Edisi pertama
2018
Penyunting:
Adhi Teguh Perma Iskandar
Kartika Darma Handayani
Rocky Wilar
Setyadewi Lusyati
Tetty Yuniati
Toto Wisnu Hendrarto
Tunjung Wibowo
TIM PENYUSUN
KONTRIBUTOR
1. Dr. R. Adhi Teguh Perma Iskandar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
2. Dr. Agnes Yunie Purwita Sari, SpA(K)
Bagian Neonatologi RS Persahabatan Jakarta
3. Dr. Agus Harianto, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya 4. Dr. Akira Prayudijanto, SpA
1
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
5. Dr. Andhika Tiurmaida Hutapea, SpA(K) Bagian Neonatologi RSUD Cengkareng
6. Dr. Aris Primadi, SpA(K)
Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung
7. Dr. Arum Gunarsih, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSU Tangerang Selatan
8. Dr. Desiana Nurhayati, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSU Bunda Margonda Depok
9. Dr. Dina Angelika, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
10. Dr. Distyayu Sukarja, SpA
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
11. Dr. Ellen R Sianipar, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD Pasar Rebo Jakarta
12. Dr. Firaz Alfarizi Alkaff, SpA
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
13. Dr. Gatot Irawan Sarosa, Sp.A(K)
Bagian Neonatologi RSUP dr. Kariadi Semarang
2
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
22. DR. Dr. Rinawati Rohsiswatmo, SpA(K) Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
23. DR. Dr. Risa Etika, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
24. Dr. Rizalya Dewi, Sp.A(K)
Bagian Neonatologi RSIA Budhi Mulia Pekanbaru
25. DR. Dr. Rocky Wilar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP Prof Kandou
26. Dr. Setyadewi Lusyati, SpA(K)., PhD
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
3
PENYUNTING
1. Dr. R. Adhi Teguh Perma Iskandar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
2. Dr. Kartika Darma Handayani, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUD dr .Sutomo Surabaya
3. DR. Dr. Rocky Wilar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP Prof Kandou
4. Dr. Setyadewi Lusyati, SpA(K)., PhD
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
5. DR. Dr. Tetty Yuniati, SpA(K)
IDAI, UKK Neonatologi
Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung
6. DR. Dr Toto Wisnu Hendrarto, SpA(K)., DTM&H UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
7. Dr. Tunjung Wibowo, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
DIBANTU OLEH:
Tim Sekretariat UKK Neonatologi 2017 – 2020:
• dr. Chindy Arya Sari
• dr. Reza Latumahina
4
• dr. Dilla Aprilia
• dr. Ferry Liwang
• dr. M. Reza Syahli
KATA SAMBUTAN
Kata Sambutan
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan
karunia-Nya kita masih diberikan kesempatan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di
bidang Ilmu Kesehatan Anak. Selamat dan terima kasih kami ucapkan kepada Unit Kerja Koordinasi
Neonatologi IDAI yang telah menyelesaikan Buku Panduan Pelayanan Neonatal.
Dalam upaya mencapai tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, IDAI berusaha
melaksanakan program untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak Indonesia. Berbagai
bentuk usaha harus dilakukan untuk menyelaraskan tujuan SDG, yaitu mengurangi kematian bayi
hingga 12 per 1.000 kelahiran hidup dan kematian dibawah usia 5 tahun hingga paling rendah 25 per
1.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Fokus lainnya terkait pelayanan neonatal yang dimaksud
adalah dengan mengurangi 1/3 kematian prematur dari penyakit tidak menular.
Target IDAI saat ini yang juga sesuai dengan fokus program Asia Pacific Pediatric Association
(APPA) adalah mengenai periode seribu hari pertama kehidupan, penyakit tidak menular,
tuberkulosis dan kehamilan pada remaja. Seribu hari pertama kehidupan merupakan periode yang
penting sebagai fondasi untuk mengoptimalkan kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan anak.
Mengingat angka kematian neonatus di Indonesia menyumbang lebih dari setengah kematian bayi
(59,4%), acuan mengenai sistem pelayanan neonatus di fasilitas kesehatan sangat diperlukan. Adanya
pelayanan kesehatan yang terstandardisasi dapat membantu untuk menurunkan angka kematian
neonatal.
Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah berkurang
dari 10,2 persen pada tahun 2013 menjadi 6,2% pada tahun 2018. Bayi berat lahir rendah merupakan
salah satu faktor yang memegang peran penting dalam kematian neonatal dengan kematian utamanya
akibat prematuritas, infeksi, asfiksia dan hipotermi. Penanganan awal mengenai hal itu akan tertuang
dalam Buku Panduan Pelayanan Neonatal. Buku ini merupakan panduan dalam pelayanan kesehatan
di bidang neonatus meliputi kompetensi tenaga medis, kebutuhan fasilitas, alat dan obat-obatan serta
panduan prosedur klinis yang telah dibuat dan disusun oleh para ahli dibidangnya.
Ucapan terima kasih dan penghargaan kami berikan kepada seluruh kontributor yang turut serta
membantu dalam penyelesaian buku pedoman ini. Semoga buku ini dapat menjadi panduan dalam
praktik klinis dokter guna menurunkan angka kematian bayi di Indonesia. Bersama kita bisa
meningkatkan kesehatan generasi penerus bangsa.
Jakarta, Februari 2019
Ketua Umum PP IDAI
5
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas izinNya, Buku Panduan Pelayanan
Neonatal Unit Kerja Koordinasi (UKK) Neonatologi PP IDAI ini dapat diterbitkan. Panduan ini
merupakan salah satu rujukan dasar bagi unit pelayanan intensif neonatal di Indonesia menuju
standarisasi pelayanan neonatus berkualitas. Tidak mudah mencapai standarisasi pelayanan
neonatal di Indonesia karena adanya disparitas yang luas mulai dari jumlah dokter spesialis anak
dan konsultan neonatologi, kelengkapan fasilitas unit pelayanan intensif neonatal serta alat antar
satu rumah sakit dengan rumah sakit yang lain, di berbagai wilayah di Indonesia.
Adanya perbedaan kapasitas layanan neonatus dari satu daerah dengan daerah lain
memerlukan pembagian tingkat kemampuan yang mampu laksana. Atas dasar tersebut panduan
cetakan pertama ini memodifikasi panduan American Academy of Pediatric (AAP) tahun 2012
yang berlandaskan pada konsep regionalisasi Toward Improving the Outcome of Pregnancy
III (TIOP III), yaitu pada pembagian tingkat layanan neonatus menurut AAP tahun 2004 (TIOP II).
Keadaan tersebut disesuaikan dengan kapasitas rumah sakit di Indonesia menurut Peraturan
6
Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PMK RI) nomor 56 tahun 2014 tentang Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit.
Panduan ini juga menjelaskan kodifikasi diagnosis dan prosedur di bidang Neonatologi
sebagai upaya memperkenalkan sistem pembiayaan kesehatan di era Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) saat ini. Inti dari panduan ini adalah tiga Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
yang sudah disahkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan Panduan Praktik Klinis (PPK)
yang disusun oleh tim UKK Neonatologi sebagai rujukan di tiap unit pelayanan neonatus.
Hasil dari upaya menuju standarisasi pelayanan neonatus adalah tercapainya kualitas
pelayanan neonatal di Indonesia menuju ke tingkat yang lebih baik, sehingga diharapkan dapat
membantu upaya penurunan angka kematian di Indonesia pada angka 9 per 1000 kelahiran hidup di
tahun 2025. Upaya tersebut harus dilaksanakan bersama dan serentak di bawah koordinasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kem Kes RI) melalui program Rangkaian Aksi Nasional
(RAN) Neonatal yang terdiri dari upaya tercapainya cakupan pelayanan neonatal berkualitas,
intervensi klinis untuk menurunkan kematian neonatus mulai dari tatakelola klinis ibu hamil dan
bersalin sampai pada penanganan neonatus sakit, yang mengikut sertakan peran orang tua,
keluarga dan masyarakat.
Sudah tentu panduan ini masih jauh dari sempurna, dan sudah seharusnya secara periodik
direvisi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Neonatologi
minimal dua tahun sekali. Semoga buku panduan ini bermanfaat terutama untuk para dokter
spesialis anak yang bertanggung jawab atas tatakelola klinis, untuk pengelola tatakelola manajemen
di fasilitas kesehatan dan pemangku kebijakan dalam menentukan tatakelola program dalam sistem
layanan neonatus di Indonesia. Dan pada kesempatan ini diucapkan terima kasih untuk seluruh
keluarga besar UKK Neonatologi yang dengan ikhlas meluangkan waktunya menyusun buku
panduan ini.
Dr. Toto Wisnu Hendrarto, dr., SpA(K)., DTM&H Ketua UKK Neonatologi, PP IDAI
DAFTAR SINGKATAN
AC Assist Control
7
AIDS Acquired Immuno Deficiency Syndrome
8
DPJP Dokter Penanggung Jawab Pasien
DPM Dewan pertimbangan Medis
D10W Dektrosa 10%
D12,5W Dektrosa 12,5%
D15W Dektrosa 15%
EBM Evidence Based Medicine
ECMO Extracorporeal Membrane Oxygenationn
EEG Electroencephalography
EKG Elektrokardiografi
ET Expiration time
ETT Endotracheal Tube
FFP Fresh Frozen Plasma
FFS Fee For Services
FiO2 Fraksi Oksigen
FIRS Fetal Inflammatory Response Syndrome
FJ Frekuensi Jantung
FKTP Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
FKRTL Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
G6PD Glucose-6-Phospatase Dehydrogenase
GD Glukosa Darah
GDS Glukosa Darah Sewaktu
GIR Glucose Infusion Rate
GIT Gastrointestinal Tract
GLUT-1 Glucose Transporter-1
HDN Hemorrhagic Disease of the Newborn
HIE Hypoxic Ischemic Encephalopathy (Ensefalopati Hipoksik
Iskemik)
9
IT Inspiration time
ITP Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
IUGR Intrauterine Growth Retardation
IVH Intraventricular Hemorrhage (perdarahan
intraventrikular)
IVIg Intavenous Immunoglobulin
IWL Insensible Water Loss
JKN Jaminan Kesehatan Nasional
KLB Kejadian Luar Biasa
KMC Kangaroo Mother Care
KMK Kecil Masa Kehamilan
KPD Ketuban Pecah Dini
KSD Kernicterus Spectrum Disorder
LBP Lipopolysacharide-Binding Protein
LFT Liver Function Test
LJ Laju Jantung
MAP Mean Arterial Pressure
MAS Meconium Aspiration Syndrome
MDGs Millenium Development Goals
MODS Multiple Organ Dysfunction Syndrome
MRI Magnetic Resonance Imaging
NAP Natriuretic Atrial Peptide
NAIT Neonatal Alloimmunie Thrombocytopenia
NCC National Casemix Center
NCPAP Nasal Continuous Positive Airway Pressure
10
nRBC nucleated Red Blood Cell
NRM Non-rebreathing mask
OGT Oro Gastric Tube
PaO2 Tekanan Parsial Oksigen arteri
PCT Procalcitonin
PCV Polisitemia Vera
PDA Patent Ductus Arteriosus
PDVK Perdarahan akibat Defisiensi Vitamin K
PEEP Positive End Expiratory Pressure
PES Pediatric Endocrine Society
PIP Peak Inspiratory Pressure
PJB Penyakit Jantung Bawaan
PJT Pertumbuhan Janin Terhambat
PMK Peraturan Menteri Kesehatan
PMK Perawatan Model Kanguru
PNPK Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
PPHN Persistent Pulmonary Hipertension of the Newborn
PPK Panduan Praktik Klinis
PT Prothrombin Time
PRC Packed Red Cell
PVL Periventricular Leukomalacia (leukomalasia periventrikular)
RAN Rangkaian Aksi Nasional
11
Emotional support
STOP-ROP Supplemental Therapeutic Oxygen for Prethreshold Retinopathy of
Prematurity
TAR Trombocytopenia Absent Radius
TcB Transcutaneus Bilirubin
TEF Tracheaoesophageal fistula
TGA Transposition of Great Arteries
TIOP Toward Improving the Outcome of Pregnancy
TKMKB Tim Kendali Mutu Kendali Biaya
TMI Transient Myocardial Ischaemia
TMR Transient Tricuspid Regurgitation
TNF Tumor Necrosis Factor
TOF Tetralogy of Fallot
TORCH Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus Herpes Simplex Virus and
other disease
12
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN..............................................................................................................ii
KATA SAMBUTAN........................................................................................................vi
KATA PENGANTAR....................................................................................................viii
DAFTAR SINGKATAN....................................................................................................x
DAFTAR ISI...................................................................................................................xvi
DAFTAR TABEL.........................................................................................................xviii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................xix
RINGKASAN EKSEKUTIF............................................................................................xx
BAB I PANDUAN TINGKAT PELAYANAN NEONATUS...........................................1
1.1 Pendahuluan.................................................................................................................1
1.2 Batasan tingkat pelayanan neonatus.............................................................................3
1.3 Uraian unit layanan sesuai dengan tingkat kompetensinya...........................................6
1.3.1 Unit layanan neonatus tingkat I (di fasilitas kesehatan primer/ puskesmas, fasilitas kesehatan
sekunder/ ruang rawat gabung rumah sakit)....................................................................6
1.3.2 Unit layanan neonatus tingkat II (di fasilitas kesehatan sekunder/ rumah sakit)...12
1.3.3 Unit layanan neonatus tingkat III (di fasilitas kesehatan tersier/ rumah sakit)......22
1.4 Uraian panduan prosedur registri morbiditas, mortalitas dalam pengelolaan rekam medik pasien;
manajemen ATM; manajemen fasilitas, alat kesehatan dan obat-obatan..........................31
BAB II KODIFIKASI DIAGNOSIS DAN PROSEDUR NENATOLOGI.......................34
2.1 Rujukan berjenjang.....................................................................................................34
2.2 Sistem pembiayaan JKN.............................................................................................35
2.3 Proses klaim, persyaratan dan permasalahannya........................................................39
2.4 Manfaat rekam medis.................................................................................................44
13
BAB III PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN..............................47
1. PNPK BBLR: Resusitasi, Stabilisasi dan Transport Neonatus.....................................48
2. PNPK Asfiksia Neonatorum.......................................................................................193
3. PNPK Hiperbilirubinemia..........................................................................................356
BAB IV PANDUAN PRAKTIK KLINIS......................................................................473
4.1 Kriteria rawat inap dan keluar dari rumah sakit........................................................473
4.2 Komunikasi interpersonal dan konseling..................................................................478
4.3 Penilaian fisik...........................................................................................................483
4.4 Dampak penyakit ibu pada neonatus........................................................................496
4.5 Kelainan bawaan yang sering ditemui pada neonatus...............................................506
4.6 Trauma lahir.............................................................................................................514
4.7 Resusitasi neonatus...................................................................................................519
4.8 Pedoman stabilisasi neonatus...................................................................................529
4.9 Transportasi neonatus...............................................................................................537
4.10 Asfiksia perinatal dan HIE......................................................................................546
4.11 Kejang pada neonatus.............................................................................................552
4.12 Transient tachypnea of newborn (TTN).................................................................559
4.13 Respiratory distress syndrome (RDS)....................................................................562
4.14 Meconium aspiration syndrome (MAS).................................................................565
4.15 Pneumonia pada neonatus.......................................................................................569
4.16 Air leak syndrome...................................................................................................572
4.17 Apnea of prematurity..............................................................................................575
4.18 Terapi oksigen........................................................................................................578
4.19 CPAP......................................................................................................................583
4.20 Ventilasi invasif......................................................................................................595
4.21 Bayi kurang bulan dan PJT.....................................................................................604
4.22 Asuhan kontak kulit dengan kulit...........................................................................615
4.23 Kangaroo Mother Care (KMC)..............................................................................618
4.24 Termoregulasi neonatus..........................................................................................628
4.25 Hipoglikemia pada neonatus...................................................................................635
4.26 Hiperbilirubinemia pada neonatus..........................................................................641
4.27 Anemia pada neonatus............................................................................................646
4.28 Polisitemia neonatorum.........................................................................................651
4.29 Trombositopenia pada neonatus.............................................................................654
4.30 Hemorrhagic Disease of The Newborn (HDN) pada neonatus...............................657
4.31 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) pada neonatus.............................660
4.32 Pengendalian infeksi di Unit Perawatan Neonatus.................................................663
4.33 Sepsis Neonatorum.................................................................................................668
4.34 Syok pada neonatus................................................................................................673
4.35 Kelainan jantung yang sering ditemui pada neonatus.............................................676
4.36 Pemberian ASI di fasilitas kesehatan......................................................................680
14
4.37 Pemberian nutrisi enteral bagi neonatus.................................................................692
4.38 Tatalaksana nutrisi parenteral pada neonatus..........................................................699
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................706
4.1 Kesimpulan...............................................................................................................706
4.2 Saran.........................................................................................................................706
DAFTAR RUJUKAN....................................................................................................707
Lampiran 1. Kodifikasi diagnosis dan prosedur neonatologi..........................................717
DAFTAR TABEL
15
DAFTAR GAMBAR
16
RINGKASAN EKSEKUTIF
Standarisasi pelayanan neonatus merupakan kebutuhan saat ini agar percepatan penurunan angka
kematian neonatus (AKN) 9 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2025 dapat tercapai. Upaya kearah
tersebut juga diperlukan untuk mengatasi adanya disparitas jumlah dan kompetensi aset tenaga
manusia (ATM), fasilitas kesehatan serta alat kedokteran di berbagai wilayah di Indonesia. Upaya
standarisasi dilaksanakan dengan menghilangkan fragmentasi pelaksanaan sistem kesehatan
neonatal pada tatakelola program, manajemen dan klinis. Pada buku panduan ini diuraikan tingkat
pelayanan neonatus sebagai dasar pelaksanaan tatakelola manajemen di fasilitas kesehatan.
Disamping itu diuraikan pula kodifikasi diagnosis dan prosedur di bidang neonatologi sebagai bagian
dari sistem pendanaan di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang merupakan kesatuan dari
tatakelola program, manajemen dan klinis. Tatakelola klinis dibahas lebih rinci baik sebagai dasar
bagi panduan nasional maupun panduan di tiap fasilitas kesehatan yaitu dalam bentuk Panduan
Nasional Pelayanan Kesehatan (PNPK) dan Panduan
Pada lampiran diuraikan algoritma sistem pendanaan di era JKN ini yang masih merujuk pada
sistem kodifikasi ICD 9-CM untuk prosedur dan ICD 10 untuk diagnosis. Dengan demikian buku
panduan ini diharapkan dapat secara paripurna memberikan pedoman dalam pelaksananan
pelayanan di bidang neonatal.
17
BAB I PANDUAN TINGKAT PELAYANAN NEONATUS
1.1 Pendahuluan
Standarisasi pelayanan neonatus menjadi kebutuhan saat ini dengan semakin
berkembangnya kemampuan rumah sakit di seluruh Indonesia dalam melaksanakan
tugasnya. Unit kerja koordinasi (UKK) Neonatologi PP IDAI perlu menetapkan panduan
baku dalam sistem pelayanan tersebut, meliputi kompetensi aset tenaga mediknya,
fasilitas, alat dan obat-obatan yang digunakan serta panduan prosedur pelayanannya.
Tujuan dari buku ini adalah menetapkan acuan baku sistem pelayanan neonatus
di fasilitas kesehatan mulai dari tingkat primer di puskesmas (pelayanan neonatus
tingkat satu atau dasar), sekunder (pelayanan neonatus spesialistik di rumah sakit tipe
D dan tipe C menurut PMK No 604/MenKes/SK/VII/2008 tentang pedoman pelayanan
maternal perinatal pada rumah sakit kelas B, kelas C dan kelas D) dan tersier (pelayanan
neonatus subspesialistik di rumah sakit tipe B dan A). Peraturan menteri kesehatan
tersebut sudah waktunya direvisi karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan
pengetahuan saat ini. Dan untuk melengkapi peraturan tersebut disusun buku panduan
ini yang nantinyapun harus dievaluasi dan apabila perlu direvisi setiap tahun. Adapun
program Kementerian Kesehatan RI dalam pelayanan neonatal pada prinsipnya
mengacu pada Rangkaian Aksi Nasional di bidang neonatal (RAN-Neonatal) yang
memiliki tiga kerangka aksi yaitu cakupan pelayanan neonatal yang berkualitas,
intervensi klinis untuk kelangsungan hidup neonatus (tatakelola klinis kehamilan,
persalinan dan neonatus sakit) serta pemberdayaan partisipasi keluarga.
1
regional), dan ini sangat dibutuhkan oleh kondisi Indonesia yang sangat unik secara
geografis. Selain itu juga mendukung program Kementerian Kesehatan RI dalam
mengupayakan penurunan angka kematian neonatal 9 per 1000 kelahiran di tahun 2025.
Layanan Neonatus Dasar Evaluasi dan perawatan pasca lahir neonatus bugar pasca
(tingkat I), Perawatan neonatus resusitasi
bugar Stabilisasi neonatus sakit sampai dilaksanakan proses
rujukan ke RS dengan tingkat layanan spesialistik.
Modifikasi di Indonesia:
• Mengupayakan pertolongan persalinan, janin dan
neonatus normal.
2
• Identifikasi tanda bahaya pada neonatus
• Resusitasi, stabilisasi dan transport neonatus
nonbugar/ sakit untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan
sekunder atau tersier sesuai regionalisasi wilayahnya.
• Perawatan neonatal esensial pada neonatus sehat
Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe D (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIA, spesialistik terbatas).
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat I, ditambah:
• Layanan neonatus dengan batasan berat lahir 2000
gram dan usia kehamilan 36 minggu.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi non-invasif.
Rumah sakit tipe C (kompetensi dan kemampuan
layanan neonatus tingkat IIB, spesialistik luas).
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIA, ditambah:
• Layanan neonatus dengan batasan berat lahir 1800
gram dan usia kehamilan 35 minggu.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi invasif
dengan ventilator konvensional ≤5 hari untuk
stabilisasi neonatus sebelum dirujuk ke fasilitas
kesehatan tersier.
• Dapat melaksanakan tindakan bedah minor pada
neonatus.
Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe A (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIIA, subspesialistik/ konsultan
neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak
terbatas)
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIIA, ditambah:
3
• Layanan neonatus tanpa batas batasan berat lahir dan
usia kehamilan.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi invasif tidak
terbatas (ventilator konvensional, high frequency
ventilator, high frequency oscillator).
• Dapat melaksanakan tindakan bedah major tidak
terbatas (tindakan bedah subspesialistik) pada
neonatus.
Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe A (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIIB, subspesialistik/ konsultan
neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak
terbatas, fasilitas prosedur kardiotorasis terbatas)
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIIB, ditambah:
• Dapat melaksanakan prosedur kardiotorasis kompleks
yang tidak melaksanakan tindakan bypass
kardiopulmonal dan/ atau dengan ECMO.
Modifikasi di Indonesia:
Pusat rujukan nasional untuk neonatal terintegrasi dengan
Pusat Jantung Nasional (kompetensi dan kemampuan
layanan neonatus tingkat IIIC, subspesialistik/ konsultan
neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak
terbatas, fasilitas prosedur kardiotorasis lengkap)
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat
IIIC, ditambah:
• Dapat melaksanakan prosedur kardiotorasis kompleks
dengan tindakan bypass kardiopulmonal dan/ atau
dengan ECMO.
A. Dokter
4
• Kompetensi: tingkat dasar untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap profesional di
bidang neonatologi, yaitu: o Tanda bahaya kedaruratan pada neonatus
o Resusitasi, stabilisasi dan transport neonatus tidak terbatas pada berat lahir dan
usia kehamilan.
o Manajemen neonatal esensial.
• Uraian tugas dan tanggung jawab: o Tatakelola klinis neonatus dengan tingkat
kompetensi dasar yang direkam dalam cacatan medis pasien.
o Tatakelola manajemen:
▪Pencatatan, pelaporan, kajian morbiditas dan mortalitas hasil aktivitas medis
yang telah dilakukan di unitnya untuk tindak lanjut perbaikan secara internal
unit pelayanan.
▪Perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas, alat kedokteran dan obat-
obatan kebutuhan di unitnya.
▪Penyusunan dan revisi/ updating panduan prosedur klinik di unitnya. o
Tatakelola program:
▪Pencatatan, pelaporan, kajian morbiditas dan mortalitas hasil aktivitas medis
yang telah dilakukan di unitnya untuk tindak lanjut perbaikan secara eksternal
berkolaborasi dan berkoordinasi lintas sektoral dalam satu sistem rujukan di
wilayah regionalnya, misalnya dalam kegiatan audit maternal peri-neonatal.
▪Perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas, alat kedokteran dan obat-
obatan kebutuhan di unitnya terintegrasi dalam sistem pengadaan layanan
kesehatan vertikal dari tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional.
▪Standarisasi panduan prosedur klinis secara regional maupun nasional.
5
o Tatakelola manajemen:
▪Membantu dalam pencatatan, pelaporan, kajian morbiditas dan mortalitas hasil
aktivitas medis yang telah dilakukan di unitnya untuk tindak lanjut perbaikan
secara internal unit pelayanan.
▪Membantu dalam perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas, alat
kedokteran dan obat-obatan kebutuhan di unitnya.
▪Penyusunan dan revisi/ updating panduan asuhan keperawatan prosedur
klinik di unitnya.
2. Mebel
2.1 Rak atau gantungan gaun bersih untuk petugas atau pengunjung.
2.2 Wadah gaun kotor setelah digunakan
2.3 Rak sepatu
2.4 Lemari untuk barang pribadi petugas atau pengunjung
2.5 Wadah limbah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
3. Bahan-bahan
3.1 Sabun
Tersedia sabun dalam jumlah cukup, dianjurkan sabun cair antibakteri dalam
dispenser dengan pompa.
3.2 Pengering
Harus tersedia pengering minimal kertas tisu habis pakai atau pengering elektronik.
Tidak dianjurkan pengering handuk
6
Gambar 1. Area cuci tangan
7
2.1 Selimut penghangat bayi atau plastik pembungkus bayi prematur lengkap dengan topinya,
kering, bersih dan hangat.
3. Fasilitas, alat dan obat-obatan
3.1 Meja untuk meletakan alat resusitasi dan obat-obatan
3.1 Perlengkapan jalan napas (air way):
- Alat penghisap lendir harus ada minimal alat penghisap lendir dinding atau portable
dengan segala kelengkapannya
3.2 Pasokan oksigen dan udara
- Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang
atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase
kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang
tersambung langsung ke blender.
- Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi.
Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan
diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah (low flowmeter) dan tinggi
(high flowmeter)
3.4 Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:
3.4.1 Alat pembebas jalan napas:
- Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR
- Harus ada balon penghisap lendir atau mucous extractor untuk penghisapan lendir
sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan
- Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran
5FR dan 8FR.
- Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan
digunakan.
- Bola lampu laringoskop cadangan
- Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1
3.4.2 Alat pemberi oksigenisasi:
- Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik -
Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan -
Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif.
- Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan
gunting untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif.
3.4.3 Alat monitor
- Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable.
- Stetoskop bayi atau anak
3.4.4 Obat-obatan:
- Alat sunti/spuit 1cc; 2,5cc; 3cc; 5cc; 10cc; 20cc; 50cc
- Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000)
- Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL)
3.4.5 Alat penunjang sirkulasi dan cairan:
- Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap
- Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR -
Three-way stopcock
- Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate
- Topi
- Masker
8
- Kaca mata google
- Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang
- Gaun plastic
- Sepatu pelindung
9
A. Dokter spesialis anak
• Kompetensi: tingkat spesialistis untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap
profesional di bidang neonatologi.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
o Tatakelola klinis neonatus dengan tingkat kompetensi spesialistis yang direkam
dalam cacatan medis pasien.
o Tatakelola manajemen dan program: membantu melancarkan kinerja fasilitas
kesehatan dalam tatakelola manajemen neonatus dan kinerja sistem rujukan
neonatus di regional wilayah kerjanya.
10
Tidak dianjurkan pengering handuk
2.2 Jam dengan fasilitas stop watch sebagai penunjuk waktu yang tepat dan berfungsi baik.
2.3 Selimut penghangat bayi atau plastik pembungkus bayi prematur lengkap dengan topi,
kering, bersih dan hangat.
3. Fasilitas, alat dan obat-obatan
3.1 Meja untuk meletakan alat resusitasi dan obat-obatan
3.1 Perlengkapan jalan napas (air way):
- Alat penghisap lendir harus ada minimal alat penghisap lendir dinding atau portable
dengan segala kelengkapannya.
3.2 Pasokan oksigen dan udara
- Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang
atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase
kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang
tersambung langsung ke blender.
- Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi.
Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan
diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi
11
3.4 Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:
3.4.1 Alat pembebas jalan napas:
- Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR
- Harus ada balon penghisap lendir atau mucous ectractor untuk penghisapan lendir
sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan
- Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran
5FR dan 8FR.
- Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan
digunakan.
- Bola lampu laringoskop cadangan
- Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1
3.4.2 Alat pemberi oksigenisasi:
- Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik -
Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan -
Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif.
- Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan
guntingnya untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif.
3.4.3 Alat monitor
- Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable.
- Stetoskop bayi atau anak
3.4.3 Obat-obatan:
- Alat suntik /spuit 1cc; 2,5 cc; 3 cc; 5 cc; 10 cc; 20 cc; 50cc
- Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000)
- Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL)
3.4.4 Alat penunjang sirkulasi dan cairan:
- Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap
- Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR
- Three-way stopcock
- Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate
12
1.1 Spesifikasi ruang
- Lokasi ruang harus berdekatan dengan kamar operasi, dan merupakan bagian atau
bersebelahan dengan kamar bersalin.
- Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah
sakit, terutama untuk menuju ruang perawatan neonatus maupun ruang rawat
gabung (ruang rawat bayi sehat gabung dengan perawatan ibu pasca lahir).
- Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m2 untuk setiap inkubator
pasien dan perlengkapannya.
- Lokasi tersendiri, tetapi mudah dijangkau oleh keluarga yang ingin menjenguknya.
- Prosedur menjenguk hanya dapat melalui jendela kaca. Struktur fisik didisain
sedemikian rupa menyerupai aquarium, karena yang dapat masuk ruangan hanya
ayah bayi baru lahir pada saat melaksanakan komunikasi, informasi edukasi tentang
bayinya segera setelah lahir.
1.2 Pencahayaan
Secara umum nyaman dan terang sehingga pengunjung dapat melihat dari luar ruang
ke segala arah.
1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal tiga steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai
untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.
1.5 Tersedia sumber oksigen dan udara yang siap pakai apabila terjadi kegawatan pada
neonatus
1.6 Tersedia sumber tekanan negatif untuk alat hisap lendir yang siap pakai apabila
terjadi kegawatan pada neonatus
2.2 Meja
Tersedia tiga meja:
- Meja trolley pertama untuk meletakkan kotak resusitasi dan kelengkapannya.
Apabila fasilitas terbatas, kotak resusitasi untuk kamar bersalin dan kamar operasi
diletakkan dan disimpat di ruang transisi.
- Meja trolley kedua untuk meletakkan perlengkapan antropometri (timbangan berat
badan analog atau digital, alat pengukur panjang badan, pita pengukur lingkar
kepala), alat untuk pemeriksaan laboratorium pada pelayanan neonatal esensial.
- Meja ketiga di area administrasi, selain untuk keperluan administrasi juga untuk
melakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.
2.3 Kursi
- Harus ada tiga kursi di area administrasi dan edukasi yang berfungsi baik.
2.4 Wadah sampah tertutup dengan kantong plastik, terdiri dari sampai organik,
nonorganik dan sampai infeksius.
2.5 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik (dilengkapi hitungan detik)
13
3.1
Alat periksa:
- Stetoskop bayi atau anak
- Termometer
- Alat pengukur saturasi oksigen (oximeter)
Alat dan jarum suntik serta swab alkohol untuk memberikan:
- Vitamin K1
- Imunisasi Hepatitis B
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan golongan darah/ Rh, darah rutin lengkap,
gula darah
3.2
Inkubator, asuhan normal
- Paling sedikit harus ada 2 inkubator yang berfungsi baik.
- Jarak satu inkubator dengan yang lain minimal 1m2 - Inkubator
transport
3.3 Penghangat (Radiant warmer)
- Paling sedikit harus ada satu penghangat yang berfungsi baik.
Cairan pencuci tangan
Gambar 3. Ruang
Transisi
1.2 Pencahayaan
14
Secara umum nyaman, pencahayaan terang hanya disekitar inkubator untuk
melaksanakan prosedur klinis pada bayi
1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal enam steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai
untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.
1.5 Sumber oksigen dan udara pada dinding untuk satu inkubator
1.6 Sumber tekanan negatif untuk alat hisap dinding untuk satu inkubator
1.7 Kebersihan selalu terjaga setiap waktu
1.8 Lampu darurat
1.9 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik (dilengkapi hitungan detik)
Harus ada alat bantu ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIB):
- Ventilator mekanik konvensional.
2.4 Inkubator
2.5 Radiant warmer
2.6 Monitor bed-side
2.7 Infusion pump
2.8 Syringe pump
2.9 Kursi kangaroo care dan perlengkapannya
2.10 Unit terapi sinar
- Paling sedikit harus ada satu unit terapi sinar yang berfungsi baik untuk setiap tiga
inkubator atau tempat tidur bayi
15
2.11 Timbangan bayi
- Paling sedikit harus ada satu timbangan bayi yang berfungsi baik di setiap ruangan.
2.12 Stetoskop
- Harus ada stetoskop yang berfungsi baik untuk setiap tiga inkubator atau tempat tidur
bayi
2.13 Cairan pencuci tangan
2.14 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik,
infeksius.
3. Area tempat meletakkan troley emergency dengan segala kelengkapan yang siap
pakai
4. Ruang penyimpanan dan peracikan obat
Memiliki lemari instrument tempat menyimpan bahan-bahan habis pakai dan
obatobatan
4.1 Gaun
4.2 Masker
4.3 Sarung tangan
4.4 Alat suntik /spuit 1 cc, 2,5 cc, 3 cc , 10 cc, 20 cc, 50cc
4.5 Pipa minum, ukuran 5 Fr dan 8 Fr
4.6 Pipa penghisap lendir, ukuran 6 dan 8
4.7 Kanula, ukuran 22 dan 24
4.8 Kateter umbilikus, ukuran 3 ½, 5, 8
4.9 Masker oksigen neonatus
4.1 Terapi oksigen :
0 • Nasal kanul high flow
• Nasa kanul low flow
16
4.2 Lemari es
1
5. Ruang tindakan memiliki perlengkapan:
5.1 Meja atau tempat tidur untuk melakukan tindakan
5.2 Lampu tindakan
5.3 Cairan pencuci tangan
5.4 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
6. Ruang konsultasi
Mebel
6.1 Meja
- Untuk keperluan komunikasi informasi dan edukasi -
Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
6.2 Kursi
- Harus ada tiga kursi yang berfungsi baik.
7. Ruang administrasi
7.1 Meja
- Untuk keperluan administras
- Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
17
7.2 Kursi
- Harus ada kursi yang berfungsi baik.
Gambar 4. Unit layanan neonatus tingkat III. Perbedaan di unit layanan tingkat II
pada tunjangan ventilasi non-invasif.
E. Area laktasi
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Paling kecil, ruangan berukuran 6 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
2. Mebel
2.1 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
18
2.2 Kursi (1-3)
-Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.
Gambar 5. Area laktasi (contoh gambar ada wastafel, tempat duduk nyaman)
19
1.3.3 Unit layanan neonatus tingkat III (di fasilitas kesehatan
tersier/ rumah sakit)
1.3.3.1 Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti profesi
medis, bidan dan perawat di layanan neonatus tingkat IIIA.
• Kompetensi: tingkat spesialistis dengan tambahan pelatihan manajemen tingkat III
untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap profesional di bidang neonatologi.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
o Tata kelola klinis neonatus dengan tingkat kompetensi subspesialistis terbatas
yang direkam dalam cacatan medis pasien.
o Tata kelola manajemen dan program: membantu melancarkan kinerja fasilitas
kesehatan dalam tatakelola manajemen neonatus dan kinerja sistem rujukan
neonatus di regional wilayah kerjanya.
20
- Ruang rawat atau tindakan neonatus di rumah sakit: IGD, kamar bersalin, kamar
operasi, ruang transisi, ruang rawat gabung.
1.2 Kebersihan harus terjaga dengan struktur yang mudah dibersihkan.
1.3 Pencahayaan terang dan nyaman
1.4 Ventilasi optimal dengan aliran udara bebas yang maksimal
1.5 Wastafel
Ukuran besar untuk menampung cipratan air saat melakukan cuci tangan, dengan
aliran air limbah yang lancer, memiliki kran yang dioperasikan dengan siku atau
lengan.
2. Mebel
2.1 Rak sepatu
2.2 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
3. Bahan-bahan
3.1 Sabun
Tersedia sabun dalam jumlah cukup, dianjurkan sabun cair antibakteri dalam
dispenser dengan pompa.
3.2 Pengering
Harus tersedia pengering minimal kertas tisu habis pakai Tidak
dianjurkan pengering handuk
21
3.1 Pasokan oksigen dan udara
- Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang
atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase
kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang
tersambung langsung ke blender.
- Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi.
Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan
dan diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi
Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan
diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi invasif
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi
1 3.5 Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:
22
- Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate
3.6 Alat pelindung diri:
- Topi
- Masker
- Kaca mata google
- Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang
- Gaun plastik
- Sepatu pelindung
3.7 Pengatur suhu ruangan dan penghangat meja resusitasi:
- AC yang siap pakai suhu diatur antara 24-28ºC
- Termometer ruangan
- Penghangat (Radiant warmer) yang berfungsi dengan baik
- Topi bayi, selimut untuk pembungkus bayi, selimut untuk pembersih dan selimut
untuk alat, serta plastik untuk penghangat bayi prematur
3.8 Inkubator transport atau kain/ gaun metode kanguru
3.9 Laboratorium penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium darah lengkap sederhana
- Pemeriksaan laboratorium gula darah
23
- Lokasi tersendiri, tetapi mudah dijangkau oleh keluarga yang ingin menjenguknya.
- Prosedur menjenguk hanya dapat melalui jendela kaca. Struktur fisik didisain
sedemikian rupa menyerupai aquarium, karena yang dapat masuk ruangan hanya
ayah bayi baru lahir pada saat melaksanakan komunikasi, informasi edukasi tentang
bayinya segera setelah lahir.
1.2 Pencahayaan
Secara umum nyaman dan terang sehingga pengunjung dapat melihat dari luar ruang ke
segala arah.
1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal tiga steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai untuk
kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.
1.5 Tersedia sumber oksigen dan udara yang siap pakai apabila terjadi kegawatan pada
neonatus
1.6 Tersedia sumber tekanan negatif untuk alat hisap lendir yang siap pakai apabila terjadi
kegawatan pada neonatus
1.7 Kebersihan terjaga setiap waktu
1.8 Lampu darurat
1.9 Memiliki area cuci tangan yang memenuhi kebutuhan dan siap pakai.
2. Mebel
2.1 Lemari instrumen Tersedia
dua:
- Lemari linen, set alat steril.
- Lemari alat kedokteran, bahan habis pakai dan obat-obatan untuk pelayanan neonatal
esensial.
2.2 Meja
Tersedia tiga meja:
- Meja trolley pertama untuk meletakkan kotak resusitasi dan kelengkapannya.
- Meja trolley kedua untuk meletakkan perlengkapan antropometri (timbangan berat
badan digital, alat pengukur panjang badan, pita pengukur lingkar kepala), alat untuk
pemeriksaan laboratorium pada pelayanan neonatal esensial.
- Meja ketiga di area administrasi, selain untuk keperluan administrasi juga untuk
melakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.
2.3 Kursi
- Harus ada tiga kursi di area administrasi dan edukasi yang berfungsi baik.
2.4 Wadah sampah tertutup dengan kantong plastik, terdiri dari sampai organik, nonorganik
dan sampai infeksius.
2.5 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik.
3. Fasilitas, alat kedokteran dan obat-obatan
3.1 Alat periksa:
- Stetoskop
- Termometer
- Alat pengukur saturasi oksigen (oximeter)
Alat dan jarum suntik serta swab alkohol untuk memberikan:
- Vitamin K1
- Imunisasi Hepatitis B
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan golongan darah/ Rh, darah rutin lengkap,
gula darah
3.2 Inkubator, asuhan normal
- Paling sedikit harus ada 2 inkubator yang berfungsi baik.
- Jarak satu inkubator dengan yang lain minimal 1m2 - Inkubator
transport
3.3 Penghangat (Radiant warmer)
- Paling sedikit harus ada satu penghangat yang berfungsi baik.
3.4 Cairan pencuci tangan
24
D. Ruang perawatan untuk layanan neonatus tingkat III
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Lokasi ruang harus bersebelahan dan satu lantai dengan kamar bersalin dan kamar
operasi.
- Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah
sakit, terutama untuk menuju ruang rawat gabung (ruang perawatan ibu pasca
lahir).
- Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m2 untuk setiap inkubator
pasien dan perlengkapannya.
- Ruang terdiri dari: o Area perawatan
25
- Minimal satu alat pencampur oksige (blender oxygen) dengan regulatornya.
2.3 Alat bantu ventilasi:
Harus ada alat ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIA):
- t-piece resuscitator
- CPAP dengan segala perlengkapannya.
Harus ada alat bantu ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIB):
- Ventilator mekanik konvensional.
- High Frequency Ventilatior - High Frequency Oscillator
2.4 Inkubator
2.5 Radiant warmer
2.6 Monitor bed-side
2.7 Infusion pump
2.8 Syringe pump
2.9 Kursi kangaroo care dan perlengkapannya
2.12 Stetoskop
- Harus ada stetoskop yang berfungsi baik untuk setiap tiga inkubator atau tempat tidur
bayi
2.13 Cairan pencuci tangan
2.14 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik,
infeksius.
3. Area tempat meletakkan troley emergency dengan segala kelengkapan yang siap
pakai
4. Ruang penyimpanan dan peracikan obat
Memiliki lemari instrument tempat menyimpan bahan-bahan habis pakai dan
obatobatan
4.1 Gaun
4.2 Masker
4.3 Sarung tangan
4.4 Alat suntik /spuit 1cc, 2,5 cc, 3 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc, 50cc
4.5 Pipa minum, ukuran 5 Fr dan 8 Fr
4.6 Pipa penghisap lendir, ukuran 6 dan 8 Fr
4.7 Kanula, ukuran 22 dan 24
4.8 Kateter umbilikus, ukuran 3 ½, 5, 8
4.9 Masker oksigen neonatus
4.1 Head box / t-piece reuscitator
0
4.1 Penutup mata untuk terapi sinar
1
4.1 Popok sekali pakai (Pampers)
2
4.1 Penutup sepatu sekali pakai
3
4.1 Betadine/alkohol untuk disinfeksi
4
4.1 Kantung plastik untuk wadah sampah besar
5
26
4.1 Cairan infus
6 - Dextrose 5%, 10%, 40%
- NaCL 0,9%; NaCl 3%
- KCl 7,4%
- Ca glukonas 10% - Ringer Lactate
4.1 Cairan nutrisi parenteral
7 - Solusio asam amino 6%
- Intralipid 20%
4.1 Antibiotik
8 - Ampisilin
- Gentamisin
4.1 Obat respirasi -
9 Aminofilin
4.2 Kardiotonik
0 - Dopamin
- Dobutamin - Epinefrin
4.2 Lemari es
1
5. Ruang tindakan memiliki perlengkapan:
5.1 Meja atau tempat tidur untuk melakukan tindakan
5.2 Lampu tindakan
5.3 Cairan pencuci tangan
5.4 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
6. Ruang konsultasi
Mebel
6.1 Meja
- Untuk keperluan komunikasi informasi dan edukasi -
Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
6.2 Kursi
- Harus ada tiga kursi yang berfungsi baik.
7. Ruang administrasi
7.1 Meja
- Untuk keperluan administras
- Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
7.2 Kursi
- Harus ada kursi yang berfungsi baik.
E. Area laktasi
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Paling kecil, ruangan berukuran 6 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
2. Mebel
2.1 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
2.2 Kursi (1-3)
-Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.
27
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
-Paling kecil, ruangan berukuran 6-8 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
1.6 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
2.2 Sistem database catatan medis pasien yang dapat diakses dan disimpan kembali setiap
waktu
3. Aset tenaga manusia
3.1 Jumlah, gambaran tugas dan pembagian waktu
28
3.1.1 Pelayanan neonatus tingkat I di fasilitas kesehatan primer: seorang dokter sebagai
DPJP yang bertanggung jawab selain untuk tatakelola klinis, juga memiliki tugas pokok dan
fungsi untuk tatakelola manajemen dan program lintas sekoral berhubungan dengan sistem
rujukan
Pelayanan neonatus tingkat IIA, di rumah sakit tipe D dan tipe C: minimal seorang
dokter spesialis anak yang dibantu oleh dokter, perawat dan bidan.
• Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite
medik:
o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat II (pelayanan neonatal
spesialistik)
o Waktu kerja minimal 6 jam kerja on-site, 18 jam kerja on-call dengan
pendelegasian kewenangan kepada dokter jaga.
• Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur
manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran
direktur rumah sakit
• Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas
kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan
setempat dan jajaran lintas sektoral terkait.
Pelayanan neonatus tingkat IIIA, IIIB di rumah sakit tipe B: minimal seorang dokter
spesialis anak dengan kompetensi tambahan dari pelatihan perawatan intensif neonatus
yang dibantu oleh dokter, perawat dan bidan.
• Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite
medik:
o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat III minimal didapat
dari pelatihan tambahan pelayanan neonatus subspesialistik atau yang
setingkat)
o Idealnya ada DPJP dengan waktu kerja 24 jam on-site. Apabila jumlah
tenaga tidak memadai dapat disesuaikan dengan kondisi setempat yang
disetujui oleh komite medik dan disahkan oleh direktu RS setempat
dengan adanya konsulen jaga on-call dengan pendelegasian
kewenangan kepada dokter jaga.
• Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur
manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran
direktur rumah sakit
• Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas
kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan
setempat dan jajaran lintas sektoral terkait.
Pelayanan neonatus tingkat IIIC, IIID di rumah sakit tipe A: minimal seorang dokter
spesialis anak konsultan neonatologi yang dibantu oleh dokter spesialis anak, dokter,
perawat dan bidan.
• Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite
medik:
o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat III yang didapat dari
pendidikan subspesialistik/ konsultan neonatologi.
o Idealnya ada DPJP dengan waktu kerja 24 jam on-site. Apabila jumlah
tenaga tidak memadai dapat disesuaikan dengan kondisi setempat yang
disetujui oleh komite medik dan disahkan oleh direktu RS setempat
dengan adanya konsulen jaga on-call dengan pendelegasian
kewenangan kepada dokter jaga.
• Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur
manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran
direktur rumah sakit
• Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas
kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan
setempat dan jajaran lintas sektoral terkait.
3.1.2 Dokter yang melaksanakan tugas jaga dengan mendapat pendelegasian kewenangan dari
DPJP /shift *
3.1.3 Proporsi perawat di pelayanan neonatus tingkat II:
Satu perawat/ 3-4 inkubator/ shift
29
Porporsi perawat di pelayanan neonatus tingkat III:
Satu perawat/ 2 inkubator/ shift
3.2 Berikut ini adalah kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh petugas di pelayanan
neonatus tingkat I, II dan III
3.2.1 Pelatihan manajemen neonatus tingkat II untuk dokter, dokter spesialis anak Pelatihan
manajemen neonatus tingkat II untuk perawat
3.2.2 On the job training manajemen neonatal tingkat II untuk dokter, dokter spesialis anak
On the job training manajemen neonatal tingkat II untuk perawat
3.2.3 Pelatihan manajemen neonatus tingkat III untuk dokter, dokter spesialis anak
Pelatihan manajemen neonatus tingkat III untuk perawat
3.2.4 On the job training manajemen neonatal tingkat III untuk dokter, dokter spesialis anak
On the job training manajemen neonatal tingkat III untuk perawat
3.2.5 Program pendidikan subspesialistik/ konsultan di bidang neonatologi
3.3. Program pendidikan kedokteran berkelanjutan di bidang neonatologi secara periodik
4. Manajemen perencanaan, pemeliharaan dan penggantian fasilitas kesehatan, alat
kedokteran dan obat-obatan
BAB II
30
2.1 Rujukan berjenjang
Pada era JKN pelayanan kesehatan harus dilakukan berjenjang menurut tingkat
kompetensi dan fasilitas pendukung. Dimulai dari pelayanan kesehatan di fasilitas
kesehatan (faskes) tingkat primer dengan kompetensi dasar, faskes sekunder dengan
kompetensi spesialis dan faskes tersier dengan kompetensi subspesialis. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Perorangan menyebutkan bahwa sistem rujukan pelayanan
kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur
pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik
vertikal maupun horisontal.
31
yang sampai saat ini masih digunakan dalam pelaksanaan JKN. Tujuan sistem ini adalah
dalam rangka pengendalian biaya kesehatan, mendorong peningkatan mutu sesuai
standar, membatasi pelayanan kesehatan yang tidak diperlukan, mempermudah
administrasi klaim, adanya kendali biaya.
5) Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) meliputi klinik utama atau
yang setara, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus.
32
10) Sumber daya adalah segala dukungan berupa material, tenaga, pengetahuan,
teknologi dan/atau dukungan lainnya yang digunakan untuk menghasilkan
manfaat dalam pelayanan kesehatan.
11) Peserta bayi baru lahir dalam JKN menurut Pasal 16 Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan adalah apabila
didaftarkan kepada BPJS Kesehatan paling lama 28 hari setelah dilahirkan.
33
melampaui standar mutu yang ada, mengurangi variasi yang tidak diperlukan dalam
praktek klinik, memperbaiki komunikasi antara klinisi dan pasien, meningkatkan
kepuasan pasien, identifikasi masalah riset dan pengembangan.
1. Rekapitulasi pelayanan
2. Berkas pendukung masing-masing pasien, yang terdiri dari:
• Surat eligibilitas peserta (SEP)
• Surat perintah rawat inap
3. Resume medis yang ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP)
4. Bukti pelayanan lain yang ditandatangani oleh DPJP (bila diperlukan), misal:
• Laporan operasi
• Protokol terapi dan regimen (jadwal pemberian obat) pemberian obat khusus
• Perincian tagihan rumah sakit
• Berkas pendukung lain yang diperlukan
Dalam alur baku, setelah selesai pelayanan dalam satu bulan, kemudian RS
menyusun dan mengajukan berkas klaim. Pekerjaan menyusun berkas klaim ini
dilakukan oleh pihak RS dengan menyertakan proses verifikasi internal oleh stafnya
untuk selanjutnya berkas klaim diserahkan untuk diverifikasi oleh verifikator eksternal
dari BPJS Kesehatan. Dalam proses verifikasi oleh BPJS Kesehatan, sebagian berkas tidak
langsung disetujui dan dapat dikembalikan ke RS untuk diperbaiki dan dilengkapi,
sementara proses klaim akan ditunda (pending claim). Bila sudah dilengkapi namun
34
masih belum disetujui, sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat atau persepsi antara
verifikator internal RS dan eksternal (BPJSK), dan masuk dalam “Dispute
Claim”. Terhadap dispute claim ini, dapat dicari jalan keluar dengan dilakukan
diskusi bersama Tim Kendali Mutu Kendali Biaya (TKMKB), Dewan pertimbangan Medis
(DPM), Dewan Pertimbangan Klinis/ Clinical Advisory Board (CAB) yang difasilitasi
oleh BPJS Kesehatan mulai dari level cabang sampai pusat.
Beban verifikasi oleh BPJS Kesehatan makin berat seiring bertambah banyaknya
jumlah peserta JKN , jumlah Faskes dan variasi kasus penyakit. Untuk standarisasi dan
percepatan proses verifikasi, BPJS Kesehatan mengembangkan sistem Verifikasi di
Kantor (Vedika), yaitu sebuah sistem untuk proses verifikasi dan klaim dari Fasilitas
Kesehatan, salah satu tujuan vedika adalah untuk mengurangi kegiatan yang
dioperasikan secara manual.
35
Gambar 8. Kaidah penulisan resume medik
sesuai National Casemix Center (NCC)
36
3. Ketidaklengkapan berkas rekam medis, misalnya : Tidak ada laporan operasi /
tindakan medis lainnya dan hasil penunjang diagnosis .
4. Resume medis tidak lengkap, misalnya :
• Diagnosis dan prosedur tidak terisi
• Tanda tangan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) tidak ada.
5. Ketidaklengkapan berkas klaim
6. Perbedaan persepsi terhadap peraturan dan verifikasi klaim antara petugas BPJS
dengan petugas RS (Diagnosis penyakit dan tindakan, kelengkapan berkas klaim,
dan lain lain).
4. Pembiayaan.
Berkas rekam medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk menetapkan
pembiayaan dalam pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan. Catatan tersebut
dapat dipakai sebagai bukti pembiayaan kepada pasien.
5. Statistik kesehatan.
Rekam medis dapat digunakan sebagai bahan statistik kesehatan, khususnya untuk
mempelajari perkembangan kesehatan masyarakat dan untuk menentukan jumlah
penderita pada penyakit- penyakit tertentu
37
Salah satu tujuan dari rekam medis adalah pembiayaan rumah sakit,
dilaksanakannya program JKN mulai tanggal 1 Januari 2014 diterapkan metode
pembayaran prospektif dengan INA-CBGs, maka ketepatan koding diagnosis dan
prosedur sangat berpengaruh terhadap hasil grouper dalam aplikasi INA-CBG. Kodefikasi
diagnosis dan tindakan/prosedur yang ditulis oleh dokter selama merawat pasien sesuai
dengan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9CM untuk tindakan/prosedur yang bersumber
dari rekam medis pasien dan dilakukan oleh Perekam medis atau petugas Casemix.
Perekam Medis dan dokter harus paham ICD 10 dan ICD 9- CM. Perekam medis harus
selalu berkoordinasi dengan dokter bila menemukan ketidakjelasan dalam penulisan
diagnosis. Ketidaktepatan dalam pengkodean, dapat menyebabkan kerugian finansial
berdampak pada perhitungan biaya rumah sakit. Kodefikasi diagnosis dan tindakan/
prosedur di bidang Neonatologi dapat dilihat pada Lampiran 1.
38
BAB III PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN
Pada periode 2018 ada tiga PNPK di bidang neonatologi yang sudah ditanda
tangani oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia yaitu:
1. PNPK bayi berat lahir rendah (BBLR) untuk resusitasi, stabilisasi dan
transport.
2. PNPK asfiksia
3. PNPK hiperbilirubinemia.
BAB I
PENDAHULUAN
39
the two third rule atau aturan 2/3, yang maksudnya 2/3 AKB berasal dari
angka kematian neonatus. Berikutnya dari angka kematian neonatus, 2/3
kematian terjadi dalam usia kurang dari 1 minggu, dan 2/3 dari angka tersebut
meninggal dalam 24 jam pertama.2,3 Dengan demikian aturan ini
memperlihatkan bahwa kematian neonatus merupakan komponen utama
kematian bayi dan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya AKB. 1,4
Di Indonesia, Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan
AKB sebesar 22,23 per 1.000 kelahiran hidup, yang artinya sudah mencapai
target MDG 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan angka
kematian neonatus (AKN) 19 per 1.000 kelahiran hidup tidak berbeda jauh
dengan SDKI tahun 2007 yaitu 20 per 1.000 kelahiran.5 Bayi berat lahir rendah
(BBLR) memiliki mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bayi berat lahir normal, tidak hanya pada periode neonatal melainkan juga
selama masa bayi dan masa anak. Angka kelahiran BBLR di dunia adalah 15,5%
atau sekitar 20 juta bayi setiap tahunnya. Sebanyak 95,6% kelahiran BBLR terjadi
di negara berkembang dan 18,3% di antaranya terjadi di Asia. 4,6
Berat lahir rendah menurut World Health Organization (WHO)
adalah berat lahir <2500 g. Batasan 2500 g ini berdasarkan data epidemiologis
bahwa bayi dengan berat <2500 g berisiko mengalami kematian 20 kali lebih
besar dibanding bayi dengan berat >2500 g.7 Berat lahir rendah dapat terjadi
akibat kelahiran prematur (kurang dari usia gestasi 37 minggu), pertumbuhan
janin yang terhambat, atau keduanya.6,7 Berat lahir rendah sangat berpengaruh
terhadap tingginya mortalitas dan morbiditas masa neonatal serta gangguan
pertumbuhan dan perkembangan.8-10
Besaran masalah ekonomi yang timbul akibat berat lahir rendah tergambar dari
satu analisis biaya di Kanada (1995). Untuk tiap BBLR, biaya perawatan selama
satu tahun pertama termasuk perawatan NICU adalah $48.183. Khusus BBLR
yang lahir prematur, biaya untuk menghadapi berbagai disabilitas permanen
akibat berbagai masalah perinatal adalah $676.800.11 Di Amerika Serikat
pembiayaan kesehatan BBLR ini mencapai 10% dari seluruh pembiayaan
kesehatan bagi populasi anak usia 0-15 tahun,12 dengan laporan biaya medis,
pendidikan, dan kehilangan produktivitas orangtua berkisar $ 26.2 milyar. 13 Italia
mendapatkan data rata-rata biaya perawatan bayi berat lahir sangat rendah
€20,502 (standar deviasi= SD €8409) dengan rata-rata lama rawat
59,7 hari (SD 21,6 hari).14
1.2. Permasalahan
Upaya menurunkan angka kejadian BBLR senantiasa dilakukan, terutama dari
aspek nutrisi selama kehamilan. Namun upaya tersebut masih belum berhasil
menurunkan angka kejadian BBLR secara bermakna, bahkan di negara maju
sekalipun.15 Demikian pula di Indonesia, jika diamati dari bayi lahir, prevalensi
40
bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) berkurang dari 11,1 persen tahun
2010 menjadi 10,2 persen tahun 2013.16
Asupan energi dan protein yang tidak mencukupi pada ibu hamil dapat
menyebabkan Kurang Energi Kronis (KEK). Ibu hamil dengan KEK berisiko
melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). Anemia pada ibu hamil dihubungkan
dengan meningkatnya kelahiran prematur, kematian ibu dan anak dan penyakit
infeksi. Anemia defisiensi besi pada ibu dapat memengaruhi pertumbuhan dan
berkembangan janin/bayi saat kehamilan maupun setelahnya.17
Di Indonesia, berat lahir rendah akibat kurang bulan adalah penyebab nomor 3
kematian masa perinatal di rumah sakit pada tahun 2005. 18 Riset Kesehatan
Dasar Departemen Kesehatan (2007) menyebutkan kematian bayi baru lahir usia
0-6 hari paling banyak disebabkan oleh gangguan pernapasan/asfiksia (37%),
prematuritas (34%), dan sepsis (12%).19
Hal ini menunjukkan bahwa upaya resusitasi dan mengatasi gangguan
pernapasan di awal kehidupan atau segera pasca-lahir merupakan faktor penting
dalam menurunkan mortalitas bayi baru lahir. Tata laksana saat kelahiran BBLR
sangat menentukan prognosis, bukan saja dalam harapan hidup, melainkan juga
dalam morbiditas jangka panjang. Meta-analisis oleh Laswell et al 20 (2010)
menunjukkan bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu bayi dengan berat
lahir <1500 g, memiliki risiko kematian yang lebih tinggi jika lahir bukan di rumah
sakit dengan fasilitas perawatan neonatal level III. Morbiditas BBLSR tersebut
juga meningkat, hal ini berhubungan dengan tingginya kejadian perdarahan
intraventrikular dan leukomalasia periventrikular, yang berkaitan dengan
kelainan perkembangan saraf.21
Studi morbiditas jangka panjang lainnya dilakukan oleh Ribeiro et al. 22 (2011)
terhadap 1288 subyek BBLR (<2500 g) dengan usia gestasi <38 minggu, dan
menyimpulkan bahwa berat lahir rendah bersama prematuritas merupakan
risiko gangguan berbahasa pada usia 18-36 bulan. Studi oleh Robertson et al. 23
(2009) pada 1279 anak yang lahir sangat prematur (usia gestasi ≤28 minggu dan
berat lahir <1250 g), menemukan ketulian pada 3,1% kasus serta gangguan
pendengaran sedang dan berat pada 1,9% kasus. Studi tersebut menyimpulkan
bahwa penggunaan oksigen jangka lama merupakan faktor prediktor yang paling
penting untuk terjadinya gangguan pendengaran.
Kesintasan BBLR kini makin baik berkat penggunaan surfaktan dan steroid
maternal, serta kemajuan teknologi perawatan neonatal dalam 50 tahun
terakhir.24 Di negara maju bahkan viabilitas BBLR dapat tercapai mulai kelahiran
usia gestasi 23 minggu.25 Meskipun mortalitas menurun, proporsi BBLR hidup
yang kemudian mengalami gejala sisa berat seperti penyakit paru kronik, 26,27
kelainan ginjal,28,29 gangguan kognitif dan gangguan perilaku,30 palsi serebral,
serta defisit neurosensorik termasuk kebutaan 31 dan ketulian26 ternyata tetap
besar.
41
Komplikasi akut pada masa perinatal dapat berakibat gejala sisa berat pada
jangka panjang dan memengaruhi kualitas hidup pasien maupun keluarganya. 32
Bayi berisiko seperti BBLR harus ditangani di fasilitas perawatan yang sesuai
dengan kebutuhan medisnya, sehingga memfasilitasi tercapainya luaran yang
optimal. American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan
pembagian level perawatan bayi baru lahir menjadi level I, II, dan III berdasarkan
tingkat kemampuan fasilitas tersebut dalam menangani bayi baru lahir.33
Level I (pelayanan neonatal dasar) mampu melakukan stabilisasi dan
merawat bayi baru lahir usia gestasi 35-37 minggu yang secara fisiologis stabil,
serta stabilisasi usia gestasi <35 minggu maupun bayi baru lahir sakit sampai
dapat dirujuk ke fasilitas perawatan yang memadai. Level II (pelayanan neonatal
spesialistik) mampu merawat bayi baru lahir usia gestasi >32 minggu dan berat
lahir >1500 g yang memiliki fungsi fisiologis yang imatur (apne of prematurity,
tidak mampu mempertahankan suhu tubuh, dan tidak mampu menerima diet
per oral (PO), sakit sedang dengan masalah yang diperkirakan akan membaik
dalam waktu singkat dan tidak akan memerlukan perawatan subspesialistik, serta
dalam pemulihan pasca-perawatan intensif. Level III (pelayanan neonatal
subspesialistik) adalah NICU dengan kelengkapan petugas dan peralatan yang
mampu menyediakan continuous life support dan perawatan yang
komprehensif untuk bayi baru lahir berisiko sangat tinggi serta bayi dengan sakit
kompleks dan kritis.34 Level IV (pelayanan neonatal subspesialistik) mampu
menangani kasus di level III dan dapat menangani kasus kelainan kongenital
kompleks atau kelainan didapat. Di level IV kasus-kasus bedah subspesialis dapat
segara ditangani dengan adanya tenaga konsultan pediatrics
anesthesiologist dan konsultan bedah anak on site.35
Idealnya tindakan merujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih baik dilakukan pada
ibu hamil berisiko tinggi, sehingga bayi yang lahir bermasalah segera
memperoleh penanganan yang memadai di NICU. Faktanya mayoritas kelahiran
bayi bermasalah termasuk BBLR terjadi di pelayanan kesehatan tanpa fasilitas
yang memadai.36,37 Pada 30-50% kasus bayi lahir yang akhirnya memerlukan
perawatan NICU, ibu hamil baru datang ke fasilitas kesehatan pada masa
intrapartum akhir, sehingga tindakan merujuk ibu pada saat itu justru akan
berisiko.38 Riskesdas 2013 mendapatkan anemia terjadi pada 37,1% ibu hamil di
Indonesia, 36,4% ibu hamil di perkotaan dan 37,8% ibu hamil di perdesaan. 17
Mortalitas BBLR akan berhasil diturunkan jika ada koordinasi yang baik antara
pelayanan kesehatan berbasis komunitas dengan rumah sakit. Bayi prematur
yang bermasalah dapat mengalami kematian akibat ketiadaan fasilitas, SDM, dan
mekanisme merujuk yang memadai dari pelayanan tingkat komunitas sampai
dengan pelayanan Level III. Koordinasi yang komprehensif antar pelayanan
kesehatan mutlak diperlukan untuk mengurangi kematian neonatus. 39-46
Faktor yang berpengaruh buruk terhadap kesintasan BBLSR terdiri atas
kelahiran sebelum tiba di rumah sakit,40 skor APGAR rendah,41-46 tidak bernapas
spontan di ruang bersalin,43 intubasi di ruang bersalin,47-49 memerlukan kompresi
dada atau adrenalin di ruang bersalin,42 resusitasi di ruang bersalin,47
42
respiratory distress syndrome (RDS),47 hipotensi,42 dan penggunaan nasal
continuous positive airway pressure (NCPAP).42 Sedangkan faktor yang
berpengaruh memperbaiki kesintasan BBLR adalah kelahiran di fasilitas
kesehatan tersier.48,49 Faktor-faktor tersebut menunjukkan bahwa upaya
resusitasi neonatus yang tepat akan memengaruhi luaran BBLR.
Pada BBLR yang stabil, tata laksana selanjutnya adalah di ruang rawat
gabung. Untuk BBLR bermasalah misalnya mengalami ancaman gagal napas,
gagal sirkulasi atau syok, dan kelainan kongenital berat, maka tata laksana
berikutnya adalah merujuk ke ruang rawat bayi berisiko tinggi atau ke rumah
sakit lain dengan fasilitas unit perinatal yang lengkap.34,38
Bayi berat lahir sangat rendah yang memperoleh perawatan NICU
(meskipun tidak lahir di fasilitas level III tetapi mengalami rujukan),
kesintasannya lebih tinggi 21% dibandingkan dengan BBLSR yang tidak dirawat di
NICU.50 Studi epidemiologi menunjukkan bahwa BBLSR yang lahir di rumah sakit
yang mempunyai fasilitas level III, mencapai kesintasan yang lebih tinggi hingga
51% dibandingkan dengan BBLSR yang lahir di level perawatan neonatal yang
lebih rendah atau BBLSR yang mengalami rujukan.20 Dengan demikian perawatan
di NICU adalah penting untuk kesintasan BBLR, demikian pula merujuk kasus
BBLSR yang bermasalah. Dalam mengerjakan mekanisme merujuk, tenaga
kesehatan harus terlebih dahulu memastikan bahwa BBLR dalam kondisi yang
sudah stabil.
Pedoman ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi langkah-langkah
yang dapat dikerjakan di fasilitas kesehatan primer hingga tersier dalam
menangani kelahiran BBLR, dalam lingkup resusitasi, stabilisasi, dan mekanisme
merujuk. Dengan penerapan rekomendasi ini, BBLR diharapkan mendapat
penanganan yang optimal sesuai degan kondisinya, menurunkan morbiditas
neonatus, dan mengurangi risiko gejala sisa, sehingga BBLR yang hidup akan
memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
1.3. Tujuan
1.3.1.Tujuan umum
Menurunkan mortalitas dan morbiditas BBLR.
1.3.2.Tujuan khusus
a. Membuat pernyataan secara sistematis yang berdasarkan pada bukti
ilmiah (scientific evidence), untuk membantu dokter, bidan, dan
perawat tentang tata laksana BBLR dalam fase resusitasi, stabilisasi,
dan mekanisme merujuk.
43
b. Memberi rekomendasi bagi fasilitas pelayanan kesehatan primer
sampai dengan tersier serta penentu kebijakan untuk penyusunan
protokol setempat atau Panduan Praktik Klinis (PPK), dengan
melakukan adaptasi terhadap Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) ini.
1.4. Sasaran
1) Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses kelahiran BBLR,
termasuk dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat diterapkan di
fasilitas pelayanan kesehatan primer sampai dengan tersier.
2) Pembuat kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan,
serta kelompok profesi terkait.
BAB II
44
METODOLOGI
45
1) Rekomendasi A bila berdasar pada bukti level IA atau IB.
2) Rekomendasi B bila berdasar atas bukti level IC atau II.
3) Rekomendasi C bila berdasar atas bukti level III atau IV.
BAB III
Bayi berat lahir rendah adalah bayi dengan berat lahir (BBLR) <2500 g. 8,10 Bayi
berat lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu bayi berat lahir <1500 g dan bayi berat
lahir amat sangat rendah (BBLASR) adalah bayi berat lahir <1000 g. Makin rendah
usia gestasi dan makin rendah berat lahir bayi, makin berat pula stres fisiologis
dan inflamasi yang dapat dialaminya. Respons tubuh terhadap stres pada
masing-masing kelompok BBLR berdasarkan penggolongan berat lahir berbeda-
beda,24 oleh sebab itu dalam tata laksana resusitasi, stabilisasi, dan mekanisme
merujuk pada tiap kelompok tersebut juga berbeda.
3.1. RESUSITASI
Sekitar 10% bayi membutuhkan intervensi bantuan untuk mulai bernapas
saat lahir dan 1% membutuhkan intervensi yang lebih ekstensif. 51 Panduan baru
untuk resusitasi bayi baru lahir disusun oleh The International Liaison
Committee on Resuscitation (ILCOR), American Heart Association
(AHA), American Academy of Paeditrics (AAP) dan Ikatan Dokter Anak
46
Indonesia (IDAI) 2017 dan menyatakan kunci kesuksesan resusitasi bayi baru lahir
adalah ventilasi yang efektif.18,52,53 Rekomendasi utama resusitasi neonatus
menurut ILCOR, AHA 2015 dan IDAI 2017 adalah sebagai berikut (Gambar 1)
yaitu:ii
• Setiap usaha resusitasi neonatus harus didahului oleh persiapan yang baik.
Persiapan resusitasi meliputi konsultasi antenatal, persiapan tim penolong dan
persiapan tempat beserta alat-alat resusitasi.54-56
• Penilaian awal kondisi bayi sesaat setelah dilahirkan akan menentukan perlu
tidaknya resusitasi neonatus. Penilaian ini berupa penilaian tonus otot dan
usaha nafas. Jika terdapat tonus otot atau usaha napas yang buruk maka bayi
harus segera mendapat resusitasi.18
• Resusitasi harus selalu didahului oleh langkah awal yang terdiri dari
meletakkan bayi dibawah infant warmer, membersihkan jalan napas jika
terdapat sumbatan, mengeringakan dan merangsang taktil dan memosisikan
bayi dalam posisi
menghidu.18,57
47
• Rasio kompresi dada dan ventilasi efektif adalah 3 banding 1.61-66
• Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup bulan atau
mendekati cukup bulan dengan perkembangan kearah terjadinya ensefalopati
hipoksik iskemik sedang atau berat, dengan protokol dan tindak lanjut sesuai
panduan.58
• Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung
selama 10 menit. Banyak faktor berperan dalam keputusan melanjutkan
resusitasi setelah 10 menit.67-71
• Penjepitan tali pusat harus ditunda sedikitnya 30 detik sampai 3 menit untuk
bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Tidak terdapat cukup bukti untuk
merekomendasikan lama waktu penjepitan talipusat pada bayi yang
memerlukan resusitasi.51,54
48
Gambar 1. Algoritma resusitasi bayi baru lahir rekomendasi IDAI. 18
Rekomendasi AHA modifikasi IDAI (2017)18 menyatakan bahwa kita dapat
melakukan penilaian cepat pada bayi baru lahir, yaitu memutuskan seorang bayi
memerlukan resusitasi atau berdasarkan dua karakteristik berikut:
1) Menangis atau bernapas?
49
2) Tonus otot baik?
1. Langkah awal
Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan meletakkan
bayi di bawah penghangat atau radiant warmer, memosisikan bayi pada
posisi menghidu (posisi setengah ekstensi) untuk membuka jalan napas,
membersihkan jalan napas jika perlu, mengeringkan bayi, dan memberi
stimulasi napas. Penggunaan topi dan plastik transparan yang menutupi bayi
(BBLSR) sampai leher dapat digunakan untuk mencegah kehilangan panas
tubuh secara konveksi dan evaporasi.18,54 Membersihkan jalan napas atas
dilakukan sebagai berikut:
50
• Jika cairan amnion jernih, pengisapan langsung pada orofaring segera
setelah lahir tidak dilakukan secara rutin, tetapi hanya dilakukan pada
bayi yang mengalami obstruksi napas dan yang memerlukan VTP. 75,76
• Jika terdapat mekonium dan bayi tidak bugar atau depresi, bukti yang ada
tidak menganjurkan pengisapan trakea secara rutin.60
2. Ventilasi tekanan positif
Pimpinan resusitasi harus segera memberikan VTP bila bayi mengalami apne
atau gasping, atau laju denyut jantung <100 per menit. Ventilasi tekanan
positif (VTP) yang dilakukan harus efektif sehingga mampu mengembalikan
usaha napas hampir semua bayi baru lahir yang apne atau bradikardia.
Ventilasi tekanan positif yang efektif ditandai dengan pengembangan dada,
peningkatan laju denyut jantung dan peningkatan saturasi pada monitor
saturasi (SpO2).18,57
Sebaiknya VTP yang efektif sudah teridentifikasi paling lama 15 detik pasca
VTP dimulai oleh asisten sirkulasi.
Pimpinan resusitasi harus menghentikan VTP jika teridentifikasi tidak efektif
dan mulai melakukan langkah koreksi.
Langkah koreksi yang dilakukan agar VTP menjadi efektif adalah sebagai
berikut : reposisi sungkup agar perlekatan menjadi sempurna dan tidak
bocor, reposisi kepala menjadi posisi menghidu, membersihkan saluran
napas dari lendir yang menyumbat, membuka mulut agar lebih terbuka,
menaikkan tekanan puncak inspirasi secara bertahap namun tidak lebih dari
40 cmH2O dan lakukan pemasangan sungkup laring atau intubasi orotrakeal
sebagai jalan akhir.54
Apabila dalam 30 detik VTP efektif tidak berhasil meningkatkan laju denyut
jantung di atas 60x/menit, maka segera lakukan intubasi endotrakeal atau
pemasangan sungkup laring dan tingkatkan pemberian oksigen menjadi
100%.57
3. Kompresi dada
Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung <60 denyut per
menit setelah ventilasi dilakukan secara efektif selama 30 detik. Untuk
neonatus, rasio kompresi berbanding ventilasi efektif adalah 3:1, yang
berarti setiap 3 kali kompresi dada harus di berikan 1 VTP efektif. Kompresi
dada dan VTP efektif harus dilakukan secara sinkron dengan durasi 2 detik
untuk setiap 3 kompresi dada dan 1 VTP efektif. Kompresi dada dan VTP
efektif ini dilakukan selama 60 detik tanpa jeda.
Titik penekanan kompresi dada adalah pertengahan antara processus
xyphoideus dan garis imajiner yang menghubungkan kedua mamae.
51
Kedalaman kompresi dada adalah 1/3 diameter antero-posterior dinding
dada bayi. Terdapat 2 teknik kompresi dada yang umum digunakan yaitu
teknik 2 ibu jari dan teknik 2 jari (jari tengah dan telunjuk). Pastikan dada
mengembang saat VTP diberikan dengan cara tidak menekan diding dada. 54,61-
66
Kompresi dada dihentikan sementara pasca 30 siklus kompresi dada (60
menit) untuk memberikan kesempatan pada asisten sirkulasi menilai laju
denyut jantung. Langkah resusitasi selanjutnya akan ditentukan oleh laju
denyut jantung dan usaha napas seperti tertera pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Langkah resusitasi didasari pada laju denyut jantung dan usaha napas
Laju denyut jantung Usaha napas Tindakan resusitasi lanjutan
4. Medikamentosa
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun jika
frekuensi denyut jantung tetap <60 per menit walaupun telah diberikan
ventilasi efektif dengan oksigen 100% dan kompresi dada secara sinkron
selama 60 detik, maka terindikasi pemberian obat Adrenalin atau Epinefrin.
Konsentrasi adrenalin/epinefrin yang direkomendasikan adalah 1/10.000
(0,1 mg/mL adrenalin/epinefrin).77
Terdapat 2 jalur pemberian adrenalin/epinefrin yaitu intratrakeal dan
intravena. Pemberian adrenalin /epinefrin melalui jalur intratrakeal bukan
merupakan pilihan karena beberapa penelitian menemukan tingkat
keamanan dan efikasi tidak sebaik pemberian adrenalin/epinefrin intravena,
tetapi pemberian intratrakeal dapat diberikan sambil menunggu
tersedianya akses intravena.54,57,78
52
larutan NaCl 0,9% dan dilanjutkan dengan VTP. Sementara dosis intravena
yang direkomendasikan adalah 0,1 sampai 0,3 mL/KgBB larutan 0,1 mg/mL
larutan adrenalin/epinefrin ( perbandingan 1:10.000). Q2016, Eu 2015 Dosis
intravena lebih kecil dari dosis intratrakeal dan membutuhkan flushing NaCl
0,9% 2-3 ml sesudah diberikan. Pemberian dapat diulang 2-3 menit kemudian
apabila frekuensi nadi masih kurang dari 60 kali/menit.77
Pemberian volume expanders dipertimbangkan jika diketahui atau diduga
terjadi kehilangan darah dan frekuensi denyut jantung bayi tidak
menunjukkan respons adekuat terhadap upaya resusitasi lain. NaCl 0,9% atau
darah dapat diberikan dengan dosis 10 mL/kg dan dapat diulangi sesuai
kebutuhan.57 Masa sejak bayi lahir sampai dilakukannya ventilasi, dikenal
sebagai the golden minute untuk resusitasi. Resusitasi kardiopulmoner
dilakukan selama 10 menit dan setelahnya dapat dihentikan jika tidak ada
denyut jantung. Setelah resusitasi yang adekuat, resusitasi dapat dihentikan
jika tidak ada denyut jantung (asistol) selama 10 menit. 58
Pada semua bayi, skor Apgar harus dicatat pada menit ke-1 dan menit ke-5,
dan pada bayi yang diresusitasi ditambah dengan skor Apgar menit ke-10
(Tabel 2). Skor Apgar dinilai dengan 0, 1, atau 2 dengan skor total minimal 0
dan maksimal 10, tapi tidak memengaruhi tindakan resusitasi.79
Denyut Tidak ada < 100 kali per menit >100 kali per menit
Jantung
(Pulse)
Refleks Tidak ada respon Meringis/menangis lemah Menangis/bergerak
(Grimace) aktif
Tonus Otot Tidak ada/lumpuh Sedikit fleksi Bergerak aktif
(Activity)
Pernapasan Tidak ada Lemah dan iregular Menangis kuat,
(Respiration) pernapasan baik dan
teratur
53
sangat prematur, resusitasi sebaiknya tetap dimulai. Sementara meresusitasi,
tenaga kesehatan mengevaluasi kemungkinan prognosis dan selanjutnya
memutuskan hendak menghentikan atau melanjutkan resusitasi yang telah
dimulainya itu.
Resusitasi hampir selalu diindikasikan pada kasus yang kesintasannya
tinggi atau kasus yang kemungkinan morbiditasnya dapat diterima.82 Tindakan
resusitasi tidak terindikasi pada kasus dengan usia gestasi, berat lahir, ataupun
kelainan kongenital yang hampir pasti menyebabkan kematian dini atau
morbiditas yang sangat berat, misalnya bayi yang sangat prematur (< 25 minggu).
Pada kasus yang prognosisnya tidak pasti, misalnya kasus dengan kesintasan
borderline dan morbiditas yang relatif tinggi, maka keputusan untuk resusitasi
harus melibatkan pertimbangan
orangtua.83,84
54
Resusitasi bayi baru lahir dapat dihentikan jika setelah
resusitasi yang adekuat tidak terdapat denyut jantung selama
10 menit.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B
55
Gambar 4 T-piece resuscitator89
56
Gambar 5 T-piece resuscitator dengan blender O 2, sumber O2 bertekanan
(FiO2 100%), dan gas medis/kompresor (FiO2 21%) untuk pemberian O2
dengan konsentrasi O2 yang diinginkan.
57
Gambar 6 Modifikasi terapi oksigen dalam resusitasi dengan
balon mengembang sendiri pada fasilitas terbatas
1. Penggunaan oksigen pada resusitasi: oksigen ruangan (fraksi
oksigen 21%), fraksi oksigen 100%, atau
lainnyaiii,iv,v,vi,vii
58
Berdasarkan meta analisis dari 7 uji klinis terandomisasi yang membandingkan
inisiasi pemberian oksigen konsentrasi tinggi
(≥65%) dan oksigen konsentrasi rendah (21%-30%) pada resusitasi dari bayi
baru lahir prematur (usia kehamilan kurang dari 35 minggu) menunjukkan tidak
ada perbedaan lama waktu perawatan di rumah sakit.90-96 Demikian pula, pada
studi-studi lainnya yang menilai outcome tersebut, tidak terdapat manfaat
untuk mencegah terjadinya displasia bronkopulmoner,91,93-96 perdarahan
intraventrikular, dan retinopati pada bayi premature.91,94,95 Ketika target saturasi
digunakan sebagai terapi tambahan, konsentrasi oksigen pada udara resusitasi
dan saturasi oksigen preductal didapatkan adanya persamaan antara grup yang
mendapat oksigen konsentrasi tinggi dan grup yang mendapat oksigen
konsentrasi rendah pada 10 menit pertama kehidupan.91,94
Pada semua studi95, terlepas dari penggunaan oksigen pada inisiasi
resusitasi dengan konsentrasi oksigen udara bebas (21%) atau oksigen
konsentrasi tinggi (≥65% sampai 100%), hampir seluruh bayi berada
pada kadar oksigen 30% saat stabilisasi. Resusitasi bayi prematur dengan usia
kehamilan kurang dari 35 minggu harus diinisiasi / diawali dengan oksigen
konsentrasi rendah (21%-30%), dan konsentrasi oksigen tersebut harus dititrasi
hingga mencapai saturasi oksigen preductal yang mendekati ukuran kisaran
interkuartil pada bayi baru lahir yang sehat setelah dilahirkan pervaginam pada
ketinggian sejajar permukaan laut.123 (Level of Evidence 1A, Rekomendasi A).
Mengawali resusitasi bayi prematur dengan oksigen konsentrasi
tinggi (≥65%) tidak direkomendasikan. (Level of Evidence 1A,
Rekomendasi A). Rekomendasi ini mencerminkan kecenderungan untuk tidak
memaparkan bayi baru lahir prematur dengan oksigen tambahan tanpa data
yang menunjukkan bukti adanya manfaat atau untuk luaran yang penting.
59
Alur IDAI (Gambar 1) merekomendasikan penggunaan pencampur
oksigen (blender) (Gambar 7) untuk mengatur konsentrasi oksigen selama
proses resusitasi, dan sementara itu pulse oxymeter tetap dipasang untuk
memantau saturasi oksigen (Gambar 8).58 Pemantauan dengan pulse
oxymeter harus dilakukan pada semua neonatus yang mendapatkan terapi
oksigen.97 Untuk mengurangi kemungkinan artefak akibat gerak bayi,
pengukuran saturasi oksigen (SpO2) dan denyut jantung menggunakan pulse
oximeter khusus bayi.
a b c
Gambar 7.
a. Pencampur oksigen (blender) dengan T-piece resuscitator tampak depan.
b. Pencampur oksigen (blender) dengan T-piece resuscitator tampak samping.
c. Pengatur FiO2 blender xxx .97
60
Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) janin adalah 15-30 mmHg dan
menghasilkan saturasi oksigen (SpO2) 45-55%. Setelah kelahiran, nilai ini akan
meningkat dalam beberapa menit menjadi 50-80 mmHg (SpO 2 >90%), tergantung
pada fungsi paru, sirkulasi pulmonal, dan adanya stresor lain saat persalinan.
Kadar oksigen pada fetus yang beralih menjadi neonatus mengalami peningkatan
secara bertahap dalam 5-10 menit pertama setelah lahir.98 Mekanisme
pertahanan antioksidan sebenarnya secara alami baru terbentuk pada usia
gestasi yang lanjut, oleh sebab itu bayi yang sangat prematur rentan terhadap
hiperoksia.99
Oksigen ruangan telah terbukti bermanfaat untuk mengatasi asfiksia pada
bayi cukup bulan.96,100,101 Pada bayi kurang bulan, beberapa studi prospektif
membandingkan efek penggunaan oksigen konsentrasi rendah dan tinggi selama
resusitasi, namun studi-studi tersebut tidak melakukan evaluasi dalam jangka
panjang, seperti evaluasi perkembangan saraf yang merupakan parameter
penting untuk efek samping terapi oksigen.95,102,103
Saugstad et al104 (2008) menyatakan bahwa pada bayi baru lahir,
penggunaan oksigen ruangan (fraksi oksigen (FiO2) 21%) menurunkan risiko
mortalitas dan HIE. Resusitasi dengan VTP dimulai dengan oksigen ruangan (FiO 2
21%), kemudian ditingkatkan/dititrasi sesuai dengan kebutuhan neonatus.
Beberapa studi menyimpulkan bahwa pada bayi kurang bulan dengan berat lahir
>1000 g, resusitasi menggunakan udara ruangan menurunkan mortalitas
dibandingkan dengan resusitasi menggunakan FiO2 100% (21% vs. 35%, rasio
odds (RO) 0,51: interval kepercayaan 95% (IK95%) 0,28-0,9;P<0,02). 104-106 Namun
sebenarnya belum ada bukti yang memadai untuk menetapkan fraksi oksigen
untuk resusitasi bayi usia gestasi 32-37
minggu.58viii,ix,x,xi
Pada bayi usia gestasi <32 minggu, resusitasi yang dimulai dengan udara
ruangan atau FiO2 100% berisiko menghasilkan hipoksemia atau hiperoksemia,
dibandingkan dengan FiO2 30% atau 90% yang kemudian dititrasi.95,103 Pada BBLR
usia gestasi <32 minggu, Wang et al96 (2008) menunjukkan bahwa resusitasi
dengan udara ruangan (FiO2 21%) gagal mencapai target SpO2 70% dalam 3 menit
pertama kehidupan. Beberapa studi lain menyatakan pada bayi kurang bulan usia
gestasi ≤28 minggu, resusitasi yang dimulai dengan oksigen 30% akan
menurunkan stress oksidatif, inflamasi, kebutuhan oksigen, dan risiko
BPD.10,95,107,108 Pada BBLSR, Stola dkk109 (2009) menyimpulkan bahwa resusitasi
dapat dimulai dengan udara ruangan tanpa menimbulkan morbiditas yang
bermakna.
61
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C
62
• T-piece resuscitator (mixsafe®) dengan mini kompresor
Gambar 11 Mixsafe®
Pemberian campuran oksigen dan udara bertekanan tersebut dapat
dilakukan dengan panduan tabel 4 berikut ini.
63
udara tekan, tanpa oksigen murni. Begitu pula dengan oksigen 100% didapatkan
dari 8 L oksigen murni tanpa udara tekan. Bila konsentrasi oksigen dinaikkan
menjadi 31%, klinisi dapat menggunakan udara tekan 7 L per menit dengan
kombinasi 1 L per menit oksigen murni, demikian
seterusnya seperti pada tabel yang diarsir.18
64
Level of evidence III, derajat rekomendasi C
Pada bayi kurang bulan yang bernapas spontan tetapi mengalami gangguan
napas, dapat diberi bantuan dengan CPAP atau intubasi dan ventilasi mekanis.58
Pada BBLR yang memerlukan, intubasi dan surfaktan diberikan sebagai upaya
untuk membantu pematangan sistem respirasi. Continuous positive airway
pressure dini dianjurkan pada bayi <32 minggu, dapat menurunkan mortalitas
dan kejadian gagal napas pada BBLR.111
Tiga uji klinis acak terkontrol melibatkan 2358 bayi lahir prematur (usia
kehamilan <30 minggu) menunjukkan penggunaan CPAP segera pada bayi baru
lahir lebih bermanfaat dibandingkan dengan intubasi dan PPV. Penggunaan CPAP
dini berdampak pada menurunnya tindakan intubasi di ruang bersalin,
menurunnya durasi pemakaian ventilasi mekanik, mengurangi kematian atau
displasia bronkopulmoner. Penggunaan CPAP dini tidak berhubungan bermakna
dengan peningkatan kejadian air leak syndrome atau perdarahan
intraventrikel yang berat. Berdasarkan bukti tersebut, bayi prematur yang
bernapas spontan dengan sesak napas dapat dibantu dengan penggunaan CPAP
dini.21,112,113
65
Studi lain merekomendasikan intubasi dini untuk pemberian surfaktan
profilaksis pada BBLSR segera di kamar bersalin. Finer et al 113 (2010)
merekomendasikan CPAP dini (sejak di kamar bersalin) sebagai alternatif dari
intubasi dini dan surfaktan profilaksis dalam satu jam pasca-lahir, pada bayi
BBLASR dengan usia gestasi 24-28 minggu.
3. Terapi Surfaktan
Saat ini pemberian surfaktan berperan penting dalam manajemen bayi dengan
Respiratory Distress Syndrome. Sejak tahun 2013 dengan membaiknya
penggunaan steroid prenatal, surfaktan profilaksis (pemberian surfaktan pada
bayi baru lahir <28 minggu sebelum mengalami sesak napas) sudah tidak
direkomendasikan. Pemberian CPAP dini menjadi pilihan pertama untuk
mencegah sesak napas bayi prematur. Jika terdapat tanda tanda gagal CPAP
(masih didapati sesak napas walaupun sudah menggunakan tekanan 8 cmH 2O
Fio2 >40%) maka terindikasi pemberian surfaktan (surfactant rescue).
Beberapa uji klinis membuktikan pemberian surfaktan ini dapat mencegah
penggunaan ventilator mekanik, displasia bronkopulmoner, dan memperpendek
lama rawat. Surfaktan sebaiknya diberikan sedini mungkin pada bayi yang
mengalami RDS dan gagal CPAP.114-116
66
a. Metode Pemberian Surfaktan
67
ini.123 Penggunaan surfaktan yang paling tidak invasif adalah dengan cara
nebulisasi, namun hingga saat ini belum mencapai tahap rekomendasi untuk
penggunaan klinis
secara rutin.124
b. Sediaan Surfaktan
Sediaan surfaktan yang banyak tersedia saat ini dapat dilihat di tabel 5 Surfaktan
alami (surfaktan yang berasal dari hewan) sebelumnya disebut, lebih baik
dibandingkan dengan surfaktan sintetik lama (tidak mengandung protein, hanya
mengandung fosfolipid), dapat mengurangi kejadian air leaks syndrome dan
kematian.125
(4 ml/kg)
(1.2 ml/kg)
68
Bayi yang menunjukkan gejala RDS harus segera mendapatkan CPAP sedini
mungkin, apabila memungkinkan CPAP dipertahankan tanpa beralih pada
intubasi dan ventilasi mekanik. Jika RDS memburuk dan surfaktan dibutuhkan,
pemberian surfaktan dini memiliki luaran yang lebih baik dalam upaya
mengurangi air leaks syndrome.128 Dalam sebuah studi observasional,
Agertoft dkk menyimpulkan penggunaan CPAP dengan Fio2 >30% pada saat bayi
berusia 2 jam merupakan prediktor kegagalan CPAP pada saat bayi berusia 6 jam,
sehingga akan memberikan luaran yang lebih buruk.129
69
4. T-piece resuscitator sebagai pengganti CPAP dini di kamar
bersalin menurunkan angka kegagalan CPAP pada bayi kurang
bulan dengan gangguan napas
Ventilasi pada bayi baru lahir dapat diberikan dengan balon mengembang sendiri
maupun T-piece resuscitator. Tekanan inflasi atau TPAE yang dihasilkan T-
piece resuscitator lebih stabil daripada balon mengembang sendiri.54
Penelitian mengenai efektivitas Tpiece resuscitator menunjukkan hasil
bervariasi. Dibandingkan dengan balon mengembang sendiri, T-piece
resuscitator relatif aman, menghasilkan tekanan optimal dengan risiko
volutaruma dan barotrauma yang kecil, dan tekanan yang diberikan tidak
dipengaruhi keahlian operator. Fitur T-piece resuscitator dengan ukuran yang
relatif kecil, portabel, sederhana, dan mudah digunakan serta dapat berfungsi
seperti CPAP, membuat alat ini direkomendasikan oleh Rekomendasi IDAI
sebagai alat ventilasi di tempat bayi dilahirkan. Penggunaan rutin T-piece
resuscitator memiliki kendala yaitu harga yang cukup mahal dibandingkan
dengan balon mengembang sendiri.132-137
Penggunaan CPAP secara rutin di tempat bayi dilahirkan memiliki kendala
terkait biaya per unit dan ketidakpraktisannya. Balon mengembang sendiri
merupakan alat ventilasi yang lebih sering digunakan di kamar bersalin atau
kamar operasi, namun alat ini memiliki risiko volutrauma dan barotrauma yang
besar.73 T-piece resuscitator digunakan sebagai alat pengganti CPAP di tempat
bayi dilahirkan. Alat tersebut memberi ventilasi dengan tekanan yang relatif
stabil, kontinu, dan dapat berfungsi sebagai CPAP.97,108,133-
135,137-140
70
Penggunaan T-piece resuscitator dibandingkan dengan
penggunaan balon resusitasi tanpa katup TPAE di kamar
bersalin, menurunkan risiko kegagalan CPAP.
Level of evidence III, derajat rekomendasi C
Pada bayi baru lahir, nasal prong merupakan salah satu pilihan jalur
pemberian bantuan pernapasan (Gambar 12). Pemberian VTP melalui nasal
prong menghasilkan luaran yang lebih baik dibandingkan dengan sungkup.134
a b
Gambar 12a Single nasal prong. 12b CPAP dengan single nasal prong
5. Resusitasi di Fasilitas Terbatas (Helping Babies Breathe)
Helping Babies Breathe merupakan kurikulum resusitasi bayi baru lahir yang
disusun oleh American Academy of Pediatrics, US Agency for
International Development (USAID), The Eunice Kennedy Shriver
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD),
dan Saving Newborn Lives/Save the Children, yang didukung oleh WHO
(Gambar 13). Kurikulum ini dapat diterapkan pada fasilitas yang terbatas.
Kurikulum Helping Babies Breathe menekankan pentingnya keterampilan
tenaga kesehatan yang membantu kelahiran dalam menilai kondisi klinis,
mempertahankan suhu tubuh, menstimulasi pernapasan, dan memberikan
ventilasi bantuan bayi jika diperlukan.141
71
Alur resusitasi bayi baru lahir menurut Helping Babies Breathe
dimulai dengan menilai kondisi bayi. Jika terdapat mekonium saat bayi lahir,
segera bersihkan jalan napas dan keringkan bayi. Kemudian petugas
mengevaluasi kondisi bayi menangis atau tidak.79
a. Apabila bayi menangis spontan, jaga agar bayi tetap hangat, periksa
pernapasan, dan potong tali pusat. Biarkan bayi di atas badan ibu.
b. Apabila bayi tidak menangis, bersihkan jalan napas dan beri stimulasi. Periksa
ulang pernapasan, bila bayi bernapas dengan baik, jaga agar bayi tetap
hangat dan potong tali pusat. Bila bayi belum bernapas dengan baik, potong
tali pusat dan berikan bantuan ventilasi. Kemudian jika bayi bernapas, bayi
dapat dibiarkan bersama ibunya dengan pengawasan. Jika bayi masih belum
bernapas, panggil bantuan, beri dan perbaiki bantuan ventilasi, lalu periksa
detak jantung. Apabila detak jantung lambat, lanjutkan ventilasi dan rawat
bayi di perawatan lanjutan (advanced care).
72
Gambar
13 Rencana pelaksanaan Helping Baby Breathe141
73
bermasalah harus distabilisasi untuk selanjutnya dirujuk ke perawatan yang lebih
memadai. Upaya stabilisasi dilakukan sebelum bayi dirujuk. Bayi harus dirujuk
dalam keadaan stabil dan kondisi tersebut dapat dicapai dengan menerapkan
program STABLE.38
a. SUGAR
Inisiasi terapi cairan IV pada bayi yang berisiko hipoglikemia.
Pemberian cairan dan nutrisi untuk bayi sakit dilakukan secara parenteral.
Koordinasi menghisap, menelan, dan bernapas terganggu ketika bayi bernapas
cepat, sehingga pemberian secara enteral (PO maupun melalui pipa nasogastrik)
dihindari karena risiko aspirasi yang tinggi. Bayi yang sakit terutama bayi dengan
infeksi juga dapat mempunyai waktu pengosongan lambung yang lambat karena
adanya ileus intestinal. Pada bayi dengan riwayat kadar oksigen darah yang
rendah atau tekanan darah yang rendah selama ataupun pasca-lahir, aliran
darah ke usus halus berkurang, sehingga meningkatkan risiko iskemia. 38
Bayi baru lahir paska resusitasi tidak direkomendasikan mendapat asupan nutrisi
enteral. Bayi dengan paska resusitasi akibat hipoksia yang dialaminya memiliki
risiko cedera hipoksik iskemik. Oleh sebab itu pemberian glukosa IV harus segera
diberikan setelah resusitasi selesai, untuk menghindari hipoglikemia. 136,142
Tempat pemasangan akses IV yang paling baik adalah umbilikal dan ekstremitas.
74
Akses vena umbilikal masih dapat digunakan hingga usia satu minggu dan hingga
dua minggu pada kasus khusus.38
75
Kadar glukosa terendah yang bisa diterima berdasar algoritma AAP adalah
25 mg/dL sesudah pemberian minum pertamakali, rentang yang ditatalaksana
lebih lanjut adalah kadar glukosa 25-40 mg/dL selama 4 jam pertama kehidupan
atau masa transisi pasca lahir. Umur 4-24 jam kadar terendah adalah 35 mg/dL,
tatalaksana lanjut pada kadar glukosa 35-45 mg/dL. 143
Perbedaan hasil pemeriksaan dapat terjadi pada bayi baru lahir karena
bergantung pada waktu pemeriksaan. Bayi usia 0 - <4 jam kadar gula darah
harus ≥40 mg/dl, usia ≥4 - 24 jam kadar gula darah harus ≥45 mg/dl,
dan usia ≥24 jam kadar gula darah harus ≥50 mg/dL. Karena adanya
proses hipoglikemia fisiologis pada bayi baru lahir, maka setelah pemeriksaan
kadar gula darah pasca-lahir, pemeriksaan kadar gula darah ulangan disarankan
pada 2-4 jam setelah pemeriksaan kadar gula pertama. 144,145
Skrining dan manajemen homeostasis glukosa pasca lahir pada bayi late
preterm dan bayi cukup bulan kecil masa kehamilan, bayi lahir dari ibu
diabetes/besar masa kehamilan sebagai berikut, bila bayi pasca lahir simtomatik
dan kadar gula < 40mg/dL diberikan infus glukosa. Simtom hipoglikemia
termasuk iritabilitas, tremor, jitteriness, refleks Moro yang berlebihan, tangis
melengking, kejang, letargi, kelemahan anggota gerak, sianosis, apnea, malas
minum. Bayi pasca lahir asimtomatik, bila umur 0-4 jam dimulai minum peroral
dalam 1 jam pertama, kemudian 30 menit sesudahnya dilakukan pemeriksaan
kadar gula darah. Bila hasil < 25 mg/dL diberikan minum dan kemudian 1 jam
sesudahnya dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. Bila hasil < 25 mg/dL
diberikan infus glukosa 200mg/kg (dektrosa 10% 2ml/kg) dan atau infus dengan
kecepatan 5-8 mg/kg/menit (80-100 ml/kg/hari). Kadar glukosa plasma yang
diharapkan 40-50 mg/dL. Bila kadar gula 25-40 mg/dL diberikan minum atau
infus glukosa seperti tersebut di atas sesuai kebutuhan. Pada umur 4 sampai 24
jam lanjutkan minum tiap 2-3 jam, dilakukan skrining pemeriksaan glukosa pada
tiap kali sebelum diberikan minum, bila hasilnya < 35 mg/dL maka diberikan
minum dan cek glukosa dalam waktu 1 jam. Bila kadar gula < 35 mg/dL maka
diberikan infus glukosa, bila kadar gula 35-45 mg/dL diberikan minum atau infus
glukosa sesuai kebutuhan seperti tersebut di atas.143
76
Tatalaksana hipoglikemi
77
Pemberian cairan parenteral inisial menggunakan dektrosa 10% (D 10W) dengan
target glucose infusion rate (GIR) 4 – 6 mg/kgBB/menit. Pemberian cairan
D10W 80 mL/kgBB/hari menghasilkan GIR 5,5 mg/kgBB/menit. Bila ada riwayat
syok dan normoglikemia, maka pemberian cairan dibatasi menjadi 60
mL/kgBB/hari menggunakan D10W (GIR 4,2 mg/kgBB/menit), D12,5W (GIR 5,2
mg/kgBB/menit), atau D15W (GIR 6,2 mg/kgBB/menit). Akses vena sentral
diperlukan untuk pemberian cairan dekstrosa >12,5% atau dekstrosa 12,5% yang
78
diberi zat/komponen tambahan. Perhitungan GIR dilakukan dengan persamaan
berikut:38,146
GIR 4-7 mg/kg/menit bisa digunakan pada sebagian besar bayi cukup
bulan dan near term. GIR 6-8 mg/kg/menit diperlukan lebih sering pada bayi
IUGR.147
Pada masa stabilisasi bayi dapat menerima nutrisi enteral hanya bila bayi
tersebut asimtomatik dan berisiko hipoglikemia, namun diikuti pemantauan
ketat. Pada bayi dengan kadar gula darah 25-< 45 mg/dl terapi bolus Dextrosa
dianjurkan pada bayi dengan simtomatik hipoglikemi. Pada pasien yang
mengalami hipoglikemia(<25 mg/dL) diberikan cairan bolus D 10W 2 mL/kgBB
dengan kecepatan 1 mL/menit. Pemeriksaan kadar gula darah diulangi tiap 15-30
menit berikutnya setelah pemberian bolus atau peningkatan jumlah cairan
parenteral. Bila kadar gula darah masih
≤45 mg/dL, ulangi pemberian bolus D10W 2 mL/kgBB. Jika kadar gula darah
masih belum stabil setelah dua kali bolus, maka ulangi bolus dan naikkan cairan
dekstrosa 10% menjadi 100-120 mL/kgBB/hari atau naikkan konsentrasi
dekstrosa bila peningkatan volume cairan dihindari karena kondisi tertentu pada
bayi.38,148
Pemeriksaan gula darah evaluasi dilakukan tiap 30-60 menit sampai
kadarnya stabil pada dua pemeriksaan berturut-turut. Sesudahnya frekuensi
pemeriksaan ulangan ditentukan oleh tenaga kesehatan, berdasarkan penilaian
perkembangan klinis.38 Kotak 1 menunjukkan pendekatan umum inisiasi cairan
dan pemberian glukosa pada BBLR sakit.
79
Pendekatan umum inisiasi cairan dan pemberian glukosa
pada BBLR sakit
80
c. pada BBLR yang pernah mempunyai kadar gula darah yang rendah
6. Lakukan penilaian klinis berdasarkan kondisi BBLR dan faktor risiko
hipoglikemia, untuk menentukan kekerapan pemeriksaan gula darah
yang perlu dilakukan setelah kadar gula darah stabil.
7. Konsentrasi glukosa tertinggi yang diberikan melalui vena perifer
adalah dekstrosa 12,5%. Apabila konsentrasi glukosa yang lebih tinggi
diperlukan atau jika zat tambahan ditambahkan ke dalam dekstrosa
12,5% (misalnya untuk memberikan nutrisi parenteral total), maka
sebaiknya pemberian cairan melalui vena sentral.
8. Pemberian dekstrosa melalui vena sentral sebaiknya tidak lebih dari
25% pada hipoglikemia dengan maksimal GIR 15-30. Apabila bayi tetap
mengalami hipoglikemia, harus diberikan obat seperti glukagon,
diazoksid, glukokortikoid, octreotide dan konsultasikan kepada ahli
neonatologi atau endokrinologi anak.149
9. Jika kadar glukosa darah >150 mg/dL (8,3 mmol/L) dan tidak
mengalami penurunan pada ulangan berikutnya setelah bayi stabil ini
dapat terjadi akibat intoleransi glukosa atau sebagai respons stres.
Kadar gula darah >250 mg/dL yang tidak membaik memerlukan
pemberian insulin, konsultasikan kepada ahli neonatologi atau
endokrinologi jika tidak membaik.
Kotak 1. Pendekatan umum inisiasi cairan dan pemberian glukosa pada BBLR sakit .38,148
b. TEMPERATURE
Hal-hal yang menyebabkan bayi kehilangan panas, cara
menurunkan kehilangan panas, akibat hipotermia, serta
metode rewarming bayi hipotermia
81
Hipotermia adalah kondisi yang dapat dicegah dan dapat memengaruhi
morbiditas dan mortalitas bayi baru lahir, terutama bayi kurang bulan. Bayi baru
lahir yang berisiko tinggi mengalami hipotermia adalah bayi yang kurang bulan
dan BBLR terutama BBLSR, KMK, mengalami resusitasi berkepanjangan terutama
yang mengalami hipoksia, mengalami sakit akut (penyakit infeksi, kardiak,
neurologik, endokrin, dan yang memerlukan pembedahan terutama dengan
defek dinding tubuh), serta bayi yang kurang aktif dan hipotonia akibat obat
sedatif, analgesik, paralitik, atau anestetik (Kotak 2).38
Suhu normal bayi baru lahir adalah 36,5-37,5˚C di aksila. Hipotermia
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok suhu, yaitu ringan (36-36,4˚C), sedang
(32-35,9˚C), dan berat (<32˚C). Tata laksana suhu bertujuan
mempertahankan suhu pada 37°C. Pemeriksaan suhu dilakukan tiap 15-30 menit
sampai suhu berada pada kisaran normal, kemudian sekurang-kurangnya tiap
jam sampai bayi dirujuk. Jika temperatur bayi cenderung sudah berada pada
kisaran normal, maka pemeriksaan dapat dijarangkan. 38
Suhu lingkungan yang tidak mendukung untuk menjaga suhu badan bayi
dapat menyebabkan kehilangan panas tubuh secara konduksi dan konveksi. Suhu
ruang bersalin maupun ruang perawatan bayi harus diatur pada suhu
≥26˚C.72,150 Suhu ruang bersalin <26˚C berhubungan dengan suhu
BBLR (usia gestasi <28 minggu) yang lebih rendah ketika dimasukkan ke
NICU.151
82
1) Kehilangan panas secara konduksi
• Baringkan bayi di tempat yang permukaannya telah dihangatkan.
• Hangatkan terlebih dahulu obyek yang akan kontak dengan bayi:
tempat tidur, tangan, stetoskop, permukaan film Röntgen, dan
selimut.
• Kenakan topi.
• Alasi timbangan dengan selimut hangat dan jangan lupa buat skala
kembali nol sebelum menimbang bayi.
• Jangan lakukan pemanasan perlengkapan memasukkan ke dalam
microwave ataupun meletakkannya di atas lampu radiant
warmer, gunakan selimut hangat.
• Gunakan matras chemical thermal di bawah bayi dan tutupi bayi
dengan kain atau selimut tipis.
• Hindarkan kontak dengan alat-alat yang berisiko menimbulkan luka
bakar maupun hipertermia: botol air panas, sarung tangan panas, dan
selimut yang dihangatkan dengan microwave.
2) Kehilangan panas secara konveksi
• Naikkan suhu ruangan menjadi 25-28˚C.152
• Tutupi BBLSR dengan plastik polietilen dari leher sampai kaki.
• Rujuk bayi sakit dan atau kurang bulan dari kamar bersalin ke ruang
perawatan dengan inkubator tertutup dan telah dihangatkan
sebelumnya. Jika hal ini tidak mungkin, maka bayi dibungkus dengan
plastik (tanpa menghalangi jalan napas) sebelum dirujuk melalui
jalan/lorong penghubung yang dingin.
• Hangatkan inkubator terlebih dahulu sebelum meletakkan bayi di
dalamnya.
• Gunakan oksigen yang telah dihangatkan dan
dilembabkan.
• Pastikan heating unit pada radiant warmer tidak tertutupi oleh
petugas yang sedang bekerja.
3) Kehilangan panas secara evaporasi
83
• Segera keringkan bayi setelah kelahiran, atau lap dengan selimut atau
handuk yang telah dihangatkan dan segera singkirkan semua kain
yang basah.
• Setelah mengeringkan kepala bayi, kenakan topi.
• Tutupi BBLSR segera setelah kelahiran dengan plastik polietilen dari
leher sampai kaki.
• Naikkan suhu ruangan menjadi 25-28˚C.153
• Minimalkan atau hindarkan bayi dari aliran udara di sekelilingnya.
• Hangatkan dan lembabkan oksigen segera.
• Hangatkan cairan atau krim yang akan berkontak dengan kulit bayi,
misalnya hangatkan cairan antiseptik terlebih dahulu, tetapi jangan
over-heated yang dapat menimbulkan luka bakar.
4) Kehilangan panas secara radiasi
• Jauhkan bayi dari kaca atau dinding yang dingin.
• Pasang penghalang hantaran suhu pada jendela.
• Tutupi inkubator dan menjauhkannya dari kaca atau dinding yang
dingin.
• Gunakan inkubator berdinding ganda untuk menyediakan permukaan
yang lebih hangat di dekat bayi.
84
Tata laksana suhu BBLR
Bayi juga perlu dihindarkan dari terkena panas terlalu banyak (heat
gain). Over-heated dapat terjadi dengan paparan bayi terhadap sinar matahari
langsung, penghangat tempat tidur bayi berada dalam mode manual control
sementara tidak ada pengukur suhu yang melekat pada tubuh bayi, serta
penggunaan lampu pemanas yang tidak berhati-hati. Penghangat tempat tidur
bayi sebaiknya diatur dalam servo-control.38
Tenaga kesehatan harus melakukan rewarming pada bayi yang hipotermia.
Rewarming disarankan untuk dilakukan bertahap, sekitar 0,5⁰C per jam.
Rewarming yang dilakukan dengan cepat bisa memicu kejang pada neonatus.
Untuk melakukan rewarming, inkubator atau radiant warmer dapat
digunakan. Inkubator memungkinkan tenaga kesehatan untuk dapat mengontrol
proses rewarming lebih baik dibandingkan dengan radiant warmer. Saat
proses rewarming, pemantauan ketat meliputi suhu aksilar denyut dan irama
jantung (waspadai aritmia), tekanan darah (waspadai hipotensi akibat
vasodilatasi yang tiba-tiba), frekuensi dan usaha napas, saturasi oksigen, tingkat
kesadaran, status asam/basa, dan kadar gula darah. Rewarming dapat
dilakukan menggunakan:
85
1) Inkubator
Kelebihan menggunakan inkubator adalah kemudahan dalam mengontrol
kecepatan rewarming (Gambar 14). Inkubator diatur dalam mode air
temperature yang diatur 1-
1,5˚C di atas suhu bayi, lalu naikkan suhu inkubator secara perlahan
sesuai toleransi bayi. Tenaga kesehatan harus tetap melakukan
pemantauan ketat selama proses rewarming. Saat suhu bayi telah
mencapai set point inkubator dan tidak ada tanda perburukan klinis
pada bayi, suhu inkubator dapat dinaikkan 1-1,5˚C di atas suhu aksila
sampai suhu bayi mencapai normal. Tanda-tanda perburukan klinis yang
dapat terjadi saat proses rewarming meliputi takikardia, aritmia,
hipotensi, hipoksemia, perburukan gangguan napas, dan perburukan
status asidosis.38 Inkubator unggul dalam mengurangi risiko insensible
water loss (IWL) maupun kehilangan panas secara konveksi, oleh sebab
itu inkubator cenderung dipilih untuk bayi kurang bulan. Tetapi inkubator
dapat menyulitkan ketika tenaga kesehatan hendak melakukan
prosedur/tindakan medis.136
2) Radiant warmer
Radiant warmer yang digunakan untuk rewarming harus diatur
dalam mode servo-control dengan suhu 36,5˚C (Gambar 15). Bayi
dibaringkan telentang dan servo-temperature probe diposisikan di
atas hati. Tenaga kesehatan harus memantau ketat hal-hal yang
disebutkan di atas beserta tanda-tanda perburukan klinis. Kecepatan
rewarming tidak dapat diatur pada radiant warmer, maka
rewarming menggunakan radiant warmer memiliki risiko vasodilatasi
jika output panas terlalu tinggi. Untuk mengantisipasi terjadinya
hipotensi, tenaga kesehatan sebaiknya mempersiapkan tambahan cairan
dan obat inotropik.38 Radiant warmer unggul dibandingkan inkubator
dalam kemudahan tenaga kesehatan untuk memantau serta melakukan
prosedur/tindakan pada bayi. Kekurangan radiant warmer yaitu
meningkatkan IWL dan tidak melindungi bayi dari kehilangan panas
secara konveksi dan evaporasi. Adanya risiko peningkatan IWL ini
menyebabkan penyesuaian dengan perhitungan kebutuhan cairan perlu
dilakukan sesuai dengan kondisi tiap bayi.136
86
Jika bayi diletakkan di radiant warmer, skin probe perlu
dipasang pada bayi untuk melindunginya dari over-heating. Dengan
demikian warmer dapat berfungsi seperti termostat dan
mempertahankan suhu bayi 36,5-37,5°C. Bayi harus dalam keadaan
telanjang di dalam warmer, dan tindakan menutupi bayi justru akan
mencegah panas sampai ke bayi. Pencatatan temperatur bayi harus
dilakukan selama bayi berada dalam radiant warmer maupun
inkubator.154
87
88
Gambar 16 Tahap-tahap perawatan bayi kangguru
89
a
b
Gambar 17a Cling wrap.157 17b Bayi dibungkus plastik untuk mencegah
hipotermia.157
Pemakaian plastik transparan pada bayi baru lahir <1500 g dan/atau usia
gestasi <28 minggu dari leher sampai kaki, tanpa terlebih dahulu mengeringkan
bayi, dapat mempertahankan suhu bayi baru lahir sehingga menurunkan
kejadian hipotermia.158
Setelah dibungkus dengan plastik transparan, bayi baru lahir diletakkan di
radiant warmer, selanjutnya resusitasi dan stabilisasi dapat dimulai sesuai
dengan pedoman standar. Pada bayi baru lahir usia gestasi <28 minggu,
kombinasi pengaturan suhu kamar bersalin sekurang-kurangnya 26°C dan
penggunaan plastik polythene merupakan metoda yang paling efektif untuk
mempertahankan temperatur.151,159
90
1) Terapi hipotermia: penggunaan aliran oksigen yang
dihangatkan dan dilembabkan (heated and humidified air)
xii,xiii,xiv
Salah satu masalah yang sering dijumpai pada BBLR adalah hipotermia akibat
kehilangan panas tubuh melalui penguapan. Luasnya permukaan kulit BBLR
disertai rendahnya temperatur di ruang bersalin akan meningkatkan risiko
terjadinya hipotermia.160162 Panduan resusitasi neonatal internasional
menganjurkan berbagai teknik untuk mengatasi hipotermia, salah satunya
adalah membungkus bayi dengan plastik yang ditutup sampai leher untuk
mengurangi kehilangan panas tubuh97 disertai penggunaan matras yang telah
dihangatkan dan penyesuaian temperatur ruang bersalin.140,151
Te Pas et al161 (2010) melaporkan bahwa penggunaan udara yang telah
dihangatkan dan dilembabkan (heated and humidified air) mengurangi
kejadian hipotermia pada BBLR. Alat yang digunakan adalah MR850 heated
humidifier dan heated circuit (900RD110 humidified resuscitation
circuit). Udara dilembabkan dengan mengisi 20 mL air pada humidifier, volume
udara diatur sebesar 8 L/menit dan udara dihangatkan pada suhu
37˚C.
91
Penilaian RDS dapat dilakukan dengan melihat derajat RDS itu sendiri,
menilai frekuensi napas, usaha bernapas, kebutuhan oksigen, saturasi oksigen,
foto dada, dan AGD. Derajat RDS dibagi menjadi tiga, yaitu:38
a) Ringan
Frekuensi napas meningkat (>60x/menit) tanpa suplementasi oksigen,
dengan atau tanpa usaha napas yang minimal seperti retraksi dan napas
cuping hidung.
b) Sedang
Neonatus sudah tampak sianosis dalam udara kamar dan menunjukkan
tanda-tanda usaha bernapas yang meningkat, dengan AGD yang
abnormal.
c) Berat
Neonatus mengalami sianosis sentral, kesulitan bernapas, dengan AGD
yang abnormal.
Penilaian berat gangguan napas pada bayi dapat dilakukan dengan sistem
penilaian Downes (Downes score)163 dan dapat digunakan pada segala
kondisi dan usia gestasi bayi (Tabel 6)164,165
92
kemungkinan tidak berasal dari masalah pulmonal, misalnya penyakit jantung
bawaan (PJB), asidosis metabolik, dan kerusakan otak. Takipne yang disertai
peningkatan PaCO2 dapat terjadi karena masalah pulmonal seperti RDS,
pneumonia, transient tachypnea of the newborn (TTN), aspirasi
mekonium, perdarahan paru, obstruksi jalan napas, massa paru, hernia
diafragmatika, atau pneumotoraks.38
2) Terapi oksigen
Neonatus yang mengalami sianosis di udara kamar, dan mengalami RDS ringan
hingga sedang membutuhkan oksigen dalam penanganannya. Terapi oksigen
adalah salah satu terapi yang sering digunakan dalam penanganan neonatus
yang bermasalah, untuk mencegah hipoksemia, mengurangi kerja otot
pernapasan, dan menurunkan beban miokardium.166 Terapi oksigen dalam
jangka panjang dapat menimbulkan toksisitas sehingga pemakaiannya harus
diatur. Efek toksisitas oksigen yang dapat terjadi adalah ROP, BPD, enterokolitis
nekrotikans, PVL, dan dapat juga memengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak.167,168
Saat ini pemberian oksigen melalui inkubator sudah tidak
direkomendasikan lagi. Sehubungan konsekuensi intoksikasi oksigen pada
neonatus, maka disarankan oksigen diberikan dengan dititrasi, dan dimulai dari
konsentrasi 21%, serta 25-30% pada bayi prematur dengan usia gestasi < 35
minggu.
Target saturasi oksigen adalah >90-95%. Udara yang digunakan sebaiknya
udara yang telah dihangatkan dan dilembabkan untuk mengurangi cold stress
dan IWL. Observasi klinis respons bayi terhadap terapi oksigen meliputi warna,
frekuensi napas, usaha napas, dan keadaan umum (bayi yang hipoksia dapat
terlihat letargis). Pencatatan respons bayi dilakukan tiap jam hingga kondisi bayi
stabil, selanjutnya tiap 2-4 jam sesuai dengan kebutuhan. 74
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa pemberian terapi oksigen pada
bayi prematur dengan menjaga kecukupan oksigen (dihindari dari hipoksia atau
hiperoksia) adalah dengan mempertahankan saturasi oksigen berkisar antara
>90%-95%.169 Pada bayi dengan SaO2 <90% ternyata 50% dari bayi tersebut
mempunyai PaO2 yang sangat bervariasi serta pada umumnya < 45mmHg.
Sebaliknya pada bayi dengan Sa)2 > 95% didapatkan PaO2 dari 80 mmHg -
300mmHg.
93
Neonatus dengan hipertensi
pulmonal Sesuai pertimbangan dokter
94
dengan kesulitan bernafas selama tidak didapatkan kontra indikasi seperti
obstruksi saluran cerna dan NEC stadium II.
(2) Ventilator
Neonatus yang membutuhkan ventilator adalah neonatus yang pernah
mengalami apne, gagal napas,penggunaan terapi oksigen dengan CPAP tidak
adekuat (kebutuhan FiO2 >40%, asidosis respiratorik (pH <7,20-7,25),
PaO2<50 mmHg, dan kulit pucat atau sianosis disertai agitasi), adanya
95
gangguan neurologis (apne of prematurity, perdarahan intrakranial, dan
gangguan neuromuskular kongenital), RDS, sindrom aspirasi mekonium,
gangguan kardiovaskular (persistent pulmonary hypertension of the
newborn, pasca-resusitasi, PJB, dan syok), dan pasca-operasi karena
gangguan fungsi ventilasi.171 Neonatus yang menggunakan ventilator harus
diawasi secara ketat termasuk pengawasan pengaturan ventilator (Gambar
21).
Terapi oksigen pada neonatus sering diberikan dalam jangka panjang dan
menggunakan SpO2tinggi. Perhitungan terapi oksigen untuk mencegah ROP
dapat dibantu dengan tabel supplemental therapeutic oxygenfor
prethreshold retinopathy of prematurity (STOP-
ROP) (Tabel 8 dan Tabel 9).172,173
96
1,50 =
100 100 100 100 75 60 50 43 38
1½
2 100 100 100 100 100 80 67 57 50
3 100 100 100 100 100 100 100 86 75
4 100 100 100 100 100 100 100 100 100
5 100 100 100 100 100 100 100 100 100
6 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Tabel 9 FiO2 efektif sebagai fungsi dari faktor dan konsentrasi oksigen 173,174
Konsentrasi oksigen (%)
Faktor
21 22 25 30 40 50 100
0 21 21 21 21 21 21 21
1 21 21 21 21 21 21 22
2 21 21 21 21 21 22 23
3 21 21 21 21 22 22 23
4 21 21 21 21 22 22 24
5 21 21 21 21 22 22 25
6 21 21 21 22 22 23 26
Faktor Konsentrasi oksigen (%)
7 21 21 21 22 22 23 27
8 21 21 21 22 23 23 27
9 21 21 21 22 23 24 28
10 21 21 21 22 23 24 29
12 21 21 21 22 23 24 30
13 21 21 22 22 23 25 31
14 21 21 22 22 24 25 32
15 21 21 22 22 24 25 33
21 22 25 30 40 50 100
17 21 21 22 23 24 26 34
18 21 21 22 23 24 26 35
97
19 21 21 22 23 25 27 36
20 21 21 22 23 25 27 37
21 21 21 22 23 25 27 38
25 21 21 22 23 26 28 41
29 21 21 22 24 27 29 44
30 21 21 22 24 27 30 45
31 21 21 22 24 27 30 45
33 21 21 22 24 27 21 47
36 21 21 22 24 28 31 49
38 21 21 23 24 28 32 51
40 21 21 23 25 29 33 53
42 21 21 23 25 29 33 54
43 21 21 23 25 29 33 55
50 21 22 23 26 31 36 61
57 21 22 23 26 32 38 66
60 21 22 23 26 32 38 68
63 21 22 24 27 33 39 71
67 21 22 24 27 34 40 74
71 21 22 24 27 34 42 77
75 21 22 24 28 35 43 80
80 21 22 24 28 36 44 84
Faktor Konsentrasi oksigen (%)
83 21 22 24 28 37 45 87
86 21 22 24 29 37 46 89
100 21 22 25 30 40 50 100
FiO2 = 21 + Faktor * (konsentrasi – 21)/100
98
oksigen 100% dalam Tabel 6 untuk menentukan FiO2 yang efektif. Maka hasilnya
adalah 34%.
Masalah terapi oksigen yang dihadapi oleh fasilitas kesehatan di
Indonesia terutama selain di kota besar adalah ketiadaan pulse oximeter,
blender, oxygen analyzer, sumber udara tekan, dan T-piece resuscitator.
Alternatif terapi oksigen dengan tidak tersedianya blender, oxygen analyzer,
dan sumber udara tekan antara lain dengan venturi (Gambar 20) dan Y-tube
(Gambar 21).
Venturi adalah tabung plastik pendek yang disambungkan dengan pipa
penyalur oksigen. Venturi dapat disambungkan dengan sungkup kepala dan
sungkup wajah. Beberapa venturi mencampur oksigen murni dengan udara
kamar untuk memberikan FiO2 sesuai kebutuhan. Venturi memiliki beberapa
adaptor, masing-masing dengan bukaan/jendela yang besar untuk memasukkan
udara kamar. Oksigen melalui venturi dan menarik udara kamar sehingga terjadi
percampuran kedua gas (Tabel 7).
Gambar 22 Venturi
99
Warna Flow FiO2 (%)
venture (L/menit)
Biru 3 24
Putih 6 28
Kuning 12 35
Merah 15 40
Merah muda 15 50
100
2 61% 53% 47% 44% 41% 38% 37% 35% 34%
3 80% 68% 61% 55% 51% 47% 45% 43% 41% 39%
4 84% 74% 66% 61% 56% 52% 50% 47% 45% 44%
5 86% 77% 70% 65% 61% 57% 54% 51% 49% 47%
6 88% 80% 74% 68% 64% 61% 57% 54% 53% 51%
7 90% 82% 76% 71% 67% 64% 61% 58% 56% 54%
8 91% 84% 78% 74% 70% 66% 63% 61% 58% 56%
9 92% 86% 80% 76% 72% 68% 65% 63% 61% 58%
10 93% 87% 82% 77% 74% 70% 67% 65% 63% 61%
101
dipantau akan menghasilkan luaran yang buruk, sedangkan pemberian oksigen
restricted sebaliknya. Namun hingga saat ini belum ada bukti yang memadai
untuk menetapkan besarnya suplementasi oksigen yang paling baik bagi BBLR. 176
Meta-analisis oleh Chen et al180 (2010) melaporkan kejadian ROP pada
bayi kurang bulan lebih rendah pada penggunaan oksigen rendah dibandingkan
dengan oksigen tinggi (RR 0,48;IK95% 0,31-0,75). Khusus pada populasi BBLSR
dan BBLASR, telaah sistematik oleh Saugstad et al181 (2011) menganalisis 8 studi
yang membandingkan efek pemberian kadar oksigen rendah (70≤95%) dengan
tinggi (88-100%) yang dipantau dengan pulse oximeter, terhadap kejadian
ROP dan BPD. Telaah tersebut menyimpulkan bahwa penurunan risiko ROP
derajat berat terjadi pada pemberian oksigen rendah (9,5%) dibandingkan
dengan oksigen tinggi (20,9%) (risiko relatif (RR) 0,48; interval kepercayaan 95%
(IK95%) 0,34-0,68). Penurunan risiko BPD juga terjadi pada penggunaan oksigen
rendah (29,7%) dibandingkan dengan oksigen tinggi (40,8%) (RR 0,79;IK95% 0,64-
0,97). Hanya 2 studi yang mengevaluasi kematian sebagai luaran, dan telaah ini
memperoleh data mortalitas yang meningkat pada penggunaan oksigen rendah
dibandingkan dengan oksigen tinggi (RR 1,12;IK95% 0,86-1,45).
102
Penghentian terapi oksigen dilakukan secara bertahap.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
d. BLOOD PRESSURE
Syok didefinisikan sebagai perfusi organ vital dan pengangkutan oksigen yang
tidak adekuat. Definisi lain untuk syok adalah keadaan yang kompleks dengan
disfungsi sirkulasi yang mengakibatkan pengangkutan oksigen dan nutrisi tidak
adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Kegagalan untuk segera
mengenali dan menatalaksana syok dapat meyebabkan kegagalan organ multipel
dan bahkan kematian pada bayi baru lahir, sehingga tata laksana syok harus
dilakukan segera dan agresif. Syok terbagi dalam tiga tipe yaitu syok
hipovolemik, kardiogenik, dan septik.38
1) Syok hipovolemik
Syok hipovolemik disebabkan oleh rendahnya volume sirkulasi darah.
Penyebab syok hipovolemik terdiri atas: a) Kehilangan darah akut selama
periode kelahiran
(1) Perdarahan fetal-maternal
(2) Plasenta previa
(3) Luka pada tali pusat
(4) Transfusi antar bayi kembar (twin-to-twin transfusion)
(5) Laserasi organ (hati atau pankreas)
b) Perdarahan pasca-lahir
• Otak
• Paru
• Kelenjar adrenal
• Kulit kepala (perdarahan subgaleal)
c) Penyebab bukan perdarahan
• Kebocoran kapiler yang berat sekunder terhadap infeksi
• Dehidrasi
d) Hipotensi fungsional
• Tension pneumothorax (mengganggu curah jantung)
• Pneumopericardium (mengganggu curah jantung) Beberapa
penyebab perdarahan pasca-lahir dapat terjadi sebelum kelahiran atau
103
selama periode kelahiran. Bayi dengan syok hipovolemik menunjukkan
tanda-tanda curah jantung yang kurang: takikardia, nadi lemah, waktu
pengisian kapiler memanjang, dan warna kebiruan. Apabila bayi
kehilangan darah dalam jumlah banyak maka bayi dapat terlihat pucat,
dan disertai asidosis dan hipotensi (tanda akhir dari curah jantung yang
lemah).38
2) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik (gagal jantung) terjadi saat otot-otot jantung berfungsi
dengan lemah dan dapat terjadi pada bayi dengan:
Error! Bookmark not defined.
• Asfiksia selama masa kelahiran atau pasca-lahir
• Hipoksia dan/atau metabolik asidosis
• Infeksi bakteri atau virus
• Gangguan pernapasan berat (membutuhkan bantuan ventilasi)
• Hipoglikemia berat
• Metabolik dan/atau gangguan elektrolit berat
• Aritmia
• Kelainan jantung bawaan, terutama bayi dengan hipoksemia berat
atau obstruksi aliran darah ke sirkulasi sistemik
104
Usaha napas
• Peningkatan usaha napas (retraksi, mendengkur, pernapasan cuping
hidung)
• Takipnea
• Apne
• Napas terengah-engah (tanda akan terjadinya
cardiorespiratory arrest)
Nadi
a) Nadi perifer lemah atau tidak teraba
b) Nadi brakial lebih kuat daripada nadi femoral (pertimbangkan koarktasio
aorta atau kelainan arkus aorta)
Perfusi perifer
a) Perfusi lemah (terjadi akibat vasokonstriksi dan curah jantung yang
kurang)
b) Pemanjangan waktu pengisian kapiler (>3 detik pada bayi yang sakit
dianggap tidak normal)
c) Mottled sign
d) Kulit yang dingin
Warna
a) Sianosis
b) Pucat (dapat mengindikasikan kadar hemoglobin yang sangat rendah
sebagai akibat sekunder perdarahan)
c) Evaluasi oksigenasi dan saturasi
d) Evaluasi gas darah untuk asidosis respiratorik, metabolik, atau keduanya
Denyut jantung
a) Bradikardia (<100 denyut per menit) dengan tanda-tanda perfusi yang
buruk
(1) Hipoksemia, hipotensi, dan asidosis menyebabkan penurunan sistem
konduksi
(2) Bradikardia yang dikombinasikan dengan syok berat adalah tanda
awal akan terjadi henti jantung dan paru
(3) Singkirkan heart block sebagai salah satu penyebabnya
105
b) Takikardia (>180 denyut per menit yang terjadi
berkepanjangan saat istirahat)
(1) Takikardia dapat mengindikasikan curah jantung yang kurang
dan/atau gagal jantung kongestif
(2) Denyut jantung yang normal adalah 120-160 denyut per menit,
tetapi dapat berkisar 80-200 denyut per menit tergantung tingkat
aktivitas bayi
(3) Apabila denyut jantung >220 denyut per menit, pertimbangkan
takikardia supraventrikular
Jantung
a) Ukuran jantung yang membesar pada Röntgen toraks (berhubungan
dengan disfungsi miokardium dan perkembangan gagal jantung kongestif)
b) Ukuran jantung lebih kecil dari normal, atau terkompresi pada Röntgen
toraks (dapat merefleksikan pengisian jantung atau pre-load yang
lemah)
c) Evaluasi adanya murmur (meskipun tidak ada murmur, kelainan jantung
bawaan struktural dapat terjadi)
Tekanan darah
a) Dapat berupa normal atau rendah: hipotensi adalah tanda akhir dari
dekompensasi jantung.
b) Evaluasi tekanan nadi (tekanan sistolik – tekanan diastolik). Tekanan nadi
normal pada bayi cukup bulan 25-30 mmHg dan pada bayi kurang bulan
15-25 mmHg. Tekanan nadi yang sempit dapat mengindikasikan
vasokonstriksi perifer, gagal jantung, atau curah jantung rendah. Tekanan
nadi yang lebar dapat mengindikasikan runoff aortic yang besar, seperti
yang terlihat pada duktus arteriosus paten yang signifikan atau
malformasi arteriovena besar.
106
dan kombinasi asidosis respiratorik dan metabolik dapat terjadi. a) pH
<7,3 tidak normal
b) pH <7,25 mencurigakan, terutama jika ada bersamaan dengan perfusi
yang buruk, takikardia, dan/atau hipotensi
c) pH <7,2 tidak normal secara signifikan
d) pH <7,1 mengindikasikan bayi dengan kondisi krisis berat 2) Glukosa
Hiperglikemia dapat menjadi tanda awal respon bayi terhadap stress.
Gula darah harus dievaluasi secara teratur sampai pola stabilitas gula
darah tercapai.
3) Elektrolit (hipo- atau hiper-natremia, hipo- atau hiperkalemia)
Apabila terdapat metabolik asidosis, hitung anion gap.
4) Pemeriksaan lain dan observasi:
a) Ekokardiografi untuk mengevaluasi fungsi jantung dan mengeliminasi
kelainan jantung bawaan struktural sebagai penyebab
b) Evaluasi produksi urin (oliguria atau anuria)
c) Evaluasi sepsis (pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis dan
kultur darah)
107
Tata laksana syok
Langkah pertama dalam tata laksana syok adalah melakukan evaluasi risiko
apakah bayi mempunyai risiko untuk mengalami syo atau tidak. Perlu dicatat
bahwa tanda klinis syok pada awalnya adalah hampir sama dengan tanda
gangguan pernafasan, sehingga setiap bayi dengan masalah pernafasan, setelah
dilakukan pemberian dukungan pernafasan diikuti dengan evaluasi tanda tanda
dini syok. Langkah berikutnya adalah melakukan pencegahan syok terjadi lebih
lanjut serta mengidentifikasi penyebab syok. Langkah selanjutnya adalah
tatalaksana penyebabTujuan tata laksana syok adalah meningkatkan curah
jantung dengan meningkatkan volume, meningkatkan perfusi jaringan,
meningkatkan oksigenasi jaringan, menurunkan metabolisme anaerob,
menurunkan timbunan asam laktat, dan meningkatkan pH. 38 Pada umumnya
syok pada bayi adalah syok hipovolemik. Oleh sebab itu bila mendapati bayi
dengan tanda tanda awal syok, segera diberikan bolus cairan larutan fisiologis
sebanyak 10 ml/kgBB dalam 30-60 menit. Selanjutnya penanganan tergantung
sebab yang mendasari syok.
108
meningkatkan volume. Sebelum diberikan penambahan volume,
konsultasi dengan ahli neonatologi di layanan kesehatan tersier.
b) Apabila terdapat kehilangan darah akut, mulai resusitasi cairan
dengan normal saline sambil menunggu transfusi sel darah merah
atau whole blood. Dosis pemberian cairan adalah 10 mL/kgBB/kali
IV, kateter vena umbilikus, atau intraosseous selama 30 menit-2 jam.
Waktu pemberian bervariasi, dapat lebih cepat dari 30 menit
tergantung dari beratnya keadaan bayi. Dalam keadaan darurat yang
tidak memungkinkan untuk pemeriksaan cross-match sebelum
pemberian darah, transfusi sel darah merah tipe O-negatif dapat
diberikan. Transfusi sedapat mungkin berupa sel darah merah yang
kurang dari satu minggu, negatif CMV, dan leuko-reduced.
109
Gambar 24 Syringe pump
110
c) Pantau tekanan darah dan denyut jantung setiap 1-2 menit selama 15
menit lalu setiap 2-5 menit tergantung respons pengobatan. Apabila
bayi tidak merespons dengan dosis 20 mcg/kgBB/menit, maka
peningkatan dosis lebih lanjut tidak dianjurkan.
d) Infus dopamin menggunakan pompa infus dan untuk meningkatkan
keamanan, gunakan teknologi "smart pump" bila memungkinkan.
e) Pemberian sedapat mungkin melalui vena umbilikus, bila posisi
kateter sudah dikonfirmasi dengan Röntgen toraks dan ujungnya
terletak tepat di atas hati pada vena kava inferior/right atrial
junction. Apabila tidak terdapat akses vena sentral, infus dopamin
melalui IV perifer. Pantau daerah infus terhadap terjadinya infiltrasi
dan ganti bila perlu.
f) Pemberian dopamin tidak boleh dilakukan melalui arteri termasuk
kateter arteri umbilikus.
g) Dopamin jangan diberikan secara cepat karena tekanan darah dapat
mendadak naik dan denyut jantung turun dengan drastis.
Belum ada bukti memadai yang mendukung pemberian ekspansi volume
pada BBLR dengan masalah kardiovaskular. Metaanalisis oleh Osborn et al 185
(2009) menyimpulkan albumin tidak terbukti lebih baik dibandingkan normal
saline dalam meningkatkan tekanan darah untuk hipotensi pada bayi baru lahir
kurang bulan. Meta-analisis oleh Beveridge (2009) menyatakan belum ada bukti
memadai yang mendukung manfaat cairan sodium bikarbonat dalam resusitasi di
kamar bersalin untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. 184
Kotak 3 menunjukkan tata laksana komponen “blood pressure” pada
bayi baru lahir yang sakit.
111
• Disfungsi organ terjadi akibat perfusi dan oksigenasi tidak optimal.
• Evaluasi penyebab syok dan lakukan tata laksana dengan agresif.
• Keputusan tata laksana syok menggunakan volume dan/atau
medikamentosa adalah berdasarkan pada riwayat penyakit dan hasil
pemeriksaan fisis, tidak hanya pada tekanan darah.
Kotak 3 . Kunci tata laksana tekanan darah bayi baru lahir yang
sakit.38
112
Pemeriksaan laboratorium penting sebagai indikator awal terjadinya infeksi pada
bayi baru lahir. Bayi dengan risiko tinggi infeksi adalah bayi dengan: Error!
Bookmark not defined.
•
Tinjau kembali riwayat ibu dan bayi untuk faktor risiko infeksi.
• Waspadai tanda dan gejala infeksi yang tidak kentara.
• Ingat bahwa hasil pemeriksaan darah lengkap dapat normal pada
stadium awal terjadinya infeksi.
113
Kotak 4. Kunci pemeriksaan laboratorium untuk tata laksana bayi baru lahir yang
sakitError! Bookmark not defined.
f. EMOTIONAL SUPPORT
Keadaan yang dapat terjadi seputar kelahiran bayi sakit dan
cara memberi dukungan emosional kepada keluarga
Bayi baru lahir yang sakit dan membutuhkan perawatan intensif merupakan
suatu krisis bagi keluarga. Tenaga kesehatan dapat memberikan dukungan
emosional sejak awal, stabilisasi, saat akan dirujuk, setelah dirujuk, sampai
dengan tiba di NICU. Sejak awal dan stabilisasi, ibu dapat diijinkan melihat bayi.
Tenaga kesehatan memberi selamat atas kelahiran bayi dan memanggil bayi
dengan nama apabila sudah diberi nama oleh keluarga. Hal lain yang dapat
dilakukan keluarga adalah mengambil foto dan jejak kaki bayi. Keberadaan
kerabat dan pemuka agama juga dapat membantu. Error! B ookmark not
defined.
Saat bayi akan dirujuk, tenaga kesehatan dapat memberi penjelasan mengenai
keadaan bayi dan rencana tata laksana. Saat bayi tiba di NICU, tenaga kesehatan
dapat melibatkan peran orangtua sejak dini dan mengkomunikasikan keadaan
bayi. Error! B ookmark not defined.
114
(2010) melaporkan bahwa pada B BLSR laki-laki, penundaan pemotongan tali
pusat selama 30-45 detik sambil merendahkan posisi bayi, merupakan faktor
protektif terhadap disabilitas motorik pada usia koreksi tujuh bulan. Hal ini
terjadi karena bayi yang mengalami penundaan pemotongan tali pusat,
mempunyai aliran sel darah merah ke otak (korteks motorik) yang lebih banyak
dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera (<10 detik), sehingga
pemenuhan kebutuhan oksigen pada beberapa hari pertama lebih baik. Pada
bayi cukup bulan yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan pemotongan
tali pusat menghasilkan status besi yang lebih baik pada bayi baru lahir.
Penundaan pemotongan tali pusat dilakukan selama satu menit atau sampai
umbilikus berhenti berdenyut setelah kelahiran.191
Pada bayi kurang bulan yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan
pemotongan tali pusat selama 30 detik sampai tiga menit menghasilkan tekanan
darah bayi yang lebih baik pada tahap stabilisasi dan angka kejadian IVH yang
lebih rendah, dibandingkan tanpa penundaan pemotongan tali pusat. Sedangkan
pada bayi kurang bulan yang memerlukan resusitasi, belum ada bukti yang cukup
mengenai penundaan pemotongan tali pusat.192,193 Belum ada studi yang mampu
membuktikan pengaruh gaya gravitasi atau posisi bayi sebelum pemotongan tali
pusat dengan kebutuhan oksigen, kejadian transfusi, maupun IVH.194
115
terapi penghambat siklo-oksigenase atau cyclooxygenase inhibitors (COX
inhibitors), melainkan juga menurunkan risiko perlunya bedah ligasi. 196
Pada telaah sistematik yang sama, dua studi memperoleh hasil positif
yang serupa, namun menunjukkan risiko perdarahan gastrointestinal yang
meningkat, dengan number needed to treat to harm (NNH) 4 (IK95% 2-17).
Mortalitas, kejadian perdarahan intraventrikular, dan kejadian penyakit paru
kronik pada kelompok ibuprofen dengan kelompok plasebo/tanpa intervensi
tidak berbeda bermakna. Pada kelompok kontrol, proporsi PDA yang menutup
spontan pada hari ke-3 adalah 58%. Selain efek samping pada saluran
gastrointestinal, studi-studi tersebut ternyata juga menemukan efek samping
terhadap fungsi ginjal dalam pemantauan jangka pendek. Oleh sebab itu
ibuprofen profilaksis belum direkomendasikan sampai hasil pemantauan jangka
panjang
(saat ini studi masih berlangsung) diperoleh.196
116
Transport ibu hamil risiko tinggi ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap
merupakan bagian penting dalam pelayanan perinatal. 198 Morbiditas dan
mortalitas dapat diturunkan sangat bermakna terutama pada kehamilan kurang
bulan.199,200 Identifikasi ibu hamil risiko tinggi sangat dibutuhkan untuk
tatalaksana tersebut. Apabila keadaan terpaksa dimana proses trasnport ibu
hamil dengan risiko tinggi tidak dapat dilaksanakan, maka diperlukan perlu
sistem transport neonatus bagi fasilitas kesehatan primer yang meliputi
kompetensi tenaga kesehatan, peralatan dan panduan yang sesuai. Sistem
transport tersebut harus dapat menjaga keadaan stabil neonatus dari fasilitas
layanan primer sepanjang waktu baik sebelum, selama atau setelah sampai di
fasilitas rujukan baik di layanan sekunder maupun tersier. 201
117
Indikasi merujuk neonatus ke fasilitas layanan neonatus sekunder atau tersier
yang memerlukan prosedur transport adalah sebagai berikut:202,203
1. Gangguan napas berat: ancaman gagal napas/apne/sesak napas berat,
misalnya RDS yang terus memburuk atau persisten dalam 5-6 jam, distres
napas akibat aspirasi mekoneum, sianosis yang menetap meskipun
dengan terapi oksigen, dan asfiksia perinatal dengan skor Apgar <8
2. Ancaman gangguan sirkulasi (syok)
3. Kelainan kongenital berat dengan prognosis yang baik (dapat dinilai
dengan skor paediatric index of mortality atau skor PIM*)
4. Bayi berat lahir rendah dengan tiga masalah di atas
5. Bayi berat lahir sangat rendah
6. Bayi yang tidak bugar dengan tampak letargi, menangis lemah,
mengalami poor feeding, sianosis, atau muntah
7. Kejang
8. Perdarahan
9. Memerlukan transfusi tukar karena ikterik
10. Bayi dari ibu DM
11. Memerlukan pembedahan, misalnya kasus obstruksi saluran
gastrointestinal, mielomeningokel, dan atresia koana
12. Gagal jantung atau aritmia
13. Memerlukan uji diagnostik ataupun terapi khusus
118
3.4.1 Persiapan merujuk neonatus206,207, ACCEPT
a. Penilaian adekuat (Assessment)
Pada saat diputuskan untuk dirujuk, neonatus harus dalam keadaan stabil,
dengan indikasi tepat untuk dirujuk ke fasilitas layanan neonatus sekunder atau
tersier.203,208
b. Terkendali (Control)
Sistem transport neonatus terkendali dengan baik mulai dari kompetensi tenaga
medik yang akan melaksanakan prosedur transportasi sampai pada kelengkapan
alat kedokteran dan kesehatan yang diperlukan. Tujuan keberadaan tim transpor
dapat diilustrasikan sebagai “to take intensive care to the baby
rather than take the baby to intensive care”. Di dalam ambulans ada
tenaga kesehatan yang mampu menangani kondisi bayi selama perjalanan
termasuk perburukan klinis dan kegawatdaruratan, atau bahkan memperbaiki
kondisi bayi jika ia mampu. Idealnya tenaga kesehatan yang menyertai transpor
BBLR adalah seorang perawat perinatologi yang terampil.209 Sampai saat ini
belum ada standar nasional ataupun pelatihan metode transfer, seperti halnya
standar maupun pelatihan resusitasi yang telah ada saat ini. 210
Peralatan dan perlengkapan yang harus diperhatikan selama merujuk
211
yaitu:
1) Inkubator transpor (Gambar 28)
2) Monitor denyut nadi, pernapasan, suhu, tekanan darah, konsentrasi
oksigen inspirasi, SpO2, dan PaCO2 (monitor CO2 transkutan dapat
digunakan jika AGD sulit dikerjakan212,213)
119
3) Peralatan ventilasi: T-piece resuscitator, balon resusitasi dan sungkup
neonatus ukuran bayi kurang bulan dan cukup bulan 0/0, 0/1, dan 2, serta
pulse oxymeter
4) Peralatan intubasi: laringoskop dengan daun lurus ukuran 0 dan pipa
endotrakeal ukuran 2, 2,5, 3, 3,5, dan 4 mm, gunting, serta sarung tangan
5) Peralatan infus IV
6) Kateter penghisap ukuran 6, 8, 10, dan 12
7) Obat-obatan: adrenalin/epinefrin 1:10.000, dekstrosa 10%, natrium
bikarbonat 4,2%, aminofilin, fenobarbital, dan aqua steril
8) Cairan pengganti volume: NaCl 0,9% dan atau ringer laktat
9) Analisis gas darah portable
10) Analisis gula darah portabel
11) Gas medis (O2, NO)
120
Gambar 25 Inkubator transpor
c. Komunikasi (Communication)xix
Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) diberikan kepada orang tua dan kelurga
neonatus yang akan menjalani proses transportasi ke fasilitas kesehatan rujukan.
Implementasi hasil KIE dengan orang tua dan keluarga diwujudkan di dalam
informed consent. Komunikasi juga dilakukan dengan tim transport neonatus
dan tim rawat di rumah sakit rujukan. Komunikasi antara tenaga kesehatan di
tempat kelahiran BBLR (tim perujuk), tim transpor, maupun dokter di rumah
sakit rujukan harus berjalan baik. Komunikasi mencakup riwayat kelahiran bayi,
faktor antenatal lain yang dapat berpengaruh, dan perkembangan kondisi bayi.
Tim perujuk terlebih dahulu menghubungi dokter penerima rujukan untuk
memastikan ketersediaan tempat, kemudian menghubungi tim transpor. 202,215
121
Komunisasi informasi dan edukasi terhadap orang tua pasien
harus dilaksanakan dengan sejelas-jelasnya dengan hasil akhir
ditanda tanganinya informed consent. Komunikasi antara
dokter penanggung jawab, tim transport neonatus sakit dan
dokter penanggung jawab di RS rujukan harus dilakukan dan
tercatat dengan baik.
Level of evidence 1A, rekomendasi A
122
c) Akses arterial dipertimbangkan pemasangannya pada bayi yang memerlukan
pemeriksaan AGD dan atau tekanan darah yang akurat secara berulang-
ulang. Jika pemasangan jalur arteri tidak akan memengaruhi tata laksana
sebelum dan selama transpor, maka pemasangan jalur arteri dapat ditunda
pasca-transpor.
d) Apakah kateter urin sudah benar dan aman?
e) Apakah neonatus membutuhkan bantuan cairan dan obat-obat inotropik?
f) Dukungan cairan IV dan atau inotropik harus dimulai sejak awal, sesuai
dengan indikasi. Kateter IV harus dipantau pada posisi yang benar dan aman.
123
Gambar 26 Tas pembawa bayi: bayi di dalam tas, dibungkus plastik, dan
mengenakan selimut pembungkus217
Bayi baru lahir dirujuk harus dalam keadaan stabil, ditandai dengan “warm,
pink, and sweet”. Komponen yang harus diperhatikan untuk
menciptakan kondisi stabil adalah“warm, pink, and sweet”:
a) Regulasi temperatur
b) Oksigenasi
c) Kadar glukosa
5) Pastikan bayi hangat
Bayi dalam kondisi hangat ditandai dengan suhu aksila 36,537,5°C. Bayi
dikenakan plastik transparan, diletakkan dalam inkubator, atau diterapkan
metode kanguru (pada fasilitas terbatas).
6) Pastikan bayi bernapas adekuat
a) Frekuensi napas: 40-60 kali per menit
124
b) Tidak ada tanda-tanda gangguan napas, misalnya napas cuping hidung,
retraksi, merintih, dan sianosis (dapat dinilai berdasarkan sistem penilaian
Down (Tabel 2)
Berikut adalah penatalaksanaan saat bayi mengalami desaturasi: a) Nilai monitor
saturasi berfungsi dengan baik.
b) Pastikan bayi berada pada posisi yang baik (usahakan posisi tengkurap).
c) Pengisapan jalan napas bila diperlukan.
d) Naikkan FiO2 5% hingga saturasi naik dan turunkan FiO2 bila saturasi melebihi
target.
e) Bayi dengan peningkatan episode desaturasi → pikirkan infeksi.
7) Pastikan sirkulasi baik
a) Denyut jantung normal 120-160 kali per menit
b) Waktu pengisian kapiler atau capillary refill time (CRT) ≤3 detik220
c) Akral hangat
125
Kendaraan merupakan kunci utama berjalannya mekanisme merujuk36. Pilihan
jenis kendaraan tergantung pada ketersediaan alat transportasi, keadaan
geografik (darat, air, atau udara), kegawatdaruratan situasi, dan pengalaman
petugas.36 Newborn Amergency Transport Service (NETS) Sydney,
Australia menetapkan batasan penggunaan moda transportasi adalah jalan darat
(menggunakan ambulans) untuk jarak <50 km, helikopter untuk 50-500 km, dan
air ambulance untuk >500 km. Waktu respons tim transpor sangat
memengaruhi luaran. Waktu respons ini bukan hanya waktu yang dibutuhkan
oleh tim transpor untuk mencapai tempat kelahiran bayi, melainkan juga waktu
tim transpor untuk mempersiapkan semua peralatan dan perlengkapan
kemudian memobilisasinya ke kendaraan transpor. Waktu respons NETS yang
dilaporkan adalah 45-60 menit untuk jalan darat, 20-30 menit untuk helikopter,
dan 1-3 jam untuk air ambulance.36 210
Ambulans merupakan salah satu pilihan transportasi darat dengan jarak
tempuh yang dekat. Pada cuaca buruk ambulans dapat mencapai tujuan lebih
cepat dibandingkan dengan transportasi udara atau air. Keuntungan
menggunakan ambulans adalah biaya transportasi murah, dapat berjalan dalam
cuaca apapun, dan ruangan dalam ambulans relatif lapang sehingga dapat
memuat dua inkubator dan peralatan merujuk.202,209,203, Di Indonesia ambulans
dapat menjadi pilihan utama kendaraan transpor karena ambulans merupakan
kendaraan medis utama yang tersedia. Rumah sakit maupun puskesmas di
Indonesia sudah banyak yang memiliki ambulans. Di dalam ambulans, BBLR
diletakkan di dalam inkubator transpor dan inkubator tersebut difiksasi selama
perjalanan. Satu ambulans dapat menampung sampai dua buah inkubator.
Suatu rekomendasi untuk dapat diterima dan diaplikasikan dengan baik oleh
pemberi layanan kesehatan maupun perencana pelayanan kesehatan, harus
terbukti efektif secara klinis dan cost-effective dalam tata laksana suatu
penyakit atau keadaan. Belum ada studi yang melaporkan analisis biaya secara
rinci mengenai tata laksana BBLR sejak mekanisme resusitasi sampai mekanisme
merujuk. Berikut ini harga dasar peralatan (Gambar 29) dan obat-obatan yang
126
diperlukan dalam resusitasi, stabilisasi, dan merujuk BBLR, berdasarkan level
perawatan neonatal:
Tabel 12. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di perawatan neonatal level I
Tabel 13. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di perawatan neonatal level II
127
Alat analisis gula darah228 1.100.000
Syringe pump (5 buah)189 75.625.000
Pulse Oxymeter lengkap229 47.000.000
Continuous positive airway pressure 150.000.000
(CPAP)223
Laringoskop dengan daun lurus ukuran 0 2.750.000 dan 00
T-piece resuscitator230 22.000.000
Fototerapi 8.000.000
Baju kanguru 75.000
128
Tabel 14. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di perawatan neonatal level III
Tabel 15. Harga barang medis habis pakai dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di level perawatan neonatal I, II, dan III
129
3,5, dan 4 mm232
Sarung tangan steril (1 pasang)233 3.600 Peralatan infus
IV (abocath, infusion line, alcohol swab 2 buah,
dan 34.200
plester 5 cm x 5 m)234,235
Selang oksigen threeway 38.600
Selang oksigen 15.000
Spuit 1 mL/3 mL/5 mL/10 mL 4.800/3.600/4.800/5.900 Kateter penghisap
ukuran 6, 8, 10, 5.000 dan 12233
Adrenalin/epinefrin ampul 0,1% (1 400 mL)236
Sulfas atropin ampul 0,25 mg/mL (1 1.000 mL)236
Dekstrosa 10% (kolf)237 9.000
Aminofilin injeksi 24 mg/mL (10 1.300 mL)235
Fenobarbital ampul 50 mg/mL (1 750
mL)235
Aqua steril vial 500 mL238 8.650
NaCl 0,9% (500 mL)239 15.000
NaCl 0,9% (100 mL) 12.700
Sodium bikarbonat 8,4% (25 mL) 33.350
Vit K1 ampul 2 mg/mL 1.500
Gas O2 (termasuk tabung oksigen isi 850.000
1 kubik, regulator, dan trolley)240
d
Gambar 27 Peralatan resusitasi
130
Merujuk bayi melalui jalan darat tersedia dengan mobil ambulans dengan
biaya sebagai berikut (pelayanan di wilayah DKI
Jakarta):241
1) Rp 300.000,00
a) Pelayanan pra-rumah sakit dari rumah/kediaman pasien ke rumah
sakit rujukan swasta maupun pemerintah.
b) Pelayanan rujukan antar rumah sakit (dari puskesmas ke rumah sakit,
dari klinik 24 jam ke rumah sakit, dari klinik bersalin ke rumah sakit,
rumah sakit ke rumah sakit, dan rumah sakit ke rumah/kediaman
pasien)
2) Rp 750.000,00
Pelayanan dari rumah sakit ke bandar udara, pelabuhan laut, atau stasiun
kereta api.
Merujuk bayi dapat juga menggunakan transportasi udara baik ke dalam maupun
ke luar negeri dengan perkiraan biaya sebagai berikut:242
1) Jakarta - Singapura: US$ 20.000 atau ± Rp
170.000.000,00 (kurs Rp 8.500,00)
2) Jakarta - Kuala Lumpur: US$ 27.000 atau ± Rp
229.500.000,00 (kurs Rp 8.500,00)
3) Jakarta - Surabaya: US$ 17.000 atau ± Rp 144.500.000,00 (kurs Rp 8.500,00)
131
BAB IV
132
(hlm 19)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C
133
Pada BBLSR yang bernapas spontan dan teratur saat lahir,
bantuan pernapasan diberikan berupa CPAP. Tindakan intubasi
hanya dilakukan untuk pemberian surfaktan jika ada indikasi.
(hlm 22)
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A
134
Penggunaan T-piece resuscitator dibandingkan dengan
penggunaan balon resusitasi tanpa katup TPAE di kamar
bersalin, menurunkan risiko kegagalan CPAP.
(hlm 24)
Level of evidence III, derajat rekomendasi C
135
Pada BBLR, pemeriksaan kadar gula darah dilakukan segera
setelah lahir dan diulang 2-4 jam kemudian.
(hlm 27)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C
136
leher sampai kaki, tanpa mengeringkan bayi terlebih dahulu,
mengurangi kejadian hipotermia.
(hlm 36)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
137
(hlm 49)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
138
stabilisasi, mengurangi risiko perdarahan intraventrikular, dan
mengurangi risiko keterlambatan perkembangan motorik.
(hlm 60)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
139
Penilaian indikasi dan keadaan klinis neonatus sakit yang akan
dirujuk harus dilakukan sebelum proses transport
dilaksanakan.
(hlm 89)
Level of evidence 1A, rekomendasi A
140
(hlm 96)
Level of evidence 1A, rekomendasi A
141
DAFTAR RUJUKAN
1. United Nations Children's Fund. Basic Indicators [UNICEF Website]. 2011. (Accessed
July 07, 2011, at https://www.unicef.org/infobycountry/stats_popup1.html.)
2. Lawn JE, Cousens S, Zupan J. Lancet Neonatal Survival Steering Team. 4 million
neonatal deaths: when? Where? Why? Lancet 2005;365:891-900.
3. Lawn JE, Osrin D, Adler A, Cousens S. Four million neonatal deaths: counting and
attribution of cause of death. Paediatr Perinat Epidemiol 2008;22:410-6.
4. Central Intelligence Agency. The World Factbook: Infant Mortality Rates of The
World [CIA Website]. 2011. (Accessed July 11, 2011, at
http://world.bymap.org/InfantMortality.html.)
5. Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI; 2017.
6. United Nation. Millennium Development Goals. UN, 2015. (Accessed Jan, 2018, at
https://www.un.org/millenniumgoals/.)
7. United Nations Children’s Fund and World Health Organization. Low Birthweight:
Country, regional and global estimates. New York2004.
8. Roberts G, Anderson PJ, Cheong J, Doyle LW. Parent‐reported health in extremely
preterm and extremely low‐birthweight children at age 8 years compared with
comparison children born at term. Dev Med Child Neurol 2011;53:927-32.
9. Walden RV, Taylor SC, Hansen NI, et al. Major congenital anomalies place extremely
low birth weight infants at higher risk for poor growth and developmental outcomes.
Pediatrics 2007;120:e1512-19.
10. De-Kieviet JF, Piek JP, Aarnoudse-Moens CS, Oosterlaan J. Motor development in
very preterm and very low-birth-weight children from birth to adolescence: a meta-
analysis. JAMA 2009;302:2235-42.
11. Shah P, Ohlsson A. Literature review of low birth weight, including small for
gestational age and preterm birth. Toronto, Toronto Public Health 2002.
12. Lewit EM, Baker LS, Corman H, Shiono PH. The direct cost of low birth weight.
Future Child 1995:35-56.
13. WHO. Born too soon: The global action report on preterm birth. Switzerland: WHO
Press; 2012.
14. Cavallo MC, Gugiatti A, Fattore G, Gerzelli S, Barbieri D, Zanini R. Cost of care and
social consequences of very low birth weight infants without premature-related
morbodity. Italian J Pediatr 2015;41:1-12.
15. Lopez NB, Choonara I. Can we reduce the number of low-birth-weight babies? The
Cuban experience. Neonatology 2009;95:193-7.
16. Badan Pusat Statistik. Survei sosial dan ekonomi nasional. Jakarta; BPS2005.
17. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2013.
18. Rundjan L, Rohsiswatmo R. Resusitasi Neonatus UKK Neonatologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia 2017.
19. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2007.
20. Lasswell SM, Barfield WD, Rochat RW, Blackmon L. Perinatal regionalization for
very low-birth-weight and very preterm infants: a meta-analysis. JAMA
2010;304:9921000.
142
21. Mercier CE, Dunn MS, Ferrelli KR, Howard DB, Soll RF. Vermont Oxford Network
ELBW Infant Follow-Up Study Group. Neurodevelopmental outcome of extremely
low birth weight infants from the Vermont Oxford network: 1998–2003. Neonatology
2010;97:32938.
22. Ribeiro LA, Zachrisson HD, Schjolberg S, Aase H, Rohrer-Baumgartner N, Magnus P.
Attention problems and language development in preterm low-birth-weight children:
Crosslagged relations from 18 to 36 months. BMC Pediatr 2011;11:59.
23. Robertson CMT, Howarth TM, Bork DLR, Dinu IA. Permanent bilateral sensory and
neural hearing loss of children after neonatal intensive care because of extreme
prematurity: a thirty-year study. Pediatrics 2009;123:e797-07.
24. Hahn WH, Chang JY, Chang YS, Shim KS, Bae CW. Recent trends in neonatal
mortality in very low birth weight Korean infants: in comparison with Japan and the
USA. J Korean Med Sci 2011;26:467-73.
25. Martin JA, Kung HC, Mathews TJ, et al. Annual summary of vital statistics: 2006.
Pediatrics 2008;121:788-801.
26. Pei L, Chen G, Mi J, et al. Low birth weight and lung function in adulthood:
retrospective cohort study in China, 1948–1996. Pediatrics 2010;125:e899-905.
27. Manktelow BN, Draper ES, Annamalai S, Field D. Factors affecting the incidence of
chronic lung disease of prematurity in 1987, 1992, and 1997. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2001;85:F33-5.
28. Kwinta P, Klimek M, Drozdz D, et al. Assessment of long-term renal complications in
extremely low birth weight children. Pediatr Nephrol 2011;26:1095-103.
29. Mackay CA, Ballot DE, Cooper PA. Growth of a cohort of very low birth weight
infants in Johannesburg, South Africa. BMC Pediatr 2011;11:50.
30. Aarnoudse-Moens CS, Weisglas-Kuperus N, Van-Goudoever JB, Oosterlaan J. Meta-
analysis of neurobehavioral outcomes in very preterm and/or very low birth weight
children. Pediatrics 2009;124:717-28.
31. Hameed B, Shyamanur K, Kotecha S, et al. Trends in the incidence of severe
retinopathy of prematurity in a geographically defined population over a 10-year
period. Pediatrics 2004;113:1653-7.
32. Stephens BE, Bann CM, Poole WK, Vohr BR. Neurodevelopmental impairment:
predictors of its impact on the families of extremely low birth weight infants at 18
months.
Infant Ment Health J 2008;29:570-87.
33. Stark AR. Levels of neonatal care. Pediatrics 2004;114:1341-7.
34. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians and
Gynecologists. Guidelines for perinatal care: Amer Academy of Pediatrics; 2002.
35. Committee on Fetus and Newborn. Levels of neonatal care. Pediatrics 2012;130:587.
36. Gill AB, Bottomley L, Chatfield S, Wood C. Perinatal transport: problems in neonatal
intensive care capacity. Arch Dis Child Fetal NeonataL Ed 2004;89:F220-3.
37. Cusack JM, Field DJ, Manktelow BN. Impact of service changes on neonatal transfer
patterns over 10 years. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2007;92:F181-4.
38. Karlsen K. Post-Resuscitation/Pre-Transport Stabilization Care of Sick Infants,
Guidelines for Neonatal Healthcare Providers. Utah: The S.T.A.B.L.E; 2006.
39. Enweronu-Laryea C, Nkyekyer K, Rodrigues OP. The impact of improved neonatal
intensive care facilities on referral pattern and outcome at a teaching hospital in Ghana.
J Perinatol 2008;28:561-5.
40. Ballot DE, Chirwa TF, Cooper PA. Determinants of survival in very low birth weight
neonates in a public sector hospital in Johannesburg. BMC Pediatr 2010;10:30.
143
41. Vonderweid UD, Carta A, Chiandotto V, et al. Italian Multicenter Study on Very Low
Birth Weight Babies. Ann Ist Super Sanita 1991;27:633-50.
42. Vakrilova L, Kalaĭdzhieva M, Slŭncheva B, Popivanova A, Metodieva V, Garnizov T.
Resuscitation in very low birth weight and extremely low birth weight newborns in the
delivery room. Akush Ginekol (Mosk) 2002;41:18-23.
43. Basu S, Rathore P, Bhatia BD. Predictors of mortality in very low birth weight
neonates in India. Singapore Med J 2008;49:556.
44. Almeida MF, Guinsburg R, Martinez FE, et al. Perinatal factors associated with early
deaths of preterm infants born in Brazilian Network on Neonatal Research centers. J
Pediatr (Rio J) 2008;84:300-7.
45. Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. Survival and outcome of very low birth weight
infants born in a university hospital with level II NICU. J Med Assoc Thai
2007;90:1323. 46. Velaphi SC, Mokhachane M, Mphahlele RM, Beckh-Arnold E,
Kuwanda ML, Cooper PA. Survival of very-low-birth-weight infants according to
birth weight and gestational age in a public hospital. S Afr Med J 2005;95:504-9.
47. Tsou KI, Tsao PN. The morbidity and survival of very-low-birth-weight infants in
Taiwan. Acta Paediatr Taiwan 2003;44:349-55.
48. Anthony S, Den-Ouden L, Brand R, Verloove-Vanhorick P, Gravenhorst JB. Changes in
perinatal care and survival in very preterm and extremely preterm infants in The
Netherlands between 1983 and 1995. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2004;112:170-7.
49. Darlow BA, Cust AE, Donoghue DA. Improved outcomes for very low birthweight
infants: evidence from New Zealand national population based data. Arch Dis Child Fetal
and Neonatal Ed 2003;88:F23-8.
50. Cifuentes J, Bronstein J, Phibbs CS, Phibbs RH, Schmitt SK, Carlo WA. Mortality in
low birth weight infants according to level of neonatal care at hospital of birth. Pediatrics
2002;109:745-51.
51. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, et al. on behalf of the Neonatal Resuscitation
Chapter Collaborators. Part 7: neonatal resuscitation: 2015 International Consensus on
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with
Treatment Recommendations. Circulation 2015;132(suppl 1):S204-41.
52. Saugstad OD. New guidelines for newborn resuscitation. Acta Paediatr 2007;96:333-
7.
53. Verlato G, Grobber D, Drabo D, Chiandetti L, Drigo P. Guidelines for resuscitation in
the delivery room of extremely preterm infants J Child Neurol 2004:31-4.
54. Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, et al. Part 13: neonatal resuscitation: 2015
American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care Circulation 2015;132(suppl 2):S543-60.
55. Aziz K, Chadwick M, Baker M, Andrews W. Ante-and intra-partum factors that
predict increased need for neonatal resuscitation. Resuscitation 2008;79:444-52.
56. Zaichkin J, Weiner G, C M. Instructor manual for neonatal resuscitation. Pediatrics;
2011.
57. Kattwinkel J, Perlman JM, Aziz K, et al. Part 15: neonatal resuscitation: American
Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation 2010;122(18 suppl 3):S909-19.
58. Wylie J, Perlman JM, Kattwinkel J, et al. Part 11: neonatal resuscitation: 2010
International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular care Science With Treatment Recommendation. Circulation 2010:S516-
38.
59. Mariani G, Dik PB, Ezquer A, et al. Pre-ductal and post-ductal O2 saturation in
healthy term neonates after birth. J Pediatr 2007;150:418-21.
144
60. Vain NE, Szyld EG, Prudent LM, Wiswell TE, Aguilar AM, Vivas NI. Oropharyngeal
and nasopharyngeal suctioning of meconium-stained neonates before delivery of their
shoulders: multicentre, randomised controlled trial. The Lancet 2004;364:597-602.
61. Dannevig I, Solevåg AL, Saugstad OD, Nakstad B. Lung Injury in Asphyxiated
Newborn Pigs Resuscitated from Cardiac Arrest-The Impact of Supplementary Oxygen,
Longer Ventilation Intervals and Chest Compressions at Different Compression-to-
Ventilation Ratios. Open Respir Med J 2012;6:89.
62. Dannevig I, Solevåg AL, Sonerud T, Saugstad OD, Nakstad B. Brain inflammation
induced by severe asphyxia in newborn pigs and the impact of alternative resuscitation
strategies on the newborn central nervous system. Pediatr Res 2013;73:163.
63. Hemway RJ, Christman C, Perlman J. The 3: 1 is superior to a 15: 2 ratio in a
newborn manikin model in terms of quality of chest compressions and number of
ventilations. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 2012;Apr 1:fetalneonatal-2011.
64. Solevåg AL, Dannevig I, Wyckoff M, Saugstad OD, Nakstad B. Extended series of
cardiac compressions during CPR in a swine model of perinatal asphyxia. Resuscitation
2010;81:1571-6.
65. Solevåg AL, Dannevig I, Wyckoff M, Saugstad OD, Nakstad B. Return of
spontaneous circulation with a compression: ventilation ratio of 15: 2 versus 3: 1 in
newborn pigs with cardiac arrest due to asphyxia. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
2011:fetalneonatal200386.
66. Solevåg AL, Madland JM, Gjærum E, Nakstad B. Minute ventilation at different
compression to ventilation ratios, different ventilation rates, and continuous chest
compressions with asynchronous ventilation in a newborn manikin. Scand J Trauma
Resus 2012;20:73.
67. Harrington DJ, Redman CW, Moulden M, Greenwood CE. The long-term outcome in
surviving infants with Apgar zero at 10 minutes: a systematic review of the literature and
hospital-based cohort. Am J Obstet Gynecol 2007;196:463.e1-5.
68. Kasdorf E, Laptook A, Azzopardi D, Jacobs S, Perlman JM. Improving infant
outcome with a 10 min Apgar of 0. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed
2014:fetalneonatal-2014306687.
69. Laptook AR, Shankaran S, Ambalavanan N. Hypothermia subcommittee of the
NICHD neonatal research network outcome of term infants using apgar scores at 10
minutes following hypoxic–ischemic encephalopathy. Pediatrics 2009;124:1619-26.
70. Patel H, Beeby PJ. Resuscitation beyond 10 minutes of term babies born without signs
of life. J Paediatr Child Health 2004;40:136-8.
71. Sarkar S, Bhagat I, Dechert RE, Barks JD. Predicting death despite therapeutic
hypothermia in infants with hypoxic-ischaemic encephalopathy. Arch Dis Child Fetal
and Neonatal Ed 2010;95:F423-8.
72. Reynolds R, Pilcher J, Ring A, Johnson R, McKinley P. The Golden Hour: care of the
LBW infant during the first hour of life one unit's experience. Neonatal Netw
2009;28:21119.
73. Vento M, Cheung PY, Aguar M. The first golden minutes of the extremely-
lowgestational-age neonate: a gentle approach. Neonatology 2009;95:286-98.
74. The Royal Women's Hospital. Intensive and special care nurseries,clinician's
handbook. Melbourne: The Royal Women's Hospital; 2007.
75. Gungor S, Kurt E, Teksoz E, Goktolga U, Ceyhan T, Baser I. Oronasopharyngeal
suction versus no suction in normal and term infants delivered by elective cesarean
section: a prospective randomized controlled trial. Gynecol Invest 2006;61:9-14.
145
76. Waltman PA, Brewer JM, Rogers BP, May WL. Building evidence for practice: a
pilot study of newborn bulb suctioning at birth. J Midwifery Womens Health 2004;49:32-
8.
77. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline: Intrapartum Fetal
Surveillance. State of Queensland2010.
78. Richmond S, Wyllie J. European Resuscitation Council guidelines for resuscitation
2010. Resuscitation 2010;81:1389-99.
79. Chen M, Mcniff C, Madan J, Goodman E, Davis JM, Dammann O. Maternal obesity
and neonatal Apgar scores. J Matern Fetal Neonatal Med 2010;23:89-95.
80. Doyle LW. Outcome at 5 years of age of children 23 to 27 weeks' gestation: refining
the prognosis. Pediatrics 2001;108:134-41.
81. Marlow N, Wolke D, Bracewell MA, Samara M. Neurologic and developmental
disability at six years of age after extremely preterm birth. N Engl J Med 2005;352:9-19.
82. De-Leeuw R, Cuttini M, Nadai M, et al. Treatment choices for extremely preterm
infants: an international perspective. J Pediatr 2000;137:608-16.
83. Costeloe K, Hennessy E, A T Gibson, Marlow N, Wilkinson AR. EPICure Study Group.
The EPICure study: outcomes to discharge from hospital for infants born at the threshold of
viability. Pediatrics 2000;106:659-71.
84. Field DJ, Dorling JS, Manktelow BN, Draper ES. Survival of extremely premature babies
in a geographically defined population: prospective cohort study of 1994-9 compared with
2000-5. BMJ 2008;336:1221-3.
85. Casalaz DM, Marlow N, Speidel BD. Outcome of resuscitation following unexpected
apparent stillbirth. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 1998;78:F112-5.
86. Laptook AR, Shankaran S, Ambalavanan N, et al. Outcome of term infants using apgar
scores at 10 minutes following hypoxic-ischemic encephalopathy. Pediatrics 2009;124:1619-
26.
87. Chamnanvanakij S, Perlman JM. Outcome following cardiopulmonary resuscitation in the
neonate requiring ventilatory assistance. Resuscitation 2000;45:173-80.
88. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan
resusitasi neonatus. Jakarta: Perinasia; 2006.
89. Neoresus. Positive pressure ventilation device. (Accessed Aug 24, 2011, at
http://www.neoresus.org.au/pages/LM1-7-Breathing.php.)
90. Armanian AM, Badiee Z. Resuscitation of preterm newborns with low concentration
oxygen versus high concentration oxygen. J Res Pharm Pract 2012;1:25.
91. Kapadia VS, Chalak LF, Sparks JE, Allen JR, Savani RC, Wyckoff MH. Resuscitation of
preterm neonates with limited versus high oxygen strategy. Pediatrics 2013;132:e1488e96.
92. Lundstrøm KE, Pryds O, Greisen G. Oxygen at birth and prolonged cerebral
vasoconstriction in preterm infants. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 1995;73:F81-F6.
93. Rabi Y, Singhal N, Nettel-Aguirre A. Room-air versus oxygen administration for
resuscitation of preterm infants: the ROAR study. Pediatrics 2011:peds. 2010-3130.
94. Rook D, Schierbeek H, Vento M, et al. Resuscitation of preterm infants with different
inspired oxygen fractions. J Pediatr 2014;164:1322-26.e3.
95. Vento M, Moro M, Escrig R, et al. Preterm resuscitation with low oxygen causes less
oxidative stress, inflammation, and chronic lung disease. Pediatrics 2009;124:e439-49.
96. Wang CL, Anderson C, Leone TA, Rich W, Govindaswami B, Finer NN. Resuscitation of
preterm neonates by using room air or 100% oxygen. Pediatrics 2008;121:1083-9.
97. Neonatal Clinical Practice Guideline. Oxygen therapy in newborns. Winnipeg Regional
Health Authority; 2015.
98. Finer N, Saugstad O, Vento M, et al. Use of oxygen for resuscitation of the extremely low
birth weight infant. Pediatrics 2010;125:389-91.
146
99. Asikainen TM, White CW. Antioxidant defenses in the preterm lung: role for hypoxia-
inducible factors in BPD? Toxicol Appl Pharmacol 2005;203:177-88.
100. Vento M, Asensi M, Sastre J, Lloret A, García-Sala F, Viña J. Oxidative stress in
asphyxiated term infants resuscitated with 100% oxygen. J Pediatr 2003;142:240-6. 101. Bajaj
N, Udani RH, Nanavati RN. Room air vs. 100 per cent oxygen for neonatal resuscitation: a
controlled clinical trial. J Trop Pediatr 2005;51:206-11.
102. Vento M, Asensi M, Sastre J, Garcıa-Sala F, Pallardó FV, Vina J.
Resuscitation with room air instead of 100% oxygen prevents oxidative stress in
moderately asphyxiated term neonates. Pediatrics 2001;107:642-7.
103. Escrig R, Arruza L, Izquierdo I, et al. Achievement of targeted saturation
values in extremely low gestational age neonates resuscitated with low or high oxygen
concentrations: a prospective, randomized trial. Pediatrics 2008;121:875-81.
104. Saugstad OD, Ramji S, Soll RF, Vento M. Resuscitation of newborn infants
with 21% or 100% oxygen: an updated systematic review and meta-analysis.
Neonatology 2008;94:176-82.
105. Rabi Y, Rabi D, Yee W. Room air resuscitation of the depressed newborn: a
systematic review and meta-analysis. Resuscitation 2007;72:353-63.
106. Davis PG, Tan TA, O'Donnell CPF, Schulze A. Resuscitation of newborn
infants with 100% oxygen or air: a systematic review and meta-analysis. Lancet
2004;364:1329-33. 107. Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal
lung disease. Acta Paediatrica 2002;91:23-5.
108. Bell EF. Preventing necrotizing enterocolitis: what works and how safe?
Pediatrics 2005;115:173-4.
109. Stola A, Schulman J, Perlman J. Initiating delivery room
stabilization/resuscitation in very low birth weight (VLBW) infants with an FiO2 less
than 100% is feasible. J Perinatol 2009;29:548-52.
110. Lindner W, Voßbeck S, Hummler H, Pohlandt F. Delivery room management
of extremely low birth weight infants: spontaneous breathing or intubation? Pediatrics
1999;103:961-7.
111. Finer NN, Carlo WA, Duara S, et al. Delivery room continuous positive
airway pressure/positive end-expiratory pressure in extremely low birth weight infants: a
feasibility trial. Pediatrics 2004;114:651-7.
112. Morley CJ, Davis PG, Doyle LW, Brion LP, Hascoet JM, Carlin JB. Nasal
CPAP or intubation at birth for very preterm infants. N Engl J Med 2008;358:700-8.
113. Support Study Group of the Eunice Kennedy Shriver NICHD Neonatal
Research Network. Early CPAP versus surfactant in extremely preterm infants. N Engl J
Med 2010;2010:1970-9.
114. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, et al. European consensus guidelines on
the management of respiratory distress syndrome-2016 update. Neonatology
2017;111:10725.
115. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, et al. European consensus guidelines on
the management of neonatal respiratory distress syndrome in preterm infants-2013
update. Neonatology 2013;103:353-68.
116. Papile LA, Baley JE, Benitz W, et al. Respiratory support in preterm infants
at birth. Pediatrics 2014;133:171-4.
117. Stevens TP, Blennow M, Myers EH, Soll R. Early surfactant administration
with brief ventilation vs. selective surfactant and continued mechanical ventilation for
preterm infants with or at risk for respiratory distress syndrome. Cochrane Libr 2007.
147
118. Göpel W, Kribs A, Ziegler A, et al. Avoidance of mechanical ventilation by
surfactant treatment of spontaneously breathing preterm infants (AMV): an open-label,
randomised, controlled trial. Lancet 2011;378:1627-34.
119. Dargaville PA, Aiyappan A, Paoli AGD, et al. Minimally-invasive surfactant
therapy in preterm infants on continuous positive airway pressure. Arch Dis Child Fetal
and Neonatal Ed 2013;98:F122-6.
120. Göpel W, Kribs A, Härtel C, et al. Less invasive surfactant administration is
associated with improved pulmonary outcomes in spontaneously breathing preterm
infants. Acta Paediatr 2015;104:241-6.
121. Kribs A, Roll C, Göpel W, et al. Nonintubated surfactant application vs
conventional therapy in extremely preterm infants: a randomized clinical trial. JAMA
Pediatr 2015;169:723-30.
122. Kanmaz HG, Erdeve O, Canpolat FE, Mutlu B, Dilmen U. Surfactant
administration via thin catheter during spontaneous breathing: randomized controlled
trial. Pediatrics 2013;131:e502-9.
123. More K, Sakhuja P, Shah PS. Minimally invasive surfactant administration in
preterm infants: a meta-narrative review. JAMA Pediatr 2014;168:901-8.
124. Minocchieri S, Knoch S, Schoel WM, Ochs M, Nelle M. Nebulizing
poractant alfa versus conventional instillation: Ultrastructural appearance and
preservation of surface activity. Pediatr Pulmonol 2014;49:348-56.
125. Ardell S, Pfister RH, Soll R. Animal derived surfactant extract versus protein
free synthetic surfactant for the prevention and treatment of respiratory distress syndrome.
Cochrane Database Syst Rev 2015;8.
126. Curstedt T, Halliday HL, Speer CP. A unique story in neonatal research: the
development of a porcine surfactant. Neonatology 2015;107:321-9.
127. Singh N, Halliday HL, Stevens TP, Soll R. Comparison of animal-derived
surfactants for the prevention and treatment of respiratory distress syndrome in preterm
infants. status and date: New, published in 2015.
128. Soll R. Early versus delayed selective surfactant treatment for neonatal
respiratory distress syndrome. Cochrane Database Syst Rev 1999;4.
129. Dargaville PA, Aiyappan A, De-Paoli AG, et al. X Continuous positive
airway pressure failure in preterm infants: incidence, predictors and consequences.
Neonatology 2013;104:8-14.
130. Soll R, Özek E. Multiple versus single doses of exogenous surfactant for the
prevention or treatment of neonatal respiratory distress syndrome. Cochrane Libr 2009.
131. Dani C, Corsini I, Poggi C. Risk factors for intubation–surfactant–extubation
(INSURE) failure and multiple INSURE strategy in preterm infants. Early Hum Dev
2012;88:S3-4.
132. Finer NN, Rich W, Craft A, Henderson C. Comparison of methods of bag and
mask ventilation for neonatal resuscitation. Resuscitation 2001;49:299-305.
133. Milner A. The importance of ventilation to effective resuscitation in the term
and preterm infant. In: Proceedings of the Seminars in Neonatology. 2001. p. 219-24.
134. Capasso L, Capasso A, Raimondi F, Vendemmia M, Araimo G, Paludetto R. A
randomized trial comparing oxygen delivery on intermittent positive pressure with nasal
cannulae versus facial mask in neonatal primary resuscitation. Acta Paediatr
2005;94:197200.
135. Dodman N. Warm, pink and sweet. Perinatal outreach program of Southwestern
Ontario 2003.
136. Salhab WA, Wyckoff MH, Laptook AR, Perlman JM. Initial hypoglycemia and
neonatal brain injury in term infants with severe fetal acidemia. Pediatrics 2004;114:3616.
148
137. Husaini L, Rohsiswatmo R, Oswari H. X Efektivitas T-Piece resuscitator
sebagai pengganti penggunaan continous positive airway pressure (CPAP) dini di kamar
bersalin dalam menurunkan kegagalan CPAP pada bayi prematur dengan gangguan napas
[PhD thesis]. 2011; .
138. Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal lung disease.
Acta Paediatr 2002;91:23-5.
139. Bisquera JA, Cooper TR, Berseth CL. Impact of necrotizing enterocolitis on
length of stay and hospital charges in very low birth weight infants. Pediatrics
2002;109:423-8. 140. Altuncu E, Özek E, Bilgen H, Topuzoglu A, Kavuncuoglu S.
Percentiles of oxygen saturations in healthy term newborns in the first minutes of life. Eur J
Pediatr 2008;167:6878.
141. American Academy of Pediatrics. The action plan. (Accessed Aug 08, 2011, at
www.helpingbabiesbreathe.org/docs/ActionPlan.pdf.)
142. Ondoa-Onama C, Tumwine JK. Immediate outcome of babies with low Apgar
score in Mulago Hospital, Uganda. East Afr Med J 2003;80:22-9.
143. Adamkin DH. Neonatal hypoglycemia. Seminars in Fetal and Neonatal Medicine;
Elsevier; 2017. p. 36-41.
144. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology: management,
procedures, on-call problems, diseases, and drugs: McGraw-Hill Education Medical; 2013.
145. WHO. Managing newborn-problems: a guide for doctors, nurses and midwives. . Geneva:
World Health Organization; 2003.
146. Adamkin DH. Postnatal glucose homeostasis in late-preterm and term infants.
Pediatrics 2011;127:575-9.
147. Rozance PJ, Hay WW. New approaches to management of neonatal hypoglycemia.
Matern Health Neonatol Perinatol 2016;2:3.
148. Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR. Hypoglycemia and hyperglycemia. 6th ed:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
149. Sweet CB, Grayson S, Polak M. Management strategies for neonatal hypoglycemia.
J Pediatr Pharmacol Ther 2013;18:199-208.
150. Soll RF. Heat loss prevention in neonates. J Perinatol 2008;28:S57-9.
151. Knobel RB, Wimmer JE, Holbert D. Heat loss prevention for preterm infants in the
delivery room. J Perinatol 2005;25:304-8.
152. WHO. Pregnancy, childbirth, postpartum and newborn care: a guide for essential
practice. . Geneva: World Health Organization; 2003.
153. Flenady V, Woodgate PG. Radiant warmers versus incubators for regulating body
temperature in newborn infants. Cochrane Libr 2003.
154. Suradi R, Rohsiswatmo R, Dewi R, Endyarni B, Rustina Y. Health Technology
Assesment Indonesia. Perawatan bayi baru lahir (BBLR) dengan metode kangguru.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.
155. Conde-Agudelo A, Belizan JM, Diaz-Rossello. Kangaroo mother care to reduce
morbidity and mortality in low birthweight infants. Cochrane Database Syst Rev 2011.
156. Asia PE cling wrap. at http://www.asoa.ru/en/Productinfo/5347552.html.)
157. Newborn services clinical guideline at
http://www.asia.ru/en/Productinfo/534752.html.)
158. McCall EM, Alderdice FA, Halliday HL, Jenkins JG, Vohra S. Interventionist to
prevent hypothermia at birth in preterm and/or low birth weight infants.
Cochrane Database Syst Rev 2003.
159. Kent AL, Williams J. Increasing ambient operating theatre temperature and
wrapping in polyethylene improves admission temperature in premature infants. J
Paediatr Child Health 2008;44:325-31.
149
160. The International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR). Consensus on
science with treatment recommendations for pediatric and neonatal patients:
pediatric basic and advanced life support. Pediatrics 2006;117:e955-7.
161. Te-Pas AB, Lopriore E, Dito I, Morley CJ, Walther FJ. Humidified and heated air
during stabilization at birth improves temperature in preterm infants. Pediatrics
2010;125:e1427-32.
162. Kaushal M, Agarwal R, Singal A, et al. Cling wrap, an innovative intervention for
temperature maintenance and reduction of insensible water loss in very low-
birthweight babies nursed under radiant warmers: a randomized, controlled trial.
Ann Trop Paediatr 2005;25:111-18.
163. WHO Collaborating Center for Training and Research in Newborn Care. NNF
Teaching Aids: Respiratory Stress in a Newborn Baby. Department of Pediatrics,
Division of Neonatology, WHO-CC for Training and Research in Newborn Care,
2005. (Accessed Sept
22, 2011, at http://www.newbornwhocc.org/pdf/teaching-aids/respiratorydistress.pdf.)
164. Mathai SS, Raju U, Kanitkar M. Management of respiratory distress in the newborn.
Med J Armed Forces India 2007;63:269.
165. Respiratory assessment of the newborn (Accessed Sept 22, 2011, at
http://puffnicu.tripod.com/rd.html.)
166. Fauroux B, Clément A. Requisite for stringent control of oxygen therapy in the
neonatal period. Eur Respir J 2007.
167. Jobe AH, Kallapur SG. Long term consequences of oxygen therapy in the
neonatal period. In: Proceedings of the Seminars in Fetal and Neonatal Medicine; 2010:
Elsevier. p. 230-5.
168. Juniatiningsih A. Oxygen therapy in neonatal: how to implement with limited
facilities. In: Proceedings of the 2nd Indonesia National Workshop & Seminar on ROP:
how to prevent retinopathy of prematuriy with limited facilities in Indonesia 2010;
Surabaya. 169. Saugstad OD, Aune D. Oxygenation of extremely low birth weight infants: a
metaanalysis and systematic review of the oxygen saturation target studies. Neonatology
2014;105:55-63.
170. The Royal Children's Hospital Melbourne. Clinical Guideline (Hospital). at
http://www.rch.org.au/rchcpg/indexx.cfm?doc_id=135531.)
171. Myers TR. AARC Clinical Practice Guideline: Selection of an oxygen delivery
device for neonatal and pediatric patients Respir Care 2002:707-16.
172. STOP-ROP Multicenter Study Group. Supplemental therapeutic oxygen for
prethreshold retinopathy of prematurity (STOP-ROP), a randomized, controlled trial. I:
Primary outcomes. Pediatrics 2000;105:295-310.
173. Askie LM, Henderson-Smart DJ, Irwig L, Simpson JM. Oxygen-saturation targets
and outcomes in extremely preterm infants. N Engl J Med 2003;349:959-7.
174. STOP-ROP effective FiO2 conversion tables for infants on nasal canula. (Accessed
Aug 24, 2011, at http://pub.emmes.com/study/rop/FiO2table.pdf.)
175. Askie LM, Henderson‐Smart DJ, Ko H. Cochrane review: Restricted versus liberal
oxygen exposure for preventing morbidity and mortality in preterm or low birth weight infants.
Evid‐Based Child Health 2010;5:371-413.
176. Saugstad OD. Oxidative stress in the newborn–a 30-year perspective. Neonatology
2005;88:228-36.
177. Saugstad OD. Oxygen and oxidative stress in bronchopulmonary dysplasia J
Perinat Med 2010;38:571-7.
178. Wardle SP, Drury J, Garr R, Weindling AM. Effect of blood transfusion on lipid
peroxidation in preterm infants. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2002;86:F46-8. 179. Lavoie
150
PM, Lavoie JC, Watson C, Rouleau T, Chang BA, Chessex P. Inflammatory response in
preterm infants is induced early in life by oxygen and modulated by total parenteral nutrition.
Pediatr Res 2010;68:248-51.
180. Chen ML, Guo L, Smith LE, Dammann CE, Dammann O. High or low oxygen
saturation and severe retinopathy of prematurity: a meta-analysis. Pediatrics
2010;125:e1483-92. 181. Saugstad OD, Aune D. In search of the optimal oxygen
saturation for extremely low birth weight infants: a systematic review and meta-analysis.
Neonatology 2011;100:1-8.
182. Askie LM, Henderson‐Smart DJ. Gradual versus abrupt discontinuation of oxygen
in preterm or low birth weight infants. Cochrane Libr 2001.
183. Beveridge CJ, Wilkinson AR. Sodium bicarbonate infusion during resuscitation of
infants at birth. Cochrane Libr 2006.
184. Osborn DA, Evans N. Early volume expansion for prevention of morbidity and
mortality in very preterm infants. Cochrane Database Syst Rev 2004;2.
185. Osborn D, Evans N, Kluckow M. Randomized trial of dobutamine versus
dopamine in preterm infants with low systemic blood flow. J Pediatr 2002;140:183-91.
186. Valverde E, Pellicer A, Madero R, Elorza D, Quero J, Cabañas F. Dopamine
versus epinephrine for cardiovascular support in low birth weight infants: analysis of systemic
effects and neonatal clinical outcomes. Pediatrics 2006;117:e1213-22.
187. Vohr B, Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal lung
disease. Acta Paediatr Suppl 2002:23-5.
188. Peterson BS, Vohr B, Staib LH, et al. Regional brain volume abnormalities and
longterm cognitive outcome in preterm infants. JAMA 2000;284:1939-47.
189. Mercer JS, Vohr BR, Erickson-Owens DA, Padbury JF, Oh W. Seven-month
developmental outcomes of very low birth weight infants enrolled in a randomized controlled
trial of delayed versus immediate cord clamping. J Perinatol 2010;30:11-6. 190. Aladangady
N, McHugh S, Aitchison TC, Wardrop CA, Holland BM. Infants' blood volume in a controlled
trial of placental transfusion at preterm delivery. Pediatrics 2006;117:93-8.
191. McDonald DJ, Middleton P. Effect of timing of umbilical cord clamping of
term infants on maternal and neonatal outcomes. Cochrane Database Syst Rev 2008.
192. Rabe H, Reynolds G, Diaz-Rossello J. A systematic review and meta-analysis
of a brief delay in clamping the umbilical cord of preterm infants. Neonatology
2008;93:13844.
193. Rabe H, Reynold G, Diaz-Rossello J. Early versus delayed umbilical cord
clamping in preterm infants. Cochrane Database Syst Rev 2004;4.
194. Airey RJ, Farrar D, Duley L. Alternative positions for the baby at birth before
clamping the umbilical cord. Cochrane Database Syst Rev 2010.
195. Ohlsson A, Shah SS. Ibuprofen for the prevention of patent ductus arteriosus in
preterm and/or low birth weight infants. Cochrane Libr 2011.
196. Moeslichan MZ, Sujono A, Kosim S, Gatot D, Indarso F. Pemberian
profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir. Health Technology Assesment 2003-2006
selected recommendations. Jakarta: Dirjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2006:1-19.
197. Puckett RM, Offringa M. Prophylactic vitamin K for vitamin K deficiency
bleeding in neonates. Cochrane Libr 2000.
198. Wilson AK, Martel IMJ, Saskatoon SK. Maternal Transport Policy. J Obstet
Gynecol Can 2005;27:956-58.
199. Hohlagschwandtner M, Husslein P, Weninger KKM, Nardi A, Langer M.
Perinatal mortality and morbidity. Comparison between maternal transport, neonatal
transport and inpatient antenatal treatment. Arch Gynecol Obstet 2001;265:113-18.
151
200. Hauspy J, Jacquemyn Y, Van-Reempts P, Buytaerta P, Vlieta JV. Intrauterine
versus postnatal transport of the preterm infant: a short-distance experience. Early Hum
Dev 2001;63:1-7.
201. Woodward GA, Insoft RM, Pearson-shaver AL, et al. The state of pediatric
interfacility transport: Consensus of the second national pediatric and neonatal inter-
facility transport medicine leadership conference. Pediatr Emerg Care 2002;1:38-43.
202. Simpson JH, Ahmed I, McLaren J, Skeoch CH. Use of nasal continuous
positive airway pressure during neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
2003;10:374-5. 203. Das UG, Leuthner SR. Preparing the neonate for transport. Pediatr
Clin North Am 2004;51:581-98.
204. Lim M, Ratnavel N. A prospective review of adverse events during interhospital
transfers of neonates by a dedicated neonatal transfer service. Crit Care Med 2008;9. 205.
Kempley, Baki, Hayter, Ratnavel, Cavazzoni, Reyes. Effect of a centralised transfer
service on characteristics of inter-hospital neonatal transfers. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2007;92:185-9.
206. McKay S, Cruickshanks J, Skeoch CH. Step by step guide: Transporting neonates
safely. J Neonatal Nurs 2003;1:9.
207. Kulshrestha A, Singh J. Interhospital and intrahospital patient transport: recent
concept. Indian J 2016;60:451-7.
208. Fenton AC, Leslie A, Skeoch CH. Optimising neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2004;89:F215-9.
209. Arad I, Baras M, Bar-Oz B, Gofin R. Neonatal transport of very low birth weight
infants in Jerussalem, revisited. IMAJ 2006;8:477-82.
210. Kumar PP, Kumar CD, Venkatlakshmi A. Long distance neonatal trasport-the need of
the hour. Indian Pediatr 2008;45:920-2.
211. Terrey A, Browning CK. Stabilising the newborn for transfer: Basic principles. Aust
Fam Physician 2008;37:510.
212. Tingay DG, Stewart MJ, Morley CJ. Monitoring of end tidal carbon dioxide and
transcutaneous carbon dioxide during neonatal transport. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2005;90:F523-6.
213. Lilley CD, Stewart M, Morley CJ. Respiratory function monitoring during neonatal
emergency transport. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2005;90:F82-3.
214. Dani C, Bertini G, Pezzati M, Cecchi A, Caviglioli C, Rubaltelli FF. Early extubation
and nasal continuous positive airway pressure after surfactant treatment for respiratory
distress syndrome among preterm infants< 30 weeks’ gestation. Pediatrics
2004;113:e5603.
215. Fowlie PW, Booth P, Skeoch CH. Clinical review moving the preterm infant. BMJ
2004;309:904-6.
216. Stroud MH, Trautman MS, Meyer K, Moss MM, Schwartz HP, Bigham MT. et al.
Pediatric and neonatal interfacility transport: results from a national consensus
conference. Pediatrics 2013;132:359-66.
217. Joshi M, Singh S, Negi A, Vyas T, Chourishi V, Jain A. Neonatal carrier: an easy to
make alternative device to costly transport chambers. J Indian Assoc Pediatr Surg
2010:1334.
218. Baxter C, Alberta E, Gorodzinsk FP. Temperature measurement in paediatrics.
Paediatr Child Health 2000;5(5):273-6.
219. Fairchild K, Sokora D, Scott J, Zanelli S. Therapeutic hypothermia on neonatal
transport: 4-year experience in a single NICU. J Perinatol 2010;30:324-9.
220. Strozik KS, Pieper CH, Roller J. Capillary refilling time in newborn babies: normal
values. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1997;76:F193-6.
152
221. Ambubag dewasa/ anak/ bayi. (Accessed Sept 04, 2011,
at
http://alatkesehatanjogja.com/produk-70-ambu-bag-dewasaanakbayi.html.)
222. Toko Medis Alat Kedokteran. (Accessed Sept 09, 2011,
at
http://www.tokomedis.com/kategori/20/Kedokteran.html.)
223. CVU4 Medin-Sindi, N-CPAP for infant and neonate (Accessed Aug 24, 2011, at
htp://indonetwork.co.id/cv_u4/1551683/medin-sindi-n-cpap-for-infant-
andneonate.htm.)
224. Prima Jaya Teknik. Pulse Oximeter. at
http://pratec.indonetwork.co.id/2047240/pulse-oximeter.htm.)
225. Nagar S. Long distance neonatal transport--the need of the hour-is it? Indian Pediatr
2009;46:267.
226. Alkes Online. Daftar Harga. (Accessed Aug 24, 2011, at http://alkesonline.com/daftar-
harga/.)
227. Peta Fajar Pahala. Daftar harga alat medis, alat kedokteran, alat kesehatan,
laboratorium. (Accessed Aug 24, 2011, at
http://petafajarpahala.blogspot.com/2010/02/harga-produk.html.)
228. Departemen Kesehatan. Daftar informasi harga peralatan kesehatan dan laboratorium
efektif 1 Januari 2005 s/d 31 Desember 2005. (Accessed Aug 24, 2011, at
http://www.depkes.go.id/downloads/yanfar/yanfar01.pdf.)
229. CVU4. Katalog produk infant incubator. (Accessed Sept 09, 2011, at
http://indonetwork.co.id/cv_u4/prod.)
230. CV Azza Medika. Perdagangan alat kesehatan. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://azzamedika.wordpress.com/.)
231. CV Duta Medica Sarana. Ventilator ICU, ICCU, NICU, PICU (bayi-anak dan dewasa)
"Galileo-Hamilton". (Accessed Aug 24, 2011, at
http://dumepower.indonetwork.co.id/2034930/ventilator-icu-iccu-nicu-bayi-anak-dandewasa-
galileo.htm.)
232. Sutanto. Dijual endotracheal tube. (Accessed Aug 23, 2011,
at http://www.bejubel.com/147541/jual-beli-kesehatan-perawatan-pribadi-
endotrachealtube-murah-dan-diskon.html.)
233. CV Amerta Pratama. Katalog produk: handscoon steril maxter. (Accessed Aug 23,
2011, at http://cvamerpratma.indonetwork.co.id/2227773/hanscoon-steril-maxter.htm.)
234. CV Dua Saudara Medika. Quality medical supplies at the right price. (Accessed Aug
23, 2011, at http://ikhwanfaisal29.blogspot.com/.)
235. Bali Chemist. Nama merk obat-obatan dalam alphabetical. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://www.balichemist.com/farmakologi_html.)
236. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan menteri kesehatan republik
Indonesia nomor: 1239/MENKES/SK/XI/2004 tentang harga jual obat generik.
(Accessed Aug 23, 2011, at
http://ropeg-kemenkes.or.id/documents/1sk_menkes1239.pdf.) 237. Puskesmas
Palaran. Bahan habis pakai dan topikal. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://puskesmaspalaran.wordpress.com/.)
238. PT Aura Prima. Aquadestilata.sterile/aquadest/air murni. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://auraprima.indonetwork.co.id/509029/aquadestilata-sterileaquadest-
airmurni.htm.)
239. Farmasiku. Pengganti cairan tubuh. at
http://www.farmasiku.com/index.php?target=categories&category_id=294.)
153
240. Alat Kesehatan Kedokteran. (Accessed Aug 23, 2011, at http://alatkesehatan.net/?
paged=7.)
241. Ambulans 118 24 jam (Accessed Aug 24, 2011, at
http://ambulans118.org/?page_id=178.)
242. Espromedical. (Accessed Aug 23, 2011, at http://www.esperomedical.com/.)
154
BAB I PENDAHULUAN
1.2 Permasalahan
Berbagai kendala dalam pencegahan dan penanganan asfiksia neonatorum
sering ditemukan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kendala tersebut
meliputi definisi asfiksia yang belum seragam sehingga menimbulkan kerancuan
155
dalam penegakan diagnosis dan tata laksana, petugas kesehatan yang kurang
terampil dalam melakukan resusitasi neonatus, serta peralatan resusitasi yang
kurang memadai di sebagian besar sarana pelayanan kesehatan. Sebagai upaya
mengatasi berbagai kendala tersebut, disusun suatu standar pedoman nasional
penanganan dan pencegahan asfiksia sebagai salah satu kebijakan kesehatan
nasional di Indonesia melalui buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
(PNPK) Asfiksia Neonatorum.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Menyusun suatu PNPK untuk membantu menurunkan angka kejadian dan
kematian bayi di Indonesia akibat asfiksia neonatorum
1.3.2 Tujuan khusus
1. Membuat pernyataan secara sistematis yang berdasarkan bukti ilmiah
(scientific evidence) untuk membantu dokter, bidan, dan perawat
dalam hal pencegahan dan tata laksana asfiksia neonatorum.
2. Memberikan rekomendasi berbasis bukti bagi fasilitas pelayanan
kesehatan primer, sekunder, dan tersier serta penentu kebijakan untuk
penyusunan protokol setempat atau Panduan Praktik Klinis (PPK) dengan
melakukan adaptasi sesuai PNPK.
1.4 Sasaran
1. Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses kelahiran bayi,
meliputi dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat diterapkan di
fasilitas pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier.
2. Penentu kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, serta
kelompok profesi terkait.
BAB II
METODOLOGI
156
neonatal asphyxia, birth asphyxia, atau perinatal asphyxia, dengan
batasan artikel yang dipublikasikan dalam 15 tahun terakhir.
157
BAB III
a. WHO
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir.11,12
b. National Neonatology Forum of India
Asfiksia merupakan keadaan yang ditandai dengan megapmegap dan
pernapasan tidak efektif atau kurangnya usaha napas pada menit
pertama setelah kelahiran.13
c. American College of Obstetric and Gynaecology (ACOG) dan
American Academy of Paediatrics (AAP)
Asfiksia merupakan kondisi terganggunya pertukaran gas darah yang
menyebabkan hipoksemia progresif dan
158
hiperkapnia dengan asidosis metabolik signifikan.14,15
159
Penelitian di Kabupaten Purworejo melaporkan 8 faktor risiko terkait
asfiksia, yaitu berat lahir rendah (OR = 12,23; 95% IK = 3,54- 42,29); ketuban
pecah dini (OR = 2,52; 95% IK = 1,13-5,63); partus lama (OR = 3,67; 95% IK = 1,66-
8,11); persalinan secara seksio sesarea (OR = 3,12; 95% IK = 1,04-9,35); usia ibu
<20 tahun atau >35 tahun (OR = 3,61; 95% IK = 1,23-10,60); riwayat obstetri
buruk (OR = 4,20; 95% IK = 1,05-16,76); kelainan letak janin (OR = 6,52; 95% IK =
1,07-39,79); dan status perawatan antenatal buruk (OR = 4,13; 95% IK = 1,65-
10,35).19
Intrapartum
• Penggunaan anestesi atau opiat18,21
• Partus lama13,15
• Persalinan sulit dan traumatik15
• Mekonium dalam ketuban
(meconium-stained amniotic fluid/MSAF)15,21
• Ketuban pecah dini21
• Induksi oksitosin13,15
• Kompresi tali pusat18
• Prolaps tali pusat13,21
• Trauma lahir18
Faktor janin
Antenatal (intrauterin) • Malpresentasi (misal sungsang, distosia bahu)15,21
• Prematuritas13,15,21
• Bayi berat lahir rendah (BBLR)13,15
• Pertumbuhan janin terhambat (PJT)13,15
• Anomali kongenital15,18
• Pneumonia intrauterin18
• Aspirasi mekonium yang berat18
160
Pascanatal
• Sumbatan jalan napas atas18
• Sepsis kongenital18
161
Gambar 1. Patofisiologi asfiksia neonatorum
Reperfusi yang terjadi setelah fase primer akan mengembalikan sebagian
fungsi metabolisme, namun apabila cedera otak pada fase primer cukup berat,
kerusakan neuron akan kembali tejadi setelah 6 – 48 jam (fase sekunder). Fase
sekunder ditandai dengan penurunan ATP, aktivasi kaskade neurotoksik, dan
162
pelepasan radikal bebas tanpa disertai asidosis akibat disfungsi mitokondria.
Selain itu, cedera hipoksik-iskemik otak juga memicu produksi sitokin
proinflamasi yang semakin memperburuk cedera jaringan. Keseluruhan proses ini
memicu terjadinya apoptosis sel (secondary
energy failure).32,34,36,37
Beratnya kerusakan otak pada masa perinatal juga tergantung pada lokasi
dan tingkat maturitas otak bayi.38 Hipoksia pada bayi kurang bulan cenderung
lebih berat dibandingkan dengan bayi cukup bulan karena redistribusi aliran
darah bayi prematur kurang optimal, terutama aliran darah ke otak, sehingga
meningkatkan risiko gangguan hipoksik-iskemik, dan perdarahan
periventrikular.39,40 Selain itu, imaturitas otak berkaitan dengan kurangnya
ketersediaan antioksidan yang diperlukan untuk mendetoksifikasi akumulasi
radikal bebas.38
163
apoptosis neuron yang berlanjut setelah hipoksia berakhir. Tata laksana suportif
dalam periode 48 jam pertama pasca-asfiksia dapat mengurangi kerusakan
neuron di area penumbra ini.42
Mekanisme gagal napas pada bayi asfiksia dapat disebabkan oleh hipoksia,
iskemia, aspirasi mekonium, disfungsi ventrikel kiri, defek sistem koagulasi,
toksisitas oksigen, dan efek ventilasi mekanik.44,46 Selain itu, kombinasi asfiksia
dan aspirasi mekonium dapat memperberat rasio resistensi pulmonar dan
sistemik.
164
3.4.4 Sistem urogenital
Salah satu gangguan ginjal yang disebabkan oleh hipoksia berat adalah hypoxic-
ischemic acute tubular necrosis.48 Bayi dapat dinyatakan mengalami gagal
ginjal bila memenuhi 3 dari 4 kriteria sebagai berikut: pengeluaran urin <0,5
mL/kg/jam, kadar urea darah >40 mg/dL, kadar kreatinin serum >1 mg/dL, serta
hematuria atau proteinuria signifikan dalam 3 hari pertama kehidupan. 49 Pada
penelitian sebelumnya dikemukakan bahwa 42% bayi asfiksia mengalami
gangguan sistem ginjal.44 Data ini didukung oleh penelitian Gupta BD dkk. (2009)
yang menemukan 47,1% bayi asfiksia mengalami gagal ginjal dengan 78% kasus
di antaranya merupakan tipe non-oliguria dan 22% lainnya
merupakan tipe oliguria.49
165
mengalami hipoplasia saraf optik dengan beberapa derajat atrofi, dan 26% bayi
dengan atrofi optik terisolasi (isolated optic atrophy).55
166
3. warna kulit pucat, serta tidak ada tonus otot. Kriteria ini disadari
memiliki spesifisitas dan nilai prediktif kematian serta kerusakan
neurologis yang cenderung berlebihan (8 kali over diagnosis) bila
dibandingkankan dengan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena
itu, WHO juga memberikan penjelasan diagnostik untuk tingkat
pelayanan kesehatan komunitas berdasarkan kriteria ACOG/AAP
berikut ini.58
Tabel 2. Kriteria diagnosis asfiksia neonatorum berdasarkan ACOG/AAP dan standar emas
di tingkat pelayanan kesehatan
No Kriteria Standar baku emas
1. Bukti asidemia metabolik atau Analisis gas darah dengan pH < 7,0 dan defisit basa 12 mmol/L
campuran (pH < 7,0) dari darah tali dalam 60 menit pertama
pusat
3. Manifestasi neurologis Tingkat kesadaran, tonus, refleks isap, refleks primitif, refleks batang
(ensefalopati neonatus) otak, kejang, laju pernapasan
4.
Sumber: Lincetto O. Birth asphyxia- summary of the previous meeting and protocol
overview; 2007. (dengan modifikasi)
c. National Institute of Child Health and Human Development
(NICHD)
Kriteria asfiksia neonatorum berdasarkan NICHD adalah sebagai berikut.61
1. bukti pH <7.0 atau defisit basa >16 mmoL/L pada pemeriksaan
darah tali pusat dalam satu jam setelah kelahiran, atau
167
2. bukti riwayat episode hipoksik perinatal (deselerasi / bradikardia
berat pada janin, prolaps tali pusat, ruptur tali pusat, solusio
plasenta, ruptur uteri, trauma / perdarahan fetomaternal, atau
cardiorespiratory arrest) dan salah satu dari :
• nilai Apgar <5 pada menit ke-10, atau
• bayi masih memerlukan bantuan ventilasi selama
>10 menit bila pH darah tali pusat 7,01 - 7,15 dan defisit basa
10 - 15,9 mmoL/L atau pada keadaan pemeriksaan gas darah
tidak tersedia.
d. India
India dahulu hanya menggunakan nilai Apgar menit pertama, kini
menggunakan 3 dari 4 kriteria diagnosis asfiksia mengacu ke ACOG / AAP,
berupa : 42,62
1. pH analisis gas darah <7,2 dalam 1 jam pertama kehidupan,
168
No Fasilitas ideal Fasilitas terbatas
*keempat kriteria harus terpenuhi *minimal kedua kriteria harus terpenuhi dengan
ketidaktersediaan pemeriksaan analisis gas darah
1. • Bukti asidosis metabolik atau campuran (pH <7.0) Bukti riwayat episode hipoksik perinatal (misal
pada pemeriksaan analisis gas darah tali pusat episode gawat janin)
atau
• Defisit basa 16 mmol/L dalam 60 menit pertama
2. Nilai Apgar <5 pada menit ke-10, • Nilai Apgar <5 pada menit ke-10, atau
• Bayi masih memerlukan bantuan
ventilasi selama >10 menit
3. Manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia atau Manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia
koma (ensefalopati neonatus); atau koma (ensefalopati neonatus)
169
Informasi yang perlu diketahui dalam proses persalinan,
antara lain :66-67
170
bayi, memakaikan plastik, serta memantau dan melakukan intervensi
pada ventilasi (memperhatikan pengembangan dada bayi, melakukan
VTP, memasang continuous positive airway pressure (CPAP), dan
intubasi bila diperlukan).
171
B
Ruang resusitasi sebaiknya berada di dekat kamar bersalin atau kamar operasi
sehingga tim resusitasi dapat memberikan bantuan dengan cepat dan efisien.
Persiapan ruang resusitasi meliputi suhu ruangan yang cukup hangat untuk
mencegah kehilangan panas tubuh bayi, pencahayaan yang cukup untuk menilai
status bayi, serta cukup luas untuk memudahkan tim berkerja. 70 Diharapkan
suhu tubuh bayi akan selalu berkisar antara 36,5-37oC. Selain itu, penolong harus
mempersiapkan inkubator transpor untuk memindahkan bayi ke ruang
perawatan.66
172
Indonesia. Penolong resusitasi dapat menggunakan kantung plastik pada
bayi >32 minggu pada kondisi tertentu apabila dirasakan perlu, seperti
pada suhu kamar bersalin yang tidak dapat diatur sehingga suhu ruangan
sangat dingin.
b.
a b
Gambar 4. Peralatan tata laksana jalan napas (airway) a. suction tekanan negatif, b.
kateter suction berbagai ukuran, c. aspirator mekonium.
173
endotracheal tube (ETT) ukuran 2,5; 3,0; 3,5; dan 4. Secara praktis, bayi
dengan berat lahir <1 kg (<28 minggu), 1-2 kg,
a b c
Mixsafe®).
174
a b c
a b
175
g. Pulse oxymetri
3.6.6 Resusitasi
Resusitasi neonatus merupakan suatu alur tindakan yang berkesinambungan,
diawali dengan melakukan evaluasi, mengambil keputusan, dan melakukan
tindakan resusitasi.74 Sekitar 10% dari 120 juta kelahiran bayi memerlukan
bantuan untuk memulai napas dan hanya 1% bayi membutuhkan resusitasi lebih
lanjut.72-73 Resusitasi dilakukan apabila bayi tidak bernapas secara spontan dan
adekuat saat lahir dengan menilai komponen klinis bayi. Berikut ini merupakan
penjelasan dari masing-masing komponen penilaian.
176
yang lahir dalam keadaan asfiksia dapat mengalami apne atau
pernapasan megapmegap, namun dapat pula bernapas spontan disertai
tanda gawat napas atau mengalami sianosis persisten. Tanda gawat napas
meliputi napas cuping hidung, retraksi dinding dada, atau suara merintih.
Tanda klinis ini menunjukkan bayi mengalami kesulitan untuk
mengembangkan paru. Sianosis persisten (dengan FiO2 100%) juga dapat
disebabkan oleh kelainan di luar paru. Keadaan yang berbeda tersebut
membutuhkan tata laksana ventilasi yang berbeda pula.7
• Tonus dan respons terhadap stimulasi. Bayi asfiksia memiliki
tonus otot yang lemah dan gerakan otot terbatas, sehingga memerlukan
berbagai stimulasi ringan. Stimulasi termal dengan mengeringkan bayi
dan stimulasi mekanik dengan menepuk telapak kaki bayi akan
membantu merangsang pernapasan bayi serta meningkatkan LJ.
Rangsangan berlebihan seperti memukul bokong dan pipi tidak perlu
dilakukan karena dapat mencederai bayi. Bila bayi tidak memperlihatkan
respons perbaikan terhadap stimulasi ringan maka langkah selanjutnya
dalam resusitasi harus dilakukan.7
• Laju jantung (LJ), berkisar antara 100 - 160 kali permenit. Penilaian
LJ dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu meraba denyut nadi
perifer atau sentral, meraba denyut pembuluh darah umbilikus,
mendengarkan LJ dengan stetoskop atau dengan menggunakan pulse
oxymetri. Penggunaan pulse oxymetri dianggap paling akurat untuk
menilai LJ. Namun, fungsi pulse oxymetri sangat dipengaruhi oleh
cardiac output dan perfusi jaringan.7 Bila LJ sangat lemah dan perfusi
jaringan sangat buruk, pulse oxymetri tidak dapat berfungsi dengan
baik. Pada kasus ini, pemantauan LJ lebih baik dilakukan dengan monitor
EKG.71 Bila LJ menetap <100 kali per menit, oksigenasi jaringan akan
menurun sehingga mengakibatkan hipoksemia dan berakhir dengan
asidosis.
• Oksigenasi jaringan, dinilai menggunakan pulse oxymetri.
Penilaian dengan pulse oxymetri cenderung lebih akurat dibandingkan
berdasarkan warna kulit.76 Penggunaan pulse oxymetri sangat
177
direkomendasikan jika terdapat antisipasi resusitasi, VTP diperlukan lebih
dari beberapa kali pompa, sianosis menetap dengan intervensi, dan bayi
mendapat suplementasi oksigen. Pemantauan ini diperlukan agar oksigen
yang diberikan tidak berlebihan dan membahayakan bayi. Sensor pulse
oxymetri sebaiknya dipasang pada lokasi preduktal (pergelangan atau
telapak tangan kanan) untuk mencegah pengaruh shunting selama
periode transisi sirkulasi bayi. Pembacaan saturasi oksigen umumnya
dapat dilakukan mulai dari 90 detik setelah bayi lahir, namun perlu diingat
bahwa nilai saturasi oksigen tidak dapat dipercaya pada curah jantung
(cardiac output) dan perfusi kulit yang buruk.79 Saturasi normal saat
lahir bervariasi tergantung pada usia kehamilan bayi. Makin muda usia
gestasi makin lama bayi mencapai target saturasi normal. 80,81 Berikut ini
merupakan target saturasi oksigen bayi selama resusitasi.66
1 menit 60-65
2 menit 65-70
3 menit 70-75
4 menit 75-80
5 menit 80-85
10 menit 85-95
178
menit sampai menit ke-20.82 Penentuan nilai Apgar dapat dilihat pada
Tabel 5.
Bayi lahir
179
Asfiksia
Dilakukan Resusitasi
Usia 10 menit
Risiko EHI
Thompson score
Memenuhi EHI
Grading : EHI Sedang /EHI Berat
Passive Cooling
180
Pengisapan hanya dilakukan jika jalan napas mengalami
obstruksi. Bayi baru lahir bugar tidak membutuhkan
pengisapan hidung, mulut atau faring setelah lahir.
• Bila pernapasan bayi adekuat dan LJ >100 kali per menit, bayi menjalani
perawatan rutin.69
• Bila usaha napas bayi belum adekuat dan LJ <100 kali per menit, langkah
resusitasi dilanjutkan pada pemberian bantuan ventilasi (breathing).69
181
• Bayi bernapas spontan namun memiliki saturasi oksigen di bawah target
berdasarkan usia, suplementasi oksigen dapat diberikan dengan cara
sebagai berikut.71
• Bila bayi bernapas spontan namun disertai gawat napas, diperlukan CPAP
dengan tekanan positif akhir ekspirasi (positive end expiratory
pressure / PEEP) secara kontinu.69
Studi menunjukkan penggunaan CPAP dapat mempertahankan volume
residual paru, menghemat penggunaan surfaktan serta mempertahankan
keberadaan surfaktan di alveoli bayi.85 PEEP 2-3 cmH2O terlalu rendah
untuk mempertahankan volume paru dan cenderung menyebabkan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Begitu pula dengan PEEP yang
terlalu tinggi (>8 cmH2O) dapat menyebabkan pulmonary air leaks,
overdistensi paru, menghalangi aliran balik vena ke jantung, menurunkan
resistensi pembuluh darah pulmonar, serta menyebabkan resistensi
CO2.86 Oleh karena itu kesepakatan di Indonesia PEEP umumnya dimulai
dari 7 cmH2O. CPAP dianggap gagal apabila bayi tetap memperlihatkan
tanda gawat napas dengan PEEP sebesar 8 cmH2O dan FiO2 melebihi 40%.
Penolong resusitasi perlu mempertimbangkan intubasi pada keadaan
ini.87
182
Tabel 6. Nilai Downe dan interpretasinya
0 1 2
Air entry Udara masuk Penurunan Tidak ada udara ringan udara masuk masuk
Interpretasi Nilai
183
b. Pemberian ventilasi (breathing)
air
O 21%
2
O reservoir
2
184
sering digunakan adalah Jackson-Rees. Jackson-Rees dapat digunakan
untuk memberikan PEEP yang terukur dan konstan, namun kurang
direkomendasikan untuk memberikan VTP pada neonatus. Hal ini disebabkan
oleh jarum manometer yang akan kembali ke angka nol saat balon kempis
setelah penolong menekan balon untuk memberikan PIP. Akibat hal ini, fungsi
PEEP hilang dan membutuhkan waktu untuk kembali ke tekanan yang telah
ditentukan.69
Contoh BTMS lainnya adalah balon anestesi. Suatu studi menunjukkan bahwa
penggunaan balon anestesi secara tepat tergantung pada kemampuan dan
kebiasaan penolong dalam menggunakan alat tersebut. Ketepatan pemberian
ventilasi akan lebih baik bila balon anestesi dikombinasikan dengan manometer
(ketepatan tekanan mencapai 72% dibandingkan hanya 18% bila balon anestesi
tidak dikombinasikan dengan manometer).91
Secara umum, PEEP dan PIP dapat diberikan secara bersamaan melalui
BMS (yang dikombinasikan dengan katup PEEP), BTMS, atau T-piece
resucitator. Dalam praktiknya, penggunaan BTMS kurang direkomendasikan
untuk memberikan VTP. Pemberian PEEP saja dapat menggunakan BTMS atau T-
piece resucitator.69
185
Tabel 7. Kelebihan dan kekurangan BMS, BTMS (Jackson Rees), dan T-piece
resuscitator
BMS BTMS T-piece resuscitator
(Jackson Rees)
Kelebihan • Cukup murah dan • Cukup murah dan • Memberikan PEEP dan CPAP dengan
umumnya tersedia di umumnya PEEP yang terukur
fasilitas terbatas tersedia di • Dapat juga digunakan untuk pemberian
• dapat memberikan fasilitas ventilasi tekanan positif (VTP) secara
VTP dan PEEP bila terbatas terukur
dikombinasikan • Dapat memberikan
dengan katup PEEP PEEP, CPAP, dan VTP
• Dilengkapi dengan secara terukur, bila
pressure relief dilengkapi dengan
valve untuk manometer
mencegah pemberian khusus
tekanan
berlebihan
Kekurangan • Mahal
• VTP dan PEEP • Butuh sumber gas
yang diberikan tidak • Kurang
terukur dianjurkan untuk
• Tidak dapat memberikan pemberian VTP
CPAP • Butuh sumber
gas
186
Catatan
Khusus Mixsafe®:
187
Setiap penolong resusitasi harus memperhatikan kenaikan saturasi selama
pemberian oksigen. Pada bayi asfiksia, kenaikan saturasi oksigen harus bertahap
(tidak boleh mendadak) sehingga penolong sebaiknya mengoptimalkan ventilasi
terlebih dahulu sebelum menaikkan konsentrasi oksigen menjadi 100%, kecuali
pada keadaan tertentu.
• Saturasi oksigen <70% pada menit kelima atau <90% pada menit ke-10
• LJ <100 kali per menit setelah pemberian VTP efektif selama 60 detik
• Dilakukan kompresi dada
Suplementasi oksigen di fasilitas lengkap dapat dilakukan dengan campuran
oksigen dan udara tekan menggunakan oxygen blender.
Pada fasilitas terbatas, campuran oksigen dan udara tekan dapat diperoleh
dengan menggunakan :69
a b c
188
Gambar 14. a. Sumber oksigen dengan udara bertekanan yang dihubungkan dengan
konektor Y, b. Konsentrator oksigen, c. Mixsafe®
189
Pemberian oksigen dapat ditingkatkan hingga mencapai 100%
bila resusitasi awal dengan udara ruangan gagal
• Lanjutkan VTP
L naik Dada • Lakukan penilaian kedua
J mengembang (second assessment
) 15
• Lanjutkan VTP
Dada • Lakukan penilaian kedua
mengembang (secondassessment
) 15
L tidak naik
J Dada tidak Koreksi ventilasi (SR
•
mengembang IBTA) sampai dada
mengembang
• Lanjutkan VTPini
• Lakukan penilaian
kedua (second
190
Penilaiankedua VTP
Indikasi kompresi dada adalah LJ kurang dari 60 kali per menit (melalui auskultasi
atau palpasi pada pangkal tali pusat) setelah pemberian 30 detik VTP yang
adekuat.73,93 Kompresi dada bertujuan mengembalikan perfusi, khususnya
perfusi ke otak, memperbaiki insufisiensi miokardium terkait asidemia,
vasokonstriksi perifer, dan hipoksia jaringan. 93 Rasio kompresi dada dengan
ventilasi adalah 3:1.79
Kompresi dada dapat dilakukan dengan teknik dua jari (jari telunjuk-jari tengah)
dan teknik dua ibu jari. Teknik yang dianjurkan yaitu menggunakan teknik dua ibu jari
(two thumb-encircling hands technique) dengan jari-jari tangan lain melingkari
dada dan menyanggah tulang belakang. 73 Kedua ibu jari diletakkan pada sepertiga
bawah sternum, di bawah garis imajiner yang menghubungkan kedua puting,
dengan kedalaman sepertiga diameter anteroposterior dada. 72,76,94
191
Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2014. 69
Teknik dua ibu jari lebih dianjurkan karena teknik ini dapat
memberikan tekanan puncak sistolik dan perfusi koroner yang
lebih baik pada bayi baru lahir.
192
• Epinefrin 1:10.000, dilakukan melalui jalur intravena atau intraoseus
dengan dosis 0,1-0,3 mL/kgBB (0,01-0,03 mg/kgBB). Pemberian melalui
jalur endotrakea kurang efektif, namun dapat dilakukan bila jalur
intravena / intraoseus tidak tersedia.71 Pemberian epinefrin melalui jalur
trakea membutuhkan dosis lebih besar, yaitu 0,5-1 ml/kgBB (0,05-0,1
mg/kgBB).71
• Cairan, diberikan bila terdapat kecurigaan kehilangan darah
fetomaternal akut akibat perdarahan vasa previa, perdarahan
pervaginam, laserasi plasenta, trauma, prolaps tali pusat, lilitan tali pusat,
perdarahan tali pusat, atau bayi memperlihatkan tanda klinis syok dan
tidak memberikan respons adekuat terhadap resusitasi. 71 Cairan yang
dapat digunakan antara lain darah, albumin, dan kristaloid isotonis,
sebanyak 10 ml/kgBB dan diberikan secara bolus selama 5-10 menit.
Pemberian cairan pengganti volume yang terlalu cepat dapat
menyebabkan perdarahan intrakranial, terutama pada bayi prematur. 23
Tata laksana hipotensi pada bayi baru lahir dengan menggunakan
kristaloid isotonis (normal saline) mempunyai efektivitas yang sama
dengan pemberian albumin dan tidak ditemukan perbedaan bermakna
dalam meningkatkan dan mempertahankan tekanan arterial rerata
(mean arterial pressure / MAP) selama 30 menit pertama
pascaresusitasi cairan.95
• Bikarbonat, bukan merupakan terapi rutin dalam resusitasi
neonatus.76,79
193
Pemberian epinefrin melalui pipa endotrakeal dapat dijadikan
pilihan bila jalur intravena tidak tersedia walaupun jalur ini
kurang efektif dibandingkankan jalur intravena.
194
Normal saline sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan
terapi awal hipotensi pada bayi baru lahir karena aman, murah,
dan mudah didapatkan.
195
196
3.7 Tata laksana pascaresusitasi di ruang perawatan
Bayi harus tetap dipertahankan stabil walaupun resusitasi telah berhasil
dilakukan dengan cara memindahkan bayi dari ruang resusitasi ke ruang
197
perawatan, sehingga bayi dapat dipantau secara ketat dan dilakukan intervensi
sesuai indikasi.21,100 Akronim STABLE (sugar and safe care, temperature,
airway, blood pressure, laboratorium working, dan emotional
support) dapat digunakan sebagai panduan selama perawatan pascaresusitasi
atau periode sebelum bayi ditranspor, baik ke ruang perawatan intensif maupun
rumah sakit rujukan.101
3.7.2 Temperature
Penelitian menunjukkan bahwa terapi hipotermia ringan (mild hypothermia)
dapat menurunkan risiko kematian dan disabilitas bayi akibat asfiksia secara
signifikan (lihat subbab mengenai terapi hipotermia).42 Terapi hipotermia secara
pasif dapat dimulai sejak di kamar bersalin atau ruang operasi pada bayi yang
diperkirakan mengalami asfiksia, dengan cara mematikan penghangat bayi dan
melepas topi bayi sesegera mungkin setelah target ventilasi efektif dan LJ
tercapai. Hal ini dapat dikerjakan secepat-cepatnya pada usia 10 menit dengan
memerhatikan kecurigaan asfiksia berdasarkan faktor risiko asfiksia, nilai Apgar
saat usia 5 menit dan kebutuhan ventilasi masih berlanjut sampai usia 10 menit.
Pada pelaksanaan terapi hipotermia pasif dengan suhu ruangan menggunakan
pendingin ruangan harus berhati-hati terhadap kemungkinan overcooling yang
akan memperberat efek samping terapi hipotermia. Probe rektal (6 cm dari
pinggiran anus) atau esofagus sebaiknya telah dipasang dalam waktu 20 menit
setelah kelahiran.103 Bayi ditranspor dengan menggunakan inkubator transpor
yang dimatikan dengan tujuan mencapai target suhu tubuh rektal antara 33,5 -
34,5oC. Pada kecurigaan asfiksia perinatal, hipertermia harus dihindari selama
resusitasi dan perawatan karena akan meningkatkan metabolisme otak dan
dapat memicu terjadinya kejang.104
198
GD <47 mg/dL
• I V bolus dekstrosa 10% 2 mL/kgBB • Nutrisi oral /enteral segera : ASI atau
** IVFD dekstrosa 10%, minimal 60 PASI , maksimal 100 mL/kg BB/hari
mL/kgBB/hari ( hari pertama ) sampai ( hari pertama )
mencapai GIR 6 - 8 mg/kgBB/menit • Bila ada kontraindikasi oral atau
• Ora l tetap diberikan bila tidak ada enteral → **
kontraindikasi
GD ulang (1 jam)
Dekstrosa ditingkatkan dengan cara:
• Volume ditingkatkan sampai maksimal
100 mL/kgBB/hari (hari pertama) atau
• Konsentrasi ditingkatkan: vena perifer
GD 36 - <47 mg/dL **
maksimal 12,5%, umbilikal 25%
GD > 47 mg/dL
Ulang GD tiap 2 - 4 jam , 15 me nit sebelum jadwal minum berikut, sampai 2 kali berturut - turut normal
199
napas, menjaga fiksasi ETT, serta evaluasi foto toraks dasar. 101 Intervensi
dilakukan sesuai indikasi apabila ditemukan kelainan pada evaluasi.
3.7.7 Lain-lain
Kejang dalam 24 jam pertama kehidupan dapat merupakan manifestasi
neurologis setelah episode asfiksia. Kejang pascahipoksik umumnya bersifat
parsial kompleks atau mioklonik dan terjadi secara intermiten. 105 Bayi yang lebih
matur dapat mengalami kejang elektrik (electrical seizure) pada pemeriksaan
EEG (atau pemeriksaan amplitude EEG (aEEG) yang dapat dilakukan bedside
secara kontinu; lihat juga penjelasan sub-bab aEEG pada halaman 84)106
Sebagian besar kejang neonatus disebabkan kejadian simtomatik akut seperti
EHI. Kejang juga dapat disebabkan oleh gangguan metabolik (hipoglikemia,
hipokalsemia, hipomagnesia, dan hiponatremia), infeksi, stroke perinatal,
perdarahan intrakranial, epilepsi neonatus, dan penyebab lain yang tidak
diketahui.107-109 Penting untuk dilakukan pemeriksaan fisis dan investigasi riwayat
secara menyeluruh untuk mengetahui etiologi atau faktor risiko neonatus
mengalami kejang.110,111
200
Berbagai karakteristik klinis kejang pada neonatus beserta penjelasannya
dapat dilihat pada Tabel 9.
Kejang epileptik
Klonik fokal • Kontraksi ritmik dan repetitif otot tungkai, wajah, dan batang
tubuh
• Bersifat unifokal ataupun multifokal
• Dapat terjadi secara sinkron ataupun asinkron pada kedua sisi tubuh
• Dapat terjadi secara simultan, namun asinkron pada kedua sisi tubuh
• Tidak dapat dikurangi dengan peregangan
Spasme • Kontraksi ritmik dan repetitif otot tungkai, wajah, dan batang
tubuh
• Bersifat unifokal ataupun multifokal
Kejang non-epileptik
Tonik umum • Kekakuan simetris batang tungkai, batang tubuh, dan leher
• Posisi dapat fleksi, ekstensi, atau campuran keduanya
• Dapat dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
• Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi
201
Gerakan okular • Gerakan mata acak dan berputar atau nistagmus
• Dapat dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
Gerakan oral- • Gerakan seperti mengisap, mengunyah, dan protusi lidah bukal-lingual • Dapat
dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
• Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi
Gerakan • Gerakan seperti mendayung, berenang, atau mengayuh sepeda progresif • Dapat
dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
• Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi
Mioklonik • Kontraksi acak, tunggal, dan cepat pada tungkai, wajah, atau batang tubuh
• Tidak repetitif atau mungkin terjadi dengan kecepatan lambat
• Dapat bersifat umum, fokal, atau fragmenter
• Dapat dibangkitkan dengan rangsang
Sumber: Mizrahi EM. Neonatal seizures and neonatal epileptic syndromes. Neurologic
clinics. 2001;19(2):427-63.106
202
Gerakan bersifat sensitif terhadap + stimulus 0
Sumber: Volpe J, Inder T, Darras B, dkk. Neurology of the newborn. Edisi ke-6.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2017.h.275-318.116
Tabel 11. Kriteria klinis pemberian obat antikovulsan pada neonatus (modifikasi)
Tipe kejang Karakteristik klinik Terapi anti-kejang
203
Mioklonik
Singkat dan jarang Opsional
204
Bayi yang dipulangkan dengan fenobarbital, ulangi pemeriksaan neurologi dan
perkembangan saat usia 1 bulan, jika pemeriksaan neurologi normal fenobarbital dapat
dihentikan, jika abnormal lakukan pemeriksaan EEG. Jika tidak terdapat kelainan yang
bermakna pada EEG maka fenobarbital dapat dihentikan, jika EEG abnormal lakukan evaluasi
ulang saat usia 3 bulan. Volpe menyatakan bahwa sedapat mungkin obat anti-kejang
dihentikan sesegera mungkin dan pada keadaan tertentu dapat diberikan sampai usia 3-6
bulan.116
205
Namun penelitian mengenai pengaruh penggunaan jangka panjang fenobarbital
terhadap perkembangan neonatus sangat terbatas. Walaupun demikian, tidak
ada obat anti-kejang lain yang terbukti lebih efektif dan aman untuk digunakan
pada neonatus selain fenobarbital.116,118,119 Fenobarbital injeksi yang tersedia di
Indonesia ada dua macam, yaitu intravena dan intramuskular. Sebelum
pemberian obat pastikan sediaan obat sesuai dengan teknik yang diberikan.
Sediaan intramuskular tidak boleh diberikan secara intravena, begitu pula
sebaliknya. Fenobarbital diberikan secara intravena dengan dosis inisial 20
mg/kgBB, dengan kecepatan tidak melebihi 1 mg/kgBB/menit (menggunakan
infusion pump). Dua dosis tambahan sebesar 10-20 mg/kgBB/dosis dapat
diberikan apabila kejang belum berhenti (maksimal 50 mg/kgBB dalam 24 jam).
Fenobarbital dilanjutkan sebagai terapi rumatan dengan dosis 4-6 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 2 dosis bila kejang telah teratasi.108,116,120,121 Lockman dkk.122
mengemukakan bahwa kadar terapeutik minimal fenobarbital dalam darah yaitu
16,9 µg/mL. Pada pemberian dosis inisial fenobarbital 15-20 mg/kgBB intravena
akan memberikan kadar terapeutik dalam darah sekitar 16,3-25,1 µg/mL. 123
Sebuah studi menunjukkan bahwa kadar fenobarbital dalam plasma akan
mengalami penurunan setelah 24 jam pemberian dosis inisial, sehingga dosis
rumatan harus segera diberikan (12 jam setelah dosis inisial). Pada studi
tersebut, pemberian dosis rumatan sebanyak 2,6-5 mg/kgBB/hari dapat
mencapai kadar terapeutik 15-40 µg/mL. Namun demikian, pemeriksaan kadar
fenobarbital dalam darah tetap perlu dilakukan mengingat pada 1 minggu
pertama kehidupan akan terjadi penumpukan kadar obat dalam darah. Hal ini
kemudian diikuti dengan penurunan kadar fenobarbital secara bertahap
sehingga diperlukan kembali penyesuaian terhadap dosis fenobarbital. 124 Pada
fasilitas terbatas di Indonesia seringkali tidak tersedia fenobarbital intravena,
melainkan sediaan intramuskular (ampul, 100 mg/2 mL), maka fenobarbital
intramuskular diberikan dengan dosis lebih tinggi yaitu 30 mg/kgBB (10-15%
lebih tinggi dari dosis intravena).116,120,122 Bila kejang masih belum teratasi, dosis
ini dapat diulang satu kali dengan selang waktu minimal 15 menit. 120
Obat anti-kejang lini kedua dapat diberikan bila kejang masih belum teratasi dan
kadar fenobarbital dalam darah telah mencapai optimal pada penggunaan dosis
maksimal. Pemilihan obat antikejang lini kedua dipengaruhi oleh tingkat
keparahan kejang, efek samping dan interaksi obat, fungsi kardiovaskular dan
pernapasan neonatus, serta disfungsi organ seperti jantung, ginjal, dan
hati.107,118,121 Pilihan obat anti-kejang lini kedua di negara-negara Eropa dan
Amerika adalah fenitoin, levetirasetam, dan lidokain yang dapat digunakan di
Indonesia berdasarkan ketersediaannya. 107,118,121,125
206
tidak stabil dengan pencampuran dan memiliki efek samping lebih besar berupa
hipotensi, aritmia, dan kerusakan pada sistim saraf. Metabolisme fenitoin terjadi
di hati dengan waktu eliminasi yang bervariasi sesuai usia neonatus. Pada satu
minggu pertama kehidupan terjadi penurunan waktu eliminasi yang dapat
menyebabkan fluktuasi kadar fenitoin dalam darah terutama pada bayi prematur
dengan imaturitas fungsi hati. Penggunaan fenitoin sebagai obat anti-kejang lini
pertama sebaiknya diberikan bila pengukuran kadar fenitoin dalam darah dapat
dilakukan.116,118 Dosis inisial fenitoin adalah 20 mg/kgBB/dosis, diberikan secara
intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1 mg/kgBB/menit (untuk mencegah
efek samping aritmia jantung). Dosis dapat ditambahkan hingga tercapai kadar
terapeutik dalam darah yaitu 10-20 mg/L). Pemberian dosis inisial ulangan
fenitoin tidak dianjurkan bila kadar fenitoin dalam darah tidak dapat
diperiksa.116,127 Saat ini di negara maju penggunaan fenitoin mulai ditinggalkan
dan dialihkan menggunakan fosfenitoin (derivat fenitoin). Fosfenitoin memiliki
mekanisme kerja lebih cepat dengan efek samping minimal.118,128
207
mg/kgBB/jam selama 4 jam kemudian diturunkan setengah dosis tiap 12 jam
selama 24 jam.
Perlu diperhatikan pada kondisi bayi prematur dan bayi yang menjalani
terapi cooling, dosis rumatan yang diberikan harus lebih rendah (6
mg/kgBB/jam) karena waktu klirens lidokain menurun pada kondisi
hipotermia.116 Bila kejang belum teratasi, pemberian lidokain dapat ditambahkan
dengan midazolam. Pemberian keduanya secara bersamaan sebagai terapi
kombinasi akan memberikan efek sinergistik yang mampu mengatasi kejang lebih
baik. Oleh karena itu, midazolam lebih efektif bila diberikan sebagai obat anti-
kejang lini ketiga.109 Pemberian lidokain setelah fenitoin dan derivatnya
(difantoin) memerlukan pemantauan terhadap tekanan darah, laju nadi, dan EKG
mengingat efek samping obat berupa kardiodepresif (aritmia dan bradikardia)
walaupun sangat jarang terjadi.114 Untuk mencegah efek samping aritmia,
beberapa studi menyarankan rentang waktu maksimum pemberian infus
lidokain adalah 30-48 jam.109,116,138,139
Kontraindikasi pemberian lidokain adalah neonatus dengan penyakit
jantung bawaan dan penggunaan fenitoin sebelumnya.116,140 Sampai saat ini di
Indonesia lidokain intravena hanya tersedia di fasilitas kesehatan tertentu
(Xylocard tersedia di RS Jantung Harapan Kita), sediaan lainnya adalah untuk
pemberian subkutan / intramuskular.
Midazolam intravena dipertimbangkan sebagai obat antikejang lini ketiga
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Obat ini merupakan pilihan pada kasus
kejang refrakter yang tidak berhasil dengan pemberian obat anti-kejang lini
pertama dan kedua.141 Efek samping yang dikhawatirkan pada pemberian
midazolam yaitu depresi pernapasan dengan risiko intubasi. Namun efek
samping tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan benzodiazepin
lainnya seperti diazepam dan lorazepam. 116,123 Dosis inisial yang diberikan adalah
0,15 mg/kgBB intravena, dilanjutkan dengan infus kontinu 1 µg/kgBB/menit. Jika
masih terdapat kejang, dosis awal dapat diulangi dan dosis infus dapat dinaikkan
0,5-1 µg/kgBB/menit setiap 2 menit hingga dosis maksimal 18
µg/kgBB/menit.116,126
208
menyebabkan obat ini tidak dapat dipakai sebagai terapi rumatan. 142,143 Hal lain
yang perlu pula diperhatikan adalah sediaan diazepam umumnya mengandung
sodium benzoat yang dapat melepas ikatan albumin-bilirubin sehingga
meningkatkan risiko terjadinya kernikterus.146 Namun pada fasilitas kesehatan
terbatas di Indonesia yang tidak tersedia fenobarbital, fenitoin maupun
midazolam, maka diazepam dapat digunakan sebagai obat anti-kejang lini
pertama dengan perhatian khusus. Sebuah studi melaporkan bahwa pemberian
drip kontinu diazepam efektif menghentikan kejang pada delapan bayi yang
mengalami asfiksia perinatal berat. Pada laporan kasus tersebut tidak ada bayi
yang membutuhkan bantuan pernapasan walaupun terdapat stupor dan
memerlukan pemasangan pipa orogastrik.147
209
terapi alternatif apabila tidak tersedia fenobarbital, bukan sebagai pilihan
utama.124
Gambar 20. Anti-kejang pada fasilitas terbatas
a. Fenobarbital (sediaan ampul, 100 mg/2 mL, IM), b. Fenitoin (sediaan ampul,
100 mg/2 mL, IM-IV), c. Diazepam (sediaan ampul, 10 mg/2 mL, IM-IV) d.
Midazolam (sediaan ampul, 5mg/5mL, IM-IV), e. Diazepam (sediaan supposituria
5mg/2,5 mL) Sumber: Foto inventaris RSUD Lahat, Sumatra Selatan
Sumber:
a. Foto inventaris RSUPN Ciptomangunkusumo;
b. Kementrian Kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan neonatal esensial:
Pedoman teknis pelayanan kesehatan
dasar; 2010
Jika penyebab kejang tidak diketahui dan tidak respons terhadap obat anti-
kejang lini pertama dan kedua, maka harus dipikirkan adanya kelainan metabolik
bawaan seperti pyridoxine dependency. Percobaan terapi piridoksin dapat
diberikan dengan dosis 100 mg secara intravena secara lambat (5 menit),
kemudian dapat diulangi setiap 5-15 menit hingga mencapai dosis maksimum
pemberian yaitu 500 mg (15-30 mg/kg/hari per oral yang terbagi dalam tiga
dosis). Sediaan piridoksin yang tersedia di pasaran adalah 50 mg/ml (1 ml) dan
100 mg/ml (1 ml). Pemberian piridoksin secara intravena tidak perlu diencerkan,
tetapi diperlukan pemantauan EEG/aEEG dan fungsi kardiorespirasi (hipotonia
dan apneu).116,134,149 Dosis dan keterangan obat lebih lengkap dapat dilihat dalam
Tabel 10.
210
Tabel 12.Farmakodinamik, obat
mekanisme kerja, keuntungan, kerugian, efek samping dan interaksiAnti
-kejang
Fenobarbital Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain
Farmakodinamik
• Spektrum • Bentuk fosfenitoin • Awitan • Absorbsi cepat dan
luas150 lebih disukai 3 Intravena/drip: 1 - hampir diserap
• Rentang untuk loading menit10 sempurna dengan
terapeutik cepat, efek konsentrasi puncak
Rektal: 2-
lebar150 samping dan menit plasma 1 jam setelah
Awitan reaksi lokal lebih -30 penggunaan oral.
• • Durasi 15
intravena 5 ringan.152 menit
116,133,134
menit, 15 • Hanya
• Waktu paruh 50 -
95 • Konsentrasi puncak
mencapai meningkatkan 10 - 151 plasma dalam 5 -15
maksimum kejang jam menit setelah
% kontrol
dalam 30 setelah kegagalan pemberian intravena.
menit151 fenobarbital 116,133,134
• Durasi 4 -10 mengontrol • Waktu paruh pada
jam151 kejang.152,153 neonatus 18 jam.
60
• Awitan intravena
Waktu 116,133,134
500 paruh
45- 151 30- 152
jam menit
• Durasi 24 jam
153
• Waktu paruh 10 -
15
152
jam
Mekanisme kerja Inhibisi • Menghalangi • Meningkatkan • Berikatan dengan • Menghalangi
neurotransmiter channel Na + fungsi reseptor protein vesikel konduksi saraf
dengan sehingga GABA.128 sinapsis SV2A dengan menurunkan
266
Fenobarbital Fenitoin Diazepam
Midazolam memperpanjang mencegah • Menekan SSP,
waktu terbukanya rangsang neuron termasuk sistem
( channel GABA- berulang150 limbik dan formasi
Na+ 150 • Perubahan retikularis dengan
• Awitan: ≤ 20 5
menit paruh: 3 jam• konduksi Na+, K +, berikatan pada
• Waktu
subkutan) dan -8 Ca2+, membran situs
Awitan intravena
- potensial, dan benzodiazepin
jam untuk (intravena 7
1menit,
jangka panjang)
139 • dalam - menit konsentrasi asam pada kompleks
maksimum
Durasi 20 -30
5 amino, GABA dan
4 men15
• 4 norepinefrin, memodulasi
Waktu
it 12 -124
paruh asetilkolin, serta
jam dan - jam GABA.151
pada
5,5 neonatus gamm-
sangat 15
yang ( aminobutyric
a acid
1
sakit GABA 150
)
Keuntungan - Berat dan usia • Efektivitas hampir • Obat mudah
gestasi tidak sama dengan didapatkan107
terlalu Fenobarbital118,121
mempengaruhi
kadar obat
dalam darah116
- Dapat diberikan
dengan sediaan
IM116
Menekan semua
level SSP, termasuk
sistem limbik dan
266
Levetiracetam Lidokain Midazolam Fenobarbital Fenitoin
sehingga permebilitas sel formasi retikularis, Kerugian dan efek • Depresi napas, • Pemberian secara
mengurangi
pelepasan membran terhadap dengan berikatan samping apne101 intravena cepat
vesikel
116,133,13 Na+ sehingga pada situs menyebabkan
• Tromboflebitis
10
4
. mengurangi lama benzodiazepin pada
• Meningkatkan hipotensi, aritmia,
1
ekspresi gamm waktu depolarisasi, kompleks reseptor bradikardia,
• Hipotensi
101,151
( glutamate a meningkatkan GABA dan kolaps
• Ruam kulit
151
transporter
GLTs), excitato eksitabilitas dan memodulasi kardiovaskular,
• Hepatitis,
( ry
amino acid mencegah aksi GABA.151 kolestatis101,151 dan distres
transporter 1/ potensial. napas.101,151
• Gangguan
glutam-asparta • Menghalangichannel kognitif150,151 • Muntah, iritasi
ate te
transport Na+ pada sel lambung.101
er
EAAT1/GLAST), dan jantung139
• Trombositopenia,
EAAT2/GLT1 yang • Menyebabkan efluks leukopenia, dan
mempunyai peran dari kalium yang granulositosis.101
penting untuk mengakibatkan
116,133 • Makrositosis dan
neuroproteks aritmia.139 anemia
i.
13 ,
megaloblastik.101
4
• Nekrosis dan
• Risiko terjadi efek • Pada bayi cukup • Efektif pada status inflamasi jaringan
samping rendah bulan, Lidokain epileptikum141 bila terjadi
• Terdapat sediaan menunjukkan • Efek samping sedasi ekstravasasi pada
intravena respon terapi kejang dan depresi respirasi tempat
• Tidak ada reaksi yang lebih baik lebih rendah penyuntikan101,151
antar obat116,133,134 sebagai lini kedua dibandingkan • Hepatitis
151
dan ketiga dengan Lorazepam
• Ruam kulit
101,151
dibandingkan dan Diazepam.116,123
• Hipoinsulinemia,
dengan hiperglikemia,
Midazolam109,116 glikosuria101
• Akselerasi
apoptosis neuron
266
Diazepam Levetiracetam Lidokain Midazolam Fenobarbital
• Menganggu ikatan • Efekasi dan • Therapeutic window • Henti jantung
151
albumin- keamanan pada sempit109,116 • Depresi napas, apne,
bilirubin127 pada neonatus • Aritmia
109,116 desaturasi,
• Peningkatan enzim belum banyak laringobronkospasm
• Bradikardia
109,116
hati151 diketahui, namun e 121 Interaksi obat • Pemberian
• Hipotensi
109,116
penggunaan dosis diazepam yang
• Butuh titrasi • Menyebabkan • Nyeri dan reaksi
obat127 40-50 lokal pada tempa t disusul dengan
kejang bila
mikrogram/kgBB penyuntikan, namun fenobarbital
• Depresi sistem digunakan dalam
intravena dapat
saraf pusat (SSP) tidak menimbulkan dosis tinggi109,116 lebih ringan
dan sistem efek samping yang dibandingkan memperberat
• Kejang efek depresi
( pernapasan bermakna.116,133,134 berulang109,116 diazepam.151
SSP dan sistem
apne 101,151 • Belum ada sediaan • Kontraindikasi pada
) intravena di pernapasan,
• Hipotensi
101,151
penyakit jantung
Indonesia apne, dan
• Hipo/hipertermia bawaan109,116
10
1
hipoventilasi.101
• Tidak boleh
• Pemberian
• Nyeri dan flebitis diberikan setelah
fenobarbital
pada tempat fenitoin/fosfenitoin
tidak boleh
penyuntikan101,151 karena dapat
dicampur
menyebabkan
dengan
kardiodepresif 109,116
sebagian besar
antibiotik,
morfin,
norepinefrin,
dan natrium
fenitoin.101
266
Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain Midazolam
pada bayi
prematur101,151
• Pemberian • Pemberian • Pemberian • Pemberian Lidokain • Midazolam akan
bersamaan dengan diazepam yang bersamaan setelah Fenitoin meningkatkan kadar
infus dopamin disusul dengan makanan tidak disarankan fenitoin116
dapat fenobarbital menurunkan karena akan
menyebabkan intravena dapat konsentrasi puncak memperbesar efek
(
hipotensi berat, memperberat efek plasma sampai 20% kardiodepresif
bradikardia, dan depresi SSP dan dan menunda kerja aritmia,
henti jantung sistem obat sampai 1,5 jam; bradikardia)
,139
sehingga bila pernapasan, apne, tetapi tidak
harus diberikan dan mengurangi
secara bersamaan, hipoventilasi.101 bioavailabilitas.
116,133,134
perlu perhatian • Meningkatkan
khusus dan kadar plasma
pemantauan digoksin.101
tejanan darah.101
• Asam folat,
piridoksin,
rifampisin, dan
kloralhidrat dapat
menyebabkan
penurunan serum
fenitoin sehingga
menurunkan
efektivitasnya.101
• Menurunkan
kadar dan
266
Fenobarbital Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain
efektivitas teofilin,
digoksin, dan
furosemid.101
• Meningkatkan
metabolisme
kortikosteroid101
• Jangan
memberikan dosis
parasetamol
terlalu tinggi bila
diberikan
bersamaan dengan
fenitoin.101
*) - Berdasarkan awitan kerjanya, pemberian diazepam atau midazolam drip kontinudapat dipertimbangkan
sebagai lini pertama di fasilitas terbatas yang tidak tersedia fenobarbital intravena / intramuskular.
- Pada fasilitas terbatas, diazepam atau midazolam drip diberikan sebagai anti -kejang lini kedua setelah
pemberian fenobarbital intravena atau intramuskular pada lini pertama
- Di Indonesia saat ini hanya tersedia levetiracetam sediaan oral dan belum lazim digunakan lidokain
intravena ( L ignokain)
266
Midazolam
266
Tabel 13. Daftar sediaan, dosis, kompatibilitas, persiapan, administrasi, kecepatan
pemberian obat, dan contoh soal pemberian anti-kejang pada neonatus
Obat FENOBARBITAL
Sediaan Oral : 30 mg, 50 mg, 100 mg, 15 mg/5 mL (cairan) IV/IM : 200
mg/mL, 200 mg/2 mL, 100 mg/mL
Dosis Inisial : 20 mg/kgBB IV dalam 10-15 menit. (jika masih kejang diberikan
10-20 mg/kgBB sampai maksimal 50 mg/kgBB dalam 24 jam) 108,116,121
Inisial IV :
- Dosis = 20 mg/kgBB (3 kg x 20 mg → 60 mg)
- Sediaan setelah pengenceran = 20 mg/mL → Ambil 3 mL untuk
mendapatkan dosis 60 mg
- Berikan secara bolus IV lambat dalam waktu 10-20 menit
- Jika masih kejang, dapat diberikan bolus tambahan 1020 mg/kgBB
(3kg x 10-20 mg → 30-60 mg atau 1,5-3 mL)
Rumatan :
- Dosis = 4-6 mg/kgBB/hari (3 kg x 4-6 mg → 12-18 mg/hari atau
6-9 mg setiap 12 jam)
- Sediaan setelah pengenceran = 20mg/mL → Ambil 0,3-
0,45 mL untuk mendapatkan dosis 6-9mg
- Pemberian bolus intravena lambat dalam 10-20 menit setiap 12 jam
IM :
- 10-15% lebih besar dari dosis IV atau 30 mg/kgBB (3kg x 30 mg →
90 mg)
218
- Tidak perlu diencerkan
- Ambil 0,45 mL untuk mendapatkan dosis sebesar 90mg -
Berikan secara IM
Obat FENITOIN
Sediaan Oral : 30 mg, 100 mg
IV : 100 mg/2 mL, 250 mg/5 mL
Dosis Inisial : 20 mg/kgBB IV (kecepatan pemberian kurang dari 1 mg/kg/menit,
cenderung tidak larut jika dicampur dengan larutan dekstrosa/
aquabides)116
Sediaan obat yang telah diencerkan harus segera digunakan dalam waktu
1 jam154,156
Administrasi dan kecepatan Oral : dilakukan flush melalui OGT sebelum dan setelah memberikan
pemberian obat obat, diberikan terpisah dengan enteral feeding
219
- Dengan spuit 10 mL ambil obat sebanyak 1mL (50mg)
- Tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 9 mL (sampai total
cairan 10 mL)
Inisial IV :
- Dosis = 20 mg/kgBB (3 kg x 20 mg → 60 mg)
- Sediaan setelah pengenceran=5 mg/mL → Ambil 12 mL untuk
mendapatkan dosis 60 mg
- Berikan secara bolus IV lambat dalam waktu 20-60 menit
Rumatan :
- Dosis = 4 mg/kgBB/dosis (3 kg x 4 mg → 12 mg
diberikan setiap 12 jam IV/PO)
- Sediaan setelah pengenceran = 5 mg/mL → Ambil 2,4 mL untuk
mendapatkan dosis 12 mg
- Pemberian bolus intravena lambat dalam 15 menit setiap
12 jam
Obat LEVETIRACETAM
Persiapan -
Administrasi dan Oral : dapat diberikan kapanpun bersamaan dengan pemberian enteral
kecepatan pemberian obat feeding
Contoh soal -
Obat LIDOKAIN
Sediaan IV (Lignocaine/ Xylocard®): ampul 500 mg/5 mL (100 mg/mL)
220
Persiapan IV inisial : pengenceran 1 mg/mL154 IV
kontinu : pengenceran 10 mg/mL
Administrasi dan kecepatan Inisial : dalam 10 menit154
pemberian obat
IV infus kontinu : diberikan secara kontinu via syringe pump dimulai
dari 7 mg/kgBB/jam (selama 4 jam) dan diturunkan setengah dosis
setiap 12 jam (3,5 mg/kgBB/jam dan 1,75 mg/kgBB/jam) selama 24
jam154
Obat MIDAZOLAM
Sediaan IV : 5 mg/5 mL (1 mg/mL), 15 mg/3 mL (5 mg/mL)
Dosis Inisial IV : 0,15 mg/ kgBB
221
Jika masih terjadi kejang, dosis inisial dapat diulangi dan dosis infus dapat
dinaikkan 0,5-1 µg/kgBB/menit setiap 2 menit hingga mencapai dosis
maksimal 18 µg/kgBB/menit
114,116,18,126,139
Inisial IV :
- Dosis = 0,15 mg/kg (3 kg x 0,15 mg → 0,45 mg)
- Tidak perlu diencerkan
- Ambil 0,45 mL untuk mendapatkan dosis 0,45 mg
- Berikan secara bolus intravena dalam waktu 5 menit - Jika
masih terdapat kejang, dosis loading dapat diulangi
Obat DIAZEPAM
Sediaan IV :10 mg/2 mL(5 mg/mL)
Dosis Hanya untuk di fasilitas terbatas yang tidak ada fenobarbital IV/IM,
fenitoin IV atau midazolam IV . Disarankan pemberian terutama dengan
infus kontinu
222
Kompatibilitas Relatif tidak larut dalam seluruh jenis cairan. Dapat digunakan dekstrosa
5% atau 10%120,148,157
Persiapan IV infus kontinu : Pengenceran dengan dekstrosa 10% sampai didapatkan
konsentrasi 0,2 mg/mL*
Administrasi dan kecepatan IV infus kontinu : diberikan secara kontinu via syringe pump** dengan
pemberian obat kecepatan dimulai dari 0,1 mg/kg/jam (jika masih terdapat kejang,
kecepatan dapat dinaikan
0,1mg/kg/jam, selama RR ≥ 30)
Jika telah mencapai 6 jam, hentikan syringe pump, buang sisa obat
dalam spuit dan siapkan sediaan baru untuk 6 jam berikutnya (idealnya
dengan menggunakan spuit yang baru)
Obat PIRIDOKSIN
Sediaan Oral : 10 mg, 25 mg, 50 mg, 100 mg IV : 100
mg/2 mL
223
Dosis Dosis inisial : 50-100 mg IV116,154,158
IV :
- Dosis inisial = 50-100 mg IV
- Tidak perlu diencerkan
- Ambil obat sebanyak 1-2 mL untuk mendapatkan dosis 150-300
mg
- Berikan secara bolus IV selama 5 menit
- Dosis rumatan= 50-100 mg/hari (→ 1-2mL per hari)
224
Obat KALSIUM GLUKONAS
Sediaan IV : Ca Glukonas 10% (100 mg/mL)
Administrasi dan kecepatan Bolus IV : diberikan bolus intravena secara perlahan dalam 30-60 menit
pemberian obat dengan pemantauan fungsi kardiovaskular
(EEG). Hentikan bila terdapat bradikardia
Pemberian rumatan IV :
- Dosis= 4,5 mL/kg ~ 3 kg x 4,5 mg → 13,5 mL
- Ambil obat sebanyak 13,5 mL dan tambahkan dalam cairan
parenteral harian dalam 24 jam
225
226
227
digunakan sebelumnya
Lanjutan dari halaman
G
sebelumnya
A
Bila masih kejang, tata laksana
L
Jika masih kejang: selanjutnya tergantung kebijakan
klinisi
I ***Pertimbangkan
228
I
N
I
D
U
A
Gambar 23. Anjuran algoritme tata laksana kejang pada fasilitas terbatas
229
3.8 Terapi hipotermia pada bayi asfiksia
3.8.1 Definisi dan tujuan terapi hipotermia
Terapi hipotermia merupakan suatu upaya untuk menurunkan suhu inti tubuh
hingga 32 - 34oC pada bayi dengan EHI dengan tujuan mencegah kerusakan
neuron otak akibat asfiksia perinatal.159 Mekanisme neuroprotektif terapi
hipotermia antara lain menurunkan metabolisme serebral, pelepasan glutamat,
produksi oksida nitrit, produksi leukotrien, serta meningkatkan antioksidan
endogen dan sintesis protein sehingga menurunkan kejadian edema serebral
dan apoptosis neuron pada bayi dengan EHI. 160 Pada dasarnya terapi
hipotermia ini mencegah dan memperlambat kaskade kerusakan otak yang
sedang berjalan, namun tidak akan mempengaruhi sel yang telah mengalami
kerusakan ireversibel.34-35,161
Terapi hipotermi dapat dibedakan menjadi 3 fase, yaitu fase induksi, fase
maintenance, dan fase rewarming (Gambar 24). Fase induksi /
inisiasi merupakan fase awal terapi hipotermia. Pada fase ini suhu normal
tubuh bayi diturunkan hingga mencapai 32 - 34 oC dengan kecepatan 3oC / jam,
sehingga diharapkan target suhu akan tercapai dalam waktu kurang lebih 60 -
90 menit. Target suhu ini dipertahankan selama 72 jam pada fase
maintenance, dengan toleransi suhu berkisar antara 0,1 - 0,5 oC. Fase ini
berlanjut dengan fase rewarming yaitu tubuh bayi dihangatkan kembali
hingga mencapai suhu normal (36,5 - 37,5 oC), dengan peningkatan suhu tubuh
tidak boleh terlalu cepat yaitu 0,5oC tiap 1-2 jam agar tidak terjadi efek
samping.162
230
Sumber: Robertson NJ, Kendall GS, Thayyil S. Techniques for therapeutic
hypothermia during transport and in hospital for perinatal asphyxial
encephalopathy. Semin Fetal Neonatal Med. 2010;15:276-86.
Terapi SHC menggunakan penutup kepala (Cool Cap) yang dialirkan air
dingin. Unit pendingin dan pompa berbasis kontrol termostat
(thermostatically controlled cooling unit and pump) mensirkulasikan air
ke penutup kepala (cap) secara merata, dimulai dengan suhu antara 8 - 12 oC.
Suhu air yang bersirkulasi di dalam cap disesuaikan secara manual untuk
mempertahankan suhu rektal antara 34 - 35 oC. Selama fase inisiasi dan fase
maintenance, suhu cap dinaikkan secara perlahan antara 19-23 oC untuk
mempertahankan target suhu rektal. Fase rewarming dilakukan dengan
melepas cap dan menggunakan overhead heating untuk meningkatkan suhu
inti meningkat lebih dari 0,5oC / jam.168 Terapi ini memberikan efek yang lebih
besar ke perifer otak daripada struktur otak sentral. 61
231
Gambar 25. Selective head cooling dengan Cool Cap di fasilitas
ideal
Sumber:https://encryptedtbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTSncTdRWb
oaiBXEVnI5ij2YLCTxXknBs1rlMM1P_zF2phe635_
232
Mekanisme metode SHC didasarkan pada fisiologi otak bayi yang
memproduksi 70% dari total panas tubuh. Pada cedera hipoksik-iskemik bagian
otak sentral lebih rentan terhadap kerusakan otak. Studi menunjukkan bahwa
ternyata SHC cenderung mendinginkan otak perifer dibandingkankan sentral
(thalamus, kapsula interna, ganglia basalis). Sedangkan, metode WBC mencapai
efek hipotermi homogen pada seluruh struktur otak, sehingga memungkinkan
derajat hipotermi lebih dalam dan mencapai struktur otak internal. Beberapa
penelitian memperlihatkan kesan potensi yang lebih unggul pada WBC
dibandingkan SHC, namun hal ini belum dapat disimpulkan terkait metode
penelitian yang bersifat retrospektif.169 Kedua metode cooling ini secara umum
menghasilkan penurunan aliran darah otak dan ambilan oksigen yang sama
serta tidak ditemukan perbedaan yang signifikan terkait kadar penanda
inflamasi, mortalitas, serta tumbuh kembang pada usia 12 bulan. 169,170
233
4. Bukti asfiksia peripartum (minimal 1)*, yaitu :51,61,171-175
234
hipotermia (tanda *), yaitu bukti asfiksia (butir 4) dan ensefalopati sedang atau
berat (butir 3) berdasarkan pemeriksaan neurologis atau amplitude EEG
(bedside). Pemeriksaan tersebut harus dipantau terus sejak dicurigai asfiksia
sampai usia 6 jam sebagai periode emas selambatlambatnya untuk memulai
terapi hipotermia. Sebagai contoh bila saat usia 1 jam pemeriksaan neurologis
atau amplitudo EEG menujukkan EHI ringan, maka bayi terus dipantau dan
diulang kembali pemeriksaan tersebut sampai usia 6 jam sebelum memutuskan
untuk tidak melakukan terapi hipotermia.
Pada keadaan bayi yang terlambat dilakukan terapi hipotermia saat usia 6
jam, perlu dipertimbangkan manfaat dan efikasinya. Sebuah uji klinis acak
terkendali yang membandingkan hasil luaran neonatus cukup bulan usia 6-24
jam dengan EHI yang dilakukan terapi hipotermia dibandingkan dengan yang
tidak dilakukan terapi hipotermia, terdapat 76% probabilitas adanya penurunan
risiko mortalitas dan kecacatan pada yang dilakukan terapi hipotermia.
Sedangkan pada follow up pada usia 18-22 bulan, terdapat 64% probabilitas
penurunan risiko mortalitas dan kecacatan sebanyak 2%. Berdasarkan hasil
studi tersebut dapat disimpulkan bahwa ada keuntungan yang didapatkan pada
bayi dengan EHI yang mendapatkan terapi hipotermia walaupun telah berusia
lebih dari 6 jam, namun masih memerlukan studi lebih lanjut untuk menilai
keefektivitasannya.177
a. Pemeriksaan neurologis
(ekstensi menyeluruh)
Refleks primitif Reflek hisap,gag& Moro melemah Refleks hisap, gag& Moro menghilang
235
Pupil Kontriksi Deviasi, dilatasi, tanpa reaksi
0 1 2 3
236
Respirasi normal hiperventilasi apne sesaat apne atau
dalam IPPV
Nilai total
Sumber: Mwakyusa SD, Manji KP, Massawe AW. The hypoxic ischaemic
encephalopathy score in predicting neurodevelopmental outcomes among
infants with birth asphyxia at the Muhimbili
Evaluasi nilai Thompson dilakukan setiap hari, diplot dalam grafik seperti grafik 1.
Skor Thompson
Skor Thompson
15
10
5
0
1 2 3 4
Usia bayi (hari ke-)
b. Pemeriksaan amplitude-integrated
electroencephalography (aEEG)
237
kompleks, selain itu perlu keahlian khusus dokter ahli saraf anak di perawatan
intensif neonatus, sehingga EEG kurang dapat diaplikasikan secara bedside.
Amplitude-integrated electroencephalography (aEEG) merupakan alat
pemeriksaan seperti EEG dengan metode yang disederhanakan, dapat merekam
aktivitas fungsi otak secara kontinu, serta neonatologis dapat menganalisis
hasilnya secara bedside.187 Perekaman dapat berlangsung terus menerus
selama dibutuhkan dan pemasangan elektroda lebih mudah daripada EEG
konvensional.183,185
A B
238
Gambar 27. Amplitude integrated electroencephalography
(aEEG)A dan
electroencephalography (EEG)B
239
Sumber: Thoresen M, Westas LH, Liu X, Vries LS. Effect of hypothermia on
amplitude integrated encephalogram in infants with asphyxia. Pediatrics. 2010; 126:
131-139
c. Pemeriksaan lainnya
240
bagian dorsal, dengan kelainan difus substansia nigra dan berlanjut secara
kronis menjadi ensefalopati multikistik. Kelainan berat lain yang dapat
ditemukan adalah hilangnya intensitas signal kapsula internal posterior
(PLIC).192,194,195
241
Nilai laktat tertinggi dalam satu jam pertama kehidupan dan
pemeriksaan serial laktat merupakan prediktor penting EHI
sedang-berat.
242
Gambar 29. Algoritme diagnosis asfiksia dan terapi hipotermia
243
Bayi asfiksia (terkonfirmasi)
lahir diluar RS
ya
Bayi telah ditransfer dalam tidak Nilai usia bayi (dari lahir
suhu dingin/normal? sampai tiba di RS rujukan)
ya
<6 jam >6 jam
• Catat kapan terapi
hipotermi dimulai
• Lanjutkan terapi hipotermia
sampai 72 jam Mulai terapi hipotermia Tidak memenuhi kriteria
terapi hipotermia
• Radiant warmer
• Pengatur suhu
• Probe suhu rektal ukuran 9Fr (termistor rektal)*
• Kabel penghubung probe ke pengukur / pengatur suhu*
• Blanketrol® *
• Lubrikan
• Plester
• Monitor kardiorespirasi
• Radiant warmer
• Termometer rektal (yang dapat mengukur suhu hingga 32 oC)
• Gel pack adalah sumber dingin yang direkomendasikan
dibandingkan ice pack karena cair lebih lama. Bila gel pack tidak
244
tersedia, maka pilihan terakhir dapat digunakan sarung tangan
berisi air dingin
• Lubrikan
• Plester
• Monitor kardiorespirasi
Secara umum terdapat dua sistem pengatur suhu yang dapat digunakan,
yaitu sistem manual dan sistem servo. Pada sistem manual suhu diatur oleh
tenaga kesehatan berdasarkan hasil pembacaan di monitor, sedangkan sistem
servo secara otomatis akan mengatur suhu alat pendingin dan menyesuaikan
bila suhu tubuh bayi terlalu rendah atau terlalu tinggi dibandingkan kisaran
suhu target (32 - 340C). Pengaturan suhu secara manual menyebabkan fluktuasi
suhu yang lebih besar sehingga sistem servo lebih cenderung dipilih. 162 Selama
proses pendinginan, probe suhu dapat diletakkan di rektal atau esofagus.
Pengukuran suhu aksila tidak dianjurkan karena berkaitan dengan variasi suhu
yang besar serta tidak mewakili suhu inti. 205,206 Pada pusat pelayanan kesehatan
dengan fasilitas terbatas, probe suhu rektal dapat diganti dengan termometer
yang mampu mengukur suhu hingga 32oC, sedangkan blanketrol® digantikan
dengan sarung tangan yang diisi air dingin atau gel pack.
a. Memulai cooling
245
K, Cl, Ca ion).
• Pemeriksaan ini diulang selama 3 hari pertama (hari 0, hari 1, hari 2).
• Pada hari 3 pemeriksaan yang perlu dilakukan lagi adalah: DPL, AGD,
glukosa, elektrolit, ureum, kreatinin, PT, APTT (sesuai klinis).
Uraian pemeriksaan penunjang dapat dilihat pada tabel di bawah ini, dan
dilakukan sesuai klinis dan indikasi:171,172
Tabel 16. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan dalam terapi hipotermia
Hari 0 Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 - 7
(masuk perawatan)
AGD
Laktat
DPL
PT, APTT
GDS
SGOT,SGPT
Ur, Cr
Elektrolit
EKG
Echo
EEG
USG kepala
MRI kepala
246
7. Hubungkan probe rektal ke mesin pengukur suhu. Jika suhu rektal lebih
dari 35,5oC, nyalakan blanketrol® dengan target suhu 33-34 oC
(active cooling)
8. Jika bayi tampak tidak nyaman, pertimbangkan morfin dan / atau
midazolam (bila menggunakan ventilator) atau parasetamol (dapat
diberikan per rektal, walaupun terpasang probe rektal).
9. Awasi dan tata laksana efek samping cooling yang terjadi:
• Bradikardia sinus (laju nadi <80 kali/menit)
• Pemanjangan interval QT
• Aritmia yang memerlukan intervensi medis atau penghentian
cooling
• Hipotensi (MAP <40) yang memerlukan inotropik
• Anemia (Hb <10 g/dL, Ht <30%)
• Leukopenia (<5000/uL)
• Trombositopenia (<150.000/uL)
• Koagulopati
• Hipoglikemia
• Hipokalemia
• Peningkatan laktat (>2 mmol/L)
• Penurunan fungsi ginjal
• Sepsis
10. Pemeriksaan EKG dan USG kepala dapat dilakukan pada hari-1 (usia 24
jam), jika terdapat indikasi. aEEG dapat dipasang untuk melihat baseline
gelombang otak dan memantau timbulnya kejang.
11. Suhu bayi dipertahankan antara 33 - 34 oC selama 72 jam, yang dilanjutkan
dengan prosedur rewarming.
b. Memulai rewarming
247
5. Rewarming harus dilakukan dengan perlahan. Rewarming yang
terlalu cepat dapat mengakibatkan penurunan tajam tekanan darah
atau gangguan elektrolit. Jika kondisi bayi tampak tidak "baik",
penurunan suhu dapat diperlambat.
6. Awasi dampak rewarming yang dapat terjadi, yaitu:
• Hipotensi
• Gangguan elektrolit
• Hipoglikemia (karena peningkatan metabolisme)
• Kejang
• Peningkatkan konsumsi oksigen dan produksi CO2
7. Pemantauan suhu rektal dilanjutkan sampai 12 jam setelah
rewarming dimulai. Buang probe suhu rektal setelah selesai
digunakan. Kabel dan mesin pengukur suhu disimpan kembali.
Prinsip perawatan bayi dengan terapi hipotermia tidak jauh berbeda dengan
perawatan bayi secara umum, antara lain menjaga saturasi kadar oksigen dan
karbondioksida dalam rentang normal, memberi bantuan ventilasi jika
diperlukan, mamantau fungsi kardiovaskular secara rutin, serta menggunakan
inotropik sesuai indikasi. Kecukupan cairan juga harus diperhatikan melalui
pemberian cairan mulai dari 40-60 ml/kg/hari dan disesuaikan dengan diuresis
serta insensible water loss, serta pemantauan natrium serum. Seluruh
rangkaian terapi hipotermia harus diawasi dengan ketat dan didokumentasikan
dalam catatan medis harian pasien oleh dokter dan/atau perawat, dengan
menambahkan catatan suhu rektal per jam. Catatan episode kejang sebaiknya
dibuat terpisah. Dokter harus menuliskan tanggal dan jam dimulainya cooling,
rewarming, dan saat rewarming selesai.
248
Gambar 31. Phase changing material
(PCM)
Gambar 32. Penggunaan botol berisi air dingin Botol diisi air
dingin bersuhu
25oC dan diletakkan di samping bayi
249
Hati-hati pada pemaparan di ruangan dengan air conditioner akan
terjadi overcooling.
2. Lakukan active cooling dengan menggunakan cool pack
(gambar 33) atau sarung tangan berisi air dengan suhu ~10 0C (jika tidak
memiliki cool pack) (gambar 34), yang telah didinginkan di lemari
pendingin (BUKAN dalam freezer). Sebanyak 4-6 buah cool pack atau
sarung tangan berisi air dingin tersebut dapat diletakkan di dada, leher,
dan di bawah bahu bayi (tabel 17).
250
Tabel 17. Panduan active cooling dengan menggunakan cool packs
Indikator Suhu (0C) Jumlah cool packs yang Area tubuh
dibutuhkan
>37,0 4 Kepala, bahu, leher, badan
36,1-37,0 3 Bahu, leher, badan
35,1-36,0 2 Bahu, badan
34,1-35,0 1 Badan
33,0-34,0 0 Tidak ada
Sumber: King Edward Memorial Hospital. Systemic cooling for hypoxic ischemic
Gambar 35.
Termometer
Termometer khusus
untuk mengukur suhu
rektal yang dapat
mengukur suhu
hingga 32oC.
251
rewarming maka proses menaikkan suhu harus diperlambat menjadi
naik 0,5oC setiap 4-8 jam. Pemantauan suhu rektal disarankan tetap
dilakukan hingga 12 jam setelah rewarming.
3.8.8 Follow up
Diperkirakan lebih dari 80% bayi yang bertahan hidup dengan EHI berat
mengalami komplikasi disabilitas berat, dengan 10-20% komplikasi disabilitas
sedang, dan 10% normal. Sedangkan bayi EHI sedang memiliki kemungkinan 30-
50% untuk menderita komplikasi jangka panjang yang berat dan 10 - 20%
sisanya akan mengalami komplikasi neurologis minor. Oleh karena itu, bayi
asfiksia dengan EHI sedang-berat sebaiknya menjalani pemantauan dan
intervensi jangka panjang. Penilaian psikometrik dapat dilakukan sejak bayi
berusia 18 bulan.42 Konsultasi dengan spesialis neurologi anak sangat
dianjurkan untuk pemantauan neurodevelopmental jangka panjang.
BAB IV
Penggunaan plastik transparan tahan panas yang menutupi bayi sampai leher
dapat digunakan untuk mencegah kehilangan panas tubuh pada bayi dengan
berat lahir sangat rendah di bawah 1500g.
252
Pengisapan hanya dilakukan jika jalan napas mengalami obstruksi. Bayi baru
lahir bugar tidak membutuhkan pengisapan hidung, mulut atau faring setelah
lahir.
Tindakan mengisap mekonium dari mulut dan hidung bayi ketika kepala masih
di perineum sebelum bahu lahir tidak direkomendasikan.
Intubasi dan pengisapan endotrakea pada bayi yang lahir dengan kondisi air
ketuban bercampur mekonium sebaiknya dilakukan bila bayi tidak bugar
dengan mempertimbangkan baik manfaat maupun risiko tertundanya ventilasi
karena pengisapan.
Nilai Downe dapat digunakan sebagai alat penilaian klinis gawat pernapasan pada bayi.
Pemberian oksigen dapat ditingkatkan hingga mencapai 100% bila resusitasi awal
dengan udara ruangan gagal
Apabila pemberian CPAP telah mencapai tekanan positif akhir ekspirasi sebesar
8 cmH2O dan FiO2 telah di atas 40% namun bayi masih mengalami gawat
napas, maka pertimbangkan intubasi.
253
LMA dapat digunakan dalam resusitasi bila pemberian VTP dengan balon dan sungkup
dan intubasi dengan ETT mengalami kegagalan.
Kompresi dada harus dilakukan pada sepertiga bawah sternum dengan kedalaman
sepertiga dari diameter antero-posterior dada
Teknik dua ibu jari lebih dianjurkan karena teknik ini dapat memberikan
tekanan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih baik pada bayi baru lahir.
Pemberian epinefrin melalui pipa endotrakeal dapat dijadikan pilihan bila jalur
intravena tidak tersedia walaupun jalur ini kurang efektif dibandingkankan jalur
intravena.
Pemberian epinefrin melalui jalur endotrakeal perlu diberikan dalam dosis yang
lebih tinggi dibandingkankan pemberian melalui intravena.
254
Sodium bikarbonat tidak rutin diberikan pada resusitasi bayi baru lahir
Pemberian nalokson tidak direkomendasikan sebagai bagian awal resusitasi bayi baru
lahir dengan depresi napas.
Nilai Thompson >6 atau Sarnat stage 2-3 (sedang-berat) pada usia 3-5 jam
merupakan prediktor sensitif dari gambaran abnormal aEEG pada usia 6 jam
atau ensefalopati sedang-berat dalam 72 jam setelah kelahiran. Penilaian
Thompson dini bermanfaat untuk penentuan apakah bayi akan dilakukan terapi
hipotermia
255
Metode kombinasi aEEG dan pemeriksaan neurologis sesaat setelah kelahiran
meningkatkan kemampuan identifikasi bayi risiko tinggi dan menurunkan
kesalahan identifikasi (falsely identified) bayi dibandingkankan dengan
evaluasi dengan salah satu metode saja.
Fenobarbital merupakan obat pilihan utama anti-kejang lini satu. Bila kejang
belum teratasi dapat diberikan dosis tambahan hingga dosis maksimal
terpenuhi.
Nilai laktat tertinggi dalam satu jam pertama kehidupan dan pemeriksaan serial
laktat merupakan prediktor penting EHI sedangberat.
BAB V
SIMPULAN
256
• Setiap bayi yang lahir harus dilakukan penilaian awal apakah perlu mendapat
resusitasi atau tidak .
• Langkah resusitasi terdiri atas langkah awal, ventilasi tekanan positif,
kompresi dada, pemberian obat obatan dan pemasangan pipa endotrakeal
yang harus dilakukan sesuai dengan indikasi dan prosedur yang benar.
• Sebaiknya dilakukan pencegahan kelahiran bayi prematur dan asfiksia.
• Terapi hipotermia merupakan pilihan terapi untuk mencegah terjadinya
sekuele atau gangguan perkembangan neurologik akibat asfiksia.
DAFTAR RUJUKAN
257
6. Situs Departemen Kesehatan RI. Diunduh dari www.depkes.go.id.
pada tanggal 15 Mei 2009.
7. Rudiger M, Aguar M. Newborn Assesment in the delivery room.
NeoReview. 2012;13:e336-42.
8. Shah P, Riphagen S, Beyene J, Perlman M. Multiorgan dysfunction in
infants with post-asphyxial hypoxic-ischaemic encephalopathy. Arch
Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2004;89:F152-5.
9. van Handel M, Swaab H, de Vries LS, Jongmans MJ. Long-term
cognitive and behavioral consequences of neonatal encephalopathy
following perinatal asphyxia: a review. Eur J Pediatr. 2007;166:645-
54.
10. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Tuttle DJ. Perinatal
asphyxia. Dalam: Gomella T, Cunningham M, Eyal FG, Tuttle DJ.
Neonatology: Management, procedures, on-call problems, diseases,
and drugs. Edisi ke-6. United states: McGraw-Hill education; 2013.
11. World Health Organization. Basic newborn resuscitation: A practical
guiderevision. Geneva: World Health Organization; 2012. Diunduh
dari
http://www.who,int/reproductive-health/publications/newborn_resus_
citation/index.html.
12. World Health Organization. Guidelines on basic newborn
resuscitation. Diunduh dari:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75157/1/9789241
503693_eng.pdf. pada tanggal 19 september 2014.
13. Lee ACC, Mullany LC, Tielsch JM, dkk. Risk factors for neonatal
mortality due to birth asphyxia in Southern Nepal: A prospective,
community-based cohort study.
Pediatrics. 2008;121:e1381-90.
14. American College of Obstetricians and Gynecologist. Umbilical cord
blood gas and acid-based analysis. ACOG committe opinion No. 348.
Obstet Gynecol. 2006;108:1319-22.
15. American Academy of Pediatrics and American College of
Obstetricians and Gynaecologists. Care of the neonate. Dalam:
Gilstrap LC, Oh W, penyunting. Guidelines for perinatal care. Elk
Grove Village (IL): American Academy of Pediatrics; 2002: h.196-7.
16. IDAI. Asfiksia neonatorum. Dalam: Standar pelayanan medis
kesehatan anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004. h.272-6.
17. Saloojee H. Anticonvulsants for preventing mortality and morbidity
in full term newborns with perinatal asphyxia: RHL commentary
(revisi tanggal 10 Oktober 2007). The WHO reproductive health
library; Geneva: World Health Organization.
18. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association.
Buku panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-6. Jakarta: Perinasia;
2011.
258
19. Alonso-Spilsbury M, Mota-Rojas D, Vilanuvea-Garcia D, dkk.
Perinatal asphyxia patophysiology in pig and human: a review. Anim
Reprod Sci. 2005;90:1-30.
20. McGuire W. Perinatal asphyxia. BMJ Clin Evid. 2007;2007:0320.
21. Fahrudin F. Analisis beberapa faktor risiko kejadian asfiksia
neonatorum di Kabupaten Purworejo. Diunduh dari:
http://eprints.undip.ac.id/14393 /1/2003MIKM2003.pdf. pada tanggal
26 september 2014.
22. Oswyn G, Vince JD, Friesen H. Perinatal asphyxia at Port Moresby
general Hospital: a study of incidence, risk factors and outcome. PNG
Med J. 2000;43:110-20.
23. Leone TA, Finer NN. Resuscitation in the delivery room. Dalam:
Gleason CA dan Devaskar SU, penyunting. Avery’s diseases of the
newborn. Edisi ke-9. United Stated of America: Elsevier Inc; 2012.
h.331.
24. Nold JL, Georgieff MK. Infants of diabetic mothers. Pediatr Clin N
Am. 2004;51:619-37.
25. Richardson BS. Fetal adaptive responses to asphyxia. Clin Perinatol.
1989;16:595-611.
26. Williams CE, Mallard C, Tan Gluckman PD. Pathophysiology of
perinatal asphyxia. Clin Perinatol. 1993;20:305-23.
27. Jensen A, Hohmann M, Kunzel W. Dynamic changes in organ blood
flow and oxygen consumption during acute asphyxia in fetal sheep. J
Dev Physiol. 1987;9:337-46.
28. Nishimaki S, Iwasaki S, Minamisawa S, Seki K, Yokota S. Blood
flow velocities in the anterior cerebral artery and basilar artery in
asphyxiated infants. J Ultrasound Med. 2008;27:955-60.
29. Weir FJ, Ohlsson A, Fong K, Amankwah K, Coceani F. Does
endothelin-1 reduce superior mesentric blood flow velocity in preterm
neonates? Arch Dis Child Fetal Neonatal. 1999;80:F123-7.
30. Cipolla MJ. Control of cerebral blood flow. Dalam: Cipolla MY,
penyunting. The cerebral circulation. San Rafael (CA): Morgan &
Claypool Life Sciences; 2009.
31. Varkilova L, Slancheva B, Emilova Z, dkk. Blood lactate
measurement as a diagnostic and prognostic tool after birth asphyxia
in newborn infants with gestational age >34 gestational weeks. Akush
Ginekol. 2013;52:36-43.
32. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy: Clinical aspects.
Dalam: Fletcher J, penyunting. Neurology of the newborn. Edisi ke-5.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008.h.325-586.
33. Davidson JO, Wassink G, Heuij LG, Bennet L, Gunn AJ. Therapeutic
hypothermia for neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy – where
to from here. Front Neurol. 2015;6:198.
259
34. Antonucci R, Porcella A, Piloni MD. Perinatal asphyxia in the term
newborn. JPNIM. 2014;3:e030269.
35. Gleason CA, Juul SE. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke-9.
Philadelphia: Saunders/Elsevier. 2012
36. Romero CC, Vega CC. Neuroprotection in perinatal hypoxic ischemic
encephalopathy – pharmacology combination therapy. Dalam: Svraka
E, penyunting. Cerebral palsy challenges for the future. Edisi
pertama. Amerika serikat:Intech; 2014. h.123-192.
37. Dixon BJ, Reis C, Ho WM, Tang J, Zhang JH. Neuroprotective
strategies after neonatal hypoxic ischemic encephalopathy. Int J Mol
Sci. 2015;16:2236822401.
38. Vannucci SJ, Hagberg H. Review: Hypoxia-ischemia in the immature
brain. J Exp Biol. 2004;207:3149-54.
39. Behrman RE, Butler AS. Mortality and acute complications in
preterm infants. Dalam: Behrman RE, Butler AS, penyunting.
Preterm birth: causes, consequences, and prevention. Washington:
National Academies Pres (US); 2007.
40. Yu VWH. Neonatal complication in preterms infanys. Dalam: Yu
VWH, Wood EC, penyunting. Prematurity. Edinburg: Churcill
Livingstone;1987. h.148-69.
41. Nelson KB, Leviton A . How much of neonatal encephalopathy is due
to birth asphyxia?. Am J Dis Child. 1991;145:1325-31.
42. Agarwal R, Jain A, Deodari AK, dan Paul VD. Post-resuscitation
management of asphyxia. Ind J Pediatr. 2008;75.
43. Fink S. Intraventricular hemorrhage in the term infant. Neonatal
network. 2000;19:13-8.
44. McIntyre. Neonatal aspects of perinatal asphyxia. Dalam:
Arulkumaran S, Jenkins HML, penyunting. Perinatal asphyxia.
London: Sangam; 2000.
45. Adcock LM, Papile LA. Perinatal asphyxia. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams Wilkins; 2008.
46. Lapointe A, Barrington KJ. Pulmonary hypertension and the
asphyxiated newborn. J Pediatr. 2011;158:e19-24.
47. Ranjit MS. Cardiac abnormalities in birth asphyxia. Ind J Pediatr.
2000;67:529-
32.
48. Andreoli SP. Clinical evaluation and management. Dalam: Avner ED,
Harmon P, dan Niaudet P, penyunting. Pediatric neprology.
Philadelphia: Lippincott Williams & wilkins; 2004.
49. Gupta BD, Sharma P, Bagla J, Parakh M, Soni JP. Renal failure in
asphyxiated neonates. Ind Pediatr. 2005;42:928-34.
260
50. Fox TP, Godavitarne. What really causes necrotizing enterocolitis?
ISRN gastroenterology. 2012;2012:1-9.
51. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program.
Queensland maternity and neonatal clinical guideline: Hypoxic-
ischaemic enchephalopathy. Queensland: State of Queensland
(Queensland Health); 2016.
52. Choi YJ, Jung MS, Kim SY. Retinal hemorrhage associated with
perinatal distress in newborn. Korean J Ophtalmology. 2011;25:311-
8.
53. Chen LN, He XP, Huang LP. A survey of high risk factors affecting
retinopathy in China. Int. J. Opthalmol. 2012;5:177-80.
54. Brodsky MC. Semiology of periventricular leucomalacia and its optic
disc morphology. British J Opthal. 2003;87:1309-10.
55. Brodsky MC. Optic atrophy in children. Dalam: Brodsky MC,
penyunting. Pediatric neuro-ophtalmology. Edisi ke-2. Heidelberg:
Springer Science+Business Media; 2010.
56. Morales P, Bustamante D, Espina-Marchant P, dkk. Pathophysiology
of perinatal asphyxia: can we predict and improve individual
outcomes? EPMA Journal. 2011;2:211-30.
57. Leuthner SR, Das UG. Low Apgar scores and the definition of
asphyxia. Pediatr Clin N Am. 2004;51:737-45.
58. Lincetto O. Birth asphyxia-summary of the previous meeting and
protocol overview. Diunduh dari:
http://www.curoservice.com/health_ professionals/news/pdf/10-09-
2007_birth_asphyxia02.pdf. pada tanggal 15 Desember 2014.
59. Chalak LF. Perinatal asphyxia in the delivery room: Initial
management and current cooling guidelines. Neoreview.
2016;17:e463-70.
60. Lee ACC, Mullany LK, Tielsch JM, dkk. Risk factors for neonatal
mortality due to birth asphyxia in Southern Nepal: A prospective
community-based cohort study.
Pediatrics. 2008;121:e1381.
61. Shankaran S, Laptook AR, Ehrenkranz RA, dkk. Whole body
hypotermic for neonates with hypoxic ischemic encephalopathy. N
Engl J Med. 2005;353:157484.
62. Siva Saranappa SB, Chaithanya CN, Madhu GN, Srinivasa S,
Manjunath MN. Clinical profile and outcome of perinatal asphyxia in
tertiary care centre. Curr Pediatr Res. 2015;19:9
63. Boskabadi H, Maamouri G, Sadeghian MH, dkk. Early diagnosis of
perinatal asphyxia by nucleated red blood cell count: A case-control
study. Arch Iran Med. 2010;13:275-80.
64. Colaco SM, Ahmed M, Kshirsagar VY, Bajpai R. Study of nucleated
red blood cell counts in asphyxiated newborns and the fetal outcome.
Int J Clin Pediatr. 2014;3:79-85.
261
65. McCarthy JM, Capullari T, Thompson Z, Zhu Y, Spellacy WN.
Umbilical cord nucleated red blood cell counts: normal values and the
effect of labor. J Perinatol. 2006;26:89-92.
66. Australian Resuscitation Council. Neonatal Guidelines. Diunduh dari
www.resus.org.au. pada tanggal 15 Oktober 2013.
67. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program.
Neonatal resuscitation. Queensland: State of Queensland; 2011. h.7-8.
68. Karlowicz MG, Karotkin EH, Goldsmith JP. Resuscitation. Dalam:
Karotkin EH, Goldsmith JP, penyunting. Assisted ventilation of the
neonate. Edisi ke-5. Missouri: Saunders; 2011. h.76-7.
69. UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus. Jakarta: UKK
neonatologi IDAI; 2014.
70. The Royal Women’s Hospital. Delivery room management. Dalam:
The Royal Women’s Hospital neonatal service: Clinician’s handbook.
Melbourne: The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 26.
71. American Academy of Pediatrics. Textbook of neonatal resuscitation.
Edisi ke-7. Amerika serikat: American Academy of Pediatrics and
American Heart Association. 2016.
72. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, dkk. Part 11: Neonatal
resuscitation. 2010 International consensus on cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care science with
treatment recommendations. Circulation. 2010;122:S516-38.
73. Kattwinkell J, Perlman J, Azis K, dkk. Neonatal Rescucitation
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Pediatrics
2010;126:e1400
74. Niermeyer S. Evidence-based guidelines for neonatal resuscitation:
Neonatal resuscitation guidelines. Neoreviews. 2001;2:e38-45.
75. Knobel RB, Wimmer Jr JE, Holbert D. Heat loss prevention for
preterm infants in the delivery room. J Perinatol. 2005;25:304-8.
76. Richmond S, Wyllie J. European Resuscitation Council Guidelines
for Resuscitation
2010 Section 7. Resuscitation of babies at birth. Resuscitation.
2010;81:1389– 99
77. Raghuveer TS, Cox AJ. Neonatal resuscitation: an update. Am Fam
Physician. 2011;83:911-8.
78. Grein AJ, Welner GM. Laryngeal mask airway versus bag-mask
ventilation or endotracheal intubation for neonatal resuscitation.
Cochrane Neonatal Review. 2005.
79. UK Resuscitation Council. Section 11 Newborn Life Support. 2010
Resuscitation Guidelines. Diunduh dari www.resus.org.uk/pages/nls.
pdf. pada tanggal 15 Oktober 2013.
80. Kamlin CO1, O'Donnell CP, Davis PG, Morley CJ. Oxygen saturation
in healthy infants immediately after birth. J Pediatr. 2006.148:585-9.
262
81. Dawson JA, Kamlin COF, Vento M, dkk. Defining the reference
range for oxygen saturation for infants after birth. Pediatrics.
2010;125:e1340-7.
82. American College of Obstetricians and Gynecologist; American
Academy of Pediatrics. The APGAR score. ACOG committe opinion
No. 333. Obstet Gynecol. 2006;107:1209-12.
83. American Academy of Pediatrics, Commitee on Fetus and Newborn,
American Colledge of Obstetricians and Gynecologist and Committe
on Obstetric Practice. The Apgar score. Pediatrics. 2006;117;1444.
84. Kattwinkel J. Neonatal resuscitation for ILCOR and NRP: evaluating
the evidence and developing a consensus. J Perinatol. 2008;28:s28-9.
85. Halamek LP, Morley C. Continuous positive airway pressure during
neonatal resuscitation. Clin Perinatol. 2006;33:83–98.
86. Spitzer AR, Clark RH. Positive pressure ventilation in the treatment
of neonatal lung disease. Dalam: Goldsmith dan Karotkin
(penyunting). Assisted ventilation of the neonate. Edisi ke-5.
Missouri: Elseiver Saunder; 2011.
87. Yagui AC, Vale LAPA, Haddad LB, dkk. Bubble CPAP versus
CPAP with variable flow in newborn with respiratory distress: a
randomized control trial. Journal de Pediatria. 2011;87:499-504.
88. Buch P, Makwana AM, Chudasama RK. Usefulness of Downe score
as clinical assessment tool and bubble CPAP as primary respiratory
support in neonatal respiratory distress syndrome. J Pediatr Sci.
2013;5:176-83
89. Trevisanuto D, Cengio VD, Doglioni N, dkk. Oxygen delivery using
a neonatal self-inflating resuscitation bag: effect of oxygen flow.
Pediatrics.
2013;131:e144-9.
90. Benett S, Finer NN, Vaucher Y. A comparison of three neonatal
resuscitation devices. Resuscitation. 2005. 67:113-8.
91. Hussey SG, Ryan CA, Murphy BP. Comparison of three manual
ventilation devices using an intubated manenequin. Arch Dis Child
Fetal Neonatal. 2004; 89:F490-3.
263
95. Oca MJ, Nelson M, Donn SM. Randomized trial of normal saline
versus 5% albumin for the treatment of neonatal hypotension. J
Perinatol. 2003; 23:43776.
96. McGuire W, Fowlie PW. Naloxone for narcotic exposed newborn
infants: systemic review. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2003;88.
97. The International Liaison Commitee on Resuscitation. The
International Liaison Commitee on Resuscitation (ILCOR) consensus
on science with treatment recommendations for pediatric and neonatal
patients: Neonatal resuscitation. Pediatrics. 2006;117;e978-88.
98. Bissinger RL. Neonatal resuscitation, 2012. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/ 977002-overview pada
tanggal 18 Oktober 2014.
99. World Health Organization. WHO guidelines on hand hygiene in
health care,
2009. Diunduh dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241597906_eng.pdf?
ua=
1 pada tanggal 24 September 2014
100. Davis RP, Mychaliska GB. Neonatal pulmonary physiology. Semin
Pediatr Surg. 2013;22:179–184.
101. Karlsen KA. The STABLE program: Pre-transport/ Post-resuscitation
stabilization care of sick infants, guidelines for neonatal healthcare
providers. 2006. Diunduh dari
http://www.stableprogram.org/docs/
stable_learner_manual_preview.pdfpad a tanggal 24 september 2014
102. Canadian Paediatric Society. Screening guidelines for newborns at
risk for low blood glucose. Paediatr Child Health. 2004;9:723-9.
103. Chakkarapani E, Thoresen M. Use of hypothermia in the asphyxiated
infant.
Perinatology. 2010;3:20-9.
104. Schuchmann S, Schimitz D, Rivera C, dkk. Experimental febrile
seizures are precipitated by a hyperthermia-induced respiratory
alkalosis. Nat Med. 2006;12:817-23.
105. Arciniegas DB. Hypoxic-ischemic brain injury. 2012. Diunduh dari
http://www.internationalbrain.org/ articles/hypoxicischemic-brain-
injury/ pada tanggal 19 Mei 2015.
106. Mizrahi EM. Neonatal seizures and neonatal epileptic syndromes.
Neurologic clinics. 2001;19:427-63.
107. Glass H. Neonatal seizures. Clin Perinatol. 2014;41:177-190.
108. Shellhaas RA, Chang T, Tsuchida T, dkk. The American Clinical
Neurophysiology Society's Guideline on Continuous
Electroencephalography Monitoring in Neonates. J Clin Neurophysiol
2011; 28:611.
264
109. Weeke L, Toet M, van Rooij L, dkk. Lidocaine response rate in
aEEG-confirmed neonatal seizures: Retrospective study of 413 full-
term and preterm infants. Epilepsia. 2015;57:233-242.
110. Divisi Perinatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Guidelines for
administration of IV drugs by infusion on the neonatal unit. Jakarta:
RSUPN Cipto Mangunkusumo; 2005.
111. Hart AR, Pilling EL, Alix JJ. Neonatal seizures–part 2: aetiology of
acute symptomatic seizures, treatments and the neonatal epilepsy
syndromes. Arch Dis Child Educ Pract Ed. 2015;100:226–232.
112. Evans D. Levene M. Neonatal seizures. Arch Dis Child Fetal
Neonatal 1998; 78:F70-5.
113. Srinivasakumar P, Zempel J, Trivedi S, dkk. Treating EEG Seizures
in Hypoxic Ischemic Encephalopathy: A randomized controlled trial.
Pediatrics 2015; 136:e1302.
114. Hellström-Westas L, Boylan G, Ågren J. Systematic review of
neonatal seizure management strategies provides guidance on anti-
epileptic treatment. 2014.
115. Agarwal R. Guidelines on neonatal seizures. World Health
Organization. 2011
116. Volpe J, Inder T, Darras B, dkk. Neurology of the newborn. Edisi ke-
6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2017.h.275-318.
117. Vento M, de Vries L, Alberola A, dkk. Approach to seizures in the
neonatal period: a European perspective. Acta Paediatrica.
2010;99(4):497-501.
118. Slaughter L, Patel A, Slaughter J. Pharmacological Treatment of
Neonatal Seizures. Journal of Child Neurology. 2013;28:351-364.
119. Bourgeois BF, Dodson WE. Phenytoin elimination in newborns.
Neurology 1983; 33:173.
120. Kementerian Kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan neonatal
esensial: Pedoman teknis pelayanan kesehatan dasar. Edisi Revisi.
Jakarta: Kementrian kesehatan, 2010.
121. Painter MJ, Scher MS, Stein AD, dkk. Phenobarbital compared with
phenytoin for the treatment of neonatal seizures. N Engl J Med. 1999;
341:485–489. [PubMed: 10441604]
122. Lockman LA, Kriel R, Zaske D, dkk. Phenobarbital dosage for
control of neonatal seizures. Neurology. 1979;29:1445- 1449.
123. Riviello JJ. Drug therapy for neonatal seizures: Part 2. Pharmacol
Rev. 2004;5:e262-e268.
124. Gherpelli JL, Cruz AM, Tsanaclis LM, dkk. Phenobarbital in
newborns with neonatal seizures. A study of plasma levels after
intravenous administration. Brain Dev. 1993 Jul-Aug;15(4):258-62.
125. McMorris S, McWilliam PK. Status epilepticus in infants and young
children treated with parenteral diazepam. Arch Dis Child.
265
1969;44:604 611.
126. Boylan G, Rennie J, Chorley G, dkk. Second-line anticonvulsant
treatment of neonatal seizures. Neurology. 2004; 62:486–488.
[PubMed: 14872039]
127. Laptook AR, Shalak L, Corbett RJT. Differences in brain temperature
and cerebral blood flow during selective head versus whole-body
cooling. Pediatrics. 2001; 108;1103.
128. Campo-Soria C, Chang Y, Weiss DS. Mechanism of action of
benzodiazepines on GABA receptors. British Journal of
Pharmachology. 2006;148(7).
266
141. Castro Conde JR, Hernández Borges AA, Doménech Martínez E,
dkk. Midazolam in neonatal seizures with no response to
phenobarbital. Neurology 2005; 64:876.
142. Langslet A, Meberg A, Bredesen JE, dkk. Plasma concentrations of
diazepam and N-desmethyldiazepam in newborn infants after
intravenous, intramuscular, rectal and oral administration. Acta
Paediatr Scand. 1978;67:699-704.
143. Ramsey RE, Hammond EJ, Perchalski RJ, dkk. Brain uptake of
phenytoin, phenobarbital, and diazepam. Arch Neurol. 1979;36:535.
144. Prensky AL, Raff MC, Moore MJ, dkk. Intravenous diazepam in the
treatment of prolonged seizure activity. N Engl J Med. 1967;276:779-
784.
145. Smith BT, Masotti RE. Intravenous diazepam in the treatment of
prolonged seizure activity in neonates and infants. Dev Med Child
Neurol. 1971;13:630-634.
146. Schiff D, Chan G, Stern L. Fixed drug combinations and the
displacement of bilirubin from albumin. Pediatrics.1971;48:139-141.
147. Gamstorp I, Sedin G. Neonatal convulsions treated with continuous,
intravenous infusion of diazepam. Ups J Med Sci. 1982;87:143-149.
148. Committee on Drugs. Drugs for pediatric emergencies. Pediatrics.
1998; 101(1):1-11.
149. Wolf Ni, Bast T, Surtees R. Epilepsy in inborn errors of metabolism.
Epileptic Disord 2005; 7: 67-81.
150. Lehr VT, Chugani HT, Aranda JV. Anticonvulsants. Dalam: Yaffe
SJ, Aranda JV, penyunting. Neonatal and pediatric pharmacology:
Therapeutic principles in practice. Edisi ketiga. Philadhelpia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2005.
151. Taketomo CK, Hodding JH, Kraus DM. Pediatric and neonatal
dosage handbook: A comprehensive resource for all clinicians
treating pediatric and neonatal patients. Edisi ke-18.
152. Hospira UK Ltd. Phenytoin injection. 2014. Diunduh dari
https://www.medicines.org.uk/emc/medicine /650 pada tanggal 15
April 2015.
153. Murphy SA. Emergency management of
seizures. Diunduh dari
https://www.umassmed.edu/.
154. Young T, Mangum B. Neofax 2010. Thomson Reuters;2010:23
155. The Royal Women’s Hospital. Paediatric Pharmacopoeia 13 th Ed.
Royal Women’s Hospital Melbourne.
156. Taketomo CK, Hodding JH, Kraus DM. Pediatric and neonatal
dosage handbook. Hudson (OH): Lexi Comp; 2010.
157. Sophie P. Essential drugs - practical guidelines. 17th ed. Médecins
Sans Frontières; 2017.
267
158. The Royal Women’s Hospital. Neonatal Pharmacopoeia. Pharmacy
Departement 1998;1.
159. World Health Organization. Cooling for newborns with hypoxic
ischaemic ensephalopathy. 2010.
http://apps.who.int/rhl/newborn/cd003311_ballotde_com/en/ pada
tanggal 14 Agustus 2014
160. Salhab WA, Wyckoff AR. Laptook AR, Perlman JM. Initial
hypoglycemia and neonatal brain injury in term infants with severe
fetal acidemia. Pediatrics,2004;114:361-6)
161. Silveira RC, Procianoy RS. Hypothermia therapy for newborns with
hypoxic ischemic encephalopathy. J Pediatr (Rio J). 2015; 9: 578-583
162. Robertson NJ, Kendall GS, Thayyil S. Techniques for therapeutic
hypothermia during transport and in hospital for perinatal asphyxial
encephalopathy. Semin Fetal Neonatal Med. 2010;15:276-86.
163. Shankaran S. Therapeutic hypotermia for neonatal enchephalopathy.
Curr Treat Options Neurol. 2012; 14.
164. Sarafidis K, Soubasi V, Mitsakis K, Agakidou VD. Therapeutic
hypothermia in asphyxiated neonates with hypoxic-ischemic
encephalopathy: A single-center experience from its first application
in Greece. Hippokratia. 2014; 18:226-30.
165. Azzopardi D, Strohm B, Linsell L, dkk. UK TOBY Cooling Register.
Implementation and conduct of therapeutic hypothermia for perinatal
asphyxial encephalopathy in the UK--analysis of national data. PLoS
One. 2012; 7: e38504.
166. Khurshid F, Lee KS, McNamara PJ, Whyte H, Mak W. Lessons
learned during implementation of therapeutic hypothermia for
neonatal hypoxic ischemic encephalopathy in a regional transport
program in Ontario. Paediatr Child Health. 2011; 16: 153-156.
167. Gluckman PD, Wyatt JS, Azzopardi D, dkk. Selective head cooling
with mild systemic hypothermia after neonatal encephalopathy:
multicentre randomized trial. Lancet. 2005; 365:663-70.
168. Hoque N, Chakkarapani E, Liu X, Thoresen M. A comparison of
cooling methods used in therapeutic hypothermia for perinatal
asphyxia. Pediatrics. 2010;126:e124-30.
169. Celik Y, Atici A, Makharoblidze K, Eskandari G, Sungur MA,
Akbayir S. The effects of selective head cooling versus whole-body
cooling on some neural and inflammatory biomarkers: a randomized
controlled pilot study. Italian Journal of Pediatrics. 2015; 41:79
170. Laptook AR, Shalak L, Corbett RJT. Differences in brain temperature
and cerebral blood flow during selective head versus whole-body
cooling. Pediatrics. 2001; 108;1103.
171. Lambrechts H, Bali S, Rankin S. Therapeutic hypotermia for infants
≥35 weeks with moderate/ severe hypoxic ischaemic encephalopathy
(HIE) clinical guideline,2010. Diunduh dari
http://www.northerntrust.hscni.net pada tanggal 14 Agustus 2014.
268
172. The Royal Women’s Hospital. Neurology: Clinical evidence for
therapeutic hypothermia for near-term infants with moderate or
severe hypoxic ischaemic encephalopathy. Dalam: The royal
women’s hospital neonatal service: Clinician’s handbook. Melbourne:
The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 105-8.
173. Jacobs SE, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis PG. Cooling
for newborns with hypoxic ischaemic encephalopathy. Cochrane
Database of Systematic Reviews 2007, Issue 4, Art. No: CD003311.
174. Schulzke SM, Rao S, dan Patole SK. A systematic review of cooling
for neuroprotection in neonates with hypoxic ischemic
encephalopathy-are we there yet? BMC Pediatrics. 2007; 7: 1-10.
175. Jacobs SE, Berg M, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis PG.
Cooling for newborns with hypoxic ischaemic encephalopathy.
Cochrane Database of Systematic Reviews 2013, Issue 1. Art. No.:
CD003311.
176. Conway J, Walsh B, Boylan G, Murray D. Mild hypoxic ischaemic
encephalopathy and long term neurodevelopmental outcome - A
systematic review. Early Human Development. 2018;120:80-87.
177. Laptook A, Shankaran S, Tyson J, dkk. Effect of Therapeutic
Hypothermia Initiated After 6 Hours of Age on Death or Disability
Among Newborns With Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. JAMA.
2017;318(16):1550.
178. Lally PJ, Price DL, Pauliah SS, dkk. Neonatal encephalopathic
cerebral injury in South India assessed by perinatal magnetic
resonance biomarkers and early childhood neurodevelopmental
outcome. PLoS ONE 2014;9:e87874.
179. van de Riet JE, Vandenbussche FP, Le Cessie S, Keirse MJ. Newborn
assessment and long-term adverse outcome: a systematic review. Am
J Obstet Gynecol 1999;180:1024-9).
180. Horn AR, Swingler G, Myer L, Linley LL, Raban MS, Joolay Y.
Early clinical signs in neonates with hypoxic-ischemic
encephalopathy predict an abnormal amplitude-integrated
electroencephalogram at age 6 hours. Pediatrics 2013;13:52.
181. Merchant N, Azzopardi D. Early predictors of outcome in infants
treated with hypothermia for hypoxic-ischemic encephalopathy. HIE
supplement 2015;57:816
182. Mwakyusa SD, Manji KP, Massawe AW. The hypoxic ischaemic
encephalopathy score in predicting neurodevelopmental outcomes
among infants with birth asphyxia at the Muhimbili National
Hospital, Dar-es Salaam Tanzania. J Tropical Pediatr. 2008; 55: 8-14.
183. El-Dib M, Chang T, Tsuchida TN, Clancy RR. Amplitude-integrated
electroencephalography in neonates. PediatricNeurology.
2009;41:315-326.
184. Clancy RR, Dicker L, Cho S, dkk. Agreement between long-term
neonatal background classification by conventional and amplitude-
269
integrated EEG. J Clin Neurophysiol. 2011;28:1-9.
185. Foreman SW, Thorngate L, Burr RL, Thomas KA. Electrode
challanges in amplitude-integrated EEG: research application of a
novel noninvasive measure of brain function in preterm infants. Biol
Res Nurs. 2011.
186. Thoresen M, Westas LH, Liu X, Vries LS. Effect of hypothermia on
amplitude integrated encephalogram in infants with asphyxia.
Pediatrics. 2010; 126: 131139
187. van Laerhoven H, de Haan TR, Offringa M, Post B, van der Lee JH.
Prognostic tests in term neonates with hypoxic-ischemic
encephalopathy: a systematic review. Pediatrics 2013;131:88-98
188. Shalak LF, Laptook AR, Velaphi SC, Perlman JM. Amplitude-
integrated electroencephalography coupled with an early neurological
examination enhances prediction of term infants at risk for persistent
encephalopathy. Pediatrics 2003;111:351-7
189. Thoresen M, Hellstrom-Westas L, Liu X, de Vries LS. Effect of
hypothermia on amplitude-integrated electroencephalogram in infants
with asphyxia. Pediatrics 2010;126:e131-9
190. Deshpande SA, Ward Platt MP. Association between blood lactate
and acidbase status and mortality in ventilated babies. Arch Dis Child
Fetal Neonatal Ed 1997;76:F15-20.
191. Cheung PY, Robertson CMT, Finer NN. Plasma lactate as a predictor
of early childhood neurodevelopmental outcome of neonates with
severe hypoxemia requiring extra corporeal membrane oxygenation.
Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1996;74:F47-50.
192. Shah S, Tracy M, Smyth K. Postnatal lactate as an early predictor of
short-term outcome after intrapartum asphyxia. J Perinatol
2004;24:16-20
193. Jongeling BR, Badawi N, Kurinczuk JJ, dkk. Cranial ultrasound as a
predictor of outcome in term newborn encephalopathy. Pediatr Neurol
2002;26:37-42.
194. Varghese B, Xavier R, Manoj VC, Aneesh MK, Priya PS, Kumar A,
Sreenivasan VK. Magnetic resonance imaging spectrum of perinatal
hypoxic-ischemic brain injury. Indian J Radiol Imaging 2016;26:316-
27
195. Rutherford M, Malamateniou C, McGuinness A, Allsop J,Biarge
MM, Counsell S. Magnetic resonance imaging in hypoxic-ischemic
encephalopathy. J Early Human Development 2010;86:351-60
196. Jobsis FF. Noninvasive, infrared monitoring of cerebral and
myocardial oxygen sufficiency and circulatory parameters, Science
1977;198: 1264-1267.
197. Greisen G, Leung T, Wolf M. Has the time come to use near-infrared
spectroscopy as a routine clinical tool in preterm infants undergoing
intensive care? Phil Trans R Soc A 2011;369:4440-51.
270
198. Panerai RB. Transcranial Doppler for evaluation of cerebral
autoregulation. Clin Auton Res 2009; 19: 197–211.
199. Toet M. Cerebral Oxygenation and Electrical Activity After Birth
Asphyxia: Their Relation to Outcome. Pediatrics. 2006;117:333-339.
200. Goeral K, Urlesberger B, Giordano V, dkk. Prediction of Outcome in
Neonates with Hypoxic-Ischemic Encephalopathy II: Role of
Amplitude-Integrated Electroencephalography and Cerebral Oxygen
Saturation Measured by NearInfrared Spectroscopy. Neonatology.
2017;112:193-202.
201. Perlman JM, McMenamin JB, Volpe JJ. Fluctuating cerebral blood-
flow velocity in respiratory distress syndrome. Relation to the
development of intraventricular hemorrhage. N Engl J Med
1983;309:204–209.
202. Perlman JM, Goodman S, Kreusser KL, Volpe JJ. Reduction in
intraventricular hemorrhage by elimination of fluctuating cerebral
blood-flow velocity in preterm infants with respiratory distress
syndrome. N Engl J Med 1985;312:1353–1357.
203. Da Costa CS, Greisen G, Austin T. Is near-infrared spectroscopy
clinically useful in the preterm infant? Arch Dis Child Fetal Neonatal
Ed. 2015;100:F558-F561.
204. Liao SM, Culver JP. Near infrared optical technologies to illuminate
the status of the neonatal brain. Curr Pediatr Rev. 2014;10:73-86.
205. Ergenekon E. Therapeutic hypothermia in neonatal intensive care
unit: challenges and practical points. J Clin Neonatol. 2016; 5:8-17
206. Mitchell AP, Johnston ED. Provision of therapeutic hypothermia
during neonatal transport. Infant. 2013;7:79-82
207. Bharadwaj SK Bhat BV. Therapeutic hypothermia using gel packs for
term neonates with hypoxic ischaemia encephalopathy in resource-
limited settings: a randomized controlled trial. J Trop Pediatr. 2012;
58: 382-8.
208. Robertson NJ, Hagmann CF, Acolet D, dkk. Pilot randomized
controlled trial of therapeutic hypotermia with serial cranial
ultrasound and 18-22 month followup for neonatal encephalopathy in
a low resource hospital setting in Uganda: study protocol. Trials.
2011; 12:138.
209. King Edward Memorial Hospital. Systemic cooling for hypoxic
ischemic encephalopathy clinical guidelines. 2014. Diunduh dari
http://www.kemh.health.wa.gov pada tanggal 8 Oktober 2016.
271
LAMPIRAN 1
Berikut ini merupakan daftar persiapan dan peralatan minimal yang harus
disediakan sebelum resusitasi.
Jumlah Keterangan
Topi bayi 1 Topi harus dibuat dari kain atau wol yang hangat
Bulb suction 1
Aspirator mekonium 1
Tabung oksigen dan flowmeter 1 Akan lebih baik bila tersedia tabung cadangan
Jackson rees 1
272
Katup PEEP 1
Pulse oxymetri 1
Monitor EKG 1
Stilet 1
Gunting 1
Set infus 1
Syringe pump 1
273
NaCl 0,9% secukupnya Cukup untuk melakukan bolus sebanyak 2 kali 10
mL/kgBB
Set umbilikal steril 1 set Berisi 1 duk bolong, 1 duk untuk alas alat, 2 klem
duk, 1 pinset lurus, 1 pinset sirurgis, 1 piset
bengkok, 1 klem bengkok, 1 benang silk ukuran
3.0 cutting, 1 needle holder, 1 gunting, 1
mangkok berisi Betadine
Lain-lain
Glukometer 1
Gluko-stick minimal 1
1. Seorang bayi perempuan, 39 minggu, taksiran berat 3200 gram, lahir secara SC cito
atas indikasi gawat janin dari seorang ibu dengan persalinan tak maju. Saat lahir, bayi
apne dan hipotoni.
60 detik • Letakkan bayi di bawah peng hangat, posisikan kepala-leher bayi mengganjal
pertama meghidu/semi-ekstensi dengan bahu bayi menggunakan
kain bedong lipat yang telah dihangatkan sebelumnya.
274
• Keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi.
Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi megap-megap, LJ 100 kali/menit,
hipotoni. nya VTP ditentukan dalam 60 detik
Penolong lain secara bersamaan mem asang pulse oxymetri untuk memantau
LJ dan saturasi oksigen secara akura t.
275
(dapat mempertimbangkan pengguna an monitor EKG bila tersedia)
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi menangis namun merintih, LJ 110
kali/menit, tonus otot baik.
*setelah
pemberian VTP Bayi mulai terlihat merah dan bergerak aktif.
efektif selama 30
detik
VTP dihentikan dan berikan CPAP dini VTP dihentikan dan berikan CPAP dini
menggunakan t-piece resuscitator menggunakan Jackson Rees dengan PEEP
dengan PEEP 7 cmH2O dan konsentrasi 7 cmH2O
oksigen tetap 21%.
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi menangis, tidak merintih, tidak ada
retraksi, LJ 120 kali/menit, dan tonus otot baik.
saat usia 5
menit Bayi terlihat merah, gerakan aktif, dan saturasi 90%.
Perawatan pasca Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,
resusitasi
GDS 72 g/dL
276
2. Seorang bayi perempuan, 30 minggu, taksiran berat 1400 gram, lahir secara SC cito
atas indikasi ibu mempunyai komplikasi eklampsia, tekanan darah tidak terkontrol
dengan obat, ibu kejang, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne dan hipotoni.
* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi
Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 60 kali/menit, hipotoni.
(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)
277
LJ dan saturasi oksigen secara akura t.
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi dan mulai bernapas, LJ 100 kali/menit,
tonus otot kurang, FiO2 40%, saturasi 88%.
*setelah
pemberian VTP
efektif selama 30
detik
VTP dihentikan dan berikan CPAP dini VTP dihentikan dan berikan CPAP dini
menggunakan t-piece resuscitator menggunakan Jackson Rees dengan PEEP
dengan PEEP 7 cmH2O dan konsentrasi 7 cmH2O konsentrasi oksigen tetap 30%.
oksigen tetap 30%.
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi gasping, LJ 110 kali/menit, dan tonus otot
kurang, FiO2 60%, saturasi 88%. Bayi dipersiapkan untuk diintubasi.
saat usia 5 menit
Perawatan pasca Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,
resusitasi
GDS 90 g/dL
278
Apakah bayi perlu Tidak, karena berdasarkan informasi kasus ini:
dilakukan terapi
hipotermia? • recall nilai Apgar 3/8/9 (skor Apgar >5 pada menit ke-10)
• bayi memerlukan bantuan ventilasi > 10 menit
• terdapat riwayat episode hipoksik perinatal, perlu dilakukan AGD tali pusat /
AGD arteri bayi untuk bukti terjadinya asfiksia
• usia gestasi < 35 minggu
• berat lahir <1800-2000 g
Bayi memiliki kecurigaan asfiksia namun terdapat kontraindikasi terapi
hipotermia, sehingga tidak dilakukan terapi hipotermia
3. Seorang bayi perempuan, 36 minggu, taksiran berat 2200 gram lahir secara SC cito
atas indikasi gawat janin. Ibu mempunyai komplikasi eklampsia, tekanan darah tidak
dapat diturunkan dengan obat, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne, hipotoni,
dan terlihat sangat pucat
60 detik pertama • Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-
ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah
dihangatkan sebelumnya.
• Keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi. (Penolong
dapat memasang plastik polietilen bila dirasa perlu karena suhu ruang resusitasi
sangat dingin).
* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi
Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 70 kali/menit, hipotoni.
(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)
279
Penolong memberikan VTP dengan Penolong memberikan VTP dengan
konsentrasi oksigen 21% menggunakan konsentrasi oksigen 21% menggunakan
t-piece resuscitator dilengkapi dengan BMS tanpa sumber oksigen (hanya
blender oksigen eksternal atau menggunakan udara ruangan).
menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara
tekan, tanpa oksigen murni). Berikan PIP
dan PEEP, umumnya dimulai dari 30/5.
PIP dapat ditingkatkan sampai dada
mengembang, kemudian dapat juga
diturunkan bila dada terlalu
mengembang
Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan
saturasi oksigen secara akurat.
280
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →belum bernapas, LJ 100 kali/menit,
hipotoni, saturasi 88%, FiO2 60%, dan bayi mulai kemerahan.
*setelah pemberian VTP
efektif selama
30 detik
Bayi dilakukan intubasi saat usia 2 menit dan belum bernapas
spontan sampai usia 10 menit.
Bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan khusus dengan inkubator transpor dalam
keadaan dingin
281
Setting: ruang • Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 7
perawatan
4. Seorang bayi perempuan, 36 minggu, taksiran berat 2200 gram lahir secara SC cito
atas indikasi gawat janin. Ibu mengalami perdarahan antepartum berat karena
plasenta previa totalis, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne, hipotoni, dan
terlihat sangat pucat
60 detik pertama • Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-
ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah
dihangatkan sebelumnya.
• Keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi. (Penolong
dapat memasang plastik polietilen bila dirasa perlu karena suhu ruang resusitasi
sangat dingin).
• Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan).
• Posisikan bayi kembali
* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi
Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi megap-megap, LJ 70 kali/menit, hipotoni.
(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)
282
Penolong memberikan VTP dengan Penolong memberikan VTP dengan
konsentrasi oksigen 21% menggunakan konsentrasi oksigen 21% menggunakan
t-piece resuscitator dilengkapi dengan BMS tanpa sumber oksigen (hanya
blender oksigen eksternal atau menggunakan udara ruangan).
menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara
tekan, tanpa oksigen murni). Berikan PIP
dan PEEP, umumnya dimulai dari 30/5.
PIP dapat ditingkatkan sampai dada
mengembang, kemudian dapat juga
diturunkan bila dada terlalu
mengembang
Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan
saturasi oksigen secara akurat.
283
• Penolong melakukan intubasi. Bila • Penolong dapat melakukan intubasi
intubasi sulit dilakukan, penolong atau memasang LMA (bila tersedia),
dapat menggunakan LMA. VTP kemudian melanjutkan VTP bag to
dilanjutkan bag to tube. tube.
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, LJ 54
kali/menit, hipotoni, saturasi 55%
*setelah pemberian VTP
efektif selama
30 detik
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →laju napas 40-50 kali/menit, LJ
90-100 kali/menit, nadi lemah, hipotoni, saturasi 75%, pucat.
*setelah pemberian VTP
dan kompresi dada
terkoordinasi
selama 60 detik
Penolong yang lain memasang akses vena umbilikal karena akses perifer umumnya lebih
sulit dilakukan.
→dilakukan bolus NaCl 0,9% ke-2 →LJ 110-120 kali/menit, isi dan kualitas
cukup, saturasi 90%, bayi kemerahan.
284
Perawatan Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,
pascaresusitasi
GDS 40 g/dL → dilakukan tata laksana sesuai algoritme
hipoglikemia
Bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan khusus dengan inkubator transpor dalam
keadaan dingin
Setting: ruang Bayi kejang 3 kali → dilakukan tata laksana sesuai algoritme kejang
perawatan
• Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 14
285
5. Seorang bayi lelaki, 29 minggu, taksiran berat 1200 gram lahir secara SC cito atas
indikasi gawat janin (bradikardia menetap). Ibu merasakan gerakan janin sangat
jarang, ketuban hijau kental merembes, dan demam tinggi. Saat lahir bayi apne,
hipotoni, kulit pucat dengan sianosis perifer dan kehijauan.
60 detik pertama • Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-
ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah
dihangatkan sebelumnya.
• Pasang plastik polietilen sampai menutupi leher, keringkan muka bayi dengan kain
kering yang hangat, pasang topi. Pastikan plastik tidak terbuka (tidak ada aliran
udara bebas).
• Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan).
• Posisikan bayi kembali
* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi
Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 40 kali/menit, hipotoni.
(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)
Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan
saturasi oksigen secara akurat.
286
(Periksa, lakukan koreksi, • Sungkup → telah melekat rapat
dan • Reposisi jalan napas → posisi kepala-leher telah dalam posisi menghidu/semi-
reevaluasi masingmasing ekstensi
langkah)
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →tidak ada usaha napas, LJ 55
kali/menit, hipotoni, saturasi 60%
*setelah pemberian VTP
efektif selama
30 detik
Penolong memberikan VTP bag to tubedengan konsentrasi oksigen 100% dan kompresi
dada dengan rasio perbandingan 3:1 secara adekuat
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, tidak ada
usaha napas, LJ 80-90 kali/menit, nadi lemah, hipotoni, saturasi
*setelah pemberian VTP 65%, pucat
dan kompresi dada
terkoordinasi selama 60
detik
Penolong tetap memberikan VTP secara adekuat, sedangkan kompresi dada dihentikan
Penolong yang lain memasang akses vena umbilikal karena akses perifer sulit dilakukan.
287
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, tidak ada
usaha napas, LJ 90-100 kali/menit, isi dan tegangan nadi kurang,
saturasi 85%, bayi masih pucat →dilakukan bolus NaCl 0,9% ke-2 →LJ 100
kali/menit, isi dan tegangan cukup, saturasi 90%, badan mulai
kemerahan, kaki tangan kebiruan
288
Setting: ruang Bayi kejang 2 kali → dilakukan tata laksana sesuai algoritme kejang
perawatan
• Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 17
• pH tali pusat 6,7; defisit basa 18 dalam 60 menit pertama lahir (bila mampu laksana)
• usia <6 jam
• bayi asfiksia namun kontraindikasi terapi hipotermia
• konsultasikan pasien dengan konsultan neonatologi pada pelayanan kesehatan level
3 dan orang tua bayi mengenai kondisi bayi dan kontraindikasi terapi hipotermia.
Seorang bayi lelaki lahir secara spontan dari persalinan fase aktif memanjang
(>1 jam) pada usia gestasi 38 minggu, taksiran berat 3100 gram. Faktor risiko
ibu, yaitu ketuban pecah dini >9 jam, keputihan, dan tersangka infeksi
saluran kemih. Saat lahir, bayi tidak menangis, LJ 80 kali/menit, tidak ada
tonus otot, tidak ada refleks, sianotik, dan pucat. Nilai Apgar 1/3/6/8. Bayi
diberikan VTP menggunakan t-piece resuscitator. Usia 30 menit, bayi
kejang selama 15 detik. Bayi didiagnosis neonatus cukup bulan (NCB), sesuai
masa kehamilan (SMK), EHI sedang, tersangka sepsis neonatus awitan dini
(SNAD). Setelah dilakukan perhitungan nilai Thompson, didapatkan nilai 11
pada usia 1 jam sehingga bayi diputuskan menjalani terapi hipotermia
dengan Blanketrol . Berikut ini merupakan follow up selama terapi.
289
hipotermi <24 24-48 48-72
Seorang bayi lelaki lahir secara SC atas indikasi ibu preeklampsia berat. Bayi
lahir pada usia gestasi 39 minggu, taksiran berat 2760 gram. Saat lahir, bayi
tidak menangis, tidak ada tonus otot, LJ 100 kali/menit, sianosis perifer, dan
ketuban sedikit bercampur mekonium. Nilai Apgar 3/4. Bayi diintubasi dan
dilakukan pengisapan endotrakeal diikuti dengan pemberian VTP dengan T-
piece resuscitator dan dilanjutkan dengan penggunaan ventilator
mekanik. Bayi didiagnosis neonatus cukup bulan (NCB), sesuai masa
kehamilan (SMK), EHI sedang, tersangka sepsis neonatus awitan dini (SNAD).
Setelah dilakukan perhitungan nilai Thompson, didapatkan nilai 7 pada usia 1
jam sehingga bayi diputuskan menjalani terapi hipotermia dengan sarung
tangan berisi air dingin. Berikut ini merupakan follow up selama terapi.
290
Pemantauan Sebelum Fase terapi hipotermi (jam)
terapi
hipotermi <24 24-48 48-72
Suhu 36 34 34 34
LJ 100 100 80 80
Aritmia -
MAP (mmHg) 46 54-63 52-72 54-72
Inotropik - - - -
Hb; Hct 17; 51,9 21,4; 63.2 163; 48,6
(g/dl; %)
Leukosit (/µL) 10.800 10.400 7.700
Trombosit 152.000 130.000 137.000
(/µL)
Faktor PT: 23,10 (K:22) aPTT:
pembekuan 41,30 (K:43,5)
Glukosa serum 111 67 71
Kalium
(mmol/L)
BUN/Cr
Sepsis
Tidak Sepsis ec Pseudomonas
Tidak terdapat efek samping saat rewarming. Gambaran EKG (24-48 jam)
sinus bradikardia dan USG kepala dalam batas normal. Bayi dipulangkan dari
ruang perawatan dengan klinis baik. Pada pemantauan perkembangan saat
usia 18 bulan diperlukan terapi okupasi dan terapi wicara. Masalah
perkembangan dapat teratasi dan saat usia 7 tahun anak dapat mengikuti
pelajaran di sekolah dengan bai
291
3. PNPK Hiperbilirubinemia
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Permasalahan
Pencegahan dan penanganan hiperbilirubinemia di negara berkembang termasuk
Indonesia memiliki berbagai kendala, yaitu bervariasinya panduan tatalaksana
hiperbilirubinemia di Indonesia. Ada panduan menurut Kementerian Kesehatan 8, WHO9,
dan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ikatan dokter anak Indonesia (IDAI) memiliki dua
panduan hiperbilirubinemia, yaitu dalam buku Ajar Neonatologi, 10 dan dalam Pedoman
pelayanan medis jilid II.11 Bervariasinya panduan yang ada menimbulkan tidak
konsistennya pelaksanaan panduan tersebut. 12 Salah satunya adalah persepsi pribadi
dalam melakukan tatalaksana hiperbilirubinemia tersebut. 13 Sebagai upaya mengatasi
berbagai kendala tersebut, disusun suatu standar pedoman nasional penanganan dan
pencegahan hiperbilirubinemia sebagai salah satu kebijakan kesehatan nasional di
Indonesia melalui buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
hiperbilirubinemia.
292
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Menyusun suatu PNPK untuk membantu menurunkan angka kejadian dan
komplikasi bayi di Indonesia akibat hiperbilirubinemia
1.4 Sasaran
1. Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam perawatan neonatus, meliputi
dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat diterapkan di fasilitas pelayanan
kesehatan primer, sekunder, dan tersier.
2. Penentu kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, serta
kelompok profesi terkait.
BAB II
METODOLOGI
Telaah kritis oleh pakar dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak diterapkan pada setiap
artikel yang diperoleh, meliputi: a. apakah studi tersebut sahih? b. apakah hasilnya
secara klinis penting? c. apakah dapat diterapkan dalam tata laksana pasien?
293
2.3 Peringkat bukti (level of evidence)
Ia. Meta-analisis atau telaah sistematik dari uji klinis acak terkontrol
BAB III
294
Ikterus neonatorum merupakan keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-
7 mg/dL.16
3.1.2 Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah keadaan transien yang sering ditemukan baik pada bayi cukup
bulan (50-70%) maupun bayi prematur (8090%). Sebagian besar hiperbilirubinemia
adalah fisiologis dan tidak membutuhkan terapi khusus, tetapi karena potensi toksik dari
bilirubin maka semua neonatus harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan
terjadinya hiperbilirubinemia berat.11
Pada fase lanjut, kerusakan pada sistem saraf pusat kemungkinan bersifat
ireversibel, ditandai dengan retrocollisopistotonus yang jelas, high pitched cry,
tidak mampu menyusu, apne, demam, gangguan kesadaran hingga koma, kadang-
kadang mengalami kejang, dan berujung kepada kematian. 17, 18, 20 Pembagian kondisi akut
akibat hiperbilirubinemia diklasifikasikan dalam skor BIND-M (Bilirubin Induced
Neurological DysfunctionModified). 21 (lihat Lampiran 2)
295
hanya muncul sebagian (jika ada), mendahului tanda klinis ensefalopati bilirubin akut. 23
(lihat Lampiran 6)
Panduan dari AAP dan Belanda menyebutkan adanya risiko tambahan yang terjadi
setelah bayi tersebut lahir yang menyebabkan bayi tersebut lebih mudah mengalami
toksisitas bilirubin (Tabel 1). Hal tersebut membuat bayi tersebut memiliki ambang
batas dimulainya fototerapi maupun transfusi tukar lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok yang lain (risiko tinggi vs risiko standar). Faktor risiko tersebut diantaranya. 7,
14
296
Faktor risiko minor • Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin
transkutaneus terletak pada zona risiko sedang
• Kulit hitam
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga yang merupakan bentuk akhir dari
pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi
yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme
oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ
lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang diekskresikan kedalam
paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase.24
297
Gambar 1. Metabolisme bilirubin24
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin
melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik
dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh
mengekskresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin. 24 Pada bayi
baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme hemoglobin dari
eritrosit sirkulasi. Satu gram hemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin dan sisanya
(25%) disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan hemoglobin karena
eritropoesis yang tidak efektif didalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung
protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme
bebas.24, 25
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang
dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan masa hidup eritrosi bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan
orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang
meningkat, dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi
enterohepatik).26
298
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan
ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas
ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah
dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini
merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke
sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf
pusat dan bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap obat-obatan yang bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid. Obat-obat
tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga
bersifat kompetitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat-
obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara menurunkan afinitas
albumin antara lain adalah digoksin, gentamisin, dan furosemid. 24
Pada bayi kurang bulan, ikatan bilirubin akan lebih lemah yang umumnya
merupakan komplikasi dari hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemia, asidosis, hipotermia,
hemolisis, dan septikemia. Hal tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan
jumlah bilirubin bebas dan berisiko pula untuk keadaan neurotoksisitas oleh bilirubin. 24
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda berdasarkan terkonjugasi
tidaknya bilirubin tersebut dan ada tidaknya ikatan dengan albumin, yaitu 10:
1. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin. Sebagian besar bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum ditemukan dalam bentuk ini.
2. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak terikat dengan albumin (bilirubin bebas).
Bilirubin dalam bentuk ini sangat berbahaya dan dapat menyebabkan
neurotoksisitas. Semakin tinggi kadar bilirubin bebas, maka semakin berisiko
mengalami neurotoksisitas bilirubin.
3. Bilirubin terkonjugasi yang tidak terikat dengan albumin. Bilirubin dalam bentuk ini
adalah bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal atau sistem bilier.
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam
air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridin difosfat glukuronosil
transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Substrat yang digunakan untuk transglukoronidase kanalikuler adalah bilirubin
monoglukoronida. Enzim ini akan memindahkan satu molekul asam glukoronida dari
satu molekul bilirubin monoglukoronida ke yang lain dan menghasilkan pembentukan
satu molekul bilirubin diglukoronida.26
Penelitian in vivo tentang enzim UDPG-T pada bayi baru lahir didapatkan
defisiensi aktivitas enzim, tetapi setelah 24 jam kehidupan, aktivitas enzim ini meningkat
melebihi bilirubin yang masuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin serum akan
menurun. Kapasitas total konjugasi akan sama dengan orang dewasa pada hari ke-4
kehidupan. Pada periode bayi baru lahir, konjugasi monoglukoronida merupakan
konjugat pigmen empedu yang lebih dominan. 26
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dengan orang dewasa. Pada mukosa
usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat
menghidrolisa monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak
terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu, lumen usus halus
pada bayi baru lahir steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat diubah menjadi
sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat diabsorbsi). 24
Bayi baru lahir mempunyai konsentrasi bilriubin tak terkonjugasi yang relatif
tinggi didalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis
bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan
didalam mekonium. Pada bayi baru lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk
mengurangi bilurubin menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool
bilirubin usus dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa. Peningkatan
300
hidrolisis bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas
βglukoronidase mukosa yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi.
Pemberian substansi oral yang tidak larut seperti agar atau arang aktif yang dapat
mengikat bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin dalam tinja dan mengurangi kadar
bilirubin serum. Hal ini menggambarkan peran kontribusi sirkulasi enterohepatik pada
keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada bayi baru
lahir.24, 26
3.5.1 Anamnesis11
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna kulit setelah
dilakukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik dilakukan menggunakan
cahaya matahari. Ikterus dimulai dari kepala dan meluas secara sefalokaudal. 11
Walaupun demikian inspeksi visual tidak dapat dijadikan indikator yang andal untuk
memprediksi kadar bilirubin serum, terutama pada bayi dengan kulit yang gelap. 14
Pemeriksaan visual hanya dapat digunakan untuk melihat bahwa bayi tersebut
menderita ikterus atau menyingkirkan bahwa bayi tersebut sudah tidak menderita
ikterus. Pemeriksaan visual dianjurkan untuk dilakukan oleh semua orangtua yang
memiliki bayi baru lahir dan melihat progresivitasnya. 15 Petugas kesehatan seyogianya
302
tidak menggunakan perkiraan visual sebagai sarana dalam diagnosis hiperbilirubinemia
sebelum dilakukan pemeriksaan TSB.
Pada pemeriksaan fisik, hal-hal yang dapat dicari antara lain 11:
• Tanda-tanda prematuritas
• Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia
• Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan
• Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom, subgaleal hematom
• Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular
• Ptekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
• Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit
hati
• Omfalitis
• Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
• Tanda hipotiroid
• Perubahan warna tinja (lihat Lampiran 7)
Memberi masukan kepada ibu dan memeriksa bayi apakah mereka mendapat ASI yang
cukup dengan beberapa pertanyaan:
303
Melakukan komunikasi dengan dokter obstetrik dan ginekologi, bidan, atau perawat
untuk melakukan pemeriksaan ABO dan Rh(D) pada setiap wanita hamil. Apabila
golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan antibodi
direk (tes Coombs), golongan darah dan tipe Rh(D) darah tali pusat bayi. Apabila
golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan darah
dan tes Coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan
pengawasan, penilaian terhadap risiko sebelum keluar rumah sakit dan tindak lanjut
yang memadai.
Penilaian klinis
Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya
progresivitas ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus
dinilai saat memeriksa tanda vital bayi. Protokol untuk penilaian ikterus harus diketahui
oleh seluruh staf perawatan, jika sarana untuk pemeriksaan TcB dan/atau TSB tidak
tersedia di layanan kesehatan, harus dilakukan rujukan untuk pemeriksaan kadar
bilirubin (contoh alat TcB di Gambar 2).
Evaluasi laboratorium
TcB atau TSB diperiksa jika bayi tampak kuning di 24 jam pertama kehidupan. Kemudian
hasil diplot di bilinorm apakah masuk dalam indikasi fototerapi atau transfusi tukar.
Aplikasi bilinorm dapat diunduh di Apps store atau Playstore. Pemeriksaan TcB
dan/atau TSB harus dilakukan jika bayi tampak ikterus. Jika terdapat alat TcB, maka
pengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam untuk melihat progresivitas ikterus
berdasarkan usia postnatal. Tentukan pula ambang batas fototerapi setiap harinya. Jika
kadar TcB yang terukur ± 2-3 mg/dL atau 70% dari ambang batas fototerapi, maka perlu
dilakukan pemeriksaan TSB.27
304
Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam (Gambar
3).
Gambar 3. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi
dengan usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia
kehamilan 35-36 minggu dengan berat lahir ≥ 2500 gram
berdasarkan kadar bilirubin serum sesuai dengan usia (dalam jam) 28
Penyebab ikterus
Melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mencari kemungkinan penyebab ikterus
pada bayi yang menerima fototerapi atau TSB meningkat cepat dan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bayi yang mengalami
peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan analisis dan kultur urin.
Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila
terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bayi sakit dan ikterus
pada umur lebih 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk atau
bilirubin konjugasi untuk mengidentifikasi adanya kolestasis. Selain itu, dapat dilakukan
pemeriksaan tiroid dan galaktosemia. Penyebab dari peningkatan bilirubin direk dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan FT4, TSH, dan screening inborn error
305
metabolism (paper test). Apabila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi
meningkat, dilakukan evaluasi tambahan untuk mencari penyebab kolestasis.
Tabel 2. Evaluasi laboratorium pada bayi ikterus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu14
Indikasi Penilaian
Ikterus pada 24 jam pertama Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Ikterus tampak berlebihan untuk usia bayi Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Bayi menerima fototerapi atau kadar TSB Lakukan pemeriksaan golongan darah dan
meningkat secara cepat (melewati tes Coombs
persentil) dan tidak bisa dijelaskan Lakukan pemeriksaan Complete blood
penyebabnya dari anamnesa ataupun count dan pemeriksaan darah tepi
pemeriksaan fisik Jika tersedia fasilitas, lakukan
pemeriksaan hitung retikulosit, dan G6PD.
306
Kadar TSB mencapai batas untuk Jika tersedia fasilitas, Lakukan
dilakukannya transfusi tukar atau tidak pemeriksaan hitung retikulosit, G6PD,
berespon terhadap fototerapi
dan albumin.
Lakukan pemeriksaan urinalisis dan
kultur urine. Evaluasi sepsis jika ada
indikasi berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan fisik
Ikterus tampak saat atau setelah usia 3 Lakukan pemeriksaan kadar bilirubin total
minggu, atau bayi sakit dan direk (atau terkonjugasi)
Jika kadar bilirubin direk meningkat,
lakukan evaluasi penyebab kolestasis
Lakukan pemeriksaan skrining tiroid dan
galaktosemia, dan evaluasi untuk tanda
dan gejala hipotiroid
Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap risiko
berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua perawatan harus menerapkan
protokol untuk menilai risiko ini. Penilaian ini sangat penting pada bayi yang pulang
sebelum umur 72 jam. Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus diperiksa TcB
atau TSB dan diplot di kurva yang sesuai. Untuk yang belum masuk dalam kriteria
fototerapi, disarankan untuk kontrol menemui petugas kesehatan maksimal 2x24 jam.
• Pengukuran kadar TcB atau TSB sebelum keluar rumah sakit, secara individual atau
kombinasi untuk pengukuran yang sistematis terhadap risiko.
• Penilaian faktor risiko klinis.
• Memucatkan kulit bayi dengan cara menarik kulit pada bagian yang diperiksa ke
arah samping kanan dan kiri dengan menggunakan kedua ibu jari pada bagian dahi,
dada, perut, kaki, dan telapak kaki.
• Evaluasi ikterus dan perkembangannya dilakukan setiap hari pada pencahayaan
yang cukup dan natural menggunakan sinar matahari.
• Evaluasi perkembangan ikterus adalah sefalokaudal.
307
• Jika orangtua mendapati kuning pada bagian telapak kaki dikategorikan sebagai
ikterus yang berat dan harus segera menemui petugas kesehatan (Lampiran 8). 15
Tindak lanjut
Semua bayi harus diperiksan oleh petugas kesehatan profesional yang berkualitas beberapa
hari setelah keluar rumah sakit untuk menilai keadaan bayi dan ada / tidak kuning. Waktu
dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan berdasarkan lamanya perawatan, ada
atau tidaknya faktor risiko untuk hiperbilirubinemia dan risiko masalah neonatal lainnya.
Penilaian yang harus dilakukan pada saat tindak lanjut berikutnya adalah:
• Perkembangan ikterus
• Kecukupan ASI
• Ada tidaknya dehidrasi
• Ada tidaknya faktor risiko masalah neonatal yang lain
3.5.3.2 Fototerapi
Tidak ada metode standar dalam memberikan fototerapi. Unit fototerapi memiliki
variasi yang sangat banyak, termasuk juga jenis lampu yang digunakan. Efektivitas
fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin bergantung pada beberapa hal yang dapat
dimodifikasi diantaranya adalah: jarak sumber cahaya dengan bayi, intensitas lampu
fototerapi, jenis lampu fototerapi yang digunakan, luas permukaan paparan, serta
kondisi klinis pasien sendiri.29
a. Konsep fototerapi
Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara mengkonversi molekul bilirubin
menjadi produk fotoisomer dan produk oksidasi yang kurang lipofilik dan tidak
membutuhkan konjugasi hati untuk bisa di eksresikan. Fotoisomer sebagian besar di
308
ekskresikan dalam empedu dan produk oksidasi sebagian besar dieksresikan dalam
urin.30 Fototerapi akan mengekspos kulit bayi melalui cahaya dengan panjang
gelombang tertentu, dimana mampu menurunkan total bilirubin dengan beberapa
mekanisme berikut ini:31
309
Tabel 5 menunjukkan cara memodifikasi dalam upaya meningkatkan intensitas
fototerapi. Secara klinis praktis, istilah untuk kekuatan radiasi kita sebut dengan
intensitas yang merupakan spektrum radiasi yang dapat diukur dengan menggunakan
alat yang disebut intensity meter. Intensity meter ini menggunakan panjang
gelombang tertentu sesuai dengan lampu fototerapi yang digunakan. Perlu diperhatikan
bahwa lebar gelombang dari spektrum emisi lampu fototerapi akan memengaruhi
pengukuran intensitas.
Hingga saat ini, tidak ada metode standart dalam mengukur dosis fototerapi,
sehingga akan sangat sulit untuk membandingkan penelitian tentang efikasi dari
fototerapi dan data pabrik untuk intensitas yang dihasilkan jika menggunakan alat yang
berbeda. Pengukuran intensitas dengan alat yang berbeda dapat mengakibatkan
perbedaan yang signifikan.32 Pengukuran di bawah lampu dengan spektrum emisi yang
terfokus akan memberikan perbedaan yang signifikan antara satu radiometer dengan
radiometer lainnya, karena respons spektrum dari intensity meter dari pabrikan satu
dengan lainnya berbeda. Lampu dengan spektrum luas (fluoresen dan haloganjjk)
memiliki variasi yang lebih sedikit pada bacaan intensity meter. Pabrik pembuat
sistem fototerapi umumnya merekomendasikan intensity meter yang spesifik untuk
digunakan dalam mengukur kadar fototerapi ketika sistem mereka digunakan (salah satu
contoh lampu fototerapi yang 1 paket dengan alat intensity meter dapat dilihat pada
Gambar 8).
Gambar 8. Paket lampu fototerapi dengan intensity meter yang berasal dari pabrik yang
sama (Bililux Dräger)
310
Penting juga untuk diketahui bahwa pengukuran radiasi akan sangat bervariasi
tergantung pada tempat dimana pengukuran tersebut dilakukan. Pengukuran radiasi di
bawah pusat sumber lampu dapat menunjukkan hasil dua kali lipat lebih tinggi
dibandingkan pengukuran dari perifer, dan gradasi penurunan di perifer juga bervariasi
antara unit fototerapi yang berbeda-beda. Idealnya radiasi harus diukur pada beberapa
lokasi berbeda dibawah area yang disinari oleh unit fototerapi dan pengukuran tersebut
dirata-rata. Internatinal Electrotechnical
Committee mendifinisikan “luas permukaan area efektif” sebagai luas
permukaan yang ditujukan untuk terapi yang disinari oleh lampu fototerapi. Luas
permukaan yang digunakan sebagai standar adalah seluas 60x30cm.
Berikut adalah silhoulette model yang digunakan oleh ahli bilirubin dari
Belanda dengan mengukur 5 titik yang merepresentasikan bagian pusat dan perifer jika
fototerapi dengan tipe overhead digunakan. Namun jika fototerapi dengan tipe fiber
optic (fototerapi tipe underneath) digunakan, titik yang diukur berjumlah 3 (Gambar
9).27
311
berbahaya jika rumah sakit tidak memiliki alat intensity meter untuk mengetahui
kekuatan lampu fototerapi yang dimiliki (Gambar10). 33
Gambar 10. Kekuatan radiasi alat fototerapi pada 17 rumah sakit di Indonesia
312
Gambar 11. Hubungan antara rerata spektrum radiasi dengan penurunan konsentrasi bilirubin
serum34
Gambar 12 menunjukkan bahwa ketika jarak antara sumber cahaya dengan bayi
berkurang, terdapat peningkatan yang sesuai pada spektrum radiasi. 33 Gambar 12 juga
menunjukkan perbedaan yang dramatis pada radiasi yang dihasilkan dalam pita 425-475
nm oleh berbagai tipe tabung fluoresen.
Gambar 12. Jarak antara sumber cahaya dengan bayi berkorelasi terbalik 33
313
konvensional (menggunakan tabung fluoresen dan halogen) harus waspada terhadap
efek samping hipertermia jika ingin mendekatkan jarak sumber cahaya. Sangat
disarankan meletakkan sumber cahaya sesuai dengan panduan yang diberikan oleh
pabrik. AAP merekomendasikan jarak yang standar antara sumber cahaya dengan bayi
sejauh 40 cm. Penelitian Mahendra dkk mendapatkan bahwa praktik di lapangan jarak
fototerapi dengan tabung fluoresen masih cukup aman pada kisaran 20 cm. Namun, jika
menggunakan light-emitting diodes (LED), dapat menggunakan jarak yang lebih dekat
lagi. Penelitian mendapatkan bahwa pada jarak 17 cm masih aman. 33
Fototerapi intensif
Fototerapi intensif diartikan sebagai penggunaan radiasi tingkat tinggi pada pita 430-
490 nm (umumnya 30 μW/cm2 per nm atau lebih) yang dipancarkan sebanyak
mungkin pada permukaan tubuh bayi.
• Sumber cahaya
Spektrum cahaya yang dipancarkan oleh unit fototerapi tergantung dari tipe
sumber cahaya dan filter yang digunakan. Unit fototerapi yang biasanya
digunakan lampu daylight, cool white, blue, atau special blue
fluorescent tube. Unit yang lain menggunakan lampu tungsten-halogen
pada konfigurasi yang berbeda, antara free-standing atau sebagai bagian dari
alat pemanas bercahaya. Baru-baru ini diperkenalkan sistem yang menggunakan
galium nitride LED dengan intensitas tinggi.36 Sistem fiber optic
memancarkan cahaya dari lampu berintensitas tinggi ke selimut yang memiliki
fiber optic.
Sebagian besar dari alat ini memancarkan luaran yang cukup pada
daerah biru-hijau dari spektrum kasat mata untuk bisa efektif sebagai
penggunaan fototerapi standar. Namun begitu, ketika kadar bilirubin mencapai
rentangan dimana fototerapi intensif direkomendasikan, efisiensi yang maksimal
harus ditemukan. Sumber cahaya yang paling efektif saat ini dan tersedia secara
komersial untuk fototerapi adalah yang menggunakan special blue
fluorescent tube37 atau lampu LED yang didesain secara khusus (Natus Inc,
San Carlos, CA).36 Special blue fluorescent tube diberi label F20T12/BB
(General Electric, Westinghouse, Sylvania) atau TL52/20W (phillips, Eindhoven,
The Netherlands). Penting untuk diketahui bahwa special blue tube
memberikan radiasi yang lebih hebat dibanding tabung biru biasa (yang diberi
label F20T12/B) (Gambar 11). Special blue tube merupakan yang paling
efektif karena mampu menyediakan cahaya yang sebagian besar dalam
spektrum warna biru-hijau.
314
• Jarak dari cahaya
Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 12, jarak antara sumber cahaya dengan
bayi memiliki dampak yang siginifikan terhadap peningkatan intensitas. Untuk
mengambil keuntungan dari efek ini, tabung fluoresen harus diletakkan sedekat
mungkin dengan bayi. Untuk melakukan hal ini, bayi harus diletakkan di
keranjang bayi, bukan di inkubator, karena atap dari inkubator mencegah
cahaya untuk dibawa mendekat ke bayi. Pada keranjang bayi, sangat mungkin
untuk membawa tabung fluoresen dalam jarak 20 cm dari bayi. Bayi cukup
bulan yang tidak tertutupi pakaian tidak menjadi terlalu panas di bawah lampu
tersebut. Perlu diperhatikan bahwa lampu fototerapi halogen tidak bisa
diposisikan lebih dekat pada bayi dibandingkan yang direkomendasikan
produsen tanpa menimbulkan risiko terbakar. Ketika lampu halogen digunakan,
rekomendasi dari produsen harus diikuti. Reflektor, sumber cahaya, dan filter
cahaya yang transparan (jika ada) harus selalu dijaga bersih.
• Luas permukaan
Sejumlah sistem telah dikembangkan untuk menyediakan fototerapi diatas dan
dibawah bayi.38, 39 Salah satu sistem yang tersedia secara komersial adalah
Billisphere. Unit ini menyediakan special blue fluorescent tube diatas dan
dibawah bayi. Alternatif lain adalah meletakkan bantalan serat optik dibawah
bayi dengan lampu fototerapi diatasnya. Satu kerugian dari bantalan fiber optik
adalah bahwa alat ini hanya melingkupi luas permukaan yang relatif kecil
sehingga 2-3 bantalan mungkin diperlukan. 40 Ketika kadar bilirubin sangat tinggi
dan harus diturunkan secepatnya, sangat penting untuk memaparkan sebanyak
mungkin permukaan tubuh bayi ke fototerapi.
315
μW/cm2 per nm, penggunaan kain berwarna putih memberikan peningkatan
intensitas yang bervariasi hingga mencapai 20 μW/cm2 per nm yang
sebetulnya mungkin tidak diperlukan dan dapat membahayakan bayi. 33
Hidrasi
Tidak ada bukti bahwa pemberian cairan yang berlebihan dapat memengaruhi konsentrasi
bilirubin serum. Beberapa bayi yang dirawat karena kadar bilirubin yang tinggi juga
mengalami dehidrasi ringan dan mungkin membutuhkan pemberian cairan tambahan untuk
mengoreksi status dehidrasinya. Karena bayi-bayi ini hampir semuanya diberi ASI, sehingga
cairan terbaik untuk digunakan pada kondisi ini adalah milk-based formula, karena akan
menghambat sirkulasi enterohepatik dari bilirubin dan dapat membantu menurunkan kadar
bilirubin serum. Hasil fotodegradasi bilirubin akan menghasilkan bilirubin yang larut dalam
air yang mudah diekskresikan melalui urin dan empedu. 52 Oleh karena itu, hidrasi yang
cukup dapat membantu meningkatkan efikasi fototerapi. Kecuali ada bukti dehidrasi,
pemberian rutin cairan intravena atau suplementasi lainnya (seperti air dekstrosa) pada
bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang menerima fototerapi tidak diperlukan.
Penghentian fototerapi
Tidak ada standar untuk menghentikan pemberian fototerapi. Kadar TSB untuk
menghentikan fototerapi tergantung pada usia dimana fototerapi dimulai dan penyebab
hiperbilirubinemia.46 Untuk bayi yang dirawat kembali setelah rawat inap kelahiran
mereka (biasanya pada kadar TSB 18 mg/dL [308 μmol/L] atau lebih),
fototerapi dapat dihentikan ketika kadar bilirubin serum turun dibawah 13-14 mg/dL
(239 μmol/L). Pemulangan dari rumah sakit tidak perlu ditunda untuk
mengobservasi bayi yang kembali rebound.46, 53, 54 Jika fototerapi digunakan untuk bayi
dengan penyakit hemolitik atau dimulai lebih awal dan dihentikan sebelum bayi berusia
3-4 hari, pengukuran bilirurin lanjutan dalam waktu 24 jam setelah kepulangan
direkomendasikan.46 Untuk bayi yang masuk kembali dengan hiperbilirubinemia dan
kemudian dipulangkan, kejadian rebound sangat jarang, namun pengukuran TSB
ulangan atau tindak lanjut dalam 24 jam setelah kepulangan merupakan pilihan klinis. 46
317
Paparan sinar matahari
Paparan sinar matahari mampu memberikan radiasi 425-475 nm, dimana telah
diketahui mampu menurunkan bilirubin total, tapi paparan sinar matahari secara
langsung tidak direkomendasikan untuk mencegah hiperbilirubinemia yang berat. Di
negara dengan fasilitas terbatas, pilihan untuk menggunakan perangkat fototerapi
dengan gelombang pendek (transmisi sinar biru atau hijau) sebagai sumber cahaya
adalah dengan penggunaan sinar matahari yang difiltrasi (filtered sunlight) yang
secara selektif memungkinkan tranmisi cahaya biru dan mengurangi paparan radiasi
sinar UV.
• Fenobarbital
Penggunaan fenobarbital setelah lahir masih kontroversial dan secara umum tidak
direkomendasikan. Mengingat efek samping pemberian fenobarbital yaitu sedasi
318
pada bayi baru lahir. Diperlukan waktu beberapa hari sebelum terlihat perubahan
bermakna, hal ini membuat penggunaan fototerapi nampak jauh
lebih mudah. Penggunaan fenobarbital profilaksis untuk
mengurangi pemakaian fototerapi atau tranfusi tukar pada bayi dengan defisiensi
G6PD ternyata tidak memberikan hasil baik. 10, 56
Tabel 5. Faktor yang mempengaruhi dosis dan efikasi fototerapi 14
Faktor Mekanisme/ Implementasi dan Aplikasi klinis
alasan
relevansi klinis
Spektrum lampu Spektrum biru- Special blue Special blue
yang dipancarkan hijau merupakan fluorescent tube fluorescent tube
yang paling efektif. atau sumber cahaya atau sumber lampu
Pada lain yang memiliki LED dengan luaran
panjang gelombang luaran terbanyak spektrum biru-hijau
tersebut, sinar dalam spektrum untuk PT intensif
menembus kulit biru-hijau dan yang
dengan baik dan paling efektif dalam
diabsorbsi secara menurunkan TSB
maksimal oleh
bilirubin
Spektrum radiasi ↑ radiasi → ↑ laju Radiasi diukur Jika special blue
(radiasi pada penurunan TSB dengan radiometer fluorescent tube
panjang gelombang (μW/cm2 per nm). digunakan, bawa
tertentu) yang Standar unit PT tabung sedekat
dipancarkan ke memancarkan 8-10 mungkin kepada
permukaan tubuh μW/cm2 per nm (fig bayi untuk
bayi 6). PT intensif meningkatkan
membutuhkan >30 radiasi (gambar 6).
μW/cm2 per nm Catatan: Tidak
dapat dilakukan
dengan lampu
halogen karena
bahaya terbakar.
Special blue tube
1015 cm diatas bayi
akan menghasilkan
radiasi setidaknya
sebesar 35 μW/cm2
per nm
Kekuatan spektrum ↑ permukaan tubuh Untuk PT intensif, Letakkan lampu
(rerata spektrum yang terpapar → ↑ paparkan permukaan diatas dan bantalan
radiasi yang laju penurunan tubuh bayi serat optik atau
melewati TSB semaksimal special blue
permukaan tubuh) mungkin pada PT fluorescent tube
dibawah bayi.
Untuk paparan
maksimum, lapisi
sisi samping
keranjang bayi,
kasur hangat, atau
inkubator
319
dengan aluminium
foil
Penyebab ikterus PT menjadi kurang Ketika hemolisis
efektif ketika terjadi, mulai PT
ikterus disebabkan pada kadar TSB
oleh hemolisis atau yang rendah.
jika kolestasis Gunakan PT
terjadi. intensif. Kegagalan
dari PT
(↑ bilirubin direk) menunjukkan
bahwa hemolisis
merupakan
penyebab
ikterus.
Jika ↑ bilirubin
direk, awasi
terjadinya
bronze
baby syndrome
atau lepuhan
Kadar TSB pada Semakin tinggi Gunakan PT
saat permulaan PT TSB, semakin intensif untuk kadar
cepat penurunan TSB yang lebih
TSB tinggi. Antisipasi
dengan PT penurunan kadar
TSB secara cepat
ketika TSB >
20 mg/dL (342
μmol/L)
320
Perubahan kardiovaskular Perubahan sementara Terbukanya kembali
curah jantung dan duktus arteriosus,
penurunan curah ventrikel kemungkinan karena
kiri fotorelaksasi, biasanya
tidak signifikan terhadap
hemodinamik. Perubahan
hemodinamik terlihat pada
12 jam pertama fototerapi,
setelah itu kembali ke awal
atau meningkat
Dipengaruhi oleh
lingkungan (aliran udara,
kelembaban, suhu),
karakteristik unit
fototerapi, perubahan suhu,
perubahan suhu kulit dan
suhu inti bayi, denyut
jantung, laju respirasi, laju
metabolik, asupan kalorai,
bentuk tempat tidur
(meningkat dengan
penggunaan radiant
warmer dan
inkubator)
Fungsi saluran cerna Peningkatan jumlah dan Berkaitan dengan
frekuensi buang air besar peningkatan aliran empedu
yang dapat menstimulasi
aktivitas saluran cerna
321
Penurunan waktu transit Meningkatkan kehilangan
usus cairan melalui feses dan
risiko dehidrasi
322
Burns Disebabkan oleh
pemaparan yang berlebihan
dari emisi gelombang
pendek sinar
fluorescent
Bronze baby syndrome Disebabkan oleh interaksi
fototerapi dan ikterus
kolestasis, menghasilkan
pigmen cokelat (bilifuscin)
yang mewarnai kulit, dapat
pulih dalam hitungan bulan
Frekuensi tindakan transfusi tukar menurun pada tahun 1990an, sehingga menyebabkan
penurunan pengalaman yang signifikan diantara para personel yang melakukan
prosedur tersebut.57-59 Namun begitu, muncul kembalinya kernikterus sebagai masalah
kesehatan masyarakat membuat transfusi tukar sebagai modalitas terapi yang
berpotensi mencegah komplikasi pada perkembangan
saraf.17, 60
323
a. Definisi
Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah bayi dengan darah donor dengan cara
mengeluarkan dan mengganti sejumlah darah secara berulang kali dalam periode waktu
yang singkat.
b. Indikasi
• Adanya peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi yang signifikan pada bayi baru
lahir karena sebab apapun, ketika fototerapi intensif gagal, atau ada risiko
terjadinya kernikterus. Transfusi tukar sesegera mungkin direkomendasikan jika
terdapat tanda awal gejala ensefalopati bilirubin akut. 14 Gambar 5 menunjukkan
batas kadar TSB pada bayi dengan usia gestasi ≥35 minggu yang
direkomendasikan untuk dilakukan transfusi tukar.
• Penyakit hemolisis alloimun pada bayi baru lahir (HDN) untuk koreksi anemia berat
dan hiperbilirubinemia 57
• Leukemia kongenital 63
• Toksin metabolik
- Hiperammonemia 64
- Asidemia organik 65
- Keracunan timbal 66
• Overdosis atau intoksikasi obat-obatan 67, 68
• Eliminasi antibodi atau protein abnormal 69, 70
• Sepsis neonatorum atau malaria 71, 72
c. Kontraindikasi
• Ketika alternatif seperti transfusi sederhana atau fototerapi sama efektifnya dengan
transfusi tukar namun dengan risiko yang lebih rendah 73
324
• Ketika pasien tidak stabil dan risiko dari prosedur transfusi tukar melebihi
keuntungan
Pada pasien dengan anemia berat, dengan gagal jantung atau hipervolemia,
transfusi tukar secara parsial lebih berguna untuk menstabilkan kondisi pasien
sebelum transfusi tukar secara lengkap atau secara double volume dilakukan
d. Perlengkapan
• Neonatal Intesinve Care Unit (NICU)
- Sumber panas yang bisa dikontrol secara automatis dan manual
- Monitor untuk evaluasi suhu
- Monitor untuk evaluasi kardiorespirasi
- Pulse oximetry untuk monitor saturasi oksigen
• Peralatan dan obat-obatan untuk resusitasi
• Pengikat bayi
• Tabung orogastrik
• Peralatan suction
• Alat untuk akses vaskular sentral dan perifer
• Penghangat darah dan koil yang sesuai (lihat bagian pencegahan)
• Alat steril untuk transfusi tukar
Alat sekali pakai yang sudah dirakit dari pabrik Alat yang belum
dirakit:
4. Spuit 10 atau 20 ml (gunakan spuit yang lebih kecil jika jumlah darah yang
digunakan lebih sedkit)
5. Three-way (2 buah) dengan pengunci sambungan
6. Tempat pembuangan (botol infus kosongan)
7. Sambungan tabung infus
• Produk darah yang sesuai
• Tabung dan spuit untuk pemeriksaan darah sebelum dan setelah transfusi tukar
e. Pencegahan
• Stabilkan bayi sebelum melakukan transfusi tukar
• Jangan memulai transfusi tukar hingga tersedia personel untuk melakukan
pemantauan dan sebagai bala bantuan ketika terjadi kegawatdaruratan
325
• Gunakan produk darah yang sesuai dengan indikasi klinis. Gunakan darah yang
paling baru, disarankan <5-7 hari
• Lakukan pemeriksaan kadar kalium pada darah donor jika pasien mengalami
hiperkalemia atau gangguan ginjal
• Lakukan pemantauan dengan seksama ketika dan setelah transfusi tukar dilakukan
• Jangan terbaru-buru dalam melakukan tindakan. Dapat mengakibatkan
pengulangan transfusi tukar jika efikasinya menurun akibat terburu-buru. Hentikan
atau pelankan prosedur jika pasien menjadi tidak stabil.
• Gunakan alat penghangat darah yang dapat diatur suhunya dan lolos uji kontrol
kualitas suhu dan alarm. Pastikan untuk memahami cara pengoperasian dan
prosedur keamanan untuk penghangat darah yang spesifik. Jangan panaskan darah
lebih dari 38oC
• Jangan melakukan suction yang berlebihan jika terjadi kesulitan untuk mengambil
darah. Posisikan ulang saluran atau ganti spuit, katup, dan peralatan-peralatan yang
tersambung
• Ketika prosedur terputus, biarkan darah dengan antikoagulasi tetap didalam saluran
atau bersihkan saluran dengan saline yang mengandung heparin
• Bersihkan saluran dengan saline yang mengandung heparin jika hendak
memasukkan kalsium
326
- Darah yang telah diradiasi direkomendasikan untuk seluruh transfusi tukar untuk
mencegah terjadinya graft vs host. Waktu pemberian radiasi pada darah harus
dilakukan sedekat mungkin dengan waktu pemberian transfusi tukar (<24 jam)
karena jika disimpan terlalu lama akan terjadi peningkatan konsentrasi kalium
yang signifikan
- Pemeriksaan standar dari bank darah sangatlah penting, termasuk pemeriksaan
HIV, hepatitis B, dan CMV
- Darah donor harus diperiksa untuk defisiensi G6PD dan HbS pada populasi yang
endemis terhadap kondisi ini 79
Gambar 15. Efektivitas transfusi tukar terhadap fraksi volume darah yang
ditukar
3. Persiapan bayi
• Letakkan bayi pada warmer dengan lingkungan yang dapat diatur dan dikontrol.
Transfusi tukar untuk bayi preterm yang kecil bisa dilakukan di inkubator, asalkan
area steril dapat dipertahankan dan jalur pemberian mudah diakses
• Ikat bayi dengan sesuai. Sedasi dan penghilang nyeri biasanya tidak dibutuhkan.
Bayi yang sadar bisa diberikan dot ketika prosedur berlangsung
• Pasang monitor pada bayi dan tentukan nilai dasarnya (suhu, frekuensi napas,
frekuensi nadi, dan oksigenasi)
• Kosongkan perut bayi
- Jangan beri bayi makan 4 jam sebelum prosedur jika memungkinkan
- Pasang OGT dan kosongkan isi lambung; biarkan dalam keadaan terbuka
• Mulai pemberian glukosa dan obat-obatan secara intravena:
- Jika transfusi tukar mengganggu tingkat infus sebelumnya
- Jika kekurangan pemberian glukosa oral atau parenteral berkepanjangan
menyebabkan terjadinya hipoglikemia
328
- Jalur intravena tambahan mungkin diperlukan untuk pemberian obat-obatan gawat
darurat
• Stabilisasi bayi sebelum memulai prosedur transfusi tukar: beri transfusi PRC pada
kondisi hipovolemia berat dan anemia, atau modifikasi ventilator atau oksigen
ketika terjadi dekompensasi pernafasan.
6. Persiapan darah
• Lakukan identifikasi terhadap produk darah
• Pasang set infus pada tabung penghangat darah dan kantong darah
• Alirkan darah melalui penghangat darah
g. Komplikasi
• Risiko kematian atau sequele yang parah diduga < 1% pada bayi sehat, namun
pada bayi sakit sebesar 12%. Ada keraguan terhadap efek samping dari transfusi
tukar pada bayi yang sudah dalam kondisi kritis 82-84
• Kebanyakan efek samping adalah efek samping hematologi dan biokimia, yang
mana tidak menunjukkan adanya gejala. Efek samping yang paling sering
ditemukan pada saat atau sesaat setelah transfusi tukar, biasanya pada bayi
preterm atau bayi sakit, adalah:
- Apne dan/atau bradikardi
- Hipokalsemia
329
- Trombositopenia (<50.000 pada 10% bayi sehat, atau 67% pada bayi < 32 minggu
usia kehamilan)
- Asidosis metabolik
- Spasme vaskular
• Komplikasi yang dilaporkan pada transfusi tukar adalah yang berhubungan dengan
transfusi darah dan akses vaskular.
330
Gambar 17. Transfusi tukar menggunakan katup 4-arah
Gambar 18. Tranfusi tukar dengan menggunakan arteri radialis dan vena umbilikal
331
BAB IV
REKOMENDASI
Memberi masukan kepada ibu dan memeriksa bayi apakah mereka mendapat ASI yang
cukup dengan beberapa pertanyaan:
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat
ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
332
Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan antibodi
direk (tes Coombs), golongan darah dan tipe Rh(D) darah tali pusat bayi.
Bila golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan
darah dan tes Coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika
dilakukan pengawasan, penilaian terhadap risiko sebelum keluar rumah sakit dan tindak
lanjut yang memadai.
Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya
progresivitas ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus
dinilai saat memeriksa tanda vital bayi.
Protokol untuk penilaian ikterus harus diketahui oleh seluruh staf perawatan, jika sarana
untuk pemeriksaan TcB dan/atau TSB tidak tersedia di layanan kesehatan, harus
dilakukan rujukan untuk pemeriksaan kadar bilirubin (contoh alat TcB di Gambar 2).
TcB atau TSB diperiksa jika bayi tampak kuning di 24 jam pertama kehidupan. Kemudian
hasil diplot di bilinorm apakah masuk dalam indikasi fototerapi atau transfusi tukar.
Aplikasi bilinorm dapat diunduh di Apps store atau Playstore.
Pemeriksaan TcB dan/atau TSB harus dilakukan jika bayi tampak ikterus. Jika terdapat
alat TcB, maka pengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam untuk melihat
progresivitas ikterus berdasarkan usia postnatal. Tentukan pula ambang batas fototerapi
setiap harinya. Jika kadar TcB yang terukur ± 2-3 mg/dL atau 70% dari ambang batas
fototerapi, maka perlu dilakukan pemeriksaan TSB. 27
333
Pemeriksaan perkiraan secara visual tidak dapat digunakan untuk menentukan derajat
ikterus, terutama pada bayi dengan kulit gelap.
Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam (Gambar
3).
334
Gambar 3. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi
dengan usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia
kehamilan 35-36 minggu dengan berat lahir ≥ 2500 gram berdasarkan kadar bilirubin
serum sesuai dengan usia (dalam jam)28
Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan analisis
dan kultur urin. Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus
dilakukan bila terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Bayi sakit dan ikterus pada umur lebih 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin
total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk mengidentifikasi adanya kolestasis. Selain
itu, dapat dilakukan pemeriksaan tiroid dan galaktosemia. Penyebab dari peningkatan
bilirubin direk dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan FT4, TSH, dan screening
inborn error metabolism
(paper test).
Bila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi meningkat, dilakukan evaluasi tambahan
untuk mencari penyebab kolestasis.
Tabel 2. Evaluasi laboratorium pada bayi ikterus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu14
Indikasi Penilaian
Ikterus pada 24 jam pertama Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Ikterus tampak berlebihan untuk usia bayi Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
335
Bayi menerima fototerapi atau kadar TSB Lakukan pemeriksaan golongan darah dan
meningkat secara cepat (melewati tes Coombs
persentil) dan tidak bisa dijelaskan Lakukan pemeriksaan Complete blood
penyebabnya dari anamnesa ataupun count dan pemeriksaan darah tepi
pemeriksaan fisik Jika tersedia fasilitas, lakukan
pemeriksaan hitung retikulosit, dan G6PD.
Kadar TSB mencapai batas untuk Jika tersedia fasilitas, Lakukan
dilakukannya transfusi tukar atau tidak pemeriksaan hitung retikulosit, G6PD,
berespon terhadap fototerapi
dan albumin.
Lakukan pemeriksaan urinalisis dan
kultur urine. Evaluasi sepsis jika ada
indikasi berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan fisik
Ikterus tampak saat atau setelah usia 3 Lakukan pemeriksaan kadar bilirubin total
minggu, atau bayi sakit dan direk (atau terkonjugasi)
Jika kadar bilirubin direk meningkat,
lakukan evaluasi penyebab kolestasis
Lakukan pemeriksaan skrining tiroid dan
galaktosemia, dan evaluasi untuk tanda
dan gejala hipotiroid
Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap risiko
berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua perawatan harus menerapkan
protokol untuk menilai risiko ini. Penilaian ini sangat penting pada bayi yang pulang
sebelum umur 72 jam. Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus diperiksa TcB
atau TSB dan diplot di kurva yang sesuai. Untuk yang belum masuk dalam kriteria
fototerapi, disarankan untuk kontrol menemui petugas kesehatan maksimal 2x24 jam.
• Pengukuran kadar TcB atau TSB sebelum keluar rumah sakit, secara individual atau
kombinasi untuk pengukuran yang sistematis terhadap risiko.
• Penilaian faktor risiko klinis.
Peringkat bukti IIIA, Derajat rekomendasi C
Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua, serta memperagakan
bagaimana cara melakukan pemeriksaan ikterus dan evaluasi perkembangannya.
336
Cara memeriksa ikterus adalah:
• Memucatkan kulit bayi dengan cara menarik kulit pada bagian yang diperiksa ke
arah samping kanan dan kiri dengan menggunakan kedua ibu jari pada bagian dahi,
dada, perut, kaki, dan telapak kaki.
• Evaluasi ikterus dan perkembangannya dilakukan setiap hari pada pencahayaan
yang cukup dan natural menggunakan sinar matahari.
• Evaluasi perkembangan ikterus adalah sefalokaudal.
• Jika orangtua mendapati kuning pada bagian telapak kaki dikategorikan sebagai
ikterus yang berat dan harus segera menemui petugas kesehatan (Lampiran 8). 15
Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C
Semua bayi harus diperiksan oleh petugas kesehatan profesional yang berkualitas
beberapa hari setelah keluar rumah sakit untuk menilai keadaan bayi dan ada / tidak
kuning. Waktu dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan berdasarkan lamanya
perawatan, ada atau tidaknya faktor risiko untuk hiperbilirubinemia dan risiko masalah
neonatal lainnya. Penilaian yang harus dilakukan pada saat tindak lanjut berikutnya
adalah:
• Perkembangan ikterus
• Kecukupan ASI
• Ada tidaknya dehidrasi
• Ada tidaknya faktor risiko masalah neonatal yang lain Peringkat bukti IIIa,
Derajat rekomendasi C
337
4.8 Terapi
4.8.1 Fototerapi
Rekomendasi terapi terdapat pada Tabel 4, Gambar 4, dan Gambar 5. Jika kadar bilirubin
total serum tidak menurun atau terus meningkat, maka lakukan evaluasi apakah
intensitas lampu fototerapi sudah cukup (30μW/cm2/nm).
Dua hal diatas ini berisiko untuk terjadi hipertermia dan dehidrasi pada bayi. Faktor risiko
ini bertambah apabila menggunakan lampu tipe fluoresensi dan halogen. Namun risiko
berkurang jika menggunakan lampu LED. Praktek lama menggunakan korden memberikan
perubahan intensitas yang tidak menentu. Penggunaan korden disarankan dengan
menggunakan warna yang terang atau menggunakan material reflektor. Dianjurkan
melakukan pemeriksaan intensitas lampu fototerapi sebelum dan sesudah modifikasi upaya
peningkatan intensitas untuk melihat apakah intensitas yang ada sudah memenuhi kriteria
intensif fototerapi. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan intensity meter (contoh
intensity meter pada Gambar 6). Jika terjadi hemolisis ketika diberikan fototerapi dan
transfusi tukar, lakukan pemeriksaan retikulosit, Coomb test, ABO, dan Rh(D) ibu dan
bayi.
338
Untuk menentukan bayi memerlukan fototerapi atau transfusi tukar, maka kadar
bilirubin yang diplot di normogram adalah total serum bilirubin. Penghentian fototerapi
dilakukan pada kondisi dimana kadar bilirubin direk 50% atau lebih dari bilirubin total,
segera rujuk ke NICU level 3.
Semua fasilitas perawatan dan pelayanan bayi harus memiliki peralatan untuk fototerapi
intensif yang dilengkapi dengan intensitimeter untuk mengukur secara periodik lampu
fototerapi yang dimiliki minimal 1 bulan sekali.
Jika kadar bilirubin total serum berada pada angka untuk rekomendasi dilakukan
transfusi tukar atau jika kadar bilirubin total sebesar 25 mg/dL atau lebih tinggi pada
setiap waktu, hal ini merupakan keadaan emergensi dan bayi harus segera masuk dan
mendapatkan perawatan fototerapi intensif. Bayi-bayi ini tidak harus dirujuk melalui
bagian emergensi karena hal ini dapat menunda terapi (penjelasan lebih lengkap lihat di
bagian transfusi tukar).
Transfusi tukar harus dilakukan hanya oleh personel yang terlatih di ruangan NICU
dengan observasi ketat dan mampu melakukan resusitasi.
Disarankan untuk melakukan pemeriksaan kadar serum albumin. Kadar albumin yang
kurang dari 3 mg/dL meningkatkan risiko terjadinya ensefalopati bilirubin akut sehingga
ambang batas fototerapi untuk bayi tersebut harus diturunkan (kelompok risiko tinggi).
339
Jika dipertimbangkan transfusi tukar, kadar albumin serum harus diukur dan digunakan
rasio bilirubin/albumin yang berkaitan dengan kadar bilirubin total serum dan faktor-
faktor lainnya yang menentukan dilakukannya transfusi tukar.
Pada bayi yang menyusu yang memerlukan fototerapi, AAP merekomendasikan bahwa,
jika memungkinkan, menyusui harus diteruskan. Hal ini dapat mengurangi kadar
bilirubin dan atau meningkatkan efektifitas fototerapi. Pada bayi ASI eksklusif yang
mendapat fototerapi, suplementasi dengan pemberian ASI perah atau formula adalah
pilihan yang tepat terutama jika asupan bayi dirasa tidak adekuat, berat badan turun
berlebihan, atau bayi tampak dehidrasi.
Tabel 4. Contoh langkah klinis untuk manajemen bayi baru lahir yang masuk kembali
ke rumah sakit untuk mendapatkan fototerapi atau transfusi tukar14
Terapi
Berikan fototerapi intensif dan/atau transfusi tukar sebagaimana diindikasikan pada
gambar 4 dan 5
Pemeriksaan laboratorium
Kadar TSB dan bilirubin direk
Golongan darah (ABO, Rh)
Tes antibodi direk (Coombs’)
340
Serum albumin
Pemeriksaan darah lengkap dan hapusan darah untuk mengetahui morfologi sel darah
merah
Hitung jenis retikulosit
G6PD (jika tersedia) jika menunjukkan adanya hubungan dengan asal etnis atau asal
geografis tertentu atau jika respon terhadap fototerapi buruk
Pemeriksaan urinalisis, termasuk uji reduksi urin untuk mendeteksi kolestasis
Jika berdasarkan anamnesis dan atau tampilan klinis menunjukkan tanda sepsis,
lakukan pemeriksaan kultur darah dan urin serta pemeriksaan CSF untuk melihat
protein, glukosa, jumlah sel, dan hasil kultur.
Fototerapi
Pemberian minum dilakukan setiap 2-3 jam.
Bila bilirubin total ≥ 25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 2-3 jam
Bila bilirubin total 20-25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 3-4 jam, bila <
20 mg/dL diulang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total terus turun, maka perlu dilakukan
pemeriksaan ulang dalam 8-12 jam.
Bila kadar bilirubin total tidak turun atau malah mendekati kadar transfusi tukar atau
perbandingan bilirubin total dengan albumin (TSB/albumin) meningkat mendekati
angka untuk transfusi tukar maka lakukan transfusi tukar (gambar 5).
Bila kadar bilirubin total < 13-14 mg/dL, hentikan fototerapi
Tergantung pada penyebab hiperbilirubinemia, pemeriksaan bilirubin ulangan boleh
dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang untuk melihat kemungkinan terjadinya
rebound
Transfusi tukar
Bila bilirubin total ≥ 25 mg/dL atau ≥ 20 mg/dL pada bayi sakit atau bayi < 38 minggu,
lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross match pada pasien yang akan
direncanakan untuk mendapat tansfusi tukar.
Pada bayi dengan penyakit autoimun hemolitik dan kadar bilirubin total meningkat
walau telah dilakukan fototerapi intensif atau dalam 2-3 mg/dL kadar transfusi tukar
(gambar 5), berikan imunoglobulin intravena 0.5-1 g/kg selama lebih dari 2 jam dan
boleh diulang bila perlu 12 jam kemudian
Pada bayi yang mengalami penurunan berat badan lebih dari 12% atau secara klinis
atau bukti secara biokimia menujukkan tanda dehidrasi, dianjurkan pemberian susu
formula atau ASI tambahan. Bila pemberian peroral sulit dapat diberikan intravena.
341
Gambar 4. Panduan untuk fototerapi pada bayi dengan usia gestasi ≥ 35 minggu. 14
Keterangan :
Panduan ini berdasarkan bukti yang terbatas dan kadar yang ditunjukkan adalah
perkiraan. Panduan ini mengacu pada penggunaan fototerapi intensif yang mana harus
digunakan ketika kadar TSB melewati garis yang diindikasikan untuk tiap kategori. Bayi
dikategorikan sebagai risiko tinggi karena adanya efek potensial negatif dari kondisi yang
tercatat pada ikatan albumin bilirubin, sawar darah otak, dan kerentanan sel otak
terhadap bilirubin.
Jika kadar TSB mendekati atau melewati batas transfusi tukar (Gambar 4), maka
sisi dari keranjang bayi, inkubator, atau infant warmer dapat dilapisi dengan
aluminium foil atau material reflektor 42. Hal ini akan meningkatkan luas permukaan
paparan sehingga meningkatkan efikasi fototerapi. Bila kadar TSB tidak menurun atau
tetap meningkat pada bayi yang sedang mendapatkan fototerapi intensif, maka diduga
kuat adanya hemolisis. Bayi yang mendapatkan fototerapi dan mengalami peningkatan
kadar bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi (kolestasis) bisa berkembang menjadi
bronze-baby syndrome.
Pada panduan ini dilampirkan aplikasi yang dapat membantu klinisi untuk
memutuskan bayi perlu mendapatkan fototerapi atau pertimbangan transfusi tukar
(aplikasi bilinorm). Pada aplikasi bilinorm untuk kategori bayi ≥35 minggu
menggunakan kurva AAP yang dimodifikasi untuk penyederhanaan.
Penyederhanaan dilakukan pada kelompok bayi yang risiko rendah (infants at lower
risk). Pada aplikasi bilinorm, kelompok ini ditiadakan. Kelompok bayi risiko sedang
(infants at medium risk) pada grafik AAP dijadikan kelompok standart risk (>38
minggu). Sedangkan kelompok risiko tinggi (≥35 minggu dan > 38 minggu
dengan faktor risiko) (infants at high risk) tetap sebagai kelompok risiko tinggi
(high risk).
Gambar 5. Panduan untuk transfusi tukar pada bayi dengan usia gestasi ≥ 35
minggu.14 Keterangan :
• Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan keadaan tanpa patokan pasti karena
terdapat pertimbangan klinis yang luas dan tergantung respon terhadap fototerapi.
• Direkomendasikan transfusi tukar segera bila bayi menunjukkan gejala ensefalopati akut
(hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, high pitch cry, demam) atau bila kadar
bilirubin total ≥ 5 mg/dL diatas garis patokan.
343
• Faktor risiko: penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu tidak
stabil, sepsis, asidosis.
• Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total / albumin.
• Gunakan TSB. Jangan mengurangkan dengan bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi
• Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu (risiko sedang) transfusi tukar yang
hendak dilakukan bersifat individual berdasarkan usia kehamilan saat ini.
BAB V
SIMPULAN
344
(Jakarta, 6 rumah sakit; Kupang, satu rumah sakit, dan Manado, satu rumah sakit),
prevalens hiperbilirubinemia berat (>20mg/dL) adalah 7%, dengan
hiperbilirubinemia ensefalopati akut sebesar 2.
▪ Hiperbilirubinemia berat dengan hiperbilirubinemia ensefalopati atau kernikterus
merupakan morbiditas pada neonatus yang dapat dicegah. Pencegahan dan
penanganan hiperbilirubinemia di Indonesia memiliki kendala karena bervariasi
panduan tatalaksananya. Ada panduan menurut Kementerian Kesehatan, WHO dan
Ikatan Dokter Anak Indonesia (dalam buku Ajar Neonatologi dan dalam Pedoman
pelayanan medis jilid II).
▪ Tatalaksana hiperbilirubinemia dimulai dari upaya pencegahan, penegakkan
diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium;
dilanjutkan dengan fototerapi dan tranfusi tukar.
▪ Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara mengkonversi molekul bilirubin
menjadi produk fotoisomer dan produk oksidasi yang kurang lipofilik dan tidak
membutuhkan konjugasi hati untuk bisa di eksresikan. Efektivitas fototerapi dalam
menurunkan kadar bilirubin bergantung pada beberapa hal yang dapat dimodifikasi
diantaranya adalah: jarak sumber cahaya dengan bayi, intensitas lampu fototerapi,
jenis lampu fototerapi yang digunakan, luas permukaan paparan, serta kondisi klinis
pasien sendiri.
▪ Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah bayi dengan darah donor dengan
cara mengeluarkan dan mengganti sejumlah darah secara berulang kali dalam
periode waktu yang singkat.
345
Lampiran
A. Teknik pelaksanaan
1. Transfusi tukar dengan teknik push pull
• Baca panduan yang diberikan oleh pabrikan
• Lakukan scrub seperti hendak melakukan prosedur besar. Gunakan masker,
penutup kepala pakaian steril, dan sarung tangan
• Buka tempat peralatan dengan menggunakan teknik aseptik
• Identifikasi posisi katup sesuai arah jarum jam (Gambar 16 dan 17). Arah
pegangan mengarah menunjukkan port mana yang terbuka. Katup yang tersedia
memiliki fungsi sebagai berikut (searah jarum jam): a) menarik dari pasien; b)
membuang ke kantong buangan; c) mengambil darah baru; d) memasukkan ke
dalam pasien. Selalu putar pegangan searah jarum jam untuk mengikuti alur yang
sesuai, dan selalu jaga sambungan dalam keadaan rapat
- Male adaptor pada jalur infus umbilikalis atau perifer
- Female adaptor pada tabung ekstensi dimana kantong buangan akan dipasang
- Hubungkan pada tabung darah untuk dipasangkan pada penghangat darah
- Posisi netral dimana bahan tambahan lainnya dapat diberikan melalui karet
penahan (180o dari kantong buangan)
• Ikuti langkah yang disediakan oleh pabrikan untuk memasang semua koneksi ke
kantong darah dan kantong buangan
• Ketika katup membuka pada kantong darah, kosongkan udara yang ada di spuit
dengan cara memutar 270o searah jarum jam dan keluarkan ke kantong
buangan
346
• Tutup katup dan putar ke bagian yang steril
• Gunakan jalur infus vena umbilikalis yang sudah ada atau masukkan kateter ke
vena umbilikalis menggunakan teknik aseptik
- Pertimbangkan untuk melakukan pengukuran CVP menggunakan transduser pada
bayi yang tidak stabil
- Letakkan kateter pada IVC dan pastikan posisi dengan menggunakan bantuan
radiograf
- Jika kateter tidak dapat diposisikan di IVC, kateter tersebut masih dapat digunakan
secara berhati-hati pada saat ada kegawatan
- Minta salah satu asisten untuk mendokumentasikan tanda vital dan data-data
lainnya
- Periksa kadar glukosa perifer setiap 30-60 menit. Lakukan monitoring terhadap
status kardiorespirasi, periksa saturasi dengan menggunakan pulse oximetry
secara terus menerus. Pemeriksaan BGA dilakukan sebanyak yang diindikasikan
berdasarkan kondisi klinis dan stabilitas pasien sebelum tindakan transfusi tukar
- Lakukan aspirasi darah untuk dilakukan pemeriksaan diagnostik
- Rata-rata pertukaran darah pada transfusi tukar adalah sekitar 5mL/kg dalam 1
siklus (2-4 menit)
- Pada bayi dengan hipovolemia atau memiliki CVP yang rendah, lakukan transfusi
tukar dengan didahului pemberian transfusi (5mL/kg) melalui kateter. Pada bayi
dengan hipervolemia atau memiliki CVP yang tinggi, lakukan transfusi tukar dengan
didahului pengeluaran sebagian volume darah
- Lakukan pemeriksaan ulangan CVP jika ada indikasi. Harapkan untuk terjadi
peningkatan tekanan onkotik plasma jika CVP rendah pada permulaan
- Pastikan bahwa tingkatan dalam mengeluarkan dan memasukkan darah kedalam
bayi dilakukan secara perlahan, membutuhkan setidaknya 1 menit untuk setiap
proses untuk mecegah fluktuasi tekanan darah. Fluktuasi yang cepat pada tekanan
arteri dalam teknik ini dapat diikuti dengan perubahan tekanan intracranial.
Pengeluaran darah yang cepat dari vena umbilikalis menyebabkan terjadinya
tekanan negatif yang akan ditransmisikan ke vena mesenterika yang pada akhirnya
berkontribusi terhadap tingginya kejadian komplikasi iskemia usus
- Goyangkan kantong darah secara gentle setiap 10 hingga 15 menit untuk mecegah
sedimentasi sel darah merah
- Pertimbangkan untuk memberikan suplementasi kalsium pada kondisi:
Hipokalsemia yang terdokumentasi
Muncul gejala atau tanda hipokalsemia seperti: perubahan interval QTc; agitasi
dan takikardi (gejala ini tidak terbukti berhubungan dengan kadar kalsium).
347
Pemberian kalsium saat transfusi tukar pada bayi normokalsemia jarang
dibutuhkan atau tidak menguntungkan. Ketika kalsium diberikan, efek
pemberian hanya berlangsung selama beberapa menit. Kalsium akan
membalikkan efek antikoagulan pada darah donor dan dapat menyebabkan
clotting pada jalur pemberian, sehingga pemberian melalui vena perifer lebih
disarankan. Jika kalsium diberikan melalu kateter vena umbilikalis, bersihkan
saluran dari darah donor dengan NaCl 0.9%. Kalsium yang diberikan adalah Ca
gluconas 10% sebanyak 1mL/KgBB. Masukkan secara perlahan, dengan
observasi yang ketat terhadap denyut nadi dan irama jantung. Bersihkan saluran
dengan NaCl 0.9% setelah kalsium diberikan.
- Hitung jumlah siklus yang sudah dilewati, hingga volume transfusi tukar yang
diharapkan tercapai
- Pastikan jumlah volume darah donor yang tersisa masih cukup untuk dimasukkan
lagi setelah pengeluaran darah yang terakhir jika positive intravascular
balance diharapkan untuk tercapai
- Bersihkan saluran umbilikalis dari darah ibu dan ambil sebagian darah bayi untuk
pemeriksaan laboratorium, termasuk re-cross-matching
- Berikan cairan intravena yang dicampur dengan 0.5 - 1 U heparin/mL melalui
kateter vena umbilikalis jika akan dilakukan transfusi tukar lanjutan
- Durasi prosedur transfusi tukar volume ganda adalah 90-120 menit
- Tulis prosedur lengkap pada rekam medis pasien
• Jaga bayi agar tetap puasa selama setidaknya 4 jam. Mulai pemberian ASI secara
hati-hati jika kondisi klinis stabil.
Periksa ketebalan abdomen dan suara usus setiap 3-4 jam selama 24 jam jika
transfusi tukar telah dilakukan menggunakan saluran vena umbilikalis. Observasi
tanda tanda feeding intolerance
Normal 0 None
Malas menyusu
Lemas 2 Moderate
Semi-koma 3 Severe
Apnea
Kejang
Koma
Tonus Otot
Normal 0 None
Hipertonia sedang
Opisthotonus
Normal 0 None
349
High pitched cry 1 Mild
Total Skor
Tanda Tangan Dokter yang memeriksa: Saya percaya bahwa bayi ini
memiliki tanda/gejala bilirubin
ensefalopati akut selain berdasarkan
skor BIND-M.
Bayi prematur memiliki ambang batas yang berbeda dengan bayi cukup bulan. Masih
sedikit panduan dimulainya fototerapi dan transfusi tukar untuk bayi prematur. Diantara
pandian yang ada adalah AAP, NICE, Norway, Martin dan Fanaroff. Panduan masih
350
berbeda dalam hal patokan yang dipakai. Ada yang menggunakan berat lahir namun ada
yang menggunakan patokan usia gestasi. Untuk Indonesia, mengingat kesulitan dalam
menentukan usia gestasi yang tepat maka panduan bayi kurang bulan (<35 mgg)
menggunakan patokan berat lahir. Berdasarkan panduan di atas berikut adalah
rekomendasi yang dipakai di Indonesia untuk bayi prematur.
A. Normogram fototerapi dan transfusi tukar berat lahir < 1000 gram
Berikut adalah normogram ambang batas fototerapi dan tranfusi tukar Indonesia
(Gambar 19) yang sudah dianalisis berdasarkan berbagai panduan normogram
internasional yang sudah terpublikasi. Normogram ini terdapat di dalam aplikasi
Bilinorm yang dapat diakses melalui apps store atau play store pada
smartphoneBilirubin level mg/dL.
12
10 FT
8
6
4 standard risk
2 FT high risk
0 ET standard
ET high risk
0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120
Jam
Gambar 19. Diagram Indonesian bilirubin normogram < 1000 gram (modifikasi)
FT high Risk
FT standard Risk
ET High Risk
ET Standard Risk
Jam
Gambar 20. Diagram Indonesian bilirubin normogram bayi dengan berat 1000-
1249 gram
351
C. Normogram fototerapi dan transfusi tukar untuk berat lahir 1250-
1499 gram
Berdasarkan acuan pada normogram AAP, Dutch, NICE dan Norway tersebut, maka
berikut adalah normogram bilirubin untuk berat lahir 1250-1499 gram sebagaimana
berikut ini yang dapat dilihat pada aplikasi smartphone bilinorm (gambar 21).
FT high Risk
FT
standard Risk
ET High Risk
ET Standard Risk
0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120
Jam
Gambar 21. Diagram Indonesian Bilirubin Normogram untuk bayi usia 1250-1499
gram
352
FT high Risk
FT
standard
Risk
ET High Risk
ET Standard Risk
Jam
FT high
Risk
FT standard
Risk
ET High Risk
ET Standard Risk
353
Lampiran 4. Contoh kasus penggunaan Skor BIND-M
Seorang bayi perempuan lahir pada usia kehamilan 36 minggu secara sectio
caesaria dari ibu berusia 31 tahun. Ini merupakan kehamilan ketiga, anak pertama
lahir hidup saat ini berusia 5 tahun. Anak kedua lahir hidup dan saat ini berusia 3 tahun.
Anak kedua mendapatkan fototerapi 3x24 jam dengan riwayat hiperbilirubin dengan
kadar TSB mencapai 24 mg/dl, namun tidak diketahui secara pasti penyebab dari
hiperbilirubinemia. Berat badan lahir bayi ini 3050 gram, Panjang Badan 50 cm, Lingkar
kepala 33 cm, dan skor Apgar pada menit kesatu 8 dan menit kelima 9. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan bayi tampak ikterik pada usia 24 jam dengan kadar TSB 15
mg/dl, kemudian bayi tersebut dilakukan tindakan fototerapi.
Pada 24 jam setelah fototerapi dilakukan evaluasi ulang bilirubin, dan hasil
menunjukan kadar TSB 20 mg/dl. Pasien direncanakan untuk dilakukan tranfusi tukar
namun darah belum tersedia. Pemeriksaan didapatkan bahwa ibu golongan darah A
rhesus negatif dan bayi golongan darah A rhesus positif. Dilakukan pemeriksaan direct
antibody test (DAT) hasilnya positif. Bayi dilaporkan tampak lemah, bola mata tampak
deviasi ke atas yang permanen, mengalami kondisi desaturasi berulang dengan
periodic breathing, opisotonus, high pitch cry, dan apne berulang.
2. Skor 5-6 : diprediksi indikasi untuk ABE sedang, mungkin reversibel dengan penurunan
segera bilirubin
3. Skor > 7 : diprediksi indikasi untuk ABE berat dan kemingkinan untuk kerusakan otak
yang ireversibel pada kebanyakan bayi.
354
Cara pengisian Skor BIND-M
355
Lampiran 5. Contoh kasus penggunaan normogram AAP
Kasus 1
Seorang bayi perempuan lahir secara spontan dari ibu usia 33 tahun pada usia
gestasi 40 minggu dengan faktor rIsiko minor. Berat badan bayi 3350 g, Panjang badan
bayi 48 cm dan lingkar kepala 34 cm. Skor Apgar bayi pada lima menit pertama setelah
lahir adalah 9, dan pada menit kesepuluh adalah 10. Ini merupakan kehamilan pertama
pada ibu. Ibu dan bayi memiliki rhesus positif. Bayi tampak kuning pada 70 jam setelah
dilahirkan dengan kadar serum bilirubin total (TSB) 12,9 mg/dl. Ibu menyusui secara
ekslusif dan tidak ada riwayat penggunaan obat maupun paparan senyawa naftalen.
Pada usia 120 jam, kadar TSB meningkat menjadi 15,1 mg, tetapi bayi tetap aktif
dan tanda-tanda vital normal. Pada hari ke-7, kadar TSB meningkat menjadi 17,1 mg/dl
(direk (D)/Indirek (I) bilirubin = 0,1/17 mg/dl), kadar G6PD dan OAE (Oto Acoustic
Emission) normal. Berdasarkan pedoman AAP, kadar TSB tetap berada dibawah
ambang batas untuk fototerapi, sehungga bayi dipulangkan tanpa terapi spesifik. Kadar
TSB bayi setelah pulang 16,6 mg/dl dan secara klinis bayi normal.
Kasus 2
Seorang bayi laki-laki usia gestasi 38 minggu lahir secara sectio caesaria atas
indikasi diproporsi kepala panggul. Berat badan lahir bayi 3220 gram, Panjang badan 8
cm, dan lingkar kepala 34 cm. Bayi diklasifikan pada kelompok faktor risiko minor. Skor
Apgar bayi 8 pada lima menit setelah lahir, kemudian meningkat 9 pada menit
kesepuluh. Ibu dan bayi memiliki golongan darah dan rhesus yang sama, yaitu golongan
darah O dengan rhesus positif. Ini merupakan kehamilan pertama ibu, dan usia ibu 30
tahun. Bayi tampak kuning pada usia 70 jam, namun bayi dipulangkan pada usia 73 jam
dengan kadar bilirubin 15,2 mg/dl (D/I = 0,1/15,1 mg/dl).
Bayi minum ASI serta diberikan susu formula hipoalergenik sesuai kebutuhan.
Pada hari ketujuh bayi datang kembali untuk dilakukan evaluasi, dan kadar TSB 15,3
mg/dl (D/I = 0,1/15,2 mg/dl) dengan kadar G6PD normal. Tidak ada intervensi yang
dibutuhkan pada pasien ini, hanya edukasi untuk meyakinkan orangtua mengenai
kondisi bayi. Pada kunjungan berikutnya saat usia 9 hari, kadar TSB 12,9 mg/dl (D/I =
0,1/12,8 mg/dl dan pemeriksaan OAE menunjukan hasil normal.
Kasus 3
Seorang bayi perempuan lahir pada usia 39 minggu dari ibu yang berusia 32
tahun secara ekstraksi vakum. Berat badan lahir bayi 3390 gram, panjang badan 49 cm,
dan lingkar kepal 34 cm. Skor Apgar bayi pada menit kelima stelah dilahirkan adalah, 8,
kemdian meningkat 9 pada menit kesepuluh. Bayi tersebut memiliki faktor risiko minor
dan merupakan anak ketiga ibu tanpa riwayat abortus. Bayi dan ibu memiliki golongan
darah yang sama yaitu golongan darah O dan rhesus positif. Kadar TSB pada usia 43 jam
10,6 mg/dl (D/I = 0,1/10,5 mg/dl). Bayi dipulangkan pada usia dua hari dan diberikan ASI
secara eksklusif. Pengukuran TSB pada usia 91 jam menunjukan nilai 17,1 mg/dl (D/I
356
0,1/17 mg/dl). Kriteria untuk dilakukan fototerapi usia 91 jam yaitu pada kadar TSB ≥
16,5 mg/dl. Bayi dikategorikan risiko rendah karena bayi tanpa gejala, usia
gestasi > 38 minggu dengan kadar TSB diatas ambang batas inetrvensi, kemudian bayi
dilakukan fototerapi.
Kadar G6PD bayi normal, Tes Coomb’s negatif, dan pemeriksaan OAE
normal pada kedua telinga. Kadar TSB diukur ulang dua hari kemudian dan hasilnya
menunjukan kemudian bayi dipulangkan. menjadi 12,5 mg/dl (D/I = 0,1/12/5 mg/dl)
• Identifikasi faktor risiko pada setiap bayi baru lahir, Klasifikasi faktor risiko
berdasarkan kriteria AAP.
• Ikterik dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan fisik dengan cara melakukan
penekanan pada kulit yang akan menunjukan warna pada kulit dan jaringan
subkutan. Pemeriksaan harus dilakukan pada ruangan dengan pencahayaan
357
yang baik, terutama pada bagian ruangan yang terpapar sinar matahri dekat
jendela.
• Melakukan pengukuran kadar bilirubin dan memplotkan hasilnya pada
normogram persentil bilirubin berdasarkan usia lahir dalam jam.
PADA KASUS 1:
• Bayi tampak ikterik pada area wajah hingga dada pada usia 70 jam dengan kadar
TSB menunjukan 12,9 mg/dl, kemudian hasil tersebut diplotkan pada
normogram fototerapi. Berdasarkan normogran, kadar TSB bayi berada pada
low intermediate risk zone.
• Berdasarkan anamnesis bayi ini dimasukan dalam kelompok standard risk,
karena usia gestasi bayi ini ≥ 38 minggu, tidak inkompatibilitas ABO
dan bayi tampak sehat.
• Berdasarkan pada normogram, bayi ini diklasifikasikan pada standard risk,
tidak ada intervensi yang diperlukan berdasarkan pedoman AAP, sehingga bayi
dipulangkan.
• Bayi dijadwalkan kontrol 2x24 jam paska pemunlangan
Gambar 24. Kurva derajat serum bilirubin dengan level high intermediate risk zone
358
Gambar 25. Kurva total bilirubin serum pada bayi dengan faktor risiko tinggi
PADA KASUS 2:
• Kadar TSB pada usia 73 jam 15 mg/dl, bayi ini dikelompokan pada risiko zona
high-intermediate, tetapi masih berada dibawah ambang batas fototerapi,
kemudian bayi dipulangkan.
• Berdasarkan anamnesis, bayi dimasukan dalam kelompok standard risk,
karena usia gestasi bayi ini ≥ 38 minggu, tidak inkompatibilitas ABO
dan bayi tampak sehat.
• Bayi dievaluasi kembali pada hari ketujuh dan kadar TSB menunjukan 15,3 mg/dl
(D/I = 0,1/15,1 mg/dl), dengan kadar G6PD normal. Tidak ada intervensi yang
dibutuhkan bayi ini.
• Pada hari ke-9 bayi dievaluasi ulang dan kadar bilirubin menunjukan 12,9 mg/dl
(D/I = 0,1/12,8 mg/dl) dan OAE menunjukan nilai normal
359
Gambar 27. Kurva serum bilirubin dengan
High Intermediate Risk Zone
Gambar 28. Kurva serum bilirubin total pada Infants Higher at Risk
PADA KASUS 3:
360
• Kadar TSB pada usia 43 jam yaitu 10,6 mg/dl, bayi ini dikelompokan pada risiko
zona high-intermediate, tetapi masih berada dibawah ambang batas
fototerapi, kemudian bayi dipulangkan.
• Pada usia 91 jam, bayi ini dilakukan evaluasi ulang dan kadar TSB menunjukan
hasil 17,1 mg/dl, kemudian bayi ini dirawat berdasarkan kriteria pada pedoman
AAP yaitu bayi sehat usia gestasi ≥ 38 minggu dengan kadar TSB ≥
16,5 mg/dl. Berdasarkan normogram, meskipun nilai TSB dibawah ambang
batas fototerapi untuk low risk masih dapat dibenarkan untuk dimulai
fototerapi pada kadar 2-3 mg/dl dibawah ambang batas.
Gambar 29. Kurva serum bilirubin pada High Intermediate Risk Zone
361
Gambar 30. Kurva serum bilirubin total pada Higher at Risk
Lampiran 7. Diagnosis Kernicterus Spectrum Disorder (KSD)
Tidak ada 0
Dicurigai adanya infeksi, perbedaan rhesus golongan darah, “sakit”, prematur 1
(<35 minggu)
Infeksi virus atau bakteri yang terbukti, NEC (Necrotizing Enterocolitis), atau 2
asidosis (pH darah < 7,2)
Bagaimana hasil pemeriksaan bayi baru lahir?
Normal 0
Ensefalopati bilirubin akut ringan (letargi, mengantuk, tonus otot 1
rendah/tinggi, ± tangisan bersuara tinggi)
Ensefalopati bilirubin akut berat (ophistotonus, mata setting sun, wajah 2
terlihat takut, demam tanpa penyebab jelas)
Bagaimana hasil dari pemeriksaan bayi terakhir?
Normal 0
Distonia ringan (mata setting sun ± tonus otot sedikit meningkat atau 1
menurun ± pergerakan tubuh abnormal berlebihan)
Distonia sedang-berat (mata setting sun ± pergerakan tubuh abnormal 2
berlebihan)
Ketika gigi bayi tumbuh, bagaimana enamel gigi?
Normal 0
362
Displasia enamel (Adanya pengelupasan pada enamel gigi) 1
Bagaimana hasil ANSD (Auditory Neuropathy Spectrum Disorder)?
Normal 0
Kemungkinan hasil MRI abnormal (globus pallidus ± hiperintensitas nucleus 1
subthalamikus kedua sisi tanpa kelainan lain)
Hasil MRI abnormal (hiperintensitas globus pallidus di kedua sisi ± 2
hiperintensitas nukleus subthalamikus tanpa kelainan signifikan struktur lain)
Total Skor
Interpretasi Skor
Definite Kernicterus 10-14
Probable Kernicterus 6-9
Possible Kernicterus 3-5
Bukan Kernicterus 0-2
363
Warna tinja abnormal
Informasi umum:
F Faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan hiperbilirubinemia
F Cara mendeteksi bayi kuning
F Apa yang harus dilakukan apabila curiga kuning pada bayi
F Pentingnya mengenali tanda-tanda kuning pada bayi pada 24 jam pertama dan mencari
pelayanan medis
F Pentingnya mengecek popok bayi untuk mengetahui ada atau tidaknya kencing yang
berwarna gelap atau tinja yang berwarna pucat
F Kuning pada bayi sering terjadi dan meyakinkan bahwa hal tersebut biasanya hanya
sementara dan tidak berbahaya
F Meyakinkan pemberian ASI dapat diteruskan Informasi
terkait terapi:
364
F Antisipasi
lamanya terapi
F Yakinkan untuk melanjutkan ASI, mengganti popok dan sering sering mendekap bayi
F Menjelaskan bahwa bila bayi yang mendapatkan transfusi tukar maka bayi harus dirawat
di ruang perawatan intensif
F Alasan mengapa transfusi tukar dipertimbangkan
F Alasan
mengapa IVIg dipertimbangkan
F Alasan
mengapa IVIg dibutuhkan untuk terapi hiperbilirubinemia F
Kemungkinan efek samping IVIg
PEMBERI CARA
KETERANGA
PENJELASAN EDUKASI PENYAMPAIA JAM TTD
N
N
F
Informasi :
Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan
hyperbilirubinemia.
F Cara mendeteksi bayi kuning
F Apa yang harus dilakukan
apabila curiga kuning pada bayi
F Pentingnya mengenali
tandatanda kuning pada
bayi pada 24 jam pertama
dan mencari
pelayanan medis
F Pentingnya mengecek popok
bayi untuk mengetahui ada atau
tidaknya kencing yang berwarna
gelap atau tinja yang berwarna
pucat
F Kuning pada bayi sering terjadi
dan meyakinkan bahwa hal
tersebut biasanya hanya
sementara dan tidak berbahaya
F Meyakinkan pemberian ASI
365
dapat diteruskan
Informasi terapi :
F Antisipasi lamanya terapi
F Yakinkan untuk melanjutkan ASI,
mengganti popok dan sering sering
mendekap bayi
menyusui bayinya
F Kemungkinan hal-hal yang
terjadi apabila fototerapi gagal
F Kuning berulang dapat terjadi
kembali
F Potensi atau kemungkinan efek
dipertimbangkan
366
367
368
DAFTAR RUJUKAN
1. Lawn JE, Cousens S, Zupan J, dkk. 4 million neonatal deaths: when? where? why?
Lancet. 2005;365:891-900.
2. World Health Organization. Achievement of the health related Millennium
Development Goals in the Western Pacific Region 2016: Transitioning to the Sustainable
Development Goals Geneva: WHO Press; 2016 [Available from:
http://iris.wpro.who.int/bitstream/handle/10665.1/13441/WPR-2016-DHS-011-en.pdf. 3.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2017. 431 p.
4. United Nations Children's Fund. Child survival and the SDGs, 2017 [Available
from:
https://data.unicef.org/topic/child-survival/child-survival-sdgs/.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2007.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2008.
6. Greco C, Arnolda G, Boo N-Y, Iskander IF, Okolo AA, Rohsiswatmo R, et al.
Neonatal jaundice in low and middle income countries: lessons and future
directions from the 2015 Don Ostrow Trieste Yellow Retreat Neonatology.
2016;110:172-80.
7. Dijk PH, de Vries TW, de Beer JJ, Dutch Pediatric A. Guideline prevention,
diagnosis and treatment of hyperbilirubinemia in the neonate with a gestational
age of 35 or more weeks. Nederlands tijdschrift voor geneeskunde.
2009;153:A93.
8. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal
Esensial: Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2012. 134 p.
9. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit:
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota.
Jakarta: WHO Indonesia; 2009. 434 p.
10. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI,
Usman A, editors. Buku Ajar Neonatologi. 1 ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2008. p. 147-69.
11. Dewanto NEF, Dewi R. Hiperbilirubinemia. In: Pudjiaji AH, Hegar B,
Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, et al., editors.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2 ed. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. p. 114-22.
12. Sampurna MTA, Ratnasari KA, Etika R, Hulzebos CV, Dijk PH, Bos AF, et al.
Adherence to hyperbilirubinemia guidelines by midwives, general practitioners,
and pediatricians in Indonesia. PloS one. 2018;13(4):e0196076.
13. Martini, Sampurna MTA, Handayani KD, Angelika D, Utomo MT, Etika R, et al.
Variation of Phototherapy Thresholds By Clinicians In Comparison with
Hyperbilirubinemia Guideline In Indonesia. 2018.
14. American Academy of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the
newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics. 2004;114(1):297-316.
15. Neonatal Jaundice. National Institute for Health and Clinical Excellence:
Guidance. London2010.
16. Blackburn ST. Bilirubin metabolism, maternal, fetal & neonatal physiology: A
clinical perspective. 3 ed. Missouri: Saunders; 2007.
369
17. Johnson LH, Bhutani VK, Brown AK. System-based approach to management of
neonatal jaundice and prevention of kernicterus. The Journal of pediatrics.
2002;140(4):396-403.
18. Volpe JJ. Neurology of the Newborn. 4 ed. Philadelphia, PA: W. B. Saunders;
2001.
19. Harris MC, Bernbaum JC, Polin JR, Zimmerman R, Polin RA. Developmental
followup of breastfed term and near-term infants with marked
hyperbilirubinemia. Pediatrics. 2001;107(5):1075-80.
20. Van Praagh R. Diagnosis of kernicterus in the neonatal period. Pediatrics.
1961;28:870-6.
21. Radmacher PG, Groves FD, Owa JA, Ofovwe GE, Amuabunos EA, Olusanya
BO, et al. A modified Bilirubin-induced neurologic dysfunction (BIND-M)
algorithm is useful in evaluating severity of jaundice in a resource-limited setting.
BMC pediatrics. 2015;15:28. 22. Jones MH, Sands R, Hyman CB, Sturgeon P,
Koch FP. Longitudinal study of the incidence of central nervous system damage
following erythroblastosis fetalis. Pediatrics. 1954;14(4):346-50.
23. Le Pichon JB, Riordan SM, Watchko J, Shapiro SM. The Neurological Sequelae of
Neonatal Hyperbilirubinemia: Definitions, Diagnosis and Treatment of the
Kernicterus Spectrum Disorders (KSDs). Current pediatric reviews. 2017;13(3):199-
209.
24. Mac Mahon JR, Stevenson DK, Oski FA. Bilirubin metabolism. In: Tacusch HW,
Ballard RA, editors. Avery's disease of the newborn. 7 ed. Philadelphia: W. B.
Saunders; 1998. p. 995-1002.
25. Maisles MJ. Jaundice. In: Avery GB, Fletcher MA, McDonald MG, editors.
Neonatology, pathophysiology & management of the newborn. 5 ed. Baltimore:
Lippincot William & Wilkins; 1999. p. 765-819.
26. Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In: Fanaroff AA,
Martin RJ, editors. Neonatal-perinatal medicine: Disease of the fetus and infant. 7
ed. St. Louis: Mosby Inc; 2002. p. 1309-50.
27. van Imhoff DE. The Management of Hyperbilirubinemia in Preterm Infants.
Groningen: University Medical Center Groningen; 2013.
28. Bhutani VK, Johnson L, Sivieri EM. Predictive ability of a predischarge hour-
specific serum bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in healthy
term and near-term newborns. Pediatrics. 1999;103(1):6-14.
29. Maisels MJ. Phototherapy--traditional and nontraditional. Journal of perinatology :
official journal of the California Perinatal Association. 2001;21 Suppl 1:S93-7;
discussion S104-7.
30. Maisels MJ, McDonagh AF. Phototherapy for neonatal jaundice. The New England
journal of medicine. 2008;358(9):920-8.
31. Wong RJ, Bhutani VK. Treatment of unconjugated hyperbilirubinemia in term and
late preterm infants. Uptodate. 2013:5063.
32. Fiberoptic phototherapy systems. Health devices. 1995;24(4):132-53.
33. Sampurna MTA, Saharso D, Hulzebos CV, Dijk PH, Bos AF, Sauer PJJ. Current
Practice Phototherapy In Indonesia. 2018.
34. Tan KL. The pattern of bilirubin response to phototherapy for neonatal
hyperbilirubinaemia. Pediatric research. 1982;16(8):670-4.
35. Aycicek A, Kocyigit A, Erel O, Senturk H. Phototherapy causes DNA damage in
peripheral mononuclear leukocytes in term infants. Jornal de pediatria.
2008;84(2):141-6. 36. Seidman DS, Moise J, Ergaz Z, Laor A, Vreman HJ,
Stevenson DK, et al. A new blue light-emitting phototherapy device: a prospective
randomized controlled study. The Journal of pediatrics. 2000;136(6):771-4.
37. Ennever JF. Blue light, green light, white light, more light: treatment of neonatal
jaundice. Clinics in perinatology. 1990;17(2):467-81.
370
38. Garg AK, Prasad RS, Hifzi IA. A controlled trial of high-intensity double-surface
phototherapy on a fluid bed versus conventional phototherapy in neonatal jaundice.
Pediatrics. 1995;95(6):914-6.
39. Tan KL. Phototherapy for neonatal jaundice. Clinics in perinatology.
1991;18(3):423-39.
40. Maisels MJ. Why use homeopathic doses of phototherapy? Pediatrics. 1996;98(2 Pt
1):283-7.
41. Eggert P, Stick C, Schroder H. On the distribution of irradiation intensity in
phototherapy. Measurements of effective irradiance in an incubator. European
journal of pediatrics. 1984;142(1):58-61.
42. Dachlan TI, Yuniati T, Sukadi A. Effect of phototherapy with alumunium foil
reflectors on neonatal hyperbilirubinemia. Paediatrica Indonesiana. 2015;55(1):13-
7.
43. Djokomuljanto S, Rohsiswatmo R, Hendarto A. Perbandingan Efektivitas antara
Terapi Sinar Tunggal dengan dan Tanpa Kain Putih pada Bayi Berat Lahir Rendah
dengan Hiperbilirubinemia. Sari Pediatri. 2016;18(3):233-9.
44. Institue of Medicine. Crossing the Quality Chasm: A New Health System for the
21st Century. Washington, DC: National Academy Press; 2001.
45. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians and
Gynecologists. Guidelines for Perinatal Care. 5 ed. Elk Grove Village, IL:
American Academy of Pediatrics; 2002.
46. Bertini G, Dani C, Tronchin M, Rubaltelli FF. Is breastfeeding really favoring early
neonatal jaundice? Pediatrics. 2001;107(3):E41.
47. Penn AA, Enzmann DR, Hahn JS, Stevenson DK. Kernicterus in a full term infant.
Pediatrics. 1994;93(6 Pt 1):1003-6.
48. Maisels MJ, Gifford K. Normal serum bilirubin levels in the newborn and the effect
of breast-feeding. Pediatrics. 1986;78(5):837-43.
49. Yamauchi Y, Yamanouchi I. Breast-feeding frequency during the first 24 hours
after birth in full-term neonates. Pediatrics. 1990;86(2):171-5.
50. De Carvalho M, Klaus MH, Merkatz RB. Frequency of breast-feeding and serum
bilirubin concentration. American journal of diseases of children. 1982;136(8):737-
8.
51. Varimo P, Simila S, Wendt L, Kolvisto M. Frequency of breast-feeding and
hyperbilirubinemia. Clinical pediatrics. 1986;25(2):112.
52. de Carvalho M, Hall M, Harvey D. Effects of water supplementation on
physiological jaundice in breast-fed babies. Archives of disease in childhood.
1981;56(7):568-9.
53. Nicoll A, Ginsburg R, Tripp JH. Supplementary feeding and jaundice in newborns.
Acta paediatrica Scandinavica. 1982;71(5):759-61.
54. Madlon-Kay DJ. Identifying ABO incompatibility in newborns: selective vs
automatic testing. The Journal of family practice. 1992;35(3):278-80.
55. Slusher TM, Olusanya BO, Vreman HJ, Brearley AM, Vaucher YE, Lund TC, et al.
A Randomized Trial of Phototherapy with Filtered Sunlight in African Neonates.
The New England journal of medicine. 2015;373(12):1115-24.
56. Cuperus FJ, Hafkamp AM, Hulzebos CV, Verkade HJ. Pharmacological therapies
for unconjugated hyperbilirubinemia. Current pharmaceutical design.
2009;15(25):292738.
57. Ramasethu J, Luban NLC. Alloimmune hemolytic disease of the newborn. In:
Lichtman MA, Beutler E, Kipps TJ, Seligsohn U, Kaushansky K, Prchal JT, editors.
Williams' Hematology. 7 ed. New York: McGraw-Hill; 2006. p. 715-66.
58. Funato M, Tamai H, Shimada S. Trends in neonatal exchange transfusions at
Yodogawa Christian Hospital. Acta paediatrica Japonica : Overseas edition.
1997;39(3):305-8.
371
59. Seidman DS, Paz I, Armon Y, Ergaz Z, Stevenson DK, Gale R. Effect of
publication of the "Practice Parameter for the management of hyperbilirubinemia"
on treatment of neonatal jaundice. Acta paediatrica. 2001;90(3):292-5.
60. Ebbesen F. Recurrence of kernicterus in term and near-term infants in Denmark.
Acta paediatrica. 2000;89(10):1213-7.
61. Naulaers G, Barten S, Vanhole C, Verhaeghe J, Devlieger H. Management of
severe neonatal anemia due to fetomaternal transfusion. American journal of
perinatology. 1999;16(4):193-6.
62. Dempsey EM, Barrington K. Short and long term outcomes following partial
exchange transfusion in the polycythaemic newborn: a systematic review. Archives
of disease in childhood Fetal and neonatal edition. 2006;91(1):F2-6.
63. Fernandez MC, Weiss B, Atwater S, Shannon K, Matthay KK. Congenital
leukemia: successful treatment of a newborn with t(5;11)(q31;q23). Journal of
pediatric hematology/oncology. 1999;21(2):152-7.
64. Chen CY, Chen YC, Fang JT, Huang CC. Continuous arteriovenous
hemodiafiltration in the acute treatment of hyperammonaemia due to ornithine
transcarbamylase deficiency. Renal failure. 2000;22(6):823-36.
65. Aikoh H, Sasaki M, Sugai K, Yoshida H, Sakuragawa N. Effective immunoglobulin
therapy for brief tonic seizures in methylmalonic acidemia. Brain & development.
1997;19(7):502-5.
66. Mycyk MB, Leikin JB. Combined exchange transfusion and chelation therapy for
neonatal lead poisoning. The Annals of pharmacotherapy. 2004;38(5):821-4.
67. Sancak R, Kucukoduk S, Tasdemir HA, Belet N. Exchange transfusion treatment in
a newborn with phenobarbital intoxication. Pediatric emergency care.
1999;15(4):268-70.
68. Osborn HH, Henry G, Wax P, Hoffman R, Howland MA. Theophylline toxicity in a
premature neonate--elimination kinetics of exchange transfusion. Journal of
toxicology Clinical toxicology. 1993;31(4):639-44.
69. Pasternak JF, Hageman J, Adams MA, Philip AG, Gardner TH. Exchange
transfusion in neonatal myasthenia. The Journal of pediatrics. 1981;99(4):644-6.
70. Dolfin T, Pomeranz A, Korzets Z, Houri C, Manor Y, Feigin M, et al. Acute renal
failure in a neonate caused by the transplacental transfer of a nephrotoxic
paraprotein: successful resolution by exchange transfusion. American journal of
kidney diseases : the official journal of the National Kidney Foundation.
1999;34(6):1129-31.
71. Gunes T, Koklu E, Buyukkayhan D, Kurtoglu S, Karakukcu M, Patiroglu T.
Exchange transfusion or intravenous immunoglobulin therapy as an adjunct to
antibiotics for neonatal sepsis in developing countries: a pilot study. Annals of
tropical paediatrics. 2006;26(1):3942.
72. Virdi VS, Goraya JS, Khadwal A, Seth A. Neonatal transfusion malaria requiring
exchange transfusion. Annals of tropical paediatrics. 2003;23(3):205-7.
73. Maisels MJ, Watchko JF. Treatment of jaundice in low birthweight infants.
Archives of disease in childhood Fetal and neonatal edition. 2003;88(6):F459-63.
74. Burch M, Dyamenahalli U, Sullivan ID. Severe unconjugated hyperbilirubinaemia
with infradiaphragmatic total anomalous pulmonary venous connection. Archives
of disease in childhood. 1993;68(5 Spec No):608-9.
75. Goldenberg NA, Manco-Johnson MJ. Pediatric hemostasis and use of plasma
components. Best practice & research Clinical haematology. 2006;19(1):143-55.
76. Murray NA, Roberts IA. Neonatal transfusion practice. Archives of disease in
childhood Fetal and neonatal edition. 2004;89(2):F101-7.
77. Petaja J, Johansson C, Andersson S, Heikinheimo M. Neonatal exchange
transfusion with heparinised whole blood or citrated composite blood: a prospective
study. European journal of pediatrics. 2000;159(7):552-3.
372
78. Win N, Amess P, Needs M, Hewitt PE. Use of red cells preserved in extended
storage media for exchange transfusion in anti-k haemolytic disease of the newborn.
Transfus Med. 2005;15(2):157-60.
79. Kumar P, Sarkar S, Narang A. Acute intravascular haemolysis following exchange
transfusion with G-6-PD deficient blood. European journal of pediatrics.
1994;153(2):989.
80. Yigit S, Gursoy T, Kanra T, Aydin M, Erdem G, Tekinalp G, et al. Whole blood
versus red cells and plasma for exchange transfusion in ABO haemolytic disease.
Transfus Med. 2005;15(4):313-8.
81. de Waal KA, Baerts W, Offringa M. Systematic review of the optimal fluid for
dilutional exchange transfusion in neonatal polycythaemia. Archives of disease in
childhood Fetal and neonatal edition. 2006;91(1):F7-10.
82. Jackson JC. Adverse events associated with exchange transfusion in healthy and ill
newborns. Pediatrics. 1997;99(5):E7.
83. Keenan WJ, Novak KK, Sutherland JM, Bryla DA, Fetterly KL. Morbidity and
mortality associated with exchange transfusion. Pediatrics. 1985;75(2 Pt 2):417-21.
84. Patra K, Storfer-Isser A, Siner B, Moore J, Hack M. Adverse events associated with
neonatal exchange transfusion in the 1990s. The Journal of pediatrics.
2004;144(5):62631.
85. Ozkan H, Cevik N. Effect of exchange transfusion on elimination of antibiotics in
premature infants. The Turkish journal of pediatrics. 1994;36(1):7-10.
86. Englund JA, Fletcher CV, Johnson D, Chinnock B, Balfour HH, Jr. Effect of blood
exchange on acyclovir clearance in an infant with neonatal herpes. The Journal of
pediatrics. 1987;110(1):151-3.
87. Lackner TE. Drug replacement following exchange transfusion. The Journal of
pediatrics. 1982;100(5):811-4.
373
BAB IV PANDUAN PRAKTIK KLINIS
374
PANDUAN MASUK Pelayanan kesehatan neonatus di level 1, di
RAWAT INAP puskesmas dan ruang rawat gabung di RS:
• Tanda vital stabil, menunjukkan sistem organ vital
(susunan saraf pusat, kardio dan respirasi) dalam
keadaan normal. • Berat badan lahir ≥2500
gram dan usia kehamilan ≥37 minggu.
• Tunjangan nutrisi dan medikasi enteral
• Tidak memerlukan tunjangan kardiorespirasi, nutrisi
dan medikasi parenteral.
• Memiliki masalah medik di bidang neonatologi yang
membutuhkan kompetensi DASAR bagi aset tenaga
manusia (ATM).
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 6-8
375
kompetensi SPESIALIS bagi aset tenaga manusia
(ATM).
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 3-5
376
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 2.
377
penambahan berat badan dan memenuhi kebutuhan
nutrisi oral perhari.
• Berat badan telah mencapai 1800 gram atau lebih
• Ibu dan ayah dan atau pengasuh bayi telah mendapat
edukasi mengenai praktik mengasuhan neonatus di
rumah
• Semua obat yang diperlukan dapat diberikan per oral
• Hasil laboratorium normal
• Imunisasi Hepatitis B, OPV dan BCG telah dilakukan
(jika tidak ada kontraindikasi)
• Rujukan kepada konselor ASI setempat
• Administrasi rumah sakit telah diselesaikan
378
4.2 Komunikasi interpersonal dan konseling
379
• Membangun hubungan interpersonal dokter-klien
• Menyampaikan informasi pada klien
• Memberikan pilihan pelayanan yang sesuai
• Memastikan kesinambungan pelayanan
• Pemahaman dan ingatan pasien akan lebih baik
melalui komunikasi yang baik sehingga dapat
meningkatkan kepuasan dan kepatuhan klien.
Keterampilan bertanya
• Lakukan tanya jawab di tempat yang menjamin privasi.
• Bantulah klien untuk merasa nyaman dengan
membuat diri anda sendiri menjadi rileks. Hindari
berbagai gerakan yang memperlihatkan rasa gugup.
• Dekatkan tubuh anda sedikit ke depan untuk
memperlihatkan ketertarikan anda terhadap apa yang
dikatakan oleh pasien.
• Pertahankan kontak mata.
• Gunakan nada bicara yang memperlihatkan
rasa tertarik, perhatian dan keramahan.
• Ajukan berbagai pertanyaan yang mendorong klien
untuk berbicara mengenai anaknya.
• Mulailah dengan pertanyaan terbuka untuk
memperoleh cerita dari sudut pandang klien.
• Ikuti dengan pertanyaan tertutup untuk memperoleh
informasi spesifik.
• Tanyakan satu pertanyaan saja dalam satu saat, lalu
tunggu klien menjawab.
380
• Tanyakan pertanyaan yang sama dengan beberapa
cara yang berbeda jika anda menganggap klien tidak
memahaminya.
• Hindari pertanyaan yang bersifat
mengarahkan.
• Gunakan suara atau gerakan yang bersifat mendorong
untuk membuat klien mau berbicara.
Keterampilan mendengar
• Diam pada saat yang tepat, perlihatkan rasa hormat
anda dengan tidak menyela pasien sehingga berhenti
berbicara.
• Klarifikasi apapun yang anda tidak pahami.
• Ulangi apa yang klien telah katakan dengan kata-kata
anda sendiri.
• Refleksikan apa yang baru saja dikatakan klien.
• Rangkum apa yang telah anda dengar dari klien pada
akhir anamnesis
381
Keterampilan memberikan informasi
• Gunakan bahasa sederhana yang dapat dipahami
klien dengan mudah. Hindari bahasa teknis atau
medik.
• Gunakan gambar atau materi cetak lainnya jika
memungkinkan untuk memperjelas apa yang sedang
anda katakan
• Berikan jeda dari waktu ke waktu dan tanyalah
apakah klien paham dengan penjelasan anda
• Ulangi instruksi yang perlu dipahami oleh
pasien/klien
• Minta klien untuk mengulang instruksi
• Tanya klien apakah ia ingin
menanyakan sesuatu
382
• Tidak melakukan tindakan berbahaya, bahkan ketika
pasien meminta anda untuk melakukannya.
• Rawat pasien tanpa ada diskriminasi.
383
Tanggal Tebit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Panduan IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Suatu penilaian fisik lengkap untuk setiap neonatus harus dilakukan
pada awal setiap jadwal tugas jaga (shift). Pastikan anda
mendokumentasikan hasil penilaian dengan baik. Penilaian fisik harus
mencakup:
Tanda vital
Ukuran pertumbuhan
Penilaian sistem
ASI: frekuensi, kelekatan, posisi
Untuk neonatus yang baru masuk ke ruangan, data pasien masuk dan
penilaian usia kehamilan juga harus didokumentasi
PERSIAPKAN Sebelum memeriksa bayi, cucilah tangan dengan sabun dan air bersih
DIRI mengalir kemudian keringkan dengan lap bersih dan kering atau
PEMERIKSA dianginkan. Jangan menyentuh bayi jika tangan anda masih basah dan
dingin.
• Gunakan sarung tangan jika tangan menyentuh bagian tubuh yang
ada darah, menyentuh anus yang terkontaminasi mekonium, tali
pusat, atau memasukkan tangan ke dalam mulut bayi.
• Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir setelah
pemeriksaan kemudian keringkan
• Jaga suhu bayi tetap hangat selama pemeriksaan. Buka hanya
bagian yang akan diperiksa atau diamati dalam waktu singkat untuk
mencegah kehilangan panas.
TANDA VITAL Neonatus yang stabil harus diukur dan dilakukan penilaian sistem
sebelum waktu pemberian asupan.
384
Neonatus yang tidak stabil dan neonatus yang terpasang ventilator
harus diukur tanda vitalnya dan dinilai sistemnya setiap 1-2 jam.
Suhu
• Pengukuran suhu rektum dilakukan hanya satu kali pada saat
neonatus masuk ruangan untuk menyingkirkan kemungkinan
imperforasi anus. Semua pengukuran suhu tubuh selanjutnya harus
dilakukan melalui pengukuran suhu aksila.
• Suhu neonatus normal adalah 36,5oC–37,5oC.
• Neonatus yang ditempatkan di tempat tidur dengan penghangat
(infant warmer/incubator) harus dipasangi termometer probe
kulit dan diobservasi sampai mencapai suhu tubuh yang stabil
385
Denyut jantung
Denyut jantung harus dinilai dengan melakukan auskultasi di dada kiri
setinggi apeks kordis dan menghitungnya selama satu menit penuh
• Untuk neonatus yang stabil, denyut jantung harus diukur dengan
jadwal penanganan setiap shift
• Untuk neonatus yang tidak stabil, denyut jantung harus diukur setiap
jam atau pasang monitor jantung
• Denyut jantung normal pada neonatus adalah 120160 kali per menit
pada saat istirahat. Kontak kulit dengan kulit membantu
menstabilisasi denyut jantung dan membuat neonatus lebih tenang
Frekuensi napas
• Frekuensi napas normal pada neonatus adalah 4060 per menit, dan
tidak ada tarikan dinding dada kedalam yang kuat ketika bayi sedang
tidak menangis.
• Frekuensi napas harus diukur melalui observasi selama satu menit
penuh.
• Untuk neonatus stabil maka harus diukur dengan penanganan
terjadwal setiap shift
• Jika neonatus tidak stabil, maka napas harus dihitung setiap jam.
Tekanan Darah
• Pada saat masuk ruangan, pembacaan tekanan darah harus dilakukan
pada keempat ekstremitas dengan menggunakan alat pengukur
tekanan darah.
• Untuk neonatus yang stabil, tekanan darah harus diukur pada setiap
jadwal tugas jaga (shift)
• Jika neonatus tidak stabil, tekanan darah harus diukur setiap 1-2 jam
386
gangguan sirkulasi yang harus segera ditangani
UKURAN Terdapat tiga komponen ukuran pertumbuhan pada neonatus.
PERTUMBUHAN • Berat badan harus diukur setiap hari.
• Panjang harus diukur pada saat masuk dan setiap minggu
• Lingkar kepala harus diukur pada saat bayi masuk ruangan dan setiap
minggu.
Berat Badan
• Berat badan harus diukur setiap hari, pada waktu yang tetap setiap
harinya, bersama-sama dengan asuhan rutin dan pembersihan
inkubator.
• Berat badan harus diplot pada grafik berat badan pada saat bayi
masuk ruangan dan setiap hari
• Jika berat badan berbeda secara bermakna dari sehari sebelumnya
maka berat badan harus diukur dua kali. Beritahu dokter jika selisih
berat badan tersebut ternyata akurat
• Jika neonatus tidak stabil untuk dipindahkan dan ditimbang, sesuai
perintah dokter untuk tidak menimbang neonatus.
Panjang Badan
• Panjang bayi dari puncak kepala sampai tumit harus diukur pada saat
bayi masuk dan setiap minggu.
• Panjang harus diplot pada grafik panjang bayi setiap minggu.
• Bayi harus berada dalam posisi terlentang ketika kita mengukur
panjang. Hindari menganggu neonatus selama pengukuran.
Lingkar Kepala
• Lingkar kepala harus diukur pada saat bayi masuk ruangan dan setiap
minggu
• Ukurlah kepala bayi dengan menggunakan pita pengukur di
sekeliling bagian paling menonjol dari
tulang occipital dan tulang frontal
387
PENILAIAN Setiap temuan yang abnormal atau tidak biasa harus segera dilaporkan
SISTEM pada dokter.
Penilaian neurologis
• Suatu penilaian neurologis penuh harus dilakukan setiap hari. Untuk
neonatus yang tidak stabil atau neonatus dengan masalah
neurologis, penilaian ini harus dilakukan lebih sering seperti yang
diperintahkan oleh dokter
• Penilaian neurologis harus mencakup parameter pada Tabel
parameter penilaian neurologis neonatus
Tingkat
Letargi, waspada atau tersedasi
Kesadaran
Penilaian pernapasan
• Penilaian harus dilakukan setiap jadwal tugas jaga (shift) atau jika
terdapat perubahan dalam kondisi klinis
• Penilaian pernapasan harus mencakup parameter yang terdapat
pada Tabel parameter penilaian pernapasan neonatus.
388
Tabel 3. Parameter penilaian pernapasan
neonatus
Parameter Komentar
Merah muda, sianotik, pucat, berkabut, kutis
Warna kulit marmorata atau jaundice.
Tidak terlihat usaha keras, merintih, hidung
Pernapasan kembang kempis atau retraksi
Jauh, dangkal, course, stridor, wheezing, atau
Suara napas menghilang, sama atau tidak sama
Dinding dada Pergerakan simetris atau tidak simetris
Penilaian kardiovaskular
• Penilaian kardiovaskuler harus dilakukan setiap jadwal tugas jaga
(shift) atau jika terdapat perubahan kondisi klinis.
• Penilaian kardiovaskuler harus mencakup parameter yang terdapat
pada Tabel parameter penilaian kardiovaskuler.
Penilaian Gastrointestinal
• Penilaian gastrointestinal harus dilakukan setiap hari atau jika
terdapat perubahan dalam kondisi klinis dan harus mencakup
parameter yang terdapat pada Tabel parameter penilaian
gastrointestinal.
389
Tabel 5. Parameter penilaian gastrointestinal
Parameter Komentar
Bising usus Ada, tidak ada, hiperaktif atau hipoaktif
Lingkar abdomen Catat ukuran dalam cm setiap hari
Emesis (atau residual)
Volume dan gambaran
Menyusui
• Frekuensi: neonatus harus diberi ASI sesuai permintan dan selama
tiga hari pertama, menyusui harus dilakukan setiap dua jam
• Posisi: ibu harus berada dalam posisi yang nyaman. Kepala dan
badan neonatus harus berada di satu garis lurus, menghadapi ibu,
dan dekat dengan payudara. Sentuh bibir bayi dengan jari atau
puting dan biarkan mulut bayi terbuka lebar
• Kelekatan: bibir bawah neonatus harus menekuk ke arah bawah luar
dan sebagian besar areola masuk ke mulut bayi. Areola lebih banyak
terlihat di atas mulut neonatus dan dagunya harus menyentuh
payudara.
Sistem lain
Penilaian lain harus diperoleh, sesuai dengan kebutuhan. Contoh:
- Gambaran luka dan pembalutannya
- Gambaran sistem genitourinari
- Gambaran output kolostomi
PENILAIAN Semua bayi yang masuk ke Unit Pelayanan Neonatus harus mempunyai
USIA penilaian usia kehamilan yang lengkap. Jika mungkin, hal ini harus
KEHAMILAN dilakukan satu jam setelah kelahiran dan tidak lebih dari 12 jam setelah
kelahiran. Tujuan penilaian usia kehamilan adalah untuk:
• Bandingkan bayi menurut nilai standar pertumbuhan neonatus
berdasarkan usia kehamilan. Temuan dianggap akurat dengan
kisaran ± 2 minggu.
• Verifikasi perkiraan obstetri untuk usia kehamilan dan identifikasi
bayi kurang bulan, lebih bulan, besar atau kecil untuk usia kehamilan.
390
TEKNIK Perkiraan obstetrik usia kehamilan didasarkan pada tanggal hari pertama
MENILAI USIA haid dan haid terakhir:
KEHAMILAN (H+7), (B-3), (T+1)
Keterangan:
H= hari pertama haid terakhir
B= bulan haid terakhir
T= tahun haid terakhir
Skor Ballard
Penilaian usia kehamilan tidak boleh dilakukan terburu-buru tapi harus
sistematis dan dilakukan saat bayi stabil dan dalam keadaan tenang dan
biasa. Maturitas fisik paling akurat dilakukan segera setelah lahir. Jika
bayi mengalami proses yang sulit selama persalinan dan kelahiran atau
terkena efek obat persalinan, maturitas neurologisnya mungkin tidak
bisa dinilai secara akurat pada waktu ini dan dengan demikian harus
diulang setelah 24 jam.
Jika penilaian neurologis tidak dilakukan, perkiraan usia kehamilan bisa
berdasarkan skor ganda penilaian fisik. Prosedur penilaian harus
dilakukan dengan tepat dan petugas pemeriksa berikutnya harus
mempunyai kesempatan untuk mengkaji prosedur dengan staf yang
lebih berpengalaman
391
USIA • Nama
KEHAMILAN • Usia saat diperiksa
• Waktu pemeriksaan
• Usia kehamilan menurut tanggal dan USG
• Menilai maturitas fisik bayi dan beri tanda “X”
pada kotak dalam formulir yang paling menjelaskan tentang
bayi. Jika pemeriksaan kedua dilakukan, tuliskan “0”
pada kotak yang benar.
• Menilai maturitas neuromuskular bayi dan
tuliskan “X” pada kotak dalam formulir yang
paling menjelaskan tentang bayi. Jika pemeriksaan
kedua dilakukan, tuliskan “0” pada kotak yang benar.
Postur paling baik jika dinilai saat bayi terlentang dan tenang. Amati
fleksi tangan dan kaki, bandingkan dengan angka yang ada pada lembar
kerja dan tuliskan
“X” pada angka yang paling sesuai.
Arm recoil dievaluasi saat bayi terlentang. Pegang kedua tangan bayi
dan lakukan fleksi lengan bagian bawah sejauh mungkin selama 5 detik,
lanjutkan dengan merentangkan kedua lengan lalu lepaskan. Amati
reaksi bayi saat lengan dilepaskan. Bayi yang tangannya tetap terentang
atau gerakannya acak mendapatkan skor 0; fleksi parsial 140-180 derajat
mendapatkan skor 1; fleksi 110-140 derajat mendapatkan skor 2; fleksi
90-100 derajat mendapatkan skor 3; dan kembali ke fleksi penuh dengan
cepat mendapatkan skor 4.
392
sudut di belakang lutut atau sudut popliteal, dengan angka pada lembar
kerja.
393
KLASIFIKASI Kaji dan catat pengukuran fisik berikut ini pada grafik yang ada di
NEONATUS Gambar Klasifikasi Neonatus berdasarkan maturitas dan pertumbuhan
BERDASARKAN intrauterin.
MATURITAS • Nama
DAN • Usia saat pemeriksaan
PERTUMBUHAN • Berat dalam gram
INTRAUTERIN • Panjang dalam sentimeter
• Lingkar kepala dalam sentimeter
394
Gambar9. Klasifikasi neonatus berdasarkanmaturitas danpertumbuhan
intrauterin
395
Gambar 10. Perkiraan usia kehamilan menurut maturitasnya
4.4 Dampak penyakit ibu pada neonatus
396
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen
397
IDENTIFIKASI • Penentuan secara akurat usia kehamilan
DINI KEHAMILAN • Mempromosikan dan diadopsinya perilaku sehat sejak
awal dan menghindari perilaku/paparan yang tidak
sehat.
• Penapisan dini infeksi dan risiko lainnya.
• Meningkatkan kemampuan diagnosis dini dan
perawatan penyakit ibu yang bisa mempengaruhi
kehamilan :
- Anemia
- Malnutrisi ibu
- Kondisi medis ibu yang sudah terjadi sebelum
hamil (hipertensi, diabetes, TB, malaria, infeksi
menular seksual, infeksi saluran kemih)
- Penyakit jantung ibu - Kelainan tiroid
A. Nutrisi Ibu
• Mengevaluasi status nutrisi
▪Kondisi berat badan sebelum hamil
▪Kenaikan berat badan yang optimal (10 – 15 kg)
▪Anemia (Hb 10 gram%)
▪Obesitas (uji tapis hipertensi & diabetes)
▪Defisiensi yodium endemik ( gondok )
▪Evaluasi asupan terutama vitamin
• Rekomendasi
398
▪Asupan yang seimbang
▪Suplementasi Kalsium dan Vit.D (defisiensi yang berat
mungkin berhubungan dengan hipokalsemia pada
neonatus)
▪Asupan asam folat yang mencukupi (dimulai sebelum
kehamilan) mengurangi risiko kelainan tabung syaraf
▪Suplementasi besi yang mencukupi terutama pada
kasus anemia
▪Menghindari Vit.A dosis tinggi (efek teratogenik)
399
▪ dan juga melalui kontak setelah lahir yaitu
Varicella neonatorum.
• HIV
▪ Ditularkan melalui plasenta, selama
proses persalinan dan melalui ASI
▪ Sebagian besar HIV/AIDS pada neonatus
tidak menunjukkan gejala pada periode
neonatus awal meskipun beberapa
diantaranya mengalami PJT
• Hepatitis B
▪ Ditularkan terutama sebagai infeksi yang
masuk melalui ibu dan melalui ASI,
jarang melalui plasenta.
▪ Berkaitan dengan hepatitis kronis
pascanatal, sirosis dan karsinoma
hepatoseluler
Infeksi Non-Virus :
• Neisseria Gonorrhoea
▪ Infeksi yang terjadi pada masa
intrapartum (ascending infection)
▪ Opthalmia neonatorum atau neonatal
conjunctivitis (gejala awal)
• Treponema pallidum (syphilis)
▪ Ditularkan melalui plasenta, di setiap saat
selama kehamilan (dampak paling buruk
jika infeksi dini).
▪ Berkaitan dengan kematian janin, lahir
mati dan syphilis kongenital (lesi kulit
dan selaput mukosa,
hepatosplenomegali, anemia dan
trombositopenia, lesi pada tulang)
• Toxoplasma gondii
▪ Ditularkan melalui plasenta
▪ Infeksi pada trimester awal dapat
mengakibatkan abortus, kematian
janin dalam kandungan, kelahiran
prematur.
400
▪ Bayi dengan toxoplasmosis congenital
menunjukkan gejala: ikterus, chorionitis,
hepatosplenomegali, kejang, hidriosefalus,
mikrosefalus dan retardasi mental, tuli dan
anemia.
C. Penyakit tiroid
• Hipotiroidisme
▪ Dicurigai terjadi pada ibu paska operasi
tiroid, struma, atau Hashimoto Thyroiditis
▪ Dapat menyebabkan lahir mati, PJT,
kelahiran prematur, sindroma hipotiroid
kongenital, diabetes kehamilan, abruption /
solusio plasenta dan preeklamsia.
▪ Indikasi untuk pemberian
Tiroksin
• Hipertiroidisme :
▪ Lebih umum daripada
hipotiroidisme
▪ Harus dicurigai pada kasus dengan gondok
▪ Paling sering disebabkan oleh
penyakit Grave’s
▪ Jika tidak diobati bisa berbahaya bagi ibu
termasuk preeklampsia berat, gagal jantung
dan gangguan irama jantung
▪ Dan pada janin dapat terjadi : abortus,
prematur, PJT dan IUFD.
IDENTIFIKASI A. Preeklampsia
PENYAKIT YANG • Risiko preeklampsia meningkat pada : ▪ Sindrom
DIPERBERAT antifosfolipid
OLEH ▪ Riwayat preeklampsia sebelumnya
KEHAMILAN ▪ Nuliparitas
▪ Usia ibu > 35 tahun
▪ Riwayat keluarga
▪ Penyakit ginjal kronis, hipertensi, dan diabetes
sebelum kehamilan
▪ Kehamilan kembar
401
▪ Obesitas, penyakit jaringan penunjang
▪ Hydrops fetalis
B. Diabetes
• Diabetes sebelum kehamilan :
▪ Diabetes Melitus (DM) pregestasional
merupakan ibu hamil sudah terdiagnosis
diabetes sebelum kehamilan dan berlanjut
selama kehamilan
▪ Angka kematian ibu dengan DM pregestasional
pada kehamilan terutama diinduksi hipertensi,
preeklampsia, partus macet dan distosia bahu 10
▪ Meningkatnya risiko keguguran dan anomali
kongenital jika tidak terkontrol
▪ Penyakit semakin parah jika kasus berlanjut
(komplikasi ginjal dan retina)
• Diabetes kehamilan :
▪ Diabetes melitus gestasional (DMG) merupakan
diabetes atau intoleransi glukosa dengan onset
atau pertama kali terdeteksi pada saat
kehamilan10
▪ Diabetes melitus yang tidak terkontrol selama
kehamilan
402
mengakibatkan peningkatan risiko keguguran
pada trimester pertama, kelainan bawaan
seperti kelainan jantung dan susunan saraf
pusat, peningkatan kematian janin, persalinan
prematur, preeklampsia, ketoasidosis,
polihidramnion, makrosomia, trauma persalinan
khususnya nervus brakhialis, terlambatnya
pematangan paru, sindrom distres pernapasan,
ikterus, hipoglikemia, hipokalsemia serta
peningkatan kematian perinatal11, 12
▪ Ibu yang mengalami diabetes selama kehamilan
setelah diikuti selama 5 tahun berkembang
menjadi DM tipe
2 hingga 60% kasus13
▪ Terjadi pada 2 – 5 % kehamilan
▪ Skrining gula darah dan glukosa urin, dan bila
dicurigai maka dapat dilanjutkan dengan tes
toleransi glukosa pada 18 – 24 minggu
▪ Indikasi untuk tes glukosa urin pada trimester
dua dan tiga
▪ Harus dicurigai pada kasus makrosomia dan
polihidramnion
▪ Meningkatnya kejadian persalinan macet dan
seksio sesaria serta trauma lahir
▪ Jika tidak terkontrol dengan diet, pertimbangkan
insulin
▪ Hipoglikemia / hipokalsemia pada neonatus
403
MEMPERKIRAKAN • Mendiagnosis kasus dengan plasenta previa
KASUS YANG • Mencegah ruptura uteri dengan manajemen aktif kala
BERISIKO III dan suntikan oksitosin
PERDARAHAN • Beberapa faktor risiko terjadinya perdarahan
ANTE DAN postpartum dapat diprediksi saat pemeriksaan
POSTPARTUM antenatal yaitu preeklampsia, riwayat perdarahan
pada kehamilan sebelumnya, kehamilan ganda,
grandemultiparitas
• Mengobati dan memantau kondisi yang berkaitan
dengan solusio plasenta, misalnya :
▪Berusia lanjut
▪Hipertensi
▪Pengguna obat terlarang
404
MEMPERKIRAKAN • Sekitar 30–40% persalinan kurang bulan tidak
TERJADINYA diketahui penyebabnya.
PERSALINAN • Penentu paling kuat terjadinya persalinan kurang
KURANG BULAN bulan adalah kejadian persalinan kurang bulan
DAN BERBAGAI sebelumnya.
RESIKO YANG • Pada 70% kasus persalinan kurang bulan berkaitan
MUNGKIN dengan ketuban pecah dini (KPD).
TERJADI • Kondisi ibu yang berkaitan dengan persalinan kurang
bulan :
▪ Abnormalitas uterus / serviks :
- Malformasi uterus
- Fibroid
- Inkompetensia serviks ▪ Abnormalitas
plasenta :
- Plasenta previa dan solusio plasenta
▪ Penyakit ibu selama kehamilan ;
- Anemia berat, penyakit jantung &
ginjal, hipertensi, diabetes
- Trauma ▪ Infeksi ibu :
- Infeksi saluran kemih
- IMS termasuk HIV
▪ Terpapar terhadap zat : tembakau dan obat-
obatan terlarang
405
menolong persalinan bayi yang memerlukan asuhan
khusus
• Kerjasama seperti ini akan memastikan lingkungan
persalinan yang sesuai dan ketersediaan tenaga
profesional untuk memenuhi kebutuhan neonatus
• Persiapan dan rencana rujukan bayi khusus tetapi
tidak tersedia pada fasilitas pelayanan primer harus
disiapkan jauh hari sebelumnya agar pemilihan
fasilitas dan hasil penanganan rujukan berjalan efektif.
• Peluang bayi untuk tetap hidup akan sangat baik jika
asuhan yang diperlukan tersedia di fasilitas kesehatan
tempat mereka dilahirkan.
• Hasil terbaik bagi ibu dan neonatus tercapai jika
tenaga kesehatan asuhan obstetri dan neonatus
menunjukkan kerjasama dan saling menghargai dan
berdasarkan pada prinsip pengelolaan yang sama.
• Hal ini untuk menghindari akan ” terjadinya
saling menyalahkan ”
• Keberhasilan selalu merupakan hasil pencapaian
bersama
• Tenaga kesehatan asuhan neonatus akan mencapai
hasil yang terbaik jika memiliki sistem pendukung yang
diperlukan untuk membantu mereka melakukan
diagnosis dan perawatan neonatus
• Antisipasi komplikasi neonatus berdasarkan informasi
yang diterima kesehatan ibu akan membantu pemberi
asuhan neonatus untuk mempersiapkan diri dengan
sebaik-baiknya.
406
4.5 Kelainan bawaan yang sering ditemui pada neonatus
407
Hernia diafragmatika: herniasi isi perut ke dalam
rongga toraks melalui defek pada diafragma.
Omfalokel: suatu defek yang menyebabkan usus atau
visera lain menonjol keluar melalui umbilicus (masih
terbungkus selaput)
Gatroskisis: herniasi usus besar dan usus kecil melalui
defek dinding abdomen. Anus imperforata: kelainan
kongenital tidak adanya anus; sering disebut juga atresia
ani. Hipospadia: kelainan urologis yang paling sering
ditemui, dapat bersifat glandular, koronal, anterior,
mid/post penis atau perineal.
Meningomielokel: dilatasi kistik dari meningen yang
terkait dengan spina bifida, dengan atau tanpa defek kulit
di atasnya atau abnormalitas akar saraf.
Spina bifida okulta: celah pada tulang belakang
akibat gagal terbentuk secara utuh, tetapi korda spinalis
dan meningens tidak menonjol.
Dislokasi panggul bawaan: adanya dislokasi pada
tulang panggung akibat pertumbuhan abnormal.
Trisomi 13 (Sindrom Patau): kelainan kongenital
yang ditandai dengan kelebihan kromosom 13.
Trisomi 18 (Sindrom Edward): kelainan kongenital
yang ditandai dengan kelebihan kromosom 18.
Trisomi 21 (Syndrom Down) : kelainan kongenital
yang ditandai dengan kelebihan kromosom 21 yang sering
ditandai adanya kelainan jantung dan saluran cerna.
Sindrom hipotiroid kongenital
TORCH
408
PEMERIKSAAN Celah bibir dan celah langit-langit: Kesulitan
FISIS pemberian asupan serta infeksi paru dan telinga berulang.
Atresia koana:
Tidak dapat lewatnya kateter ke nasofaring melalui kedua
sisi hidung sehingga dapat terjadi gawat napas akibat
penyumbatan saluran napas bagian atas.
Fistula trakeoesofagus:
• Bayi yang terkena akan mengeluarkan banyak lendir
(hipersalivasi) dan batuk serta tersedak pada saat diberi
minum.
• Curigai TEF pada kasus dengan
polihidramnion
• Diagnosis dini sebelum terjadinya pneumonia aspirasi
menjadi penting, karena pneumonia aspirasi akan
memperburuk prognosis.
• Diagnosis dipastikan secara cepat dengan gagalnya
selang nasogastrik melewati esofagus proksimal
Hernia diafragmatika:
• Sering ditemui bersamaan dengan
hidramnion.
• Pada saat lahir dapat terjadi sianosis, gawat napas dan
terlihat abdomen skafoid.
• Suara napas pada sisi yang terkena dapat menurun atau
tidak terdengar
• Dapat terjadi masalah pemberian asupan dan gawat
napas ringan
Omfalokel:
Tampak herniasi usus dan pada sejumlah kasus, hati, di
dalam tali pusat.
Gastroskisis:
Tampak herniasi usus besar dan usus kecil melalui defek
dinding abdomen.
409
Anus imperforata:
Pada fistula rendah dapat menyebabkan keluarnya
mekonium melalui vagina atau skrotum, sedangkan fistula
rektovesikal tinggi ditandai dengan terdapatnya
mekonium dalam urine
Hipospadia:
Penis melengkung (korda), defisiensi prepusium ventral,
lubang meatus abnormal, dapat juga disertai testis yang
tidak turun (undescended testis) dan hernia.
Meningomielokel:
• Berbagai derajat defisit motorik dan sensoris terdapat di
bawah ketinggian lesi.
• Kelainan lain anus yang tetap terbuka (patulous),
paralisis kedua ekstremitas bawah dan kelainan bentuk
kaki.
• Hidrosefalus
410
▪ Bentuk dan letak telinga abnormal (low set ears)
▪ Kelainan jantung bawaan
▪ Tangan menggenggam (clenched hand)
▪ Rocker bottom feet
Hernia diafragmatika:
• Diagnosis pranatal dengan USG (ICD 9 CM: 88.76)
• Rontgen dada akan memperlihatkan gambaran usus
dalam rongga dada (ICD 9 CM: 87.44)
Anus imperforata:
• Rontgen dalam posisi knee chest (ICD 9 CM: 87.44)
• USG dapat mendeteksi ketinggian rektum distal (ICD 9
CM: 88.76)
Meningomielokel:
• Rontgen (ICD 9 CM: 87.2)
• CT Scan (ICD 9 CM: 87.03)
• USG (ICD 9 CM: 88.71)
411
Trisomi 13 (Sindrom Patau):
Pemeriksaan kromosom (ICD 9 CM : V82.79)
Trisomi 18 (Sindrom Edward):
Pemeriksaan kromosom (ICD 9 CM : V82.79)
DIAGNOSIS KERJA • Cleft palate and cleft lip (ICD 10: Q35Q37)
• Choanal atresia (ICD 10: Q30.0)
• Atresia of oesophagus without fistula (ICD 10:
Q39.0)
• Atresia of oesophagus with
tracheooesophageal fistula (ICD 10: Q39.1)
• Congenital diaphragmatic hernia (ICD 10:
Q79.0)
• Exomphalos (ICD 10: Q79.2)
• Gastroschisis (ICD 10: Q79.3)
• Congenital absence, atresia and stenosis of
anus without fistula (ICD 10: Q42.3)
• Hypospadias (ICD 10: Q54)
• Spina bifida (ICD 10: Q05)
• Congenital deformities of hip (ICD 10:
Q65)
Atresia koana:
412
• Jika bilateral, segera diperlukan jalan napas melalui
oral
• Koreksi melalui pembedahan sesegera mungkin
Fistula trakeoesofagus:
• Rujuk ke tempat yang mempunyai fasilitas bedah anak
• Posisikan pada posisi tegak 30o
• Isap faring posterior dan saluran napas atas
• Berikan oksigen
Hernia diafragmatika:
• Ventilasi dengan menggunakan balon dan sungkup
(kantung dan masker) merupakan kontraindikasi
karena akan menyebabkan lebih banyak udara masuk
sehingga akan menkompresi paru
• Pembedahan
Omfalokel:
Harus dilakukan pembedahan sesegera mungkin untuk
menghindari terjadinya peritonitis
Gastroskisis:
Pembedahan
Anus imperforata:
Kolostomi sementara pada neonatus dengan anus
imperforata letak tinggi dengan atau tanpa fistula
Hipospadia:
Pembedahan usia 2 tahun
Meningomielokel:
Pembedahan
413
EDUKASI Hindari faktor risiko terjadinya kelainan bawaan
Kenali tanda dan gejala awal adanya kelainan bawaan pada
bayi
TRAUMA LAHIR
(ICD 10: P10-P15)
414
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
Sefalhematoma
• Perdarahan terbatas pada garis sutura
• Kulit kepala diatasnya tidak mengalami diskolorasi
• Pembengkakan mungkin timbul beberapa jam atau
hari setelah lahir
• Hilang setelah 2 minggu sampai 3 bulan
Perdarahan intrakranial
• Presentasi tanpa gejala bisa terjadi hingga 50% kasus
• Tanda kehilangan darah antara lain syok, pucat,
gawat napas, DIC dan ikterus
• Tanda disfungsi neurologis
• Fontanela anterior menonjol
• Hipotonia lemah, kejang
• Suhu tidak stabil
416
• Apnea
Fraktur klavikula
• Menurunnya gerakan lengan ipsilateral
• Nyeri saat pergerakan pasif
• Nyeri, krepitasi pada klavikula
• Tidak adanya refleks Moro pada bagian yang terkena
• Kalus bisa dipalpasi pada usia 7-10 hari
Brakial palsi
• Bayi yang terkena biasanya besar dan mengalami
asfiksia.
• Lengan yang terkena biasanya mengalami aduksi,
rotasi internal, memanjang di bagian siku, pronasi
lengan, dan fleksi di bagian pergelangan tangan.
Cedera intraabdomen
• Riwayat persalinan yang sulit
• Manifestasi mendadak termasuk syok dan distensi
abdomen
• Gejala yang mengindikasikan awitan lanjut termasuk
ikterus, pucat, asupan minum yang buruk, takipnea
dan takikardia
Fraktur klavikula
Rontgen klavikula (ICD 9 CM: 87.43)
417
Paralisis saraf frenikus
Pemeriksaan radiologis meningkatnya lengkungan
diafragma (seperti kubah) (ICD
9 CM: 87.49)
Cedera intraabdomen
USG abdomen (ICD 9 CM: 88.76)
Sefalhematoma
• Tidak perlu perawatan untuk
sefalhematoma tanpa komplikasi
• Insisi atau aspirasi merupakan
kontraindikasi (risiko infeksi)
• Transfusi darah dilakukan jika berkembang menjadi
anemia berat
• Hiperbilirubinemia yang signifikan mungkin
memerlukan terapi sinar atau bahkan transfusi tukar
tergantung pada kadar bilirubin
418
Perdarahan intrakranial
• Hindari manipulasi yang tidak perlu
• Berikan pengembang volume perlahanlahan (albumin,
plasma dan darah)
• Vitamin K1 harus diberikan jika sudah diidentifikasi
adanya kegagalan koagulasi
• Tatalaksana kejang dan hiperbilirubinemia (jika ada)
Fraktur klavikula
Lengan dan bahu yang terkena tidak dimobilisasi selama 7-
10 hari.
Brakial palsi
• Imobilisasi parsial ekstremitas yang terkena selama 1-2
minggu pada posisi yang berseberangan
• Masase lembut dan latihan pasif setelah 1-2 minggu
dan teruskan hingga 3 bulan.
• Jika tidak ada peningkatan, rujuk ke dokter bedah
untuk mencari kemungkinan dilakukannya intervensi.
Cedera intraabdomen
Mungkin perlu laparotomi pada kasus cedera hati atau
limpa
RESUSITASI NEONATUS
419
No. Dokumen No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi
2018
LANGKAH UNTUK • Penilaian merupakan salah satu bagian penting dalam resusitasi
KEBERHASILAN neonatus yang perlu dipahami oleh setiap penolong. Tahapan
RESUSITASI ini akan menentukan langkah serta tindakan resusitasi
selanjutnya. Penilaian harus dilakukan segera setelah bayi
lahir dan berlanjut sepanjang resusitasi
420
• Jangan menunggu nilai Apgar satu menit untuk memulai
resusitasi. Semakin lambat anda memulai, akan semakin sulit
melakukan resusitasi
• Semua petugas yang terlibat dalam persalinan harus:
- Memiliki kompetensi melakukan
resusitasi neonatus
- Mampu bekerja efisien
- Dapat bekerja sebagai tim. Tim resusitasi bayi baru
lahir terdiri dari tiga orang, namun apabila adanya
keterbatasan tenaga penolong maka tim resusitasi
dapat berjumlah minimal dua orang. Pembagian tugas
setiap anggota tim harus jelas pada saat menolong
kelahiran bayi baru lahir.
• Orang pertama yang disebut dengan leader / pemimpin tim
yaitu orang yang dianggap paling terampil dan mampu
memberikan instruksi pada anggota tim lainnya. Pemimpin
tim berdiri tepat di sisi kepala bayi. Tanggung jawab utama
pemimpin tim adalah terkait dengan airway dan
breathing.
• Orang kedua (Asisten Circulation) bertanggung jawab
terhadap sirkulasi bayi. Orang ketiga (Asisten Drug and
Equipment) bertanggung jawab terhadap penyiapan alat –
alat resusitasi, penyiapan obat – obatan dan cairan,
mengukur suhu, pemasangan monitor suhu dan alat lainnya.
• Semua peralatan yang diperlukan harus tersedia dan
berfungsi baik.
421
• Cek alat pengisap lendir, oksigen, sungkup wajah dengan
ukuran yang sesuai serta balon resusitasi/ T piece
resucitator.
• Siapkan pipa endotrakeal (ET) dengan berbagai ukuran
• Siapkan obat-obatan, kateter umbilikal dan sebuah meja
tindakan.
422
Bila terdapat mekonium dan bayi tidak bugar, lakukan
pengisapan, dengan menggunakan suction kateter no 10-12
• Keringkan, stimulasi, dan reposisi kepala.
• Tindakan yang dilakukan sejak bayi lahir sampai reposisi
kepala dilakukan secepatnya
• Menilai pernapasan
• Jika bayi mulai bernapas secara teratur dan memadai, periksa
denyut jantung. Jika denyut jantung >100 kali/menit dan bayi
tidak mengalami sianosis, hentikan resusitasi. Tetapi jika
sianosis ditemui, berikan oksigen aliran bebas.
423
• Intubasi endotrakeal diperlukan jika bayi tidak berespon
terhadap VTP dengan menggunakan balon dan sungkup.
Kemudian lanjutkan VTP.
Kompresi Dada
• Jika denyut jantung masih <60 kali/menit setelah 30 detik VTP
yang efektif, kompresi dada harus dimulai.
• Bila melakukan kompresi dada, bayi lebih dahulu di intubasi
dan oksigen dinaikan menjadi 100%
• Kompresi dilakukan pada sternum di proksimal dari
proc.xipoideus, jangan menekan/di atas xifoid. Kedua ibu jari
petugas yang meresusitasi digunakan untuk menekan
sternum sementara jari-jari lain mengelilingi dada; atau jari
tengah dan telunjuk dari satu tangan dapat digunakan untuk
kompresi sementara tangan lain menahan punggung bayi.
Sternum dikompresi sedalam 1/3 tebal antero-posterior dada.
• Kompresi dada diselingi ventilasi secara simultan
terkoordinasi dengan rasio 3:1. Kecepatan kombinasi kegiatan
tersebut harus 120/menit (yaitu 90 kompresi dan 30
ventilasi). Jadi dalam 60 detik, dilakukan 15 siklus yaitu 45
kompresi dan 15 ventilasi dengan rasio 3:1. Setelah 60 detik,
evaluasi respon. Jika denyut jantung >60 denyut/menit,
kompresi dada dapat dihentikan dan VTP dilanjutkan hingga
denyut jantung mencapai 100 kali/menit dan bayi bernapas
efektif.
• Terkadang, walaupun paru sudah terventilasi dengan baik
(melalui ventilasi tekanan positif) dan curah jantung membaik
(melalui kompresi dada), sejumlah kecil bayi baru lahir
(kurang dari 2 per 1000 kelahiran) masih memiliki frekuensi
denyut jantung di bawah 60 x/menit. Otot jantung bayi
dengan kondisi seperti ini telah mengalami hipoksia terlalu
lama sehingga gagal berkontraksi secara efektif walau telah
mendapat perfusi dengan darah beroksigen.
• Untuk bayi dengan kondisi demikian, harus berlanjut kepada
tahap selanjutnya dalam resusitasi, yaitu Drugs atau
pemberian obat – obatan
424
PEMBERIAN OBAT Epinefrin
• Epinefrin harus diberikan jika denyut jantung tetap <60
kali/menit setelah 30 detik VTP efektif dan 30 detik lagi VTP
efektif dan kompresi dada. Dosis epinefrin adalah 0,1-0,3
mL/kg berat badan larutan 1:10.000 secara intravena, melalui
vena umbilikal. Bila diberikan melalui pipa endotrakeal, dosis
adalah 0,3-1,0 mL/kg berat badan.
Pelaksanaan
• Cuci tangan dengan desinfektan dan menggunakan sarung
tangan steril
• Lihat kondisi pasien dan keperluan pasien dalam terapi
• Isi lebih dahulu kateter ukuran 3.5F atau 5F yang telah
disambung dengan semprit dan stopcock dengan garam
fisiologis.
• Pasang sebuah keran-3-arah (3-way-
stoppcock) steril dan semprit pada kateter 5 FG dan isi
dengan saline normal, lalu tutup keran untuk mencegah
masuknya udara (yang dapat mengakibatkan emboli udara)
• Bersihkan umbilikus dan kulit sekelilingnya dengan larutan
antiseptik, lalu ikat benang mengelilingi dasar umbilikus.
Ikatan ini dapat dikencangkan bila terjadi perdarahan hebat
saat memotong tali pusat
• Potong umbilikus 1-2 cm dari dasar dengan pisau steril.
Tentukan vena umbilikus (pembuluh yang menganga lebar)
dan arteri umbilikus (dua pembuluh berdinding tebal). Pegang
umbilikus (yang dekat dengan
pembuluh vena) dengan forseps steril
425
• Tekan ringan bila ada perdarahan, bersihkan dan asepsis
kembali
• Pegang bagian dekat ujung kateter dengan forseps steril dan
masukkan kateter ke dalam vena (kateter harus dapat
menembus dengan mudah) sepanjang 4-6 cm. Alur vena akan
menuju ke atas, ke arah jantung. Tarik darah sehingga
mengalir dengan mudah ketika membuka stopcock ke arah
semprit dan menghisap secara perlahan
• Periksa kateter tidak menekuk dan darah mengalir balik
dengan mudah; bila ada sumbatan tarik pelan-pelan umbilikus,
tarik ke belakang sebagian kateter dan masukkan kembali
• Kaji jangan sampai ada udara di selang infus dan tutup ujung
set
• Masukkan obat-obatan atau cairan fisiologis
• Bila sudah didapatkan perbaikan denyut jantung, kateter
segera dilepas
• Asepsis kembali area pemasangan kateter umbilikal
Obat Lain
• Tatalaksana pada syok hipovolemik meliputi pemberian
cairan kristaloid dan/atau produk darah (packed red cell/
PRC atau whole blood) guna meningkatkan volume
intravaskular. Cairan kristaloid yang umum digunakan adalah
larutan salin normal atau ringer laktat. Apabila tidak terdapat
kehilangan darah akut, cairan kristaloid tersebut diberikan 10
mL/kg/kali secara intravena, intraoseus, atau melalui kateter
vena umbilikal dalam waktu 1530 menit (pemberian dalam
waktu singkat sesuai kondisi bayi). Hati-hati pemberian bolus
pada bayi premature sebaiknya diberikan lebih dari 20 menit.
Bolus cairan dapat diberikan dua kali atau lebih pada kasus
syok berat. Jika terdapat kehilangan darah kronik, beberapa
bayi dalam keadaan syok berat tidak dapat mentoleransi
pemberian cairan penambah volume secara cepat. Pada
kehilangan darah akut, cairan kristaloid dapat diberikan sambil
menunggu transfusi produk darah. Cairan
426
diberikan sebanyak 10 mL/kg/kali secara intravena,
intraoseus, atau melalui kateter vena umbilikal selama 30
menit-2 jam (dapat lebih cepat tergantung kondisi bayi).
Respons bayi (laju denyut jantung, perfusi, dan tekanan
darah) harus senantiasa dinilai pada akhir pemberian bolus
sehingga dapat diputuskan pemberian bolus selanjutnya.
• Nalokson hidroklorida diberikan kepada bayi dengan keadaan
sebagai berikut. Depresi pernapasan memanjang pada bayi
dari ibu yang mendapat anestesi narkotik dalam waktu 4 jam
sebelum persalinan, sudah dilakukan langkah resusitasi, dan
frekuensi denyut jantung dan warna bayi normal. Nalokson
merupakan kontraindikasi bagi bayi yang ibunya pecandu
narkotika. Nalokson tidak dianjurkan diberikan di Kamar
Bersalin pada resusitasi awal.
Termoregulasi
• Suhu ruangan 24-26⁰C
• Topi bayi yang sudah dihangatkan
• Kain bedong 3 lapis (kain pengering) yang sudah dihangatkan
• Plastik (untuk bayi BB <1500 gram) 2 buah
• Infant warmer dinyalakan dengan suhu 34⁰C
• Inkubator transport dinyalakan dengan suhu
37⁰C
Airway
• Suction keteter 5F atau 6F, 8F, 10F, 12F atau 14F
• Sungkup berbagai ukuran (35 mm, 42 mm, 50 mm, 60 mm)
• Laringoskop (lampu menyala) dengan blade lurus ukuran:
00 : bayi sangat prematur (<1000 gram)
0 : bayi prematur
427
1 : bayi cukup bulan (> 4 kg)
• Laryngeal Mask Airway (LMA) ukuran no. 1
• Pipa Endotrakeal nomor 2; 2,5; 3,0; 3,5; 4
• Stilet dan Magyll
• Plester
• Gunting steril
• Benang Kasur
Breathing
• Self Inflating Bag (ambung® untuk neonatus)
• PEEP valve + connector
• Tabung Oksigen (sudah diisi penuh)
• T-piece resuscitator (sudah diatur tekanan 2530/ 5)
• Jackson Rees (*jika tidak ada T-piece
resuscitator)
428
* Intubasi ET dapat dilakukan pada beberapa tahap resusitasi ini
Gambar 11. Algoritma resusitasi neonatus
4.8 Pedoman stabilisasi neonatus
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
429
Tanggal Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA
Panduan
PP IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Sebagian bayi baru lahir mempunyai keterbatasan adaptasi terhadap
lingkungan ekstrauterin. Keterbatasan tersebut dapat diakibatkan
faktor imaturitas, kelainan bawaan atau kondisi yang terjadi sebelum
persalinan, misalnya gawat janin, ketuban pecah sebelum waktunya,
ibu infeksi, ibu DM, ibu preeklamsia, dan sebagainya.
430
- Stabilisasi suhu (Thermoregulation)
- Stabilisasi jalan nafas (Airway)
- Stabilisasi sirkulasi (Blood Pressure)
- Skrining infeksi (Laboratory)
- Etika dan dukungan emosi pada keluarga
(Emotional Support)
HAL YANG • Persiapan alat dan panggil bantuan sebelum bayi dilahirkan.
HARUS Penting penolong persalinan mempunyai komunikasi kerja yang
DILAKUKAN baik.
BILA BAYI • Persetujuan tindakan medik dilakukan oleh suami atau pihak
LAHIR DI keluarga. Di dalam persetujuan tindakan medik, sebaiknya
FASILITAS mencakup penanganan medis 3 hal, yaitu tindakan resusitasi,
TERBATAS stabilisasi, dan rujukan.
431
bayi ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap peralatannya dan
relatif terjangkau.
Skema Alur persiapan dan komunikasi proses rujukan bayi baru lahir :
432
BEBERAPA HAL • Daftar tilik persiapan transportasi
YANG HARUS • Persetujuan orangtua, pemberian informasi tentang komplikasi
DILAKUKAN neonatus dan perencanaan awal
SEBELUM • Persiapan bayi
MERUJUK
BAYI: • Gelang identitas (nama, nomor rekam medis, tanggal lahir< jenis
kelamin)
• Non-rebreathing mask (NRM)
• Oro/Naso Gastric Tube (OGT/NGT) ukuran 6-8F
• Akses intravena perifer terfiksasi dan diberikan cairan rumatan
(D10%)
• Kateter vena umbilikal yang telah terfiksasi (bila membutuhkan
infus lebih dari 1, pada bayi dengan keadaan umum buruk)
• Semua jalur intravena diberi label
• Antibiotik intravena, jika memungkinkan telah dilakukan kultur
darah sebelumnya.
• Pemantauan berkelanjutan
• Pemberian antinyeri intravena (morfin 0,05-0,1 mg/kg( atau oral (1-
2 Expressed breast milk atau 0,25 ml sukrosa)
• Inisiasi perkembangan saraf (posisi, pecahayaan, dan reduksi bising)
• Dokumentasi pendukung (surat rujukan, catatan keperawatan,
catatan
• observasi, rekam medis, catatan administrasi cairan, hasil patologi
anatomi, riwayat obstetrik, pilihan ibu dalam pemberian asupan
ASI/susu formula, kontak orangtua.
• Keperluan tambahan (X-ray, skrining bayi baru lahir, spesimen yang
telah duambil, kontak RS)
Stabilisasi medik:
1. Menghangatkan, mengeringkan, serta menutup badan bayi dan
ekstremitas yang bebas dari akses intravena serta memasang
tutup kepala. Bila tidak ada inkubator transpor, segera gunakan
metode kanguru. Pilihan pertama Perawatan Metode Kangguru
(PMK) adalah dengan ibunya bila kondisi ibu memungkinkan
karena ibu yang baru melahirkan mempunyai suhu tubuh yang
lebih tinggi terutama di kedua belah payudara akibat tingginya
aliran darah di payudara tersebut. Sentuhan bayi dengan ibu
secara langsung akan
433
memperkuat ikatan psikologis dan diyakini dapat meningkatkan
produksi ASI ibu. Bila kondisi ibu tidak memungkinkan, PMK dapat
dilakukan oleh suaminya atau pihak keluarga lainnya. Perlu diingat
pada bayi dengan Hypoxic Ischaemic Encephalopathy (HIE)
metode kanguru tidak dianjurkan.
434
5. Bila waktu yang diperlukan untuk sampai di tempat rujukan lebih
dari 3 jam pada bayi dengan risiko infeksi, pertimbangkan
memberikan suntikan antibiotik spektrum luas terlebih dahulu,
yaitu dengan memberikan kombinasi ampisilin (100 mg/kgBB/hari
2 dosis) dan bila sudah ada diuresis dapat diberikan gentamisin (5
mg/kgBB/hari 1 dosis). Pertimbangkan pemberian fenobarbital
dosis bolus 20 mg/kgBB untuk 1 kali pemberian, diberikan selama
30 menit pada bayi dengan kecurigaan kejang atau dengan risiko
tinggi kejang.
435
KONTROL Tidak semua ibu hamil dan melahirkan selalu diperiksa status hepatitis
INFEKSI B dan HIV. Selain itu, pada ibu yang terinfeksi baik oleh Hepatitis B
SELAMA atau HIV tidak memberikan manifestasi klinis. Dengan demikian, dalam
PROSES melakukan tindakan medis atau perawatan senantiasa mencegah
STABILISASI terjadi kontak langsung antara cairan tubuh bayi dan tenaga
medis/paramedis.
EVALUASI • Bila bayi dipasang sungkup laring, jangan lupa meniupkan udara 4
BEBERAPA mL melalui semprit untuk menggembungkan sungkup wajah laring.
ASPEK • Bila terpasang vena umbilikalis, amati ukuran kateter yang berada
KEAMAAN di permukaan umbilikus apakah masih sesuai dengan ukuran yang
PASIEN sudah ditentukan sebelumnya dan apakah kateter telah terfiksasi
SEBELUM dengan baik.
DIRUJUK • Evaluasi kemungkinan infus bengkak
436
• Bayi dengan sumbatan saluran cerna, INGAT pemasangan CPAP
tidak boleh diberikan, demikian juga pada bayi dengan sumbatan
saluran cerna yang belum dapat dipastikan, namun terdapat
riwayat kehamilan dengan polihidramnion. Lebih dari 60% bayi
dengan sindrom Down mengalami sumbatan saluran cerna bagian
atas
(stenosis/atresia duodenum), Bila pada bayi tersebut didapatkan
CPAP Belly syndrome sebaiknya CPAP segera dilepas dan cari
bantuan untuk intubasi
• Pada fasilitas dengan ketersediaan blender oksigen dan pengukur
saturasi oksigen (oksimeter), amati saturasi oksigen agar tidak
memberikan secara berlebihan dengan menetapkan saturasi
oksigen di atas 90–95% pada bayi kurang bulan dan cukup bulan.
Kecuali pada bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) range
saturasi oksigen ideal belum diketahui karena dipengaruhi usia
gestasi, usia kronologis, penyakit dasar dan status transfusi.
Dianjurkan selalu menggunakan batas alarm untuk menghindari
terjadinya hipoksia maupun hiperoksia.
• Jangan lupa memuasakan bayi selama proses stabilisasi atau
selama merujuk. Pada stabilisasi di ruang perawatan, keputusan
memberikan minum harus dengan evaluasi beberapa aspek
TRANSPORTASI NEONATUS
437
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen
438
INDIKASI • Gawat napas karena penyebab apapun (misalnya
TRANSPORTASI aspirasi mekonium, pnemonia neonatorum,
NEONATUS sindroma gawat napas) di fasilitas yang tidak
memiliki kemampuan untuk memantau terapi
oksigen dan gas darah arteri, dan tanpa kemampuan
memberikan bantuan ventilasi
• Kondisi bedah
• Berat lahir rendah
• Dicurigai penyakit jantung kongenital
• Komplikasi persalinan yang signifikan
• Hipoglikemia yang berulang
• Ensefalopati hipoksik iskemik
• Sepsis dan tanda-tanda infeksi sistemik
• Perdarahan aktif
• Kuning yang memerlukan transfuse tukar
• Gagal jantung atau disritmia
• Dicurigai kelainan metabolik
• Abnormalitas elektrolit berat
• Perlu pemeriksaan diagnostic lebih lanjut atau terapi
lanjutan
Control
- Kemampuan Tim ( harus terlatih, memiliki
sertifikasi pelatihan resusitasi dan stable)
- Kelengkapan alat
Communication
- Internal (diantara tim) : Checklist preparation
439
- Eksternal (ke rumah sakit rujukan) : Komunikasi
langsung, catatan rekam medis dan surat rujukan
- Keluarga (baksoku) : menerangkan kondisi pasien
pada keluarga, informed consent
Evaluation
- Klinis pasien harus Warm, Pink and sweet
sebelum dan selama transportasi serta saat tiba
ditempat rujukan
Preparation
- Persiapan rujukan yang dinilai melalui checklist
proses transportasi
(SDM, Kelengkapan medis,
kendaraan, pasien
Transportation
- Pasien siap diberangkatkan ketempat rujukan
dengan kendaraan yang memenuhi syarat
440
• Identitas dan tanggal lahir bayi
• Identitas ayah dan ibu bayi
• Riwayat pranatal
• Catatan persalinan dan kelahiran
• Catatan resusitasi neonatus
• Skor Apgar
• Usia kehamilan dan berat badan saat lahir
• Tanda vital: suhu, frekuensi denyut
jantung (FJ), frekuensi napas, Waktu pengisian
ulang kapiler (CRT) dan tekanan darah (jika
ada)
• Persyaratan pendukung oksigen / ventilasi
• Data laboratorium yang sudah ada: misalnya
glukosa, kalsium, hematokrit, penentuan gas
darah
• Akses vaskular.
441
- Konsentrasi oksigen yang diisap
- Saturasi oksigen
- Sistem pemberian oksigen
(tabung,regulator, dan selang), alat CPAP
- EKG (bila tersedia)
• Perlengkapan intubasi
- Laringoskop (bilah lurus ukuran 0 dan 1)
- Bola lampu dan baterai cadangan untuk
laringoskop
- Pipa endotrakeal (diameter internal ukuran 2,5, 3
dan 3.5 mm)
- Balon dan sungkup (sungkup yang
tepinya dari bahan lunak)
• Perlengkapan lain:
- Stetoskop
- Sarung tangan steril
- Oral airways (ukuran 0 dan 00)
442
• Perlengkapan bantuan ventilasi (jika ada)
KEGIATAN TIM Tim transportasi akan menilai kondisi neonatus dengan
TRANSPORTASI melakukan pemeriksaan fisik, hasil x-ray dan/atau hasil
DI RUMAH SAKIT laboratorium dan mengukur tanda vital, kadar glukosa
YANG MERUJUK darah dan gas darah sesuai kondisi. Mungkin diperlukan
akses ke laboratorium dan x-ray. Suhu tubuh neonatus
harus dipertahankan selama prosedur berlangsung.
443
• Lakukan pemeriksaan fisik dengan penekanan pada
hal berikut:
- Tanda gawat napas
- Perfusi
- Murmur
- Tingkat aktivitas dan pengkajian neurologis
(refleks, tonus)
• Data laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap
- Analisis gas darah
- Kultur darah
- Elektrolit
- Kadar glukosa darah - X-ray
Sistem kardiovaskuler
• Syok dan hipovolemia diatasi dengan cairan isotonik
bolus (10 cc/kg) hingga 3 kali jika perlu. Jika tidak
efektif, pertimbangkan penggunaan inotropik
(dopamin/dobutamin).
444
Mempertahankan cairan dan glukosa
• <1.000 gram atau 28 minggu: gunakan D5W (atau
D10W) 100 cc/kg/hari
• >1.000 gram atau 28 minggu: gunakan D10W 80
cc/kg/hari
Penyakit menular
• Pastikan melakukan pemeriksaan darah lengkap
dengan hitung jenis dan kultur darah sebelum
memulai antibiotik.
• Antibiotik harus dimulai sebelum transportasi
dilakukan.
• Patogen bakteri neonatus yang paling sering
ditemukan adalah GBS, E. coli dan Listeria, sehingga
antibiotik yang biasa digunakan adalah ampisillin dan
gentamisin
446
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
447
- Penyakit jantung
- Penyakit vaskuler kolagen
- Infeksi
- Isoimunisasi
- Ketergantungan terhadap obat
- Kondisi obstetrik
- Solusio placenta
- Plasenta previa
- Tali pusat menumbung/prolaps tali pusat
- Ketuban pecah dini (KPD)
- Tidak memadainya plasenta
- Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT)
- Polihidramnion
- Kehamilan kembar/gemeli
- Kondisi intrapartum
- Presentasi abnormal/malpresentasi
- Partus presipitatus atau memanjang
- Distosia atau persalinan sulit
- Kehamilan lewat waktu/postmatur
- Kondisi postpartum
- Kelahiran kurang bulan
- Respiratory Distress Syndrome (RDS)
- Meconium Aspiration Syndrome (MAS)
- Sepsis
- Pneumonia
- Penyakit hemolitik
- Kelainan jantung atau paru
PEMERIKSAAN • HIE Tingkat I (ringan)
FISIS • Periode letargi dan iritabilitas, kewaspadaan
berlebihan dan jitteriness berselang seling
• Kemampuan minum yang buruk
• Tonus otot meningkat, refleks tendon dalam
berlebihan, refleks Moro berlebihan dan/atau
spontan
• Eksitasi simpatik terbukti oleh peningkatan denyut
jantung dan pupil mengalami dilatasi
• Tidak ada aktivitas kejang
• Gejala hilang dalam 24 jam
448
• Pemberian minum buruk, refleks gag tertekan
• Hipotonia
• Denyut jantung menurun dan konstriksi pupil
yang menunjukkan stimulasi parasimpatik
• 50-70% bayi memperlihatkan kejang, biasanya
dalam waktu 24 jam setelah kelahiran
• ↓ Glukosa
• ↓ Natrium
• ↓ TD
• Sekresi ADH yang tidak memadai
449
PEMERIKSAAN • Hitung darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
PENUNJANG • Glukosa darah (ICD 9 CM: 90.5)
• BUN dan kreatinin (ICD 9 CM: 90.5)
• Elektrolit darah, kalsium, fosforis, dan magnesium (ICD
9 CM: 90.5)
• Enzim hati (AST/ALT) (ICD 9 CM: 90.5)
• Analisis gas darah (ICD 9 CM: 89.65)
• Analisis urin dan jumlah urin (ICD 9 CM: 91.3)
• Pungsi lumbal mungkin perlu
dipertimbangkan (ICD 9 CM: 90.0)
• USG kepala (ICD 9 CM: 88.71)
• EEG, CT-Scan, dan MRI jika ada indikasi dan tersedia
(ICD 9 CM: 89.14, 87.03, dan 88.91)
450
• Mengkoreksi dan mempertahankan elektrolit, cairan
dan glukosa
• Mengoreksi hipovolemia
• Menghindari kelebihan cairan, hipertensi dan
hiperviskositas
• Mengobati kejang
- Fenobarbital loading dose 20 mg/kgBB. naikkan 5-10
mg/kgBB atau langsung 10-20 mg/kgBB sampai
kejang terkontrol atau dosis maksimal 40 mg/kgBB
tercapai. Jika kejang berhenti, pertahankan pada
dosis rumatan 3-5 mg/kg/hari dibagi 1-2 dosis, 24
jam setelah loading dose
- Jika kejang tidak dikontrol oleh dosis fenobarbital
maksimal yang diperbolehkan, tambahkan fenitoin
20 mg/kgBB diberikan dengan kecepatan 1
mg/kgBB/menit. Dilanjutkan dengan pemberian
dosis rumatan 24 jam kemudian dengan dosis 5-10
mg/kg/hari, diberikan setiap 8 jam dalam dosis
terbagi rata.
- Jika kejang masih tidak teratasi dapat dilanjutkan
dengan pemberian midazolam 0,15 mg/kgBB
dilanjutkan dosis rumatan 1 mikrogram/kgBB/menit
dan dinaikkan 0,5-1 mikrogram/kgBB/menit sampai
dosis maksimal 18 mikrogram/kgbb/menit
- Alternatif lain jika anda berada di RS dengan fasilitas
lengkap dapat menggunakan algoritma tahun 2013.
Terapi hipotermia
• Dilaksanakan pada neonatus aterm (3637 minggu)
sebelum usia 6 jam dan memenuhi kriteria HIE
• Saat merujuk dipertahankan suhu 34°C–35°C (bila
suhu di atas 35°C dipertimbangkan membuka pintu
transport inkubator atau menurunkan suhu
inkubator transport)
451
PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Malam
Ad sanationam: Dubia Malam
Ad fungsionam: Dubia Malam
DAFTAR RUJUKAN Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR. 45
Chalak L, Kaiser J. 49
452
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
453
6. Inborn Errors of Metabolism: kelainan
metabolisme asam amino, defek siklus urea,
defisiensi Glucose Transporter-1 (GLUT-1)
7. Developmental Malformations: disgenesis
serebral, sindrom neurokutaneus
8. Kejang disebabkan obat-obatan: Withdrawal of
narcotic analgesic, intoksikasi anestesi lokal
9. Sindrom epilepsi neonates
454
Kejang Tonik Fokal
• Terlihat dari postur asimetris dari salah satu
ekstremitas atau batang tubuh atau kepala tonik
atau deviasi mata.
• Sebagian besar kejang tonik terjadi bersama
dengan difusi penyakit sistem syaraf pusat dan
perdarahan intraventrikular.
Kejang Klonik
• Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang
perlahan dan berirama (1-3 /menit).
Penyebabnya mungkin berasal dari satu titik atau
multi-fokal.
• Setiap gerakan terdiri dari satu fase gerakan yang
cepat dan diikuti oleh fase yang lambat.
• Perubahan posisi atau memegang ekstremitas
yang bergerak tidak akan menghambat gerakan
tersebut.
• Umumnya terjadi pada neonatus cukup bulan
>2500 gram.
• Tidak terjadi hilang kesadaran.
• Berkaitan dengan trauma fokal, infark atau
gangguan metabolik.
Kejang Mioklonik
• Kejang mioklonik terfokus di satu area, multi-
fokal atau umum.
• Kejang mioklonik fokal biasanya melibatkan otot
fleksor pada ekstremitas.
• Kejang mioklonik multi-fokal yang terlihat sebagai
gerakan kejutan yang tidak sinkron pada
beberapa bagian tubuh.
455
• Kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas
berupa fleksi kepala dan batang tubuh dengan
ekstensi atau fleksi ekstremitas. Kejang ini
berkaitan dengan difusi patologis SSP.
Pemeriksaan lainnya
• Mencari penyebab spesifik lainnya yang dicurigai
(TORCH, kadar amonia, asam amino dalam urine, USG
kepala dll). (ICD 9 CM: 90,5; 91.3; 88.71)
• Pemeriksaan aEEG (bila fasilitas tersedia) (ICD 9 CM:
89.14)
456
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
KRITERIA
pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS
457
458
Gambar 15. Alogaritma tatalaksana kejang
459
Tanggal DITETAPKAN KETUA PP IDAI
Panduan Terbit/Revisi
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada neonatus
yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas pada neonatus
adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya:
• Takipnea (frekuensi napas >60x/menit)
• Aktivitas otot pernapasan
• Napas cuping hidung
• Merintih (grunting)
• Sianosis
• Apnea
Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
Skor total 4-5: gawat napas sedang
460
ANAMNESIS Faktor risiko
• Seksio sesarea elektif
• Makrosomia
• Partus lama
• Laki-laki
• Ibu mendapatkan sedasi berlebihan
• Skor Apgar rendah (≤ 7 pada usia 1 menit)
• Skor Downe > 4
• Ibu dengan diabetes mellitus
• Kehamilan kurang bulan
• Riwayat asma pada keluarga (terutama Ibu)
PEMERIKSAAN • Neonatus biasanya hampir cukup bulan atau cukup bulan dan
FISIS mengalami kesulitan bernapas segera setelah lahir (>80
pernapasan/menit).
• Salah satu petanda penting dari TTN adalah perbaikan pada
neonatus, yang biasanya terjadi pada 48-72 jam setelah lahir.
• Pemeriksaan radiologis
- Rontgen toraks : gambaran bisa bervariasi tetapi sering didapati
adanya garis perihilar (ellis damoiseau) dan kardiomegali ringan.
(ICD 9 CM:
87.44)
KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS Transient tachypnea of the newborn (TTN) (ICD 10: P22.1)
KERJA
DIAGNOSIS • Respiratory distress syndrome ( ICD 10: P22.0)
BANDING • Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01)
• Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)
• Pneumonia (ICD 10: P23.0)
TERAPI Self limiting disease, sehingga pengobatan yang ditujukan
biasanya hanya berupa pengobatan suportif, yaitu:
• CPAP (PEEP : 7 cmH2O)
• Suplementasi oksigen bila saturasi tidak mencapai target (90-
95%)
• Pemberian minum setelah hemodinamik stabil
PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko untuk
bayi mengalami problem neurodevelopmental akan meningkat.
461
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS, Kattwinkel J, Perlman
JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
462
Tabel 7. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor
Downe
Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
463
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan laboratorium
PENUNJANG - Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
- Kadar glukosa darah biasanya rendah (ICD 9 CM: 90.5)
- Ditemukan hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis dari analisis gas
darah (fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 89.65)
- Kultur darah dan urin untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi (fasilitas lengkap) ( ICD 9
CM: 90.52 dan 91.32)
• Pemerikaan radiologi
- Rontgen thoraks mengungkap kepadatan retikulogranular
bilateral dan air bronchogram.
(ICD 9 CM: 87.44)
TERAPI Umum
• CPAP dengan PEEP 7 cm H2O, PEEP dapat dinaikkan sampai
8 cm H2O bila pemberian suplementasi oksigen mencapai
40% untuk memenuhi target saturasi 90-95%.
• Dukungan dasar yaitu pengaturan suhu dan cairan
parenteral serta obat-obatan
(antibiotik) secara parenteral.
• Kafein diberikan segera setelah lahir. Bila kafein tidak
tersedia, dapat diberikan alternatif teofilin atau aminofilin.
• Terapi penggantian surfaktan
PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.
464
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
465
Tabel 8. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor
Downe
Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
Skor total 4-5: gawat napas sedang Skor total ≥6 :
gawat napas berat
DEFINISI Meconium aspiration syndrome (MAS) gawat napas
ini disebabkan oleh aspirasi mekonium saat intrauterin atau
selama proses persalinan. Mekonium yang teraspirasi dapat
menyebabkan sumbatan jalan napas dan reaksi inflamasi paru.
466
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan laboratorium
PENUNJANG - Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
- CRP (ICD 9 CM: 90.5)
- Analisis gas darah (fasilitas lengkap) (ICD 9
CM: 89.65)
• Pemeriksaan radiologis
- Rontgen dada : infiltrat kasar dan bisa asimetris, ada bagian
konsolidasi atau atelektasis, serta bagian hiperinflasi. (ICD 9 CM:
87.44)
KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
DIAGNOSIS penunjang
DIAGNOSIS Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01)
KERJA
DIAGNOSIS • Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0)
BANDING • Transient tachypnea of the newborn (TTN) : (ICD 10:
P22.1)
• Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)
467
TERAPI - Tatalaksana di ruang bersalin (jika cairan ketuban ternodai
mekonium)
• Penghisapan lendir atau mekonium mulai dari mulut
kemudian hidung dengan menggunakan penghisap lendir
ukuran besar (10-12Fr) bila bayi lahir tidak menangis sebelum
melakukan ventilasi tekanan positif
• Tata laksana bayi baru lahir di unit neonatus
Tata laksana umum
- Koreksi kelainan metabolik, yaitu hipoksia, asidosis,
hipoglikemia, hipokalsemia dan hipotermia
- Pemantauan kerusakan hipoksik/iskemik organ akhir
(otak, ginjal, jantung, dan hati)
- Cakupan antibiotik (ampisillin dan gentamisin)
Tata laksana kardiorespiratori
- Oksigenasi dan dukungan pernapasan sesuai
kebutuhan bayi
- Mempertahankan saturasi 90-95%
- Mengoreksi hipotensi sistemik
(hipovolemia, disfungsi miokard) -
Mempertahankan kadar PaCO2 antara 25 - 40 mmHg.
- Mencegah terjadinya PPHN
PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
468
4.15 Pneumonia pada neonatus
469
No. No. Revisi Halaman
UKK
Dokumen
Neonatologi
2018
Downe
Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
Skor total 4-5: gawat napas sedang Skor total ≥6 :
gawat napas berat
DEFINISI Pneumonia adalah infeksi yang terjadi di jaringan paru yang
disebabkan oleh virus, bakteri atau jamur.
470
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
PENUNJANG • Pemeriksaan analisis gas darah dan kultur darah, CRP
(fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 89.65; 90.52 dan 90.5)
• Rontgen dada: temuan paling sering berupa infiltrat di
lapang paru yang terkena. (ICD 9 CM: 87.44)
• Kultur bakteri: sejumlah kasus pnemonia mungkin
memperlihatkan kultur negatif (ICD 9 CM: 90.52)
PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
471
4.16 Air leak syndrome
472
Tabel 10. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor
Downe
Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
473
PEMERIKSAAN • Transiluminasi positif pada bagian yang terkena
PENUNJANG • Foto rontgen : ada gambaran lusen pada paru yang terkena.
Diagnosis pasti ditegakkan secara radiografis oleh foto rontgen
A-P dan lateral dada. (ICD 9 CM: 87.44)
TERAPI Umum
• Oksigenasi (mempertahankan saturasi 9095%)
• Pencegahan: Pada saat resusitasi, hindari pemberian VTP yang
berlebihan. Pemakaian dukungan ventilator secara hati-hati
dalam memberikan tekanan dan PEEP yang tinggi.
Spesifik
• Pungsi pleura untuk kondisi emergensi dan bila perlu dilakukan
WSD
PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
474
4.17 Apnea of prematurity
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
APNEA OF PREMATURITY
(ICD 10 : P28.4)
475
Tabel 11. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor
Downe
Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
476
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan
PENUNJANG darah lengkap dan glukosa serum (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan elektrolit (ICD 9 CM: 90.5) dan analisis gas
darah (fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 86.65)
• Pemeriksaan radiologis harus mencakup rontgen dada (ICD 9
CM: 87.44)
• USG abdomen, USG kepala dan echocardiography (fasilitas
lengkap) (ICD 9 CM: 88.76; 88.71; 88.72)
TERAPI Umum
• Melakukan rangasangan taktil
• Gunakan nasal kanul low flow atau CPAP pada apnea
berulang dan tidak memberikan respon dengan
rangsangan taktil.
• Terapi farmakologis mungkin diperlukan pada apnea
kelahiran kurang bulan.
• Kafein diberikan segera setelah lahir. Bila kafein tidak
tersedia, dapat diberikan alternatif teofilin atau
aminofilin.
Memantau kadar teofilin
Spesifik
• Cari penyebab dan atasi.
PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.
477
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
TERAPI OKSIGEN
478
PENDAHULUAN Percobaan pertama pembuktian bahwa oksigen itu tidak berwarna,
berbau, dan berasa dilakukan oleh Joseph Priestley dipublikasi
tahun 1774. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk menangani bayi-bayi yang lahir prematur, maka
pemberian oksigen dapat diberikan bersama dengan pemberian
udara atau oksigen 100%, bergantung pada kondisi bayi saat
resusitasi. Untuk bayi cukup bulan resusitasi diawali dengan FiO2
21% sedangkan bayi dengan usia gestasi kurang dari 35 minggu
diberikan FiO2 30%.
479
OKSIGEN Persediaan oksigen yang cukup harus tersedia setiap saat. Oksigen
diberikan dengan kecepatan aliran yang tertentu. Inkubator
memerlukan minimal 4-5 liters/menit; Botol air pada continuous
positive airway pressure (CPAP) memerlukan 5-10 liter/menit.
Masker oksigen pada wajah memerlukan 4 liter/menit dan sangat
penting bahwa nasal kateter atau prong mengalirkan 0,5 – 2
liter/menit oksigen kepada neonatus.
480
UDARA Untuk memiliki ketersediaan sumber udara bertekanan untuk
BERTEKANAN dicampurkan dengan oksigen 100% sangatlah penting karena dapat
memberikan konsentrasi oksigen kurang dari 100% yang diperlukan
oleh neonatus.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
41 37 34 32 31 30 29 28
1
% % % % % % % %
Oksigen (liter/menit)
61 53 47 44 41 38 37 35 34
2
% % % % % % % % %
80 68 61 55 51 47 45 43 41 39
3
% % % % % % % % % %
84 74 66 61 56 52 50 47 45 44
4
% % % % % % % % % %
86 77 70 65 61 57 54 51 49 47
5
% % % % % % % % % %
88 80 74 68 64 61 57 54 53 51
6
% % % % % % % % % %
Oksigen (liter/menit.)
90 82 76 71 67 64 61 58 56 54
7
% % % % % % % % % %
91 84 78 74 70 66 63 61 58 56
8
% % % % % % % % % %
92 86 80 76 72 68 65 63 61 58
9
% % % % % % % % % %
1 93 87 82 77 74 70 67 65 63 61
0 % % % % % % % % % %
481
BMS merupakan alat resusitasi yang sering dipakai di fasilitas
terbatas maupun fasilitas lengkap. BMS dapat digunakan tanpa
sumber gas (pemberian FiO2 21% sama dengan udara ruangan). Bila
BMS disambungkan dengan sumber oksigen murni, fraksi oksigen
(FiO2) pada masker bergantung dengan campuran aliran oksigen dan
udara bebas yang masuk ke balon (bag) Contoh BMS adalah balon
volume 250 ml.
OXYHOOD • Oxyhood harus terbuat dari plastik bening, cukup besar untuk
menutupi kepala bayi dan masih memungkinkan bayi untuk
bergerak. Plastik harus keras dan padat sehingga oksigen/udara
tidak bocor atau bercampur dengan udara kamar.
• Harus dipasang termometer pada oxyhood. Suhu di dalam
oxyhood harus diatur dan dipertahankan di dalam kisaran
lingkungan bersuhu netral bayi untuk mencegah bayi menggigil
atau kepanasan.
482
MEMANASKAN • Harus tersedia mekanisme untuk memanaskan air yang akan
DAN digunakan untuk mengatur kelembaban.
MENGATUR • Air yang digunakan harus steril karena air ledeng mengandung
KELEMBAPAN organisme bakteri yang akan melipatgandakan diri dalam air
UDARA hangat.
• Kadar air harus dipertahankan pada kadar yang sesuai dan air
diganti dengan air steril baru setiap 24 jam.
• Penting pula untuk memiliki mekanisme untuk menghubungkan
sumber oksigen/udara dengan unit pemanas/pelembab dan
mempertahankan laju aliran kombinasi pada sekitar 4-5
liter/menit.
• Jika oksigen diberikan pada neonatus dengan flow 0,5-1 L/menit
dengan menggunakan kateter nasal atau nasal prong, tidak
diperlukan humidifikasi, sebaliknya oksigen diberikan dengan
flow lebih dari 4 L/menit melalui kateter nasal atau nasal prong
akan memerlukan humidifikasi
DAFTAR Prisetley. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad. 59
Bancalari. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk.61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 68
WHO. 69
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cumming JJ Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
Trevisanuto D, Cengio VD, Doglioni N, Cavallin F, Zanardo V, Parotto
M, dkk. 70
4.19 CPAP
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
483
Tanggal DITETAPKAN KETUA PP
Panduan Praktik Terbit/Revisi IDAI
Klinis
Ikatan Dokter Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Sesak napas pada bayi baru lahir adalah suatu kumpulan
gejala klinis berupa laju napas >60x/menit, retraksi
interkostal, retraksi supraklavikula, retraksi epigastrium,
napas cuping hidung, henti napas, sianosis, dan takikardia,
yang timbul akibat gangguan pertukaran gas di dalam paru-
paru bayi baru lahir. Insiden sesak napas pada bayi baru lahir
berkisar 6,7% dari total kelahiran. Sesak napas pada bayi
prematur menyumbang insiden tertinggi sekitar 30%, diikuti
bayi post matur 20,9%, dan terendah terjadi pada bayi cukup
bulan 4,2%. Berdasarkan etiologinya transient tachypnea
of newborn (TTN) merupakan penyebab tersering sesak
napas bayi baru lahir (42,7%), diikuti oleh sepsis neonatorum
(17,0%), sindrom aspirasi mekonium (10,7%), sindrom gawat
napas bayi baru lahir (9,3%), dan asfiksia neonatorum (3,3%).
Sesak napas merupakan masalah tersering dialami bayi, baik
prematur maupun cukup bulan, yang dirawat di neonatal
intensive care unit (NICU)
484
PRINSIP CPAP Tekanan jalan napas positif berkelanjutan(CPAP) akan
tercipta manakala terdapat aliran udara hangat nan lembab
mengalir melalui suatu sirkuit yang memiliki resistensi
tertentu. Berbagai cara untuk dapat menciptakan CPAP di
antaranya menggunakan mesin ventilator, sirkuit bubble
CPAP, T piece resuscitator atau balon tidak mengembang
sendiri. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan
sendiri-sendiri.
485
GANGGUAN YANG Bayi yang mendapatkan manfaat dari CPAP nasal adalah:
DAPAT DIATASI • Bayi kurang bulan dengan RDS
CPAP NASAL • Bayi dengan TTN (transient tachypnea of the
newborn)
• Bayi dengan sindroma aspirasi mekonium
• Bayi yang sering mengalami apnea
obstruktif
• Pasca ekstubasi dan lepas dari tunjangan ventilator
• Bayi dengan penyakit jalan napas seperti trakeomalasia
dan bronkiolitis
• Bayi pasca operasi abdomen atau dada
KRITERIA MEMULAI Semua bayi, cukup bulan atau kurang bulan, yang
CPAP NASAL menunjukkan SALAH SATU gejala berikut ini harus
dipertimbangkan untuk menggunakan CPAP
• Frekuensi napas >60 x/mnt
• “Merintih (grunting)” dalam derajat sedang
sampai parah
• Retraksi dinding dada
• Napas cuping hidung
• Desaturasi/ Saturasi oksigen <93%
(preduktal)
• Sering mengalami apnea obstruktif
• Pasca ekstubasi dan lepas dari tunjangan ventilator
mekanik apabila diperlukan
486
KOMPONEN CPAP Sistem CPAP yang umum digunakan adalah terdiri dari tiga
komponen
1. Sebuah sirkuit yang mengalirkan gas terus menerus yang
terdiri atas :
a. Sumber gas oksigen (100%) dan udara bertekanan
(21%) menghasilkan gas dengan konsentrasi oksigen
(FiO2) tertentu.
b. Sebuah flow meter mengontrol kecepatan aliran
terus-menerus dari gas yang dihirup (biasanya
dipertahankan pada kecepatan 5-10 L/menit).
c. Sebuah humidifier menghangatkan dan
melembabkan gas yang dihirup agar mengandung uap
air 44 mg/L dan bersuhu 37 C.
d. Sirkuit inspirasi yang didalamnya terdapat
heated wire sehingga gas yang dihantarkan dari
humidifier tidak kehilangan suhu dan
kelembabannya
e. Sirkuit ekspirasi yang dilengkapi dengan (water
trap)
2. Sebuah alat untuk menghubungkan sirkuit ke saluran
napas neonatus (interface). Untuk tujuan dalam prosedur
ini, Short binasal prong merupakan metode yang lebih
disukai
3. Sebuah alat untuk menghasilkan tekanan positif pada alat
sirkuit. Tekanan positif dalam sirkuit dapat dicapai
dengan memasukkan pipa ekspirasi bagian distal
487
MATERI UNIT CPAP Sirkuit CPAP lengkap harus dirangkai sebelum dipergunakan.
Jika bayi memerlukan CPAP. Unit CPAP memerlukan
perlengkapan berikut:
• Sumber aliran oksigen dan udara
• Pencampur Oksigen dengan flow meter
• Pipa dari flow meter ke alat pengatur kelembaban
• Humidifier
• Pipa sirkuit berkerut dengan sambungan ke alat pengatur
kelembaban
• Peralatan kateter nasal (terdiri dari nasal prongs, topi
dan Velcro)
• Prong yang ukurannya tepat harus sesuai dengan ukuran
lubang hidung tanpa menekan septum. Jika prong terlalu
kecil, akan ada peningkatan resistensi udara yang tidak
perlu dan udara keluar dari sekitar prong dan sulit untuk
mempertahankan tekanan yang sesuai. Prong yang terlalu
kecil atau terlalu besar bisa merusak selaput lendir dan
septum lecet. Pedoman umum ukuran prong yang tepat
adalah
- Ukuran 2 untuk berat 1000-2000 g
- Ukuran 3 untuk berat 2000-3000 g
- Ukuran 4 untuk berat 3000-4000 g
- Ukuran 5 untuk berat > 4000 g
• Pita pengukur
• Plester hydroksikoloid untuk mencegah trauma hidung
• Tabung yang berisi air steril dengan kedalaman terntentu.
488
Hubungkan probe kelembaban dan suhu ke selang kerut
yang masuk ke bayi. Pastikan probe suhu tetap di luar
inkubator atau tidak di dekat sumber panas radian.
3. Jaga kebersihan ujung selang kerut yang lain dan ditutup.
4. Tentukan tekanan CPAP dengan mengatur kedalaman pipa
sesuai dengan PEEP yang diinginkan.
489
• Tutup ujung prong nasal untuk menguji fungsi sirkuit.
Amati gelembung yang muncul di permukaan air.
Menghubungkan sistem ini dengan bayi
• Posisikan bayi dan naikkan bagian kepala tempat tidur
30°.
• Hisap lendir dari mulut, hidung dan faring dengan
lembut. Gunakan kateter ukuran besar yang bisa masuk
ke hidung tanpa kesulitan yang berarti. Pastikan bahwa
bayi tidak mengalami atresia koana.
• Letakkan gulungan kecil di bawah leher/bahu bayi.
Sedikit ekstensi leher untuk menjaga jalan napas tetap
terbuka.
• Lembabkan prong dengan air steril atau tetesan NaCl
0,9% sebelum memasukkannya ke dalam hidung bayi,
dengan lengkungan ke bawah. Sesuaikan sudut prong
dan kemudian putar selang kerut hingga dicapai posisi
yang benar. Untuk memastikan posisi yang tepat,
periksa
a. Lubang hidung tertutup sama sekali oleh prong.
b. Kulit hidung tidak tertarik yang terlihat dari
pucatnya warna kulit di sekitar tepi lubang hidung.
c. Selang kerut tidak menyentuh kulit bayi.
d. Tidak ada tekanan lateral pada septum.
e. Ada sedikit ruang antara ujung septum dan bridge
di antara prong.
f. Prong tidak bersandar pada filtrum.
490
peniti di tiap sisi selang. Gunakan gelang karet di sekitar
peniti dan di atas selang kerut untuk
mencegahpergeseran atau berpindahnya peralatan ini.
• Setelah bayi distabilisasi menggunakan CPAP, anda bisa
memasang “moustache” Velcro agar prong tidak
bergeser dari posisinya. Bersihkan pipi dan bibir atas bayi
dengan air dan biarkan kering.Potong plester
hydroxycolloid dan pasang tepat di atas area yang sudah
disiapkan. Potong Velcro dan pasang tepat di atas
hydroxycolloid. Potong dua strip Velcro lunak (lebar 8
mm) dan pasang melingkar area prong yang menutupi
pipi. Tekan kanula prong dengan lembut hingga Velcro
strip yang lunak menempel ke antara bibir dan hidung
MEMPERTAHANKAN Sistem CPAP melalui hidung bayi harus diperiksa setiap 2-4
CPAP NASAL jam
• Respirasi: frekuensi napas, merintih (grunting),
retraksi dan cuping hidung kembang kempis dan suara
napas
• Suhu: ukur dengan cermat. Alat pengatur kelembaban
mempengaruhi suhu tubuh bayi.
• Kardiovaskuler: perfusi sentral dan perifer, tekanan
darah dan auskultasi
• Neurologis: tonus, respon terhadap stimulasi dan
kegiatan
• Gastrointestinal: distensi abdomen, visible loops
dan bising usus
• Teknis: probe saturasi oksigen pre-duktal dan pemantau
kardiopulmonal
491
Catat jumlah, konsistensi dan warna sekresi. Untuk
melunakkan sekresi kental dan kering, gunakan beberapa
tetes salin steril (Nacl) 0,9%.
Jika bayi sudah nyaman bernapas dengan CPAP dan FiO 2 21%
maka harus dicoba untuk melepaskannya dari CPAP. Prong
nasal harus dilepas dari corrugated tubing saat selang
masih di tempatnya. Bayi harus dinilai selama percobaan ini
apakah mengalami takipnea, retraksi, desaturasi oksigen,
atau apnea. Jika tanda tersebut timbul, percobaan dianggap
gagal. CPAP harus segera dipasang lagi pada bayi paling
sedikit satu hari sebelum dicoba lagi di hari berikutnya.
492
Tidak dianjurkan menurunkan tekanan < 5 cmH2O selama
penyapihan karena bahaya atelektasis paru. Bayi
menggunakan CPAP 5 cm atau sama sekali lepas dari CPAP.
KOMPLIKASI CPAP • Cedera pada hidung, seperti erosi pada septal nasi, dan
nasal snubbing
• Pneumothoraks
• Impedasi aliran darah paru
• Distensi abdomen
• Nasal prong atau masker pada CPAP dapat menyebabkan
bayi tidak nyaman yang menyebabkan agitasi dan
kesulitan tidur pada bayi
INDIKASI Bayi dengan CPAP nasal dengan tekanan yang optimal akan
VENTILASI memerlukan ventilasi mekanis jika terjadi hal berikut:
MEKANIS • FiO2 > 40 %, PEEP 8
• PaCO2 > 60 mmHg
• Asidosis metabolik menetap dengan defisit basa >
-8
• Terlihat retraksi yang nyata saat dilakukan CPAP
• Sering mengalami apnea dan
bradikardi
493
PEMECAHAN Tidak ada gelembung di botol
MASALAH SECARA Hal ini karena ada kebocoran udara di suatu tempat di sirkuit.
CEPAT SELAMA Lepaskan prong dari hidung dan lakukan oklusi. Jika sistem
CPAP menimbulkan gelembung, berarti ukuran prong, tidak tepat
(mungkin terlalu kecil), atau lengkungannya tidak tepat di
dalam hidung, atau tidak pas ukurannya. Kadang-kadang
dengan bayi hanya membuka mulut, sistem akan berhenti
menimbulkan gelembung. Hal ini dapat dikoreksi dengan
menempatkan ‘strip dagu.’
VENTILASI INVASIF
495
PENDAHULUAN Saat bayi lahir dan sebelumnya mengalami hipoksia perinatal,
didapatkan gambaran bayi bernapas cepat dan bila berlangsung
lama bayi bisa mengalami apne. Apne yang terjadi bisa apne
primer atau apne sekunder
Pada bayi setelah upaya langkah awal tetap tidak timbul nafas
spontan, VTP harus segera diberikan, dan dilanjutkan alat bantu
napas ventilasi invasif bila bayi tetap tidak ada nafas spontan.
496
UNIT VENTILASI Sirkuit pernafasan Ventilasi invasif harus digunakan secara
INVASIF disposable, dirangkai dan siap digunakan SETIAP SAAT.
Humidifier harus berfungsi
Unit ventilasi invasif memerlukan perlengkapan berikut:
• Sumber aliran Oksigen dan udara
• Pencampur Oksigen dengan flow meter
• Humidifier
• Pipa sirkuit berkerut dengan sambungan ke alat
pengatur kelembaban
• ETT yang sudah terpasang saat bayi
terintubasi sesuai dengan berat bayi
497
2. Komplain paru merupakan elastisitas paru dan dinding dada.
Merupakan perubahan volume paru.
3. Resistensi
Menggambarkan kemampuan konduksi gas dari bagian
sistem respirasi (paru dan dinding dada) untuk menahan
aliran udara.
4.Time constant
Pengukuran waktu penting pada tekanan di alveolar (volume)
untuk mencapai 63% perubahan pada tekanan jalan napas
(atau volume).
Contoh:
Komplain paru 2 mL/cmH2O dan resistensi
paru 40 cm H2O/L/detik
Time constant = 0.002 L/cmH2O x 40
cmH2O/L/detik = 0,080 detik
498
Durasi inspirasi atau ekspirasi setara dengan 3-5 time constant
yang dibutuhkan untuk inspirasi atau ekspirasi penuh.
Lamanya inspirasi dan ekspirasi berkisar 0,35-0,5 detik.
5.Hipoksemia
a. Ventilation–perfusion (V/Q) mismatch
- Merupakan penyebab terpenting hipoksemia pada
bayi baru lahir
- Pemberian oksigen dalam jumlah besar akibat
hipoksemia hasil dari V/Q mismatch
499
b. Shunt
– Merupakan penyebab hipoksemia pada bayi baru
lahir
- Shunt mungkin fisiologis, intrakardiak ( seperti PPHN,
penyakit jantung kongenital sianotik), atau paru
(contoh atelektasis)
- Jika V/Q = 0 dan suplemental oksigen tidak dapat
memperbaiki hipoksemia.
c. Hipoventilasi
- Akibat menurunnya VT atau frekuensi napas
- Akibat rendahnya V/Q dan pemberian suplemental
oksigen dapat mengatasi hipoksemia dengan mudah
- Penyebab hipoventilasi : depresi drive pernapasan,
lemahnya otot-otot pernapasan, penyakit paru
restriktif, dan obstruksi jalan napas.
d. Proses difusi yang terganggu
- Terjadi pada bayi dengan problem keterbatasan difusi
yang sering disebabkan problem primer paru atau
proses pirau dari kanan ke kiri (misalnya pada bayi
dengan PPHN)
- Untuk meningkatkan hipoksemia dapat diperbaiki
dengan cara meningkatkan beberapa hal yang dapat
meningkatkan MAP dan konsentrasi oksigen.
500
6. Hiperkapnia
Terjadi pada V/Q mismatch, shunt, hipoventilasi dan
meningkatnya ruang mati fisiologis (physiologic dead
space)
2. Waktu
• Waktu inspirasi /Inspiration time (IT): waktu yang
dibutuhkan untuk paru menghisap udara masuk paru-paru
• Waktu ekspirasi/Expiration time (ET): waktu yang
dibutuhkan paru untuk mengeluarkan gas CO2
501
• IT and ET bergantung pada kondisi paru
• Normal IT 0,35 – 0,5, dengan I: E = 1:2
• Untuk meningkatkan IT : rekrut alveolus, meningkatkan
MAP, meningkatkan menit ventilasi, dan meningkatkan
oksigen
3. Rate (frekuensi)
• Laju pernapasan dalam 1 menit normal 4060 x/menit
• Laju pernapasan = 60 detik/ (IT+ET)
• Minute Volume (Ve)
- Laju pernapasan x VT
- Menentukan tingkat ekskresi CO2 paruparu
- Tidak memengaruhi oksigenasi
- Meningkatkan rate → meningkatkan Ve
→ menurukan PaCO2
5. PEEP
• Tekanan yang dipertahankan untuk mempertahankan
paru terbuka selama ekspirasi biasanya PEEP 5-6 cmH2O
• Jangan menggunakan PEEP di bawah 3 cmH2O →
atelektasis
• PEEP dapat meningkatkan paru yang terekrut
502
MODUS • AC (assist control ventilation) napas bayi diambil alih
VENTILASI seluruhnya oleh ventilator
INVASIF • SIMV (synchronized intermittent mandatory ventilation),
ventilator hanya membantu tergantung frekuensi pernafasan
ventilator yang diatur
• Pada modus tambahan volume guarantee maka harus di set
volume tidal
503
b.FiO2 < 40%
c.Respiratory Rate (RR) ≤ 30 x/mnt
3. Weaning dilakukan pada setting ventilasi mekanik yang
berpotensi menimbulkan
trauma paru (PIP, VT, dan FiO2)
4. Tahapan weaning:
- Setting AC mode dengan VG: turunkan VT secara bertahap.
Tidak diturunkan PIP.
- Setting AC mode tanpa VG: turunkan PIP
- Ubah AC mode ke SIMV mode bila VT sudah minimal sekitar
3,5-4 ml/kg BB (pada AC-VG).
- atau bila:
a.PIP 18 cmH2O
b.FiO2 < 40 %
c. PaCO2 tercapai (sesuai kasus: RDS=45-55, PPHN= 25-45, atau
BPD= 50-55)
- Setting SIMV: turunkan bertahap rate dan ekstubasi ke N-IPPV
atau N-CPAP bila rate dapat mencapai 20x/menit
504
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen
505
PENYEBAB Penyebab Kelahiran Kurang Bulan
Janin
Gawat janin
Kehamilan kembar
Eritroblastosis
Hydrops non imun
Plasenta
Plasenta previa
Solusio plasenta Uterus
Uterus bikornus
Inkompetensia Serviks
Maternal
Preeklampsia
Penyakit kronis (contohnya penyakit jantung
sianotik)
Infeksi (misalnya Listeria monositogen, infeksi
saluran kemih)
Penyalahgunaan obat
Lain-Lain
Ketuban pecah dini
Polihidramnion
Iatrogenik
Penyebab PJT
Faktor janin
Berbagai faktor genetik
Berbagai kelainan kromosom, misalnya trisomi 13,
18 dan 21
Kelainan bawaan misalnya anensefali, atresia
gastrointestinal dan sindrom Potter
Infeksi bawaan seperti rubellaatau citomegalovirus
(CMV)
Penyakit metabolisme saat lahir seperti
galaktosemia dan
fenilketonuria
Faktor Maternal
Preeklampsia dan eklampsia
Penyakit renovaskuler kronis
506
Penyakit vaskuler hipertensi dalam kehamilan dan
kronis
Penyakit infeksi
Malnutrisi
Ibu perokok
Hipoksemia maternal terkait dengan penyakit
jantung kongenital tipe sianotik dan anemia bulan
sabit (
sickle cell anemia )
Faktor maternal lain seperti status sosio ekonomi
yang rendah, usia ibu yang muda, ibu yang
pendek, anak pertama, mutiparitas usia tua, dan
penyalahgunaan obat.
Faktor Plasenta
Insufisiensi plasenta akibat kelainan maternal
seperti preeklampsia dan eklampsia atau akibat
kehamilan lewat waktu.
Kelainan insersi plasenta, seperti plasenta previa
dan plasenta akretaperkreta
Berbagai masalah anatomis seperti infark multipel,
iskemik, trombosis vaskuler umbilikal dan
hemangioma
Kehamilan kembar mungkin terkait dengan masalah
plasenta bermakna seperti anastomose vaskuler
abnormal.
Pola PJT
PJT Simetris
Lingkar kepala, panjang dan berat badan seluruhnya
berkurang secara proporsional untuk usia kehamilan. PJT
simetris disebabkan oleh infeksi kongenital atau kelainan
genetik dan terjadi di awal kehamilan.
PJT Asimetris
Berat badan fetus lebih rendah secara tidak proporsional
terhadap panjang dan lingkar kepala. Pertumbuhan otak
biasanya terpisah. Pertumbuhan otak terjadi di masa
507
MASALAH Masalah bayi kurang bulan
1. Ketidakstabilan suhu tubuh
BKB memiliki kesulitan untuk
mempertahankan suhu tubuh akibat:
Peningkatan hilangnya panas
Kurangnya lemak subkutan
Rasio luas permukaan tubuh terhadap berat badan
besar
Produksi panas berkurang akibat lemak coklat yang
tidak memadai dan ketidakmampuan untuk
menggigil
2. Kesulitan Bernapas
Defisiensi surfaktan paru yang mengarah ke Sindrom
Gawat Napas
(Respiratory distress syndrome / RDS)
Risiko aspirasi akibat belum terkordinasinya refleks
batuk, refleks menghisap, dan refleks menelan.
Toraks yang lunak dan otot respirasi yang lemah
Pernapasan periodik dan apnea
508
tubuh yang belum sempurna, dan cadangan nutrisi
yang tidak cukup.
4. Imaturitas hati
Gangguan konyugasi dan ekskresi bilirubin
Defisiensi Vitamin K
5. Imaturitas Ginjal
Ketidakmampuan untuk mengekskresi beban cairan
yang besar
Akumulasi asam anorganik dengan asidosis
metabolik
Eliminasi obat dari ginjal dapat menghilang
Ketidakseimbangan elektrolit, misalnya
hiponatremia atau hipernatremia, hiperkalemia
atau
glikosuria ginjal
6. Imaturitas Imunologis
Risiko infeksi tinggi akibat:
Tidak banyak transfer IgG maternal melalui plasenta
selama trimester ketiga kehamilan
Fagositosis terganggu
Penurunan faktor komplemen
7. Kelainan neurologis
Refleks isap dan menelan yang imatur
Penurunan motilitas usus
Apnea dan bradikardia berulang
Perdarahan intraventrikel dan leukomalasia
periventrikel
Pengaturan perfusi serebral yang buruk
Ensefalopati Iskemik Hipoksik
(Hypoxic ischemic
encephalopathy/HIE)
Retinopati prematur ( ROP)
Kejang
Hipotonia
509
8. Kelainan Kardiovaskular
Duktus Arteriorus Paten (Patent ductus
arteriosus/PDA), umum
ditemui pada bayi kurang bulan
Hipotensi atau hipertensi
9. Kelainan Hematologis
Anemia (onset dini atau lanjut)
Hiperbilirubinemia
Koagulasi Intravaskuler Diseminata
(Disseminated Intravascular
Coagulation/DIC)
Penyakit Perdarahan Pada Neonatus
(Hemorrhagic Disease of the
Newborn/HDN)
Masalah PJT
1. Kematian Fetus
Kematian fetus 5-20 kali lebih tinggi pada bayi PJT
daripada bayi Sesuai Masa Kehamilan (SMK)
Biasanya terjadi antara usia kehamilan 38-42
minggu Penyebab:
- Insufisiensi plasenta
- Hipoksia kronis
- Kelainan bawaan
2. Hipoksia
Asfiksia perinatal
Persistent Pulmonary Hypertension of the
Newborn (PPHN) Aspirasi mekonium
Kontraksi uterus mungkin menambah stress
terhadap fetus yang mengalami hipoksia kronis.
Hipoksia dan asidosis akut pada fetus dapat
mengakibatkan kematian fetus atau asfiksia pada
neonatus.
510
3. Hipotermia
Hipotermia terjadi akibat berkurangnya insulasi
lemak subkutan dan meningkatnya luas
permukaan tubuh. Lebih jauh lagi, hipoglikemia
dan hipoksia mengganggu produksi panas pada
bayi.
4. Hipoglikemia
Akibat menurunnya cadangan glikogen dan
penurunan
glukoneogenesis
Hipotermia memiliki potensi untuk menimbulkan
masalah hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 3 hari pertama.
5. Polisitemia
Diakibatkan peningkatan kadar eritropoetin yang
bersifat sekunder terhadap hipoksia fetus
Polisitemia mungkin juga berperan terhadap
hipoglikemia dan mengarah pada cedera serebral.
6. Keterlambatan Perkembangan
Terjadi terutama pada bayi kurang bulan, bayi PJT
dan pada bayi dengan restriksi pertumbuhan
kepala yang bermakna.
Keterlambatan ini terjadi akibat infeksi bawaan,
malformasi berat, hipoksia kronis, asfiksia pasca
kelahiran atau hipoglikemia
Keterlambatan ini terlihat dengan adanya
pencapaian milestone yang terlambat pada usia
2 dan 5 tahun dengan performa yang buruk di
sekolah.
511
sesudah lahir dan infeksi virus bawaan (TORCH)
Keadaan ini mempengaruhi hitung limfosit dan
aktivitas serta kadar Ig (immunoglobulin).
Keadaan ini mungkin ditemui bersamaan dengan
neutropenia.
Radiologi
- Rontgen dada (ICD 9 CM: 87.44)
- USG kepala (ICD 9 CM: 88.71)
- Echo jika diperlukan (ICD 9 CM:
88.72)
512
Oksigenisasi yang memadai dan pemeliharaan suhu
sangat penting.
Asuhan ibu.
Bayi memakai topi
513
o Pada kasus yang sangat berat ligasi melalui
pembedahan mungkin diperlukan.
Ruang bayi
Menyediakan lingkungan dengan melakukan kontak
kulit dengan kulit dan memeriksa suhu setiap 4
jam (lebih sering pada bayi kurang bulan)
Bila mungkin, berikan ASI sedini mungkin (ASI yang
diperah dapat diberikan melalui sonde)
Memberikan asupan dini jika memungkinkan tetapi
jika tidak mungkin maka berikan cairan
intravena segera
Memeriksa intoleransi terhadap pemberian asupan
(risiko NEC)
Memeriksa Hb dan mengobati
polisitemia
Memeriksa glukosa setiap 4 jam pada hari pertama
kemudian setiap 8-12 jam jika stabil
514
4.22 Asuhan kontak kulit dengan kulit
515
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
516
BAYI YANG • Tidak memerlukan syarat usia kehamilan secara
MEMERLUKAN spesifik.
ASUHAN KONTAK • Pada umumnya, neonatus akan stabil secara fisiologis
KULIT DENGAN pada suhu tubuh 36,5°C – 37,5°C.
KULIT • Apabila terjadi apnea atau bradikardi akan hilang
dengan sendirinya atau hanya memerlukan stimulasi
ringan.
• Neonatus yang menerima terapi sinar dapat
diikutsertakan dengan mengeluarkannya sementara
dari terapi sinar dalam waktu singkat .
• Dalam situasi khusus, neonatus yang memerlukan
oksigen, CPAP, atau bahkan bantuan ventilasi dapat
menerima asuhan ini dengan baik.
517
• Neonatus tidak perlu menggunakan pakaian, kecuali
popok dan topi.
• Persiapan lain termasuk menganjurkan ibu untuk
memakai baju dengan bukaan depan atau gaun
penutup serta memberikan kesempatan bersifat
privasi dan tenang. Ayah juga dapat memeluk
neonatus dengan cara ini.
• Setelah neonatus dipindahkan dengan hati-hati
kepada orang tua, tanda vital neonatus dan status
oksigenasi harus dipantau dan penyesuaian dibuat
berdasarkan keadaan neonatus.
• Neonatus harus dikembalikan ke inkubator jika
terdapat tanda stres yang menetap termasuk
takipnea, takikardia, ketidakstabilan suhu tubuh, atau
desaturasi oksigen.
518
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen
KOMPONEN KMC • Penempatan bayi pada posisi tegak di dada ibu, antara
kedua payudara ibu, tanpa busana. Bayi dibiarkan
telanjang hanya menggunakan popok, topi dan
519
MEMULAI KMC • Ibu perlu mengenal KMC dan ditawarkan pilihan ini
sebagai metode untuk merawat bayi dengan berat
badan lahir rendah atau kurang bulan.
520
• Bayi dengan berat kurang dari 1200 gr (usia
kehamilan di bawah 30 minggu) sering mengalami
masalah yang lebih berat, mortalitas sangat tinggi dan
hanya sebagian kecil yang bertahan dari masalah
terkait prematurias. Mungkin diperlukan beberapa
minggu sebelum kondisi mereka memungkinkan
untuk dilakukan inisiasi KMC.
521
• Pinggul dan kaki bayi dilebarkan dan dalam keadaan
tertekuk sehingga seperti posisi “kodok”,
begitu juga lengan tangan juga harus fleksi.
• Pasang kain erat-erat agar bayi tidak lepas saat ibu
berdiri. Pastikan bahwa kain melekat erat di bagian
dada dan bukan di daerah perut. Jangan mengikat
terlalu keras di bagian perut bayi tapi harus di sekitar
epigastrium ibu. Dengan cara ini, bayi leluasa
bernapas dengan perut. Napas ibu akan
menstimulasi bayinya.
522
MERAWAT BAYI • Sebagian besar perawatan tetap dapat dilakukan
DENGAN KMC meskipun pada posisi KMC termasuk menyusui. Bayi
hanya dilepaskan dari kontak kulit dengan kulit saat
- Mengganti popok, melakukan tindakan higiene dan
perawatan tali pusat
- Penilaian klinis sesuai dengan jadwal yang ditentukan
rumah sakit
MEMANTAU Suhu
KONDISI BAYI • Bayi yang cukup minum dan dalam kondisi kontak kulit
dengan kulit, dapat dengan mudah mempertahankan
suhu tubuh normalnya (antara 36,5° C - 37° C) saat
berada dalam posisi KMC. Saat KMC dimulai, ukur
suhu aksila setiap 6 jam hingga stabil selama 3 hari
berturut-
523
turut. Setelahnya pengukuran dilakukan hanya dua kali
sehari
Pernapasan
• Frekuensi pernapasan normal BBLR atau kurang bulan
berkisar antara 30-60 kali per menit, dan napas akan
bergiliran dengan interval tidak bernapas (apnea). Jika
interval terlalu lama (20 detik atau lebih) dan bibir dan
muka bayi menjadi biru, sianosis, dan nadinya rendah,
bradikardia, ada risiko kerusakan otak. Penelitian
menunjukkan bahwa kontak kulit dengan kulit dapat
membuat pernapasan lebih teratur pada bayi kurang
bulan dan bisa menurunkan insidensi apnea.
• Ibu harus diajarkan untuk mengenal apnea, risiko,
mengetahui kapan harus melakukan intervensi segera
dan mencari pertolongan. Ibu bisa mengusap
punggung atau kepala bayi untuk menstimulasi
pernapasan, atau dengan cara menimang bayi. Jika
bayi tetap tidak bernapas, ibu harus memanggil tenaga
kesehatan segera dan tenaga kesehatan harus segera
merespon panggilan minta bantuan dari ibu.
Tanda Bahaya
• Awitan penyakit serius pada bayi kecil biasanya samar
dan terabaikan dengan mudah hingga penyakit
menjadi lebih berat dan sulit diatasi. Penting bagi ibu
untuk mengenali tanda-tanda tersebut dan
memberikan perawatan yang diperlukan.
- Sulit bernapas, retraksi, merintih
- Bernapas sangat lambat atau sangat perlahan
- Apnea yang sering dan lama
- Bayi teraba dingin, suhu tubuhnya di bawah
normal meskipun dijaga kehangatannya
524
- Sulit minum: bayi tidak bangun untuk minum,
berhenti minum atau muntah
- Kejang
- Diare
- Kulit menjadi kuning
Minum
• Setiap ibu memproduksi ASI yang khusus untuk
bayinya, tapi ibu dari bayi kurang bulan menghasilkan
ASI rendah laktosa yang penting untuk pencernaan
karena bayi kurang bulan tidak mempunyai laktosa –
enzyme yang menguraikan gula tertentu. Kandungan
ASI manusia berubah sesuai pertumbuhan neonatus.
ASI, terutama kolostrum, kaya akan antibodi –
imunoglobulin, yang melindungi terhadap infeksi.
• Selain itu, ASI manusia mengandung zat anti infeksi
lainnya seperti hormon interferon, faktor
pertumbuhan dan komponen anti inflamasi. Bayi yang
sangat kurang bulan atau sakit dan tidak bisa menyusui
akan mendapatkan manfaat dari sedikit ASI yang
diberikan melalui pipet.
• Untuk bayi dengan usia kehamilan kurang dari 30-32
minggu biasanya perlu diberi minum melalui selang
nasogastrik, yang bisa digunakan juga untuk ASI yang
diperah. Ibu bisa membiarkan bayi mengisap jarinya
saat diberi minum melalui sonde, dan hal ini bisa
dilakukan dalam posisi kangguru.
• Untuk bayi dengan usia kehamilan lebih dari 30-32
minggu, bisa digunakan cangkir kecil untuk
memberikan ASI yang telah diperah. Pemberian
minum menggunakan cangkir bisa dilakukan satu atau
dua kali sehari meskipun bayi masih diberi minum
melalui selang nasogastrik, jika bayi bisa minum dari
cangkir dengan baik, maka pemberian minum melalui
sonde bisa dikurangi
525
secara bertahap. Untuk pemberian minum melalui
cangkir, bayi dilepaskan dari posisi kangguru, ditutup
dengan selimut hangat dan kembali ke posisi
kangguru setelah selesai minum.
• Bayi dengan usia kehamilan lebih dari 32 minggu bisa
mulai belajar mengisap puting. Bayi mungkin hanya
akan mencari puting dan menjilatnya. Teruskan
memberikan ASI yang telah diperah menggunakan
cangkir atau sonde hingga bayi bisa mengisap secara
efektif. Bayi mungkin sering berhenti selama
menyusui dan kadang berhenti lama. Penting untuk
tidak langsung menghentikan menyusui. Kadang-
kadang bayi perlu waktu satu jam untuk selesai
menyusu. Tawarkan minum melalui cangkir setelah
menyusu atau ganti ke payudara lainnya dan berikan
minum melalui cangkir.
• Pastikan posisi yang baik, kelekatan dan frekuensi
menyusui.
Memantau Pertumbuhan
• Timbang bayi kecil sekali sehari; penimbangan lebih
sering mungkin akan mengganggu bayi dan
menyebabkan kecemasan dan kekhawatiran kepada
ibunya. Saat bayi mulai bertambah berat,
526
timbang setiap dua hari selama satu minggu dan
kemudian sekali seminggu hingga bayi cukup bulan (40
minggu atau 2500g)
• Timbang bayi dengan cara yang sama setiap kali,
misalnya telanjang, dengan timbangan kalibrasi yang
sama (dengan interval 10 g jika mungkin), letakkan
handuk bersih dan hangat pada timbangan untuk
menghindari bayi menjadi dingin
• Timbang bayi di tempat yang
lingkungannya hangat
• Catat beratnya
• Ukur lingkar kepala setiap minggu, saat berat bayi
mulai meningkat, lingkar kepala akan naik antara 0,5
dan 1 cm per minggu.
527
Perawatan Preventif
• Bayi kecil tidak memiliki simpanan mikronutrien yang
memadai. Bayi kurang bulan, tanpa melihat
beratnya, harus mendapatkan suplementasi besi dan
asam folat dari sejak umur dua bulan hingga satu
tahun. Dosis besi harian yang direkomendasikan
adalah 2 mg/kg berat badan per hari
KELUAR DARI Bayi KMC dapat diijinkan pulang jika memenuhi kriteria
RUMAH SAKIT berikut:
• Kesehatan umum bayi baik dan tidak ada penyakit
pada saat itu seperti apnea atau infeksi
• Bayi minum dengan baik dan mendapatkan ASI
eksklusif atau sebagian besar minumnya adalah ASI
• Berat badan bayi naik (sedikitnya 15 g/kg/hari paling
sedikit 3 hari berturut-turut)
• Suhu bayi stabil saat berada dalam posis KMC
(dalam kisaran normal selama 3 hari berturut-turut)
• Ibu yakin bisa merawat bayinya dan dapat datang
secara teratur untuk kunjungan tindak lanjut.
TERMOREGULASI NEONATUS
(ICD 10: P80-P83)
528
No. Dokumen No. Revisi Halaman
UKK
Neonatologi
2018
529
pernapasan). Terjadi saat cairan ketuban menguap dari
permukaan kulit.
Konduksi
• Terjadi saat neonatus ditempatkan pada permukaan yang
lebih dingin dan bersentuhan langsung dengan kulit (tanpa
pakaian) seperti meja periksa, timbangan, tempat tidur.
Radiasi
• Perpindahan panas antara permukaan padat yang tidak
bersentuhan langsung, pada bayi baru lahir terjadi saat
berada di sekitar benda lain yang dingin, seperi dinding,
tanpa bersentuhan langsung dengan permukaannya.
Konveksi
• Terjadi saat neonatus terekspos udara sekitar yang dingin
atau dari pintu ruangan yang terbuka, jendela atau kipas
angin.
Patofisiologi termoregulasi
Suhu tubuh diatur dengan mengimbangi produksi panas terhadap
kehilangan panas. Bila kehilangan panas dalam tubuh lebih besar, dari
pada laju pembentukan panas, maka akan terjadi penurunan suhu
530
tubuh. Hal sebaliknya begitu juga, bila pembentukan panas dalam
tubuh lebih besar daripada kehilangan panas, maka akan timbul panas
dalam tubuh sehingga suhu tubuh meningkat.
531
• Menangis lemah, tidak mau menyusu
• Berat badan turun
Catatan: semua gejala dan tanda diatas tidak spesifik, dan mungkin
mengindikasikan kondisi lain yang berarti seperti infeksi bakteri pada
neonatus
Penatalaksanaan hipotermi:
A. Hipotermi ringan
• Kontak kulit ke kulit pada suhu ruangan yang hangat
(setidaknya 25°C)
• Gunakan topi pada kepala neonatus
• Tutupi ibu dan neonatus dengan selimut hangat
B. Hipotermi sedang
• Letakkan dibawah pemancar panas
• Pada inkubator yang sudah dihangatkan
• Pada matras yang berisi air hangat (contoh: KanBed)
• Jika tidak ada peralatan yang tersedia atau neonatus stabil
secara klinis, maka lakukan kontak kulit ke kulit dengan ibu
pada ruangan dengan suhu hangat (setidaknya 25°C)
C. Hipotermi berat
• Gunakan inkubator yang sudah dihangatkan (diatur 1-1,5°C
lebih tinggi dibanding suhu tubuh neonatus) dan harus
disesuaikan dengan meningkatnya suhu neonatus (harus selalu
dipantau)
• Jika tidak ada peratalan yang tersedia, lakukan kontak kulit ke
kulit atau ruangan yang hangat atau boks bayi yang hangat
dapat digunakan
Penyebab hipertermi:
• Inkubator, pemancar panas, suhu lingkungan yang terlalu panas
• Ibu demam
• Pasca anestesi epidural pada ibu
• Cahaya fototerapi, sinar matahari
• Membedong yang terlalu kuat
532
• Infeksi
• Kelainan sistem saraf pusat (contoh: asfiksia)
• Dehidrasi
Tatalaksana hipertermi:
• Pendekatan yang biasa dilakukan pada kondisi neonatus yang
mengalami hipertermi adalah menyesuaikan kondisi
lingkungannya. Neonatus harus segera dijauhkan dari sumber
panas, dan jika perlu membuka sebagian atau seluruh pakaiannya.
• Cek suhu lingkungan (infant warmer, blanket, atau inkubator) jika
memungkinkan diturunkan 0,5°C tiap 30-60 menit (infant warmer
dan inkubator).
• Selama proses pendinginan, suhu neonatus harus selalu dipantau
setiap 15-30 menit hingga stabil. Jangan mematikan inkubator
untuk mendinginkan suhu neonatus.
• Ketika terjadi hipertermia berat (suhu tubuh di atas 40°C),
neonatus dapat dimandikan. Air yang digunakan harus hangat
(sekitar 2°C lebih rendah dari suhu tubuh neonatus). Tidak
disarankan menggunakan cooling devices. Jika neonatus tidak
dapat tambahan cairan dari menyusui, harus dipasang cairan
secara intravena atau selang makan.
533
Pemakaian radiant warmer jika tidak mungkin melakukan kontak
kulit dengan kulit (ibu mengalami komplikasi pascanatal)
• Neonatus tidak berpakaian kecuali popok dan diletakkan tepat di
bawah penghangat/ radiant warmer
• Neonatus dapat dihangatkan dengan handuk hangat dan
menggunakan topi
• Probe suhu tubuh harus diletakkan mendatar pada kulit, biasanya
pada abdomen daerah hati
(daerah hipokondrium kanan)
• Suhu servo harus diset pada 36,5oC
• Suhu harus diukur setiap 30 menit atau atas instruksi dokter untuk
menilai bahwa suhu tubuh neonatus dipertahankan dalam kisaran
yang seharusnya
• Bayi > 32 minggu dan atau > 1500 gram
- Keringkan bayi dan pindahkan bayi dari kain yang basah
- Bungkus bayi dengan blanket hangat
- Topi
Jika bayi stabil dapat dilakukan KMC
• Bayi < 32 minggu atau diperkirakan <1500 gram
(b)
- Plastik polietilen dibuka dan diletakkan di meja resusitasi/
infant warmer
- Letakkan bayi di atas plastik
- Secepatnya bungkus bayi sampai bahu di bawah infant warmer
- Lap kepala yang terbuka
- Tutup kepala dengan topi hangat
- Biarkan bayi terbungkus plastik, jika akan dpindahkan ke
ruangan bayi dibungkus lagi dengan blanket hangat
534
• Meskipun suhu sedikit lebih rendah daripada suhu sentral
tubuh sesungguhnya, perubahannya akan sama dengan suhu
tubuh
• Keuntungannya mencakup penurunan risiko neonatus,
kebersihan terjaga, dan
pengukurannya relatif cepat serta akurat
Suhu Rektum
• Suhu darah yang mengalir dari ekstremitas bawah
mempengaruhi suhu rektum
• Pengukuran suhu tubuh dari rektum merupakan prosedur
invasif dan tidak selalu dapat diandalkan
• Pengukuran suhu melalui rektum/anus jika menggunakan alat
yang sama untuk bayi lain dapat menimbulkan penyebaran
infeksi.
• Pengukuran suhu melalui rektum sudah mulai ditinggalkan
Suhu lingkungan
• Setiap kamar harus memiliki termometer dinding
• Jaga suhu lingkungan kamar antara 24-26°C
535
4.25 Hipoglikemia pada neonatus
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
Panduan Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
536
PEMERIKSAAN • Jitteriness, rewel/gelisah, hipotonia, tangis high-
FISIS pitch, tangis lemah
• Sianosis
• Kejang atau tremor
• Letargi, gangguan menghisap
• Apnea, takipnea
• Hipotermia
Pemeriksaan glukosa darah (ICD 9 CM: 90.5)
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
537
jika usia bayi > 48 jam gula darah harus dipertahankan di atas
60 mg/dL.
• Bayi asimtomatik:
Mulai diberikan minum peroral dalam 1 jam pertama,
kemudian 30 menit sesudahnya dilakukan pemeriksaan
kadar gula darah.
• Bayi simtomatik:
Apabila kadar gula > 25-<45 mg/dL diberikan bolus
glukosa 200 mg/kg (dekstrosa 10% dengan dosis 2 ml/kg)
dilanjutkan pemberian infus dekstrosa dengan GIR 5-8
mg/kg/menit (80-100 ml/kg/hari). Kadar glukosa plasma
yang diharapkan 40-50 mg/dL.
538
• Setelah koreksi hipoglikemia, monitoring gula darah
dilakukan kembali setelah 30 menit-1 jam paska koreksi.
539
GD <47 mg/dL
• I V bolus dekstrosa 10% 2 mL/kgBB • Nutrisi oral /enteral segera : ASI atau
** IVFD dekstrosa 10%, minimal 60 PASI , maksimal 100 mL/kg BB/hari
mL/kgBB/hari ( hari pertama ) sampai ( hari pertama )
mencapai GIR 6 - 8 mg/kgBB/menit • Bila ada kontraindikasi oral atau
• Ora l tetap diberikan bila tidak ada enteral → **
kontraindikasi
GD ulang (1 jam)
Dekstrosa ditingkatkan dengan cara:
• Volume ditingkatkan sampai maksimal
100 mL/kgBB/hari (hari pertama) atau
• Konsentrasi ditingkatkan: vena perifer
GD 36 - <47 mg/dL **
maksimal 12,5%, umbilikal 25%
GD > 47 mg/dL
Ulang GD tiap 2 - 4 jam , 15 me nit sebelum jadwal minum berikut, sampai 2 kali berturut - turut normal
PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia Bonam
Ad sanationam : Dubia Bonam
Ad fungsionam : Dubia Bonam
DAFTAR RUJUKAN Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. 97
Resuscitation ILCo. 98
McCormick M, Cooper P. 99
540
Queensland Clinical Guidelines. 100
USCF Children's Hospital. 101
Thompson-Branch A, Havranek T.102
Sweet CB, Grayson S, Polak M. 103
Thornton PS, Stanley CA, De Leon DD, Harris
D, Haymond MW, Hussain K,et. al. 104
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
541
DEFINISI Hiperbilirubinemia: Naiknya kadar bilirubin serum melebihi
normal.
Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi / indirek:
Peningkatan bilirubin serum tidak terkonjugasi di atas normal.
Hiperbilirubinemia terkonjugasi /
direk/ kolestasis:
Peningkatan kadar bilirubin direk >20% dari total bilirubin serum.
Ensefalopati bilirubin:
Deposit bilirubin tidak terkonjugasi/indirek pada basal ganglia
otak yang menimbulkan gangguan pada sistem susunan syaraf
pusat.
Hiperbilirubinemia terkonjugasi
• Warna kulit tampak kuning kehijauan
• BAB dempul / pucat
• Urin berwarna seperti teh
542
PEMERIKSAAN Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi:
FISIS • Warna kulit tampak kuning oranye
• Pada bayi kurang bulan, onset terjadinya lebih cepat dan
durasinya lebih lama
• Pada kejadian sefal hematom atau memar bisa terjadi
hiperbilirubinemia
• Pada anemia hemolitik tampak kuning disertai pucat dan
pletora.
• Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi yang berlanjut akan
terjadi bilirubin ensefalopati dengan gejala :
Tahap awal:
Tampak letargis, tidak mau menetek, tonus menurun, tidak
adanya refleks Moro dan tangisan melemah
Tahap intermediate:
Opistotonus/ retrocolis, hipertoni, gangguan kesadaran/iritabel,
demam, dan tangisan melengking.
Tahap lanjut:
Kerusakan SSP bersifat ireversibel, tangisan melengking, tidak
mampu menyusu, apne, demam, gangguan kesadaran hingga
koma dan kejang.
Hiperbilirubinemia terkonjugasi:
• Warna kulit kuning kehijauan
• Muntah
• Distensi abdomen dengan hepatomegali
• Mungkin disertai dengan tanda sepsis
• Kecenderungan mengalami perdarahan
• Dapat disertai mikrosefali maupun korioretinitis
543
• Golongan darah dan Rhesus dari bayi dan ibu (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan Coomb’s (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan hitung darah lengkap
(Hemoglobin, Hematokrit, morfologi sel darah merah) (ICD 9
CM: 90.5)
• Hitung retikulosit (ICD 9 CM: 90.5)
• Jika ada hemolisis dan tidak ada ketidaksesuaian Rhesus atau
ABO, mungkin diperlukan pemeriksaan hemoglobin
elektroforesis, penapisan G6PD atau pengujian kerentanan
osmotik untuk mendiagnosis defek sel darah merah (ICD 9
CM: 90.5)
Hiperbilirubinemia terkonjugasi:
• Sepsis berlanjut (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan fungsi hati (ICD 9 CM: 91.0)
• Penapisan TORCH (ICD 9 CM: 90.5)
• USG abdomen (ICD 9 CM: 88.76)
• Jika memungkinkan, penapisan metabolik (ICD 9 CM : V77)
544
Ikterus non-fisiologis
• Ikterus mulai sebelum berusia 24 jam
• Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dl/jam
• Total bilirubin serum sesuai dengan grafik dibawah untuk
dilakukan terapi sinar
Hiperbilirubinemia terkonjugasi:
• Kunci tata laksana hiperbilirubinemia terkonjugasi/direk
adalah mengidentifikasi penyebab dasar meningkatnya kadar
bilirubin serum.
• Fasilitas yang tidak dilengkapi dengan instrumen atau teknik
diagnostik yang diperlukan harus merujuk neonatus ke
fasilitas yang tingkatannya lebih tinggi.
• Terapi sinar tidak boleh digunakan pada kasus
hiperbilirubinemia terkonjugasi /direk
(sindrom bayi tembaga)
546
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
547
A. Penyebab obstetrik ► Kehilangan darah:
o Solusio Plasenta (Abruptio placenta) dan plasenta
previa
o Terpotongnya plasenta selama seksio
sesarea
o Robeknya tali pusat
3. Anemia hipoplastik
• Menurunnya produksi darah merah
• Penyebab,
antara lain: Infeksi seperti rubella atau
penekanan produksi oleh obat
548
PEMERIKSAAN • Hitung darah lengkap/CBC (hemoglobin dan
PENUNJANG hematokrit) (ICD 9 CM: 90.5)
• Hitung retikulosit (ICD 9 CM: 90.5)
• Sediaan apus darah (ICD 9 CM: 90.5)
• Uji Comb Direk (ICD 9 CM: 90.5)
• Bilirubin total dan bilirubin direk (ICD 9 CM: 91.0)
• Golongan darah (ABO) dan tipenya
(Rhesus) (ICD 9 CM: 90.5)
• Profil hemolitik (ICD 9 CM: 90.0)
• Penapisan TORCH jika tersedia (ICD 9 CM: 90.5)
• USG kepala dan perut (ICD 9 CM: 88.71 dan 88.76)
549
TERAPI • Kadar hemoglobin, hematokrit, dan bilirubin harus
diperiksa secara sering untuk memantau anemia pada
neonatus
• Transfusi darah utuh (whole blood) atau butir-butir
darah merah (10-20 ml/kg) dapat dipertimbangkan
dalam kondisi ini:
► Anemia perdarahan akut
► Penggantian defisit yang berlanjut
(on going)
► Dipertahankannya kapasitas pengangkutan oksigen
yang efektif
• Ht < 35%,
♦ Dengan penyakit kardiopulmoner
parah, misal IPPV dengan MAP > 6 cm H 2O
▪ Ht < 30%,
♦ Dengan penyakit kardiopulmoner ringan
hingga sedang (FiO2 > 35% dan
memakai CPAP)
♦ Apnea yang bermakna
♦ Penambahan berat badan < 10 g/hari
dengan asupan kalori penuh
♦ Denyut jantung > 180 per menit yang
bertahan selama
24 jam
♦ Jika menjalani pembedahan
▪ Ht < 21%,
♦ Tidak bergejala tetapi hitung retikulositnya
rendah
• Suplemen zat besi tidak disarankan pada neonatus
kurang bulan sebelum usia kehamilan 34 minggu,
karena akan meningkatkan peroksidasi lipid pada
membran sel darah merah akibat oksigen
terbatas, mekanisme scavenger radikal pada
neonatus dengan kelainan ini.
550
Panduan ambang batas Hb dan Ht untuk pemberian
tranfusi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 112
Penggunaan Furosemid:
• Tidak direkomendasikan pada penggunaan
rutin
• Pertimbangakan segera pemberiannya pada
bayi dengan kondisi:
• bayi dengan penyakit paru kronis
• bayi dengan PDA signifikan
• bayi dengan gagal jantung
• bayi dengan edema atau kelebihan cairan
551
4.28 Polisitemia neonatorum
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
POLISITEMIA NEONATORUM
(ICD 10: P61.1)
Insufisiensi plasenta
► Bayi kecil untuk masa kehamilan
(KMK)
► Kelainan darah tinggi pada ibu
► Postmaturitas
552
► Bayi yang lahir dari ibu dengan hipoksia kronis
(penyakit jantung)
► Kehamilan pada daerah dengan tingkat ketinggian
yang tinggi (high altitude)
► Ibu adalah perokok
Kondisi-kondisi lain:
► Bayi dari ibu diabetes melitus
► Bayi besar untuk masa kehamilan
(BMK)
► Dehidrasi
► Sindrom trisomi (terutama trisomi 21)
553
TERAPI ► Bayi tanpa gejala dengan hematokrit vena antara 65-
70% dapat ditangani dengan peningkatan asupan
cairan dan mengulang pemeriksaan hematokrit pada
4-6 jam.
► Sebagian besar ahli neonatologi, dalam ketiadaan
gejala, akan melakukan transfusi tukar ketika
hematokrit vena perifer > 70%, meskipun hal ini masih
ini bersifat kontroversial.
► Bayi yang mengalami gejala dengan kadar hematokrit
vena > 65% harus ditangani dengan melakukan
tranfusi tukar parsial. Pertukaran biasanya dilakukan
dengan albumin 5% atau salin normal untuk membuat
kadar hematokrit turun hingga 50%.
Rumus berikut ini digunakan untuk menghitung volume
tukar
Volume tukar dalam ml =
(Hct yg teramati–Hct yg diharapkan) X BB X volume darah Hct yang
teramati
554
Panduan Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Praktik Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
555
• Perdarahan intrakranial mungkin terjadi pada
trombositopenia yang parah
Investigasi
Evaluasi dari trombositopenia awitan dini (< 72 jam sesudah
lahir)
• Bayi prematur dengan onset awal trombositopenia ringan-
sedang yang terbukti insufisiensi placenta, investigasi lanjut
tidak diperlukan sampai hitung trombosit tidak membaik
dalam10-14 hari
• Bayi prematur tanpa insufifsiensi placaenta, investigasi
pertama adalah untuk sepsis
• Bayi cukup bulan investigasi untuk sepsis dan NAIT
• Apabila trombositopenia berat periksa skrining pembekuan
darah
• Lihat adanya perdarahan aktif atau ptekie yang tampak
• Apabila ada kecurigaan infeksi kongenital (misal LFT
abnormal, rash, riwayat maternal dsb) atau
trombositopenia persisten atau tidak bisa dijelaskan,
pemeriksaan infeksi kongenital misal serologi CMV dan
toksoplasma; cek status maternal untuk sifilis, rubella dan
HIV; skrining herpes simpleks dan enterovirus
• Riwayat kehamilan, terutama hitung jumlah trombosit,
obat-obatan, pre eklampsia. Riwayat keluarga adanya
gangguan perdarahan
• Mungkin berhubungan dengan kelainan bawaan (misalnya
trisomi, inherited syndrome)
556
KRITERIA Trombositopenia ringan: hitung trombosit 100-
DIAGNOSIS 150x109/L
Trombositopenia sedang: hitung trombosit 50-
100x109/L
Trombositopenia berat: <50x109/L
557
4.30 Hemorrhagic Disease of The Newborn (HDN) pada neonatus
ANAMNESIS Vitamin K diperoleh dari diet dan dari sintesis flora usus.
Faktor ini mengalami defisiensi pada hari pertama
kehidupan. Pada saat simpanan vitamin K ibu menurun
pada hari pertama, defisiensi vitamin K menjadi semakin
parah.
558
Pendarahan dapat terjadi pada satu atau beberapa area,
yakni: perdarahan daerah umbilicus, selaput lendir hidung
dan mulut, saat dilakukan sirkumsisi, vaksinasi, perdarahan
saluran cerna atau benjolan kepala yang muncul sejak dini
(sefalohematoma). Dapat pula terjadi perdarahan
intrakranial yang dapat mengancam jiwa.
HDN Dini
► Mungkin terjadi bersamaan dengan pemaparan
maternal terhadap obat yang mempengaruhi
koagulasi seperti anti koagulan, anti konvulsan, dan
anti tuberkulosis
HDN
► Klasik
Perdarahan biasanya terjadi di kulit,
gastrointestinal, atau berasal dari sunat
► Bayi tampak normal pada saat lahir, kemudian
perdarahan terjadi pada usia 1-7 hari
HDN Lambat
► Terjadi antara usia 1-3 bulan, biasanya dalam bentuk
perdarahan intra kranial
• Hitung trombosit normal (ICD 9 CM: 90.5)
PEMERIKSAAN
PENUNJANG • PT dan APTT memanjang (ICD 9 CM: 90.5)
559
DIAGNOSIS • Haemolytic disease of fetus and newborn
BANDING (ICD 10: P55))
• Other specified perinatal haematological
disorders (ICD 10: 61.8)
• Perinatal haematological disorder,
unspecified (ICD 10: 61.9)
TERAPI Pr ofilaksis
► Vitamin K1 (phytonadione) 0,5-1 mg.
DISSEMINATED INTRAVASCULAR
COAGULATION (DIC) PADA NEONATUS
(ICD 10: P60)
560
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
• Asfiksia
PEMERIKSAAN • Petekie
FISIS • Perdarahan gastrointestinal
• Keluar darah dari tusukan/lubang pada vena
(venipuncture)
• Perdarahan umum dari berbagai lubang pada tubuh
• Infeksi
561
DIAGNOSIS KERJA Disseminated intravascular coagulation of fetus
and newborn (ICD 10: P60)
DIAGNOSIS BANDING • Haemolytic disease of fetus and newborn (ICD
10: P55)
• Neonatal jaundice due to other excessive
haemolysis (ICD 10: P58)
• Anaemia of prematurity (ICD 10: P61.2)
• Congenital anaemia from fetal blood loss
(ICD 10: P61.3)
• Other congenital anaemias, not elsewhere
classified (ICD 10: P61.4)
• Other specified perinatal haematological
disorders (ICD 10:
61.8)
• Perinatal haematological disorder,
unspecified (ICD 10: 61.9)
TERAPI • Prinsip manajemen adalah memantau tanda vital,
mengkaji dan mendokumentasikan proses perdarahan
dan thrombosis, mengkoreksi hypovolemia, serta
memberikan prosedur pengobatan hemostasis dasar
sesuai indikasi
• Vitamin K 1,0 mg IM
562
4.32 Pengendalian infeksi di Unit Perawatan Neonatus
563
PENERAPAN Lingkungan Ruang Bayi
PENGENDALIAN • Ruang bayi harus terpisah dari lingkungan jalan dan
INFEKSI tidak ada jendela yang terbuka ke daerah luar.
• Semua jalan masuk ke ruang perinatologi harus ada
wastafel dengan keran yang bisa dibuka/ditutup
dengan siku atau kaki dan sabun cair serta handuk
sekali pakai untuk cuci tangan yang benar sebelum
masuk ruang bayi.
564
• Batasi jumlah orang di ruang bayi.
• Harus ada ruang atau daerah isolasi.
• Lantai ruang bayi harus bersih sesuai ketentuan PPI
• Linen di dalam inkubator harus diganti sekali sehari
atau jika terkontaminasi. Inkubator harus dibersihkan
dengan air steril sekali sehari atau jika terkontaminasi.
Inkubator harus diganti supaya bisa dibersihkan secara
menyeluruh dengan larutan hipoklorida
0,5%/antiseptik
• Setiap 5 hari untuk bayi <1000 gram
• Setiap minggu untuk bayi >1000 gram
• Label untuk menuliskan tanggal pembersihan harus
ditempel pada setiap inkubator
• Harus ada area yang khusus untuk melakukan
disinfeksi inkubator.
• Harus ada wastafel dinding di dalam ruang bayi, satu
untuk setiap tiga inkubator
• Pemisahan limbah dibagi atas:
• Sampah infeksius (kantung berwarna kuning)
Dressing bedah, kasa, verband, kateter, swab,
plester, masker, sarung tangan, kapas lidi, kantong
urin, sampah yang terkontaminasi dengan cairan
tubuh.
• Sampah domestik/rumah tangga
(kantong berwarna hitam)
Kertas, plastik, plastik bungkus spuit/infus, kardus,
kayu, kaleng, daun, sisa makanan, sampah yang
tidak terkontaminasi cairan tubuh pasien.
• Sampah benda tajam (kotak berwarna kuning)
Jarum suntik, pisau cukur, pecahan ampul, gelas
obyek, lancet, sampah yang memiliki
permukaan/ujung yang tajam.
565
• Semua limbah cair (darah, cairan lendir & sekresi)
dibuang di saluran air kotor dan disiram dengan air
dalam jumlah banyak.
• Semua limbah tajam dibuang kedalam penampungan
yang tahan tusukan dan air tidak pernah
memberikan dari tangan ke tangan untuk dibuang.
Petugas
Prosedur Cuci Tangan
• Gulung lengan baju hingga siku dan lepaskan semua
perhiasan.
• Sebelum masuk ruangan, cuci tangan secara seksama
selama tiga menit dengan sikat untuk cuci tangan pra
bedah yang basah dan larutan pencuci tangan
antiseptik. Mulai dari tangan, bawah kuku dan bagian
sisi jari.
• Bilas secara seksama dengan air
mengalir.
• Keringkan dengan tisu.
• Bilas tangan selama 15 detik atau lebih lama sebelum
menangani pasien berikutnya.
• Direkomendasikan untuk menggunakan sarung
tangan jika akan ada kontak dengan darah, cairan
tubuh, selaput lendir atau kulit yang tidak utuh.
Neonatus
• Tali pusat harus kering dan bersih.
• Salep/tetes mata profilaktik diberikan kepada semua
neonatus pada hari pertama.
• Neonatus yang dirujuk dari masyarakat harus
ditempatkan di area khusus di ruang bayi dan
langkah pencegahan untuk penanganan diterapkan
selama 72 jam pertama. Hal ini harus dinyatakan
dengan jelas pada inkubator atau pintu masuk
ruangan.
566
• Neonatus dalam kondisi berikut memerlukan isolasi
menurut kategori tertentu, yaitu :
• Infeksi stafilokokus
• Konjungtivitis bakteri
• Gastroenteritis
• Luka infeksius
• Infeksi yang menular melalui udara; varicella,
contohnya, memerlukan isolasi di ruang terpisah.
567
KEBIJAKAN • Petugas unit perawatan neonatus harus selalu
waspada kemungkinan penyebaran penyakit
oleh mereka kepada neonatus
• Petugas ruang bayi dianjurkan untuk melaporkan
adanya penyakit menular kepada penyelianya.
• Penyakit yang dapat dilaporkan adalah infeksi
stafilokokus kutaneus, penyakit pernapasan,
konjungtivitis dan gastroenteritis.
SEPSIS NEONATORUM
(ICD 10: P36)
568
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen
• Klasifikasi :
1. Early Onset (dini):
terjadi pada 72 jam pertama kelahiran dengan
manifestasi klinis yang mendukung, dengan
gejala sistemik yang berat.
Faktor risiko :
- Berat badan lahir rendah < 2500 gram atau
prematur
- Ibu dengan demam atau terbukti infeksi dalam 2
minggu sebelum persalinan
- Cairan ketuban bercampur mekonium atau
berbau
569
- Pecah ketuban lebih dari 24 jam
- Pemeriksaan vagina lebih dari 3 kali yang steril
atau 1 kali yang tidak bersih selama persalinan
- Persalinan tidak maju (kala 1 dan kala 2 lebih dari
24 jam)
- Asfiksia perinatal (Apgar skore <4 pada menit
pertama)
2) Intrapartum
Trauma kulit dan pembuluh darah selama persalinan,
atau tindakan
obstetri yang invasif
3) Postnatal :
Asfiksia, tindakan invasif seperti insersi intrumen dan
durasinya (misalnya pemasangan selang nasogastrik,
selang endotrakea, ventilasi mekanik, pemasangan
CVC, chest tube, transfusi darah atau transfusi tukar,
dan lumbal
570
PEMERIKSAAN Gejala tidak spesifik :
FISIS - Instabilitas suhu
- Letargi, sulit menyusu, menangis lemah
- Perfusi buruk, memanjangnya CRT
- Hipotonus, hilangnya refleks neonatal
- Bradikardi atau takikardi
- Gawat nafas, apnea, gasping
- Hipoglikemia atau hiperglikemia
- Asidosis metabolik
Gejala spesifik
- SSP : fontanel anterior menonjol, tangis
melengking, iritabel, stupor atau koma, kejang,
tatapan kosong, dan leher kaku. Dipertimbangkan
meningitis
- Sistem kardiovaskular : hipotensi, perfusi buruk,
syok
- Sistem gastrointestinal : intoleransi buruk,
muntah, diare, distensi abdomen, ileus paralitik,
NEC
- Hepatik : hepatomegali, hiperbilirubinemia direk
- Ginjal : gagal ginjal akut
- Hematologi : perdarahan, ptekiae, purpura
- Perubahan kulit : pustula multipel, abses,
sklerema, mottling, kemerahan dan sekret di
sekitar umbilikal.
571
• Kultur darah (ICD 9 CM: 90.52)
• Lumbal pungsi (ICD 9 CM: 03.31)
• Biomarker: reaktan fase akut [C-reactive protein
(CRP), procalcitonin (PCT), Serum
Amiloid-A (SAA), LipopolysacharideBinding
Protein (LBP)], sitokin [tumor necrosis factor
(TNF), interleukin 1 (IL-1), IL-2, IL-8 dan interferon
gamma (IFN-γ)] dan sel antigen permukaan [cluster
differentiation (CD) 11b, reseptor FcgI-III (CD64,
CD32, dan CD16), CD69]. (ICD 9 CM: 90.5)
• Laboratorium :
o Leukositosis (> 34.000 x 109/L) o Leukopenia (<
4.000 x 109/L) o Netrofil muda >10%
572
DIAGNOSIS • Congenital viral diseases (ICD 10: P35)
BANDING • Other congenital infectious and parasitic
diseases (ICD 10: P37)
Antibiotik sesuai pola kuman di rumah sakit masing-
TERAPI
masing
EDUKASI Kenali tanda dan gejala sepsis pada neonatus
Lakukan cuci tangan secara efektif
Tata laksana dengan komprehensif
573
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
574
PEMERIKSAAN Tanda penurunan perfusi:
FISIS • SSP : iritabilitas, letargi, dan koma
• Sistem kardiovaskular : takikardia, hipotensi
dan pemanjangan CRT
• Paru : takipnea, merintih, retraksi
• Ginjal : oliguria, anuria dan uremia
• Kulit : pucat, kutis marmorata, ekstremitas dingin,
perfusi buruk, dan sianosis.
PEMERIKSAAN Umum
PENUNJANG Darah perifer lengkap, elektrolit, glukosa
(ICD 9 CM: 90.5)
C-reactive protein (ICD 9 CM: 90.5)
Analisis gas darah (ICD 9 CM: 89.65)
Syok septik
Kultur darah, CSF, urine, dan sumber infeksi lainnya (ICD 9
CM: 90.52; 90.02 dan
91.32)
Syok kardiogenik
Elektrokardiografi (ICD 9 CM: 89.52)
575
TERAPI Tata Laksana Umum
• Bolus intravena sejumlah 20 ml/kg normal salin (bisa
diulang dua kali).
• Bila ada perdarahan dapat diberikan transfusi darah
dan komponennya.
• Jika tidak terdapat respons, dapat ditambahkan agen
inotropik.
• Agen inotropik: mulai dengan infus dopamin 5-10
mcg/kgBB/menit kemudian tambahkan dobutamin (5-
20 mcg/kgBB/menit)
• Mengoreksi hipoksia dan memberikan dukungan
pernapasan sesuai dengan kebutuhan.
• Mengoreksi hipoglikemia dan ketidakseimbangan
elektrolit jika ditemui.
576
Panduan Praktik TanggalTerbit/Revisi
DITETAPKAN
Klinis
KETUA PP IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
577
PEMERIKSAAN ▪ Adanya bunyi murmur (tergantung penyakit jantung
FISIS kongenital)
▪ Mean arterial pressure (MAP) melebar (interval
normal antara tekanan darah sistolik dan diastolik
bervariasi sesuai dengan usia gestasi)
▪ Sianosis yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespon
terhadap terapi O2 dengan atau tanpa disertai bising
jantung. Pertimbangkan kemungkinan penyakit
jantung kongenital sianotis.
▪ Jika saturasi oksigen dibawah normal (< 90%)
dipertimbangkan kemungkinan penyakit jantung
kongenital sianosis.
▪ Adanya perbedaan saturasi oksigen di ekstremitas atas
dan bawah > 10% dipertimbangkan kemungkinan
koartasio aorta.
Gagal jantung:
• Takipnea dan takikardia
• Peningkatan usaha napas
• Pengisian ulang kapiler memanjang
578
TERAPI Terapi suportif
▪ Restriksi cairan
▪ Diuretik apabila dicurigai adanya kelebihan beban
cairan (periksa penambahan berat yang berlebihan
dan edema perifer). Dapat dipertimbangkan pemberian
:
-Spironolakton 1-2 mg/kgBB/kali
- Furosemid 1-2mg/ kgBB/kali
▪ Oksigenasi yang memadai, hati-hati pemberian oksigen
terlalu tinggi pada penyakit jantung kongenital sianotik.
▪ Parasetamol diberikan pada bayi prematur dengan PDA
yang menimbulkan gangguan hemodinamik secara
klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan
ekokardiografi, dengan dosis 1015mg/kgBB/6jam
selama 5 hari atau ibuprofen selama 3 hari dengan
dosis 10 mg/kg hari pertama, dilanjutkan 5 mg/kg pada
hari kedua dan ketiga.
Terapi pembedahan
▪ Ligasi PDA dilakukan pada bayi prematur dengan PDA
yang menunjukkan gejala hemodinamik yang signifikan
yang tidak memberikan respons dengan obat-obatan
atau terdapat kontraindikasi
medikamentosa
Gagal jantung:
▪ Atasi penyebab
▪ Oksigen yang memadai
▪ Perlu rujukan segera ke pusat perawatan khusus yang
memiliki tenaga ahli jantung anak
579
4.36 Pemberian ASI di fasilitas kesehatan
580
3. Menginformasikan kepada ibu hamil yang dirawat di
rumah sakit yang berisiko melahirkan bayi prematur
atau bayi sakit tentang manajemen laktasi dan
menyusui, serta manfaat menyusui
4. Mendorong terjadinya kontak kulit ke kulit sedini
mungkin, berkelanjutan, dan dalam jangka panjang
tanpa pembatasan yang tidak perlu
5. Menunjukkan kepada ibu cara memulai dan
mempertahankan laktasi, serta mulai menyusui dini
dengan stabilitas bayi sebagai satu-satunya kriteria
6. Tidak memberikan makanan atau minuman selain ASI,
kecuali ada indikasi medis
7. Membiarkan ibu dan bayinya bersamasama selama
24 jam sehari
8. Mendorong pemberian ASI berdasarkan demand
atau, saat diperlukan, semidemand, sebagai strategi
peralihan bagi bayi prematur dan sakit
9. Memakai alternatif botol hingga menyusui bisa
dilakukan dan menggunakan dot dan nipple shields
hanya jika ada alasan yang jelas
10. Menyiapkan orang tua untuk terus menyusui dan
memastikan akses terhadap kelompok pendukung ASI
setelah keluar dari rumah sakit
581
e. Lakukan kontak kulit dengan kulit dengan cara
meletakkan bayi di atas dada ibu, menghadap ibu,
dan tutupi keduanya dengan kain atau selimut
f. Biarkan bayi mencari payudara ibu sendiri. Ibu akan
merangsang bayinya dengan sentuhan dan bisa juga
membantu memposisikan bayinya lebih dekat
dengan puting (jangan memaksakan memasukkan
puting susu ibu ke mulut bayi)
g. Teruskan kontak kulit dengan kulit hingga menyusui
pertama kali berhasil dilselesaikan dan selama bayi
menginginkannya.
h. Ibu yang melahirkan melalui sectio caesaria juga bisa
melakukan kontak kulit dengan kulit setelah bersalin
i. Bayi dipisahkan dari ibunya untuk ditimbang, diukur
dan diberikan obat preventif setelah menyusu awal.
Tunda prosedur yang invasif atau membuat stress
seperti menyuntik vitamin K dan menetesi mata bayi
j. Jangan memberikan minuman atau makanan
pralaktal, kecuali ada indikasi medis yang jelas.
582
PENCEGAHAN Pembengkakan
MASALAH DALAM • Memberikan ASI yang sering dan sesuai permintaan
MENYUSUI • Pemberian kompres hangat akan membantu saluran
ASI tetap terbuka dan ASI mengalir.
• Masase payudara dengan lembut
• Pengeluaran ASI dengan tangan bisa membantu
mencegah pembengkakan
Puting Lecet
• Pengeluaran ASI untuk merangsang
aliran ASI
• Masase payudara untuk menjaga patensi saluran ASI
• Memulai pemberian ASI dari payudara yang tidak
sakit atau tidak terkena
• Posisikan bayi dengan hati-hati, dekat dengan ibu
untuk memastikan kelekatan yang tepat
• Perubahan posisi yang sering akan membantu
mencegah iritasi jaringan
Puting Lecet
• Puting harus tetap bersih dan kering untuk
mempercepat pemulihan
• Puting harus dibilas dengan ASI yang dikeluarkan
(bukan sabun atau alkohol)
583
ASUHAN BAYI • Jika bayi kelihatan mengisap dengan lemah atau
YANG KESULITAN tidak efektif, pengeluaran ASI dengan tangan akan
MENYUSU membantu memulai refleks let down dan
merangsang bayi untuk menetek.
• Bayi dengan refleks isap dan menelan yang tidak
terkoordinasi atau kelainan mengisap harus
dievaluasi selama menetek untuk mengetahui
apakah dengan posisi yang berbeda hasilnya lebih
baik. Metode alternatif, seperti menggunakan
sendok, cangkir atau sonde dapat dipertimbangkan.
• Bayi yang menunjukkan kesulitan menetek harus
dievaluasi menurut protokol berikut
• Mengkaji riwayat perinatal
• Melakukan penilaian fisik yang seksama termasuk
tanda vital dan status kardiopulmonal sebelum dan
selama menetek. Terutama amati koordinasi refleks
isap-menelannapas.
• Oksimetri mungkin bermanfaat selama evaluasi.
Jika perlu, pertimbangkan pemberian oksigen
tambahan melalui kanula hidung atau tiupan
oksigen.
• Selama pemberian ASI bagi bayi berisiko atau
kurang bulan, suhu harus dipertahankan dengan
kontak kulit dengan kulit dan topi.
• Kenaikan berat badan dan asupan nutrisi harus
dipantau.
Indikasi
TEKNIK
1. Pembengkakan payudara
MEMERAH ASI
584
2. BBL sakit dan berisiko yang memerlukan asupan
alternatif
3. Ibu tidak hadir untuk menyusui dan
ASI harus disimpan
Panduan
1. Cuci tangan sampai bersih dengan sabun
2. Jika mungkin, perah ASI di tempat yang tenang dan
santai. Bayangkan anda sedang berada di tempat
yang menyenangkan. Pikirkan hal menyenangkan
mengenai bayi anda. Kemampuan anda untuk
merasa santai
585
akan membantu refleks pengeluaran ASI yang lebih
baik.
3. Berikan kompres hangat dan lembab pada payudara
anda selama 3-5 menit sebelum mengeluarkan ASI
4. Pijat payudara anda dengan gerakan melingkar, ikuti
dengan pijatan lembut pada payudara dari sisi luar
ke arah puting
5. Stimulasi puting dengan lembut dan tarik sedikit ke
arah luar atau memutarnya dengan jari
6. Duduk dengan nyaman dan pegang wadah di dekat
payudara
7. Tempatkan ibu jari di bagian atas payudara pada tepi
areola (jam 12) dan jari telunjuk di bawah payudara
pada tepi areola (jam 6). Jari-jari yang lain
menyangga payudara
8. Tekan ke arah belakang kearah dinding dada,
kemudian kearah depan kearah puting tanpa jari-jari
bergesar .Ibu jari dan telunjuk – ibu harus menekan
sinus laktoferus yang ada di belakang areola.
Kadang-kadang sinus dapat teraba seperti biji
kacang. Bila ibu dapat meraba sinus ini, ibu dapat
menekan di atasnya
9. Tidak boleh ada rasa sakit – bila ada rasa sakit
berarti tekniknya salah.
10. Mungkin awalnya tidak ada ASI yang keluar, tapi
menekan beberapa kali, ASI akan mulai menetes. ASI
akan mulai mengalir lebih lancar bila refleks
oksitosin menjadi aktif.
11. Ulangi dengan pola yang teratur, tekan pada
bagian payudara yang berbeda untuk mengosongkan
semua sinus
586
12. Hindari menggosok dengan jari di atas kulit
payudara. Gerakan jari harus memutar.
13. Hindari memerah puting. Menekan atau menarik
puting tidak akan membuat ASI keluar. Hal ini juga
terjadi apabila bayi hanya mengisap puting.
14. Perah setiap payudara selama 3-5 menit sampai
aliran makin sedikit kemudian perah payudara yang
satu lagi, kemudian ulangi pada kedua payudara
15. Masukkan ASI yang sudah diperah, langsung ke
dalam wadah yang bersih (gunakan gelas kaca atau
plastik keras)
16. Setiap kali memerah ASI, mungkin jumlah ASI
yang keluar akan berbeda
17. Setelah selesai, oleskan beberapa tetes ASI pada
setiap puting dan biarkan kering sendiri
18. Tampilan ASI berubah selama pemerahan. Pada
beberapa sendok pertama, ASI akan terlihat bening
dan kemudian ASI akan menjadi putih susu.
Beberapa obat, makanan, vitamin, mungkin akan
sedikit merubah warna ASI. Lemak ASI akan naik ke
atas apabila disimpan
19. Jelaskan bahwa memerah ASI perlu waktu 20-30
menit terutama pada beberapa hari pertama apabila
hanya sedikit ASI yang diproduksi. Penting diketahui
untuk tidak memerah untuk waktu yang lebih
pendek
20. ASI yang disimpan harus ditutup rapat dan diberi
label bertuliskan tanggal, waktu dan jumlah.
Kemudian segera dinginkan atau bekukan.
587
Memerah ASI secara mekanis
Teknik
• Air susu ibu perah dapat disimpan dalam botol kaca
(pyrex), plastic keras (polypropylene) atau
kantong plastik (polyurethane).
• Plastik keras atau kaca merupakan tempat
penyimpanan ASI yang disertai segel kedap udara
sehingga dapat menyimpan ASI lebih lama.
• Kaca dan polypropylene memiliki pengaruh yang
sama terhadap kandungan lemak, imunoglobulin A
dan jumlah sel darah putih.
• Kantong plastik khusus ASI dapat digunakan untuk
penyimpanan ASI dalam waktu yang lebih singkat
(<72 jam).
• Kantong plastik khusus ASI tidak disarankan untuk
penggunaan jangka lama oleh karena mudah
tumpah, terkontaminasi bakteri, dan beberapa
komponen ASI mudah melekat pada plastik.
• Wadah untuk penyimpanan ASI tidak boleh
mengandung Bisphenol A karena bersifat mutagenik.
Panduan
1. Cuci tangan sampai bersih
2. Jika memungkinkan, perah ASI di tempat yang tenang
dan santai. Bayangkan anda sedang berada di tempat
yang menyenangkan. Pikirkan hal menyenangkan
tentang bayi anda. Kemampuan anda untuk merasa
santai akan membantu refleks pengeluaran ASI yang
lebih baik.
588
3. Berikan rasa hangat yang lembab pada payudara
Anda selama 3-5 menit sebelum mengeluarkan ASI
4. Pijat payudara anda dengan gerakan melingkar, ikuti
dengan usapan lembut pada payudara dari sisi luar
payudara menuju puting
5. Stimulasi puting anda dengan lembut dan tarik
sedikit ke arah luar atau memutarnya dengan jari
6. Ikuti instruksi umum yang tercantum pada pompa
payudara
7. Aliran ASI akan bervariasi. Selama beberapa menit
pertama ASI mungkin menetes lambat dan kemudian
memancar kuat setelah ASI keluar. Pola ini akan
berulang beberapa kali selama pengeluaran ASI dari
kedua payudara.
8. Jumlah ASI yang diperoleh pada setiap pengeluaran
mungkin bervariasi dan ini adalah hal yang biasa
9. Ketika sudah selesai, oleskan beberapa tetes ASI
pada setiap puting dan biarkan kering oleh udara
10. Penampilan ASI anda akan berubah selama
pengeluaran. Beberapa sendok pertama akan
terlihat bening dan setelahnya ASI akan berwarna
putih susu. Sejumlah obat, makanan dan vitamin
juga dapat sedikit mengubah warna ASI anda. Lemak
susu akan berada di bagian atas ASI ketika ASI
disimpan.
11. Jika akan disimpan, tutup dan beri label pada
wadah yang bertuliskan tanggal, waktu dan
jumlahnya segera setelah dikeluarkan.
PEMBERIAN ASI Bayi prematur yang diberikan nutrisi per oral lebih baik
PADA BAYI diberikan berdasarkan tanda lapar bayi dibandingkan
PREMATUR diberikan terjadwal, kecuali jika bayi tertidur lebih dari 3
jam setelah minum terakhir
589
ASI DONOR • Pilihan kedua bila ASI tidak tersedia
• Harus menjalani skrining untuk menghindari risiko
infeksi (HIV, CMV, hepatitis, sifilis) atau kontaminasi
toksik (obat, narkotik, alkohol, tembakau).
• Tes mikrobiologi dan pasteurisasi dilakukan pada ASI
donor untuk menghindari kontaminasi bakteri atau
virus.
• Pengolahan dan pemberian ASI donor harus
memenuhi persyaratan skrining donor ASI,
penyimpanan, dan prosedur pengolahan untuk
memastikan keamanan dan optimalisasi kandungan
zat gizi ASI donor.
MENCAIRKAN ASI • Cairkan ASI beku dengan memindahkan ASI beku ini
dari freezer ke lemari es ( refrigerator) selama satu
malam .
• Rendam susu sambil diputar-putar dalam mangkuk
berisi air hangat. Panas
berlebihan akan merubah atau menghancurkan
enzim dan protein.
• Cairkan seluruhnya karena lemak terpisah saat proses
pembekuan.
• Jangan pernah menggunakan microwave untuk
mencairkan atau menghangatkan ASI.
• Setelah dicairkan, ASI harus digunakan dalam waktu
24 jam
590
MEMBEKUKAN • Membekukan kembali ASI yang telah dicairkan atau
KEMBALI ASI dicairkan setengah tidak dianjurkan. Pertimbangan
ini berlaku saat membawa ASI ke rumah sakit atau
pulang ke rumah. Disarankan untuk menjaga ASI
sedingin mungkin tanpa membekukannya dan hanya
membekukannya ketika ASI sudah sampai di tujuan
akhir.
• Menggunakan sisa ASI yang tidak habis (ASI yang
dihangatkan untuk persiapan pemberian minum)
• Jangan gunakan kembali bagian ASI yang tidak habis
di botol karena mungkin telah terkontaminasi oleh
air liur BBL.
591
DEFINISI Neonatus berisiko tinggi: bayi baru lahir yang berisiko lebih
besar untuk mengalami komplikasi yang dapat terjadi dalam
periode janin, saat persalinan atau pada periode pasca
persalinan
592
3. ASI Donor merupakan pilihan kedua bila ASI tidak
tersedia.
4. Human Milk Fortifier (HMF) perlu dilakukan pada
BBLSR (berat lahir <1500 gram) yang mendapat ASI. Zat gizi
kunci HMF adalah protein dan dapat dibuat dari susu sapi
atau ASI, serta dapat berupa cair atau bubuk.
Satu saset HMF yang dilarutkan ke dalam 25 ml ASI akan
menambah kalori sebanyak 4 kkal/oz sehingga kalori
ASI+HMF menjadi 24 kkal/oz, sedangkan bila satu saset
HMF dilarutkan ke dalam 50 ml ASI akan menambah kalori
sebanyak 2 kkal/oz sehingga kalori ASI+HMF menjadi 22
kkal/oz.
HMF juga mengandung elektrolit, makromineral,
mikromineral, dan vitamin sehingga dapat mencukupi
kecukupan bayi prematur yang lebih tinggi dari bayi cukup
bulan.
5. Hindmilk diperlukan bila HMF tidak memungkinkan,
pemberian hindmilk untuk membantu meningkatkan berat
badan bayi prematur bisa dijadikan alternatif.
6. Formula prematur merupakan formula medis khusus
dengan energi berkisar 80 kkal/100 ml, protein 2,0-2,4
g/100 ml dan diperkaya mineral, vitamin, dan trace
elements untuk mendukung kecukupan nutrisi bayi
prematur agar dapat mencapai laju pertumbuhan
intrauterin.
7. Nutrient-enriched formula atau postdischarge
formula (PDF) pada awalnya dirancang khusus untuk bayi
prematur yang dipulangkan dari rumah sakit. Kandungan
energi berkisar 72-74 kkal/100 ml, kandungan protein 1,8-
1,9 g/100 ml dan diperkaya dengan mineral, vitamin, dan
trace elements.
8. Formula standar dirancang untuk bayi cukup bulan
berdasarkan komposisi ASI matur, yaitu kandungan energi
66-68 kkal/100 ml, konsentrasi protein berkisar 1,4-1,7
g/100 ml, kalsium sekitar 50 mg/100 ml dan fosfat 30
mg/100 ml. Komposisi tersebut tidak cukup untuk
memenuhi
593
kebutuhan nutrisi BBLSR (<1500 gram) dalam fase kejar
tumbuh. Formula standar dapat diberikan pada bayi
prematur yang telah mencapai usia koreksi 0 minggu dan
indikator antropometri menurut grafik WHO 2006
menunjukkan BB menurut usia berada antara -2 sampai +2
z-score dan panjang bayi mencapai 45 cm
594
pastikan saluran cerna dan kondisi hemodinamik baik.
Dapat diberikan dengan NGT atau OGT.
FREKUENSI
DAN VOLUME Tabel 14. Frekuensi dan volume nutrisi enteral bayi
NUTRISI prematur
153
ENTERAL
BBLASR BBLSR
BAYI
Jenis cairan ASI ASI
PREMATUR Mulai 6−48 jam pertama 6−48 jam pertama
Minimal enteral 0,5 ml/kg/jam atau 1 ml/kg/jam atau
feeding 1 ml/kg/2 jam 2 ml/kg/2jam
(MEF)
Durasi MEF 1−4 hari 1−4 hari
Peningkatan 15−25 ml/kg/hari 20−30 ml/kg/hari
minum
Continues +0,5 ml/kg/jam tiap +1 ml/kg/jam tiap 8
feeding 12 jam jam
Intermittent +1 ml/kg/jam tiap 12 +1 ml/kg/jam tiap 8
feeding/ 2 jam jam jam
HMF Sebelum 100 Sebelum 100
ml/kg/hari ml/kg/hari
Target energy 110−130 110−130 kkal/kg/hari
kkal/kg/hari
Target asupan 4−4,5 g/kg/hari 3,5−4 g/kg/hari
protein
PEMANTAUAN
Jangka Pendek
- Akseptabilitas yaitu penilaian perbandingan asupan
yang masuk secara aktual terhadap preskripsi nutrisi
yang direncanakan dokter.
- Toleransi, meliputi penilaian adanya muntah, diare,
residu lambung, food adverse reaction pada
pemberian nutrisi enteral atau oral; parameter
biokimia dan klinis pada pemberian nutrisi parenteral.
- Efisiensi yaitu menilai kenaikan berat badan
595
Tabel 15. Pemantauan laboratorium terkait pemberian
nutrisi pada bayi prematur 154, 155
Nutrisi Enteral
Hemoglobin dan hematokrit 1 x seminggu (sesuai
indikasi)
Glukosa serum 1 x (nilai baseline)
Elektrolit Sesuai indikasi
Ca, Mg dan P darah 1 x (nilai baseline)
Trigliserida Sesuai indikasi
Jangka Panjang
Pemantauan Pertumbuhan
- Berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala diukur
secara berkala. Kecepatan penambahan berat badan
(weight velocity) diukur setiap hari, dalam rangka
mendeteksi dini adanya weight faltering dan
melakukan tata laksana yang tepat untuk
menanggulanginya.
Osteopenia Prematuritas
- Pada bayi prematur, deteksi dan pemantauan
osteopenia prematuritas sebaiknya dilakukan bila umur
gestasi <34 minggu dan BB lahir <1800 gram. Temuan
yang khusus pada osteopenia prematuritas ini berupa
penurunan kadar
596
ion kalsium (Ca2+) dan fosfor serta peningkatan serum
alkali fosfatase (ALP).
597
Indikasi untuk penilaian ulang dari status kalsium, fosfor, dan
alkali fosfatase:
- Satu bulan pascaperawatan untuk semua bayi dengan
BB lahir <1500 gram dan bayi IUGR dengan BB lahir
<1800 gram.
- Satu bulan pascaperawatan, jika hasil laboratorium
saat keluar RS (tidak diketahui) diluar dari nilai
rujukan.
- Jika bayi prematur mengalami pergantian dari ASI ke
susu formula <3 bulan usia koreksi
- Jika asupan dan kecepatan pertumbuhan bayi
prematur berada di bawah batas bawah garis
pertumbuhan.
598
4.38 Tatalaksana nutrisi parenteral pada neonatus
599
KECUKUPAN Bertujuan menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
CAIRAN pada fase diuresis dan mencegah kehilangan cairan
ekstraseluler pada fase pascadiuresis.
Karbohidrat
Pemberian glukosa pada bayi prematur harus dimulai
dalam 24 jam pertama pascalahir dengan kecepatan infus
glukosa (glucose infusion rate, GIR) pada usia gestasi
<32 minggu 6-8 mg/kgBB/menit dan pada usia gestasi >32
minggu 4-6 mg/kgBB/menit, kemudian ditingkatkan
bertahap 1-2 mg/kgBB/menit sampai mencapai kecukupan
maksimal dukungan NPT dengan GIR 12-13
mg/kgBB/menit.
600
Protein
Pemberian protein 2,5 g/kgBB/hari pada 24 jam pertama
pascalahir, ditingkatkan 0,5-1 g/kgBB/hari. Dosis maksimal
protein pada minggu pertama adalah 3,5-4 g/kgBB/hari.
Untuk 1 g protein membutuhkan 20-25 kkal non protein.
Pemberian dosis 1,5 kgBB/hari pada hari pertama
pascalahir ditoleransi dengan baik karena dapat memenuhi
kecukupan protein, mencegah katabolisme protein,
menjaga keseimbangan nitrogen sehingga tercapai
peningkatan tumbuh kembang.
Manfaat lain adalah meningkatkan toleransi glukosa,
mengurangi risiko hiperglikemia melalui sekresi insulin
endogen dan glukoneogenesis.
Protein dalam sediaan nutrisi neonatus harus mengandung
conditionally essential amino acid, yaitu tirosin,
sistein, taurin, histidin, glisin, glutamin, dan arginin.
Mulai infus asam amino, jika tersedia, pada usia dua hari
dengan jumlah 0,5-1,0 g/kg/hari.
Lemak
Pemberian lipid intravena pada bayi prematur dimulai
dalam 24 jam pertama pascalahir dengan dosis 0,5- 1
g/kgBB/hari dinaikkan bertahap sebanyak 0,5-1
g/kgBB/hari sampai mencapai 3-3,5 g/kgBB/hari
KECUKUPAN Elektrolit
MIKRONUTRIEN Kebutuhan natrium (Na) bervariasi pada minggu
pertama sebesar 0-3 mEq/kgBB/hari.
Setelah terdapat diuresis awal, dapat diberikan natrium (Na)
dan kalium (K) dengan dosis 2-3 mEq/kgBB/hari disesuaikan
dengan kondisi klinis dan kadar elektrolit.
Saat asupan cairan mencapai 150 mL/KgBB/hari, cairan
parenteral haruslah mengandung 12.5-15 mmol/L Ca
elemental and 13-15 mmol/L Phospor.
Kebutuhan Ca, P, dan Mg dalam nutrisi enteral bayi
prematur dihitung berdasarkan
601
kandungan komposisi Ca, P, dan Mg dalam ASI dan
variabilitas penyerapan elektrolit tersebut berdasarkan usia
gestasi (Ca2+:40-
70 %, P:60-95%, Mg:40%)
Trace Elements
Besi
Penting dalam perkembangan otak fetus dan neonatus
Pemberian suplementasi besi untuk BBLSR yang mendapat
ASI bila bayi telah memasuki fase pertumbuhan (growing
care), umumnya dimulai pada usia 2 minggu dengan dosis
2 mg/kgBB/hari dan dievaluasi setelah pemberian 3 bulan
untuk ditentukan apakah dilanjutkan atau tidak.
Zinc
Asupan zinc minimal 1,4-2 mg/kgBB/hari diperlukan untuk
mencapai pertumbuhan optimal pada bayi prematur.
Rekomendasi terkini untuk asupan zinc enteral pada bayi
prematur adalah 1-2 mg/kg/hari atau maksimal 1-3
mg/kg/hari.
KECUKUPAN Vitamin A
VITAMIN Dapat menurunkan kematian, kebutuhan oksigen pada 1
bulan, serta kebutuhan oksigen pada usia 36 minggu masa
gestasi.
Vitamin D
Pada bayi yang mendapat ASI eksklusif atau parsial untuk
mendapat vitamin D 400 IU/hari selama minimal setahun
pertama kehidupan. Bayi yang tidak mendapat ASI juga
sebaiknya mendapat suplementasi, sampai 32 fl.oz. (1000
ml) per hari susu formula fortifikasi vitamin D.
Vitamin E
Diet pada bayi prematur sebaiknya mengandung minimal 1
IU vitamin E/gram asam linoleat, setara ± 0.6 mg δ-
602
tocopherol/gram polyunsaturated fatty acids (PUFA).
Bayi prematur yang mendapat nutrisi enteral dan suplemen
multivitamin, di mana asupan setiap harinya mengandung 5
IU vitamin E, mendapat ±5–10 IU/kg/hari vitamin E, tetapi
untuk nutrisi parenteral kadarnya lebih rendah.
Jangka pendek :
- Akseptabilitas yaitu penilaian perbandingan
asupan yang masuk secara aktual terhadap preskripsi
nutrisi yang direncanakan dokter.
- Toleransi, meliputi penilaian adanya muntah, diare,
residu lambung, food
603
adverse reaction pada pemberian nutrisi enteral
atau oral; parameter biokimia dan klinis pada
pemberian nutrisi parenteral.
- Efisiensi yaitu menilai kenaikan berat badan
Jangka panjang:
- Untuk menilai pertumbuhan dan osteopenia
prematuritas
604
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Pembagian tingkatan kompetensi pada pelayanan neonatus diperlukan dalam sistem
Kesehatan Nasional sesuai dengan beberapa Peraturan Menteri Kesehatan yang
terkait dengan ini.
2. Tingkatan pelayanan neonatus juga bermanfaat pada sistem pembiayaan kesehatan
pada era JKN saat ini
3. Panduan pelayanan neonatal diperlukan sebagai upaya menuju standarisasi terutama
dengan lebarnya disparitas jumlah ATM, fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan
panduan prosedur yang sama.
4. Inti dari panduan pelayanan neonatal adalah PNPK dan PPK
4.2 Saran
1. Tingkat kompetensi pelayanan neonatus akan selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan IPTEK, untuk itu revisi panduan pelayanan neonatal harus selalu
dilakukan seiring dengan berlangsungnya perkembangan IPTEK, khususnya PPK
minimal dua tahun sekali.
2. Revisi juga harus dilakukan pada kodifikasi diagnosis dan prosedur di bidang
neonatologi seiring dengan perkembangan IPTEK.
3. Revisi dilakukan oleh masing-masing unit layanan neonatus sesuai dengan kapasitas
yang dimiliki, tetapi tetap mengikuti panduan pelayanan neonatal yang disepakati.
DAFTAR RUJUKAN
605
7. Ha J, Longnecker N. Doctor-patient communication: a review. Ochsner J.
2010;10:38-43.
8. Kementrian Kesehatan RI. Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Jakarta
Kemenkes; 2018.
9. Ballard J, Khoury J, Wedig K, Wang L, Eilers-Walsman B, Lipp R. New Ballard
Score, expanded to include extremely premature infants. J Pediatr.
1991;119(3):417-23. 10. McCance D, McNamara M. HSE Guidelines for the
Management of Pregestational And Gestational Diabetes Mellitus from Pre-
conception to the Postnatal period. 2010:188.
11. Gonzalez NG, Davila EG, Castro A, Padron E, Plasencia W. Effect of pregestational
diabetes mellitus on first trimester placental characteristics: three-dimensional
placental volume and power Doppler indices. Placenta. 2014;35(3):147-51.
12. Qadir SY, Yasmin T, Fatima I. Maternal and foetal outcome in gestational
diabetes. Journal of Ayub Medical College Abbottabad. 2012;24(3-4):17-20.
13. Noctor E, Dunne FP. Type 2 diabetes after gestational diabetes: the influence of
changing diagnostic criteria. World journal of diabetes. 2015;6(2):234.
14. Duckitt K, Harrington D. Risk factors for pre-eclampsia at antenatal booking:
systematic review of controlled studie. Bmj 2005;330(7491):565.
15. Children's Hospital of Orange Country. Tracheoesophageal fistula/ esophageal
atresia care guideline 2016 2016 [Available from:
https://www.choc.org/wp/wpcontent/uploads/2016/06/
TracheoesophagealFistula_EsophagealAtresiaCareGuideline.pdf.
16. Mielniczuk M, Kusza K, Brzeziński P, Jakubczyk M, Mielniczuk K,
CzerwionkaSzaflarska M. Current guidelines on management of congenital
diaphragmatic hernia.
Anesthesiol Intensiv Ther. 2012;44(4):232-7.
17. Akangire G, Carter B. Birth injuries in neonates. Pediatrics 2016;37(11):451-62.
18. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku resusitasi neonatus 2017.
19. Wiegersma J, Droogh J, Zijlstra J, Fokkema J, Ligtenberg J. Quality of inter
hospital transport of the critically ill: impact of a mobile intensive care unit with
a specialized retrieval team. Crit Care. 2011;15:R-75.
20. Iwashyna T, Courey A. Guided transfer of critically ill patients: where patients are
transferred can be an informed choice. Curr Opin Crit Care. 2011;17:641-7.
21. Lim M, Ratnavel N. A prospective review of adverse events during inter hospital
transfer of neonates by a dedicated neonatal transfer service. Pediatr Crit Care
Med. 2008;9(289-93).
22. Kendall A, Scott P, Karlsen K. The S.T.A.B.L.E program: the evidence behind the
2012 update. J Perinat Neonat Nurs. 2012;26(2):147-57.
23. McCall E, Alderdice F, Halliday H, Jenins J, Vohra S. Intervention to prevent
hypothermia at birth in preterm and/or birth weight infants (review). Cochrane
Datab System Rev. 2010(3).
24. Rohana J, Khairinia W, Boo N, Shareena I. Reducing hypothermia in preterm
infants with polyethylene wrap. Pediatr Int. 2011;53(468-74).
25. Reimer-Brady J. Legal Issues related to stabilization and transport of the critically
ill neonate. J Perinatol Neonat Nurs. 1998;10(3):59-69.
26. Leppala K. Whether near or far transporting the neonate. J Perinatol Neonat
Nurs. 2010;24(2):167-71.
27. Taylor R, Price-Douglas W. The S.T.A.B.L.E program: Post resuscitation/ pre
transport stabilization care of sick people. J Perinatol Neonat Nurs.
2008;22(2):159-65.
28. Cummings J, Polin R. Oxygen targetting in extremely low birth wieght infants.
Pediatrics 2016;138.
606
29. Wilson A, Martel I, Saskatoon S. Maternal Transport Policy. J Obstet Gynecol Can
2005;27:956-58.
30. Hohlagschwandtner M, Husslein P, Weninger K, Nardi A, Langer M. Perinatal
mortality and morbidity. Comparison between maternal transport, neonatal
transport and inpatient antenatal treatment. Arch Gynecol Obstet
2001;265:113-18.
31. Hauspy J, Jacquemyn Y, Van-Reempts P, Buytaerta P, Vlieta J. Intrauterine versus
postnatal transport of the preterm infant: a short-distance experience. Early
Hum Dev 2001;63:1-7.
32. Woodward G, Insoft R, Pearson-shaver A. The state of pediatric inter-facility
transport: Consensus of the second national pediatric and neonatal inter-facility
transport medicine leadership conference. Pediatr Emerg Care 2002;1:38-43.
33. Das U, Leuthner S. Preparing the neonate for transport. Pediatr Clin North Am
2004;51:581-98.
34. Kempley, Baki, Hayter, Ratnavel, Cavazzoni, Reyes. Effect of a centralised
transfer service on characteristics of inter-hospital neonatal transfers. . Arch Dis
Child Fetal Neonatal Ed 2007;92:185-9.
35. McKay S, Cruickshanks J, Skeoch C. Step by step guide: Transporting neonates
safely. J Neonatal Nurs 2003;1:9.
36. Kulshrestha A, Singh J. Interhospital and intrahospital patient transport: recent
concept. Indian J. 2016;60:451-7.
37. Fenton A, Leslie A, Skeoch C. Optimising neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal
Neonatal 2004;89(F215-9).
38. Arad I, Baras M, Bar-Oz B, Gofin R. Neonatal transport of very low birth weight
infants in Jerussalem, revisited. IMAJ 2006;8(477-82).
39. Kumar P, Kumar C, Venkatlakshmi A. Long distance neonatal trasport-the need
of the hour. Indian Pediatr 2008;45:920-2.
40. Terrey A, Browning C. Stabilising the newborn for transfer: Basic principles. Aust
Fam Physician 2008;37:510.
41. Tingay D, Stewart M, Morley C. Monitoring of end tidal carbon dioxide and
transcutaneous carbon dioxide during neonatal transport. . Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2005;90:F523-6.
42. Lilley C, Stewart M, Morley C. Respiratory function monitoring during neonatal
emergency transport. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2005;90:F82-3.
43. Dani C, Bertini G, Pezzati M, Cecchi A, Caviglioli C, Rubaltelli F. Early extubation
and nasal continuous positive airway pressure after surfactant treatment for
respiratory distress syndrome among preterm infants< 30 weeks’ gestation.
Pediatrics 2004;113:560-
3.
44. Fowlie P, Booth P, Skeoch C. Clinical review moving the preterm infant. BMJ.
2004;309:904-6.
45. Cloherty J, Eichenwald E, Hansen A, Stark A. Manual of neonatal care. 7 ed.
Philadelphia: Lippincott William Wilkins; 2012
46. Gomella T, Cunningham M, Eyal F. Neonatology, management, procedures,
oncall problems, diseases and drugs. 7 ed. Philadelphia: Mc Graw hill; 2013.
47. Queensland Clinical Guidelines. Hypoxic-ischaemic encephalopathy (HIE).
Australia : Queensland; 2016.
48. Martinello K, Hart A, Yap S, Mitra S, Robertson N. Management and investigation
of neonatal encephalopathy: 2017 update. Arch Dis Child Fetal. 2017:F11-3.
49. Chalak L, Kaiser J. Neonatal guideline hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE). J
Ark Med Soc. 2017;104(4):87-9.
50. Slaughter L, Patel A, Slaughter J. Pharmacological Treatment of Neonatal
Seizures: A Systematic Review. J Child Neurol. 2013;28(3):351-64.
607
51. Kanhere S. Recent advances in neonatal seizures. Indian J Pediatr.
2014;81(9):917-25.
52. Sarosa G. Kejang dan Spasme. In: Kosim MS YA, Dewi R, Sarosa GI, Usman A,
editor. Buku ajar neonatologi Edisi ke 4. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2014.
53. Hallberg B, Blennow M. Investigations for neonatal seizures. Seminars in Fetal
and Neonatal Medicine. Philadelphia Elsevier 2013.
54. Hamrick S, Zimmermann A. Cerebral Seizures. In: G H, editor. Neonatal
Emergencies. Cambridge: Cambridge University Press; 2009.
55. World Health Organization. Guidelines on neonatal seizures. Geneva World
Health Organization; 2011.
56. Shellhaas R. Neonatal seizures. In: Polin RA YM, editor. Workbook in Practical
Neonatology. Philadelphia: Elsevier Health Sciences; 2015.
57. Priestley J. Experiments and observations on different kinds of air. J Johnson.
1776.
58. Ballot D. Ups and Downs of Oxygen Therapy in Neonatal Care. The United South
African Neonatal Association Conference. OR Tambo: University of the
Witwatersrand; 2017.
59. Saugstad O. Oxygen and retinopathy of prematurity. J Perinatol.
2006;26(S1):S46. 60. Bancalari E. The Newborn Lung: Neonatology Questions
and Controversies EBook: Elsevier Health Sciences; 2012.
61. Wyckoff M, Aziz K, Escobedo M, Kapadia V, Kattwinkel J, Perlman J, et al. Part 13:
neonatal resuscitation: 2015 American Heart Association guidelines update for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation.
2015;132:S543-S60.
62. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
tentang BBLR. Jakarta Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2018.
63. World Health Organization. Oxygen therapy for children: a manual for health
workers.2016.
64. Duc G, Sinclair J. Oxygen administration. Effective care of the newborn
infant.1992.
65. Saugstad O, Aune D. Optimal oxygenation of extremely low birth weight infants:
a meta-analysis and systematic review of the oxygen saturation target studies.
Neonatology. 2014;105(1):55-63.
66. Cummings J, Polin R. Oxygen targeting in extremely low birth weight infants.
Pediatrics. 2016;138(2).
67. Col S, Maj S, Brig M, Capt G. Controlled FiO2 Therapy to Neonates by
Oxygenhood in the Absence of Oxygen Analyzer. Med J Armed Forces India.
2007;63(2):149-53.
68. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Resusitasi Neonatus. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2014.
69. Organization W. Oxygen therapy for children: a manual for health workers. 2016.
70. Trevisanuto D, Cengio V, Doglioni N, Cavallin F, Zanardo V, Parotto M, et al. Oxygen
delivery using a neonatal self-inflating resuscitation bag: effect of oxygen flow.
Pediatrics. 2013;131(4):144-9.
71. Wu S. Molecular bases for lung development, injury, and repair. The Newborn
Lung: Neonatology Questions and Controversies: Expert Consult-Online and
Print: Elsevier Inc. ; 2012
72. Kattwinkel J. Pediatrics AAo, Association AH. Textbook of Neonatal Resuscitation:
Am Acad Pediatrics; 2018.
73. Spitzer A, Clark R. ositive-pressure ventilation in the treatment of neonatal lung
disease. Assisted Ventilation of the Neonate (Fifth Edition): Elsevier; 2011.
608
74. Gregory G, Kitterman J, Phibbs R, Tooley W, Hamilton W. Treatment of the
idiopathic respiratory-distress syndrome with continuous positive airway
pressure. N Engl J Med 1971;284(24):1333-40.
75. Sandri F, Ancora G, Lanzoni A, Tagliabue P, Colnaghi M, Ventura M, et al.
Prophylactic nasal continuous positive airways pressure in newborns of 28–31
weeks gestation: multicentre randomised controlled clinical trial. Arch Dis Child
Fetal Neonatal Ed. 2004;89(5):F394-F8.
76. Subramaniam P, Ho J, Davis P. Prophylactic nasal continuous positive airway
pressure for preventing morbidity and mortality in very preterm infants.
Cochrane Database Syst Rev. 2016.
77. Carlo W, Ambalavanan N. Conventional mechanical ventilation: traditional and
new strategies. Pedsinreview 1999;20:e177-e26.
78. Hess D, MacIntyre N. Mechanical ventilation In: Hess D, MacIntyre N, Mishoe S,
Galvin W, Adams A, editors. Respiratory care. Canada Jones & Baetlett Learning
2012.
79. Donn S, Sinha S. Manual of neonatal respiratory care. Switzerland: Springer
International Publishing Switzerland; 2017.
80. Al Hazzani F, Al Alaiyan S, Al Hussein K, Al Saedi S, Al Faleh H, Al Harbi F, et al.
Mechanical ventilation in newborn infants: Clinical Practice Guidelines of the
Saudi Neonatology Society. J of Clin Neonatology. 2017;6:57-63.
81. Carlo W. Prematurity and Intrauterine Growth Restriction. In: Kliegman RM SB,
Schor NF, Geme JW, dan Behrman R, editor. Nelson Textbook Of Pediatrics Edisi
ke-20. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2016.
82. Intrauterine growth restriction: screening, diagnosis, and management. SOGC
clinical practice guideline No. 295 2013.
83. Sharma D, Shastri S, Sharma P. Intrauterine growth restriction: antenatal and
postnatal aspects. Clin Med Insights Pediatrics. 2016;10.
84. Damanik S. Klasifikasi bayi menurut berat lahir dan masa gestasi. In: Kosim MS
YA, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, editor. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Balai
Penerbit IDAI; 2014.
85. The Royal Children's Hospital Melbourne. Skin to skin care for the newborn 2016
2016 [Available from:
https://www.rch.org.au/rchcpg/hospital_clinical_guideline_index/
Skin_to_Skin_Care_for_the_Newborn/.
86. Children's Hospital of Philadelphia. Skin-to-skin for infants: Guidelines for
professionals.
87. Conde-Agudelo A, Belizan J, Diaz-Rossello. Kangaroo mother care to reduce
morbidity and mortality in low birthweight infants. Cochrane Database Syst Rev
2011;3.
88. Module NTS-l. Interprofessional Education and Research Committee of the
Champlain Maternal Newborn Regional Program (CMNRP). 2013:1-16.
89. Rutter N. Temperature control and its disorders. Churchill Livingstone,
London2005.
90. Knobel R, Vohra S, CU. L. Heat loss prevention in the delivery room for preterm
infants: a national survey of newborn intensive care units. J Perinatol.
2005;25(8):514.
91. Lyon A, Puschner P. Thermo monitoring. wwwdragercom. 1998.
92. WHO, UNICEF. Managing newborn problems: a guide for doctors, nurses, and
midwives. 2003.
93. Waldron S, MacKinnon R. Neonatal thermoregulation. Infant. 2007;3:101-4.
94. Knobel-Dail R. Role of effective thermoregulation in premature neonates. Res
Rep Neonatol. 2014;4:147-56.
609
95. Women and Newborn Health Service Neonatal Directorate Western Australia.
Thermoregulation. Australia: Government of Western Australia North
Metropolitan Health Service 2018.
96. WHO. WHO recommendation on Newborn health. WHO; 2017.
97. Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. Survival and outcome of very low birth
weight infants born in a university hospital with level II NICU. J Med Assoc Thai.
2007;90(7):1323.
98. Resuscitation ILCo. The International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR)
consensus on science with treatment recommendations for pediatric and
neonatal patients: pediatric basic and advanced life support. Pediatrics.
2006;117(5):955-77.
99. McCormick M, Cooper P. Managing newborn problems: a guide for doctors,
nurses, and midwives. World Health Organization; 2003.
100. Queensland Clinical Guidelines. Newborn hypoglycaemia. Australia Queensland
2013.
101. USCF Children's Hospital. Neonatal hypoglycemia
[Available from:
https://www.ucsfbenioffchildrens.org/pdf/manuals/52_Hypoglycemia.pdf.
102. Thompson-Branch A, Havranek T. Neonatal hypoglycemia. Pediatrics.
2017;38(4). 103. Sweet C, Grayson S, Polak M. Management strategies for
neonatal hypoglycemia. J Pediatr Pharmacol Ther. 2013;18(3):199-208.
104. Thornton P, Stanley C, De Leon D, Harris D, Haymond M, Hussain K, et al.
Recommendations from the Pediatric Endocrine Society for Evaluation and Management
of Persistent Hypoglycemia in Neonates, Infants, and children. 167. 2015;2(238-45). 105.
Bhutani V, Johnson L, Sivieri E. Predictive ability of a predischarge hour-specific serum
bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in healthy term and nearterm
newborns. Pediatrics. 1999;103(1):6-14.
106. Excellence NIfC. National Collaborating Centre for Women’s and Children’s
Health. Caesarean section: clinical guideline. 2003.
107. Muchowski K. Evaluation and treatment of neonatal hyperbilirubinemia. Am Fam
Physician. 2014;89(11):873-8.
108. Maisels M, Bhutani V, Bogen D, Newman T, Stark A, Watchko J.
Hyperbilirubinemia in the newborn infant ≥ 35 weeks’ gestation: an update with
clarifications. Pediatrics. 2009;124(4):1193-8.
109. Hamidi M, Aliakbari F. Comparison of Phototherapy with light-editing diodes
(LED) and Conventional Phototherapy (fluorescent lamps) in Reducing Jaundice in Term
and Preterm Newborns. Middle East J Fam Med 2018;7(10):123.
110. Kaplan M, Merlob P, Regev R. Israel guidelines for the management of neonatal
hyperbilirubinemia and prevention of kernicterus. J Perinatol. 2008;28(6):389. 111.
Maisels M. Managing the jaundiced newborn: a persistent challenge. Canadian Medical
Association Journal. 2015;187(5):335-43.
112. von_Lindern J, Lopriore E. Management and preventionof neonatal anemia:
current evidence and guidelines. Expert Rev Hematol. 2014;7(2):195-202.
113. New H, Berryman J, Bolton-Maggs PC, C , Chalmers E, Davies T, dkk. Guidelines
on transfusion for fetuses, neonates and older children. Br J Haematol. 2016;175(5):784-
828. 114. Neonatal guidelines 2017-19: the bedside clinical guidelines partnership in
association with the Staffordshire Shropshire and Black Country, Southern West
Midlands Neonatal; 2017 [Available from:
kids.bch.nhs.uk/wp-content/uploads/2017/05/neonatalguidelines-2015-17.pdf.
115. Colombatti R, Sainati L, Trevisanuto D. Anemia and transfusion in the neonate.
Semin Fetal Neonatal Med. 2015:1-8.
116. Robert I, Murray N. Hematology. In: Rennej J, editor. Robertson's textbook of
neonatology: Elsevier 2005. p. 739-51.
610
117. WC, Glader B. Erytrochyte disorders in infancy. In: Taueusch H, Balard R,
Gleaseon C, editors. Avery's disease of the newborn. 8th Edition. Philadelphia: Elsevier;
2005. p. 1203-7.
118. Jones L, Schwartz A, David B. The blood and hematopoetic system. In: Fannarof
A, Martin R, editors. Neonatal-perinatal medicine disease of the fetus and infant. 6th
Edition. St Louis: Mosby Year Book; 1997. p. 1201-23.
119. Watchko J. Common hematologic problems in the newborn nursery. Pediatr Clin
North Am. 2015;62(2):509-24.
120. Celik I, Demirel G, Canpolat F, Dilmen U. A common problem for neonatal
intensive care units: late preterm infants, a prospective study with term controls in a
large perinatal center. J Matern-Fetal Neonatal Med. 2013;26:459-62. 121. Guideline.
NSC. Neonatal thrombocytopenia. Available from:
http://wwwadhbgovtnz/newborn/Guidelines/
Blood/Platelets/NeonatalThrombocytopeniahtm
611
139. Kung Y, Hsieh Y, Weng Y, et a. Risk Factors of Late-onset Neonatal Sepsis in
Taiwan: A matched case-control study. J Microbiol Immunol InfectScience Direct.
2016:430-5.
140. Hendrarto W. Bagaimana Mendiagnosis Dini Sepsis Neonatorum? Dalam:
Update on Management of Neonatal Infection. 2017:pp17-23.
141. Wibowo T. Pemeriksaan Darah pada Sepsis Neonatorum. Dalam: Update on
Management of Neonatal Infection. 2017:pp24-32.
142. Organization. WH. Antibiotic use for sepsis in neonates and children: 2016
evidence update. Geneva: World Health Organization. 2016.
143. Aggarwal R, Sarkar N, Deorari A, Paul V. Sepsis in the Newborn. Indian J Pediatr.
2001;68(12):1143-7.
144. Organization. WH. Shock in newborn. Available from:
http://wwwnewbornwhoccorg/STPs/STP_Shock_Pre-Finalpdf
145. Davis A, Carcillo J, Aneja R, Deymann A, Lin J, Nguyen T, et al. American College
of Critical Care Medicine clinical practice parameters for hemodynamic support
of pediatric and neonatal septic shock. CCM. 2017;45(6)(1063-93).
146. Semberova. Spontaneous closure of patent ductus arteriosus in infants 1500g.
Pediatrics. 2017;140(2).
147. Terrin G. Paracetamol for the treatment of patent ductus arteriosus in preterm
neonates: a systematic review and meta-analysis. Arch Dis Child Fetal Neonatal
2016;101. 148. Ohlsson A, Walia R, Shah S. Ibuprofen for the treatment of patent
ductus arteriosus in preterm or low birth weight (or both) infants. Cochrane
Database Syst Rev 2015.
149. Suradi R, Hegar B, Partiwi I, Marzuki A, Ananta Y. Indonesia menyusui. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010.
150. Besar S, Eveline N. Air susu ibu dan hak bayi. In: Pratiwi IGAN PJ, editor. Bedah
ASI. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.
151. UKK Neonatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Kadim M, Roeslani R,
Nurmalia L. Konsensus asuhan nutrisi pada bayi prematur. Jakarta Ikatan Dokter Anak
Indonesia 2016.
152. Fenton T, Nasser R, Eliasziw M, Kim J, Bilan D, Sauve R. Validating the weight gain
of preterm infants between the reference growth curve of the janin and the term infant.
BMC Pediatr. 2013;13:92.
153. Koletzko B, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R. uidelines on paediatric
parenteral nutrition of the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology
and Nutrition (ESPGHAN) and the European Society for Clinical Nutrition and Metabolism
(ESPEN), Supported by the European Society of Paediatric Research (ESPR). J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2005;41(2):1-87.
154. Working Group of Pediatrics Chinese Society Of Parenteral and Enteral Nutrition,
Working Group Of Neonatology Chinese Society Of Pediatrics, Working Group Of
Neonatal Surgery Chinese Society Of Pediatric Surgery. CSPEN guidelines for nutrition
support in neonates. Asia Pac J Clin Nutr. 2013;22:655-63.
155. Moyer-Mileur L. Anthropometric and laboratory assessment of very low birth
weight infants: the most helpful measurements and why. Semin perinatol.
2007;31(2):96103.
156. Bertino E, Boni L, Rossi C, Coscia A, Giuliani F, Spada E, et al. Evaluation of
postnatal growth in very low birth weight infants: A neonatologist's dilemma. Pediatr
Endocrinol Rev. 2008;6(9-13).
157. Lester B, Andreozzi-Fontaine L, Tronick E, Bigsby R. Assessment and Evaluation of
the High Risk Neonate: The NICU Network Neurobehavioral Scale. . JOVE 2014;90:1-9.
158. Rauter S, Messler S, Steven D. Neonatal golden hour-intervention to improve
quality of care of ELBW. SD Med 2014;67:397-403.
612
159. Karlsen K. The STABLE program: pre-transport/post-resuscitation stabilization
care of sick infants, guidelines for neonatal healthcare providers. 2006.
160. Castrodale V, Rinehart S. The golden hour: improving the stabilization of the very
low birth-weight infant. Adv Neonatal Care 2014;14:9-14.
161. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2014.
162. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Resusitasi neonatus. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2013.
163. Sjarif D, Rohsiswatmo R, Rundjan L, Yuliarti K. Panduan berbasis bukti asuhan
nutrisi untuk bayi prematur2015.
164. Agostoni C, Buonocore G, Carnielli V. Enteral nutrient supply for preterm infants:
commentary from the European Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology and
Nutrition Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50(85-91). 165.
American Academy of Pediatrics. Section on breastfeeding: Breastfeeding and the use of
human milk. Pediatrics. 2012;129:827-41.
166. World Health Organization. Optimal feeding of low-birth-weight infants:
technical review. Switzerland: WHO; 2006.
167. Underwood M. Human milk for the premature infant. Pediatr Clin North Am
2013;60:189-207.
168. Young L, Morgan J, McCormick F, McGuire W. Nutrient-enriched formula versus
standard term formula for preterm infants following hospital discharge. Cochrane
Database Syst Rev 2012 3.
169. Corvaglia L, Rotatori R, Ferlini M, Aceti A, Ancora G, Faldella G. he effect of body
positioning on gastroesophageal reflux in premature infants: Evaluation by combined
impedance and pH monitoring. J Pediatr 2007;151:591-6.
170. Fusch C, Jochum F. Water, sodium, potassium and chloride. . Karger Publisher.
2014(p.99-120).
171. Kashyap S, Ohira-Kist K, Abildskov K, Towers H, Sahni R, Ramakrishnan R, et al.
Effects of quality of energy intake on growth and metabolic response of enterally fed
lowbirth-weight infants. Pediatr Res. 2001;50(3):390.
172. Johnson PRomipnfnicpNN-. Review of macronutrients in parenteral nutrition for
neonatal intensive care population. NN. 2014;33(1):29-34.
173. Nutrition C. Nutritional needs of the preterm infant. In: Kleinrnan RE e,
editor. .Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2009.
174. Bauer J, Werner C, Gerss J. Metabolic rate analysis of healthy preterm and
fullterm infants during the first weeks of life Am J Clin Nutr. 2009;90(6):1517-24.
175. Embleton N. Optimal protein and energy intakes in preterm infants. Early Hum
Dev. 2007;83(12):831-7.
176. Thureen P. Early aggressive nutrition in the neonate. Pediatr Rev.
1999;20(9):e45e55.
177. Denne S. editor Protein and energy requirements in preterm infants. Semin
Fetal. 2001;Elsevier.
178. Adamkin D. Pragmatic approach to in-hospital nutrition in high-risk neonates. J
Perinatol. 2005;25(S2):S7.
179. Adamkin D. Nutrition management of the very low-birth weight infant. Total
parenteral nutrition and minimal enteral nutrition Neonatology Reviews. 2006;7:e602-
e7. 180. Velaphi S. Nutritional requirements and parenteral nutrition in preterm infants.
South African Journal of Clinical Nutrition. 2011;24(3):S27-S31.
181. Kleinman R, Greer F. Nutritional needs of the preterm infant. In: Kleinman RE GF,
editors., editor. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics2014.
182. Agostoni C, Buonocore G, Carnielli VDC, M., Darmaun D, Decsi T, et a. ESPGHAN
Committee on Nutrition. Enteral nutrient supply for preterm infants: commentary from
613
the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition
Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50(1):85-91.
183. Darlow B, Graham P. Vitamin A supplementation to prevent mortality and
shortand long-term morbidity in very low birthweight infants. Cochrane Database Syst
Rev. 2011;10:(10).
614
00.12 Administration of inhaled nitric Significant, IV
oxide Nitric oxide therapy major
615
minor *)
Emergency procedure
Minor
Minor
39 39.92 Injecting sclerosing agent into Significant, II, III, IV
vein major
54 54.9 Other operations of abdominal
54.91 region
Percutaneous abdominal Significant, II, III, IV*)
drainage minor *)
Emergency procedure
Paracentesis
57 Operation on urinary bladder
57.1 Cystostomy
57.17 Percutaneous cystostomy
- Closed cystostomy Minor II, III, IV
- Percutaneous Minor II, III, IV
suprapubic cystostomy
67 Operation on cervix
67.32 Destruction of lesion of cervix by Significant,
cauterization minor
75 75.32 Cardiotopography Significant, II, III, IV
Minor
88 88.7 Diagnostic ultrasound, includes
88.71 echography Head and neck Significant, III, IV
- Determination of midline minor
shift of brain III, IV
88.72 - EEG Significant,
Echocardiography minor III, IV
Diagnostic ultrasound of gravid III, IV
uterus Significant,
88.78 minor
Significant,
minor
89 Interview, evaluation, Minor I, II, III,
consultation and examination IV
96 Non-operative intubation
and irrigation
96.01 Insertion of Minor I*), II, III, IV
96.02 nasopharyngeal airway
Insertion of
oropharyngeal airway, Significant, I*), II, III, IV
96.05 include laryngeal mask airway minor I*), II, III, IV
96.07 (LMA) Significant,
Other intubation and extubation minor I*), II, III, IV
96.08 of respiratory
Tract Minor II, III, IV
96.09 Insertion of other (naso/ oro-) II, III, IV
96.55 gastric tube Minor II, III, IV
617
hours or more ® Significant,
major
618
99 Other non-operative procedures
99.0 Transfusion of blood and blood Significant, II, III, IV
components minor
Use additional code for that
done via catheter or cutdown
99.00 (38.92- 38.94) II, III, IV
Perioperative autologous Significant,
transfusion of whole blood or minor
blood components
99.01 II*), III, IV
Exchange transfusion
Transfusion: exsanguination
Significant,
replacement
99.02 minor II, III, IV
Transfusion of previously
collected autologous blood
Blood component Significant,
99.03 II, III, IV
Other transfusion of whole minor
blood Transfusion: blood
hemodilution
Transfusion of packed cells Significant,
99.04 Transfusion of platelets II, III, IV
99.05 minor
Transfusion of thrombocytes
Transfusion of coagulation II, III, IV
99.06 factors Transfusion of anti- II, III, IV
99.07 hemophilic factor
Significant,
Transfusion of other serum
minor II, III, IV
Transfusion of plasma
99.08 Transfusion of blood expander Significant,
Transfusion of Dextran minor
Significant, II, III, IV
minor
*)
Emergency procedure
Significant,
minor
Significant,
minor
619
substances
. Hyperalimentation
99.17 . Total parenteral II, III, IV
99.18 nutrition [TPN] II, III, IV
99.19 Peripheral Significant, II, III, IV
parenteral nutrition minor
[PPN] Significant,
Injection of insulin minor
Significant,
Injection or infusion of
minor
electrolytes
Injection of anticoagulant
620
99.8 Miscellaneous physical
99.81 procedures Hypothermia Significant, II*), III, IV
99.83 (central) (local) major
Other phototherapy: I, II, III, IV
99.84 Phototherapy of the newborn Significant, I, II, III, IV
Isolation minor
. Isolation after contact Minor
with infectious disease
. Protection of individual
from his surroundings/
surroundings from
individual *)
Emergency procedure
Start
DRG
621
LOS <5 d Yes
Yes 2501
And Sign or Maj or
Discharge type Procedure 2502
= (AX15PBX or
Died or Transfer 15 PDX)
2503
No or
Yes 2504
Minor
Procedure
No (AX15PCX)
or Other No
procedure Died 2505
for newborn
Discharge
type
Transfer
2506
Cardiothoracic (4)
procedure
(AX25PEX ) 2512
9
Sign Procedure
Yes
2507
Adm weight (AX15PBX
)
≥2500 g or
age ≤28 days Yes Maj Procedure 2508
without weight
adm
(AX15PDX
)
No
Minor Procedure
Yes 2509
(AX15PCX)
For Newborn
622
1
Yes Sign Procedure
Adm weight 2512
≥2000 g
Yes
Maj Procedure
2513
Yes
No 2514
Minor Procedure
Yes
Other Procedure 2515
Adm weight
≥1800 g
Yes
Maj Procedure xxxx
No
Yes
Other Procedure xxxx
Yes xxxx
Sign Procedure
Adm weight
Yes xxxx
≥1000 g Minor Procedure
Other Procedure
Yes
xxxx
For Newborn
2
725
Adm weight
≥700 g
2
Minor Procedure xxxx
Maj Procedure
xxxx
(AX15PDX
)
(AX15PCX)
For Newborn
STOP
624
ICD-10 Neonatal Diseases Coding
Code Description
A33 Tetanus neonatorum
P000 Fetus & newborn aff by mat H/T disrd
P001 Fetus & newborn aff by mat urinary dis
P002 Fetus & newborn aff by mat infect dis
625
P003 Fetus newborn aff oth mat circ resp dis
P004 Fetus & newborn aff mat nutrit disrd
P005 Fetus & newborn aff by maternal injury
P006 Fetus & newborn aff by maternal surgery
P007 Fetus newborn aff oth mat med proc NEC
P008 Fetus & newborn aff by oth mat cond
P009 Fetus & newborn affected by mat cond NOS
P010 Fetus & newborn aff incompetent cervix
P011 Fetus & newborn affected by PROM
P012 Fetus & newborn aff oligohydramnios
P013 Fetus & newborn aff polyhydramnios
P014 Fetus & newborn aff by ectop pregnancy
P015 Fetus & newborn aff by multiple preg
P016 Fetus & newborn aff by maternal death
P017 Fetus newborn aff malpres before labour
P018 Fetus & newborn aff by oth mat comp preg
P019 Fetus & newborn aff by mat comp preg NOS
P020 Fetus & newborn aff by placenta praevia
P021 Fetus & newborn aff oth placnt sep haem
P022 Fetus aff oth morph fn abn placenta
P023 Fetus & newborn aff placnt transfn syndr
P024 Fetus & newborn aff by prolapsed cord
P025 Fetus newborn aff oth compression umb
P026 Fetus & newborn aff oth cond umb cord
P027 Fetus & newborn aff by chorioamnionitis
P028 Fetus & newborn aff by oth abn membranes
P029 Fetus & newborn by aff abn membranes NOS
P030 Fetus & newborn aff by breech delivery
P031 Fetus newborn aff oth malpres in labour
P032 Fetus & newborn aff by forceps delivery
P033 Fetus & newborn aff by vacuum extract
P034 Fetus & newborn aff caesarean delivery
P035 Fetus & newborn aff precipitate delivery
P036 Fetus newborn aff abn uterine contrctn
P038 Fetus newborn aff oth spec comp labour
P039 Fetus newborn aff comp labour delv NOS
P040 Fetus & newborn aff mat anaes analgesia
P041 Fetus newborn aff oth mat medication
P042 Fetus & newborn aff by mat use of tobacco
P043 Fetus & newborn aff by mat use of alc
P044 Fetus & newborn aff by mat use of drug of addiction
P045 Fetus & newborn aff by mat use of nutri chem subs
P046 Fetus & newborn aff by mat exposure to envir chem subs
P048 Fetus & newborn aff by oth mat noxious influ
626
P071 Other low birth weight
P072 Extreme immaturity
P073 Other preterm infants
P080 Exceptionally large baby
P081 Other heavy for gestational age infants
P082 Post- term infant, not heavy for gest age
P100 Subdural hemorrhage d/t birth inj
P101 Cerebral hemorrhage d/t birth inj
P102 Intraventr hemorrhage d/t birth inj
P103 Subarch hem d/t birth inj
P104 Tentorial tear d/t birth inj
P108 Oth intracr lacerations & hemorrhages dt birth inj
P109 Unsp intracr lacerations & hemorrhages dt birth inj
P110 Cerebral edema dt birth inj
P111 Oth specified brain damage d/t birth inj
P112 Unspecified brain damage d/t birth inj
P113 Birth inj to facial nerve
P114 Birth inj to other cranial nerves
P115 Birth inj to spine & spinal cord
P119 Birth inj to CNS; unspec
P120 Cephalhematoma d/t birth inj
P121 Chignon d/t birth inj
P122 Epicranial subaponeurotic hemorrhage d/t birth inj
P123 Bruising of scalp d/t birth inj
P124 Monitoring inj of scalp of newborn
P128 Other birth inj to scalp
P129 Birth inj to scalp, unspec
P130 Fracture of skull d/t birth inj
P131 Other birth inj to skull
P132 Birth inj to femur
P133 Birth inj to other long bones
P134 Fracture of clavicle d/t birth inj
P138 Birth inj to oth prt of skeleton
P139 Birth inj to skeleton, unspec
P140 Erb’s paralysis d/t birth inj
P141 Klumpke’s paralysis d/t birth inj
P142 Phrenic nerve paralysis d/t birth inj
P143 Other brachial plexus birth inj
P148 Birth inj to oth parts of periph nerv sys
P149 Birth inj to oth parts of periph nerv sys, unspec
P150 Birth inj to liver
P151 Birth inj to spleen
P152 Sternomastoid inj d/t birth inj
P153 Birth inj to eye
P154 Birth inj to face
627
P201 Intrauterine hypoxia first noticed dur onset of labor
P209 Intrauterine hypoxia, unspec
P210 Severe birth asphyxia
P211 Mild & moderate birth asphyxia
P219 Birth asphyxia, unspecified
P220 Resp distress syndrome of newborn
P221 Transient tachypnea of newborn
P228 Other resp distress of newborn
P229 Resp distress of newborn, unspec
P230 Congen pneumonia d/t viral agent
P231 Congen pneumonia d/t Chlamydia
P232 Congen pneumonia d/t staphylococcus
P233 Congen pneumonia d/t streptococcus gr B
P234 Congen pneumonia d/t E. coli
P235 Congen pneumonia d/t Pseudomonas
P236 Congen pneumonia d/t other tract agents
P238 Congen pneumonia d/t other organisms
P239 Congen pneumonia, unspec
P240 Neonatal aspiration of meconium
P241 Neonatal aspiration of amniotic fluid & mucus
P242 Neonatal aspiration of blood
P243 Neonatal aspiration of milk & regurgitated food
P248 Other neonatal aspiration syndromes
P249 Neonatal aspiration syndrome, unspec
P250 Interstitial emphysema orig in perinatal period
P251 Pneumothorax originating in perinat period
P252 Penumomediastinum orig in perinat period
P253 Penumopericardium orig in perinat period
P258 Oth conds rel interstit emphys orig in perinat period
P260 Tracheobronchial hemorr orig in perinat period
P261 Massive pulm hemorr orig in perinat period
P268 Oth pulm hemorr orig in perinat period
P269 Unspec pulm hemorr orig in perinat period
P270 Wilson-Mikity syndrome
P271 Bronchopulmonay dysplasia orig in perinat period
P278 Oth chronic resp dis orig in perinat period
P279 Unspec chr resp dis orig in perinat period
P280 Primary athelectasis of newborn
P281 Other & unspec atelectasis of newborn
P282 Cyanotic attacks of newborn
P283 Primary sleep apnea of newborn
P284 Other apnea of newborn
P285 Respiratory failure of newborn
P288 Oth specified resp conds of newborn
P289 Resp condition of newborn, unspec
P290 Neonatal cardiac failure
628
P298 Oth cardiovascular dis orig in perinat period
P299 Cardiovascular dis orig in periat period unsp
P350 Congenital rubella syndrome
P351 Congenital cytomegalovirus infection
P352 Congenital herpesviral inf
P353 Congenital viral hepatits
P358 Other congen viral diseases
P359 Congen viral disease, unspec
P360 Sepsis of newborn d/t sterptococcus, gr B
P361 Sepsis of newborn d/t oth & unspec sterptococci
P362 Sepsis of newborn d/t Staphylococcus aureus
P363 Sepsis of newborn d/t oth & unspec staphylococci
P364 Sepsis of newborn d/t E coli
P365 Sepsis of newborn d/t anaerobs
P366 Other bacterial sepsis of newborn
P369 Bacterial sepsis of newborn, unspec
P370 Congenital tuberculosis
P371 Congenital toxoplasmosis
P372 Neonatal (disseminated) listeriosis
P373 Congenital falciparum malaria
P374 Other congenital malaria
P375 Neonatal candidiasis
P378 Oth spec cingen inf & parasitic dis
P379 Congen inf or parasitic disease, unspec
P38 Omphalitis of newborn w or w/o mild hemorr
P390 Neonatal infective mastitis
P391 Neonatal conjunctivitis & dacryocystitis
P392 Intra-amniotic infection of fetus , NEC
P393 Neonatal urinary tract infection
P394 Neonatal skin infection
P398 Oth spec inf specific to the perinatal period
P399 Infectn specific to the perinatal period, unspec
P500 Fetal blood loss from vasa previa
P501 Fetal blood loss from ruptured cord
P502 Fetal blood loss from placenta
P503 Hemorrhage into co-twin
P504 Hemorrhage into maternal circulation
P505 Fetal blood loss from cut end of co-twin’s cord
P508 Other fetal blood loss
P509 Fetal blood loss, unspecified
P510 Massive umbilical hemorrhages of newborn
P518 Other umbilical hemorrhages of newborn
P519 Umbilical hemorrhage of newborn, unspec
P520 Intraventic (nontraum) hemorr gr 1 fet newborn
P521 Intraventic (nontraum) hemorr gr 2 fet newborn
P522 Intraventic (nontraum) hemorr gr 3 fet newborn
P523 Unspec intraven (nontraum) hemorr fet newborn
629
P528 Oth intract (nontraum) hemorr of fet & newborn
F529 Intracr (nontraum) hemorr fet & newborn unsp
P53 Hemorrhagic disease of fetus & newborn
P540 Noenatal haematemesis
P541 Neonatal melaena
P542 Neonatal rectal hemorrhage
P543 Oth neonatal gastrointest hemorrhage
P544 Neonatal adrenal hemorrhage
P545 Neonatal cutaneus hemorrhage
P546 Neonatal vaginal hemorrhage
P548 Oth spec neonatal hemorrhages
P549 Neonatal hemorrhage, unspec
P550 Rh isoimmunication of fet & newborn
P551 ABO isoimmunization of fet & newborn
P558 Oth hemolytic dis of fet & newborn
P559 Hemolytic disease of fet & newborn, unspec
P560 Hydrops fetalis d/t isoimmunization
P569 Hydrops fetalis d/t oth & unspec hemolytic dis
P570 Kernicterus d/t isoimmunization
P578 Other specified kernicterus
P579 Kernicterus, unspecified
P580 Neonat jaund d/t bruising
P581 Neonat jaund d/t bleeding
P582 Neonat jaund d/t infection
P583 Neonat jaund d/t polycythemia
P584 Neonat jaund d/t drg tox transm from moth orgiven nwbrn
P585 Neonat jaund d/t swallowed mat blood
P588 Neonat jaund d/t oth spec excess hemolysis
P589 Neonat jaund d/t excess hemolysis, unspec
P590 Neonat jaund assoc w preterm deliv
P591 Inspissated bile syndrome
P592 Neonatal jaund from oth & unspec hepatcellu damage
P593 Neonatal jaund from breast milk inhibitor
P596 Neonatal jaund from othr spec causes
P599 Neonatal jaund, unspecified
P60 Dissem intravasc coagul of fetus & newborn
P610 Transient neonatal trombocytopenia
P611 Polycythemia neonatorum
P612 Anemia of prematurity
P613 Congen anemia from fetal blood loss
P614 Other congenital anemias, NEC
P615 Transient neonatal neutropenia
P616 Oth transient neonatal dis of coagulation
P618 Oth specified perinatal hematological dis
P619 Perinatal hematological dis, unspec
P700 Syndrome of infant of moth w gest diabetes
P701 Syndrome of infant of a diabetic mother
P 702 Neonatal Diabetes Mellitus
630
P 708 Oth trns disrd fetal carbohydrate metab
P 709 Trans disrd fetal carbohydrate metab NOS
P 710 Cow's milk hypocalcaemia in newborn
P 711 Other neonatal hypocalcaemia
P 712 Neonatal hypomagnesaemia
P 713 Neon tetany wo calcium magnesium def
P 714 Transitory neonatal hypoparatyhyroidism
P 718 Oth trns neonat dis calcium magns metab
P 719 Trns neonat disrd calcm magns metab NOS
P 720 Neonatal goitre NEC
P 721 Transitory neonatal hyperthyroidism
P 722 Oth trns neonat disrd thyroid fn NEC
P 728 Oth spec trns neonatal endocrine disrd
P 729 Transitory neonatal endocrine disrd NOS
P 740 Late metabolic acidosis of newborn
P 741 Dehydration of newborn
P 742 Disturb of sodium balance of newborn
P 743 Disturb of potassium balance of newborn
P 744 Oth transitory electrolyte disturbance of newborn
P 745 Transitory tyrosinemia of newborn
P 748 Oth transit metabol disturbance of newborn
P 749 Transitory metabol disturb of newborn, unspec
P 75 Meconium ileus
P 760 Meconium plug syndrome
P 761 Transitory ileus of newborn
P 762 Intestinal obstruction due to inspissated milk
P 768 Intestinal obstruction of newborn, unspec
P 77 Necrotizing enterocolitis of fetus & newborn
P 780 Perinatal intestinal perforation
P 781 Other neonatal peritonitis
P 782 Neonatal hematemesis and melena d/t swallowed matern blood
(Neonatal hematemesis and melena due to swallowed maternal
blood)
P 783 Noninfecctive neonatal diarrhea
P 788 Other specified perinatal digestive system disorders
P 789 Perinatal dig sys dis, unspec
P 800 Cold inj syndrome
P 808 Other hypothermia of newborn
P 809 Hypothermia of newborn, unspec
P 810 Environmental hyperthermia of newborn
P 818 Other spec disturb of temp regulation of newborn
P 819 Disturbance of temp regul of newborn
P 830 Sclerema neonatorum
P 831 Neonatal erythem nodosum
P 832 Hydrops fetalis not due to hemolytic dis
P 833 Other & unsp edema spec to newborn
P 834 Breast engorgement of newborn
P 835 Congenital hydrocele
P 836 Umbilical polyp of newborn
631
P 839 Condition of the integument specific to newborn, unspecified
P 90 Convulsions of newborn
P 910 Neonatal cerebral ischemia
P 911 Acquired periventricular cysts of newborn
P 912 Neonatal cerebral leukomalacia
P 913 Neonatal cerebral irritability
P 914 Neonatal cerebral depression
P 915 Neonatal coma
P 916 Hypoxic-Ischemic encephalopathy of newborn
P 918 Other specified disturbance of cerebral status of newborn
P 919 Disturbance of cerebral status of newborn, unspec
P 920 Vomiting in newborn
P 921 Regurgitation and Rumination of newborn
P 922 Slow feeding of newborn
P 923 Underfeeding of newborn
P 924 Overfeeding of newborn
P 925 Neonatal difficulty in feeding at breast
P 928 Other feeding problem of newborn
P 929 Feeding problem of newborn, unspec
P 93 Reactions and intoxications due to drugs administered to
newborn
P 940 Transient neonatal myasthenia gravis
P 941 Congenital hypertonia
P 942 Congenital hypotonia
P 948 Other dis of muscles tone of newborn
P 949 Dis muscles tone of newborn, unspec
P 960 Congenital renal failure
P 961 Neonatal withdrawal symptoms from maternal use of drugs of
addiction
P 962 Withdrawal symptoms from therapeutic use of drugs in
newborn
P 963 Wide cranial sutures of newborn
P 965 Complication to newborn due to (fetal) intrauterine procedure
P 968 Other specified conditions originating in the perinatal period.
P 969 Condition originating in the perinatal period, unspecified.
O 660 Obstructed labor due to shoulder dystocia.
O 661 Fetal hydantoin syndrome
O 662 Obstructed labor due to unusually large fetus
O 666 Obstructed labor due to other multiple fetuses
O 675 Other specific joint derangements left foot, not elsewhere
classified.
O 894 Conjoined twins
O 897 Multiple congenital malformations NEC
O 898 Other specified congenital malformations
O 899 Congenital malformations unspec
Z 380 Single liveborn infant, born in hospital
Z 381 Single liveborn, unspec as to place of birth
Z 383 Twin, born in hospital
Z 384 Twin, born outside hospital
Z 385 Twin, unspec as to place of birth
Z 386 Other multiple, born in hospital
Z 387 Other multiple, born outside hospital
632
Z 388 Other multiple, unspec as to place of birth
Edisi pertama
2018
633
Penyunting:
Adhi Teguh Perma Iskandar
Kartika Darma Handayani
Rocky Wilar
Setyadewi Lusyati
Tetty Yuniati
Toto Wisnu Hendrarto
Tunjung Wibowo
TIM PENYUSUN
KONTRIBUTOR
1. Dr. R. Adhi Teguh Perma Iskandar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
2. Dr. Agnes Yunie Purwita Sari, SpA(K)
Bagian Neonatologi RS Persahabatan Jakarta
3. Dr. Agus Harianto, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya 4. Dr. Akira Prayudijanto, SpA
634
Bagian Neonatologi RSUD Pasar Rebo Jakarta
12. Dr. Firaz Alfarizi Alkaff, SpA
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
13. Dr. Gatot Irawan Sarosa, Sp.A(K)
Bagian Neonatologi RSUP dr. Kariadi Semarang
635
28. DR. Dr. Tetty Yuniati, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung
29. Dr. Thomas Harry Adoe, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD Kota Bekasi
30. DR. Dr Toto Wisnu Hendrarto, SpA(K)., DTM&H UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
31. Dr. Tunjung Wibowo, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
32. Dr. Vinny Yoana, SpA
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
33. Dr. Yanti Susianti, SpA(K)
FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PENYUNTING
1. Dr. R. Adhi Teguh Perma Iskandar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
2. Dr. Kartika Darma Handayani, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUD dr .Sutomo Surabaya
3. DR. Dr. Rocky Wilar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
636
Bagian Neonatologi RSUP Prof Kandou
4. Dr. Setyadewi Lusyati, SpA(K)., PhD
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
5. DR. Dr. Tetty Yuniati, SpA(K)
IDAI, UKK Neonatologi
Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung
6. DR. Dr Toto Wisnu Hendrarto, SpA(K)., DTM&H UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
7. Dr. Tunjung Wibowo, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
DIBANTU OLEH:
Tim Sekretariat UKK Neonatologi 2017 – 2020:
• dr. Chindy Arya Sari
• dr. Reza Latumahina
• dr. Dilla Aprilia
• dr. Ferry Liwang
• dr. M. Reza Syahli
KATA SAMBUTAN
Kata Sambutan
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan
karunia-Nya kita masih diberikan kesempatan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di
bidang Ilmu Kesehatan Anak. Selamat dan terima kasih kami ucapkan kepada Unit Kerja Koordinasi
Neonatologi IDAI yang telah menyelesaikan Buku Panduan Pelayanan Neonatal.
Dalam upaya mencapai tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, IDAI berusaha
melaksanakan program untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak Indonesia. Berbagai
bentuk usaha harus dilakukan untuk menyelaraskan tujuan SDG, yaitu mengurangi kematian bayi
hingga 12 per 1.000 kelahiran hidup dan kematian dibawah usia 5 tahun hingga paling rendah 25 per
1.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Fokus lainnya terkait pelayanan neonatal yang dimaksud
adalah dengan mengurangi 1/3 kematian prematur dari penyakit tidak menular.
Target IDAI saat ini yang juga sesuai dengan fokus program Asia Pacific Pediatric Association
(APPA) adalah mengenai periode seribu hari pertama kehidupan, penyakit tidak menular, tuberkulosis
dan kehamilan pada remaja. Seribu hari pertama kehidupan merupakan periode yang penting sebagai
fondasi untuk mengoptimalkan kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan anak. Mengingat angka
kematian neonatus di Indonesia menyumbang lebih dari setengah kematian bayi (59,4%), acuan
637
mengenai sistem pelayanan neonatus di fasilitas kesehatan sangat diperlukan. Adanya pelayanan
kesehatan yang terstandardisasi dapat membantu untuk menurunkan angka kematian neonatal.
Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah berkurang
dari 10,2 persen pada tahun 2013 menjadi 6,2% pada tahun 2018. Bayi berat lahir rendah merupakan
salah satu faktor yang memegang peran penting dalam kematian neonatal dengan kematian utamanya
akibat prematuritas, infeksi, asfiksia dan hipotermi. Penanganan awal mengenai hal itu akan tertuang
dalam Buku Panduan Pelayanan Neonatal. Buku ini merupakan panduan dalam pelayanan kesehatan di
bidang neonatus meliputi kompetensi tenaga medis, kebutuhan fasilitas, alat dan obat-obatan serta
panduan prosedur klinis yang telah dibuat dan disusun oleh para ahli dibidangnya.
Ucapan terima kasih dan penghargaan kami berikan kepada seluruh kontributor yang turut serta
membantu dalam penyelesaian buku pedoman ini. Semoga buku ini dapat menjadi panduan dalam
praktik klinis dokter guna menurunkan angka kematian bayi di Indonesia. Bersama kita bisa
meningkatkan kesehatan generasi penerus bangsa.
Jakarta, Februari 2019
Ketua Umum PP IDAI
638
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas izinNya, Buku Panduan Pelayanan
Neonatal Unit Kerja Koordinasi (UKK) Neonatologi PP IDAI ini dapat diterbitkan. Panduan ini
merupakan salah satu rujukan dasar bagi unit pelayanan intensif neonatal di Indonesia menuju
standarisasi pelayanan neonatus berkualitas. Tidak mudah mencapai standarisasi pelayanan neonatal
di Indonesia karena adanya disparitas yang luas mulai dari jumlah dokter spesialis anak dan konsultan
neonatologi, kelengkapan fasilitas unit pelayanan intensif neonatal serta alat antar satu rumah sakit
dengan rumah sakit yang lain, di berbagai wilayah di Indonesia.
Adanya perbedaan kapasitas layanan neonatus dari satu daerah dengan daerah lain
memerlukan pembagian tingkat kemampuan yang mampu laksana. Atas dasar tersebut panduan
cetakan pertama ini memodifikasi panduan American Academy of Pediatric (AAP) tahun 2012
yang berlandaskan pada konsep regionalisasi Toward Improving the Outcome of Pregnancy
III (TIOP III), yaitu pada pembagian tingkat layanan neonatus menurut AAP tahun 2004 (TIOP II).
Keadaan tersebut disesuaikan dengan kapasitas rumah sakit di Indonesia menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia (PMK RI) nomor 56 tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan
Rumah Sakit.
Panduan ini juga menjelaskan kodifikasi diagnosis dan prosedur di bidang Neonatologi
sebagai upaya memperkenalkan sistem pembiayaan kesehatan di era Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) saat ini. Inti dari panduan ini adalah tiga Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang
sudah disahkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan Panduan Praktik Klinis (PPK) yang
disusun oleh tim UKK Neonatologi sebagai rujukan di tiap unit pelayanan neonatus.
Hasil dari upaya menuju standarisasi pelayanan neonatus adalah tercapainya kualitas
pelayanan neonatal di Indonesia menuju ke tingkat yang lebih baik, sehingga diharapkan dapat
membantu upaya penurunan angka kematian di Indonesia pada angka 9 per 1000 kelahiran hidup di
tahun 2025. Upaya tersebut harus dilaksanakan bersama dan serentak di bawah koordinasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kem Kes RI) melalui program Rangkaian Aksi Nasional
(RAN) Neonatal yang terdiri dari upaya tercapainya cakupan pelayanan neonatal berkualitas,
intervensi klinis untuk menurunkan kematian neonatus mulai dari tatakelola klinis ibu hamil dan
bersalin sampai pada penanganan neonatus sakit, yang mengikut sertakan peran orang tua, keluarga
dan masyarakat.
Sudah tentu panduan ini masih jauh dari sempurna, dan sudah seharusnya secara periodik
direvisi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Neonatologi
minimal dua tahun sekali. Semoga buku panduan ini bermanfaat terutama untuk para dokter
spesialis anak yang bertanggung jawab atas tatakelola klinis, untuk pengelola tatakelola manajemen
di fasilitas kesehatan dan pemangku kebijakan dalam menentukan tatakelola program dalam sistem
layanan neonatus di Indonesia. Dan pada kesempatan ini diucapkan terima kasih untuk seluruh
keluarga besar UKK Neonatologi yang dengan ikhlas meluangkan waktunya menyusun buku panduan
ini.
Dr. Toto Wisnu Hendrarto, dr., SpA(K)., DTM&H Ketua UKK Neonatologi, PP IDAI
DAFTAR SINGKATAN
639
AAP American Academy of Pediatrics
AC Assist Control
640
CPAP Continuous Positive Airway Pressure
CP Clinical Pathway
CRP C-Reactive Protein
CRT Capillary Refill Time
CSS Cairan Serebrospinal
CT-Scan Computed Tomography Scan
DIC Disseminated Intravascular Coagulation
DM Diabetes Melitus
DMG Diabetes Melitus Gestasional
DPJP Dokter Penanggung Jawab Pasien
DPM Dewan pertimbangan Medis
D10W Dektrosa 10%
D12,5W Dektrosa 12,5%
D15W Dektrosa 15%
EBM Evidence Based Medicine
ECMO Extracorporeal Membrane Oxygenationn
EEG Electroencephalography
EKG Elektrokardiografi
ET Expiration time
ETT Endotracheal Tube
FFP Fresh Frozen Plasma
FFS Fee For Services
FiO2 Fraksi Oksigen
FIRS Fetal Inflammatory Response Syndrome
FJ Frekuensi Jantung
FKTP Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
FKRTL Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
G6PD Glucose-6-Phospatase Dehydrogenase
GD Glukosa Darah
GDS Glukosa Darah Sewaktu
GIR Glucose Infusion Rate
GIT Gastrointestinal Tract
GLUT-1 Glucose Transporter-1
HDN Hemorrhagic Disease of the Newborn
HIE Hypoxic Ischemic Encephalopathy (Ensefalopati Hipoksik
Iskemik)
641
IFN Interferon
IGD Instalasi Gawat Darurat
IK Interval Kepercayaan
ILCOR The International Liaison Committee on Resuscitation
IMD Inisiasi Menyusu Dini
INA-DRG Indonesia Diagnosis Related Group
INA-CBG Indonesia Case Based Group
IT Inspiration time
ITP Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
IUGR Intrauterine Growth Retardation
IVH Intraventricular Hemorrhage (perdarahan
intraventrikular)
IVIg Intavenous Immunoglobulin
IWL Insensible Water Loss
JKN Jaminan Kesehatan Nasional
KLB Kejadian Luar Biasa
KMC Kangaroo Mother Care
KMK Kecil Masa Kehamilan
KPD Ketuban Pecah Dini
KSD Kernicterus Spectrum Disorder
LBP Lipopolysacharide-Binding Protein
LFT Liver Function Test
LJ Laju Jantung
MAP Mean Arterial Pressure
MAS Meconium Aspiration Syndrome
MDGs Millenium Development Goals
MODS Multiple Organ Dysfunction Syndrome
MRI Magnetic Resonance Imaging
NAP Natriuretic Atrial Peptide
NAIT Neonatal Alloimmunie Thrombocytopenia
NCC National Casemix Center
NCPAP Nasal Continuous Positive Airway Pressure
644
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN..............................................................................................................ii
KATA SAMBUTAN........................................................................................................vi
KATA PENGANTAR....................................................................................................viii
DAFTAR SINGKATAN....................................................................................................x
DAFTAR ISI...................................................................................................................xvi
DAFTAR TABEL.........................................................................................................xviii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................xix
RINGKASAN EKSEKUTIF............................................................................................xx
BAB I PANDUAN TINGKAT PELAYANAN NEONATUS...........................................1
1.1 Pendahuluan.................................................................................................................1
1.2 Batasan tingkat pelayanan neonatus.............................................................................3
1.3 Uraian unit layanan sesuai dengan tingkat kompetensinya...........................................6
1.3.1 Unit layanan neonatus tingkat I (di fasilitas kesehatan primer/ puskesmas, fasilitas kesehatan
sekunder/ ruang rawat gabung rumah sakit)....................................................................6
1.3.2 Unit layanan neonatus tingkat II (di fasilitas kesehatan sekunder/ rumah sakit)...12
1.3.3 Unit layanan neonatus tingkat III (di fasilitas kesehatan tersier/ rumah sakit)......22
1.4 Uraian panduan prosedur registri morbiditas, mortalitas dalam pengelolaan rekam medik pasien;
manajemen ATM; manajemen fasilitas, alat kesehatan dan obat-obatan..........................31
BAB II KODIFIKASI DIAGNOSIS DAN PROSEDUR NENATOLOGI.......................34
2.1 Rujukan berjenjang.....................................................................................................34
2.2 Sistem pembiayaan JKN.............................................................................................35
2.3 Proses klaim, persyaratan dan permasalahannya........................................................39
2.4 Manfaat rekam medis.................................................................................................44
BAB III PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN..............................47
1. PNPK BBLR: Resusitasi, Stabilisasi dan Transport Neonatus.....................................48
2. PNPK Asfiksia Neonatorum.......................................................................................193
3. PNPK Hiperbilirubinemia..........................................................................................356
645
BAB IV PANDUAN PRAKTIK KLINIS......................................................................473
4.1 Kriteria rawat inap dan keluar dari rumah sakit........................................................473
4.2 Komunikasi interpersonal dan konseling..................................................................478
4.3 Penilaian fisik...........................................................................................................483
4.4 Dampak penyakit ibu pada neonatus........................................................................496
4.5 Kelainan bawaan yang sering ditemui pada neonatus...............................................506
4.6 Trauma lahir.............................................................................................................514
4.7 Resusitasi neonatus...................................................................................................519
4.8 Pedoman stabilisasi neonatus...................................................................................529
4.9 Transportasi neonatus...............................................................................................537
4.10 Asfiksia perinatal dan HIE......................................................................................546
4.11 Kejang pada neonatus.............................................................................................552
4.12 Transient tachypnea of newborn (TTN).................................................................559
4.13 Respiratory distress syndrome (RDS)....................................................................562
4.14 Meconium aspiration syndrome (MAS).................................................................565
4.15 Pneumonia pada neonatus.......................................................................................569
4.16 Air leak syndrome...................................................................................................572
4.17 Apnea of prematurity..............................................................................................575
4.18 Terapi oksigen........................................................................................................578
4.19 CPAP......................................................................................................................583
4.20 Ventilasi invasif......................................................................................................595
4.21 Bayi kurang bulan dan PJT.....................................................................................604
4.22 Asuhan kontak kulit dengan kulit...........................................................................615
4.23 Kangaroo Mother Care (KMC)..............................................................................618
4.24 Termoregulasi neonatus..........................................................................................628
4.25 Hipoglikemia pada neonatus...................................................................................635
4.26 Hiperbilirubinemia pada neonatus..........................................................................641
4.27 Anemia pada neonatus............................................................................................646
4.28 Polisitemia neonatorum.........................................................................................651
4.29 Trombositopenia pada neonatus.............................................................................654
4.30 Hemorrhagic Disease of The Newborn (HDN) pada neonatus...............................657
4.31 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) pada neonatus.............................660
4.32 Pengendalian infeksi di Unit Perawatan Neonatus.................................................663
4.33 Sepsis Neonatorum.................................................................................................668
4.34 Syok pada neonatus................................................................................................673
4.35 Kelainan jantung yang sering ditemui pada neonatus.............................................676
4.36 Pemberian ASI di fasilitas kesehatan......................................................................680
4.37 Pemberian nutrisi enteral bagi neonatus.................................................................692
4.38 Tatalaksana nutrisi parenteral pada neonatus..........................................................699
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................706
4.1 Kesimpulan...............................................................................................................706
4.2 Saran.........................................................................................................................706
DAFTAR RUJUKAN....................................................................................................707
646
Lampiran 1. Kodifikasi diagnosis dan prosedur neonatologi..........................................717
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
647
Gambar 1. Area cuci tangan ............................................................................................................ 9
Gambar 2. Area resusitasi ............................................................................................................... 11
Gambar 3. Ruang Transisi ................................................................................................................ 17
Gambar 4. Unit layanan neonatus tingkat III. Perbedaan di unit layanan tingkat II pada
tunjangan ventilasi non-invasif. ........................................................................................................ 20
Gambar 5. Area laktasi (contoh gambar ada wastafel, tempat duduk nyaman) ............... 21
Gambar 6. Trolley emergency.......................................................................................................... 26
Gambar 7. Area pencucian inkubator ........................................................................................... 31
Gambar 8. Kaidah penulisan resume medik ................................................................................ 43
Gambar 9. Klasifikasi neonatus berdasarkan maturitas dan pertumbuhan intrauterin ... 494
Gambar 10. Perkiraan usia kehamilan menurut maturitasnya .............................................. 495
Gambar 11. Algoritma resusitasi neonatus ............................................................................... 528
Gambar 12. Alur persiapan dan komunikasi proses rujukan bayi baru lahir .................... 531
Gambar 13. Mengukur panjang pipa ........................................................................................ 534
Gambar 14. Fiksasi pipa orogastrik ........................................................................................... 534
Gambar 15. Alogaritma tatalaksana kejang ........................................................................... 558
Gambar 16. Peralatan untuk pemberian oksigen.................................................................... 579
Gambar 17. Penggunaan BMS dengan atau tanpa reservoir .............................................. 581
Gambar 18. Inspirasi pendek saat pertukaran gas ................................................................ 598
Gambar 19. Akibat waktu ekspirasi terlalu pendek ............................................................... 598
Gambar 20. Oksigenasi selama dibantu ventilasi invasif ...................................................... 599
Gambar 21. Eliminasi CO2 selama dibantu ventilasi invasif ................................................. 600
Gambar 22. Posisi bayi untuk KMC ............................................................................................ 621
Gambar 23. Posisi bayi dalam KMC .......................................................................................... 621
Gambar 24. Memberikan ASI yang telah diperah menggunakan selang nasogastrik ... 625
Gambar 25. Kehilangan panas pada neonatus ....................................................................... 629
Gambar 26. Alogaritma tatalaksana hipoglikemia ................................................................ 639
Gambar 27. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi dengan usia
kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia kehamilan 35-36 minggu
dengan berat lahir ≥ 2500 gram berdasarkan kadar bilirubin
serum sesuai dengan usia (dalam jam) ....................................................................................... 644
RINGKASAN EKSEKUTIF
Standarisasi pelayanan neonatus merupakan kebutuhan saat ini agar percepatan penurunan angka
kematian neonatus (AKN) 9 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2025 dapat tercapai. Upaya kearah
tersebut juga diperlukan untuk mengatasi adanya disparitas jumlah dan kompetensi aset tenaga
manusia (ATM), fasilitas kesehatan serta alat kedokteran di berbagai wilayah di Indonesia. Upaya
standarisasi dilaksanakan dengan menghilangkan fragmentasi pelaksanaan sistem kesehatan
neonatal pada tatakelola program, manajemen dan klinis. Pada buku panduan ini diuraikan tingkat
648
pelayanan neonatus sebagai dasar pelaksanaan tatakelola manajemen di fasilitas kesehatan.
Disamping itu diuraikan pula kodifikasi diagnosis dan prosedur di bidang neonatologi sebagai bagian
dari sistem pendanaan di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang merupakan kesatuan dari
tatakelola program, manajemen dan klinis. Tatakelola klinis dibahas lebih rinci baik sebagai dasar bagi
panduan nasional maupun panduan di tiap fasilitas kesehatan yaitu dalam bentuk Panduan Nasional
Pelayanan Kesehatan (PNPK) dan Panduan
Pada lampiran diuraikan algoritma sistem pendanaan di era JKN ini yang masih merujuk pada sistem
kodifikasi ICD 9-CM untuk prosedur dan ICD 10 untuk diagnosis. Dengan demikian buku panduan ini
diharapkan dapat secara paripurna memberikan pedoman dalam pelaksananan pelayanan di bidang
neonatal.
649
BAB I PANDUAN TINGKAT PELAYANAN NEONATUS
1.1 Pendahuluan
Standarisasi pelayanan neonatus menjadi kebutuhan saat ini dengan semakin
berkembangnya kemampuan rumah sakit di seluruh Indonesia dalam melaksanakan
tugasnya. Unit kerja koordinasi (UKK) Neonatologi PP IDAI perlu menetapkan panduan
baku dalam sistem pelayanan tersebut, meliputi kompetensi aset tenaga mediknya,
fasilitas, alat dan obat-obatan yang digunakan serta panduan prosedur pelayanannya.
Tujuan dari buku ini adalah menetapkan acuan baku sistem pelayanan neonatus
di fasilitas kesehatan mulai dari tingkat primer di puskesmas (pelayanan neonatus
tingkat satu atau dasar), sekunder (pelayanan neonatus spesialistik di rumah sakit tipe
D dan tipe C menurut PMK No 604/MenKes/SK/VII/2008 tentang pedoman pelayanan
maternal perinatal pada rumah sakit kelas B, kelas C dan kelas D) dan tersier (pelayanan
neonatus subspesialistik di rumah sakit tipe B dan A). Peraturan menteri kesehatan
tersebut sudah waktunya direvisi karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan
pengetahuan saat ini. Dan untuk melengkapi peraturan tersebut disusun buku panduan
ini yang nantinyapun harus dievaluasi dan apabila perlu direvisi setiap tahun. Adapun
program Kementerian Kesehatan RI dalam pelayanan neonatal pada prinsipnya
mengacu pada Rangkaian Aksi Nasional di bidang neonatal (RAN-Neonatal) yang
memiliki tiga kerangka aksi yaitu cakupan pelayanan neonatal yang berkualitas,
intervensi klinis untuk kelangsungan hidup neonatus (tatakelola klinis kehamilan,
persalinan dan neonatus sakit) serta pemberdayaan partisipasi keluarga.
1
regional), dan ini sangat dibutuhkan oleh kondisi Indonesia yang sangat unik secara
geografis. Selain itu juga mendukung program Kementerian Kesehatan RI dalam
mengupayakan penurunan angka kematian neonatal 9 per 1000 kelahiran di tahun 2025.
Layanan Neonatus Dasar Evaluasi dan perawatan pasca lahir neonatus bugar pasca
(tingkat I), Perawatan neonatus resusitasi
bugar Stabilisasi neonatus sakit sampai dilaksanakan proses
rujukan ke RS dengan tingkat layanan spesialistik.
Modifikasi di Indonesia:
• Mengupayakan pertolongan persalinan, janin dan
neonatus normal.
2
• Identifikasi tanda bahaya pada neonatus
• Resusitasi, stabilisasi dan transport neonatus
nonbugar/ sakit untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan
sekunder atau tersier sesuai regionalisasi wilayahnya.
• Perawatan neonatal esensial pada neonatus sehat
Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe D (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIA, spesialistik terbatas).
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat I, ditambah:
• Layanan neonatus dengan batasan berat lahir 2000
gram dan usia kehamilan 36 minggu.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi non-invasif.
Rumah sakit tipe C (kompetensi dan kemampuan
layanan neonatus tingkat IIB, spesialistik luas).
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIA, ditambah:
• Layanan neonatus dengan batasan berat lahir 1800
gram dan usia kehamilan 35 minggu.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi invasif
dengan ventilator konvensional ≤5 hari untuk
stabilisasi neonatus sebelum dirujuk ke fasilitas
kesehatan tersier.
• Dapat melaksanakan tindakan bedah minor pada
neonatus.
Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe A (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIIA, subspesialistik/ konsultan
neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak
terbatas)
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIIA, ditambah:
3
• Layanan neonatus tanpa batas batasan berat lahir dan
usia kehamilan.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi invasif tidak
terbatas (ventilator konvensional, high frequency
ventilator, high frequency oscillator).
• Dapat melaksanakan tindakan bedah major tidak
terbatas (tindakan bedah subspesialistik) pada
neonatus.
Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe A (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIIB, subspesialistik/ konsultan
neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak
terbatas, fasilitas prosedur kardiotorasis terbatas)
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIIB, ditambah:
• Dapat melaksanakan prosedur kardiotorasis kompleks
yang tidak melaksanakan tindakan bypass
kardiopulmonal dan/ atau dengan ECMO.
Modifikasi di Indonesia:
Pusat rujukan nasional untuk neonatal terintegrasi dengan
Pusat Jantung Nasional (kompetensi dan kemampuan
layanan neonatus tingkat IIIC, subspesialistik/ konsultan
neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak
terbatas, fasilitas prosedur kardiotorasis lengkap)
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat
IIIC, ditambah:
• Dapat melaksanakan prosedur kardiotorasis kompleks
dengan tindakan bypass kardiopulmonal dan/ atau
dengan ECMO.
A. Dokter
4
• Kompetensi: tingkat dasar untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap profesional di
bidang neonatologi, yaitu: o Tanda bahaya kedaruratan pada neonatus
o Resusitasi, stabilisasi dan transport neonatus tidak terbatas pada berat lahir dan
usia kehamilan.
o Manajemen neonatal esensial.
• Uraian tugas dan tanggung jawab: o Tatakelola klinis neonatus dengan tingkat
kompetensi dasar yang direkam dalam cacatan medis pasien.
o Tatakelola manajemen:
▪Pencatatan, pelaporan, kajian morbiditas dan mortalitas hasil aktivitas medis
yang telah dilakukan di unitnya untuk tindak lanjut perbaikan secara internal
unit pelayanan.
▪Perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas, alat kedokteran dan obat-
obatan kebutuhan di unitnya.
▪Penyusunan dan revisi/ updating panduan prosedur klinik di unitnya. o
Tatakelola program:
▪Pencatatan, pelaporan, kajian morbiditas dan mortalitas hasil aktivitas medis
yang telah dilakukan di unitnya untuk tindak lanjut perbaikan secara eksternal
berkolaborasi dan berkoordinasi lintas sektoral dalam satu sistem rujukan di
wilayah regionalnya, misalnya dalam kegiatan audit maternal peri-neonatal.
▪Perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas, alat kedokteran dan obat-
obatan kebutuhan di unitnya terintegrasi dalam sistem pengadaan layanan
kesehatan vertikal dari tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional.
▪Standarisasi panduan prosedur klinis secara regional maupun nasional.
5
o Tatakelola manajemen:
▪Membantu dalam pencatatan, pelaporan, kajian morbiditas dan mortalitas hasil
aktivitas medis yang telah dilakukan di unitnya untuk tindak lanjut perbaikan
secara internal unit pelayanan.
▪Membantu dalam perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas, alat
kedokteran dan obat-obatan kebutuhan di unitnya.
▪Penyusunan dan revisi/ updating panduan asuhan keperawatan prosedur
klinik di unitnya.
2. Mebel
2.1 Rak atau gantungan gaun bersih untuk petugas atau pengunjung.
2.2 Wadah gaun kotor setelah digunakan
2.3 Rak sepatu
2.4 Lemari untuk barang pribadi petugas atau pengunjung
2.5 Wadah limbah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
3. Bahan-bahan
3.1 Sabun
Tersedia sabun dalam jumlah cukup, dianjurkan sabun cair antibakteri dalam
dispenser dengan pompa.
3.2 Pengering
Harus tersedia pengering minimal kertas tisu habis pakai atau pengering elektronik.
Tidak dianjurkan pengering handuk
6
Gambar 1. Area cuci tangan
7
2.1 Selimut penghangat bayi atau plastik pembungkus bayi prematur lengkap dengan topinya,
kering, bersih dan hangat.
3. Fasilitas, alat dan obat-obatan
3.1 Meja untuk meletakan alat resusitasi dan obat-obatan
3.1 Perlengkapan jalan napas (air way):
- Alat penghisap lendir harus ada minimal alat penghisap lendir dinding atau portable
dengan segala kelengkapannya
3.2 Pasokan oksigen dan udara
- Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang
atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase
kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang
tersambung langsung ke blender.
- Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi.
Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan
diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah (low flowmeter) dan tinggi
(high flowmeter)
3.4 Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:
3.4.1 Alat pembebas jalan napas:
- Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR
- Harus ada balon penghisap lendir atau mucous extractor untuk penghisapan lendir
sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan
- Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran
5FR dan 8FR.
- Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan
digunakan.
- Bola lampu laringoskop cadangan
- Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1
3.4.2 Alat pemberi oksigenisasi:
- Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik -
Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan -
Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif.
- Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan
gunting untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif.
3.4.3 Alat monitor
- Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable.
- Stetoskop bayi atau anak
3.4.4 Obat-obatan:
- Alat sunti/spuit 1cc; 2,5cc; 3cc; 5cc; 10cc; 20cc; 50cc
- Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000)
- Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL)
3.4.5 Alat penunjang sirkulasi dan cairan:
- Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap
- Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR -
Three-way stopcock
- Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate
- Topi
- Masker
8
- Kaca mata google
- Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang
- Gaun plastic
- Sepatu pelindung
9
A. Dokter spesialis anak
• Kompetensi: tingkat spesialistis untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap
profesional di bidang neonatologi.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
o Tatakelola klinis neonatus dengan tingkat kompetensi spesialistis yang direkam
dalam cacatan medis pasien.
o Tatakelola manajemen dan program: membantu melancarkan kinerja fasilitas
kesehatan dalam tatakelola manajemen neonatus dan kinerja sistem rujukan
neonatus di regional wilayah kerjanya.
10
Tidak dianjurkan pengering handuk
2.2 Jam dengan fasilitas stop watch sebagai penunjuk waktu yang tepat dan berfungsi baik.
2.3 Selimut penghangat bayi atau plastik pembungkus bayi prematur lengkap dengan topi,
kering, bersih dan hangat.
3. Fasilitas, alat dan obat-obatan
3.1 Meja untuk meletakan alat resusitasi dan obat-obatan
3.1 Perlengkapan jalan napas (air way):
- Alat penghisap lendir harus ada minimal alat penghisap lendir dinding atau portable
dengan segala kelengkapannya.
3.2 Pasokan oksigen dan udara
- Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang
atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase
kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang
tersambung langsung ke blender.
- Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi.
Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan
diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi
11
3.4 Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:
3.4.1 Alat pembebas jalan napas:
- Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR
- Harus ada balon penghisap lendir atau mucous ectractor untuk penghisapan lendir
sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan
- Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran
5FR dan 8FR.
- Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan
digunakan.
- Bola lampu laringoskop cadangan
- Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1
3.4.2 Alat pemberi oksigenisasi:
- Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik -
Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan -
Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif.
- Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan
guntingnya untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif.
3.4.3 Alat monitor
- Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable.
- Stetoskop bayi atau anak
3.4.3 Obat-obatan:
- Alat suntik /spuit 1cc; 2,5 cc; 3 cc; 5 cc; 10 cc; 20 cc; 50cc
- Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000)
- Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL)
3.4.4 Alat penunjang sirkulasi dan cairan:
- Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap
- Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR
- Three-way stopcock
- Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate
12
1.1 Spesifikasi ruang
- Lokasi ruang harus berdekatan dengan kamar operasi, dan merupakan bagian atau
bersebelahan dengan kamar bersalin.
- Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah
sakit, terutama untuk menuju ruang perawatan neonatus maupun ruang rawat
gabung (ruang rawat bayi sehat gabung dengan perawatan ibu pasca lahir).
- Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m2 untuk setiap inkubator
pasien dan perlengkapannya.
- Lokasi tersendiri, tetapi mudah dijangkau oleh keluarga yang ingin menjenguknya.
- Prosedur menjenguk hanya dapat melalui jendela kaca. Struktur fisik didisain
sedemikian rupa menyerupai aquarium, karena yang dapat masuk ruangan hanya
ayah bayi baru lahir pada saat melaksanakan komunikasi, informasi edukasi tentang
bayinya segera setelah lahir.
1.2 Pencahayaan
Secara umum nyaman dan terang sehingga pengunjung dapat melihat dari luar ruang
ke segala arah.
1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal tiga steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai
untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.
1.5 Tersedia sumber oksigen dan udara yang siap pakai apabila terjadi kegawatan pada
neonatus
1.6 Tersedia sumber tekanan negatif untuk alat hisap lendir yang siap pakai apabila
terjadi kegawatan pada neonatus
2.2 Meja
Tersedia tiga meja:
- Meja trolley pertama untuk meletakkan kotak resusitasi dan kelengkapannya.
Apabila fasilitas terbatas, kotak resusitasi untuk kamar bersalin dan kamar operasi
diletakkan dan disimpat di ruang transisi.
- Meja trolley kedua untuk meletakkan perlengkapan antropometri (timbangan berat
badan analog atau digital, alat pengukur panjang badan, pita pengukur lingkar
kepala), alat untuk pemeriksaan laboratorium pada pelayanan neonatal esensial.
- Meja ketiga di area administrasi, selain untuk keperluan administrasi juga untuk
melakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.
2.3 Kursi
- Harus ada tiga kursi di area administrasi dan edukasi yang berfungsi baik.
2.4 Wadah sampah tertutup dengan kantong plastik, terdiri dari sampai organik,
nonorganik dan sampai infeksius.
2.5 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik (dilengkapi hitungan detik)
13
3.1
Alat periksa:
- Stetoskop bayi atau anak
- Termometer
- Alat pengukur saturasi oksigen (oximeter)
Alat dan jarum suntik serta swab alkohol untuk memberikan:
- Vitamin K1
- Imunisasi Hepatitis B
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan golongan darah/ Rh, darah rutin lengkap,
gula darah
3.2
Inkubator, asuhan normal
- Paling sedikit harus ada 2 inkubator yang berfungsi baik.
- Jarak satu inkubator dengan yang lain minimal 1m2 - Inkubator
transport
3.3 Penghangat (Radiant warmer)
- Paling sedikit harus ada satu penghangat yang berfungsi baik.
Cairan pencuci tangan
Gambar 3. Ruang
Transisi
1.2 Pencahayaan
14
Secara umum nyaman, pencahayaan terang hanya disekitar inkubator untuk
melaksanakan prosedur klinis pada bayi
1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal enam steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai
untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.
1.5 Sumber oksigen dan udara pada dinding untuk satu inkubator
1.6 Sumber tekanan negatif untuk alat hisap dinding untuk satu inkubator
1.7 Kebersihan selalu terjaga setiap waktu
1.8 Lampu darurat
1.9 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik (dilengkapi hitungan detik)
Harus ada alat bantu ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIB):
- Ventilator mekanik konvensional.
2.4 Inkubator
2.5 Radiant warmer
2.6 Monitor bed-side
2.7 Infusion pump
2.8 Syringe pump
2.9 Kursi kangaroo care dan perlengkapannya
2.10 Unit terapi sinar
- Paling sedikit harus ada satu unit terapi sinar yang berfungsi baik untuk setiap tiga
inkubator atau tempat tidur bayi
15
2.11 Timbangan bayi
- Paling sedikit harus ada satu timbangan bayi yang berfungsi baik di setiap ruangan.
2.12 Stetoskop
- Harus ada stetoskop yang berfungsi baik untuk setiap tiga inkubator atau tempat tidur
bayi
2.13 Cairan pencuci tangan
2.14 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik,
infeksius.
3. Area tempat meletakkan troley emergency dengan segala kelengkapan yang siap
pakai
4. Ruang penyimpanan dan peracikan obat
Memiliki lemari instrument tempat menyimpan bahan-bahan habis pakai dan
obatobatan
4.1 Gaun
4.2 Masker
4.3 Sarung tangan
4.4 Alat suntik /spuit 1 cc, 2,5 cc, 3 cc , 10 cc, 20 cc, 50cc
4.5 Pipa minum, ukuran 5 Fr dan 8 Fr
4.6 Pipa penghisap lendir, ukuran 6 dan 8
4.7 Kanula, ukuran 22 dan 24
4.8 Kateter umbilikus, ukuran 3 ½, 5, 8
4.9 Masker oksigen neonatus
4.1 Terapi oksigen :
0 • Nasal kanul high flow
• Nasa kanul low flow
16
4.2 Lemari es
1
5. Ruang tindakan memiliki perlengkapan:
5.1 Meja atau tempat tidur untuk melakukan tindakan
5.2 Lampu tindakan
5.3 Cairan pencuci tangan
5.4 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
6. Ruang konsultasi
Mebel
6.1 Meja
- Untuk keperluan komunikasi informasi dan edukasi -
Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
6.2 Kursi
- Harus ada tiga kursi yang berfungsi baik.
7. Ruang administrasi
7.1 Meja
- Untuk keperluan administras
- Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
17
7.2 Kursi
- Harus ada kursi yang berfungsi baik.
Gambar 4. Unit layanan neonatus tingkat III. Perbedaan di unit layanan tingkat II
pada tunjangan ventilasi non-invasif.
E. Area laktasi
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Paling kecil, ruangan berukuran 6 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
2. Mebel
2.1 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
18
2.2 Kursi (1-3)
-Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.
Gambar 5. Area laktasi (contoh gambar ada wastafel, tempat duduk nyaman)
19
1.3.3 Unit layanan neonatus tingkat III (di fasilitas kesehatan
tersier/ rumah sakit)
1.3.3.1 Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti profesi
medis, bidan dan perawat di layanan neonatus tingkat IIIA.
• Kompetensi: tingkat spesialistis dengan tambahan pelatihan manajemen tingkat III
untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap profesional di bidang neonatologi.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
o Tata kelola klinis neonatus dengan tingkat kompetensi subspesialistis terbatas
yang direkam dalam cacatan medis pasien.
o Tata kelola manajemen dan program: membantu melancarkan kinerja fasilitas
kesehatan dalam tatakelola manajemen neonatus dan kinerja sistem rujukan
neonatus di regional wilayah kerjanya.
20
- Ruang rawat atau tindakan neonatus di rumah sakit: IGD, kamar bersalin, kamar
operasi, ruang transisi, ruang rawat gabung.
1.2 Kebersihan harus terjaga dengan struktur yang mudah dibersihkan.
1.3 Pencahayaan terang dan nyaman
1.4 Ventilasi optimal dengan aliran udara bebas yang maksimal
1.5 Wastafel
Ukuran besar untuk menampung cipratan air saat melakukan cuci tangan, dengan
aliran air limbah yang lancer, memiliki kran yang dioperasikan dengan siku atau
lengan.
2. Mebel
2.1 Rak sepatu
2.2 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
3. Bahan-bahan
3.1 Sabun
Tersedia sabun dalam jumlah cukup, dianjurkan sabun cair antibakteri dalam
dispenser dengan pompa.
3.2 Pengering
Harus tersedia pengering minimal kertas tisu habis pakai Tidak
dianjurkan pengering handuk
21
3.1 Pasokan oksigen dan udara
- Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang
atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase
kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang
tersambung langsung ke blender.
- Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi.
Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan
dan diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi
Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan
diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi invasif
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi
1 3.5 Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:
22
- Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate
3.6 Alat pelindung diri:
- Topi
- Masker
- Kaca mata google
- Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang
- Gaun plastik
- Sepatu pelindung
3.7 Pengatur suhu ruangan dan penghangat meja resusitasi:
- AC yang siap pakai suhu diatur antara 24-28ºC
- Termometer ruangan
- Penghangat (Radiant warmer) yang berfungsi dengan baik
- Topi bayi, selimut untuk pembungkus bayi, selimut untuk pembersih dan selimut
untuk alat, serta plastik untuk penghangat bayi prematur
3.8 Inkubator transport atau kain/ gaun metode kanguru
3.9 Laboratorium penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium darah lengkap sederhana
- Pemeriksaan laboratorium gula darah
23
- Lokasi tersendiri, tetapi mudah dijangkau oleh keluarga yang ingin menjenguknya.
- Prosedur menjenguk hanya dapat melalui jendela kaca. Struktur fisik didisain
sedemikian rupa menyerupai aquarium, karena yang dapat masuk ruangan hanya
ayah bayi baru lahir pada saat melaksanakan komunikasi, informasi edukasi tentang
bayinya segera setelah lahir.
1.2 Pencahayaan
Secara umum nyaman dan terang sehingga pengunjung dapat melihat dari luar ruang ke
segala arah.
1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal tiga steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai untuk
kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.
1.5 Tersedia sumber oksigen dan udara yang siap pakai apabila terjadi kegawatan pada
neonatus
1.6 Tersedia sumber tekanan negatif untuk alat hisap lendir yang siap pakai apabila terjadi
kegawatan pada neonatus
1.7 Kebersihan terjaga setiap waktu
1.8 Lampu darurat
1.9 Memiliki area cuci tangan yang memenuhi kebutuhan dan siap pakai.
2. Mebel
2.1 Lemari instrumen Tersedia
dua:
- Lemari linen, set alat steril.
- Lemari alat kedokteran, bahan habis pakai dan obat-obatan untuk pelayanan neonatal
esensial.
2.2 Meja
Tersedia tiga meja:
- Meja trolley pertama untuk meletakkan kotak resusitasi dan kelengkapannya.
- Meja trolley kedua untuk meletakkan perlengkapan antropometri (timbangan berat
badan digital, alat pengukur panjang badan, pita pengukur lingkar kepala), alat untuk
pemeriksaan laboratorium pada pelayanan neonatal esensial.
- Meja ketiga di area administrasi, selain untuk keperluan administrasi juga untuk
melakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.
2.3 Kursi
- Harus ada tiga kursi di area administrasi dan edukasi yang berfungsi baik.
2.4 Wadah sampah tertutup dengan kantong plastik, terdiri dari sampai organik, nonorganik
dan sampai infeksius.
2.5 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik.
3. Fasilitas, alat kedokteran dan obat-obatan
3.1 Alat periksa:
- Stetoskop
- Termometer
- Alat pengukur saturasi oksigen (oximeter)
Alat dan jarum suntik serta swab alkohol untuk memberikan:
- Vitamin K1
- Imunisasi Hepatitis B
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan golongan darah/ Rh, darah rutin lengkap,
gula darah
3.2 Inkubator, asuhan normal
- Paling sedikit harus ada 2 inkubator yang berfungsi baik.
- Jarak satu inkubator dengan yang lain minimal 1m2 - Inkubator
transport
3.3 Penghangat (Radiant warmer)
- Paling sedikit harus ada satu penghangat yang berfungsi baik.
3.4 Cairan pencuci tangan
24
D. Ruang perawatan untuk layanan neonatus tingkat III
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Lokasi ruang harus bersebelahan dan satu lantai dengan kamar bersalin dan kamar
operasi.
- Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah
sakit, terutama untuk menuju ruang rawat gabung (ruang perawatan ibu pasca
lahir).
- Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m2 untuk setiap inkubator
pasien dan perlengkapannya.
- Ruang terdiri dari: o Area perawatan
25
- Minimal satu alat pencampur oksige (blender oxygen) dengan regulatornya.
2.3 Alat bantu ventilasi:
Harus ada alat ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIA):
- t-piece resuscitator
- CPAP dengan segala perlengkapannya.
Harus ada alat bantu ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIB):
- Ventilator mekanik konvensional.
- High Frequency Ventilatior - High Frequency Oscillator
2.4 Inkubator
2.5 Radiant warmer
2.6 Monitor bed-side
2.7 Infusion pump
2.8 Syringe pump
2.9 Kursi kangaroo care dan perlengkapannya
2.12 Stetoskop
- Harus ada stetoskop yang berfungsi baik untuk setiap tiga inkubator atau tempat tidur
bayi
2.13 Cairan pencuci tangan
2.14 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik,
infeksius.
3. Area tempat meletakkan troley emergency dengan segala kelengkapan yang siap
pakai
4. Ruang penyimpanan dan peracikan obat
Memiliki lemari instrument tempat menyimpan bahan-bahan habis pakai dan
obatobatan
4.1 Gaun
4.2 Masker
4.3 Sarung tangan
4.4 Alat suntik /spuit 1cc, 2,5 cc, 3 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc, 50cc
4.5 Pipa minum, ukuran 5 Fr dan 8 Fr
4.6 Pipa penghisap lendir, ukuran 6 dan 8 Fr
4.7 Kanula, ukuran 22 dan 24
4.8 Kateter umbilikus, ukuran 3 ½, 5, 8
4.9 Masker oksigen neonatus
4.1 Head box / t-piece reuscitator
0
4.1 Penutup mata untuk terapi sinar
1
4.1 Popok sekali pakai (Pampers)
2
4.1 Penutup sepatu sekali pakai
3
4.1 Betadine/alkohol untuk disinfeksi
4
4.1 Kantung plastik untuk wadah sampah besar
5
26
4.1 Cairan infus
6 - Dextrose 5%, 10%, 40%
- NaCL 0,9%; NaCl 3%
- KCl 7,4%
- Ca glukonas 10% - Ringer Lactate
4.1 Cairan nutrisi parenteral
7 - Solusio asam amino 6%
- Intralipid 20%
4.1 Antibiotik
8 - Ampisilin
- Gentamisin
4.1 Obat respirasi -
9 Aminofilin
4.2 Kardiotonik
0 - Dopamin
- Dobutamin - Epinefrin
4.2 Lemari es
1
5. Ruang tindakan memiliki perlengkapan:
5.1 Meja atau tempat tidur untuk melakukan tindakan
5.2 Lampu tindakan
5.3 Cairan pencuci tangan
5.4 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
6. Ruang konsultasi
Mebel
6.1 Meja
- Untuk keperluan komunikasi informasi dan edukasi -
Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
6.2 Kursi
- Harus ada tiga kursi yang berfungsi baik.
7. Ruang administrasi
7.1 Meja
- Untuk keperluan administras
- Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
7.2 Kursi
- Harus ada kursi yang berfungsi baik.
E. Area laktasi
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Paling kecil, ruangan berukuran 6 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
2. Mebel
2.1 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
2.2 Kursi (1-3)
-Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.
27
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
-Paling kecil, ruangan berukuran 6-8 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
1.6 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
2.2 Sistem database catatan medis pasien yang dapat diakses dan disimpan kembali setiap
waktu
3. Aset tenaga manusia
3.1 Jumlah, gambaran tugas dan pembagian waktu
28
3.1.1 Pelayanan neonatus tingkat I di fasilitas kesehatan primer: seorang dokter sebagai
DPJP yang bertanggung jawab selain untuk tatakelola klinis, juga memiliki tugas pokok dan
fungsi untuk tatakelola manajemen dan program lintas sekoral berhubungan dengan sistem
rujukan
Pelayanan neonatus tingkat IIA, di rumah sakit tipe D dan tipe C: minimal seorang
dokter spesialis anak yang dibantu oleh dokter, perawat dan bidan.
• Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite
medik:
o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat II (pelayanan neonatal
spesialistik)
o Waktu kerja minimal 6 jam kerja on-site, 18 jam kerja on-call dengan
pendelegasian kewenangan kepada dokter jaga.
• Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur
manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran
direktur rumah sakit
• Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas
kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan
setempat dan jajaran lintas sektoral terkait.
Pelayanan neonatus tingkat IIIA, IIIB di rumah sakit tipe B: minimal seorang dokter
spesialis anak dengan kompetensi tambahan dari pelatihan perawatan intensif neonatus
yang dibantu oleh dokter, perawat dan bidan.
• Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite
medik:
o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat III minimal didapat
dari pelatihan tambahan pelayanan neonatus subspesialistik atau yang
setingkat)
o Idealnya ada DPJP dengan waktu kerja 24 jam on-site. Apabila jumlah
tenaga tidak memadai dapat disesuaikan dengan kondisi setempat yang
disetujui oleh komite medik dan disahkan oleh direktu RS setempat
dengan adanya konsulen jaga on-call dengan pendelegasian
kewenangan kepada dokter jaga.
• Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur
manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran
direktur rumah sakit
• Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas
kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan
setempat dan jajaran lintas sektoral terkait.
Pelayanan neonatus tingkat IIIC, IIID di rumah sakit tipe A: minimal seorang dokter
spesialis anak konsultan neonatologi yang dibantu oleh dokter spesialis anak, dokter,
perawat dan bidan.
• Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite
medik:
o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat III yang didapat dari
pendidikan subspesialistik/ konsultan neonatologi.
o Idealnya ada DPJP dengan waktu kerja 24 jam on-site. Apabila jumlah
tenaga tidak memadai dapat disesuaikan dengan kondisi setempat yang
disetujui oleh komite medik dan disahkan oleh direktu RS setempat
dengan adanya konsulen jaga on-call dengan pendelegasian
kewenangan kepada dokter jaga.
• Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur
manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran
direktur rumah sakit
• Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas
kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan
setempat dan jajaran lintas sektoral terkait.
3.1.2 Dokter yang melaksanakan tugas jaga dengan mendapat pendelegasian kewenangan dari
DPJP /shift *
3.1.3 Proporsi perawat di pelayanan neonatus tingkat II:
Satu perawat/ 3-4 inkubator/ shift
29
Porporsi perawat di pelayanan neonatus tingkat III:
Satu perawat/ 2 inkubator/ shift
3.2 Berikut ini adalah kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh petugas di pelayanan
neonatus tingkat I, II dan III
3.2.1 Pelatihan manajemen neonatus tingkat II untuk dokter, dokter spesialis anak Pelatihan
manajemen neonatus tingkat II untuk perawat
3.2.2 On the job training manajemen neonatal tingkat II untuk dokter, dokter spesialis anak
On the job training manajemen neonatal tingkat II untuk perawat
3.2.3 Pelatihan manajemen neonatus tingkat III untuk dokter, dokter spesialis anak
Pelatihan manajemen neonatus tingkat III untuk perawat
3.2.4 On the job training manajemen neonatal tingkat III untuk dokter, dokter spesialis anak
On the job training manajemen neonatal tingkat III untuk perawat
3.2.5 Program pendidikan subspesialistik/ konsultan di bidang neonatologi
3.3. Program pendidikan kedokteran berkelanjutan di bidang neonatologi secara periodik
4. Manajemen perencanaan, pemeliharaan dan penggantian fasilitas kesehatan, alat
kedokteran dan obat-obatan
BAB II
30
2.1 Rujukan berjenjang
Pada era JKN pelayanan kesehatan harus dilakukan berjenjang menurut tingkat
kompetensi dan fasilitas pendukung. Dimulai dari pelayanan kesehatan di fasilitas
kesehatan (faskes) tingkat primer dengan kompetensi dasar, faskes sekunder dengan
kompetensi spesialis dan faskes tersier dengan kompetensi subspesialis. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Perorangan menyebutkan bahwa sistem rujukan pelayanan
kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur
pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik
vertikal maupun horisontal.
31
yang sampai saat ini masih digunakan dalam pelaksanaan JKN. Tujuan sistem ini adalah
dalam rangka pengendalian biaya kesehatan, mendorong peningkatan mutu sesuai
standar, membatasi pelayanan kesehatan yang tidak diperlukan, mempermudah
administrasi klaim, adanya kendali biaya.
5) Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) meliputi klinik utama atau
yang setara, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus.
32
10) Sumber daya adalah segala dukungan berupa material, tenaga, pengetahuan,
teknologi dan/atau dukungan lainnya yang digunakan untuk menghasilkan
manfaat dalam pelayanan kesehatan.
11) Peserta bayi baru lahir dalam JKN menurut Pasal 16 Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan adalah apabila
didaftarkan kepada BPJS Kesehatan paling lama 28 hari setelah dilahirkan.
33
melampaui standar mutu yang ada, mengurangi variasi yang tidak diperlukan dalam
praktek klinik, memperbaiki komunikasi antara klinisi dan pasien, meningkatkan
kepuasan pasien, identifikasi masalah riset dan pengembangan.
1. Rekapitulasi pelayanan
2. Berkas pendukung masing-masing pasien, yang terdiri dari:
• Surat eligibilitas peserta (SEP)
• Surat perintah rawat inap
3. Resume medis yang ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP)
4. Bukti pelayanan lain yang ditandatangani oleh DPJP (bila diperlukan), misal:
• Laporan operasi
• Protokol terapi dan regimen (jadwal pemberian obat) pemberian obat khusus
• Perincian tagihan rumah sakit
• Berkas pendukung lain yang diperlukan
Dalam alur baku, setelah selesai pelayanan dalam satu bulan, kemudian RS
menyusun dan mengajukan berkas klaim. Pekerjaan menyusun berkas klaim ini
dilakukan oleh pihak RS dengan menyertakan proses verifikasi internal oleh stafnya
untuk selanjutnya berkas klaim diserahkan untuk diverifikasi oleh verifikator eksternal
dari BPJS Kesehatan. Dalam proses verifikasi oleh BPJS Kesehatan, sebagian berkas tidak
langsung disetujui dan dapat dikembalikan ke RS untuk diperbaiki dan dilengkapi,
sementara proses klaim akan ditunda (pending claim). Bila sudah dilengkapi namun
34
masih belum disetujui, sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat atau persepsi antara
verifikator internal RS dan eksternal (BPJSK), dan masuk dalam “Dispute
Claim”. Terhadap dispute claim ini, dapat dicari jalan keluar dengan dilakukan
diskusi bersama Tim Kendali Mutu Kendali Biaya (TKMKB), Dewan pertimbangan Medis
(DPM), Dewan Pertimbangan Klinis/ Clinical Advisory Board (CAB) yang difasilitasi
oleh BPJS Kesehatan mulai dari level cabang sampai pusat.
Beban verifikasi oleh BPJS Kesehatan makin berat seiring bertambah banyaknya
jumlah peserta JKN , jumlah Faskes dan variasi kasus penyakit. Untuk standarisasi dan
percepatan proses verifikasi, BPJS Kesehatan mengembangkan sistem Verifikasi di
Kantor (Vedika), yaitu sebuah sistem untuk proses verifikasi dan klaim dari Fasilitas
Kesehatan, salah satu tujuan vedika adalah untuk mengurangi kegiatan yang
dioperasikan secara manual.
35
Gambar 8. Kaidah penulisan resume medik
sesuai National Casemix Center (NCC)
36
3. Ketidaklengkapan berkas rekam medis, misalnya : Tidak ada laporan operasi /
tindakan medis lainnya dan hasil penunjang diagnosis .
4. Resume medis tidak lengkap, misalnya :
• Diagnosis dan prosedur tidak terisi
• Tanda tangan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) tidak ada.
5. Ketidaklengkapan berkas klaim
6. Perbedaan persepsi terhadap peraturan dan verifikasi klaim antara petugas BPJS
dengan petugas RS (Diagnosis penyakit dan tindakan, kelengkapan berkas klaim,
dan lain lain).
4. Pembiayaan.
Berkas rekam medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk menetapkan
pembiayaan dalam pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan. Catatan tersebut
dapat dipakai sebagai bukti pembiayaan kepada pasien.
5. Statistik kesehatan.
Rekam medis dapat digunakan sebagai bahan statistik kesehatan, khususnya untuk
mempelajari perkembangan kesehatan masyarakat dan untuk menentukan jumlah
penderita pada penyakit- penyakit tertentu
37
Salah satu tujuan dari rekam medis adalah pembiayaan rumah sakit,
dilaksanakannya program JKN mulai tanggal 1 Januari 2014 diterapkan metode
pembayaran prospektif dengan INA-CBGs, maka ketepatan koding diagnosis dan
prosedur sangat berpengaruh terhadap hasil grouper dalam aplikasi INA-CBG. Kodefikasi
diagnosis dan tindakan/prosedur yang ditulis oleh dokter selama merawat pasien sesuai
dengan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9CM untuk tindakan/prosedur yang bersumber
dari rekam medis pasien dan dilakukan oleh Perekam medis atau petugas Casemix.
Perekam Medis dan dokter harus paham ICD 10 dan ICD 9- CM. Perekam medis harus
selalu berkoordinasi dengan dokter bila menemukan ketidakjelasan dalam penulisan
diagnosis. Ketidaktepatan dalam pengkodean, dapat menyebabkan kerugian finansial
berdampak pada perhitungan biaya rumah sakit. Kodefikasi diagnosis dan tindakan/
prosedur di bidang Neonatologi dapat dilihat pada Lampiran 1.
38
BAB III PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN
Pada periode 2018 ada tiga PNPK di bidang neonatologi yang sudah ditanda
tangani oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia yaitu:
1. PNPK bayi berat lahir rendah (BBLR) untuk resusitasi, stabilisasi dan
transport.
2. PNPK asfiksia
3. PNPK hiperbilirubinemia.
BAB I
PENDAHULUAN
39
the two third rule atau aturan 2/3, yang maksudnya 2/3 AKB berasal dari
angka kematian neonatus. Berikutnya dari angka kematian neonatus, 2/3
kematian terjadi dalam usia kurang dari 1 minggu, dan 2/3 dari angka tersebut
meninggal dalam 24 jam pertama.2,3 Dengan demikian aturan ini
memperlihatkan bahwa kematian neonatus merupakan komponen utama
kematian bayi dan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya AKB. 1,4
Di Indonesia, Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan
AKB sebesar 22,23 per 1.000 kelahiran hidup, yang artinya sudah mencapai
target MDG 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan angka
kematian neonatus (AKN) 19 per 1.000 kelahiran hidup tidak berbeda jauh
dengan SDKI tahun 2007 yaitu 20 per 1.000 kelahiran.5 Bayi berat lahir rendah
(BBLR) memiliki mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bayi berat lahir normal, tidak hanya pada periode neonatal melainkan juga
selama masa bayi dan masa anak. Angka kelahiran BBLR di dunia adalah 15,5%
atau sekitar 20 juta bayi setiap tahunnya. Sebanyak 95,6% kelahiran BBLR terjadi
di negara berkembang dan 18,3% di antaranya terjadi di Asia. 4,6
Berat lahir rendah menurut World Health Organization (WHO)
adalah berat lahir <2500 g. Batasan 2500 g ini berdasarkan data epidemiologis
bahwa bayi dengan berat <2500 g berisiko mengalami kematian 20 kali lebih
besar dibanding bayi dengan berat >2500 g.7 Berat lahir rendah dapat terjadi
akibat kelahiran prematur (kurang dari usia gestasi 37 minggu), pertumbuhan
janin yang terhambat, atau keduanya.6,7 Berat lahir rendah sangat berpengaruh
terhadap tingginya mortalitas dan morbiditas masa neonatal serta gangguan
pertumbuhan dan perkembangan.8-10
Besaran masalah ekonomi yang timbul akibat berat lahir rendah tergambar dari
satu analisis biaya di Kanada (1995). Untuk tiap BBLR, biaya perawatan selama
satu tahun pertama termasuk perawatan NICU adalah $48.183. Khusus BBLR
yang lahir prematur, biaya untuk menghadapi berbagai disabilitas permanen
akibat berbagai masalah perinatal adalah $676.800.11 Di Amerika Serikat
pembiayaan kesehatan BBLR ini mencapai 10% dari seluruh pembiayaan
kesehatan bagi populasi anak usia 0-15 tahun,12 dengan laporan biaya medis,
pendidikan, dan kehilangan produktivitas orangtua berkisar $ 26.2 milyar. 13 Italia
mendapatkan data rata-rata biaya perawatan bayi berat lahir sangat rendah
€20,502 (standar deviasi= SD €8409) dengan rata-rata lama rawat
59,7 hari (SD 21,6 hari).14
1.2. Permasalahan
Upaya menurunkan angka kejadian BBLR senantiasa dilakukan, terutama dari
aspek nutrisi selama kehamilan. Namun upaya tersebut masih belum berhasil
menurunkan angka kejadian BBLR secara bermakna, bahkan di negara maju
sekalipun.15 Demikian pula di Indonesia, jika diamati dari bayi lahir, prevalensi
40
bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) berkurang dari 11,1 persen tahun
2010 menjadi 10,2 persen tahun 2013.16
Asupan energi dan protein yang tidak mencukupi pada ibu hamil dapat
menyebabkan Kurang Energi Kronis (KEK). Ibu hamil dengan KEK berisiko
melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). Anemia pada ibu hamil dihubungkan
dengan meningkatnya kelahiran prematur, kematian ibu dan anak dan penyakit
infeksi. Anemia defisiensi besi pada ibu dapat memengaruhi pertumbuhan dan
berkembangan janin/bayi saat kehamilan maupun setelahnya.17
Di Indonesia, berat lahir rendah akibat kurang bulan adalah penyebab nomor 3
kematian masa perinatal di rumah sakit pada tahun 2005. 18 Riset Kesehatan
Dasar Departemen Kesehatan (2007) menyebutkan kematian bayi baru lahir usia
0-6 hari paling banyak disebabkan oleh gangguan pernapasan/asfiksia (37%),
prematuritas (34%), dan sepsis (12%).19
Hal ini menunjukkan bahwa upaya resusitasi dan mengatasi gangguan
pernapasan di awal kehidupan atau segera pasca-lahir merupakan faktor penting
dalam menurunkan mortalitas bayi baru lahir. Tata laksana saat kelahiran BBLR
sangat menentukan prognosis, bukan saja dalam harapan hidup, melainkan juga
dalam morbiditas jangka panjang. Meta-analisis oleh Laswell et al 20 (2010)
menunjukkan bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu bayi dengan berat
lahir <1500 g, memiliki risiko kematian yang lebih tinggi jika lahir bukan di rumah
sakit dengan fasilitas perawatan neonatal level III. Morbiditas BBLSR tersebut
juga meningkat, hal ini berhubungan dengan tingginya kejadian perdarahan
intraventrikular dan leukomalasia periventrikular, yang berkaitan dengan
kelainan perkembangan saraf.21
Studi morbiditas jangka panjang lainnya dilakukan oleh Ribeiro et al. 22 (2011)
terhadap 1288 subyek BBLR (<2500 g) dengan usia gestasi <38 minggu, dan
menyimpulkan bahwa berat lahir rendah bersama prematuritas merupakan
risiko gangguan berbahasa pada usia 18-36 bulan. Studi oleh Robertson et al. 23
(2009) pada 1279 anak yang lahir sangat prematur (usia gestasi ≤28 minggu dan
berat lahir <1250 g), menemukan ketulian pada 3,1% kasus serta gangguan
pendengaran sedang dan berat pada 1,9% kasus. Studi tersebut menyimpulkan
bahwa penggunaan oksigen jangka lama merupakan faktor prediktor yang paling
penting untuk terjadinya gangguan pendengaran.
Kesintasan BBLR kini makin baik berkat penggunaan surfaktan dan steroid
maternal, serta kemajuan teknologi perawatan neonatal dalam 50 tahun
terakhir.24 Di negara maju bahkan viabilitas BBLR dapat tercapai mulai kelahiran
usia gestasi 23 minggu.25 Meskipun mortalitas menurun, proporsi BBLR hidup
yang kemudian mengalami gejala sisa berat seperti penyakit paru kronik, 26,27
kelainan ginjal,28,29 gangguan kognitif dan gangguan perilaku,30 palsi serebral,
serta defisit neurosensorik termasuk kebutaan 31 dan ketulian26 ternyata tetap
besar.
41
Komplikasi akut pada masa perinatal dapat berakibat gejala sisa berat pada
jangka panjang dan memengaruhi kualitas hidup pasien maupun keluarganya. 32
Bayi berisiko seperti BBLR harus ditangani di fasilitas perawatan yang sesuai
dengan kebutuhan medisnya, sehingga memfasilitasi tercapainya luaran yang
optimal. American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan
pembagian level perawatan bayi baru lahir menjadi level I, II, dan III berdasarkan
tingkat kemampuan fasilitas tersebut dalam menangani bayi baru lahir.33
Level I (pelayanan neonatal dasar) mampu melakukan stabilisasi dan
merawat bayi baru lahir usia gestasi 35-37 minggu yang secara fisiologis stabil,
serta stabilisasi usia gestasi <35 minggu maupun bayi baru lahir sakit sampai
dapat dirujuk ke fasilitas perawatan yang memadai. Level II (pelayanan neonatal
spesialistik) mampu merawat bayi baru lahir usia gestasi >32 minggu dan berat
lahir >1500 g yang memiliki fungsi fisiologis yang imatur (apne of prematurity,
tidak mampu mempertahankan suhu tubuh, dan tidak mampu menerima diet
per oral (PO), sakit sedang dengan masalah yang diperkirakan akan membaik
dalam waktu singkat dan tidak akan memerlukan perawatan subspesialistik, serta
dalam pemulihan pasca-perawatan intensif. Level III (pelayanan neonatal
subspesialistik) adalah NICU dengan kelengkapan petugas dan peralatan yang
mampu menyediakan continuous life support dan perawatan yang
komprehensif untuk bayi baru lahir berisiko sangat tinggi serta bayi dengan sakit
kompleks dan kritis.34 Level IV (pelayanan neonatal subspesialistik) mampu
menangani kasus di level III dan dapat menangani kasus kelainan kongenital
kompleks atau kelainan didapat. Di level IV kasus-kasus bedah subspesialis dapat
segara ditangani dengan adanya tenaga konsultan pediatrics
anesthesiologist dan konsultan bedah anak on site.35
Idealnya tindakan merujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih baik dilakukan pada
ibu hamil berisiko tinggi, sehingga bayi yang lahir bermasalah segera
memperoleh penanganan yang memadai di NICU. Faktanya mayoritas kelahiran
bayi bermasalah termasuk BBLR terjadi di pelayanan kesehatan tanpa fasilitas
yang memadai.36,37 Pada 30-50% kasus bayi lahir yang akhirnya memerlukan
perawatan NICU, ibu hamil baru datang ke fasilitas kesehatan pada masa
intrapartum akhir, sehingga tindakan merujuk ibu pada saat itu justru akan
berisiko.38 Riskesdas 2013 mendapatkan anemia terjadi pada 37,1% ibu hamil di
Indonesia, 36,4% ibu hamil di perkotaan dan 37,8% ibu hamil di perdesaan. 17
Mortalitas BBLR akan berhasil diturunkan jika ada koordinasi yang baik antara
pelayanan kesehatan berbasis komunitas dengan rumah sakit. Bayi prematur
yang bermasalah dapat mengalami kematian akibat ketiadaan fasilitas, SDM, dan
mekanisme merujuk yang memadai dari pelayanan tingkat komunitas sampai
dengan pelayanan Level III. Koordinasi yang komprehensif antar pelayanan
kesehatan mutlak diperlukan untuk mengurangi kematian neonatus. 39-46
Faktor yang berpengaruh buruk terhadap kesintasan BBLSR terdiri atas
kelahiran sebelum tiba di rumah sakit,40 skor APGAR rendah,41-46 tidak bernapas
spontan di ruang bersalin,43 intubasi di ruang bersalin,47-49 memerlukan kompresi
dada atau adrenalin di ruang bersalin,42 resusitasi di ruang bersalin,47
42
respiratory distress syndrome (RDS),47 hipotensi,42 dan penggunaan nasal
continuous positive airway pressure (NCPAP).42 Sedangkan faktor yang
berpengaruh memperbaiki kesintasan BBLR adalah kelahiran di fasilitas
kesehatan tersier.48,49 Faktor-faktor tersebut menunjukkan bahwa upaya
resusitasi neonatus yang tepat akan memengaruhi luaran BBLR.
Pada BBLR yang stabil, tata laksana selanjutnya adalah di ruang rawat
gabung. Untuk BBLR bermasalah misalnya mengalami ancaman gagal napas,
gagal sirkulasi atau syok, dan kelainan kongenital berat, maka tata laksana
berikutnya adalah merujuk ke ruang rawat bayi berisiko tinggi atau ke rumah
sakit lain dengan fasilitas unit perinatal yang lengkap.34,38
Bayi berat lahir sangat rendah yang memperoleh perawatan NICU
(meskipun tidak lahir di fasilitas level III tetapi mengalami rujukan),
kesintasannya lebih tinggi 21% dibandingkan dengan BBLSR yang tidak dirawat di
NICU.50 Studi epidemiologi menunjukkan bahwa BBLSR yang lahir di rumah sakit
yang mempunyai fasilitas level III, mencapai kesintasan yang lebih tinggi hingga
51% dibandingkan dengan BBLSR yang lahir di level perawatan neonatal yang
lebih rendah atau BBLSR yang mengalami rujukan.20 Dengan demikian perawatan
di NICU adalah penting untuk kesintasan BBLR, demikian pula merujuk kasus
BBLSR yang bermasalah. Dalam mengerjakan mekanisme merujuk, tenaga
kesehatan harus terlebih dahulu memastikan bahwa BBLR dalam kondisi yang
sudah stabil.
Pedoman ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi langkah-langkah
yang dapat dikerjakan di fasilitas kesehatan primer hingga tersier dalam
menangani kelahiran BBLR, dalam lingkup resusitasi, stabilisasi, dan mekanisme
merujuk. Dengan penerapan rekomendasi ini, BBLR diharapkan mendapat
penanganan yang optimal sesuai degan kondisinya, menurunkan morbiditas
neonatus, dan mengurangi risiko gejala sisa, sehingga BBLR yang hidup akan
memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
1.3. Tujuan
1.3.1.Tujuan umum
Menurunkan mortalitas dan morbiditas BBLR.
1.3.2.Tujuan khusus
a. Membuat pernyataan secara sistematis yang berdasarkan pada bukti
ilmiah (scientific evidence), untuk membantu dokter, bidan, dan
perawat tentang tata laksana BBLR dalam fase resusitasi, stabilisasi,
dan mekanisme merujuk.
43
b. Memberi rekomendasi bagi fasilitas pelayanan kesehatan primer
sampai dengan tersier serta penentu kebijakan untuk penyusunan
protokol setempat atau Panduan Praktik Klinis (PPK), dengan
melakukan adaptasi terhadap Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) ini.
1.4. Sasaran
1) Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses kelahiran BBLR,
termasuk dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat diterapkan di
fasilitas pelayanan kesehatan primer sampai dengan tersier.
2) Pembuat kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan,
serta kelompok profesi terkait.
BAB II
44
METODOLOGI
45
1) Rekomendasi A bila berdasar pada bukti level IA atau IB.
2) Rekomendasi B bila berdasar atas bukti level IC atau II.
3) Rekomendasi C bila berdasar atas bukti level III atau IV.
BAB III
Bayi berat lahir rendah adalah bayi dengan berat lahir (BBLR) <2500 g. 8,10 Bayi
berat lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu bayi berat lahir <1500 g dan bayi berat
lahir amat sangat rendah (BBLASR) adalah bayi berat lahir <1000 g. Makin rendah
usia gestasi dan makin rendah berat lahir bayi, makin berat pula stres fisiologis
dan inflamasi yang dapat dialaminya. Respons tubuh terhadap stres pada
masing-masing kelompok BBLR berdasarkan penggolongan berat lahir berbeda-
beda,24 oleh sebab itu dalam tata laksana resusitasi, stabilisasi, dan mekanisme
merujuk pada tiap kelompok tersebut juga berbeda.
3.1. RESUSITASI
Sekitar 10% bayi membutuhkan intervensi bantuan untuk mulai bernapas
saat lahir dan 1% membutuhkan intervensi yang lebih ekstensif. 51 Panduan baru
untuk resusitasi bayi baru lahir disusun oleh The International Liaison
Committee on Resuscitation (ILCOR), American Heart Association
(AHA), American Academy of Paeditrics (AAP) dan Ikatan Dokter Anak
46
Indonesia (IDAI) 2017 dan menyatakan kunci kesuksesan resusitasi bayi baru lahir
adalah ventilasi yang efektif.18,52,53 Rekomendasi utama resusitasi neonatus
menurut ILCOR, AHA 2015 dan IDAI 2017 adalah sebagai berikut (Gambar 1)
yaitu:ii
• Setiap usaha resusitasi neonatus harus didahului oleh persiapan yang baik.
Persiapan resusitasi meliputi konsultasi antenatal, persiapan tim penolong dan
persiapan tempat beserta alat-alat resusitasi.54-56
• Penilaian awal kondisi bayi sesaat setelah dilahirkan akan menentukan perlu
tidaknya resusitasi neonatus. Penilaian ini berupa penilaian tonus otot dan
usaha nafas. Jika terdapat tonus otot atau usaha napas yang buruk maka bayi
harus segera mendapat resusitasi.18
• Resusitasi harus selalu didahului oleh langkah awal yang terdiri dari
meletakkan bayi dibawah infant warmer, membersihkan jalan napas jika
terdapat sumbatan, mengeringakan dan merangsang taktil dan memosisikan
bayi dalam posisi
menghidu.18,57
47
• Rasio kompresi dada dan ventilasi efektif adalah 3 banding 1.61-66
• Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup bulan atau
mendekati cukup bulan dengan perkembangan kearah terjadinya ensefalopati
hipoksik iskemik sedang atau berat, dengan protokol dan tindak lanjut sesuai
panduan.58
• Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung
selama 10 menit. Banyak faktor berperan dalam keputusan melanjutkan
resusitasi setelah 10 menit.67-71
• Penjepitan tali pusat harus ditunda sedikitnya 30 detik sampai 3 menit untuk
bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Tidak terdapat cukup bukti untuk
merekomendasikan lama waktu penjepitan talipusat pada bayi yang
memerlukan resusitasi.51,54
48
Gambar 1. Algoritma resusitasi bayi baru lahir rekomendasi IDAI. 18
Rekomendasi AHA modifikasi IDAI (2017)18 menyatakan bahwa kita dapat
melakukan penilaian cepat pada bayi baru lahir, yaitu memutuskan seorang bayi
memerlukan resusitasi atau berdasarkan dua karakteristik berikut:
1) Menangis atau bernapas?
49
2) Tonus otot baik?
1. Langkah awal
Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan meletakkan
bayi di bawah penghangat atau radiant warmer, memosisikan bayi pada
posisi menghidu (posisi setengah ekstensi) untuk membuka jalan napas,
membersihkan jalan napas jika perlu, mengeringkan bayi, dan memberi
stimulasi napas. Penggunaan topi dan plastik transparan yang menutupi bayi
(BBLSR) sampai leher dapat digunakan untuk mencegah kehilangan panas
tubuh secara konveksi dan evaporasi.18,54 Membersihkan jalan napas atas
dilakukan sebagai berikut:
50
• Jika cairan amnion jernih, pengisapan langsung pada orofaring segera
setelah lahir tidak dilakukan secara rutin, tetapi hanya dilakukan pada
bayi yang mengalami obstruksi napas dan yang memerlukan VTP. 75,76
• Jika terdapat mekonium dan bayi tidak bugar atau depresi, bukti yang ada
tidak menganjurkan pengisapan trakea secara rutin.60
2. Ventilasi tekanan positif
Pimpinan resusitasi harus segera memberikan VTP bila bayi mengalami apne
atau gasping, atau laju denyut jantung <100 per menit. Ventilasi tekanan
positif (VTP) yang dilakukan harus efektif sehingga mampu mengembalikan
usaha napas hampir semua bayi baru lahir yang apne atau bradikardia.
Ventilasi tekanan positif yang efektif ditandai dengan pengembangan dada,
peningkatan laju denyut jantung dan peningkatan saturasi pada monitor
saturasi (SpO2).18,57
Sebaiknya VTP yang efektif sudah teridentifikasi paling lama 15 detik pasca
VTP dimulai oleh asisten sirkulasi.
Pimpinan resusitasi harus menghentikan VTP jika teridentifikasi tidak efektif
dan mulai melakukan langkah koreksi.
Langkah koreksi yang dilakukan agar VTP menjadi efektif adalah sebagai
berikut : reposisi sungkup agar perlekatan menjadi sempurna dan tidak
bocor, reposisi kepala menjadi posisi menghidu, membersihkan saluran
napas dari lendir yang menyumbat, membuka mulut agar lebih terbuka,
menaikkan tekanan puncak inspirasi secara bertahap namun tidak lebih dari
40 cmH2O dan lakukan pemasangan sungkup laring atau intubasi orotrakeal
sebagai jalan akhir.54
Apabila dalam 30 detik VTP efektif tidak berhasil meningkatkan laju denyut
jantung di atas 60x/menit, maka segera lakukan intubasi endotrakeal atau
pemasangan sungkup laring dan tingkatkan pemberian oksigen menjadi
100%.57
3. Kompresi dada
Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung <60 denyut per
menit setelah ventilasi dilakukan secara efektif selama 30 detik. Untuk
neonatus, rasio kompresi berbanding ventilasi efektif adalah 3:1, yang
berarti setiap 3 kali kompresi dada harus di berikan 1 VTP efektif. Kompresi
dada dan VTP efektif harus dilakukan secara sinkron dengan durasi 2 detik
untuk setiap 3 kompresi dada dan 1 VTP efektif. Kompresi dada dan VTP
efektif ini dilakukan selama 60 detik tanpa jeda.
Titik penekanan kompresi dada adalah pertengahan antara processus
xyphoideus dan garis imajiner yang menghubungkan kedua mamae.
51
Kedalaman kompresi dada adalah 1/3 diameter antero-posterior dinding
dada bayi. Terdapat 2 teknik kompresi dada yang umum digunakan yaitu
teknik 2 ibu jari dan teknik 2 jari (jari tengah dan telunjuk). Pastikan dada
mengembang saat VTP diberikan dengan cara tidak menekan diding dada. 54,61-
66
Kompresi dada dihentikan sementara pasca 30 siklus kompresi dada (60
menit) untuk memberikan kesempatan pada asisten sirkulasi menilai laju
denyut jantung. Langkah resusitasi selanjutnya akan ditentukan oleh laju
denyut jantung dan usaha napas seperti tertera pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Langkah resusitasi didasari pada laju denyut jantung dan usaha napas
Laju denyut jantung Usaha napas Tindakan resusitasi lanjutan
4. Medikamentosa
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun jika
frekuensi denyut jantung tetap <60 per menit walaupun telah diberikan
ventilasi efektif dengan oksigen 100% dan kompresi dada secara sinkron
selama 60 detik, maka terindikasi pemberian obat Adrenalin atau Epinefrin.
Konsentrasi adrenalin/epinefrin yang direkomendasikan adalah 1/10.000
(0,1 mg/mL adrenalin/epinefrin).77
Terdapat 2 jalur pemberian adrenalin/epinefrin yaitu intratrakeal dan
intravena. Pemberian adrenalin /epinefrin melalui jalur intratrakeal bukan
merupakan pilihan karena beberapa penelitian menemukan tingkat
keamanan dan efikasi tidak sebaik pemberian adrenalin/epinefrin intravena,
tetapi pemberian intratrakeal dapat diberikan sambil menunggu
tersedianya akses intravena.54,57,78
52
larutan NaCl 0,9% dan dilanjutkan dengan VTP. Sementara dosis intravena
yang direkomendasikan adalah 0,1 sampai 0,3 mL/KgBB larutan 0,1 mg/mL
larutan adrenalin/epinefrin ( perbandingan 1:10.000). Q2016, Eu 2015 Dosis
intravena lebih kecil dari dosis intratrakeal dan membutuhkan flushing NaCl
0,9% 2-3 ml sesudah diberikan. Pemberian dapat diulang 2-3 menit kemudian
apabila frekuensi nadi masih kurang dari 60 kali/menit.77
Pemberian volume expanders dipertimbangkan jika diketahui atau diduga
terjadi kehilangan darah dan frekuensi denyut jantung bayi tidak
menunjukkan respons adekuat terhadap upaya resusitasi lain. NaCl 0,9% atau
darah dapat diberikan dengan dosis 10 mL/kg dan dapat diulangi sesuai
kebutuhan.57 Masa sejak bayi lahir sampai dilakukannya ventilasi, dikenal
sebagai the golden minute untuk resusitasi. Resusitasi kardiopulmoner
dilakukan selama 10 menit dan setelahnya dapat dihentikan jika tidak ada
denyut jantung. Setelah resusitasi yang adekuat, resusitasi dapat dihentikan
jika tidak ada denyut jantung (asistol) selama 10 menit. 58
Pada semua bayi, skor Apgar harus dicatat pada menit ke-1 dan menit ke-5,
dan pada bayi yang diresusitasi ditambah dengan skor Apgar menit ke-10
(Tabel 2). Skor Apgar dinilai dengan 0, 1, atau 2 dengan skor total minimal 0
dan maksimal 10, tapi tidak memengaruhi tindakan resusitasi.79
Denyut Tidak ada < 100 kali per menit >100 kali per menit
Jantung
(Pulse)
Refleks Tidak ada respon Meringis/menangis lemah Menangis/bergerak
(Grimace) aktif
Tonus Otot Tidak ada/lumpuh Sedikit fleksi Bergerak aktif
(Activity)
Pernapasan Tidak ada Lemah dan iregular Menangis kuat,
(Respiration) pernapasan baik dan
teratur
53
sangat prematur, resusitasi sebaiknya tetap dimulai. Sementara meresusitasi,
tenaga kesehatan mengevaluasi kemungkinan prognosis dan selanjutnya
memutuskan hendak menghentikan atau melanjutkan resusitasi yang telah
dimulainya itu.
Resusitasi hampir selalu diindikasikan pada kasus yang kesintasannya
tinggi atau kasus yang kemungkinan morbiditasnya dapat diterima.82 Tindakan
resusitasi tidak terindikasi pada kasus dengan usia gestasi, berat lahir, ataupun
kelainan kongenital yang hampir pasti menyebabkan kematian dini atau
morbiditas yang sangat berat, misalnya bayi yang sangat prematur (< 25 minggu).
Pada kasus yang prognosisnya tidak pasti, misalnya kasus dengan kesintasan
borderline dan morbiditas yang relatif tinggi, maka keputusan untuk resusitasi
harus melibatkan pertimbangan
orangtua.83,84
54
Resusitasi bayi baru lahir dapat dihentikan jika setelah
resusitasi yang adekuat tidak terdapat denyut jantung selama
10 menit.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B
55
Gambar 4 T-piece resuscitator89
56
Gambar 5 T-piece resuscitator dengan blender O 2, sumber O2 bertekanan
(FiO2 100%), dan gas medis/kompresor (FiO2 21%) untuk pemberian O2
dengan konsentrasi O2 yang diinginkan.
57
Gambar 6 Modifikasi terapi oksigen dalam resusitasi dengan
balon mengembang sendiri pada fasilitas terbatas
1. Penggunaan oksigen pada resusitasi: oksigen ruangan (fraksi
oksigen 21%), fraksi oksigen 100%, atau
lainnyaiii,iv,v,vi,vii
58
Berdasarkan meta analisis dari 7 uji klinis terandomisasi yang membandingkan
inisiasi pemberian oksigen konsentrasi tinggi
(≥65%) dan oksigen konsentrasi rendah (21%-30%) pada resusitasi dari bayi
baru lahir prematur (usia kehamilan kurang dari 35 minggu) menunjukkan tidak
ada perbedaan lama waktu perawatan di rumah sakit.90-96 Demikian pula, pada
studi-studi lainnya yang menilai outcome tersebut, tidak terdapat manfaat
untuk mencegah terjadinya displasia bronkopulmoner,91,93-96 perdarahan
intraventrikular, dan retinopati pada bayi premature.91,94,95 Ketika target saturasi
digunakan sebagai terapi tambahan, konsentrasi oksigen pada udara resusitasi
dan saturasi oksigen preductal didapatkan adanya persamaan antara grup yang
mendapat oksigen konsentrasi tinggi dan grup yang mendapat oksigen
konsentrasi rendah pada 10 menit pertama kehidupan.91,94
Pada semua studi95, terlepas dari penggunaan oksigen pada inisiasi
resusitasi dengan konsentrasi oksigen udara bebas (21%) atau oksigen
konsentrasi tinggi (≥65% sampai 100%), hampir seluruh bayi berada
pada kadar oksigen 30% saat stabilisasi. Resusitasi bayi prematur dengan usia
kehamilan kurang dari 35 minggu harus diinisiasi / diawali dengan oksigen
konsentrasi rendah (21%-30%), dan konsentrasi oksigen tersebut harus dititrasi
hingga mencapai saturasi oksigen preductal yang mendekati ukuran kisaran
interkuartil pada bayi baru lahir yang sehat setelah dilahirkan pervaginam pada
ketinggian sejajar permukaan laut.123 (Level of Evidence 1A, Rekomendasi A).
Mengawali resusitasi bayi prematur dengan oksigen konsentrasi
tinggi (≥65%) tidak direkomendasikan. (Level of Evidence 1A,
Rekomendasi A). Rekomendasi ini mencerminkan kecenderungan untuk tidak
memaparkan bayi baru lahir prematur dengan oksigen tambahan tanpa data
yang menunjukkan bukti adanya manfaat atau untuk luaran yang penting.
59
Alur IDAI (Gambar 1) merekomendasikan penggunaan pencampur
oksigen (blender) (Gambar 7) untuk mengatur konsentrasi oksigen selama
proses resusitasi, dan sementara itu pulse oxymeter tetap dipasang untuk
memantau saturasi oksigen (Gambar 8).58 Pemantauan dengan pulse
oxymeter harus dilakukan pada semua neonatus yang mendapatkan terapi
oksigen.97 Untuk mengurangi kemungkinan artefak akibat gerak bayi,
pengukuran saturasi oksigen (SpO2) dan denyut jantung menggunakan pulse
oximeter khusus bayi.
a b c
Gambar 7.
a. Pencampur oksigen (blender) dengan T-piece resuscitator tampak depan.
b. Pencampur oksigen (blender) dengan T-piece resuscitator tampak samping.
c. Pengatur FiO2 blender xxx .97
60
Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) janin adalah 15-30 mmHg dan
menghasilkan saturasi oksigen (SpO2) 45-55%. Setelah kelahiran, nilai ini akan
meningkat dalam beberapa menit menjadi 50-80 mmHg (SpO 2 >90%), tergantung
pada fungsi paru, sirkulasi pulmonal, dan adanya stresor lain saat persalinan.
Kadar oksigen pada fetus yang beralih menjadi neonatus mengalami peningkatan
secara bertahap dalam 5-10 menit pertama setelah lahir.98 Mekanisme
pertahanan antioksidan sebenarnya secara alami baru terbentuk pada usia
gestasi yang lanjut, oleh sebab itu bayi yang sangat prematur rentan terhadap
hiperoksia.99
Oksigen ruangan telah terbukti bermanfaat untuk mengatasi asfiksia pada
bayi cukup bulan.96,100,101 Pada bayi kurang bulan, beberapa studi prospektif
membandingkan efek penggunaan oksigen konsentrasi rendah dan tinggi selama
resusitasi, namun studi-studi tersebut tidak melakukan evaluasi dalam jangka
panjang, seperti evaluasi perkembangan saraf yang merupakan parameter
penting untuk efek samping terapi oksigen.95,102,103
Saugstad et al104 (2008) menyatakan bahwa pada bayi baru lahir,
penggunaan oksigen ruangan (fraksi oksigen (FiO2) 21%) menurunkan risiko
mortalitas dan HIE. Resusitasi dengan VTP dimulai dengan oksigen ruangan (FiO 2
21%), kemudian ditingkatkan/dititrasi sesuai dengan kebutuhan neonatus.
Beberapa studi menyimpulkan bahwa pada bayi kurang bulan dengan berat lahir
>1000 g, resusitasi menggunakan udara ruangan menurunkan mortalitas
dibandingkan dengan resusitasi menggunakan FiO2 100% (21% vs. 35%, rasio
odds (RO) 0,51: interval kepercayaan 95% (IK95%) 0,28-0,9;P<0,02). 104-106 Namun
sebenarnya belum ada bukti yang memadai untuk menetapkan fraksi oksigen
untuk resusitasi bayi usia gestasi 32-37
minggu.58viii,ix,x,xi
Pada bayi usia gestasi <32 minggu, resusitasi yang dimulai dengan udara
ruangan atau FiO2 100% berisiko menghasilkan hipoksemia atau hiperoksemia,
dibandingkan dengan FiO2 30% atau 90% yang kemudian dititrasi.95,103 Pada BBLR
usia gestasi <32 minggu, Wang et al96 (2008) menunjukkan bahwa resusitasi
dengan udara ruangan (FiO2 21%) gagal mencapai target SpO2 70% dalam 3 menit
pertama kehidupan. Beberapa studi lain menyatakan pada bayi kurang bulan usia
gestasi ≤28 minggu, resusitasi yang dimulai dengan oksigen 30% akan
menurunkan stress oksidatif, inflamasi, kebutuhan oksigen, dan risiko
BPD.10,95,107,108 Pada BBLSR, Stola dkk109 (2009) menyimpulkan bahwa resusitasi
dapat dimulai dengan udara ruangan tanpa menimbulkan morbiditas yang
bermakna.
61
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C
62
• T-piece resuscitator (mixsafe®) dengan mini kompresor
Gambar 11 Mixsafe®
Pemberian campuran oksigen dan udara bertekanan tersebut dapat
dilakukan dengan panduan tabel 4 berikut ini.
63
udara tekan, tanpa oksigen murni. Begitu pula dengan oksigen 100% didapatkan
dari 8 L oksigen murni tanpa udara tekan. Bila konsentrasi oksigen dinaikkan
menjadi 31%, klinisi dapat menggunakan udara tekan 7 L per menit dengan
kombinasi 1 L per menit oksigen murni, demikian
seterusnya seperti pada tabel yang diarsir.18
64
Level of evidence III, derajat rekomendasi C
Pada bayi kurang bulan yang bernapas spontan tetapi mengalami gangguan
napas, dapat diberi bantuan dengan CPAP atau intubasi dan ventilasi mekanis.58
Pada BBLR yang memerlukan, intubasi dan surfaktan diberikan sebagai upaya
untuk membantu pematangan sistem respirasi. Continuous positive airway
pressure dini dianjurkan pada bayi <32 minggu, dapat menurunkan mortalitas
dan kejadian gagal napas pada BBLR.111
Tiga uji klinis acak terkontrol melibatkan 2358 bayi lahir prematur (usia
kehamilan <30 minggu) menunjukkan penggunaan CPAP segera pada bayi baru
lahir lebih bermanfaat dibandingkan dengan intubasi dan PPV. Penggunaan CPAP
dini berdampak pada menurunnya tindakan intubasi di ruang bersalin,
menurunnya durasi pemakaian ventilasi mekanik, mengurangi kematian atau
displasia bronkopulmoner. Penggunaan CPAP dini tidak berhubungan bermakna
dengan peningkatan kejadian air leak syndrome atau perdarahan
intraventrikel yang berat. Berdasarkan bukti tersebut, bayi prematur yang
bernapas spontan dengan sesak napas dapat dibantu dengan penggunaan CPAP
dini.21,112,113
65
Studi lain merekomendasikan intubasi dini untuk pemberian surfaktan
profilaksis pada BBLSR segera di kamar bersalin. Finer et al 113 (2010)
merekomendasikan CPAP dini (sejak di kamar bersalin) sebagai alternatif dari
intubasi dini dan surfaktan profilaksis dalam satu jam pasca-lahir, pada bayi
BBLASR dengan usia gestasi 24-28 minggu.
3. Terapi Surfaktan
Saat ini pemberian surfaktan berperan penting dalam manajemen bayi dengan
Respiratory Distress Syndrome. Sejak tahun 2013 dengan membaiknya
penggunaan steroid prenatal, surfaktan profilaksis (pemberian surfaktan pada
bayi baru lahir <28 minggu sebelum mengalami sesak napas) sudah tidak
direkomendasikan. Pemberian CPAP dini menjadi pilihan pertama untuk
mencegah sesak napas bayi prematur. Jika terdapat tanda tanda gagal CPAP
(masih didapati sesak napas walaupun sudah menggunakan tekanan 8 cmH 2O
Fio2 >40%) maka terindikasi pemberian surfaktan (surfactant rescue).
Beberapa uji klinis membuktikan pemberian surfaktan ini dapat mencegah
penggunaan ventilator mekanik, displasia bronkopulmoner, dan memperpendek
lama rawat. Surfaktan sebaiknya diberikan sedini mungkin pada bayi yang
mengalami RDS dan gagal CPAP.114-116
66
a. Metode Pemberian Surfaktan
67
ini.123 Penggunaan surfaktan yang paling tidak invasif adalah dengan cara
nebulisasi, namun hingga saat ini belum mencapai tahap rekomendasi untuk
penggunaan klinis
secara rutin.124
b. Sediaan Surfaktan
Sediaan surfaktan yang banyak tersedia saat ini dapat dilihat di tabel 5 Surfaktan
alami (surfaktan yang berasal dari hewan) sebelumnya disebut, lebih baik
dibandingkan dengan surfaktan sintetik lama (tidak mengandung protein, hanya
mengandung fosfolipid), dapat mengurangi kejadian air leaks syndrome dan
kematian.125
(4 ml/kg)
(1.2 ml/kg)
68
Bayi yang menunjukkan gejala RDS harus segera mendapatkan CPAP sedini
mungkin, apabila memungkinkan CPAP dipertahankan tanpa beralih pada
intubasi dan ventilasi mekanik. Jika RDS memburuk dan surfaktan dibutuhkan,
pemberian surfaktan dini memiliki luaran yang lebih baik dalam upaya
mengurangi air leaks syndrome.128 Dalam sebuah studi observasional,
Agertoft dkk menyimpulkan penggunaan CPAP dengan Fio2 >30% pada saat bayi
berusia 2 jam merupakan prediktor kegagalan CPAP pada saat bayi berusia 6 jam,
sehingga akan memberikan luaran yang lebih buruk.129
69
4. T-piece resuscitator sebagai pengganti CPAP dini di kamar
bersalin menurunkan angka kegagalan CPAP pada bayi kurang
bulan dengan gangguan napas
Ventilasi pada bayi baru lahir dapat diberikan dengan balon mengembang sendiri
maupun T-piece resuscitator. Tekanan inflasi atau TPAE yang dihasilkan T-
piece resuscitator lebih stabil daripada balon mengembang sendiri.54
Penelitian mengenai efektivitas Tpiece resuscitator menunjukkan hasil
bervariasi. Dibandingkan dengan balon mengembang sendiri, T-piece
resuscitator relatif aman, menghasilkan tekanan optimal dengan risiko
volutaruma dan barotrauma yang kecil, dan tekanan yang diberikan tidak
dipengaruhi keahlian operator. Fitur T-piece resuscitator dengan ukuran yang
relatif kecil, portabel, sederhana, dan mudah digunakan serta dapat berfungsi
seperti CPAP, membuat alat ini direkomendasikan oleh Rekomendasi IDAI
sebagai alat ventilasi di tempat bayi dilahirkan. Penggunaan rutin T-piece
resuscitator memiliki kendala yaitu harga yang cukup mahal dibandingkan
dengan balon mengembang sendiri.132-137
Penggunaan CPAP secara rutin di tempat bayi dilahirkan memiliki kendala
terkait biaya per unit dan ketidakpraktisannya. Balon mengembang sendiri
merupakan alat ventilasi yang lebih sering digunakan di kamar bersalin atau
kamar operasi, namun alat ini memiliki risiko volutrauma dan barotrauma yang
besar.73 T-piece resuscitator digunakan sebagai alat pengganti CPAP di tempat
bayi dilahirkan. Alat tersebut memberi ventilasi dengan tekanan yang relatif
stabil, kontinu, dan dapat berfungsi sebagai CPAP.97,108,133-
135,137-140
70
Penggunaan T-piece resuscitator dibandingkan dengan
penggunaan balon resusitasi tanpa katup TPAE di kamar
bersalin, menurunkan risiko kegagalan CPAP.
Level of evidence III, derajat rekomendasi C
Pada bayi baru lahir, nasal prong merupakan salah satu pilihan jalur
pemberian bantuan pernapasan (Gambar 12). Pemberian VTP melalui nasal
prong menghasilkan luaran yang lebih baik dibandingkan dengan sungkup.134
a b
Gambar 12a Single nasal prong. 12b CPAP dengan single nasal prong
5. Resusitasi di Fasilitas Terbatas (Helping Babies Breathe)
Helping Babies Breathe merupakan kurikulum resusitasi bayi baru lahir yang
disusun oleh American Academy of Pediatrics, US Agency for
International Development (USAID), The Eunice Kennedy Shriver
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD),
dan Saving Newborn Lives/Save the Children, yang didukung oleh WHO
(Gambar 13). Kurikulum ini dapat diterapkan pada fasilitas yang terbatas.
Kurikulum Helping Babies Breathe menekankan pentingnya keterampilan
tenaga kesehatan yang membantu kelahiran dalam menilai kondisi klinis,
mempertahankan suhu tubuh, menstimulasi pernapasan, dan memberikan
ventilasi bantuan bayi jika diperlukan.141
71
Alur resusitasi bayi baru lahir menurut Helping Babies Breathe
dimulai dengan menilai kondisi bayi. Jika terdapat mekonium saat bayi lahir,
segera bersihkan jalan napas dan keringkan bayi. Kemudian petugas
mengevaluasi kondisi bayi menangis atau tidak.79
a. Apabila bayi menangis spontan, jaga agar bayi tetap hangat, periksa
pernapasan, dan potong tali pusat. Biarkan bayi di atas badan ibu.
b. Apabila bayi tidak menangis, bersihkan jalan napas dan beri stimulasi. Periksa
ulang pernapasan, bila bayi bernapas dengan baik, jaga agar bayi tetap
hangat dan potong tali pusat. Bila bayi belum bernapas dengan baik, potong
tali pusat dan berikan bantuan ventilasi. Kemudian jika bayi bernapas, bayi
dapat dibiarkan bersama ibunya dengan pengawasan. Jika bayi masih belum
bernapas, panggil bantuan, beri dan perbaiki bantuan ventilasi, lalu periksa
detak jantung. Apabila detak jantung lambat, lanjutkan ventilasi dan rawat
bayi di perawatan lanjutan (advanced care).
72
Gambar
13 Rencana pelaksanaan Helping Baby Breathe141
73
bermasalah harus distabilisasi untuk selanjutnya dirujuk ke perawatan yang lebih
memadai. Upaya stabilisasi dilakukan sebelum bayi dirujuk. Bayi harus dirujuk
dalam keadaan stabil dan kondisi tersebut dapat dicapai dengan menerapkan
program STABLE.38
a. SUGAR
Inisiasi terapi cairan IV pada bayi yang berisiko hipoglikemia.
Pemberian cairan dan nutrisi untuk bayi sakit dilakukan secara parenteral.
Koordinasi menghisap, menelan, dan bernapas terganggu ketika bayi bernapas
cepat, sehingga pemberian secara enteral (PO maupun melalui pipa nasogastrik)
dihindari karena risiko aspirasi yang tinggi. Bayi yang sakit terutama bayi dengan
infeksi juga dapat mempunyai waktu pengosongan lambung yang lambat karena
adanya ileus intestinal. Pada bayi dengan riwayat kadar oksigen darah yang
rendah atau tekanan darah yang rendah selama ataupun pasca-lahir, aliran
darah ke usus halus berkurang, sehingga meningkatkan risiko iskemia. 38
Bayi baru lahir paska resusitasi tidak direkomendasikan mendapat asupan nutrisi
enteral. Bayi dengan paska resusitasi akibat hipoksia yang dialaminya memiliki
risiko cedera hipoksik iskemik. Oleh sebab itu pemberian glukosa IV harus segera
diberikan setelah resusitasi selesai, untuk menghindari hipoglikemia. 136,142
Tempat pemasangan akses IV yang paling baik adalah umbilikal dan ekstremitas.
74
Akses vena umbilikal masih dapat digunakan hingga usia satu minggu dan hingga
dua minggu pada kasus khusus.38
75
Kadar glukosa terendah yang bisa diterima berdasar algoritma AAP adalah
25 mg/dL sesudah pemberian minum pertamakali, rentang yang ditatalaksana
lebih lanjut adalah kadar glukosa 25-40 mg/dL selama 4 jam pertama kehidupan
atau masa transisi pasca lahir. Umur 4-24 jam kadar terendah adalah 35 mg/dL,
tatalaksana lanjut pada kadar glukosa 35-45 mg/dL. 143
Perbedaan hasil pemeriksaan dapat terjadi pada bayi baru lahir karena
bergantung pada waktu pemeriksaan. Bayi usia 0 - <4 jam kadar gula darah
harus ≥40 mg/dl, usia ≥4 - 24 jam kadar gula darah harus ≥45 mg/dl,
dan usia ≥24 jam kadar gula darah harus ≥50 mg/dL. Karena adanya
proses hipoglikemia fisiologis pada bayi baru lahir, maka setelah pemeriksaan
kadar gula darah pasca-lahir, pemeriksaan kadar gula darah ulangan disarankan
pada 2-4 jam setelah pemeriksaan kadar gula pertama. 144,145
Skrining dan manajemen homeostasis glukosa pasca lahir pada bayi late
preterm dan bayi cukup bulan kecil masa kehamilan, bayi lahir dari ibu
diabetes/besar masa kehamilan sebagai berikut, bila bayi pasca lahir simtomatik
dan kadar gula < 40mg/dL diberikan infus glukosa. Simtom hipoglikemia
termasuk iritabilitas, tremor, jitteriness, refleks Moro yang berlebihan, tangis
melengking, kejang, letargi, kelemahan anggota gerak, sianosis, apnea, malas
minum. Bayi pasca lahir asimtomatik, bila umur 0-4 jam dimulai minum peroral
dalam 1 jam pertama, kemudian 30 menit sesudahnya dilakukan pemeriksaan
kadar gula darah. Bila hasil < 25 mg/dL diberikan minum dan kemudian 1 jam
sesudahnya dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. Bila hasil < 25 mg/dL
diberikan infus glukosa 200mg/kg (dektrosa 10% 2ml/kg) dan atau infus dengan
kecepatan 5-8 mg/kg/menit (80-100 ml/kg/hari). Kadar glukosa plasma yang
diharapkan 40-50 mg/dL. Bila kadar gula 25-40 mg/dL diberikan minum atau
infus glukosa seperti tersebut di atas sesuai kebutuhan. Pada umur 4 sampai 24
jam lanjutkan minum tiap 2-3 jam, dilakukan skrining pemeriksaan glukosa pada
tiap kali sebelum diberikan minum, bila hasilnya < 35 mg/dL maka diberikan
minum dan cek glukosa dalam waktu 1 jam. Bila kadar gula < 35 mg/dL maka
diberikan infus glukosa, bila kadar gula 35-45 mg/dL diberikan minum atau infus
glukosa sesuai kebutuhan seperti tersebut di atas.143
76
Tatalaksana hipoglikemi
77
Pemberian cairan parenteral inisial menggunakan dektrosa 10% (D 10W) dengan
target glucose infusion rate (GIR) 4 – 6 mg/kgBB/menit. Pemberian cairan
D10W 80 mL/kgBB/hari menghasilkan GIR 5,5 mg/kgBB/menit. Bila ada riwayat
syok dan normoglikemia, maka pemberian cairan dibatasi menjadi 60
mL/kgBB/hari menggunakan D10W (GIR 4,2 mg/kgBB/menit), D12,5W (GIR 5,2
mg/kgBB/menit), atau D15W (GIR 6,2 mg/kgBB/menit). Akses vena sentral
diperlukan untuk pemberian cairan dekstrosa >12,5% atau dekstrosa 12,5% yang
78
diberi zat/komponen tambahan. Perhitungan GIR dilakukan dengan persamaan
berikut:38,146
GIR 4-7 mg/kg/menit bisa digunakan pada sebagian besar bayi cukup
bulan dan near term. GIR 6-8 mg/kg/menit diperlukan lebih sering pada bayi
IUGR.147
Pada masa stabilisasi bayi dapat menerima nutrisi enteral hanya bila bayi
tersebut asimtomatik dan berisiko hipoglikemia, namun diikuti pemantauan
ketat. Pada bayi dengan kadar gula darah 25-< 45 mg/dl terapi bolus Dextrosa
dianjurkan pada bayi dengan simtomatik hipoglikemi. Pada pasien yang
mengalami hipoglikemia(<25 mg/dL) diberikan cairan bolus D 10W 2 mL/kgBB
dengan kecepatan 1 mL/menit. Pemeriksaan kadar gula darah diulangi tiap 15-30
menit berikutnya setelah pemberian bolus atau peningkatan jumlah cairan
parenteral. Bila kadar gula darah masih
≤45 mg/dL, ulangi pemberian bolus D10W 2 mL/kgBB. Jika kadar gula darah
masih belum stabil setelah dua kali bolus, maka ulangi bolus dan naikkan cairan
dekstrosa 10% menjadi 100-120 mL/kgBB/hari atau naikkan konsentrasi
dekstrosa bila peningkatan volume cairan dihindari karena kondisi tertentu pada
bayi.38,148
Pemeriksaan gula darah evaluasi dilakukan tiap 30-60 menit sampai
kadarnya stabil pada dua pemeriksaan berturut-turut. Sesudahnya frekuensi
pemeriksaan ulangan ditentukan oleh tenaga kesehatan, berdasarkan penilaian
perkembangan klinis.38 Kotak 1 menunjukkan pendekatan umum inisiasi cairan
dan pemberian glukosa pada BBLR sakit.
79
Pendekatan umum inisiasi cairan dan pemberian glukosa
pada BBLR sakit
80
c. pada BBLR yang pernah mempunyai kadar gula darah yang rendah
6. Lakukan penilaian klinis berdasarkan kondisi BBLR dan faktor risiko
hipoglikemia, untuk menentukan kekerapan pemeriksaan gula darah
yang perlu dilakukan setelah kadar gula darah stabil.
7. Konsentrasi glukosa tertinggi yang diberikan melalui vena perifer
adalah dekstrosa 12,5%. Apabila konsentrasi glukosa yang lebih tinggi
diperlukan atau jika zat tambahan ditambahkan ke dalam dekstrosa
12,5% (misalnya untuk memberikan nutrisi parenteral total), maka
sebaiknya pemberian cairan melalui vena sentral.
8. Pemberian dekstrosa melalui vena sentral sebaiknya tidak lebih dari
25% pada hipoglikemia dengan maksimal GIR 15-30. Apabila bayi tetap
mengalami hipoglikemia, harus diberikan obat seperti glukagon,
diazoksid, glukokortikoid, octreotide dan konsultasikan kepada ahli
neonatologi atau endokrinologi anak.149
9. Jika kadar glukosa darah >150 mg/dL (8,3 mmol/L) dan tidak
mengalami penurunan pada ulangan berikutnya setelah bayi stabil ini
dapat terjadi akibat intoleransi glukosa atau sebagai respons stres.
Kadar gula darah >250 mg/dL yang tidak membaik memerlukan
pemberian insulin, konsultasikan kepada ahli neonatologi atau
endokrinologi jika tidak membaik.
Kotak 1. Pendekatan umum inisiasi cairan dan pemberian glukosa pada BBLR sakit .38,148
b. TEMPERATURE
Hal-hal yang menyebabkan bayi kehilangan panas, cara
menurunkan kehilangan panas, akibat hipotermia, serta
metode rewarming bayi hipotermia
81
Hipotermia adalah kondisi yang dapat dicegah dan dapat memengaruhi
morbiditas dan mortalitas bayi baru lahir, terutama bayi kurang bulan. Bayi baru
lahir yang berisiko tinggi mengalami hipotermia adalah bayi yang kurang bulan
dan BBLR terutama BBLSR, KMK, mengalami resusitasi berkepanjangan terutama
yang mengalami hipoksia, mengalami sakit akut (penyakit infeksi, kardiak,
neurologik, endokrin, dan yang memerlukan pembedahan terutama dengan
defek dinding tubuh), serta bayi yang kurang aktif dan hipotonia akibat obat
sedatif, analgesik, paralitik, atau anestetik (Kotak 2).38
Suhu normal bayi baru lahir adalah 36,5-37,5˚C di aksila. Hipotermia
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok suhu, yaitu ringan (36-36,4˚C), sedang
(32-35,9˚C), dan berat (<32˚C). Tata laksana suhu bertujuan
mempertahankan suhu pada 37°C. Pemeriksaan suhu dilakukan tiap 15-30 menit
sampai suhu berada pada kisaran normal, kemudian sekurang-kurangnya tiap
jam sampai bayi dirujuk. Jika temperatur bayi cenderung sudah berada pada
kisaran normal, maka pemeriksaan dapat dijarangkan. 38
Suhu lingkungan yang tidak mendukung untuk menjaga suhu badan bayi
dapat menyebabkan kehilangan panas tubuh secara konduksi dan konveksi. Suhu
ruang bersalin maupun ruang perawatan bayi harus diatur pada suhu
≥26˚C.72,150 Suhu ruang bersalin <26˚C berhubungan dengan suhu
BBLR (usia gestasi <28 minggu) yang lebih rendah ketika dimasukkan ke
NICU.151
82
1) Kehilangan panas secara konduksi
• Baringkan bayi di tempat yang permukaannya telah dihangatkan.
• Hangatkan terlebih dahulu obyek yang akan kontak dengan bayi:
tempat tidur, tangan, stetoskop, permukaan film Röntgen, dan
selimut.
• Kenakan topi.
• Alasi timbangan dengan selimut hangat dan jangan lupa buat skala
kembali nol sebelum menimbang bayi.
• Jangan lakukan pemanasan perlengkapan memasukkan ke dalam
microwave ataupun meletakkannya di atas lampu radiant
warmer, gunakan selimut hangat.
• Gunakan matras chemical thermal di bawah bayi dan tutupi bayi
dengan kain atau selimut tipis.
• Hindarkan kontak dengan alat-alat yang berisiko menimbulkan luka
bakar maupun hipertermia: botol air panas, sarung tangan panas, dan
selimut yang dihangatkan dengan microwave.
2) Kehilangan panas secara konveksi
• Naikkan suhu ruangan menjadi 25-28˚C.152
• Tutupi BBLSR dengan plastik polietilen dari leher sampai kaki.
• Rujuk bayi sakit dan atau kurang bulan dari kamar bersalin ke ruang
perawatan dengan inkubator tertutup dan telah dihangatkan
sebelumnya. Jika hal ini tidak mungkin, maka bayi dibungkus dengan
plastik (tanpa menghalangi jalan napas) sebelum dirujuk melalui
jalan/lorong penghubung yang dingin.
• Hangatkan inkubator terlebih dahulu sebelum meletakkan bayi di
dalamnya.
• Gunakan oksigen yang telah dihangatkan dan
dilembabkan.
• Pastikan heating unit pada radiant warmer tidak tertutupi oleh
petugas yang sedang bekerja.
3) Kehilangan panas secara evaporasi
83
• Segera keringkan bayi setelah kelahiran, atau lap dengan selimut atau
handuk yang telah dihangatkan dan segera singkirkan semua kain
yang basah.
• Setelah mengeringkan kepala bayi, kenakan topi.
• Tutupi BBLSR segera setelah kelahiran dengan plastik polietilen dari
leher sampai kaki.
• Naikkan suhu ruangan menjadi 25-28˚C.153
• Minimalkan atau hindarkan bayi dari aliran udara di sekelilingnya.
• Hangatkan dan lembabkan oksigen segera.
• Hangatkan cairan atau krim yang akan berkontak dengan kulit bayi,
misalnya hangatkan cairan antiseptik terlebih dahulu, tetapi jangan
over-heated yang dapat menimbulkan luka bakar.
4) Kehilangan panas secara radiasi
• Jauhkan bayi dari kaca atau dinding yang dingin.
• Pasang penghalang hantaran suhu pada jendela.
• Tutupi inkubator dan menjauhkannya dari kaca atau dinding yang
dingin.
• Gunakan inkubator berdinding ganda untuk menyediakan permukaan
yang lebih hangat di dekat bayi.
84
Tata laksana suhu BBLR
Bayi juga perlu dihindarkan dari terkena panas terlalu banyak (heat
gain). Over-heated dapat terjadi dengan paparan bayi terhadap sinar matahari
langsung, penghangat tempat tidur bayi berada dalam mode manual control
sementara tidak ada pengukur suhu yang melekat pada tubuh bayi, serta
penggunaan lampu pemanas yang tidak berhati-hati. Penghangat tempat tidur
bayi sebaiknya diatur dalam servo-control.38
Tenaga kesehatan harus melakukan rewarming pada bayi yang hipotermia.
Rewarming disarankan untuk dilakukan bertahap, sekitar 0,5⁰C per jam.
Rewarming yang dilakukan dengan cepat bisa memicu kejang pada neonatus.
Untuk melakukan rewarming, inkubator atau radiant warmer dapat
digunakan. Inkubator memungkinkan tenaga kesehatan untuk dapat mengontrol
proses rewarming lebih baik dibandingkan dengan radiant warmer. Saat
proses rewarming, pemantauan ketat meliputi suhu aksilar denyut dan irama
jantung (waspadai aritmia), tekanan darah (waspadai hipotensi akibat
vasodilatasi yang tiba-tiba), frekuensi dan usaha napas, saturasi oksigen, tingkat
kesadaran, status asam/basa, dan kadar gula darah. Rewarming dapat
dilakukan menggunakan:
85
1) Inkubator
Kelebihan menggunakan inkubator adalah kemudahan dalam mengontrol
kecepatan rewarming (Gambar 14). Inkubator diatur dalam mode air
temperature yang diatur 1-
1,5˚C di atas suhu bayi, lalu naikkan suhu inkubator secara perlahan
sesuai toleransi bayi. Tenaga kesehatan harus tetap melakukan
pemantauan ketat selama proses rewarming. Saat suhu bayi telah
mencapai set point inkubator dan tidak ada tanda perburukan klinis
pada bayi, suhu inkubator dapat dinaikkan 1-1,5˚C di atas suhu aksila
sampai suhu bayi mencapai normal. Tanda-tanda perburukan klinis yang
dapat terjadi saat proses rewarming meliputi takikardia, aritmia,
hipotensi, hipoksemia, perburukan gangguan napas, dan perburukan
status asidosis.38 Inkubator unggul dalam mengurangi risiko insensible
water loss (IWL) maupun kehilangan panas secara konveksi, oleh sebab
itu inkubator cenderung dipilih untuk bayi kurang bulan. Tetapi inkubator
dapat menyulitkan ketika tenaga kesehatan hendak melakukan
prosedur/tindakan medis.136
2) Radiant warmer
Radiant warmer yang digunakan untuk rewarming harus diatur
dalam mode servo-control dengan suhu 36,5˚C (Gambar 15). Bayi
dibaringkan telentang dan servo-temperature probe diposisikan di
atas hati. Tenaga kesehatan harus memantau ketat hal-hal yang
disebutkan di atas beserta tanda-tanda perburukan klinis. Kecepatan
rewarming tidak dapat diatur pada radiant warmer, maka
rewarming menggunakan radiant warmer memiliki risiko vasodilatasi
jika output panas terlalu tinggi. Untuk mengantisipasi terjadinya
hipotensi, tenaga kesehatan sebaiknya mempersiapkan tambahan cairan
dan obat inotropik.38 Radiant warmer unggul dibandingkan inkubator
dalam kemudahan tenaga kesehatan untuk memantau serta melakukan
prosedur/tindakan pada bayi. Kekurangan radiant warmer yaitu
meningkatkan IWL dan tidak melindungi bayi dari kehilangan panas
secara konveksi dan evaporasi. Adanya risiko peningkatan IWL ini
menyebabkan penyesuaian dengan perhitungan kebutuhan cairan perlu
dilakukan sesuai dengan kondisi tiap bayi.136
86
Jika bayi diletakkan di radiant warmer, skin probe perlu
dipasang pada bayi untuk melindunginya dari over-heating. Dengan
demikian warmer dapat berfungsi seperti termostat dan
mempertahankan suhu bayi 36,5-37,5°C. Bayi harus dalam keadaan
telanjang di dalam warmer, dan tindakan menutupi bayi justru akan
mencegah panas sampai ke bayi. Pencatatan temperatur bayi harus
dilakukan selama bayi berada dalam radiant warmer maupun
inkubator.154
87
88
Gambar 16 Tahap-tahap perawatan bayi kangguru
89
a
b
Gambar 17a Cling wrap.157 17b Bayi dibungkus plastik untuk mencegah
hipotermia.157
Pemakaian plastik transparan pada bayi baru lahir <1500 g dan/atau usia
gestasi <28 minggu dari leher sampai kaki, tanpa terlebih dahulu mengeringkan
bayi, dapat mempertahankan suhu bayi baru lahir sehingga menurunkan
kejadian hipotermia.158
Setelah dibungkus dengan plastik transparan, bayi baru lahir diletakkan di
radiant warmer, selanjutnya resusitasi dan stabilisasi dapat dimulai sesuai
dengan pedoman standar. Pada bayi baru lahir usia gestasi <28 minggu,
kombinasi pengaturan suhu kamar bersalin sekurang-kurangnya 26°C dan
penggunaan plastik polythene merupakan metoda yang paling efektif untuk
mempertahankan temperatur.151,159
90
1) Terapi hipotermia: penggunaan aliran oksigen yang
dihangatkan dan dilembabkan (heated and humidified air)
xii,xiii,xiv
Salah satu masalah yang sering dijumpai pada BBLR adalah hipotermia akibat
kehilangan panas tubuh melalui penguapan. Luasnya permukaan kulit BBLR
disertai rendahnya temperatur di ruang bersalin akan meningkatkan risiko
terjadinya hipotermia.160162 Panduan resusitasi neonatal internasional
menganjurkan berbagai teknik untuk mengatasi hipotermia, salah satunya
adalah membungkus bayi dengan plastik yang ditutup sampai leher untuk
mengurangi kehilangan panas tubuh97 disertai penggunaan matras yang telah
dihangatkan dan penyesuaian temperatur ruang bersalin.140,151
Te Pas et al161 (2010) melaporkan bahwa penggunaan udara yang telah
dihangatkan dan dilembabkan (heated and humidified air) mengurangi
kejadian hipotermia pada BBLR. Alat yang digunakan adalah MR850 heated
humidifier dan heated circuit (900RD110 humidified resuscitation
circuit). Udara dilembabkan dengan mengisi 20 mL air pada humidifier, volume
udara diatur sebesar 8 L/menit dan udara dihangatkan pada suhu
37˚C.
91
Penilaian RDS dapat dilakukan dengan melihat derajat RDS itu sendiri,
menilai frekuensi napas, usaha bernapas, kebutuhan oksigen, saturasi oksigen,
foto dada, dan AGD. Derajat RDS dibagi menjadi tiga, yaitu:38
a) Ringan
Frekuensi napas meningkat (>60x/menit) tanpa suplementasi oksigen,
dengan atau tanpa usaha napas yang minimal seperti retraksi dan napas
cuping hidung.
b) Sedang
Neonatus sudah tampak sianosis dalam udara kamar dan menunjukkan
tanda-tanda usaha bernapas yang meningkat, dengan AGD yang
abnormal.
c) Berat
Neonatus mengalami sianosis sentral, kesulitan bernapas, dengan AGD
yang abnormal.
Penilaian berat gangguan napas pada bayi dapat dilakukan dengan sistem
penilaian Downes (Downes score)163 dan dapat digunakan pada segala
kondisi dan usia gestasi bayi (Tabel 6)164,165
92
kemungkinan tidak berasal dari masalah pulmonal, misalnya penyakit jantung
bawaan (PJB), asidosis metabolik, dan kerusakan otak. Takipne yang disertai
peningkatan PaCO2 dapat terjadi karena masalah pulmonal seperti RDS,
pneumonia, transient tachypnea of the newborn (TTN), aspirasi
mekonium, perdarahan paru, obstruksi jalan napas, massa paru, hernia
diafragmatika, atau pneumotoraks.38
2) Terapi oksigen
Neonatus yang mengalami sianosis di udara kamar, dan mengalami RDS ringan
hingga sedang membutuhkan oksigen dalam penanganannya. Terapi oksigen
adalah salah satu terapi yang sering digunakan dalam penanganan neonatus
yang bermasalah, untuk mencegah hipoksemia, mengurangi kerja otot
pernapasan, dan menurunkan beban miokardium.166 Terapi oksigen dalam
jangka panjang dapat menimbulkan toksisitas sehingga pemakaiannya harus
diatur. Efek toksisitas oksigen yang dapat terjadi adalah ROP, BPD, enterokolitis
nekrotikans, PVL, dan dapat juga memengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak.167,168
Saat ini pemberian oksigen melalui inkubator sudah tidak
direkomendasikan lagi. Sehubungan konsekuensi intoksikasi oksigen pada
neonatus, maka disarankan oksigen diberikan dengan dititrasi, dan dimulai dari
konsentrasi 21%, serta 25-30% pada bayi prematur dengan usia gestasi < 35
minggu.
Target saturasi oksigen adalah >90-95%. Udara yang digunakan sebaiknya
udara yang telah dihangatkan dan dilembabkan untuk mengurangi cold stress
dan IWL. Observasi klinis respons bayi terhadap terapi oksigen meliputi warna,
frekuensi napas, usaha napas, dan keadaan umum (bayi yang hipoksia dapat
terlihat letargis). Pencatatan respons bayi dilakukan tiap jam hingga kondisi bayi
stabil, selanjutnya tiap 2-4 jam sesuai dengan kebutuhan. 74
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa pemberian terapi oksigen pada
bayi prematur dengan menjaga kecukupan oksigen (dihindari dari hipoksia atau
hiperoksia) adalah dengan mempertahankan saturasi oksigen berkisar antara
>90%-95%.169 Pada bayi dengan SaO2 <90% ternyata 50% dari bayi tersebut
mempunyai PaO2 yang sangat bervariasi serta pada umumnya < 45mmHg.
Sebaliknya pada bayi dengan Sa)2 > 95% didapatkan PaO2 dari 80 mmHg -
300mmHg.
93
Neonatus dengan hipertensi
pulmonal Sesuai pertimbangan dokter
94
dengan kesulitan bernafas selama tidak didapatkan kontra indikasi seperti
obstruksi saluran cerna dan NEC stadium II.
(2) Ventilator
Neonatus yang membutuhkan ventilator adalah neonatus yang pernah
mengalami apne, gagal napas,penggunaan terapi oksigen dengan CPAP tidak
adekuat (kebutuhan FiO2 >40%, asidosis respiratorik (pH <7,20-7,25),
PaO2<50 mmHg, dan kulit pucat atau sianosis disertai agitasi), adanya
95
gangguan neurologis (apne of prematurity, perdarahan intrakranial, dan
gangguan neuromuskular kongenital), RDS, sindrom aspirasi mekonium,
gangguan kardiovaskular (persistent pulmonary hypertension of the
newborn, pasca-resusitasi, PJB, dan syok), dan pasca-operasi karena
gangguan fungsi ventilasi.171 Neonatus yang menggunakan ventilator harus
diawasi secara ketat termasuk pengawasan pengaturan ventilator (Gambar
21).
Terapi oksigen pada neonatus sering diberikan dalam jangka panjang dan
menggunakan SpO2tinggi. Perhitungan terapi oksigen untuk mencegah ROP
dapat dibantu dengan tabel supplemental therapeutic oxygenfor
prethreshold retinopathy of prematurity (STOP-
ROP) (Tabel 8 dan Tabel 9).172,173
96
1,50 =
100 100 100 100 75 60 50 43 38
1½
2 100 100 100 100 100 80 67 57 50
3 100 100 100 100 100 100 100 86 75
4 100 100 100 100 100 100 100 100 100
5 100 100 100 100 100 100 100 100 100
6 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Tabel 9 FiO2 efektif sebagai fungsi dari faktor dan konsentrasi oksigen 173,174
Konsentrasi oksigen (%)
Faktor
21 22 25 30 40 50 100
0 21 21 21 21 21 21 21
1 21 21 21 21 21 21 22
2 21 21 21 21 21 22 23
3 21 21 21 21 22 22 23
4 21 21 21 21 22 22 24
5 21 21 21 21 22 22 25
6 21 21 21 22 22 23 26
Faktor Konsentrasi oksigen (%)
7 21 21 21 22 22 23 27
8 21 21 21 22 23 23 27
9 21 21 21 22 23 24 28
10 21 21 21 22 23 24 29
12 21 21 21 22 23 24 30
13 21 21 22 22 23 25 31
14 21 21 22 22 24 25 32
15 21 21 22 22 24 25 33
21 22 25 30 40 50 100
17 21 21 22 23 24 26 34
18 21 21 22 23 24 26 35
97
19 21 21 22 23 25 27 36
20 21 21 22 23 25 27 37
21 21 21 22 23 25 27 38
25 21 21 22 23 26 28 41
29 21 21 22 24 27 29 44
30 21 21 22 24 27 30 45
31 21 21 22 24 27 30 45
33 21 21 22 24 27 21 47
36 21 21 22 24 28 31 49
38 21 21 23 24 28 32 51
40 21 21 23 25 29 33 53
42 21 21 23 25 29 33 54
43 21 21 23 25 29 33 55
50 21 22 23 26 31 36 61
57 21 22 23 26 32 38 66
60 21 22 23 26 32 38 68
63 21 22 24 27 33 39 71
67 21 22 24 27 34 40 74
71 21 22 24 27 34 42 77
75 21 22 24 28 35 43 80
80 21 22 24 28 36 44 84
Faktor Konsentrasi oksigen (%)
83 21 22 24 28 37 45 87
86 21 22 24 29 37 46 89
100 21 22 25 30 40 50 100
FiO2 = 21 + Faktor * (konsentrasi – 21)/100
98
oksigen 100% dalam Tabel 6 untuk menentukan FiO2 yang efektif. Maka hasilnya
adalah 34%.
Masalah terapi oksigen yang dihadapi oleh fasilitas kesehatan di
Indonesia terutama selain di kota besar adalah ketiadaan pulse oximeter,
blender, oxygen analyzer, sumber udara tekan, dan T-piece resuscitator.
Alternatif terapi oksigen dengan tidak tersedianya blender, oxygen analyzer,
dan sumber udara tekan antara lain dengan venturi (Gambar 20) dan Y-tube
(Gambar 21).
Venturi adalah tabung plastik pendek yang disambungkan dengan pipa
penyalur oksigen. Venturi dapat disambungkan dengan sungkup kepala dan
sungkup wajah. Beberapa venturi mencampur oksigen murni dengan udara
kamar untuk memberikan FiO2 sesuai kebutuhan. Venturi memiliki beberapa
adaptor, masing-masing dengan bukaan/jendela yang besar untuk memasukkan
udara kamar. Oksigen melalui venturi dan menarik udara kamar sehingga terjadi
percampuran kedua gas (Tabel 7).
Gambar 22 Venturi
99
Warna Flow FiO2 (%)
venture (L/menit)
Biru 3 24
Putih 6 28
Kuning 12 35
Merah 15 40
Merah muda 15 50
100
2 61% 53% 47% 44% 41% 38% 37% 35% 34%
3 80% 68% 61% 55% 51% 47% 45% 43% 41% 39%
4 84% 74% 66% 61% 56% 52% 50% 47% 45% 44%
5 86% 77% 70% 65% 61% 57% 54% 51% 49% 47%
6 88% 80% 74% 68% 64% 61% 57% 54% 53% 51%
7 90% 82% 76% 71% 67% 64% 61% 58% 56% 54%
8 91% 84% 78% 74% 70% 66% 63% 61% 58% 56%
9 92% 86% 80% 76% 72% 68% 65% 63% 61% 58%
10 93% 87% 82% 77% 74% 70% 67% 65% 63% 61%
101
dipantau akan menghasilkan luaran yang buruk, sedangkan pemberian oksigen
restricted sebaliknya. Namun hingga saat ini belum ada bukti yang memadai
untuk menetapkan besarnya suplementasi oksigen yang paling baik bagi BBLR. 176
Meta-analisis oleh Chen et al180 (2010) melaporkan kejadian ROP pada
bayi kurang bulan lebih rendah pada penggunaan oksigen rendah dibandingkan
dengan oksigen tinggi (RR 0,48;IK95% 0,31-0,75). Khusus pada populasi BBLSR
dan BBLASR, telaah sistematik oleh Saugstad et al181 (2011) menganalisis 8 studi
yang membandingkan efek pemberian kadar oksigen rendah (70≤95%) dengan
tinggi (88-100%) yang dipantau dengan pulse oximeter, terhadap kejadian
ROP dan BPD. Telaah tersebut menyimpulkan bahwa penurunan risiko ROP
derajat berat terjadi pada pemberian oksigen rendah (9,5%) dibandingkan
dengan oksigen tinggi (20,9%) (risiko relatif (RR) 0,48; interval kepercayaan 95%
(IK95%) 0,34-0,68). Penurunan risiko BPD juga terjadi pada penggunaan oksigen
rendah (29,7%) dibandingkan dengan oksigen tinggi (40,8%) (RR 0,79;IK95% 0,64-
0,97). Hanya 2 studi yang mengevaluasi kematian sebagai luaran, dan telaah ini
memperoleh data mortalitas yang meningkat pada penggunaan oksigen rendah
dibandingkan dengan oksigen tinggi (RR 1,12;IK95% 0,86-1,45).
102
Penghentian terapi oksigen dilakukan secara bertahap.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
d. BLOOD PRESSURE
Syok didefinisikan sebagai perfusi organ vital dan pengangkutan oksigen yang
tidak adekuat. Definisi lain untuk syok adalah keadaan yang kompleks dengan
disfungsi sirkulasi yang mengakibatkan pengangkutan oksigen dan nutrisi tidak
adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Kegagalan untuk segera
mengenali dan menatalaksana syok dapat meyebabkan kegagalan organ multipel
dan bahkan kematian pada bayi baru lahir, sehingga tata laksana syok harus
dilakukan segera dan agresif. Syok terbagi dalam tiga tipe yaitu syok
hipovolemik, kardiogenik, dan septik.38
1) Syok hipovolemik
Syok hipovolemik disebabkan oleh rendahnya volume sirkulasi darah.
Penyebab syok hipovolemik terdiri atas: a) Kehilangan darah akut selama
periode kelahiran
(1) Perdarahan fetal-maternal
(2) Plasenta previa
(3) Luka pada tali pusat
(4) Transfusi antar bayi kembar (twin-to-twin transfusion)
(5) Laserasi organ (hati atau pankreas)
b) Perdarahan pasca-lahir
• Otak
• Paru
• Kelenjar adrenal
• Kulit kepala (perdarahan subgaleal)
c) Penyebab bukan perdarahan
• Kebocoran kapiler yang berat sekunder terhadap infeksi
• Dehidrasi
d) Hipotensi fungsional
• Tension pneumothorax (mengganggu curah jantung)
• Pneumopericardium (mengganggu curah jantung) Beberapa
penyebab perdarahan pasca-lahir dapat terjadi sebelum kelahiran atau
103
selama periode kelahiran. Bayi dengan syok hipovolemik menunjukkan
tanda-tanda curah jantung yang kurang: takikardia, nadi lemah, waktu
pengisian kapiler memanjang, dan warna kebiruan. Apabila bayi
kehilangan darah dalam jumlah banyak maka bayi dapat terlihat pucat,
dan disertai asidosis dan hipotensi (tanda akhir dari curah jantung yang
lemah).38
2) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik (gagal jantung) terjadi saat otot-otot jantung berfungsi
dengan lemah dan dapat terjadi pada bayi dengan:
Error! Bookmark not defined.
• Asfiksia selama masa kelahiran atau pasca-lahir
• Hipoksia dan/atau metabolik asidosis
• Infeksi bakteri atau virus
• Gangguan pernapasan berat (membutuhkan bantuan ventilasi)
• Hipoglikemia berat
• Metabolik dan/atau gangguan elektrolit berat
• Aritmia
• Kelainan jantung bawaan, terutama bayi dengan hipoksemia berat
atau obstruksi aliran darah ke sirkulasi sistemik
104
Usaha napas
• Peningkatan usaha napas (retraksi, mendengkur, pernapasan cuping
hidung)
• Takipnea
• Apne
• Napas terengah-engah (tanda akan terjadinya
cardiorespiratory arrest)
Nadi
a) Nadi perifer lemah atau tidak teraba
b) Nadi brakial lebih kuat daripada nadi femoral (pertimbangkan koarktasio
aorta atau kelainan arkus aorta)
Perfusi perifer
a) Perfusi lemah (terjadi akibat vasokonstriksi dan curah jantung yang
kurang)
b) Pemanjangan waktu pengisian kapiler (>3 detik pada bayi yang sakit
dianggap tidak normal)
c) Mottled sign
d) Kulit yang dingin
Warna
a) Sianosis
b) Pucat (dapat mengindikasikan kadar hemoglobin yang sangat rendah
sebagai akibat sekunder perdarahan)
c) Evaluasi oksigenasi dan saturasi
d) Evaluasi gas darah untuk asidosis respiratorik, metabolik, atau keduanya
Denyut jantung
a) Bradikardia (<100 denyut per menit) dengan tanda-tanda perfusi yang
buruk
(1) Hipoksemia, hipotensi, dan asidosis menyebabkan penurunan sistem
konduksi
(2) Bradikardia yang dikombinasikan dengan syok berat adalah tanda
awal akan terjadi henti jantung dan paru
(3) Singkirkan heart block sebagai salah satu penyebabnya
105
b) Takikardia (>180 denyut per menit yang terjadi
berkepanjangan saat istirahat)
(1) Takikardia dapat mengindikasikan curah jantung yang kurang
dan/atau gagal jantung kongestif
(2) Denyut jantung yang normal adalah 120-160 denyut per menit,
tetapi dapat berkisar 80-200 denyut per menit tergantung tingkat
aktivitas bayi
(3) Apabila denyut jantung >220 denyut per menit, pertimbangkan
takikardia supraventrikular
Jantung
a) Ukuran jantung yang membesar pada Röntgen toraks (berhubungan
dengan disfungsi miokardium dan perkembangan gagal jantung kongestif)
b) Ukuran jantung lebih kecil dari normal, atau terkompresi pada Röntgen
toraks (dapat merefleksikan pengisian jantung atau pre-load yang
lemah)
c) Evaluasi adanya murmur (meskipun tidak ada murmur, kelainan jantung
bawaan struktural dapat terjadi)
Tekanan darah
a) Dapat berupa normal atau rendah: hipotensi adalah tanda akhir dari
dekompensasi jantung.
b) Evaluasi tekanan nadi (tekanan sistolik – tekanan diastolik). Tekanan nadi
normal pada bayi cukup bulan 25-30 mmHg dan pada bayi kurang bulan
15-25 mmHg. Tekanan nadi yang sempit dapat mengindikasikan
vasokonstriksi perifer, gagal jantung, atau curah jantung rendah. Tekanan
nadi yang lebar dapat mengindikasikan runoff aortic yang besar, seperti
yang terlihat pada duktus arteriosus paten yang signifikan atau
malformasi arteriovena besar.
106
dan kombinasi asidosis respiratorik dan metabolik dapat terjadi. a) pH
<7,3 tidak normal
b) pH <7,25 mencurigakan, terutama jika ada bersamaan dengan perfusi
yang buruk, takikardia, dan/atau hipotensi
c) pH <7,2 tidak normal secara signifikan
d) pH <7,1 mengindikasikan bayi dengan kondisi krisis berat 2) Glukosa
Hiperglikemia dapat menjadi tanda awal respon bayi terhadap stress.
Gula darah harus dievaluasi secara teratur sampai pola stabilitas gula
darah tercapai.
3) Elektrolit (hipo- atau hiper-natremia, hipo- atau hiperkalemia)
Apabila terdapat metabolik asidosis, hitung anion gap.
4) Pemeriksaan lain dan observasi:
a) Ekokardiografi untuk mengevaluasi fungsi jantung dan mengeliminasi
kelainan jantung bawaan struktural sebagai penyebab
b) Evaluasi produksi urin (oliguria atau anuria)
c) Evaluasi sepsis (pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis dan
kultur darah)
107
Tata laksana syok
Langkah pertama dalam tata laksana syok adalah melakukan evaluasi risiko
apakah bayi mempunyai risiko untuk mengalami syo atau tidak. Perlu dicatat
bahwa tanda klinis syok pada awalnya adalah hampir sama dengan tanda
gangguan pernafasan, sehingga setiap bayi dengan masalah pernafasan, setelah
dilakukan pemberian dukungan pernafasan diikuti dengan evaluasi tanda tanda
dini syok. Langkah berikutnya adalah melakukan pencegahan syok terjadi lebih
lanjut serta mengidentifikasi penyebab syok. Langkah selanjutnya adalah
tatalaksana penyebabTujuan tata laksana syok adalah meningkatkan curah
jantung dengan meningkatkan volume, meningkatkan perfusi jaringan,
meningkatkan oksigenasi jaringan, menurunkan metabolisme anaerob,
menurunkan timbunan asam laktat, dan meningkatkan pH. 38 Pada umumnya
syok pada bayi adalah syok hipovolemik. Oleh sebab itu bila mendapati bayi
dengan tanda tanda awal syok, segera diberikan bolus cairan larutan fisiologis
sebanyak 10 ml/kgBB dalam 30-60 menit. Selanjutnya penanganan tergantung
sebab yang mendasari syok.
108
meningkatkan volume. Sebelum diberikan penambahan volume,
konsultasi dengan ahli neonatologi di layanan kesehatan tersier.
b) Apabila terdapat kehilangan darah akut, mulai resusitasi cairan
dengan normal saline sambil menunggu transfusi sel darah merah
atau whole blood. Dosis pemberian cairan adalah 10 mL/kgBB/kali
IV, kateter vena umbilikus, atau intraosseous selama 30 menit-2 jam.
Waktu pemberian bervariasi, dapat lebih cepat dari 30 menit
tergantung dari beratnya keadaan bayi. Dalam keadaan darurat yang
tidak memungkinkan untuk pemeriksaan cross-match sebelum
pemberian darah, transfusi sel darah merah tipe O-negatif dapat
diberikan. Transfusi sedapat mungkin berupa sel darah merah yang
kurang dari satu minggu, negatif CMV, dan leuko-reduced.
109
Gambar 24 Syringe pump
110
c) Pantau tekanan darah dan denyut jantung setiap 1-2 menit selama 15
menit lalu setiap 2-5 menit tergantung respons pengobatan. Apabila
bayi tidak merespons dengan dosis 20 mcg/kgBB/menit, maka
peningkatan dosis lebih lanjut tidak dianjurkan.
d) Infus dopamin menggunakan pompa infus dan untuk meningkatkan
keamanan, gunakan teknologi "smart pump" bila memungkinkan.
e) Pemberian sedapat mungkin melalui vena umbilikus, bila posisi
kateter sudah dikonfirmasi dengan Röntgen toraks dan ujungnya
terletak tepat di atas hati pada vena kava inferior/right atrial
junction. Apabila tidak terdapat akses vena sentral, infus dopamin
melalui IV perifer. Pantau daerah infus terhadap terjadinya infiltrasi
dan ganti bila perlu.
f) Pemberian dopamin tidak boleh dilakukan melalui arteri termasuk
kateter arteri umbilikus.
g) Dopamin jangan diberikan secara cepat karena tekanan darah dapat
mendadak naik dan denyut jantung turun dengan drastis.
Belum ada bukti memadai yang mendukung pemberian ekspansi volume
pada BBLR dengan masalah kardiovaskular. Metaanalisis oleh Osborn et al 185
(2009) menyimpulkan albumin tidak terbukti lebih baik dibandingkan normal
saline dalam meningkatkan tekanan darah untuk hipotensi pada bayi baru lahir
kurang bulan. Meta-analisis oleh Beveridge (2009) menyatakan belum ada bukti
memadai yang mendukung manfaat cairan sodium bikarbonat dalam resusitasi di
kamar bersalin untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. 184
Kotak 3 menunjukkan tata laksana komponen “blood pressure” pada
bayi baru lahir yang sakit.
111
• Disfungsi organ terjadi akibat perfusi dan oksigenasi tidak optimal.
• Evaluasi penyebab syok dan lakukan tata laksana dengan agresif.
• Keputusan tata laksana syok menggunakan volume dan/atau
medikamentosa adalah berdasarkan pada riwayat penyakit dan hasil
pemeriksaan fisis, tidak hanya pada tekanan darah.
Kotak 3 . Kunci tata laksana tekanan darah bayi baru lahir yang
sakit.38
112
Pemeriksaan laboratorium penting sebagai indikator awal terjadinya infeksi pada
bayi baru lahir. Bayi dengan risiko tinggi infeksi adalah bayi dengan: Error!
Bookmark not defined.
•
Tinjau kembali riwayat ibu dan bayi untuk faktor risiko infeksi.
• Waspadai tanda dan gejala infeksi yang tidak kentara.
• Ingat bahwa hasil pemeriksaan darah lengkap dapat normal pada
stadium awal terjadinya infeksi.
113
Kotak 4. Kunci pemeriksaan laboratorium untuk tata laksana bayi baru lahir yang
sakitError! Bookmark not defined.
f. EMOTIONAL SUPPORT
Keadaan yang dapat terjadi seputar kelahiran bayi sakit dan
cara memberi dukungan emosional kepada keluarga
Bayi baru lahir yang sakit dan membutuhkan perawatan intensif merupakan
suatu krisis bagi keluarga. Tenaga kesehatan dapat memberikan dukungan
emosional sejak awal, stabilisasi, saat akan dirujuk, setelah dirujuk, sampai
dengan tiba di NICU. Sejak awal dan stabilisasi, ibu dapat diijinkan melihat bayi.
Tenaga kesehatan memberi selamat atas kelahiran bayi dan memanggil bayi
dengan nama apabila sudah diberi nama oleh keluarga. Hal lain yang dapat
dilakukan keluarga adalah mengambil foto dan jejak kaki bayi. Keberadaan
kerabat dan pemuka agama juga dapat membantu. Error! B ookmark not
defined.
Saat bayi akan dirujuk, tenaga kesehatan dapat memberi penjelasan mengenai
keadaan bayi dan rencana tata laksana. Saat bayi tiba di NICU, tenaga kesehatan
dapat melibatkan peran orangtua sejak dini dan mengkomunikasikan keadaan
bayi. Error! B ookmark not defined.
114
(2010) melaporkan bahwa pada B BLSR laki-laki, penundaan pemotongan tali
pusat selama 30-45 detik sambil merendahkan posisi bayi, merupakan faktor
protektif terhadap disabilitas motorik pada usia koreksi tujuh bulan. Hal ini
terjadi karena bayi yang mengalami penundaan pemotongan tali pusat,
mempunyai aliran sel darah merah ke otak (korteks motorik) yang lebih banyak
dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera (<10 detik), sehingga
pemenuhan kebutuhan oksigen pada beberapa hari pertama lebih baik. Pada
bayi cukup bulan yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan pemotongan
tali pusat menghasilkan status besi yang lebih baik pada bayi baru lahir.
Penundaan pemotongan tali pusat dilakukan selama satu menit atau sampai
umbilikus berhenti berdenyut setelah kelahiran.191
Pada bayi kurang bulan yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan
pemotongan tali pusat selama 30 detik sampai tiga menit menghasilkan tekanan
darah bayi yang lebih baik pada tahap stabilisasi dan angka kejadian IVH yang
lebih rendah, dibandingkan tanpa penundaan pemotongan tali pusat. Sedangkan
pada bayi kurang bulan yang memerlukan resusitasi, belum ada bukti yang cukup
mengenai penundaan pemotongan tali pusat.192,193 Belum ada studi yang mampu
membuktikan pengaruh gaya gravitasi atau posisi bayi sebelum pemotongan tali
pusat dengan kebutuhan oksigen, kejadian transfusi, maupun IVH.194
115
terapi penghambat siklo-oksigenase atau cyclooxygenase inhibitors (COX
inhibitors), melainkan juga menurunkan risiko perlunya bedah ligasi. 196
Pada telaah sistematik yang sama, dua studi memperoleh hasil positif
yang serupa, namun menunjukkan risiko perdarahan gastrointestinal yang
meningkat, dengan number needed to treat to harm (NNH) 4 (IK95% 2-17).
Mortalitas, kejadian perdarahan intraventrikular, dan kejadian penyakit paru
kronik pada kelompok ibuprofen dengan kelompok plasebo/tanpa intervensi
tidak berbeda bermakna. Pada kelompok kontrol, proporsi PDA yang menutup
spontan pada hari ke-3 adalah 58%. Selain efek samping pada saluran
gastrointestinal, studi-studi tersebut ternyata juga menemukan efek samping
terhadap fungsi ginjal dalam pemantauan jangka pendek. Oleh sebab itu
ibuprofen profilaksis belum direkomendasikan sampai hasil pemantauan jangka
panjang
(saat ini studi masih berlangsung) diperoleh.196
116
Transport ibu hamil risiko tinggi ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap
merupakan bagian penting dalam pelayanan perinatal. 198 Morbiditas dan
mortalitas dapat diturunkan sangat bermakna terutama pada kehamilan kurang
bulan.199,200 Identifikasi ibu hamil risiko tinggi sangat dibutuhkan untuk
tatalaksana tersebut. Apabila keadaan terpaksa dimana proses trasnport ibu
hamil dengan risiko tinggi tidak dapat dilaksanakan, maka diperlukan perlu
sistem transport neonatus bagi fasilitas kesehatan primer yang meliputi
kompetensi tenaga kesehatan, peralatan dan panduan yang sesuai. Sistem
transport tersebut harus dapat menjaga keadaan stabil neonatus dari fasilitas
layanan primer sepanjang waktu baik sebelum, selama atau setelah sampai di
fasilitas rujukan baik di layanan sekunder maupun tersier. 201
117
Indikasi merujuk neonatus ke fasilitas layanan neonatus sekunder atau tersier
yang memerlukan prosedur transport adalah sebagai berikut:202,203
1. Gangguan napas berat: ancaman gagal napas/apne/sesak napas berat,
misalnya RDS yang terus memburuk atau persisten dalam 5-6 jam, distres
napas akibat aspirasi mekoneum, sianosis yang menetap meskipun
dengan terapi oksigen, dan asfiksia perinatal dengan skor Apgar <8
2. Ancaman gangguan sirkulasi (syok)
3. Kelainan kongenital berat dengan prognosis yang baik (dapat dinilai
dengan skor paediatric index of mortality atau skor PIM*)
4. Bayi berat lahir rendah dengan tiga masalah di atas
5. Bayi berat lahir sangat rendah
6. Bayi yang tidak bugar dengan tampak letargi, menangis lemah,
mengalami poor feeding, sianosis, atau muntah
7. Kejang
8. Perdarahan
9. Memerlukan transfusi tukar karena ikterik
10. Bayi dari ibu DM
11. Memerlukan pembedahan, misalnya kasus obstruksi saluran
gastrointestinal, mielomeningokel, dan atresia koana
12. Gagal jantung atau aritmia
13. Memerlukan uji diagnostik ataupun terapi khusus
118
3.4.1 Persiapan merujuk neonatus206,207, ACCEPT
a. Penilaian adekuat (Assessment)
Pada saat diputuskan untuk dirujuk, neonatus harus dalam keadaan stabil,
dengan indikasi tepat untuk dirujuk ke fasilitas layanan neonatus sekunder atau
tersier.203,208
b. Terkendali (Control)
Sistem transport neonatus terkendali dengan baik mulai dari kompetensi tenaga
medik yang akan melaksanakan prosedur transportasi sampai pada kelengkapan
alat kedokteran dan kesehatan yang diperlukan. Tujuan keberadaan tim transpor
dapat diilustrasikan sebagai “to take intensive care to the baby
rather than take the baby to intensive care”. Di dalam ambulans ada
tenaga kesehatan yang mampu menangani kondisi bayi selama perjalanan
termasuk perburukan klinis dan kegawatdaruratan, atau bahkan memperbaiki
kondisi bayi jika ia mampu. Idealnya tenaga kesehatan yang menyertai transpor
BBLR adalah seorang perawat perinatologi yang terampil.209 Sampai saat ini
belum ada standar nasional ataupun pelatihan metode transfer, seperti halnya
standar maupun pelatihan resusitasi yang telah ada saat ini. 210
Peralatan dan perlengkapan yang harus diperhatikan selama merujuk
211
yaitu:
1) Inkubator transpor (Gambar 28)
2) Monitor denyut nadi, pernapasan, suhu, tekanan darah, konsentrasi
oksigen inspirasi, SpO2, dan PaCO2 (monitor CO2 transkutan dapat
digunakan jika AGD sulit dikerjakan212,213)
119
3) Peralatan ventilasi: T-piece resuscitator, balon resusitasi dan sungkup
neonatus ukuran bayi kurang bulan dan cukup bulan 0/0, 0/1, dan 2, serta
pulse oxymeter
4) Peralatan intubasi: laringoskop dengan daun lurus ukuran 0 dan pipa
endotrakeal ukuran 2, 2,5, 3, 3,5, dan 4 mm, gunting, serta sarung tangan
5) Peralatan infus IV
6) Kateter penghisap ukuran 6, 8, 10, dan 12
7) Obat-obatan: adrenalin/epinefrin 1:10.000, dekstrosa 10%, natrium
bikarbonat 4,2%, aminofilin, fenobarbital, dan aqua steril
8) Cairan pengganti volume: NaCl 0,9% dan atau ringer laktat
9) Analisis gas darah portable
10) Analisis gula darah portabel
11) Gas medis (O2, NO)
120
Gambar 25 Inkubator transpor
c. Komunikasi (Communication)xix
Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) diberikan kepada orang tua dan kelurga
neonatus yang akan menjalani proses transportasi ke fasilitas kesehatan rujukan.
Implementasi hasil KIE dengan orang tua dan keluarga diwujudkan di dalam
informed consent. Komunikasi juga dilakukan dengan tim transport neonatus
dan tim rawat di rumah sakit rujukan. Komunikasi antara tenaga kesehatan di
tempat kelahiran BBLR (tim perujuk), tim transpor, maupun dokter di rumah
sakit rujukan harus berjalan baik. Komunikasi mencakup riwayat kelahiran bayi,
faktor antenatal lain yang dapat berpengaruh, dan perkembangan kondisi bayi.
Tim perujuk terlebih dahulu menghubungi dokter penerima rujukan untuk
memastikan ketersediaan tempat, kemudian menghubungi tim transpor. 202,215
121
Komunisasi informasi dan edukasi terhadap orang tua pasien
harus dilaksanakan dengan sejelas-jelasnya dengan hasil akhir
ditanda tanganinya informed consent. Komunikasi antara
dokter penanggung jawab, tim transport neonatus sakit dan
dokter penanggung jawab di RS rujukan harus dilakukan dan
tercatat dengan baik.
Level of evidence 1A, rekomendasi A
122
c) Akses arterial dipertimbangkan pemasangannya pada bayi yang memerlukan
pemeriksaan AGD dan atau tekanan darah yang akurat secara berulang-
ulang. Jika pemasangan jalur arteri tidak akan memengaruhi tata laksana
sebelum dan selama transpor, maka pemasangan jalur arteri dapat ditunda
pasca-transpor.
d) Apakah kateter urin sudah benar dan aman?
e) Apakah neonatus membutuhkan bantuan cairan dan obat-obat inotropik?
f) Dukungan cairan IV dan atau inotropik harus dimulai sejak awal, sesuai
dengan indikasi. Kateter IV harus dipantau pada posisi yang benar dan aman.
123
Gambar 26 Tas pembawa bayi: bayi di dalam tas, dibungkus plastik, dan
mengenakan selimut pembungkus217
Bayi baru lahir dirujuk harus dalam keadaan stabil, ditandai dengan “warm,
pink, and sweet”. Komponen yang harus diperhatikan untuk
menciptakan kondisi stabil adalah“warm, pink, and sweet”:
a) Regulasi temperatur
b) Oksigenasi
c) Kadar glukosa
5) Pastikan bayi hangat
Bayi dalam kondisi hangat ditandai dengan suhu aksila 36,537,5°C. Bayi
dikenakan plastik transparan, diletakkan dalam inkubator, atau diterapkan
metode kanguru (pada fasilitas terbatas).
6) Pastikan bayi bernapas adekuat
a) Frekuensi napas: 40-60 kali per menit
124
b) Tidak ada tanda-tanda gangguan napas, misalnya napas cuping hidung,
retraksi, merintih, dan sianosis (dapat dinilai berdasarkan sistem penilaian
Down (Tabel 2)
Berikut adalah penatalaksanaan saat bayi mengalami desaturasi: a) Nilai monitor
saturasi berfungsi dengan baik.
b) Pastikan bayi berada pada posisi yang baik (usahakan posisi tengkurap).
c) Pengisapan jalan napas bila diperlukan.
d) Naikkan FiO2 5% hingga saturasi naik dan turunkan FiO2 bila saturasi melebihi
target.
e) Bayi dengan peningkatan episode desaturasi → pikirkan infeksi.
7) Pastikan sirkulasi baik
a) Denyut jantung normal 120-160 kali per menit
b) Waktu pengisian kapiler atau capillary refill time (CRT) ≤3 detik220
c) Akral hangat
125
Kendaraan merupakan kunci utama berjalannya mekanisme merujuk36. Pilihan
jenis kendaraan tergantung pada ketersediaan alat transportasi, keadaan
geografik (darat, air, atau udara), kegawatdaruratan situasi, dan pengalaman
petugas.36 Newborn Amergency Transport Service (NETS) Sydney,
Australia menetapkan batasan penggunaan moda transportasi adalah jalan darat
(menggunakan ambulans) untuk jarak <50 km, helikopter untuk 50-500 km, dan
air ambulance untuk >500 km. Waktu respons tim transpor sangat
memengaruhi luaran. Waktu respons ini bukan hanya waktu yang dibutuhkan
oleh tim transpor untuk mencapai tempat kelahiran bayi, melainkan juga waktu
tim transpor untuk mempersiapkan semua peralatan dan perlengkapan
kemudian memobilisasinya ke kendaraan transpor. Waktu respons NETS yang
dilaporkan adalah 45-60 menit untuk jalan darat, 20-30 menit untuk helikopter,
dan 1-3 jam untuk air ambulance.36 210
Ambulans merupakan salah satu pilihan transportasi darat dengan jarak
tempuh yang dekat. Pada cuaca buruk ambulans dapat mencapai tujuan lebih
cepat dibandingkan dengan transportasi udara atau air. Keuntungan
menggunakan ambulans adalah biaya transportasi murah, dapat berjalan dalam
cuaca apapun, dan ruangan dalam ambulans relatif lapang sehingga dapat
memuat dua inkubator dan peralatan merujuk.202,209,203, Di Indonesia ambulans
dapat menjadi pilihan utama kendaraan transpor karena ambulans merupakan
kendaraan medis utama yang tersedia. Rumah sakit maupun puskesmas di
Indonesia sudah banyak yang memiliki ambulans. Di dalam ambulans, BBLR
diletakkan di dalam inkubator transpor dan inkubator tersebut difiksasi selama
perjalanan. Satu ambulans dapat menampung sampai dua buah inkubator.
Suatu rekomendasi untuk dapat diterima dan diaplikasikan dengan baik oleh
pemberi layanan kesehatan maupun perencana pelayanan kesehatan, harus
terbukti efektif secara klinis dan cost-effective dalam tata laksana suatu
penyakit atau keadaan. Belum ada studi yang melaporkan analisis biaya secara
rinci mengenai tata laksana BBLR sejak mekanisme resusitasi sampai mekanisme
merujuk. Berikut ini harga dasar peralatan (Gambar 29) dan obat-obatan yang
126
diperlukan dalam resusitasi, stabilisasi, dan merujuk BBLR, berdasarkan level
perawatan neonatal:
Tabel 12. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di perawatan neonatal level I
Tabel 13. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di perawatan neonatal level II
127
Alat analisis gula darah228 1.100.000
Syringe pump (5 buah)189 75.625.000
Pulse Oxymeter lengkap229 47.000.000
Continuous positive airway pressure 150.000.000
(CPAP)223
Laringoskop dengan daun lurus ukuran 0 2.750.000 dan 00
T-piece resuscitator230 22.000.000
Fototerapi 8.000.000
Baju kanguru 75.000
128
Tabel 14. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di perawatan neonatal level III
Tabel 15. Harga barang medis habis pakai dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di level perawatan neonatal I, II, dan III
129
3,5, dan 4 mm232
Sarung tangan steril (1 pasang)233 3.600 Peralatan infus
IV (abocath, infusion line, alcohol swab 2 buah,
dan 34.200
plester 5 cm x 5 m)234,235
Selang oksigen threeway 38.600
Selang oksigen 15.000
Spuit 1 mL/3 mL/5 mL/10 mL 4.800/3.600/4.800/5.900 Kateter penghisap
ukuran 6, 8, 10, 5.000 dan 12233
Adrenalin/epinefrin ampul 0,1% (1 400 mL)236
Sulfas atropin ampul 0,25 mg/mL (1 1.000 mL)236
Dekstrosa 10% (kolf)237 9.000
Aminofilin injeksi 24 mg/mL (10 1.300 mL)235
Fenobarbital ampul 50 mg/mL (1 750
mL)235
Aqua steril vial 500 mL238 8.650
NaCl 0,9% (500 mL)239 15.000
NaCl 0,9% (100 mL) 12.700
Sodium bikarbonat 8,4% (25 mL) 33.350
Vit K1 ampul 2 mg/mL 1.500
Gas O2 (termasuk tabung oksigen isi 850.000
1 kubik, regulator, dan trolley)240
d
Gambar 27 Peralatan resusitasi
130
Merujuk bayi melalui jalan darat tersedia dengan mobil ambulans dengan
biaya sebagai berikut (pelayanan di wilayah DKI
Jakarta):241
1) Rp 300.000,00
a) Pelayanan pra-rumah sakit dari rumah/kediaman pasien ke rumah
sakit rujukan swasta maupun pemerintah.
b) Pelayanan rujukan antar rumah sakit (dari puskesmas ke rumah sakit,
dari klinik 24 jam ke rumah sakit, dari klinik bersalin ke rumah sakit,
rumah sakit ke rumah sakit, dan rumah sakit ke rumah/kediaman
pasien)
2) Rp 750.000,00
Pelayanan dari rumah sakit ke bandar udara, pelabuhan laut, atau stasiun
kereta api.
Merujuk bayi dapat juga menggunakan transportasi udara baik ke dalam maupun
ke luar negeri dengan perkiraan biaya sebagai berikut:242
1) Jakarta - Singapura: US$ 20.000 atau ± Rp
170.000.000,00 (kurs Rp 8.500,00)
2) Jakarta - Kuala Lumpur: US$ 27.000 atau ± Rp
229.500.000,00 (kurs Rp 8.500,00)
3) Jakarta - Surabaya: US$ 17.000 atau ± Rp 144.500.000,00 (kurs Rp 8.500,00)
131
BAB IV
132
(hlm 19)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C
133
Pada BBLSR yang bernapas spontan dan teratur saat lahir,
bantuan pernapasan diberikan berupa CPAP. Tindakan intubasi
hanya dilakukan untuk pemberian surfaktan jika ada indikasi.
(hlm 22)
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A
134
Penggunaan T-piece resuscitator dibandingkan dengan
penggunaan balon resusitasi tanpa katup TPAE di kamar
bersalin, menurunkan risiko kegagalan CPAP.
(hlm 24)
Level of evidence III, derajat rekomendasi C
135
Pada BBLR, pemeriksaan kadar gula darah dilakukan segera
setelah lahir dan diulang 2-4 jam kemudian.
(hlm 27)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C
136
leher sampai kaki, tanpa mengeringkan bayi terlebih dahulu,
mengurangi kejadian hipotermia.
(hlm 36)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
137
(hlm 49)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
138
stabilisasi, mengurangi risiko perdarahan intraventrikular, dan
mengurangi risiko keterlambatan perkembangan motorik.
(hlm 60)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
139
Penilaian indikasi dan keadaan klinis neonatus sakit yang akan
dirujuk harus dilakukan sebelum proses transport
dilaksanakan.
(hlm 89)
Level of evidence 1A, rekomendasi A
140
(hlm 96)
Level of evidence 1A, rekomendasi A
141
DAFTAR RUJUKAN
1. United Nations Children's Fund. Basic Indicators [UNICEF Website]. 2011. (Accessed
July 07, 2011, at https://www.unicef.org/infobycountry/stats_popup1.html.)
2. Lawn JE, Cousens S, Zupan J. Lancet Neonatal Survival Steering Team. 4 million
neonatal deaths: when? Where? Why? Lancet 2005;365:891-900.
3. Lawn JE, Osrin D, Adler A, Cousens S. Four million neonatal deaths: counting and
attribution of cause of death. Paediatr Perinat Epidemiol 2008;22:410-6.
4. Central Intelligence Agency. The World Factbook: Infant Mortality Rates of The
World [CIA Website]. 2011. (Accessed July 11, 2011, at
http://world.bymap.org/InfantMortality.html.)
5. Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI; 2017.
6. United Nation. Millennium Development Goals. UN, 2015. (Accessed Jan, 2018, at
https://www.un.org/millenniumgoals/.)
7. United Nations Children’s Fund and World Health Organization. Low Birthweight:
Country, regional and global estimates. New York2004.
8. Roberts G, Anderson PJ, Cheong J, Doyle LW. Parent‐reported health in extremely
preterm and extremely low‐birthweight children at age 8 years compared with
comparison children born at term. Dev Med Child Neurol 2011;53:927-32.
9. Walden RV, Taylor SC, Hansen NI, et al. Major congenital anomalies place extremely
low birth weight infants at higher risk for poor growth and developmental outcomes.
Pediatrics 2007;120:e1512-19.
10. De-Kieviet JF, Piek JP, Aarnoudse-Moens CS, Oosterlaan J. Motor development in
very preterm and very low-birth-weight children from birth to adolescence: a meta-
analysis. JAMA 2009;302:2235-42.
11. Shah P, Ohlsson A. Literature review of low birth weight, including small for
gestational age and preterm birth. Toronto, Toronto Public Health 2002.
12. Lewit EM, Baker LS, Corman H, Shiono PH. The direct cost of low birth weight.
Future Child 1995:35-56.
13. WHO. Born too soon: The global action report on preterm birth. Switzerland: WHO
Press; 2012.
14. Cavallo MC, Gugiatti A, Fattore G, Gerzelli S, Barbieri D, Zanini R. Cost of care and
social consequences of very low birth weight infants without premature-related
morbodity. Italian J Pediatr 2015;41:1-12.
15. Lopez NB, Choonara I. Can we reduce the number of low-birth-weight babies? The
Cuban experience. Neonatology 2009;95:193-7.
16. Badan Pusat Statistik. Survei sosial dan ekonomi nasional. Jakarta; BPS2005.
17. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2013.
18. Rundjan L, Rohsiswatmo R. Resusitasi Neonatus UKK Neonatologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia 2017.
19. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2007.
20. Lasswell SM, Barfield WD, Rochat RW, Blackmon L. Perinatal regionalization for
very low-birth-weight and very preterm infants: a meta-analysis. JAMA
2010;304:9921000.
142
21. Mercier CE, Dunn MS, Ferrelli KR, Howard DB, Soll RF. Vermont Oxford Network
ELBW Infant Follow-Up Study Group. Neurodevelopmental outcome of extremely
low birth weight infants from the Vermont Oxford network: 1998–2003. Neonatology
2010;97:32938.
22. Ribeiro LA, Zachrisson HD, Schjolberg S, Aase H, Rohrer-Baumgartner N, Magnus P.
Attention problems and language development in preterm low-birth-weight children:
Crosslagged relations from 18 to 36 months. BMC Pediatr 2011;11:59.
23. Robertson CMT, Howarth TM, Bork DLR, Dinu IA. Permanent bilateral sensory and
neural hearing loss of children after neonatal intensive care because of extreme
prematurity: a thirty-year study. Pediatrics 2009;123:e797-07.
24. Hahn WH, Chang JY, Chang YS, Shim KS, Bae CW. Recent trends in neonatal
mortality in very low birth weight Korean infants: in comparison with Japan and the
USA. J Korean Med Sci 2011;26:467-73.
25. Martin JA, Kung HC, Mathews TJ, et al. Annual summary of vital statistics: 2006.
Pediatrics 2008;121:788-801.
26. Pei L, Chen G, Mi J, et al. Low birth weight and lung function in adulthood:
retrospective cohort study in China, 1948–1996. Pediatrics 2010;125:e899-905.
27. Manktelow BN, Draper ES, Annamalai S, Field D. Factors affecting the incidence of
chronic lung disease of prematurity in 1987, 1992, and 1997. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2001;85:F33-5.
28. Kwinta P, Klimek M, Drozdz D, et al. Assessment of long-term renal complications in
extremely low birth weight children. Pediatr Nephrol 2011;26:1095-103.
29. Mackay CA, Ballot DE, Cooper PA. Growth of a cohort of very low birth weight
infants in Johannesburg, South Africa. BMC Pediatr 2011;11:50.
30. Aarnoudse-Moens CS, Weisglas-Kuperus N, Van-Goudoever JB, Oosterlaan J. Meta-
analysis of neurobehavioral outcomes in very preterm and/or very low birth weight
children. Pediatrics 2009;124:717-28.
31. Hameed B, Shyamanur K, Kotecha S, et al. Trends in the incidence of severe
retinopathy of prematurity in a geographically defined population over a 10-year
period. Pediatrics 2004;113:1653-7.
32. Stephens BE, Bann CM, Poole WK, Vohr BR. Neurodevelopmental impairment:
predictors of its impact on the families of extremely low birth weight infants at 18
months.
Infant Ment Health J 2008;29:570-87.
33. Stark AR. Levels of neonatal care. Pediatrics 2004;114:1341-7.
34. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians and
Gynecologists. Guidelines for perinatal care: Amer Academy of Pediatrics; 2002.
35. Committee on Fetus and Newborn. Levels of neonatal care. Pediatrics 2012;130:587.
36. Gill AB, Bottomley L, Chatfield S, Wood C. Perinatal transport: problems in neonatal
intensive care capacity. Arch Dis Child Fetal NeonataL Ed 2004;89:F220-3.
37. Cusack JM, Field DJ, Manktelow BN. Impact of service changes on neonatal transfer
patterns over 10 years. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2007;92:F181-4.
38. Karlsen K. Post-Resuscitation/Pre-Transport Stabilization Care of Sick Infants,
Guidelines for Neonatal Healthcare Providers. Utah: The S.T.A.B.L.E; 2006.
39. Enweronu-Laryea C, Nkyekyer K, Rodrigues OP. The impact of improved neonatal
intensive care facilities on referral pattern and outcome at a teaching hospital in Ghana.
J Perinatol 2008;28:561-5.
40. Ballot DE, Chirwa TF, Cooper PA. Determinants of survival in very low birth weight
neonates in a public sector hospital in Johannesburg. BMC Pediatr 2010;10:30.
143
41. Vonderweid UD, Carta A, Chiandotto V, et al. Italian Multicenter Study on Very Low
Birth Weight Babies. Ann Ist Super Sanita 1991;27:633-50.
42. Vakrilova L, Kalaĭdzhieva M, Slŭncheva B, Popivanova A, Metodieva V, Garnizov T.
Resuscitation in very low birth weight and extremely low birth weight newborns in the
delivery room. Akush Ginekol (Mosk) 2002;41:18-23.
43. Basu S, Rathore P, Bhatia BD. Predictors of mortality in very low birth weight
neonates in India. Singapore Med J 2008;49:556.
44. Almeida MF, Guinsburg R, Martinez FE, et al. Perinatal factors associated with early
deaths of preterm infants born in Brazilian Network on Neonatal Research centers. J
Pediatr (Rio J) 2008;84:300-7.
45. Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. Survival and outcome of very low birth weight
infants born in a university hospital with level II NICU. J Med Assoc Thai
2007;90:1323. 46. Velaphi SC, Mokhachane M, Mphahlele RM, Beckh-Arnold E,
Kuwanda ML, Cooper PA. Survival of very-low-birth-weight infants according to
birth weight and gestational age in a public hospital. S Afr Med J 2005;95:504-9.
47. Tsou KI, Tsao PN. The morbidity and survival of very-low-birth-weight infants in
Taiwan. Acta Paediatr Taiwan 2003;44:349-55.
48. Anthony S, Den-Ouden L, Brand R, Verloove-Vanhorick P, Gravenhorst JB. Changes in
perinatal care and survival in very preterm and extremely preterm infants in The
Netherlands between 1983 and 1995. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2004;112:170-7.
49. Darlow BA, Cust AE, Donoghue DA. Improved outcomes for very low birthweight
infants: evidence from New Zealand national population based data. Arch Dis Child Fetal
and Neonatal Ed 2003;88:F23-8.
50. Cifuentes J, Bronstein J, Phibbs CS, Phibbs RH, Schmitt SK, Carlo WA. Mortality in
low birth weight infants according to level of neonatal care at hospital of birth. Pediatrics
2002;109:745-51.
51. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, et al. on behalf of the Neonatal Resuscitation
Chapter Collaborators. Part 7: neonatal resuscitation: 2015 International Consensus on
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with
Treatment Recommendations. Circulation 2015;132(suppl 1):S204-41.
52. Saugstad OD. New guidelines for newborn resuscitation. Acta Paediatr 2007;96:333-
7.
53. Verlato G, Grobber D, Drabo D, Chiandetti L, Drigo P. Guidelines for resuscitation in
the delivery room of extremely preterm infants J Child Neurol 2004:31-4.
54. Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, et al. Part 13: neonatal resuscitation: 2015
American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care Circulation 2015;132(suppl 2):S543-60.
55. Aziz K, Chadwick M, Baker M, Andrews W. Ante-and intra-partum factors that
predict increased need for neonatal resuscitation. Resuscitation 2008;79:444-52.
56. Zaichkin J, Weiner G, C M. Instructor manual for neonatal resuscitation. Pediatrics;
2011.
57. Kattwinkel J, Perlman JM, Aziz K, et al. Part 15: neonatal resuscitation: American
Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation 2010;122(18 suppl 3):S909-19.
58. Wylie J, Perlman JM, Kattwinkel J, et al. Part 11: neonatal resuscitation: 2010
International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular care Science With Treatment Recommendation. Circulation 2010:S516-
38.
59. Mariani G, Dik PB, Ezquer A, et al. Pre-ductal and post-ductal O2 saturation in
healthy term neonates after birth. J Pediatr 2007;150:418-21.
144
60. Vain NE, Szyld EG, Prudent LM, Wiswell TE, Aguilar AM, Vivas NI. Oropharyngeal
and nasopharyngeal suctioning of meconium-stained neonates before delivery of their
shoulders: multicentre, randomised controlled trial. The Lancet 2004;364:597-602.
61. Dannevig I, Solevåg AL, Saugstad OD, Nakstad B. Lung Injury in Asphyxiated
Newborn Pigs Resuscitated from Cardiac Arrest-The Impact of Supplementary Oxygen,
Longer Ventilation Intervals and Chest Compressions at Different Compression-to-
Ventilation Ratios. Open Respir Med J 2012;6:89.
62. Dannevig I, Solevåg AL, Sonerud T, Saugstad OD, Nakstad B. Brain inflammation
induced by severe asphyxia in newborn pigs and the impact of alternative resuscitation
strategies on the newborn central nervous system. Pediatr Res 2013;73:163.
63. Hemway RJ, Christman C, Perlman J. The 3: 1 is superior to a 15: 2 ratio in a
newborn manikin model in terms of quality of chest compressions and number of
ventilations. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 2012;Apr 1:fetalneonatal-2011.
64. Solevåg AL, Dannevig I, Wyckoff M, Saugstad OD, Nakstad B. Extended series of
cardiac compressions during CPR in a swine model of perinatal asphyxia. Resuscitation
2010;81:1571-6.
65. Solevåg AL, Dannevig I, Wyckoff M, Saugstad OD, Nakstad B. Return of
spontaneous circulation with a compression: ventilation ratio of 15: 2 versus 3: 1 in
newborn pigs with cardiac arrest due to asphyxia. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
2011:fetalneonatal200386.
66. Solevåg AL, Madland JM, Gjærum E, Nakstad B. Minute ventilation at different
compression to ventilation ratios, different ventilation rates, and continuous chest
compressions with asynchronous ventilation in a newborn manikin. Scand J Trauma
Resus 2012;20:73.
67. Harrington DJ, Redman CW, Moulden M, Greenwood CE. The long-term outcome in
surviving infants with Apgar zero at 10 minutes: a systematic review of the literature and
hospital-based cohort. Am J Obstet Gynecol 2007;196:463.e1-5.
68. Kasdorf E, Laptook A, Azzopardi D, Jacobs S, Perlman JM. Improving infant
outcome with a 10 min Apgar of 0. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed
2014:fetalneonatal-2014306687.
69. Laptook AR, Shankaran S, Ambalavanan N. Hypothermia subcommittee of the
NICHD neonatal research network outcome of term infants using apgar scores at 10
minutes following hypoxic–ischemic encephalopathy. Pediatrics 2009;124:1619-26.
70. Patel H, Beeby PJ. Resuscitation beyond 10 minutes of term babies born without signs
of life. J Paediatr Child Health 2004;40:136-8.
71. Sarkar S, Bhagat I, Dechert RE, Barks JD. Predicting death despite therapeutic
hypothermia in infants with hypoxic-ischaemic encephalopathy. Arch Dis Child Fetal
and Neonatal Ed 2010;95:F423-8.
72. Reynolds R, Pilcher J, Ring A, Johnson R, McKinley P. The Golden Hour: care of the
LBW infant during the first hour of life one unit's experience. Neonatal Netw
2009;28:21119.
73. Vento M, Cheung PY, Aguar M. The first golden minutes of the extremely-
lowgestational-age neonate: a gentle approach. Neonatology 2009;95:286-98.
74. The Royal Women's Hospital. Intensive and special care nurseries,clinician's
handbook. Melbourne: The Royal Women's Hospital; 2007.
75. Gungor S, Kurt E, Teksoz E, Goktolga U, Ceyhan T, Baser I. Oronasopharyngeal
suction versus no suction in normal and term infants delivered by elective cesarean
section: a prospective randomized controlled trial. Gynecol Invest 2006;61:9-14.
145
76. Waltman PA, Brewer JM, Rogers BP, May WL. Building evidence for practice: a
pilot study of newborn bulb suctioning at birth. J Midwifery Womens Health 2004;49:32-
8.
77. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline: Intrapartum Fetal
Surveillance. State of Queensland2010.
78. Richmond S, Wyllie J. European Resuscitation Council guidelines for resuscitation
2010. Resuscitation 2010;81:1389-99.
79. Chen M, Mcniff C, Madan J, Goodman E, Davis JM, Dammann O. Maternal obesity
and neonatal Apgar scores. J Matern Fetal Neonatal Med 2010;23:89-95.
80. Doyle LW. Outcome at 5 years of age of children 23 to 27 weeks' gestation: refining
the prognosis. Pediatrics 2001;108:134-41.
81. Marlow N, Wolke D, Bracewell MA, Samara M. Neurologic and developmental
disability at six years of age after extremely preterm birth. N Engl J Med 2005;352:9-19.
82. De-Leeuw R, Cuttini M, Nadai M, et al. Treatment choices for extremely preterm
infants: an international perspective. J Pediatr 2000;137:608-16.
83. Costeloe K, Hennessy E, A T Gibson, Marlow N, Wilkinson AR. EPICure Study Group.
The EPICure study: outcomes to discharge from hospital for infants born at the threshold of
viability. Pediatrics 2000;106:659-71.
84. Field DJ, Dorling JS, Manktelow BN, Draper ES. Survival of extremely premature babies
in a geographically defined population: prospective cohort study of 1994-9 compared with
2000-5. BMJ 2008;336:1221-3.
85. Casalaz DM, Marlow N, Speidel BD. Outcome of resuscitation following unexpected
apparent stillbirth. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 1998;78:F112-5.
86. Laptook AR, Shankaran S, Ambalavanan N, et al. Outcome of term infants using apgar
scores at 10 minutes following hypoxic-ischemic encephalopathy. Pediatrics 2009;124:1619-
26.
87. Chamnanvanakij S, Perlman JM. Outcome following cardiopulmonary resuscitation in the
neonate requiring ventilatory assistance. Resuscitation 2000;45:173-80.
88. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan
resusitasi neonatus. Jakarta: Perinasia; 2006.
89. Neoresus. Positive pressure ventilation device. (Accessed Aug 24, 2011, at
http://www.neoresus.org.au/pages/LM1-7-Breathing.php.)
90. Armanian AM, Badiee Z. Resuscitation of preterm newborns with low concentration
oxygen versus high concentration oxygen. J Res Pharm Pract 2012;1:25.
91. Kapadia VS, Chalak LF, Sparks JE, Allen JR, Savani RC, Wyckoff MH. Resuscitation of
preterm neonates with limited versus high oxygen strategy. Pediatrics 2013;132:e1488e96.
92. Lundstrøm KE, Pryds O, Greisen G. Oxygen at birth and prolonged cerebral
vasoconstriction in preterm infants. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 1995;73:F81-F6.
93. Rabi Y, Singhal N, Nettel-Aguirre A. Room-air versus oxygen administration for
resuscitation of preterm infants: the ROAR study. Pediatrics 2011:peds. 2010-3130.
94. Rook D, Schierbeek H, Vento M, et al. Resuscitation of preterm infants with different
inspired oxygen fractions. J Pediatr 2014;164:1322-26.e3.
95. Vento M, Moro M, Escrig R, et al. Preterm resuscitation with low oxygen causes less
oxidative stress, inflammation, and chronic lung disease. Pediatrics 2009;124:e439-49.
96. Wang CL, Anderson C, Leone TA, Rich W, Govindaswami B, Finer NN. Resuscitation of
preterm neonates by using room air or 100% oxygen. Pediatrics 2008;121:1083-9.
97. Neonatal Clinical Practice Guideline. Oxygen therapy in newborns. Winnipeg Regional
Health Authority; 2015.
98. Finer N, Saugstad O, Vento M, et al. Use of oxygen for resuscitation of the extremely low
birth weight infant. Pediatrics 2010;125:389-91.
146
99. Asikainen TM, White CW. Antioxidant defenses in the preterm lung: role for hypoxia-
inducible factors in BPD? Toxicol Appl Pharmacol 2005;203:177-88.
100. Vento M, Asensi M, Sastre J, Lloret A, García-Sala F, Viña J. Oxidative stress in
asphyxiated term infants resuscitated with 100% oxygen. J Pediatr 2003;142:240-6. 101. Bajaj
N, Udani RH, Nanavati RN. Room air vs. 100 per cent oxygen for neonatal resuscitation: a
controlled clinical trial. J Trop Pediatr 2005;51:206-11.
102. Vento M, Asensi M, Sastre J, Garcıa-Sala F, Pallardó FV, Vina J.
Resuscitation with room air instead of 100% oxygen prevents oxidative stress in
moderately asphyxiated term neonates. Pediatrics 2001;107:642-7.
103. Escrig R, Arruza L, Izquierdo I, et al. Achievement of targeted saturation
values in extremely low gestational age neonates resuscitated with low or high oxygen
concentrations: a prospective, randomized trial. Pediatrics 2008;121:875-81.
104. Saugstad OD, Ramji S, Soll RF, Vento M. Resuscitation of newborn infants
with 21% or 100% oxygen: an updated systematic review and meta-analysis.
Neonatology 2008;94:176-82.
105. Rabi Y, Rabi D, Yee W. Room air resuscitation of the depressed newborn: a
systematic review and meta-analysis. Resuscitation 2007;72:353-63.
106. Davis PG, Tan TA, O'Donnell CPF, Schulze A. Resuscitation of newborn
infants with 100% oxygen or air: a systematic review and meta-analysis. Lancet
2004;364:1329-33. 107. Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal
lung disease. Acta Paediatrica 2002;91:23-5.
108. Bell EF. Preventing necrotizing enterocolitis: what works and how safe?
Pediatrics 2005;115:173-4.
109. Stola A, Schulman J, Perlman J. Initiating delivery room
stabilization/resuscitation in very low birth weight (VLBW) infants with an FiO2 less
than 100% is feasible. J Perinatol 2009;29:548-52.
110. Lindner W, Voßbeck S, Hummler H, Pohlandt F. Delivery room management
of extremely low birth weight infants: spontaneous breathing or intubation? Pediatrics
1999;103:961-7.
111. Finer NN, Carlo WA, Duara S, et al. Delivery room continuous positive
airway pressure/positive end-expiratory pressure in extremely low birth weight infants: a
feasibility trial. Pediatrics 2004;114:651-7.
112. Morley CJ, Davis PG, Doyle LW, Brion LP, Hascoet JM, Carlin JB. Nasal
CPAP or intubation at birth for very preterm infants. N Engl J Med 2008;358:700-8.
113. Support Study Group of the Eunice Kennedy Shriver NICHD Neonatal
Research Network. Early CPAP versus surfactant in extremely preterm infants. N Engl J
Med 2010;2010:1970-9.
114. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, et al. European consensus guidelines on
the management of respiratory distress syndrome-2016 update. Neonatology
2017;111:10725.
115. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, et al. European consensus guidelines on
the management of neonatal respiratory distress syndrome in preterm infants-2013
update. Neonatology 2013;103:353-68.
116. Papile LA, Baley JE, Benitz W, et al. Respiratory support in preterm infants
at birth. Pediatrics 2014;133:171-4.
117. Stevens TP, Blennow M, Myers EH, Soll R. Early surfactant administration
with brief ventilation vs. selective surfactant and continued mechanical ventilation for
preterm infants with or at risk for respiratory distress syndrome. Cochrane Libr 2007.
147
118. Göpel W, Kribs A, Ziegler A, et al. Avoidance of mechanical ventilation by
surfactant treatment of spontaneously breathing preterm infants (AMV): an open-label,
randomised, controlled trial. Lancet 2011;378:1627-34.
119. Dargaville PA, Aiyappan A, Paoli AGD, et al. Minimally-invasive surfactant
therapy in preterm infants on continuous positive airway pressure. Arch Dis Child Fetal
and Neonatal Ed 2013;98:F122-6.
120. Göpel W, Kribs A, Härtel C, et al. Less invasive surfactant administration is
associated with improved pulmonary outcomes in spontaneously breathing preterm
infants. Acta Paediatr 2015;104:241-6.
121. Kribs A, Roll C, Göpel W, et al. Nonintubated surfactant application vs
conventional therapy in extremely preterm infants: a randomized clinical trial. JAMA
Pediatr 2015;169:723-30.
122. Kanmaz HG, Erdeve O, Canpolat FE, Mutlu B, Dilmen U. Surfactant
administration via thin catheter during spontaneous breathing: randomized controlled
trial. Pediatrics 2013;131:e502-9.
123. More K, Sakhuja P, Shah PS. Minimally invasive surfactant administration in
preterm infants: a meta-narrative review. JAMA Pediatr 2014;168:901-8.
124. Minocchieri S, Knoch S, Schoel WM, Ochs M, Nelle M. Nebulizing
poractant alfa versus conventional instillation: Ultrastructural appearance and
preservation of surface activity. Pediatr Pulmonol 2014;49:348-56.
125. Ardell S, Pfister RH, Soll R. Animal derived surfactant extract versus protein
free synthetic surfactant for the prevention and treatment of respiratory distress syndrome.
Cochrane Database Syst Rev 2015;8.
126. Curstedt T, Halliday HL, Speer CP. A unique story in neonatal research: the
development of a porcine surfactant. Neonatology 2015;107:321-9.
127. Singh N, Halliday HL, Stevens TP, Soll R. Comparison of animal-derived
surfactants for the prevention and treatment of respiratory distress syndrome in preterm
infants. status and date: New, published in 2015.
128. Soll R. Early versus delayed selective surfactant treatment for neonatal
respiratory distress syndrome. Cochrane Database Syst Rev 1999;4.
129. Dargaville PA, Aiyappan A, De-Paoli AG, et al. X Continuous positive
airway pressure failure in preterm infants: incidence, predictors and consequences.
Neonatology 2013;104:8-14.
130. Soll R, Özek E. Multiple versus single doses of exogenous surfactant for the
prevention or treatment of neonatal respiratory distress syndrome. Cochrane Libr 2009.
131. Dani C, Corsini I, Poggi C. Risk factors for intubation–surfactant–extubation
(INSURE) failure and multiple INSURE strategy in preterm infants. Early Hum Dev
2012;88:S3-4.
132. Finer NN, Rich W, Craft A, Henderson C. Comparison of methods of bag and
mask ventilation for neonatal resuscitation. Resuscitation 2001;49:299-305.
133. Milner A. The importance of ventilation to effective resuscitation in the term
and preterm infant. In: Proceedings of the Seminars in Neonatology. 2001. p. 219-24.
134. Capasso L, Capasso A, Raimondi F, Vendemmia M, Araimo G, Paludetto R. A
randomized trial comparing oxygen delivery on intermittent positive pressure with nasal
cannulae versus facial mask in neonatal primary resuscitation. Acta Paediatr
2005;94:197200.
135. Dodman N. Warm, pink and sweet. Perinatal outreach program of Southwestern
Ontario 2003.
136. Salhab WA, Wyckoff MH, Laptook AR, Perlman JM. Initial hypoglycemia and
neonatal brain injury in term infants with severe fetal acidemia. Pediatrics 2004;114:3616.
148
137. Husaini L, Rohsiswatmo R, Oswari H. X Efektivitas T-Piece resuscitator
sebagai pengganti penggunaan continous positive airway pressure (CPAP) dini di kamar
bersalin dalam menurunkan kegagalan CPAP pada bayi prematur dengan gangguan napas
[PhD thesis]. 2011; .
138. Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal lung disease.
Acta Paediatr 2002;91:23-5.
139. Bisquera JA, Cooper TR, Berseth CL. Impact of necrotizing enterocolitis on
length of stay and hospital charges in very low birth weight infants. Pediatrics
2002;109:423-8. 140. Altuncu E, Özek E, Bilgen H, Topuzoglu A, Kavuncuoglu S.
Percentiles of oxygen saturations in healthy term newborns in the first minutes of life. Eur J
Pediatr 2008;167:6878.
141. American Academy of Pediatrics. The action plan. (Accessed Aug 08, 2011, at
www.helpingbabiesbreathe.org/docs/ActionPlan.pdf.)
142. Ondoa-Onama C, Tumwine JK. Immediate outcome of babies with low Apgar
score in Mulago Hospital, Uganda. East Afr Med J 2003;80:22-9.
143. Adamkin DH. Neonatal hypoglycemia. Seminars in Fetal and Neonatal Medicine;
Elsevier; 2017. p. 36-41.
144. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology: management,
procedures, on-call problems, diseases, and drugs: McGraw-Hill Education Medical; 2013.
145. WHO. Managing newborn-problems: a guide for doctors, nurses and midwives. . Geneva:
World Health Organization; 2003.
146. Adamkin DH. Postnatal glucose homeostasis in late-preterm and term infants.
Pediatrics 2011;127:575-9.
147. Rozance PJ, Hay WW. New approaches to management of neonatal hypoglycemia.
Matern Health Neonatol Perinatol 2016;2:3.
148. Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR. Hypoglycemia and hyperglycemia. 6th ed:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
149. Sweet CB, Grayson S, Polak M. Management strategies for neonatal hypoglycemia.
J Pediatr Pharmacol Ther 2013;18:199-208.
150. Soll RF. Heat loss prevention in neonates. J Perinatol 2008;28:S57-9.
151. Knobel RB, Wimmer JE, Holbert D. Heat loss prevention for preterm infants in the
delivery room. J Perinatol 2005;25:304-8.
152. WHO. Pregnancy, childbirth, postpartum and newborn care: a guide for essential
practice. . Geneva: World Health Organization; 2003.
153. Flenady V, Woodgate PG. Radiant warmers versus incubators for regulating body
temperature in newborn infants. Cochrane Libr 2003.
154. Suradi R, Rohsiswatmo R, Dewi R, Endyarni B, Rustina Y. Health Technology
Assesment Indonesia. Perawatan bayi baru lahir (BBLR) dengan metode kangguru.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.
155. Conde-Agudelo A, Belizan JM, Diaz-Rossello. Kangaroo mother care to reduce
morbidity and mortality in low birthweight infants. Cochrane Database Syst Rev 2011.
156. Asia PE cling wrap. at http://www.asoa.ru/en/Productinfo/5347552.html.)
157. Newborn services clinical guideline at
http://www.asia.ru/en/Productinfo/534752.html.)
158. McCall EM, Alderdice FA, Halliday HL, Jenkins JG, Vohra S. Interventionist to
prevent hypothermia at birth in preterm and/or low birth weight infants.
Cochrane Database Syst Rev 2003.
159. Kent AL, Williams J. Increasing ambient operating theatre temperature and
wrapping in polyethylene improves admission temperature in premature infants. J
Paediatr Child Health 2008;44:325-31.
149
160. The International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR). Consensus on
science with treatment recommendations for pediatric and neonatal patients:
pediatric basic and advanced life support. Pediatrics 2006;117:e955-7.
161. Te-Pas AB, Lopriore E, Dito I, Morley CJ, Walther FJ. Humidified and heated air
during stabilization at birth improves temperature in preterm infants. Pediatrics
2010;125:e1427-32.
162. Kaushal M, Agarwal R, Singal A, et al. Cling wrap, an innovative intervention for
temperature maintenance and reduction of insensible water loss in very low-
birthweight babies nursed under radiant warmers: a randomized, controlled trial.
Ann Trop Paediatr 2005;25:111-18.
163. WHO Collaborating Center for Training and Research in Newborn Care. NNF
Teaching Aids: Respiratory Stress in a Newborn Baby. Department of Pediatrics,
Division of Neonatology, WHO-CC for Training and Research in Newborn Care,
2005. (Accessed Sept
22, 2011, at http://www.newbornwhocc.org/pdf/teaching-aids/respiratorydistress.pdf.)
164. Mathai SS, Raju U, Kanitkar M. Management of respiratory distress in the newborn.
Med J Armed Forces India 2007;63:269.
165. Respiratory assessment of the newborn (Accessed Sept 22, 2011, at
http://puffnicu.tripod.com/rd.html.)
166. Fauroux B, Clément A. Requisite for stringent control of oxygen therapy in the
neonatal period. Eur Respir J 2007.
167. Jobe AH, Kallapur SG. Long term consequences of oxygen therapy in the
neonatal period. In: Proceedings of the Seminars in Fetal and Neonatal Medicine; 2010:
Elsevier. p. 230-5.
168. Juniatiningsih A. Oxygen therapy in neonatal: how to implement with limited
facilities. In: Proceedings of the 2nd Indonesia National Workshop & Seminar on ROP:
how to prevent retinopathy of prematuriy with limited facilities in Indonesia 2010;
Surabaya. 169. Saugstad OD, Aune D. Oxygenation of extremely low birth weight infants: a
metaanalysis and systematic review of the oxygen saturation target studies. Neonatology
2014;105:55-63.
170. The Royal Children's Hospital Melbourne. Clinical Guideline (Hospital). at
http://www.rch.org.au/rchcpg/indexx.cfm?doc_id=135531.)
171. Myers TR. AARC Clinical Practice Guideline: Selection of an oxygen delivery
device for neonatal and pediatric patients Respir Care 2002:707-16.
172. STOP-ROP Multicenter Study Group. Supplemental therapeutic oxygen for
prethreshold retinopathy of prematurity (STOP-ROP), a randomized, controlled trial. I:
Primary outcomes. Pediatrics 2000;105:295-310.
173. Askie LM, Henderson-Smart DJ, Irwig L, Simpson JM. Oxygen-saturation targets
and outcomes in extremely preterm infants. N Engl J Med 2003;349:959-7.
174. STOP-ROP effective FiO2 conversion tables for infants on nasal canula. (Accessed
Aug 24, 2011, at http://pub.emmes.com/study/rop/FiO2table.pdf.)
175. Askie LM, Henderson‐Smart DJ, Ko H. Cochrane review: Restricted versus liberal
oxygen exposure for preventing morbidity and mortality in preterm or low birth weight infants.
Evid‐Based Child Health 2010;5:371-413.
176. Saugstad OD. Oxidative stress in the newborn–a 30-year perspective. Neonatology
2005;88:228-36.
177. Saugstad OD. Oxygen and oxidative stress in bronchopulmonary dysplasia J
Perinat Med 2010;38:571-7.
178. Wardle SP, Drury J, Garr R, Weindling AM. Effect of blood transfusion on lipid
peroxidation in preterm infants. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2002;86:F46-8. 179. Lavoie
150
PM, Lavoie JC, Watson C, Rouleau T, Chang BA, Chessex P. Inflammatory response in
preterm infants is induced early in life by oxygen and modulated by total parenteral nutrition.
Pediatr Res 2010;68:248-51.
180. Chen ML, Guo L, Smith LE, Dammann CE, Dammann O. High or low oxygen
saturation and severe retinopathy of prematurity: a meta-analysis. Pediatrics
2010;125:e1483-92. 181. Saugstad OD, Aune D. In search of the optimal oxygen
saturation for extremely low birth weight infants: a systematic review and meta-analysis.
Neonatology 2011;100:1-8.
182. Askie LM, Henderson‐Smart DJ. Gradual versus abrupt discontinuation of oxygen
in preterm or low birth weight infants. Cochrane Libr 2001.
183. Beveridge CJ, Wilkinson AR. Sodium bicarbonate infusion during resuscitation of
infants at birth. Cochrane Libr 2006.
184. Osborn DA, Evans N. Early volume expansion for prevention of morbidity and
mortality in very preterm infants. Cochrane Database Syst Rev 2004;2.
185. Osborn D, Evans N, Kluckow M. Randomized trial of dobutamine versus
dopamine in preterm infants with low systemic blood flow. J Pediatr 2002;140:183-91.
186. Valverde E, Pellicer A, Madero R, Elorza D, Quero J, Cabañas F. Dopamine
versus epinephrine for cardiovascular support in low birth weight infants: analysis of systemic
effects and neonatal clinical outcomes. Pediatrics 2006;117:e1213-22.
187. Vohr B, Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal lung
disease. Acta Paediatr Suppl 2002:23-5.
188. Peterson BS, Vohr B, Staib LH, et al. Regional brain volume abnormalities and
longterm cognitive outcome in preterm infants. JAMA 2000;284:1939-47.
189. Mercer JS, Vohr BR, Erickson-Owens DA, Padbury JF, Oh W. Seven-month
developmental outcomes of very low birth weight infants enrolled in a randomized controlled
trial of delayed versus immediate cord clamping. J Perinatol 2010;30:11-6. 190. Aladangady
N, McHugh S, Aitchison TC, Wardrop CA, Holland BM. Infants' blood volume in a controlled
trial of placental transfusion at preterm delivery. Pediatrics 2006;117:93-8.
191. McDonald DJ, Middleton P. Effect of timing of umbilical cord clamping of
term infants on maternal and neonatal outcomes. Cochrane Database Syst Rev 2008.
192. Rabe H, Reynolds G, Diaz-Rossello J. A systematic review and meta-analysis
of a brief delay in clamping the umbilical cord of preterm infants. Neonatology
2008;93:13844.
193. Rabe H, Reynold G, Diaz-Rossello J. Early versus delayed umbilical cord
clamping in preterm infants. Cochrane Database Syst Rev 2004;4.
194. Airey RJ, Farrar D, Duley L. Alternative positions for the baby at birth before
clamping the umbilical cord. Cochrane Database Syst Rev 2010.
195. Ohlsson A, Shah SS. Ibuprofen for the prevention of patent ductus arteriosus in
preterm and/or low birth weight infants. Cochrane Libr 2011.
196. Moeslichan MZ, Sujono A, Kosim S, Gatot D, Indarso F. Pemberian
profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir. Health Technology Assesment 2003-2006
selected recommendations. Jakarta: Dirjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2006:1-19.
197. Puckett RM, Offringa M. Prophylactic vitamin K for vitamin K deficiency
bleeding in neonates. Cochrane Libr 2000.
198. Wilson AK, Martel IMJ, Saskatoon SK. Maternal Transport Policy. J Obstet
Gynecol Can 2005;27:956-58.
199. Hohlagschwandtner M, Husslein P, Weninger KKM, Nardi A, Langer M.
Perinatal mortality and morbidity. Comparison between maternal transport, neonatal
transport and inpatient antenatal treatment. Arch Gynecol Obstet 2001;265:113-18.
151
200. Hauspy J, Jacquemyn Y, Van-Reempts P, Buytaerta P, Vlieta JV. Intrauterine
versus postnatal transport of the preterm infant: a short-distance experience. Early Hum
Dev 2001;63:1-7.
201. Woodward GA, Insoft RM, Pearson-shaver AL, et al. The state of pediatric
interfacility transport: Consensus of the second national pediatric and neonatal inter-
facility transport medicine leadership conference. Pediatr Emerg Care 2002;1:38-43.
202. Simpson JH, Ahmed I, McLaren J, Skeoch CH. Use of nasal continuous
positive airway pressure during neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
2003;10:374-5. 203. Das UG, Leuthner SR. Preparing the neonate for transport. Pediatr
Clin North Am 2004;51:581-98.
204. Lim M, Ratnavel N. A prospective review of adverse events during interhospital
transfers of neonates by a dedicated neonatal transfer service. Crit Care Med 2008;9. 205.
Kempley, Baki, Hayter, Ratnavel, Cavazzoni, Reyes. Effect of a centralised transfer
service on characteristics of inter-hospital neonatal transfers. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2007;92:185-9.
206. McKay S, Cruickshanks J, Skeoch CH. Step by step guide: Transporting neonates
safely. J Neonatal Nurs 2003;1:9.
207. Kulshrestha A, Singh J. Interhospital and intrahospital patient transport: recent
concept. Indian J 2016;60:451-7.
208. Fenton AC, Leslie A, Skeoch CH. Optimising neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2004;89:F215-9.
209. Arad I, Baras M, Bar-Oz B, Gofin R. Neonatal transport of very low birth weight
infants in Jerussalem, revisited. IMAJ 2006;8:477-82.
210. Kumar PP, Kumar CD, Venkatlakshmi A. Long distance neonatal trasport-the need of
the hour. Indian Pediatr 2008;45:920-2.
211. Terrey A, Browning CK. Stabilising the newborn for transfer: Basic principles. Aust
Fam Physician 2008;37:510.
212. Tingay DG, Stewart MJ, Morley CJ. Monitoring of end tidal carbon dioxide and
transcutaneous carbon dioxide during neonatal transport. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2005;90:F523-6.
213. Lilley CD, Stewart M, Morley CJ. Respiratory function monitoring during neonatal
emergency transport. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2005;90:F82-3.
214. Dani C, Bertini G, Pezzati M, Cecchi A, Caviglioli C, Rubaltelli FF. Early extubation
and nasal continuous positive airway pressure after surfactant treatment for respiratory
distress syndrome among preterm infants< 30 weeks’ gestation. Pediatrics
2004;113:e5603.
215. Fowlie PW, Booth P, Skeoch CH. Clinical review moving the preterm infant. BMJ
2004;309:904-6.
216. Stroud MH, Trautman MS, Meyer K, Moss MM, Schwartz HP, Bigham MT. et al.
Pediatric and neonatal interfacility transport: results from a national consensus
conference. Pediatrics 2013;132:359-66.
217. Joshi M, Singh S, Negi A, Vyas T, Chourishi V, Jain A. Neonatal carrier: an easy to
make alternative device to costly transport chambers. J Indian Assoc Pediatr Surg
2010:1334.
218. Baxter C, Alberta E, Gorodzinsk FP. Temperature measurement in paediatrics.
Paediatr Child Health 2000;5(5):273-6.
219. Fairchild K, Sokora D, Scott J, Zanelli S. Therapeutic hypothermia on neonatal
transport: 4-year experience in a single NICU. J Perinatol 2010;30:324-9.
220. Strozik KS, Pieper CH, Roller J. Capillary refilling time in newborn babies: normal
values. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1997;76:F193-6.
152
221. Ambubag dewasa/ anak/ bayi. (Accessed Sept 04, 2011,
at
http://alatkesehatanjogja.com/produk-70-ambu-bag-dewasaanakbayi.html.)
222. Toko Medis Alat Kedokteran. (Accessed Sept 09, 2011,
at
http://www.tokomedis.com/kategori/20/Kedokteran.html.)
223. CVU4 Medin-Sindi, N-CPAP for infant and neonate (Accessed Aug 24, 2011, at
htp://indonetwork.co.id/cv_u4/1551683/medin-sindi-n-cpap-for-infant-
andneonate.htm.)
224. Prima Jaya Teknik. Pulse Oximeter. at
http://pratec.indonetwork.co.id/2047240/pulse-oximeter.htm.)
225. Nagar S. Long distance neonatal transport--the need of the hour-is it? Indian Pediatr
2009;46:267.
226. Alkes Online. Daftar Harga. (Accessed Aug 24, 2011, at http://alkesonline.com/daftar-
harga/.)
227. Peta Fajar Pahala. Daftar harga alat medis, alat kedokteran, alat kesehatan,
laboratorium. (Accessed Aug 24, 2011, at
http://petafajarpahala.blogspot.com/2010/02/harga-produk.html.)
228. Departemen Kesehatan. Daftar informasi harga peralatan kesehatan dan laboratorium
efektif 1 Januari 2005 s/d 31 Desember 2005. (Accessed Aug 24, 2011, at
http://www.depkes.go.id/downloads/yanfar/yanfar01.pdf.)
229. CVU4. Katalog produk infant incubator. (Accessed Sept 09, 2011, at
http://indonetwork.co.id/cv_u4/prod.)
230. CV Azza Medika. Perdagangan alat kesehatan. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://azzamedika.wordpress.com/.)
231. CV Duta Medica Sarana. Ventilator ICU, ICCU, NICU, PICU (bayi-anak dan dewasa)
"Galileo-Hamilton". (Accessed Aug 24, 2011, at
http://dumepower.indonetwork.co.id/2034930/ventilator-icu-iccu-nicu-bayi-anak-dandewasa-
galileo.htm.)
232. Sutanto. Dijual endotracheal tube. (Accessed Aug 23, 2011,
at http://www.bejubel.com/147541/jual-beli-kesehatan-perawatan-pribadi-
endotrachealtube-murah-dan-diskon.html.)
233. CV Amerta Pratama. Katalog produk: handscoon steril maxter. (Accessed Aug 23,
2011, at http://cvamerpratma.indonetwork.co.id/2227773/hanscoon-steril-maxter.htm.)
234. CV Dua Saudara Medika. Quality medical supplies at the right price. (Accessed Aug
23, 2011, at http://ikhwanfaisal29.blogspot.com/.)
235. Bali Chemist. Nama merk obat-obatan dalam alphabetical. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://www.balichemist.com/farmakologi_html.)
236. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan menteri kesehatan republik
Indonesia nomor: 1239/MENKES/SK/XI/2004 tentang harga jual obat generik.
(Accessed Aug 23, 2011, at
http://ropeg-kemenkes.or.id/documents/1sk_menkes1239.pdf.) 237. Puskesmas
Palaran. Bahan habis pakai dan topikal. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://puskesmaspalaran.wordpress.com/.)
238. PT Aura Prima. Aquadestilata.sterile/aquadest/air murni. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://auraprima.indonetwork.co.id/509029/aquadestilata-sterileaquadest-
airmurni.htm.)
239. Farmasiku. Pengganti cairan tubuh. at
http://www.farmasiku.com/index.php?target=categories&category_id=294.)
153
240. Alat Kesehatan Kedokteran. (Accessed Aug 23, 2011, at http://alatkesehatan.net/?
paged=7.)
241. Ambulans 118 24 jam (Accessed Aug 24, 2011, at
http://ambulans118.org/?page_id=178.)
242. Espromedical. (Accessed Aug 23, 2011, at http://www.esperomedical.com/.)
154
BAB I PENDAHULUAN
1.2 Permasalahan
Berbagai kendala dalam pencegahan dan penanganan asfiksia neonatorum
sering ditemukan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kendala tersebut
meliputi definisi asfiksia yang belum seragam sehingga menimbulkan kerancuan
155
dalam penegakan diagnosis dan tata laksana, petugas kesehatan yang kurang
terampil dalam melakukan resusitasi neonatus, serta peralatan resusitasi yang
kurang memadai di sebagian besar sarana pelayanan kesehatan. Sebagai upaya
mengatasi berbagai kendala tersebut, disusun suatu standar pedoman nasional
penanganan dan pencegahan asfiksia sebagai salah satu kebijakan kesehatan
nasional di Indonesia melalui buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
(PNPK) Asfiksia Neonatorum.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Menyusun suatu PNPK untuk membantu menurunkan angka kejadian dan
kematian bayi di Indonesia akibat asfiksia neonatorum
1.3.2 Tujuan khusus
1. Membuat pernyataan secara sistematis yang berdasarkan bukti ilmiah
(scientific evidence) untuk membantu dokter, bidan, dan perawat
dalam hal pencegahan dan tata laksana asfiksia neonatorum.
2. Memberikan rekomendasi berbasis bukti bagi fasilitas pelayanan
kesehatan primer, sekunder, dan tersier serta penentu kebijakan untuk
penyusunan protokol setempat atau Panduan Praktik Klinis (PPK) dengan
melakukan adaptasi sesuai PNPK.
1.4 Sasaran
1. Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses kelahiran bayi,
meliputi dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat diterapkan di
fasilitas pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier.
2. Penentu kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, serta
kelompok profesi terkait.
BAB II
METODOLOGI
156
neonatal asphyxia, birth asphyxia, atau perinatal asphyxia, dengan
batasan artikel yang dipublikasikan dalam 15 tahun terakhir.
157
BAB III
a. WHO
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir.11,12
b. National Neonatology Forum of India
Asfiksia merupakan keadaan yang ditandai dengan megapmegap dan
pernapasan tidak efektif atau kurangnya usaha napas pada menit
pertama setelah kelahiran.13
c. American College of Obstetric and Gynaecology (ACOG) dan
American Academy of Paediatrics (AAP)
Asfiksia merupakan kondisi terganggunya pertukaran gas darah yang
menyebabkan hipoksemia progresif dan
158
hiperkapnia dengan asidosis metabolik signifikan.14,15
159
Penelitian di Kabupaten Purworejo melaporkan 8 faktor risiko terkait
asfiksia, yaitu berat lahir rendah (OR = 12,23; 95% IK = 3,54- 42,29); ketuban
pecah dini (OR = 2,52; 95% IK = 1,13-5,63); partus lama (OR = 3,67; 95% IK = 1,66-
8,11); persalinan secara seksio sesarea (OR = 3,12; 95% IK = 1,04-9,35); usia ibu
<20 tahun atau >35 tahun (OR = 3,61; 95% IK = 1,23-10,60); riwayat obstetri
buruk (OR = 4,20; 95% IK = 1,05-16,76); kelainan letak janin (OR = 6,52; 95% IK =
1,07-39,79); dan status perawatan antenatal buruk (OR = 4,13; 95% IK = 1,65-
10,35).19
Intrapartum
• Penggunaan anestesi atau opiat18,21
• Partus lama13,15
• Persalinan sulit dan traumatik15
• Mekonium dalam ketuban
(meconium-stained amniotic fluid/MSAF)15,21
• Ketuban pecah dini21
• Induksi oksitosin13,15
• Kompresi tali pusat18
• Prolaps tali pusat13,21
• Trauma lahir18
Faktor janin
Antenatal (intrauterin) • Malpresentasi (misal sungsang, distosia bahu)15,21
• Prematuritas13,15,21
• Bayi berat lahir rendah (BBLR)13,15
• Pertumbuhan janin terhambat (PJT)13,15
• Anomali kongenital15,18
• Pneumonia intrauterin18
• Aspirasi mekonium yang berat18
160
Pascanatal
• Sumbatan jalan napas atas18
• Sepsis kongenital18
161
Gambar 1. Patofisiologi asfiksia neonatorum
Reperfusi yang terjadi setelah fase primer akan mengembalikan sebagian
fungsi metabolisme, namun apabila cedera otak pada fase primer cukup berat,
kerusakan neuron akan kembali tejadi setelah 6 – 48 jam (fase sekunder). Fase
sekunder ditandai dengan penurunan ATP, aktivasi kaskade neurotoksik, dan
162
pelepasan radikal bebas tanpa disertai asidosis akibat disfungsi mitokondria.
Selain itu, cedera hipoksik-iskemik otak juga memicu produksi sitokin
proinflamasi yang semakin memperburuk cedera jaringan. Keseluruhan proses ini
memicu terjadinya apoptosis sel (secondary
energy failure).32,34,36,37
Beratnya kerusakan otak pada masa perinatal juga tergantung pada lokasi
dan tingkat maturitas otak bayi.38 Hipoksia pada bayi kurang bulan cenderung
lebih berat dibandingkan dengan bayi cukup bulan karena redistribusi aliran
darah bayi prematur kurang optimal, terutama aliran darah ke otak, sehingga
meningkatkan risiko gangguan hipoksik-iskemik, dan perdarahan
periventrikular.39,40 Selain itu, imaturitas otak berkaitan dengan kurangnya
ketersediaan antioksidan yang diperlukan untuk mendetoksifikasi akumulasi
radikal bebas.38
163
apoptosis neuron yang berlanjut setelah hipoksia berakhir. Tata laksana suportif
dalam periode 48 jam pertama pasca-asfiksia dapat mengurangi kerusakan
neuron di area penumbra ini.42
Mekanisme gagal napas pada bayi asfiksia dapat disebabkan oleh hipoksia,
iskemia, aspirasi mekonium, disfungsi ventrikel kiri, defek sistem koagulasi,
toksisitas oksigen, dan efek ventilasi mekanik.44,46 Selain itu, kombinasi asfiksia
dan aspirasi mekonium dapat memperberat rasio resistensi pulmonar dan
sistemik.
164
3.4.4 Sistem urogenital
Salah satu gangguan ginjal yang disebabkan oleh hipoksia berat adalah hypoxic-
ischemic acute tubular necrosis.48 Bayi dapat dinyatakan mengalami gagal
ginjal bila memenuhi 3 dari 4 kriteria sebagai berikut: pengeluaran urin <0,5
mL/kg/jam, kadar urea darah >40 mg/dL, kadar kreatinin serum >1 mg/dL, serta
hematuria atau proteinuria signifikan dalam 3 hari pertama kehidupan. 49 Pada
penelitian sebelumnya dikemukakan bahwa 42% bayi asfiksia mengalami
gangguan sistem ginjal.44 Data ini didukung oleh penelitian Gupta BD dkk. (2009)
yang menemukan 47,1% bayi asfiksia mengalami gagal ginjal dengan 78% kasus
di antaranya merupakan tipe non-oliguria dan 22% lainnya
merupakan tipe oliguria.49
165
mengalami hipoplasia saraf optik dengan beberapa derajat atrofi, dan 26% bayi
dengan atrofi optik terisolasi (isolated optic atrophy).55
166
3. warna kulit pucat, serta tidak ada tonus otot. Kriteria ini disadari
memiliki spesifisitas dan nilai prediktif kematian serta kerusakan
neurologis yang cenderung berlebihan (8 kali over diagnosis) bila
dibandingkankan dengan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena
itu, WHO juga memberikan penjelasan diagnostik untuk tingkat
pelayanan kesehatan komunitas berdasarkan kriteria ACOG/AAP
berikut ini.58
Tabel 2. Kriteria diagnosis asfiksia neonatorum berdasarkan ACOG/AAP dan standar emas
di tingkat pelayanan kesehatan
No Kriteria Standar baku emas
1. Bukti asidemia metabolik atau Analisis gas darah dengan pH < 7,0 dan defisit basa 12 mmol/L
campuran (pH < 7,0) dari darah tali dalam 60 menit pertama
pusat
3. Manifestasi neurologis Tingkat kesadaran, tonus, refleks isap, refleks primitif, refleks batang
(ensefalopati neonatus) otak, kejang, laju pernapasan
4.
Sumber: Lincetto O. Birth asphyxia- summary of the previous meeting and protocol
overview; 2007. (dengan modifikasi)
c. National Institute of Child Health and Human Development
(NICHD)
Kriteria asfiksia neonatorum berdasarkan NICHD adalah sebagai berikut.61
1. bukti pH <7.0 atau defisit basa >16 mmoL/L pada pemeriksaan
darah tali pusat dalam satu jam setelah kelahiran, atau
167
2. bukti riwayat episode hipoksik perinatal (deselerasi / bradikardia
berat pada janin, prolaps tali pusat, ruptur tali pusat, solusio
plasenta, ruptur uteri, trauma / perdarahan fetomaternal, atau
cardiorespiratory arrest) dan salah satu dari :
• nilai Apgar <5 pada menit ke-10, atau
• bayi masih memerlukan bantuan ventilasi selama
>10 menit bila pH darah tali pusat 7,01 - 7,15 dan defisit basa
10 - 15,9 mmoL/L atau pada keadaan pemeriksaan gas darah
tidak tersedia.
d. India
India dahulu hanya menggunakan nilai Apgar menit pertama, kini
menggunakan 3 dari 4 kriteria diagnosis asfiksia mengacu ke ACOG / AAP,
berupa : 42,62
1. pH analisis gas darah <7,2 dalam 1 jam pertama kehidupan,
168
No Fasilitas ideal Fasilitas terbatas
*keempat kriteria harus terpenuhi *minimal kedua kriteria harus terpenuhi dengan
ketidaktersediaan pemeriksaan analisis gas darah
1. • Bukti asidosis metabolik atau campuran (pH <7.0) Bukti riwayat episode hipoksik perinatal (misal
pada pemeriksaan analisis gas darah tali pusat episode gawat janin)
atau
• Defisit basa 16 mmol/L dalam 60 menit pertama
2. Nilai Apgar <5 pada menit ke-10, • Nilai Apgar <5 pada menit ke-10, atau
• Bayi masih memerlukan bantuan
ventilasi selama >10 menit
3. Manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia atau Manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia
koma (ensefalopati neonatus); atau koma (ensefalopati neonatus)
169
Informasi yang perlu diketahui dalam proses persalinan,
antara lain :66-67
170
bayi, memakaikan plastik, serta memantau dan melakukan intervensi
pada ventilasi (memperhatikan pengembangan dada bayi, melakukan
VTP, memasang continuous positive airway pressure (CPAP), dan
intubasi bila diperlukan).
171
B
Ruang resusitasi sebaiknya berada di dekat kamar bersalin atau kamar operasi
sehingga tim resusitasi dapat memberikan bantuan dengan cepat dan efisien.
Persiapan ruang resusitasi meliputi suhu ruangan yang cukup hangat untuk
mencegah kehilangan panas tubuh bayi, pencahayaan yang cukup untuk menilai
status bayi, serta cukup luas untuk memudahkan tim berkerja. 70 Diharapkan
suhu tubuh bayi akan selalu berkisar antara 36,5-37oC. Selain itu, penolong harus
mempersiapkan inkubator transpor untuk memindahkan bayi ke ruang
perawatan.66
172
Indonesia. Penolong resusitasi dapat menggunakan kantung plastik pada
bayi >32 minggu pada kondisi tertentu apabila dirasakan perlu, seperti
pada suhu kamar bersalin yang tidak dapat diatur sehingga suhu ruangan
sangat dingin.
b.
a b
Gambar 4. Peralatan tata laksana jalan napas (airway) a. suction tekanan negatif, b.
kateter suction berbagai ukuran, c. aspirator mekonium.
173
endotracheal tube (ETT) ukuran 2,5; 3,0; 3,5; dan 4. Secara praktis, bayi
dengan berat lahir <1 kg (<28 minggu), 1-2 kg,
a b c
Mixsafe®).
174
a b c
a b
175
g. Pulse oxymetri
3.6.6 Resusitasi
Resusitasi neonatus merupakan suatu alur tindakan yang berkesinambungan,
diawali dengan melakukan evaluasi, mengambil keputusan, dan melakukan
tindakan resusitasi.74 Sekitar 10% dari 120 juta kelahiran bayi memerlukan
bantuan untuk memulai napas dan hanya 1% bayi membutuhkan resusitasi lebih
lanjut.72-73 Resusitasi dilakukan apabila bayi tidak bernapas secara spontan dan
adekuat saat lahir dengan menilai komponen klinis bayi. Berikut ini merupakan
penjelasan dari masing-masing komponen penilaian.
176
yang lahir dalam keadaan asfiksia dapat mengalami apne atau
pernapasan megapmegap, namun dapat pula bernapas spontan disertai
tanda gawat napas atau mengalami sianosis persisten. Tanda gawat napas
meliputi napas cuping hidung, retraksi dinding dada, atau suara merintih.
Tanda klinis ini menunjukkan bayi mengalami kesulitan untuk
mengembangkan paru. Sianosis persisten (dengan FiO2 100%) juga dapat
disebabkan oleh kelainan di luar paru. Keadaan yang berbeda tersebut
membutuhkan tata laksana ventilasi yang berbeda pula.7
• Tonus dan respons terhadap stimulasi. Bayi asfiksia memiliki
tonus otot yang lemah dan gerakan otot terbatas, sehingga memerlukan
berbagai stimulasi ringan. Stimulasi termal dengan mengeringkan bayi
dan stimulasi mekanik dengan menepuk telapak kaki bayi akan
membantu merangsang pernapasan bayi serta meningkatkan LJ.
Rangsangan berlebihan seperti memukul bokong dan pipi tidak perlu
dilakukan karena dapat mencederai bayi. Bila bayi tidak memperlihatkan
respons perbaikan terhadap stimulasi ringan maka langkah selanjutnya
dalam resusitasi harus dilakukan.7
• Laju jantung (LJ), berkisar antara 100 - 160 kali permenit. Penilaian
LJ dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu meraba denyut nadi
perifer atau sentral, meraba denyut pembuluh darah umbilikus,
mendengarkan LJ dengan stetoskop atau dengan menggunakan pulse
oxymetri. Penggunaan pulse oxymetri dianggap paling akurat untuk
menilai LJ. Namun, fungsi pulse oxymetri sangat dipengaruhi oleh
cardiac output dan perfusi jaringan.7 Bila LJ sangat lemah dan perfusi
jaringan sangat buruk, pulse oxymetri tidak dapat berfungsi dengan
baik. Pada kasus ini, pemantauan LJ lebih baik dilakukan dengan monitor
EKG.71 Bila LJ menetap <100 kali per menit, oksigenasi jaringan akan
menurun sehingga mengakibatkan hipoksemia dan berakhir dengan
asidosis.
• Oksigenasi jaringan, dinilai menggunakan pulse oxymetri.
Penilaian dengan pulse oxymetri cenderung lebih akurat dibandingkan
berdasarkan warna kulit.76 Penggunaan pulse oxymetri sangat
177
direkomendasikan jika terdapat antisipasi resusitasi, VTP diperlukan lebih
dari beberapa kali pompa, sianosis menetap dengan intervensi, dan bayi
mendapat suplementasi oksigen. Pemantauan ini diperlukan agar oksigen
yang diberikan tidak berlebihan dan membahayakan bayi. Sensor pulse
oxymetri sebaiknya dipasang pada lokasi preduktal (pergelangan atau
telapak tangan kanan) untuk mencegah pengaruh shunting selama
periode transisi sirkulasi bayi. Pembacaan saturasi oksigen umumnya
dapat dilakukan mulai dari 90 detik setelah bayi lahir, namun perlu diingat
bahwa nilai saturasi oksigen tidak dapat dipercaya pada curah jantung
(cardiac output) dan perfusi kulit yang buruk.79 Saturasi normal saat
lahir bervariasi tergantung pada usia kehamilan bayi. Makin muda usia
gestasi makin lama bayi mencapai target saturasi normal. 80,81 Berikut ini
merupakan target saturasi oksigen bayi selama resusitasi.66
1 menit 60-65
2 menit 65-70
3 menit 70-75
4 menit 75-80
5 menit 80-85
10 menit 85-95
178
menit sampai menit ke-20.82 Penentuan nilai Apgar dapat dilihat pada
Tabel 5.
Bayi lahir
179
Asfiksia
Dilakukan Resusitasi
Usia 10 menit
Risiko EHI
Thompson score
Memenuhi EHI
Grading : EHI Sedang /EHI Berat
Passive Cooling
180
Pengisapan hanya dilakukan jika jalan napas mengalami
obstruksi. Bayi baru lahir bugar tidak membutuhkan
pengisapan hidung, mulut atau faring setelah lahir.
• Bila pernapasan bayi adekuat dan LJ >100 kali per menit, bayi menjalani
perawatan rutin.69
• Bila usaha napas bayi belum adekuat dan LJ <100 kali per menit, langkah
resusitasi dilanjutkan pada pemberian bantuan ventilasi (breathing).69
181
• Bayi bernapas spontan namun memiliki saturasi oksigen di bawah target
berdasarkan usia, suplementasi oksigen dapat diberikan dengan cara
sebagai berikut.71
• Bila bayi bernapas spontan namun disertai gawat napas, diperlukan CPAP
dengan tekanan positif akhir ekspirasi (positive end expiratory
pressure / PEEP) secara kontinu.69
Studi menunjukkan penggunaan CPAP dapat mempertahankan volume
residual paru, menghemat penggunaan surfaktan serta mempertahankan
keberadaan surfaktan di alveoli bayi.85 PEEP 2-3 cmH2O terlalu rendah
untuk mempertahankan volume paru dan cenderung menyebabkan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Begitu pula dengan PEEP yang
terlalu tinggi (>8 cmH2O) dapat menyebabkan pulmonary air leaks,
overdistensi paru, menghalangi aliran balik vena ke jantung, menurunkan
resistensi pembuluh darah pulmonar, serta menyebabkan resistensi
CO2.86 Oleh karena itu kesepakatan di Indonesia PEEP umumnya dimulai
dari 7 cmH2O. CPAP dianggap gagal apabila bayi tetap memperlihatkan
tanda gawat napas dengan PEEP sebesar 8 cmH2O dan FiO2 melebihi 40%.
Penolong resusitasi perlu mempertimbangkan intubasi pada keadaan
ini.87
182
Tabel 6. Nilai Downe dan interpretasinya
0 1 2
Air entry Udara masuk Penurunan Tidak ada udara ringan udara masuk masuk
Interpretasi Nilai
183
b. Pemberian ventilasi (breathing)
air
O 21%
2
O reservoir
2
184
sering digunakan adalah Jackson-Rees. Jackson-Rees dapat digunakan
untuk memberikan PEEP yang terukur dan konstan, namun kurang
direkomendasikan untuk memberikan VTP pada neonatus. Hal ini disebabkan
oleh jarum manometer yang akan kembali ke angka nol saat balon kempis
setelah penolong menekan balon untuk memberikan PIP. Akibat hal ini, fungsi
PEEP hilang dan membutuhkan waktu untuk kembali ke tekanan yang telah
ditentukan.69
Contoh BTMS lainnya adalah balon anestesi. Suatu studi menunjukkan bahwa
penggunaan balon anestesi secara tepat tergantung pada kemampuan dan
kebiasaan penolong dalam menggunakan alat tersebut. Ketepatan pemberian
ventilasi akan lebih baik bila balon anestesi dikombinasikan dengan manometer
(ketepatan tekanan mencapai 72% dibandingkan hanya 18% bila balon anestesi
tidak dikombinasikan dengan manometer).91
Secara umum, PEEP dan PIP dapat diberikan secara bersamaan melalui
BMS (yang dikombinasikan dengan katup PEEP), BTMS, atau T-piece
resucitator. Dalam praktiknya, penggunaan BTMS kurang direkomendasikan
untuk memberikan VTP. Pemberian PEEP saja dapat menggunakan BTMS atau T-
piece resucitator.69
185
Tabel 7. Kelebihan dan kekurangan BMS, BTMS (Jackson Rees), dan T-piece
resuscitator
BMS BTMS T-piece resuscitator
(Jackson Rees)
Kelebihan • Cukup murah dan • Cukup murah dan • Memberikan PEEP dan CPAP dengan
umumnya tersedia di umumnya PEEP yang terukur
fasilitas terbatas tersedia di • Dapat juga digunakan untuk pemberian
• dapat memberikan fasilitas ventilasi tekanan positif (VTP) secara
VTP dan PEEP bila terbatas terukur
dikombinasikan • Dapat memberikan
dengan katup PEEP PEEP, CPAP, dan VTP
• Dilengkapi dengan secara terukur, bila
pressure relief dilengkapi dengan
valve untuk manometer
mencegah pemberian khusus
tekanan
berlebihan
Kekurangan • Mahal
• VTP dan PEEP • Butuh sumber gas
yang diberikan tidak • Kurang
terukur dianjurkan untuk
• Tidak dapat memberikan pemberian VTP
CPAP • Butuh sumber
gas
186
Catatan
Khusus Mixsafe®:
187
Setiap penolong resusitasi harus memperhatikan kenaikan saturasi selama
pemberian oksigen. Pada bayi asfiksia, kenaikan saturasi oksigen harus bertahap
(tidak boleh mendadak) sehingga penolong sebaiknya mengoptimalkan ventilasi
terlebih dahulu sebelum menaikkan konsentrasi oksigen menjadi 100%, kecuali
pada keadaan tertentu.
• Saturasi oksigen <70% pada menit kelima atau <90% pada menit ke-10
• LJ <100 kali per menit setelah pemberian VTP efektif selama 60 detik
• Dilakukan kompresi dada
Suplementasi oksigen di fasilitas lengkap dapat dilakukan dengan campuran
oksigen dan udara tekan menggunakan oxygen blender.
Pada fasilitas terbatas, campuran oksigen dan udara tekan dapat diperoleh
dengan menggunakan :69
a b c
188
Gambar 14. a. Sumber oksigen dengan udara bertekanan yang dihubungkan dengan
konektor Y, b. Konsentrator oksigen, c. Mixsafe®
189
Pemberian oksigen dapat ditingkatkan hingga mencapai 100%
bila resusitasi awal dengan udara ruangan gagal
• Lanjutkan VTP
L naik Dada • Lakukan penilaian kedua
J mengembang (second assessment
) 15
• Lanjutkan VTP
Dada • Lakukan penilaian kedua
mengembang (secondassessment
) 15
L tidak naik
J Dada tidak Koreksi ventilasi (SR
•
mengembang IBTA) sampai dada
mengembang
• Lanjutkan VTPini
• Lakukan penilaian
kedua (second
190
Penilaiankedua VTP
Indikasi kompresi dada adalah LJ kurang dari 60 kali per menit (melalui auskultasi
atau palpasi pada pangkal tali pusat) setelah pemberian 30 detik VTP yang
adekuat.73,93 Kompresi dada bertujuan mengembalikan perfusi, khususnya
perfusi ke otak, memperbaiki insufisiensi miokardium terkait asidemia,
vasokonstriksi perifer, dan hipoksia jaringan. 93 Rasio kompresi dada dengan
ventilasi adalah 3:1.79
Kompresi dada dapat dilakukan dengan teknik dua jari (jari telunjuk-jari tengah)
dan teknik dua ibu jari. Teknik yang dianjurkan yaitu menggunakan teknik dua ibu jari
(two thumb-encircling hands technique) dengan jari-jari tangan lain melingkari
dada dan menyanggah tulang belakang. 73 Kedua ibu jari diletakkan pada sepertiga
bawah sternum, di bawah garis imajiner yang menghubungkan kedua puting,
dengan kedalaman sepertiga diameter anteroposterior dada. 72,76,94
191
Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2014. 69
Teknik dua ibu jari lebih dianjurkan karena teknik ini dapat
memberikan tekanan puncak sistolik dan perfusi koroner yang
lebih baik pada bayi baru lahir.
192
• Epinefrin 1:10.000, dilakukan melalui jalur intravena atau intraoseus
dengan dosis 0,1-0,3 mL/kgBB (0,01-0,03 mg/kgBB). Pemberian melalui
jalur endotrakea kurang efektif, namun dapat dilakukan bila jalur
intravena / intraoseus tidak tersedia.71 Pemberian epinefrin melalui jalur
trakea membutuhkan dosis lebih besar, yaitu 0,5-1 ml/kgBB (0,05-0,1
mg/kgBB).71
• Cairan, diberikan bila terdapat kecurigaan kehilangan darah
fetomaternal akut akibat perdarahan vasa previa, perdarahan
pervaginam, laserasi plasenta, trauma, prolaps tali pusat, lilitan tali pusat,
perdarahan tali pusat, atau bayi memperlihatkan tanda klinis syok dan
tidak memberikan respons adekuat terhadap resusitasi. 71 Cairan yang
dapat digunakan antara lain darah, albumin, dan kristaloid isotonis,
sebanyak 10 ml/kgBB dan diberikan secara bolus selama 5-10 menit.
Pemberian cairan pengganti volume yang terlalu cepat dapat
menyebabkan perdarahan intrakranial, terutama pada bayi prematur. 23
Tata laksana hipotensi pada bayi baru lahir dengan menggunakan
kristaloid isotonis (normal saline) mempunyai efektivitas yang sama
dengan pemberian albumin dan tidak ditemukan perbedaan bermakna
dalam meningkatkan dan mempertahankan tekanan arterial rerata
(mean arterial pressure / MAP) selama 30 menit pertama
pascaresusitasi cairan.95
• Bikarbonat, bukan merupakan terapi rutin dalam resusitasi
neonatus.76,79
193
Pemberian epinefrin melalui pipa endotrakeal dapat dijadikan
pilihan bila jalur intravena tidak tersedia walaupun jalur ini
kurang efektif dibandingkankan jalur intravena.
194
Normal saline sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan
terapi awal hipotensi pada bayi baru lahir karena aman, murah,
dan mudah didapatkan.
195
196
3.7 Tata laksana pascaresusitasi di ruang perawatan
Bayi harus tetap dipertahankan stabil walaupun resusitasi telah berhasil
dilakukan dengan cara memindahkan bayi dari ruang resusitasi ke ruang
197
perawatan, sehingga bayi dapat dipantau secara ketat dan dilakukan intervensi
sesuai indikasi.21,100 Akronim STABLE (sugar and safe care, temperature,
airway, blood pressure, laboratorium working, dan emotional
support) dapat digunakan sebagai panduan selama perawatan pascaresusitasi
atau periode sebelum bayi ditranspor, baik ke ruang perawatan intensif maupun
rumah sakit rujukan.101
3.7.2 Temperature
Penelitian menunjukkan bahwa terapi hipotermia ringan (mild hypothermia)
dapat menurunkan risiko kematian dan disabilitas bayi akibat asfiksia secara
signifikan (lihat subbab mengenai terapi hipotermia).42 Terapi hipotermia secara
pasif dapat dimulai sejak di kamar bersalin atau ruang operasi pada bayi yang
diperkirakan mengalami asfiksia, dengan cara mematikan penghangat bayi dan
melepas topi bayi sesegera mungkin setelah target ventilasi efektif dan LJ
tercapai. Hal ini dapat dikerjakan secepat-cepatnya pada usia 10 menit dengan
memerhatikan kecurigaan asfiksia berdasarkan faktor risiko asfiksia, nilai Apgar
saat usia 5 menit dan kebutuhan ventilasi masih berlanjut sampai usia 10 menit.
Pada pelaksanaan terapi hipotermia pasif dengan suhu ruangan menggunakan
pendingin ruangan harus berhati-hati terhadap kemungkinan overcooling yang
akan memperberat efek samping terapi hipotermia. Probe rektal (6 cm dari
pinggiran anus) atau esofagus sebaiknya telah dipasang dalam waktu 20 menit
setelah kelahiran.103 Bayi ditranspor dengan menggunakan inkubator transpor
yang dimatikan dengan tujuan mencapai target suhu tubuh rektal antara 33,5 -
34,5oC. Pada kecurigaan asfiksia perinatal, hipertermia harus dihindari selama
resusitasi dan perawatan karena akan meningkatkan metabolisme otak dan
dapat memicu terjadinya kejang.104
198
GD <47 mg/dL
• I V bolus dekstrosa 10% 2 mL/kgBB • Nutrisi oral /enteral segera : ASI atau
** IVFD dekstrosa 10%, minimal 60 PASI , maksimal 100 mL/kg BB/hari
mL/kgBB/hari ( hari pertama ) sampai ( hari pertama )
mencapai GIR 6 - 8 mg/kgBB/menit • Bila ada kontraindikasi oral atau
• Ora l tetap diberikan bila tidak ada enteral → **
kontraindikasi
GD ulang (1 jam)
Dekstrosa ditingkatkan dengan cara:
• Volume ditingkatkan sampai maksimal
100 mL/kgBB/hari (hari pertama) atau
• Konsentrasi ditingkatkan: vena perifer
GD 36 - <47 mg/dL **
maksimal 12,5%, umbilikal 25%
GD > 47 mg/dL
Ulang GD tiap 2 - 4 jam , 15 me nit sebelum jadwal minum berikut, sampai 2 kali berturut - turut normal
199
napas, menjaga fiksasi ETT, serta evaluasi foto toraks dasar. 101 Intervensi
dilakukan sesuai indikasi apabila ditemukan kelainan pada evaluasi.
3.7.7 Lain-lain
Kejang dalam 24 jam pertama kehidupan dapat merupakan manifestasi
neurologis setelah episode asfiksia. Kejang pascahipoksik umumnya bersifat
parsial kompleks atau mioklonik dan terjadi secara intermiten. 105 Bayi yang lebih
matur dapat mengalami kejang elektrik (electrical seizure) pada pemeriksaan
EEG (atau pemeriksaan amplitude EEG (aEEG) yang dapat dilakukan bedside
secara kontinu; lihat juga penjelasan sub-bab aEEG pada halaman 84)106
Sebagian besar kejang neonatus disebabkan kejadian simtomatik akut seperti
EHI. Kejang juga dapat disebabkan oleh gangguan metabolik (hipoglikemia,
hipokalsemia, hipomagnesia, dan hiponatremia), infeksi, stroke perinatal,
perdarahan intrakranial, epilepsi neonatus, dan penyebab lain yang tidak
diketahui.107-109 Penting untuk dilakukan pemeriksaan fisis dan investigasi riwayat
secara menyeluruh untuk mengetahui etiologi atau faktor risiko neonatus
mengalami kejang.110,111
200
Berbagai karakteristik klinis kejang pada neonatus beserta penjelasannya
dapat dilihat pada Tabel 9.
Kejang epileptik
Klonik fokal • Kontraksi ritmik dan repetitif otot tungkai, wajah, dan batang
tubuh
• Bersifat unifokal ataupun multifokal
• Dapat terjadi secara sinkron ataupun asinkron pada kedua sisi tubuh
• Dapat terjadi secara simultan, namun asinkron pada kedua sisi tubuh
• Tidak dapat dikurangi dengan peregangan
Spasme • Kontraksi ritmik dan repetitif otot tungkai, wajah, dan batang
tubuh
• Bersifat unifokal ataupun multifokal
Kejang non-epileptik
Tonik umum • Kekakuan simetris batang tungkai, batang tubuh, dan leher
• Posisi dapat fleksi, ekstensi, atau campuran keduanya
• Dapat dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
• Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi
201
Gerakan okular • Gerakan mata acak dan berputar atau nistagmus
• Dapat dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
Gerakan oral- • Gerakan seperti mengisap, mengunyah, dan protusi lidah bukal-lingual • Dapat
dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
• Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi
Gerakan • Gerakan seperti mendayung, berenang, atau mengayuh sepeda progresif • Dapat
dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
• Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi
Mioklonik • Kontraksi acak, tunggal, dan cepat pada tungkai, wajah, atau batang tubuh
• Tidak repetitif atau mungkin terjadi dengan kecepatan lambat
• Dapat bersifat umum, fokal, atau fragmenter
• Dapat dibangkitkan dengan rangsang
Sumber: Mizrahi EM. Neonatal seizures and neonatal epileptic syndromes. Neurologic
clinics. 2001;19(2):427-63.106
202
Gerakan bersifat sensitif terhadap + stimulus 0
Sumber: Volpe J, Inder T, Darras B, dkk. Neurology of the newborn. Edisi ke-6.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2017.h.275-318.116
Tabel 11. Kriteria klinis pemberian obat antikovulsan pada neonatus (modifikasi)
Tipe kejang Karakteristik klinik Terapi anti-kejang
203
Mioklonik
Singkat dan jarang Opsional
204
Bayi yang dipulangkan dengan fenobarbital, ulangi pemeriksaan neurologi dan
perkembangan saat usia 1 bulan, jika pemeriksaan neurologi normal fenobarbital dapat
dihentikan, jika abnormal lakukan pemeriksaan EEG. Jika tidak terdapat kelainan yang
bermakna pada EEG maka fenobarbital dapat dihentikan, jika EEG abnormal lakukan evaluasi
ulang saat usia 3 bulan. Volpe menyatakan bahwa sedapat mungkin obat anti-kejang
dihentikan sesegera mungkin dan pada keadaan tertentu dapat diberikan sampai usia 3-6
bulan.116
205
Namun penelitian mengenai pengaruh penggunaan jangka panjang fenobarbital
terhadap perkembangan neonatus sangat terbatas. Walaupun demikian, tidak
ada obat anti-kejang lain yang terbukti lebih efektif dan aman untuk digunakan
pada neonatus selain fenobarbital.116,118,119 Fenobarbital injeksi yang tersedia di
Indonesia ada dua macam, yaitu intravena dan intramuskular. Sebelum
pemberian obat pastikan sediaan obat sesuai dengan teknik yang diberikan.
Sediaan intramuskular tidak boleh diberikan secara intravena, begitu pula
sebaliknya. Fenobarbital diberikan secara intravena dengan dosis inisial 20
mg/kgBB, dengan kecepatan tidak melebihi 1 mg/kgBB/menit (menggunakan
infusion pump). Dua dosis tambahan sebesar 10-20 mg/kgBB/dosis dapat
diberikan apabila kejang belum berhenti (maksimal 50 mg/kgBB dalam 24 jam).
Fenobarbital dilanjutkan sebagai terapi rumatan dengan dosis 4-6 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 2 dosis bila kejang telah teratasi.108,116,120,121 Lockman dkk.122
mengemukakan bahwa kadar terapeutik minimal fenobarbital dalam darah yaitu
16,9 µg/mL. Pada pemberian dosis inisial fenobarbital 15-20 mg/kgBB intravena
akan memberikan kadar terapeutik dalam darah sekitar 16,3-25,1 µg/mL. 123
Sebuah studi menunjukkan bahwa kadar fenobarbital dalam plasma akan
mengalami penurunan setelah 24 jam pemberian dosis inisial, sehingga dosis
rumatan harus segera diberikan (12 jam setelah dosis inisial). Pada studi
tersebut, pemberian dosis rumatan sebanyak 2,6-5 mg/kgBB/hari dapat
mencapai kadar terapeutik 15-40 µg/mL. Namun demikian, pemeriksaan kadar
fenobarbital dalam darah tetap perlu dilakukan mengingat pada 1 minggu
pertama kehidupan akan terjadi penumpukan kadar obat dalam darah. Hal ini
kemudian diikuti dengan penurunan kadar fenobarbital secara bertahap
sehingga diperlukan kembali penyesuaian terhadap dosis fenobarbital. 124 Pada
fasilitas terbatas di Indonesia seringkali tidak tersedia fenobarbital intravena,
melainkan sediaan intramuskular (ampul, 100 mg/2 mL), maka fenobarbital
intramuskular diberikan dengan dosis lebih tinggi yaitu 30 mg/kgBB (10-15%
lebih tinggi dari dosis intravena).116,120,122 Bila kejang masih belum teratasi, dosis
ini dapat diulang satu kali dengan selang waktu minimal 15 menit. 120
Obat anti-kejang lini kedua dapat diberikan bila kejang masih belum teratasi dan
kadar fenobarbital dalam darah telah mencapai optimal pada penggunaan dosis
maksimal. Pemilihan obat antikejang lini kedua dipengaruhi oleh tingkat
keparahan kejang, efek samping dan interaksi obat, fungsi kardiovaskular dan
pernapasan neonatus, serta disfungsi organ seperti jantung, ginjal, dan
hati.107,118,121 Pilihan obat anti-kejang lini kedua di negara-negara Eropa dan
Amerika adalah fenitoin, levetirasetam, dan lidokain yang dapat digunakan di
Indonesia berdasarkan ketersediaannya. 107,118,121,125
206
tidak stabil dengan pencampuran dan memiliki efek samping lebih besar berupa
hipotensi, aritmia, dan kerusakan pada sistim saraf. Metabolisme fenitoin terjadi
di hati dengan waktu eliminasi yang bervariasi sesuai usia neonatus. Pada satu
minggu pertama kehidupan terjadi penurunan waktu eliminasi yang dapat
menyebabkan fluktuasi kadar fenitoin dalam darah terutama pada bayi prematur
dengan imaturitas fungsi hati. Penggunaan fenitoin sebagai obat anti-kejang lini
pertama sebaiknya diberikan bila pengukuran kadar fenitoin dalam darah dapat
dilakukan.116,118 Dosis inisial fenitoin adalah 20 mg/kgBB/dosis, diberikan secara
intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1 mg/kgBB/menit (untuk mencegah
efek samping aritmia jantung). Dosis dapat ditambahkan hingga tercapai kadar
terapeutik dalam darah yaitu 10-20 mg/L). Pemberian dosis inisial ulangan
fenitoin tidak dianjurkan bila kadar fenitoin dalam darah tidak dapat
diperiksa.116,127 Saat ini di negara maju penggunaan fenitoin mulai ditinggalkan
dan dialihkan menggunakan fosfenitoin (derivat fenitoin). Fosfenitoin memiliki
mekanisme kerja lebih cepat dengan efek samping minimal.118,128
207
mg/kgBB/jam selama 4 jam kemudian diturunkan setengah dosis tiap 12 jam
selama 24 jam.
Perlu diperhatikan pada kondisi bayi prematur dan bayi yang menjalani
terapi cooling, dosis rumatan yang diberikan harus lebih rendah (6
mg/kgBB/jam) karena waktu klirens lidokain menurun pada kondisi
hipotermia.116 Bila kejang belum teratasi, pemberian lidokain dapat ditambahkan
dengan midazolam. Pemberian keduanya secara bersamaan sebagai terapi
kombinasi akan memberikan efek sinergistik yang mampu mengatasi kejang lebih
baik. Oleh karena itu, midazolam lebih efektif bila diberikan sebagai obat anti-
kejang lini ketiga.109 Pemberian lidokain setelah fenitoin dan derivatnya
(difantoin) memerlukan pemantauan terhadap tekanan darah, laju nadi, dan EKG
mengingat efek samping obat berupa kardiodepresif (aritmia dan bradikardia)
walaupun sangat jarang terjadi.114 Untuk mencegah efek samping aritmia,
beberapa studi menyarankan rentang waktu maksimum pemberian infus
lidokain adalah 30-48 jam.109,116,138,139
Kontraindikasi pemberian lidokain adalah neonatus dengan penyakit
jantung bawaan dan penggunaan fenitoin sebelumnya.116,140 Sampai saat ini di
Indonesia lidokain intravena hanya tersedia di fasilitas kesehatan tertentu
(Xylocard tersedia di RS Jantung Harapan Kita), sediaan lainnya adalah untuk
pemberian subkutan / intramuskular.
Midazolam intravena dipertimbangkan sebagai obat antikejang lini ketiga
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Obat ini merupakan pilihan pada kasus
kejang refrakter yang tidak berhasil dengan pemberian obat anti-kejang lini
pertama dan kedua.141 Efek samping yang dikhawatirkan pada pemberian
midazolam yaitu depresi pernapasan dengan risiko intubasi. Namun efek
samping tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan benzodiazepin
lainnya seperti diazepam dan lorazepam. 116,123 Dosis inisial yang diberikan adalah
0,15 mg/kgBB intravena, dilanjutkan dengan infus kontinu 1 µg/kgBB/menit. Jika
masih terdapat kejang, dosis awal dapat diulangi dan dosis infus dapat dinaikkan
0,5-1 µg/kgBB/menit setiap 2 menit hingga dosis maksimal 18
µg/kgBB/menit.116,126
208
menyebabkan obat ini tidak dapat dipakai sebagai terapi rumatan. 142,143 Hal lain
yang perlu pula diperhatikan adalah sediaan diazepam umumnya mengandung
sodium benzoat yang dapat melepas ikatan albumin-bilirubin sehingga
meningkatkan risiko terjadinya kernikterus.146 Namun pada fasilitas kesehatan
terbatas di Indonesia yang tidak tersedia fenobarbital, fenitoin maupun
midazolam, maka diazepam dapat digunakan sebagai obat anti-kejang lini
pertama dengan perhatian khusus. Sebuah studi melaporkan bahwa pemberian
drip kontinu diazepam efektif menghentikan kejang pada delapan bayi yang
mengalami asfiksia perinatal berat. Pada laporan kasus tersebut tidak ada bayi
yang membutuhkan bantuan pernapasan walaupun terdapat stupor dan
memerlukan pemasangan pipa orogastrik.147
209
terapi alternatif apabila tidak tersedia fenobarbital, bukan sebagai pilihan
utama.124
Gambar 20. Anti-kejang pada fasilitas terbatas
a. Fenobarbital (sediaan ampul, 100 mg/2 mL, IM), b. Fenitoin (sediaan ampul,
100 mg/2 mL, IM-IV), c. Diazepam (sediaan ampul, 10 mg/2 mL, IM-IV) d.
Midazolam (sediaan ampul, 5mg/5mL, IM-IV), e. Diazepam (sediaan supposituria
5mg/2,5 mL) Sumber: Foto inventaris RSUD Lahat, Sumatra Selatan
Sumber:
a. Foto inventaris RSUPN Ciptomangunkusumo;
b. Kementrian Kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan neonatal esensial:
Pedoman teknis pelayanan kesehatan
dasar; 2010
Jika penyebab kejang tidak diketahui dan tidak respons terhadap obat anti-
kejang lini pertama dan kedua, maka harus dipikirkan adanya kelainan metabolik
bawaan seperti pyridoxine dependency. Percobaan terapi piridoksin dapat
diberikan dengan dosis 100 mg secara intravena secara lambat (5 menit),
kemudian dapat diulangi setiap 5-15 menit hingga mencapai dosis maksimum
pemberian yaitu 500 mg (15-30 mg/kg/hari per oral yang terbagi dalam tiga
dosis). Sediaan piridoksin yang tersedia di pasaran adalah 50 mg/ml (1 ml) dan
100 mg/ml (1 ml). Pemberian piridoksin secara intravena tidak perlu diencerkan,
tetapi diperlukan pemantauan EEG/aEEG dan fungsi kardiorespirasi (hipotonia
dan apneu).116,134,149 Dosis dan keterangan obat lebih lengkap dapat dilihat dalam
Tabel 10.
210
Tabel 12.Farmakodinamik, obat
mekanisme kerja, keuntungan, kerugian, efek samping dan interaksiAnti
-kejang
Fenobarbital Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain
Farmakodinamik
• Spektrum • Bentuk fosfenitoin • Awitan • Absorbsi cepat dan
luas150 lebih disukai 3 Intravena/drip: 1 - hampir diserap
• Rentang untuk loading menit10 sempurna dengan
terapeutik cepat, efek konsentrasi puncak
Rektal: 2-
lebar150 samping dan menit plasma 1 jam setelah
Awitan reaksi lokal lebih -30 penggunaan oral.
• • Durasi 15
intravena 5 ringan.152 menit
116,133,134
menit, 15 • Hanya
• Waktu paruh 50 -
95 • Konsentrasi puncak
mencapai meningkatkan 10 - 151 plasma dalam 5 -15
maksimum kejang jam menit setelah
% kontrol
dalam 30 setelah kegagalan pemberian intravena.
menit151 fenobarbital 116,133,134
• Durasi 4 -10 mengontrol • Waktu paruh pada
jam151 kejang.152,153 neonatus 18 jam.
60
• Awitan intravena
Waktu 116,133,134
500 paruh
45- 151 30- 152
jam menit
• Durasi 24 jam
153
• Waktu paruh 10 -
15
152
jam
Mekanisme kerja Inhibisi • Menghalangi • Meningkatkan • Berikatan dengan • Menghalangi
neurotransmiter channel Na + fungsi reseptor protein vesikel konduksi saraf
dengan sehingga GABA.128 sinapsis SV2A dengan menurunkan
266
Fenobarbital Fenitoin Diazepam
Midazolam memperpanjang mencegah • Menekan SSP,
waktu terbukanya rangsang neuron termasuk sistem
( channel GABA- berulang150 limbik dan formasi
Na+ 150 • Perubahan retikularis dengan
• Awitan: ≤ 20 5
menit paruh: 3 jam• konduksi Na+, K +, berikatan pada
• Waktu
subkutan) dan -8 Ca2+, membran situs
Awitan intravena
- potensial, dan benzodiazepin
jam untuk (intravena 7
1menit,
jangka panjang)
139 • dalam - menit konsentrasi asam pada kompleks
maksimum
Durasi 20 -30
5 amino, GABA dan
4 men15
• 4 norepinefrin, memodulasi
Waktu
it 12 -124
paruh asetilkolin, serta
jam dan - jam GABA.151
pada
5,5 neonatus gamm-
sangat 15
yang ( aminobutyric
a acid
1
sakit GABA 150
)
Keuntungan - Berat dan usia • Efektivitas hampir • Obat mudah
gestasi tidak sama dengan didapatkan107
terlalu Fenobarbital118,121
mempengaruhi
kadar obat
dalam darah116
- Dapat diberikan
dengan sediaan
IM116
Menekan semua
level SSP, termasuk
sistem limbik dan
266
Levetiracetam Lidokain Midazolam Fenobarbital Fenitoin
sehingga permebilitas sel formasi retikularis, Kerugian dan efek • Depresi napas, • Pemberian secara
mengurangi
pelepasan membran terhadap dengan berikatan samping apne101 intravena cepat
vesikel
116,133,13 Na+ sehingga pada situs menyebabkan
• Tromboflebitis
10
4
. mengurangi lama benzodiazepin pada
• Meningkatkan hipotensi, aritmia,
1
ekspresi gamm waktu depolarisasi, kompleks reseptor bradikardia,
• Hipotensi
101,151
( glutamate a meningkatkan GABA dan kolaps
• Ruam kulit
151
transporter
GLTs), excitato eksitabilitas dan memodulasi kardiovaskular,
• Hepatitis,
( ry
amino acid mencegah aksi GABA.151 kolestatis101,151 dan distres
transporter 1/ potensial. napas.101,151
• Gangguan
glutam-asparta • Menghalangichannel kognitif150,151 • Muntah, iritasi
ate te
transport Na+ pada sel lambung.101
er
EAAT1/GLAST), dan jantung139
• Trombositopenia,
EAAT2/GLT1 yang • Menyebabkan efluks leukopenia, dan
mempunyai peran dari kalium yang granulositosis.101
penting untuk mengakibatkan
116,133 • Makrositosis dan
neuroproteks aritmia.139 anemia
i.
13 ,
megaloblastik.101
4
• Nekrosis dan
• Risiko terjadi efek • Pada bayi cukup • Efektif pada status inflamasi jaringan
samping rendah bulan, Lidokain epileptikum141 bila terjadi
• Terdapat sediaan menunjukkan • Efek samping sedasi ekstravasasi pada
intravena respon terapi kejang dan depresi respirasi tempat
• Tidak ada reaksi yang lebih baik lebih rendah penyuntikan101,151
antar obat116,133,134 sebagai lini kedua dibandingkan • Hepatitis
151
dan ketiga dengan Lorazepam
• Ruam kulit
101,151
dibandingkan dan Diazepam.116,123
• Hipoinsulinemia,
dengan hiperglikemia,
Midazolam109,116 glikosuria101
• Akselerasi
apoptosis neuron
266
Diazepam Levetiracetam Lidokain Midazolam Fenobarbital
• Menganggu ikatan • Efekasi dan • Therapeutic window • Henti jantung
151
albumin- keamanan pada sempit109,116 • Depresi napas, apne,
bilirubin127 pada neonatus • Aritmia
109,116 desaturasi,
• Peningkatan enzim belum banyak laringobronkospasm
• Bradikardia
109,116
hati151 diketahui, namun e 121 Interaksi obat • Pemberian
• Hipotensi
109,116
penggunaan dosis diazepam yang
• Butuh titrasi • Menyebabkan • Nyeri dan reaksi
obat127 40-50 lokal pada tempa t disusul dengan
kejang bila
mikrogram/kgBB penyuntikan, namun fenobarbital
• Depresi sistem digunakan dalam
intravena dapat
saraf pusat (SSP) tidak menimbulkan dosis tinggi109,116 lebih ringan
dan sistem efek samping yang dibandingkan memperberat
• Kejang efek depresi
( pernapasan bermakna.116,133,134 berulang109,116 diazepam.151
SSP dan sistem
apne 101,151 • Belum ada sediaan • Kontraindikasi pada
) intravena di pernapasan,
• Hipotensi
101,151
penyakit jantung
Indonesia apne, dan
• Hipo/hipertermia bawaan109,116
10
1
hipoventilasi.101
• Tidak boleh
• Pemberian
• Nyeri dan flebitis diberikan setelah
fenobarbital
pada tempat fenitoin/fosfenitoin
tidak boleh
penyuntikan101,151 karena dapat
dicampur
menyebabkan
dengan
kardiodepresif 109,116
sebagian besar
antibiotik,
morfin,
norepinefrin,
dan natrium
fenitoin.101
266
Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain Midazolam
pada bayi
prematur101,151
• Pemberian • Pemberian • Pemberian • Pemberian Lidokain • Midazolam akan
bersamaan dengan diazepam yang bersamaan setelah Fenitoin meningkatkan kadar
infus dopamin disusul dengan makanan tidak disarankan fenitoin116
dapat fenobarbital menurunkan karena akan
menyebabkan intravena dapat konsentrasi puncak memperbesar efek
(
hipotensi berat, memperberat efek plasma sampai 20% kardiodepresif
bradikardia, dan depresi SSP dan dan menunda kerja aritmia,
henti jantung sistem obat sampai 1,5 jam; bradikardia)
,139
sehingga bila pernapasan, apne, tetapi tidak
harus diberikan dan mengurangi
secara bersamaan, hipoventilasi.101 bioavailabilitas.
116,133,134
perlu perhatian • Meningkatkan
khusus dan kadar plasma
pemantauan digoksin.101
tejanan darah.101
• Asam folat,
piridoksin,
rifampisin, dan
kloralhidrat dapat
menyebabkan
penurunan serum
fenitoin sehingga
menurunkan
efektivitasnya.101
• Menurunkan
kadar dan
266
Fenobarbital Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain
efektivitas teofilin,
digoksin, dan
furosemid.101
• Meningkatkan
metabolisme
kortikosteroid101
• Jangan
memberikan dosis
parasetamol
terlalu tinggi bila
diberikan
bersamaan dengan
fenitoin.101
*) - Berdasarkan awitan kerjanya, pemberian diazepam atau midazolam drip kontinudapat dipertimbangkan
sebagai lini pertama di fasilitas terbatas yang tidak tersedia fenobarbital intravena / intramuskular.
- Pada fasilitas terbatas, diazepam atau midazolam drip diberikan sebagai anti -kejang lini kedua setelah
pemberian fenobarbital intravena atau intramuskular pada lini pertama
- Di Indonesia saat ini hanya tersedia levetiracetam sediaan oral dan belum lazim digunakan lidokain
intravena ( L ignokain)
266
Midazolam
266
Tabel 13. Daftar sediaan, dosis, kompatibilitas, persiapan, administrasi, kecepatan
pemberian obat, dan contoh soal pemberian anti-kejang pada neonatus
Obat FENOBARBITAL
Sediaan Oral : 30 mg, 50 mg, 100 mg, 15 mg/5 mL (cairan) IV/IM : 200
mg/mL, 200 mg/2 mL, 100 mg/mL
Dosis Inisial : 20 mg/kgBB IV dalam 10-15 menit. (jika masih kejang diberikan
10-20 mg/kgBB sampai maksimal 50 mg/kgBB dalam 24 jam) 108,116,121
Inisial IV :
- Dosis = 20 mg/kgBB (3 kg x 20 mg → 60 mg)
- Sediaan setelah pengenceran = 20 mg/mL → Ambil 3 mL untuk
mendapatkan dosis 60 mg
- Berikan secara bolus IV lambat dalam waktu 10-20 menit
- Jika masih kejang, dapat diberikan bolus tambahan 1020 mg/kgBB
(3kg x 10-20 mg → 30-60 mg atau 1,5-3 mL)
Rumatan :
- Dosis = 4-6 mg/kgBB/hari (3 kg x 4-6 mg → 12-18 mg/hari atau
6-9 mg setiap 12 jam)
- Sediaan setelah pengenceran = 20mg/mL → Ambil 0,3-
0,45 mL untuk mendapatkan dosis 6-9mg
- Pemberian bolus intravena lambat dalam 10-20 menit setiap 12 jam
IM :
- 10-15% lebih besar dari dosis IV atau 30 mg/kgBB (3kg x 30 mg →
90 mg)
218
- Tidak perlu diencerkan
- Ambil 0,45 mL untuk mendapatkan dosis sebesar 90mg -
Berikan secara IM
Obat FENITOIN
Sediaan Oral : 30 mg, 100 mg
IV : 100 mg/2 mL, 250 mg/5 mL
Dosis Inisial : 20 mg/kgBB IV (kecepatan pemberian kurang dari 1 mg/kg/menit,
cenderung tidak larut jika dicampur dengan larutan dekstrosa/
aquabides)116
Sediaan obat yang telah diencerkan harus segera digunakan dalam waktu
1 jam154,156
Administrasi dan kecepatan Oral : dilakukan flush melalui OGT sebelum dan setelah memberikan
pemberian obat obat, diberikan terpisah dengan enteral feeding
219
- Dengan spuit 10 mL ambil obat sebanyak 1mL (50mg)
- Tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 9 mL (sampai total
cairan 10 mL)
Inisial IV :
- Dosis = 20 mg/kgBB (3 kg x 20 mg → 60 mg)
- Sediaan setelah pengenceran=5 mg/mL → Ambil 12 mL untuk
mendapatkan dosis 60 mg
- Berikan secara bolus IV lambat dalam waktu 20-60 menit
Rumatan :
- Dosis = 4 mg/kgBB/dosis (3 kg x 4 mg → 12 mg
diberikan setiap 12 jam IV/PO)
- Sediaan setelah pengenceran = 5 mg/mL → Ambil 2,4 mL untuk
mendapatkan dosis 12 mg
- Pemberian bolus intravena lambat dalam 15 menit setiap
12 jam
Obat LEVETIRACETAM
Persiapan -
Administrasi dan Oral : dapat diberikan kapanpun bersamaan dengan pemberian enteral
kecepatan pemberian obat feeding
Contoh soal -
Obat LIDOKAIN
Sediaan IV (Lignocaine/ Xylocard®): ampul 500 mg/5 mL (100 mg/mL)
220
Persiapan IV inisial : pengenceran 1 mg/mL154 IV
kontinu : pengenceran 10 mg/mL
Administrasi dan kecepatan Inisial : dalam 10 menit154
pemberian obat
IV infus kontinu : diberikan secara kontinu via syringe pump dimulai
dari 7 mg/kgBB/jam (selama 4 jam) dan diturunkan setengah dosis
setiap 12 jam (3,5 mg/kgBB/jam dan 1,75 mg/kgBB/jam) selama 24
jam154
Obat MIDAZOLAM
Sediaan IV : 5 mg/5 mL (1 mg/mL), 15 mg/3 mL (5 mg/mL)
Dosis Inisial IV : 0,15 mg/ kgBB
221
Jika masih terjadi kejang, dosis inisial dapat diulangi dan dosis infus dapat
dinaikkan 0,5-1 µg/kgBB/menit setiap 2 menit hingga mencapai dosis
maksimal 18 µg/kgBB/menit
114,116,18,126,139
Inisial IV :
- Dosis = 0,15 mg/kg (3 kg x 0,15 mg → 0,45 mg)
- Tidak perlu diencerkan
- Ambil 0,45 mL untuk mendapatkan dosis 0,45 mg
- Berikan secara bolus intravena dalam waktu 5 menit - Jika
masih terdapat kejang, dosis loading dapat diulangi
Obat DIAZEPAM
Sediaan IV :10 mg/2 mL(5 mg/mL)
Dosis Hanya untuk di fasilitas terbatas yang tidak ada fenobarbital IV/IM,
fenitoin IV atau midazolam IV . Disarankan pemberian terutama dengan
infus kontinu
222
Kompatibilitas Relatif tidak larut dalam seluruh jenis cairan. Dapat digunakan dekstrosa
5% atau 10%120,148,157
Persiapan IV infus kontinu : Pengenceran dengan dekstrosa 10% sampai didapatkan
konsentrasi 0,2 mg/mL*
Administrasi dan kecepatan IV infus kontinu : diberikan secara kontinu via syringe pump** dengan
pemberian obat kecepatan dimulai dari 0,1 mg/kg/jam (jika masih terdapat kejang,
kecepatan dapat dinaikan
0,1mg/kg/jam, selama RR ≥ 30)
Jika telah mencapai 6 jam, hentikan syringe pump, buang sisa obat
dalam spuit dan siapkan sediaan baru untuk 6 jam berikutnya (idealnya
dengan menggunakan spuit yang baru)
Obat PIRIDOKSIN
Sediaan Oral : 10 mg, 25 mg, 50 mg, 100 mg IV : 100
mg/2 mL
223
Dosis Dosis inisial : 50-100 mg IV116,154,158
IV :
- Dosis inisial = 50-100 mg IV
- Tidak perlu diencerkan
- Ambil obat sebanyak 1-2 mL untuk mendapatkan dosis 150-300
mg
- Berikan secara bolus IV selama 5 menit
- Dosis rumatan= 50-100 mg/hari (→ 1-2mL per hari)
224
Obat KALSIUM GLUKONAS
Sediaan IV : Ca Glukonas 10% (100 mg/mL)
Administrasi dan kecepatan Bolus IV : diberikan bolus intravena secara perlahan dalam 30-60 menit
pemberian obat dengan pemantauan fungsi kardiovaskular
(EEG). Hentikan bila terdapat bradikardia
Pemberian rumatan IV :
- Dosis= 4,5 mL/kg ~ 3 kg x 4,5 mg → 13,5 mL
- Ambil obat sebanyak 13,5 mL dan tambahkan dalam cairan
parenteral harian dalam 24 jam
225
226
227
digunakan sebelumnya
Lanjutan dari halaman
G
sebelumnya
A
Bila masih kejang, tata laksana
L
Jika masih kejang: selanjutnya tergantung kebijakan
klinisi
I ***Pertimbangkan
228
I
N
I
D
U
A
Gambar 23. Anjuran algoritme tata laksana kejang pada fasilitas terbatas
229
3.8 Terapi hipotermia pada bayi asfiksia
3.8.1 Definisi dan tujuan terapi hipotermia
Terapi hipotermia merupakan suatu upaya untuk menurunkan suhu inti tubuh
hingga 32 - 34oC pada bayi dengan EHI dengan tujuan mencegah kerusakan
neuron otak akibat asfiksia perinatal.159 Mekanisme neuroprotektif terapi
hipotermia antara lain menurunkan metabolisme serebral, pelepasan glutamat,
produksi oksida nitrit, produksi leukotrien, serta meningkatkan antioksidan
endogen dan sintesis protein sehingga menurunkan kejadian edema serebral
dan apoptosis neuron pada bayi dengan EHI. 160 Pada dasarnya terapi
hipotermia ini mencegah dan memperlambat kaskade kerusakan otak yang
sedang berjalan, namun tidak akan mempengaruhi sel yang telah mengalami
kerusakan ireversibel.34-35,161
Terapi hipotermi dapat dibedakan menjadi 3 fase, yaitu fase induksi, fase
maintenance, dan fase rewarming (Gambar 24). Fase induksi /
inisiasi merupakan fase awal terapi hipotermia. Pada fase ini suhu normal
tubuh bayi diturunkan hingga mencapai 32 - 34 oC dengan kecepatan 3oC / jam,
sehingga diharapkan target suhu akan tercapai dalam waktu kurang lebih 60 -
90 menit. Target suhu ini dipertahankan selama 72 jam pada fase
maintenance, dengan toleransi suhu berkisar antara 0,1 - 0,5 oC. Fase ini
berlanjut dengan fase rewarming yaitu tubuh bayi dihangatkan kembali
hingga mencapai suhu normal (36,5 - 37,5 oC), dengan peningkatan suhu tubuh
tidak boleh terlalu cepat yaitu 0,5oC tiap 1-2 jam agar tidak terjadi efek
samping.162
230
Sumber: Robertson NJ, Kendall GS, Thayyil S. Techniques for therapeutic
hypothermia during transport and in hospital for perinatal asphyxial
encephalopathy. Semin Fetal Neonatal Med. 2010;15:276-86.
Terapi SHC menggunakan penutup kepala (Cool Cap) yang dialirkan air
dingin. Unit pendingin dan pompa berbasis kontrol termostat
(thermostatically controlled cooling unit and pump) mensirkulasikan air
ke penutup kepala (cap) secara merata, dimulai dengan suhu antara 8 - 12 oC.
Suhu air yang bersirkulasi di dalam cap disesuaikan secara manual untuk
mempertahankan suhu rektal antara 34 - 35 oC. Selama fase inisiasi dan fase
maintenance, suhu cap dinaikkan secara perlahan antara 19-23 oC untuk
mempertahankan target suhu rektal. Fase rewarming dilakukan dengan
melepas cap dan menggunakan overhead heating untuk meningkatkan suhu
inti meningkat lebih dari 0,5oC / jam.168 Terapi ini memberikan efek yang lebih
besar ke perifer otak daripada struktur otak sentral. 61
231
Gambar 25. Selective head cooling dengan Cool Cap di fasilitas
ideal
Sumber:https://encryptedtbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTSncTdRWb
oaiBXEVnI5ij2YLCTxXknBs1rlMM1P_zF2phe635_
232
Mekanisme metode SHC didasarkan pada fisiologi otak bayi yang
memproduksi 70% dari total panas tubuh. Pada cedera hipoksik-iskemik bagian
otak sentral lebih rentan terhadap kerusakan otak. Studi menunjukkan bahwa
ternyata SHC cenderung mendinginkan otak perifer dibandingkankan sentral
(thalamus, kapsula interna, ganglia basalis). Sedangkan, metode WBC mencapai
efek hipotermi homogen pada seluruh struktur otak, sehingga memungkinkan
derajat hipotermi lebih dalam dan mencapai struktur otak internal. Beberapa
penelitian memperlihatkan kesan potensi yang lebih unggul pada WBC
dibandingkan SHC, namun hal ini belum dapat disimpulkan terkait metode
penelitian yang bersifat retrospektif.169 Kedua metode cooling ini secara umum
menghasilkan penurunan aliran darah otak dan ambilan oksigen yang sama
serta tidak ditemukan perbedaan yang signifikan terkait kadar penanda
inflamasi, mortalitas, serta tumbuh kembang pada usia 12 bulan. 169,170
233
4. Bukti asfiksia peripartum (minimal 1)*, yaitu :51,61,171-175
234
hipotermia (tanda *), yaitu bukti asfiksia (butir 4) dan ensefalopati sedang atau
berat (butir 3) berdasarkan pemeriksaan neurologis atau amplitude EEG
(bedside). Pemeriksaan tersebut harus dipantau terus sejak dicurigai asfiksia
sampai usia 6 jam sebagai periode emas selambatlambatnya untuk memulai
terapi hipotermia. Sebagai contoh bila saat usia 1 jam pemeriksaan neurologis
atau amplitudo EEG menujukkan EHI ringan, maka bayi terus dipantau dan
diulang kembali pemeriksaan tersebut sampai usia 6 jam sebelum memutuskan
untuk tidak melakukan terapi hipotermia.
Pada keadaan bayi yang terlambat dilakukan terapi hipotermia saat usia 6
jam, perlu dipertimbangkan manfaat dan efikasinya. Sebuah uji klinis acak
terkendali yang membandingkan hasil luaran neonatus cukup bulan usia 6-24
jam dengan EHI yang dilakukan terapi hipotermia dibandingkan dengan yang
tidak dilakukan terapi hipotermia, terdapat 76% probabilitas adanya penurunan
risiko mortalitas dan kecacatan pada yang dilakukan terapi hipotermia.
Sedangkan pada follow up pada usia 18-22 bulan, terdapat 64% probabilitas
penurunan risiko mortalitas dan kecacatan sebanyak 2%. Berdasarkan hasil
studi tersebut dapat disimpulkan bahwa ada keuntungan yang didapatkan pada
bayi dengan EHI yang mendapatkan terapi hipotermia walaupun telah berusia
lebih dari 6 jam, namun masih memerlukan studi lebih lanjut untuk menilai
keefektivitasannya.177
a. Pemeriksaan neurologis
(ekstensi menyeluruh)
Refleks primitif Reflek hisap,gag& Moro melemah Refleks hisap, gag& Moro menghilang
235
Pupil Kontriksi Deviasi, dilatasi, tanpa reaksi
0 1 2 3
236
Respirasi normal hiperventilasi apne sesaat apne atau
dalam IPPV
Nilai total
Sumber: Mwakyusa SD, Manji KP, Massawe AW. The hypoxic ischaemic
encephalopathy score in predicting neurodevelopmental outcomes among
infants with birth asphyxia at the Muhimbili
Evaluasi nilai Thompson dilakukan setiap hari, diplot dalam grafik seperti grafik 1.
Skor Thompson
Skor Thompson
15
10
5
0
1 2 3 4
Usia bayi (hari ke-)
b. Pemeriksaan amplitude-integrated
electroencephalography (aEEG)
237
kompleks, selain itu perlu keahlian khusus dokter ahli saraf anak di perawatan
intensif neonatus, sehingga EEG kurang dapat diaplikasikan secara bedside.
Amplitude-integrated electroencephalography (aEEG) merupakan alat
pemeriksaan seperti EEG dengan metode yang disederhanakan, dapat merekam
aktivitas fungsi otak secara kontinu, serta neonatologis dapat menganalisis
hasilnya secara bedside.187 Perekaman dapat berlangsung terus menerus
selama dibutuhkan dan pemasangan elektroda lebih mudah daripada EEG
konvensional.183,185
A B
238
Gambar 27. Amplitude integrated electroencephalography
(aEEG)A dan
electroencephalography (EEG)B
239
Sumber: Thoresen M, Westas LH, Liu X, Vries LS. Effect of hypothermia on
amplitude integrated encephalogram in infants with asphyxia. Pediatrics. 2010; 126:
131-139
c. Pemeriksaan lainnya
240
bagian dorsal, dengan kelainan difus substansia nigra dan berlanjut secara
kronis menjadi ensefalopati multikistik. Kelainan berat lain yang dapat
ditemukan adalah hilangnya intensitas signal kapsula internal posterior
(PLIC).192,194,195
241
Nilai laktat tertinggi dalam satu jam pertama kehidupan dan
pemeriksaan serial laktat merupakan prediktor penting EHI
sedang-berat.
242
Gambar 29. Algoritme diagnosis asfiksia dan terapi hipotermia
243
Bayi asfiksia (terkonfirmasi)
lahir diluar RS
ya
Bayi telah ditransfer dalam tidak Nilai usia bayi (dari lahir
suhu dingin/normal? sampai tiba di RS rujukan)
ya
<6 jam >6 jam
• Catat kapan terapi
hipotermi dimulai
• Lanjutkan terapi hipotermia
sampai 72 jam Mulai terapi hipotermia Tidak memenuhi kriteria
terapi hipotermia
• Radiant warmer
• Pengatur suhu
• Probe suhu rektal ukuran 9Fr (termistor rektal)*
• Kabel penghubung probe ke pengukur / pengatur suhu*
• Blanketrol® *
• Lubrikan
• Plester
• Monitor kardiorespirasi
• Radiant warmer
• Termometer rektal (yang dapat mengukur suhu hingga 32 oC)
• Gel pack adalah sumber dingin yang direkomendasikan
dibandingkan ice pack karena cair lebih lama. Bila gel pack tidak
244
tersedia, maka pilihan terakhir dapat digunakan sarung tangan
berisi air dingin
• Lubrikan
• Plester
• Monitor kardiorespirasi
Secara umum terdapat dua sistem pengatur suhu yang dapat digunakan,
yaitu sistem manual dan sistem servo. Pada sistem manual suhu diatur oleh
tenaga kesehatan berdasarkan hasil pembacaan di monitor, sedangkan sistem
servo secara otomatis akan mengatur suhu alat pendingin dan menyesuaikan
bila suhu tubuh bayi terlalu rendah atau terlalu tinggi dibandingkan kisaran
suhu target (32 - 340C). Pengaturan suhu secara manual menyebabkan fluktuasi
suhu yang lebih besar sehingga sistem servo lebih cenderung dipilih. 162 Selama
proses pendinginan, probe suhu dapat diletakkan di rektal atau esofagus.
Pengukuran suhu aksila tidak dianjurkan karena berkaitan dengan variasi suhu
yang besar serta tidak mewakili suhu inti. 205,206 Pada pusat pelayanan kesehatan
dengan fasilitas terbatas, probe suhu rektal dapat diganti dengan termometer
yang mampu mengukur suhu hingga 32oC, sedangkan blanketrol® digantikan
dengan sarung tangan yang diisi air dingin atau gel pack.
a. Memulai cooling
245
K, Cl, Ca ion).
• Pemeriksaan ini diulang selama 3 hari pertama (hari 0, hari 1, hari 2).
• Pada hari 3 pemeriksaan yang perlu dilakukan lagi adalah: DPL, AGD,
glukosa, elektrolit, ureum, kreatinin, PT, APTT (sesuai klinis).
Uraian pemeriksaan penunjang dapat dilihat pada tabel di bawah ini, dan
dilakukan sesuai klinis dan indikasi:171,172
Tabel 16. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan dalam terapi hipotermia
Hari 0 Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 - 7
(masuk perawatan)
AGD
Laktat
DPL
PT, APTT
GDS
SGOT,SGPT
Ur, Cr
Elektrolit
EKG
Echo
EEG
USG kepala
MRI kepala
246
7. Hubungkan probe rektal ke mesin pengukur suhu. Jika suhu rektal lebih
dari 35,5oC, nyalakan blanketrol® dengan target suhu 33-34 oC
(active cooling)
8. Jika bayi tampak tidak nyaman, pertimbangkan morfin dan / atau
midazolam (bila menggunakan ventilator) atau parasetamol (dapat
diberikan per rektal, walaupun terpasang probe rektal).
9. Awasi dan tata laksana efek samping cooling yang terjadi:
• Bradikardia sinus (laju nadi <80 kali/menit)
• Pemanjangan interval QT
• Aritmia yang memerlukan intervensi medis atau penghentian
cooling
• Hipotensi (MAP <40) yang memerlukan inotropik
• Anemia (Hb <10 g/dL, Ht <30%)
• Leukopenia (<5000/uL)
• Trombositopenia (<150.000/uL)
• Koagulopati
• Hipoglikemia
• Hipokalemia
• Peningkatan laktat (>2 mmol/L)
• Penurunan fungsi ginjal
• Sepsis
10. Pemeriksaan EKG dan USG kepala dapat dilakukan pada hari-1 (usia 24
jam), jika terdapat indikasi. aEEG dapat dipasang untuk melihat baseline
gelombang otak dan memantau timbulnya kejang.
11. Suhu bayi dipertahankan antara 33 - 34 oC selama 72 jam, yang dilanjutkan
dengan prosedur rewarming.
b. Memulai rewarming
247
5. Rewarming harus dilakukan dengan perlahan. Rewarming yang
terlalu cepat dapat mengakibatkan penurunan tajam tekanan darah
atau gangguan elektrolit. Jika kondisi bayi tampak tidak "baik",
penurunan suhu dapat diperlambat.
6. Awasi dampak rewarming yang dapat terjadi, yaitu:
• Hipotensi
• Gangguan elektrolit
• Hipoglikemia (karena peningkatan metabolisme)
• Kejang
• Peningkatkan konsumsi oksigen dan produksi CO2
7. Pemantauan suhu rektal dilanjutkan sampai 12 jam setelah
rewarming dimulai. Buang probe suhu rektal setelah selesai
digunakan. Kabel dan mesin pengukur suhu disimpan kembali.
Prinsip perawatan bayi dengan terapi hipotermia tidak jauh berbeda dengan
perawatan bayi secara umum, antara lain menjaga saturasi kadar oksigen dan
karbondioksida dalam rentang normal, memberi bantuan ventilasi jika
diperlukan, mamantau fungsi kardiovaskular secara rutin, serta menggunakan
inotropik sesuai indikasi. Kecukupan cairan juga harus diperhatikan melalui
pemberian cairan mulai dari 40-60 ml/kg/hari dan disesuaikan dengan diuresis
serta insensible water loss, serta pemantauan natrium serum. Seluruh
rangkaian terapi hipotermia harus diawasi dengan ketat dan didokumentasikan
dalam catatan medis harian pasien oleh dokter dan/atau perawat, dengan
menambahkan catatan suhu rektal per jam. Catatan episode kejang sebaiknya
dibuat terpisah. Dokter harus menuliskan tanggal dan jam dimulainya cooling,
rewarming, dan saat rewarming selesai.
248
Gambar 31. Phase changing material
(PCM)
Gambar 32. Penggunaan botol berisi air dingin Botol diisi air
dingin bersuhu
25oC dan diletakkan di samping bayi
249
Hati-hati pada pemaparan di ruangan dengan air conditioner akan
terjadi overcooling.
2. Lakukan active cooling dengan menggunakan cool pack
(gambar 33) atau sarung tangan berisi air dengan suhu ~10 0C (jika tidak
memiliki cool pack) (gambar 34), yang telah didinginkan di lemari
pendingin (BUKAN dalam freezer). Sebanyak 4-6 buah cool pack atau
sarung tangan berisi air dingin tersebut dapat diletakkan di dada, leher,
dan di bawah bahu bayi (tabel 17).
250
Tabel 17. Panduan active cooling dengan menggunakan cool packs
Indikator Suhu (0C) Jumlah cool packs yang Area tubuh
dibutuhkan
>37,0 4 Kepala, bahu, leher, badan
36,1-37,0 3 Bahu, leher, badan
35,1-36,0 2 Bahu, badan
34,1-35,0 1 Badan
33,0-34,0 0 Tidak ada
Sumber: King Edward Memorial Hospital. Systemic cooling for hypoxic ischemic
Gambar 35.
Termometer
Termometer khusus
untuk mengukur suhu
rektal yang dapat
mengukur suhu
hingga 32oC.
251
rewarming maka proses menaikkan suhu harus diperlambat menjadi
naik 0,5oC setiap 4-8 jam. Pemantauan suhu rektal disarankan tetap
dilakukan hingga 12 jam setelah rewarming.
3.8.8 Follow up
Diperkirakan lebih dari 80% bayi yang bertahan hidup dengan EHI berat
mengalami komplikasi disabilitas berat, dengan 10-20% komplikasi disabilitas
sedang, dan 10% normal. Sedangkan bayi EHI sedang memiliki kemungkinan 30-
50% untuk menderita komplikasi jangka panjang yang berat dan 10 - 20%
sisanya akan mengalami komplikasi neurologis minor. Oleh karena itu, bayi
asfiksia dengan EHI sedang-berat sebaiknya menjalani pemantauan dan
intervensi jangka panjang. Penilaian psikometrik dapat dilakukan sejak bayi
berusia 18 bulan.42 Konsultasi dengan spesialis neurologi anak sangat
dianjurkan untuk pemantauan neurodevelopmental jangka panjang.
BAB IV
Penggunaan plastik transparan tahan panas yang menutupi bayi sampai leher
dapat digunakan untuk mencegah kehilangan panas tubuh pada bayi dengan
berat lahir sangat rendah di bawah 1500g.
252
Pengisapan hanya dilakukan jika jalan napas mengalami obstruksi. Bayi baru
lahir bugar tidak membutuhkan pengisapan hidung, mulut atau faring setelah
lahir.
Tindakan mengisap mekonium dari mulut dan hidung bayi ketika kepala masih
di perineum sebelum bahu lahir tidak direkomendasikan.
Intubasi dan pengisapan endotrakea pada bayi yang lahir dengan kondisi air
ketuban bercampur mekonium sebaiknya dilakukan bila bayi tidak bugar
dengan mempertimbangkan baik manfaat maupun risiko tertundanya ventilasi
karena pengisapan.
Nilai Downe dapat digunakan sebagai alat penilaian klinis gawat pernapasan pada bayi.
Pemberian oksigen dapat ditingkatkan hingga mencapai 100% bila resusitasi awal
dengan udara ruangan gagal
Apabila pemberian CPAP telah mencapai tekanan positif akhir ekspirasi sebesar
8 cmH2O dan FiO2 telah di atas 40% namun bayi masih mengalami gawat
napas, maka pertimbangkan intubasi.
253
LMA dapat digunakan dalam resusitasi bila pemberian VTP dengan balon dan sungkup
dan intubasi dengan ETT mengalami kegagalan.
Kompresi dada harus dilakukan pada sepertiga bawah sternum dengan kedalaman
sepertiga dari diameter antero-posterior dada
Teknik dua ibu jari lebih dianjurkan karena teknik ini dapat memberikan
tekanan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih baik pada bayi baru lahir.
Pemberian epinefrin melalui pipa endotrakeal dapat dijadikan pilihan bila jalur
intravena tidak tersedia walaupun jalur ini kurang efektif dibandingkankan jalur
intravena.
Pemberian epinefrin melalui jalur endotrakeal perlu diberikan dalam dosis yang
lebih tinggi dibandingkankan pemberian melalui intravena.
254
Sodium bikarbonat tidak rutin diberikan pada resusitasi bayi baru lahir
Pemberian nalokson tidak direkomendasikan sebagai bagian awal resusitasi bayi baru
lahir dengan depresi napas.
Nilai Thompson >6 atau Sarnat stage 2-3 (sedang-berat) pada usia 3-5 jam
merupakan prediktor sensitif dari gambaran abnormal aEEG pada usia 6 jam
atau ensefalopati sedang-berat dalam 72 jam setelah kelahiran. Penilaian
Thompson dini bermanfaat untuk penentuan apakah bayi akan dilakukan terapi
hipotermia
255
Metode kombinasi aEEG dan pemeriksaan neurologis sesaat setelah kelahiran
meningkatkan kemampuan identifikasi bayi risiko tinggi dan menurunkan
kesalahan identifikasi (falsely identified) bayi dibandingkankan dengan
evaluasi dengan salah satu metode saja.
Fenobarbital merupakan obat pilihan utama anti-kejang lini satu. Bila kejang
belum teratasi dapat diberikan dosis tambahan hingga dosis maksimal
terpenuhi.
Nilai laktat tertinggi dalam satu jam pertama kehidupan dan pemeriksaan serial
laktat merupakan prediktor penting EHI sedangberat.
BAB V
SIMPULAN
256
• Setiap bayi yang lahir harus dilakukan penilaian awal apakah perlu mendapat
resusitasi atau tidak .
• Langkah resusitasi terdiri atas langkah awal, ventilasi tekanan positif,
kompresi dada, pemberian obat obatan dan pemasangan pipa endotrakeal
yang harus dilakukan sesuai dengan indikasi dan prosedur yang benar.
• Sebaiknya dilakukan pencegahan kelahiran bayi prematur dan asfiksia.
• Terapi hipotermia merupakan pilihan terapi untuk mencegah terjadinya
sekuele atau gangguan perkembangan neurologik akibat asfiksia.
DAFTAR RUJUKAN
257
6. Situs Departemen Kesehatan RI. Diunduh dari www.depkes.go.id.
pada tanggal 15 Mei 2009.
7. Rudiger M, Aguar M. Newborn Assesment in the delivery room.
NeoReview. 2012;13:e336-42.
8. Shah P, Riphagen S, Beyene J, Perlman M. Multiorgan dysfunction in
infants with post-asphyxial hypoxic-ischaemic encephalopathy. Arch
Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2004;89:F152-5.
9. van Handel M, Swaab H, de Vries LS, Jongmans MJ. Long-term
cognitive and behavioral consequences of neonatal encephalopathy
following perinatal asphyxia: a review. Eur J Pediatr. 2007;166:645-
54.
10. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Tuttle DJ. Perinatal
asphyxia. Dalam: Gomella T, Cunningham M, Eyal FG, Tuttle DJ.
Neonatology: Management, procedures, on-call problems, diseases,
and drugs. Edisi ke-6. United states: McGraw-Hill education; 2013.
11. World Health Organization. Basic newborn resuscitation: A practical
guiderevision. Geneva: World Health Organization; 2012. Diunduh
dari
http://www.who,int/reproductive-health/publications/newborn_resus_
citation/index.html.
12. World Health Organization. Guidelines on basic newborn
resuscitation. Diunduh dari:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75157/1/9789241
503693_eng.pdf. pada tanggal 19 september 2014.
13. Lee ACC, Mullany LC, Tielsch JM, dkk. Risk factors for neonatal
mortality due to birth asphyxia in Southern Nepal: A prospective,
community-based cohort study.
Pediatrics. 2008;121:e1381-90.
14. American College of Obstetricians and Gynecologist. Umbilical cord
blood gas and acid-based analysis. ACOG committe opinion No. 348.
Obstet Gynecol. 2006;108:1319-22.
15. American Academy of Pediatrics and American College of
Obstetricians and Gynaecologists. Care of the neonate. Dalam:
Gilstrap LC, Oh W, penyunting. Guidelines for perinatal care. Elk
Grove Village (IL): American Academy of Pediatrics; 2002: h.196-7.
16. IDAI. Asfiksia neonatorum. Dalam: Standar pelayanan medis
kesehatan anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004. h.272-6.
17. Saloojee H. Anticonvulsants for preventing mortality and morbidity
in full term newborns with perinatal asphyxia: RHL commentary
(revisi tanggal 10 Oktober 2007). The WHO reproductive health
library; Geneva: World Health Organization.
18. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association.
Buku panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-6. Jakarta: Perinasia;
2011.
258
19. Alonso-Spilsbury M, Mota-Rojas D, Vilanuvea-Garcia D, dkk.
Perinatal asphyxia patophysiology in pig and human: a review. Anim
Reprod Sci. 2005;90:1-30.
20. McGuire W. Perinatal asphyxia. BMJ Clin Evid. 2007;2007:0320.
21. Fahrudin F. Analisis beberapa faktor risiko kejadian asfiksia
neonatorum di Kabupaten Purworejo. Diunduh dari:
http://eprints.undip.ac.id/14393 /1/2003MIKM2003.pdf. pada tanggal
26 september 2014.
22. Oswyn G, Vince JD, Friesen H. Perinatal asphyxia at Port Moresby
general Hospital: a study of incidence, risk factors and outcome. PNG
Med J. 2000;43:110-20.
23. Leone TA, Finer NN. Resuscitation in the delivery room. Dalam:
Gleason CA dan Devaskar SU, penyunting. Avery’s diseases of the
newborn. Edisi ke-9. United Stated of America: Elsevier Inc; 2012.
h.331.
24. Nold JL, Georgieff MK. Infants of diabetic mothers. Pediatr Clin N
Am. 2004;51:619-37.
25. Richardson BS. Fetal adaptive responses to asphyxia. Clin Perinatol.
1989;16:595-611.
26. Williams CE, Mallard C, Tan Gluckman PD. Pathophysiology of
perinatal asphyxia. Clin Perinatol. 1993;20:305-23.
27. Jensen A, Hohmann M, Kunzel W. Dynamic changes in organ blood
flow and oxygen consumption during acute asphyxia in fetal sheep. J
Dev Physiol. 1987;9:337-46.
28. Nishimaki S, Iwasaki S, Minamisawa S, Seki K, Yokota S. Blood
flow velocities in the anterior cerebral artery and basilar artery in
asphyxiated infants. J Ultrasound Med. 2008;27:955-60.
29. Weir FJ, Ohlsson A, Fong K, Amankwah K, Coceani F. Does
endothelin-1 reduce superior mesentric blood flow velocity in preterm
neonates? Arch Dis Child Fetal Neonatal. 1999;80:F123-7.
30. Cipolla MJ. Control of cerebral blood flow. Dalam: Cipolla MY,
penyunting. The cerebral circulation. San Rafael (CA): Morgan &
Claypool Life Sciences; 2009.
31. Varkilova L, Slancheva B, Emilova Z, dkk. Blood lactate
measurement as a diagnostic and prognostic tool after birth asphyxia
in newborn infants with gestational age >34 gestational weeks. Akush
Ginekol. 2013;52:36-43.
32. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy: Clinical aspects.
Dalam: Fletcher J, penyunting. Neurology of the newborn. Edisi ke-5.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008.h.325-586.
33. Davidson JO, Wassink G, Heuij LG, Bennet L, Gunn AJ. Therapeutic
hypothermia for neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy – where
to from here. Front Neurol. 2015;6:198.
259
34. Antonucci R, Porcella A, Piloni MD. Perinatal asphyxia in the term
newborn. JPNIM. 2014;3:e030269.
35. Gleason CA, Juul SE. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke-9.
Philadelphia: Saunders/Elsevier. 2012
36. Romero CC, Vega CC. Neuroprotection in perinatal hypoxic ischemic
encephalopathy – pharmacology combination therapy. Dalam: Svraka
E, penyunting. Cerebral palsy challenges for the future. Edisi
pertama. Amerika serikat:Intech; 2014. h.123-192.
37. Dixon BJ, Reis C, Ho WM, Tang J, Zhang JH. Neuroprotective
strategies after neonatal hypoxic ischemic encephalopathy. Int J Mol
Sci. 2015;16:2236822401.
38. Vannucci SJ, Hagberg H. Review: Hypoxia-ischemia in the immature
brain. J Exp Biol. 2004;207:3149-54.
39. Behrman RE, Butler AS. Mortality and acute complications in
preterm infants. Dalam: Behrman RE, Butler AS, penyunting.
Preterm birth: causes, consequences, and prevention. Washington:
National Academies Pres (US); 2007.
40. Yu VWH. Neonatal complication in preterms infanys. Dalam: Yu
VWH, Wood EC, penyunting. Prematurity. Edinburg: Churcill
Livingstone;1987. h.148-69.
41. Nelson KB, Leviton A . How much of neonatal encephalopathy is due
to birth asphyxia?. Am J Dis Child. 1991;145:1325-31.
42. Agarwal R, Jain A, Deodari AK, dan Paul VD. Post-resuscitation
management of asphyxia. Ind J Pediatr. 2008;75.
43. Fink S. Intraventricular hemorrhage in the term infant. Neonatal
network. 2000;19:13-8.
44. McIntyre. Neonatal aspects of perinatal asphyxia. Dalam:
Arulkumaran S, Jenkins HML, penyunting. Perinatal asphyxia.
London: Sangam; 2000.
45. Adcock LM, Papile LA. Perinatal asphyxia. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams Wilkins; 2008.
46. Lapointe A, Barrington KJ. Pulmonary hypertension and the
asphyxiated newborn. J Pediatr. 2011;158:e19-24.
47. Ranjit MS. Cardiac abnormalities in birth asphyxia. Ind J Pediatr.
2000;67:529-
32.
48. Andreoli SP. Clinical evaluation and management. Dalam: Avner ED,
Harmon P, dan Niaudet P, penyunting. Pediatric neprology.
Philadelphia: Lippincott Williams & wilkins; 2004.
49. Gupta BD, Sharma P, Bagla J, Parakh M, Soni JP. Renal failure in
asphyxiated neonates. Ind Pediatr. 2005;42:928-34.
260
50. Fox TP, Godavitarne. What really causes necrotizing enterocolitis?
ISRN gastroenterology. 2012;2012:1-9.
51. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program.
Queensland maternity and neonatal clinical guideline: Hypoxic-
ischaemic enchephalopathy. Queensland: State of Queensland
(Queensland Health); 2016.
52. Choi YJ, Jung MS, Kim SY. Retinal hemorrhage associated with
perinatal distress in newborn. Korean J Ophtalmology. 2011;25:311-
8.
53. Chen LN, He XP, Huang LP. A survey of high risk factors affecting
retinopathy in China. Int. J. Opthalmol. 2012;5:177-80.
54. Brodsky MC. Semiology of periventricular leucomalacia and its optic
disc morphology. British J Opthal. 2003;87:1309-10.
55. Brodsky MC. Optic atrophy in children. Dalam: Brodsky MC,
penyunting. Pediatric neuro-ophtalmology. Edisi ke-2. Heidelberg:
Springer Science+Business Media; 2010.
56. Morales P, Bustamante D, Espina-Marchant P, dkk. Pathophysiology
of perinatal asphyxia: can we predict and improve individual
outcomes? EPMA Journal. 2011;2:211-30.
57. Leuthner SR, Das UG. Low Apgar scores and the definition of
asphyxia. Pediatr Clin N Am. 2004;51:737-45.
58. Lincetto O. Birth asphyxia-summary of the previous meeting and
protocol overview. Diunduh dari:
http://www.curoservice.com/health_ professionals/news/pdf/10-09-
2007_birth_asphyxia02.pdf. pada tanggal 15 Desember 2014.
59. Chalak LF. Perinatal asphyxia in the delivery room: Initial
management and current cooling guidelines. Neoreview.
2016;17:e463-70.
60. Lee ACC, Mullany LK, Tielsch JM, dkk. Risk factors for neonatal
mortality due to birth asphyxia in Southern Nepal: A prospective
community-based cohort study.
Pediatrics. 2008;121:e1381.
61. Shankaran S, Laptook AR, Ehrenkranz RA, dkk. Whole body
hypotermic for neonates with hypoxic ischemic encephalopathy. N
Engl J Med. 2005;353:157484.
62. Siva Saranappa SB, Chaithanya CN, Madhu GN, Srinivasa S,
Manjunath MN. Clinical profile and outcome of perinatal asphyxia in
tertiary care centre. Curr Pediatr Res. 2015;19:9
63. Boskabadi H, Maamouri G, Sadeghian MH, dkk. Early diagnosis of
perinatal asphyxia by nucleated red blood cell count: A case-control
study. Arch Iran Med. 2010;13:275-80.
64. Colaco SM, Ahmed M, Kshirsagar VY, Bajpai R. Study of nucleated
red blood cell counts in asphyxiated newborns and the fetal outcome.
Int J Clin Pediatr. 2014;3:79-85.
261
65. McCarthy JM, Capullari T, Thompson Z, Zhu Y, Spellacy WN.
Umbilical cord nucleated red blood cell counts: normal values and the
effect of labor. J Perinatol. 2006;26:89-92.
66. Australian Resuscitation Council. Neonatal Guidelines. Diunduh dari
www.resus.org.au. pada tanggal 15 Oktober 2013.
67. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program.
Neonatal resuscitation. Queensland: State of Queensland; 2011. h.7-8.
68. Karlowicz MG, Karotkin EH, Goldsmith JP. Resuscitation. Dalam:
Karotkin EH, Goldsmith JP, penyunting. Assisted ventilation of the
neonate. Edisi ke-5. Missouri: Saunders; 2011. h.76-7.
69. UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus. Jakarta: UKK
neonatologi IDAI; 2014.
70. The Royal Women’s Hospital. Delivery room management. Dalam:
The Royal Women’s Hospital neonatal service: Clinician’s handbook.
Melbourne: The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 26.
71. American Academy of Pediatrics. Textbook of neonatal resuscitation.
Edisi ke-7. Amerika serikat: American Academy of Pediatrics and
American Heart Association. 2016.
72. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, dkk. Part 11: Neonatal
resuscitation. 2010 International consensus on cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care science with
treatment recommendations. Circulation. 2010;122:S516-38.
73. Kattwinkell J, Perlman J, Azis K, dkk. Neonatal Rescucitation
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Pediatrics
2010;126:e1400
74. Niermeyer S. Evidence-based guidelines for neonatal resuscitation:
Neonatal resuscitation guidelines. Neoreviews. 2001;2:e38-45.
75. Knobel RB, Wimmer Jr JE, Holbert D. Heat loss prevention for
preterm infants in the delivery room. J Perinatol. 2005;25:304-8.
76. Richmond S, Wyllie J. European Resuscitation Council Guidelines
for Resuscitation
2010 Section 7. Resuscitation of babies at birth. Resuscitation.
2010;81:1389– 99
77. Raghuveer TS, Cox AJ. Neonatal resuscitation: an update. Am Fam
Physician. 2011;83:911-8.
78. Grein AJ, Welner GM. Laryngeal mask airway versus bag-mask
ventilation or endotracheal intubation for neonatal resuscitation.
Cochrane Neonatal Review. 2005.
79. UK Resuscitation Council. Section 11 Newborn Life Support. 2010
Resuscitation Guidelines. Diunduh dari www.resus.org.uk/pages/nls.
pdf. pada tanggal 15 Oktober 2013.
80. Kamlin CO1, O'Donnell CP, Davis PG, Morley CJ. Oxygen saturation
in healthy infants immediately after birth. J Pediatr. 2006.148:585-9.
262
81. Dawson JA, Kamlin COF, Vento M, dkk. Defining the reference
range for oxygen saturation for infants after birth. Pediatrics.
2010;125:e1340-7.
82. American College of Obstetricians and Gynecologist; American
Academy of Pediatrics. The APGAR score. ACOG committe opinion
No. 333. Obstet Gynecol. 2006;107:1209-12.
83. American Academy of Pediatrics, Commitee on Fetus and Newborn,
American Colledge of Obstetricians and Gynecologist and Committe
on Obstetric Practice. The Apgar score. Pediatrics. 2006;117;1444.
84. Kattwinkel J. Neonatal resuscitation for ILCOR and NRP: evaluating
the evidence and developing a consensus. J Perinatol. 2008;28:s28-9.
85. Halamek LP, Morley C. Continuous positive airway pressure during
neonatal resuscitation. Clin Perinatol. 2006;33:83–98.
86. Spitzer AR, Clark RH. Positive pressure ventilation in the treatment
of neonatal lung disease. Dalam: Goldsmith dan Karotkin
(penyunting). Assisted ventilation of the neonate. Edisi ke-5.
Missouri: Elseiver Saunder; 2011.
87. Yagui AC, Vale LAPA, Haddad LB, dkk. Bubble CPAP versus
CPAP with variable flow in newborn with respiratory distress: a
randomized control trial. Journal de Pediatria. 2011;87:499-504.
88. Buch P, Makwana AM, Chudasama RK. Usefulness of Downe score
as clinical assessment tool and bubble CPAP as primary respiratory
support in neonatal respiratory distress syndrome. J Pediatr Sci.
2013;5:176-83
89. Trevisanuto D, Cengio VD, Doglioni N, dkk. Oxygen delivery using
a neonatal self-inflating resuscitation bag: effect of oxygen flow.
Pediatrics.
2013;131:e144-9.
90. Benett S, Finer NN, Vaucher Y. A comparison of three neonatal
resuscitation devices. Resuscitation. 2005. 67:113-8.
91. Hussey SG, Ryan CA, Murphy BP. Comparison of three manual
ventilation devices using an intubated manenequin. Arch Dis Child
Fetal Neonatal. 2004; 89:F490-3.
263
95. Oca MJ, Nelson M, Donn SM. Randomized trial of normal saline
versus 5% albumin for the treatment of neonatal hypotension. J
Perinatol. 2003; 23:43776.
96. McGuire W, Fowlie PW. Naloxone for narcotic exposed newborn
infants: systemic review. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2003;88.
97. The International Liaison Commitee on Resuscitation. The
International Liaison Commitee on Resuscitation (ILCOR) consensus
on science with treatment recommendations for pediatric and neonatal
patients: Neonatal resuscitation. Pediatrics. 2006;117;e978-88.
98. Bissinger RL. Neonatal resuscitation, 2012. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/ 977002-overview pada
tanggal 18 Oktober 2014.
99. World Health Organization. WHO guidelines on hand hygiene in
health care,
2009. Diunduh dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241597906_eng.pdf?
ua=
1 pada tanggal 24 September 2014
100. Davis RP, Mychaliska GB. Neonatal pulmonary physiology. Semin
Pediatr Surg. 2013;22:179–184.
101. Karlsen KA. The STABLE program: Pre-transport/ Post-resuscitation
stabilization care of sick infants, guidelines for neonatal healthcare
providers. 2006. Diunduh dari
http://www.stableprogram.org/docs/
stable_learner_manual_preview.pdfpad a tanggal 24 september 2014
102. Canadian Paediatric Society. Screening guidelines for newborns at
risk for low blood glucose. Paediatr Child Health. 2004;9:723-9.
103. Chakkarapani E, Thoresen M. Use of hypothermia in the asphyxiated
infant.
Perinatology. 2010;3:20-9.
104. Schuchmann S, Schimitz D, Rivera C, dkk. Experimental febrile
seizures are precipitated by a hyperthermia-induced respiratory
alkalosis. Nat Med. 2006;12:817-23.
105. Arciniegas DB. Hypoxic-ischemic brain injury. 2012. Diunduh dari
http://www.internationalbrain.org/ articles/hypoxicischemic-brain-
injury/ pada tanggal 19 Mei 2015.
106. Mizrahi EM. Neonatal seizures and neonatal epileptic syndromes.
Neurologic clinics. 2001;19:427-63.
107. Glass H. Neonatal seizures. Clin Perinatol. 2014;41:177-190.
108. Shellhaas RA, Chang T, Tsuchida T, dkk. The American Clinical
Neurophysiology Society's Guideline on Continuous
Electroencephalography Monitoring in Neonates. J Clin Neurophysiol
2011; 28:611.
264
109. Weeke L, Toet M, van Rooij L, dkk. Lidocaine response rate in
aEEG-confirmed neonatal seizures: Retrospective study of 413 full-
term and preterm infants. Epilepsia. 2015;57:233-242.
110. Divisi Perinatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Guidelines for
administration of IV drugs by infusion on the neonatal unit. Jakarta:
RSUPN Cipto Mangunkusumo; 2005.
111. Hart AR, Pilling EL, Alix JJ. Neonatal seizures–part 2: aetiology of
acute symptomatic seizures, treatments and the neonatal epilepsy
syndromes. Arch Dis Child Educ Pract Ed. 2015;100:226–232.
112. Evans D. Levene M. Neonatal seizures. Arch Dis Child Fetal
Neonatal 1998; 78:F70-5.
113. Srinivasakumar P, Zempel J, Trivedi S, dkk. Treating EEG Seizures
in Hypoxic Ischemic Encephalopathy: A randomized controlled trial.
Pediatrics 2015; 136:e1302.
114. Hellström-Westas L, Boylan G, Ågren J. Systematic review of
neonatal seizure management strategies provides guidance on anti-
epileptic treatment. 2014.
115. Agarwal R. Guidelines on neonatal seizures. World Health
Organization. 2011
116. Volpe J, Inder T, Darras B, dkk. Neurology of the newborn. Edisi ke-
6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2017.h.275-318.
117. Vento M, de Vries L, Alberola A, dkk. Approach to seizures in the
neonatal period: a European perspective. Acta Paediatrica.
2010;99(4):497-501.
118. Slaughter L, Patel A, Slaughter J. Pharmacological Treatment of
Neonatal Seizures. Journal of Child Neurology. 2013;28:351-364.
119. Bourgeois BF, Dodson WE. Phenytoin elimination in newborns.
Neurology 1983; 33:173.
120. Kementerian Kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan neonatal
esensial: Pedoman teknis pelayanan kesehatan dasar. Edisi Revisi.
Jakarta: Kementrian kesehatan, 2010.
121. Painter MJ, Scher MS, Stein AD, dkk. Phenobarbital compared with
phenytoin for the treatment of neonatal seizures. N Engl J Med. 1999;
341:485–489. [PubMed: 10441604]
122. Lockman LA, Kriel R, Zaske D, dkk. Phenobarbital dosage for
control of neonatal seizures. Neurology. 1979;29:1445- 1449.
123. Riviello JJ. Drug therapy for neonatal seizures: Part 2. Pharmacol
Rev. 2004;5:e262-e268.
124. Gherpelli JL, Cruz AM, Tsanaclis LM, dkk. Phenobarbital in
newborns with neonatal seizures. A study of plasma levels after
intravenous administration. Brain Dev. 1993 Jul-Aug;15(4):258-62.
125. McMorris S, McWilliam PK. Status epilepticus in infants and young
children treated with parenteral diazepam. Arch Dis Child.
265
1969;44:604 611.
126. Boylan G, Rennie J, Chorley G, dkk. Second-line anticonvulsant
treatment of neonatal seizures. Neurology. 2004; 62:486–488.
[PubMed: 14872039]
127. Laptook AR, Shalak L, Corbett RJT. Differences in brain temperature
and cerebral blood flow during selective head versus whole-body
cooling. Pediatrics. 2001; 108;1103.
128. Campo-Soria C, Chang Y, Weiss DS. Mechanism of action of
benzodiazepines on GABA receptors. British Journal of
Pharmachology. 2006;148(7).
266
141. Castro Conde JR, Hernández Borges AA, Doménech Martínez E,
dkk. Midazolam in neonatal seizures with no response to
phenobarbital. Neurology 2005; 64:876.
142. Langslet A, Meberg A, Bredesen JE, dkk. Plasma concentrations of
diazepam and N-desmethyldiazepam in newborn infants after
intravenous, intramuscular, rectal and oral administration. Acta
Paediatr Scand. 1978;67:699-704.
143. Ramsey RE, Hammond EJ, Perchalski RJ, dkk. Brain uptake of
phenytoin, phenobarbital, and diazepam. Arch Neurol. 1979;36:535.
144. Prensky AL, Raff MC, Moore MJ, dkk. Intravenous diazepam in the
treatment of prolonged seizure activity. N Engl J Med. 1967;276:779-
784.
145. Smith BT, Masotti RE. Intravenous diazepam in the treatment of
prolonged seizure activity in neonates and infants. Dev Med Child
Neurol. 1971;13:630-634.
146. Schiff D, Chan G, Stern L. Fixed drug combinations and the
displacement of bilirubin from albumin. Pediatrics.1971;48:139-141.
147. Gamstorp I, Sedin G. Neonatal convulsions treated with continuous,
intravenous infusion of diazepam. Ups J Med Sci. 1982;87:143-149.
148. Committee on Drugs. Drugs for pediatric emergencies. Pediatrics.
1998; 101(1):1-11.
149. Wolf Ni, Bast T, Surtees R. Epilepsy in inborn errors of metabolism.
Epileptic Disord 2005; 7: 67-81.
150. Lehr VT, Chugani HT, Aranda JV. Anticonvulsants. Dalam: Yaffe
SJ, Aranda JV, penyunting. Neonatal and pediatric pharmacology:
Therapeutic principles in practice. Edisi ketiga. Philadhelpia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2005.
151. Taketomo CK, Hodding JH, Kraus DM. Pediatric and neonatal
dosage handbook: A comprehensive resource for all clinicians
treating pediatric and neonatal patients. Edisi ke-18.
152. Hospira UK Ltd. Phenytoin injection. 2014. Diunduh dari
https://www.medicines.org.uk/emc/medicine /650 pada tanggal 15
April 2015.
153. Murphy SA. Emergency management of
seizures. Diunduh dari
https://www.umassmed.edu/.
154. Young T, Mangum B. Neofax 2010. Thomson Reuters;2010:23
155. The Royal Women’s Hospital. Paediatric Pharmacopoeia 13 th Ed.
Royal Women’s Hospital Melbourne.
156. Taketomo CK, Hodding JH, Kraus DM. Pediatric and neonatal
dosage handbook. Hudson (OH): Lexi Comp; 2010.
157. Sophie P. Essential drugs - practical guidelines. 17th ed. Médecins
Sans Frontières; 2017.
267
158. The Royal Women’s Hospital. Neonatal Pharmacopoeia. Pharmacy
Departement 1998;1.
159. World Health Organization. Cooling for newborns with hypoxic
ischaemic ensephalopathy. 2010.
http://apps.who.int/rhl/newborn/cd003311_ballotde_com/en/ pada
tanggal 14 Agustus 2014
160. Salhab WA, Wyckoff AR. Laptook AR, Perlman JM. Initial
hypoglycemia and neonatal brain injury in term infants with severe
fetal acidemia. Pediatrics,2004;114:361-6)
161. Silveira RC, Procianoy RS. Hypothermia therapy for newborns with
hypoxic ischemic encephalopathy. J Pediatr (Rio J). 2015; 9: 578-583
162. Robertson NJ, Kendall GS, Thayyil S. Techniques for therapeutic
hypothermia during transport and in hospital for perinatal asphyxial
encephalopathy. Semin Fetal Neonatal Med. 2010;15:276-86.
163. Shankaran S. Therapeutic hypotermia for neonatal enchephalopathy.
Curr Treat Options Neurol. 2012; 14.
164. Sarafidis K, Soubasi V, Mitsakis K, Agakidou VD. Therapeutic
hypothermia in asphyxiated neonates with hypoxic-ischemic
encephalopathy: A single-center experience from its first application
in Greece. Hippokratia. 2014; 18:226-30.
165. Azzopardi D, Strohm B, Linsell L, dkk. UK TOBY Cooling Register.
Implementation and conduct of therapeutic hypothermia for perinatal
asphyxial encephalopathy in the UK--analysis of national data. PLoS
One. 2012; 7: e38504.
166. Khurshid F, Lee KS, McNamara PJ, Whyte H, Mak W. Lessons
learned during implementation of therapeutic hypothermia for
neonatal hypoxic ischemic encephalopathy in a regional transport
program in Ontario. Paediatr Child Health. 2011; 16: 153-156.
167. Gluckman PD, Wyatt JS, Azzopardi D, dkk. Selective head cooling
with mild systemic hypothermia after neonatal encephalopathy:
multicentre randomized trial. Lancet. 2005; 365:663-70.
168. Hoque N, Chakkarapani E, Liu X, Thoresen M. A comparison of
cooling methods used in therapeutic hypothermia for perinatal
asphyxia. Pediatrics. 2010;126:e124-30.
169. Celik Y, Atici A, Makharoblidze K, Eskandari G, Sungur MA,
Akbayir S. The effects of selective head cooling versus whole-body
cooling on some neural and inflammatory biomarkers: a randomized
controlled pilot study. Italian Journal of Pediatrics. 2015; 41:79
170. Laptook AR, Shalak L, Corbett RJT. Differences in brain temperature
and cerebral blood flow during selective head versus whole-body
cooling. Pediatrics. 2001; 108;1103.
171. Lambrechts H, Bali S, Rankin S. Therapeutic hypotermia for infants
≥35 weeks with moderate/ severe hypoxic ischaemic encephalopathy
(HIE) clinical guideline,2010. Diunduh dari
http://www.northerntrust.hscni.net pada tanggal 14 Agustus 2014.
268
172. The Royal Women’s Hospital. Neurology: Clinical evidence for
therapeutic hypothermia for near-term infants with moderate or
severe hypoxic ischaemic encephalopathy. Dalam: The royal
women’s hospital neonatal service: Clinician’s handbook. Melbourne:
The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 105-8.
173. Jacobs SE, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis PG. Cooling
for newborns with hypoxic ischaemic encephalopathy. Cochrane
Database of Systematic Reviews 2007, Issue 4, Art. No: CD003311.
174. Schulzke SM, Rao S, dan Patole SK. A systematic review of cooling
for neuroprotection in neonates with hypoxic ischemic
encephalopathy-are we there yet? BMC Pediatrics. 2007; 7: 1-10.
175. Jacobs SE, Berg M, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis PG.
Cooling for newborns with hypoxic ischaemic encephalopathy.
Cochrane Database of Systematic Reviews 2013, Issue 1. Art. No.:
CD003311.
176. Conway J, Walsh B, Boylan G, Murray D. Mild hypoxic ischaemic
encephalopathy and long term neurodevelopmental outcome - A
systematic review. Early Human Development. 2018;120:80-87.
177. Laptook A, Shankaran S, Tyson J, dkk. Effect of Therapeutic
Hypothermia Initiated After 6 Hours of Age on Death or Disability
Among Newborns With Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. JAMA.
2017;318(16):1550.
178. Lally PJ, Price DL, Pauliah SS, dkk. Neonatal encephalopathic
cerebral injury in South India assessed by perinatal magnetic
resonance biomarkers and early childhood neurodevelopmental
outcome. PLoS ONE 2014;9:e87874.
179. van de Riet JE, Vandenbussche FP, Le Cessie S, Keirse MJ. Newborn
assessment and long-term adverse outcome: a systematic review. Am
J Obstet Gynecol 1999;180:1024-9).
180. Horn AR, Swingler G, Myer L, Linley LL, Raban MS, Joolay Y.
Early clinical signs in neonates with hypoxic-ischemic
encephalopathy predict an abnormal amplitude-integrated
electroencephalogram at age 6 hours. Pediatrics 2013;13:52.
181. Merchant N, Azzopardi D. Early predictors of outcome in infants
treated with hypothermia for hypoxic-ischemic encephalopathy. HIE
supplement 2015;57:816
182. Mwakyusa SD, Manji KP, Massawe AW. The hypoxic ischaemic
encephalopathy score in predicting neurodevelopmental outcomes
among infants with birth asphyxia at the Muhimbili National
Hospital, Dar-es Salaam Tanzania. J Tropical Pediatr. 2008; 55: 8-14.
183. El-Dib M, Chang T, Tsuchida TN, Clancy RR. Amplitude-integrated
electroencephalography in neonates. PediatricNeurology.
2009;41:315-326.
184. Clancy RR, Dicker L, Cho S, dkk. Agreement between long-term
neonatal background classification by conventional and amplitude-
269
integrated EEG. J Clin Neurophysiol. 2011;28:1-9.
185. Foreman SW, Thorngate L, Burr RL, Thomas KA. Electrode
challanges in amplitude-integrated EEG: research application of a
novel noninvasive measure of brain function in preterm infants. Biol
Res Nurs. 2011.
186. Thoresen M, Westas LH, Liu X, Vries LS. Effect of hypothermia on
amplitude integrated encephalogram in infants with asphyxia.
Pediatrics. 2010; 126: 131139
187. van Laerhoven H, de Haan TR, Offringa M, Post B, van der Lee JH.
Prognostic tests in term neonates with hypoxic-ischemic
encephalopathy: a systematic review. Pediatrics 2013;131:88-98
188. Shalak LF, Laptook AR, Velaphi SC, Perlman JM. Amplitude-
integrated electroencephalography coupled with an early neurological
examination enhances prediction of term infants at risk for persistent
encephalopathy. Pediatrics 2003;111:351-7
189. Thoresen M, Hellstrom-Westas L, Liu X, de Vries LS. Effect of
hypothermia on amplitude-integrated electroencephalogram in infants
with asphyxia. Pediatrics 2010;126:e131-9
190. Deshpande SA, Ward Platt MP. Association between blood lactate
and acidbase status and mortality in ventilated babies. Arch Dis Child
Fetal Neonatal Ed 1997;76:F15-20.
191. Cheung PY, Robertson CMT, Finer NN. Plasma lactate as a predictor
of early childhood neurodevelopmental outcome of neonates with
severe hypoxemia requiring extra corporeal membrane oxygenation.
Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1996;74:F47-50.
192. Shah S, Tracy M, Smyth K. Postnatal lactate as an early predictor of
short-term outcome after intrapartum asphyxia. J Perinatol
2004;24:16-20
193. Jongeling BR, Badawi N, Kurinczuk JJ, dkk. Cranial ultrasound as a
predictor of outcome in term newborn encephalopathy. Pediatr Neurol
2002;26:37-42.
194. Varghese B, Xavier R, Manoj VC, Aneesh MK, Priya PS, Kumar A,
Sreenivasan VK. Magnetic resonance imaging spectrum of perinatal
hypoxic-ischemic brain injury. Indian J Radiol Imaging 2016;26:316-
27
195. Rutherford M, Malamateniou C, McGuinness A, Allsop J,Biarge
MM, Counsell S. Magnetic resonance imaging in hypoxic-ischemic
encephalopathy. J Early Human Development 2010;86:351-60
196. Jobsis FF. Noninvasive, infrared monitoring of cerebral and
myocardial oxygen sufficiency and circulatory parameters, Science
1977;198: 1264-1267.
197. Greisen G, Leung T, Wolf M. Has the time come to use near-infrared
spectroscopy as a routine clinical tool in preterm infants undergoing
intensive care? Phil Trans R Soc A 2011;369:4440-51.
270
198. Panerai RB. Transcranial Doppler for evaluation of cerebral
autoregulation. Clin Auton Res 2009; 19: 197–211.
199. Toet M. Cerebral Oxygenation and Electrical Activity After Birth
Asphyxia: Their Relation to Outcome. Pediatrics. 2006;117:333-339.
200. Goeral K, Urlesberger B, Giordano V, dkk. Prediction of Outcome in
Neonates with Hypoxic-Ischemic Encephalopathy II: Role of
Amplitude-Integrated Electroencephalography and Cerebral Oxygen
Saturation Measured by NearInfrared Spectroscopy. Neonatology.
2017;112:193-202.
201. Perlman JM, McMenamin JB, Volpe JJ. Fluctuating cerebral blood-
flow velocity in respiratory distress syndrome. Relation to the
development of intraventricular hemorrhage. N Engl J Med
1983;309:204–209.
202. Perlman JM, Goodman S, Kreusser KL, Volpe JJ. Reduction in
intraventricular hemorrhage by elimination of fluctuating cerebral
blood-flow velocity in preterm infants with respiratory distress
syndrome. N Engl J Med 1985;312:1353–1357.
203. Da Costa CS, Greisen G, Austin T. Is near-infrared spectroscopy
clinically useful in the preterm infant? Arch Dis Child Fetal Neonatal
Ed. 2015;100:F558-F561.
204. Liao SM, Culver JP. Near infrared optical technologies to illuminate
the status of the neonatal brain. Curr Pediatr Rev. 2014;10:73-86.
205. Ergenekon E. Therapeutic hypothermia in neonatal intensive care
unit: challenges and practical points. J Clin Neonatol. 2016; 5:8-17
206. Mitchell AP, Johnston ED. Provision of therapeutic hypothermia
during neonatal transport. Infant. 2013;7:79-82
207. Bharadwaj SK Bhat BV. Therapeutic hypothermia using gel packs for
term neonates with hypoxic ischaemia encephalopathy in resource-
limited settings: a randomized controlled trial. J Trop Pediatr. 2012;
58: 382-8.
208. Robertson NJ, Hagmann CF, Acolet D, dkk. Pilot randomized
controlled trial of therapeutic hypotermia with serial cranial
ultrasound and 18-22 month followup for neonatal encephalopathy in
a low resource hospital setting in Uganda: study protocol. Trials.
2011; 12:138.
209. King Edward Memorial Hospital. Systemic cooling for hypoxic
ischemic encephalopathy clinical guidelines. 2014. Diunduh dari
http://www.kemh.health.wa.gov pada tanggal 8 Oktober 2016.
271
LAMPIRAN 1
Berikut ini merupakan daftar persiapan dan peralatan minimal yang harus
disediakan sebelum resusitasi.
Jumlah Keterangan
Topi bayi 1 Topi harus dibuat dari kain atau wol yang hangat
Bulb suction 1
Aspirator mekonium 1
Tabung oksigen dan flowmeter 1 Akan lebih baik bila tersedia tabung cadangan
Jackson rees 1
272
Katup PEEP 1
Pulse oxymetri 1
Monitor EKG 1
Stilet 1
Gunting 1
Set infus 1
Syringe pump 1
273
NaCl 0,9% secukupnya Cukup untuk melakukan bolus sebanyak 2 kali 10
mL/kgBB
Set umbilikal steril 1 set Berisi 1 duk bolong, 1 duk untuk alas alat, 2 klem
duk, 1 pinset lurus, 1 pinset sirurgis, 1 piset
bengkok, 1 klem bengkok, 1 benang silk ukuran
3.0 cutting, 1 needle holder, 1 gunting, 1
mangkok berisi Betadine
Lain-lain
Glukometer 1
Gluko-stick minimal 1
1. Seorang bayi perempuan, 39 minggu, taksiran berat 3200 gram, lahir secara SC cito
atas indikasi gawat janin dari seorang ibu dengan persalinan tak maju. Saat lahir, bayi
apne dan hipotoni.
60 detik • Letakkan bayi di bawah peng hangat, posisikan kepala-leher bayi mengganjal
pertama meghidu/semi-ekstensi dengan bahu bayi menggunakan
kain bedong lipat yang telah dihangatkan sebelumnya.
274
• Keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi.
Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi megap-megap, LJ 100 kali/menit,
hipotoni. nya VTP ditentukan dalam 60 detik
Penolong lain secara bersamaan mem asang pulse oxymetri untuk memantau
LJ dan saturasi oksigen secara akura t.
275
(dapat mempertimbangkan pengguna an monitor EKG bila tersedia)
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi menangis namun merintih, LJ 110
kali/menit, tonus otot baik.
*setelah
pemberian VTP Bayi mulai terlihat merah dan bergerak aktif.
efektif selama 30
detik
VTP dihentikan dan berikan CPAP dini VTP dihentikan dan berikan CPAP dini
menggunakan t-piece resuscitator menggunakan Jackson Rees dengan PEEP
dengan PEEP 7 cmH2O dan konsentrasi 7 cmH2O
oksigen tetap 21%.
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi menangis, tidak merintih, tidak ada
retraksi, LJ 120 kali/menit, dan tonus otot baik.
saat usia 5
menit Bayi terlihat merah, gerakan aktif, dan saturasi 90%.
Perawatan pasca Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,
resusitasi
GDS 72 g/dL
276
2. Seorang bayi perempuan, 30 minggu, taksiran berat 1400 gram, lahir secara SC cito
atas indikasi ibu mempunyai komplikasi eklampsia, tekanan darah tidak terkontrol
dengan obat, ibu kejang, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne dan hipotoni.
* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi
Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 60 kali/menit, hipotoni.
(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)
277
LJ dan saturasi oksigen secara akura t.
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi dan mulai bernapas, LJ 100 kali/menit,
tonus otot kurang, FiO2 40%, saturasi 88%.
*setelah
pemberian VTP
efektif selama 30
detik
VTP dihentikan dan berikan CPAP dini VTP dihentikan dan berikan CPAP dini
menggunakan t-piece resuscitator menggunakan Jackson Rees dengan PEEP
dengan PEEP 7 cmH2O dan konsentrasi 7 cmH2O konsentrasi oksigen tetap 30%.
oksigen tetap 30%.
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi gasping, LJ 110 kali/menit, dan tonus otot
kurang, FiO2 60%, saturasi 88%. Bayi dipersiapkan untuk diintubasi.
saat usia 5 menit
Perawatan pasca Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,
resusitasi
GDS 90 g/dL
278
Apakah bayi perlu Tidak, karena berdasarkan informasi kasus ini:
dilakukan terapi
hipotermia? • recall nilai Apgar 3/8/9 (skor Apgar >5 pada menit ke-10)
• bayi memerlukan bantuan ventilasi > 10 menit
• terdapat riwayat episode hipoksik perinatal, perlu dilakukan AGD tali pusat /
AGD arteri bayi untuk bukti terjadinya asfiksia
• usia gestasi < 35 minggu
• berat lahir <1800-2000 g
Bayi memiliki kecurigaan asfiksia namun terdapat kontraindikasi terapi
hipotermia, sehingga tidak dilakukan terapi hipotermia
3. Seorang bayi perempuan, 36 minggu, taksiran berat 2200 gram lahir secara SC cito
atas indikasi gawat janin. Ibu mempunyai komplikasi eklampsia, tekanan darah tidak
dapat diturunkan dengan obat, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne, hipotoni,
dan terlihat sangat pucat
60 detik pertama • Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-
ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah
dihangatkan sebelumnya.
• Keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi. (Penolong
dapat memasang plastik polietilen bila dirasa perlu karena suhu ruang resusitasi
sangat dingin).
* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi
Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 70 kali/menit, hipotoni.
(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)
279
Penolong memberikan VTP dengan Penolong memberikan VTP dengan
konsentrasi oksigen 21% menggunakan konsentrasi oksigen 21% menggunakan
t-piece resuscitator dilengkapi dengan BMS tanpa sumber oksigen (hanya
blender oksigen eksternal atau menggunakan udara ruangan).
menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara
tekan, tanpa oksigen murni). Berikan PIP
dan PEEP, umumnya dimulai dari 30/5.
PIP dapat ditingkatkan sampai dada
mengembang, kemudian dapat juga
diturunkan bila dada terlalu
mengembang
Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan
saturasi oksigen secara akurat.
280
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →belum bernapas, LJ 100 kali/menit,
hipotoni, saturasi 88%, FiO2 60%, dan bayi mulai kemerahan.
*setelah pemberian VTP
efektif selama
30 detik
Bayi dilakukan intubasi saat usia 2 menit dan belum bernapas
spontan sampai usia 10 menit.
Bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan khusus dengan inkubator transpor dalam
keadaan dingin
281
Setting: ruang • Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 7
perawatan
4. Seorang bayi perempuan, 36 minggu, taksiran berat 2200 gram lahir secara SC cito
atas indikasi gawat janin. Ibu mengalami perdarahan antepartum berat karena
plasenta previa totalis, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne, hipotoni, dan
terlihat sangat pucat
60 detik pertama • Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-
ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah
dihangatkan sebelumnya.
• Keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi. (Penolong
dapat memasang plastik polietilen bila dirasa perlu karena suhu ruang resusitasi
sangat dingin).
• Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan).
• Posisikan bayi kembali
* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi
Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi megap-megap, LJ 70 kali/menit, hipotoni.
(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)
282
Penolong memberikan VTP dengan Penolong memberikan VTP dengan
konsentrasi oksigen 21% menggunakan konsentrasi oksigen 21% menggunakan
t-piece resuscitator dilengkapi dengan BMS tanpa sumber oksigen (hanya
blender oksigen eksternal atau menggunakan udara ruangan).
menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara
tekan, tanpa oksigen murni). Berikan PIP
dan PEEP, umumnya dimulai dari 30/5.
PIP dapat ditingkatkan sampai dada
mengembang, kemudian dapat juga
diturunkan bila dada terlalu
mengembang
Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan
saturasi oksigen secara akurat.
283
• Penolong melakukan intubasi. Bila • Penolong dapat melakukan intubasi
intubasi sulit dilakukan, penolong atau memasang LMA (bila tersedia),
dapat menggunakan LMA. VTP kemudian melanjutkan VTP bag to
dilanjutkan bag to tube. tube.
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, LJ 54
kali/menit, hipotoni, saturasi 55%
*setelah pemberian VTP
efektif selama
30 detik
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →laju napas 40-50 kali/menit, LJ
90-100 kali/menit, nadi lemah, hipotoni, saturasi 75%, pucat.
*setelah pemberian VTP
dan kompresi dada
terkoordinasi
selama 60 detik
Penolong yang lain memasang akses vena umbilikal karena akses perifer umumnya lebih
sulit dilakukan.
→dilakukan bolus NaCl 0,9% ke-2 →LJ 110-120 kali/menit, isi dan kualitas
cukup, saturasi 90%, bayi kemerahan.
284
Perawatan Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,
pascaresusitasi
GDS 40 g/dL → dilakukan tata laksana sesuai algoritme
hipoglikemia
Bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan khusus dengan inkubator transpor dalam
keadaan dingin
Setting: ruang Bayi kejang 3 kali → dilakukan tata laksana sesuai algoritme kejang
perawatan
• Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 14
285
5. Seorang bayi lelaki, 29 minggu, taksiran berat 1200 gram lahir secara SC cito atas
indikasi gawat janin (bradikardia menetap). Ibu merasakan gerakan janin sangat
jarang, ketuban hijau kental merembes, dan demam tinggi. Saat lahir bayi apne,
hipotoni, kulit pucat dengan sianosis perifer dan kehijauan.
60 detik pertama • Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-
ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah
dihangatkan sebelumnya.
• Pasang plastik polietilen sampai menutupi leher, keringkan muka bayi dengan kain
kering yang hangat, pasang topi. Pastikan plastik tidak terbuka (tidak ada aliran
udara bebas).
• Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan).
• Posisikan bayi kembali
* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi
Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 40 kali/menit, hipotoni.
(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)
Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan
saturasi oksigen secara akurat.
286
(Periksa, lakukan koreksi, • Sungkup → telah melekat rapat
dan • Reposisi jalan napas → posisi kepala-leher telah dalam posisi menghidu/semi-
reevaluasi masingmasing ekstensi
langkah)
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →tidak ada usaha napas, LJ 55
kali/menit, hipotoni, saturasi 60%
*setelah pemberian VTP
efektif selama
30 detik
Penolong memberikan VTP bag to tubedengan konsentrasi oksigen 100% dan kompresi
dada dengan rasio perbandingan 3:1 secara adekuat
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, tidak ada
usaha napas, LJ 80-90 kali/menit, nadi lemah, hipotoni, saturasi
*setelah pemberian VTP 65%, pucat
dan kompresi dada
terkoordinasi selama 60
detik
Penolong tetap memberikan VTP secara adekuat, sedangkan kompresi dada dihentikan
Penolong yang lain memasang akses vena umbilikal karena akses perifer sulit dilakukan.
287
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, tidak ada
usaha napas, LJ 90-100 kali/menit, isi dan tegangan nadi kurang,
saturasi 85%, bayi masih pucat →dilakukan bolus NaCl 0,9% ke-2 →LJ 100
kali/menit, isi dan tegangan cukup, saturasi 90%, badan mulai
kemerahan, kaki tangan kebiruan
288
Setting: ruang Bayi kejang 2 kali → dilakukan tata laksana sesuai algoritme kejang
perawatan
• Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 17
• pH tali pusat 6,7; defisit basa 18 dalam 60 menit pertama lahir (bila mampu laksana)
• usia <6 jam
• bayi asfiksia namun kontraindikasi terapi hipotermia
• konsultasikan pasien dengan konsultan neonatologi pada pelayanan kesehatan level
3 dan orang tua bayi mengenai kondisi bayi dan kontraindikasi terapi hipotermia.
Seorang bayi lelaki lahir secara spontan dari persalinan fase aktif memanjang
(>1 jam) pada usia gestasi 38 minggu, taksiran berat 3100 gram. Faktor risiko
ibu, yaitu ketuban pecah dini >9 jam, keputihan, dan tersangka infeksi
saluran kemih. Saat lahir, bayi tidak menangis, LJ 80 kali/menit, tidak ada
tonus otot, tidak ada refleks, sianotik, dan pucat. Nilai Apgar 1/3/6/8. Bayi
diberikan VTP menggunakan t-piece resuscitator. Usia 30 menit, bayi
kejang selama 15 detik. Bayi didiagnosis neonatus cukup bulan (NCB), sesuai
masa kehamilan (SMK), EHI sedang, tersangka sepsis neonatus awitan dini
(SNAD). Setelah dilakukan perhitungan nilai Thompson, didapatkan nilai 11
pada usia 1 jam sehingga bayi diputuskan menjalani terapi hipotermia
dengan Blanketrol . Berikut ini merupakan follow up selama terapi.
289
hipotermi <24 24-48 48-72
Seorang bayi lelaki lahir secara SC atas indikasi ibu preeklampsia berat. Bayi
lahir pada usia gestasi 39 minggu, taksiran berat 2760 gram. Saat lahir, bayi
tidak menangis, tidak ada tonus otot, LJ 100 kali/menit, sianosis perifer, dan
ketuban sedikit bercampur mekonium. Nilai Apgar 3/4. Bayi diintubasi dan
dilakukan pengisapan endotrakeal diikuti dengan pemberian VTP dengan T-
piece resuscitator dan dilanjutkan dengan penggunaan ventilator
mekanik. Bayi didiagnosis neonatus cukup bulan (NCB), sesuai masa
kehamilan (SMK), EHI sedang, tersangka sepsis neonatus awitan dini (SNAD).
Setelah dilakukan perhitungan nilai Thompson, didapatkan nilai 7 pada usia 1
jam sehingga bayi diputuskan menjalani terapi hipotermia dengan sarung
tangan berisi air dingin. Berikut ini merupakan follow up selama terapi.
290
Pemantauan Sebelum Fase terapi hipotermi (jam)
terapi
hipotermi <24 24-48 48-72
Suhu 36 34 34 34
LJ 100 100 80 80
Aritmia -
MAP (mmHg) 46 54-63 52-72 54-72
Inotropik - - - -
Hb; Hct 17; 51,9 21,4; 63.2 163; 48,6
(g/dl; %)
Leukosit (/µL) 10.800 10.400 7.700
Trombosit 152.000 130.000 137.000
(/µL)
Faktor PT: 23,10 (K:22) aPTT:
pembekuan 41,30 (K:43,5)
Glukosa serum 111 67 71
Kalium
(mmol/L)
BUN/Cr
Sepsis
Tidak Sepsis ec Pseudomonas
Tidak terdapat efek samping saat rewarming. Gambaran EKG (24-48 jam)
sinus bradikardia dan USG kepala dalam batas normal. Bayi dipulangkan dari
ruang perawatan dengan klinis baik. Pada pemantauan perkembangan saat
usia 18 bulan diperlukan terapi okupasi dan terapi wicara. Masalah
perkembangan dapat teratasi dan saat usia 7 tahun anak dapat mengikuti
pelajaran di sekolah dengan bai
291
3. PNPK Hiperbilirubinemia
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Permasalahan
Pencegahan dan penanganan hiperbilirubinemia di negara berkembang termasuk
Indonesia memiliki berbagai kendala, yaitu bervariasinya panduan tatalaksana
hiperbilirubinemia di Indonesia. Ada panduan menurut Kementerian Kesehatan 8, WHO9,
dan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ikatan dokter anak Indonesia (IDAI) memiliki dua
panduan hiperbilirubinemia, yaitu dalam buku Ajar Neonatologi, 10 dan dalam Pedoman
pelayanan medis jilid II.11 Bervariasinya panduan yang ada menimbulkan tidak
konsistennya pelaksanaan panduan tersebut. 12 Salah satunya adalah persepsi pribadi
dalam melakukan tatalaksana hiperbilirubinemia tersebut. 13 Sebagai upaya mengatasi
berbagai kendala tersebut, disusun suatu standar pedoman nasional penanganan dan
pencegahan hiperbilirubinemia sebagai salah satu kebijakan kesehatan nasional di
Indonesia melalui buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
hiperbilirubinemia.
292
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Menyusun suatu PNPK untuk membantu menurunkan angka kejadian dan
komplikasi bayi di Indonesia akibat hiperbilirubinemia
1.4 Sasaran
1. Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam perawatan neonatus, meliputi
dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat diterapkan di fasilitas pelayanan
kesehatan primer, sekunder, dan tersier.
2. Penentu kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, serta
kelompok profesi terkait.
BAB II
METODOLOGI
Telaah kritis oleh pakar dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak diterapkan pada setiap
artikel yang diperoleh, meliputi: a. apakah studi tersebut sahih? b. apakah hasilnya
secara klinis penting? c. apakah dapat diterapkan dalam tata laksana pasien?
293
2.3 Peringkat bukti (level of evidence)
Ia. Meta-analisis atau telaah sistematik dari uji klinis acak terkontrol
BAB III
294
Ikterus neonatorum merupakan keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-
7 mg/dL.16
3.1.2 Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah keadaan transien yang sering ditemukan baik pada bayi cukup
bulan (50-70%) maupun bayi prematur (8090%). Sebagian besar hiperbilirubinemia
adalah fisiologis dan tidak membutuhkan terapi khusus, tetapi karena potensi toksik dari
bilirubin maka semua neonatus harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan
terjadinya hiperbilirubinemia berat.11
Pada fase lanjut, kerusakan pada sistem saraf pusat kemungkinan bersifat
ireversibel, ditandai dengan retrocollisopistotonus yang jelas, high pitched cry,
tidak mampu menyusu, apne, demam, gangguan kesadaran hingga koma, kadang-
kadang mengalami kejang, dan berujung kepada kematian. 17, 18, 20 Pembagian kondisi akut
akibat hiperbilirubinemia diklasifikasikan dalam skor BIND-M (Bilirubin Induced
Neurological DysfunctionModified). 21 (lihat Lampiran 2)
295
hanya muncul sebagian (jika ada), mendahului tanda klinis ensefalopati bilirubin akut. 23
(lihat Lampiran 6)
Panduan dari AAP dan Belanda menyebutkan adanya risiko tambahan yang terjadi
setelah bayi tersebut lahir yang menyebabkan bayi tersebut lebih mudah mengalami
toksisitas bilirubin (Tabel 1). Hal tersebut membuat bayi tersebut memiliki ambang
batas dimulainya fototerapi maupun transfusi tukar lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok yang lain (risiko tinggi vs risiko standar). Faktor risiko tersebut diantaranya. 7,
14
296
Faktor risiko minor • Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin
transkutaneus terletak pada zona risiko sedang
• Kulit hitam
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga yang merupakan bentuk akhir dari
pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi
yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme
oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ
lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang diekskresikan kedalam
paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase.24
297
Gambar 1. Metabolisme bilirubin24
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin
melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik
dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh
mengekskresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin. 24 Pada bayi
baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme hemoglobin dari
eritrosit sirkulasi. Satu gram hemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin dan sisanya
(25%) disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan hemoglobin karena
eritropoesis yang tidak efektif didalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung
protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme
bebas.24, 25
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang
dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan masa hidup eritrosi bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan
orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang
meningkat, dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi
enterohepatik).26
298
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan
ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas
ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah
dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini
merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke
sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf
pusat dan bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap obat-obatan yang bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid. Obat-obat
tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga
bersifat kompetitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat-
obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara menurunkan afinitas
albumin antara lain adalah digoksin, gentamisin, dan furosemid. 24
Pada bayi kurang bulan, ikatan bilirubin akan lebih lemah yang umumnya
merupakan komplikasi dari hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemia, asidosis, hipotermia,
hemolisis, dan septikemia. Hal tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan
jumlah bilirubin bebas dan berisiko pula untuk keadaan neurotoksisitas oleh bilirubin. 24
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda berdasarkan terkonjugasi
tidaknya bilirubin tersebut dan ada tidaknya ikatan dengan albumin, yaitu 10:
1. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin. Sebagian besar bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum ditemukan dalam bentuk ini.
2. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak terikat dengan albumin (bilirubin bebas).
Bilirubin dalam bentuk ini sangat berbahaya dan dapat menyebabkan
neurotoksisitas. Semakin tinggi kadar bilirubin bebas, maka semakin berisiko
mengalami neurotoksisitas bilirubin.
3. Bilirubin terkonjugasi yang tidak terikat dengan albumin. Bilirubin dalam bentuk ini
adalah bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal atau sistem bilier.
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam
air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridin difosfat glukuronosil
transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Substrat yang digunakan untuk transglukoronidase kanalikuler adalah bilirubin
monoglukoronida. Enzim ini akan memindahkan satu molekul asam glukoronida dari
satu molekul bilirubin monoglukoronida ke yang lain dan menghasilkan pembentukan
satu molekul bilirubin diglukoronida.26
Penelitian in vivo tentang enzim UDPG-T pada bayi baru lahir didapatkan
defisiensi aktivitas enzim, tetapi setelah 24 jam kehidupan, aktivitas enzim ini meningkat
melebihi bilirubin yang masuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin serum akan
menurun. Kapasitas total konjugasi akan sama dengan orang dewasa pada hari ke-4
kehidupan. Pada periode bayi baru lahir, konjugasi monoglukoronida merupakan
konjugat pigmen empedu yang lebih dominan. 26
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dengan orang dewasa. Pada mukosa
usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat
menghidrolisa monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak
terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu, lumen usus halus
pada bayi baru lahir steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat diubah menjadi
sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat diabsorbsi). 24
Bayi baru lahir mempunyai konsentrasi bilriubin tak terkonjugasi yang relatif
tinggi didalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis
bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan
didalam mekonium. Pada bayi baru lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk
mengurangi bilurubin menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool
bilirubin usus dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa. Peningkatan
300
hidrolisis bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas
βglukoronidase mukosa yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi.
Pemberian substansi oral yang tidak larut seperti agar atau arang aktif yang dapat
mengikat bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin dalam tinja dan mengurangi kadar
bilirubin serum. Hal ini menggambarkan peran kontribusi sirkulasi enterohepatik pada
keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada bayi baru
lahir.24, 26
3.5.1 Anamnesis11
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna kulit setelah
dilakukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik dilakukan menggunakan
cahaya matahari. Ikterus dimulai dari kepala dan meluas secara sefalokaudal. 11
Walaupun demikian inspeksi visual tidak dapat dijadikan indikator yang andal untuk
memprediksi kadar bilirubin serum, terutama pada bayi dengan kulit yang gelap. 14
Pemeriksaan visual hanya dapat digunakan untuk melihat bahwa bayi tersebut
menderita ikterus atau menyingkirkan bahwa bayi tersebut sudah tidak menderita
ikterus. Pemeriksaan visual dianjurkan untuk dilakukan oleh semua orangtua yang
memiliki bayi baru lahir dan melihat progresivitasnya. 15 Petugas kesehatan seyogianya
302
tidak menggunakan perkiraan visual sebagai sarana dalam diagnosis hiperbilirubinemia
sebelum dilakukan pemeriksaan TSB.
Pada pemeriksaan fisik, hal-hal yang dapat dicari antara lain 11:
• Tanda-tanda prematuritas
• Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia
• Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan
• Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom, subgaleal hematom
• Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular
• Ptekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
• Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit
hati
• Omfalitis
• Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
• Tanda hipotiroid
• Perubahan warna tinja (lihat Lampiran 7)
Memberi masukan kepada ibu dan memeriksa bayi apakah mereka mendapat ASI yang
cukup dengan beberapa pertanyaan:
303
Melakukan komunikasi dengan dokter obstetrik dan ginekologi, bidan, atau perawat
untuk melakukan pemeriksaan ABO dan Rh(D) pada setiap wanita hamil. Apabila
golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan antibodi
direk (tes Coombs), golongan darah dan tipe Rh(D) darah tali pusat bayi. Apabila
golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan darah
dan tes Coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan
pengawasan, penilaian terhadap risiko sebelum keluar rumah sakit dan tindak lanjut
yang memadai.
Penilaian klinis
Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya
progresivitas ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus
dinilai saat memeriksa tanda vital bayi. Protokol untuk penilaian ikterus harus diketahui
oleh seluruh staf perawatan, jika sarana untuk pemeriksaan TcB dan/atau TSB tidak
tersedia di layanan kesehatan, harus dilakukan rujukan untuk pemeriksaan kadar
bilirubin (contoh alat TcB di Gambar 2).
Evaluasi laboratorium
TcB atau TSB diperiksa jika bayi tampak kuning di 24 jam pertama kehidupan. Kemudian
hasil diplot di bilinorm apakah masuk dalam indikasi fototerapi atau transfusi tukar.
Aplikasi bilinorm dapat diunduh di Apps store atau Playstore. Pemeriksaan TcB
dan/atau TSB harus dilakukan jika bayi tampak ikterus. Jika terdapat alat TcB, maka
pengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam untuk melihat progresivitas ikterus
berdasarkan usia postnatal. Tentukan pula ambang batas fototerapi setiap harinya. Jika
kadar TcB yang terukur ± 2-3 mg/dL atau 70% dari ambang batas fototerapi, maka perlu
dilakukan pemeriksaan TSB.27
304
Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam (Gambar
3).
Gambar 3. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi
dengan usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia
kehamilan 35-36 minggu dengan berat lahir ≥ 2500 gram
berdasarkan kadar bilirubin serum sesuai dengan usia (dalam jam) 28
Penyebab ikterus
Melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mencari kemungkinan penyebab ikterus
pada bayi yang menerima fototerapi atau TSB meningkat cepat dan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bayi yang mengalami
peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan analisis dan kultur urin.
Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila
terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bayi sakit dan ikterus
pada umur lebih 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk atau
bilirubin konjugasi untuk mengidentifikasi adanya kolestasis. Selain itu, dapat dilakukan
pemeriksaan tiroid dan galaktosemia. Penyebab dari peningkatan bilirubin direk dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan FT4, TSH, dan screening inborn error
305
metabolism (paper test). Apabila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi
meningkat, dilakukan evaluasi tambahan untuk mencari penyebab kolestasis.
Tabel 2. Evaluasi laboratorium pada bayi ikterus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu14
Indikasi Penilaian
Ikterus pada 24 jam pertama Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Ikterus tampak berlebihan untuk usia bayi Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Bayi menerima fototerapi atau kadar TSB Lakukan pemeriksaan golongan darah dan
meningkat secara cepat (melewati tes Coombs
persentil) dan tidak bisa dijelaskan Lakukan pemeriksaan Complete blood
penyebabnya dari anamnesa ataupun count dan pemeriksaan darah tepi
pemeriksaan fisik Jika tersedia fasilitas, lakukan
pemeriksaan hitung retikulosit, dan G6PD.
306
Kadar TSB mencapai batas untuk Jika tersedia fasilitas, Lakukan
dilakukannya transfusi tukar atau tidak pemeriksaan hitung retikulosit, G6PD,
berespon terhadap fototerapi
dan albumin.
Lakukan pemeriksaan urinalisis dan
kultur urine. Evaluasi sepsis jika ada
indikasi berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan fisik
Ikterus tampak saat atau setelah usia 3 Lakukan pemeriksaan kadar bilirubin total
minggu, atau bayi sakit dan direk (atau terkonjugasi)
Jika kadar bilirubin direk meningkat,
lakukan evaluasi penyebab kolestasis
Lakukan pemeriksaan skrining tiroid dan
galaktosemia, dan evaluasi untuk tanda
dan gejala hipotiroid
Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap risiko
berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua perawatan harus menerapkan
protokol untuk menilai risiko ini. Penilaian ini sangat penting pada bayi yang pulang
sebelum umur 72 jam. Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus diperiksa TcB
atau TSB dan diplot di kurva yang sesuai. Untuk yang belum masuk dalam kriteria
fototerapi, disarankan untuk kontrol menemui petugas kesehatan maksimal 2x24 jam.
• Pengukuran kadar TcB atau TSB sebelum keluar rumah sakit, secara individual atau
kombinasi untuk pengukuran yang sistematis terhadap risiko.
• Penilaian faktor risiko klinis.
• Memucatkan kulit bayi dengan cara menarik kulit pada bagian yang diperiksa ke
arah samping kanan dan kiri dengan menggunakan kedua ibu jari pada bagian dahi,
dada, perut, kaki, dan telapak kaki.
• Evaluasi ikterus dan perkembangannya dilakukan setiap hari pada pencahayaan
yang cukup dan natural menggunakan sinar matahari.
• Evaluasi perkembangan ikterus adalah sefalokaudal.
307
• Jika orangtua mendapati kuning pada bagian telapak kaki dikategorikan sebagai
ikterus yang berat dan harus segera menemui petugas kesehatan (Lampiran 8). 15
Tindak lanjut
Semua bayi harus diperiksan oleh petugas kesehatan profesional yang berkualitas beberapa
hari setelah keluar rumah sakit untuk menilai keadaan bayi dan ada / tidak kuning. Waktu
dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan berdasarkan lamanya perawatan, ada
atau tidaknya faktor risiko untuk hiperbilirubinemia dan risiko masalah neonatal lainnya.
Penilaian yang harus dilakukan pada saat tindak lanjut berikutnya adalah:
• Perkembangan ikterus
• Kecukupan ASI
• Ada tidaknya dehidrasi
• Ada tidaknya faktor risiko masalah neonatal yang lain
3.5.3.2 Fototerapi
Tidak ada metode standar dalam memberikan fototerapi. Unit fototerapi memiliki
variasi yang sangat banyak, termasuk juga jenis lampu yang digunakan. Efektivitas
fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin bergantung pada beberapa hal yang dapat
dimodifikasi diantaranya adalah: jarak sumber cahaya dengan bayi, intensitas lampu
fototerapi, jenis lampu fototerapi yang digunakan, luas permukaan paparan, serta
kondisi klinis pasien sendiri.29
a. Konsep fototerapi
Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara mengkonversi molekul bilirubin
menjadi produk fotoisomer dan produk oksidasi yang kurang lipofilik dan tidak
membutuhkan konjugasi hati untuk bisa di eksresikan. Fotoisomer sebagian besar di
308
ekskresikan dalam empedu dan produk oksidasi sebagian besar dieksresikan dalam
urin.30 Fototerapi akan mengekspos kulit bayi melalui cahaya dengan panjang
gelombang tertentu, dimana mampu menurunkan total bilirubin dengan beberapa
mekanisme berikut ini:31
309
Tabel 5 menunjukkan cara memodifikasi dalam upaya meningkatkan intensitas
fototerapi. Secara klinis praktis, istilah untuk kekuatan radiasi kita sebut dengan
intensitas yang merupakan spektrum radiasi yang dapat diukur dengan menggunakan
alat yang disebut intensity meter. Intensity meter ini menggunakan panjang
gelombang tertentu sesuai dengan lampu fototerapi yang digunakan. Perlu diperhatikan
bahwa lebar gelombang dari spektrum emisi lampu fototerapi akan memengaruhi
pengukuran intensitas.
Hingga saat ini, tidak ada metode standart dalam mengukur dosis fototerapi,
sehingga akan sangat sulit untuk membandingkan penelitian tentang efikasi dari
fototerapi dan data pabrik untuk intensitas yang dihasilkan jika menggunakan alat yang
berbeda. Pengukuran intensitas dengan alat yang berbeda dapat mengakibatkan
perbedaan yang signifikan.32 Pengukuran di bawah lampu dengan spektrum emisi yang
terfokus akan memberikan perbedaan yang signifikan antara satu radiometer dengan
radiometer lainnya, karena respons spektrum dari intensity meter dari pabrikan satu
dengan lainnya berbeda. Lampu dengan spektrum luas (fluoresen dan haloganjjk)
memiliki variasi yang lebih sedikit pada bacaan intensity meter. Pabrik pembuat
sistem fototerapi umumnya merekomendasikan intensity meter yang spesifik untuk
digunakan dalam mengukur kadar fototerapi ketika sistem mereka digunakan (salah satu
contoh lampu fototerapi yang 1 paket dengan alat intensity meter dapat dilihat pada
Gambar 8).
Gambar 8. Paket lampu fototerapi dengan intensity meter yang berasal dari pabrik yang
sama (Bililux Dräger)
310
Penting juga untuk diketahui bahwa pengukuran radiasi akan sangat bervariasi
tergantung pada tempat dimana pengukuran tersebut dilakukan. Pengukuran radiasi di
bawah pusat sumber lampu dapat menunjukkan hasil dua kali lipat lebih tinggi
dibandingkan pengukuran dari perifer, dan gradasi penurunan di perifer juga bervariasi
antara unit fototerapi yang berbeda-beda. Idealnya radiasi harus diukur pada beberapa
lokasi berbeda dibawah area yang disinari oleh unit fototerapi dan pengukuran tersebut
dirata-rata. Internatinal Electrotechnical
Committee mendifinisikan “luas permukaan area efektif” sebagai luas
permukaan yang ditujukan untuk terapi yang disinari oleh lampu fototerapi. Luas
permukaan yang digunakan sebagai standar adalah seluas 60x30cm.
Berikut adalah silhoulette model yang digunakan oleh ahli bilirubin dari
Belanda dengan mengukur 5 titik yang merepresentasikan bagian pusat dan perifer jika
fototerapi dengan tipe overhead digunakan. Namun jika fototerapi dengan tipe fiber
optic (fototerapi tipe underneath) digunakan, titik yang diukur berjumlah 3 (Gambar
9).27
311
berbahaya jika rumah sakit tidak memiliki alat intensity meter untuk mengetahui
kekuatan lampu fototerapi yang dimiliki (Gambar10). 33
Gambar 10. Kekuatan radiasi alat fototerapi pada 17 rumah sakit di Indonesia
312
Gambar 11. Hubungan antara rerata spektrum radiasi dengan penurunan konsentrasi bilirubin
serum34
Gambar 12 menunjukkan bahwa ketika jarak antara sumber cahaya dengan bayi
berkurang, terdapat peningkatan yang sesuai pada spektrum radiasi. 33 Gambar 12 juga
menunjukkan perbedaan yang dramatis pada radiasi yang dihasilkan dalam pita 425-475
nm oleh berbagai tipe tabung fluoresen.
Gambar 12. Jarak antara sumber cahaya dengan bayi berkorelasi terbalik 33
313
konvensional (menggunakan tabung fluoresen dan halogen) harus waspada terhadap
efek samping hipertermia jika ingin mendekatkan jarak sumber cahaya. Sangat
disarankan meletakkan sumber cahaya sesuai dengan panduan yang diberikan oleh
pabrik. AAP merekomendasikan jarak yang standar antara sumber cahaya dengan bayi
sejauh 40 cm. Penelitian Mahendra dkk mendapatkan bahwa praktik di lapangan jarak
fototerapi dengan tabung fluoresen masih cukup aman pada kisaran 20 cm. Namun, jika
menggunakan light-emitting diodes (LED), dapat menggunakan jarak yang lebih dekat
lagi. Penelitian mendapatkan bahwa pada jarak 17 cm masih aman. 33
Fototerapi intensif
Fototerapi intensif diartikan sebagai penggunaan radiasi tingkat tinggi pada pita 430-
490 nm (umumnya 30 μW/cm2 per nm atau lebih) yang dipancarkan sebanyak
mungkin pada permukaan tubuh bayi.
• Sumber cahaya
Spektrum cahaya yang dipancarkan oleh unit fototerapi tergantung dari tipe
sumber cahaya dan filter yang digunakan. Unit fototerapi yang biasanya
digunakan lampu daylight, cool white, blue, atau special blue
fluorescent tube. Unit yang lain menggunakan lampu tungsten-halogen
pada konfigurasi yang berbeda, antara free-standing atau sebagai bagian dari
alat pemanas bercahaya. Baru-baru ini diperkenalkan sistem yang menggunakan
galium nitride LED dengan intensitas tinggi.36 Sistem fiber optic
memancarkan cahaya dari lampu berintensitas tinggi ke selimut yang memiliki
fiber optic.
Sebagian besar dari alat ini memancarkan luaran yang cukup pada
daerah biru-hijau dari spektrum kasat mata untuk bisa efektif sebagai
penggunaan fototerapi standar. Namun begitu, ketika kadar bilirubin mencapai
rentangan dimana fototerapi intensif direkomendasikan, efisiensi yang maksimal
harus ditemukan. Sumber cahaya yang paling efektif saat ini dan tersedia secara
komersial untuk fototerapi adalah yang menggunakan special blue
fluorescent tube37 atau lampu LED yang didesain secara khusus (Natus Inc,
San Carlos, CA).36 Special blue fluorescent tube diberi label F20T12/BB
(General Electric, Westinghouse, Sylvania) atau TL52/20W (phillips, Eindhoven,
The Netherlands). Penting untuk diketahui bahwa special blue tube
memberikan radiasi yang lebih hebat dibanding tabung biru biasa (yang diberi
label F20T12/B) (Gambar 11). Special blue tube merupakan yang paling
efektif karena mampu menyediakan cahaya yang sebagian besar dalam
spektrum warna biru-hijau.
314
• Jarak dari cahaya
Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 12, jarak antara sumber cahaya dengan
bayi memiliki dampak yang siginifikan terhadap peningkatan intensitas. Untuk
mengambil keuntungan dari efek ini, tabung fluoresen harus diletakkan sedekat
mungkin dengan bayi. Untuk melakukan hal ini, bayi harus diletakkan di
keranjang bayi, bukan di inkubator, karena atap dari inkubator mencegah
cahaya untuk dibawa mendekat ke bayi. Pada keranjang bayi, sangat mungkin
untuk membawa tabung fluoresen dalam jarak 20 cm dari bayi. Bayi cukup
bulan yang tidak tertutupi pakaian tidak menjadi terlalu panas di bawah lampu
tersebut. Perlu diperhatikan bahwa lampu fototerapi halogen tidak bisa
diposisikan lebih dekat pada bayi dibandingkan yang direkomendasikan
produsen tanpa menimbulkan risiko terbakar. Ketika lampu halogen digunakan,
rekomendasi dari produsen harus diikuti. Reflektor, sumber cahaya, dan filter
cahaya yang transparan (jika ada) harus selalu dijaga bersih.
• Luas permukaan
Sejumlah sistem telah dikembangkan untuk menyediakan fototerapi diatas dan
dibawah bayi.38, 39 Salah satu sistem yang tersedia secara komersial adalah
Billisphere. Unit ini menyediakan special blue fluorescent tube diatas dan
dibawah bayi. Alternatif lain adalah meletakkan bantalan serat optik dibawah
bayi dengan lampu fototerapi diatasnya. Satu kerugian dari bantalan fiber optik
adalah bahwa alat ini hanya melingkupi luas permukaan yang relatif kecil
sehingga 2-3 bantalan mungkin diperlukan. 40 Ketika kadar bilirubin sangat tinggi
dan harus diturunkan secepatnya, sangat penting untuk memaparkan sebanyak
mungkin permukaan tubuh bayi ke fototerapi.
315
μW/cm2 per nm, penggunaan kain berwarna putih memberikan peningkatan
intensitas yang bervariasi hingga mencapai 20 μW/cm2 per nm yang
sebetulnya mungkin tidak diperlukan dan dapat membahayakan bayi. 33
Hidrasi
Tidak ada bukti bahwa pemberian cairan yang berlebihan dapat memengaruhi konsentrasi
bilirubin serum. Beberapa bayi yang dirawat karena kadar bilirubin yang tinggi juga
mengalami dehidrasi ringan dan mungkin membutuhkan pemberian cairan tambahan untuk
mengoreksi status dehidrasinya. Karena bayi-bayi ini hampir semuanya diberi ASI, sehingga
cairan terbaik untuk digunakan pada kondisi ini adalah milk-based formula, karena akan
menghambat sirkulasi enterohepatik dari bilirubin dan dapat membantu menurunkan kadar
bilirubin serum. Hasil fotodegradasi bilirubin akan menghasilkan bilirubin yang larut dalam
air yang mudah diekskresikan melalui urin dan empedu. 52 Oleh karena itu, hidrasi yang
cukup dapat membantu meningkatkan efikasi fototerapi. Kecuali ada bukti dehidrasi,
pemberian rutin cairan intravena atau suplementasi lainnya (seperti air dekstrosa) pada
bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang menerima fototerapi tidak diperlukan.
Penghentian fototerapi
Tidak ada standar untuk menghentikan pemberian fototerapi. Kadar TSB untuk
menghentikan fototerapi tergantung pada usia dimana fototerapi dimulai dan penyebab
hiperbilirubinemia.46 Untuk bayi yang dirawat kembali setelah rawat inap kelahiran
mereka (biasanya pada kadar TSB 18 mg/dL [308 μmol/L] atau lebih),
fototerapi dapat dihentikan ketika kadar bilirubin serum turun dibawah 13-14 mg/dL
(239 μmol/L). Pemulangan dari rumah sakit tidak perlu ditunda untuk
mengobservasi bayi yang kembali rebound.46, 53, 54 Jika fototerapi digunakan untuk bayi
dengan penyakit hemolitik atau dimulai lebih awal dan dihentikan sebelum bayi berusia
3-4 hari, pengukuran bilirurin lanjutan dalam waktu 24 jam setelah kepulangan
direkomendasikan.46 Untuk bayi yang masuk kembali dengan hiperbilirubinemia dan
kemudian dipulangkan, kejadian rebound sangat jarang, namun pengukuran TSB
ulangan atau tindak lanjut dalam 24 jam setelah kepulangan merupakan pilihan klinis. 46
317
Paparan sinar matahari
Paparan sinar matahari mampu memberikan radiasi 425-475 nm, dimana telah
diketahui mampu menurunkan bilirubin total, tapi paparan sinar matahari secara
langsung tidak direkomendasikan untuk mencegah hiperbilirubinemia yang berat. Di
negara dengan fasilitas terbatas, pilihan untuk menggunakan perangkat fototerapi
dengan gelombang pendek (transmisi sinar biru atau hijau) sebagai sumber cahaya
adalah dengan penggunaan sinar matahari yang difiltrasi (filtered sunlight) yang
secara selektif memungkinkan tranmisi cahaya biru dan mengurangi paparan radiasi
sinar UV.
• Fenobarbital
Penggunaan fenobarbital setelah lahir masih kontroversial dan secara umum tidak
direkomendasikan. Mengingat efek samping pemberian fenobarbital yaitu sedasi
318
pada bayi baru lahir. Diperlukan waktu beberapa hari sebelum terlihat perubahan
bermakna, hal ini membuat penggunaan fototerapi nampak jauh
lebih mudah. Penggunaan fenobarbital profilaksis untuk
mengurangi pemakaian fototerapi atau tranfusi tukar pada bayi dengan defisiensi
G6PD ternyata tidak memberikan hasil baik. 10, 56
Tabel 5. Faktor yang mempengaruhi dosis dan efikasi fototerapi 14
Faktor Mekanisme/ Implementasi dan Aplikasi klinis
alasan
relevansi klinis
Spektrum lampu Spektrum biru- Special blue Special blue
yang dipancarkan hijau merupakan fluorescent tube fluorescent tube
yang paling efektif. atau sumber cahaya atau sumber lampu
Pada lain yang memiliki LED dengan luaran
panjang gelombang luaran terbanyak spektrum biru-hijau
tersebut, sinar dalam spektrum untuk PT intensif
menembus kulit biru-hijau dan yang
dengan baik dan paling efektif dalam
diabsorbsi secara menurunkan TSB
maksimal oleh
bilirubin
Spektrum radiasi ↑ radiasi → ↑ laju Radiasi diukur Jika special blue
(radiasi pada penurunan TSB dengan radiometer fluorescent tube
panjang gelombang (μW/cm2 per nm). digunakan, bawa
tertentu) yang Standar unit PT tabung sedekat
dipancarkan ke memancarkan 8-10 mungkin kepada
permukaan tubuh μW/cm2 per nm (fig bayi untuk
bayi 6). PT intensif meningkatkan
membutuhkan >30 radiasi (gambar 6).
μW/cm2 per nm Catatan: Tidak
dapat dilakukan
dengan lampu
halogen karena
bahaya terbakar.
Special blue tube
1015 cm diatas bayi
akan menghasilkan
radiasi setidaknya
sebesar 35 μW/cm2
per nm
Kekuatan spektrum ↑ permukaan tubuh Untuk PT intensif, Letakkan lampu
(rerata spektrum yang terpapar → ↑ paparkan permukaan diatas dan bantalan
radiasi yang laju penurunan tubuh bayi serat optik atau
melewati TSB semaksimal special blue
permukaan tubuh) mungkin pada PT fluorescent tube
dibawah bayi.
Untuk paparan
maksimum, lapisi
sisi samping
keranjang bayi,
kasur hangat, atau
inkubator
319
dengan aluminium
foil
Penyebab ikterus PT menjadi kurang Ketika hemolisis
efektif ketika terjadi, mulai PT
ikterus disebabkan pada kadar TSB
oleh hemolisis atau yang rendah.
jika kolestasis Gunakan PT
terjadi. intensif. Kegagalan
dari PT
(↑ bilirubin direk) menunjukkan
bahwa hemolisis
merupakan
penyebab
ikterus.
Jika ↑ bilirubin
direk, awasi
terjadinya
bronze
baby syndrome
atau lepuhan
Kadar TSB pada Semakin tinggi Gunakan PT
saat permulaan PT TSB, semakin intensif untuk kadar
cepat penurunan TSB yang lebih
TSB tinggi. Antisipasi
dengan PT penurunan kadar
TSB secara cepat
ketika TSB >
20 mg/dL (342
μmol/L)
320
Perubahan kardiovaskular Perubahan sementara Terbukanya kembali
curah jantung dan duktus arteriosus,
penurunan curah ventrikel kemungkinan karena
kiri fotorelaksasi, biasanya
tidak signifikan terhadap
hemodinamik. Perubahan
hemodinamik terlihat pada
12 jam pertama fototerapi,
setelah itu kembali ke awal
atau meningkat
Dipengaruhi oleh
lingkungan (aliran udara,
kelembaban, suhu),
karakteristik unit
fototerapi, perubahan suhu,
perubahan suhu kulit dan
suhu inti bayi, denyut
jantung, laju respirasi, laju
metabolik, asupan kalorai,
bentuk tempat tidur
(meningkat dengan
penggunaan radiant
warmer dan
inkubator)
Fungsi saluran cerna Peningkatan jumlah dan Berkaitan dengan
frekuensi buang air besar peningkatan aliran empedu
yang dapat menstimulasi
aktivitas saluran cerna
321
Penurunan waktu transit Meningkatkan kehilangan
usus cairan melalui feses dan
risiko dehidrasi
322
Burns Disebabkan oleh
pemaparan yang berlebihan
dari emisi gelombang
pendek sinar
fluorescent
Bronze baby syndrome Disebabkan oleh interaksi
fototerapi dan ikterus
kolestasis, menghasilkan
pigmen cokelat (bilifuscin)
yang mewarnai kulit, dapat
pulih dalam hitungan bulan
Frekuensi tindakan transfusi tukar menurun pada tahun 1990an, sehingga menyebabkan
penurunan pengalaman yang signifikan diantara para personel yang melakukan
prosedur tersebut.57-59 Namun begitu, muncul kembalinya kernikterus sebagai masalah
kesehatan masyarakat membuat transfusi tukar sebagai modalitas terapi yang
berpotensi mencegah komplikasi pada perkembangan
saraf.17, 60
323
a. Definisi
Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah bayi dengan darah donor dengan cara
mengeluarkan dan mengganti sejumlah darah secara berulang kali dalam periode waktu
yang singkat.
b. Indikasi
• Adanya peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi yang signifikan pada bayi baru
lahir karena sebab apapun, ketika fototerapi intensif gagal, atau ada risiko
terjadinya kernikterus. Transfusi tukar sesegera mungkin direkomendasikan jika
terdapat tanda awal gejala ensefalopati bilirubin akut. 14 Gambar 5 menunjukkan
batas kadar TSB pada bayi dengan usia gestasi ≥35 minggu yang
direkomendasikan untuk dilakukan transfusi tukar.
• Penyakit hemolisis alloimun pada bayi baru lahir (HDN) untuk koreksi anemia berat
dan hiperbilirubinemia 57
• Leukemia kongenital 63
• Toksin metabolik
- Hiperammonemia 64
- Asidemia organik 65
- Keracunan timbal 66
• Overdosis atau intoksikasi obat-obatan 67, 68
• Eliminasi antibodi atau protein abnormal 69, 70
• Sepsis neonatorum atau malaria 71, 72
c. Kontraindikasi
• Ketika alternatif seperti transfusi sederhana atau fototerapi sama efektifnya dengan
transfusi tukar namun dengan risiko yang lebih rendah 73
324
• Ketika pasien tidak stabil dan risiko dari prosedur transfusi tukar melebihi
keuntungan
Pada pasien dengan anemia berat, dengan gagal jantung atau hipervolemia,
transfusi tukar secara parsial lebih berguna untuk menstabilkan kondisi pasien
sebelum transfusi tukar secara lengkap atau secara double volume dilakukan
d. Perlengkapan
• Neonatal Intesinve Care Unit (NICU)
- Sumber panas yang bisa dikontrol secara automatis dan manual
- Monitor untuk evaluasi suhu
- Monitor untuk evaluasi kardiorespirasi
- Pulse oximetry untuk monitor saturasi oksigen
• Peralatan dan obat-obatan untuk resusitasi
• Pengikat bayi
• Tabung orogastrik
• Peralatan suction
• Alat untuk akses vaskular sentral dan perifer
• Penghangat darah dan koil yang sesuai (lihat bagian pencegahan)
• Alat steril untuk transfusi tukar
Alat sekali pakai yang sudah dirakit dari pabrik Alat yang belum
dirakit:
4. Spuit 10 atau 20 ml (gunakan spuit yang lebih kecil jika jumlah darah yang
digunakan lebih sedkit)
5. Three-way (2 buah) dengan pengunci sambungan
6. Tempat pembuangan (botol infus kosongan)
7. Sambungan tabung infus
• Produk darah yang sesuai
• Tabung dan spuit untuk pemeriksaan darah sebelum dan setelah transfusi tukar
e. Pencegahan
• Stabilkan bayi sebelum melakukan transfusi tukar
• Jangan memulai transfusi tukar hingga tersedia personel untuk melakukan
pemantauan dan sebagai bala bantuan ketika terjadi kegawatdaruratan
325
• Gunakan produk darah yang sesuai dengan indikasi klinis. Gunakan darah yang
paling baru, disarankan <5-7 hari
• Lakukan pemeriksaan kadar kalium pada darah donor jika pasien mengalami
hiperkalemia atau gangguan ginjal
• Lakukan pemantauan dengan seksama ketika dan setelah transfusi tukar dilakukan
• Jangan terbaru-buru dalam melakukan tindakan. Dapat mengakibatkan
pengulangan transfusi tukar jika efikasinya menurun akibat terburu-buru. Hentikan
atau pelankan prosedur jika pasien menjadi tidak stabil.
• Gunakan alat penghangat darah yang dapat diatur suhunya dan lolos uji kontrol
kualitas suhu dan alarm. Pastikan untuk memahami cara pengoperasian dan
prosedur keamanan untuk penghangat darah yang spesifik. Jangan panaskan darah
lebih dari 38oC
• Jangan melakukan suction yang berlebihan jika terjadi kesulitan untuk mengambil
darah. Posisikan ulang saluran atau ganti spuit, katup, dan peralatan-peralatan yang
tersambung
• Ketika prosedur terputus, biarkan darah dengan antikoagulasi tetap didalam saluran
atau bersihkan saluran dengan saline yang mengandung heparin
• Bersihkan saluran dengan saline yang mengandung heparin jika hendak
memasukkan kalsium
326
- Darah yang telah diradiasi direkomendasikan untuk seluruh transfusi tukar untuk
mencegah terjadinya graft vs host. Waktu pemberian radiasi pada darah harus
dilakukan sedekat mungkin dengan waktu pemberian transfusi tukar (<24 jam)
karena jika disimpan terlalu lama akan terjadi peningkatan konsentrasi kalium
yang signifikan
- Pemeriksaan standar dari bank darah sangatlah penting, termasuk pemeriksaan
HIV, hepatitis B, dan CMV
- Darah donor harus diperiksa untuk defisiensi G6PD dan HbS pada populasi yang
endemis terhadap kondisi ini 79
Gambar 15. Efektivitas transfusi tukar terhadap fraksi volume darah yang
ditukar
3. Persiapan bayi
• Letakkan bayi pada warmer dengan lingkungan yang dapat diatur dan dikontrol.
Transfusi tukar untuk bayi preterm yang kecil bisa dilakukan di inkubator, asalkan
area steril dapat dipertahankan dan jalur pemberian mudah diakses
• Ikat bayi dengan sesuai. Sedasi dan penghilang nyeri biasanya tidak dibutuhkan.
Bayi yang sadar bisa diberikan dot ketika prosedur berlangsung
• Pasang monitor pada bayi dan tentukan nilai dasarnya (suhu, frekuensi napas,
frekuensi nadi, dan oksigenasi)
• Kosongkan perut bayi
- Jangan beri bayi makan 4 jam sebelum prosedur jika memungkinkan
- Pasang OGT dan kosongkan isi lambung; biarkan dalam keadaan terbuka
• Mulai pemberian glukosa dan obat-obatan secara intravena:
- Jika transfusi tukar mengganggu tingkat infus sebelumnya
- Jika kekurangan pemberian glukosa oral atau parenteral berkepanjangan
menyebabkan terjadinya hipoglikemia
328
- Jalur intravena tambahan mungkin diperlukan untuk pemberian obat-obatan gawat
darurat
• Stabilisasi bayi sebelum memulai prosedur transfusi tukar: beri transfusi PRC pada
kondisi hipovolemia berat dan anemia, atau modifikasi ventilator atau oksigen
ketika terjadi dekompensasi pernafasan.
6. Persiapan darah
• Lakukan identifikasi terhadap produk darah
• Pasang set infus pada tabung penghangat darah dan kantong darah
• Alirkan darah melalui penghangat darah
g. Komplikasi
• Risiko kematian atau sequele yang parah diduga < 1% pada bayi sehat, namun
pada bayi sakit sebesar 12%. Ada keraguan terhadap efek samping dari transfusi
tukar pada bayi yang sudah dalam kondisi kritis 82-84
• Kebanyakan efek samping adalah efek samping hematologi dan biokimia, yang
mana tidak menunjukkan adanya gejala. Efek samping yang paling sering
ditemukan pada saat atau sesaat setelah transfusi tukar, biasanya pada bayi
preterm atau bayi sakit, adalah:
- Apne dan/atau bradikardi
- Hipokalsemia
329
- Trombositopenia (<50.000 pada 10% bayi sehat, atau 67% pada bayi < 32 minggu
usia kehamilan)
- Asidosis metabolik
- Spasme vaskular
• Komplikasi yang dilaporkan pada transfusi tukar adalah yang berhubungan dengan
transfusi darah dan akses vaskular.
330
Gambar 17. Transfusi tukar menggunakan katup 4-arah
Gambar 18. Tranfusi tukar dengan menggunakan arteri radialis dan vena umbilikal
331
BAB IV
REKOMENDASI
Memberi masukan kepada ibu dan memeriksa bayi apakah mereka mendapat ASI yang
cukup dengan beberapa pertanyaan:
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat
ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
332
Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan antibodi
direk (tes Coombs), golongan darah dan tipe Rh(D) darah tali pusat bayi.
Bila golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan
darah dan tes Coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika
dilakukan pengawasan, penilaian terhadap risiko sebelum keluar rumah sakit dan tindak
lanjut yang memadai.
Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya
progresivitas ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus
dinilai saat memeriksa tanda vital bayi.
Protokol untuk penilaian ikterus harus diketahui oleh seluruh staf perawatan, jika sarana
untuk pemeriksaan TcB dan/atau TSB tidak tersedia di layanan kesehatan, harus
dilakukan rujukan untuk pemeriksaan kadar bilirubin (contoh alat TcB di Gambar 2).
TcB atau TSB diperiksa jika bayi tampak kuning di 24 jam pertama kehidupan. Kemudian
hasil diplot di bilinorm apakah masuk dalam indikasi fototerapi atau transfusi tukar.
Aplikasi bilinorm dapat diunduh di Apps store atau Playstore.
Pemeriksaan TcB dan/atau TSB harus dilakukan jika bayi tampak ikterus. Jika terdapat
alat TcB, maka pengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam untuk melihat
progresivitas ikterus berdasarkan usia postnatal. Tentukan pula ambang batas fototerapi
setiap harinya. Jika kadar TcB yang terukur ± 2-3 mg/dL atau 70% dari ambang batas
fototerapi, maka perlu dilakukan pemeriksaan TSB. 27
333
Pemeriksaan perkiraan secara visual tidak dapat digunakan untuk menentukan derajat
ikterus, terutama pada bayi dengan kulit gelap.
Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam (Gambar
3).
334
Gambar 3. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi
dengan usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia
kehamilan 35-36 minggu dengan berat lahir ≥ 2500 gram berdasarkan kadar bilirubin
serum sesuai dengan usia (dalam jam)28
Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan analisis
dan kultur urin. Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus
dilakukan bila terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Bayi sakit dan ikterus pada umur lebih 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin
total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk mengidentifikasi adanya kolestasis. Selain
itu, dapat dilakukan pemeriksaan tiroid dan galaktosemia. Penyebab dari peningkatan
bilirubin direk dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan FT4, TSH, dan screening
inborn error metabolism
(paper test).
Bila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi meningkat, dilakukan evaluasi tambahan
untuk mencari penyebab kolestasis.
Tabel 2. Evaluasi laboratorium pada bayi ikterus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu14
Indikasi Penilaian
Ikterus pada 24 jam pertama Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Ikterus tampak berlebihan untuk usia bayi Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
335
Bayi menerima fototerapi atau kadar TSB Lakukan pemeriksaan golongan darah dan
meningkat secara cepat (melewati tes Coombs
persentil) dan tidak bisa dijelaskan Lakukan pemeriksaan Complete blood
penyebabnya dari anamnesa ataupun count dan pemeriksaan darah tepi
pemeriksaan fisik Jika tersedia fasilitas, lakukan
pemeriksaan hitung retikulosit, dan G6PD.
Kadar TSB mencapai batas untuk Jika tersedia fasilitas, Lakukan
dilakukannya transfusi tukar atau tidak pemeriksaan hitung retikulosit, G6PD,
berespon terhadap fototerapi
dan albumin.
Lakukan pemeriksaan urinalisis dan
kultur urine. Evaluasi sepsis jika ada
indikasi berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan fisik
Ikterus tampak saat atau setelah usia 3 Lakukan pemeriksaan kadar bilirubin total
minggu, atau bayi sakit dan direk (atau terkonjugasi)
Jika kadar bilirubin direk meningkat,
lakukan evaluasi penyebab kolestasis
Lakukan pemeriksaan skrining tiroid dan
galaktosemia, dan evaluasi untuk tanda
dan gejala hipotiroid
Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap risiko
berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua perawatan harus menerapkan
protokol untuk menilai risiko ini. Penilaian ini sangat penting pada bayi yang pulang
sebelum umur 72 jam. Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus diperiksa TcB
atau TSB dan diplot di kurva yang sesuai. Untuk yang belum masuk dalam kriteria
fototerapi, disarankan untuk kontrol menemui petugas kesehatan maksimal 2x24 jam.
• Pengukuran kadar TcB atau TSB sebelum keluar rumah sakit, secara individual atau
kombinasi untuk pengukuran yang sistematis terhadap risiko.
• Penilaian faktor risiko klinis.
Peringkat bukti IIIA, Derajat rekomendasi C
Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua, serta memperagakan
bagaimana cara melakukan pemeriksaan ikterus dan evaluasi perkembangannya.
336
Cara memeriksa ikterus adalah:
• Memucatkan kulit bayi dengan cara menarik kulit pada bagian yang diperiksa ke
arah samping kanan dan kiri dengan menggunakan kedua ibu jari pada bagian dahi,
dada, perut, kaki, dan telapak kaki.
• Evaluasi ikterus dan perkembangannya dilakukan setiap hari pada pencahayaan
yang cukup dan natural menggunakan sinar matahari.
• Evaluasi perkembangan ikterus adalah sefalokaudal.
• Jika orangtua mendapati kuning pada bagian telapak kaki dikategorikan sebagai
ikterus yang berat dan harus segera menemui petugas kesehatan (Lampiran 8). 15
Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C
Semua bayi harus diperiksan oleh petugas kesehatan profesional yang berkualitas
beberapa hari setelah keluar rumah sakit untuk menilai keadaan bayi dan ada / tidak
kuning. Waktu dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan berdasarkan lamanya
perawatan, ada atau tidaknya faktor risiko untuk hiperbilirubinemia dan risiko masalah
neonatal lainnya. Penilaian yang harus dilakukan pada saat tindak lanjut berikutnya
adalah:
• Perkembangan ikterus
• Kecukupan ASI
• Ada tidaknya dehidrasi
• Ada tidaknya faktor risiko masalah neonatal yang lain Peringkat bukti IIIa,
Derajat rekomendasi C
337
4.8 Terapi
4.8.1 Fototerapi
Rekomendasi terapi terdapat pada Tabel 4, Gambar 4, dan Gambar 5. Jika kadar bilirubin
total serum tidak menurun atau terus meningkat, maka lakukan evaluasi apakah
intensitas lampu fototerapi sudah cukup (30μW/cm2/nm).
Dua hal diatas ini berisiko untuk terjadi hipertermia dan dehidrasi pada bayi. Faktor risiko
ini bertambah apabila menggunakan lampu tipe fluoresensi dan halogen. Namun risiko
berkurang jika menggunakan lampu LED. Praktek lama menggunakan korden memberikan
perubahan intensitas yang tidak menentu. Penggunaan korden disarankan dengan
menggunakan warna yang terang atau menggunakan material reflektor. Dianjurkan
melakukan pemeriksaan intensitas lampu fototerapi sebelum dan sesudah modifikasi upaya
peningkatan intensitas untuk melihat apakah intensitas yang ada sudah memenuhi kriteria
intensif fototerapi. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan intensity meter (contoh
intensity meter pada Gambar 6). Jika terjadi hemolisis ketika diberikan fototerapi dan
transfusi tukar, lakukan pemeriksaan retikulosit, Coomb test, ABO, dan Rh(D) ibu dan
bayi.
338
Untuk menentukan bayi memerlukan fototerapi atau transfusi tukar, maka kadar
bilirubin yang diplot di normogram adalah total serum bilirubin. Penghentian fototerapi
dilakukan pada kondisi dimana kadar bilirubin direk 50% atau lebih dari bilirubin total,
segera rujuk ke NICU level 3.
Semua fasilitas perawatan dan pelayanan bayi harus memiliki peralatan untuk fototerapi
intensif yang dilengkapi dengan intensitimeter untuk mengukur secara periodik lampu
fototerapi yang dimiliki minimal 1 bulan sekali.
Jika kadar bilirubin total serum berada pada angka untuk rekomendasi dilakukan
transfusi tukar atau jika kadar bilirubin total sebesar 25 mg/dL atau lebih tinggi pada
setiap waktu, hal ini merupakan keadaan emergensi dan bayi harus segera masuk dan
mendapatkan perawatan fototerapi intensif. Bayi-bayi ini tidak harus dirujuk melalui
bagian emergensi karena hal ini dapat menunda terapi (penjelasan lebih lengkap lihat di
bagian transfusi tukar).
Transfusi tukar harus dilakukan hanya oleh personel yang terlatih di ruangan NICU
dengan observasi ketat dan mampu melakukan resusitasi.
Disarankan untuk melakukan pemeriksaan kadar serum albumin. Kadar albumin yang
kurang dari 3 mg/dL meningkatkan risiko terjadinya ensefalopati bilirubin akut sehingga
ambang batas fototerapi untuk bayi tersebut harus diturunkan (kelompok risiko tinggi).
339
Jika dipertimbangkan transfusi tukar, kadar albumin serum harus diukur dan digunakan
rasio bilirubin/albumin yang berkaitan dengan kadar bilirubin total serum dan faktor-
faktor lainnya yang menentukan dilakukannya transfusi tukar.
Pada bayi yang menyusu yang memerlukan fototerapi, AAP merekomendasikan bahwa,
jika memungkinkan, menyusui harus diteruskan. Hal ini dapat mengurangi kadar
bilirubin dan atau meningkatkan efektifitas fototerapi. Pada bayi ASI eksklusif yang
mendapat fototerapi, suplementasi dengan pemberian ASI perah atau formula adalah
pilihan yang tepat terutama jika asupan bayi dirasa tidak adekuat, berat badan turun
berlebihan, atau bayi tampak dehidrasi.
Tabel 4. Contoh langkah klinis untuk manajemen bayi baru lahir yang masuk kembali
ke rumah sakit untuk mendapatkan fototerapi atau transfusi tukar14
Terapi
Berikan fototerapi intensif dan/atau transfusi tukar sebagaimana diindikasikan pada
gambar 4 dan 5
Pemeriksaan laboratorium
Kadar TSB dan bilirubin direk
Golongan darah (ABO, Rh)
Tes antibodi direk (Coombs’)
340
Serum albumin
Pemeriksaan darah lengkap dan hapusan darah untuk mengetahui morfologi sel darah
merah
Hitung jenis retikulosit
G6PD (jika tersedia) jika menunjukkan adanya hubungan dengan asal etnis atau asal
geografis tertentu atau jika respon terhadap fototerapi buruk
Pemeriksaan urinalisis, termasuk uji reduksi urin untuk mendeteksi kolestasis
Jika berdasarkan anamnesis dan atau tampilan klinis menunjukkan tanda sepsis,
lakukan pemeriksaan kultur darah dan urin serta pemeriksaan CSF untuk melihat
protein, glukosa, jumlah sel, dan hasil kultur.
Fototerapi
Pemberian minum dilakukan setiap 2-3 jam.
Bila bilirubin total ≥ 25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 2-3 jam
Bila bilirubin total 20-25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 3-4 jam, bila <
20 mg/dL diulang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total terus turun, maka perlu dilakukan
pemeriksaan ulang dalam 8-12 jam.
Bila kadar bilirubin total tidak turun atau malah mendekati kadar transfusi tukar atau
perbandingan bilirubin total dengan albumin (TSB/albumin) meningkat mendekati
angka untuk transfusi tukar maka lakukan transfusi tukar (gambar 5).
Bila kadar bilirubin total < 13-14 mg/dL, hentikan fototerapi
Tergantung pada penyebab hiperbilirubinemia, pemeriksaan bilirubin ulangan boleh
dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang untuk melihat kemungkinan terjadinya
rebound
Transfusi tukar
Bila bilirubin total ≥ 25 mg/dL atau ≥ 20 mg/dL pada bayi sakit atau bayi < 38 minggu,
lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross match pada pasien yang akan
direncanakan untuk mendapat tansfusi tukar.
Pada bayi dengan penyakit autoimun hemolitik dan kadar bilirubin total meningkat
walau telah dilakukan fototerapi intensif atau dalam 2-3 mg/dL kadar transfusi tukar
(gambar 5), berikan imunoglobulin intravena 0.5-1 g/kg selama lebih dari 2 jam dan
boleh diulang bila perlu 12 jam kemudian
Pada bayi yang mengalami penurunan berat badan lebih dari 12% atau secara klinis
atau bukti secara biokimia menujukkan tanda dehidrasi, dianjurkan pemberian susu
formula atau ASI tambahan. Bila pemberian peroral sulit dapat diberikan intravena.
341
Gambar 4. Panduan untuk fototerapi pada bayi dengan usia gestasi ≥ 35 minggu. 14
Keterangan :
Panduan ini berdasarkan bukti yang terbatas dan kadar yang ditunjukkan adalah
perkiraan. Panduan ini mengacu pada penggunaan fototerapi intensif yang mana harus
digunakan ketika kadar TSB melewati garis yang diindikasikan untuk tiap kategori. Bayi
dikategorikan sebagai risiko tinggi karena adanya efek potensial negatif dari kondisi yang
tercatat pada ikatan albumin bilirubin, sawar darah otak, dan kerentanan sel otak
terhadap bilirubin.
Jika kadar TSB mendekati atau melewati batas transfusi tukar (Gambar 4), maka
sisi dari keranjang bayi, inkubator, atau infant warmer dapat dilapisi dengan
aluminium foil atau material reflektor 42. Hal ini akan meningkatkan luas permukaan
paparan sehingga meningkatkan efikasi fototerapi. Bila kadar TSB tidak menurun atau
tetap meningkat pada bayi yang sedang mendapatkan fototerapi intensif, maka diduga
kuat adanya hemolisis. Bayi yang mendapatkan fototerapi dan mengalami peningkatan
kadar bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi (kolestasis) bisa berkembang menjadi
bronze-baby syndrome.
Pada panduan ini dilampirkan aplikasi yang dapat membantu klinisi untuk
memutuskan bayi perlu mendapatkan fototerapi atau pertimbangan transfusi tukar
(aplikasi bilinorm). Pada aplikasi bilinorm untuk kategori bayi ≥35 minggu
menggunakan kurva AAP yang dimodifikasi untuk penyederhanaan.
Penyederhanaan dilakukan pada kelompok bayi yang risiko rendah (infants at lower
risk). Pada aplikasi bilinorm, kelompok ini ditiadakan. Kelompok bayi risiko sedang
(infants at medium risk) pada grafik AAP dijadikan kelompok standart risk (>38
minggu). Sedangkan kelompok risiko tinggi (≥35 minggu dan > 38 minggu
dengan faktor risiko) (infants at high risk) tetap sebagai kelompok risiko tinggi
(high risk).
Gambar 5. Panduan untuk transfusi tukar pada bayi dengan usia gestasi ≥ 35
minggu.14 Keterangan :
• Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan keadaan tanpa patokan pasti karena
terdapat pertimbangan klinis yang luas dan tergantung respon terhadap fototerapi.
• Direkomendasikan transfusi tukar segera bila bayi menunjukkan gejala ensefalopati akut
(hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, high pitch cry, demam) atau bila kadar
bilirubin total ≥ 5 mg/dL diatas garis patokan.
343
• Faktor risiko: penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu tidak
stabil, sepsis, asidosis.
• Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total / albumin.
• Gunakan TSB. Jangan mengurangkan dengan bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi
• Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu (risiko sedang) transfusi tukar yang
hendak dilakukan bersifat individual berdasarkan usia kehamilan saat ini.
BAB V
SIMPULAN
344
(Jakarta, 6 rumah sakit; Kupang, satu rumah sakit, dan Manado, satu rumah sakit),
prevalens hiperbilirubinemia berat (>20mg/dL) adalah 7%, dengan
hiperbilirubinemia ensefalopati akut sebesar 2.
▪ Hiperbilirubinemia berat dengan hiperbilirubinemia ensefalopati atau kernikterus
merupakan morbiditas pada neonatus yang dapat dicegah. Pencegahan dan
penanganan hiperbilirubinemia di Indonesia memiliki kendala karena bervariasi
panduan tatalaksananya. Ada panduan menurut Kementerian Kesehatan, WHO dan
Ikatan Dokter Anak Indonesia (dalam buku Ajar Neonatologi dan dalam Pedoman
pelayanan medis jilid II).
▪ Tatalaksana hiperbilirubinemia dimulai dari upaya pencegahan, penegakkan
diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium;
dilanjutkan dengan fototerapi dan tranfusi tukar.
▪ Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara mengkonversi molekul bilirubin
menjadi produk fotoisomer dan produk oksidasi yang kurang lipofilik dan tidak
membutuhkan konjugasi hati untuk bisa di eksresikan. Efektivitas fototerapi dalam
menurunkan kadar bilirubin bergantung pada beberapa hal yang dapat dimodifikasi
diantaranya adalah: jarak sumber cahaya dengan bayi, intensitas lampu fototerapi,
jenis lampu fototerapi yang digunakan, luas permukaan paparan, serta kondisi klinis
pasien sendiri.
▪ Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah bayi dengan darah donor dengan
cara mengeluarkan dan mengganti sejumlah darah secara berulang kali dalam
periode waktu yang singkat.
345
Lampiran
A. Teknik pelaksanaan
1. Transfusi tukar dengan teknik push pull
• Baca panduan yang diberikan oleh pabrikan
• Lakukan scrub seperti hendak melakukan prosedur besar. Gunakan masker,
penutup kepala pakaian steril, dan sarung tangan
• Buka tempat peralatan dengan menggunakan teknik aseptik
• Identifikasi posisi katup sesuai arah jarum jam (Gambar 16 dan 17). Arah
pegangan mengarah menunjukkan port mana yang terbuka. Katup yang tersedia
memiliki fungsi sebagai berikut (searah jarum jam): a) menarik dari pasien; b)
membuang ke kantong buangan; c) mengambil darah baru; d) memasukkan ke
dalam pasien. Selalu putar pegangan searah jarum jam untuk mengikuti alur yang
sesuai, dan selalu jaga sambungan dalam keadaan rapat
- Male adaptor pada jalur infus umbilikalis atau perifer
- Female adaptor pada tabung ekstensi dimana kantong buangan akan dipasang
- Hubungkan pada tabung darah untuk dipasangkan pada penghangat darah
- Posisi netral dimana bahan tambahan lainnya dapat diberikan melalui karet
penahan (180o dari kantong buangan)
• Ikuti langkah yang disediakan oleh pabrikan untuk memasang semua koneksi ke
kantong darah dan kantong buangan
• Ketika katup membuka pada kantong darah, kosongkan udara yang ada di spuit
dengan cara memutar 270o searah jarum jam dan keluarkan ke kantong
buangan
346
• Tutup katup dan putar ke bagian yang steril
• Gunakan jalur infus vena umbilikalis yang sudah ada atau masukkan kateter ke
vena umbilikalis menggunakan teknik aseptik
- Pertimbangkan untuk melakukan pengukuran CVP menggunakan transduser pada
bayi yang tidak stabil
- Letakkan kateter pada IVC dan pastikan posisi dengan menggunakan bantuan
radiograf
- Jika kateter tidak dapat diposisikan di IVC, kateter tersebut masih dapat digunakan
secara berhati-hati pada saat ada kegawatan
- Minta salah satu asisten untuk mendokumentasikan tanda vital dan data-data
lainnya
- Periksa kadar glukosa perifer setiap 30-60 menit. Lakukan monitoring terhadap
status kardiorespirasi, periksa saturasi dengan menggunakan pulse oximetry
secara terus menerus. Pemeriksaan BGA dilakukan sebanyak yang diindikasikan
berdasarkan kondisi klinis dan stabilitas pasien sebelum tindakan transfusi tukar
- Lakukan aspirasi darah untuk dilakukan pemeriksaan diagnostik
- Rata-rata pertukaran darah pada transfusi tukar adalah sekitar 5mL/kg dalam 1
siklus (2-4 menit)
- Pada bayi dengan hipovolemia atau memiliki CVP yang rendah, lakukan transfusi
tukar dengan didahului pemberian transfusi (5mL/kg) melalui kateter. Pada bayi
dengan hipervolemia atau memiliki CVP yang tinggi, lakukan transfusi tukar dengan
didahului pengeluaran sebagian volume darah
- Lakukan pemeriksaan ulangan CVP jika ada indikasi. Harapkan untuk terjadi
peningkatan tekanan onkotik plasma jika CVP rendah pada permulaan
- Pastikan bahwa tingkatan dalam mengeluarkan dan memasukkan darah kedalam
bayi dilakukan secara perlahan, membutuhkan setidaknya 1 menit untuk setiap
proses untuk mecegah fluktuasi tekanan darah. Fluktuasi yang cepat pada tekanan
arteri dalam teknik ini dapat diikuti dengan perubahan tekanan intracranial.
Pengeluaran darah yang cepat dari vena umbilikalis menyebabkan terjadinya
tekanan negatif yang akan ditransmisikan ke vena mesenterika yang pada akhirnya
berkontribusi terhadap tingginya kejadian komplikasi iskemia usus
- Goyangkan kantong darah secara gentle setiap 10 hingga 15 menit untuk mecegah
sedimentasi sel darah merah
- Pertimbangkan untuk memberikan suplementasi kalsium pada kondisi:
Hipokalsemia yang terdokumentasi
Muncul gejala atau tanda hipokalsemia seperti: perubahan interval QTc; agitasi
dan takikardi (gejala ini tidak terbukti berhubungan dengan kadar kalsium).
347
Pemberian kalsium saat transfusi tukar pada bayi normokalsemia jarang
dibutuhkan atau tidak menguntungkan. Ketika kalsium diberikan, efek
pemberian hanya berlangsung selama beberapa menit. Kalsium akan
membalikkan efek antikoagulan pada darah donor dan dapat menyebabkan
clotting pada jalur pemberian, sehingga pemberian melalui vena perifer lebih
disarankan. Jika kalsium diberikan melalu kateter vena umbilikalis, bersihkan
saluran dari darah donor dengan NaCl 0.9%. Kalsium yang diberikan adalah Ca
gluconas 10% sebanyak 1mL/KgBB. Masukkan secara perlahan, dengan
observasi yang ketat terhadap denyut nadi dan irama jantung. Bersihkan saluran
dengan NaCl 0.9% setelah kalsium diberikan.
- Hitung jumlah siklus yang sudah dilewati, hingga volume transfusi tukar yang
diharapkan tercapai
- Pastikan jumlah volume darah donor yang tersisa masih cukup untuk dimasukkan
lagi setelah pengeluaran darah yang terakhir jika positive intravascular
balance diharapkan untuk tercapai
- Bersihkan saluran umbilikalis dari darah ibu dan ambil sebagian darah bayi untuk
pemeriksaan laboratorium, termasuk re-cross-matching
- Berikan cairan intravena yang dicampur dengan 0.5 - 1 U heparin/mL melalui
kateter vena umbilikalis jika akan dilakukan transfusi tukar lanjutan
- Durasi prosedur transfusi tukar volume ganda adalah 90-120 menit
- Tulis prosedur lengkap pada rekam medis pasien
• Jaga bayi agar tetap puasa selama setidaknya 4 jam. Mulai pemberian ASI secara
hati-hati jika kondisi klinis stabil.
Periksa ketebalan abdomen dan suara usus setiap 3-4 jam selama 24 jam jika
transfusi tukar telah dilakukan menggunakan saluran vena umbilikalis. Observasi
tanda tanda feeding intolerance
Normal 0 None
Malas menyusu
Lemas 2 Moderate
Semi-koma 3 Severe
Apnea
Kejang
Koma
Tonus Otot
Normal 0 None
Hipertonia sedang
Opisthotonus
Normal 0 None
349
High pitched cry 1 Mild
Total Skor
Tanda Tangan Dokter yang memeriksa: Saya percaya bahwa bayi ini
memiliki tanda/gejala bilirubin
ensefalopati akut selain berdasarkan
skor BIND-M.
Bayi prematur memiliki ambang batas yang berbeda dengan bayi cukup bulan. Masih
sedikit panduan dimulainya fototerapi dan transfusi tukar untuk bayi prematur. Diantara
pandian yang ada adalah AAP, NICE, Norway, Martin dan Fanaroff. Panduan masih
350
berbeda dalam hal patokan yang dipakai. Ada yang menggunakan berat lahir namun ada
yang menggunakan patokan usia gestasi. Untuk Indonesia, mengingat kesulitan dalam
menentukan usia gestasi yang tepat maka panduan bayi kurang bulan (<35 mgg)
menggunakan patokan berat lahir. Berdasarkan panduan di atas berikut adalah
rekomendasi yang dipakai di Indonesia untuk bayi prematur.
A. Normogram fototerapi dan transfusi tukar berat lahir < 1000 gram
Berikut adalah normogram ambang batas fototerapi dan tranfusi tukar Indonesia
(Gambar 19) yang sudah dianalisis berdasarkan berbagai panduan normogram
internasional yang sudah terpublikasi. Normogram ini terdapat di dalam aplikasi
Bilinorm yang dapat diakses melalui apps store atau play store pada
smartphoneBilirubin level mg/dL.
12
10 FT
8
6
4 standard risk
2 FT high risk
0 ET standard
ET high risk
0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120
Jam
Gambar 19. Diagram Indonesian bilirubin normogram < 1000 gram (modifikasi)
FT high Risk
FT standard Risk
ET High Risk
ET Standard Risk
Jam
Gambar 20. Diagram Indonesian bilirubin normogram bayi dengan berat 1000-
1249 gram
351
C. Normogram fototerapi dan transfusi tukar untuk berat lahir 1250-
1499 gram
Berdasarkan acuan pada normogram AAP, Dutch, NICE dan Norway tersebut, maka
berikut adalah normogram bilirubin untuk berat lahir 1250-1499 gram sebagaimana
berikut ini yang dapat dilihat pada aplikasi smartphone bilinorm (gambar 21).
FT high Risk
FT
standard Risk
ET High Risk
ET Standard Risk
0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120
Jam
Gambar 21. Diagram Indonesian Bilirubin Normogram untuk bayi usia 1250-1499
gram
352
FT high Risk
FT
standard
Risk
ET High Risk
ET Standard Risk
Jam
FT high
Risk
FT standard
Risk
ET High Risk
ET Standard Risk
353
Lampiran 4. Contoh kasus penggunaan Skor BIND-M
Seorang bayi perempuan lahir pada usia kehamilan 36 minggu secara sectio
caesaria dari ibu berusia 31 tahun. Ini merupakan kehamilan ketiga, anak pertama
lahir hidup saat ini berusia 5 tahun. Anak kedua lahir hidup dan saat ini berusia 3 tahun.
Anak kedua mendapatkan fototerapi 3x24 jam dengan riwayat hiperbilirubin dengan
kadar TSB mencapai 24 mg/dl, namun tidak diketahui secara pasti penyebab dari
hiperbilirubinemia. Berat badan lahir bayi ini 3050 gram, Panjang Badan 50 cm, Lingkar
kepala 33 cm, dan skor Apgar pada menit kesatu 8 dan menit kelima 9. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan bayi tampak ikterik pada usia 24 jam dengan kadar TSB 15
mg/dl, kemudian bayi tersebut dilakukan tindakan fototerapi.
Pada 24 jam setelah fototerapi dilakukan evaluasi ulang bilirubin, dan hasil
menunjukan kadar TSB 20 mg/dl. Pasien direncanakan untuk dilakukan tranfusi tukar
namun darah belum tersedia. Pemeriksaan didapatkan bahwa ibu golongan darah A
rhesus negatif dan bayi golongan darah A rhesus positif. Dilakukan pemeriksaan direct
antibody test (DAT) hasilnya positif. Bayi dilaporkan tampak lemah, bola mata tampak
deviasi ke atas yang permanen, mengalami kondisi desaturasi berulang dengan
periodic breathing, opisotonus, high pitch cry, dan apne berulang.
2. Skor 5-6 : diprediksi indikasi untuk ABE sedang, mungkin reversibel dengan penurunan
segera bilirubin
3. Skor > 7 : diprediksi indikasi untuk ABE berat dan kemingkinan untuk kerusakan otak
yang ireversibel pada kebanyakan bayi.
354
Cara pengisian Skor BIND-M
355
Lampiran 5. Contoh kasus penggunaan normogram AAP
Kasus 1
Seorang bayi perempuan lahir secara spontan dari ibu usia 33 tahun pada usia
gestasi 40 minggu dengan faktor rIsiko minor. Berat badan bayi 3350 g, Panjang badan
bayi 48 cm dan lingkar kepala 34 cm. Skor Apgar bayi pada lima menit pertama setelah
lahir adalah 9, dan pada menit kesepuluh adalah 10. Ini merupakan kehamilan pertama
pada ibu. Ibu dan bayi memiliki rhesus positif. Bayi tampak kuning pada 70 jam setelah
dilahirkan dengan kadar serum bilirubin total (TSB) 12,9 mg/dl. Ibu menyusui secara
ekslusif dan tidak ada riwayat penggunaan obat maupun paparan senyawa naftalen.
Pada usia 120 jam, kadar TSB meningkat menjadi 15,1 mg, tetapi bayi tetap aktif
dan tanda-tanda vital normal. Pada hari ke-7, kadar TSB meningkat menjadi 17,1 mg/dl
(direk (D)/Indirek (I) bilirubin = 0,1/17 mg/dl), kadar G6PD dan OAE (Oto Acoustic
Emission) normal. Berdasarkan pedoman AAP, kadar TSB tetap berada dibawah
ambang batas untuk fototerapi, sehungga bayi dipulangkan tanpa terapi spesifik. Kadar
TSB bayi setelah pulang 16,6 mg/dl dan secara klinis bayi normal.
Kasus 2
Seorang bayi laki-laki usia gestasi 38 minggu lahir secara sectio caesaria atas
indikasi diproporsi kepala panggul. Berat badan lahir bayi 3220 gram, Panjang badan 8
cm, dan lingkar kepala 34 cm. Bayi diklasifikan pada kelompok faktor risiko minor. Skor
Apgar bayi 8 pada lima menit setelah lahir, kemudian meningkat 9 pada menit
kesepuluh. Ibu dan bayi memiliki golongan darah dan rhesus yang sama, yaitu golongan
darah O dengan rhesus positif. Ini merupakan kehamilan pertama ibu, dan usia ibu 30
tahun. Bayi tampak kuning pada usia 70 jam, namun bayi dipulangkan pada usia 73 jam
dengan kadar bilirubin 15,2 mg/dl (D/I = 0,1/15,1 mg/dl).
Bayi minum ASI serta diberikan susu formula hipoalergenik sesuai kebutuhan.
Pada hari ketujuh bayi datang kembali untuk dilakukan evaluasi, dan kadar TSB 15,3
mg/dl (D/I = 0,1/15,2 mg/dl) dengan kadar G6PD normal. Tidak ada intervensi yang
dibutuhkan pada pasien ini, hanya edukasi untuk meyakinkan orangtua mengenai
kondisi bayi. Pada kunjungan berikutnya saat usia 9 hari, kadar TSB 12,9 mg/dl (D/I =
0,1/12,8 mg/dl dan pemeriksaan OAE menunjukan hasil normal.
Kasus 3
Seorang bayi perempuan lahir pada usia 39 minggu dari ibu yang berusia 32
tahun secara ekstraksi vakum. Berat badan lahir bayi 3390 gram, panjang badan 49 cm,
dan lingkar kepal 34 cm. Skor Apgar bayi pada menit kelima stelah dilahirkan adalah, 8,
kemdian meningkat 9 pada menit kesepuluh. Bayi tersebut memiliki faktor risiko minor
dan merupakan anak ketiga ibu tanpa riwayat abortus. Bayi dan ibu memiliki golongan
darah yang sama yaitu golongan darah O dan rhesus positif. Kadar TSB pada usia 43 jam
10,6 mg/dl (D/I = 0,1/10,5 mg/dl). Bayi dipulangkan pada usia dua hari dan diberikan ASI
secara eksklusif. Pengukuran TSB pada usia 91 jam menunjukan nilai 17,1 mg/dl (D/I
356
0,1/17 mg/dl). Kriteria untuk dilakukan fototerapi usia 91 jam yaitu pada kadar TSB ≥
16,5 mg/dl. Bayi dikategorikan risiko rendah karena bayi tanpa gejala, usia
gestasi > 38 minggu dengan kadar TSB diatas ambang batas inetrvensi, kemudian bayi
dilakukan fototerapi.
Kadar G6PD bayi normal, Tes Coomb’s negatif, dan pemeriksaan OAE
normal pada kedua telinga. Kadar TSB diukur ulang dua hari kemudian dan hasilnya
menunjukan kemudian bayi dipulangkan. menjadi 12,5 mg/dl (D/I = 0,1/12/5 mg/dl)
• Identifikasi faktor risiko pada setiap bayi baru lahir, Klasifikasi faktor risiko
berdasarkan kriteria AAP.
• Ikterik dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan fisik dengan cara melakukan
penekanan pada kulit yang akan menunjukan warna pada kulit dan jaringan
subkutan. Pemeriksaan harus dilakukan pada ruangan dengan pencahayaan
357
yang baik, terutama pada bagian ruangan yang terpapar sinar matahri dekat
jendela.
• Melakukan pengukuran kadar bilirubin dan memplotkan hasilnya pada
normogram persentil bilirubin berdasarkan usia lahir dalam jam.
PADA KASUS 1:
• Bayi tampak ikterik pada area wajah hingga dada pada usia 70 jam dengan kadar
TSB menunjukan 12,9 mg/dl, kemudian hasil tersebut diplotkan pada
normogram fototerapi. Berdasarkan normogran, kadar TSB bayi berada pada
low intermediate risk zone.
• Berdasarkan anamnesis bayi ini dimasukan dalam kelompok standard risk,
karena usia gestasi bayi ini ≥ 38 minggu, tidak inkompatibilitas ABO
dan bayi tampak sehat.
• Berdasarkan pada normogram, bayi ini diklasifikasikan pada standard risk,
tidak ada intervensi yang diperlukan berdasarkan pedoman AAP, sehingga bayi
dipulangkan.
• Bayi dijadwalkan kontrol 2x24 jam paska pemunlangan
Gambar 24. Kurva derajat serum bilirubin dengan level high intermediate risk zone
358
Gambar 25. Kurva total bilirubin serum pada bayi dengan faktor risiko tinggi
PADA KASUS 2:
• Kadar TSB pada usia 73 jam 15 mg/dl, bayi ini dikelompokan pada risiko zona
high-intermediate, tetapi masih berada dibawah ambang batas fototerapi,
kemudian bayi dipulangkan.
• Berdasarkan anamnesis, bayi dimasukan dalam kelompok standard risk,
karena usia gestasi bayi ini ≥ 38 minggu, tidak inkompatibilitas ABO
dan bayi tampak sehat.
• Bayi dievaluasi kembali pada hari ketujuh dan kadar TSB menunjukan 15,3 mg/dl
(D/I = 0,1/15,1 mg/dl), dengan kadar G6PD normal. Tidak ada intervensi yang
dibutuhkan bayi ini.
• Pada hari ke-9 bayi dievaluasi ulang dan kadar bilirubin menunjukan 12,9 mg/dl
(D/I = 0,1/12,8 mg/dl) dan OAE menunjukan nilai normal
359
Gambar 27. Kurva serum bilirubin dengan
High Intermediate Risk Zone
Gambar 28. Kurva serum bilirubin total pada Infants Higher at Risk
PADA KASUS 3:
360
• Kadar TSB pada usia 43 jam yaitu 10,6 mg/dl, bayi ini dikelompokan pada risiko
zona high-intermediate, tetapi masih berada dibawah ambang batas
fototerapi, kemudian bayi dipulangkan.
• Pada usia 91 jam, bayi ini dilakukan evaluasi ulang dan kadar TSB menunjukan
hasil 17,1 mg/dl, kemudian bayi ini dirawat berdasarkan kriteria pada pedoman
AAP yaitu bayi sehat usia gestasi ≥ 38 minggu dengan kadar TSB ≥
16,5 mg/dl. Berdasarkan normogram, meskipun nilai TSB dibawah ambang
batas fototerapi untuk low risk masih dapat dibenarkan untuk dimulai
fototerapi pada kadar 2-3 mg/dl dibawah ambang batas.
Gambar 29. Kurva serum bilirubin pada High Intermediate Risk Zone
361
Gambar 30. Kurva serum bilirubin total pada Higher at Risk
Lampiran 7. Diagnosis Kernicterus Spectrum Disorder (KSD)
Tidak ada 0
Dicurigai adanya infeksi, perbedaan rhesus golongan darah, “sakit”, prematur 1
(<35 minggu)
Infeksi virus atau bakteri yang terbukti, NEC (Necrotizing Enterocolitis), atau 2
asidosis (pH darah < 7,2)
Bagaimana hasil pemeriksaan bayi baru lahir?
Normal 0
Ensefalopati bilirubin akut ringan (letargi, mengantuk, tonus otot 1
rendah/tinggi, ± tangisan bersuara tinggi)
Ensefalopati bilirubin akut berat (ophistotonus, mata setting sun, wajah 2
terlihat takut, demam tanpa penyebab jelas)
Bagaimana hasil dari pemeriksaan bayi terakhir?
Normal 0
Distonia ringan (mata setting sun ± tonus otot sedikit meningkat atau 1
menurun ± pergerakan tubuh abnormal berlebihan)
Distonia sedang-berat (mata setting sun ± pergerakan tubuh abnormal 2
berlebihan)
Ketika gigi bayi tumbuh, bagaimana enamel gigi?
Normal 0
362
Displasia enamel (Adanya pengelupasan pada enamel gigi) 1
Bagaimana hasil ANSD (Auditory Neuropathy Spectrum Disorder)?
Normal 0
Kemungkinan hasil MRI abnormal (globus pallidus ± hiperintensitas nucleus 1
subthalamikus kedua sisi tanpa kelainan lain)
Hasil MRI abnormal (hiperintensitas globus pallidus di kedua sisi ± 2
hiperintensitas nukleus subthalamikus tanpa kelainan signifikan struktur lain)
Total Skor
Interpretasi Skor
Definite Kernicterus 10-14
Probable Kernicterus 6-9
Possible Kernicterus 3-5
Bukan Kernicterus 0-2
363
Warna tinja abnormal
Informasi umum:
F Faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan hiperbilirubinemia
F Cara mendeteksi bayi kuning
F Apa yang harus dilakukan apabila curiga kuning pada bayi
F Pentingnya mengenali tanda-tanda kuning pada bayi pada 24 jam pertama dan mencari
pelayanan medis
F Pentingnya mengecek popok bayi untuk mengetahui ada atau tidaknya kencing yang
berwarna gelap atau tinja yang berwarna pucat
F Kuning pada bayi sering terjadi dan meyakinkan bahwa hal tersebut biasanya hanya
sementara dan tidak berbahaya
F Meyakinkan pemberian ASI dapat diteruskan Informasi
terkait terapi:
364
F Antisipasi
lamanya terapi
F Yakinkan untuk melanjutkan ASI, mengganti popok dan sering sering mendekap bayi
F Menjelaskan bahwa bila bayi yang mendapatkan transfusi tukar maka bayi harus dirawat
di ruang perawatan intensif
F Alasan mengapa transfusi tukar dipertimbangkan
F Alasan
mengapa IVIg dipertimbangkan
F Alasan
mengapa IVIg dibutuhkan untuk terapi hiperbilirubinemia F
Kemungkinan efek samping IVIg
PEMBERI CARA
KETERANGA
PENJELASAN EDUKASI PENYAMPAIA JAM TTD
N
N
F
Informasi :
Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan
hyperbilirubinemia.
F Cara mendeteksi bayi kuning
F Apa yang harus dilakukan
apabila curiga kuning pada bayi
F Pentingnya mengenali
tandatanda kuning pada
bayi pada 24 jam pertama
dan mencari
pelayanan medis
F Pentingnya mengecek popok
bayi untuk mengetahui ada atau
tidaknya kencing yang berwarna
gelap atau tinja yang berwarna
pucat
F Kuning pada bayi sering terjadi
dan meyakinkan bahwa hal
tersebut biasanya hanya
sementara dan tidak berbahaya
F Meyakinkan pemberian ASI
365
dapat diteruskan
Informasi terapi :
F Antisipasi lamanya terapi
F Yakinkan untuk melanjutkan ASI,
mengganti popok dan sering sering
mendekap bayi
menyusui bayinya
F Kemungkinan hal-hal yang
terjadi apabila fototerapi gagal
F Kuning berulang dapat terjadi
kembali
F Potensi atau kemungkinan efek
dipertimbangkan
366
367
368
DAFTAR RUJUKAN
1. Lawn JE, Cousens S, Zupan J, dkk. 4 million neonatal deaths: when? where? why?
Lancet. 2005;365:891-900.
2. World Health Organization. Achievement of the health related Millennium
Development Goals in the Western Pacific Region 2016: Transitioning to the Sustainable
Development Goals Geneva: WHO Press; 2016 [Available from:
http://iris.wpro.who.int/bitstream/handle/10665.1/13441/WPR-2016-DHS-011-en.pdf. 3.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2017. 431 p.
4. United Nations Children's Fund. Child survival and the SDGs, 2017 [Available
from:
https://data.unicef.org/topic/child-survival/child-survival-sdgs/.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2007.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2008.
6. Greco C, Arnolda G, Boo N-Y, Iskander IF, Okolo AA, Rohsiswatmo R, et al.
Neonatal jaundice in low and middle income countries: lessons and future
directions from the 2015 Don Ostrow Trieste Yellow Retreat Neonatology.
2016;110:172-80.
7. Dijk PH, de Vries TW, de Beer JJ, Dutch Pediatric A. Guideline prevention,
diagnosis and treatment of hyperbilirubinemia in the neonate with a gestational
age of 35 or more weeks. Nederlands tijdschrift voor geneeskunde.
2009;153:A93.
8. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal
Esensial: Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2012. 134 p.
9. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit:
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota.
Jakarta: WHO Indonesia; 2009. 434 p.
10. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI,
Usman A, editors. Buku Ajar Neonatologi. 1 ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2008. p. 147-69.
11. Dewanto NEF, Dewi R. Hiperbilirubinemia. In: Pudjiaji AH, Hegar B,
Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, et al., editors.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2 ed. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. p. 114-22.
12. Sampurna MTA, Ratnasari KA, Etika R, Hulzebos CV, Dijk PH, Bos AF, et al.
Adherence to hyperbilirubinemia guidelines by midwives, general practitioners,
and pediatricians in Indonesia. PloS one. 2018;13(4):e0196076.
13. Martini, Sampurna MTA, Handayani KD, Angelika D, Utomo MT, Etika R, et al.
Variation of Phototherapy Thresholds By Clinicians In Comparison with
Hyperbilirubinemia Guideline In Indonesia. 2018.
14. American Academy of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the
newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics. 2004;114(1):297-316.
15. Neonatal Jaundice. National Institute for Health and Clinical Excellence:
Guidance. London2010.
16. Blackburn ST. Bilirubin metabolism, maternal, fetal & neonatal physiology: A
clinical perspective. 3 ed. Missouri: Saunders; 2007.
369
17. Johnson LH, Bhutani VK, Brown AK. System-based approach to management of
neonatal jaundice and prevention of kernicterus. The Journal of pediatrics.
2002;140(4):396-403.
18. Volpe JJ. Neurology of the Newborn. 4 ed. Philadelphia, PA: W. B. Saunders;
2001.
19. Harris MC, Bernbaum JC, Polin JR, Zimmerman R, Polin RA. Developmental
followup of breastfed term and near-term infants with marked
hyperbilirubinemia. Pediatrics. 2001;107(5):1075-80.
20. Van Praagh R. Diagnosis of kernicterus in the neonatal period. Pediatrics.
1961;28:870-6.
21. Radmacher PG, Groves FD, Owa JA, Ofovwe GE, Amuabunos EA, Olusanya
BO, et al. A modified Bilirubin-induced neurologic dysfunction (BIND-M)
algorithm is useful in evaluating severity of jaundice in a resource-limited setting.
BMC pediatrics. 2015;15:28. 22. Jones MH, Sands R, Hyman CB, Sturgeon P,
Koch FP. Longitudinal study of the incidence of central nervous system damage
following erythroblastosis fetalis. Pediatrics. 1954;14(4):346-50.
23. Le Pichon JB, Riordan SM, Watchko J, Shapiro SM. The Neurological Sequelae of
Neonatal Hyperbilirubinemia: Definitions, Diagnosis and Treatment of the
Kernicterus Spectrum Disorders (KSDs). Current pediatric reviews. 2017;13(3):199-
209.
24. Mac Mahon JR, Stevenson DK, Oski FA. Bilirubin metabolism. In: Tacusch HW,
Ballard RA, editors. Avery's disease of the newborn. 7 ed. Philadelphia: W. B.
Saunders; 1998. p. 995-1002.
25. Maisles MJ. Jaundice. In: Avery GB, Fletcher MA, McDonald MG, editors.
Neonatology, pathophysiology & management of the newborn. 5 ed. Baltimore:
Lippincot William & Wilkins; 1999. p. 765-819.
26. Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In: Fanaroff AA,
Martin RJ, editors. Neonatal-perinatal medicine: Disease of the fetus and infant. 7
ed. St. Louis: Mosby Inc; 2002. p. 1309-50.
27. van Imhoff DE. The Management of Hyperbilirubinemia in Preterm Infants.
Groningen: University Medical Center Groningen; 2013.
28. Bhutani VK, Johnson L, Sivieri EM. Predictive ability of a predischarge hour-
specific serum bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in healthy
term and near-term newborns. Pediatrics. 1999;103(1):6-14.
29. Maisels MJ. Phototherapy--traditional and nontraditional. Journal of perinatology :
official journal of the California Perinatal Association. 2001;21 Suppl 1:S93-7;
discussion S104-7.
30. Maisels MJ, McDonagh AF. Phototherapy for neonatal jaundice. The New England
journal of medicine. 2008;358(9):920-8.
31. Wong RJ, Bhutani VK. Treatment of unconjugated hyperbilirubinemia in term and
late preterm infants. Uptodate. 2013:5063.
32. Fiberoptic phototherapy systems. Health devices. 1995;24(4):132-53.
33. Sampurna MTA, Saharso D, Hulzebos CV, Dijk PH, Bos AF, Sauer PJJ. Current
Practice Phototherapy In Indonesia. 2018.
34. Tan KL. The pattern of bilirubin response to phototherapy for neonatal
hyperbilirubinaemia. Pediatric research. 1982;16(8):670-4.
35. Aycicek A, Kocyigit A, Erel O, Senturk H. Phototherapy causes DNA damage in
peripheral mononuclear leukocytes in term infants. Jornal de pediatria.
2008;84(2):141-6. 36. Seidman DS, Moise J, Ergaz Z, Laor A, Vreman HJ,
Stevenson DK, et al. A new blue light-emitting phototherapy device: a prospective
randomized controlled study. The Journal of pediatrics. 2000;136(6):771-4.
37. Ennever JF. Blue light, green light, white light, more light: treatment of neonatal
jaundice. Clinics in perinatology. 1990;17(2):467-81.
370
38. Garg AK, Prasad RS, Hifzi IA. A controlled trial of high-intensity double-surface
phototherapy on a fluid bed versus conventional phototherapy in neonatal jaundice.
Pediatrics. 1995;95(6):914-6.
39. Tan KL. Phototherapy for neonatal jaundice. Clinics in perinatology.
1991;18(3):423-39.
40. Maisels MJ. Why use homeopathic doses of phototherapy? Pediatrics. 1996;98(2 Pt
1):283-7.
41. Eggert P, Stick C, Schroder H. On the distribution of irradiation intensity in
phototherapy. Measurements of effective irradiance in an incubator. European
journal of pediatrics. 1984;142(1):58-61.
42. Dachlan TI, Yuniati T, Sukadi A. Effect of phototherapy with alumunium foil
reflectors on neonatal hyperbilirubinemia. Paediatrica Indonesiana. 2015;55(1):13-
7.
43. Djokomuljanto S, Rohsiswatmo R, Hendarto A. Perbandingan Efektivitas antara
Terapi Sinar Tunggal dengan dan Tanpa Kain Putih pada Bayi Berat Lahir Rendah
dengan Hiperbilirubinemia. Sari Pediatri. 2016;18(3):233-9.
44. Institue of Medicine. Crossing the Quality Chasm: A New Health System for the
21st Century. Washington, DC: National Academy Press; 2001.
45. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians and
Gynecologists. Guidelines for Perinatal Care. 5 ed. Elk Grove Village, IL:
American Academy of Pediatrics; 2002.
46. Bertini G, Dani C, Tronchin M, Rubaltelli FF. Is breastfeeding really favoring early
neonatal jaundice? Pediatrics. 2001;107(3):E41.
47. Penn AA, Enzmann DR, Hahn JS, Stevenson DK. Kernicterus in a full term infant.
Pediatrics. 1994;93(6 Pt 1):1003-6.
48. Maisels MJ, Gifford K. Normal serum bilirubin levels in the newborn and the effect
of breast-feeding. Pediatrics. 1986;78(5):837-43.
49. Yamauchi Y, Yamanouchi I. Breast-feeding frequency during the first 24 hours
after birth in full-term neonates. Pediatrics. 1990;86(2):171-5.
50. De Carvalho M, Klaus MH, Merkatz RB. Frequency of breast-feeding and serum
bilirubin concentration. American journal of diseases of children. 1982;136(8):737-
8.
51. Varimo P, Simila S, Wendt L, Kolvisto M. Frequency of breast-feeding and
hyperbilirubinemia. Clinical pediatrics. 1986;25(2):112.
52. de Carvalho M, Hall M, Harvey D. Effects of water supplementation on
physiological jaundice in breast-fed babies. Archives of disease in childhood.
1981;56(7):568-9.
53. Nicoll A, Ginsburg R, Tripp JH. Supplementary feeding and jaundice in newborns.
Acta paediatrica Scandinavica. 1982;71(5):759-61.
54. Madlon-Kay DJ. Identifying ABO incompatibility in newborns: selective vs
automatic testing. The Journal of family practice. 1992;35(3):278-80.
55. Slusher TM, Olusanya BO, Vreman HJ, Brearley AM, Vaucher YE, Lund TC, et al.
A Randomized Trial of Phototherapy with Filtered Sunlight in African Neonates.
The New England journal of medicine. 2015;373(12):1115-24.
56. Cuperus FJ, Hafkamp AM, Hulzebos CV, Verkade HJ. Pharmacological therapies
for unconjugated hyperbilirubinemia. Current pharmaceutical design.
2009;15(25):292738.
57. Ramasethu J, Luban NLC. Alloimmune hemolytic disease of the newborn. In:
Lichtman MA, Beutler E, Kipps TJ, Seligsohn U, Kaushansky K, Prchal JT, editors.
Williams' Hematology. 7 ed. New York: McGraw-Hill; 2006. p. 715-66.
58. Funato M, Tamai H, Shimada S. Trends in neonatal exchange transfusions at
Yodogawa Christian Hospital. Acta paediatrica Japonica : Overseas edition.
1997;39(3):305-8.
371
59. Seidman DS, Paz I, Armon Y, Ergaz Z, Stevenson DK, Gale R. Effect of
publication of the "Practice Parameter for the management of hyperbilirubinemia"
on treatment of neonatal jaundice. Acta paediatrica. 2001;90(3):292-5.
60. Ebbesen F. Recurrence of kernicterus in term and near-term infants in Denmark.
Acta paediatrica. 2000;89(10):1213-7.
61. Naulaers G, Barten S, Vanhole C, Verhaeghe J, Devlieger H. Management of
severe neonatal anemia due to fetomaternal transfusion. American journal of
perinatology. 1999;16(4):193-6.
62. Dempsey EM, Barrington K. Short and long term outcomes following partial
exchange transfusion in the polycythaemic newborn: a systematic review. Archives
of disease in childhood Fetal and neonatal edition. 2006;91(1):F2-6.
63. Fernandez MC, Weiss B, Atwater S, Shannon K, Matthay KK. Congenital
leukemia: successful treatment of a newborn with t(5;11)(q31;q23). Journal of
pediatric hematology/oncology. 1999;21(2):152-7.
64. Chen CY, Chen YC, Fang JT, Huang CC. Continuous arteriovenous
hemodiafiltration in the acute treatment of hyperammonaemia due to ornithine
transcarbamylase deficiency. Renal failure. 2000;22(6):823-36.
65. Aikoh H, Sasaki M, Sugai K, Yoshida H, Sakuragawa N. Effective immunoglobulin
therapy for brief tonic seizures in methylmalonic acidemia. Brain & development.
1997;19(7):502-5.
66. Mycyk MB, Leikin JB. Combined exchange transfusion and chelation therapy for
neonatal lead poisoning. The Annals of pharmacotherapy. 2004;38(5):821-4.
67. Sancak R, Kucukoduk S, Tasdemir HA, Belet N. Exchange transfusion treatment in
a newborn with phenobarbital intoxication. Pediatric emergency care.
1999;15(4):268-70.
68. Osborn HH, Henry G, Wax P, Hoffman R, Howland MA. Theophylline toxicity in a
premature neonate--elimination kinetics of exchange transfusion. Journal of
toxicology Clinical toxicology. 1993;31(4):639-44.
69. Pasternak JF, Hageman J, Adams MA, Philip AG, Gardner TH. Exchange
transfusion in neonatal myasthenia. The Journal of pediatrics. 1981;99(4):644-6.
70. Dolfin T, Pomeranz A, Korzets Z, Houri C, Manor Y, Feigin M, et al. Acute renal
failure in a neonate caused by the transplacental transfer of a nephrotoxic
paraprotein: successful resolution by exchange transfusion. American journal of
kidney diseases : the official journal of the National Kidney Foundation.
1999;34(6):1129-31.
71. Gunes T, Koklu E, Buyukkayhan D, Kurtoglu S, Karakukcu M, Patiroglu T.
Exchange transfusion or intravenous immunoglobulin therapy as an adjunct to
antibiotics for neonatal sepsis in developing countries: a pilot study. Annals of
tropical paediatrics. 2006;26(1):3942.
72. Virdi VS, Goraya JS, Khadwal A, Seth A. Neonatal transfusion malaria requiring
exchange transfusion. Annals of tropical paediatrics. 2003;23(3):205-7.
73. Maisels MJ, Watchko JF. Treatment of jaundice in low birthweight infants.
Archives of disease in childhood Fetal and neonatal edition. 2003;88(6):F459-63.
74. Burch M, Dyamenahalli U, Sullivan ID. Severe unconjugated hyperbilirubinaemia
with infradiaphragmatic total anomalous pulmonary venous connection. Archives
of disease in childhood. 1993;68(5 Spec No):608-9.
75. Goldenberg NA, Manco-Johnson MJ. Pediatric hemostasis and use of plasma
components. Best practice & research Clinical haematology. 2006;19(1):143-55.
76. Murray NA, Roberts IA. Neonatal transfusion practice. Archives of disease in
childhood Fetal and neonatal edition. 2004;89(2):F101-7.
77. Petaja J, Johansson C, Andersson S, Heikinheimo M. Neonatal exchange
transfusion with heparinised whole blood or citrated composite blood: a prospective
study. European journal of pediatrics. 2000;159(7):552-3.
372
78. Win N, Amess P, Needs M, Hewitt PE. Use of red cells preserved in extended
storage media for exchange transfusion in anti-k haemolytic disease of the newborn.
Transfus Med. 2005;15(2):157-60.
79. Kumar P, Sarkar S, Narang A. Acute intravascular haemolysis following exchange
transfusion with G-6-PD deficient blood. European journal of pediatrics.
1994;153(2):989.
80. Yigit S, Gursoy T, Kanra T, Aydin M, Erdem G, Tekinalp G, et al. Whole blood
versus red cells and plasma for exchange transfusion in ABO haemolytic disease.
Transfus Med. 2005;15(4):313-8.
81. de Waal KA, Baerts W, Offringa M. Systematic review of the optimal fluid for
dilutional exchange transfusion in neonatal polycythaemia. Archives of disease in
childhood Fetal and neonatal edition. 2006;91(1):F7-10.
82. Jackson JC. Adverse events associated with exchange transfusion in healthy and ill
newborns. Pediatrics. 1997;99(5):E7.
83. Keenan WJ, Novak KK, Sutherland JM, Bryla DA, Fetterly KL. Morbidity and
mortality associated with exchange transfusion. Pediatrics. 1985;75(2 Pt 2):417-21.
84. Patra K, Storfer-Isser A, Siner B, Moore J, Hack M. Adverse events associated with
neonatal exchange transfusion in the 1990s. The Journal of pediatrics.
2004;144(5):62631.
85. Ozkan H, Cevik N. Effect of exchange transfusion on elimination of antibiotics in
premature infants. The Turkish journal of pediatrics. 1994;36(1):7-10.
86. Englund JA, Fletcher CV, Johnson D, Chinnock B, Balfour HH, Jr. Effect of blood
exchange on acyclovir clearance in an infant with neonatal herpes. The Journal of
pediatrics. 1987;110(1):151-3.
87. Lackner TE. Drug replacement following exchange transfusion. The Journal of
pediatrics. 1982;100(5):811-4.
373
BAB IV PANDUAN PRAKTIK KLINIS
374
PANDUAN MASUK Pelayanan kesehatan neonatus di level 1, di
RAWAT INAP puskesmas dan ruang rawat gabung di RS:
• Tanda vital stabil, menunjukkan sistem organ vital
(susunan saraf pusat, kardio dan respirasi) dalam
keadaan normal. • Berat badan lahir ≥2500
gram dan usia kehamilan ≥37 minggu.
• Tunjangan nutrisi dan medikasi enteral
• Tidak memerlukan tunjangan kardiorespirasi, nutrisi
dan medikasi parenteral.
• Memiliki masalah medik di bidang neonatologi yang
membutuhkan kompetensi DASAR bagi aset tenaga
manusia (ATM).
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 6-8
375
kompetensi SPESIALIS bagi aset tenaga manusia
(ATM).
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 3-5
376
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 2.
377
penambahan berat badan dan memenuhi kebutuhan
nutrisi oral perhari.
• Berat badan telah mencapai 1800 gram atau lebih
• Ibu dan ayah dan atau pengasuh bayi telah mendapat
edukasi mengenai praktik mengasuhan neonatus di
rumah
• Semua obat yang diperlukan dapat diberikan per oral
• Hasil laboratorium normal
• Imunisasi Hepatitis B, OPV dan BCG telah dilakukan
(jika tidak ada kontraindikasi)
• Rujukan kepada konselor ASI setempat
• Administrasi rumah sakit telah diselesaikan
378
4.2 Komunikasi interpersonal dan konseling
379
• Membangun hubungan interpersonal dokter-klien
• Menyampaikan informasi pada klien
• Memberikan pilihan pelayanan yang sesuai
• Memastikan kesinambungan pelayanan
• Pemahaman dan ingatan pasien akan lebih baik
melalui komunikasi yang baik sehingga dapat
meningkatkan kepuasan dan kepatuhan klien.
Keterampilan bertanya
• Lakukan tanya jawab di tempat yang menjamin privasi.
• Bantulah klien untuk merasa nyaman dengan
membuat diri anda sendiri menjadi rileks. Hindari
berbagai gerakan yang memperlihatkan rasa gugup.
• Dekatkan tubuh anda sedikit ke depan untuk
memperlihatkan ketertarikan anda terhadap apa yang
dikatakan oleh pasien.
• Pertahankan kontak mata.
• Gunakan nada bicara yang memperlihatkan
rasa tertarik, perhatian dan keramahan.
• Ajukan berbagai pertanyaan yang mendorong klien
untuk berbicara mengenai anaknya.
• Mulailah dengan pertanyaan terbuka untuk
memperoleh cerita dari sudut pandang klien.
• Ikuti dengan pertanyaan tertutup untuk memperoleh
informasi spesifik.
• Tanyakan satu pertanyaan saja dalam satu saat, lalu
tunggu klien menjawab.
380
• Tanyakan pertanyaan yang sama dengan beberapa
cara yang berbeda jika anda menganggap klien tidak
memahaminya.
• Hindari pertanyaan yang bersifat
mengarahkan.
• Gunakan suara atau gerakan yang bersifat mendorong
untuk membuat klien mau berbicara.
Keterampilan mendengar
• Diam pada saat yang tepat, perlihatkan rasa hormat
anda dengan tidak menyela pasien sehingga berhenti
berbicara.
• Klarifikasi apapun yang anda tidak pahami.
• Ulangi apa yang klien telah katakan dengan kata-kata
anda sendiri.
• Refleksikan apa yang baru saja dikatakan klien.
• Rangkum apa yang telah anda dengar dari klien pada
akhir anamnesis
381
Keterampilan memberikan informasi
• Gunakan bahasa sederhana yang dapat dipahami
klien dengan mudah. Hindari bahasa teknis atau
medik.
• Gunakan gambar atau materi cetak lainnya jika
memungkinkan untuk memperjelas apa yang sedang
anda katakan
• Berikan jeda dari waktu ke waktu dan tanyalah
apakah klien paham dengan penjelasan anda
• Ulangi instruksi yang perlu dipahami oleh
pasien/klien
• Minta klien untuk mengulang instruksi
• Tanya klien apakah ia ingin
menanyakan sesuatu
382
• Tidak melakukan tindakan berbahaya, bahkan ketika
pasien meminta anda untuk melakukannya.
• Rawat pasien tanpa ada diskriminasi.
383
Tanggal Tebit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Panduan IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Suatu penilaian fisik lengkap untuk setiap neonatus harus dilakukan
pada awal setiap jadwal tugas jaga (shift). Pastikan anda
mendokumentasikan hasil penilaian dengan baik. Penilaian fisik harus
mencakup:
Tanda vital
Ukuran pertumbuhan
Penilaian sistem
ASI: frekuensi, kelekatan, posisi
Untuk neonatus yang baru masuk ke ruangan, data pasien masuk dan
penilaian usia kehamilan juga harus didokumentasi
PERSIAPKAN Sebelum memeriksa bayi, cucilah tangan dengan sabun dan air bersih
DIRI mengalir kemudian keringkan dengan lap bersih dan kering atau
PEMERIKSA dianginkan. Jangan menyentuh bayi jika tangan anda masih basah dan
dingin.
• Gunakan sarung tangan jika tangan menyentuh bagian tubuh yang
ada darah, menyentuh anus yang terkontaminasi mekonium, tali
pusat, atau memasukkan tangan ke dalam mulut bayi.
• Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir setelah
pemeriksaan kemudian keringkan
• Jaga suhu bayi tetap hangat selama pemeriksaan. Buka hanya
bagian yang akan diperiksa atau diamati dalam waktu singkat untuk
mencegah kehilangan panas.
TANDA VITAL Neonatus yang stabil harus diukur dan dilakukan penilaian sistem
sebelum waktu pemberian asupan.
384
Neonatus yang tidak stabil dan neonatus yang terpasang ventilator
harus diukur tanda vitalnya dan dinilai sistemnya setiap 1-2 jam.
Suhu
• Pengukuran suhu rektum dilakukan hanya satu kali pada saat
neonatus masuk ruangan untuk menyingkirkan kemungkinan
imperforasi anus. Semua pengukuran suhu tubuh selanjutnya harus
dilakukan melalui pengukuran suhu aksila.
• Suhu neonatus normal adalah 36,5oC–37,5oC.
• Neonatus yang ditempatkan di tempat tidur dengan penghangat
(infant warmer/incubator) harus dipasangi termometer probe
kulit dan diobservasi sampai mencapai suhu tubuh yang stabil
385
Denyut jantung
Denyut jantung harus dinilai dengan melakukan auskultasi di dada kiri
setinggi apeks kordis dan menghitungnya selama satu menit penuh
• Untuk neonatus yang stabil, denyut jantung harus diukur dengan
jadwal penanganan setiap shift
• Untuk neonatus yang tidak stabil, denyut jantung harus diukur setiap
jam atau pasang monitor jantung
• Denyut jantung normal pada neonatus adalah 120160 kali per menit
pada saat istirahat. Kontak kulit dengan kulit membantu
menstabilisasi denyut jantung dan membuat neonatus lebih tenang
Frekuensi napas
• Frekuensi napas normal pada neonatus adalah 4060 per menit, dan
tidak ada tarikan dinding dada kedalam yang kuat ketika bayi sedang
tidak menangis.
• Frekuensi napas harus diukur melalui observasi selama satu menit
penuh.
• Untuk neonatus stabil maka harus diukur dengan penanganan
terjadwal setiap shift
• Jika neonatus tidak stabil, maka napas harus dihitung setiap jam.
Tekanan Darah
• Pada saat masuk ruangan, pembacaan tekanan darah harus dilakukan
pada keempat ekstremitas dengan menggunakan alat pengukur
tekanan darah.
• Untuk neonatus yang stabil, tekanan darah harus diukur pada setiap
jadwal tugas jaga (shift)
• Jika neonatus tidak stabil, tekanan darah harus diukur setiap 1-2 jam
386
gangguan sirkulasi yang harus segera ditangani
UKURAN Terdapat tiga komponen ukuran pertumbuhan pada neonatus.
PERTUMBUHAN • Berat badan harus diukur setiap hari.
• Panjang harus diukur pada saat masuk dan setiap minggu
• Lingkar kepala harus diukur pada saat bayi masuk ruangan dan setiap
minggu.
Berat Badan
• Berat badan harus diukur setiap hari, pada waktu yang tetap setiap
harinya, bersama-sama dengan asuhan rutin dan pembersihan
inkubator.
• Berat badan harus diplot pada grafik berat badan pada saat bayi
masuk ruangan dan setiap hari
• Jika berat badan berbeda secara bermakna dari sehari sebelumnya
maka berat badan harus diukur dua kali. Beritahu dokter jika selisih
berat badan tersebut ternyata akurat
• Jika neonatus tidak stabil untuk dipindahkan dan ditimbang, sesuai
perintah dokter untuk tidak menimbang neonatus.
Panjang Badan
• Panjang bayi dari puncak kepala sampai tumit harus diukur pada saat
bayi masuk dan setiap minggu.
• Panjang harus diplot pada grafik panjang bayi setiap minggu.
• Bayi harus berada dalam posisi terlentang ketika kita mengukur
panjang. Hindari menganggu neonatus selama pengukuran.
Lingkar Kepala
• Lingkar kepala harus diukur pada saat bayi masuk ruangan dan setiap
minggu
• Ukurlah kepala bayi dengan menggunakan pita pengukur di
sekeliling bagian paling menonjol dari
tulang occipital dan tulang frontal
387
PENILAIAN Setiap temuan yang abnormal atau tidak biasa harus segera dilaporkan
SISTEM pada dokter.
Penilaian neurologis
• Suatu penilaian neurologis penuh harus dilakukan setiap hari. Untuk
neonatus yang tidak stabil atau neonatus dengan masalah
neurologis, penilaian ini harus dilakukan lebih sering seperti yang
diperintahkan oleh dokter
• Penilaian neurologis harus mencakup parameter pada Tabel
parameter penilaian neurologis neonatus
Tingkat
Letargi, waspada atau tersedasi
Kesadaran
Penilaian pernapasan
• Penilaian harus dilakukan setiap jadwal tugas jaga (shift) atau jika
terdapat perubahan dalam kondisi klinis
• Penilaian pernapasan harus mencakup parameter yang terdapat
pada Tabel parameter penilaian pernapasan neonatus.
388
Tabel 3. Parameter penilaian pernapasan
neonatus
Parameter Komentar
Merah muda, sianotik, pucat, berkabut, kutis
Warna kulit marmorata atau jaundice.
Tidak terlihat usaha keras, merintih, hidung
Pernapasan kembang kempis atau retraksi
Jauh, dangkal, course, stridor, wheezing, atau
Suara napas menghilang, sama atau tidak sama
Dinding dada Pergerakan simetris atau tidak simetris
Penilaian kardiovaskular
• Penilaian kardiovaskuler harus dilakukan setiap jadwal tugas jaga
(shift) atau jika terdapat perubahan kondisi klinis.
• Penilaian kardiovaskuler harus mencakup parameter yang terdapat
pada Tabel parameter penilaian kardiovaskuler.
Penilaian Gastrointestinal
• Penilaian gastrointestinal harus dilakukan setiap hari atau jika
terdapat perubahan dalam kondisi klinis dan harus mencakup
parameter yang terdapat pada Tabel parameter penilaian
gastrointestinal.
389
Tabel 5. Parameter penilaian gastrointestinal
Parameter Komentar
Bising usus Ada, tidak ada, hiperaktif atau hipoaktif
Lingkar abdomen Catat ukuran dalam cm setiap hari
Emesis (atau residual)
Volume dan gambaran
Menyusui
• Frekuensi: neonatus harus diberi ASI sesuai permintan dan selama
tiga hari pertama, menyusui harus dilakukan setiap dua jam
• Posisi: ibu harus berada dalam posisi yang nyaman. Kepala dan
badan neonatus harus berada di satu garis lurus, menghadapi ibu,
dan dekat dengan payudara. Sentuh bibir bayi dengan jari atau
puting dan biarkan mulut bayi terbuka lebar
• Kelekatan: bibir bawah neonatus harus menekuk ke arah bawah luar
dan sebagian besar areola masuk ke mulut bayi. Areola lebih banyak
terlihat di atas mulut neonatus dan dagunya harus menyentuh
payudara.
Sistem lain
Penilaian lain harus diperoleh, sesuai dengan kebutuhan. Contoh:
- Gambaran luka dan pembalutannya
- Gambaran sistem genitourinari
- Gambaran output kolostomi
PENILAIAN Semua bayi yang masuk ke Unit Pelayanan Neonatus harus mempunyai
USIA penilaian usia kehamilan yang lengkap. Jika mungkin, hal ini harus
KEHAMILAN dilakukan satu jam setelah kelahiran dan tidak lebih dari 12 jam setelah
kelahiran. Tujuan penilaian usia kehamilan adalah untuk:
• Bandingkan bayi menurut nilai standar pertumbuhan neonatus
berdasarkan usia kehamilan. Temuan dianggap akurat dengan
kisaran ± 2 minggu.
• Verifikasi perkiraan obstetri untuk usia kehamilan dan identifikasi
bayi kurang bulan, lebih bulan, besar atau kecil untuk usia kehamilan.
390
TEKNIK Perkiraan obstetrik usia kehamilan didasarkan pada tanggal hari pertama
MENILAI USIA haid dan haid terakhir:
KEHAMILAN (H+7), (B-3), (T+1)
Keterangan:
H= hari pertama haid terakhir
B= bulan haid terakhir
T= tahun haid terakhir
Skor Ballard
Penilaian usia kehamilan tidak boleh dilakukan terburu-buru tapi harus
sistematis dan dilakukan saat bayi stabil dan dalam keadaan tenang dan
biasa. Maturitas fisik paling akurat dilakukan segera setelah lahir. Jika
bayi mengalami proses yang sulit selama persalinan dan kelahiran atau
terkena efek obat persalinan, maturitas neurologisnya mungkin tidak
bisa dinilai secara akurat pada waktu ini dan dengan demikian harus
diulang setelah 24 jam.
Jika penilaian neurologis tidak dilakukan, perkiraan usia kehamilan bisa
berdasarkan skor ganda penilaian fisik. Prosedur penilaian harus
dilakukan dengan tepat dan petugas pemeriksa berikutnya harus
mempunyai kesempatan untuk mengkaji prosedur dengan staf yang
lebih berpengalaman
391
USIA • Nama
KEHAMILAN • Usia saat diperiksa
• Waktu pemeriksaan
• Usia kehamilan menurut tanggal dan USG
• Menilai maturitas fisik bayi dan beri tanda “X”
pada kotak dalam formulir yang paling menjelaskan tentang
bayi. Jika pemeriksaan kedua dilakukan, tuliskan “0”
pada kotak yang benar.
• Menilai maturitas neuromuskular bayi dan
tuliskan “X” pada kotak dalam formulir yang
paling menjelaskan tentang bayi. Jika pemeriksaan
kedua dilakukan, tuliskan “0” pada kotak yang benar.
Postur paling baik jika dinilai saat bayi terlentang dan tenang. Amati
fleksi tangan dan kaki, bandingkan dengan angka yang ada pada lembar
kerja dan tuliskan
“X” pada angka yang paling sesuai.
Arm recoil dievaluasi saat bayi terlentang. Pegang kedua tangan bayi
dan lakukan fleksi lengan bagian bawah sejauh mungkin selama 5 detik,
lanjutkan dengan merentangkan kedua lengan lalu lepaskan. Amati
reaksi bayi saat lengan dilepaskan. Bayi yang tangannya tetap terentang
atau gerakannya acak mendapatkan skor 0; fleksi parsial 140-180 derajat
mendapatkan skor 1; fleksi 110-140 derajat mendapatkan skor 2; fleksi
90-100 derajat mendapatkan skor 3; dan kembali ke fleksi penuh dengan
cepat mendapatkan skor 4.
392
sudut di belakang lutut atau sudut popliteal, dengan angka pada lembar
kerja.
393
KLASIFIKASI Kaji dan catat pengukuran fisik berikut ini pada grafik yang ada di
NEONATUS Gambar Klasifikasi Neonatus berdasarkan maturitas dan pertumbuhan
BERDASARKAN intrauterin.
MATURITAS • Nama
DAN • Usia saat pemeriksaan
PERTUMBUHAN • Berat dalam gram
INTRAUTERIN • Panjang dalam sentimeter
• Lingkar kepala dalam sentimeter
394
Gambar9. Klasifikasi neonatus berdasarkanmaturitas danpertumbuhan
intrauterin
395
Gambar 10. Perkiraan usia kehamilan menurut maturitasnya
4.4 Dampak penyakit ibu pada neonatus
396
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen
397
IDENTIFIKASI • Penentuan secara akurat usia kehamilan
DINI KEHAMILAN • Mempromosikan dan diadopsinya perilaku sehat sejak
awal dan menghindari perilaku/paparan yang tidak
sehat.
• Penapisan dini infeksi dan risiko lainnya.
• Meningkatkan kemampuan diagnosis dini dan
perawatan penyakit ibu yang bisa mempengaruhi
kehamilan :
- Anemia
- Malnutrisi ibu
- Kondisi medis ibu yang sudah terjadi sebelum
hamil (hipertensi, diabetes, TB, malaria, infeksi
menular seksual, infeksi saluran kemih)
- Penyakit jantung ibu - Kelainan tiroid
A. Nutrisi Ibu
• Mengevaluasi status nutrisi
▪Kondisi berat badan sebelum hamil
▪Kenaikan berat badan yang optimal (10 – 15 kg)
▪Anemia (Hb 10 gram%)
▪Obesitas (uji tapis hipertensi & diabetes)
▪Defisiensi yodium endemik ( gondok )
▪Evaluasi asupan terutama vitamin
• Rekomendasi
398
▪Asupan yang seimbang
▪Suplementasi Kalsium dan Vit.D (defisiensi yang berat
mungkin berhubungan dengan hipokalsemia pada
neonatus)
▪Asupan asam folat yang mencukupi (dimulai sebelum
kehamilan) mengurangi risiko kelainan tabung syaraf
▪Suplementasi besi yang mencukupi terutama pada
kasus anemia
▪Menghindari Vit.A dosis tinggi (efek teratogenik)
399
▪ dan juga melalui kontak setelah lahir yaitu
Varicella neonatorum.
• HIV
▪ Ditularkan melalui plasenta, selama
proses persalinan dan melalui ASI
▪ Sebagian besar HIV/AIDS pada neonatus
tidak menunjukkan gejala pada periode
neonatus awal meskipun beberapa
diantaranya mengalami PJT
• Hepatitis B
▪ Ditularkan terutama sebagai infeksi yang
masuk melalui ibu dan melalui ASI,
jarang melalui plasenta.
▪ Berkaitan dengan hepatitis kronis
pascanatal, sirosis dan karsinoma
hepatoseluler
Infeksi Non-Virus :
• Neisseria Gonorrhoea
▪ Infeksi yang terjadi pada masa
intrapartum (ascending infection)
▪ Opthalmia neonatorum atau neonatal
conjunctivitis (gejala awal)
• Treponema pallidum (syphilis)
▪ Ditularkan melalui plasenta, di setiap saat
selama kehamilan (dampak paling buruk
jika infeksi dini).
▪ Berkaitan dengan kematian janin, lahir
mati dan syphilis kongenital (lesi kulit
dan selaput mukosa,
hepatosplenomegali, anemia dan
trombositopenia, lesi pada tulang)
• Toxoplasma gondii
▪ Ditularkan melalui plasenta
▪ Infeksi pada trimester awal dapat
mengakibatkan abortus, kematian
janin dalam kandungan, kelahiran
prematur.
400
▪ Bayi dengan toxoplasmosis congenital
menunjukkan gejala: ikterus, chorionitis,
hepatosplenomegali, kejang, hidriosefalus,
mikrosefalus dan retardasi mental, tuli dan
anemia.
C. Penyakit tiroid
• Hipotiroidisme
▪ Dicurigai terjadi pada ibu paska operasi
tiroid, struma, atau Hashimoto Thyroiditis
▪ Dapat menyebabkan lahir mati, PJT,
kelahiran prematur, sindroma hipotiroid
kongenital, diabetes kehamilan, abruption /
solusio plasenta dan preeklamsia.
▪ Indikasi untuk pemberian
Tiroksin
• Hipertiroidisme :
▪ Lebih umum daripada
hipotiroidisme
▪ Harus dicurigai pada kasus dengan gondok
▪ Paling sering disebabkan oleh
penyakit Grave’s
▪ Jika tidak diobati bisa berbahaya bagi ibu
termasuk preeklampsia berat, gagal jantung
dan gangguan irama jantung
▪ Dan pada janin dapat terjadi : abortus,
prematur, PJT dan IUFD.
IDENTIFIKASI A. Preeklampsia
PENYAKIT YANG • Risiko preeklampsia meningkat pada : ▪ Sindrom
DIPERBERAT antifosfolipid
OLEH ▪ Riwayat preeklampsia sebelumnya
KEHAMILAN ▪ Nuliparitas
▪ Usia ibu > 35 tahun
▪ Riwayat keluarga
▪ Penyakit ginjal kronis, hipertensi, dan diabetes
sebelum kehamilan
▪ Kehamilan kembar
401
▪ Obesitas, penyakit jaringan penunjang
▪ Hydrops fetalis
B. Diabetes
• Diabetes sebelum kehamilan :
▪ Diabetes Melitus (DM) pregestasional
merupakan ibu hamil sudah terdiagnosis
diabetes sebelum kehamilan dan berlanjut
selama kehamilan
▪ Angka kematian ibu dengan DM pregestasional
pada kehamilan terutama diinduksi hipertensi,
preeklampsia, partus macet dan distosia bahu 10
▪ Meningkatnya risiko keguguran dan anomali
kongenital jika tidak terkontrol
▪ Penyakit semakin parah jika kasus berlanjut
(komplikasi ginjal dan retina)
• Diabetes kehamilan :
▪ Diabetes melitus gestasional (DMG) merupakan
diabetes atau intoleransi glukosa dengan onset
atau pertama kali terdeteksi pada saat
kehamilan10
▪ Diabetes melitus yang tidak terkontrol selama
kehamilan
402
mengakibatkan peningkatan risiko keguguran
pada trimester pertama, kelainan bawaan
seperti kelainan jantung dan susunan saraf
pusat, peningkatan kematian janin, persalinan
prematur, preeklampsia, ketoasidosis,
polihidramnion, makrosomia, trauma persalinan
khususnya nervus brakhialis, terlambatnya
pematangan paru, sindrom distres pernapasan,
ikterus, hipoglikemia, hipokalsemia serta
peningkatan kematian perinatal11, 12
▪ Ibu yang mengalami diabetes selama kehamilan
setelah diikuti selama 5 tahun berkembang
menjadi DM tipe
2 hingga 60% kasus13
▪ Terjadi pada 2 – 5 % kehamilan
▪ Skrining gula darah dan glukosa urin, dan bila
dicurigai maka dapat dilanjutkan dengan tes
toleransi glukosa pada 18 – 24 minggu
▪ Indikasi untuk tes glukosa urin pada trimester
dua dan tiga
▪ Harus dicurigai pada kasus makrosomia dan
polihidramnion
▪ Meningkatnya kejadian persalinan macet dan
seksio sesaria serta trauma lahir
▪ Jika tidak terkontrol dengan diet, pertimbangkan
insulin
▪ Hipoglikemia / hipokalsemia pada neonatus
403
MEMPERKIRAKAN • Mendiagnosis kasus dengan plasenta previa
KASUS YANG • Mencegah ruptura uteri dengan manajemen aktif kala
BERISIKO III dan suntikan oksitosin
PERDARAHAN • Beberapa faktor risiko terjadinya perdarahan
ANTE DAN postpartum dapat diprediksi saat pemeriksaan
POSTPARTUM antenatal yaitu preeklampsia, riwayat perdarahan
pada kehamilan sebelumnya, kehamilan ganda,
grandemultiparitas
• Mengobati dan memantau kondisi yang berkaitan
dengan solusio plasenta, misalnya :
▪Berusia lanjut
▪Hipertensi
▪Pengguna obat terlarang
404
MEMPERKIRAKAN • Sekitar 30–40% persalinan kurang bulan tidak
TERJADINYA diketahui penyebabnya.
PERSALINAN • Penentu paling kuat terjadinya persalinan kurang
KURANG BULAN bulan adalah kejadian persalinan kurang bulan
DAN BERBAGAI sebelumnya.
RESIKO YANG • Pada 70% kasus persalinan kurang bulan berkaitan
MUNGKIN dengan ketuban pecah dini (KPD).
TERJADI • Kondisi ibu yang berkaitan dengan persalinan kurang
bulan :
▪ Abnormalitas uterus / serviks :
- Malformasi uterus
- Fibroid
- Inkompetensia serviks ▪ Abnormalitas
plasenta :
- Plasenta previa dan solusio plasenta
▪ Penyakit ibu selama kehamilan ;
- Anemia berat, penyakit jantung &
ginjal, hipertensi, diabetes
- Trauma ▪ Infeksi ibu :
- Infeksi saluran kemih
- IMS termasuk HIV
▪ Terpapar terhadap zat : tembakau dan obat-
obatan terlarang
405
menolong persalinan bayi yang memerlukan asuhan
khusus
• Kerjasama seperti ini akan memastikan lingkungan
persalinan yang sesuai dan ketersediaan tenaga
profesional untuk memenuhi kebutuhan neonatus
• Persiapan dan rencana rujukan bayi khusus tetapi
tidak tersedia pada fasilitas pelayanan primer harus
disiapkan jauh hari sebelumnya agar pemilihan
fasilitas dan hasil penanganan rujukan berjalan efektif.
• Peluang bayi untuk tetap hidup akan sangat baik jika
asuhan yang diperlukan tersedia di fasilitas kesehatan
tempat mereka dilahirkan.
• Hasil terbaik bagi ibu dan neonatus tercapai jika
tenaga kesehatan asuhan obstetri dan neonatus
menunjukkan kerjasama dan saling menghargai dan
berdasarkan pada prinsip pengelolaan yang sama.
• Hal ini untuk menghindari akan ” terjadinya
saling menyalahkan ”
• Keberhasilan selalu merupakan hasil pencapaian
bersama
• Tenaga kesehatan asuhan neonatus akan mencapai
hasil yang terbaik jika memiliki sistem pendukung yang
diperlukan untuk membantu mereka melakukan
diagnosis dan perawatan neonatus
• Antisipasi komplikasi neonatus berdasarkan informasi
yang diterima kesehatan ibu akan membantu pemberi
asuhan neonatus untuk mempersiapkan diri dengan
sebaik-baiknya.
406
4.5 Kelainan bawaan yang sering ditemui pada neonatus
407
Hernia diafragmatika: herniasi isi perut ke dalam
rongga toraks melalui defek pada diafragma.
Omfalokel: suatu defek yang menyebabkan usus atau
visera lain menonjol keluar melalui umbilicus (masih
terbungkus selaput)
Gatroskisis: herniasi usus besar dan usus kecil melalui
defek dinding abdomen. Anus imperforata: kelainan
kongenital tidak adanya anus; sering disebut juga atresia
ani. Hipospadia: kelainan urologis yang paling sering
ditemui, dapat bersifat glandular, koronal, anterior,
mid/post penis atau perineal.
Meningomielokel: dilatasi kistik dari meningen yang
terkait dengan spina bifida, dengan atau tanpa defek kulit
di atasnya atau abnormalitas akar saraf.
Spina bifida okulta: celah pada tulang belakang
akibat gagal terbentuk secara utuh, tetapi korda spinalis
dan meningens tidak menonjol.
Dislokasi panggul bawaan: adanya dislokasi pada
tulang panggung akibat pertumbuhan abnormal.
Trisomi 13 (Sindrom Patau): kelainan kongenital
yang ditandai dengan kelebihan kromosom 13.
Trisomi 18 (Sindrom Edward): kelainan kongenital
yang ditandai dengan kelebihan kromosom 18.
Trisomi 21 (Syndrom Down) : kelainan kongenital
yang ditandai dengan kelebihan kromosom 21 yang sering
ditandai adanya kelainan jantung dan saluran cerna.
Sindrom hipotiroid kongenital
TORCH
408
PEMERIKSAAN Celah bibir dan celah langit-langit: Kesulitan
FISIS pemberian asupan serta infeksi paru dan telinga berulang.
Atresia koana:
Tidak dapat lewatnya kateter ke nasofaring melalui kedua
sisi hidung sehingga dapat terjadi gawat napas akibat
penyumbatan saluran napas bagian atas.
Fistula trakeoesofagus:
• Bayi yang terkena akan mengeluarkan banyak lendir
(hipersalivasi) dan batuk serta tersedak pada saat diberi
minum.
• Curigai TEF pada kasus dengan
polihidramnion
• Diagnosis dini sebelum terjadinya pneumonia aspirasi
menjadi penting, karena pneumonia aspirasi akan
memperburuk prognosis.
• Diagnosis dipastikan secara cepat dengan gagalnya
selang nasogastrik melewati esofagus proksimal
Hernia diafragmatika:
• Sering ditemui bersamaan dengan
hidramnion.
• Pada saat lahir dapat terjadi sianosis, gawat napas dan
terlihat abdomen skafoid.
• Suara napas pada sisi yang terkena dapat menurun atau
tidak terdengar
• Dapat terjadi masalah pemberian asupan dan gawat
napas ringan
Omfalokel:
Tampak herniasi usus dan pada sejumlah kasus, hati, di
dalam tali pusat.
Gastroskisis:
Tampak herniasi usus besar dan usus kecil melalui defek
dinding abdomen.
409
Anus imperforata:
Pada fistula rendah dapat menyebabkan keluarnya
mekonium melalui vagina atau skrotum, sedangkan fistula
rektovesikal tinggi ditandai dengan terdapatnya
mekonium dalam urine
Hipospadia:
Penis melengkung (korda), defisiensi prepusium ventral,
lubang meatus abnormal, dapat juga disertai testis yang
tidak turun (undescended testis) dan hernia.
Meningomielokel:
• Berbagai derajat defisit motorik dan sensoris terdapat di
bawah ketinggian lesi.
• Kelainan lain anus yang tetap terbuka (patulous),
paralisis kedua ekstremitas bawah dan kelainan bentuk
kaki.
• Hidrosefalus
410
▪ Bentuk dan letak telinga abnormal (low set ears)
▪ Kelainan jantung bawaan
▪ Tangan menggenggam (clenched hand)
▪ Rocker bottom feet
Hernia diafragmatika:
• Diagnosis pranatal dengan USG (ICD 9 CM: 88.76)
• Rontgen dada akan memperlihatkan gambaran usus
dalam rongga dada (ICD 9 CM: 87.44)
Anus imperforata:
• Rontgen dalam posisi knee chest (ICD 9 CM: 87.44)
• USG dapat mendeteksi ketinggian rektum distal (ICD 9
CM: 88.76)
Meningomielokel:
• Rontgen (ICD 9 CM: 87.2)
• CT Scan (ICD 9 CM: 87.03)
• USG (ICD 9 CM: 88.71)
411
Trisomi 13 (Sindrom Patau):
Pemeriksaan kromosom (ICD 9 CM : V82.79)
Trisomi 18 (Sindrom Edward):
Pemeriksaan kromosom (ICD 9 CM : V82.79)
DIAGNOSIS KERJA • Cleft palate and cleft lip (ICD 10: Q35Q37)
• Choanal atresia (ICD 10: Q30.0)
• Atresia of oesophagus without fistula (ICD 10:
Q39.0)
• Atresia of oesophagus with
tracheooesophageal fistula (ICD 10: Q39.1)
• Congenital diaphragmatic hernia (ICD 10:
Q79.0)
• Exomphalos (ICD 10: Q79.2)
• Gastroschisis (ICD 10: Q79.3)
• Congenital absence, atresia and stenosis of
anus without fistula (ICD 10: Q42.3)
• Hypospadias (ICD 10: Q54)
• Spina bifida (ICD 10: Q05)
• Congenital deformities of hip (ICD 10:
Q65)
Atresia koana:
412
• Jika bilateral, segera diperlukan jalan napas melalui
oral
• Koreksi melalui pembedahan sesegera mungkin
Fistula trakeoesofagus:
• Rujuk ke tempat yang mempunyai fasilitas bedah anak
• Posisikan pada posisi tegak 30o
• Isap faring posterior dan saluran napas atas
• Berikan oksigen
Hernia diafragmatika:
• Ventilasi dengan menggunakan balon dan sungkup
(kantung dan masker) merupakan kontraindikasi
karena akan menyebabkan lebih banyak udara masuk
sehingga akan menkompresi paru
• Pembedahan
Omfalokel:
Harus dilakukan pembedahan sesegera mungkin untuk
menghindari terjadinya peritonitis
Gastroskisis:
Pembedahan
Anus imperforata:
Kolostomi sementara pada neonatus dengan anus
imperforata letak tinggi dengan atau tanpa fistula
Hipospadia:
Pembedahan usia 2 tahun
Meningomielokel:
Pembedahan
413
EDUKASI Hindari faktor risiko terjadinya kelainan bawaan
Kenali tanda dan gejala awal adanya kelainan bawaan pada
bayi
TRAUMA LAHIR
(ICD 10: P10-P15)
414
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
Sefalhematoma
• Perdarahan terbatas pada garis sutura
• Kulit kepala diatasnya tidak mengalami diskolorasi
• Pembengkakan mungkin timbul beberapa jam atau
hari setelah lahir
• Hilang setelah 2 minggu sampai 3 bulan
Perdarahan intrakranial
• Presentasi tanpa gejala bisa terjadi hingga 50% kasus
• Tanda kehilangan darah antara lain syok, pucat,
gawat napas, DIC dan ikterus
• Tanda disfungsi neurologis
• Fontanela anterior menonjol
• Hipotonia lemah, kejang
• Suhu tidak stabil
416
• Apnea
Fraktur klavikula
• Menurunnya gerakan lengan ipsilateral
• Nyeri saat pergerakan pasif
• Nyeri, krepitasi pada klavikula
• Tidak adanya refleks Moro pada bagian yang terkena
• Kalus bisa dipalpasi pada usia 7-10 hari
Brakial palsi
• Bayi yang terkena biasanya besar dan mengalami
asfiksia.
• Lengan yang terkena biasanya mengalami aduksi,
rotasi internal, memanjang di bagian siku, pronasi
lengan, dan fleksi di bagian pergelangan tangan.
Cedera intraabdomen
• Riwayat persalinan yang sulit
• Manifestasi mendadak termasuk syok dan distensi
abdomen
• Gejala yang mengindikasikan awitan lanjut termasuk
ikterus, pucat, asupan minum yang buruk, takipnea
dan takikardia
Fraktur klavikula
Rontgen klavikula (ICD 9 CM: 87.43)
417
Paralisis saraf frenikus
Pemeriksaan radiologis meningkatnya lengkungan
diafragma (seperti kubah) (ICD
9 CM: 87.49)
Cedera intraabdomen
USG abdomen (ICD 9 CM: 88.76)
Sefalhematoma
• Tidak perlu perawatan untuk
sefalhematoma tanpa komplikasi
• Insisi atau aspirasi merupakan
kontraindikasi (risiko infeksi)
• Transfusi darah dilakukan jika berkembang menjadi
anemia berat
• Hiperbilirubinemia yang signifikan mungkin
memerlukan terapi sinar atau bahkan transfusi tukar
tergantung pada kadar bilirubin
418
Perdarahan intrakranial
• Hindari manipulasi yang tidak perlu
• Berikan pengembang volume perlahanlahan (albumin,
plasma dan darah)
• Vitamin K1 harus diberikan jika sudah diidentifikasi
adanya kegagalan koagulasi
• Tatalaksana kejang dan hiperbilirubinemia (jika ada)
Fraktur klavikula
Lengan dan bahu yang terkena tidak dimobilisasi selama 7-
10 hari.
Brakial palsi
• Imobilisasi parsial ekstremitas yang terkena selama 1-2
minggu pada posisi yang berseberangan
• Masase lembut dan latihan pasif setelah 1-2 minggu
dan teruskan hingga 3 bulan.
• Jika tidak ada peningkatan, rujuk ke dokter bedah
untuk mencari kemungkinan dilakukannya intervensi.
Cedera intraabdomen
Mungkin perlu laparotomi pada kasus cedera hati atau
limpa
RESUSITASI NEONATUS
419
No. Dokumen No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi
2018
LANGKAH UNTUK • Penilaian merupakan salah satu bagian penting dalam resusitasi
KEBERHASILAN neonatus yang perlu dipahami oleh setiap penolong. Tahapan
RESUSITASI ini akan menentukan langkah serta tindakan resusitasi
selanjutnya. Penilaian harus dilakukan segera setelah bayi
lahir dan berlanjut sepanjang resusitasi
420
• Jangan menunggu nilai Apgar satu menit untuk memulai
resusitasi. Semakin lambat anda memulai, akan semakin sulit
melakukan resusitasi
• Semua petugas yang terlibat dalam persalinan harus:
- Memiliki kompetensi melakukan
resusitasi neonatus
- Mampu bekerja efisien
- Dapat bekerja sebagai tim. Tim resusitasi bayi baru
lahir terdiri dari tiga orang, namun apabila adanya
keterbatasan tenaga penolong maka tim resusitasi
dapat berjumlah minimal dua orang. Pembagian tugas
setiap anggota tim harus jelas pada saat menolong
kelahiran bayi baru lahir.
• Orang pertama yang disebut dengan leader / pemimpin tim
yaitu orang yang dianggap paling terampil dan mampu
memberikan instruksi pada anggota tim lainnya. Pemimpin
tim berdiri tepat di sisi kepala bayi. Tanggung jawab utama
pemimpin tim adalah terkait dengan airway dan
breathing.
• Orang kedua (Asisten Circulation) bertanggung jawab
terhadap sirkulasi bayi. Orang ketiga (Asisten Drug and
Equipment) bertanggung jawab terhadap penyiapan alat –
alat resusitasi, penyiapan obat – obatan dan cairan,
mengukur suhu, pemasangan monitor suhu dan alat lainnya.
• Semua peralatan yang diperlukan harus tersedia dan
berfungsi baik.
421
• Cek alat pengisap lendir, oksigen, sungkup wajah dengan
ukuran yang sesuai serta balon resusitasi/ T piece
resucitator.
• Siapkan pipa endotrakeal (ET) dengan berbagai ukuran
• Siapkan obat-obatan, kateter umbilikal dan sebuah meja
tindakan.
422
Bila terdapat mekonium dan bayi tidak bugar, lakukan
pengisapan, dengan menggunakan suction kateter no 10-12
• Keringkan, stimulasi, dan reposisi kepala.
• Tindakan yang dilakukan sejak bayi lahir sampai reposisi
kepala dilakukan secepatnya
• Menilai pernapasan
• Jika bayi mulai bernapas secara teratur dan memadai, periksa
denyut jantung. Jika denyut jantung >100 kali/menit dan bayi
tidak mengalami sianosis, hentikan resusitasi. Tetapi jika
sianosis ditemui, berikan oksigen aliran bebas.
423
• Intubasi endotrakeal diperlukan jika bayi tidak berespon
terhadap VTP dengan menggunakan balon dan sungkup.
Kemudian lanjutkan VTP.
Kompresi Dada
• Jika denyut jantung masih <60 kali/menit setelah 30 detik VTP
yang efektif, kompresi dada harus dimulai.
• Bila melakukan kompresi dada, bayi lebih dahulu di intubasi
dan oksigen dinaikan menjadi 100%
• Kompresi dilakukan pada sternum di proksimal dari
proc.xipoideus, jangan menekan/di atas xifoid. Kedua ibu jari
petugas yang meresusitasi digunakan untuk menekan
sternum sementara jari-jari lain mengelilingi dada; atau jari
tengah dan telunjuk dari satu tangan dapat digunakan untuk
kompresi sementara tangan lain menahan punggung bayi.
Sternum dikompresi sedalam 1/3 tebal antero-posterior dada.
• Kompresi dada diselingi ventilasi secara simultan
terkoordinasi dengan rasio 3:1. Kecepatan kombinasi kegiatan
tersebut harus 120/menit (yaitu 90 kompresi dan 30
ventilasi). Jadi dalam 60 detik, dilakukan 15 siklus yaitu 45
kompresi dan 15 ventilasi dengan rasio 3:1. Setelah 60 detik,
evaluasi respon. Jika denyut jantung >60 denyut/menit,
kompresi dada dapat dihentikan dan VTP dilanjutkan hingga
denyut jantung mencapai 100 kali/menit dan bayi bernapas
efektif.
• Terkadang, walaupun paru sudah terventilasi dengan baik
(melalui ventilasi tekanan positif) dan curah jantung membaik
(melalui kompresi dada), sejumlah kecil bayi baru lahir
(kurang dari 2 per 1000 kelahiran) masih memiliki frekuensi
denyut jantung di bawah 60 x/menit. Otot jantung bayi
dengan kondisi seperti ini telah mengalami hipoksia terlalu
lama sehingga gagal berkontraksi secara efektif walau telah
mendapat perfusi dengan darah beroksigen.
• Untuk bayi dengan kondisi demikian, harus berlanjut kepada
tahap selanjutnya dalam resusitasi, yaitu Drugs atau
pemberian obat – obatan
424
PEMBERIAN OBAT Epinefrin
• Epinefrin harus diberikan jika denyut jantung tetap <60
kali/menit setelah 30 detik VTP efektif dan 30 detik lagi VTP
efektif dan kompresi dada. Dosis epinefrin adalah 0,1-0,3
mL/kg berat badan larutan 1:10.000 secara intravena, melalui
vena umbilikal. Bila diberikan melalui pipa endotrakeal, dosis
adalah 0,3-1,0 mL/kg berat badan.
Pelaksanaan
• Cuci tangan dengan desinfektan dan menggunakan sarung
tangan steril
• Lihat kondisi pasien dan keperluan pasien dalam terapi
• Isi lebih dahulu kateter ukuran 3.5F atau 5F yang telah
disambung dengan semprit dan stopcock dengan garam
fisiologis.
• Pasang sebuah keran-3-arah (3-way-
stoppcock) steril dan semprit pada kateter 5 FG dan isi
dengan saline normal, lalu tutup keran untuk mencegah
masuknya udara (yang dapat mengakibatkan emboli udara)
• Bersihkan umbilikus dan kulit sekelilingnya dengan larutan
antiseptik, lalu ikat benang mengelilingi dasar umbilikus.
Ikatan ini dapat dikencangkan bila terjadi perdarahan hebat
saat memotong tali pusat
• Potong umbilikus 1-2 cm dari dasar dengan pisau steril.
Tentukan vena umbilikus (pembuluh yang menganga lebar)
dan arteri umbilikus (dua pembuluh berdinding tebal). Pegang
umbilikus (yang dekat dengan
pembuluh vena) dengan forseps steril
425
• Tekan ringan bila ada perdarahan, bersihkan dan asepsis
kembali
• Pegang bagian dekat ujung kateter dengan forseps steril dan
masukkan kateter ke dalam vena (kateter harus dapat
menembus dengan mudah) sepanjang 4-6 cm. Alur vena akan
menuju ke atas, ke arah jantung. Tarik darah sehingga
mengalir dengan mudah ketika membuka stopcock ke arah
semprit dan menghisap secara perlahan
• Periksa kateter tidak menekuk dan darah mengalir balik
dengan mudah; bila ada sumbatan tarik pelan-pelan umbilikus,
tarik ke belakang sebagian kateter dan masukkan kembali
• Kaji jangan sampai ada udara di selang infus dan tutup ujung
set
• Masukkan obat-obatan atau cairan fisiologis
• Bila sudah didapatkan perbaikan denyut jantung, kateter
segera dilepas
• Asepsis kembali area pemasangan kateter umbilikal
Obat Lain
• Tatalaksana pada syok hipovolemik meliputi pemberian
cairan kristaloid dan/atau produk darah (packed red cell/
PRC atau whole blood) guna meningkatkan volume
intravaskular. Cairan kristaloid yang umum digunakan adalah
larutan salin normal atau ringer laktat. Apabila tidak terdapat
kehilangan darah akut, cairan kristaloid tersebut diberikan 10
mL/kg/kali secara intravena, intraoseus, atau melalui kateter
vena umbilikal dalam waktu 1530 menit (pemberian dalam
waktu singkat sesuai kondisi bayi). Hati-hati pemberian bolus
pada bayi premature sebaiknya diberikan lebih dari 20 menit.
Bolus cairan dapat diberikan dua kali atau lebih pada kasus
syok berat. Jika terdapat kehilangan darah kronik, beberapa
bayi dalam keadaan syok berat tidak dapat mentoleransi
pemberian cairan penambah volume secara cepat. Pada
kehilangan darah akut, cairan kristaloid dapat diberikan sambil
menunggu transfusi produk darah. Cairan
426
diberikan sebanyak 10 mL/kg/kali secara intravena,
intraoseus, atau melalui kateter vena umbilikal selama 30
menit-2 jam (dapat lebih cepat tergantung kondisi bayi).
Respons bayi (laju denyut jantung, perfusi, dan tekanan
darah) harus senantiasa dinilai pada akhir pemberian bolus
sehingga dapat diputuskan pemberian bolus selanjutnya.
• Nalokson hidroklorida diberikan kepada bayi dengan keadaan
sebagai berikut. Depresi pernapasan memanjang pada bayi
dari ibu yang mendapat anestesi narkotik dalam waktu 4 jam
sebelum persalinan, sudah dilakukan langkah resusitasi, dan
frekuensi denyut jantung dan warna bayi normal. Nalokson
merupakan kontraindikasi bagi bayi yang ibunya pecandu
narkotika. Nalokson tidak dianjurkan diberikan di Kamar
Bersalin pada resusitasi awal.
Termoregulasi
• Suhu ruangan 24-26⁰C
• Topi bayi yang sudah dihangatkan
• Kain bedong 3 lapis (kain pengering) yang sudah dihangatkan
• Plastik (untuk bayi BB <1500 gram) 2 buah
• Infant warmer dinyalakan dengan suhu 34⁰C
• Inkubator transport dinyalakan dengan suhu
37⁰C
Airway
• Suction keteter 5F atau 6F, 8F, 10F, 12F atau 14F
• Sungkup berbagai ukuran (35 mm, 42 mm, 50 mm, 60 mm)
• Laringoskop (lampu menyala) dengan blade lurus ukuran:
00 : bayi sangat prematur (<1000 gram)
0 : bayi prematur
427
1 : bayi cukup bulan (> 4 kg)
• Laryngeal Mask Airway (LMA) ukuran no. 1
• Pipa Endotrakeal nomor 2; 2,5; 3,0; 3,5; 4
• Stilet dan Magyll
• Plester
• Gunting steril
• Benang Kasur
Breathing
• Self Inflating Bag (ambung® untuk neonatus)
• PEEP valve + connector
• Tabung Oksigen (sudah diisi penuh)
• T-piece resuscitator (sudah diatur tekanan 2530/ 5)
• Jackson Rees (*jika tidak ada T-piece
resuscitator)
428
* Intubasi ET dapat dilakukan pada beberapa tahap resusitasi ini
Gambar 11. Algoritma resusitasi neonatus
4.8 Pedoman stabilisasi neonatus
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
429
Tanggal Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA
Panduan
PP IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Sebagian bayi baru lahir mempunyai keterbatasan adaptasi terhadap
lingkungan ekstrauterin. Keterbatasan tersebut dapat diakibatkan
faktor imaturitas, kelainan bawaan atau kondisi yang terjadi sebelum
persalinan, misalnya gawat janin, ketuban pecah sebelum waktunya,
ibu infeksi, ibu DM, ibu preeklamsia, dan sebagainya.
430
- Stabilisasi suhu (Thermoregulation)
- Stabilisasi jalan nafas (Airway)
- Stabilisasi sirkulasi (Blood Pressure)
- Skrining infeksi (Laboratory)
- Etika dan dukungan emosi pada keluarga
(Emotional Support)
HAL YANG • Persiapan alat dan panggil bantuan sebelum bayi dilahirkan.
HARUS Penting penolong persalinan mempunyai komunikasi kerja yang
DILAKUKAN baik.
BILA BAYI • Persetujuan tindakan medik dilakukan oleh suami atau pihak
LAHIR DI keluarga. Di dalam persetujuan tindakan medik, sebaiknya
FASILITAS mencakup penanganan medis 3 hal, yaitu tindakan resusitasi,
TERBATAS stabilisasi, dan rujukan.
431
bayi ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap peralatannya dan
relatif terjangkau.
Skema Alur persiapan dan komunikasi proses rujukan bayi baru lahir :
432
BEBERAPA HAL • Daftar tilik persiapan transportasi
YANG HARUS • Persetujuan orangtua, pemberian informasi tentang komplikasi
DILAKUKAN neonatus dan perencanaan awal
SEBELUM • Persiapan bayi
MERUJUK
BAYI: • Gelang identitas (nama, nomor rekam medis, tanggal lahir< jenis
kelamin)
• Non-rebreathing mask (NRM)
• Oro/Naso Gastric Tube (OGT/NGT) ukuran 6-8F
• Akses intravena perifer terfiksasi dan diberikan cairan rumatan
(D10%)
• Kateter vena umbilikal yang telah terfiksasi (bila membutuhkan
infus lebih dari 1, pada bayi dengan keadaan umum buruk)
• Semua jalur intravena diberi label
• Antibiotik intravena, jika memungkinkan telah dilakukan kultur
darah sebelumnya.
• Pemantauan berkelanjutan
• Pemberian antinyeri intravena (morfin 0,05-0,1 mg/kg( atau oral (1-
2 Expressed breast milk atau 0,25 ml sukrosa)
• Inisiasi perkembangan saraf (posisi, pecahayaan, dan reduksi bising)
• Dokumentasi pendukung (surat rujukan, catatan keperawatan,
catatan
• observasi, rekam medis, catatan administrasi cairan, hasil patologi
anatomi, riwayat obstetrik, pilihan ibu dalam pemberian asupan
ASI/susu formula, kontak orangtua.
• Keperluan tambahan (X-ray, skrining bayi baru lahir, spesimen yang
telah duambil, kontak RS)
Stabilisasi medik:
1. Menghangatkan, mengeringkan, serta menutup badan bayi dan
ekstremitas yang bebas dari akses intravena serta memasang
tutup kepala. Bila tidak ada inkubator transpor, segera gunakan
metode kanguru. Pilihan pertama Perawatan Metode Kangguru
(PMK) adalah dengan ibunya bila kondisi ibu memungkinkan
karena ibu yang baru melahirkan mempunyai suhu tubuh yang
lebih tinggi terutama di kedua belah payudara akibat tingginya
aliran darah di payudara tersebut. Sentuhan bayi dengan ibu
secara langsung akan
433
memperkuat ikatan psikologis dan diyakini dapat meningkatkan
produksi ASI ibu. Bila kondisi ibu tidak memungkinkan, PMK dapat
dilakukan oleh suaminya atau pihak keluarga lainnya. Perlu diingat
pada bayi dengan Hypoxic Ischaemic Encephalopathy (HIE)
metode kanguru tidak dianjurkan.
434
5. Bila waktu yang diperlukan untuk sampai di tempat rujukan lebih
dari 3 jam pada bayi dengan risiko infeksi, pertimbangkan
memberikan suntikan antibiotik spektrum luas terlebih dahulu,
yaitu dengan memberikan kombinasi ampisilin (100 mg/kgBB/hari
2 dosis) dan bila sudah ada diuresis dapat diberikan gentamisin (5
mg/kgBB/hari 1 dosis). Pertimbangkan pemberian fenobarbital
dosis bolus 20 mg/kgBB untuk 1 kali pemberian, diberikan selama
30 menit pada bayi dengan kecurigaan kejang atau dengan risiko
tinggi kejang.
435
KONTROL Tidak semua ibu hamil dan melahirkan selalu diperiksa status hepatitis
INFEKSI B dan HIV. Selain itu, pada ibu yang terinfeksi baik oleh Hepatitis B
SELAMA atau HIV tidak memberikan manifestasi klinis. Dengan demikian, dalam
PROSES melakukan tindakan medis atau perawatan senantiasa mencegah
STABILISASI terjadi kontak langsung antara cairan tubuh bayi dan tenaga
medis/paramedis.
EVALUASI • Bila bayi dipasang sungkup laring, jangan lupa meniupkan udara 4
BEBERAPA mL melalui semprit untuk menggembungkan sungkup wajah laring.
ASPEK • Bila terpasang vena umbilikalis, amati ukuran kateter yang berada
KEAMAAN di permukaan umbilikus apakah masih sesuai dengan ukuran yang
PASIEN sudah ditentukan sebelumnya dan apakah kateter telah terfiksasi
SEBELUM dengan baik.
DIRUJUK • Evaluasi kemungkinan infus bengkak
436
• Bayi dengan sumbatan saluran cerna, INGAT pemasangan CPAP
tidak boleh diberikan, demikian juga pada bayi dengan sumbatan
saluran cerna yang belum dapat dipastikan, namun terdapat
riwayat kehamilan dengan polihidramnion. Lebih dari 60% bayi
dengan sindrom Down mengalami sumbatan saluran cerna bagian
atas
(stenosis/atresia duodenum), Bila pada bayi tersebut didapatkan
CPAP Belly syndrome sebaiknya CPAP segera dilepas dan cari
bantuan untuk intubasi
• Pada fasilitas dengan ketersediaan blender oksigen dan pengukur
saturasi oksigen (oksimeter), amati saturasi oksigen agar tidak
memberikan secara berlebihan dengan menetapkan saturasi
oksigen di atas 90–95% pada bayi kurang bulan dan cukup bulan.
Kecuali pada bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) range
saturasi oksigen ideal belum diketahui karena dipengaruhi usia
gestasi, usia kronologis, penyakit dasar dan status transfusi.
Dianjurkan selalu menggunakan batas alarm untuk menghindari
terjadinya hipoksia maupun hiperoksia.
• Jangan lupa memuasakan bayi selama proses stabilisasi atau
selama merujuk. Pada stabilisasi di ruang perawatan, keputusan
memberikan minum harus dengan evaluasi beberapa aspek
TRANSPORTASI NEONATUS
437
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen
438
INDIKASI • Gawat napas karena penyebab apapun (misalnya
TRANSPORTASI aspirasi mekonium, pnemonia neonatorum,
NEONATUS sindroma gawat napas) di fasilitas yang tidak
memiliki kemampuan untuk memantau terapi
oksigen dan gas darah arteri, dan tanpa kemampuan
memberikan bantuan ventilasi
• Kondisi bedah
• Berat lahir rendah
• Dicurigai penyakit jantung kongenital
• Komplikasi persalinan yang signifikan
• Hipoglikemia yang berulang
• Ensefalopati hipoksik iskemik
• Sepsis dan tanda-tanda infeksi sistemik
• Perdarahan aktif
• Kuning yang memerlukan transfuse tukar
• Gagal jantung atau disritmia
• Dicurigai kelainan metabolik
• Abnormalitas elektrolit berat
• Perlu pemeriksaan diagnostic lebih lanjut atau terapi
lanjutan
Control
- Kemampuan Tim ( harus terlatih, memiliki
sertifikasi pelatihan resusitasi dan stable)
- Kelengkapan alat
Communication
- Internal (diantara tim) : Checklist preparation
439
- Eksternal (ke rumah sakit rujukan) : Komunikasi
langsung, catatan rekam medis dan surat rujukan
- Keluarga (baksoku) : menerangkan kondisi pasien
pada keluarga, informed consent
Evaluation
- Klinis pasien harus Warm, Pink and sweet
sebelum dan selama transportasi serta saat tiba
ditempat rujukan
Preparation
- Persiapan rujukan yang dinilai melalui checklist
proses transportasi
(SDM, Kelengkapan medis,
kendaraan, pasien
Transportation
- Pasien siap diberangkatkan ketempat rujukan
dengan kendaraan yang memenuhi syarat
440
• Identitas dan tanggal lahir bayi
• Identitas ayah dan ibu bayi
• Riwayat pranatal
• Catatan persalinan dan kelahiran
• Catatan resusitasi neonatus
• Skor Apgar
• Usia kehamilan dan berat badan saat lahir
• Tanda vital: suhu, frekuensi denyut
jantung (FJ), frekuensi napas, Waktu pengisian
ulang kapiler (CRT) dan tekanan darah (jika
ada)
• Persyaratan pendukung oksigen / ventilasi
• Data laboratorium yang sudah ada: misalnya
glukosa, kalsium, hematokrit, penentuan gas
darah
• Akses vaskular.
441
- Konsentrasi oksigen yang diisap
- Saturasi oksigen
- Sistem pemberian oksigen
(tabung,regulator, dan selang), alat CPAP
- EKG (bila tersedia)
• Perlengkapan intubasi
- Laringoskop (bilah lurus ukuran 0 dan 1)
- Bola lampu dan baterai cadangan untuk
laringoskop
- Pipa endotrakeal (diameter internal ukuran 2,5, 3
dan 3.5 mm)
- Balon dan sungkup (sungkup yang
tepinya dari bahan lunak)
• Perlengkapan lain:
- Stetoskop
- Sarung tangan steril
- Oral airways (ukuran 0 dan 00)
442
• Perlengkapan bantuan ventilasi (jika ada)
KEGIATAN TIM Tim transportasi akan menilai kondisi neonatus dengan
TRANSPORTASI melakukan pemeriksaan fisik, hasil x-ray dan/atau hasil
DI RUMAH SAKIT laboratorium dan mengukur tanda vital, kadar glukosa
YANG MERUJUK darah dan gas darah sesuai kondisi. Mungkin diperlukan
akses ke laboratorium dan x-ray. Suhu tubuh neonatus
harus dipertahankan selama prosedur berlangsung.
443
• Lakukan pemeriksaan fisik dengan penekanan pada
hal berikut:
- Tanda gawat napas
- Perfusi
- Murmur
- Tingkat aktivitas dan pengkajian neurologis
(refleks, tonus)
• Data laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap
- Analisis gas darah
- Kultur darah
- Elektrolit
- Kadar glukosa darah - X-ray
Sistem kardiovaskuler
• Syok dan hipovolemia diatasi dengan cairan isotonik
bolus (10 cc/kg) hingga 3 kali jika perlu. Jika tidak
efektif, pertimbangkan penggunaan inotropik
(dopamin/dobutamin).
444
Mempertahankan cairan dan glukosa
• <1.000 gram atau 28 minggu: gunakan D5W (atau
D10W) 100 cc/kg/hari
• >1.000 gram atau 28 minggu: gunakan D10W 80
cc/kg/hari
Penyakit menular
• Pastikan melakukan pemeriksaan darah lengkap
dengan hitung jenis dan kultur darah sebelum
memulai antibiotik.
• Antibiotik harus dimulai sebelum transportasi
dilakukan.
• Patogen bakteri neonatus yang paling sering
ditemukan adalah GBS, E. coli dan Listeria, sehingga
antibiotik yang biasa digunakan adalah ampisillin dan
gentamisin
446
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
447
- Penyakit jantung
- Penyakit vaskuler kolagen
- Infeksi
- Isoimunisasi
- Ketergantungan terhadap obat
- Kondisi obstetrik
- Solusio placenta
- Plasenta previa
- Tali pusat menumbung/prolaps tali pusat
- Ketuban pecah dini (KPD)
- Tidak memadainya plasenta
- Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT)
- Polihidramnion
- Kehamilan kembar/gemeli
- Kondisi intrapartum
- Presentasi abnormal/malpresentasi
- Partus presipitatus atau memanjang
- Distosia atau persalinan sulit
- Kehamilan lewat waktu/postmatur
- Kondisi postpartum
- Kelahiran kurang bulan
- Respiratory Distress Syndrome (RDS)
- Meconium Aspiration Syndrome (MAS)
- Sepsis
- Pneumonia
- Penyakit hemolitik
- Kelainan jantung atau paru
PEMERIKSAAN • HIE Tingkat I (ringan)
FISIS • Periode letargi dan iritabilitas, kewaspadaan
berlebihan dan jitteriness berselang seling
• Kemampuan minum yang buruk
• Tonus otot meningkat, refleks tendon dalam
berlebihan, refleks Moro berlebihan dan/atau
spontan
• Eksitasi simpatik terbukti oleh peningkatan denyut
jantung dan pupil mengalami dilatasi
• Tidak ada aktivitas kejang
• Gejala hilang dalam 24 jam
448
• Pemberian minum buruk, refleks gag tertekan
• Hipotonia
• Denyut jantung menurun dan konstriksi pupil
yang menunjukkan stimulasi parasimpatik
• 50-70% bayi memperlihatkan kejang, biasanya
dalam waktu 24 jam setelah kelahiran
• ↓ Glukosa
• ↓ Natrium
• ↓ TD
• Sekresi ADH yang tidak memadai
449
PEMERIKSAAN • Hitung darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
PENUNJANG • Glukosa darah (ICD 9 CM: 90.5)
• BUN dan kreatinin (ICD 9 CM: 90.5)
• Elektrolit darah, kalsium, fosforis, dan magnesium (ICD
9 CM: 90.5)
• Enzim hati (AST/ALT) (ICD 9 CM: 90.5)
• Analisis gas darah (ICD 9 CM: 89.65)
• Analisis urin dan jumlah urin (ICD 9 CM: 91.3)
• Pungsi lumbal mungkin perlu
dipertimbangkan (ICD 9 CM: 90.0)
• USG kepala (ICD 9 CM: 88.71)
• EEG, CT-Scan, dan MRI jika ada indikasi dan tersedia
(ICD 9 CM: 89.14, 87.03, dan 88.91)
450
• Mengkoreksi dan mempertahankan elektrolit, cairan
dan glukosa
• Mengoreksi hipovolemia
• Menghindari kelebihan cairan, hipertensi dan
hiperviskositas
• Mengobati kejang
- Fenobarbital loading dose 20 mg/kgBB. naikkan 5-10
mg/kgBB atau langsung 10-20 mg/kgBB sampai
kejang terkontrol atau dosis maksimal 40 mg/kgBB
tercapai. Jika kejang berhenti, pertahankan pada
dosis rumatan 3-5 mg/kg/hari dibagi 1-2 dosis, 24
jam setelah loading dose
- Jika kejang tidak dikontrol oleh dosis fenobarbital
maksimal yang diperbolehkan, tambahkan fenitoin
20 mg/kgBB diberikan dengan kecepatan 1
mg/kgBB/menit. Dilanjutkan dengan pemberian
dosis rumatan 24 jam kemudian dengan dosis 5-10
mg/kg/hari, diberikan setiap 8 jam dalam dosis
terbagi rata.
- Jika kejang masih tidak teratasi dapat dilanjutkan
dengan pemberian midazolam 0,15 mg/kgBB
dilanjutkan dosis rumatan 1 mikrogram/kgBB/menit
dan dinaikkan 0,5-1 mikrogram/kgBB/menit sampai
dosis maksimal 18 mikrogram/kgbb/menit
- Alternatif lain jika anda berada di RS dengan fasilitas
lengkap dapat menggunakan algoritma tahun 2013.
Terapi hipotermia
• Dilaksanakan pada neonatus aterm (3637 minggu)
sebelum usia 6 jam dan memenuhi kriteria HIE
• Saat merujuk dipertahankan suhu 34°C–35°C (bila
suhu di atas 35°C dipertimbangkan membuka pintu
transport inkubator atau menurunkan suhu
inkubator transport)
451
PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Malam
Ad sanationam: Dubia Malam
Ad fungsionam: Dubia Malam
DAFTAR RUJUKAN Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR. 45
Chalak L, Kaiser J. 49
452
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
453
6. Inborn Errors of Metabolism: kelainan
metabolisme asam amino, defek siklus urea,
defisiensi Glucose Transporter-1 (GLUT-1)
7. Developmental Malformations: disgenesis
serebral, sindrom neurokutaneus
8. Kejang disebabkan obat-obatan: Withdrawal of
narcotic analgesic, intoksikasi anestesi lokal
9. Sindrom epilepsi neonates
454
Kejang Tonik Fokal
• Terlihat dari postur asimetris dari salah satu
ekstremitas atau batang tubuh atau kepala tonik
atau deviasi mata.
• Sebagian besar kejang tonik terjadi bersama
dengan difusi penyakit sistem syaraf pusat dan
perdarahan intraventrikular.
Kejang Klonik
• Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang
perlahan dan berirama (1-3 /menit).
Penyebabnya mungkin berasal dari satu titik atau
multi-fokal.
• Setiap gerakan terdiri dari satu fase gerakan yang
cepat dan diikuti oleh fase yang lambat.
• Perubahan posisi atau memegang ekstremitas
yang bergerak tidak akan menghambat gerakan
tersebut.
• Umumnya terjadi pada neonatus cukup bulan
>2500 gram.
• Tidak terjadi hilang kesadaran.
• Berkaitan dengan trauma fokal, infark atau
gangguan metabolik.
Kejang Mioklonik
• Kejang mioklonik terfokus di satu area, multi-
fokal atau umum.
• Kejang mioklonik fokal biasanya melibatkan otot
fleksor pada ekstremitas.
• Kejang mioklonik multi-fokal yang terlihat sebagai
gerakan kejutan yang tidak sinkron pada
beberapa bagian tubuh.
455
• Kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas
berupa fleksi kepala dan batang tubuh dengan
ekstensi atau fleksi ekstremitas. Kejang ini
berkaitan dengan difusi patologis SSP.
Pemeriksaan lainnya
• Mencari penyebab spesifik lainnya yang dicurigai
(TORCH, kadar amonia, asam amino dalam urine, USG
kepala dll). (ICD 9 CM: 90,5; 91.3; 88.71)
• Pemeriksaan aEEG (bila fasilitas tersedia) (ICD 9 CM:
89.14)
456
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
KRITERIA
pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS
457
458
Gambar 15. Alogaritma tatalaksana kejang
459
Tanggal DITETAPKAN KETUA PP IDAI
Panduan Terbit/Revisi
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada neonatus
yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas pada neonatus
adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya:
• Takipnea (frekuensi napas >60x/menit)
• Aktivitas otot pernapasan
• Napas cuping hidung
• Merintih (grunting)
• Sianosis
• Apnea
Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
Skor total 4-5: gawat napas sedang
460
ANAMNESIS Faktor risiko
• Seksio sesarea elektif
• Makrosomia
• Partus lama
• Laki-laki
• Ibu mendapatkan sedasi berlebihan
• Skor Apgar rendah (≤ 7 pada usia 1 menit)
• Skor Downe > 4
• Ibu dengan diabetes mellitus
• Kehamilan kurang bulan
• Riwayat asma pada keluarga (terutama Ibu)
PEMERIKSAAN • Neonatus biasanya hampir cukup bulan atau cukup bulan dan
FISIS mengalami kesulitan bernapas segera setelah lahir (>80
pernapasan/menit).
• Salah satu petanda penting dari TTN adalah perbaikan pada
neonatus, yang biasanya terjadi pada 48-72 jam setelah lahir.
• Pemeriksaan radiologis
- Rontgen toraks : gambaran bisa bervariasi tetapi sering didapati
adanya garis perihilar (ellis damoiseau) dan kardiomegali ringan.
(ICD 9 CM:
87.44)
KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS Transient tachypnea of the newborn (TTN) (ICD 10: P22.1)
KERJA
DIAGNOSIS • Respiratory distress syndrome ( ICD 10: P22.0)
BANDING • Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01)
• Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)
• Pneumonia (ICD 10: P23.0)
TERAPI Self limiting disease, sehingga pengobatan yang ditujukan
biasanya hanya berupa pengobatan suportif, yaitu:
• CPAP (PEEP : 7 cmH2O)
• Suplementasi oksigen bila saturasi tidak mencapai target (90-
95%)
• Pemberian minum setelah hemodinamik stabil
PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko untuk
bayi mengalami problem neurodevelopmental akan meningkat.
461
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS, Kattwinkel J, Perlman
JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
462
Tabel 7. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor
Downe
Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
463
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan laboratorium
PENUNJANG - Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
- Kadar glukosa darah biasanya rendah (ICD 9 CM: 90.5)
- Ditemukan hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis dari analisis gas
darah (fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 89.65)
- Kultur darah dan urin untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi (fasilitas lengkap) ( ICD 9
CM: 90.52 dan 91.32)
• Pemerikaan radiologi
- Rontgen thoraks mengungkap kepadatan retikulogranular
bilateral dan air bronchogram.
(ICD 9 CM: 87.44)
TERAPI Umum
• CPAP dengan PEEP 7 cm H2O, PEEP dapat dinaikkan sampai
8 cm H2O bila pemberian suplementasi oksigen mencapai
40% untuk memenuhi target saturasi 90-95%.
• Dukungan dasar yaitu pengaturan suhu dan cairan
parenteral serta obat-obatan
(antibiotik) secara parenteral.
• Kafein diberikan segera setelah lahir. Bila kafein tidak
tersedia, dapat diberikan alternatif teofilin atau aminofilin.
• Terapi penggantian surfaktan
PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.
464
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
465
Tabel 8. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor
Downe
Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
Skor total 4-5: gawat napas sedang Skor total ≥6 :
gawat napas berat
DEFINISI Meconium aspiration syndrome (MAS) gawat napas
ini disebabkan oleh aspirasi mekonium saat intrauterin atau
selama proses persalinan. Mekonium yang teraspirasi dapat
menyebabkan sumbatan jalan napas dan reaksi inflamasi paru.
466
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan laboratorium
PENUNJANG - Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
- CRP (ICD 9 CM: 90.5)
- Analisis gas darah (fasilitas lengkap) (ICD 9
CM: 89.65)
• Pemeriksaan radiologis
- Rontgen dada : infiltrat kasar dan bisa asimetris, ada bagian
konsolidasi atau atelektasis, serta bagian hiperinflasi. (ICD 9 CM:
87.44)
KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
DIAGNOSIS penunjang
DIAGNOSIS Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01)
KERJA
DIAGNOSIS • Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0)
BANDING • Transient tachypnea of the newborn (TTN) : (ICD 10:
P22.1)
• Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)
467
TERAPI - Tatalaksana di ruang bersalin (jika cairan ketuban ternodai
mekonium)
• Penghisapan lendir atau mekonium mulai dari mulut
kemudian hidung dengan menggunakan penghisap lendir
ukuran besar (10-12Fr) bila bayi lahir tidak menangis sebelum
melakukan ventilasi tekanan positif
• Tata laksana bayi baru lahir di unit neonatus
Tata laksana umum
- Koreksi kelainan metabolik, yaitu hipoksia, asidosis,
hipoglikemia, hipokalsemia dan hipotermia
- Pemantauan kerusakan hipoksik/iskemik organ akhir
(otak, ginjal, jantung, dan hati)
- Cakupan antibiotik (ampisillin dan gentamisin)
Tata laksana kardiorespiratori
- Oksigenasi dan dukungan pernapasan sesuai
kebutuhan bayi
- Mempertahankan saturasi 90-95%
- Mengoreksi hipotensi sistemik
(hipovolemia, disfungsi miokard) -
Mempertahankan kadar PaCO2 antara 25 - 40 mmHg.
- Mencegah terjadinya PPHN
PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
468
4.15 Pneumonia pada neonatus
469
No. No. Revisi Halaman
UKK
Dokumen
Neonatologi
2018
Downe
Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
Skor total 4-5: gawat napas sedang Skor total ≥6 :
gawat napas berat
DEFINISI Pneumonia adalah infeksi yang terjadi di jaringan paru yang
disebabkan oleh virus, bakteri atau jamur.
470
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
PENUNJANG • Pemeriksaan analisis gas darah dan kultur darah, CRP
(fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 89.65; 90.52 dan 90.5)
• Rontgen dada: temuan paling sering berupa infiltrat di
lapang paru yang terkena. (ICD 9 CM: 87.44)
• Kultur bakteri: sejumlah kasus pnemonia mungkin
memperlihatkan kultur negatif (ICD 9 CM: 90.52)
PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
471
4.16 Air leak syndrome
472
Tabel 10. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor
Downe
Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
473
PEMERIKSAAN • Transiluminasi positif pada bagian yang terkena
PENUNJANG • Foto rontgen : ada gambaran lusen pada paru yang terkena.
Diagnosis pasti ditegakkan secara radiografis oleh foto rontgen
A-P dan lateral dada. (ICD 9 CM: 87.44)
TERAPI Umum
• Oksigenasi (mempertahankan saturasi 9095%)
• Pencegahan: Pada saat resusitasi, hindari pemberian VTP yang
berlebihan. Pemakaian dukungan ventilator secara hati-hati
dalam memberikan tekanan dan PEEP yang tinggi.
Spesifik
• Pungsi pleura untuk kondisi emergensi dan bila perlu dilakukan
WSD
PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
474
4.17 Apnea of prematurity
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
APNEA OF PREMATURITY
(ICD 10 : P28.4)
475
Tabel 11. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor
Downe
Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
476
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan
PENUNJANG darah lengkap dan glukosa serum (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan elektrolit (ICD 9 CM: 90.5) dan analisis gas
darah (fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 86.65)
• Pemeriksaan radiologis harus mencakup rontgen dada (ICD 9
CM: 87.44)
• USG abdomen, USG kepala dan echocardiography (fasilitas
lengkap) (ICD 9 CM: 88.76; 88.71; 88.72)
TERAPI Umum
• Melakukan rangasangan taktil
• Gunakan nasal kanul low flow atau CPAP pada apnea
berulang dan tidak memberikan respon dengan
rangsangan taktil.
• Terapi farmakologis mungkin diperlukan pada apnea
kelahiran kurang bulan.
• Kafein diberikan segera setelah lahir. Bila kafein tidak
tersedia, dapat diberikan alternatif teofilin atau
aminofilin.
Memantau kadar teofilin
Spesifik
• Cari penyebab dan atasi.
PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.
477
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
TERAPI OKSIGEN
478
PENDAHULUAN Percobaan pertama pembuktian bahwa oksigen itu tidak berwarna,
berbau, dan berasa dilakukan oleh Joseph Priestley dipublikasi
tahun 1774. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk menangani bayi-bayi yang lahir prematur, maka
pemberian oksigen dapat diberikan bersama dengan pemberian
udara atau oksigen 100%, bergantung pada kondisi bayi saat
resusitasi. Untuk bayi cukup bulan resusitasi diawali dengan FiO2
21% sedangkan bayi dengan usia gestasi kurang dari 35 minggu
diberikan FiO2 30%.
479
OKSIGEN Persediaan oksigen yang cukup harus tersedia setiap saat. Oksigen
diberikan dengan kecepatan aliran yang tertentu. Inkubator
memerlukan minimal 4-5 liters/menit; Botol air pada continuous
positive airway pressure (CPAP) memerlukan 5-10 liter/menit.
Masker oksigen pada wajah memerlukan 4 liter/menit dan sangat
penting bahwa nasal kateter atau prong mengalirkan 0,5 – 2
liter/menit oksigen kepada neonatus.
480
UDARA Untuk memiliki ketersediaan sumber udara bertekanan untuk
BERTEKANAN dicampurkan dengan oksigen 100% sangatlah penting karena dapat
memberikan konsentrasi oksigen kurang dari 100% yang diperlukan
oleh neonatus.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
41 37 34 32 31 30 29 28
1
% % % % % % % %
Oksigen (liter/menit)
61 53 47 44 41 38 37 35 34
2
% % % % % % % % %
80 68 61 55 51 47 45 43 41 39
3
% % % % % % % % % %
84 74 66 61 56 52 50 47 45 44
4
% % % % % % % % % %
86 77 70 65 61 57 54 51 49 47
5
% % % % % % % % % %
88 80 74 68 64 61 57 54 53 51
6
% % % % % % % % % %
Oksigen (liter/menit.)
90 82 76 71 67 64 61 58 56 54
7
% % % % % % % % % %
91 84 78 74 70 66 63 61 58 56
8
% % % % % % % % % %
92 86 80 76 72 68 65 63 61 58
9
% % % % % % % % % %
1 93 87 82 77 74 70 67 65 63 61
0 % % % % % % % % % %
481
BMS merupakan alat resusitasi yang sering dipakai di fasilitas
terbatas maupun fasilitas lengkap. BMS dapat digunakan tanpa
sumber gas (pemberian FiO2 21% sama dengan udara ruangan). Bila
BMS disambungkan dengan sumber oksigen murni, fraksi oksigen
(FiO2) pada masker bergantung dengan campuran aliran oksigen dan
udara bebas yang masuk ke balon (bag) Contoh BMS adalah balon
volume 250 ml.
OXYHOOD • Oxyhood harus terbuat dari plastik bening, cukup besar untuk
menutupi kepala bayi dan masih memungkinkan bayi untuk
bergerak. Plastik harus keras dan padat sehingga oksigen/udara
tidak bocor atau bercampur dengan udara kamar.
• Harus dipasang termometer pada oxyhood. Suhu di dalam
oxyhood harus diatur dan dipertahankan di dalam kisaran
lingkungan bersuhu netral bayi untuk mencegah bayi menggigil
atau kepanasan.
482
MEMANASKAN • Harus tersedia mekanisme untuk memanaskan air yang akan
DAN digunakan untuk mengatur kelembaban.
MENGATUR • Air yang digunakan harus steril karena air ledeng mengandung
KELEMBAPAN organisme bakteri yang akan melipatgandakan diri dalam air
UDARA hangat.
• Kadar air harus dipertahankan pada kadar yang sesuai dan air
diganti dengan air steril baru setiap 24 jam.
• Penting pula untuk memiliki mekanisme untuk menghubungkan
sumber oksigen/udara dengan unit pemanas/pelembab dan
mempertahankan laju aliran kombinasi pada sekitar 4-5
liter/menit.
• Jika oksigen diberikan pada neonatus dengan flow 0,5-1 L/menit
dengan menggunakan kateter nasal atau nasal prong, tidak
diperlukan humidifikasi, sebaliknya oksigen diberikan dengan
flow lebih dari 4 L/menit melalui kateter nasal atau nasal prong
akan memerlukan humidifikasi
DAFTAR Prisetley. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad. 59
Bancalari. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk.61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 68
WHO. 69
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cumming JJ Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
Trevisanuto D, Cengio VD, Doglioni N, Cavallin F, Zanardo V, Parotto
M, dkk. 70
4.19 CPAP
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
483
Tanggal DITETAPKAN KETUA PP
Panduan Praktik Terbit/Revisi IDAI
Klinis
Ikatan Dokter Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Sesak napas pada bayi baru lahir adalah suatu kumpulan
gejala klinis berupa laju napas >60x/menit, retraksi
interkostal, retraksi supraklavikula, retraksi epigastrium,
napas cuping hidung, henti napas, sianosis, dan takikardia,
yang timbul akibat gangguan pertukaran gas di dalam paru-
paru bayi baru lahir. Insiden sesak napas pada bayi baru lahir
berkisar 6,7% dari total kelahiran. Sesak napas pada bayi
prematur menyumbang insiden tertinggi sekitar 30%, diikuti
bayi post matur 20,9%, dan terendah terjadi pada bayi cukup
bulan 4,2%. Berdasarkan etiologinya transient tachypnea
of newborn (TTN) merupakan penyebab tersering sesak
napas bayi baru lahir (42,7%), diikuti oleh sepsis neonatorum
(17,0%), sindrom aspirasi mekonium (10,7%), sindrom gawat
napas bayi baru lahir (9,3%), dan asfiksia neonatorum (3,3%).
Sesak napas merupakan masalah tersering dialami bayi, baik
prematur maupun cukup bulan, yang dirawat di neonatal
intensive care unit (NICU)
484
PRINSIP CPAP Tekanan jalan napas positif berkelanjutan(CPAP) akan
tercipta manakala terdapat aliran udara hangat nan lembab
mengalir melalui suatu sirkuit yang memiliki resistensi
tertentu. Berbagai cara untuk dapat menciptakan CPAP di
antaranya menggunakan mesin ventilator, sirkuit bubble
CPAP, T piece resuscitator atau balon tidak mengembang
sendiri. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan
sendiri-sendiri.
485
GANGGUAN YANG Bayi yang mendapatkan manfaat dari CPAP nasal adalah:
DAPAT DIATASI • Bayi kurang bulan dengan RDS
CPAP NASAL • Bayi dengan TTN (transient tachypnea of the
newborn)
• Bayi dengan sindroma aspirasi mekonium
• Bayi yang sering mengalami apnea
obstruktif
• Pasca ekstubasi dan lepas dari tunjangan ventilator
• Bayi dengan penyakit jalan napas seperti trakeomalasia
dan bronkiolitis
• Bayi pasca operasi abdomen atau dada
KRITERIA MEMULAI Semua bayi, cukup bulan atau kurang bulan, yang
CPAP NASAL menunjukkan SALAH SATU gejala berikut ini harus
dipertimbangkan untuk menggunakan CPAP
• Frekuensi napas >60 x/mnt
• “Merintih (grunting)” dalam derajat sedang
sampai parah
• Retraksi dinding dada
• Napas cuping hidung
• Desaturasi/ Saturasi oksigen <93%
(preduktal)
• Sering mengalami apnea obstruktif
• Pasca ekstubasi dan lepas dari tunjangan ventilator
mekanik apabila diperlukan
486
KOMPONEN CPAP Sistem CPAP yang umum digunakan adalah terdiri dari tiga
komponen
1. Sebuah sirkuit yang mengalirkan gas terus menerus yang
terdiri atas :
a. Sumber gas oksigen (100%) dan udara bertekanan
(21%) menghasilkan gas dengan konsentrasi oksigen
(FiO2) tertentu.
b. Sebuah flow meter mengontrol kecepatan aliran
terus-menerus dari gas yang dihirup (biasanya
dipertahankan pada kecepatan 5-10 L/menit).
c. Sebuah humidifier menghangatkan dan
melembabkan gas yang dihirup agar mengandung uap
air 44 mg/L dan bersuhu 37 C.
d. Sirkuit inspirasi yang didalamnya terdapat
heated wire sehingga gas yang dihantarkan dari
humidifier tidak kehilangan suhu dan
kelembabannya
e. Sirkuit ekspirasi yang dilengkapi dengan (water
trap)
2. Sebuah alat untuk menghubungkan sirkuit ke saluran
napas neonatus (interface). Untuk tujuan dalam prosedur
ini, Short binasal prong merupakan metode yang lebih
disukai
3. Sebuah alat untuk menghasilkan tekanan positif pada alat
sirkuit. Tekanan positif dalam sirkuit dapat dicapai
dengan memasukkan pipa ekspirasi bagian distal
487
MATERI UNIT CPAP Sirkuit CPAP lengkap harus dirangkai sebelum dipergunakan.
Jika bayi memerlukan CPAP. Unit CPAP memerlukan
perlengkapan berikut:
• Sumber aliran oksigen dan udara
• Pencampur Oksigen dengan flow meter
• Pipa dari flow meter ke alat pengatur kelembaban
• Humidifier
• Pipa sirkuit berkerut dengan sambungan ke alat pengatur
kelembaban
• Peralatan kateter nasal (terdiri dari nasal prongs, topi
dan Velcro)
• Prong yang ukurannya tepat harus sesuai dengan ukuran
lubang hidung tanpa menekan septum. Jika prong terlalu
kecil, akan ada peningkatan resistensi udara yang tidak
perlu dan udara keluar dari sekitar prong dan sulit untuk
mempertahankan tekanan yang sesuai. Prong yang terlalu
kecil atau terlalu besar bisa merusak selaput lendir dan
septum lecet. Pedoman umum ukuran prong yang tepat
adalah
- Ukuran 2 untuk berat 1000-2000 g
- Ukuran 3 untuk berat 2000-3000 g
- Ukuran 4 untuk berat 3000-4000 g
- Ukuran 5 untuk berat > 4000 g
• Pita pengukur
• Plester hydroksikoloid untuk mencegah trauma hidung
• Tabung yang berisi air steril dengan kedalaman terntentu.
488
Hubungkan probe kelembaban dan suhu ke selang kerut
yang masuk ke bayi. Pastikan probe suhu tetap di luar
inkubator atau tidak di dekat sumber panas radian.
3. Jaga kebersihan ujung selang kerut yang lain dan ditutup.
4. Tentukan tekanan CPAP dengan mengatur kedalaman pipa
sesuai dengan PEEP yang diinginkan.
489
• Tutup ujung prong nasal untuk menguji fungsi sirkuit.
Amati gelembung yang muncul di permukaan air.
Menghubungkan sistem ini dengan bayi
• Posisikan bayi dan naikkan bagian kepala tempat tidur
30°.
• Hisap lendir dari mulut, hidung dan faring dengan
lembut. Gunakan kateter ukuran besar yang bisa masuk
ke hidung tanpa kesulitan yang berarti. Pastikan bahwa
bayi tidak mengalami atresia koana.
• Letakkan gulungan kecil di bawah leher/bahu bayi.
Sedikit ekstensi leher untuk menjaga jalan napas tetap
terbuka.
• Lembabkan prong dengan air steril atau tetesan NaCl
0,9% sebelum memasukkannya ke dalam hidung bayi,
dengan lengkungan ke bawah. Sesuaikan sudut prong
dan kemudian putar selang kerut hingga dicapai posisi
yang benar. Untuk memastikan posisi yang tepat,
periksa
a. Lubang hidung tertutup sama sekali oleh prong.
b. Kulit hidung tidak tertarik yang terlihat dari
pucatnya warna kulit di sekitar tepi lubang hidung.
c. Selang kerut tidak menyentuh kulit bayi.
d. Tidak ada tekanan lateral pada septum.
e. Ada sedikit ruang antara ujung septum dan bridge
di antara prong.
f. Prong tidak bersandar pada filtrum.
490
peniti di tiap sisi selang. Gunakan gelang karet di sekitar
peniti dan di atas selang kerut untuk
mencegahpergeseran atau berpindahnya peralatan ini.
• Setelah bayi distabilisasi menggunakan CPAP, anda bisa
memasang “moustache” Velcro agar prong tidak
bergeser dari posisinya. Bersihkan pipi dan bibir atas bayi
dengan air dan biarkan kering.Potong plester
hydroxycolloid dan pasang tepat di atas area yang sudah
disiapkan. Potong Velcro dan pasang tepat di atas
hydroxycolloid. Potong dua strip Velcro lunak (lebar 8
mm) dan pasang melingkar area prong yang menutupi
pipi. Tekan kanula prong dengan lembut hingga Velcro
strip yang lunak menempel ke antara bibir dan hidung
MEMPERTAHANKAN Sistem CPAP melalui hidung bayi harus diperiksa setiap 2-4
CPAP NASAL jam
• Respirasi: frekuensi napas, merintih (grunting),
retraksi dan cuping hidung kembang kempis dan suara
napas
• Suhu: ukur dengan cermat. Alat pengatur kelembaban
mempengaruhi suhu tubuh bayi.
• Kardiovaskuler: perfusi sentral dan perifer, tekanan
darah dan auskultasi
• Neurologis: tonus, respon terhadap stimulasi dan
kegiatan
• Gastrointestinal: distensi abdomen, visible loops
dan bising usus
• Teknis: probe saturasi oksigen pre-duktal dan pemantau
kardiopulmonal
491
Catat jumlah, konsistensi dan warna sekresi. Untuk
melunakkan sekresi kental dan kering, gunakan beberapa
tetes salin steril (Nacl) 0,9%.
Jika bayi sudah nyaman bernapas dengan CPAP dan FiO 2 21%
maka harus dicoba untuk melepaskannya dari CPAP. Prong
nasal harus dilepas dari corrugated tubing saat selang
masih di tempatnya. Bayi harus dinilai selama percobaan ini
apakah mengalami takipnea, retraksi, desaturasi oksigen,
atau apnea. Jika tanda tersebut timbul, percobaan dianggap
gagal. CPAP harus segera dipasang lagi pada bayi paling
sedikit satu hari sebelum dicoba lagi di hari berikutnya.
492
Tidak dianjurkan menurunkan tekanan < 5 cmH2O selama
penyapihan karena bahaya atelektasis paru. Bayi
menggunakan CPAP 5 cm atau sama sekali lepas dari CPAP.
KOMPLIKASI CPAP • Cedera pada hidung, seperti erosi pada septal nasi, dan
nasal snubbing
• Pneumothoraks
• Impedasi aliran darah paru
• Distensi abdomen
• Nasal prong atau masker pada CPAP dapat menyebabkan
bayi tidak nyaman yang menyebabkan agitasi dan
kesulitan tidur pada bayi
INDIKASI Bayi dengan CPAP nasal dengan tekanan yang optimal akan
VENTILASI memerlukan ventilasi mekanis jika terjadi hal berikut:
MEKANIS • FiO2 > 40 %, PEEP 8
• PaCO2 > 60 mmHg
• Asidosis metabolik menetap dengan defisit basa >
-8
• Terlihat retraksi yang nyata saat dilakukan CPAP
• Sering mengalami apnea dan
bradikardi
493
PEMECAHAN Tidak ada gelembung di botol
MASALAH SECARA Hal ini karena ada kebocoran udara di suatu tempat di sirkuit.
CEPAT SELAMA Lepaskan prong dari hidung dan lakukan oklusi. Jika sistem
CPAP menimbulkan gelembung, berarti ukuran prong, tidak tepat
(mungkin terlalu kecil), atau lengkungannya tidak tepat di
dalam hidung, atau tidak pas ukurannya. Kadang-kadang
dengan bayi hanya membuka mulut, sistem akan berhenti
menimbulkan gelembung. Hal ini dapat dikoreksi dengan
menempatkan ‘strip dagu.’
VENTILASI INVASIF
495
PENDAHULUAN Saat bayi lahir dan sebelumnya mengalami hipoksia perinatal,
didapatkan gambaran bayi bernapas cepat dan bila berlangsung
lama bayi bisa mengalami apne. Apne yang terjadi bisa apne
primer atau apne sekunder
Pada bayi setelah upaya langkah awal tetap tidak timbul nafas
spontan, VTP harus segera diberikan, dan dilanjutkan alat bantu
napas ventilasi invasif bila bayi tetap tidak ada nafas spontan.
496
UNIT VENTILASI Sirkuit pernafasan Ventilasi invasif harus digunakan secara
INVASIF disposable, dirangkai dan siap digunakan SETIAP SAAT.
Humidifier harus berfungsi
Unit ventilasi invasif memerlukan perlengkapan berikut:
• Sumber aliran Oksigen dan udara
• Pencampur Oksigen dengan flow meter
• Humidifier
• Pipa sirkuit berkerut dengan sambungan ke alat
pengatur kelembaban
• ETT yang sudah terpasang saat bayi
terintubasi sesuai dengan berat bayi
497
2. Komplain paru merupakan elastisitas paru dan dinding dada.
Merupakan perubahan volume paru.
3. Resistensi
Menggambarkan kemampuan konduksi gas dari bagian
sistem respirasi (paru dan dinding dada) untuk menahan
aliran udara.
4.Time constant
Pengukuran waktu penting pada tekanan di alveolar (volume)
untuk mencapai 63% perubahan pada tekanan jalan napas
(atau volume).
Contoh:
Komplain paru 2 mL/cmH2O dan resistensi
paru 40 cm H2O/L/detik
Time constant = 0.002 L/cmH2O x 40
cmH2O/L/detik = 0,080 detik
498
Durasi inspirasi atau ekspirasi setara dengan 3-5 time constant
yang dibutuhkan untuk inspirasi atau ekspirasi penuh.
Lamanya inspirasi dan ekspirasi berkisar 0,35-0,5 detik.
5.Hipoksemia
a. Ventilation–perfusion (V/Q) mismatch
- Merupakan penyebab terpenting hipoksemia pada
bayi baru lahir
- Pemberian oksigen dalam jumlah besar akibat
hipoksemia hasil dari V/Q mismatch
499
b. Shunt
– Merupakan penyebab hipoksemia pada bayi baru
lahir
- Shunt mungkin fisiologis, intrakardiak ( seperti PPHN,
penyakit jantung kongenital sianotik), atau paru
(contoh atelektasis)
- Jika V/Q = 0 dan suplemental oksigen tidak dapat
memperbaiki hipoksemia.
c. Hipoventilasi
- Akibat menurunnya VT atau frekuensi napas
- Akibat rendahnya V/Q dan pemberian suplemental
oksigen dapat mengatasi hipoksemia dengan mudah
- Penyebab hipoventilasi : depresi drive pernapasan,
lemahnya otot-otot pernapasan, penyakit paru
restriktif, dan obstruksi jalan napas.
d. Proses difusi yang terganggu
- Terjadi pada bayi dengan problem keterbatasan difusi
yang sering disebabkan problem primer paru atau
proses pirau dari kanan ke kiri (misalnya pada bayi
dengan PPHN)
- Untuk meningkatkan hipoksemia dapat diperbaiki
dengan cara meningkatkan beberapa hal yang dapat
meningkatkan MAP dan konsentrasi oksigen.
500
6. Hiperkapnia
Terjadi pada V/Q mismatch, shunt, hipoventilasi dan
meningkatnya ruang mati fisiologis (physiologic dead
space)
2. Waktu
• Waktu inspirasi /Inspiration time (IT): waktu yang
dibutuhkan untuk paru menghisap udara masuk paru-paru
• Waktu ekspirasi/Expiration time (ET): waktu yang
dibutuhkan paru untuk mengeluarkan gas CO2
501
• IT and ET bergantung pada kondisi paru
• Normal IT 0,35 – 0,5, dengan I: E = 1:2
• Untuk meningkatkan IT : rekrut alveolus, meningkatkan
MAP, meningkatkan menit ventilasi, dan meningkatkan
oksigen
3. Rate (frekuensi)
• Laju pernapasan dalam 1 menit normal 4060 x/menit
• Laju pernapasan = 60 detik/ (IT+ET)
• Minute Volume (Ve)
- Laju pernapasan x VT
- Menentukan tingkat ekskresi CO2 paruparu
- Tidak memengaruhi oksigenasi
- Meningkatkan rate → meningkatkan Ve
→ menurukan PaCO2
5. PEEP
• Tekanan yang dipertahankan untuk mempertahankan
paru terbuka selama ekspirasi biasanya PEEP 5-6 cmH2O
• Jangan menggunakan PEEP di bawah 3 cmH2O →
atelektasis
• PEEP dapat meningkatkan paru yang terekrut
502
MODUS • AC (assist control ventilation) napas bayi diambil alih
VENTILASI seluruhnya oleh ventilator
INVASIF • SIMV (synchronized intermittent mandatory ventilation),
ventilator hanya membantu tergantung frekuensi pernafasan
ventilator yang diatur
• Pada modus tambahan volume guarantee maka harus di set
volume tidal
503
b.FiO2 < 40%
c.Respiratory Rate (RR) ≤ 30 x/mnt
3. Weaning dilakukan pada setting ventilasi mekanik yang
berpotensi menimbulkan
trauma paru (PIP, VT, dan FiO2)
4. Tahapan weaning:
- Setting AC mode dengan VG: turunkan VT secara bertahap.
Tidak diturunkan PIP.
- Setting AC mode tanpa VG: turunkan PIP
- Ubah AC mode ke SIMV mode bila VT sudah minimal sekitar
3,5-4 ml/kg BB (pada AC-VG).
- atau bila:
a.PIP 18 cmH2O
b.FiO2 < 40 %
c. PaCO2 tercapai (sesuai kasus: RDS=45-55, PPHN= 25-45, atau
BPD= 50-55)
- Setting SIMV: turunkan bertahap rate dan ekstubasi ke N-IPPV
atau N-CPAP bila rate dapat mencapai 20x/menit
504
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen
505
PENYEBAB Penyebab Kelahiran Kurang Bulan
Janin
Gawat janin
Kehamilan kembar
Eritroblastosis
Hydrops non imun
Plasenta
Plasenta previa
Solusio plasenta Uterus
Uterus bikornus
Inkompetensia Serviks
Maternal
Preeklampsia
Penyakit kronis (contohnya penyakit jantung
sianotik)
Infeksi (misalnya Listeria monositogen, infeksi
saluran kemih)
Penyalahgunaan obat
Lain-Lain
Ketuban pecah dini
Polihidramnion
Iatrogenik
Penyebab PJT
Faktor janin
Berbagai faktor genetik
Berbagai kelainan kromosom, misalnya trisomi 13,
18 dan 21
Kelainan bawaan misalnya anensefali, atresia
gastrointestinal dan sindrom Potter
Infeksi bawaan seperti rubellaatau citomegalovirus
(CMV)
Penyakit metabolisme saat lahir seperti
galaktosemia dan
fenilketonuria
Faktor Maternal
Preeklampsia dan eklampsia
Penyakit renovaskuler kronis
506
Penyakit vaskuler hipertensi dalam kehamilan dan
kronis
Penyakit infeksi
Malnutrisi
Ibu perokok
Hipoksemia maternal terkait dengan penyakit
jantung kongenital tipe sianotik dan anemia bulan
sabit (
sickle cell anemia )
Faktor maternal lain seperti status sosio ekonomi
yang rendah, usia ibu yang muda, ibu yang
pendek, anak pertama, mutiparitas usia tua, dan
penyalahgunaan obat.
Faktor Plasenta
Insufisiensi plasenta akibat kelainan maternal
seperti preeklampsia dan eklampsia atau akibat
kehamilan lewat waktu.
Kelainan insersi plasenta, seperti plasenta previa
dan plasenta akretaperkreta
Berbagai masalah anatomis seperti infark multipel,
iskemik, trombosis vaskuler umbilikal dan
hemangioma
Kehamilan kembar mungkin terkait dengan masalah
plasenta bermakna seperti anastomose vaskuler
abnormal.
Pola PJT
PJT Simetris
Lingkar kepala, panjang dan berat badan seluruhnya
berkurang secara proporsional untuk usia kehamilan. PJT
simetris disebabkan oleh infeksi kongenital atau kelainan
genetik dan terjadi di awal kehamilan.
PJT Asimetris
Berat badan fetus lebih rendah secara tidak proporsional
terhadap panjang dan lingkar kepala. Pertumbuhan otak
biasanya terpisah. Pertumbuhan otak terjadi di masa
507
MASALAH Masalah bayi kurang bulan
1. Ketidakstabilan suhu tubuh
BKB memiliki kesulitan untuk
mempertahankan suhu tubuh akibat:
Peningkatan hilangnya panas
Kurangnya lemak subkutan
Rasio luas permukaan tubuh terhadap berat badan
besar
Produksi panas berkurang akibat lemak coklat yang
tidak memadai dan ketidakmampuan untuk
menggigil
2. Kesulitan Bernapas
Defisiensi surfaktan paru yang mengarah ke Sindrom
Gawat Napas
(Respiratory distress syndrome / RDS)
Risiko aspirasi akibat belum terkordinasinya refleks
batuk, refleks menghisap, dan refleks menelan.
Toraks yang lunak dan otot respirasi yang lemah
Pernapasan periodik dan apnea
508
tubuh yang belum sempurna, dan cadangan nutrisi
yang tidak cukup.
4. Imaturitas hati
Gangguan konyugasi dan ekskresi bilirubin
Defisiensi Vitamin K
5. Imaturitas Ginjal
Ketidakmampuan untuk mengekskresi beban cairan
yang besar
Akumulasi asam anorganik dengan asidosis
metabolik
Eliminasi obat dari ginjal dapat menghilang
Ketidakseimbangan elektrolit, misalnya
hiponatremia atau hipernatremia, hiperkalemia
atau
glikosuria ginjal
6. Imaturitas Imunologis
Risiko infeksi tinggi akibat:
Tidak banyak transfer IgG maternal melalui plasenta
selama trimester ketiga kehamilan
Fagositosis terganggu
Penurunan faktor komplemen
7. Kelainan neurologis
Refleks isap dan menelan yang imatur
Penurunan motilitas usus
Apnea dan bradikardia berulang
Perdarahan intraventrikel dan leukomalasia
periventrikel
Pengaturan perfusi serebral yang buruk
Ensefalopati Iskemik Hipoksik
(Hypoxic ischemic
encephalopathy/HIE)
Retinopati prematur ( ROP)
Kejang
Hipotonia
509
8. Kelainan Kardiovaskular
Duktus Arteriorus Paten (Patent ductus
arteriosus/PDA), umum
ditemui pada bayi kurang bulan
Hipotensi atau hipertensi
9. Kelainan Hematologis
Anemia (onset dini atau lanjut)
Hiperbilirubinemia
Koagulasi Intravaskuler Diseminata
(Disseminated Intravascular
Coagulation/DIC)
Penyakit Perdarahan Pada Neonatus
(Hemorrhagic Disease of the
Newborn/HDN)
Masalah PJT
1. Kematian Fetus
Kematian fetus 5-20 kali lebih tinggi pada bayi PJT
daripada bayi Sesuai Masa Kehamilan (SMK)
Biasanya terjadi antara usia kehamilan 38-42
minggu Penyebab:
- Insufisiensi plasenta
- Hipoksia kronis
- Kelainan bawaan
2. Hipoksia
Asfiksia perinatal
Persistent Pulmonary Hypertension of the
Newborn (PPHN) Aspirasi mekonium
Kontraksi uterus mungkin menambah stress
terhadap fetus yang mengalami hipoksia kronis.
Hipoksia dan asidosis akut pada fetus dapat
mengakibatkan kematian fetus atau asfiksia pada
neonatus.
510
3. Hipotermia
Hipotermia terjadi akibat berkurangnya insulasi
lemak subkutan dan meningkatnya luas
permukaan tubuh. Lebih jauh lagi, hipoglikemia
dan hipoksia mengganggu produksi panas pada
bayi.
4. Hipoglikemia
Akibat menurunnya cadangan glikogen dan
penurunan
glukoneogenesis
Hipotermia memiliki potensi untuk menimbulkan
masalah hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 3 hari pertama.
5. Polisitemia
Diakibatkan peningkatan kadar eritropoetin yang
bersifat sekunder terhadap hipoksia fetus
Polisitemia mungkin juga berperan terhadap
hipoglikemia dan mengarah pada cedera serebral.
6. Keterlambatan Perkembangan
Terjadi terutama pada bayi kurang bulan, bayi PJT
dan pada bayi dengan restriksi pertumbuhan
kepala yang bermakna.
Keterlambatan ini terjadi akibat infeksi bawaan,
malformasi berat, hipoksia kronis, asfiksia pasca
kelahiran atau hipoglikemia
Keterlambatan ini terlihat dengan adanya
pencapaian milestone yang terlambat pada usia
2 dan 5 tahun dengan performa yang buruk di
sekolah.
511
sesudah lahir dan infeksi virus bawaan (TORCH)
Keadaan ini mempengaruhi hitung limfosit dan
aktivitas serta kadar Ig (immunoglobulin).
Keadaan ini mungkin ditemui bersamaan dengan
neutropenia.
Radiologi
- Rontgen dada (ICD 9 CM: 87.44)
- USG kepala (ICD 9 CM: 88.71)
- Echo jika diperlukan (ICD 9 CM:
88.72)
512
Oksigenisasi yang memadai dan pemeliharaan suhu
sangat penting.
Asuhan ibu.
Bayi memakai topi
513
o Pada kasus yang sangat berat ligasi melalui
pembedahan mungkin diperlukan.
Ruang bayi
Menyediakan lingkungan dengan melakukan kontak
kulit dengan kulit dan memeriksa suhu setiap 4
jam (lebih sering pada bayi kurang bulan)
Bila mungkin, berikan ASI sedini mungkin (ASI yang
diperah dapat diberikan melalui sonde)
Memberikan asupan dini jika memungkinkan tetapi
jika tidak mungkin maka berikan cairan
intravena segera
Memeriksa intoleransi terhadap pemberian asupan
(risiko NEC)
Memeriksa Hb dan mengobati
polisitemia
Memeriksa glukosa setiap 4 jam pada hari pertama
kemudian setiap 8-12 jam jika stabil
514
4.22 Asuhan kontak kulit dengan kulit
515
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
516
BAYI YANG • Tidak memerlukan syarat usia kehamilan secara
MEMERLUKAN spesifik.
ASUHAN KONTAK • Pada umumnya, neonatus akan stabil secara fisiologis
KULIT DENGAN pada suhu tubuh 36,5°C – 37,5°C.
KULIT • Apabila terjadi apnea atau bradikardi akan hilang
dengan sendirinya atau hanya memerlukan stimulasi
ringan.
• Neonatus yang menerima terapi sinar dapat
diikutsertakan dengan mengeluarkannya sementara
dari terapi sinar dalam waktu singkat .
• Dalam situasi khusus, neonatus yang memerlukan
oksigen, CPAP, atau bahkan bantuan ventilasi dapat
menerima asuhan ini dengan baik.
517
• Neonatus tidak perlu menggunakan pakaian, kecuali
popok dan topi.
• Persiapan lain termasuk menganjurkan ibu untuk
memakai baju dengan bukaan depan atau gaun
penutup serta memberikan kesempatan bersifat
privasi dan tenang. Ayah juga dapat memeluk
neonatus dengan cara ini.
• Setelah neonatus dipindahkan dengan hati-hati
kepada orang tua, tanda vital neonatus dan status
oksigenasi harus dipantau dan penyesuaian dibuat
berdasarkan keadaan neonatus.
• Neonatus harus dikembalikan ke inkubator jika
terdapat tanda stres yang menetap termasuk
takipnea, takikardia, ketidakstabilan suhu tubuh, atau
desaturasi oksigen.
518
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen
KOMPONEN KMC • Penempatan bayi pada posisi tegak di dada ibu, antara
kedua payudara ibu, tanpa busana. Bayi dibiarkan
telanjang hanya menggunakan popok, topi dan
519
MEMULAI KMC • Ibu perlu mengenal KMC dan ditawarkan pilihan ini
sebagai metode untuk merawat bayi dengan berat
badan lahir rendah atau kurang bulan.
520
• Bayi dengan berat kurang dari 1200 gr (usia
kehamilan di bawah 30 minggu) sering mengalami
masalah yang lebih berat, mortalitas sangat tinggi dan
hanya sebagian kecil yang bertahan dari masalah
terkait prematurias. Mungkin diperlukan beberapa
minggu sebelum kondisi mereka memungkinkan
untuk dilakukan inisiasi KMC.
521
• Pinggul dan kaki bayi dilebarkan dan dalam keadaan
tertekuk sehingga seperti posisi “kodok”,
begitu juga lengan tangan juga harus fleksi.
• Pasang kain erat-erat agar bayi tidak lepas saat ibu
berdiri. Pastikan bahwa kain melekat erat di bagian
dada dan bukan di daerah perut. Jangan mengikat
terlalu keras di bagian perut bayi tapi harus di sekitar
epigastrium ibu. Dengan cara ini, bayi leluasa
bernapas dengan perut. Napas ibu akan
menstimulasi bayinya.
522
MERAWAT BAYI • Sebagian besar perawatan tetap dapat dilakukan
DENGAN KMC meskipun pada posisi KMC termasuk menyusui. Bayi
hanya dilepaskan dari kontak kulit dengan kulit saat
- Mengganti popok, melakukan tindakan higiene dan
perawatan tali pusat
- Penilaian klinis sesuai dengan jadwal yang ditentukan
rumah sakit
MEMANTAU Suhu
KONDISI BAYI • Bayi yang cukup minum dan dalam kondisi kontak kulit
dengan kulit, dapat dengan mudah mempertahankan
suhu tubuh normalnya (antara 36,5° C - 37° C) saat
berada dalam posisi KMC. Saat KMC dimulai, ukur
suhu aksila setiap 6 jam hingga stabil selama 3 hari
berturut-
523
turut. Setelahnya pengukuran dilakukan hanya dua kali
sehari
Pernapasan
• Frekuensi pernapasan normal BBLR atau kurang bulan
berkisar antara 30-60 kali per menit, dan napas akan
bergiliran dengan interval tidak bernapas (apnea). Jika
interval terlalu lama (20 detik atau lebih) dan bibir dan
muka bayi menjadi biru, sianosis, dan nadinya rendah,
bradikardia, ada risiko kerusakan otak. Penelitian
menunjukkan bahwa kontak kulit dengan kulit dapat
membuat pernapasan lebih teratur pada bayi kurang
bulan dan bisa menurunkan insidensi apnea.
• Ibu harus diajarkan untuk mengenal apnea, risiko,
mengetahui kapan harus melakukan intervensi segera
dan mencari pertolongan. Ibu bisa mengusap
punggung atau kepala bayi untuk menstimulasi
pernapasan, atau dengan cara menimang bayi. Jika
bayi tetap tidak bernapas, ibu harus memanggil tenaga
kesehatan segera dan tenaga kesehatan harus segera
merespon panggilan minta bantuan dari ibu.
Tanda Bahaya
• Awitan penyakit serius pada bayi kecil biasanya samar
dan terabaikan dengan mudah hingga penyakit
menjadi lebih berat dan sulit diatasi. Penting bagi ibu
untuk mengenali tanda-tanda tersebut dan
memberikan perawatan yang diperlukan.
- Sulit bernapas, retraksi, merintih
- Bernapas sangat lambat atau sangat perlahan
- Apnea yang sering dan lama
- Bayi teraba dingin, suhu tubuhnya di bawah
normal meskipun dijaga kehangatannya
524
- Sulit minum: bayi tidak bangun untuk minum,
berhenti minum atau muntah
- Kejang
- Diare
- Kulit menjadi kuning
Minum
• Setiap ibu memproduksi ASI yang khusus untuk
bayinya, tapi ibu dari bayi kurang bulan menghasilkan
ASI rendah laktosa yang penting untuk pencernaan
karena bayi kurang bulan tidak mempunyai laktosa –
enzyme yang menguraikan gula tertentu. Kandungan
ASI manusia berubah sesuai pertumbuhan neonatus.
ASI, terutama kolostrum, kaya akan antibodi –
imunoglobulin, yang melindungi terhadap infeksi.
• Selain itu, ASI manusia mengandung zat anti infeksi
lainnya seperti hormon interferon, faktor
pertumbuhan dan komponen anti inflamasi. Bayi yang
sangat kurang bulan atau sakit dan tidak bisa menyusui
akan mendapatkan manfaat dari sedikit ASI yang
diberikan melalui pipet.
• Untuk bayi dengan usia kehamilan kurang dari 30-32
minggu biasanya perlu diberi minum melalui selang
nasogastrik, yang bisa digunakan juga untuk ASI yang
diperah. Ibu bisa membiarkan bayi mengisap jarinya
saat diberi minum melalui sonde, dan hal ini bisa
dilakukan dalam posisi kangguru.
• Untuk bayi dengan usia kehamilan lebih dari 30-32
minggu, bisa digunakan cangkir kecil untuk
memberikan ASI yang telah diperah. Pemberian
minum menggunakan cangkir bisa dilakukan satu atau
dua kali sehari meskipun bayi masih diberi minum
melalui selang nasogastrik, jika bayi bisa minum dari
cangkir dengan baik, maka pemberian minum melalui
sonde bisa dikurangi
525
secara bertahap. Untuk pemberian minum melalui
cangkir, bayi dilepaskan dari posisi kangguru, ditutup
dengan selimut hangat dan kembali ke posisi
kangguru setelah selesai minum.
• Bayi dengan usia kehamilan lebih dari 32 minggu bisa
mulai belajar mengisap puting. Bayi mungkin hanya
akan mencari puting dan menjilatnya. Teruskan
memberikan ASI yang telah diperah menggunakan
cangkir atau sonde hingga bayi bisa mengisap secara
efektif. Bayi mungkin sering berhenti selama
menyusui dan kadang berhenti lama. Penting untuk
tidak langsung menghentikan menyusui. Kadang-
kadang bayi perlu waktu satu jam untuk selesai
menyusu. Tawarkan minum melalui cangkir setelah
menyusu atau ganti ke payudara lainnya dan berikan
minum melalui cangkir.
• Pastikan posisi yang baik, kelekatan dan frekuensi
menyusui.
Memantau Pertumbuhan
• Timbang bayi kecil sekali sehari; penimbangan lebih
sering mungkin akan mengganggu bayi dan
menyebabkan kecemasan dan kekhawatiran kepada
ibunya. Saat bayi mulai bertambah berat,
526
timbang setiap dua hari selama satu minggu dan
kemudian sekali seminggu hingga bayi cukup bulan (40
minggu atau 2500g)
• Timbang bayi dengan cara yang sama setiap kali,
misalnya telanjang, dengan timbangan kalibrasi yang
sama (dengan interval 10 g jika mungkin), letakkan
handuk bersih dan hangat pada timbangan untuk
menghindari bayi menjadi dingin
• Timbang bayi di tempat yang
lingkungannya hangat
• Catat beratnya
• Ukur lingkar kepala setiap minggu, saat berat bayi
mulai meningkat, lingkar kepala akan naik antara 0,5
dan 1 cm per minggu.
527
Perawatan Preventif
• Bayi kecil tidak memiliki simpanan mikronutrien yang
memadai. Bayi kurang bulan, tanpa melihat
beratnya, harus mendapatkan suplementasi besi dan
asam folat dari sejak umur dua bulan hingga satu
tahun. Dosis besi harian yang direkomendasikan
adalah 2 mg/kg berat badan per hari
KELUAR DARI Bayi KMC dapat diijinkan pulang jika memenuhi kriteria
RUMAH SAKIT berikut:
• Kesehatan umum bayi baik dan tidak ada penyakit
pada saat itu seperti apnea atau infeksi
• Bayi minum dengan baik dan mendapatkan ASI
eksklusif atau sebagian besar minumnya adalah ASI
• Berat badan bayi naik (sedikitnya 15 g/kg/hari paling
sedikit 3 hari berturut-turut)
• Suhu bayi stabil saat berada dalam posis KMC
(dalam kisaran normal selama 3 hari berturut-turut)
• Ibu yakin bisa merawat bayinya dan dapat datang
secara teratur untuk kunjungan tindak lanjut.
TERMOREGULASI NEONATUS
(ICD 10: P80-P83)
528
No. Dokumen No. Revisi Halaman
UKK
Neonatologi
2018
529
pernapasan). Terjadi saat cairan ketuban menguap dari
permukaan kulit.
Konduksi
• Terjadi saat neonatus ditempatkan pada permukaan yang
lebih dingin dan bersentuhan langsung dengan kulit (tanpa
pakaian) seperti meja periksa, timbangan, tempat tidur.
Radiasi
• Perpindahan panas antara permukaan padat yang tidak
bersentuhan langsung, pada bayi baru lahir terjadi saat
berada di sekitar benda lain yang dingin, seperi dinding,
tanpa bersentuhan langsung dengan permukaannya.
Konveksi
• Terjadi saat neonatus terekspos udara sekitar yang dingin
atau dari pintu ruangan yang terbuka, jendela atau kipas
angin.
Patofisiologi termoregulasi
Suhu tubuh diatur dengan mengimbangi produksi panas terhadap
kehilangan panas. Bila kehilangan panas dalam tubuh lebih besar, dari
pada laju pembentukan panas, maka akan terjadi penurunan suhu
530
tubuh. Hal sebaliknya begitu juga, bila pembentukan panas dalam
tubuh lebih besar daripada kehilangan panas, maka akan timbul panas
dalam tubuh sehingga suhu tubuh meningkat.
531
• Menangis lemah, tidak mau menyusu
• Berat badan turun
Catatan: semua gejala dan tanda diatas tidak spesifik, dan mungkin
mengindikasikan kondisi lain yang berarti seperti infeksi bakteri pada
neonatus
Penatalaksanaan hipotermi:
A. Hipotermi ringan
• Kontak kulit ke kulit pada suhu ruangan yang hangat
(setidaknya 25°C)
• Gunakan topi pada kepala neonatus
• Tutupi ibu dan neonatus dengan selimut hangat
B. Hipotermi sedang
• Letakkan dibawah pemancar panas
• Pada inkubator yang sudah dihangatkan
• Pada matras yang berisi air hangat (contoh: KanBed)
• Jika tidak ada peralatan yang tersedia atau neonatus stabil
secara klinis, maka lakukan kontak kulit ke kulit dengan ibu
pada ruangan dengan suhu hangat (setidaknya 25°C)
C. Hipotermi berat
• Gunakan inkubator yang sudah dihangatkan (diatur 1-1,5°C
lebih tinggi dibanding suhu tubuh neonatus) dan harus
disesuaikan dengan meningkatnya suhu neonatus (harus selalu
dipantau)
• Jika tidak ada peratalan yang tersedia, lakukan kontak kulit ke
kulit atau ruangan yang hangat atau boks bayi yang hangat
dapat digunakan
Penyebab hipertermi:
• Inkubator, pemancar panas, suhu lingkungan yang terlalu panas
• Ibu demam
• Pasca anestesi epidural pada ibu
• Cahaya fototerapi, sinar matahari
• Membedong yang terlalu kuat
532
• Infeksi
• Kelainan sistem saraf pusat (contoh: asfiksia)
• Dehidrasi
Tatalaksana hipertermi:
• Pendekatan yang biasa dilakukan pada kondisi neonatus yang
mengalami hipertermi adalah menyesuaikan kondisi
lingkungannya. Neonatus harus segera dijauhkan dari sumber
panas, dan jika perlu membuka sebagian atau seluruh pakaiannya.
• Cek suhu lingkungan (infant warmer, blanket, atau inkubator) jika
memungkinkan diturunkan 0,5°C tiap 30-60 menit (infant warmer
dan inkubator).
• Selama proses pendinginan, suhu neonatus harus selalu dipantau
setiap 15-30 menit hingga stabil. Jangan mematikan inkubator
untuk mendinginkan suhu neonatus.
• Ketika terjadi hipertermia berat (suhu tubuh di atas 40°C),
neonatus dapat dimandikan. Air yang digunakan harus hangat
(sekitar 2°C lebih rendah dari suhu tubuh neonatus). Tidak
disarankan menggunakan cooling devices. Jika neonatus tidak
dapat tambahan cairan dari menyusui, harus dipasang cairan
secara intravena atau selang makan.
533
Pemakaian radiant warmer jika tidak mungkin melakukan kontak
kulit dengan kulit (ibu mengalami komplikasi pascanatal)
• Neonatus tidak berpakaian kecuali popok dan diletakkan tepat di
bawah penghangat/ radiant warmer
• Neonatus dapat dihangatkan dengan handuk hangat dan
menggunakan topi
• Probe suhu tubuh harus diletakkan mendatar pada kulit, biasanya
pada abdomen daerah hati
(daerah hipokondrium kanan)
• Suhu servo harus diset pada 36,5oC
• Suhu harus diukur setiap 30 menit atau atas instruksi dokter untuk
menilai bahwa suhu tubuh neonatus dipertahankan dalam kisaran
yang seharusnya
• Bayi > 32 minggu dan atau > 1500 gram
- Keringkan bayi dan pindahkan bayi dari kain yang basah
- Bungkus bayi dengan blanket hangat
- Topi
Jika bayi stabil dapat dilakukan KMC
• Bayi < 32 minggu atau diperkirakan <1500 gram
(b)
- Plastik polietilen dibuka dan diletakkan di meja resusitasi/
infant warmer
- Letakkan bayi di atas plastik
- Secepatnya bungkus bayi sampai bahu di bawah infant warmer
- Lap kepala yang terbuka
- Tutup kepala dengan topi hangat
- Biarkan bayi terbungkus plastik, jika akan dpindahkan ke
ruangan bayi dibungkus lagi dengan blanket hangat
534
• Meskipun suhu sedikit lebih rendah daripada suhu sentral
tubuh sesungguhnya, perubahannya akan sama dengan suhu
tubuh
• Keuntungannya mencakup penurunan risiko neonatus,
kebersihan terjaga, dan
pengukurannya relatif cepat serta akurat
Suhu Rektum
• Suhu darah yang mengalir dari ekstremitas bawah
mempengaruhi suhu rektum
• Pengukuran suhu tubuh dari rektum merupakan prosedur
invasif dan tidak selalu dapat diandalkan
• Pengukuran suhu melalui rektum/anus jika menggunakan alat
yang sama untuk bayi lain dapat menimbulkan penyebaran
infeksi.
• Pengukuran suhu melalui rektum sudah mulai ditinggalkan
Suhu lingkungan
• Setiap kamar harus memiliki termometer dinding
• Jaga suhu lingkungan kamar antara 24-26°C
535
4.25 Hipoglikemia pada neonatus
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
Panduan Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
536
PEMERIKSAAN • Jitteriness, rewel/gelisah, hipotonia, tangis high-
FISIS pitch, tangis lemah
• Sianosis
• Kejang atau tremor
• Letargi, gangguan menghisap
• Apnea, takipnea
• Hipotermia
Pemeriksaan glukosa darah (ICD 9 CM: 90.5)
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
537
jika usia bayi > 48 jam gula darah harus dipertahankan di atas
60 mg/dL.
• Bayi asimtomatik:
Mulai diberikan minum peroral dalam 1 jam pertama,
kemudian 30 menit sesudahnya dilakukan pemeriksaan
kadar gula darah.
• Bayi simtomatik:
Apabila kadar gula > 25-<45 mg/dL diberikan bolus
glukosa 200 mg/kg (dekstrosa 10% dengan dosis 2 ml/kg)
dilanjutkan pemberian infus dekstrosa dengan GIR 5-8
mg/kg/menit (80-100 ml/kg/hari). Kadar glukosa plasma
yang diharapkan 40-50 mg/dL.
538
• Setelah koreksi hipoglikemia, monitoring gula darah
dilakukan kembali setelah 30 menit-1 jam paska koreksi.
539
GD <47 mg/dL
• I V bolus dekstrosa 10% 2 mL/kgBB • Nutrisi oral /enteral segera : ASI atau
** IVFD dekstrosa 10%, minimal 60 PASI , maksimal 100 mL/kg BB/hari
mL/kgBB/hari ( hari pertama ) sampai ( hari pertama )
mencapai GIR 6 - 8 mg/kgBB/menit • Bila ada kontraindikasi oral atau
• Ora l tetap diberikan bila tidak ada enteral → **
kontraindikasi
GD ulang (1 jam)
Dekstrosa ditingkatkan dengan cara:
• Volume ditingkatkan sampai maksimal
100 mL/kgBB/hari (hari pertama) atau
• Konsentrasi ditingkatkan: vena perifer
GD 36 - <47 mg/dL **
maksimal 12,5%, umbilikal 25%
GD > 47 mg/dL
Ulang GD tiap 2 - 4 jam , 15 me nit sebelum jadwal minum berikut, sampai 2 kali berturut - turut normal
PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia Bonam
Ad sanationam : Dubia Bonam
Ad fungsionam : Dubia Bonam
DAFTAR RUJUKAN Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. 97
Resuscitation ILCo. 98
McCormick M, Cooper P. 99
540
Queensland Clinical Guidelines. 100
USCF Children's Hospital. 101
Thompson-Branch A, Havranek T.102
Sweet CB, Grayson S, Polak M. 103
Thornton PS, Stanley CA, De Leon DD, Harris
D, Haymond MW, Hussain K,et. al. 104
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
541
DEFINISI Hiperbilirubinemia: Naiknya kadar bilirubin serum melebihi
normal.
Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi / indirek:
Peningkatan bilirubin serum tidak terkonjugasi di atas normal.
Hiperbilirubinemia terkonjugasi /
direk/ kolestasis:
Peningkatan kadar bilirubin direk >20% dari total bilirubin serum.
Ensefalopati bilirubin:
Deposit bilirubin tidak terkonjugasi/indirek pada basal ganglia
otak yang menimbulkan gangguan pada sistem susunan syaraf
pusat.
Hiperbilirubinemia terkonjugasi
• Warna kulit tampak kuning kehijauan
• BAB dempul / pucat
• Urin berwarna seperti teh
542
PEMERIKSAAN Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi:
FISIS • Warna kulit tampak kuning oranye
• Pada bayi kurang bulan, onset terjadinya lebih cepat dan
durasinya lebih lama
• Pada kejadian sefal hematom atau memar bisa terjadi
hiperbilirubinemia
• Pada anemia hemolitik tampak kuning disertai pucat dan
pletora.
• Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi yang berlanjut akan
terjadi bilirubin ensefalopati dengan gejala :
Tahap awal:
Tampak letargis, tidak mau menetek, tonus menurun, tidak
adanya refleks Moro dan tangisan melemah
Tahap intermediate:
Opistotonus/ retrocolis, hipertoni, gangguan kesadaran/iritabel,
demam, dan tangisan melengking.
Tahap lanjut:
Kerusakan SSP bersifat ireversibel, tangisan melengking, tidak
mampu menyusu, apne, demam, gangguan kesadaran hingga
koma dan kejang.
Hiperbilirubinemia terkonjugasi:
• Warna kulit kuning kehijauan
• Muntah
• Distensi abdomen dengan hepatomegali
• Mungkin disertai dengan tanda sepsis
• Kecenderungan mengalami perdarahan
• Dapat disertai mikrosefali maupun korioretinitis
543
• Golongan darah dan Rhesus dari bayi dan ibu (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan Coomb’s (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan hitung darah lengkap
(Hemoglobin, Hematokrit, morfologi sel darah merah) (ICD 9
CM: 90.5)
• Hitung retikulosit (ICD 9 CM: 90.5)
• Jika ada hemolisis dan tidak ada ketidaksesuaian Rhesus atau
ABO, mungkin diperlukan pemeriksaan hemoglobin
elektroforesis, penapisan G6PD atau pengujian kerentanan
osmotik untuk mendiagnosis defek sel darah merah (ICD 9
CM: 90.5)
Hiperbilirubinemia terkonjugasi:
• Sepsis berlanjut (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan fungsi hati (ICD 9 CM: 91.0)
• Penapisan TORCH (ICD 9 CM: 90.5)
• USG abdomen (ICD 9 CM: 88.76)
• Jika memungkinkan, penapisan metabolik (ICD 9 CM : V77)
544
Ikterus non-fisiologis
• Ikterus mulai sebelum berusia 24 jam
• Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dl/jam
• Total bilirubin serum sesuai dengan grafik dibawah untuk
dilakukan terapi sinar
Hiperbilirubinemia terkonjugasi:
• Kunci tata laksana hiperbilirubinemia terkonjugasi/direk
adalah mengidentifikasi penyebab dasar meningkatnya kadar
bilirubin serum.
• Fasilitas yang tidak dilengkapi dengan instrumen atau teknik
diagnostik yang diperlukan harus merujuk neonatus ke
fasilitas yang tingkatannya lebih tinggi.
• Terapi sinar tidak boleh digunakan pada kasus
hiperbilirubinemia terkonjugasi /direk
(sindrom bayi tembaga)
546
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
547
A. Penyebab obstetrik ► Kehilangan darah:
o Solusio Plasenta (Abruptio placenta) dan plasenta
previa
o Terpotongnya plasenta selama seksio
sesarea
o Robeknya tali pusat
3. Anemia hipoplastik
• Menurunnya produksi darah merah
• Penyebab,
antara lain: Infeksi seperti rubella atau
penekanan produksi oleh obat
548
PEMERIKSAAN • Hitung darah lengkap/CBC (hemoglobin dan
PENUNJANG hematokrit) (ICD 9 CM: 90.5)
• Hitung retikulosit (ICD 9 CM: 90.5)
• Sediaan apus darah (ICD 9 CM: 90.5)
• Uji Comb Direk (ICD 9 CM: 90.5)
• Bilirubin total dan bilirubin direk (ICD 9 CM: 91.0)
• Golongan darah (ABO) dan tipenya
(Rhesus) (ICD 9 CM: 90.5)
• Profil hemolitik (ICD 9 CM: 90.0)
• Penapisan TORCH jika tersedia (ICD 9 CM: 90.5)
• USG kepala dan perut (ICD 9 CM: 88.71 dan 88.76)
549
TERAPI • Kadar hemoglobin, hematokrit, dan bilirubin harus
diperiksa secara sering untuk memantau anemia pada
neonatus
• Transfusi darah utuh (whole blood) atau butir-butir
darah merah (10-20 ml/kg) dapat dipertimbangkan
dalam kondisi ini:
► Anemia perdarahan akut
► Penggantian defisit yang berlanjut
(on going)
► Dipertahankannya kapasitas pengangkutan oksigen
yang efektif
• Ht < 35%,
♦ Dengan penyakit kardiopulmoner
parah, misal IPPV dengan MAP > 6 cm H 2O
▪ Ht < 30%,
♦ Dengan penyakit kardiopulmoner ringan
hingga sedang (FiO2 > 35% dan
memakai CPAP)
♦ Apnea yang bermakna
♦ Penambahan berat badan < 10 g/hari
dengan asupan kalori penuh
♦ Denyut jantung > 180 per menit yang
bertahan selama
24 jam
♦ Jika menjalani pembedahan
▪ Ht < 21%,
♦ Tidak bergejala tetapi hitung retikulositnya
rendah
• Suplemen zat besi tidak disarankan pada neonatus
kurang bulan sebelum usia kehamilan 34 minggu,
karena akan meningkatkan peroksidasi lipid pada
membran sel darah merah akibat oksigen
terbatas, mekanisme scavenger radikal pada
neonatus dengan kelainan ini.
550
Panduan ambang batas Hb dan Ht untuk pemberian
tranfusi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 112
Penggunaan Furosemid:
• Tidak direkomendasikan pada penggunaan
rutin
• Pertimbangakan segera pemberiannya pada
bayi dengan kondisi:
• bayi dengan penyakit paru kronis
• bayi dengan PDA signifikan
• bayi dengan gagal jantung
• bayi dengan edema atau kelebihan cairan
551
4.28 Polisitemia neonatorum
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
POLISITEMIA NEONATORUM
(ICD 10: P61.1)
Insufisiensi plasenta
► Bayi kecil untuk masa kehamilan
(KMK)
► Kelainan darah tinggi pada ibu
► Postmaturitas
552
► Bayi yang lahir dari ibu dengan hipoksia kronis
(penyakit jantung)
► Kehamilan pada daerah dengan tingkat ketinggian
yang tinggi (high altitude)
► Ibu adalah perokok
Kondisi-kondisi lain:
► Bayi dari ibu diabetes melitus
► Bayi besar untuk masa kehamilan
(BMK)
► Dehidrasi
► Sindrom trisomi (terutama trisomi 21)
553
TERAPI ► Bayi tanpa gejala dengan hematokrit vena antara 65-
70% dapat ditangani dengan peningkatan asupan
cairan dan mengulang pemeriksaan hematokrit pada
4-6 jam.
► Sebagian besar ahli neonatologi, dalam ketiadaan
gejala, akan melakukan transfusi tukar ketika
hematokrit vena perifer > 70%, meskipun hal ini masih
ini bersifat kontroversial.
► Bayi yang mengalami gejala dengan kadar hematokrit
vena > 65% harus ditangani dengan melakukan
tranfusi tukar parsial. Pertukaran biasanya dilakukan
dengan albumin 5% atau salin normal untuk membuat
kadar hematokrit turun hingga 50%.
Rumus berikut ini digunakan untuk menghitung volume
tukar
Volume tukar dalam ml =
(Hct yg teramati–Hct yg diharapkan) X BB X volume darah Hct yang
teramati
554
Panduan Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Praktik Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
555
• Perdarahan intrakranial mungkin terjadi pada
trombositopenia yang parah
Investigasi
Evaluasi dari trombositopenia awitan dini (< 72 jam sesudah
lahir)
• Bayi prematur dengan onset awal trombositopenia ringan-
sedang yang terbukti insufisiensi placenta, investigasi lanjut
tidak diperlukan sampai hitung trombosit tidak membaik
dalam10-14 hari
• Bayi prematur tanpa insufifsiensi placaenta, investigasi
pertama adalah untuk sepsis
• Bayi cukup bulan investigasi untuk sepsis dan NAIT
• Apabila trombositopenia berat periksa skrining pembekuan
darah
• Lihat adanya perdarahan aktif atau ptekie yang tampak
• Apabila ada kecurigaan infeksi kongenital (misal LFT
abnormal, rash, riwayat maternal dsb) atau
trombositopenia persisten atau tidak bisa dijelaskan,
pemeriksaan infeksi kongenital misal serologi CMV dan
toksoplasma; cek status maternal untuk sifilis, rubella dan
HIV; skrining herpes simpleks dan enterovirus
• Riwayat kehamilan, terutama hitung jumlah trombosit,
obat-obatan, pre eklampsia. Riwayat keluarga adanya
gangguan perdarahan
• Mungkin berhubungan dengan kelainan bawaan (misalnya
trisomi, inherited syndrome)
556
KRITERIA Trombositopenia ringan: hitung trombosit 100-
DIAGNOSIS 150x109/L
Trombositopenia sedang: hitung trombosit 50-
100x109/L
Trombositopenia berat: <50x109/L
557
4.30 Hemorrhagic Disease of The Newborn (HDN) pada neonatus
ANAMNESIS Vitamin K diperoleh dari diet dan dari sintesis flora usus.
Faktor ini mengalami defisiensi pada hari pertama
kehidupan. Pada saat simpanan vitamin K ibu menurun
pada hari pertama, defisiensi vitamin K menjadi semakin
parah.
558
Pendarahan dapat terjadi pada satu atau beberapa area,
yakni: perdarahan daerah umbilicus, selaput lendir hidung
dan mulut, saat dilakukan sirkumsisi, vaksinasi, perdarahan
saluran cerna atau benjolan kepala yang muncul sejak dini
(sefalohematoma). Dapat pula terjadi perdarahan
intrakranial yang dapat mengancam jiwa.
HDN Dini
► Mungkin terjadi bersamaan dengan pemaparan
maternal terhadap obat yang mempengaruhi
koagulasi seperti anti koagulan, anti konvulsan, dan
anti tuberkulosis
HDN
► Klasik
Perdarahan biasanya terjadi di kulit,
gastrointestinal, atau berasal dari sunat
► Bayi tampak normal pada saat lahir, kemudian
perdarahan terjadi pada usia 1-7 hari
HDN Lambat
► Terjadi antara usia 1-3 bulan, biasanya dalam bentuk
perdarahan intra kranial
• Hitung trombosit normal (ICD 9 CM: 90.5)
PEMERIKSAAN
PENUNJANG • PT dan APTT memanjang (ICD 9 CM: 90.5)
559
DIAGNOSIS • Haemolytic disease of fetus and newborn
BANDING (ICD 10: P55))
• Other specified perinatal haematological
disorders (ICD 10: 61.8)
• Perinatal haematological disorder,
unspecified (ICD 10: 61.9)
TERAPI Pr ofilaksis
► Vitamin K1 (phytonadione) 0,5-1 mg.
DISSEMINATED INTRAVASCULAR
COAGULATION (DIC) PADA NEONATUS
(ICD 10: P60)
560
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
• Asfiksia
PEMERIKSAAN • Petekie
FISIS • Perdarahan gastrointestinal
• Keluar darah dari tusukan/lubang pada vena
(venipuncture)
• Perdarahan umum dari berbagai lubang pada tubuh
• Infeksi
561
DIAGNOSIS KERJA Disseminated intravascular coagulation of fetus
and newborn (ICD 10: P60)
DIAGNOSIS BANDING • Haemolytic disease of fetus and newborn (ICD
10: P55)
• Neonatal jaundice due to other excessive
haemolysis (ICD 10: P58)
• Anaemia of prematurity (ICD 10: P61.2)
• Congenital anaemia from fetal blood loss
(ICD 10: P61.3)
• Other congenital anaemias, not elsewhere
classified (ICD 10: P61.4)
• Other specified perinatal haematological
disorders (ICD 10:
61.8)
• Perinatal haematological disorder,
unspecified (ICD 10: 61.9)
TERAPI • Prinsip manajemen adalah memantau tanda vital,
mengkaji dan mendokumentasikan proses perdarahan
dan thrombosis, mengkoreksi hypovolemia, serta
memberikan prosedur pengobatan hemostasis dasar
sesuai indikasi
• Vitamin K 1,0 mg IM
562
4.32 Pengendalian infeksi di Unit Perawatan Neonatus
563
PENERAPAN Lingkungan Ruang Bayi
PENGENDALIAN • Ruang bayi harus terpisah dari lingkungan jalan dan
INFEKSI tidak ada jendela yang terbuka ke daerah luar.
• Semua jalan masuk ke ruang perinatologi harus ada
wastafel dengan keran yang bisa dibuka/ditutup
dengan siku atau kaki dan sabun cair serta handuk
sekali pakai untuk cuci tangan yang benar sebelum
masuk ruang bayi.
564
• Batasi jumlah orang di ruang bayi.
• Harus ada ruang atau daerah isolasi.
• Lantai ruang bayi harus bersih sesuai ketentuan PPI
• Linen di dalam inkubator harus diganti sekali sehari
atau jika terkontaminasi. Inkubator harus dibersihkan
dengan air steril sekali sehari atau jika terkontaminasi.
Inkubator harus diganti supaya bisa dibersihkan secara
menyeluruh dengan larutan hipoklorida
0,5%/antiseptik
• Setiap 5 hari untuk bayi <1000 gram
• Setiap minggu untuk bayi >1000 gram
• Label untuk menuliskan tanggal pembersihan harus
ditempel pada setiap inkubator
• Harus ada area yang khusus untuk melakukan
disinfeksi inkubator.
• Harus ada wastafel dinding di dalam ruang bayi, satu
untuk setiap tiga inkubator
• Pemisahan limbah dibagi atas:
• Sampah infeksius (kantung berwarna kuning)
Dressing bedah, kasa, verband, kateter, swab,
plester, masker, sarung tangan, kapas lidi, kantong
urin, sampah yang terkontaminasi dengan cairan
tubuh.
• Sampah domestik/rumah tangga
(kantong berwarna hitam)
Kertas, plastik, plastik bungkus spuit/infus, kardus,
kayu, kaleng, daun, sisa makanan, sampah yang
tidak terkontaminasi cairan tubuh pasien.
• Sampah benda tajam (kotak berwarna kuning)
Jarum suntik, pisau cukur, pecahan ampul, gelas
obyek, lancet, sampah yang memiliki
permukaan/ujung yang tajam.
565
• Semua limbah cair (darah, cairan lendir & sekresi)
dibuang di saluran air kotor dan disiram dengan air
dalam jumlah banyak.
• Semua limbah tajam dibuang kedalam penampungan
yang tahan tusukan dan air tidak pernah
memberikan dari tangan ke tangan untuk dibuang.
Petugas
Prosedur Cuci Tangan
• Gulung lengan baju hingga siku dan lepaskan semua
perhiasan.
• Sebelum masuk ruangan, cuci tangan secara seksama
selama tiga menit dengan sikat untuk cuci tangan pra
bedah yang basah dan larutan pencuci tangan
antiseptik. Mulai dari tangan, bawah kuku dan bagian
sisi jari.
• Bilas secara seksama dengan air
mengalir.
• Keringkan dengan tisu.
• Bilas tangan selama 15 detik atau lebih lama sebelum
menangani pasien berikutnya.
• Direkomendasikan untuk menggunakan sarung
tangan jika akan ada kontak dengan darah, cairan
tubuh, selaput lendir atau kulit yang tidak utuh.
Neonatus
• Tali pusat harus kering dan bersih.
• Salep/tetes mata profilaktik diberikan kepada semua
neonatus pada hari pertama.
• Neonatus yang dirujuk dari masyarakat harus
ditempatkan di area khusus di ruang bayi dan
langkah pencegahan untuk penanganan diterapkan
selama 72 jam pertama. Hal ini harus dinyatakan
dengan jelas pada inkubator atau pintu masuk
ruangan.
566
• Neonatus dalam kondisi berikut memerlukan isolasi
menurut kategori tertentu, yaitu :
• Infeksi stafilokokus
• Konjungtivitis bakteri
• Gastroenteritis
• Luka infeksius
• Infeksi yang menular melalui udara; varicella,
contohnya, memerlukan isolasi di ruang terpisah.
567
KEBIJAKAN • Petugas unit perawatan neonatus harus selalu
waspada kemungkinan penyebaran penyakit
oleh mereka kepada neonatus
• Petugas ruang bayi dianjurkan untuk melaporkan
adanya penyakit menular kepada penyelianya.
• Penyakit yang dapat dilaporkan adalah infeksi
stafilokokus kutaneus, penyakit pernapasan,
konjungtivitis dan gastroenteritis.
SEPSIS NEONATORUM
(ICD 10: P36)
568
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen
• Klasifikasi :
1. Early Onset (dini):
terjadi pada 72 jam pertama kelahiran dengan
manifestasi klinis yang mendukung, dengan
gejala sistemik yang berat.
Faktor risiko :
- Berat badan lahir rendah < 2500 gram atau
prematur
- Ibu dengan demam atau terbukti infeksi dalam 2
minggu sebelum persalinan
- Cairan ketuban bercampur mekonium atau
berbau
569
- Pecah ketuban lebih dari 24 jam
- Pemeriksaan vagina lebih dari 3 kali yang steril
atau 1 kali yang tidak bersih selama persalinan
- Persalinan tidak maju (kala 1 dan kala 2 lebih dari
24 jam)
- Asfiksia perinatal (Apgar skore <4 pada menit
pertama)
2) Intrapartum
Trauma kulit dan pembuluh darah selama persalinan,
atau tindakan
obstetri yang invasif
3) Postnatal :
Asfiksia, tindakan invasif seperti insersi intrumen dan
durasinya (misalnya pemasangan selang nasogastrik,
selang endotrakea, ventilasi mekanik, pemasangan
CVC, chest tube, transfusi darah atau transfusi tukar,
dan lumbal
570
PEMERIKSAAN Gejala tidak spesifik :
FISIS - Instabilitas suhu
- Letargi, sulit menyusu, menangis lemah
- Perfusi buruk, memanjangnya CRT
- Hipotonus, hilangnya refleks neonatal
- Bradikardi atau takikardi
- Gawat nafas, apnea, gasping
- Hipoglikemia atau hiperglikemia
- Asidosis metabolik
Gejala spesifik
- SSP : fontanel anterior menonjol, tangis
melengking, iritabel, stupor atau koma, kejang,
tatapan kosong, dan leher kaku. Dipertimbangkan
meningitis
- Sistem kardiovaskular : hipotensi, perfusi buruk,
syok
- Sistem gastrointestinal : intoleransi buruk,
muntah, diare, distensi abdomen, ileus paralitik,
NEC
- Hepatik : hepatomegali, hiperbilirubinemia direk
- Ginjal : gagal ginjal akut
- Hematologi : perdarahan, ptekiae, purpura
- Perubahan kulit : pustula multipel, abses,
sklerema, mottling, kemerahan dan sekret di
sekitar umbilikal.
571
• Kultur darah (ICD 9 CM: 90.52)
• Lumbal pungsi (ICD 9 CM: 03.31)
• Biomarker: reaktan fase akut [C-reactive protein
(CRP), procalcitonin (PCT), Serum
Amiloid-A (SAA), LipopolysacharideBinding
Protein (LBP)], sitokin [tumor necrosis factor
(TNF), interleukin 1 (IL-1), IL-2, IL-8 dan interferon
gamma (IFN-γ)] dan sel antigen permukaan [cluster
differentiation (CD) 11b, reseptor FcgI-III (CD64,
CD32, dan CD16), CD69]. (ICD 9 CM: 90.5)
• Laboratorium :
o Leukositosis (> 34.000 x 109/L) o Leukopenia (<
4.000 x 109/L) o Netrofil muda >10%
572
DIAGNOSIS • Congenital viral diseases (ICD 10: P35)
BANDING • Other congenital infectious and parasitic
diseases (ICD 10: P37)
Antibiotik sesuai pola kuman di rumah sakit masing-
TERAPI
masing
EDUKASI Kenali tanda dan gejala sepsis pada neonatus
Lakukan cuci tangan secara efektif
Tata laksana dengan komprehensif
573
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
574
PEMERIKSAAN Tanda penurunan perfusi:
FISIS • SSP : iritabilitas, letargi, dan koma
• Sistem kardiovaskular : takikardia, hipotensi
dan pemanjangan CRT
• Paru : takipnea, merintih, retraksi
• Ginjal : oliguria, anuria dan uremia
• Kulit : pucat, kutis marmorata, ekstremitas dingin,
perfusi buruk, dan sianosis.
PEMERIKSAAN Umum
PENUNJANG Darah perifer lengkap, elektrolit, glukosa
(ICD 9 CM: 90.5)
C-reactive protein (ICD 9 CM: 90.5)
Analisis gas darah (ICD 9 CM: 89.65)
Syok septik
Kultur darah, CSF, urine, dan sumber infeksi lainnya (ICD 9
CM: 90.52; 90.02 dan
91.32)
Syok kardiogenik
Elektrokardiografi (ICD 9 CM: 89.52)
575
TERAPI Tata Laksana Umum
• Bolus intravena sejumlah 20 ml/kg normal salin (bisa
diulang dua kali).
• Bila ada perdarahan dapat diberikan transfusi darah
dan komponennya.
• Jika tidak terdapat respons, dapat ditambahkan agen
inotropik.
• Agen inotropik: mulai dengan infus dopamin 5-10
mcg/kgBB/menit kemudian tambahkan dobutamin (5-
20 mcg/kgBB/menit)
• Mengoreksi hipoksia dan memberikan dukungan
pernapasan sesuai dengan kebutuhan.
• Mengoreksi hipoglikemia dan ketidakseimbangan
elektrolit jika ditemui.
576
Panduan Praktik TanggalTerbit/Revisi
DITETAPKAN
Klinis
KETUA PP IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
577
PEMERIKSAAN ▪ Adanya bunyi murmur (tergantung penyakit jantung
FISIS kongenital)
▪ Mean arterial pressure (MAP) melebar (interval
normal antara tekanan darah sistolik dan diastolik
bervariasi sesuai dengan usia gestasi)
▪ Sianosis yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespon
terhadap terapi O2 dengan atau tanpa disertai bising
jantung. Pertimbangkan kemungkinan penyakit
jantung kongenital sianotis.
▪ Jika saturasi oksigen dibawah normal (< 90%)
dipertimbangkan kemungkinan penyakit jantung
kongenital sianosis.
▪ Adanya perbedaan saturasi oksigen di ekstremitas atas
dan bawah > 10% dipertimbangkan kemungkinan
koartasio aorta.
Gagal jantung:
• Takipnea dan takikardia
• Peningkatan usaha napas
• Pengisian ulang kapiler memanjang
578
TERAPI Terapi suportif
▪ Restriksi cairan
▪ Diuretik apabila dicurigai adanya kelebihan beban
cairan (periksa penambahan berat yang berlebihan
dan edema perifer). Dapat dipertimbangkan pemberian
:
-Spironolakton 1-2 mg/kgBB/kali
- Furosemid 1-2mg/ kgBB/kali
▪ Oksigenasi yang memadai, hati-hati pemberian oksigen
terlalu tinggi pada penyakit jantung kongenital sianotik.
▪ Parasetamol diberikan pada bayi prematur dengan PDA
yang menimbulkan gangguan hemodinamik secara
klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan
ekokardiografi, dengan dosis 1015mg/kgBB/6jam
selama 5 hari atau ibuprofen selama 3 hari dengan
dosis 10 mg/kg hari pertama, dilanjutkan 5 mg/kg pada
hari kedua dan ketiga.
Terapi pembedahan
▪ Ligasi PDA dilakukan pada bayi prematur dengan PDA
yang menunjukkan gejala hemodinamik yang signifikan
yang tidak memberikan respons dengan obat-obatan
atau terdapat kontraindikasi
medikamentosa
Gagal jantung:
▪ Atasi penyebab
▪ Oksigen yang memadai
▪ Perlu rujukan segera ke pusat perawatan khusus yang
memiliki tenaga ahli jantung anak
579
4.36 Pemberian ASI di fasilitas kesehatan
580
3. Menginformasikan kepada ibu hamil yang dirawat di
rumah sakit yang berisiko melahirkan bayi prematur
atau bayi sakit tentang manajemen laktasi dan
menyusui, serta manfaat menyusui
4. Mendorong terjadinya kontak kulit ke kulit sedini
mungkin, berkelanjutan, dan dalam jangka panjang
tanpa pembatasan yang tidak perlu
5. Menunjukkan kepada ibu cara memulai dan
mempertahankan laktasi, serta mulai menyusui dini
dengan stabilitas bayi sebagai satu-satunya kriteria
6. Tidak memberikan makanan atau minuman selain ASI,
kecuali ada indikasi medis
7. Membiarkan ibu dan bayinya bersamasama selama
24 jam sehari
8. Mendorong pemberian ASI berdasarkan demand
atau, saat diperlukan, semidemand, sebagai strategi
peralihan bagi bayi prematur dan sakit
9. Memakai alternatif botol hingga menyusui bisa
dilakukan dan menggunakan dot dan nipple shields
hanya jika ada alasan yang jelas
10. Menyiapkan orang tua untuk terus menyusui dan
memastikan akses terhadap kelompok pendukung ASI
setelah keluar dari rumah sakit
581
e. Lakukan kontak kulit dengan kulit dengan cara
meletakkan bayi di atas dada ibu, menghadap ibu,
dan tutupi keduanya dengan kain atau selimut
f. Biarkan bayi mencari payudara ibu sendiri. Ibu akan
merangsang bayinya dengan sentuhan dan bisa juga
membantu memposisikan bayinya lebih dekat
dengan puting (jangan memaksakan memasukkan
puting susu ibu ke mulut bayi)
g. Teruskan kontak kulit dengan kulit hingga menyusui
pertama kali berhasil dilselesaikan dan selama bayi
menginginkannya.
h. Ibu yang melahirkan melalui sectio caesaria juga bisa
melakukan kontak kulit dengan kulit setelah bersalin
i. Bayi dipisahkan dari ibunya untuk ditimbang, diukur
dan diberikan obat preventif setelah menyusu awal.
Tunda prosedur yang invasif atau membuat stress
seperti menyuntik vitamin K dan menetesi mata bayi
j. Jangan memberikan minuman atau makanan
pralaktal, kecuali ada indikasi medis yang jelas.
582
PENCEGAHAN Pembengkakan
MASALAH DALAM • Memberikan ASI yang sering dan sesuai permintaan
MENYUSUI • Pemberian kompres hangat akan membantu saluran
ASI tetap terbuka dan ASI mengalir.
• Masase payudara dengan lembut
• Pengeluaran ASI dengan tangan bisa membantu
mencegah pembengkakan
Puting Lecet
• Pengeluaran ASI untuk merangsang
aliran ASI
• Masase payudara untuk menjaga patensi saluran ASI
• Memulai pemberian ASI dari payudara yang tidak
sakit atau tidak terkena
• Posisikan bayi dengan hati-hati, dekat dengan ibu
untuk memastikan kelekatan yang tepat
• Perubahan posisi yang sering akan membantu
mencegah iritasi jaringan
Puting Lecet
• Puting harus tetap bersih dan kering untuk
mempercepat pemulihan
• Puting harus dibilas dengan ASI yang dikeluarkan
(bukan sabun atau alkohol)
583
ASUHAN BAYI • Jika bayi kelihatan mengisap dengan lemah atau
YANG KESULITAN tidak efektif, pengeluaran ASI dengan tangan akan
MENYUSU membantu memulai refleks let down dan
merangsang bayi untuk menetek.
• Bayi dengan refleks isap dan menelan yang tidak
terkoordinasi atau kelainan mengisap harus
dievaluasi selama menetek untuk mengetahui
apakah dengan posisi yang berbeda hasilnya lebih
baik. Metode alternatif, seperti menggunakan
sendok, cangkir atau sonde dapat dipertimbangkan.
• Bayi yang menunjukkan kesulitan menetek harus
dievaluasi menurut protokol berikut
• Mengkaji riwayat perinatal
• Melakukan penilaian fisik yang seksama termasuk
tanda vital dan status kardiopulmonal sebelum dan
selama menetek. Terutama amati koordinasi refleks
isap-menelannapas.
• Oksimetri mungkin bermanfaat selama evaluasi.
Jika perlu, pertimbangkan pemberian oksigen
tambahan melalui kanula hidung atau tiupan
oksigen.
• Selama pemberian ASI bagi bayi berisiko atau
kurang bulan, suhu harus dipertahankan dengan
kontak kulit dengan kulit dan topi.
• Kenaikan berat badan dan asupan nutrisi harus
dipantau.
Indikasi
TEKNIK
1. Pembengkakan payudara
MEMERAH ASI
584
2. BBL sakit dan berisiko yang memerlukan asupan
alternatif
3. Ibu tidak hadir untuk menyusui dan
ASI harus disimpan
Panduan
1. Cuci tangan sampai bersih dengan sabun
2. Jika mungkin, perah ASI di tempat yang tenang dan
santai. Bayangkan anda sedang berada di tempat
yang menyenangkan. Pikirkan hal menyenangkan
mengenai bayi anda. Kemampuan anda untuk
merasa santai
585
akan membantu refleks pengeluaran ASI yang lebih
baik.
3. Berikan kompres hangat dan lembab pada payudara
anda selama 3-5 menit sebelum mengeluarkan ASI
4. Pijat payudara anda dengan gerakan melingkar, ikuti
dengan pijatan lembut pada payudara dari sisi luar
ke arah puting
5. Stimulasi puting dengan lembut dan tarik sedikit ke
arah luar atau memutarnya dengan jari
6. Duduk dengan nyaman dan pegang wadah di dekat
payudara
7. Tempatkan ibu jari di bagian atas payudara pada tepi
areola (jam 12) dan jari telunjuk di bawah payudara
pada tepi areola (jam 6). Jari-jari yang lain
menyangga payudara
8. Tekan ke arah belakang kearah dinding dada,
kemudian kearah depan kearah puting tanpa jari-jari
bergesar .Ibu jari dan telunjuk – ibu harus menekan
sinus laktoferus yang ada di belakang areola.
Kadang-kadang sinus dapat teraba seperti biji
kacang. Bila ibu dapat meraba sinus ini, ibu dapat
menekan di atasnya
9. Tidak boleh ada rasa sakit – bila ada rasa sakit
berarti tekniknya salah.
10. Mungkin awalnya tidak ada ASI yang keluar, tapi
menekan beberapa kali, ASI akan mulai menetes. ASI
akan mulai mengalir lebih lancar bila refleks
oksitosin menjadi aktif.
11. Ulangi dengan pola yang teratur, tekan pada
bagian payudara yang berbeda untuk mengosongkan
semua sinus
586
12. Hindari menggosok dengan jari di atas kulit
payudara. Gerakan jari harus memutar.
13. Hindari memerah puting. Menekan atau menarik
puting tidak akan membuat ASI keluar. Hal ini juga
terjadi apabila bayi hanya mengisap puting.
14. Perah setiap payudara selama 3-5 menit sampai
aliran makin sedikit kemudian perah payudara yang
satu lagi, kemudian ulangi pada kedua payudara
15. Masukkan ASI yang sudah diperah, langsung ke
dalam wadah yang bersih (gunakan gelas kaca atau
plastik keras)
16. Setiap kali memerah ASI, mungkin jumlah ASI
yang keluar akan berbeda
17. Setelah selesai, oleskan beberapa tetes ASI pada
setiap puting dan biarkan kering sendiri
18. Tampilan ASI berubah selama pemerahan. Pada
beberapa sendok pertama, ASI akan terlihat bening
dan kemudian ASI akan menjadi putih susu.
Beberapa obat, makanan, vitamin, mungkin akan
sedikit merubah warna ASI. Lemak ASI akan naik ke
atas apabila disimpan
19. Jelaskan bahwa memerah ASI perlu waktu 20-30
menit terutama pada beberapa hari pertama apabila
hanya sedikit ASI yang diproduksi. Penting diketahui
untuk tidak memerah untuk waktu yang lebih
pendek
20. ASI yang disimpan harus ditutup rapat dan diberi
label bertuliskan tanggal, waktu dan jumlah.
Kemudian segera dinginkan atau bekukan.
587
Memerah ASI secara mekanis
Teknik
• Air susu ibu perah dapat disimpan dalam botol kaca
(pyrex), plastic keras (polypropylene) atau
kantong plastik (polyurethane).
• Plastik keras atau kaca merupakan tempat
penyimpanan ASI yang disertai segel kedap udara
sehingga dapat menyimpan ASI lebih lama.
• Kaca dan polypropylene memiliki pengaruh yang
sama terhadap kandungan lemak, imunoglobulin A
dan jumlah sel darah putih.
• Kantong plastik khusus ASI dapat digunakan untuk
penyimpanan ASI dalam waktu yang lebih singkat
(<72 jam).
• Kantong plastik khusus ASI tidak disarankan untuk
penggunaan jangka lama oleh karena mudah
tumpah, terkontaminasi bakteri, dan beberapa
komponen ASI mudah melekat pada plastik.
• Wadah untuk penyimpanan ASI tidak boleh
mengandung Bisphenol A karena bersifat mutagenik.
Panduan
1. Cuci tangan sampai bersih
2. Jika memungkinkan, perah ASI di tempat yang tenang
dan santai. Bayangkan anda sedang berada di tempat
yang menyenangkan. Pikirkan hal menyenangkan
tentang bayi anda. Kemampuan anda untuk merasa
santai akan membantu refleks pengeluaran ASI yang
lebih baik.
588
3. Berikan rasa hangat yang lembab pada payudara
Anda selama 3-5 menit sebelum mengeluarkan ASI
4. Pijat payudara anda dengan gerakan melingkar, ikuti
dengan usapan lembut pada payudara dari sisi luar
payudara menuju puting
5. Stimulasi puting anda dengan lembut dan tarik
sedikit ke arah luar atau memutarnya dengan jari
6. Ikuti instruksi umum yang tercantum pada pompa
payudara
7. Aliran ASI akan bervariasi. Selama beberapa menit
pertama ASI mungkin menetes lambat dan kemudian
memancar kuat setelah ASI keluar. Pola ini akan
berulang beberapa kali selama pengeluaran ASI dari
kedua payudara.
8. Jumlah ASI yang diperoleh pada setiap pengeluaran
mungkin bervariasi dan ini adalah hal yang biasa
9. Ketika sudah selesai, oleskan beberapa tetes ASI
pada setiap puting dan biarkan kering oleh udara
10. Penampilan ASI anda akan berubah selama
pengeluaran. Beberapa sendok pertama akan
terlihat bening dan setelahnya ASI akan berwarna
putih susu. Sejumlah obat, makanan dan vitamin
juga dapat sedikit mengubah warna ASI anda. Lemak
susu akan berada di bagian atas ASI ketika ASI
disimpan.
11. Jika akan disimpan, tutup dan beri label pada
wadah yang bertuliskan tanggal, waktu dan
jumlahnya segera setelah dikeluarkan.
PEMBERIAN ASI Bayi prematur yang diberikan nutrisi per oral lebih baik
PADA BAYI diberikan berdasarkan tanda lapar bayi dibandingkan
PREMATUR diberikan terjadwal, kecuali jika bayi tertidur lebih dari 3
jam setelah minum terakhir
589
ASI DONOR • Pilihan kedua bila ASI tidak tersedia
• Harus menjalani skrining untuk menghindari risiko
infeksi (HIV, CMV, hepatitis, sifilis) atau kontaminasi
toksik (obat, narkotik, alkohol, tembakau).
• Tes mikrobiologi dan pasteurisasi dilakukan pada ASI
donor untuk menghindari kontaminasi bakteri atau
virus.
• Pengolahan dan pemberian ASI donor harus
memenuhi persyaratan skrining donor ASI,
penyimpanan, dan prosedur pengolahan untuk
memastikan keamanan dan optimalisasi kandungan
zat gizi ASI donor.
MENCAIRKAN ASI • Cairkan ASI beku dengan memindahkan ASI beku ini
dari freezer ke lemari es ( refrigerator) selama satu
malam .
• Rendam susu sambil diputar-putar dalam mangkuk
berisi air hangat. Panas
berlebihan akan merubah atau menghancurkan
enzim dan protein.
• Cairkan seluruhnya karena lemak terpisah saat proses
pembekuan.
• Jangan pernah menggunakan microwave untuk
mencairkan atau menghangatkan ASI.
• Setelah dicairkan, ASI harus digunakan dalam waktu
24 jam
590
MEMBEKUKAN • Membekukan kembali ASI yang telah dicairkan atau
KEMBALI ASI dicairkan setengah tidak dianjurkan. Pertimbangan
ini berlaku saat membawa ASI ke rumah sakit atau
pulang ke rumah. Disarankan untuk menjaga ASI
sedingin mungkin tanpa membekukannya dan hanya
membekukannya ketika ASI sudah sampai di tujuan
akhir.
• Menggunakan sisa ASI yang tidak habis (ASI yang
dihangatkan untuk persiapan pemberian minum)
• Jangan gunakan kembali bagian ASI yang tidak habis
di botol karena mungkin telah terkontaminasi oleh
air liur BBL.
591
DEFINISI Neonatus berisiko tinggi: bayi baru lahir yang berisiko lebih
besar untuk mengalami komplikasi yang dapat terjadi dalam
periode janin, saat persalinan atau pada periode pasca
persalinan
592
3. ASI Donor merupakan pilihan kedua bila ASI tidak
tersedia.
4. Human Milk Fortifier (HMF) perlu dilakukan pada
BBLSR (berat lahir <1500 gram) yang mendapat ASI. Zat gizi
kunci HMF adalah protein dan dapat dibuat dari susu sapi
atau ASI, serta dapat berupa cair atau bubuk.
Satu saset HMF yang dilarutkan ke dalam 25 ml ASI akan
menambah kalori sebanyak 4 kkal/oz sehingga kalori
ASI+HMF menjadi 24 kkal/oz, sedangkan bila satu saset
HMF dilarutkan ke dalam 50 ml ASI akan menambah kalori
sebanyak 2 kkal/oz sehingga kalori ASI+HMF menjadi 22
kkal/oz.
HMF juga mengandung elektrolit, makromineral,
mikromineral, dan vitamin sehingga dapat mencukupi
kecukupan bayi prematur yang lebih tinggi dari bayi cukup
bulan.
5. Hindmilk diperlukan bila HMF tidak memungkinkan,
pemberian hindmilk untuk membantu meningkatkan berat
badan bayi prematur bisa dijadikan alternatif.
6. Formula prematur merupakan formula medis khusus
dengan energi berkisar 80 kkal/100 ml, protein 2,0-2,4
g/100 ml dan diperkaya mineral, vitamin, dan trace
elements untuk mendukung kecukupan nutrisi bayi
prematur agar dapat mencapai laju pertumbuhan
intrauterin.
7. Nutrient-enriched formula atau postdischarge
formula (PDF) pada awalnya dirancang khusus untuk bayi
prematur yang dipulangkan dari rumah sakit. Kandungan
energi berkisar 72-74 kkal/100 ml, kandungan protein 1,8-
1,9 g/100 ml dan diperkaya dengan mineral, vitamin, dan
trace elements.
8. Formula standar dirancang untuk bayi cukup bulan
berdasarkan komposisi ASI matur, yaitu kandungan energi
66-68 kkal/100 ml, konsentrasi protein berkisar 1,4-1,7
g/100 ml, kalsium sekitar 50 mg/100 ml dan fosfat 30
mg/100 ml. Komposisi tersebut tidak cukup untuk
memenuhi
593
kebutuhan nutrisi BBLSR (<1500 gram) dalam fase kejar
tumbuh. Formula standar dapat diberikan pada bayi
prematur yang telah mencapai usia koreksi 0 minggu dan
indikator antropometri menurut grafik WHO 2006
menunjukkan BB menurut usia berada antara -2 sampai +2
z-score dan panjang bayi mencapai 45 cm
594
pastikan saluran cerna dan kondisi hemodinamik baik.
Dapat diberikan dengan NGT atau OGT.
FREKUENSI
DAN VOLUME Tabel 14. Frekuensi dan volume nutrisi enteral bayi
NUTRISI prematur
153
ENTERAL
BBLASR BBLSR
BAYI
Jenis cairan ASI ASI
PREMATUR Mulai 6−48 jam pertama 6−48 jam pertama
Minimal enteral 0,5 ml/kg/jam atau 1 ml/kg/jam atau
feeding 1 ml/kg/2 jam 2 ml/kg/2jam
(MEF)
Durasi MEF 1−4 hari 1−4 hari
Peningkatan 15−25 ml/kg/hari 20−30 ml/kg/hari
minum
Continues +0,5 ml/kg/jam tiap +1 ml/kg/jam tiap 8
feeding 12 jam jam
Intermittent +1 ml/kg/jam tiap 12 +1 ml/kg/jam tiap 8
feeding/ 2 jam jam jam
HMF Sebelum 100 Sebelum 100
ml/kg/hari ml/kg/hari
Target energy 110−130 110−130 kkal/kg/hari
kkal/kg/hari
Target asupan 4−4,5 g/kg/hari 3,5−4 g/kg/hari
protein
PEMANTAUAN
Jangka Pendek
- Akseptabilitas yaitu penilaian perbandingan asupan
yang masuk secara aktual terhadap preskripsi nutrisi
yang direncanakan dokter.
- Toleransi, meliputi penilaian adanya muntah, diare,
residu lambung, food adverse reaction pada
pemberian nutrisi enteral atau oral; parameter
biokimia dan klinis pada pemberian nutrisi parenteral.
- Efisiensi yaitu menilai kenaikan berat badan
595
Tabel 15. Pemantauan laboratorium terkait pemberian
nutrisi pada bayi prematur 154, 155
Nutrisi Enteral
Hemoglobin dan hematokrit 1 x seminggu (sesuai
indikasi)
Glukosa serum 1 x (nilai baseline)
Elektrolit Sesuai indikasi
Ca, Mg dan P darah 1 x (nilai baseline)
Trigliserida Sesuai indikasi
Jangka Panjang
Pemantauan Pertumbuhan
- Berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala diukur
secara berkala. Kecepatan penambahan berat badan
(weight velocity) diukur setiap hari, dalam rangka
mendeteksi dini adanya weight faltering dan
melakukan tata laksana yang tepat untuk
menanggulanginya.
Osteopenia Prematuritas
- Pada bayi prematur, deteksi dan pemantauan
osteopenia prematuritas sebaiknya dilakukan bila umur
gestasi <34 minggu dan BB lahir <1800 gram. Temuan
yang khusus pada osteopenia prematuritas ini berupa
penurunan kadar
596
ion kalsium (Ca2+) dan fosfor serta peningkatan serum
alkali fosfatase (ALP).
597
Indikasi untuk penilaian ulang dari status kalsium, fosfor, dan
alkali fosfatase:
- Satu bulan pascaperawatan untuk semua bayi dengan
BB lahir <1500 gram dan bayi IUGR dengan BB lahir
<1800 gram.
- Satu bulan pascaperawatan, jika hasil laboratorium
saat keluar RS (tidak diketahui) diluar dari nilai
rujukan.
- Jika bayi prematur mengalami pergantian dari ASI ke
susu formula <3 bulan usia koreksi
- Jika asupan dan kecepatan pertumbuhan bayi
prematur berada di bawah batas bawah garis
pertumbuhan.
598
4.38 Tatalaksana nutrisi parenteral pada neonatus
599
KECUKUPAN Bertujuan menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
CAIRAN pada fase diuresis dan mencegah kehilangan cairan
ekstraseluler pada fase pascadiuresis.
Karbohidrat
Pemberian glukosa pada bayi prematur harus dimulai
dalam 24 jam pertama pascalahir dengan kecepatan infus
glukosa (glucose infusion rate, GIR) pada usia gestasi
<32 minggu 6-8 mg/kgBB/menit dan pada usia gestasi >32
minggu 4-6 mg/kgBB/menit, kemudian ditingkatkan
bertahap 1-2 mg/kgBB/menit sampai mencapai kecukupan
maksimal dukungan NPT dengan GIR 12-13
mg/kgBB/menit.
600
Protein
Pemberian protein 2,5 g/kgBB/hari pada 24 jam pertama
pascalahir, ditingkatkan 0,5-1 g/kgBB/hari. Dosis maksimal
protein pada minggu pertama adalah 3,5-4 g/kgBB/hari.
Untuk 1 g protein membutuhkan 20-25 kkal non protein.
Pemberian dosis 1,5 kgBB/hari pada hari pertama
pascalahir ditoleransi dengan baik karena dapat memenuhi
kecukupan protein, mencegah katabolisme protein,
menjaga keseimbangan nitrogen sehingga tercapai
peningkatan tumbuh kembang.
Manfaat lain adalah meningkatkan toleransi glukosa,
mengurangi risiko hiperglikemia melalui sekresi insulin
endogen dan glukoneogenesis.
Protein dalam sediaan nutrisi neonatus harus mengandung
conditionally essential amino acid, yaitu tirosin,
sistein, taurin, histidin, glisin, glutamin, dan arginin.
Mulai infus asam amino, jika tersedia, pada usia dua hari
dengan jumlah 0,5-1,0 g/kg/hari.
Lemak
Pemberian lipid intravena pada bayi prematur dimulai
dalam 24 jam pertama pascalahir dengan dosis 0,5- 1
g/kgBB/hari dinaikkan bertahap sebanyak 0,5-1
g/kgBB/hari sampai mencapai 3-3,5 g/kgBB/hari
KECUKUPAN Elektrolit
MIKRONUTRIEN Kebutuhan natrium (Na) bervariasi pada minggu
pertama sebesar 0-3 mEq/kgBB/hari.
Setelah terdapat diuresis awal, dapat diberikan natrium (Na)
dan kalium (K) dengan dosis 2-3 mEq/kgBB/hari disesuaikan
dengan kondisi klinis dan kadar elektrolit.
Saat asupan cairan mencapai 150 mL/KgBB/hari, cairan
parenteral haruslah mengandung 12.5-15 mmol/L Ca
elemental and 13-15 mmol/L Phospor.
Kebutuhan Ca, P, dan Mg dalam nutrisi enteral bayi
prematur dihitung berdasarkan
601
kandungan komposisi Ca, P, dan Mg dalam ASI dan
variabilitas penyerapan elektrolit tersebut berdasarkan usia
gestasi (Ca2+:40-
70 %, P:60-95%, Mg:40%)
Trace Elements
Besi
Penting dalam perkembangan otak fetus dan neonatus
Pemberian suplementasi besi untuk BBLSR yang mendapat
ASI bila bayi telah memasuki fase pertumbuhan (growing
care), umumnya dimulai pada usia 2 minggu dengan dosis
2 mg/kgBB/hari dan dievaluasi setelah pemberian 3 bulan
untuk ditentukan apakah dilanjutkan atau tidak.
Zinc
Asupan zinc minimal 1,4-2 mg/kgBB/hari diperlukan untuk
mencapai pertumbuhan optimal pada bayi prematur.
Rekomendasi terkini untuk asupan zinc enteral pada bayi
prematur adalah 1-2 mg/kg/hari atau maksimal 1-3
mg/kg/hari.
KECUKUPAN Vitamin A
VITAMIN Dapat menurunkan kematian, kebutuhan oksigen pada 1
bulan, serta kebutuhan oksigen pada usia 36 minggu masa
gestasi.
Vitamin D
Pada bayi yang mendapat ASI eksklusif atau parsial untuk
mendapat vitamin D 400 IU/hari selama minimal setahun
pertama kehidupan. Bayi yang tidak mendapat ASI juga
sebaiknya mendapat suplementasi, sampai 32 fl.oz. (1000
ml) per hari susu formula fortifikasi vitamin D.
Vitamin E
Diet pada bayi prematur sebaiknya mengandung minimal 1
IU vitamin E/gram asam linoleat, setara ± 0.6 mg δ-
602
tocopherol/gram polyunsaturated fatty acids (PUFA).
Bayi prematur yang mendapat nutrisi enteral dan suplemen
multivitamin, di mana asupan setiap harinya mengandung 5
IU vitamin E, mendapat ±5–10 IU/kg/hari vitamin E, tetapi
untuk nutrisi parenteral kadarnya lebih rendah.
Jangka pendek :
- Akseptabilitas yaitu penilaian perbandingan
asupan yang masuk secara aktual terhadap preskripsi
nutrisi yang direncanakan dokter.
- Toleransi, meliputi penilaian adanya muntah, diare,
residu lambung, food
603
adverse reaction pada pemberian nutrisi enteral
atau oral; parameter biokimia dan klinis pada
pemberian nutrisi parenteral.
- Efisiensi yaitu menilai kenaikan berat badan
Jangka panjang:
- Untuk menilai pertumbuhan dan osteopenia
prematuritas
604
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Pembagian tingkatan kompetensi pada pelayanan neonatus diperlukan dalam sistem
Kesehatan Nasional sesuai dengan beberapa Peraturan Menteri Kesehatan yang
terkait dengan ini.
2. Tingkatan pelayanan neonatus juga bermanfaat pada sistem pembiayaan kesehatan
pada era JKN saat ini
3. Panduan pelayanan neonatal diperlukan sebagai upaya menuju standarisasi terutama
dengan lebarnya disparitas jumlah ATM, fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan
panduan prosedur yang sama.
4. Inti dari panduan pelayanan neonatal adalah PNPK dan PPK
4.2 Saran
1. Tingkat kompetensi pelayanan neonatus akan selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan IPTEK, untuk itu revisi panduan pelayanan neonatal harus selalu
dilakukan seiring dengan berlangsungnya perkembangan IPTEK, khususnya PPK
minimal dua tahun sekali.
2. Revisi juga harus dilakukan pada kodifikasi diagnosis dan prosedur di bidang
neonatologi seiring dengan perkembangan IPTEK.
3. Revisi dilakukan oleh masing-masing unit layanan neonatus sesuai dengan kapasitas
yang dimiliki, tetapi tetap mengikuti panduan pelayanan neonatal yang disepakati.
DAFTAR RUJUKAN
605
7. Ha J, Longnecker N. Doctor-patient communication: a review. Ochsner J.
2010;10:38-43.
8. Kementrian Kesehatan RI. Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Jakarta
Kemenkes; 2018.
9. Ballard J, Khoury J, Wedig K, Wang L, Eilers-Walsman B, Lipp R. New Ballard
Score, expanded to include extremely premature infants. J Pediatr.
1991;119(3):417-23. 10. McCance D, McNamara M. HSE Guidelines for the
Management of Pregestational And Gestational Diabetes Mellitus from Pre-
conception to the Postnatal period. 2010:188.
11. Gonzalez NG, Davila EG, Castro A, Padron E, Plasencia W. Effect of pregestational
diabetes mellitus on first trimester placental characteristics: three-dimensional
placental volume and power Doppler indices. Placenta. 2014;35(3):147-51.
12. Qadir SY, Yasmin T, Fatima I. Maternal and foetal outcome in gestational
diabetes. Journal of Ayub Medical College Abbottabad. 2012;24(3-4):17-20.
13. Noctor E, Dunne FP. Type 2 diabetes after gestational diabetes: the influence of
changing diagnostic criteria. World journal of diabetes. 2015;6(2):234.
14. Duckitt K, Harrington D. Risk factors for pre-eclampsia at antenatal booking:
systematic review of controlled studie. Bmj 2005;330(7491):565.
15. Children's Hospital of Orange Country. Tracheoesophageal fistula/ esophageal
atresia care guideline 2016 2016 [Available from:
https://www.choc.org/wp/wpcontent/uploads/2016/06/
TracheoesophagealFistula_EsophagealAtresiaCareGuideline.pdf.
16. Mielniczuk M, Kusza K, Brzeziński P, Jakubczyk M, Mielniczuk K,
CzerwionkaSzaflarska M. Current guidelines on management of congenital
diaphragmatic hernia.
Anesthesiol Intensiv Ther. 2012;44(4):232-7.
17. Akangire G, Carter B. Birth injuries in neonates. Pediatrics 2016;37(11):451-62.
18. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku resusitasi neonatus 2017.
19. Wiegersma J, Droogh J, Zijlstra J, Fokkema J, Ligtenberg J. Quality of inter
hospital transport of the critically ill: impact of a mobile intensive care unit with
a specialized retrieval team. Crit Care. 2011;15:R-75.
20. Iwashyna T, Courey A. Guided transfer of critically ill patients: where patients are
transferred can be an informed choice. Curr Opin Crit Care. 2011;17:641-7.
21. Lim M, Ratnavel N. A prospective review of adverse events during inter hospital
transfer of neonates by a dedicated neonatal transfer service. Pediatr Crit Care
Med. 2008;9(289-93).
22. Kendall A, Scott P, Karlsen K. The S.T.A.B.L.E program: the evidence behind the
2012 update. J Perinat Neonat Nurs. 2012;26(2):147-57.
23. McCall E, Alderdice F, Halliday H, Jenins J, Vohra S. Intervention to prevent
hypothermia at birth in preterm and/or birth weight infants (review). Cochrane
Datab System Rev. 2010(3).
24. Rohana J, Khairinia W, Boo N, Shareena I. Reducing hypothermia in preterm
infants with polyethylene wrap. Pediatr Int. 2011;53(468-74).
25. Reimer-Brady J. Legal Issues related to stabilization and transport of the critically
ill neonate. J Perinatol Neonat Nurs. 1998;10(3):59-69.
26. Leppala K. Whether near or far transporting the neonate. J Perinatol Neonat
Nurs. 2010;24(2):167-71.
27. Taylor R, Price-Douglas W. The S.T.A.B.L.E program: Post resuscitation/ pre
transport stabilization care of sick people. J Perinatol Neonat Nurs.
2008;22(2):159-65.
28. Cummings J, Polin R. Oxygen targetting in extremely low birth wieght infants.
Pediatrics 2016;138.
606
29. Wilson A, Martel I, Saskatoon S. Maternal Transport Policy. J Obstet Gynecol Can
2005;27:956-58.
30. Hohlagschwandtner M, Husslein P, Weninger K, Nardi A, Langer M. Perinatal
mortality and morbidity. Comparison between maternal transport, neonatal
transport and inpatient antenatal treatment. Arch Gynecol Obstet
2001;265:113-18.
31. Hauspy J, Jacquemyn Y, Van-Reempts P, Buytaerta P, Vlieta J. Intrauterine versus
postnatal transport of the preterm infant: a short-distance experience. Early
Hum Dev 2001;63:1-7.
32. Woodward G, Insoft R, Pearson-shaver A. The state of pediatric inter-facility
transport: Consensus of the second national pediatric and neonatal inter-facility
transport medicine leadership conference. Pediatr Emerg Care 2002;1:38-43.
33. Das U, Leuthner S. Preparing the neonate for transport. Pediatr Clin North Am
2004;51:581-98.
34. Kempley, Baki, Hayter, Ratnavel, Cavazzoni, Reyes. Effect of a centralised
transfer service on characteristics of inter-hospital neonatal transfers. . Arch Dis
Child Fetal Neonatal Ed 2007;92:185-9.
35. McKay S, Cruickshanks J, Skeoch C. Step by step guide: Transporting neonates
safely. J Neonatal Nurs 2003;1:9.
36. Kulshrestha A, Singh J. Interhospital and intrahospital patient transport: recent
concept. Indian J. 2016;60:451-7.
37. Fenton A, Leslie A, Skeoch C. Optimising neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal
Neonatal 2004;89(F215-9).
38. Arad I, Baras M, Bar-Oz B, Gofin R. Neonatal transport of very low birth weight
infants in Jerussalem, revisited. IMAJ 2006;8(477-82).
39. Kumar P, Kumar C, Venkatlakshmi A. Long distance neonatal trasport-the need
of the hour. Indian Pediatr 2008;45:920-2.
40. Terrey A, Browning C. Stabilising the newborn for transfer: Basic principles. Aust
Fam Physician 2008;37:510.
41. Tingay D, Stewart M, Morley C. Monitoring of end tidal carbon dioxide and
transcutaneous carbon dioxide during neonatal transport. . Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2005;90:F523-6.
42. Lilley C, Stewart M, Morley C. Respiratory function monitoring during neonatal
emergency transport. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2005;90:F82-3.
43. Dani C, Bertini G, Pezzati M, Cecchi A, Caviglioli C, Rubaltelli F. Early extubation
and nasal continuous positive airway pressure after surfactant treatment for
respiratory distress syndrome among preterm infants< 30 weeks’ gestation.
Pediatrics 2004;113:560-
3.
44. Fowlie P, Booth P, Skeoch C. Clinical review moving the preterm infant. BMJ.
2004;309:904-6.
45. Cloherty J, Eichenwald E, Hansen A, Stark A. Manual of neonatal care. 7 ed.
Philadelphia: Lippincott William Wilkins; 2012
46. Gomella T, Cunningham M, Eyal F. Neonatology, management, procedures,
oncall problems, diseases and drugs. 7 ed. Philadelphia: Mc Graw hill; 2013.
47. Queensland Clinical Guidelines. Hypoxic-ischaemic encephalopathy (HIE).
Australia : Queensland; 2016.
48. Martinello K, Hart A, Yap S, Mitra S, Robertson N. Management and investigation
of neonatal encephalopathy: 2017 update. Arch Dis Child Fetal. 2017:F11-3.
49. Chalak L, Kaiser J. Neonatal guideline hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE). J
Ark Med Soc. 2017;104(4):87-9.
50. Slaughter L, Patel A, Slaughter J. Pharmacological Treatment of Neonatal
Seizures: A Systematic Review. J Child Neurol. 2013;28(3):351-64.
607
51. Kanhere S. Recent advances in neonatal seizures. Indian J Pediatr.
2014;81(9):917-25.
52. Sarosa G. Kejang dan Spasme. In: Kosim MS YA, Dewi R, Sarosa GI, Usman A,
editor. Buku ajar neonatologi Edisi ke 4. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2014.
53. Hallberg B, Blennow M. Investigations for neonatal seizures. Seminars in Fetal
and Neonatal Medicine. Philadelphia Elsevier 2013.
54. Hamrick S, Zimmermann A. Cerebral Seizures. In: G H, editor. Neonatal
Emergencies. Cambridge: Cambridge University Press; 2009.
55. World Health Organization. Guidelines on neonatal seizures. Geneva World
Health Organization; 2011.
56. Shellhaas R. Neonatal seizures. In: Polin RA YM, editor. Workbook in Practical
Neonatology. Philadelphia: Elsevier Health Sciences; 2015.
57. Priestley J. Experiments and observations on different kinds of air. J Johnson.
1776.
58. Ballot D. Ups and Downs of Oxygen Therapy in Neonatal Care. The United South
African Neonatal Association Conference. OR Tambo: University of the
Witwatersrand; 2017.
59. Saugstad O. Oxygen and retinopathy of prematurity. J Perinatol.
2006;26(S1):S46. 60. Bancalari E. The Newborn Lung: Neonatology Questions
and Controversies EBook: Elsevier Health Sciences; 2012.
61. Wyckoff M, Aziz K, Escobedo M, Kapadia V, Kattwinkel J, Perlman J, et al. Part 13:
neonatal resuscitation: 2015 American Heart Association guidelines update for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation.
2015;132:S543-S60.
62. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
tentang BBLR. Jakarta Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2018.
63. World Health Organization. Oxygen therapy for children: a manual for health
workers.2016.
64. Duc G, Sinclair J. Oxygen administration. Effective care of the newborn
infant.1992.
65. Saugstad O, Aune D. Optimal oxygenation of extremely low birth weight infants:
a meta-analysis and systematic review of the oxygen saturation target studies.
Neonatology. 2014;105(1):55-63.
66. Cummings J, Polin R. Oxygen targeting in extremely low birth weight infants.
Pediatrics. 2016;138(2).
67. Col S, Maj S, Brig M, Capt G. Controlled FiO2 Therapy to Neonates by
Oxygenhood in the Absence of Oxygen Analyzer. Med J Armed Forces India.
2007;63(2):149-53.
68. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Resusitasi Neonatus. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2014.
69. Organization W. Oxygen therapy for children: a manual for health workers. 2016.
70. Trevisanuto D, Cengio V, Doglioni N, Cavallin F, Zanardo V, Parotto M, et al. Oxygen
delivery using a neonatal self-inflating resuscitation bag: effect of oxygen flow.
Pediatrics. 2013;131(4):144-9.
71. Wu S. Molecular bases for lung development, injury, and repair. The Newborn
Lung: Neonatology Questions and Controversies: Expert Consult-Online and
Print: Elsevier Inc. ; 2012
72. Kattwinkel J. Pediatrics AAo, Association AH. Textbook of Neonatal Resuscitation:
Am Acad Pediatrics; 2018.
73. Spitzer A, Clark R. ositive-pressure ventilation in the treatment of neonatal lung
disease. Assisted Ventilation of the Neonate (Fifth Edition): Elsevier; 2011.
608
74. Gregory G, Kitterman J, Phibbs R, Tooley W, Hamilton W. Treatment of the
idiopathic respiratory-distress syndrome with continuous positive airway
pressure. N Engl J Med 1971;284(24):1333-40.
75. Sandri F, Ancora G, Lanzoni A, Tagliabue P, Colnaghi M, Ventura M, et al.
Prophylactic nasal continuous positive airways pressure in newborns of 28–31
weeks gestation: multicentre randomised controlled clinical trial. Arch Dis Child
Fetal Neonatal Ed. 2004;89(5):F394-F8.
76. Subramaniam P, Ho J, Davis P. Prophylactic nasal continuous positive airway
pressure for preventing morbidity and mortality in very preterm infants.
Cochrane Database Syst Rev. 2016.
77. Carlo W, Ambalavanan N. Conventional mechanical ventilation: traditional and
new strategies. Pedsinreview 1999;20:e177-e26.
78. Hess D, MacIntyre N. Mechanical ventilation In: Hess D, MacIntyre N, Mishoe S,
Galvin W, Adams A, editors. Respiratory care. Canada Jones & Baetlett Learning
2012.
79. Donn S, Sinha S. Manual of neonatal respiratory care. Switzerland: Springer
International Publishing Switzerland; 2017.
80. Al Hazzani F, Al Alaiyan S, Al Hussein K, Al Saedi S, Al Faleh H, Al Harbi F, et al.
Mechanical ventilation in newborn infants: Clinical Practice Guidelines of the
Saudi Neonatology Society. J of Clin Neonatology. 2017;6:57-63.
81. Carlo W. Prematurity and Intrauterine Growth Restriction. In: Kliegman RM SB,
Schor NF, Geme JW, dan Behrman R, editor. Nelson Textbook Of Pediatrics Edisi
ke-20. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2016.
82. Intrauterine growth restriction: screening, diagnosis, and management. SOGC
clinical practice guideline No. 295 2013.
83. Sharma D, Shastri S, Sharma P. Intrauterine growth restriction: antenatal and
postnatal aspects. Clin Med Insights Pediatrics. 2016;10.
84. Damanik S. Klasifikasi bayi menurut berat lahir dan masa gestasi. In: Kosim MS
YA, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, editor. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Balai
Penerbit IDAI; 2014.
85. The Royal Children's Hospital Melbourne. Skin to skin care for the newborn 2016
2016 [Available from:
https://www.rch.org.au/rchcpg/hospital_clinical_guideline_index/
Skin_to_Skin_Care_for_the_Newborn/.
86. Children's Hospital of Philadelphia. Skin-to-skin for infants: Guidelines for
professionals.
87. Conde-Agudelo A, Belizan J, Diaz-Rossello. Kangaroo mother care to reduce
morbidity and mortality in low birthweight infants. Cochrane Database Syst Rev
2011;3.
88. Module NTS-l. Interprofessional Education and Research Committee of the
Champlain Maternal Newborn Regional Program (CMNRP). 2013:1-16.
89. Rutter N. Temperature control and its disorders. Churchill Livingstone,
London2005.
90. Knobel R, Vohra S, CU. L. Heat loss prevention in the delivery room for preterm
infants: a national survey of newborn intensive care units. J Perinatol.
2005;25(8):514.
91. Lyon A, Puschner P. Thermo monitoring. wwwdragercom. 1998.
92. WHO, UNICEF. Managing newborn problems: a guide for doctors, nurses, and
midwives. 2003.
93. Waldron S, MacKinnon R. Neonatal thermoregulation. Infant. 2007;3:101-4.
94. Knobel-Dail R. Role of effective thermoregulation in premature neonates. Res
Rep Neonatol. 2014;4:147-56.
609
95. Women and Newborn Health Service Neonatal Directorate Western Australia.
Thermoregulation. Australia: Government of Western Australia North
Metropolitan Health Service 2018.
96. WHO. WHO recommendation on Newborn health. WHO; 2017.
97. Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. Survival and outcome of very low birth
weight infants born in a university hospital with level II NICU. J Med Assoc Thai.
2007;90(7):1323.
98. Resuscitation ILCo. The International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR)
consensus on science with treatment recommendations for pediatric and
neonatal patients: pediatric basic and advanced life support. Pediatrics.
2006;117(5):955-77.
99. McCormick M, Cooper P. Managing newborn problems: a guide for doctors,
nurses, and midwives. World Health Organization; 2003.
100. Queensland Clinical Guidelines. Newborn hypoglycaemia. Australia Queensland
2013.
101. USCF Children's Hospital. Neonatal hypoglycemia
[Available from:
https://www.ucsfbenioffchildrens.org/pdf/manuals/52_Hypoglycemia.pdf.
102. Thompson-Branch A, Havranek T. Neonatal hypoglycemia. Pediatrics.
2017;38(4). 103. Sweet C, Grayson S, Polak M. Management strategies for
neonatal hypoglycemia. J Pediatr Pharmacol Ther. 2013;18(3):199-208.
104. Thornton P, Stanley C, De Leon D, Harris D, Haymond M, Hussain K, et al.
Recommendations from the Pediatric Endocrine Society for Evaluation and Management
of Persistent Hypoglycemia in Neonates, Infants, and children. 167. 2015;2(238-45). 105.
Bhutani V, Johnson L, Sivieri E. Predictive ability of a predischarge hour-specific serum
bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in healthy term and nearterm
newborns. Pediatrics. 1999;103(1):6-14.
106. Excellence NIfC. National Collaborating Centre for Women’s and Children’s
Health. Caesarean section: clinical guideline. 2003.
107. Muchowski K. Evaluation and treatment of neonatal hyperbilirubinemia. Am Fam
Physician. 2014;89(11):873-8.
108. Maisels M, Bhutani V, Bogen D, Newman T, Stark A, Watchko J.
Hyperbilirubinemia in the newborn infant ≥ 35 weeks’ gestation: an update with
clarifications. Pediatrics. 2009;124(4):1193-8.
109. Hamidi M, Aliakbari F. Comparison of Phototherapy with light-editing diodes
(LED) and Conventional Phototherapy (fluorescent lamps) in Reducing Jaundice in Term
and Preterm Newborns. Middle East J Fam Med 2018;7(10):123.
110. Kaplan M, Merlob P, Regev R. Israel guidelines for the management of neonatal
hyperbilirubinemia and prevention of kernicterus. J Perinatol. 2008;28(6):389. 111.
Maisels M. Managing the jaundiced newborn: a persistent challenge. Canadian Medical
Association Journal. 2015;187(5):335-43.
112. von_Lindern J, Lopriore E. Management and preventionof neonatal anemia:
current evidence and guidelines. Expert Rev Hematol. 2014;7(2):195-202.
113. New H, Berryman J, Bolton-Maggs PC, C , Chalmers E, Davies T, dkk. Guidelines
on transfusion for fetuses, neonates and older children. Br J Haematol. 2016;175(5):784-
828. 114. Neonatal guidelines 2017-19: the bedside clinical guidelines partnership in
association with the Staffordshire Shropshire and Black Country, Southern West
Midlands Neonatal; 2017 [Available from:
kids.bch.nhs.uk/wp-content/uploads/2017/05/neonatalguidelines-2015-17.pdf.
115. Colombatti R, Sainati L, Trevisanuto D. Anemia and transfusion in the neonate.
Semin Fetal Neonatal Med. 2015:1-8.
116. Robert I, Murray N. Hematology. In: Rennej J, editor. Robertson's textbook of
neonatology: Elsevier 2005. p. 739-51.
610
117. WC, Glader B. Erytrochyte disorders in infancy. In: Taueusch H, Balard R,
Gleaseon C, editors. Avery's disease of the newborn. 8th Edition. Philadelphia: Elsevier;
2005. p. 1203-7.
118. Jones L, Schwartz A, David B. The blood and hematopoetic system. In: Fannarof
A, Martin R, editors. Neonatal-perinatal medicine disease of the fetus and infant. 6th
Edition. St Louis: Mosby Year Book; 1997. p. 1201-23.
119. Watchko J. Common hematologic problems in the newborn nursery. Pediatr Clin
North Am. 2015;62(2):509-24.
120. Celik I, Demirel G, Canpolat F, Dilmen U. A common problem for neonatal
intensive care units: late preterm infants, a prospective study with term controls in a
large perinatal center. J Matern-Fetal Neonatal Med. 2013;26:459-62. 121. Guideline.
NSC. Neonatal thrombocytopenia. Available from:
http://wwwadhbgovtnz/newborn/Guidelines/
Blood/Platelets/NeonatalThrombocytopeniahtm
611
139. Kung Y, Hsieh Y, Weng Y, et a. Risk Factors of Late-onset Neonatal Sepsis in
Taiwan: A matched case-control study. J Microbiol Immunol InfectScience Direct.
2016:430-5.
140. Hendrarto W. Bagaimana Mendiagnosis Dini Sepsis Neonatorum? Dalam:
Update on Management of Neonatal Infection. 2017:pp17-23.
141. Wibowo T. Pemeriksaan Darah pada Sepsis Neonatorum. Dalam: Update on
Management of Neonatal Infection. 2017:pp24-32.
142. Organization. WH. Antibiotic use for sepsis in neonates and children: 2016
evidence update. Geneva: World Health Organization. 2016.
143. Aggarwal R, Sarkar N, Deorari A, Paul V. Sepsis in the Newborn. Indian J Pediatr.
2001;68(12):1143-7.
144. Organization. WH. Shock in newborn. Available from:
http://wwwnewbornwhoccorg/STPs/STP_Shock_Pre-Finalpdf
145. Davis A, Carcillo J, Aneja R, Deymann A, Lin J, Nguyen T, et al. American College
of Critical Care Medicine clinical practice parameters for hemodynamic support
of pediatric and neonatal septic shock. CCM. 2017;45(6)(1063-93).
146. Semberova. Spontaneous closure of patent ductus arteriosus in infants 1500g.
Pediatrics. 2017;140(2).
147. Terrin G. Paracetamol for the treatment of patent ductus arteriosus in preterm
neonates: a systematic review and meta-analysis. Arch Dis Child Fetal Neonatal
2016;101. 148. Ohlsson A, Walia R, Shah S. Ibuprofen for the treatment of patent
ductus arteriosus in preterm or low birth weight (or both) infants. Cochrane
Database Syst Rev 2015.
149. Suradi R, Hegar B, Partiwi I, Marzuki A, Ananta Y. Indonesia menyusui. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010.
150. Besar S, Eveline N. Air susu ibu dan hak bayi. In: Pratiwi IGAN PJ, editor. Bedah
ASI. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.
151. UKK Neonatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Kadim M, Roeslani R,
Nurmalia L. Konsensus asuhan nutrisi pada bayi prematur. Jakarta Ikatan Dokter Anak
Indonesia 2016.
152. Fenton T, Nasser R, Eliasziw M, Kim J, Bilan D, Sauve R. Validating the weight gain
of preterm infants between the reference growth curve of the janin and the term infant.
BMC Pediatr. 2013;13:92.
153. Koletzko B, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R. uidelines on paediatric
parenteral nutrition of the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology
and Nutrition (ESPGHAN) and the European Society for Clinical Nutrition and Metabolism
(ESPEN), Supported by the European Society of Paediatric Research (ESPR). J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2005;41(2):1-87.
154. Working Group of Pediatrics Chinese Society Of Parenteral and Enteral Nutrition,
Working Group Of Neonatology Chinese Society Of Pediatrics, Working Group Of
Neonatal Surgery Chinese Society Of Pediatric Surgery. CSPEN guidelines for nutrition
support in neonates. Asia Pac J Clin Nutr. 2013;22:655-63.
155. Moyer-Mileur L. Anthropometric and laboratory assessment of very low birth
weight infants: the most helpful measurements and why. Semin perinatol.
2007;31(2):96103.
156. Bertino E, Boni L, Rossi C, Coscia A, Giuliani F, Spada E, et al. Evaluation of
postnatal growth in very low birth weight infants: A neonatologist's dilemma. Pediatr
Endocrinol Rev. 2008;6(9-13).
157. Lester B, Andreozzi-Fontaine L, Tronick E, Bigsby R. Assessment and Evaluation of
the High Risk Neonate: The NICU Network Neurobehavioral Scale. . JOVE 2014;90:1-9.
158. Rauter S, Messler S, Steven D. Neonatal golden hour-intervention to improve
quality of care of ELBW. SD Med 2014;67:397-403.
612
159. Karlsen K. The STABLE program: pre-transport/post-resuscitation stabilization
care of sick infants, guidelines for neonatal healthcare providers. 2006.
160. Castrodale V, Rinehart S. The golden hour: improving the stabilization of the very
low birth-weight infant. Adv Neonatal Care 2014;14:9-14.
161. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2014.
162. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Resusitasi neonatus. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2013.
163. Sjarif D, Rohsiswatmo R, Rundjan L, Yuliarti K. Panduan berbasis bukti asuhan
nutrisi untuk bayi prematur2015.
164. Agostoni C, Buonocore G, Carnielli V. Enteral nutrient supply for preterm infants:
commentary from the European Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology and
Nutrition Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50(85-91). 165.
American Academy of Pediatrics. Section on breastfeeding: Breastfeeding and the use of
human milk. Pediatrics. 2012;129:827-41.
166. World Health Organization. Optimal feeding of low-birth-weight infants:
technical review. Switzerland: WHO; 2006.
167. Underwood M. Human milk for the premature infant. Pediatr Clin North Am
2013;60:189-207.
168. Young L, Morgan J, McCormick F, McGuire W. Nutrient-enriched formula versus
standard term formula for preterm infants following hospital discharge. Cochrane
Database Syst Rev 2012 3.
169. Corvaglia L, Rotatori R, Ferlini M, Aceti A, Ancora G, Faldella G. he effect of body
positioning on gastroesophageal reflux in premature infants: Evaluation by combined
impedance and pH monitoring. J Pediatr 2007;151:591-6.
170. Fusch C, Jochum F. Water, sodium, potassium and chloride. . Karger Publisher.
2014(p.99-120).
171. Kashyap S, Ohira-Kist K, Abildskov K, Towers H, Sahni R, Ramakrishnan R, et al.
Effects of quality of energy intake on growth and metabolic response of enterally fed
lowbirth-weight infants. Pediatr Res. 2001;50(3):390.
172. Johnson PRomipnfnicpNN-. Review of macronutrients in parenteral nutrition for
neonatal intensive care population. NN. 2014;33(1):29-34.
173. Nutrition C. Nutritional needs of the preterm infant. In: Kleinrnan RE e,
editor. .Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2009.
174. Bauer J, Werner C, Gerss J. Metabolic rate analysis of healthy preterm and
fullterm infants during the first weeks of life Am J Clin Nutr. 2009;90(6):1517-24.
175. Embleton N. Optimal protein and energy intakes in preterm infants. Early Hum
Dev. 2007;83(12):831-7.
176. Thureen P. Early aggressive nutrition in the neonate. Pediatr Rev.
1999;20(9):e45e55.
177. Denne S. editor Protein and energy requirements in preterm infants. Semin
Fetal. 2001;Elsevier.
178. Adamkin D. Pragmatic approach to in-hospital nutrition in high-risk neonates. J
Perinatol. 2005;25(S2):S7.
179. Adamkin D. Nutrition management of the very low-birth weight infant. Total
parenteral nutrition and minimal enteral nutrition Neonatology Reviews. 2006;7:e602-
e7. 180. Velaphi S. Nutritional requirements and parenteral nutrition in preterm infants.
South African Journal of Clinical Nutrition. 2011;24(3):S27-S31.
181. Kleinman R, Greer F. Nutritional needs of the preterm infant. In: Kleinman RE GF,
editors., editor. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics2014.
182. Agostoni C, Buonocore G, Carnielli VDC, M., Darmaun D, Decsi T, et a. ESPGHAN
Committee on Nutrition. Enteral nutrient supply for preterm infants: commentary from
613
the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition
Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50(1):85-91.
183. Darlow B, Graham P. Vitamin A supplementation to prevent mortality and
shortand long-term morbidity in very low birthweight infants. Cochrane Database Syst
Rev. 2011;10:(10).
614
00.12 Administration of inhaled nitric Significant, IV
oxide Nitric oxide therapy major
615
minor *)
Emergency procedure
Minor
Minor
39 39.92 Injecting sclerosing agent into Significant, II, III, IV
vein major
54 54.9 Other operations of abdominal
54.91 region
Percutaneous abdominal Significant, II, III, IV*)
drainage minor *)
Emergency procedure
Paracentesis
57 Operation on urinary bladder
57.1 Cystostomy
57.17 Percutaneous cystostomy
- Closed cystostomy Minor II, III, IV
- Percutaneous Minor II, III, IV
suprapubic cystostomy
67 Operation on cervix
67.32 Destruction of lesion of cervix by Significant,
cauterization minor
75 75.32 Cardiotopography Significant, II, III, IV
Minor
88 88.7 Diagnostic ultrasound, includes
88.71 echography Head and neck Significant, III, IV
- Determination of midline minor
shift of brain III, IV
88.72 - EEG Significant,
Echocardiography minor III, IV
Diagnostic ultrasound of gravid III, IV
uterus Significant,
88.78 minor
Significant,
minor
89 Interview, evaluation, Minor I, II, III,
consultation and examination IV
96 Non-operative intubation
and irrigation
96.01 Insertion of Minor I*), II, III, IV
96.02 nasopharyngeal airway
Insertion of
oropharyngeal airway, Significant, I*), II, III, IV
96.05 include laryngeal mask airway minor I*), II, III, IV
96.07 (LMA) Significant,
Other intubation and extubation minor I*), II, III, IV
96.08 of respiratory
Tract Minor II, III, IV
96.09 Insertion of other (naso/ oro-) II, III, IV
96.55 gastric tube Minor II, III, IV
617
hours or more ® Significant,
major
618
99 Other non-operative procedures
99.0 Transfusion of blood and blood Significant, II, III, IV
components minor
Use additional code for that
done via catheter or cutdown
99.00 (38.92- 38.94) II, III, IV
Perioperative autologous Significant,
transfusion of whole blood or minor
blood components
99.01 II*), III, IV
Exchange transfusion
Transfusion: exsanguination
Significant,
replacement
99.02 minor II, III, IV
Transfusion of previously
collected autologous blood
Blood component Significant,
99.03 II, III, IV
Other transfusion of whole minor
blood Transfusion: blood
hemodilution
Transfusion of packed cells Significant,
99.04 Transfusion of platelets II, III, IV
99.05 minor
Transfusion of thrombocytes
Transfusion of coagulation II, III, IV
99.06 factors Transfusion of anti- II, III, IV
99.07 hemophilic factor
Significant,
Transfusion of other serum
minor II, III, IV
Transfusion of plasma
99.08 Transfusion of blood expander Significant,
Transfusion of Dextran minor
Significant, II, III, IV
minor
*)
Emergency procedure
Significant,
minor
Significant,
minor
619
substances
. Hyperalimentation
99.17 . Total parenteral II, III, IV
99.18 nutrition [TPN] II, III, IV
99.19 Peripheral Significant, II, III, IV
parenteral nutrition minor
[PPN] Significant,
Injection of insulin minor
Significant,
Injection or infusion of
minor
electrolytes
Injection of anticoagulant
620
99.8 Miscellaneous physical
99.81 procedures Hypothermia Significant, II*), III, IV
99.83 (central) (local) major
Other phototherapy: I, II, III, IV
99.84 Phototherapy of the newborn Significant, I, II, III, IV
Isolation minor
. Isolation after contact Minor
with infectious disease
. Protection of individual
from his surroundings/
surroundings from
individual *)
Emergency procedure
Start
DRG
621
LOS <5 d Yes
Yes 2501
And Sign or Maj or
Discharge type Procedure 2502
= (AX15PBX or
Died or Transfer 15 PDX)
2503
No or
Yes 2504
Minor
Procedure
No (AX15PCX)
or Other No
procedure Died 2505
for newborn
Discharge
type
Transfer
2506
Cardiothoracic (4)
procedure
(AX25PEX ) 2512
9
Sign Procedure
Yes
2507
Adm weight (AX15PBX
)
≥2500 g or
age ≤28 days Yes Maj Procedure 2508
without weight
adm
(AX15PDX
)
No
Minor Procedure
Yes 2509
(AX15PCX)
For Newborn
622
1
Yes Sign Procedure
Adm weight 2512
≥2000 g
Yes
Maj Procedure
2513
Yes
No 2514
Minor Procedure
Yes
Other Procedure 2515
Adm weight
≥1800 g
Yes
Maj Procedure xxxx
No
Yes
Other Procedure xxxx
Yes xxxx
Sign Procedure
Adm weight
Yes xxxx
≥1000 g Minor Procedure
Other Procedure
Yes
xxxx
For Newborn
2
725
Adm weight
≥700 g
2
Minor Procedure xxxx
Maj Procedure
xxxx
(AX15PDX
)
(AX15PCX)
For Newborn
STOP
624
ICD-10 Neonatal Diseases Coding
Code Description
A33 Tetanus neonatorum
P000 Fetus & newborn aff by mat H/T disrd
P001 Fetus & newborn aff by mat urinary dis
P002 Fetus & newborn aff by mat infect dis
P003 Fetus newborn aff oth mat circ resp dis
625
P004 Fetus & newborn aff mat nutrit disrd
P005 Fetus & newborn aff by maternal injury
P006 Fetus & newborn aff by maternal surgery
P007 Fetus newborn aff oth mat med proc NEC
P008 Fetus & newborn aff by oth mat cond
P009 Fetus & newborn affected by mat cond NOS
P010 Fetus & newborn aff incompetent cervix
P011 Fetus & newborn affected by PROM
P012 Fetus & newborn aff oligohydramnios
P013 Fetus & newborn aff polyhydramnios
P014 Fetus & newborn aff by ectop pregnancy
P015 Fetus & newborn aff by multiple preg
P016 Fetus & newborn aff by maternal death
P017 Fetus newborn aff malpres before labour
P018 Fetus & newborn aff by oth mat comp preg
P019 Fetus & newborn aff by mat comp preg NOS
P020 Fetus & newborn aff by placenta praevia
P021 Fetus & newborn aff oth placnt sep haem
P022 Fetus aff oth morph fn abn placenta
P023 Fetus & newborn aff placnt transfn syndr
P024 Fetus & newborn aff by prolapsed cord
P025 Fetus newborn aff oth compression umb
P026 Fetus & newborn aff oth cond umb cord
P027 Fetus & newborn aff by chorioamnionitis
P028 Fetus & newborn aff by oth abn membranes
P029 Fetus & newborn by aff abn membranes NOS
P030 Fetus & newborn aff by breech delivery
P031 Fetus newborn aff oth malpres in labour
P032 Fetus & newborn aff by forceps delivery
P033 Fetus & newborn aff by vacuum extract
P034 Fetus & newborn aff caesarean delivery
P035 Fetus & newborn aff precipitate delivery
P036 Fetus newborn aff abn uterine contrctn
P038 Fetus newborn aff oth spec comp labour
P039 Fetus newborn aff comp labour delv NOS
P040 Fetus & newborn aff mat anaes analgesia
P041 Fetus newborn aff oth mat medication
P042 Fetus & newborn aff by mat use of tobacco
P043 Fetus & newborn aff by mat use of alc
P044 Fetus & newborn aff by mat use of drug of addiction
P045 Fetus & newborn aff by mat use of nutri chem subs
P046 Fetus & newborn aff by mat exposure to envir chem subs
P048 Fetus & newborn aff by oth mat noxious influ
626
P073 Other preterm infants
P080 Exceptionally large baby
P081 Other heavy for gestational age infants
P082 Post- term infant, not heavy for gest age
P100 Subdural hemorrhage d/t birth inj
P101 Cerebral hemorrhage d/t birth inj
P102 Intraventr hemorrhage d/t birth inj
P103 Subarch hem d/t birth inj
P104 Tentorial tear d/t birth inj
P108 Oth intracr lacerations & hemorrhages dt birth inj
P109 Unsp intracr lacerations & hemorrhages dt birth inj
P110 Cerebral edema dt birth inj
P111 Oth specified brain damage d/t birth inj
P112 Unspecified brain damage d/t birth inj
P113 Birth inj to facial nerve
P114 Birth inj to other cranial nerves
P115 Birth inj to spine & spinal cord
P119 Birth inj to CNS; unspec
P120 Cephalhematoma d/t birth inj
P121 Chignon d/t birth inj
P122 Epicranial subaponeurotic hemorrhage d/t birth inj
P123 Bruising of scalp d/t birth inj
P124 Monitoring inj of scalp of newborn
P128 Other birth inj to scalp
P129 Birth inj to scalp, unspec
P130 Fracture of skull d/t birth inj
P131 Other birth inj to skull
P132 Birth inj to femur
P133 Birth inj to other long bones
P134 Fracture of clavicle d/t birth inj
P138 Birth inj to oth prt of skeleton
P139 Birth inj to skeleton, unspec
P140 Erb’s paralysis d/t birth inj
P141 Klumpke’s paralysis d/t birth inj
P142 Phrenic nerve paralysis d/t birth inj
P143 Other brachial plexus birth inj
P148 Birth inj to oth parts of periph nerv sys
P149 Birth inj to oth parts of periph nerv sys, unspec
P150 Birth inj to liver
P151 Birth inj to spleen
P152 Sternomastoid inj d/t birth inj
P153 Birth inj to eye
P154 Birth inj to face
627
P211 Mild & moderate birth asphyxia
P219 Birth asphyxia, unspecified
P220 Resp distress syndrome of newborn
P221 Transient tachypnea of newborn
P228 Other resp distress of newborn
P229 Resp distress of newborn, unspec
P230 Congen pneumonia d/t viral agent
P231 Congen pneumonia d/t Chlamydia
P232 Congen pneumonia d/t staphylococcus
P233 Congen pneumonia d/t streptococcus gr B
P234 Congen pneumonia d/t E. coli
P235 Congen pneumonia d/t Pseudomonas
P236 Congen pneumonia d/t other tract agents
P238 Congen pneumonia d/t other organisms
P239 Congen pneumonia, unspec
P240 Neonatal aspiration of meconium
P241 Neonatal aspiration of amniotic fluid & mucus
P242 Neonatal aspiration of blood
P243 Neonatal aspiration of milk & regurgitated food
P248 Other neonatal aspiration syndromes
P249 Neonatal aspiration syndrome, unspec
P250 Interstitial emphysema orig in perinatal period
P251 Pneumothorax originating in perinat period
P252 Penumomediastinum orig in perinat period
P253 Penumopericardium orig in perinat period
P258 Oth conds rel interstit emphys orig in perinat period
P260 Tracheobronchial hemorr orig in perinat period
P261 Massive pulm hemorr orig in perinat period
P268 Oth pulm hemorr orig in perinat period
P269 Unspec pulm hemorr orig in perinat period
P270 Wilson-Mikity syndrome
P271 Bronchopulmonay dysplasia orig in perinat period
P278 Oth chronic resp dis orig in perinat period
P279 Unspec chr resp dis orig in perinat period
P280 Primary athelectasis of newborn
P281 Other & unspec atelectasis of newborn
P282 Cyanotic attacks of newborn
P283 Primary sleep apnea of newborn
P284 Other apnea of newborn
P285 Respiratory failure of newborn
P288 Oth specified resp conds of newborn
P289 Resp condition of newborn, unspec
P290 Neonatal cardiac failure
628
P352 Congenital herpesviral inf
P353 Congenital viral hepatits
P358 Other congen viral diseases
P359 Congen viral disease, unspec
P360 Sepsis of newborn d/t sterptococcus, gr B
P361 Sepsis of newborn d/t oth & unspec sterptococci
P362 Sepsis of newborn d/t Staphylococcus aureus
P363 Sepsis of newborn d/t oth & unspec staphylococci
P364 Sepsis of newborn d/t E coli
P365 Sepsis of newborn d/t anaerobs
P366 Other bacterial sepsis of newborn
P369 Bacterial sepsis of newborn, unspec
P370 Congenital tuberculosis
P371 Congenital toxoplasmosis
P372 Neonatal (disseminated) listeriosis
P373 Congenital falciparum malaria
P374 Other congenital malaria
P375 Neonatal candidiasis
P378 Oth spec cingen inf & parasitic dis
P379 Congen inf or parasitic disease, unspec
P38 Omphalitis of newborn w or w/o mild hemorr
P390 Neonatal infective mastitis
P391 Neonatal conjunctivitis & dacryocystitis
P392 Intra-amniotic infection of fetus , NEC
P393 Neonatal urinary tract infection
P394 Neonatal skin infection
P398 Oth spec inf specific to the perinatal period
P399 Infectn specific to the perinatal period, unspec
P500 Fetal blood loss from vasa previa
P501 Fetal blood loss from ruptured cord
P502 Fetal blood loss from placenta
P503 Hemorrhage into co-twin
P504 Hemorrhage into maternal circulation
P505 Fetal blood loss from cut end of co-twin’s cord
P508 Other fetal blood loss
P509 Fetal blood loss, unspecified
P510 Massive umbilical hemorrhages of newborn
P518 Other umbilical hemorrhages of newborn
P519 Umbilical hemorrhage of newborn, unspec
P520 Intraventic (nontraum) hemorr gr 1 fet newborn
P521 Intraventic (nontraum) hemorr gr 2 fet newborn
P522 Intraventic (nontraum) hemorr gr 3 fet newborn
P523 Unspec intraven (nontraum) hemorr fet newborn
629
P542 Neonatal rectal hemorrhage
P543 Oth neonatal gastrointest hemorrhage
P544 Neonatal adrenal hemorrhage
P545 Neonatal cutaneus hemorrhage
P546 Neonatal vaginal hemorrhage
P548 Oth spec neonatal hemorrhages
P549 Neonatal hemorrhage, unspec
P550 Rh isoimmunication of fet & newborn
P551 ABO isoimmunization of fet & newborn
P558 Oth hemolytic dis of fet & newborn
P559 Hemolytic disease of fet & newborn, unspec
P560 Hydrops fetalis d/t isoimmunization
P569 Hydrops fetalis d/t oth & unspec hemolytic dis
P570 Kernicterus d/t isoimmunization
P578 Other specified kernicterus
P579 Kernicterus, unspecified
P580 Neonat jaund d/t bruising
P581 Neonat jaund d/t bleeding
P582 Neonat jaund d/t infection
P583 Neonat jaund d/t polycythemia
P584 Neonat jaund d/t drg tox transm from moth orgiven nwbrn
P585 Neonat jaund d/t swallowed mat blood
P588 Neonat jaund d/t oth spec excess hemolysis
P589 Neonat jaund d/t excess hemolysis, unspec
P590 Neonat jaund assoc w preterm deliv
P591 Inspissated bile syndrome
P592 Neonatal jaund from oth & unspec hepatcellu damage
P593 Neonatal jaund from breast milk inhibitor
P596 Neonatal jaund from othr spec causes
P599 Neonatal jaund, unspecified
P60 Dissem intravasc coagul of fetus & newborn
P610 Transient neonatal trombocytopenia
P611 Polycythemia neonatorum
P612 Anemia of prematurity
P613 Congen anemia from fetal blood loss
P614 Other congenital anemias, NEC
P615 Transient neonatal neutropenia
P616 Oth transient neonatal dis of coagulation
P618 Oth specified perinatal hematological dis
P619 Perinatal hematological dis, unspec
P700 Syndrome of infant of moth w gest diabetes
P701 Syndrome of infant of a diabetic mother
P 702 Neonatal Diabetes Mellitus
630
P 714 Transitory neonatal hypoparatyhyroidism
P 718 Oth trns neonat dis calcium magns metab
P 719 Trns neonat disrd calcm magns metab NOS
P 720 Neonatal goitre NEC
P 721 Transitory neonatal hyperthyroidism
P 722 Oth trns neonat disrd thyroid fn NEC
P 728 Oth spec trns neonatal endocrine disrd
P 729 Transitory neonatal endocrine disrd NOS
P 740 Late metabolic acidosis of newborn
P 741 Dehydration of newborn
P 742 Disturb of sodium balance of newborn
P 743 Disturb of potassium balance of newborn
P 744 Oth transitory electrolyte disturbance of newborn
P 745 Transitory tyrosinemia of newborn
P 748 Oth transit metabol disturbance of newborn
P 749 Transitory metabol disturb of newborn, unspec
P 75 Meconium ileus
P 760 Meconium plug syndrome
P 761 Transitory ileus of newborn
P 762 Intestinal obstruction due to inspissated milk
P 768 Intestinal obstruction of newborn, unspec
P 77 Necrotizing enterocolitis of fetus & newborn
P 780 Perinatal intestinal perforation
P 781 Other neonatal peritonitis
P 782 Neonatal hematemesis and melena d/t swallowed matern blood
(Neonatal hematemesis and melena due to swallowed maternal
blood)
P 783 Noninfecctive neonatal diarrhea
P 788 Other specified perinatal digestive system disorders
P 789 Perinatal dig sys dis, unspec
P 800 Cold inj syndrome
P 808 Other hypothermia of newborn
P 809 Hypothermia of newborn, unspec
P 810 Environmental hyperthermia of newborn
P 818 Other spec disturb of temp regulation of newborn
P 819 Disturbance of temp regul of newborn
P 830 Sclerema neonatorum
P 831 Neonatal erythem nodosum
P 832 Hydrops fetalis not due to hemolytic dis
P 833 Other & unsp edema spec to newborn
P 834 Breast engorgement of newborn
P 835 Congenital hydrocele
P 836 Umbilical polyp of newborn
631
P 915 Neonatal coma
P 916 Hypoxic-Ischemic encephalopathy of newborn
P 918 Other specified disturbance of cerebral status of newborn
P 919 Disturbance of cerebral status of newborn, unspec
P 920 Vomiting in newborn
P 921 Regurgitation and Rumination of newborn
P 922 Slow feeding of newborn
P 923 Underfeeding of newborn
P 924 Overfeeding of newborn
P 925 Neonatal difficulty in feeding at breast
P 928 Other feeding problem of newborn
P 929 Feeding problem of newborn, unspec
P 93 Reactions and intoxications due to drugs administered to
newborn
P 940 Transient neonatal myasthenia gravis
P 941 Congenital hypertonia
P 942 Congenital hypotonia
P 948 Other dis of muscles tone of newborn
P 949 Dis muscles tone of newborn, unspec
P 960 Congenital renal failure
P 961 Neonatal withdrawal symptoms from maternal use of drugs of
addiction
P 962 Withdrawal symptoms from therapeutic use of drugs in
newborn
P 963 Wide cranial sutures of newborn
P 965 Complication to newborn due to (fetal) intrauterine procedure
P 968 Other specified conditions originating in the perinatal period.
P 969 Condition originating in the perinatal period, unspecified.
O 660 Obstructed labor due to shoulder dystocia.
O 661 Fetal hydantoin syndrome
O 662 Obstructed labor due to unusually large fetus
O 666 Obstructed labor due to other multiple fetuses
O 675 Other specific joint derangements left foot, not elsewhere
classified.
O 894 Conjoined twins
O 897 Multiple congenital malformations NEC
O 898 Other specified congenital malformations
O 899 Congenital malformations unspec
Z 380 Single liveborn infant, born in hospital
Z 381 Single liveborn, unspec as to place of birth
Z 383 Twin, born in hospital
Z 384 Twin, born outside hospital
Z 385 Twin, unspec as to place of birth
Z 386 Other multiple, born in hospital
Z 387 Other multiple, born outside hospital
Z 388 Other multiple, unspec as to place of birth
632
633