimana dapat tampak seperti anestesi dalam, apnea atau
agitasi dan menahan napas, tegang, dan desaturasi oksigen. Dengan anak terus diam,
bernapas spontan, mereka masuk fase ketiga dimana ditandai pergerakan bermakna,
fleksi paha dan batuk pada pipa trakea yang terus memberat hingga timbul meringis
dan buka mata spontan. Ekstubasi pada fase awal atau tengah berisiko gangguan
napas akibat refleks vagal, sehingga lebih aman pada fase akhir. Penyebab lamanya
bangun dari anestesi: efek residu obat, medikasi non-anestesi, simpang neuromuskular

27
terdepresi, hipotermi, hipo/hiperglikemi, gangguan elektrolit dan asam-basa,
hiperkapnia, dan hipoksia otak.

2.3.3 Postoperatif
a. Manajemen nyeri2
Nyeri pada pasien pediatrik biasa diberikan opioid berupa fentanyl (1-
2mcg/kgBB), morfin (0,05-0,1mg/kgBB), hidromorfon (15mcg/kgBB), dan meperidin
(0,5mg/kgBB). Teknik penggunaan dua jenis obat ketorolac (0,5-0,75 mg/kgBB)
dapat mengurangi kebutuhan opioid. Asetaminofen dapat substitusi ketorolac. Atau
dapat memakai infus epidural dengan gabungan opioid dan anestesi lokal (bupivakain
atau ropivakain dengan fentanyl 2-2,5mcg/ml).

b. Manajemen saluran napas6


Komplikasi saluran napas atas terutama laringospasme dimana penutupan
glotis memanjang yang dipertahankan stimulus dan refleks protektif sehingga
penutupan komplit korda vokalis untuk melindungi trakea dari aspirasi.
Laringospasme menyebabkan hipoksemia, bradikardi, edema pulmoner tekanan
negatif postobstruksi, regurgitasi dan aspirasi, serta henti jantung. Laringospasme
lebih sering pada anak, terutama pada anak dengan riwayat baru infeksi saluran napas
atas. Penatalaksanaan dengan pemberian CPAP dan 100% oksigen, pendalaman
anestesi (propofol IV), dan bila hipoksemia timbul dapat diberi suksinilkolin. Bila

28
timbul edema pulmoner maka dapat dipertimbangkan pemberian furosemid. Aspirasi
isi lambung jarang terjadi pada anak, dan bila terjadi aspirasi namun dalam 2 jam
tidak ada gejala maka dapat dinilai tidak ada risiko komplikasi pernapasan. Risiko
aspirasi meningkat pada operasi darurat, obstruksi usus, usia muda dan ASA status
3/4. Dan komplikasi terakhir berupa croup postintubasi ditandai stridor, suara serak,
batuk kasar dan bila berat dapat timbul distres napas. Penyebabnya adalah restriksi
aliran udara akibat edema trakea dari trauma atau iskemi. Penatalaksanaan dapat
diberikan humidifier atau deksametason 0,5mg/kgBB hingga 10mg.

c. Manajemen mual-muntah3
Insiden mual-muntah postoperatif tergantung individu, anestesi, dan operasi
(inguinal, tonsilektomi, strabismus dan lainnya). Risiko mual-muntah meningkat pada
usia ≥3 tahun, durasi operasi ≥30 menit, operasi strabismus dan riwayat mual-muntah
postoperasi. Pasien harus dipuasakan sebelum operasi dan tidak boleh dipaksa minum
postoperasi. Anak harus diberi cairan IV dan memilih NSAID dibanding opioid.
Dapat pula diberikan profilaksis antiemetik dengan deksametason atau antagonis
reseptor serotonin (seperti ondansentron 0,05-0,15mg/kgBB).

d. Manajemen psikologi3,7
Agitasi saat terbangun dan post-traumatic stress disorder (PTSD) dapat
terjadi. Pemakaian desfluran dan sevofluran dapat memicu agitasi saat
terbangun/emergence delirium (ED). Pada anak lebih sering karena sifat anak lebih
emosional dan impulsif, serta risiko meningkat pada timbulnya nyeri postoperasi.
Insiden ED memuncak pada anak usia 2-6 tahun, dengan penyebab tersering
sevofluran>desfluran>isofluran>>TIVA, bertahan 10-15 menit, dan dapat hilang
spontan atau diberi satu dosis propofol, midazolam, klonidin, dexmedetomidin,
ketamin atau opioid, dan dapat dicegah dengan penambahan N2O, midazolam dan
analgetik. Penyebabnya karena terjadi inhibisi pada pusat dan memicu
ketidakseimbangan neurotransmiter. Kegagalan dalam menghilangkan kewaspadaan
saat anestesi, menyebabkan anak mengalami pengalaman buruk terutama bila terdapat
nyeri, dan akibat hospitalisasi sehingga timbul risiko PTSD.

2.4. Medikasi

29
2.4.1 Obat Anestesi Inhalasi3
a. N2O
Nitros oksida merupakan molekul gas berat 44 Da dan rasio distribusi
gas/darah 0,47. Bila dihirup dengan konsentrasi 70%, ekuilibrium cepat antara fraksi
N2O inspirasi dan ekspirasi. Kinetik N2O cepat baik eliminasi dan difusi. Efek Fink
atau hipoksia difusi akibat N2O berdifusi cepat ke kavitas. MAC N2O minimal 104%
dan efek aditif bersamaan anestesi volatil dan intravena. Selain itu, N2O ada efek
euforia, neuroprotektif, analgesik dan antihiperalgesi karena kerjanya pada reseptor
NMDA. Karena itu 50% campuran N2O dan O2 sering digunakan untuk sedasi dan
analgesia.
b. Xenon
Merupakan gas mulia nonradioaktif, tidak berbau, tidak berwarna dan tidak
dapat terbakar. Karena kepadatan dan viskositas tinggi, maka tidak dapat dipakai pada
pasien dengan peningkatan tahanan jalan napas dan bayi prematur. Distribusi
darah/gas 0,14, MAC sebesar 70%. Xenon mudah melewati sawar dan mencapai 90%
ekuilibrum antara gas inspirasi dan konsentrasi gas alveolar dalam 5 menit pemberian.
Walaupun termasuk gas mulia, xenon terikat pada protein namun tidak melewati
biotransformasi, dimana terikat pada kavitas-kavitas protein. Seperti N 2O, xenon
antagonis reseptor NMDA, serta antinosiseptif poten (mekanisme berbeda dengan
opioid atau adrenergik). Dalam penelitian, xenon dinilai neuroprotektif terhadap
asfiksia neonatorum, serta menjaga stabilitas kardiovaskular serta kardioprotektif.
Akan tetapi karena produksi kurang dan biaya, pemakaian xenon sangat terbatas.

c. Agen halogenasi
i) Farmakokinetik
Merupakan agen molekul kecil dengan berat 168-200 Da. Mereka
adalah hidrofobik dan mudah larut darah serta jaringan. Halotan merupakan
alkan ditambah bromida, klorida dan fluorida. Isofluran, sevofluran dan
desfluran merupakan eter, ditambahkan klorida dan fluorida (isofluran) atau
hanya fluorida (desfluran dan sevofluran).
Prinsip kerjanya adalah provokasi imobilitas melalui efek pada korda
spinalis. Selain teori Meyer-Overton, dimana efek poten anestesi berbanding

30
lurus dengan kelarutannya terhadap lemak, mekanisme kerja agen tampak
pada kanal ion dan reseptor korda spinalis serta otak. Mereka meningkatkan
aktivitas GABA dan reseptor glisin, inhibisi reseptor glutamat, serta inhibisi
reseptor nikotinik. Inhibitor NMDA merupakan protektor reperfusi iskemia
dan mensupresi hiperalgesia akibat operasi, namun memicu apoptosis pada
otak berkembang.
Semua agen halogenasi akan terikat albumin dengan urutan:
desfluran>isofluran>halotan>sevofluran. Agen halogenasi diserap dan
dieliminasi lewat hubungan darah-alveolar. Agen ini hidrofobik, distribusi
pada kompartemen dalam, dan dapat ditemukan sisa pada beberapa minggu
setelah anestesi. Hidrofobisitas memudahkan transfer cepat ke kompartemen
dan diserap lemak, sehingga pada agen dengan solubilitas rendah mudah
mencapai saturasi (pseudo-steady state).
Farmakokinetik dimulai dari inhalasi gas berupa uap, transfer dari gas
alveolar ke darah secara cepat, dan distribusi ke kompartemen perifer,
termasuk otak. Eliminasi melalui cara sama, namun sejumlah obat akan
dimetabolisme hati. Pengambilan dan eliminasi anestesi volatil tergantung
pula curah jantung dan ventilasi. Volume kompartemen sentral tergantung
curah jantung dan klirens; klirens tergantung ventilasi per menit dan curah
jantung. Ventilasi ekuivalen dengan klirens intrinsik (metabolik), sementara
curah jantung dengan aliran darah hati. Sekitar 40% halotan dieliminasi oleh
metabolisme hati.

ii) Farmakodinamik
Minimal Alveolar Concentration/MAC semua anestesia volatil lebih
rendah pada bayi prematur dibanding matur. Pada saat lahir dan bulan pertama
kehidupan, MAC berada pada nilai tertinggi (kecuali halotan nilai tertinggi
beberapa bulan), namun setelah usia 1 tahun, terdapat perubahan antara MAC
dengan usia dimana MAC menurun seturut penambahan usia. Anak usia 6
bulan memiliki MAC 1,5-1,8 kali lebih tinggi dari dewasa usia 40 tahun.
Risiko depresi jantung lebih besar pada prematur dibanding matur.

31
Isofluran dan desfluran berbau tajam dan dapat memicu iritasi jalan
napas sewaktu induksi. Hanya halotan yang kurang dipakai karena batas
keamanan rendah dibanding agen lainnya. Bau tajam ini tidak meningkatkan
risiko laringospasme setelah induksi.
Efek anestesi volatil terhadap sistem saraf pusat dengan mendepresi
aktivitas saraf. Konsentrasi tinggi depresi EEG dan ledakan supresi terjadi
pada konsentrasi lebih dari 2 MAC. Sevofluran menginduksi aktivitas
epileptik dengan konsentrasi lebih dari 1,5 MAC. Konsentrasi sevofluran tidak
direkomendasikan melebihi 6% untuk induksi anestesi dan mengontrol
anestesi dengan konsentrasi lebih dari 1,5 MAC. Anestesi volatil dihubungkan
dengan agitasi ketika bangun dari anestesi, dimana lebih sering muncul pada
agen baru seperti sevofluran. Pemberian opioid, propofol, anestesi regional
atau ketamin dapat mencegah agitasi ini. Kewaspadaan lebih tampak pada
anak dibanding dewasa, namun dengan memori masih buruk maka kurang
dipertimbangkan. Midazolam dan propofol dapat menginhibisi memori. Selain
risiko neuroapoptosis dari anestesi volatil pada anak, anestesi volatil dapat
memberi efek protektif terhadap saraf dan jantung. Anestesi volatil
meningkatkan aliran darah ke otak, sehingga dapat meningkatkan tekanan
intrakranial lebih besar dibanding anestesi intravena (peningkatan terbesar
oleh desfluran), namun dengan pengaturan pemberian kurang dari 1-1,5 MAC
dapat mencegah peningkatan.
Efek terhadap kardiovaskular dengan mendepresi kontraktilitas dan
inhibisi simpatis. Halotan memberi dampak signifikan pada 1 MAC,
sementara isofluran, desfluran dan sevofluran pada 1,5 MAC. Halotan
ditemukan mengaktifkan aritmia jantung terinduksi-epinefrin. Halotan,
isofluran dan sevofluran mendepresi kontrol otonom tekanan arteri. Bradikardi
akibat halotan harus dipertimbangkan terutama bayi prematur karena
barorefleks masih imatur, sehingga mudah depresi jantung (halotan tidak
disarankan pada anak). Efek kardioprotektif lebih tampak pada postoperatif
karena depresi jantung memicu penurunan kebutuhan oksigen dan melindungi
dari iskemia.
Efek relaksasi otot dengan menurunkan letupan impuls ke serabut otot.
Anestesi volatil tidak berinteraksi dengan kinetik dari relaksan otot non-

32
depolarisasi. Dosis rocuronium atau atracurium yang dibutuhkan untuk
mencapai efek sama berkurang sebesar 25-30% pada pasien degnan sevofluran
dibanding propofol. Semua anestesi volatil meningkatkan efek pancuronium,
vecuronium, rocuronium, atracurium dan cisatracurium.
Semua anestesi volatil dapat berisiko hipertermia malignan. Gejala
tampak sebagai takikardi progresif dan hipertermia, dan peningkatan tahanan
tidal-akhir, dihubungkan dengan rigiditas otot sebagai tanda gangguan regulasi
kalsium intrasel. Asidosis dan hiperkalemia, sebuah serum kreatinin kinase
>10.000 IU/L, sebagai manifestasi biologis. Dantrolen menjadi pengobatan
utama (2-3mg/kgBB hingga 10mg/kgBB sebagai bolus). Tanda klinis menjadi
patokan pemberian dosis. Pemberian dantrolen dengan akuades, lalu
mengganti mesin serta sirkuit, perbaiki asidosis, dan mengganti menjadi
anestesi intravena.

2.4.2 Obat Anestesi Intravena3,6


a. Benzodiazepin
i) Farmakokinetik
Merupakan basa lemah yang terikat glikoprotein, namun hanya
midazolam yang larut air. Benzodiazepin dapat melewati sawar otak cepat dan
menempel pada reseptor dengan waktu kurang dari 3 menit, kecuali
lorazepam. Midazolam, klonazepam dan lorazepam memiliki afinitas konstan
terhadap reseptor 20 kali lebih tinggi dibanding diazepam, maka lama
kerjanya diazepam 2 jam, midazolam 2-4 jam, klonazepam 24 jam, dan
lorazepam 24-72 jam. Metabolisme terjadi di hati oleh CYP3A4, kecuali
lorazepam oleh UGT. Karena imaturitas CYP3A4, klirens midazolam rendah
pada prematur dan usia 2-3 bulan. Absorpsi oral dan rektal cepat, dengan
bioavailability 50-80% pada diazepam dan 20-50% pada midazolam.
ii) Farmakodinamik

33
Kerja pada sistem saraf pusat dimana memicu sedasi dengan
mengaktifkan reseptor GABAA. Indikasi ini dipakai sebagai premedikasi dan
sedasi. Ketika dipakai sebagai premedikasi, dapat menimbulkan sedatif,
ankiolitik dan efek amnesia, sehingga menjadi pilihan utama terutama pada
anak tidak kooperatif atau pasien dengan prosedur multipel. Benzodiazepin
tidak memberi efek pada aliran darah otak, tekanan intrakranial dan
kardiovaskular, sehingga cocok untuk sedasi neonatus dan pasien trauma
kepala.d
Midazolam mendepresi ventilasi dengan menurunkan sensitivitas CO2.
Narkotik meningkatkan potensi efek ini. Diazepam dan midazolam hanya
memberi efek sedikit pada depresi kardiovaskular dan reduksi tekanan darah,
dan efeknya meningkat bila diberi bersamaan narkotik atau sedatif lainnya.
Toleransi dan takifilaksis dapat terjadi akibat pemberian jangka panjang (>3
hari). Sindrom benzodiazepin withdrawal terjadi pada pemberian dosis
tinggi/jangka lama infus midazolam.
Dosis diberikan sebagai premedikasi anak setelah usia 3-6 bulan,
midazolam 0,3-0,5 mg/kgBB (maksimal 20mg) oral/rektal 30-40 menit
sebelum induksi, diazepam 0,1mg/kgBB 60 menit sebelum operasi. Sebagai
ajun induksi, dapat memakai 0,1-0,15mg/kgBB IM atau 0,05mg/kgBB IV.
Sebagai induksi diberikan 0,3-0,6mg/kgBB IV. Flumazenil merupakan
antagonis benzodiazepin, diberikan dengan dosis bolus 5-10mcg/kgBB/menit
hingga 40-50mcg/kgBB.
b. Tiopental
i) Farmakokinetik
Merupakan asam lemah, yang terikat albumin dengan fraksi bebas 28%
pada neonatus dan 15% pada dewasa. Tiopental dimetabolisme oleh CYP-
P450. Pada pediatrik usia > 6 bulan, klirens lebih besar dibanding dewasa.
Pada neonatus dan anak muda, kinetik tidak berubah namun farmakodinamik
berubah dengan ED50 (dosis untuk menghilangkan refleks kelopak mata pada
50% anak) adalah 3,4 (usia 0-14 hari), 6-7 (1-6 bulan), 5,5 (6-12 bulan), dan
4,2mg/kgBB (>1 tahun).
ii) Farmakodinamik

34
Efek sistem saraf pusat untuk sedasi diketahui tidak meningkatkan
aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Tiopental memicu depresi napas,
karena menurunkan sensitivitas CO2, serta menurunkan tekanan darah arteri
akibat penurunan tonus vaskular dan kontraktilitas miokardium (tidak
disarankan untuk penyakit jantung). Efek lainnya dapat memicu porfiria, dan
keasaman tiopental dapat memicu nekrosis pada area injeksi.
Risiko nekrosis menyebabkan tiopental harus diencerkan dahulu (2,5%
pada anak dan dewasa, 1% pada bayi). Dosis biasa tiopental 2,5-3mg/kgBB
pada neonatus <10 hari, 6-7 mg/kgBB pada bayi, dan 5mg/kgBB pada anak.
c. Propofol
i) Farmakokinetik
Merupakan asam lemah, dan hidrofobik kuat sehingga mudah larut
lemak (dibuat emulsi lemak). Propofol terikat pada sel darah merah dan
albumin, dan fraksi bebas <1%. Ikatan melemah pada pasien bypass
kardiopulmoner dan penurunan albumin. Farmakokinetik berbeda tergantung
usia, dimana klirens lebih besar pada anak dibanding dewasa, dan volume
lebih besar 2-2,5 kali anak dibanding dewasa, serta klirens intrakompartemen
1,5 kali lebih besar pada anak.
ii) Farmakodinamik
Propofol aman untuk pasien peningkatan tekanan intrakranial, serta
menatalaksana kejang pada status epileptikus. Efek propofol mendepresi
ventilasi dengan mengurangi sensitivitas CO2. Propofol dan tiopental
menurunkan kapasitas residual fungsional. Propofol memiliki efek inotropik
negatif pada dosis tinggi, dan menurunkan tonus vaskular, serta dapat
melindungi miokardium terhadap iskemi. Sindrom infus propofol bila
pemberian propofol infus >2 hari. Hal ini akibat efek uncoupling propofol
pada rantai pernapasan di mitokondria, dapat menunjukkan gejala asidosis
laktat, rhabdomiolisis, dan kolaps kardiovaskular. Pemakaian anestesi
intravena total (TIVA) untuk beberapa jam tidak menimbulkan efek samping
pada anak-anak.
Propofol dalam bentuk 1%/2% emulsi, dan ditambahkan EDTA,
sodium metabisulfit atau benzil-alkohol sebagai antimikroba. Nyeri lokasi
injeksi sangat umum dan dapat dikurangi dengan lidokain (0,5-1mg/kgBB).

35
Mual-muntah postoperasi lebih jarang dibanding agen volatil. Dosis umum
untuk induksi <1 bulan 4mg/kgBB, 1 bulan – 3 tahun 5-6mg/kgBB, 3-8 tahun
3-5mg/kgBB, >8 tahun 3mg/kgBB. Hilang kesadaran bertahan 5-10 menit
setelah injeksi.

d. Etomidat
i) Farmakokinetik
Merupakan basa lemah, hidrofobik, dan terikat glikoprotein. Etomidat
dimetabolisme oleh CYP-P450 dan CYP3A2. Pada anak, volume
kompartemen sentral 2 kali lebih besar, dan klirens lebih tinggi. Namun karena
volume kompartemen sentral tergantung curah jantung maka pada gangguan
hemodinamik membutuhkan dosis lebih sedikit.
ii) Farmakodinamik
Kerja etomidat pada sistem saraf pusat dapat menurunkan tekanan
intrakranial. Etomidat memicu penurunan pernapasan dengan menurunkan
sensitivitas terhadap CO2. Pemakaian etomidat untuk induksi cukup sering
(terutama kasus emergensi) karena stabilitas hemodinamik, dimana tidak
memberi efek pada frekuensi denyut jantung, dan efek penurunan
kontraktilitas sedikit. Serta hanya memicu sedikit penurunan tonus vaskular,
serta kontrol barorefleks masih terjaga (beda dengan propofol dan tiopental).
Etomidat juga memblokade 11--hidroksilase, sehingga mencegah perubahan
kolesterol jadi kortisol selama 24 jam.
Terdapat dua bentuk, formulasi menggunakan propilen glikol, dan
emulsi lemak. Kedua memberi efek nyeri injeksi. Induksi anestesi dengan

36
dosis 0,2-0,3mg/kgBB pada anak gangguan kardiovaskular, dan 0,3-
0,6mg/kgBB pada anak normal. Pemberian rektal dapat dilakukan dengan
dosis 6-8mg/kgBB, pemberian kontinu tidak dianjurkan karena supresi sintesis
kortisol.
e. Ketamin
i) Farmakokinetik
Ketamin, dengan fraksi bebas 40% ketamin dan 50% norketamin,
dimetabolisme oleh CYP2B6 dan CYP3A4. N-demetilasi menghasilkan
norketamin, dimana memiliki 30% aktivitas ketamin. Akses ke reseptor sangat
cepat yaitu <1 menit. Distribusi obat cepat dan setelah injeksi 1mg/kgBB IV,
anestesi bertahan 6-10 menit.
ii) Farmakodinamik
Ketamin memberi efek hipnotik, analgesik dan antihiperalgesik serta
membuat “anestesia disosiatif”, analgesia kuat dan reaksi simpatomimetik.
Selain itu, terjadi peningkatan aktivitas EEG dan aliran darah otak sehingga
tekanan intrakranial meningkat. Ketamin memberi efek neuroprotektif pada
mitokondria melalui kanal K+ ATP-sensitif, namun masih perdebatan karena
ada efek apoptosis pula sehingga menjadi masalah pada neonatus dan bayi
(belum disarankan untuk usia <4 tahun).
Ketamin tidak mendepresi ventilasi, volume tidal dan frekuensi napas
tidak berubah, namun memicu bronkodilatasi. Efek pada kontraktilitas
miokard lemah, menjaga aktivitas simpatis dan barorefleks, dan mampu
meningkatkan sedikit tekanan darah.
Efek antihiperalgesik melalui aktivitas anti-NMDA. Ketamin
membatasi hiperalgesia terinduksi-opioid dan memiliki efek hemat morfin.
Efek imun dan inflamasi dimana ketamin merupakan imunomodulator dan
anti-inflamasi dengan bekerja menurunkan kerja nuclear factor k B dan Toll-
like receptor 4.
Ketamin memiliki beberapa bentuk formulasi dengan R(-) enansiomer
dan S(+) enansiomer (S(+) kurang neurotoksik). Untuk induksi IV, 1-
2mg/kgBB dipakai, untuk menjaga anestesi 2-4mg/kgBB/jam infus. Ketamin
dapat diberikan IM 5-8mg/kgBB, dengan onset lebih lambat (5-10 menit) dan
durasi lebih panjang (20-30 menit). Dosis rendah dipakai untuk mencegah

37
hiperalgesia postoperasi dengan IV 0,15-0,3 mg/kg sebelum dan kontinu 0,1-
0,3mg/kg/jam selama 24 jam.

2.4.3 Opioid3,6
Bekerja pada reseptor opiat spesifik (, δ, К). Lokasi kerja utama pada korda
spinalis, medula dan substansia grissea periakueduktal. Terdapat dua keluarga utama
yaitu kerja lama hidrofilik (biasa untuk postoperasi/nyeri kronik) morfin, dan kerja
pendek (biasa untuk perioperasi) fenilpiperidin.
a. Fenilpiperidin
i) Pendahuluan
Merupakan basa lemah, terikat glikoprotein, dan dimetabolisme di hati
oleh CYP3A4 (kecuali remifentanil oleh kolinesterase). Klirens remifentanil
cepat pada neonatus dan berkurang mengikuti usia. Sufentanil lebih dipilih
untuk infus karena kerja pendek, dan kadar dapat diprediksi.
Efek sistem saraf pusat tidak ditemukan peningkatan intrakranial.
Narkotik memberi efek depresi napas, dan rigiditas otot pada anak-anak
namun bila injeksi perlahan ditemukan tidak memicu penurunan komplians
dinding dada.
ii) Fentanyl
Merupakan bentuk obat tertua, dengan waktu paruh panjang, terutama
untuk sedasi. Setelah kelahiran, klirens fentanyl dari tubuh melebihi 50%
aliran darah hati. Fentanyl disekresi ke cairan lambung, dan dapat terjadi
sirkulasi kembali dari isi lambung dan kompartemen dalam. Dosis umumnya
2-4mcg/kgBB bolus IV dan 1-2mcg/kgBB injeksi ulang. Dosis 1-
2mcg/kgBB/jam untuk infus IV kontinu. Infus kontinu tidak disarankan bila
ada rencana ekstubasi sesudah operasi. Waktu puncaknya 5-6 menit.
iii) Alfentanil
Kerja pendek, distribusi terbatas, dan klirens tinggi. Setelah bolus,
waktu puncak dicapai 1-2 menit. Dosis bolus 10-20mcg/kgBB diikuti injeksi
ulang 5-10mcg/kgBB untuk operasi sebentar.
iv) Sufentanil

38
Durasi kerja intermediat, dengan waktu puncak 2-4 menit. Dosis bolus
0,2-0,4mcg/kgBB, diikuti injeksi kembali 0,1-0,25mcg/kgBB atau infus 0,1-
0,5mcg/kgBB/jam.
v) Remifentanil
Opioid poten dengan onset cepat (<1 menit) dan kerja sangat pendek.
Ketika diberikan propofol 3-4mg/kgBB atau sevofluran 0,5-1 MAC,
menimbulkan kondisi untuk intubasi terbaik pada anak dalam 20-30 detik
setelah bolus 2-3mcg/kgBB. Namun dosis bolus tidak disarankan untuk
neonatus dan bayi karena dapat memicu bradikardi serta hipotensi. Ketika
diberikan 0,5-1 MAC anestesi volatil, infus kontinu 0,15-
0,25mcg/kgBB/menit (neonatus dan bayi) atau 0,5 mcg/kgBB/menit (anak)
memberi efek analgesia dan stabilitas kardiovaskular. Namun harus
dipertimbangkan analgesia postoperasi karena durasi kerja pendek, serta
diobservasi untuk sindrom hiperalgesia postoperasi, yang mengikuti
pemasukan dosis besar opioid. Remifentanil dan sufentanil menjadi
rekomendasi utama TIVA. Dosis TIVA dengan 0,10mcg/kgBB/menit pada
bayi dan 0,25mcg/kgBB/menit pada anak.

b. Morfin
i) Farmakokinetik
Morfin tidak melalui metabolisme fase 1, namun melalui fase 2 oleh
CYP2B7 dan CYP1A3 dengan UGT. Sekitar 40% metabolisme morfin di
ekstrahepatik, namun beberapa pasien dengan waktu protrombin <40% atau
massa hati yang mengurangi fungsi hati sebesar 50%, dosis harus setengah.
Kurang dari 10% morfin ditransformasi menjadi M-6-G, dimana memiliki
potensi 2-8 kali lebih tinggi akibat klirensnya rendah. Pada gagal ginjal,
eliminasi M-6-G rendah sehingga risiko depresi napas. Nalokson menjadi
antidotum depresi napas akibat narkotik namun butuh berjam-jam.
Metabolisme fase 2 tampak imatur pada kelahiran dan membaik ketika usia 6-
9 bulan. Akibat hal ini serta reseptor opioid masih imatur, maka dosis anak
dengan dewasa berbeda. Morfin juga hidrofilik dan tidak mudah melewati
membran sel. Efek konsentrasi mulai timbul dalam 6 menit, memuncak 20
menit setelah injeksi IV, dan bertahan pada efek 80% selama 80 menit.

39
ii) Farmakodinamik
Depresi pernapasan menjadi efek samping utama narkotik neonatus
dan bayi. Frekuensi napas menurunkan, dan depresi meningkat dimana
dihubungkan dengan episode desaturasi dibanding hiperkarbia (akibat sedasi
menurunkan metabolisme dan kerja otot napas). Selain depresi napas, dapat
memicu mual-muntah, retensi urin, pruritus dan konstipasi setelah 2-3 hari.
Deksametason, droperidol atau 5-HT3 reseptor inhibitor seperti ondansetron
bermanfaat mencegah mual-muntah postoperasi.
iii) Dosis
Morfin harus dititrasi pada bayi dan anak. Neonatus dan bayi <3 bulan,
IV infus kontinu biasa cukup dengan dosis 10-30mcg/kgBB/jam dan dapat
diatur berdasarkan efek dan dampak pernapasan (usia <3 bulan mudah depresi
napas). Bayi >3 bulan dan anak <10kg, IV titrasi dimulai dari bolus
50mcg/kgBB (<12 bulan), atau 100mcg/kgBB (>12 bulan). Dosis bolus diikuti
25mcg/kgBB setiap 5 menit sampai target efek. Anak <40kg biasa mendapat
75mcg/kgBB setiap 5 menit sampai dosis efektif. Dan anak >40kg dapat
diberikan dosis dewasa, yaitu 3mg bolus setiap 5 menit. Selain itu, pemberian

40
oral harus dipertimbangkan metabolisme hepatik (hanya 10% metabolit yang
aktif/M-6-G), dan kadar puncak baru tercapai 6-9 jam. Dosis oral morfin 0,2-
0,4mg/kgBB dengan dosis maksimal 20mg setiap 6 jam.
c. Opioid lainnya
i) Tramadol
Tramadol bekerja di sentral sebagai analgesik. Merupakan agonis
reseptor  opioid lemah yang inhibisi norepinefrin dan pengambilan kembali
serotonin. Metabolit O-desmetil (M1) bersifat aktif dan (+)M1 menjadi
molekul aktif utama. Metabolisme utama obat pada CYP2D6 dimana imatur
saat lahir. Pembentukan M1 terganggu pada in utero. Afinitas M1 pada
reseptor  300-400 kali lebih tinggi dibanding tramadol. Gangguan hati
menurunkan klirens tramadol, sementara gangguan ginjal menurunkan klirens
M1. Depresi napas akibat tramadol jarang, dapat pula menyebabkan mual-
muntah, pusing, berkeringat dingin, mulut kering dan mengantuk. Pemberian
tramadol biasa untuk nyeri ringan hingga sedang postoperasi, dan analgesia
intraoperasi. Dosis pemberian 2-3 mg/kgBB IV pada awal operasi, infus
kontinu tramadol tidak disarankan karena pembentukan M1 lama. Dosis oral
tramadol 1-3mg/kgBB diberi 6-8 jam.
ii) Kodein
Merupakan alkaloid alami dari opium, bekerja dengan membentuk
morfin sebagai metabolit sampingan sementara metabolit utama berupa
kodein-6-glukuronid (namun tidak aktif). Metabolisme oleh CYP2D6.
Kematian ditemukan pada bayi yang menyusu dari ibu dengan metabolisme
hebat, bayi dan anak diobati kodein >1 hari, atau anak dengan gagal ginjal.
Pemberian dosis pada anak >6 bulan 1mg/kgBB/6-8 jam.
iii) Asetaminofen
Asetaminofen memiliki efek anti-inflamasi, antipiretik dan analgesik.
Obat bekerja menginhibisi COX-3 pada sentral, dan metabolit aktif (p-
aminofenol) bekerja pada reseptor kanabinoid. Waktu puncak konsentrasi
plasma 30-60 menit lewat oral dan 1-2 jam lewat rektal. Metabolisme obat
oleh CYP2E1, CYP1A2, dan CYP3A4 di hati. Dosis lewat IV dan oral
10mg/kgBB/6 jam pada prematur dan neonatus. Namun karena CYP yang
berbeda-beda, maka perlu menilai klirens dengan pemeriksaan

41
aminotransferase pada prematur dan neonatus. Usia 1 bulan – 2 tahun diberi
dosis oral 15mg/kgBB/6 jam, dan usia 2-15 tahun 20mg/kgBB/6 jam.
Sementara dosis rektal, dimulai dari 40mg/kgBB.
2.4.4 Pelumpuh Otot3
Obat pelumpuh otot terdapat dua kelas yaitu depolarisasi dan nondepolarisasi.
Suksinilkolin satu-satunya kelas depolarisasi yang masih terpakai. Nondepolarisasi
termasuk agen nonsteroid dan steroid.
Kontraksi otot dipicu oleh pelepasan ACh pada celah sinaptik dari simpang
neuromuskular. Mekanisme dependen-kalsium bertugas dalam pelepasan ACh dari
vesikel presinaptik. Di celah sinapti, ACh didegradasi oleh asetilkolinesterase. ACh
bekerja dengan stimulasi pembukaan reseptor asetilkolin nikotinik otot sehingga
natrium dan kalsium masuk sel. Pada anak, reseptor ini masih dalam bentuk fetal,
sementara pada usia 2-4 tahun reseptor ini mulai digantikan oleh bentuk dewasa
(respon terhadap ACh lebih baik). Selain itu, ACh anak lebih sedikit dibanding
dewasa.
a. Suksinilkolin/SCh
i) Farmakokinetik
Suksinilkolin sangat hidrofilik, dan terhidrolisa di serum, sel darah
merah dan hati. Obat ini bekerja cepat mengakses simpang neuromuskular,
dan didegradasi cepat karena volume yang terdistribusi sedikit. Dosis untuk
dapat dilakukan intubasi 3mg/kgBB (bayi) dan 2mg/kgBB (anak), perbedaan
ini karena volume distribusi berbeda.
ii) Farmakodinamik
Mekanisme kerja obat masih belum jelas, namun injeksi memicu
eksositosis masif pada ACh dan fasikulasi otot. Paralisis muncul akibat
desentisasi reseptor dan inaktivasi kanal sodium.
Suksinilinkolin memiliki efek kepada sistem kardiovaskular dengan
memicu takikardi (dosis pertama) atau bradikardi (biasa pada dosis kedua).
Efek bradikardi dapat dilawan dengan atropin. Lalu memicu terjadi pelepasan
kalium sedikit (bisa risiko aritmia), dan spasme masseter serta relaksasi
inkomplit rahang. Dan risiko hipertermia malignan bila digabung dengan
halotan atau sevofluran.
b. Pelumpuh otot non-depolarisasi

42
Terbagi atas tipe aminosteroid (pancuronium, vecuronium dan rocuronium)
atau benzilisoquinolinium (atracurium, cisatracurium dan mivacurium). Semua obat
ini memicu durasi blok <40 menit, dengan durasi kerja mivacurium terpendek.
i) Farmakokinetik
Obat pelumpuh otot mudah larut air dan memiliki volume distribusi
sedikit. Klirens obat pelumpuh otot nondepolarisasi biasanya rendah, kecuali
mivacurium dimana dihidrolisa oleh kolinesterase. Metabolisme aminosteroid
saat dieliminasi tidak berubah pada urin dan bilus.
Pancuronium memakai banyak transpor ginjal dan sedikit transpor
hepatobilier. Sebanyak 25% dosis pancuronium dalam bentuk metabolit 3-
hidroksi, dimana memblokade dengan potensi setengah dari pancuronium.
Vecuronium diekskresi terutama oleh bilus (>50%), metabolit aktif 3-desasetil
vecuronium dapat ditemukan pada pemberian jangka panjang. Rocuronium,
derivat dari vecuronium, memiliki onset cepat dan durasi kerja mirip
vecuronium (memiliki metabolisme sedikit). Atracurium dan cisatracurium
didegradasi dari plasma oleh eliminasi Hofmann dan aktivitas
karboksilesterase, dengan produk akhir laudanosin (toksik dan picu kejang).
Mivacurium dihidrolisa oleh pseudokolinesterase yang menghidrolisa SCh,
memiliki potensi baik namun klirens kurang.
ii) Farmakodinamik
Agen nondepolarisasi memiliki efek sedikit pada aliran darah otak.
Atracurium, cisatracurium dan mivacurium melepas histamin, dan berisiko
bronkokonstriksi, hipotensi dan takikardi. Pancuronium dan rocuronium dapat
blokade reseptor muskarinik dan memicu takikardi. Pemakaian bersamaan
dengan anestesi volatil dapat meningkatkan efek blokade reseptor ACh. Akan
tetapi, obat pelumpuh otot dapat berisiko reaksi anafilaktik (jarang pada bayi),
dengan rocuronium yang tersering.
 Pancuronium 0,08-0,1mg/kgBB dengan onset 3-5 menit, durasi kerja
>60 menit. Injeksi ulang 0,02mg/kgBB.
 Vecuronium 0,1-0,2mg/kgBB dengan onset 1-3 menit, durasi kerja 30-
40 menit. Injeksi ulang 0,1mg/kgBB, untuk pemeliharaan 1-
1,2mcg/kg/menit.

43
 Rocuronium 0,4-0,6mg/kgBB dengan onset 1-2 menit, durasi kerja 40-
60 menit. Injeksi ulang 0,1-0,15mg/kgBB, untuk pemeliharaan 5-
15mcg/kgBB/menit.
 Atracurium 0,4-0,8mg/kgBB dengan onset 2-3 menit, durasi kerja 40-
60 menit. Injeksi ulang 0,1-0,2mg/kgBB, untuk pemeliharaan 5-
15mcg/kgBB/menit.
 Cisatracurium 0,1-0,2mg/kgBB dengan onset 2-3 menit, durasi kerja
40-60 menit. Injeksi ulang 0,03-0,5mg/kgBB, untuk pemeliharaan 1-
3mcg/kgBB/menit.
 Mivacurium 0,2mg/kgBB dengan onset 1-3 menit, durasi kerja <30
menit.
Untuk intubasi, dosis rocuronium 0,6mg/kgBB pada bayi dan anak (baik untuk
intubasi <1 menit. Anak remaja perlu dosis dewasa 1,2mg/kgBB.
2.4.5 Agen Pembalik/Reversal
Agen pembalik berguna mengembalikan efek blokade neuromuskular, dimana
terbagi jadi dua kelas: inhibitor asetilkolinesterase dan sugammadex.
a. Inhibitor asetilkolinesterase
Neostigmin dan piridostigmin bekerja terikat kovalen ke asetilkolinesterase
dan membentuk kompleks karbamilasi inaktif. Neostigmin metabolisme secara
cepat pada simpang neuromuskular oleh asetilkolinesterase dan eritrosit, lalu
metabolit inaktif dibuang lewat ginjal. Edrophonium kerja lebih pendek, dan
dimetabolisme jadi konjugat glukuronid inaktif. Pada pasien pediatrik, dosis
edrophonium dibutuhkan untuk mengembalikan kontraksi 50-80% lebih tinggi
dibanding dewasa. Mekanisme kerja obat dapat memberi efek muskarinik, dimana
timbul bradikardi, salivasi dan sekresi usus, miosis, dan bronkokonstriksi
(antidotum dengan atropin/glikopirolat). Edrophonium jarang menyebabkan
bradikardi sehingga lebih dipakai untuk pediatrik, serta efek bronkokonstriksi
harus dipertimbangkan pada pasien asma.
 Neostigmin 0,03-0,07mg/kgBB bolus dengan puncak 10 menit
 Edrophonium 0,75-1mg/kgBB bolus dengan puncak 2-3 menit
Pemberian atropin 0,10-0,15mcg/kgBB atau glikopirolat 4mcg/kgBB (anak) dan
8mcg/kgBB (bayi) sebelumnya untuk mencegah bradikardi.
b. Sugammadex

44
Merupakan siklodekstrin yang mengenkapsulasi aminosteroid. Bertugas
enkapsulasi rocuronium, vecuronium, dan pancuronium, sementara tidak
berfungsi untuk benzilisoquinolinium (atracurium, cisatracurium, mivacurium).
Eliminasi pada ginjal, dengan afinitas lebih pada vecuronium dibanding
rocuronium. Dosis diberikan 2mg/kgBB, namun pada keadaan darurat misal
kegagalan intubasi setelah dosis tinggi rocuronium maka diberi 12mg/kgBB.

2.4.6 Agen Antikolinergik


Terdapat dua agen berupa atropin dan glikopirolat, kedua ini kompetitor non-
selektif untuk ACh pada reseptor muskarinik. Pada anak, waktu paruh glikopirolat
sangat singkat (20 menit) karena klirens tinggi (22ml/kgBB/menit dibanding dewasa
9ml/kgBB/menit) dimana volume distribusi anak lebih besar. Atropin dimetabolisme
di hati menjadi 1-hiosiamin (zat aktif), sementara glikopirolat dibuang urin keadaan
utuh. Agen antikolinergik memicu takikardi, inhibisi sekresi dan picu bronkodilatasi.
Atropin memicu midriasis sementara glikopirolat tidak, dan toksisitas atropin punya
risiko halusinasi/delirium, paralisis dan syok. Dosis atropin 10-15mcg/kgBB,
sementara dosis glikopirolat 4mcg/kgBB (anak) dan 9mcg/kgBB (usia 1 bulan-2
tahun). Glikopirolat yang mengandung benzil-alkohol bersifat toksik pada bayi,
sehingga pemberian tidak boleh diulang.

2.4.7 Anestesi Lokal


Anestesi lokal memblokade propagasi impuls sepanjang serabut saraf dengan
inaktivasi kanal sodium, bekerja pada sisi sitosolik membran fosfolipid. Komponen
utama berupa: amino ester (2-kloroprokain, prokain, tetrakain) dan amino amida
(lidokain, bupivakain, ropivakain). Amino ester dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase di plasma, sementara amino amida lebih stabil dan
dimetabolisme di hati.3

45
a. Farmakokinetik3
Merupakan basa lemah, dengan 60-85% molekul terionisasi dan berdifusi
dalam kompartemen air, serta larut lemak dan membran sel. Amida dari obat terikat
pada serum protein (albumin dan glikoprotein) dan sel darah merah. Bayi memiliki
hematokrit >45% menyebabkan zat bebas lebih sedikit. Glikoprotein menjadi
pengikat utama, dimana pada usia 6-9 bulan glikoprotein akan meningkat dan
mencapai jumlah dewasa pada usia 1 tahun sehingga mengurangi risiko toksisitas.
Pemberian anestesi topikal pada saluran napas atas sangat cepat diserap dan
risiko toksik pada anak <4 tahun. Prilokain dapat memicu methemoglobinemia pada
bayi, terutama bila diberi trimetoprim-sulfametoksasol. Krim kurang berguna pada
bayi prematur karena aliran darah kulit yang tinggi. Karena bersifat hidrofobik dan
terikat jaringan, maka absorpsinya lambat serta berbeda-beda tergantung lokasi
(absorpsi ilioinguino-iliohipogastrik lebih cepat dibanding blok kaudal). Kecepatan
absorpsi obat berkurang dari kepala ke kaki dan dari toraks ke kaudal pada celah
epidural. Lidokain dan bupivakain memuncak pada 30 menit setelah injeksi
kaudal/lumbal pada anak dan dewasa. Lama kerja ropivakain bayi lebih lama
dibanding anak, karena CYP1A2 untuk metabolisme lidokain dan ropivakain masih
imatur sebelum usia 4-7 tahun. Pemberian epinefrin akan menurunkan konsentrasi
puncak, namun ada risiko penurunan aliran darah korda spinalis pada bayi (risiko
defisit neurologis) sehingga maksimal konsentrasi epinefrin ≤1/400.000 pada bayi <1
tahun.
Anestesi lokal terdistribusi kedalam volume besar bayi, anak dan dewasa
sehingga mencegah konsentrasi serum tinggi. Metabolisme hati pada semua amino
amida oleh CYP-P450, sementara bupivakain oleh CYP3A4/7 dan ropivakain oleh
CYP1A2. Klirens bupivakain dan ropivakain memiliki ekstraksi hati rendah

46
(eliminasi terbatas). Klirens bupivakain rendah saat lahir dan meningkat saat usia 6-9
bulan, sementara klirens ropivakain meningkat saat usia 2-6 tahun.

b. Farmakodinamik3,8
Anestesi lokal melewati membran sebagai basa bebas, dimana akan terionisasi
dan terikat asam amino spesifik untuk blok kanal sodium. Untuk blok kanal kalium
dan kalsium, membutuhkan dosis lebih tinggi.
Mielinisasi dimulai pada trimester ketiga dan inkomplit saat kelahiran. Setelah
lahir, mielinisasi terjadi cepat dan hampir lengkap pada usia 3-4 tahun. Karena
endoneurium masih longgar, barier terhadap difusi obat masih lemah, sehingga anak
dan bayi membutuhkan volume larutan besar dengan dosis anestesi sedikit untuk
mencapai intensitas seperti dewasa. Namun bayi membutuhkan dosis lebih besar
untuk anestesi spinal, dan kerja lebih pendek. Hal ini mungkin dikarenakan total
cairan serebrospinal lebih tinggi (neonatus 10ml/kgBB, anak 4ml/kgBB, dewasa
2ml/kgBB), serta volume lebih besar (50% pada anak).
Semua inhibitor kanal sodium dapat mencegah kejang, namun karena rasio
terapeutik rendah dan keamanan kurang maka tidak disarankan. Anestesi lokal kerja
panjang berisiko memicu aritmia karena konduksi impuls jantung perlu kanal sodium
(kecuali nodus karena diatur kanal kalsium). Bayi lebih sensitif terhadap efek blok
anestesi lokal disebabkan frekuensi nadi lebih tinggi. Efek toksisitas anestesi regional
dapat memicu sindrom kauda ekuina, serta anestesi lokal toksik terhadap otot
(terutama bupivakain). Karena ikatan protein dan klirens intrinsik kurang, bayi rentan
terhadap toksisitas. Untuk mengatasi toksisitas, diberikan Intralipid (emulsi lemak)
dengan dosis 5ml/kgBB IV bolus. Bila fungsi jantung belum membaik, pemberian
dapat (dapat diberi 10-12mg/kgBB) diulang.
Ajun sering diberikan untuk memperlama kerja analgesia. Epinefrin (5mcg/ml
= 1/200.000), diberikan pada bayi <6 bulan 2,5mcg/ml (1/400.000). Pemberian
anestesia lokal tanpa adjuvan hanya disarankan untuk penis, interdigital dan mata.
Klonidin 1mcg/kgBB secara IV atau celah epidural dapat perpanjang blok kaudal,
lebih dari dosis itu dapat risiko hipotensi dan tidak dianjurkan untuk usia <3 bulan
sebab risiko apnea tinggi. Ketamin tidak disarankan karena sangat toksik. Opioid
dapat dipakai sebagai adjuvan blok epidural. Setelah usia 6-9 bulan, opioid dapat

47
memperpanjang efek analgesia hingga 24 jam. Dosis bolus morfin 25-30mcg/kgBB
untuk celah epidural, diikuti infus 1mcg/kgBB/jam.
Ropivakain dan levobupivakain lebih aman dan dapat memberi kualitas dan
durasi analgesik tinggi dengan blokade motorik sedikit. Dosis maksimal 2-
2,5mg/kgBB untuk injeksi kaudal, 1,2-1,7mg/kgBB untuk injeksi epidural
lumbal/torakal, dan 0,5mg/kgBB untuk blok perifer. Infus anestesi lokal untuk
postoperasi memakai konsentrasi kecil (0,625-1mg/ml) dengan laju maksimal
0,2mg/kgBB (neonatus), 0,3mg/kgBB (1-6 bulan), dan 0,4mg/kgBB (>6 bulan).

2.5. Komplikasi Anestesi


2.5.1. Neurodegenerasi9
Pada perkembangan saraf, neurotransmiter eksitasi utama glutamat dimana
bekerja pada N-metyl-D-aspartate/NMDA reseptor (esensial untuk neurogenesis).
Neurotransmiter GABA dapat ditemukan pada minggu ke6 kehamilan, dan pada otak
imatur, reseptor GABA bersifat eksitasi dan aktivasi memicu depolarisasi.
Tiga faktor utama yang mempengaruhi toksisitas anestesi, pertama waktu
terkena eksposur. Neurotoksisitas anestesi tergantung stadium perkembangan, dimana
neuron masih rentan pada perkembangan. Puncak perkembangan berbeda antar regio
otak, dan berbeda tipe sel saraf lebih rentan terhadap anestesi. Neuron glutaminergik
dan GABAergik rentan terhadap toksik anestesi dibanding kolinergik. Kedua faktor
frekuensi dan durasi eksposur, dimana apoptosis meningkat semakin sering
tereksposur dan diketahui risiko meningkat pada pemberian ketamin >6 jam. Dan
peningkatan dosis anestesi mempengaruhi neurotoksik.
Mekanisme dicurigai terdiri dari dua jalur; intrinsik dan ekstrinsik. Jalur
ekstrinsik terjadi akibat aktivasi TNF, sementara intrinsik dari respon sinyal dalam sel
sendiri dan memicu pelepasan protein pro-apoptotik. Apoptosis dipercepat ketika
anestetik diberikan saat periode reseptor GABA masih eksitatorik (pada masa
inhibitorik, efek neurotoksik kurang). Gangguan pada reseptor memicu perubahan
ekspresi sehingga terjadi depresi aktivitas saraf. Sementara propofol dan isofluran
dapat pengaruhi mielinasi akson dengan memicu apoptosis.

48
2.5.2. Depresi Napas
Sama dengan dewasa, opioid sering memicu depresi napas pada anak. Opioid
bekerja pada reseptor opioid dimana bekerja mendepresi kemoreseptor sentral dan
perifer. Nyeri juga mempengaruhi pernapasan dengan meningkatkan input tonik ke
pusat pernapasan (medula oblongata), maka penurunan nyeri dapat menurunkan
pernapasan pula. Hal ini mungkin akibat belum matangnya reseptor, dan kontrol
pernapasan.10 Alternatif golongan opioid berupa nalbufin. Nalbufin dinilai lebih aman
untuk anak dikarenakan memiliki ceiling effect, dimana pada efek maksimal, dosis
tambahan tidak akan meningkatkan efektivitasnya. Dosis bolus 0,2mg/kgBB dapat
diulang 3-6 jam, atau infus 0,1-0,2 mg/kgBB/jam.11

2.5.3. Henti Jantung12


Risiko henti jantung pada anak meningkat terutama usia <1 tahun. Penyebab
adalah depresi kardiovaskular akibat agen inhalasi terutama halotan. Sevofluran
dinilai lebih aman karena jarang memicu bradikardi dan penurunan kontraktilitas.
Akan tetapi risiko ini jarang berdiri sendiri, biasa disertai masalah lain seperti
laringospasme (20% kasus), obstruksi jalan napas, riwayat penyakit jantung,
pemakaian obat anestesi lain yang menurunkan kontraktilitas, hipovolemi dan
hiperkalemia.

49
2.5.4. Hipertermi Malignan13
Merupakan gangguan farmakogenetik dari otot skelet sebagai respon
hipermetabolik terhadap gas anestesi volatil seperti halotan, sevofluran, desfluran,
isofluran, dan pelumpuh otot depolarisasi (suksinilkolin). Insidensi 1:10.000 hinga
1:250.000 anestesi, ditandai hipertermia, takikardi, takipnea, peningkatan produksi
CO2, peningkatan konsumsi O2, asidosis, hiperkalemia, rigiditas otot dan
rabdomiolisis. Hal ini dikarenakan pelepasan Ca2+ intrasel tidak terkontrol dari
retikulum sarkoplasmik otot skelet, dimana akan memicu peningkatan metabolisme
otot. Pengobatan utama dengan dantrolen dimana menginhibisi dengan mengikat
protein RyR1 dimana protein yang bertanggungjawab dalam pelepasan Ca2+.

50
BAB III KESIMPULAN

Anestesia pada anak berbeda dengan anestesia pada dewasa kecil. Anatomi dan
fisiologi yang berbeda, serta pengetahuan mengenai perkembangan embriologi perlu
diketahui. Karena pada anak, banyak faktor yang mempengaruhi terutama dari cairan tubuh,
anatomi & fungsi kardiovaskular, anatomi & fungsi pernapasan, perkembangan otak, hingga
metabolisme. Faktor-faktor ini akan mempengaruhi teknik anestesi, distribusi obat,
mekanisme dan dosis obat anestesi, sehingga risiko komplikasi pada anak umumnya lebih
banyak dan besar dibanding dewasa seperti depresi napas, dan henti jantung.
Pemakaian obat anestesi pada anak memakai dosis lebih rendah dibanding dewasa,
meski demikian perlu monitor ketat dikarenakan perkembangan yang belum matang terutama
segi metabolisme dan barier (sawar), maka efektivitas cukup tinggi. Pada bayi pula haru
dipertimbangkan peredaran obat dalam tubuh, karena tinggi lemak dan banyak obat anestesi
hidrofobik maka dapat terjadi penimbunan. Dan protein plasma yang sedikit, menyebabkan
rendahnya ikatan obat dan sering terjadi toksisitas.
Persiapan pasien anak harus secara menyeluruh, karena anak sangat rentan terhadap
kondisi emosional serta risiko komplikasi. Dalam persiapan anak, diperlukan evaluasi
mengenai kondisi ansietas pasien dan dapat dilakukan beberapa cara untuk mengontrol
dengan pengenalan, distraksi, ditemani orangtua dan lainnya. Risiko komplikasi harus
dianalisa sejak awal lewat anamnesis dan pemeriksaan fisik hingga dibuat perencanaan.
Penanganan perioperasi dan postoperasi harus dilakukan dengan baik untuk mencegah
komplikasi. Dan memahami obat-obatan anestesi dari segi farmakokinetik, farmakodinamik,
dan toksisitas pada anak dapat membentuk perencanaan yang baik.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Adewale L. Anatomy and assessment of pediatric airway. Pediatric Anesthesia 2009; 19


(Suppl1): 1-8.
2. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s clinical anesthesiology
ed.5th. New York: McGrawHill Education; 2013.
3. Gregory GA, Andropoulos DB. Gregory’s pediatric anesthesia ed.5th. UK: Wiley-
Blackwell; 2012.
4. Macfarlane F. Pediatric anatomy and physiology and the basics of paediatric anaesthesia.
AnaesthesiaUK; 6 Oktober 2006. http://www.anaesthesiauk.com/article.aspx?
articleid=100544
5. MacGregor J. Introduction to the anatomy and physiology of children. New York: Taylor
& Francis e-Library; 2000.
6. Davis PJ, Cladis FP, Motoyama EK. Smith’s anesthesia for infants and children ed.8th.
Philadelphia: Elsevier Mosby; 2011.
7. Da Silva LM, Braz LG, Modolo NSP. Emergence agitation in pediatric anesthesia:
current features. J Pediatr 2008; 84(2): 107-113.
8. Gupta A, Saha U. Spinal anesthesia in children: a review. J Anaesthesiol Clin Pharmacol
2014; 30(1): 10-18.
9. Sinner B, Becke K, Engelhard K. General anaesthetics and the developing brain: an
overview. Anaesthesia 2014; 69: 1009-1022.
10. Pattinson KTS. Opioids and the control of respiration. Br J Anaesth 2008; 100: 747-58.
11. Kubica-Cielinska A, Zielinska M. The use of nalbuphine in pediatric anaesthesia.
Anaesthesiology Intensive Therapy 2015; 47(3): 252-256.
12. Bhananker SM, Ramamoorthy C, Geiduschek JM, Posner KL, Domino KB, Haberkern
CM, et al. Anesthesia-related cardiac arrest in children: update from the pediatric
perioperative cardiac arrest registry. Anesth Analg 2007; 105: 344-50.
13. Rosenberg H, Pollock N, Schiemann A, Bulger T, Stowell K. Malignant hyperthermia: a
review. Orphanet Journal of Rare Diseases 2015; 10: 93.

52

Anda mungkin juga menyukai