Anda di halaman 1dari 1299

BUKU PANDUAN PELAYANAN NEONATAL

UKK NEONATOLOGI PP IDAI

Edisi pertama
2018

Penyunting:
Adhi Teguh Perma Iskandar
Kartika Darma Handayani
Rocky Wilar
Setyadewi Lusyati
Tetty Yuniati
Toto Wisnu Hendrarto
Tunjung Wibowo

TIM PENYUSUN

KONTRIBUTOR
1. Dr. R. Adhi Teguh Perma Iskandar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
2. Dr. Agnes Yunie Purwita Sari, SpA(K)
Bagian Neonatologi RS Persahabatan Jakarta
3. Dr. Agus Harianto, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya 4. Dr. Akira Prayudijanto, SpA

1
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
5. Dr. Andhika Tiurmaida Hutapea, SpA(K) Bagian Neonatologi RSUD Cengkareng
6. Dr. Aris Primadi, SpA(K)
Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung
7. Dr. Arum Gunarsih, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSU Tangerang Selatan
8. Dr. Desiana Nurhayati, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSU Bunda Margonda Depok
9. Dr. Dina Angelika, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
10. Dr. Distyayu Sukarja, SpA
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
11. Dr. Ellen R Sianipar, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD Pasar Rebo Jakarta
12. Dr. Firaz Alfarizi Alkaff, SpA
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
13. Dr. Gatot Irawan Sarosa, Sp.A(K)
Bagian Neonatologi RSUP dr. Kariadi Semarang

14. Dr. Indrayady, SpA(K)


Bagian Neonatologi RSUP dr. Moh. Hoesin Palembang
15. DR. Dr. Johanes Edy Siswanto, SpA (K)
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
16. Dr. Johnwan Usman, SpA
RS. Hermina Kemayoran Jakarta
17. Dr. Kartika Darma Handayani, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
18. Dr. Lily Rundjan,SpA(K)
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
19. Dr. Lucia Nauli Simbolon, SpA
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta 20. Dr. Mahendra Tri Arif
Sampurna, SpA

Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya


21. DR. Dr. Martono Tri Utomo, SpA(K)

2
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
22. DR. Dr. Rinawati Rohsiswatmo, SpA(K) Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
23. DR. Dr. Risa Etika, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
24. Dr. Rizalya Dewi, Sp.A(K)
Bagian Neonatologi RSIA Budhi Mulia Pekanbaru
25. DR. Dr. Rocky Wilar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP Prof Kandou
26. Dr. Setyadewi Lusyati, SpA(K)., PhD
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta

27. Dr. Setya Wandita, M.Kes, SpA(K)


Bagian Neonatologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
28. DR. Dr. Tetty Yuniati, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung
29. Dr. Thomas Harry Adoe, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD Kota Bekasi
30. DR. Dr Toto Wisnu Hendrarto, SpA(K)., DTM&H UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
31. Dr. Tunjung Wibowo, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
32. Dr. Vinny Yoana, SpA
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
33. Dr. Yanti Susianti, SpA(K)
FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3
PENYUNTING
1. Dr. R. Adhi Teguh Perma Iskandar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
2. Dr. Kartika Darma Handayani, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUD dr .Sutomo Surabaya
3. DR. Dr. Rocky Wilar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP Prof Kandou
4. Dr. Setyadewi Lusyati, SpA(K)., PhD
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
5. DR. Dr. Tetty Yuniati, SpA(K)
IDAI, UKK Neonatologi
Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung
6. DR. Dr Toto Wisnu Hendrarto, SpA(K)., DTM&H UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
7. Dr. Tunjung Wibowo, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta

DIBANTU OLEH:
Tim Sekretariat UKK Neonatologi 2017 – 2020:
• dr. Chindy Arya Sari
• dr. Reza Latumahina

4
• dr. Dilla Aprilia
• dr. Ferry Liwang
• dr. M. Reza Syahli
KATA SAMBUTAN

Kata Sambutan
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan
karunia-Nya kita masih diberikan kesempatan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di
bidang Ilmu Kesehatan Anak. Selamat dan terima kasih kami ucapkan kepada Unit Kerja Koordinasi
Neonatologi IDAI yang telah menyelesaikan Buku Panduan Pelayanan Neonatal.
Dalam upaya mencapai tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, IDAI berusaha
melaksanakan program untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak Indonesia. Berbagai
bentuk usaha harus dilakukan untuk menyelaraskan tujuan SDG, yaitu mengurangi kematian bayi
hingga 12 per 1.000 kelahiran hidup dan kematian dibawah usia 5 tahun hingga paling rendah 25 per
1.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Fokus lainnya terkait pelayanan neonatal yang dimaksud
adalah dengan mengurangi 1/3 kematian prematur dari penyakit tidak menular.
Target IDAI saat ini yang juga sesuai dengan fokus program Asia Pacific Pediatric Association
(APPA) adalah mengenai periode seribu hari pertama kehidupan, penyakit tidak menular,
tuberkulosis dan kehamilan pada remaja. Seribu hari pertama kehidupan merupakan periode yang
penting sebagai fondasi untuk mengoptimalkan kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan anak.
Mengingat angka kematian neonatus di Indonesia menyumbang lebih dari setengah kematian bayi
(59,4%), acuan mengenai sistem pelayanan neonatus di fasilitas kesehatan sangat diperlukan. Adanya
pelayanan kesehatan yang terstandardisasi dapat membantu untuk menurunkan angka kematian
neonatal.
Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah berkurang
dari 10,2 persen pada tahun 2013 menjadi 6,2% pada tahun 2018. Bayi berat lahir rendah merupakan
salah satu faktor yang memegang peran penting dalam kematian neonatal dengan kematian utamanya
akibat prematuritas, infeksi, asfiksia dan hipotermi. Penanganan awal mengenai hal itu akan tertuang
dalam Buku Panduan Pelayanan Neonatal. Buku ini merupakan panduan dalam pelayanan kesehatan
di bidang neonatus meliputi kompetensi tenaga medis, kebutuhan fasilitas, alat dan obat-obatan serta
panduan prosedur klinis yang telah dibuat dan disusun oleh para ahli dibidangnya.
Ucapan terima kasih dan penghargaan kami berikan kepada seluruh kontributor yang turut serta
membantu dalam penyelesaian buku pedoman ini. Semoga buku ini dapat menjadi panduan dalam
praktik klinis dokter guna menurunkan angka kematian bayi di Indonesia. Bersama kita bisa
meningkatkan kesehatan generasi penerus bangsa.
Jakarta, Februari 2019
Ketua Umum PP IDAI

DR. Dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP

5
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas izinNya, Buku Panduan Pelayanan
Neonatal Unit Kerja Koordinasi (UKK) Neonatologi PP IDAI ini dapat diterbitkan. Panduan ini
merupakan salah satu rujukan dasar bagi unit pelayanan intensif neonatal di Indonesia menuju
standarisasi pelayanan neonatus berkualitas. Tidak mudah mencapai standarisasi pelayanan
neonatal di Indonesia karena adanya disparitas yang luas mulai dari jumlah dokter spesialis anak
dan konsultan neonatologi, kelengkapan fasilitas unit pelayanan intensif neonatal serta alat antar
satu rumah sakit dengan rumah sakit yang lain, di berbagai wilayah di Indonesia.
Adanya perbedaan kapasitas layanan neonatus dari satu daerah dengan daerah lain
memerlukan pembagian tingkat kemampuan yang mampu laksana. Atas dasar tersebut panduan
cetakan pertama ini memodifikasi panduan American Academy of Pediatric (AAP) tahun 2012
yang berlandaskan pada konsep regionalisasi Toward Improving the Outcome of Pregnancy
III (TIOP III), yaitu pada pembagian tingkat layanan neonatus menurut AAP tahun 2004 (TIOP II).
Keadaan tersebut disesuaikan dengan kapasitas rumah sakit di Indonesia menurut Peraturan

6
Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PMK RI) nomor 56 tahun 2014 tentang Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit.
Panduan ini juga menjelaskan kodifikasi diagnosis dan prosedur di bidang Neonatologi
sebagai upaya memperkenalkan sistem pembiayaan kesehatan di era Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) saat ini. Inti dari panduan ini adalah tiga Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
yang sudah disahkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan Panduan Praktik Klinis (PPK)
yang disusun oleh tim UKK Neonatologi sebagai rujukan di tiap unit pelayanan neonatus.

Hasil dari upaya menuju standarisasi pelayanan neonatus adalah tercapainya kualitas
pelayanan neonatal di Indonesia menuju ke tingkat yang lebih baik, sehingga diharapkan dapat
membantu upaya penurunan angka kematian di Indonesia pada angka 9 per 1000 kelahiran hidup di
tahun 2025. Upaya tersebut harus dilaksanakan bersama dan serentak di bawah koordinasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kem Kes RI) melalui program Rangkaian Aksi Nasional
(RAN) Neonatal yang terdiri dari upaya tercapainya cakupan pelayanan neonatal berkualitas,
intervensi klinis untuk menurunkan kematian neonatus mulai dari tatakelola klinis ibu hamil dan
bersalin sampai pada penanganan neonatus sakit, yang mengikut sertakan peran orang tua,
keluarga dan masyarakat.

Sudah tentu panduan ini masih jauh dari sempurna, dan sudah seharusnya secara periodik
direvisi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Neonatologi
minimal dua tahun sekali. Semoga buku panduan ini bermanfaat terutama untuk para dokter
spesialis anak yang bertanggung jawab atas tatakelola klinis, untuk pengelola tatakelola manajemen
di fasilitas kesehatan dan pemangku kebijakan dalam menentukan tatakelola program dalam sistem
layanan neonatus di Indonesia. Dan pada kesempatan ini diucapkan terima kasih untuk seluruh
keluarga besar UKK Neonatologi yang dengan ikhlas meluangkan waktunya menyusun buku
panduan ini.

Jakarta, November 2018

Dr. Toto Wisnu Hendrarto, dr., SpA(K)., DTM&H Ketua UKK Neonatologi, PP IDAI
DAFTAR SINGKATAN

AAP American Academy of Pediatrics

AC Assist Control

ACCEPT Assesment, Control, Communication, Evaluation, Preparation


Transportation ,

ACOG American College of Obstetric and Gynaecology

ADH Antidiuretic Hormone

aEEG Amplitude Integrated Electroencephalography

AGD Analisis Gas Darah

AGREE II Appraisal of Guidelines for Research & Evaluation II

AHA American Heart Association

7
AIDS Acquired Immuno Deficiency Syndrome

AKB Angka Kematian Bayi

ALT Alanin Aminotransferase

APTT Activated Partial Tromboplastin Time

ASD Atrial Septal Defect

ASI Air Susu Ibu

AST Aspartate Aminotransferase

ATM Aset Tenaga Manusia

BAER Brainstem Auditory Evoked Responses

BBL Berat Badan Lahir

BBLASR Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah

BBLR Bayi Berat Lahir Rendah

BBLSR Bayi Berat Lahir Sangat Rendah

BIND-M Bilirubin Induced Neurological Dysfunction-Modified

BKB Bayi Kurang Bulan

BMK Besar Masa Kehamilan

BMS Balon Mengembang Sendiri

BPD Bronchopulmonary Dysplasia

BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

BTMS Balon Tidak Mengembang Sendiri

BUN Blood Urea Nitrogen

CAB Clinical Advisory Board

COX inhibitors Cyclo-oxygenae inhibitors

CPAP Continuous Positive Airway Pressure


CP Clinical Pathway
CRP C-Reactive Protein
CRT Capillary Refill Time
CSS Cairan Serebrospinal
CT-Scan Computed Tomography Scan
DIC Disseminated Intravascular Coagulation
DM Diabetes Melitus
DMG Diabetes Melitus Gestasional

8
DPJP Dokter Penanggung Jawab Pasien
DPM Dewan pertimbangan Medis
D10W Dektrosa 10%
D12,5W Dektrosa 12,5%
D15W Dektrosa 15%
EBM Evidence Based Medicine
ECMO Extracorporeal Membrane Oxygenationn
EEG Electroencephalography
EKG Elektrokardiografi
ET Expiration time
ETT Endotracheal Tube
FFP Fresh Frozen Plasma
FFS Fee For Services
FiO2 Fraksi Oksigen
FIRS Fetal Inflammatory Response Syndrome
FJ Frekuensi Jantung
FKTP Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
FKRTL Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
G6PD Glucose-6-Phospatase Dehydrogenase
GD Glukosa Darah
GDS Glukosa Darah Sewaktu
GIR Glucose Infusion Rate
GIT Gastrointestinal Tract
GLUT-1 Glucose Transporter-1
HDN Hemorrhagic Disease of the Newborn
HIE Hypoxic Ischemic Encephalopathy (Ensefalopati Hipoksik
Iskemik)

HIV Human Immunodeficiency Virus


HMF Human Milk Fortifier
HSV Herpes Simplex Virus
HTA Health Technology Assessment
IFN Interferon
IGD Instalasi Gawat Darurat
IK Interval Kepercayaan
ILCOR The International Liaison Committee on Resuscitation
IMD Inisiasi Menyusu Dini
INA-DRG Indonesia Diagnosis Related Group
INA-CBG Indonesia Case Based Group

9
IT Inspiration time
ITP Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
IUGR Intrauterine Growth Retardation
IVH Intraventricular Hemorrhage (perdarahan
intraventrikular)
IVIg Intavenous Immunoglobulin
IWL Insensible Water Loss
JKN Jaminan Kesehatan Nasional
KLB Kejadian Luar Biasa
KMC Kangaroo Mother Care
KMK Kecil Masa Kehamilan
KPD Ketuban Pecah Dini
KSD Kernicterus Spectrum Disorder
LBP Lipopolysacharide-Binding Protein
LFT Liver Function Test
LJ Laju Jantung
MAP Mean Arterial Pressure
MAS Meconium Aspiration Syndrome
MDGs Millenium Development Goals
MODS Multiple Organ Dysfunction Syndrome
MRI Magnetic Resonance Imaging
NAP Natriuretic Atrial Peptide
NAIT Neonatal Alloimmunie Thrombocytopenia
NCC National Casemix Center
NCPAP Nasal Continuous Positive Airway Pressure

NEC Necrotizing Enterocolitis


NETS Newborn Amergency Transport Service
NGT Naso Gastric Tube
NICE National Institute for Health and Care Excellence
NICHD The Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and
Human
Development
NICU Neonatal Intensive Care Unit
NIPPV Nasal Intermittent Positive Pressure Ventilation
NIRS Near Infrared Spectroscopy
NNH Number Needed to Harm
NNT Number Needed to Treat to Benefit
NO Nitric Oxide
NRP Neonatal Resuscitation Program

10
nRBC nucleated Red Blood Cell
NRM Non-rebreathing mask
OGT Oro Gastric Tube
PaO2 Tekanan Parsial Oksigen arteri
PCT Procalcitonin
PCV Polisitemia Vera
PDA Patent Ductus Arteriosus
PDVK Perdarahan akibat Defisiensi Vitamin K
PEEP Positive End Expiratory Pressure
PES Pediatric Endocrine Society
PIP Peak Inspiratory Pressure
PJB Penyakit Jantung Bawaan
PJT Pertumbuhan Janin Terhambat
PMK Peraturan Menteri Kesehatan
PMK Perawatan Model Kanguru
PNPK Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
PPHN Persistent Pulmonary Hipertension of the Newborn
PPK Panduan Praktik Klinis
PT Prothrombin Time
PRC Packed Red Cell
PVL Periventricular Leukomalacia (leukomalasia periventrikular)
RAN Rangkaian Aksi Nasional

RDS Respiratory Distress Syndrome


RO Rasio Odds
ROP Retinopathy of Prematurity
RR Respiratory Rate
SAA Serum Amiloid-A
SDGs Sustainable Developmental Goals
SDKI Survei Demografi Kesehatan Indonesia
SEP Surat Eligibilitas Peserta
SHC Selective Head Cooling
SIGN Scottish Intercollegiate Guidelines Network
SIMV Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation
SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga
SLE Systemic Lupus Erythematosus
SpO2 Saturasi Oksigen
SSP Susunan Syaraf Pusat
STABLE Sugar, Temperature, Airway, Blood Pressure, Lab work, and

11
Emotional support
STOP-ROP Supplemental Therapeutic Oxygen for Prethreshold Retinopathy of
Prematurity
TAR Trombocytopenia Absent Radius
TcB Transcutaneus Bilirubin
TEF Tracheaoesophageal fistula
TGA Transposition of Great Arteries
TIOP Toward Improving the Outcome of Pregnancy
TKMKB Tim Kendali Mutu Kendali Biaya
TMI Transient Myocardial Ischaemia
TMR Transient Tricuspid Regurgitation
TNF Tumor Necrosis Factor
TOF Tetralogy of Fallot
TORCH Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus Herpes Simplex Virus and
other disease

TSB Total Serum Bilirubin


TTN Transient Tachypnea of the Newborn
UDCA Ursodeoxycholic acid
USAID US Agency for International Development
USG Ultrasonography
WBC Whole Body Cooling
WHO World Health Organization
VATER Vertebral defect, Anal atresia, Tracheoesophageal fistula with
Esophageal atresia, Radial/Renal anomaly

Vedika Verifikasi di Kantor


VILI Ventilator Induced Lung Injury
VKDB Vitamin K Deficiency Bleeding
VSD Ventricular Septal Defect
VTP Ventilasi dengan Tekanan Positif

12
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN..............................................................................................................ii
KATA SAMBUTAN........................................................................................................vi
KATA PENGANTAR....................................................................................................viii
DAFTAR SINGKATAN....................................................................................................x
DAFTAR ISI...................................................................................................................xvi
DAFTAR TABEL.........................................................................................................xviii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................xix
RINGKASAN EKSEKUTIF............................................................................................xx
BAB I PANDUAN TINGKAT PELAYANAN NEONATUS...........................................1
1.1 Pendahuluan.................................................................................................................1
1.2 Batasan tingkat pelayanan neonatus.............................................................................3
1.3 Uraian unit layanan sesuai dengan tingkat kompetensinya...........................................6
1.3.1 Unit layanan neonatus tingkat I (di fasilitas kesehatan primer/ puskesmas, fasilitas kesehatan
sekunder/ ruang rawat gabung rumah sakit)....................................................................6
1.3.2 Unit layanan neonatus tingkat II (di fasilitas kesehatan sekunder/ rumah sakit)...12
1.3.3 Unit layanan neonatus tingkat III (di fasilitas kesehatan tersier/ rumah sakit)......22
1.4 Uraian panduan prosedur registri morbiditas, mortalitas dalam pengelolaan rekam medik pasien;
manajemen ATM; manajemen fasilitas, alat kesehatan dan obat-obatan..........................31
BAB II KODIFIKASI DIAGNOSIS DAN PROSEDUR NENATOLOGI.......................34
2.1 Rujukan berjenjang.....................................................................................................34
2.2 Sistem pembiayaan JKN.............................................................................................35
2.3 Proses klaim, persyaratan dan permasalahannya........................................................39
2.4 Manfaat rekam medis.................................................................................................44

13
BAB III PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN..............................47
1. PNPK BBLR: Resusitasi, Stabilisasi dan Transport Neonatus.....................................48
2. PNPK Asfiksia Neonatorum.......................................................................................193
3. PNPK Hiperbilirubinemia..........................................................................................356
BAB IV PANDUAN PRAKTIK KLINIS......................................................................473
4.1 Kriteria rawat inap dan keluar dari rumah sakit........................................................473
4.2 Komunikasi interpersonal dan konseling..................................................................478
4.3 Penilaian fisik...........................................................................................................483
4.4 Dampak penyakit ibu pada neonatus........................................................................496
4.5 Kelainan bawaan yang sering ditemui pada neonatus...............................................506
4.6 Trauma lahir.............................................................................................................514
4.7 Resusitasi neonatus...................................................................................................519
4.8 Pedoman stabilisasi neonatus...................................................................................529
4.9 Transportasi neonatus...............................................................................................537
4.10 Asfiksia perinatal dan HIE......................................................................................546
4.11 Kejang pada neonatus.............................................................................................552
4.12 Transient tachypnea of newborn (TTN).................................................................559
4.13 Respiratory distress syndrome (RDS)....................................................................562
4.14 Meconium aspiration syndrome (MAS).................................................................565
4.15 Pneumonia pada neonatus.......................................................................................569
4.16 Air leak syndrome...................................................................................................572
4.17 Apnea of prematurity..............................................................................................575
4.18 Terapi oksigen........................................................................................................578
4.19 CPAP......................................................................................................................583
4.20 Ventilasi invasif......................................................................................................595
4.21 Bayi kurang bulan dan PJT.....................................................................................604
4.22 Asuhan kontak kulit dengan kulit...........................................................................615
4.23 Kangaroo Mother Care (KMC)..............................................................................618
4.24 Termoregulasi neonatus..........................................................................................628
4.25 Hipoglikemia pada neonatus...................................................................................635
4.26 Hiperbilirubinemia pada neonatus..........................................................................641
4.27 Anemia pada neonatus............................................................................................646
4.28 Polisitemia neonatorum.........................................................................................651
4.29 Trombositopenia pada neonatus.............................................................................654
4.30 Hemorrhagic Disease of The Newborn (HDN) pada neonatus...............................657
4.31 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) pada neonatus.............................660
4.32 Pengendalian infeksi di Unit Perawatan Neonatus.................................................663
4.33 Sepsis Neonatorum.................................................................................................668
4.34 Syok pada neonatus................................................................................................673
4.35 Kelainan jantung yang sering ditemui pada neonatus.............................................676
4.36 Pemberian ASI di fasilitas kesehatan......................................................................680

14
4.37 Pemberian nutrisi enteral bagi neonatus.................................................................692
4.38 Tatalaksana nutrisi parenteral pada neonatus..........................................................699
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................706
4.1 Kesimpulan...............................................................................................................706
4.2 Saran.........................................................................................................................706
DAFTAR RUJUKAN....................................................................................................707
Lampiran 1. Kodifikasi diagnosis dan prosedur neonatologi..........................................717

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Batasan tingkat pelayanan neonatus TIOP II 1993 ..................................................... 4


Tabel 2. Parameter penilaian neurologis neonatus ................................................................. 487
Tabel 3. Parameter penilaian pernapasan neonatus .............................................................. 488
Tabel 4. Parameter penilaian kardiovaskular .......................................................................... 488
Tabel 5. Parameter penilaian gastrointestinal .......................................................................... 489
Tabel 6. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................... 559
Tabel 7. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................... 562
Tabel 8. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................... 565
Tabel 9. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................... 569
Tabel 10. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................ 572
Tabel 11. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................ 575
Tabel 12. Standar transfusi internasional ................................................................................. 650
Tabel 13. Rute pemberian nutrisi pada bayi prematur ......................................................... 694
Tabel 14. Frekuensi dan volume nutrisi enteral bayi prematur ............................................ 695
Tabel 15. Pemantauan laboratorium terkait pemberian nutrisi pada bayi prematur .... 696
Tabel 16.Nilai rujukan parameter biokimia pascarawat ...................................................... 697
Tabel 17. Pemantauan laboratorium terkait pemberian nutrisi pada bayi prematur .... 704

15
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Area cuci tangan ............................................................................................................ 9


Gambar 2. Area resusitasi ............................................................................................................... 11
Gambar 3. Ruang Transisi ................................................................................................................ 17
Gambar 4. Unit layanan neonatus tingkat III. Perbedaan di unit layanan tingkat II pada
tunjangan ventilasi non-invasif. ........................................................................................................ 20
Gambar 5. Area laktasi (contoh gambar ada wastafel, tempat duduk nyaman) ............... 21
Gambar 6. Trolley emergency.......................................................................................................... 26
Gambar 7. Area pencucian inkubator ........................................................................................... 31
Gambar 8. Kaidah penulisan resume medik ................................................................................ 43
Gambar 9. Klasifikasi neonatus berdasarkan maturitas dan pertumbuhan intrauterin ... 494
Gambar 10. Perkiraan usia kehamilan menurut maturitasnya .............................................. 495
Gambar 11. Algoritma resusitasi neonatus ............................................................................... 528
Gambar 12. Alur persiapan dan komunikasi proses rujukan bayi baru lahir .................... 531
Gambar 13. Mengukur panjang pipa ........................................................................................ 534
Gambar 14. Fiksasi pipa orogastrik ........................................................................................... 534
Gambar 15. Alogaritma tatalaksana kejang ........................................................................... 558
Gambar 16. Peralatan untuk pemberian oksigen.................................................................... 579
Gambar 17. Penggunaan BMS dengan atau tanpa reservoir .............................................. 581
Gambar 18. Inspirasi pendek saat pertukaran gas ................................................................ 598
Gambar 19. Akibat waktu ekspirasi terlalu pendek ............................................................... 598
Gambar 20. Oksigenasi selama dibantu ventilasi invasif ...................................................... 599
Gambar 21. Eliminasi CO2 selama dibantu ventilasi invasif ................................................. 600
Gambar 22. Posisi bayi untuk KMC ............................................................................................ 621
Gambar 23. Posisi bayi dalam KMC .......................................................................................... 621
Gambar 24. Memberikan ASI yang telah diperah menggunakan selang nasogastrik ... 625
Gambar 25. Kehilangan panas pada neonatus ....................................................................... 629
Gambar 26. Alogaritma tatalaksana hipoglikemia ................................................................ 639
Gambar 27. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi dengan usia
kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia kehamilan 35-36 minggu
dengan berat lahir ≥ 2500 gram berdasarkan kadar bilirubin
serum sesuai dengan usia (dalam jam) ....................................................................................... 644

16
RINGKASAN EKSEKUTIF

Standarisasi pelayanan neonatus merupakan kebutuhan saat ini agar percepatan penurunan angka
kematian neonatus (AKN) 9 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2025 dapat tercapai. Upaya kearah
tersebut juga diperlukan untuk mengatasi adanya disparitas jumlah dan kompetensi aset tenaga
manusia (ATM), fasilitas kesehatan serta alat kedokteran di berbagai wilayah di Indonesia. Upaya
standarisasi dilaksanakan dengan menghilangkan fragmentasi pelaksanaan sistem kesehatan
neonatal pada tatakelola program, manajemen dan klinis. Pada buku panduan ini diuraikan tingkat
pelayanan neonatus sebagai dasar pelaksanaan tatakelola manajemen di fasilitas kesehatan.
Disamping itu diuraikan pula kodifikasi diagnosis dan prosedur di bidang neonatologi sebagai bagian
dari sistem pendanaan di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang merupakan kesatuan dari
tatakelola program, manajemen dan klinis. Tatakelola klinis dibahas lebih rinci baik sebagai dasar
bagi panduan nasional maupun panduan di tiap fasilitas kesehatan yaitu dalam bentuk Panduan
Nasional Pelayanan Kesehatan (PNPK) dan Panduan

Praktik Klinis (PPK).


Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran di bidang Neonatal pada edisi pertama tahun 2018 buku
panduan ini baru menyampaikan tiga topik yang sudah resmi menjadi panduan nasional yaitu PNPK
bayi berat lahir rendah (BBLR) untuk Resusitasi, Stabilisasi dan Transport, PNPK Asfiksi Neonatus
serta PNPK Hperbilirubinemia. Panduan Praktik Klinis yang sudah tersusun oleh tim UKK
Neonatologi dengan format PP IDAI meliputi 38 topik, dimana PPK tersebut merupakan rujukan
dasar tatakelola klinis bagi fasilitas kesehatan yang harus direvisi minimal setiap dua tahun sekali
menurut basis bukti terbaru dan kapasitas yang dimiliki oleh masing-masing fasilitas kesehatan.

Pada lampiran diuraikan algoritma sistem pendanaan di era JKN ini yang masih merujuk pada
sistem kodifikasi ICD 9-CM untuk prosedur dan ICD 10 untuk diagnosis. Dengan demikian buku
panduan ini diharapkan dapat secara paripurna memberikan pedoman dalam pelaksananan
pelayanan di bidang neonatal.

17
BAB I PANDUAN TINGKAT PELAYANAN NEONATUS

1.1 Pendahuluan
Standarisasi pelayanan neonatus menjadi kebutuhan saat ini dengan semakin
berkembangnya kemampuan rumah sakit di seluruh Indonesia dalam melaksanakan
tugasnya. Unit kerja koordinasi (UKK) Neonatologi PP IDAI perlu menetapkan panduan
baku dalam sistem pelayanan tersebut, meliputi kompetensi aset tenaga mediknya,
fasilitas, alat dan obat-obatan yang digunakan serta panduan prosedur pelayanannya.

Tujuan dari buku ini adalah menetapkan acuan baku sistem pelayanan neonatus
di fasilitas kesehatan mulai dari tingkat primer di puskesmas (pelayanan neonatus
tingkat satu atau dasar), sekunder (pelayanan neonatus spesialistik di rumah sakit tipe
D dan tipe C menurut PMK No 604/MenKes/SK/VII/2008 tentang pedoman pelayanan
maternal perinatal pada rumah sakit kelas B, kelas C dan kelas D) dan tersier (pelayanan
neonatus subspesialistik di rumah sakit tipe B dan A). Peraturan menteri kesehatan
tersebut sudah waktunya direvisi karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan
pengetahuan saat ini. Dan untuk melengkapi peraturan tersebut disusun buku panduan
ini yang nantinyapun harus dievaluasi dan apabila perlu direvisi setiap tahun. Adapun
program Kementerian Kesehatan RI dalam pelayanan neonatal pada prinsipnya
mengacu pada Rangkaian Aksi Nasional di bidang neonatal (RAN-Neonatal) yang
memiliki tiga kerangka aksi yaitu cakupan pelayanan neonatal yang berkualitas,
intervensi klinis untuk kelangsungan hidup neonatus (tatakelola klinis kehamilan,
persalinan dan neonatus sakit) serta pemberdayaan partisipasi keluarga.

Kepentingan standarisasi adalah upaya mencapai cakupan pelayanan neonatal


berkualitas, menetapkan acuan dalam melaksanakan tugas pelayanan khususnya di
bidang neonatus sebagai bagian dari intervensi klinis dalam tatakelola neonatus sakit.
Tetapi karena adanya disparitas yang sangat luas di negara kita, maka pada saat ini
belum dapat dilakukan standarisasi secara baku. Oleh sebab itu, pada saat ini baru dapat
ditetapkan panduan minimal yang harus dilaksanakan dalam pelayanan di bidang
neonatus. Panduan minimal meliputi kompetensi aset tenaga medis, kebutuhan fasilitas,
alat dan obat-obatan serta panduan prosedur klinis yang harus dilakukan, sesuai
dengan:

• PMK No 604/MENKES/SK/VII/2008 tentang pedoman pelayanan maternal


perinatal pada rumah sakit kelas B, kelas C dan kelas D
• PMK No 1051/MENKES/SK/XI/2008 tentang pedoman penyelenggaraan PONEK
24 jam di rumah sakit
• PMK No 39 tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan program indonesia
sehat dengan pendekatan keluarga
• PMK No 43 tahun 2016 tentang standar pelayanan minimal bidang kesehatan.
Hasil dari panduan ini menuju kesamaan konsep dalam melaksanakan pelayanan
neonatus. Kesamaan konsep akan mendukung konsep rujukan regionalisasi (sesuai PMK
No HK.02.02/MENKES/391/2014 tentang pedoman penetapan rumah sakit rujukan

1
regional), dan ini sangat dibutuhkan oleh kondisi Indonesia yang sangat unik secara
geografis. Selain itu juga mendukung program Kementerian Kesehatan RI dalam
mengupayakan penurunan angka kematian neonatal 9 per 1000 kelahiran di tahun 2025.

1.2 Batasan tingkat pelayanan neonatus


Batasan tingkat pelayanan neonatus di Indonesia memodifikasi klasifikasi Toward
Improving the Outcome of Pregnancy I (TIOP I) pada Tabel 1 karena adanya
disparitas kemampuan rumah sakit di Indonesia. Pada pelayanan neonatus tingkat II,
modifikasi ditetapkan berdasarkan berat badan lahir. Pelayanan neonatus tingkat IIA
diperuntukan rumah sakit tipe D yang pada umumnya mempunyai kapasitas yang
hampir sama untuk melakukan perawatan pada bayi berat lahir 2000 gram, tingkat IIB
untuk rumah sakit tipe C yang pada umumnya mempunyai kapasitas merawat bayi berat
lahir 1800 gram. Pada pelayanan neonatus tingkat IIIA diperuntukkan pada rumah sakit
tipe B yang hanya memiliki pelayanan spesialistik luas, tingkat IIIB untuk rumah sakit tipe
B dengan kemampuan minimal spesialistik plus (mendapat pelatihan khusus di
bidangnya) atau subspesialistik terbatas. Pelayanan neonatus tingkat IIIC dan IIID adalah
rumah sakit tipe A yang memiliki kemampuan subspesialistik luas.

Tabel 1. Batasan tingkat pelayanan neonatus TIOP II 19931

Tingkat Pelayanan Uraian tingkat kompetensi dan kemampuan pelayanan

Layanan Neonatus Dasar Evaluasi dan perawatan pasca lahir neonatus bugar pasca
(tingkat I), Perawatan neonatus resusitasi
bugar Stabilisasi neonatus sakit sampai dilaksanakan proses
rujukan ke RS dengan tingkat layanan spesialistik.

Modifikasi di Indonesia:
• Mengupayakan pertolongan persalinan, janin dan
neonatus normal.

2
• Identifikasi tanda bahaya pada neonatus
• Resusitasi, stabilisasi dan transport neonatus
nonbugar/ sakit untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan
sekunder atau tersier sesuai regionalisasi wilayahnya.
• Perawatan neonatal esensial pada neonatus sehat

Layanan Neonatus Layanan neonatus dengan berat lahir 1500 gram


Spesialistik (tingkat II) Resusitasi dan stabilisasi bayi prematur bugar atau sakit
sampai dirujuk ke RS yang memiliki layanan
subspesialistik

Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe D (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIA, spesialistik terbatas).
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat I, ditambah:
• Layanan neonatus dengan batasan berat lahir 2000
gram dan usia kehamilan 36 minggu.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi non-invasif.
Rumah sakit tipe C (kompetensi dan kemampuan
layanan neonatus tingkat IIB, spesialistik luas).
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIA, ditambah:
• Layanan neonatus dengan batasan berat lahir 1800
gram dan usia kehamilan 35 minggu.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi invasif
dengan ventilator konvensional ≤5 hari untuk
stabilisasi neonatus sebelum dirujuk ke fasilitas
kesehatan tersier.
• Dapat melaksanakan tindakan bedah minor pada
neonatus.

Layanan Neonatus Unit atau fasilitas layanan intensif neonatus yang


Subspesialistik (tingkat III) membutuhkan tunjangan ventilasi mekanik.
Tingkat III A
Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe B (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIIA, spesialistik dengan pelatihan
tambahan manajemen neonatus tingkat III atau
subspesialistik terbatas, dokter spesialis lain).
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat
IIB, ditambah:
• Layanan neonatus dengan batasan berat lahir 1000
gram dan usia kehamilan 28 minggu.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi invasif dengan
ventilator konvensional.
• Dapat melaksanakan tindakan bedah major terbatas
(tindakan bedah spesialistik) pada neonatus.

Tingkat III B Unit layanan tingkat III A dengan kemampuan tambahan


dapat melaksanakan prosedur bedah major seperti
reparasi omfalokel, atresia trakeheo esophagus dengan
atau tanpa fistel, prosedur bedah saluran cerna neonatus,
reparasi mielomeningokel, dan pemasangan VP-shunt.
Tidak ada batasan usia kehamilan dan berat lahir.

Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe A (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIIA, subspesialistik/ konsultan
neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak
terbatas)
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIIA, ditambah:

3
• Layanan neonatus tanpa batas batasan berat lahir dan
usia kehamilan.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi invasif tidak
terbatas (ventilator konvensional, high frequency
ventilator, high frequency oscillator).
• Dapat melaksanakan tindakan bedah major tidak
terbatas (tindakan bedah subspesialistik) pada
neonatus.

Tingkat III C Unit layanan tingkat III B dengan kemampuan tambahan


dapat melaksanakan prosedur bedah jantung kompleks
yang tidak melaksanakan tindakan bypass kardiopulmonar
dan/ atau dengan ECMO.

Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe A (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIIB, subspesialistik/ konsultan
neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak
terbatas, fasilitas prosedur kardiotorasis terbatas)
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIIB, ditambah:
• Dapat melaksanakan prosedur kardiotorasis kompleks
yang tidak melaksanakan tindakan bypass
kardiopulmonal dan/ atau dengan ECMO.

Tingkat III D Unit layanan tingkat III C dengan kemampuan tambahan


dapat melaksanakan prosedur bedah jantung kompleks
dengan tindakan bypass kardiopulmonar dan/ atau dengan
ECMO.

Modifikasi di Indonesia:
Pusat rujukan nasional untuk neonatal terintegrasi dengan
Pusat Jantung Nasional (kompetensi dan kemampuan
layanan neonatus tingkat IIIC, subspesialistik/ konsultan
neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak
terbatas, fasilitas prosedur kardiotorasis lengkap)
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat
IIIC, ditambah:
• Dapat melaksanakan prosedur kardiotorasis kompleks
dengan tindakan bypass kardiopulmonal dan/ atau
dengan ECMO.

1.3 Uraian unit layanan sesuai dengan tingkat kompetensinya


1.3.1 Unit layanan neonatus tingkat I (di fasilitas kesehatan
primer/ puskesmas, fasilitas kesehatan sekunder/ ruang rawat
gabung rumah sakit)
1.3.1.1 Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti profesi
medis, bidan dan perawat.

A. Dokter

4
• Kompetensi: tingkat dasar untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap profesional di
bidang neonatologi, yaitu: o Tanda bahaya kedaruratan pada neonatus
o Resusitasi, stabilisasi dan transport neonatus tidak terbatas pada berat lahir dan
usia kehamilan.
o Manajemen neonatal esensial.
• Uraian tugas dan tanggung jawab: o Tatakelola klinis neonatus dengan tingkat
kompetensi dasar yang direkam dalam cacatan medis pasien.
o Tatakelola manajemen:
▪Pencatatan, pelaporan, kajian morbiditas dan mortalitas hasil aktivitas medis
yang telah dilakukan di unitnya untuk tindak lanjut perbaikan secara internal
unit pelayanan.
▪Perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas, alat kedokteran dan obat-
obatan kebutuhan di unitnya.
▪Penyusunan dan revisi/ updating panduan prosedur klinik di unitnya. o
Tatakelola program:
▪Pencatatan, pelaporan, kajian morbiditas dan mortalitas hasil aktivitas medis
yang telah dilakukan di unitnya untuk tindak lanjut perbaikan secara eksternal
berkolaborasi dan berkoordinasi lintas sektoral dalam satu sistem rujukan di
wilayah regionalnya, misalnya dalam kegiatan audit maternal peri-neonatal.
▪Perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas, alat kedokteran dan obat-
obatan kebutuhan di unitnya terintegrasi dalam sistem pengadaan layanan
kesehatan vertikal dari tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional.
▪Standarisasi panduan prosedur klinis secara regional maupun nasional.

B. Bidan dan perawat

• Kompetensi: tingkat dasar untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap profesional


asuhan keperawatan di bidang neonatologi, yaitu:
o Tanda bahaya kedaruratan pada neonatus
o Asistensi dalam melaksanakan resusitasi, stabilisasi dan transport neonatus tidak
terbatas pada berat lahir dan usia kehamilan.
o Asuhan keperawatan dalam manajemen neonatal esensial.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
o Tatakelola klinis dalam asuhan keperawatan neonatus dengan tingkat kompetensi
dasar yang direkam dalam cacatan medis pasien.

5
o Tatakelola manajemen:
▪Membantu dalam pencatatan, pelaporan, kajian morbiditas dan mortalitas hasil
aktivitas medis yang telah dilakukan di unitnya untuk tindak lanjut perbaikan
secara internal unit pelayanan.
▪Membantu dalam perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas, alat
kedokteran dan obat-obatan kebutuhan di unitnya.
▪Penyusunan dan revisi/ updating panduan asuhan keperawatan prosedur
klinik di unitnya.

1.3.1.2 Uraian fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan obatobatan

A. Area cuci tangan


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi area
Lokasi strategis dekat di sekitar pintu masuk lokasi neonatus ditempatkan, mudah
dijangkau tetapi tidak mengganggu lalu lintas baik pasien, petugas dan pengunjung.

1.2 Kebersihan harus terjaga dengan struktur yang mudah dibersihkan.


1.3 Pencahayaan terang dan nyaman
1.4 Ventilasi optimal dengan aliran udara bebas yang maksimal
1.5 Wastafel
Ukuran besar untuk menampung cipratan air saat melakukan cuci tangan, dengan
aliran air limbah yang lancer, memiliki kran yang dioperasikan dengan siku atau
lengan.

2. Mebel
2.1 Rak atau gantungan gaun bersih untuk petugas atau pengunjung.
2.2 Wadah gaun kotor setelah digunakan
2.3 Rak sepatu
2.4 Lemari untuk barang pribadi petugas atau pengunjung
2.5 Wadah limbah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
3. Bahan-bahan
3.1 Sabun
Tersedia sabun dalam jumlah cukup, dianjurkan sabun cair antibakteri dalam
dispenser dengan pompa.

3.2 Pengering
Harus tersedia pengering minimal kertas tisu habis pakai atau pengering elektronik.
Tidak dianjurkan pengering handuk

6
Gambar 1. Area cuci tangan

B. Area resusitasi, stabilisasi dan transport


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi area -
Lokasi:
o Di IGD: terletak diluar alur lalu lintas petugas dan pasien.
o Di ruang bersalin, lokasi harus sangat dekat dengan tempat menolong ibu
bersalin.
- Ukuran luas minimal 4 m2 untuk posisi meja resusitasi, di luar kebutuhan untuk meja
alat, sumber oksigen dan sumber udara serta peralatan lainnya.
1.2 Kebersihan terjaga setiap waktu dan siap pakai
1.3 Pencahayaan optimal menerangi area resusitasi
1.4 Ventilasi baik, dihindari adanya aliran udara.
1.5 Suhu ruangan dapat diatur sekitar 24-28ºC dengan kelembaban udara optimal
1.6 Steker listrik
Ruang harus dilengkapi paling sedikit enam steker yang dipasang dengan tepat untuk
peralatan listrik. Steker harus mampu memasok beban listrik yang diperlukan, aman
dan berfungsi baik.
2. Mebel
2.1 Meja resusitasi dengan penghangat (berupa lampu pijar 60 watt berjarak 60 cm dari alas
meja atau radiant warmer) lengkap, minimal memiliki:
- Lampu penerang sekaligus sebagai alat penghangat area resusitasi yang dapat diatur
suhunya.
- Matras yang cukup keras, bersih, kering dan mudah menyerap panas.
- Selimut alas yang bersih kering dan hangat
- Mudah dibersihkan dan dikeringkan, dengan bagian logam bebas berkarat.
2.2 Jam dengan fasilitas stop watch sebagai penunjuk waktu yang tepat dan berfungsi baik.

7
2.1 Selimut penghangat bayi atau plastik pembungkus bayi prematur lengkap dengan topinya,
kering, bersih dan hangat.
3. Fasilitas, alat dan obat-obatan
3.1 Meja untuk meletakan alat resusitasi dan obat-obatan
3.1 Perlengkapan jalan napas (air way):
- Alat penghisap lendir harus ada minimal alat penghisap lendir dinding atau portable
dengan segala kelengkapannya
3.2 Pasokan oksigen dan udara
- Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang
atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase
kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang
tersambung langsung ke blender.
- Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi.

Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan
diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah (low flowmeter) dan tinggi
(high flowmeter)

3.3 Alat bantu ventilasi:


Ventilasi non-invasif dengan segala kelengkapannya:
- t-piece resuscitator
- CPAP neonatus lengkap

3.4 Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:
3.4.1 Alat pembebas jalan napas:
- Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR
- Harus ada balon penghisap lendir atau mucous extractor untuk penghisapan lendir
sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan
- Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran
5FR dan 8FR.
- Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan
digunakan.
- Bola lampu laringoskop cadangan
- Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1
3.4.2 Alat pemberi oksigenisasi:
- Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik -
Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan -
Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif.
- Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan
gunting untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif.
3.4.3 Alat monitor
- Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable.
- Stetoskop bayi atau anak
3.4.4 Obat-obatan:
- Alat sunti/spuit 1cc; 2,5cc; 3cc; 5cc; 10cc; 20cc; 50cc
- Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000)
- Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL)
3.4.5 Alat penunjang sirkulasi dan cairan:
- Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap
- Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR -
Three-way stopcock
- Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate
- Topi
- Masker

1 3.5 Alat pelindung diri:

8
- Kaca mata google
- Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang
- Gaun plastic
- Sepatu pelindung

3.6 Pengatur suhu ruangan dan penghangat meja resusitasi:


- AC yang siap pakai suhu diatur antara 24-28ºC
- Termometer ruangan
- Penghangat (Radiant warmer) yang berfungsi dengan baik
- Topi bayi, selimut untuk pembungkus bayi, selimut untuk pembersih dan
selimut untuk alat, serta plastik untuk penghangat bayi prematur 3.7 Inkubator transport atau
kain/ gaun metode kanguru
3.8 Laboratorium penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium darah lengkap sederhana
- Pemeriksaan laboratorium gula darah

Gambar 2. Area resusitasi

1.3.2 Unit layanan neonatus tingkat II (di fasilitas kesehatan


sekunder/ rumah sakit)
1.3.2.1 Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti profesi
medis, bidan dan perawat.

9
A. Dokter spesialis anak
• Kompetensi: tingkat spesialistis untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap
profesional di bidang neonatologi.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
o Tatakelola klinis neonatus dengan tingkat kompetensi spesialistis yang direkam
dalam cacatan medis pasien.
o Tatakelola manajemen dan program: membantu melancarkan kinerja fasilitas
kesehatan dalam tatakelola manajemen neonatus dan kinerja sistem rujukan
neonatus di regional wilayah kerjanya.

B. Bidan dan perawat


• Kompetensi: tingkat spesialistis untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap
profesional asuhan keperawatan di bidang neonatologi.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
Membantu dokter spesiais dalam tatakelola klinis, manajemen progran di unit
layanan neonatus tingkat II di rumah sakit.

1.3.2.2 Uraian fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan obatobatan

A. Area cuci tangan


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi area
Lokasi strategis dekat di sekitar pintu masuk ruang rawat atau tindakan neonatus,
mudah dijangkau tetapi tidak mengganggu lalu lintas baik pasien, petugas dan
pengunjung.
Ruang rawat atau tindakan neonatus di rumah sakit: IGD, kamar bersalin, kamar
operasi, ruang transisi, ruang rawat gabung.
1.2 Kebersihan harus terjaga dengan struktur yang mudah dibersihkan.
1.3 Pencahayaan terang dan nyaman
1.4 Ventilasi optimal dengan aliran udara bebas yang maksimal
1.5 Wastafel
Ukuran besar untuk menampung cipratan air saat melakukan cuci tangan, dengan
aliran air limbah yang lancar, memiliki kran yang dioperasikan dengan siku atau
lengan.
2. Mebel
2.1 Rak sepatu
2.2 Wadah limbah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
3. Bahan-bahan
3.1 Sabun
Tersedia sabun dalam jumlah cukup, dianjurkan sabun cair antibakteri dalam dispenser
dengan pompa.
3.2 Pengering
Harus tersedia pengering minimal kertas tisu habis pakai.

10
Tidak dianjurkan pengering handuk

B. Area resusitasi, stabilisasi dan transport


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi area
- Harus tersedia di IGD, ruang bersalin, ruang kamar operasi.
- Di ruang rawat neonatus, menyatu dalam unit layanan neonatus baik di tingkat II
maupun tingkat III.
- Lokasi di area yang tidak mengganggu lalu lintas baik pasien, petugas dan
pengunjung. Di kamar bersalin dan kamar operasi harus terletak dekat dengan
tempat menolong ibu.
- Ukuran luas minimal 4 m2 untuk posisi meja resusitasi, di luar kebutuhan untuk
meja alat, sumber oksigen dan sumber udara serta peralatan lainnya.
1.2 Kebersihan terjaga setiap waktu dan siap pakai
1.3 Pencahayaan optimal menerangi area resusitasi
1.4 Ventilasi baik, dihindari adanya aliran udara.
1.5 Suhu ruangan dapat diatur sekitar 24-28ºC dengan kelembaban udara optimal
1.6 Steker listrik
Ruang harus dilengkapi paling sedikit enam steker yang dipasang dengan tepat untuk
peralatan listrik. Steker harus mampu memasok beban listrik yang diperlukan, aman
dan berfungsi baik.
2. Mebel
2.1 Meja resusitasi dengan penghangat (berupa lampu pijar 60 watt berjarak 60 cm dari
alas meja atau radiant warmer) lengkap, minimal memiliki:
- Lampu penerang sekaligus sebagai alat penghangat area resusitasi yang dapat
diatur suhunya.
- Matras yang cukup keras, bersih, kering dan mudah menyerap panas. -
Selimut alas yang bersih kering dan hangat
Mudah dibersihkan dan dikeringkan, dengan bagian logam bebas berkarat.

2.2 Jam dengan fasilitas stop watch sebagai penunjuk waktu yang tepat dan berfungsi baik.
2.3 Selimut penghangat bayi atau plastik pembungkus bayi prematur lengkap dengan topi,
kering, bersih dan hangat.
3. Fasilitas, alat dan obat-obatan
3.1 Meja untuk meletakan alat resusitasi dan obat-obatan
3.1 Perlengkapan jalan napas (air way):
- Alat penghisap lendir harus ada minimal alat penghisap lendir dinding atau portable
dengan segala kelengkapannya.
3.2 Pasokan oksigen dan udara
- Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang
atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase
kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang
tersambung langsung ke blender.
- Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi.

Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan
diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi

3.3 Alat bantu ventilasi:


Ventilasi non-invasif dengan segala kelengkapannya:
- t-piece resuscitator
- CPAP

11
3.4 Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:
3.4.1 Alat pembebas jalan napas:
- Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR
- Harus ada balon penghisap lendir atau mucous ectractor untuk penghisapan lendir
sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan
- Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran
5FR dan 8FR.
- Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan
digunakan.
- Bola lampu laringoskop cadangan
- Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1
3.4.2 Alat pemberi oksigenisasi:
- Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik -
Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan -
Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif.
- Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan
guntingnya untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif.
3.4.3 Alat monitor
- Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable.
- Stetoskop bayi atau anak
3.4.3 Obat-obatan:
- Alat suntik /spuit 1cc; 2,5 cc; 3 cc; 5 cc; 10 cc; 20 cc; 50cc
- Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000)
- Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL)
3.4.4 Alat penunjang sirkulasi dan cairan:
- Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap
- Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR
- Three-way stopcock
- Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate

3.5 Alat pelindung


diri: - Topi
- Masker
- Kaca mata google
- Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang
- Gaun plastic
- Sepatu pelindung

3.6 Pengatur suhu ruangan dan penghangat meja resusitasi:


- AC yang siap pakai suhu diatur antara 24-28ºC
- Termometer ruangan
- Penghangat (Radiant warmer) yang berfungsi dengan baik
- Topi bayi, selimut untuk pembungkus bayi, selimut untuk pembersih dan
selimut untuk alat, serta plastik untuk penghangat bayi prematur 3.7 Inkubator transport
atau kain/ gaun metode kanguru 3.8 Laboratorium penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium darah lengkap sederhana
- Pemeriksaan laboratorium gula darah

C. Ruang transisi (ruang observasi neonatus bugar pasca lahir)


1. Struktur Fisik

12
1.1 Spesifikasi ruang
- Lokasi ruang harus berdekatan dengan kamar operasi, dan merupakan bagian atau
bersebelahan dengan kamar bersalin.
- Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah
sakit, terutama untuk menuju ruang perawatan neonatus maupun ruang rawat
gabung (ruang rawat bayi sehat gabung dengan perawatan ibu pasca lahir).
- Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m2 untuk setiap inkubator
pasien dan perlengkapannya.
- Lokasi tersendiri, tetapi mudah dijangkau oleh keluarga yang ingin menjenguknya.
- Prosedur menjenguk hanya dapat melalui jendela kaca. Struktur fisik didisain
sedemikian rupa menyerupai aquarium, karena yang dapat masuk ruangan hanya
ayah bayi baru lahir pada saat melaksanakan komunikasi, informasi edukasi tentang
bayinya segera setelah lahir.
1.2 Pencahayaan
Secara umum nyaman dan terang sehingga pengunjung dapat melihat dari luar ruang
ke segala arah.

1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal tiga steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai
untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.

1.5 Tersedia sumber oksigen dan udara yang siap pakai apabila terjadi kegawatan pada
neonatus
1.6 Tersedia sumber tekanan negatif untuk alat hisap lendir yang siap pakai apabila
terjadi kegawatan pada neonatus

1.7 Kebersihan terjaga setiap waktu


1.8 Lampu darurat
1.9 Memiliki area cuci tangan yang memenuhi kebutuhan dan siap pakai.
2. Mebel
2.1
Lemari instrumen Tersedia
dua:
- Lemari linen, set alat steril.
- Lemari alat kedokteran, bahan habis pakai dan obat-obatan untuk pelayanan
neonatal esensial.

2.2 Meja
Tersedia tiga meja:
- Meja trolley pertama untuk meletakkan kotak resusitasi dan kelengkapannya.
Apabila fasilitas terbatas, kotak resusitasi untuk kamar bersalin dan kamar operasi
diletakkan dan disimpat di ruang transisi.
- Meja trolley kedua untuk meletakkan perlengkapan antropometri (timbangan berat
badan analog atau digital, alat pengukur panjang badan, pita pengukur lingkar
kepala), alat untuk pemeriksaan laboratorium pada pelayanan neonatal esensial.
- Meja ketiga di area administrasi, selain untuk keperluan administrasi juga untuk
melakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.
2.3 Kursi
- Harus ada tiga kursi di area administrasi dan edukasi yang berfungsi baik.
2.4 Wadah sampah tertutup dengan kantong plastik, terdiri dari sampai organik,
nonorganik dan sampai infeksius.
2.5 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik (dilengkapi hitungan detik)

3. Fasilitas, alat kedokteran dan obat-obatan

13
3.1
Alat periksa:
- Stetoskop bayi atau anak
- Termometer
- Alat pengukur saturasi oksigen (oximeter)
Alat dan jarum suntik serta swab alkohol untuk memberikan:
- Vitamin K1
- Imunisasi Hepatitis B
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan golongan darah/ Rh, darah rutin lengkap,
gula darah

3.2
Inkubator, asuhan normal
- Paling sedikit harus ada 2 inkubator yang berfungsi baik.
- Jarak satu inkubator dengan yang lain minimal 1m2 - Inkubator
transport
3.3 Penghangat (Radiant warmer)
- Paling sedikit harus ada satu penghangat yang berfungsi baik.
Cairan pencuci tangan

Gambar 3. Ruang
Transisi

D. Ruang perawatan untuk layanan neonatus tingkat II


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Lokasi ruang harus bersebelahan dan satu lantai dengan kamar bersalin dan kamar
operasi.
- Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah
sakit, terutama untuk menuju ruang rawat gabung (ruang perawatan ibu pasca
lahir).
- Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m2 untuk setiap inkubator
pasien dan perlengkapannya.
- Ruang terdiri dari: o Area perawatan
o Ruang peracikan obat/ ruang obat
o Ruang tindakan
o Ruang perah ASI/ Area laktasi o Area konsultasi o Ruang administrasi
o Ruang pencucian inkubator

1.2 Pencahayaan

14
Secara umum nyaman, pencahayaan terang hanya disekitar inkubator untuk
melaksanakan prosedur klinis pada bayi
1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal enam steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai
untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.
1.5 Sumber oksigen dan udara pada dinding untuk satu inkubator
1.6 Sumber tekanan negatif untuk alat hisap dinding untuk satu inkubator
1.7 Kebersihan selalu terjaga setiap waktu
1.8 Lampu darurat
1.9 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik (dilengkapi hitungan detik)

1.10 Area cuci tangan di pintu masuk ruang perawatan neonatus


1.11 Generator listrik darurat
- Harus ada generator listrik cadangan yang dioperasikan jika pasokan listrik utama
tidak ada.
2. Area perawatan: memiliki unit layangan neonatus tingkat II.
Satu unit layanan neonatus tingkat II, terdiri dari:

2.1 Perlengkapan menjaga jalan napas.


Minimal satu alat penghisap lendir dinding atau portable lengkap dengan:
- Regulator pengukur tekanan negatif
- Selang penghisap
- Kateter penghisap nomor 6FR, 8FR, 10FR/12FR
2.2 Pasokan oksigen dan udara
- Minimal satu sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable,
dilengkapi selang atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar
didapat persentase kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Setiap sumber oksigen dilengkapi dengan regulator aliran rendah dan alirang
tinggi.
- Minimal satu sumber udara yang dilengkapi dengan selang menuju alat
pencampur udara (blender).
- Persediaan udara tidak boleh terputus, harus tersedia terus menerus.
- Minimal satu alat pencampur oksige (blender oxygen) dengan regulatornya.
2.3 Alat bantu ventilasi:
Harus ada alat ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIA):
- t-piece resuscitator
- CPAP dengan segala perlengkapannya.

Harus ada alat bantu ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIB):
- Ventilator mekanik konvensional.
2.4 Inkubator
2.5 Radiant warmer
2.6 Monitor bed-side
2.7 Infusion pump
2.8 Syringe pump
2.9 Kursi kangaroo care dan perlengkapannya
2.10 Unit terapi sinar
- Paling sedikit harus ada satu unit terapi sinar yang berfungsi baik untuk setiap tiga
inkubator atau tempat tidur bayi

15
2.11 Timbangan bayi
- Paling sedikit harus ada satu timbangan bayi yang berfungsi baik di setiap ruangan.

2.12 Stetoskop
- Harus ada stetoskop yang berfungsi baik untuk setiap tiga inkubator atau tempat tidur
bayi
2.13 Cairan pencuci tangan
2.14 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik,
infeksius.
3. Area tempat meletakkan troley emergency dengan segala kelengkapan yang siap
pakai
4. Ruang penyimpanan dan peracikan obat
Memiliki lemari instrument tempat menyimpan bahan-bahan habis pakai dan
obatobatan
4.1 Gaun

4.2 Masker
4.3 Sarung tangan
4.4 Alat suntik /spuit 1 cc, 2,5 cc, 3 cc , 10 cc, 20 cc, 50cc
4.5 Pipa minum, ukuran 5 Fr dan 8 Fr
4.6 Pipa penghisap lendir, ukuran 6 dan 8
4.7 Kanula, ukuran 22 dan 24
4.8 Kateter umbilikus, ukuran 3 ½, 5, 8
4.9 Masker oksigen neonatus
4.1 Terapi oksigen :
0 • Nasal kanul high flow
• Nasa kanul low flow

4.1 Penutup mata untuk terapi sinar


1
4.1 Popok sekali pakai (Pampers)
2
4.1 Penutup sepatu sekali pakai
3
4.1 Betadine/alkohol untuk disinfeksi
4
4.1 Kantung plastik untuk wadah sampah besar
5
4.1 Cairan infus
6 - Dextrose 5%, 10%, 40%
- NaCL 0,9%; NaCl 3%
- KCl 7,4%
- Ca glukonas 10%
- Ringer Lactate
4.1 Cairan nutrisi parenteral
7 - Solusio asam amino 6%
- Intralipid 20%
4.1 Antibiotik
8 - Ampisilin
- Gentamisin
4.1 Obat respirasi -
9 Aminofilin
4.2 Kardiotonik
0 - Dopamin
- Dobutamin - Epinefrin

16
4.2 Lemari es
1
5. Ruang tindakan memiliki perlengkapan:
5.1 Meja atau tempat tidur untuk melakukan tindakan
5.2 Lampu tindakan
5.3 Cairan pencuci tangan
5.4 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
6. Ruang konsultasi
Mebel

6.1 Meja
- Untuk keperluan komunikasi informasi dan edukasi -
Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
6.2 Kursi
- Harus ada tiga kursi yang berfungsi baik.
7. Ruang administrasi
7.1 Meja
- Untuk keperluan administras
- Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.

17
7.2 Kursi
- Harus ada kursi yang berfungsi baik.

Gambar 4. Unit layanan neonatus tingkat III. Perbedaan di unit layanan tingkat II
pada tunjangan ventilasi non-invasif.

E. Area laktasi
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Paling kecil, ruangan berukuran 6 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
2. Mebel

2.1 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.

18
2.2 Kursi (1-3)
-Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.

F. Area pencucian inkubator


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
-Paling kecil, ruangan berukuran 6-8 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
1.6 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.

Gambar 5. Area laktasi (contoh gambar ada wastafel, tempat duduk nyaman)

G. Area pelayanan Kangaroo Mother Care


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
2
- Paling kecil, ruangan berukuran 6m
- Area Ganti pakaian yang tertutup
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
2. Mebel
2.1 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah
- organik, non
organik, infeksius
.
2.2 Kursi (1-3)
-Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.

19
1.3.3 Unit layanan neonatus tingkat III (di fasilitas kesehatan
tersier/ rumah sakit)
1.3.3.1 Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti profesi
medis, bidan dan perawat di layanan neonatus tingkat IIIA.
• Kompetensi: tingkat spesialistis dengan tambahan pelatihan manajemen tingkat III
untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap profesional di bidang neonatologi.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
o Tata kelola klinis neonatus dengan tingkat kompetensi subspesialistis terbatas
yang direkam dalam cacatan medis pasien.
o Tata kelola manajemen dan program: membantu melancarkan kinerja fasilitas
kesehatan dalam tatakelola manajemen neonatus dan kinerja sistem rujukan
neonatus di regional wilayah kerjanya.

1.3.3.2 Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti profesi


medis, bidan dan perawat di layanan neonatus tingkat IIIB, IIIC,
IIID.
• Kompetensi: tingkat subspesialistis/ konsultan neonatologi.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
o Tata kelola klinis neonatus dengan tingkat kompetensi subspesialistis yang
direkam dalam cacatan medis pasien. o Tata kelola manajemen dan program:
membantu melancarkan kinerja fasilitas kesehatan dalam tatakelola manajemen
neonatus dan kinerja sistem rujukan neonatus di regional wilayah kerjanya.

Bidan dan perawat


• Kompetensi: tingkat spesialistis untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap
profesional asuhan keperawatan di bidang neonatologi.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
Membantu dokter spesiais dalam tata kelola klinis, manajemen progran di unit
layanan neonatus tingkat II di rumah sakit.

1.3.3.3 Uraian fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan obatobatan

A. Area cuci tangan


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi area
- Lokasi strategis dekat di sekitar pintu masuk ruang rawat atau tindakan neonatus,
mudah dijangkau tetapi tidak mengganggu lalu lintas baik pasien, petugas dan
pengunjung.

20
- Ruang rawat atau tindakan neonatus di rumah sakit: IGD, kamar bersalin, kamar
operasi, ruang transisi, ruang rawat gabung.
1.2 Kebersihan harus terjaga dengan struktur yang mudah dibersihkan.
1.3 Pencahayaan terang dan nyaman
1.4 Ventilasi optimal dengan aliran udara bebas yang maksimal
1.5 Wastafel
Ukuran besar untuk menampung cipratan air saat melakukan cuci tangan, dengan
aliran air limbah yang lancer, memiliki kran yang dioperasikan dengan siku atau
lengan.
2. Mebel
2.1 Rak sepatu
2.2 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
3. Bahan-bahan
3.1 Sabun
Tersedia sabun dalam jumlah cukup, dianjurkan sabun cair antibakteri dalam
dispenser dengan pompa.
3.2 Pengering
Harus tersedia pengering minimal kertas tisu habis pakai Tidak
dianjurkan pengering handuk

B. Area resusitasi, stabilisasi dan transport


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi area
- Harus tersedia di IGD, ruang bersalin, ruang kamar operasi.
- Di ruang rawat neonatus, menyatu dalam unit layanan neonatus baik di tingkat II
maupun tingkat III.
- Lokasi di area yang tidak mengganggu lalu lintas baik pasien, petugas dan
pengunjung. Di kamar bersalin dan kamar operasi harus terletak dekat dengan
tempat menolong ibu.
- Ukuran luas minimal 4 m2 untuk posisi meja resusitasi, di luar kebutuhan untuk meja
alat, sumber oksigen dan sumber udara serta peralatan lainnya.

1.2 Kebersihan terjaga setiap waktu dan siap pakai


1.3 Pencahayaan optimal menerangi area resusitasi
1.4 Ventilasi baik, dihindari adanya aliran udara.
1.5 Suhu ruangan dapat diatur sekitar 24-28ºC dengan kelembaban udara optimal
1.6 Steker listrik
Ruang harus dilengkapi paling sedikit enam steker yang dipasang dengan tepat untuk
peralatan listrik. Steker harus mampu memasok beban listrik yang diperlukan, aman
dan berfungsi baik.
2. Mebel
2.1 Meja resusitasi dengan penghangat (radiant warmer) lengkap, minimal memiliki:
- Lampu atau alat penghangat area resusitasi yang dapat diatur suhunya.
- Matras yang cukup keras, bersih, kering dan mudah menyerap panas.
- Selimut alas yang bersih kering dan hangat
- Mudah dibersihkan dan dikeringkan, dengan bagian logam bebas berkarat.
2.2 Jam dengan fasilitas stop watch sebagai penunjuk waktu yang tepat dan berfungsi baik.
2.3 Selimut penghangat bayi atau plastik pembungkus bayi prematur lengkap dengan topinya,
kering, bersih dan hangat.
3. Fasilitas, alat dan obat-obatan
3.1 Meja untuk meletakan alat resusitasi dan obat-obatan
3.2 Perlengkapan jalan napas (air way):
- Alat penghisap lendir harus ada minimal alat hisap lendir dinidng atau portable dengan
segala kelengkapannya

21
3.1 Pasokan oksigen dan udara
- Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang
atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase
kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang
tersambung langsung ke blender.
- Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi.
Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan
dan diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi

Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan
diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi invasif
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi

3.4 Alat bantu ventilasi:

Ventilasi non-invasif dengan segala kelengkapannya:


- t-piece resuscitator
- CPAP

Ventilasi invasif dengan segala kelengkapannya:


- Ventilator konvensional (tingkat IIIA)
- High frequency ventilator (HFV)(tingkat IIIB, IIIC, IIID)
- High frequency oscillator (HFO)(IIIB, IIIC, IIID)

3.5.1 Alat pembebas jalan napas:


- Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR
- Harus ada balon penghisap lendir atau mucous ectractor untuk penghisapan lendir
sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan
- Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran 5FR
dan 8FR.
- Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan
digunakan.
- Bola lampu laringoskop cadangan
- Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1
3.5.2 Alat pemberi oksigenisasi:
- Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik -
Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan -
Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif.
- Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan
guntingnya untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif.
3.5.3 Alat monitor
- Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable.
- Stetoskop bayi
3.5.4 Obat-obatan:
- Alat suntik /spuit 1cc; 2,5 cc; 3 cc; 5 cc; 10 cc; 20 cc; 50cc
- Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000)
- Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL)
3.5.5 Alat penunjang sirkulasi dan cairan:
- Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap
- Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR -
Three-way stopcock

1 3.5 Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:

22
- Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate
3.6 Alat pelindung diri:
- Topi
- Masker
- Kaca mata google
- Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang
- Gaun plastik
- Sepatu pelindung
3.7 Pengatur suhu ruangan dan penghangat meja resusitasi:
- AC yang siap pakai suhu diatur antara 24-28ºC
- Termometer ruangan
- Penghangat (Radiant warmer) yang berfungsi dengan baik
- Topi bayi, selimut untuk pembungkus bayi, selimut untuk pembersih dan selimut
untuk alat, serta plastik untuk penghangat bayi prematur
3.8 Inkubator transport atau kain/ gaun metode kanguru
3.9 Laboratorium penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium darah lengkap sederhana
- Pemeriksaan laboratorium gula darah

Gambar 6. Trolley emergency

C. Ruang Transisi (ruang observasi neonatus bugar pasca lahir)


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Lokasi ruang harus berdekatan dengan kamar operasi, dan merupakan bagian atau
bersebelahan dengan kamar bersalin.
- Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah
sakit, terutama untuk menuju ruang perawatan neonatus maupun ruang rawat gabung
(ruang rawat bayi sehat gabung dengan perawatan ibu pasca lahir).
- Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m2 untuk setiap inkubator
pasien dan perlengkapannya.

23
- Lokasi tersendiri, tetapi mudah dijangkau oleh keluarga yang ingin menjenguknya.
- Prosedur menjenguk hanya dapat melalui jendela kaca. Struktur fisik didisain
sedemikian rupa menyerupai aquarium, karena yang dapat masuk ruangan hanya
ayah bayi baru lahir pada saat melaksanakan komunikasi, informasi edukasi tentang
bayinya segera setelah lahir.
1.2 Pencahayaan
Secara umum nyaman dan terang sehingga pengunjung dapat melihat dari luar ruang ke
segala arah.
1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal tiga steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai untuk
kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.
1.5 Tersedia sumber oksigen dan udara yang siap pakai apabila terjadi kegawatan pada
neonatus
1.6 Tersedia sumber tekanan negatif untuk alat hisap lendir yang siap pakai apabila terjadi
kegawatan pada neonatus
1.7 Kebersihan terjaga setiap waktu
1.8 Lampu darurat
1.9 Memiliki area cuci tangan yang memenuhi kebutuhan dan siap pakai.
2. Mebel
2.1 Lemari instrumen Tersedia
dua:
- Lemari linen, set alat steril.
- Lemari alat kedokteran, bahan habis pakai dan obat-obatan untuk pelayanan neonatal
esensial.
2.2 Meja
Tersedia tiga meja:
- Meja trolley pertama untuk meletakkan kotak resusitasi dan kelengkapannya.
- Meja trolley kedua untuk meletakkan perlengkapan antropometri (timbangan berat
badan digital, alat pengukur panjang badan, pita pengukur lingkar kepala), alat untuk
pemeriksaan laboratorium pada pelayanan neonatal esensial.
- Meja ketiga di area administrasi, selain untuk keperluan administrasi juga untuk
melakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.
2.3 Kursi
- Harus ada tiga kursi di area administrasi dan edukasi yang berfungsi baik.
2.4 Wadah sampah tertutup dengan kantong plastik, terdiri dari sampai organik, nonorganik
dan sampai infeksius.
2.5 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik.
3. Fasilitas, alat kedokteran dan obat-obatan
3.1 Alat periksa:
- Stetoskop
- Termometer
- Alat pengukur saturasi oksigen (oximeter)
Alat dan jarum suntik serta swab alkohol untuk memberikan:
- Vitamin K1
- Imunisasi Hepatitis B
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan golongan darah/ Rh, darah rutin lengkap,
gula darah
3.2 Inkubator, asuhan normal
- Paling sedikit harus ada 2 inkubator yang berfungsi baik.
- Jarak satu inkubator dengan yang lain minimal 1m2 - Inkubator
transport
3.3 Penghangat (Radiant warmer)
- Paling sedikit harus ada satu penghangat yang berfungsi baik.
3.4 Cairan pencuci tangan

24
D. Ruang perawatan untuk layanan neonatus tingkat III
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Lokasi ruang harus bersebelahan dan satu lantai dengan kamar bersalin dan kamar
operasi.
- Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah
sakit, terutama untuk menuju ruang rawat gabung (ruang perawatan ibu pasca
lahir).
- Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m2 untuk setiap inkubator
pasien dan perlengkapannya.
- Ruang terdiri dari: o Area perawatan

o Ruang peracikan obat/ ruang


obat o Ruang tindakan
o Ruang perah ASI/ Area laktasi o
Area konsultasi o Ruang
administrasi o Ruang
pencucian inkubator
1.2 Pencahayaan
Secara umum nyaman, pencahayaan terang hanya disekitar inkubator untuk
melaksanakan prosedur klinis pada bayi
1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal enam steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai
untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.
1.5 Sumber oksigen dan udara pada dinding untuk satu inkubator
1.6 Sumber tekanan negatif untuk alat hisap dinding untuk satu inkubator
1.7 Kebersihan selalu terjaga setiap waktu
1.8 Lampu darurat
1.9 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik.
1.10 Area cuci tangan di pintu masuk ruang perawatan neonatus
1.11 Generator listrik darurat
- Harus ada generator listrik cadangan yang dioperasikan jika pasokan listrik utama
tidak ada.
2. Area perawatan: memiliki unit layangan neonatus tingkat II dan III.
Satu unit layanan neonatus tingkat III, terdiri dari:

2.1 Perlengkapan menjaga jalan napas.


Minimal dua alat penghisap lendir dinding atau portable lengkap dengan:
- Regulator pengukur tekanan negatif
- Selang penghisap
- Kateter penghisap nomor 6FR, 8FR
2.2 Pasokan oksigen dan udara
- Minimal dua sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable,
dilengkapi selang atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar
didapat persentase kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Setiap sumber oksigen dilengkapi dengan regulator aliran rendah dan alirang
tinggi.
- Minimal dua sumber udara yang dilengkapi dengan selang menuju alat pencampur
udara (blender).
- Persediaan udara tidak boleh terputus, harus tersedia terus menerus.

25
- Minimal satu alat pencampur oksige (blender oxygen) dengan regulatornya.
2.3 Alat bantu ventilasi:
Harus ada alat ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIA):
- t-piece resuscitator
- CPAP dengan segala perlengkapannya.

Harus ada alat bantu ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIB):
- Ventilator mekanik konvensional.
- High Frequency Ventilatior - High Frequency Oscillator
2.4 Inkubator
2.5 Radiant warmer
2.6 Monitor bed-side
2.7 Infusion pump
2.8 Syringe pump
2.9 Kursi kangaroo care dan perlengkapannya

2.10 Unit terapi sinar


- Paling sedikit harus ada satu unit terapi sinar yang berfungsi baik untuk setiap tiga
inkubator atau tempat tidur bayi

2.11 Timbangan bayi


- Paling sedikit harus ada satu timbangan bayi yang berfungsi baik di setiap ruangan.

2.12 Stetoskop
- Harus ada stetoskop yang berfungsi baik untuk setiap tiga inkubator atau tempat tidur
bayi
2.13 Cairan pencuci tangan
2.14 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik,
infeksius.
3. Area tempat meletakkan troley emergency dengan segala kelengkapan yang siap
pakai
4. Ruang penyimpanan dan peracikan obat
Memiliki lemari instrument tempat menyimpan bahan-bahan habis pakai dan
obatobatan
4.1 Gaun
4.2 Masker
4.3 Sarung tangan
4.4 Alat suntik /spuit 1cc, 2,5 cc, 3 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc, 50cc
4.5 Pipa minum, ukuran 5 Fr dan 8 Fr
4.6 Pipa penghisap lendir, ukuran 6 dan 8 Fr
4.7 Kanula, ukuran 22 dan 24
4.8 Kateter umbilikus, ukuran 3 ½, 5, 8
4.9 Masker oksigen neonatus
4.1 Head box / t-piece reuscitator
0
4.1 Penutup mata untuk terapi sinar
1
4.1 Popok sekali pakai (Pampers)
2
4.1 Penutup sepatu sekali pakai
3
4.1 Betadine/alkohol untuk disinfeksi
4
4.1 Kantung plastik untuk wadah sampah besar
5

26
4.1 Cairan infus
6 - Dextrose 5%, 10%, 40%
- NaCL 0,9%; NaCl 3%
- KCl 7,4%
- Ca glukonas 10% - Ringer Lactate
4.1 Cairan nutrisi parenteral
7 - Solusio asam amino 6%
- Intralipid 20%
4.1 Antibiotik
8 - Ampisilin
- Gentamisin
4.1 Obat respirasi -
9 Aminofilin
4.2 Kardiotonik
0 - Dopamin
- Dobutamin - Epinefrin

4.2 Lemari es
1
5. Ruang tindakan memiliki perlengkapan:
5.1 Meja atau tempat tidur untuk melakukan tindakan
5.2 Lampu tindakan
5.3 Cairan pencuci tangan
5.4 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
6. Ruang konsultasi
Mebel

6.1 Meja
- Untuk keperluan komunikasi informasi dan edukasi -
Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
6.2 Kursi
- Harus ada tiga kursi yang berfungsi baik.
7. Ruang administrasi
7.1 Meja
- Untuk keperluan administras
- Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
7.2 Kursi
- Harus ada kursi yang berfungsi baik.

E. Area laktasi
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Paling kecil, ruangan berukuran 6 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
2. Mebel
2.1 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
2.2 Kursi (1-3)
-Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.

F. Area pencucian inkubator

27
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
-Paling kecil, ruangan berukuran 6-8 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
1.6 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.

Gambar 7. Area pencucian


inkubator

1.4 Uraian panduan prosedur registri morbiditas, mortalitas


dalam pengelolaan rekam medik pasien; manajemen ATM;
manajemen fasilitas, alat kesehatan dan obat-obatan
1. Panduan prosedur klinik
1.1 Panduan prosedur klinik, harus ada di unit perawatan neonatus, dan selalu di revisi minimal
satu tahun sekali.
Uraian secara rinci panduan klinis neonatologi diuraikan pada bab II.
2. Perangkat registri pasien, sistem informasi pasien
2.1 Perangkat registri pasien meliputi:
• Buku register masuk dan keluarnya pasien lengkap dengan data mortalitas dan
morbiditas.
• Catatan medik pasien yang menggambarkan:
o Alur pelayanan pasien menurut unit perawatan atau DPJP o Proses
tatalaksana pasien lengkap mulai dari penegakkan diagnosis sampai
pada tindakan prosedur yang diberikan.
o Ringkasan akhir pasien yang menggambarkan diagnosis akhir pasien
selama dirawat dan sebab kematian pasien apabila pasien meninggal
o Ssurat rujukan pasien yang menyebutkan:
▪ Keadaan terakhir pasien, tunjangan yang diberikan untuk menjaga stabilisainya
dalam proses rujukan
▪ Rumah sakit rujukan yang dituju
• Rekapitulasi pencatatan dan pelaporan bulanan pasien di unit pelayanan neonatus.

2.2 Sistem database catatan medis pasien yang dapat diakses dan disimpan kembali setiap
waktu
3. Aset tenaga manusia
3.1 Jumlah, gambaran tugas dan pembagian waktu

28
3.1.1 Pelayanan neonatus tingkat I di fasilitas kesehatan primer: seorang dokter sebagai
DPJP yang bertanggung jawab selain untuk tatakelola klinis, juga memiliki tugas pokok dan
fungsi untuk tatakelola manajemen dan program lintas sekoral berhubungan dengan sistem
rujukan

Pelayanan neonatus tingkat IIA, di rumah sakit tipe D dan tipe C: minimal seorang
dokter spesialis anak yang dibantu oleh dokter, perawat dan bidan.
• Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite
medik:
o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat II (pelayanan neonatal
spesialistik)
o Waktu kerja minimal 6 jam kerja on-site, 18 jam kerja on-call dengan
pendelegasian kewenangan kepada dokter jaga.
• Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur
manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran
direktur rumah sakit
• Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas
kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan
setempat dan jajaran lintas sektoral terkait.

Pelayanan neonatus tingkat IIIA, IIIB di rumah sakit tipe B: minimal seorang dokter
spesialis anak dengan kompetensi tambahan dari pelatihan perawatan intensif neonatus
yang dibantu oleh dokter, perawat dan bidan.
• Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite
medik:
o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat III minimal didapat
dari pelatihan tambahan pelayanan neonatus subspesialistik atau yang
setingkat)
o Idealnya ada DPJP dengan waktu kerja 24 jam on-site. Apabila jumlah
tenaga tidak memadai dapat disesuaikan dengan kondisi setempat yang
disetujui oleh komite medik dan disahkan oleh direktu RS setempat
dengan adanya konsulen jaga on-call dengan pendelegasian
kewenangan kepada dokter jaga.
• Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur
manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran
direktur rumah sakit
• Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas
kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan
setempat dan jajaran lintas sektoral terkait.

Pelayanan neonatus tingkat IIIC, IIID di rumah sakit tipe A: minimal seorang dokter
spesialis anak konsultan neonatologi yang dibantu oleh dokter spesialis anak, dokter,
perawat dan bidan.
• Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite
medik:
o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat III yang didapat dari
pendidikan subspesialistik/ konsultan neonatologi.
o Idealnya ada DPJP dengan waktu kerja 24 jam on-site. Apabila jumlah
tenaga tidak memadai dapat disesuaikan dengan kondisi setempat yang
disetujui oleh komite medik dan disahkan oleh direktu RS setempat
dengan adanya konsulen jaga on-call dengan pendelegasian
kewenangan kepada dokter jaga.
• Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur
manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran
direktur rumah sakit
• Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas
kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan
setempat dan jajaran lintas sektoral terkait.
3.1.2 Dokter yang melaksanakan tugas jaga dengan mendapat pendelegasian kewenangan dari
DPJP /shift *
3.1.3 Proporsi perawat di pelayanan neonatus tingkat II:
Satu perawat/ 3-4 inkubator/ shift

29
Porporsi perawat di pelayanan neonatus tingkat III:
Satu perawat/ 2 inkubator/ shift
3.2 Berikut ini adalah kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh petugas di pelayanan
neonatus tingkat I, II dan III
3.2.1 Pelatihan manajemen neonatus tingkat II untuk dokter, dokter spesialis anak Pelatihan
manajemen neonatus tingkat II untuk perawat
3.2.2 On the job training manajemen neonatal tingkat II untuk dokter, dokter spesialis anak
On the job training manajemen neonatal tingkat II untuk perawat
3.2.3 Pelatihan manajemen neonatus tingkat III untuk dokter, dokter spesialis anak
Pelatihan manajemen neonatus tingkat III untuk perawat
3.2.4 On the job training manajemen neonatal tingkat III untuk dokter, dokter spesialis anak
On the job training manajemen neonatal tingkat III untuk perawat
3.2.5 Program pendidikan subspesialistik/ konsultan di bidang neonatologi
3.3. Program pendidikan kedokteran berkelanjutan di bidang neonatologi secara periodik
4. Manajemen perencanaan, pemeliharaan dan penggantian fasilitas kesehatan, alat
kedokteran dan obat-obatan

BAB II

KODIFIKASI DIAGNOSIS DAN PROSEDUR NEONATOLOGI

30
2.1 Rujukan berjenjang
Pada era JKN pelayanan kesehatan harus dilakukan berjenjang menurut tingkat
kompetensi dan fasilitas pendukung. Dimulai dari pelayanan kesehatan di fasilitas
kesehatan (faskes) tingkat primer dengan kompetensi dasar, faskes sekunder dengan
kompetensi spesialis dan faskes tersier dengan kompetensi subspesialis. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Perorangan menyebutkan bahwa sistem rujukan pelayanan
kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur
pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik
vertikal maupun horisontal.

Pelayanan rujukan bisa dilakukan secara horisontal maupun vertikal. Rujukan


horisontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu
tingkatan jika fasilitas kesehatan yang merujuk tidak dapat memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan
atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap sedangkan rujukan vertikal
adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan,
dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang
lebih tinggi atau sebaliknya.

Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:

1. Terjadi keadaan gawat darurat (Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan


yang berlaku)
2. Bencana (Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah
Daerah)
3. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien;untuk kasus yang sudah ditegakkan
rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan
lanjutan.
4. Pertimbangan geografis
5. Pertimbangan ketersediaan fasilitas.

2.2 Sistem pembiayaan JKN


Pembiayaan kesehatan merupakan bagian yang penting dalam implementasi
JKN. Dalam Permenkes No 76 tahun 2016 disebutkan bahwa metode pembayaran
program JKN menggunakan sistem case based payment (casemix). Sistem
casemix adalah pengelompokan diagnosis dan prosedur dengan mengacu pada ciri
klinis yang mirip/sama dan penggunaan sumber daya/biaya perawatan yang mirip/sama.
Pengelompokan dilakukan dengan menggunakan software grouper.

Sistem casemix pertama kali dikembangkan di Indonesia pada Tahun 2006


dengan nama INA-DRG (Indonesia- Diagnosis Related Group). Pada tanggal 31
September 2010 dilakukan perubahan nomenklatur dari INA-DRG (Indonesia
Diagnosis Related Group) menjadi INA-CBG (Indonesia Case Based Group)

31
yang sampai saat ini masih digunakan dalam pelaksanaan JKN. Tujuan sistem ini adalah
dalam rangka pengendalian biaya kesehatan, mendorong peningkatan mutu sesuai
standar, membatasi pelayanan kesehatan yang tidak diperlukan, mempermudah
administrasi klaim, adanya kendali biaya.

Beberapa pengertian terkait sistem INA-CBG sebagai metode pembayaran


kepada FKRTL dalam pelaksanaan JKN : 1) Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa
perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan
dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada
setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah.

2) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disingkat BPJS


Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan
program Jaminan Kesehatan.

3) Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang


bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa Fasilitas Kesehatan tingkat
pertama dan Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan.

4) Fasilitas Kesehatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk


menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif,
preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat.

5) Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) meliputi klinik utama atau
yang setara, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus.

6) Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan adalah upaya pelayanan


kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik yang
meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat inap
di ruang perawatan khusus.

7) Pelayanan Kesehatan Darurat Medis adalah pelayanan kesehatan yang harus


diberikan secepatnya untuk mencegah kematian, keparahan, dan/atau
kecacatan sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan.

8) Pelayanan Kesehatan adalah pelayanan kesehatan komprehensif yang meliputi


pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan
kesehatan darurat medis, pelayanan penunjang dan atau pelayanan
kefarmasian.

9) Pelayanan rawat inap adalah pelayanan kepada pasien untuk observasi,


perawatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi, dan/atau pelayanan kesehatan
lainnya dengan menempati tempat tidur.

32
10) Sumber daya adalah segala dukungan berupa material, tenaga, pengetahuan,
teknologi dan/atau dukungan lainnya yang digunakan untuk menghasilkan
manfaat dalam pelayanan kesehatan.

11) Peserta bayi baru lahir dalam JKN menurut Pasal 16 Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan adalah apabila
didaftarkan kepada BPJS Kesehatan paling lama 28 hari setelah dilahirkan.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan membayar klaim atas pelayanan


kesehatan yang diberikan kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dengan
sistem kapitasi dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) dengan sistem
paket INA-CBGs yang menganut sistem prospectife payment. Pembayaran pelayanan
kesehatan dengan menggunakan sistem di luar paket INA-CBGs terhadap FKRTL
berdasarkan pada ketentuan Menteri Kesehatan. Semua faskes meskipun tidak menjalin
kerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat,
setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas
kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan membayar kepada fasilitas
kesehatan yang tidak menjalin kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat
setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.

Dengan sistem pembiayaan prospectife payment ini, manajemen Rumah


sakit (RS) harus melakukan efisiensi pada sisi input dan melakukan subsidi silang dari
biaya pelayanan lain yang surplus. Rumah Sakit membayar jasa dokter yang layak dan
sesuai dengan kaidah. Namun demikian, efisiensi yang diterapkan dalam pelayanan
Rumah sakit harus tetap mempertahankan mutu dan wajib mengikuti standar
pelayanan kedokteran sebagaimana disebutkan dalam Undang–Undang Praktik
Kedokteran No. 29 Tahun 2004 .

Standar pelayanan kedokteran di rumah sakit atau disebut Panduan Praktik


Klinik (PPK) disusun mengacu pada Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
atau pustaka mutakhir dan dengan menyesuaikan kondisi setempat. Panduan Praktik
Klinik dibuat oleh staf medis setiap departemen atau divisi dibawah koordinasi komite
medis dan baru dapat dilaksanakan setelah diresmikan oleh direksi. Dalam PPK terdapat
hal-hal yang memerlukan rincian langkah demi langkah. Sesuai dengan karakteristik
permasalahan serta kebutuhan pelayanan maka disusun pula clinical pathway (CP)
untuk mendukung kesuksesan pelayanan kesehatan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1438/PER/MENKES/IX/2010


tentang Standar Pelayanan Kedokteran yang menyebutkan bahwa setiap rumah sakit
membuat Standar Prosedur Operasional dalam bentuk PPK, maka RS memiliki kewajiban
dalam menyusun CP demi menunjang pelayanan kesehatan yang efisien dan berkualitas.
Clinical Pathway adalah dokumen perencanaan pelayanan kesehatan terpadu yang
merangkum pelayanan yang dilakukan pada pasien mulai masuk sampai keluar RS
berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan dan standar
pelayanan tenaga kesehatan lainnya yang berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur.
Tujuan CP antara lain : memfasilitasi penerapan clinical guide dan audit klinik dalam
praktek, memperbaiki komunikasi dan perencanaan multidisiplin, mencapai atau

33
melampaui standar mutu yang ada, mengurangi variasi yang tidak diperlukan dalam
praktek klinik, memperbaiki komunikasi antara klinisi dan pasien, meningkatkan
kepuasan pasien, identifikasi masalah riset dan pengembangan.

2.3 Proses klaim, persyaratan dan permasalahannya


Dalam era pelaksanaan JKN saat ini pengisian rekam medik yang lengkap menjadi hal
yang sangat penting. Ringkasan pulang atau resume medik terdapat rincian diagnosis
pasien selama dalam pelayanan yang merupakan dasar bagi petugas koding untuk
menetapkan kode diagnosis yang pada akhirnya mempengaruhi tarif INA-CBGs.
Menurut Permenkes No 76 Tahun 2016 Tentang Petunjuk Teknis INA-CBGs, Tarif INA-
CBGs merupakan besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada FKRTL atas
paket layanan yang diberikan didasarkan kepada pengelompokan diagnosis dan
prosedur. Penulisan diagnosis seorang pasien adalah tanggung jawab dokter yang
merawat dan tidak boleh diwakilkan. Formulir resume medik merupakan salah satu
formulir yang sangat penting dalam menilai mutu suatu rekam medik. Resume medik
digunakan oleh tim koder rumah sakit untuk memberikan kode diagnosis atau
mengkoding yang akan menentukan besaran pembayaran klaim oleh BPJS kesehatan.

Menurut Petunjuk Teknis dari Pedoman Pelaksanaan Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial Kesehatan, Panduan Praktis Administrasi Klaim Fasilitas Kesehatan BPJS
Kesehatan, klaim diajukan kepada kantor cabang/kantor operasional kabupaten/kota
BPJS kesehatan secara kolektif setiap bulan dengan kelengkapan administrasi umum
antara lain sebagai berikut:

1. Rekapitulasi pelayanan
2. Berkas pendukung masing-masing pasien, yang terdiri dari:
• Surat eligibilitas peserta (SEP)
• Surat perintah rawat inap
3. Resume medis yang ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP)
4. Bukti pelayanan lain yang ditandatangani oleh DPJP (bila diperlukan), misal:
• Laporan operasi
• Protokol terapi dan regimen (jadwal pemberian obat) pemberian obat khusus
• Perincian tagihan rumah sakit
• Berkas pendukung lain yang diperlukan

Dalam alur baku, setelah selesai pelayanan dalam satu bulan, kemudian RS
menyusun dan mengajukan berkas klaim. Pekerjaan menyusun berkas klaim ini
dilakukan oleh pihak RS dengan menyertakan proses verifikasi internal oleh stafnya
untuk selanjutnya berkas klaim diserahkan untuk diverifikasi oleh verifikator eksternal
dari BPJS Kesehatan. Dalam proses verifikasi oleh BPJS Kesehatan, sebagian berkas tidak
langsung disetujui dan dapat dikembalikan ke RS untuk diperbaiki dan dilengkapi,
sementara proses klaim akan ditunda (pending claim). Bila sudah dilengkapi namun

34
masih belum disetujui, sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat atau persepsi antara
verifikator internal RS dan eksternal (BPJSK), dan masuk dalam “Dispute
Claim”. Terhadap dispute claim ini, dapat dicari jalan keluar dengan dilakukan
diskusi bersama Tim Kendali Mutu Kendali Biaya (TKMKB), Dewan pertimbangan Medis
(DPM), Dewan Pertimbangan Klinis/ Clinical Advisory Board (CAB) yang difasilitasi
oleh BPJS Kesehatan mulai dari level cabang sampai pusat.

Beban verifikasi oleh BPJS Kesehatan makin berat seiring bertambah banyaknya
jumlah peserta JKN , jumlah Faskes dan variasi kasus penyakit. Untuk standarisasi dan
percepatan proses verifikasi, BPJS Kesehatan mengembangkan sistem Verifikasi di
Kantor (Vedika), yaitu sebuah sistem untuk proses verifikasi dan klaim dari Fasilitas
Kesehatan, salah satu tujuan vedika adalah untuk mengurangi kegiatan yang
dioperasikan secara manual.

Beberapa hal tentang Vedika adalah sebagai berikut:


1. Dilakukan di kantor cabang BPJS Kesehatan
2. Dilakukan oleh verifikator BPJS Kesehatan dan Verifikator Internal Rumah Sakit
3. Verifikasi Administrasi dilakukan pada seluruh klaim
4. Verifikasi pelayanan hanya sampling klaim
5. Klaim yang masuk, langsung secara menyeluruh setiap bulanan hal ini akan
meminimalisir adanya klaim susulan
6. Rumah Sakit juga berperan aktif dalam melakukan verifikasi dengan verifikator
internal rumah sakit
7. Rumah Sakit juga melakukan audit klaim (post review claim)
8. Rumah Sakit membuat Surat tanggung jawab mutlak dalam pengajuan klaim
oleh FKTL
9. Lama waktu verifikasi sampai pembayaran sama (15 hari) di setiap daerah
10. Konfirmasi klaim dilakukan baik ke Rumah Sakit dan ke
Peserta

35
Gambar 8. Kaidah penulisan resume medik
sesuai National Casemix Center (NCC)

Hal hal yang dapat menjadi kendala proses klaim BPJS


1. Penulisan diagnosis pada form casemix tidak sesuai dengan resume medis.
2. Kesalahan penempatan penulisan diagnosis utama dengan diagnosis sekunder

36
3. Ketidaklengkapan berkas rekam medis, misalnya : Tidak ada laporan operasi /
tindakan medis lainnya dan hasil penunjang diagnosis .
4. Resume medis tidak lengkap, misalnya :
• Diagnosis dan prosedur tidak terisi
• Tanda tangan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) tidak ada.
5. Ketidaklengkapan berkas klaim
6. Perbedaan persepsi terhadap peraturan dan verifikasi klaim antara petugas BPJS
dengan petugas RS (Diagnosis penyakit dan tindakan, kelengkapan berkas klaim,
dan lain lain).

2.4 Manfaat rekam medis


Manfaat rekam medis berdasarkan Permenkes Nomor
269/MenKes/Per/III/2008, tentang rekam medis adalah sebagai berikut: 1. Pengobatan.
Rekam medis bermanfaat sebagai dasar dan petunjuk untuk merencanakan dan
menganalisis penyakit serta merencanakan pengobatan, perawatan dan tindakan
medis yang harus diberikan kepada pasien

2. Peningkatan kualitas pelayanan.


Membuat Rekam Medis bagi penyelenggaraan praktik kedokteran dengan jelas dan
lengkap akan meningkatkan kualitas pelayanan, untuk melindungi tenaga medis dan
untuk pencapaian kesehatan masyarakat yang optimal.

3. Pendidikan dan penelitian.


Rekam medis yang merupakan informasi perkembangan kronologis penyakit,
pelayanan medis, pengobatan dan tindakan medis, bermanfaat untuk bahan
informasi bagi perkembangan pengajaran dan penelitian di bidang profesi
kedokteran dan kedokteran gigi.

4. Pembiayaan.
Berkas rekam medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk menetapkan
pembiayaan dalam pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan. Catatan tersebut
dapat dipakai sebagai bukti pembiayaan kepada pasien.

5. Statistik kesehatan.
Rekam medis dapat digunakan sebagai bahan statistik kesehatan, khususnya untuk
mempelajari perkembangan kesehatan masyarakat dan untuk menentukan jumlah
penderita pada penyakit- penyakit tertentu

6. Pembuktian masalah hukum, disiplin dan etik.


Rekam medis merupakan alat bukti tertulis utama, sehingga bermanfaat dalam
penyelesaian masalah hukum, disiplin dan etik.

37
Salah satu tujuan dari rekam medis adalah pembiayaan rumah sakit,
dilaksanakannya program JKN mulai tanggal 1 Januari 2014 diterapkan metode
pembayaran prospektif dengan INA-CBGs, maka ketepatan koding diagnosis dan
prosedur sangat berpengaruh terhadap hasil grouper dalam aplikasi INA-CBG. Kodefikasi
diagnosis dan tindakan/prosedur yang ditulis oleh dokter selama merawat pasien sesuai
dengan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9CM untuk tindakan/prosedur yang bersumber
dari rekam medis pasien dan dilakukan oleh Perekam medis atau petugas Casemix.
Perekam Medis dan dokter harus paham ICD 10 dan ICD 9- CM. Perekam medis harus
selalu berkoordinasi dengan dokter bila menemukan ketidakjelasan dalam penulisan
diagnosis. Ketidaktepatan dalam pengkodean, dapat menyebabkan kerugian finansial
berdampak pada perhitungan biaya rumah sakit. Kodefikasi diagnosis dan tindakan/
prosedur di bidang Neonatologi dapat dilihat pada Lampiran 1.

38
BAB III PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN

Pedoman nasional pelayanan kedokteran (PNPK) merujuk pada PerMenKes


Nomor 1438/MenKes/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran.
Standar pelayanan kedokteran bertujuan untuk memberikan jaminan kepada
pasien memperoleh pelayanan kedokteran yang berdasarkan pada nilai ilmiah
sesuai dengan kebutuhan medis pasien. Disamping itu, untuk mempertahankan
dan meningkatkan mutu pelayanan kedokteran yang diberikan oleh dokter dan
dokter gigi. Untuk itu Pedoman nasional pelayanan kedokteran (PNPK) secara
umum diperlukan apabila :
• Jumlah kasus banyak (high volume)
• Mempunyai resiko tinggi (high risk)
• Cenderung memerlukan biaya tinggi atau banyak sumber praktisi untuk
penanganan kasus yang sama.

Pada periode 2018 ada tiga PNPK di bidang neonatologi yang sudah ditanda
tangani oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia yaitu:
1. PNPK bayi berat lahir rendah (BBLR) untuk resusitasi, stabilisasi dan
transport.
2. PNPK asfiksia
3. PNPK hiperbilirubinemia.

1. PNPK BBLR: Resusitasi, Stabilisasi dan Transport Neonatus

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Angka kematian bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi sampai usia satu tahun,
per 1000 kelahiran hidup.1 Dalam masalah mortalitas bayi kita mengenal istilah

39
the two third rule atau aturan 2/3, yang maksudnya 2/3 AKB berasal dari
angka kematian neonatus. Berikutnya dari angka kematian neonatus, 2/3
kematian terjadi dalam usia kurang dari 1 minggu, dan 2/3 dari angka tersebut
meninggal dalam 24 jam pertama.2,3 Dengan demikian aturan ini
memperlihatkan bahwa kematian neonatus merupakan komponen utama
kematian bayi dan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya AKB. 1,4
Di Indonesia, Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan
AKB sebesar 22,23 per 1.000 kelahiran hidup, yang artinya sudah mencapai
target MDG 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan angka
kematian neonatus (AKN) 19 per 1.000 kelahiran hidup tidak berbeda jauh
dengan SDKI tahun 2007 yaitu 20 per 1.000 kelahiran.5 Bayi berat lahir rendah
(BBLR) memiliki mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bayi berat lahir normal, tidak hanya pada periode neonatal melainkan juga
selama masa bayi dan masa anak. Angka kelahiran BBLR di dunia adalah 15,5%
atau sekitar 20 juta bayi setiap tahunnya. Sebanyak 95,6% kelahiran BBLR terjadi
di negara berkembang dan 18,3% di antaranya terjadi di Asia. 4,6
Berat lahir rendah menurut World Health Organization (WHO)
adalah berat lahir <2500 g. Batasan 2500 g ini berdasarkan data epidemiologis
bahwa bayi dengan berat <2500 g berisiko mengalami kematian 20 kali lebih
besar dibanding bayi dengan berat >2500 g.7 Berat lahir rendah dapat terjadi
akibat kelahiran prematur (kurang dari usia gestasi 37 minggu), pertumbuhan
janin yang terhambat, atau keduanya.6,7 Berat lahir rendah sangat berpengaruh
terhadap tingginya mortalitas dan morbiditas masa neonatal serta gangguan
pertumbuhan dan perkembangan.8-10
Besaran masalah ekonomi yang timbul akibat berat lahir rendah tergambar dari
satu analisis biaya di Kanada (1995). Untuk tiap BBLR, biaya perawatan selama
satu tahun pertama termasuk perawatan NICU adalah $48.183. Khusus BBLR
yang lahir prematur, biaya untuk menghadapi berbagai disabilitas permanen
akibat berbagai masalah perinatal adalah $676.800.11 Di Amerika Serikat
pembiayaan kesehatan BBLR ini mencapai 10% dari seluruh pembiayaan
kesehatan bagi populasi anak usia 0-15 tahun,12 dengan laporan biaya medis,
pendidikan, dan kehilangan produktivitas orangtua berkisar $ 26.2 milyar. 13 Italia
mendapatkan data rata-rata biaya perawatan bayi berat lahir sangat rendah
€20,502 (standar deviasi= SD €8409) dengan rata-rata lama rawat
59,7 hari (SD 21,6 hari).14

1.2. Permasalahan
Upaya menurunkan angka kejadian BBLR senantiasa dilakukan, terutama dari
aspek nutrisi selama kehamilan. Namun upaya tersebut masih belum berhasil
menurunkan angka kejadian BBLR secara bermakna, bahkan di negara maju
sekalipun.15 Demikian pula di Indonesia, jika diamati dari bayi lahir, prevalensi

40
bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) berkurang dari 11,1 persen tahun
2010 menjadi 10,2 persen tahun 2013.16
Asupan energi dan protein yang tidak mencukupi pada ibu hamil dapat
menyebabkan Kurang Energi Kronis (KEK). Ibu hamil dengan KEK berisiko
melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). Anemia pada ibu hamil dihubungkan
dengan meningkatnya kelahiran prematur, kematian ibu dan anak dan penyakit
infeksi. Anemia defisiensi besi pada ibu dapat memengaruhi pertumbuhan dan
berkembangan janin/bayi saat kehamilan maupun setelahnya.17
Di Indonesia, berat lahir rendah akibat kurang bulan adalah penyebab nomor 3
kematian masa perinatal di rumah sakit pada tahun 2005. 18 Riset Kesehatan
Dasar Departemen Kesehatan (2007) menyebutkan kematian bayi baru lahir usia
0-6 hari paling banyak disebabkan oleh gangguan pernapasan/asfiksia (37%),
prematuritas (34%), dan sepsis (12%).19
Hal ini menunjukkan bahwa upaya resusitasi dan mengatasi gangguan
pernapasan di awal kehidupan atau segera pasca-lahir merupakan faktor penting
dalam menurunkan mortalitas bayi baru lahir. Tata laksana saat kelahiran BBLR
sangat menentukan prognosis, bukan saja dalam harapan hidup, melainkan juga
dalam morbiditas jangka panjang. Meta-analisis oleh Laswell et al 20 (2010)
menunjukkan bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu bayi dengan berat
lahir <1500 g, memiliki risiko kematian yang lebih tinggi jika lahir bukan di rumah
sakit dengan fasilitas perawatan neonatal level III. Morbiditas BBLSR tersebut
juga meningkat, hal ini berhubungan dengan tingginya kejadian perdarahan
intraventrikular dan leukomalasia periventrikular, yang berkaitan dengan
kelainan perkembangan saraf.21
Studi morbiditas jangka panjang lainnya dilakukan oleh Ribeiro et al. 22 (2011)
terhadap 1288 subyek BBLR (<2500 g) dengan usia gestasi <38 minggu, dan
menyimpulkan bahwa berat lahir rendah bersama prematuritas merupakan
risiko gangguan berbahasa pada usia 18-36 bulan. Studi oleh Robertson et al. 23
(2009) pada 1279 anak yang lahir sangat prematur (usia gestasi ≤28 minggu dan
berat lahir <1250 g), menemukan ketulian pada 3,1% kasus serta gangguan
pendengaran sedang dan berat pada 1,9% kasus. Studi tersebut menyimpulkan
bahwa penggunaan oksigen jangka lama merupakan faktor prediktor yang paling
penting untuk terjadinya gangguan pendengaran.
Kesintasan BBLR kini makin baik berkat penggunaan surfaktan dan steroid
maternal, serta kemajuan teknologi perawatan neonatal dalam 50 tahun
terakhir.24 Di negara maju bahkan viabilitas BBLR dapat tercapai mulai kelahiran
usia gestasi 23 minggu.25 Meskipun mortalitas menurun, proporsi BBLR hidup
yang kemudian mengalami gejala sisa berat seperti penyakit paru kronik, 26,27
kelainan ginjal,28,29 gangguan kognitif dan gangguan perilaku,30 palsi serebral,
serta defisit neurosensorik termasuk kebutaan 31 dan ketulian26 ternyata tetap
besar.

41
Komplikasi akut pada masa perinatal dapat berakibat gejala sisa berat pada
jangka panjang dan memengaruhi kualitas hidup pasien maupun keluarganya. 32
Bayi berisiko seperti BBLR harus ditangani di fasilitas perawatan yang sesuai
dengan kebutuhan medisnya, sehingga memfasilitasi tercapainya luaran yang
optimal. American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan
pembagian level perawatan bayi baru lahir menjadi level I, II, dan III berdasarkan
tingkat kemampuan fasilitas tersebut dalam menangani bayi baru lahir.33
Level I (pelayanan neonatal dasar) mampu melakukan stabilisasi dan
merawat bayi baru lahir usia gestasi 35-37 minggu yang secara fisiologis stabil,
serta stabilisasi usia gestasi <35 minggu maupun bayi baru lahir sakit sampai
dapat dirujuk ke fasilitas perawatan yang memadai. Level II (pelayanan neonatal
spesialistik) mampu merawat bayi baru lahir usia gestasi >32 minggu dan berat
lahir >1500 g yang memiliki fungsi fisiologis yang imatur (apne of prematurity,
tidak mampu mempertahankan suhu tubuh, dan tidak mampu menerima diet
per oral (PO), sakit sedang dengan masalah yang diperkirakan akan membaik
dalam waktu singkat dan tidak akan memerlukan perawatan subspesialistik, serta
dalam pemulihan pasca-perawatan intensif. Level III (pelayanan neonatal
subspesialistik) adalah NICU dengan kelengkapan petugas dan peralatan yang
mampu menyediakan continuous life support dan perawatan yang
komprehensif untuk bayi baru lahir berisiko sangat tinggi serta bayi dengan sakit
kompleks dan kritis.34 Level IV (pelayanan neonatal subspesialistik) mampu
menangani kasus di level III dan dapat menangani kasus kelainan kongenital
kompleks atau kelainan didapat. Di level IV kasus-kasus bedah subspesialis dapat
segara ditangani dengan adanya tenaga konsultan pediatrics
anesthesiologist dan konsultan bedah anak on site.35
Idealnya tindakan merujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih baik dilakukan pada
ibu hamil berisiko tinggi, sehingga bayi yang lahir bermasalah segera
memperoleh penanganan yang memadai di NICU. Faktanya mayoritas kelahiran
bayi bermasalah termasuk BBLR terjadi di pelayanan kesehatan tanpa fasilitas
yang memadai.36,37 Pada 30-50% kasus bayi lahir yang akhirnya memerlukan
perawatan NICU, ibu hamil baru datang ke fasilitas kesehatan pada masa
intrapartum akhir, sehingga tindakan merujuk ibu pada saat itu justru akan
berisiko.38 Riskesdas 2013 mendapatkan anemia terjadi pada 37,1% ibu hamil di
Indonesia, 36,4% ibu hamil di perkotaan dan 37,8% ibu hamil di perdesaan. 17
Mortalitas BBLR akan berhasil diturunkan jika ada koordinasi yang baik antara
pelayanan kesehatan berbasis komunitas dengan rumah sakit. Bayi prematur
yang bermasalah dapat mengalami kematian akibat ketiadaan fasilitas, SDM, dan
mekanisme merujuk yang memadai dari pelayanan tingkat komunitas sampai
dengan pelayanan Level III. Koordinasi yang komprehensif antar pelayanan
kesehatan mutlak diperlukan untuk mengurangi kematian neonatus. 39-46
Faktor yang berpengaruh buruk terhadap kesintasan BBLSR terdiri atas
kelahiran sebelum tiba di rumah sakit,40 skor APGAR rendah,41-46 tidak bernapas
spontan di ruang bersalin,43 intubasi di ruang bersalin,47-49 memerlukan kompresi
dada atau adrenalin di ruang bersalin,42 resusitasi di ruang bersalin,47

42
respiratory distress syndrome (RDS),47 hipotensi,42 dan penggunaan nasal
continuous positive airway pressure (NCPAP).42 Sedangkan faktor yang
berpengaruh memperbaiki kesintasan BBLR adalah kelahiran di fasilitas
kesehatan tersier.48,49 Faktor-faktor tersebut menunjukkan bahwa upaya
resusitasi neonatus yang tepat akan memengaruhi luaran BBLR.
Pada BBLR yang stabil, tata laksana selanjutnya adalah di ruang rawat
gabung. Untuk BBLR bermasalah misalnya mengalami ancaman gagal napas,
gagal sirkulasi atau syok, dan kelainan kongenital berat, maka tata laksana
berikutnya adalah merujuk ke ruang rawat bayi berisiko tinggi atau ke rumah
sakit lain dengan fasilitas unit perinatal yang lengkap.34,38
Bayi berat lahir sangat rendah yang memperoleh perawatan NICU
(meskipun tidak lahir di fasilitas level III tetapi mengalami rujukan),
kesintasannya lebih tinggi 21% dibandingkan dengan BBLSR yang tidak dirawat di
NICU.50 Studi epidemiologi menunjukkan bahwa BBLSR yang lahir di rumah sakit
yang mempunyai fasilitas level III, mencapai kesintasan yang lebih tinggi hingga
51% dibandingkan dengan BBLSR yang lahir di level perawatan neonatal yang
lebih rendah atau BBLSR yang mengalami rujukan.20 Dengan demikian perawatan
di NICU adalah penting untuk kesintasan BBLR, demikian pula merujuk kasus
BBLSR yang bermasalah. Dalam mengerjakan mekanisme merujuk, tenaga
kesehatan harus terlebih dahulu memastikan bahwa BBLR dalam kondisi yang
sudah stabil.
Pedoman ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi langkah-langkah
yang dapat dikerjakan di fasilitas kesehatan primer hingga tersier dalam
menangani kelahiran BBLR, dalam lingkup resusitasi, stabilisasi, dan mekanisme
merujuk. Dengan penerapan rekomendasi ini, BBLR diharapkan mendapat
penanganan yang optimal sesuai degan kondisinya, menurunkan morbiditas
neonatus, dan mengurangi risiko gejala sisa, sehingga BBLR yang hidup akan
memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

1.3. Tujuan
1.3.1.Tujuan umum
Menurunkan mortalitas dan morbiditas BBLR.

1.3.2.Tujuan khusus
a. Membuat pernyataan secara sistematis yang berdasarkan pada bukti
ilmiah (scientific evidence), untuk membantu dokter, bidan, dan
perawat tentang tata laksana BBLR dalam fase resusitasi, stabilisasi,
dan mekanisme merujuk.

43
b. Memberi rekomendasi bagi fasilitas pelayanan kesehatan primer
sampai dengan tersier serta penentu kebijakan untuk penyusunan
protokol setempat atau Panduan Praktik Klinis (PPK), dengan
melakukan adaptasi terhadap Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) ini.

1.4. Sasaran
1) Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses kelahiran BBLR,
termasuk dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat diterapkan di
fasilitas pelayanan kesehatan primer sampai dengan tersier.
2) Pembuat kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan,
serta kelompok profesi terkait.

BAB II

44
METODOLOGI

2.1. Penelusuran kepustakaan


Penelusuran bukti sekunder berupa meta-analisis, telaah sistematik, ataupun
guidelines berbasis bukti sistematik dilakukan pada situs Cochrane
Systematic Database Review, Bandolier (http://www.medicine.
ox.ac.uk/bandolier/), dan ACP Journal Club
(http://www.acpjc.org/) memakai kata kunci “low birth weight” pada
judul artikel yang dipublikasikan dalam 15 tahun terakhir, dan menghasilkan 50
artikel. Setelah dilakukan penelaahan lebih lanjut terhadap judul dan abstrak, 3
artikel dianggap relevan dengan topik “Manajemen BBLR resusitasi,
stabilisasi, dan mekanisme merujuk”.
Penelusuran bukti primer dilakukan pada mesin pencari TRIP database
(www.tripdatabase.com) dan Pubmed. Pencarian mempergunakan kata
kunci “low birth weight” yang terdapat pada judul artikel, dengan
batasan publikasi bahasa Inggris dan dalam waktu 15 tahun terakhir,
menghasilkan 7045 artikel. Setelah penelaahan lebih lanjut terhadap judul dan
abstrak, sebanyak 36 artikel dianggap relevan dengan topik PNPK ini.

2.2. Penilaian – telaah Kritis Pustaka


Setiap evidence yang diperoleh telah dilakukan telaah kritis oleh dua pakar
dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak.

2.3. Peringkat bukti (hierarchy of evidence)


Levels of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi yang dikeluarkan oleh
Oxford Centre for Evidence-based Medicine Levels of Evidence i yang
dimodifikasi untuk keperluan praktis, sehingga peringkat bukti adalah sebagai
berikut:
IA metaanalisis, telaah sistematik
IB uji klinis yang besar dengan validitas yang baik
IC all or none
II uji klinis tidak terandomisasi
III studi observasional (kohort, kasus kontrol)
IV konsensus dan pendapat ahli

2.4. Derajat rekomendasi


Berdasarkan peringkat bukti, rekomendasi/simpulan dibuat sebagai berikut:

45
1) Rekomendasi A bila berdasar pada bukti level IA atau IB.
2) Rekomendasi B bila berdasar atas bukti level IC atau II.
3) Rekomendasi C bila berdasar atas bukti level III atau IV.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bayi berat lahir rendah adalah bayi dengan berat lahir (BBLR) <2500 g. 8,10 Bayi
berat lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu bayi berat lahir <1500 g dan bayi berat
lahir amat sangat rendah (BBLASR) adalah bayi berat lahir <1000 g. Makin rendah
usia gestasi dan makin rendah berat lahir bayi, makin berat pula stres fisiologis
dan inflamasi yang dapat dialaminya. Respons tubuh terhadap stres pada
masing-masing kelompok BBLR berdasarkan penggolongan berat lahir berbeda-
beda,24 oleh sebab itu dalam tata laksana resusitasi, stabilisasi, dan mekanisme
merujuk pada tiap kelompok tersebut juga berbeda.

3.1. RESUSITASI
Sekitar 10% bayi membutuhkan intervensi bantuan untuk mulai bernapas
saat lahir dan 1% membutuhkan intervensi yang lebih ekstensif. 51 Panduan baru
untuk resusitasi bayi baru lahir disusun oleh The International Liaison
Committee on Resuscitation (ILCOR), American Heart Association
(AHA), American Academy of Paeditrics (AAP) dan Ikatan Dokter Anak

46
Indonesia (IDAI) 2017 dan menyatakan kunci kesuksesan resusitasi bayi baru lahir
adalah ventilasi yang efektif.18,52,53 Rekomendasi utama resusitasi neonatus
menurut ILCOR, AHA 2015 dan IDAI 2017 adalah sebagai berikut (Gambar 1)
yaitu:ii
• Setiap usaha resusitasi neonatus harus didahului oleh persiapan yang baik.
Persiapan resusitasi meliputi konsultasi antenatal, persiapan tim penolong dan
persiapan tempat beserta alat-alat resusitasi.54-56
• Penilaian awal kondisi bayi sesaat setelah dilahirkan akan menentukan perlu
tidaknya resusitasi neonatus. Penilaian ini berupa penilaian tonus otot dan
usaha nafas. Jika terdapat tonus otot atau usaha napas yang buruk maka bayi
harus segera mendapat resusitasi.18
• Resusitasi harus selalu didahului oleh langkah awal yang terdiri dari
meletakkan bayi dibawah infant warmer, membersihkan jalan napas jika
terdapat sumbatan, mengeringakan dan merangsang taktil dan memosisikan
bayi dalam posisi
menghidu.18,57

• Tindakan resusitasi selanjutnya setelah langkah awal ditentukan oleh


penilaian simultan dua tanda vital, yaitu frekuensi denyut jantung dan
pernapasan. Oksimetri digunakan untuk menilai oksigenasi karena penilaian
warna kulit tidak dapat diandalkan.57
• Apabila bayi tidak bernapas (apnea) ataupun bernapas sangat lemah
(gasping) maka ventilasi tekanan positif yang efektif harus segera dilakukan
sesegera mungkin.57
• Resusitasi bayi cukup bulan lebih baik dilakukan dengan udara kamar (FiO 2
21%) oksigen konsentrasi rendah (FiO2 30%) untuk neonatus dengan usia
kehamilan kurang dari 35 minggu.58,59

• Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara


(blended oxygen), dan pengaturan konsentrasi oksigen berdasarkan
panduan oksimetri.18
• Bukti yang ada tidak menganjurkan dilakukannya pengisapan trakea secara
rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur mekonium, bahkan pada bayi
dalam keadaan tidak
bugar/depresi (lihat keterangan pada Langkah Awal).60

47
• Rasio kompresi dada dan ventilasi efektif adalah 3 banding 1.61-66
• Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup bulan atau
mendekati cukup bulan dengan perkembangan kearah terjadinya ensefalopati
hipoksik iskemik sedang atau berat, dengan protokol dan tindak lanjut sesuai
panduan.58
• Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung
selama 10 menit. Banyak faktor berperan dalam keputusan melanjutkan
resusitasi setelah 10 menit.67-71

• Penjepitan tali pusat harus ditunda sedikitnya 30 detik sampai 3 menit untuk
bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Tidak terdapat cukup bukti untuk
merekomendasikan lama waktu penjepitan talipusat pada bayi yang
memerlukan resusitasi.51,54

48
Gambar 1. Algoritma resusitasi bayi baru lahir rekomendasi IDAI. 18
Rekomendasi AHA modifikasi IDAI (2017)18 menyatakan bahwa kita dapat
melakukan penilaian cepat pada bayi baru lahir, yaitu memutuskan seorang bayi
memerlukan resusitasi atau berdasarkan dua karakteristik berikut:
1) Menangis atau bernapas?

49
2) Tonus otot baik?

Penilaian usia kehamilan sesuai rekomendasi AHA tidak diprioritaskan


karena memerlukan ketrampilan khusus dan waktu dalam menilai usia
kehamilan. Jika jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah “ya”,
maka bayi memerlukan perawatan rutin, tidak memerlukan resusitasi dan
tidak boleh dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diposisikan kontak kulit
dengan kulit (skin-to-skin) pada ibu, dan diselimuti dengan linen kering untuk
mempertahankan temperatur. Selanjutnya tenaga kesehatan tetap melakukan
pemantauan pernapasan, aktivitas, dan warna bayi.18
Jika ada jawaban “tidak” dari kedua pertanyaan tersebut, maka langkah
yang harus dikerjakan berikutnya secara umum serupa dengan rekomendasi oleh
ILCOR, AHA, AAP dan IDAI yaitu dilakukan satu atau lebih tindakan secara
berurutan di bawah ini:72-74
A. Langkah awal memberikan kehangatan, membersihkan jalan napas jika
diperlukan, mengeringkan, dan memberi stimulasi
B. Ventilasi tekanan positif yang efektif jika bayi apnea atau pertimbankan
pemberian CPAP jika bayi mengalami sesak napas
C. Kompresi dada
D. Pemberian epinefrin dan/atau cairan penambah volume.
Waktu 60 detik (the Golden Minute) diberikan untuk melengkapi
langkah awal, menilai kembali, dan memulai ventilasi. Tindakan lanjut
meneruskan ventilasi dengan meningkatkan oksigenisasi pada 30 detik berikut,
dan apabila tidak berhasil dilanjutkan dengan 60 detik berikut dengan tambahan
tindakan kompresi dada. Empat langkah tersebut dilakukan secara simultan.
Keputusan petugas resusitasi untuk melanjutkan dari satu langkah ke langkah
berikutnya adalah berdasarkan evaluasi laju denyut jantung, usaha napas
pernapasan dan tonus otot.18 Petugas resusitasi maju ke langkah berikutnya jika
langkah sebelumnya sudah dikerjakan dengan baik. Berikut adalah penjelasan
untuk tiap-tiap langkah tersebut di atas:

1. Langkah awal
Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan meletakkan
bayi di bawah penghangat atau radiant warmer, memosisikan bayi pada
posisi menghidu (posisi setengah ekstensi) untuk membuka jalan napas,
membersihkan jalan napas jika perlu, mengeringkan bayi, dan memberi
stimulasi napas. Penggunaan topi dan plastik transparan yang menutupi bayi
(BBLSR) sampai leher dapat digunakan untuk mencegah kehilangan panas
tubuh secara konveksi dan evaporasi.18,54 Membersihkan jalan napas atas
dilakukan sebagai berikut:

50
• Jika cairan amnion jernih, pengisapan langsung pada orofaring segera
setelah lahir tidak dilakukan secara rutin, tetapi hanya dilakukan pada
bayi yang mengalami obstruksi napas dan yang memerlukan VTP. 75,76

• Jika terdapat mekonium dan bayi tidak bugar atau depresi, bukti yang ada
tidak menganjurkan pengisapan trakea secara rutin.60
2. Ventilasi tekanan positif
Pimpinan resusitasi harus segera memberikan VTP bila bayi mengalami apne
atau gasping, atau laju denyut jantung <100 per menit. Ventilasi tekanan
positif (VTP) yang dilakukan harus efektif sehingga mampu mengembalikan
usaha napas hampir semua bayi baru lahir yang apne atau bradikardia.
Ventilasi tekanan positif yang efektif ditandai dengan pengembangan dada,
peningkatan laju denyut jantung dan peningkatan saturasi pada monitor
saturasi (SpO2).18,57
Sebaiknya VTP yang efektif sudah teridentifikasi paling lama 15 detik pasca
VTP dimulai oleh asisten sirkulasi.
Pimpinan resusitasi harus menghentikan VTP jika teridentifikasi tidak efektif
dan mulai melakukan langkah koreksi.
Langkah koreksi yang dilakukan agar VTP menjadi efektif adalah sebagai
berikut : reposisi sungkup agar perlekatan menjadi sempurna dan tidak
bocor, reposisi kepala menjadi posisi menghidu, membersihkan saluran
napas dari lendir yang menyumbat, membuka mulut agar lebih terbuka,
menaikkan tekanan puncak inspirasi secara bertahap namun tidak lebih dari
40 cmH2O dan lakukan pemasangan sungkup laring atau intubasi orotrakeal
sebagai jalan akhir.54
Apabila dalam 30 detik VTP efektif tidak berhasil meningkatkan laju denyut
jantung di atas 60x/menit, maka segera lakukan intubasi endotrakeal atau
pemasangan sungkup laring dan tingkatkan pemberian oksigen menjadi
100%.57

3. Kompresi dada
Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung <60 denyut per
menit setelah ventilasi dilakukan secara efektif selama 30 detik. Untuk
neonatus, rasio kompresi berbanding ventilasi efektif adalah 3:1, yang
berarti setiap 3 kali kompresi dada harus di berikan 1 VTP efektif. Kompresi
dada dan VTP efektif harus dilakukan secara sinkron dengan durasi 2 detik
untuk setiap 3 kompresi dada dan 1 VTP efektif. Kompresi dada dan VTP
efektif ini dilakukan selama 60 detik tanpa jeda.
Titik penekanan kompresi dada adalah pertengahan antara processus
xyphoideus dan garis imajiner yang menghubungkan kedua mamae.

51
Kedalaman kompresi dada adalah 1/3 diameter antero-posterior dinding
dada bayi. Terdapat 2 teknik kompresi dada yang umum digunakan yaitu
teknik 2 ibu jari dan teknik 2 jari (jari tengah dan telunjuk). Pastikan dada
mengembang saat VTP diberikan dengan cara tidak menekan diding dada. 54,61-
66
Kompresi dada dihentikan sementara pasca 30 siklus kompresi dada (60
menit) untuk memberikan kesempatan pada asisten sirkulasi menilai laju
denyut jantung. Langkah resusitasi selanjutnya akan ditentukan oleh laju
denyut jantung dan usaha napas seperti tertera pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Langkah resusitasi didasari pada laju denyut jantung dan usaha napas
Laju denyut jantung Usaha napas Tindakan resusitasi lanjutan

< 60x/menit Apnea Pemberian Adrenalin dilanjutkan


dengan kompresi dada dan VTP efektif

>60x/menit Apnea Hentikan kompresi dada ,


lanjutkan VTP efektif
>100 x /menit Bernafas spontan Hentikan VTP efektif, pertimbangan
pemberian CPAP PEEP 7 cmH2O sampai
bayi bernapas adekuat

4. Medikamentosa
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun jika
frekuensi denyut jantung tetap <60 per menit walaupun telah diberikan
ventilasi efektif dengan oksigen 100% dan kompresi dada secara sinkron
selama 60 detik, maka terindikasi pemberian obat Adrenalin atau Epinefrin.
Konsentrasi adrenalin/epinefrin yang direkomendasikan adalah 1/10.000
(0,1 mg/mL adrenalin/epinefrin).77
Terdapat 2 jalur pemberian adrenalin/epinefrin yaitu intratrakeal dan
intravena. Pemberian adrenalin /epinefrin melalui jalur intratrakeal bukan
merupakan pilihan karena beberapa penelitian menemukan tingkat
keamanan dan efikasi tidak sebaik pemberian adrenalin/epinefrin intravena,
tetapi pemberian intratrakeal dapat diberikan sambil menunggu
tersedianya akses intravena.54,57,78

Dosis adrenalin/epinefrin intratrakeal yang


direkomendasikan adalah 0,05-0,1 mg/kgBB setara dengan 0,51 mL/KgBB
larutan adrenalin/epinefin. Diberikan tanpa dilakukan flusing dengan

52
larutan NaCl 0,9% dan dilanjutkan dengan VTP. Sementara dosis intravena
yang direkomendasikan adalah 0,1 sampai 0,3 mL/KgBB larutan 0,1 mg/mL
larutan adrenalin/epinefrin ( perbandingan 1:10.000). Q2016, Eu 2015 Dosis
intravena lebih kecil dari dosis intratrakeal dan membutuhkan flushing NaCl
0,9% 2-3 ml sesudah diberikan. Pemberian dapat diulang 2-3 menit kemudian
apabila frekuensi nadi masih kurang dari 60 kali/menit.77
Pemberian volume expanders dipertimbangkan jika diketahui atau diduga
terjadi kehilangan darah dan frekuensi denyut jantung bayi tidak
menunjukkan respons adekuat terhadap upaya resusitasi lain. NaCl 0,9% atau
darah dapat diberikan dengan dosis 10 mL/kg dan dapat diulangi sesuai
kebutuhan.57 Masa sejak bayi lahir sampai dilakukannya ventilasi, dikenal
sebagai the golden minute untuk resusitasi. Resusitasi kardiopulmoner
dilakukan selama 10 menit dan setelahnya dapat dihentikan jika tidak ada
denyut jantung. Setelah resusitasi yang adekuat, resusitasi dapat dihentikan
jika tidak ada denyut jantung (asistol) selama 10 menit. 58
Pada semua bayi, skor Apgar harus dicatat pada menit ke-1 dan menit ke-5,
dan pada bayi yang diresusitasi ditambah dengan skor Apgar menit ke-10
(Tabel 2). Skor Apgar dinilai dengan 0, 1, atau 2 dengan skor total minimal 0
dan maksimal 10, tapi tidak memengaruhi tindakan resusitasi.79

Tabel 2 Skor APGAR74


Kriteria 0 1 2
Warna Seluruhnya pucat Tubuh merah muda, Seluruh tubuh dan
(Appearance) atau kebiruan ekstremitas kebiruan ekstremitas
berwarna merah muda

Denyut Tidak ada < 100 kali per menit >100 kali per menit
Jantung
(Pulse)
Refleks Tidak ada respon Meringis/menangis lemah Menangis/bergerak
(Grimace) aktif
Tonus Otot Tidak ada/lumpuh Sedikit fleksi Bergerak aktif
(Activity)
Pernapasan Tidak ada Lemah dan iregular Menangis kuat,
(Respiration) pernapasan baik dan
teratur

Pada bayi yang sangat prematur (< 25 minggu), keputusan untuk


melakukan resusitasi masih kontroversi, karena kemungkinan keberhasilannya
yang kecil. Pada bayi sangat prematur yang berhasil diresusitasi pun, beberapa
studi melaporkan luaran yang beragam dengan berbagai gejala sisa. 80,81 Oleh
sebab itu ketika seorang tenaga kesehatan menghadapi kelahiran bayi yang

53
sangat prematur, resusitasi sebaiknya tetap dimulai. Sementara meresusitasi,
tenaga kesehatan mengevaluasi kemungkinan prognosis dan selanjutnya
memutuskan hendak menghentikan atau melanjutkan resusitasi yang telah
dimulainya itu.
Resusitasi hampir selalu diindikasikan pada kasus yang kesintasannya
tinggi atau kasus yang kemungkinan morbiditasnya dapat diterima.82 Tindakan
resusitasi tidak terindikasi pada kasus dengan usia gestasi, berat lahir, ataupun
kelainan kongenital yang hampir pasti menyebabkan kematian dini atau
morbiditas yang sangat berat, misalnya bayi yang sangat prematur (< 25 minggu).
Pada kasus yang prognosisnya tidak pasti, misalnya kasus dengan kesintasan
borderline dan morbiditas yang relatif tinggi, maka keputusan untuk resusitasi
harus melibatkan pertimbangan
orangtua.83,84

Resusitasi dilakukan pada kasus yang kesintasannya tinggi


atau yang kemungkinan morbiditasnya dapat diterima.
Tindakan resusitasi tidak dilakukan pada kasus dengan usia
gestasi, berat lahir, ataupun kelainan kongenital yang hampir
pasti menyebabkan kematian dini atau morbiditas yang sangat
berat. Pada kasus yang prognosisnya tidak pasti, keputusan
untuk resusitasi harus melibatkan pertimbangan orangtua.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Pada bayi yang tidak berespons terhadap resusitasi adekuat selama 10


menit, kemungkinan bayi hidup adalah kecil. Selain itu jika saja resusitasi
berhasil, risiko morbiditas terutama kelainan neurologis adalah besar. Oleh sebab
itu resusitasi bayi baru lahir dapat dihentikan jika setelah resusitasi yang adekuat
tidak terdapat denyut jantung setelah 10 menit. Resusitasi dapat dilanjutkan
setelah 10 menit tersebut, jika (1) dipertimbangkan resusitasi ada kemungkinan
berhasil, dan (2) orangtua (yang telah diedukasi sebelumnya) menyatakan akan
menerima risiko morbiditas yang dapat timbul.85 Belum ada bukti yang cukup
untuk memutuskan akan menghentikan atau melanjutkan resusitasi pada bayi
baru lahir yang tetap bradikardia setelah 10 menit dengan resusitasi adekuat. 86,87

54
Resusitasi bayi baru lahir dapat dihentikan jika setelah
resusitasi yang adekuat tidak terdapat denyut jantung selama
10 menit.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Pemberian ventilasi bantuan dalam resusitasi dapat diberikan dengan


balon mengembang sendiri83 (Gambar 2)88 Pada BBLR, alat yang sebaiknya
digunakan adalah pompa yang mampu memberikan tekanan positif akhir
ekspirasi (TPAE) dan tekanan puncak inspirasi (TPI) terukur (Gambar 3). Dalam
resusitasi yang membutuhkan continuous positive airway pressure (CPAP)
di kamar bersalin, dapat digunakan alat T-piece resuscitator (Gambar 4).

Gambar 2 Balon mengembang sendiri89

Gambar 3 Balon resusitasi yang dapat memberikan TPAE dan TPI


terukur

55
Gambar 4 T-piece resuscitator89

56
Gambar 5 T-piece resuscitator dengan blender O 2, sumber O2 bertekanan
(FiO2 100%), dan gas medis/kompresor (FiO2 21%) untuk pemberian O2
dengan konsentrasi O2 yang diinginkan.

Tabel 3 Perbandingan alat untuk pemberian VTP 89


Jenis alat Kelebihan Kelemahan
Balon 1. Selalu terisi setelah 1. Tetap mengembang
mengembang diremas walaupun tidak terdapat
sendiri atau walaupun tanpa perlekatan antara sungkup
self inflating sumber gas bertekanan dan wajah bayi
bag 2. Katup pelepas tekanan Membutuhkan reservoir
berfungsi untuk oksigen untuk mendapatkan
menjaga oksigen kadar tinggi
agar tidak terjadi
pengembangan

balon yang berlebihan 2. Tidak dapat digunakan dengan


baik untuk memberikan
oksigen aliran bebas melalui
sungkup
3. Tidak dapat digunakan untuk
memberikan CPAP dan baru
dapat memberikan TPAE bila
ditambahkan katup
TPAE

T-piece 1. Tekanan konsisten 5. Membutuhkan aliran gas


resuscitator 2. Pengatur TPI dan TPAE bertekanan
dapat diandalkan 6. Pengaturan tekanan dilakukan
3. Dapat mengalirkan sebelum digunakan
oksigen 100% 7. Mengubah tekanan inflasi
4. Operator tidak lelah selama resusitasi akan lebih
karena sulit
memompa 8. Risiko waktu inspirasi
memanjang

Pada fasilitas yang tidak memiliki blender oksigen ataupun Ytube,


pemberian oksigen resusitasi dapat dilakukan menggunakan modifikasi balon
mengembang sendiri sehingga menghasilkan FiO2 21%, 40%, dan 100% (Gambar
6).

57
Gambar 6 Modifikasi terapi oksigen dalam resusitasi dengan
balon mengembang sendiri pada fasilitas terbatas
1. Penggunaan oksigen pada resusitasi: oksigen ruangan (fraksi
oksigen 21%), fraksi oksigen 100%, atau
lainnyaiii,iv,v,vi,vii

58
Berdasarkan meta analisis dari 7 uji klinis terandomisasi yang membandingkan
inisiasi pemberian oksigen konsentrasi tinggi
(≥65%) dan oksigen konsentrasi rendah (21%-30%) pada resusitasi dari bayi
baru lahir prematur (usia kehamilan kurang dari 35 minggu) menunjukkan tidak
ada perbedaan lama waktu perawatan di rumah sakit.90-96 Demikian pula, pada
studi-studi lainnya yang menilai outcome tersebut, tidak terdapat manfaat
untuk mencegah terjadinya displasia bronkopulmoner,91,93-96 perdarahan
intraventrikular, dan retinopati pada bayi premature.91,94,95 Ketika target saturasi
digunakan sebagai terapi tambahan, konsentrasi oksigen pada udara resusitasi
dan saturasi oksigen preductal didapatkan adanya persamaan antara grup yang
mendapat oksigen konsentrasi tinggi dan grup yang mendapat oksigen
konsentrasi rendah pada 10 menit pertama kehidupan.91,94
Pada semua studi95, terlepas dari penggunaan oksigen pada inisiasi
resusitasi dengan konsentrasi oksigen udara bebas (21%) atau oksigen
konsentrasi tinggi (≥65% sampai 100%), hampir seluruh bayi berada
pada kadar oksigen 30% saat stabilisasi. Resusitasi bayi prematur dengan usia
kehamilan kurang dari 35 minggu harus diinisiasi / diawali dengan oksigen
konsentrasi rendah (21%-30%), dan konsentrasi oksigen tersebut harus dititrasi
hingga mencapai saturasi oksigen preductal yang mendekati ukuran kisaran
interkuartil pada bayi baru lahir yang sehat setelah dilahirkan pervaginam pada
ketinggian sejajar permukaan laut.123 (Level of Evidence 1A, Rekomendasi A).
Mengawali resusitasi bayi prematur dengan oksigen konsentrasi
tinggi (≥65%) tidak direkomendasikan. (Level of Evidence 1A,
Rekomendasi A). Rekomendasi ini mencerminkan kecenderungan untuk tidak
memaparkan bayi baru lahir prematur dengan oksigen tambahan tanpa data
yang menunjukkan bukti adanya manfaat atau untuk luaran yang penting.

Resusitasi awal (initial resuscitation) sebaiknya dilakukan


dengan udara ruangan. Resusitasi awal dengan udara ruangan
dapat menurunkan mortalitas dan disabilitas neurologis pada
bayi baru lahir bila dibandingkan dengan pemberian oksigen
100%.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Pemberian oksigen dapat ditingkatkan hingga mencapai 100%


bila resusitasi awal dengan udara ruangan gagal.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

59
Alur IDAI (Gambar 1) merekomendasikan penggunaan pencampur
oksigen (blender) (Gambar 7) untuk mengatur konsentrasi oksigen selama
proses resusitasi, dan sementara itu pulse oxymeter tetap dipasang untuk
memantau saturasi oksigen (Gambar 8).58 Pemantauan dengan pulse
oxymeter harus dilakukan pada semua neonatus yang mendapatkan terapi
oksigen.97 Untuk mengurangi kemungkinan artefak akibat gerak bayi,
pengukuran saturasi oksigen (SpO2) dan denyut jantung menggunakan pulse
oximeter khusus bayi.

Pengukuran saturasi oksigen dan denyut jantung


menggunakan pulse oximeter hasilnya terpercaya jika
dilakukan mulai 30 detik pasca lahir saat dimulainya tindakan
ventilasi tekanan positif.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

a b c

Gambar 7.
a. Pencampur oksigen (blender) dengan T-piece resuscitator tampak depan.
b. Pencampur oksigen (blender) dengan T-piece resuscitator tampak samping.
c. Pengatur FiO2 blender xxx .97

60
Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) janin adalah 15-30 mmHg dan
menghasilkan saturasi oksigen (SpO2) 45-55%. Setelah kelahiran, nilai ini akan
meningkat dalam beberapa menit menjadi 50-80 mmHg (SpO 2 >90%), tergantung
pada fungsi paru, sirkulasi pulmonal, dan adanya stresor lain saat persalinan.
Kadar oksigen pada fetus yang beralih menjadi neonatus mengalami peningkatan
secara bertahap dalam 5-10 menit pertama setelah lahir.98 Mekanisme
pertahanan antioksidan sebenarnya secara alami baru terbentuk pada usia
gestasi yang lanjut, oleh sebab itu bayi yang sangat prematur rentan terhadap
hiperoksia.99
Oksigen ruangan telah terbukti bermanfaat untuk mengatasi asfiksia pada
bayi cukup bulan.96,100,101 Pada bayi kurang bulan, beberapa studi prospektif
membandingkan efek penggunaan oksigen konsentrasi rendah dan tinggi selama
resusitasi, namun studi-studi tersebut tidak melakukan evaluasi dalam jangka
panjang, seperti evaluasi perkembangan saraf yang merupakan parameter
penting untuk efek samping terapi oksigen.95,102,103
Saugstad et al104 (2008) menyatakan bahwa pada bayi baru lahir,
penggunaan oksigen ruangan (fraksi oksigen (FiO2) 21%) menurunkan risiko
mortalitas dan HIE. Resusitasi dengan VTP dimulai dengan oksigen ruangan (FiO 2
21%), kemudian ditingkatkan/dititrasi sesuai dengan kebutuhan neonatus.
Beberapa studi menyimpulkan bahwa pada bayi kurang bulan dengan berat lahir
>1000 g, resusitasi menggunakan udara ruangan menurunkan mortalitas
dibandingkan dengan resusitasi menggunakan FiO2 100% (21% vs. 35%, rasio
odds (RO) 0,51: interval kepercayaan 95% (IK95%) 0,28-0,9;P<0,02). 104-106 Namun
sebenarnya belum ada bukti yang memadai untuk menetapkan fraksi oksigen
untuk resusitasi bayi usia gestasi 32-37
minggu.58viii,ix,x,xi
Pada bayi usia gestasi <32 minggu, resusitasi yang dimulai dengan udara
ruangan atau FiO2 100% berisiko menghasilkan hipoksemia atau hiperoksemia,
dibandingkan dengan FiO2 30% atau 90% yang kemudian dititrasi.95,103 Pada BBLR
usia gestasi <32 minggu, Wang et al96 (2008) menunjukkan bahwa resusitasi
dengan udara ruangan (FiO2 21%) gagal mencapai target SpO2 70% dalam 3 menit
pertama kehidupan. Beberapa studi lain menyatakan pada bayi kurang bulan usia
gestasi ≤28 minggu, resusitasi yang dimulai dengan oksigen 30% akan
menurunkan stress oksidatif, inflamasi, kebutuhan oksigen, dan risiko
BPD.10,95,107,108 Pada BBLSR, Stola dkk109 (2009) menyimpulkan bahwa resusitasi
dapat dimulai dengan udara ruangan tanpa menimbulkan morbiditas yang
bermakna.

Selama resusitasi, pencampur oksigen (blender) digunakan


untuk mengatur konsentrasi oksigen dan pulse oxymeter
dipasang untuk memantau saturasi oksigen.

61
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Resusitasi bayi usia gestasi <35 minggu dimulai dengan fraksi


oksigen 30% atau Hal ini dilakukan dengan panduan oksimeter
dan blender oksigen.
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

Pada semua bayi usia gestasi 36 minggu atau lebih, IDAI


merekomendasikan untuk memulai resusitasi dengan udara kamar (FiO 2 21%).18
Suplementasi oksigen baru diberikan pada resusitasi jika kondisi bayi tidak
membaik atau SpO2 dibawah target saturasi berdasarkan waktu (usia 1 menit: 60
sampai 65%, usia 2 menit: 65% sampai 70%, 3 menit: 70% sampai 75%, 4 menit:
75% sampai 80%, 5 menit: 80% sampai 85%, 10 menit: 85% sampai 95%. 18
Pengaturan FiO2 berikutnya disesuaikan ketika saturasi telah mencapai >90%.
Untuk mencegah toksisitas oksigen terjadi, maka terapi oksigen diberikan dengan
target mempertahankan PaO2 <100 mmHg dan SpO2 88-92%.18
Namun pada fasilitas terbatas, campuran oksigen dapat dilakukan
dengan:48
• Sumber oksigen dengan udara bertekanan yang dihubungkan dengan
konektor Y

Gambar 9Sumber oksigen dengan udara bertekanan


yang dihubungkan dengan konektor Y

• Konsentrator oksigen dengan kompresor udara

Gambar 10 Konsentrator oksigen

62
• T-piece resuscitator (mixsafe®) dengan mini kompresor

Gambar 11 Mixsafe®
Pemberian campuran oksigen dan udara bertekanan tersebut dapat
dilakukan dengan panduan tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Panduan campuran oksigen dan udara bertekanan

Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2017.18 (dengan modifikasi)

Untuk menyederhanakan tabel pemberian campuran oksigen dan udara


tekan, digunakan prinsip rule of eight. Misalnya klinisi ingin memulai ventilasi
dengan memberikan oksigen berkonsentrasi 21%, maka dapat digunakan 8 L

63
udara tekan, tanpa oksigen murni. Begitu pula dengan oksigen 100% didapatkan
dari 8 L oksigen murni tanpa udara tekan. Bila konsentrasi oksigen dinaikkan
menjadi 31%, klinisi dapat menggunakan udara tekan 7 L per menit dengan
kombinasi 1 L per menit oksigen murni, demikian
seterusnya seperti pada tabel yang diarsir.18

Pada fasilitas terbatas, dimana pencampur oksigen (blender)


tidak tersedia, resusitasi bayi usia gestasi <35 minggu dimulai
dengan udara ruangan atau fraksi oksigen 21%. Suplementasi
oksigen diberikan pada resusitasi jika kondisi bayi tidak
membaik dalam pemantauan saturasi oksigen tiap menit
(sesuai algoritme resusitasi).
Level of evidence I, derajat rekomendasi A

Pada fasilitas terbatas, bayi usia gestasi > 35 minggu,


resusitasi dimulai dengan udara ruangan atau fraksi oksigen
21%. Suplementasi oksigen diberikan pada resusitasi jika
kondisi bayi tidak membaik dalam pemantauan saturasi
oksigen tiap menit (sesuai algoritme resusitasi).
Level of evidence I, derajat rekomendasi A

Pada bayi kurang bulan yang memerlukan bantuan ventilasi, dengan


bantuan alat, tekanan inisial yang dapat diberikan adalah 20-25 cmH 2O. Jika
besarnya tekanan tidak dapat diketahui karena keterbatasan fasilitas, maka
besarnya inflasi yang diberikan adalah inflasi minimal yang sudah dapat
menimbulkan peningkatan denyut jantung. Petugas resusitasi harus menghindari
pengembangan dinding dada yang berlebihan. Jika dengan tekanan inisial 20-25
cmH2O tersebut belum tercapai peningkatan denyut jantung dan pergerakan
dinding dada, maka pemberian tekanan yang lebih besar dapat diberikan
sehingga menghasilkan ventilasi yang efektif. Pada bayi kurang bulan yang apne
pasca-lahir, bantuan ventilasi inisial dengan TPAE perlu diberikan jika fasilitas
tersedia.110

Pada bayi kurang bulan yang memerlukan bantuan ventilasi,


dengan bantuan alat, tekanan inisial yang dapat diberikan
adalah 20-25 cmH2O.

64
Level of evidence III, derajat rekomendasi C

2. Imaturitas sistem respirasi: penggunaan continuous


positive airway pressure

Pada bayi kurang bulan yang bernapas spontan tetapi mengalami gangguan
napas, dapat diberi bantuan dengan CPAP atau intubasi dan ventilasi mekanis.58
Pada BBLR yang memerlukan, intubasi dan surfaktan diberikan sebagai upaya
untuk membantu pematangan sistem respirasi. Continuous positive airway
pressure dini dianjurkan pada bayi <32 minggu, dapat menurunkan mortalitas
dan kejadian gagal napas pada BBLR.111
Tiga uji klinis acak terkontrol melibatkan 2358 bayi lahir prematur (usia
kehamilan <30 minggu) menunjukkan penggunaan CPAP segera pada bayi baru
lahir lebih bermanfaat dibandingkan dengan intubasi dan PPV. Penggunaan CPAP
dini berdampak pada menurunnya tindakan intubasi di ruang bersalin,
menurunnya durasi pemakaian ventilasi mekanik, mengurangi kematian atau
displasia bronkopulmoner. Penggunaan CPAP dini tidak berhubungan bermakna
dengan peningkatan kejadian air leak syndrome atau perdarahan
intraventrikel yang berat. Berdasarkan bukti tersebut, bayi prematur yang
bernapas spontan dengan sesak napas dapat dibantu dengan penggunaan CPAP
dini.21,112,113

Selama resusitasi neonatus, intubasi endotrakeal dilakukan jika terdapat


indikasi diantaranya ketika bag-mask tidak efektif atau digunakan
berkepanjangan, terdapat penekanan pada rongga dada, atau terdapat kondisi
khusus seperti hernia diafragma kongenital. Saat PPV dilakukan dengan intubasi
endotrakea, indikator terbaik dalam mengetahui keberhasilan inflasi dan aerasi
paru-paru adalah dengan meningkatnya denyut jantung. Namun, studi pada
tahun 2010 membahas bahwa deteksi pengeluaran CO2 tetap membutuhkan
konfirmasi penempatan ETT dengan metode yang reliabel. Kegagalan dalam
mendeteksi pengeluaran CO2 pada neonatus dengan cardiac output yang
adekuat menunjukkan secara kuat bahwa intubasi yang dilakukan adalah intubasi
esofageal.
Sedikitnya atau ketiadaan dari aliran darah ke paru-paru (misalnya selama
henti jantung) dapat mengakibatkan kegagalan dalam mendeteksi pengeluaran
CO2 meskipun penempatan ETT dilakukan dengan benar di trakea dan dapat
mengakibatkan ekstubasi dan reintubasi yang tidak perlu pada bayi baru lahir
dengan kondisi kritis. Penilaian klinis seperti pergerakan dada, suara napas yang
simetris dan kondensasi pada ETT adalah indikator tambahan bawa ETT
ditempatkan dengan benar.18,21,112,113

65
Studi lain merekomendasikan intubasi dini untuk pemberian surfaktan
profilaksis pada BBLSR segera di kamar bersalin. Finer et al 113 (2010)
merekomendasikan CPAP dini (sejak di kamar bersalin) sebagai alternatif dari
intubasi dini dan surfaktan profilaksis dalam satu jam pasca-lahir, pada bayi
BBLASR dengan usia gestasi 24-28 minggu.

Pada BBLSR yang bernapas spontan dan teratur saat lahir,


bantuan pernapasan diberikan CPAP dengan PEEP 7 cmH2O.
Jika bayi masih retraksi, tekanan CPAP dapat ditingkatkan
menjadi maksimal 8 cmH2O.
Pertimbangkan pemberian surfaktan jika masih didapati sesak
napas walaupun sudah mendapat CPAP 8 cmH2O.
Pemberian surfaktan dapat diberikan dengan metode INSURE
(intubate-surfactant-extubate) atau metode MIST (minimally
invasive surfactant therapy).
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

3. Terapi Surfaktan

Saat ini pemberian surfaktan berperan penting dalam manajemen bayi dengan
Respiratory Distress Syndrome. Sejak tahun 2013 dengan membaiknya
penggunaan steroid prenatal, surfaktan profilaksis (pemberian surfaktan pada
bayi baru lahir <28 minggu sebelum mengalami sesak napas) sudah tidak
direkomendasikan. Pemberian CPAP dini menjadi pilihan pertama untuk
mencegah sesak napas bayi prematur. Jika terdapat tanda tanda gagal CPAP
(masih didapati sesak napas walaupun sudah menggunakan tekanan 8 cmH 2O
Fio2 >40%) maka terindikasi pemberian surfaktan (surfactant rescue).
Beberapa uji klinis membuktikan pemberian surfaktan ini dapat mencegah
penggunaan ventilator mekanik, displasia bronkopulmoner, dan memperpendek
lama rawat. Surfaktan sebaiknya diberikan sedini mungkin pada bayi yang
mengalami RDS dan gagal CPAP.114-116

Terdapat beberapa teknik pemberian surfaktan. INSURE


(intubate-surfactant-extubate to CPAP), adalah teknik pemberian
surfaktan melalui endotracheal tube yang diikuti dengan proses ekstubasi
segera dan pemberian CPAP. Ikatan Dokter Anak Indonesia sejak tahun 2014
merekomendasikan pemberian surfactant rescue melalui metode INSURE.114

66
a. Metode Pemberian Surfaktan

Pemberian surfaktan merupakan sebuah keahlian yang membutuhkan


pengalaman kerja tim secara klinis yang handal melakukan intubasi neonatus dan
ventilasi mekanik jika dibutuhkan. Hingga saat ini sebagian besar uji klinis
tentang surfaktan diberikan secara bolus melalui ETT dalam periode waktu
singkat dengan penggunaan ventilasi manual atau ventilasi mekanik untuk
mendistribusikan obat, baik yang diikuti oleh ventilasi mekanik atau ekstubasi
segera untuk beralih pada CPAP ketika telah didapatkan napas spontan (jika
menggunakan metode INSURE). Dalam pedoman tahun 2013, INSURE
direkomendasikan karena dapat mengurangi cedera paru.114,117 Namun dalam
studi sedasi untuk intubasi, INSURE dipertimbangkan sebagai pilihan (masih
diperdebatkan. Sejak saat itu telah dilakukan studi-studi untuk menentukan jika
pemberian surfaktan dilakukan tanpa intubasi endotrakeal, maka menghasilan
luaran yang lebih baik.114
Dua metode serupa yang tentang pemberian surfaktan melalui kateter
tanpa melakukan intubasi “tradisional” telah dipelajari. Metode
pertama dikembangkan di Jerman dan sekarang digunakan di beberapa negara
Eropa. Ujung kateter fleksibel diposisikan dalam trakea di bawah pita suara
menggunakan laringoskopi dan cunam Magil sementara itu bayi tetap dalam
CPAP.118 Metode ini dikenal sebagai LISA (less invasive surfactant
administration). Metode kedua dikembangkan di Australia, dengan
menggunakan kateter vaskular yang lebih kaku dan tipis. Ujung kateter dapat
diposisikan dalam trakea di bawah pita suara dengan laringoskopi indirek tanpa
forceps sementara bayi tetap dalam CPAP119, disebut sebagai MIST (minimally
invasive surfactant treatment).
Kedua metode tersebut bertujuan untuk mempertahankan napas
spontan pada CPAP, sementara surfaktan diberikan secara bertahap beberapa
menit dengan menggunakan syringe sehingga bayi terhindar dari ventilasi
tekanan positif. Kedua metode ini telah dibandingkan dengan pemberian
surfaktan metode INSURE. Studistudi ini melaporkan berkurangnya penggunaan
ventilasi mekanik dan kejadian BPD pada bayi yang menggunakan metode LISA
atau MIST. Uji klinis tanpa randomisasi dengan subjek bayi amat sangat
prematur (usia gestasi 23–27 minggu) menunjukkan tidak ada peningkatan
signifikan terhadap kesintasan (survival) tanpa BPD pada subjek yang diberikan
surfaktan dengan metode lisa LISA, meskipun bayi-bayi tersebut lebih sedikit
membutuhkan ventilator mekanik.120
Studi ini juga menunjukkan kejadian pneumothoraks dan perdarahan
intraventrikuler yang lebih rendah. Namun demikian, hampir 75% subyek yang
mendapat intervensi (LISA) akhirnya membutuhkan ventilasi mekanik dengan
kejadian desaturasi yang lebih berat.121 Meskipun perbandingan dengan INSURE
secara langsung melaporkan hasil tersebut dalam satu studi.122 Meta analisis
menunjukkan tidak ada perbedaan luaran yang signifikan antara kedua metode

67
ini.123 Penggunaan surfaktan yang paling tidak invasif adalah dengan cara
nebulisasi, namun hingga saat ini belum mencapai tahap rekomendasi untuk
penggunaan klinis
secara rutin.124

b. Sediaan Surfaktan

Sediaan surfaktan yang banyak tersedia saat ini dapat dilihat di tabel 5 Surfaktan
alami (surfaktan yang berasal dari hewan) sebelumnya disebut, lebih baik
dibandingkan dengan surfaktan sintetik lama (tidak mengandung protein, hanya
mengandung fosfolipid), dapat mengurangi kejadian air leaks syndrome dan
kematian.125

Tabel 5 Sediaan Surfaktan Alami


Nama Generik Nama Dagang Sumber Produsen Manufaktur Dosis (Volume)

Beractant Survanta® Bovine Ross Laboratories


(USA) 100 mg/kg/dosis

(4 ml/kg)

Bovactant Alveofact® Bovine Lyomark (Germany) 50 mg/kg/dose

(1.2 ml/kg)

Poractant alfa Curosurf® Porcine Chiesi Farmaceutici 100-200 mg/kg/dose


(Italy)
(1.25-2.5 ml/kg)

Surfaktan sintetis mengandung analog protein SP-B dan protein SP-C


yang saat ini masih dalam evaluasi uji klinis.126 Perbandingan penggunaan
berbagai surfaktan alami menunjukkan efektivitas yang berbeda-beda. Secara
umum, terdapat peningkatan angka kesintasan (survival) bayi yang
mendapatkan 200 mg/kg poractant alfa (surfaktan yang berasal dari paru babi)
dibandingkan dengan 100 mg/kg beractant (surfaktan yang berasal dari paru
sapi). Belum dapat dipastikan apakah hal ini disebabkan oleh karena perbedaan
dosis pemberian atau perbedaan jenis sediaan surfaktan. 127

c. Kapan Bayi Mendapat Terapi Surfaktan?

68
Bayi yang menunjukkan gejala RDS harus segera mendapatkan CPAP sedini
mungkin, apabila memungkinkan CPAP dipertahankan tanpa beralih pada
intubasi dan ventilasi mekanik. Jika RDS memburuk dan surfaktan dibutuhkan,
pemberian surfaktan dini memiliki luaran yang lebih baik dalam upaya
mengurangi air leaks syndrome.128 Dalam sebuah studi observasional,
Agertoft dkk menyimpulkan penggunaan CPAP dengan Fio2 >30% pada saat bayi
berusia 2 jam merupakan prediktor kegagalan CPAP pada saat bayi berusia 6 jam,
sehingga akan memberikan luaran yang lebih buruk.129

Sehingga IDAI merekomendasikan pemberian surfaktan dini (<2 jam sejak


bayi lahir) untuk mencegah mencegah intubasi dan penggunaan ventilator
mekanik. Pemberian dosis surfaktan ulangan memberikan luaran lebih baik
(penurunan kejadian air leaks syndrome). Namun kesimpulan ini diambil dari
berbagai uji klinis terandomisasi pada masa sebelum ventilasi non-invasif banyak
digunakan. Kesimpulan ini menjadi tidak tepat saat penggunaan ventilasi non-
invasif umum digunakan.130 Pemberian ulangan dengan surfaktan metode
INSURE juga telah berhasil dan tidak memberikan luaran yang lebih buruk.131

Bayi yang mengalami RDS dan gagal membaik pasca pemberian


CPAP (tekanan 8 cm H2O dan Fio2 >40%) dapat diberikan
surfaktan alami.
Surfaktan sebaiknya diberikan sedini mungkin (<2 jam) dan
tidak direkomendasikan pemberian surfaktan bila usia bayi
>12 jam.
Surfaktan boleh diberikan di kamar bersalin/NICU dengan
syarat terdapat monitor kardiorespirasi dan alat-alat bantuan
penyelamat hidup.
Metode pemberian surfaktan dapat berupa INSURE atau
LISA/MIST.
Pemberian surfaktan dosis ulangan dapat diberikan apabila ada
bukti perburukan RDS, seperti kebutuhan oksigen persisten
yang membutuhkan ventilasi mekanik.

Level of Evidence IV, Rekomendasi C

69
4. T-piece resuscitator sebagai pengganti CPAP dini di kamar
bersalin menurunkan angka kegagalan CPAP pada bayi kurang
bulan dengan gangguan napas
Ventilasi pada bayi baru lahir dapat diberikan dengan balon mengembang sendiri
maupun T-piece resuscitator. Tekanan inflasi atau TPAE yang dihasilkan T-
piece resuscitator lebih stabil daripada balon mengembang sendiri.54
Penelitian mengenai efektivitas Tpiece resuscitator menunjukkan hasil
bervariasi. Dibandingkan dengan balon mengembang sendiri, T-piece
resuscitator relatif aman, menghasilkan tekanan optimal dengan risiko
volutaruma dan barotrauma yang kecil, dan tekanan yang diberikan tidak
dipengaruhi keahlian operator. Fitur T-piece resuscitator dengan ukuran yang
relatif kecil, portabel, sederhana, dan mudah digunakan serta dapat berfungsi
seperti CPAP, membuat alat ini direkomendasikan oleh Rekomendasi IDAI
sebagai alat ventilasi di tempat bayi dilahirkan. Penggunaan rutin T-piece
resuscitator memiliki kendala yaitu harga yang cukup mahal dibandingkan
dengan balon mengembang sendiri.132-137
Penggunaan CPAP secara rutin di tempat bayi dilahirkan memiliki kendala
terkait biaya per unit dan ketidakpraktisannya. Balon mengembang sendiri
merupakan alat ventilasi yang lebih sering digunakan di kamar bersalin atau
kamar operasi, namun alat ini memiliki risiko volutrauma dan barotrauma yang
besar.73 T-piece resuscitator digunakan sebagai alat pengganti CPAP di tempat
bayi dilahirkan. Alat tersebut memberi ventilasi dengan tekanan yang relatif
stabil, kontinu, dan dapat berfungsi sebagai CPAP.97,108,133-
135,137-140

Studi mengenai efektivitas CPAP pada bayi kurang bulan dengan


gangguan napas menunjukkan hasil yang positif, namun belum banyak penelitian
yang menilai efektivitas T-piece resuscitator sebagai pengganti CPAP dini pada
bayi kurang bulan dengan gangguan napas. Prinsip kerja CPAP yang memberikan
tekanan terus-menerus secara kontinu dapat menimbulkan efek samping yang
serius, yaitu efek barotrauma atau volutrauma hingga pneumotoraks. Komplikasi
jangka panjang seperti BPD, ROP, dan IVH juga dapat terjadi. Mengingat angka
komplikasi yang tinggi, maka saat ini pengunaan T-piece resuscitator lebih
disarankan. Satu studi kohort prospektif mengevaluasi bayi kurang bulan dengan
gangguan napas yang mendapat ventilasi dengan T-piece resuscitator di
kamar bersalin dan dilanjutkan dengan CPAP, dibandingkan dengan bayi kurang
bulan dengan gangguan napas yang mendapatkan ventilasi dengan balon
resusitasi dan dilanjutkan dengan CPAP. Penggunaan T-piece resuscitator
menurunkan risiko kegagalan CPAP sebesar 90% (RR 0,1;IK95% 0,02-
0,5;P=0,003).137

70
Penggunaan T-piece resuscitator dibandingkan dengan
penggunaan balon resusitasi tanpa katup TPAE di kamar
bersalin, menurunkan risiko kegagalan CPAP.
Level of evidence III, derajat rekomendasi C

Pada bayi baru lahir, nasal prong merupakan salah satu pilihan jalur
pemberian bantuan pernapasan (Gambar 12). Pemberian VTP melalui nasal
prong menghasilkan luaran yang lebih baik dibandingkan dengan sungkup.134

Dalam pemberian bantuan ventilasi pada bayi baru lahir, nasal


prong merupakan cara yang lebih efektif dibandingkan dengan
sungkup muka.

Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

a b

Gambar 12a Single nasal prong. 12b CPAP dengan single nasal prong
5. Resusitasi di Fasilitas Terbatas (Helping Babies Breathe)
Helping Babies Breathe merupakan kurikulum resusitasi bayi baru lahir yang
disusun oleh American Academy of Pediatrics, US Agency for
International Development (USAID), The Eunice Kennedy Shriver
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD),
dan Saving Newborn Lives/Save the Children, yang didukung oleh WHO
(Gambar 13). Kurikulum ini dapat diterapkan pada fasilitas yang terbatas.
Kurikulum Helping Babies Breathe menekankan pentingnya keterampilan
tenaga kesehatan yang membantu kelahiran dalam menilai kondisi klinis,
mempertahankan suhu tubuh, menstimulasi pernapasan, dan memberikan
ventilasi bantuan bayi jika diperlukan.141

71
Alur resusitasi bayi baru lahir menurut Helping Babies Breathe
dimulai dengan menilai kondisi bayi. Jika terdapat mekonium saat bayi lahir,
segera bersihkan jalan napas dan keringkan bayi. Kemudian petugas
mengevaluasi kondisi bayi menangis atau tidak.79
a. Apabila bayi menangis spontan, jaga agar bayi tetap hangat, periksa
pernapasan, dan potong tali pusat. Biarkan bayi di atas badan ibu.
b. Apabila bayi tidak menangis, bersihkan jalan napas dan beri stimulasi. Periksa
ulang pernapasan, bila bayi bernapas dengan baik, jaga agar bayi tetap
hangat dan potong tali pusat. Bila bayi belum bernapas dengan baik, potong
tali pusat dan berikan bantuan ventilasi. Kemudian jika bayi bernapas, bayi
dapat dibiarkan bersama ibunya dengan pengawasan. Jika bayi masih belum
bernapas, panggil bantuan, beri dan perbaiki bantuan ventilasi, lalu periksa
detak jantung. Apabila detak jantung lambat, lanjutkan ventilasi dan rawat
bayi di perawatan lanjutan (advanced care).

72
Gambar
13 Rencana pelaksanaan Helping Baby Breathe141

3.2. STABILISASI PASCA-RESUSITASI


Pencatatan perkembangan keadaan bayi maupun tindakan medis adalah
penting. Dokumentasi ditulis dalam satu format formulir pemantauan yang
mudah diisi, jelas, dan singkat.135 Pascaresusitasi di kamar bersalin, bayi yang

73
bermasalah harus distabilisasi untuk selanjutnya dirujuk ke perawatan yang lebih
memadai. Upaya stabilisasi dilakukan sebelum bayi dirujuk. Bayi harus dirujuk
dalam keadaan stabil dan kondisi tersebut dapat dicapai dengan menerapkan
program STABLE.38

1. PROGRAM STABLE: MEMBUAT KONDISI BAYI “WARM, PINK,


AND SWEET”
Program STABLE adalah panduan yang dibuat untuk tata laksana bayi baru lahir
yang sakit, mulai dari pasca-resusitasi/pratransportasi. Program ini berisi standar
tahap-tahap stabilisasi pasca-resusitasi untuk memperbaiki kestabilan,
keamanan, dan luaran bayi. STABLE tersebut merupakan singkatan dari:38 S:
SUGAR and SAFE care (kadar gula darah dan keselamatan bayi)
T: TEMPERATURE (suhu)
A: AIRWAY (jalan napas)
B: BLOOD PRESSURE (tekanan darah)
L: LAB WORK (pemeriksaan laboratorium) E:
EMOTIONAL SUPPORT (dukungan emosional)
Catatan:
Di dalam proses stabilisasi, penting mengutamakan stabilisasi pernafasan, di
samping stabilisasi suhu. Aspek stabilisasi yang lain, dilakukan kemudian.

a. SUGAR
Inisiasi terapi cairan IV pada bayi yang berisiko hipoglikemia.
Pemberian cairan dan nutrisi untuk bayi sakit dilakukan secara parenteral.
Koordinasi menghisap, menelan, dan bernapas terganggu ketika bayi bernapas
cepat, sehingga pemberian secara enteral (PO maupun melalui pipa nasogastrik)
dihindari karena risiko aspirasi yang tinggi. Bayi yang sakit terutama bayi dengan
infeksi juga dapat mempunyai waktu pengosongan lambung yang lambat karena
adanya ileus intestinal. Pada bayi dengan riwayat kadar oksigen darah yang
rendah atau tekanan darah yang rendah selama ataupun pasca-lahir, aliran
darah ke usus halus berkurang, sehingga meningkatkan risiko iskemia. 38
Bayi baru lahir paska resusitasi tidak direkomendasikan mendapat asupan nutrisi
enteral. Bayi dengan paska resusitasi akibat hipoksia yang dialaminya memiliki
risiko cedera hipoksik iskemik. Oleh sebab itu pemberian glukosa IV harus segera
diberikan setelah resusitasi selesai, untuk menghindari hipoglikemia. 136,142
Tempat pemasangan akses IV yang paling baik adalah umbilikal dan ekstremitas.

74
Akses vena umbilikal masih dapat digunakan hingga usia satu minggu dan hingga
dua minggu pada kasus khusus.38

Glukosa IV diberikan segera setelah resusitasi untuk


menghindari hipoglikemia.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Bayi yang berisiko tinggi mengalami hipoglikemia adalah bayi kurang


bulan (usia gestasi <37 minggu), kecil masa kehamilan (KMK), besar masa
kehamilan (BMK), bayi dari ibu DM, bayi sakit, dan bayi dari ibu yang
mengonsumsi obat-obat tertentu (betasimpatomimetik, penghambat beta,
klorpropamid, benzotiazid, dan anti-depresan trisiklik) selama kehamilan. Janin
memperoleh glukosa dan asam amino transplasenta. Setelah pemotongan tali
pusat dilakukan, maka secara fisiologis enzim mengaktivasi konversi glikogen
menjadi glukosa untuk selanjutnya didistribusikan melalui aliran darah. Ada tiga
faktor yang dapat menimbulkan gangguan terhadap kemampuan bayi
mempertahankan kadar glukosa darah yang normal setelah kelahiran, yaitu
simpanan glikogen yang tidak adekuat, hiperinsulinemia, dan utilisasi glukosa
yang meningkat.38,142
Baku emas kadar glukosa adalah glukosa darah vena, namun pemeriksaan
tersebut memerlukan sejumlah sampel darah dan lebih sulit sehingga
membutuhkan waktu yang lama. Maka pemeriksaan yang lazim dikerjakan
adalah skrining gula darah melalui darah kapiler. Alat skrining yang dianjurkan
adalah alat dengan tingkat kesalahan 15% dari nilai glukosa darah vena. 38
Hasil skrining yang menunjukkan hasil LOW dapat saja tidak akurat dan
menyebabkan over ataupun undertreatment. Jika hasil skrining LOW, petugas
sebaiknya mengonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah vena, sementara
itu terapi hipoglikemia tetap dikerjakan.38
Gejala klinis hipoglikemia seringnya asimtomatis. Gejala hipoglikemia
adalah tidak spesifik jitteriness, rewel/gelisah, hipotonia, letargi, tangis yang
high-pitch atau tangis lemah, hipotermia, gangguan menghisap, takipne,
sianosis, apne, dan kejang).38 Sehingga panapisan gula darah dilakukan pada
semua bayi dengan memiliki risiko hipoglikemia. Penting bagi praktisi untuk
mengenali risiko hipoglikemia pada bayi baru lahir.
World Health Organization merekomendasikan
terapi hipoglikemia dimulai jika kadar gula darah neonatus <47 mg/dl (2,6
mmol/L). Pada bayi berisiko hipoglikemi, pemeriksaan kadar gula darah dilakukan
segera setelah lahir dan selanjutnya dilakukan secara berkala.

75
Kadar glukosa terendah yang bisa diterima berdasar algoritma AAP adalah
25 mg/dL sesudah pemberian minum pertamakali, rentang yang ditatalaksana
lebih lanjut adalah kadar glukosa 25-40 mg/dL selama 4 jam pertama kehidupan
atau masa transisi pasca lahir. Umur 4-24 jam kadar terendah adalah 35 mg/dL,
tatalaksana lanjut pada kadar glukosa 35-45 mg/dL. 143
Perbedaan hasil pemeriksaan dapat terjadi pada bayi baru lahir karena
bergantung pada waktu pemeriksaan. Bayi usia 0 - <4 jam kadar gula darah
harus ≥40 mg/dl, usia ≥4 - 24 jam kadar gula darah harus ≥45 mg/dl,
dan usia ≥24 jam kadar gula darah harus ≥50 mg/dL. Karena adanya
proses hipoglikemia fisiologis pada bayi baru lahir, maka setelah pemeriksaan
kadar gula darah pasca-lahir, pemeriksaan kadar gula darah ulangan disarankan
pada 2-4 jam setelah pemeriksaan kadar gula pertama. 144,145
Skrining dan manajemen homeostasis glukosa pasca lahir pada bayi late
preterm dan bayi cukup bulan kecil masa kehamilan, bayi lahir dari ibu
diabetes/besar masa kehamilan sebagai berikut, bila bayi pasca lahir simtomatik
dan kadar gula < 40mg/dL diberikan infus glukosa. Simtom hipoglikemia
termasuk iritabilitas, tremor, jitteriness, refleks Moro yang berlebihan, tangis
melengking, kejang, letargi, kelemahan anggota gerak, sianosis, apnea, malas
minum. Bayi pasca lahir asimtomatik, bila umur 0-4 jam dimulai minum peroral
dalam 1 jam pertama, kemudian 30 menit sesudahnya dilakukan pemeriksaan
kadar gula darah. Bila hasil < 25 mg/dL diberikan minum dan kemudian 1 jam
sesudahnya dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. Bila hasil < 25 mg/dL
diberikan infus glukosa 200mg/kg (dektrosa 10% 2ml/kg) dan atau infus dengan
kecepatan 5-8 mg/kg/menit (80-100 ml/kg/hari). Kadar glukosa plasma yang
diharapkan 40-50 mg/dL. Bila kadar gula 25-40 mg/dL diberikan minum atau
infus glukosa seperti tersebut di atas sesuai kebutuhan. Pada umur 4 sampai 24
jam lanjutkan minum tiap 2-3 jam, dilakukan skrining pemeriksaan glukosa pada
tiap kali sebelum diberikan minum, bila hasilnya < 35 mg/dL maka diberikan
minum dan cek glukosa dalam waktu 1 jam. Bila kadar gula < 35 mg/dL maka
diberikan infus glukosa, bila kadar gula 35-45 mg/dL diberikan minum atau infus
glukosa sesuai kebutuhan seperti tersebut di atas.143

Terapi hipoglikemia dilakukan jika kadar gula darah neonatus


<47 mg/dL.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Pada BBLR, pemeriksaan kadar gula darah dilakukan segera


setelah lahir dan diulang 2-4 jam kemudian.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

76
Tatalaksana hipoglikemi

77
Pemberian cairan parenteral inisial menggunakan dektrosa 10% (D 10W) dengan
target glucose infusion rate (GIR) 4 – 6 mg/kgBB/menit. Pemberian cairan
D10W 80 mL/kgBB/hari menghasilkan GIR 5,5 mg/kgBB/menit. Bila ada riwayat
syok dan normoglikemia, maka pemberian cairan dibatasi menjadi 60
mL/kgBB/hari menggunakan D10W (GIR 4,2 mg/kgBB/menit), D12,5W (GIR 5,2
mg/kgBB/menit), atau D15W (GIR 6,2 mg/kgBB/menit). Akses vena sentral
diperlukan untuk pemberian cairan dekstrosa >12,5% atau dekstrosa 12,5% yang

78
diberi zat/komponen tambahan. Perhitungan GIR dilakukan dengan persamaan
berikut:38,146

GIR (mg/kg/menit) = kecepatan cairan (mL/jam) x konsentrasi dekstrosa (%) 6


x BB (kg)

GIR 4-7 mg/kg/menit bisa digunakan pada sebagian besar bayi cukup
bulan dan near term. GIR 6-8 mg/kg/menit diperlukan lebih sering pada bayi
IUGR.147
Pada masa stabilisasi bayi dapat menerima nutrisi enteral hanya bila bayi
tersebut asimtomatik dan berisiko hipoglikemia, namun diikuti pemantauan
ketat. Pada bayi dengan kadar gula darah 25-< 45 mg/dl terapi bolus Dextrosa
dianjurkan pada bayi dengan simtomatik hipoglikemi. Pada pasien yang
mengalami hipoglikemia(<25 mg/dL) diberikan cairan bolus D 10W 2 mL/kgBB
dengan kecepatan 1 mL/menit. Pemeriksaan kadar gula darah diulangi tiap 15-30
menit berikutnya setelah pemberian bolus atau peningkatan jumlah cairan
parenteral. Bila kadar gula darah masih
≤45 mg/dL, ulangi pemberian bolus D10W 2 mL/kgBB. Jika kadar gula darah
masih belum stabil setelah dua kali bolus, maka ulangi bolus dan naikkan cairan
dekstrosa 10% menjadi 100-120 mL/kgBB/hari atau naikkan konsentrasi
dekstrosa bila peningkatan volume cairan dihindari karena kondisi tertentu pada
bayi.38,148
Pemeriksaan gula darah evaluasi dilakukan tiap 30-60 menit sampai
kadarnya stabil pada dua pemeriksaan berturut-turut. Sesudahnya frekuensi
pemeriksaan ulangan ditentukan oleh tenaga kesehatan, berdasarkan penilaian
perkembangan klinis.38 Kotak 1 menunjukkan pendekatan umum inisiasi cairan
dan pemberian glukosa pada BBLR sakit.

79
Pendekatan umum inisiasi cairan dan pemberian glukosa
pada BBLR sakit

1. Bayi tidak diberikan apapun secara enteral.


2. Mulai pemberian cairan dengan dekstrosa 10% tanpa elektrolit,
sebanyak 80 mL/kgBB/hari melalui vena perifer atau vena umbilikus.
Pada bayi usia >24 jam, elektrolit dapat ditambahkan ke dalam
larutan IV.
3. Pantau gula darah secara berkala dan pertahankan kadar gula darah
45-110 mg/dL (2,8-6 mmol/L).
4. Apabila Apabila glukosa <45 m/dL (2,6 mmol/L), berikan bolus
dekstrosa 10% 2 mL/kg disamping infus dekstrosa 10% 80 mL/kg/hari.
Hitung asupan GIR. Pertahankan GIR berkisar 4-6 mg/kg/menit dan
dinaikkan bertahap 2 mg/kg/menit ampai maksimal 12 mg/kg menit
bila ulangan pemeriksaan gula darah tetap rendah.
5. Periksa kadar gula darah dalam 15-30 menit:
a. pada setiap bolus glukosa
b. setelah memulai pemberian cairan IV

80
c. pada BBLR yang pernah mempunyai kadar gula darah yang rendah
6. Lakukan penilaian klinis berdasarkan kondisi BBLR dan faktor risiko
hipoglikemia, untuk menentukan kekerapan pemeriksaan gula darah
yang perlu dilakukan setelah kadar gula darah stabil.
7. Konsentrasi glukosa tertinggi yang diberikan melalui vena perifer
adalah dekstrosa 12,5%. Apabila konsentrasi glukosa yang lebih tinggi
diperlukan atau jika zat tambahan ditambahkan ke dalam dekstrosa
12,5% (misalnya untuk memberikan nutrisi parenteral total), maka
sebaiknya pemberian cairan melalui vena sentral.
8. Pemberian dekstrosa melalui vena sentral sebaiknya tidak lebih dari
25% pada hipoglikemia dengan maksimal GIR 15-30. Apabila bayi tetap
mengalami hipoglikemia, harus diberikan obat seperti glukagon,
diazoksid, glukokortikoid, octreotide dan konsultasikan kepada ahli
neonatologi atau endokrinologi anak.149
9. Jika kadar glukosa darah >150 mg/dL (8,3 mmol/L) dan tidak
mengalami penurunan pada ulangan berikutnya setelah bayi stabil ini
dapat terjadi akibat intoleransi glukosa atau sebagai respons stres.
Kadar gula darah >250 mg/dL yang tidak membaik memerlukan
pemberian insulin, konsultasikan kepada ahli neonatologi atau
endokrinologi jika tidak membaik.

Kotak 1. Pendekatan umum inisiasi cairan dan pemberian glukosa pada BBLR sakit .38,148

b. TEMPERATURE
Hal-hal yang menyebabkan bayi kehilangan panas, cara
menurunkan kehilangan panas, akibat hipotermia, serta
metode rewarming bayi hipotermia

81
Hipotermia adalah kondisi yang dapat dicegah dan dapat memengaruhi
morbiditas dan mortalitas bayi baru lahir, terutama bayi kurang bulan. Bayi baru
lahir yang berisiko tinggi mengalami hipotermia adalah bayi yang kurang bulan
dan BBLR terutama BBLSR, KMK, mengalami resusitasi berkepanjangan terutama
yang mengalami hipoksia, mengalami sakit akut (penyakit infeksi, kardiak,
neurologik, endokrin, dan yang memerlukan pembedahan terutama dengan
defek dinding tubuh), serta bayi yang kurang aktif dan hipotonia akibat obat
sedatif, analgesik, paralitik, atau anestetik (Kotak 2).38
Suhu normal bayi baru lahir adalah 36,5-37,5˚C di aksila. Hipotermia
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok suhu, yaitu ringan (36-36,4˚C), sedang
(32-35,9˚C), dan berat (<32˚C). Tata laksana suhu bertujuan
mempertahankan suhu pada 37°C. Pemeriksaan suhu dilakukan tiap 15-30 menit
sampai suhu berada pada kisaran normal, kemudian sekurang-kurangnya tiap
jam sampai bayi dirujuk. Jika temperatur bayi cenderung sudah berada pada
kisaran normal, maka pemeriksaan dapat dijarangkan. 38
Suhu lingkungan yang tidak mendukung untuk menjaga suhu badan bayi
dapat menyebabkan kehilangan panas tubuh secara konduksi dan konveksi. Suhu
ruang bersalin maupun ruang perawatan bayi harus diatur pada suhu
≥26˚C.72,150 Suhu ruang bersalin <26˚C berhubungan dengan suhu
BBLR (usia gestasi <28 minggu) yang lebih rendah ketika dimasukkan ke
NICU.151

Suhu kamar bersalin pada BBLR usia gestasi <28 minggu


sekurang-kurangnya 26˚C.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Pada keadaan hipotermia terjadi peningkatan konsumsi oksigen dan


penurunan tingkat kesadaran, frekuensi napas, denyut jantung, dan tekanan
darah. Bayi kurang bulan memiliki risiko hipotermia yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bayi cukup bulan karena simpanan lemak coklat (brown
fat) sedikit, lemak insulator (insulating fat) tidak ada, kemampuan
vasokonstriksi rendah, tonus otot dan kemampuan fleksi lemah, serta simpanan
glikogen terbatas sehingga berisiko tinggi hipoglikemia. Faktor-faktor tersebut
mengakibatkan hipoksia dan hipoglikemia pada bayi kurang bulan yang
hipotermia.38
Kehilangan panas tubuh dapat terjadi melalui mekanisme konduksi,
konveksi, evaporasi, dan radiasi. Proses ini dipercepat oleh permukaan kulit yang
basah, suhu ruangan yang dingin, dan pergerakan udara melalui bayi meningkat.
Tindakan pencegahan hipotermia yang dapat dilakukan meliputi:38

82
1) Kehilangan panas secara konduksi
• Baringkan bayi di tempat yang permukaannya telah dihangatkan.
• Hangatkan terlebih dahulu obyek yang akan kontak dengan bayi:
tempat tidur, tangan, stetoskop, permukaan film Röntgen, dan
selimut.
• Kenakan topi.
• Alasi timbangan dengan selimut hangat dan jangan lupa buat skala
kembali nol sebelum menimbang bayi.
• Jangan lakukan pemanasan perlengkapan memasukkan ke dalam
microwave ataupun meletakkannya di atas lampu radiant
warmer, gunakan selimut hangat.
• Gunakan matras chemical thermal di bawah bayi dan tutupi bayi
dengan kain atau selimut tipis.
• Hindarkan kontak dengan alat-alat yang berisiko menimbulkan luka
bakar maupun hipertermia: botol air panas, sarung tangan panas, dan
selimut yang dihangatkan dengan microwave.
2) Kehilangan panas secara konveksi
• Naikkan suhu ruangan menjadi 25-28˚C.152
• Tutupi BBLSR dengan plastik polietilen dari leher sampai kaki.
• Rujuk bayi sakit dan atau kurang bulan dari kamar bersalin ke ruang
perawatan dengan inkubator tertutup dan telah dihangatkan
sebelumnya. Jika hal ini tidak mungkin, maka bayi dibungkus dengan
plastik (tanpa menghalangi jalan napas) sebelum dirujuk melalui
jalan/lorong penghubung yang dingin.
• Hangatkan inkubator terlebih dahulu sebelum meletakkan bayi di
dalamnya.
• Gunakan oksigen yang telah dihangatkan dan
dilembabkan.
• Pastikan heating unit pada radiant warmer tidak tertutupi oleh
petugas yang sedang bekerja.
3) Kehilangan panas secara evaporasi

83
• Segera keringkan bayi setelah kelahiran, atau lap dengan selimut atau
handuk yang telah dihangatkan dan segera singkirkan semua kain
yang basah.
• Setelah mengeringkan kepala bayi, kenakan topi.
• Tutupi BBLSR segera setelah kelahiran dengan plastik polietilen dari
leher sampai kaki.
• Naikkan suhu ruangan menjadi 25-28˚C.153
• Minimalkan atau hindarkan bayi dari aliran udara di sekelilingnya.
• Hangatkan dan lembabkan oksigen segera.
• Hangatkan cairan atau krim yang akan berkontak dengan kulit bayi,
misalnya hangatkan cairan antiseptik terlebih dahulu, tetapi jangan
over-heated yang dapat menimbulkan luka bakar.
4) Kehilangan panas secara radiasi
• Jauhkan bayi dari kaca atau dinding yang dingin.
• Pasang penghalang hantaran suhu pada jendela.
• Tutupi inkubator dan menjauhkannya dari kaca atau dinding yang
dingin.
• Gunakan inkubator berdinding ganda untuk menyediakan permukaan
yang lebih hangat di dekat bayi.

Suhu ruang perawatan BBLR adalah 25-28˚C.


Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Kotak 2 menunjukkan secara garis besar tata laksana temperatur pada


BBLR untuk menciptakan kondisi “warm”.38

84
Tata laksana suhu BBLR

1. Waspada dengan hipotermia.


2. Bayi yang paling rentan mengalami hipotermia:
a. kurang bulan dan KMK
b. mengalami resusitasi yang berkepanjangan
c. sedang sakit akut
d. mengalami defek kulit terbuka (pada perut dan tulang belakang)
3. Ingat dasar-dasar penting:
▪ gunakan oksigen yang hangat dan lembab
▪ hangatkan peralatan yang akan digunakan sebelum bersentuhan
dengan bayi
▪ gunakan radiant warmer on servo-control (bukan manual)
4. Lakukan rewarming pada bayi yang mengalami hipotermia dengan
hati-hati dan persiapkan untuk keperluan resusitasi pada saat atau setelah
rewarming.

Kotak 2. Tata laksana suhu BBLR.38

Bayi juga perlu dihindarkan dari terkena panas terlalu banyak (heat
gain). Over-heated dapat terjadi dengan paparan bayi terhadap sinar matahari
langsung, penghangat tempat tidur bayi berada dalam mode manual control
sementara tidak ada pengukur suhu yang melekat pada tubuh bayi, serta
penggunaan lampu pemanas yang tidak berhati-hati. Penghangat tempat tidur
bayi sebaiknya diatur dalam servo-control.38
Tenaga kesehatan harus melakukan rewarming pada bayi yang hipotermia.
Rewarming disarankan untuk dilakukan bertahap, sekitar 0,5⁰C per jam.
Rewarming yang dilakukan dengan cepat bisa memicu kejang pada neonatus.
Untuk melakukan rewarming, inkubator atau radiant warmer dapat
digunakan. Inkubator memungkinkan tenaga kesehatan untuk dapat mengontrol
proses rewarming lebih baik dibandingkan dengan radiant warmer. Saat
proses rewarming, pemantauan ketat meliputi suhu aksilar denyut dan irama
jantung (waspadai aritmia), tekanan darah (waspadai hipotensi akibat
vasodilatasi yang tiba-tiba), frekuensi dan usaha napas, saturasi oksigen, tingkat
kesadaran, status asam/basa, dan kadar gula darah. Rewarming dapat
dilakukan menggunakan:

85
1) Inkubator
Kelebihan menggunakan inkubator adalah kemudahan dalam mengontrol
kecepatan rewarming (Gambar 14). Inkubator diatur dalam mode air
temperature yang diatur 1-
1,5˚C di atas suhu bayi, lalu naikkan suhu inkubator secara perlahan
sesuai toleransi bayi. Tenaga kesehatan harus tetap melakukan
pemantauan ketat selama proses rewarming. Saat suhu bayi telah
mencapai set point inkubator dan tidak ada tanda perburukan klinis
pada bayi, suhu inkubator dapat dinaikkan 1-1,5˚C di atas suhu aksila
sampai suhu bayi mencapai normal. Tanda-tanda perburukan klinis yang
dapat terjadi saat proses rewarming meliputi takikardia, aritmia,
hipotensi, hipoksemia, perburukan gangguan napas, dan perburukan
status asidosis.38 Inkubator unggul dalam mengurangi risiko insensible
water loss (IWL) maupun kehilangan panas secara konveksi, oleh sebab
itu inkubator cenderung dipilih untuk bayi kurang bulan. Tetapi inkubator
dapat menyulitkan ketika tenaga kesehatan hendak melakukan
prosedur/tindakan medis.136

2) Radiant warmer
Radiant warmer yang digunakan untuk rewarming harus diatur
dalam mode servo-control dengan suhu 36,5˚C (Gambar 15). Bayi
dibaringkan telentang dan servo-temperature probe diposisikan di
atas hati. Tenaga kesehatan harus memantau ketat hal-hal yang
disebutkan di atas beserta tanda-tanda perburukan klinis. Kecepatan
rewarming tidak dapat diatur pada radiant warmer, maka
rewarming menggunakan radiant warmer memiliki risiko vasodilatasi
jika output panas terlalu tinggi. Untuk mengantisipasi terjadinya
hipotensi, tenaga kesehatan sebaiknya mempersiapkan tambahan cairan
dan obat inotropik.38 Radiant warmer unggul dibandingkan inkubator
dalam kemudahan tenaga kesehatan untuk memantau serta melakukan
prosedur/tindakan pada bayi. Kekurangan radiant warmer yaitu
meningkatkan IWL dan tidak melindungi bayi dari kehilangan panas
secara konveksi dan evaporasi. Adanya risiko peningkatan IWL ini
menyebabkan penyesuaian dengan perhitungan kebutuhan cairan perlu
dilakukan sesuai dengan kondisi tiap bayi.136

Penggunaan radiant warmer meningkatkan insensible water


loss (IWL) sehingga perhitungan kebutuhan cairan perlu
disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap bayi.
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

86
Jika bayi diletakkan di radiant warmer, skin probe perlu
dipasang pada bayi untuk melindunginya dari over-heating. Dengan
demikian warmer dapat berfungsi seperti termostat dan
mempertahankan suhu bayi 36,5-37,5°C. Bayi harus dalam keadaan
telanjang di dalam warmer, dan tindakan menutupi bayi justru akan
mencegah panas sampai ke bayi. Pencatatan temperatur bayi harus
dilakukan selama bayi berada dalam radiant warmer maupun
inkubator.154

Gambar 14 Inkubator Gambar 15 Radiant warmer

3) Perawatan metode kanguru (PMK) atau Kangoroo mother care (KMC)


Perawatan metode kanguru adalah alternatif yang efektif untuk
mencegah hipotermia pada BBLR di sarana dengan fasilitas terbatas. 155
Perawatan metode kanguru dilakukan pada berat lahir ≤1800 g,
tidak ada kegawatan napas dan sirkulasi, tidak ada kelainan
kongenital yang berat, dan mampu bernapas sendiri. Apabila BBLR
tersebut masih memerlukan pemantauan kardiopulmonal, oksimetri,
pemberian terapi oksigen, atau pemberian VTP atau CPAP, infus IV, dan
pemantauan lain, maka hal-hal tersebut tidak mencegah pelaksanaan
PMK (Gambar 16).

Metode perawatan metode kanguru (PMK) efektif untuk


mencegah hipotermia pada BBLR di sarana dengan fasilitas
terbatas.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

87
88
Gambar 16 Tahap-tahap perawatan bayi kangguru

Selain menggunakan inkubator, radiant warmer, dan PMK, teknik lain


untuk mengatasi hipotermia adalah menggunakan cling wrap. Cling wrap
adalah polythene film yang umumnya digunakan sehari-hari untuk
membungkus makanan (Gambar 17a dan
17b).156

89
a
b

Gambar 17a Cling wrap.157 17b Bayi dibungkus plastik untuk mencegah
hipotermia.157

Pemakaian plastik transparan pada bayi baru lahir <1500 g dan/atau usia
gestasi <28 minggu dari leher sampai kaki, tanpa terlebih dahulu mengeringkan
bayi, dapat mempertahankan suhu bayi baru lahir sehingga menurunkan
kejadian hipotermia.158
Setelah dibungkus dengan plastik transparan, bayi baru lahir diletakkan di
radiant warmer, selanjutnya resusitasi dan stabilisasi dapat dimulai sesuai
dengan pedoman standar. Pada bayi baru lahir usia gestasi <28 minggu,
kombinasi pengaturan suhu kamar bersalin sekurang-kurangnya 26°C dan
penggunaan plastik polythene merupakan metoda yang paling efektif untuk
mempertahankan temperatur.151,159

Membungkus bayi dengan berat lahir <1500 g dan/atau usia


gestasi <28 minggu menggunakan plastik transparan setinggi
leher sampai kaki, tanpa mengeringkan bayi terlebih dahulu,
mengurangi kejadian hipotermia.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Pada bayi baru lahir usia gestasi <28 minggu, kombinasi


setting suhu kamar bersalin sekurang-kurangnya 26°C dan
penggunaan plastik polythene merupakan metoda yang paling
efektif untuk mempertahankan temperatur.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

90
1) Terapi hipotermia: penggunaan aliran oksigen yang
dihangatkan dan dilembabkan (heated and humidified air)
xii,xiii,xiv

Salah satu masalah yang sering dijumpai pada BBLR adalah hipotermia akibat
kehilangan panas tubuh melalui penguapan. Luasnya permukaan kulit BBLR
disertai rendahnya temperatur di ruang bersalin akan meningkatkan risiko
terjadinya hipotermia.160162 Panduan resusitasi neonatal internasional
menganjurkan berbagai teknik untuk mengatasi hipotermia, salah satunya
adalah membungkus bayi dengan plastik yang ditutup sampai leher untuk
mengurangi kehilangan panas tubuh97 disertai penggunaan matras yang telah
dihangatkan dan penyesuaian temperatur ruang bersalin.140,151
Te Pas et al161 (2010) melaporkan bahwa penggunaan udara yang telah
dihangatkan dan dilembabkan (heated and humidified air) mengurangi
kejadian hipotermia pada BBLR. Alat yang digunakan adalah MR850 heated
humidifier dan heated circuit (900RD110 humidified resuscitation
circuit). Udara dilembabkan dengan mengisi 20 mL air pada humidifier, volume
udara diatur sebesar 8 L/menit dan udara dihangatkan pada suhu
37˚C.

c. AIRWAY dan breathing


Airway adalah melakukan evaluasi bebasnya jalan napas untuk identifikan
adanya gangguan napas. Breathing upaya memberikan bantuan bernapas
dengan memberikan tunjangan terapi oksigen.

Penggunaan aliran oksigen yang telah dihangatkan dan


dilembabkan (heated and humidified air) mengurangi kejadian
hipotermia pada BBLR.
Level of evidence III, derajat rekomendasi C

1) Evaluasi gangguan napas


Kegagalan respiratorik dapat terjadi dengan cepat, sehingga penanganan
penanganan jalan napas atau airway yang cepat dan tepat merupakan salah
satu modalitas utama untuk meningkatkan kesintasan neonatus. Neonatus
dengan RDS merupakan kasus gangguan napas yang paling banyak memerlukan
perawatan intensif. Neonatus dengan masalah respiratorik ini membutuhkan
evaluasi setiap beberapa menit dan jika sudah stabil, maka evaluasi dapat
dilakukan setiap 1-3 jam sekali.38

91
Penilaian RDS dapat dilakukan dengan melihat derajat RDS itu sendiri,
menilai frekuensi napas, usaha bernapas, kebutuhan oksigen, saturasi oksigen,
foto dada, dan AGD. Derajat RDS dibagi menjadi tiga, yaitu:38
a) Ringan
Frekuensi napas meningkat (>60x/menit) tanpa suplementasi oksigen,
dengan atau tanpa usaha napas yang minimal seperti retraksi dan napas
cuping hidung.
b) Sedang
Neonatus sudah tampak sianosis dalam udara kamar dan menunjukkan
tanda-tanda usaha bernapas yang meningkat, dengan AGD yang
abnormal.
c) Berat
Neonatus mengalami sianosis sentral, kesulitan bernapas, dengan AGD
yang abnormal.
Penilaian berat gangguan napas pada bayi dapat dilakukan dengan sistem
penilaian Downes (Downes score)163 dan dapat digunakan pada segala
kondisi dan usia gestasi bayi (Tabel 6)164,165

Tabel 6 Downes Score164,166


Karakteristik 0 1 2
Frekuensi napas <60 kali per 60-80 kali per >80 kali per menit
menit menit atau apne
Retraksi dada Tidak ada Ringan Berat
Sianosis Tidak ada Hilang dengan Menetap walaupun terapi
oksigen diberi terapi
oksigen
Masuknya udara Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara masuk

Merintih Tidak ada Terdengar dengan Terdengar tanpa


stetoskop stetoskop

Frekuensi napas yang rendah (<30 kali per menit) mengindikasikan


adanya gangguan pada otak (seperti ensefalopati hipoksik iskemik atau hypoxic
ischemic encephalopathy (HIE), edema, atau perdarahan intrakranial),
pengaruh obat (opioid), atau mengalami syok yang berat. Neonatus dengan
kondisi seperti ini dapat mengalami apne atau gasping.38
Frekuensi napas yang cepat (takipne) merupakan indikasi untuk melakukan
evaluasi yang lebih menyeluruh meliputi usaha napas, oksigenasi, SpO2, foto
dada, dan AGD. Takipne yang terjadi tanpa peningkatan PaCO2 (<35 mmHg)

92
kemungkinan tidak berasal dari masalah pulmonal, misalnya penyakit jantung
bawaan (PJB), asidosis metabolik, dan kerusakan otak. Takipne yang disertai
peningkatan PaCO2 dapat terjadi karena masalah pulmonal seperti RDS,
pneumonia, transient tachypnea of the newborn (TTN), aspirasi
mekonium, perdarahan paru, obstruksi jalan napas, massa paru, hernia
diafragmatika, atau pneumotoraks.38

2) Terapi oksigen
Neonatus yang mengalami sianosis di udara kamar, dan mengalami RDS ringan
hingga sedang membutuhkan oksigen dalam penanganannya. Terapi oksigen
adalah salah satu terapi yang sering digunakan dalam penanganan neonatus
yang bermasalah, untuk mencegah hipoksemia, mengurangi kerja otot
pernapasan, dan menurunkan beban miokardium.166 Terapi oksigen dalam
jangka panjang dapat menimbulkan toksisitas sehingga pemakaiannya harus
diatur. Efek toksisitas oksigen yang dapat terjadi adalah ROP, BPD, enterokolitis
nekrotikans, PVL, dan dapat juga memengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak.167,168
Saat ini pemberian oksigen melalui inkubator sudah tidak
direkomendasikan lagi. Sehubungan konsekuensi intoksikasi oksigen pada
neonatus, maka disarankan oksigen diberikan dengan dititrasi, dan dimulai dari
konsentrasi 21%, serta 25-30% pada bayi prematur dengan usia gestasi < 35
minggu.
Target saturasi oksigen adalah >90-95%. Udara yang digunakan sebaiknya
udara yang telah dihangatkan dan dilembabkan untuk mengurangi cold stress
dan IWL. Observasi klinis respons bayi terhadap terapi oksigen meliputi warna,
frekuensi napas, usaha napas, dan keadaan umum (bayi yang hipoksia dapat
terlihat letargis). Pencatatan respons bayi dilakukan tiap jam hingga kondisi bayi
stabil, selanjutnya tiap 2-4 jam sesuai dengan kebutuhan. 74
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa pemberian terapi oksigen pada
bayi prematur dengan menjaga kecukupan oksigen (dihindari dari hipoksia atau
hiperoksia) adalah dengan mempertahankan saturasi oksigen berkisar antara
>90%-95%.169 Pada bayi dengan SaO2 <90% ternyata 50% dari bayi tersebut
mempunyai PaO2 yang sangat bervariasi serta pada umumnya < 45mmHg.
Sebaliknya pada bayi dengan Sa)2 > 95% didapatkan PaO2 dari 80 mmHg -
300mmHg.

Tabel 7 Kadar SpO2 yang dibutuhkan neonatus.170


Alarm limits (low-
Neonatus
Rentang SpO2 (%) high) (%)
Cukup bulan dan kurang bulan >90-95% 88-96

93
Neonatus dengan hipertensi
pulmonal Sesuai pertimbangan dokter

Semua neonatus dalam udara Data tidak tersedia 86-100


bebas

Target saturasi oksigen dalam fase stabilisasi adalah >90-95%


Level of evidence II, derajat rekomendasi

a) Metode pemberian terapi oksigen


Mengingbat pentinganya stabilisasi pernafasan dengan menjaga agar alveoli paru
senantiasa terbuka, maka pada fase akut /stabilisisai pemberian terapi oksigen
melalui sungkup kepala, nasal kanula aliran rendah tidak direkomendasikan.

Gambar 18 Terapi oksigen melalui sungkup kepala

Gambar 19 Terapi oksigen menggunakan nasal kanul

(1) Continuous positive airway pressure (CPAP)


CPAP merupakan salah satu modalitas utama terapi oksigen non-invasif yang
memberikan TPAE. Indikasi penggunaan CPAP adalah semua neonatus

94
dengan kesulitan bernafas selama tidak didapatkan kontra indikasi seperti
obstruksi saluran cerna dan NEC stadium II.

Gambar 20 Peralatan CPAP Gambar 21 Ventilator


Pemberian oksigen melalui nasal kanula aliran tinggi dapat dipertimbangkan
bila tidak ada fasilitas pemberian cpap, namun dengan beberapa hal yang harus
diperhatikan seperti: aliran > 2L per menit, besar maksimum aliran tergantung
jenis alat yang dipakai, harus disertai humidifikasi dan dihangatkan. Dari meta
analisis yang dilakukan pada tahun 2016 didapatkan bahwa pemberian oksigen
nasal kanula aliran tinggi dan cpap mempunyai efektifitas yang sama dan aman
sebagai penanganan bantuan pernafasan fase akut, meski masih memerlukan
studi lebih lanjut. (Level of Evidence II)

(2) Ventilator
Neonatus yang membutuhkan ventilator adalah neonatus yang pernah
mengalami apne, gagal napas,penggunaan terapi oksigen dengan CPAP tidak
adekuat (kebutuhan FiO2 >40%, asidosis respiratorik (pH <7,20-7,25),
PaO2<50 mmHg, dan kulit pucat atau sianosis disertai agitasi), adanya

95
gangguan neurologis (apne of prematurity, perdarahan intrakranial, dan
gangguan neuromuskular kongenital), RDS, sindrom aspirasi mekonium,
gangguan kardiovaskular (persistent pulmonary hypertension of the
newborn, pasca-resusitasi, PJB, dan syok), dan pasca-operasi karena
gangguan fungsi ventilasi.171 Neonatus yang menggunakan ventilator harus
diawasi secara ketat termasuk pengawasan pengaturan ventilator (Gambar
21).

Terapi oksigen pada neonatus sering diberikan dalam jangka panjang dan
menggunakan SpO2tinggi. Perhitungan terapi oksigen untuk mencegah ROP
dapat dibantu dengan tabel supplemental therapeutic oxygenfor
prethreshold retinopathy of prematurity (STOP-
ROP) (Tabel 8 dan Tabel 9).172,173

Tabel 8 Konversi FiO2 STOP ROP.174


Aliran Berat (kg)
(lpm) 0,7 1 1,25 1,5 2 2,5 3 3,5 4
0,01 =
1 1 1 1 1 0 0 0 0
1/100
0,03 =
4 3 3 2 2 1 1 1 1
1/32
0,06 =
9 6 5 4 3 3 2 2 2
1/16
0,13 =
18 13 10 8 6 5 4 4 3
1/8
0,15 =
21 15 12 10 8 6 5 4 4
3/20
0,25 =
36 25 20 17 10 10 8 7 6
¼
0,50 =
71 50 40 33 17 20 17 14 13
½
0,75 =
100 75 60 50 38 30 25 21 19
¾
1 100 100 80 67 50 40 33 29 25
1,25 =
100 100 100 83 63 50 42 36 31

96
1,50 =
100 100 100 100 75 60 50 43 38

2 100 100 100 100 100 80 67 57 50
3 100 100 100 100 100 100 100 86 75
4 100 100 100 100 100 100 100 100 100
5 100 100 100 100 100 100 100 100 100
6 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Faktor: 100* min (1, lpm/kg)

Tabel 9 FiO2 efektif sebagai fungsi dari faktor dan konsentrasi oksigen 173,174
Konsentrasi oksigen (%)
Faktor
21 22 25 30 40 50 100
0 21 21 21 21 21 21 21
1 21 21 21 21 21 21 22
2 21 21 21 21 21 22 23
3 21 21 21 21 22 22 23
4 21 21 21 21 22 22 24
5 21 21 21 21 22 22 25
6 21 21 21 22 22 23 26
Faktor Konsentrasi oksigen (%)
7 21 21 21 22 22 23 27
8 21 21 21 22 23 23 27
9 21 21 21 22 23 24 28
10 21 21 21 22 23 24 29
12 21 21 21 22 23 24 30
13 21 21 22 22 23 25 31
14 21 21 22 22 24 25 32
15 21 21 22 22 24 25 33
21 22 25 30 40 50 100
17 21 21 22 23 24 26 34
18 21 21 22 23 24 26 35

97
19 21 21 22 23 25 27 36
20 21 21 22 23 25 27 37
21 21 21 22 23 25 27 38
25 21 21 22 23 26 28 41
29 21 21 22 24 27 29 44
30 21 21 22 24 27 30 45
31 21 21 22 24 27 30 45
33 21 21 22 24 27 21 47
36 21 21 22 24 28 31 49
38 21 21 23 24 28 32 51
40 21 21 23 25 29 33 53
42 21 21 23 25 29 33 54
43 21 21 23 25 29 33 55
50 21 22 23 26 31 36 61
57 21 22 23 26 32 38 66
60 21 22 23 26 32 38 68
63 21 22 24 27 33 39 71
67 21 22 24 27 34 40 74
71 21 22 24 27 34 42 77
75 21 22 24 28 35 43 80
80 21 22 24 28 36 44 84
Faktor Konsentrasi oksigen (%)

83 21 22 24 28 37 45 87
86 21 22 24 29 37 46 89
100 21 22 25 30 40 50 100
FiO2 = 21 + Faktor * (konsentrasi – 21)/100

Contoh penggunaan Tabel STOP ROP Kasus:


Berapakah FiO2 yang efektif pada bayi dengan berat badan 1500 g, yang
terpasang kanula oksigen 100% dengan aliran 0,25 lpm?
Penanganan:
Carilah kolom berat 1500 g dan 0,25 lpm dalam Tabel 5 untuk mendapatkan
faktor. Pada kasus ini faktor 17 diperoleh. Gunakan faktor 17 tersebut dan

98
oksigen 100% dalam Tabel 6 untuk menentukan FiO2 yang efektif. Maka hasilnya
adalah 34%.
Masalah terapi oksigen yang dihadapi oleh fasilitas kesehatan di
Indonesia terutama selain di kota besar adalah ketiadaan pulse oximeter,
blender, oxygen analyzer, sumber udara tekan, dan T-piece resuscitator.
Alternatif terapi oksigen dengan tidak tersedianya blender, oxygen analyzer,
dan sumber udara tekan antara lain dengan venturi (Gambar 20) dan Y-tube
(Gambar 21).
Venturi adalah tabung plastik pendek yang disambungkan dengan pipa
penyalur oksigen. Venturi dapat disambungkan dengan sungkup kepala dan
sungkup wajah. Beberapa venturi mencampur oksigen murni dengan udara
kamar untuk memberikan FiO2 sesuai kebutuhan. Venturi memiliki beberapa
adaptor, masing-masing dengan bukaan/jendela yang besar untuk memasukkan
udara kamar. Oksigen melalui venturi dan menarik udara kamar sehingga terjadi
percampuran kedua gas (Tabel 7).

Gambar 22 Venturi

Tabel 10 Terapi oksigen dengan venturi

99
Warna Flow FiO2 (%)
venture (L/menit)
Biru 3 24
Putih 6 28
Kuning 12 35
Merah 15 40
Merah muda 15 50

Modifikasi terapi oksigen pada fasilitas terbatas lainnya adalah dengan Y


tube. Penggunaan Y-tube bertujuan mencampur oksigen dengan udara tekan
(Gambar 21) dengan perhitungan pada Tabel 8.

Gambar 23 Modifikasi terapi oksigen dengan Y-tube

Tabel 11 Perhitungan terapi oksigen dengan Y-tube


UdaraBertekanan(L/menit)
KonsentrasiO2
(%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 41% 37% 34% 32% 31% 30% 29% 28%

100
2 61% 53% 47% 44% 41% 38% 37% 35% 34%

3 80% 68% 61% 55% 51% 47% 45% 43% 41% 39%
4 84% 74% 66% 61% 56% 52% 50% 47% 45% 44%
5 86% 77% 70% 65% 61% 57% 54% 51% 49% 47%
6 88% 80% 74% 68% 64% 61% 57% 54% 53% 51%
7 90% 82% 76% 71% 67% 64% 61% 58% 56% 54%
8 91% 84% 78% 74% 70% 66% 63% 61% 58% 56%
9 92% 86% 80% 76% 72% 68% 65% 63% 61% 58%
10 93% 87% 82% 77% 74% 70% 67% 65% 63% 61%

3) Terapi oksigen: target kadar oksigen darah rendah atau


tinggi, pemberian oksigen terbatas atau liberal
Terapi oksigen lazim diterapkan dalam perawatan neonatal, bertujuan untuk
menangani hipoksemia, mengurangi kerja otot pernapasan, dan menurunkan
beban kerja miokardium. Terapi oksigen ternyata tidak hanya memberikan
keuntungan, melainkan juga kerugian. Kontroversi mengenai suplementasi
oksigen ini adalah dalam menetapkan target kadar oksigen dalam darah pada
BBLR. Target kadar oksigen yang tinggi memberi nilai positif dalam hal pola tidur
bayi yang stabil serta mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang baik
dalam jangka panjang. Tetapi target kadar oksigen yang tinggi ini dapat
menimbulkan keadaan hiperoksia, dan menjadi faktor yang berpengaruh untuk
terjadinya ROP dan penyakit paru kronik seperti BPD.42,175
Bayi kurang bulan berpotensi mengalami stres oksidatif bukan hanya karena
mereka terpapar dengan terapi oksigen yang lebih banyak, melainkan juga
secara bersamaan bayi kurang bulan mengalami inflamasi, memiliki pertahanan
yang kurang terhadap stres oksidatif, serta mempunyai kadar besi bebas di
jaringan yang memicu pembentukan radikal hidroksil.176 Terapi dengan
antioksidan selama ini belum memberikan hasil yang baik, oleh karena itu saat ini
intervensi yang rasional untuk mengurangi risiko stres oksidatif adalah dengan
mengontrol suplementasi oksigen dan mencegah inflamasi.177 Faktor lain yang
dapat memicu stres oksidatif di antaranya transfusi dan nutrisi parenteral. 178,179
Telaah sistematik oleh Ballot et al40 (2010) terhadap 5 studi menunjukkan
bahwa terapi oksigen yang terbatas (restricted) secara bermakna menurunkan
angka kejadian dan derajat ROP, tanpa terjadi peningkatan mortalitas. Satu studi
prospektif, multisenter, tersamar ganda menunjukkan bahwa kelompok BBLR
yang memiliki kadar oksigen darah yang rendah dan tinggi tidak berbeda
bermakna dalam kejadian ROP, mortalitas, maupun pertumbuhan dan
perkembangan. Tetapi subyek yang memiliki kadar oksigen darah tinggi
mengalami peningkatan kejadian penyakit paru kronik dan penggunaan oksigen
di rumah. Dengan demikian pemberian terapi oksigen yang liberal dan tidak

101
dipantau akan menghasilkan luaran yang buruk, sedangkan pemberian oksigen
restricted sebaliknya. Namun hingga saat ini belum ada bukti yang memadai
untuk menetapkan besarnya suplementasi oksigen yang paling baik bagi BBLR. 176
Meta-analisis oleh Chen et al180 (2010) melaporkan kejadian ROP pada
bayi kurang bulan lebih rendah pada penggunaan oksigen rendah dibandingkan
dengan oksigen tinggi (RR 0,48;IK95% 0,31-0,75). Khusus pada populasi BBLSR
dan BBLASR, telaah sistematik oleh Saugstad et al181 (2011) menganalisis 8 studi
yang membandingkan efek pemberian kadar oksigen rendah (70≤95%) dengan
tinggi (88-100%) yang dipantau dengan pulse oximeter, terhadap kejadian
ROP dan BPD. Telaah tersebut menyimpulkan bahwa penurunan risiko ROP
derajat berat terjadi pada pemberian oksigen rendah (9,5%) dibandingkan
dengan oksigen tinggi (20,9%) (risiko relatif (RR) 0,48; interval kepercayaan 95%
(IK95%) 0,34-0,68). Penurunan risiko BPD juga terjadi pada penggunaan oksigen
rendah (29,7%) dibandingkan dengan oksigen tinggi (40,8%) (RR 0,79;IK95% 0,64-
0,97). Hanya 2 studi yang mengevaluasi kematian sebagai luaran, dan telaah ini
memperoleh data mortalitas yang meningkat pada penggunaan oksigen rendah
dibandingkan dengan oksigen tinggi (RR 1,12;IK95% 0,86-1,45).

Pemberian terapi oksigen harus secara terbatas (restricted) dan


terpantau kadarnya dalam darah.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Terapi oksigen dalam kadar rendah yaitu 30% menurunkan


risiko ROP dan BPD.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

4) Penghentian terapi oksigen: bertahap atau tiba-tiba


Gangguan pernapasan sering menjadi masalah pada BBLR, sehingga
suplementasi oksigen diperlukan. Pemberian oksigen terlalu rendah ataupun
terlalu tinggi dapat menimbulkan kerusakan terhadap organ mata dan paru, oleh
karena itu pemberian oksigen dalam kadar yang tepat merupakan hal yang
penting untuk diperhatikan. Demikian pula cara menghentikan terapi oksigen
atau weaning, yaitu secara bertahap atau tiba-tiba adalah pilihan yang masih
menjadi kontroversi. Telaah sistematik tentang metoda penghentian oksigen ini
hanya memperoleh satu studi dengan besar sampel 51 subyek. Telaah tersebut
menyimpulkan bahwa penghentian terapi oksigen secara bertahap dibandingkan
dengan secara tiba-tiba, menurunkan kejadian vascular retrolental
fibroplasia (misalnya ROP derajat berat) (RR
0,22; IK95% 0,07-0,68).182

102
Penghentian terapi oksigen dilakukan secara bertahap.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

d. BLOOD PRESSURE
Syok didefinisikan sebagai perfusi organ vital dan pengangkutan oksigen yang
tidak adekuat. Definisi lain untuk syok adalah keadaan yang kompleks dengan
disfungsi sirkulasi yang mengakibatkan pengangkutan oksigen dan nutrisi tidak
adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Kegagalan untuk segera
mengenali dan menatalaksana syok dapat meyebabkan kegagalan organ multipel
dan bahkan kematian pada bayi baru lahir, sehingga tata laksana syok harus
dilakukan segera dan agresif. Syok terbagi dalam tiga tipe yaitu syok
hipovolemik, kardiogenik, dan septik.38

1) Syok hipovolemik
Syok hipovolemik disebabkan oleh rendahnya volume sirkulasi darah.
Penyebab syok hipovolemik terdiri atas: a) Kehilangan darah akut selama
periode kelahiran
(1) Perdarahan fetal-maternal
(2) Plasenta previa
(3) Luka pada tali pusat
(4) Transfusi antar bayi kembar (twin-to-twin transfusion)
(5) Laserasi organ (hati atau pankreas)
b) Perdarahan pasca-lahir
• Otak
• Paru
• Kelenjar adrenal
• Kulit kepala (perdarahan subgaleal)
c) Penyebab bukan perdarahan
• Kebocoran kapiler yang berat sekunder terhadap infeksi
• Dehidrasi
d) Hipotensi fungsional
• Tension pneumothorax (mengganggu curah jantung)
• Pneumopericardium (mengganggu curah jantung) Beberapa
penyebab perdarahan pasca-lahir dapat terjadi sebelum kelahiran atau

103
selama periode kelahiran. Bayi dengan syok hipovolemik menunjukkan
tanda-tanda curah jantung yang kurang: takikardia, nadi lemah, waktu
pengisian kapiler memanjang, dan warna kebiruan. Apabila bayi
kehilangan darah dalam jumlah banyak maka bayi dapat terlihat pucat,
dan disertai asidosis dan hipotensi (tanda akhir dari curah jantung yang
lemah).38

2) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik (gagal jantung) terjadi saat otot-otot jantung berfungsi
dengan lemah dan dapat terjadi pada bayi dengan:
Error! Bookmark not defined.
• Asfiksia selama masa kelahiran atau pasca-lahir
• Hipoksia dan/atau metabolik asidosis
• Infeksi bakteri atau virus
• Gangguan pernapasan berat (membutuhkan bantuan ventilasi)
• Hipoglikemia berat
• Metabolik dan/atau gangguan elektrolit berat
• Aritmia
• Kelainan jantung bawaan, terutama bayi dengan hipoksemia berat
atau obstruksi aliran darah ke sirkulasi sistemik

3) Syok septik (distributif)


Infeksi berat dapat mengakibatkan syok septik atau distributif. Keadaan
bayi dengan syok septik memburuk dengan cepat. Dengan adanya infeksi
bakterial, terjadi reaksi sistematik yang kompleks yang berakibat pada
penurunan sirkulasi. Karakteristik khas pada syok tipe ini adalah hipotensi
dengan respons lemah terhadap resusitasi cairan. Vaskuler yang
kehilangan integritasnya menyebabkan kebocoran cairan dari pembuluh
darah ke ruang jaringan (juga mengakibatkan syok hipovolemik).
Kontraksi miokardium yang lemah juga mengakibatkan perfusi dan
oksigenasi jaringan yang lemah. Bayi dengan syok septik seringkali
membutuhkan pengobatan untuk memperbaiki hipotensi berat. Risiko
trauma organ dan kematian sangat tinggi pada bayi dengan syok tipe ini.
Kadang kala, bayi dapat juga menderita kombinasi dari ketiga tipe syok
tersebut.38

Pemeriksaan fisis untuk syok

104
Usaha napas
• Peningkatan usaha napas (retraksi, mendengkur, pernapasan cuping
hidung)
• Takipnea
• Apne
• Napas terengah-engah (tanda akan terjadinya
cardiorespiratory arrest)

Nadi
a) Nadi perifer lemah atau tidak teraba
b) Nadi brakial lebih kuat daripada nadi femoral (pertimbangkan koarktasio
aorta atau kelainan arkus aorta)
Perfusi perifer
a) Perfusi lemah (terjadi akibat vasokonstriksi dan curah jantung yang
kurang)
b) Pemanjangan waktu pengisian kapiler (>3 detik pada bayi yang sakit
dianggap tidak normal)
c) Mottled sign
d) Kulit yang dingin
Warna
a) Sianosis
b) Pucat (dapat mengindikasikan kadar hemoglobin yang sangat rendah
sebagai akibat sekunder perdarahan)
c) Evaluasi oksigenasi dan saturasi
d) Evaluasi gas darah untuk asidosis respiratorik, metabolik, atau keduanya
Denyut jantung
a) Bradikardia (<100 denyut per menit) dengan tanda-tanda perfusi yang
buruk
(1) Hipoksemia, hipotensi, dan asidosis menyebabkan penurunan sistem
konduksi
(2) Bradikardia yang dikombinasikan dengan syok berat adalah tanda
awal akan terjadi henti jantung dan paru
(3) Singkirkan heart block sebagai salah satu penyebabnya

105
b) Takikardia (>180 denyut per menit yang terjadi
berkepanjangan saat istirahat)
(1) Takikardia dapat mengindikasikan curah jantung yang kurang
dan/atau gagal jantung kongestif
(2) Denyut jantung yang normal adalah 120-160 denyut per menit,
tetapi dapat berkisar 80-200 denyut per menit tergantung tingkat
aktivitas bayi
(3) Apabila denyut jantung >220 denyut per menit, pertimbangkan
takikardia supraventrikular
Jantung
a) Ukuran jantung yang membesar pada Röntgen toraks (berhubungan
dengan disfungsi miokardium dan perkembangan gagal jantung kongestif)
b) Ukuran jantung lebih kecil dari normal, atau terkompresi pada Röntgen
toraks (dapat merefleksikan pengisian jantung atau pre-load yang
lemah)
c) Evaluasi adanya murmur (meskipun tidak ada murmur, kelainan jantung
bawaan struktural dapat terjadi)
Tekanan darah
a) Dapat berupa normal atau rendah: hipotensi adalah tanda akhir dari
dekompensasi jantung.
b) Evaluasi tekanan nadi (tekanan sistolik – tekanan diastolik). Tekanan nadi
normal pada bayi cukup bulan 25-30 mmHg dan pada bayi kurang bulan
15-25 mmHg. Tekanan nadi yang sempit dapat mengindikasikan
vasokonstriksi perifer, gagal jantung, atau curah jantung rendah. Tekanan
nadi yang lebar dapat mengindikasikan runoff aortic yang besar, seperti
yang terlihat pada duktus arteriosus paten yang signifikan atau
malformasi arteriovena besar.

Pemeriksaan laboratorium untuk evaluasi syok


1) Analisis gas darah
Asidosis metabolik dapat terjadi dengan pH dan bikarbonat yang rendah.
Apabila bayi mengalami insufisiensi pernapasan, pCO2 dapat meningkat

106
dan kombinasi asidosis respiratorik dan metabolik dapat terjadi. a) pH
<7,3 tidak normal
b) pH <7,25 mencurigakan, terutama jika ada bersamaan dengan perfusi
yang buruk, takikardia, dan/atau hipotensi
c) pH <7,2 tidak normal secara signifikan
d) pH <7,1 mengindikasikan bayi dengan kondisi krisis berat 2) Glukosa
Hiperglikemia dapat menjadi tanda awal respon bayi terhadap stress.
Gula darah harus dievaluasi secara teratur sampai pola stabilitas gula
darah tercapai.
3) Elektrolit (hipo- atau hiper-natremia, hipo- atau hiperkalemia)
Apabila terdapat metabolik asidosis, hitung anion gap.
4) Pemeriksaan lain dan observasi:
a) Ekokardiografi untuk mengevaluasi fungsi jantung dan mengeliminasi
kelainan jantung bawaan struktural sebagai penyebab
b) Evaluasi produksi urin (oliguria atau anuria)
c) Evaluasi sepsis (pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis dan
kultur darah)

Prinsip curah jantung


Curah jantung (cardiac output (CO)) dipengaruhi oleh frekuensi denyut jantung
(heart rate (HR) dan isi sekuncup (stroke volume (SV)). Denyut jantung dikali
dengan isi sekuncup sama dengan cardiac output (HR x SV = CO). Miokardium
bayi baru lahir memiliki kapasitas yang terbatas untuk meningkatkan isi
sekuncup dengan sendirinya, sehingga dalam merespons syok, denyut jantung
bayi akan naik untuk meningkatkan curah jantung dan mengakibatkan takikardia.
Selain elektrolit, mineral, atau ketidakseimbangan energi, terdapat beberapa
faktor yang menurunkan curah jantung:38
12) Penurunan volume kembalinya darah vena ke jantung (preload)
sehingga jantung memompa volume yang lebih sedikit pada setiap
kontraksi
13) Peningkatan resistansi vaskuler sistemik (afterload) yang
membuat jantung harus bekerja lebih keras dalam memompa
darah ke seluruh tubuh
14) Penurunan kontraktilitas miokardium

107
Tata laksana syok
Langkah pertama dalam tata laksana syok adalah melakukan evaluasi risiko
apakah bayi mempunyai risiko untuk mengalami syo atau tidak. Perlu dicatat
bahwa tanda klinis syok pada awalnya adalah hampir sama dengan tanda
gangguan pernafasan, sehingga setiap bayi dengan masalah pernafasan, setelah
dilakukan pemberian dukungan pernafasan diikuti dengan evaluasi tanda tanda
dini syok. Langkah berikutnya adalah melakukan pencegahan syok terjadi lebih
lanjut serta mengidentifikasi penyebab syok. Langkah selanjutnya adalah
tatalaksana penyebabTujuan tata laksana syok adalah meningkatkan curah
jantung dengan meningkatkan volume, meningkatkan perfusi jaringan,
meningkatkan oksigenasi jaringan, menurunkan metabolisme anaerob,
menurunkan timbunan asam laktat, dan meningkatkan pH. 38 Pada umumnya
syok pada bayi adalah syok hipovolemik. Oleh sebab itu bila mendapati bayi
dengan tanda tanda awal syok, segera diberikan bolus cairan larutan fisiologis
sebanyak 10 ml/kgBB dalam 30-60 menit. Selanjutnya penanganan tergantung
sebab yang mendasari syok.

1) Tata laksana syok hipovolemik


Tujuan tata laksana syok hipovolemik adalah untuk meningkatkan volume
sirkulasi darah yang dapat dicapai dengan memberikan kristaloid atau
darah. Tata laksana menggunakan normal saline bila tidak ada
kehilangan darah akut. Bila masih terdapat kehilangan darah akut,
transfusi sel darah merah dan whole blood diberikan.Error! Bookmark
not d efined. Meskipun demikian, satu meta-analisis menyimpulkan belum
ada bukti yang cukup tentang efektivitas penggunaan normal saline
atau whole blood untuk membantu kerja jantung dalam tata laksana
hipoperfusi.183
a) Apabila tidak terdapat kehilangan darah akut, normal saline 0,9%
atau Ringer Laktat dapat digunakan dengan dosis 10 mL/kgBB/kali via
IV, kateter vena umbilikus, atau intraosseous selama 15-30 menit
(dapat diberikan dalam waktu yang lebih singkat tergantung keadaan
bayi). Pada syok berat, pemberian bolus sebanyak dua atau lebih
mungkin diperlukan. Evaluasi respons bayi (pantau denyut jantung,
perfusi, dan tekanan darah) pada akhir setiap pemberian bolus
sehingga dapat diputuskan kebutuhan pemberian bolus selanjutnya.
Apabila terdapat kehilangan darah kronik, beberapa bayi dalam
keadaan syok berat tidak dapat mentoleransi pemberian bolus untuk

108
meningkatkan volume. Sebelum diberikan penambahan volume,
konsultasi dengan ahli neonatologi di layanan kesehatan tersier.
b) Apabila terdapat kehilangan darah akut, mulai resusitasi cairan
dengan normal saline sambil menunggu transfusi sel darah merah
atau whole blood. Dosis pemberian cairan adalah 10 mL/kgBB/kali
IV, kateter vena umbilikus, atau intraosseous selama 30 menit-2 jam.
Waktu pemberian bervariasi, dapat lebih cepat dari 30 menit
tergantung dari beratnya keadaan bayi. Dalam keadaan darurat yang
tidak memungkinkan untuk pemeriksaan cross-match sebelum
pemberian darah, transfusi sel darah merah tipe O-negatif dapat
diberikan. Transfusi sedapat mungkin berupa sel darah merah yang
kurang dari satu minggu, negatif CMV, dan leuko-reduced.

2) Tata laksana syok kardiogenik (gagal jantung)


Evaluasi bayi untuk tanda-tanda syok kardiogenik seperti takikardia,
bradikardia, hipotensi, oliguria, hipoksemia, asidosis, dan hipoglikemia.
Tujuan tata laksana adalah memperbaiki penyebab masalah yang
menurunkan fungsi jantung, termasuk hipoksia, hipoglikemia, hipotermia,
hipotensi, asidosis, aritmia, infeksi, dan ketidakseimbangan elektrolit atau
mineral. Tata laksana dengan mengatasi hipoksia, hipoglikemia,
hipotermia, hipotensi, asidosis, aritmia, infeksi, dan ketidakseimbangan
elektrolit atau mineral.38
Tata laksana syok kardiogenik menggunakan dopamin/dobutamin drip
(dosis 5-20 μg/kgBB/menit menggunakan pump untuk
meningkatkan output jantung dan tekanan darah). Pemberian
dopamin/dobutamin harus didahului pemberian volume yang cukup.
Tenaga kesehatan harus memantau tekanan darah dan denyut jantung
secara ketat selama pemberian. Dopamin/dobutamin harus diberikan
dengan syringe pump (Gambar 22) melalui kateter vena umbilikalis.38
Satu meta-analisis melaporkan bahwa penggunaan sodium bikarbonat
4,2% belum terbukti menurunkan mortalitas dan morbiditas pada
resusitasi pasca-lahir.184

109
Gambar 24 Syringe pump

3) Tata laksana syok septik (distributif)


Tata laksana syok septik meliputi kombinasi terapi syok hipovolemik dan
kardiogenik. Bayi dengan syok septik membutuhkan lebih banyak bolus
cairan dibandingkan tipe syok yang lain, karena pergerakan cairan dari
ruang intravaskular ke ruang interstitial atau ruang ekstravaskular yang
disebabkan oleh trauma kapiler dan berkumpulnya darah di jaringan
kapiler. Pemberian infus dopamin secara kontinu diperlukan untuk tata
laksana hipotensi berat. Oksigenasi dan ventilasi yang optimal sangat
penting dalam tata laksana syok jenis ini.
Cairan yang digunakan untuk tata laksana syok kardiogenik dan septik
adalah normal saline 0,9% atau Ringer Laktat 10 mL/kgBB/kali IV,
kateter vena umbilikus, atau intraosseous untuk meningkatkan volume
sirkulasi darah. Cairan sodium bikarbonat 4,2% (0,5 mEq/mL) dengan
dosis 2-4 mL/kgBB/kali selama 30-60 menit IV untuk mengobati asidosis
metabolik berat (pH arteri <7,15 dan pada bayi dengan ventilasi adekuat).
Pemberian sodium bikarbonat yang sangat hipertonik jika diberikan
terlalu cepat dapat mengakibatkan perdarahan intraventrikular. Dopamin
hidroklorida dapat juga digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas
kardiak dengan dosis 5-20 mcg/kgBB/menit melalui pompa IV (tidak boleh
diberikan melalui arteri atau ETT).
Beberapa peraturan dalam infus dopamin:
a) Dalam sebagian besar kasus, bolus volume (ekspansi volume)
diberikan sebelum memutuskan pemberian dopamin.
b) Dosis awal pemberian dopamin disesuaikan dengan status klinis bayi
dan penyebab hipotensi. Dopamin dimulai dari
5 mcg/kgBB/menit dan dapat dinaikkan (atau diturunkan) sebesar 2,5
mcg/kgBB/menit. Pada banyak NICU, dopamin dicampur untuk
menghasilkan solusi dengan konsentrasi yang lebih besar dan
kecepatan kenaikan atau penurunan terbatas pada 1 mcg/kgBB/menit
pada setiap perubahan kecepatan.

110
c) Pantau tekanan darah dan denyut jantung setiap 1-2 menit selama 15
menit lalu setiap 2-5 menit tergantung respons pengobatan. Apabila
bayi tidak merespons dengan dosis 20 mcg/kgBB/menit, maka
peningkatan dosis lebih lanjut tidak dianjurkan.
d) Infus dopamin menggunakan pompa infus dan untuk meningkatkan
keamanan, gunakan teknologi "smart pump" bila memungkinkan.
e) Pemberian sedapat mungkin melalui vena umbilikus, bila posisi
kateter sudah dikonfirmasi dengan Röntgen toraks dan ujungnya
terletak tepat di atas hati pada vena kava inferior/right atrial
junction. Apabila tidak terdapat akses vena sentral, infus dopamin
melalui IV perifer. Pantau daerah infus terhadap terjadinya infiltrasi
dan ganti bila perlu.
f) Pemberian dopamin tidak boleh dilakukan melalui arteri termasuk
kateter arteri umbilikus.
g) Dopamin jangan diberikan secara cepat karena tekanan darah dapat
mendadak naik dan denyut jantung turun dengan drastis.
Belum ada bukti memadai yang mendukung pemberian ekspansi volume
pada BBLR dengan masalah kardiovaskular. Metaanalisis oleh Osborn et al 185
(2009) menyimpulkan albumin tidak terbukti lebih baik dibandingkan normal
saline dalam meningkatkan tekanan darah untuk hipotensi pada bayi baru lahir
kurang bulan. Meta-analisis oleh Beveridge (2009) menyatakan belum ada bukti
memadai yang mendukung manfaat cairan sodium bikarbonat dalam resusitasi di
kamar bersalin untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. 184
Kotak 3 menunjukkan tata laksana komponen “blood pressure” pada
bayi baru lahir yang sakit.

Dalam penanganan hipotensi bayi prematur yang baru lahir,


albumin tidak terbukti lebih bermanfaat dibandingkan dengan
normal saline.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Pemberian sodium bikarbonat dalam resusitasi di kamar


bersalin belum terbukti bermanfaat menurunkan mortalitas
dan morbiditas bayi baru lahir.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

111
• Disfungsi organ terjadi akibat perfusi dan oksigenasi tidak optimal.
• Evaluasi penyebab syok dan lakukan tata laksana dengan agresif.
• Keputusan tata laksana syok menggunakan volume dan/atau
medikamentosa adalah berdasarkan pada riwayat penyakit dan hasil
pemeriksaan fisis, tidak hanya pada tekanan darah.

Kotak 3 . Kunci tata laksana tekanan darah bayi baru lahir yang
sakit.38

3.2.1.1.1. Penggunaan inotropik untuk instabilitas


xv,xvi,xvii
hemodinamik: dopamin atau epinepfrin

Studi terhadap efektifitas katekolamin menyimpulkan bahwa dopamin lebih


superior dibandingkan dobutamin dalam meningkatkan tekanan darah pada
BBLR dengan hemodinamik tidak stabil.186,187,188 Studi lain melaporkan
penggunaan dopamin >5 mcg/kg per menit meningkatkan resistensi sistemik
sehingga memperberat kerja miokardium. Pada studi tersebut dopamin
dibandingkan dengan epinefrin, yang dianggap memiliki efek yang lebih baik
untuk kerja jantung karena mempunyai predominasi efek β. Epinefrin dosis
rendah (0,5 mcg/kg per menit) memiliki efektivitas yang sama dengan
dopamin dosis rendah/sedang (<10 mcg/kg per menit) untuk menaikkan rerata
tekanan darah sistemik pada BBLR. Walaupun demikian, epinefrin menimbulkan
efek samping yang bersifat sementara seperti peningkatan laktat plasma dalam
36 jam pertama, menurunkan bikarbonat dan ekses basa dalam 6 jam pertama,
serta hiperglikemia dalam 24 jam pertama.186

Dopamin dosis rendah/sedang (<10 mcg/kg per menit) sama


efektif dengan epinefrin dosis rendah (0,5 mcg/kg per menit)
dalam mengatasi hipotensi pada BBLR.
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

e. LAB WORK (Pemeriksaan Laboratorium)


Infeksi neonatal, interpretasi pemeriksaan darah lengkap, dan
terapi antibiotik inisial untuk dugaan infeksi

112
Pemeriksaan laboratorium penting sebagai indikator awal terjadinya infeksi pada
bayi baru lahir. Bayi dengan risiko tinggi infeksi adalah bayi dengan: Error!
Bookmark not defined.

1) Ketuban pecah dini (KPD) > 18 jam


2) Kelahiran prematur
3) Riwayat korioamnionitis
4) Ibu yang memiliki riwayat diare, ISK atau infeksi lain.
5) Ibu yang memiliki riwayat demam intrapartum/postpartum
(≥38˚C)
6) Riwayat prosedur invasif setelah kelahiran
Tanda-tanda klinis infeksi pada bayi baru lahir berupa gangguan napas,
suhu tubuh tidak stabil, intoleransi diet, perubahan perfusi kulit, denyut nadi,
tekanan darah, dan status neurologis. Bayi dengan tanda klinis infeksi, sebelum
ditansportasikan, harus diperiksa 4 B: Error! Bookmark not defined.Error! Bo
okmark not defined.

1) Blood count: darah lengkap termasuk hitung jenis leukosit


2) Blood culture: kultur darah
3) Blood SUGAR: kadar gula darah
4) Blood gas: AGD untuk mendeteksi distres napas
Keputusan tata laksana sepsis pada bayi baru lahir tidak hanya tergantung pada
hasil pemeriksaan laboratorium, tetapi juga pada riwayat klinis dan gejala. Kotak
4 menunjukkan kunci pemeriksaan laboratorium untuk tata laksana bayi baru
lahir yang sakit


Tinjau kembali riwayat ibu dan bayi untuk faktor risiko infeksi.
• Waspadai tanda dan gejala infeksi yang tidak kentara.
• Ingat bahwa hasil pemeriksaan darah lengkap dapat normal pada
stadium awal terjadinya infeksi.

• Ambil volume darah yang cukup untuk kultur darah.


• Segera mulai pemberian antibiotik.

113
Kotak 4. Kunci pemeriksaan laboratorium untuk tata laksana bayi baru lahir yang
sakitError! Bookmark not defined.

f. EMOTIONAL SUPPORT
Keadaan yang dapat terjadi seputar kelahiran bayi sakit dan
cara memberi dukungan emosional kepada keluarga
Bayi baru lahir yang sakit dan membutuhkan perawatan intensif merupakan
suatu krisis bagi keluarga. Tenaga kesehatan dapat memberikan dukungan
emosional sejak awal, stabilisasi, saat akan dirujuk, setelah dirujuk, sampai
dengan tiba di NICU. Sejak awal dan stabilisasi, ibu dapat diijinkan melihat bayi.
Tenaga kesehatan memberi selamat atas kelahiran bayi dan memanggil bayi
dengan nama apabila sudah diberi nama oleh keluarga. Hal lain yang dapat
dilakukan keluarga adalah mengambil foto dan jejak kaki bayi. Keberadaan
kerabat dan pemuka agama juga dapat membantu. Error! B ookmark not
defined.

Saat bayi akan dirujuk, tenaga kesehatan dapat memberi penjelasan mengenai
keadaan bayi dan rencana tata laksana. Saat bayi tiba di NICU, tenaga kesehatan
dapat melibatkan peran orangtua sejak dini dan mengkomunikasikan keadaan
bayi. Error! B ookmark not defined.

3.3 HAL-HAL YANG PERLU DIPIKIRKAN SETELAH RESUSITASI

a. Penundaan pemotongan tali pusat


Bayi prematur berisiko mengalami keterlambatan perkembangan kognitif dan
motorik pada masa anak. Sebanyak 30-40% BBLSR di kemudian hari mengalami
keterlambatan perkembangan motorikxviii dan gangguan ini terlihat jelas pada
BBLSR yang pernah mengalami cedera otak. Keterlambatan perkembangan ini
terjadi antara lain akibat stres fisiologis pada proses kelahiran prematur yang
menimbulkan kerusakan setempat dalam proses pematangan otak.
Keterlambatan perkembangan motorik ini terutama terjadi bila kerusakan
melibatkan korteks, corpus callosum, dan ganglia basalis.188
Pemotongan tali pusat segera dapat menimbulkan hipovolemia yang
mengganggu stabilitas kardiovaskular, yang selanjutnya mengganggu mekanisme
autoregulasi aliran darah ke otak. Penundaan pemotongan tali pusat memberi
tambahan 10-15 mL/kg darah tali pusat kepada BBLSR sehingga menghindari
kemungkinan gangguan autoregulasi. Dengan demikian penundaan pemotongan
tali pusat akan mencegah iskemia yang dapat menyebabkan kerusakan otak. 189
Aladangady et al190 (2006) menyatakan penundaan pemotongan tali
pusat menurunkan kejadian IVH dan sepsis awitan lambat dibandingkan dengan
pemotongan tali pusat segera. Mercer et alError! Bookmark not defined.

114
(2010) melaporkan bahwa pada B BLSR laki-laki, penundaan pemotongan tali
pusat selama 30-45 detik sambil merendahkan posisi bayi, merupakan faktor
protektif terhadap disabilitas motorik pada usia koreksi tujuh bulan. Hal ini
terjadi karena bayi yang mengalami penundaan pemotongan tali pusat,
mempunyai aliran sel darah merah ke otak (korteks motorik) yang lebih banyak
dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera (<10 detik), sehingga
pemenuhan kebutuhan oksigen pada beberapa hari pertama lebih baik. Pada
bayi cukup bulan yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan pemotongan
tali pusat menghasilkan status besi yang lebih baik pada bayi baru lahir.
Penundaan pemotongan tali pusat dilakukan selama satu menit atau sampai
umbilikus berhenti berdenyut setelah kelahiran.191
Pada bayi kurang bulan yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan
pemotongan tali pusat selama 30 detik sampai tiga menit menghasilkan tekanan
darah bayi yang lebih baik pada tahap stabilisasi dan angka kejadian IVH yang
lebih rendah, dibandingkan tanpa penundaan pemotongan tali pusat. Sedangkan
pada bayi kurang bulan yang memerlukan resusitasi, belum ada bukti yang cukup
mengenai penundaan pemotongan tali pusat.192,193 Belum ada studi yang mampu
membuktikan pengaruh gaya gravitasi atau posisi bayi sebelum pemotongan tali
pusat dengan kebutuhan oksigen, kejadian transfusi, maupun IVH.194

Pada bayi yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan


pemotongan tali pusat selama 30 detik sampai tiga menit,
menghasilkan tekanan darah bayi yang lebih baik pada fase
stabilisasi, mengurangi risiko perdarahan intraventrikular, dan
mengurangi risiko keterlambatan perkembangan motorik.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

b. Ibuprofen untuk mencegah duktus arteriosus paten Duktus


arteriosus paten atau patent ductus arteriosus (PDA) adalah penyulit yang
sering terjadi pada bayi kurang bulan dan dapat menimbulkan kematian.
Indometasin merupakan terapi standar untuk menutup PDA, tetapi mempunyai
efek samping terhadap fungsi ginjal, saluran gastrointestinal, dan otak.
Sementara ibuprofen, jika dibandingkan dengan indometasin, memiliki pengaruh
yang lebih kecil terhadap kecepatan aliran darah terutama ke organ-organ
penting.195
Beberapa studi melakukan evaluasi mengenai efektvitas ibuprofen profilaksis.
Satu telaah sistematik menganalisis studi yang membandingkan ibuprofen
dengan plasebo/tanpa intervensi. Tujuh studi (n=931) menyimpulkan bahwa
ibuprofen menurunkan insidens PDA pada hari ke-3 (RR 0,36;IK95% 0,29-0,46;
risk difference (RD) -0,27 (IK95% -0,32-(-0,21); number needed to treat to
benefit (NNT) 4 (IK95% 3-5). Ibuprofen tidak hanya menurunkan risiko perlunya

115
terapi penghambat siklo-oksigenase atau cyclooxygenase inhibitors (COX
inhibitors), melainkan juga menurunkan risiko perlunya bedah ligasi. 196
Pada telaah sistematik yang sama, dua studi memperoleh hasil positif
yang serupa, namun menunjukkan risiko perdarahan gastrointestinal yang
meningkat, dengan number needed to treat to harm (NNH) 4 (IK95% 2-17).
Mortalitas, kejadian perdarahan intraventrikular, dan kejadian penyakit paru
kronik pada kelompok ibuprofen dengan kelompok plasebo/tanpa intervensi
tidak berbeda bermakna. Pada kelompok kontrol, proporsi PDA yang menutup
spontan pada hari ke-3 adalah 58%. Selain efek samping pada saluran
gastrointestinal, studi-studi tersebut ternyata juga menemukan efek samping
terhadap fungsi ginjal dalam pemantauan jangka pendek. Oleh sebab itu
ibuprofen profilaksis belum direkomendasikan sampai hasil pemantauan jangka
panjang
(saat ini studi masih berlangsung) diperoleh.196

Ibuprofen sebagai profilaksis PDA belum terbukti bermanfaat


dalam jangka panjang, sehingga penggunaannya belum
direkomendasikan.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

c. Pemberian vitamin K1 (fitomenadion) Perdarahan akibat defisiensi


vitamin K (PDVK) merupakan salah satu penyebab kematian neonatus. Semua
bayi baru lahir mengalami kekurangan vitamin K, ditandai dengan rendahnya
konsentrasi vitamin K plasma dan faktor pembekuan yang bergantung pada
vitamin K (vitamin K dependent clotting factors). Untuk itu Kementerian
Kesehatan RI, berdasarkan analisis EBM merekomendasikan pemberian
profilaksis vitamin K1 (fitomenadion) secara IM atau PO pada semua bayi baru
lahir. Dosis yang diberikan adalah 1 mg IM dosis tunggal atau 2 mg PO sebanyak
3 kali (saat lahir, usia 3-7 hari, dan usia 1-2 bulan). Bayi yang lahir di rumah
dengan pertolongan dukun juga diberi vitamin K1 PO. Vitamin K1 1 mg IM dosis
tunggal disuntikkan di paha kiri paling lambat 2 jam setelah lahir, sebelum
vaksinasi Hepatitis B.196 Dosis tunggal pemberian vitamin K1 1 mg IM maupun PO
dilaporkan mengurangi perdarahan klinis pada hari 1-7. 197

Vitamin K1 diberikan kepada semua bayi baru lahir untuk


mencegah perdarahan akibat defisiensi vitamin K.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

3.4 MEKANISME MERUJUK ATAU MEKANISME TRANSFER

116
Transport ibu hamil risiko tinggi ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap
merupakan bagian penting dalam pelayanan perinatal. 198 Morbiditas dan
mortalitas dapat diturunkan sangat bermakna terutama pada kehamilan kurang
bulan.199,200 Identifikasi ibu hamil risiko tinggi sangat dibutuhkan untuk
tatalaksana tersebut. Apabila keadaan terpaksa dimana proses trasnport ibu
hamil dengan risiko tinggi tidak dapat dilaksanakan, maka diperlukan perlu
sistem transport neonatus bagi fasilitas kesehatan primer yang meliputi
kompetensi tenaga kesehatan, peralatan dan panduan yang sesuai. Sistem
transport tersebut harus dapat menjaga keadaan stabil neonatus dari fasilitas
layanan primer sepanjang waktu baik sebelum, selama atau setelah sampai di
fasilitas rujukan baik di layanan sekunder maupun tersier. 201

Transportasi intrauteri lebih diutamakan pada ibu dengan


kehamilan risiko tinggi dibandingkan dengan transport
neonatus dengan risiko tinggi.
Level of evidence 1A, rekomendasi A

Kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh tenaga kesehatan untuk


melaksanakan transportasi neonatus meliputi resusitasi dan stabilisasi neonatus.
Peralatan transport neonatus yang dibutuhkan dalam sistem transport neonatus
terdiri dari alat transport, alat kedokteran atau kesehatan untuk menjaga kondisi
stabil neonatus dan melaksanakan resusitasi dalam keadaan gawat darurat.
Panduan dasar dalam melaksanakan transport neonatus selain panduan klinik
juga panduan komunikasi dan dokumentasi yang berhubungan dengan keadaan
klinik pasien.
Panduan dasar dalam melaksanakan transport neonatus meliputi:
1. Indikasi perlunya dilakukan transport neonatus
2. Adanya tenaga kesehatan yang kompeten dalam melaksanakan prosedur
transport neonatus
3. Keadaan stabil neonatus sebelum, selama dan sesudah proses transport.
4. Kelengkapan alat kedokteran dalam menjaga stabil dan melaksanakan
resusitasi selama proses dan transport.
5. Kejelasan komunikasi keadaan klinis neonatus sebelum, selama dan sesudah
proses transport, baik kepada orang tua/ keluarga pasien, rumah sakit
rujukan, dan petugas pelaksana transport neonatus.
6. Kelengkapan dokumentasi.
7. Kelayakan alat transport neonatus.

117
Indikasi merujuk neonatus ke fasilitas layanan neonatus sekunder atau tersier
yang memerlukan prosedur transport adalah sebagai berikut:202,203
1. Gangguan napas berat: ancaman gagal napas/apne/sesak napas berat,
misalnya RDS yang terus memburuk atau persisten dalam 5-6 jam, distres
napas akibat aspirasi mekoneum, sianosis yang menetap meskipun
dengan terapi oksigen, dan asfiksia perinatal dengan skor Apgar <8
2. Ancaman gangguan sirkulasi (syok)
3. Kelainan kongenital berat dengan prognosis yang baik (dapat dinilai
dengan skor paediatric index of mortality atau skor PIM*)
4. Bayi berat lahir rendah dengan tiga masalah di atas
5. Bayi berat lahir sangat rendah
6. Bayi yang tidak bugar dengan tampak letargi, menangis lemah,
mengalami poor feeding, sianosis, atau muntah
7. Kejang
8. Perdarahan
9. Memerlukan transfusi tukar karena ikterik
10. Bayi dari ibu DM
11. Memerlukan pembedahan, misalnya kasus obstruksi saluran
gastrointestinal, mielomeningokel, dan atresia koana
12. Gagal jantung atau aritmia
13. Memerlukan uji diagnostik ataupun terapi khusus

Tenaga kesehatan perujuk harus memiliki kompetensi melaksanakan


stabilisasi dan resusitasi neonatus. Hasil kajian beberapa penelitian menunjukkan
bahwa proses transport neonatal yang dilakukan oleh tenaga medis trampil
dengan pengetahuan dan tingkat profesionalime tinggi akan menurunkan
morbiditas dan mortalitas neonatus.204,205

Transport neonatus yang diperlukan dalam proses rujukan


untuk mendapatkan proses diagnosis dan tatalaksana di
fasilitas layanan neonatus lebih lengkap, perlu dilaksanakan
oleh tenaga medis dengan kerja sama tim dan kompetensi
yang baik.
Level of evidence 1A, rekomendasi A

118
3.4.1 Persiapan merujuk neonatus206,207, ACCEPT
a. Penilaian adekuat (Assessment)
Pada saat diputuskan untuk dirujuk, neonatus harus dalam keadaan stabil,
dengan indikasi tepat untuk dirujuk ke fasilitas layanan neonatus sekunder atau
tersier.203,208

Penilaian indikasi dan keadaan klinis neonatus sakit yang akan


dirujuk harus dilakukan sebelum proses transport
dilaksanakan.
Level of evidence 1A, rekomendasi A

b. Terkendali (Control)
Sistem transport neonatus terkendali dengan baik mulai dari kompetensi tenaga
medik yang akan melaksanakan prosedur transportasi sampai pada kelengkapan
alat kedokteran dan kesehatan yang diperlukan. Tujuan keberadaan tim transpor
dapat diilustrasikan sebagai “to take intensive care to the baby
rather than take the baby to intensive care”. Di dalam ambulans ada
tenaga kesehatan yang mampu menangani kondisi bayi selama perjalanan
termasuk perburukan klinis dan kegawatdaruratan, atau bahkan memperbaiki
kondisi bayi jika ia mampu. Idealnya tenaga kesehatan yang menyertai transpor
BBLR adalah seorang perawat perinatologi yang terampil.209 Sampai saat ini
belum ada standar nasional ataupun pelatihan metode transfer, seperti halnya
standar maupun pelatihan resusitasi yang telah ada saat ini. 210
Peralatan dan perlengkapan yang harus diperhatikan selama merujuk
211
yaitu:
1) Inkubator transpor (Gambar 28)
2) Monitor denyut nadi, pernapasan, suhu, tekanan darah, konsentrasi
oksigen inspirasi, SpO2, dan PaCO2 (monitor CO2 transkutan dapat
digunakan jika AGD sulit dikerjakan212,213)

119
3) Peralatan ventilasi: T-piece resuscitator, balon resusitasi dan sungkup
neonatus ukuran bayi kurang bulan dan cukup bulan 0/0, 0/1, dan 2, serta
pulse oxymeter
4) Peralatan intubasi: laringoskop dengan daun lurus ukuran 0 dan pipa
endotrakeal ukuran 2, 2,5, 3, 3,5, dan 4 mm, gunting, serta sarung tangan
5) Peralatan infus IV
6) Kateter penghisap ukuran 6, 8, 10, dan 12
7) Obat-obatan: adrenalin/epinefrin 1:10.000, dekstrosa 10%, natrium
bikarbonat 4,2%, aminofilin, fenobarbital, dan aqua steril
8) Cairan pengganti volume: NaCl 0,9% dan atau ringer laktat
9) Analisis gas darah portable
10) Analisis gula darah portabel
11) Gas medis (O2, NO)

120
Gambar 25 Inkubator transpor

Pengaturan (setting) peralatan yang digunakan harus baik selama


transportasi.211 Meskipun terdapat sumber daya portabel, sumber energi
peralatan sebaiknya menggunakan catu daya kendaraan transportasi itu sendiri,
termasuk dalam penggunaan gas medis.214

Sistem transport neonatus sakit terdiri dari kompetensi tenaga


medis yang melaksanakan dengan alat kedokteran untuk
proses transport dan panduan dalam melaksanakan
transportasi neonatus sakit harus terjaga dengan baik.
Level of evidence 1A, rekomendasi A

c. Komunikasi (Communication)xix
Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) diberikan kepada orang tua dan kelurga
neonatus yang akan menjalani proses transportasi ke fasilitas kesehatan rujukan.
Implementasi hasil KIE dengan orang tua dan keluarga diwujudkan di dalam
informed consent. Komunikasi juga dilakukan dengan tim transport neonatus
dan tim rawat di rumah sakit rujukan. Komunikasi antara tenaga kesehatan di
tempat kelahiran BBLR (tim perujuk), tim transpor, maupun dokter di rumah
sakit rujukan harus berjalan baik. Komunikasi mencakup riwayat kelahiran bayi,
faktor antenatal lain yang dapat berpengaruh, dan perkembangan kondisi bayi.
Tim perujuk terlebih dahulu menghubungi dokter penerima rujukan untuk
memastikan ketersediaan tempat, kemudian menghubungi tim transpor. 202,215

121
Komunisasi informasi dan edukasi terhadap orang tua pasien
harus dilaksanakan dengan sejelas-jelasnya dengan hasil akhir
ditanda tanganinya informed consent. Komunikasi antara
dokter penanggung jawab, tim transport neonatus sakit dan
dokter penanggung jawab di RS rujukan harus dilakukan dan
tercatat dengan baik.
Level of evidence 1A, rekomendasi A

d. Evaluasi dan pemantauan (Evaluation)215


Evaluasi dan pemantauan klinis neonatus dilakukan berkesinmbungan dan terus
menerus, baik sebelum, selama dan setelah pelaksanaan transport neonatus di
RS rujukan. Stabilisasi yang harus dicapai sebelum prosedur transport:
1) Airway-breathing (A dan B)146,213
a) Apakah jalan napas bersih?
b) Apakah jalan napas aman?
c) Apakah bayi harus diintubasi?
Indikasi intubasi pada bayi yang hendak dirujuk lebih sederhana
dibandingkan dengan indikasi intubasi bayi di NICU, hal ini bertujuan
mengurangi kemungkinan perlunya intervensi yang mendadak selama
proses transportasi. Jika kita menilai ada kemungkinan bantuan pernapasan
mekanis akan diperlukan dalam masa transpor, maka intubasi dan memulai
dukungan respiratorik yang stabil dan adekuat sudah harus dilakukan
sebelum transport.214 Pada usia gestasi >30 minggu, jika tanda vital
(denyut nadi, tekanan darah, frekuensi napas, dan temperatur) stabil pada
terapi oksigen <50% dan PaCO2 normal maka bayi boleh dirujuk tanpa
intubasi. Jika bayi tidak stabil (membutuhkan oksigen >50%, mengalami
peningkatan PaCO2, apne rekuren, dan usia gestasi <30 minggu) maka
intubasi dengan dukungan respiratorik diperlukan, setidaknya selama
perjalanan.
Jika bayi sudah diintubasi, pipa endotrakeal harus senantiasa berada pada
posisi yang benar dan aman, untuk mencegah terekstubasi. Dukungan
respiratorik yang adekuat harus diberikan.
d) Apakah bayi memerlukan surfaktan?
Surfaktan harus diberikan jika ada indikasi dan tersedia.
2) Circulation (C) 146 ,159,202 a)
Apakah perfusi adekuat?
b) Apakah akses arterial sudah terpasang dengan benar dan aman?

122
c) Akses arterial dipertimbangkan pemasangannya pada bayi yang memerlukan
pemeriksaan AGD dan atau tekanan darah yang akurat secara berulang-
ulang. Jika pemasangan jalur arteri tidak akan memengaruhi tata laksana
sebelum dan selama transpor, maka pemasangan jalur arteri dapat ditunda
pasca-transpor.
d) Apakah kateter urin sudah benar dan aman?
e) Apakah neonatus membutuhkan bantuan cairan dan obat-obat inotropik?
f) Dukungan cairan IV dan atau inotropik harus dimulai sejak awal, sesuai
dengan indikasi. Kateter IV harus dipantau pada posisi yang benar dan aman.

3) Deficiencies atau defect of neurologies (D)143,216


a) Apakah neonatus mengalami kejang karena gangguan elektrolit, metabolik
(hipoglikemia) atau gangguan keseimbangan asam basa?
b) Apakah terdapat gangguan susunan saraf pusat karena infeksi atau trauma
lahir?
Adanya kejang harus segera apapun penyebabnya. Hipoglikemia dapat
ditatalaksana di fasilitas layanan neoantus primer, tetapi gangguan elektrolit
dan asam masih belum terdiagnosis karena fasiitas laboratroium belum tentu
tersedia. Adanya kecurigaan infeksi, dapat dilakukan pemeriksaan awal sesuai
fasilitas yang tersedia dan berikan antibiotik sesuai panduan yang ditetapkan.

4) Environment (E) atau gangguan temperatur161 Apakah


temperatur bayi normal?
a) Apakah bayi dalam keadaan nyaman pada suhu lingkungan? Pantau
temperatur dan beri dukungan yang diperlukan untuk mempertahankan
temperatur selama prosedur transportasi. Selain di dalam inkubator, neonatus
dapat diletakkan di dalam tas berlapis polietilen atau dibungkus dengan plastik
(Gambar 26).217 Apabila fasilitas kurang memadai, metode kanguru juga dapat
diterapkan selama transportasi.155

123
Gambar 26 Tas pembawa bayi: bayi di dalam tas, dibungkus plastik, dan
mengenakan selimut pembungkus217

Suhu neonatus dipertahankan sehingga suhu aksila 36,537,5°C.218


Neonatus yang mengalami hipotermia harus dihangatkan dalam suhu yang
terkontrol, dan hal ini memang sulit dilakukan selama transpor. Keterlambatan
penghangatan ulang (rewarming) neonatus yang hipotermia akan
meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Penanganan hipotermia harus
dilakukan dalam waktu <90 menit, karena hipoksia otak dapat terjadi jika
hipotermia berlangsung melebihi waktu tersebut.219 Untuk membantu menjaga
suhu neonatus, tim transpor dapat melakukan hal seperti membuat suhu
kendaraan lebih tinggi dari suhu lingkungan, meyakinkan seluruh pintu
kendaraan dan pintu inkubator dalam keadaan tertutup, dan menggunakan
matras penghangat untuk membuat bayi lebih nyaman.

Bayi baru lahir dirujuk harus dalam keadaan stabil, ditandai dengan “warm,
pink, and sweet”. Komponen yang harus diperhatikan untuk
menciptakan kondisi stabil adalah“warm, pink, and sweet”:

a) Regulasi temperatur
b) Oksigenasi
c) Kadar glukosa
5) Pastikan bayi hangat
Bayi dalam kondisi hangat ditandai dengan suhu aksila 36,537,5°C. Bayi
dikenakan plastik transparan, diletakkan dalam inkubator, atau diterapkan
metode kanguru (pada fasilitas terbatas).
6) Pastikan bayi bernapas adekuat
a) Frekuensi napas: 40-60 kali per menit

124
b) Tidak ada tanda-tanda gangguan napas, misalnya napas cuping hidung,
retraksi, merintih, dan sianosis (dapat dinilai berdasarkan sistem penilaian
Down (Tabel 2)
Berikut adalah penatalaksanaan saat bayi mengalami desaturasi: a) Nilai monitor
saturasi berfungsi dengan baik.
b) Pastikan bayi berada pada posisi yang baik (usahakan posisi tengkurap).
c) Pengisapan jalan napas bila diperlukan.
d) Naikkan FiO2 5% hingga saturasi naik dan turunkan FiO2 bila saturasi melebihi
target.
e) Bayi dengan peningkatan episode desaturasi → pikirkan infeksi.
7) Pastikan sirkulasi baik
a) Denyut jantung normal 120-160 kali per menit
b) Waktu pengisian kapiler atau capillary refill time (CRT) ≤3 detik220
c) Akral hangat

e. Kelengkapan dokumentasi (Packaging)


Dokumentasi harus menyertai setiap proses transport neonatus yaitu surat
rujukan yang berisi keterangan tentang:
1) Identitas pasien dan orang tua
2) Catatan riwayat penyakit yang menjelaskan penyakit kehamilan, persalinan
dan keadaan pasca persalinan
3) Catatan medik keadaan sebelum dan selama
proses transportasi.
4) Termasuk informed consent.

Evaluasi klinis sebelum, selama transportasi neonatus sakit


dan sesudah sampai di RS rujukan harus dilakukan dan dicatat
dengan baik.
Level of evidence 1A, rekomendasi A

f. Alat transportasi (Transportation)

125
Kendaraan merupakan kunci utama berjalannya mekanisme merujuk36. Pilihan
jenis kendaraan tergantung pada ketersediaan alat transportasi, keadaan
geografik (darat, air, atau udara), kegawatdaruratan situasi, dan pengalaman
petugas.36 Newborn Amergency Transport Service (NETS) Sydney,
Australia menetapkan batasan penggunaan moda transportasi adalah jalan darat
(menggunakan ambulans) untuk jarak <50 km, helikopter untuk 50-500 km, dan
air ambulance untuk >500 km. Waktu respons tim transpor sangat
memengaruhi luaran. Waktu respons ini bukan hanya waktu yang dibutuhkan
oleh tim transpor untuk mencapai tempat kelahiran bayi, melainkan juga waktu
tim transpor untuk mempersiapkan semua peralatan dan perlengkapan
kemudian memobilisasinya ke kendaraan transpor. Waktu respons NETS yang
dilaporkan adalah 45-60 menit untuk jalan darat, 20-30 menit untuk helikopter,
dan 1-3 jam untuk air ambulance.36 210
Ambulans merupakan salah satu pilihan transportasi darat dengan jarak
tempuh yang dekat. Pada cuaca buruk ambulans dapat mencapai tujuan lebih
cepat dibandingkan dengan transportasi udara atau air. Keuntungan
menggunakan ambulans adalah biaya transportasi murah, dapat berjalan dalam
cuaca apapun, dan ruangan dalam ambulans relatif lapang sehingga dapat
memuat dua inkubator dan peralatan merujuk.202,209,203, Di Indonesia ambulans
dapat menjadi pilihan utama kendaraan transpor karena ambulans merupakan
kendaraan medis utama yang tersedia. Rumah sakit maupun puskesmas di
Indonesia sudah banyak yang memiliki ambulans. Di dalam ambulans, BBLR
diletakkan di dalam inkubator transpor dan inkubator tersebut difiksasi selama
perjalanan. Satu ambulans dapat menampung sampai dua buah inkubator.

Alat transportasi neonatus sakit dari fasilitas layanan


neonatus primer sampai pada layanan neonatus sekunder atau
tersier harus dapat menjaga keadaan neonatus tetap stabil
secara klinis, baik selama proses transportasi maupun setelah
sampai di tempat rujukan.
Level of evidence 1A, rekomendasi A

3.5 Analisis Biaya

Suatu rekomendasi untuk dapat diterima dan diaplikasikan dengan baik oleh
pemberi layanan kesehatan maupun perencana pelayanan kesehatan, harus
terbukti efektif secara klinis dan cost-effective dalam tata laksana suatu
penyakit atau keadaan. Belum ada studi yang melaporkan analisis biaya secara
rinci mengenai tata laksana BBLR sejak mekanisme resusitasi sampai mekanisme
merujuk. Berikut ini harga dasar peralatan (Gambar 29) dan obat-obatan yang

126
diperlukan dalam resusitasi, stabilisasi, dan merujuk BBLR, berdasarkan level
perawatan neonatal:

Tabel 12. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di perawatan neonatal level I

Alat / obat Harga satuan (Rp


,00)

Balon resusitasi jenis balon mengembang sendiri (self inflating


bag) yang dapat 5.000.000 menyediakan TPAE221
Timbangan bayi dengan ketepatan dua 750.000 angka222
Infant radiant warmer sederhana223 5.000.000
Stetoskop ABN Spectrum Lines bayi221 55.000
Oksigen konsentrator 5.000.000
Pulse Oxymeter yang dapat dilepas224 22.000.000
Syringe pump (5 buah)189 75.625.000
Baju kanguru 75.000

Tabel 13. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di perawatan neonatal level II

Alat / obat Harga satuan (Rp


,00)

Balon resusitasi jenis balon mengembang sendiri (self inflating


bag) yang dapat 5.000.000 menyediakan TPAE225
Timbangan bayi dengan ketepatan dua 750.000 angka221
Infant radiant warmer222 100.000.000
Stetoskop ABN Spectrum Lines bayi221 55.000
Oksigen konsentrator 5.000.000
Inkubator digital226 20.000.000

Inkubator transpor digital227 40.000.000

127
Alat analisis gula darah228 1.100.000
Syringe pump (5 buah)189 75.625.000
Pulse Oxymeter lengkap229 47.000.000
Continuous positive airway pressure 150.000.000
(CPAP)223
Laringoskop dengan daun lurus ukuran 0 2.750.000 dan 00
T-piece resuscitator230 22.000.000
Fototerapi 8.000.000
Baju kanguru 75.000

128
Tabel 14. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di perawatan neonatal level III

Alat / obat Harga satuan (Rp


,00)

Balon resusitasi jenis balon mengembang sendiri (self inflating


bag) yang dapat 5.000.000 menyediakan TPAE222
Infant radiant warmer lengkap224 100.000.000 Timbangan bayi
dengan ketepatan dua 750.000 angka221
Stetoskop ABN Spectrum Lines bayi221 55.000
Sumber oksigen221 750.000
Ventilator231 525.000.000
Inkubator digital227 20.000.000
Inkubator transpor digital226 40.000.000
Monitor elektrokardiografi185 125.000.000
Alat analisis gas darah 206.250.000
Alat analisis gula darah227 1.100.000
Syringe pump (5 buah)189 75.625.000
Pulse Oxymeter229 47.000.000
Continuous positive airway pressure 150.000.000
(CPAP)228
Laringoskop dengan daun lurus ukuran 0 2.750.000 dan 00
T-piece resuscitator223 22.000.000
Fototerapi 8.000.000
Baju kanguru 75.000
Elektrokardiografi satu kanal225 30.000.000

Tabel 15. Harga barang medis habis pakai dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di level perawatan neonatal I, II, dan III

Alat / obat Harga satuan (Rp ,00)

Pipa endotrakeal ukuran 2, 2,5, 3, 11.000

129
3,5, dan 4 mm232
Sarung tangan steril (1 pasang)233 3.600 Peralatan infus
IV (abocath, infusion line, alcohol swab 2 buah,
dan 34.200
plester 5 cm x 5 m)234,235
Selang oksigen threeway 38.600
Selang oksigen 15.000
Spuit 1 mL/3 mL/5 mL/10 mL 4.800/3.600/4.800/5.900 Kateter penghisap
ukuran 6, 8, 10, 5.000 dan 12233
Adrenalin/epinefrin ampul 0,1% (1 400 mL)236
Sulfas atropin ampul 0,25 mg/mL (1 1.000 mL)236
Dekstrosa 10% (kolf)237 9.000
Aminofilin injeksi 24 mg/mL (10 1.300 mL)235
Fenobarbital ampul 50 mg/mL (1 750
mL)235
Aqua steril vial 500 mL238 8.650
NaCl 0,9% (500 mL)239 15.000
NaCl 0,9% (100 mL) 12.700
Sodium bikarbonat 8,4% (25 mL) 33.350
Vit K1 ampul 2 mg/mL 1.500
Gas O2 (termasuk tabung oksigen isi 850.000
1 kubik, regulator, dan trolley)240

d
Gambar 27 Peralatan resusitasi

130
Merujuk bayi melalui jalan darat tersedia dengan mobil ambulans dengan
biaya sebagai berikut (pelayanan di wilayah DKI
Jakarta):241
1) Rp 300.000,00
a) Pelayanan pra-rumah sakit dari rumah/kediaman pasien ke rumah
sakit rujukan swasta maupun pemerintah.
b) Pelayanan rujukan antar rumah sakit (dari puskesmas ke rumah sakit,
dari klinik 24 jam ke rumah sakit, dari klinik bersalin ke rumah sakit,
rumah sakit ke rumah sakit, dan rumah sakit ke rumah/kediaman
pasien)
2) Rp 750.000,00
Pelayanan dari rumah sakit ke bandar udara, pelabuhan laut, atau stasiun
kereta api.
Merujuk bayi dapat juga menggunakan transportasi udara baik ke dalam maupun
ke luar negeri dengan perkiraan biaya sebagai berikut:242
1) Jakarta - Singapura: US$ 20.000 atau ± Rp
170.000.000,00 (kurs Rp 8.500,00)
2) Jakarta - Kuala Lumpur: US$ 27.000 atau ± Rp
229.500.000,00 (kurs Rp 8.500,00)
3) Jakarta - Surabaya: US$ 17.000 atau ± Rp 144.500.000,00 (kurs Rp 8.500,00)

131
BAB IV

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 TAHAP RESUSITASI

Resusitasi dilakukan pada kasus yang kesintasannya tinggi


atau yang kemungkinan morbiditasnya dapat diterima.
Tindakan resusitasi tidak dilakukan pada kasus dengan usia
gestasi, berat lahir, ataupun kelainan kongenital yang hampir
pasti menyebabkan kematian dini atau morbiditas yang sangat
berat. Pada kasus yang prognosisnya tidak pasti, keputusan
untuk resusitasi harus melibatkan pertimbangan orangtua.
(hlm 13)
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Resusitasi bayi baru lahir dapat dihentikan jika setelah


resusitasi yang adekuat tidak terdapat denyut jantung selama
10 menit.
(hlm 13)
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Pengukuran saturasi oksigen dan denyut jantung


menggunakan pulse oximeter hasilnya terpercaya jika
dilakukan mulai 30 detik pasca-lahir.
(hlm 18)
Level of evidence III, derajat rekomendasi C

Selama resusitasi, pencampur oksigen (blender) digunakan


untuk mengatur konsentrasi oksigen dan pulse oxymeter
dipasang untuk memantau saturasi oksigen.

132
(hlm 19)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Resusitasi bayi usia gestasi <32 minggu dimulai dengan fraksi


oksigen 30% atau 90% yang kemudian dititrasi. Hal ini
dilakukan dengan panduan oksimeter dan blender oksigen.
(hlm 19)
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

Jika pencampur oksigen (blender) tidak tersedia, resusitasi


bayi usia gestasi <32 minggu dimulai dengan udara ruangan
atau fraksi oksigen 21%. Suplementasi oksigen diberikan pada
resusitasi jika kondisi bayi tidak membaik atau saturasi
oksigen <70% pada usia 5 menit.
(hlm 20)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Pada bayi usia gestasi 32-37 minggu, resusitasi dimulai dengan


udara ruangan atau fraksi oksigen 21%. Suplementasi oksigen
diberikan pada resusitasi jika kondisi bayi tidak membaik atau
saturasi oksigen <70% pada usia 5 menit.
(hlm 20)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Pada bayi kurang bulan yang memerlukan bantuan ventilasi,


dengan bantuan alat, tekanan inisial yang dapat diberikan
adalah 20-25 cmH2O.
(hlm 20)
Level of evidence III, derajat rekomendasi C

133
Pada BBLSR yang bernapas spontan dan teratur saat lahir,
bantuan pernapasan diberikan berupa CPAP. Tindakan intubasi
hanya dilakukan untuk pemberian surfaktan jika ada indikasi.
(hlm 22)
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

Pada bayi kurang bulan yang sudah diintubasi di kamar


bersalin akibat gangguan napas, pemberian surfaktan dalam
dua jam pertama menurunkan risiko acute pulmonary injury,
mortalitas, maupun penyakit paru kronik.
(hlm 22)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Pada bayi kurang bulan (usia gestasi <33 minggu), pemberian


inflasi yang kontinu diikuti penggunaan NCPAP sejak di kamar
bersalin dibandingkan pemberian tekanan positif dengan balon
mengembang sendiri, menurunkan kejadian intubasi,
penggunaan ventilasi mekanis dalam 72 jam, dan kejadian
BPD.
(hlm 23)
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A
Pemberian surfaktan dini dengan ekstubasi segera (<1 jam)
kemudian digantikan oleh NCPAP, dibandingkan dengan
surfaktan selektif lambat dengan ventilasi mekanis kontinu dan
ekstubasi ketika dukungan ventilasi mekanis telah minimal,
menurunkan kejadian BPD dan pemakaian ventilasi mekanis
selama perawatan.
(hlm 23)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

134
Penggunaan T-piece resuscitator dibandingkan dengan
penggunaan balon resusitasi tanpa katup TPAE di kamar
bersalin, menurunkan risiko kegagalan CPAP.
(hlm 24)
Level of evidence III, derajat rekomendasi C

Dalam pemberian bantuan ventilasi pada bayi baru lahir, nasal


prong merupakan cara yang lebih efektif dibandingkan dengan
sungkup muka.
(hlm 24)
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

4.2 TAHAP STABILISASI

Glukosa IV diberikan segera setelah resusitasi untuk


menghindari hipoglikemia.
(hlm 26)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Terapi hipoglikemia dilakukan jika kadar gula darah neonatus


<45 mg/dL.
(hlm 27)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

135
Pada BBLR, pemeriksaan kadar gula darah dilakukan segera
setelah lahir dan diulang 2-4 jam kemudian.
(hlm 27)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Suhu kamar bersalin pada BBLR usia gestasi <28 minggu


sekurang-kurangnya 26˚C.
(hlm 30)
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Suhu ruang perawatan BBLR adalah 25-28˚C.


(hlm 32)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Penggunaan radiant warmer meningkatkan insensible water


loss (IWL) sehingga perhitungan kebutuhan cairan perlu
disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap bayi.
(hlm 34)
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

Metode perawatan metode kanguru (PMK) efektif untuk


mencegah hipotermia pada BBLR di sarana dengan fasilitas
terbatas.
(hlm 35)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Membungkus bayi dengan berat lahir <1500 g dan/atau usia


gestasi <28 minggu menggunakan plastik transparan setinggi

136
leher sampai kaki, tanpa mengeringkan bayi terlebih dahulu,
mengurangi kejadian hipotermia.
(hlm 36)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Pada bayi baru lahir usia gestasi <28 minggu, kombinasi


setting suhu kamar bersalin sekurang-kurangnya 26°C dan
penggunaan plastik polythene merupakan metoda yang paling
efektif untuk mempertahankan temperatur.
(hlm 36)
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Penggunaan aliran oksigen yang telah dihangatkan dan


dilembabkan (heated and humidified air) mengurangi kejadian
hipotermia pada BBLR.
(hlm 37)
Level of evidence III, derajat rekomendasi C

Target saturasi oksigen dalam fase stabilisasi adalah 88-92%.


(hlm 40)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Pemberian terapi oksigen harus secara terbatas (restricted) dan


terpantau kadarnya dalam darah.
(hlm 49)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Terapi oksigen dalam kadar rendah yaitu 30% menurunkan


risiko ROP dan BPD.

137
(hlm 49)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Penghentian terapi oksigen dilakukan secara bertahap.


(hlm 49)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Dalam penanganan hipotensi bayi prematur yang baru lahir,


albumin tidak terbukti lebih bermanfaat dibandingkan dengan
normal saline.
(hlm 57)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Pemberian sodium bikarbonat dalam resusitasi di kamar


bersalin belum terbukti bermanfaat menurunkan mortalitas
dan morbiditas bayi baru lahir.
(hlm 57)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Dopamin dosis rendah/sedang (<10 mcg/kg per menit) sama


efektif dengan epinefrin dosis rendah (0,5 mcg/kg per menit)
dalam mengatasi hipotensi pada BBLR.
(hlm 58)
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

Pada bayi yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan


pemotongan tali pusat selama 30 detik sampai tiga menit,
menghasilkan tekanan darah bayi yang lebih baik pada fase

138
stabilisasi, mengurangi risiko perdarahan intraventrikular, dan
mengurangi risiko keterlambatan perkembangan motorik.
(hlm 60)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Ibuprofen sebagai profilaksis PDA belum terbukti bermanfaat


dalam jangka panjang, sehingga penggunaannya belum
direkomendasikan.
(hlm 61)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Vitamin K1 diberikan kepada semua bayi baru lahir untuk


mencegah perdarahan akibat defisiensi vitamin K.
(hlm 62)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

4.3 MEKANISME MERUJUK

Transportasi intrauteri lebih diutamakan pada ibu dengan


kehamilan risiko tinggi dibandingkan dengan transport
neonatus dengan risiko tinggi.
(hlm 87)
Level of evidence 1A, rekomendasi A

Transport neonatus yang diperlukan dalam proses rujukan


untuk mendapatkan proses diagnosis dan tatalaksana di
fasilitas layanan neonatus lebih lengkap, perlu dilaksanakan
oleh tenaga medis dengan kerja sama tim dan kompetensi
yang baik. (hlm 88)
Level of evidence 1A, rekomendasi A

139
Penilaian indikasi dan keadaan klinis neonatus sakit yang akan
dirujuk harus dilakukan sebelum proses transport
dilaksanakan.
(hlm 89)
Level of evidence 1A, rekomendasi A

Sistem transport neonatus sakit terdiri dari kompetensi tenaga


medis yang melaksanakan dengan alat kedokteran untuk
proses transport dan panduan dalam melaksanakan
transportasi neonatus sakit harus terjaga dengan baik.
(hlm 91)
Level of evidence 1A, rekomendasi A

Komunisasi informasi dan edukasi terhadap orang tua pasien


harus dilaksanakan dengan sejelas-jelasnya dengan hasil akhir
ditanda tanganinya informed consent. Komunikasi antara
dokter penanggung jawab, tim transport neonatus sakit dan
dokter penanggung jawab di RS rujukan harus dilakukan dan
tercatat dengan baik.
(hlm 91)
Level of evidence 1A, rekomendasi A

Evaluasi klinis sebelum, selama transportasi neonatus sakit


dan sesudah sampai di RS rujukan harus dilakukan dan dicatat
dengan baik.
(hlm 95)
Level of evidence 1A, rekomendasi A

Alat transportasi neonatus sakit dari fasilitas layanan


neonatus primer sampai pada layanan neonatus sekunder atau
tersier harus dapat menjaga keadaan neonatus tetap stabil
secara klinis, baik selama proses transportasi maupun setelah
sampai di tempat rujukan.

140
(hlm 96)
Level of evidence 1A, rekomendasi A

141
DAFTAR RUJUKAN

1. United Nations Children's Fund. Basic Indicators [UNICEF Website]. 2011. (Accessed
July 07, 2011, at https://www.unicef.org/infobycountry/stats_popup1.html.)
2. Lawn JE, Cousens S, Zupan J. Lancet Neonatal Survival Steering Team. 4 million
neonatal deaths: when? Where? Why? Lancet 2005;365:891-900.
3. Lawn JE, Osrin D, Adler A, Cousens S. Four million neonatal deaths: counting and
attribution of cause of death. Paediatr Perinat Epidemiol 2008;22:410-6.
4. Central Intelligence Agency. The World Factbook: Infant Mortality Rates of The
World [CIA Website]. 2011. (Accessed July 11, 2011, at
http://world.bymap.org/InfantMortality.html.)
5. Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI; 2017.
6. United Nation. Millennium Development Goals. UN, 2015. (Accessed Jan, 2018, at
https://www.un.org/millenniumgoals/.)
7. United Nations Children’s Fund and World Health Organization. Low Birthweight:
Country, regional and global estimates. New York2004.
8. Roberts G, Anderson PJ, Cheong J, Doyle LW. Parent‐reported health in extremely
preterm and extremely low‐birthweight children at age 8 years compared with
comparison children born at term. Dev Med Child Neurol 2011;53:927-32.
9. Walden RV, Taylor SC, Hansen NI, et al. Major congenital anomalies place extremely
low birth weight infants at higher risk for poor growth and developmental outcomes.
Pediatrics 2007;120:e1512-19.
10. De-Kieviet JF, Piek JP, Aarnoudse-Moens CS, Oosterlaan J. Motor development in
very preterm and very low-birth-weight children from birth to adolescence: a meta-
analysis. JAMA 2009;302:2235-42.
11. Shah P, Ohlsson A. Literature review of low birth weight, including small for
gestational age and preterm birth. Toronto, Toronto Public Health 2002.
12. Lewit EM, Baker LS, Corman H, Shiono PH. The direct cost of low birth weight.
Future Child 1995:35-56.
13. WHO. Born too soon: The global action report on preterm birth. Switzerland: WHO
Press; 2012.
14. Cavallo MC, Gugiatti A, Fattore G, Gerzelli S, Barbieri D, Zanini R. Cost of care and
social consequences of very low birth weight infants without premature-related
morbodity. Italian J Pediatr 2015;41:1-12.
15. Lopez NB, Choonara I. Can we reduce the number of low-birth-weight babies? The
Cuban experience. Neonatology 2009;95:193-7.
16. Badan Pusat Statistik. Survei sosial dan ekonomi nasional. Jakarta; BPS2005.
17. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2013.
18. Rundjan L, Rohsiswatmo R. Resusitasi Neonatus UKK Neonatologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia 2017.
19. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2007.
20. Lasswell SM, Barfield WD, Rochat RW, Blackmon L. Perinatal regionalization for
very low-birth-weight and very preterm infants: a meta-analysis. JAMA
2010;304:9921000.

142
21. Mercier CE, Dunn MS, Ferrelli KR, Howard DB, Soll RF. Vermont Oxford Network
ELBW Infant Follow-Up Study Group. Neurodevelopmental outcome of extremely
low birth weight infants from the Vermont Oxford network: 1998–2003. Neonatology
2010;97:32938.
22. Ribeiro LA, Zachrisson HD, Schjolberg S, Aase H, Rohrer-Baumgartner N, Magnus P.
Attention problems and language development in preterm low-birth-weight children:
Crosslagged relations from 18 to 36 months. BMC Pediatr 2011;11:59.
23. Robertson CMT, Howarth TM, Bork DLR, Dinu IA. Permanent bilateral sensory and
neural hearing loss of children after neonatal intensive care because of extreme
prematurity: a thirty-year study. Pediatrics 2009;123:e797-07.
24. Hahn WH, Chang JY, Chang YS, Shim KS, Bae CW. Recent trends in neonatal
mortality in very low birth weight Korean infants: in comparison with Japan and the
USA. J Korean Med Sci 2011;26:467-73.
25. Martin JA, Kung HC, Mathews TJ, et al. Annual summary of vital statistics: 2006.
Pediatrics 2008;121:788-801.
26. Pei L, Chen G, Mi J, et al. Low birth weight and lung function in adulthood:
retrospective cohort study in China, 1948–1996. Pediatrics 2010;125:e899-905.
27. Manktelow BN, Draper ES, Annamalai S, Field D. Factors affecting the incidence of
chronic lung disease of prematurity in 1987, 1992, and 1997. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2001;85:F33-5.
28. Kwinta P, Klimek M, Drozdz D, et al. Assessment of long-term renal complications in
extremely low birth weight children. Pediatr Nephrol 2011;26:1095-103.
29. Mackay CA, Ballot DE, Cooper PA. Growth of a cohort of very low birth weight
infants in Johannesburg, South Africa. BMC Pediatr 2011;11:50.
30. Aarnoudse-Moens CS, Weisglas-Kuperus N, Van-Goudoever JB, Oosterlaan J. Meta-
analysis of neurobehavioral outcomes in very preterm and/or very low birth weight
children. Pediatrics 2009;124:717-28.
31. Hameed B, Shyamanur K, Kotecha S, et al. Trends in the incidence of severe
retinopathy of prematurity in a geographically defined population over a 10-year
period. Pediatrics 2004;113:1653-7.
32. Stephens BE, Bann CM, Poole WK, Vohr BR. Neurodevelopmental impairment:
predictors of its impact on the families of extremely low birth weight infants at 18
months.
Infant Ment Health J 2008;29:570-87.
33. Stark AR. Levels of neonatal care. Pediatrics 2004;114:1341-7.
34. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians and
Gynecologists. Guidelines for perinatal care: Amer Academy of Pediatrics; 2002.
35. Committee on Fetus and Newborn. Levels of neonatal care. Pediatrics 2012;130:587.
36. Gill AB, Bottomley L, Chatfield S, Wood C. Perinatal transport: problems in neonatal
intensive care capacity. Arch Dis Child Fetal NeonataL Ed 2004;89:F220-3.
37. Cusack JM, Field DJ, Manktelow BN. Impact of service changes on neonatal transfer
patterns over 10 years. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2007;92:F181-4.
38. Karlsen K. Post-Resuscitation/Pre-Transport Stabilization Care of Sick Infants,
Guidelines for Neonatal Healthcare Providers. Utah: The S.T.A.B.L.E; 2006.
39. Enweronu-Laryea C, Nkyekyer K, Rodrigues OP. The impact of improved neonatal
intensive care facilities on referral pattern and outcome at a teaching hospital in Ghana.
J Perinatol 2008;28:561-5.
40. Ballot DE, Chirwa TF, Cooper PA. Determinants of survival in very low birth weight
neonates in a public sector hospital in Johannesburg. BMC Pediatr 2010;10:30.

143
41. Vonderweid UD, Carta A, Chiandotto V, et al. Italian Multicenter Study on Very Low
Birth Weight Babies. Ann Ist Super Sanita 1991;27:633-50.
42. Vakrilova L, Kalaĭdzhieva M, Slŭncheva B, Popivanova A, Metodieva V, Garnizov T.
Resuscitation in very low birth weight and extremely low birth weight newborns in the
delivery room. Akush Ginekol (Mosk) 2002;41:18-23.
43. Basu S, Rathore P, Bhatia BD. Predictors of mortality in very low birth weight
neonates in India. Singapore Med J 2008;49:556.
44. Almeida MF, Guinsburg R, Martinez FE, et al. Perinatal factors associated with early
deaths of preterm infants born in Brazilian Network on Neonatal Research centers. J
Pediatr (Rio J) 2008;84:300-7.
45. Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. Survival and outcome of very low birth weight
infants born in a university hospital with level II NICU. J Med Assoc Thai
2007;90:1323. 46. Velaphi SC, Mokhachane M, Mphahlele RM, Beckh-Arnold E,
Kuwanda ML, Cooper PA. Survival of very-low-birth-weight infants according to
birth weight and gestational age in a public hospital. S Afr Med J 2005;95:504-9.
47. Tsou KI, Tsao PN. The morbidity and survival of very-low-birth-weight infants in
Taiwan. Acta Paediatr Taiwan 2003;44:349-55.
48. Anthony S, Den-Ouden L, Brand R, Verloove-Vanhorick P, Gravenhorst JB. Changes in
perinatal care and survival in very preterm and extremely preterm infants in The
Netherlands between 1983 and 1995. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2004;112:170-7.
49. Darlow BA, Cust AE, Donoghue DA. Improved outcomes for very low birthweight
infants: evidence from New Zealand national population based data. Arch Dis Child Fetal
and Neonatal Ed 2003;88:F23-8.
50. Cifuentes J, Bronstein J, Phibbs CS, Phibbs RH, Schmitt SK, Carlo WA. Mortality in
low birth weight infants according to level of neonatal care at hospital of birth. Pediatrics
2002;109:745-51.
51. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, et al. on behalf of the Neonatal Resuscitation
Chapter Collaborators. Part 7: neonatal resuscitation: 2015 International Consensus on
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with
Treatment Recommendations. Circulation 2015;132(suppl 1):S204-41.
52. Saugstad OD. New guidelines for newborn resuscitation. Acta Paediatr 2007;96:333-
7.
53. Verlato G, Grobber D, Drabo D, Chiandetti L, Drigo P. Guidelines for resuscitation in
the delivery room of extremely preterm infants J Child Neurol 2004:31-4.
54. Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, et al. Part 13: neonatal resuscitation: 2015
American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care Circulation 2015;132(suppl 2):S543-60.
55. Aziz K, Chadwick M, Baker M, Andrews W. Ante-and intra-partum factors that
predict increased need for neonatal resuscitation. Resuscitation 2008;79:444-52.
56. Zaichkin J, Weiner G, C M. Instructor manual for neonatal resuscitation. Pediatrics;
2011.
57. Kattwinkel J, Perlman JM, Aziz K, et al. Part 15: neonatal resuscitation: American
Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation 2010;122(18 suppl 3):S909-19.
58. Wylie J, Perlman JM, Kattwinkel J, et al. Part 11: neonatal resuscitation: 2010
International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular care Science With Treatment Recommendation. Circulation 2010:S516-
38.
59. Mariani G, Dik PB, Ezquer A, et al. Pre-ductal and post-ductal O2 saturation in
healthy term neonates after birth. J Pediatr 2007;150:418-21.

144
60. Vain NE, Szyld EG, Prudent LM, Wiswell TE, Aguilar AM, Vivas NI. Oropharyngeal
and nasopharyngeal suctioning of meconium-stained neonates before delivery of their
shoulders: multicentre, randomised controlled trial. The Lancet 2004;364:597-602.
61. Dannevig I, Solevåg AL, Saugstad OD, Nakstad B. Lung Injury in Asphyxiated
Newborn Pigs Resuscitated from Cardiac Arrest-The Impact of Supplementary Oxygen,
Longer Ventilation Intervals and Chest Compressions at Different Compression-to-
Ventilation Ratios. Open Respir Med J 2012;6:89.
62. Dannevig I, Solevåg AL, Sonerud T, Saugstad OD, Nakstad B. Brain inflammation
induced by severe asphyxia in newborn pigs and the impact of alternative resuscitation
strategies on the newborn central nervous system. Pediatr Res 2013;73:163.
63. Hemway RJ, Christman C, Perlman J. The 3: 1 is superior to a 15: 2 ratio in a
newborn manikin model in terms of quality of chest compressions and number of
ventilations. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 2012;Apr 1:fetalneonatal-2011.
64. Solevåg AL, Dannevig I, Wyckoff M, Saugstad OD, Nakstad B. Extended series of
cardiac compressions during CPR in a swine model of perinatal asphyxia. Resuscitation
2010;81:1571-6.
65. Solevåg AL, Dannevig I, Wyckoff M, Saugstad OD, Nakstad B. Return of
spontaneous circulation with a compression: ventilation ratio of 15: 2 versus 3: 1 in
newborn pigs with cardiac arrest due to asphyxia. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
2011:fetalneonatal200386.
66. Solevåg AL, Madland JM, Gjærum E, Nakstad B. Minute ventilation at different
compression to ventilation ratios, different ventilation rates, and continuous chest
compressions with asynchronous ventilation in a newborn manikin. Scand J Trauma
Resus 2012;20:73.
67. Harrington DJ, Redman CW, Moulden M, Greenwood CE. The long-term outcome in
surviving infants with Apgar zero at 10 minutes: a systematic review of the literature and
hospital-based cohort. Am J Obstet Gynecol 2007;196:463.e1-5.
68. Kasdorf E, Laptook A, Azzopardi D, Jacobs S, Perlman JM. Improving infant
outcome with a 10 min Apgar of 0. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed
2014:fetalneonatal-2014306687.
69. Laptook AR, Shankaran S, Ambalavanan N. Hypothermia subcommittee of the
NICHD neonatal research network outcome of term infants using apgar scores at 10
minutes following hypoxic–ischemic encephalopathy. Pediatrics 2009;124:1619-26.
70. Patel H, Beeby PJ. Resuscitation beyond 10 minutes of term babies born without signs
of life. J Paediatr Child Health 2004;40:136-8.
71. Sarkar S, Bhagat I, Dechert RE, Barks JD. Predicting death despite therapeutic
hypothermia in infants with hypoxic-ischaemic encephalopathy. Arch Dis Child Fetal
and Neonatal Ed 2010;95:F423-8.
72. Reynolds R, Pilcher J, Ring A, Johnson R, McKinley P. The Golden Hour: care of the
LBW infant during the first hour of life one unit's experience. Neonatal Netw
2009;28:21119.
73. Vento M, Cheung PY, Aguar M. The first golden minutes of the extremely-
lowgestational-age neonate: a gentle approach. Neonatology 2009;95:286-98.
74. The Royal Women's Hospital. Intensive and special care nurseries,clinician's
handbook. Melbourne: The Royal Women's Hospital; 2007.
75. Gungor S, Kurt E, Teksoz E, Goktolga U, Ceyhan T, Baser I. Oronasopharyngeal
suction versus no suction in normal and term infants delivered by elective cesarean
section: a prospective randomized controlled trial. Gynecol Invest 2006;61:9-14.

145
76. Waltman PA, Brewer JM, Rogers BP, May WL. Building evidence for practice: a
pilot study of newborn bulb suctioning at birth. J Midwifery Womens Health 2004;49:32-
8.
77. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline: Intrapartum Fetal
Surveillance. State of Queensland2010.
78. Richmond S, Wyllie J. European Resuscitation Council guidelines for resuscitation
2010. Resuscitation 2010;81:1389-99.
79. Chen M, Mcniff C, Madan J, Goodman E, Davis JM, Dammann O. Maternal obesity
and neonatal Apgar scores. J Matern Fetal Neonatal Med 2010;23:89-95.
80. Doyle LW. Outcome at 5 years of age of children 23 to 27 weeks' gestation: refining
the prognosis. Pediatrics 2001;108:134-41.
81. Marlow N, Wolke D, Bracewell MA, Samara M. Neurologic and developmental
disability at six years of age after extremely preterm birth. N Engl J Med 2005;352:9-19.
82. De-Leeuw R, Cuttini M, Nadai M, et al. Treatment choices for extremely preterm
infants: an international perspective. J Pediatr 2000;137:608-16.
83. Costeloe K, Hennessy E, A T Gibson, Marlow N, Wilkinson AR. EPICure Study Group.
The EPICure study: outcomes to discharge from hospital for infants born at the threshold of
viability. Pediatrics 2000;106:659-71.
84. Field DJ, Dorling JS, Manktelow BN, Draper ES. Survival of extremely premature babies
in a geographically defined population: prospective cohort study of 1994-9 compared with
2000-5. BMJ 2008;336:1221-3.
85. Casalaz DM, Marlow N, Speidel BD. Outcome of resuscitation following unexpected
apparent stillbirth. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 1998;78:F112-5.
86. Laptook AR, Shankaran S, Ambalavanan N, et al. Outcome of term infants using apgar
scores at 10 minutes following hypoxic-ischemic encephalopathy. Pediatrics 2009;124:1619-
26.
87. Chamnanvanakij S, Perlman JM. Outcome following cardiopulmonary resuscitation in the
neonate requiring ventilatory assistance. Resuscitation 2000;45:173-80.
88. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan
resusitasi neonatus. Jakarta: Perinasia; 2006.
89. Neoresus. Positive pressure ventilation device. (Accessed Aug 24, 2011, at
http://www.neoresus.org.au/pages/LM1-7-Breathing.php.)
90. Armanian AM, Badiee Z. Resuscitation of preterm newborns with low concentration
oxygen versus high concentration oxygen. J Res Pharm Pract 2012;1:25.
91. Kapadia VS, Chalak LF, Sparks JE, Allen JR, Savani RC, Wyckoff MH. Resuscitation of
preterm neonates with limited versus high oxygen strategy. Pediatrics 2013;132:e1488e96.
92. Lundstrøm KE, Pryds O, Greisen G. Oxygen at birth and prolonged cerebral
vasoconstriction in preterm infants. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 1995;73:F81-F6.
93. Rabi Y, Singhal N, Nettel-Aguirre A. Room-air versus oxygen administration for
resuscitation of preterm infants: the ROAR study. Pediatrics 2011:peds. 2010-3130.
94. Rook D, Schierbeek H, Vento M, et al. Resuscitation of preterm infants with different
inspired oxygen fractions. J Pediatr 2014;164:1322-26.e3.
95. Vento M, Moro M, Escrig R, et al. Preterm resuscitation with low oxygen causes less
oxidative stress, inflammation, and chronic lung disease. Pediatrics 2009;124:e439-49.
96. Wang CL, Anderson C, Leone TA, Rich W, Govindaswami B, Finer NN. Resuscitation of
preterm neonates by using room air or 100% oxygen. Pediatrics 2008;121:1083-9.
97. Neonatal Clinical Practice Guideline. Oxygen therapy in newborns. Winnipeg Regional
Health Authority; 2015.
98. Finer N, Saugstad O, Vento M, et al. Use of oxygen for resuscitation of the extremely low
birth weight infant. Pediatrics 2010;125:389-91.

146
99. Asikainen TM, White CW. Antioxidant defenses in the preterm lung: role for hypoxia-
inducible factors in BPD? Toxicol Appl Pharmacol 2005;203:177-88.
100. Vento M, Asensi M, Sastre J, Lloret A, García-Sala F, Viña J. Oxidative stress in
asphyxiated term infants resuscitated with 100% oxygen. J Pediatr 2003;142:240-6. 101. Bajaj
N, Udani RH, Nanavati RN. Room air vs. 100 per cent oxygen for neonatal resuscitation: a
controlled clinical trial. J Trop Pediatr 2005;51:206-11.
102. Vento M, Asensi M, Sastre J, Garcıa-Sala F, Pallardó FV, Vina J.
Resuscitation with room air instead of 100% oxygen prevents oxidative stress in
moderately asphyxiated term neonates. Pediatrics 2001;107:642-7.
103. Escrig R, Arruza L, Izquierdo I, et al. Achievement of targeted saturation
values in extremely low gestational age neonates resuscitated with low or high oxygen
concentrations: a prospective, randomized trial. Pediatrics 2008;121:875-81.
104. Saugstad OD, Ramji S, Soll RF, Vento M. Resuscitation of newborn infants
with 21% or 100% oxygen: an updated systematic review and meta-analysis.
Neonatology 2008;94:176-82.
105. Rabi Y, Rabi D, Yee W. Room air resuscitation of the depressed newborn: a
systematic review and meta-analysis. Resuscitation 2007;72:353-63.
106. Davis PG, Tan TA, O'Donnell CPF, Schulze A. Resuscitation of newborn
infants with 100% oxygen or air: a systematic review and meta-analysis. Lancet
2004;364:1329-33. 107. Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal
lung disease. Acta Paediatrica 2002;91:23-5.
108. Bell EF. Preventing necrotizing enterocolitis: what works and how safe?
Pediatrics 2005;115:173-4.
109. Stola A, Schulman J, Perlman J. Initiating delivery room
stabilization/resuscitation in very low birth weight (VLBW) infants with an FiO2 less
than 100% is feasible. J Perinatol 2009;29:548-52.
110. Lindner W, Voßbeck S, Hummler H, Pohlandt F. Delivery room management
of extremely low birth weight infants: spontaneous breathing or intubation? Pediatrics
1999;103:961-7.
111. Finer NN, Carlo WA, Duara S, et al. Delivery room continuous positive
airway pressure/positive end-expiratory pressure in extremely low birth weight infants: a
feasibility trial. Pediatrics 2004;114:651-7.
112. Morley CJ, Davis PG, Doyle LW, Brion LP, Hascoet JM, Carlin JB. Nasal
CPAP or intubation at birth for very preterm infants. N Engl J Med 2008;358:700-8.
113. Support Study Group of the Eunice Kennedy Shriver NICHD Neonatal
Research Network. Early CPAP versus surfactant in extremely preterm infants. N Engl J
Med 2010;2010:1970-9.
114. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, et al. European consensus guidelines on
the management of respiratory distress syndrome-2016 update. Neonatology
2017;111:10725.
115. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, et al. European consensus guidelines on
the management of neonatal respiratory distress syndrome in preterm infants-2013
update. Neonatology 2013;103:353-68.
116. Papile LA, Baley JE, Benitz W, et al. Respiratory support in preterm infants
at birth. Pediatrics 2014;133:171-4.
117. Stevens TP, Blennow M, Myers EH, Soll R. Early surfactant administration
with brief ventilation vs. selective surfactant and continued mechanical ventilation for
preterm infants with or at risk for respiratory distress syndrome. Cochrane Libr 2007.

147
118. Göpel W, Kribs A, Ziegler A, et al. Avoidance of mechanical ventilation by
surfactant treatment of spontaneously breathing preterm infants (AMV): an open-label,
randomised, controlled trial. Lancet 2011;378:1627-34.
119. Dargaville PA, Aiyappan A, Paoli AGD, et al. Minimally-invasive surfactant
therapy in preterm infants on continuous positive airway pressure. Arch Dis Child Fetal
and Neonatal Ed 2013;98:F122-6.
120. Göpel W, Kribs A, Härtel C, et al. Less invasive surfactant administration is
associated with improved pulmonary outcomes in spontaneously breathing preterm
infants. Acta Paediatr 2015;104:241-6.
121. Kribs A, Roll C, Göpel W, et al. Nonintubated surfactant application vs
conventional therapy in extremely preterm infants: a randomized clinical trial. JAMA
Pediatr 2015;169:723-30.
122. Kanmaz HG, Erdeve O, Canpolat FE, Mutlu B, Dilmen U. Surfactant
administration via thin catheter during spontaneous breathing: randomized controlled
trial. Pediatrics 2013;131:e502-9.
123. More K, Sakhuja P, Shah PS. Minimally invasive surfactant administration in
preterm infants: a meta-narrative review. JAMA Pediatr 2014;168:901-8.
124. Minocchieri S, Knoch S, Schoel WM, Ochs M, Nelle M. Nebulizing
poractant alfa versus conventional instillation: Ultrastructural appearance and
preservation of surface activity. Pediatr Pulmonol 2014;49:348-56.
125. Ardell S, Pfister RH, Soll R. Animal derived surfactant extract versus protein
free synthetic surfactant for the prevention and treatment of respiratory distress syndrome.
Cochrane Database Syst Rev 2015;8.
126. Curstedt T, Halliday HL, Speer CP. A unique story in neonatal research: the
development of a porcine surfactant. Neonatology 2015;107:321-9.
127. Singh N, Halliday HL, Stevens TP, Soll R. Comparison of animal-derived
surfactants for the prevention and treatment of respiratory distress syndrome in preterm
infants. status and date: New, published in 2015.
128. Soll R. Early versus delayed selective surfactant treatment for neonatal
respiratory distress syndrome. Cochrane Database Syst Rev 1999;4.
129. Dargaville PA, Aiyappan A, De-Paoli AG, et al. X Continuous positive
airway pressure failure in preterm infants: incidence, predictors and consequences.
Neonatology 2013;104:8-14.
130. Soll R, Özek E. Multiple versus single doses of exogenous surfactant for the
prevention or treatment of neonatal respiratory distress syndrome. Cochrane Libr 2009.
131. Dani C, Corsini I, Poggi C. Risk factors for intubation–surfactant–extubation
(INSURE) failure and multiple INSURE strategy in preterm infants. Early Hum Dev
2012;88:S3-4.
132. Finer NN, Rich W, Craft A, Henderson C. Comparison of methods of bag and
mask ventilation for neonatal resuscitation. Resuscitation 2001;49:299-305.
133. Milner A. The importance of ventilation to effective resuscitation in the term
and preterm infant. In: Proceedings of the Seminars in Neonatology. 2001. p. 219-24.
134. Capasso L, Capasso A, Raimondi F, Vendemmia M, Araimo G, Paludetto R. A
randomized trial comparing oxygen delivery on intermittent positive pressure with nasal
cannulae versus facial mask in neonatal primary resuscitation. Acta Paediatr
2005;94:197200.
135. Dodman N. Warm, pink and sweet. Perinatal outreach program of Southwestern
Ontario 2003.
136. Salhab WA, Wyckoff MH, Laptook AR, Perlman JM. Initial hypoglycemia and
neonatal brain injury in term infants with severe fetal acidemia. Pediatrics 2004;114:3616.

148
137. Husaini L, Rohsiswatmo R, Oswari H. X Efektivitas T-Piece resuscitator
sebagai pengganti penggunaan continous positive airway pressure (CPAP) dini di kamar
bersalin dalam menurunkan kegagalan CPAP pada bayi prematur dengan gangguan napas
[PhD thesis]. 2011; .
138. Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal lung disease.
Acta Paediatr 2002;91:23-5.
139. Bisquera JA, Cooper TR, Berseth CL. Impact of necrotizing enterocolitis on
length of stay and hospital charges in very low birth weight infants. Pediatrics
2002;109:423-8. 140. Altuncu E, Özek E, Bilgen H, Topuzoglu A, Kavuncuoglu S.
Percentiles of oxygen saturations in healthy term newborns in the first minutes of life. Eur J
Pediatr 2008;167:6878.
141. American Academy of Pediatrics. The action plan. (Accessed Aug 08, 2011, at
www.helpingbabiesbreathe.org/docs/ActionPlan.pdf.)
142. Ondoa-Onama C, Tumwine JK. Immediate outcome of babies with low Apgar
score in Mulago Hospital, Uganda. East Afr Med J 2003;80:22-9.
143. Adamkin DH. Neonatal hypoglycemia. Seminars in Fetal and Neonatal Medicine;
Elsevier; 2017. p. 36-41.
144. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology: management,
procedures, on-call problems, diseases, and drugs: McGraw-Hill Education Medical; 2013.
145. WHO. Managing newborn-problems: a guide for doctors, nurses and midwives. . Geneva:
World Health Organization; 2003.
146. Adamkin DH. Postnatal glucose homeostasis in late-preterm and term infants.
Pediatrics 2011;127:575-9.
147. Rozance PJ, Hay WW. New approaches to management of neonatal hypoglycemia.
Matern Health Neonatol Perinatol 2016;2:3.
148. Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR. Hypoglycemia and hyperglycemia. 6th ed:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
149. Sweet CB, Grayson S, Polak M. Management strategies for neonatal hypoglycemia.
J Pediatr Pharmacol Ther 2013;18:199-208.
150. Soll RF. Heat loss prevention in neonates. J Perinatol 2008;28:S57-9.
151. Knobel RB, Wimmer JE, Holbert D. Heat loss prevention for preterm infants in the
delivery room. J Perinatol 2005;25:304-8.
152. WHO. Pregnancy, childbirth, postpartum and newborn care: a guide for essential
practice. . Geneva: World Health Organization; 2003.
153. Flenady V, Woodgate PG. Radiant warmers versus incubators for regulating body
temperature in newborn infants. Cochrane Libr 2003.
154. Suradi R, Rohsiswatmo R, Dewi R, Endyarni B, Rustina Y. Health Technology
Assesment Indonesia. Perawatan bayi baru lahir (BBLR) dengan metode kangguru.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.
155. Conde-Agudelo A, Belizan JM, Diaz-Rossello. Kangaroo mother care to reduce
morbidity and mortality in low birthweight infants. Cochrane Database Syst Rev 2011.
156. Asia PE cling wrap. at http://www.asoa.ru/en/Productinfo/5347552.html.)
157. Newborn services clinical guideline at
http://www.asia.ru/en/Productinfo/534752.html.)
158. McCall EM, Alderdice FA, Halliday HL, Jenkins JG, Vohra S. Interventionist to
prevent hypothermia at birth in preterm and/or low birth weight infants.
Cochrane Database Syst Rev 2003.
159. Kent AL, Williams J. Increasing ambient operating theatre temperature and
wrapping in polyethylene improves admission temperature in premature infants. J
Paediatr Child Health 2008;44:325-31.

149
160. The International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR). Consensus on
science with treatment recommendations for pediatric and neonatal patients:
pediatric basic and advanced life support. Pediatrics 2006;117:e955-7.
161. Te-Pas AB, Lopriore E, Dito I, Morley CJ, Walther FJ. Humidified and heated air
during stabilization at birth improves temperature in preterm infants. Pediatrics
2010;125:e1427-32.
162. Kaushal M, Agarwal R, Singal A, et al. Cling wrap, an innovative intervention for
temperature maintenance and reduction of insensible water loss in very low-
birthweight babies nursed under radiant warmers: a randomized, controlled trial.
Ann Trop Paediatr 2005;25:111-18.
163. WHO Collaborating Center for Training and Research in Newborn Care. NNF
Teaching Aids: Respiratory Stress in a Newborn Baby. Department of Pediatrics,
Division of Neonatology, WHO-CC for Training and Research in Newborn Care,
2005. (Accessed Sept
22, 2011, at http://www.newbornwhocc.org/pdf/teaching-aids/respiratorydistress.pdf.)
164. Mathai SS, Raju U, Kanitkar M. Management of respiratory distress in the newborn.
Med J Armed Forces India 2007;63:269.
165. Respiratory assessment of the newborn (Accessed Sept 22, 2011, at
http://puffnicu.tripod.com/rd.html.)
166. Fauroux B, Clément A. Requisite for stringent control of oxygen therapy in the
neonatal period. Eur Respir J 2007.
167. Jobe AH, Kallapur SG. Long term consequences of oxygen therapy in the
neonatal period. In: Proceedings of the Seminars in Fetal and Neonatal Medicine; 2010:
Elsevier. p. 230-5.
168. Juniatiningsih A. Oxygen therapy in neonatal: how to implement with limited
facilities. In: Proceedings of the 2nd Indonesia National Workshop & Seminar on ROP:
how to prevent retinopathy of prematuriy with limited facilities in Indonesia 2010;
Surabaya. 169. Saugstad OD, Aune D. Oxygenation of extremely low birth weight infants: a
metaanalysis and systematic review of the oxygen saturation target studies. Neonatology
2014;105:55-63.
170. The Royal Children's Hospital Melbourne. Clinical Guideline (Hospital). at
http://www.rch.org.au/rchcpg/indexx.cfm?doc_id=135531.)
171. Myers TR. AARC Clinical Practice Guideline: Selection of an oxygen delivery
device for neonatal and pediatric patients Respir Care 2002:707-16.
172. STOP-ROP Multicenter Study Group. Supplemental therapeutic oxygen for
prethreshold retinopathy of prematurity (STOP-ROP), a randomized, controlled trial. I:
Primary outcomes. Pediatrics 2000;105:295-310.
173. Askie LM, Henderson-Smart DJ, Irwig L, Simpson JM. Oxygen-saturation targets
and outcomes in extremely preterm infants. N Engl J Med 2003;349:959-7.
174. STOP-ROP effective FiO2 conversion tables for infants on nasal canula. (Accessed
Aug 24, 2011, at http://pub.emmes.com/study/rop/FiO2table.pdf.)
175. Askie LM, Henderson‐Smart DJ, Ko H. Cochrane review: Restricted versus liberal
oxygen exposure for preventing morbidity and mortality in preterm or low birth weight infants.
Evid‐Based Child Health 2010;5:371-413.
176. Saugstad OD. Oxidative stress in the newborn–a 30-year perspective. Neonatology
2005;88:228-36.
177. Saugstad OD. Oxygen and oxidative stress in bronchopulmonary dysplasia J
Perinat Med 2010;38:571-7.
178. Wardle SP, Drury J, Garr R, Weindling AM. Effect of blood transfusion on lipid
peroxidation in preterm infants. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2002;86:F46-8. 179. Lavoie

150
PM, Lavoie JC, Watson C, Rouleau T, Chang BA, Chessex P. Inflammatory response in
preterm infants is induced early in life by oxygen and modulated by total parenteral nutrition.
Pediatr Res 2010;68:248-51.
180. Chen ML, Guo L, Smith LE, Dammann CE, Dammann O. High or low oxygen
saturation and severe retinopathy of prematurity: a meta-analysis. Pediatrics
2010;125:e1483-92. 181. Saugstad OD, Aune D. In search of the optimal oxygen
saturation for extremely low birth weight infants: a systematic review and meta-analysis.
Neonatology 2011;100:1-8.
182. Askie LM, Henderson‐Smart DJ. Gradual versus abrupt discontinuation of oxygen
in preterm or low birth weight infants. Cochrane Libr 2001.
183. Beveridge CJ, Wilkinson AR. Sodium bicarbonate infusion during resuscitation of
infants at birth. Cochrane Libr 2006.
184. Osborn DA, Evans N. Early volume expansion for prevention of morbidity and
mortality in very preterm infants. Cochrane Database Syst Rev 2004;2.
185. Osborn D, Evans N, Kluckow M. Randomized trial of dobutamine versus
dopamine in preterm infants with low systemic blood flow. J Pediatr 2002;140:183-91.
186. Valverde E, Pellicer A, Madero R, Elorza D, Quero J, Cabañas F. Dopamine
versus epinephrine for cardiovascular support in low birth weight infants: analysis of systemic
effects and neonatal clinical outcomes. Pediatrics 2006;117:e1213-22.
187. Vohr B, Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal lung
disease. Acta Paediatr Suppl 2002:23-5.
188. Peterson BS, Vohr B, Staib LH, et al. Regional brain volume abnormalities and
longterm cognitive outcome in preterm infants. JAMA 2000;284:1939-47.
189. Mercer JS, Vohr BR, Erickson-Owens DA, Padbury JF, Oh W. Seven-month
developmental outcomes of very low birth weight infants enrolled in a randomized controlled
trial of delayed versus immediate cord clamping. J Perinatol 2010;30:11-6. 190. Aladangady
N, McHugh S, Aitchison TC, Wardrop CA, Holland BM. Infants' blood volume in a controlled
trial of placental transfusion at preterm delivery. Pediatrics 2006;117:93-8.
191. McDonald DJ, Middleton P. Effect of timing of umbilical cord clamping of
term infants on maternal and neonatal outcomes. Cochrane Database Syst Rev 2008.
192. Rabe H, Reynolds G, Diaz-Rossello J. A systematic review and meta-analysis
of a brief delay in clamping the umbilical cord of preterm infants. Neonatology
2008;93:13844.
193. Rabe H, Reynold G, Diaz-Rossello J. Early versus delayed umbilical cord
clamping in preterm infants. Cochrane Database Syst Rev 2004;4.
194. Airey RJ, Farrar D, Duley L. Alternative positions for the baby at birth before
clamping the umbilical cord. Cochrane Database Syst Rev 2010.
195. Ohlsson A, Shah SS. Ibuprofen for the prevention of patent ductus arteriosus in
preterm and/or low birth weight infants. Cochrane Libr 2011.
196. Moeslichan MZ, Sujono A, Kosim S, Gatot D, Indarso F. Pemberian
profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir. Health Technology Assesment 2003-2006
selected recommendations. Jakarta: Dirjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2006:1-19.
197. Puckett RM, Offringa M. Prophylactic vitamin K for vitamin K deficiency
bleeding in neonates. Cochrane Libr 2000.
198. Wilson AK, Martel IMJ, Saskatoon SK. Maternal Transport Policy. J Obstet
Gynecol Can 2005;27:956-58.
199. Hohlagschwandtner M, Husslein P, Weninger KKM, Nardi A, Langer M.
Perinatal mortality and morbidity. Comparison between maternal transport, neonatal
transport and inpatient antenatal treatment. Arch Gynecol Obstet 2001;265:113-18.

151
200. Hauspy J, Jacquemyn Y, Van-Reempts P, Buytaerta P, Vlieta JV. Intrauterine
versus postnatal transport of the preterm infant: a short-distance experience. Early Hum
Dev 2001;63:1-7.
201. Woodward GA, Insoft RM, Pearson-shaver AL, et al. The state of pediatric
interfacility transport: Consensus of the second national pediatric and neonatal inter-
facility transport medicine leadership conference. Pediatr Emerg Care 2002;1:38-43.
202. Simpson JH, Ahmed I, McLaren J, Skeoch CH. Use of nasal continuous
positive airway pressure during neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
2003;10:374-5. 203. Das UG, Leuthner SR. Preparing the neonate for transport. Pediatr
Clin North Am 2004;51:581-98.
204. Lim M, Ratnavel N. A prospective review of adverse events during interhospital
transfers of neonates by a dedicated neonatal transfer service. Crit Care Med 2008;9. 205.
Kempley, Baki, Hayter, Ratnavel, Cavazzoni, Reyes. Effect of a centralised transfer
service on characteristics of inter-hospital neonatal transfers. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2007;92:185-9.
206. McKay S, Cruickshanks J, Skeoch CH. Step by step guide: Transporting neonates
safely. J Neonatal Nurs 2003;1:9.
207. Kulshrestha A, Singh J. Interhospital and intrahospital patient transport: recent
concept. Indian J 2016;60:451-7.
208. Fenton AC, Leslie A, Skeoch CH. Optimising neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2004;89:F215-9.
209. Arad I, Baras M, Bar-Oz B, Gofin R. Neonatal transport of very low birth weight
infants in Jerussalem, revisited. IMAJ 2006;8:477-82.
210. Kumar PP, Kumar CD, Venkatlakshmi A. Long distance neonatal trasport-the need of
the hour. Indian Pediatr 2008;45:920-2.
211. Terrey A, Browning CK. Stabilising the newborn for transfer: Basic principles. Aust
Fam Physician 2008;37:510.
212. Tingay DG, Stewart MJ, Morley CJ. Monitoring of end tidal carbon dioxide and
transcutaneous carbon dioxide during neonatal transport. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2005;90:F523-6.
213. Lilley CD, Stewart M, Morley CJ. Respiratory function monitoring during neonatal
emergency transport. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2005;90:F82-3.
214. Dani C, Bertini G, Pezzati M, Cecchi A, Caviglioli C, Rubaltelli FF. Early extubation
and nasal continuous positive airway pressure after surfactant treatment for respiratory
distress syndrome among preterm infants< 30 weeks’ gestation. Pediatrics
2004;113:e5603.
215. Fowlie PW, Booth P, Skeoch CH. Clinical review moving the preterm infant. BMJ
2004;309:904-6.
216. Stroud MH, Trautman MS, Meyer K, Moss MM, Schwartz HP, Bigham MT. et al.
Pediatric and neonatal interfacility transport: results from a national consensus
conference. Pediatrics 2013;132:359-66.
217. Joshi M, Singh S, Negi A, Vyas T, Chourishi V, Jain A. Neonatal carrier: an easy to
make alternative device to costly transport chambers. J Indian Assoc Pediatr Surg
2010:1334.
218. Baxter C, Alberta E, Gorodzinsk FP. Temperature measurement in paediatrics.
Paediatr Child Health 2000;5(5):273-6.
219. Fairchild K, Sokora D, Scott J, Zanelli S. Therapeutic hypothermia on neonatal
transport: 4-year experience in a single NICU. J Perinatol 2010;30:324-9.
220. Strozik KS, Pieper CH, Roller J. Capillary refilling time in newborn babies: normal
values. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1997;76:F193-6.

152
221. Ambubag dewasa/ anak/ bayi. (Accessed Sept 04, 2011,
at
http://alatkesehatanjogja.com/produk-70-ambu-bag-dewasaanakbayi.html.)
222. Toko Medis Alat Kedokteran. (Accessed Sept 09, 2011,
at
http://www.tokomedis.com/kategori/20/Kedokteran.html.)
223. CVU4 Medin-Sindi, N-CPAP for infant and neonate (Accessed Aug 24, 2011, at
htp://indonetwork.co.id/cv_u4/1551683/medin-sindi-n-cpap-for-infant-
andneonate.htm.)
224. Prima Jaya Teknik. Pulse Oximeter. at
http://pratec.indonetwork.co.id/2047240/pulse-oximeter.htm.)
225. Nagar S. Long distance neonatal transport--the need of the hour-is it? Indian Pediatr
2009;46:267.
226. Alkes Online. Daftar Harga. (Accessed Aug 24, 2011, at http://alkesonline.com/daftar-
harga/.)
227. Peta Fajar Pahala. Daftar harga alat medis, alat kedokteran, alat kesehatan,
laboratorium. (Accessed Aug 24, 2011, at
http://petafajarpahala.blogspot.com/2010/02/harga-produk.html.)
228. Departemen Kesehatan. Daftar informasi harga peralatan kesehatan dan laboratorium
efektif 1 Januari 2005 s/d 31 Desember 2005. (Accessed Aug 24, 2011, at
http://www.depkes.go.id/downloads/yanfar/yanfar01.pdf.)
229. CVU4. Katalog produk infant incubator. (Accessed Sept 09, 2011, at
http://indonetwork.co.id/cv_u4/prod.)
230. CV Azza Medika. Perdagangan alat kesehatan. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://azzamedika.wordpress.com/.)
231. CV Duta Medica Sarana. Ventilator ICU, ICCU, NICU, PICU (bayi-anak dan dewasa)
"Galileo-Hamilton". (Accessed Aug 24, 2011, at
http://dumepower.indonetwork.co.id/2034930/ventilator-icu-iccu-nicu-bayi-anak-dandewasa-
galileo.htm.)
232. Sutanto. Dijual endotracheal tube. (Accessed Aug 23, 2011,
at http://www.bejubel.com/147541/jual-beli-kesehatan-perawatan-pribadi-
endotrachealtube-murah-dan-diskon.html.)
233. CV Amerta Pratama. Katalog produk: handscoon steril maxter. (Accessed Aug 23,
2011, at http://cvamerpratma.indonetwork.co.id/2227773/hanscoon-steril-maxter.htm.)
234. CV Dua Saudara Medika. Quality medical supplies at the right price. (Accessed Aug
23, 2011, at http://ikhwanfaisal29.blogspot.com/.)
235. Bali Chemist. Nama merk obat-obatan dalam alphabetical. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://www.balichemist.com/farmakologi_html.)
236. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan menteri kesehatan republik
Indonesia nomor: 1239/MENKES/SK/XI/2004 tentang harga jual obat generik.
(Accessed Aug 23, 2011, at
http://ropeg-kemenkes.or.id/documents/1sk_menkes1239.pdf.) 237. Puskesmas
Palaran. Bahan habis pakai dan topikal. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://puskesmaspalaran.wordpress.com/.)
238. PT Aura Prima. Aquadestilata.sterile/aquadest/air murni. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://auraprima.indonetwork.co.id/509029/aquadestilata-sterileaquadest-
airmurni.htm.)
239. Farmasiku. Pengganti cairan tubuh. at
http://www.farmasiku.com/index.php?target=categories&category_id=294.)

153
240. Alat Kesehatan Kedokteran. (Accessed Aug 23, 2011, at http://alatkesehatan.net/?
paged=7.)
241. Ambulans 118 24 jam (Accessed Aug 24, 2011, at
http://ambulans118.org/?page_id=178.)
242. Espromedical. (Accessed Aug 23, 2011, at http://www.esperomedical.com/.)

2. PNPK Asfiksia Neonatorum

154
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kematian neonatus masih menjadi masalah global yang penting. Setiap tahun
diperkirakan 4 juta bayi meninggal dalam 4 minggu pertama dengan 85%
kematian terjadi dalam 7 hari pertama kehidupan. 1,2 Terkait masalah ini, World
Health Organization (WHO) menetapkan penurunan angka kematian bayi
baru lahir dan anak di bawah usia 5 tahun (balita), sebagai salah satu sasaran
Sustainable Development Goals). Target untuk menurunkan angka
kematian hingga sebesar 12 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup dan
kematian di bawah 5 tahun hingga setidaknya 25/1000 kelahiran hidup
diharapkan dapat tercapai pada tahun 2030. Namun, angka kematian bayi
berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 masih cukup
tinggi dibandingkankan target tersebut, yaitu 34 per 1000 kelahiran hidup. 3

WHO melaporkan komplikasi intrapartum, termasuk asfiksia, sebagai


penyebab tertinggi kedua kematian neonatus (23,9%) setelah prematuritas dan
berkontribusi sebagai 11% penyebab kematian balita di seluruh dunia.4,5 Di Asia
Tenggara, asfiksia merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga (23%) setelah
infeksi neonatal (36%) dan prematuritas / bayi berat lahir rendah (BBLR) (27%). 1
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 di Indonesia melaporkan asfiksia
sebagai 27% penyebab kematian bayi baru lahir.6 Selain itu, asfiksia juga
berkaitan dengan morbiditas jangka panjang berupa palsi serebral, retardasi
mental, dan gangguan belajar pada kurang lebih 1 juta bayi yang bertahan
hidup.5,6 Berbagai morbiditas ini berkaitan dengan gangguan tumbuh kembang
dan kualitas hidup yang buruk di kemudian hari.
Asfiksia pada neonatus terjadi akibat gangguan pertukaran oksigen dan
karbondioksida yang tidak segera diatasi, sehingga menimbulkan penurunan
PaO2 darah (hipoksemia), peningkatan PaCO2 darah (hiperkarbia), asidosis, dan
berlanjut pada disfungsi multiorgan.1 Kondisi ini dapat dicegah dengan
mengetahui faktor risiko ibu dan bayi dalam kehamilan. 7 Apabila asfiksia
perinatal tidak dapat dihindari, tata laksana dengan teknik resusitasi yang
optimal sangat diperlukan. Dalam hal ini, semua petugas kesehatan yang
berperan diharapkan dapat melakukan resusitasi neonatus secara terampil
dengan menggunakan peralatan yang memadai sehingga menurunkan risiko
morbiditas dan mortalitas terkait asfiksia.1

1.2 Permasalahan
Berbagai kendala dalam pencegahan dan penanganan asfiksia neonatorum
sering ditemukan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kendala tersebut
meliputi definisi asfiksia yang belum seragam sehingga menimbulkan kerancuan

155
dalam penegakan diagnosis dan tata laksana, petugas kesehatan yang kurang
terampil dalam melakukan resusitasi neonatus, serta peralatan resusitasi yang
kurang memadai di sebagian besar sarana pelayanan kesehatan. Sebagai upaya
mengatasi berbagai kendala tersebut, disusun suatu standar pedoman nasional
penanganan dan pencegahan asfiksia sebagai salah satu kebijakan kesehatan
nasional di Indonesia melalui buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
(PNPK) Asfiksia Neonatorum.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Menyusun suatu PNPK untuk membantu menurunkan angka kejadian dan
kematian bayi di Indonesia akibat asfiksia neonatorum
1.3.2 Tujuan khusus
1. Membuat pernyataan secara sistematis yang berdasarkan bukti ilmiah
(scientific evidence) untuk membantu dokter, bidan, dan perawat
dalam hal pencegahan dan tata laksana asfiksia neonatorum.
2. Memberikan rekomendasi berbasis bukti bagi fasilitas pelayanan
kesehatan primer, sekunder, dan tersier serta penentu kebijakan untuk
penyusunan protokol setempat atau Panduan Praktik Klinis (PPK) dengan
melakukan adaptasi sesuai PNPK.

1.4 Sasaran
1. Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses kelahiran bayi,
meliputi dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat diterapkan di
fasilitas pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier.
2. Penentu kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, serta
kelompok profesi terkait.

BAB II

METODOLOGI

2.1 Penelusuran kepustakaan


Penelusuran kepustakaan dilakukan melalui kepustakaan elektronik pada pusat
data Pubmed, Cochrane Systematic Database Review, dan Pediatrics.
Kata kunci yang digunakan adalah asphyxia, asphyxia neonatorum,

156
neonatal asphyxia, birth asphyxia, atau perinatal asphyxia, dengan
batasan artikel yang dipublikasikan dalam 15 tahun terakhir.

2.2 Kajian telaah kritis pustaka


Telaah kritis oleh pakar dalam bidang ilmu kesehatan anak diterapkan pada
setiap artikel yang diperoleh, meliputi: a. apakah studi tersebut sahih? b. apakah
hasilnya secara klinis penting? c. apakah dapat diterapkan dalam tata laksana
pasien?

2.3 Peringkat bukti (level of evidence)


Hierarchy of evidence/Peringkat bukti ditentukan berdasarkan klasifikasi
yang dikeluarkan oleh Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN)
grading system http://www.sign.ac.uk/guidelines/
fulltext/50/annexoldb.html yang diadaptasi untuk keperluan praktis. Berikut
adalah peringkat bukti yang digunakan :
Ia. Meta-analisis atau telaah sistematik dari uji klinis acak terkontrol

Ib. Uji klinis acak terkontrol.


IIa. Uji klinis tanpa randomisasi.

IIb. Studi kohort atau kasus-kontrol.

IIIa. Studi observasional potong lintang.

IIIb. Serial kasus atau laporan kasus.

IV. Konsensus dan pendapat ahli.

2.4 Derajat rekomendasi


Berdasarkan peringkat bukti, rekomendasi /simpulan dibuat sebagai berikut :
Rekomendasi A berdasarkan bukti peringkat Ia atau Ib.

Rekomendasi B berdasarkan bukti peringkat IIa atau IIb.

Rekomendasi C berdasarkan bukti peringkat IIIa, IIIb, atau


IV.

157
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Batasan asfiksia neonatal

3.1 Definisi asfiksia


Definisi asfiksia neonatorum dibuat berdasarkan gejala fisis, perubahan
metabolik, serta gangguan fungsi organ yang terjadi akibat hipoksik-iskemik
perinatal.8 Sebelumnya nilai Apgar sering kali digunakan untuk mendiagnosis
asfiksia neonatorum, namun berbagai bukti menunjukkan bahwa nilai Apgar
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah sebagai penanda tunggal
asfiksia.9,10 Berikut ini definisi asfiksia dari beberapa sumber:

a. WHO
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir.11,12
b. National Neonatology Forum of India
Asfiksia merupakan keadaan yang ditandai dengan megapmegap dan
pernapasan tidak efektif atau kurangnya usaha napas pada menit
pertama setelah kelahiran.13
c. American College of Obstetric and Gynaecology (ACOG) dan
American Academy of Paediatrics (AAP)
Asfiksia merupakan kondisi terganggunya pertukaran gas darah yang
menyebabkan hipoksemia progresif dan

158
hiperkapnia dengan asidosis metabolik signifikan.14,15

d. Standar pelayanan medis ilmu kesehatan anak, Ikatan Dokter


Anak Indonesia (IDAI 2004)
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bayi bernapas spontan dan teratur
pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan
hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis.16

3.2 Epidemiologi asfiksia


Angka kejadian asfiksia pada masing-masing negara sangat beragam. WHO
melaporkan insidens asfiksia bervariasi antara 2 - 27 per 1000 kelahiran,
tergantung pada lokasi, periode, dan kriteria definisi asfiksia yang digunakan.
Asfiksia dilaporkan terjadi pada 1- 4 per 1000 kelahiran hidup di negara maju dan
4 - 9 per 1000 kelahiran hidup di negara berkembang. Keadaan ini diperkirakan
menyebabkan 21% kematian bayi, terutama di negara
berkembang.17

3.3 Etiologi dan faktor risiko asfiksia


Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan, atau sesaat
segera setelah lahir.18 Beberapa faktor risiko yang diperkirakan meningkatkan
risiko asfiksia meliputi faktor ibu (antepartum atau intrapartum) dan faktor janin
(antenatal atau pascanatal) (Tabel 1).19 Faktor risiko ini perlu dikenali untuk
meningkatkan kewaspadaan terhadap terjadinya asfiksia.
Beberapa penelitian mengenai faktor risiko asfiksia neonatorum telah
dilakukan dalam lingkup global maupun nasional. Suatu penelitian di Nepal
Selatan melaporkan korelasi bermakna antara beberapa gejala klinis maternal
dalam 7 hari sebelum persalinan dengan kejadian asfiksia neonatorum.
Gejalagejala tersebut antara lain demam selama kehamilan (RR = 3,30; 95% IK =
2,15 – 5,07), perdarahan pervaginam (RR = 2,00; 95% IK = 1,23 – 3,27),
pembengkakan tangan, wajah, atau kaki (RR = 1,78; 95% IK =1,33 – 2,37), kejang
(RR = 4,74; 95% IK = 1,80–12,46), partus lama (RR = 1,31; 95% IK = 1,00-1,73), dan
ketuban pecah dini (RR = 1,83; 95% IK = 1,22-1,76). Risiko asfiksia neonatorum
juga ditemukan secara signifikan pada kehamilan multipel (RR = 5,73; 95% IK =
3,38–9,72) dan kelahiran bayi dari wanita primipara (RR = 1,74; 95% IK = 1,33-
2,28). Selain itu, risiko kematian akibat asfiksia neonatorum cenderung lebih
tinggi daripada bayi prematur. Risiko ini meningkat 1,61 kali lipat pada usia
kehamilan 34 - 37 minggu dan 14,33 kali lipat pada usia kehamilan <34
minggu.13page3

159
Penelitian di Kabupaten Purworejo melaporkan 8 faktor risiko terkait
asfiksia, yaitu berat lahir rendah (OR = 12,23; 95% IK = 3,54- 42,29); ketuban
pecah dini (OR = 2,52; 95% IK = 1,13-5,63); partus lama (OR = 3,67; 95% IK = 1,66-
8,11); persalinan secara seksio sesarea (OR = 3,12; 95% IK = 1,04-9,35); usia ibu
<20 tahun atau >35 tahun (OR = 3,61; 95% IK = 1,23-10,60); riwayat obstetri
buruk (OR = 4,20; 95% IK = 1,05-16,76); kelainan letak janin (OR = 6,52; 95% IK =
1,07-39,79); dan status perawatan antenatal buruk (OR = 4,13; 95% IK = 1,65-
10,35).19

Penelitian lain di Port Moresby juga menemukan kondisi maternal berupa


usia ibu yang terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>40 tahun), anemia (Hb
<8 g/dL), perdarahan antepartum, demam selama kehamilan, persalinan kurang
bulan, dan persalinan lebih bulan memiliki hubungan kuat dengan asfiksia
neonatorum. Korelasi yang signifikan juga ditemukan pada tanda-tanda gawat
janin seperti denyut jantung janin abnormal dan / atau air ketuban bercampur
mekonium.20

Tabel 1. Faktor risiko asfiksia neonatorum


Faktor risiko
Faktor ibu
Antepartum • Sosioekonomi rendah13
• Primipara15,13
• Kehamilan ganda21
• Infeksi saat kehamilan21
• Hipertensi dalam kehamilan20
• Anemia13
• Diabetes melitus22
• Perdarahan antepartum 15,21
• Riwayat kematian bayi sebelumnya13

Intrapartum
• Penggunaan anestesi atau opiat18,21
• Partus lama13,15
• Persalinan sulit dan traumatik15
• Mekonium dalam ketuban
(meconium-stained amniotic fluid/MSAF)15,21
• Ketuban pecah dini21
• Induksi oksitosin13,15
• Kompresi tali pusat18
• Prolaps tali pusat13,21
• Trauma lahir18
Faktor janin
Antenatal (intrauterin) • Malpresentasi (misal sungsang, distosia bahu)15,21
• Prematuritas13,15,21
• Bayi berat lahir rendah (BBLR)13,15
• Pertumbuhan janin terhambat (PJT)13,15
• Anomali kongenital15,18
• Pneumonia intrauterin18
• Aspirasi mekonium yang berat18

160
Pascanatal
• Sumbatan jalan napas atas18
• Sepsis kongenital18

3.4 Patofisiologi asfiksia


Asfiksia neonatorum dimulai saat bayi kekurangan oksigen akibat gangguan
aliran oksigen dari plasenta ke janin saat kehamilan, persalinan, ataupun segera
setelah lahir karena kegagalan adaptasi di masa transisi.23,24 Saat keadaan
hipoksia akut, darah cenderung mengalir ke organ vital seperti batang otak dan
jantung, dibandingkan ke serebrum, pleksus koroid, substansia alba, kelenjar
adrenal, kulit, jaringan muskuloskeletal, organ-organ rongga toraks dan
abdomen lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus gastrointestinal. 25-28
Perubahan dan redistribusi aliran darah tersebut disebabkan oleh penurunan
resistensi vaskular pembuluh darah otak dan jantung serta peningkatan
resistensi vaskular perifer.26 Keadaan ini ditunjang hasil pemeriksaan
ultrasonografi Doppler yang menunjukkan kaitan erat antara peningkatan
endotelin-1 (ET-1) saat hipoksia dengan penurunan kecepatan aliran darah dan
peningkatan resistensi arteri ginjal dan mesenterika superior. 29-30 Hipoksia yang
tidak mengalami perbaikan akan berlanjut ke kondisi hipoksik-iskemik pada
organ vital.
Proses hipoksik-iskemik otak dibagi menjadi fase primer (primary energy
failure) dan sekunder (secondary energy failure). Pada fase primer, kadar
oksigen rendah memicu proses glikolisis anaerob yang menghasilkan produk
seperti asam laktat dan piruvat, menimbulkan penurunan pH darah (asidosis
metabolik).31 Hal ini menyebabkan penurunan ATP sehingga terjadi akumulasi
natrium-kalium intrasel dan pelepasan neurotrasmiter eksitatorik akibat
gangguan sistem pompa Na-K-ATP-ase dan glial-ATP-ase.30 Akumulasi natrium
intrasel berkembang menjadi edema sitotoksik yang memperburuk distribusi
oksigen dan glukosa, sedangkan interaksi glutamat dengan reseptor
mengakumulasi kalsium intrasel, mengaktivasi fosfolipase, nitrit oksida (NO), dan
enzim degradatif hingga berakhir dengan kematian sel.32-35 Fase primer ini
berakhir dengan kematian neuron primer atau resolusi fungsi otak (periode
laten).

161
Gambar 1. Patofisiologi asfiksia neonatorum
Reperfusi yang terjadi setelah fase primer akan mengembalikan sebagian
fungsi metabolisme, namun apabila cedera otak pada fase primer cukup berat,
kerusakan neuron akan kembali tejadi setelah 6 – 48 jam (fase sekunder). Fase
sekunder ditandai dengan penurunan ATP, aktivasi kaskade neurotoksik, dan

162
pelepasan radikal bebas tanpa disertai asidosis akibat disfungsi mitokondria.
Selain itu, cedera hipoksik-iskemik otak juga memicu produksi sitokin
proinflamasi yang semakin memperburuk cedera jaringan. Keseluruhan proses ini
memicu terjadinya apoptosis sel (secondary
energy failure).32,34,36,37

Beberapa studi memperlihatkan bahwa sel otak akan mengalami fase


regenerasi setelah fase sekunder berakhir. Namun pada sebagian bayi yang
mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), proses berupa gangguan
neurogenesis, sinaptogenesis serta gangguan perkembangan akson diikuti
peningkatan inflamasi dan apoptosis tetap berlangsung. Mekanisme yang belum
diketahui dengan sempurna ini memberikan gambaran bahwa kerusakan sel otak
masih dapat berlanjut hingga beberapa waktu ke depan dan memengaruhi
luaran bayi EHI secara signifikan.33,36

Beratnya kerusakan otak pada masa perinatal juga tergantung pada lokasi
dan tingkat maturitas otak bayi.38 Hipoksia pada bayi kurang bulan cenderung
lebih berat dibandingkan dengan bayi cukup bulan karena redistribusi aliran
darah bayi prematur kurang optimal, terutama aliran darah ke otak, sehingga
meningkatkan risiko gangguan hipoksik-iskemik, dan perdarahan
periventrikular.39,40 Selain itu, imaturitas otak berkaitan dengan kurangnya
ketersediaan antioksidan yang diperlukan untuk mendetoksifikasi akumulasi
radikal bebas.38

Asfiksia menyebabkan gangguan sistemik ke berbagai organ tubuh ; 62%


gangguan terjadi pada sistem saraf pusat, 16% kelainan sistemik tanpa gangguan
neurologik dan sekitar 20% kasus tidak memperlihatkan kelainan. 32 Gangguan
fungsi susunan saraf pusat akibat asfiksia hampir selalu disertai dengan gangguan
fungsi beberapa organ lain (multiple organ failure).8 Gangguan sistemik secara
berurutan dari yang terbanyak, yaitu melibatkan sistem hepatik, respirasi, ginjal,
kardiovaskular.32 Kelainan susunan saraf pusat tanpa disertai gangguan fungsi
organ lain umumnya tidak disebabkan oleh asfiksia perinatal. 41 Berikut ini
penjelasan mengenai komplikasi asfiksia pada masing-masing organ.

3.4.1 Sistem susunan saraf pusat


Gangguan akibat hipoksia otak pada masa perinatal yang paling sering
ditemukan adalah EHI. Kerusakan otak akibat EHI merupakan proses yang
dimulai sejak terjadi hipoksia dan dapat berlanjut selama hingga setelah periode
resusitasi. Kerusakan ini diawali dengan kegagalan pembentukan energi akibat
hipoksia dan iskemia, yang diperberat dengan terbentuknya radikal bebas pada
tahap lanjut. Cedera otak akibat EHI ini menimbulkan area infark pada otak yang
dikelilingi oleh area penumbra. Area penumbra dapat mengalami nekrosis atau

163
apoptosis neuron yang berlanjut setelah hipoksia berakhir. Tata laksana suportif
dalam periode 48 jam pertama pasca-asfiksia dapat mengurangi kerusakan
neuron di area penumbra ini.42

Perdarahan peri / intraventrikular dapat terjadi setelah periode


hipoksia.39,43 Area periventrikular merupakan bagian yang memiliki vaskularisasi
terbanyak. Pada saat hipoksia berakhir, daerah yang memperoleh banyak aliran
darah ini akan mengalami perubahan tekanan arterial paling besar. Keadaan ini
menimbulkan pengaruh yang signifikan pada pleksus koroid yang cenderung tipis
dan rapuh dengan sedikit struktur penunjang. Peningkatan tekanan vena juga
terjadi pada bagian yang sama dengan akibat stasis aliran darah, kongesti
pembuluh darah, serta risiko ruptur dan perdarahan. Kondisi tersebut dikenal
sebagai cedera reperfusi (reperfusion injury).39

3.4.2 Sistem respirasi


Penelitian melaporkan sekitar 26% bayi asfiksia mengalami gangguan sistem
pernapasan.44 Kelainan sistem pernapasan yang dapat ditemukan antara lain
peningkatan persisten tekanan pembuluh darah paru (persistent pulmonary
hypertension of the newborn / PPHN), perdarahan paru, edema paru akibat
disfungsi jantung, sindrom gawat napas (respiratory distress syndrome /
RDS) sekunder akibat kegagalan produksi surfaktan, serta aspirasi mekonium. 45
Bayi dinyatakan mengalami gangguan pernapasan akibat asfiksia apabila bayi
memerlukan bantuan ventilasi atau penggunaan ventilator dengan kebutuhan
FiO2 >40% minimal selama 4 jam pertama setelah lahir.32

Mekanisme gagal napas pada bayi asfiksia dapat disebabkan oleh hipoksia,
iskemia, aspirasi mekonium, disfungsi ventrikel kiri, defek sistem koagulasi,
toksisitas oksigen, dan efek ventilasi mekanik.44,46 Selain itu, kombinasi asfiksia
dan aspirasi mekonium dapat memperberat rasio resistensi pulmonar dan
sistemik.

3.4.3 Sistem kardiovaskular


Diperkirakan 29% bayi asfiksia mengalami gangguan sistem kardiovaskular, yang
meliputi transient myocardial ischaemia (TMI), transient mitral
regurgitation (TMR), transient tricuspid regurgitation
(TTR), persistent pulmonary hypertension of the newborn (PPHN).44,47

Bayi dianggap mengalami disfungsi sistem kardiovaskular terkait asfiksia


apabila terdapat ketergantungan terhadap obat inotropik untuk mengatasi
hipotensi dan mempertahankan tekanan darah normal selama lebih dari 24 jam
atau ditemukan gambaran TMI pada pemeriksaan elektrokardiografi. 32

164
3.4.4 Sistem urogenital
Salah satu gangguan ginjal yang disebabkan oleh hipoksia berat adalah hypoxic-
ischemic acute tubular necrosis.48 Bayi dapat dinyatakan mengalami gagal
ginjal bila memenuhi 3 dari 4 kriteria sebagai berikut: pengeluaran urin <0,5
mL/kg/jam, kadar urea darah >40 mg/dL, kadar kreatinin serum >1 mg/dL, serta
hematuria atau proteinuria signifikan dalam 3 hari pertama kehidupan. 49 Pada
penelitian sebelumnya dikemukakan bahwa 42% bayi asfiksia mengalami
gangguan sistem ginjal.44 Data ini didukung oleh penelitian Gupta BD dkk. (2009)
yang menemukan 47,1% bayi asfiksia mengalami gagal ginjal dengan 78% kasus
di antaranya merupakan tipe non-oliguria dan 22% lainnya
merupakan tipe oliguria.49

3.4.5 Sistem gastrointestinal


Keterlibatan sistem gastrointestinal pada bayi asfiksia mencapai 29% kasus. 44
Hipoksia berakibat pada pengalihan aliran darah dari usus yang meningkatkan
risiko enterokolitis nekrotikan / EKN.50,51 Selain itu, hipoksia dapat menyebabkan
gangguan fungsi hati.42 Kriteria disfungsi sistem hepatik antara lain nilai aspartat
aminotransferase >100 IU/l atau alanin transferase >100 IU/l pada minggu
pertama setelah kelahiran.32

3.4.6 Sistem audiovisual


Retinopati pada neonatus tidak hanya terjadi akibat toksisitas oksigen, tetapi
dapat pula ditemukan pada beberapa penderita yang mengalami hipoksemia
menetap. Autoregulasi aliran darah serebral pada hipoksia, selain menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial, juga meningkatkan tekanan aliran balik vena.
Selain itu, hipoksia dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh
sehingga meningkatkan risiko terjadi perdarahan. 52 Penelitian melaporkan
insidens perdarahan retina pada bayi cukup bulan dengan asfiksia neonatal dan /
atau EHI lebih tinggi (29,3%) dibandingkankan bayi cukup bulan tanpa asfiksia
dan / atau EHI (15,7%).53

Leukomalasia periventrikular merupakan tahap akhir cedera pada EHI, yang


terjadi pada sekitar 32% bayi prematur pada usia gestasi 24-34 minggu. Keadaan
ini dapat menyebabkan penurunan ketajaman visus, penyempitan lapangan
pandang bagian inferior, gangguan visual kognitif, gangguan pergerakan bola
mata, dan diplegia spastik.54 Suatu studi retrospektif mencatat 24% bayi
memperlihatkan gambaran diskus optikus (optic disc) yang normal, 50% bayi

165
mengalami hipoplasia saraf optik dengan beberapa derajat atrofi, dan 26% bayi
dengan atrofi optik terisolasi (isolated optic atrophy).55

Insidens gangguan pendengaran pada bayi prematur dengan asfiksia


mencapai 25%. Kelainan pendengaran ini disebabkan oleh kerusakan nukleus
koklearis dan jaras pendengaran. Suatu studi melaporkan kelainan brainstem
auditory evoked responses (BAER) pada 40,5% bayi pasca-asfiksia yang
mengalami gangguan perkembangan otak dan 12,2% bayi tanpa gangguan
perkembangan
otak.44

3.5 Diagnosis asfiksia pada bayi baru lahir


Fasilitas diagnostik pada sarana pelayanan kesehatan terbatas seringkali
menimbulkan kesulitan dalam mendiagnosis asfiksia sehingga beberapa negara
memiliki kriteria diagnosis asfiksia yang berbeda, disesuaikan dengan kondisi
kelengkapan fasilitas kesehatan masing-masing. Berikut ini merupakan kriteria
diagnosis asfiksia yang sering ditemukan.
a. ACOG dan AAP
ACOG dan AAP menyusun suatu kriteria penegakan diagnosis asfiksia
neonatorum, sebagai berikut :15,56-59

1. bukti asidosis metabolik atau campuran (pH <7.0) pada pemeriksaan


darah tali pusat;
2. nilai Apgar 0 - 3 pada menit ke-5;
3. manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia atau koma
(ensefalopati neonatus); dan
4. disfungsi multiorgan, seperti gangguan kardiovaskular,
gastrointestinal, hematologi, respirasi, atau renal. Diagnosis asfiksia
neonatorum dapat ditegakkan apabila minimal 1 dari 4
kriteria ditemukan pada bayi, namun hal ini sulit dipenuhi pada
kondisi berbasis komunitas dan fasilitas terbatas. 60
b. WHO
WHO dalam ICD-10 menganggap bayi mengalami asfiksia berat apabila
nilai Apgar 0 - 3 pada menit pertama yang ditandai dengan:
1. laju jantung (LJ) menurun atau menetap (<100 kali/menit) saat lahir,
2. tidak bernapas atau megap-megap, dan

166
3. warna kulit pucat, serta tidak ada tonus otot. Kriteria ini disadari
memiliki spesifisitas dan nilai prediktif kematian serta kerusakan
neurologis yang cenderung berlebihan (8 kali over diagnosis) bila
dibandingkankan dengan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena
itu, WHO juga memberikan penjelasan diagnostik untuk tingkat
pelayanan kesehatan komunitas berdasarkan kriteria ACOG/AAP
berikut ini.58

Tabel 2. Kriteria diagnosis asfiksia neonatorum berdasarkan ACOG/AAP dan standar emas
di tingkat pelayanan kesehatan
No Kriteria Standar baku emas

di tingkat pelayanan kesehatan

1. Bukti asidemia metabolik atau Analisis gas darah dengan pH < 7,0 dan defisit basa 12 mmol/L
campuran (pH < 7,0) dari darah tali dalam 60 menit pertama
pusat

Nilai Apgar 0 - 3 menit kelima


2. Penilaian Apgar menit kelima

3. Manifestasi neurologis Tingkat kesadaran, tonus, refleks isap, refleks primitif, refleks batang
(ensefalopati neonatus) otak, kejang, laju pernapasan

4.

Disfungsi multiorgan • Sistem saraf: ensefalopati neonatus, kelainan gambaran


ultrasonografi
• Sistem kardiovaskular: kelainan LJ dan tekanan darah
(gangguan sirkulasi)
• Sistem pernapasan: apne atau takipnea, kebutuhan
suplementasi oksigen, bantuan napas tekanan positif atau
ventilator mekanik
• Sistem urogenital: hematuria, oliguria, anuria,
peningkatan kreatinin serum
• Fungsi hati: Peningkatan SGOT/SGPT
• Sistem hematologi: trombositopenia, peningkatan
jumlah retikulosit

Sumber: Lincetto O. Birth asphyxia- summary of the previous meeting and protocol
overview; 2007. (dengan modifikasi)
c. National Institute of Child Health and Human Development
(NICHD)
Kriteria asfiksia neonatorum berdasarkan NICHD adalah sebagai berikut.61
1. bukti pH <7.0 atau defisit basa >16 mmoL/L pada pemeriksaan
darah tali pusat dalam satu jam setelah kelahiran, atau

167
2. bukti riwayat episode hipoksik perinatal (deselerasi / bradikardia
berat pada janin, prolaps tali pusat, ruptur tali pusat, solusio
plasenta, ruptur uteri, trauma / perdarahan fetomaternal, atau
cardiorespiratory arrest) dan salah satu dari :
• nilai Apgar <5 pada menit ke-10, atau
• bayi masih memerlukan bantuan ventilasi selama
>10 menit bila pH darah tali pusat 7,01 - 7,15 dan defisit basa
10 - 15,9 mmoL/L atau pada keadaan pemeriksaan gas darah
tidak tersedia.

d. India
India dahulu hanya menggunakan nilai Apgar menit pertama, kini
menggunakan 3 dari 4 kriteria diagnosis asfiksia mengacu ke ACOG / AAP,
berupa : 42,62
1. pH analisis gas darah <7,2 dalam 1 jam pertama kehidupan,

2. nilai Apgar ≤6 pada menit ke-5,


3. kebutuhan bantuan ventilasi tekanan positif (VTP) lebih dari 10
menit,
4. tanda gawat janin.

Di Indonesia, sarana pelayanan kesehatan untuk neonatus bervariasi dari


fasilitas terbatas di daerah terpencil dan fasilitas ideal di kota-kota besar.
Penetapan konsensus definisi asfiksia harus dilakukan agar diagnosis dapat
ditegakkan sesegera mungkin agar mencegah keterlambatan tata laksana di
Indonesia. Kriteria yang dipakai untuk membantu penegakan diagnosis asfiksia
neonatorum di Indonesia yang disusun dari berbagai kepustakaan terlampir pada
Tabel 3.
Selain itu, beberapa pemeriksaan laboratorium dasar juga dapat digunakan
untuk menunjang diagnosis asfiksia neonatorum pada fasilitas terbatas. Suatu
studi melaporkan bahwa hitung sel darah merah berinti (nucleated red blood
cell /nRBC) dapat dijadikan penanda terjadinya asfiksia sebelum persalinan dan
selama proses kelahiran.63-65 Proses persalinan tanpa komplikasi tidak akan
mengubah nilai nRBC. Asfiksia perinatal perlu dipertimbangkan bila ditemukan
hitung nRBC/100 hitung sel darah putih (white blood cell / WBC).63

Tabel 3. Rekomendasi kriteria penegakan diagnosis asfiksia neonatorum di Indonesia

168
No Fasilitas ideal Fasilitas terbatas
*keempat kriteria harus terpenuhi *minimal kedua kriteria harus terpenuhi dengan
ketidaktersediaan pemeriksaan analisis gas darah

1. • Bukti asidosis metabolik atau campuran (pH <7.0) Bukti riwayat episode hipoksik perinatal (misal
pada pemeriksaan analisis gas darah tali pusat episode gawat janin)
atau
• Defisit basa 16 mmol/L dalam 60 menit pertama

2. Nilai Apgar <5 pada menit ke-10, • Nilai Apgar <5 pada menit ke-10, atau
• Bayi masih memerlukan bantuan
ventilasi selama >10 menit

3. Manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia atau Manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia
koma (ensefalopati neonatus); atau koma (ensefalopati neonatus)

4. Disfungsi multiorgan, seperti gangguan kardiovaskular, Disfungsi multiorgan, seperti gangguan


gastrointestinal, hematologi, respirasi, atau renal. kardiovaskular, gastrointestinal,
hematologi, respirasi, atau renal

B. Tata laksana asfiksia dan komplikasinya

Asfiksia merupakan suatu proses berkesinambungan yang dapat dicegah


progresivitasnya, dimulai dari pengenalan faktor risiko asfiksia (pencegahan
primer), tata laksana dini dengan resusitasi - pascaresusitasi di kamar bersalin
dan ruang perawatan (pencegahan sekunder), serta pencegahan komplikasi
lanjut dengan terapi hipotermia (pencegahan tersier).

3.6 Tata laksana di kamar bersalin


Tata laksana asfiksia di kamar bersalin dilakukan dengan resusitasi. Persiapan
pada resusitasi terdiri atas pembentukan dan persiapan tim, persiapan ruang dan
peralatan resusitasi, persiapan pasien, serta persiapan penolong.

3.6.1 Pembentukan dan persiapan tim resusitasi


Tim resusitasi perlu mendapatkan informasi kehamilan secara menyeluruh
mengenai faktor risiko ibu maupun janin.66-67 Hal ini diperoleh melalui anamnesis
ibu hamil atau keluarga, petugas yang menolong proses kehamilan dan
persalinan, atau catatan medis. Informasi yang diperoleh perlu diketahui oleh
semua anggota tim resusitasi untuk mengantisipasi faktor risiko dan masalah
yang mungkin terjadi.

169
Informasi yang perlu diketahui dalam proses persalinan,
antara lain :66-67

1. Informasi mengenai ibu, yaitu informasi riwayat kehamilan


(kondisi kesehatan dan pemakaian obatobatan), riwayat kesehatan
dan pengobatan yang diberikan pada ibu sebelumnya, riwayat
pemeriksaan kesehatan janin dalam kandungan dan hasil
pemeriksaan ultrasonografi antenatal (bila ada), serta risiko infeksi
ibu (seperti : Streptococcus grup B, infeksi saluran kemih, dan
penyakit infeksi lainnya)
2. Informasi mengenai janin, yaitu informasi usia kehamilan,
jumlah janin (tunggal atau kembar), risiko kebutuhan resusitasi
(misal : hernia diafragmatika, dll), mekoneum pada cairan ketuban,
hasil pemantauan denyut jantung janin, serta kemungkinan kelainan
kongenital.

Hal terpenting dalam persiapan resusitasi adalah diskusi dan kerja


sama anggota tim resusitasi.21 Anggota tim resusitasi sebaiknya telah
mendapatkan pelatihan resusitasi neonatus dasar serta menguasai
langkah-langkah dalam resusitasi neonates. Hal ini disebabkan sekitar
25% bayi dengan instabilitas berat tidak terdeteksi sebelum
persalinan.21,68-70 Tim resusitasi idealnya memiliki tiga anggota setidaknya
terdiri atas satu orang penolong terlatih pada setiap resusitasi bayi dan
sekurang-kurangnya dua orang penolong terlatih pada resusitasi bayi
dengan risiko tinggi.21,68,69,71 Setiap persalinan dengan risiko yang sangat
tinggi harus dihadiri oleh minimal 1 konsultan neonatologi atau dokter
spesialis anak.
Pembagian tugas tim resusitasi adalah sebagai berikut :

• Penolong pertama, yaitu pemimpin resusitasi, memposisikan diri di


sisi atas kepala bayi (posisi A). Pemimpin diharapkan memiliki
pengetahuan dan kemampuan resusitasi yang paling lengkap, dapat
mengkoordinir tugas anggota tim, serta mempunyai tanggung jawab
utama terkait jalan napas (airway) dan pernapasan (breathing).
Penolong pertama bertugas menangkap dan meletakkan bayi di
penghangat bayi, menyeka muka bayi, memasangkan topi, mengeringkan

170
bayi, memakaikan plastik, serta memantau dan melakukan intervensi
pada ventilasi (memperhatikan pengembangan dada bayi, melakukan
VTP, memasang continuous positive airway pressure (CPAP), dan
intubasi bila diperlukan).

• Penolong kedua, yaitu asisten sirkulasi (circulation). Asisten


sirkulasi mengambil posisi di sisi kiri bayi (posisi B) dan bertanggung
jawab memantau sirkulasi bayi. Penolong bertugas membantu
mengeringkan bayi, mengganti kain bayi yang basah, mendengarkan LJ
bayi sebelum pulse oxymetri mulai terbaca, mengatur peak
inspiratory pressure / tekanan puncak inspirasi (PIP) dan fraksi
oksigen (FiO2), melakukan kompresi dada, dan memasang kateter
umbilikal. Selain itu, penolong kedua menentukan baik-buruknya sirkulasi
bayi dengan menilai denyut arteri radialis, akral, dan capillary refill
time bayi.

• Penolong ketiga, yaitu asisten obat dan peralatan (medication and


equipment). Asisten peralatan dan obat berdiri di sisi kanan bayi (posisi
C), bertugas menyiapkan suhu ruangan 24 - 26oC, memasang pulse
oxymetri, memasang probe suhu dan mengatur agar suhu bayi
mencapai suhu 36,5 - 37oC, menyalakan tombol pencatat waktu,
memasang monitor saturasi, menyiapkan peralatan dan obat-obatan,
memasang infus perifer bila diperlukan serta menyiapkan inkubator
transpor yang telah dihangatkan.

Sebagai catatan, posisi penolong tidak terlalu mengikat. Penolong kedua


dan ketiga boleh bertukar posisi, namun tidak boleh bertugas secara tumpang
tindih.

171
B

Gambar 2. Posisi tim resusitasi


Keterangan gambar: A. Pemimpin resusitasi (airway and breathing), B. Asisten
sirkulasi (circulation), C. Asisten obat dan peralatan (medication and equipment)
Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2014.69

3.6.2 Persiapan ruang resusitasi

Ruang resusitasi sebaiknya berada di dekat kamar bersalin atau kamar operasi
sehingga tim resusitasi dapat memberikan bantuan dengan cepat dan efisien.
Persiapan ruang resusitasi meliputi suhu ruangan yang cukup hangat untuk
mencegah kehilangan panas tubuh bayi, pencahayaan yang cukup untuk menilai
status bayi, serta cukup luas untuk memudahkan tim berkerja. 70 Diharapkan
suhu tubuh bayi akan selalu berkisar antara 36,5-37oC. Selain itu, penolong harus
mempersiapkan inkubator transpor untuk memindahkan bayi ke ruang
perawatan.66

3.6.3 Persiapan peralatan resusitasi


Tindakan resusitasi memerlukan peralatan resusitasi yang lengkap untuk
mengantisipasi kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Berikut ini
merupakan peralatan resusitasi yang sebaiknya disiapkan. 23,66,68,71-76

a. Peralatan untuk mengontrol suhu bayi, yaitu penghangat bayi (overhead


heater / radiant warmer / infant warmer), kain atau handuk
pengering, kain pembungkus bayi, topi, dan kantung plastik (digunakan
pada bayi dengan usia gestasi kurang dari 32 minggu). Kebutuhan
peralatan ini tidak mengikat terkait beragamnya suhu di wilayah

172
Indonesia. Penolong resusitasi dapat menggunakan kantung plastik pada
bayi >32 minggu pada kondisi tertentu apabila dirasakan perlu, seperti
pada suhu kamar bersalin yang tidak dapat diatur sehingga suhu ruangan
sangat dingin.
b.

Gambar 3. Peralatan kontrol suhu penghangat bayi

c. Peralatan tata laksana jalan napas (airway), yaitu : pengisap lendir -


suction dengan tekanan negatif (tidak boleh melebihi - 100 mmHg),
kateter suction (ukuran 5, 6, 8, 10, 12, 14 -
French)

a b

Gambar 4. Peralatan tata laksana jalan napas (airway) a. suction tekanan negatif, b.
kateter suction berbagai ukuran, c. aspirator mekonium.

d. Peralatan tata laksana ventilasi (breathing), yaitu : self inflating bag /


balon mengembang sendiri (BMS), flow inflating bag / balon tidak
mengembang sendiri (BTMS), T-piece resuscitator (Neo-Puff®,
Mixsafe®), sungkup wajah berbagai ukuran, sungkup laring / laryngeal
mask airway (LMA), peralatan intubasi seperti laringoskop dengan
blade / bilah lurus ukuran 00, 0 dan 1, stilet, serta pipa endotrakeal /

173
endotracheal tube (ETT) ukuran 2,5; 3,0; 3,5; dan 4. Secara praktis, bayi
dengan berat lahir <1 kg (<28 minggu), 1-2 kg,

(28 - 34 minggu) dan ≥2 kg (>34 minggu) dapat diintubasi


dengan menggunakan ETT secara berturut-turut nomor 2,5; 3; dan 3,5.
71,77 Studi menunjukkan LMA dapat digunakan bila pemberian VTP dengan
BMS gagal dan penolong gagal melakukan pemasangan ETT.78
Penggunaan LMA dapat digunakan pada bayi dengan berat lahir >2 kg
atau usia gestasi >34 minggu.77

Gambar 5. Peralatan tata laksana pernapasan (breathing)


a. BMS (atas : tanpa katup
PEEP;
bawah :
dengan

a b c

kombinasi katup PEEP), b.


BTMS (Jackson Rees), c. t-piece resuscitator (atas: Neo-Puff®; bawah:

Mixsafe®).

Gambar 6. Sungkup dengan berbagai ukuran.

174
a b c

Gambar 7. Peralatan intubasi endotrakeal


a. LMA ukuran 1 dan 1,5 (atas:unique®, bawah:supreme®)

b. ETT berbagai ukuran,

c. laringoskop Miller beserta blade berbagai ukuran.

e. Peralatan tata laksana sirkulasi / circulation, yaitu : kateter umbilikal


ukuran 3,5 dan 5- French atau pada fasilitas terbatas dapat
dipergunakan pipa orogastrik / orogastric tube (OGT) ukuran 5 -
French beserta set umbilikal steril, dan three way stopcocks

a b

Gambar 8. Peralatan tata laksana sirkulasi/circulation


a. set umbilikal (lihat penjelasan pada bab IV)
b. kateter umbilikal (kiri) dan pipa orogastrik (kanan)

f. Obat-obatan resusitasi, seperti : epinefrin (1:10.000), nalokson


hidroklorida (1 mg/mL atau 0,4 mg/mL), dan cairan pengganti
volume/volume expander (NaCl 0,9% dan ringer laktat).

175
g. Pulse oxymetri

Gambar 9. Pulse oxymetri

h. Monitor EKG (bila tersedia).


i. Lain-lain, seperti stetoskop, spuit, jarum, dll.

3.6.4 Persiapan pasien


• Memberi informasi dan meminta persetujuan tertulis orangtua
(informed consent) mengenai tindakan resusitasi yang mungkin
diperlukan setelah bayi lahir.
• Antisipasi faktor risiko ibu maupun janin (lihat Tabel 1.).

3.6.5 Persiapan penolong


Penolong resusitasi harus mencuci tangan dan memakai alat pelindung diri (APD)
yang terdiri atas : masker, gaun, sepatu, kacamata, dan sarung tangan steril.

3.6.6 Resusitasi
Resusitasi neonatus merupakan suatu alur tindakan yang berkesinambungan,
diawali dengan melakukan evaluasi, mengambil keputusan, dan melakukan
tindakan resusitasi.74 Sekitar 10% dari 120 juta kelahiran bayi memerlukan
bantuan untuk memulai napas dan hanya 1% bayi membutuhkan resusitasi lebih
lanjut.72-73 Resusitasi dilakukan apabila bayi tidak bernapas secara spontan dan
adekuat saat lahir dengan menilai komponen klinis bayi. Berikut ini merupakan
penjelasan dari masing-masing komponen penilaian.

• Pernapasan, merupakan komponen terpenting dalam menilai kondisi


bayi saat lahir. Pernapasan yang teratur merupakan tanda keberhasilan
bayi melakukan adaptasi dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin. Bayi

176
yang lahir dalam keadaan asfiksia dapat mengalami apne atau
pernapasan megapmegap, namun dapat pula bernapas spontan disertai
tanda gawat napas atau mengalami sianosis persisten. Tanda gawat napas
meliputi napas cuping hidung, retraksi dinding dada, atau suara merintih.
Tanda klinis ini menunjukkan bayi mengalami kesulitan untuk
mengembangkan paru. Sianosis persisten (dengan FiO2 100%) juga dapat
disebabkan oleh kelainan di luar paru. Keadaan yang berbeda tersebut
membutuhkan tata laksana ventilasi yang berbeda pula.7
• Tonus dan respons terhadap stimulasi. Bayi asfiksia memiliki
tonus otot yang lemah dan gerakan otot terbatas, sehingga memerlukan
berbagai stimulasi ringan. Stimulasi termal dengan mengeringkan bayi
dan stimulasi mekanik dengan menepuk telapak kaki bayi akan
membantu merangsang pernapasan bayi serta meningkatkan LJ.
Rangsangan berlebihan seperti memukul bokong dan pipi tidak perlu
dilakukan karena dapat mencederai bayi. Bila bayi tidak memperlihatkan
respons perbaikan terhadap stimulasi ringan maka langkah selanjutnya
dalam resusitasi harus dilakukan.7

• Laju jantung (LJ), berkisar antara 100 - 160 kali permenit. Penilaian
LJ dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu meraba denyut nadi
perifer atau sentral, meraba denyut pembuluh darah umbilikus,
mendengarkan LJ dengan stetoskop atau dengan menggunakan pulse
oxymetri. Penggunaan pulse oxymetri dianggap paling akurat untuk
menilai LJ. Namun, fungsi pulse oxymetri sangat dipengaruhi oleh
cardiac output dan perfusi jaringan.7 Bila LJ sangat lemah dan perfusi
jaringan sangat buruk, pulse oxymetri tidak dapat berfungsi dengan
baik. Pada kasus ini, pemantauan LJ lebih baik dilakukan dengan monitor
EKG.71 Bila LJ menetap <100 kali per menit, oksigenasi jaringan akan
menurun sehingga mengakibatkan hipoksemia dan berakhir dengan
asidosis.
• Oksigenasi jaringan, dinilai menggunakan pulse oxymetri.
Penilaian dengan pulse oxymetri cenderung lebih akurat dibandingkan
berdasarkan warna kulit.76 Penggunaan pulse oxymetri sangat

177
direkomendasikan jika terdapat antisipasi resusitasi, VTP diperlukan lebih
dari beberapa kali pompa, sianosis menetap dengan intervensi, dan bayi
mendapat suplementasi oksigen. Pemantauan ini diperlukan agar oksigen
yang diberikan tidak berlebihan dan membahayakan bayi. Sensor pulse
oxymetri sebaiknya dipasang pada lokasi preduktal (pergelangan atau
telapak tangan kanan) untuk mencegah pengaruh shunting selama
periode transisi sirkulasi bayi. Pembacaan saturasi oksigen umumnya
dapat dilakukan mulai dari 90 detik setelah bayi lahir, namun perlu diingat
bahwa nilai saturasi oksigen tidak dapat dipercaya pada curah jantung
(cardiac output) dan perfusi kulit yang buruk.79 Saturasi normal saat
lahir bervariasi tergantung pada usia kehamilan bayi. Makin muda usia
gestasi makin lama bayi mencapai target saturasi normal. 80,81 Berikut ini
merupakan target saturasi oksigen bayi selama resusitasi.66

Tabel 4. Target saturasi sesuai usia bayi


Waktu setelah lahir Saturasi target (%)

untuk bayi baru lahir selama resusitasi

1 menit 60-65
2 menit 65-70

3 menit 70-75

4 menit 75-80

5 menit 80-85

10 menit 85-95

Sumber: Textbook of neonatal resuscitation. Foundations of neonatal resuscitation;


2016.71

• Nilai Apgar, merupakan penilaian obyektif kondisi bayi baru lahir,


namun tidak digunakan untuk menentukan kebutuhan, langkah, dan
waktu resusitasi pada bayi baru lahir. 23 Nilai Apgar, yang umumnya
ditentukan pada menit ke-1 dan ke-5, merupakan penilaian respons
terhadap resusitasi. Neonatal Resuscitation Program (NRP), ACOG,
dan AAP mengemukakan bila pada menit ke-5 nilai Apgar ditemukan <7,
maka penilaian terhadap bayi harus dilanjutkan dan diulang setiap 5

178
menit sampai menit ke-20.82 Penentuan nilai Apgar dapat dilihat pada
Tabel 5.

Tabel 5. Evaluasi nilai Apgar


0 1 2

Warna biru/ pucat akrosianosis pink pada seluruh tubuh

Denyut jantung tidak ada <100 kali/menit >100 kali/menit

Refleks iritabilitas tidak ada respons meringis menangis/aktif

Tonus otot tidak ada (lumpuh) Fleksi gerakan aktif

Respirasi tidak ada menangis lemah, baik, menangis kuat


hipoventilasi

Sumber: American Academy of Pediatrics, Commitee on Fetus and Newborn,


American College of Obstetricians and Gynecologist and Committe on Obstetric
Practice, 200683

Langkah resusitasi neonatus meliputi beberapa tahap, yaitu : penilaian dan


langkah awal resusitasi, bantuan ventilasi, tindakan kompresi dada (sambil
melanjutkan ventilasi), pemberian obatobatan (sambil melanjutkan ventilasi dan
kompresi dada).7 Panduan resusitasi dapat dilihat pada Gambar 18.

a. Penilaian dan langkah awal

Keputusan perlu atau tidaknya resusitasi ditetapkan berdasarkan penilaian


awal, yaitu apakah bayi bernapas / menangis dan apakah bayi mempunyai
tonus otot yang baik.66,69 Bila semua jawaban adalah “ya”, bayi dianggap
bugar dan hanya memerlukan perawatan rutin. Bayi dikeringkan dan
diposisikan sehingga dapat melakukan kontak kulit ke kulit dengan ibu agar bayi
tetap hangat.
Bila terdapat salah satu jawaban “tidak”, bayi harus distabilkan
dengan langkah awal sebagai berikut :

Bayi lahir

179
Asfiksia

Dilakukan Resusitasi

Usia 10 menit

Bila nilai Apgar <5

Risiko EHI

Thompson score

Memenuhi EHI
Grading : EHI Sedang /EHI Berat

Passive Cooling

Gambar 10. Algoritme penanganan bayi dengan EHI

Penggunaan plastik transparan tahan panas yang menutupi


tubuh bayi sampai sebatas leher dapat digunakan untuk
mencegah kehilangan panas tubuh pada bayi dengan berat
lahir sangat rendah di bawah 1500 g.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

180
Pengisapan hanya dilakukan jika jalan napas mengalami
obstruksi. Bayi baru lahir bugar tidak membutuhkan
pengisapan hidung, mulut atau faring setelah lahir.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Tindakan mengisap mekoneum dari mulut dan hidung bayi


ketika kepala masih di perineum sebelum bahu lahir tidak
direkomendasikan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Intubasi dan pengisapan endotrakea pada bayi yang lahir


dengan kondisi air ketuban bercampur mekonium sebaiknya
dilakukan bila bayi tidak bugar dengan mempertimbangkan
baik manfaat maupun risiko tertundanya ventilasi karena
pengisapan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Setelah melakukan langkah awal, penolong melakukan evaluasi


kembali dengan menilai usaha napas, LJ, dan tonus otot bayi. Tindakan khusus,
seperti pengisapan mekonium, hanya dapat dilakukan selama 30 detik, dengan
syarat LJ tidak kurang dari 100 kali/menit. Periode untuk melengkapi langkah
awal dalam 60 detik pertama setelah lahir ini disebut ”menit emas”.23,73
Berikut hasil evaluasi:

• Bila pernapasan bayi adekuat dan LJ >100 kali per menit, bayi menjalani
perawatan rutin.69
• Bila usaha napas bayi belum adekuat dan LJ <100 kali per menit, langkah
resusitasi dilanjutkan pada pemberian bantuan ventilasi (breathing).69

181
• Bayi bernapas spontan namun memiliki saturasi oksigen di bawah target
berdasarkan usia, suplementasi oksigen dapat diberikan dengan cara
sebagai berikut.71

Gambar 11. Pemberian suplementasi oksigen aliran bebas

Suplementasi oksigen aliran bebas dapat diberikan dengan menggunakan: A.


balon tidak mengembang sendiri, B. T-piece resuscitator, C. Ujung balon
mengembang sendiri dengan reservoir terbuka. Pada penggunaan alat A dan B,
masker tidak boleh menempel pada wajah.
Sumber: Texbook of neonatal resuscitation. Initial steps of newborn care,
2016.71

• Bila bayi bernapas spontan namun disertai gawat napas, diperlukan CPAP
dengan tekanan positif akhir ekspirasi (positive end expiratory
pressure / PEEP) secara kontinu.69
Studi menunjukkan penggunaan CPAP dapat mempertahankan volume
residual paru, menghemat penggunaan surfaktan serta mempertahankan
keberadaan surfaktan di alveoli bayi.85 PEEP 2-3 cmH2O terlalu rendah
untuk mempertahankan volume paru dan cenderung menyebabkan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Begitu pula dengan PEEP yang
terlalu tinggi (>8 cmH2O) dapat menyebabkan pulmonary air leaks,
overdistensi paru, menghalangi aliran balik vena ke jantung, menurunkan
resistensi pembuluh darah pulmonar, serta menyebabkan resistensi
CO2.86 Oleh karena itu kesepakatan di Indonesia PEEP umumnya dimulai
dari 7 cmH2O. CPAP dianggap gagal apabila bayi tetap memperlihatkan
tanda gawat napas dengan PEEP sebesar 8 cmH2O dan FiO2 melebihi 40%.
Penolong resusitasi perlu mempertimbangkan intubasi pada keadaan
ini.87

Nilai Downe dapat membantu penolong resusitasi dalam menilai gawat


napas dan kebutuhan bantuan ventilasi pada bayi baru lahir. Interpretasi
nilai Downe dapat dilihat pada Tabel berikut.88

182
Tabel 6. Nilai Downe dan interpretasinya
0 1 2

Laju napas <60 x/menit 60-80 x/menit >80 x/menit

Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat


retraksi

Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang Sianosis


menetap dengan O2 walaupun diberi O2

Air entry Udara masuk Penurunan Tidak ada udara ringan udara masuk masuk

Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat


didengar tanpa dengan alat bantu
stetoskop

Interpretasi Nilai

Nilai <4 Gawat pernapasan ringan (membutuhkan CPAP)

Nilai 4-5 Gawat pernapasan sedang (membutuhkan CPAP)

Nilai ≥6 Gawat pernapasan berat (pertimbangkan intubasi)

Nilai Downe dapat digunakan sebagai alat penilaian klinis


gawat pernapasan pada bayi.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

183
b. Pemberian ventilasi (breathing)

Pemberian VTP dilakukan bila bayi : 71

a. tidak bernapas (apne), atau


b. megap-megap (gasping), atau
c. LJ <100kali/menit.
Berikut ini merupakan pilihan dan penjelasan alat-alat yang dapat digunakan
untuk memberikan VTP.

• Self inflating bag / balon mengembang sendiri (BMS),


merupakan alat resusitasi yang sering dipakai di fasilitas terbatas maupun
fasilitas lengkap.89 BMS dapat digunakan tanpa sumber gas (udara ruangan
memiliki FiO2 21%). Bila BMS disambungkan dengan sumber oksigen murni,
FiO2 pada masker tergantung pada campuran aliran oksigen dan udara bebas
yang masuk ke balon (bag).89 Contoh BMS adalah balon volume 250 ml.69

Tanpa sumber Tanpa O Dengan O


2
2
O2 reservoir reservoir
O
2
Room 100%

air
O 21%
2

O reservoir
2

O 21% O 40% O 90%-100%


2 2 2

Gambar 12. Penggunaan BMS dengan atau tanpa reservoir


Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2014.69

Studi menunjukkan BMS yang disambungkan dengan sumber oksigen dapat


memberikan oksigen sekitar 40% tanpa reservoir dan 90-100% bila dilengkapi
reservoir.89 BMS dapat memberikan PEEP bila dikombinasikan dengan katup
PEEP, namun PEEP yang dihasilkan kadang tidak konsisten. Hal ini menyebabkan
pemberian PEEP melalui kombinasi BMS dengan katup PEEP sulit dipertahankan
dalam waktu lama. 69,73,90

• Flow inflating bag/ balon tidak mengembang sendiri (BTMS),


memerlukan sumber gas untuk mengembangkan balon. Contoh BTMS yang

184
sering digunakan adalah Jackson-Rees. Jackson-Rees dapat digunakan
untuk memberikan PEEP yang terukur dan konstan, namun kurang
direkomendasikan untuk memberikan VTP pada neonatus. Hal ini disebabkan
oleh jarum manometer yang akan kembali ke angka nol saat balon kempis
setelah penolong menekan balon untuk memberikan PIP. Akibat hal ini, fungsi
PEEP hilang dan membutuhkan waktu untuk kembali ke tekanan yang telah
ditentukan.69
Contoh BTMS lainnya adalah balon anestesi. Suatu studi menunjukkan bahwa
penggunaan balon anestesi secara tepat tergantung pada kemampuan dan
kebiasaan penolong dalam menggunakan alat tersebut. Ketepatan pemberian
ventilasi akan lebih baik bila balon anestesi dikombinasikan dengan manometer
(ketepatan tekanan mencapai 72% dibandingkan hanya 18% bila balon anestesi
tidak dikombinasikan dengan manometer).91

• T-piece resuscitator, digunakan untuk memberikan tekanan (PIP dan


PEEP) yang diinginkan secara akurat dan terkontrol, walaupun membutuhkan
waktu lebih lama untuk meningkatkan PIP dari 20 sampai 40 cmH 2O.69,90,91
Penggunaan T-piece resuscitator dapat memberikan ventilasi dengan
tekanan terukur dan rate yang cukup. Dengan demikian, penolong dapat
memberikan ventilasi yang konsisten, tidak seperti BMS dan BTMS. Sebagai
contoh pada saat bayi apne ketika penolong harus memberikan VTP dengan
kecepatan 40-60 kali/menit. Pemberian ventilasi menggunakan BMS dan
terutama BTMS akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
mengembangkan balon kembali, sehingga penolong yang kurang terlatih sering
kali memberikan ventilasi yang tidak konsisten akibat kesulitan memperoleh
rate optimal saat pemberian
VTP.90,91

Secara umum, PEEP dan PIP dapat diberikan secara bersamaan melalui
BMS (yang dikombinasikan dengan katup PEEP), BTMS, atau T-piece
resucitator. Dalam praktiknya, penggunaan BTMS kurang direkomendasikan
untuk memberikan VTP. Pemberian PEEP saja dapat menggunakan BTMS atau T-
piece resucitator.69

185
Tabel 7. Kelebihan dan kekurangan BMS, BTMS (Jackson Rees), dan T-piece
resuscitator
BMS BTMS T-piece resuscitator

(Jackson Rees)

Kelebihan • Cukup murah dan • Cukup murah dan • Memberikan PEEP dan CPAP dengan
umumnya tersedia di umumnya PEEP yang terukur
fasilitas terbatas tersedia di • Dapat juga digunakan untuk pemberian
• dapat memberikan fasilitas ventilasi tekanan positif (VTP) secara
VTP dan PEEP bila terbatas terukur
dikombinasikan • Dapat memberikan
dengan katup PEEP PEEP, CPAP, dan VTP
• Dilengkapi dengan secara terukur, bila
pressure relief dilengkapi dengan
valve untuk manometer
mencegah pemberian khusus
tekanan
berlebihan

Kekurangan • Mahal
• VTP dan PEEP • Butuh sumber gas
yang diberikan tidak • Kurang
terukur dianjurkan untuk
• Tidak dapat memberikan pemberian VTP
CPAP • Butuh sumber
gas

186
Catatan
Khusus Mixsafe®:

• dilengkapi dengan mini kompresor


sehingga dapat menghasilkan
medical air yang umumnya sulit
didapat di
fasilitas terbatas
• praktis digunakan untuk transfer bayi
karena hanya butuh membawa
oksigen
portable

Ventilasi dinilai efektif bila terlihat pengembangan dada dan abdomen


bagian atas pada setiap pemberian ventilasi, diikuti peningkatan LJ >100 kali per
menit dan perbaikan oksigenasi jaringan.66 Bila dada tidak mengembang saat
pemberian ventilasi, harus diperhatikan apakah tekanan yang cukup telah
diberikan. Hal lain yang harus dievaluasi adalah urutan SR IBTA, yang meliputi : 23

• Sungkup melekat rapat.


• Reposisi jalan napas dengan memastikan kepala pada posisi semi-
ekstensi.
• Isap mulut dan hidung bila terdapat lendir.
• Buka mulut bayi dan berikan ventilasi dengan mengangkat dagu bayi ke
depan.
• Tekanan dinaikkan secara bertahap serta pastikan gerakan dan suara
napas di kedua paru simetris.
• Alternatif jalan napas (intubasi endotrakeal atau LMA) dapat
dipertimbangkan.
Oksigenasi jaringan dinilai berdasarkan saturasi oksigen yang tertera pada
pulse oxymetri. Pemberian oksigen pada bayi ≥35 minggu dapat
dimulai dari 21%, sedangkan untuk bayi <35 minggu dimulai dari 21-30%. 71
Kebutuhan oksigen selanjutnya disesuaikan dengan target saturasi. Penggunaan
oksigen dengan konsentrasi 100% dapat memperberat reperfusion injury dan
mengurangi aliran darah serebral pada bayi baru lahir. Temuan ini didukung oleh
metaanalisis yang membandingkan resusitasi neonatus dengan menggunakan
udara ruangan dan oksigen 100%.92 Penelitian lain juga membuktikan bahwa
resusitasi dengan menggunakan udara ruangan akan meningkatkan kesintasan
bayi serta mempercepat bayi untuk bernapas atau menangis pertama kali. 66

187
Setiap penolong resusitasi harus memperhatikan kenaikan saturasi selama
pemberian oksigen. Pada bayi asfiksia, kenaikan saturasi oksigen harus bertahap
(tidak boleh mendadak) sehingga penolong sebaiknya mengoptimalkan ventilasi
terlebih dahulu sebelum menaikkan konsentrasi oksigen menjadi 100%, kecuali
pada keadaan tertentu.

Pemberian oksigen hingga 100% dapat dipertimbangkan pada keadaan


sebagai berikut :69

• Saturasi oksigen <70% pada menit kelima atau <90% pada menit ke-10
• LJ <100 kali per menit setelah pemberian VTP efektif selama 60 detik
• Dilakukan kompresi dada
Suplementasi oksigen di fasilitas lengkap dapat dilakukan dengan campuran
oksigen dan udara tekan menggunakan oxygen blender.

Gambar 13. Oxygen blender

Pada fasilitas terbatas, campuran oksigen dan udara tekan dapat diperoleh
dengan menggunakan :69

• Sumber oksigen dengan udara bertekanan yang dihubungkan dengan


konektor Y.
• Konsentrator oksigen dengan kompresor udara.
• T-piece resuscitator (Mixsafe®) dengan mini kompresor.

a b c

188
Gambar 14. a. Sumber oksigen dengan udara bertekanan yang dihubungkan dengan
konektor Y, b. Konsentrator oksigen, c. Mixsafe®

Selanjutnya, untuk membuat campuran oksigen dan udara tekan agar


menghasilkan FiO2 yang sesuai dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Panduan campuran oksigen dan udara bertekanan

Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2014.69(dengan modifikasi).

Dalam menyederhanakan tabel campuran oksigen dan udara tekan,


digunakan prinsip rule of eight. Misalnya, penolong ingin memulai ventilasi
dengan memberikan oksigen berkonsentrasi 21%, maka dapat digunakan 8 L per
menit udara tekan tanpa oksigen murni. Begitu pula dengan oksigen 100%
diperoleh dari 8 L per menit oksigen murni tanpa udara tekan. Bila konsentrasi
oksigen dinaikkan menjadi 31%, penolong dapat menggunakan kombinasi udara
tekan 7 L per menit dengan oksigen murni 1 L per menit, demikian seterusnya
seperti pada tabel yang diarsir.

Resusitasi awal (initial resuscitation) sebaiknya dilakukan


dengan udara ruangan. Resusitasi awal dengan udara ruangan
dapat menurunkan mortalitas dan disabilitas neurologis pada
bayi baru lahir bila dibandingkankan dengan pemberian
oksigen 100%.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

189
Pemberian oksigen dapat ditingkatkan hingga mencapai 100%
bila resusitasi awal dengan udara ruangan gagal

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Apabila bayi masih menunjukkan tanda gawat napas dengan


pemberian CPAP yang mencapai tekanan positif akhir ekspirasi
sebesar 8 cm H2O dan FiO2 melebihi 40%, maka pertimbangkan
intubasi endotrakeal.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

LMA dapat digunakan dalam resusitasi bila pemberian VTP


dengan balon dan sungkup serta intubasi endotrakeal
mengalami kegagalan.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A


Dalam melakukan VTP, penolong hendaknya melakukan penilaian awal
(first assessment) dan penilaian kedua (second assessment) untuk
mengevaluasi keefektifan VTP sebagai berikut (Gambar 15,16). 71

Penilaian awal VTP

• Lanjutkan VTP
L naik Dada • Lakukan penilaian kedua
J mengembang (second assessment
) 15

• Lanjutkan VTP
Dada • Lakukan penilaian kedua
mengembang (secondassessment
) 15
L tidak naik
J Dada tidak Koreksi ventilasi (SR

mengembang IBTA) sampai dada
mengembang
• Lanjutkan VTPini
• Lakukan penilaian
kedua (second

Gambar 15. Penilaian awal (first assessment) VTP


Sumber: Textbook of neonatal resuscitation. Positive-pressure ventilation; 2016. 71

190
Penilaiankedua VTP

(dilakukan setelah 30detik VTPyang


mengembangkan dada )

≥ 100 kali/menit • Lanjutkan VTP


40-60 kali/menit sampai ada
usaha napas

60-99 kali/menit • Re-evaluasi VTP


• Koreksi ventilasi bila diperlukan

<60 kali/menit Re-evaluasi VTP



• Koreksi ventilasi bila diperlukan
• Intubasi (bila belumdilakukan)
• Bila tidak ada perbaikan, berikan oksigen
100% dan mulai kompresi dada

Gambar 16. Penilaian kedua (second assessment) VTP


Sumber: Textbook of neonatal resuscitation. Positive-pressure ventilation; 2016. 71

c. Kompresi dada (circulation)

Indikasi kompresi dada adalah LJ kurang dari 60 kali per menit (melalui auskultasi
atau palpasi pada pangkal tali pusat) setelah pemberian 30 detik VTP yang
adekuat.73,93 Kompresi dada bertujuan mengembalikan perfusi, khususnya
perfusi ke otak, memperbaiki insufisiensi miokardium terkait asidemia,
vasokonstriksi perifer, dan hipoksia jaringan. 93 Rasio kompresi dada dengan
ventilasi adalah 3:1.79

Kompresi dada dapat dilakukan dengan teknik dua jari (jari telunjuk-jari tengah)
dan teknik dua ibu jari. Teknik yang dianjurkan yaitu menggunakan teknik dua ibu jari
(two thumb-encircling hands technique) dengan jari-jari tangan lain melingkari
dada dan menyanggah tulang belakang. 73 Kedua ibu jari diletakkan pada sepertiga
bawah sternum, di bawah garis imajiner yang menghubungkan kedua puting,
dengan kedalaman sepertiga diameter anteroposterior dada. 72,76,94

Gambar 17. Lokasi dan cara memberikan kompresi dada

191
Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2014. 69

Teknik dua ibu jari lebih dianjurkan karena teknik ini dapat
memberikan tekanan puncak sistolik dan perfusi koroner yang
lebih baik pada bayi baru lahir.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B


Bila bayi bradikardia (LJ <60x/menit) setelah 90 detik
resusitasi menggunakan oksigen konsentrasi rendah,
konsentrasi oksigen dapat ditingkatkan hingga 100% sampai
LJ bayi normal

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Kompresi dada harus dilakukan pada sepertiga bawah sternum


dengan kedalaman sepertiga dari diameter antero-posterior
dada

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Setelah penolong memberikan kompresi dada dan VTP selama 60 detik,


kondisi bayi harus dievaluasi kembali. Bayi dinyatakan mengalami perbaikan bila
terjadi peningkatan LJ, peningkatan saturasi oksigen, dan bayi terlihat bernapas
spontan.69,39 Kompresi dada dihentikan bila LJ >60 kali per menit. Sebaliknya, bila
LJ bayi tetap <60 kali/menit, perlu dipertimbangkan pemberian obatobatan dan
cairan pengganti volume.69,76

d. Pemberian obat dan cairan pengganti volume (drugs and


volume expander)

Tim resusitasi perlu mempertimbangkan pemberian obat-obatan bila LJ <60 kali


per menit setelah pemberian VTP dengan oksigen 100% dan kompresi dada yang
adekuat selama 60 detik.67,94 Pemberian obat-obatan dan cairan dapat diberikan
melalui jalur vena umbilikalis, endotrakeal, atau intraoseus. Obat-obatan dan
cairan yang digunakan dalam resusitasi, antara lain :

192
• Epinefrin 1:10.000, dilakukan melalui jalur intravena atau intraoseus
dengan dosis 0,1-0,3 mL/kgBB (0,01-0,03 mg/kgBB). Pemberian melalui
jalur endotrakea kurang efektif, namun dapat dilakukan bila jalur
intravena / intraoseus tidak tersedia.71 Pemberian epinefrin melalui jalur
trakea membutuhkan dosis lebih besar, yaitu 0,5-1 ml/kgBB (0,05-0,1
mg/kgBB).71
• Cairan, diberikan bila terdapat kecurigaan kehilangan darah
fetomaternal akut akibat perdarahan vasa previa, perdarahan
pervaginam, laserasi plasenta, trauma, prolaps tali pusat, lilitan tali pusat,
perdarahan tali pusat, atau bayi memperlihatkan tanda klinis syok dan
tidak memberikan respons adekuat terhadap resusitasi. 71 Cairan yang
dapat digunakan antara lain darah, albumin, dan kristaloid isotonis,
sebanyak 10 ml/kgBB dan diberikan secara bolus selama 5-10 menit.
Pemberian cairan pengganti volume yang terlalu cepat dapat
menyebabkan perdarahan intrakranial, terutama pada bayi prematur. 23
Tata laksana hipotensi pada bayi baru lahir dengan menggunakan
kristaloid isotonis (normal saline) mempunyai efektivitas yang sama
dengan pemberian albumin dan tidak ditemukan perbedaan bermakna
dalam meningkatkan dan mempertahankan tekanan arterial rerata
(mean arterial pressure / MAP) selama 30 menit pertama
pascaresusitasi cairan.95
• Bikarbonat, bukan merupakan terapi rutin dalam resusitasi
neonatus.76,79

• Nalokson, diberikan dengan dosis 0,01-0,04 mg/kgBB secara intravena


atau intramuskular dengan dosis 0,1 mg/kgBB.
Jalur pemberian melalui endotrakea tidak
direkomendasikan.96-97 Pemberian nalokson tidak dianjurkan sebagai terapi awal pada bayi
baru lahir yang mengalami depresi napas di kamar bersalin.73 Sebelum nalokson diberikan,
penolong harus mengoptimalkan bantuan ventilasi terlebih dahulu.73,97 Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian nalokson dapat dipertimbangkan bila bayi dari ibu dengan riwayat
penggunaan opiat tetap mengalami apne walaupun telah diberikan ventilasi adekuat.

193
Pemberian epinefrin melalui pipa endotrakeal dapat dijadikan
pilihan bila jalur intravena tidak tersedia walaupun jalur ini
kurang efektif dibandingkankan jalur intravena.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Pemberian epinefrin intraoseus dapat menjadi alternatif


dibandingkan vena umbilikal pada klinisi yang jarang
melakukan pemasangan kateter umbilikal, namun cukup
berpengalaman memasang akses intraoseus.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Arteri umbilikal tidak direkomendasikan untuk pemberian


obatobat resusitasi.

Peringkat bukti IV, derajat rekomendasi C

Epinefrin perlu diberikan dalam dosis yang lebih tinggi melalui


jalur endotrakeal dibandingkan pemberian melalui intravena.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B


Sodium bikarbonat tidak diberikan secara rutin pada resusitasi
bayi baru lahir.

Peringkat bukti IV, derajat rekomendasi C

Cairan pengganti volume diberikan pada bayi asfiksia yang


menunjukkan respons lambat terhadap tindakan resusitasi
intensif.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

194
Normal saline sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan
terapi awal hipotensi pada bayi baru lahir karena aman, murah,
dan mudah didapatkan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Pemberian nalokson tidak direkomendasikan sebagai terapi


awal resusitasi bayi baru lahir dengan depresi napas.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Pada waktu melakukan resusitasi neonatus, penolong harus bekerja secara


simultan dan hanya dapat berpindah ke langkah selanjutnya bila telah berhasil
menyelesaikan langkah sebelumnya.72 Alur sistematik resusitasi neonatus dapat
dilihat pada Gambar 18.

4.1.7 Penolakan (witholding) dan penghentian resusitasi

Penolakan resusitasi dengan informed-consent orang tua dapat dilakukan


pada bayi prematur dengan usia gestasi <23 minggu atau berat lahir <400 gram,
bayi anensefali, atau sindrom trisomi 13. Penghentian resusitasi dapat dilakukan
bila denyut jantung tidak terdengar setelah 10 menit resusitasi atau terdapat
pertimbangan lain untuk menghentikan resusitasi.77,98

4.1.8 Pengendalian infeksi saat resusitasi

Pengendalian infeksi saat resusitasi meliputi kebersihan tangan (hand


hygiene), pemakaian alat pelindung diri (APD), dan sterilisasi alat resusitasi. 69,99

195
196
3.7 Tata laksana pascaresusitasi di ruang perawatan
Bayi harus tetap dipertahankan stabil walaupun resusitasi telah berhasil
dilakukan dengan cara memindahkan bayi dari ruang resusitasi ke ruang

197
perawatan, sehingga bayi dapat dipantau secara ketat dan dilakukan intervensi
sesuai indikasi.21,100 Akronim STABLE (sugar and safe care, temperature,
airway, blood pressure, laboratorium working, dan emotional
support) dapat digunakan sebagai panduan selama perawatan pascaresusitasi
atau periode sebelum bayi ditranspor, baik ke ruang perawatan intensif maupun
rumah sakit rujukan.101

3.7.1 Sugar and safe care


Kadar gula darah yang rendah pada bayi yang mengalami kondisi hipoksik-
iskemik akan meningkatkan risiko cedera otak dan luaran
neurodevelopmental yang buruk73,76 Penelitian membuktikan bahwa hewan
yang mengalami hipoglikemia pada kondisi anoksia atau hipoksia-iskemik
memperlihatkan area infark otak yang lebih luas dan /atau angka kesintasan
yang lebih rendah dibandingkankan kontrol.76 Bayi asfiksia memiliki risiko lebih
tinggi untuk mengalami hipoglikemia sehingga pemberian glukosa perlu
dipertimbangkan sesegera mungkin setelah resusitasi guna mencegah
hipoglikemia.73,102 Alur tata laksana hipoglikemia pada neonatus dapat dilihat
pada Gambar 19.

3.7.2 Temperature
Penelitian menunjukkan bahwa terapi hipotermia ringan (mild hypothermia)
dapat menurunkan risiko kematian dan disabilitas bayi akibat asfiksia secara
signifikan (lihat subbab mengenai terapi hipotermia).42 Terapi hipotermia secara
pasif dapat dimulai sejak di kamar bersalin atau ruang operasi pada bayi yang
diperkirakan mengalami asfiksia, dengan cara mematikan penghangat bayi dan
melepas topi bayi sesegera mungkin setelah target ventilasi efektif dan LJ
tercapai. Hal ini dapat dikerjakan secepat-cepatnya pada usia 10 menit dengan
memerhatikan kecurigaan asfiksia berdasarkan faktor risiko asfiksia, nilai Apgar
saat usia 5 menit dan kebutuhan ventilasi masih berlanjut sampai usia 10 menit.
Pada pelaksanaan terapi hipotermia pasif dengan suhu ruangan menggunakan
pendingin ruangan harus berhati-hati terhadap kemungkinan overcooling yang
akan memperberat efek samping terapi hipotermia. Probe rektal (6 cm dari
pinggiran anus) atau esofagus sebaiknya telah dipasang dalam waktu 20 menit
setelah kelahiran.103 Bayi ditranspor dengan menggunakan inkubator transpor
yang dimatikan dengan tujuan mencapai target suhu tubuh rektal antara 33,5 -
34,5oC. Pada kecurigaan asfiksia perinatal, hipertermia harus dihindari selama
resusitasi dan perawatan karena akan meningkatkan metabolisme otak dan
dapat memicu terjadinya kejang.104

198
GD <47 mg/dL

GD < 25 mg/dL atau dengan gejala GD >25 - <47 mg/dL

• I V bolus dekstrosa 10% 2 mL/kgBB • Nutrisi oral /enteral segera : ASI atau
** IVFD dekstrosa 10%, minimal 60 PASI , maksimal 100 mL/kg BB/hari
mL/kgBB/hari ( hari pertama ) sampai ( hari pertama )
mencapai GIR 6 - 8 mg/kgBB/menit • Bila ada kontraindikasi oral atau
• Ora l tetap diberikan bila tidak ada enteral → **
kontraindikasi

GD ulang (30 menit - 1 jam ) GD <36 mg/dL GD 36 - <47 mg/dL

Oral: ASI atau PASI yang


GD <47 mg/dL dilarutkan dengan dektrosa 5%

GD ulang (1 jam)
Dekstrosa ditingkatkan dengan cara:
• Volume ditingkatkan sampai maksimal
100 mL/kgBB/hari (hari pertama) atau
• Konsentrasi ditingkatkan: vena perifer
GD 36 - <47 mg/dL **
maksimal 12,5%, umbilikal 25%

GD > 47 mg/dL

Ulang GD tiap 2 - 4 jam , 15 me nit sebelum jadwal minum berikut, sampai 2 kali berturut - turut normal

Gambar 19. Algoritme tata laksana hipoglikemia


3.7.3 Airway
Perawatan pascaresusitasi ini meliputi penilaian ulang mengenai gangguan jalan
napas, mengenali tanda gawat maupun gagal napas, deteksi dan tata laksana bila
terjadi pneumotoraks, interpretasi analisis gas darah, pengaturan bantuan

199
napas, menjaga fiksasi ETT, serta evaluasi foto toraks dasar. 101 Intervensi
dilakukan sesuai indikasi apabila ditemukan kelainan pada evaluasi.

3.7.4 Blood pressure


Pencatatan dan evaluasi laju pernapasan, LJ, tekanan darah, CRT, suhu, dan
saturasi oksigen perlu dilakukan sesegera mungkin pascaresusitasi. Selain itu,
pemantauan urin juga merupakan salah satu parameter penting untuk menilai
kecukupan sirkulasi neonatus.101

3.7.5 Laboratorium working


Penelitian menunjukkan bahwa keadaan hiperoksia, hipokarbia, dan
hiperglikemia dapat menimbulkan efek kerusakan pada otak sehingga harus
dipertahankan pada keadaan normal setidaknya pada 48-72 jam pertama
kehidupan. Pemeriksaan gula darah secara periodik sebaiknya dilakukan pada
usia bayi 2, 6, 12, 24, 48, dan 72 jam kehidupan, kadar hematokrit dalam 24 jam
pada harihari pertama kehidupan, kadar elektrolit (natrium, kalium, dan kalsium)
dalam 24 jam, serta pemeriksaan fungsi ginjal, hati, enzim jantung, dll bila
diperlukan. 101

3.7.6 Emotional support


Klinisi perlu menjelaskan kondisi terakhir bayi dan rencana perawatan
selanjutnya serta memberikan dukungan emosional pada orangtua. 101

3.7.7 Lain-lain
Kejang dalam 24 jam pertama kehidupan dapat merupakan manifestasi
neurologis setelah episode asfiksia. Kejang pascahipoksik umumnya bersifat
parsial kompleks atau mioklonik dan terjadi secara intermiten. 105 Bayi yang lebih
matur dapat mengalami kejang elektrik (electrical seizure) pada pemeriksaan
EEG (atau pemeriksaan amplitude EEG (aEEG) yang dapat dilakukan bedside
secara kontinu; lihat juga penjelasan sub-bab aEEG pada halaman 84)106
Sebagian besar kejang neonatus disebabkan kejadian simtomatik akut seperti
EHI. Kejang juga dapat disebabkan oleh gangguan metabolik (hipoglikemia,
hipokalsemia, hipomagnesia, dan hiponatremia), infeksi, stroke perinatal,
perdarahan intrakranial, epilepsi neonatus, dan penyebab lain yang tidak
diketahui.107-109 Penting untuk dilakukan pemeriksaan fisis dan investigasi riwayat
secara menyeluruh untuk mengetahui etiologi atau faktor risiko neonatus
mengalami kejang.110,111

200
Berbagai karakteristik klinis kejang pada neonatus beserta penjelasannya
dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Klasifikasi dan karakteristik kejang pada neonatus


Klasifikasi Karakteristik

Kejang epileptik

Klonik fokal • Kontraksi ritmik dan repetitif otot tungkai, wajah, dan batang
tubuh
• Bersifat unifokal ataupun multifokal
• Dapat terjadi secara sinkron ataupun asinkron pada kedua sisi tubuh
• Dapat terjadi secara simultan, namun asinkron pada kedua sisi tubuh
• Tidak dapat dikurangi dengan peregangan

Tonik fokal • Kekakuan pada salah satu tungkai


• Batang tubuh asimetris
• Deviasi mata
• Tidak dapat dibangkitkan dengan stimulasi dan dikurangi dengan
peregangan

Spasme • Kontraksi ritmik dan repetitif otot tungkai, wajah, dan batang
tubuh
• Bersifat unifokal ataupun multifokal

Kejang non-epileptik

Tonik umum • Kekakuan simetris batang tungkai, batang tubuh, dan leher
• Posisi dapat fleksi, ekstensi, atau campuran keduanya
• Dapat dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
• Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi

201
Gerakan okular • Gerakan mata acak dan berputar atau nistagmus
• Dapat dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
Gerakan oral- • Gerakan seperti mengisap, mengunyah, dan protusi lidah bukal-lingual • Dapat
dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
• Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi

Gerakan • Gerakan seperti mendayung, berenang, atau mengayuh sepeda progresif • Dapat
dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
• Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi

Gerakan • Gerakan tiba-tiba dengan peningkatan aktivitas acak tungkai kompleks


tak • Dapat dubangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan bertujuan
rangsang

Dapat kejang epileptik atau non-epileptik

Mioklonik • Kontraksi acak, tunggal, dan cepat pada tungkai, wajah, atau batang tubuh
• Tidak repetitif atau mungkin terjadi dengan kecepatan lambat
• Dapat bersifat umum, fokal, atau fragmenter
• Dapat dibangkitkan dengan rangsang

Sumber: Mizrahi EM. Neonatal seizures and neonatal epileptic syndromes. Neurologic
clinics. 2001;19(2):427-63.106

Kejang neonatus kadang sulit dibedakan dengan jitteriness. Berikut adalah


panduan secara klinis bagaimana membedakan jitteriness dengan kejang.116

Tabel 10. Jitteriness vs kejang


Manifestasi klinik Jitteriness Kejang

Tatapan atau gerakan bola mata yang 0 abnormal +

202
Gerakan bersifat sensitif terhadap + stimulus 0

Gerakan dominan Tremor Klonik jerking

Gerakan berkurang dengan fleksi pasif + 0

Perubahan fungsi otonom 0 +

Sumber: Volpe J, Inder T, Darras B, dkk. Neurology of the newborn. Edisi ke-6.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2017.h.275-318.116

A. Prinsip tata laksana kejang pada neonatus


Prinsip utama tata laksana kejang pada neonatus adalah menegakkan diagnosis
secara cepat dan akurat (termasuk dengan menggunakan EEG/aEEG),
mempertahankan ventilasi dan perfusi yang adekuat, memberikan tata laksana
sesegera mungkin dengan mempertimbangkan manfaat dan efek samping anti-
kejang, serta segera menghentikan anti-kejang setelah kejang teratasi. 112

Diagnosis kejang pada neonatus pada umumnya ditegakkan hanya


berdasarkan gejala klinis saja. Perlu diketahui bahwa selain gejala klinis,
pemeriksaan EEG/aEEG sangat penting karena dapat mendeteksi neonatus
dengan kejang elektrik.107,113 Penggunaan EEG/aEEG menunjukkan bahwa
prevalensi kejang elektrik pada kelompok neonatus dengan berat lahir amat
sangat rendah (BBLASR) sangat tinggi. Penggunaan obat anti-kejang pada
neonatus dengan kejang elektrik berhubungan dengan rendahnya risiko epilepsi
pasca-natal.114 Pemberian obat anti-kejang berdasarkan gejala klinis saja
(sedangkan hasil EEG/aEEG tidak menunjukkan kejang) dapat mengakibatkan
overtreatment.107,113 Penggunaan EEG/aEEG terbukti dapat mempersingkat
waktu diagnosis kejang pada bayi dengan ensefalopati.114

Jika tidak terdapat fasilitas pemeriksaan EEG/aEEG, maka pemberian obat


anti-kejang dapat berdasarkan kriteria klinis seperti pada tabel berikut; 106

Tabel 11. Kriteria klinis pemberian obat antikovulsan pada neonatus (modifikasi)
Tipe kejang Karakteristik klinik Terapi anti-kejang

Fokal klonik Singkat dan jarang Opsional

Lama dan berulang Diberikan

Fokal tonik Singkat dan jarang Opsional

Lama dan berulang Diberikan

203
Mioklonik
Singkat dan jarang Opsional

Dapat diprovokasi Tidak diberikan

Generalized tonic Hilang dengan tahanan, dapat Tidak diberikan


posturing atau motor diprovokasi
automatism
Tidak hilang dengan tahanan, tidak dapat
diprovokasi Opsional
Sumber: Mizrahi EM. Neonatal seizures and neonatal epileptic syndromes.
Neurologic clinics. 2001;19:427-63.106

Ketika diagnosis kejang neonatus ditegakkan, sebaiknya dipikirkan terlebih


dahulu penyebab tersering pada neonatus seperti hipoglikemia dan imbalans
elektrolit (hipokalsemia, hipomagnesemia). Kondisi yang menyebabkan kejang
harus segera dikoreksi. Ketika penyebab yang dipikirkan telah teratasi dan kejang
masih berlangsung maka perlu diberikan obat anti-kejang akut (lini pertama).
Tujuan akhir tata laksana anti-kejang adalah menghindari timbulnya kejang
berulang baik secara klinis maupun elektrografis. 107 Idealnya setelah diberikan
terapi anti-kejang sebaiknya diamati responsnya dengan menggunakan
EEG/aEEG. Hal ini penting karena beberapa neonatus dengan perbaikan gejala
klinis, masih dapat menunjukkan gambaran kejang pada EEG/aEEG. Oleh karena
itu pemeriksaan EEG/aEEG kontinu merupakan modalitas yang baik untuk
mengkonfirmasi respons dari terapi anti-kejang.108

Kejang neonatus sebagian besar penyebabnya merupakan kejadian akut


seperti EHI, kelainan metabolik, perdarahan, sehingga jika penyebab sudah
teratasi maka obat antikejnag dihentikan sesegera mungkin. Jika tidak terdapat
fasilitas pemeriksaan EEG/aEEG maka lama pemberian obat anti-kejang
ditentukan oleh seberapa besar risiko kejang berulang jika obat dihentikan, dan
risiko terjadinya epilepsi (10%-30%). Faktor risiko penentu adalah ; (1)
Pemeriksaan neurologi, jika pada saat pulang terdapat pemeriksaan neurologi
abnormal maka risiko berulangnya kejang sebesar 50%; (2) Penyebab kejang itu
sendiri, etiologi asfiksia berisiko sebesar 30% sedangkan disgenesis korteks
berisiko 100% terhadap berulangnya kejang; (3) Gambaran EEG, jika irama dasar
memperlihatkan kelainan minimal atau ringan maka tidak terdapat risiko
epilepsi, jika terdapat kelainan yang berat maka risiko meningkat menjadi 41%.
Volpe merekomendasikan jika pada saat neonatus akan pulang pemeriksaan
neurologi normal maka semua obat antikejnag dihentikan. Jika abnormal
pertimbangkan etiologi dan dilakukan pemeriksaan EEG. Jika EEG abnormal
fenobarbital dilanjutkan, tetapi jika EEG normal atau etiologi adalah gangguan
metabolik yang bersifat sementara fenobarbital dapat dihentikan. 116

204
Bayi yang dipulangkan dengan fenobarbital, ulangi pemeriksaan neurologi dan
perkembangan saat usia 1 bulan, jika pemeriksaan neurologi normal fenobarbital dapat
dihentikan, jika abnormal lakukan pemeriksaan EEG. Jika tidak terdapat kelainan yang
bermakna pada EEG maka fenobarbital dapat dihentikan, jika EEG abnormal lakukan evaluasi
ulang saat usia 3 bulan. Volpe menyatakan bahwa sedapat mungkin obat anti-kejang
dihentikan sesegera mungkin dan pada keadaan tertentu dapat diberikan sampai usia 3-6
bulan.116

Menurut WHO, pemberian obat anti-kejang dapat dihentikan jika hasil


pemeriksaan neurologis dan/atau EEG telah normal, serta bebas kejang dalam 72
jam.115 Pemberian obat anti-kejang seperti fenobarbital dan fenitoin, bila kadar
terapeutik telah tercapai dan kejang klinis serta elektris sudah tidak ditemukan
maka penurunan dosis dan penghentian terapi anti-kejang dapat dilakukan. Bayi
yang mendapatkan anti-kejang lebih dari satu jenis sebaiknya menurunkan dosis
obat satu persatu terlebih dahulu dengan fenobarbital sebagai obat terakhir yang
dihentikan.116

B. Pemilihan obat anti-kejang


Pemilihan obat anti-kejang ditentukan berdasarkan kondisi neonatus (usia
gestasi, penyakit penyerta), ketersediaan obat, mekanisme kerja obat, dan efek
samping obat anti-kejang. Sampai saat ini di Indonesia belum ada konsensus tata
laksana anti-kejang neonatus dibedakan berdasarkan fasilitas kesehatan lengkap
maupun terbatas. Pembahasan berikut ini dapat digunakan sebagai penuntun
pemilihan obat anti-kejang untuk neonatus disesuaikan dengan berbagai fasilitas
kesehatan di Indonesia.

Survei yang dilakukan oleh European Society for Paediatric


Research pada 13 institusi di negara Eropa melaporkan bahwa fenobarbital
masih merupakan satu-satunya obat anti-kejang lini pertama yang digunakan.
Obat anti-kejang lini kedua yang paling banyak digunakan adalah midazolam
pada 11 institusi, disusul oleh fenitoin dan klonazepam. Sedangkan untuk lini
ketiga, lidokain digunakan hampir pada seluruh institusi diikuti dengan pilihan
lainnya seperti midazolam, diazepam, dan fenitoin. Pilihan obat anti-kejang lini
kedua dan ketiga yang digunakan di negara Amerika sedikit berbeda dikarenakan
telah banyak penelitian-penelitian mengenai obat anti-kejang lain yang
digunakan sebagai alternatif terapi pilihan seperti levetiracetam, fosfenitoin,
lorazepam, dan sebagainya.117

Fenobarbital merupakan obat anti-kejang paling banyak diteliti pada


hewan coba dan kadarnya dalam darah cenderung stabil. Sejak dulu fenobarbital
telah direkomendasikan sebagai obat antikejang lini pertama pada neonatus.

205
Namun penelitian mengenai pengaruh penggunaan jangka panjang fenobarbital
terhadap perkembangan neonatus sangat terbatas. Walaupun demikian, tidak
ada obat anti-kejang lain yang terbukti lebih efektif dan aman untuk digunakan
pada neonatus selain fenobarbital.116,118,119 Fenobarbital injeksi yang tersedia di
Indonesia ada dua macam, yaitu intravena dan intramuskular. Sebelum
pemberian obat pastikan sediaan obat sesuai dengan teknik yang diberikan.
Sediaan intramuskular tidak boleh diberikan secara intravena, begitu pula
sebaliknya. Fenobarbital diberikan secara intravena dengan dosis inisial 20
mg/kgBB, dengan kecepatan tidak melebihi 1 mg/kgBB/menit (menggunakan
infusion pump). Dua dosis tambahan sebesar 10-20 mg/kgBB/dosis dapat
diberikan apabila kejang belum berhenti (maksimal 50 mg/kgBB dalam 24 jam).
Fenobarbital dilanjutkan sebagai terapi rumatan dengan dosis 4-6 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 2 dosis bila kejang telah teratasi.108,116,120,121 Lockman dkk.122
mengemukakan bahwa kadar terapeutik minimal fenobarbital dalam darah yaitu
16,9 µg/mL. Pada pemberian dosis inisial fenobarbital 15-20 mg/kgBB intravena
akan memberikan kadar terapeutik dalam darah sekitar 16,3-25,1 µg/mL. 123
Sebuah studi menunjukkan bahwa kadar fenobarbital dalam plasma akan
mengalami penurunan setelah 24 jam pemberian dosis inisial, sehingga dosis
rumatan harus segera diberikan (12 jam setelah dosis inisial). Pada studi
tersebut, pemberian dosis rumatan sebanyak 2,6-5 mg/kgBB/hari dapat
mencapai kadar terapeutik 15-40 µg/mL. Namun demikian, pemeriksaan kadar
fenobarbital dalam darah tetap perlu dilakukan mengingat pada 1 minggu
pertama kehidupan akan terjadi penumpukan kadar obat dalam darah. Hal ini
kemudian diikuti dengan penurunan kadar fenobarbital secara bertahap
sehingga diperlukan kembali penyesuaian terhadap dosis fenobarbital. 124 Pada
fasilitas terbatas di Indonesia seringkali tidak tersedia fenobarbital intravena,
melainkan sediaan intramuskular (ampul, 100 mg/2 mL), maka fenobarbital
intramuskular diberikan dengan dosis lebih tinggi yaitu 30 mg/kgBB (10-15%
lebih tinggi dari dosis intravena).116,120,122 Bila kejang masih belum teratasi, dosis
ini dapat diulang satu kali dengan selang waktu minimal 15 menit. 120

Obat anti-kejang lini kedua dapat diberikan bila kejang masih belum teratasi dan
kadar fenobarbital dalam darah telah mencapai optimal pada penggunaan dosis
maksimal. Pemilihan obat antikejang lini kedua dipengaruhi oleh tingkat
keparahan kejang, efek samping dan interaksi obat, fungsi kardiovaskular dan
pernapasan neonatus, serta disfungsi organ seperti jantung, ginjal, dan
hati.107,118,121 Pilihan obat anti-kejang lini kedua di negara-negara Eropa dan
Amerika adalah fenitoin, levetirasetam, dan lidokain yang dapat digunakan di
Indonesia berdasarkan ketersediaannya. 107,118,121,125

Berdasarkan telaah sistematik dari 2 penelitian acak terkontrol,


penggunaan fenobarbital dan fenitoin terbukti memiliki efektifitas yang sama
sebagai obat anti-kejang lini pertama, yaitu 43-45%.121,126 Pemberian fenitoin
setelah penggunaan fenobarbital (kombinasi) dapat meningkatkan efektivitas
dalam mengatasi kejang sebanyak 10-15%.118 Namun sediaan fenitoin cenderung

206
tidak stabil dengan pencampuran dan memiliki efek samping lebih besar berupa
hipotensi, aritmia, dan kerusakan pada sistim saraf. Metabolisme fenitoin terjadi
di hati dengan waktu eliminasi yang bervariasi sesuai usia neonatus. Pada satu
minggu pertama kehidupan terjadi penurunan waktu eliminasi yang dapat
menyebabkan fluktuasi kadar fenitoin dalam darah terutama pada bayi prematur
dengan imaturitas fungsi hati. Penggunaan fenitoin sebagai obat anti-kejang lini
pertama sebaiknya diberikan bila pengukuran kadar fenitoin dalam darah dapat
dilakukan.116,118 Dosis inisial fenitoin adalah 20 mg/kgBB/dosis, diberikan secara
intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1 mg/kgBB/menit (untuk mencegah
efek samping aritmia jantung). Dosis dapat ditambahkan hingga tercapai kadar
terapeutik dalam darah yaitu 10-20 mg/L). Pemberian dosis inisial ulangan
fenitoin tidak dianjurkan bila kadar fenitoin dalam darah tidak dapat
diperiksa.116,127 Saat ini di negara maju penggunaan fenitoin mulai ditinggalkan
dan dialihkan menggunakan fosfenitoin (derivat fenitoin). Fosfenitoin memiliki
mekanisme kerja lebih cepat dengan efek samping minimal.118,128

Efektivitas levetirasetam dan keamanan penggunaan pada neonatus belum


sepenuhnya dapat dipahami. Namun obat ini telah terbukti dapat menurunkan
angka kejadian kejang tanpa mengakibatkan kerusakan sistim saraf seperti
apoptosis neuronal, melainkan memberikan efek neuroprotektif. Levetirasetam
mulai dipakai oleh banyak institusi selain berkaitan dengan efek antikejang yang
baik, dikarenakan terdapat bentuk sediaan intravena.116,118,129-132 Namun
demikian, hingga saat ini di Indonesia hanya tersedia levetirasetam sediaan oral
berupa tablet salut sedangkan sirup belum tersedia. Pemberian pada neonatus
relatif sulit mengingat sediaan tablet tidak dapat digerus. Studi mengenai
penggunaan levetirasetam oral pada kejang refrakter neonatal yang belum
teratasi setelah pemberian fenitoin / fenobarbital menunjukkan bahwa
pemberian levetirasetam oral efektif mengatasi kejang tanpa menimbulkan efek
samping.118,131,132 Dosis inisial yang direkomendasikan adalah 10-20 mg/kgBB per
oral atau intravena, dengan dosis rumatan 40-60 mg/kg/hari terbagi dalam 2
dosis.118,133-135

Lidokain intravena banyak digunakan sebagai obat anti-kejang lini kedua di


beberapa negara Eropa.136 Efektivitas lidokain setelah pemberian fenobarbital
menunjukkan respons terapi sebesar 7092% dalam mengatasi kejang dan efek
samping berupa depresi pernapasan hampir tidak pernah dilaporkan. 109,137
Sebuah studi observasional retrospektif yang membandingkan lidokain dan
midazolam intravena sebagai obat anti-kejang lini kedua membuktikan bahwa
penggunaan lidokain pada neonatus menunjukkan respons terapi yang lebih baik
secara signifikan. Namun efektivitasnya lebih rendah pada bayi prematur (55,3%)
dibandingkan dengan bayi cukup bulan (76,1%).109 Dosis yang direkomendasikan
adalah 2 mg/kgBB sebagai dosis inisial yang diberikan selama 10 menit.
Pemberian dilanjutkan dengan dosis rumatan yang diturunkan secara bertahap
dengan target penghentian obat dalam waktu 36 jam untuk menghindari
toksisitas lidokain. Dosis rumatan awal yang diberikan adalah infus kontinu 7

207
mg/kgBB/jam selama 4 jam kemudian diturunkan setengah dosis tiap 12 jam
selama 24 jam.
Perlu diperhatikan pada kondisi bayi prematur dan bayi yang menjalani
terapi cooling, dosis rumatan yang diberikan harus lebih rendah (6
mg/kgBB/jam) karena waktu klirens lidokain menurun pada kondisi
hipotermia.116 Bila kejang belum teratasi, pemberian lidokain dapat ditambahkan
dengan midazolam. Pemberian keduanya secara bersamaan sebagai terapi
kombinasi akan memberikan efek sinergistik yang mampu mengatasi kejang lebih
baik. Oleh karena itu, midazolam lebih efektif bila diberikan sebagai obat anti-
kejang lini ketiga.109 Pemberian lidokain setelah fenitoin dan derivatnya
(difantoin) memerlukan pemantauan terhadap tekanan darah, laju nadi, dan EKG
mengingat efek samping obat berupa kardiodepresif (aritmia dan bradikardia)
walaupun sangat jarang terjadi.114 Untuk mencegah efek samping aritmia,
beberapa studi menyarankan rentang waktu maksimum pemberian infus
lidokain adalah 30-48 jam.109,116,138,139
Kontraindikasi pemberian lidokain adalah neonatus dengan penyakit
jantung bawaan dan penggunaan fenitoin sebelumnya.116,140 Sampai saat ini di
Indonesia lidokain intravena hanya tersedia di fasilitas kesehatan tertentu
(Xylocard tersedia di RS Jantung Harapan Kita), sediaan lainnya adalah untuk
pemberian subkutan / intramuskular.
Midazolam intravena dipertimbangkan sebagai obat antikejang lini ketiga
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Obat ini merupakan pilihan pada kasus
kejang refrakter yang tidak berhasil dengan pemberian obat anti-kejang lini
pertama dan kedua.141 Efek samping yang dikhawatirkan pada pemberian
midazolam yaitu depresi pernapasan dengan risiko intubasi. Namun efek
samping tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan benzodiazepin
lainnya seperti diazepam dan lorazepam. 116,123 Dosis inisial yang diberikan adalah
0,15 mg/kgBB intravena, dilanjutkan dengan infus kontinu 1 µg/kgBB/menit. Jika
masih terdapat kejang, dosis awal dapat diulangi dan dosis infus dapat dinaikkan
0,5-1 µg/kgBB/menit setiap 2 menit hingga dosis maksimal 18
µg/kgBB/menit.116,126

Prinsip tata laksana kejang adalah menghentikan kejang. Pada kondisi


fasilitas terbatas dengan ketersediaan obat anti-kejang yang tidak lengkap, dapat
diberikan obat-obatan yang tersedia sebagai alternatif namun dengan
pemantaun khusus. Diazepam sangat jarang digunakan pada neonatus karena
memiliki efek samping yang sangat berat seperti depresi susunan saraf pusat dan
pernapasan (apne/hipoventilasi), serta kolaps pembuluh darah. 101,142-144 Risiko
pemberian diazepam diikuti dengan fenobarbital intravena dapat memperberat
efek depresi susunan saraf pusat (SSP) dan sistem pernapasan. 101,144 Dosis
terapeutik diazepam pada neonatus sangat bervariasi dan terkadang mencapai
dosis toksik yang menimbulkan henti napas.125,145 Selain itu, klirens diazepam
yang cepat pada otak (beberapa menit setelah dosis intravena) sehingga

208
menyebabkan obat ini tidak dapat dipakai sebagai terapi rumatan. 142,143 Hal lain
yang perlu pula diperhatikan adalah sediaan diazepam umumnya mengandung
sodium benzoat yang dapat melepas ikatan albumin-bilirubin sehingga
meningkatkan risiko terjadinya kernikterus.146 Namun pada fasilitas kesehatan
terbatas di Indonesia yang tidak tersedia fenobarbital, fenitoin maupun
midazolam, maka diazepam dapat digunakan sebagai obat anti-kejang lini
pertama dengan perhatian khusus. Sebuah studi melaporkan bahwa pemberian
drip kontinu diazepam efektif menghentikan kejang pada delapan bayi yang
mengalami asfiksia perinatal berat. Pada laporan kasus tersebut tidak ada bayi
yang membutuhkan bantuan pernapasan walaupun terdapat stupor dan
memerlukan pemasangan pipa orogastrik.147

Mengingat ketersediaan obat anti-kejang di fasilitas kesehatan di Indonesia


dan kompetensi tenaga medis di tempat terpencil, maka rekomendasi
penggunaan diazepam di Indonesia adalah sebagai berikut: bila terpaksa harus
menggunakan diazepam maka pilihan utama adalah infus kontinu (drip)
diazepam untuk mencegah efek yang tidak disukai di atas.116 Namun bila tidak
terdapat tenaga ahli yang dapat memasang akses intravena perifer ataupun
umbilikal, maka dapat diberikan diazepam per rektal (sediaan bentuk supositoria
(5 mg/2,5 mL) dengan menggunakan spuit 1 mL yang disambungkan pada pipa
orogastrik yang dipotong pendek (lihat Gambar 21.) dengan dosis 0,5
mg/kgBB.120,148 Risiko pemberian diazepam bolus ini seperti telah dibahas di atas
yaitu apne, sehingga perlu dipersiapkan pula intubasi. Bila kejang masih belum
teratasi (sambil mempersiapkan rujukan bayi ke fasilitas lebih lengkap bila
memungkinkan), direkomendasikan langsung pemberian diazepam infus secara
kontinu (diencerkan dengan cairan dekstrosa 5%) dengan dosis 0,3
mg/kgBB/jam. Dosis dapat dinaikkan bertahap hingga tercapai rata-rata dosis
diazepam sebesar 0,7-2,75 mg/jam. Apabila kejang telah teratasi selama 1224
jam, dosis diazepam dapat diturunkan dalam 12-24 jam sebanyak 0,1-0,25
mg/jam. Campuran diazepam dan dekstrosa 5% dibuat ulang setiap 4 jam dalam
spuit ditutup dengan
kertas/plastik berwarna gelap.147

Fasilitas dengan keterbatasan pilihan anti-kejang bila tidak didapatkan pula


fenobarbital maupun diazepam, maka midazolam dapat pula dipertimbangkan
sebagai obat anti-kejang lini pertama.141 Efektivitasnya tidak sebaik penggunaan
fenobarbital sebagai anti-kejang lini pertama namun diharapkan dapat mengatasi
kejang sementara waktu hingga bayi dapat dirujuk ke fasilitas lebih lengkap. 118,141
Perlu diingat kembali bahwa penggunaan obat anti-kejang selain fenobarbital
seperti diazepam dan midazolam sebagai lini pertama direkomendasikan sebagai

209
terapi alternatif apabila tidak tersedia fenobarbital, bukan sebagai pilihan
utama.124
Gambar 20. Anti-kejang pada fasilitas terbatas
a. Fenobarbital (sediaan ampul, 100 mg/2 mL, IM), b. Fenitoin (sediaan ampul,
100 mg/2 mL, IM-IV), c. Diazepam (sediaan ampul, 10 mg/2 mL, IM-IV) d.
Midazolam (sediaan ampul, 5mg/5mL, IM-IV), e. Diazepam (sediaan supposituria
5mg/2,5 mL) Sumber: Foto inventaris RSUD Lahat, Sumatra Selatan

Gambar 21. Cara pemberian diazepam


per-rektal di a fasilitas terbatas

a. Sambungkan OGT no. 5 dengan spuit 1 mL.


Potong OGT sehingga hanya tersisa 2 cm.
b. Posisikan bayi, masukkan diazepam ke anus bayi,
kemudian rapatkan kedua bokong bayi

Sumber:
a. Foto inventaris RSUPN Ciptomangunkusumo;
b. Kementrian Kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan neonatal esensial:
Pedoman teknis pelayanan kesehatan
dasar; 2010

Jika penyebab kejang tidak diketahui dan tidak respons terhadap obat anti-
kejang lini pertama dan kedua, maka harus dipikirkan adanya kelainan metabolik
bawaan seperti pyridoxine dependency. Percobaan terapi piridoksin dapat
diberikan dengan dosis 100 mg secara intravena secara lambat (5 menit),
kemudian dapat diulangi setiap 5-15 menit hingga mencapai dosis maksimum
pemberian yaitu 500 mg (15-30 mg/kg/hari per oral yang terbagi dalam tiga
dosis). Sediaan piridoksin yang tersedia di pasaran adalah 50 mg/ml (1 ml) dan
100 mg/ml (1 ml). Pemberian piridoksin secara intravena tidak perlu diencerkan,
tetapi diperlukan pemantauan EEG/aEEG dan fungsi kardiorespirasi (hipotonia
dan apneu).116,134,149 Dosis dan keterangan obat lebih lengkap dapat dilihat dalam
Tabel 10.

210
Tabel 12.Farmakodinamik, obat
mekanisme kerja, keuntungan, kerugian, efek samping dan interaksiAnti
-kejang
Fenobarbital Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain
Farmakodinamik
• Spektrum • Bentuk fosfenitoin • Awitan • Absorbsi cepat dan
luas150 lebih disukai 3 Intravena/drip: 1 - hampir diserap
• Rentang untuk loading menit10 sempurna dengan
terapeutik cepat, efek konsentrasi puncak
Rektal: 2-
lebar150 samping dan menit plasma 1 jam setelah
Awitan reaksi lokal lebih -30 penggunaan oral.
• • Durasi 15
intravena 5 ringan.152 menit
116,133,134
menit, 15 • Hanya
• Waktu paruh 50 -
95 • Konsentrasi puncak
mencapai meningkatkan 10 - 151 plasma dalam 5 -15
maksimum kejang jam menit setelah
% kontrol
dalam 30 setelah kegagalan pemberian intravena.
menit151 fenobarbital 116,133,134
• Durasi 4 -10 mengontrol • Waktu paruh pada
jam151 kejang.152,153 neonatus 18 jam.
60
• Awitan intravena
Waktu 116,133,134
500 paruh
45- 151 30- 152
jam menit
• Durasi 24 jam
153
• Waktu paruh 10 -
15
152
jam
Mekanisme kerja Inhibisi • Menghalangi • Meningkatkan • Berikatan dengan • Menghalangi
neurotransmiter channel Na + fungsi reseptor protein vesikel konduksi saraf
dengan sehingga GABA.128 sinapsis SV2A dengan menurunkan
266
Fenobarbital Fenitoin Diazepam
Midazolam memperpanjang mencegah • Menekan SSP,
waktu terbukanya rangsang neuron termasuk sistem
( channel GABA- berulang150 limbik dan formasi
Na+ 150 • Perubahan retikularis dengan
• Awitan: ≤ 20 5
menit paruh: 3 jam• konduksi Na+, K +, berikatan pada
• Waktu
subkutan) dan -8 Ca2+, membran situs
Awitan intravena
- potensial, dan benzodiazepin
jam untuk (intravena 7
1menit,
jangka panjang)
139 • dalam - menit konsentrasi asam pada kompleks
maksimum
Durasi 20 -30
5 amino, GABA dan
4 men15
• 4 norepinefrin, memodulasi
Waktu
it 12 -124
paruh asetilkolin, serta
jam dan - jam GABA.151
pada
5,5 neonatus gamm-
sangat 15
yang ( aminobutyric
a acid
1
sakit GABA 150
)
Keuntungan - Berat dan usia • Efektivitas hampir • Obat mudah
gestasi tidak sama dengan didapatkan107
terlalu Fenobarbital118,121
mempengaruhi
kadar obat
dalam darah116
- Dapat diberikan
dengan sediaan
IM116
Menekan semua
level SSP, termasuk
sistem limbik dan
266
Levetiracetam Lidokain Midazolam Fenobarbital Fenitoin
sehingga permebilitas sel formasi retikularis, Kerugian dan efek • Depresi napas, • Pemberian secara
mengurangi
pelepasan membran terhadap dengan berikatan samping apne101 intravena cepat
vesikel
116,133,13 Na+ sehingga pada situs menyebabkan
• Tromboflebitis
10
4
. mengurangi lama benzodiazepin pada
• Meningkatkan hipotensi, aritmia,
1
ekspresi gamm waktu depolarisasi, kompleks reseptor bradikardia,
• Hipotensi
101,151
( glutamate a meningkatkan GABA dan kolaps
• Ruam kulit
151
transporter
GLTs), excitato eksitabilitas dan memodulasi kardiovaskular,
• Hepatitis,
( ry
amino acid mencegah aksi GABA.151 kolestatis101,151 dan distres
transporter 1/ potensial. napas.101,151
• Gangguan
glutam-asparta • Menghalangichannel kognitif150,151 • Muntah, iritasi
ate te
transport Na+ pada sel lambung.101
er
EAAT1/GLAST), dan jantung139
• Trombositopenia,
EAAT2/GLT1 yang • Menyebabkan efluks leukopenia, dan
mempunyai peran dari kalium yang granulositosis.101
penting untuk mengakibatkan
116,133 • Makrositosis dan
neuroproteks aritmia.139 anemia
i.
13 ,
megaloblastik.101
4
• Nekrosis dan
• Risiko terjadi efek • Pada bayi cukup • Efektif pada status inflamasi jaringan
samping rendah bulan, Lidokain epileptikum141 bila terjadi
• Terdapat sediaan menunjukkan • Efek samping sedasi ekstravasasi pada
intravena respon terapi kejang dan depresi respirasi tempat
• Tidak ada reaksi yang lebih baik lebih rendah penyuntikan101,151
antar obat116,133,134 sebagai lini kedua dibandingkan • Hepatitis
151
dan ketiga dengan Lorazepam
• Ruam kulit
101,151
dibandingkan dan Diazepam.116,123
• Hipoinsulinemia,
dengan hiperglikemia,
Midazolam109,116 glikosuria101
• Akselerasi
apoptosis neuron
266
Diazepam Levetiracetam Lidokain Midazolam Fenobarbital
• Menganggu ikatan • Efekasi dan • Therapeutic window • Henti jantung
151
albumin- keamanan pada sempit109,116 • Depresi napas, apne,
bilirubin127 pada neonatus • Aritmia
109,116 desaturasi,
• Peningkatan enzim belum banyak laringobronkospasm
• Bradikardia
109,116
hati151 diketahui, namun e 121 Interaksi obat • Pemberian
• Hipotensi
109,116
penggunaan dosis diazepam yang
• Butuh titrasi • Menyebabkan • Nyeri dan reaksi
obat127 40-50 lokal pada tempa t disusul dengan
kejang bila
mikrogram/kgBB penyuntikan, namun fenobarbital
• Depresi sistem digunakan dalam
intravena dapat
saraf pusat (SSP) tidak menimbulkan dosis tinggi109,116 lebih ringan
dan sistem efek samping yang dibandingkan memperberat
• Kejang efek depresi
( pernapasan bermakna.116,133,134 berulang109,116 diazepam.151
SSP dan sistem
apne 101,151 • Belum ada sediaan • Kontraindikasi pada
) intravena di pernapasan,
• Hipotensi
101,151
penyakit jantung
Indonesia apne, dan
• Hipo/hipertermia bawaan109,116
10
1
hipoventilasi.101
• Tidak boleh
• Pemberian
• Nyeri dan flebitis diberikan setelah
fenobarbital
pada tempat fenitoin/fosfenitoin
tidak boleh
penyuntikan101,151 karena dapat
dicampur
menyebabkan
dengan
kardiodepresif 109,116
sebagian besar
antibiotik,
morfin,
norepinefrin,
dan natrium
fenitoin.101
266
Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain Midazolam
pada bayi
prematur101,151
• Pemberian • Pemberian • Pemberian • Pemberian Lidokain • Midazolam akan
bersamaan dengan diazepam yang bersamaan setelah Fenitoin meningkatkan kadar
infus dopamin disusul dengan makanan tidak disarankan fenitoin116
dapat fenobarbital menurunkan karena akan
menyebabkan intravena dapat konsentrasi puncak memperbesar efek
(
hipotensi berat, memperberat efek plasma sampai 20% kardiodepresif
bradikardia, dan depresi SSP dan dan menunda kerja aritmia,
henti jantung sistem obat sampai 1,5 jam; bradikardia)
,139
sehingga bila pernapasan, apne, tetapi tidak
harus diberikan dan mengurangi
secara bersamaan, hipoventilasi.101 bioavailabilitas.
116,133,134
perlu perhatian • Meningkatkan
khusus dan kadar plasma
pemantauan digoksin.101
tejanan darah.101
• Asam folat,
piridoksin,
rifampisin, dan
kloralhidrat dapat
menyebabkan
penurunan serum
fenitoin sehingga
menurunkan
efektivitasnya.101
• Menurunkan
kadar dan
266
Fenobarbital Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain
efektivitas teofilin,
digoksin, dan
furosemid.101
• Meningkatkan
metabolisme
kortikosteroid101
• Jangan
memberikan dosis
parasetamol
terlalu tinggi bila
diberikan
bersamaan dengan
fenitoin.101
*) - Berdasarkan awitan kerjanya, pemberian diazepam atau midazolam drip kontinudapat dipertimbangkan
sebagai lini pertama di fasilitas terbatas yang tidak tersedia fenobarbital intravena / intramuskular.
- Pada fasilitas terbatas, diazepam atau midazolam drip diberikan sebagai anti -kejang lini kedua setelah
pemberian fenobarbital intravena atau intramuskular pada lini pertama
- Di Indonesia saat ini hanya tersedia levetiracetam sediaan oral dan belum lazim digunakan lidokain
intravena ( L ignokain)
266
Midazolam
266
Tabel 13. Daftar sediaan, dosis, kompatibilitas, persiapan, administrasi, kecepatan
pemberian obat, dan contoh soal pemberian anti-kejang pada neonatus
Obat FENOBARBITAL
Sediaan Oral : 30 mg, 50 mg, 100 mg, 15 mg/5 mL (cairan) IV/IM : 200
mg/mL, 200 mg/2 mL, 100 mg/mL
Dosis Inisial : 20 mg/kgBB IV dalam 10-15 menit. (jika masih kejang diberikan
10-20 mg/kgBB sampai maksimal 50 mg/kgBB dalam 24 jam) 108,116,121

Rumatan (diberikan 24 jam setelah loading):


4-6 mg/kgBB/hari terbagi 2 dosis IV/PO 155

IM : 10-15% lebih besar dari sediaan IV108,116,121


Kompatibilitas Dekstrosa 5%, dekstrosa 10%, NaCl 0,9%154,156
Persiapan IM : Tidak perlu diencerkan (200mg/mL)154,156

IV : Pengenceran 200 mg dengan cairan pelarut hingga


mendapatkan total cairan 10 mL (=20mg/mL)155
Administrasi dan kecepatan Oral : campuran oral pahit dan toleransi buruk. Dosis inisial per oral
pemberian obat diberikan via OGT jika bayi memiliki kemampuan mengisap yang buruk 155

IV : 1 mg/kgBB/menit atau lebih lambat (Jika keadaan darurat dapat


memberikan 2 mg/kgBB/menit)154,156 dengan syringe pump

Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3 kg


Sediaan ampul: 200 mg/mL

Pengenceran (menjadi 20mg/mL)


- Dengan spuit 10 mL ambil obat sebanyak 1mL (200mg)
- Tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 9 mL (sampai total cairan 10mL)

Inisial IV :
- Dosis = 20 mg/kgBB (3 kg x 20 mg → 60 mg)
- Sediaan setelah pengenceran = 20 mg/mL → Ambil 3 mL untuk
mendapatkan dosis 60 mg
- Berikan secara bolus IV lambat dalam waktu 10-20 menit
- Jika masih kejang, dapat diberikan bolus tambahan 1020 mg/kgBB
(3kg x 10-20 mg → 30-60 mg atau 1,5-3 mL)

Rumatan :
- Dosis = 4-6 mg/kgBB/hari (3 kg x 4-6 mg → 12-18 mg/hari atau
6-9 mg setiap 12 jam)
- Sediaan setelah pengenceran = 20mg/mL → Ambil 0,3-
0,45 mL untuk mendapatkan dosis 6-9mg
- Pemberian bolus intravena lambat dalam 10-20 menit setiap 12 jam

IM :
- 10-15% lebih besar dari dosis IV atau 30 mg/kgBB (3kg x 30 mg →
90 mg)

218
- Tidak perlu diencerkan
- Ambil 0,45 mL untuk mendapatkan dosis sebesar 90mg -
Berikan secara IM

Obat FENITOIN
Sediaan Oral : 30 mg, 100 mg
IV : 100 mg/2 mL, 250 mg/5 mL
Dosis Inisial : 20 mg/kgBB IV (kecepatan pemberian kurang dari 1 mg/kg/menit,
cenderung tidak larut jika dicampur dengan larutan dekstrosa/
aquabides)116

Rumatan (diberikan 12 jam setelah loading) :155


- Usia koreksi <37 minggu
• ≤14 hari = 2 mg/kg/dosis, setiap 12 jam IV
• >14 hari = 5 mg/kg/dosis, setiap 12 jam IV
- Usia koreksi ≥ 37 minggu
• ≤14 hari = 4 mg/kg/dosis, setiap 12 jam IV
• >14 hari = 5 mg/kg/dosis, setiap 8 jam IV
Rumatan dapat diberikan per oral akan tetapi
bioavailibilitasnya buruk pada neonatus116
Kompatibilitas NaCl 0,9% (konsentrasi Fenitoin harus kurang dari 6mg/mL)
154,156

Persiapan IM : tidak direkomendasikan karena mengakibatkan nyeri dan nekrosis


jaringan154,156

IV : Ambil 50 mg fenitoin diencerkan dengan cairan pelarut


(NaCl 0,9%) sampai total cairan menjadi 10 mL (=5 mg/mL)
154,156

Sediaan obat yang telah diencerkan harus segera digunakan dalam waktu
1 jam154,156
Administrasi dan kecepatan Oral : dilakukan flush melalui OGT sebelum dan setelah memberikan
pemberian obat obat, diberikan terpisah dengan enteral feeding

IV : kurang dari 1 mg/kgBB/menit (dosis loading pada umumnya


diberikan bisa mencapai 1 jam, dan dosis rumatan diberikan dalam 15
menit), dengan syringe pump. Diberikan flush dengan NaCl 0,9%
sebelum dan setelah administrasi
obat154,156
Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3 kg
usia koreksi 37 minggu (14 hari)
Sediaan ampul : 100 mg/2 mL

Pengenceran (menjadi 5 mg/mL)

219
- Dengan spuit 10 mL ambil obat sebanyak 1mL (50mg)
- Tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 9 mL (sampai total
cairan 10 mL)

Inisial IV :
- Dosis = 20 mg/kgBB (3 kg x 20 mg → 60 mg)
- Sediaan setelah pengenceran=5 mg/mL → Ambil 12 mL untuk
mendapatkan dosis 60 mg
- Berikan secara bolus IV lambat dalam waktu 20-60 menit

Rumatan :
- Dosis = 4 mg/kgBB/dosis (3 kg x 4 mg → 12 mg
diberikan setiap 12 jam IV/PO)
- Sediaan setelah pengenceran = 5 mg/mL → Ambil 2,4 mL untuk
mendapatkan dosis 12 mg
- Pemberian bolus intravena lambat dalam 15 menit setiap
12 jam

Obat LEVETIRACETAM

Sediaan Oral : 250 mg, 500 mg


IV : saat ini belum tersedia di Indonesia
Dosis Inisial : 30-50 mg/kgBB intravena (total maksimal pemberian
80-100 mg/kgBB)116,133,134 atau 10-20
mg/KgBB per oral

Rumatan (diberikan 8 jam setelah dosis inisial) :


40-60 mg/kgBB per hari IV/PO terbagi dalam 2-3 dosis 116,133,134
Kompatibilitas -

Persiapan -

Administrasi dan Oral : dapat diberikan kapanpun bersamaan dengan pemberian enteral
kecepatan pemberian obat feeding

Contoh soal -

Obat LIDOKAIN
Sediaan IV (Lignocaine/ Xylocard®): ampul 500 mg/5 mL (100 mg/mL)

Dosis Inisial : 2 mg/kgBB IV dalam 10 menit

IV kontinu : 7 mg/kgBB/jam selama 4 jam


Kemudian diturunkan setengah dosis menjadi 3,5 mg/kgBB

setiap 12 jam selama 24 jam berikutnya109,116,138,139

Kompatibilitas NaCl 0,9%, deskrosa 5%

220
Persiapan IV inisial : pengenceran 1 mg/mL154 IV
kontinu : pengenceran 10 mg/mL
Administrasi dan kecepatan Inisial : dalam 10 menit154
pemberian obat
IV infus kontinu : diberikan secara kontinu via syringe pump dimulai
dari 7 mg/kgBB/jam (selama 4 jam) dan diturunkan setengah dosis
setiap 12 jam (3,5 mg/kgBB/jam dan 1,75 mg/kgBB/jam) selama 24
jam154

Diharapkan pemberian lidokain tidak lebih dari 30 jam109,116,138,139


Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3 kg Sediaan : 100
mg/mL

Pengenceran inisial IV (menjadi 1mg/mL) terdiri dari 2 langkah :


Langkah 1 (pengenceran 10 mg/mL)
- Dengan spuit 10mL ambil obat sebanyak 1mL (100mg/mL)
- Tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 9mL (sampai total cairan 10 mL).
Telah didapatkan pengenceran 10 mg/mL.
Langkah 2 (pengenceran 1 mg/mL)
- Dengan cara yang sama, ambil 1 mL cairan lidokain 10 mg/mL yang di
dapatkan dari langkah 1, kemudian tambahkan NaCl 0,9% sebanyak
9 mL (sampai total cairan 10 mL). Maka didapatkan pengenceran 1
mg/mL.
- Ambil cairan yang telah diencerkan sebanyak 1 cc
- Dosis inisial : 3 kg x 2 mg/kgBB = 6 mg
- Ambil cairan lidokain yang telah diencerkan (1mg/mL) sebanyak 6
mL
- Berikan perlahan selama 10 menit dengan pemantauan fungsi
kardiovaskular, gunakan syringe pump

Pengenceran dan pemberian IV infus kontinu :


- Dosis IV kontinu : 7 mg/kgBB/jam = 7 mg/kgBB/jam x 3 kg = 21
mg/jam
- Persiapan dosis selama 4 jam → 84 mg
- Menghitung kebutuhan obat dalam sediaan 500 mg/5 mL
→dibutuhkan 0,84 ml lidokain (84 mg) dan dilarutkan dengan 8,4
mL NaCl 0,9% untuk sediaan 4 jam pertama (total
cairan 9,2 mL)
- Jalankan syringe pump dengan kecepatan 7mg/kg/jam atau setara
dengan 2,3 mL/jam selama 4 jam
- Kemudian diturunkan setengah dosis menjadi 1,1 mL/jam (3,5
mg/kgBB/jam) selama 12 jam, dan 0,5 mL/jam (1,75
mg/kgBB/jam) selama 12 jam berikutnya
- Pemberian lidokain tidak melebihi 30 jam

Obat MIDAZOLAM
Sediaan IV : 5 mg/5 mL (1 mg/mL), 15 mg/3 mL (5 mg/mL)
Dosis Inisial IV : 0,15 mg/ kgBB

Infus kontinu 1 µg/kgBB per menit

221
Jika masih terjadi kejang, dosis inisial dapat diulangi dan dosis infus dapat
dinaikkan 0,5-1 µg/kgBB/menit setiap 2 menit hingga mencapai dosis
maksimal 18 µg/kgBB/menit
114,116,18,126,139

Kompatibilitas Dekstrosa 5%, dekstrosa 10%, NaCl 0,9%154,156


Persiapan Inisial IV : jika menggunakan sediaan 5mg/5mL (1mg/mL) tidak perlu
diencerkan154,156

IV infus kontinu : Ambil 3mg/kg lalu tambahkan cairan pelarut sampai


total cairan menjad 50mL154,156 Dari sediaan tersebut :
1mL/jam = 1 µg/kg/menit

Atau dapat dibuat pengenceran "double strength" yaitu : Ambil 3mg/kg


lalu tambahkan cairan pelarut sampai total cairan menjad 25mL, dari
sediaan tersebut:
0,5 mL/jam = 1 µg/kg/menit

Administrasi dan kecepatan IV : diberikan lambat (minimal dalam 5 menit) 116,154,156


pemberian obat
IV infus kontinu : diberikan secara kontinu via syringe pump dimulai
dari 0,5-1 µg/kgBB/menit111,116,118,126,139
Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3kg
Sediaan : 5 mg/5 mL (1 mg/mL)

Inisial IV :
- Dosis = 0,15 mg/kg (3 kg x 0,15 mg → 0,45 mg)
- Tidak perlu diencerkan
- Ambil 0,45 mL untuk mendapatkan dosis 0,45 mg
- Berikan secara bolus intravena dalam waktu 5 menit - Jika
masih terdapat kejang, dosis loading dapat diulangi

Pengenceran dan pemberian IV kontinu :


- Menggunakan spuit 50 mL, ambil 3 mg/kg (3 kg x 3 mg=9 mg → 9
mL) dicampurkan dengan NaCl 0,9% sampai total larutan menjadi
50 mL
- Dari sediaan tersebut didapatkan :
1mL/jam = 1 µg/kg/menit
- Jalankan syringe pump dengan kecepatan 1 µg/kg/menit atau
setara dengan 1 mL/jam
- Jika masih kejang, kecepatan dapat dinaikan 0,5-1

µg/kg/menit setiap 2 menit hingga mencapai dosis maksimal 18


µg/kgBB/menit

Obat DIAZEPAM
Sediaan IV :10 mg/2 mL(5 mg/mL)
Dosis Hanya untuk di fasilitas terbatas yang tidak ada fenobarbital IV/IM,
fenitoin IV atau midazolam IV . Disarankan pemberian terutama dengan
infus kontinu

Dosis infus kontinu : 0,1-0,5 mg/kg/jam IV120,148,157

222
Kompatibilitas Relatif tidak larut dalam seluruh jenis cairan. Dapat digunakan dekstrosa
5% atau 10%120,148,157
Persiapan IV infus kontinu : Pengenceran dengan dekstrosa 10% sampai didapatkan
konsentrasi 0,2 mg/mL*

*Sediaan dipersiapkan setiap 6 jam (untuk mencegah pengendapan)

Administrasi dan kecepatan IV infus kontinu : diberikan secara kontinu via syringe pump** dengan
pemberian obat kecepatan dimulai dari 0,1 mg/kg/jam (jika masih terdapat kejang,
kecepatan dapat dinaikan
0,1mg/kg/jam, selama RR ≥ 30)

**jika tidak terdapat syringe pump elektrik, pemberian IV kontinu


dapat dilakukan dengan infusion bag. Akan tetapi harus
mempertimbangkan risiko tinggi bahwa administrasi obat tidak terukur
dengan tepat (kekurangan/kelebihan dosis). Pengawasan dilakukan
dengan ketat untuk menghindari adanya perubahan kecepatan sekecil
apapun.
Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3 kg
Sediaan : 10 mg/2 mL (5 mg/mL)

Pengenceran dan pemberian IV kontinu :


- Dosis IV kontinu= 0,1 mg/kg/jam (3 kg x 0,1mg→ 0,3 mg/jam)
- Persiapan dosis selama 6 jam → 1,8 mg
- Menghitung kebutuhan obat dalam sediaan 0,2 mg diazepam /
mL dekstrosa →dibutuhkan 1,8 mg diazepam dan dilarutkan
dengan 9 mL dekstrosa untuk sediaan 6 jam pertama)

➢ Membuat pengenceran 0,2 mg/mL :


o Menggunakan spuit 10 mL, ambil 1,8 mg (0,36 mL) obat, lalu
campurkan dengan dekstrosa
10% sejumlah 9 mL o Atau menggunakan spuit 10 mL,
ambil 1 mL diazepam diencerkan dengan dekstrosa 10%
sampai mencapai 10 mL (menjadi 5 mg / 10 mL = 0,5 mg /
mL). Ambil 3,6 mL dari campuran tersebut kemudian
dilarutkan dengan 9 mL dekstrosa

- Kecepatan jalannya infus melalui syringe pump dibagi untuk 6


jam. Sehingga bila hasil akhir pencampuran 9,4 mL / 6 = kecepatan
1,6 mL/jam, atau 12,6 mL / 6 = kecepatan 2,1 mL/jam
- Pantau ketat status pernafasan bayi selama
pemberian infus diazepam

Jika telah mencapai 6 jam, hentikan syringe pump, buang sisa obat
dalam spuit dan siapkan sediaan baru untuk 6 jam berikutnya (idealnya
dengan menggunakan spuit yang baru)

Obat PIRIDOKSIN
Sediaan Oral : 10 mg, 25 mg, 50 mg, 100 mg IV : 100
mg/2 mL

223
Dosis Dosis inisial : 50-100 mg IV116,154,158

Rumatan : 15-30 mg/kgBB/hari (50-100 mg/hari)


IV/PO116,154,158
Kompatibilitas Dekstrosa 5%, NaCl 0,9%154,158
Persiapan IV : Tidak perlu diencerkan154,158
Administrasi dan kecepatan IV : diberikan secara bolus lambat dalam waktu 5 menit154,158
pemberian obat
Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3kg Sediaan : 100
mg/2mL

IV :
- Dosis inisial = 50-100 mg IV
- Tidak perlu diencerkan
- Ambil obat sebanyak 1-2 mL untuk mendapatkan dosis 150-300
mg
- Berikan secara bolus IV selama 5 menit
- Dosis rumatan= 50-100 mg/hari (→ 1-2mL per hari)

Obat MAGNESIUM SULFAT


Sediaan IV/IM : MgSO4 20% (5 g/25 mL; 0,8 mmol/mL), MgSO4 40% (10
g/25 mL; 1,6 mmol/mL)

Dosis IV/IM : 0,2-0,4 mmol/kg diulang tiap 12 jam

Kompatibilitas Dekstrosa 5%, dekstrosa 10%, NaCl 0,9%154

Persiapan IM : diencerkan hingga 0,8 mmol/mL


IV : diencerkan hingga 0,4 mmol/mL

Administrasi dan kecepatan IV : diberikan perlahan selama 20 menit


pemberian obat
Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3 kg (3 x 0,2 mmol = 0,6 mmol)
Sediaan : MgSO4 40% (1,6 mmol/mL)
Kebutuhan MgSO4 40% sebanyak 0,37 mmol ~ 0,4 ml

IM : pengenceran menjadi 0,8 mmol/mL


- Pemberian MgSO4 40% 0,6 mmol = 0,38 mL (0.6 / 1,6 x 1 mL)
diencerkan dengan dekstrose 5% sebanyak 0,8 mL (0,6 / 0,8 x 1 mL)
- Total cairan = 1.18 mL secara IM dibagi di beberapa tempat
suntikan karena maksimal volume obat tiap tempat suntikan adalah
0.5 mL.

IV : pengenceran menjadi 0,4 mmol/mL


- Pemberian MgSO4 40% 0,6 mmol = 0, 38 mL (0.6 / 1,6 x 1 mL)
diencerkan dengan dekstrose 5% sebanyak 1,5 mL (0,6 / 0,4 x 1 mL)
- Total cairan sebanyak 1.9 mL diberikan IV selama 20 menit

Monitor tekanan darah dan tanda-tanda depresi SSP selama pemberian

224
Obat KALSIUM GLUKONAS
Sediaan IV : Ca Glukonas 10% (100 mg/mL)

Dosis Hipokalsemia simptomatik (kejang)


Koreksi cepat dengan IV bolus : 0,5 mL/kgBB IV (Ca glukonas
10%)155

Koreksi perlahan IV : 2 mL/kgBB (Ca glukonas 10%) IV selama 6 jam

Rumatan IV : 4,5 mL/kgBB/hari (Ca glukonas 10%)

Kompatibilitas Dekstrosa 5%, dekstrosa 10%, NaCl 0,9%154,155

Persiapan IV : Pengenceran obat dengan cairan pelarut sebanyak 1:5

Administrasi dan kecepatan Bolus IV : diberikan bolus intravena secara perlahan dalam 30-60 menit
pemberian obat dengan pemantauan fungsi kardiovaskular
(EEG). Hentikan bila terdapat bradikardia

Koreksi perlahan IV : diberikan selama 6 jam

Rumatan IV : dapat dicampurkan dengan cairan TPN harian

Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3 kg


Sediaan : Ca glukonas 10% (100 mg/mL)

Pengenceran dan pemberian Loading IV :


- Bolus IV = 0,5 mL/kg ~ 3 kg x 0,5 mg → 1,5 mL
- Encerkan 1: 5. Ambil obat sebanyak 1,5 mL dan tambahkan NaCl
0,9% sebanyak 6 mL (total cairan=7,5 mL)
- Berikan secara bolus IV perlahan selama 30-60 menit

Pengenceran dan pemberian koreksi IV perlahan :


- Koreksi IV = 2 mL/kg ~ 3 kg x 2 mg → 6 mL
- Encerkan 1: 5. Ambil obat sebanyak 6 mL dan tambahkan NaCl
0,9% sebanyak 24 mL (total cairan=30 mL)
- Berikan secara IV perlahan selama 6 jam

Pemberian rumatan IV :
- Dosis= 4,5 mL/kg ~ 3 kg x 4,5 mg → 13,5 mL
- Ambil obat sebanyak 13,5 mL dan tambahkan dalam cairan
parenteral harian dalam 24 jam

Pemberian menggunakan syringe pump dan selama pemberian


lakukan pemantauan fungsi kardiovaskular.

225
226
227
digunakan sebelumnya
Lanjutan dari halaman
G
sebelumnya

A
Bila masih kejang, tata laksana
L
Jika masih kejang: selanjutnya tergantung kebijakan
klinisi
I ***Pertimbangkan

pemberian 100 mg IV,


JIKA KEJANG BERHENTI:
PIRIDOKSIN N
kemudian dilanjutkan dengan: • Lakukan pemantauan EEG/aEEG selama
minimal 24 jam bebas kejang
• Jika sedang dalam terapi rumatan
MIDAZOLAM Fenobarbital, lakukan pemeriksaan kadar
Dosis inisial: 0,15 mg/kgBB IV obat dalam darah dalam 4-5 hari
diikuti dengan • Lakukan pemeriksaan lanjutan untuk
I mempertegas etiologi kejang: Pertimbangkan
infus 1 µg/kgBB/menit IV dapat pencitraan otak (MRI jika memungkinkan),
dinaikkan pungsi lumbal sebagai pemeriksaan rutin
0,5-1 µg/kgBB/menit tiap 2 menit dan/atau pemeriksaan neurotransmitter,
hingga pemeriksaan genetika atau gangguan
dosis maksimal 18 µg/kgBB/menit metabolisme jika diindikasikan
• Lakukan penyapihan terhadap terapi anti-
kejang rumatan sebelum pasien dipulangkan
L T Mulai penyapihan setelah 24 jam
• Pertimbangan penyapihan seluruh terapi anti-
I bebas kejang pada pemantauan
kejang sebelum pasien pulang, jika: kejadian
EEG/aEEG.
N kejang menurun atau hanya ada satu kali
I kejang, bebas kejang dalam 4872 jam, dan
I Lanjutkan terapi rumatan yang telah
rendahnya risiko kejang berulang.
*** Pyridoxine dependency harus dipertimbangkan ketika kejang tidak respons terhadap
S pemberian obat anti-kejang lini kedua. Pemberian Piridoksin harus disertai pengawasan ketat
A terhadap adanya
T apne, kejang berulang, dan fungsi kardiovaskular
U
Gambar 22. Anjuran a lgoritme tata laksana kejang pada fasilitas lengkap

228
I
N
I

D
U
A

Gambar 23. Anjuran algoritme tata laksana kejang pada fasilitas terbatas

229
3.8 Terapi hipotermia pada bayi asfiksia
3.8.1 Definisi dan tujuan terapi hipotermia
Terapi hipotermia merupakan suatu upaya untuk menurunkan suhu inti tubuh
hingga 32 - 34oC pada bayi dengan EHI dengan tujuan mencegah kerusakan
neuron otak akibat asfiksia perinatal.159 Mekanisme neuroprotektif terapi
hipotermia antara lain menurunkan metabolisme serebral, pelepasan glutamat,
produksi oksida nitrit, produksi leukotrien, serta meningkatkan antioksidan
endogen dan sintesis protein sehingga menurunkan kejadian edema serebral
dan apoptosis neuron pada bayi dengan EHI. 160 Pada dasarnya terapi
hipotermia ini mencegah dan memperlambat kaskade kerusakan otak yang
sedang berjalan, namun tidak akan mempengaruhi sel yang telah mengalami

kerusakan ireversibel.34-35,161

Terapi hipotermi dapat dibedakan menjadi 3 fase, yaitu fase induksi, fase
maintenance, dan fase rewarming (Gambar 24). Fase induksi /
inisiasi merupakan fase awal terapi hipotermia. Pada fase ini suhu normal
tubuh bayi diturunkan hingga mencapai 32 - 34 oC dengan kecepatan 3oC / jam,
sehingga diharapkan target suhu akan tercapai dalam waktu kurang lebih 60 -
90 menit. Target suhu ini dipertahankan selama 72 jam pada fase
maintenance, dengan toleransi suhu berkisar antara 0,1 - 0,5 oC. Fase ini
berlanjut dengan fase rewarming yaitu tubuh bayi dihangatkan kembali
hingga mencapai suhu normal (36,5 - 37,5 oC), dengan peningkatan suhu tubuh
tidak boleh terlalu cepat yaitu 0,5oC tiap 1-2 jam agar tidak terjadi efek
samping.162

Fluktuasi suhu pada fase maintenance harus dihindari agar mencegah


komplikasi. Suhu lebih tinggi dari suhu target akan meningkatkan metabolisme
dan menginduksi kaskade sitotoksik serta kejang, sedangkan suhu lebih rendah
dari suhu target meningkatkan risiko efek samping misalnya koagulopati,

bradikardia, atau hipotensi.162

Gambar 24. Tiga fase terapi hipotermia

230
Sumber: Robertson NJ, Kendall GS, Thayyil S. Techniques for therapeutic
hypothermia during transport and in hospital for perinatal asphyxial
encephalopathy. Semin Fetal Neonatal Med. 2010;15:276-86.

3.8.2 Metode pendinginan (cooling) pada terapi hipotermia


Terapi hipotermia harus dimulai selambat-lambatnya sebelum 6 jam setelah
terjadinya cedera hipoksik-iskemik saat / pasca lahir (periode laten / window
of opportunity) untuk mencegah kerusakan neuron.163 Efek neuroprotektif
yang optimal akan tercapai bila terapi hipotermia dilakukan sedini mungkin
pada periode laten ini. Berbagai studi menunjukkan bahwa keterlambatan
dalam diagnosis dan inisiasi hipotermia berkaitan dengan penurunan efikasi
terapi dengan luaran neuro-developmental yang buruk.164-166

Metode pendinginan (cooling) secara garis besar dibedakan menjadi


pendinginan kepala selektif (selective head cooling/ SHC) dan pendinginan
seluruh tubuh (whole body cooling/ WBC) atau).

Pada fasilitas ideal, SHC dilakukan dengan menggunakan Cool


Cap®, sedangkan WBC menggunakan matras pendingin
(Blanketrol®, pilihan di Indonesia). Sedangkan WBC di fasilitas terbatas dapat
dilakukan dengan misalnya sarung tangan yang diisi dengan air dingin atau gel
pack.61,167

Terapi SHC menggunakan penutup kepala (Cool Cap) yang dialirkan air
dingin. Unit pendingin dan pompa berbasis kontrol termostat
(thermostatically controlled cooling unit and pump) mensirkulasikan air
ke penutup kepala (cap) secara merata, dimulai dengan suhu antara 8 - 12 oC.
Suhu air yang bersirkulasi di dalam cap disesuaikan secara manual untuk
mempertahankan suhu rektal antara 34 - 35 oC. Selama fase inisiasi dan fase
maintenance, suhu cap dinaikkan secara perlahan antara 19-23 oC untuk
mempertahankan target suhu rektal. Fase rewarming dilakukan dengan
melepas cap dan menggunakan overhead heating untuk meningkatkan suhu
inti meningkat lebih dari 0,5oC / jam.168 Terapi ini memberikan efek yang lebih
besar ke perifer otak daripada struktur otak sentral. 61

231
Gambar 25. Selective head cooling dengan Cool Cap di fasilitas
ideal
Sumber:https://encryptedtbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTSncTdRWb
oaiBXEVnI5ij2YLCTxXknBs1rlMM1P_zF2phe635_

Terapi WBC memberikan efek pendingin yang lebih homogen ke seluruh


struktur otak, termasuk bagian perifer dan sentral otak. 61 Di fasilitas ideal,
metode ini menggunakan matras pendingin. Bayi dalam keadaan telanjang, di
bawah radiant warmer yang telah dimatikan. Matras pendingin /
Blanketrol® yang berisi cairan pendingin berbasis kontrol termostat digunakan
sebagai alas tidur bayi, sedang probe temperatur rektal terpasang dan
tersambung dengan indikator suhu rektal pada mesin. Suhu cairan pendingin
dimulai dari 10 - 20oC saat fase inisiasi dan disesuaikan secara manual untuk
mempertahankan suhu rektal antara 33 - 34 oC. Suhu cairan ini diperkirakan
mencapai 25 - 30oC pada akhir fase maintenance.61

Gambar 26. Whole body cooling menggunakan Blanketrol® di fasilitas


ideal
Sumber: Foto inventaris RSUPN Ciptomangunkusumo

232
Mekanisme metode SHC didasarkan pada fisiologi otak bayi yang
memproduksi 70% dari total panas tubuh. Pada cedera hipoksik-iskemik bagian
otak sentral lebih rentan terhadap kerusakan otak. Studi menunjukkan bahwa
ternyata SHC cenderung mendinginkan otak perifer dibandingkankan sentral
(thalamus, kapsula interna, ganglia basalis). Sedangkan, metode WBC mencapai
efek hipotermi homogen pada seluruh struktur otak, sehingga memungkinkan
derajat hipotermi lebih dalam dan mencapai struktur otak internal. Beberapa
penelitian memperlihatkan kesan potensi yang lebih unggul pada WBC
dibandingkan SHC, namun hal ini belum dapat disimpulkan terkait metode
penelitian yang bersifat retrospektif.169 Kedua metode cooling ini secara umum
menghasilkan penurunan aliran darah otak dan ambilan oksigen yang sama
serta tidak ditemukan perbedaan yang signifikan terkait kadar penanda
inflamasi, mortalitas, serta tumbuh kembang pada usia 12 bulan. 169,170

Metode hipotermia terapeutik yang dilakukan dalam 6 jam


setelah terjadinya cedera hipoksik-iskemik pascalahir selama
72 jam meningkatkan kesintasan bayi tanpa disabilitas
perkembangan saraf (neurodevelopment) yang berat.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Tidak terdapat perbedaan signifikan terkait kadar penanda


inflamasi, mortalitas, serta tumbuh kembang pada usia 12
bulan pada SHC dan WBC

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

3.8.3 Indikasi dan kontraindikasi melakukan terapi


hipotermia Terapi hipotermia dilakukan pada bayi dengan indikasi sebagai
berikut:

1. Usia gestasi >35 minggu.171,172


2. Dimulai sebelum bayi berusia 6 jam.171,172
3. EHI derajat sedang atau berat*
a. Tanda dan gejala sesuai dengan EHI derajat sedang atau berat, dan /
atau
b. Tanda ensefalopati pada amplitudo EEG (aEEG)

233
4. Bukti asfiksia peripartum (minimal 1)*, yaitu :51,61,171-175

• Nilai Apgar <5 pada menit ke-10, ATAU


• Bayi masih membutuhkan ventilasi mekanik (balon / Tpiece
resuscitator dengan sungkup atau intubasi endotrakeal) atau
resusitasi pada menit ke-10
• pH darah tali pusat <7,0 atau pH arteri <7,0 atau defisit basa >16
dalam 60 menit pertama setelah lahir
Sampai saat ini bukti ilmiah menunjukkan efek proteksi terapi hipotermia
pada EHI sedang dan berat yaitu pada defisit basa >16 pada analisis gas darah.
Kriteria ini dipakai secara luas di negara maju, hanya sebagian perawatan
neonatal yang menggunakan defisit basa >12. 61,175 Namun, sebuah systematic
review melaporkan bahwa 25% bayi dengan EHI ringan mengalami luaran
neurodevelopmental yang buruk.176 Pada bayi tersebut hasil pemeriksaan
neurologis dan monitor amplitude EEG dapat mengalami progresivitas menjadi
EHI berat dalam beberapa jam kehidupan.

Kontraindikasi terapi hipotermia meliputi :51,171, 172

1. Jika hipotermia terapeutik tidak dapat dimulai pada usia <6


jam
2. Berat lahir <1800 - 2000 gram (tergantung kemajuan dan
kesiapan masing-masing pusat kesehatan)
3. Kebutuhan FiO2 >80%
4. Kelainan kongenital mayor
5. Koagulopati berat secara klinis
6. Ancaman kematian tampaknya tidak dapat dihindari
Atresia ani (dapat dipertimbangkan pemasangan probe suhu di esofagus)

3.8.4 Keputusan melakukan terapi hipotermia


Keputusan untuk memulai terapi hipotermia harus didiskusikan dengan
konsultan neonatologi pada sarana pelayanan kesehatan level 3 dan orangtua
bayi. Bila pada suatu fasilitas kesehatan tidak memungkinkan untuk dilakukan
prosedur ini, bayi harus dirujuk ke rumah sakit dengan unit perawatan neonatus
level 3 sesegera mungkin tanpa menunda passive cooling.51

Petunjuk terpenting bagi para klinisi untuk mencegah keterlambatan


diagnosis asfiksia dan inisiasi terapi hipotermia tercantum pada indikasi terapi

234
hipotermia (tanda *), yaitu bukti asfiksia (butir 4) dan ensefalopati sedang atau
berat (butir 3) berdasarkan pemeriksaan neurologis atau amplitude EEG
(bedside). Pemeriksaan tersebut harus dipantau terus sejak dicurigai asfiksia
sampai usia 6 jam sebagai periode emas selambatlambatnya untuk memulai
terapi hipotermia. Sebagai contoh bila saat usia 1 jam pemeriksaan neurologis
atau amplitudo EEG menujukkan EHI ringan, maka bayi terus dipantau dan
diulang kembali pemeriksaan tersebut sampai usia 6 jam sebelum memutuskan
untuk tidak melakukan terapi hipotermia.

Pada keadaan bayi yang terlambat dilakukan terapi hipotermia saat usia 6
jam, perlu dipertimbangkan manfaat dan efikasinya. Sebuah uji klinis acak
terkendali yang membandingkan hasil luaran neonatus cukup bulan usia 6-24
jam dengan EHI yang dilakukan terapi hipotermia dibandingkan dengan yang
tidak dilakukan terapi hipotermia, terdapat 76% probabilitas adanya penurunan
risiko mortalitas dan kecacatan pada yang dilakukan terapi hipotermia.
Sedangkan pada follow up pada usia 18-22 bulan, terdapat 64% probabilitas
penurunan risiko mortalitas dan kecacatan sebanyak 2%. Berdasarkan hasil
studi tersebut dapat disimpulkan bahwa ada keuntungan yang didapatkan pada
bayi dengan EHI yang mendapatkan terapi hipotermia walaupun telah berusia
lebih dari 6 jam, namun masih memerlukan studi lebih lanjut untuk menilai
keefektivitasannya.177

a. Pemeriksaan neurologis

Berbagai sistem skoring standar mengenai status neurologis bayi, dapat


diandalkan untuk menentukan derajat EHI bila penunjang diagnostik lain tidak
tersedia. Sarnat staging (Tabel 12.) merupakan sistem skoring yang umum
digunakan dalam praktik klinis.

Tabel 14. Sarnat staging


EHI derajat sedang EHI derajat berat

Kesadaran Letargik Koma/ tidak sadar


Aktivitas Menurun Menghilang

Postur Fleksi distal Deserebrasi

(ekstensi menyeluruh)

Tonus Hipotonik Flaksid

Refleks primitif Reflek hisap,gag& Moro melemah Refleks hisap, gag& Moro menghilang

235
Pupil Kontriksi Deviasi, dilatasi, tanpa reaksi

Frekuensi jantung Bradikardia Bervariasi

Pernapasan Periodik Apneu

Keterangan: diagnosis dengan Sarnat staging ditegakkan jika terdapat minimal 3


tanda

Sistem skoring ini dilaporkan memiliki korelasi signifikan dengan cedera


hipoksik-iskemik otak serta luaran neurologik yang buruk pada kasus EHI sedang
atau berat.178,179 Sistem skoring lain adalah nilai Thompson (Tabel 13.). Suatu
studi menunjukkan bahwa nilai Thompson lebih dari 6 berkaitan dengan
abnormalitas aEEG dalam 6 jam pertama kehidupan (sensitivitas 100%
spesifisitas 67%) serta merupakan penanda sensitif akan terjadinya EHI berat
atau sedang dalam waktu 72 jam.180 Nilai Thompson >6 merupakan patokan
untuk memulai terapi hipotermia pada bayi dengan EHI.

Evaluasi derajat EHI dengan sistem skoring juga memiliki keterbatasan


berupa kesulitan untuk menilai beberapa parameter klinis seperti ketelitian
penilaian tonus dan refleks primitif segera setelah lahir dan pada bayi yang
memperoleh sedasi.181 Dengan demikian, penentuan derajat EHI dengan
pemeriksaan lain (aEEG dan radiologi) yang lebih akurat sangat dianjurkan jika
memungkinkan. Sarnat staging maupun nilai Thompson sebaiknya dievaluasi
ulang saat jam ke-6 setelah lahir pada bayi dengan EHI ringan yang belum
diberikan terapi hipotermia karena derajat EHI dapat mengalami perburukan
pada jam-jam pertama kehidupan. Pemeriksaan neurologis pada neonatus
merupakan kemampuan klinis yang terbentuk melalui pajanan dan pengalaman,
sehingga sebaiknya dilakukan oleh spesialis neurologi atau setidaknya orang
yang terlatih dan terbiasa mengevaluasi status neurologi pada bayi.

Tabel 15. Nilai Thompson


Tanda Nilai Thompson

0 1 2 3

Tonus normal Hiper hipo flaksid


Tingkat normal hyperalert, letargik koma
kesadaran memandangi

Kejang tidak ada <3x/hari >2x/hari

Postur normal menggengam, gerakan fleksi kuat di distal deserebrasi


seperti
mengayuh sepeda

Refleks Moro normal Parsial tidak ada

Grasp reflex normal Buruk tidak ada

Sucking reflex normal Buruk tidak ada


menggigit

236
Respirasi normal hiperventilasi apne sesaat apne atau
dalam IPPV

Ubun-ubun normal datar, tidak tegang tegang

Nilai total

*IPPV= intermittent positive pressure ventilation; nilai 10 = EHI ringan, 11-14 =


EHI sedang, 15 = EHI berat.

Sumber: Mwakyusa SD, Manji KP, Massawe AW. The hypoxic ischaemic
encephalopathy score in predicting neurodevelopmental outcomes among
infants with birth asphyxia at the Muhimbili

National Hospital, Dar-es Salaam Tanzania; 2008. 182

Evaluasi nilai Thompson dilakukan setiap hari, diplot dalam grafik seperti grafik 1.

Skor Thompson
Skor Thompson

15
10
5
0
1 2 3 4
Usia bayi (hari ke-)

Grafik 1. Pemantauan nilai Thompson harian

Nilai Thompson >6 atau Sarnat stage 2-3 (sedang-berat) pada


usia 3-5 jam merupakan prediktor sensitif dari gambaran
abnormal aEEG pada usia 6 jam atau ensefalopati sedang-
berat dalam 72 jam setelah kelahiran. Penilaian Thompson
dini bermanfaat untuk penentuan apakah bayi akan dilakukan
terapi hipotermia. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

b. Pemeriksaan amplitude-integrated
electroencephalography (aEEG)

EEG konvensional telah lama digunakan untuk mengevaluasi fungsi otak


neonatus dan sebagai prediktor luaran fungsi perkembangan sistem saraf yang
mengalami cedera otak.183,184 EEG juga dapat memberikan konfirmasi apakah
gejala yang tampak adalah kejang. Tidak semua manifestasi kejang dapat
terdeteksi dengan EEG, seperti kejang subtle. Namun penggunaan EEG sangat

237
kompleks, selain itu perlu keahlian khusus dokter ahli saraf anak di perawatan
intensif neonatus, sehingga EEG kurang dapat diaplikasikan secara bedside.
Amplitude-integrated electroencephalography (aEEG) merupakan alat
pemeriksaan seperti EEG dengan metode yang disederhanakan, dapat merekam
aktivitas fungsi otak secara kontinu, serta neonatologis dapat menganalisis
hasilnya secara bedside.187 Perekaman dapat berlangsung terus menerus
selama dibutuhkan dan pemasangan elektroda lebih mudah daripada EEG
konvensional.183,185

Berbagai studi menunjukkan bahwa aEEG dapat menentukan tingkat


keparahan ensefalopati dalam beberapa jam pertama kehidupan. Pemeriksaan
ini memiliki spesifisitas 88% dan sensitivitas 91% dalam mendiagnosis EHI dalam
6 jam setelah lahir, sehingga sangat membantu untuk menentukan kebutuhan
terapi hipotermia. Pemantauan fungsi otak dilakukan secara kontinu dengan
cara memasang elektroda parietal yang tersambung dengan monitor aEEG
(Gambar 27.). Derajat ensefalopati ditentukan berdasarkan pola gelombang
yang ditemukan (Gambar 28), meliputi continuous normal voltage (CNV),
discontinous normal voltage (DNV), burst suppression (BV), low
voltage (LV), dan flat trace (FT). Pola CNV dan DNV dianggap normal,
sedangkan pola BV, LV, dan FT menunjukkan abnormalitas sedang/berat dan
merupakan indikasi terapi hipotermia pada kasus EHI. aEEG juga dapat
mendeteksi beberapa aktivitas kejang walaupun tidak sebaik EEG
konvensional.186 Interpretasi hasil aEEG sangat tergantung pada pengalaman
dan kemampuan pembaca, sehingga sebaiknya dikonsultasikan pada spesialis
terkait.

Pemeriksaan aEEG juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis


pada bayi dengan EHI. Suatu studi melaporkan bahwa aEEG memiliki positive
predictive value hingga 80% dalam memprediksi kematian atau disabilitas
pada bayi EHI yang tidak mendapat terapi hipotermi. 187 Gabungan pemeriksaan
klinis derajat ensefalopati dan kelainan aEEG semakin meningkatkan akurasi
prediksi.188 Penelitian lain mengemukakan bahwa gelombang aEEG abnormal
persisten lebih dari 24 jam pada bayi EHI dengan normotermia dan 48 jam
dengan hipotermia berkaitan dengan luaran yang buruk. 189

A B

238
Gambar 27. Amplitude integrated electroencephalography
(aEEG)A dan
electroencephalography (EEG)B

Sumber: The Royal Women’s Hospital. Neurology: Clinical evidence for


therapeutic hypothermia for near-term infants with moderate or severe hypoxic
ischaemic encephalopathy. Dalam: The royal women’s hospital neonatal service:
Clinician’s handbook. Melbourne: The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 105-8.

Metode kombinasi aEEG dan pemeriksaan neurologis sesaat


setelah kelahiran meningkatkan kemampuan identifikasi bayi
risiko tinggi dan menurunkan kesalahan identifikasi (falsely
identified) bayi dibandingkankan dengan evaluasi dengan
salah satu metode saja.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Gambar 28. Klasifikasi trace berdasarkan pengenalan pola gelombang dan


voltase untuk penilaian aEEG pada usia 3-6 jam.119

239
Sumber: Thoresen M, Westas LH, Liu X, Vries LS. Effect of hypothermia on
amplitude integrated encephalogram in infants with asphyxia. Pediatrics. 2010; 126:
131-139

c. Pemeriksaan lainnya

• Pemeriksaan laktat serum


Pemeriksaan lain yang dapat digunakan sebagai bukti asfiksia
peripartum adalah kadar laktat serum. Produksi laktat serum meningkat
akibat metabolism anaerob pada kondisi hipoksia dan perfusi jaringan
yang buruk. Kadar laktat serum yang tinggi merupakan prediktor tingkat
keparahan asfiksia janin, serta berkaitan dengan mortalitas dan luaran
neurodevelopmental pada bayi dengan hipoksemia.31,190,191 Suatu
studi memperlihatkan bahwa kadar serum laktat > 7,5 mmol/L dalam 1
jam pertama kehidupan dapat memprediksi EHI sedang-atau-berat
lebih akurat dibandingkan pH dan defisit basa (sensitivitas 94%,
spesifisitas 67%).192 Pada fasilitas lengkap dapat dilakukan pemeriksaan
AGD dilengkapi pemeriksaan laktat bedside untuk mempercepat
diagnosis dan keputusan terapi hipotermia.

• Pemeriksaan ultrasonografi (USG) kepala


USG kepala seringkali dipilih sebagai pemeriksaan pencitraan awal
dalam menilai kelainan otak pada neonatus karena bersifat non-invasif
dan dapat dilakukan bedside. Kelainan USG berupa gambaran infark,
edema serebral dan perdarahan intrakranial dapat ditemukan pada
kasus EHI. Pemeriksaan ini sangat tergantung pada kemampuan
operator serta memiliki sensitivitas yang rendah dalam menilai cedera
hipoksik-iskemik otak pada bayi cukup bulan, sehingga penggunaannya
dalam mendeteksi EHI sangat terbatas. Abnormalitas USG kepala dapat
dikombinasikan dengan pemeriksaan neurologi untuk meningkatkan
kemampuan prediksi luaran neurodevelopmental pada bayi dengan
EHI.187,193

• Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) MRI


merupakan pemeriksaan radiologi dengan sensitivitas dan spesifisitas
optimal dalam menentukan tingkat dan luas kerusakan struktur otak
pada EHI. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi
kelainan otak lain, memprediksi prognosis, dan memperkirakan
penyebab serta saat terjadinya cedera hipoksik-iskemik. 181,194,195

Gambaran MRI sangat bervariasi, tergantung pada maturitas otak,


tingkat keparahan dan durasi asfiksia, serta saat pemeriksaan dilakukan. Akibat
kondisi hipoksik-iskemik ringan hingga sedang, kelainan terutama ditemukan
pada korteks parasagittal dan substansia alba subkortikal yang terletak diatas
zona vaskular (zona watershed). Cedera yang lebih berat terutama
mempengaruhi substansia nigraputamen posterior dan thalamus ventrolateral
(basal gangliathalamus pattern / BGT), hipokampus, dan batang otak

240
bagian dorsal, dengan kelainan difus substansia nigra dan berlanjut secara
kronis menjadi ensefalopati multikistik. Kelainan berat lain yang dapat
ditemukan adalah hilangnya intensitas signal kapsula internal posterior
(PLIC).192,194,195

Pola kerusakan otak ini juga memberikan prediksi yang


signifikan terkait luaran EHI. Kelainan korteks parasagittal umumnya
menimbulkan gangguan neurodevelopmental ringan-sedang
(motorik dan kogntif) dan cenderung lebih baik dibandingkan kelainan
inti substansia nigra. Kelainan intensitas pada PLIC merupakan penanda
akurat luaran neurodevelopmental yang buruk, sedangkan cedera
BGT meningkatkan risiko kematian, ensefalopati berat, luaran neurologi
buruk, defisit motorik berat, dan beban terkait kejang. 194 Saat ini
pemeriksaan MRI merupakan komponen penting yang harus
dipertimbangkan, mengingat hanya sedikit kelainan yang dapat
ditemukan pada hari-hari pertama kehidupan walaupun terjadi cedera
otak signifikan. Kelainan akibat cedera perinatal secara umum dapat
terlihat apabila modalitas MRI konvensional (T1 dan T2-weighted)
dilakukan antara 1-2 minggu setelah lahir. Pada modalitas MRI lain,
yaitu diffusion-weighted imaging (DWI), kelainan dapat ditemukan
lebih dini dalam 6 jam setelah lahir, dengan kelainan lebih jelas antara
2-4 hari dan berakhir dalam 7-14 hari. 195

• Pemeriksaan near infrared spectroscopy (NIRS)


serebral NIRS serebral merupakan alat non-invasif yang dapat
memantau secara kontinu terhadap saturasi hemoglobin, volume
darah, dan metabolisme / penghantaran oksigen serebral. 116 Cara
kerja alat ini berdasarkan selisih penyerapan spektrum sinar infrared
oleh hemoglobin yang teroksidasi (HbO2) dan yang tidak
teroksigenasi (Hb) pada jaringan otak berdasarkan hukum Beer-
Lambert.116, 196-198

Sebuah studi memperlihatkan adanya kecenderungan perubahan


saturasi serebral (rSO2) dan fraksi ekstraksi jaringan serebral (FTOE) yang diukur
dengan menggunakan NIRS pada neonatus dengan asfiksia berat. Dalam usia 24
jam pertama, mulai terlihat kecenderungan peningkatan rSO 2 dan penurunan
FTOE.199,200 Fenomena ini disebabkan oleh kematian sel jaringan otak yang
disebabkan oleh iskemia jaringan diikuti dengan penurunan ambilan oksigen di
otak (secondary energy failure).201,202 Nilai rSO2 yang tinggi dalam usia 24
jam pertama merupakan prediktor yang sensitif untuk luaran yang buruk.
Penggunaan NIRS bersamaan dengan aEEG memiliki fungsi prediktor luaran
jangka pendek lebih baik dibandingkan dengan hanya satu modalitas
pemeriksaan. Pada bayi yang dilakukan terapi hipotermia, pemeriksaan NIRS
bersamaan dengan aEEG memiliki nilai prediktor luaran yang baik terutama
pada usia 18 dan 60 jam

setelah terapi hipotermia.200-204

241
Nilai laktat tertinggi dalam satu jam pertama kehidupan dan
pemeriksaan serial laktat merupakan prediktor penting EHI
sedang-berat.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Pemeriksaan prognostik yang dilakukan secara kombinasi lebih


baik daripada pemeriksaan tunggal.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Sebagai penuntun untuk mempermudah penegakan diagnosis, dibuatlah algoritme


praktis sebagai berikut (Gambar 29 dan 30).

242
Gambar 29. Algoritme diagnosis asfiksia dan terapi hipotermia

243
Bayi asfiksia (terkonfirmasi)
lahir diluar RS

Tiba di RS rujukan dengan tidak


pemberitahuan sebelumnya?

ya

Bayi telah ditransfer dalam tidak Nilai usia bayi (dari lahir
suhu dingin/normal? sampai tiba di RS rujukan)

ya
<6 jam >6 jam
• Catat kapan terapi
hipotermi dimulai
• Lanjutkan terapi hipotermia
sampai 72 jam Mulai terapi hipotermia Tidak memenuhi kriteria
terapi hipotermia

Gambar 30. Algoritme alur terapi hipotermia pada bayi rujukan

3.8.4 Peralatan yang diperlukan dalam terapi hipotermia


Peralatan yang perlu dipersiapkan untuk melakukan terapi hipotermia pada fasilitas
ideal adalah sebagai berikut:171,172

• Radiant warmer
• Pengatur suhu
• Probe suhu rektal ukuran 9Fr (termistor rektal)*
• Kabel penghubung probe ke pengukur / pengatur suhu*
• Blanketrol® *
• Lubrikan
• Plester
• Monitor kardiorespirasi

Pada fasilitas terbatas, sebagian peralatan tersebut tidak tersedia sehingga


perlu disesuaikan sebagai berikut:

• Radiant warmer
• Termometer rektal (yang dapat mengukur suhu hingga 32 oC)
• Gel pack adalah sumber dingin yang direkomendasikan
dibandingkan ice pack karena cair lebih lama. Bila gel pack tidak

244
tersedia, maka pilihan terakhir dapat digunakan sarung tangan
berisi air dingin
• Lubrikan
• Plester
• Monitor kardiorespirasi
Secara umum terdapat dua sistem pengatur suhu yang dapat digunakan,
yaitu sistem manual dan sistem servo. Pada sistem manual suhu diatur oleh
tenaga kesehatan berdasarkan hasil pembacaan di monitor, sedangkan sistem
servo secara otomatis akan mengatur suhu alat pendingin dan menyesuaikan
bila suhu tubuh bayi terlalu rendah atau terlalu tinggi dibandingkan kisaran
suhu target (32 - 340C). Pengaturan suhu secara manual menyebabkan fluktuasi
suhu yang lebih besar sehingga sistem servo lebih cenderung dipilih. 162 Selama
proses pendinginan, probe suhu dapat diletakkan di rektal atau esofagus.
Pengukuran suhu aksila tidak dianjurkan karena berkaitan dengan variasi suhu
yang besar serta tidak mewakili suhu inti. 205,206 Pada pusat pelayanan kesehatan
dengan fasilitas terbatas, probe suhu rektal dapat diganti dengan termometer
yang mampu mengukur suhu hingga 32oC, sedangkan blanketrol® digantikan
dengan sarung tangan yang diisi air dingin atau gel pack.

3.8.5 Prosedur terapi hipotermia – fasilitas lengkap Berikut ini


merupakan prosedur terapi hipotermia dengan menggunakan matras
penghangat (Blanketrol®).171,172

a. Memulai cooling

1. Matikan radiant warmer dan pajankan bayi ke suhu ruangan


(passive cooling). Passive cooling dapat dilakukan sejak di ruang
persalinan. Setelah itu bayi dapat dipindahkan ke unit perawatan
intensif dan diletakkan di bawah radiant warmer bed yang
dimatikan.
2. Bayi dalam keadaan telanjang, tanpa popok, topi, ataupun selimut.
3. Perawatan bayi dalam ventilator, jaga suhu humidifier di suhu
normal 36,5 - 37,5oC.
4. Lakukan pemantauan tekanan darah kontinu dengan memasang
arterial line (umbilikal lebih disukai) untuk 72 jam cooling dan 12
jam rewarming. Akses ini juga dapat digunakan untuk analisis gas
darah (AGD) karena lebih baik daripada AGD kapiler (yang mungkin
terpengaruh oleh penurunan perfusi perifer akibat cooling).
5. Lakukan pemeriksaan laboratorium : AGD, laktat, darah perifer lengkap
(DPL), PT, APTT, glukosa, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, elektrolit (Na,

245
K, Cl, Ca ion).
• Pemeriksaan ini diulang selama 3 hari pertama (hari 0, hari 1, hari 2).
• Pada hari 3 pemeriksaan yang perlu dilakukan lagi adalah: DPL, AGD,
glukosa, elektrolit, ureum, kreatinin, PT, APTT (sesuai klinis).

Uraian pemeriksaan penunjang dapat dilihat pada tabel di bawah ini, dan
dilakukan sesuai klinis dan indikasi:171,172

Tabel 16. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan dalam terapi hipotermia
Hari 0 Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 - 7

(masuk perawatan)

AGD

Laktat

DPL

PT, APTT

GDS

SGOT,SGPT

Ur, Cr

Elektrolit

EKG

Echo

EEG

USG kepala

MRI kepala

Sumber:Lambrechts H, Bali S, Rankin S. Therapeutic hypotermia for infants ≥35


weeks with moderate / severe hypoxic ischaemic encephalopathy (EHI) clinical
guideline; 2010 dan The Royal Women’s Hospital. Neurology: Clinical evidence
for therapeutic hypothermia for near-term infants with moderate or severe
hypoxic ischaemic encephalopathy. Dalam : The Royal Women’s Hospital
neonatal service: Clinician’s handbook; 2008171,172

6. Masukkan probe rektal ke anus sedalam minimal 5 cm (fiksasi


menggunakan plester, sekitar 10 cm ke paha atas bagian dalam)-
kedalaman ini penting untuk pengukuran suhu inti secara akurat.
Probe tidak perlu dikeluarkan untuk dibersihkan berkala.

246
7. Hubungkan probe rektal ke mesin pengukur suhu. Jika suhu rektal lebih
dari 35,5oC, nyalakan blanketrol® dengan target suhu 33-34 oC
(active cooling)
8. Jika bayi tampak tidak nyaman, pertimbangkan morfin dan / atau
midazolam (bila menggunakan ventilator) atau parasetamol (dapat
diberikan per rektal, walaupun terpasang probe rektal).
9. Awasi dan tata laksana efek samping cooling yang terjadi:
• Bradikardia sinus (laju nadi <80 kali/menit)
• Pemanjangan interval QT
• Aritmia yang memerlukan intervensi medis atau penghentian
cooling
• Hipotensi (MAP <40) yang memerlukan inotropik
• Anemia (Hb <10 g/dL, Ht <30%)
• Leukopenia (<5000/uL)
• Trombositopenia (<150.000/uL)
• Koagulopati
• Hipoglikemia
• Hipokalemia
• Peningkatan laktat (>2 mmol/L)
• Penurunan fungsi ginjal
• Sepsis
10. Pemeriksaan EKG dan USG kepala dapat dilakukan pada hari-1 (usia 24
jam), jika terdapat indikasi. aEEG dapat dipasang untuk melihat baseline
gelombang otak dan memantau timbulnya kejang.
11. Suhu bayi dipertahankan antara 33 - 34 oC selama 72 jam, yang dilanjutkan
dengan prosedur rewarming.

b. Memulai rewarming

1. Rewarming dimulai setelah cooling dilakukan selama 72 jam.


2. Tempelkan skin probe dari radiant warmer ke kulit bayi dan
nyalakan radiant warmer dengan target suhu 34,5oC.
3. Naikkan set suhu 0,5oC setiap 2 jam sampai tercapai suhu kulit
36,50C dan suhu rektal 37oC.
4. Rewarming memerlukan waktu 6-12 jam.

247
5. Rewarming harus dilakukan dengan perlahan. Rewarming yang
terlalu cepat dapat mengakibatkan penurunan tajam tekanan darah
atau gangguan elektrolit. Jika kondisi bayi tampak tidak "baik",
penurunan suhu dapat diperlambat.
6. Awasi dampak rewarming yang dapat terjadi, yaitu:

• Hipotensi
• Gangguan elektrolit
• Hipoglikemia (karena peningkatan metabolisme)
• Kejang
• Peningkatkan konsumsi oksigen dan produksi CO2
7. Pemantauan suhu rektal dilanjutkan sampai 12 jam setelah
rewarming dimulai. Buang probe suhu rektal setelah selesai
digunakan. Kabel dan mesin pengukur suhu disimpan kembali.

Prinsip perawatan bayi dengan terapi hipotermia tidak jauh berbeda dengan
perawatan bayi secara umum, antara lain menjaga saturasi kadar oksigen dan
karbondioksida dalam rentang normal, memberi bantuan ventilasi jika
diperlukan, mamantau fungsi kardiovaskular secara rutin, serta menggunakan
inotropik sesuai indikasi. Kecukupan cairan juga harus diperhatikan melalui
pemberian cairan mulai dari 40-60 ml/kg/hari dan disesuaikan dengan diuresis
serta insensible water loss, serta pemantauan natrium serum. Seluruh
rangkaian terapi hipotermia harus diawasi dengan ketat dan didokumentasikan
dalam catatan medis harian pasien oleh dokter dan/atau perawat, dengan
menambahkan catatan suhu rektal per jam. Catatan episode kejang sebaiknya
dibuat terpisah. Dokter harus menuliskan tanggal dan jam dimulainya cooling,
rewarming, dan saat rewarming selesai.

3.8.6 Prosedur terapi hipotermia - fasilitas terbatas


Beberapa metode cooling lain yang pernah terbatas yaitu dengan penggunaan
phase changing material (PCM) (gambar 31) dan botol berisi air dingin
(gambar 32).84,85

248
Gambar 31. Phase changing material
(PCM)

terbuat dari salt hydride


, asam lemak, ester
atau paraffin dapat menyerap suhu lingkungan
yang berdekatan. Matras dengan material
PCM telah digunakan di beberapa uji klinis di
India untuk
active cooling
di fasilitas terbata
s

Gambar 32. Penggunaan botol berisi air dingin Botol diisi air
dingin bersuhu
25oC dan diletakkan di samping bayi

Panduan agar terapi hipotermia tetap dapat dilakukan di sarana pelayanan


kesehatan terbatas dengan prinsip yang sama seperti pada sarana kesehatan
lengkap. Langkah-langkah yang dilakukan meliputi: 207,208

1. Prosedur metode cooling yang disarankan adalah passive cooling


dengan menjaga bayi agar berada dalam suhu 3536°C. Memulai passive
cooling dengan cara mematikan radiant warmer dan memaparkan
bayi ke suhu ruangan. Bayi sedapat mungkin dalam keadaan telanjang.

249
Hati-hati pada pemaparan di ruangan dengan air conditioner akan
terjadi overcooling.
2. Lakukan active cooling dengan menggunakan cool pack
(gambar 33) atau sarung tangan berisi air dengan suhu ~10 0C (jika tidak
memiliki cool pack) (gambar 34), yang telah didinginkan di lemari
pendingin (BUKAN dalam freezer). Sebanyak 4-6 buah cool pack atau
sarung tangan berisi air dingin tersebut dapat diletakkan di dada, leher,
dan di bawah bahu bayi (tabel 17).

Gambar 33. Whole body cooling dengan cool pack


Sumber:
https://www2.health.vic.gov.au/hospitals-and-health-services/patientcare/
perinatal-reproductive/neonatal-ehandbook/procedures/initiationhypothermia-
scn

Gambar 34.Whole body coolingdi fasilitas


terbatas dengan sarung tangan berisi air dingin
Terapi hipotermia menggunakan sarung tangan
yang diisi dengan air dingin.
a. Posisi sarung tangan, b. Sarung tangan berisi
air dingin harus dilapisi kain/linen sebelum
diletakkan di atas badan bayi agar tidak
mengembun.

a b Sumber: Foto inventaris RSUPN


Ciptomangunkusumo

250
Tabel 17. Panduan active cooling dengan menggunakan cool packs
Indikator Suhu (0C) Jumlah cool packs yang Area tubuh
dibutuhkan
>37,0 4 Kepala, bahu, leher, badan
36,1-37,0 3 Bahu, leher, badan
35,1-36,0 2 Bahu, badan
34,1-35,0 1 Badan
33,0-34,0 0 Tidak ada
Sumber: King Edward Memorial Hospital. Systemic cooling for hypoxic ischemic

encephalopathy clinical guidelines. 2014 [accessed on October 8 th 2016].


Available at: http://www.kemh.health.wa.gov209
3. Pantau suhu rektal menggunakan termometer yang mampu mengukur
suhu hingga 32oC (Gambar 35) dan pertahankan target suhu antara 33 -
34oC selama 72 jam. Jika suhu rektal lebih rendah dari 33,5 oC, jauhkan
gel pack dari tubuh bayi, nyalakan radiant warmer and atur tingkat
kehangatan secara manual untuk mencapai target suhu. Setelah suhu
rektal mencapai 34oC, matikan radiant warmer dan letakkan kembali
gel pack pada tubuh bayi sesuai kebutuhan.

Gambar 35.
Termometer

Termometer khusus
untuk mengukur suhu
rektal yang dapat
mengukur suhu
hingga 32oC.

Sumber: Foto inventaris RSUPN


Ciptomangunkusumo

4. Rewarming dilakukan dengan menempatkan bayi di bawah radiant


warmer atau di dalam inkubator dengan servocontrolled. Target
suhu rektal dinaikkan 0,5oC setiap 2 jam sampai tercapai suhu kulit
36,50C dan suhu rektal 37oC.
Waktu yang diperlukan untuk rewarming adalah 6 - 12 jam.
5. Awasi dampak rewarming yang mungkin terjadi (hipotensi,
hipoglikemia, kejang, gangguan elektrolit, dan peningkatan kebutuhan
oksigen). Rewarming tidak boleh dilakukan terlalu cepat untuk
mencegah efek yang merugikan. Bila terdapat komplikasi saat

251
rewarming maka proses menaikkan suhu harus diperlambat menjadi
naik 0,5oC setiap 4-8 jam. Pemantauan suhu rektal disarankan tetap
dilakukan hingga 12 jam setelah rewarming.

Terapi hipotermia menggunakan gel/cool pack terbukti


menurunkan risiko kematian dan gangguan perkembangan
bayi dengan EHI pada usia 6 bulan kehidupan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

3.8.7 Penghentian terapi hipotermia


Penghentian terapi hipotermia dilakukan jika terdapat : PPHN perburukan atau
berat, koagulopati berat, aritmia yang memerlukan terapi (bukan sinus
bradikardia), keluarga dan tim medis memutuskan penghentian life support.
Penghentian terapi hipotermia ini harus didiskusikan terlebih dahulu dengan
tim/ konsultan neonatologi setempat.

3.8.8 Follow up
Diperkirakan lebih dari 80% bayi yang bertahan hidup dengan EHI berat
mengalami komplikasi disabilitas berat, dengan 10-20% komplikasi disabilitas
sedang, dan 10% normal. Sedangkan bayi EHI sedang memiliki kemungkinan 30-
50% untuk menderita komplikasi jangka panjang yang berat dan 10 - 20%
sisanya akan mengalami komplikasi neurologis minor. Oleh karena itu, bayi
asfiksia dengan EHI sedang-berat sebaiknya menjalani pemantauan dan
intervensi jangka panjang. Penilaian psikometrik dapat dilakukan sejak bayi
berusia 18 bulan.42 Konsultasi dengan spesialis neurologi anak sangat
dianjurkan untuk pemantauan neurodevelopmental jangka panjang.

BAB IV

PERINGKAT BUKTI DAN DERAJAT REKOMENDASI

Penggunaan plastik transparan tahan panas yang menutupi bayi sampai leher
dapat digunakan untuk mencegah kehilangan panas tubuh pada bayi dengan
berat lahir sangat rendah di bawah 1500g.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

252
Pengisapan hanya dilakukan jika jalan napas mengalami obstruksi. Bayi baru
lahir bugar tidak membutuhkan pengisapan hidung, mulut atau faring setelah
lahir.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Tindakan mengisap mekonium dari mulut dan hidung bayi ketika kepala masih
di perineum sebelum bahu lahir tidak direkomendasikan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Intubasi dan pengisapan endotrakea pada bayi yang lahir dengan kondisi air
ketuban bercampur mekonium sebaiknya dilakukan bila bayi tidak bugar
dengan mempertimbangkan baik manfaat maupun risiko tertundanya ventilasi
karena pengisapan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Nilai Downe dapat digunakan sebagai alat penilaian klinis gawat pernapasan pada bayi.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Resusitasi awal (initial resuscitation) sebaiknya dilakukan dengan udara


ruangan. Resusitasi awal dengan udara ruangan dapat menurunkan mortalitas
dan disabilitas neurologis pada bayi baru lahir bila dibandingkankan dengan
pemberian oksigen 100%.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Pemberian oksigen dapat ditingkatkan hingga mencapai 100% bila resusitasi awal
dengan udara ruangan gagal

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Apabila pemberian CPAP telah mencapai tekanan positif akhir ekspirasi sebesar
8 cmH2O dan FiO2 telah di atas 40% namun bayi masih mengalami gawat
napas, maka pertimbangkan intubasi.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

253
LMA dapat digunakan dalam resusitasi bila pemberian VTP dengan balon dan sungkup
dan intubasi dengan ETT mengalami kegagalan.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Bila bayi bradikardia (LJ<60x/menit) setelah 90 detik resusitasi menggunakan oksigen


konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen dapat ditingkatkan hingga 100% sampai denyut
jantung bayi normal

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Kompresi dada harus dilakukan pada sepertiga bawah sternum dengan kedalaman
sepertiga dari diameter antero-posterior dada

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Teknik dua ibu jari lebih dianjurkan karena teknik ini dapat memberikan
tekanan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih baik pada bayi baru lahir.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Pemberian epinefrin melalui pipa endotrakeal dapat dijadikan pilihan bila jalur
intravena tidak tersedia walaupun jalur ini kurang efektif dibandingkankan jalur
intravena.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Pemberian epinefrin intraoseus dapat menjadi alternatif dibandingkankan vena


umbilikal pada klinisi yang jarang melakukan pemasangan kateter umbilikal,
tetapi cukup berpengalaman mengakses jalur intraoseus.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Arteri umbilikal tidak direkomendasikan untuk pemberian obatobat resusitasi.

Peringkat bukti IV, derajat rekomendasi C

Pemberian epinefrin melalui jalur endotrakeal perlu diberikan dalam dosis yang
lebih tinggi dibandingkankan pemberian melalui intravena.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

254
Sodium bikarbonat tidak rutin diberikan pada resusitasi bayi baru lahir

Peringkat bukti IV, derajat rekomendasi C

Cairan pengganti volume diberikan pada bayi asfiksia yang menunjukkan


respons lambat terhadap tindakan resusitasi intensif.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Normal saline sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan terapi awal


hipotensi pada bayi baru lahir karena aman, murah, dan mudah didapatkan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Pemberian nalokson tidak direkomendasikan sebagai bagian awal resusitasi bayi baru
lahir dengan depresi napas.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Metode hipotermia terapeutik yang dilakukan dalam 6 jam setelah terjadinya


cedera hipoksik-iskemik pascalahir selama 72 jam meningkatkan kesintasan
bayi tanpa disabilitas perkembangan saraf (neurodevelopment) yang berat.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Tidak terdapat perbedaan signifikan terkait kadar penanda inflamasi, mortalitas,


serta tumbuh kembang pada usia 12 bulan pada SHC dan WBC

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi

Nilai Thompson >6 atau Sarnat stage 2-3 (sedang-berat) pada usia 3-5 jam
merupakan prediktor sensitif dari gambaran abnormal aEEG pada usia 6 jam
atau ensefalopati sedang-berat dalam 72 jam setelah kelahiran. Penilaian
Thompson dini bermanfaat untuk penentuan apakah bayi akan dilakukan terapi
hipotermia

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

255
Metode kombinasi aEEG dan pemeriksaan neurologis sesaat setelah kelahiran
meningkatkan kemampuan identifikasi bayi risiko tinggi dan menurunkan
kesalahan identifikasi (falsely identified) bayi dibandingkankan dengan
evaluasi dengan salah satu metode saja.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Fenobarbital merupakan obat pilihan utama anti-kejang lini satu. Bila kejang
belum teratasi dapat diberikan dosis tambahan hingga dosis maksimal
terpenuhi.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

MIdazolam adalah pilihan alternatif anti-kejang pada kasus kejang neoantal


yang tidak dapat teratasi dengan pemberian fenobarbital dan fenitoin.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Nilai laktat tertinggi dalam satu jam pertama kehidupan dan pemeriksaan serial
laktat merupakan prediktor penting EHI sedangberat.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Pemeriksaan prognostik yang dilakukan secara kombinasi lebih baik daripada


pemeriksaan tunggal.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Terapi hipotermia menggunakan gel / cool pack terbukti menurunkan risiko


kematian dan gangguan perkembangan bayi dengan EHI pada usia 6 bulan
kehidupan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

BAB V

SIMPULAN

• Asfiksia neonatorum merupakan salah satu penyebab kematian utama pada


bayi baru lahir

256
• Setiap bayi yang lahir harus dilakukan penilaian awal apakah perlu mendapat
resusitasi atau tidak .
• Langkah resusitasi terdiri atas langkah awal, ventilasi tekanan positif,
kompresi dada, pemberian obat obatan dan pemasangan pipa endotrakeal
yang harus dilakukan sesuai dengan indikasi dan prosedur yang benar.
• Sebaiknya dilakukan pencegahan kelahiran bayi prematur dan asfiksia.
• Terapi hipotermia merupakan pilihan terapi untuk mencegah terjadinya
sekuele atau gangguan perkembangan neurologik akibat asfiksia.

DAFTAR RUJUKAN

1. Lawn JE, Cousens S, Zupan J. 4 million neonatal deaths: When?


Where? Why?. The Lancet. 2005;365:891-900.
2. World Health Organization. Maternal and perinatal health profile.
Diunduh dari
http://www.who.int/maternal_child_adolescent/epidemio
logy/profiles/ maternal/idn.pdf. pada tanggal 20 Juni 2014.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan
Indonesia 2012. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013.
4. World Health Organization. Cause of child mortality. 2000-2012.
Diunduh dari
.http://www.who.int/gho/child_health/mortality/mortality_causes_regi
on_text /en/ pada tanggal 18 September 2014.
5. World Health Organization. World health statistic 2013. Diunduh dari
http://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/EN_WH
S2013_f ull.pdf. pada tanggal 20 Juni 2014.

257
6. Situs Departemen Kesehatan RI. Diunduh dari www.depkes.go.id.
pada tanggal 15 Mei 2009.
7. Rudiger M, Aguar M. Newborn Assesment in the delivery room.
NeoReview. 2012;13:e336-42.
8. Shah P, Riphagen S, Beyene J, Perlman M. Multiorgan dysfunction in
infants with post-asphyxial hypoxic-ischaemic encephalopathy. Arch
Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2004;89:F152-5.
9. van Handel M, Swaab H, de Vries LS, Jongmans MJ. Long-term
cognitive and behavioral consequences of neonatal encephalopathy
following perinatal asphyxia: a review. Eur J Pediatr. 2007;166:645-
54.
10. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Tuttle DJ. Perinatal
asphyxia. Dalam: Gomella T, Cunningham M, Eyal FG, Tuttle DJ.
Neonatology: Management, procedures, on-call problems, diseases,
and drugs. Edisi ke-6. United states: McGraw-Hill education; 2013.
11. World Health Organization. Basic newborn resuscitation: A practical
guiderevision. Geneva: World Health Organization; 2012. Diunduh
dari
http://www.who,int/reproductive-health/publications/newborn_resus_
citation/index.html.
12. World Health Organization. Guidelines on basic newborn
resuscitation. Diunduh dari:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75157/1/9789241
503693_eng.pdf. pada tanggal 19 september 2014.
13. Lee ACC, Mullany LC, Tielsch JM, dkk. Risk factors for neonatal
mortality due to birth asphyxia in Southern Nepal: A prospective,
community-based cohort study.
Pediatrics. 2008;121:e1381-90.
14. American College of Obstetricians and Gynecologist. Umbilical cord
blood gas and acid-based analysis. ACOG committe opinion No. 348.
Obstet Gynecol. 2006;108:1319-22.
15. American Academy of Pediatrics and American College of
Obstetricians and Gynaecologists. Care of the neonate. Dalam:
Gilstrap LC, Oh W, penyunting. Guidelines for perinatal care. Elk
Grove Village (IL): American Academy of Pediatrics; 2002: h.196-7.
16. IDAI. Asfiksia neonatorum. Dalam: Standar pelayanan medis
kesehatan anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004. h.272-6.
17. Saloojee H. Anticonvulsants for preventing mortality and morbidity
in full term newborns with perinatal asphyxia: RHL commentary
(revisi tanggal 10 Oktober 2007). The WHO reproductive health
library; Geneva: World Health Organization.
18. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association.
Buku panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-6. Jakarta: Perinasia;
2011.

258
19. Alonso-Spilsbury M, Mota-Rojas D, Vilanuvea-Garcia D, dkk.
Perinatal asphyxia patophysiology in pig and human: a review. Anim
Reprod Sci. 2005;90:1-30.
20. McGuire W. Perinatal asphyxia. BMJ Clin Evid. 2007;2007:0320.
21. Fahrudin F. Analisis beberapa faktor risiko kejadian asfiksia
neonatorum di Kabupaten Purworejo. Diunduh dari:
http://eprints.undip.ac.id/14393 /1/2003MIKM2003.pdf. pada tanggal
26 september 2014.
22. Oswyn G, Vince JD, Friesen H. Perinatal asphyxia at Port Moresby
general Hospital: a study of incidence, risk factors and outcome. PNG
Med J. 2000;43:110-20.
23. Leone TA, Finer NN. Resuscitation in the delivery room. Dalam:
Gleason CA dan Devaskar SU, penyunting. Avery’s diseases of the
newborn. Edisi ke-9. United Stated of America: Elsevier Inc; 2012.
h.331.
24. Nold JL, Georgieff MK. Infants of diabetic mothers. Pediatr Clin N
Am. 2004;51:619-37.
25. Richardson BS. Fetal adaptive responses to asphyxia. Clin Perinatol.
1989;16:595-611.
26. Williams CE, Mallard C, Tan Gluckman PD. Pathophysiology of
perinatal asphyxia. Clin Perinatol. 1993;20:305-23.
27. Jensen A, Hohmann M, Kunzel W. Dynamic changes in organ blood
flow and oxygen consumption during acute asphyxia in fetal sheep. J
Dev Physiol. 1987;9:337-46.
28. Nishimaki S, Iwasaki S, Minamisawa S, Seki K, Yokota S. Blood
flow velocities in the anterior cerebral artery and basilar artery in
asphyxiated infants. J Ultrasound Med. 2008;27:955-60.
29. Weir FJ, Ohlsson A, Fong K, Amankwah K, Coceani F. Does
endothelin-1 reduce superior mesentric blood flow velocity in preterm
neonates? Arch Dis Child Fetal Neonatal. 1999;80:F123-7.
30. Cipolla MJ. Control of cerebral blood flow. Dalam: Cipolla MY,
penyunting. The cerebral circulation. San Rafael (CA): Morgan &
Claypool Life Sciences; 2009.
31. Varkilova L, Slancheva B, Emilova Z, dkk. Blood lactate
measurement as a diagnostic and prognostic tool after birth asphyxia
in newborn infants with gestational age >34 gestational weeks. Akush
Ginekol. 2013;52:36-43.
32. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy: Clinical aspects.
Dalam: Fletcher J, penyunting. Neurology of the newborn. Edisi ke-5.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008.h.325-586.
33. Davidson JO, Wassink G, Heuij LG, Bennet L, Gunn AJ. Therapeutic
hypothermia for neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy – where
to from here. Front Neurol. 2015;6:198.

259
34. Antonucci R, Porcella A, Piloni MD. Perinatal asphyxia in the term
newborn. JPNIM. 2014;3:e030269.
35. Gleason CA, Juul SE. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke-9.
Philadelphia: Saunders/Elsevier. 2012
36. Romero CC, Vega CC. Neuroprotection in perinatal hypoxic ischemic
encephalopathy – pharmacology combination therapy. Dalam: Svraka
E, penyunting. Cerebral palsy challenges for the future. Edisi
pertama. Amerika serikat:Intech; 2014. h.123-192.
37. Dixon BJ, Reis C, Ho WM, Tang J, Zhang JH. Neuroprotective
strategies after neonatal hypoxic ischemic encephalopathy. Int J Mol
Sci. 2015;16:2236822401.
38. Vannucci SJ, Hagberg H. Review: Hypoxia-ischemia in the immature
brain. J Exp Biol. 2004;207:3149-54.
39. Behrman RE, Butler AS. Mortality and acute complications in
preterm infants. Dalam: Behrman RE, Butler AS, penyunting.
Preterm birth: causes, consequences, and prevention. Washington:
National Academies Pres (US); 2007.
40. Yu VWH. Neonatal complication in preterms infanys. Dalam: Yu
VWH, Wood EC, penyunting. Prematurity. Edinburg: Churcill
Livingstone;1987. h.148-69.
41. Nelson KB, Leviton A . How much of neonatal encephalopathy is due
to birth asphyxia?. Am J Dis Child. 1991;145:1325-31.
42. Agarwal R, Jain A, Deodari AK, dan Paul VD. Post-resuscitation
management of asphyxia. Ind J Pediatr. 2008;75.
43. Fink S. Intraventricular hemorrhage in the term infant. Neonatal
network. 2000;19:13-8.
44. McIntyre. Neonatal aspects of perinatal asphyxia. Dalam:
Arulkumaran S, Jenkins HML, penyunting. Perinatal asphyxia.
London: Sangam; 2000.
45. Adcock LM, Papile LA. Perinatal asphyxia. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams Wilkins; 2008.
46. Lapointe A, Barrington KJ. Pulmonary hypertension and the
asphyxiated newborn. J Pediatr. 2011;158:e19-24.
47. Ranjit MS. Cardiac abnormalities in birth asphyxia. Ind J Pediatr.
2000;67:529-
32.
48. Andreoli SP. Clinical evaluation and management. Dalam: Avner ED,
Harmon P, dan Niaudet P, penyunting. Pediatric neprology.
Philadelphia: Lippincott Williams & wilkins; 2004.
49. Gupta BD, Sharma P, Bagla J, Parakh M, Soni JP. Renal failure in
asphyxiated neonates. Ind Pediatr. 2005;42:928-34.

260
50. Fox TP, Godavitarne. What really causes necrotizing enterocolitis?
ISRN gastroenterology. 2012;2012:1-9.
51. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program.
Queensland maternity and neonatal clinical guideline: Hypoxic-
ischaemic enchephalopathy. Queensland: State of Queensland
(Queensland Health); 2016.
52. Choi YJ, Jung MS, Kim SY. Retinal hemorrhage associated with
perinatal distress in newborn. Korean J Ophtalmology. 2011;25:311-
8.
53. Chen LN, He XP, Huang LP. A survey of high risk factors affecting
retinopathy in China. Int. J. Opthalmol. 2012;5:177-80.
54. Brodsky MC. Semiology of periventricular leucomalacia and its optic
disc morphology. British J Opthal. 2003;87:1309-10.
55. Brodsky MC. Optic atrophy in children. Dalam: Brodsky MC,
penyunting. Pediatric neuro-ophtalmology. Edisi ke-2. Heidelberg:
Springer Science+Business Media; 2010.
56. Morales P, Bustamante D, Espina-Marchant P, dkk. Pathophysiology
of perinatal asphyxia: can we predict and improve individual
outcomes? EPMA Journal. 2011;2:211-30.
57. Leuthner SR, Das UG. Low Apgar scores and the definition of
asphyxia. Pediatr Clin N Am. 2004;51:737-45.
58. Lincetto O. Birth asphyxia-summary of the previous meeting and
protocol overview. Diunduh dari:
http://www.curoservice.com/health_ professionals/news/pdf/10-09-
2007_birth_asphyxia02.pdf. pada tanggal 15 Desember 2014.
59. Chalak LF. Perinatal asphyxia in the delivery room: Initial
management and current cooling guidelines. Neoreview.
2016;17:e463-70.
60. Lee ACC, Mullany LK, Tielsch JM, dkk. Risk factors for neonatal
mortality due to birth asphyxia in Southern Nepal: A prospective
community-based cohort study.
Pediatrics. 2008;121:e1381.
61. Shankaran S, Laptook AR, Ehrenkranz RA, dkk. Whole body
hypotermic for neonates with hypoxic ischemic encephalopathy. N
Engl J Med. 2005;353:157484.
62. Siva Saranappa SB, Chaithanya CN, Madhu GN, Srinivasa S,
Manjunath MN. Clinical profile and outcome of perinatal asphyxia in
tertiary care centre. Curr Pediatr Res. 2015;19:9
63. Boskabadi H, Maamouri G, Sadeghian MH, dkk. Early diagnosis of
perinatal asphyxia by nucleated red blood cell count: A case-control
study. Arch Iran Med. 2010;13:275-80.
64. Colaco SM, Ahmed M, Kshirsagar VY, Bajpai R. Study of nucleated
red blood cell counts in asphyxiated newborns and the fetal outcome.
Int J Clin Pediatr. 2014;3:79-85.

261
65. McCarthy JM, Capullari T, Thompson Z, Zhu Y, Spellacy WN.
Umbilical cord nucleated red blood cell counts: normal values and the
effect of labor. J Perinatol. 2006;26:89-92.
66. Australian Resuscitation Council. Neonatal Guidelines. Diunduh dari
www.resus.org.au. pada tanggal 15 Oktober 2013.
67. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program.
Neonatal resuscitation. Queensland: State of Queensland; 2011. h.7-8.
68. Karlowicz MG, Karotkin EH, Goldsmith JP. Resuscitation. Dalam:
Karotkin EH, Goldsmith JP, penyunting. Assisted ventilation of the
neonate. Edisi ke-5. Missouri: Saunders; 2011. h.76-7.
69. UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus. Jakarta: UKK
neonatologi IDAI; 2014.
70. The Royal Women’s Hospital. Delivery room management. Dalam:
The Royal Women’s Hospital neonatal service: Clinician’s handbook.
Melbourne: The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 26.
71. American Academy of Pediatrics. Textbook of neonatal resuscitation.
Edisi ke-7. Amerika serikat: American Academy of Pediatrics and
American Heart Association. 2016.
72. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, dkk. Part 11: Neonatal
resuscitation. 2010 International consensus on cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care science with
treatment recommendations. Circulation. 2010;122:S516-38.
73. Kattwinkell J, Perlman J, Azis K, dkk. Neonatal Rescucitation
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Pediatrics
2010;126:e1400
74. Niermeyer S. Evidence-based guidelines for neonatal resuscitation:
Neonatal resuscitation guidelines. Neoreviews. 2001;2:e38-45.
75. Knobel RB, Wimmer Jr JE, Holbert D. Heat loss prevention for
preterm infants in the delivery room. J Perinatol. 2005;25:304-8.
76. Richmond S, Wyllie J. European Resuscitation Council Guidelines
for Resuscitation
2010 Section 7. Resuscitation of babies at birth. Resuscitation.
2010;81:1389– 99
77. Raghuveer TS, Cox AJ. Neonatal resuscitation: an update. Am Fam
Physician. 2011;83:911-8.
78. Grein AJ, Welner GM. Laryngeal mask airway versus bag-mask
ventilation or endotracheal intubation for neonatal resuscitation.
Cochrane Neonatal Review. 2005.
79. UK Resuscitation Council. Section 11 Newborn Life Support. 2010
Resuscitation Guidelines. Diunduh dari www.resus.org.uk/pages/nls.
pdf. pada tanggal 15 Oktober 2013.
80. Kamlin CO1, O'Donnell CP, Davis PG, Morley CJ. Oxygen saturation
in healthy infants immediately after birth. J Pediatr. 2006.148:585-9.

262
81. Dawson JA, Kamlin COF, Vento M, dkk. Defining the reference
range for oxygen saturation for infants after birth. Pediatrics.
2010;125:e1340-7.
82. American College of Obstetricians and Gynecologist; American
Academy of Pediatrics. The APGAR score. ACOG committe opinion
No. 333. Obstet Gynecol. 2006;107:1209-12.
83. American Academy of Pediatrics, Commitee on Fetus and Newborn,
American Colledge of Obstetricians and Gynecologist and Committe
on Obstetric Practice. The Apgar score. Pediatrics. 2006;117;1444.
84. Kattwinkel J. Neonatal resuscitation for ILCOR and NRP: evaluating
the evidence and developing a consensus. J Perinatol. 2008;28:s28-9.
85. Halamek LP, Morley C. Continuous positive airway pressure during
neonatal resuscitation. Clin Perinatol. 2006;33:83–98.
86. Spitzer AR, Clark RH. Positive pressure ventilation in the treatment
of neonatal lung disease. Dalam: Goldsmith dan Karotkin
(penyunting). Assisted ventilation of the neonate. Edisi ke-5.
Missouri: Elseiver Saunder; 2011.
87. Yagui AC, Vale LAPA, Haddad LB, dkk. Bubble CPAP versus
CPAP with variable flow in newborn with respiratory distress: a
randomized control trial. Journal de Pediatria. 2011;87:499-504.
88. Buch P, Makwana AM, Chudasama RK. Usefulness of Downe score
as clinical assessment tool and bubble CPAP as primary respiratory
support in neonatal respiratory distress syndrome. J Pediatr Sci.
2013;5:176-83
89. Trevisanuto D, Cengio VD, Doglioni N, dkk. Oxygen delivery using
a neonatal self-inflating resuscitation bag: effect of oxygen flow.
Pediatrics.
2013;131:e144-9.
90. Benett S, Finer NN, Vaucher Y. A comparison of three neonatal
resuscitation devices. Resuscitation. 2005. 67:113-8.
91. Hussey SG, Ryan CA, Murphy BP. Comparison of three manual
ventilation devices using an intubated manenequin. Arch Dis Child
Fetal Neonatal. 2004; 89:F490-3.

92. Davis PG, Tan A, O’Donnel CPH, Schulze A. Resuscitation of


newborn infants with
100% oxygen or air: a systematic review and meta-analysis. Lancet.
2004; 364:1329-33.
93. Boyle DW, Engle WA. Resuscitation. Dalam: Hertz DE, penyunting.
Care of the newborn. Handbook for primary care. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2005.hal 6-22.
94. Braga MS, Dominguez TE, Pollock AN, dkk. Estimation of optimal
CPR compression depth in children by using computer tomography.
Pediatrics. 2009;124:e69-74.

263
95. Oca MJ, Nelson M, Donn SM. Randomized trial of normal saline
versus 5% albumin for the treatment of neonatal hypotension. J
Perinatol. 2003; 23:43776.
96. McGuire W, Fowlie PW. Naloxone for narcotic exposed newborn
infants: systemic review. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2003;88.
97. The International Liaison Commitee on Resuscitation. The
International Liaison Commitee on Resuscitation (ILCOR) consensus
on science with treatment recommendations for pediatric and neonatal
patients: Neonatal resuscitation. Pediatrics. 2006;117;e978-88.
98. Bissinger RL. Neonatal resuscitation, 2012. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/ 977002-overview pada
tanggal 18 Oktober 2014.
99. World Health Organization. WHO guidelines on hand hygiene in
health care,
2009. Diunduh dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241597906_eng.pdf?
ua=
1 pada tanggal 24 September 2014
100. Davis RP, Mychaliska GB. Neonatal pulmonary physiology. Semin
Pediatr Surg. 2013;22:179–184.
101. Karlsen KA. The STABLE program: Pre-transport/ Post-resuscitation
stabilization care of sick infants, guidelines for neonatal healthcare
providers. 2006. Diunduh dari
http://www.stableprogram.org/docs/
stable_learner_manual_preview.pdfpad a tanggal 24 september 2014
102. Canadian Paediatric Society. Screening guidelines for newborns at
risk for low blood glucose. Paediatr Child Health. 2004;9:723-9.
103. Chakkarapani E, Thoresen M. Use of hypothermia in the asphyxiated
infant.
Perinatology. 2010;3:20-9.
104. Schuchmann S, Schimitz D, Rivera C, dkk. Experimental febrile
seizures are precipitated by a hyperthermia-induced respiratory
alkalosis. Nat Med. 2006;12:817-23.
105. Arciniegas DB. Hypoxic-ischemic brain injury. 2012. Diunduh dari
http://www.internationalbrain.org/ articles/hypoxicischemic-brain-
injury/ pada tanggal 19 Mei 2015.
106. Mizrahi EM. Neonatal seizures and neonatal epileptic syndromes.
Neurologic clinics. 2001;19:427-63.
107. Glass H. Neonatal seizures. Clin Perinatol. 2014;41:177-190.
108. Shellhaas RA, Chang T, Tsuchida T, dkk. The American Clinical
Neurophysiology Society's Guideline on Continuous
Electroencephalography Monitoring in Neonates. J Clin Neurophysiol
2011; 28:611.

264
109. Weeke L, Toet M, van Rooij L, dkk. Lidocaine response rate in
aEEG-confirmed neonatal seizures: Retrospective study of 413 full-
term and preterm infants. Epilepsia. 2015;57:233-242.
110. Divisi Perinatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Guidelines for
administration of IV drugs by infusion on the neonatal unit. Jakarta:
RSUPN Cipto Mangunkusumo; 2005.
111. Hart AR, Pilling EL, Alix JJ. Neonatal seizures–part 2: aetiology of
acute symptomatic seizures, treatments and the neonatal epilepsy
syndromes. Arch Dis Child Educ Pract Ed. 2015;100:226–232.
112. Evans D. Levene M. Neonatal seizures. Arch Dis Child Fetal
Neonatal 1998; 78:F70-5.
113. Srinivasakumar P, Zempel J, Trivedi S, dkk. Treating EEG Seizures
in Hypoxic Ischemic Encephalopathy: A randomized controlled trial.
Pediatrics 2015; 136:e1302.
114. Hellström-Westas L, Boylan G, Ågren J. Systematic review of
neonatal seizure management strategies provides guidance on anti-
epileptic treatment. 2014.
115. Agarwal R. Guidelines on neonatal seizures. World Health
Organization. 2011
116. Volpe J, Inder T, Darras B, dkk. Neurology of the newborn. Edisi ke-
6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2017.h.275-318.
117. Vento M, de Vries L, Alberola A, dkk. Approach to seizures in the
neonatal period: a European perspective. Acta Paediatrica.
2010;99(4):497-501.
118. Slaughter L, Patel A, Slaughter J. Pharmacological Treatment of
Neonatal Seizures. Journal of Child Neurology. 2013;28:351-364.
119. Bourgeois BF, Dodson WE. Phenytoin elimination in newborns.
Neurology 1983; 33:173.
120. Kementerian Kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan neonatal
esensial: Pedoman teknis pelayanan kesehatan dasar. Edisi Revisi.
Jakarta: Kementrian kesehatan, 2010.
121. Painter MJ, Scher MS, Stein AD, dkk. Phenobarbital compared with
phenytoin for the treatment of neonatal seizures. N Engl J Med. 1999;
341:485–489. [PubMed: 10441604]
122. Lockman LA, Kriel R, Zaske D, dkk. Phenobarbital dosage for
control of neonatal seizures. Neurology. 1979;29:1445- 1449.
123. Riviello JJ. Drug therapy for neonatal seizures: Part 2. Pharmacol
Rev. 2004;5:e262-e268.
124. Gherpelli JL, Cruz AM, Tsanaclis LM, dkk. Phenobarbital in
newborns with neonatal seizures. A study of plasma levels after
intravenous administration. Brain Dev. 1993 Jul-Aug;15(4):258-62.
125. McMorris S, McWilliam PK. Status epilepticus in infants and young
children treated with parenteral diazepam. Arch Dis Child.

265
1969;44:604 611.
126. Boylan G, Rennie J, Chorley G, dkk. Second-line anticonvulsant
treatment of neonatal seizures. Neurology. 2004; 62:486–488.
[PubMed: 14872039]
127. Laptook AR, Shalak L, Corbett RJT. Differences in brain temperature
and cerebral blood flow during selective head versus whole-body
cooling. Pediatrics. 2001; 108;1103.
128. Campo-Soria C, Chang Y, Weiss DS. Mechanism of action of
benzodiazepines on GABA receptors. British Journal of
Pharmachology. 2006;148(7).

129. Kilicdag H, Daglıoglu K, Erdogan S, dkk. The effect of levetiracetam


on neuronal apoptosis in neonatal rat model of hypoxic ischemic
brain injury. Early Hum Dev 2013; 89:355.
130. Komur M, Okuyaz C, Celik Y, dkk. Neuroprotective effect of
levetiracetam on hypoxic ischemic brain injury in neonatal rats.
Childs Nerv Syst 2014; 30:1001.
131. Khan O, Chang E, Cipriani C, dkk. Use of intravenous levetiracetam
for management of acute seizures in neonates. Pediatr Neurol 2011;
44:265.
132. Loiacono G, Masci M, Zaccara G, Verrotti A. The treatment of
neonatal seizures: focus on Levetiracetam
133. Sharpe CM, Capparelli EV, Mower A, dkk. A seven-day study of the
pharmacokinetics of intravenous levetiracetam in neonates: marked
changes in pharmacokinetics occur during the first week of life.
Pediatr Res 2012; 72:43.
134. Merhar SL, Schibler KR, Sherwin CM, dkk. Pharmacokinetics
135. Mruk Allison L, L Karen, Garlitz, RL Noelle R. Levetiracetam in
Neonatal Seizure: A Review. J Pediatr Pharmacol Ther 2015;20:76–
89.
136. Vento M, de Vries LS, Alberola A, dkk. Approach to seizures in the
neonatal period: a European perspective. Acta Paediatr. 2010;99:497-
501.
137. Van Rooij LG, Hellstrom-Westas L, de Vries LS. Treatment of
neonatal seizures. Semin Fetal Neonatal Med. 2013;18:209-215
138. Malingré MM, Van Rooij LG, Rademaker CM, dkk. Development of
an optimal lidocaine infusion strategy for neonatal seizures. Eur J
Pediatr 2006; 165:598.
139. Lundqvist M, Ågren J, Hellström-Westas L, Flink R, Wickström R.
Efficacy and safety of lidocaine for treatment of neonatal seizures.
Acta Paediatrica. 2013;102(9):863-867.
140. van Rooij LG, Toet MC, Rademaker KM, dkk. Cardiac arrhythmias
in neonates receiving lidocaine as anticonvulsive treatment. Eur J
Pediatr 2004; 163:637.

266
141. Castro Conde JR, Hernández Borges AA, Doménech Martínez E,
dkk. Midazolam in neonatal seizures with no response to
phenobarbital. Neurology 2005; 64:876.
142. Langslet A, Meberg A, Bredesen JE, dkk. Plasma concentrations of
diazepam and N-desmethyldiazepam in newborn infants after
intravenous, intramuscular, rectal and oral administration. Acta
Paediatr Scand. 1978;67:699-704.
143. Ramsey RE, Hammond EJ, Perchalski RJ, dkk. Brain uptake of
phenytoin, phenobarbital, and diazepam. Arch Neurol. 1979;36:535.
144. Prensky AL, Raff MC, Moore MJ, dkk. Intravenous diazepam in the
treatment of prolonged seizure activity. N Engl J Med. 1967;276:779-
784.
145. Smith BT, Masotti RE. Intravenous diazepam in the treatment of
prolonged seizure activity in neonates and infants. Dev Med Child
Neurol. 1971;13:630-634.
146. Schiff D, Chan G, Stern L. Fixed drug combinations and the
displacement of bilirubin from albumin. Pediatrics.1971;48:139-141.
147. Gamstorp I, Sedin G. Neonatal convulsions treated with continuous,
intravenous infusion of diazepam. Ups J Med Sci. 1982;87:143-149.
148. Committee on Drugs. Drugs for pediatric emergencies. Pediatrics.
1998; 101(1):1-11.
149. Wolf Ni, Bast T, Surtees R. Epilepsy in inborn errors of metabolism.
Epileptic Disord 2005; 7: 67-81.
150. Lehr VT, Chugani HT, Aranda JV. Anticonvulsants. Dalam: Yaffe
SJ, Aranda JV, penyunting. Neonatal and pediatric pharmacology:
Therapeutic principles in practice. Edisi ketiga. Philadhelpia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2005.
151. Taketomo CK, Hodding JH, Kraus DM. Pediatric and neonatal
dosage handbook: A comprehensive resource for all clinicians
treating pediatric and neonatal patients. Edisi ke-18.
152. Hospira UK Ltd. Phenytoin injection. 2014. Diunduh dari
https://www.medicines.org.uk/emc/medicine /650 pada tanggal 15
April 2015.
153. Murphy SA. Emergency management of
seizures. Diunduh dari
https://www.umassmed.edu/.
154. Young T, Mangum B. Neofax 2010. Thomson Reuters;2010:23
155. The Royal Women’s Hospital. Paediatric Pharmacopoeia 13 th Ed.
Royal Women’s Hospital Melbourne.
156. Taketomo CK, Hodding JH, Kraus DM. Pediatric and neonatal
dosage handbook. Hudson (OH): Lexi Comp; 2010.
157. Sophie P. Essential drugs - practical guidelines. 17th ed. Médecins
Sans Frontières; 2017.

267
158. The Royal Women’s Hospital. Neonatal Pharmacopoeia. Pharmacy
Departement 1998;1.
159. World Health Organization. Cooling for newborns with hypoxic
ischaemic ensephalopathy. 2010.
http://apps.who.int/rhl/newborn/cd003311_ballotde_com/en/ pada
tanggal 14 Agustus 2014
160. Salhab WA, Wyckoff AR. Laptook AR, Perlman JM. Initial
hypoglycemia and neonatal brain injury in term infants with severe
fetal acidemia. Pediatrics,2004;114:361-6)
161. Silveira RC, Procianoy RS. Hypothermia therapy for newborns with
hypoxic ischemic encephalopathy. J Pediatr (Rio J). 2015; 9: 578-583
162. Robertson NJ, Kendall GS, Thayyil S. Techniques for therapeutic
hypothermia during transport and in hospital for perinatal asphyxial
encephalopathy. Semin Fetal Neonatal Med. 2010;15:276-86.
163. Shankaran S. Therapeutic hypotermia for neonatal enchephalopathy.
Curr Treat Options Neurol. 2012; 14.
164. Sarafidis K, Soubasi V, Mitsakis K, Agakidou VD. Therapeutic
hypothermia in asphyxiated neonates with hypoxic-ischemic
encephalopathy: A single-center experience from its first application
in Greece. Hippokratia. 2014; 18:226-30.
165. Azzopardi D, Strohm B, Linsell L, dkk. UK TOBY Cooling Register.
Implementation and conduct of therapeutic hypothermia for perinatal
asphyxial encephalopathy in the UK--analysis of national data. PLoS
One. 2012; 7: e38504.
166. Khurshid F, Lee KS, McNamara PJ, Whyte H, Mak W. Lessons
learned during implementation of therapeutic hypothermia for
neonatal hypoxic ischemic encephalopathy in a regional transport
program in Ontario. Paediatr Child Health. 2011; 16: 153-156.
167. Gluckman PD, Wyatt JS, Azzopardi D, dkk. Selective head cooling
with mild systemic hypothermia after neonatal encephalopathy:
multicentre randomized trial. Lancet. 2005; 365:663-70.
168. Hoque N, Chakkarapani E, Liu X, Thoresen M. A comparison of
cooling methods used in therapeutic hypothermia for perinatal
asphyxia. Pediatrics. 2010;126:e124-30.
169. Celik Y, Atici A, Makharoblidze K, Eskandari G, Sungur MA,
Akbayir S. The effects of selective head cooling versus whole-body
cooling on some neural and inflammatory biomarkers: a randomized
controlled pilot study. Italian Journal of Pediatrics. 2015; 41:79
170. Laptook AR, Shalak L, Corbett RJT. Differences in brain temperature
and cerebral blood flow during selective head versus whole-body
cooling. Pediatrics. 2001; 108;1103.
171. Lambrechts H, Bali S, Rankin S. Therapeutic hypotermia for infants
≥35 weeks with moderate/ severe hypoxic ischaemic encephalopathy
(HIE) clinical guideline,2010. Diunduh dari
http://www.northerntrust.hscni.net pada tanggal 14 Agustus 2014.

268
172. The Royal Women’s Hospital. Neurology: Clinical evidence for
therapeutic hypothermia for near-term infants with moderate or
severe hypoxic ischaemic encephalopathy. Dalam: The royal
women’s hospital neonatal service: Clinician’s handbook. Melbourne:
The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 105-8.
173. Jacobs SE, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis PG. Cooling
for newborns with hypoxic ischaemic encephalopathy. Cochrane
Database of Systematic Reviews 2007, Issue 4, Art. No: CD003311.
174. Schulzke SM, Rao S, dan Patole SK. A systematic review of cooling
for neuroprotection in neonates with hypoxic ischemic
encephalopathy-are we there yet? BMC Pediatrics. 2007; 7: 1-10.
175. Jacobs SE, Berg M, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis PG.
Cooling for newborns with hypoxic ischaemic encephalopathy.
Cochrane Database of Systematic Reviews 2013, Issue 1. Art. No.:
CD003311.
176. Conway J, Walsh B, Boylan G, Murray D. Mild hypoxic ischaemic
encephalopathy and long term neurodevelopmental outcome - A
systematic review. Early Human Development. 2018;120:80-87.
177. Laptook A, Shankaran S, Tyson J, dkk. Effect of Therapeutic
Hypothermia Initiated After 6 Hours of Age on Death or Disability
Among Newborns With Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. JAMA.
2017;318(16):1550.
178. Lally PJ, Price DL, Pauliah SS, dkk. Neonatal encephalopathic
cerebral injury in South India assessed by perinatal magnetic
resonance biomarkers and early childhood neurodevelopmental
outcome. PLoS ONE 2014;9:e87874.
179. van de Riet JE, Vandenbussche FP, Le Cessie S, Keirse MJ. Newborn
assessment and long-term adverse outcome: a systematic review. Am
J Obstet Gynecol 1999;180:1024-9).
180. Horn AR, Swingler G, Myer L, Linley LL, Raban MS, Joolay Y.
Early clinical signs in neonates with hypoxic-ischemic
encephalopathy predict an abnormal amplitude-integrated
electroencephalogram at age 6 hours. Pediatrics 2013;13:52.
181. Merchant N, Azzopardi D. Early predictors of outcome in infants
treated with hypothermia for hypoxic-ischemic encephalopathy. HIE
supplement 2015;57:816
182. Mwakyusa SD, Manji KP, Massawe AW. The hypoxic ischaemic
encephalopathy score in predicting neurodevelopmental outcomes
among infants with birth asphyxia at the Muhimbili National
Hospital, Dar-es Salaam Tanzania. J Tropical Pediatr. 2008; 55: 8-14.
183. El-Dib M, Chang T, Tsuchida TN, Clancy RR. Amplitude-integrated
electroencephalography in neonates. PediatricNeurology.
2009;41:315-326.
184. Clancy RR, Dicker L, Cho S, dkk. Agreement between long-term
neonatal background classification by conventional and amplitude-

269
integrated EEG. J Clin Neurophysiol. 2011;28:1-9.
185. Foreman SW, Thorngate L, Burr RL, Thomas KA. Electrode
challanges in amplitude-integrated EEG: research application of a
novel noninvasive measure of brain function in preterm infants. Biol
Res Nurs. 2011.
186. Thoresen M, Westas LH, Liu X, Vries LS. Effect of hypothermia on
amplitude integrated encephalogram in infants with asphyxia.
Pediatrics. 2010; 126: 131139
187. van Laerhoven H, de Haan TR, Offringa M, Post B, van der Lee JH.
Prognostic tests in term neonates with hypoxic-ischemic
encephalopathy: a systematic review. Pediatrics 2013;131:88-98
188. Shalak LF, Laptook AR, Velaphi SC, Perlman JM. Amplitude-
integrated electroencephalography coupled with an early neurological
examination enhances prediction of term infants at risk for persistent
encephalopathy. Pediatrics 2003;111:351-7
189. Thoresen M, Hellstrom-Westas L, Liu X, de Vries LS. Effect of
hypothermia on amplitude-integrated electroencephalogram in infants
with asphyxia. Pediatrics 2010;126:e131-9
190. Deshpande SA, Ward Platt MP. Association between blood lactate
and acidbase status and mortality in ventilated babies. Arch Dis Child
Fetal Neonatal Ed 1997;76:F15-20.
191. Cheung PY, Robertson CMT, Finer NN. Plasma lactate as a predictor
of early childhood neurodevelopmental outcome of neonates with
severe hypoxemia requiring extra corporeal membrane oxygenation.
Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1996;74:F47-50.
192. Shah S, Tracy M, Smyth K. Postnatal lactate as an early predictor of
short-term outcome after intrapartum asphyxia. J Perinatol
2004;24:16-20
193. Jongeling BR, Badawi N, Kurinczuk JJ, dkk. Cranial ultrasound as a
predictor of outcome in term newborn encephalopathy. Pediatr Neurol
2002;26:37-42.
194. Varghese B, Xavier R, Manoj VC, Aneesh MK, Priya PS, Kumar A,
Sreenivasan VK. Magnetic resonance imaging spectrum of perinatal
hypoxic-ischemic brain injury. Indian J Radiol Imaging 2016;26:316-
27
195. Rutherford M, Malamateniou C, McGuinness A, Allsop J,Biarge
MM, Counsell S. Magnetic resonance imaging in hypoxic-ischemic
encephalopathy. J Early Human Development 2010;86:351-60
196. Jobsis FF. Noninvasive, infrared monitoring of cerebral and
myocardial oxygen sufficiency and circulatory parameters, Science
1977;198: 1264-1267.
197. Greisen G, Leung T, Wolf M. Has the time come to use near-infrared
spectroscopy as a routine clinical tool in preterm infants undergoing
intensive care? Phil Trans R Soc A 2011;369:4440-51.

270
198. Panerai RB. Transcranial Doppler for evaluation of cerebral
autoregulation. Clin Auton Res 2009; 19: 197–211.
199. Toet M. Cerebral Oxygenation and Electrical Activity After Birth
Asphyxia: Their Relation to Outcome. Pediatrics. 2006;117:333-339.
200. Goeral K, Urlesberger B, Giordano V, dkk. Prediction of Outcome in
Neonates with Hypoxic-Ischemic Encephalopathy II: Role of
Amplitude-Integrated Electroencephalography and Cerebral Oxygen
Saturation Measured by NearInfrared Spectroscopy. Neonatology.
2017;112:193-202.
201. Perlman JM, McMenamin JB, Volpe JJ. Fluctuating cerebral blood-
flow velocity in respiratory distress syndrome. Relation to the
development of intraventricular hemorrhage. N Engl J Med
1983;309:204–209.
202. Perlman JM, Goodman S, Kreusser KL, Volpe JJ. Reduction in
intraventricular hemorrhage by elimination of fluctuating cerebral
blood-flow velocity in preterm infants with respiratory distress
syndrome. N Engl J Med 1985;312:1353–1357.
203. Da Costa CS, Greisen G, Austin T. Is near-infrared spectroscopy
clinically useful in the preterm infant? Arch Dis Child Fetal Neonatal
Ed. 2015;100:F558-F561.
204. Liao SM, Culver JP. Near infrared optical technologies to illuminate
the status of the neonatal brain. Curr Pediatr Rev. 2014;10:73-86.
205. Ergenekon E. Therapeutic hypothermia in neonatal intensive care
unit: challenges and practical points. J Clin Neonatol. 2016; 5:8-17
206. Mitchell AP, Johnston ED. Provision of therapeutic hypothermia
during neonatal transport. Infant. 2013;7:79-82
207. Bharadwaj SK Bhat BV. Therapeutic hypothermia using gel packs for
term neonates with hypoxic ischaemia encephalopathy in resource-
limited settings: a randomized controlled trial. J Trop Pediatr. 2012;
58: 382-8.
208. Robertson NJ, Hagmann CF, Acolet D, dkk. Pilot randomized
controlled trial of therapeutic hypotermia with serial cranial
ultrasound and 18-22 month followup for neonatal encephalopathy in
a low resource hospital setting in Uganda: study protocol. Trials.
2011; 12:138.
209. King Edward Memorial Hospital. Systemic cooling for hypoxic
ischemic encephalopathy clinical guidelines. 2014. Diunduh dari
http://www.kemh.health.wa.gov pada tanggal 8 Oktober 2016.

271
LAMPIRAN 1

Berikut ini merupakan daftar persiapan dan peralatan minimal yang harus
disediakan sebelum resusitasi.
Jumlah Keterangan

Tata laksana suhu

Ruang resusitasi 1 Suhu ruangan diupayakan 24-26oC

Penghangat bayi (infant warmer) 1 Penghangat bayi dihidupkan terlebih dahulu


sebelum bayi lahir untuk menghangatkan barang-
barang yang akan dipakai bayi

Plastik minimal 2 Plastik yang dapat digunakan adalah plastik lebar


atau plastik klip. Bila menggunakan plastik klip,
sebaiknya telah terlebih dahulu dilubangi pada
bagian bawah

Topi bayi 1 Topi harus dibuat dari kain atau wol yang hangat

Linen/kain bedong minimal 5 1 kain dilipat dan digunakan untuk mengganjal


bahu bayi, 1 kain digunakan sebagai alas, 2 kain
digunakan untuk mengeringkan badan bayi, 1
kain untuk membungkus bayi

Inkubator transpor 1 Inkubator telah dikondisikan dalam keadaan


hangat. Bila inkubator tidak tersedia di fasilitas
Baju kanguru 1 terbatas, inkubator ini dapat digantikan dengan
baju kangguru

Termometer/ monitor suhu beserta probe-nya 1 Untuk mengukur suhu bayi

Tata laksana airway dan breathing (ventilasi)

Suction 1 Bertekanan negatif, tidak melebihi -100


mmHg

Kateter suction @1 Umumnya berukuran 5, 6, 8, 10, 12, 14French

Bulb suction 1

Aspirator mekonium 1

Tabung oksigen dan flowmeter 1 Akan lebih baik bila tersedia tabung cadangan

Tabung udara bertekanan dengan 1


indikator tekanan

T-piece resuscitator 1 Periksa kelayakgunaan alat sebelumnya

Jackson rees 1

Balon mengembang sendiri (BMS) 1

272
Katup PEEP 1

Sungkup @1 Berbagai ukuran

OGT 8 French dan spuit 20 mL @1 Untuk dekompresi orogastrik

Pulse oxymetri 1

Monitor EKG 1

Laringoskop + baterai 1 Siapkan baterai cadangan

Ukuran 0 untuk bayi <1000 gram, 00 untuk >1000


gram, 1 untuk >3000 gram. Periksa
kelayakpakaian lampu masingmasing bilah

Bilah lurus laringoskop @1


ETT @1 Umumnya nomor 2,5; 3; 3,5; dan 4

Penyediaan ETT dibuat berdasarkan perkiraan


berat lahir bayi, minimal sediakan ETT berukuran
sesuai perkiraan berat lahir bayi serta 0,5 nomor
di atas dan 0,5 di bawahnya.

Umumnya, berat badan <1000 gram, 1000-2000


gram, dan >2000 gram menggunakan ETT nomor
2,5; 3; dan 3,5 secara berturut-turut

Stilet 1

Plester secukupnya Plester dapat menggunakan hipafix yang telah


dipotong-potong

Benang kasur secukupnya

Gunting 1

Magil 1 Digunakan bila bayi akan dilakukan intubasi


melalui hidung

LMA @1 Berbagai ukuran

Obat-obatan premedikasi Sulfas atropin, morfin

Tata laksana sirkulasi

Kateter intravena minimal 3 Ukuran G24, G26

Set infus 1

Spalk, dressing transparan atau micropore @1

OGT @1 Siapkan ukuran 3,5 dan 5-French. OGT yang


akan dipakai harus telah diisi dengan NaCl 0,9%
Three way 1 dan disambungkan dengan three way

Syringe pump 1

273
NaCl 0,9% secukupnya Cukup untuk melakukan bolus sebanyak 2 kali 10
mL/kgBB

D10% secukupnya Cukup untuk melakukan bolus sebanyak 2


mL/kgBB

Set umbilikal steril 1 set Berisi 1 duk bolong, 1 duk untuk alas alat, 2 klem
duk, 1 pinset lurus, 1 pinset sirurgis, 1 piset
bengkok, 1 klem bengkok, 1 benang silk ukuran
3.0 cutting, 1 needle holder, 1 gunting, 1
mangkok berisi Betadine

Obat-obatan resusitasi @1 Epinefrin 1:10.000, kalsium glukonas 10%,


nalokson hidroklorida, natrium bikarbonat,
dopamin, morfin,
modazolam, fenobarbital, surfaktan

Lain-lain

APD (topi, kacamata, gaun, sarung tangan)

Stetoskop 1 Ukuran neonatus/pediatrik

Spuit @2 Spuit 1 mL, 3 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL

Jarum spuit disposable 2

Glukometer 1

Gluko-stick minimal 1

LAMPIRAN 2. CONTOH KASUS

1. Seorang bayi perempuan, 39 minggu, taksiran berat 3200 gram, lahir secara SC cito
atas indikasi gawat janin dari seorang ibu dengan persalinan tak maju. Saat lahir, bayi
apne dan hipotoni.

Fasilitas ideal Fasilitas terbatas

60 detik • Letakkan bayi di bawah peng hangat, posisikan kepala-leher bayi mengganjal
pertama meghidu/semi-ekstensi dengan bahu bayi menggunakan
kain bedong lipat yang telah dihangatkan sebelumnya.

274
• Keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi.

(Penolong dapat memasang plastik polietilen bila dirasa perlu karena

suhu ruang resusitasi sangat dingin).

• Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan).

• Posisikan bayi kembali

* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil


pada bayi

Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi megap-megap, LJ 100 kali/menit,
hipotoni. nya VTP ditentukan dalam 60 detik

(Keputusan pemberian atau tidak pertama


ini)

Penolong memberikan VTP dengan Penolong memberikan VTP dengan


konsentrasi oksigen 21% menggunakan t- konsentrasi oksigen 21% menggunakan BMS
piece resuscitator dilengkapi dengan tanpa sumber oksigen (hanya menggunakan
blender oksigen eksternal atau udara ruangan).
menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara
tekan, tanpa oksigen murni).

Berikan PIP dan PEEP, umumnya dimulai


dari 30/5. PIP dapat ditingkatkan sampai
dada mengembang, kemudian dapat juga
diturunkan bila dada terlalu mengembang

Penolong lain secara bersamaan mem asang pulse oxymetri untuk memantau
LJ dan saturasi oksigen secara akura t.

275
(dapat mempertimbangkan pengguna an monitor EKG bila tersedia)

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi menangis namun merintih, LJ 110
kali/menit, tonus otot baik.
*setelah
pemberian VTP Bayi mulai terlihat merah dan bergerak aktif.
efektif selama 30
detik

VTP dihentikan dan berikan CPAP dini VTP dihentikan dan berikan CPAP dini
menggunakan t-piece resuscitator menggunakan Jackson Rees dengan PEEP
dengan PEEP 7 cmH2O dan konsentrasi 7 cmH2O
oksigen tetap 21%.

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi menangis, tidak merintih, tidak ada
retraksi, LJ 120 kali/menit, dan tonus otot baik.
saat usia 5
menit Bayi terlihat merah, gerakan aktif, dan saturasi 90%.

Perawatan pasca Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,
resusitasi
GDS 72 g/dL

Temperature : dilakukan pengukuran suhu ulang; 36,8oC

Airway : CPAP, PEEP 7 mmHg

Blood pressure : LJ 120 kali permenit, CRT <3 detik

Laboratory : septic workup

Emotional support : edukasi keluarga

Apakah bayi Tidak, karena berdasarkan informasi kasus ini:


perlu dilakukan
terapi Walaupun terdapat riwayat gawat janin namun setelah lahir:
hipotermia?
• Recall nilai Apgar 3/8/9 (skor Apgar >5 pada menit ke-10)
• bayi tidak memerlukan bantuan ventilasi > 10 menit
• bayi menangis, terlihat aktif, dan tonus otot baik
• perlu dilakukan AGD tali pusat / AGD arteri bayi untuk bukti
terjadinya asfiksia
• saat di ruang perawatan pemeriksaan neurologis harus terus dipantau sampai usia 6
jam

276
2. Seorang bayi perempuan, 30 minggu, taksiran berat 1400 gram, lahir secara SC cito
atas indikasi ibu mempunyai komplikasi eklampsia, tekanan darah tidak terkontrol
dengan obat, ibu kejang, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne dan hipotoni.

Fasilitas ideal Fasilitas terbatas

60 detik • Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-


pertama ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah
dihangatkan sebelumnya.
• Pasang plastik polietilen sampai menutupi leher, keringkan muka bayi dengan kain
kering yang hangat, pasang topi. Pastikan plastik tidak terbuka (tidak ada aliran udara
bebas).
• Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan).
• Posisikan bayi kembali

* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi

Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 60 kali/menit, hipotoni.

(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)

Penolong memberikan VTP dengan Penolong memberikan VTP dengan


konsentrasi oksigen 30% menggunakan t- konsentrasi oksigen 30% (dengan
piece resuscitator dilengkapi dengan menggunakan gabungan oksigen dan udara
blender oksigen eksternal atau tekan sesuai tabel) menggunakan BMS tanpa
menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara sumber oksigen (hanya menggunakan udara
tekan, tanpa oksigen murni).

ruangan) yang dikombinasikan dengan katup


PEEP.

*untuk bayi prematur <1500 gram, sangat


dianjurkan menggunakan katup PEEP 5 agar
Berikan PIP dan PEEP, umumnya dimulai paru bayi tidak kolaps pada saat ekspirasi.
dari 25/5. PIP dapat ditingkatkan sampai
dada mengembang, kemudian dapat juga
diturunkan bila dada terlalu mengembang
Penolong lain secara bersamaan mem asang pulse oxymetri untuk memantau

277
LJ dan saturasi oksigen secara akura t.

(dapat mempertimbangkan pengguna an monitor EKG bila tersedia)

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi dan mulai bernapas, LJ 100 kali/menit,
tonus otot kurang, FiO2 40%, saturasi 88%.
*setelah
pemberian VTP
efektif selama 30
detik

VTP dihentikan dan berikan CPAP dini VTP dihentikan dan berikan CPAP dini
menggunakan t-piece resuscitator menggunakan Jackson Rees dengan PEEP
dengan PEEP 7 cmH2O dan konsentrasi 7 cmH2O konsentrasi oksigen tetap 30%.
oksigen tetap 30%.

*sangat dianjurkan menggunakan campuran


oksigen dan udara bertekanan (konsentrasi
oksigen tetap 21%) sehingga dapat
mengurangi risiko Retinopathy of
prematurity (ROP)

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi gasping, LJ 110 kali/menit, dan tonus otot
kurang, FiO2 60%, saturasi 88%. Bayi dipersiapkan untuk diintubasi.
saat usia 5 menit

Perawatan pasca Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,
resusitasi
GDS 90 g/dL

Temperature : dilakukan pengukuran suhu ulang;

36,6oC dengan plastik polietilen

Airway : VTP 25/5 FiO2 40%

Blood pressure : LJ 110 kali permenit, CRT <3 detik

Laboratory : septic workup

Emotional support : edukasi keluarga

278
Apakah bayi perlu Tidak, karena berdasarkan informasi kasus ini:
dilakukan terapi
hipotermia? • recall nilai Apgar 3/8/9 (skor Apgar >5 pada menit ke-10)
• bayi memerlukan bantuan ventilasi > 10 menit
• terdapat riwayat episode hipoksik perinatal, perlu dilakukan AGD tali pusat /
AGD arteri bayi untuk bukti terjadinya asfiksia
• usia gestasi < 35 minggu
• berat lahir <1800-2000 g
Bayi memiliki kecurigaan asfiksia namun terdapat kontraindikasi terapi
hipotermia, sehingga tidak dilakukan terapi hipotermia

3. Seorang bayi perempuan, 36 minggu, taksiran berat 2200 gram lahir secara SC cito
atas indikasi gawat janin. Ibu mempunyai komplikasi eklampsia, tekanan darah tidak
dapat diturunkan dengan obat, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne, hipotoni,
dan terlihat sangat pucat

Fasilitas ideal Fasilitas terbatas

60 detik pertama • Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-
ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah
dihangatkan sebelumnya.
• Keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi. (Penolong
dapat memasang plastik polietilen bila dirasa perlu karena suhu ruang resusitasi
sangat dingin).

• Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan).


• Posisikan bayi kembali

* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi

Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 70 kali/menit, hipotoni.

(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)

279
Penolong memberikan VTP dengan Penolong memberikan VTP dengan
konsentrasi oksigen 21% menggunakan konsentrasi oksigen 21% menggunakan
t-piece resuscitator dilengkapi dengan BMS tanpa sumber oksigen (hanya
blender oksigen eksternal atau menggunakan udara ruangan).
menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara
tekan, tanpa oksigen murni). Berikan PIP
dan PEEP, umumnya dimulai dari 30/5.
PIP dapat ditingkatkan sampai dada
mengembang, kemudian dapat juga
diturunkan bila dada terlalu
mengembang

Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan
saturasi oksigen secara akurat.

(dapat mempertimbangkan penggunaan monitor EKG bila tersedia)

Dada tidak mengembang, LJ tidak meningkat → periksa SR IBTA

(Periksa, lakukan koreksi, • Sungkup → telah melekat rapat


dan • Reposisi jalan napas → posisi kepala-leher telah dalam posisi menghidu/semi-
reevaluasi masingmasing ekstensi
langkah)

* Evaluasi : dada tidak mengembang

• Isap mulut dan hidung → tidak ada lendir (tidak dilakukan)


• Buka mulut → mulut telah terbuka

* Evaluasi : dada tidak mengembang

• Tekanan dinaikkan → PIP dinaikkan secara bertahap

* Evaluasi: dada mengembang, pemberian VTP dirasa telah adekuat,


namun bayi tetap apne, LJ 50 kali/menit, hipotoni.

• Penolong melakukan intubasi. Bila • Penolong dapat melakukan intubasi


intubasi sulit dilakukan, penolong atau memasang LMA (bila
dapat menggunakan LMA. VTP tersedia), kemudian melanjutkan
dilanjutkan bag to tube. VTP bag to tube.

280
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →belum bernapas, LJ 100 kali/menit,
hipotoni, saturasi 88%, FiO2 60%, dan bayi mulai kemerahan.
*setelah pemberian VTP
efektif selama
30 detik
Bayi dilakukan intubasi saat usia 2 menit dan belum bernapas
spontan sampai usia 10 menit.

Apakah bayi Ya, berdasarkan informasi kasus ini:


dicurigai asfiksia
dan memerlukan • recall nilai Apgar 2/4/5
terapi hipotermia? • bayi memerlukan bantuan ventilasi (terintubasi dan di-VTP
manual) > 10 menit
(setting: kamar • riwayat episode hipoksik perinatal ada (deselerasi DJJ), perlu
bersalin) dilakukan AGD tali pusat / AGD arteri bayi untuk bukti terjadinya asfiksia
• usia gestasi > 35 minggu
• berat lahir >1800-2000 g

Bayi tersangka asfiksia neonatorum dan memenuhi kriteria usia gestasi


serta berat lahir minimal untuk dilakukan terapi hipotermia.

Perawatan Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,


pascaresusitasi
GDS 62 g/dL

Temperature : dilakukan pengukuran suhu; 36,6oC mulai passive


cooling dengan mematikan lampu penghangat, membuka
topi bayi, melepas plastik (bila sempat dikenakan),

pasang temperatur rektal

Airway : VTP manual, FiO2 80%

Blood pressure : LJ 130 kali permenit, CRT <3 detik

Laboratory :septic workup

Emotional support :edukasi keluarga

Bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan khusus dengan inkubator transpor dalam
keadaan dingin

281
Setting: ruang • Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 7
perawatan

• pH tali pusat 6,9; defisit basa 16 dalam 60 menit pertama lahir.


• usia <6 jam
• konsultasikan rencana active cooling dengan konsultan neonatologi pada
pelayanan kesehatan level 3 dan orang tua bayi.
• mulai active cooling bila prosedur memungkinkan di rumah sakit atau rujuk
sesegera mungkin dalam keadaan dingin

4. Seorang bayi perempuan, 36 minggu, taksiran berat 2200 gram lahir secara SC cito
atas indikasi gawat janin. Ibu mengalami perdarahan antepartum berat karena
plasenta previa totalis, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne, hipotoni, dan
terlihat sangat pucat

Fasilitas ideal Fasilitas terbatas

60 detik pertama • Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-
ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah
dihangatkan sebelumnya.
• Keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi. (Penolong
dapat memasang plastik polietilen bila dirasa perlu karena suhu ruang resusitasi
sangat dingin).
• Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan).
• Posisikan bayi kembali

* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi

Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi megap-megap, LJ 70 kali/menit, hipotoni.

(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)

282
Penolong memberikan VTP dengan Penolong memberikan VTP dengan
konsentrasi oksigen 21% menggunakan konsentrasi oksigen 21% menggunakan
t-piece resuscitator dilengkapi dengan BMS tanpa sumber oksigen (hanya
blender oksigen eksternal atau menggunakan udara ruangan).
menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara
tekan, tanpa oksigen murni). Berikan PIP
dan PEEP, umumnya dimulai dari 30/5.
PIP dapat ditingkatkan sampai dada
mengembang, kemudian dapat juga
diturunkan bila dada terlalu
mengembang

Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan
saturasi oksigen secara akurat.

(dapat mempertimbangkan penggunaan monitor EKG bila tersedia)

Dada tidak mengembang, LJ tidak meningkat → periksa SR IBTA

(Periksa, lakukan koreksi, • Sungkup → telah melekat rapat


dan Reposisi jalan napas → posisi kepala-leher telah dalam posisi menghidu/semi-
reevaluasi masingmasing ekstensi
langkah)

* Evaluasi : dada tidak mengembang

• Isap mulut dan hidung → tidak ada lendir (tidak dilakukan)


• Buka mulut → mulut telah terbuka

* Evaluasi : dada tidak mengembang

• Tekanan dinaikkan → PIP dinaikkan menjadi secara bertahap

* Evaluasi: dada mengembang, pemberian VTP telah adekuat,


namun bayi tetap apne, LJ 50 kali/menit,
hipotoni.

283
• Penolong melakukan intubasi. Bila • Penolong dapat melakukan intubasi
intubasi sulit dilakukan, penolong atau memasang LMA (bila tersedia),
dapat menggunakan LMA. VTP kemudian melanjutkan VTP bag to
dilanjutkan bag to tube. tube.

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, LJ 54
kali/menit, hipotoni, saturasi 55%
*setelah pemberian VTP
efektif selama
30 detik

Penolong memberikan VTP bag to tubedengan konsentrasi oksigen 100% dan


kompresi dada dengan rasio perbandingan 3:1 secara adekuat

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →laju napas 40-50 kali/menit, LJ
90-100 kali/menit, nadi lemah, hipotoni, saturasi 75%, pucat.
*setelah pemberian VTP
dan kompresi dada
terkoordinasi
selama 60 detik

Penolong yang lain memasang akses vena umbilikal karena akses perifer umumnya lebih
sulit dilakukan.

Jalur umbilikal berhasil diakses. penolong memberikan cairan penambah


volume NaCl 0,9% (10 mL/kgBB) secara bolus selama 30 menit.

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi

→dada mengembang, LJ 120-130 kali/menit, isi dan kualitas nadi


kurang, saturasi 87%, bayi mulai kemerahan

→dilakukan bolus NaCl 0,9% ke-2 →LJ 110-120 kali/menit, isi dan kualitas
cukup, saturasi 90%, bayi kemerahan.

Apakah bayi Ya, berdasarkan informasi kasus ini:


dicurigai asfiksia
dan memerlukan • recall nilai Apgar 1/3/8
terapi hipotermia? • bayi memerlukan bantuan ventilasi (terintubasi dan di-VTP manual)
> 10 menit
(setting: kamar • riwayat episode hipoksik perinatal ada (deselerasi DJJ, perdarahan
bersalin) fetal-maternal karena plasenta previa totalis)
• perlu dilakukan AGD tali pusat / AGD arteri bayi untuk bukti terjadinya asfiksia
• usia gestasi > 35 minggu
• berat lahir >1800-2000 g

Bayi tersangka asfiksia neonatorum dan memenuhi kriteria usia gestasi


serta berat lahir minimal untuk dilakukan terapi hipotermia.

284
Perawatan Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,
pascaresusitasi
GDS 40 g/dL → dilakukan tata laksana sesuai algoritme

hipoglikemia

Temperature : dilakukan pengukuran suhu; 37,0oC mulai passivecooling


dengan mematikan lampu penghangat,
membuka topi bayi, melepas plastik (bila sempat
dikenakan), pasang temperatur rektal

Airway : VTP manual, FiO2 100%

Blood pressure : LJ 120 kali permenit, CRT <3 detik

Laboratory : septic workup

Emotional support:edukasi keluarga

Bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan khusus dengan inkubator transpor dalam
keadaan dingin

Setting: ruang Bayi kejang 3 kali → dilakukan tata laksana sesuai algoritme kejang
perawatan
• Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 14

• pH tali pusat 6,75; defisit basa 18 dalam 60 menit pertama lahir


• usia <6 jam

• konsultasikan rencana active cooling dengan konsultan neonatologi pada


pelayanan kesehatan level 3 dan orang tua bayi.
• mulai active cooling bila prosedur memungkinkan di rumah sakit atau rujuk
sesegera mungkin dalam keadaan dingin

285
5. Seorang bayi lelaki, 29 minggu, taksiran berat 1200 gram lahir secara SC cito atas
indikasi gawat janin (bradikardia menetap). Ibu merasakan gerakan janin sangat
jarang, ketuban hijau kental merembes, dan demam tinggi. Saat lahir bayi apne,
hipotoni, kulit pucat dengan sianosis perifer dan kehijauan.

Fasilitas ideal Fasilitas terbatas

60 detik pertama • Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-
ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah
dihangatkan sebelumnya.
• Pasang plastik polietilen sampai menutupi leher, keringkan muka bayi dengan kain
kering yang hangat, pasang topi. Pastikan plastik tidak terbuka (tidak ada aliran
udara bebas).
• Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan).
• Posisikan bayi kembali

* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi

Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 40 kali/menit, hipotoni.

(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)

Penolong memberikan VTP dengan Penolong memberikan VTP dengan


konsentrasi oksigen 30% menggunakan t- konsentrasi oksigen 30% menggunakan
piece resuscitator dilengkapi dengan BMS dengan campuran oksigen dan
blender oksigen eksternal atau udara tekan.
menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara
tekan, tanpa oksigen murni). Berikan PIP
dan PEEP, umumnya dimulai dari 25/5. PIP
dapat ditingkatkan sampai dada
mengembang, kemudian dapat juga
diturunkan bila dada terlalu mengembang

Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan
saturasi oksigen secara akurat.

(dapat mempertimbangkan penggunaan monitor EKG bila tersedia)

Dada tidak mengembang, LJ tidak meningkat → periksa SR IBTA

286
(Periksa, lakukan koreksi, • Sungkup → telah melekat rapat
dan • Reposisi jalan napas → posisi kepala-leher telah dalam posisi menghidu/semi-
reevaluasi masingmasing ekstensi
langkah)

* Evaluasi : dada tidak mengembang

• Isap mulut dan hidung → tidak ada lendir (tidak dilakukan)


• Buka mulut → mulut telah terbuka

* Evaluasi : dada tidak mengembang

• Tekanan dinaikkan → PIP dinaikkan menjadi secara bertahap

* Evaluasi: dada mengembang, pemberian VTP telah adekuat,


namun bayi tetap apne, LJ 80 kali/menit, hipotoni.

• Penolong melakukan intubasi. Bila • Penolong dapat melakukan intubasi


intubasi sulit dilakukan, penolong atau memasang LMA (bila tersedia),
dapat menggunakan LMA. VTP kemudian melanjutkan VTP bag to
dilanjutkan bag to tube. tube.

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →tidak ada usaha napas, LJ 55
kali/menit, hipotoni, saturasi 60%
*setelah pemberian VTP
efektif selama
30 detik

Penolong memberikan VTP bag to tubedengan konsentrasi oksigen 100% dan kompresi
dada dengan rasio perbandingan 3:1 secara adekuat

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, tidak ada
usaha napas, LJ 80-90 kali/menit, nadi lemah, hipotoni, saturasi
*setelah pemberian VTP 65%, pucat
dan kompresi dada
terkoordinasi selama 60
detik

Penolong tetap memberikan VTP secara adekuat, sedangkan kompresi dada dihentikan

Penolong yang lain memasang akses vena umbilikal karena akses perifer sulit dilakukan.

Jalur umbilikal berhasil diakses, penolong memberikan cairan penambah


volume NaCl 0,9% (10 mL/kgBB) secara bolus

287
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, tidak ada
usaha napas, LJ 90-100 kali/menit, isi dan tegangan nadi kurang,
saturasi 85%, bayi masih pucat →dilakukan bolus NaCl 0,9% ke-2 →LJ 100
kali/menit, isi dan tegangan cukup, saturasi 90%, badan mulai
kemerahan, kaki tangan kebiruan

Apakah bayi berdasarkan informasi kasus ini:


dicurigai asfiksia
dan memerlukan • recall nilai Apgar 1/3/4
terapi hipotermia? • bayi memerlukan bantuan ventilasi (terintubasi dan di-VTP manual)
> 10 menit
(setting: kamar • riwayat episode hipoksik perinatal ada (bradikardia menetap)
bersalin) • usia gestasi < 35 minggu
• berat lahir < 1800-2000 g
Bayi tersangka asfiksia neonatorum namun tidak memenuhi kriteria usia gestasi
serta berat lahir minimal untuk dilakukan terapi hipotermia.

Perawatan Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,


pascaresusitasi
GDS 42 g/dL → dilakukan tata laksana

sesuai algoritme hipoglikemia

Temperature : dilakukan pengukuran suhu; 36,5oC

(dengan plastik polietilen) tunda passive cooling namun


cegah hipertermia

Airway : VTP manual, FiO2 100%

Blood pressure : LJ 100 kali permenit, CRT <3 detik

Laboratory :septic workup

Emotional support :edukasi keluarga

Bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan khusus dengan inkubator transpor

288
Setting: ruang Bayi kejang 2 kali → dilakukan tata laksana sesuai algoritme kejang
perawatan
• Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 17

• pH tali pusat 6,7; defisit basa 18 dalam 60 menit pertama lahir (bila mampu laksana)
• usia <6 jam
• bayi asfiksia namun kontraindikasi terapi hipotermia
• konsultasikan pasien dengan konsultan neonatologi pada pelayanan kesehatan level
3 dan orang tua bayi mengenai kondisi bayi dan kontraindikasi terapi hipotermia.

LAMPIRAN 3. LAPORAN KASUS BAYI YANG TELAH MENJALANI


TERAPI HIPOTERMIA

1. Kasus 1 (fasilitas ideal dengan blanketrol®)

Seorang bayi lelaki lahir secara spontan dari persalinan fase aktif memanjang
(>1 jam) pada usia gestasi 38 minggu, taksiran berat 3100 gram. Faktor risiko
ibu, yaitu ketuban pecah dini >9 jam, keputihan, dan tersangka infeksi
saluran kemih. Saat lahir, bayi tidak menangis, LJ 80 kali/menit, tidak ada
tonus otot, tidak ada refleks, sianotik, dan pucat. Nilai Apgar 1/3/6/8. Bayi
diberikan VTP menggunakan t-piece resuscitator. Usia 30 menit, bayi
kejang selama 15 detik. Bayi didiagnosis neonatus cukup bulan (NCB), sesuai
masa kehamilan (SMK), EHI sedang, tersangka sepsis neonatus awitan dini
(SNAD). Setelah dilakukan perhitungan nilai Thompson, didapatkan nilai 11
pada usia 1 jam sehingga bayi diputuskan menjalani terapi hipotermia
dengan Blanketrol . Berikut ini merupakan follow up selama terapi.

Pemantauan Sebelum Fase terapi hipotermi (jam)


terapi

289
hipotermi <24 24-48 48-72

Suhu 35,4 33,8 34 33,6 33,1 33,4


LJ 144 100-110 100-106 115-144 102-137 98-118
Aritmia - - - - - -
MAP 43-81 39-43 49-83 48-65 47-56
(mmHg)
Inotropik - - Dopamin Dopamin Dopamin Dopamin
Hb; Hct 13,3; 40 12,2; 35,7 15,1; 12; 36
(g/dl; %) 44,3
Leukosit 16.000 5.200
(/µL)
Trombosit 127.000 128.000
(/µL)
Faktor PT:25,2 aPTT:77,3 PT:11,8
pembekuan aPTT:51,3
Glukosa 236 116 58 137 167 85
serum
Kalium 3,40 4,31 2,86 3,97 4,07 3,27
(mmol/L)
BUN/Cr 20/0,80
Sepsis Tersangka Tersangka Tersangka Tersangka Tersangka

Tidak ditemukan efek samping saat rewarming. Pemeriksaan USG kepala,


menunjukkan perdarahan intraventrikular grade I, namun tidak dilakukan
MRI. Bayi dipulangkan dari ruang perawatan dengan klinis baik. Pemantauan
perkembangan hanya dilakukan sampai usia 6 bulan karena loss to follow
up. Bayi mengalami keterlambatan motorik kasar (belum dapat tengkurap)
saat pemeriksaan terakhir di usia 6 bulan.

2. Kasus 2 (fasilitas tanpa matras pendingin)

Seorang bayi lelaki lahir secara SC atas indikasi ibu preeklampsia berat. Bayi
lahir pada usia gestasi 39 minggu, taksiran berat 2760 gram. Saat lahir, bayi
tidak menangis, tidak ada tonus otot, LJ 100 kali/menit, sianosis perifer, dan
ketuban sedikit bercampur mekonium. Nilai Apgar 3/4. Bayi diintubasi dan
dilakukan pengisapan endotrakeal diikuti dengan pemberian VTP dengan T-
piece resuscitator dan dilanjutkan dengan penggunaan ventilator
mekanik. Bayi didiagnosis neonatus cukup bulan (NCB), sesuai masa
kehamilan (SMK), EHI sedang, tersangka sepsis neonatus awitan dini (SNAD).
Setelah dilakukan perhitungan nilai Thompson, didapatkan nilai 7 pada usia 1
jam sehingga bayi diputuskan menjalani terapi hipotermia dengan sarung
tangan berisi air dingin. Berikut ini merupakan follow up selama terapi.

290
Pemantauan Sebelum Fase terapi hipotermi (jam)
terapi
hipotermi <24 24-48 48-72

Suhu 36 34 34 34
LJ 100 100 80 80
Aritmia -
MAP (mmHg) 46 54-63 52-72 54-72
Inotropik - - - -
Hb; Hct 17; 51,9 21,4; 63.2 163; 48,6
(g/dl; %)
Leukosit (/µL) 10.800 10.400 7.700
Trombosit 152.000 130.000 137.000
(/µL)
Faktor PT: 23,10 (K:22) aPTT:
pembekuan 41,30 (K:43,5)
Glukosa serum 111 67 71
Kalium
(mmol/L)
BUN/Cr
Sepsis
Tidak Sepsis ec Pseudomonas

Tidak terdapat efek samping saat rewarming. Gambaran EKG (24-48 jam)
sinus bradikardia dan USG kepala dalam batas normal. Bayi dipulangkan dari
ruang perawatan dengan klinis baik. Pada pemantauan perkembangan saat
usia 18 bulan diperlukan terapi okupasi dan terapi wicara. Masalah
perkembangan dapat teratasi dan saat usia 7 tahun anak dapat mengikuti
pelajaran di sekolah dengan bai

291
3. PNPK Hiperbilirubinemia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kematian neonatus masih menjadi masalah global penting. Setiap tahun diperkirakan 4
juta bayi meninggal dalam empat minggu pertama dengan 75% kematian terjadi dalam
7 hari pertama kehidupan.1 Terkait masalah ini, World Health Organization (WHO)
menetapkan penurunan angka kematian anak di bawah usia lima tahun (balita),
termasuk neonatus, sebagai salah satu sasaran Millenium Development Goals
(MDGs) yang dilanjutkan dengan Sustainable Developmental Goals (SDGs) dengan
fokus pada penyelesainan penyebab utama kematiannya. Harapan penurunan kematian
balita 67% pada tahun 2015 tidak tercapai,2 kematian bayi pada tahun 2015 masih
cukup tinggi yaitu sekitar 26,2 per 1000 kelahiran hidup. 3 Target SDGs ditahun 2030
adalah menurunnya angka kematian balita sebesar 25 per 1000 kelahiran hidup dan
neonatus 12 per 1000 kelahiran hidup. 4

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 tentang penyebab


kematian neonatal, kelainan hematologi / hiperbilirubinemia merupakan penyebab
nomor 5 morbiditas neonatal dengan prevalens sebesar 5,6% setelah gangguan napas,
prematuritas, sepsis, dan hipotermia.5 Data multisenter di Indonesia tentang
hiperbilirubinemia belum ada. Data terbaru prevalens hiperbilirubinemia berat
(>20mg/dL) adalah 7%, dengan hiperbilirubinemia ensefalopati akut sebesar 2. 6 Data
multisenter tersebut tidak representatif mewakli data seluruh Indonesia karena hanya
berasal dari delapan rumah sakit di kota besar (Jakarta, 6 rumah sakit; Kupang, satu
rumah sakit, dan Manado, satu rumah sakit).

Hiperbilirubinemia berat dengan hiperbilirubinemia ensefalopati atau kernikterus


merupakan morbiditas pada neonatus yang dapat dicegah. Keadaan ini sudah tidak
ditemukan lagi di negara maju,4, 7 karena adanya panduan hiperbilirubinemia yang
berlaku secara nasional.

1.2 Permasalahan
Pencegahan dan penanganan hiperbilirubinemia di negara berkembang termasuk
Indonesia memiliki berbagai kendala, yaitu bervariasinya panduan tatalaksana
hiperbilirubinemia di Indonesia. Ada panduan menurut Kementerian Kesehatan 8, WHO9,
dan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ikatan dokter anak Indonesia (IDAI) memiliki dua
panduan hiperbilirubinemia, yaitu dalam buku Ajar Neonatologi, 10 dan dalam Pedoman
pelayanan medis jilid II.11 Bervariasinya panduan yang ada menimbulkan tidak
konsistennya pelaksanaan panduan tersebut. 12 Salah satunya adalah persepsi pribadi
dalam melakukan tatalaksana hiperbilirubinemia tersebut. 13 Sebagai upaya mengatasi
berbagai kendala tersebut, disusun suatu standar pedoman nasional penanganan dan
pencegahan hiperbilirubinemia sebagai salah satu kebijakan kesehatan nasional di
Indonesia melalui buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
hiperbilirubinemia.

292
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Menyusun suatu PNPK untuk membantu menurunkan angka kejadian dan
komplikasi bayi di Indonesia akibat hiperbilirubinemia

1.3.2 Tujuan khusus


1. Membuat pernyataan secara sistematis yang berdasarkan bukti ilmiah
(scientific evidence) untuk membantu dokter, bidan, dan perawat dalam hal
pencegahan dan tata laksana hiperbilirubinemia pada neonatus.

4. Memberikan rekomendasi berbasis bukti bagi fasilitas pelayanan kesehatan


primer, sekunder, dan tersier serta penentu kebijakan untuk penyusunan
protokol setempat atau Panduan Praktik Klinis (PPK) dengan melakukan
adaptasi sesuai PNPK.

1.4 Sasaran
1. Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam perawatan neonatus, meliputi
dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat diterapkan di fasilitas pelayanan
kesehatan primer, sekunder, dan tersier.
2. Penentu kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, serta
kelompok profesi terkait.

BAB II

METODOLOGI

2.1 Penelusuran kepustakaan


Penelusuran kepustakaan dilakukan melalui beberapa top level panduan
hiperbilirubinemia berdasarkan Appraisal of Guidelines for Research &
Evaluation II (AGREE II) terutama panduan nasional dari American Academy of
Pediatric (AAP)14, National Institute for Health and Care Excellence (NICE)15,
dan Dutch Guideline untuk hiperbilirubinemia.7 Panduan nasional ini juga dibuat
berdasarkan panduan-panduan nasional Indonesia yang sudah ada sebelumnya. 8-11

2.2 Kajian telaah kritis pustaka

Telaah kritis oleh pakar dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak diterapkan pada setiap
artikel yang diperoleh, meliputi: a. apakah studi tersebut sahih? b. apakah hasilnya
secara klinis penting? c. apakah dapat diterapkan dalam tata laksana pasien?

293
2.3 Peringkat bukti (level of evidence)

Hierarchy of evidence/Peringkat bukti ditentukan berdasarkan klasifikasi yang


dikeluarkan oleh Scottish Intercollegiate Guidelines

Network (SIGN) grading system


http://www.sign.ac.uk/guidelines/fulltext/50/annexoldb.html yang diadaptasi untuk
keperluan praktis. Berikut adalah peringkat bukti yang digunakan:

Ia. Meta-analisis atau telaah sistematik dari uji klinis acak terkontrol

Ib. Uji klinis acak terkontrol

IIa. Uji klinis tanpa randomisasi

IIb. Studi kohort atau kasus-kontrol

IIIa. Studi observasional potong lintang

IIIb. Serial kasus atau laporan kasus

IV. Konsensus dan pendapat ahli

2.4 Derajat rekomendasi

Berdasarkan peringkat bukti , rekomendasi/simpulan dibuat sebagai berikut:

Rekomendasi A berdasarkan bukti level Ia atau Ib

Rekomendasi B berdasarkan bukti level IIa atau IIb

Rekomendasi C berdasarkan bukti level IIIa, IIIb, atau IV

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Definisi hiperbilirubinemia

Istilah hiperbilirubinemia sering disalahartikan sebagai ikterus berat yang membutuhkan


terapi segera. Sesungguhnya, hiperbilirubinemia dan ikterus/jaundice merupakan
terminologi yang merujuk pada keadaan yang sama. 11

3.1.1 Ikterus neonatorum

294
Ikterus neonatorum merupakan keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-
7 mg/dL.16

3.1.2 Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana kadar bilirubin meningkat


dengan nilai normal yang tergantung kepada usia gestasi atau berat lahir serta usia
paska natal dalam jam dan secara klinis membutuhkan fototerapi atau tranfusi tukar.
Hiperbilirubinemia tidak dapat ditentukan dengan nilai ambang absolut. Terdapat suatu
normogram yang digunakan dalam penentuan kadar bilirubin yang memerlukan terapi.

Hiperbilirubinemia adalah keadaan transien yang sering ditemukan baik pada bayi cukup
bulan (50-70%) maupun bayi prematur (8090%). Sebagian besar hiperbilirubinemia
adalah fisiologis dan tidak membutuhkan terapi khusus, tetapi karena potensi toksik dari
bilirubin maka semua neonatus harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan
terjadinya hiperbilirubinemia berat.11

3.1.3 Ensefalopati bilirubin akut

Berdasarkan AAP, definisi ensefalopati bilirubin akut digunakan untuk menjabarkan


manifestasi akut dari toksisitas bilirubin yang ditemui dalam 1 minggu pertama setelah
lahir.14 Pada fase awal dari ensefalopati bilirubin akut, bayi dengan ikterus yang berat
akan memiliki refleks isap yang jelek, gerak tangis menjadi lemah, dan hipotonia. 17, 18
Fase intermediet ditandai dengan gangguan kesadaran, iritabel, dan hipertonia. Bayi ini
dapat mengalami demam dan high-pitched cry, bergantian dengan letargi dan
hipotonia. Manifestasi hipertonia adalah retrocollis (leher melengkung ke belakang)
dan opistotonus (badan melengkung ke belakang).19

Pada fase lanjut, kerusakan pada sistem saraf pusat kemungkinan bersifat
ireversibel, ditandai dengan retrocollisopistotonus yang jelas, high pitched cry,
tidak mampu menyusu, apne, demam, gangguan kesadaran hingga koma, kadang-
kadang mengalami kejang, dan berujung kepada kematian. 17, 18, 20 Pembagian kondisi akut
akibat hiperbilirubinemia diklasifikasikan dalam skor BIND-M (Bilirubin Induced
Neurological DysfunctionModified). 21 (lihat Lampiran 2)

3.1.4 Kernicterus Spectrum Disorder (KSD)


Berdasarkan AAP, istilah kernikterus digunakan untuk menjelaskan tentang gejala sisa yang
kronik dan permanen dari toksisitas bilirubin. 14 Pada kondisi kronik ensefalopati bilirubin,
bayi yang selamat dapat mengalami kondisi yang parah dari athetoid cerebral palsy,
gangguan pendengaran, displasia dentalenamel, upward gaze paralysis, dan pada
situasi yang lebih jarang, disabilitas intelektual atau lainnya. Sebagian besar bayi yang
mengalami kernikterus menunjukkan beberapa atau seluruh tanda yang disebutkan di atas
pada fase akut bilirubin ensefalopati.18, 20, 22 Namun begitu, kadang ada bayi yang
mengalami peningkatan kadar bilirubin yang sangat tinggi dan kemudian tanda kernikterus

295
hanya muncul sebagian (jika ada), mendahului tanda klinis ensefalopati bilirubin akut. 23
(lihat Lampiran 6)

3.2 Epidemiologi hiperbilirubinemia


Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2007, mengenai penyebab kematian neonatal
didapatkan bahwa ikterus menjadi penyebab nomor 5 morbiditas neonatal setelah
gangguan napas, prematuritas, sepsis dan hipotermia dengan prevalens 5,6%. 8
Penelitian terbaru di 8 rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa prevalens
hiperbilirubinemia berat adalah 7% dengan ensefalopati hiperbilirubinemia akut sebesar
2%.6

3.3 Faktor risiko hiperbilirubinemia

Panduan dari AAP dan Belanda menyebutkan adanya risiko tambahan yang terjadi
setelah bayi tersebut lahir yang menyebabkan bayi tersebut lebih mudah mengalami
toksisitas bilirubin (Tabel 1). Hal tersebut membuat bayi tersebut memiliki ambang
batas dimulainya fototerapi maupun transfusi tukar lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok yang lain (risiko tinggi vs risiko standar). Faktor risiko tersebut diantaranya. 7,
14

1. Inkompatibilitas ABO dan Rhesus


2. Hemolisis (G6PD defisiensi, sferositosis herediter, dan lainlain)
3. Asfiksia (Nilai Apgar 1 menit < 5)
4. Asidosis (pH tali pusat < 7,0)
5. Bayi tampak sakit dan kecurigaan infeksi
6. Hipoalbuminemia (kadar serum albumin < 3 mg/dL)

Tabel 1. Faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia14


Faktor risiko mayor • Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin
transkutaneus terletak pada zona risiko tinggi

• Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan

• Inkompabilitas golongan darah dengan tes antiglobulin


direk yang positif atau penyakit hemolitik lainnya
(defisiensi G6PD)
• Umur kehamilan 35-36 minggu

• Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi

• Sefalhematoma atau memar yang bermakna

• ASI eksklusif dengan cara perawatan yang tidak baik dan


kehilangan berat badan yang berlebihan

• Ras Asia Timur

296
Faktor risiko minor • Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin
transkutaneus terletak pada zona risiko sedang

• Usia kehamilan 37-38 minggu

• Sebelum pulang, bayi tampak kuning

• Riwayat anak sebelumnya kuning

• Bayi makrosomia dari ibu DM

• Umur ibu ≥ 25 tahun

• Jenis kelamin bayi laki-laki

Faktor yang • Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus


mengurangi risiko terletak pada daerah risiko rendah

• Umur kehamilan ≥ 41 minggu

• Bayi mendapat susu formula penuh

• Kulit hitam

• Bayi dipulangkan setelah 72 jam kelahiran

3.4 Patofisiologi hiperbilirubinemia

3.4.1 Pembentukan bilirubin

Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga yang merupakan bentuk akhir dari
pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi
yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme
oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ
lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang diekskresikan kedalam
paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase.24

297
Gambar 1. Metabolisme bilirubin24

Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin
melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik
dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh
mengekskresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin. 24 Pada bayi
baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme hemoglobin dari
eritrosit sirkulasi. Satu gram hemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin dan sisanya
(25%) disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan hemoglobin karena
eritropoesis yang tidak efektif didalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung
protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme
bebas.24, 25

Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang
dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan masa hidup eritrosi bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan
orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang
meningkat, dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi
enterohepatik).26

3.4.2 Transportasi Bilirubin

298
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan
ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas
ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah
dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini
merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke
sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf
pusat dan bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap obat-obatan yang bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid. Obat-obat
tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga
bersifat kompetitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat-
obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara menurunkan afinitas
albumin antara lain adalah digoksin, gentamisin, dan furosemid. 24

Pada bayi kurang bulan, ikatan bilirubin akan lebih lemah yang umumnya
merupakan komplikasi dari hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemia, asidosis, hipotermia,
hemolisis, dan septikemia. Hal tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan
jumlah bilirubin bebas dan berisiko pula untuk keadaan neurotoksisitas oleh bilirubin. 24

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda berdasarkan terkonjugasi
tidaknya bilirubin tersebut dan ada tidaknya ikatan dengan albumin, yaitu 10:

1. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin. Sebagian besar bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum ditemukan dalam bentuk ini.
2. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak terikat dengan albumin (bilirubin bebas).
Bilirubin dalam bentuk ini sangat berbahaya dan dapat menyebabkan
neurotoksisitas. Semakin tinggi kadar bilirubin bebas, maka semakin berisiko
mengalami neurotoksisitas bilirubin.
3. Bilirubin terkonjugasi yang tidak terikat dengan albumin. Bilirubin dalam bentuk ini
adalah bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal atau sistem bilier.

4. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin (α-bilirubin).

3.4.3 Intake bilirubin ke hati

Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin


terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel membran
yang berkaitan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitosolik
lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke sirkulasi, dari sintesis de
novo, resirkulasi enterohepatik, perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan
bilirubin oleh sel hati, dan konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak normal. 26

Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan


berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Penelitian menunjukkan hal ini
terjadi karena adanya defisiensi ligandin, tetapi hal itu tidak begitu penting dibandingkan
dengan defisiensi konjugasi bilirubin dalam menghambat transfer bilirubin dari darah ke
empedu selama 3-4 hari pertama kehidupan. Walaupun demikian, defisiensi ambilan ini
dapat menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi ringan pada minggu kedua
299
kehidupan saat konjugasi bilirubin hepatik mencapai kecepatan normal yang sama
dengan orang dewasa.26

3.4.4 Konjugasi bilirubin

Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam
air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridin difosfat glukuronosil
transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Substrat yang digunakan untuk transglukoronidase kanalikuler adalah bilirubin
monoglukoronida. Enzim ini akan memindahkan satu molekul asam glukoronida dari
satu molekul bilirubin monoglukoronida ke yang lain dan menghasilkan pembentukan
satu molekul bilirubin diglukoronida.26

Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikuli empedu. Sedangkan


satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk
rekonjugasi berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke
hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti halnya pada keadaan hemolisis
kronik yang berat dimana pigmen yang tertahan adalah bilirubin monoglukoronida. 26

Penelitian in vivo tentang enzim UDPG-T pada bayi baru lahir didapatkan
defisiensi aktivitas enzim, tetapi setelah 24 jam kehidupan, aktivitas enzim ini meningkat
melebihi bilirubin yang masuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin serum akan
menurun. Kapasitas total konjugasi akan sama dengan orang dewasa pada hari ke-4
kehidupan. Pada periode bayi baru lahir, konjugasi monoglukoronida merupakan
konjugat pigmen empedu yang lebih dominan. 26

3.4.5 Ekskresi bilirubin


Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan kedalam kandung
empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feses. Proses
ekskresi sendiri merupakan proses yang memerlukan energi. Setelah berada dalam usus
halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase
yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke
hati untuk dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik. 24, 26

Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dengan orang dewasa. Pada mukosa
usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat
menghidrolisa monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak
terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu, lumen usus halus
pada bayi baru lahir steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat diubah menjadi
sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat diabsorbsi). 24

Bayi baru lahir mempunyai konsentrasi bilriubin tak terkonjugasi yang relatif
tinggi didalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis
bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan
didalam mekonium. Pada bayi baru lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk
mengurangi bilurubin menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool
bilirubin usus dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa. Peningkatan
300
hidrolisis bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas
βglukoronidase mukosa yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi.
Pemberian substansi oral yang tidak larut seperti agar atau arang aktif yang dapat
mengikat bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin dalam tinja dan mengurangi kadar
bilirubin serum. Hal ini menggambarkan peran kontribusi sirkulasi enterohepatik pada
keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada bayi baru

lahir.24, 26

3.5 Diagnosis hiperbilirubinemia

3.5.1 Anamnesis11

Dalam anamnesis, diagnosis hiperbilirubinemia dapat digunakan untuk mencari faktor


risiko penyebab hiperbilirubinemia sehingga dapat diklasifikasikan apakah bayi yang
lahir ini termasuk dalam kategori risiko tinggi atau risiko rendah. Anamnesis tersebut
mencakup:

1. Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6-


fosfat dehidrogenase (G6PD)

2. Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan galaktosemia,


defisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert,
sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik

3. Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan


inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice

4. Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau


toksoplasma

5. Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan


bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada bayi
dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)

6. Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau


hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan
ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan
intrakranial.
7. Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk
berkepanjangan
8. Pemberian ASI. Harus dibedakan antara breasfeeding jaundice dan
breastmilk jaundice.
• Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh
kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada
waktu produksi ASI belum banyak. Untuk neonatus cukup bulan sesuai
301
masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini tidak perlu
dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat, glikogen, dan
cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72 jam.
Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya
hiperbilirubinemia, yang disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik
akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini tidak selalu disebabkan
oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan
hiperbilirubinemia fisiologis. Breastfeeding jaundice seringkali terjadi
pada bayi-bayi yang mendapatkan ASI eksklusif namun tidak diiringi dengan
manajemen laktasi yang baik. Bayi akan mengalami beberapa tanda sebagai
akibat kekurangan cairan, seperti demam, penurunan berat badan >10%,
dan berkurangnya produksi kencing. Frekuensi buang air besar dapat juga
berkurang pada kasus ini.
• Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu
(ASI). Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar
bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk
jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL pada
usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis dalam 48
jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali naik tetapi
umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi tampak sehat dengan
menunjukkan kemampuan minum yang baik, aktif, lincah, produksi ASI
cukup. Yang diiringi dengan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati
normal, dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk jaundice dapat
berulang (70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme sesungguhnya yang
menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui, tetapi diduga
timbul akibat terhambatnya uridine diphosphoglucuronic acid
glucuronyl transferase (UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron,
yaitu pregnane-3alpha 2-beta-diol yang ada di dalam ASI sebagian ibu.

3.5.2 Pemeriksaan fisik

Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna kulit setelah
dilakukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik dilakukan menggunakan
cahaya matahari. Ikterus dimulai dari kepala dan meluas secara sefalokaudal. 11
Walaupun demikian inspeksi visual tidak dapat dijadikan indikator yang andal untuk
memprediksi kadar bilirubin serum, terutama pada bayi dengan kulit yang gelap. 14
Pemeriksaan visual hanya dapat digunakan untuk melihat bahwa bayi tersebut
menderita ikterus atau menyingkirkan bahwa bayi tersebut sudah tidak menderita
ikterus. Pemeriksaan visual dianjurkan untuk dilakukan oleh semua orangtua yang
memiliki bayi baru lahir dan melihat progresivitasnya. 15 Petugas kesehatan seyogianya
302
tidak menggunakan perkiraan visual sebagai sarana dalam diagnosis hiperbilirubinemia
sebelum dilakukan pemeriksaan TSB.

Pada pemeriksaan fisik, hal-hal yang dapat dicari antara lain 11:

• Tanda-tanda prematuritas
• Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia
• Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan
• Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom, subgaleal hematom
• Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular
• Ptekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
• Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit
hati
• Omfalitis
• Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
• Tanda hipotiroid
• Perubahan warna tinja (lihat Lampiran 7)

3.5.3 Tatalaksana hiperbilirubinemia14

3.5.3.1 Pencegahan hiperbilirubinemia

3.5.3.1.1 Pencegahan primer

Memberi masukan kepada ibu dan memeriksa bayi apakah mereka mendapat ASI yang
cukup dengan beberapa pertanyaan:

1. Apakah bayi minum 8-12x per hari?


2. Apakah BAB > 3x per hari?
3. Apakah BAK > 6x per hari?
4. Apakah BB bayi tidak turun >10% dalam 5 hari pertama kehidupan?
5. Apakah bayi demam?

3.5.3.1.2 Pencegahan sekunder

Dilakukan penilaian secara berkesinambungan untuk risiko terjadinya hiperbilirubinemia


berat selama periode neonatal. Tata cara melakukan penilaian ini dimulai dengan
pemeriksaan secara visual untuk progresivitas hiperbilirubinemia secara sefalokaudal yang
diikuti dengan pemeriksaan TcB /TSB.

Pemeriksaan golongan darah

303
Melakukan komunikasi dengan dokter obstetrik dan ginekologi, bidan, atau perawat
untuk melakukan pemeriksaan ABO dan Rh(D) pada setiap wanita hamil. Apabila
golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan antibodi
direk (tes Coombs), golongan darah dan tipe Rh(D) darah tali pusat bayi. Apabila
golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan darah
dan tes Coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan
pengawasan, penilaian terhadap risiko sebelum keluar rumah sakit dan tindak lanjut
yang memadai.

Penilaian klinis
Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya
progresivitas ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus
dinilai saat memeriksa tanda vital bayi. Protokol untuk penilaian ikterus harus diketahui
oleh seluruh staf perawatan, jika sarana untuk pemeriksaan TcB dan/atau TSB tidak
tersedia di layanan kesehatan, harus dilakukan rujukan untuk pemeriksaan kadar
bilirubin (contoh alat TcB di Gambar 2).

Evaluasi laboratorium
TcB atau TSB diperiksa jika bayi tampak kuning di 24 jam pertama kehidupan. Kemudian
hasil diplot di bilinorm apakah masuk dalam indikasi fototerapi atau transfusi tukar.
Aplikasi bilinorm dapat diunduh di Apps store atau Playstore. Pemeriksaan TcB
dan/atau TSB harus dilakukan jika bayi tampak ikterus. Jika terdapat alat TcB, maka
pengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam untuk melihat progresivitas ikterus
berdasarkan usia postnatal. Tentukan pula ambang batas fototerapi setiap harinya. Jika
kadar TcB yang terukur ± 2-3 mg/dL atau 70% dari ambang batas fototerapi, maka perlu
dilakukan pemeriksaan TSB.27

Pemeriksaan perkiraan secara visual tidak dapat digunakan untuk menentukan


derajat ikterus, terutama pada bayi dengan kulit gelap.

Gambar 2. TcB meter (JM 105


Dräger)

304
Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam (Gambar
3).

Gambar 3. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi
dengan usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia
kehamilan 35-36 minggu dengan berat lahir ≥ 2500 gram
berdasarkan kadar bilirubin serum sesuai dengan usia (dalam jam) 28

Penyebab ikterus
Melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mencari kemungkinan penyebab ikterus
pada bayi yang menerima fototerapi atau TSB meningkat cepat dan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bayi yang mengalami
peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan analisis dan kultur urin.
Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila
terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bayi sakit dan ikterus
pada umur lebih 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk atau
bilirubin konjugasi untuk mengidentifikasi adanya kolestasis. Selain itu, dapat dilakukan
pemeriksaan tiroid dan galaktosemia. Penyebab dari peningkatan bilirubin direk dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan FT4, TSH, dan screening inborn error

305
metabolism (paper test). Apabila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi
meningkat, dilakukan evaluasi tambahan untuk mencari penyebab kolestasis.

Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phospatase dehydrogenase


(G6PD) direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi dengan riwayat
keluarga atau etnis/asal geografis yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD
atau pada bayi dengan respon terhadap fototerapi yang buruk.

Tabel 2. Evaluasi laboratorium pada bayi ikterus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu14
Indikasi Penilaian
Ikterus pada 24 jam pertama Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Ikterus tampak berlebihan untuk usia bayi Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Bayi menerima fototerapi atau kadar TSB Lakukan pemeriksaan golongan darah dan
meningkat secara cepat (melewati tes Coombs
persentil) dan tidak bisa dijelaskan Lakukan pemeriksaan Complete blood
penyebabnya dari anamnesa ataupun count dan pemeriksaan darah tepi
pemeriksaan fisik Jika tersedia fasilitas, lakukan
pemeriksaan hitung retikulosit, dan G6PD.

306
Kadar TSB mencapai batas untuk Jika tersedia fasilitas, Lakukan
dilakukannya transfusi tukar atau tidak pemeriksaan hitung retikulosit, G6PD,
berespon terhadap fototerapi
dan albumin.
Lakukan pemeriksaan urinalisis dan
kultur urine. Evaluasi sepsis jika ada
indikasi berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan fisik

Ikterus tampak saat atau setelah usia 3 Lakukan pemeriksaan kadar bilirubin total
minggu, atau bayi sakit dan direk (atau terkonjugasi)
Jika kadar bilirubin direk meningkat,
lakukan evaluasi penyebab kolestasis
Lakukan pemeriksaan skrining tiroid dan
galaktosemia, dan evaluasi untuk tanda
dan gejala hipotiroid

Pemeriksaan klinis sebelum pulang dari rumah sakit

Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap risiko
berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua perawatan harus menerapkan
protokol untuk menilai risiko ini. Penilaian ini sangat penting pada bayi yang pulang
sebelum umur 72 jam. Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus diperiksa TcB
atau TSB dan diplot di kurva yang sesuai. Untuk yang belum masuk dalam kriteria
fototerapi, disarankan untuk kontrol menemui petugas kesehatan maksimal 2x24 jam.

Ada dua pilihan rekomendasi klinis yaitu :

• Pengukuran kadar TcB atau TSB sebelum keluar rumah sakit, secara individual atau
kombinasi untuk pengukuran yang sistematis terhadap risiko.
• Penilaian faktor risiko klinis.

Kebijakan dan prosedur rumah sakit


Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua, serta memperagakan
bagaimana cara melakukan pemeriksaan ikterus dan evaluasi perkembangannya.

Cara memeriksa ikterus adalah:

• Memucatkan kulit bayi dengan cara menarik kulit pada bagian yang diperiksa ke
arah samping kanan dan kiri dengan menggunakan kedua ibu jari pada bagian dahi,
dada, perut, kaki, dan telapak kaki.
• Evaluasi ikterus dan perkembangannya dilakukan setiap hari pada pencahayaan
yang cukup dan natural menggunakan sinar matahari.
• Evaluasi perkembangan ikterus adalah sefalokaudal.

307
• Jika orangtua mendapati kuning pada bagian telapak kaki dikategorikan sebagai
ikterus yang berat dan harus segera menemui petugas kesehatan (Lampiran 8). 15

Tindak lanjut
Semua bayi harus diperiksan oleh petugas kesehatan profesional yang berkualitas beberapa
hari setelah keluar rumah sakit untuk menilai keadaan bayi dan ada / tidak kuning. Waktu
dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan berdasarkan lamanya perawatan, ada
atau tidaknya faktor risiko untuk hiperbilirubinemia dan risiko masalah neonatal lainnya.
Penilaian yang harus dilakukan pada saat tindak lanjut berikutnya adalah:

• Perkembangan ikterus
• Kecukupan ASI
• Ada tidaknya dehidrasi
• Ada tidaknya faktor risiko masalah neonatal yang lain

Jadwal kunjungan ulang


Untuk bayi yang pulang dari rumah sakit, kunjungan tindak lanjut dilakukan dalam kurun
waktu paling tidak 2-3 hari setelah bayi dipulangkan. Hal ini berguna untuk melihat
progresivitas ikterus dan kadar puncak bilirubin serum yang sering terlihat pada usia 46
hari setelah kelahiran.

Tabel 3. Jadwal kunjungan ulang


Bayi keluar RS Waktu kunjungan ulang pasca
keluar rumah sakit
Sebelum umur 24 jam 72 jam
Antara umur 24 dan 47.9 jam 72 - 96 jam
Antara umur 48 dan 72 jam 96 - 120 jam

3.5.3.2 Fototerapi

Tidak ada metode standar dalam memberikan fototerapi. Unit fototerapi memiliki
variasi yang sangat banyak, termasuk juga jenis lampu yang digunakan. Efektivitas
fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin bergantung pada beberapa hal yang dapat
dimodifikasi diantaranya adalah: jarak sumber cahaya dengan bayi, intensitas lampu
fototerapi, jenis lampu fototerapi yang digunakan, luas permukaan paparan, serta
kondisi klinis pasien sendiri.29

a. Konsep fototerapi
Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara mengkonversi molekul bilirubin
menjadi produk fotoisomer dan produk oksidasi yang kurang lipofilik dan tidak
membutuhkan konjugasi hati untuk bisa di eksresikan. Fotoisomer sebagian besar di

308
ekskresikan dalam empedu dan produk oksidasi sebagian besar dieksresikan dalam
urin.30 Fototerapi akan mengekspos kulit bayi melalui cahaya dengan panjang
gelombang tertentu, dimana mampu menurunkan total bilirubin dengan beberapa
mekanisme berikut ini:31

- Pembentukan isomer menjadi lumirubin, fototerapi merubah bilirubin


menjadi lumirubin melalui struktur isomerase yang bersifat irreversible.
Lumirubin bersifat lebih larut daripada bilirubin lalu di ekskresikan menuju
empedu dan urin.
- Fotoisomer kurang toksik daripada isomer bilirubin, fototerapi merubah
isomer bilirubin 4Z, 15Z menjadi isomer 4Z, 15E dimana lebih polar dan
kurang toksik dibandingkan 4Z, 15Z. Seperti lumirubin, isomer 4Z, 15E
dieksresikan kedalam empedu tanpa dikonjugasi. Tidak seperti struktur
isomerase menjadi lumirubin, fotoisomer bersifat reversibel, tapi kliren
isomer 4Z, 15E sangat pelan, dan fotoisomer menjadi reversibel. Beberapa
isomer 4Z,15E dalam empedu dikonversi kembali menjadi 4Z,15Z, hasilnya
pada alur ini sedikit berefek terhadap bilirubin total.
- Foto-oksidasi molekul polar. Reaksi Foto-oksidasi menjadi bilirubin tidak
berwarna, komponen polar diekskresikan terutama dalam urin.

Gambar 7. Konsep fototerapi

b. Pengukuran kadar fototerapi

309
Tabel 5 menunjukkan cara memodifikasi dalam upaya meningkatkan intensitas
fototerapi. Secara klinis praktis, istilah untuk kekuatan radiasi kita sebut dengan
intensitas yang merupakan spektrum radiasi yang dapat diukur dengan menggunakan
alat yang disebut intensity meter. Intensity meter ini menggunakan panjang
gelombang tertentu sesuai dengan lampu fototerapi yang digunakan. Perlu diperhatikan
bahwa lebar gelombang dari spektrum emisi lampu fototerapi akan memengaruhi
pengukuran intensitas.

Hingga saat ini, tidak ada metode standart dalam mengukur dosis fototerapi,
sehingga akan sangat sulit untuk membandingkan penelitian tentang efikasi dari
fototerapi dan data pabrik untuk intensitas yang dihasilkan jika menggunakan alat yang
berbeda. Pengukuran intensitas dengan alat yang berbeda dapat mengakibatkan
perbedaan yang signifikan.32 Pengukuran di bawah lampu dengan spektrum emisi yang
terfokus akan memberikan perbedaan yang signifikan antara satu radiometer dengan
radiometer lainnya, karena respons spektrum dari intensity meter dari pabrikan satu
dengan lainnya berbeda. Lampu dengan spektrum luas (fluoresen dan haloganjjk)
memiliki variasi yang lebih sedikit pada bacaan intensity meter. Pabrik pembuat
sistem fototerapi umumnya merekomendasikan intensity meter yang spesifik untuk
digunakan dalam mengukur kadar fototerapi ketika sistem mereka digunakan (salah satu
contoh lampu fototerapi yang 1 paket dengan alat intensity meter dapat dilihat pada
Gambar 8).

Gambar 8. Paket lampu fototerapi dengan intensity meter yang berasal dari pabrik yang
sama (Bililux Dräger)
310
Penting juga untuk diketahui bahwa pengukuran radiasi akan sangat bervariasi
tergantung pada tempat dimana pengukuran tersebut dilakukan. Pengukuran radiasi di
bawah pusat sumber lampu dapat menunjukkan hasil dua kali lipat lebih tinggi
dibandingkan pengukuran dari perifer, dan gradasi penurunan di perifer juga bervariasi
antara unit fototerapi yang berbeda-beda. Idealnya radiasi harus diukur pada beberapa
lokasi berbeda dibawah area yang disinari oleh unit fototerapi dan pengukuran tersebut
dirata-rata. Internatinal Electrotechnical
Committee mendifinisikan “luas permukaan area efektif” sebagai luas
permukaan yang ditujukan untuk terapi yang disinari oleh lampu fototerapi. Luas
permukaan yang digunakan sebagai standar adalah seluas 60x30cm.

Berikut adalah silhoulette model yang digunakan oleh ahli bilirubin dari
Belanda dengan mengukur 5 titik yang merepresentasikan bagian pusat dan perifer jika
fototerapi dengan tipe overhead digunakan. Namun jika fototerapi dengan tipe fiber
optic (fototerapi tipe underneath) digunakan, titik yang diukur berjumlah 3 (Gambar
9).27

Gambar 9. Silhouette model untuk titik pengukuran intensitas fototerapi.


Keterangan : a) fototerapi tipe overhead; b) fototerapi tipe underneath27

Pengukuran dosis fototerapi secara rutin


Meskipun tidak perlu untuk mengukur spektrum radiasi sebelum tiap kali menggunakan
fototerapi, namun penting untuk dilakukan pemeriksaan secara periodik terhadap unit
fototerapi (1x/bulan) untuk memastikan bahwa radiasi yang diberikan sudah memenuhi
kadar terapeutik. Penelitian pada 17 rumah sakit di Jawa menunjukkan bahwa 6 dari 17
rumah sakit memiliki intensitas lampu fototerapi dibawah nilai terapeutik
(10-12μW/cm2 per nm) dan 9 dari 17 rumah sakit tidak memiliki kapasitas untuk
melakukan intensif fototerapi (>30μW/cm2 per nm). Hal ini tentu sangat

311
berbahaya jika rumah sakit tidak memiliki alat intensity meter untuk mengetahui
kekuatan lampu fototerapi yang dimiliki (Gambar10). 33

Gambar 10. Kekuatan radiasi alat fototerapi pada 17 rumah sakit di Indonesia

Hubungan antara intensitas fototerapi dan respons penurunan kadar


bilirubin
Ada hubungan langsung antara intensitas fototerapi pada level tertentu dengan
penurunan kadar bilirubin (Gambar 11). 34 Namun ada titik jenuh dimana peningkatan
intensitas tidak meningkatkan kecepatan penurunan kadar bilirubin. Hingga saat ini titik
aman intensitas suatu lampu fototerapi masih belum diketahui. Masih menjadi
perdebatan apakah intensitas yang lebih tinggi (>50 μW/cm2 per nm) diperlukan dalam
proses fototerapi. Penelitian pada hewan coba mendapatkan hasil bahwa penggunaan
fototerapi intensitas yang tinggi (>30 μW/cm2 per nm) ditengarai menyebabkan
mutasi di tingkat DNA.35

Bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia karena penyebab non-hemolisis


dipaparkan pada special blue lamp (Phillips TL 52/20W) dengan intensitas yang
berbeda. Spektrum radiasi diukur sebagai rerata hasil dari pemeriksaan di kepala, badan,
dan lutut.34

312
Gambar 11. Hubungan antara rerata spektrum radiasi dengan penurunan konsentrasi bilirubin
serum34

Hubungan jarak bayi terhadap sumber cahaya dengan peningkatan


intensitas radiasi

Gambar 12 menunjukkan bahwa ketika jarak antara sumber cahaya dengan bayi
berkurang, terdapat peningkatan yang sesuai pada spektrum radiasi. 33 Gambar 12 juga
menunjukkan perbedaan yang dramatis pada radiasi yang dihasilkan dalam pita 425-475
nm oleh berbagai tipe tabung fluoresen.

Gambar 12. Jarak antara sumber cahaya dengan bayi berkorelasi terbalik 33

Berdasarkan Gambar 12, klinisi dapat meningkatkan intensitas lampu fototerapi


dengan cara mendekatkan jarak sumber cahaya dengan bayi. Beberapa lampu fototerapi

313
konvensional (menggunakan tabung fluoresen dan halogen) harus waspada terhadap
efek samping hipertermia jika ingin mendekatkan jarak sumber cahaya. Sangat
disarankan meletakkan sumber cahaya sesuai dengan panduan yang diberikan oleh
pabrik. AAP merekomendasikan jarak yang standar antara sumber cahaya dengan bayi
sejauh 40 cm. Penelitian Mahendra dkk mendapatkan bahwa praktik di lapangan jarak
fototerapi dengan tabung fluoresen masih cukup aman pada kisaran 20 cm. Namun, jika
menggunakan light-emitting diodes (LED), dapat menggunakan jarak yang lebih dekat
lagi. Penelitian mendapatkan bahwa pada jarak 17 cm masih aman. 33

Fototerapi intensif
Fototerapi intensif diartikan sebagai penggunaan radiasi tingkat tinggi pada pita 430-
490 nm (umumnya 30 μW/cm2 per nm atau lebih) yang dipancarkan sebanyak
mungkin pada permukaan tubuh bayi.

Menggunakan fototerapi secara efektif

• Sumber cahaya
Spektrum cahaya yang dipancarkan oleh unit fototerapi tergantung dari tipe
sumber cahaya dan filter yang digunakan. Unit fototerapi yang biasanya
digunakan lampu daylight, cool white, blue, atau special blue
fluorescent tube. Unit yang lain menggunakan lampu tungsten-halogen
pada konfigurasi yang berbeda, antara free-standing atau sebagai bagian dari
alat pemanas bercahaya. Baru-baru ini diperkenalkan sistem yang menggunakan
galium nitride LED dengan intensitas tinggi.36 Sistem fiber optic
memancarkan cahaya dari lampu berintensitas tinggi ke selimut yang memiliki
fiber optic.

Sebagian besar dari alat ini memancarkan luaran yang cukup pada
daerah biru-hijau dari spektrum kasat mata untuk bisa efektif sebagai
penggunaan fototerapi standar. Namun begitu, ketika kadar bilirubin mencapai
rentangan dimana fototerapi intensif direkomendasikan, efisiensi yang maksimal
harus ditemukan. Sumber cahaya yang paling efektif saat ini dan tersedia secara
komersial untuk fototerapi adalah yang menggunakan special blue
fluorescent tube37 atau lampu LED yang didesain secara khusus (Natus Inc,
San Carlos, CA).36 Special blue fluorescent tube diberi label F20T12/BB
(General Electric, Westinghouse, Sylvania) atau TL52/20W (phillips, Eindhoven,
The Netherlands). Penting untuk diketahui bahwa special blue tube
memberikan radiasi yang lebih hebat dibanding tabung biru biasa (yang diberi
label F20T12/B) (Gambar 11). Special blue tube merupakan yang paling
efektif karena mampu menyediakan cahaya yang sebagian besar dalam
spektrum warna biru-hijau.

Pada panjang gelombang ini, cahaya dengan mudah menembus kulit


dan diabsorbsi secara maksimal oleh bilirubin. 37 Terdapat suatu kesalah-
pahaman bahwa tabung fluoresen untuk fototerapi menggunakan sinar
ultraviolet. Padahal, tabung fluoresen hanya memancarkan sedikit sinar
ultraviolet dengan panjang gelombang yang lebih panjang dibandingkan dengan
sinar ultraviolet yang menyebabkan eritema. Sebagai tambahan, hampir semua
sinar ultraviolet diabsorbsi oleh dinding kaca pada tabung fluoresen.

314
• Jarak dari cahaya
Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 12, jarak antara sumber cahaya dengan
bayi memiliki dampak yang siginifikan terhadap peningkatan intensitas. Untuk
mengambil keuntungan dari efek ini, tabung fluoresen harus diletakkan sedekat
mungkin dengan bayi. Untuk melakukan hal ini, bayi harus diletakkan di
keranjang bayi, bukan di inkubator, karena atap dari inkubator mencegah
cahaya untuk dibawa mendekat ke bayi. Pada keranjang bayi, sangat mungkin
untuk membawa tabung fluoresen dalam jarak 20 cm dari bayi. Bayi cukup
bulan yang tidak tertutupi pakaian tidak menjadi terlalu panas di bawah lampu
tersebut. Perlu diperhatikan bahwa lampu fototerapi halogen tidak bisa
diposisikan lebih dekat pada bayi dibandingkan yang direkomendasikan
produsen tanpa menimbulkan risiko terbakar. Ketika lampu halogen digunakan,
rekomendasi dari produsen harus diikuti. Reflektor, sumber cahaya, dan filter
cahaya yang transparan (jika ada) harus selalu dijaga bersih.

• Luas permukaan
Sejumlah sistem telah dikembangkan untuk menyediakan fototerapi diatas dan
dibawah bayi.38, 39 Salah satu sistem yang tersedia secara komersial adalah
Billisphere. Unit ini menyediakan special blue fluorescent tube diatas dan
dibawah bayi. Alternatif lain adalah meletakkan bantalan serat optik dibawah
bayi dengan lampu fototerapi diatasnya. Satu kerugian dari bantalan fiber optik
adalah bahwa alat ini hanya melingkupi luas permukaan yang relatif kecil
sehingga 2-3 bantalan mungkin diperlukan. 40 Ketika kadar bilirubin sangat tinggi
dan harus diturunkan secepatnya, sangat penting untuk memaparkan sebanyak
mungkin permukaan tubuh bayi ke fototerapi.

Pada situasi ini, tambahan paparan luas permukaan dapat dicapai


dengan melapisi sisi keranjang menggunakan aluminium foil atau korden
putih.41, 42 Pada sebagian besar kondisi, tidak diperlukan untuk menyingkirkan
popok bayi, namun ketika kadar bilirubin mencapai rentang kadar transfusi
tukar, popok bayi harus disingkirkan hingga ada bukti yang jelas tentang
penurunan kadar bilirubin yang signifikan. Pada saat ini, sudah tersedia alat
fototerapi yang dapat memberikan fototerapi pada bagian depan dan belakang
tubuh bayi secara bersamaan tanpa perlu perubahan posisi. Lampu fototerapi
dibuat sirkuler mengelilingi tubuh bayi. Namun alat fototerapi ini terbatas pada
bayi besar. Untuk bayi yang kecil, berisiko terjadi hipotermia. Untuk bayi yang
kecil dan masih perlu berada dalam inkubator, dapat diberikan fototerapi
overhead yang dikombinasi dengan underneath/fiber optic (Gambar 13).

Penelitian dengan menggunakan kain satin putih pada 42 bayi di RSCM


dengan menggunakan fototerapi tunggal didapatkan penurunan kadar bilirubin
pada 6 jam dan 12 jam setelah fototerapi tanpa efek samping yang bermakna
untuk kejadian hipertermia dibandingkan dengan fototerapi tunggal tanpa
pemakaian satin putih.43 Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa
penggunaan kain penutup memiliki efek yang berbeda-beda tergantung pada
warna dan lampu fototerapi yang digunakan terhadap intensitas yang dihasilkan.
Penggunaan kain penutup yang berwarna gelap dapat menurunkan intensitas
hingga 6 μW/cm2 per nm. Pada penggunaan kain penutup yang berwarna
terang, pada kondisi dimana lampu fototerapi diberikan dengan intensitas < 25
μW/cm2 per nm, maka peningkatan intensitas ± 2 μW/cm2 per nm. Berbeda
halnya jika menggunakan lampu fototerapi dengan intensitas > 25

315
μW/cm2 per nm, penggunaan kain berwarna putih memberikan peningkatan
intensitas yang bervariasi hingga mencapai 20 μW/cm2 per nm yang
sebetulnya mungkin tidak diperlukan dan dapat membahayakan bayi. 33

Gambar 13 a. Jenis alat fototerapi bilisphere (sirkuler)

Gambar 13 b. Biliblanket (fototerapi underneath/fiber optic)

Penurunan kadar bilirubin


Pada tingkatan dimana kadar bilirubin menurun tergantung pada faktor yang tertulis
pada Tabel 5, dan respon yang berbeda dapat diduga tergantung dari keadaan klinis.
Ketika kadar bilirubin sangatlah tinggi (lebih dari 30 mg/dL [513μmol/L]),
dan fototerapi intensif dilakukan, penurunan sebanyak 10 mg/dL
(171μmol/L) dapat terjadi dalam beberapa jam44, dan penurunan setidaknya 0,51
mg/dL tiap jam dapat diharapkan terjadi pada 4-8 jam pertama. 45 Rata-rata, bayi dengan
316
usia gestasi lebih dari 35 minggu yang masuk kembali untuk fototerapi, fototerapi
intensif dapat menghasilkan penurunan hingga 30-40% dari kadar bilirubin awal dalam
24 jam setelah inisiasi fototerapi.46 Penurunan yang paling signifikan terjadi pada 4-6
jam pertama. Dengan sistem fototerapi standar, penurunan 6-20% dari kadar bilirubin
awal dapat diharapkan untuk terjadi pada 24 jam pertama. 47, 48

Fototerapi intermiten dan terus menerus

Beberapa studi klinis yang membandingkan antara fototerapi intermiten dengan


fototerapi terus menerus menunjukkan hasil yang bertentangan. 49-51 Karena semua
paparan cahaya meningkatan ekskresi bilirubin (dibandingkan tanpa paparan cahaya),
tidak ada penjelasan ilmiah yang masuk akal untuk menggunakan fototerapi secara
intermiten. Namun pada sebagian besar kondisi, fototerapi tidak perlu terus menerus.
Fototerapi dapat diinterupsi ketika diberi ASI atau kunjungan orangtua yang singkat.
Penilaian individu harus dilatih. Jika kadar bilirubin bayi mencapai zona transfusi tukar
(Gambar 5), fototerapi harus dilakukan terus menerus hingga terjadi penurunan kadar
serum bilirubin yang memuaskan atau transfusi tukar dimulai.

Hidrasi
Tidak ada bukti bahwa pemberian cairan yang berlebihan dapat memengaruhi konsentrasi
bilirubin serum. Beberapa bayi yang dirawat karena kadar bilirubin yang tinggi juga
mengalami dehidrasi ringan dan mungkin membutuhkan pemberian cairan tambahan untuk
mengoreksi status dehidrasinya. Karena bayi-bayi ini hampir semuanya diberi ASI, sehingga
cairan terbaik untuk digunakan pada kondisi ini adalah milk-based formula, karena akan
menghambat sirkulasi enterohepatik dari bilirubin dan dapat membantu menurunkan kadar
bilirubin serum. Hasil fotodegradasi bilirubin akan menghasilkan bilirubin yang larut dalam
air yang mudah diekskresikan melalui urin dan empedu. 52 Oleh karena itu, hidrasi yang
cukup dapat membantu meningkatkan efikasi fototerapi. Kecuali ada bukti dehidrasi,
pemberian rutin cairan intravena atau suplementasi lainnya (seperti air dekstrosa) pada
bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang menerima fototerapi tidak diperlukan.

Penghentian fototerapi
Tidak ada standar untuk menghentikan pemberian fototerapi. Kadar TSB untuk
menghentikan fototerapi tergantung pada usia dimana fototerapi dimulai dan penyebab
hiperbilirubinemia.46 Untuk bayi yang dirawat kembali setelah rawat inap kelahiran
mereka (biasanya pada kadar TSB 18 mg/dL [308 μmol/L] atau lebih),
fototerapi dapat dihentikan ketika kadar bilirubin serum turun dibawah 13-14 mg/dL
(239 μmol/L). Pemulangan dari rumah sakit tidak perlu ditunda untuk
mengobservasi bayi yang kembali rebound.46, 53, 54 Jika fototerapi digunakan untuk bayi
dengan penyakit hemolitik atau dimulai lebih awal dan dihentikan sebelum bayi berusia
3-4 hari, pengukuran bilirurin lanjutan dalam waktu 24 jam setelah kepulangan
direkomendasikan.46 Untuk bayi yang masuk kembali dengan hiperbilirubinemia dan
kemudian dipulangkan, kejadian rebound sangat jarang, namun pengukuran TSB
ulangan atau tindak lanjut dalam 24 jam setelah kepulangan merupakan pilihan klinis. 46

317
Paparan sinar matahari

Paparan sinar matahari mampu memberikan radiasi 425-475 nm, dimana telah
diketahui mampu menurunkan bilirubin total, tapi paparan sinar matahari secara
langsung tidak direkomendasikan untuk mencegah hiperbilirubinemia yang berat. Di
negara dengan fasilitas terbatas, pilihan untuk menggunakan perangkat fototerapi
dengan gelombang pendek (transmisi sinar biru atau hijau) sebagai sumber cahaya
adalah dengan penggunaan sinar matahari yang difiltrasi (filtered sunlight) yang
secara selektif memungkinkan tranmisi cahaya biru dan mengurangi paparan radiasi
sinar UV.

Sebuah penelitian observasional di Nigeria menunjukkan bahwa filtered


sunlight dengan menggunakan window tinting films (dimana mampu mengalihkan
sejumlah UV yang berbahaya dan infrared) sehingga metode ini aman dan efektif
mengurangi bilirubin total (Gambar 14). Penelitian berikutnya masih di lokasi yang sama,
menunjukkan bahwa fototerapi filtered sunlight tidak lebih inferior dibandingkan
dengan fototerapi konvensional sebagai terapi hiperbilirubinemia pada bayi aterm dan
late preterm. Penelitian ini melibatkan 447 bayi dengan hiperbilirubinemia yang secara
acak dikelompokkan kedalam filtered sunlight minimal 5 jam pada siang hari, dan
fototerapi konvensional sepanjang malam. Hasilnya adalah tidak ada beda yang
signifikan dalam menurunkan bilirubin total. 55 Efek samping dari penggunaan filtered
sunlight adalah hipertermia, hipotermia, dehidrasi, dan risiko terbakar sinar
matahari.31

Gambar 14. Filtered sunlight 55

m. Terapi lain untuk fototerapi

• Ursodeoxycholic acid (UDCA)


UDCA dapat meningkatkan aliran empedu dan mengurangi kadar TSB. UDCA
dipakai sebagai terapi kolestasis. Masih terbatasnya data tentang keamanan dan
efikasi UDCA sebagai terapi dibandingkan fototerapi, sehingga UDCA tidak
direkomendasikan dipakai rutin.31

• Fenobarbital
Penggunaan fenobarbital setelah lahir masih kontroversial dan secara umum tidak
direkomendasikan. Mengingat efek samping pemberian fenobarbital yaitu sedasi

318
pada bayi baru lahir. Diperlukan waktu beberapa hari sebelum terlihat perubahan
bermakna, hal ini membuat penggunaan fototerapi nampak jauh
lebih mudah. Penggunaan fenobarbital profilaksis untuk
mengurangi pemakaian fototerapi atau tranfusi tukar pada bayi dengan defisiensi
G6PD ternyata tidak memberikan hasil baik. 10, 56
Tabel 5. Faktor yang mempengaruhi dosis dan efikasi fototerapi 14
Faktor Mekanisme/ Implementasi dan Aplikasi klinis
alasan
relevansi klinis
Spektrum lampu Spektrum biru- Special blue Special blue
yang dipancarkan hijau merupakan fluorescent tube fluorescent tube
yang paling efektif. atau sumber cahaya atau sumber lampu
Pada lain yang memiliki LED dengan luaran
panjang gelombang luaran terbanyak spektrum biru-hijau
tersebut, sinar dalam spektrum untuk PT intensif
menembus kulit biru-hijau dan yang
dengan baik dan paling efektif dalam
diabsorbsi secara menurunkan TSB
maksimal oleh
bilirubin
Spektrum radiasi ↑ radiasi → ↑ laju Radiasi diukur Jika special blue
(radiasi pada penurunan TSB dengan radiometer fluorescent tube
panjang gelombang (μW/cm2 per nm). digunakan, bawa
tertentu) yang Standar unit PT tabung sedekat
dipancarkan ke memancarkan 8-10 mungkin kepada
permukaan tubuh μW/cm2 per nm (fig bayi untuk
bayi 6). PT intensif meningkatkan
membutuhkan >30 radiasi (gambar 6).
μW/cm2 per nm Catatan: Tidak
dapat dilakukan
dengan lampu
halogen karena
bahaya terbakar.
Special blue tube
1015 cm diatas bayi
akan menghasilkan
radiasi setidaknya
sebesar 35 μW/cm2
per nm
Kekuatan spektrum ↑ permukaan tubuh Untuk PT intensif, Letakkan lampu
(rerata spektrum yang terpapar → ↑ paparkan permukaan diatas dan bantalan
radiasi yang laju penurunan tubuh bayi serat optik atau
melewati TSB semaksimal special blue
permukaan tubuh) mungkin pada PT fluorescent tube
dibawah bayi.
Untuk paparan
maksimum, lapisi
sisi samping
keranjang bayi,
kasur hangat, atau
inkubator
319
dengan aluminium
foil
Penyebab ikterus PT menjadi kurang Ketika hemolisis
efektif ketika terjadi, mulai PT
ikterus disebabkan pada kadar TSB
oleh hemolisis atau yang rendah.
jika kolestasis Gunakan PT
terjadi. intensif. Kegagalan
dari PT
(↑ bilirubin direk) menunjukkan
bahwa hemolisis
merupakan
penyebab
ikterus.
Jika ↑ bilirubin
direk, awasi
terjadinya
bronze
baby syndrome
atau lepuhan
Kadar TSB pada Semakin tinggi Gunakan PT
saat permulaan PT TSB, semakin intensif untuk kadar
cepat penurunan TSB yang lebih
TSB tinggi. Antisipasi
dengan PT penurunan kadar
TSB secara cepat
ketika TSB >
20 mg/dL (342
μmol/L)

Tabel 6. Komplikasi Fototerapi 16


Efek samping Perubahan spesifik Implikasi klinis
Perubahan suhu dan Peningkatan suhu Dipengaruhi oleh
metabolik lainnya lingkungan dan tubuh kematangan asupan kalori
(energi untuk merespon
Peningkatan konsumsi perubahan suhu), adekuat
oksigen atau tidaknya penyesuaian
Peningkatan laju respirasi terhadap suhu pada unit
fototerapi, jarak dari unit
Peningkatan aliran darah ke bayi, dan inkubator
ke kulit (berkaitan dengan aliran
udara dan kehilangan udara
pada radiant warmer),
penggunaan servocontrol.

320
Perubahan kardiovaskular Perubahan sementara Terbukanya kembali
curah jantung dan duktus arteriosus,
penurunan curah ventrikel kemungkinan karena
kiri fotorelaksasi, biasanya
tidak signifikan terhadap
hemodinamik. Perubahan
hemodinamik terlihat pada
12 jam pertama fototerapi,
setelah itu kembali ke awal
atau meningkat

Status cairan Peningkatan aliran darah Meningkatkan kehilangan


perifer cairan
Dapat mengubah keperluan
pemakaian
medikasi intramuskular
Peningkatan insensible Disebabkan oleh
water loss kehilangan cairan melalui
evaporasi, metabolik, dan
respirasi

Dipengaruhi oleh
lingkungan (aliran udara,
kelembaban, suhu),
karakteristik unit
fototerapi, perubahan suhu,
perubahan suhu kulit dan
suhu inti bayi, denyut
jantung, laju respirasi, laju
metabolik, asupan kalorai,
bentuk tempat tidur
(meningkat dengan
penggunaan radiant
warmer dan
inkubator)
Fungsi saluran cerna Peningkatan jumlah dan Berkaitan dengan
frekuensi buang air besar peningkatan aliran empedu
yang dapat menstimulasi
aktivitas saluran cerna

Feses cair, berwarna hijau Meningkatkan kehilangan


kecoklatan cairan melalui feses

321
Penurunan waktu transit Meningkatkan kehilangan
usus cairan melalui feses dan
risiko dehidrasi

Penurunan absorpsi, retensi Perubahan mendadak


nitrogen, air, dan elektrolit pada cairan dan elektrolit

Perubahan aktivitas Intoleransi sementara


laktosa, riboflavin laktosa dengan penurunan
laktase pada silia epitel dan
peningkatan frekuensi
BAB dan konsistensi air
pada feses

Perubahan aktivitas Letargis, gelisah Dapat memengaruhi


hubungan orangtua-bayi
Perubahan berat badan Penurunan nafsu makan Menyebabkan perubahan
asupan cairan dan kalori

Penurunan pada awalnya Disebabkan oleh


namun terkejar pemberian asupan
dalam waktu 2-4 makanan yang buruk dan
minggu peningkatan kehilangan
melalui saluran cerna

Efek okuler Tidak ada penelitian pada Menurunnya input sensoris


manuisa, namun perlu dan stimulasi sensoris.
perhatian antara efek
cahaya dibandingkan Penutup mata
dengan efek penutup mata meningkatkan risiko
infeksi, aberasi kornea,
peningkatan tekanan
intrakranial (jika
terlalu kencang)

Perubahan kulit Tanning Disebabkan oleh induksi


sintesis melanin atau
disperse oleh sinar
ultraviolet
Rashes Disebabkan oleh cedera
pada sel mast kulit dengan
pelepasan histamin,
eritema dari sinar
ultraviolet

322
Burns Disebabkan oleh
pemaparan yang berlebihan
dari emisi gelombang
pendek sinar
fluorescent
Bronze baby syndrome Disebabkan oleh interaksi
fototerapi dan ikterus
kolestasis, menghasilkan
pigmen cokelat (bilifuscin)
yang mewarnai kulit, dapat
pulih dalam hitungan bulan

Perubahan endokrin Perubahan kadar Belum diketahui secara


gonadotropin serum pasti
(peningkatan LH dan FSH)
Perubahan hematologi Peningkatan turnover Merupakan masalah bagi
trombosit bayi dengan trombosit
yang rendah dan yang
dalam keadaan sepsis

Cedera pada sel darah Menyebabkan hemolisis,


merah dalam sirkulasi meningkatkan kebutuhan
energi
degnan penurunan kalium
dan peningkatan aktivitas
ATP
Perhatian terhadap Isolasi Efek diatasi oleh
perilaku psikologis perawatan yang baik
Perubahan status organisasi Dapat diatasi dengan
dan manajemen perilaku interaksi orangtua-bayi.
Dapat memengaruhi ritme
kardiak

3.5.3.3 Transfusi tukar

Frekuensi tindakan transfusi tukar menurun pada tahun 1990an, sehingga menyebabkan
penurunan pengalaman yang signifikan diantara para personel yang melakukan
prosedur tersebut.57-59 Namun begitu, muncul kembalinya kernikterus sebagai masalah
kesehatan masyarakat membuat transfusi tukar sebagai modalitas terapi yang
berpotensi mencegah komplikasi pada perkembangan

saraf.17, 60

323
a. Definisi

Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah bayi dengan darah donor dengan cara
mengeluarkan dan mengganti sejumlah darah secara berulang kali dalam periode waktu
yang singkat.

b. Indikasi
• Adanya peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi yang signifikan pada bayi baru
lahir karena sebab apapun, ketika fototerapi intensif gagal, atau ada risiko
terjadinya kernikterus. Transfusi tukar sesegera mungkin direkomendasikan jika
terdapat tanda awal gejala ensefalopati bilirubin akut. 14 Gambar 5 menunjukkan
batas kadar TSB pada bayi dengan usia gestasi ≥35 minggu yang
direkomendasikan untuk dilakukan transfusi tukar.
• Penyakit hemolisis alloimun pada bayi baru lahir (HDN) untuk koreksi anemia berat
dan hiperbilirubinemia 57

• Anemia berat dengan gagal jantung kongestif atau


hipervolemia 57, 61

• Polisitemia Vera (PCV)


Walaupun transfusi tukar secara parsial dengan kristaloid atau koloid
mengurangi PCV dan hiperviskositas pada bayi dengan polisitemia, namun
ternyata tidak ada bukti mengenai keuntungan jangka panjang dari prosedur
tersebut
62

• Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) 58

• Leukemia kongenital 63
• Toksin metabolik
- Hiperammonemia 64
- Asidemia organik 65
- Keracunan timbal 66
• Overdosis atau intoksikasi obat-obatan 67, 68
• Eliminasi antibodi atau protein abnormal 69, 70
• Sepsis neonatorum atau malaria 71, 72

c. Kontraindikasi
• Ketika alternatif seperti transfusi sederhana atau fototerapi sama efektifnya dengan
transfusi tukar namun dengan risiko yang lebih rendah 73

324
• Ketika pasien tidak stabil dan risiko dari prosedur transfusi tukar melebihi
keuntungan
Pada pasien dengan anemia berat, dengan gagal jantung atau hipervolemia,
transfusi tukar secara parsial lebih berguna untuk menstabilkan kondisi pasien
sebelum transfusi tukar secara lengkap atau secara double volume dilakukan

• Ketika kontraindikasi untuk memasang jalur pemberian transfusi tukar melebihi


indikasi untuk dilakukan transfusi tukar. Akses alternatif harus dicari jika transfusi
tukar memang dibutuhkan74

d. Perlengkapan
• Neonatal Intesinve Care Unit (NICU)
- Sumber panas yang bisa dikontrol secara automatis dan manual
- Monitor untuk evaluasi suhu
- Monitor untuk evaluasi kardiorespirasi
- Pulse oximetry untuk monitor saturasi oksigen
• Peralatan dan obat-obatan untuk resusitasi
• Pengikat bayi
• Tabung orogastrik
• Peralatan suction
• Alat untuk akses vaskular sentral dan perifer
• Penghangat darah dan koil yang sesuai (lihat bagian pencegahan)
• Alat steril untuk transfusi tukar
Alat sekali pakai yang sudah dirakit dari pabrik Alat yang belum
dirakit:

4. Spuit 10 atau 20 ml (gunakan spuit yang lebih kecil jika jumlah darah yang
digunakan lebih sedkit)
5. Three-way (2 buah) dengan pengunci sambungan
6. Tempat pembuangan (botol infus kosongan)
7. Sambungan tabung infus
• Produk darah yang sesuai
• Tabung dan spuit untuk pemeriksaan darah sebelum dan setelah transfusi tukar

e. Pencegahan
• Stabilkan bayi sebelum melakukan transfusi tukar
• Jangan memulai transfusi tukar hingga tersedia personel untuk melakukan
pemantauan dan sebagai bala bantuan ketika terjadi kegawatdaruratan

325
• Gunakan produk darah yang sesuai dengan indikasi klinis. Gunakan darah yang
paling baru, disarankan <5-7 hari
• Lakukan pemeriksaan kadar kalium pada darah donor jika pasien mengalami
hiperkalemia atau gangguan ginjal
• Lakukan pemantauan dengan seksama ketika dan setelah transfusi tukar dilakukan
• Jangan terbaru-buru dalam melakukan tindakan. Dapat mengakibatkan
pengulangan transfusi tukar jika efikasinya menurun akibat terburu-buru. Hentikan
atau pelankan prosedur jika pasien menjadi tidak stabil.
• Gunakan alat penghangat darah yang dapat diatur suhunya dan lolos uji kontrol
kualitas suhu dan alarm. Pastikan untuk memahami cara pengoperasian dan
prosedur keamanan untuk penghangat darah yang spesifik. Jangan panaskan darah
lebih dari 38oC

• Jangan melakukan suction yang berlebihan jika terjadi kesulitan untuk mengambil
darah. Posisikan ulang saluran atau ganti spuit, katup, dan peralatan-peralatan yang
tersambung
• Ketika prosedur terputus, biarkan darah dengan antikoagulasi tetap didalam saluran
atau bersihkan saluran dengan saline yang mengandung heparin
• Bersihkan saluran dengan saline yang mengandung heparin jika hendak
memasukkan kalsium

f. Persiapan untuk transfusi tukar


1. Produk darah dan volumenya
• Komunikasikan dengan bank darah atau ahli kedokteran transfusi untuk
menentukan produk darah yang paling sesuai untuk transfusi
- Plasma-reduced whole blood atau PRC yang digabungkan kembali dengan
plasma darah, dengan PCV diatur menjadi 0.5-0.6, sesuai untuk transfusi tukar
dengan tujuan koreksi anemia dan hiperbilirubinemia 57, 75-77

- Darah dapat diberi antikoagulan dengan menggunakan CPD (citrate phosphate


dextrose) atau heparin. Penambahan larutan antikoagulan umumnya
dihindari.75-78 Jika hanya tersedia RBC yang disimpan dalam larutan antikoagulan,
maka larutan tersebut dapat disingkirkan dengan cara washing atau
centrifuge, dan saat sel darah merah akan digabungkan dengan plasma, cairan
supernatan dari hasil washing atau centrifuge dibuang
- Darah seharusnya sebaru mungkin (<7 hari)

326
- Darah yang telah diradiasi direkomendasikan untuk seluruh transfusi tukar untuk
mencegah terjadinya graft vs host. Waktu pemberian radiasi pada darah harus
dilakukan sedekat mungkin dengan waktu pemberian transfusi tukar (<24 jam)
karena jika disimpan terlalu lama akan terjadi peningkatan konsentrasi kalium
yang signifikan
- Pemeriksaan standar dari bank darah sangatlah penting, termasuk pemeriksaan
HIV, hepatitis B, dan CMV
- Darah donor harus diperiksa untuk defisiensi G6PD dan HbS pada populasi yang
endemis terhadap kondisi ini 79

• Pada kondisi adanya alloimun (Rh, ABO), pemeriksaan kompatibilitas perlu


dilakukan 57
- Jika kelahiran bayi dengan HDN berat diantisipasi, darah O Rh- yang sudah
dilakukan cross-matched dengan ibu dapat dipersiapkan sebelum bayi lahir
- Darah donor yang dipersiapkan setelah bayi lahir tidak boleh memiliki antigen
yang dapat mengakibatkan penyakit hemolitik, dan harus dilakukan cross-
matched dengan bayi tersebut
- Pada HDN karena inkompatibilitas ABO, golongan darah yang diberikan harus O
dengan Rh negatif atau Rh kompatibel dengan ibu dan bayi. Darah harus
dibersihkan dari plasma atau memiliki titer antibodi anti-A atau anti-B yang
rendah. Golongan darah O dengan plasma AB dapat lebih efektif, namun hal
tersebut mengakibatkan adanya 2 paparan donor yang berbeda pada 1 kali
transfusi tukar 80
- Pada HDN karena Rh, darah yang diberikan harus Rh negatif, dan dapat berupa
golongan darah O atau golongan darah yang sama dengan bayi
• Pada bayi dengan polisitemia, cairan dilusi yang optimal untuk transfusi tukar
parsial adalah saline isotonis daripada plasma atau albumin 81

2. Volume darah donor yang diperlukan


• Gunakan tidak lebih dari 1 unit darah untuk setiap prosedur transfusi tukar jika
memungkinkan untuk mengurangi paparan donor
• Jumlah yang diperlukan untuk prosedur transfusi tukar total = volume yang
dibutuhkan untuk transfusi tukar + dead space tabung + penghangat darah (± 25-
30 mL)
• Volume ganda transfusi tukar untuk menyingkirkan bilirubin, antibodi, dan lainnya:
2x volume darah bayi = 2 x 80-120mL/kg
• Volume tunggal transfusi tukar: ± 85% dari volume darah bayi (Gambar 15)
• Transfusi tukar parsial untuk perbaikan anemia berat:
327
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑥 (𝐻𝑏 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 − 𝐻𝑏 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖)
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (𝑚𝐿) =
𝐻𝑏 𝑃𝑅𝐵𝐶 − 𝐻𝑏 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖
• Volume tunggal atau transfusi tukar parsial untuk koreksi polisitemia:
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑥 𝐻𝐶𝑇 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (𝑚𝐿) =
𝐻𝐶𝑇 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖

Gambar 15. Efektivitas transfusi tukar terhadap fraksi volume darah yang

ditukar

3. Persiapan bayi
• Letakkan bayi pada warmer dengan lingkungan yang dapat diatur dan dikontrol.
Transfusi tukar untuk bayi preterm yang kecil bisa dilakukan di inkubator, asalkan
area steril dapat dipertahankan dan jalur pemberian mudah diakses
• Ikat bayi dengan sesuai. Sedasi dan penghilang nyeri biasanya tidak dibutuhkan.
Bayi yang sadar bisa diberikan dot ketika prosedur berlangsung
• Pasang monitor pada bayi dan tentukan nilai dasarnya (suhu, frekuensi napas,
frekuensi nadi, dan oksigenasi)
• Kosongkan perut bayi
- Jangan beri bayi makan 4 jam sebelum prosedur jika memungkinkan
- Pasang OGT dan kosongkan isi lambung; biarkan dalam keadaan terbuka
• Mulai pemberian glukosa dan obat-obatan secara intravena:
- Jika transfusi tukar mengganggu tingkat infus sebelumnya
- Jika kekurangan pemberian glukosa oral atau parenteral berkepanjangan
menyebabkan terjadinya hipoglikemia
328
- Jalur intravena tambahan mungkin diperlukan untuk pemberian obat-obatan gawat
darurat
• Stabilisasi bayi sebelum memulai prosedur transfusi tukar: beri transfusi PRC pada
kondisi hipovolemia berat dan anemia, atau modifikasi ventilator atau oksigen
ketika terjadi dekompensasi pernafasan.

4. Pembuatan akses untuk transfusi tukar


Teknik push pull: Akses sentral melalui kateter vena umbilikalis

5. Pemeriksaan laboratorium darah bayi sebelum dilakukan


transfusi tukar berdasarkan kondisi klinis
Studi diagnostik sebelum transfusi. Perlu diingat bahwa tes serologis pada bayi,
seperti untuk evaluasi hemolisis, titer antibodi antivirus, skrining metabolik, atau
tes genetik harus dilakukan sebelum transfusi tukar dilakukan

• Hb, Hct, PCT


• Elektrolit, kalsium, BGA
• Glukosa
• Bilirubin
• Profil koagulasi

6. Persiapan darah
• Lakukan identifikasi terhadap produk darah
• Pasang set infus pada tabung penghangat darah dan kantong darah
• Alirkan darah melalui penghangat darah

g. Komplikasi
• Risiko kematian atau sequele yang parah diduga < 1% pada bayi sehat, namun
pada bayi sakit sebesar 12%. Ada keraguan terhadap efek samping dari transfusi
tukar pada bayi yang sudah dalam kondisi kritis 82-84

• Kebanyakan efek samping adalah efek samping hematologi dan biokimia, yang
mana tidak menunjukkan adanya gejala. Efek samping yang paling sering
ditemukan pada saat atau sesaat setelah transfusi tukar, biasanya pada bayi
preterm atau bayi sakit, adalah:
- Apne dan/atau bradikardi
- Hipokalsemia

329
- Trombositopenia (<50.000 pada 10% bayi sehat, atau 67% pada bayi < 32 minggu
usia kehamilan)
- Asidosis metabolik
- Spasme vaskular

• Komplikasi yang dilaporkan pada transfusi tukar adalah yang berhubungan dengan
transfusi darah dan akses vaskular.

Komplikasi yang berpotensi terjadi antara lain:


- Metabolik: hipokalsemia, hipo atau hiperglikemia, hiperkalemia
- Kardiorespirasi: apne, bradikardi, hipotensi, hipertensi
- Hematologi: trombositopenia, dilusi koagulopati, neutropenia,
DIC
- Terkait kateter vaskular: spasme vaskular, thrombosis, embolisasi
- Gastrointestinal: feeding intolerance, iskemia, NEC
- Infeksi: omfalitis, septikemia

Gambar 16. Katup 4-arah.


A. Male adapter; B. Female adapter; C. Penggabungan pada tabung darah; D. Posisi off
(180o dari adapter menuju container pembussangan), untuk pemberian injeksi melalui
karet penahan. Katup digunakan searah jarum jam ketika sudah dirakit dengan benar

330
Gambar 17. Transfusi tukar menggunakan katup 4-arah

Gambar 18. Tranfusi tukar dengan menggunakan arteri radialis dan vena umbilikal

331
BAB IV

REKOMENDASI

4.1. Pencegahan hyperbilirubinemia

4.1.2 Pencegahan primer

Memberi masukan kepada ibu dan memeriksa bayi apakah mereka mendapat ASI yang
cukup dengan beberapa pertanyaan:

a. Apakah bayi minum 8-12x per hari?


b. Apakah BAB > 3x per hari?
c. Apakah BAK > 6x per hari?
d. Apakah BB bayi tidak turun >10% dalam 5 hari pertama kehidupan?
e. Apakah bayi demam?

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat
ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

4.1.2 Pencegahan sekunder

Dilakukan penilaian secara berkesinambnknungan untuk risiko terjadinya


hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal. Tata cara melakukan penilaian ini
dimulai dengan pemeriksaan secara visual untuk progresivitas hiperbilirubinemia secara
sefalokaudal yang diikuti dengan pemeriksaan TcB /TSB.

Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi B


a. Pemeriksaan golongan darah
Melakukan komunikasi dengan dokter obstetrik dan ginekologi, bidan, atau perawat
untuk melakukan pemeriksaan ABO dan Rh(D) pada setiap wanita hamil.

Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi B

332
Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan antibodi
direk (tes Coombs), golongan darah dan tipe Rh(D) darah tali pusat bayi.

Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi B

Bila golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan
darah dan tes Coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika
dilakukan pengawasan, penilaian terhadap risiko sebelum keluar rumah sakit dan tindak
lanjut yang memadai.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

4.2 Penilaian klinis

Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya
progresivitas ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus
dinilai saat memeriksa tanda vital bayi.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

Protokol untuk penilaian ikterus harus diketahui oleh seluruh staf perawatan, jika sarana
untuk pemeriksaan TcB dan/atau TSB tidak tersedia di layanan kesehatan, harus
dilakukan rujukan untuk pemeriksaan kadar bilirubin (contoh alat TcB di Gambar 2).

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

4.3 Evaluasi laboratorium


4.3.1 Kadar bilirubin

TcB atau TSB diperiksa jika bayi tampak kuning di 24 jam pertama kehidupan. Kemudian
hasil diplot di bilinorm apakah masuk dalam indikasi fototerapi atau transfusi tukar.
Aplikasi bilinorm dapat diunduh di Apps store atau Playstore.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Pemeriksaan TcB dan/atau TSB harus dilakukan jika bayi tampak ikterus. Jika terdapat
alat TcB, maka pengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam untuk melihat
progresivitas ikterus berdasarkan usia postnatal. Tentukan pula ambang batas fototerapi
setiap harinya. Jika kadar TcB yang terukur ± 2-3 mg/dL atau 70% dari ambang batas
fototerapi, maka perlu dilakukan pemeriksaan TSB. 27

Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi B

333
Pemeriksaan perkiraan secara visual tidak dapat digunakan untuk menentukan derajat
ikterus, terutama pada bayi dengan kulit gelap.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Gambar 2. TcB meter (JM 105


Dräger)

Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam (Gambar
3).

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

334
Gambar 3. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi
dengan usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia
kehamilan 35-36 minggu dengan berat lahir ≥ 2500 gram berdasarkan kadar bilirubin
serum sesuai dengan usia (dalam jam)28

4.3.2 Penyebab ikterus

Melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mencari kemungkinan penyebab ikterus


pada bayi yang menerima fototerapi atau TSB meningkat cepat dan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan analisis
dan kultur urin. Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus
dilakukan bila terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Bayi sakit dan ikterus pada umur lebih 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin
total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk mengidentifikasi adanya kolestasis. Selain
itu, dapat dilakukan pemeriksaan tiroid dan galaktosemia. Penyebab dari peningkatan
bilirubin direk dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan FT4, TSH, dan screening
inborn error metabolism

(paper test).

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

Bila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi meningkat, dilakukan evaluasi tambahan
untuk mencari penyebab kolestasis.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phospatase dehydrogenase (G6PD)


direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi dengan riwayat
keluarga atau etnis/asal geografis yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD
atau pada bayi dengan respon terhadap fototerapi yang buruk.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Tabel 2. Evaluasi laboratorium pada bayi ikterus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu14
Indikasi Penilaian
Ikterus pada 24 jam pertama Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Ikterus tampak berlebihan untuk usia bayi Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB

335
Bayi menerima fototerapi atau kadar TSB Lakukan pemeriksaan golongan darah dan
meningkat secara cepat (melewati tes Coombs
persentil) dan tidak bisa dijelaskan Lakukan pemeriksaan Complete blood
penyebabnya dari anamnesa ataupun count dan pemeriksaan darah tepi
pemeriksaan fisik Jika tersedia fasilitas, lakukan
pemeriksaan hitung retikulosit, dan G6PD.
Kadar TSB mencapai batas untuk Jika tersedia fasilitas, Lakukan
dilakukannya transfusi tukar atau tidak pemeriksaan hitung retikulosit, G6PD,
berespon terhadap fototerapi
dan albumin.
Lakukan pemeriksaan urinalisis dan
kultur urine. Evaluasi sepsis jika ada
indikasi berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan fisik

Ikterus tampak saat atau setelah usia 3 Lakukan pemeriksaan kadar bilirubin total
minggu, atau bayi sakit dan direk (atau terkonjugasi)
Jika kadar bilirubin direk meningkat,
lakukan evaluasi penyebab kolestasis
Lakukan pemeriksaan skrining tiroid dan
galaktosemia, dan evaluasi untuk tanda
dan gejala hipotiroid

4.4 Pemeriksaan klinis sebelum pulang dari rumah sakit

Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap risiko
berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua perawatan harus menerapkan
protokol untuk menilai risiko ini. Penilaian ini sangat penting pada bayi yang pulang
sebelum umur 72 jam. Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus diperiksa TcB
atau TSB dan diplot di kurva yang sesuai. Untuk yang belum masuk dalam kriteria
fototerapi, disarankan untuk kontrol menemui petugas kesehatan maksimal 2x24 jam.

Peringkat bukti IIIA, Derajat rekomendasi C

Ada dua pilihan rekomendasi klinis yaitu :

• Pengukuran kadar TcB atau TSB sebelum keluar rumah sakit, secara individual atau
kombinasi untuk pengukuran yang sistematis terhadap risiko.
• Penilaian faktor risiko klinis.
Peringkat bukti IIIA, Derajat rekomendasi C

4.5 Kebijakan dan prosedur rumah sakit

Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua, serta memperagakan
bagaimana cara melakukan pemeriksaan ikterus dan evaluasi perkembangannya.

336
Cara memeriksa ikterus adalah:

• Memucatkan kulit bayi dengan cara menarik kulit pada bagian yang diperiksa ke
arah samping kanan dan kiri dengan menggunakan kedua ibu jari pada bagian dahi,
dada, perut, kaki, dan telapak kaki.
• Evaluasi ikterus dan perkembangannya dilakukan setiap hari pada pencahayaan
yang cukup dan natural menggunakan sinar matahari.
• Evaluasi perkembangan ikterus adalah sefalokaudal.
• Jika orangtua mendapati kuning pada bagian telapak kaki dikategorikan sebagai
ikterus yang berat dan harus segera menemui petugas kesehatan (Lampiran 8). 15
Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

4.6 Tindak lanjut

Semua bayi harus diperiksan oleh petugas kesehatan profesional yang berkualitas
beberapa hari setelah keluar rumah sakit untuk menilai keadaan bayi dan ada / tidak
kuning. Waktu dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan berdasarkan lamanya
perawatan, ada atau tidaknya faktor risiko untuk hiperbilirubinemia dan risiko masalah
neonatal lainnya. Penilaian yang harus dilakukan pada saat tindak lanjut berikutnya
adalah:

• Perkembangan ikterus
• Kecukupan ASI
• Ada tidaknya dehidrasi
• Ada tidaknya faktor risiko masalah neonatal yang lain Peringkat bukti IIIa,
Derajat rekomendasi C

4.7 Jadwal kunjungan ulang


Untuk bayi yang pulang dari rumah sakit, kunjungan tindak lanjut dilakukan dalam kurun
waktu paling tidak 2-3 hari setelah bayi dipulangkan. Hal ini berguna untuk melihat
progresivitas ikterus dan kadar puncak bilirubin serum yang sering terlihat pada usia 46
hari setelah kelahiran.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Tabel 3. Jadwal kunjungan ulang


Bayi keluar RS Waktu kunjungan ulang pasca
keluar rumah sakit
Sebelum umur 24 jam 72 jam
Antara umur 24 dan 47.9 jam 72 - 96 jam
Antara umur 48 dan 72 jam 96 - 120 jam

337
4.8 Terapi

4.8.1 Fototerapi

Rekomendasi terapi terdapat pada Tabel 4, Gambar 4, dan Gambar 5. Jika kadar bilirubin
total serum tidak menurun atau terus meningkat, maka lakukan evaluasi apakah
intensitas lampu fototerapi sudah cukup (30μW/cm2/nm).

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Intensitas dapat ditingkatkan dengan cara:

1. Menggunakan fototerapi ganda.


2. Mendekatkan jarak bayi dengan lampu fototerapi

Dua hal diatas ini berisiko untuk terjadi hipertermia dan dehidrasi pada bayi. Faktor risiko
ini bertambah apabila menggunakan lampu tipe fluoresensi dan halogen. Namun risiko
berkurang jika menggunakan lampu LED. Praktek lama menggunakan korden memberikan
perubahan intensitas yang tidak menentu. Penggunaan korden disarankan dengan
menggunakan warna yang terang atau menggunakan material reflektor. Dianjurkan
melakukan pemeriksaan intensitas lampu fototerapi sebelum dan sesudah modifikasi upaya
peningkatan intensitas untuk melihat apakah intensitas yang ada sudah memenuhi kriteria
intensif fototerapi. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan intensity meter (contoh
intensity meter pada Gambar 6). Jika terjadi hemolisis ketika diberikan fototerapi dan
transfusi tukar, lakukan pemeriksaan retikulosit, Coomb test, ABO, dan Rh(D) ibu dan
bayi.

Gambar 6. Bilirubin blanket meter II (intensity meter) (OHMEDA Medical).

338
Untuk menentukan bayi memerlukan fototerapi atau transfusi tukar, maka kadar
bilirubin yang diplot di normogram adalah total serum bilirubin. Penghentian fototerapi
dilakukan pada kondisi dimana kadar bilirubin direk 50% atau lebih dari bilirubin total,
segera rujuk ke NICU level 3.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

Semua fasilitas perawatan dan pelayanan bayi harus memiliki peralatan untuk fototerapi
intensif yang dilengkapi dengan intensitimeter untuk mengukur secara periodik lampu
fototerapi yang dimiliki minimal 1 bulan sekali.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

4.8.2 Tranfusi tukar

Jika kadar bilirubin total serum berada pada angka untuk rekomendasi dilakukan
transfusi tukar atau jika kadar bilirubin total sebesar 25 mg/dL atau lebih tinggi pada
setiap waktu, hal ini merupakan keadaan emergensi dan bayi harus segera masuk dan
mendapatkan perawatan fototerapi intensif. Bayi-bayi ini tidak harus dirujuk melalui
bagian emergensi karena hal ini dapat menunda terapi (penjelasan lebih lengkap lihat di
bagian transfusi tukar).

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Transfusi tukar harus dilakukan hanya oleh personel yang terlatih di ruangan NICU
dengan observasi ketat dan mampu melakukan resusitasi.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

4.8.3 Pemberian immunoglobulin intravena

Pada penyakit isoimun hemolitik, pemberian imunoglobulin intravena (0,5-1g/kgBB)


direkomendasikan jika kadar bilirubin total serum meningkat walaupun telah mendapat
fototerapi intensif atau kadar TSB berkisar 2-3 mg/dL dari kadar transfusi tukar. Jika
diperlukan dosis ini dapat diulang dalam 12 jam.

Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi B

4.8.4 Kadar serum albumin dan rasio bilirubin/albumin

Disarankan untuk melakukan pemeriksaan kadar serum albumin. Kadar albumin yang
kurang dari 3 mg/dL meningkatkan risiko terjadinya ensefalopati bilirubin akut sehingga
ambang batas fototerapi untuk bayi tersebut harus diturunkan (kelompok risiko tinggi).

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

339
Jika dipertimbangkan transfusi tukar, kadar albumin serum harus diukur dan digunakan
rasio bilirubin/albumin yang berkaitan dengan kadar bilirubin total serum dan faktor-
faktor lainnya yang menentukan dilakukannya transfusi tukar.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

4.8.5 Ensefalopati bilirubin akut


Direkomendasikan untuk segera melakukan transfusi tukar pada setiap bayi
hiperbilirubinemia dengan tanda hemolisis disertai manifestasi ensefalopati bilirubin
akut (hipertonia, arching, retrocollis, opistotonus, demam, menangis, menangis
melengking) meskipun kadar bilirubin total serum masih di bawah batas transfusi tukar.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

4.8.6 Manajemen rawat jalan bayi dengan breastfeeding jaundice

Pada bayi yang menyusu yang memerlukan fototerapi, AAP merekomendasikan bahwa,
jika memungkinkan, menyusui harus diteruskan. Hal ini dapat mengurangi kadar
bilirubin dan atau meningkatkan efektifitas fototerapi. Pada bayi ASI eksklusif yang
mendapat fototerapi, suplementasi dengan pemberian ASI perah atau formula adalah
pilihan yang tepat terutama jika asupan bayi dirasa tidak adekuat, berat badan turun
berlebihan, atau bayi tampak dehidrasi.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Tabel 4. Contoh langkah klinis untuk manajemen bayi baru lahir yang masuk kembali
ke rumah sakit untuk mendapatkan fototerapi atau transfusi tukar14
Terapi
Berikan fototerapi intensif dan/atau transfusi tukar sebagaimana diindikasikan pada
gambar 4 dan 5

Pemeriksaan laboratorium
Kadar TSB dan bilirubin direk
Golongan darah (ABO, Rh)
Tes antibodi direk (Coombs’)

340
Serum albumin
Pemeriksaan darah lengkap dan hapusan darah untuk mengetahui morfologi sel darah
merah
Hitung jenis retikulosit
G6PD (jika tersedia) jika menunjukkan adanya hubungan dengan asal etnis atau asal
geografis tertentu atau jika respon terhadap fototerapi buruk
Pemeriksaan urinalisis, termasuk uji reduksi urin untuk mendeteksi kolestasis
Jika berdasarkan anamnesis dan atau tampilan klinis menunjukkan tanda sepsis,
lakukan pemeriksaan kultur darah dan urin serta pemeriksaan CSF untuk melihat
protein, glukosa, jumlah sel, dan hasil kultur.

Fototerapi
Pemberian minum dilakukan setiap 2-3 jam.
Bila bilirubin total ≥ 25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 2-3 jam
Bila bilirubin total 20-25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 3-4 jam, bila <
20 mg/dL diulang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total terus turun, maka perlu dilakukan
pemeriksaan ulang dalam 8-12 jam.
Bila kadar bilirubin total tidak turun atau malah mendekati kadar transfusi tukar atau
perbandingan bilirubin total dengan albumin (TSB/albumin) meningkat mendekati
angka untuk transfusi tukar maka lakukan transfusi tukar (gambar 5).
Bila kadar bilirubin total < 13-14 mg/dL, hentikan fototerapi
Tergantung pada penyebab hiperbilirubinemia, pemeriksaan bilirubin ulangan boleh
dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang untuk melihat kemungkinan terjadinya
rebound
Transfusi tukar
Bila bilirubin total ≥ 25 mg/dL atau ≥ 20 mg/dL pada bayi sakit atau bayi < 38 minggu,
lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross match pada pasien yang akan
direncanakan untuk mendapat tansfusi tukar.
Pada bayi dengan penyakit autoimun hemolitik dan kadar bilirubin total meningkat
walau telah dilakukan fototerapi intensif atau dalam 2-3 mg/dL kadar transfusi tukar
(gambar 5), berikan imunoglobulin intravena 0.5-1 g/kg selama lebih dari 2 jam dan
boleh diulang bila perlu 12 jam kemudian
Pada bayi yang mengalami penurunan berat badan lebih dari 12% atau secara klinis
atau bukti secara biokimia menujukkan tanda dehidrasi, dianjurkan pemberian susu
formula atau ASI tambahan. Bila pemberian peroral sulit dapat diberikan intravena.

341
Gambar 4. Panduan untuk fototerapi pada bayi dengan usia gestasi ≥ 35 minggu. 14

Keterangan :

• Gunakan TSB. Jangan mengurangi TSB dengan bilirubin direk.


• Faktor risiko: isoimmune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu
tubuh yang tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar albumin <3g/dl
• Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu diperbolehkan untuk melakukan
fototerapi pada kadar bilirubin total sekitar medium risk line. Merupakan pilihan untuk
melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah untuk bayi-bayi
yang mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin total serum yang lebih tinggi
untuk bayi yang berusia mendekati 37 6/7 minggu.
• Diperbolehkan melakukan fototerapi dengan dosis standard (8-10 μW/cm 2 per nm) baik di
rumah sakit atau di rumah pada kadar bilirubin total 2-3 mg/dL di bawah garis yang
ditunjukkan, namun pada bayi-bayi yang memiliki faktor risiko fototerapi sebaiknya tidak
dilakukan di rumah.

Panduan ini berdasarkan bukti yang terbatas dan kadar yang ditunjukkan adalah
perkiraan. Panduan ini mengacu pada penggunaan fototerapi intensif yang mana harus
digunakan ketika kadar TSB melewati garis yang diindikasikan untuk tiap kategori. Bayi
dikategorikan sebagai risiko tinggi karena adanya efek potensial negatif dari kondisi yang
tercatat pada ikatan albumin bilirubin, sawar darah otak, dan kerentanan sel otak
terhadap bilirubin.

Fototerapi intensif adalah fototerapi dengan menggunakan sinar blue-green


spectrum (panjang gelombang kira-kira 430-490 nm) dengan kekuatan minimal
30 μW/cm2 per nm (diukur pada kulit bayi secara langsung dibawah titik tengah dari
unit fototerapi) dan dipancarkan sebanyak mungkin pada permukaan tubuh bayi. Perlu
342
dicatat bahwa radiasi yang diukur di bawah titik tengah dari sumber cahaya lebih tinggi
daripada yang diukur di perifer. Pengukuran harus dilakukan dengan radiometer spesifik
sesuai dengan pabrikan sistem fototerapi.

Jika kadar TSB mendekati atau melewati batas transfusi tukar (Gambar 4), maka
sisi dari keranjang bayi, inkubator, atau infant warmer dapat dilapisi dengan
aluminium foil atau material reflektor 42. Hal ini akan meningkatkan luas permukaan
paparan sehingga meningkatkan efikasi fototerapi. Bila kadar TSB tidak menurun atau
tetap meningkat pada bayi yang sedang mendapatkan fototerapi intensif, maka diduga
kuat adanya hemolisis. Bayi yang mendapatkan fototerapi dan mengalami peningkatan
kadar bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi (kolestasis) bisa berkembang menjadi
bronze-baby syndrome.

Pada panduan ini dilampirkan aplikasi yang dapat membantu klinisi untuk
memutuskan bayi perlu mendapatkan fototerapi atau pertimbangan transfusi tukar
(aplikasi bilinorm). Pada aplikasi bilinorm untuk kategori bayi ≥35 minggu
menggunakan kurva AAP yang dimodifikasi untuk penyederhanaan.
Penyederhanaan dilakukan pada kelompok bayi yang risiko rendah (infants at lower
risk). Pada aplikasi bilinorm, kelompok ini ditiadakan. Kelompok bayi risiko sedang
(infants at medium risk) pada grafik AAP dijadikan kelompok standart risk (>38
minggu). Sedangkan kelompok risiko tinggi (≥35 minggu dan > 38 minggu
dengan faktor risiko) (infants at high risk) tetap sebagai kelompok risiko tinggi
(high risk).

Gambar 5. Panduan untuk transfusi tukar pada bayi dengan usia gestasi ≥ 35
minggu.14 Keterangan :

• Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan keadaan tanpa patokan pasti karena
terdapat pertimbangan klinis yang luas dan tergantung respon terhadap fototerapi.
• Direkomendasikan transfusi tukar segera bila bayi menunjukkan gejala ensefalopati akut
(hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, high pitch cry, demam) atau bila kadar
bilirubin total ≥ 5 mg/dL diatas garis patokan.

343
• Faktor risiko: penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu tidak
stabil, sepsis, asidosis.
• Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total / albumin.
• Gunakan TSB. Jangan mengurangkan dengan bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi
• Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu (risiko sedang) transfusi tukar yang
hendak dilakukan bersifat individual berdasarkan usia kehamilan saat ini.

Perlu diingat bahwa kadar yang disarankan merepresentasikan konsensus dari


sebagian besar komite namun berdasarkan bukti yang terbatas, dan kadar yang
ditunjukkan adalah perkiraan. (lihat Referensi 3 untuk risiko dan komplikasi dari
transfusi tukar). Pada saat dirawat inap lahir, transfusi tukar direkomendasikan jika
kadar TSB meningkat hingga tingkatan ini meskipun dilakukan fototerapi intensif. Untuk
bayi yang masuk kembali, jika kadar TSB di atas tingkatan transfusi tukar, pemeriksaan
ulangan TSB tiap 2-3 jam dan pertimbangkan transfusi tukar jika kadar TSB tetap diatas
kadar yang diindikasikan setelah fototerapi intensif selama 6 jam.

BAB V

SIMPULAN

▪ Kelainan hematologi / hiperbilirubinemia merupakan penyebab nomor 5 morbiditas


neonatal dengan prevalens sebesar 5,6% setelah gangguan napas, prematuritas,
sepsis, dan hipotermia (riset kesehatan dasar, Riskesdas 2007 tentang penyebab
kematian neonatal). Data dari delapan rumah sakit di kota besar di Indonesia

344
(Jakarta, 6 rumah sakit; Kupang, satu rumah sakit, dan Manado, satu rumah sakit),
prevalens hiperbilirubinemia berat (>20mg/dL) adalah 7%, dengan
hiperbilirubinemia ensefalopati akut sebesar 2.
▪ Hiperbilirubinemia berat dengan hiperbilirubinemia ensefalopati atau kernikterus
merupakan morbiditas pada neonatus yang dapat dicegah. Pencegahan dan
penanganan hiperbilirubinemia di Indonesia memiliki kendala karena bervariasi
panduan tatalaksananya. Ada panduan menurut Kementerian Kesehatan, WHO dan
Ikatan Dokter Anak Indonesia (dalam buku Ajar Neonatologi dan dalam Pedoman
pelayanan medis jilid II).
▪ Tatalaksana hiperbilirubinemia dimulai dari upaya pencegahan, penegakkan
diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium;
dilanjutkan dengan fototerapi dan tranfusi tukar.
▪ Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara mengkonversi molekul bilirubin
menjadi produk fotoisomer dan produk oksidasi yang kurang lipofilik dan tidak
membutuhkan konjugasi hati untuk bisa di eksresikan. Efektivitas fototerapi dalam
menurunkan kadar bilirubin bergantung pada beberapa hal yang dapat dimodifikasi
diantaranya adalah: jarak sumber cahaya dengan bayi, intensitas lampu fototerapi,
jenis lampu fototerapi yang digunakan, luas permukaan paparan, serta kondisi klinis
pasien sendiri.
▪ Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah bayi dengan darah donor dengan
cara mengeluarkan dan mengganti sejumlah darah secara berulang kali dalam
periode waktu yang singkat.

345
Lampiran

Lampiran 1. Teknik pelaksanaan dan evaluasi transfusi tukar

A. Teknik pelaksanaan
1. Transfusi tukar dengan teknik push pull
• Baca panduan yang diberikan oleh pabrikan
• Lakukan scrub seperti hendak melakukan prosedur besar. Gunakan masker,
penutup kepala pakaian steril, dan sarung tangan
• Buka tempat peralatan dengan menggunakan teknik aseptik
• Identifikasi posisi katup sesuai arah jarum jam (Gambar 16 dan 17). Arah
pegangan mengarah menunjukkan port mana yang terbuka. Katup yang tersedia
memiliki fungsi sebagai berikut (searah jarum jam): a) menarik dari pasien; b)
membuang ke kantong buangan; c) mengambil darah baru; d) memasukkan ke
dalam pasien. Selalu putar pegangan searah jarum jam untuk mengikuti alur yang
sesuai, dan selalu jaga sambungan dalam keadaan rapat
- Male adaptor pada jalur infus umbilikalis atau perifer
- Female adaptor pada tabung ekstensi dimana kantong buangan akan dipasang
- Hubungkan pada tabung darah untuk dipasangkan pada penghangat darah
- Posisi netral dimana bahan tambahan lainnya dapat diberikan melalui karet
penahan (180o dari kantong buangan)

• Ikuti langkah yang disediakan oleh pabrikan untuk memasang semua koneksi ke
kantong darah dan kantong buangan
• Ketika katup membuka pada kantong darah, kosongkan udara yang ada di spuit
dengan cara memutar 270o searah jarum jam dan keluarkan ke kantong
buangan

346
• Tutup katup dan putar ke bagian yang steril
• Gunakan jalur infus vena umbilikalis yang sudah ada atau masukkan kateter ke
vena umbilikalis menggunakan teknik aseptik
- Pertimbangkan untuk melakukan pengukuran CVP menggunakan transduser pada
bayi yang tidak stabil
- Letakkan kateter pada IVC dan pastikan posisi dengan menggunakan bantuan
radiograf
- Jika kateter tidak dapat diposisikan di IVC, kateter tersebut masih dapat digunakan
secara berhati-hati pada saat ada kegawatan
- Minta salah satu asisten untuk mendokumentasikan tanda vital dan data-data
lainnya
- Periksa kadar glukosa perifer setiap 30-60 menit. Lakukan monitoring terhadap
status kardiorespirasi, periksa saturasi dengan menggunakan pulse oximetry
secara terus menerus. Pemeriksaan BGA dilakukan sebanyak yang diindikasikan
berdasarkan kondisi klinis dan stabilitas pasien sebelum tindakan transfusi tukar
- Lakukan aspirasi darah untuk dilakukan pemeriksaan diagnostik
- Rata-rata pertukaran darah pada transfusi tukar adalah sekitar 5mL/kg dalam 1
siklus (2-4 menit)
- Pada bayi dengan hipovolemia atau memiliki CVP yang rendah, lakukan transfusi
tukar dengan didahului pemberian transfusi (5mL/kg) melalui kateter. Pada bayi
dengan hipervolemia atau memiliki CVP yang tinggi, lakukan transfusi tukar dengan
didahului pengeluaran sebagian volume darah
- Lakukan pemeriksaan ulangan CVP jika ada indikasi. Harapkan untuk terjadi
peningkatan tekanan onkotik plasma jika CVP rendah pada permulaan
- Pastikan bahwa tingkatan dalam mengeluarkan dan memasukkan darah kedalam
bayi dilakukan secara perlahan, membutuhkan setidaknya 1 menit untuk setiap
proses untuk mecegah fluktuasi tekanan darah. Fluktuasi yang cepat pada tekanan
arteri dalam teknik ini dapat diikuti dengan perubahan tekanan intracranial.
Pengeluaran darah yang cepat dari vena umbilikalis menyebabkan terjadinya
tekanan negatif yang akan ditransmisikan ke vena mesenterika yang pada akhirnya
berkontribusi terhadap tingginya kejadian komplikasi iskemia usus
- Goyangkan kantong darah secara gentle setiap 10 hingga 15 menit untuk mecegah
sedimentasi sel darah merah
- Pertimbangkan untuk memberikan suplementasi kalsium pada kondisi:
Hipokalsemia yang terdokumentasi
Muncul gejala atau tanda hipokalsemia seperti: perubahan interval QTc; agitasi
dan takikardi (gejala ini tidak terbukti berhubungan dengan kadar kalsium).

347
Pemberian kalsium saat transfusi tukar pada bayi normokalsemia jarang
dibutuhkan atau tidak menguntungkan. Ketika kalsium diberikan, efek
pemberian hanya berlangsung selama beberapa menit. Kalsium akan
membalikkan efek antikoagulan pada darah donor dan dapat menyebabkan
clotting pada jalur pemberian, sehingga pemberian melalui vena perifer lebih
disarankan. Jika kalsium diberikan melalu kateter vena umbilikalis, bersihkan
saluran dari darah donor dengan NaCl 0.9%. Kalsium yang diberikan adalah Ca
gluconas 10% sebanyak 1mL/KgBB. Masukkan secara perlahan, dengan
observasi yang ketat terhadap denyut nadi dan irama jantung. Bersihkan saluran
dengan NaCl 0.9% setelah kalsium diberikan.

- Hitung jumlah siklus yang sudah dilewati, hingga volume transfusi tukar yang
diharapkan tercapai
- Pastikan jumlah volume darah donor yang tersisa masih cukup untuk dimasukkan
lagi setelah pengeluaran darah yang terakhir jika positive intravascular
balance diharapkan untuk tercapai
- Bersihkan saluran umbilikalis dari darah ibu dan ambil sebagian darah bayi untuk
pemeriksaan laboratorium, termasuk re-cross-matching
- Berikan cairan intravena yang dicampur dengan 0.5 - 1 U heparin/mL melalui
kateter vena umbilikalis jika akan dilakukan transfusi tukar lanjutan
- Durasi prosedur transfusi tukar volume ganda adalah 90-120 menit
- Tulis prosedur lengkap pada rekam medis pasien

B. Evaluasi setelah transfusi tukar


• Lanjutkan monitoring tanda vital secara ketat selama 4-6 jam
• Sesuaikan dosis obat yang dibutuhkan untuk mengompensasi perubahan volume
setelah transfusi tukar85-
87

• Jaga bayi agar tetap puasa selama setidaknya 4 jam. Mulai pemberian ASI secara
hati-hati jika kondisi klinis stabil.
Periksa ketebalan abdomen dan suara usus setiap 3-4 jam selama 24 jam jika
transfusi tukar telah dilakukan menggunakan saluran vena umbilikalis. Observasi
tanda tanda feeding intolerance

• Monitoring kadar glukosa serum setiap 2-4 jam selama 24 jam


• Lakukan pemeriksaan BGA sebanyak yang diindikasikan
• Ukur kadar kalsium terionisasi dan PCT pada bayi sakit sesaat setelah transfusi tukar
dilakukan dan saat diindikasikan
• Ulangi pemeriksaan Hb, HCT, dan bilirubin 4 jam setelah transfusi tukar, dan ketika
ada indikasi secara klinis. Transfusi tukar volume ganda mengganti 85% dari volume
darah bayi, namun hanya mengeliminasi sekitar 50% dari bilirubin intravaskular.
348
Keseimbangan antara bilirubin intra dan ekstravaskular, dan penghancuran RBC
oleh antibodi maternal masih berlanjut, sehingga mengakibatkan rebound kadar
bilirubin setelah transfusi tukar berlangsung, dan mungkin diperlukan untuk
dilakukan transfusi tukar ulangan pada HDN yang berat.

Lampiran 2. Bilirubin Induced Neurological DysfunctionModified


(BIND-M) Scoring System
Tanda klinis Skor Tingkat Tanggal/Wakt
keparahan u
Tingkat kesadaran

Normal 0 None

Tampak mengantuk 1 Mild

Malas menyusu

Lemas 2 Moderate

Reflek hisap melemah dan/ atau


gelisah

Semi-koma 3 Severe

Apnea

Kejang

Koma
Tonus Otot

Normal 0 None

Hipotonia ringan yang menetap 1 Mild

Hipotonia sedang 2 Moderate

Hipertonia sedang

Peningkatan kekakuan leher dan


punggung dengan stimulasi tanpa
adanya spasme lengan dan kaki dan
tanpa disertai trismus
Retrocollis yang menetap 3 Severe

Opisthotonus

Tangan dan kaki menyilang tanpa


adanya spasme di tangan dan kaki dan
tanpa disertai trismus
Pola tangis

Normal 0 None

349
High pitched cry 1 Mild

Tangisan melengking 2 Moderate

Tangisan yang tidak bisa 3 Severe


ditenangkan oleh pengasuh atau

Tangisan lemah atau tidak ada


tangisan pada bayi dengan riwayat
high pitched cry atau tangisan
melengking
Pergerakan Bola Mata

Normal 0 None, Mild

Sunset Phenomenon 3 Severe

Upward Gaze Paralysis

Total Skor
Tanda Tangan Dokter yang memeriksa: Saya percaya bahwa bayi ini
memiliki tanda/gejala bilirubin
ensefalopati akut selain berdasarkan
skor BIND-M.

Lampiran 3. Normogram ambang batas untuk bayi prematur

Bayi prematur memiliki ambang batas yang berbeda dengan bayi cukup bulan. Masih
sedikit panduan dimulainya fototerapi dan transfusi tukar untuk bayi prematur. Diantara
pandian yang ada adalah AAP, NICE, Norway, Martin dan Fanaroff. Panduan masih
350
berbeda dalam hal patokan yang dipakai. Ada yang menggunakan berat lahir namun ada
yang menggunakan patokan usia gestasi. Untuk Indonesia, mengingat kesulitan dalam
menentukan usia gestasi yang tepat maka panduan bayi kurang bulan (<35 mgg)
menggunakan patokan berat lahir. Berdasarkan panduan di atas berikut adalah
rekomendasi yang dipakai di Indonesia untuk bayi prematur.

A. Normogram fototerapi dan transfusi tukar berat lahir < 1000 gram
Berikut adalah normogram ambang batas fototerapi dan tranfusi tukar Indonesia
(Gambar 19) yang sudah dianalisis berdasarkan berbagai panduan normogram
internasional yang sudah terpublikasi. Normogram ini terdapat di dalam aplikasi
Bilinorm yang dapat diakses melalui apps store atau play store pada
smartphoneBilirubin level mg/dL.

12
10 FT

8
6
4 standard risk
2 FT high risk
0 ET standard
ET high risk
0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120
Jam

Gambar 19. Diagram Indonesian bilirubin normogram < 1000 gram (modifikasi)

B. Normogram fototerapi dan transfusi tukar berat lahir 10001249


gram
Berdasarkan acuan pada normogram AAP, Dutch, NICE dan Norway tersebut, maka
berikut adalah normogram bilirubin untuk berat lahir 1000-1249 gram sebagaimana
berikut ini yang dapat dilihat pada aplikasi smartphone bilinorm (gambar 20).

FT high Risk

FT standard Risk

ET High Risk

ET Standard Risk

Jam

Gambar 20. Diagram Indonesian bilirubin normogram bayi dengan berat 1000-
1249 gram

351
C. Normogram fototerapi dan transfusi tukar untuk berat lahir 1250-
1499 gram

Berdasarkan acuan pada normogram AAP, Dutch, NICE dan Norway tersebut, maka
berikut adalah normogram bilirubin untuk berat lahir 1250-1499 gram sebagaimana
berikut ini yang dapat dilihat pada aplikasi smartphone bilinorm (gambar 21).

Bilirubin level mg/dL

FT high Risk

FT

standard Risk

ET High Risk
ET Standard Risk

0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120
Jam

Gambar 21. Diagram Indonesian Bilirubin Normogram untuk bayi usia 1250-1499
gram

D. Normogram fototerapi dan transfusi tukar untuk berat lahir 1500-


1999 gram
Berdasarkan acuan pada normogram AAP, Dutch, NICE dan Norway tersebut, maka
berikut adalah normogram bilirubin untuk berat lahir 1000-1249 gram sebagaimana
berikut ini yang dapat dilihat pada aplikasi smartphone bilinorm (gambar 22).

352
FT high Risk
FT
standard
Risk
ET High Risk
ET Standard Risk

Jam

Gambar 22. Diagram Indonesian bilirubin normogram 1500-1999 gram (modifikasi)


E. Normogram fototerapi dan transfusi tukar untuk usia gestasi > 35
minggu atau berat lahir > 2000 gram Normogram Indonesia untuk bayi >
35 minggu dan berat lahir > 2000 gram mengadopsi dari AAP dengan adaptasi
berupa simplifikasi menjadi dua kategori dan menggunakan nilai 2-3 mg/dl lebih
rendah dari AAP atas alasan tingginya prevalensi faktor resiko hiperbilirubinemia
berat dan adanya peralatan fototerapi yang tidak adekuat (gambar 23).

FT high
Risk
FT standard
Risk
ET High Risk
ET Standard Risk

0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120 Jam

Gambar 23. Diagram Indonesian bilirubin normogram > 2000 gram

353
Lampiran 4. Contoh kasus penggunaan Skor BIND-M

Seorang bayi perempuan lahir pada usia kehamilan 36 minggu secara sectio
caesaria dari ibu berusia 31 tahun. Ini merupakan kehamilan ketiga, anak pertama
lahir hidup saat ini berusia 5 tahun. Anak kedua lahir hidup dan saat ini berusia 3 tahun.
Anak kedua mendapatkan fototerapi 3x24 jam dengan riwayat hiperbilirubin dengan
kadar TSB mencapai 24 mg/dl, namun tidak diketahui secara pasti penyebab dari
hiperbilirubinemia. Berat badan lahir bayi ini 3050 gram, Panjang Badan 50 cm, Lingkar
kepala 33 cm, dan skor Apgar pada menit kesatu 8 dan menit kelima 9. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan bayi tampak ikterik pada usia 24 jam dengan kadar TSB 15
mg/dl, kemudian bayi tersebut dilakukan tindakan fototerapi.

Pada 24 jam setelah fototerapi dilakukan evaluasi ulang bilirubin, dan hasil
menunjukan kadar TSB 20 mg/dl. Pasien direncanakan untuk dilakukan tranfusi tukar
namun darah belum tersedia. Pemeriksaan didapatkan bahwa ibu golongan darah A
rhesus negatif dan bayi golongan darah A rhesus positif. Dilakukan pemeriksaan direct
antibody test (DAT) hasilnya positif. Bayi dilaporkan tampak lemah, bola mata tampak
deviasi ke atas yang permanen, mengalami kondisi desaturasi berulang dengan
periodic breathing, opisotonus, high pitch cry, dan apne berulang.

Kategorisasi penilaian BIND-M :

1. Skor 1-4 : diprediksi indikasi untuk ABE ringan, secara


umum akan reversibel dengan terapi yang tepat dan agresif

2. Skor 5-6 : diprediksi indikasi untuk ABE sedang, mungkin reversibel dengan penurunan
segera bilirubin
3. Skor > 7 : diprediksi indikasi untuk ABE berat dan kemingkinan untuk kerusakan otak
yang ireversibel pada kebanyakan bayi.

354
Cara pengisian Skor BIND-M

TANDA KLINIS SKOR KEPARAHAN WAKTU


STATUS MENTAL
□ Normal 0 Tidak ada
□ Mengantuk namun mudah 1 Ringan
dirangsang
□ Makan/minum menurun
√ Lemah Lesu
□ Hisapan lemah dan atau 2 Sedang
□ Gelisah namun ada sedikit
hisapan kuat
□ Semi koma
□ Henti napas 3 Berat
□ Kejang
□ Koma
TONUS OTOT
□ Normal 0 Tidak ada
□ Hipotonia persisten ringan 1 Ringan
□ Hipotonia sedang
□ Hipertonia sedang
□ Melipat leher dan ekstremitas 2 Sedang
saat ada stimulasi tanpa adanya
kaku pada lengan dan kaki serta
tidak didapatkan trismus
□ Ekstensi persisten pada leher
(retrocolis)
√ Opistothonus 3 Berat
□ Lengan dan kaki menyilang
tanpa didapatkan kaku pada
lengan dan kaki serta tanpa
didapatkan trismus
POLA MENANGIS
□ Normal 0 Tidak ada
□ Nada tinggi 1 Ringan
□ Melengking 2 Sedang
□ Menangis dan tidak dapat
ditenangkan 3 Berat
√ Menangis Lemah/Tidak
Menangis Pada Anak Dengan
Riwayat Menangis Dengan
Nada
Tinggi/Melengking
PERGERAKAN BOLA
MATA
□ Normal 0 Tidak ada
□ Fenomena Sun-setting 3 Berat
√ Kelumpuhan atau upward
gaze
Total Skor ABE 11
Tanda tangan dokter

355
Lampiran 5. Contoh kasus penggunaan normogram AAP
Kasus 1

Seorang bayi perempuan lahir secara spontan dari ibu usia 33 tahun pada usia
gestasi 40 minggu dengan faktor rIsiko minor. Berat badan bayi 3350 g, Panjang badan
bayi 48 cm dan lingkar kepala 34 cm. Skor Apgar bayi pada lima menit pertama setelah
lahir adalah 9, dan pada menit kesepuluh adalah 10. Ini merupakan kehamilan pertama
pada ibu. Ibu dan bayi memiliki rhesus positif. Bayi tampak kuning pada 70 jam setelah
dilahirkan dengan kadar serum bilirubin total (TSB) 12,9 mg/dl. Ibu menyusui secara
ekslusif dan tidak ada riwayat penggunaan obat maupun paparan senyawa naftalen.

Pada usia 120 jam, kadar TSB meningkat menjadi 15,1 mg, tetapi bayi tetap aktif
dan tanda-tanda vital normal. Pada hari ke-7, kadar TSB meningkat menjadi 17,1 mg/dl
(direk (D)/Indirek (I) bilirubin = 0,1/17 mg/dl), kadar G6PD dan OAE (Oto Acoustic
Emission) normal. Berdasarkan pedoman AAP, kadar TSB tetap berada dibawah
ambang batas untuk fototerapi, sehungga bayi dipulangkan tanpa terapi spesifik. Kadar
TSB bayi setelah pulang 16,6 mg/dl dan secara klinis bayi normal.

Kasus 2

Seorang bayi laki-laki usia gestasi 38 minggu lahir secara sectio caesaria atas
indikasi diproporsi kepala panggul. Berat badan lahir bayi 3220 gram, Panjang badan 8
cm, dan lingkar kepala 34 cm. Bayi diklasifikan pada kelompok faktor risiko minor. Skor
Apgar bayi 8 pada lima menit setelah lahir, kemudian meningkat 9 pada menit
kesepuluh. Ibu dan bayi memiliki golongan darah dan rhesus yang sama, yaitu golongan
darah O dengan rhesus positif. Ini merupakan kehamilan pertama ibu, dan usia ibu 30
tahun. Bayi tampak kuning pada usia 70 jam, namun bayi dipulangkan pada usia 73 jam
dengan kadar bilirubin 15,2 mg/dl (D/I = 0,1/15,1 mg/dl).

Bayi minum ASI serta diberikan susu formula hipoalergenik sesuai kebutuhan.
Pada hari ketujuh bayi datang kembali untuk dilakukan evaluasi, dan kadar TSB 15,3
mg/dl (D/I = 0,1/15,2 mg/dl) dengan kadar G6PD normal. Tidak ada intervensi yang
dibutuhkan pada pasien ini, hanya edukasi untuk meyakinkan orangtua mengenai
kondisi bayi. Pada kunjungan berikutnya saat usia 9 hari, kadar TSB 12,9 mg/dl (D/I =
0,1/12,8 mg/dl dan pemeriksaan OAE menunjukan hasil normal.

Kasus 3

Seorang bayi perempuan lahir pada usia 39 minggu dari ibu yang berusia 32
tahun secara ekstraksi vakum. Berat badan lahir bayi 3390 gram, panjang badan 49 cm,
dan lingkar kepal 34 cm. Skor Apgar bayi pada menit kelima stelah dilahirkan adalah, 8,
kemdian meningkat 9 pada menit kesepuluh. Bayi tersebut memiliki faktor risiko minor
dan merupakan anak ketiga ibu tanpa riwayat abortus. Bayi dan ibu memiliki golongan
darah yang sama yaitu golongan darah O dan rhesus positif. Kadar TSB pada usia 43 jam
10,6 mg/dl (D/I = 0,1/10,5 mg/dl). Bayi dipulangkan pada usia dua hari dan diberikan ASI
secara eksklusif. Pengukuran TSB pada usia 91 jam menunjukan nilai 17,1 mg/dl (D/I
356
0,1/17 mg/dl). Kriteria untuk dilakukan fototerapi usia 91 jam yaitu pada kadar TSB ≥
16,5 mg/dl. Bayi dikategorikan risiko rendah karena bayi tanpa gejala, usia
gestasi > 38 minggu dengan kadar TSB diatas ambang batas inetrvensi, kemudian bayi
dilakukan fototerapi.

Kadar G6PD bayi normal, Tes Coomb’s negatif, dan pemeriksaan OAE
normal pada kedua telinga. Kadar TSB diukur ulang dua hari kemudian dan hasilnya
menunjukan kemudian bayi dipulangkan. menjadi 12,5 mg/dl (D/I = 0,1/12/5 mg/dl)

Lampiran 6. Penanganan kasus

Pada kasus hiperbilirubinemia neonatal, langkah-langkah yang harus dilakukan menurut


rekomendasi AAP adalah:

• Identifikasi faktor risiko pada setiap bayi baru lahir, Klasifikasi faktor risiko
berdasarkan kriteria AAP.
• Ikterik dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan fisik dengan cara melakukan
penekanan pada kulit yang akan menunjukan warna pada kulit dan jaringan
subkutan. Pemeriksaan harus dilakukan pada ruangan dengan pencahayaan

357
yang baik, terutama pada bagian ruangan yang terpapar sinar matahri dekat
jendela.
• Melakukan pengukuran kadar bilirubin dan memplotkan hasilnya pada
normogram persentil bilirubin berdasarkan usia lahir dalam jam.

PADA KASUS 1:

• Bayi tampak ikterik pada area wajah hingga dada pada usia 70 jam dengan kadar
TSB menunjukan 12,9 mg/dl, kemudian hasil tersebut diplotkan pada
normogram fototerapi. Berdasarkan normogran, kadar TSB bayi berada pada
low intermediate risk zone.
• Berdasarkan anamnesis bayi ini dimasukan dalam kelompok standard risk,
karena usia gestasi bayi ini ≥ 38 minggu, tidak inkompatibilitas ABO
dan bayi tampak sehat.
• Berdasarkan pada normogram, bayi ini diklasifikasikan pada standard risk,
tidak ada intervensi yang diperlukan berdasarkan pedoman AAP, sehingga bayi
dipulangkan.
• Bayi dijadwalkan kontrol 2x24 jam paska pemunlangan

Gambar 24. Kurva derajat serum bilirubin dengan level high intermediate risk zone

358
Gambar 25. Kurva total bilirubin serum pada bayi dengan faktor risiko tinggi

PADA KASUS 2:

• Kadar TSB pada usia 73 jam 15 mg/dl, bayi ini dikelompokan pada risiko zona
high-intermediate, tetapi masih berada dibawah ambang batas fototerapi,
kemudian bayi dipulangkan.
• Berdasarkan anamnesis, bayi dimasukan dalam kelompok standard risk,
karena usia gestasi bayi ini ≥ 38 minggu, tidak inkompatibilitas ABO
dan bayi tampak sehat.
• Bayi dievaluasi kembali pada hari ketujuh dan kadar TSB menunjukan 15,3 mg/dl
(D/I = 0,1/15,1 mg/dl), dengan kadar G6PD normal. Tidak ada intervensi yang
dibutuhkan bayi ini.
• Pada hari ke-9 bayi dievaluasi ulang dan kadar bilirubin menunjukan 12,9 mg/dl
(D/I = 0,1/12,8 mg/dl) dan OAE menunjukan nilai normal

359
Gambar 27. Kurva serum bilirubin dengan
High Intermediate Risk Zone

Gambar 28. Kurva serum bilirubin total pada Infants Higher at Risk

PADA KASUS 3:

360
• Kadar TSB pada usia 43 jam yaitu 10,6 mg/dl, bayi ini dikelompokan pada risiko
zona high-intermediate, tetapi masih berada dibawah ambang batas
fototerapi, kemudian bayi dipulangkan.
• Pada usia 91 jam, bayi ini dilakukan evaluasi ulang dan kadar TSB menunjukan
hasil 17,1 mg/dl, kemudian bayi ini dirawat berdasarkan kriteria pada pedoman
AAP yaitu bayi sehat usia gestasi ≥ 38 minggu dengan kadar TSB ≥
16,5 mg/dl. Berdasarkan normogram, meskipun nilai TSB dibawah ambang
batas fototerapi untuk low risk masih dapat dibenarkan untuk dimulai
fototerapi pada kadar 2-3 mg/dl dibawah ambang batas.

Gambar 29. Kurva serum bilirubin pada High Intermediate Risk Zone

361
Gambar 30. Kurva serum bilirubin total pada Higher at Risk
Lampiran 7. Diagnosis Kernicterus Spectrum Disorder (KSD)

Berapa nilai bilirubin tertinggi bayi? Skor


< 15 mg/dL 0
15-29 mg/dL, atau bilirubin tidak pernah diukur tetapi anak dirasa sangat 1
kuning oleh keluarga
30-45 mg/dL 2
> 45 mg/dL 3
Apakah ada faktor risiko pada bayi?

Tidak ada 0
Dicurigai adanya infeksi, perbedaan rhesus golongan darah, “sakit”, prematur 1
(<35 minggu)
Infeksi virus atau bakteri yang terbukti, NEC (Necrotizing Enterocolitis), atau 2
asidosis (pH darah < 7,2)
Bagaimana hasil pemeriksaan bayi baru lahir?

Normal 0
Ensefalopati bilirubin akut ringan (letargi, mengantuk, tonus otot 1
rendah/tinggi, ± tangisan bersuara tinggi)
Ensefalopati bilirubin akut berat (ophistotonus, mata setting sun, wajah 2
terlihat takut, demam tanpa penyebab jelas)
Bagaimana hasil dari pemeriksaan bayi terakhir?

Normal 0
Distonia ringan (mata setting sun ± tonus otot sedikit meningkat atau 1
menurun ± pergerakan tubuh abnormal berlebihan)
Distonia sedang-berat (mata setting sun ± pergerakan tubuh abnormal 2
berlebihan)
Ketika gigi bayi tumbuh, bagaimana enamel gigi?

Normal 0
362
Displasia enamel (Adanya pengelupasan pada enamel gigi) 1
Bagaimana hasil ANSD (Auditory Neuropathy Spectrum Disorder)?

Normal, tidak ditemukan adanya ANSD 0


Ringan (Auditory Brainstem Response abnormal, tetapi ada) 1
Sedang-berat (Auditory Brainstem Response tidak ada) 2
Bagaimana hasil MRI (Magnetic Resonance Imaging)?

Normal 0
Kemungkinan hasil MRI abnormal (globus pallidus ± hiperintensitas nucleus 1
subthalamikus kedua sisi tanpa kelainan lain)
Hasil MRI abnormal (hiperintensitas globus pallidus di kedua sisi ± 2
hiperintensitas nukleus subthalamikus tanpa kelainan signifikan struktur lain)
Total Skor

Interpretasi Skor
Definite Kernicterus 10-14
Probable Kernicterus 6-9
Possible Kernicterus 3-5
Bukan Kernicterus 0-2

Lampiran 8. Perubahan warna tinja

363
Warna tinja abnormal

Hasil cetak pada gambar ini dapat menyebabkan perbedaan warna

Warna tinja normal

Lampiran 9. Checklist komunikasi, informasi dan edukasi keluarga


pasien hiperbilirubinemia

Informasi umum:

F Faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan hiperbilirubinemia
F Cara mendeteksi bayi kuning
F Apa yang harus dilakukan apabila curiga kuning pada bayi
F Pentingnya mengenali tanda-tanda kuning pada bayi pada 24 jam pertama dan mencari
pelayanan medis
F Pentingnya mengecek popok bayi untuk mengetahui ada atau tidaknya kencing yang
berwarna gelap atau tinja yang berwarna pucat
F Kuning pada bayi sering terjadi dan meyakinkan bahwa hal tersebut biasanya hanya
sementara dan tidak berbahaya
F Meyakinkan pemberian ASI dapat diteruskan Informasi

terkait terapi:
364
F Antisipasi
lamanya terapi
F Yakinkan untuk melanjutkan ASI, mengganti popok dan sering sering mendekap bayi

Informed consent tindakan fototerapi:

F Mengapa fototerapi dipertimbangkan?


F Mengapa fototerapi dibutuhkan untuk terapi hiperbilirubinemia?
F Kemungkinan efek samping fototerapi
F Pentingnya untuk melindungi mata dan perawatan mata rutin
F Meyakinkan ibu untuk lebih sering menyusui bayinya
F Kemungkinan hal-hal yang terjadi apabila fototerapi gagal
F Kuning berulang dapat terjadi kembali
F Potensi atau kemungkinan efek samping jangka panjang fototerapi Informasi

untuk transfusi tukar:

F Menjelaskan bahwa bila bayi yang mendapatkan transfusi tukar maka bayi harus dirawat
di ruang perawatan intensif
F Alasan mengapa transfusi tukar dipertimbangkan

Informasi untuk pemberian IVIg

F Alasan
mengapa IVIg dipertimbangkan
F Alasan
mengapa IVIg dibutuhkan untuk terapi hiperbilirubinemia F
Kemungkinan efek samping IVIg

PEMBERI CARA
KETERANGA
PENJELASAN EDUKASI PENYAMPAIA JAM TTD
N
N
F
Informasi :
Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan
hyperbilirubinemia.
F Cara mendeteksi bayi kuning
F Apa yang harus dilakukan
apabila curiga kuning pada bayi
F Pentingnya mengenali
tandatanda kuning pada
bayi pada 24 jam pertama
dan mencari
pelayanan medis
F Pentingnya mengecek popok
bayi untuk mengetahui ada atau
tidaknya kencing yang berwarna
gelap atau tinja yang berwarna
pucat
F Kuning pada bayi sering terjadi
dan meyakinkan bahwa hal
tersebut biasanya hanya
sementara dan tidak berbahaya
F Meyakinkan pemberian ASI

365
dapat diteruskan
Informasi terapi :
F Antisipasi lamanya terapi
F Yakinkan untuk melanjutkan ASI,
mengganti popok dan sering sering
mendekap bayi

Inf med consent fototerapi :


or Mengapa fototerapi
F dipertimbangkan?
F Mengapa fototerapi dibutuhkan

untuk terapi hiperbilirubinemia?


F Kemungkinan efek samping
fototerapi
F Pentingnya untuk melindungi mata

dan perawatan mata rutin


F Meyakinkan ibu untuk lebih sering

menyusui bayinya
F Kemungkinan hal-hal yang
terjadi apabila fototerapi gagal
F Kuning berulang dapat terjadi

kembali
F Potensi atau kemungkinan efek

samping jangka panjang terapi

Inf rmai untuk transfusi tukar :


o Menjelaskan bahwa bila bayi yang
F mendapatkan transfusi
tukar maka bayi harus dirawat di
ruang perawatan intensif
F Alasan mengapa transfusi tukar

dipertimbangkan

Informasi untuk pemberian IVIg


F Alasan mengapa IVIg
dipertimbangkan
F Alasan mengapa IVIg dibutuhkan
untuk terapi
hyperbilirubinemia
F Kemungkinan efek samping IVIg

366
367
368
DAFTAR RUJUKAN

1. Lawn JE, Cousens S, Zupan J, dkk. 4 million neonatal deaths: when? where? why?
Lancet. 2005;365:891-900.
2. World Health Organization. Achievement of the health related Millennium
Development Goals in the Western Pacific Region 2016: Transitioning to the Sustainable
Development Goals Geneva: WHO Press; 2016 [Available from:
http://iris.wpro.who.int/bitstream/handle/10665.1/13441/WPR-2016-DHS-011-en.pdf. 3.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2017. 431 p.
4. United Nations Children's Fund. Child survival and the SDGs, 2017 [Available
from:
https://data.unicef.org/topic/child-survival/child-survival-sdgs/.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2007.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2008.
6. Greco C, Arnolda G, Boo N-Y, Iskander IF, Okolo AA, Rohsiswatmo R, et al.
Neonatal jaundice in low and middle income countries: lessons and future
directions from the 2015 Don Ostrow Trieste Yellow Retreat Neonatology.
2016;110:172-80.
7. Dijk PH, de Vries TW, de Beer JJ, Dutch Pediatric A. Guideline prevention,
diagnosis and treatment of hyperbilirubinemia in the neonate with a gestational
age of 35 or more weeks. Nederlands tijdschrift voor geneeskunde.
2009;153:A93.
8. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal
Esensial: Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2012. 134 p.
9. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit:
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota.
Jakarta: WHO Indonesia; 2009. 434 p.
10. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI,
Usman A, editors. Buku Ajar Neonatologi. 1 ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2008. p. 147-69.
11. Dewanto NEF, Dewi R. Hiperbilirubinemia. In: Pudjiaji AH, Hegar B,
Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, et al., editors.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2 ed. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. p. 114-22.
12. Sampurna MTA, Ratnasari KA, Etika R, Hulzebos CV, Dijk PH, Bos AF, et al.
Adherence to hyperbilirubinemia guidelines by midwives, general practitioners,
and pediatricians in Indonesia. PloS one. 2018;13(4):e0196076.
13. Martini, Sampurna MTA, Handayani KD, Angelika D, Utomo MT, Etika R, et al.
Variation of Phototherapy Thresholds By Clinicians In Comparison with
Hyperbilirubinemia Guideline In Indonesia. 2018.
14. American Academy of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the
newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics. 2004;114(1):297-316.
15. Neonatal Jaundice. National Institute for Health and Clinical Excellence:
Guidance. London2010.
16. Blackburn ST. Bilirubin metabolism, maternal, fetal & neonatal physiology: A
clinical perspective. 3 ed. Missouri: Saunders; 2007.

369
17. Johnson LH, Bhutani VK, Brown AK. System-based approach to management of
neonatal jaundice and prevention of kernicterus. The Journal of pediatrics.
2002;140(4):396-403.
18. Volpe JJ. Neurology of the Newborn. 4 ed. Philadelphia, PA: W. B. Saunders;
2001.
19. Harris MC, Bernbaum JC, Polin JR, Zimmerman R, Polin RA. Developmental
followup of breastfed term and near-term infants with marked
hyperbilirubinemia. Pediatrics. 2001;107(5):1075-80.
20. Van Praagh R. Diagnosis of kernicterus in the neonatal period. Pediatrics.
1961;28:870-6.
21. Radmacher PG, Groves FD, Owa JA, Ofovwe GE, Amuabunos EA, Olusanya
BO, et al. A modified Bilirubin-induced neurologic dysfunction (BIND-M)
algorithm is useful in evaluating severity of jaundice in a resource-limited setting.
BMC pediatrics. 2015;15:28. 22. Jones MH, Sands R, Hyman CB, Sturgeon P,
Koch FP. Longitudinal study of the incidence of central nervous system damage
following erythroblastosis fetalis. Pediatrics. 1954;14(4):346-50.
23. Le Pichon JB, Riordan SM, Watchko J, Shapiro SM. The Neurological Sequelae of
Neonatal Hyperbilirubinemia: Definitions, Diagnosis and Treatment of the
Kernicterus Spectrum Disorders (KSDs). Current pediatric reviews. 2017;13(3):199-
209.
24. Mac Mahon JR, Stevenson DK, Oski FA. Bilirubin metabolism. In: Tacusch HW,
Ballard RA, editors. Avery's disease of the newborn. 7 ed. Philadelphia: W. B.
Saunders; 1998. p. 995-1002.
25. Maisles MJ. Jaundice. In: Avery GB, Fletcher MA, McDonald MG, editors.
Neonatology, pathophysiology & management of the newborn. 5 ed. Baltimore:
Lippincot William & Wilkins; 1999. p. 765-819.
26. Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In: Fanaroff AA,
Martin RJ, editors. Neonatal-perinatal medicine: Disease of the fetus and infant. 7
ed. St. Louis: Mosby Inc; 2002. p. 1309-50.
27. van Imhoff DE. The Management of Hyperbilirubinemia in Preterm Infants.
Groningen: University Medical Center Groningen; 2013.
28. Bhutani VK, Johnson L, Sivieri EM. Predictive ability of a predischarge hour-
specific serum bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in healthy
term and near-term newborns. Pediatrics. 1999;103(1):6-14.
29. Maisels MJ. Phototherapy--traditional and nontraditional. Journal of perinatology :
official journal of the California Perinatal Association. 2001;21 Suppl 1:S93-7;
discussion S104-7.
30. Maisels MJ, McDonagh AF. Phototherapy for neonatal jaundice. The New England
journal of medicine. 2008;358(9):920-8.
31. Wong RJ, Bhutani VK. Treatment of unconjugated hyperbilirubinemia in term and
late preterm infants. Uptodate. 2013:5063.
32. Fiberoptic phototherapy systems. Health devices. 1995;24(4):132-53.
33. Sampurna MTA, Saharso D, Hulzebos CV, Dijk PH, Bos AF, Sauer PJJ. Current
Practice Phototherapy In Indonesia. 2018.
34. Tan KL. The pattern of bilirubin response to phototherapy for neonatal
hyperbilirubinaemia. Pediatric research. 1982;16(8):670-4.
35. Aycicek A, Kocyigit A, Erel O, Senturk H. Phototherapy causes DNA damage in
peripheral mononuclear leukocytes in term infants. Jornal de pediatria.
2008;84(2):141-6. 36. Seidman DS, Moise J, Ergaz Z, Laor A, Vreman HJ,
Stevenson DK, et al. A new blue light-emitting phototherapy device: a prospective
randomized controlled study. The Journal of pediatrics. 2000;136(6):771-4.
37. Ennever JF. Blue light, green light, white light, more light: treatment of neonatal
jaundice. Clinics in perinatology. 1990;17(2):467-81.
370
38. Garg AK, Prasad RS, Hifzi IA. A controlled trial of high-intensity double-surface
phototherapy on a fluid bed versus conventional phototherapy in neonatal jaundice.
Pediatrics. 1995;95(6):914-6.
39. Tan KL. Phototherapy for neonatal jaundice. Clinics in perinatology.
1991;18(3):423-39.
40. Maisels MJ. Why use homeopathic doses of phototherapy? Pediatrics. 1996;98(2 Pt
1):283-7.
41. Eggert P, Stick C, Schroder H. On the distribution of irradiation intensity in
phototherapy. Measurements of effective irradiance in an incubator. European
journal of pediatrics. 1984;142(1):58-61.
42. Dachlan TI, Yuniati T, Sukadi A. Effect of phototherapy with alumunium foil
reflectors on neonatal hyperbilirubinemia. Paediatrica Indonesiana. 2015;55(1):13-
7.
43. Djokomuljanto S, Rohsiswatmo R, Hendarto A. Perbandingan Efektivitas antara
Terapi Sinar Tunggal dengan dan Tanpa Kain Putih pada Bayi Berat Lahir Rendah
dengan Hiperbilirubinemia. Sari Pediatri. 2016;18(3):233-9.
44. Institue of Medicine. Crossing the Quality Chasm: A New Health System for the
21st Century. Washington, DC: National Academy Press; 2001.
45. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians and
Gynecologists. Guidelines for Perinatal Care. 5 ed. Elk Grove Village, IL:
American Academy of Pediatrics; 2002.
46. Bertini G, Dani C, Tronchin M, Rubaltelli FF. Is breastfeeding really favoring early
neonatal jaundice? Pediatrics. 2001;107(3):E41.
47. Penn AA, Enzmann DR, Hahn JS, Stevenson DK. Kernicterus in a full term infant.
Pediatrics. 1994;93(6 Pt 1):1003-6.
48. Maisels MJ, Gifford K. Normal serum bilirubin levels in the newborn and the effect
of breast-feeding. Pediatrics. 1986;78(5):837-43.
49. Yamauchi Y, Yamanouchi I. Breast-feeding frequency during the first 24 hours
after birth in full-term neonates. Pediatrics. 1990;86(2):171-5.
50. De Carvalho M, Klaus MH, Merkatz RB. Frequency of breast-feeding and serum
bilirubin concentration. American journal of diseases of children. 1982;136(8):737-
8.
51. Varimo P, Simila S, Wendt L, Kolvisto M. Frequency of breast-feeding and
hyperbilirubinemia. Clinical pediatrics. 1986;25(2):112.
52. de Carvalho M, Hall M, Harvey D. Effects of water supplementation on
physiological jaundice in breast-fed babies. Archives of disease in childhood.
1981;56(7):568-9.
53. Nicoll A, Ginsburg R, Tripp JH. Supplementary feeding and jaundice in newborns.
Acta paediatrica Scandinavica. 1982;71(5):759-61.
54. Madlon-Kay DJ. Identifying ABO incompatibility in newborns: selective vs
automatic testing. The Journal of family practice. 1992;35(3):278-80.
55. Slusher TM, Olusanya BO, Vreman HJ, Brearley AM, Vaucher YE, Lund TC, et al.
A Randomized Trial of Phototherapy with Filtered Sunlight in African Neonates.
The New England journal of medicine. 2015;373(12):1115-24.
56. Cuperus FJ, Hafkamp AM, Hulzebos CV, Verkade HJ. Pharmacological therapies
for unconjugated hyperbilirubinemia. Current pharmaceutical design.
2009;15(25):292738.
57. Ramasethu J, Luban NLC. Alloimmune hemolytic disease of the newborn. In:
Lichtman MA, Beutler E, Kipps TJ, Seligsohn U, Kaushansky K, Prchal JT, editors.
Williams' Hematology. 7 ed. New York: McGraw-Hill; 2006. p. 715-66.
58. Funato M, Tamai H, Shimada S. Trends in neonatal exchange transfusions at
Yodogawa Christian Hospital. Acta paediatrica Japonica : Overseas edition.
1997;39(3):305-8.
371
59. Seidman DS, Paz I, Armon Y, Ergaz Z, Stevenson DK, Gale R. Effect of
publication of the "Practice Parameter for the management of hyperbilirubinemia"
on treatment of neonatal jaundice. Acta paediatrica. 2001;90(3):292-5.
60. Ebbesen F. Recurrence of kernicterus in term and near-term infants in Denmark.
Acta paediatrica. 2000;89(10):1213-7.
61. Naulaers G, Barten S, Vanhole C, Verhaeghe J, Devlieger H. Management of
severe neonatal anemia due to fetomaternal transfusion. American journal of
perinatology. 1999;16(4):193-6.
62. Dempsey EM, Barrington K. Short and long term outcomes following partial
exchange transfusion in the polycythaemic newborn: a systematic review. Archives
of disease in childhood Fetal and neonatal edition. 2006;91(1):F2-6.
63. Fernandez MC, Weiss B, Atwater S, Shannon K, Matthay KK. Congenital
leukemia: successful treatment of a newborn with t(5;11)(q31;q23). Journal of
pediatric hematology/oncology. 1999;21(2):152-7.
64. Chen CY, Chen YC, Fang JT, Huang CC. Continuous arteriovenous
hemodiafiltration in the acute treatment of hyperammonaemia due to ornithine
transcarbamylase deficiency. Renal failure. 2000;22(6):823-36.
65. Aikoh H, Sasaki M, Sugai K, Yoshida H, Sakuragawa N. Effective immunoglobulin
therapy for brief tonic seizures in methylmalonic acidemia. Brain & development.
1997;19(7):502-5.
66. Mycyk MB, Leikin JB. Combined exchange transfusion and chelation therapy for
neonatal lead poisoning. The Annals of pharmacotherapy. 2004;38(5):821-4.
67. Sancak R, Kucukoduk S, Tasdemir HA, Belet N. Exchange transfusion treatment in
a newborn with phenobarbital intoxication. Pediatric emergency care.
1999;15(4):268-70.
68. Osborn HH, Henry G, Wax P, Hoffman R, Howland MA. Theophylline toxicity in a
premature neonate--elimination kinetics of exchange transfusion. Journal of
toxicology Clinical toxicology. 1993;31(4):639-44.
69. Pasternak JF, Hageman J, Adams MA, Philip AG, Gardner TH. Exchange
transfusion in neonatal myasthenia. The Journal of pediatrics. 1981;99(4):644-6.
70. Dolfin T, Pomeranz A, Korzets Z, Houri C, Manor Y, Feigin M, et al. Acute renal
failure in a neonate caused by the transplacental transfer of a nephrotoxic
paraprotein: successful resolution by exchange transfusion. American journal of
kidney diseases : the official journal of the National Kidney Foundation.
1999;34(6):1129-31.
71. Gunes T, Koklu E, Buyukkayhan D, Kurtoglu S, Karakukcu M, Patiroglu T.
Exchange transfusion or intravenous immunoglobulin therapy as an adjunct to
antibiotics for neonatal sepsis in developing countries: a pilot study. Annals of
tropical paediatrics. 2006;26(1):3942.
72. Virdi VS, Goraya JS, Khadwal A, Seth A. Neonatal transfusion malaria requiring
exchange transfusion. Annals of tropical paediatrics. 2003;23(3):205-7.
73. Maisels MJ, Watchko JF. Treatment of jaundice in low birthweight infants.
Archives of disease in childhood Fetal and neonatal edition. 2003;88(6):F459-63.
74. Burch M, Dyamenahalli U, Sullivan ID. Severe unconjugated hyperbilirubinaemia
with infradiaphragmatic total anomalous pulmonary venous connection. Archives
of disease in childhood. 1993;68(5 Spec No):608-9.
75. Goldenberg NA, Manco-Johnson MJ. Pediatric hemostasis and use of plasma
components. Best practice & research Clinical haematology. 2006;19(1):143-55.
76. Murray NA, Roberts IA. Neonatal transfusion practice. Archives of disease in
childhood Fetal and neonatal edition. 2004;89(2):F101-7.
77. Petaja J, Johansson C, Andersson S, Heikinheimo M. Neonatal exchange
transfusion with heparinised whole blood or citrated composite blood: a prospective
study. European journal of pediatrics. 2000;159(7):552-3.
372
78. Win N, Amess P, Needs M, Hewitt PE. Use of red cells preserved in extended
storage media for exchange transfusion in anti-k haemolytic disease of the newborn.
Transfus Med. 2005;15(2):157-60.
79. Kumar P, Sarkar S, Narang A. Acute intravascular haemolysis following exchange
transfusion with G-6-PD deficient blood. European journal of pediatrics.
1994;153(2):989.
80. Yigit S, Gursoy T, Kanra T, Aydin M, Erdem G, Tekinalp G, et al. Whole blood
versus red cells and plasma for exchange transfusion in ABO haemolytic disease.
Transfus Med. 2005;15(4):313-8.
81. de Waal KA, Baerts W, Offringa M. Systematic review of the optimal fluid for
dilutional exchange transfusion in neonatal polycythaemia. Archives of disease in
childhood Fetal and neonatal edition. 2006;91(1):F7-10.
82. Jackson JC. Adverse events associated with exchange transfusion in healthy and ill
newborns. Pediatrics. 1997;99(5):E7.
83. Keenan WJ, Novak KK, Sutherland JM, Bryla DA, Fetterly KL. Morbidity and
mortality associated with exchange transfusion. Pediatrics. 1985;75(2 Pt 2):417-21.
84. Patra K, Storfer-Isser A, Siner B, Moore J, Hack M. Adverse events associated with
neonatal exchange transfusion in the 1990s. The Journal of pediatrics.
2004;144(5):62631.
85. Ozkan H, Cevik N. Effect of exchange transfusion on elimination of antibiotics in
premature infants. The Turkish journal of pediatrics. 1994;36(1):7-10.
86. Englund JA, Fletcher CV, Johnson D, Chinnock B, Balfour HH, Jr. Effect of blood
exchange on acyclovir clearance in an infant with neonatal herpes. The Journal of
pediatrics. 1987;110(1):151-3.
87. Lackner TE. Drug replacement following exchange transfusion. The Journal of
pediatrics. 1982;100(5):811-4.

373
BAB IV PANDUAN PRAKTIK KLINIS

Standar pelayanan kedokteran yang disusun berdasarkan pendekatan Evidence


Based Medicine (EBM) atau Health Technology Assessment (HTA) yang isinya
menurut buku panduan ini mengikuti format yang ditentukan oleh PP IDAI. Adapun PPK
yang telah disusun oleh UKK Neonatologi adalah sebagai berikut:

4.1 Kriteria rawat inap dan keluar dari rumah sakit

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KRITERIA RAWAT INAP DAN KELUAR


DARI RUMAH SAKIT UNTUK NEONATUS

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik Terbit/Revisi PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Pelayanan kesehatan neonatus yang memerlukan
perawatan inap di rumah sakit. Perawatan neonatus di
rumah sakit memiliki Dokter Penanggung Jawab
Pelayanan (DPJP).

Penilainan klinis neonatus, termasuk pemeriksaan fisik


lengkap, serta identifikasi faktor risiko ibu dan bayi
dilakukan dalam 6–72 jam pasca kelahiran:
• Tentukan rencana serta prosedur manajemen yang
tepat dan berkonsultasi dengan DPJP. Hindari

perlakuan tidak efisien dan berlebihan pada neonatus


• Pemeriksaan klinis dan prosedur tindakan harus dapat
diselesaikan dalam
waktu ≤ 1 jam saat masuk perawatan.
• DPJP memberikan penjelasan pada orangtua
mengenai kondisi klinis neonatus dalam kurun waktu
24 jam dan dicatat dalam lembaran edukasi.

374
PANDUAN MASUK Pelayanan kesehatan neonatus di level 1, di
RAWAT INAP puskesmas dan ruang rawat gabung di RS:
• Tanda vital stabil, menunjukkan sistem organ vital
(susunan saraf pusat, kardio dan respirasi) dalam
keadaan normal. • Berat badan lahir ≥2500
gram dan usia kehamilan ≥37 minggu.
• Tunjangan nutrisi dan medikasi enteral
• Tidak memerlukan tunjangan kardiorespirasi, nutrisi
dan medikasi parenteral.
• Memiliki masalah medik di bidang neonatologi yang
membutuhkan kompetensi DASAR bagi aset tenaga
manusia (ATM).
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 6-8

Pelayanan kesehatan neonatus di level 2A,


di RS tipe D (RS dengan tenaga spesialis
terbatas, minimal 2 spesialistis): • Level 1
ditambah:
• Berat badan lahir ≥2000 gram dan usia
kehamilan ≥36 minggu
• Tunjangan nutrisi dan medikasi parenteral dengan
akses pembuluh darah perifer
• Tidak memerlukan tunjangan kardiorespirasi.
• Memiliki masalah medik di bidang neonatologi yang
membutuhkan

375
kompetensi SPESIALIS bagi aset tenaga manusia
(ATM).
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 3-5

Pelayanan kesehatan neonatus di level 2B,


di RS tipe C (RS dengan tenaga spesialis
minimal 4 spesialistis):
• Level 2A ditambah:
• Berat badan lahir ≥1800 gram dan usia
kehamilan ≥35 minggu.
• Memerlukan tunjangan respirasi dengan ventilasi non-
invasif
• Memerlukan obat kardiotonik dengan akses pembuluh
darah perifer.
• Pada keadaan darurat, pasien memerlukan tunjangan
ventilasi invasif dengan ventilator konvensional ≤5
hari untuk stabilisasi neonatus sebelum dirujuk ke
fasilitas kesehatan tersier.
• Pasien yang memerlukan tindakan bedah minor pada
neonatus.

Pelayanan kesehatan neonatus di level 3A,


di RS tipe B (RS dengan spesialis lengkap
dan subspesialis terbatas):
• Level 2B ditambah:
• Berat badan lahir <1800 gram dan usia kehamilan <35
minggu.
• Memerlukan tunjangan respirasi dengan ventilasi
invasif
• Memerlukan tunjangan nutrisi enteral dan parenteral
melalui akses pembuluh darah sentral.
• Memiliki masalah medik di bidang neonatologi yang
membutuhkan kompetensi SUBSPESIALIS atau
SPESIALIS PLUS bagi aset tenaga manusia (ATM).
• Pasien membutuhkan tindakan bedah major terbatas.

376
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 2.

Pelayanan kesehatan neonatus di level 3B, di


RS tipe B (RS dengan spesialis dan
subspesialis lengkap kecuali bedah jantung):
• Level 3A ditambah:
• Pasien membutuhkan tindakan bedah major lengkap,
kecuali prosedur kardiotorasis.
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 2.

Pelayanan kesehatan neonatus di level 3C,


di RS tipe A (RS dengan spesialis dan
subspesialis lengkap serta bedah jantung
dengan fasilitas terbatas):
• Level 3B ditambah:
• Pasien membutuhkan tindakan bedah major lengkap
dan prosedur kardiotorasis yang tidak memerlukan
ECMO.
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 2.

Pelayanan kesehatan neonatus di level 3D,


di RS yang menjadi pusat rujukan nasional
(RS dengan spesialis dan subspesialis
lengkap serta bedah jantung dengan fasilitas
lengkap):
• Level 3B ditambah:
• Pasien membutuhkan tindakan bedah major lengkap
dan prosedur kardiotorasis memerlukan ECMO.
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 2.

KEPUTUSAN Kriteria pulang dari rumah sakit


KELUAR RAWAT • Bayi menunjukkan tanda vital stabil di boks terbuka
INAP selama 24-48 jam, terdapat

377
penambahan berat badan dan memenuhi kebutuhan
nutrisi oral perhari.
• Berat badan telah mencapai 1800 gram atau lebih
• Ibu dan ayah dan atau pengasuh bayi telah mendapat
edukasi mengenai praktik mengasuhan neonatus di
rumah
• Semua obat yang diperlukan dapat diberikan per oral
• Hasil laboratorium normal
• Imunisasi Hepatitis B, OPV dan BCG telah dilakukan
(jika tidak ada kontraindikasi)
• Rujukan kepada konselor ASI setempat
• Administrasi rumah sakit telah diselesaikan

DAFTAR RUJUKAN O’Reilly H. 2 Pilgrim S. 3


Stark, AR. 4
Malarkey M, Kuschel C, Rowley S. 5
Yusna D, Wisnumurti DA, Djauharie EA,
Siswanto JE, Kadi FA, Irawan G 6

378
4.2 Komunikasi interpersonal dan konseling

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN


KONSELING

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik Terbit/Revisi PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Komunikasi perlu memiliki tujuan yang jelas:
1. Membangun komunikasi yang baik adalah suatu
keterampilan.
2. Kebutuhan komunikasi harus bersifat responsif
terhadap kebutuhan pasien.
3. Komunikasi bersifat verbal dan non verbal

Masalah komunikasi dokter dan pasien


Banyak komponen yang menjadi penghalang
komunikasi yang baik antara dokter dan pasien,
diantaranya adalah halhal berikut:
• Buruknya keterampilan komunikasi dokter
• Informasi yang tidak boleh diungkapkan
• Kebiasaan menghindar dokter
• Tidak berkolaborasi
• Penentangan dari pasien

Interaksi antara dokter dan pasien/klien merupakan


bagian penting dari sistem pelayanan kesehatan yang
efektif. Penting sekali untuk memperhatikan hal-hal
berikut:
• Membangun persepsi klien terhadap kompetensi
teknis dokter

379
• Membangun hubungan interpersonal dokter-klien
• Menyampaikan informasi pada klien
• Memberikan pilihan pelayanan yang sesuai
• Memastikan kesinambungan pelayanan
• Pemahaman dan ingatan pasien akan lebih baik
melalui komunikasi yang baik sehingga dapat
meningkatkan kepuasan dan kepatuhan klien.

KETERAMPILAN Komunikasi yang baik memerlukan keterampilan


ANAMNESIS bertanya dan mendengar. Keterampilan ini
mengembangkan rasa percaya dan memungkinkan
pasien menjawab pertanyaan secara benar dan
memberikan seluruh informasi yang dimilikinya.
Keterampilan ini juga membantu dokter untuk
memahami masalah pasien.

Keterampilan bertanya
• Lakukan tanya jawab di tempat yang menjamin privasi.
• Bantulah klien untuk merasa nyaman dengan
membuat diri anda sendiri menjadi rileks. Hindari
berbagai gerakan yang memperlihatkan rasa gugup.
• Dekatkan tubuh anda sedikit ke depan untuk
memperlihatkan ketertarikan anda terhadap apa yang
dikatakan oleh pasien.
• Pertahankan kontak mata.
• Gunakan nada bicara yang memperlihatkan
rasa tertarik, perhatian dan keramahan.
• Ajukan berbagai pertanyaan yang mendorong klien
untuk berbicara mengenai anaknya.
• Mulailah dengan pertanyaan terbuka untuk
memperoleh cerita dari sudut pandang klien.
• Ikuti dengan pertanyaan tertutup untuk memperoleh
informasi spesifik.
• Tanyakan satu pertanyaan saja dalam satu saat, lalu
tunggu klien menjawab.

380
• Tanyakan pertanyaan yang sama dengan beberapa
cara yang berbeda jika anda menganggap klien tidak
memahaminya.
• Hindari pertanyaan yang bersifat
mengarahkan.
• Gunakan suara atau gerakan yang bersifat mendorong
untuk membuat klien mau berbicara.

Keterampilan mendengar
• Diam pada saat yang tepat, perlihatkan rasa hormat
anda dengan tidak menyela pasien sehingga berhenti
berbicara.
• Klarifikasi apapun yang anda tidak pahami.
• Ulangi apa yang klien telah katakan dengan kata-kata
anda sendiri.
• Refleksikan apa yang baru saja dikatakan klien.
• Rangkum apa yang telah anda dengar dari klien pada
akhir anamnesis

BERBAGI Setiap klien memerlukan informasi yang akurat, memadai


INFORMASI dan sesuai yang diperlukan untuk membuat
DENGAN PASIEN keputusan berdasarkan informasi mengenai
kesehatannya dan berpartisipasi dalam menjaga
kesehatannya.

Untuk setiap prosedur medik, klien harus memperoleh


berbagai informasi berikut ini sebelum menandatangani
lembar persetujuan tindakan:
• Mengapa prosedur tersebut perlu
dilakukan
• Apa saja yang akan terjadi dalam prosedur tersebut
• Risiko dan keuntungan dari prosedur tersebut
• Efek jangka panjang dari prosedur tersebut
• Adanya pilihan untuk menolak prosedur tersebut

381
Keterampilan memberikan informasi
• Gunakan bahasa sederhana yang dapat dipahami
klien dengan mudah. Hindari bahasa teknis atau
medik.
• Gunakan gambar atau materi cetak lainnya jika
memungkinkan untuk memperjelas apa yang sedang
anda katakan
• Berikan jeda dari waktu ke waktu dan tanyalah
apakah klien paham dengan penjelasan anda
• Ulangi instruksi yang perlu dipahami oleh
pasien/klien
• Minta klien untuk mengulang instruksi
• Tanya klien apakah ia ingin
menanyakan sesuatu

KONSELING Konseling merupakan suatu interaksi tatap muka antara


petugas dengan klien dimana petugas membantu klien
untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang
didapat terkait dengan kondisi kesehatannya.

Konseling khusus dibidang maternalperinatal salah


satunya adalah dengan memberitahu kapan ibu harus
kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan dan juga
mengajari ibu untuk mengenali tanda bahaya yang
menunjukkan kapan bayi harus segera dibawa ke rumah
sakit serta menilai praktik pemberian ASI dan
memberikan konseling untuk mengatasi masalah yang
ditemukan.

Berikan juga konseling mengenai cara melanjutkan


pengobatan di rumah, merawat bayi muda termasuk
melakukan asuhan dasar di rumah.

KOMUNIKASI • Berikan pelayanan yang baik dan ramah.


ANTARA DOKTER • Berikan pelayanan yang sesuai dan efektif untuk
DAN PASIEN meningkatkan status kesehatan pasien.

382
• Tidak melakukan tindakan berbahaya, bahkan ketika
pasien meminta anda untuk melakukannya.
• Rawat pasien tanpa ada diskriminasi.

Dalam melakukan komunikasi antara dokter dan pasien


dapat diterapkan enam langkah yang sudah dikenal
dengan kata kunci SATU TUJU. Penerapan tidak perlu
dilakukan secara berurutan, harus disesuaikan dengan
kebutuhan klien.

SA: Sapa dan salam kepada klien dengan hangat dan


sopan
T : Tanyakan pada klien informasi tentang dirinya
dan anaknya
U : Uraikan kepada klien apa yang terjadi dan upaya
untuk menyelesaikan masalah TU : Bantu pasien untuk
membuat keputusan dengan memberi informasi yang
sesuai dan memadai
J : Jelaskan dan informasikan
prosedur/pemeriksaan/kondisi medis kepada klien
U : Ingatkan klien untuk melakukan kunjungan ulang jika
menemukan masalah

DAFTAR RUJUKAN Ha JF, Longnecker N.7


Kementrian Kesehatan RI. 8

4.3 Penilaian fisik

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PENILAIAN FISIK DAN PENILAIAN USIA KEHAMILAN

No. Dokumen No. Revisi Halaman


UKK
Neonatologi
2018

383
Tanggal Tebit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Panduan IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Suatu penilaian fisik lengkap untuk setiap neonatus harus dilakukan
pada awal setiap jadwal tugas jaga (shift). Pastikan anda
mendokumentasikan hasil penilaian dengan baik. Penilaian fisik harus
mencakup:
Tanda vital
Ukuran pertumbuhan
Penilaian sistem
ASI: frekuensi, kelekatan, posisi
Untuk neonatus yang baru masuk ke ruangan, data pasien masuk dan
penilaian usia kehamilan juga harus didokumentasi

PERSIAPKAN Sebelum memeriksa bayi, cucilah tangan dengan sabun dan air bersih
DIRI mengalir kemudian keringkan dengan lap bersih dan kering atau
PEMERIKSA dianginkan. Jangan menyentuh bayi jika tangan anda masih basah dan
dingin.
• Gunakan sarung tangan jika tangan menyentuh bagian tubuh yang
ada darah, menyentuh anus yang terkontaminasi mekonium, tali
pusat, atau memasukkan tangan ke dalam mulut bayi.
• Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir setelah
pemeriksaan kemudian keringkan
• Jaga suhu bayi tetap hangat selama pemeriksaan. Buka hanya
bagian yang akan diperiksa atau diamati dalam waktu singkat untuk
mencegah kehilangan panas.

TANDA VITAL Neonatus yang stabil harus diukur dan dilakukan penilaian sistem
sebelum waktu pemberian asupan.

384
Neonatus yang tidak stabil dan neonatus yang terpasang ventilator
harus diukur tanda vitalnya dan dinilai sistemnya setiap 1-2 jam.

Suhu
• Pengukuran suhu rektum dilakukan hanya satu kali pada saat
neonatus masuk ruangan untuk menyingkirkan kemungkinan
imperforasi anus. Semua pengukuran suhu tubuh selanjutnya harus
dilakukan melalui pengukuran suhu aksila.
• Suhu neonatus normal adalah 36,5oC–37,5oC.
• Neonatus yang ditempatkan di tempat tidur dengan penghangat
(infant warmer/incubator) harus dipasangi termometer probe
kulit dan diobservasi sampai mencapai suhu tubuh yang stabil

• Jika neonatus mengalami hipotermia:


- Pastikan tempat tidur penghangat atau inkubator telah
dinyalakan dan bekerja dengan baik, suhu inkubator disesuaikan
- Periksa suhu tubuh neonatus sampai diperoleh hasil pengukuran
yang normal
- Bila tidak tersedia penghangat, dapat dilakukan perawatan
metode kanguru
- Untuk bayi kecil dengan BB< 1500gram, gunakan plastik
- Untuk mencegah hipotermia lebih lanjut, pastikan topi dipakai
oleh bayi.
- Untuk melakukan prosedur atau pemeriksaan. Cobalah
menggunakan jendela pada inkubator jika memungkinkan,
terutama jika suhu tubuh neonatus tidak stabil atau berat badan
kurang dari 1,0 Kg.
- Periksa sumber hilangnya panas seperti oksigen yang dingin,
pengaturan panas yang rendah pada pelembab (humidifier)
ventilator atau ruangan yang dingin

• Jika neonatus mengalami hipertermia:


- Pastikan tempat tidur penghangat bekerja dengan baik.
- Periksa apakah neonatus sedang menangis atau bergerak
dengan kuat atau dibungkus secara berlebihan
- Identifikasi tanda-tanda infeksi

385
Denyut jantung
Denyut jantung harus dinilai dengan melakukan auskultasi di dada kiri
setinggi apeks kordis dan menghitungnya selama satu menit penuh
• Untuk neonatus yang stabil, denyut jantung harus diukur dengan
jadwal penanganan setiap shift
• Untuk neonatus yang tidak stabil, denyut jantung harus diukur setiap
jam atau pasang monitor jantung
• Denyut jantung normal pada neonatus adalah 120160 kali per menit
pada saat istirahat. Kontak kulit dengan kulit membantu
menstabilisasi denyut jantung dan membuat neonatus lebih tenang

• Jika neonatus mengalami takikardia (denyut jantung > 160 x/menit):


- Pastikan bahwa neonatus tidak sedang menangis atau bergerak
dengan kuat

• Jika neonatus mengalami bradikardia (denyut jantung < 100 x/menit):


- Nilai warna dan pola pernapasan neonates
- Pastikan bayi dalam keadaan stabil

Frekuensi napas
• Frekuensi napas normal pada neonatus adalah 4060 per menit, dan
tidak ada tarikan dinding dada kedalam yang kuat ketika bayi sedang
tidak menangis.
• Frekuensi napas harus diukur melalui observasi selama satu menit
penuh.
• Untuk neonatus stabil maka harus diukur dengan penanganan
terjadwal setiap shift
• Jika neonatus tidak stabil, maka napas harus dihitung setiap jam.

Tekanan Darah
• Pada saat masuk ruangan, pembacaan tekanan darah harus dilakukan
pada keempat ekstremitas dengan menggunakan alat pengukur
tekanan darah.
• Untuk neonatus yang stabil, tekanan darah harus diukur pada setiap
jadwal tugas jaga (shift)
• Jika neonatus tidak stabil, tekanan darah harus diukur setiap 1-2 jam

• Tekanan darah dapat meningkat ketika bayi sedang menangis dan


menurun ketika bayi sedang tidur
• Tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia kehamilan dan
usia pasca lahir
• Bila tidak ada manset neonatus, dapat dideteksi dengan melakukan
pemeriksaan Capillary Refill Time
(CRT), bila CRT > 3’’ berarti bayi sudah mengalami

386
gangguan sirkulasi yang harus segera ditangani
UKURAN Terdapat tiga komponen ukuran pertumbuhan pada neonatus.
PERTUMBUHAN • Berat badan harus diukur setiap hari.
• Panjang harus diukur pada saat masuk dan setiap minggu
• Lingkar kepala harus diukur pada saat bayi masuk ruangan dan setiap
minggu.

Berat Badan
• Berat badan harus diukur setiap hari, pada waktu yang tetap setiap
harinya, bersama-sama dengan asuhan rutin dan pembersihan
inkubator.
• Berat badan harus diplot pada grafik berat badan pada saat bayi
masuk ruangan dan setiap hari
• Jika berat badan berbeda secara bermakna dari sehari sebelumnya
maka berat badan harus diukur dua kali. Beritahu dokter jika selisih
berat badan tersebut ternyata akurat
• Jika neonatus tidak stabil untuk dipindahkan dan ditimbang, sesuai
perintah dokter untuk tidak menimbang neonatus.

Panjang Badan
• Panjang bayi dari puncak kepala sampai tumit harus diukur pada saat
bayi masuk dan setiap minggu.
• Panjang harus diplot pada grafik panjang bayi setiap minggu.
• Bayi harus berada dalam posisi terlentang ketika kita mengukur
panjang. Hindari menganggu neonatus selama pengukuran.

Lingkar Kepala
• Lingkar kepala harus diukur pada saat bayi masuk ruangan dan setiap
minggu
• Ukurlah kepala bayi dengan menggunakan pita pengukur di
sekeliling bagian paling menonjol dari
tulang occipital dan tulang frontal

• Lakukan pengukuran setidaknya setiap hari pada neonatus dengan


masalah neurologis seperti perdarahan intraventrikuler, hidrosepalus
atau asfiksia.

387
PENILAIAN Setiap temuan yang abnormal atau tidak biasa harus segera dilaporkan
SISTEM pada dokter.

Penilaian neurologis
• Suatu penilaian neurologis penuh harus dilakukan setiap hari. Untuk
neonatus yang tidak stabil atau neonatus dengan masalah
neurologis, penilaian ini harus dilakukan lebih sering seperti yang
diperintahkan oleh dokter
• Penilaian neurologis harus mencakup parameter pada Tabel
parameter penilaian neurologis neonatus

Tabel 2. Parameter penilaian neurologis neonatus


Parameter Komentar
Aktivitas Diam, bangun, gelisah, tidur

Tingkat
Letargi, waspada atau tersedasi
Kesadaran

Pergerakan Spontan, terhadap nyeri atau tidak ada


Tonus Hipertonik, hipotonik, normal atau lemah
Ukuran: kanan, kiri
Pupil
Reaksi: lambat, cepat atau tidak ada
Jika terdapat nyeri, jika terdapat suara, tidak ada,
Membuka mata
atau spontan
Menangis Diintubasi, lemah, keras atau bernada tinggi
Fontanela Cekung, menonjol atau datar
Sutura Menonjol (bertumpuk) atau terpisah
Kejang Jika ada, tuliskan gambaran lengkapnya

Penilaian pernapasan
• Penilaian harus dilakukan setiap jadwal tugas jaga (shift) atau jika
terdapat perubahan dalam kondisi klinis
• Penilaian pernapasan harus mencakup parameter yang terdapat
pada Tabel parameter penilaian pernapasan neonatus.

388
Tabel 3. Parameter penilaian pernapasan
neonatus
Parameter Komentar
Merah muda, sianotik, pucat, berkabut, kutis
Warna kulit marmorata atau jaundice.
Tidak terlihat usaha keras, merintih, hidung
Pernapasan kembang kempis atau retraksi
Jauh, dangkal, course, stridor, wheezing, atau
Suara napas menghilang, sama atau tidak sama
Dinding dada Pergerakan simetris atau tidak simetris

Apnea/ Denyut jantung terendah yang diamati, warna,


bradikardia pembacaan oksimeter, dan durasi episode

Jumlah : sedikit, sedang, atau banyak


Warna: putih, kuning, bening, hijau atau ada noda
Sekresi
darah
Konsistensi: kental, encer atau mukoid
ETT Cek Kedalaman ETT (cm)

Penilaian kardiovaskular
• Penilaian kardiovaskuler harus dilakukan setiap jadwal tugas jaga
(shift) atau jika terdapat perubahan kondisi klinis.
• Penilaian kardiovaskuler harus mencakup parameter yang terdapat
pada Tabel parameter penilaian kardiovaskuler.

Tabel 4. Parameter penilaian kardiovaskular


Parameter Komentar
Prekordium Diam atau aktif
Bunyi jantung Samar atau dapat didengar dengan mudah
Ritme/Irama Normal atau gambarkan jika ada aritmia
Murmur Gambarkan jika ada.
Pengisian ulang kapiler Berapa detik?
Denyut tepi, femoral dan
Normal, lemah atau tidak ada
brakial

Penilaian Gastrointestinal
• Penilaian gastrointestinal harus dilakukan setiap hari atau jika
terdapat perubahan dalam kondisi klinis dan harus mencakup
parameter yang terdapat pada Tabel parameter penilaian
gastrointestinal.

389
Tabel 5. Parameter penilaian gastrointestinal
Parameter Komentar
Bising usus Ada, tidak ada, hiperaktif atau hipoaktif
Lingkar abdomen Catat ukuran dalam cm setiap hari
Emesis (atau residual)
Volume dan gambaran

Merah atau tidak berwarna


Dinding perut
Teregang atau terlihat adanya lingkaran-lingkaran usus.
Palpasi Lunak, tegang, atau kaku

Menyusui
• Frekuensi: neonatus harus diberi ASI sesuai permintan dan selama
tiga hari pertama, menyusui harus dilakukan setiap dua jam
• Posisi: ibu harus berada dalam posisi yang nyaman. Kepala dan
badan neonatus harus berada di satu garis lurus, menghadapi ibu,
dan dekat dengan payudara. Sentuh bibir bayi dengan jari atau
puting dan biarkan mulut bayi terbuka lebar
• Kelekatan: bibir bawah neonatus harus menekuk ke arah bawah luar
dan sebagian besar areola masuk ke mulut bayi. Areola lebih banyak
terlihat di atas mulut neonatus dan dagunya harus menyentuh
payudara.

Sistem lain
Penilaian lain harus diperoleh, sesuai dengan kebutuhan. Contoh:
- Gambaran luka dan pembalutannya
- Gambaran sistem genitourinari
- Gambaran output kolostomi

PENILAIAN Semua bayi yang masuk ke Unit Pelayanan Neonatus harus mempunyai
USIA penilaian usia kehamilan yang lengkap. Jika mungkin, hal ini harus
KEHAMILAN dilakukan satu jam setelah kelahiran dan tidak lebih dari 12 jam setelah
kelahiran. Tujuan penilaian usia kehamilan adalah untuk:
• Bandingkan bayi menurut nilai standar pertumbuhan neonatus
berdasarkan usia kehamilan. Temuan dianggap akurat dengan
kisaran ± 2 minggu.
• Verifikasi perkiraan obstetri untuk usia kehamilan dan identifikasi
bayi kurang bulan, lebih bulan, besar atau kecil untuk usia kehamilan.

• Amati dan rawat terhadap kemungkinan komplikasi.

Prediksi kemampuan adaptasi bayi berdasarkan taksiran usia


kehamilannya misalnya bayi dengan usia kehamilan kurang dari 34
minggu akan sulit menetek.

390
TEKNIK Perkiraan obstetrik usia kehamilan didasarkan pada tanggal hari pertama
MENILAI USIA haid dan haid terakhir:
KEHAMILAN (H+7), (B-3), (T+1)

Keterangan:
H= hari pertama haid terakhir
B= bulan haid terakhir
T= tahun haid terakhir

Teknik lain seperti pengukuran diameter biparietal janin melalui USG


bisa memberikan informasi tentang usia kehamilan dan pertumbuhan
janin serta perkembangannya sebelum lahir.
Ada berbagai instrumen yang berbeda untuk menilai usia kehamilan
bayi, semuanya mengevaluasi perkembangan fisik, neurologis dan
neuromuskular. Skor Ballard, yang merupakan penyederhanaan skor
Dubowitz memberi nilai 1-5 untuk masing-masing dari enam tanda fisik
dan neurologis.

Skor Ballard
Penilaian usia kehamilan tidak boleh dilakukan terburu-buru tapi harus
sistematis dan dilakukan saat bayi stabil dan dalam keadaan tenang dan
biasa. Maturitas fisik paling akurat dilakukan segera setelah lahir. Jika
bayi mengalami proses yang sulit selama persalinan dan kelahiran atau
terkena efek obat persalinan, maturitas neurologisnya mungkin tidak
bisa dinilai secara akurat pada waktu ini dan dengan demikian harus
diulang setelah 24 jam.
Jika penilaian neurologis tidak dilakukan, perkiraan usia kehamilan bisa
berdasarkan skor ganda penilaian fisik. Prosedur penilaian harus
dilakukan dengan tepat dan petugas pemeriksa berikutnya harus
mempunyai kesempatan untuk mengkaji prosedur dengan staf yang
lebih berpengalaman

MELAKUKAN Perkiraan usia kehamilan menurut skor maturitas Kaji


PENILAIAN riwayat persalinan dan catat informasi pada Bagan Perkiraan Usia
Kehamilan menurut skor maturitas.

391
USIA • Nama
KEHAMILAN • Usia saat diperiksa
• Waktu pemeriksaan
• Usia kehamilan menurut tanggal dan USG
• Menilai maturitas fisik bayi dan beri tanda “X”
pada kotak dalam formulir yang paling menjelaskan tentang
bayi. Jika pemeriksaan kedua dilakukan, tuliskan “0”
pada kotak yang benar.
• Menilai maturitas neuromuskular bayi dan
tuliskan “X” pada kotak dalam formulir yang
paling menjelaskan tentang bayi. Jika pemeriksaan
kedua dilakukan, tuliskan “0” pada kotak yang benar.

Postur paling baik jika dinilai saat bayi terlentang dan tenang. Amati
fleksi tangan dan kaki, bandingkan dengan angka yang ada pada lembar
kerja dan tuliskan
“X” pada angka yang paling sesuai.

Square window dilakukan dengan melakukan fleksi pergelangan


tangan bayi dan amati sudut antara ibu jari dan bagian lengan bawah.
Lakukan fleksi sebanyak mungkin dengan hati-hati, bandingkan sudut
ibu jari dengan angka yang ada pada lembar kerja dan pilih angka yang
paling sesuai.

Arm recoil dievaluasi saat bayi terlentang. Pegang kedua tangan bayi
dan lakukan fleksi lengan bagian bawah sejauh mungkin selama 5 detik,
lanjutkan dengan merentangkan kedua lengan lalu lepaskan. Amati
reaksi bayi saat lengan dilepaskan. Bayi yang tangannya tetap terentang
atau gerakannya acak mendapatkan skor 0; fleksi parsial 140-180 derajat
mendapatkan skor 1; fleksi 110-140 derajat mendapatkan skor 2; fleksi
90-100 derajat mendapatkan skor 3; dan kembali ke fleksi penuh dengan
cepat mendapatkan skor 4.

Untuk menentukan sudut popliteal, letakkan bayi terlentang,


kepala, punggung dan panggulnya menempel pada permukaan. Pegang
paha bayi pada posisi fleksi dengan ibu jari dan telunjuk kiri anda.
Dengan telunjuk tangan kanan, lurus kaki di belakang mata kaki dengan
sedikit tekanan lembut. Bandingkan

392
sudut di belakang lutut atau sudut popliteal, dengan angka pada lembar
kerja.

Untuk mengevaluasi scarf sign letakkan bayi terlentang. Pegang


tangan bayi dan tempelkan lengannya melewati leher ke bahu yang
berlawanan sejauh mungkin. Untuk melakukan manuver ini, siku
mungkin perlu diangkat melewati badan, tapi kedua bahu tetap harus
menempel di permukaan meja periksa dan kepala harus tetap lurus.
Amati posisi sikut pada dada bayi dan bandingkan dengan angka pada
lembar kerja, lalu catat skor manuver ini.

Heel-to-ear-maneuver (manuver tumit telinga) juga dilakukan pada


posisi terlentang. Pegang kaki bayi dengan ibu jari dan telunjuk, tarik
sedekat mungkin dengan kepala tanpa memaksa dan pertahankan
panggul pada permukaan meja periksa. Amati jarak antara kaki dan
kepala serta tingkat ekstensi lutut lalu bandingkan dengan angka pada
lembar kerja.

Setelah menyelesaikan penilaian fisik dan neuromuskular, jumlahkan


nilai yang didapat pada setiap kotak yang diberi tanda dan tuliskan
totalnya pada lembar kerja. Jika pemeriksaan hanya terdiri dari penilaian
fisik, kalikan angka total dengan 2.

Menggunakan Grafik Penilaian Maturitas, bandingkan nilai total yang


didapatkan dari penilaian pada kolom Skor dengan perkiraan usia
kehamilan pada Kolom minggu.

Gunakan informasi ini untuk mendokumentasi perkiraan yang tepat


untuk bayi sesuai klasifikasi berikut:
• Kurang Bulan: 37 minggu
• Cukup Bulan: 37-42 minggu
• Lebih Bulan: > 42 minggu

Pastikan untuk mencatat tanggal dan waktu


pemeriksaan
Pastikan untuk mencatat usia menurut tanggal dan USG

393
KLASIFIKASI Kaji dan catat pengukuran fisik berikut ini pada grafik yang ada di
NEONATUS Gambar Klasifikasi Neonatus berdasarkan maturitas dan pertumbuhan
BERDASARKAN intrauterin.
MATURITAS • Nama
DAN • Usia saat pemeriksaan
PERTUMBUHAN • Berat dalam gram
INTRAUTERIN • Panjang dalam sentimeter
• Lingkar kepala dalam sentimeter

Menggunakan perkiraan usia kehamilan dalam Gambar Perkiraan


Usia Kehamilan Menurut Skor Maturitas, dokumentasikan berat,
panjang dan lingkar kepala bayi.
• BMK (Besar masa kehamilan): di atas 90 persentil
• SMK (Sesuai masa kehamilan): 10 – 90 persentil
• KMK (Kecil masa kehamilan): di bawah 10
persentil

DAFTAR Ballard JL,Khoury JC, Wedig K, Wang L, EilersWalsman BL, Lipp R. 9


RUJUKAN

394
Gambar9. Klasifikasi neonatus berdasarkanmaturitas danpertumbuhan
intrauterin

395
Gambar 10. Perkiraan usia kehamilan menurut maturitasnya
4.4 Dampak penyakit ibu pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIK

DAMPAK PENYAKIT IBU PADA NEONATUS

396
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik Terbit/Revisi PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Ibu
Selama Kehamilan
• Memperhatikan faktor risiko tinggi kehamilan (usia,
jarak kehamilan)
• Kecukupan asuhan prenatal termasuk imunisasi (4
kunjungan atau lebih)
• Menghindari kelebihan berat badan selama kehamilan
(terlalu kurus atau obesitas)
• Kenaikan berat badan yang sesuai dan melakukan
kegiatan fisik
• Keseimbangan nutrisi (asupan mikronutrien;
besi, zinc, asam folat, yodium, kalsium )
• Menghindari paparan buruk lingkungan (nikotin,
NAPZA, obat-obatan, pestisida)
• Kesehatan mental termasuk stres dan depresi

Kurangnya Kepatuhan terhadap hal diatas


bisa secara langsung atau tidak langsung
berhubungan dengan:
• Komplikasi Neonatus Kurang Bulan, berat lahir rendah,
dan hal-hal yang berkaitan dengan kesakitan dan
kematian bayi.
• Kejadian komplikasi neonatus spesifik yang lebih berat,
misalnya anomali

kongenital (kelainan tabung syaraf) dan terhambatnya


pertumbuhan janin.

Peranan Asuhan Prenatal :


• Mengidentifikasi secara dini komplikasi pada ibu dan
memberikan bimbingan tentang perilaku sehat
kepada ibu hamil
• Mendidik ibu dan keluarganya tentang identifikasi
secara dini tanda bahaya selama kehamilan.
• Membantu ibu mempersiapkan kelahiran bayi dan
memberikan pendidikan dasar mengenai asuhan
neonatus/bayi baru lahir termasuk menyusui, IMD.

397
IDENTIFIKASI • Penentuan secara akurat usia kehamilan
DINI KEHAMILAN • Mempromosikan dan diadopsinya perilaku sehat sejak
awal dan menghindari perilaku/paparan yang tidak
sehat.
• Penapisan dini infeksi dan risiko lainnya.
• Meningkatkan kemampuan diagnosis dini dan
perawatan penyakit ibu yang bisa mempengaruhi
kehamilan :
- Anemia
- Malnutrisi ibu
- Kondisi medis ibu yang sudah terjadi sebelum
hamil (hipertensi, diabetes, TB, malaria, infeksi
menular seksual, infeksi saluran kemih)
- Penyakit jantung ibu - Kelainan tiroid

A. Nutrisi Ibu
• Mengevaluasi status nutrisi
▪Kondisi berat badan sebelum hamil
▪Kenaikan berat badan yang optimal (10 – 15 kg)
▪Anemia (Hb 10 gram%)
▪Obesitas (uji tapis hipertensi & diabetes)
▪Defisiensi yodium endemik ( gondok )
▪Evaluasi asupan terutama vitamin

• Rekomendasi

398
▪Asupan yang seimbang
▪Suplementasi Kalsium dan Vit.D (defisiensi yang berat
mungkin berhubungan dengan hipokalsemia pada
neonatus)
▪Asupan asam folat yang mencukupi (dimulai sebelum
kehamilan) mengurangi risiko kelainan tabung syaraf
▪Suplementasi besi yang mencukupi terutama pada
kasus anemia
▪Menghindari Vit.A dosis tinggi (efek teratogenik)

B. Infeksi perinatal Infeksi


Virus :
• Cytomegalovirus
▪ Ditularkan melalui plasenta, ASI
▪ Berkaitan dengan PJT, hepatosplenomegali,
mikrosefali, retinopati dan hydrops
fetalis.
▪ Dicurigai pada neonatus dengan ikterus,
BBLR, trombositopenia dengan petekie
kulit, dan tuli
• Rubella :
▪ Ditularkan melalui plasenta
▪ Dampaknya berbahaya bagi janin termasuk
penyakit jantung kongenital,
PJT, retinopati, kerusakan syaraf
pendengaran, katarak, purpura
dan
hepatosplenomegali
• Herpes simpleks ( HSV)
▪ Infeksi yang ditularkan saat intrapartum.
▪ Dampaknya bagi janin termasuk : PJT,
Ensefalitis/meningitis, kejang, retinitis,
retardasi mental.
• Varicella Zoster
▪ Ditularkan melalui plasenta < 20 minggu
yaitu Varicella kongenital : mikrosefali,
retinitis, jaringan parut pada kulit,

399
▪ dan juga melalui kontak setelah lahir yaitu
Varicella neonatorum.
• HIV
▪ Ditularkan melalui plasenta, selama
proses persalinan dan melalui ASI
▪ Sebagian besar HIV/AIDS pada neonatus
tidak menunjukkan gejala pada periode
neonatus awal meskipun beberapa
diantaranya mengalami PJT
• Hepatitis B
▪ Ditularkan terutama sebagai infeksi yang
masuk melalui ibu dan melalui ASI,
jarang melalui plasenta.
▪ Berkaitan dengan hepatitis kronis
pascanatal, sirosis dan karsinoma
hepatoseluler

Infeksi Non-Virus :
• Neisseria Gonorrhoea
▪ Infeksi yang terjadi pada masa
intrapartum (ascending infection)
▪ Opthalmia neonatorum atau neonatal
conjunctivitis (gejala awal)
• Treponema pallidum (syphilis)
▪ Ditularkan melalui plasenta, di setiap saat
selama kehamilan (dampak paling buruk
jika infeksi dini).
▪ Berkaitan dengan kematian janin, lahir
mati dan syphilis kongenital (lesi kulit
dan selaput mukosa,
hepatosplenomegali, anemia dan
trombositopenia, lesi pada tulang)
• Toxoplasma gondii
▪ Ditularkan melalui plasenta
▪ Infeksi pada trimester awal dapat
mengakibatkan abortus, kematian
janin dalam kandungan, kelahiran
prematur.

400
▪ Bayi dengan toxoplasmosis congenital
menunjukkan gejala: ikterus, chorionitis,
hepatosplenomegali, kejang, hidriosefalus,
mikrosefalus dan retardasi mental, tuli dan
anemia.

C. Penyakit tiroid
• Hipotiroidisme
▪ Dicurigai terjadi pada ibu paska operasi
tiroid, struma, atau Hashimoto Thyroiditis
▪ Dapat menyebabkan lahir mati, PJT,
kelahiran prematur, sindroma hipotiroid
kongenital, diabetes kehamilan, abruption /
solusio plasenta dan preeklamsia.
▪ Indikasi untuk pemberian
Tiroksin
• Hipertiroidisme :
▪ Lebih umum daripada
hipotiroidisme
▪ Harus dicurigai pada kasus dengan gondok
▪ Paling sering disebabkan oleh
penyakit Grave’s
▪ Jika tidak diobati bisa berbahaya bagi ibu
termasuk preeklampsia berat, gagal jantung
dan gangguan irama jantung
▪ Dan pada janin dapat terjadi : abortus,
prematur, PJT dan IUFD.

IDENTIFIKASI A. Preeklampsia
PENYAKIT YANG • Risiko preeklampsia meningkat pada : ▪ Sindrom
DIPERBERAT antifosfolipid
OLEH ▪ Riwayat preeklampsia sebelumnya
KEHAMILAN ▪ Nuliparitas
▪ Usia ibu > 35 tahun
▪ Riwayat keluarga
▪ Penyakit ginjal kronis, hipertensi, dan diabetes
sebelum kehamilan
▪ Kehamilan kembar

401
▪ Obesitas, penyakit jaringan penunjang
▪ Hydrops fetalis

• Manifestasi hipertensi berat pada kehamilan


▪ Sistolik ≥ 160 dan diastolik ≥ 110 ▪
Protein dalam urin ≥ 5 gram dalam urin
24 jam
▪ Jumlah urin sedikit ( < 500 cc /
hari)
▪ Sakit kepala, penglihatan kabur dan kebas
▪ Nyeri epigastrik
▪ Gejala kardiopulmoner, edema
▪ Peningkatan enzym hati, jumlah trombosit
menurun (<100.000)
▪ Pertumbuhan janin buruk

B. Diabetes
• Diabetes sebelum kehamilan :
▪ Diabetes Melitus (DM) pregestasional
merupakan ibu hamil sudah terdiagnosis
diabetes sebelum kehamilan dan berlanjut
selama kehamilan
▪ Angka kematian ibu dengan DM pregestasional
pada kehamilan terutama diinduksi hipertensi,
preeklampsia, partus macet dan distosia bahu 10
▪ Meningkatnya risiko keguguran dan anomali
kongenital jika tidak terkontrol
▪ Penyakit semakin parah jika kasus berlanjut
(komplikasi ginjal dan retina)

• Diabetes kehamilan :
▪ Diabetes melitus gestasional (DMG) merupakan
diabetes atau intoleransi glukosa dengan onset
atau pertama kali terdeteksi pada saat
kehamilan10
▪ Diabetes melitus yang tidak terkontrol selama
kehamilan

402
mengakibatkan peningkatan risiko keguguran
pada trimester pertama, kelainan bawaan
seperti kelainan jantung dan susunan saraf
pusat, peningkatan kematian janin, persalinan
prematur, preeklampsia, ketoasidosis,
polihidramnion, makrosomia, trauma persalinan
khususnya nervus brakhialis, terlambatnya
pematangan paru, sindrom distres pernapasan,
ikterus, hipoglikemia, hipokalsemia serta
peningkatan kematian perinatal11, 12
▪ Ibu yang mengalami diabetes selama kehamilan
setelah diikuti selama 5 tahun berkembang
menjadi DM tipe
2 hingga 60% kasus13
▪ Terjadi pada 2 – 5 % kehamilan
▪ Skrining gula darah dan glukosa urin, dan bila
dicurigai maka dapat dilanjutkan dengan tes
toleransi glukosa pada 18 – 24 minggu
▪ Indikasi untuk tes glukosa urin pada trimester
dua dan tiga
▪ Harus dicurigai pada kasus makrosomia dan
polihidramnion
▪ Meningkatnya kejadian persalinan macet dan
seksio sesaria serta trauma lahir
▪ Jika tidak terkontrol dengan diet, pertimbangkan
insulin
▪ Hipoglikemia / hipokalsemia pada neonatus

MEMPERKIRAKAN • Mengidentifikasi pertumbuhan janin dan ukuran


PARTUS MACET panggul untuk mengetahui kemungkinan disproporsi
sefalopelvik (kepala panggul). Partus lama dapat
memicu terjadinya perdarahan dan ruptur uteri

• Risiko partus lama dapat dideteksi salah satunya


dengan pengukuran tinggi badan dimana tinggi
badan kurang dari 150 cm dianggap sebagai median
untuk memprediksi kehamilan risiko tinggi.

• Di samping itu penyebab partus lama adalah


malposisi atau malpresentasi
• Identifikasi dini kehamilan kembar

403
MEMPERKIRAKAN • Mendiagnosis kasus dengan plasenta previa
KASUS YANG • Mencegah ruptura uteri dengan manajemen aktif kala
BERISIKO III dan suntikan oksitosin
PERDARAHAN • Beberapa faktor risiko terjadinya perdarahan
ANTE DAN postpartum dapat diprediksi saat pemeriksaan
POSTPARTUM antenatal yaitu preeklampsia, riwayat perdarahan
pada kehamilan sebelumnya, kehamilan ganda,
grandemultiparitas
• Mengobati dan memantau kondisi yang berkaitan
dengan solusio plasenta, misalnya :
▪Berusia lanjut
▪Hipertensi
▪Pengguna obat terlarang

MEMANTAU Merupakan bagian rutin dalam kehamilan tapi harus


FUNGSI dipantau terutama pada kasus yang berisiko tinggi,
PLASENTA, misalnya:
PERTUMBUHAN ▪ Hipertensi dalam kehamilan
DAN KESEHATAN ▪ Usia lanjut
JANIN ▪ Diabetes dalam kehamilan
▪ Riwayat janin lahir mati atau persalinan kurang bulan
▪ Riwayat PJT
▪ Paparan terhadap tembakau atau
perokok

Mencurigai buruknya fungsi plasenta : ▪


Terhambatnya pertumbuhan janin
▪ Oligohidramnion
▪ Perubahan pola gerakan janin
▪ Hipertensi berat
▪ Kasus diabetes yang diperberat oleh kehamilan
▪ Masalah tiroid
▪ Terbukti ada infeksi perinatal
Jika terjadi salah satu situasi yang disebutkan di
atas, mungkin perlu dilakukan
pemeriksaan lanjut seperti USG, Doppler

Jika diagnosis dapat ditegakkan, pertimbangkan untuk


terminasi dini kehamilan

404
MEMPERKIRAKAN • Sekitar 30–40% persalinan kurang bulan tidak
TERJADINYA diketahui penyebabnya.
PERSALINAN • Penentu paling kuat terjadinya persalinan kurang
KURANG BULAN bulan adalah kejadian persalinan kurang bulan
DAN BERBAGAI sebelumnya.
RESIKO YANG • Pada 70% kasus persalinan kurang bulan berkaitan
MUNGKIN dengan ketuban pecah dini (KPD).
TERJADI • Kondisi ibu yang berkaitan dengan persalinan kurang
bulan :
▪ Abnormalitas uterus / serviks :
- Malformasi uterus
- Fibroid
- Inkompetensia serviks ▪ Abnormalitas
plasenta :
- Plasenta previa dan solusio plasenta
▪ Penyakit ibu selama kehamilan ;
- Anemia berat, penyakit jantung &
ginjal, hipertensi, diabetes
- Trauma ▪ Infeksi ibu :
- Infeksi saluran kemih
- IMS termasuk HIV
▪ Terpapar terhadap zat : tembakau dan obat-
obatan terlarang

PERTIMBANGAN KHUSUS LAINNYA :


• Inkompatilibitas Rhesus
• Genetik dan penyakit keluarga
• Sindroma Down dan usia lanjut

PENTINGNTA • Penting bagi tenaga kesehatan asuhan neonatus untuk


KERJASAMA TIM mengenali kondisi obstetri yang mungkin
OBSTETRI DAN mempengaruhi kesakitan neonatus
NEONATAL DEMI • Perlu bekerjasama harmonis antar bagian kebidanan
KESEHATAN IBU dan neonatologi untuk mencapai tujuan bersama
DAN NEONATUS dalam

405
menolong persalinan bayi yang memerlukan asuhan
khusus
• Kerjasama seperti ini akan memastikan lingkungan
persalinan yang sesuai dan ketersediaan tenaga
profesional untuk memenuhi kebutuhan neonatus
• Persiapan dan rencana rujukan bayi khusus tetapi
tidak tersedia pada fasilitas pelayanan primer harus
disiapkan jauh hari sebelumnya agar pemilihan
fasilitas dan hasil penanganan rujukan berjalan efektif.
• Peluang bayi untuk tetap hidup akan sangat baik jika
asuhan yang diperlukan tersedia di fasilitas kesehatan
tempat mereka dilahirkan.
• Hasil terbaik bagi ibu dan neonatus tercapai jika
tenaga kesehatan asuhan obstetri dan neonatus
menunjukkan kerjasama dan saling menghargai dan
berdasarkan pada prinsip pengelolaan yang sama.
• Hal ini untuk menghindari akan ” terjadinya
saling menyalahkan ”
• Keberhasilan selalu merupakan hasil pencapaian
bersama
• Tenaga kesehatan asuhan neonatus akan mencapai
hasil yang terbaik jika memiliki sistem pendukung yang
diperlukan untuk membantu mereka melakukan
diagnosis dan perawatan neonatus
• Antisipasi komplikasi neonatus berdasarkan informasi
yang diterima kesehatan ibu akan membantu pemberi
asuhan neonatus untuk mempersiapkan diri dengan
sebaik-baiknya.

DAFTAR RUJUKAN McCance D, McNamara M. 10


Gonzales NG, Davila EG, Castro A , Padron
E. 11
Qadir SY, Yasmin T, Fatima I12
Noctor E, Dunne FP. 13
Duckitt K, Harrington D. 14

406
4.5 Kelainan bawaan yang sering ditemui pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KELAINAN BAWAAN YANG SERING DITEMUI


PADA NEONATUS
(ICD 10: Q00-Q99)

No. Revisi Halaman


No.
UKK Neonatologi 2018
Dokumen

Panduan Praktik Tanggal


Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA
Klinis
PP IDAI
Ikatan Dokter Anak
Indonesia

DEFINISI Kelainan bawaan: kesalahan pembentukan pada


struktur, posisi atau fungsi suatu organ/sistem.
Celah bibir dan celah langit-langit: terdapatnya
celah pada bibir atas dan dapat disertai juga celah pada
langit-langit sehingga terdapat hubungan langsung antara
rongga hidung dan rongga mulut akibat adanya kegagalan
organogenesis pada perkembangan embriologi.
Atresia koana: kelainan kongenital berupa tertutupnya
satu atau dua lubang hidung posterior oleh septum tulang
(90%) dan membran jaringan lunak (10%).
Fistula trakeoesofagus (TEF): adanya hubungan
antara trakea dan esofaugs dan seringkali terkait dengan
kelainan lain yang membentuk sindrom VATER (Vertebral
defect, Anal atresia, Tracheoesophageal fistula
with Esophageal atresia, Radial/Renal anomaly)

407
Hernia diafragmatika: herniasi isi perut ke dalam
rongga toraks melalui defek pada diafragma.
Omfalokel: suatu defek yang menyebabkan usus atau
visera lain menonjol keluar melalui umbilicus (masih
terbungkus selaput)
Gatroskisis: herniasi usus besar dan usus kecil melalui
defek dinding abdomen. Anus imperforata: kelainan
kongenital tidak adanya anus; sering disebut juga atresia
ani. Hipospadia: kelainan urologis yang paling sering
ditemui, dapat bersifat glandular, koronal, anterior,
mid/post penis atau perineal.
Meningomielokel: dilatasi kistik dari meningen yang
terkait dengan spina bifida, dengan atau tanpa defek kulit
di atasnya atau abnormalitas akar saraf.
Spina bifida okulta: celah pada tulang belakang
akibat gagal terbentuk secara utuh, tetapi korda spinalis
dan meningens tidak menonjol.
Dislokasi panggul bawaan: adanya dislokasi pada
tulang panggung akibat pertumbuhan abnormal.
Trisomi 13 (Sindrom Patau): kelainan kongenital
yang ditandai dengan kelebihan kromosom 13.
Trisomi 18 (Sindrom Edward): kelainan kongenital
yang ditandai dengan kelebihan kromosom 18.
Trisomi 21 (Syndrom Down) : kelainan kongenital
yang ditandai dengan kelebihan kromosom 21 yang sering
ditandai adanya kelainan jantung dan saluran cerna.
Sindrom hipotiroid kongenital
TORCH

ANAMNESIS Penyebab: Identifikasi faktor risiko kelainan genetik


hingga gangguan teratogenik terhadap fetus yang tengah
berkembang.

408
PEMERIKSAAN Celah bibir dan celah langit-langit: Kesulitan
FISIS pemberian asupan serta infeksi paru dan telinga berulang.

Atresia koana:
Tidak dapat lewatnya kateter ke nasofaring melalui kedua
sisi hidung sehingga dapat terjadi gawat napas akibat
penyumbatan saluran napas bagian atas.

Fistula trakeoesofagus:
• Bayi yang terkena akan mengeluarkan banyak lendir
(hipersalivasi) dan batuk serta tersedak pada saat diberi
minum.
• Curigai TEF pada kasus dengan
polihidramnion
• Diagnosis dini sebelum terjadinya pneumonia aspirasi
menjadi penting, karena pneumonia aspirasi akan
memperburuk prognosis.
• Diagnosis dipastikan secara cepat dengan gagalnya
selang nasogastrik melewati esofagus proksimal

Hernia diafragmatika:
• Sering ditemui bersamaan dengan
hidramnion.
• Pada saat lahir dapat terjadi sianosis, gawat napas dan
terlihat abdomen skafoid.
• Suara napas pada sisi yang terkena dapat menurun atau
tidak terdengar
• Dapat terjadi masalah pemberian asupan dan gawat
napas ringan

Omfalokel:
Tampak herniasi usus dan pada sejumlah kasus, hati, di
dalam tali pusat.

Gastroskisis:
Tampak herniasi usus besar dan usus kecil melalui defek
dinding abdomen.

409
Anus imperforata:
Pada fistula rendah dapat menyebabkan keluarnya
mekonium melalui vagina atau skrotum, sedangkan fistula
rektovesikal tinggi ditandai dengan terdapatnya
mekonium dalam urine

Hipospadia:
Penis melengkung (korda), defisiensi prepusium ventral,
lubang meatus abnormal, dapat juga disertai testis yang
tidak turun (undescended testis) dan hernia.

Meningomielokel:
• Berbagai derajat defisit motorik dan sensoris terdapat di
bawah ketinggian lesi.
• Kelainan lain anus yang tetap terbuka (patulous),
paralisis kedua ekstremitas bawah dan kelainan bentuk
kaki.
• Hidrosefalus

Spina bifida okulta:


Tidak terlihat kulit yang terbuka, tetapi rambut yang tidak
pada tempatnya, lipoma atau lesung dapat berada di atas
defek medula spinalis.

Dislokasi panggul bawaan:


• Tes Barlow untuk mendorong tulang paha keluar dari
mangkuk acetabulum
• Tes Ortolani untuk mengembalikan sendi yang sudah
mengalami dislokasi

Trisomi 13 (Sindrom Patau):


▪ Backward sloping forehead
▪ Defek kulit kepala
▪ Bentuk dan letak telinga abnormal (low set ears)
▪ Rahang bawah kecil (micrognatia)
▪ Celah bibir dan/atau langit-langit
▪ Rocker bottom feet
▪ Polidaktili

Trisomi 18 (Sindrom Edward):


▪ Oksiput prominen

410
▪ Bentuk dan letak telinga abnormal (low set ears)
▪ Kelainan jantung bawaan
▪ Tangan menggenggam (clenched hand)
▪ Rocker bottom feet

Trisomi 21 (Sindrom Down)


• Mongoloid face
• Epicantus melebar
• Low set ear
• Simian crease
• Makroglossi
• Hipotoni

PEMERIKSAAN Fistula trakeoesofagus:


PENUNJANG Foto rontgen akan memastikan posisi orogastric tube
yang melingkar di esofagus proksimal, dan terlihat udara
dalam lambung. (ICD 9 CM: 87.6)

Hernia diafragmatika:
• Diagnosis pranatal dengan USG (ICD 9 CM: 88.76)
• Rontgen dada akan memperlihatkan gambaran usus
dalam rongga dada (ICD 9 CM: 87.44)

Anus imperforata:
• Rontgen dalam posisi knee chest (ICD 9 CM: 87.44)
• USG dapat mendeteksi ketinggian rektum distal (ICD 9
CM: 88.76)

Meningomielokel:
• Rontgen (ICD 9 CM: 87.2)
• CT Scan (ICD 9 CM: 87.03)
• USG (ICD 9 CM: 88.71)

Dislokasi panggul bawaan:


Rontgen (ICD 9 CM: 87.2)

411
Trisomi 13 (Sindrom Patau):
Pemeriksaan kromosom (ICD 9 CM : V82.79)
Trisomi 18 (Sindrom Edward):
Pemeriksaan kromosom (ICD 9 CM : V82.79)

Trisomi 21 (Sindrom Down):


Pemeriksaan kromosom (ICD 9 CM : V82.79)
Ekokardiografi (ICD 9 CM: 88.72)
Rontgen (ICD 9 CM: 87.44)

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan


KRITERIA DIAGNOSIS pemeriksaan penunjang

DIAGNOSIS KERJA • Cleft palate and cleft lip (ICD 10: Q35Q37)
• Choanal atresia (ICD 10: Q30.0)
• Atresia of oesophagus without fistula (ICD 10:
Q39.0)
• Atresia of oesophagus with
tracheooesophageal fistula (ICD 10: Q39.1)
• Congenital diaphragmatic hernia (ICD 10:
Q79.0)
• Exomphalos (ICD 10: Q79.2)
• Gastroschisis (ICD 10: Q79.3)
• Congenital absence, atresia and stenosis of
anus without fistula (ICD 10: Q42.3)
• Hypospadias (ICD 10: Q54)
• Spina bifida (ICD 10: Q05)
• Congenital deformities of hip (ICD 10:
Q65)

DIAGNOSIS BANDING Other congenital anomalies (Q00-Q99)

TERAPI Celah bibir dan celah langit-langit:


• Penutupan celah dengan pembedahan sebelum fonasi
• Celah bibir pada usia 1-3 bulan
• Celah langit-langit pada usia 6-12 bulan
• Dot panjang
• Hindari aspirasi

Atresia koana:

412
• Jika bilateral, segera diperlukan jalan napas melalui
oral
• Koreksi melalui pembedahan sesegera mungkin

Fistula trakeoesofagus:
• Rujuk ke tempat yang mempunyai fasilitas bedah anak
• Posisikan pada posisi tegak 30o
• Isap faring posterior dan saluran napas atas
• Berikan oksigen

Hernia diafragmatika:
• Ventilasi dengan menggunakan balon dan sungkup
(kantung dan masker) merupakan kontraindikasi
karena akan menyebabkan lebih banyak udara masuk
sehingga akan menkompresi paru
• Pembedahan

Omfalokel:
Harus dilakukan pembedahan sesegera mungkin untuk
menghindari terjadinya peritonitis

Gastroskisis:
Pembedahan

Anus imperforata:
Kolostomi sementara pada neonatus dengan anus
imperforata letak tinggi dengan atau tanpa fistula

Hipospadia:
Pembedahan usia 2 tahun

Meningomielokel:
Pembedahan

Spina bifida okulta:


Pembedahan

Dislokasi panggul bawaan:


Penempatan sebuah brace yang dipasang di atas popok.

413
EDUKASI Hindari faktor risiko terjadinya kelainan bawaan
Kenali tanda dan gejala awal adanya kelainan bawaan pada
bayi

PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Malam


Ad sanationam : Dubia Malam
Ad fungsionam : Malam
DAFTAR RUJUKAN Children's Hospital of Orange Country.15 Mielniczuk M,
Kusza K, Brzeziński P,
Jakubczyk M, Mielniczuk K, CzerwionkaSzaflarska M. 16

4.6 Trauma lahir

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TRAUMA LAHIR
(ICD 10: P10-P15)

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

414
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Trauma lahir: cedera yang didapatkan saat persalinan


dan kelahiran.
Kaput suksadenum: Edema yang tidak berbatas
tegas di bagian kulit kepala yang paling dahulu keluar
dalam persalinan vertex.
Sefalhematoma: Mengumpulnya darah pada
subperiosteal yang melapisi tulang kranial karena
robeknya pembuluh darah melewati periosteum tulang
kepala yang diakibatkan oleh persalinan lama atau sulit
dan trauma mekanis yang disebabkan oleh forsep atau
vakum.
Perdarahan intrakranial: Perdarahan yang dapat
terjadi pada ruang epidural, subdural atau subarachnoid,
parenkim serebrum atau serebelum, atau ventrikel.
Fraktur klavikula: fraktur yang disebabkan
manipulasi yang berlebihan pada lengan dan bahu selama
persalinan dengan presentasi kepala atau sungsang.
Brakial palsi: kelumpuhan yang melibatkan otot bagian
atas ekstremitas setelah

terjadinya trauma mekanis pada akar spinal dari pleksus


brakialis.
Paralisis saraf frenikus: paralisis yang
menyebabkan paralisis diafragma, jarang merupakan lesi
tersendiri (isolated), umumnya unilateral.
Cedera intraabdomen: dapat
mengakibatkan ruptur atau perdarahan subkapsular di
hati, limpa atau kelenjar adrenal.

ANAMNESIS Faktor predisposisi:


• Makrosomia
• Kelahiran kurang bulan
• Disproporsi kepala panggul
• Distosia
• Persalinan lama
• Presentasi abnormal
• Persalinan dengan tindakan (misalnya vakum dan
forsep)
415
• Persalinan kembar
PEMERIKSAAN Kaput suksadenum
FISIS Pembengkakan lunak yang melebar melewati garis sutura
(eksternal dari periosteum).

Sefalhematoma
• Perdarahan terbatas pada garis sutura
• Kulit kepala diatasnya tidak mengalami diskolorasi
• Pembengkakan mungkin timbul beberapa jam atau
hari setelah lahir
• Hilang setelah 2 minggu sampai 3 bulan

Perdarahan intrakranial
• Presentasi tanpa gejala bisa terjadi hingga 50% kasus
• Tanda kehilangan darah antara lain syok, pucat,
gawat napas, DIC dan ikterus
• Tanda disfungsi neurologis
• Fontanela anterior menonjol
• Hipotonia lemah, kejang
• Suhu tidak stabil

416
• Apnea

Fraktur klavikula
• Menurunnya gerakan lengan ipsilateral
• Nyeri saat pergerakan pasif
• Nyeri, krepitasi pada klavikula
• Tidak adanya refleks Moro pada bagian yang terkena
• Kalus bisa dipalpasi pada usia 7-10 hari

Brakial palsi
• Bayi yang terkena biasanya besar dan mengalami
asfiksia.
• Lengan yang terkena biasanya mengalami aduksi,
rotasi internal, memanjang di bagian siku, pronasi
lengan, dan fleksi di bagian pergelangan tangan.

Paralisis saraf frenikus


• Gawat napas
• Tidak ada pengembangan abdomen dengan inspirasi
pada sisi yang terkena

Cedera intraabdomen
• Riwayat persalinan yang sulit
• Manifestasi mendadak termasuk syok dan distensi
abdomen
• Gejala yang mengindikasikan awitan lanjut termasuk
ikterus, pucat, asupan minum yang buruk, takipnea
dan takikardia

PEMERIKSAAN Perdarahan intrakranial


PENUNJANG USG kepala (ICD 9 CM: 88.71)
CT scan (ICD 9 CM: 87.03)
PT/PTT dan jumlah trombosit (ICD 9 CM:
90.05)

Fraktur klavikula
Rontgen klavikula (ICD 9 CM: 87.43)

417
Paralisis saraf frenikus
Pemeriksaan radiologis meningkatnya lengkungan
diafragma (seperti kubah) (ICD
9 CM: 87.49)

Cedera intraabdomen
USG abdomen (ICD 9 CM: 88.76)

Berdasarkan klinis (anamnesis,


KRITERIA
pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang)
DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KERJA Intracranial laceration and haemorrhage due to


birth injury (ICD 10: P10)
Cephalhaematoma due to birth injury
(ICD 10: P12.0)
Fracture of clavicle due to birth injury (ICD 10:
P13.4)
Erb's paralysis due to birth injury (ICD
10: P14.0)
Phrenic nerve paralysis due to birth injury
(ICD 10: P14.2)
Birth injury to liver (ICD 10: P15.0)
Birth injury to spleen (ICD 10: P15.1)
DIAGNOSIS Other birth trauma (ICD 10: P10-P15)
BANDING
TERAPI Kaput suksadenum
Biasanya tidak diperlukan perawatan dan kondisi ini
hilang sendiri dalam waktu beberapa hari.

Sefalhematoma
• Tidak perlu perawatan untuk
sefalhematoma tanpa komplikasi
• Insisi atau aspirasi merupakan
kontraindikasi (risiko infeksi)
• Transfusi darah dilakukan jika berkembang menjadi
anemia berat
• Hiperbilirubinemia yang signifikan mungkin
memerlukan terapi sinar atau bahkan transfusi tukar
tergantung pada kadar bilirubin

418
Perdarahan intrakranial
• Hindari manipulasi yang tidak perlu
• Berikan pengembang volume perlahanlahan (albumin,
plasma dan darah)
• Vitamin K1 harus diberikan jika sudah diidentifikasi
adanya kegagalan koagulasi
• Tatalaksana kejang dan hiperbilirubinemia (jika ada)

Fraktur klavikula
Lengan dan bahu yang terkena tidak dimobilisasi selama 7-
10 hari.

Brakial palsi
• Imobilisasi parsial ekstremitas yang terkena selama 1-2
minggu pada posisi yang berseberangan
• Masase lembut dan latihan pasif setelah 1-2 minggu
dan teruskan hingga 3 bulan.
• Jika tidak ada peningkatan, rujuk ke dokter bedah
untuk mencari kemungkinan dilakukannya intervensi.

Paralisis saraf frenikus


Tidak ada yang spesifik untuk gawat napas

Cedera intraabdomen
Mungkin perlu laparotomi pada kasus cedera hati atau
limpa

Hindari faktor risiko


EDUKASI
PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Bonam
Ad sanationam: Dubia Bonam
Ad fungsionam: Malam
DAFTAR RUJUKAN Akangire G, Carter B. 17

4.7 Resusitasi neonatus


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

RESUSITASI NEONATUS

419
No. Dokumen No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi
2018

Tanggal Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
DEFINISI Resusitasi adalah serangkaian upaya yang sistematis dan
terkoordinir untuk mengembalikan usaha napas dan sirkulasi bayi
baru lahir sehingga terhindar dari kematian dan cacat menetap.

Resusitasi neonatus merupakan suatu prosedur yang diaplikasikan


untuk neonatus yang gagal bernapas secara spontan dan adekuat.

PEMBERITAHUA • Menginformasikan kepada tim resusitasi neonatus bila ada


N ibu dengan kehamilan risiko tinggi.
• Segera setelah pasien obstetrik masuk dan dievaluasi,
informasikan unit neonatologi mengenai rencana tatalaksana
anda dan batas waktu potensial untuk persalinan.
• Setelah keputusan untuk melakukan persalinan berisiko tinggi
darurat dibuat, informasikan unit neonatologi mengenai
rencana tata laksana anda dan batas waktu potensial untuk
persalinan.

LANGKAH UNTUK • Penilaian merupakan salah satu bagian penting dalam resusitasi
KEBERHASILAN neonatus yang perlu dipahami oleh setiap penolong. Tahapan
RESUSITASI ini akan menentukan langkah serta tindakan resusitasi
selanjutnya. Penilaian harus dilakukan segera setelah bayi
lahir dan berlanjut sepanjang resusitasi

420
• Jangan menunggu nilai Apgar satu menit untuk memulai
resusitasi. Semakin lambat anda memulai, akan semakin sulit
melakukan resusitasi
• Semua petugas yang terlibat dalam persalinan harus:
- Memiliki kompetensi melakukan
resusitasi neonatus
- Mampu bekerja efisien
- Dapat bekerja sebagai tim. Tim resusitasi bayi baru
lahir terdiri dari tiga orang, namun apabila adanya
keterbatasan tenaga penolong maka tim resusitasi
dapat berjumlah minimal dua orang. Pembagian tugas
setiap anggota tim harus jelas pada saat menolong
kelahiran bayi baru lahir.
• Orang pertama yang disebut dengan leader / pemimpin tim
yaitu orang yang dianggap paling terampil dan mampu
memberikan instruksi pada anggota tim lainnya. Pemimpin
tim berdiri tepat di sisi kepala bayi. Tanggung jawab utama
pemimpin tim adalah terkait dengan airway dan
breathing.
• Orang kedua (Asisten Circulation) bertanggung jawab
terhadap sirkulasi bayi. Orang ketiga (Asisten Drug and
Equipment) bertanggung jawab terhadap penyiapan alat –
alat resusitasi, penyiapan obat – obatan dan cairan,
mengukur suhu, pemasangan monitor suhu dan alat lainnya.
• Semua peralatan yang diperlukan harus tersedia dan
berfungsi baik.

SEBELUM • Informasikan unit neonatologi mengenai adanya persalinan


PERSALINAN risiko tinggi yang sedang terjadi. Dokter anak/petugas
DIMULAI kesehatan yang terampil dan terlatih dalam resusitasi, harus
menghadiri semua persalinan risiko tinggi.
• Untuk persalinan normal, petugas yang ahli dalam resusitasi
neonatus harus hadir
• Semua peralatan harus disiapkan dan dicek sebelum
persalinan (lihat daftar Peralatan dan pasokan untuk
Resusitasi Neonatus)
• Infant warmer dinyalakan dan handuk hangat tersedia

421
• Cek alat pengisap lendir, oksigen, sungkup wajah dengan
ukuran yang sesuai serta balon resusitasi/ T piece
resucitator.
• Siapkan pipa endotrakeal (ET) dengan berbagai ukuran
• Siapkan obat-obatan, kateter umbilikal dan sebuah meja
tindakan.

SEBELUM BAYI Konsultasi antenatal, brifeing TIM, persiapan alat


LAHIR
SETELAH Segera setelah bayi lahir
PERSALINAN Lakukan penilaian sebagai berikut:
- Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis?
- Apakah tonus otot bayi baik?
• Bila semua pertanyaan di atas dijawab dengan
“ya”, lakukan perawatan rutin (lihat Gambar 11).
Perawatan rutin ialah memberikan kehangatan,
membuka/membersihkan jalan napas dan mengeringkan .
• Bila salah satu atau lebih pertanyaan dijawab
“tidak”, lakukan langkah awal resusitasi.

Langkah awal resusitasi


• Tempatkan bayi di bawah pemanas radian
• Letakkan bayi terlentang pada posisi setengah tengadah
untuk membuka jalan napas. Sebuah gulungan handuk
(handuk kecil/kain bedong) diletakkan di bawah bahu untuk
membantu mencegah fleksi leher dan penyumbatan jalan
napas.
• Bersihkan jalan napas atas dengan mengisap mulut terlebih
dahulu kemudian hidung, dengan menggunakan bulb
syringe, alat pengisap lendir, atau kateter pengisap.
Perhatikan untuk menjaga dari kehilangan panas setiap saat.
Catatan: pengisapan dan pengeringan tubuh dapat
dilakukan bersamaan, bila air ketuban bersih dari mekonium.
• Pengisapan yang kontinyu dibatasi 3-5 detik pada satu
pengisapan. Mulut diisap terlebih dahulu untuk mencegah
aspirasi.
• Pengisapan lebih agresif hanya boleh dilakukan jika terdapat
mekonium pada jalan napas (kondisi ini dapat mengarah ke
bradikardia).

422
Bila terdapat mekonium dan bayi tidak bugar, lakukan
pengisapan, dengan menggunakan suction kateter no 10-12
• Keringkan, stimulasi, dan reposisi kepala.
• Tindakan yang dilakukan sejak bayi lahir sampai reposisi
kepala dilakukan secepatnya
• Menilai pernapasan
• Jika bayi mulai bernapas secara teratur dan memadai, periksa
denyut jantung. Jika denyut jantung >100 kali/menit dan bayi
tidak mengalami sianosis, hentikan resusitasi. Tetapi jika
sianosis ditemui, berikan oksigen aliran bebas.

Ventilasi Tekanan Positif


• Jika bayi tidak bernafas atau bayi megapmegap, atau HR <
100x/mnt dilakukan ventilasi tekanan positif (VTP) diawali
dengan menggunakan balon resusitasi dan sungkup atau T-
Piece resusitator , dengan frekuensi 4060 kali/menit.
• VTP yang diberikan dengan mempergunakan tekanan puncak
inspirasi (PIP) dan tekanan akhir ekspirasi (PEEP)
• Alat yang bisa dipergunakan dalam pemberian PIP dan PEEP
yaitu T Piece resuscitator atau balon mengembang sendiri
yang dilengkapi dengan katup PEEP
• VTP yang diberikan harus efektif, tanda VTP efektif adalah :
Laju denyut jantung yang semakin cepat dan pengembangan
dada adekuat.
VTP yang tidak efektif harus sudah dideteksi kurang dari 15
detik.
Jika VTP tidak efektif maka harus dilakukan langkah koreksi
yang terdiri dari :
- Sungkup melekat rapat
- Reposisi jalan nafas
- Isap mulut dan hidung bila terdapat lendir
- Buka mulut bayi dan berikan ventilasi
- Tingkatkan tekanan puncak inspirasi
- Alternatif jalan nafas jika langkah gagal maka lakukan
intubasi endotrakeal atau pemasangan sungkup laring

423
• Intubasi endotrakeal diperlukan jika bayi tidak berespon
terhadap VTP dengan menggunakan balon dan sungkup.
Kemudian lanjutkan VTP.

Kompresi Dada
• Jika denyut jantung masih <60 kali/menit setelah 30 detik VTP
yang efektif, kompresi dada harus dimulai.
• Bila melakukan kompresi dada, bayi lebih dahulu di intubasi
dan oksigen dinaikan menjadi 100%
• Kompresi dilakukan pada sternum di proksimal dari
proc.xipoideus, jangan menekan/di atas xifoid. Kedua ibu jari
petugas yang meresusitasi digunakan untuk menekan
sternum sementara jari-jari lain mengelilingi dada; atau jari
tengah dan telunjuk dari satu tangan dapat digunakan untuk
kompresi sementara tangan lain menahan punggung bayi.
Sternum dikompresi sedalam 1/3 tebal antero-posterior dada.
• Kompresi dada diselingi ventilasi secara simultan
terkoordinasi dengan rasio 3:1. Kecepatan kombinasi kegiatan
tersebut harus 120/menit (yaitu 90 kompresi dan 30
ventilasi). Jadi dalam 60 detik, dilakukan 15 siklus yaitu 45
kompresi dan 15 ventilasi dengan rasio 3:1. Setelah 60 detik,
evaluasi respon. Jika denyut jantung >60 denyut/menit,
kompresi dada dapat dihentikan dan VTP dilanjutkan hingga
denyut jantung mencapai 100 kali/menit dan bayi bernapas
efektif.
• Terkadang, walaupun paru sudah terventilasi dengan baik
(melalui ventilasi tekanan positif) dan curah jantung membaik
(melalui kompresi dada), sejumlah kecil bayi baru lahir
(kurang dari 2 per 1000 kelahiran) masih memiliki frekuensi
denyut jantung di bawah 60 x/menit. Otot jantung bayi
dengan kondisi seperti ini telah mengalami hipoksia terlalu
lama sehingga gagal berkontraksi secara efektif walau telah
mendapat perfusi dengan darah beroksigen.
• Untuk bayi dengan kondisi demikian, harus berlanjut kepada
tahap selanjutnya dalam resusitasi, yaitu Drugs atau
pemberian obat – obatan

424
PEMBERIAN OBAT Epinefrin
• Epinefrin harus diberikan jika denyut jantung tetap <60
kali/menit setelah 30 detik VTP efektif dan 30 detik lagi VTP
efektif dan kompresi dada. Dosis epinefrin adalah 0,1-0,3
mL/kg berat badan larutan 1:10.000 secara intravena, melalui
vena umbilikal. Bila diberikan melalui pipa endotrakeal, dosis
adalah 0,3-1,0 mL/kg berat badan.

Prosedur pada katerisasi umbilikal:


Persiapan Bahan dan Alat
• Set umbilikal emergensi (lihat pokok bahasan persiapan alat
resusitasi)
• Antiseptik: Alkohol 70%, Iodium povidon, kasa steril.
• Tempat bahan dan alat-alat (trolley) dan kain penutup steril
• Spuit 5ml dan10ml, Three way stopper
• Cairan NaCl 0,9% 25 ml atau 100 ml

Pelaksanaan
• Cuci tangan dengan desinfektan dan menggunakan sarung
tangan steril
• Lihat kondisi pasien dan keperluan pasien dalam terapi
• Isi lebih dahulu kateter ukuran 3.5F atau 5F yang telah
disambung dengan semprit dan stopcock dengan garam
fisiologis.
• Pasang sebuah keran-3-arah (3-way-
stoppcock) steril dan semprit pada kateter 5 FG dan isi
dengan saline normal, lalu tutup keran untuk mencegah
masuknya udara (yang dapat mengakibatkan emboli udara)
• Bersihkan umbilikus dan kulit sekelilingnya dengan larutan
antiseptik, lalu ikat benang mengelilingi dasar umbilikus.
Ikatan ini dapat dikencangkan bila terjadi perdarahan hebat
saat memotong tali pusat
• Potong umbilikus 1-2 cm dari dasar dengan pisau steril.
Tentukan vena umbilikus (pembuluh yang menganga lebar)
dan arteri umbilikus (dua pembuluh berdinding tebal). Pegang
umbilikus (yang dekat dengan
pembuluh vena) dengan forseps steril

425
• Tekan ringan bila ada perdarahan, bersihkan dan asepsis
kembali
• Pegang bagian dekat ujung kateter dengan forseps steril dan
masukkan kateter ke dalam vena (kateter harus dapat
menembus dengan mudah) sepanjang 4-6 cm. Alur vena akan
menuju ke atas, ke arah jantung. Tarik darah sehingga
mengalir dengan mudah ketika membuka stopcock ke arah
semprit dan menghisap secara perlahan
• Periksa kateter tidak menekuk dan darah mengalir balik
dengan mudah; bila ada sumbatan tarik pelan-pelan umbilikus,
tarik ke belakang sebagian kateter dan masukkan kembali
• Kaji jangan sampai ada udara di selang infus dan tutup ujung
set
• Masukkan obat-obatan atau cairan fisiologis
• Bila sudah didapatkan perbaikan denyut jantung, kateter
segera dilepas
• Asepsis kembali area pemasangan kateter umbilikal

Obat Lain
• Tatalaksana pada syok hipovolemik meliputi pemberian
cairan kristaloid dan/atau produk darah (packed red cell/
PRC atau whole blood) guna meningkatkan volume
intravaskular. Cairan kristaloid yang umum digunakan adalah
larutan salin normal atau ringer laktat. Apabila tidak terdapat
kehilangan darah akut, cairan kristaloid tersebut diberikan 10
mL/kg/kali secara intravena, intraoseus, atau melalui kateter
vena umbilikal dalam waktu 1530 menit (pemberian dalam
waktu singkat sesuai kondisi bayi). Hati-hati pemberian bolus
pada bayi premature sebaiknya diberikan lebih dari 20 menit.
Bolus cairan dapat diberikan dua kali atau lebih pada kasus
syok berat. Jika terdapat kehilangan darah kronik, beberapa
bayi dalam keadaan syok berat tidak dapat mentoleransi
pemberian cairan penambah volume secara cepat. Pada
kehilangan darah akut, cairan kristaloid dapat diberikan sambil
menunggu transfusi produk darah. Cairan

426
diberikan sebanyak 10 mL/kg/kali secara intravena,
intraoseus, atau melalui kateter vena umbilikal selama 30
menit-2 jam (dapat lebih cepat tergantung kondisi bayi).
Respons bayi (laju denyut jantung, perfusi, dan tekanan
darah) harus senantiasa dinilai pada akhir pemberian bolus
sehingga dapat diputuskan pemberian bolus selanjutnya.
• Nalokson hidroklorida diberikan kepada bayi dengan keadaan
sebagai berikut. Depresi pernapasan memanjang pada bayi
dari ibu yang mendapat anestesi narkotik dalam waktu 4 jam
sebelum persalinan, sudah dilakukan langkah resusitasi, dan
frekuensi denyut jantung dan warna bayi normal. Nalokson
merupakan kontraindikasi bagi bayi yang ibunya pecandu
narkotika. Nalokson tidak dianjurkan diberikan di Kamar
Bersalin pada resusitasi awal.

PERALATAN DAN Tim Penolong


BAHAN-BAHAN Risiko sangat tinggi
RESUSITASI 1 konsulen neonatologi, 1 perawat, 1 bidan
NEONATUS Risiko sedang atau tinggi
1 dokter spesialis anak, 1 perawat, 1 bidan
Kehamilan multiple : 2 tim

Termoregulasi
• Suhu ruangan 24-26⁰C
• Topi bayi yang sudah dihangatkan
• Kain bedong 3 lapis (kain pengering) yang sudah dihangatkan
• Plastik (untuk bayi BB <1500 gram) 2 buah
• Infant warmer dinyalakan dengan suhu 34⁰C
• Inkubator transport dinyalakan dengan suhu
37⁰C

Airway
• Suction keteter 5F atau 6F, 8F, 10F, 12F atau 14F
• Sungkup berbagai ukuran (35 mm, 42 mm, 50 mm, 60 mm)
• Laringoskop (lampu menyala) dengan blade lurus ukuran:
00 : bayi sangat prematur (<1000 gram)
0 : bayi prematur

427
1 : bayi cukup bulan (> 4 kg)
• Laryngeal Mask Airway (LMA) ukuran no. 1
• Pipa Endotrakeal nomor 2; 2,5; 3,0; 3,5; 4
• Stilet dan Magyll
• Plester
• Gunting steril
• Benang Kasur

Breathing
• Self Inflating Bag (ambung® untuk neonatus)
• PEEP valve + connector
• Tabung Oksigen (sudah diisi penuh)
• T-piece resuscitator (sudah diatur tekanan 2530/ 5)
• Jackson Rees (*jika tidak ada T-piece
resuscitator)

Sirkulasi dan obat-obatan


• Pulse oxymeter portable
• Spuit (1, 5, 10, 50 mL)
• Infus set yang sudah disambungkan dengan needless
connector
• Hecting set
• Umbilical set
• OGT no. 5 dan 8
• NaCl 0,9% (sudah disiapkan 1-2 x 10mL/kg dalam spuit 30cc)
• D 10% (sudah disiapkan 2-4 x 2mL/kg dalam spuit 5cc)
• Umbilikal emergency yang sudah diisi dan siap pakai
• Adrenalin (ampul)
• Dopamin dan dobutamin (ampul)
• Handscoen steril 3 pasang

Semua peralatan dalam keadaan steril dalam troli


Premedikasi:
- Midazolam yang sudah dimasukkan dalam spuit.
- Morphin yang sudah dimasukkan dalam spuit.
- Sulfas atropin sudah dimasukkan dalam spuit

DAFTAR RUJUKAN Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18

428
* Intubasi ET dapat dilakukan pada beberapa tahap resusitasi ini
Gambar 11. Algoritma resusitasi neonatus
4.8 Pedoman stabilisasi neonatus
PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PEDOMAN STABILISASI NEONATUS

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

429
Tanggal Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA
Panduan
PP IDAI
Praktik Klinis

Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Sebagian bayi baru lahir mempunyai keterbatasan adaptasi terhadap
lingkungan ekstrauterin. Keterbatasan tersebut dapat diakibatkan
faktor imaturitas, kelainan bawaan atau kondisi yang terjadi sebelum
persalinan, misalnya gawat janin, ketuban pecah sebelum waktunya,
ibu infeksi, ibu DM, ibu preeklamsia, dan sebagainya.

Resusitasi yang dilakukan setelah bayi lahir adalah tindakan utama


untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Target utama resusitasi
adalah memberikan ventilasi dengan jalan membantu paru terbuka
dan menjaganya senantisa terbuka. Tindakan stabilisasi paska
resusitasi yang diperlukan pada bayi baru lahir dapat terjadi di:
- Ruang persalinan
- Ruang transisi
- Ruang perawatan neonatus
- Ruang rawat gabung

Stabilisasi paska resusitasi dimulai saat resusitasi selesai dilakukan


sampai beberapa jam setelah resusitasi. Diharapkan 2-4 jam stabilisasi
bayi sudah tercapai. Tidak ada batasan yang tegas antara fase
resusitasi dan stabilisasi. Langkah-langkah stabilisasi secara mendasar
meliputi 6 fokus:
- Stabilisasi gula (Sugar and Safe Care)

430
- Stabilisasi suhu (Thermoregulation)
- Stabilisasi jalan nafas (Airway)
- Stabilisasi sirkulasi (Blood Pressure)
- Skrining infeksi (Laboratory)
- Etika dan dukungan emosi pada keluarga
(Emotional Support)

Langkah tataksana stabilisasi berdasarkan kegawatannya terlebih


dahulu. Gangguan pernafasan adalah gejala tersering, bisa
memberikan komplikasi terutama pada otak bila tidak segera
ditangani. Selanjutnya dievaluasi ada tidaknya hipotermia dan
hipoglikemia, ketiga masalah tersebut sering saling berkaitan dan
memberikan hubungan kausal (Trias Hipoglikemia-Hipotermia-
Hipoksia). Kejang bisa merupakan manifestasi klinis dari penyebab
yang bermacam-macam, deteksi dan risiko dini serta mengatasi kejang
merupakan bagian penting dalam upaya stabilisasi neonatus. Stabiisasi
sirkulasi merupakan prioritas berikutnya, menemukan komplikasi
akbibat hipoksia yang terjasi terhadap organ jantung dan sirkulasi.
Selain itu, penapisan risiko infeksi merupak hal yang penting, bila ada
risiko infeksi dipertimbangkan untuk perlu tidaknya pemberian
antibiotik empiris.

HAL YANG • Persiapan alat dan panggil bantuan sebelum bayi dilahirkan.
HARUS Penting penolong persalinan mempunyai komunikasi kerja yang
DILAKUKAN baik.
BILA BAYI • Persetujuan tindakan medik dilakukan oleh suami atau pihak
LAHIR DI keluarga. Di dalam persetujuan tindakan medik, sebaiknya
FASILITAS mencakup penanganan medis 3 hal, yaitu tindakan resusitasi,
TERBATAS stabilisasi, dan rujukan.

• Tentukan tempat rujukan yang TEPAT.


- Menentukan tempat rujukan yang tepat sangat penting dan hal
ini sebaiknya dikomunikasikan sebelumnya dengan pihak
keluarga pada setiap kehamilan atau persalinan risiko tinggi.
Pemilihan tempat rujukan mempertimbangkan beberapa
aspek, yaitu: jarak dari dan ke tempat rujukan, masalah
kegawatan bayi yang akan dirujuk apakah sesuai dengan
tingkat layanan yang dibutuhkan. Disarankan untuk merujuk

431
bayi ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap peralatannya dan
relatif terjangkau.

• Lakukan beberapa hal penting sebelum rujukan.


- Pahami algoritma rujukan (Skema rujukan)
- Lakukan stabilisasi medik yang diperlukan mengacu pada
konsep stabilisasi neonatus.
- Perhatikan keamanan pasien selama proses stabilisasi dan
rujukan.
- Komunikasi dengan pihak keluarga dan RS yang akan dituju
- Merujuk bayi dengan PMK dapat dipakai sebagai alternatif bila
tidak ada inkubator. Merujuk dengan cara ini terbukti aman
karena suhu tubuh dapat terjaga baik. Penting diperhatikan
adalah menjaga posisi kepala agak sedikit ekstensi untuk
menjaga jalan napas terbuka. Suhu tubuh bayi selama dirujuk
dimonitor tiap 30 menit dan bila suhu stabil dimonitor tiap 1
jam. Jangan lupa bayi menggunakan tutup kepala dan
disarankan menggunakan baju kangguru.

Skema Alur persiapan dan komunikasi proses rujukan bayi baru lahir :

Gambar 12. Alur persiapan dan komunikasi proses rujukan


bayi baru lahir

432
BEBERAPA HAL • Daftar tilik persiapan transportasi
YANG HARUS • Persetujuan orangtua, pemberian informasi tentang komplikasi
DILAKUKAN neonatus dan perencanaan awal
SEBELUM • Persiapan bayi
MERUJUK
BAYI: • Gelang identitas (nama, nomor rekam medis, tanggal lahir< jenis
kelamin)
• Non-rebreathing mask (NRM)
• Oro/Naso Gastric Tube (OGT/NGT) ukuran 6-8F
• Akses intravena perifer terfiksasi dan diberikan cairan rumatan
(D10%)
• Kateter vena umbilikal yang telah terfiksasi (bila membutuhkan
infus lebih dari 1, pada bayi dengan keadaan umum buruk)
• Semua jalur intravena diberi label
• Antibiotik intravena, jika memungkinkan telah dilakukan kultur
darah sebelumnya.
• Pemantauan berkelanjutan
• Pemberian antinyeri intravena (morfin 0,05-0,1 mg/kg( atau oral (1-
2 Expressed breast milk atau 0,25 ml sukrosa)
• Inisiasi perkembangan saraf (posisi, pecahayaan, dan reduksi bising)
• Dokumentasi pendukung (surat rujukan, catatan keperawatan,
catatan
• observasi, rekam medis, catatan administrasi cairan, hasil patologi
anatomi, riwayat obstetrik, pilihan ibu dalam pemberian asupan
ASI/susu formula, kontak orangtua.
• Keperluan tambahan (X-ray, skrining bayi baru lahir, spesimen yang
telah duambil, kontak RS)

Stabilisasi medik:
1. Menghangatkan, mengeringkan, serta menutup badan bayi dan
ekstremitas yang bebas dari akses intravena serta memasang
tutup kepala. Bila tidak ada inkubator transpor, segera gunakan
metode kanguru. Pilihan pertama Perawatan Metode Kangguru
(PMK) adalah dengan ibunya bila kondisi ibu memungkinkan
karena ibu yang baru melahirkan mempunyai suhu tubuh yang
lebih tinggi terutama di kedua belah payudara akibat tingginya
aliran darah di payudara tersebut. Sentuhan bayi dengan ibu
secara langsung akan

433
memperkuat ikatan psikologis dan diyakini dapat meningkatkan
produksi ASI ibu. Bila kondisi ibu tidak memungkinkan, PMK dapat
dilakukan oleh suaminya atau pihak keluarga lainnya. Perlu diingat
pada bayi dengan Hypoxic Ischaemic Encephalopathy (HIE)
metode kanguru tidak dianjurkan.

2.Memberi bantuan pernapasan bila bayi sesak/sianosis:


membebaskan jalan napas dengan memposisikan kepala
menghidu dan menghisap jalan napas. Selanjutnya, bila tetap
sesak/sianosis dengan laju denyut jantung >100 kali per menit:
pasang sungkup laring dan hubungkan dengan
CPAP menggunakan BTMS atau t-piece rescucitator. Bila sarana
untuk memberikan CPAP tidak tersedia, beri VTP dengan BMS
dengan laju pemberian VTP tidak lebih dari 20 kali per menit. Bila
bayi tidak mempunyai napas spontan (apnea atau megap-megap)
dengan atau tidak disertai laju denyut jantung <100 kali per menit:
segera berikan VTP dengan BMS atau BTMS melalui sungkup
laring.

3. Pasang akses intravena perifer atau vena umbilikalis dengan cara


yang sangat aseptis. Pada saat pemasangan jalur intravena, ambil
sampel darah 0,2 mL untuk pemeriksaan gula darah, darah rutin,
dan hitung jenis atau sampel darah 2 mL untuk pemeriksaan AGD,
gula darah, golongan darah/rhesus, dan kultur darah (pada
layanan dengan fasilatas laboratorium yang memungkinkan).
Sebelum merujuk bayi, penting untuk memberikan cairan fisiologis
NaCl 0,9% sebanyak 10 mL/kgBB selama • 30’ pada bayi
cukup bulan;
• 1 jam pada bayi kurang bulan >32 minggu;
• 1–2 jam pada bayi kurang bulan kecil <32 minggu.

4. Setelah pemberian cairan fisiologis selesai (d), pasang infus


dekstrosa 10% dengan total kebutuhan cairan 60–80
mL/kgBB/hari; 60 mL/kgBB/hari untuk bayi cukup bulan dan 80
mL/kgBB/hari untuk bayi kurang bulan.

434
5. Bila waktu yang diperlukan untuk sampai di tempat rujukan lebih
dari 3 jam pada bayi dengan risiko infeksi, pertimbangkan
memberikan suntikan antibiotik spektrum luas terlebih dahulu,
yaitu dengan memberikan kombinasi ampisilin (100 mg/kgBB/hari
2 dosis) dan bila sudah ada diuresis dapat diberikan gentamisin (5
mg/kgBB/hari 1 dosis). Pertimbangkan pemberian fenobarbital
dosis bolus 20 mg/kgBB untuk 1 kali pemberian, diberikan selama
30 menit pada bayi dengan kecurigaan kejang atau dengan risiko
tinggi kejang.

6. Pasang pipa orogastrik dan melakukan dekompresi lambung


secara aktif dan selanjutnya pipa orogastrik dibiarkan terbuka.
Pada produksi lendir yang terus menerus sehingga mengganggu
jalan napas, pengisapan dapat dilakukan secara kontinu melalui
mesin isap dengan tekanan minus 8 mmHg. Sebelum pipa
dimasukkan ke lambung, diukur panjang pipa orogastrik dan
mengevaluasi apakah pipa sudah benar di lambung

Gambar 13. Mengukur panjang pipa

Gambar 14. Fiksasi pipa orogastrik

435
KONTROL Tidak semua ibu hamil dan melahirkan selalu diperiksa status hepatitis
INFEKSI B dan HIV. Selain itu, pada ibu yang terinfeksi baik oleh Hepatitis B
SELAMA atau HIV tidak memberikan manifestasi klinis. Dengan demikian, dalam
PROSES melakukan tindakan medis atau perawatan senantiasa mencegah
STABILISASI terjadi kontak langsung antara cairan tubuh bayi dan tenaga
medis/paramedis.

Upaya kontrol infeksi tersebut juga memberi manfaat dalam


mencegah penyebaran infeksi dari bayi yang satu ke bayi yang lain.
Selain itu, memberikan perhatian khusus terhadap upaya pencegahan
infeksi dalam setiap pekerjaan medis, seperti
• sarung tangan harus selalu dipakai pada setiap kontak dengan
cairan tubuh bayi seperti darah, kulit yang luka, membran mukosa,
dan semua cairan tubuh kecuali keringat
• hanya menggunakan 1 sarung tangan untuk 1 bayi
• sarung tangan tidak dapat menggantikan cuci tangan dan
pemakaian alcohol based hand rub sehingga setiap melepas
sarung tangan harus diikuti dengan cuci tangan dan membasuh
tangan dengan cairan antiseptik
• setiap sebelum dan sesudah kontak dengan bayi selalu
membersihkan tangan menggunakan cairan antiseptik
• bayi yang perlu dilakukan isolasi khusus seperti bayi dengan diare,
pneumonia, infeksi kulit terbuka, infeksi stafilokokus (pustulosis,
abses), cacar air, dan TB kongenital. Bila tidak ada ruang khusus,
sebaiknya bayi hanya dirawat oleh satu perawat
• pembuatan infus, pencampuran infus, dan obat sebaiknya
dilakukan dalam kondisi aseptis dan dilakukan di luar unit
perawatan.

EVALUASI • Bila bayi dipasang sungkup laring, jangan lupa meniupkan udara 4
BEBERAPA mL melalui semprit untuk menggembungkan sungkup wajah laring.
ASPEK • Bila terpasang vena umbilikalis, amati ukuran kateter yang berada
KEAMAAN di permukaan umbilikus apakah masih sesuai dengan ukuran yang
PASIEN sudah ditentukan sebelumnya dan apakah kateter telah terfiksasi
SEBELUM dengan baik.
DIRUJUK • Evaluasi kemungkinan infus bengkak

436
• Bayi dengan sumbatan saluran cerna, INGAT pemasangan CPAP
tidak boleh diberikan, demikian juga pada bayi dengan sumbatan
saluran cerna yang belum dapat dipastikan, namun terdapat
riwayat kehamilan dengan polihidramnion. Lebih dari 60% bayi
dengan sindrom Down mengalami sumbatan saluran cerna bagian
atas
(stenosis/atresia duodenum), Bila pada bayi tersebut didapatkan
CPAP Belly syndrome sebaiknya CPAP segera dilepas dan cari
bantuan untuk intubasi
• Pada fasilitas dengan ketersediaan blender oksigen dan pengukur
saturasi oksigen (oksimeter), amati saturasi oksigen agar tidak
memberikan secara berlebihan dengan menetapkan saturasi
oksigen di atas 90–95% pada bayi kurang bulan dan cukup bulan.
Kecuali pada bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) range
saturasi oksigen ideal belum diketahui karena dipengaruhi usia
gestasi, usia kronologis, penyakit dasar dan status transfusi.
Dianjurkan selalu menggunakan batas alarm untuk menghindari
terjadinya hipoksia maupun hiperoksia.
• Jangan lupa memuasakan bayi selama proses stabilisasi atau
selama merujuk. Pada stabilisasi di ruang perawatan, keputusan
memberikan minum harus dengan evaluasi beberapa aspek

DAFTAR Wiegersma JS, Droogh JM, Zijlstra JG, Fokkema J,


RUJUKAN Ligtenberg J. 19
Iwashyna TJ, Courey AJ. 20
Lim MTC, Ratnavel N. 21
Kendall AB, Scott PA, Karlsen KA. 22
McCall EM, Alderdice F, Halliday HL, Jenins JG, Vohra
S. 23
Rohana J, Khairinia W, Boo NY, Shareena I. 24
Reimer-Brady JM.25
Leppala K. 26
Taylor RM, Price-Douglas W. 27
Cummings JJ, Polin RA. 28

4.9 Transportasi neonatus


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TRANSPORTASI NEONATUS

437
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik Terbit/Revisi PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Transportasi neonatus merupakan bagian integral dari
program asuhan Perinatal regional. Tujuannya adalah
menurunkan mortalitas dan morbiditas neonatus jika
tatalaksana bayi sakit ternyata diluar kemampuan rumah
sakit setempat.

JENIS • Transportasi janin (intrauterin): membawa ibu


TRANSPORTASI sebelum melahirkan bayi berisiko tinggi ke rumah
NEONATUS sakit yang mampu memberikan perawatan yang
sesuai untuk neonatus
• Transportasi satu kali jalan: membawa neonatus dari
unit tingkat II ke tingkat III di fasilitas lain
• Transportasi dua kali jalan (pergi pulang): membawa
neonatus ke fasilitas pelayanan yang lebih tinggi dan
membawanya kembali, dilakukan oleh tim khusus
dari fasilitas unit tingkat III
• Transportasi kembali: membawa bayi dari fasilitas
tingkat III ke tingkat II setelah selesai melakukan
tatalaksana kondisi akut yang menjadi penyebab
neonatus dirujuk

Idealnya saat neonatus dirujuk, lakukan asuhan bayi


kangguru yaitu kontak kulit dengan kulit selama
perjalanan

438
INDIKASI • Gawat napas karena penyebab apapun (misalnya
TRANSPORTASI aspirasi mekonium, pnemonia neonatorum,
NEONATUS sindroma gawat napas) di fasilitas yang tidak
memiliki kemampuan untuk memantau terapi
oksigen dan gas darah arteri, dan tanpa kemampuan
memberikan bantuan ventilasi
• Kondisi bedah
• Berat lahir rendah
• Dicurigai penyakit jantung kongenital
• Komplikasi persalinan yang signifikan
• Hipoglikemia yang berulang
• Ensefalopati hipoksik iskemik
• Sepsis dan tanda-tanda infeksi sistemik
• Perdarahan aktif
• Kuning yang memerlukan transfuse tukar
• Gagal jantung atau disritmia
• Dicurigai kelainan metabolik
• Abnormalitas elektrolit berat
• Perlu pemeriksaan diagnostic lebih lanjut atau terapi
lanjutan

PENDEKATAN Program ACCEPT (Assesment, Control,


SISTEMATIK Communication, Evaluation, Preparation,
UNTUK Transportation)
TRANSPORTASI
NEONATUS Assesment ( penilaian awal)
- Menilai indikasi pasien yang dapat dirujuk (kasus
prognosis baik, didasari pada teori kegawatan
neonates)
- Kelayakan pasien yang dirujuk ( pasien harus
stabil)

Control
- Kemampuan Tim ( harus terlatih, memiliki
sertifikasi pelatihan resusitasi dan stable)
- Kelengkapan alat

Communication
- Internal (diantara tim) : Checklist preparation

439
- Eksternal (ke rumah sakit rujukan) : Komunikasi
langsung, catatan rekam medis dan surat rujukan
- Keluarga (baksoku) : menerangkan kondisi pasien
pada keluarga, informed consent

Evaluation
- Klinis pasien harus Warm, Pink and sweet
sebelum dan selama transportasi serta saat tiba
ditempat rujukan

Preparation
- Persiapan rujukan yang dinilai melalui checklist
proses transportasi
(SDM, Kelengkapan medis,
kendaraan, pasien

Transportation
- Pasien siap diberangkatkan ketempat rujukan
dengan kendaraan yang memenuhi syarat

KOMUNIKASI Idealnya harus terdapat pusat komunikasi yang


beroperasi 24 jam di pusat rujukan bayi yang memiliki tim
transport neonatal. Namun jika masih banyak
keterbatasan sarana dan prasarana, permintaan
transport neonatal dapat diminta oleh dokter yang
hendak merujuk kepada tim NICU rumah sakit penerima
rujukan, kemudian rumah sakit rujukan akan
mengirimkan tim transport.

Komunikasi pada transpor neonatal harus terjalin


sebelum bayi ditranspor, selama transport, dan setelah
bayi tiba di rumah sakit rujukan.

Komunikasi dengan pusat rujukan dilakukan sebelum


melakukan transportasi untuk memastikan tersedianya
tempat tidur.
Informasi berikut harus ada pada saat komunikasi melalui
telepon:

440
• Identitas dan tanggal lahir bayi
• Identitas ayah dan ibu bayi
• Riwayat pranatal
• Catatan persalinan dan kelahiran
• Catatan resusitasi neonatus
• Skor Apgar
• Usia kehamilan dan berat badan saat lahir
• Tanda vital: suhu, frekuensi denyut
jantung (FJ), frekuensi napas, Waktu pengisian
ulang kapiler (CRT) dan tekanan darah (jika
ada)
• Persyaratan pendukung oksigen / ventilasi
• Data laboratorium yang sudah ada: misalnya
glukosa, kalsium, hematokrit, penentuan gas
darah
• Akses vaskular.

PERSIAPAN Petugas transportasi harus sangat terampil dalam


melakukan resusitasi dan menangani neonatus berisiko
tinggi. Petugas bisa saja seorang dokter, perawat
neonatus, dan perawat yang khusus dilatih untuk
menangani neonatus selama transportasi rujukan.

Kendaraan dan perlengkapan


Dalam melakukan transport neonatus, pilihan jenis
transportasi tergantung kepentingan klinis, jarak tempuh
transport yang akan dilakukan, kondisi cuaca daerah
setempat, dan ketersediaan jenis transportasi di daerah
tersebut.
Ambulan harus dipersiapkan dengan:
• Kain jika dilakukan posisi kangguru yaitu kontak kulit
dengan kulit selama perjalanan
• Inkubator untuk transportasi
• Alat pemantau untuk hal berikut:
- Monitor
- Frekuensi denyut jantung
- Frekuensi napas
- Suhu
- Tekanan darah arteri (jika ada)

441
- Konsentrasi oksigen yang diisap
- Saturasi oksigen
- Sistem pemberian oksigen
(tabung,regulator, dan selang), alat CPAP
- EKG (bila tersedia)

• Perlengkapan infus Intravaskular:


- Infusion pump
- Kanula IV (ukuran 22 dan 24)
- Alat suntik (ukuran 2,5, 3, 5, 10, 20 dan
50 cc)
- Perangkat infus IV
- Umbilikal kateter
- Pita perekat/ plester
- Kapas alkohol
- Kasa

• Perlengkapan pengisap lendir:


- Bola pengisap/ bulb syringe
- Gel lubrikasi
- Pengisap mekanis
- Kateter pengisap (ukuran 6, 8 dan 10)
- Spuit 20cc

• Obat-obatan untuk resusitasi:


- Epinefrin
- Sodium bikarbonat 8,4% dalam ampul
- Dopamin, dobutamin
- Fenobarbital
- Midazolam, Morfin
- Volume expander (normal salin dan
Ringer laktat)
- Dextrose 10%
- Air steril (aquades)

• Perlengkapan intubasi
- Laringoskop (bilah lurus ukuran 0 dan 1)
- Bola lampu dan baterai cadangan untuk
laringoskop
- Pipa endotrakeal (diameter internal ukuran 2,5, 3
dan 3.5 mm)
- Balon dan sungkup (sungkup yang
tepinya dari bahan lunak)

• Perlengkapan lain:
- Stetoskop
- Sarung tangan steril
- Oral airways (ukuran 0 dan 00)

442
• Perlengkapan bantuan ventilasi (jika ada)
KEGIATAN TIM Tim transportasi akan menilai kondisi neonatus dengan
TRANSPORTASI melakukan pemeriksaan fisik, hasil x-ray dan/atau hasil
DI RUMAH SAKIT laboratorium dan mengukur tanda vital, kadar glukosa
YANG MERUJUK darah dan gas darah sesuai kondisi. Mungkin diperlukan
akses ke laboratorium dan x-ray. Suhu tubuh neonatus
harus dipertahankan selama prosedur berlangsung.

Tim transportasi akan mengandalkan staf rumah sakit


setempat untuk memberikan riwayat pranatal, catatan
persalinan dan kelahiran, catatan resusitasi neonatus,
skor Apgar, masa kehamilan serta berat lahir neonatus.

Jika tanda vital neonatus tidak stabil, tim transportasi


akan tetap berada di rumah sakit yang merujuk hingga
neonatus cukup stabil sehingga kondisinya aman untuk
dibawa. Tidak aman membawa neonatus yang tidak
stabil. Jadi, bergantung pada kondisinya, tim ini dapat
tetap di rumah sakit yang merujuk untuk waktu yang
lama

PENGKAJIAN • Mendapatkan riwayat pranatal dan persalinan lengkap


KLINIS DI termasuk salinan grafik ibu dan neonatus
LAPANGAN • Mengukur tanda vital untuk menegaskan riwayat
• Mempertahankan suhu tubuh neonatus:
- Menutupi kepala neonatus dengan topi
- Menempatkan neonatus kurang bulan dalam
inkubator untuk meminimalkan kehilangan panas
- Untuk bayi sangat kurang bulan (<
1.250 gm), gunakan plastik

443
• Lakukan pemeriksaan fisik dengan penekanan pada
hal berikut:
- Tanda gawat napas
- Perfusi
- Murmur
- Tingkat aktivitas dan pengkajian neurologis
(refleks, tonus)

• Data laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap
- Analisis gas darah
- Kultur darah
- Elektrolit
- Kadar glukosa darah - X-ray

Jangan membuang waktu dengan menunggu hasil


laboratorium, kecuali hasil tersebut penting untuk
bayi.

PENGOBATAN Sistem pernapasan


• Pertahankan pH > 7,25, PaCO2 40-55 dan PaO2 60-80.
• Asidosis respiratorik paling baik diatasi dengan
melakukan intubasi dan ventilasi tekanan positif.
• Asidosis metabolik paling baik diatasi dengan
pemberian bolus cairan isotonik (10 cc/kg) dan/atau
sodium bikarbonat 1-2 mEq/kg.
• Apnea/hipoventilasi akan mengarah pada hipoksia,
yang kemudian mengarah pada bradikardia.
(Hipoksia merupakan penyebab utama bradikardia
neonatorum!)

Sistem kardiovaskuler
• Syok dan hipovolemia diatasi dengan cairan isotonik
bolus (10 cc/kg) hingga 3 kali jika perlu. Jika tidak
efektif, pertimbangkan penggunaan inotropik
(dopamin/dobutamin).

444
Mempertahankan cairan dan glukosa
• <1.000 gram atau 28 minggu: gunakan D5W (atau
D10W) 100 cc/kg/hari
• >1.000 gram atau 28 minggu: gunakan D10W 80
cc/kg/hari

Penyakit menular
• Pastikan melakukan pemeriksaan darah lengkap
dengan hitung jenis dan kultur darah sebelum
memulai antibiotik.
• Antibiotik harus dimulai sebelum transportasi
dilakukan.
• Patogen bakteri neonatus yang paling sering
ditemukan adalah GBS, E. coli dan Listeria, sehingga
antibiotik yang biasa digunakan adalah ampisillin dan
gentamisin

PEMANTAUAN • Sering periksa tanda vital dan suhu


SELAMA DI • Pantau saturasi oksigen dengan
PERJALANAN oksimeter nadi (pulse oxymetry).
• Andalkan keputusan klinis anda. Alat mekanik dapat
saja memberikan rasa aman palsu.
• Bising dalam ambulans membuat auskultasi sangat
sulit
• Hubungi NICU untuk bantuan dan/atau usulan setiap
saat.

DOKUMEN • Dokumen yang akurat setiap transportasi/perjalanan


rujukan dibuat untuk jaminan mutu dan
dokumentasi.
• Catatan medis harus menggambarkan kondisi pasien
secara keseluruhan, alasan transpor, tujuan
transpor, nama dokter yang merujuk dan kepada
siapa dirujuk, status klinis sebelum transport,
kondisi, dan perawatan atau terapi yang diberikan
selama transpor.
• Saat tiba di rumah sakit rujukan, harus ada serah
terima pasien secara formal antara tim transpor dan
tim medis dari rumah sakit.
• Serah terima sebaiknya dibuat secara verbal dan
tertulis, dan didalamnya termasuk catatan medis
dan riwayat penyakit pasien, perubahan klinis

selama transpor, dan terapi yang diberikan

DAFTAR RUJUKAN Wilson AK, Martel IMJ, Saskatoon SK. 29


Hohlagschwandtner M, Husslein P, Weninger KKM, Nardi
A, Langer M. 30
Hauspy J, Jacquemyn Y, Van-Reempts P,
Buytaerta P, Vlieta JV. 31
445
Woodward GA, Insoft RM, Pearson-shaver AL. 32
Das UG, Leuthner SR. 33
Lim M, Ratnavel N. 21
Kempley, Baki, Hayter, Ratnavel, Cavazzoni,
Reyes. 34
McKay S, Cruickshanks J, Skeoch CH. 35
Kulshrestha A, Singh J. 36
Fenton AC, Leslie A, Skeoch CH. 37
Arad I, Baras M, Bar-Oz B, Gofin R.38
Kumar PP, Kumar CD, Venkatlakshmi A. 39
Terrey A, Browning CK. 40
Tingay DG, Stewart MJ, Morley CJ. 41
Lilley CD, Stewart M, Morley CJ. 42
Dani C, Bertini G, Pezzati M, Cecchi A, Caviglioli
C, Rubaltelli FF. 43
Fowlie PW, Booth P, Skeoch CH. 44

4.10 Asfiksia perinatal dan HIE

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

ASFIKSIA PERINATAL DAN


ENSEFALOPATI ISKEMIK HIPOKSIK
(ICD 10: P21 dan P91.6)
Lihat: PNPK ASFIKSI KEMENTERIAN KESEHATAN RI

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

446
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Hipoksia: Kekurangan oksigen parsial atau lengkap


dalam jaringan
Iskemia: Penurunan atau penghentian aliran darah ke
jaringan
Asfiksia perinatal: Keadaan pertukaran gas
terganggu dalam plasenta atau paru yang mengarah ke
hipoksemia progresif,
hiperkarbia dan asidosis
Ensefalopati iskemik hipoksik: Keadaan
ensefalopati neonatal berupa keadaan klinis yang
mendiskripsikan abnormalitas dari tingkat
neurobehavioral yang terdiri dari penurunan tingkat
kesadaran dan gejala lain dari gangguan batang otak dan
atau disfungsi motorik

ANAMNESIS Faktor risiko meliputi:


- Kondisi antepartum (faktor maternal)
- Toksemia (preeklampsia/eklampsia)
- Diabetes
- Hipertensi dalam kehamilan atau hipertensi kronis

447
- Penyakit jantung
- Penyakit vaskuler kolagen
- Infeksi
- Isoimunisasi
- Ketergantungan terhadap obat
- Kondisi obstetrik
- Solusio placenta
- Plasenta previa
- Tali pusat menumbung/prolaps tali pusat
- Ketuban pecah dini (KPD)
- Tidak memadainya plasenta
- Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT)
- Polihidramnion
- Kehamilan kembar/gemeli
- Kondisi intrapartum
- Presentasi abnormal/malpresentasi
- Partus presipitatus atau memanjang
- Distosia atau persalinan sulit
- Kehamilan lewat waktu/postmatur
- Kondisi postpartum
- Kelahiran kurang bulan
- Respiratory Distress Syndrome (RDS)
- Meconium Aspiration Syndrome (MAS)
- Sepsis
- Pneumonia
- Penyakit hemolitik
- Kelainan jantung atau paru
PEMERIKSAAN • HIE Tingkat I (ringan)
FISIS • Periode letargi dan iritabilitas, kewaspadaan
berlebihan dan jitteriness berselang seling
• Kemampuan minum yang buruk
• Tonus otot meningkat, refleks tendon dalam
berlebihan, refleks Moro berlebihan dan/atau
spontan
• Eksitasi simpatik terbukti oleh peningkatan denyut
jantung dan pupil mengalami dilatasi
• Tidak ada aktivitas kejang
• Gejala hilang dalam 24 jam

• HIE Tingkat II (sedang)


• Letargi

448
• Pemberian minum buruk, refleks gag tertekan
• Hipotonia
• Denyut jantung menurun dan konstriksi pupil
yang menunjukkan stimulasi parasimpatik
• 50-70% bayi memperlihatkan kejang, biasanya
dalam waktu 24 jam setelah kelahiran

• HIE Tingkat III (berat)


• Abnormalitas neurologis yang terus berlanjut
• Koma
• Flasiditas
• Tidak ada refleks
• Pupil diam, sedikit reaktif
• Apnea, bradikardia, hipotensi
• Kejang tidak umum tetapi jika ada sulit
ditangani
• Disfungsi sistem multi-organ termasuk:
• Nekrosis tubular akut
• Oliguria
• Hematuria
• Poliuria
• Kardiomiopati
• Hipotensi
• Hipertensi paru menetap pada saat lahir/
Persistent Pulmonary hypertension of
the Newborn
(PPHN)
• Takipnea
• Hipoksemia
• Nekrosis hepatik
• ↑ Ammonia
• ↑ AST/ALT
• Ikterus
• Necrotizing enterocolitis (NEC)
• Kembung
• Feses berdarah
• Kemampuan kelenjar adrenal yang tidak
memadai

• ↓ Glukosa
• ↓ Natrium
• ↓ TD
• Sekresi ADH yang tidak memadai

449
PEMERIKSAAN • Hitung darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
PENUNJANG • Glukosa darah (ICD 9 CM: 90.5)
• BUN dan kreatinin (ICD 9 CM: 90.5)
• Elektrolit darah, kalsium, fosforis, dan magnesium (ICD
9 CM: 90.5)
• Enzim hati (AST/ALT) (ICD 9 CM: 90.5)
• Analisis gas darah (ICD 9 CM: 89.65)
• Analisis urin dan jumlah urin (ICD 9 CM: 91.3)
• Pungsi lumbal mungkin perlu
dipertimbangkan (ICD 9 CM: 90.0)
• USG kepala (ICD 9 CM: 88.71)
• EEG, CT-Scan, dan MRI jika ada indikasi dan tersedia
(ICD 9 CM: 89.14, 87.03, dan 88.91)

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan


KRITERIA
penunjang
DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KERJA Asfiksia Perinatal dan Ensefalopati Iskemik


Hipoksik (ICD 10: P21 dan P91.6)
DIAGNOSIS • Fetus and newborn affected by maternal
BANDING anaesthesia and analgesia in pregnancy,
labour and delivery (ICD 10: P04.0)
• Bacterial sepsis of newborn (ICD 10: P36)
• Meningitis (ICD 10: G00)
• Encepalitis virus (ICD 10: G05)
• Congenital malformations of the nervous
system (ICD 10: Q00-Q07)
• Myoneural disorder, unspecified (ICD
10: G70.9)
• Birth trauma (ICD 10: P10-P15)
TERAPI Pencegahan merupakan tata laksana terbaik
Tindakan pendukung primer mencakup
• Mempertahankan oksigenasi dan keseimbangan
asam-basa, mulai ventilasi mekanik jika perlu
• Memantau dan mempertahankan suhu tubuh

450
• Mengkoreksi dan mempertahankan elektrolit, cairan
dan glukosa
• Mengoreksi hipovolemia
• Menghindari kelebihan cairan, hipertensi dan
hiperviskositas
• Mengobati kejang
- Fenobarbital loading dose 20 mg/kgBB. naikkan 5-10
mg/kgBB atau langsung 10-20 mg/kgBB sampai
kejang terkontrol atau dosis maksimal 40 mg/kgBB
tercapai. Jika kejang berhenti, pertahankan pada
dosis rumatan 3-5 mg/kg/hari dibagi 1-2 dosis, 24
jam setelah loading dose
- Jika kejang tidak dikontrol oleh dosis fenobarbital
maksimal yang diperbolehkan, tambahkan fenitoin
20 mg/kgBB diberikan dengan kecepatan 1
mg/kgBB/menit. Dilanjutkan dengan pemberian
dosis rumatan 24 jam kemudian dengan dosis 5-10
mg/kg/hari, diberikan setiap 8 jam dalam dosis
terbagi rata.
- Jika kejang masih tidak teratasi dapat dilanjutkan
dengan pemberian midazolam 0,15 mg/kgBB
dilanjutkan dosis rumatan 1 mikrogram/kgBB/menit
dan dinaikkan 0,5-1 mikrogram/kgBB/menit sampai
dosis maksimal 18 mikrogram/kgbb/menit
- Alternatif lain jika anda berada di RS dengan fasilitas
lengkap dapat menggunakan algoritma tahun 2013.

Terapi hipotermia
• Dilaksanakan pada neonatus aterm (3637 minggu)
sebelum usia 6 jam dan memenuhi kriteria HIE
• Saat merujuk dipertahankan suhu 34°C–35°C (bila
suhu di atas 35°C dipertimbangkan membuka pintu
transport inkubator atau menurunkan suhu
inkubator transport)

Tidak ada intervensi terapi lain, termasuk kortikosteroid,


fenobarbital profilaksis, furosemida, manitol, dll., karena
belum terbukti bermanfaat dalam ranah klinik.

EDUKASI • Kenali tanda dan gejala awal


• Segera atasi kejang dan kondisi akut

451
PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Malam
Ad sanationam: Dubia Malam
Ad fungsionam: Dubia Malam

Indikator prognosis buruk mencakup:


• Terdapat peningkatan mortalitas dan morbiditas
dengan riwayat yang buruk
• Asidosis metabolik tali pusat parah (pH < 7,0)
• Skor Apgar < 3 untuk 20 menit
• Waktu neonatus untuk mencapai respirasi spontan
terlalu panjang
• Pemeriksaan neurologis abnormal 5 hari
• USG kranial dengan leukomalasia periventrikuler atau
perdarahan serius berkait dengan kekurangan
motorik dan kognitif pada saat tindak lanjut

DAFTAR RUJUKAN Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR. 45

Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG.46

Queensland Clinical Guidelines. 47

Martinello K, Hart AR, Yap S, Mitra S,


Robertson NJ. 48

Chalak L, Kaiser J. 49

Slaughter LA, Patel AD, Slaughter JL.50

4.11 Kejang pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KEJANG PADA NEONATUS


(ICD 10: P90)

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

452
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Kejang pada neonatus adalah gerakan paroksimal dari


perubahan fungsi neurologis (perilaku, motorik dan
fungsi autonomik) yang terjadi pada bayi berumur sampai
dengan 28 hari

ANAMNESIS Penyebab kejang pada neonatus:


1. Hypoxic Ischemic Encephalopathy (HIE): 25-
50%
2. Perdarahan intrakranial dan trauma Susunan Saraf
Pusat: 15-20%
3. Masalah metabolik: 5-30%
a. Hipoglikemia (glukosa darah <40 mg/dL)
b. Hipokalsemia (Ca<8 mg/dL atau Ca ion<1
mmol/L)
c. Hipomagnesemia (Mg<1.2 mg/dL)
d. Hiponatremia/Hipernatremia
e. Defisiensi piridoksin
4. Infeksi Susunan Saraf Pusat
(Meningitis, infeksi TORCH): 5-15%
5. Stroke: cedera iskemik fokal, stroke neonatus,
thrombosis vena serebral

453
6. Inborn Errors of Metabolism: kelainan
metabolisme asam amino, defek siklus urea,
defisiensi Glucose Transporter-1 (GLUT-1)
7. Developmental Malformations: disgenesis
serebral, sindrom neurokutaneus
8. Kejang disebabkan obat-obatan: Withdrawal of
narcotic analgesic, intoksikasi anestesi lokal
9. Sindrom epilepsi neonates

Riwayat ibu dan obstetrik:


• Infeksi ibu, paparan obat, riwayat keguguran
sebelumnya atau bayi dengan kejang (bawaan),
kondisi medis (diabetes, hipertensi, dll.) dan
riwayat kejang neonatus dalam keluarga.
• Korioamnionitis, demam, perdarahan
antepartum, persalinan yang sulit atau gawat
janin dan nilai Apgar rendah.

PEMERIKSAAN Kejang Tonik


FISIS Kejang Tonik Umum atau terfokus di satu area (fokal)
• Kejang tonik umum
• Terutama bermanifestasi pada bayi kurang bulan
(< 2.500 gm).
• Biasanya terlihat sebagai fleksi atau ekstensi
tonus pada ekstremitas bagian atas, leher atau
batang tubuh dan berkaitan dengan ekstensi
tonus pada ekstremitas bagian bawah.
• Pada 85% kasus kejang tonus tidak berkaitan
dengan perubahan sistem otonom apapun seperti
meningkatnya denyut jantung atau tekanan
darah, atau kulit memerah.

454
Kejang Tonik Fokal
• Terlihat dari postur asimetris dari salah satu
ekstremitas atau batang tubuh atau kepala tonik
atau deviasi mata.
• Sebagian besar kejang tonik terjadi bersama
dengan difusi penyakit sistem syaraf pusat dan
perdarahan intraventrikular.

Kejang Klonik
• Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang
perlahan dan berirama (1-3 /menit).
Penyebabnya mungkin berasal dari satu titik atau
multi-fokal.
• Setiap gerakan terdiri dari satu fase gerakan yang
cepat dan diikuti oleh fase yang lambat.
• Perubahan posisi atau memegang ekstremitas
yang bergerak tidak akan menghambat gerakan
tersebut.
• Umumnya terjadi pada neonatus cukup bulan
>2500 gram.
• Tidak terjadi hilang kesadaran.
• Berkaitan dengan trauma fokal, infark atau
gangguan metabolik.

Kejang Mioklonik
• Kejang mioklonik terfokus di satu area, multi-
fokal atau umum.
• Kejang mioklonik fokal biasanya melibatkan otot
fleksor pada ekstremitas.
• Kejang mioklonik multi-fokal yang terlihat sebagai
gerakan kejutan yang tidak sinkron pada
beberapa bagian tubuh.

455
• Kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas
berupa fleksi kepala dan batang tubuh dengan
ekstensi atau fleksi ekstremitas. Kejang ini
berkaitan dengan difusi patologis SSP.

Kejang subtle (Tidak terus menerus)


• Kejang subtle biasanya terjadi dengan jenis
kejang lain dan mungkin bermanifestasi seperti:
• Gerakan stereotip ekstremitas seperti gerakan
mengayuh sepeda atau berenang.
• Deviasi atau gerakan kejutan pada mata dan
mengedip berulang kali.
• Ngiler, mengisap atau mengunyah.
• Apnea atau perubahan tiba-tiba pada pola
pernapasan.
• Fluktuasi yang berirama pada tanda vital.

PEMERIKSAAN Pemeriksaan utama


PENUNJANG • Glukosa darah (ICD 9 CM: 90.5)
• Natrium, kalsium dan magnesium darah (ICD 9 CM:
90.5)
• Pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis leukosit dan
trombosit (ICD 9 CM: 90.5) • Elektrolit (ICD 9 CM:
90.5)
• Analisis Gas darah arteri (ICD 9 CM:
89.65)
• Analisis CSS (ICD 9 CM: 90.0)
• Analisis dan kultur CSS (ICD 9 CM: 90.0)

Pemeriksaan lainnya
• Mencari penyebab spesifik lainnya yang dicurigai
(TORCH, kadar amonia, asam amino dalam urine, USG
kepala dll). (ICD 9 CM: 90,5; 91.3; 88.71)
• Pemeriksaan aEEG (bila fasilitas tersedia) (ICD 9 CM:
89.14)

• USG kranial untuk melihat adanya perdarahan dan


luka parut. (ICD 9 CM: 88.71)
• CT Scan untuk mendiagnosis malformasi dan
perdarahan otak. (ICD 9 CM: 87.03)

456
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
KRITERIA
pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KERJA Convulsions of newborn (ICD 10: P90)

DIAGNOSIS • Other disturbances of cerebral status of


BANDING newborn (ICD 10: P91)
• Disorders of muscle tone of newborn
(ICD 10: P94)
• Transitory disorders of carbohydrate
metabolism specific to fetus and
newborn (ICD 10: P70)
• Transitory neonatal disorders of calcium and
magnesium metabolism (ICD 10: P71)
• Other transitory neonatal electrolyte and
metabolic disturbances (ICD 10: P74)

TERAPI Tatalaksana kejang sesuai algoritma 2018


(dibawah ini)

EDUKASI Kenali tanda dan gejala awal kejang pada neonatus


Segera lakukan tata laksana awal pada saat kejang

PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Bonam


Ad sanationam : Dubia Malam
Ad fungsionam : Dubia Bonam
DAFTAR RUJUKAN Kanhere S. 51
Sarosa G. 52
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG,
Tuttle DJ. 46
Hallberg B, Blennow M. 53
Hamrick S, Zimmermann A. 54
World Health Organization. 55
Shellhaas R. 56
Slaughter LA, Patel AD, Slaughter JL. 50

457
458
Gambar 15. Alogaritma tatalaksana kejang

4.12 Transient tachypnea of newborn (TTN)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TRANSIENT TACHYPNEA OF NEWBORN (TTN)


(ICD 10: P22.1)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

459
Tanggal DITETAPKAN KETUA PP IDAI
Panduan Terbit/Revisi
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada neonatus
yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas pada neonatus
adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya:
• Takipnea (frekuensi napas >60x/menit)
• Aktivitas otot pernapasan
• Napas cuping hidung
• Merintih (grunting)
• Sianosis
• Apnea

Tabel 6. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe

Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
Skor total 4-5: gawat napas sedang

DEFINISI Transient tachypnea of the newborn (TTN) merupakan


kondisi gangguan pernapasan yang bersifat sementara akibat
gangguan adaptasi paru namun jika tidak diatasi segera dapat
menyebabkan gangguan pernapasan yang berat.

460
ANAMNESIS Faktor risiko
• Seksio sesarea elektif
• Makrosomia
• Partus lama
• Laki-laki
• Ibu mendapatkan sedasi berlebihan
• Skor Apgar rendah (≤ 7 pada usia 1 menit)
• Skor Downe > 4
• Ibu dengan diabetes mellitus
• Kehamilan kurang bulan
• Riwayat asma pada keluarga (terutama Ibu)

PEMERIKSAAN • Neonatus biasanya hampir cukup bulan atau cukup bulan dan
FISIS mengalami kesulitan bernapas segera setelah lahir (>80
pernapasan/menit).
• Salah satu petanda penting dari TTN adalah perbaikan pada
neonatus, yang biasanya terjadi pada 48-72 jam setelah lahir.

PEMERIKSAAN • Pemeriksaan laboratorium:


PENUNJANG - Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
- Gas darah biasanya menunjukkan hipoksia ringan (fasilitas
lengkap) (ICD 9 CM: 89.65)

• Pemeriksaan radiologis
- Rontgen toraks : gambaran bisa bervariasi tetapi sering didapati
adanya garis perihilar (ellis damoiseau) dan kardiomegali ringan.
(ICD 9 CM:
87.44)
KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS Transient tachypnea of the newborn (TTN) (ICD 10: P22.1)
KERJA
DIAGNOSIS • Respiratory distress syndrome ( ICD 10: P22.0)
BANDING • Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01)
• Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)
• Pneumonia (ICD 10: P23.0)
TERAPI Self limiting disease, sehingga pengobatan yang ditujukan
biasanya hanya berupa pengobatan suportif, yaitu:
• CPAP (PEEP : 7 cmH2O)
• Suplementasi oksigen bila saturasi tidak mencapai target (90-
95%)
• Pemberian minum setelah hemodinamik stabil

PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko untuk
bayi mengalami problem neurodevelopmental akan meningkat.

461
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS, Kattwinkel J, Perlman
JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67

4.13 Respiratory distress syndrome (RDS)


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
(RDS)
(ICD 10: P22.0)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

Tanggal DITETAPKAN KETUA PP


Panduan Terbit/Revisi IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada
neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas
pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh
adanya:
• Takipnea (frekuensi napas >60x/menit)
• Aktivitas otot pernapasan
• Napas cuping hidung
• Merintih (grunting)
• Sianosis
• Apnea

462
Tabel 7. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor

Downe

Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan

Skor total 4-5: gawat napas sedang


Skor total ≥6 : gawat napas berat
DEFINISI Respiratory distress syndrome (RDS) merupakan
sindroma pernapasan pada bayi kurang bulan akibat imaturitas
stuktur dan fungsi paru-paru.

ANAMNESIS Faktor risiko


• Kelahiran kurang bulan
• Bayi laki-laki
• Seksio sesarea elektif
• Asfiksia perinatal
• Korioamnionitis
• Neonatus dari ibu diabetes
• Hydrops fetalis
• Perdarahan antepartum
• Kehamilan kembar
PEMERIKSAAN • Biasa ditemui pada bayi kurang bulan terutama ≤ 32
FISIS minggu beberapa saat setelah lahir hingga usia 24 jam
pertama.
• Adanya tanda kegawatan pernapasan

463
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan laboratorium
PENUNJANG - Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
- Kadar glukosa darah biasanya rendah (ICD 9 CM: 90.5)
- Ditemukan hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis dari analisis gas
darah (fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 89.65)
- Kultur darah dan urin untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi (fasilitas lengkap) ( ICD 9
CM: 90.52 dan 91.32)

• Pemerikaan radiologi
- Rontgen thoraks mengungkap kepadatan retikulogranular
bilateral dan air bronchogram.
(ICD 9 CM: 87.44)

KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan


DIAGNOSIS penunjang
DIAGNOSIS Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0)
KERJA
DIAGNOSIS • Transient tachypnea of the newborn (TTN) : (ICD 10:
BANDING P22.1)
• Meconium aspiration syndrome (ICD 10:
P24.01)
• Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)
• Pneumonia (ICD 10: P23.0)

TERAPI Umum
• CPAP dengan PEEP 7 cm H2O, PEEP dapat dinaikkan sampai
8 cm H2O bila pemberian suplementasi oksigen mencapai
40% untuk memenuhi target saturasi 90-95%.
• Dukungan dasar yaitu pengaturan suhu dan cairan
parenteral serta obat-obatan
(antibiotik) secara parenteral.
• Kafein diberikan segera setelah lahir. Bila kafein tidak
tersedia, dapat diberikan alternatif teofilin atau aminofilin.
• Terapi penggantian surfaktan

PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.

464
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67

4.14 Meconium aspiration syndrome (MAS)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

MECONIUM ASPIRATION SYNDROME


(MAS)
(ICD 10: P24.01)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

Tanggal DITETAPKAN KETUA PP


Panduan Terbit/Revisi IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada
neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas
pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya:
• Takipnea (frekuensi napas >60x/menit)
• Aktivitas otot pernapasan
• Napas cuping hidung
• Merintih (grunting)
• Sianosis
• Apnea

465
Tabel 8. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor

Downe

Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
Skor total 4-5: gawat napas sedang Skor total ≥6 :
gawat napas berat
DEFINISI Meconium aspiration syndrome (MAS) gawat napas
ini disebabkan oleh aspirasi mekonium saat intrauterin atau
selama proses persalinan. Mekonium yang teraspirasi dapat
menyebabkan sumbatan jalan napas dan reaksi inflamasi paru.

ANAMNESIS Faktor risiko


• Kehamilan lewat bulan/postmaturIbu dengan riwayat
hipertensi
• Gawat janin
• Preeklampsia
• Diabetes mellitus pada ibu
PEMERIKSAAN • Tercampurnya mekonium dalam cairan ketuban
FISIS • Adanya pewarnaan mekonium pada neonatus setelah lahir.
• Adanya tanda kegawatan pernapasan yang berat dan kadang
disertai PPHN

466
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan laboratorium
PENUNJANG - Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
- CRP (ICD 9 CM: 90.5)
- Analisis gas darah (fasilitas lengkap) (ICD 9
CM: 89.65)

• Pemeriksaan radiologis
- Rontgen dada : infiltrat kasar dan bisa asimetris, ada bagian
konsolidasi atau atelektasis, serta bagian hiperinflasi. (ICD 9 CM:
87.44)
KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
DIAGNOSIS penunjang
DIAGNOSIS Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01)
KERJA
DIAGNOSIS • Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0)
BANDING • Transient tachypnea of the newborn (TTN) : (ICD 10:
P22.1)
• Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)

• Pneumonia (ICD 10: P23.0)

467
TERAPI - Tatalaksana di ruang bersalin (jika cairan ketuban ternodai
mekonium)
• Penghisapan lendir atau mekonium mulai dari mulut
kemudian hidung dengan menggunakan penghisap lendir
ukuran besar (10-12Fr) bila bayi lahir tidak menangis sebelum
melakukan ventilasi tekanan positif
• Tata laksana bayi baru lahir di unit neonatus
Tata laksana umum
- Koreksi kelainan metabolik, yaitu hipoksia, asidosis,
hipoglikemia, hipokalsemia dan hipotermia
- Pemantauan kerusakan hipoksik/iskemik organ akhir
(otak, ginjal, jantung, dan hati)
- Cakupan antibiotik (ampisillin dan gentamisin)
Tata laksana kardiorespiratori
- Oksigenasi dan dukungan pernapasan sesuai
kebutuhan bayi
- Mempertahankan saturasi 90-95%
- Mengoreksi hipotensi sistemik
(hipovolemia, disfungsi miokard) -
Mempertahankan kadar PaCO2 antara 25 - 40 mmHg.
- Mencegah terjadinya PPHN

Tata laksana Lavage dengan surfaktan pada MAS (fasilitas


lengkap)

PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.

DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67

468
4.15 Pneumonia pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PNEUMONIA PADA NEONATUS


(ICD 10 : P28.4))

469
No. No. Revisi Halaman
UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

Tanggal DITETAPKAN KETUA PP


Panduan Terbit/Revisi IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada
neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas
pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh
adanya:
• Takipnea (frekuensi napas >60x/menit)
• Aktivitas otot pernapasan
• Napas cuping hidung
• Merintih (grunting)
• Sianosis
• Apnea

Tabel 9. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor

Downe

Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
Skor total 4-5: gawat napas sedang Skor total ≥6 :
gawat napas berat
DEFINISI Pneumonia adalah infeksi yang terjadi di jaringan paru yang
disebabkan oleh virus, bakteri atau jamur.

ANAMNESIS Faktor risiko


• Ada tanda-tanda infeksi bada bayi
• Bayi terpasang ventilator yang lama
• Ibu dengan korioamnionitis

PEMERIKSAAN • Dapat timbul pada beberapa hari pertama kehidupan


FISIS • Ada tanda-tanda kegawatan pernapasan

470
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
PENUNJANG • Pemeriksaan analisis gas darah dan kultur darah, CRP
(fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 89.65; 90.52 dan 90.5)
• Rontgen dada: temuan paling sering berupa infiltrat di
lapang paru yang terkena. (ICD 9 CM: 87.44)
• Kultur bakteri: sejumlah kasus pnemonia mungkin
memperlihatkan kultur negatif (ICD 9 CM: 90.52)

KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan


DIAGNOSIS penunjang
DIAGNOSIS Pneumonia pada neonatus (ICD 10: P23.0)
KERJA
DIAGNOSIS • Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0)
BANDING • Transient tachypnea of the newborn (TTN) : (ICD 10:
P22.1)
• Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01)
• Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)

TERAPI • Pada fasilitas terbatas, pemberian antibiotik secara empiris


selama 7 hari.
• Jika kultur negatif untuk pneumonia, pengobatan terdiri
dari ampisillin dan gentamisin parenteral selama 7 hari
(fasilitas lengkap).

• Jika biakan positif untuk pneumonia, pengobatan terdiri dari


antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur selama 10-14
hari tergantung jenis bakteri (fasilitas lengkap).

PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.

DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
471
4.16 Air leak syndrome

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

AIR LEAK SYNDROME


(ICD 10 : P25.1)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

Tanggal DITETAPKAN KETUA PP


Panduan Terbit/Revisi IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada
neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas
pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya:
• Takipnea (frekuensi napas >60x/menit)
• Aktivitas otot pernapasan
• Napas cuping hidung
• Merintih (grunting)
• Sianosis
• Apnea

472
Tabel 10. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor

Downe

Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan

Skor total 4-5: gawat napas sedang


Skor total ≥6 : gawat napas berat
DEFINISI Air leak syndrome atau sindrom kebocoran udara
(pneumomediastinum, pneumothorax, pulmonary
interstitial emphysema dan pneumopericardium). Akibat
pengembangan alveolar yang berlebihan sehingga mengganggu
integritas jalan napas dan menyebabkan penyebaran udara ke
rongga di sekelilingnya.

ANAMNESIS Faktor risiko


• Penggunaan ventilator
• Aspirasi mekonium
• Terapi surfaktan
• Riwayat resusitasi dengan VTP
PEMERIKSAAN • Bayi yang sebelumnya stabil, tiba-tiba mengalami gawat
FISIS pernapasan atau penurunan saturasi.
• Pengembangan dada yang asimetris disertai dengan suara
napas yang menurun

473
PEMERIKSAAN • Transiluminasi positif pada bagian yang terkena
PENUNJANG • Foto rontgen : ada gambaran lusen pada paru yang terkena.
Diagnosis pasti ditegakkan secara radiografis oleh foto rontgen
A-P dan lateral dada. (ICD 9 CM: 87.44)

KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan


DIAGNOSIS penunjang
DIAGNOSIS Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
KERJA
DIAGNOSIS • Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0)
BANDING • Transient tachypnea of the newborn (TTN) (ICD 10:
P22.1)
• Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)
• Pneumonia (ICD 10: P23.0)

TERAPI Umum
• Oksigenasi (mempertahankan saturasi 9095%)
• Pencegahan: Pada saat resusitasi, hindari pemberian VTP yang
berlebihan. Pemakaian dukungan ventilator secara hati-hati
dalam memberikan tekanan dan PEEP yang tinggi.

Spesifik
• Pungsi pleura untuk kondisi emergensi dan bila perlu dilakukan
WSD
PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.

DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67

474
4.17 Apnea of prematurity
PANDUAN PRAKTIK KLINIS

APNEA OF PREMATURITY
(ICD 10 : P28.4)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

Tanggal DITETAPKAN KETUA PP


Panduan Terbit/Revisi IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada
neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas
pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya:
• Takipnea (frekuensi napas >60x/menit)
• Aktivitas otot pernapasan
• Napas cuping hidung
• Merintih (grunting)
• Sianosis
• Apnea

475
Tabel 11. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor

Downe

Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan

Skor total 4-5: gawat napas sedang


Skor total ≥6 : gawat napas berat
DEFINISI Apnea of prematurity adala berhentinya pernapasan yang
disertai oleh bradikardia dan/atau sianosis selama lebih dari 20
detik.
ANAMNESIS Faktor risiko
- Hiponatremia
- Hipotermia
- Hipoglikemia
- Anemia
- Refluks gastro-esofageal (GER)
- Patent Ductus Arteriosus (PDA)
- Perdarahan intrakranial
- Penyumbatan saluran napas
- Infeksi susunan saraf pusat
PEMERIKSAAN Berhentinya napas disertai oleh bradikardia dan/atau sianosis
FISIS atau lebih dari 20 detik.

476
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan
PENUNJANG darah lengkap dan glukosa serum (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan elektrolit (ICD 9 CM: 90.5) dan analisis gas
darah (fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 86.65)
• Pemeriksaan radiologis harus mencakup rontgen dada (ICD 9
CM: 87.44)
• USG abdomen, USG kepala dan echocardiography (fasilitas
lengkap) (ICD 9 CM: 88.76; 88.71; 88.72)

KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan


DIAGNOSIS penunjang
DIAGNOSIS Apnea of prematurity (ICD 10 : P28.4)
KERJA
DIAGNOSIS • Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0)
BANDING • Transient tachypnea of the newborn (TTN) (ICD 10:
P22.1)
• Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01)
• Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)
• Pneumonia (ICD 10: P23.0)

TERAPI Umum
• Melakukan rangasangan taktil
• Gunakan nasal kanul low flow atau CPAP pada apnea
berulang dan tidak memberikan respon dengan
rangsangan taktil.
• Terapi farmakologis mungkin diperlukan pada apnea
kelahiran kurang bulan.
• Kafein diberikan segera setelah lahir. Bila kafein tidak
tersedia, dapat diberikan alternatif teofilin atau
aminofilin.
Memantau kadar teofilin

Spesifik
• Cari penyebab dan atasi.

PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.

477
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67

4.18 Terapi oksigen


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TERAPI OKSIGEN

No. Dokumen No. Revisi Halaman


UKK
Neonatologi
2018
Panduan Tanggal Terbit/Revisi DITETAPKAN
Praktik Klinis KETUA PP IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

478
PENDAHULUAN Percobaan pertama pembuktian bahwa oksigen itu tidak berwarna,
berbau, dan berasa dilakukan oleh Joseph Priestley dipublikasi
tahun 1774. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk menangani bayi-bayi yang lahir prematur, maka
pemberian oksigen dapat diberikan bersama dengan pemberian
udara atau oksigen 100%, bergantung pada kondisi bayi saat
resusitasi. Untuk bayi cukup bulan resusitasi diawali dengan FiO2
21% sedangkan bayi dengan usia gestasi kurang dari 35 minggu
diberikan FiO2 30%.

Pada tindakan resusitasi terutama pada kondisi bayi baru lahir


bernapas spontan dengan sianosis sentral persisten, perlu
diperhatikan pada pemberian oksigen. Tujuan pemberian oksigen
adalah menargetkan semirip mungkin saturasi oksigen bayi baru
lahir cukup bulan sehat, berapapun usia kehamilan bayinya.

Bayi baru lahir memiliki saturasi oksigen yang rendah dan


membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk mencapai kondisi
normal (85-95%). Setelah itu saturasi dikatakan normal apabila
saturasi mencapai lebih dari 88%, jika kurang dari itu bayi akan
membutuhkan oksigen.

Gambar 16. Peralatan untuk pemberian


oksigen

479
OKSIGEN Persediaan oksigen yang cukup harus tersedia setiap saat. Oksigen
diberikan dengan kecepatan aliran yang tertentu. Inkubator
memerlukan minimal 4-5 liters/menit; Botol air pada continuous
positive airway pressure (CPAP) memerlukan 5-10 liter/menit.
Masker oksigen pada wajah memerlukan 4 liter/menit dan sangat
penting bahwa nasal kateter atau prong mengalirkan 0,5 – 2
liter/menit oksigen kepada neonatus.

Kateter nasal merupakan cara paling efisien untuk mengirimkan


oksigen tetapi oksigennya harus dilembabkan karena gas kering akan
mengiritasi hidung dan dapat menyebabkan pendinginan.
Humidifier atau pelembab merupakan bagian ideal dari sistem ini
tetapi tidak mutlak diperlukan kecuali neonatus menerima oksigen
melalui sebuah kateter CPAP nasal atau selang endotrakeal.

Acuan pada suplementasi oksigen untuk resusitasi bayi baru lahir


dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Mulai pemberian dengan udara (oksigen 21%) pada bayi cukup
bulan atau FiO2 30% pada bayi usia gestasi kurang dari 35
minggu dan berikan oksigen sesuai kebutuhan.
2) Berikan oksigen 100% apabila:

• Saturasi oksigen masih di bawah 70% saat 5 menit atau


di bawah 90% saat usia 10 menit.
• Denyut jantung tidak meningkat di atas 100 x/menit
setelah 60 detik dilakukan ventilasi efektif.
• Mulai memberikan kompresi dada.
3) Fraksi oksigen disesuaikan dengan target yang diinginkan.

480
UDARA Untuk memiliki ketersediaan sumber udara bertekanan untuk
BERTEKANAN dicampurkan dengan oksigen 100% sangatlah penting karena dapat
memberikan konsentrasi oksigen kurang dari 100% yang diperlukan
oleh neonatus.

Harus diingat bahwa beberapa bayi dapat mencapai saturasi di atas


90% walaupun tanpa suplementasi oksigen. Terdapat beberapa
pilihan dalam pemberian oksigen, yaitu oksigen-udara dihubungkan
dengan Y-connector dan Oxygen concentrator (menghasilkan
oksigen 95%) atau oxygen cylinder (oksigen 100%) ditambah
dengan kompresor silinder/udara.

Untuk memperoleh konsentrasi fraksi oksigen yang diinginkan dapat


dilihat pada tabel dibawah ini:

Udara Bertekanan (liter/menit)


% kons. O2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

41 37 34 32 31 30 29 28
1
% % % % % % % %
Oksigen (liter/menit)

61 53 47 44 41 38 37 35 34
2
% % % % % % % % %
80 68 61 55 51 47 45 43 41 39
3
% % % % % % % % % %
84 74 66 61 56 52 50 47 45 44
4
% % % % % % % % % %
86 77 70 65 61 57 54 51 49 47
5
% % % % % % % % % %
88 80 74 68 64 61 57 54 53 51
6
% % % % % % % % % %
Oksigen (liter/menit.)

90 82 76 71 67 64 61 58 56 54
7
% % % % % % % % % %
91 84 78 74 70 66 63 61 58 56
8
% % % % % % % % % %
92 86 80 76 72 68 65 63 61 58
9
% % % % % % % % % %
1 93 87 82 77 74 70 67 65 63 61
0 % % % % % % % % % %

481
BMS merupakan alat resusitasi yang sering dipakai di fasilitas
terbatas maupun fasilitas lengkap. BMS dapat digunakan tanpa
sumber gas (pemberian FiO2 21% sama dengan udara ruangan). Bila
BMS disambungkan dengan sumber oksigen murni, fraksi oksigen
(FiO2) pada masker bergantung dengan campuran aliran oksigen dan
udara bebas yang masuk ke balon (bag) Contoh BMS adalah balon
volume 250 ml.

Gambar 17. Penggunaan BMS dengan atau tanpa reservoir

Studi menunjukkan BMS tanpa reservoir yang disambungkan dengan


sumber oksigen dapat memberikan oksigen sekitar 40% dan
memberikan oksigen 90- 100% bila dilengkapi dengan reservoir.

ANALYZER • Sebuah analyzer oksigen menentukan


OKSGIEN konsentrasi oksigen yang diberikan pada bayi.
• Analyzer ini harus dirawat secara rutin dan dikalibrasi dengan
benar. Setelah pengaturan kalibrasi harus dipasang sensor
analyzer di oxyhood di dekat hidung bayi untuk menentukan
konsentrasi yang paling tepat untuk diterima bayi

OXYHOOD • Oxyhood harus terbuat dari plastik bening, cukup besar untuk
menutupi kepala bayi dan masih memungkinkan bayi untuk
bergerak. Plastik harus keras dan padat sehingga oksigen/udara
tidak bocor atau bercampur dengan udara kamar.
• Harus dipasang termometer pada oxyhood. Suhu di dalam
oxyhood harus diatur dan dipertahankan di dalam kisaran
lingkungan bersuhu netral bayi untuk mencegah bayi menggigil
atau kepanasan.

• Penelitian Jatana dan kawan-kawan tahun 2007 menemukan bahwa


sebaiknya apabila menggunakan oxyhood yang paling kecil
dengan flow di atas 4 L/menit, untuk oxyhood sedang dan besar
dengan flow di atas 3 L/menit untuk mengurangi retensi CO2,
dan memberikan
maksimal flow 10 L/menit

482
MEMANASKAN • Harus tersedia mekanisme untuk memanaskan air yang akan
DAN digunakan untuk mengatur kelembaban.
MENGATUR • Air yang digunakan harus steril karena air ledeng mengandung
KELEMBAPAN organisme bakteri yang akan melipatgandakan diri dalam air
UDARA hangat.
• Kadar air harus dipertahankan pada kadar yang sesuai dan air
diganti dengan air steril baru setiap 24 jam.
• Penting pula untuk memiliki mekanisme untuk menghubungkan
sumber oksigen/udara dengan unit pemanas/pelembab dan
mempertahankan laju aliran kombinasi pada sekitar 4-5
liter/menit.
• Jika oksigen diberikan pada neonatus dengan flow 0,5-1 L/menit
dengan menggunakan kateter nasal atau nasal prong, tidak
diperlukan humidifikasi, sebaliknya oksigen diberikan dengan
flow lebih dari 4 L/menit melalui kateter nasal atau nasal prong
akan memerlukan humidifikasi

DAFTAR Prisetley. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad. 59
Bancalari. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk.61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 68
WHO. 69
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cumming JJ Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
Trevisanuto D, Cengio VD, Doglioni N, Cavallin F, Zanardo V, Parotto
M, dkk. 70

4.19 CPAP
PANDUAN PRAKTIK KLINIS

CONTINUOUS POSITIVE AIRWAY


PRESSURE (CPAP)

No. Revisi Halaman


No.
UKK Neonatologi 2018
Dokumen

483
Tanggal DITETAPKAN KETUA PP
Panduan Praktik Terbit/Revisi IDAI
Klinis
Ikatan Dokter Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Sesak napas pada bayi baru lahir adalah suatu kumpulan
gejala klinis berupa laju napas >60x/menit, retraksi
interkostal, retraksi supraklavikula, retraksi epigastrium,
napas cuping hidung, henti napas, sianosis, dan takikardia,
yang timbul akibat gangguan pertukaran gas di dalam paru-
paru bayi baru lahir. Insiden sesak napas pada bayi baru lahir
berkisar 6,7% dari total kelahiran. Sesak napas pada bayi
prematur menyumbang insiden tertinggi sekitar 30%, diikuti
bayi post matur 20,9%, dan terendah terjadi pada bayi cukup
bulan 4,2%. Berdasarkan etiologinya transient tachypnea
of newborn (TTN) merupakan penyebab tersering sesak
napas bayi baru lahir (42,7%), diikuti oleh sepsis neonatorum
(17,0%), sindrom aspirasi mekonium (10,7%), sindrom gawat
napas bayi baru lahir (9,3%), dan asfiksia neonatorum (3,3%).
Sesak napas merupakan masalah tersering dialami bayi, baik
prematur maupun cukup bulan, yang dirawat di neonatal
intensive care unit (NICU)

Kondisi sesak napas haruslah ditangani dengan seksama dan


sedini mungkin untuk mencegah komplikasi lebih lanjut,
bahkan kematian pada bayi. Stabilisasi neonatus yang

terdiri dari mencegah hipotermia, membuka jalan napas,


mempertahankan respirasi optimal dan menjaga sirkulasi
adekuat, serta mencegah hipoglikemia, haruslah dilakukan
pada semua kondisi sesak napas tanpa memandang
etiologinya. Tata laksana respirasi pada sesak napas bayi
baru lahir adalah pemberian tekanan jalan napas positif
berkelanjutan / Continous Positive Airway
Pressure (CPAP)

484
PRINSIP CPAP Tekanan jalan napas positif berkelanjutan(CPAP) akan
tercipta manakala terdapat aliran udara hangat nan lembab
mengalir melalui suatu sirkuit yang memiliki resistensi
tertentu. Berbagai cara untuk dapat menciptakan CPAP di
antaranya menggunakan mesin ventilator, sirkuit bubble
CPAP, T piece resuscitator atau balon tidak mengembang
sendiri. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan
sendiri-sendiri.

CPAP akan terhantarkan dengan baik ke jalan napas bayi


melalui suatu perantara (interface). Berbagai interface
yang dikenal antara lain sungkup, single nasal prong,
short bi nasal prong dan pharingeal prong.

Terdapat 2 tekanan saat bayi bernapas, yaitu tekanan puncak


inspirasi dan tekanan akhir ekspirasi/ positif end-
expiratory pressure (PEEP). Cara paling efektif
menciptakan CPAP adalah dengan memberikan PEEP adekuat
yang berkelanjutan sehingga tercipta kapasitas residual paru
yang optimal.

UKK Neonatologi Indonesia sepakat mulai memberikan PEEP


7 cmH2O, yang selanjutnya dilakukan penyesuaian. Jika bayi
masih mengalami sesak napas, maka tekanan dapat
ditingkatkan, jika sesak napas membaik, maka tekanan
dikurangi 1 cmH2O. PEEP maksimal adalah 8 cmH2O
sementara PEEP minimal adalah 5 cmH2O.

DEFINISI Continuous positive airway pressure (CPAP)


merupakan suatu metode untuk mempertahankan tekanan
positif pada saluran napas neonatus selama pernapasan
spontan.
EFEK • Mencegah kolapsnya alveoli dan atelektasis
FISIOLOGIS • Mendapatkan volume yang lebih baik dengan
CPAP meningkatkan kapasitas residu fungsional
• Memberikan kesesuaian perfusi ventilasi yang lebih baik
dengan menurunkan pirau intrapulmonar
• Mempertahankan surfaktan
• Meningkatkan kompliance paru
• Mempertahankan diameter jalan napas tetap sehingga
menurunkan resistensi jalan napas
• Menurunkan usaha napas

485
GANGGUAN YANG Bayi yang mendapatkan manfaat dari CPAP nasal adalah:
DAPAT DIATASI • Bayi kurang bulan dengan RDS
CPAP NASAL • Bayi dengan TTN (transient tachypnea of the
newborn)
• Bayi dengan sindroma aspirasi mekonium
• Bayi yang sering mengalami apnea
obstruktif
• Pasca ekstubasi dan lepas dari tunjangan ventilator
• Bayi dengan penyakit jalan napas seperti trakeomalasia
dan bronkiolitis
• Bayi pasca operasi abdomen atau dada

KRITERIA MEMULAI Semua bayi, cukup bulan atau kurang bulan, yang
CPAP NASAL menunjukkan SALAH SATU gejala berikut ini harus
dipertimbangkan untuk menggunakan CPAP
• Frekuensi napas >60 x/mnt
• “Merintih (grunting)” dalam derajat sedang
sampai parah
• Retraksi dinding dada
• Napas cuping hidung
• Desaturasi/ Saturasi oksigen <93%
(preduktal)
• Sering mengalami apnea obstruktif
• Pasca ekstubasi dan lepas dari tunjangan ventilator
mekanik apabila diperlukan

• Bayi ekstrim prematur yang bernapas spontan < 28 minggu


atau kurang dari 1000 gram (early CPAP)

KONTRAINDIKASI • Apnea sentral


PEMASANGAN CPAP • Hernia diafragmatika
• Atresia koana
• Fistula trakheoesophageal
• Gastroschisis
• Pneumothorax tanpa chest drain
• Trauma pada nasal, yang kemungkinan dapat memburuk
dengan pemasangan nasal prong
• Instabilitas kardiovaskuler berat

486
KOMPONEN CPAP Sistem CPAP yang umum digunakan adalah terdiri dari tiga
komponen
1. Sebuah sirkuit yang mengalirkan gas terus menerus yang
terdiri atas :
a. Sumber gas oksigen (100%) dan udara bertekanan
(21%) menghasilkan gas dengan konsentrasi oksigen
(FiO2) tertentu.
b. Sebuah flow meter mengontrol kecepatan aliran
terus-menerus dari gas yang dihirup (biasanya
dipertahankan pada kecepatan 5-10 L/menit).
c. Sebuah humidifier menghangatkan dan
melembabkan gas yang dihirup agar mengandung uap
air 44 mg/L dan bersuhu 37 C.
d. Sirkuit inspirasi yang didalamnya terdapat
heated wire sehingga gas yang dihantarkan dari
humidifier tidak kehilangan suhu dan
kelembabannya
e. Sirkuit ekspirasi yang dilengkapi dengan (water
trap)
2. Sebuah alat untuk menghubungkan sirkuit ke saluran
napas neonatus (interface). Untuk tujuan dalam prosedur
ini, Short binasal prong merupakan metode yang lebih
disukai
3. Sebuah alat untuk menghasilkan tekanan positif pada alat
sirkuit. Tekanan positif dalam sirkuit dapat dicapai
dengan memasukkan pipa ekspirasi bagian distal

dalam air sampai kedalaman yang diharapkan (Bubble


CPAP).

487
MATERI UNIT CPAP Sirkuit CPAP lengkap harus dirangkai sebelum dipergunakan.
Jika bayi memerlukan CPAP. Unit CPAP memerlukan
perlengkapan berikut:
• Sumber aliran oksigen dan udara
• Pencampur Oksigen dengan flow meter
• Pipa dari flow meter ke alat pengatur kelembaban
• Humidifier
• Pipa sirkuit berkerut dengan sambungan ke alat pengatur
kelembaban
• Peralatan kateter nasal (terdiri dari nasal prongs, topi
dan Velcro)
• Prong yang ukurannya tepat harus sesuai dengan ukuran
lubang hidung tanpa menekan septum. Jika prong terlalu
kecil, akan ada peningkatan resistensi udara yang tidak
perlu dan udara keluar dari sekitar prong dan sulit untuk
mempertahankan tekanan yang sesuai. Prong yang terlalu
kecil atau terlalu besar bisa merusak selaput lendir dan
septum lecet. Pedoman umum ukuran prong yang tepat
adalah
- Ukuran 2 untuk berat 1000-2000 g
- Ukuran 3 untuk berat 2000-3000 g
- Ukuran 4 untuk berat 3000-4000 g
- Ukuran 5 untuk berat > 4000 g
• Pita pengukur
• Plester hydroksikoloid untuk mencegah trauma hidung
• Tabung yang berisi air steril dengan kedalaman terntentu.

CARA PEMASANGAN 1. Tempelkan selang oksigen dan udara ke pencampur dan


CPAP flow meter lalu hubungkan ke alat pengatur
kelembaban. Pasang flow meter antara 5-10 liter/mnt.
2. Tempelkan satu selang ringan, lemas dan berkerut ke alat
pengatur kelembaban.

488
Hubungkan probe kelembaban dan suhu ke selang kerut
yang masuk ke bayi. Pastikan probe suhu tetap di luar
inkubator atau tidak di dekat sumber panas radian.
3. Jaga kebersihan ujung selang kerut yang lain dan ditutup.
4. Tentukan tekanan CPAP dengan mengatur kedalaman pipa
sesuai dengan PEEP yang diinginkan.

Cuci tangan yang benar sebelum menyentuh prong atau pipa


CPAP bayi adalah suatu keharusan. Sarung tangan steril harus
digunakan saat mengisap lendir jalan napas. Pencegahan dan
pengendalian infeksi merupakan faktor penting untuk
kelangsungan hidup bayi dan tata laksana paru

KARAKTERISTIK • Pipa yang fleksibel dan ringan sehingga pasien bisa


SISTEM CPAP YANG mengubah posisi dengan mudah.
BAIK • Mudah ditempel dan dilepas
• Resistensinya rendah sehingga pasien bisa bernapas
dengan spontan
• Relatif tidak invasif
• Sederhana dan mudah dipahami oleh semua pemakai
• Aman dan efektif dari segi biaya

PENGGUNAAN CPAP Mempersiapkan sistem


• Hubungkan alat pencampur ke FiO2 yang sesuai.
• Nyalakan flow meter ke angka antara 5-10 liter/mnt.
• Isi pipa untuk melembabkan dengan air steril sampai
batas yang telah ditentukan, nyalakan alat pengatur
kelembaban dan sesuaikan kelembabannya sehingga
kekentalan sekresi bisa terjaga dan insensible water
loss bisa dihindari. Atur suhu pada 37oC.
• Pilih ukuran prong yang benar dan hubungkan dengan
ujung selang kerut yang bebas.

489
• Tutup ujung prong nasal untuk menguji fungsi sirkuit.
Amati gelembung yang muncul di permukaan air.
Menghubungkan sistem ini dengan bayi
• Posisikan bayi dan naikkan bagian kepala tempat tidur
30°.
• Hisap lendir dari mulut, hidung dan faring dengan
lembut. Gunakan kateter ukuran besar yang bisa masuk
ke hidung tanpa kesulitan yang berarti. Pastikan bahwa
bayi tidak mengalami atresia koana.
• Letakkan gulungan kecil di bawah leher/bahu bayi.
Sedikit ekstensi leher untuk menjaga jalan napas tetap
terbuka.
• Lembabkan prong dengan air steril atau tetesan NaCl
0,9% sebelum memasukkannya ke dalam hidung bayi,
dengan lengkungan ke bawah. Sesuaikan sudut prong
dan kemudian putar selang kerut hingga dicapai posisi
yang benar. Untuk memastikan posisi yang tepat,
periksa
a. Lubang hidung tertutup sama sekali oleh prong.
b. Kulit hidung tidak tertarik yang terlihat dari
pucatnya warna kulit di sekitar tepi lubang hidung.
c. Selang kerut tidak menyentuh kulit bayi.
d. Tidak ada tekanan lateral pada septum.
e. Ada sedikit ruang antara ujung septum dan bridge
di antara prong.
f. Prong tidak bersandar pada filtrum.

• Masukkan pipa orogastrik dan lakukan aspirasi isi perut.


Anda bisa membiarkan pipa di tempatnya untuk
menghindari distensi lambung.
• Gunakan ukuran topi yang sesuai dan lipat ujungnya 2-3
cm. Pasang topi di kepala bayi sehingga ujungnya tepat
di atas telinga. Atur selang kerut di sebelah kepala.
Pasang

490
peniti di tiap sisi selang. Gunakan gelang karet di sekitar
peniti dan di atas selang kerut untuk
mencegahpergeseran atau berpindahnya peralatan ini.
• Setelah bayi distabilisasi menggunakan CPAP, anda bisa
memasang “moustache” Velcro agar prong tidak
bergeser dari posisinya. Bersihkan pipi dan bibir atas bayi
dengan air dan biarkan kering.Potong plester
hydroxycolloid dan pasang tepat di atas area yang sudah
disiapkan. Potong Velcro dan pasang tepat di atas
hydroxycolloid. Potong dua strip Velcro lunak (lebar 8
mm) dan pasang melingkar area prong yang menutupi
pipi. Tekan kanula prong dengan lembut hingga Velcro
strip yang lunak menempel ke antara bibir dan hidung

MEMPERTAHANKAN Sistem CPAP melalui hidung bayi harus diperiksa setiap 2-4
CPAP NASAL jam
• Respirasi: frekuensi napas, merintih (grunting),
retraksi dan cuping hidung kembang kempis dan suara
napas
• Suhu: ukur dengan cermat. Alat pengatur kelembaban
mempengaruhi suhu tubuh bayi.
• Kardiovaskuler: perfusi sentral dan perifer, tekanan
darah dan auskultasi
• Neurologis: tonus, respon terhadap stimulasi dan
kegiatan
• Gastrointestinal: distensi abdomen, visible loops
dan bising usus
• Teknis: probe saturasi oksigen pre-duktal dan pemantau
kardiopulmonal

- Pengisap lendir rongga hidung, mulut, faring dan perut


setiap 2-4 jam dan sesuai kebutuhan. Meningkatnya
upaya napas, meningkatnya kebutuhan oksigen dan
insiden apnea/bradikardi mungkin merupakan indikasi
untuk melakukan pengisapan lendir. Gunakan kateter
ukuran paling besar yang bisa masuk ke hidung tanpa
kesulitan yang berarti (ukuran 6 tidak cocok untuk
pengisapan lendir hidung).

491
Catat jumlah, konsistensi dan warna sekresi. Untuk
melunakkan sekresi kental dan kering, gunakan beberapa
tetes salin steril (Nacl) 0,9%.

• Periksa fungsi seluruh sistem CPAP


- Apakah alat pencampur diatur pada persentasi yang
sesuai?
- Apakah flow meter diatur antara 5-10 liter/menit?
- Apakah alat pengatur kelembaban berisi jumlah air yang
benar?
- Apakah suhu gas yang dihirup sudah tepat? - Apakah
selang kerut tidak terisi air?
- Apakah ujung pipa di botol outlet ada pada tanda 5 cm?
- Apakah permukaan asam asetat ada pada tanda 0 cm?
- Apakah botol outlet terlihat ada gelembungnya?
- Jaga jangan sampai kanula CPAP menyentuh septum nasal
SEKALIPUN
- Ubah posisi bayi setiap 4-6 jam untuk drainase postur
semua sekresi paru

MENGHENTIKAN Setelah CPAP dipasang, bayi bisa bernapas dengan mudah


PEMAKIAN CPAP dan terlihat penurunan frekuensi napas dan retraksi. FiO 2
harus diturunan secara bertahap 2-5% dengan dipandu
“pulse oxymeter” atau hasil gas darah. Kebutuhan
FiO2 biasanya turun menjadi 25% atau udara ruangan.

Jika bayi sudah nyaman bernapas dengan CPAP dan FiO 2 21%
maka harus dicoba untuk melepaskannya dari CPAP. Prong
nasal harus dilepas dari corrugated tubing saat selang
masih di tempatnya. Bayi harus dinilai selama percobaan ini
apakah mengalami takipnea, retraksi, desaturasi oksigen,
atau apnea. Jika tanda tersebut timbul, percobaan dianggap
gagal. CPAP harus segera dipasang lagi pada bayi paling
sedikit satu hari sebelum dicoba lagi di hari berikutnya.

492
Tidak dianjurkan menurunkan tekanan < 5 cmH2O selama
penyapihan karena bahaya atelektasis paru. Bayi
menggunakan CPAP 5 cm atau sama sekali lepas dari CPAP.

Jika ada keraguan terganggunya pernapasan selama proses


penyapihan, JANGAN disapih. Lebih baik diantisipasi
sebelumnya dan mencegah kolaps paru daripada
menatalaksana paru yang kolap

KOMPLIKASI CPAP • Cedera pada hidung, seperti erosi pada septal nasi, dan
nasal snubbing
• Pneumothoraks
• Impedasi aliran darah paru
• Distensi abdomen
• Nasal prong atau masker pada CPAP dapat menyebabkan
bayi tidak nyaman yang menyebabkan agitasi dan
kesulitan tidur pada bayi

PEMBERIAN MINUM CPAP nasal bukan merupakan kontraindikasi pemberian


DENGAN CPAP asupan enteral. Mungkin perlu melakukan aspirasi udara
yang berlebihan dari dalam perut sebelum pemberian
asupan. Jika stabil secara klinis, bayi dengan CPAP dapat
menetek atau minum melalui sonde, atau diberikan secara
drip terus menerus.

INDIKASI Bayi dengan CPAP nasal dengan tekanan yang optimal akan
VENTILASI memerlukan ventilasi mekanis jika terjadi hal berikut:
MEKANIS • FiO2 > 40 %, PEEP 8
• PaCO2 > 60 mmHg
• Asidosis metabolik menetap dengan defisit basa >
-8
• Terlihat retraksi yang nyata saat dilakukan CPAP
• Sering mengalami apnea dan
bradikardi

Sebelum memulai ventilasi mekanis, periksa:


- Apakah sistem CPAP berfungsi lancar dan menempel
di hidung bayi?
- Bagaimana bayi secara klinis? Jika terlihat baik, ulangi
gas darah untuk menyisihkan kemungkinan
kesalahan pemeriksaan laboratorium.

493
PEMECAHAN Tidak ada gelembung di botol
MASALAH SECARA Hal ini karena ada kebocoran udara di suatu tempat di sirkuit.
CEPAT SELAMA Lepaskan prong dari hidung dan lakukan oklusi. Jika sistem
CPAP menimbulkan gelembung, berarti ukuran prong, tidak tepat
(mungkin terlalu kecil), atau lengkungannya tidak tepat di
dalam hidung, atau tidak pas ukurannya. Kadang-kadang
dengan bayi hanya membuka mulut, sistem akan berhenti
menimbulkan gelembung. Hal ini dapat dikoreksi dengan
menempatkan ‘strip dagu.’

Jika botol tidak menimbulkan gelembung, hal ini berarti


bahwa masalah ada di dalam sirkuit. Periksa setiap
komponen dalam sirkuit secara sistematis.

Prong tidak tetap di tempatnya.


Periksa yang berikut ini:
- Apakah anda menggunakan prong dengan ukuran
yang tepat?
- Apakah topinya pas di kepala bayi?
- Apakah corrugated tubing ditempelkan dengan
benar kedua sisi topi dan pada sudut yang tepat
dengan prong?
- Apakah Velcro moustache perlu diganti?

Bayi tidak tenang


- Periksa sekresi jalan napas.
- Gunakan dot dan bungkus bayi.
- Aspirasi gas yang berlebihan dari perut (jika perlu).

Kerusakan septum nasal


Kerusakan karena tekanan terus menerus dan/atau friksi
dengan septum nasal.
Pencegahan merupakan strategi kunci.
- Gunakan prong yang ukurannya tepat.
- Pasang prong dengan tepat dan topi yang ukurannya
sesuai, peniti yang ditempatkan dengan tepat dan
gelang karet pada corrugated tubing.
- Gunakan Velcro moustache jika perlu.

- Bridge of the prongs tidak boleh menyentuh


septum nasal SATU KALI PUN.
- Hindari memelintir prong karena akan menekan
bagian lateral septum.
Jangan gunakan gel, krem, atau salep untuk melembabkan
hidung (hanya NaCl 0,9% atau aqua steril).

DAFTAR RUJUKAN Wu, S. 71


494
Kattwinkel J. 72
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 68
Spitzer AR, Clardk RH. 73
Gregory GA, Kitterman JA, Phibbs Rh, Tooley WH, Hamilton
WK. 74
Sandri F, Ancora G, Lanzoni A, Tagliabue P,
Colnaghi M, Ventura M , dkk. 75
Subramaniam P, Ho JJ, Davis PG. 76

4.20 Ventilasi invasif


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

VENTILASI INVASIF

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP


Panduan Praktik IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

495
PENDAHULUAN Saat bayi lahir dan sebelumnya mengalami hipoksia perinatal,
didapatkan gambaran bayi bernapas cepat dan bila berlangsung
lama bayi bisa mengalami apne. Apne yang terjadi bisa apne
primer atau apne sekunder

Pada bayi setelah upaya langkah awal tetap tidak timbul nafas
spontan, VTP harus segera diberikan, dan dilanjutkan alat bantu
napas ventilasi invasif bila bayi tetap tidak ada nafas spontan.

PRINSIP Prinsip Ventilasi invasif adalah membuka paru dengan


VENTILASI memberikan bantuan nafas secara aktif melalui ETT dengan
INVASIF tujuan untuk meningkatkan hipoksemia (PaO2) dan eliminasi CO2
(PaCO2) yang berlebihan dengan target saturasi O2 berkisar
antara 90-95% serta tercapainya PaO2 60-80 mmHg dan PaCO2
35-45/50 mmHg (pada bayi prematur)

EFEK FISIOLOGIS • Mencegah kolapsnya alveoli dan atelektasis


• Mendapatkan volume yang lebih baik dengan meningkatkan
kapasitas residu fungsional
• Memberikan kesesuaian perfusi ventilasi yang lebih baik
dengan menurunkan pirau intrapulmonar
• Mempertahankan surfaktan

• Mempertahankan jalan napas dan meningkatkan


diameternya
INDIKASI Bila memenuhi salah satu dari gejala berikut dibawah ini:
1. Apne-bradikardia-desaturasi akibat prematuritas yang
tidak membaik dengan CPAP
2. Gagal CPAP
3. Sianosis menetap meski bayi mendapat CPAP atau NIPPV
4. Hasil analisis gas darah pH < 7,25, pO2 < 40 mmHG, pCO2
> 60 mmHg, dan saturasi oksigen < 90% dengan atau
disertai asidosis metabolik berat dengan defisit basa > -8.
5. Gangguan sirkulasi yang berat

KONDISI KHUSUS - Bayi dengan kelumpuhan diafragma


YANG - Bayi dalam kondisi khusus seperti: atresia koana, hernia
MEMERLUKAN diafragmatika, hidrops fetalis
DUKUNGAN - Bayi tanpa nafas spontan akibat pengaruh obat anestesi (birth
VENTILASI depression, bayi pasca operasi)
INVASIF
KONTRAINDIKASI Bayi dengan kelainan kromosom letal (seperti trisomi 13, 18)

496
UNIT VENTILASI Sirkuit pernafasan Ventilasi invasif harus digunakan secara
INVASIF disposable, dirangkai dan siap digunakan SETIAP SAAT.
Humidifier harus berfungsi
Unit ventilasi invasif memerlukan perlengkapan berikut:
• Sumber aliran Oksigen dan udara
• Pencampur Oksigen dengan flow meter
• Humidifier
• Pipa sirkuit berkerut dengan sambungan ke alat
pengatur kelembaban
• ETT yang sudah terpasang saat bayi
terintubasi sesuai dengan berat bayi

FAKTOR YANG 1. Pulmonary mechanics


MEMENGARUHI Fungsi mekanik paru akan menentukan interaksi ventilator
VENTILASI dan bayi. Adanya pressure gradient mengakibatkan
INVASIF pengembangan alveoli dan berubahnya volume tidal.
Pressure gradient dibutuhkan untuk mendapatkan
ventilasi adekuat dan sebagian besar akan ditentukan oleh
resistensi dan komplain paru.

497
2. Komplain paru merupakan elastisitas paru dan dinding dada.
Merupakan perubahan volume paru.

Komplains paru = ∆ volume


∆ tekanan

Bayi dengan paru normal = 3-5 mL/cmH2O


/kg
Bayi dengan RDS = 0.1 to 1 mL/cmH2O/kg

3. Resistensi
Menggambarkan kemampuan konduksi gas dari bagian
sistem respirasi (paru dan dinding dada) untuk menahan
aliran udara.

Resistensi paru = ∆ tekanan


∆ flow

Bayi dengan paru normal = 25-50


cmH2O/L/detik.
Resistensi paru ditentukan oleh:
• Karakteristik airway : panjang, diameter, karakteristik
cabang dan permukaan paru
• Tipe aliran/flow (laminar atau turbulen)
Normal resistensi paru antara 20-30
cmH2O/L/detik

4.Time constant
Pengukuran waktu penting pada tekanan di alveolar (volume)
untuk mencapai 63% perubahan pada tekanan jalan napas
(atau volume).

Time constant = komplain x resistensi

Contoh:
Komplain paru 2 mL/cmH2O dan resistensi
paru 40 cm H2O/L/detik
Time constant = 0.002 L/cmH2O x 40
cmH2O/L/detik = 0,080 detik

498
Durasi inspirasi atau ekspirasi setara dengan 3-5 time constant
yang dibutuhkan untuk inspirasi atau ekspirasi penuh.
Lamanya inspirasi dan ekspirasi berkisar 0,35-0,5 detik.

Time constant akan menjadi:


Lebih pendek jika komplain paru menurun (misalnya bayi RDS)
atau resistensi meningkat Lebih panjang jika komplain tinggi (bayi
besar dengan paru normal) atau resistensi tinggi (bayi dengan
penyakit paru kronik)

Gambar 18. Inspirasi pendek saat pertukaran gas77

Gambar 19. Akibat waktu ekspirasi terlalu pendek77

5.Hipoksemia
a. Ventilation–perfusion (V/Q) mismatch
- Merupakan penyebab terpenting hipoksemia pada
bayi baru lahir
- Pemberian oksigen dalam jumlah besar akibat
hipoksemia hasil dari V/Q mismatch

499
b. Shunt
– Merupakan penyebab hipoksemia pada bayi baru
lahir
- Shunt mungkin fisiologis, intrakardiak ( seperti PPHN,
penyakit jantung kongenital sianotik), atau paru
(contoh atelektasis)
- Jika V/Q = 0 dan suplemental oksigen tidak dapat
memperbaiki hipoksemia.
c. Hipoventilasi
- Akibat menurunnya VT atau frekuensi napas
- Akibat rendahnya V/Q dan pemberian suplemental
oksigen dapat mengatasi hipoksemia dengan mudah
- Penyebab hipoventilasi : depresi drive pernapasan,
lemahnya otot-otot pernapasan, penyakit paru
restriktif, dan obstruksi jalan napas.
d. Proses difusi yang terganggu
- Terjadi pada bayi dengan problem keterbatasan difusi
yang sering disebabkan problem primer paru atau
proses pirau dari kanan ke kiri (misalnya pada bayi
dengan PPHN)
- Untuk meningkatkan hipoksemia dapat diperbaiki
dengan cara meningkatkan beberapa hal yang dapat
meningkatkan MAP dan konsentrasi oksigen.

Gambar 20. Oksigenasi selama dibantu ventilasi invasif77

500
6. Hiperkapnia
Terjadi pada V/Q mismatch, shunt, hipoventilasi dan
meningkatnya ruang mati fisiologis (physiologic dead
space)

Gambar 21. Eliminasi CO2 selama dibantu ventilasi invasif77


PARAMETER 1. FiO2 (konsentrasi oksigen)
VENTILASI • Bergantung pada konsentrasi oksigen di arteri dan saturasi
INVASIF pada oksimetri
• O2 di arteri 60-80 mmHg
• Saturasi O2 90-95%
• Jika FiO2 > 40% oksigen menjadi toksik pada paru
• Jika saturasi oksigen rendah dan membutuhkan FiO2 lebih
tinggi, MAP dapat dinaikkan dengan :
- Menaikkan PEEP
- Menurunkan waktu ekspirasi
- Menaikkan waktu inspirasi
- Menaikkan PIP
- Menaikkan flow udara

2. Waktu
• Waktu inspirasi /Inspiration time (IT): waktu yang
dibutuhkan untuk paru menghisap udara masuk paru-paru
• Waktu ekspirasi/Expiration time (ET): waktu yang
dibutuhkan paru untuk mengeluarkan gas CO2

501
• IT and ET bergantung pada kondisi paru
• Normal IT 0,35 – 0,5, dengan I: E = 1:2
• Untuk meningkatkan IT : rekrut alveolus, meningkatkan
MAP, meningkatkan menit ventilasi, dan meningkatkan
oksigen

3. Rate (frekuensi)
• Laju pernapasan dalam 1 menit normal 4060 x/menit
• Laju pernapasan = 60 detik/ (IT+ET)
• Minute Volume (Ve)
- Laju pernapasan x VT
- Menentukan tingkat ekskresi CO2 paruparu
- Tidak memengaruhi oksigenasi
- Meningkatkan rate → meningkatkan Ve
→ menurukan PaCO2

4.PIP, akan ditinggikan dengan:


• Meningkatkan PaO2 (meningkatkan ambilan oksigen)
• Menurunkan PaCO2 (meningkatkan ekskresi CO2, CO2 di
arteri menurun)
• Meningkatkan MAP (tekanan jalan napas)
• Meningkatkan VT

5. PEEP
• Tekanan yang dipertahankan untuk mempertahankan
paru terbuka selama ekspirasi biasanya PEEP 5-6 cmH2O
• Jangan menggunakan PEEP di bawah 3 cmH2O →
atelektasis
• PEEP dapat meningkatkan paru yang terekrut

• Rekrut alveolus tetap dijaga terbuka dengan tekanan yang


diberikan
• PEEP dapat meningkatkan MAP dan O2

502
MODUS • AC (assist control ventilation) napas bayi diambil alih
VENTILASI seluruhnya oleh ventilator
INVASIF • SIMV (synchronized intermittent mandatory ventilation),
ventilator hanya membantu tergantung frekuensi pernafasan
ventilator yang diatur
• Pada modus tambahan volume guarantee maka harus di set
volume tidal

MONITORING • Pengembangan dada


• Suara nafas (apakah ada, simetris)
• Saturasi oksigen, AGD (Pada RS dengan fasilitas lengkap)
• Denyut jantung
• Tekanan darah
• Work of breathing (retraksi, mnapas cuping hidung,
takipneu, dan lain-lain

KOMPLIKASI • Udem laring, trauma mukosa trakea, kontaminasi saluran


VENTILASI napas bawah, kehilangan fungsi humidifikasi saluran napas
INVASIF atas
• ventilator menginduksi injury pada paru (VILI), barotrauma,
intoksikasi oksigen ventilatory associated pneumoniae,
• Komplikasi kardiovaskular: menurunkan venous return,
menurunkan cardiac output (CO), hipotensi
• Komplikasi ginjal: menurunkan urin output, meningkatkan
antidiuretik hormon (ADH), dan menurunkan atrial
natriuretic peptide (NAP)
• Komplikasi neuromuskular: kurang tidur, meningkatkan
tekanan intrakranial, dan critical illness weakness.
• Komplikasi asam-basa: asidosis respiratorik dan alkalosis
respiratorik

KEPUTUSAN 1.Weaning secepatnya


WEANING DARI
2. Indikasi weaning:
VENTILASI
INVASIF a.PIP atau working pressure 18 cm H2O (pada bayi cukup
bulan)

503
b.FiO2 < 40%
c.Respiratory Rate (RR) ≤ 30 x/mnt
3. Weaning dilakukan pada setting ventilasi mekanik yang
berpotensi menimbulkan
trauma paru (PIP, VT, dan FiO2)
4. Tahapan weaning:
- Setting AC mode dengan VG: turunkan VT secara bertahap.
Tidak diturunkan PIP.
- Setting AC mode tanpa VG: turunkan PIP
- Ubah AC mode ke SIMV mode bila VT sudah minimal sekitar
3,5-4 ml/kg BB (pada AC-VG).
- atau bila:
a.PIP 18 cmH2O
b.FiO2 < 40 %
c. PaCO2 tercapai (sesuai kasus: RDS=45-55, PPHN= 25-45, atau
BPD= 50-55)
- Setting SIMV: turunkan bertahap rate dan ekstubasi ke N-IPPV
atau N-CPAP bila rate dapat mencapai 20x/menit

DAFTAR RUJUKAN Hess DR dan MacIntyre NR.78


Donn SM dan Sinha SK. 79
Al Hazzani FN, Al Alaiyan S, Al Hussein K, Al Saedi
S, Al Faleh H, Al Harbi F, dkk. 80
Carlo WA dan Ambalavanan N. 77

4.21 Bayi kurang bulan dan PJT

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

BAYI BERAT LAHIR RENDAH


(BAYI KURANG BULAN DAN
PERTUMBUHAN JANIN TERHAMBAT)
(ICD 10: P05.0; P07.0)

504
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik Terbit/Revisi PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
DEFINISI Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi
dengan berat lahir kurang dari 2.500 gram tanpa
memandang usia gestasi.

Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR)


digunakan untuk berat lahir kurang dari
1.500 gram

Bayi Berat Lahir Amat Sangat rendah


(BBLASR) digunakan untuk berat lahir kurang dari
1.000 gram.

Bayi berat lahir rendah mungkin disebabkan oleh:


Kurang bulan (usia kehamilan kurang dari 37 minggu
(<259 hari)
Pertumbuhan janin terhambat (di bawah persentil
ke-10) Keduanya

Pertumbuhan janin terhambat (PJT) adalah


bayi yang lahir dengan tampilan klinis malnutrisi, karena
mengalami hambatan pertumbuhan intrauterin disertai
Doppler arus darah yang tidak normal atau volume
amnion yang berkurang. Untuk

menilai hal tersebut perlu menghitung rasio berat dibagi


panjang badan, yang dikenal dengan indeks Ponderal.

505
PENYEBAB Penyebab Kelahiran Kurang Bulan
Janin
Gawat janin
Kehamilan kembar
Eritroblastosis
Hydrops non imun
Plasenta
Plasenta previa
Solusio plasenta Uterus
Uterus bikornus
Inkompetensia Serviks
Maternal
Preeklampsia
Penyakit kronis (contohnya penyakit jantung
sianotik)
Infeksi (misalnya Listeria monositogen, infeksi
saluran kemih)
Penyalahgunaan obat
Lain-Lain
Ketuban pecah dini
Polihidramnion
Iatrogenik

Penyebab PJT
Faktor janin
Berbagai faktor genetik
Berbagai kelainan kromosom, misalnya trisomi 13,
18 dan 21
Kelainan bawaan misalnya anensefali, atresia
gastrointestinal dan sindrom Potter
Infeksi bawaan seperti rubellaatau citomegalovirus
(CMV)
Penyakit metabolisme saat lahir seperti
galaktosemia dan
fenilketonuria

Faktor Maternal
Preeklampsia dan eklampsia
Penyakit renovaskuler kronis

506
Penyakit vaskuler hipertensi dalam kehamilan dan
kronis
Penyakit infeksi
Malnutrisi
Ibu perokok
Hipoksemia maternal terkait dengan penyakit
jantung kongenital tipe sianotik dan anemia bulan
sabit (
sickle cell anemia )
Faktor maternal lain seperti status sosio ekonomi
yang rendah, usia ibu yang muda, ibu yang
pendek, anak pertama, mutiparitas usia tua, dan
penyalahgunaan obat.

Faktor Plasenta
Insufisiensi plasenta akibat kelainan maternal
seperti preeklampsia dan eklampsia atau akibat
kehamilan lewat waktu.
Kelainan insersi plasenta, seperti plasenta previa
dan plasenta akretaperkreta
Berbagai masalah anatomis seperti infark multipel,
iskemik, trombosis vaskuler umbilikal dan
hemangioma
Kehamilan kembar mungkin terkait dengan masalah
plasenta bermakna seperti anastomose vaskuler
abnormal.

Pola PJT
PJT Simetris
Lingkar kepala, panjang dan berat badan seluruhnya
berkurang secara proporsional untuk usia kehamilan. PJT
simetris disebabkan oleh infeksi kongenital atau kelainan
genetik dan terjadi di awal kehamilan.

PJT Asimetris
Berat badan fetus lebih rendah secara tidak proporsional
terhadap panjang dan lingkar kepala. Pertumbuhan otak
biasanya terpisah. Pertumbuhan otak terjadi di masa

kehamilan lanjut dan disebabkan oleh insufisiensi


uteroplasenta atau nutrisi ibu yang buruk.

507
MASALAH Masalah bayi kurang bulan
1. Ketidakstabilan suhu tubuh
BKB memiliki kesulitan untuk
mempertahankan suhu tubuh akibat:
Peningkatan hilangnya panas
Kurangnya lemak subkutan
Rasio luas permukaan tubuh terhadap berat badan
besar
Produksi panas berkurang akibat lemak coklat yang
tidak memadai dan ketidakmampuan untuk
menggigil

2. Kesulitan Bernapas
Defisiensi surfaktan paru yang mengarah ke Sindrom
Gawat Napas
(Respiratory distress syndrome / RDS)
Risiko aspirasi akibat belum terkordinasinya refleks
batuk, refleks menghisap, dan refleks menelan.
Toraks yang lunak dan otot respirasi yang lemah
Pernapasan periodik dan apnea

3. Kelainan gastrointestinal dan nutrisi


Inkoordinasi refleks isap dan menelan terutama
sebelum 34 minggu
Motilitas usus yang menurun
Pengosongan lambung lambat
Kurangnya pencernaan dan absorbsi vitamin yang
larut dalam lemak
Defisiensi enzim laktase pada jonjot usus
Menurunnya cadangan kalsium, fosfor, protein, zinc
dan zat besi dalam tubuh
Meningkatnya risiko Enterokolitis Nekrotikans (EKN)
Berisiko mengalami kekurangan gizi, yang
disebabkan oleh meningkatnya kecepatan
pertumbuhan, metabolisme yang tinggi, fisiologi

508
tubuh yang belum sempurna, dan cadangan nutrisi
yang tidak cukup.

4. Imaturitas hati
Gangguan konyugasi dan ekskresi bilirubin
Defisiensi Vitamin K

5. Imaturitas Ginjal
Ketidakmampuan untuk mengekskresi beban cairan
yang besar
Akumulasi asam anorganik dengan asidosis
metabolik
Eliminasi obat dari ginjal dapat menghilang
Ketidakseimbangan elektrolit, misalnya
hiponatremia atau hipernatremia, hiperkalemia
atau
glikosuria ginjal

6. Imaturitas Imunologis
Risiko infeksi tinggi akibat:
Tidak banyak transfer IgG maternal melalui plasenta
selama trimester ketiga kehamilan
Fagositosis terganggu
Penurunan faktor komplemen

7. Kelainan neurologis
Refleks isap dan menelan yang imatur
Penurunan motilitas usus
Apnea dan bradikardia berulang
Perdarahan intraventrikel dan leukomalasia
periventrikel
Pengaturan perfusi serebral yang buruk
Ensefalopati Iskemik Hipoksik
(Hypoxic ischemic
encephalopathy/HIE)
Retinopati prematur ( ROP)
Kejang
Hipotonia

509
8. Kelainan Kardiovaskular
Duktus Arteriorus Paten (Patent ductus
arteriosus/PDA), umum
ditemui pada bayi kurang bulan
Hipotensi atau hipertensi

9. Kelainan Hematologis
Anemia (onset dini atau lanjut)
Hiperbilirubinemia
Koagulasi Intravaskuler Diseminata
(Disseminated Intravascular
Coagulation/DIC)
Penyakit Perdarahan Pada Neonatus
(Hemorrhagic Disease of the
Newborn/HDN)

10. Kelainan Metabolisme


Hipokalsemia
Hipoglikemia atau hiperglikemia

Masalah PJT
1. Kematian Fetus
Kematian fetus 5-20 kali lebih tinggi pada bayi PJT
daripada bayi Sesuai Masa Kehamilan (SMK)
Biasanya terjadi antara usia kehamilan 38-42
minggu Penyebab:
- Insufisiensi plasenta
- Hipoksia kronis
- Kelainan bawaan

2. Hipoksia
Asfiksia perinatal
Persistent Pulmonary Hypertension of the
Newborn (PPHN) Aspirasi mekonium
Kontraksi uterus mungkin menambah stress
terhadap fetus yang mengalami hipoksia kronis.
Hipoksia dan asidosis akut pada fetus dapat
mengakibatkan kematian fetus atau asfiksia pada
neonatus.

510
3. Hipotermia
Hipotermia terjadi akibat berkurangnya insulasi
lemak subkutan dan meningkatnya luas
permukaan tubuh. Lebih jauh lagi, hipoglikemia
dan hipoksia mengganggu produksi panas pada
bayi.

4. Hipoglikemia
Akibat menurunnya cadangan glikogen dan
penurunan
glukoneogenesis
Hipotermia memiliki potensi untuk menimbulkan
masalah hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 3 hari pertama.

5. Polisitemia
Diakibatkan peningkatan kadar eritropoetin yang
bersifat sekunder terhadap hipoksia fetus
Polisitemia mungkin juga berperan terhadap
hipoglikemia dan mengarah pada cedera serebral.

6. Keterlambatan Perkembangan
Terjadi terutama pada bayi kurang bulan, bayi PJT
dan pada bayi dengan restriksi pertumbuhan
kepala yang bermakna.
Keterlambatan ini terjadi akibat infeksi bawaan,
malformasi berat, hipoksia kronis, asfiksia pasca
kelahiran atau hipoglikemia
Keterlambatan ini terlihat dengan adanya
pencapaian milestone yang terlambat pada usia
2 dan 5 tahun dengan performa yang buruk di
sekolah.

7. Penurunan kekebalan tubuh (immune


depression)
Keadaan ini terjadi akibat malnutrisi baik pada saat
sebelum lahir maupun

511
sesudah lahir dan infeksi virus bawaan (TORCH)
Keadaan ini mempengaruhi hitung limfosit dan
aktivitas serta kadar Ig (immunoglobulin).
Keadaan ini mungkin ditemui bersamaan dengan
neutropenia.

PEMERIKSAAN Pemeriksaan Penujang Bayi Kurang Bulan


PENUNJANG Laboratorium
- Pemeriksaan morfologi darah tepi, hitung jenis
(ICD 9 CM: 90.5)
- Pengukuran glukosa serial (ICD 9 CM: 90.5)
- Na, K, Kalsium serial (ICD 9 CM: 90.5)
- Pengukuran bilirubin serial (ICD 9 CM: 91.0)
- Analisis Gas Darah (ICD 9 CM: 89.65)
- CRP dan kultur biakan jika diperlukan (ICD 9 CM:
90.5 dan
90.52)

Radiologi
- Rontgen dada (ICD 9 CM: 87.44)
- USG kepala (ICD 9 CM: 88.71)
- Echo jika diperlukan (ICD 9 CM:
88.72)

Pemeriksaan Penunjang PJT


- Darah tepi dengan hitung jenis (ICD 9
CM: 90.5)
- Pengukuran glukosa serial (ICD 9 CM:
90.5)
- Penapisan TORCH (ICD 9 CM: 90.5)
- USG jika diperlukan (ICD 9 CM: 88.7)
- Foto rontgen dada jika diperlukan
(ICD 9 CM: 87.44)

TERAPI Tata laksana Bayi Kurang Bulan


Di ruang bersalin
Persalinan harus dilakukan di rumah sakit yang
memiliki peralatan yang lengkap dan staf yang
baik.
Resusitasi dan stabilisasi memerlukan ketersediaan
staf dan peralatan yang memadai secara cepat.

512
Oksigenisasi yang memadai dan pemeliharaan suhu
sangat penting.
Asuhan ibu.
Bayi memakai topi

Tata laksana bayi baru lahir


Pengaturan suhu tubuh ditujukan untuk mencapai
lingkungan suhu netral sesuai dengan protokol.
Terapi oksigen dan bantuan ventilasi
Terapi cairan dan elektrolit harus menggantikan
IWL (insensible water loss) serta
mempertahankan hidrasi yang baik serta
konsentrasi glukosa dan elektrolit plasma normal.
Nutrisi (lihat: Pemberian Asupan pada Bayi
Berisiko): Bayi kurang bulan mungkin memerlukan
pemberian asupan dengan sonde atau nutrisi
parenteral.
Hiperbilirubinemia: biasanya dapat ditangani secara
efektif dengan pemantauan seksama kadar
bilirubin dan pelaksanaan terapi sinar. Transfusi
tukar mungkin diperlukan dalam berbagai kasus
berat
Antibiotik spektrum luas dapat diberikan jika ada
kecurigaan kuat adanya infeksi. Pertimbangkan
antibiotik anti staphylococcus untuk
BBLSR yang telah nengalami sejumlah besar
prosedur atau yang sudah dirawat dalam waktu
lama di rumah sakit.
Duktus Arteriorus Paten (Patent ductus
arteriosus/PDA)
o Tata laksana awal biasanya bersifat
konservatif, oksigenasi yang memadai,
pembatasan cairan, dan diuretik.
o Pada kasus yang lebih berat, anti
prostaglandin seperti indomethacine mungkin
diperlukan.

513
o Pada kasus yang sangat berat ligasi melalui
pembedahan mungkin diperlukan.

Tata laksana PJT


Di ruang bersalin
Persiapan untuk resusitasi dalam upaya mencegah
HIE
Berikan lingkungan yang suhunya disesuaikan
Penilaian awal untuk usia kehamilan
Nilai tanda-tanda dismorfik dan kelainan bawaan
Periksa glukosa

Ruang bayi
Menyediakan lingkungan dengan melakukan kontak
kulit dengan kulit dan memeriksa suhu setiap 4
jam (lebih sering pada bayi kurang bulan)
Bila mungkin, berikan ASI sedini mungkin (ASI yang
diperah dapat diberikan melalui sonde)
Memberikan asupan dini jika memungkinkan tetapi
jika tidak mungkin maka berikan cairan
intravena segera
Memeriksa intoleransi terhadap pemberian asupan
(risiko NEC)
Memeriksa Hb dan mengobati
polisitemia
Memeriksa glukosa setiap 4 jam pada hari pertama
kemudian setiap 8-12 jam jika stabil

Tindak lanjut jangka panjang


Nutrisi yang memadai dengan rujukan kepada
konselor ASI
Imunisasi tepat waktu
Penilaian perkembangan dengan kunjungan rutin
Rujukan dini untuk intervensi perkembangan dan
program
pendidikan khusus

Konseling maternal untuk kehamilan berikutnya

DAFTAR RUJUKAN Carlo WA. 81


Intrauterine growth restriction: screening, diagnosis, and
management. 82 Sharma D, Shastri S, Sharma P. 83
Damanik SM. 84

514
4.22 Asuhan kontak kulit dengan kulit

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

ASUHAN KONTAK KULIT DENGAN


KULIT

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

515
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Asuhan kontak kulit dengan kulit: bentuk


interaksi orangtua dengan bayi saat menggendong bayi
dengan kontak kulit dengan kulit pada posisi vertikal,
kepala bayi di antara payudara selama 20 menit atau
lebih.

MANFAAT • Menurunkan risiko infeksi pada neonatus dengan


mengupayakan paparan bakteri dari ibu. Bakteri ibu
akan berkolonisasi di usus dan kulit bayi serta
menghalangi bakteri yang lebih berbahaya dari
tenaga kesehatan maupun lingkungan
• Menurunkan risiko apnea dan meningkatkan
oksigenasi dengan cara membuat napas neonatus
teratur
• Menurunkan risiko bradikardia dengan cara
menstimulasi denyut jantung yang teratur
• Memulai pemberian ASI dini dan efektif
• Meningkatkan jangka waktu laktasi

• Menurunkan pemakaian kalori karena stres pada


neonatus berkurang
• Meningkatkan waktu status perilaku yang optimum
• Meningkatkan kelekatan dan ikatan emosional orang
tua
• Meningkatkan berat badan lebih cepat
• Mempersingkat waktu perawatan inap

516
BAYI YANG • Tidak memerlukan syarat usia kehamilan secara
MEMERLUKAN spesifik.
ASUHAN KONTAK • Pada umumnya, neonatus akan stabil secara fisiologis
KULIT DENGAN pada suhu tubuh 36,5°C – 37,5°C.
KULIT • Apabila terjadi apnea atau bradikardi akan hilang
dengan sendirinya atau hanya memerlukan stimulasi
ringan.
• Neonatus yang menerima terapi sinar dapat
diikutsertakan dengan mengeluarkannya sementara
dari terapi sinar dalam waktu singkat .
• Dalam situasi khusus, neonatus yang memerlukan
oksigen, CPAP, atau bahkan bantuan ventilasi dapat
menerima asuhan ini dengan baik.

TATA • Dokter dan perawat harus menentukan neonatus


LAKSANA yang diindikasikan untuk mendapat asuhan kontak
AWAL kulit dengan kulit, dan memberikan informasi adekuat
kepada orang tua tentang cara asuhan ini.
• Dokter dan perawat harus menciptakan lingkungan
yang nyaman/tidak canggung bagi orangtua dan
mendukung keputusan untuk menerapkan asuhan
kontak kulit dengan kulit.
• Suhu tubuh neonatus harus dijaga dalam dalam
rentang 36°C atau lebih dan didokumentasikan di
flow sheet.
• Probe suhu kulit dapat dipasang dengan kabel untuk
monitor, selang akses jalur intravena, dan selang
oksigenasi harus dilekatkan dan bersifat aman untuk
neonatus.

517
• Neonatus tidak perlu menggunakan pakaian, kecuali
popok dan topi.
• Persiapan lain termasuk menganjurkan ibu untuk
memakai baju dengan bukaan depan atau gaun
penutup serta memberikan kesempatan bersifat
privasi dan tenang. Ayah juga dapat memeluk
neonatus dengan cara ini.
• Setelah neonatus dipindahkan dengan hati-hati
kepada orang tua, tanda vital neonatus dan status
oksigenasi harus dipantau dan penyesuaian dibuat
berdasarkan keadaan neonatus.
• Neonatus harus dikembalikan ke inkubator jika
terdapat tanda stres yang menetap termasuk
takipnea, takikardia, ketidakstabilan suhu tubuh, atau
desaturasi oksigen.

The Royal Children's Hospital Melbourne. 85 Children's


DAFTAR RUJUKAN Hospital of Philadelphia. 86

4.23 Kangaroo Mother Care (KMC)


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

ASUHAN METODE KANGGURU


KANGAROO MOTHER CARE (KMC)

518
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik Terbit/Revisi PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Asuhan metode kangguru atau Kangaroo Mother
Care (KMC) dirancang sebagai asuhan untuk neonatus
dengan berat badan lahir rendah atau kurang bulan. Di
dalam Kangaroo Mother Care (KMC) ini, bayi berat
badan lahir rendah atau kurang bulan yang stabil
diletakkan telanjang di dada ibu, dengan hanya memakai
popok, topi dan kaus kaki.

Posisi bayi sejajar dengan dada ibu, antara kedua


payudara ibu, di dalam baju ibu dan disangga oleh kain
yang melingkari ibu dan bayi, tujuannya agar bayi
memperoleh panas dari kulit ibu melalui proses konduksi.
Untuk KMC dalam waktu lama, bayi tetap dalam posisi ini
kecuali saat dimandikan, diganti popok atau jika ibu akan
ke kamar mandi. Selama waktu ini, ayah dan anggota
keluarga yang lain dapat membantu dengan cara menjaga
bayi tetap hangat dan menggantikan ibu melakukan
kontak kulit dengan kulit

KOMPONEN KMC • Penempatan bayi pada posisi tegak di dada ibu, antara
kedua payudara ibu, tanpa busana. Bayi dibiarkan
telanjang hanya menggunakan popok, topi dan

kaus kaki sehingga terjadi kontak kulit bayi ibu


(kangaroo position)
• ASI eksklusif atau susu formula sesuai kondisi klinis
bayi (kangaroo nutrition)
• Bantuan secara fisik maupun emosi baik dari tenaga
kesehatan maupun keluarga agar ibu dapat
melakukan KMC untuk bayinya (kangaroo
support)
• Membiasakan ibu melakukan KMC sehingga pada saat
pulang ke rumah ibu tetap dapat melakukannya
sendiri (kangaroo discharge)

519
MEMULAI KMC • Ibu perlu mengenal KMC dan ditawarkan pilihan ini
sebagai metode untuk merawat bayi dengan berat
badan lahir rendah atau kurang bulan.

• Karena KMC memerlukan kehadiran ibu terus


menerus, ibu harus mempunyai waktu dan
kesempatan untuk mendiskusikan dampaknya
bersama keluarganya, karena KMC akan
mengharuskan ibu tinggal lebih lama di rumah sakit
dan melanjutkan asuhan ini di rumah hingga
neonatus cukup bulan (usia kehamilan sekitar 40
minggu) atau 2500 g.

• KMC bisa dilakukan kepada hampir semua bayi kecil.


Bayi dengan sakit yang parah atau memerlukan
perawatan khusus bisa menunggu hingga pulih
sebelum memulai KMC secara penuh.

• Sesi KMC untuk jangka pendek bisa dilakukan saat


pemulihan ketika bayi masih memerlukan perawatan
medis (cairan IV, oksigen tambahan konsentrasi
rendah).

• Untuk KMC terus menerus, kondisi neonatus harus


stabil.
• Kemampuan minum (untuk mengisap dan menelan)
bukan merupakan persyaratan esensial. KMC bisa
mulai dilakukan meskipun minuman diberikan melalui
sonde.

• Bayi dengan berat lahir 1800 gr atau lebih (usia


kehamilan 30-34 minggu atau

lebih) KMC dapat dimulai segera setelah lahir.

• Bayi dengan berat lahir antara 1200 dan 1799 gr (usia


kehamilan 28-32 minggu), masalah terkait
prematuritas seperti sindrom gangguan pernapasan
(RDS) dan komplikasi lain lebih sering terjadi,
sehingga membutuhkan perawatan khusus. Bila bayi
perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih
lengkap, KMC merupakan alternatif terbaik untuk
menjaga bayi tetap hangat dalam proses transport.
Pada kelompok bayi ini mungkin akan butuh waktu
satu minggu atau lebih sebelum KMC dapat dimulai.

520
• Bayi dengan berat kurang dari 1200 gr (usia
kehamilan di bawah 30 minggu) sering mengalami
masalah yang lebih berat, mortalitas sangat tinggi dan
hanya sebagian kecil yang bertahan dari masalah
terkait prematurias. Mungkin diperlukan beberapa
minggu sebelum kondisi mereka memungkinkan
untuk dilakukan inisiasi KMC.

• Kapan tepatnya untuk memulai KMC sangat


bergantung pada kondisi ibu dan bayinya. KMC dapat
dimulai sesegera mungkin setelah kondisi bayi stabil,
ibu bersedia dan telah mengerti tentang KMC. Setiap
ibu harus diberitahu tentang manfaat menyusui,
didorong dan dibantu untuk memeras ASI dari hari
pertama.

POSISI KMC • Mulai KMC di ruang yang hangat dan terjaga


privasinya. Minta ibu duduk dan mengatur posisi
bayi di atas dadanya dengan posisi sejajar. Bayi
menggunakan popok, topi dan kaus kaki

• Sangga bayi dengan kain panjang, kepala


menghadap ke satu sisi dan dalam posisi sedikit
ekstensi. Ekstensi ini akan membantu menjaga jalan
udara tetap terbuka dan memungkin kontak mata
antara ibu dengan bayinya. Tepi kain harus di bawah
telinga bayi

521
• Pinggul dan kaki bayi dilebarkan dan dalam keadaan
tertekuk sehingga seperti posisi “kodok”,
begitu juga lengan tangan juga harus fleksi.
• Pasang kain erat-erat agar bayi tidak lepas saat ibu
berdiri. Pastikan bahwa kain melekat erat di bagian
dada dan bukan di daerah perut. Jangan mengikat
terlalu keras di bagian perut bayi tapi harus di sekitar
epigastrium ibu. Dengan cara ini, bayi leluasa
bernapas dengan perut. Napas ibu akan
menstimulasi bayinya.

Gambar 22. Posisi bayi untuk KMC

Gambar 23. Posisi bayi dalam KMC

MEMASUKKAN • Pegang bayi dengan satu tangan diletakkan di belakang


DAN leher sampi punggung bayi,
MENGELUARKAN • Topang bagian bawah rahang bayi dengan ibu jari dan
BAYI DARI jari-jari lainnya
SANGGAAN • Letakkan tangan lainnya di bawah bokong bayi

522
MERAWAT BAYI • Sebagian besar perawatan tetap dapat dilakukan
DENGAN KMC meskipun pada posisi KMC termasuk menyusui. Bayi
hanya dilepaskan dari kontak kulit dengan kulit saat
- Mengganti popok, melakukan tindakan higiene dan
perawatan tali pusat
- Penilaian klinis sesuai dengan jadwal yang ditentukan
rumah sakit

• Tidak perlu dan tidak direkomendasikan untuk


dimandikan setiap hari. Jika memang kondisi harus
dimandikan, mandikan bayi dengan air cukup hangat
(37°C) dengan waktu yang tidak lama. Cepat
dikeringkan, bungkus dan posisikan lagi sesegera
mungkin
• Ibu dapat bebas beraktivitas walaupun bayi dalam
posisi KMC. Namun ibu harus tetap menjaga
kebersihan diri dan mencuci tangan serta menjaga
lingkungan yang tenang tetap menyusui bayi secara
teratur

LAMA DAN • Kontak kulit dengan kulit harus dimulai secara


KESINAMBUNGAN bertahap dengan transisi perlahan dari asuhan
KMC konvensional menjadi KMC berkesinambungan.
• Sesi selama 60 menit atau kurang harus dihindari
karena perubahan yang terlalu sering akan membuat
bayi stress.
• Waktu kontak kulit dengan kulit diperpanjang secara
bertahap agar menjadi selama mungkin. Ibu bisa tidur
dengan bayi yang diletakkan dengan posisi kangguru
yang benar.

MEMANTAU Suhu
KONDISI BAYI • Bayi yang cukup minum dan dalam kondisi kontak kulit
dengan kulit, dapat dengan mudah mempertahankan
suhu tubuh normalnya (antara 36,5° C - 37° C) saat
berada dalam posisi KMC. Saat KMC dimulai, ukur
suhu aksila setiap 6 jam hingga stabil selama 3 hari
berturut-

523
turut. Setelahnya pengukuran dilakukan hanya dua kali
sehari

Pernapasan
• Frekuensi pernapasan normal BBLR atau kurang bulan
berkisar antara 30-60 kali per menit, dan napas akan
bergiliran dengan interval tidak bernapas (apnea). Jika
interval terlalu lama (20 detik atau lebih) dan bibir dan
muka bayi menjadi biru, sianosis, dan nadinya rendah,
bradikardia, ada risiko kerusakan otak. Penelitian
menunjukkan bahwa kontak kulit dengan kulit dapat
membuat pernapasan lebih teratur pada bayi kurang
bulan dan bisa menurunkan insidensi apnea.
• Ibu harus diajarkan untuk mengenal apnea, risiko,
mengetahui kapan harus melakukan intervensi segera
dan mencari pertolongan. Ibu bisa mengusap
punggung atau kepala bayi untuk menstimulasi
pernapasan, atau dengan cara menimang bayi. Jika
bayi tetap tidak bernapas, ibu harus memanggil tenaga
kesehatan segera dan tenaga kesehatan harus segera
merespon panggilan minta bantuan dari ibu.

Tanda Bahaya
• Awitan penyakit serius pada bayi kecil biasanya samar
dan terabaikan dengan mudah hingga penyakit
menjadi lebih berat dan sulit diatasi. Penting bagi ibu
untuk mengenali tanda-tanda tersebut dan
memberikan perawatan yang diperlukan.
- Sulit bernapas, retraksi, merintih
- Bernapas sangat lambat atau sangat perlahan
- Apnea yang sering dan lama
- Bayi teraba dingin, suhu tubuhnya di bawah
normal meskipun dijaga kehangatannya

524
- Sulit minum: bayi tidak bangun untuk minum,
berhenti minum atau muntah
- Kejang
- Diare
- Kulit menjadi kuning

Minum
• Setiap ibu memproduksi ASI yang khusus untuk
bayinya, tapi ibu dari bayi kurang bulan menghasilkan
ASI rendah laktosa yang penting untuk pencernaan
karena bayi kurang bulan tidak mempunyai laktosa –
enzyme yang menguraikan gula tertentu. Kandungan
ASI manusia berubah sesuai pertumbuhan neonatus.
ASI, terutama kolostrum, kaya akan antibodi –
imunoglobulin, yang melindungi terhadap infeksi.
• Selain itu, ASI manusia mengandung zat anti infeksi
lainnya seperti hormon interferon, faktor
pertumbuhan dan komponen anti inflamasi. Bayi yang
sangat kurang bulan atau sakit dan tidak bisa menyusui
akan mendapatkan manfaat dari sedikit ASI yang
diberikan melalui pipet.
• Untuk bayi dengan usia kehamilan kurang dari 30-32
minggu biasanya perlu diberi minum melalui selang
nasogastrik, yang bisa digunakan juga untuk ASI yang
diperah. Ibu bisa membiarkan bayi mengisap jarinya
saat diberi minum melalui sonde, dan hal ini bisa
dilakukan dalam posisi kangguru.
• Untuk bayi dengan usia kehamilan lebih dari 30-32
minggu, bisa digunakan cangkir kecil untuk
memberikan ASI yang telah diperah. Pemberian
minum menggunakan cangkir bisa dilakukan satu atau
dua kali sehari meskipun bayi masih diberi minum
melalui selang nasogastrik, jika bayi bisa minum dari
cangkir dengan baik, maka pemberian minum melalui
sonde bisa dikurangi

525
secara bertahap. Untuk pemberian minum melalui
cangkir, bayi dilepaskan dari posisi kangguru, ditutup
dengan selimut hangat dan kembali ke posisi
kangguru setelah selesai minum.
• Bayi dengan usia kehamilan lebih dari 32 minggu bisa
mulai belajar mengisap puting. Bayi mungkin hanya
akan mencari puting dan menjilatnya. Teruskan
memberikan ASI yang telah diperah menggunakan
cangkir atau sonde hingga bayi bisa mengisap secara
efektif. Bayi mungkin sering berhenti selama
menyusui dan kadang berhenti lama. Penting untuk
tidak langsung menghentikan menyusui. Kadang-
kadang bayi perlu waktu satu jam untuk selesai
menyusu. Tawarkan minum melalui cangkir setelah
menyusu atau ganti ke payudara lainnya dan berikan
minum melalui cangkir.
• Pastikan posisi yang baik, kelekatan dan frekuensi
menyusui.

Gambar 24. Memberikan ASI yang telah diperah


menggunakan selang nasogastrik

Memantau Pertumbuhan
• Timbang bayi kecil sekali sehari; penimbangan lebih
sering mungkin akan mengganggu bayi dan
menyebabkan kecemasan dan kekhawatiran kepada
ibunya. Saat bayi mulai bertambah berat,

526
timbang setiap dua hari selama satu minggu dan
kemudian sekali seminggu hingga bayi cukup bulan (40
minggu atau 2500g)
• Timbang bayi dengan cara yang sama setiap kali,
misalnya telanjang, dengan timbangan kalibrasi yang
sama (dengan interval 10 g jika mungkin), letakkan
handuk bersih dan hangat pada timbangan untuk
menghindari bayi menjadi dingin
• Timbang bayi di tempat yang
lingkungannya hangat
• Catat beratnya
• Ukur lingkar kepala setiap minggu, saat berat bayi
mulai meningkat, lingkar kepala akan naik antara 0,5
dan 1 cm per minggu.

Kenaikan berat badan tidak memadai


• Jika kenaikan berat badan tidak memadai selama
beberapa hari, nilai teknik, frekuensi, lama dan jadwal
pemberian minum terlebih dahulu, dan periksa apakah
diberi minum saat malam hari. Berikan nasehat
kepada ibu untuk meningkatkan frekuensi pemberian
minum, dan anjurkan ibu untuk minum lebih banyak.
• Kemudian lihat kondisi lainnya;
- Oral thrush – tatalaksana bayi dengan nistatin
suspensi oral (100,000 IU/ml) menggunakan
pipet, berikan 1 ml pada mukosa mulut dan
oleskan pada kedua puting ibu setiap kali setelah
menyusui hingga lesi sembuh. Obati selama 7
hari.
- Rinitis – obati dengan larutan normal saline yang
diteteskan melalui masing-masing lubang hidung
setiap kali sebelum minum
- Infeksi saluran kemih
- Infeksi bakteri

527
Perawatan Preventif
• Bayi kecil tidak memiliki simpanan mikronutrien yang
memadai. Bayi kurang bulan, tanpa melihat
beratnya, harus mendapatkan suplementasi besi dan
asam folat dari sejak umur dua bulan hingga satu
tahun. Dosis besi harian yang direkomendasikan
adalah 2 mg/kg berat badan per hari

KELUAR DARI Bayi KMC dapat diijinkan pulang jika memenuhi kriteria
RUMAH SAKIT berikut:
• Kesehatan umum bayi baik dan tidak ada penyakit
pada saat itu seperti apnea atau infeksi
• Bayi minum dengan baik dan mendapatkan ASI
eksklusif atau sebagian besar minumnya adalah ASI
• Berat badan bayi naik (sedikitnya 15 g/kg/hari paling
sedikit 3 hari berturut-turut)
• Suhu bayi stabil saat berada dalam posis KMC
(dalam kisaran normal selama 3 hari berturut-turut)
• Ibu yakin bisa merawat bayinya dan dapat datang
secara teratur untuk kunjungan tindak lanjut.

DAFTAR RUJUKAN Conde-Agudelo A, Belizan JM, Diaz-


Rossello. 87

4.24 Termoregulasi neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TERMOREGULASI NEONATUS
(ICD 10: P80-P83)

528
No. Dokumen No. Revisi Halaman
UKK
Neonatologi
2018

Panduan Tanggal Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP


Praktik Klinis IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

PENDAHULUAN Termoregulasi adalah keseimbangan antara kehilangan panas dan


produksi panas dan produksi panas tubuh. Tujuannya adalah untuk
mengontrol lingkungan neonatus dalam mempertahankan lingkungan
suhu netral dan meminimalkan pengeluaran energi.
- Suhu normal neonatus: 36,5-37,5°C
- Hipotermia: <36,5°C
- Hipertermia: >37,5°C

Hipotermia dibagi atas:


- Hipotermia ringan (antara 36,0-36,4°C)
- Hipotermia sedang (antara 32-35,9°C)
- Hipotermia berat (< 32°C)

Mekanisme produksi panas pada neonatus:


• Proses metabolisme
• Aktivitas otot polos
• Vasokonstriksi perifer
• Termogenesis tanpa menggigil

Mekanisme kehilangan panas pada neonatus:


Evaporasi
• Merupakan sumber kehilangan panas terbesar pada saat lahir,
dapat terjadi secara disadari (keringat) atau tidak disadari (dari
kulit dan

529
pernapasan). Terjadi saat cairan ketuban menguap dari
permukaan kulit.

Konduksi
• Terjadi saat neonatus ditempatkan pada permukaan yang
lebih dingin dan bersentuhan langsung dengan kulit (tanpa
pakaian) seperti meja periksa, timbangan, tempat tidur.

Radiasi
• Perpindahan panas antara permukaan padat yang tidak
bersentuhan langsung, pada bayi baru lahir terjadi saat
berada di sekitar benda lain yang dingin, seperi dinding,
tanpa bersentuhan langsung dengan permukaannya.

Konveksi
• Terjadi saat neonatus terekspos udara sekitar yang dingin
atau dari pintu ruangan yang terbuka, jendela atau kipas
angin.

Gambar 25. Kehilangan panas pada neonatus

Patofisiologi termoregulasi
Suhu tubuh diatur dengan mengimbangi produksi panas terhadap
kehilangan panas. Bila kehilangan panas dalam tubuh lebih besar, dari
pada laju pembentukan panas, maka akan terjadi penurunan suhu

530
tubuh. Hal sebaliknya begitu juga, bila pembentukan panas dalam
tubuh lebih besar daripada kehilangan panas, maka akan timbul panas
dalam tubuh sehingga suhu tubuh meningkat.

Bayi yang mempunyai risiko terjadi gangguan termoregulasi:


• Bayi preterm dan bayi-bayi kecil lainnya yang dihubungkan dengan
tingginya rasio luas permukaan tubuh dibandingkan dengan berat
badannya.
• Bayi dengan kelainan bawaan, khususnya dengan penutupan kulit
yang tidak sempurna seperti pada meningomielokel, gastroskisis,
omfalokel.
• BBL dengan gangguan saraf sentral seperti pada perdarahan
intrakranial, obat-obatan, asfiksia.
• Bayi dengan sepsis.
• Bayi dengan tindakan resusitasi yang lama.
• Bayi IUGR (intra uterine growth retardation) atau
pertumbuhan janin terhambat.

HIPOTERMIA Hipotermi terjadi jika suhu aksila neonatus dibawah 36,5°C


Kondisi yang membuat risiko kehilangan panas lebih besar:
• Luas permukaan tubuh yang besar dibandingkan rasio massa
tubuh
• Lemak subkutan yang sedikit
• Kadar air dalam tubuh yang lebih besar
• Kulit yang imatur dapat menyebabkan penguapan air dan
kehilangan panas yang lebih besar
• Mekanisme metabolisme tubuh yang kurang berkembang
dalam merespon thermal stress
(misalnya tidak menggigil)
• Perubahan aliran pada pada kulit (misalnya sianosis perifer)

Tanda dan gejala hipotermi:


• Akrosianosis, kulit dingin, bercak-bercak, atau pucat
• Hipoglikemi
• Hiperglikemi sementara
• Bradikardia
• Takipnea, gelisah, napas dangkal dan tidak teratur
• Distres pernapasan, apnea, hipoksemia, asidosis metabolik
• Letargi, hipotonus

531
• Menangis lemah, tidak mau menyusu
• Berat badan turun
Catatan: semua gejala dan tanda diatas tidak spesifik, dan mungkin
mengindikasikan kondisi lain yang berarti seperti infeksi bakteri pada
neonatus

Penatalaksanaan hipotermi:
A. Hipotermi ringan
• Kontak kulit ke kulit pada suhu ruangan yang hangat
(setidaknya 25°C)
• Gunakan topi pada kepala neonatus
• Tutupi ibu dan neonatus dengan selimut hangat
B. Hipotermi sedang
• Letakkan dibawah pemancar panas
• Pada inkubator yang sudah dihangatkan
• Pada matras yang berisi air hangat (contoh: KanBed)
• Jika tidak ada peralatan yang tersedia atau neonatus stabil
secara klinis, maka lakukan kontak kulit ke kulit dengan ibu
pada ruangan dengan suhu hangat (setidaknya 25°C)
C. Hipotermi berat
• Gunakan inkubator yang sudah dihangatkan (diatur 1-1,5°C
lebih tinggi dibanding suhu tubuh neonatus) dan harus
disesuaikan dengan meningkatnya suhu neonatus (harus selalu
dipantau)
• Jika tidak ada peratalan yang tersedia, lakukan kontak kulit ke
kulit atau ruangan yang hangat atau boks bayi yang hangat
dapat digunakan

HIPERTEMIA Hipertermi merupakan kondisi suhu tubuh diatas 37,3°C atau


37,5°C. Hipertermi biasanya berkaitan dengan faktor lingkungan yang
suhunya terlalu tinggi.

Penyebab hipertermi:
• Inkubator, pemancar panas, suhu lingkungan yang terlalu panas
• Ibu demam
• Pasca anestesi epidural pada ibu
• Cahaya fototerapi, sinar matahari
• Membedong yang terlalu kuat

532
• Infeksi
• Kelainan sistem saraf pusat (contoh: asfiksia)
• Dehidrasi

Tanda dan gejala hipertermi:


• Takikardi, takipnea, apnea
• Ektremitas hangat, kemerahan, dan berkeringat
(pada bayi cukup bulan)
• Dehidrasi
• Letargi, hipotonus, tidak mau menyusu
• Iritabilitas
• Menangis lemah

Tatalaksana hipertermi:
• Pendekatan yang biasa dilakukan pada kondisi neonatus yang
mengalami hipertermi adalah menyesuaikan kondisi
lingkungannya. Neonatus harus segera dijauhkan dari sumber
panas, dan jika perlu membuka sebagian atau seluruh pakaiannya.
• Cek suhu lingkungan (infant warmer, blanket, atau inkubator) jika
memungkinkan diturunkan 0,5°C tiap 30-60 menit (infant warmer
dan inkubator).
• Selama proses pendinginan, suhu neonatus harus selalu dipantau
setiap 15-30 menit hingga stabil. Jangan mematikan inkubator
untuk mendinginkan suhu neonatus.
• Ketika terjadi hipertermia berat (suhu tubuh di atas 40°C),
neonatus dapat dimandikan. Air yang digunakan harus hangat
(sekitar 2°C lebih rendah dari suhu tubuh neonatus). Tidak
disarankan menggunakan cooling devices. Jika neonatus tidak
dapat tambahan cairan dari menyusui, harus dipasang cairan
secara intravena atau selang makan.

PENGENDALIAN Di ruang bersalin:


SUHU • Memberikan lingkungan hangat yang bebas dari aliran udara
• Keringkan neonatus segera
• Kontak kulit ibu-bayi segera akan berperan sebagai sumber panas.
Selimuti ibu dan bayinya sekaligus atau tutupi dengan kain/baju.
• Tutup kepala neonatus dengan topi

533
Pemakaian radiant warmer jika tidak mungkin melakukan kontak
kulit dengan kulit (ibu mengalami komplikasi pascanatal)
• Neonatus tidak berpakaian kecuali popok dan diletakkan tepat di
bawah penghangat/ radiant warmer
• Neonatus dapat dihangatkan dengan handuk hangat dan
menggunakan topi
• Probe suhu tubuh harus diletakkan mendatar pada kulit, biasanya
pada abdomen daerah hati
(daerah hipokondrium kanan)
• Suhu servo harus diset pada 36,5oC
• Suhu harus diukur setiap 30 menit atau atas instruksi dokter untuk
menilai bahwa suhu tubuh neonatus dipertahankan dalam kisaran
yang seharusnya
• Bayi > 32 minggu dan atau > 1500 gram
- Keringkan bayi dan pindahkan bayi dari kain yang basah
- Bungkus bayi dengan blanket hangat
- Topi
Jika bayi stabil dapat dilakukan KMC
• Bayi < 32 minggu atau diperkirakan <1500 gram
(b)
- Plastik polietilen dibuka dan diletakkan di meja resusitasi/
infant warmer
- Letakkan bayi di atas plastik
- Secepatnya bungkus bayi sampai bahu di bawah infant warmer
- Lap kepala yang terbuka
- Tutup kepala dengan topi hangat
- Biarkan bayi terbungkus plastik, jika akan dpindahkan ke
ruangan bayi dibungkus lagi dengan blanket hangat

PENGUKURAN Suhu Aksila


SUHU • Letakkan termometer di tengah aksila dengan lengan
ditempelkan secara lembut tetapi kuat pada sisi tubuh bayi
selama sekitar 5 menit

534
• Meskipun suhu sedikit lebih rendah daripada suhu sentral
tubuh sesungguhnya, perubahannya akan sama dengan suhu
tubuh
• Keuntungannya mencakup penurunan risiko neonatus,
kebersihan terjaga, dan
pengukurannya relatif cepat serta akurat

Suhu Rektum
• Suhu darah yang mengalir dari ekstremitas bawah
mempengaruhi suhu rektum
• Pengukuran suhu tubuh dari rektum merupakan prosedur
invasif dan tidak selalu dapat diandalkan
• Pengukuran suhu melalui rektum/anus jika menggunakan alat
yang sama untuk bayi lain dapat menimbulkan penyebaran
infeksi.
• Pengukuran suhu melalui rektum sudah mulai ditinggalkan

Suhu lingkungan
• Setiap kamar harus memiliki termometer dinding
• Jaga suhu lingkungan kamar antara 24-26°C

DAFTAR Newborn Thermoregulation: Self-learning Module. 88


RUJUKAN Rutter N. 89
Knobel NB, Vohra S, Lehmann CU. 90
Lyon A, Puschner P. 91
WHO. 92
Waldron S, MacKinnon R. 93
Knobel-Dail RB. 94
Women and Newborn Health Service Neonatal
Directorate Western Australia. 95
WHO. 96

535
4.25 Hipoglikemia pada neonatus
PANDUAN PRAKTIK KLINIS

HIPOGLIKEMIA PADA NEONATUS


(ICD 10: P70)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

Panduan Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP IDAI
Praktik Klinis

Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Hipoglikemia pada neonatus menurut WHO merupakan


kadar gula darah <47 mg/dl (2,6 mmol/L). Hipoglikemia
pada neonatus menurut American Academy of
Pediatric (AAP) merupakan kadar gula darah < 45 mg/dl
(2,5 mmol/L), sedangkan definisi dari Pediatric
Endocrine Society (PES) menyebutkan hipoglikemia jika
kadar gula darah < 50 mg/dL (2,8 mmol/L). Unit Kerja
Koordinasi
Neonatologi PP IDAI dalam PNPK menggunakan nilai <47
mg/dL berdasarkan definisi dari WHO atau <45 mg/dL
menurut AAP.

ANAMNESIS Bayi Berisiko Hipoglikemia


• Bayi dari ibu diabetes (IDM)
• Bayi besar masa kehamilan (BMK)
• Bayi kecil masa kehamilan (KMK)
• Bayi kurang bulan dan lewat waktu
• Bayi sakit atau stress (RDS, hipotermia)
• Bayi puasa
• Bayi dengan polisitemia
• Bayi dengan eritroblastosis

• Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya steroid, beta


simpatomimetik dan beta blocker

536
PEMERIKSAAN • Jitteriness, rewel/gelisah, hipotonia, tangis high-
FISIS pitch, tangis lemah
• Sianosis
• Kejang atau tremor
• Letargi, gangguan menghisap
• Apnea, takipnea
• Hipotermia
Pemeriksaan glukosa darah (ICD 9 CM: 90.5)
PEMERIKSAAN
PENUNJANG

KRITERIA Hipoglikemia pada neonatus merupakan kadar gula darah <


DIAGNOSIS 45 - 47 mg/dl (2,5 -2,6 mmol/L). Nilai GD tersebut adalah
nilai gula darah dari sampel darah vena. Pada pengambilan
sampel darah kapiler terdapat perbedaan 10-18 mg/dl lebih
tinggi.

Pemeriksaan GD dilakukan pada usia 2-4 jam setelah lahir


karena diusia tersebut kadar hipoglikemia mencapai titik
nadir

Hipoglikemia pada neonatus merupakan kadar gula darah <


45 - 47 mg/dl (2,5 - 2,6 mmol/L). Perbedaan hasil
pemeriksaan dapat terjadi pada bayi baru lahir karena
bergantung pada waktu pemeriksaan. Bayi usia 0 hingga < 4
jam kadar gula darah harus ≥ 40 mg/dl, usia ≥ 4-24 jam
kadar gula darah harus ≥ 45 mg/dl, dan usia ≥ 24 jam
kadar gula darah harus ≥ 50 mg/dL. Oleh karena adanya
proses hipoglikemia fisiologis pada bayi baru lahir, maka
setelah pemeriksaan kadar gula darah pasca-lahir,
pemeriksaan kadar gula darah ulangan disarankan pada 24
jam setelah pemeriksaan kadar gula pertama.

Pediatric Endocrine Society (PES) mengatakan kadar


gula darah bayi < 48 jam harus dipertahankan di atas 50
mg/dL, sedangkan

537
jika usia bayi > 48 jam gula darah harus dipertahankan di atas
60 mg/dL.

Jika bayi menunjukkan gejala simptomatik, maka harus


dikoreksi jika gula darah < 40 mg/dL.

Neonatus risiko tinggi dengan GDS:


AAP: Usia < 4 jam GDS < 25 mg/dL; 4-24 jam GDS < 35 mg/dL
PES: Usia 24-48 jam GDS < 50 mg/dL; >48 jam GDS <
60mg/dL.

Transitory disorders of carbohydrate


DIAGNOSIS
metabolism specific to fetus and newborn
KERJA
(ICD 10: P70)
DIAGNOSIS • Transitory neonatal disorders of calcium
BANDING and magnesium metabolism
(ICD 10: P71)
• Pyridoxine deficiency (ICD 10: E53.1)
• Hyperosmolality and hypernatraemia (ICD
10: E87.0)
• Hypo-osmolality and hyponatraemia
(ICD 10: E87.1)
TERAPI • Penanganan bayi hipoglikemia tergantung pada 2 hal,
yaitu: kadar gula darah rendah dan ada tidaknya gejala
klinis.

• Bayi asimtomatik:
Mulai diberikan minum peroral dalam 1 jam pertama,
kemudian 30 menit sesudahnya dilakukan pemeriksaan
kadar gula darah.

Dapat diberikan koreksi hipoglikemia melalui asupan


enteral apabila kadar gula darah >25-<45 mg/dl.

Apabila kadar gula darah <25 mg/dL diberikan bolus


glukosa 200 mg/kg (dekstrosa 10% dengan dosis 2 ml/kg)
dilanjutkan pemberian infus dekstrosa dengan GIR 5-8
mg/kg/menit (80-100 ml/kg/hari). Kadar glukosa plasma
yang diharapkan 40-50 mg/dL.

• Bayi simtomatik:
Apabila kadar gula > 25-<45 mg/dL diberikan bolus
glukosa 200 mg/kg (dekstrosa 10% dengan dosis 2 ml/kg)
dilanjutkan pemberian infus dekstrosa dengan GIR 5-8
mg/kg/menit (80-100 ml/kg/hari). Kadar glukosa plasma
yang diharapkan 40-50 mg/dL.
538
• Setelah koreksi hipoglikemia, monitoring gula darah
dilakukan kembali setelah 30 menit-1 jam paska koreksi.

• Neonatus risiko tinggi:


Direkomendasikan bayi segera mendapat asupan enteral
dalam 1 jam pertama, kemudian 30 menit sesudahnya
dilakukan pemeriksaan kadar gula darah.

Pada bayi dengan paska resusitasi dengan CPAP atau VTP


bayi tidak dianjurkan untuk diberikan asupan enteral dan
segera mendapat akses IV serta infus dektrosa 10%
60-80 cc/kgBB/24 jam

• Pada bayi dengan infus dekstrosa direkomendasikan


untuk dievaluasi nilai GIR. GIR pada bayi cukup bulan: 4-6
mg/kgBB/menit dan pada bayi kurang bulan: 6-8
mg/kgBB/menit

Bila ada riwayat syok dan normoglikemia, maka pemberian


cairan dibatasi menjadi 60 mL/kgBB/hari menggunakan
D10W (GIR 4,2 mg/kgBB/menit), D12,5W (GIR 5,2
mg/kgBB/menit), atau D15W (GIR 6,2 mg/kgBB/menit).

Akses vena sentral diperlukan untuk pemberian cairan


dekstrosa >12,5% atau dekstrosa 12,5% yang diberi
zat/komponen tambahan.

Tatalaksana hipoglikemia dapat mengikuti algoritma berikut:

539
GD <47 mg/dL

GD < 25 mg/dL atau dengan gejala GD >25 - <47 mg/dL

• I V bolus dekstrosa 10% 2 mL/kgBB • Nutrisi oral /enteral segera : ASI atau
** IVFD dekstrosa 10%, minimal 60 PASI , maksimal 100 mL/kg BB/hari
mL/kgBB/hari ( hari pertama ) sampai ( hari pertama )
mencapai GIR 6 - 8 mg/kgBB/menit • Bila ada kontraindikasi oral atau
• Ora l tetap diberikan bila tidak ada enteral → **
kontraindikasi

GD ulang (30 menit - 1 jam ) GD <36 mg/dL GD 36 - <47 mg/dL

Oral: ASI atau PASI yang


GD <47 mg/dL dilarutkan dengan dektrosa 5%

GD ulang (1 jam)
Dekstrosa ditingkatkan dengan cara:
• Volume ditingkatkan sampai maksimal
100 mL/kgBB/hari (hari pertama) atau
• Konsentrasi ditingkatkan: vena perifer
GD 36 - <47 mg/dL **
maksimal 12,5%, umbilikal 25%

GD > 47 mg/dL

Ulang GD tiap 2 - 4 jam , 15 me nit sebelum jadwal minum berikut, sampai 2 kali berturut - turut normal

Gambar 26. Alogaritma tatalaksana hipoglikemia

EDUKASI Pemberian asupan enteral dini merupakan tindakan


pencegahan tunggal yang paling penting. Jika pemberian
asupan secara enteral akan dimulai, ASI atau D5W harus
digunakan jika bayi dapat mentoleransi pemberian asupan
melalui puting atau selang nasogastrik. Bayi tersebut harus
dipantau sampai mereka mencapai pemberian asupan
penuh dan telah memiliki tiga pembacaan pra-pemberian
asupan di atas 40-45 mg/dl. Kita harus hati-hati untuk
memastikan bahwa ibu menyusui memberikan asupan yang
memadai.
Jika bayi yang berisiko terkena hipoglikemia tidak dapat
mentoleransi pemberian asupan melalui puting atau selang
akibat darah yang tertelan, dapat diupayakan untuk
melakukan satu kali percobaan lavage lambung dan
melanjutkan pemberian asupan melalui mulut. Jika tindakan
ini gagal, terapi IV dengan glukosa 10% harus dimulai dan
kadar glukosa dipantau.

PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia Bonam
Ad sanationam : Dubia Bonam
Ad fungsionam : Dubia Bonam
DAFTAR RUJUKAN Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. 97
Resuscitation ILCo. 98
McCormick M, Cooper P. 99
540
Queensland Clinical Guidelines. 100
USCF Children's Hospital. 101
Thompson-Branch A, Havranek T.102
Sweet CB, Grayson S, Polak M. 103
Thornton PS, Stanley CA, De Leon DD, Harris
D, Haymond MW, Hussain K,et. al. 104

4.26 Hiperbilirubinemia pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS


(ICD 10: P59)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

Panduan Tanggal DITETAPKAN KETUA PP IDAI


Terbit/Revisi
Praktik Klinis

Ikatan Dokter
Anak Indonesia

541
DEFINISI Hiperbilirubinemia: Naiknya kadar bilirubin serum melebihi
normal.
Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi / indirek:
Peningkatan bilirubin serum tidak terkonjugasi di atas normal.
Hiperbilirubinemia terkonjugasi /
direk/ kolestasis:
Peningkatan kadar bilirubin direk >20% dari total bilirubin serum.
Ensefalopati bilirubin:
Deposit bilirubin tidak terkonjugasi/indirek pada basal ganglia
otak yang menimbulkan gangguan pada sistem susunan syaraf
pusat.

ANAMNESIS Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi


• Onset timbulnya ikterus
• Ibu dengan golongan darah O, dengan suami golongan darah
non-O dan perbedaan Rhesus. • Kakak yang mengalami
ikterus atau anemia
• Ibu yang mengkonsumsi obat-obatan
(sulfonamides, aspirin, antimalaria)
• Riwayat perinatal: persalinan traumatis, trauma lahir,
tertundanya penjepitan tali pusat, asfiksia

Hiperbilirubinemia terkonjugasi
• Warna kulit tampak kuning kehijauan
• BAB dempul / pucat
• Urin berwarna seperti teh

542
PEMERIKSAAN Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi:
FISIS • Warna kulit tampak kuning oranye
• Pada bayi kurang bulan, onset terjadinya lebih cepat dan
durasinya lebih lama
• Pada kejadian sefal hematom atau memar bisa terjadi
hiperbilirubinemia
• Pada anemia hemolitik tampak kuning disertai pucat dan
pletora.
• Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi yang berlanjut akan
terjadi bilirubin ensefalopati dengan gejala :

Tahap awal:
Tampak letargis, tidak mau menetek, tonus menurun, tidak
adanya refleks Moro dan tangisan melemah

Tahap intermediate:
Opistotonus/ retrocolis, hipertoni, gangguan kesadaran/iritabel,
demam, dan tangisan melengking.

Tahap lanjut:
Kerusakan SSP bersifat ireversibel, tangisan melengking, tidak
mampu menyusu, apne, demam, gangguan kesadaran hingga
koma dan kejang.

Hiperbilirubinemia terkonjugasi:
• Warna kulit kuning kehijauan
• Muntah
• Distensi abdomen dengan hepatomegali
• Mungkin disertai dengan tanda sepsis
• Kecenderungan mengalami perdarahan
• Dapat disertai mikrosefali maupun korioretinitis

Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi:


PEMERIKSAAN
PENUNJANG • Bilirubin total serum dan bilirubin direk (ICD 9 CM: 91.0)

543
• Golongan darah dan Rhesus dari bayi dan ibu (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan Coomb’s (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan hitung darah lengkap
(Hemoglobin, Hematokrit, morfologi sel darah merah) (ICD 9
CM: 90.5)
• Hitung retikulosit (ICD 9 CM: 90.5)
• Jika ada hemolisis dan tidak ada ketidaksesuaian Rhesus atau
ABO, mungkin diperlukan pemeriksaan hemoglobin
elektroforesis, penapisan G6PD atau pengujian kerentanan
osmotik untuk mendiagnosis defek sel darah merah (ICD 9
CM: 90.5)

Hiperbilirubinemia terkonjugasi:
• Sepsis berlanjut (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan fungsi hati (ICD 9 CM: 91.0)
• Penapisan TORCH (ICD 9 CM: 90.5)
• USG abdomen (ICD 9 CM: 88.76)
• Jika memungkinkan, penapisan metabolik (ICD 9 CM : V77)

KRITERIA Ikterus fisiologis:


DIAGNOSIS
Pada bayi sehat dan cukup bulan, akan terlihat pada hari ke-2-3
dan biasanya hilang pada hari ke 6-8 tapi mungkin tetap ada
sampai hari ke-14 dengan maksimal total kadar bilirubin serum
<12 mg/dl. Pada bayi kurang bulan sehat, ikterus akan terlihat
pada hari ke 3-4 dan hilang pada hari ke 10-20 dengan kadar
serum maksimal <15 mg/dl.

Breast feeding jaundice : ikterus yang disebabkan oleh


kekurangan asupan ASI biasanya muncul pada hari ke 2 sampai 3
pada waktu produksi ASI belum banyak.

Breastmilk jaundice: Pada hari ke-14, kadar bilirubin terus


meningkat dan bukannya menurun. Kadar bilirubin bisa
mencapai 20-30 mg/dl dan mulai menurun pada usia empat
minggu dan kemudian secara bertahap kembali ke normal.

544
Ikterus non-fisiologis
• Ikterus mulai sebelum berusia 24 jam
• Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dl/jam
• Total bilirubin serum sesuai dengan grafik dibawah untuk
dilakukan terapi sinar

Gambar 27. Penentuan faktor risiko untuk menjadi


hiperbilirubinemia berat pada bayi dengan usia kehamilan ≥
36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia
kehamilan 35-36 minggu dengan berat lahir ≥ 2500 gram
berdasarkan kadar bilirubin serum sesuai dengan usia (dalam
jam) 105

Penyebab hiperbilirubinemia terkonjugasi


• Obstruksi ekstrahepatik biliaris
• Atresia biliaris
• Kista koledokal
• Kompresi eksternal, misalnya node lymph
• Kolestasis intrahepatik dengan kurangnya duktus biliaris,
misalnya sindrom Alagille
• Kolestasis intrahepatik dengan duktus biliaris normal
• Infeksi (misalnya TORCH atau neonatal hepatitis)
• Kesalahan metabolisme sejak lahir (inborn error of
metabolism) misalnya galaktosemia
• Sindrom Dubin-Johnson, sindrom Rotor’s
• Kolestasis yang disebabkan penggunaan TPN yang lama

Neonatal jaundice from other and unspecified


DIAGNOSIS KERJA causes (ICD 10: P59)

DIAGNOSIS Haemolytic disease of fetus and newborn (ICD 10:


BANDING P55)
Hydrops fetalis due to haemolytic disease (ICD
10: P56)
Kernicterus (ICD 10: P57)
Neonatal jaundice due to other excessive
haemolysis (ICD 10: P58)
545
TERAPI Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi:
• Terapi sinar berdasarkan grafik di atas
• Asuhan nutrisi yang adekuat
• Mengatasi penyakit lain yang menyertai seperti hipoksia,
infeksi, dan asidosis

Hiperbilirubinemia terkonjugasi:
• Kunci tata laksana hiperbilirubinemia terkonjugasi/direk
adalah mengidentifikasi penyebab dasar meningkatnya kadar
bilirubin serum.
• Fasilitas yang tidak dilengkapi dengan instrumen atau teknik
diagnostik yang diperlukan harus merujuk neonatus ke
fasilitas yang tingkatannya lebih tinggi.
• Terapi sinar tidak boleh digunakan pada kasus
hiperbilirubinemia terkonjugasi /direk
(sindrom bayi tembaga)

EDUKASI • Kenali tanda dan gejala hiperbilirubinemia pada neonatus


• Kenali faktor risiko pada neonatus
• Tata laksana segera berdasarkan diagnosis

PROGNOSIS Ad vitam : Bonam


Ad sanationam : Dubia Bonam
Ad fungsionam : Dubia Bonam
DAFTAR Excellence NIfC. 106
RUJUKAN Muchowski KE. 107
Bhutani VK, Johnson L, Sivieri EM. 105
Maisels MJ, Bhutani VK, Bogen D, Newman TB,
Stark AR, Watchko JF. 108
Hamidi M, Aliakbari F. 109
Kaplan M, Merlob P, Regev R. 110
Maisels MJ. 111

4.27 Anemia pada neonatus


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

ANEMIA PADA NEONATUS


(ICD 10: P61.3)

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

546
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Anemia Neonatal didefinisikan sebagai kadar hemoglobin


atau hematrokrit dibawah kurang dari 2 SD, dibawah
ratarata nilai normal pasca lahir. Pengambilan darah
diperoleh melalui vena sentral
Untuk bayi prematur, definisi anemia dikategorikan
berdasarkan berat badan lahir dan usianya.
• ) Bayi BBL 1200-2500 gram
0-7 hari = 16,4 g/dl
7-14 hari = 16 g/dl
>14 hari = 13,5 g/dl
• ) Bayi BBL <1200 gram
0-7 hari = <16 g/dl
7-14 hari = <14,8 g/dl
>14 hari = <13,4 g/dl

ANAMNESIS 1. Anemia perdarahan


2. Hemolisis atau pemecahan sel darah merah
3. Defisiensi

547
A. Penyebab obstetrik ► Kehilangan darah:
o Solusio Plasenta (Abruptio placenta) dan plasenta
previa
o Terpotongnya plasenta selama seksio
sesarea
o Robeknya tali pusat

► Kehilangan darah tersembunyi:


o Perdarahan fetomaternal atau perdarahan
transplasental dari
sirkulasi fetus ke sirkulasi ibu
o Transfusi kembar-kembar: terjadi ketika satu
kembar mengalirkan darah ke saudara kembarnya
akibat kelainan plasenta vaskuler. Donor menjadi
kecil dan anemik, sementara penerima menjadi
besar dan pletorik

B. Perdarahan pada periode neonatus:


► Perdarahan intrakranial
► Hematoma sefal berukuran besar
► Hematoma subkapsuler, hati atau limpa yang
robek, perdarahan adrenal atau renal
► Perdarahan dari umbilikus akibat robek atau
terpotongnya tali pusat
► Iatrogenik dari pengambilan sampel darah
berulang
► Perdarahan karena infeksi
(hematemesis dan atau melena)

2. Anemia hemolitik ► Hemolisis


o Imun: ketidaksesuaian Rhesus, ABO, dan golongan
darah minor
o Anemia hemolitik bawaan: sferositosis, defisiensi
G6PD
o Anemia hemolitik dapatan: infeksi,
DIC, defisiensi vitamin E, vitamin K
(overdosis)

3. Anemia hipoplastik
• Menurunnya produksi darah merah

• Penyebab,
antara lain: Infeksi seperti rubella atau
penekanan produksi oleh obat

PEMERIKSAAN Pucat, tanda kehilangan darah akut, yaitu gejala syok,


FISIS termasuk tekanan darah arteri rendah dan penurunan
hematokrit.

548
PEMERIKSAAN • Hitung darah lengkap/CBC (hemoglobin dan
PENUNJANG hematokrit) (ICD 9 CM: 90.5)
• Hitung retikulosit (ICD 9 CM: 90.5)
• Sediaan apus darah (ICD 9 CM: 90.5)
• Uji Comb Direk (ICD 9 CM: 90.5)
• Bilirubin total dan bilirubin direk (ICD 9 CM: 91.0)
• Golongan darah (ABO) dan tipenya
(Rhesus) (ICD 9 CM: 90.5)
• Profil hemolitik (ICD 9 CM: 90.0)
• Penapisan TORCH jika tersedia (ICD 9 CM: 90.5)
• USG kepala dan perut (ICD 9 CM: 88.71 dan 88.76)

KRITERIA Kadar hemoglobin vena sentral sebesar <13 g/dL atau


DIAGNOSIS kadar hemoglobin kapiler sebesar <14.5 g/dL, selama
periode neonatus (0-28 hari), pada bayi dengan usia
kehamilan > 34 minggu.

Congenital anaemia from fetal blood loss


DIAGNOSIS KERJA (ICD 10: P61.3)

DIAGNOSIS • Anaemia of prematurity (ICD 10: P61.2)


BANDING • Other congenital anaemias, not elsewhere
classified (ICD 10: P61.4)
• Rh isoimmunization of fetus and newborn
(ICD 10: P55.0)
• ABO isoimmunization of fetus and
newborn (ICD 10: P55.1)
• Other haemolytic diseases of fetus and
newborn (ICD 10: P55.8)
• Haemolytic disease of fetus and newborn,
unspecified (ICD 10: P55.9)
• Haemorrhagic disease of fetus and newborn
(ICD 10: P53)
• Haemolytic anaemias (ICD 10: D55-D58)

• Aplastic and other anaemias (ICD 10: D60D64)

549
TERAPI • Kadar hemoglobin, hematokrit, dan bilirubin harus
diperiksa secara sering untuk memantau anemia pada
neonatus
• Transfusi darah utuh (whole blood) atau butir-butir
darah merah (10-20 ml/kg) dapat dipertimbangkan
dalam kondisi ini:
► Anemia perdarahan akut
► Penggantian defisit yang berlanjut
(on going)
► Dipertahankannya kapasitas pengangkutan oksigen
yang efektif
• Ht < 35%,
♦ Dengan penyakit kardiopulmoner
parah, misal IPPV dengan MAP > 6 cm H 2O
▪ Ht < 30%,
♦ Dengan penyakit kardiopulmoner ringan
hingga sedang (FiO2 > 35% dan
memakai CPAP)
♦ Apnea yang bermakna
♦ Penambahan berat badan < 10 g/hari
dengan asupan kalori penuh
♦ Denyut jantung > 180 per menit yang
bertahan selama
24 jam
♦ Jika menjalani pembedahan
▪ Ht < 21%,
♦ Tidak bergejala tetapi hitung retikulositnya
rendah
• Suplemen zat besi tidak disarankan pada neonatus
kurang bulan sebelum usia kehamilan 34 minggu,
karena akan meningkatkan peroksidasi lipid pada
membran sel darah merah akibat oksigen
terbatas, mekanisme scavenger radikal pada
neonatus dengan kelainan ini.

550
Panduan ambang batas Hb dan Ht untuk pemberian
tranfusi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 112
Penggunaan Furosemid:
• Tidak direkomendasikan pada penggunaan
rutin
• Pertimbangakan segera pemberiannya pada
bayi dengan kondisi:
• bayi dengan penyakit paru kronis
• bayi dengan PDA signifikan
• bayi dengan gagal jantung
• bayi dengan edema atau kelebihan cairan

EDUKASI • Kenali gejala anemia pada neonatus


• Lakukan penatalaksanaan yang sesuai
PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia Bonam
Ad sanationam : Dubia Malam
Ad fungsionam : Bonam

DAFTAR RUJUKAN New HV, Berryman J, Bolton‐Maggs PH,


Cantwell C, Chalmers EA, Davies T, dkk. 113
Neonatal guidelines 2017-19.114
Colombatti R, Sainati L, Trevisanuto D, 115
Robert IAG, Murray NA.116
WC, Glader BE.117
Jones LL, Schwartz AL, David BW.118

Tabel 12. Standar transfusi internasional 112

551
4.28 Polisitemia neonatorum
PANDUAN PRAKTIK KLINIK

POLISITEMIA NEONATORUM
(ICD 10: P61.1)

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Panduan Praktik Tanggal


Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Polisitemia atau peningkatan massa sel darah merah


total, didefinisikan sebagai hematokrit vena sentral
≥ 65% pada pasien simptomatik dan ≥ 75%
pada pasien asimptomatik.

ANAMNESIS Penyebab Polisitemia


Transfusi sel darah merah plasenta
► Keterlambatan pemasangan klem pada tali pusat
► Tali pusat yang dikosongkan dengan cara darah
didorong ke arah bayi
(cord stripping)
► Memegang/menahan neonatus lebih rendah dari
ibu pada saat persalinan
► Transfusi maternal-fetal
► Transfusi kembar-kembar

Insufisiensi plasenta
► Bayi kecil untuk masa kehamilan
(KMK)
► Kelainan darah tinggi pada ibu
► Postmaturitas

552
► Bayi yang lahir dari ibu dengan hipoksia kronis
(penyakit jantung)
► Kehamilan pada daerah dengan tingkat ketinggian
yang tinggi (high altitude)
► Ibu adalah perokok

Kondisi-kondisi lain:
► Bayi dari ibu diabetes melitus
► Bayi besar untuk masa kehamilan
(BMK)
► Dehidrasi
► Sindrom trisomi (terutama trisomi 21)

PEMERIKSAAN Kulit: penundaan waktu pengisian ulang kapiler (CRT)


FISIS dan pletora
SSP: refleks hisap yang buruk, letargi, iritabilitas, apnea,
kejang; dan pada kasus parah, infark serebral
Kardiopulmonal: sianosis, takipnea, gagal jantung
kongestif dan peningkatan
resistensi vaskuler paru
Sistem gastrointestinal: enterokolitis nekrotikans
(NEC) karena pemberian minum secara dini
Ginjal: hematuria, proteinuria; dan pada kasus parah,
trombosis vena ginjal Hematologi: trombositopenia
dan ikterus
Lain-lain: hipoglikemia

PEMERIKSAAN Nilai hematrokit/vena sentral (ICD 9 CM:


PENUNJANG 90.5)
Kadar glukosa serum (ICD 9 CM: 90.5)
Kadar bilirubin serum (ICD 9 CM: 91.0)
Kadar kalsium serum (ICD 9 CM: 90.5)
Hitung trombosit (ICD 9 CM: 90.5)
Penilaian secara klinis berdasarkan anamnesis,
KRITERIA
pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KERJA Polycythaemia neonatorum (ICD 10:


P61.1)
DIAGNOSIS Transient neonatal thrombocytopenia (ICD
BANDING 10: P61.0)
Bacterial sepsis of newborn (ICD 10: P36)
Intracranial nontraumatic haemorrhage of fetus
and newborn (ICD 10: P52) Congenital pneumonia
(ICD 10: P23) Cardiovascular disorders
originating in the perinatal period (ICD 10:
P29)

553
TERAPI ► Bayi tanpa gejala dengan hematokrit vena antara 65-
70% dapat ditangani dengan peningkatan asupan
cairan dan mengulang pemeriksaan hematokrit pada
4-6 jam.
► Sebagian besar ahli neonatologi, dalam ketiadaan
gejala, akan melakukan transfusi tukar ketika
hematokrit vena perifer > 70%, meskipun hal ini masih
ini bersifat kontroversial.
► Bayi yang mengalami gejala dengan kadar hematokrit
vena > 65% harus ditangani dengan melakukan
tranfusi tukar parsial. Pertukaran biasanya dilakukan
dengan albumin 5% atau salin normal untuk membuat
kadar hematokrit turun hingga 50%.
Rumus berikut ini digunakan untuk menghitung volume
tukar
Volume tukar dalam ml =
(Hct yg teramati–Hct yg diharapkan) X BB X volume darah Hct yang
teramati

Kenali gejala awal polistemia neonatorum


EDUKASI
PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Bonam
Ad sanationam: Dubia Bonam
Ad fungsionam: Dubia Bonam
DAFTAR RUJUKAN Watchko JF. 119
Celik IH, Demirel G, Canpolat FE, Dilmen U.
120

4.29 Trombositopenia pada neonatus


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TROMBOSITOPENIA PADA NEONATUS


(ICD 10: P61.0)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

554
Panduan Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Praktik Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia

DEFINISI Trombositopenia ditandai oleh hitung trombosit yang rendah


pada neonatus. Trombositopenia neonatal didefinisikan
sebagai turunnya kadar trombosit dengan nilai lebih rendah
dari 150.000/µL.

ANAMNESIS Penyebab trombositopenia pada neonatus:


• Kelainan genetik, misalnya Trisomi 13, 18, 21 , dan TAR
• Penyakit autoimun pada ibu, misalnya lupus eritematosus
sistemik (SLE) atau idiopatik trombositopenia purpura
(ITP)
• Kondisi plasenta
• Infeksi ( bawaan atau dapatan)
• Disseminated intravascular coagulation
(DIC) atau trombosis
• Ibu HELLP syndrome

PEMERIKSAAN • Petekie di seluruh permukaan tubuh


FISIS • Perdarahan mukosa dan perdarahan spontan jika hasil
hitung trombosit < 20.000/mm3

555
• Perdarahan intrakranial mungkin terjadi pada
trombositopenia yang parah

Investigasi
Evaluasi dari trombositopenia awitan dini (< 72 jam sesudah
lahir)
• Bayi prematur dengan onset awal trombositopenia ringan-
sedang yang terbukti insufisiensi placenta, investigasi lanjut
tidak diperlukan sampai hitung trombosit tidak membaik
dalam10-14 hari
• Bayi prematur tanpa insufifsiensi placaenta, investigasi
pertama adalah untuk sepsis
• Bayi cukup bulan investigasi untuk sepsis dan NAIT
• Apabila trombositopenia berat periksa skrining pembekuan
darah
• Lihat adanya perdarahan aktif atau ptekie yang tampak
• Apabila ada kecurigaan infeksi kongenital (misal LFT
abnormal, rash, riwayat maternal dsb) atau
trombositopenia persisten atau tidak bisa dijelaskan,
pemeriksaan infeksi kongenital misal serologi CMV dan
toksoplasma; cek status maternal untuk sifilis, rubella dan
HIV; skrining herpes simpleks dan enterovirus
• Riwayat kehamilan, terutama hitung jumlah trombosit,
obat-obatan, pre eklampsia. Riwayat keluarga adanya
gangguan perdarahan
• Mungkin berhubungan dengan kelainan bawaan (misalnya
trisomi, inherited syndrome)

Evaluasi trombositopenia awitan lambat


• Trombositopenia yang tampak pada bayi setelah umur 3
hari, evaluasi kemungkinan sepsis atau NEC
• Bayi dengan risiko perdarahan, pikirkan keuntungan dari
transfusi trombosit

Pemeriksaan trombosit (ICD 9 CM: 90.5)


PEMERIKSAAN
PENUNJANG

556
KRITERIA Trombositopenia ringan: hitung trombosit 100-
DIAGNOSIS 150x109/L
Trombositopenia sedang: hitung trombosit 50-
100x109/L
Trombositopenia berat: <50x109/L

Hitung trombosit < 150.000/mm3 pada bayi cukup bulan


Hitung trombosit < 100,000/mm 3 pada bayi kurang bulan

DIAGNOSIS Transient neonatal thrombocytopenia (ICD 10: P61.0)


KERJA
DIAGNOSIS • Haemolytic disease of fetus and newborn
BANDING (ICD 10: P55)
• Neonatal jaundice due to other excessive
haemolysis (ICD 10: P58)
• Anaemia of prematurity (ICD 10: P61.2)
• Congenital anaemia from fetal blood loss (ICD
10: P61.3)
• Other congenital anaemias, not elsewhere
classified (ICD 10: P61.4)
• Other specified perinatal haematological
disorders (ICD 10: 61.8)
• Perinatal haematological disorder,
unspecified (ICD 10: 61.9)

TERAPI • Pengobatan penyebab kondisi yang terjadi


• Memberikan transfusi trombosit: satu unit trombosit
tunggal dapat menaikkan hitung trombosit sebesar 40.000-
50.000/mm3
Kenali gejala trombositopenia pada neonatus
EDUKASI
PROGNOSIS Ad vitam: Dubia Bonam
Ad sanationam: Dubia Bonam
Ad fungsionam: Dubia Bonam
DAFTAR Newborn Services Clinical Guideline. 121
RUJUKAN

557
4.30 Hemorrhagic Disease of The Newborn (HDN) pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIK

PENYAKIT PERDARAHAN PADA


NEONATUS
(HEMORRHAGIC DISEASE OF THE NEWBORN/
HDN)
(ICD 10: P55.9)

No. Dokumen No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi
2018

Panduan Praktik TanggalTerbit/Revisi


DITETAPKAN
Klinis
KETUA PP IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Penyakit perdarahan pada neonatus (Hemorrhagic


Disease of the Newborn/ HDN) Sindroma klinis
perdarahan spontan yang ditemukan pada bayi baru lahir
akibat kekurangan Vitamin K dan kofaktor yang
bergantung pada Vitamin K yaitu faktor II, VII, IX, dan X,
atau sering disebut perdarahan defisiensi vitamin K, atau
VKDB. Vitamin K berperan penting dalam pembekuan
darah. Karena vitamin K tidak diturunkan secara efisien
dari ibu ke bayi di dalam rahim, kebanyakan bayi lahir
dengan jumlah simpanan vitamin K yang rendah.

ANAMNESIS Vitamin K diperoleh dari diet dan dari sintesis flora usus.
Faktor ini mengalami defisiensi pada hari pertama
kehidupan. Pada saat simpanan vitamin K ibu menurun
pada hari pertama, defisiensi vitamin K menjadi semakin
parah.

558
Pendarahan dapat terjadi pada satu atau beberapa area,
yakni: perdarahan daerah umbilicus, selaput lendir hidung
dan mulut, saat dilakukan sirkumsisi, vaksinasi, perdarahan
saluran cerna atau benjolan kepala yang muncul sejak dini
(sefalohematoma). Dapat pula terjadi perdarahan
intrakranial yang dapat mengancam jiwa.

PEMERIKSAAN VKDB dikategorikan berdasarkan waktu gejala pertama:


FISIS Awitan dini terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran onset
klasik terjadi dalam dua hingga tujuh hari onset lambat
terjadi dalam dua minggu hinggaenam bulan

HDN Dini
► Mungkin terjadi bersamaan dengan pemaparan
maternal terhadap obat yang mempengaruhi
koagulasi seperti anti koagulan, anti konvulsan, dan
anti tuberkulosis

► Ditemui dengan perdarahan hebat selama


persalinan atau pada hari pertama kehidupan

HDN
► Klasik
Perdarahan biasanya terjadi di kulit,
gastrointestinal, atau berasal dari sunat
► Bayi tampak normal pada saat lahir, kemudian
perdarahan terjadi pada usia 1-7 hari

► Memar secara umum dapat dilihat di sekitar hidung


dan tali pusat

HDN Lambat
► Terjadi antara usia 1-3 bulan, biasanya dalam bentuk
perdarahan intra kranial
• Hitung trombosit normal (ICD 9 CM: 90.5)
PEMERIKSAAN
PENUNJANG • PT dan APTT memanjang (ICD 9 CM: 90.5)

Berdasarkan klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis,


KRITERIA
pemeriksaan penunjang)
DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KERJA Haemolytic disease of fetus and newborn,


unspecified (ICD 10: P55.9)

559
DIAGNOSIS • Haemolytic disease of fetus and newborn
BANDING (ICD 10: P55))
• Other specified perinatal haematological
disorders (ICD 10: 61.8)
• Perinatal haematological disorder,
unspecified (ICD 10: 61.9)
TERAPI Pr ofilaksis
► Vitamin K1 (phytonadione) 0,5-1 mg.

Berikan IM setelah bayi lahir. Pengobatan

► 5 mg vitamin K. Berikan secara IV atau IM


► Transfusi darah segar mungkin diberikan
► Plasma beku segar

EDUKASI Kenali gejala awal HDN pada neonatus Suntikan vitamin K-


1 membantu melindungi bayi baru lahir dari VKDB.

PROGNOSIS Ad vitam: Dubia Malam


Ad sanationam: Dubia Malam Ad
fungsionam: Malam
DAFTAR RUJUKAN Newborn Services Clinical Guideline 122
Brahim EH,Lamia K, Badr SB. 123
Waseem M.124
Sandy CR.125

4.31 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

DISSEMINATED INTRAVASCULAR
COAGULATION (DIC) PADA NEONATUS
(ICD 10: P60)

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

560
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Koagulasi Intravaskuler Diseminata (Disseminated


Intravascular Coagulation/DIC) merupakan proses
patologis yang ditandai oleh aktivasi sistemik dari
pembekuan darah, yang menghasilkan pembentukan dan
pengendapan fibrin, mengarahkan terjadinya trombus
mikrovaskuler di berbagai organ dan berkontribusi
terhadap sindrom disfungsi multi organ (MODS). 126,
127

Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit pada DIC


dapat menyebabkan perdarahan yang mengancam
jiwa.128

ANAMNESIS Faktor risiko DIC:


• Septikemia Gram Negatif
• Asidosis
• Hipoksia
• Hipotensi
• Respiratory distress syndrome (RDS)

• Asfiksia
PEMERIKSAAN • Petekie
FISIS • Perdarahan gastrointestinal
• Keluar darah dari tusukan/lubang pada vena
(venipuncture)
• Perdarahan umum dari berbagai lubang pada tubuh
• Infeksi

PEMERIKSAAN • Penurunan hitung trombosit (ICD 9 CM: 90.5)


PENUNJANG • Peningkatan PT dan PTT (ICD 9 CM: 90.5) • Fragmen sel
darah merah pada preparat apus darah (ICD 9 CM: 90.5)
• Penurunan fibrinogen (ICD 9 CM: 90.5)
• Peningkatan jumlah produk penguraian fibrinogen (ICD
9 CM: 90.5)

Berdasarkan klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis,


KRITERIA
pemeriksaan penunjang)
DIAGNOSIS

561
DIAGNOSIS KERJA Disseminated intravascular coagulation of fetus
and newborn (ICD 10: P60)
DIAGNOSIS BANDING • Haemolytic disease of fetus and newborn (ICD
10: P55)
• Neonatal jaundice due to other excessive
haemolysis (ICD 10: P58)
• Anaemia of prematurity (ICD 10: P61.2)
• Congenital anaemia from fetal blood loss
(ICD 10: P61.3)
• Other congenital anaemias, not elsewhere
classified (ICD 10: P61.4)
• Other specified perinatal haematological
disorders (ICD 10:
61.8)
• Perinatal haematological disorder,
unspecified (ICD 10: 61.9)
TERAPI • Prinsip manajemen adalah memantau tanda vital,
mengkaji dan mendokumentasikan proses perdarahan
dan thrombosis, mengkoreksi hypovolemia, serta
memberikan prosedur pengobatan hemostasis dasar
sesuai indikasi
• Vitamin K 1,0 mg IM

• Trombosit dan plasma beku segar dapat diberikan


• Jika perdarahan terus berlangsung, salah satu hal
berikut ini dilakukan:
► Transfusi tukar dengan darah utuh (whole blood)
sitrat segar atau packed cells yang dicampur
dengan plasma beku segar (FFP)

► Transfusi trombosit dan FFP


► Kriopresipitat (10 ml/kg)
► Jika DIC terkait dengan trombosis, berikan heparin

Kenali gejala awal DIC pada neonatus


EDUKASI
PROGNOSIS Ad vitam : Malam
Ad sanationam: Dubia Malam Ad
fungsionam: Malam
DAFTAR RUJUKAN Newborn Services Clinical Guideline 122
Costello RA, Nehring SM. 126
Vincent JL, De Backer D. 127
Papageorgiou C, Jourdi G, Adjambri E,
Walborn A, Patel P, Fareed J, dkk. 128

562
4.32 Pengendalian infeksi di Unit Perawatan Neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PENGENDALIAN INFEKSI DI UNIT


PERAWATAN NEONATUS

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Panduan Praktik Tanggal


Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter Anak
Indonesia

PENDAHULUAN Faktor yang memengaruhi infeksi nosokomial:


• Imaturitas sistem imun terutama pada bayi kurang
bulan
• Prosedur invasif yang merusak jaringan seperti
dilakukannya intubasi, kateterisasi, dan
pemasangan berbagai jalur intravaskular
• Terlalu banyak bayi dan pengunjung serta kurangnya
staf di unit perinatologi
• Penggunaan antibiotik yang tidak tepat
• Tidak dipatuhinya kebijakan pengendalian
infeksi terutama untuk prosedur cuci tangan

563
PENERAPAN Lingkungan Ruang Bayi
PENGENDALIAN • Ruang bayi harus terpisah dari lingkungan jalan dan
INFEKSI tidak ada jendela yang terbuka ke daerah luar.
• Semua jalan masuk ke ruang perinatologi harus ada
wastafel dengan keran yang bisa dibuka/ditutup
dengan siku atau kaki dan sabun cair serta handuk
sekali pakai untuk cuci tangan yang benar sebelum
masuk ruang bayi.

564
• Batasi jumlah orang di ruang bayi.
• Harus ada ruang atau daerah isolasi.
• Lantai ruang bayi harus bersih sesuai ketentuan PPI
• Linen di dalam inkubator harus diganti sekali sehari
atau jika terkontaminasi. Inkubator harus dibersihkan
dengan air steril sekali sehari atau jika terkontaminasi.
Inkubator harus diganti supaya bisa dibersihkan secara
menyeluruh dengan larutan hipoklorida
0,5%/antiseptik
• Setiap 5 hari untuk bayi <1000 gram
• Setiap minggu untuk bayi >1000 gram
• Label untuk menuliskan tanggal pembersihan harus
ditempel pada setiap inkubator
• Harus ada area yang khusus untuk melakukan
disinfeksi inkubator.
• Harus ada wastafel dinding di dalam ruang bayi, satu
untuk setiap tiga inkubator
• Pemisahan limbah dibagi atas:
• Sampah infeksius (kantung berwarna kuning)
Dressing bedah, kasa, verband, kateter, swab,
plester, masker, sarung tangan, kapas lidi, kantong
urin, sampah yang terkontaminasi dengan cairan
tubuh.
• Sampah domestik/rumah tangga
(kantong berwarna hitam)
Kertas, plastik, plastik bungkus spuit/infus, kardus,
kayu, kaleng, daun, sisa makanan, sampah yang
tidak terkontaminasi cairan tubuh pasien.
• Sampah benda tajam (kotak berwarna kuning)
Jarum suntik, pisau cukur, pecahan ampul, gelas
obyek, lancet, sampah yang memiliki
permukaan/ujung yang tajam.

565
• Semua limbah cair (darah, cairan lendir & sekresi)
dibuang di saluran air kotor dan disiram dengan air
dalam jumlah banyak.
• Semua limbah tajam dibuang kedalam penampungan
yang tahan tusukan dan air tidak pernah
memberikan dari tangan ke tangan untuk dibuang.

Petugas
Prosedur Cuci Tangan
• Gulung lengan baju hingga siku dan lepaskan semua
perhiasan.
• Sebelum masuk ruangan, cuci tangan secara seksama
selama tiga menit dengan sikat untuk cuci tangan pra
bedah yang basah dan larutan pencuci tangan
antiseptik. Mulai dari tangan, bawah kuku dan bagian
sisi jari.
• Bilas secara seksama dengan air
mengalir.
• Keringkan dengan tisu.
• Bilas tangan selama 15 detik atau lebih lama sebelum
menangani pasien berikutnya.
• Direkomendasikan untuk menggunakan sarung
tangan jika akan ada kontak dengan darah, cairan
tubuh, selaput lendir atau kulit yang tidak utuh.

Neonatus
• Tali pusat harus kering dan bersih.
• Salep/tetes mata profilaktik diberikan kepada semua
neonatus pada hari pertama.
• Neonatus yang dirujuk dari masyarakat harus
ditempatkan di area khusus di ruang bayi dan
langkah pencegahan untuk penanganan diterapkan
selama 72 jam pertama. Hal ini harus dinyatakan
dengan jelas pada inkubator atau pintu masuk
ruangan.

566
• Neonatus dalam kondisi berikut memerlukan isolasi
menurut kategori tertentu, yaitu :
• Infeksi stafilokokus
• Konjungtivitis bakteri
• Gastroenteritis
• Luka infeksius
• Infeksi yang menular melalui udara; varicella,
contohnya, memerlukan isolasi di ruang terpisah.

PERLENGKAPAN Pencucian dan sanitasi


• Perlengkapan yang diperlukan untuk pemberian
asupan dan nutrisi:
• Sterilisasi cangkir susu dengan benar. Botol tidak boleh
digunakan karena akan mengakibatkan bingung puting
• Menggunakan air steril untuk mempersiapkan formula
• Sonde lambung untuk asupan diganti setiap 2-3 hari
• Cuci tangan sebelum dan sesudah mempersiapkan
minum.
• Hal yang harus dilakukan untuk jalur infus: o Ganti
cairan infus steril setiap hari o Evaluasi kasa setiap
hari o Ganti kasa jika kotor atau basah
o Evaluasi semua jalur masuk infus setiap hari.
Kultur area yang terlihat terkena infeksi (misal
merah,
bengkak atau teraba panas)
o Ganti buret dan tabung infus setiap
3-5 hari
o Ganti spuit 50 cc untuk infus setiap pergantian
cairan.

• Hal yang harus dilakukan pada perlengkapan


pernapasan:
o Setiap pasien baru, menggunakan alat sirkuit
pernapasan yang baru
• Hal yang harus dilakukan pada perlengkapan pengisap
lendir:
o Ganti air dalam alat pengisap lendir setiap hari

o Cuci selang pengisap lendir setiap kali setelah


digunakan pada satu bayi

567
KEBIJAKAN • Petugas unit perawatan neonatus harus selalu
waspada kemungkinan penyebaran penyakit
oleh mereka kepada neonatus
• Petugas ruang bayi dianjurkan untuk melaporkan
adanya penyakit menular kepada penyelianya.
• Penyakit yang dapat dilaporkan adalah infeksi
stafilokokus kutaneus, penyakit pernapasan,
konjungtivitis dan gastroenteritis.

SURVEILANS • Surveilans rutin insidensi infeksi yang menyebar di


ruang bayi merupakan keharusan.
• Selama terjadinya KLB
• Melakukan kultur dengan mengambil contoh bakteri
yang mungkin ada di permukaan tertentu.
• Melakukan kultur darah neonatus yang terkena
infeksi.
• Mengidentifikasi bakteri yang telah diisolasi.
• Perlu dilakukan kultur bakteri dari petugas,
perlengkapan dan lingkungan di ruang bayi.

DAFTAR RUJUKAN Ramasethu. 129


Winnipeg Regional Health Authority. 130
Polin RA, Denson S, Brady MT, Committee on F, Newborn,
Committee on Infectious D.
131

4.33 Sepsis Neonatorum


PANDUAN PRAKTIK KLINIK

SEPSIS NEONATORUM
(ICD 10: P36)

568
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik
Terbit/Revisi PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis penyakit


sistemik, disebabkan oleh mikroorganisme atau
produknya yang terjadi pada masa neonatus.

Suatu sindroma respon inflamasi janin / FIRS disertai


gejala klinis infeksi yang diakibatkan adanya
mikroorganisme di dalam darah pada neonatus.

• Klasifikasi :
1. Early Onset (dini):
terjadi pada 72 jam pertama kelahiran dengan
manifestasi klinis yang mendukung, dengan
gejala sistemik yang berat.
Faktor risiko :
- Berat badan lahir rendah < 2500 gram atau
prematur
- Ibu dengan demam atau terbukti infeksi dalam 2
minggu sebelum persalinan
- Cairan ketuban bercampur mekonium atau
berbau

569
- Pecah ketuban lebih dari 24 jam
- Pemeriksaan vagina lebih dari 3 kali yang steril
atau 1 kali yang tidak bersih selama persalinan
- Persalinan tidak maju (kala 1 dan kala 2 lebih dari
24 jam)
- Asfiksia perinatal (Apgar skore <4 pada menit
pertama)

2. Late Onset (lambat): timbul setelah usia 72 jam


dengan manifestasi klinis sistemik yang berat.
Faktor risiko:
- Berat badan lahir rendah
- Prematuritas
- Perawatan Neonatal Intensive Care Unit
(NICU)
- Penggunaan ventilasi mekanis
- Prosedur invasif
- Pemberian cairan parenteral

Infeksi nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada


neonatus yang timbul setelah
48 jam dirawat di rumah sakit

ANAMNESIS Faktor Risiko 1)


Maternal :
Ibu dengan toksemia, demam, KPD > 18
jam, ketuban berbau

2) Intrapartum
Trauma kulit dan pembuluh darah selama persalinan,
atau tindakan
obstetri yang invasif

3) Postnatal :
Asfiksia, tindakan invasif seperti insersi intrumen dan
durasinya (misalnya pemasangan selang nasogastrik,
selang endotrakea, ventilasi mekanik, pemasangan
CVC, chest tube, transfusi darah atau transfusi tukar,
dan lumbal

pungsi), penggunaan medikasi bersamaan seperti


nutrisi parenteral.

570
PEMERIKSAAN Gejala tidak spesifik :
FISIS - Instabilitas suhu
- Letargi, sulit menyusu, menangis lemah
- Perfusi buruk, memanjangnya CRT
- Hipotonus, hilangnya refleks neonatal
- Bradikardi atau takikardi
- Gawat nafas, apnea, gasping
- Hipoglikemia atau hiperglikemia
- Asidosis metabolik

Gejala spesifik
- SSP : fontanel anterior menonjol, tangis
melengking, iritabel, stupor atau koma, kejang,
tatapan kosong, dan leher kaku. Dipertimbangkan
meningitis
- Sistem kardiovaskular : hipotensi, perfusi buruk,
syok
- Sistem gastrointestinal : intoleransi buruk,
muntah, diare, distensi abdomen, ileus paralitik,
NEC
- Hepatik : hepatomegali, hiperbilirubinemia direk
- Ginjal : gagal ginjal akut
- Hematologi : perdarahan, ptekiae, purpura
- Perubahan kulit : pustula multipel, abses,
sklerema, mottling, kemerahan dan sekret di
sekitar umbilikal.

PEMERIKSAAN • Rasio imatur/total (rasio I/T) (ICD 9 CM:


PENUNJANG 90.5)
• Hitung total neutrofil (ICD 9 CM: 90.5)
• Rasio imatur/matur (rasio I/M) (ICD 9 CM: 90.5)
• Hitung neutrofil imatur (ICD 9 CM: 90.5)
• Jumlah leukosit (ICD 9 CM: 90.5)
• Perubahan degenerasi neutrofil (ICD 9 CM: 90.5)
• Jumlah trombosit (ICD 9 CM: 90.5)

571
• Kultur darah (ICD 9 CM: 90.52)
• Lumbal pungsi (ICD 9 CM: 03.31)
• Biomarker: reaktan fase akut [C-reactive protein
(CRP), procalcitonin (PCT), Serum
Amiloid-A (SAA), LipopolysacharideBinding
Protein (LBP)], sitokin [tumor necrosis factor
(TNF), interleukin 1 (IL-1), IL-2, IL-8 dan interferon
gamma (IFN-γ)] dan sel antigen permukaan [cluster
differentiation (CD) 11b, reseptor FcgI-III (CD64,
CD32, dan CD16), CD69]. (ICD 9 CM: 90.5)

KRITERIA Berdasarkan klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis,


DIAGNOSIS pemeriksaan penunjang)
• FIRS (Fetal inflammatory response
syndrome/ Sindroma respon inflamasi
janin)
• Laju napas > 60 x/menit atau <30 x/menit atau apnea
dengan atau tanpa retraksi dan desaturasi oksigen
• Suhu tubuh tidak stabil (< 360C atau
> 37,50C)
• Waktu pengisian kapiler > 3 detik
• Hitung leukosit < 4.000 x 109/L atau > 34.000 x 109/L
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan tersebut di
atas disebut sebagai FIRS

• TERDUGA/ SUSPEK SEPSIS


Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai
gejala klinis infeksi (letargis, apne, bradikardi,
takikardi, tidak mau menyusu)

• TERBUKTI/ PROVEN SEPSIS


Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai
bakteremia / kultur darah positif

• Laboratorium :
o Leukositosis (> 34.000 x 109/L) o Leukopenia (<
4.000 x 109/L) o Netrofil muda >10%

o Perbandingan netrofil immatur (stab) dibanding


total (stab+segmen) atau
I/T ratio > 0,2
o Trombositopenia < 100.000 x 109/L) o
Peningkatan CRP serial di atas nilai normal

DIAGNOSIS KERJA Bacterial sepsis of newborn (ICD 10: P36)

572
DIAGNOSIS • Congenital viral diseases (ICD 10: P35)
BANDING • Other congenital infectious and parasitic
diseases (ICD 10: P37)
Antibiotik sesuai pola kuman di rumah sakit masing-
TERAPI
masing
EDUKASI Kenali tanda dan gejala sepsis pada neonatus
Lakukan cuci tangan secara efektif
Tata laksana dengan komprehensif

PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Malam


Ad sanationam: Dubia Malam
Ad fungsionam: Dubia Malam
DAFTAR RUJUKAN Brady MT, Polin RA. 132
133
Rohsiswatmo R, Nisa S.
Wandita. 134
Lusyati, Sauer PJJ. 135
Mustarim. 136
Shane AL, Sanchez P, Stoll JB. 137
Gebremedhin D, Berhe H, Gebrekirstos K. 138
Kung YH, Hsieh YF, Weng YH. 139
Hendrarto TW. 140
Wibowo T. 141
WHO. 142
Aggarwal R, Sarkar N, Deorari AK, Paul VK.
143

4.34 Syok pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

SYOK PADA NEONATUS


(ICD 10: R57)

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

573
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Syok: suatu sindrom akut yang ditandai oleh perfusi


sirkulasi yang tidak memadai pada jaringan untuk dapat
memenuhi kebutuhan metabolisme organ-organ vital
sehingga terjadi disfungsi organ.
Hipotensi: Tekanan darah < 2 standar deviasi sesuai
dengan usia gestasi

ANAMNESIS Penyebab syok hipovolemik


1.Kehilangan darah/cairan intrapartum
• Plasenta
• Tali pusat
• Twin-to-twin transfusion
2. Perdarahan pascanatal : intrakranial, paru
3. Lain-lain : dehidrasi

Penyebab syok septik:


Infeksi berat bakteri, virus atau jamur yang menyebabkan
integritas vaskular hilang sehingga cairan keluar dari
pembuluh darah ke jaringan

Penyebab syok kardiogenik


• Asfiksia intrapartum atau pascapartum
• Penyakit jantung
• Infeksi bakteri atau virus
• Hipoksia dan/atau asidosis metabolik
• Hipoglikemia berat
• Gangguan metabolik dan/atau elektrolit berat
• Gangguan sirkulasi
• Artimia

574
PEMERIKSAAN Tanda penurunan perfusi:
FISIS • SSP : iritabilitas, letargi, dan koma
• Sistem kardiovaskular : takikardia, hipotensi
dan pemanjangan CRT
• Paru : takipnea, merintih, retraksi
• Ginjal : oliguria, anuria dan uremia
• Kulit : pucat, kutis marmorata, ekstremitas dingin,
perfusi buruk, dan sianosis.

PEMERIKSAAN Umum
PENUNJANG Darah perifer lengkap, elektrolit, glukosa
(ICD 9 CM: 90.5)
C-reactive protein (ICD 9 CM: 90.5)
Analisis gas darah (ICD 9 CM: 89.65)

Syok septik
Kultur darah, CSF, urine, dan sumber infeksi lainnya (ICD 9
CM: 90.52; 90.02 dan
91.32)

Syok kardiogenik
Elektrokardiografi (ICD 9 CM: 89.52)

KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan didukung


DIAGNOSIS pemeriksaan penunjang

DIAGNOSIS KERJA Syok hipovolemik (ICD 10 : R57.1)


Syok septik (ICD 10 : R57.2)
Syok kardiogenik (ICD 10: R57.0)
Syok lainnya (ICD 10: R57.8)
DIAGNOSIS
Syok, unspecified (ICD 10: R57.9)
BANDING

575
TERAPI Tata Laksana Umum
• Bolus intravena sejumlah 20 ml/kg normal salin (bisa
diulang dua kali).
• Bila ada perdarahan dapat diberikan transfusi darah
dan komponennya.
• Jika tidak terdapat respons, dapat ditambahkan agen
inotropik.
• Agen inotropik: mulai dengan infus dopamin 5-10
mcg/kgBB/menit kemudian tambahkan dobutamin (5-
20 mcg/kgBB/menit)
• Mengoreksi hipoksia dan memberikan dukungan
pernapasan sesuai dengan kebutuhan.
• Mengoreksi hipoglikemia dan ketidakseimbangan
elektrolit jika ditemui.

EDUKASI Mengenali faktor risiko syok pada neonatus


Kenali tanda bahaya syok
Atasi infeksi dengan antibiotik yang sesuai
Segera bawa ke fasilitas kesehatan
PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Bonam
Ad sanationam : Dubia Bonam
Ad fungsionam : Bonam

DAFTAR RUJUKAN WHO. 144

Davis, Carcillo JA, Aneja RK, Deymann AJ,


Lin JC, Nguyen TC. 145

4.35 Kelainan jantung yang sering ditemui pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KELAINAN JANTUNG YANG SERING DITEMUI


PADA NEONATUS
(ICD 10: P29)

No. Dokumen No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi
2018

576
Panduan Praktik TanggalTerbit/Revisi
DITETAPKAN
Klinis
KETUA PP IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Penyakit jantung kongenital: kelainan struktur atau


fungsi jantung akibat gangguan pembentukan jantung,
katup jantung dan pembuluh darah pada saat janin dan
menetap sesudah lahir dengan klinis sianosis maupun
asianosis. Bentuk penyakit jantung kongenital asianosis yang
paling sering ditemui adalah defek septum ventrikel atau
ventricular septal defect (VSD), defek septum atrium
atau atrial septal defect (ASD) dan patent ductus
arteriosus (PDA). Bentuk penyakit jantung kongenital
sianosis yang paling sering ditemui adalah Tetralogy of
Fallot (ToF), dan
Transposition of Great Arteries (TGA)

Duktus arteriosus paten atau patent ductus


asteriosus (PDA): adanya pembuluh darah yang
menghubungkan percabangan arteri pulmonalis kiri ke aorta
desendens tepat di sebelah distal arteri subklavia kiri yang
sifatnya menetap.

Gagal jantung: sindrom klinis akibat jantung tidak


mampu memompakan darah dalam jumlah yang cukup ke
seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan dan menerima
aliran darah balik dari vena sistemik dan pulmonal atau
kombinasi kedua hal tersebut.

ANAMNESIS ▪ Berat badan sulit naik


▪ Menetek terputus-putus
▪ Kesulitan bernapas : napas cepat, tarikan dinding dada
▪ Kadang-kadang tampak kebiruan di sekitar mulut dan
ujung-ujung jari tangan dan kaki

577
PEMERIKSAAN ▪ Adanya bunyi murmur (tergantung penyakit jantung
FISIS kongenital)
▪ Mean arterial pressure (MAP) melebar (interval
normal antara tekanan darah sistolik dan diastolik
bervariasi sesuai dengan usia gestasi)
▪ Sianosis yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespon
terhadap terapi O2 dengan atau tanpa disertai bising
jantung. Pertimbangkan kemungkinan penyakit
jantung kongenital sianotis.
▪ Jika saturasi oksigen dibawah normal (< 90%)
dipertimbangkan kemungkinan penyakit jantung
kongenital sianosis.
▪ Adanya perbedaan saturasi oksigen di ekstremitas atas
dan bawah > 10% dipertimbangkan kemungkinan
koartasio aorta.

Gagal jantung:
• Takipnea dan takikardia
• Peningkatan usaha napas
• Pengisian ulang kapiler memanjang

PEMERIKSAAN • Rontgen dada dapat memperlihatkan kardiomegali


PENUNJANG (Cardiothoracic ratio > 0,65), disertai ada tidaknya
pletora/edema paru (ICD 9 CM: 87.44)
• Elektrokardiografi (EKG) dapat menunjukkan adanya
hipertrofi ventrikel (ICD 9 CM: 89.52)
• Konfirmasi penyakit jantung kongenital dengan
ekokardiografi (ICD 9 CM: 88.72)

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan


KRITERIA
penunjang
DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KERJA Ventricular septal defect (ICD 10: Q21.0)


Atrial septal defect (ICD 10: Q21.1)
Patent ductus arteriosus (ICD 10: Q25.0)
Transposition of great arteries (ICD 10: Q20.3)
Tetralogy of Fallot (ICD 10: Q21.3)
Coarctatio aorta ( ICD 10: Q25.29)
Neonatal cardiac failure (ICD 10: P29.0)
DIAGNOSIS BANDING Cardiovascular disorders originating in the
perinatal period (P29.0-P29.9)

578
TERAPI Terapi suportif
▪ Restriksi cairan
▪ Diuretik apabila dicurigai adanya kelebihan beban
cairan (periksa penambahan berat yang berlebihan
dan edema perifer). Dapat dipertimbangkan pemberian
:
-Spironolakton 1-2 mg/kgBB/kali
- Furosemid 1-2mg/ kgBB/kali
▪ Oksigenasi yang memadai, hati-hati pemberian oksigen
terlalu tinggi pada penyakit jantung kongenital sianotik.
▪ Parasetamol diberikan pada bayi prematur dengan PDA
yang menimbulkan gangguan hemodinamik secara
klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan
ekokardiografi, dengan dosis 1015mg/kgBB/6jam
selama 5 hari atau ibuprofen selama 3 hari dengan
dosis 10 mg/kg hari pertama, dilanjutkan 5 mg/kg pada
hari kedua dan ketiga.

Terapi pembedahan
▪ Ligasi PDA dilakukan pada bayi prematur dengan PDA
yang menunjukkan gejala hemodinamik yang signifikan
yang tidak memberikan respons dengan obat-obatan
atau terdapat kontraindikasi
medikamentosa

Gagal jantung:
▪ Atasi penyebab
▪ Oksigen yang memadai
▪ Perlu rujukan segera ke pusat perawatan khusus yang
memiliki tenaga ahli jantung anak

Kenali tanda dan gejala awal adanya kelainan bawaan pada


EDUKASI
bayi
PROGNOSIS Tergantung besar, jenis defek dan
kompleksitas penyakit jantung kongenital
DAFTAR RUJUKAN Semberova. 146
Terrin G. 147
Ohlsson A, Walia R, Shah SS.148

579
4.36 Pemberian ASI di fasilitas kesehatan

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PEMBERIAN ASI DI FASILITAS


KESEHATAN

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Panduan Praktik Tanggal


Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Air Susu Ibu (ASI): minuman yang dianjurkan untuk


semua bayi baru lahir (BBL), termasuk bayi kurang bulan
(BKB) ASI eksklusif: pemberian ASI saja pada bayi
tanpa cairan atau makanan lain; dianjurkan diberikan
selama 6 bulan pertama kehidupannya.
Inisiasi menyusu dini (IMD): memberi
kesempatan bayi menyusu sendiri segera setelah lahir
dengan meletakkan bayi di dada atau perut ibu dan kulit
bayi melekat pada kulit ibu (skin to skin contact)
setidaknya selama 1-2 jam sampai bayi menyusu sendiri.

SEPULUH Berikut 10 langkah menuju keberhasilan menyusui


LANGKAH (expansion):
MENUJU
1. Mempunyai kebijakan tertulis yang secara rutin
KEBERHASILAN dikomunikasikan kepada seluruh karyawan RS
MENYUSUI
2. Mendidik staf tenaga kesehaan agar memiliki
pengetahuan tentang menyusui

580
3. Menginformasikan kepada ibu hamil yang dirawat di
rumah sakit yang berisiko melahirkan bayi prematur
atau bayi sakit tentang manajemen laktasi dan
menyusui, serta manfaat menyusui
4. Mendorong terjadinya kontak kulit ke kulit sedini
mungkin, berkelanjutan, dan dalam jangka panjang
tanpa pembatasan yang tidak perlu
5. Menunjukkan kepada ibu cara memulai dan
mempertahankan laktasi, serta mulai menyusui dini
dengan stabilitas bayi sebagai satu-satunya kriteria
6. Tidak memberikan makanan atau minuman selain ASI,
kecuali ada indikasi medis
7. Membiarkan ibu dan bayinya bersamasama selama
24 jam sehari
8. Mendorong pemberian ASI berdasarkan demand
atau, saat diperlukan, semidemand, sebagai strategi
peralihan bagi bayi prematur dan sakit
9. Memakai alternatif botol hingga menyusui bisa
dilakukan dan menggunakan dot dan nipple shields
hanya jika ada alasan yang jelas
10. Menyiapkan orang tua untuk terus menyusui dan
memastikan akses terhadap kelompok pendukung ASI
setelah keluar dari rumah sakit

TATA LAKSANA IMD a. Anjurkan suami atau anggota keluarga mendampingi


ibu waktu bersalin
b. Anjurkan tindakan non-farmakologis untuk
membantu ibu melalui proses persalinan (berikan
pijatan, aromaterapi, cairan, bergerak)
c. Biarkan persalinan berlangsung sesuai dengan posisi
yang diinginkan oleh ibu
d. Keringkan Bayi secepatnya, biarkan lapisan putih
(verniks) yang melindungi kulit bayi

581
e. Lakukan kontak kulit dengan kulit dengan cara
meletakkan bayi di atas dada ibu, menghadap ibu,
dan tutupi keduanya dengan kain atau selimut
f. Biarkan bayi mencari payudara ibu sendiri. Ibu akan
merangsang bayinya dengan sentuhan dan bisa juga
membantu memposisikan bayinya lebih dekat
dengan puting (jangan memaksakan memasukkan
puting susu ibu ke mulut bayi)
g. Teruskan kontak kulit dengan kulit hingga menyusui
pertama kali berhasil dilselesaikan dan selama bayi
menginginkannya.
h. Ibu yang melahirkan melalui sectio caesaria juga bisa
melakukan kontak kulit dengan kulit setelah bersalin
i. Bayi dipisahkan dari ibunya untuk ditimbang, diukur
dan diberikan obat preventif setelah menyusu awal.
Tunda prosedur yang invasif atau membuat stress
seperti menyuntik vitamin K dan menetesi mata bayi
j. Jangan memberikan minuman atau makanan
pralaktal, kecuali ada indikasi medis yang jelas.

POSISI MENYUSUI • Tubuh bayi dekat dengan tubuh ibu


YANG BENAR • Bayi datang dari arah bawah bayi sehingga dagu bayi
adalah bagian pertama yang melekat pada payu dara
dengan hidung menghadap puting ibu
• Kepala dan tubuh BBL dalam posisi lurus
• Dagu bayi menyentuh payudara ibu, dada bayi
melekat pada dada ibu
• Seluruh tubuh bayi disangga, tidak hanya bagian leher
dan bahu saja

PERLEKATAN YANG • Lebih banyak daerah areola yang terlihat di atas


BAIK mulut daripada di bawah mulut BBL
• Mulut terbuka lebar
• Bibir bawah terlipat ke arah luar
• Dagu menyentuh payudara

• Pengisapan efektif terlihat dari isapan yang lambat,


dalam, menelan dan jeda

582
PENCEGAHAN Pembengkakan
MASALAH DALAM • Memberikan ASI yang sering dan sesuai permintaan
MENYUSUI • Pemberian kompres hangat akan membantu saluran
ASI tetap terbuka dan ASI mengalir.
• Masase payudara dengan lembut
• Pengeluaran ASI dengan tangan bisa membantu
mencegah pembengkakan

Puting Lecet
• Pengeluaran ASI untuk merangsang
aliran ASI
• Masase payudara untuk menjaga patensi saluran ASI
• Memulai pemberian ASI dari payudara yang tidak
sakit atau tidak terkena
• Posisikan bayi dengan hati-hati, dekat dengan ibu
untuk memastikan kelekatan yang tepat
• Perubahan posisi yang sering akan membantu
mencegah iritasi jaringan

TATA LAKSANA Pembengkakan


MASALAH DALAM • Mengevaluasi tanda-tanda mastitis atau infeksi
MENYUSUI payudara yang perlu dirawat dengan pemberian
antibiotika sistemik
• Pemberian kompres hangat bisa menghilangkan
pembengkakan
• ASI harus tetap diberikan selama pembengkakan
terjadi
• Pemerahan ASI secara mekanis mungkin perlu
untuk mengatasi pembengkakan yang parah

Puting Lecet
• Puting harus tetap bersih dan kering untuk
mempercepat pemulihan
• Puting harus dibilas dengan ASI yang dikeluarkan
(bukan sabun atau alkohol)

• Puting harus dibiarkan kering sendiri oleh udara


• Sariawan mungkin menyebabkan puting lecet dan
pecah-pecah. Bila keadaan ini terus berlanjut, ibu
dan bayinya sebaiknya dievaluasi oleh dokter.

583
ASUHAN BAYI • Jika bayi kelihatan mengisap dengan lemah atau
YANG KESULITAN tidak efektif, pengeluaran ASI dengan tangan akan
MENYUSU membantu memulai refleks let down dan
merangsang bayi untuk menetek.
• Bayi dengan refleks isap dan menelan yang tidak
terkoordinasi atau kelainan mengisap harus
dievaluasi selama menetek untuk mengetahui
apakah dengan posisi yang berbeda hasilnya lebih
baik. Metode alternatif, seperti menggunakan
sendok, cangkir atau sonde dapat dipertimbangkan.
• Bayi yang menunjukkan kesulitan menetek harus
dievaluasi menurut protokol berikut
• Mengkaji riwayat perinatal
• Melakukan penilaian fisik yang seksama termasuk
tanda vital dan status kardiopulmonal sebelum dan
selama menetek. Terutama amati koordinasi refleks
isap-menelannapas.
• Oksimetri mungkin bermanfaat selama evaluasi.
Jika perlu, pertimbangkan pemberian oksigen
tambahan melalui kanula hidung atau tiupan
oksigen.
• Selama pemberian ASI bagi bayi berisiko atau
kurang bulan, suhu harus dipertahankan dengan
kontak kulit dengan kulit dan topi.
• Kenaikan berat badan dan asupan nutrisi harus
dipantau.

Indikasi
TEKNIK
1. Pembengkakan payudara
MEMERAH ASI

584
2. BBL sakit dan berisiko yang memerlukan asupan
alternatif
3. Ibu tidak hadir untuk menyusui dan
ASI harus disimpan

Memerah ASI dengan tangan


Alasan
1. Sebagai persediaan saat bayi dan ibu terpisah
2. Meningkatkan produksi ASI
3. Menghilangkan sumbatan duktus
4. Memberi minum bayi sambil bayi belajar mengisap
dari puting yang terbenam
5. Memberi minum bayi yang mengalami kesulitan
mengisap
6. Memberi minum bayi yang ‘menolak’, sambil
bayi belajar minum
7. Memberi minum bayi berat badan lahir rendah yang
tidak dapat menetek
8. Memberi minum bayi sakit yang tidak bisa mengisap
dengan kuat
9. Menjaga keberadaan ASI apabila ibu atau bayi sakit
10. Menyediakan ASI untuk bayi jika ibu pergi atau
bekerja
11. Mengeluarkan ASI langsung ke mulut bayi
12. Mencegah puting dan areola menjadi kering atau
lecet

Panduan
1. Cuci tangan sampai bersih dengan sabun
2. Jika mungkin, perah ASI di tempat yang tenang dan
santai. Bayangkan anda sedang berada di tempat
yang menyenangkan. Pikirkan hal menyenangkan
mengenai bayi anda. Kemampuan anda untuk
merasa santai

585
akan membantu refleks pengeluaran ASI yang lebih
baik.
3. Berikan kompres hangat dan lembab pada payudara
anda selama 3-5 menit sebelum mengeluarkan ASI
4. Pijat payudara anda dengan gerakan melingkar, ikuti
dengan pijatan lembut pada payudara dari sisi luar
ke arah puting
5. Stimulasi puting dengan lembut dan tarik sedikit ke
arah luar atau memutarnya dengan jari
6. Duduk dengan nyaman dan pegang wadah di dekat
payudara
7. Tempatkan ibu jari di bagian atas payudara pada tepi
areola (jam 12) dan jari telunjuk di bawah payudara
pada tepi areola (jam 6). Jari-jari yang lain
menyangga payudara
8. Tekan ke arah belakang kearah dinding dada,
kemudian kearah depan kearah puting tanpa jari-jari
bergesar .Ibu jari dan telunjuk – ibu harus menekan
sinus laktoferus yang ada di belakang areola.
Kadang-kadang sinus dapat teraba seperti biji
kacang. Bila ibu dapat meraba sinus ini, ibu dapat
menekan di atasnya
9. Tidak boleh ada rasa sakit – bila ada rasa sakit
berarti tekniknya salah.
10. Mungkin awalnya tidak ada ASI yang keluar, tapi
menekan beberapa kali, ASI akan mulai menetes. ASI
akan mulai mengalir lebih lancar bila refleks
oksitosin menjadi aktif.
11. Ulangi dengan pola yang teratur, tekan pada
bagian payudara yang berbeda untuk mengosongkan
semua sinus

586
12. Hindari menggosok dengan jari di atas kulit
payudara. Gerakan jari harus memutar.
13. Hindari memerah puting. Menekan atau menarik
puting tidak akan membuat ASI keluar. Hal ini juga
terjadi apabila bayi hanya mengisap puting.
14. Perah setiap payudara selama 3-5 menit sampai
aliran makin sedikit kemudian perah payudara yang
satu lagi, kemudian ulangi pada kedua payudara
15. Masukkan ASI yang sudah diperah, langsung ke
dalam wadah yang bersih (gunakan gelas kaca atau
plastik keras)
16. Setiap kali memerah ASI, mungkin jumlah ASI
yang keluar akan berbeda
17. Setelah selesai, oleskan beberapa tetes ASI pada
setiap puting dan biarkan kering sendiri
18. Tampilan ASI berubah selama pemerahan. Pada
beberapa sendok pertama, ASI akan terlihat bening
dan kemudian ASI akan menjadi putih susu.
Beberapa obat, makanan, vitamin, mungkin akan
sedikit merubah warna ASI. Lemak ASI akan naik ke
atas apabila disimpan
19. Jelaskan bahwa memerah ASI perlu waktu 20-30
menit terutama pada beberapa hari pertama apabila
hanya sedikit ASI yang diproduksi. Penting diketahui
untuk tidak memerah untuk waktu yang lebih
pendek
20. ASI yang disimpan harus ditutup rapat dan diberi
label bertuliskan tanggal, waktu dan jumlah.
Kemudian segera dinginkan atau bekukan.

587
Memerah ASI secara mekanis
Teknik
• Air susu ibu perah dapat disimpan dalam botol kaca
(pyrex), plastic keras (polypropylene) atau
kantong plastik (polyurethane).
• Plastik keras atau kaca merupakan tempat
penyimpanan ASI yang disertai segel kedap udara
sehingga dapat menyimpan ASI lebih lama.
• Kaca dan polypropylene memiliki pengaruh yang
sama terhadap kandungan lemak, imunoglobulin A
dan jumlah sel darah putih.
• Kantong plastik khusus ASI dapat digunakan untuk
penyimpanan ASI dalam waktu yang lebih singkat
(<72 jam).
• Kantong plastik khusus ASI tidak disarankan untuk
penggunaan jangka lama oleh karena mudah
tumpah, terkontaminasi bakteri, dan beberapa
komponen ASI mudah melekat pada plastik.
• Wadah untuk penyimpanan ASI tidak boleh
mengandung Bisphenol A karena bersifat mutagenik.

Panduan
1. Cuci tangan sampai bersih
2. Jika memungkinkan, perah ASI di tempat yang tenang
dan santai. Bayangkan anda sedang berada di tempat
yang menyenangkan. Pikirkan hal menyenangkan
tentang bayi anda. Kemampuan anda untuk merasa
santai akan membantu refleks pengeluaran ASI yang
lebih baik.

588
3. Berikan rasa hangat yang lembab pada payudara
Anda selama 3-5 menit sebelum mengeluarkan ASI
4. Pijat payudara anda dengan gerakan melingkar, ikuti
dengan usapan lembut pada payudara dari sisi luar
payudara menuju puting
5. Stimulasi puting anda dengan lembut dan tarik
sedikit ke arah luar atau memutarnya dengan jari
6. Ikuti instruksi umum yang tercantum pada pompa
payudara
7. Aliran ASI akan bervariasi. Selama beberapa menit
pertama ASI mungkin menetes lambat dan kemudian
memancar kuat setelah ASI keluar. Pola ini akan
berulang beberapa kali selama pengeluaran ASI dari
kedua payudara.
8. Jumlah ASI yang diperoleh pada setiap pengeluaran
mungkin bervariasi dan ini adalah hal yang biasa
9. Ketika sudah selesai, oleskan beberapa tetes ASI
pada setiap puting dan biarkan kering oleh udara
10. Penampilan ASI anda akan berubah selama
pengeluaran. Beberapa sendok pertama akan
terlihat bening dan setelahnya ASI akan berwarna
putih susu. Sejumlah obat, makanan dan vitamin
juga dapat sedikit mengubah warna ASI anda. Lemak
susu akan berada di bagian atas ASI ketika ASI
disimpan.
11. Jika akan disimpan, tutup dan beri label pada
wadah yang bertuliskan tanggal, waktu dan
jumlahnya segera setelah dikeluarkan.

PEMBERIAN ASI Bayi prematur yang diberikan nutrisi per oral lebih baik
PADA BAYI diberikan berdasarkan tanda lapar bayi dibandingkan
PREMATUR diberikan terjadwal, kecuali jika bayi tertidur lebih dari 3
jam setelah minum terakhir

589
ASI DONOR • Pilihan kedua bila ASI tidak tersedia
• Harus menjalani skrining untuk menghindari risiko
infeksi (HIV, CMV, hepatitis, sifilis) atau kontaminasi
toksik (obat, narkotik, alkohol, tembakau).
• Tes mikrobiologi dan pasteurisasi dilakukan pada ASI
donor untuk menghindari kontaminasi bakteri atau
virus.
• Pengolahan dan pemberian ASI donor harus
memenuhi persyaratan skrining donor ASI,
penyimpanan, dan prosedur pengolahan untuk
memastikan keamanan dan optimalisasi kandungan
zat gizi ASI donor.

PENYIMPANAN • Simpan dalam jumlah yang sama dengan yang bisa


ASI dihabiskan BBL dalam satu kali minum.
• Beri label setiap wadah dengan nama, tanggal dan
waktu serta jumlah.
• Jika ASI dibekukan, tinggalkan sedikit ruang dalam
wadah untuk pemuaian
ASI.
• BBL kurang bulan atau sakit memerlukan kehati-
hatian lebih saat pengumpulan dan penyimpanan.
Yang paling aman adalah mendinginkan ASI segera
dan tidak membiarkannya di suhu kamar.

MENCAIRKAN ASI • Cairkan ASI beku dengan memindahkan ASI beku ini
dari freezer ke lemari es ( refrigerator) selama satu
malam .
• Rendam susu sambil diputar-putar dalam mangkuk
berisi air hangat. Panas
berlebihan akan merubah atau menghancurkan
enzim dan protein.
• Cairkan seluruhnya karena lemak terpisah saat proses
pembekuan.
• Jangan pernah menggunakan microwave untuk
mencairkan atau menghangatkan ASI.
• Setelah dicairkan, ASI harus digunakan dalam waktu
24 jam

590
MEMBEKUKAN • Membekukan kembali ASI yang telah dicairkan atau
KEMBALI ASI dicairkan setengah tidak dianjurkan. Pertimbangan
ini berlaku saat membawa ASI ke rumah sakit atau
pulang ke rumah. Disarankan untuk menjaga ASI
sedingin mungkin tanpa membekukannya dan hanya
membekukannya ketika ASI sudah sampai di tujuan
akhir.
• Menggunakan sisa ASI yang tidak habis (ASI yang
dihangatkan untuk persiapan pemberian minum)
• Jangan gunakan kembali bagian ASI yang tidak habis
di botol karena mungkin telah terkontaminasi oleh
air liur BBL.

DAFTAR RUJUKAN Suradi R, Hegar B, Partiwi IGAN, Marzuki


ANS, Ananta Y.149
Besar SD, Eveline NP. 150
UKK Neonatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit
Metabolik, Kadim M, Roeslani R, Nurmalia
L. 151

4.37 Pemberian nutrisi enteral bagi neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL BAGI


NEONATUS BERISIKO TINGGI

No. Dokumen No. Revisi Halaman


UKK
Neonatologi
2018

Panduan Tanggal Terbit/Revisi


DITETAPKAN KETUA PP
Praktik Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia

591
DEFINISI Neonatus berisiko tinggi: bayi baru lahir yang berisiko lebih
besar untuk mengalami komplikasi yang dapat terjadi dalam
periode janin, saat persalinan atau pada periode pasca
persalinan

INISIASI • Diberikan apabila kondisi STABLE terpenuhi


PEMBERIAN • Sebelum STABLE terpenuhi, nutrisi diberikan secara
NUTRISI parenteral dalam bentuk trophic feeding yang diberikan
ENTERAL dalam waktu 24 jam pertama diusahakan ASI segar mulai
PADA BAYI 5–10 mL/kgBB/hari yang dinaikkan bertahap sampai
KURANG volume 25 mL/kgBB/hari.
BULAN

JENIS 1. Air Susu Ibu (ASI) merupakan nutrisi yang


NUTRISI direkomendasikan untuk NKB karena efek imunoprotektif,
ENTERAL stimulasi maturitas fungsi gastrointestinal, dan faktor
bioaktif yang berkontribusi untuk luaran
neurodevelopmental.
2. ASI Perah. Produksi ASI perah seharusnya dimulai
segera setelah lahir untuk meningkatkan produksi ASI.

592
3. ASI Donor merupakan pilihan kedua bila ASI tidak
tersedia.
4. Human Milk Fortifier (HMF) perlu dilakukan pada
BBLSR (berat lahir <1500 gram) yang mendapat ASI. Zat gizi
kunci HMF adalah protein dan dapat dibuat dari susu sapi
atau ASI, serta dapat berupa cair atau bubuk.
Satu saset HMF yang dilarutkan ke dalam 25 ml ASI akan
menambah kalori sebanyak 4 kkal/oz sehingga kalori
ASI+HMF menjadi 24 kkal/oz, sedangkan bila satu saset
HMF dilarutkan ke dalam 50 ml ASI akan menambah kalori
sebanyak 2 kkal/oz sehingga kalori ASI+HMF menjadi 22
kkal/oz.
HMF juga mengandung elektrolit, makromineral,
mikromineral, dan vitamin sehingga dapat mencukupi
kecukupan bayi prematur yang lebih tinggi dari bayi cukup
bulan.
5. Hindmilk diperlukan bila HMF tidak memungkinkan,
pemberian hindmilk untuk membantu meningkatkan berat
badan bayi prematur bisa dijadikan alternatif.
6. Formula prematur merupakan formula medis khusus
dengan energi berkisar 80 kkal/100 ml, protein 2,0-2,4
g/100 ml dan diperkaya mineral, vitamin, dan trace
elements untuk mendukung kecukupan nutrisi bayi
prematur agar dapat mencapai laju pertumbuhan
intrauterin.
7. Nutrient-enriched formula atau postdischarge
formula (PDF) pada awalnya dirancang khusus untuk bayi
prematur yang dipulangkan dari rumah sakit. Kandungan
energi berkisar 72-74 kkal/100 ml, kandungan protein 1,8-
1,9 g/100 ml dan diperkaya dengan mineral, vitamin, dan
trace elements.
8. Formula standar dirancang untuk bayi cukup bulan
berdasarkan komposisi ASI matur, yaitu kandungan energi
66-68 kkal/100 ml, konsentrasi protein berkisar 1,4-1,7
g/100 ml, kalsium sekitar 50 mg/100 ml dan fosfat 30
mg/100 ml. Komposisi tersebut tidak cukup untuk
memenuhi

593
kebutuhan nutrisi BBLSR (<1500 gram) dalam fase kejar
tumbuh. Formula standar dapat diberikan pada bayi
prematur yang telah mencapai usia koreksi 0 minggu dan
indikator antropometri menurut grafik WHO 2006
menunjukkan BB menurut usia berada antara -2 sampai +2
z-score dan panjang bayi mencapai 45 cm

RUTE Tabel 13. Rute pemberian nutrisi pada


PEMBERIAN bayi prematur 152
NUTRISI Usia Kematangan fungsi oral Rute
kehamilan pemberian
nutrisi

<28 minggu -Refleks mengisap belum Parenteral


ada
-Gerak dorong usus belum
ada
28-31 minggu -Refleks mengisap payudara Orogastric tube
mulai ada atau
-Belum ada koordinasi nasogastric antara
mengisap, menelan tube
dan bernapas Sesekali
dengan nipples

32-34 minggu -Refleks mengisap hampir dengan nipples


matang
-Koordinasi antara
mengisap, menelan dan
bernapas mulai ada
>34 minggu -Refleks mengisap telah
Menyusu matang
-Koordinasi mengisap,
menelan dan bernapas telah
terbentuk sempurna

CARA 1. Oral langsung. Sebelum memberikan nutrisi oral pada


PEMBERIAN bayi usia gestasi ≥ 32–34 minggu, harus dipastikan bayi
NUTRISI mempunyai kemampuan koordinasi mengisap, menelan,
ENTERAL dan bernapas yang baik. Metode pemberian nutrisi oral
dapat dengan menyusu atau dengan nipples. Menyusui
merupakan metode yang paling dianjurkan. Apabila
menyusui tidak memungkinkan, alternatifnya adalah
dengan menggunakan nipples.
2. Pemberian nutrisi enteral diindikasikan pada bayi
prematur <32–34 minggu, bayi prematur dengan
kemampuan mengisap, menelan dan/atau bernapas yang
belum baik, bayi prematur tidak bisa mendapat nutrisi per
oral karena kondisi medis atau sebagai suplementasi nutrisi
oral yang tidak adekuat. Sebelum memulai nutrisi enteral

594
pastikan saluran cerna dan kondisi hemodinamik baik.
Dapat diberikan dengan NGT atau OGT.

FREKUENSI
DAN VOLUME Tabel 14. Frekuensi dan volume nutrisi enteral bayi
NUTRISI prematur
153
ENTERAL
BBLASR BBLSR
BAYI
Jenis cairan ASI ASI
PREMATUR Mulai 6−48 jam pertama 6−48 jam pertama
Minimal enteral 0,5 ml/kg/jam atau 1 ml/kg/jam atau
feeding 1 ml/kg/2 jam 2 ml/kg/2jam
(MEF)
Durasi MEF 1−4 hari 1−4 hari
Peningkatan 15−25 ml/kg/hari 20−30 ml/kg/hari
minum
Continues +0,5 ml/kg/jam tiap +1 ml/kg/jam tiap 8
feeding 12 jam jam
Intermittent +1 ml/kg/jam tiap 12 +1 ml/kg/jam tiap 8
feeding/ 2 jam jam jam
HMF Sebelum 100 Sebelum 100
ml/kg/hari ml/kg/hari
Target energy 110−130 110−130 kkal/kg/hari
kkal/kg/hari
Target asupan 4−4,5 g/kg/hari 3,5−4 g/kg/hari
protein

PEMANTAUAN
Jangka Pendek
- Akseptabilitas yaitu penilaian perbandingan asupan
yang masuk secara aktual terhadap preskripsi nutrisi
yang direncanakan dokter.
- Toleransi, meliputi penilaian adanya muntah, diare,
residu lambung, food adverse reaction pada
pemberian nutrisi enteral atau oral; parameter
biokimia dan klinis pada pemberian nutrisi parenteral.
- Efisiensi yaitu menilai kenaikan berat badan

595
Tabel 15. Pemantauan laboratorium terkait pemberian
nutrisi pada bayi prematur 154, 155

Nutrisi Enteral
Hemoglobin dan hematokrit 1 x seminggu (sesuai
indikasi)
Glukosa serum 1 x (nilai baseline)
Elektrolit Sesuai indikasi
Ca, Mg dan P darah 1 x (nilai baseline)
Trigliserida Sesuai indikasi

Fungsi Ginjal 1 x seminggu

Enzim hati 1 x seminggu


Alkalin fosfatase 1 x (nilai baseline)

Jangka Panjang
Pemantauan Pertumbuhan
- Berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala diukur
secara berkala. Kecepatan penambahan berat badan
(weight velocity) diukur setiap hari, dalam rangka
mendeteksi dini adanya weight faltering dan
melakukan tata laksana yang tepat untuk
menanggulanginya.

Target terapi nutrisi pada bayi prematur yaitu mencapai laju


pertumbuhan yang sama dengan janin normal yang sesuai usia
gestasi, menyerupai komposisi tubuh janin, dan mencapai
luaran fungsional serupa dengan bayi lahir cukup bulan yaitu: 153
- Penambahan berat badan bayi prematur 15 g/kg/hari.
- Penambahan panjang badan : 0,8−1,0 cm/minggu
- Penambahan lingkar kepala: 0,5−0,8/minggu

Osteopenia Prematuritas
- Pada bayi prematur, deteksi dan pemantauan
osteopenia prematuritas sebaiknya dilakukan bila umur
gestasi <34 minggu dan BB lahir <1800 gram. Temuan
yang khusus pada osteopenia prematuritas ini berupa
penurunan kadar

596
ion kalsium (Ca2+) dan fosfor serta peningkatan serum
alkali fosfatase (ALP).

Tabel 16.Nilai rujukan parameter biokimia pascarawat 156


Parameter Nilai rujukan Interpretasi
Biokima
Alkali 150─420 U/L • Penanda formasi tulang
Fosfatase • Nilai dapat meningkat selama
(ALP) periode pertumbuhan tulang
• Nilai >500 U/L pada bayi
prematur mengindikasikan
resiko osteopenia dan
memerlukan evaluasi lebih
lanjut jika didapatkan juga
nilai kalsium atau fosfor yang
rendah
Kalsium (Ca) 9,0─11.0 mg/dl • Kation ekstraseluler yang
terlibat pada pertumbuhan
skeletal
• Peningkatan nilai sebagai
penanda formasi tulang
• Nilai yang yang lebih rendah
atau lebih tinggi dari angka
referensi perlu dilakukan
evaluasi lebih lanjut
Fosfor (P) 4,5─9 mg/dl • Anion sel ikut terlibat dalam
(<40 minggu pembentukan tulang
umur gestasi) • Peningkatan nilai
4,5─6,7 mg/dl mengindikasikan penyakit
(>40 minggu skeletal, renal, atau
umur gestasi) kelebihan asupan fosfor •
Nilai yang rendah → asupan
fosfor tidak adekuat
• Nilai yang yang lebih rendah
atau lebih tinggi dari angka
referensi perlu dilakukan
evaluasi lebih lanjut
Vitamin D 30─100 mg/ml • Nilai <30 ng/ml menunjukkan
25(OH) insufisiensi
• Nilai <20 ng/ml menunjukkan
defisiensi
• Nilai <5 ng/ml menunjukkan
defisiensi yang berat
(Angka referensi bervariasi
tergantung nilai rujukan)
Hemoglobin 10,5 ─13,5 g/dl • Nilai lebih rendah dariangka
(Hb) referensi menunjukkan
defisiensi besi
Hematokrit (Ht) 33─39 % • Nilai lebih rendah dari angka
referensi
menunjukkan defisiensi besi

597
Indikasi untuk penilaian ulang dari status kalsium, fosfor, dan
alkali fosfatase:
- Satu bulan pascaperawatan untuk semua bayi dengan
BB lahir <1500 gram dan bayi IUGR dengan BB lahir
<1800 gram.
- Satu bulan pascaperawatan, jika hasil laboratorium
saat keluar RS (tidak diketahui) diluar dari nilai
rujukan.
- Jika bayi prematur mengalami pergantian dari ASI ke
susu formula <3 bulan usia koreksi
- Jika asupan dan kecepatan pertumbuhan bayi
prematur berada di bawah batas bawah garis
pertumbuhan.

DAFTAR Lester BM, Andreozzi-Fontaine L, Tronick E,


RUJUKAN Bigsby R. 157
Rauter S, Messler S, Steven D. 158
Karlsen KA. 159
Castrodale V, Rinehart S. 160
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 161
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 162
Sjarif DR, Rohsiswatmo R, Rundjan L, Yuliarti
K.163
Agostoni C, Buonocore G, Carnielli VP.164
American Academy of Pediatrics.165
World Health Organization. 166
Underwood MA. 167
Young L, Morgan J, McCormick FM, McGuire W.
168

Working Group of Pediatrics Chinese Society Of Parenteral and


Enteral Nutrition, Working Group Of Neonatology Chinese
Society Of Pediatrics, Working Group Of Neonatal Surgery
Chinese
Society Of Pediatric Surgery.154
Moyer-Mileur LJ. 155
Koletzko, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R.
153

Corvaglia L, Rotatori R, Ferlini M, Aceti A, Ancora


G, Faldella G. 169
Bertino E, Boni L, Rossi C, Coscia A, Giuliani F, Spada E, dkk. 156
Fenton TR, Nasser R, Eliasziw M, Kim JH, Bilan D, Sauve R. 152

598
4.38 Tatalaksana nutrisi parenteral pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TATA LAKSANA NUTRISI PARENTERAL


PADA NEONATUS

No. Dokumen No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi
2018

Panduan Praktik TanggalTerbit/Revisi


DITETAPKAN
Klinis
KETUA PP IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Nutrisi parenteral: cara untuk memenuhi persyaratan


nutrisi, sebagian atau seluruhnya, untuk pertumbuhan bayi.

INDIKASI 1. Neonatus kurang bulan dengan usia kehamilan kurang


dari 30 minggu dengan berat lahir kurang dari 1250
gram.
2. Neonatus yang dicurigai atau pasti mengalami
enterokolitis nekrotikans, diperkirakan mendapat
nutrisi parenteral total lebih dari tiga hari
3. Neonatus dengan kasus bedah karena kelainan saluran
cerna kongenital dan tidak dapat menerima asupan
nutrisi enteral dalam periode lima hari dengan
kecukupan 100 mL/kgBB/24jam.

KOMPLIKASI 1. Komplikasi yang berkaitan dengan kateter, antara lain


sepsis, infeksi kulit lokal dan slough, trombosis dan
chylothorax
2. Komplikasi metabolik: hiperglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, asidosis, osteopenia,
kerusakan hati dan kolestasis

Kecukupan nutrisi pada neonatus adalah jumlah asupan


KECUKUPAN adekuat pada bayi baru lahir sesuai dengan grafik
NUTRISI PADA pertumbuhan baik intra maupun ekstra uteri.
NEONATUS

599
KECUKUPAN Bertujuan menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
CAIRAN pada fase diuresis dan mencegah kehilangan cairan
ekstraseluler pada fase pascadiuresis.

Jumlah diuresis dipertahankan pada 1-3 mL/kgBB/jam.


Jumlah cairan yang diberikan pada fase pradiuresis adalah
IWL ditambah jumlah diuresis minimal 1 mL/kgBB/jam.

Kebutuhan cairan ditingkatkan 10-20 mL/kgBB/hari sampai


140-160 mL/kgBB/hari pada minggu pertama (fase
pascadiuresis), maksimal 200 mL/kgBB/hari pada minggu
kedua agar tercapai pertumbuhan optimal intrauterin.

KECUKUPAN Jumlah yang dianjurkan diberikan secara parenteral adalah


ENERGI 90–100 kkal/kg/hari dan secara enteral 115-120 kkal/kg/hari

KECUKUPAN Rekomendasi nutrisi bayi kurang bulan berdasarkan


MAKRONUTRIEN evidence-based (Adamkin, 2009)

Karbohidrat
Pemberian glukosa pada bayi prematur harus dimulai
dalam 24 jam pertama pascalahir dengan kecepatan infus
glukosa (glucose infusion rate, GIR) pada usia gestasi
<32 minggu 6-8 mg/kgBB/menit dan pada usia gestasi >32
minggu 4-6 mg/kgBB/menit, kemudian ditingkatkan
bertahap 1-2 mg/kgBB/menit sampai mencapai kecukupan
maksimal dukungan NPT dengan GIR 12-13
mg/kgBB/menit.

Dalam pemberian glukosa ini perlu pemantauan terhadap


risiko terjadinya hiperglikemi. Kadar gula darah
dipertahankan 50-120 mg/dL

600
Protein
Pemberian protein 2,5 g/kgBB/hari pada 24 jam pertama
pascalahir, ditingkatkan 0,5-1 g/kgBB/hari. Dosis maksimal
protein pada minggu pertama adalah 3,5-4 g/kgBB/hari.
Untuk 1 g protein membutuhkan 20-25 kkal non protein.
Pemberian dosis 1,5 kgBB/hari pada hari pertama
pascalahir ditoleransi dengan baik karena dapat memenuhi
kecukupan protein, mencegah katabolisme protein,
menjaga keseimbangan nitrogen sehingga tercapai
peningkatan tumbuh kembang.
Manfaat lain adalah meningkatkan toleransi glukosa,
mengurangi risiko hiperglikemia melalui sekresi insulin
endogen dan glukoneogenesis.
Protein dalam sediaan nutrisi neonatus harus mengandung
conditionally essential amino acid, yaitu tirosin,
sistein, taurin, histidin, glisin, glutamin, dan arginin.
Mulai infus asam amino, jika tersedia, pada usia dua hari
dengan jumlah 0,5-1,0 g/kg/hari.

Lemak
Pemberian lipid intravena pada bayi prematur dimulai
dalam 24 jam pertama pascalahir dengan dosis 0,5- 1
g/kgBB/hari dinaikkan bertahap sebanyak 0,5-1
g/kgBB/hari sampai mencapai 3-3,5 g/kgBB/hari

KECUKUPAN Elektrolit
MIKRONUTRIEN Kebutuhan natrium (Na) bervariasi pada minggu
pertama sebesar 0-3 mEq/kgBB/hari.
Setelah terdapat diuresis awal, dapat diberikan natrium (Na)
dan kalium (K) dengan dosis 2-3 mEq/kgBB/hari disesuaikan
dengan kondisi klinis dan kadar elektrolit.
Saat asupan cairan mencapai 150 mL/KgBB/hari, cairan
parenteral haruslah mengandung 12.5-15 mmol/L Ca
elemental and 13-15 mmol/L Phospor.
Kebutuhan Ca, P, dan Mg dalam nutrisi enteral bayi
prematur dihitung berdasarkan

601
kandungan komposisi Ca, P, dan Mg dalam ASI dan
variabilitas penyerapan elektrolit tersebut berdasarkan usia
gestasi (Ca2+:40-
70 %, P:60-95%, Mg:40%)

Trace Elements
Besi
Penting dalam perkembangan otak fetus dan neonatus
Pemberian suplementasi besi untuk BBLSR yang mendapat
ASI bila bayi telah memasuki fase pertumbuhan (growing
care), umumnya dimulai pada usia 2 minggu dengan dosis
2 mg/kgBB/hari dan dievaluasi setelah pemberian 3 bulan
untuk ditentukan apakah dilanjutkan atau tidak.

Zinc
Asupan zinc minimal 1,4-2 mg/kgBB/hari diperlukan untuk
mencapai pertumbuhan optimal pada bayi prematur.
Rekomendasi terkini untuk asupan zinc enteral pada bayi
prematur adalah 1-2 mg/kg/hari atau maksimal 1-3
mg/kg/hari.

KECUKUPAN Vitamin A
VITAMIN Dapat menurunkan kematian, kebutuhan oksigen pada 1
bulan, serta kebutuhan oksigen pada usia 36 minggu masa
gestasi.

Vitamin D
Pada bayi yang mendapat ASI eksklusif atau parsial untuk
mendapat vitamin D 400 IU/hari selama minimal setahun
pertama kehidupan. Bayi yang tidak mendapat ASI juga
sebaiknya mendapat suplementasi, sampai 32 fl.oz. (1000
ml) per hari susu formula fortifikasi vitamin D.

Vitamin E
Diet pada bayi prematur sebaiknya mengandung minimal 1
IU vitamin E/gram asam linoleat, setara ± 0.6 mg δ-

602
tocopherol/gram polyunsaturated fatty acids (PUFA).
Bayi prematur yang mendapat nutrisi enteral dan suplemen
multivitamin, di mana asupan setiap harinya mengandung 5
IU vitamin E, mendapat ±5–10 IU/kg/hari vitamin E, tetapi
untuk nutrisi parenteral kadarnya lebih rendah.

NUTRISI Rute pemberian


PARENTERAL Pemberian melalui vena sentral lebih diutamakan.
TOTAL Pemasangan akses vena sentral sesuai dengan prosedur
baku yang telah ditetapkan. Osmolaritas maksimal untuk
akses vena perifer adalah 630 mOsm/L setingkat dengan
konsentrasi dekstrosa 12,5%.

Nutrisi parenteral tidak boleh terpapar sinar matahari


untuk mencegah terbentuknya peroksida yang merusak
lipid dan vitamin.

Perubahan pemberian asupan parenteral menjadi enteral


yang bersumber dari payudara dan/atau puting dapat
dimulai dan ditingkatkan secara bertahap, segera setelah
bayi menunjukkan refleks mengisap dan menelan yang
cukup untuk memperoleh asupan secara oral tanpa
mengalami kelelahan atau apnea.

PEMANTAUAN DAN Meliputi pemantauan jangka pendek dan jangka panjang.


EVALUASI

Jangka pendek :
- Akseptabilitas yaitu penilaian perbandingan
asupan yang masuk secara aktual terhadap preskripsi
nutrisi yang direncanakan dokter.
- Toleransi, meliputi penilaian adanya muntah, diare,
residu lambung, food

603
adverse reaction pada pemberian nutrisi enteral
atau oral; parameter biokimia dan klinis pada
pemberian nutrisi parenteral.
- Efisiensi yaitu menilai kenaikan berat badan

Tabel 17. Pemantauan laboratorium terkait pemberian


nutrisi pada bayi prematur 154, 155
Nutrisi Parenteral
Hemoglobin dan hematokrit 2-3 x seminggu (sesuai
indikasi)
Glukosa serum Sesuai indikasi
Elektrolit 1-3 x seminggu
Ca, Mg dan P darah 2-3 x seminggu
Trigliserida Saat peningkatan dosis
lipid
Fungsi Ginjal 2-3 x seminggu
Enzim hati 1 x seminggu
Alkalin fosfatase 1 x (nilai baseline)

Jangka panjang:
- Untuk menilai pertumbuhan dan osteopenia
prematuritas

DAFTAR RUJUKAN Fusch C, Jochum F.170


Kashyap S, Ohira-Kist K, Abildskov K, Towers
HM, Sahni R, Ramakrishnan R, dkk. 171
Johnson.172
Nutritional&co. 173
Bauer J, Werner C, Gerss J. 174
Embleton ND. 175
Thureen PJ, Hay VW. 176
Poindexter BB, Denne.177
Adamkin DH. 178
Adamkin DH. 179
Velaphi. 180
Kleinman RE, Greer FR. 181
Agostoni C, Buonocore G, Carnielli V, De
Curtis M, Darmaun D, Decsi T, dkk. 182
Darlow BA, Graham P. 183
Working Group Of Pediatrics Chinese Society
Of Parenteral and Enteral Nutrition. 154
Moyer-Mileur LJ. 155

604
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Pembagian tingkatan kompetensi pada pelayanan neonatus diperlukan dalam sistem
Kesehatan Nasional sesuai dengan beberapa Peraturan Menteri Kesehatan yang
terkait dengan ini.
2. Tingkatan pelayanan neonatus juga bermanfaat pada sistem pembiayaan kesehatan
pada era JKN saat ini
3. Panduan pelayanan neonatal diperlukan sebagai upaya menuju standarisasi terutama
dengan lebarnya disparitas jumlah ATM, fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan
panduan prosedur yang sama.
4. Inti dari panduan pelayanan neonatal adalah PNPK dan PPK

4.2 Saran
1. Tingkat kompetensi pelayanan neonatus akan selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan IPTEK, untuk itu revisi panduan pelayanan neonatal harus selalu
dilakukan seiring dengan berlangsungnya perkembangan IPTEK, khususnya PPK
minimal dua tahun sekali.
2. Revisi juga harus dilakukan pada kodifikasi diagnosis dan prosedur di bidang
neonatologi seiring dengan perkembangan IPTEK.
3. Revisi dilakukan oleh masing-masing unit layanan neonatus sesuai dengan kapasitas
yang dimiliki, tetapi tetap mengikuti panduan pelayanan neonatal yang disepakati.

DAFTAR RUJUKAN

1. Committee on Fetus and Newborn American Academy of Pediatric. Policy


Statement: Level of Neonatal Care. Pediatrics. 2004;114(5):1341-47.
2. O’Reilly H. Admission of Newborn babies to the Neonatal Unit. Norfolk and
Norwich University Hospital NHS Foundation Trust 2015 [Available from:
www.nnuh.nhs.uk/publication/download/admission-to-nicu-ca4068v3.
3. Pilgrim S. Guideline for Discharge from the Neonatal Unit. Mid Essex Hospital
Services NHS Trust 2014 [Available from: http://www.meht.nhs.uk/EasysiteWeb
/getsource.axd?AssetID=6454&type=full1&servicetype=Attachment.
4. Stark A. Levels of Neonatal Care. Pediatrics 2004;114(5):1341-7.
5. Malarkey M, Kuschel C, Rowley S. Newborn Services Guidelines and Protocols
applies to this guideline. Services Clinical Guideline; 2018.
6. Yusna D, Wisnumurti D, Djauharie E, Siswanto J, Kadi F, Irawan G, et al. Stabilisasi
Bayi Baru Lahir Pasca Resusitasi di layanan tingkat pertama2016.

605
7. Ha J, Longnecker N. Doctor-patient communication: a review. Ochsner J.
2010;10:38-43.
8. Kementrian Kesehatan RI. Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Jakarta
Kemenkes; 2018.
9. Ballard J, Khoury J, Wedig K, Wang L, Eilers-Walsman B, Lipp R. New Ballard
Score, expanded to include extremely premature infants. J Pediatr.
1991;119(3):417-23. 10. McCance D, McNamara M. HSE Guidelines for the
Management of Pregestational And Gestational Diabetes Mellitus from Pre-
conception to the Postnatal period. 2010:188.
11. Gonzalez NG, Davila EG, Castro A, Padron E, Plasencia W. Effect of pregestational
diabetes mellitus on first trimester placental characteristics: three-dimensional
placental volume and power Doppler indices. Placenta. 2014;35(3):147-51.
12. Qadir SY, Yasmin T, Fatima I. Maternal and foetal outcome in gestational
diabetes. Journal of Ayub Medical College Abbottabad. 2012;24(3-4):17-20.
13. Noctor E, Dunne FP. Type 2 diabetes after gestational diabetes: the influence of
changing diagnostic criteria. World journal of diabetes. 2015;6(2):234.
14. Duckitt K, Harrington D. Risk factors for pre-eclampsia at antenatal booking:
systematic review of controlled studie. Bmj 2005;330(7491):565.
15. Children's Hospital of Orange Country. Tracheoesophageal fistula/ esophageal
atresia care guideline 2016 2016 [Available from:
https://www.choc.org/wp/wpcontent/uploads/2016/06/
TracheoesophagealFistula_EsophagealAtresiaCareGuideline.pdf.
16. Mielniczuk M, Kusza K, Brzeziński P, Jakubczyk M, Mielniczuk K,
CzerwionkaSzaflarska M. Current guidelines on management of congenital
diaphragmatic hernia.
Anesthesiol Intensiv Ther. 2012;44(4):232-7.
17. Akangire G, Carter B. Birth injuries in neonates. Pediatrics 2016;37(11):451-62.
18. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku resusitasi neonatus 2017.
19. Wiegersma J, Droogh J, Zijlstra J, Fokkema J, Ligtenberg J. Quality of inter
hospital transport of the critically ill: impact of a mobile intensive care unit with
a specialized retrieval team. Crit Care. 2011;15:R-75.
20. Iwashyna T, Courey A. Guided transfer of critically ill patients: where patients are
transferred can be an informed choice. Curr Opin Crit Care. 2011;17:641-7.
21. Lim M, Ratnavel N. A prospective review of adverse events during inter hospital
transfer of neonates by a dedicated neonatal transfer service. Pediatr Crit Care
Med. 2008;9(289-93).
22. Kendall A, Scott P, Karlsen K. The S.T.A.B.L.E program: the evidence behind the
2012 update. J Perinat Neonat Nurs. 2012;26(2):147-57.
23. McCall E, Alderdice F, Halliday H, Jenins J, Vohra S. Intervention to prevent
hypothermia at birth in preterm and/or birth weight infants (review). Cochrane
Datab System Rev. 2010(3).
24. Rohana J, Khairinia W, Boo N, Shareena I. Reducing hypothermia in preterm
infants with polyethylene wrap. Pediatr Int. 2011;53(468-74).
25. Reimer-Brady J. Legal Issues related to stabilization and transport of the critically
ill neonate. J Perinatol Neonat Nurs. 1998;10(3):59-69.
26. Leppala K. Whether near or far transporting the neonate. J Perinatol Neonat
Nurs. 2010;24(2):167-71.
27. Taylor R, Price-Douglas W. The S.T.A.B.L.E program: Post resuscitation/ pre
transport stabilization care of sick people. J Perinatol Neonat Nurs.
2008;22(2):159-65.
28. Cummings J, Polin R. Oxygen targetting in extremely low birth wieght infants.
Pediatrics 2016;138.

606
29. Wilson A, Martel I, Saskatoon S. Maternal Transport Policy. J Obstet Gynecol Can
2005;27:956-58.
30. Hohlagschwandtner M, Husslein P, Weninger K, Nardi A, Langer M. Perinatal
mortality and morbidity. Comparison between maternal transport, neonatal
transport and inpatient antenatal treatment. Arch Gynecol Obstet
2001;265:113-18.
31. Hauspy J, Jacquemyn Y, Van-Reempts P, Buytaerta P, Vlieta J. Intrauterine versus
postnatal transport of the preterm infant: a short-distance experience. Early
Hum Dev 2001;63:1-7.
32. Woodward G, Insoft R, Pearson-shaver A. The state of pediatric inter-facility
transport: Consensus of the second national pediatric and neonatal inter-facility
transport medicine leadership conference. Pediatr Emerg Care 2002;1:38-43.
33. Das U, Leuthner S. Preparing the neonate for transport. Pediatr Clin North Am
2004;51:581-98.
34. Kempley, Baki, Hayter, Ratnavel, Cavazzoni, Reyes. Effect of a centralised
transfer service on characteristics of inter-hospital neonatal transfers. . Arch Dis
Child Fetal Neonatal Ed 2007;92:185-9.
35. McKay S, Cruickshanks J, Skeoch C. Step by step guide: Transporting neonates
safely. J Neonatal Nurs 2003;1:9.
36. Kulshrestha A, Singh J. Interhospital and intrahospital patient transport: recent
concept. Indian J. 2016;60:451-7.
37. Fenton A, Leslie A, Skeoch C. Optimising neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal
Neonatal 2004;89(F215-9).
38. Arad I, Baras M, Bar-Oz B, Gofin R. Neonatal transport of very low birth weight
infants in Jerussalem, revisited. IMAJ 2006;8(477-82).
39. Kumar P, Kumar C, Venkatlakshmi A. Long distance neonatal trasport-the need
of the hour. Indian Pediatr 2008;45:920-2.
40. Terrey A, Browning C. Stabilising the newborn for transfer: Basic principles. Aust
Fam Physician 2008;37:510.
41. Tingay D, Stewart M, Morley C. Monitoring of end tidal carbon dioxide and
transcutaneous carbon dioxide during neonatal transport. . Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2005;90:F523-6.
42. Lilley C, Stewart M, Morley C. Respiratory function monitoring during neonatal
emergency transport. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2005;90:F82-3.
43. Dani C, Bertini G, Pezzati M, Cecchi A, Caviglioli C, Rubaltelli F. Early extubation
and nasal continuous positive airway pressure after surfactant treatment for
respiratory distress syndrome among preterm infants< 30 weeks’ gestation.
Pediatrics 2004;113:560-
3.
44. Fowlie P, Booth P, Skeoch C. Clinical review moving the preterm infant. BMJ.
2004;309:904-6.
45. Cloherty J, Eichenwald E, Hansen A, Stark A. Manual of neonatal care. 7 ed.
Philadelphia: Lippincott William Wilkins; 2012
46. Gomella T, Cunningham M, Eyal F. Neonatology, management, procedures,
oncall problems, diseases and drugs. 7 ed. Philadelphia: Mc Graw hill; 2013.
47. Queensland Clinical Guidelines. Hypoxic-ischaemic encephalopathy (HIE).
Australia : Queensland; 2016.
48. Martinello K, Hart A, Yap S, Mitra S, Robertson N. Management and investigation
of neonatal encephalopathy: 2017 update. Arch Dis Child Fetal. 2017:F11-3.
49. Chalak L, Kaiser J. Neonatal guideline hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE). J
Ark Med Soc. 2017;104(4):87-9.
50. Slaughter L, Patel A, Slaughter J. Pharmacological Treatment of Neonatal
Seizures: A Systematic Review. J Child Neurol. 2013;28(3):351-64.
607
51. Kanhere S. Recent advances in neonatal seizures. Indian J Pediatr.
2014;81(9):917-25.
52. Sarosa G. Kejang dan Spasme. In: Kosim MS YA, Dewi R, Sarosa GI, Usman A,
editor. Buku ajar neonatologi Edisi ke 4. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2014.
53. Hallberg B, Blennow M. Investigations for neonatal seizures. Seminars in Fetal
and Neonatal Medicine. Philadelphia Elsevier 2013.
54. Hamrick S, Zimmermann A. Cerebral Seizures. In: G H, editor. Neonatal
Emergencies. Cambridge: Cambridge University Press; 2009.
55. World Health Organization. Guidelines on neonatal seizures. Geneva World
Health Organization; 2011.
56. Shellhaas R. Neonatal seizures. In: Polin RA YM, editor. Workbook in Practical
Neonatology. Philadelphia: Elsevier Health Sciences; 2015.
57. Priestley J. Experiments and observations on different kinds of air. J Johnson.
1776.
58. Ballot D. Ups and Downs of Oxygen Therapy in Neonatal Care. The United South
African Neonatal Association Conference. OR Tambo: University of the
Witwatersrand; 2017.
59. Saugstad O. Oxygen and retinopathy of prematurity. J Perinatol.
2006;26(S1):S46. 60. Bancalari E. The Newborn Lung: Neonatology Questions
and Controversies EBook: Elsevier Health Sciences; 2012.
61. Wyckoff M, Aziz K, Escobedo M, Kapadia V, Kattwinkel J, Perlman J, et al. Part 13:
neonatal resuscitation: 2015 American Heart Association guidelines update for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation.
2015;132:S543-S60.
62. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
tentang BBLR. Jakarta Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2018.
63. World Health Organization. Oxygen therapy for children: a manual for health
workers.2016.
64. Duc G, Sinclair J. Oxygen administration. Effective care of the newborn
infant.1992.
65. Saugstad O, Aune D. Optimal oxygenation of extremely low birth weight infants:
a meta-analysis and systematic review of the oxygen saturation target studies.
Neonatology. 2014;105(1):55-63.
66. Cummings J, Polin R. Oxygen targeting in extremely low birth weight infants.
Pediatrics. 2016;138(2).
67. Col S, Maj S, Brig M, Capt G. Controlled FiO2 Therapy to Neonates by
Oxygenhood in the Absence of Oxygen Analyzer. Med J Armed Forces India.
2007;63(2):149-53.
68. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Resusitasi Neonatus. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2014.
69. Organization W. Oxygen therapy for children: a manual for health workers. 2016.
70. Trevisanuto D, Cengio V, Doglioni N, Cavallin F, Zanardo V, Parotto M, et al. Oxygen
delivery using a neonatal self-inflating resuscitation bag: effect of oxygen flow.
Pediatrics. 2013;131(4):144-9.
71. Wu S. Molecular bases for lung development, injury, and repair. The Newborn
Lung: Neonatology Questions and Controversies: Expert Consult-Online and
Print: Elsevier Inc. ; 2012
72. Kattwinkel J. Pediatrics AAo, Association AH. Textbook of Neonatal Resuscitation:
Am Acad Pediatrics; 2018.
73. Spitzer A, Clark R. ositive-pressure ventilation in the treatment of neonatal lung
disease. Assisted Ventilation of the Neonate (Fifth Edition): Elsevier; 2011.

608
74. Gregory G, Kitterman J, Phibbs R, Tooley W, Hamilton W. Treatment of the
idiopathic respiratory-distress syndrome with continuous positive airway
pressure. N Engl J Med 1971;284(24):1333-40.
75. Sandri F, Ancora G, Lanzoni A, Tagliabue P, Colnaghi M, Ventura M, et al.
Prophylactic nasal continuous positive airways pressure in newborns of 28–31
weeks gestation: multicentre randomised controlled clinical trial. Arch Dis Child
Fetal Neonatal Ed. 2004;89(5):F394-F8.
76. Subramaniam P, Ho J, Davis P. Prophylactic nasal continuous positive airway
pressure for preventing morbidity and mortality in very preterm infants.
Cochrane Database Syst Rev. 2016.
77. Carlo W, Ambalavanan N. Conventional mechanical ventilation: traditional and
new strategies. Pedsinreview 1999;20:e177-e26.
78. Hess D, MacIntyre N. Mechanical ventilation In: Hess D, MacIntyre N, Mishoe S,
Galvin W, Adams A, editors. Respiratory care. Canada Jones & Baetlett Learning
2012.
79. Donn S, Sinha S. Manual of neonatal respiratory care. Switzerland: Springer
International Publishing Switzerland; 2017.
80. Al Hazzani F, Al Alaiyan S, Al Hussein K, Al Saedi S, Al Faleh H, Al Harbi F, et al.
Mechanical ventilation in newborn infants: Clinical Practice Guidelines of the
Saudi Neonatology Society. J of Clin Neonatology. 2017;6:57-63.
81. Carlo W. Prematurity and Intrauterine Growth Restriction. In: Kliegman RM SB,
Schor NF, Geme JW, dan Behrman R, editor. Nelson Textbook Of Pediatrics Edisi
ke-20. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2016.
82. Intrauterine growth restriction: screening, diagnosis, and management. SOGC
clinical practice guideline No. 295 2013.
83. Sharma D, Shastri S, Sharma P. Intrauterine growth restriction: antenatal and
postnatal aspects. Clin Med Insights Pediatrics. 2016;10.
84. Damanik S. Klasifikasi bayi menurut berat lahir dan masa gestasi. In: Kosim MS
YA, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, editor. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Balai
Penerbit IDAI; 2014.
85. The Royal Children's Hospital Melbourne. Skin to skin care for the newborn 2016
2016 [Available from:
https://www.rch.org.au/rchcpg/hospital_clinical_guideline_index/
Skin_to_Skin_Care_for_the_Newborn/.
86. Children's Hospital of Philadelphia. Skin-to-skin for infants: Guidelines for
professionals.
87. Conde-Agudelo A, Belizan J, Diaz-Rossello. Kangaroo mother care to reduce
morbidity and mortality in low birthweight infants. Cochrane Database Syst Rev
2011;3.
88. Module NTS-l. Interprofessional Education and Research Committee of the
Champlain Maternal Newborn Regional Program (CMNRP). 2013:1-16.
89. Rutter N. Temperature control and its disorders. Churchill Livingstone,
London2005.
90. Knobel R, Vohra S, CU. L. Heat loss prevention in the delivery room for preterm
infants: a national survey of newborn intensive care units. J Perinatol.
2005;25(8):514.
91. Lyon A, Puschner P. Thermo monitoring. wwwdragercom. 1998.
92. WHO, UNICEF. Managing newborn problems: a guide for doctors, nurses, and
midwives. 2003.
93. Waldron S, MacKinnon R. Neonatal thermoregulation. Infant. 2007;3:101-4.
94. Knobel-Dail R. Role of effective thermoregulation in premature neonates. Res
Rep Neonatol. 2014;4:147-56.

609
95. Women and Newborn Health Service Neonatal Directorate Western Australia.
Thermoregulation. Australia: Government of Western Australia North
Metropolitan Health Service 2018.
96. WHO. WHO recommendation on Newborn health. WHO; 2017.
97. Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. Survival and outcome of very low birth
weight infants born in a university hospital with level II NICU. J Med Assoc Thai.
2007;90(7):1323.
98. Resuscitation ILCo. The International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR)
consensus on science with treatment recommendations for pediatric and
neonatal patients: pediatric basic and advanced life support. Pediatrics.
2006;117(5):955-77.
99. McCormick M, Cooper P. Managing newborn problems: a guide for doctors,
nurses, and midwives. World Health Organization; 2003.
100. Queensland Clinical Guidelines. Newborn hypoglycaemia. Australia Queensland
2013.
101. USCF Children's Hospital. Neonatal hypoglycemia
[Available from:
https://www.ucsfbenioffchildrens.org/pdf/manuals/52_Hypoglycemia.pdf.
102. Thompson-Branch A, Havranek T. Neonatal hypoglycemia. Pediatrics.
2017;38(4). 103. Sweet C, Grayson S, Polak M. Management strategies for
neonatal hypoglycemia. J Pediatr Pharmacol Ther. 2013;18(3):199-208.
104. Thornton P, Stanley C, De Leon D, Harris D, Haymond M, Hussain K, et al.
Recommendations from the Pediatric Endocrine Society for Evaluation and Management
of Persistent Hypoglycemia in Neonates, Infants, and children. 167. 2015;2(238-45). 105.
Bhutani V, Johnson L, Sivieri E. Predictive ability of a predischarge hour-specific serum
bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in healthy term and nearterm
newborns. Pediatrics. 1999;103(1):6-14.
106. Excellence NIfC. National Collaborating Centre for Women’s and Children’s
Health. Caesarean section: clinical guideline. 2003.
107. Muchowski K. Evaluation and treatment of neonatal hyperbilirubinemia. Am Fam
Physician. 2014;89(11):873-8.
108. Maisels M, Bhutani V, Bogen D, Newman T, Stark A, Watchko J.
Hyperbilirubinemia in the newborn infant ≥ 35 weeks’ gestation: an update with
clarifications. Pediatrics. 2009;124(4):1193-8.
109. Hamidi M, Aliakbari F. Comparison of Phototherapy with light-editing diodes
(LED) and Conventional Phototherapy (fluorescent lamps) in Reducing Jaundice in Term
and Preterm Newborns. Middle East J Fam Med 2018;7(10):123.
110. Kaplan M, Merlob P, Regev R. Israel guidelines for the management of neonatal
hyperbilirubinemia and prevention of kernicterus. J Perinatol. 2008;28(6):389. 111.
Maisels M. Managing the jaundiced newborn: a persistent challenge. Canadian Medical
Association Journal. 2015;187(5):335-43.
112. von_Lindern J, Lopriore E. Management and preventionof neonatal anemia:
current evidence and guidelines. Expert Rev Hematol. 2014;7(2):195-202.
113. New H, Berryman J, Bolton-Maggs PC, C , Chalmers E, Davies T, dkk. Guidelines
on transfusion for fetuses, neonates and older children. Br J Haematol. 2016;175(5):784-
828. 114. Neonatal guidelines 2017-19: the bedside clinical guidelines partnership in
association with the Staffordshire Shropshire and Black Country, Southern West
Midlands Neonatal; 2017 [Available from:
kids.bch.nhs.uk/wp-content/uploads/2017/05/neonatalguidelines-2015-17.pdf.
115. Colombatti R, Sainati L, Trevisanuto D. Anemia and transfusion in the neonate.
Semin Fetal Neonatal Med. 2015:1-8.
116. Robert I, Murray N. Hematology. In: Rennej J, editor. Robertson's textbook of
neonatology: Elsevier 2005. p. 739-51.
610
117. WC, Glader B. Erytrochyte disorders in infancy. In: Taueusch H, Balard R,
Gleaseon C, editors. Avery's disease of the newborn. 8th Edition. Philadelphia: Elsevier;
2005. p. 1203-7.
118. Jones L, Schwartz A, David B. The blood and hematopoetic system. In: Fannarof
A, Martin R, editors. Neonatal-perinatal medicine disease of the fetus and infant. 6th
Edition. St Louis: Mosby Year Book; 1997. p. 1201-23.
119. Watchko J. Common hematologic problems in the newborn nursery. Pediatr Clin
North Am. 2015;62(2):509-24.
120. Celik I, Demirel G, Canpolat F, Dilmen U. A common problem for neonatal
intensive care units: late preterm infants, a prospective study with term controls in a
large perinatal center. J Matern-Fetal Neonatal Med. 2013;26:459-62. 121. Guideline.
NSC. Neonatal thrombocytopenia. Available from:
http://wwwadhbgovtnz/newborn/Guidelines/
Blood/Platelets/NeonatalThrombocytopeniahtm

122. Newborn Services Clinical Guideline. Neonatal thrombocytopenia [Available


from: http://www.adhb.govt.nz/newborn/Guidelines/
Blood/Platelets/NeonatalThrombocytopenia.htm.
123. Brahim E, Lamia K, Badr S. Newborn haemorrhagic disorders: about 30 cases.
Pan Afr Med J. 2017;28:150.
124. Waseem M. Vitamin K and haemorrhagic disease of newborns. South Med J.
2006;99(11).
125. Sandy C. Haemorrhagic disease of newborns (review). University of
IllinoisChicago, College of Medicine. 2016.
126. Costello R, Nehring S. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC): StatPearls
Publisihing LCC; 2018.
127. Vincent J, De Backer D. Does disseminated intravascular coagulation lead to
multiple organ failure? Crit Care Clin. 2005;21:469-77.
128. Papageorgiou C, Jourdi G, Adjambri E, Walborn A, Patel P, Fareed J, et al.
Disseminated Intravascular Coagulation: An Update on Pathogenesis, Diagnosis,
and Therapeutic Strategies. . Clin Appl Thromb Hemost. 2018;24:8S-28S.
129. Ramasethu J. Prevention and treatment of neonatal nosocomial infection.
Matern Health Neonatol Perinatol. 2017;3:5.
130. Authority. WRH. Infection Prevention for Newborns in Neonatal Areas. Available
from: http://wwwwrhambca/extranet/eipt/files/EIPT-035-014pdf. 2015.
131. Polin R, Denson S, Brady MCoF, Newborn., D. CoI. Strategies for prevention of
health care-associated infections in the NICU. Pediatrics. 2012;129(4)(e1085-93).
132. Brady M, Polin R. Prevention and Management of Infants With Suspected or
Proven Neonatal Sepsis. Pediatrics. 2012;132(1):166-8.
133. Rohsiswatmo R, Nisa S. Manajemen Komprehensif dan Terapi Antibiotik pada
Sepsis Neonatorum. Dalam: Update on Management of Neonatal Infection.
2017;pp:3342.
134. Wandita SPIpNdI. Problem Infeksi pada Neonatus di Indonesia. Dalam: Update
on Management of Neonatal Infection. 2017:pp1-16.
135. Lusyati S, Sauer P. Sepsis Neonatal di NICU RSAB Harapan Kita Jakarta. Sari
Pediatri. 30 Nov 2017;9(3):173-7.
136. Mustarim. Faktor Risiko dan Pencegahan Komplikasi Sepsis Neonatal.
2017:pp134-42.
137. Shane A, Sanchez P, Stoll JNSJoi-. Neonatal Sepsis. Journal of inf. 2017;(17):1-11.
138. Gebremedhin D, Berhe H, Gebrekirstos K. Risk Factors for Neonatal Sepsis in
Public Horpitals of Mekelle City, North Ethiopia. Unmatched Case Control Study
PLoS One2016. 2015.

611
139. Kung Y, Hsieh Y, Weng Y, et a. Risk Factors of Late-onset Neonatal Sepsis in
Taiwan: A matched case-control study. J Microbiol Immunol InfectScience Direct.
2016:430-5.
140. Hendrarto W. Bagaimana Mendiagnosis Dini Sepsis Neonatorum? Dalam:
Update on Management of Neonatal Infection. 2017:pp17-23.
141. Wibowo T. Pemeriksaan Darah pada Sepsis Neonatorum. Dalam: Update on
Management of Neonatal Infection. 2017:pp24-32.
142. Organization. WH. Antibiotic use for sepsis in neonates and children: 2016
evidence update. Geneva: World Health Organization. 2016.
143. Aggarwal R, Sarkar N, Deorari A, Paul V. Sepsis in the Newborn. Indian J Pediatr.
2001;68(12):1143-7.
144. Organization. WH. Shock in newborn. Available from:
http://wwwnewbornwhoccorg/STPs/STP_Shock_Pre-Finalpdf

145. Davis A, Carcillo J, Aneja R, Deymann A, Lin J, Nguyen T, et al. American College
of Critical Care Medicine clinical practice parameters for hemodynamic support
of pediatric and neonatal septic shock. CCM. 2017;45(6)(1063-93).
146. Semberova. Spontaneous closure of patent ductus arteriosus in infants 1500g.
Pediatrics. 2017;140(2).
147. Terrin G. Paracetamol for the treatment of patent ductus arteriosus in preterm
neonates: a systematic review and meta-analysis. Arch Dis Child Fetal Neonatal
2016;101. 148. Ohlsson A, Walia R, Shah S. Ibuprofen for the treatment of patent
ductus arteriosus in preterm or low birth weight (or both) infants. Cochrane
Database Syst Rev 2015.
149. Suradi R, Hegar B, Partiwi I, Marzuki A, Ananta Y. Indonesia menyusui. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010.
150. Besar S, Eveline N. Air susu ibu dan hak bayi. In: Pratiwi IGAN PJ, editor. Bedah
ASI. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.
151. UKK Neonatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Kadim M, Roeslani R,
Nurmalia L. Konsensus asuhan nutrisi pada bayi prematur. Jakarta Ikatan Dokter Anak
Indonesia 2016.
152. Fenton T, Nasser R, Eliasziw M, Kim J, Bilan D, Sauve R. Validating the weight gain
of preterm infants between the reference growth curve of the janin and the term infant.
BMC Pediatr. 2013;13:92.
153. Koletzko B, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R. uidelines on paediatric
parenteral nutrition of the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology
and Nutrition (ESPGHAN) and the European Society for Clinical Nutrition and Metabolism
(ESPEN), Supported by the European Society of Paediatric Research (ESPR). J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2005;41(2):1-87.
154. Working Group of Pediatrics Chinese Society Of Parenteral and Enteral Nutrition,
Working Group Of Neonatology Chinese Society Of Pediatrics, Working Group Of
Neonatal Surgery Chinese Society Of Pediatric Surgery. CSPEN guidelines for nutrition
support in neonates. Asia Pac J Clin Nutr. 2013;22:655-63.
155. Moyer-Mileur L. Anthropometric and laboratory assessment of very low birth
weight infants: the most helpful measurements and why. Semin perinatol.
2007;31(2):96103.
156. Bertino E, Boni L, Rossi C, Coscia A, Giuliani F, Spada E, et al. Evaluation of
postnatal growth in very low birth weight infants: A neonatologist's dilemma. Pediatr
Endocrinol Rev. 2008;6(9-13).
157. Lester B, Andreozzi-Fontaine L, Tronick E, Bigsby R. Assessment and Evaluation of
the High Risk Neonate: The NICU Network Neurobehavioral Scale. . JOVE 2014;90:1-9.
158. Rauter S, Messler S, Steven D. Neonatal golden hour-intervention to improve
quality of care of ELBW. SD Med 2014;67:397-403.
612
159. Karlsen K. The STABLE program: pre-transport/post-resuscitation stabilization
care of sick infants, guidelines for neonatal healthcare providers. 2006.
160. Castrodale V, Rinehart S. The golden hour: improving the stabilization of the very
low birth-weight infant. Adv Neonatal Care 2014;14:9-14.
161. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2014.
162. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Resusitasi neonatus. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2013.
163. Sjarif D, Rohsiswatmo R, Rundjan L, Yuliarti K. Panduan berbasis bukti asuhan
nutrisi untuk bayi prematur2015.
164. Agostoni C, Buonocore G, Carnielli V. Enteral nutrient supply for preterm infants:
commentary from the European Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology and
Nutrition Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50(85-91). 165.
American Academy of Pediatrics. Section on breastfeeding: Breastfeeding and the use of
human milk. Pediatrics. 2012;129:827-41.
166. World Health Organization. Optimal feeding of low-birth-weight infants:
technical review. Switzerland: WHO; 2006.
167. Underwood M. Human milk for the premature infant. Pediatr Clin North Am
2013;60:189-207.
168. Young L, Morgan J, McCormick F, McGuire W. Nutrient-enriched formula versus
standard term formula for preterm infants following hospital discharge. Cochrane
Database Syst Rev 2012 3.
169. Corvaglia L, Rotatori R, Ferlini M, Aceti A, Ancora G, Faldella G. he effect of body
positioning on gastroesophageal reflux in premature infants: Evaluation by combined
impedance and pH monitoring. J Pediatr 2007;151:591-6.
170. Fusch C, Jochum F. Water, sodium, potassium and chloride. . Karger Publisher.
2014(p.99-120).
171. Kashyap S, Ohira-Kist K, Abildskov K, Towers H, Sahni R, Ramakrishnan R, et al.
Effects of quality of energy intake on growth and metabolic response of enterally fed
lowbirth-weight infants. Pediatr Res. 2001;50(3):390.
172. Johnson PRomipnfnicpNN-. Review of macronutrients in parenteral nutrition for
neonatal intensive care population. NN. 2014;33(1):29-34.
173. Nutrition C. Nutritional needs of the preterm infant. In: Kleinrnan RE e,
editor. .Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2009.
174. Bauer J, Werner C, Gerss J. Metabolic rate analysis of healthy preterm and
fullterm infants during the first weeks of life Am J Clin Nutr. 2009;90(6):1517-24.
175. Embleton N. Optimal protein and energy intakes in preterm infants. Early Hum
Dev. 2007;83(12):831-7.
176. Thureen P. Early aggressive nutrition in the neonate. Pediatr Rev.
1999;20(9):e45e55.
177. Denne S. editor Protein and energy requirements in preterm infants. Semin
Fetal. 2001;Elsevier.
178. Adamkin D. Pragmatic approach to in-hospital nutrition in high-risk neonates. J
Perinatol. 2005;25(S2):S7.
179. Adamkin D. Nutrition management of the very low-birth weight infant. Total
parenteral nutrition and minimal enteral nutrition Neonatology Reviews. 2006;7:e602-
e7. 180. Velaphi S. Nutritional requirements and parenteral nutrition in preterm infants.
South African Journal of Clinical Nutrition. 2011;24(3):S27-S31.
181. Kleinman R, Greer F. Nutritional needs of the preterm infant. In: Kleinman RE GF,
editors., editor. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics2014.
182. Agostoni C, Buonocore G, Carnielli VDC, M., Darmaun D, Decsi T, et a. ESPGHAN
Committee on Nutrition. Enteral nutrient supply for preterm infants: commentary from

613
the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition
Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50(1):85-91.
183. Darlow B, Graham P. Vitamin A supplementation to prevent mortality and
shortand long-term morbidity in very low birthweight infants. Cochrane Database Syst
Rev. 2011;10:(10).

Lampiran 1. Kodifikasi diagnosis dan prosedur neonatologi

ICD-9 CM, Neonatal Procedures Coding


Level of Competency:
Level I, basic
Level II, specialist
Chapter Code Type of Procedure Classification Level III,
subspecialist Level
IV, subspecialist
advance
0 00 Procedures and interventions,
not elsewhere classified

614
00.12 Administration of inhaled nitric Significant, IV
oxide Nitric oxide therapy major

00.17 Infusion of vasopressor agent Significant, III, IV


major
03 03.3 Diagnostic procedures on spinal Significant, II, III, IV
cord and spinal canal structures minor

03.39 Other diagnostic procedures on Significant, II, III, IV


spinal cord and spinal canal minor
structures

19 19 Reconstructive operations on Significant, II, III, IV


middle ear major
19.5 Other tympanoplasty Signifiant, II, III, IV
major
22 Operation on nasal sinus Significant, II, III, IV
major
22.9 Other operation on nasal sinuses Significant, II, III, IV
major
34 34.0 Incision of chest wall and pleura Significant, IV
Excludes: that as operative major
approach --omit code
Incision of chest wall
Extrapleural drainage

34.03 Reopening of recent Significant, IV


thoracotomy site: major
Insertion of intercostal catheter
for drainage,
- chest tube
- Closed chest drainage
- Revision of intercostal
catheter

38 38.8 Incision, excision, and occlusion Significant,


of vesels major IV
38.85 Other surgical occlusion of Significanti,
vessels, thoracic vessels major
38.9 Puncture of vessel:
38.91 Arterial catheterization I*), II, III, IV
38.92 Umbilical vein catheterization III, IV
38.93 Venous catheterization, not Minor I*), II, III, IV
elsewhere classified Minor II, III, IV
38.94 Venous cutdown Significant,
38.98 Other puncture of artery major II, III, IV
38.99 Minor
Other puncture of vein → III, IV
®Phlebotomy II, III, IV
Significant,

615
minor *)
Emergency procedure
Minor
Minor
39 39.92 Injecting sclerosing agent into Significant, II, III, IV
vein major
54 54.9 Other operations of abdominal
54.91 region
Percutaneous abdominal Significant, II, III, IV*)
drainage minor *)
Emergency procedure
Paracentesis
57 Operation on urinary bladder
57.1 Cystostomy
57.17 Percutaneous cystostomy
- Closed cystostomy Minor II, III, IV
- Percutaneous Minor II, III, IV
suprapubic cystostomy
67 Operation on cervix
67.32 Destruction of lesion of cervix by Significant,
cauterization minor
75 75.32 Cardiotopography Significant, II, III, IV
Minor
88 88.7 Diagnostic ultrasound, includes
88.71 echography Head and neck Significant, III, IV
- Determination of midline minor
shift of brain III, IV
88.72 - EEG Significant,
Echocardiography minor III, IV
Diagnostic ultrasound of gravid III, IV
uterus Significant,
88.78 minor
Significant,
minor
89 Interview, evaluation, Minor I, II, III,
consultation and examination IV

89.0 Diagnostic interview, Significant, I, II, III,


consultation and evaluation minor IV
89.1 Anatomic and physiologic Minor I, II, III,
measurement and manual IV
89.13 examination, anthropometry Minor
Neurologic examination, Ballard
score

89.5 Other non-operative cardiac and Minor II, III, IV


vascular diagnostic procedures
89.50 Ambulatory cardiac monitoring Minor I*), II, III, IV
(pulse oximetry)
89.51 ECG III, IV
*)
Emergency procedure

89.7 General physical examination Minor I, II, III,


IV
616
93 93.84 Music therapy on premature Minor II, III,
infants IV
93.9 Respiratory therapy Significant, I*), II, III, IV
93.90 Non-invasive ventilation major I*), II, III, IV
93.91 Invasive ventilation Significant, II*), III, IV
93.94 major
Respiratory medication
Significant,
administered by nebulizer (mist
major
therapy) II, III, IV
93.96 Other oxygen enrichment
(oxygen therapy) II*), III, IV
Minor *)
Emergency procedure
Low Flow
High Flow
Significant,
major
94 Physiologic evaluation and Minor I*, II, III, IV
testing
94.1 Psychiatric interview,
consultations, and evaluations
95 95.4 Non-operative procedures
related to hearing
95.42 Oto Acoustic Emission (OAE) Minor II, III, IV

96 Non-operative intubation
and irrigation
96.01 Insertion of Minor I*), II, III, IV
96.02 nasopharyngeal airway
Insertion of
oropharyngeal airway, Significant, I*), II, III, IV
96.05 include laryngeal mask airway minor I*), II, III, IV
96.07 (LMA) Significant,
Other intubation and extubation minor I*), II, III, IV
96.08 of respiratory
Tract Minor II, III, IV
96.09 Insertion of other (naso/ oro-) II, III, IV
96.55 gastric tube Minor II, III, IV

96.6 Insertion of other (naso/ oro-) Minor


intestinal tube Minor II, III, IV
96.7 Insertion of rectal tube
Tracheostomy toilette Minor III, IV
96.70 Enteral infusion of concentrated
nutritional substances Significant,
Other continuous invasive major
ventilation
Continuous invasive mechanical Significant, II, III, IV
ventilation of unspecified major
duration ®
Continuous invasive mechanical III, IV
ventilation for less than 96 Significant,
consecutive hours ® major
Continuous invasive mechanical
ventilation for 96 consecutive

617
hours or more ® Significant,
major

97 Replacement and removal of


therapeutic appliances Minor II, III, IV
97.0 Non-operative replacement of
gastrointestinal appliance Minor II, III, IV
97.01 Replacement of (naso/ oro-
)gastric or esophagostomy tube Minor II, III, IV
97.02 jReplacement of gastrostomy Minor II, III, IV
97.03 tube
Replacement of tube or
enterostomy device of small Minor II, III, IV
97.04 intestine
Replacement of tube or
enterostomy device of large Minor II, III, IV
intestine

97.3 Nonoperative removal Minor II, III, IV


of therapeutic device
from head and neck
97.37 Removal of tracheostomy tube
97.4 Nonoperative removal Minor II, III, IV
of therapeutic device
97.41 from thorax Removal of Minor II, III, IV
thoracotomy tube or pleural
97.5 cavity drain Minor II, III, IV
Nonoperative removal of
therapeutic device from digestive
97.51 system Minor II, III, IV
97.52 Removal of gastrostomy tube Minor II, III, IV
Removal of tube from small
intestine

97.6 Non-operative removal of


therapeutic device from urinary
system Minor II, III, IV
97.63 Removal of cystostomy tube Minor II, III, IV
97.64 Removal of indwelling urinary
catheter Minor II, III, IV

618
99 Other non-operative procedures
99.0 Transfusion of blood and blood Significant, II, III, IV
components minor
Use additional code for that
done via catheter or cutdown
99.00 (38.92- 38.94) II, III, IV
Perioperative autologous Significant,
transfusion of whole blood or minor
blood components
99.01 II*), III, IV
Exchange transfusion
Transfusion: exsanguination
Significant,
replacement
99.02 minor II, III, IV
Transfusion of previously
collected autologous blood
Blood component Significant,
99.03 II, III, IV
Other transfusion of whole minor
blood Transfusion: blood
hemodilution
Transfusion of packed cells Significant,
99.04 Transfusion of platelets II, III, IV
99.05 minor
Transfusion of thrombocytes
Transfusion of coagulation II, III, IV
99.06 factors Transfusion of anti- II, III, IV
99.07 hemophilic factor
Significant,
Transfusion of other serum
minor II, III, IV
Transfusion of plasma
99.08 Transfusion of blood expander Significant,
Transfusion of Dextran minor
Significant, II, III, IV
minor
*)
Emergency procedure

Significant,
minor

Significant,
minor

99.1 Injection or infusion of Significant, II, III, IV


therapeutic or prophylactic minor
99.15 substance II, III, IV
Parenteral infusion of Significant,
concentrated nutritional minor

619
substances
. Hyperalimentation
99.17 . Total parenteral II, III, IV
99.18 nutrition [TPN] II, III, IV
99.19 Peripheral Significant, II, III, IV
parenteral nutrition minor
[PPN] Significant,
Injection of insulin minor
Significant,
Injection or infusion of
minor
electrolytes
Injection of anticoagulant

99.2 Injection or infusion of other Significant, II, III, IV


therapeutic or prophylactic minor
substance ®
99.21 Injection of antibiotic I*), II, III, IV
99.22 Injection of other anti- infective Significant, I*, II, III, IV
99.23 Injection of steroid minor II, III, IV
Significant, *)
Emergency procedure
minor
Significant,
minor
99.3 Prophylactic vaccination and Minor I, II, III,
inoculation against certain IV
bacterial diseases

99.4 Prophylactic vaccination and Minor I, II, III,


inoculation against certain viral IV
diseases

99.5 Other vaccination and Minor I, II, III,


99.56 inoculation Administration of IV
tetanus/
diphteri antitoxin

99.6 Conversion of cardiac rhythm Significant, I, II, III, IV


99.60 Cardiopulmonary resuscitation, major I, II, III, IV
not otherwise specified (NOS) Significant,
99.62 Other electric counter shock of major II, III, IV
heart
Cardioversion: Significant,
. NOS minor
. externalConversion to sinus
rhythm
. DefibrillationExternal
99.63 electrode stimulation I, II, III, IV
Closed chest cardiac massage
. Cardiac massage NOS
Significant,
. Manual external cardiac
minor
massage

620
99.8 Miscellaneous physical
99.81 procedures Hypothermia Significant, II*), III, IV
99.83 (central) (local) major
Other phototherapy: I, II, III, IV
99.84 Phototherapy of the newborn Significant, I, II, III, IV
Isolation minor
. Isolation after contact Minor
with infectious disease
. Protection of individual
from his surroundings/
surroundings from
individual *)
Emergency procedure

99.9 Other miscellaneous procedures Minor I, II, III,


99.98 Extraction of milk from lactating IV
breast

Start

DRG

621
LOS <5 d Yes
Yes 2501
And Sign or Maj or
Discharge type Procedure 2502
= (AX15PBX or
Died or Transfer 15 PDX)

2503
No or
Yes 2504

Minor

Procedure

No (AX15PCX)
or Other No
procedure Died 2505
for newborn
Discharge
type

Transfer
2506
Cardiothoracic (4)
procedure
(AX25PEX ) 2512
9

Sign Procedure
Yes
2507
Adm weight (AX15PBX
)
≥2500 g or
age ≤28 days Yes Maj Procedure 2508
without weight
adm
(AX15PDX
)

No
Minor Procedure
Yes 2509
(AX15PCX)

Yes Other Procedure 2510

For Newborn

622
1
Yes Sign Procedure
Adm weight 2512
≥2000 g

Yes
Maj Procedure
2513

Yes
No 2514
Minor Procedure

Yes
Other Procedure 2515

Yes Sign Procedure xxxx

Adm weight
≥1800 g
Yes
Maj Procedure xxxx

No

Yes Minor Procedure xxxx

Yes
Other Procedure xxxx

Yes xxxx
Sign Procedure

Yes Maj Procedure xxxx


No

Adm weight
Yes xxxx
≥1000 g Minor Procedure

Other Procedure
Yes
xxxx
For Newborn

2
725

Sign Procedure xxxx

Adm weight
≥700 g

Maj Procedure xxxx

2
Minor Procedure xxxx

Other Procedure xxxx

PDx and SDx DRG


Major CC or > 1 25033
Sign Procedure SDx Major CC
(AX25BX
DRG
25032

Maj Procedure
xxxx
(AX15PDX
)

Minor Procedure xxxx

(AX15PCX)

Other Procedure xxxx

For Newborn

STOP

624
ICD-10 Neonatal Diseases Coding
Code Description
A33 Tetanus neonatorum
P000 Fetus & newborn aff by mat H/T disrd
P001 Fetus & newborn aff by mat urinary dis
P002 Fetus & newborn aff by mat infect dis

625
P003 Fetus newborn aff oth mat circ resp dis
P004 Fetus & newborn aff mat nutrit disrd
P005 Fetus & newborn aff by maternal injury
P006 Fetus & newborn aff by maternal surgery
P007 Fetus newborn aff oth mat med proc NEC
P008 Fetus & newborn aff by oth mat cond
P009 Fetus & newborn affected by mat cond NOS
P010 Fetus & newborn aff incompetent cervix
P011 Fetus & newborn affected by PROM
P012 Fetus & newborn aff oligohydramnios
P013 Fetus & newborn aff polyhydramnios
P014 Fetus & newborn aff by ectop pregnancy
P015 Fetus & newborn aff by multiple preg
P016 Fetus & newborn aff by maternal death
P017 Fetus newborn aff malpres before labour
P018 Fetus & newborn aff by oth mat comp preg
P019 Fetus & newborn aff by mat comp preg NOS
P020 Fetus & newborn aff by placenta praevia
P021 Fetus & newborn aff oth placnt sep haem
P022 Fetus aff oth morph fn abn placenta
P023 Fetus & newborn aff placnt transfn syndr
P024 Fetus & newborn aff by prolapsed cord
P025 Fetus newborn aff oth compression umb
P026 Fetus & newborn aff oth cond umb cord
P027 Fetus & newborn aff by chorioamnionitis
P028 Fetus & newborn aff by oth abn membranes
P029 Fetus & newborn by aff abn membranes NOS
P030 Fetus & newborn aff by breech delivery
P031 Fetus newborn aff oth malpres in labour
P032 Fetus & newborn aff by forceps delivery
P033 Fetus & newborn aff by vacuum extract
P034 Fetus & newborn aff caesarean delivery
P035 Fetus & newborn aff precipitate delivery
P036 Fetus newborn aff abn uterine contrctn
P038 Fetus newborn aff oth spec comp labour
P039 Fetus newborn aff comp labour delv NOS
P040 Fetus & newborn aff mat anaes analgesia
P041 Fetus newborn aff oth mat medication
P042 Fetus & newborn aff by mat use of tobacco
P043 Fetus & newborn aff by mat use of alc
P044 Fetus & newborn aff by mat use of drug of addiction
P045 Fetus & newborn aff by mat use of nutri chem subs
P046 Fetus & newborn aff by mat exposure to envir chem subs
P048 Fetus & newborn aff by oth mat noxious influ

P049 Fetus & newborn aff by mat noxious influ unspec


P050 Light for gestational age
P051 Small for gestational age
P052 Fet malnutrit w/o mention light or small for gestational age
P059 Slow fetal growth, unspecified
P070 Extremely low birth weight

626
P071 Other low birth weight
P072 Extreme immaturity
P073 Other preterm infants
P080 Exceptionally large baby
P081 Other heavy for gestational age infants
P082 Post- term infant, not heavy for gest age
P100 Subdural hemorrhage d/t birth inj
P101 Cerebral hemorrhage d/t birth inj
P102 Intraventr hemorrhage d/t birth inj
P103 Subarch hem d/t birth inj
P104 Tentorial tear d/t birth inj
P108 Oth intracr lacerations & hemorrhages dt birth inj
P109 Unsp intracr lacerations & hemorrhages dt birth inj
P110 Cerebral edema dt birth inj
P111 Oth specified brain damage d/t birth inj
P112 Unspecified brain damage d/t birth inj
P113 Birth inj to facial nerve
P114 Birth inj to other cranial nerves
P115 Birth inj to spine & spinal cord
P119 Birth inj to CNS; unspec
P120 Cephalhematoma d/t birth inj
P121 Chignon d/t birth inj
P122 Epicranial subaponeurotic hemorrhage d/t birth inj
P123 Bruising of scalp d/t birth inj
P124 Monitoring inj of scalp of newborn
P128 Other birth inj to scalp
P129 Birth inj to scalp, unspec
P130 Fracture of skull d/t birth inj
P131 Other birth inj to skull
P132 Birth inj to femur
P133 Birth inj to other long bones
P134 Fracture of clavicle d/t birth inj
P138 Birth inj to oth prt of skeleton
P139 Birth inj to skeleton, unspec
P140 Erb’s paralysis d/t birth inj
P141 Klumpke’s paralysis d/t birth inj
P142 Phrenic nerve paralysis d/t birth inj
P143 Other brachial plexus birth inj
P148 Birth inj to oth parts of periph nerv sys
P149 Birth inj to oth parts of periph nerv sys, unspec
P150 Birth inj to liver
P151 Birth inj to spleen
P152 Sternomastoid inj d/t birth inj
P153 Birth inj to eye
P154 Birth inj to face

P155 Birth inj to external genitalia


P156 Subcutaneous fat necrosis d/t birth inj
P158 Other specified birth inj
P159 Birth inj, unspecified
P200 Intrauterine hypoxia first noticed before onset of labor

627
P201 Intrauterine hypoxia first noticed dur onset of labor
P209 Intrauterine hypoxia, unspec
P210 Severe birth asphyxia
P211 Mild & moderate birth asphyxia
P219 Birth asphyxia, unspecified
P220 Resp distress syndrome of newborn
P221 Transient tachypnea of newborn
P228 Other resp distress of newborn
P229 Resp distress of newborn, unspec
P230 Congen pneumonia d/t viral agent
P231 Congen pneumonia d/t Chlamydia
P232 Congen pneumonia d/t staphylococcus
P233 Congen pneumonia d/t streptococcus gr B
P234 Congen pneumonia d/t E. coli
P235 Congen pneumonia d/t Pseudomonas
P236 Congen pneumonia d/t other tract agents
P238 Congen pneumonia d/t other organisms
P239 Congen pneumonia, unspec
P240 Neonatal aspiration of meconium
P241 Neonatal aspiration of amniotic fluid & mucus
P242 Neonatal aspiration of blood
P243 Neonatal aspiration of milk & regurgitated food
P248 Other neonatal aspiration syndromes
P249 Neonatal aspiration syndrome, unspec
P250 Interstitial emphysema orig in perinatal period
P251 Pneumothorax originating in perinat period
P252 Penumomediastinum orig in perinat period
P253 Penumopericardium orig in perinat period
P258 Oth conds rel interstit emphys orig in perinat period
P260 Tracheobronchial hemorr orig in perinat period
P261 Massive pulm hemorr orig in perinat period
P268 Oth pulm hemorr orig in perinat period
P269 Unspec pulm hemorr orig in perinat period
P270 Wilson-Mikity syndrome
P271 Bronchopulmonay dysplasia orig in perinat period
P278 Oth chronic resp dis orig in perinat period
P279 Unspec chr resp dis orig in perinat period
P280 Primary athelectasis of newborn
P281 Other & unspec atelectasis of newborn
P282 Cyanotic attacks of newborn
P283 Primary sleep apnea of newborn
P284 Other apnea of newborn
P285 Respiratory failure of newborn
P288 Oth specified resp conds of newborn
P289 Resp condition of newborn, unspec
P290 Neonatal cardiac failure

P291 Neonatal cardiac dysrhythmia


P292 Neonatal hypertension
P293 Persistent fetal circulation
P294 Transient myocardial ischemia of newborn

628
P298 Oth cardiovascular dis orig in perinat period
P299 Cardiovascular dis orig in periat period unsp
P350 Congenital rubella syndrome
P351 Congenital cytomegalovirus infection
P352 Congenital herpesviral inf
P353 Congenital viral hepatits
P358 Other congen viral diseases
P359 Congen viral disease, unspec
P360 Sepsis of newborn d/t sterptococcus, gr B
P361 Sepsis of newborn d/t oth & unspec sterptococci
P362 Sepsis of newborn d/t Staphylococcus aureus
P363 Sepsis of newborn d/t oth & unspec staphylococci
P364 Sepsis of newborn d/t E coli
P365 Sepsis of newborn d/t anaerobs
P366 Other bacterial sepsis of newborn
P369 Bacterial sepsis of newborn, unspec
P370 Congenital tuberculosis
P371 Congenital toxoplasmosis
P372 Neonatal (disseminated) listeriosis
P373 Congenital falciparum malaria
P374 Other congenital malaria
P375 Neonatal candidiasis
P378 Oth spec cingen inf & parasitic dis
P379 Congen inf or parasitic disease, unspec
P38 Omphalitis of newborn w or w/o mild hemorr
P390 Neonatal infective mastitis
P391 Neonatal conjunctivitis & dacryocystitis
P392 Intra-amniotic infection of fetus , NEC
P393 Neonatal urinary tract infection
P394 Neonatal skin infection
P398 Oth spec inf specific to the perinatal period
P399 Infectn specific to the perinatal period, unspec
P500 Fetal blood loss from vasa previa
P501 Fetal blood loss from ruptured cord
P502 Fetal blood loss from placenta
P503 Hemorrhage into co-twin
P504 Hemorrhage into maternal circulation
P505 Fetal blood loss from cut end of co-twin’s cord
P508 Other fetal blood loss
P509 Fetal blood loss, unspecified
P510 Massive umbilical hemorrhages of newborn
P518 Other umbilical hemorrhages of newborn
P519 Umbilical hemorrhage of newborn, unspec
P520 Intraventic (nontraum) hemorr gr 1 fet newborn
P521 Intraventic (nontraum) hemorr gr 2 fet newborn
P522 Intraventic (nontraum) hemorr gr 3 fet newborn
P523 Unspec intraven (nontraum) hemorr fet newborn

P524 Intracerb (nontraum) hemorr of fet & newborn


P525 Subarach (nontraum) hemorr of fet & newborn
P526 Cerebellar (nontraum) & post fossa hemorr of fet & newborn

629
P528 Oth intract (nontraum) hemorr of fet & newborn
F529 Intracr (nontraum) hemorr fet & newborn unsp
P53 Hemorrhagic disease of fetus & newborn
P540 Noenatal haematemesis
P541 Neonatal melaena
P542 Neonatal rectal hemorrhage
P543 Oth neonatal gastrointest hemorrhage
P544 Neonatal adrenal hemorrhage
P545 Neonatal cutaneus hemorrhage
P546 Neonatal vaginal hemorrhage
P548 Oth spec neonatal hemorrhages
P549 Neonatal hemorrhage, unspec
P550 Rh isoimmunication of fet & newborn
P551 ABO isoimmunization of fet & newborn
P558 Oth hemolytic dis of fet & newborn
P559 Hemolytic disease of fet & newborn, unspec
P560 Hydrops fetalis d/t isoimmunization
P569 Hydrops fetalis d/t oth & unspec hemolytic dis
P570 Kernicterus d/t isoimmunization
P578 Other specified kernicterus
P579 Kernicterus, unspecified
P580 Neonat jaund d/t bruising
P581 Neonat jaund d/t bleeding
P582 Neonat jaund d/t infection
P583 Neonat jaund d/t polycythemia
P584 Neonat jaund d/t drg tox transm from moth orgiven nwbrn
P585 Neonat jaund d/t swallowed mat blood
P588 Neonat jaund d/t oth spec excess hemolysis
P589 Neonat jaund d/t excess hemolysis, unspec
P590 Neonat jaund assoc w preterm deliv
P591 Inspissated bile syndrome
P592 Neonatal jaund from oth & unspec hepatcellu damage
P593 Neonatal jaund from breast milk inhibitor
P596 Neonatal jaund from othr spec causes
P599 Neonatal jaund, unspecified
P60 Dissem intravasc coagul of fetus & newborn
P610 Transient neonatal trombocytopenia
P611 Polycythemia neonatorum
P612 Anemia of prematurity
P613 Congen anemia from fetal blood loss
P614 Other congenital anemias, NEC
P615 Transient neonatal neutropenia
P616 Oth transient neonatal dis of coagulation
P618 Oth specified perinatal hematological dis
P619 Perinatal hematological dis, unspec
P700 Syndrome of infant of moth w gest diabetes
P701 Syndrome of infant of a diabetic mother
P 702 Neonatal Diabetes Mellitus

P 703 Iatrogenic Neonatal Hypoglycemia


P 704 Other Neonatal Hypoglycemia

630
P 708 Oth trns disrd fetal carbohydrate metab
P 709 Trans disrd fetal carbohydrate metab NOS
P 710 Cow's milk hypocalcaemia in newborn
P 711 Other neonatal hypocalcaemia
P 712 Neonatal hypomagnesaemia
P 713 Neon tetany wo calcium magnesium def
P 714 Transitory neonatal hypoparatyhyroidism
P 718 Oth trns neonat dis calcium magns metab
P 719 Trns neonat disrd calcm magns metab NOS
P 720 Neonatal goitre NEC
P 721 Transitory neonatal hyperthyroidism
P 722 Oth trns neonat disrd thyroid fn NEC
P 728 Oth spec trns neonatal endocrine disrd
P 729 Transitory neonatal endocrine disrd NOS
P 740 Late metabolic acidosis of newborn
P 741 Dehydration of newborn
P 742 Disturb of sodium balance of newborn
P 743 Disturb of potassium balance of newborn
P 744 Oth transitory electrolyte disturbance of newborn
P 745 Transitory tyrosinemia of newborn
P 748 Oth transit metabol disturbance of newborn
P 749 Transitory metabol disturb of newborn, unspec
P 75 Meconium ileus
P 760 Meconium plug syndrome
P 761 Transitory ileus of newborn
P 762 Intestinal obstruction due to inspissated milk
P 768 Intestinal obstruction of newborn, unspec
P 77 Necrotizing enterocolitis of fetus & newborn
P 780 Perinatal intestinal perforation
P 781 Other neonatal peritonitis
P 782 Neonatal hematemesis and melena d/t swallowed matern blood
(Neonatal hematemesis and melena due to swallowed maternal
blood)
P 783 Noninfecctive neonatal diarrhea
P 788 Other specified perinatal digestive system disorders
P 789 Perinatal dig sys dis, unspec
P 800 Cold inj syndrome
P 808 Other hypothermia of newborn
P 809 Hypothermia of newborn, unspec
P 810 Environmental hyperthermia of newborn
P 818 Other spec disturb of temp regulation of newborn
P 819 Disturbance of temp regul of newborn
P 830 Sclerema neonatorum
P 831 Neonatal erythem nodosum
P 832 Hydrops fetalis not due to hemolytic dis
P 833 Other & unsp edema spec to newborn
P 834 Breast engorgement of newborn
P 835 Congenital hydrocele
P 836 Umbilical polyp of newborn

P 838 Oth spec condition of integument specific to newborn

631
P 839 Condition of the integument specific to newborn, unspecified
P 90 Convulsions of newborn
P 910 Neonatal cerebral ischemia
P 911 Acquired periventricular cysts of newborn
P 912 Neonatal cerebral leukomalacia
P 913 Neonatal cerebral irritability
P 914 Neonatal cerebral depression
P 915 Neonatal coma
P 916 Hypoxic-Ischemic encephalopathy of newborn
P 918 Other specified disturbance of cerebral status of newborn
P 919 Disturbance of cerebral status of newborn, unspec
P 920 Vomiting in newborn
P 921 Regurgitation and Rumination of newborn
P 922 Slow feeding of newborn
P 923 Underfeeding of newborn
P 924 Overfeeding of newborn
P 925 Neonatal difficulty in feeding at breast
P 928 Other feeding problem of newborn
P 929 Feeding problem of newborn, unspec
P 93 Reactions and intoxications due to drugs administered to
newborn
P 940 Transient neonatal myasthenia gravis
P 941 Congenital hypertonia
P 942 Congenital hypotonia
P 948 Other dis of muscles tone of newborn
P 949 Dis muscles tone of newborn, unspec
P 960 Congenital renal failure
P 961 Neonatal withdrawal symptoms from maternal use of drugs of
addiction
P 962 Withdrawal symptoms from therapeutic use of drugs in
newborn
P 963 Wide cranial sutures of newborn
P 965 Complication to newborn due to (fetal) intrauterine procedure
P 968 Other specified conditions originating in the perinatal period.
P 969 Condition originating in the perinatal period, unspecified.
O 660 Obstructed labor due to shoulder dystocia.
O 661 Fetal hydantoin syndrome
O 662 Obstructed labor due to unusually large fetus
O 666 Obstructed labor due to other multiple fetuses
O 675 Other specific joint derangements left foot, not elsewhere
classified.
O 894 Conjoined twins
O 897 Multiple congenital malformations NEC
O 898 Other specified congenital malformations
O 899 Congenital malformations unspec
Z 380 Single liveborn infant, born in hospital
Z 381 Single liveborn, unspec as to place of birth
Z 383 Twin, born in hospital
Z 384 Twin, born outside hospital
Z 385 Twin, unspec as to place of birth
Z 386 Other multiple, born in hospital
Z 387 Other multiple, born outside hospital
632
Z 388 Other multiple, unspec as to place of birth

BUKU PANDUAN PELAYANAN NEONATAL


UKK NEONATOLOGI PP IDAI

Edisi pertama
2018
633
Penyunting:
Adhi Teguh Perma Iskandar
Kartika Darma Handayani
Rocky Wilar
Setyadewi Lusyati
Tetty Yuniati
Toto Wisnu Hendrarto
Tunjung Wibowo

TIM PENYUSUN

KONTRIBUTOR
1. Dr. R. Adhi Teguh Perma Iskandar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
2. Dr. Agnes Yunie Purwita Sari, SpA(K)
Bagian Neonatologi RS Persahabatan Jakarta
3. Dr. Agus Harianto, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya 4. Dr. Akira Prayudijanto, SpA

Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta


5. Dr. Andhika Tiurmaida Hutapea, SpA(K) Bagian Neonatologi RSUD Cengkareng
6. Dr. Aris Primadi, SpA(K)
Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung
7. Dr. Arum Gunarsih, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSU Tangerang Selatan
8. Dr. Desiana Nurhayati, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSU Bunda Margonda Depok
9. Dr. Dina Angelika, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
10. Dr. Distyayu Sukarja, SpA
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
11. Dr. Ellen R Sianipar, SpA(K)

634
Bagian Neonatologi RSUD Pasar Rebo Jakarta
12. Dr. Firaz Alfarizi Alkaff, SpA
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
13. Dr. Gatot Irawan Sarosa, Sp.A(K)
Bagian Neonatologi RSUP dr. Kariadi Semarang

14. Dr. Indrayady, SpA(K)


Bagian Neonatologi RSUP dr. Moh. Hoesin Palembang
15. DR. Dr. Johanes Edy Siswanto, SpA (K)
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
16. Dr. Johnwan Usman, SpA
RS. Hermina Kemayoran Jakarta
17. Dr. Kartika Darma Handayani, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
18. Dr. Lily Rundjan,SpA(K)
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
19. Dr. Lucia Nauli Simbolon, SpA
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta 20. Dr. Mahendra Tri Arif
Sampurna, SpA

Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya


21. DR. Dr. Martono Tri Utomo, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
22. DR. Dr. Rinawati Rohsiswatmo, SpA(K) Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
23. DR. Dr. Risa Etika, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD dr. Sutomo Surabaya
24. Dr. Rizalya Dewi, Sp.A(K)
Bagian Neonatologi RSIA Budhi Mulia Pekanbaru
25. DR. Dr. Rocky Wilar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP Prof Kandou
26. Dr. Setyadewi Lusyati, SpA(K)., PhD
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta

27. Dr. Setya Wandita, M.Kes, SpA(K)


Bagian Neonatologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta

635
28. DR. Dr. Tetty Yuniati, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung
29. Dr. Thomas Harry Adoe, SpA(K)
Bagian Neonatologi RSUD Kota Bekasi
30. DR. Dr Toto Wisnu Hendrarto, SpA(K)., DTM&H UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
31. Dr. Tunjung Wibowo, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
32. Dr. Vinny Yoana, SpA
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
33. Dr. Yanti Susianti, SpA(K)
FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

PENYUNTING
1. Dr. R. Adhi Teguh Perma Iskandar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSCM Jakarta
2. Dr. Kartika Darma Handayani, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUD dr .Sutomo Surabaya
3. DR. Dr. Rocky Wilar, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI

636
Bagian Neonatologi RSUP Prof Kandou
4. Dr. Setyadewi Lusyati, SpA(K)., PhD
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
5. DR. Dr. Tetty Yuniati, SpA(K)
IDAI, UKK Neonatologi
Bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin Bandung
6. DR. Dr Toto Wisnu Hendrarto, SpA(K)., DTM&H UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSAB Harapan Kita Jakarta
7. Dr. Tunjung Wibowo, SpA(K)
UKK Neonatologi, PP IDAI
Bagian Neonatologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta

DIBANTU OLEH:
Tim Sekretariat UKK Neonatologi 2017 – 2020:
• dr. Chindy Arya Sari
• dr. Reza Latumahina
• dr. Dilla Aprilia
• dr. Ferry Liwang
• dr. M. Reza Syahli
KATA SAMBUTAN

Kata Sambutan
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan
karunia-Nya kita masih diberikan kesempatan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di
bidang Ilmu Kesehatan Anak. Selamat dan terima kasih kami ucapkan kepada Unit Kerja Koordinasi
Neonatologi IDAI yang telah menyelesaikan Buku Panduan Pelayanan Neonatal.
Dalam upaya mencapai tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, IDAI berusaha
melaksanakan program untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak Indonesia. Berbagai
bentuk usaha harus dilakukan untuk menyelaraskan tujuan SDG, yaitu mengurangi kematian bayi
hingga 12 per 1.000 kelahiran hidup dan kematian dibawah usia 5 tahun hingga paling rendah 25 per
1.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Fokus lainnya terkait pelayanan neonatal yang dimaksud
adalah dengan mengurangi 1/3 kematian prematur dari penyakit tidak menular.
Target IDAI saat ini yang juga sesuai dengan fokus program Asia Pacific Pediatric Association
(APPA) adalah mengenai periode seribu hari pertama kehidupan, penyakit tidak menular, tuberkulosis
dan kehamilan pada remaja. Seribu hari pertama kehidupan merupakan periode yang penting sebagai
fondasi untuk mengoptimalkan kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan anak. Mengingat angka
kematian neonatus di Indonesia menyumbang lebih dari setengah kematian bayi (59,4%), acuan

637
mengenai sistem pelayanan neonatus di fasilitas kesehatan sangat diperlukan. Adanya pelayanan
kesehatan yang terstandardisasi dapat membantu untuk menurunkan angka kematian neonatal.
Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah berkurang
dari 10,2 persen pada tahun 2013 menjadi 6,2% pada tahun 2018. Bayi berat lahir rendah merupakan
salah satu faktor yang memegang peran penting dalam kematian neonatal dengan kematian utamanya
akibat prematuritas, infeksi, asfiksia dan hipotermi. Penanganan awal mengenai hal itu akan tertuang
dalam Buku Panduan Pelayanan Neonatal. Buku ini merupakan panduan dalam pelayanan kesehatan di
bidang neonatus meliputi kompetensi tenaga medis, kebutuhan fasilitas, alat dan obat-obatan serta
panduan prosedur klinis yang telah dibuat dan disusun oleh para ahli dibidangnya.
Ucapan terima kasih dan penghargaan kami berikan kepada seluruh kontributor yang turut serta
membantu dalam penyelesaian buku pedoman ini. Semoga buku ini dapat menjadi panduan dalam
praktik klinis dokter guna menurunkan angka kematian bayi di Indonesia. Bersama kita bisa
meningkatkan kesehatan generasi penerus bangsa.
Jakarta, Februari 2019
Ketua Umum PP IDAI

DR. Dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP

638
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas izinNya, Buku Panduan Pelayanan
Neonatal Unit Kerja Koordinasi (UKK) Neonatologi PP IDAI ini dapat diterbitkan. Panduan ini
merupakan salah satu rujukan dasar bagi unit pelayanan intensif neonatal di Indonesia menuju
standarisasi pelayanan neonatus berkualitas. Tidak mudah mencapai standarisasi pelayanan neonatal
di Indonesia karena adanya disparitas yang luas mulai dari jumlah dokter spesialis anak dan konsultan
neonatologi, kelengkapan fasilitas unit pelayanan intensif neonatal serta alat antar satu rumah sakit
dengan rumah sakit yang lain, di berbagai wilayah di Indonesia.
Adanya perbedaan kapasitas layanan neonatus dari satu daerah dengan daerah lain
memerlukan pembagian tingkat kemampuan yang mampu laksana. Atas dasar tersebut panduan
cetakan pertama ini memodifikasi panduan American Academy of Pediatric (AAP) tahun 2012
yang berlandaskan pada konsep regionalisasi Toward Improving the Outcome of Pregnancy
III (TIOP III), yaitu pada pembagian tingkat layanan neonatus menurut AAP tahun 2004 (TIOP II).
Keadaan tersebut disesuaikan dengan kapasitas rumah sakit di Indonesia menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia (PMK RI) nomor 56 tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan
Rumah Sakit.
Panduan ini juga menjelaskan kodifikasi diagnosis dan prosedur di bidang Neonatologi
sebagai upaya memperkenalkan sistem pembiayaan kesehatan di era Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) saat ini. Inti dari panduan ini adalah tiga Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang
sudah disahkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan Panduan Praktik Klinis (PPK) yang
disusun oleh tim UKK Neonatologi sebagai rujukan di tiap unit pelayanan neonatus.

Hasil dari upaya menuju standarisasi pelayanan neonatus adalah tercapainya kualitas
pelayanan neonatal di Indonesia menuju ke tingkat yang lebih baik, sehingga diharapkan dapat
membantu upaya penurunan angka kematian di Indonesia pada angka 9 per 1000 kelahiran hidup di
tahun 2025. Upaya tersebut harus dilaksanakan bersama dan serentak di bawah koordinasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kem Kes RI) melalui program Rangkaian Aksi Nasional
(RAN) Neonatal yang terdiri dari upaya tercapainya cakupan pelayanan neonatal berkualitas,
intervensi klinis untuk menurunkan kematian neonatus mulai dari tatakelola klinis ibu hamil dan
bersalin sampai pada penanganan neonatus sakit, yang mengikut sertakan peran orang tua, keluarga
dan masyarakat.

Sudah tentu panduan ini masih jauh dari sempurna, dan sudah seharusnya secara periodik
direvisi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Neonatologi
minimal dua tahun sekali. Semoga buku panduan ini bermanfaat terutama untuk para dokter
spesialis anak yang bertanggung jawab atas tatakelola klinis, untuk pengelola tatakelola manajemen
di fasilitas kesehatan dan pemangku kebijakan dalam menentukan tatakelola program dalam sistem
layanan neonatus di Indonesia. Dan pada kesempatan ini diucapkan terima kasih untuk seluruh
keluarga besar UKK Neonatologi yang dengan ikhlas meluangkan waktunya menyusun buku panduan
ini.

Jakarta, November 2018

Dr. Toto Wisnu Hendrarto, dr., SpA(K)., DTM&H Ketua UKK Neonatologi, PP IDAI
DAFTAR SINGKATAN

639
AAP American Academy of Pediatrics

AC Assist Control

ACCEPT Assesment, Control, Communication, Evaluation, Preparation


Transportation ,

ACOG American College of Obstetric and Gynaecology

ADH Antidiuretic Hormone

aEEG Amplitude Integrated Electroencephalography

AGD Analisis Gas Darah

AGREE II Appraisal of Guidelines for Research & Evaluation II

AHA American Heart Association

AIDS Acquired Immuno Deficiency Syndrome

AKB Angka Kematian Bayi

ALT Alanin Aminotransferase

APTT Activated Partial Tromboplastin Time

ASD Atrial Septal Defect

ASI Air Susu Ibu

AST Aspartate Aminotransferase

ATM Aset Tenaga Manusia

BAER Brainstem Auditory Evoked Responses

BBL Berat Badan Lahir

BBLASR Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah

BBLR Bayi Berat Lahir Rendah

BBLSR Bayi Berat Lahir Sangat Rendah

BIND-M Bilirubin Induced Neurological Dysfunction-Modified

BKB Bayi Kurang Bulan

BMK Besar Masa Kehamilan

BMS Balon Mengembang Sendiri

BPD Bronchopulmonary Dysplasia

BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

BTMS Balon Tidak Mengembang Sendiri

BUN Blood Urea Nitrogen

CAB Clinical Advisory Board

COX inhibitors Cyclo-oxygenae inhibitors

640
CPAP Continuous Positive Airway Pressure
CP Clinical Pathway
CRP C-Reactive Protein
CRT Capillary Refill Time
CSS Cairan Serebrospinal
CT-Scan Computed Tomography Scan
DIC Disseminated Intravascular Coagulation
DM Diabetes Melitus
DMG Diabetes Melitus Gestasional
DPJP Dokter Penanggung Jawab Pasien
DPM Dewan pertimbangan Medis
D10W Dektrosa 10%
D12,5W Dektrosa 12,5%
D15W Dektrosa 15%
EBM Evidence Based Medicine
ECMO Extracorporeal Membrane Oxygenationn
EEG Electroencephalography
EKG Elektrokardiografi
ET Expiration time
ETT Endotracheal Tube
FFP Fresh Frozen Plasma
FFS Fee For Services
FiO2 Fraksi Oksigen
FIRS Fetal Inflammatory Response Syndrome
FJ Frekuensi Jantung
FKTP Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
FKRTL Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
G6PD Glucose-6-Phospatase Dehydrogenase
GD Glukosa Darah
GDS Glukosa Darah Sewaktu
GIR Glucose Infusion Rate
GIT Gastrointestinal Tract
GLUT-1 Glucose Transporter-1
HDN Hemorrhagic Disease of the Newborn
HIE Hypoxic Ischemic Encephalopathy (Ensefalopati Hipoksik
Iskemik)

HIV Human Immunodeficiency Virus


HMF Human Milk Fortifier
HSV Herpes Simplex Virus
HTA Health Technology Assessment

641
IFN Interferon
IGD Instalasi Gawat Darurat
IK Interval Kepercayaan
ILCOR The International Liaison Committee on Resuscitation
IMD Inisiasi Menyusu Dini
INA-DRG Indonesia Diagnosis Related Group
INA-CBG Indonesia Case Based Group
IT Inspiration time
ITP Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
IUGR Intrauterine Growth Retardation
IVH Intraventricular Hemorrhage (perdarahan
intraventrikular)
IVIg Intavenous Immunoglobulin
IWL Insensible Water Loss
JKN Jaminan Kesehatan Nasional
KLB Kejadian Luar Biasa
KMC Kangaroo Mother Care
KMK Kecil Masa Kehamilan
KPD Ketuban Pecah Dini
KSD Kernicterus Spectrum Disorder
LBP Lipopolysacharide-Binding Protein
LFT Liver Function Test
LJ Laju Jantung
MAP Mean Arterial Pressure
MAS Meconium Aspiration Syndrome
MDGs Millenium Development Goals
MODS Multiple Organ Dysfunction Syndrome
MRI Magnetic Resonance Imaging
NAP Natriuretic Atrial Peptide
NAIT Neonatal Alloimmunie Thrombocytopenia
NCC National Casemix Center
NCPAP Nasal Continuous Positive Airway Pressure

NEC Necrotizing Enterocolitis


NETS Newborn Amergency Transport Service
NGT Naso Gastric Tube
NICE National Institute for Health and Care Excellence
NICHD The Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and
Human
Development
NICU Neonatal Intensive Care Unit
NIPPV Nasal Intermittent Positive Pressure Ventilation
NIRS Near Infrared Spectroscopy
642
NNH Number Needed to Harm
NNT Number Needed to Treat to Benefit
NO Nitric Oxide
NRP Neonatal Resuscitation Program
nRBC nucleated Red Blood Cell
NRM Non-rebreathing mask
OGT Oro Gastric Tube
PaO2 Tekanan Parsial Oksigen arteri
PCT Procalcitonin
PCV Polisitemia Vera
PDA Patent Ductus Arteriosus
PDVK Perdarahan akibat Defisiensi Vitamin K
PEEP Positive End Expiratory Pressure
PES Pediatric Endocrine Society
PIP Peak Inspiratory Pressure
PJB Penyakit Jantung Bawaan
PJT Pertumbuhan Janin Terhambat
PMK Peraturan Menteri Kesehatan
PMK Perawatan Model Kanguru
PNPK Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
PPHN Persistent Pulmonary Hipertension of the Newborn
PPK Panduan Praktik Klinis
PT Prothrombin Time
PRC Packed Red Cell
PVL Periventricular Leukomalacia (leukomalasia periventrikular)
RAN Rangkaian Aksi Nasional

RDS Respiratory Distress Syndrome


RO Rasio Odds
ROP Retinopathy of Prematurity
RR Respiratory Rate
SAA Serum Amiloid-A
SDGs Sustainable Developmental Goals
SDKI Survei Demografi Kesehatan Indonesia
SEP Surat Eligibilitas Peserta
SHC Selective Head Cooling
SIGN Scottish Intercollegiate Guidelines Network
SIMV Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation
SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga
SLE Systemic Lupus Erythematosus
SpO2 Saturasi Oksigen
643
SSP Susunan Syaraf Pusat
STABLE Sugar, Temperature, Airway, Blood Pressure, Lab work, and
Emotional support

STOP-ROP Supplemental Therapeutic Oxygen for Prethreshold Retinopathy of


Prematurity
TAR Trombocytopenia Absent Radius
TcB Transcutaneus Bilirubin
TEF Tracheaoesophageal fistula
TGA Transposition of Great Arteries
TIOP Toward Improving the Outcome of Pregnancy
TKMKB Tim Kendali Mutu Kendali Biaya
TMI Transient Myocardial Ischaemia
TMR Transient Tricuspid Regurgitation
TNF Tumor Necrosis Factor
TOF Tetralogy of Fallot
TORCH Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus Herpes Simplex Virus and
other disease

TSB Total Serum Bilirubin


TTN Transient Tachypnea of the Newborn
UDCA Ursodeoxycholic acid
USAID US Agency for International Development
USG Ultrasonography
WBC Whole Body Cooling
WHO World Health Organization
VATER Vertebral defect, Anal atresia, Tracheoesophageal fistula with
Esophageal atresia, Radial/Renal anomaly

Vedika Verifikasi di Kantor


VILI Ventilator Induced Lung Injury
VKDB Vitamin K Deficiency Bleeding
VSD Ventricular Septal Defect
VTP Ventilasi dengan Tekanan Positif

644
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN..............................................................................................................ii
KATA SAMBUTAN........................................................................................................vi
KATA PENGANTAR....................................................................................................viii
DAFTAR SINGKATAN....................................................................................................x
DAFTAR ISI...................................................................................................................xvi
DAFTAR TABEL.........................................................................................................xviii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................xix
RINGKASAN EKSEKUTIF............................................................................................xx
BAB I PANDUAN TINGKAT PELAYANAN NEONATUS...........................................1
1.1 Pendahuluan.................................................................................................................1
1.2 Batasan tingkat pelayanan neonatus.............................................................................3
1.3 Uraian unit layanan sesuai dengan tingkat kompetensinya...........................................6
1.3.1 Unit layanan neonatus tingkat I (di fasilitas kesehatan primer/ puskesmas, fasilitas kesehatan
sekunder/ ruang rawat gabung rumah sakit)....................................................................6
1.3.2 Unit layanan neonatus tingkat II (di fasilitas kesehatan sekunder/ rumah sakit)...12
1.3.3 Unit layanan neonatus tingkat III (di fasilitas kesehatan tersier/ rumah sakit)......22
1.4 Uraian panduan prosedur registri morbiditas, mortalitas dalam pengelolaan rekam medik pasien;
manajemen ATM; manajemen fasilitas, alat kesehatan dan obat-obatan..........................31
BAB II KODIFIKASI DIAGNOSIS DAN PROSEDUR NENATOLOGI.......................34
2.1 Rujukan berjenjang.....................................................................................................34
2.2 Sistem pembiayaan JKN.............................................................................................35
2.3 Proses klaim, persyaratan dan permasalahannya........................................................39
2.4 Manfaat rekam medis.................................................................................................44
BAB III PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN..............................47
1. PNPK BBLR: Resusitasi, Stabilisasi dan Transport Neonatus.....................................48
2. PNPK Asfiksia Neonatorum.......................................................................................193
3. PNPK Hiperbilirubinemia..........................................................................................356

645
BAB IV PANDUAN PRAKTIK KLINIS......................................................................473
4.1 Kriteria rawat inap dan keluar dari rumah sakit........................................................473
4.2 Komunikasi interpersonal dan konseling..................................................................478
4.3 Penilaian fisik...........................................................................................................483
4.4 Dampak penyakit ibu pada neonatus........................................................................496
4.5 Kelainan bawaan yang sering ditemui pada neonatus...............................................506
4.6 Trauma lahir.............................................................................................................514
4.7 Resusitasi neonatus...................................................................................................519
4.8 Pedoman stabilisasi neonatus...................................................................................529
4.9 Transportasi neonatus...............................................................................................537
4.10 Asfiksia perinatal dan HIE......................................................................................546
4.11 Kejang pada neonatus.............................................................................................552
4.12 Transient tachypnea of newborn (TTN).................................................................559
4.13 Respiratory distress syndrome (RDS)....................................................................562
4.14 Meconium aspiration syndrome (MAS).................................................................565
4.15 Pneumonia pada neonatus.......................................................................................569
4.16 Air leak syndrome...................................................................................................572
4.17 Apnea of prematurity..............................................................................................575
4.18 Terapi oksigen........................................................................................................578
4.19 CPAP......................................................................................................................583
4.20 Ventilasi invasif......................................................................................................595
4.21 Bayi kurang bulan dan PJT.....................................................................................604
4.22 Asuhan kontak kulit dengan kulit...........................................................................615
4.23 Kangaroo Mother Care (KMC)..............................................................................618
4.24 Termoregulasi neonatus..........................................................................................628
4.25 Hipoglikemia pada neonatus...................................................................................635
4.26 Hiperbilirubinemia pada neonatus..........................................................................641
4.27 Anemia pada neonatus............................................................................................646
4.28 Polisitemia neonatorum.........................................................................................651
4.29 Trombositopenia pada neonatus.............................................................................654
4.30 Hemorrhagic Disease of The Newborn (HDN) pada neonatus...............................657
4.31 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) pada neonatus.............................660
4.32 Pengendalian infeksi di Unit Perawatan Neonatus.................................................663
4.33 Sepsis Neonatorum.................................................................................................668
4.34 Syok pada neonatus................................................................................................673
4.35 Kelainan jantung yang sering ditemui pada neonatus.............................................676
4.36 Pemberian ASI di fasilitas kesehatan......................................................................680
4.37 Pemberian nutrisi enteral bagi neonatus.................................................................692
4.38 Tatalaksana nutrisi parenteral pada neonatus..........................................................699
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................706
4.1 Kesimpulan...............................................................................................................706
4.2 Saran.........................................................................................................................706
DAFTAR RUJUKAN....................................................................................................707

646
Lampiran 1. Kodifikasi diagnosis dan prosedur neonatologi..........................................717

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Batasan tingkat pelayanan neonatus TIOP II 1993 ..................................................... 4


Tabel 2. Parameter penilaian neurologis neonatus ................................................................. 487
Tabel 3. Parameter penilaian pernapasan neonatus .............................................................. 488
Tabel 4. Parameter penilaian kardiovaskular .......................................................................... 488
Tabel 5. Parameter penilaian gastrointestinal .......................................................................... 489
Tabel 6. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................... 559
Tabel 7. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................... 562
Tabel 8. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................... 565
Tabel 9. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................... 569
Tabel 10. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................ 572
Tabel 11. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe ................................ 575
Tabel 12. Standar transfusi internasional ................................................................................. 650
Tabel 13. Rute pemberian nutrisi pada bayi prematur ......................................................... 694
Tabel 14. Frekuensi dan volume nutrisi enteral bayi prematur ............................................ 695
Tabel 15. Pemantauan laboratorium terkait pemberian nutrisi pada bayi prematur .... 696
Tabel 16.Nilai rujukan parameter biokimia pascarawat ...................................................... 697
Tabel 17. Pemantauan laboratorium terkait pemberian nutrisi pada bayi prematur .... 704

DAFTAR GAMBAR

647
Gambar 1. Area cuci tangan ............................................................................................................ 9
Gambar 2. Area resusitasi ............................................................................................................... 11
Gambar 3. Ruang Transisi ................................................................................................................ 17
Gambar 4. Unit layanan neonatus tingkat III. Perbedaan di unit layanan tingkat II pada
tunjangan ventilasi non-invasif. ........................................................................................................ 20
Gambar 5. Area laktasi (contoh gambar ada wastafel, tempat duduk nyaman) ............... 21
Gambar 6. Trolley emergency.......................................................................................................... 26
Gambar 7. Area pencucian inkubator ........................................................................................... 31
Gambar 8. Kaidah penulisan resume medik ................................................................................ 43
Gambar 9. Klasifikasi neonatus berdasarkan maturitas dan pertumbuhan intrauterin ... 494
Gambar 10. Perkiraan usia kehamilan menurut maturitasnya .............................................. 495
Gambar 11. Algoritma resusitasi neonatus ............................................................................... 528
Gambar 12. Alur persiapan dan komunikasi proses rujukan bayi baru lahir .................... 531
Gambar 13. Mengukur panjang pipa ........................................................................................ 534
Gambar 14. Fiksasi pipa orogastrik ........................................................................................... 534
Gambar 15. Alogaritma tatalaksana kejang ........................................................................... 558
Gambar 16. Peralatan untuk pemberian oksigen.................................................................... 579
Gambar 17. Penggunaan BMS dengan atau tanpa reservoir .............................................. 581
Gambar 18. Inspirasi pendek saat pertukaran gas ................................................................ 598
Gambar 19. Akibat waktu ekspirasi terlalu pendek ............................................................... 598
Gambar 20. Oksigenasi selama dibantu ventilasi invasif ...................................................... 599
Gambar 21. Eliminasi CO2 selama dibantu ventilasi invasif ................................................. 600
Gambar 22. Posisi bayi untuk KMC ............................................................................................ 621
Gambar 23. Posisi bayi dalam KMC .......................................................................................... 621
Gambar 24. Memberikan ASI yang telah diperah menggunakan selang nasogastrik ... 625
Gambar 25. Kehilangan panas pada neonatus ....................................................................... 629
Gambar 26. Alogaritma tatalaksana hipoglikemia ................................................................ 639
Gambar 27. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi dengan usia
kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia kehamilan 35-36 minggu
dengan berat lahir ≥ 2500 gram berdasarkan kadar bilirubin
serum sesuai dengan usia (dalam jam) ....................................................................................... 644

RINGKASAN EKSEKUTIF

Standarisasi pelayanan neonatus merupakan kebutuhan saat ini agar percepatan penurunan angka
kematian neonatus (AKN) 9 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2025 dapat tercapai. Upaya kearah
tersebut juga diperlukan untuk mengatasi adanya disparitas jumlah dan kompetensi aset tenaga
manusia (ATM), fasilitas kesehatan serta alat kedokteran di berbagai wilayah di Indonesia. Upaya
standarisasi dilaksanakan dengan menghilangkan fragmentasi pelaksanaan sistem kesehatan
neonatal pada tatakelola program, manajemen dan klinis. Pada buku panduan ini diuraikan tingkat
648
pelayanan neonatus sebagai dasar pelaksanaan tatakelola manajemen di fasilitas kesehatan.
Disamping itu diuraikan pula kodifikasi diagnosis dan prosedur di bidang neonatologi sebagai bagian
dari sistem pendanaan di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang merupakan kesatuan dari
tatakelola program, manajemen dan klinis. Tatakelola klinis dibahas lebih rinci baik sebagai dasar bagi
panduan nasional maupun panduan di tiap fasilitas kesehatan yaitu dalam bentuk Panduan Nasional
Pelayanan Kesehatan (PNPK) dan Panduan

Praktik Klinis (PPK).


Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran di bidang Neonatal pada edisi pertama tahun 2018 buku
panduan ini baru menyampaikan tiga topik yang sudah resmi menjadi panduan nasional yaitu PNPK
bayi berat lahir rendah (BBLR) untuk Resusitasi, Stabilisasi dan Transport, PNPK Asfiksi Neonatus
serta PNPK Hperbilirubinemia. Panduan Praktik Klinis yang sudah tersusun oleh tim UKK Neonatologi
dengan format PP IDAI meliputi 38 topik, dimana PPK tersebut merupakan rujukan dasar tatakelola
klinis bagi fasilitas kesehatan yang harus direvisi minimal setiap dua tahun sekali menurut basis bukti
terbaru dan kapasitas yang dimiliki oleh masing-masing fasilitas kesehatan.

Pada lampiran diuraikan algoritma sistem pendanaan di era JKN ini yang masih merujuk pada sistem
kodifikasi ICD 9-CM untuk prosedur dan ICD 10 untuk diagnosis. Dengan demikian buku panduan ini
diharapkan dapat secara paripurna memberikan pedoman dalam pelaksananan pelayanan di bidang
neonatal.

649
BAB I PANDUAN TINGKAT PELAYANAN NEONATUS

1.1 Pendahuluan
Standarisasi pelayanan neonatus menjadi kebutuhan saat ini dengan semakin
berkembangnya kemampuan rumah sakit di seluruh Indonesia dalam melaksanakan
tugasnya. Unit kerja koordinasi (UKK) Neonatologi PP IDAI perlu menetapkan panduan
baku dalam sistem pelayanan tersebut, meliputi kompetensi aset tenaga mediknya,
fasilitas, alat dan obat-obatan yang digunakan serta panduan prosedur pelayanannya.

Tujuan dari buku ini adalah menetapkan acuan baku sistem pelayanan neonatus
di fasilitas kesehatan mulai dari tingkat primer di puskesmas (pelayanan neonatus
tingkat satu atau dasar), sekunder (pelayanan neonatus spesialistik di rumah sakit tipe
D dan tipe C menurut PMK No 604/MenKes/SK/VII/2008 tentang pedoman pelayanan
maternal perinatal pada rumah sakit kelas B, kelas C dan kelas D) dan tersier (pelayanan
neonatus subspesialistik di rumah sakit tipe B dan A). Peraturan menteri kesehatan
tersebut sudah waktunya direvisi karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan
pengetahuan saat ini. Dan untuk melengkapi peraturan tersebut disusun buku panduan
ini yang nantinyapun harus dievaluasi dan apabila perlu direvisi setiap tahun. Adapun
program Kementerian Kesehatan RI dalam pelayanan neonatal pada prinsipnya
mengacu pada Rangkaian Aksi Nasional di bidang neonatal (RAN-Neonatal) yang
memiliki tiga kerangka aksi yaitu cakupan pelayanan neonatal yang berkualitas,
intervensi klinis untuk kelangsungan hidup neonatus (tatakelola klinis kehamilan,
persalinan dan neonatus sakit) serta pemberdayaan partisipasi keluarga.

Kepentingan standarisasi adalah upaya mencapai cakupan pelayanan neonatal


berkualitas, menetapkan acuan dalam melaksanakan tugas pelayanan khususnya di
bidang neonatus sebagai bagian dari intervensi klinis dalam tatakelola neonatus sakit.
Tetapi karena adanya disparitas yang sangat luas di negara kita, maka pada saat ini
belum dapat dilakukan standarisasi secara baku. Oleh sebab itu, pada saat ini baru dapat
ditetapkan panduan minimal yang harus dilaksanakan dalam pelayanan di bidang
neonatus. Panduan minimal meliputi kompetensi aset tenaga medis, kebutuhan fasilitas,
alat dan obat-obatan serta panduan prosedur klinis yang harus dilakukan, sesuai
dengan:

• PMK No 604/MENKES/SK/VII/2008 tentang pedoman pelayanan maternal


perinatal pada rumah sakit kelas B, kelas C dan kelas D
• PMK No 1051/MENKES/SK/XI/2008 tentang pedoman penyelenggaraan PONEK
24 jam di rumah sakit
• PMK No 39 tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan program indonesia
sehat dengan pendekatan keluarga
• PMK No 43 tahun 2016 tentang standar pelayanan minimal bidang kesehatan.
Hasil dari panduan ini menuju kesamaan konsep dalam melaksanakan pelayanan
neonatus. Kesamaan konsep akan mendukung konsep rujukan regionalisasi (sesuai PMK
No HK.02.02/MENKES/391/2014 tentang pedoman penetapan rumah sakit rujukan

1
regional), dan ini sangat dibutuhkan oleh kondisi Indonesia yang sangat unik secara
geografis. Selain itu juga mendukung program Kementerian Kesehatan RI dalam
mengupayakan penurunan angka kematian neonatal 9 per 1000 kelahiran di tahun 2025.

1.2 Batasan tingkat pelayanan neonatus


Batasan tingkat pelayanan neonatus di Indonesia memodifikasi klasifikasi Toward
Improving the Outcome of Pregnancy I (TIOP I) pada Tabel 1 karena adanya
disparitas kemampuan rumah sakit di Indonesia. Pada pelayanan neonatus tingkat II,
modifikasi ditetapkan berdasarkan berat badan lahir. Pelayanan neonatus tingkat IIA
diperuntukan rumah sakit tipe D yang pada umumnya mempunyai kapasitas yang
hampir sama untuk melakukan perawatan pada bayi berat lahir 2000 gram, tingkat IIB
untuk rumah sakit tipe C yang pada umumnya mempunyai kapasitas merawat bayi berat
lahir 1800 gram. Pada pelayanan neonatus tingkat IIIA diperuntukkan pada rumah sakit
tipe B yang hanya memiliki pelayanan spesialistik luas, tingkat IIIB untuk rumah sakit tipe
B dengan kemampuan minimal spesialistik plus (mendapat pelatihan khusus di
bidangnya) atau subspesialistik terbatas. Pelayanan neonatus tingkat IIIC dan IIID adalah
rumah sakit tipe A yang memiliki kemampuan subspesialistik luas.

Tabel 1. Batasan tingkat pelayanan neonatus TIOP II 19931

Tingkat Pelayanan Uraian tingkat kompetensi dan kemampuan pelayanan

Layanan Neonatus Dasar Evaluasi dan perawatan pasca lahir neonatus bugar pasca
(tingkat I), Perawatan neonatus resusitasi
bugar Stabilisasi neonatus sakit sampai dilaksanakan proses
rujukan ke RS dengan tingkat layanan spesialistik.

Modifikasi di Indonesia:
• Mengupayakan pertolongan persalinan, janin dan
neonatus normal.

2
• Identifikasi tanda bahaya pada neonatus
• Resusitasi, stabilisasi dan transport neonatus
nonbugar/ sakit untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan
sekunder atau tersier sesuai regionalisasi wilayahnya.
• Perawatan neonatal esensial pada neonatus sehat

Layanan Neonatus Layanan neonatus dengan berat lahir 1500 gram


Spesialistik (tingkat II) Resusitasi dan stabilisasi bayi prematur bugar atau sakit
sampai dirujuk ke RS yang memiliki layanan
subspesialistik

Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe D (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIA, spesialistik terbatas).
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat I, ditambah:
• Layanan neonatus dengan batasan berat lahir 2000
gram dan usia kehamilan 36 minggu.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi non-invasif.
Rumah sakit tipe C (kompetensi dan kemampuan
layanan neonatus tingkat IIB, spesialistik luas).
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIA, ditambah:
• Layanan neonatus dengan batasan berat lahir 1800
gram dan usia kehamilan 35 minggu.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi invasif
dengan ventilator konvensional ≤5 hari untuk
stabilisasi neonatus sebelum dirujuk ke fasilitas
kesehatan tersier.
• Dapat melaksanakan tindakan bedah minor pada
neonatus.

Layanan Neonatus Unit atau fasilitas layanan intensif neonatus yang


Subspesialistik (tingkat III) membutuhkan tunjangan ventilasi mekanik.
Tingkat III A
Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe B (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIIA, spesialistik dengan pelatihan
tambahan manajemen neonatus tingkat III atau
subspesialistik terbatas, dokter spesialis lain).
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat
IIB, ditambah:
• Layanan neonatus dengan batasan berat lahir 1000
gram dan usia kehamilan 28 minggu.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi invasif dengan
ventilator konvensional.
• Dapat melaksanakan tindakan bedah major terbatas
(tindakan bedah spesialistik) pada neonatus.

Tingkat III B Unit layanan tingkat III A dengan kemampuan tambahan


dapat melaksanakan prosedur bedah major seperti
reparasi omfalokel, atresia trakeheo esophagus dengan
atau tanpa fistel, prosedur bedah saluran cerna neonatus,
reparasi mielomeningokel, dan pemasangan VP-shunt.
Tidak ada batasan usia kehamilan dan berat lahir.

Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe A (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIIA, subspesialistik/ konsultan
neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak
terbatas)
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIIA, ditambah:

3
• Layanan neonatus tanpa batas batasan berat lahir dan
usia kehamilan.
• Dapat melaksanakan tunjangan ventilasi invasif tidak
terbatas (ventilator konvensional, high frequency
ventilator, high frequency oscillator).
• Dapat melaksanakan tindakan bedah major tidak
terbatas (tindakan bedah subspesialistik) pada
neonatus.

Tingkat III C Unit layanan tingkat III B dengan kemampuan tambahan


dapat melaksanakan prosedur bedah jantung kompleks
yang tidak melaksanakan tindakan bypass kardiopulmonar
dan/ atau dengan ECMO.

Modifikasi di Indonesia:
Rumah sakit tipe A (kompetensi dan kemampuan layanan
neonatus tingkat IIIB, subspesialistik/ konsultan
neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak
terbatas, fasilitas prosedur kardiotorasis terbatas)
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus
tingkat IIIB, ditambah:
• Dapat melaksanakan prosedur kardiotorasis kompleks
yang tidak melaksanakan tindakan bypass
kardiopulmonal dan/ atau dengan ECMO.

Tingkat III D Unit layanan tingkat III C dengan kemampuan tambahan


dapat melaksanakan prosedur bedah jantung kompleks
dengan tindakan bypass kardiopulmonar dan/ atau dengan
ECMO.

Modifikasi di Indonesia:
Pusat rujukan nasional untuk neonatal terintegrasi dengan
Pusat Jantung Nasional (kompetensi dan kemampuan
layanan neonatus tingkat IIIC, subspesialistik/ konsultan
neonatologi, dokter subspesialis/ konsultan lain tidak
terbatas, fasilitas prosedur kardiotorasis lengkap)
• Kompetensi dan kemampuan layanan neonatus tingkat
IIIC, ditambah:
• Dapat melaksanakan prosedur kardiotorasis kompleks
dengan tindakan bypass kardiopulmonal dan/ atau
dengan ECMO.

1.3 Uraian unit layanan sesuai dengan tingkat kompetensinya


1.3.1 Unit layanan neonatus tingkat I (di fasilitas kesehatan
primer/ puskesmas, fasilitas kesehatan sekunder/ ruang rawat
gabung rumah sakit)
1.3.1.1 Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti profesi
medis, bidan dan perawat.

A. Dokter

4
• Kompetensi: tingkat dasar untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap profesional di
bidang neonatologi, yaitu: o Tanda bahaya kedaruratan pada neonatus
o Resusitasi, stabilisasi dan transport neonatus tidak terbatas pada berat lahir dan
usia kehamilan.
o Manajemen neonatal esensial.
• Uraian tugas dan tanggung jawab: o Tatakelola klinis neonatus dengan tingkat
kompetensi dasar yang direkam dalam cacatan medis pasien.
o Tatakelola manajemen:
▪Pencatatan, pelaporan, kajian morbiditas dan mortalitas hasil aktivitas medis
yang telah dilakukan di unitnya untuk tindak lanjut perbaikan secara internal
unit pelayanan.
▪Perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas, alat kedokteran dan obat-
obatan kebutuhan di unitnya.
▪Penyusunan dan revisi/ updating panduan prosedur klinik di unitnya. o
Tatakelola program:
▪Pencatatan, pelaporan, kajian morbiditas dan mortalitas hasil aktivitas medis
yang telah dilakukan di unitnya untuk tindak lanjut perbaikan secara eksternal
berkolaborasi dan berkoordinasi lintas sektoral dalam satu sistem rujukan di
wilayah regionalnya, misalnya dalam kegiatan audit maternal peri-neonatal.
▪Perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas, alat kedokteran dan obat-
obatan kebutuhan di unitnya terintegrasi dalam sistem pengadaan layanan
kesehatan vertikal dari tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional.
▪Standarisasi panduan prosedur klinis secara regional maupun nasional.

B. Bidan dan perawat

• Kompetensi: tingkat dasar untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap profesional


asuhan keperawatan di bidang neonatologi, yaitu:
o Tanda bahaya kedaruratan pada neonatus
o Asistensi dalam melaksanakan resusitasi, stabilisasi dan transport neonatus tidak
terbatas pada berat lahir dan usia kehamilan.
o Asuhan keperawatan dalam manajemen neonatal esensial.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
o Tatakelola klinis dalam asuhan keperawatan neonatus dengan tingkat kompetensi
dasar yang direkam dalam cacatan medis pasien.

5
o Tatakelola manajemen:
▪Membantu dalam pencatatan, pelaporan, kajian morbiditas dan mortalitas hasil
aktivitas medis yang telah dilakukan di unitnya untuk tindak lanjut perbaikan
secara internal unit pelayanan.
▪Membantu dalam perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas, alat
kedokteran dan obat-obatan kebutuhan di unitnya.
▪Penyusunan dan revisi/ updating panduan asuhan keperawatan prosedur
klinik di unitnya.

1.3.1.2 Uraian fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan obatobatan

A. Area cuci tangan


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi area
Lokasi strategis dekat di sekitar pintu masuk lokasi neonatus ditempatkan, mudah
dijangkau tetapi tidak mengganggu lalu lintas baik pasien, petugas dan pengunjung.

1.2 Kebersihan harus terjaga dengan struktur yang mudah dibersihkan.


1.3 Pencahayaan terang dan nyaman
1.4 Ventilasi optimal dengan aliran udara bebas yang maksimal
1.5 Wastafel
Ukuran besar untuk menampung cipratan air saat melakukan cuci tangan, dengan
aliran air limbah yang lancer, memiliki kran yang dioperasikan dengan siku atau
lengan.

2. Mebel
2.1 Rak atau gantungan gaun bersih untuk petugas atau pengunjung.
2.2 Wadah gaun kotor setelah digunakan
2.3 Rak sepatu
2.4 Lemari untuk barang pribadi petugas atau pengunjung
2.5 Wadah limbah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
3. Bahan-bahan
3.1 Sabun
Tersedia sabun dalam jumlah cukup, dianjurkan sabun cair antibakteri dalam
dispenser dengan pompa.

3.2 Pengering
Harus tersedia pengering minimal kertas tisu habis pakai atau pengering elektronik.
Tidak dianjurkan pengering handuk

6
Gambar 1. Area cuci tangan

B. Area resusitasi, stabilisasi dan transport


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi area -
Lokasi:
o Di IGD: terletak diluar alur lalu lintas petugas dan pasien.
o Di ruang bersalin, lokasi harus sangat dekat dengan tempat menolong ibu
bersalin.
- Ukuran luas minimal 4 m2 untuk posisi meja resusitasi, di luar kebutuhan untuk meja
alat, sumber oksigen dan sumber udara serta peralatan lainnya.
1.2 Kebersihan terjaga setiap waktu dan siap pakai
1.3 Pencahayaan optimal menerangi area resusitasi
1.4 Ventilasi baik, dihindari adanya aliran udara.
1.5 Suhu ruangan dapat diatur sekitar 24-28ºC dengan kelembaban udara optimal
1.6 Steker listrik
Ruang harus dilengkapi paling sedikit enam steker yang dipasang dengan tepat untuk
peralatan listrik. Steker harus mampu memasok beban listrik yang diperlukan, aman
dan berfungsi baik.
2. Mebel
2.1 Meja resusitasi dengan penghangat (berupa lampu pijar 60 watt berjarak 60 cm dari alas
meja atau radiant warmer) lengkap, minimal memiliki:
- Lampu penerang sekaligus sebagai alat penghangat area resusitasi yang dapat diatur
suhunya.
- Matras yang cukup keras, bersih, kering dan mudah menyerap panas.
- Selimut alas yang bersih kering dan hangat
- Mudah dibersihkan dan dikeringkan, dengan bagian logam bebas berkarat.
2.2 Jam dengan fasilitas stop watch sebagai penunjuk waktu yang tepat dan berfungsi baik.

7
2.1 Selimut penghangat bayi atau plastik pembungkus bayi prematur lengkap dengan topinya,
kering, bersih dan hangat.
3. Fasilitas, alat dan obat-obatan
3.1 Meja untuk meletakan alat resusitasi dan obat-obatan
3.1 Perlengkapan jalan napas (air way):
- Alat penghisap lendir harus ada minimal alat penghisap lendir dinding atau portable
dengan segala kelengkapannya
3.2 Pasokan oksigen dan udara
- Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang
atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase
kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang
tersambung langsung ke blender.
- Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi.

Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan
diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah (low flowmeter) dan tinggi
(high flowmeter)

3.3 Alat bantu ventilasi:


Ventilasi non-invasif dengan segala kelengkapannya:
- t-piece resuscitator
- CPAP neonatus lengkap

3.4 Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:
3.4.1 Alat pembebas jalan napas:
- Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR
- Harus ada balon penghisap lendir atau mucous extractor untuk penghisapan lendir
sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan
- Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran
5FR dan 8FR.
- Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan
digunakan.
- Bola lampu laringoskop cadangan
- Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1
3.4.2 Alat pemberi oksigenisasi:
- Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik -
Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan -
Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif.
- Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan
gunting untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif.
3.4.3 Alat monitor
- Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable.
- Stetoskop bayi atau anak
3.4.4 Obat-obatan:
- Alat sunti/spuit 1cc; 2,5cc; 3cc; 5cc; 10cc; 20cc; 50cc
- Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000)
- Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL)
3.4.5 Alat penunjang sirkulasi dan cairan:
- Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap
- Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR -
Three-way stopcock
- Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate
- Topi
- Masker

1 3.5 Alat pelindung diri:

8
- Kaca mata google
- Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang
- Gaun plastic
- Sepatu pelindung

3.6 Pengatur suhu ruangan dan penghangat meja resusitasi:


- AC yang siap pakai suhu diatur antara 24-28ºC
- Termometer ruangan
- Penghangat (Radiant warmer) yang berfungsi dengan baik
- Topi bayi, selimut untuk pembungkus bayi, selimut untuk pembersih dan
selimut untuk alat, serta plastik untuk penghangat bayi prematur 3.7 Inkubator transport atau
kain/ gaun metode kanguru
3.8 Laboratorium penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium darah lengkap sederhana
- Pemeriksaan laboratorium gula darah

Gambar 2. Area resusitasi

1.3.2 Unit layanan neonatus tingkat II (di fasilitas kesehatan


sekunder/ rumah sakit)
1.3.2.1 Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti profesi
medis, bidan dan perawat.

9
A. Dokter spesialis anak
• Kompetensi: tingkat spesialistis untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap
profesional di bidang neonatologi.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
o Tatakelola klinis neonatus dengan tingkat kompetensi spesialistis yang direkam
dalam cacatan medis pasien.
o Tatakelola manajemen dan program: membantu melancarkan kinerja fasilitas
kesehatan dalam tatakelola manajemen neonatus dan kinerja sistem rujukan
neonatus di regional wilayah kerjanya.

B. Bidan dan perawat


• Kompetensi: tingkat spesialistis untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap
profesional asuhan keperawatan di bidang neonatologi.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
Membantu dokter spesiais dalam tatakelola klinis, manajemen progran di unit
layanan neonatus tingkat II di rumah sakit.

1.3.2.2 Uraian fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan obatobatan

A. Area cuci tangan


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi area
Lokasi strategis dekat di sekitar pintu masuk ruang rawat atau tindakan neonatus,
mudah dijangkau tetapi tidak mengganggu lalu lintas baik pasien, petugas dan
pengunjung.
Ruang rawat atau tindakan neonatus di rumah sakit: IGD, kamar bersalin, kamar
operasi, ruang transisi, ruang rawat gabung.
1.2 Kebersihan harus terjaga dengan struktur yang mudah dibersihkan.
1.3 Pencahayaan terang dan nyaman
1.4 Ventilasi optimal dengan aliran udara bebas yang maksimal
1.5 Wastafel
Ukuran besar untuk menampung cipratan air saat melakukan cuci tangan, dengan
aliran air limbah yang lancar, memiliki kran yang dioperasikan dengan siku atau
lengan.
2. Mebel
2.1 Rak sepatu
2.2 Wadah limbah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
3. Bahan-bahan
3.1 Sabun
Tersedia sabun dalam jumlah cukup, dianjurkan sabun cair antibakteri dalam dispenser
dengan pompa.
3.2 Pengering
Harus tersedia pengering minimal kertas tisu habis pakai.

10
Tidak dianjurkan pengering handuk

B. Area resusitasi, stabilisasi dan transport


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi area
- Harus tersedia di IGD, ruang bersalin, ruang kamar operasi.
- Di ruang rawat neonatus, menyatu dalam unit layanan neonatus baik di tingkat II
maupun tingkat III.
- Lokasi di area yang tidak mengganggu lalu lintas baik pasien, petugas dan
pengunjung. Di kamar bersalin dan kamar operasi harus terletak dekat dengan
tempat menolong ibu.
- Ukuran luas minimal 4 m2 untuk posisi meja resusitasi, di luar kebutuhan untuk
meja alat, sumber oksigen dan sumber udara serta peralatan lainnya.
1.2 Kebersihan terjaga setiap waktu dan siap pakai
1.3 Pencahayaan optimal menerangi area resusitasi
1.4 Ventilasi baik, dihindari adanya aliran udara.
1.5 Suhu ruangan dapat diatur sekitar 24-28ºC dengan kelembaban udara optimal
1.6 Steker listrik
Ruang harus dilengkapi paling sedikit enam steker yang dipasang dengan tepat untuk
peralatan listrik. Steker harus mampu memasok beban listrik yang diperlukan, aman
dan berfungsi baik.
2. Mebel
2.1 Meja resusitasi dengan penghangat (berupa lampu pijar 60 watt berjarak 60 cm dari
alas meja atau radiant warmer) lengkap, minimal memiliki:
- Lampu penerang sekaligus sebagai alat penghangat area resusitasi yang dapat
diatur suhunya.
- Matras yang cukup keras, bersih, kering dan mudah menyerap panas. -
Selimut alas yang bersih kering dan hangat
Mudah dibersihkan dan dikeringkan, dengan bagian logam bebas berkarat.

2.2 Jam dengan fasilitas stop watch sebagai penunjuk waktu yang tepat dan berfungsi baik.
2.3 Selimut penghangat bayi atau plastik pembungkus bayi prematur lengkap dengan topi,
kering, bersih dan hangat.
3. Fasilitas, alat dan obat-obatan
3.1 Meja untuk meletakan alat resusitasi dan obat-obatan
3.1 Perlengkapan jalan napas (air way):
- Alat penghisap lendir harus ada minimal alat penghisap lendir dinding atau portable
dengan segala kelengkapannya.
3.2 Pasokan oksigen dan udara
- Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang
atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase
kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang
tersambung langsung ke blender.
- Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi.

Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan
diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi

3.3 Alat bantu ventilasi:


Ventilasi non-invasif dengan segala kelengkapannya:
- t-piece resuscitator
- CPAP

11
3.4 Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:
3.4.1 Alat pembebas jalan napas:
- Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR
- Harus ada balon penghisap lendir atau mucous ectractor untuk penghisapan lendir
sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan
- Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran
5FR dan 8FR.
- Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan
digunakan.
- Bola lampu laringoskop cadangan
- Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1
3.4.2 Alat pemberi oksigenisasi:
- Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik -
Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan -
Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif.
- Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan
guntingnya untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif.
3.4.3 Alat monitor
- Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable.
- Stetoskop bayi atau anak
3.4.3 Obat-obatan:
- Alat suntik /spuit 1cc; 2,5 cc; 3 cc; 5 cc; 10 cc; 20 cc; 50cc
- Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000)
- Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL)
3.4.4 Alat penunjang sirkulasi dan cairan:
- Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap
- Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR
- Three-way stopcock
- Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate

3.5 Alat pelindung


diri: - Topi
- Masker
- Kaca mata google
- Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang
- Gaun plastic
- Sepatu pelindung

3.6 Pengatur suhu ruangan dan penghangat meja resusitasi:


- AC yang siap pakai suhu diatur antara 24-28ºC
- Termometer ruangan
- Penghangat (Radiant warmer) yang berfungsi dengan baik
- Topi bayi, selimut untuk pembungkus bayi, selimut untuk pembersih dan
selimut untuk alat, serta plastik untuk penghangat bayi prematur 3.7 Inkubator transport
atau kain/ gaun metode kanguru 3.8 Laboratorium penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium darah lengkap sederhana
- Pemeriksaan laboratorium gula darah

C. Ruang transisi (ruang observasi neonatus bugar pasca lahir)


1. Struktur Fisik

12
1.1 Spesifikasi ruang
- Lokasi ruang harus berdekatan dengan kamar operasi, dan merupakan bagian atau
bersebelahan dengan kamar bersalin.
- Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah
sakit, terutama untuk menuju ruang perawatan neonatus maupun ruang rawat
gabung (ruang rawat bayi sehat gabung dengan perawatan ibu pasca lahir).
- Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m2 untuk setiap inkubator
pasien dan perlengkapannya.
- Lokasi tersendiri, tetapi mudah dijangkau oleh keluarga yang ingin menjenguknya.
- Prosedur menjenguk hanya dapat melalui jendela kaca. Struktur fisik didisain
sedemikian rupa menyerupai aquarium, karena yang dapat masuk ruangan hanya
ayah bayi baru lahir pada saat melaksanakan komunikasi, informasi edukasi tentang
bayinya segera setelah lahir.
1.2 Pencahayaan
Secara umum nyaman dan terang sehingga pengunjung dapat melihat dari luar ruang
ke segala arah.

1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal tiga steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai
untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.

1.5 Tersedia sumber oksigen dan udara yang siap pakai apabila terjadi kegawatan pada
neonatus
1.6 Tersedia sumber tekanan negatif untuk alat hisap lendir yang siap pakai apabila
terjadi kegawatan pada neonatus

1.7 Kebersihan terjaga setiap waktu


1.8 Lampu darurat
1.9 Memiliki area cuci tangan yang memenuhi kebutuhan dan siap pakai.
2. Mebel
2.1
Lemari instrumen Tersedia
dua:
- Lemari linen, set alat steril.
- Lemari alat kedokteran, bahan habis pakai dan obat-obatan untuk pelayanan
neonatal esensial.

2.2 Meja
Tersedia tiga meja:
- Meja trolley pertama untuk meletakkan kotak resusitasi dan kelengkapannya.
Apabila fasilitas terbatas, kotak resusitasi untuk kamar bersalin dan kamar operasi
diletakkan dan disimpat di ruang transisi.
- Meja trolley kedua untuk meletakkan perlengkapan antropometri (timbangan berat
badan analog atau digital, alat pengukur panjang badan, pita pengukur lingkar
kepala), alat untuk pemeriksaan laboratorium pada pelayanan neonatal esensial.
- Meja ketiga di area administrasi, selain untuk keperluan administrasi juga untuk
melakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.
2.3 Kursi
- Harus ada tiga kursi di area administrasi dan edukasi yang berfungsi baik.
2.4 Wadah sampah tertutup dengan kantong plastik, terdiri dari sampai organik,
nonorganik dan sampai infeksius.
2.5 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik (dilengkapi hitungan detik)

3. Fasilitas, alat kedokteran dan obat-obatan

13
3.1
Alat periksa:
- Stetoskop bayi atau anak
- Termometer
- Alat pengukur saturasi oksigen (oximeter)
Alat dan jarum suntik serta swab alkohol untuk memberikan:
- Vitamin K1
- Imunisasi Hepatitis B
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan golongan darah/ Rh, darah rutin lengkap,
gula darah

3.2
Inkubator, asuhan normal
- Paling sedikit harus ada 2 inkubator yang berfungsi baik.
- Jarak satu inkubator dengan yang lain minimal 1m2 - Inkubator
transport
3.3 Penghangat (Radiant warmer)
- Paling sedikit harus ada satu penghangat yang berfungsi baik.
Cairan pencuci tangan

Gambar 3. Ruang
Transisi

D. Ruang perawatan untuk layanan neonatus tingkat II


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Lokasi ruang harus bersebelahan dan satu lantai dengan kamar bersalin dan kamar
operasi.
- Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah
sakit, terutama untuk menuju ruang rawat gabung (ruang perawatan ibu pasca
lahir).
- Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m2 untuk setiap inkubator
pasien dan perlengkapannya.
- Ruang terdiri dari: o Area perawatan
o Ruang peracikan obat/ ruang obat
o Ruang tindakan
o Ruang perah ASI/ Area laktasi o Area konsultasi o Ruang administrasi
o Ruang pencucian inkubator

1.2 Pencahayaan

14
Secara umum nyaman, pencahayaan terang hanya disekitar inkubator untuk
melaksanakan prosedur klinis pada bayi
1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal enam steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai
untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.
1.5 Sumber oksigen dan udara pada dinding untuk satu inkubator
1.6 Sumber tekanan negatif untuk alat hisap dinding untuk satu inkubator
1.7 Kebersihan selalu terjaga setiap waktu
1.8 Lampu darurat
1.9 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik (dilengkapi hitungan detik)

1.10 Area cuci tangan di pintu masuk ruang perawatan neonatus


1.11 Generator listrik darurat
- Harus ada generator listrik cadangan yang dioperasikan jika pasokan listrik utama
tidak ada.
2. Area perawatan: memiliki unit layangan neonatus tingkat II.
Satu unit layanan neonatus tingkat II, terdiri dari:

2.1 Perlengkapan menjaga jalan napas.


Minimal satu alat penghisap lendir dinding atau portable lengkap dengan:
- Regulator pengukur tekanan negatif
- Selang penghisap
- Kateter penghisap nomor 6FR, 8FR, 10FR/12FR
2.2 Pasokan oksigen dan udara
- Minimal satu sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable,
dilengkapi selang atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar
didapat persentase kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Setiap sumber oksigen dilengkapi dengan regulator aliran rendah dan alirang
tinggi.
- Minimal satu sumber udara yang dilengkapi dengan selang menuju alat
pencampur udara (blender).
- Persediaan udara tidak boleh terputus, harus tersedia terus menerus.
- Minimal satu alat pencampur oksige (blender oxygen) dengan regulatornya.
2.3 Alat bantu ventilasi:
Harus ada alat ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIA):
- t-piece resuscitator
- CPAP dengan segala perlengkapannya.

Harus ada alat bantu ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIB):
- Ventilator mekanik konvensional.
2.4 Inkubator
2.5 Radiant warmer
2.6 Monitor bed-side
2.7 Infusion pump
2.8 Syringe pump
2.9 Kursi kangaroo care dan perlengkapannya
2.10 Unit terapi sinar
- Paling sedikit harus ada satu unit terapi sinar yang berfungsi baik untuk setiap tiga
inkubator atau tempat tidur bayi

15
2.11 Timbangan bayi
- Paling sedikit harus ada satu timbangan bayi yang berfungsi baik di setiap ruangan.

2.12 Stetoskop
- Harus ada stetoskop yang berfungsi baik untuk setiap tiga inkubator atau tempat tidur
bayi
2.13 Cairan pencuci tangan
2.14 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik,
infeksius.
3. Area tempat meletakkan troley emergency dengan segala kelengkapan yang siap
pakai
4. Ruang penyimpanan dan peracikan obat
Memiliki lemari instrument tempat menyimpan bahan-bahan habis pakai dan
obatobatan
4.1 Gaun

4.2 Masker
4.3 Sarung tangan
4.4 Alat suntik /spuit 1 cc, 2,5 cc, 3 cc , 10 cc, 20 cc, 50cc
4.5 Pipa minum, ukuran 5 Fr dan 8 Fr
4.6 Pipa penghisap lendir, ukuran 6 dan 8
4.7 Kanula, ukuran 22 dan 24
4.8 Kateter umbilikus, ukuran 3 ½, 5, 8
4.9 Masker oksigen neonatus
4.1 Terapi oksigen :
0 • Nasal kanul high flow
• Nasa kanul low flow

4.1 Penutup mata untuk terapi sinar


1
4.1 Popok sekali pakai (Pampers)
2
4.1 Penutup sepatu sekali pakai
3
4.1 Betadine/alkohol untuk disinfeksi
4
4.1 Kantung plastik untuk wadah sampah besar
5
4.1 Cairan infus
6 - Dextrose 5%, 10%, 40%
- NaCL 0,9%; NaCl 3%
- KCl 7,4%
- Ca glukonas 10%
- Ringer Lactate
4.1 Cairan nutrisi parenteral
7 - Solusio asam amino 6%
- Intralipid 20%
4.1 Antibiotik
8 - Ampisilin
- Gentamisin
4.1 Obat respirasi -
9 Aminofilin
4.2 Kardiotonik
0 - Dopamin
- Dobutamin - Epinefrin

16
4.2 Lemari es
1
5. Ruang tindakan memiliki perlengkapan:
5.1 Meja atau tempat tidur untuk melakukan tindakan
5.2 Lampu tindakan
5.3 Cairan pencuci tangan
5.4 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
6. Ruang konsultasi
Mebel

6.1 Meja
- Untuk keperluan komunikasi informasi dan edukasi -
Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
6.2 Kursi
- Harus ada tiga kursi yang berfungsi baik.
7. Ruang administrasi
7.1 Meja
- Untuk keperluan administras
- Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.

17
7.2 Kursi
- Harus ada kursi yang berfungsi baik.

Gambar 4. Unit layanan neonatus tingkat III. Perbedaan di unit layanan tingkat II
pada tunjangan ventilasi non-invasif.

E. Area laktasi
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Paling kecil, ruangan berukuran 6 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
2. Mebel

2.1 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.

18
2.2 Kursi (1-3)
-Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.

F. Area pencucian inkubator


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
-Paling kecil, ruangan berukuran 6-8 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
1.6 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.

Gambar 5. Area laktasi (contoh gambar ada wastafel, tempat duduk nyaman)

G. Area pelayanan Kangaroo Mother Care


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
2
- Paling kecil, ruangan berukuran 6m
- Area Ganti pakaian yang tertutup
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
2. Mebel
2.1 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah
- organik, non
organik, infeksius
.
2.2 Kursi (1-3)
-Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.

19
1.3.3 Unit layanan neonatus tingkat III (di fasilitas kesehatan
tersier/ rumah sakit)
1.3.3.1 Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti profesi
medis, bidan dan perawat di layanan neonatus tingkat IIIA.
• Kompetensi: tingkat spesialistis dengan tambahan pelatihan manajemen tingkat III
untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap profesional di bidang neonatologi.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
o Tata kelola klinis neonatus dengan tingkat kompetensi subspesialistis terbatas
yang direkam dalam cacatan medis pasien.
o Tata kelola manajemen dan program: membantu melancarkan kinerja fasilitas
kesehatan dalam tatakelola manajemen neonatus dan kinerja sistem rujukan
neonatus di regional wilayah kerjanya.

1.3.3.2 Uraian tugas aset tenaga manusia (ATM) seperti profesi


medis, bidan dan perawat di layanan neonatus tingkat IIIB, IIIC,
IIID.
• Kompetensi: tingkat subspesialistis/ konsultan neonatologi.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
o Tata kelola klinis neonatus dengan tingkat kompetensi subspesialistis yang
direkam dalam cacatan medis pasien. o Tata kelola manajemen dan program:
membantu melancarkan kinerja fasilitas kesehatan dalam tatakelola manajemen
neonatus dan kinerja sistem rujukan neonatus di regional wilayah kerjanya.

Bidan dan perawat


• Kompetensi: tingkat spesialistis untuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap
profesional asuhan keperawatan di bidang neonatologi.
• Uraian tugas dan tanggung jawab:
Membantu dokter spesiais dalam tata kelola klinis, manajemen progran di unit
layanan neonatus tingkat II di rumah sakit.

1.3.3.3 Uraian fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan obatobatan

A. Area cuci tangan


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi area
- Lokasi strategis dekat di sekitar pintu masuk ruang rawat atau tindakan neonatus,
mudah dijangkau tetapi tidak mengganggu lalu lintas baik pasien, petugas dan
pengunjung.

20
- Ruang rawat atau tindakan neonatus di rumah sakit: IGD, kamar bersalin, kamar
operasi, ruang transisi, ruang rawat gabung.
1.2 Kebersihan harus terjaga dengan struktur yang mudah dibersihkan.
1.3 Pencahayaan terang dan nyaman
1.4 Ventilasi optimal dengan aliran udara bebas yang maksimal
1.5 Wastafel
Ukuran besar untuk menampung cipratan air saat melakukan cuci tangan, dengan
aliran air limbah yang lancer, memiliki kran yang dioperasikan dengan siku atau
lengan.
2. Mebel
2.1 Rak sepatu
2.2 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
3. Bahan-bahan
3.1 Sabun
Tersedia sabun dalam jumlah cukup, dianjurkan sabun cair antibakteri dalam
dispenser dengan pompa.
3.2 Pengering
Harus tersedia pengering minimal kertas tisu habis pakai Tidak
dianjurkan pengering handuk

B. Area resusitasi, stabilisasi dan transport


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi area
- Harus tersedia di IGD, ruang bersalin, ruang kamar operasi.
- Di ruang rawat neonatus, menyatu dalam unit layanan neonatus baik di tingkat II
maupun tingkat III.
- Lokasi di area yang tidak mengganggu lalu lintas baik pasien, petugas dan
pengunjung. Di kamar bersalin dan kamar operasi harus terletak dekat dengan
tempat menolong ibu.
- Ukuran luas minimal 4 m2 untuk posisi meja resusitasi, di luar kebutuhan untuk meja
alat, sumber oksigen dan sumber udara serta peralatan lainnya.

1.2 Kebersihan terjaga setiap waktu dan siap pakai


1.3 Pencahayaan optimal menerangi area resusitasi
1.4 Ventilasi baik, dihindari adanya aliran udara.
1.5 Suhu ruangan dapat diatur sekitar 24-28ºC dengan kelembaban udara optimal
1.6 Steker listrik
Ruang harus dilengkapi paling sedikit enam steker yang dipasang dengan tepat untuk
peralatan listrik. Steker harus mampu memasok beban listrik yang diperlukan, aman
dan berfungsi baik.
2. Mebel
2.1 Meja resusitasi dengan penghangat (radiant warmer) lengkap, minimal memiliki:
- Lampu atau alat penghangat area resusitasi yang dapat diatur suhunya.
- Matras yang cukup keras, bersih, kering dan mudah menyerap panas.
- Selimut alas yang bersih kering dan hangat
- Mudah dibersihkan dan dikeringkan, dengan bagian logam bebas berkarat.
2.2 Jam dengan fasilitas stop watch sebagai penunjuk waktu yang tepat dan berfungsi baik.
2.3 Selimut penghangat bayi atau plastik pembungkus bayi prematur lengkap dengan topinya,
kering, bersih dan hangat.
3. Fasilitas, alat dan obat-obatan
3.1 Meja untuk meletakan alat resusitasi dan obat-obatan
3.2 Perlengkapan jalan napas (air way):
- Alat penghisap lendir harus ada minimal alat hisap lendir dinidng atau portable dengan
segala kelengkapannya

21
3.1 Pasokan oksigen dan udara
- Sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable, dilengkapi selang
atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar didapat persentase
kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Sumber udara juga dapat berasal dari dinding atau tabung portable yang
tersambung langsung ke blender.
- Persediaan udara juga tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Blender lengkap dengan regulator persentase oksigen dan selang menuju bayi.
Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan
dan diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi

Sumber oksigen dan udara yang tercampur dengan konsentrasi optimal dialirkan dan
diberikan ke neonatus melalui:
- Alat ventilasi invasif
- Alat ventilasi non-invasif
- Kanul nasal dengan regulator oksigen aliran rendah dan tinggi

3.4 Alat bantu ventilasi:

Ventilasi non-invasif dengan segala kelengkapannya:


- t-piece resuscitator
- CPAP

Ventilasi invasif dengan segala kelengkapannya:


- Ventilator konvensional (tingkat IIIA)
- High frequency ventilator (HFV)(tingkat IIIB, IIIC, IIID)
- High frequency oscillator (HFO)(IIIB, IIIC, IIID)

3.5.1 Alat pembebas jalan napas:


- Harus ada kateter penghisap lendir no 6FR, 8FR
- Harus ada balon penghisap lendir atau mucous ectractor untuk penghisapan lendir
sederhana dan reservoir cairan lambung apabila diperlukan
- Harus ada kateter oro-gastrik untuk mengurangi tekanan dalam lambung ukuran 5FR
dan 8FR.
- Alat laringoskop neonatus yang berfungsi baik dengan baterei AA siap pasang dan
digunakan.
- Bola lampu laringoskop cadangan
- Bilah laringoskop (Miller, lurus panjang) ukuran 00, 0 dan 1
3.5.2 Alat pemberi oksigenisasi:
- Balon mengembang sendiri dengan perlengkapannya yang berfungsi baik -
Sungkup oksigen berbagai ukuran untuk bayi prematur dan cukup bulan -
Nasal kanul oksigen untuk pemberian ventilasi non-invasif.
- Pipa endotrakeal ukuran 2,5; 3,0; 3,5; 4,0. Dengan perlengkapan plester dan
guntingnya untuk melakukan fiksasi untuk pemberian ventilasi invasif.
3.5.3 Alat monitor
- Alat pengukur saturasi oksigen (pulse oximeter) dan frekuensi jantung portable.
- Stetoskop bayi
3.5.4 Obat-obatan:
- Alat suntik /spuit 1cc; 2,5 cc; 3 cc; 5 cc; 10 cc; 20 cc; 50cc
- Obat Epinefrin dalam ampul (1:1000)
- Nalokson HCL (1mg/ mL atau 0,4mg/ mL)
3.5.5 Alat penunjang sirkulasi dan cairan:
- Set alat insersi kateter vena umbilikalis steril lengkap
- Kateter vena umbilikalis ukuran 3,5FR; 5FR atau pipa orogastrik ukuran 5FR -
Three-way stopcock

1 3.5 Troley emergency atau kotak resusitasi harus berisi perlengkapan berikut:

22
- Cairan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate
3.6 Alat pelindung diri:
- Topi
- Masker
- Kaca mata google
- Sarung tangan steril lengan pendek dan lengan panjang
- Gaun plastik
- Sepatu pelindung
3.7 Pengatur suhu ruangan dan penghangat meja resusitasi:
- AC yang siap pakai suhu diatur antara 24-28ºC
- Termometer ruangan
- Penghangat (Radiant warmer) yang berfungsi dengan baik
- Topi bayi, selimut untuk pembungkus bayi, selimut untuk pembersih dan selimut
untuk alat, serta plastik untuk penghangat bayi prematur
3.8 Inkubator transport atau kain/ gaun metode kanguru
3.9 Laboratorium penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium darah lengkap sederhana
- Pemeriksaan laboratorium gula darah

Gambar 6. Trolley emergency

C. Ruang Transisi (ruang observasi neonatus bugar pasca lahir)


1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Lokasi ruang harus berdekatan dengan kamar operasi, dan merupakan bagian atau
bersebelahan dengan kamar bersalin.
- Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah
sakit, terutama untuk menuju ruang perawatan neonatus maupun ruang rawat gabung
(ruang rawat bayi sehat gabung dengan perawatan ibu pasca lahir).
- Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m2 untuk setiap inkubator
pasien dan perlengkapannya.

23
- Lokasi tersendiri, tetapi mudah dijangkau oleh keluarga yang ingin menjenguknya.
- Prosedur menjenguk hanya dapat melalui jendela kaca. Struktur fisik didisain
sedemikian rupa menyerupai aquarium, karena yang dapat masuk ruangan hanya
ayah bayi baru lahir pada saat melaksanakan komunikasi, informasi edukasi tentang
bayinya segera setelah lahir.
1.2 Pencahayaan
Secara umum nyaman dan terang sehingga pengunjung dapat melihat dari luar ruang ke
segala arah.
1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal tiga steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai untuk
kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.
1.5 Tersedia sumber oksigen dan udara yang siap pakai apabila terjadi kegawatan pada
neonatus
1.6 Tersedia sumber tekanan negatif untuk alat hisap lendir yang siap pakai apabila terjadi
kegawatan pada neonatus
1.7 Kebersihan terjaga setiap waktu
1.8 Lampu darurat
1.9 Memiliki area cuci tangan yang memenuhi kebutuhan dan siap pakai.
2. Mebel
2.1 Lemari instrumen Tersedia
dua:
- Lemari linen, set alat steril.
- Lemari alat kedokteran, bahan habis pakai dan obat-obatan untuk pelayanan neonatal
esensial.
2.2 Meja
Tersedia tiga meja:
- Meja trolley pertama untuk meletakkan kotak resusitasi dan kelengkapannya.
- Meja trolley kedua untuk meletakkan perlengkapan antropometri (timbangan berat
badan digital, alat pengukur panjang badan, pita pengukur lingkar kepala), alat untuk
pemeriksaan laboratorium pada pelayanan neonatal esensial.
- Meja ketiga di area administrasi, selain untuk keperluan administrasi juga untuk
melakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.
2.3 Kursi
- Harus ada tiga kursi di area administrasi dan edukasi yang berfungsi baik.
2.4 Wadah sampah tertutup dengan kantong plastik, terdiri dari sampai organik, nonorganik
dan sampai infeksius.
2.5 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik.
3. Fasilitas, alat kedokteran dan obat-obatan
3.1 Alat periksa:
- Stetoskop
- Termometer
- Alat pengukur saturasi oksigen (oximeter)
Alat dan jarum suntik serta swab alkohol untuk memberikan:
- Vitamin K1
- Imunisasi Hepatitis B
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan golongan darah/ Rh, darah rutin lengkap,
gula darah
3.2 Inkubator, asuhan normal
- Paling sedikit harus ada 2 inkubator yang berfungsi baik.
- Jarak satu inkubator dengan yang lain minimal 1m2 - Inkubator
transport
3.3 Penghangat (Radiant warmer)
- Paling sedikit harus ada satu penghangat yang berfungsi baik.
3.4 Cairan pencuci tangan

24
D. Ruang perawatan untuk layanan neonatus tingkat III
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Lokasi ruang harus bersebelahan dan satu lantai dengan kamar bersalin dan kamar
operasi.
- Alur transport bayi tidak melalui ruang yang menjadi lalu lintas pengunjung rumah
sakit, terutama untuk menuju ruang rawat gabung (ruang perawatan ibu pasca
lahir).
- Ukuran ruang disesuaikan dengan kebutuhan minimal 4m2 untuk setiap inkubator
pasien dan perlengkapannya.
- Ruang terdiri dari: o Area perawatan

o Ruang peracikan obat/ ruang


obat o Ruang tindakan
o Ruang perah ASI/ Area laktasi o
Area konsultasi o Ruang
administrasi o Ruang
pencucian inkubator
1.2 Pencahayaan
Secara umum nyaman, pencahayaan terang hanya disekitar inkubator untuk
melaksanakan prosedur klinis pada bayi
1.3 Ventilasi
Aliran udara bebas dengan sirkulasi optimal.
Suhu ruangan dan kelembaban
Suhu ruangan sekitar 24-28ºC dengan kelembaban optimal
1.4 Sumber listrik:
Minimal enam steker untuk setiap inkubator dengan kemampuan bebas yang sesuai
untuk kebutuhan alat, aman dan berfungsi baik.
1.5 Sumber oksigen dan udara pada dinding untuk satu inkubator
1.6 Sumber tekanan negatif untuk alat hisap dinding untuk satu inkubator
1.7 Kebersihan selalu terjaga setiap waktu
1.8 Lampu darurat
1.9 Jam dinding
- Harus menunjukkan waktu yang tepat dan berfungsi baik.
1.10 Area cuci tangan di pintu masuk ruang perawatan neonatus
1.11 Generator listrik darurat
- Harus ada generator listrik cadangan yang dioperasikan jika pasokan listrik utama
tidak ada.
2. Area perawatan: memiliki unit layangan neonatus tingkat II dan III.
Satu unit layanan neonatus tingkat III, terdiri dari:

2.1 Perlengkapan menjaga jalan napas.


Minimal dua alat penghisap lendir dinding atau portable lengkap dengan:
- Regulator pengukur tekanan negatif
- Selang penghisap
- Kateter penghisap nomor 6FR, 8FR
2.2 Pasokan oksigen dan udara
- Minimal dua sumber oksigen dapat berasal dari dinding atau tabung portable,
dilengkapi selang atau pipa aliran menuju blender pencampur dengan udara agar
didapat persentase kadar oksigen yang optimal diinginkan.
- Persediaan oksigen tidak dapat terputus, harus tersedia terus menerus.
- Setiap sumber oksigen dilengkapi dengan regulator aliran rendah dan alirang
tinggi.
- Minimal dua sumber udara yang dilengkapi dengan selang menuju alat pencampur
udara (blender).
- Persediaan udara tidak boleh terputus, harus tersedia terus menerus.

25
- Minimal satu alat pencampur oksige (blender oxygen) dengan regulatornya.
2.3 Alat bantu ventilasi:
Harus ada alat ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIA):
- t-piece resuscitator
- CPAP dengan segala perlengkapannya.

Harus ada alat bantu ventilasi non-invasif (untuk unit layanan neonatus tingkat IIB):
- Ventilator mekanik konvensional.
- High Frequency Ventilatior - High Frequency Oscillator
2.4 Inkubator
2.5 Radiant warmer
2.6 Monitor bed-side
2.7 Infusion pump
2.8 Syringe pump
2.9 Kursi kangaroo care dan perlengkapannya

2.10 Unit terapi sinar


- Paling sedikit harus ada satu unit terapi sinar yang berfungsi baik untuk setiap tiga
inkubator atau tempat tidur bayi

2.11 Timbangan bayi


- Paling sedikit harus ada satu timbangan bayi yang berfungsi baik di setiap ruangan.

2.12 Stetoskop
- Harus ada stetoskop yang berfungsi baik untuk setiap tiga inkubator atau tempat tidur
bayi
2.13 Cairan pencuci tangan
2.14 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik, nonorganik,
infeksius.
3. Area tempat meletakkan troley emergency dengan segala kelengkapan yang siap
pakai
4. Ruang penyimpanan dan peracikan obat
Memiliki lemari instrument tempat menyimpan bahan-bahan habis pakai dan
obatobatan
4.1 Gaun
4.2 Masker
4.3 Sarung tangan
4.4 Alat suntik /spuit 1cc, 2,5 cc, 3 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc, 50cc
4.5 Pipa minum, ukuran 5 Fr dan 8 Fr
4.6 Pipa penghisap lendir, ukuran 6 dan 8 Fr
4.7 Kanula, ukuran 22 dan 24
4.8 Kateter umbilikus, ukuran 3 ½, 5, 8
4.9 Masker oksigen neonatus
4.1 Head box / t-piece reuscitator
0
4.1 Penutup mata untuk terapi sinar
1
4.1 Popok sekali pakai (Pampers)
2
4.1 Penutup sepatu sekali pakai
3
4.1 Betadine/alkohol untuk disinfeksi
4
4.1 Kantung plastik untuk wadah sampah besar
5

26
4.1 Cairan infus
6 - Dextrose 5%, 10%, 40%
- NaCL 0,9%; NaCl 3%
- KCl 7,4%
- Ca glukonas 10% - Ringer Lactate
4.1 Cairan nutrisi parenteral
7 - Solusio asam amino 6%
- Intralipid 20%
4.1 Antibiotik
8 - Ampisilin
- Gentamisin
4.1 Obat respirasi -
9 Aminofilin
4.2 Kardiotonik
0 - Dopamin
- Dobutamin - Epinefrin

4.2 Lemari es
1
5. Ruang tindakan memiliki perlengkapan:
5.1 Meja atau tempat tidur untuk melakukan tindakan
5.2 Lampu tindakan
5.3 Cairan pencuci tangan
5.4 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
6. Ruang konsultasi
Mebel

6.1 Meja
- Untuk keperluan komunikasi informasi dan edukasi -
Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
6.2 Kursi
- Harus ada tiga kursi yang berfungsi baik.
7. Ruang administrasi
7.1 Meja
- Untuk keperluan administras
- Harus dicat dengan bahan yang bisa dibersihkan.
7.2 Kursi
- Harus ada kursi yang berfungsi baik.

E. Area laktasi
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
- Paling kecil, ruangan berukuran 6 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
2. Mebel
2.1 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.
2.2 Kursi (1-3)
-Harus mudah dibersihkan dan didisinfeksi.

F. Area pencucian inkubator

27
1. Struktur Fisik
1.1 Spesifikasi ruang
-Paling kecil, ruangan berukuran 6-8 m2.
1.2 Kebersihan
1.3 Pencahayaan
1.4 Ventilasi
1.5 Wastafel
1.6 Wadah sampah tertutup dengan kantung plastik, terpisah antara limbah organik,
nonorganik, infeksius.

Gambar 7. Area pencucian


inkubator

1.4 Uraian panduan prosedur registri morbiditas, mortalitas


dalam pengelolaan rekam medik pasien; manajemen ATM;
manajemen fasilitas, alat kesehatan dan obat-obatan
1. Panduan prosedur klinik
1.1 Panduan prosedur klinik, harus ada di unit perawatan neonatus, dan selalu di revisi minimal
satu tahun sekali.
Uraian secara rinci panduan klinis neonatologi diuraikan pada bab II.
2. Perangkat registri pasien, sistem informasi pasien
2.1 Perangkat registri pasien meliputi:
• Buku register masuk dan keluarnya pasien lengkap dengan data mortalitas dan
morbiditas.
• Catatan medik pasien yang menggambarkan:
o Alur pelayanan pasien menurut unit perawatan atau DPJP o Proses
tatalaksana pasien lengkap mulai dari penegakkan diagnosis sampai
pada tindakan prosedur yang diberikan.
o Ringkasan akhir pasien yang menggambarkan diagnosis akhir pasien
selama dirawat dan sebab kematian pasien apabila pasien meninggal
o Ssurat rujukan pasien yang menyebutkan:
▪ Keadaan terakhir pasien, tunjangan yang diberikan untuk menjaga stabilisainya
dalam proses rujukan
▪ Rumah sakit rujukan yang dituju
• Rekapitulasi pencatatan dan pelaporan bulanan pasien di unit pelayanan neonatus.

2.2 Sistem database catatan medis pasien yang dapat diakses dan disimpan kembali setiap
waktu
3. Aset tenaga manusia
3.1 Jumlah, gambaran tugas dan pembagian waktu

28
3.1.1 Pelayanan neonatus tingkat I di fasilitas kesehatan primer: seorang dokter sebagai
DPJP yang bertanggung jawab selain untuk tatakelola klinis, juga memiliki tugas pokok dan
fungsi untuk tatakelola manajemen dan program lintas sekoral berhubungan dengan sistem
rujukan

Pelayanan neonatus tingkat IIA, di rumah sakit tipe D dan tipe C: minimal seorang
dokter spesialis anak yang dibantu oleh dokter, perawat dan bidan.
• Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite
medik:
o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat II (pelayanan neonatal
spesialistik)
o Waktu kerja minimal 6 jam kerja on-site, 18 jam kerja on-call dengan
pendelegasian kewenangan kepada dokter jaga.
• Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur
manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran
direktur rumah sakit
• Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas
kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan
setempat dan jajaran lintas sektoral terkait.

Pelayanan neonatus tingkat IIIA, IIIB di rumah sakit tipe B: minimal seorang dokter
spesialis anak dengan kompetensi tambahan dari pelatihan perawatan intensif neonatus
yang dibantu oleh dokter, perawat dan bidan.
• Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite
medik:
o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat III minimal didapat
dari pelatihan tambahan pelayanan neonatus subspesialistik atau yang
setingkat)
o Idealnya ada DPJP dengan waktu kerja 24 jam on-site. Apabila jumlah
tenaga tidak memadai dapat disesuaikan dengan kondisi setempat yang
disetujui oleh komite medik dan disahkan oleh direktu RS setempat
dengan adanya konsulen jaga on-call dengan pendelegasian
kewenangan kepada dokter jaga.
• Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur
manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran
direktur rumah sakit
• Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas
kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan
setempat dan jajaran lintas sektoral terkait.

Pelayanan neonatus tingkat IIIC, IIID di rumah sakit tipe A: minimal seorang dokter
spesialis anak konsultan neonatologi yang dibantu oleh dokter spesialis anak, dokter,
perawat dan bidan.
• Tata kelola klinis: 100% menjadi kewenangannya yang disupervisi oleh komite
medik:
o Gambaran tugas sesuai tingkat kompetensi tingkat III yang didapat dari
pendidikan subspesialistik/ konsultan neonatologi.
o Idealnya ada DPJP dengan waktu kerja 24 jam on-site. Apabila jumlah
tenaga tidak memadai dapat disesuaikan dengan kondisi setempat yang
disetujui oleh komite medik dan disahkan oleh direktu RS setempat
dengan adanya konsulen jaga on-call dengan pendelegasian
kewenangan kepada dokter jaga.
• Tata kelola manajemen: koordinasi dan kolaborasi interprofesi dalam struktur
manajemen rumah sakit, disupervisi oleh komite mutu dan difasilitasi oleh jajaran
direktur rumah sakit
• Tata kelola program: koordinasi dan kolaborasi dalam sistem rujukan antar fasilitas
kesehatan yang difasilitasi oleh manajemen rumah sakit, dinas kesehatan
setempat dan jajaran lintas sektoral terkait.
3.1.2 Dokter yang melaksanakan tugas jaga dengan mendapat pendelegasian kewenangan dari
DPJP /shift *
3.1.3 Proporsi perawat di pelayanan neonatus tingkat II:
Satu perawat/ 3-4 inkubator/ shift

29
Porporsi perawat di pelayanan neonatus tingkat III:
Satu perawat/ 2 inkubator/ shift
3.2 Berikut ini adalah kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh petugas di pelayanan
neonatus tingkat I, II dan III
3.2.1 Pelatihan manajemen neonatus tingkat II untuk dokter, dokter spesialis anak Pelatihan
manajemen neonatus tingkat II untuk perawat
3.2.2 On the job training manajemen neonatal tingkat II untuk dokter, dokter spesialis anak
On the job training manajemen neonatal tingkat II untuk perawat
3.2.3 Pelatihan manajemen neonatus tingkat III untuk dokter, dokter spesialis anak
Pelatihan manajemen neonatus tingkat III untuk perawat
3.2.4 On the job training manajemen neonatal tingkat III untuk dokter, dokter spesialis anak
On the job training manajemen neonatal tingkat III untuk perawat
3.2.5 Program pendidikan subspesialistik/ konsultan di bidang neonatologi
3.3. Program pendidikan kedokteran berkelanjutan di bidang neonatologi secara periodik
4. Manajemen perencanaan, pemeliharaan dan penggantian fasilitas kesehatan, alat
kedokteran dan obat-obatan

BAB II

KODIFIKASI DIAGNOSIS DAN PROSEDUR NEONATOLOGI

30
2.1 Rujukan berjenjang
Pada era JKN pelayanan kesehatan harus dilakukan berjenjang menurut tingkat
kompetensi dan fasilitas pendukung. Dimulai dari pelayanan kesehatan di fasilitas
kesehatan (faskes) tingkat primer dengan kompetensi dasar, faskes sekunder dengan
kompetensi spesialis dan faskes tersier dengan kompetensi subspesialis. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Perorangan menyebutkan bahwa sistem rujukan pelayanan
kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur
pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik
vertikal maupun horisontal.

Pelayanan rujukan bisa dilakukan secara horisontal maupun vertikal. Rujukan


horisontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu
tingkatan jika fasilitas kesehatan yang merujuk tidak dapat memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan
atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap sedangkan rujukan vertikal
adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan,
dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang
lebih tinggi atau sebaliknya.

Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:

1. Terjadi keadaan gawat darurat (Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan


yang berlaku)
2. Bencana (Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah
Daerah)
3. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien;untuk kasus yang sudah ditegakkan
rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan
lanjutan.
4. Pertimbangan geografis
5. Pertimbangan ketersediaan fasilitas.

2.2 Sistem pembiayaan JKN


Pembiayaan kesehatan merupakan bagian yang penting dalam implementasi
JKN. Dalam Permenkes No 76 tahun 2016 disebutkan bahwa metode pembayaran
program JKN menggunakan sistem case based payment (casemix). Sistem
casemix adalah pengelompokan diagnosis dan prosedur dengan mengacu pada ciri
klinis yang mirip/sama dan penggunaan sumber daya/biaya perawatan yang mirip/sama.
Pengelompokan dilakukan dengan menggunakan software grouper.

Sistem casemix pertama kali dikembangkan di Indonesia pada Tahun 2006


dengan nama INA-DRG (Indonesia- Diagnosis Related Group). Pada tanggal 31
September 2010 dilakukan perubahan nomenklatur dari INA-DRG (Indonesia
Diagnosis Related Group) menjadi INA-CBG (Indonesia Case Based Group)

31
yang sampai saat ini masih digunakan dalam pelaksanaan JKN. Tujuan sistem ini adalah
dalam rangka pengendalian biaya kesehatan, mendorong peningkatan mutu sesuai
standar, membatasi pelayanan kesehatan yang tidak diperlukan, mempermudah
administrasi klaim, adanya kendali biaya.

Beberapa pengertian terkait sistem INA-CBG sebagai metode pembayaran


kepada FKRTL dalam pelaksanaan JKN : 1) Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa
perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan
dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada
setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah.

2) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disingkat BPJS


Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan
program Jaminan Kesehatan.

3) Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang


bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa Fasilitas Kesehatan tingkat
pertama dan Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan.

4) Fasilitas Kesehatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk


menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif,
preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat.

5) Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) meliputi klinik utama atau
yang setara, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus.

6) Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan adalah upaya pelayanan


kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik yang
meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat inap
di ruang perawatan khusus.

7) Pelayanan Kesehatan Darurat Medis adalah pelayanan kesehatan yang harus


diberikan secepatnya untuk mencegah kematian, keparahan, dan/atau
kecacatan sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan.

8) Pelayanan Kesehatan adalah pelayanan kesehatan komprehensif yang meliputi


pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan
kesehatan darurat medis, pelayanan penunjang dan atau pelayanan
kefarmasian.

9) Pelayanan rawat inap adalah pelayanan kepada pasien untuk observasi,


perawatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi, dan/atau pelayanan kesehatan
lainnya dengan menempati tempat tidur.

32
10) Sumber daya adalah segala dukungan berupa material, tenaga, pengetahuan,
teknologi dan/atau dukungan lainnya yang digunakan untuk menghasilkan
manfaat dalam pelayanan kesehatan.

11) Peserta bayi baru lahir dalam JKN menurut Pasal 16 Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan adalah apabila
didaftarkan kepada BPJS Kesehatan paling lama 28 hari setelah dilahirkan.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan membayar klaim atas pelayanan


kesehatan yang diberikan kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dengan
sistem kapitasi dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) dengan sistem
paket INA-CBGs yang menganut sistem prospectife payment. Pembayaran pelayanan
kesehatan dengan menggunakan sistem di luar paket INA-CBGs terhadap FKRTL
berdasarkan pada ketentuan Menteri Kesehatan. Semua faskes meskipun tidak menjalin
kerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat,
setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas
kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan membayar kepada fasilitas
kesehatan yang tidak menjalin kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat
setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.

Dengan sistem pembiayaan prospectife payment ini, manajemen Rumah


sakit (RS) harus melakukan efisiensi pada sisi input dan melakukan subsidi silang dari
biaya pelayanan lain yang surplus. Rumah Sakit membayar jasa dokter yang layak dan
sesuai dengan kaidah. Namun demikian, efisiensi yang diterapkan dalam pelayanan
Rumah sakit harus tetap mempertahankan mutu dan wajib mengikuti standar
pelayanan kedokteran sebagaimana disebutkan dalam Undang–Undang Praktik
Kedokteran No. 29 Tahun 2004 .

Standar pelayanan kedokteran di rumah sakit atau disebut Panduan Praktik


Klinik (PPK) disusun mengacu pada Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
atau pustaka mutakhir dan dengan menyesuaikan kondisi setempat. Panduan Praktik
Klinik dibuat oleh staf medis setiap departemen atau divisi dibawah koordinasi komite
medis dan baru dapat dilaksanakan setelah diresmikan oleh direksi. Dalam PPK terdapat
hal-hal yang memerlukan rincian langkah demi langkah. Sesuai dengan karakteristik
permasalahan serta kebutuhan pelayanan maka disusun pula clinical pathway (CP)
untuk mendukung kesuksesan pelayanan kesehatan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1438/PER/MENKES/IX/2010


tentang Standar Pelayanan Kedokteran yang menyebutkan bahwa setiap rumah sakit
membuat Standar Prosedur Operasional dalam bentuk PPK, maka RS memiliki kewajiban
dalam menyusun CP demi menunjang pelayanan kesehatan yang efisien dan berkualitas.
Clinical Pathway adalah dokumen perencanaan pelayanan kesehatan terpadu yang
merangkum pelayanan yang dilakukan pada pasien mulai masuk sampai keluar RS
berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan dan standar
pelayanan tenaga kesehatan lainnya yang berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur.
Tujuan CP antara lain : memfasilitasi penerapan clinical guide dan audit klinik dalam
praktek, memperbaiki komunikasi dan perencanaan multidisiplin, mencapai atau

33
melampaui standar mutu yang ada, mengurangi variasi yang tidak diperlukan dalam
praktek klinik, memperbaiki komunikasi antara klinisi dan pasien, meningkatkan
kepuasan pasien, identifikasi masalah riset dan pengembangan.

2.3 Proses klaim, persyaratan dan permasalahannya


Dalam era pelaksanaan JKN saat ini pengisian rekam medik yang lengkap menjadi hal
yang sangat penting. Ringkasan pulang atau resume medik terdapat rincian diagnosis
pasien selama dalam pelayanan yang merupakan dasar bagi petugas koding untuk
menetapkan kode diagnosis yang pada akhirnya mempengaruhi tarif INA-CBGs.
Menurut Permenkes No 76 Tahun 2016 Tentang Petunjuk Teknis INA-CBGs, Tarif INA-
CBGs merupakan besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada FKRTL atas
paket layanan yang diberikan didasarkan kepada pengelompokan diagnosis dan
prosedur. Penulisan diagnosis seorang pasien adalah tanggung jawab dokter yang
merawat dan tidak boleh diwakilkan. Formulir resume medik merupakan salah satu
formulir yang sangat penting dalam menilai mutu suatu rekam medik. Resume medik
digunakan oleh tim koder rumah sakit untuk memberikan kode diagnosis atau
mengkoding yang akan menentukan besaran pembayaran klaim oleh BPJS kesehatan.

Menurut Petunjuk Teknis dari Pedoman Pelaksanaan Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial Kesehatan, Panduan Praktis Administrasi Klaim Fasilitas Kesehatan BPJS
Kesehatan, klaim diajukan kepada kantor cabang/kantor operasional kabupaten/kota
BPJS kesehatan secara kolektif setiap bulan dengan kelengkapan administrasi umum
antara lain sebagai berikut:

1. Rekapitulasi pelayanan
2. Berkas pendukung masing-masing pasien, yang terdiri dari:
• Surat eligibilitas peserta (SEP)
• Surat perintah rawat inap
3. Resume medis yang ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP)
4. Bukti pelayanan lain yang ditandatangani oleh DPJP (bila diperlukan), misal:
• Laporan operasi
• Protokol terapi dan regimen (jadwal pemberian obat) pemberian obat khusus
• Perincian tagihan rumah sakit
• Berkas pendukung lain yang diperlukan

Dalam alur baku, setelah selesai pelayanan dalam satu bulan, kemudian RS
menyusun dan mengajukan berkas klaim. Pekerjaan menyusun berkas klaim ini
dilakukan oleh pihak RS dengan menyertakan proses verifikasi internal oleh stafnya
untuk selanjutnya berkas klaim diserahkan untuk diverifikasi oleh verifikator eksternal
dari BPJS Kesehatan. Dalam proses verifikasi oleh BPJS Kesehatan, sebagian berkas tidak
langsung disetujui dan dapat dikembalikan ke RS untuk diperbaiki dan dilengkapi,
sementara proses klaim akan ditunda (pending claim). Bila sudah dilengkapi namun

34
masih belum disetujui, sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat atau persepsi antara
verifikator internal RS dan eksternal (BPJSK), dan masuk dalam “Dispute
Claim”. Terhadap dispute claim ini, dapat dicari jalan keluar dengan dilakukan
diskusi bersama Tim Kendali Mutu Kendali Biaya (TKMKB), Dewan pertimbangan Medis
(DPM), Dewan Pertimbangan Klinis/ Clinical Advisory Board (CAB) yang difasilitasi
oleh BPJS Kesehatan mulai dari level cabang sampai pusat.

Beban verifikasi oleh BPJS Kesehatan makin berat seiring bertambah banyaknya
jumlah peserta JKN , jumlah Faskes dan variasi kasus penyakit. Untuk standarisasi dan
percepatan proses verifikasi, BPJS Kesehatan mengembangkan sistem Verifikasi di
Kantor (Vedika), yaitu sebuah sistem untuk proses verifikasi dan klaim dari Fasilitas
Kesehatan, salah satu tujuan vedika adalah untuk mengurangi kegiatan yang
dioperasikan secara manual.

Beberapa hal tentang Vedika adalah sebagai berikut:


1. Dilakukan di kantor cabang BPJS Kesehatan
2. Dilakukan oleh verifikator BPJS Kesehatan dan Verifikator Internal Rumah Sakit
3. Verifikasi Administrasi dilakukan pada seluruh klaim
4. Verifikasi pelayanan hanya sampling klaim
5. Klaim yang masuk, langsung secara menyeluruh setiap bulanan hal ini akan
meminimalisir adanya klaim susulan
6. Rumah Sakit juga berperan aktif dalam melakukan verifikasi dengan verifikator
internal rumah sakit
7. Rumah Sakit juga melakukan audit klaim (post review claim)
8. Rumah Sakit membuat Surat tanggung jawab mutlak dalam pengajuan klaim
oleh FKTL
9. Lama waktu verifikasi sampai pembayaran sama (15 hari) di setiap daerah
10. Konfirmasi klaim dilakukan baik ke Rumah Sakit dan ke
Peserta

35
Gambar 8. Kaidah penulisan resume medik
sesuai National Casemix Center (NCC)

Hal hal yang dapat menjadi kendala proses klaim BPJS


1. Penulisan diagnosis pada form casemix tidak sesuai dengan resume medis.
2. Kesalahan penempatan penulisan diagnosis utama dengan diagnosis sekunder

36
3. Ketidaklengkapan berkas rekam medis, misalnya : Tidak ada laporan operasi /
tindakan medis lainnya dan hasil penunjang diagnosis .
4. Resume medis tidak lengkap, misalnya :
• Diagnosis dan prosedur tidak terisi
• Tanda tangan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) tidak ada.
5. Ketidaklengkapan berkas klaim
6. Perbedaan persepsi terhadap peraturan dan verifikasi klaim antara petugas BPJS
dengan petugas RS (Diagnosis penyakit dan tindakan, kelengkapan berkas klaim,
dan lain lain).

2.4 Manfaat rekam medis


Manfaat rekam medis berdasarkan Permenkes Nomor
269/MenKes/Per/III/2008, tentang rekam medis adalah sebagai berikut: 1. Pengobatan.
Rekam medis bermanfaat sebagai dasar dan petunjuk untuk merencanakan dan
menganalisis penyakit serta merencanakan pengobatan, perawatan dan tindakan
medis yang harus diberikan kepada pasien

2. Peningkatan kualitas pelayanan.


Membuat Rekam Medis bagi penyelenggaraan praktik kedokteran dengan jelas dan
lengkap akan meningkatkan kualitas pelayanan, untuk melindungi tenaga medis dan
untuk pencapaian kesehatan masyarakat yang optimal.

3. Pendidikan dan penelitian.


Rekam medis yang merupakan informasi perkembangan kronologis penyakit,
pelayanan medis, pengobatan dan tindakan medis, bermanfaat untuk bahan
informasi bagi perkembangan pengajaran dan penelitian di bidang profesi
kedokteran dan kedokteran gigi.

4. Pembiayaan.
Berkas rekam medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk menetapkan
pembiayaan dalam pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan. Catatan tersebut
dapat dipakai sebagai bukti pembiayaan kepada pasien.

5. Statistik kesehatan.
Rekam medis dapat digunakan sebagai bahan statistik kesehatan, khususnya untuk
mempelajari perkembangan kesehatan masyarakat dan untuk menentukan jumlah
penderita pada penyakit- penyakit tertentu

6. Pembuktian masalah hukum, disiplin dan etik.


Rekam medis merupakan alat bukti tertulis utama, sehingga bermanfaat dalam
penyelesaian masalah hukum, disiplin dan etik.

37
Salah satu tujuan dari rekam medis adalah pembiayaan rumah sakit,
dilaksanakannya program JKN mulai tanggal 1 Januari 2014 diterapkan metode
pembayaran prospektif dengan INA-CBGs, maka ketepatan koding diagnosis dan
prosedur sangat berpengaruh terhadap hasil grouper dalam aplikasi INA-CBG. Kodefikasi
diagnosis dan tindakan/prosedur yang ditulis oleh dokter selama merawat pasien sesuai
dengan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9CM untuk tindakan/prosedur yang bersumber
dari rekam medis pasien dan dilakukan oleh Perekam medis atau petugas Casemix.
Perekam Medis dan dokter harus paham ICD 10 dan ICD 9- CM. Perekam medis harus
selalu berkoordinasi dengan dokter bila menemukan ketidakjelasan dalam penulisan
diagnosis. Ketidaktepatan dalam pengkodean, dapat menyebabkan kerugian finansial
berdampak pada perhitungan biaya rumah sakit. Kodefikasi diagnosis dan tindakan/
prosedur di bidang Neonatologi dapat dilihat pada Lampiran 1.

38
BAB III PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN

Pedoman nasional pelayanan kedokteran (PNPK) merujuk pada PerMenKes


Nomor 1438/MenKes/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran.
Standar pelayanan kedokteran bertujuan untuk memberikan jaminan kepada
pasien memperoleh pelayanan kedokteran yang berdasarkan pada nilai ilmiah
sesuai dengan kebutuhan medis pasien. Disamping itu, untuk mempertahankan
dan meningkatkan mutu pelayanan kedokteran yang diberikan oleh dokter dan
dokter gigi. Untuk itu Pedoman nasional pelayanan kedokteran (PNPK) secara
umum diperlukan apabila :
• Jumlah kasus banyak (high volume)
• Mempunyai resiko tinggi (high risk)
• Cenderung memerlukan biaya tinggi atau banyak sumber praktisi untuk
penanganan kasus yang sama.

Pada periode 2018 ada tiga PNPK di bidang neonatologi yang sudah ditanda
tangani oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia yaitu:
1. PNPK bayi berat lahir rendah (BBLR) untuk resusitasi, stabilisasi dan
transport.
2. PNPK asfiksia
3. PNPK hiperbilirubinemia.

1. PNPK BBLR: Resusitasi, Stabilisasi dan Transport Neonatus

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Angka kematian bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi sampai usia satu tahun,
per 1000 kelahiran hidup.1 Dalam masalah mortalitas bayi kita mengenal istilah

39
the two third rule atau aturan 2/3, yang maksudnya 2/3 AKB berasal dari
angka kematian neonatus. Berikutnya dari angka kematian neonatus, 2/3
kematian terjadi dalam usia kurang dari 1 minggu, dan 2/3 dari angka tersebut
meninggal dalam 24 jam pertama.2,3 Dengan demikian aturan ini
memperlihatkan bahwa kematian neonatus merupakan komponen utama
kematian bayi dan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya AKB. 1,4
Di Indonesia, Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan
AKB sebesar 22,23 per 1.000 kelahiran hidup, yang artinya sudah mencapai
target MDG 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan angka
kematian neonatus (AKN) 19 per 1.000 kelahiran hidup tidak berbeda jauh
dengan SDKI tahun 2007 yaitu 20 per 1.000 kelahiran.5 Bayi berat lahir rendah
(BBLR) memiliki mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bayi berat lahir normal, tidak hanya pada periode neonatal melainkan juga
selama masa bayi dan masa anak. Angka kelahiran BBLR di dunia adalah 15,5%
atau sekitar 20 juta bayi setiap tahunnya. Sebanyak 95,6% kelahiran BBLR terjadi
di negara berkembang dan 18,3% di antaranya terjadi di Asia. 4,6
Berat lahir rendah menurut World Health Organization (WHO)
adalah berat lahir <2500 g. Batasan 2500 g ini berdasarkan data epidemiologis
bahwa bayi dengan berat <2500 g berisiko mengalami kematian 20 kali lebih
besar dibanding bayi dengan berat >2500 g.7 Berat lahir rendah dapat terjadi
akibat kelahiran prematur (kurang dari usia gestasi 37 minggu), pertumbuhan
janin yang terhambat, atau keduanya.6,7 Berat lahir rendah sangat berpengaruh
terhadap tingginya mortalitas dan morbiditas masa neonatal serta gangguan
pertumbuhan dan perkembangan.8-10
Besaran masalah ekonomi yang timbul akibat berat lahir rendah tergambar dari
satu analisis biaya di Kanada (1995). Untuk tiap BBLR, biaya perawatan selama
satu tahun pertama termasuk perawatan NICU adalah $48.183. Khusus BBLR
yang lahir prematur, biaya untuk menghadapi berbagai disabilitas permanen
akibat berbagai masalah perinatal adalah $676.800.11 Di Amerika Serikat
pembiayaan kesehatan BBLR ini mencapai 10% dari seluruh pembiayaan
kesehatan bagi populasi anak usia 0-15 tahun,12 dengan laporan biaya medis,
pendidikan, dan kehilangan produktivitas orangtua berkisar $ 26.2 milyar. 13 Italia
mendapatkan data rata-rata biaya perawatan bayi berat lahir sangat rendah
€20,502 (standar deviasi= SD €8409) dengan rata-rata lama rawat
59,7 hari (SD 21,6 hari).14

1.2. Permasalahan
Upaya menurunkan angka kejadian BBLR senantiasa dilakukan, terutama dari
aspek nutrisi selama kehamilan. Namun upaya tersebut masih belum berhasil
menurunkan angka kejadian BBLR secara bermakna, bahkan di negara maju
sekalipun.15 Demikian pula di Indonesia, jika diamati dari bayi lahir, prevalensi

40
bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) berkurang dari 11,1 persen tahun
2010 menjadi 10,2 persen tahun 2013.16
Asupan energi dan protein yang tidak mencukupi pada ibu hamil dapat
menyebabkan Kurang Energi Kronis (KEK). Ibu hamil dengan KEK berisiko
melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). Anemia pada ibu hamil dihubungkan
dengan meningkatnya kelahiran prematur, kematian ibu dan anak dan penyakit
infeksi. Anemia defisiensi besi pada ibu dapat memengaruhi pertumbuhan dan
berkembangan janin/bayi saat kehamilan maupun setelahnya.17
Di Indonesia, berat lahir rendah akibat kurang bulan adalah penyebab nomor 3
kematian masa perinatal di rumah sakit pada tahun 2005. 18 Riset Kesehatan
Dasar Departemen Kesehatan (2007) menyebutkan kematian bayi baru lahir usia
0-6 hari paling banyak disebabkan oleh gangguan pernapasan/asfiksia (37%),
prematuritas (34%), dan sepsis (12%).19
Hal ini menunjukkan bahwa upaya resusitasi dan mengatasi gangguan
pernapasan di awal kehidupan atau segera pasca-lahir merupakan faktor penting
dalam menurunkan mortalitas bayi baru lahir. Tata laksana saat kelahiran BBLR
sangat menentukan prognosis, bukan saja dalam harapan hidup, melainkan juga
dalam morbiditas jangka panjang. Meta-analisis oleh Laswell et al 20 (2010)
menunjukkan bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu bayi dengan berat
lahir <1500 g, memiliki risiko kematian yang lebih tinggi jika lahir bukan di rumah
sakit dengan fasilitas perawatan neonatal level III. Morbiditas BBLSR tersebut
juga meningkat, hal ini berhubungan dengan tingginya kejadian perdarahan
intraventrikular dan leukomalasia periventrikular, yang berkaitan dengan
kelainan perkembangan saraf.21
Studi morbiditas jangka panjang lainnya dilakukan oleh Ribeiro et al. 22 (2011)
terhadap 1288 subyek BBLR (<2500 g) dengan usia gestasi <38 minggu, dan
menyimpulkan bahwa berat lahir rendah bersama prematuritas merupakan
risiko gangguan berbahasa pada usia 18-36 bulan. Studi oleh Robertson et al. 23
(2009) pada 1279 anak yang lahir sangat prematur (usia gestasi ≤28 minggu dan
berat lahir <1250 g), menemukan ketulian pada 3,1% kasus serta gangguan
pendengaran sedang dan berat pada 1,9% kasus. Studi tersebut menyimpulkan
bahwa penggunaan oksigen jangka lama merupakan faktor prediktor yang paling
penting untuk terjadinya gangguan pendengaran.
Kesintasan BBLR kini makin baik berkat penggunaan surfaktan dan steroid
maternal, serta kemajuan teknologi perawatan neonatal dalam 50 tahun
terakhir.24 Di negara maju bahkan viabilitas BBLR dapat tercapai mulai kelahiran
usia gestasi 23 minggu.25 Meskipun mortalitas menurun, proporsi BBLR hidup
yang kemudian mengalami gejala sisa berat seperti penyakit paru kronik, 26,27
kelainan ginjal,28,29 gangguan kognitif dan gangguan perilaku,30 palsi serebral,
serta defisit neurosensorik termasuk kebutaan 31 dan ketulian26 ternyata tetap
besar.

41
Komplikasi akut pada masa perinatal dapat berakibat gejala sisa berat pada
jangka panjang dan memengaruhi kualitas hidup pasien maupun keluarganya. 32
Bayi berisiko seperti BBLR harus ditangani di fasilitas perawatan yang sesuai
dengan kebutuhan medisnya, sehingga memfasilitasi tercapainya luaran yang
optimal. American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan
pembagian level perawatan bayi baru lahir menjadi level I, II, dan III berdasarkan
tingkat kemampuan fasilitas tersebut dalam menangani bayi baru lahir.33
Level I (pelayanan neonatal dasar) mampu melakukan stabilisasi dan
merawat bayi baru lahir usia gestasi 35-37 minggu yang secara fisiologis stabil,
serta stabilisasi usia gestasi <35 minggu maupun bayi baru lahir sakit sampai
dapat dirujuk ke fasilitas perawatan yang memadai. Level II (pelayanan neonatal
spesialistik) mampu merawat bayi baru lahir usia gestasi >32 minggu dan berat
lahir >1500 g yang memiliki fungsi fisiologis yang imatur (apne of prematurity,
tidak mampu mempertahankan suhu tubuh, dan tidak mampu menerima diet
per oral (PO), sakit sedang dengan masalah yang diperkirakan akan membaik
dalam waktu singkat dan tidak akan memerlukan perawatan subspesialistik, serta
dalam pemulihan pasca-perawatan intensif. Level III (pelayanan neonatal
subspesialistik) adalah NICU dengan kelengkapan petugas dan peralatan yang
mampu menyediakan continuous life support dan perawatan yang
komprehensif untuk bayi baru lahir berisiko sangat tinggi serta bayi dengan sakit
kompleks dan kritis.34 Level IV (pelayanan neonatal subspesialistik) mampu
menangani kasus di level III dan dapat menangani kasus kelainan kongenital
kompleks atau kelainan didapat. Di level IV kasus-kasus bedah subspesialis dapat
segara ditangani dengan adanya tenaga konsultan pediatrics
anesthesiologist dan konsultan bedah anak on site.35
Idealnya tindakan merujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih baik dilakukan pada
ibu hamil berisiko tinggi, sehingga bayi yang lahir bermasalah segera
memperoleh penanganan yang memadai di NICU. Faktanya mayoritas kelahiran
bayi bermasalah termasuk BBLR terjadi di pelayanan kesehatan tanpa fasilitas
yang memadai.36,37 Pada 30-50% kasus bayi lahir yang akhirnya memerlukan
perawatan NICU, ibu hamil baru datang ke fasilitas kesehatan pada masa
intrapartum akhir, sehingga tindakan merujuk ibu pada saat itu justru akan
berisiko.38 Riskesdas 2013 mendapatkan anemia terjadi pada 37,1% ibu hamil di
Indonesia, 36,4% ibu hamil di perkotaan dan 37,8% ibu hamil di perdesaan. 17
Mortalitas BBLR akan berhasil diturunkan jika ada koordinasi yang baik antara
pelayanan kesehatan berbasis komunitas dengan rumah sakit. Bayi prematur
yang bermasalah dapat mengalami kematian akibat ketiadaan fasilitas, SDM, dan
mekanisme merujuk yang memadai dari pelayanan tingkat komunitas sampai
dengan pelayanan Level III. Koordinasi yang komprehensif antar pelayanan
kesehatan mutlak diperlukan untuk mengurangi kematian neonatus. 39-46
Faktor yang berpengaruh buruk terhadap kesintasan BBLSR terdiri atas
kelahiran sebelum tiba di rumah sakit,40 skor APGAR rendah,41-46 tidak bernapas
spontan di ruang bersalin,43 intubasi di ruang bersalin,47-49 memerlukan kompresi
dada atau adrenalin di ruang bersalin,42 resusitasi di ruang bersalin,47

42
respiratory distress syndrome (RDS),47 hipotensi,42 dan penggunaan nasal
continuous positive airway pressure (NCPAP).42 Sedangkan faktor yang
berpengaruh memperbaiki kesintasan BBLR adalah kelahiran di fasilitas
kesehatan tersier.48,49 Faktor-faktor tersebut menunjukkan bahwa upaya
resusitasi neonatus yang tepat akan memengaruhi luaran BBLR.
Pada BBLR yang stabil, tata laksana selanjutnya adalah di ruang rawat
gabung. Untuk BBLR bermasalah misalnya mengalami ancaman gagal napas,
gagal sirkulasi atau syok, dan kelainan kongenital berat, maka tata laksana
berikutnya adalah merujuk ke ruang rawat bayi berisiko tinggi atau ke rumah
sakit lain dengan fasilitas unit perinatal yang lengkap.34,38
Bayi berat lahir sangat rendah yang memperoleh perawatan NICU
(meskipun tidak lahir di fasilitas level III tetapi mengalami rujukan),
kesintasannya lebih tinggi 21% dibandingkan dengan BBLSR yang tidak dirawat di
NICU.50 Studi epidemiologi menunjukkan bahwa BBLSR yang lahir di rumah sakit
yang mempunyai fasilitas level III, mencapai kesintasan yang lebih tinggi hingga
51% dibandingkan dengan BBLSR yang lahir di level perawatan neonatal yang
lebih rendah atau BBLSR yang mengalami rujukan.20 Dengan demikian perawatan
di NICU adalah penting untuk kesintasan BBLR, demikian pula merujuk kasus
BBLSR yang bermasalah. Dalam mengerjakan mekanisme merujuk, tenaga
kesehatan harus terlebih dahulu memastikan bahwa BBLR dalam kondisi yang
sudah stabil.
Pedoman ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi langkah-langkah
yang dapat dikerjakan di fasilitas kesehatan primer hingga tersier dalam
menangani kelahiran BBLR, dalam lingkup resusitasi, stabilisasi, dan mekanisme
merujuk. Dengan penerapan rekomendasi ini, BBLR diharapkan mendapat
penanganan yang optimal sesuai degan kondisinya, menurunkan morbiditas
neonatus, dan mengurangi risiko gejala sisa, sehingga BBLR yang hidup akan
memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

1.3. Tujuan
1.3.1.Tujuan umum
Menurunkan mortalitas dan morbiditas BBLR.

1.3.2.Tujuan khusus
a. Membuat pernyataan secara sistematis yang berdasarkan pada bukti
ilmiah (scientific evidence), untuk membantu dokter, bidan, dan
perawat tentang tata laksana BBLR dalam fase resusitasi, stabilisasi,
dan mekanisme merujuk.

43
b. Memberi rekomendasi bagi fasilitas pelayanan kesehatan primer
sampai dengan tersier serta penentu kebijakan untuk penyusunan
protokol setempat atau Panduan Praktik Klinis (PPK), dengan
melakukan adaptasi terhadap Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) ini.

1.4. Sasaran
1) Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses kelahiran BBLR,
termasuk dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat diterapkan di
fasilitas pelayanan kesehatan primer sampai dengan tersier.
2) Pembuat kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan,
serta kelompok profesi terkait.

BAB II

44
METODOLOGI

2.1. Penelusuran kepustakaan


Penelusuran bukti sekunder berupa meta-analisis, telaah sistematik, ataupun
guidelines berbasis bukti sistematik dilakukan pada situs Cochrane
Systematic Database Review, Bandolier (http://www.medicine.
ox.ac.uk/bandolier/), dan ACP Journal Club
(http://www.acpjc.org/) memakai kata kunci “low birth weight” pada
judul artikel yang dipublikasikan dalam 15 tahun terakhir, dan menghasilkan 50
artikel. Setelah dilakukan penelaahan lebih lanjut terhadap judul dan abstrak, 3
artikel dianggap relevan dengan topik “Manajemen BBLR resusitasi,
stabilisasi, dan mekanisme merujuk”.
Penelusuran bukti primer dilakukan pada mesin pencari TRIP database
(www.tripdatabase.com) dan Pubmed. Pencarian mempergunakan kata
kunci “low birth weight” yang terdapat pada judul artikel, dengan
batasan publikasi bahasa Inggris dan dalam waktu 15 tahun terakhir,
menghasilkan 7045 artikel. Setelah penelaahan lebih lanjut terhadap judul dan
abstrak, sebanyak 36 artikel dianggap relevan dengan topik PNPK ini.

2.2. Penilaian – telaah Kritis Pustaka


Setiap evidence yang diperoleh telah dilakukan telaah kritis oleh dua pakar
dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak.

2.3. Peringkat bukti (hierarchy of evidence)


Levels of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi yang dikeluarkan oleh
Oxford Centre for Evidence-based Medicine Levels of Evidence i yang
dimodifikasi untuk keperluan praktis, sehingga peringkat bukti adalah sebagai
berikut:
IA metaanalisis, telaah sistematik
IB uji klinis yang besar dengan validitas yang baik
IC all or none
II uji klinis tidak terandomisasi
III studi observasional (kohort, kasus kontrol)
IV konsensus dan pendapat ahli

2.4. Derajat rekomendasi


Berdasarkan peringkat bukti, rekomendasi/simpulan dibuat sebagai berikut:

45
1) Rekomendasi A bila berdasar pada bukti level IA atau IB.
2) Rekomendasi B bila berdasar atas bukti level IC atau II.
3) Rekomendasi C bila berdasar atas bukti level III atau IV.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bayi berat lahir rendah adalah bayi dengan berat lahir (BBLR) <2500 g. 8,10 Bayi
berat lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu bayi berat lahir <1500 g dan bayi berat
lahir amat sangat rendah (BBLASR) adalah bayi berat lahir <1000 g. Makin rendah
usia gestasi dan makin rendah berat lahir bayi, makin berat pula stres fisiologis
dan inflamasi yang dapat dialaminya. Respons tubuh terhadap stres pada
masing-masing kelompok BBLR berdasarkan penggolongan berat lahir berbeda-
beda,24 oleh sebab itu dalam tata laksana resusitasi, stabilisasi, dan mekanisme
merujuk pada tiap kelompok tersebut juga berbeda.

3.1. RESUSITASI
Sekitar 10% bayi membutuhkan intervensi bantuan untuk mulai bernapas
saat lahir dan 1% membutuhkan intervensi yang lebih ekstensif. 51 Panduan baru
untuk resusitasi bayi baru lahir disusun oleh The International Liaison
Committee on Resuscitation (ILCOR), American Heart Association
(AHA), American Academy of Paeditrics (AAP) dan Ikatan Dokter Anak

46
Indonesia (IDAI) 2017 dan menyatakan kunci kesuksesan resusitasi bayi baru lahir
adalah ventilasi yang efektif.18,52,53 Rekomendasi utama resusitasi neonatus
menurut ILCOR, AHA 2015 dan IDAI 2017 adalah sebagai berikut (Gambar 1)
yaitu:ii
• Setiap usaha resusitasi neonatus harus didahului oleh persiapan yang baik.
Persiapan resusitasi meliputi konsultasi antenatal, persiapan tim penolong dan
persiapan tempat beserta alat-alat resusitasi.54-56
• Penilaian awal kondisi bayi sesaat setelah dilahirkan akan menentukan perlu
tidaknya resusitasi neonatus. Penilaian ini berupa penilaian tonus otot dan
usaha nafas. Jika terdapat tonus otot atau usaha napas yang buruk maka bayi
harus segera mendapat resusitasi.18
• Resusitasi harus selalu didahului oleh langkah awal yang terdiri dari
meletakkan bayi dibawah infant warmer, membersihkan jalan napas jika
terdapat sumbatan, mengeringakan dan merangsang taktil dan memosisikan
bayi dalam posisi
menghidu.18,57

• Tindakan resusitasi selanjutnya setelah langkah awal ditentukan oleh


penilaian simultan dua tanda vital, yaitu frekuensi denyut jantung dan
pernapasan. Oksimetri digunakan untuk menilai oksigenasi karena penilaian
warna kulit tidak dapat diandalkan.57
• Apabila bayi tidak bernapas (apnea) ataupun bernapas sangat lemah
(gasping) maka ventilasi tekanan positif yang efektif harus segera dilakukan
sesegera mungkin.57
• Resusitasi bayi cukup bulan lebih baik dilakukan dengan udara kamar (FiO 2
21%) oksigen konsentrasi rendah (FiO2 30%) untuk neonatus dengan usia
kehamilan kurang dari 35 minggu.58,59

• Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara


(blended oxygen), dan pengaturan konsentrasi oksigen berdasarkan
panduan oksimetri.18
• Bukti yang ada tidak menganjurkan dilakukannya pengisapan trakea secara
rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur mekonium, bahkan pada bayi
dalam keadaan tidak
bugar/depresi (lihat keterangan pada Langkah Awal).60

47
• Rasio kompresi dada dan ventilasi efektif adalah 3 banding 1.61-66
• Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup bulan atau
mendekati cukup bulan dengan perkembangan kearah terjadinya ensefalopati
hipoksik iskemik sedang atau berat, dengan protokol dan tindak lanjut sesuai
panduan.58
• Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung
selama 10 menit. Banyak faktor berperan dalam keputusan melanjutkan
resusitasi setelah 10 menit.67-71

• Penjepitan tali pusat harus ditunda sedikitnya 30 detik sampai 3 menit untuk
bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Tidak terdapat cukup bukti untuk
merekomendasikan lama waktu penjepitan talipusat pada bayi yang
memerlukan resusitasi.51,54

48
Gambar 1. Algoritma resusitasi bayi baru lahir rekomendasi IDAI. 18
Rekomendasi AHA modifikasi IDAI (2017)18 menyatakan bahwa kita dapat
melakukan penilaian cepat pada bayi baru lahir, yaitu memutuskan seorang bayi
memerlukan resusitasi atau berdasarkan dua karakteristik berikut:
1) Menangis atau bernapas?

49
2) Tonus otot baik?

Penilaian usia kehamilan sesuai rekomendasi AHA tidak diprioritaskan


karena memerlukan ketrampilan khusus dan waktu dalam menilai usia
kehamilan. Jika jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah “ya”,
maka bayi memerlukan perawatan rutin, tidak memerlukan resusitasi dan
tidak boleh dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diposisikan kontak kulit
dengan kulit (skin-to-skin) pada ibu, dan diselimuti dengan linen kering untuk
mempertahankan temperatur. Selanjutnya tenaga kesehatan tetap melakukan
pemantauan pernapasan, aktivitas, dan warna bayi.18
Jika ada jawaban “tidak” dari kedua pertanyaan tersebut, maka langkah
yang harus dikerjakan berikutnya secara umum serupa dengan rekomendasi oleh
ILCOR, AHA, AAP dan IDAI yaitu dilakukan satu atau lebih tindakan secara
berurutan di bawah ini:72-74
A. Langkah awal memberikan kehangatan, membersihkan jalan napas jika
diperlukan, mengeringkan, dan memberi stimulasi
B. Ventilasi tekanan positif yang efektif jika bayi apnea atau pertimbankan
pemberian CPAP jika bayi mengalami sesak napas
C. Kompresi dada
D. Pemberian epinefrin dan/atau cairan penambah volume.
Waktu 60 detik (the Golden Minute) diberikan untuk melengkapi
langkah awal, menilai kembali, dan memulai ventilasi. Tindakan lanjut
meneruskan ventilasi dengan meningkatkan oksigenisasi pada 30 detik berikut,
dan apabila tidak berhasil dilanjutkan dengan 60 detik berikut dengan tambahan
tindakan kompresi dada. Empat langkah tersebut dilakukan secara simultan.
Keputusan petugas resusitasi untuk melanjutkan dari satu langkah ke langkah
berikutnya adalah berdasarkan evaluasi laju denyut jantung, usaha napas
pernapasan dan tonus otot.18 Petugas resusitasi maju ke langkah berikutnya jika
langkah sebelumnya sudah dikerjakan dengan baik. Berikut adalah penjelasan
untuk tiap-tiap langkah tersebut di atas:

1. Langkah awal
Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan meletakkan
bayi di bawah penghangat atau radiant warmer, memosisikan bayi pada
posisi menghidu (posisi setengah ekstensi) untuk membuka jalan napas,
membersihkan jalan napas jika perlu, mengeringkan bayi, dan memberi
stimulasi napas. Penggunaan topi dan plastik transparan yang menutupi bayi
(BBLSR) sampai leher dapat digunakan untuk mencegah kehilangan panas
tubuh secara konveksi dan evaporasi.18,54 Membersihkan jalan napas atas
dilakukan sebagai berikut:

50
• Jika cairan amnion jernih, pengisapan langsung pada orofaring segera
setelah lahir tidak dilakukan secara rutin, tetapi hanya dilakukan pada
bayi yang mengalami obstruksi napas dan yang memerlukan VTP. 75,76

• Jika terdapat mekonium dan bayi tidak bugar atau depresi, bukti yang ada
tidak menganjurkan pengisapan trakea secara rutin.60
2. Ventilasi tekanan positif
Pimpinan resusitasi harus segera memberikan VTP bila bayi mengalami apne
atau gasping, atau laju denyut jantung <100 per menit. Ventilasi tekanan
positif (VTP) yang dilakukan harus efektif sehingga mampu mengembalikan
usaha napas hampir semua bayi baru lahir yang apne atau bradikardia.
Ventilasi tekanan positif yang efektif ditandai dengan pengembangan dada,
peningkatan laju denyut jantung dan peningkatan saturasi pada monitor
saturasi (SpO2).18,57
Sebaiknya VTP yang efektif sudah teridentifikasi paling lama 15 detik pasca
VTP dimulai oleh asisten sirkulasi.
Pimpinan resusitasi harus menghentikan VTP jika teridentifikasi tidak efektif
dan mulai melakukan langkah koreksi.
Langkah koreksi yang dilakukan agar VTP menjadi efektif adalah sebagai
berikut : reposisi sungkup agar perlekatan menjadi sempurna dan tidak
bocor, reposisi kepala menjadi posisi menghidu, membersihkan saluran
napas dari lendir yang menyumbat, membuka mulut agar lebih terbuka,
menaikkan tekanan puncak inspirasi secara bertahap namun tidak lebih dari
40 cmH2O dan lakukan pemasangan sungkup laring atau intubasi orotrakeal
sebagai jalan akhir.54
Apabila dalam 30 detik VTP efektif tidak berhasil meningkatkan laju denyut
jantung di atas 60x/menit, maka segera lakukan intubasi endotrakeal atau
pemasangan sungkup laring dan tingkatkan pemberian oksigen menjadi
100%.57

3. Kompresi dada
Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung <60 denyut per
menit setelah ventilasi dilakukan secara efektif selama 30 detik. Untuk
neonatus, rasio kompresi berbanding ventilasi efektif adalah 3:1, yang
berarti setiap 3 kali kompresi dada harus di berikan 1 VTP efektif. Kompresi
dada dan VTP efektif harus dilakukan secara sinkron dengan durasi 2 detik
untuk setiap 3 kompresi dada dan 1 VTP efektif. Kompresi dada dan VTP
efektif ini dilakukan selama 60 detik tanpa jeda.
Titik penekanan kompresi dada adalah pertengahan antara processus
xyphoideus dan garis imajiner yang menghubungkan kedua mamae.

51
Kedalaman kompresi dada adalah 1/3 diameter antero-posterior dinding
dada bayi. Terdapat 2 teknik kompresi dada yang umum digunakan yaitu
teknik 2 ibu jari dan teknik 2 jari (jari tengah dan telunjuk). Pastikan dada
mengembang saat VTP diberikan dengan cara tidak menekan diding dada. 54,61-
66
Kompresi dada dihentikan sementara pasca 30 siklus kompresi dada (60
menit) untuk memberikan kesempatan pada asisten sirkulasi menilai laju
denyut jantung. Langkah resusitasi selanjutnya akan ditentukan oleh laju
denyut jantung dan usaha napas seperti tertera pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Langkah resusitasi didasari pada laju denyut jantung dan usaha napas
Laju denyut jantung Usaha napas Tindakan resusitasi lanjutan

< 60x/menit Apnea Pemberian Adrenalin dilanjutkan


dengan kompresi dada dan VTP efektif

>60x/menit Apnea Hentikan kompresi dada ,


lanjutkan VTP efektif
>100 x /menit Bernafas spontan Hentikan VTP efektif, pertimbangan
pemberian CPAP PEEP 7 cmH2O sampai
bayi bernapas adekuat

4. Medikamentosa
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun jika
frekuensi denyut jantung tetap <60 per menit walaupun telah diberikan
ventilasi efektif dengan oksigen 100% dan kompresi dada secara sinkron
selama 60 detik, maka terindikasi pemberian obat Adrenalin atau Epinefrin.
Konsentrasi adrenalin/epinefrin yang direkomendasikan adalah 1/10.000
(0,1 mg/mL adrenalin/epinefrin).77
Terdapat 2 jalur pemberian adrenalin/epinefrin yaitu intratrakeal dan
intravena. Pemberian adrenalin /epinefrin melalui jalur intratrakeal bukan
merupakan pilihan karena beberapa penelitian menemukan tingkat
keamanan dan efikasi tidak sebaik pemberian adrenalin/epinefrin intravena,
tetapi pemberian intratrakeal dapat diberikan sambil menunggu
tersedianya akses intravena.54,57,78

Dosis adrenalin/epinefrin intratrakeal yang


direkomendasikan adalah 0,05-0,1 mg/kgBB setara dengan 0,51 mL/KgBB
larutan adrenalin/epinefin. Diberikan tanpa dilakukan flusing dengan

52
larutan NaCl 0,9% dan dilanjutkan dengan VTP. Sementara dosis intravena
yang direkomendasikan adalah 0,1 sampai 0,3 mL/KgBB larutan 0,1 mg/mL
larutan adrenalin/epinefrin ( perbandingan 1:10.000). Q2016, Eu 2015 Dosis
intravena lebih kecil dari dosis intratrakeal dan membutuhkan flushing NaCl
0,9% 2-3 ml sesudah diberikan. Pemberian dapat diulang 2-3 menit kemudian
apabila frekuensi nadi masih kurang dari 60 kali/menit.77
Pemberian volume expanders dipertimbangkan jika diketahui atau diduga
terjadi kehilangan darah dan frekuensi denyut jantung bayi tidak
menunjukkan respons adekuat terhadap upaya resusitasi lain. NaCl 0,9% atau
darah dapat diberikan dengan dosis 10 mL/kg dan dapat diulangi sesuai
kebutuhan.57 Masa sejak bayi lahir sampai dilakukannya ventilasi, dikenal
sebagai the golden minute untuk resusitasi. Resusitasi kardiopulmoner
dilakukan selama 10 menit dan setelahnya dapat dihentikan jika tidak ada
denyut jantung. Setelah resusitasi yang adekuat, resusitasi dapat dihentikan
jika tidak ada denyut jantung (asistol) selama 10 menit. 58
Pada semua bayi, skor Apgar harus dicatat pada menit ke-1 dan menit ke-5,
dan pada bayi yang diresusitasi ditambah dengan skor Apgar menit ke-10
(Tabel 2). Skor Apgar dinilai dengan 0, 1, atau 2 dengan skor total minimal 0
dan maksimal 10, tapi tidak memengaruhi tindakan resusitasi.79

Tabel 2 Skor APGAR74


Kriteria 0 1 2
Warna Seluruhnya pucat Tubuh merah muda, Seluruh tubuh dan
(Appearance) atau kebiruan ekstremitas kebiruan ekstremitas
berwarna merah muda

Denyut Tidak ada < 100 kali per menit >100 kali per menit
Jantung
(Pulse)
Refleks Tidak ada respon Meringis/menangis lemah Menangis/bergerak
(Grimace) aktif
Tonus Otot Tidak ada/lumpuh Sedikit fleksi Bergerak aktif
(Activity)
Pernapasan Tidak ada Lemah dan iregular Menangis kuat,
(Respiration) pernapasan baik dan
teratur

Pada bayi yang sangat prematur (< 25 minggu), keputusan untuk


melakukan resusitasi masih kontroversi, karena kemungkinan keberhasilannya
yang kecil. Pada bayi sangat prematur yang berhasil diresusitasi pun, beberapa
studi melaporkan luaran yang beragam dengan berbagai gejala sisa. 80,81 Oleh
sebab itu ketika seorang tenaga kesehatan menghadapi kelahiran bayi yang

53
sangat prematur, resusitasi sebaiknya tetap dimulai. Sementara meresusitasi,
tenaga kesehatan mengevaluasi kemungkinan prognosis dan selanjutnya
memutuskan hendak menghentikan atau melanjutkan resusitasi yang telah
dimulainya itu.
Resusitasi hampir selalu diindikasikan pada kasus yang kesintasannya
tinggi atau kasus yang kemungkinan morbiditasnya dapat diterima.82 Tindakan
resusitasi tidak terindikasi pada kasus dengan usia gestasi, berat lahir, ataupun
kelainan kongenital yang hampir pasti menyebabkan kematian dini atau
morbiditas yang sangat berat, misalnya bayi yang sangat prematur (< 25 minggu).
Pada kasus yang prognosisnya tidak pasti, misalnya kasus dengan kesintasan
borderline dan morbiditas yang relatif tinggi, maka keputusan untuk resusitasi
harus melibatkan pertimbangan
orangtua.83,84

Resusitasi dilakukan pada kasus yang kesintasannya tinggi


atau yang kemungkinan morbiditasnya dapat diterima.
Tindakan resusitasi tidak dilakukan pada kasus dengan usia
gestasi, berat lahir, ataupun kelainan kongenital yang hampir
pasti menyebabkan kematian dini atau morbiditas yang sangat
berat. Pada kasus yang prognosisnya tidak pasti, keputusan
untuk resusitasi harus melibatkan pertimbangan orangtua.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Pada bayi yang tidak berespons terhadap resusitasi adekuat selama 10


menit, kemungkinan bayi hidup adalah kecil. Selain itu jika saja resusitasi
berhasil, risiko morbiditas terutama kelainan neurologis adalah besar. Oleh sebab
itu resusitasi bayi baru lahir dapat dihentikan jika setelah resusitasi yang adekuat
tidak terdapat denyut jantung setelah 10 menit. Resusitasi dapat dilanjutkan
setelah 10 menit tersebut, jika (1) dipertimbangkan resusitasi ada kemungkinan
berhasil, dan (2) orangtua (yang telah diedukasi sebelumnya) menyatakan akan
menerima risiko morbiditas yang dapat timbul.85 Belum ada bukti yang cukup
untuk memutuskan akan menghentikan atau melanjutkan resusitasi pada bayi
baru lahir yang tetap bradikardia setelah 10 menit dengan resusitasi adekuat. 86,87

54
Resusitasi bayi baru lahir dapat dihentikan jika setelah
resusitasi yang adekuat tidak terdapat denyut jantung selama
10 menit.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Pemberian ventilasi bantuan dalam resusitasi dapat diberikan dengan


balon mengembang sendiri83 (Gambar 2)88 Pada BBLR, alat yang sebaiknya
digunakan adalah pompa yang mampu memberikan tekanan positif akhir
ekspirasi (TPAE) dan tekanan puncak inspirasi (TPI) terukur (Gambar 3). Dalam
resusitasi yang membutuhkan continuous positive airway pressure (CPAP)
di kamar bersalin, dapat digunakan alat T-piece resuscitator (Gambar 4).

Gambar 2 Balon mengembang sendiri89

Gambar 3 Balon resusitasi yang dapat memberikan TPAE dan TPI


terukur

55
Gambar 4 T-piece resuscitator89

56
Gambar 5 T-piece resuscitator dengan blender O 2, sumber O2 bertekanan
(FiO2 100%), dan gas medis/kompresor (FiO2 21%) untuk pemberian O2
dengan konsentrasi O2 yang diinginkan.

Tabel 3 Perbandingan alat untuk pemberian VTP 89


Jenis alat Kelebihan Kelemahan
Balon 1. Selalu terisi setelah 1. Tetap mengembang
mengembang diremas walaupun tidak terdapat
sendiri atau walaupun tanpa perlekatan antara sungkup
self inflating sumber gas bertekanan dan wajah bayi
bag 2. Katup pelepas tekanan Membutuhkan reservoir
berfungsi untuk oksigen untuk mendapatkan
menjaga oksigen kadar tinggi
agar tidak terjadi
pengembangan

balon yang berlebihan 2. Tidak dapat digunakan dengan


baik untuk memberikan
oksigen aliran bebas melalui
sungkup
3. Tidak dapat digunakan untuk
memberikan CPAP dan baru
dapat memberikan TPAE bila
ditambahkan katup
TPAE

T-piece 1. Tekanan konsisten 5. Membutuhkan aliran gas


resuscitator 2. Pengatur TPI dan TPAE bertekanan
dapat diandalkan 6. Pengaturan tekanan dilakukan
3. Dapat mengalirkan sebelum digunakan
oksigen 100% 7. Mengubah tekanan inflasi
4. Operator tidak lelah selama resusitasi akan lebih
karena sulit
memompa 8. Risiko waktu inspirasi
memanjang

Pada fasilitas yang tidak memiliki blender oksigen ataupun Ytube,


pemberian oksigen resusitasi dapat dilakukan menggunakan modifikasi balon
mengembang sendiri sehingga menghasilkan FiO2 21%, 40%, dan 100% (Gambar
6).

57
Gambar 6 Modifikasi terapi oksigen dalam resusitasi dengan
balon mengembang sendiri pada fasilitas terbatas
1. Penggunaan oksigen pada resusitasi: oksigen ruangan (fraksi
oksigen 21%), fraksi oksigen 100%, atau
lainnyaiii,iv,v,vi,vii

58
Berdasarkan meta analisis dari 7 uji klinis terandomisasi yang membandingkan
inisiasi pemberian oksigen konsentrasi tinggi
(≥65%) dan oksigen konsentrasi rendah (21%-30%) pada resusitasi dari bayi
baru lahir prematur (usia kehamilan kurang dari 35 minggu) menunjukkan tidak
ada perbedaan lama waktu perawatan di rumah sakit.90-96 Demikian pula, pada
studi-studi lainnya yang menilai outcome tersebut, tidak terdapat manfaat
untuk mencegah terjadinya displasia bronkopulmoner,91,93-96 perdarahan
intraventrikular, dan retinopati pada bayi premature.91,94,95 Ketika target saturasi
digunakan sebagai terapi tambahan, konsentrasi oksigen pada udara resusitasi
dan saturasi oksigen preductal didapatkan adanya persamaan antara grup yang
mendapat oksigen konsentrasi tinggi dan grup yang mendapat oksigen
konsentrasi rendah pada 10 menit pertama kehidupan.91,94
Pada semua studi95, terlepas dari penggunaan oksigen pada inisiasi
resusitasi dengan konsentrasi oksigen udara bebas (21%) atau oksigen
konsentrasi tinggi (≥65% sampai 100%), hampir seluruh bayi berada
pada kadar oksigen 30% saat stabilisasi. Resusitasi bayi prematur dengan usia
kehamilan kurang dari 35 minggu harus diinisiasi / diawali dengan oksigen
konsentrasi rendah (21%-30%), dan konsentrasi oksigen tersebut harus dititrasi
hingga mencapai saturasi oksigen preductal yang mendekati ukuran kisaran
interkuartil pada bayi baru lahir yang sehat setelah dilahirkan pervaginam pada
ketinggian sejajar permukaan laut.123 (Level of Evidence 1A, Rekomendasi A).
Mengawali resusitasi bayi prematur dengan oksigen konsentrasi
tinggi (≥65%) tidak direkomendasikan. (Level of Evidence 1A,
Rekomendasi A). Rekomendasi ini mencerminkan kecenderungan untuk tidak
memaparkan bayi baru lahir prematur dengan oksigen tambahan tanpa data
yang menunjukkan bukti adanya manfaat atau untuk luaran yang penting.

Resusitasi awal (initial resuscitation) sebaiknya dilakukan


dengan udara ruangan. Resusitasi awal dengan udara ruangan
dapat menurunkan mortalitas dan disabilitas neurologis pada
bayi baru lahir bila dibandingkan dengan pemberian oksigen
100%.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Pemberian oksigen dapat ditingkatkan hingga mencapai 100%


bila resusitasi awal dengan udara ruangan gagal.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

59
Alur IDAI (Gambar 1) merekomendasikan penggunaan pencampur
oksigen (blender) (Gambar 7) untuk mengatur konsentrasi oksigen selama
proses resusitasi, dan sementara itu pulse oxymeter tetap dipasang untuk
memantau saturasi oksigen (Gambar 8).58 Pemantauan dengan pulse
oxymeter harus dilakukan pada semua neonatus yang mendapatkan terapi
oksigen.97 Untuk mengurangi kemungkinan artefak akibat gerak bayi,
pengukuran saturasi oksigen (SpO2) dan denyut jantung menggunakan pulse
oximeter khusus bayi.

Pengukuran saturasi oksigen dan denyut jantung


menggunakan pulse oximeter hasilnya terpercaya jika
dilakukan mulai 30 detik pasca lahir saat dimulainya tindakan
ventilasi tekanan positif.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

a b c

Gambar 7.
a. Pencampur oksigen (blender) dengan T-piece resuscitator tampak depan.
b. Pencampur oksigen (blender) dengan T-piece resuscitator tampak samping.
c. Pengatur FiO2 blender xxx .97

60
Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) janin adalah 15-30 mmHg dan
menghasilkan saturasi oksigen (SpO2) 45-55%. Setelah kelahiran, nilai ini akan
meningkat dalam beberapa menit menjadi 50-80 mmHg (SpO 2 >90%), tergantung
pada fungsi paru, sirkulasi pulmonal, dan adanya stresor lain saat persalinan.
Kadar oksigen pada fetus yang beralih menjadi neonatus mengalami peningkatan
secara bertahap dalam 5-10 menit pertama setelah lahir.98 Mekanisme
pertahanan antioksidan sebenarnya secara alami baru terbentuk pada usia
gestasi yang lanjut, oleh sebab itu bayi yang sangat prematur rentan terhadap
hiperoksia.99
Oksigen ruangan telah terbukti bermanfaat untuk mengatasi asfiksia pada
bayi cukup bulan.96,100,101 Pada bayi kurang bulan, beberapa studi prospektif
membandingkan efek penggunaan oksigen konsentrasi rendah dan tinggi selama
resusitasi, namun studi-studi tersebut tidak melakukan evaluasi dalam jangka
panjang, seperti evaluasi perkembangan saraf yang merupakan parameter
penting untuk efek samping terapi oksigen.95,102,103
Saugstad et al104 (2008) menyatakan bahwa pada bayi baru lahir,
penggunaan oksigen ruangan (fraksi oksigen (FiO2) 21%) menurunkan risiko
mortalitas dan HIE. Resusitasi dengan VTP dimulai dengan oksigen ruangan (FiO 2
21%), kemudian ditingkatkan/dititrasi sesuai dengan kebutuhan neonatus.
Beberapa studi menyimpulkan bahwa pada bayi kurang bulan dengan berat lahir
>1000 g, resusitasi menggunakan udara ruangan menurunkan mortalitas
dibandingkan dengan resusitasi menggunakan FiO2 100% (21% vs. 35%, rasio
odds (RO) 0,51: interval kepercayaan 95% (IK95%) 0,28-0,9;P<0,02). 104-106 Namun
sebenarnya belum ada bukti yang memadai untuk menetapkan fraksi oksigen
untuk resusitasi bayi usia gestasi 32-37
minggu.58viii,ix,x,xi
Pada bayi usia gestasi <32 minggu, resusitasi yang dimulai dengan udara
ruangan atau FiO2 100% berisiko menghasilkan hipoksemia atau hiperoksemia,
dibandingkan dengan FiO2 30% atau 90% yang kemudian dititrasi.95,103 Pada BBLR
usia gestasi <32 minggu, Wang et al96 (2008) menunjukkan bahwa resusitasi
dengan udara ruangan (FiO2 21%) gagal mencapai target SpO2 70% dalam 3 menit
pertama kehidupan. Beberapa studi lain menyatakan pada bayi kurang bulan usia
gestasi ≤28 minggu, resusitasi yang dimulai dengan oksigen 30% akan
menurunkan stress oksidatif, inflamasi, kebutuhan oksigen, dan risiko
BPD.10,95,107,108 Pada BBLSR, Stola dkk109 (2009) menyimpulkan bahwa resusitasi
dapat dimulai dengan udara ruangan tanpa menimbulkan morbiditas yang
bermakna.

Selama resusitasi, pencampur oksigen (blender) digunakan


untuk mengatur konsentrasi oksigen dan pulse oxymeter
dipasang untuk memantau saturasi oksigen.

61
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Resusitasi bayi usia gestasi <35 minggu dimulai dengan fraksi


oksigen 30% atau Hal ini dilakukan dengan panduan oksimeter
dan blender oksigen.
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

Pada semua bayi usia gestasi 36 minggu atau lebih, IDAI


merekomendasikan untuk memulai resusitasi dengan udara kamar (FiO 2 21%).18
Suplementasi oksigen baru diberikan pada resusitasi jika kondisi bayi tidak
membaik atau SpO2 dibawah target saturasi berdasarkan waktu (usia 1 menit: 60
sampai 65%, usia 2 menit: 65% sampai 70%, 3 menit: 70% sampai 75%, 4 menit:
75% sampai 80%, 5 menit: 80% sampai 85%, 10 menit: 85% sampai 95%. 18
Pengaturan FiO2 berikutnya disesuaikan ketika saturasi telah mencapai >90%.
Untuk mencegah toksisitas oksigen terjadi, maka terapi oksigen diberikan dengan
target mempertahankan PaO2 <100 mmHg dan SpO2 88-92%.18
Namun pada fasilitas terbatas, campuran oksigen dapat dilakukan
dengan:48
• Sumber oksigen dengan udara bertekanan yang dihubungkan dengan
konektor Y

Gambar 9Sumber oksigen dengan udara bertekanan


yang dihubungkan dengan konektor Y

• Konsentrator oksigen dengan kompresor udara

Gambar 10 Konsentrator oksigen

62
• T-piece resuscitator (mixsafe®) dengan mini kompresor

Gambar 11 Mixsafe®
Pemberian campuran oksigen dan udara bertekanan tersebut dapat
dilakukan dengan panduan tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Panduan campuran oksigen dan udara bertekanan

Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2017.18 (dengan modifikasi)

Untuk menyederhanakan tabel pemberian campuran oksigen dan udara


tekan, digunakan prinsip rule of eight. Misalnya klinisi ingin memulai ventilasi
dengan memberikan oksigen berkonsentrasi 21%, maka dapat digunakan 8 L

63
udara tekan, tanpa oksigen murni. Begitu pula dengan oksigen 100% didapatkan
dari 8 L oksigen murni tanpa udara tekan. Bila konsentrasi oksigen dinaikkan
menjadi 31%, klinisi dapat menggunakan udara tekan 7 L per menit dengan
kombinasi 1 L per menit oksigen murni, demikian
seterusnya seperti pada tabel yang diarsir.18

Pada fasilitas terbatas, dimana pencampur oksigen (blender)


tidak tersedia, resusitasi bayi usia gestasi <35 minggu dimulai
dengan udara ruangan atau fraksi oksigen 21%. Suplementasi
oksigen diberikan pada resusitasi jika kondisi bayi tidak
membaik dalam pemantauan saturasi oksigen tiap menit
(sesuai algoritme resusitasi).
Level of evidence I, derajat rekomendasi A

Pada fasilitas terbatas, bayi usia gestasi > 35 minggu,


resusitasi dimulai dengan udara ruangan atau fraksi oksigen
21%. Suplementasi oksigen diberikan pada resusitasi jika
kondisi bayi tidak membaik dalam pemantauan saturasi
oksigen tiap menit (sesuai algoritme resusitasi).
Level of evidence I, derajat rekomendasi A

Pada bayi kurang bulan yang memerlukan bantuan ventilasi, dengan


bantuan alat, tekanan inisial yang dapat diberikan adalah 20-25 cmH 2O. Jika
besarnya tekanan tidak dapat diketahui karena keterbatasan fasilitas, maka
besarnya inflasi yang diberikan adalah inflasi minimal yang sudah dapat
menimbulkan peningkatan denyut jantung. Petugas resusitasi harus menghindari
pengembangan dinding dada yang berlebihan. Jika dengan tekanan inisial 20-25
cmH2O tersebut belum tercapai peningkatan denyut jantung dan pergerakan
dinding dada, maka pemberian tekanan yang lebih besar dapat diberikan
sehingga menghasilkan ventilasi yang efektif. Pada bayi kurang bulan yang apne
pasca-lahir, bantuan ventilasi inisial dengan TPAE perlu diberikan jika fasilitas
tersedia.110

Pada bayi kurang bulan yang memerlukan bantuan ventilasi,


dengan bantuan alat, tekanan inisial yang dapat diberikan
adalah 20-25 cmH2O.

64
Level of evidence III, derajat rekomendasi C

2. Imaturitas sistem respirasi: penggunaan continuous


positive airway pressure

Pada bayi kurang bulan yang bernapas spontan tetapi mengalami gangguan
napas, dapat diberi bantuan dengan CPAP atau intubasi dan ventilasi mekanis.58
Pada BBLR yang memerlukan, intubasi dan surfaktan diberikan sebagai upaya
untuk membantu pematangan sistem respirasi. Continuous positive airway
pressure dini dianjurkan pada bayi <32 minggu, dapat menurunkan mortalitas
dan kejadian gagal napas pada BBLR.111
Tiga uji klinis acak terkontrol melibatkan 2358 bayi lahir prematur (usia
kehamilan <30 minggu) menunjukkan penggunaan CPAP segera pada bayi baru
lahir lebih bermanfaat dibandingkan dengan intubasi dan PPV. Penggunaan CPAP
dini berdampak pada menurunnya tindakan intubasi di ruang bersalin,
menurunnya durasi pemakaian ventilasi mekanik, mengurangi kematian atau
displasia bronkopulmoner. Penggunaan CPAP dini tidak berhubungan bermakna
dengan peningkatan kejadian air leak syndrome atau perdarahan
intraventrikel yang berat. Berdasarkan bukti tersebut, bayi prematur yang
bernapas spontan dengan sesak napas dapat dibantu dengan penggunaan CPAP
dini.21,112,113

Selama resusitasi neonatus, intubasi endotrakeal dilakukan jika terdapat


indikasi diantaranya ketika bag-mask tidak efektif atau digunakan
berkepanjangan, terdapat penekanan pada rongga dada, atau terdapat kondisi
khusus seperti hernia diafragma kongenital. Saat PPV dilakukan dengan intubasi
endotrakea, indikator terbaik dalam mengetahui keberhasilan inflasi dan aerasi
paru-paru adalah dengan meningkatnya denyut jantung. Namun, studi pada
tahun 2010 membahas bahwa deteksi pengeluaran CO2 tetap membutuhkan
konfirmasi penempatan ETT dengan metode yang reliabel. Kegagalan dalam
mendeteksi pengeluaran CO2 pada neonatus dengan cardiac output yang
adekuat menunjukkan secara kuat bahwa intubasi yang dilakukan adalah intubasi
esofageal.
Sedikitnya atau ketiadaan dari aliran darah ke paru-paru (misalnya selama
henti jantung) dapat mengakibatkan kegagalan dalam mendeteksi pengeluaran
CO2 meskipun penempatan ETT dilakukan dengan benar di trakea dan dapat
mengakibatkan ekstubasi dan reintubasi yang tidak perlu pada bayi baru lahir
dengan kondisi kritis. Penilaian klinis seperti pergerakan dada, suara napas yang
simetris dan kondensasi pada ETT adalah indikator tambahan bawa ETT
ditempatkan dengan benar.18,21,112,113

65
Studi lain merekomendasikan intubasi dini untuk pemberian surfaktan
profilaksis pada BBLSR segera di kamar bersalin. Finer et al 113 (2010)
merekomendasikan CPAP dini (sejak di kamar bersalin) sebagai alternatif dari
intubasi dini dan surfaktan profilaksis dalam satu jam pasca-lahir, pada bayi
BBLASR dengan usia gestasi 24-28 minggu.

Pada BBLSR yang bernapas spontan dan teratur saat lahir,


bantuan pernapasan diberikan CPAP dengan PEEP 7 cmH2O.
Jika bayi masih retraksi, tekanan CPAP dapat ditingkatkan
menjadi maksimal 8 cmH2O.
Pertimbangkan pemberian surfaktan jika masih didapati sesak
napas walaupun sudah mendapat CPAP 8 cmH2O.
Pemberian surfaktan dapat diberikan dengan metode INSURE
(intubate-surfactant-extubate) atau metode MIST (minimally
invasive surfactant therapy).
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

3. Terapi Surfaktan

Saat ini pemberian surfaktan berperan penting dalam manajemen bayi dengan
Respiratory Distress Syndrome. Sejak tahun 2013 dengan membaiknya
penggunaan steroid prenatal, surfaktan profilaksis (pemberian surfaktan pada
bayi baru lahir <28 minggu sebelum mengalami sesak napas) sudah tidak
direkomendasikan. Pemberian CPAP dini menjadi pilihan pertama untuk
mencegah sesak napas bayi prematur. Jika terdapat tanda tanda gagal CPAP
(masih didapati sesak napas walaupun sudah menggunakan tekanan 8 cmH 2O
Fio2 >40%) maka terindikasi pemberian surfaktan (surfactant rescue).
Beberapa uji klinis membuktikan pemberian surfaktan ini dapat mencegah
penggunaan ventilator mekanik, displasia bronkopulmoner, dan memperpendek
lama rawat. Surfaktan sebaiknya diberikan sedini mungkin pada bayi yang
mengalami RDS dan gagal CPAP.114-116

Terdapat beberapa teknik pemberian surfaktan. INSURE


(intubate-surfactant-extubate to CPAP), adalah teknik pemberian
surfaktan melalui endotracheal tube yang diikuti dengan proses ekstubasi
segera dan pemberian CPAP. Ikatan Dokter Anak Indonesia sejak tahun 2014
merekomendasikan pemberian surfactant rescue melalui metode INSURE.114

66
a. Metode Pemberian Surfaktan

Pemberian surfaktan merupakan sebuah keahlian yang membutuhkan


pengalaman kerja tim secara klinis yang handal melakukan intubasi neonatus dan
ventilasi mekanik jika dibutuhkan. Hingga saat ini sebagian besar uji klinis
tentang surfaktan diberikan secara bolus melalui ETT dalam periode waktu
singkat dengan penggunaan ventilasi manual atau ventilasi mekanik untuk
mendistribusikan obat, baik yang diikuti oleh ventilasi mekanik atau ekstubasi
segera untuk beralih pada CPAP ketika telah didapatkan napas spontan (jika
menggunakan metode INSURE). Dalam pedoman tahun 2013, INSURE
direkomendasikan karena dapat mengurangi cedera paru.114,117 Namun dalam
studi sedasi untuk intubasi, INSURE dipertimbangkan sebagai pilihan (masih
diperdebatkan. Sejak saat itu telah dilakukan studi-studi untuk menentukan jika
pemberian surfaktan dilakukan tanpa intubasi endotrakeal, maka menghasilan
luaran yang lebih baik.114
Dua metode serupa yang tentang pemberian surfaktan melalui kateter
tanpa melakukan intubasi “tradisional” telah dipelajari. Metode
pertama dikembangkan di Jerman dan sekarang digunakan di beberapa negara
Eropa. Ujung kateter fleksibel diposisikan dalam trakea di bawah pita suara
menggunakan laringoskopi dan cunam Magil sementara itu bayi tetap dalam
CPAP.118 Metode ini dikenal sebagai LISA (less invasive surfactant
administration). Metode kedua dikembangkan di Australia, dengan
menggunakan kateter vaskular yang lebih kaku dan tipis. Ujung kateter dapat
diposisikan dalam trakea di bawah pita suara dengan laringoskopi indirek tanpa
forceps sementara bayi tetap dalam CPAP119, disebut sebagai MIST (minimally
invasive surfactant treatment).
Kedua metode tersebut bertujuan untuk mempertahankan napas
spontan pada CPAP, sementara surfaktan diberikan secara bertahap beberapa
menit dengan menggunakan syringe sehingga bayi terhindar dari ventilasi
tekanan positif. Kedua metode ini telah dibandingkan dengan pemberian
surfaktan metode INSURE. Studistudi ini melaporkan berkurangnya penggunaan
ventilasi mekanik dan kejadian BPD pada bayi yang menggunakan metode LISA
atau MIST. Uji klinis tanpa randomisasi dengan subjek bayi amat sangat
prematur (usia gestasi 23–27 minggu) menunjukkan tidak ada peningkatan
signifikan terhadap kesintasan (survival) tanpa BPD pada subjek yang diberikan
surfaktan dengan metode lisa LISA, meskipun bayi-bayi tersebut lebih sedikit
membutuhkan ventilator mekanik.120
Studi ini juga menunjukkan kejadian pneumothoraks dan perdarahan
intraventrikuler yang lebih rendah. Namun demikian, hampir 75% subyek yang
mendapat intervensi (LISA) akhirnya membutuhkan ventilasi mekanik dengan
kejadian desaturasi yang lebih berat.121 Meskipun perbandingan dengan INSURE
secara langsung melaporkan hasil tersebut dalam satu studi.122 Meta analisis
menunjukkan tidak ada perbedaan luaran yang signifikan antara kedua metode

67
ini.123 Penggunaan surfaktan yang paling tidak invasif adalah dengan cara
nebulisasi, namun hingga saat ini belum mencapai tahap rekomendasi untuk
penggunaan klinis
secara rutin.124

b. Sediaan Surfaktan

Sediaan surfaktan yang banyak tersedia saat ini dapat dilihat di tabel 5 Surfaktan
alami (surfaktan yang berasal dari hewan) sebelumnya disebut, lebih baik
dibandingkan dengan surfaktan sintetik lama (tidak mengandung protein, hanya
mengandung fosfolipid), dapat mengurangi kejadian air leaks syndrome dan
kematian.125

Tabel 5 Sediaan Surfaktan Alami


Nama Generik Nama Dagang Sumber Produsen Manufaktur Dosis (Volume)

Beractant Survanta® Bovine Ross Laboratories


(USA) 100 mg/kg/dosis

(4 ml/kg)

Bovactant Alveofact® Bovine Lyomark (Germany) 50 mg/kg/dose

(1.2 ml/kg)

Poractant alfa Curosurf® Porcine Chiesi Farmaceutici 100-200 mg/kg/dose


(Italy)
(1.25-2.5 ml/kg)

Surfaktan sintetis mengandung analog protein SP-B dan protein SP-C


yang saat ini masih dalam evaluasi uji klinis.126 Perbandingan penggunaan
berbagai surfaktan alami menunjukkan efektivitas yang berbeda-beda. Secara
umum, terdapat peningkatan angka kesintasan (survival) bayi yang
mendapatkan 200 mg/kg poractant alfa (surfaktan yang berasal dari paru babi)
dibandingkan dengan 100 mg/kg beractant (surfaktan yang berasal dari paru
sapi). Belum dapat dipastikan apakah hal ini disebabkan oleh karena perbedaan
dosis pemberian atau perbedaan jenis sediaan surfaktan. 127

c. Kapan Bayi Mendapat Terapi Surfaktan?

68
Bayi yang menunjukkan gejala RDS harus segera mendapatkan CPAP sedini
mungkin, apabila memungkinkan CPAP dipertahankan tanpa beralih pada
intubasi dan ventilasi mekanik. Jika RDS memburuk dan surfaktan dibutuhkan,
pemberian surfaktan dini memiliki luaran yang lebih baik dalam upaya
mengurangi air leaks syndrome.128 Dalam sebuah studi observasional,
Agertoft dkk menyimpulkan penggunaan CPAP dengan Fio2 >30% pada saat bayi
berusia 2 jam merupakan prediktor kegagalan CPAP pada saat bayi berusia 6 jam,
sehingga akan memberikan luaran yang lebih buruk.129

Sehingga IDAI merekomendasikan pemberian surfaktan dini (<2 jam sejak


bayi lahir) untuk mencegah mencegah intubasi dan penggunaan ventilator
mekanik. Pemberian dosis surfaktan ulangan memberikan luaran lebih baik
(penurunan kejadian air leaks syndrome). Namun kesimpulan ini diambil dari
berbagai uji klinis terandomisasi pada masa sebelum ventilasi non-invasif banyak
digunakan. Kesimpulan ini menjadi tidak tepat saat penggunaan ventilasi non-
invasif umum digunakan.130 Pemberian ulangan dengan surfaktan metode
INSURE juga telah berhasil dan tidak memberikan luaran yang lebih buruk.131

Bayi yang mengalami RDS dan gagal membaik pasca pemberian


CPAP (tekanan 8 cm H2O dan Fio2 >40%) dapat diberikan
surfaktan alami.
Surfaktan sebaiknya diberikan sedini mungkin (<2 jam) dan
tidak direkomendasikan pemberian surfaktan bila usia bayi
>12 jam.
Surfaktan boleh diberikan di kamar bersalin/NICU dengan
syarat terdapat monitor kardiorespirasi dan alat-alat bantuan
penyelamat hidup.
Metode pemberian surfaktan dapat berupa INSURE atau
LISA/MIST.
Pemberian surfaktan dosis ulangan dapat diberikan apabila ada
bukti perburukan RDS, seperti kebutuhan oksigen persisten
yang membutuhkan ventilasi mekanik.

Level of Evidence IV, Rekomendasi C

69
4. T-piece resuscitator sebagai pengganti CPAP dini di kamar
bersalin menurunkan angka kegagalan CPAP pada bayi kurang
bulan dengan gangguan napas
Ventilasi pada bayi baru lahir dapat diberikan dengan balon mengembang sendiri
maupun T-piece resuscitator. Tekanan inflasi atau TPAE yang dihasilkan T-
piece resuscitator lebih stabil daripada balon mengembang sendiri.54
Penelitian mengenai efektivitas Tpiece resuscitator menunjukkan hasil
bervariasi. Dibandingkan dengan balon mengembang sendiri, T-piece
resuscitator relatif aman, menghasilkan tekanan optimal dengan risiko
volutaruma dan barotrauma yang kecil, dan tekanan yang diberikan tidak
dipengaruhi keahlian operator. Fitur T-piece resuscitator dengan ukuran yang
relatif kecil, portabel, sederhana, dan mudah digunakan serta dapat berfungsi
seperti CPAP, membuat alat ini direkomendasikan oleh Rekomendasi IDAI
sebagai alat ventilasi di tempat bayi dilahirkan. Penggunaan rutin T-piece
resuscitator memiliki kendala yaitu harga yang cukup mahal dibandingkan
dengan balon mengembang sendiri.132-137
Penggunaan CPAP secara rutin di tempat bayi dilahirkan memiliki kendala
terkait biaya per unit dan ketidakpraktisannya. Balon mengembang sendiri
merupakan alat ventilasi yang lebih sering digunakan di kamar bersalin atau
kamar operasi, namun alat ini memiliki risiko volutrauma dan barotrauma yang
besar.73 T-piece resuscitator digunakan sebagai alat pengganti CPAP di tempat
bayi dilahirkan. Alat tersebut memberi ventilasi dengan tekanan yang relatif
stabil, kontinu, dan dapat berfungsi sebagai CPAP.97,108,133-
135,137-140

Studi mengenai efektivitas CPAP pada bayi kurang bulan dengan


gangguan napas menunjukkan hasil yang positif, namun belum banyak penelitian
yang menilai efektivitas T-piece resuscitator sebagai pengganti CPAP dini pada
bayi kurang bulan dengan gangguan napas. Prinsip kerja CPAP yang memberikan
tekanan terus-menerus secara kontinu dapat menimbulkan efek samping yang
serius, yaitu efek barotrauma atau volutrauma hingga pneumotoraks. Komplikasi
jangka panjang seperti BPD, ROP, dan IVH juga dapat terjadi. Mengingat angka
komplikasi yang tinggi, maka saat ini pengunaan T-piece resuscitator lebih
disarankan. Satu studi kohort prospektif mengevaluasi bayi kurang bulan dengan
gangguan napas yang mendapat ventilasi dengan T-piece resuscitator di
kamar bersalin dan dilanjutkan dengan CPAP, dibandingkan dengan bayi kurang
bulan dengan gangguan napas yang mendapatkan ventilasi dengan balon
resusitasi dan dilanjutkan dengan CPAP. Penggunaan T-piece resuscitator
menurunkan risiko kegagalan CPAP sebesar 90% (RR 0,1;IK95% 0,02-
0,5;P=0,003).137

70
Penggunaan T-piece resuscitator dibandingkan dengan
penggunaan balon resusitasi tanpa katup TPAE di kamar
bersalin, menurunkan risiko kegagalan CPAP.
Level of evidence III, derajat rekomendasi C

Pada bayi baru lahir, nasal prong merupakan salah satu pilihan jalur
pemberian bantuan pernapasan (Gambar 12). Pemberian VTP melalui nasal
prong menghasilkan luaran yang lebih baik dibandingkan dengan sungkup.134

Dalam pemberian bantuan ventilasi pada bayi baru lahir, nasal


prong merupakan cara yang lebih efektif dibandingkan dengan
sungkup muka.

Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

a b

Gambar 12a Single nasal prong. 12b CPAP dengan single nasal prong
5. Resusitasi di Fasilitas Terbatas (Helping Babies Breathe)
Helping Babies Breathe merupakan kurikulum resusitasi bayi baru lahir yang
disusun oleh American Academy of Pediatrics, US Agency for
International Development (USAID), The Eunice Kennedy Shriver
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD),
dan Saving Newborn Lives/Save the Children, yang didukung oleh WHO
(Gambar 13). Kurikulum ini dapat diterapkan pada fasilitas yang terbatas.
Kurikulum Helping Babies Breathe menekankan pentingnya keterampilan
tenaga kesehatan yang membantu kelahiran dalam menilai kondisi klinis,
mempertahankan suhu tubuh, menstimulasi pernapasan, dan memberikan
ventilasi bantuan bayi jika diperlukan.141

71
Alur resusitasi bayi baru lahir menurut Helping Babies Breathe
dimulai dengan menilai kondisi bayi. Jika terdapat mekonium saat bayi lahir,
segera bersihkan jalan napas dan keringkan bayi. Kemudian petugas
mengevaluasi kondisi bayi menangis atau tidak.79
a. Apabila bayi menangis spontan, jaga agar bayi tetap hangat, periksa
pernapasan, dan potong tali pusat. Biarkan bayi di atas badan ibu.
b. Apabila bayi tidak menangis, bersihkan jalan napas dan beri stimulasi. Periksa
ulang pernapasan, bila bayi bernapas dengan baik, jaga agar bayi tetap
hangat dan potong tali pusat. Bila bayi belum bernapas dengan baik, potong
tali pusat dan berikan bantuan ventilasi. Kemudian jika bayi bernapas, bayi
dapat dibiarkan bersama ibunya dengan pengawasan. Jika bayi masih belum
bernapas, panggil bantuan, beri dan perbaiki bantuan ventilasi, lalu periksa
detak jantung. Apabila detak jantung lambat, lanjutkan ventilasi dan rawat
bayi di perawatan lanjutan (advanced care).

72
Gambar
13 Rencana pelaksanaan Helping Baby Breathe141

3.2. STABILISASI PASCA-RESUSITASI


Pencatatan perkembangan keadaan bayi maupun tindakan medis adalah
penting. Dokumentasi ditulis dalam satu format formulir pemantauan yang
mudah diisi, jelas, dan singkat.135 Pascaresusitasi di kamar bersalin, bayi yang

73
bermasalah harus distabilisasi untuk selanjutnya dirujuk ke perawatan yang lebih
memadai. Upaya stabilisasi dilakukan sebelum bayi dirujuk. Bayi harus dirujuk
dalam keadaan stabil dan kondisi tersebut dapat dicapai dengan menerapkan
program STABLE.38

1. PROGRAM STABLE: MEMBUAT KONDISI BAYI “WARM, PINK,


AND SWEET”
Program STABLE adalah panduan yang dibuat untuk tata laksana bayi baru lahir
yang sakit, mulai dari pasca-resusitasi/pratransportasi. Program ini berisi standar
tahap-tahap stabilisasi pasca-resusitasi untuk memperbaiki kestabilan,
keamanan, dan luaran bayi. STABLE tersebut merupakan singkatan dari:38 S:
SUGAR and SAFE care (kadar gula darah dan keselamatan bayi)
T: TEMPERATURE (suhu)
A: AIRWAY (jalan napas)
B: BLOOD PRESSURE (tekanan darah)
L: LAB WORK (pemeriksaan laboratorium) E:
EMOTIONAL SUPPORT (dukungan emosional)
Catatan:
Di dalam proses stabilisasi, penting mengutamakan stabilisasi pernafasan, di
samping stabilisasi suhu. Aspek stabilisasi yang lain, dilakukan kemudian.

a. SUGAR
Inisiasi terapi cairan IV pada bayi yang berisiko hipoglikemia.
Pemberian cairan dan nutrisi untuk bayi sakit dilakukan secara parenteral.
Koordinasi menghisap, menelan, dan bernapas terganggu ketika bayi bernapas
cepat, sehingga pemberian secara enteral (PO maupun melalui pipa nasogastrik)
dihindari karena risiko aspirasi yang tinggi. Bayi yang sakit terutama bayi dengan
infeksi juga dapat mempunyai waktu pengosongan lambung yang lambat karena
adanya ileus intestinal. Pada bayi dengan riwayat kadar oksigen darah yang
rendah atau tekanan darah yang rendah selama ataupun pasca-lahir, aliran
darah ke usus halus berkurang, sehingga meningkatkan risiko iskemia. 38
Bayi baru lahir paska resusitasi tidak direkomendasikan mendapat asupan nutrisi
enteral. Bayi dengan paska resusitasi akibat hipoksia yang dialaminya memiliki
risiko cedera hipoksik iskemik. Oleh sebab itu pemberian glukosa IV harus segera
diberikan setelah resusitasi selesai, untuk menghindari hipoglikemia. 136,142
Tempat pemasangan akses IV yang paling baik adalah umbilikal dan ekstremitas.

74
Akses vena umbilikal masih dapat digunakan hingga usia satu minggu dan hingga
dua minggu pada kasus khusus.38

Glukosa IV diberikan segera setelah resusitasi untuk


menghindari hipoglikemia.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Bayi yang berisiko tinggi mengalami hipoglikemia adalah bayi kurang


bulan (usia gestasi <37 minggu), kecil masa kehamilan (KMK), besar masa
kehamilan (BMK), bayi dari ibu DM, bayi sakit, dan bayi dari ibu yang
mengonsumsi obat-obat tertentu (betasimpatomimetik, penghambat beta,
klorpropamid, benzotiazid, dan anti-depresan trisiklik) selama kehamilan. Janin
memperoleh glukosa dan asam amino transplasenta. Setelah pemotongan tali
pusat dilakukan, maka secara fisiologis enzim mengaktivasi konversi glikogen
menjadi glukosa untuk selanjutnya didistribusikan melalui aliran darah. Ada tiga
faktor yang dapat menimbulkan gangguan terhadap kemampuan bayi
mempertahankan kadar glukosa darah yang normal setelah kelahiran, yaitu
simpanan glikogen yang tidak adekuat, hiperinsulinemia, dan utilisasi glukosa
yang meningkat.38,142
Baku emas kadar glukosa adalah glukosa darah vena, namun pemeriksaan
tersebut memerlukan sejumlah sampel darah dan lebih sulit sehingga
membutuhkan waktu yang lama. Maka pemeriksaan yang lazim dikerjakan
adalah skrining gula darah melalui darah kapiler. Alat skrining yang dianjurkan
adalah alat dengan tingkat kesalahan 15% dari nilai glukosa darah vena. 38
Hasil skrining yang menunjukkan hasil LOW dapat saja tidak akurat dan
menyebabkan over ataupun undertreatment. Jika hasil skrining LOW, petugas
sebaiknya mengonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah vena, sementara
itu terapi hipoglikemia tetap dikerjakan.38
Gejala klinis hipoglikemia seringnya asimtomatis. Gejala hipoglikemia
adalah tidak spesifik jitteriness, rewel/gelisah, hipotonia, letargi, tangis yang
high-pitch atau tangis lemah, hipotermia, gangguan menghisap, takipne,
sianosis, apne, dan kejang).38 Sehingga panapisan gula darah dilakukan pada
semua bayi dengan memiliki risiko hipoglikemia. Penting bagi praktisi untuk
mengenali risiko hipoglikemia pada bayi baru lahir.
World Health Organization merekomendasikan
terapi hipoglikemia dimulai jika kadar gula darah neonatus <47 mg/dl (2,6
mmol/L). Pada bayi berisiko hipoglikemi, pemeriksaan kadar gula darah dilakukan
segera setelah lahir dan selanjutnya dilakukan secara berkala.

75
Kadar glukosa terendah yang bisa diterima berdasar algoritma AAP adalah
25 mg/dL sesudah pemberian minum pertamakali, rentang yang ditatalaksana
lebih lanjut adalah kadar glukosa 25-40 mg/dL selama 4 jam pertama kehidupan
atau masa transisi pasca lahir. Umur 4-24 jam kadar terendah adalah 35 mg/dL,
tatalaksana lanjut pada kadar glukosa 35-45 mg/dL. 143
Perbedaan hasil pemeriksaan dapat terjadi pada bayi baru lahir karena
bergantung pada waktu pemeriksaan. Bayi usia 0 - <4 jam kadar gula darah
harus ≥40 mg/dl, usia ≥4 - 24 jam kadar gula darah harus ≥45 mg/dl,
dan usia ≥24 jam kadar gula darah harus ≥50 mg/dL. Karena adanya
proses hipoglikemia fisiologis pada bayi baru lahir, maka setelah pemeriksaan
kadar gula darah pasca-lahir, pemeriksaan kadar gula darah ulangan disarankan
pada 2-4 jam setelah pemeriksaan kadar gula pertama. 144,145
Skrining dan manajemen homeostasis glukosa pasca lahir pada bayi late
preterm dan bayi cukup bulan kecil masa kehamilan, bayi lahir dari ibu
diabetes/besar masa kehamilan sebagai berikut, bila bayi pasca lahir simtomatik
dan kadar gula < 40mg/dL diberikan infus glukosa. Simtom hipoglikemia
termasuk iritabilitas, tremor, jitteriness, refleks Moro yang berlebihan, tangis
melengking, kejang, letargi, kelemahan anggota gerak, sianosis, apnea, malas
minum. Bayi pasca lahir asimtomatik, bila umur 0-4 jam dimulai minum peroral
dalam 1 jam pertama, kemudian 30 menit sesudahnya dilakukan pemeriksaan
kadar gula darah. Bila hasil < 25 mg/dL diberikan minum dan kemudian 1 jam
sesudahnya dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. Bila hasil < 25 mg/dL
diberikan infus glukosa 200mg/kg (dektrosa 10% 2ml/kg) dan atau infus dengan
kecepatan 5-8 mg/kg/menit (80-100 ml/kg/hari). Kadar glukosa plasma yang
diharapkan 40-50 mg/dL. Bila kadar gula 25-40 mg/dL diberikan minum atau
infus glukosa seperti tersebut di atas sesuai kebutuhan. Pada umur 4 sampai 24
jam lanjutkan minum tiap 2-3 jam, dilakukan skrining pemeriksaan glukosa pada
tiap kali sebelum diberikan minum, bila hasilnya < 35 mg/dL maka diberikan
minum dan cek glukosa dalam waktu 1 jam. Bila kadar gula < 35 mg/dL maka
diberikan infus glukosa, bila kadar gula 35-45 mg/dL diberikan minum atau infus
glukosa sesuai kebutuhan seperti tersebut di atas.143

Terapi hipoglikemia dilakukan jika kadar gula darah neonatus


<47 mg/dL.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Pada BBLR, pemeriksaan kadar gula darah dilakukan segera


setelah lahir dan diulang 2-4 jam kemudian.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

76
Tatalaksana hipoglikemi

77
Pemberian cairan parenteral inisial menggunakan dektrosa 10% (D 10W) dengan
target glucose infusion rate (GIR) 4 – 6 mg/kgBB/menit. Pemberian cairan
D10W 80 mL/kgBB/hari menghasilkan GIR 5,5 mg/kgBB/menit. Bila ada riwayat
syok dan normoglikemia, maka pemberian cairan dibatasi menjadi 60
mL/kgBB/hari menggunakan D10W (GIR 4,2 mg/kgBB/menit), D12,5W (GIR 5,2
mg/kgBB/menit), atau D15W (GIR 6,2 mg/kgBB/menit). Akses vena sentral
diperlukan untuk pemberian cairan dekstrosa >12,5% atau dekstrosa 12,5% yang

78
diberi zat/komponen tambahan. Perhitungan GIR dilakukan dengan persamaan
berikut:38,146

GIR (mg/kg/menit) = kecepatan cairan (mL/jam) x konsentrasi dekstrosa (%) 6


x BB (kg)

GIR 4-7 mg/kg/menit bisa digunakan pada sebagian besar bayi cukup
bulan dan near term. GIR 6-8 mg/kg/menit diperlukan lebih sering pada bayi
IUGR.147
Pada masa stabilisasi bayi dapat menerima nutrisi enteral hanya bila bayi
tersebut asimtomatik dan berisiko hipoglikemia, namun diikuti pemantauan
ketat. Pada bayi dengan kadar gula darah 25-< 45 mg/dl terapi bolus Dextrosa
dianjurkan pada bayi dengan simtomatik hipoglikemi. Pada pasien yang
mengalami hipoglikemia(<25 mg/dL) diberikan cairan bolus D 10W 2 mL/kgBB
dengan kecepatan 1 mL/menit. Pemeriksaan kadar gula darah diulangi tiap 15-30
menit berikutnya setelah pemberian bolus atau peningkatan jumlah cairan
parenteral. Bila kadar gula darah masih
≤45 mg/dL, ulangi pemberian bolus D10W 2 mL/kgBB. Jika kadar gula darah
masih belum stabil setelah dua kali bolus, maka ulangi bolus dan naikkan cairan
dekstrosa 10% menjadi 100-120 mL/kgBB/hari atau naikkan konsentrasi
dekstrosa bila peningkatan volume cairan dihindari karena kondisi tertentu pada
bayi.38,148
Pemeriksaan gula darah evaluasi dilakukan tiap 30-60 menit sampai
kadarnya stabil pada dua pemeriksaan berturut-turut. Sesudahnya frekuensi
pemeriksaan ulangan ditentukan oleh tenaga kesehatan, berdasarkan penilaian
perkembangan klinis.38 Kotak 1 menunjukkan pendekatan umum inisiasi cairan
dan pemberian glukosa pada BBLR sakit.

79
Pendekatan umum inisiasi cairan dan pemberian glukosa
pada BBLR sakit

1. Bayi tidak diberikan apapun secara enteral.


2. Mulai pemberian cairan dengan dekstrosa 10% tanpa elektrolit,
sebanyak 80 mL/kgBB/hari melalui vena perifer atau vena umbilikus.
Pada bayi usia >24 jam, elektrolit dapat ditambahkan ke dalam
larutan IV.
3. Pantau gula darah secara berkala dan pertahankan kadar gula darah
45-110 mg/dL (2,8-6 mmol/L).
4. Apabila Apabila glukosa <45 m/dL (2,6 mmol/L), berikan bolus
dekstrosa 10% 2 mL/kg disamping infus dekstrosa 10% 80 mL/kg/hari.
Hitung asupan GIR. Pertahankan GIR berkisar 4-6 mg/kg/menit dan
dinaikkan bertahap 2 mg/kg/menit ampai maksimal 12 mg/kg menit
bila ulangan pemeriksaan gula darah tetap rendah.
5. Periksa kadar gula darah dalam 15-30 menit:
a. pada setiap bolus glukosa
b. setelah memulai pemberian cairan IV

80
c. pada BBLR yang pernah mempunyai kadar gula darah yang rendah
6. Lakukan penilaian klinis berdasarkan kondisi BBLR dan faktor risiko
hipoglikemia, untuk menentukan kekerapan pemeriksaan gula darah
yang perlu dilakukan setelah kadar gula darah stabil.
7. Konsentrasi glukosa tertinggi yang diberikan melalui vena perifer
adalah dekstrosa 12,5%. Apabila konsentrasi glukosa yang lebih tinggi
diperlukan atau jika zat tambahan ditambahkan ke dalam dekstrosa
12,5% (misalnya untuk memberikan nutrisi parenteral total), maka
sebaiknya pemberian cairan melalui vena sentral.
8. Pemberian dekstrosa melalui vena sentral sebaiknya tidak lebih dari
25% pada hipoglikemia dengan maksimal GIR 15-30. Apabila bayi tetap
mengalami hipoglikemia, harus diberikan obat seperti glukagon,
diazoksid, glukokortikoid, octreotide dan konsultasikan kepada ahli
neonatologi atau endokrinologi anak.149
9. Jika kadar glukosa darah >150 mg/dL (8,3 mmol/L) dan tidak
mengalami penurunan pada ulangan berikutnya setelah bayi stabil ini
dapat terjadi akibat intoleransi glukosa atau sebagai respons stres.
Kadar gula darah >250 mg/dL yang tidak membaik memerlukan
pemberian insulin, konsultasikan kepada ahli neonatologi atau
endokrinologi jika tidak membaik.

Kotak 1. Pendekatan umum inisiasi cairan dan pemberian glukosa pada BBLR sakit .38,148

b. TEMPERATURE
Hal-hal yang menyebabkan bayi kehilangan panas, cara
menurunkan kehilangan panas, akibat hipotermia, serta
metode rewarming bayi hipotermia

81
Hipotermia adalah kondisi yang dapat dicegah dan dapat memengaruhi
morbiditas dan mortalitas bayi baru lahir, terutama bayi kurang bulan. Bayi baru
lahir yang berisiko tinggi mengalami hipotermia adalah bayi yang kurang bulan
dan BBLR terutama BBLSR, KMK, mengalami resusitasi berkepanjangan terutama
yang mengalami hipoksia, mengalami sakit akut (penyakit infeksi, kardiak,
neurologik, endokrin, dan yang memerlukan pembedahan terutama dengan
defek dinding tubuh), serta bayi yang kurang aktif dan hipotonia akibat obat
sedatif, analgesik, paralitik, atau anestetik (Kotak 2).38
Suhu normal bayi baru lahir adalah 36,5-37,5˚C di aksila. Hipotermia
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok suhu, yaitu ringan (36-36,4˚C), sedang
(32-35,9˚C), dan berat (<32˚C). Tata laksana suhu bertujuan
mempertahankan suhu pada 37°C. Pemeriksaan suhu dilakukan tiap 15-30 menit
sampai suhu berada pada kisaran normal, kemudian sekurang-kurangnya tiap
jam sampai bayi dirujuk. Jika temperatur bayi cenderung sudah berada pada
kisaran normal, maka pemeriksaan dapat dijarangkan. 38
Suhu lingkungan yang tidak mendukung untuk menjaga suhu badan bayi
dapat menyebabkan kehilangan panas tubuh secara konduksi dan konveksi. Suhu
ruang bersalin maupun ruang perawatan bayi harus diatur pada suhu
≥26˚C.72,150 Suhu ruang bersalin <26˚C berhubungan dengan suhu
BBLR (usia gestasi <28 minggu) yang lebih rendah ketika dimasukkan ke
NICU.151

Suhu kamar bersalin pada BBLR usia gestasi <28 minggu


sekurang-kurangnya 26˚C.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Pada keadaan hipotermia terjadi peningkatan konsumsi oksigen dan


penurunan tingkat kesadaran, frekuensi napas, denyut jantung, dan tekanan
darah. Bayi kurang bulan memiliki risiko hipotermia yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bayi cukup bulan karena simpanan lemak coklat (brown
fat) sedikit, lemak insulator (insulating fat) tidak ada, kemampuan
vasokonstriksi rendah, tonus otot dan kemampuan fleksi lemah, serta simpanan
glikogen terbatas sehingga berisiko tinggi hipoglikemia. Faktor-faktor tersebut
mengakibatkan hipoksia dan hipoglikemia pada bayi kurang bulan yang
hipotermia.38
Kehilangan panas tubuh dapat terjadi melalui mekanisme konduksi,
konveksi, evaporasi, dan radiasi. Proses ini dipercepat oleh permukaan kulit yang
basah, suhu ruangan yang dingin, dan pergerakan udara melalui bayi meningkat.
Tindakan pencegahan hipotermia yang dapat dilakukan meliputi:38

82
1) Kehilangan panas secara konduksi
• Baringkan bayi di tempat yang permukaannya telah dihangatkan.
• Hangatkan terlebih dahulu obyek yang akan kontak dengan bayi:
tempat tidur, tangan, stetoskop, permukaan film Röntgen, dan
selimut.
• Kenakan topi.
• Alasi timbangan dengan selimut hangat dan jangan lupa buat skala
kembali nol sebelum menimbang bayi.
• Jangan lakukan pemanasan perlengkapan memasukkan ke dalam
microwave ataupun meletakkannya di atas lampu radiant
warmer, gunakan selimut hangat.
• Gunakan matras chemical thermal di bawah bayi dan tutupi bayi
dengan kain atau selimut tipis.
• Hindarkan kontak dengan alat-alat yang berisiko menimbulkan luka
bakar maupun hipertermia: botol air panas, sarung tangan panas, dan
selimut yang dihangatkan dengan microwave.
2) Kehilangan panas secara konveksi
• Naikkan suhu ruangan menjadi 25-28˚C.152
• Tutupi BBLSR dengan plastik polietilen dari leher sampai kaki.
• Rujuk bayi sakit dan atau kurang bulan dari kamar bersalin ke ruang
perawatan dengan inkubator tertutup dan telah dihangatkan
sebelumnya. Jika hal ini tidak mungkin, maka bayi dibungkus dengan
plastik (tanpa menghalangi jalan napas) sebelum dirujuk melalui
jalan/lorong penghubung yang dingin.
• Hangatkan inkubator terlebih dahulu sebelum meletakkan bayi di
dalamnya.
• Gunakan oksigen yang telah dihangatkan dan
dilembabkan.
• Pastikan heating unit pada radiant warmer tidak tertutupi oleh
petugas yang sedang bekerja.
3) Kehilangan panas secara evaporasi

83
• Segera keringkan bayi setelah kelahiran, atau lap dengan selimut atau
handuk yang telah dihangatkan dan segera singkirkan semua kain
yang basah.
• Setelah mengeringkan kepala bayi, kenakan topi.
• Tutupi BBLSR segera setelah kelahiran dengan plastik polietilen dari
leher sampai kaki.
• Naikkan suhu ruangan menjadi 25-28˚C.153
• Minimalkan atau hindarkan bayi dari aliran udara di sekelilingnya.
• Hangatkan dan lembabkan oksigen segera.
• Hangatkan cairan atau krim yang akan berkontak dengan kulit bayi,
misalnya hangatkan cairan antiseptik terlebih dahulu, tetapi jangan
over-heated yang dapat menimbulkan luka bakar.
4) Kehilangan panas secara radiasi
• Jauhkan bayi dari kaca atau dinding yang dingin.
• Pasang penghalang hantaran suhu pada jendela.
• Tutupi inkubator dan menjauhkannya dari kaca atau dinding yang
dingin.
• Gunakan inkubator berdinding ganda untuk menyediakan permukaan
yang lebih hangat di dekat bayi.

Suhu ruang perawatan BBLR adalah 25-28˚C.


Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Kotak 2 menunjukkan secara garis besar tata laksana temperatur pada


BBLR untuk menciptakan kondisi “warm”.38

84
Tata laksana suhu BBLR

1. Waspada dengan hipotermia.


2. Bayi yang paling rentan mengalami hipotermia:
a. kurang bulan dan KMK
b. mengalami resusitasi yang berkepanjangan
c. sedang sakit akut
d. mengalami defek kulit terbuka (pada perut dan tulang belakang)
3. Ingat dasar-dasar penting:
▪ gunakan oksigen yang hangat dan lembab
▪ hangatkan peralatan yang akan digunakan sebelum bersentuhan
dengan bayi
▪ gunakan radiant warmer on servo-control (bukan manual)
4. Lakukan rewarming pada bayi yang mengalami hipotermia dengan
hati-hati dan persiapkan untuk keperluan resusitasi pada saat atau setelah
rewarming.

Kotak 2. Tata laksana suhu BBLR.38

Bayi juga perlu dihindarkan dari terkena panas terlalu banyak (heat
gain). Over-heated dapat terjadi dengan paparan bayi terhadap sinar matahari
langsung, penghangat tempat tidur bayi berada dalam mode manual control
sementara tidak ada pengukur suhu yang melekat pada tubuh bayi, serta
penggunaan lampu pemanas yang tidak berhati-hati. Penghangat tempat tidur
bayi sebaiknya diatur dalam servo-control.38
Tenaga kesehatan harus melakukan rewarming pada bayi yang hipotermia.
Rewarming disarankan untuk dilakukan bertahap, sekitar 0,5⁰C per jam.
Rewarming yang dilakukan dengan cepat bisa memicu kejang pada neonatus.
Untuk melakukan rewarming, inkubator atau radiant warmer dapat
digunakan. Inkubator memungkinkan tenaga kesehatan untuk dapat mengontrol
proses rewarming lebih baik dibandingkan dengan radiant warmer. Saat
proses rewarming, pemantauan ketat meliputi suhu aksilar denyut dan irama
jantung (waspadai aritmia), tekanan darah (waspadai hipotensi akibat
vasodilatasi yang tiba-tiba), frekuensi dan usaha napas, saturasi oksigen, tingkat
kesadaran, status asam/basa, dan kadar gula darah. Rewarming dapat
dilakukan menggunakan:

85
1) Inkubator
Kelebihan menggunakan inkubator adalah kemudahan dalam mengontrol
kecepatan rewarming (Gambar 14). Inkubator diatur dalam mode air
temperature yang diatur 1-
1,5˚C di atas suhu bayi, lalu naikkan suhu inkubator secara perlahan
sesuai toleransi bayi. Tenaga kesehatan harus tetap melakukan
pemantauan ketat selama proses rewarming. Saat suhu bayi telah
mencapai set point inkubator dan tidak ada tanda perburukan klinis
pada bayi, suhu inkubator dapat dinaikkan 1-1,5˚C di atas suhu aksila
sampai suhu bayi mencapai normal. Tanda-tanda perburukan klinis yang
dapat terjadi saat proses rewarming meliputi takikardia, aritmia,
hipotensi, hipoksemia, perburukan gangguan napas, dan perburukan
status asidosis.38 Inkubator unggul dalam mengurangi risiko insensible
water loss (IWL) maupun kehilangan panas secara konveksi, oleh sebab
itu inkubator cenderung dipilih untuk bayi kurang bulan. Tetapi inkubator
dapat menyulitkan ketika tenaga kesehatan hendak melakukan
prosedur/tindakan medis.136

2) Radiant warmer
Radiant warmer yang digunakan untuk rewarming harus diatur
dalam mode servo-control dengan suhu 36,5˚C (Gambar 15). Bayi
dibaringkan telentang dan servo-temperature probe diposisikan di
atas hati. Tenaga kesehatan harus memantau ketat hal-hal yang
disebutkan di atas beserta tanda-tanda perburukan klinis. Kecepatan
rewarming tidak dapat diatur pada radiant warmer, maka
rewarming menggunakan radiant warmer memiliki risiko vasodilatasi
jika output panas terlalu tinggi. Untuk mengantisipasi terjadinya
hipotensi, tenaga kesehatan sebaiknya mempersiapkan tambahan cairan
dan obat inotropik.38 Radiant warmer unggul dibandingkan inkubator
dalam kemudahan tenaga kesehatan untuk memantau serta melakukan
prosedur/tindakan pada bayi. Kekurangan radiant warmer yaitu
meningkatkan IWL dan tidak melindungi bayi dari kehilangan panas
secara konveksi dan evaporasi. Adanya risiko peningkatan IWL ini
menyebabkan penyesuaian dengan perhitungan kebutuhan cairan perlu
dilakukan sesuai dengan kondisi tiap bayi.136

Penggunaan radiant warmer meningkatkan insensible water


loss (IWL) sehingga perhitungan kebutuhan cairan perlu
disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap bayi.
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

86
Jika bayi diletakkan di radiant warmer, skin probe perlu
dipasang pada bayi untuk melindunginya dari over-heating. Dengan
demikian warmer dapat berfungsi seperti termostat dan
mempertahankan suhu bayi 36,5-37,5°C. Bayi harus dalam keadaan
telanjang di dalam warmer, dan tindakan menutupi bayi justru akan
mencegah panas sampai ke bayi. Pencatatan temperatur bayi harus
dilakukan selama bayi berada dalam radiant warmer maupun
inkubator.154

Gambar 14 Inkubator Gambar 15 Radiant warmer

3) Perawatan metode kanguru (PMK) atau Kangoroo mother care (KMC)


Perawatan metode kanguru adalah alternatif yang efektif untuk
mencegah hipotermia pada BBLR di sarana dengan fasilitas terbatas. 155
Perawatan metode kanguru dilakukan pada berat lahir ≤1800 g,
tidak ada kegawatan napas dan sirkulasi, tidak ada kelainan
kongenital yang berat, dan mampu bernapas sendiri. Apabila BBLR
tersebut masih memerlukan pemantauan kardiopulmonal, oksimetri,
pemberian terapi oksigen, atau pemberian VTP atau CPAP, infus IV, dan
pemantauan lain, maka hal-hal tersebut tidak mencegah pelaksanaan
PMK (Gambar 16).

Metode perawatan metode kanguru (PMK) efektif untuk


mencegah hipotermia pada BBLR di sarana dengan fasilitas
terbatas.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

87
88
Gambar 16 Tahap-tahap perawatan bayi kangguru

Selain menggunakan inkubator, radiant warmer, dan PMK, teknik lain


untuk mengatasi hipotermia adalah menggunakan cling wrap. Cling wrap
adalah polythene film yang umumnya digunakan sehari-hari untuk
membungkus makanan (Gambar 17a dan
17b).156

89
a
b

Gambar 17a Cling wrap.157 17b Bayi dibungkus plastik untuk mencegah
hipotermia.157

Pemakaian plastik transparan pada bayi baru lahir <1500 g dan/atau usia
gestasi <28 minggu dari leher sampai kaki, tanpa terlebih dahulu mengeringkan
bayi, dapat mempertahankan suhu bayi baru lahir sehingga menurunkan
kejadian hipotermia.158
Setelah dibungkus dengan plastik transparan, bayi baru lahir diletakkan di
radiant warmer, selanjutnya resusitasi dan stabilisasi dapat dimulai sesuai
dengan pedoman standar. Pada bayi baru lahir usia gestasi <28 minggu,
kombinasi pengaturan suhu kamar bersalin sekurang-kurangnya 26°C dan
penggunaan plastik polythene merupakan metoda yang paling efektif untuk
mempertahankan temperatur.151,159

Membungkus bayi dengan berat lahir <1500 g dan/atau usia


gestasi <28 minggu menggunakan plastik transparan setinggi
leher sampai kaki, tanpa mengeringkan bayi terlebih dahulu,
mengurangi kejadian hipotermia.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Pada bayi baru lahir usia gestasi <28 minggu, kombinasi


setting suhu kamar bersalin sekurang-kurangnya 26°C dan
penggunaan plastik polythene merupakan metoda yang paling
efektif untuk mempertahankan temperatur.
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

90
1) Terapi hipotermia: penggunaan aliran oksigen yang
dihangatkan dan dilembabkan (heated and humidified air)
xii,xiii,xiv

Salah satu masalah yang sering dijumpai pada BBLR adalah hipotermia akibat
kehilangan panas tubuh melalui penguapan. Luasnya permukaan kulit BBLR
disertai rendahnya temperatur di ruang bersalin akan meningkatkan risiko
terjadinya hipotermia.160162 Panduan resusitasi neonatal internasional
menganjurkan berbagai teknik untuk mengatasi hipotermia, salah satunya
adalah membungkus bayi dengan plastik yang ditutup sampai leher untuk
mengurangi kehilangan panas tubuh97 disertai penggunaan matras yang telah
dihangatkan dan penyesuaian temperatur ruang bersalin.140,151
Te Pas et al161 (2010) melaporkan bahwa penggunaan udara yang telah
dihangatkan dan dilembabkan (heated and humidified air) mengurangi
kejadian hipotermia pada BBLR. Alat yang digunakan adalah MR850 heated
humidifier dan heated circuit (900RD110 humidified resuscitation
circuit). Udara dilembabkan dengan mengisi 20 mL air pada humidifier, volume
udara diatur sebesar 8 L/menit dan udara dihangatkan pada suhu
37˚C.

c. AIRWAY dan breathing


Airway adalah melakukan evaluasi bebasnya jalan napas untuk identifikan
adanya gangguan napas. Breathing upaya memberikan bantuan bernapas
dengan memberikan tunjangan terapi oksigen.

Penggunaan aliran oksigen yang telah dihangatkan dan


dilembabkan (heated and humidified air) mengurangi kejadian
hipotermia pada BBLR.
Level of evidence III, derajat rekomendasi C

1) Evaluasi gangguan napas


Kegagalan respiratorik dapat terjadi dengan cepat, sehingga penanganan
penanganan jalan napas atau airway yang cepat dan tepat merupakan salah
satu modalitas utama untuk meningkatkan kesintasan neonatus. Neonatus
dengan RDS merupakan kasus gangguan napas yang paling banyak memerlukan
perawatan intensif. Neonatus dengan masalah respiratorik ini membutuhkan
evaluasi setiap beberapa menit dan jika sudah stabil, maka evaluasi dapat
dilakukan setiap 1-3 jam sekali.38

91
Penilaian RDS dapat dilakukan dengan melihat derajat RDS itu sendiri,
menilai frekuensi napas, usaha bernapas, kebutuhan oksigen, saturasi oksigen,
foto dada, dan AGD. Derajat RDS dibagi menjadi tiga, yaitu:38
a) Ringan
Frekuensi napas meningkat (>60x/menit) tanpa suplementasi oksigen,
dengan atau tanpa usaha napas yang minimal seperti retraksi dan napas
cuping hidung.
b) Sedang
Neonatus sudah tampak sianosis dalam udara kamar dan menunjukkan
tanda-tanda usaha bernapas yang meningkat, dengan AGD yang
abnormal.
c) Berat
Neonatus mengalami sianosis sentral, kesulitan bernapas, dengan AGD
yang abnormal.
Penilaian berat gangguan napas pada bayi dapat dilakukan dengan sistem
penilaian Downes (Downes score)163 dan dapat digunakan pada segala
kondisi dan usia gestasi bayi (Tabel 6)164,165

Tabel 6 Downes Score164,166


Karakteristik 0 1 2
Frekuensi napas <60 kali per 60-80 kali per >80 kali per menit
menit menit atau apne
Retraksi dada Tidak ada Ringan Berat
Sianosis Tidak ada Hilang dengan Menetap walaupun terapi
oksigen diberi terapi
oksigen
Masuknya udara Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara masuk

Merintih Tidak ada Terdengar dengan Terdengar tanpa


stetoskop stetoskop

Frekuensi napas yang rendah (<30 kali per menit) mengindikasikan


adanya gangguan pada otak (seperti ensefalopati hipoksik iskemik atau hypoxic
ischemic encephalopathy (HIE), edema, atau perdarahan intrakranial),
pengaruh obat (opioid), atau mengalami syok yang berat. Neonatus dengan
kondisi seperti ini dapat mengalami apne atau gasping.38
Frekuensi napas yang cepat (takipne) merupakan indikasi untuk melakukan
evaluasi yang lebih menyeluruh meliputi usaha napas, oksigenasi, SpO2, foto
dada, dan AGD. Takipne yang terjadi tanpa peningkatan PaCO2 (<35 mmHg)

92
kemungkinan tidak berasal dari masalah pulmonal, misalnya penyakit jantung
bawaan (PJB), asidosis metabolik, dan kerusakan otak. Takipne yang disertai
peningkatan PaCO2 dapat terjadi karena masalah pulmonal seperti RDS,
pneumonia, transient tachypnea of the newborn (TTN), aspirasi
mekonium, perdarahan paru, obstruksi jalan napas, massa paru, hernia
diafragmatika, atau pneumotoraks.38

2) Terapi oksigen
Neonatus yang mengalami sianosis di udara kamar, dan mengalami RDS ringan
hingga sedang membutuhkan oksigen dalam penanganannya. Terapi oksigen
adalah salah satu terapi yang sering digunakan dalam penanganan neonatus
yang bermasalah, untuk mencegah hipoksemia, mengurangi kerja otot
pernapasan, dan menurunkan beban miokardium.166 Terapi oksigen dalam
jangka panjang dapat menimbulkan toksisitas sehingga pemakaiannya harus
diatur. Efek toksisitas oksigen yang dapat terjadi adalah ROP, BPD, enterokolitis
nekrotikans, PVL, dan dapat juga memengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak.167,168
Saat ini pemberian oksigen melalui inkubator sudah tidak
direkomendasikan lagi. Sehubungan konsekuensi intoksikasi oksigen pada
neonatus, maka disarankan oksigen diberikan dengan dititrasi, dan dimulai dari
konsentrasi 21%, serta 25-30% pada bayi prematur dengan usia gestasi < 35
minggu.
Target saturasi oksigen adalah >90-95%. Udara yang digunakan sebaiknya
udara yang telah dihangatkan dan dilembabkan untuk mengurangi cold stress
dan IWL. Observasi klinis respons bayi terhadap terapi oksigen meliputi warna,
frekuensi napas, usaha napas, dan keadaan umum (bayi yang hipoksia dapat
terlihat letargis). Pencatatan respons bayi dilakukan tiap jam hingga kondisi bayi
stabil, selanjutnya tiap 2-4 jam sesuai dengan kebutuhan. 74
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa pemberian terapi oksigen pada
bayi prematur dengan menjaga kecukupan oksigen (dihindari dari hipoksia atau
hiperoksia) adalah dengan mempertahankan saturasi oksigen berkisar antara
>90%-95%.169 Pada bayi dengan SaO2 <90% ternyata 50% dari bayi tersebut
mempunyai PaO2 yang sangat bervariasi serta pada umumnya < 45mmHg.
Sebaliknya pada bayi dengan Sa)2 > 95% didapatkan PaO2 dari 80 mmHg -
300mmHg.

Tabel 7 Kadar SpO2 yang dibutuhkan neonatus.170


Alarm limits (low-
Neonatus
Rentang SpO2 (%) high) (%)
Cukup bulan dan kurang bulan >90-95% 88-96

93
Neonatus dengan hipertensi
pulmonal Sesuai pertimbangan dokter

Semua neonatus dalam udara Data tidak tersedia 86-100


bebas

Target saturasi oksigen dalam fase stabilisasi adalah >90-95%


Level of evidence II, derajat rekomendasi

a) Metode pemberian terapi oksigen


Mengingbat pentinganya stabilisasi pernafasan dengan menjaga agar alveoli paru
senantiasa terbuka, maka pada fase akut /stabilisisai pemberian terapi oksigen
melalui sungkup kepala, nasal kanula aliran rendah tidak direkomendasikan.

Gambar 18 Terapi oksigen melalui sungkup kepala

Gambar 19 Terapi oksigen menggunakan nasal kanul

(1) Continuous positive airway pressure (CPAP)


CPAP merupakan salah satu modalitas utama terapi oksigen non-invasif yang
memberikan TPAE. Indikasi penggunaan CPAP adalah semua neonatus

94
dengan kesulitan bernafas selama tidak didapatkan kontra indikasi seperti
obstruksi saluran cerna dan NEC stadium II.

Gambar 20 Peralatan CPAP Gambar 21 Ventilator


Pemberian oksigen melalui nasal kanula aliran tinggi dapat dipertimbangkan
bila tidak ada fasilitas pemberian cpap, namun dengan beberapa hal yang harus
diperhatikan seperti: aliran > 2L per menit, besar maksimum aliran tergantung
jenis alat yang dipakai, harus disertai humidifikasi dan dihangatkan. Dari meta
analisis yang dilakukan pada tahun 2016 didapatkan bahwa pemberian oksigen
nasal kanula aliran tinggi dan cpap mempunyai efektifitas yang sama dan aman
sebagai penanganan bantuan pernafasan fase akut, meski masih memerlukan
studi lebih lanjut. (Level of Evidence II)

(2) Ventilator
Neonatus yang membutuhkan ventilator adalah neonatus yang pernah
mengalami apne, gagal napas,penggunaan terapi oksigen dengan CPAP tidak
adekuat (kebutuhan FiO2 >40%, asidosis respiratorik (pH <7,20-7,25),
PaO2<50 mmHg, dan kulit pucat atau sianosis disertai agitasi), adanya

95
gangguan neurologis (apne of prematurity, perdarahan intrakranial, dan
gangguan neuromuskular kongenital), RDS, sindrom aspirasi mekonium,
gangguan kardiovaskular (persistent pulmonary hypertension of the
newborn, pasca-resusitasi, PJB, dan syok), dan pasca-operasi karena
gangguan fungsi ventilasi.171 Neonatus yang menggunakan ventilator harus
diawasi secara ketat termasuk pengawasan pengaturan ventilator (Gambar
21).

Terapi oksigen pada neonatus sering diberikan dalam jangka panjang dan
menggunakan SpO2tinggi. Perhitungan terapi oksigen untuk mencegah ROP
dapat dibantu dengan tabel supplemental therapeutic oxygenfor
prethreshold retinopathy of prematurity (STOP-
ROP) (Tabel 8 dan Tabel 9).172,173

Tabel 8 Konversi FiO2 STOP ROP.174


Aliran Berat (kg)
(lpm) 0,7 1 1,25 1,5 2 2,5 3 3,5 4
0,01 =
1 1 1 1 1 0 0 0 0
1/100
0,03 =
4 3 3 2 2 1 1 1 1
1/32
0,06 =
9 6 5 4 3 3 2 2 2
1/16
0,13 =
18 13 10 8 6 5 4 4 3
1/8
0,15 =
21 15 12 10 8 6 5 4 4
3/20
0,25 =
36 25 20 17 10 10 8 7 6
¼
0,50 =
71 50 40 33 17 20 17 14 13
½
0,75 =
100 75 60 50 38 30 25 21 19
¾
1 100 100 80 67 50 40 33 29 25
1,25 =
100 100 100 83 63 50 42 36 31

96
1,50 =
100 100 100 100 75 60 50 43 38

2 100 100 100 100 100 80 67 57 50
3 100 100 100 100 100 100 100 86 75
4 100 100 100 100 100 100 100 100 100
5 100 100 100 100 100 100 100 100 100
6 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Faktor: 100* min (1, lpm/kg)

Tabel 9 FiO2 efektif sebagai fungsi dari faktor dan konsentrasi oksigen 173,174
Konsentrasi oksigen (%)
Faktor
21 22 25 30 40 50 100
0 21 21 21 21 21 21 21
1 21 21 21 21 21 21 22
2 21 21 21 21 21 22 23
3 21 21 21 21 22 22 23
4 21 21 21 21 22 22 24
5 21 21 21 21 22 22 25
6 21 21 21 22 22 23 26
Faktor Konsentrasi oksigen (%)
7 21 21 21 22 22 23 27
8 21 21 21 22 23 23 27
9 21 21 21 22 23 24 28
10 21 21 21 22 23 24 29
12 21 21 21 22 23 24 30
13 21 21 22 22 23 25 31
14 21 21 22 22 24 25 32
15 21 21 22 22 24 25 33
21 22 25 30 40 50 100
17 21 21 22 23 24 26 34
18 21 21 22 23 24 26 35

97
19 21 21 22 23 25 27 36
20 21 21 22 23 25 27 37
21 21 21 22 23 25 27 38
25 21 21 22 23 26 28 41
29 21 21 22 24 27 29 44
30 21 21 22 24 27 30 45
31 21 21 22 24 27 30 45
33 21 21 22 24 27 21 47
36 21 21 22 24 28 31 49
38 21 21 23 24 28 32 51
40 21 21 23 25 29 33 53
42 21 21 23 25 29 33 54
43 21 21 23 25 29 33 55
50 21 22 23 26 31 36 61
57 21 22 23 26 32 38 66
60 21 22 23 26 32 38 68
63 21 22 24 27 33 39 71
67 21 22 24 27 34 40 74
71 21 22 24 27 34 42 77
75 21 22 24 28 35 43 80
80 21 22 24 28 36 44 84
Faktor Konsentrasi oksigen (%)

83 21 22 24 28 37 45 87
86 21 22 24 29 37 46 89
100 21 22 25 30 40 50 100
FiO2 = 21 + Faktor * (konsentrasi – 21)/100

Contoh penggunaan Tabel STOP ROP Kasus:


Berapakah FiO2 yang efektif pada bayi dengan berat badan 1500 g, yang
terpasang kanula oksigen 100% dengan aliran 0,25 lpm?
Penanganan:
Carilah kolom berat 1500 g dan 0,25 lpm dalam Tabel 5 untuk mendapatkan
faktor. Pada kasus ini faktor 17 diperoleh. Gunakan faktor 17 tersebut dan

98
oksigen 100% dalam Tabel 6 untuk menentukan FiO2 yang efektif. Maka hasilnya
adalah 34%.
Masalah terapi oksigen yang dihadapi oleh fasilitas kesehatan di
Indonesia terutama selain di kota besar adalah ketiadaan pulse oximeter,
blender, oxygen analyzer, sumber udara tekan, dan T-piece resuscitator.
Alternatif terapi oksigen dengan tidak tersedianya blender, oxygen analyzer,
dan sumber udara tekan antara lain dengan venturi (Gambar 20) dan Y-tube
(Gambar 21).
Venturi adalah tabung plastik pendek yang disambungkan dengan pipa
penyalur oksigen. Venturi dapat disambungkan dengan sungkup kepala dan
sungkup wajah. Beberapa venturi mencampur oksigen murni dengan udara
kamar untuk memberikan FiO2 sesuai kebutuhan. Venturi memiliki beberapa
adaptor, masing-masing dengan bukaan/jendela yang besar untuk memasukkan
udara kamar. Oksigen melalui venturi dan menarik udara kamar sehingga terjadi
percampuran kedua gas (Tabel 7).

Gambar 22 Venturi

Tabel 10 Terapi oksigen dengan venturi

99
Warna Flow FiO2 (%)
venture (L/menit)
Biru 3 24
Putih 6 28
Kuning 12 35
Merah 15 40
Merah muda 15 50

Modifikasi terapi oksigen pada fasilitas terbatas lainnya adalah dengan Y


tube. Penggunaan Y-tube bertujuan mencampur oksigen dengan udara tekan
(Gambar 21) dengan perhitungan pada Tabel 8.

Gambar 23 Modifikasi terapi oksigen dengan Y-tube

Tabel 11 Perhitungan terapi oksigen dengan Y-tube


UdaraBertekanan(L/menit)
KonsentrasiO2
(%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 41% 37% 34% 32% 31% 30% 29% 28%

100
2 61% 53% 47% 44% 41% 38% 37% 35% 34%

3 80% 68% 61% 55% 51% 47% 45% 43% 41% 39%
4 84% 74% 66% 61% 56% 52% 50% 47% 45% 44%
5 86% 77% 70% 65% 61% 57% 54% 51% 49% 47%
6 88% 80% 74% 68% 64% 61% 57% 54% 53% 51%
7 90% 82% 76% 71% 67% 64% 61% 58% 56% 54%
8 91% 84% 78% 74% 70% 66% 63% 61% 58% 56%
9 92% 86% 80% 76% 72% 68% 65% 63% 61% 58%
10 93% 87% 82% 77% 74% 70% 67% 65% 63% 61%

3) Terapi oksigen: target kadar oksigen darah rendah atau


tinggi, pemberian oksigen terbatas atau liberal
Terapi oksigen lazim diterapkan dalam perawatan neonatal, bertujuan untuk
menangani hipoksemia, mengurangi kerja otot pernapasan, dan menurunkan
beban kerja miokardium. Terapi oksigen ternyata tidak hanya memberikan
keuntungan, melainkan juga kerugian. Kontroversi mengenai suplementasi
oksigen ini adalah dalam menetapkan target kadar oksigen dalam darah pada
BBLR. Target kadar oksigen yang tinggi memberi nilai positif dalam hal pola tidur
bayi yang stabil serta mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang baik
dalam jangka panjang. Tetapi target kadar oksigen yang tinggi ini dapat
menimbulkan keadaan hiperoksia, dan menjadi faktor yang berpengaruh untuk
terjadinya ROP dan penyakit paru kronik seperti BPD.42,175
Bayi kurang bulan berpotensi mengalami stres oksidatif bukan hanya karena
mereka terpapar dengan terapi oksigen yang lebih banyak, melainkan juga
secara bersamaan bayi kurang bulan mengalami inflamasi, memiliki pertahanan
yang kurang terhadap stres oksidatif, serta mempunyai kadar besi bebas di
jaringan yang memicu pembentukan radikal hidroksil.176 Terapi dengan
antioksidan selama ini belum memberikan hasil yang baik, oleh karena itu saat ini
intervensi yang rasional untuk mengurangi risiko stres oksidatif adalah dengan
mengontrol suplementasi oksigen dan mencegah inflamasi.177 Faktor lain yang
dapat memicu stres oksidatif di antaranya transfusi dan nutrisi parenteral. 178,179
Telaah sistematik oleh Ballot et al40 (2010) terhadap 5 studi menunjukkan
bahwa terapi oksigen yang terbatas (restricted) secara bermakna menurunkan
angka kejadian dan derajat ROP, tanpa terjadi peningkatan mortalitas. Satu studi
prospektif, multisenter, tersamar ganda menunjukkan bahwa kelompok BBLR
yang memiliki kadar oksigen darah yang rendah dan tinggi tidak berbeda
bermakna dalam kejadian ROP, mortalitas, maupun pertumbuhan dan
perkembangan. Tetapi subyek yang memiliki kadar oksigen darah tinggi
mengalami peningkatan kejadian penyakit paru kronik dan penggunaan oksigen
di rumah. Dengan demikian pemberian terapi oksigen yang liberal dan tidak

101
dipantau akan menghasilkan luaran yang buruk, sedangkan pemberian oksigen
restricted sebaliknya. Namun hingga saat ini belum ada bukti yang memadai
untuk menetapkan besarnya suplementasi oksigen yang paling baik bagi BBLR. 176
Meta-analisis oleh Chen et al180 (2010) melaporkan kejadian ROP pada
bayi kurang bulan lebih rendah pada penggunaan oksigen rendah dibandingkan
dengan oksigen tinggi (RR 0,48;IK95% 0,31-0,75). Khusus pada populasi BBLSR
dan BBLASR, telaah sistematik oleh Saugstad et al181 (2011) menganalisis 8 studi
yang membandingkan efek pemberian kadar oksigen rendah (70≤95%) dengan
tinggi (88-100%) yang dipantau dengan pulse oximeter, terhadap kejadian
ROP dan BPD. Telaah tersebut menyimpulkan bahwa penurunan risiko ROP
derajat berat terjadi pada pemberian oksigen rendah (9,5%) dibandingkan
dengan oksigen tinggi (20,9%) (risiko relatif (RR) 0,48; interval kepercayaan 95%
(IK95%) 0,34-0,68). Penurunan risiko BPD juga terjadi pada penggunaan oksigen
rendah (29,7%) dibandingkan dengan oksigen tinggi (40,8%) (RR 0,79;IK95% 0,64-
0,97). Hanya 2 studi yang mengevaluasi kematian sebagai luaran, dan telaah ini
memperoleh data mortalitas yang meningkat pada penggunaan oksigen rendah
dibandingkan dengan oksigen tinggi (RR 1,12;IK95% 0,86-1,45).

Pemberian terapi oksigen harus secara terbatas (restricted) dan


terpantau kadarnya dalam darah.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Terapi oksigen dalam kadar rendah yaitu 30% menurunkan


risiko ROP dan BPD.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

4) Penghentian terapi oksigen: bertahap atau tiba-tiba


Gangguan pernapasan sering menjadi masalah pada BBLR, sehingga
suplementasi oksigen diperlukan. Pemberian oksigen terlalu rendah ataupun
terlalu tinggi dapat menimbulkan kerusakan terhadap organ mata dan paru, oleh
karena itu pemberian oksigen dalam kadar yang tepat merupakan hal yang
penting untuk diperhatikan. Demikian pula cara menghentikan terapi oksigen
atau weaning, yaitu secara bertahap atau tiba-tiba adalah pilihan yang masih
menjadi kontroversi. Telaah sistematik tentang metoda penghentian oksigen ini
hanya memperoleh satu studi dengan besar sampel 51 subyek. Telaah tersebut
menyimpulkan bahwa penghentian terapi oksigen secara bertahap dibandingkan
dengan secara tiba-tiba, menurunkan kejadian vascular retrolental
fibroplasia (misalnya ROP derajat berat) (RR
0,22; IK95% 0,07-0,68).182

102
Penghentian terapi oksigen dilakukan secara bertahap.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

d. BLOOD PRESSURE
Syok didefinisikan sebagai perfusi organ vital dan pengangkutan oksigen yang
tidak adekuat. Definisi lain untuk syok adalah keadaan yang kompleks dengan
disfungsi sirkulasi yang mengakibatkan pengangkutan oksigen dan nutrisi tidak
adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Kegagalan untuk segera
mengenali dan menatalaksana syok dapat meyebabkan kegagalan organ multipel
dan bahkan kematian pada bayi baru lahir, sehingga tata laksana syok harus
dilakukan segera dan agresif. Syok terbagi dalam tiga tipe yaitu syok
hipovolemik, kardiogenik, dan septik.38

1) Syok hipovolemik
Syok hipovolemik disebabkan oleh rendahnya volume sirkulasi darah.
Penyebab syok hipovolemik terdiri atas: a) Kehilangan darah akut selama
periode kelahiran
(1) Perdarahan fetal-maternal
(2) Plasenta previa
(3) Luka pada tali pusat
(4) Transfusi antar bayi kembar (twin-to-twin transfusion)
(5) Laserasi organ (hati atau pankreas)
b) Perdarahan pasca-lahir
• Otak
• Paru
• Kelenjar adrenal
• Kulit kepala (perdarahan subgaleal)
c) Penyebab bukan perdarahan
• Kebocoran kapiler yang berat sekunder terhadap infeksi
• Dehidrasi
d) Hipotensi fungsional
• Tension pneumothorax (mengganggu curah jantung)
• Pneumopericardium (mengganggu curah jantung) Beberapa
penyebab perdarahan pasca-lahir dapat terjadi sebelum kelahiran atau

103
selama periode kelahiran. Bayi dengan syok hipovolemik menunjukkan
tanda-tanda curah jantung yang kurang: takikardia, nadi lemah, waktu
pengisian kapiler memanjang, dan warna kebiruan. Apabila bayi
kehilangan darah dalam jumlah banyak maka bayi dapat terlihat pucat,
dan disertai asidosis dan hipotensi (tanda akhir dari curah jantung yang
lemah).38

2) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik (gagal jantung) terjadi saat otot-otot jantung berfungsi
dengan lemah dan dapat terjadi pada bayi dengan:
Error! Bookmark not defined.
• Asfiksia selama masa kelahiran atau pasca-lahir
• Hipoksia dan/atau metabolik asidosis
• Infeksi bakteri atau virus
• Gangguan pernapasan berat (membutuhkan bantuan ventilasi)
• Hipoglikemia berat
• Metabolik dan/atau gangguan elektrolit berat
• Aritmia
• Kelainan jantung bawaan, terutama bayi dengan hipoksemia berat
atau obstruksi aliran darah ke sirkulasi sistemik

3) Syok septik (distributif)


Infeksi berat dapat mengakibatkan syok septik atau distributif. Keadaan
bayi dengan syok septik memburuk dengan cepat. Dengan adanya infeksi
bakterial, terjadi reaksi sistematik yang kompleks yang berakibat pada
penurunan sirkulasi. Karakteristik khas pada syok tipe ini adalah hipotensi
dengan respons lemah terhadap resusitasi cairan. Vaskuler yang
kehilangan integritasnya menyebabkan kebocoran cairan dari pembuluh
darah ke ruang jaringan (juga mengakibatkan syok hipovolemik).
Kontraksi miokardium yang lemah juga mengakibatkan perfusi dan
oksigenasi jaringan yang lemah. Bayi dengan syok septik seringkali
membutuhkan pengobatan untuk memperbaiki hipotensi berat. Risiko
trauma organ dan kematian sangat tinggi pada bayi dengan syok tipe ini.
Kadang kala, bayi dapat juga menderita kombinasi dari ketiga tipe syok
tersebut.38

Pemeriksaan fisis untuk syok

104
Usaha napas
• Peningkatan usaha napas (retraksi, mendengkur, pernapasan cuping
hidung)
• Takipnea
• Apne
• Napas terengah-engah (tanda akan terjadinya
cardiorespiratory arrest)

Nadi
a) Nadi perifer lemah atau tidak teraba
b) Nadi brakial lebih kuat daripada nadi femoral (pertimbangkan koarktasio
aorta atau kelainan arkus aorta)
Perfusi perifer
a) Perfusi lemah (terjadi akibat vasokonstriksi dan curah jantung yang
kurang)
b) Pemanjangan waktu pengisian kapiler (>3 detik pada bayi yang sakit
dianggap tidak normal)
c) Mottled sign
d) Kulit yang dingin
Warna
a) Sianosis
b) Pucat (dapat mengindikasikan kadar hemoglobin yang sangat rendah
sebagai akibat sekunder perdarahan)
c) Evaluasi oksigenasi dan saturasi
d) Evaluasi gas darah untuk asidosis respiratorik, metabolik, atau keduanya
Denyut jantung
a) Bradikardia (<100 denyut per menit) dengan tanda-tanda perfusi yang
buruk
(1) Hipoksemia, hipotensi, dan asidosis menyebabkan penurunan sistem
konduksi
(2) Bradikardia yang dikombinasikan dengan syok berat adalah tanda
awal akan terjadi henti jantung dan paru
(3) Singkirkan heart block sebagai salah satu penyebabnya

105
b) Takikardia (>180 denyut per menit yang terjadi
berkepanjangan saat istirahat)
(1) Takikardia dapat mengindikasikan curah jantung yang kurang
dan/atau gagal jantung kongestif
(2) Denyut jantung yang normal adalah 120-160 denyut per menit,
tetapi dapat berkisar 80-200 denyut per menit tergantung tingkat
aktivitas bayi
(3) Apabila denyut jantung >220 denyut per menit, pertimbangkan
takikardia supraventrikular
Jantung
a) Ukuran jantung yang membesar pada Röntgen toraks (berhubungan
dengan disfungsi miokardium dan perkembangan gagal jantung kongestif)
b) Ukuran jantung lebih kecil dari normal, atau terkompresi pada Röntgen
toraks (dapat merefleksikan pengisian jantung atau pre-load yang
lemah)
c) Evaluasi adanya murmur (meskipun tidak ada murmur, kelainan jantung
bawaan struktural dapat terjadi)
Tekanan darah
a) Dapat berupa normal atau rendah: hipotensi adalah tanda akhir dari
dekompensasi jantung.
b) Evaluasi tekanan nadi (tekanan sistolik – tekanan diastolik). Tekanan nadi
normal pada bayi cukup bulan 25-30 mmHg dan pada bayi kurang bulan
15-25 mmHg. Tekanan nadi yang sempit dapat mengindikasikan
vasokonstriksi perifer, gagal jantung, atau curah jantung rendah. Tekanan
nadi yang lebar dapat mengindikasikan runoff aortic yang besar, seperti
yang terlihat pada duktus arteriosus paten yang signifikan atau
malformasi arteriovena besar.

Pemeriksaan laboratorium untuk evaluasi syok


1) Analisis gas darah
Asidosis metabolik dapat terjadi dengan pH dan bikarbonat yang rendah.
Apabila bayi mengalami insufisiensi pernapasan, pCO2 dapat meningkat

106
dan kombinasi asidosis respiratorik dan metabolik dapat terjadi. a) pH
<7,3 tidak normal
b) pH <7,25 mencurigakan, terutama jika ada bersamaan dengan perfusi
yang buruk, takikardia, dan/atau hipotensi
c) pH <7,2 tidak normal secara signifikan
d) pH <7,1 mengindikasikan bayi dengan kondisi krisis berat 2) Glukosa
Hiperglikemia dapat menjadi tanda awal respon bayi terhadap stress.
Gula darah harus dievaluasi secara teratur sampai pola stabilitas gula
darah tercapai.
3) Elektrolit (hipo- atau hiper-natremia, hipo- atau hiperkalemia)
Apabila terdapat metabolik asidosis, hitung anion gap.
4) Pemeriksaan lain dan observasi:
a) Ekokardiografi untuk mengevaluasi fungsi jantung dan mengeliminasi
kelainan jantung bawaan struktural sebagai penyebab
b) Evaluasi produksi urin (oliguria atau anuria)
c) Evaluasi sepsis (pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis dan
kultur darah)

Prinsip curah jantung


Curah jantung (cardiac output (CO)) dipengaruhi oleh frekuensi denyut jantung
(heart rate (HR) dan isi sekuncup (stroke volume (SV)). Denyut jantung dikali
dengan isi sekuncup sama dengan cardiac output (HR x SV = CO). Miokardium
bayi baru lahir memiliki kapasitas yang terbatas untuk meningkatkan isi
sekuncup dengan sendirinya, sehingga dalam merespons syok, denyut jantung
bayi akan naik untuk meningkatkan curah jantung dan mengakibatkan takikardia.
Selain elektrolit, mineral, atau ketidakseimbangan energi, terdapat beberapa
faktor yang menurunkan curah jantung:38
12) Penurunan volume kembalinya darah vena ke jantung (preload)
sehingga jantung memompa volume yang lebih sedikit pada setiap
kontraksi
13) Peningkatan resistansi vaskuler sistemik (afterload) yang
membuat jantung harus bekerja lebih keras dalam memompa
darah ke seluruh tubuh
14) Penurunan kontraktilitas miokardium

107
Tata laksana syok
Langkah pertama dalam tata laksana syok adalah melakukan evaluasi risiko
apakah bayi mempunyai risiko untuk mengalami syo atau tidak. Perlu dicatat
bahwa tanda klinis syok pada awalnya adalah hampir sama dengan tanda
gangguan pernafasan, sehingga setiap bayi dengan masalah pernafasan, setelah
dilakukan pemberian dukungan pernafasan diikuti dengan evaluasi tanda tanda
dini syok. Langkah berikutnya adalah melakukan pencegahan syok terjadi lebih
lanjut serta mengidentifikasi penyebab syok. Langkah selanjutnya adalah
tatalaksana penyebabTujuan tata laksana syok adalah meningkatkan curah
jantung dengan meningkatkan volume, meningkatkan perfusi jaringan,
meningkatkan oksigenasi jaringan, menurunkan metabolisme anaerob,
menurunkan timbunan asam laktat, dan meningkatkan pH. 38 Pada umumnya
syok pada bayi adalah syok hipovolemik. Oleh sebab itu bila mendapati bayi
dengan tanda tanda awal syok, segera diberikan bolus cairan larutan fisiologis
sebanyak 10 ml/kgBB dalam 30-60 menit. Selanjutnya penanganan tergantung
sebab yang mendasari syok.

1) Tata laksana syok hipovolemik


Tujuan tata laksana syok hipovolemik adalah untuk meningkatkan volume
sirkulasi darah yang dapat dicapai dengan memberikan kristaloid atau
darah. Tata laksana menggunakan normal saline bila tidak ada
kehilangan darah akut. Bila masih terdapat kehilangan darah akut,
transfusi sel darah merah dan whole blood diberikan.Error! Bookmark
not d efined. Meskipun demikian, satu meta-analisis menyimpulkan belum
ada bukti yang cukup tentang efektivitas penggunaan normal saline
atau whole blood untuk membantu kerja jantung dalam tata laksana
hipoperfusi.183
a) Apabila tidak terdapat kehilangan darah akut, normal saline 0,9%
atau Ringer Laktat dapat digunakan dengan dosis 10 mL/kgBB/kali via
IV, kateter vena umbilikus, atau intraosseous selama 15-30 menit
(dapat diberikan dalam waktu yang lebih singkat tergantung keadaan
bayi). Pada syok berat, pemberian bolus sebanyak dua atau lebih
mungkin diperlukan. Evaluasi respons bayi (pantau denyut jantung,
perfusi, dan tekanan darah) pada akhir setiap pemberian bolus
sehingga dapat diputuskan kebutuhan pemberian bolus selanjutnya.
Apabila terdapat kehilangan darah kronik, beberapa bayi dalam
keadaan syok berat tidak dapat mentoleransi pemberian bolus untuk

108
meningkatkan volume. Sebelum diberikan penambahan volume,
konsultasi dengan ahli neonatologi di layanan kesehatan tersier.
b) Apabila terdapat kehilangan darah akut, mulai resusitasi cairan
dengan normal saline sambil menunggu transfusi sel darah merah
atau whole blood. Dosis pemberian cairan adalah 10 mL/kgBB/kali
IV, kateter vena umbilikus, atau intraosseous selama 30 menit-2 jam.
Waktu pemberian bervariasi, dapat lebih cepat dari 30 menit
tergantung dari beratnya keadaan bayi. Dalam keadaan darurat yang
tidak memungkinkan untuk pemeriksaan cross-match sebelum
pemberian darah, transfusi sel darah merah tipe O-negatif dapat
diberikan. Transfusi sedapat mungkin berupa sel darah merah yang
kurang dari satu minggu, negatif CMV, dan leuko-reduced.

2) Tata laksana syok kardiogenik (gagal jantung)


Evaluasi bayi untuk tanda-tanda syok kardiogenik seperti takikardia,
bradikardia, hipotensi, oliguria, hipoksemia, asidosis, dan hipoglikemia.
Tujuan tata laksana adalah memperbaiki penyebab masalah yang
menurunkan fungsi jantung, termasuk hipoksia, hipoglikemia, hipotermia,
hipotensi, asidosis, aritmia, infeksi, dan ketidakseimbangan elektrolit atau
mineral. Tata laksana dengan mengatasi hipoksia, hipoglikemia,
hipotermia, hipotensi, asidosis, aritmia, infeksi, dan ketidakseimbangan
elektrolit atau mineral.38
Tata laksana syok kardiogenik menggunakan dopamin/dobutamin drip
(dosis 5-20 μg/kgBB/menit menggunakan pump untuk
meningkatkan output jantung dan tekanan darah). Pemberian
dopamin/dobutamin harus didahului pemberian volume yang cukup.
Tenaga kesehatan harus memantau tekanan darah dan denyut jantung
secara ketat selama pemberian. Dopamin/dobutamin harus diberikan
dengan syringe pump (Gambar 22) melalui kateter vena umbilikalis.38
Satu meta-analisis melaporkan bahwa penggunaan sodium bikarbonat
4,2% belum terbukti menurunkan mortalitas dan morbiditas pada
resusitasi pasca-lahir.184

109
Gambar 24 Syringe pump

3) Tata laksana syok septik (distributif)


Tata laksana syok septik meliputi kombinasi terapi syok hipovolemik dan
kardiogenik. Bayi dengan syok septik membutuhkan lebih banyak bolus
cairan dibandingkan tipe syok yang lain, karena pergerakan cairan dari
ruang intravaskular ke ruang interstitial atau ruang ekstravaskular yang
disebabkan oleh trauma kapiler dan berkumpulnya darah di jaringan
kapiler. Pemberian infus dopamin secara kontinu diperlukan untuk tata
laksana hipotensi berat. Oksigenasi dan ventilasi yang optimal sangat
penting dalam tata laksana syok jenis ini.
Cairan yang digunakan untuk tata laksana syok kardiogenik dan septik
adalah normal saline 0,9% atau Ringer Laktat 10 mL/kgBB/kali IV,
kateter vena umbilikus, atau intraosseous untuk meningkatkan volume
sirkulasi darah. Cairan sodium bikarbonat 4,2% (0,5 mEq/mL) dengan
dosis 2-4 mL/kgBB/kali selama 30-60 menit IV untuk mengobati asidosis
metabolik berat (pH arteri <7,15 dan pada bayi dengan ventilasi adekuat).
Pemberian sodium bikarbonat yang sangat hipertonik jika diberikan
terlalu cepat dapat mengakibatkan perdarahan intraventrikular. Dopamin
hidroklorida dapat juga digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas
kardiak dengan dosis 5-20 mcg/kgBB/menit melalui pompa IV (tidak boleh
diberikan melalui arteri atau ETT).
Beberapa peraturan dalam infus dopamin:
a) Dalam sebagian besar kasus, bolus volume (ekspansi volume)
diberikan sebelum memutuskan pemberian dopamin.
b) Dosis awal pemberian dopamin disesuaikan dengan status klinis bayi
dan penyebab hipotensi. Dopamin dimulai dari
5 mcg/kgBB/menit dan dapat dinaikkan (atau diturunkan) sebesar 2,5
mcg/kgBB/menit. Pada banyak NICU, dopamin dicampur untuk
menghasilkan solusi dengan konsentrasi yang lebih besar dan
kecepatan kenaikan atau penurunan terbatas pada 1 mcg/kgBB/menit
pada setiap perubahan kecepatan.

110
c) Pantau tekanan darah dan denyut jantung setiap 1-2 menit selama 15
menit lalu setiap 2-5 menit tergantung respons pengobatan. Apabila
bayi tidak merespons dengan dosis 20 mcg/kgBB/menit, maka
peningkatan dosis lebih lanjut tidak dianjurkan.
d) Infus dopamin menggunakan pompa infus dan untuk meningkatkan
keamanan, gunakan teknologi "smart pump" bila memungkinkan.
e) Pemberian sedapat mungkin melalui vena umbilikus, bila posisi
kateter sudah dikonfirmasi dengan Röntgen toraks dan ujungnya
terletak tepat di atas hati pada vena kava inferior/right atrial
junction. Apabila tidak terdapat akses vena sentral, infus dopamin
melalui IV perifer. Pantau daerah infus terhadap terjadinya infiltrasi
dan ganti bila perlu.
f) Pemberian dopamin tidak boleh dilakukan melalui arteri termasuk
kateter arteri umbilikus.
g) Dopamin jangan diberikan secara cepat karena tekanan darah dapat
mendadak naik dan denyut jantung turun dengan drastis.
Belum ada bukti memadai yang mendukung pemberian ekspansi volume
pada BBLR dengan masalah kardiovaskular. Metaanalisis oleh Osborn et al 185
(2009) menyimpulkan albumin tidak terbukti lebih baik dibandingkan normal
saline dalam meningkatkan tekanan darah untuk hipotensi pada bayi baru lahir
kurang bulan. Meta-analisis oleh Beveridge (2009) menyatakan belum ada bukti
memadai yang mendukung manfaat cairan sodium bikarbonat dalam resusitasi di
kamar bersalin untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. 184
Kotak 3 menunjukkan tata laksana komponen “blood pressure” pada
bayi baru lahir yang sakit.

Dalam penanganan hipotensi bayi prematur yang baru lahir,


albumin tidak terbukti lebih bermanfaat dibandingkan dengan
normal saline.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Pemberian sodium bikarbonat dalam resusitasi di kamar


bersalin belum terbukti bermanfaat menurunkan mortalitas
dan morbiditas bayi baru lahir.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

111
• Disfungsi organ terjadi akibat perfusi dan oksigenasi tidak optimal.
• Evaluasi penyebab syok dan lakukan tata laksana dengan agresif.
• Keputusan tata laksana syok menggunakan volume dan/atau
medikamentosa adalah berdasarkan pada riwayat penyakit dan hasil
pemeriksaan fisis, tidak hanya pada tekanan darah.

Kotak 3 . Kunci tata laksana tekanan darah bayi baru lahir yang
sakit.38

3.2.1.1.1. Penggunaan inotropik untuk instabilitas


xv,xvi,xvii
hemodinamik: dopamin atau epinepfrin

Studi terhadap efektifitas katekolamin menyimpulkan bahwa dopamin lebih


superior dibandingkan dobutamin dalam meningkatkan tekanan darah pada
BBLR dengan hemodinamik tidak stabil.186,187,188 Studi lain melaporkan
penggunaan dopamin >5 mcg/kg per menit meningkatkan resistensi sistemik
sehingga memperberat kerja miokardium. Pada studi tersebut dopamin
dibandingkan dengan epinefrin, yang dianggap memiliki efek yang lebih baik
untuk kerja jantung karena mempunyai predominasi efek β. Epinefrin dosis
rendah (0,5 mcg/kg per menit) memiliki efektivitas yang sama dengan
dopamin dosis rendah/sedang (<10 mcg/kg per menit) untuk menaikkan rerata
tekanan darah sistemik pada BBLR. Walaupun demikian, epinefrin menimbulkan
efek samping yang bersifat sementara seperti peningkatan laktat plasma dalam
36 jam pertama, menurunkan bikarbonat dan ekses basa dalam 6 jam pertama,
serta hiperglikemia dalam 24 jam pertama.186

Dopamin dosis rendah/sedang (<10 mcg/kg per menit) sama


efektif dengan epinefrin dosis rendah (0,5 mcg/kg per menit)
dalam mengatasi hipotensi pada BBLR.
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

e. LAB WORK (Pemeriksaan Laboratorium)


Infeksi neonatal, interpretasi pemeriksaan darah lengkap, dan
terapi antibiotik inisial untuk dugaan infeksi

112
Pemeriksaan laboratorium penting sebagai indikator awal terjadinya infeksi pada
bayi baru lahir. Bayi dengan risiko tinggi infeksi adalah bayi dengan: Error!
Bookmark not defined.

1) Ketuban pecah dini (KPD) > 18 jam


2) Kelahiran prematur
3) Riwayat korioamnionitis
4) Ibu yang memiliki riwayat diare, ISK atau infeksi lain.
5) Ibu yang memiliki riwayat demam intrapartum/postpartum
(≥38˚C)
6) Riwayat prosedur invasif setelah kelahiran
Tanda-tanda klinis infeksi pada bayi baru lahir berupa gangguan napas,
suhu tubuh tidak stabil, intoleransi diet, perubahan perfusi kulit, denyut nadi,
tekanan darah, dan status neurologis. Bayi dengan tanda klinis infeksi, sebelum
ditansportasikan, harus diperiksa 4 B: Error! Bookmark not defined.Error! Bo
okmark not defined.

1) Blood count: darah lengkap termasuk hitung jenis leukosit


2) Blood culture: kultur darah
3) Blood SUGAR: kadar gula darah
4) Blood gas: AGD untuk mendeteksi distres napas
Keputusan tata laksana sepsis pada bayi baru lahir tidak hanya tergantung pada
hasil pemeriksaan laboratorium, tetapi juga pada riwayat klinis dan gejala. Kotak
4 menunjukkan kunci pemeriksaan laboratorium untuk tata laksana bayi baru
lahir yang sakit


Tinjau kembali riwayat ibu dan bayi untuk faktor risiko infeksi.
• Waspadai tanda dan gejala infeksi yang tidak kentara.
• Ingat bahwa hasil pemeriksaan darah lengkap dapat normal pada
stadium awal terjadinya infeksi.

• Ambil volume darah yang cukup untuk kultur darah.


• Segera mulai pemberian antibiotik.

113
Kotak 4. Kunci pemeriksaan laboratorium untuk tata laksana bayi baru lahir yang
sakitError! Bookmark not defined.

f. EMOTIONAL SUPPORT
Keadaan yang dapat terjadi seputar kelahiran bayi sakit dan
cara memberi dukungan emosional kepada keluarga
Bayi baru lahir yang sakit dan membutuhkan perawatan intensif merupakan
suatu krisis bagi keluarga. Tenaga kesehatan dapat memberikan dukungan
emosional sejak awal, stabilisasi, saat akan dirujuk, setelah dirujuk, sampai
dengan tiba di NICU. Sejak awal dan stabilisasi, ibu dapat diijinkan melihat bayi.
Tenaga kesehatan memberi selamat atas kelahiran bayi dan memanggil bayi
dengan nama apabila sudah diberi nama oleh keluarga. Hal lain yang dapat
dilakukan keluarga adalah mengambil foto dan jejak kaki bayi. Keberadaan
kerabat dan pemuka agama juga dapat membantu. Error! B ookmark not
defined.

Saat bayi akan dirujuk, tenaga kesehatan dapat memberi penjelasan mengenai
keadaan bayi dan rencana tata laksana. Saat bayi tiba di NICU, tenaga kesehatan
dapat melibatkan peran orangtua sejak dini dan mengkomunikasikan keadaan
bayi. Error! B ookmark not defined.

3.3 HAL-HAL YANG PERLU DIPIKIRKAN SETELAH RESUSITASI

a. Penundaan pemotongan tali pusat


Bayi prematur berisiko mengalami keterlambatan perkembangan kognitif dan
motorik pada masa anak. Sebanyak 30-40% BBLSR di kemudian hari mengalami
keterlambatan perkembangan motorikxviii dan gangguan ini terlihat jelas pada
BBLSR yang pernah mengalami cedera otak. Keterlambatan perkembangan ini
terjadi antara lain akibat stres fisiologis pada proses kelahiran prematur yang
menimbulkan kerusakan setempat dalam proses pematangan otak.
Keterlambatan perkembangan motorik ini terutama terjadi bila kerusakan
melibatkan korteks, corpus callosum, dan ganglia basalis.188
Pemotongan tali pusat segera dapat menimbulkan hipovolemia yang
mengganggu stabilitas kardiovaskular, yang selanjutnya mengganggu mekanisme
autoregulasi aliran darah ke otak. Penundaan pemotongan tali pusat memberi
tambahan 10-15 mL/kg darah tali pusat kepada BBLSR sehingga menghindari
kemungkinan gangguan autoregulasi. Dengan demikian penundaan pemotongan
tali pusat akan mencegah iskemia yang dapat menyebabkan kerusakan otak. 189
Aladangady et al190 (2006) menyatakan penundaan pemotongan tali
pusat menurunkan kejadian IVH dan sepsis awitan lambat dibandingkan dengan
pemotongan tali pusat segera. Mercer et alError! Bookmark not defined.

114
(2010) melaporkan bahwa pada B BLSR laki-laki, penundaan pemotongan tali
pusat selama 30-45 detik sambil merendahkan posisi bayi, merupakan faktor
protektif terhadap disabilitas motorik pada usia koreksi tujuh bulan. Hal ini
terjadi karena bayi yang mengalami penundaan pemotongan tali pusat,
mempunyai aliran sel darah merah ke otak (korteks motorik) yang lebih banyak
dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera (<10 detik), sehingga
pemenuhan kebutuhan oksigen pada beberapa hari pertama lebih baik. Pada
bayi cukup bulan yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan pemotongan
tali pusat menghasilkan status besi yang lebih baik pada bayi baru lahir.
Penundaan pemotongan tali pusat dilakukan selama satu menit atau sampai
umbilikus berhenti berdenyut setelah kelahiran.191
Pada bayi kurang bulan yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan
pemotongan tali pusat selama 30 detik sampai tiga menit menghasilkan tekanan
darah bayi yang lebih baik pada tahap stabilisasi dan angka kejadian IVH yang
lebih rendah, dibandingkan tanpa penundaan pemotongan tali pusat. Sedangkan
pada bayi kurang bulan yang memerlukan resusitasi, belum ada bukti yang cukup
mengenai penundaan pemotongan tali pusat.192,193 Belum ada studi yang mampu
membuktikan pengaruh gaya gravitasi atau posisi bayi sebelum pemotongan tali
pusat dengan kebutuhan oksigen, kejadian transfusi, maupun IVH.194

Pada bayi yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan


pemotongan tali pusat selama 30 detik sampai tiga menit,
menghasilkan tekanan darah bayi yang lebih baik pada fase
stabilisasi, mengurangi risiko perdarahan intraventrikular, dan
mengurangi risiko keterlambatan perkembangan motorik.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

b. Ibuprofen untuk mencegah duktus arteriosus paten Duktus


arteriosus paten atau patent ductus arteriosus (PDA) adalah penyulit yang
sering terjadi pada bayi kurang bulan dan dapat menimbulkan kematian.
Indometasin merupakan terapi standar untuk menutup PDA, tetapi mempunyai
efek samping terhadap fungsi ginjal, saluran gastrointestinal, dan otak.
Sementara ibuprofen, jika dibandingkan dengan indometasin, memiliki pengaruh
yang lebih kecil terhadap kecepatan aliran darah terutama ke organ-organ
penting.195
Beberapa studi melakukan evaluasi mengenai efektvitas ibuprofen profilaksis.
Satu telaah sistematik menganalisis studi yang membandingkan ibuprofen
dengan plasebo/tanpa intervensi. Tujuh studi (n=931) menyimpulkan bahwa
ibuprofen menurunkan insidens PDA pada hari ke-3 (RR 0,36;IK95% 0,29-0,46;
risk difference (RD) -0,27 (IK95% -0,32-(-0,21); number needed to treat to
benefit (NNT) 4 (IK95% 3-5). Ibuprofen tidak hanya menurunkan risiko perlunya

115
terapi penghambat siklo-oksigenase atau cyclooxygenase inhibitors (COX
inhibitors), melainkan juga menurunkan risiko perlunya bedah ligasi. 196
Pada telaah sistematik yang sama, dua studi memperoleh hasil positif
yang serupa, namun menunjukkan risiko perdarahan gastrointestinal yang
meningkat, dengan number needed to treat to harm (NNH) 4 (IK95% 2-17).
Mortalitas, kejadian perdarahan intraventrikular, dan kejadian penyakit paru
kronik pada kelompok ibuprofen dengan kelompok plasebo/tanpa intervensi
tidak berbeda bermakna. Pada kelompok kontrol, proporsi PDA yang menutup
spontan pada hari ke-3 adalah 58%. Selain efek samping pada saluran
gastrointestinal, studi-studi tersebut ternyata juga menemukan efek samping
terhadap fungsi ginjal dalam pemantauan jangka pendek. Oleh sebab itu
ibuprofen profilaksis belum direkomendasikan sampai hasil pemantauan jangka
panjang
(saat ini studi masih berlangsung) diperoleh.196

Ibuprofen sebagai profilaksis PDA belum terbukti bermanfaat


dalam jangka panjang, sehingga penggunaannya belum
direkomendasikan.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

c. Pemberian vitamin K1 (fitomenadion) Perdarahan akibat defisiensi


vitamin K (PDVK) merupakan salah satu penyebab kematian neonatus. Semua
bayi baru lahir mengalami kekurangan vitamin K, ditandai dengan rendahnya
konsentrasi vitamin K plasma dan faktor pembekuan yang bergantung pada
vitamin K (vitamin K dependent clotting factors). Untuk itu Kementerian
Kesehatan RI, berdasarkan analisis EBM merekomendasikan pemberian
profilaksis vitamin K1 (fitomenadion) secara IM atau PO pada semua bayi baru
lahir. Dosis yang diberikan adalah 1 mg IM dosis tunggal atau 2 mg PO sebanyak
3 kali (saat lahir, usia 3-7 hari, dan usia 1-2 bulan). Bayi yang lahir di rumah
dengan pertolongan dukun juga diberi vitamin K1 PO. Vitamin K1 1 mg IM dosis
tunggal disuntikkan di paha kiri paling lambat 2 jam setelah lahir, sebelum
vaksinasi Hepatitis B.196 Dosis tunggal pemberian vitamin K1 1 mg IM maupun PO
dilaporkan mengurangi perdarahan klinis pada hari 1-7. 197

Vitamin K1 diberikan kepada semua bayi baru lahir untuk


mencegah perdarahan akibat defisiensi vitamin K.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

3.4 MEKANISME MERUJUK ATAU MEKANISME TRANSFER

116
Transport ibu hamil risiko tinggi ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap
merupakan bagian penting dalam pelayanan perinatal. 198 Morbiditas dan
mortalitas dapat diturunkan sangat bermakna terutama pada kehamilan kurang
bulan.199,200 Identifikasi ibu hamil risiko tinggi sangat dibutuhkan untuk
tatalaksana tersebut. Apabila keadaan terpaksa dimana proses trasnport ibu
hamil dengan risiko tinggi tidak dapat dilaksanakan, maka diperlukan perlu
sistem transport neonatus bagi fasilitas kesehatan primer yang meliputi
kompetensi tenaga kesehatan, peralatan dan panduan yang sesuai. Sistem
transport tersebut harus dapat menjaga keadaan stabil neonatus dari fasilitas
layanan primer sepanjang waktu baik sebelum, selama atau setelah sampai di
fasilitas rujukan baik di layanan sekunder maupun tersier. 201

Transportasi intrauteri lebih diutamakan pada ibu dengan


kehamilan risiko tinggi dibandingkan dengan transport
neonatus dengan risiko tinggi.
Level of evidence 1A, rekomendasi A

Kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh tenaga kesehatan untuk


melaksanakan transportasi neonatus meliputi resusitasi dan stabilisasi neonatus.
Peralatan transport neonatus yang dibutuhkan dalam sistem transport neonatus
terdiri dari alat transport, alat kedokteran atau kesehatan untuk menjaga kondisi
stabil neonatus dan melaksanakan resusitasi dalam keadaan gawat darurat.
Panduan dasar dalam melaksanakan transport neonatus selain panduan klinik
juga panduan komunikasi dan dokumentasi yang berhubungan dengan keadaan
klinik pasien.
Panduan dasar dalam melaksanakan transport neonatus meliputi:
1. Indikasi perlunya dilakukan transport neonatus
2. Adanya tenaga kesehatan yang kompeten dalam melaksanakan prosedur
transport neonatus
3. Keadaan stabil neonatus sebelum, selama dan sesudah proses transport.
4. Kelengkapan alat kedokteran dalam menjaga stabil dan melaksanakan
resusitasi selama proses dan transport.
5. Kejelasan komunikasi keadaan klinis neonatus sebelum, selama dan sesudah
proses transport, baik kepada orang tua/ keluarga pasien, rumah sakit
rujukan, dan petugas pelaksana transport neonatus.
6. Kelengkapan dokumentasi.
7. Kelayakan alat transport neonatus.

117
Indikasi merujuk neonatus ke fasilitas layanan neonatus sekunder atau tersier
yang memerlukan prosedur transport adalah sebagai berikut:202,203
1. Gangguan napas berat: ancaman gagal napas/apne/sesak napas berat,
misalnya RDS yang terus memburuk atau persisten dalam 5-6 jam, distres
napas akibat aspirasi mekoneum, sianosis yang menetap meskipun
dengan terapi oksigen, dan asfiksia perinatal dengan skor Apgar <8
2. Ancaman gangguan sirkulasi (syok)
3. Kelainan kongenital berat dengan prognosis yang baik (dapat dinilai
dengan skor paediatric index of mortality atau skor PIM*)
4. Bayi berat lahir rendah dengan tiga masalah di atas
5. Bayi berat lahir sangat rendah
6. Bayi yang tidak bugar dengan tampak letargi, menangis lemah,
mengalami poor feeding, sianosis, atau muntah
7. Kejang
8. Perdarahan
9. Memerlukan transfusi tukar karena ikterik
10. Bayi dari ibu DM
11. Memerlukan pembedahan, misalnya kasus obstruksi saluran
gastrointestinal, mielomeningokel, dan atresia koana
12. Gagal jantung atau aritmia
13. Memerlukan uji diagnostik ataupun terapi khusus

Tenaga kesehatan perujuk harus memiliki kompetensi melaksanakan


stabilisasi dan resusitasi neonatus. Hasil kajian beberapa penelitian menunjukkan
bahwa proses transport neonatal yang dilakukan oleh tenaga medis trampil
dengan pengetahuan dan tingkat profesionalime tinggi akan menurunkan
morbiditas dan mortalitas neonatus.204,205

Transport neonatus yang diperlukan dalam proses rujukan


untuk mendapatkan proses diagnosis dan tatalaksana di
fasilitas layanan neonatus lebih lengkap, perlu dilaksanakan
oleh tenaga medis dengan kerja sama tim dan kompetensi
yang baik.
Level of evidence 1A, rekomendasi A

118
3.4.1 Persiapan merujuk neonatus206,207, ACCEPT
a. Penilaian adekuat (Assessment)
Pada saat diputuskan untuk dirujuk, neonatus harus dalam keadaan stabil,
dengan indikasi tepat untuk dirujuk ke fasilitas layanan neonatus sekunder atau
tersier.203,208

Penilaian indikasi dan keadaan klinis neonatus sakit yang akan


dirujuk harus dilakukan sebelum proses transport
dilaksanakan.
Level of evidence 1A, rekomendasi A

b. Terkendali (Control)
Sistem transport neonatus terkendali dengan baik mulai dari kompetensi tenaga
medik yang akan melaksanakan prosedur transportasi sampai pada kelengkapan
alat kedokteran dan kesehatan yang diperlukan. Tujuan keberadaan tim transpor
dapat diilustrasikan sebagai “to take intensive care to the baby
rather than take the baby to intensive care”. Di dalam ambulans ada
tenaga kesehatan yang mampu menangani kondisi bayi selama perjalanan
termasuk perburukan klinis dan kegawatdaruratan, atau bahkan memperbaiki
kondisi bayi jika ia mampu. Idealnya tenaga kesehatan yang menyertai transpor
BBLR adalah seorang perawat perinatologi yang terampil.209 Sampai saat ini
belum ada standar nasional ataupun pelatihan metode transfer, seperti halnya
standar maupun pelatihan resusitasi yang telah ada saat ini. 210
Peralatan dan perlengkapan yang harus diperhatikan selama merujuk
211
yaitu:
1) Inkubator transpor (Gambar 28)
2) Monitor denyut nadi, pernapasan, suhu, tekanan darah, konsentrasi
oksigen inspirasi, SpO2, dan PaCO2 (monitor CO2 transkutan dapat
digunakan jika AGD sulit dikerjakan212,213)

119
3) Peralatan ventilasi: T-piece resuscitator, balon resusitasi dan sungkup
neonatus ukuran bayi kurang bulan dan cukup bulan 0/0, 0/1, dan 2, serta
pulse oxymeter
4) Peralatan intubasi: laringoskop dengan daun lurus ukuran 0 dan pipa
endotrakeal ukuran 2, 2,5, 3, 3,5, dan 4 mm, gunting, serta sarung tangan
5) Peralatan infus IV
6) Kateter penghisap ukuran 6, 8, 10, dan 12
7) Obat-obatan: adrenalin/epinefrin 1:10.000, dekstrosa 10%, natrium
bikarbonat 4,2%, aminofilin, fenobarbital, dan aqua steril
8) Cairan pengganti volume: NaCl 0,9% dan atau ringer laktat
9) Analisis gas darah portable
10) Analisis gula darah portabel
11) Gas medis (O2, NO)

120
Gambar 25 Inkubator transpor

Pengaturan (setting) peralatan yang digunakan harus baik selama


transportasi.211 Meskipun terdapat sumber daya portabel, sumber energi
peralatan sebaiknya menggunakan catu daya kendaraan transportasi itu sendiri,
termasuk dalam penggunaan gas medis.214

Sistem transport neonatus sakit terdiri dari kompetensi tenaga


medis yang melaksanakan dengan alat kedokteran untuk
proses transport dan panduan dalam melaksanakan
transportasi neonatus sakit harus terjaga dengan baik.
Level of evidence 1A, rekomendasi A

c. Komunikasi (Communication)xix
Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) diberikan kepada orang tua dan kelurga
neonatus yang akan menjalani proses transportasi ke fasilitas kesehatan rujukan.
Implementasi hasil KIE dengan orang tua dan keluarga diwujudkan di dalam
informed consent. Komunikasi juga dilakukan dengan tim transport neonatus
dan tim rawat di rumah sakit rujukan. Komunikasi antara tenaga kesehatan di
tempat kelahiran BBLR (tim perujuk), tim transpor, maupun dokter di rumah
sakit rujukan harus berjalan baik. Komunikasi mencakup riwayat kelahiran bayi,
faktor antenatal lain yang dapat berpengaruh, dan perkembangan kondisi bayi.
Tim perujuk terlebih dahulu menghubungi dokter penerima rujukan untuk
memastikan ketersediaan tempat, kemudian menghubungi tim transpor. 202,215

121
Komunisasi informasi dan edukasi terhadap orang tua pasien
harus dilaksanakan dengan sejelas-jelasnya dengan hasil akhir
ditanda tanganinya informed consent. Komunikasi antara
dokter penanggung jawab, tim transport neonatus sakit dan
dokter penanggung jawab di RS rujukan harus dilakukan dan
tercatat dengan baik.
Level of evidence 1A, rekomendasi A

d. Evaluasi dan pemantauan (Evaluation)215


Evaluasi dan pemantauan klinis neonatus dilakukan berkesinmbungan dan terus
menerus, baik sebelum, selama dan setelah pelaksanaan transport neonatus di
RS rujukan. Stabilisasi yang harus dicapai sebelum prosedur transport:
1) Airway-breathing (A dan B)146,213
a) Apakah jalan napas bersih?
b) Apakah jalan napas aman?
c) Apakah bayi harus diintubasi?
Indikasi intubasi pada bayi yang hendak dirujuk lebih sederhana
dibandingkan dengan indikasi intubasi bayi di NICU, hal ini bertujuan
mengurangi kemungkinan perlunya intervensi yang mendadak selama
proses transportasi. Jika kita menilai ada kemungkinan bantuan pernapasan
mekanis akan diperlukan dalam masa transpor, maka intubasi dan memulai
dukungan respiratorik yang stabil dan adekuat sudah harus dilakukan
sebelum transport.214 Pada usia gestasi >30 minggu, jika tanda vital
(denyut nadi, tekanan darah, frekuensi napas, dan temperatur) stabil pada
terapi oksigen <50% dan PaCO2 normal maka bayi boleh dirujuk tanpa
intubasi. Jika bayi tidak stabil (membutuhkan oksigen >50%, mengalami
peningkatan PaCO2, apne rekuren, dan usia gestasi <30 minggu) maka
intubasi dengan dukungan respiratorik diperlukan, setidaknya selama
perjalanan.
Jika bayi sudah diintubasi, pipa endotrakeal harus senantiasa berada pada
posisi yang benar dan aman, untuk mencegah terekstubasi. Dukungan
respiratorik yang adekuat harus diberikan.
d) Apakah bayi memerlukan surfaktan?
Surfaktan harus diberikan jika ada indikasi dan tersedia.
2) Circulation (C) 146 ,159,202 a)
Apakah perfusi adekuat?
b) Apakah akses arterial sudah terpasang dengan benar dan aman?

122
c) Akses arterial dipertimbangkan pemasangannya pada bayi yang memerlukan
pemeriksaan AGD dan atau tekanan darah yang akurat secara berulang-
ulang. Jika pemasangan jalur arteri tidak akan memengaruhi tata laksana
sebelum dan selama transpor, maka pemasangan jalur arteri dapat ditunda
pasca-transpor.
d) Apakah kateter urin sudah benar dan aman?
e) Apakah neonatus membutuhkan bantuan cairan dan obat-obat inotropik?
f) Dukungan cairan IV dan atau inotropik harus dimulai sejak awal, sesuai
dengan indikasi. Kateter IV harus dipantau pada posisi yang benar dan aman.

3) Deficiencies atau defect of neurologies (D)143,216


a) Apakah neonatus mengalami kejang karena gangguan elektrolit, metabolik
(hipoglikemia) atau gangguan keseimbangan asam basa?
b) Apakah terdapat gangguan susunan saraf pusat karena infeksi atau trauma
lahir?
Adanya kejang harus segera apapun penyebabnya. Hipoglikemia dapat
ditatalaksana di fasilitas layanan neoantus primer, tetapi gangguan elektrolit
dan asam masih belum terdiagnosis karena fasiitas laboratroium belum tentu
tersedia. Adanya kecurigaan infeksi, dapat dilakukan pemeriksaan awal sesuai
fasilitas yang tersedia dan berikan antibiotik sesuai panduan yang ditetapkan.

4) Environment (E) atau gangguan temperatur161 Apakah


temperatur bayi normal?
a) Apakah bayi dalam keadaan nyaman pada suhu lingkungan? Pantau
temperatur dan beri dukungan yang diperlukan untuk mempertahankan
temperatur selama prosedur transportasi. Selain di dalam inkubator, neonatus
dapat diletakkan di dalam tas berlapis polietilen atau dibungkus dengan plastik
(Gambar 26).217 Apabila fasilitas kurang memadai, metode kanguru juga dapat
diterapkan selama transportasi.155

123
Gambar 26 Tas pembawa bayi: bayi di dalam tas, dibungkus plastik, dan
mengenakan selimut pembungkus217

Suhu neonatus dipertahankan sehingga suhu aksila 36,537,5°C.218


Neonatus yang mengalami hipotermia harus dihangatkan dalam suhu yang
terkontrol, dan hal ini memang sulit dilakukan selama transpor. Keterlambatan
penghangatan ulang (rewarming) neonatus yang hipotermia akan
meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Penanganan hipotermia harus
dilakukan dalam waktu <90 menit, karena hipoksia otak dapat terjadi jika
hipotermia berlangsung melebihi waktu tersebut.219 Untuk membantu menjaga
suhu neonatus, tim transpor dapat melakukan hal seperti membuat suhu
kendaraan lebih tinggi dari suhu lingkungan, meyakinkan seluruh pintu
kendaraan dan pintu inkubator dalam keadaan tertutup, dan menggunakan
matras penghangat untuk membuat bayi lebih nyaman.

Bayi baru lahir dirujuk harus dalam keadaan stabil, ditandai dengan “warm,
pink, and sweet”. Komponen yang harus diperhatikan untuk
menciptakan kondisi stabil adalah“warm, pink, and sweet”:

a) Regulasi temperatur
b) Oksigenasi
c) Kadar glukosa
5) Pastikan bayi hangat
Bayi dalam kondisi hangat ditandai dengan suhu aksila 36,537,5°C. Bayi
dikenakan plastik transparan, diletakkan dalam inkubator, atau diterapkan
metode kanguru (pada fasilitas terbatas).
6) Pastikan bayi bernapas adekuat
a) Frekuensi napas: 40-60 kali per menit

124
b) Tidak ada tanda-tanda gangguan napas, misalnya napas cuping hidung,
retraksi, merintih, dan sianosis (dapat dinilai berdasarkan sistem penilaian
Down (Tabel 2)
Berikut adalah penatalaksanaan saat bayi mengalami desaturasi: a) Nilai monitor
saturasi berfungsi dengan baik.
b) Pastikan bayi berada pada posisi yang baik (usahakan posisi tengkurap).
c) Pengisapan jalan napas bila diperlukan.
d) Naikkan FiO2 5% hingga saturasi naik dan turunkan FiO2 bila saturasi melebihi
target.
e) Bayi dengan peningkatan episode desaturasi → pikirkan infeksi.
7) Pastikan sirkulasi baik
a) Denyut jantung normal 120-160 kali per menit
b) Waktu pengisian kapiler atau capillary refill time (CRT) ≤3 detik220
c) Akral hangat

e. Kelengkapan dokumentasi (Packaging)


Dokumentasi harus menyertai setiap proses transport neonatus yaitu surat
rujukan yang berisi keterangan tentang:
1) Identitas pasien dan orang tua
2) Catatan riwayat penyakit yang menjelaskan penyakit kehamilan, persalinan
dan keadaan pasca persalinan
3) Catatan medik keadaan sebelum dan selama
proses transportasi.
4) Termasuk informed consent.

Evaluasi klinis sebelum, selama transportasi neonatus sakit


dan sesudah sampai di RS rujukan harus dilakukan dan dicatat
dengan baik.
Level of evidence 1A, rekomendasi A

f. Alat transportasi (Transportation)

125
Kendaraan merupakan kunci utama berjalannya mekanisme merujuk36. Pilihan
jenis kendaraan tergantung pada ketersediaan alat transportasi, keadaan
geografik (darat, air, atau udara), kegawatdaruratan situasi, dan pengalaman
petugas.36 Newborn Amergency Transport Service (NETS) Sydney,
Australia menetapkan batasan penggunaan moda transportasi adalah jalan darat
(menggunakan ambulans) untuk jarak <50 km, helikopter untuk 50-500 km, dan
air ambulance untuk >500 km. Waktu respons tim transpor sangat
memengaruhi luaran. Waktu respons ini bukan hanya waktu yang dibutuhkan
oleh tim transpor untuk mencapai tempat kelahiran bayi, melainkan juga waktu
tim transpor untuk mempersiapkan semua peralatan dan perlengkapan
kemudian memobilisasinya ke kendaraan transpor. Waktu respons NETS yang
dilaporkan adalah 45-60 menit untuk jalan darat, 20-30 menit untuk helikopter,
dan 1-3 jam untuk air ambulance.36 210
Ambulans merupakan salah satu pilihan transportasi darat dengan jarak
tempuh yang dekat. Pada cuaca buruk ambulans dapat mencapai tujuan lebih
cepat dibandingkan dengan transportasi udara atau air. Keuntungan
menggunakan ambulans adalah biaya transportasi murah, dapat berjalan dalam
cuaca apapun, dan ruangan dalam ambulans relatif lapang sehingga dapat
memuat dua inkubator dan peralatan merujuk.202,209,203, Di Indonesia ambulans
dapat menjadi pilihan utama kendaraan transpor karena ambulans merupakan
kendaraan medis utama yang tersedia. Rumah sakit maupun puskesmas di
Indonesia sudah banyak yang memiliki ambulans. Di dalam ambulans, BBLR
diletakkan di dalam inkubator transpor dan inkubator tersebut difiksasi selama
perjalanan. Satu ambulans dapat menampung sampai dua buah inkubator.

Alat transportasi neonatus sakit dari fasilitas layanan


neonatus primer sampai pada layanan neonatus sekunder atau
tersier harus dapat menjaga keadaan neonatus tetap stabil
secara klinis, baik selama proses transportasi maupun setelah
sampai di tempat rujukan.
Level of evidence 1A, rekomendasi A

3.5 Analisis Biaya

Suatu rekomendasi untuk dapat diterima dan diaplikasikan dengan baik oleh
pemberi layanan kesehatan maupun perencana pelayanan kesehatan, harus
terbukti efektif secara klinis dan cost-effective dalam tata laksana suatu
penyakit atau keadaan. Belum ada studi yang melaporkan analisis biaya secara
rinci mengenai tata laksana BBLR sejak mekanisme resusitasi sampai mekanisme
merujuk. Berikut ini harga dasar peralatan (Gambar 29) dan obat-obatan yang

126
diperlukan dalam resusitasi, stabilisasi, dan merujuk BBLR, berdasarkan level
perawatan neonatal:

Tabel 12. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di perawatan neonatal level I

Alat / obat Harga satuan (Rp


,00)

Balon resusitasi jenis balon mengembang sendiri (self inflating


bag) yang dapat 5.000.000 menyediakan TPAE221
Timbangan bayi dengan ketepatan dua 750.000 angka222
Infant radiant warmer sederhana223 5.000.000
Stetoskop ABN Spectrum Lines bayi221 55.000
Oksigen konsentrator 5.000.000
Pulse Oxymeter yang dapat dilepas224 22.000.000
Syringe pump (5 buah)189 75.625.000
Baju kanguru 75.000

Tabel 13. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di perawatan neonatal level II

Alat / obat Harga satuan (Rp


,00)

Balon resusitasi jenis balon mengembang sendiri (self inflating


bag) yang dapat 5.000.000 menyediakan TPAE225
Timbangan bayi dengan ketepatan dua 750.000 angka221
Infant radiant warmer222 100.000.000
Stetoskop ABN Spectrum Lines bayi221 55.000
Oksigen konsentrator 5.000.000
Inkubator digital226 20.000.000

Inkubator transpor digital227 40.000.000

127
Alat analisis gula darah228 1.100.000
Syringe pump (5 buah)189 75.625.000
Pulse Oxymeter lengkap229 47.000.000
Continuous positive airway pressure 150.000.000
(CPAP)223
Laringoskop dengan daun lurus ukuran 0 2.750.000 dan 00
T-piece resuscitator230 22.000.000
Fototerapi 8.000.000
Baju kanguru 75.000

128
Tabel 14. Harga dasar alat medis dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di perawatan neonatal level III

Alat / obat Harga satuan (Rp


,00)

Balon resusitasi jenis balon mengembang sendiri (self inflating


bag) yang dapat 5.000.000 menyediakan TPAE222
Infant radiant warmer lengkap224 100.000.000 Timbangan bayi
dengan ketepatan dua 750.000 angka221
Stetoskop ABN Spectrum Lines bayi221 55.000
Sumber oksigen221 750.000
Ventilator231 525.000.000
Inkubator digital227 20.000.000
Inkubator transpor digital226 40.000.000
Monitor elektrokardiografi185 125.000.000
Alat analisis gas darah 206.250.000
Alat analisis gula darah227 1.100.000
Syringe pump (5 buah)189 75.625.000
Pulse Oxymeter229 47.000.000
Continuous positive airway pressure 150.000.000
(CPAP)228
Laringoskop dengan daun lurus ukuran 0 2.750.000 dan 00
T-piece resuscitator223 22.000.000
Fototerapi 8.000.000
Baju kanguru 75.000
Elektrokardiografi satu kanal225 30.000.000

Tabel 15. Harga barang medis habis pakai dalam resusitasi dan stabilisasi BBLR yang
harus ada di level perawatan neonatal I, II, dan III

Alat / obat Harga satuan (Rp ,00)

Pipa endotrakeal ukuran 2, 2,5, 3, 11.000

129
3,5, dan 4 mm232
Sarung tangan steril (1 pasang)233 3.600 Peralatan infus
IV (abocath, infusion line, alcohol swab 2 buah,
dan 34.200
plester 5 cm x 5 m)234,235
Selang oksigen threeway 38.600
Selang oksigen 15.000
Spuit 1 mL/3 mL/5 mL/10 mL 4.800/3.600/4.800/5.900 Kateter penghisap
ukuran 6, 8, 10, 5.000 dan 12233
Adrenalin/epinefrin ampul 0,1% (1 400 mL)236
Sulfas atropin ampul 0,25 mg/mL (1 1.000 mL)236
Dekstrosa 10% (kolf)237 9.000
Aminofilin injeksi 24 mg/mL (10 1.300 mL)235
Fenobarbital ampul 50 mg/mL (1 750
mL)235
Aqua steril vial 500 mL238 8.650
NaCl 0,9% (500 mL)239 15.000
NaCl 0,9% (100 mL) 12.700
Sodium bikarbonat 8,4% (25 mL) 33.350
Vit K1 ampul 2 mg/mL 1.500
Gas O2 (termasuk tabung oksigen isi 850.000
1 kubik, regulator, dan trolley)240

d
Gambar 27 Peralatan resusitasi

130
Merujuk bayi melalui jalan darat tersedia dengan mobil ambulans dengan
biaya sebagai berikut (pelayanan di wilayah DKI
Jakarta):241
1) Rp 300.000,00
a) Pelayanan pra-rumah sakit dari rumah/kediaman pasien ke rumah
sakit rujukan swasta maupun pemerintah.
b) Pelayanan rujukan antar rumah sakit (dari puskesmas ke rumah sakit,
dari klinik 24 jam ke rumah sakit, dari klinik bersalin ke rumah sakit,
rumah sakit ke rumah sakit, dan rumah sakit ke rumah/kediaman
pasien)
2) Rp 750.000,00
Pelayanan dari rumah sakit ke bandar udara, pelabuhan laut, atau stasiun
kereta api.
Merujuk bayi dapat juga menggunakan transportasi udara baik ke dalam maupun
ke luar negeri dengan perkiraan biaya sebagai berikut:242
1) Jakarta - Singapura: US$ 20.000 atau ± Rp
170.000.000,00 (kurs Rp 8.500,00)
2) Jakarta - Kuala Lumpur: US$ 27.000 atau ± Rp
229.500.000,00 (kurs Rp 8.500,00)
3) Jakarta - Surabaya: US$ 17.000 atau ± Rp 144.500.000,00 (kurs Rp 8.500,00)

131
BAB IV

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 TAHAP RESUSITASI

Resusitasi dilakukan pada kasus yang kesintasannya tinggi


atau yang kemungkinan morbiditasnya dapat diterima.
Tindakan resusitasi tidak dilakukan pada kasus dengan usia
gestasi, berat lahir, ataupun kelainan kongenital yang hampir
pasti menyebabkan kematian dini atau morbiditas yang sangat
berat. Pada kasus yang prognosisnya tidak pasti, keputusan
untuk resusitasi harus melibatkan pertimbangan orangtua.
(hlm 13)
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Resusitasi bayi baru lahir dapat dihentikan jika setelah


resusitasi yang adekuat tidak terdapat denyut jantung selama
10 menit.
(hlm 13)
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Pengukuran saturasi oksigen dan denyut jantung


menggunakan pulse oximeter hasilnya terpercaya jika
dilakukan mulai 30 detik pasca-lahir.
(hlm 18)
Level of evidence III, derajat rekomendasi C

Selama resusitasi, pencampur oksigen (blender) digunakan


untuk mengatur konsentrasi oksigen dan pulse oxymeter
dipasang untuk memantau saturasi oksigen.

132
(hlm 19)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Resusitasi bayi usia gestasi <32 minggu dimulai dengan fraksi


oksigen 30% atau 90% yang kemudian dititrasi. Hal ini
dilakukan dengan panduan oksimeter dan blender oksigen.
(hlm 19)
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

Jika pencampur oksigen (blender) tidak tersedia, resusitasi


bayi usia gestasi <32 minggu dimulai dengan udara ruangan
atau fraksi oksigen 21%. Suplementasi oksigen diberikan pada
resusitasi jika kondisi bayi tidak membaik atau saturasi
oksigen <70% pada usia 5 menit.
(hlm 20)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Pada bayi usia gestasi 32-37 minggu, resusitasi dimulai dengan


udara ruangan atau fraksi oksigen 21%. Suplementasi oksigen
diberikan pada resusitasi jika kondisi bayi tidak membaik atau
saturasi oksigen <70% pada usia 5 menit.
(hlm 20)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Pada bayi kurang bulan yang memerlukan bantuan ventilasi,


dengan bantuan alat, tekanan inisial yang dapat diberikan
adalah 20-25 cmH2O.
(hlm 20)
Level of evidence III, derajat rekomendasi C

133
Pada BBLSR yang bernapas spontan dan teratur saat lahir,
bantuan pernapasan diberikan berupa CPAP. Tindakan intubasi
hanya dilakukan untuk pemberian surfaktan jika ada indikasi.
(hlm 22)
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

Pada bayi kurang bulan yang sudah diintubasi di kamar


bersalin akibat gangguan napas, pemberian surfaktan dalam
dua jam pertama menurunkan risiko acute pulmonary injury,
mortalitas, maupun penyakit paru kronik.
(hlm 22)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Pada bayi kurang bulan (usia gestasi <33 minggu), pemberian


inflasi yang kontinu diikuti penggunaan NCPAP sejak di kamar
bersalin dibandingkan pemberian tekanan positif dengan balon
mengembang sendiri, menurunkan kejadian intubasi,
penggunaan ventilasi mekanis dalam 72 jam, dan kejadian
BPD.
(hlm 23)
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A
Pemberian surfaktan dini dengan ekstubasi segera (<1 jam)
kemudian digantikan oleh NCPAP, dibandingkan dengan
surfaktan selektif lambat dengan ventilasi mekanis kontinu dan
ekstubasi ketika dukungan ventilasi mekanis telah minimal,
menurunkan kejadian BPD dan pemakaian ventilasi mekanis
selama perawatan.
(hlm 23)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

134
Penggunaan T-piece resuscitator dibandingkan dengan
penggunaan balon resusitasi tanpa katup TPAE di kamar
bersalin, menurunkan risiko kegagalan CPAP.
(hlm 24)
Level of evidence III, derajat rekomendasi C

Dalam pemberian bantuan ventilasi pada bayi baru lahir, nasal


prong merupakan cara yang lebih efektif dibandingkan dengan
sungkup muka.
(hlm 24)
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

4.2 TAHAP STABILISASI

Glukosa IV diberikan segera setelah resusitasi untuk


menghindari hipoglikemia.
(hlm 26)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Terapi hipoglikemia dilakukan jika kadar gula darah neonatus


<45 mg/dL.
(hlm 27)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

135
Pada BBLR, pemeriksaan kadar gula darah dilakukan segera
setelah lahir dan diulang 2-4 jam kemudian.
(hlm 27)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Suhu kamar bersalin pada BBLR usia gestasi <28 minggu


sekurang-kurangnya 26˚C.
(hlm 30)
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Suhu ruang perawatan BBLR adalah 25-28˚C.


(hlm 32)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Penggunaan radiant warmer meningkatkan insensible water


loss (IWL) sehingga perhitungan kebutuhan cairan perlu
disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap bayi.
(hlm 34)
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

Metode perawatan metode kanguru (PMK) efektif untuk


mencegah hipotermia pada BBLR di sarana dengan fasilitas
terbatas.
(hlm 35)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Membungkus bayi dengan berat lahir <1500 g dan/atau usia


gestasi <28 minggu menggunakan plastik transparan setinggi

136
leher sampai kaki, tanpa mengeringkan bayi terlebih dahulu,
mengurangi kejadian hipotermia.
(hlm 36)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Pada bayi baru lahir usia gestasi <28 minggu, kombinasi


setting suhu kamar bersalin sekurang-kurangnya 26°C dan
penggunaan plastik polythene merupakan metoda yang paling
efektif untuk mempertahankan temperatur.
(hlm 36)
Level of evidence II, derajat rekomendasi B

Penggunaan aliran oksigen yang telah dihangatkan dan


dilembabkan (heated and humidified air) mengurangi kejadian
hipotermia pada BBLR.
(hlm 37)
Level of evidence III, derajat rekomendasi C

Target saturasi oksigen dalam fase stabilisasi adalah 88-92%.


(hlm 40)
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

Pemberian terapi oksigen harus secara terbatas (restricted) dan


terpantau kadarnya dalam darah.
(hlm 49)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Terapi oksigen dalam kadar rendah yaitu 30% menurunkan


risiko ROP dan BPD.

137
(hlm 49)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Penghentian terapi oksigen dilakukan secara bertahap.


(hlm 49)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Dalam penanganan hipotensi bayi prematur yang baru lahir,


albumin tidak terbukti lebih bermanfaat dibandingkan dengan
normal saline.
(hlm 57)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Pemberian sodium bikarbonat dalam resusitasi di kamar


bersalin belum terbukti bermanfaat menurunkan mortalitas
dan morbiditas bayi baru lahir.
(hlm 57)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Dopamin dosis rendah/sedang (<10 mcg/kg per menit) sama


efektif dengan epinefrin dosis rendah (0,5 mcg/kg per menit)
dalam mengatasi hipotensi pada BBLR.
(hlm 58)
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

Pada bayi yang tidak membutuhkan resusitasi, penundaan


pemotongan tali pusat selama 30 detik sampai tiga menit,
menghasilkan tekanan darah bayi yang lebih baik pada fase

138
stabilisasi, mengurangi risiko perdarahan intraventrikular, dan
mengurangi risiko keterlambatan perkembangan motorik.
(hlm 60)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Ibuprofen sebagai profilaksis PDA belum terbukti bermanfaat


dalam jangka panjang, sehingga penggunaannya belum
direkomendasikan.
(hlm 61)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

Vitamin K1 diberikan kepada semua bayi baru lahir untuk


mencegah perdarahan akibat defisiensi vitamin K.
(hlm 62)
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A

4.3 MEKANISME MERUJUK

Transportasi intrauteri lebih diutamakan pada ibu dengan


kehamilan risiko tinggi dibandingkan dengan transport
neonatus dengan risiko tinggi.
(hlm 87)
Level of evidence 1A, rekomendasi A

Transport neonatus yang diperlukan dalam proses rujukan


untuk mendapatkan proses diagnosis dan tatalaksana di
fasilitas layanan neonatus lebih lengkap, perlu dilaksanakan
oleh tenaga medis dengan kerja sama tim dan kompetensi
yang baik. (hlm 88)
Level of evidence 1A, rekomendasi A

139
Penilaian indikasi dan keadaan klinis neonatus sakit yang akan
dirujuk harus dilakukan sebelum proses transport
dilaksanakan.
(hlm 89)
Level of evidence 1A, rekomendasi A

Sistem transport neonatus sakit terdiri dari kompetensi tenaga


medis yang melaksanakan dengan alat kedokteran untuk
proses transport dan panduan dalam melaksanakan
transportasi neonatus sakit harus terjaga dengan baik.
(hlm 91)
Level of evidence 1A, rekomendasi A

Komunisasi informasi dan edukasi terhadap orang tua pasien


harus dilaksanakan dengan sejelas-jelasnya dengan hasil akhir
ditanda tanganinya informed consent. Komunikasi antara
dokter penanggung jawab, tim transport neonatus sakit dan
dokter penanggung jawab di RS rujukan harus dilakukan dan
tercatat dengan baik.
(hlm 91)
Level of evidence 1A, rekomendasi A

Evaluasi klinis sebelum, selama transportasi neonatus sakit


dan sesudah sampai di RS rujukan harus dilakukan dan dicatat
dengan baik.
(hlm 95)
Level of evidence 1A, rekomendasi A

Alat transportasi neonatus sakit dari fasilitas layanan


neonatus primer sampai pada layanan neonatus sekunder atau
tersier harus dapat menjaga keadaan neonatus tetap stabil
secara klinis, baik selama proses transportasi maupun setelah
sampai di tempat rujukan.

140
(hlm 96)
Level of evidence 1A, rekomendasi A

141
DAFTAR RUJUKAN

1. United Nations Children's Fund. Basic Indicators [UNICEF Website]. 2011. (Accessed
July 07, 2011, at https://www.unicef.org/infobycountry/stats_popup1.html.)
2. Lawn JE, Cousens S, Zupan J. Lancet Neonatal Survival Steering Team. 4 million
neonatal deaths: when? Where? Why? Lancet 2005;365:891-900.
3. Lawn JE, Osrin D, Adler A, Cousens S. Four million neonatal deaths: counting and
attribution of cause of death. Paediatr Perinat Epidemiol 2008;22:410-6.
4. Central Intelligence Agency. The World Factbook: Infant Mortality Rates of The
World [CIA Website]. 2011. (Accessed July 11, 2011, at
http://world.bymap.org/InfantMortality.html.)
5. Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI; 2017.
6. United Nation. Millennium Development Goals. UN, 2015. (Accessed Jan, 2018, at
https://www.un.org/millenniumgoals/.)
7. United Nations Children’s Fund and World Health Organization. Low Birthweight:
Country, regional and global estimates. New York2004.
8. Roberts G, Anderson PJ, Cheong J, Doyle LW. Parent‐reported health in extremely
preterm and extremely low‐birthweight children at age 8 years compared with
comparison children born at term. Dev Med Child Neurol 2011;53:927-32.
9. Walden RV, Taylor SC, Hansen NI, et al. Major congenital anomalies place extremely
low birth weight infants at higher risk for poor growth and developmental outcomes.
Pediatrics 2007;120:e1512-19.
10. De-Kieviet JF, Piek JP, Aarnoudse-Moens CS, Oosterlaan J. Motor development in
very preterm and very low-birth-weight children from birth to adolescence: a meta-
analysis. JAMA 2009;302:2235-42.
11. Shah P, Ohlsson A. Literature review of low birth weight, including small for
gestational age and preterm birth. Toronto, Toronto Public Health 2002.
12. Lewit EM, Baker LS, Corman H, Shiono PH. The direct cost of low birth weight.
Future Child 1995:35-56.
13. WHO. Born too soon: The global action report on preterm birth. Switzerland: WHO
Press; 2012.
14. Cavallo MC, Gugiatti A, Fattore G, Gerzelli S, Barbieri D, Zanini R. Cost of care and
social consequences of very low birth weight infants without premature-related
morbodity. Italian J Pediatr 2015;41:1-12.
15. Lopez NB, Choonara I. Can we reduce the number of low-birth-weight babies? The
Cuban experience. Neonatology 2009;95:193-7.
16. Badan Pusat Statistik. Survei sosial dan ekonomi nasional. Jakarta; BPS2005.
17. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2013.
18. Rundjan L, Rohsiswatmo R. Resusitasi Neonatus UKK Neonatologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia 2017.
19. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2007.
20. Lasswell SM, Barfield WD, Rochat RW, Blackmon L. Perinatal regionalization for
very low-birth-weight and very preterm infants: a meta-analysis. JAMA
2010;304:9921000.

142
21. Mercier CE, Dunn MS, Ferrelli KR, Howard DB, Soll RF. Vermont Oxford Network
ELBW Infant Follow-Up Study Group. Neurodevelopmental outcome of extremely
low birth weight infants from the Vermont Oxford network: 1998–2003. Neonatology
2010;97:32938.
22. Ribeiro LA, Zachrisson HD, Schjolberg S, Aase H, Rohrer-Baumgartner N, Magnus P.
Attention problems and language development in preterm low-birth-weight children:
Crosslagged relations from 18 to 36 months. BMC Pediatr 2011;11:59.
23. Robertson CMT, Howarth TM, Bork DLR, Dinu IA. Permanent bilateral sensory and
neural hearing loss of children after neonatal intensive care because of extreme
prematurity: a thirty-year study. Pediatrics 2009;123:e797-07.
24. Hahn WH, Chang JY, Chang YS, Shim KS, Bae CW. Recent trends in neonatal
mortality in very low birth weight Korean infants: in comparison with Japan and the
USA. J Korean Med Sci 2011;26:467-73.
25. Martin JA, Kung HC, Mathews TJ, et al. Annual summary of vital statistics: 2006.
Pediatrics 2008;121:788-801.
26. Pei L, Chen G, Mi J, et al. Low birth weight and lung function in adulthood:
retrospective cohort study in China, 1948–1996. Pediatrics 2010;125:e899-905.
27. Manktelow BN, Draper ES, Annamalai S, Field D. Factors affecting the incidence of
chronic lung disease of prematurity in 1987, 1992, and 1997. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2001;85:F33-5.
28. Kwinta P, Klimek M, Drozdz D, et al. Assessment of long-term renal complications in
extremely low birth weight children. Pediatr Nephrol 2011;26:1095-103.
29. Mackay CA, Ballot DE, Cooper PA. Growth of a cohort of very low birth weight
infants in Johannesburg, South Africa. BMC Pediatr 2011;11:50.
30. Aarnoudse-Moens CS, Weisglas-Kuperus N, Van-Goudoever JB, Oosterlaan J. Meta-
analysis of neurobehavioral outcomes in very preterm and/or very low birth weight
children. Pediatrics 2009;124:717-28.
31. Hameed B, Shyamanur K, Kotecha S, et al. Trends in the incidence of severe
retinopathy of prematurity in a geographically defined population over a 10-year
period. Pediatrics 2004;113:1653-7.
32. Stephens BE, Bann CM, Poole WK, Vohr BR. Neurodevelopmental impairment:
predictors of its impact on the families of extremely low birth weight infants at 18
months.
Infant Ment Health J 2008;29:570-87.
33. Stark AR. Levels of neonatal care. Pediatrics 2004;114:1341-7.
34. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians and
Gynecologists. Guidelines for perinatal care: Amer Academy of Pediatrics; 2002.
35. Committee on Fetus and Newborn. Levels of neonatal care. Pediatrics 2012;130:587.
36. Gill AB, Bottomley L, Chatfield S, Wood C. Perinatal transport: problems in neonatal
intensive care capacity. Arch Dis Child Fetal NeonataL Ed 2004;89:F220-3.
37. Cusack JM, Field DJ, Manktelow BN. Impact of service changes on neonatal transfer
patterns over 10 years. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2007;92:F181-4.
38. Karlsen K. Post-Resuscitation/Pre-Transport Stabilization Care of Sick Infants,
Guidelines for Neonatal Healthcare Providers. Utah: The S.T.A.B.L.E; 2006.
39. Enweronu-Laryea C, Nkyekyer K, Rodrigues OP. The impact of improved neonatal
intensive care facilities on referral pattern and outcome at a teaching hospital in Ghana.
J Perinatol 2008;28:561-5.
40. Ballot DE, Chirwa TF, Cooper PA. Determinants of survival in very low birth weight
neonates in a public sector hospital in Johannesburg. BMC Pediatr 2010;10:30.

143
41. Vonderweid UD, Carta A, Chiandotto V, et al. Italian Multicenter Study on Very Low
Birth Weight Babies. Ann Ist Super Sanita 1991;27:633-50.
42. Vakrilova L, Kalaĭdzhieva M, Slŭncheva B, Popivanova A, Metodieva V, Garnizov T.
Resuscitation in very low birth weight and extremely low birth weight newborns in the
delivery room. Akush Ginekol (Mosk) 2002;41:18-23.
43. Basu S, Rathore P, Bhatia BD. Predictors of mortality in very low birth weight
neonates in India. Singapore Med J 2008;49:556.
44. Almeida MF, Guinsburg R, Martinez FE, et al. Perinatal factors associated with early
deaths of preterm infants born in Brazilian Network on Neonatal Research centers. J
Pediatr (Rio J) 2008;84:300-7.
45. Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. Survival and outcome of very low birth weight
infants born in a university hospital with level II NICU. J Med Assoc Thai
2007;90:1323. 46. Velaphi SC, Mokhachane M, Mphahlele RM, Beckh-Arnold E,
Kuwanda ML, Cooper PA. Survival of very-low-birth-weight infants according to
birth weight and gestational age in a public hospital. S Afr Med J 2005;95:504-9.
47. Tsou KI, Tsao PN. The morbidity and survival of very-low-birth-weight infants in
Taiwan. Acta Paediatr Taiwan 2003;44:349-55.
48. Anthony S, Den-Ouden L, Brand R, Verloove-Vanhorick P, Gravenhorst JB. Changes in
perinatal care and survival in very preterm and extremely preterm infants in The
Netherlands between 1983 and 1995. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2004;112:170-7.
49. Darlow BA, Cust AE, Donoghue DA. Improved outcomes for very low birthweight
infants: evidence from New Zealand national population based data. Arch Dis Child Fetal
and Neonatal Ed 2003;88:F23-8.
50. Cifuentes J, Bronstein J, Phibbs CS, Phibbs RH, Schmitt SK, Carlo WA. Mortality in
low birth weight infants according to level of neonatal care at hospital of birth. Pediatrics
2002;109:745-51.
51. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, et al. on behalf of the Neonatal Resuscitation
Chapter Collaborators. Part 7: neonatal resuscitation: 2015 International Consensus on
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with
Treatment Recommendations. Circulation 2015;132(suppl 1):S204-41.
52. Saugstad OD. New guidelines for newborn resuscitation. Acta Paediatr 2007;96:333-
7.
53. Verlato G, Grobber D, Drabo D, Chiandetti L, Drigo P. Guidelines for resuscitation in
the delivery room of extremely preterm infants J Child Neurol 2004:31-4.
54. Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, et al. Part 13: neonatal resuscitation: 2015
American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care Circulation 2015;132(suppl 2):S543-60.
55. Aziz K, Chadwick M, Baker M, Andrews W. Ante-and intra-partum factors that
predict increased need for neonatal resuscitation. Resuscitation 2008;79:444-52.
56. Zaichkin J, Weiner G, C M. Instructor manual for neonatal resuscitation. Pediatrics;
2011.
57. Kattwinkel J, Perlman JM, Aziz K, et al. Part 15: neonatal resuscitation: American
Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation 2010;122(18 suppl 3):S909-19.
58. Wylie J, Perlman JM, Kattwinkel J, et al. Part 11: neonatal resuscitation: 2010
International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular care Science With Treatment Recommendation. Circulation 2010:S516-
38.
59. Mariani G, Dik PB, Ezquer A, et al. Pre-ductal and post-ductal O2 saturation in
healthy term neonates after birth. J Pediatr 2007;150:418-21.

144
60. Vain NE, Szyld EG, Prudent LM, Wiswell TE, Aguilar AM, Vivas NI. Oropharyngeal
and nasopharyngeal suctioning of meconium-stained neonates before delivery of their
shoulders: multicentre, randomised controlled trial. The Lancet 2004;364:597-602.
61. Dannevig I, Solevåg AL, Saugstad OD, Nakstad B. Lung Injury in Asphyxiated
Newborn Pigs Resuscitated from Cardiac Arrest-The Impact of Supplementary Oxygen,
Longer Ventilation Intervals and Chest Compressions at Different Compression-to-
Ventilation Ratios. Open Respir Med J 2012;6:89.
62. Dannevig I, Solevåg AL, Sonerud T, Saugstad OD, Nakstad B. Brain inflammation
induced by severe asphyxia in newborn pigs and the impact of alternative resuscitation
strategies on the newborn central nervous system. Pediatr Res 2013;73:163.
63. Hemway RJ, Christman C, Perlman J. The 3: 1 is superior to a 15: 2 ratio in a
newborn manikin model in terms of quality of chest compressions and number of
ventilations. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 2012;Apr 1:fetalneonatal-2011.
64. Solevåg AL, Dannevig I, Wyckoff M, Saugstad OD, Nakstad B. Extended series of
cardiac compressions during CPR in a swine model of perinatal asphyxia. Resuscitation
2010;81:1571-6.
65. Solevåg AL, Dannevig I, Wyckoff M, Saugstad OD, Nakstad B. Return of
spontaneous circulation with a compression: ventilation ratio of 15: 2 versus 3: 1 in
newborn pigs with cardiac arrest due to asphyxia. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
2011:fetalneonatal200386.
66. Solevåg AL, Madland JM, Gjærum E, Nakstad B. Minute ventilation at different
compression to ventilation ratios, different ventilation rates, and continuous chest
compressions with asynchronous ventilation in a newborn manikin. Scand J Trauma
Resus 2012;20:73.
67. Harrington DJ, Redman CW, Moulden M, Greenwood CE. The long-term outcome in
surviving infants with Apgar zero at 10 minutes: a systematic review of the literature and
hospital-based cohort. Am J Obstet Gynecol 2007;196:463.e1-5.
68. Kasdorf E, Laptook A, Azzopardi D, Jacobs S, Perlman JM. Improving infant
outcome with a 10 min Apgar of 0. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed
2014:fetalneonatal-2014306687.
69. Laptook AR, Shankaran S, Ambalavanan N. Hypothermia subcommittee of the
NICHD neonatal research network outcome of term infants using apgar scores at 10
minutes following hypoxic–ischemic encephalopathy. Pediatrics 2009;124:1619-26.
70. Patel H, Beeby PJ. Resuscitation beyond 10 minutes of term babies born without signs
of life. J Paediatr Child Health 2004;40:136-8.
71. Sarkar S, Bhagat I, Dechert RE, Barks JD. Predicting death despite therapeutic
hypothermia in infants with hypoxic-ischaemic encephalopathy. Arch Dis Child Fetal
and Neonatal Ed 2010;95:F423-8.
72. Reynolds R, Pilcher J, Ring A, Johnson R, McKinley P. The Golden Hour: care of the
LBW infant during the first hour of life one unit's experience. Neonatal Netw
2009;28:21119.
73. Vento M, Cheung PY, Aguar M. The first golden minutes of the extremely-
lowgestational-age neonate: a gentle approach. Neonatology 2009;95:286-98.
74. The Royal Women's Hospital. Intensive and special care nurseries,clinician's
handbook. Melbourne: The Royal Women's Hospital; 2007.
75. Gungor S, Kurt E, Teksoz E, Goktolga U, Ceyhan T, Baser I. Oronasopharyngeal
suction versus no suction in normal and term infants delivered by elective cesarean
section: a prospective randomized controlled trial. Gynecol Invest 2006;61:9-14.

145
76. Waltman PA, Brewer JM, Rogers BP, May WL. Building evidence for practice: a
pilot study of newborn bulb suctioning at birth. J Midwifery Womens Health 2004;49:32-
8.
77. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline: Intrapartum Fetal
Surveillance. State of Queensland2010.
78. Richmond S, Wyllie J. European Resuscitation Council guidelines for resuscitation
2010. Resuscitation 2010;81:1389-99.
79. Chen M, Mcniff C, Madan J, Goodman E, Davis JM, Dammann O. Maternal obesity
and neonatal Apgar scores. J Matern Fetal Neonatal Med 2010;23:89-95.
80. Doyle LW. Outcome at 5 years of age of children 23 to 27 weeks' gestation: refining
the prognosis. Pediatrics 2001;108:134-41.
81. Marlow N, Wolke D, Bracewell MA, Samara M. Neurologic and developmental
disability at six years of age after extremely preterm birth. N Engl J Med 2005;352:9-19.
82. De-Leeuw R, Cuttini M, Nadai M, et al. Treatment choices for extremely preterm
infants: an international perspective. J Pediatr 2000;137:608-16.
83. Costeloe K, Hennessy E, A T Gibson, Marlow N, Wilkinson AR. EPICure Study Group.
The EPICure study: outcomes to discharge from hospital for infants born at the threshold of
viability. Pediatrics 2000;106:659-71.
84. Field DJ, Dorling JS, Manktelow BN, Draper ES. Survival of extremely premature babies
in a geographically defined population: prospective cohort study of 1994-9 compared with
2000-5. BMJ 2008;336:1221-3.
85. Casalaz DM, Marlow N, Speidel BD. Outcome of resuscitation following unexpected
apparent stillbirth. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 1998;78:F112-5.
86. Laptook AR, Shankaran S, Ambalavanan N, et al. Outcome of term infants using apgar
scores at 10 minutes following hypoxic-ischemic encephalopathy. Pediatrics 2009;124:1619-
26.
87. Chamnanvanakij S, Perlman JM. Outcome following cardiopulmonary resuscitation in the
neonate requiring ventilatory assistance. Resuscitation 2000;45:173-80.
88. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan
resusitasi neonatus. Jakarta: Perinasia; 2006.
89. Neoresus. Positive pressure ventilation device. (Accessed Aug 24, 2011, at
http://www.neoresus.org.au/pages/LM1-7-Breathing.php.)
90. Armanian AM, Badiee Z. Resuscitation of preterm newborns with low concentration
oxygen versus high concentration oxygen. J Res Pharm Pract 2012;1:25.
91. Kapadia VS, Chalak LF, Sparks JE, Allen JR, Savani RC, Wyckoff MH. Resuscitation of
preterm neonates with limited versus high oxygen strategy. Pediatrics 2013;132:e1488e96.
92. Lundstrøm KE, Pryds O, Greisen G. Oxygen at birth and prolonged cerebral
vasoconstriction in preterm infants. Arch Dis Child Fetal and Neonatal Ed 1995;73:F81-F6.
93. Rabi Y, Singhal N, Nettel-Aguirre A. Room-air versus oxygen administration for
resuscitation of preterm infants: the ROAR study. Pediatrics 2011:peds. 2010-3130.
94. Rook D, Schierbeek H, Vento M, et al. Resuscitation of preterm infants with different
inspired oxygen fractions. J Pediatr 2014;164:1322-26.e3.
95. Vento M, Moro M, Escrig R, et al. Preterm resuscitation with low oxygen causes less
oxidative stress, inflammation, and chronic lung disease. Pediatrics 2009;124:e439-49.
96. Wang CL, Anderson C, Leone TA, Rich W, Govindaswami B, Finer NN. Resuscitation of
preterm neonates by using room air or 100% oxygen. Pediatrics 2008;121:1083-9.
97. Neonatal Clinical Practice Guideline. Oxygen therapy in newborns. Winnipeg Regional
Health Authority; 2015.
98. Finer N, Saugstad O, Vento M, et al. Use of oxygen for resuscitation of the extremely low
birth weight infant. Pediatrics 2010;125:389-91.

146
99. Asikainen TM, White CW. Antioxidant defenses in the preterm lung: role for hypoxia-
inducible factors in BPD? Toxicol Appl Pharmacol 2005;203:177-88.
100. Vento M, Asensi M, Sastre J, Lloret A, García-Sala F, Viña J. Oxidative stress in
asphyxiated term infants resuscitated with 100% oxygen. J Pediatr 2003;142:240-6. 101. Bajaj
N, Udani RH, Nanavati RN. Room air vs. 100 per cent oxygen for neonatal resuscitation: a
controlled clinical trial. J Trop Pediatr 2005;51:206-11.
102. Vento M, Asensi M, Sastre J, Garcıa-Sala F, Pallardó FV, Vina J.
Resuscitation with room air instead of 100% oxygen prevents oxidative stress in
moderately asphyxiated term neonates. Pediatrics 2001;107:642-7.
103. Escrig R, Arruza L, Izquierdo I, et al. Achievement of targeted saturation
values in extremely low gestational age neonates resuscitated with low or high oxygen
concentrations: a prospective, randomized trial. Pediatrics 2008;121:875-81.
104. Saugstad OD, Ramji S, Soll RF, Vento M. Resuscitation of newborn infants
with 21% or 100% oxygen: an updated systematic review and meta-analysis.
Neonatology 2008;94:176-82.
105. Rabi Y, Rabi D, Yee W. Room air resuscitation of the depressed newborn: a
systematic review and meta-analysis. Resuscitation 2007;72:353-63.
106. Davis PG, Tan TA, O'Donnell CPF, Schulze A. Resuscitation of newborn
infants with 100% oxygen or air: a systematic review and meta-analysis. Lancet
2004;364:1329-33. 107. Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal
lung disease. Acta Paediatrica 2002;91:23-5.
108. Bell EF. Preventing necrotizing enterocolitis: what works and how safe?
Pediatrics 2005;115:173-4.
109. Stola A, Schulman J, Perlman J. Initiating delivery room
stabilization/resuscitation in very low birth weight (VLBW) infants with an FiO2 less
than 100% is feasible. J Perinatol 2009;29:548-52.
110. Lindner W, Voßbeck S, Hummler H, Pohlandt F. Delivery room management
of extremely low birth weight infants: spontaneous breathing or intubation? Pediatrics
1999;103:961-7.
111. Finer NN, Carlo WA, Duara S, et al. Delivery room continuous positive
airway pressure/positive end-expiratory pressure in extremely low birth weight infants: a
feasibility trial. Pediatrics 2004;114:651-7.
112. Morley CJ, Davis PG, Doyle LW, Brion LP, Hascoet JM, Carlin JB. Nasal
CPAP or intubation at birth for very preterm infants. N Engl J Med 2008;358:700-8.
113. Support Study Group of the Eunice Kennedy Shriver NICHD Neonatal
Research Network. Early CPAP versus surfactant in extremely preterm infants. N Engl J
Med 2010;2010:1970-9.
114. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, et al. European consensus guidelines on
the management of respiratory distress syndrome-2016 update. Neonatology
2017;111:10725.
115. Sweet DG, Carnielli V, Greisen G, et al. European consensus guidelines on
the management of neonatal respiratory distress syndrome in preterm infants-2013
update. Neonatology 2013;103:353-68.
116. Papile LA, Baley JE, Benitz W, et al. Respiratory support in preterm infants
at birth. Pediatrics 2014;133:171-4.
117. Stevens TP, Blennow M, Myers EH, Soll R. Early surfactant administration
with brief ventilation vs. selective surfactant and continued mechanical ventilation for
preterm infants with or at risk for respiratory distress syndrome. Cochrane Libr 2007.

147
118. Göpel W, Kribs A, Ziegler A, et al. Avoidance of mechanical ventilation by
surfactant treatment of spontaneously breathing preterm infants (AMV): an open-label,
randomised, controlled trial. Lancet 2011;378:1627-34.
119. Dargaville PA, Aiyappan A, Paoli AGD, et al. Minimally-invasive surfactant
therapy in preterm infants on continuous positive airway pressure. Arch Dis Child Fetal
and Neonatal Ed 2013;98:F122-6.
120. Göpel W, Kribs A, Härtel C, et al. Less invasive surfactant administration is
associated with improved pulmonary outcomes in spontaneously breathing preterm
infants. Acta Paediatr 2015;104:241-6.
121. Kribs A, Roll C, Göpel W, et al. Nonintubated surfactant application vs
conventional therapy in extremely preterm infants: a randomized clinical trial. JAMA
Pediatr 2015;169:723-30.
122. Kanmaz HG, Erdeve O, Canpolat FE, Mutlu B, Dilmen U. Surfactant
administration via thin catheter during spontaneous breathing: randomized controlled
trial. Pediatrics 2013;131:e502-9.
123. More K, Sakhuja P, Shah PS. Minimally invasive surfactant administration in
preterm infants: a meta-narrative review. JAMA Pediatr 2014;168:901-8.
124. Minocchieri S, Knoch S, Schoel WM, Ochs M, Nelle M. Nebulizing
poractant alfa versus conventional instillation: Ultrastructural appearance and
preservation of surface activity. Pediatr Pulmonol 2014;49:348-56.
125. Ardell S, Pfister RH, Soll R. Animal derived surfactant extract versus protein
free synthetic surfactant for the prevention and treatment of respiratory distress syndrome.
Cochrane Database Syst Rev 2015;8.
126. Curstedt T, Halliday HL, Speer CP. A unique story in neonatal research: the
development of a porcine surfactant. Neonatology 2015;107:321-9.
127. Singh N, Halliday HL, Stevens TP, Soll R. Comparison of animal-derived
surfactants for the prevention and treatment of respiratory distress syndrome in preterm
infants. status and date: New, published in 2015.
128. Soll R. Early versus delayed selective surfactant treatment for neonatal
respiratory distress syndrome. Cochrane Database Syst Rev 1999;4.
129. Dargaville PA, Aiyappan A, De-Paoli AG, et al. X Continuous positive
airway pressure failure in preterm infants: incidence, predictors and consequences.
Neonatology 2013;104:8-14.
130. Soll R, Özek E. Multiple versus single doses of exogenous surfactant for the
prevention or treatment of neonatal respiratory distress syndrome. Cochrane Libr 2009.
131. Dani C, Corsini I, Poggi C. Risk factors for intubation–surfactant–extubation
(INSURE) failure and multiple INSURE strategy in preterm infants. Early Hum Dev
2012;88:S3-4.
132. Finer NN, Rich W, Craft A, Henderson C. Comparison of methods of bag and
mask ventilation for neonatal resuscitation. Resuscitation 2001;49:299-305.
133. Milner A. The importance of ventilation to effective resuscitation in the term
and preterm infant. In: Proceedings of the Seminars in Neonatology. 2001. p. 219-24.
134. Capasso L, Capasso A, Raimondi F, Vendemmia M, Araimo G, Paludetto R. A
randomized trial comparing oxygen delivery on intermittent positive pressure with nasal
cannulae versus facial mask in neonatal primary resuscitation. Acta Paediatr
2005;94:197200.
135. Dodman N. Warm, pink and sweet. Perinatal outreach program of Southwestern
Ontario 2003.
136. Salhab WA, Wyckoff MH, Laptook AR, Perlman JM. Initial hypoglycemia and
neonatal brain injury in term infants with severe fetal acidemia. Pediatrics 2004;114:3616.

148
137. Husaini L, Rohsiswatmo R, Oswari H. X Efektivitas T-Piece resuscitator
sebagai pengganti penggunaan continous positive airway pressure (CPAP) dini di kamar
bersalin dalam menurunkan kegagalan CPAP pada bayi prematur dengan gangguan napas
[PhD thesis]. 2011; .
138. Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal lung disease.
Acta Paediatr 2002;91:23-5.
139. Bisquera JA, Cooper TR, Berseth CL. Impact of necrotizing enterocolitis on
length of stay and hospital charges in very low birth weight infants. Pediatrics
2002;109:423-8. 140. Altuncu E, Özek E, Bilgen H, Topuzoglu A, Kavuncuoglu S.
Percentiles of oxygen saturations in healthy term newborns in the first minutes of life. Eur J
Pediatr 2008;167:6878.
141. American Academy of Pediatrics. The action plan. (Accessed Aug 08, 2011, at
www.helpingbabiesbreathe.org/docs/ActionPlan.pdf.)
142. Ondoa-Onama C, Tumwine JK. Immediate outcome of babies with low Apgar
score in Mulago Hospital, Uganda. East Afr Med J 2003;80:22-9.
143. Adamkin DH. Neonatal hypoglycemia. Seminars in Fetal and Neonatal Medicine;
Elsevier; 2017. p. 36-41.
144. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology: management,
procedures, on-call problems, diseases, and drugs: McGraw-Hill Education Medical; 2013.
145. WHO. Managing newborn-problems: a guide for doctors, nurses and midwives. . Geneva:
World Health Organization; 2003.
146. Adamkin DH. Postnatal glucose homeostasis in late-preterm and term infants.
Pediatrics 2011;127:575-9.
147. Rozance PJ, Hay WW. New approaches to management of neonatal hypoglycemia.
Matern Health Neonatol Perinatol 2016;2:3.
148. Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR. Hypoglycemia and hyperglycemia. 6th ed:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
149. Sweet CB, Grayson S, Polak M. Management strategies for neonatal hypoglycemia.
J Pediatr Pharmacol Ther 2013;18:199-208.
150. Soll RF. Heat loss prevention in neonates. J Perinatol 2008;28:S57-9.
151. Knobel RB, Wimmer JE, Holbert D. Heat loss prevention for preterm infants in the
delivery room. J Perinatol 2005;25:304-8.
152. WHO. Pregnancy, childbirth, postpartum and newborn care: a guide for essential
practice. . Geneva: World Health Organization; 2003.
153. Flenady V, Woodgate PG. Radiant warmers versus incubators for regulating body
temperature in newborn infants. Cochrane Libr 2003.
154. Suradi R, Rohsiswatmo R, Dewi R, Endyarni B, Rustina Y. Health Technology
Assesment Indonesia. Perawatan bayi baru lahir (BBLR) dengan metode kangguru.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.
155. Conde-Agudelo A, Belizan JM, Diaz-Rossello. Kangaroo mother care to reduce
morbidity and mortality in low birthweight infants. Cochrane Database Syst Rev 2011.
156. Asia PE cling wrap. at http://www.asoa.ru/en/Productinfo/5347552.html.)
157. Newborn services clinical guideline at
http://www.asia.ru/en/Productinfo/534752.html.)
158. McCall EM, Alderdice FA, Halliday HL, Jenkins JG, Vohra S. Interventionist to
prevent hypothermia at birth in preterm and/or low birth weight infants.
Cochrane Database Syst Rev 2003.
159. Kent AL, Williams J. Increasing ambient operating theatre temperature and
wrapping in polyethylene improves admission temperature in premature infants. J
Paediatr Child Health 2008;44:325-31.

149
160. The International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR). Consensus on
science with treatment recommendations for pediatric and neonatal patients:
pediatric basic and advanced life support. Pediatrics 2006;117:e955-7.
161. Te-Pas AB, Lopriore E, Dito I, Morley CJ, Walther FJ. Humidified and heated air
during stabilization at birth improves temperature in preterm infants. Pediatrics
2010;125:e1427-32.
162. Kaushal M, Agarwal R, Singal A, et al. Cling wrap, an innovative intervention for
temperature maintenance and reduction of insensible water loss in very low-
birthweight babies nursed under radiant warmers: a randomized, controlled trial.
Ann Trop Paediatr 2005;25:111-18.
163. WHO Collaborating Center for Training and Research in Newborn Care. NNF
Teaching Aids: Respiratory Stress in a Newborn Baby. Department of Pediatrics,
Division of Neonatology, WHO-CC for Training and Research in Newborn Care,
2005. (Accessed Sept
22, 2011, at http://www.newbornwhocc.org/pdf/teaching-aids/respiratorydistress.pdf.)
164. Mathai SS, Raju U, Kanitkar M. Management of respiratory distress in the newborn.
Med J Armed Forces India 2007;63:269.
165. Respiratory assessment of the newborn (Accessed Sept 22, 2011, at
http://puffnicu.tripod.com/rd.html.)
166. Fauroux B, Clément A. Requisite for stringent control of oxygen therapy in the
neonatal period. Eur Respir J 2007.
167. Jobe AH, Kallapur SG. Long term consequences of oxygen therapy in the
neonatal period. In: Proceedings of the Seminars in Fetal and Neonatal Medicine; 2010:
Elsevier. p. 230-5.
168. Juniatiningsih A. Oxygen therapy in neonatal: how to implement with limited
facilities. In: Proceedings of the 2nd Indonesia National Workshop & Seminar on ROP:
how to prevent retinopathy of prematuriy with limited facilities in Indonesia 2010;
Surabaya. 169. Saugstad OD, Aune D. Oxygenation of extremely low birth weight infants: a
metaanalysis and systematic review of the oxygen saturation target studies. Neonatology
2014;105:55-63.
170. The Royal Children's Hospital Melbourne. Clinical Guideline (Hospital). at
http://www.rch.org.au/rchcpg/indexx.cfm?doc_id=135531.)
171. Myers TR. AARC Clinical Practice Guideline: Selection of an oxygen delivery
device for neonatal and pediatric patients Respir Care 2002:707-16.
172. STOP-ROP Multicenter Study Group. Supplemental therapeutic oxygen for
prethreshold retinopathy of prematurity (STOP-ROP), a randomized, controlled trial. I:
Primary outcomes. Pediatrics 2000;105:295-310.
173. Askie LM, Henderson-Smart DJ, Irwig L, Simpson JM. Oxygen-saturation targets
and outcomes in extremely preterm infants. N Engl J Med 2003;349:959-7.
174. STOP-ROP effective FiO2 conversion tables for infants on nasal canula. (Accessed
Aug 24, 2011, at http://pub.emmes.com/study/rop/FiO2table.pdf.)
175. Askie LM, Henderson‐Smart DJ, Ko H. Cochrane review: Restricted versus liberal
oxygen exposure for preventing morbidity and mortality in preterm or low birth weight infants.
Evid‐Based Child Health 2010;5:371-413.
176. Saugstad OD. Oxidative stress in the newborn–a 30-year perspective. Neonatology
2005;88:228-36.
177. Saugstad OD. Oxygen and oxidative stress in bronchopulmonary dysplasia J
Perinat Med 2010;38:571-7.
178. Wardle SP, Drury J, Garr R, Weindling AM. Effect of blood transfusion on lipid
peroxidation in preterm infants. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2002;86:F46-8. 179. Lavoie

150
PM, Lavoie JC, Watson C, Rouleau T, Chang BA, Chessex P. Inflammatory response in
preterm infants is induced early in life by oxygen and modulated by total parenteral nutrition.
Pediatr Res 2010;68:248-51.
180. Chen ML, Guo L, Smith LE, Dammann CE, Dammann O. High or low oxygen
saturation and severe retinopathy of prematurity: a meta-analysis. Pediatrics
2010;125:e1483-92. 181. Saugstad OD, Aune D. In search of the optimal oxygen
saturation for extremely low birth weight infants: a systematic review and meta-analysis.
Neonatology 2011;100:1-8.
182. Askie LM, Henderson‐Smart DJ. Gradual versus abrupt discontinuation of oxygen
in preterm or low birth weight infants. Cochrane Libr 2001.
183. Beveridge CJ, Wilkinson AR. Sodium bicarbonate infusion during resuscitation of
infants at birth. Cochrane Libr 2006.
184. Osborn DA, Evans N. Early volume expansion for prevention of morbidity and
mortality in very preterm infants. Cochrane Database Syst Rev 2004;2.
185. Osborn D, Evans N, Kluckow M. Randomized trial of dobutamine versus
dopamine in preterm infants with low systemic blood flow. J Pediatr 2002;140:183-91.
186. Valverde E, Pellicer A, Madero R, Elorza D, Quero J, Cabañas F. Dopamine
versus epinephrine for cardiovascular support in low birth weight infants: analysis of systemic
effects and neonatal clinical outcomes. Pediatrics 2006;117:e1213-22.
187. Vohr B, Davis JM. Role of oxidant injury in the pathogenesis of neonatal lung
disease. Acta Paediatr Suppl 2002:23-5.
188. Peterson BS, Vohr B, Staib LH, et al. Regional brain volume abnormalities and
longterm cognitive outcome in preterm infants. JAMA 2000;284:1939-47.
189. Mercer JS, Vohr BR, Erickson-Owens DA, Padbury JF, Oh W. Seven-month
developmental outcomes of very low birth weight infants enrolled in a randomized controlled
trial of delayed versus immediate cord clamping. J Perinatol 2010;30:11-6. 190. Aladangady
N, McHugh S, Aitchison TC, Wardrop CA, Holland BM. Infants' blood volume in a controlled
trial of placental transfusion at preterm delivery. Pediatrics 2006;117:93-8.
191. McDonald DJ, Middleton P. Effect of timing of umbilical cord clamping of
term infants on maternal and neonatal outcomes. Cochrane Database Syst Rev 2008.
192. Rabe H, Reynolds G, Diaz-Rossello J. A systematic review and meta-analysis
of a brief delay in clamping the umbilical cord of preterm infants. Neonatology
2008;93:13844.
193. Rabe H, Reynold G, Diaz-Rossello J. Early versus delayed umbilical cord
clamping in preterm infants. Cochrane Database Syst Rev 2004;4.
194. Airey RJ, Farrar D, Duley L. Alternative positions for the baby at birth before
clamping the umbilical cord. Cochrane Database Syst Rev 2010.
195. Ohlsson A, Shah SS. Ibuprofen for the prevention of patent ductus arteriosus in
preterm and/or low birth weight infants. Cochrane Libr 2011.
196. Moeslichan MZ, Sujono A, Kosim S, Gatot D, Indarso F. Pemberian
profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir. Health Technology Assesment 2003-2006
selected recommendations. Jakarta: Dirjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2006:1-19.
197. Puckett RM, Offringa M. Prophylactic vitamin K for vitamin K deficiency
bleeding in neonates. Cochrane Libr 2000.
198. Wilson AK, Martel IMJ, Saskatoon SK. Maternal Transport Policy. J Obstet
Gynecol Can 2005;27:956-58.
199. Hohlagschwandtner M, Husslein P, Weninger KKM, Nardi A, Langer M.
Perinatal mortality and morbidity. Comparison between maternal transport, neonatal
transport and inpatient antenatal treatment. Arch Gynecol Obstet 2001;265:113-18.

151
200. Hauspy J, Jacquemyn Y, Van-Reempts P, Buytaerta P, Vlieta JV. Intrauterine
versus postnatal transport of the preterm infant: a short-distance experience. Early Hum
Dev 2001;63:1-7.
201. Woodward GA, Insoft RM, Pearson-shaver AL, et al. The state of pediatric
interfacility transport: Consensus of the second national pediatric and neonatal inter-
facility transport medicine leadership conference. Pediatr Emerg Care 2002;1:38-43.
202. Simpson JH, Ahmed I, McLaren J, Skeoch CH. Use of nasal continuous
positive airway pressure during neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
2003;10:374-5. 203. Das UG, Leuthner SR. Preparing the neonate for transport. Pediatr
Clin North Am 2004;51:581-98.
204. Lim M, Ratnavel N. A prospective review of adverse events during interhospital
transfers of neonates by a dedicated neonatal transfer service. Crit Care Med 2008;9. 205.
Kempley, Baki, Hayter, Ratnavel, Cavazzoni, Reyes. Effect of a centralised transfer
service on characteristics of inter-hospital neonatal transfers. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2007;92:185-9.
206. McKay S, Cruickshanks J, Skeoch CH. Step by step guide: Transporting neonates
safely. J Neonatal Nurs 2003;1:9.
207. Kulshrestha A, Singh J. Interhospital and intrahospital patient transport: recent
concept. Indian J 2016;60:451-7.
208. Fenton AC, Leslie A, Skeoch CH. Optimising neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2004;89:F215-9.
209. Arad I, Baras M, Bar-Oz B, Gofin R. Neonatal transport of very low birth weight
infants in Jerussalem, revisited. IMAJ 2006;8:477-82.
210. Kumar PP, Kumar CD, Venkatlakshmi A. Long distance neonatal trasport-the need of
the hour. Indian Pediatr 2008;45:920-2.
211. Terrey A, Browning CK. Stabilising the newborn for transfer: Basic principles. Aust
Fam Physician 2008;37:510.
212. Tingay DG, Stewart MJ, Morley CJ. Monitoring of end tidal carbon dioxide and
transcutaneous carbon dioxide during neonatal transport. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2005;90:F523-6.
213. Lilley CD, Stewart M, Morley CJ. Respiratory function monitoring during neonatal
emergency transport. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2005;90:F82-3.
214. Dani C, Bertini G, Pezzati M, Cecchi A, Caviglioli C, Rubaltelli FF. Early extubation
and nasal continuous positive airway pressure after surfactant treatment for respiratory
distress syndrome among preterm infants< 30 weeks’ gestation. Pediatrics
2004;113:e5603.
215. Fowlie PW, Booth P, Skeoch CH. Clinical review moving the preterm infant. BMJ
2004;309:904-6.
216. Stroud MH, Trautman MS, Meyer K, Moss MM, Schwartz HP, Bigham MT. et al.
Pediatric and neonatal interfacility transport: results from a national consensus
conference. Pediatrics 2013;132:359-66.
217. Joshi M, Singh S, Negi A, Vyas T, Chourishi V, Jain A. Neonatal carrier: an easy to
make alternative device to costly transport chambers. J Indian Assoc Pediatr Surg
2010:1334.
218. Baxter C, Alberta E, Gorodzinsk FP. Temperature measurement in paediatrics.
Paediatr Child Health 2000;5(5):273-6.
219. Fairchild K, Sokora D, Scott J, Zanelli S. Therapeutic hypothermia on neonatal
transport: 4-year experience in a single NICU. J Perinatol 2010;30:324-9.
220. Strozik KS, Pieper CH, Roller J. Capillary refilling time in newborn babies: normal
values. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1997;76:F193-6.

152
221. Ambubag dewasa/ anak/ bayi. (Accessed Sept 04, 2011,
at
http://alatkesehatanjogja.com/produk-70-ambu-bag-dewasaanakbayi.html.)
222. Toko Medis Alat Kedokteran. (Accessed Sept 09, 2011,
at
http://www.tokomedis.com/kategori/20/Kedokteran.html.)
223. CVU4 Medin-Sindi, N-CPAP for infant and neonate (Accessed Aug 24, 2011, at
htp://indonetwork.co.id/cv_u4/1551683/medin-sindi-n-cpap-for-infant-
andneonate.htm.)
224. Prima Jaya Teknik. Pulse Oximeter. at
http://pratec.indonetwork.co.id/2047240/pulse-oximeter.htm.)
225. Nagar S. Long distance neonatal transport--the need of the hour-is it? Indian Pediatr
2009;46:267.
226. Alkes Online. Daftar Harga. (Accessed Aug 24, 2011, at http://alkesonline.com/daftar-
harga/.)
227. Peta Fajar Pahala. Daftar harga alat medis, alat kedokteran, alat kesehatan,
laboratorium. (Accessed Aug 24, 2011, at
http://petafajarpahala.blogspot.com/2010/02/harga-produk.html.)
228. Departemen Kesehatan. Daftar informasi harga peralatan kesehatan dan laboratorium
efektif 1 Januari 2005 s/d 31 Desember 2005. (Accessed Aug 24, 2011, at
http://www.depkes.go.id/downloads/yanfar/yanfar01.pdf.)
229. CVU4. Katalog produk infant incubator. (Accessed Sept 09, 2011, at
http://indonetwork.co.id/cv_u4/prod.)
230. CV Azza Medika. Perdagangan alat kesehatan. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://azzamedika.wordpress.com/.)
231. CV Duta Medica Sarana. Ventilator ICU, ICCU, NICU, PICU (bayi-anak dan dewasa)
"Galileo-Hamilton". (Accessed Aug 24, 2011, at
http://dumepower.indonetwork.co.id/2034930/ventilator-icu-iccu-nicu-bayi-anak-dandewasa-
galileo.htm.)
232. Sutanto. Dijual endotracheal tube. (Accessed Aug 23, 2011,
at http://www.bejubel.com/147541/jual-beli-kesehatan-perawatan-pribadi-
endotrachealtube-murah-dan-diskon.html.)
233. CV Amerta Pratama. Katalog produk: handscoon steril maxter. (Accessed Aug 23,
2011, at http://cvamerpratma.indonetwork.co.id/2227773/hanscoon-steril-maxter.htm.)
234. CV Dua Saudara Medika. Quality medical supplies at the right price. (Accessed Aug
23, 2011, at http://ikhwanfaisal29.blogspot.com/.)
235. Bali Chemist. Nama merk obat-obatan dalam alphabetical. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://www.balichemist.com/farmakologi_html.)
236. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan menteri kesehatan republik
Indonesia nomor: 1239/MENKES/SK/XI/2004 tentang harga jual obat generik.
(Accessed Aug 23, 2011, at
http://ropeg-kemenkes.or.id/documents/1sk_menkes1239.pdf.) 237. Puskesmas
Palaran. Bahan habis pakai dan topikal. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://puskesmaspalaran.wordpress.com/.)
238. PT Aura Prima. Aquadestilata.sterile/aquadest/air murni. (Accessed Aug 23, 2011, at
http://auraprima.indonetwork.co.id/509029/aquadestilata-sterileaquadest-
airmurni.htm.)
239. Farmasiku. Pengganti cairan tubuh. at
http://www.farmasiku.com/index.php?target=categories&category_id=294.)

153
240. Alat Kesehatan Kedokteran. (Accessed Aug 23, 2011, at http://alatkesehatan.net/?
paged=7.)
241. Ambulans 118 24 jam (Accessed Aug 24, 2011, at
http://ambulans118.org/?page_id=178.)
242. Espromedical. (Accessed Aug 23, 2011, at http://www.esperomedical.com/.)

2. PNPK Asfiksia Neonatorum

154
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kematian neonatus masih menjadi masalah global yang penting. Setiap tahun
diperkirakan 4 juta bayi meninggal dalam 4 minggu pertama dengan 85%
kematian terjadi dalam 7 hari pertama kehidupan. 1,2 Terkait masalah ini, World
Health Organization (WHO) menetapkan penurunan angka kematian bayi
baru lahir dan anak di bawah usia 5 tahun (balita), sebagai salah satu sasaran
Sustainable Development Goals). Target untuk menurunkan angka
kematian hingga sebesar 12 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup dan
kematian di bawah 5 tahun hingga setidaknya 25/1000 kelahiran hidup
diharapkan dapat tercapai pada tahun 2030. Namun, angka kematian bayi
berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 masih cukup
tinggi dibandingkankan target tersebut, yaitu 34 per 1000 kelahiran hidup. 3

WHO melaporkan komplikasi intrapartum, termasuk asfiksia, sebagai


penyebab tertinggi kedua kematian neonatus (23,9%) setelah prematuritas dan
berkontribusi sebagai 11% penyebab kematian balita di seluruh dunia.4,5 Di Asia
Tenggara, asfiksia merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga (23%) setelah
infeksi neonatal (36%) dan prematuritas / bayi berat lahir rendah (BBLR) (27%). 1
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 di Indonesia melaporkan asfiksia
sebagai 27% penyebab kematian bayi baru lahir.6 Selain itu, asfiksia juga
berkaitan dengan morbiditas jangka panjang berupa palsi serebral, retardasi
mental, dan gangguan belajar pada kurang lebih 1 juta bayi yang bertahan
hidup.5,6 Berbagai morbiditas ini berkaitan dengan gangguan tumbuh kembang
dan kualitas hidup yang buruk di kemudian hari.
Asfiksia pada neonatus terjadi akibat gangguan pertukaran oksigen dan
karbondioksida yang tidak segera diatasi, sehingga menimbulkan penurunan
PaO2 darah (hipoksemia), peningkatan PaCO2 darah (hiperkarbia), asidosis, dan
berlanjut pada disfungsi multiorgan.1 Kondisi ini dapat dicegah dengan
mengetahui faktor risiko ibu dan bayi dalam kehamilan. 7 Apabila asfiksia
perinatal tidak dapat dihindari, tata laksana dengan teknik resusitasi yang
optimal sangat diperlukan. Dalam hal ini, semua petugas kesehatan yang
berperan diharapkan dapat melakukan resusitasi neonatus secara terampil
dengan menggunakan peralatan yang memadai sehingga menurunkan risiko
morbiditas dan mortalitas terkait asfiksia.1

1.2 Permasalahan
Berbagai kendala dalam pencegahan dan penanganan asfiksia neonatorum
sering ditemukan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kendala tersebut
meliputi definisi asfiksia yang belum seragam sehingga menimbulkan kerancuan

155
dalam penegakan diagnosis dan tata laksana, petugas kesehatan yang kurang
terampil dalam melakukan resusitasi neonatus, serta peralatan resusitasi yang
kurang memadai di sebagian besar sarana pelayanan kesehatan. Sebagai upaya
mengatasi berbagai kendala tersebut, disusun suatu standar pedoman nasional
penanganan dan pencegahan asfiksia sebagai salah satu kebijakan kesehatan
nasional di Indonesia melalui buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
(PNPK) Asfiksia Neonatorum.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Menyusun suatu PNPK untuk membantu menurunkan angka kejadian dan
kematian bayi di Indonesia akibat asfiksia neonatorum
1.3.2 Tujuan khusus
1. Membuat pernyataan secara sistematis yang berdasarkan bukti ilmiah
(scientific evidence) untuk membantu dokter, bidan, dan perawat
dalam hal pencegahan dan tata laksana asfiksia neonatorum.
2. Memberikan rekomendasi berbasis bukti bagi fasilitas pelayanan
kesehatan primer, sekunder, dan tersier serta penentu kebijakan untuk
penyusunan protokol setempat atau Panduan Praktik Klinis (PPK) dengan
melakukan adaptasi sesuai PNPK.

1.4 Sasaran
1. Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam proses kelahiran bayi,
meliputi dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat diterapkan di
fasilitas pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier.
2. Penentu kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, serta
kelompok profesi terkait.

BAB II

METODOLOGI

2.1 Penelusuran kepustakaan


Penelusuran kepustakaan dilakukan melalui kepustakaan elektronik pada pusat
data Pubmed, Cochrane Systematic Database Review, dan Pediatrics.
Kata kunci yang digunakan adalah asphyxia, asphyxia neonatorum,

156
neonatal asphyxia, birth asphyxia, atau perinatal asphyxia, dengan
batasan artikel yang dipublikasikan dalam 15 tahun terakhir.

2.2 Kajian telaah kritis pustaka


Telaah kritis oleh pakar dalam bidang ilmu kesehatan anak diterapkan pada
setiap artikel yang diperoleh, meliputi: a. apakah studi tersebut sahih? b. apakah
hasilnya secara klinis penting? c. apakah dapat diterapkan dalam tata laksana
pasien?

2.3 Peringkat bukti (level of evidence)


Hierarchy of evidence/Peringkat bukti ditentukan berdasarkan klasifikasi
yang dikeluarkan oleh Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN)
grading system http://www.sign.ac.uk/guidelines/
fulltext/50/annexoldb.html yang diadaptasi untuk keperluan praktis. Berikut
adalah peringkat bukti yang digunakan :
Ia. Meta-analisis atau telaah sistematik dari uji klinis acak terkontrol

Ib. Uji klinis acak terkontrol.


IIa. Uji klinis tanpa randomisasi.

IIb. Studi kohort atau kasus-kontrol.

IIIa. Studi observasional potong lintang.

IIIb. Serial kasus atau laporan kasus.

IV. Konsensus dan pendapat ahli.

2.4 Derajat rekomendasi


Berdasarkan peringkat bukti, rekomendasi /simpulan dibuat sebagai berikut :
Rekomendasi A berdasarkan bukti peringkat Ia atau Ib.

Rekomendasi B berdasarkan bukti peringkat IIa atau IIb.

Rekomendasi C berdasarkan bukti peringkat IIIa, IIIb, atau


IV.

157
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Batasan asfiksia neonatal

3.1 Definisi asfiksia


Definisi asfiksia neonatorum dibuat berdasarkan gejala fisis, perubahan
metabolik, serta gangguan fungsi organ yang terjadi akibat hipoksik-iskemik
perinatal.8 Sebelumnya nilai Apgar sering kali digunakan untuk mendiagnosis
asfiksia neonatorum, namun berbagai bukti menunjukkan bahwa nilai Apgar
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah sebagai penanda tunggal
asfiksia.9,10 Berikut ini definisi asfiksia dari beberapa sumber:

a. WHO
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir.11,12
b. National Neonatology Forum of India
Asfiksia merupakan keadaan yang ditandai dengan megapmegap dan
pernapasan tidak efektif atau kurangnya usaha napas pada menit
pertama setelah kelahiran.13
c. American College of Obstetric and Gynaecology (ACOG) dan
American Academy of Paediatrics (AAP)
Asfiksia merupakan kondisi terganggunya pertukaran gas darah yang
menyebabkan hipoksemia progresif dan

158
hiperkapnia dengan asidosis metabolik signifikan.14,15

d. Standar pelayanan medis ilmu kesehatan anak, Ikatan Dokter


Anak Indonesia (IDAI 2004)
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bayi bernapas spontan dan teratur
pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan
hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis.16

3.2 Epidemiologi asfiksia


Angka kejadian asfiksia pada masing-masing negara sangat beragam. WHO
melaporkan insidens asfiksia bervariasi antara 2 - 27 per 1000 kelahiran,
tergantung pada lokasi, periode, dan kriteria definisi asfiksia yang digunakan.
Asfiksia dilaporkan terjadi pada 1- 4 per 1000 kelahiran hidup di negara maju dan
4 - 9 per 1000 kelahiran hidup di negara berkembang. Keadaan ini diperkirakan
menyebabkan 21% kematian bayi, terutama di negara
berkembang.17

3.3 Etiologi dan faktor risiko asfiksia


Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan, atau sesaat
segera setelah lahir.18 Beberapa faktor risiko yang diperkirakan meningkatkan
risiko asfiksia meliputi faktor ibu (antepartum atau intrapartum) dan faktor janin
(antenatal atau pascanatal) (Tabel 1).19 Faktor risiko ini perlu dikenali untuk
meningkatkan kewaspadaan terhadap terjadinya asfiksia.
Beberapa penelitian mengenai faktor risiko asfiksia neonatorum telah
dilakukan dalam lingkup global maupun nasional. Suatu penelitian di Nepal
Selatan melaporkan korelasi bermakna antara beberapa gejala klinis maternal
dalam 7 hari sebelum persalinan dengan kejadian asfiksia neonatorum.
Gejalagejala tersebut antara lain demam selama kehamilan (RR = 3,30; 95% IK =
2,15 – 5,07), perdarahan pervaginam (RR = 2,00; 95% IK = 1,23 – 3,27),
pembengkakan tangan, wajah, atau kaki (RR = 1,78; 95% IK =1,33 – 2,37), kejang
(RR = 4,74; 95% IK = 1,80–12,46), partus lama (RR = 1,31; 95% IK = 1,00-1,73), dan
ketuban pecah dini (RR = 1,83; 95% IK = 1,22-1,76). Risiko asfiksia neonatorum
juga ditemukan secara signifikan pada kehamilan multipel (RR = 5,73; 95% IK =
3,38–9,72) dan kelahiran bayi dari wanita primipara (RR = 1,74; 95% IK = 1,33-
2,28). Selain itu, risiko kematian akibat asfiksia neonatorum cenderung lebih
tinggi daripada bayi prematur. Risiko ini meningkat 1,61 kali lipat pada usia
kehamilan 34 - 37 minggu dan 14,33 kali lipat pada usia kehamilan <34
minggu.13page3

159
Penelitian di Kabupaten Purworejo melaporkan 8 faktor risiko terkait
asfiksia, yaitu berat lahir rendah (OR = 12,23; 95% IK = 3,54- 42,29); ketuban
pecah dini (OR = 2,52; 95% IK = 1,13-5,63); partus lama (OR = 3,67; 95% IK = 1,66-
8,11); persalinan secara seksio sesarea (OR = 3,12; 95% IK = 1,04-9,35); usia ibu
<20 tahun atau >35 tahun (OR = 3,61; 95% IK = 1,23-10,60); riwayat obstetri
buruk (OR = 4,20; 95% IK = 1,05-16,76); kelainan letak janin (OR = 6,52; 95% IK =
1,07-39,79); dan status perawatan antenatal buruk (OR = 4,13; 95% IK = 1,65-
10,35).19

Penelitian lain di Port Moresby juga menemukan kondisi maternal berupa


usia ibu yang terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>40 tahun), anemia (Hb
<8 g/dL), perdarahan antepartum, demam selama kehamilan, persalinan kurang
bulan, dan persalinan lebih bulan memiliki hubungan kuat dengan asfiksia
neonatorum. Korelasi yang signifikan juga ditemukan pada tanda-tanda gawat
janin seperti denyut jantung janin abnormal dan / atau air ketuban bercampur
mekonium.20

Tabel 1. Faktor risiko asfiksia neonatorum


Faktor risiko
Faktor ibu
Antepartum • Sosioekonomi rendah13
• Primipara15,13
• Kehamilan ganda21
• Infeksi saat kehamilan21
• Hipertensi dalam kehamilan20
• Anemia13
• Diabetes melitus22
• Perdarahan antepartum 15,21
• Riwayat kematian bayi sebelumnya13

Intrapartum
• Penggunaan anestesi atau opiat18,21
• Partus lama13,15
• Persalinan sulit dan traumatik15
• Mekonium dalam ketuban
(meconium-stained amniotic fluid/MSAF)15,21
• Ketuban pecah dini21
• Induksi oksitosin13,15
• Kompresi tali pusat18
• Prolaps tali pusat13,21
• Trauma lahir18
Faktor janin
Antenatal (intrauterin) • Malpresentasi (misal sungsang, distosia bahu)15,21
• Prematuritas13,15,21
• Bayi berat lahir rendah (BBLR)13,15
• Pertumbuhan janin terhambat (PJT)13,15
• Anomali kongenital15,18
• Pneumonia intrauterin18
• Aspirasi mekonium yang berat18

160
Pascanatal
• Sumbatan jalan napas atas18
• Sepsis kongenital18

3.4 Patofisiologi asfiksia


Asfiksia neonatorum dimulai saat bayi kekurangan oksigen akibat gangguan
aliran oksigen dari plasenta ke janin saat kehamilan, persalinan, ataupun segera
setelah lahir karena kegagalan adaptasi di masa transisi.23,24 Saat keadaan
hipoksia akut, darah cenderung mengalir ke organ vital seperti batang otak dan
jantung, dibandingkan ke serebrum, pleksus koroid, substansia alba, kelenjar
adrenal, kulit, jaringan muskuloskeletal, organ-organ rongga toraks dan
abdomen lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus gastrointestinal. 25-28
Perubahan dan redistribusi aliran darah tersebut disebabkan oleh penurunan
resistensi vaskular pembuluh darah otak dan jantung serta peningkatan
resistensi vaskular perifer.26 Keadaan ini ditunjang hasil pemeriksaan
ultrasonografi Doppler yang menunjukkan kaitan erat antara peningkatan
endotelin-1 (ET-1) saat hipoksia dengan penurunan kecepatan aliran darah dan
peningkatan resistensi arteri ginjal dan mesenterika superior. 29-30 Hipoksia yang
tidak mengalami perbaikan akan berlanjut ke kondisi hipoksik-iskemik pada
organ vital.
Proses hipoksik-iskemik otak dibagi menjadi fase primer (primary energy
failure) dan sekunder (secondary energy failure). Pada fase primer, kadar
oksigen rendah memicu proses glikolisis anaerob yang menghasilkan produk
seperti asam laktat dan piruvat, menimbulkan penurunan pH darah (asidosis
metabolik).31 Hal ini menyebabkan penurunan ATP sehingga terjadi akumulasi
natrium-kalium intrasel dan pelepasan neurotrasmiter eksitatorik akibat
gangguan sistem pompa Na-K-ATP-ase dan glial-ATP-ase.30 Akumulasi natrium
intrasel berkembang menjadi edema sitotoksik yang memperburuk distribusi
oksigen dan glukosa, sedangkan interaksi glutamat dengan reseptor
mengakumulasi kalsium intrasel, mengaktivasi fosfolipase, nitrit oksida (NO), dan
enzim degradatif hingga berakhir dengan kematian sel.32-35 Fase primer ini
berakhir dengan kematian neuron primer atau resolusi fungsi otak (periode
laten).

161
Gambar 1. Patofisiologi asfiksia neonatorum
Reperfusi yang terjadi setelah fase primer akan mengembalikan sebagian
fungsi metabolisme, namun apabila cedera otak pada fase primer cukup berat,
kerusakan neuron akan kembali tejadi setelah 6 – 48 jam (fase sekunder). Fase
sekunder ditandai dengan penurunan ATP, aktivasi kaskade neurotoksik, dan

162
pelepasan radikal bebas tanpa disertai asidosis akibat disfungsi mitokondria.
Selain itu, cedera hipoksik-iskemik otak juga memicu produksi sitokin
proinflamasi yang semakin memperburuk cedera jaringan. Keseluruhan proses ini
memicu terjadinya apoptosis sel (secondary
energy failure).32,34,36,37

Beberapa studi memperlihatkan bahwa sel otak akan mengalami fase


regenerasi setelah fase sekunder berakhir. Namun pada sebagian bayi yang
mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), proses berupa gangguan
neurogenesis, sinaptogenesis serta gangguan perkembangan akson diikuti
peningkatan inflamasi dan apoptosis tetap berlangsung. Mekanisme yang belum
diketahui dengan sempurna ini memberikan gambaran bahwa kerusakan sel otak
masih dapat berlanjut hingga beberapa waktu ke depan dan memengaruhi
luaran bayi EHI secara signifikan.33,36

Beratnya kerusakan otak pada masa perinatal juga tergantung pada lokasi
dan tingkat maturitas otak bayi.38 Hipoksia pada bayi kurang bulan cenderung
lebih berat dibandingkan dengan bayi cukup bulan karena redistribusi aliran
darah bayi prematur kurang optimal, terutama aliran darah ke otak, sehingga
meningkatkan risiko gangguan hipoksik-iskemik, dan perdarahan
periventrikular.39,40 Selain itu, imaturitas otak berkaitan dengan kurangnya
ketersediaan antioksidan yang diperlukan untuk mendetoksifikasi akumulasi
radikal bebas.38

Asfiksia menyebabkan gangguan sistemik ke berbagai organ tubuh ; 62%


gangguan terjadi pada sistem saraf pusat, 16% kelainan sistemik tanpa gangguan
neurologik dan sekitar 20% kasus tidak memperlihatkan kelainan. 32 Gangguan
fungsi susunan saraf pusat akibat asfiksia hampir selalu disertai dengan gangguan
fungsi beberapa organ lain (multiple organ failure).8 Gangguan sistemik secara
berurutan dari yang terbanyak, yaitu melibatkan sistem hepatik, respirasi, ginjal,
kardiovaskular.32 Kelainan susunan saraf pusat tanpa disertai gangguan fungsi
organ lain umumnya tidak disebabkan oleh asfiksia perinatal. 41 Berikut ini
penjelasan mengenai komplikasi asfiksia pada masing-masing organ.

3.4.1 Sistem susunan saraf pusat


Gangguan akibat hipoksia otak pada masa perinatal yang paling sering
ditemukan adalah EHI. Kerusakan otak akibat EHI merupakan proses yang
dimulai sejak terjadi hipoksia dan dapat berlanjut selama hingga setelah periode
resusitasi. Kerusakan ini diawali dengan kegagalan pembentukan energi akibat
hipoksia dan iskemia, yang diperberat dengan terbentuknya radikal bebas pada
tahap lanjut. Cedera otak akibat EHI ini menimbulkan area infark pada otak yang
dikelilingi oleh area penumbra. Area penumbra dapat mengalami nekrosis atau

163
apoptosis neuron yang berlanjut setelah hipoksia berakhir. Tata laksana suportif
dalam periode 48 jam pertama pasca-asfiksia dapat mengurangi kerusakan
neuron di area penumbra ini.42

Perdarahan peri / intraventrikular dapat terjadi setelah periode


hipoksia.39,43 Area periventrikular merupakan bagian yang memiliki vaskularisasi
terbanyak. Pada saat hipoksia berakhir, daerah yang memperoleh banyak aliran
darah ini akan mengalami perubahan tekanan arterial paling besar. Keadaan ini
menimbulkan pengaruh yang signifikan pada pleksus koroid yang cenderung tipis
dan rapuh dengan sedikit struktur penunjang. Peningkatan tekanan vena juga
terjadi pada bagian yang sama dengan akibat stasis aliran darah, kongesti
pembuluh darah, serta risiko ruptur dan perdarahan. Kondisi tersebut dikenal
sebagai cedera reperfusi (reperfusion injury).39

3.4.2 Sistem respirasi


Penelitian melaporkan sekitar 26% bayi asfiksia mengalami gangguan sistem
pernapasan.44 Kelainan sistem pernapasan yang dapat ditemukan antara lain
peningkatan persisten tekanan pembuluh darah paru (persistent pulmonary
hypertension of the newborn / PPHN), perdarahan paru, edema paru akibat
disfungsi jantung, sindrom gawat napas (respiratory distress syndrome /
RDS) sekunder akibat kegagalan produksi surfaktan, serta aspirasi mekonium. 45
Bayi dinyatakan mengalami gangguan pernapasan akibat asfiksia apabila bayi
memerlukan bantuan ventilasi atau penggunaan ventilator dengan kebutuhan
FiO2 >40% minimal selama 4 jam pertama setelah lahir.32

Mekanisme gagal napas pada bayi asfiksia dapat disebabkan oleh hipoksia,
iskemia, aspirasi mekonium, disfungsi ventrikel kiri, defek sistem koagulasi,
toksisitas oksigen, dan efek ventilasi mekanik.44,46 Selain itu, kombinasi asfiksia
dan aspirasi mekonium dapat memperberat rasio resistensi pulmonar dan
sistemik.

3.4.3 Sistem kardiovaskular


Diperkirakan 29% bayi asfiksia mengalami gangguan sistem kardiovaskular, yang
meliputi transient myocardial ischaemia (TMI), transient mitral
regurgitation (TMR), transient tricuspid regurgitation
(TTR), persistent pulmonary hypertension of the newborn (PPHN).44,47

Bayi dianggap mengalami disfungsi sistem kardiovaskular terkait asfiksia


apabila terdapat ketergantungan terhadap obat inotropik untuk mengatasi
hipotensi dan mempertahankan tekanan darah normal selama lebih dari 24 jam
atau ditemukan gambaran TMI pada pemeriksaan elektrokardiografi. 32

164
3.4.4 Sistem urogenital
Salah satu gangguan ginjal yang disebabkan oleh hipoksia berat adalah hypoxic-
ischemic acute tubular necrosis.48 Bayi dapat dinyatakan mengalami gagal
ginjal bila memenuhi 3 dari 4 kriteria sebagai berikut: pengeluaran urin <0,5
mL/kg/jam, kadar urea darah >40 mg/dL, kadar kreatinin serum >1 mg/dL, serta
hematuria atau proteinuria signifikan dalam 3 hari pertama kehidupan. 49 Pada
penelitian sebelumnya dikemukakan bahwa 42% bayi asfiksia mengalami
gangguan sistem ginjal.44 Data ini didukung oleh penelitian Gupta BD dkk. (2009)
yang menemukan 47,1% bayi asfiksia mengalami gagal ginjal dengan 78% kasus
di antaranya merupakan tipe non-oliguria dan 22% lainnya
merupakan tipe oliguria.49

3.4.5 Sistem gastrointestinal


Keterlibatan sistem gastrointestinal pada bayi asfiksia mencapai 29% kasus. 44
Hipoksia berakibat pada pengalihan aliran darah dari usus yang meningkatkan
risiko enterokolitis nekrotikan / EKN.50,51 Selain itu, hipoksia dapat menyebabkan
gangguan fungsi hati.42 Kriteria disfungsi sistem hepatik antara lain nilai aspartat
aminotransferase >100 IU/l atau alanin transferase >100 IU/l pada minggu
pertama setelah kelahiran.32

3.4.6 Sistem audiovisual


Retinopati pada neonatus tidak hanya terjadi akibat toksisitas oksigen, tetapi
dapat pula ditemukan pada beberapa penderita yang mengalami hipoksemia
menetap. Autoregulasi aliran darah serebral pada hipoksia, selain menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial, juga meningkatkan tekanan aliran balik vena.
Selain itu, hipoksia dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh
sehingga meningkatkan risiko terjadi perdarahan. 52 Penelitian melaporkan
insidens perdarahan retina pada bayi cukup bulan dengan asfiksia neonatal dan /
atau EHI lebih tinggi (29,3%) dibandingkankan bayi cukup bulan tanpa asfiksia
dan / atau EHI (15,7%).53

Leukomalasia periventrikular merupakan tahap akhir cedera pada EHI, yang


terjadi pada sekitar 32% bayi prematur pada usia gestasi 24-34 minggu. Keadaan
ini dapat menyebabkan penurunan ketajaman visus, penyempitan lapangan
pandang bagian inferior, gangguan visual kognitif, gangguan pergerakan bola
mata, dan diplegia spastik.54 Suatu studi retrospektif mencatat 24% bayi
memperlihatkan gambaran diskus optikus (optic disc) yang normal, 50% bayi

165
mengalami hipoplasia saraf optik dengan beberapa derajat atrofi, dan 26% bayi
dengan atrofi optik terisolasi (isolated optic atrophy).55

Insidens gangguan pendengaran pada bayi prematur dengan asfiksia


mencapai 25%. Kelainan pendengaran ini disebabkan oleh kerusakan nukleus
koklearis dan jaras pendengaran. Suatu studi melaporkan kelainan brainstem
auditory evoked responses (BAER) pada 40,5% bayi pasca-asfiksia yang
mengalami gangguan perkembangan otak dan 12,2% bayi tanpa gangguan
perkembangan
otak.44

3.5 Diagnosis asfiksia pada bayi baru lahir


Fasilitas diagnostik pada sarana pelayanan kesehatan terbatas seringkali
menimbulkan kesulitan dalam mendiagnosis asfiksia sehingga beberapa negara
memiliki kriteria diagnosis asfiksia yang berbeda, disesuaikan dengan kondisi
kelengkapan fasilitas kesehatan masing-masing. Berikut ini merupakan kriteria
diagnosis asfiksia yang sering ditemukan.
a. ACOG dan AAP
ACOG dan AAP menyusun suatu kriteria penegakan diagnosis asfiksia
neonatorum, sebagai berikut :15,56-59

1. bukti asidosis metabolik atau campuran (pH <7.0) pada pemeriksaan


darah tali pusat;
2. nilai Apgar 0 - 3 pada menit ke-5;
3. manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia atau koma
(ensefalopati neonatus); dan
4. disfungsi multiorgan, seperti gangguan kardiovaskular,
gastrointestinal, hematologi, respirasi, atau renal. Diagnosis asfiksia
neonatorum dapat ditegakkan apabila minimal 1 dari 4
kriteria ditemukan pada bayi, namun hal ini sulit dipenuhi pada
kondisi berbasis komunitas dan fasilitas terbatas. 60
b. WHO
WHO dalam ICD-10 menganggap bayi mengalami asfiksia berat apabila
nilai Apgar 0 - 3 pada menit pertama yang ditandai dengan:
1. laju jantung (LJ) menurun atau menetap (<100 kali/menit) saat lahir,
2. tidak bernapas atau megap-megap, dan

166
3. warna kulit pucat, serta tidak ada tonus otot. Kriteria ini disadari
memiliki spesifisitas dan nilai prediktif kematian serta kerusakan
neurologis yang cenderung berlebihan (8 kali over diagnosis) bila
dibandingkankan dengan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena
itu, WHO juga memberikan penjelasan diagnostik untuk tingkat
pelayanan kesehatan komunitas berdasarkan kriteria ACOG/AAP
berikut ini.58

Tabel 2. Kriteria diagnosis asfiksia neonatorum berdasarkan ACOG/AAP dan standar emas
di tingkat pelayanan kesehatan
No Kriteria Standar baku emas

di tingkat pelayanan kesehatan

1. Bukti asidemia metabolik atau Analisis gas darah dengan pH < 7,0 dan defisit basa 12 mmol/L
campuran (pH < 7,0) dari darah tali dalam 60 menit pertama
pusat

Nilai Apgar 0 - 3 menit kelima


2. Penilaian Apgar menit kelima

3. Manifestasi neurologis Tingkat kesadaran, tonus, refleks isap, refleks primitif, refleks batang
(ensefalopati neonatus) otak, kejang, laju pernapasan

4.

Disfungsi multiorgan • Sistem saraf: ensefalopati neonatus, kelainan gambaran


ultrasonografi
• Sistem kardiovaskular: kelainan LJ dan tekanan darah
(gangguan sirkulasi)
• Sistem pernapasan: apne atau takipnea, kebutuhan
suplementasi oksigen, bantuan napas tekanan positif atau
ventilator mekanik
• Sistem urogenital: hematuria, oliguria, anuria,
peningkatan kreatinin serum
• Fungsi hati: Peningkatan SGOT/SGPT
• Sistem hematologi: trombositopenia, peningkatan
jumlah retikulosit

Sumber: Lincetto O. Birth asphyxia- summary of the previous meeting and protocol
overview; 2007. (dengan modifikasi)
c. National Institute of Child Health and Human Development
(NICHD)
Kriteria asfiksia neonatorum berdasarkan NICHD adalah sebagai berikut.61
1. bukti pH <7.0 atau defisit basa >16 mmoL/L pada pemeriksaan
darah tali pusat dalam satu jam setelah kelahiran, atau

167
2. bukti riwayat episode hipoksik perinatal (deselerasi / bradikardia
berat pada janin, prolaps tali pusat, ruptur tali pusat, solusio
plasenta, ruptur uteri, trauma / perdarahan fetomaternal, atau
cardiorespiratory arrest) dan salah satu dari :
• nilai Apgar <5 pada menit ke-10, atau
• bayi masih memerlukan bantuan ventilasi selama
>10 menit bila pH darah tali pusat 7,01 - 7,15 dan defisit basa
10 - 15,9 mmoL/L atau pada keadaan pemeriksaan gas darah
tidak tersedia.

d. India
India dahulu hanya menggunakan nilai Apgar menit pertama, kini
menggunakan 3 dari 4 kriteria diagnosis asfiksia mengacu ke ACOG / AAP,
berupa : 42,62
1. pH analisis gas darah <7,2 dalam 1 jam pertama kehidupan,

2. nilai Apgar ≤6 pada menit ke-5,


3. kebutuhan bantuan ventilasi tekanan positif (VTP) lebih dari 10
menit,
4. tanda gawat janin.

Di Indonesia, sarana pelayanan kesehatan untuk neonatus bervariasi dari


fasilitas terbatas di daerah terpencil dan fasilitas ideal di kota-kota besar.
Penetapan konsensus definisi asfiksia harus dilakukan agar diagnosis dapat
ditegakkan sesegera mungkin agar mencegah keterlambatan tata laksana di
Indonesia. Kriteria yang dipakai untuk membantu penegakan diagnosis asfiksia
neonatorum di Indonesia yang disusun dari berbagai kepustakaan terlampir pada
Tabel 3.
Selain itu, beberapa pemeriksaan laboratorium dasar juga dapat digunakan
untuk menunjang diagnosis asfiksia neonatorum pada fasilitas terbatas. Suatu
studi melaporkan bahwa hitung sel darah merah berinti (nucleated red blood
cell /nRBC) dapat dijadikan penanda terjadinya asfiksia sebelum persalinan dan
selama proses kelahiran.63-65 Proses persalinan tanpa komplikasi tidak akan
mengubah nilai nRBC. Asfiksia perinatal perlu dipertimbangkan bila ditemukan
hitung nRBC/100 hitung sel darah putih (white blood cell / WBC).63

Tabel 3. Rekomendasi kriteria penegakan diagnosis asfiksia neonatorum di Indonesia

168
No Fasilitas ideal Fasilitas terbatas
*keempat kriteria harus terpenuhi *minimal kedua kriteria harus terpenuhi dengan
ketidaktersediaan pemeriksaan analisis gas darah

1. • Bukti asidosis metabolik atau campuran (pH <7.0) Bukti riwayat episode hipoksik perinatal (misal
pada pemeriksaan analisis gas darah tali pusat episode gawat janin)
atau
• Defisit basa 16 mmol/L dalam 60 menit pertama

2. Nilai Apgar <5 pada menit ke-10, • Nilai Apgar <5 pada menit ke-10, atau
• Bayi masih memerlukan bantuan
ventilasi selama >10 menit

3. Manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia atau Manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia
koma (ensefalopati neonatus); atau koma (ensefalopati neonatus)

4. Disfungsi multiorgan, seperti gangguan kardiovaskular, Disfungsi multiorgan, seperti gangguan


gastrointestinal, hematologi, respirasi, atau renal. kardiovaskular, gastrointestinal,
hematologi, respirasi, atau renal

B. Tata laksana asfiksia dan komplikasinya

Asfiksia merupakan suatu proses berkesinambungan yang dapat dicegah


progresivitasnya, dimulai dari pengenalan faktor risiko asfiksia (pencegahan
primer), tata laksana dini dengan resusitasi - pascaresusitasi di kamar bersalin
dan ruang perawatan (pencegahan sekunder), serta pencegahan komplikasi
lanjut dengan terapi hipotermia (pencegahan tersier).

3.6 Tata laksana di kamar bersalin


Tata laksana asfiksia di kamar bersalin dilakukan dengan resusitasi. Persiapan
pada resusitasi terdiri atas pembentukan dan persiapan tim, persiapan ruang dan
peralatan resusitasi, persiapan pasien, serta persiapan penolong.

3.6.1 Pembentukan dan persiapan tim resusitasi


Tim resusitasi perlu mendapatkan informasi kehamilan secara menyeluruh
mengenai faktor risiko ibu maupun janin.66-67 Hal ini diperoleh melalui anamnesis
ibu hamil atau keluarga, petugas yang menolong proses kehamilan dan
persalinan, atau catatan medis. Informasi yang diperoleh perlu diketahui oleh
semua anggota tim resusitasi untuk mengantisipasi faktor risiko dan masalah
yang mungkin terjadi.

169
Informasi yang perlu diketahui dalam proses persalinan,
antara lain :66-67

1. Informasi mengenai ibu, yaitu informasi riwayat kehamilan


(kondisi kesehatan dan pemakaian obatobatan), riwayat kesehatan
dan pengobatan yang diberikan pada ibu sebelumnya, riwayat
pemeriksaan kesehatan janin dalam kandungan dan hasil
pemeriksaan ultrasonografi antenatal (bila ada), serta risiko infeksi
ibu (seperti : Streptococcus grup B, infeksi saluran kemih, dan
penyakit infeksi lainnya)
2. Informasi mengenai janin, yaitu informasi usia kehamilan,
jumlah janin (tunggal atau kembar), risiko kebutuhan resusitasi
(misal : hernia diafragmatika, dll), mekoneum pada cairan ketuban,
hasil pemantauan denyut jantung janin, serta kemungkinan kelainan
kongenital.

Hal terpenting dalam persiapan resusitasi adalah diskusi dan kerja


sama anggota tim resusitasi.21 Anggota tim resusitasi sebaiknya telah
mendapatkan pelatihan resusitasi neonatus dasar serta menguasai
langkah-langkah dalam resusitasi neonates. Hal ini disebabkan sekitar
25% bayi dengan instabilitas berat tidak terdeteksi sebelum
persalinan.21,68-70 Tim resusitasi idealnya memiliki tiga anggota setidaknya
terdiri atas satu orang penolong terlatih pada setiap resusitasi bayi dan
sekurang-kurangnya dua orang penolong terlatih pada resusitasi bayi
dengan risiko tinggi.21,68,69,71 Setiap persalinan dengan risiko yang sangat
tinggi harus dihadiri oleh minimal 1 konsultan neonatologi atau dokter
spesialis anak.
Pembagian tugas tim resusitasi adalah sebagai berikut :

• Penolong pertama, yaitu pemimpin resusitasi, memposisikan diri di


sisi atas kepala bayi (posisi A). Pemimpin diharapkan memiliki
pengetahuan dan kemampuan resusitasi yang paling lengkap, dapat
mengkoordinir tugas anggota tim, serta mempunyai tanggung jawab
utama terkait jalan napas (airway) dan pernapasan (breathing).
Penolong pertama bertugas menangkap dan meletakkan bayi di
penghangat bayi, menyeka muka bayi, memasangkan topi, mengeringkan

170
bayi, memakaikan plastik, serta memantau dan melakukan intervensi
pada ventilasi (memperhatikan pengembangan dada bayi, melakukan
VTP, memasang continuous positive airway pressure (CPAP), dan
intubasi bila diperlukan).

• Penolong kedua, yaitu asisten sirkulasi (circulation). Asisten


sirkulasi mengambil posisi di sisi kiri bayi (posisi B) dan bertanggung
jawab memantau sirkulasi bayi. Penolong bertugas membantu
mengeringkan bayi, mengganti kain bayi yang basah, mendengarkan LJ
bayi sebelum pulse oxymetri mulai terbaca, mengatur peak
inspiratory pressure / tekanan puncak inspirasi (PIP) dan fraksi
oksigen (FiO2), melakukan kompresi dada, dan memasang kateter
umbilikal. Selain itu, penolong kedua menentukan baik-buruknya sirkulasi
bayi dengan menilai denyut arteri radialis, akral, dan capillary refill
time bayi.

• Penolong ketiga, yaitu asisten obat dan peralatan (medication and


equipment). Asisten peralatan dan obat berdiri di sisi kanan bayi (posisi
C), bertugas menyiapkan suhu ruangan 24 - 26oC, memasang pulse
oxymetri, memasang probe suhu dan mengatur agar suhu bayi
mencapai suhu 36,5 - 37oC, menyalakan tombol pencatat waktu,
memasang monitor saturasi, menyiapkan peralatan dan obat-obatan,
memasang infus perifer bila diperlukan serta menyiapkan inkubator
transpor yang telah dihangatkan.

Sebagai catatan, posisi penolong tidak terlalu mengikat. Penolong kedua


dan ketiga boleh bertukar posisi, namun tidak boleh bertugas secara tumpang
tindih.

171
B

Gambar 2. Posisi tim resusitasi


Keterangan gambar: A. Pemimpin resusitasi (airway and breathing), B. Asisten
sirkulasi (circulation), C. Asisten obat dan peralatan (medication and equipment)
Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2014.69

3.6.2 Persiapan ruang resusitasi

Ruang resusitasi sebaiknya berada di dekat kamar bersalin atau kamar operasi
sehingga tim resusitasi dapat memberikan bantuan dengan cepat dan efisien.
Persiapan ruang resusitasi meliputi suhu ruangan yang cukup hangat untuk
mencegah kehilangan panas tubuh bayi, pencahayaan yang cukup untuk menilai
status bayi, serta cukup luas untuk memudahkan tim berkerja. 70 Diharapkan
suhu tubuh bayi akan selalu berkisar antara 36,5-37oC. Selain itu, penolong harus
mempersiapkan inkubator transpor untuk memindahkan bayi ke ruang
perawatan.66

3.6.3 Persiapan peralatan resusitasi


Tindakan resusitasi memerlukan peralatan resusitasi yang lengkap untuk
mengantisipasi kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Berikut ini
merupakan peralatan resusitasi yang sebaiknya disiapkan. 23,66,68,71-76

a. Peralatan untuk mengontrol suhu bayi, yaitu penghangat bayi (overhead


heater / radiant warmer / infant warmer), kain atau handuk
pengering, kain pembungkus bayi, topi, dan kantung plastik (digunakan
pada bayi dengan usia gestasi kurang dari 32 minggu). Kebutuhan
peralatan ini tidak mengikat terkait beragamnya suhu di wilayah

172
Indonesia. Penolong resusitasi dapat menggunakan kantung plastik pada
bayi >32 minggu pada kondisi tertentu apabila dirasakan perlu, seperti
pada suhu kamar bersalin yang tidak dapat diatur sehingga suhu ruangan
sangat dingin.
b.

Gambar 3. Peralatan kontrol suhu penghangat bayi

c. Peralatan tata laksana jalan napas (airway), yaitu : pengisap lendir -


suction dengan tekanan negatif (tidak boleh melebihi - 100 mmHg),
kateter suction (ukuran 5, 6, 8, 10, 12, 14 -
French)

a b

Gambar 4. Peralatan tata laksana jalan napas (airway) a. suction tekanan negatif, b.
kateter suction berbagai ukuran, c. aspirator mekonium.

d. Peralatan tata laksana ventilasi (breathing), yaitu : self inflating bag /


balon mengembang sendiri (BMS), flow inflating bag / balon tidak
mengembang sendiri (BTMS), T-piece resuscitator (Neo-Puff®,
Mixsafe®), sungkup wajah berbagai ukuran, sungkup laring / laryngeal
mask airway (LMA), peralatan intubasi seperti laringoskop dengan
blade / bilah lurus ukuran 00, 0 dan 1, stilet, serta pipa endotrakeal /

173
endotracheal tube (ETT) ukuran 2,5; 3,0; 3,5; dan 4. Secara praktis, bayi
dengan berat lahir <1 kg (<28 minggu), 1-2 kg,

(28 - 34 minggu) dan ≥2 kg (>34 minggu) dapat diintubasi


dengan menggunakan ETT secara berturut-turut nomor 2,5; 3; dan 3,5.
71,77 Studi menunjukkan LMA dapat digunakan bila pemberian VTP dengan
BMS gagal dan penolong gagal melakukan pemasangan ETT.78
Penggunaan LMA dapat digunakan pada bayi dengan berat lahir >2 kg
atau usia gestasi >34 minggu.77

Gambar 5. Peralatan tata laksana pernapasan (breathing)


a. BMS (atas : tanpa katup
PEEP;
bawah :
dengan

a b c

kombinasi katup PEEP), b.


BTMS (Jackson Rees), c. t-piece resuscitator (atas: Neo-Puff®; bawah:

Mixsafe®).

Gambar 6. Sungkup dengan berbagai ukuran.

174
a b c

Gambar 7. Peralatan intubasi endotrakeal


a. LMA ukuran 1 dan 1,5 (atas:unique®, bawah:supreme®)

b. ETT berbagai ukuran,

c. laringoskop Miller beserta blade berbagai ukuran.

e. Peralatan tata laksana sirkulasi / circulation, yaitu : kateter umbilikal


ukuran 3,5 dan 5- French atau pada fasilitas terbatas dapat
dipergunakan pipa orogastrik / orogastric tube (OGT) ukuran 5 -
French beserta set umbilikal steril, dan three way stopcocks

a b

Gambar 8. Peralatan tata laksana sirkulasi/circulation


a. set umbilikal (lihat penjelasan pada bab IV)
b. kateter umbilikal (kiri) dan pipa orogastrik (kanan)

f. Obat-obatan resusitasi, seperti : epinefrin (1:10.000), nalokson


hidroklorida (1 mg/mL atau 0,4 mg/mL), dan cairan pengganti
volume/volume expander (NaCl 0,9% dan ringer laktat).

175
g. Pulse oxymetri

Gambar 9. Pulse oxymetri

h. Monitor EKG (bila tersedia).


i. Lain-lain, seperti stetoskop, spuit, jarum, dll.

3.6.4 Persiapan pasien


• Memberi informasi dan meminta persetujuan tertulis orangtua
(informed consent) mengenai tindakan resusitasi yang mungkin
diperlukan setelah bayi lahir.
• Antisipasi faktor risiko ibu maupun janin (lihat Tabel 1.).

3.6.5 Persiapan penolong


Penolong resusitasi harus mencuci tangan dan memakai alat pelindung diri (APD)
yang terdiri atas : masker, gaun, sepatu, kacamata, dan sarung tangan steril.

3.6.6 Resusitasi
Resusitasi neonatus merupakan suatu alur tindakan yang berkesinambungan,
diawali dengan melakukan evaluasi, mengambil keputusan, dan melakukan
tindakan resusitasi.74 Sekitar 10% dari 120 juta kelahiran bayi memerlukan
bantuan untuk memulai napas dan hanya 1% bayi membutuhkan resusitasi lebih
lanjut.72-73 Resusitasi dilakukan apabila bayi tidak bernapas secara spontan dan
adekuat saat lahir dengan menilai komponen klinis bayi. Berikut ini merupakan
penjelasan dari masing-masing komponen penilaian.

• Pernapasan, merupakan komponen terpenting dalam menilai kondisi


bayi saat lahir. Pernapasan yang teratur merupakan tanda keberhasilan
bayi melakukan adaptasi dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin. Bayi

176
yang lahir dalam keadaan asfiksia dapat mengalami apne atau
pernapasan megapmegap, namun dapat pula bernapas spontan disertai
tanda gawat napas atau mengalami sianosis persisten. Tanda gawat napas
meliputi napas cuping hidung, retraksi dinding dada, atau suara merintih.
Tanda klinis ini menunjukkan bayi mengalami kesulitan untuk
mengembangkan paru. Sianosis persisten (dengan FiO2 100%) juga dapat
disebabkan oleh kelainan di luar paru. Keadaan yang berbeda tersebut
membutuhkan tata laksana ventilasi yang berbeda pula.7
• Tonus dan respons terhadap stimulasi. Bayi asfiksia memiliki
tonus otot yang lemah dan gerakan otot terbatas, sehingga memerlukan
berbagai stimulasi ringan. Stimulasi termal dengan mengeringkan bayi
dan stimulasi mekanik dengan menepuk telapak kaki bayi akan
membantu merangsang pernapasan bayi serta meningkatkan LJ.
Rangsangan berlebihan seperti memukul bokong dan pipi tidak perlu
dilakukan karena dapat mencederai bayi. Bila bayi tidak memperlihatkan
respons perbaikan terhadap stimulasi ringan maka langkah selanjutnya
dalam resusitasi harus dilakukan.7

• Laju jantung (LJ), berkisar antara 100 - 160 kali permenit. Penilaian
LJ dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu meraba denyut nadi
perifer atau sentral, meraba denyut pembuluh darah umbilikus,
mendengarkan LJ dengan stetoskop atau dengan menggunakan pulse
oxymetri. Penggunaan pulse oxymetri dianggap paling akurat untuk
menilai LJ. Namun, fungsi pulse oxymetri sangat dipengaruhi oleh
cardiac output dan perfusi jaringan.7 Bila LJ sangat lemah dan perfusi
jaringan sangat buruk, pulse oxymetri tidak dapat berfungsi dengan
baik. Pada kasus ini, pemantauan LJ lebih baik dilakukan dengan monitor
EKG.71 Bila LJ menetap <100 kali per menit, oksigenasi jaringan akan
menurun sehingga mengakibatkan hipoksemia dan berakhir dengan
asidosis.
• Oksigenasi jaringan, dinilai menggunakan pulse oxymetri.
Penilaian dengan pulse oxymetri cenderung lebih akurat dibandingkan
berdasarkan warna kulit.76 Penggunaan pulse oxymetri sangat

177
direkomendasikan jika terdapat antisipasi resusitasi, VTP diperlukan lebih
dari beberapa kali pompa, sianosis menetap dengan intervensi, dan bayi
mendapat suplementasi oksigen. Pemantauan ini diperlukan agar oksigen
yang diberikan tidak berlebihan dan membahayakan bayi. Sensor pulse
oxymetri sebaiknya dipasang pada lokasi preduktal (pergelangan atau
telapak tangan kanan) untuk mencegah pengaruh shunting selama
periode transisi sirkulasi bayi. Pembacaan saturasi oksigen umumnya
dapat dilakukan mulai dari 90 detik setelah bayi lahir, namun perlu diingat
bahwa nilai saturasi oksigen tidak dapat dipercaya pada curah jantung
(cardiac output) dan perfusi kulit yang buruk.79 Saturasi normal saat
lahir bervariasi tergantung pada usia kehamilan bayi. Makin muda usia
gestasi makin lama bayi mencapai target saturasi normal. 80,81 Berikut ini
merupakan target saturasi oksigen bayi selama resusitasi.66

Tabel 4. Target saturasi sesuai usia bayi


Waktu setelah lahir Saturasi target (%)

untuk bayi baru lahir selama resusitasi

1 menit 60-65
2 menit 65-70

3 menit 70-75

4 menit 75-80

5 menit 80-85

10 menit 85-95

Sumber: Textbook of neonatal resuscitation. Foundations of neonatal resuscitation;


2016.71

• Nilai Apgar, merupakan penilaian obyektif kondisi bayi baru lahir,


namun tidak digunakan untuk menentukan kebutuhan, langkah, dan
waktu resusitasi pada bayi baru lahir. 23 Nilai Apgar, yang umumnya
ditentukan pada menit ke-1 dan ke-5, merupakan penilaian respons
terhadap resusitasi. Neonatal Resuscitation Program (NRP), ACOG,
dan AAP mengemukakan bila pada menit ke-5 nilai Apgar ditemukan <7,
maka penilaian terhadap bayi harus dilanjutkan dan diulang setiap 5

178
menit sampai menit ke-20.82 Penentuan nilai Apgar dapat dilihat pada
Tabel 5.

Tabel 5. Evaluasi nilai Apgar


0 1 2

Warna biru/ pucat akrosianosis pink pada seluruh tubuh

Denyut jantung tidak ada <100 kali/menit >100 kali/menit

Refleks iritabilitas tidak ada respons meringis menangis/aktif

Tonus otot tidak ada (lumpuh) Fleksi gerakan aktif

Respirasi tidak ada menangis lemah, baik, menangis kuat


hipoventilasi

Sumber: American Academy of Pediatrics, Commitee on Fetus and Newborn,


American College of Obstetricians and Gynecologist and Committe on Obstetric
Practice, 200683

Langkah resusitasi neonatus meliputi beberapa tahap, yaitu : penilaian dan


langkah awal resusitasi, bantuan ventilasi, tindakan kompresi dada (sambil
melanjutkan ventilasi), pemberian obatobatan (sambil melanjutkan ventilasi dan
kompresi dada).7 Panduan resusitasi dapat dilihat pada Gambar 18.

a. Penilaian dan langkah awal

Keputusan perlu atau tidaknya resusitasi ditetapkan berdasarkan penilaian


awal, yaitu apakah bayi bernapas / menangis dan apakah bayi mempunyai
tonus otot yang baik.66,69 Bila semua jawaban adalah “ya”, bayi dianggap
bugar dan hanya memerlukan perawatan rutin. Bayi dikeringkan dan
diposisikan sehingga dapat melakukan kontak kulit ke kulit dengan ibu agar bayi
tetap hangat.
Bila terdapat salah satu jawaban “tidak”, bayi harus distabilkan
dengan langkah awal sebagai berikut :

Bayi lahir

179
Asfiksia

Dilakukan Resusitasi

Usia 10 menit

Bila nilai Apgar <5

Risiko EHI

Thompson score

Memenuhi EHI
Grading : EHI Sedang /EHI Berat

Passive Cooling

Gambar 10. Algoritme penanganan bayi dengan EHI

Penggunaan plastik transparan tahan panas yang menutupi


tubuh bayi sampai sebatas leher dapat digunakan untuk
mencegah kehilangan panas tubuh pada bayi dengan berat
lahir sangat rendah di bawah 1500 g.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

180
Pengisapan hanya dilakukan jika jalan napas mengalami
obstruksi. Bayi baru lahir bugar tidak membutuhkan
pengisapan hidung, mulut atau faring setelah lahir.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Tindakan mengisap mekoneum dari mulut dan hidung bayi


ketika kepala masih di perineum sebelum bahu lahir tidak
direkomendasikan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Intubasi dan pengisapan endotrakea pada bayi yang lahir


dengan kondisi air ketuban bercampur mekonium sebaiknya
dilakukan bila bayi tidak bugar dengan mempertimbangkan
baik manfaat maupun risiko tertundanya ventilasi karena
pengisapan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Setelah melakukan langkah awal, penolong melakukan evaluasi


kembali dengan menilai usaha napas, LJ, dan tonus otot bayi. Tindakan khusus,
seperti pengisapan mekonium, hanya dapat dilakukan selama 30 detik, dengan
syarat LJ tidak kurang dari 100 kali/menit. Periode untuk melengkapi langkah
awal dalam 60 detik pertama setelah lahir ini disebut ”menit emas”.23,73
Berikut hasil evaluasi:

• Bila pernapasan bayi adekuat dan LJ >100 kali per menit, bayi menjalani
perawatan rutin.69
• Bila usaha napas bayi belum adekuat dan LJ <100 kali per menit, langkah
resusitasi dilanjutkan pada pemberian bantuan ventilasi (breathing).69

181
• Bayi bernapas spontan namun memiliki saturasi oksigen di bawah target
berdasarkan usia, suplementasi oksigen dapat diberikan dengan cara
sebagai berikut.71

Gambar 11. Pemberian suplementasi oksigen aliran bebas

Suplementasi oksigen aliran bebas dapat diberikan dengan menggunakan: A.


balon tidak mengembang sendiri, B. T-piece resuscitator, C. Ujung balon
mengembang sendiri dengan reservoir terbuka. Pada penggunaan alat A dan B,
masker tidak boleh menempel pada wajah.
Sumber: Texbook of neonatal resuscitation. Initial steps of newborn care,
2016.71

• Bila bayi bernapas spontan namun disertai gawat napas, diperlukan CPAP
dengan tekanan positif akhir ekspirasi (positive end expiratory
pressure / PEEP) secara kontinu.69
Studi menunjukkan penggunaan CPAP dapat mempertahankan volume
residual paru, menghemat penggunaan surfaktan serta mempertahankan
keberadaan surfaktan di alveoli bayi.85 PEEP 2-3 cmH2O terlalu rendah
untuk mempertahankan volume paru dan cenderung menyebabkan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Begitu pula dengan PEEP yang
terlalu tinggi (>8 cmH2O) dapat menyebabkan pulmonary air leaks,
overdistensi paru, menghalangi aliran balik vena ke jantung, menurunkan
resistensi pembuluh darah pulmonar, serta menyebabkan resistensi
CO2.86 Oleh karena itu kesepakatan di Indonesia PEEP umumnya dimulai
dari 7 cmH2O. CPAP dianggap gagal apabila bayi tetap memperlihatkan
tanda gawat napas dengan PEEP sebesar 8 cmH2O dan FiO2 melebihi 40%.
Penolong resusitasi perlu mempertimbangkan intubasi pada keadaan
ini.87

Nilai Downe dapat membantu penolong resusitasi dalam menilai gawat


napas dan kebutuhan bantuan ventilasi pada bayi baru lahir. Interpretasi
nilai Downe dapat dilihat pada Tabel berikut.88

182
Tabel 6. Nilai Downe dan interpretasinya
0 1 2

Laju napas <60 x/menit 60-80 x/menit >80 x/menit

Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat


retraksi

Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang Sianosis


menetap dengan O2 walaupun diberi O2

Air entry Udara masuk Penurunan Tidak ada udara ringan udara masuk masuk

Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat


didengar tanpa dengan alat bantu
stetoskop

Interpretasi Nilai

Nilai <4 Gawat pernapasan ringan (membutuhkan CPAP)

Nilai 4-5 Gawat pernapasan sedang (membutuhkan CPAP)

Nilai ≥6 Gawat pernapasan berat (pertimbangkan intubasi)

Nilai Downe dapat digunakan sebagai alat penilaian klinis


gawat pernapasan pada bayi.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

183
b. Pemberian ventilasi (breathing)

Pemberian VTP dilakukan bila bayi : 71

a. tidak bernapas (apne), atau


b. megap-megap (gasping), atau
c. LJ <100kali/menit.
Berikut ini merupakan pilihan dan penjelasan alat-alat yang dapat digunakan
untuk memberikan VTP.

• Self inflating bag / balon mengembang sendiri (BMS),


merupakan alat resusitasi yang sering dipakai di fasilitas terbatas maupun
fasilitas lengkap.89 BMS dapat digunakan tanpa sumber gas (udara ruangan
memiliki FiO2 21%). Bila BMS disambungkan dengan sumber oksigen murni,
FiO2 pada masker tergantung pada campuran aliran oksigen dan udara bebas
yang masuk ke balon (bag).89 Contoh BMS adalah balon volume 250 ml.69

Tanpa sumber Tanpa O Dengan O


2
2
O2 reservoir reservoir
O
2
Room 100%

air
O 21%
2

O reservoir
2

O 21% O 40% O 90%-100%


2 2 2

Gambar 12. Penggunaan BMS dengan atau tanpa reservoir


Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2014.69

Studi menunjukkan BMS yang disambungkan dengan sumber oksigen dapat


memberikan oksigen sekitar 40% tanpa reservoir dan 90-100% bila dilengkapi
reservoir.89 BMS dapat memberikan PEEP bila dikombinasikan dengan katup
PEEP, namun PEEP yang dihasilkan kadang tidak konsisten. Hal ini menyebabkan
pemberian PEEP melalui kombinasi BMS dengan katup PEEP sulit dipertahankan
dalam waktu lama. 69,73,90

• Flow inflating bag/ balon tidak mengembang sendiri (BTMS),


memerlukan sumber gas untuk mengembangkan balon. Contoh BTMS yang

184
sering digunakan adalah Jackson-Rees. Jackson-Rees dapat digunakan
untuk memberikan PEEP yang terukur dan konstan, namun kurang
direkomendasikan untuk memberikan VTP pada neonatus. Hal ini disebabkan
oleh jarum manometer yang akan kembali ke angka nol saat balon kempis
setelah penolong menekan balon untuk memberikan PIP. Akibat hal ini, fungsi
PEEP hilang dan membutuhkan waktu untuk kembali ke tekanan yang telah
ditentukan.69
Contoh BTMS lainnya adalah balon anestesi. Suatu studi menunjukkan bahwa
penggunaan balon anestesi secara tepat tergantung pada kemampuan dan
kebiasaan penolong dalam menggunakan alat tersebut. Ketepatan pemberian
ventilasi akan lebih baik bila balon anestesi dikombinasikan dengan manometer
(ketepatan tekanan mencapai 72% dibandingkan hanya 18% bila balon anestesi
tidak dikombinasikan dengan manometer).91

• T-piece resuscitator, digunakan untuk memberikan tekanan (PIP dan


PEEP) yang diinginkan secara akurat dan terkontrol, walaupun membutuhkan
waktu lebih lama untuk meningkatkan PIP dari 20 sampai 40 cmH 2O.69,90,91
Penggunaan T-piece resuscitator dapat memberikan ventilasi dengan
tekanan terukur dan rate yang cukup. Dengan demikian, penolong dapat
memberikan ventilasi yang konsisten, tidak seperti BMS dan BTMS. Sebagai
contoh pada saat bayi apne ketika penolong harus memberikan VTP dengan
kecepatan 40-60 kali/menit. Pemberian ventilasi menggunakan BMS dan
terutama BTMS akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
mengembangkan balon kembali, sehingga penolong yang kurang terlatih sering
kali memberikan ventilasi yang tidak konsisten akibat kesulitan memperoleh
rate optimal saat pemberian
VTP.90,91

Secara umum, PEEP dan PIP dapat diberikan secara bersamaan melalui
BMS (yang dikombinasikan dengan katup PEEP), BTMS, atau T-piece
resucitator. Dalam praktiknya, penggunaan BTMS kurang direkomendasikan
untuk memberikan VTP. Pemberian PEEP saja dapat menggunakan BTMS atau T-
piece resucitator.69

185
Tabel 7. Kelebihan dan kekurangan BMS, BTMS (Jackson Rees), dan T-piece
resuscitator
BMS BTMS T-piece resuscitator

(Jackson Rees)

Kelebihan • Cukup murah dan • Cukup murah dan • Memberikan PEEP dan CPAP dengan
umumnya tersedia di umumnya PEEP yang terukur
fasilitas terbatas tersedia di • Dapat juga digunakan untuk pemberian
• dapat memberikan fasilitas ventilasi tekanan positif (VTP) secara
VTP dan PEEP bila terbatas terukur
dikombinasikan • Dapat memberikan
dengan katup PEEP PEEP, CPAP, dan VTP
• Dilengkapi dengan secara terukur, bila
pressure relief dilengkapi dengan
valve untuk manometer
mencegah pemberian khusus
tekanan
berlebihan

Kekurangan • Mahal
• VTP dan PEEP • Butuh sumber gas
yang diberikan tidak • Kurang
terukur dianjurkan untuk
• Tidak dapat memberikan pemberian VTP
CPAP • Butuh sumber
gas

186
Catatan
Khusus Mixsafe®:

• dilengkapi dengan mini kompresor


sehingga dapat menghasilkan
medical air yang umumnya sulit
didapat di
fasilitas terbatas
• praktis digunakan untuk transfer bayi
karena hanya butuh membawa
oksigen
portable

Ventilasi dinilai efektif bila terlihat pengembangan dada dan abdomen


bagian atas pada setiap pemberian ventilasi, diikuti peningkatan LJ >100 kali per
menit dan perbaikan oksigenasi jaringan.66 Bila dada tidak mengembang saat
pemberian ventilasi, harus diperhatikan apakah tekanan yang cukup telah
diberikan. Hal lain yang harus dievaluasi adalah urutan SR IBTA, yang meliputi : 23

• Sungkup melekat rapat.


• Reposisi jalan napas dengan memastikan kepala pada posisi semi-
ekstensi.
• Isap mulut dan hidung bila terdapat lendir.
• Buka mulut bayi dan berikan ventilasi dengan mengangkat dagu bayi ke
depan.
• Tekanan dinaikkan secara bertahap serta pastikan gerakan dan suara
napas di kedua paru simetris.
• Alternatif jalan napas (intubasi endotrakeal atau LMA) dapat
dipertimbangkan.
Oksigenasi jaringan dinilai berdasarkan saturasi oksigen yang tertera pada
pulse oxymetri. Pemberian oksigen pada bayi ≥35 minggu dapat
dimulai dari 21%, sedangkan untuk bayi <35 minggu dimulai dari 21-30%. 71
Kebutuhan oksigen selanjutnya disesuaikan dengan target saturasi. Penggunaan
oksigen dengan konsentrasi 100% dapat memperberat reperfusion injury dan
mengurangi aliran darah serebral pada bayi baru lahir. Temuan ini didukung oleh
metaanalisis yang membandingkan resusitasi neonatus dengan menggunakan
udara ruangan dan oksigen 100%.92 Penelitian lain juga membuktikan bahwa
resusitasi dengan menggunakan udara ruangan akan meningkatkan kesintasan
bayi serta mempercepat bayi untuk bernapas atau menangis pertama kali. 66

187
Setiap penolong resusitasi harus memperhatikan kenaikan saturasi selama
pemberian oksigen. Pada bayi asfiksia, kenaikan saturasi oksigen harus bertahap
(tidak boleh mendadak) sehingga penolong sebaiknya mengoptimalkan ventilasi
terlebih dahulu sebelum menaikkan konsentrasi oksigen menjadi 100%, kecuali
pada keadaan tertentu.

Pemberian oksigen hingga 100% dapat dipertimbangkan pada keadaan


sebagai berikut :69

• Saturasi oksigen <70% pada menit kelima atau <90% pada menit ke-10
• LJ <100 kali per menit setelah pemberian VTP efektif selama 60 detik
• Dilakukan kompresi dada
Suplementasi oksigen di fasilitas lengkap dapat dilakukan dengan campuran
oksigen dan udara tekan menggunakan oxygen blender.

Gambar 13. Oxygen blender

Pada fasilitas terbatas, campuran oksigen dan udara tekan dapat diperoleh
dengan menggunakan :69

• Sumber oksigen dengan udara bertekanan yang dihubungkan dengan


konektor Y.
• Konsentrator oksigen dengan kompresor udara.
• T-piece resuscitator (Mixsafe®) dengan mini kompresor.

a b c

188
Gambar 14. a. Sumber oksigen dengan udara bertekanan yang dihubungkan dengan
konektor Y, b. Konsentrator oksigen, c. Mixsafe®

Selanjutnya, untuk membuat campuran oksigen dan udara tekan agar


menghasilkan FiO2 yang sesuai dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Panduan campuran oksigen dan udara bertekanan

Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2014.69(dengan modifikasi).

Dalam menyederhanakan tabel campuran oksigen dan udara tekan,


digunakan prinsip rule of eight. Misalnya, penolong ingin memulai ventilasi
dengan memberikan oksigen berkonsentrasi 21%, maka dapat digunakan 8 L per
menit udara tekan tanpa oksigen murni. Begitu pula dengan oksigen 100%
diperoleh dari 8 L per menit oksigen murni tanpa udara tekan. Bila konsentrasi
oksigen dinaikkan menjadi 31%, penolong dapat menggunakan kombinasi udara
tekan 7 L per menit dengan oksigen murni 1 L per menit, demikian seterusnya
seperti pada tabel yang diarsir.

Resusitasi awal (initial resuscitation) sebaiknya dilakukan


dengan udara ruangan. Resusitasi awal dengan udara ruangan
dapat menurunkan mortalitas dan disabilitas neurologis pada
bayi baru lahir bila dibandingkankan dengan pemberian
oksigen 100%.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

189
Pemberian oksigen dapat ditingkatkan hingga mencapai 100%
bila resusitasi awal dengan udara ruangan gagal

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Apabila bayi masih menunjukkan tanda gawat napas dengan


pemberian CPAP yang mencapai tekanan positif akhir ekspirasi
sebesar 8 cm H2O dan FiO2 melebihi 40%, maka pertimbangkan
intubasi endotrakeal.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

LMA dapat digunakan dalam resusitasi bila pemberian VTP


dengan balon dan sungkup serta intubasi endotrakeal
mengalami kegagalan.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A


Dalam melakukan VTP, penolong hendaknya melakukan penilaian awal
(first assessment) dan penilaian kedua (second assessment) untuk
mengevaluasi keefektifan VTP sebagai berikut (Gambar 15,16). 71

Penilaian awal VTP

• Lanjutkan VTP
L naik Dada • Lakukan penilaian kedua
J mengembang (second assessment
) 15

• Lanjutkan VTP
Dada • Lakukan penilaian kedua
mengembang (secondassessment
) 15
L tidak naik
J Dada tidak Koreksi ventilasi (SR

mengembang IBTA) sampai dada
mengembang
• Lanjutkan VTPini
• Lakukan penilaian
kedua (second

Gambar 15. Penilaian awal (first assessment) VTP


Sumber: Textbook of neonatal resuscitation. Positive-pressure ventilation; 2016. 71

190
Penilaiankedua VTP

(dilakukan setelah 30detik VTPyang


mengembangkan dada )

≥ 100 kali/menit • Lanjutkan VTP


40-60 kali/menit sampai ada
usaha napas

60-99 kali/menit • Re-evaluasi VTP


• Koreksi ventilasi bila diperlukan

<60 kali/menit Re-evaluasi VTP



• Koreksi ventilasi bila diperlukan
• Intubasi (bila belumdilakukan)
• Bila tidak ada perbaikan, berikan oksigen
100% dan mulai kompresi dada

Gambar 16. Penilaian kedua (second assessment) VTP


Sumber: Textbook of neonatal resuscitation. Positive-pressure ventilation; 2016. 71

c. Kompresi dada (circulation)

Indikasi kompresi dada adalah LJ kurang dari 60 kali per menit (melalui auskultasi
atau palpasi pada pangkal tali pusat) setelah pemberian 30 detik VTP yang
adekuat.73,93 Kompresi dada bertujuan mengembalikan perfusi, khususnya
perfusi ke otak, memperbaiki insufisiensi miokardium terkait asidemia,
vasokonstriksi perifer, dan hipoksia jaringan. 93 Rasio kompresi dada dengan
ventilasi adalah 3:1.79

Kompresi dada dapat dilakukan dengan teknik dua jari (jari telunjuk-jari tengah)
dan teknik dua ibu jari. Teknik yang dianjurkan yaitu menggunakan teknik dua ibu jari
(two thumb-encircling hands technique) dengan jari-jari tangan lain melingkari
dada dan menyanggah tulang belakang. 73 Kedua ibu jari diletakkan pada sepertiga
bawah sternum, di bawah garis imajiner yang menghubungkan kedua puting,
dengan kedalaman sepertiga diameter anteroposterior dada. 72,76,94

Gambar 17. Lokasi dan cara memberikan kompresi dada

191
Sumber: UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus; 2014. 69

Teknik dua ibu jari lebih dianjurkan karena teknik ini dapat
memberikan tekanan puncak sistolik dan perfusi koroner yang
lebih baik pada bayi baru lahir.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B


Bila bayi bradikardia (LJ <60x/menit) setelah 90 detik
resusitasi menggunakan oksigen konsentrasi rendah,
konsentrasi oksigen dapat ditingkatkan hingga 100% sampai
LJ bayi normal

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Kompresi dada harus dilakukan pada sepertiga bawah sternum


dengan kedalaman sepertiga dari diameter antero-posterior
dada

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Setelah penolong memberikan kompresi dada dan VTP selama 60 detik,


kondisi bayi harus dievaluasi kembali. Bayi dinyatakan mengalami perbaikan bila
terjadi peningkatan LJ, peningkatan saturasi oksigen, dan bayi terlihat bernapas
spontan.69,39 Kompresi dada dihentikan bila LJ >60 kali per menit. Sebaliknya, bila
LJ bayi tetap <60 kali/menit, perlu dipertimbangkan pemberian obatobatan dan
cairan pengganti volume.69,76

d. Pemberian obat dan cairan pengganti volume (drugs and


volume expander)

Tim resusitasi perlu mempertimbangkan pemberian obat-obatan bila LJ <60 kali


per menit setelah pemberian VTP dengan oksigen 100% dan kompresi dada yang
adekuat selama 60 detik.67,94 Pemberian obat-obatan dan cairan dapat diberikan
melalui jalur vena umbilikalis, endotrakeal, atau intraoseus. Obat-obatan dan
cairan yang digunakan dalam resusitasi, antara lain :

192
• Epinefrin 1:10.000, dilakukan melalui jalur intravena atau intraoseus
dengan dosis 0,1-0,3 mL/kgBB (0,01-0,03 mg/kgBB). Pemberian melalui
jalur endotrakea kurang efektif, namun dapat dilakukan bila jalur
intravena / intraoseus tidak tersedia.71 Pemberian epinefrin melalui jalur
trakea membutuhkan dosis lebih besar, yaitu 0,5-1 ml/kgBB (0,05-0,1
mg/kgBB).71
• Cairan, diberikan bila terdapat kecurigaan kehilangan darah
fetomaternal akut akibat perdarahan vasa previa, perdarahan
pervaginam, laserasi plasenta, trauma, prolaps tali pusat, lilitan tali pusat,
perdarahan tali pusat, atau bayi memperlihatkan tanda klinis syok dan
tidak memberikan respons adekuat terhadap resusitasi. 71 Cairan yang
dapat digunakan antara lain darah, albumin, dan kristaloid isotonis,
sebanyak 10 ml/kgBB dan diberikan secara bolus selama 5-10 menit.
Pemberian cairan pengganti volume yang terlalu cepat dapat
menyebabkan perdarahan intrakranial, terutama pada bayi prematur. 23
Tata laksana hipotensi pada bayi baru lahir dengan menggunakan
kristaloid isotonis (normal saline) mempunyai efektivitas yang sama
dengan pemberian albumin dan tidak ditemukan perbedaan bermakna
dalam meningkatkan dan mempertahankan tekanan arterial rerata
(mean arterial pressure / MAP) selama 30 menit pertama
pascaresusitasi cairan.95
• Bikarbonat, bukan merupakan terapi rutin dalam resusitasi
neonatus.76,79

• Nalokson, diberikan dengan dosis 0,01-0,04 mg/kgBB secara intravena


atau intramuskular dengan dosis 0,1 mg/kgBB.
Jalur pemberian melalui endotrakea tidak
direkomendasikan.96-97 Pemberian nalokson tidak dianjurkan sebagai terapi awal pada bayi
baru lahir yang mengalami depresi napas di kamar bersalin.73 Sebelum nalokson diberikan,
penolong harus mengoptimalkan bantuan ventilasi terlebih dahulu.73,97 Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian nalokson dapat dipertimbangkan bila bayi dari ibu dengan riwayat
penggunaan opiat tetap mengalami apne walaupun telah diberikan ventilasi adekuat.

193
Pemberian epinefrin melalui pipa endotrakeal dapat dijadikan
pilihan bila jalur intravena tidak tersedia walaupun jalur ini
kurang efektif dibandingkankan jalur intravena.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Pemberian epinefrin intraoseus dapat menjadi alternatif


dibandingkan vena umbilikal pada klinisi yang jarang
melakukan pemasangan kateter umbilikal, namun cukup
berpengalaman memasang akses intraoseus.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Arteri umbilikal tidak direkomendasikan untuk pemberian


obatobat resusitasi.

Peringkat bukti IV, derajat rekomendasi C

Epinefrin perlu diberikan dalam dosis yang lebih tinggi melalui


jalur endotrakeal dibandingkan pemberian melalui intravena.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B


Sodium bikarbonat tidak diberikan secara rutin pada resusitasi
bayi baru lahir.

Peringkat bukti IV, derajat rekomendasi C

Cairan pengganti volume diberikan pada bayi asfiksia yang


menunjukkan respons lambat terhadap tindakan resusitasi
intensif.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

194
Normal saline sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan
terapi awal hipotensi pada bayi baru lahir karena aman, murah,
dan mudah didapatkan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Pemberian nalokson tidak direkomendasikan sebagai terapi


awal resusitasi bayi baru lahir dengan depresi napas.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Pada waktu melakukan resusitasi neonatus, penolong harus bekerja secara


simultan dan hanya dapat berpindah ke langkah selanjutnya bila telah berhasil
menyelesaikan langkah sebelumnya.72 Alur sistematik resusitasi neonatus dapat
dilihat pada Gambar 18.

4.1.7 Penolakan (witholding) dan penghentian resusitasi

Penolakan resusitasi dengan informed-consent orang tua dapat dilakukan


pada bayi prematur dengan usia gestasi <23 minggu atau berat lahir <400 gram,
bayi anensefali, atau sindrom trisomi 13. Penghentian resusitasi dapat dilakukan
bila denyut jantung tidak terdengar setelah 10 menit resusitasi atau terdapat
pertimbangan lain untuk menghentikan resusitasi.77,98

4.1.8 Pengendalian infeksi saat resusitasi

Pengendalian infeksi saat resusitasi meliputi kebersihan tangan (hand


hygiene), pemakaian alat pelindung diri (APD), dan sterilisasi alat resusitasi. 69,99

195
196
3.7 Tata laksana pascaresusitasi di ruang perawatan
Bayi harus tetap dipertahankan stabil walaupun resusitasi telah berhasil
dilakukan dengan cara memindahkan bayi dari ruang resusitasi ke ruang

197
perawatan, sehingga bayi dapat dipantau secara ketat dan dilakukan intervensi
sesuai indikasi.21,100 Akronim STABLE (sugar and safe care, temperature,
airway, blood pressure, laboratorium working, dan emotional
support) dapat digunakan sebagai panduan selama perawatan pascaresusitasi
atau periode sebelum bayi ditranspor, baik ke ruang perawatan intensif maupun
rumah sakit rujukan.101

3.7.1 Sugar and safe care


Kadar gula darah yang rendah pada bayi yang mengalami kondisi hipoksik-
iskemik akan meningkatkan risiko cedera otak dan luaran
neurodevelopmental yang buruk73,76 Penelitian membuktikan bahwa hewan
yang mengalami hipoglikemia pada kondisi anoksia atau hipoksia-iskemik
memperlihatkan area infark otak yang lebih luas dan /atau angka kesintasan
yang lebih rendah dibandingkankan kontrol.76 Bayi asfiksia memiliki risiko lebih
tinggi untuk mengalami hipoglikemia sehingga pemberian glukosa perlu
dipertimbangkan sesegera mungkin setelah resusitasi guna mencegah
hipoglikemia.73,102 Alur tata laksana hipoglikemia pada neonatus dapat dilihat
pada Gambar 19.

3.7.2 Temperature
Penelitian menunjukkan bahwa terapi hipotermia ringan (mild hypothermia)
dapat menurunkan risiko kematian dan disabilitas bayi akibat asfiksia secara
signifikan (lihat subbab mengenai terapi hipotermia).42 Terapi hipotermia secara
pasif dapat dimulai sejak di kamar bersalin atau ruang operasi pada bayi yang
diperkirakan mengalami asfiksia, dengan cara mematikan penghangat bayi dan
melepas topi bayi sesegera mungkin setelah target ventilasi efektif dan LJ
tercapai. Hal ini dapat dikerjakan secepat-cepatnya pada usia 10 menit dengan
memerhatikan kecurigaan asfiksia berdasarkan faktor risiko asfiksia, nilai Apgar
saat usia 5 menit dan kebutuhan ventilasi masih berlanjut sampai usia 10 menit.
Pada pelaksanaan terapi hipotermia pasif dengan suhu ruangan menggunakan
pendingin ruangan harus berhati-hati terhadap kemungkinan overcooling yang
akan memperberat efek samping terapi hipotermia. Probe rektal (6 cm dari
pinggiran anus) atau esofagus sebaiknya telah dipasang dalam waktu 20 menit
setelah kelahiran.103 Bayi ditranspor dengan menggunakan inkubator transpor
yang dimatikan dengan tujuan mencapai target suhu tubuh rektal antara 33,5 -
34,5oC. Pada kecurigaan asfiksia perinatal, hipertermia harus dihindari selama
resusitasi dan perawatan karena akan meningkatkan metabolisme otak dan
dapat memicu terjadinya kejang.104

198
GD <47 mg/dL

GD < 25 mg/dL atau dengan gejala GD >25 - <47 mg/dL

• I V bolus dekstrosa 10% 2 mL/kgBB • Nutrisi oral /enteral segera : ASI atau
** IVFD dekstrosa 10%, minimal 60 PASI , maksimal 100 mL/kg BB/hari
mL/kgBB/hari ( hari pertama ) sampai ( hari pertama )
mencapai GIR 6 - 8 mg/kgBB/menit • Bila ada kontraindikasi oral atau
• Ora l tetap diberikan bila tidak ada enteral → **
kontraindikasi

GD ulang (30 menit - 1 jam ) GD <36 mg/dL GD 36 - <47 mg/dL

Oral: ASI atau PASI yang


GD <47 mg/dL dilarutkan dengan dektrosa 5%

GD ulang (1 jam)
Dekstrosa ditingkatkan dengan cara:
• Volume ditingkatkan sampai maksimal
100 mL/kgBB/hari (hari pertama) atau
• Konsentrasi ditingkatkan: vena perifer
GD 36 - <47 mg/dL **
maksimal 12,5%, umbilikal 25%

GD > 47 mg/dL

Ulang GD tiap 2 - 4 jam , 15 me nit sebelum jadwal minum berikut, sampai 2 kali berturut - turut normal

Gambar 19. Algoritme tata laksana hipoglikemia


3.7.3 Airway
Perawatan pascaresusitasi ini meliputi penilaian ulang mengenai gangguan jalan
napas, mengenali tanda gawat maupun gagal napas, deteksi dan tata laksana bila
terjadi pneumotoraks, interpretasi analisis gas darah, pengaturan bantuan

199
napas, menjaga fiksasi ETT, serta evaluasi foto toraks dasar. 101 Intervensi
dilakukan sesuai indikasi apabila ditemukan kelainan pada evaluasi.

3.7.4 Blood pressure


Pencatatan dan evaluasi laju pernapasan, LJ, tekanan darah, CRT, suhu, dan
saturasi oksigen perlu dilakukan sesegera mungkin pascaresusitasi. Selain itu,
pemantauan urin juga merupakan salah satu parameter penting untuk menilai
kecukupan sirkulasi neonatus.101

3.7.5 Laboratorium working


Penelitian menunjukkan bahwa keadaan hiperoksia, hipokarbia, dan
hiperglikemia dapat menimbulkan efek kerusakan pada otak sehingga harus
dipertahankan pada keadaan normal setidaknya pada 48-72 jam pertama
kehidupan. Pemeriksaan gula darah secara periodik sebaiknya dilakukan pada
usia bayi 2, 6, 12, 24, 48, dan 72 jam kehidupan, kadar hematokrit dalam 24 jam
pada harihari pertama kehidupan, kadar elektrolit (natrium, kalium, dan kalsium)
dalam 24 jam, serta pemeriksaan fungsi ginjal, hati, enzim jantung, dll bila
diperlukan. 101

3.7.6 Emotional support


Klinisi perlu menjelaskan kondisi terakhir bayi dan rencana perawatan
selanjutnya serta memberikan dukungan emosional pada orangtua. 101

3.7.7 Lain-lain
Kejang dalam 24 jam pertama kehidupan dapat merupakan manifestasi
neurologis setelah episode asfiksia. Kejang pascahipoksik umumnya bersifat
parsial kompleks atau mioklonik dan terjadi secara intermiten. 105 Bayi yang lebih
matur dapat mengalami kejang elektrik (electrical seizure) pada pemeriksaan
EEG (atau pemeriksaan amplitude EEG (aEEG) yang dapat dilakukan bedside
secara kontinu; lihat juga penjelasan sub-bab aEEG pada halaman 84)106
Sebagian besar kejang neonatus disebabkan kejadian simtomatik akut seperti
EHI. Kejang juga dapat disebabkan oleh gangguan metabolik (hipoglikemia,
hipokalsemia, hipomagnesia, dan hiponatremia), infeksi, stroke perinatal,
perdarahan intrakranial, epilepsi neonatus, dan penyebab lain yang tidak
diketahui.107-109 Penting untuk dilakukan pemeriksaan fisis dan investigasi riwayat
secara menyeluruh untuk mengetahui etiologi atau faktor risiko neonatus
mengalami kejang.110,111

200
Berbagai karakteristik klinis kejang pada neonatus beserta penjelasannya
dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Klasifikasi dan karakteristik kejang pada neonatus


Klasifikasi Karakteristik

Kejang epileptik

Klonik fokal • Kontraksi ritmik dan repetitif otot tungkai, wajah, dan batang
tubuh
• Bersifat unifokal ataupun multifokal
• Dapat terjadi secara sinkron ataupun asinkron pada kedua sisi tubuh
• Dapat terjadi secara simultan, namun asinkron pada kedua sisi tubuh
• Tidak dapat dikurangi dengan peregangan

Tonik fokal • Kekakuan pada salah satu tungkai


• Batang tubuh asimetris
• Deviasi mata
• Tidak dapat dibangkitkan dengan stimulasi dan dikurangi dengan
peregangan

Spasme • Kontraksi ritmik dan repetitif otot tungkai, wajah, dan batang
tubuh
• Bersifat unifokal ataupun multifokal

Kejang non-epileptik

Tonik umum • Kekakuan simetris batang tungkai, batang tubuh, dan leher
• Posisi dapat fleksi, ekstensi, atau campuran keduanya
• Dapat dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
• Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi

201
Gerakan okular • Gerakan mata acak dan berputar atau nistagmus
• Dapat dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
Gerakan oral- • Gerakan seperti mengisap, mengunyah, dan protusi lidah bukal-lingual • Dapat
dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
• Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi

Gerakan • Gerakan seperti mendayung, berenang, atau mengayuh sepeda progresif • Dapat
dibangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan rangsang
• Dapat dikurangi dengan peregangan atau reposisi

Gerakan • Gerakan tiba-tiba dengan peningkatan aktivitas acak tungkai kompleks


tak • Dapat dubangkitkan atau diperkuat intensitasnya dengan bertujuan
rangsang

Dapat kejang epileptik atau non-epileptik

Mioklonik • Kontraksi acak, tunggal, dan cepat pada tungkai, wajah, atau batang tubuh
• Tidak repetitif atau mungkin terjadi dengan kecepatan lambat
• Dapat bersifat umum, fokal, atau fragmenter
• Dapat dibangkitkan dengan rangsang

Sumber: Mizrahi EM. Neonatal seizures and neonatal epileptic syndromes. Neurologic
clinics. 2001;19(2):427-63.106

Kejang neonatus kadang sulit dibedakan dengan jitteriness. Berikut adalah


panduan secara klinis bagaimana membedakan jitteriness dengan kejang.116

Tabel 10. Jitteriness vs kejang


Manifestasi klinik Jitteriness Kejang

Tatapan atau gerakan bola mata yang 0 abnormal +

202
Gerakan bersifat sensitif terhadap + stimulus 0

Gerakan dominan Tremor Klonik jerking

Gerakan berkurang dengan fleksi pasif + 0

Perubahan fungsi otonom 0 +

Sumber: Volpe J, Inder T, Darras B, dkk. Neurology of the newborn. Edisi ke-6.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2017.h.275-318.116

A. Prinsip tata laksana kejang pada neonatus


Prinsip utama tata laksana kejang pada neonatus adalah menegakkan diagnosis
secara cepat dan akurat (termasuk dengan menggunakan EEG/aEEG),
mempertahankan ventilasi dan perfusi yang adekuat, memberikan tata laksana
sesegera mungkin dengan mempertimbangkan manfaat dan efek samping anti-
kejang, serta segera menghentikan anti-kejang setelah kejang teratasi. 112

Diagnosis kejang pada neonatus pada umumnya ditegakkan hanya


berdasarkan gejala klinis saja. Perlu diketahui bahwa selain gejala klinis,
pemeriksaan EEG/aEEG sangat penting karena dapat mendeteksi neonatus
dengan kejang elektrik.107,113 Penggunaan EEG/aEEG menunjukkan bahwa
prevalensi kejang elektrik pada kelompok neonatus dengan berat lahir amat
sangat rendah (BBLASR) sangat tinggi. Penggunaan obat anti-kejang pada
neonatus dengan kejang elektrik berhubungan dengan rendahnya risiko epilepsi
pasca-natal.114 Pemberian obat anti-kejang berdasarkan gejala klinis saja
(sedangkan hasil EEG/aEEG tidak menunjukkan kejang) dapat mengakibatkan
overtreatment.107,113 Penggunaan EEG/aEEG terbukti dapat mempersingkat
waktu diagnosis kejang pada bayi dengan ensefalopati.114

Jika tidak terdapat fasilitas pemeriksaan EEG/aEEG, maka pemberian obat


anti-kejang dapat berdasarkan kriteria klinis seperti pada tabel berikut; 106

Tabel 11. Kriteria klinis pemberian obat antikovulsan pada neonatus (modifikasi)
Tipe kejang Karakteristik klinik Terapi anti-kejang

Fokal klonik Singkat dan jarang Opsional

Lama dan berulang Diberikan

Fokal tonik Singkat dan jarang Opsional

Lama dan berulang Diberikan

203
Mioklonik
Singkat dan jarang Opsional

Dapat diprovokasi Tidak diberikan

Generalized tonic Hilang dengan tahanan, dapat Tidak diberikan


posturing atau motor diprovokasi
automatism
Tidak hilang dengan tahanan, tidak dapat
diprovokasi Opsional
Sumber: Mizrahi EM. Neonatal seizures and neonatal epileptic syndromes.
Neurologic clinics. 2001;19:427-63.106

Ketika diagnosis kejang neonatus ditegakkan, sebaiknya dipikirkan terlebih


dahulu penyebab tersering pada neonatus seperti hipoglikemia dan imbalans
elektrolit (hipokalsemia, hipomagnesemia). Kondisi yang menyebabkan kejang
harus segera dikoreksi. Ketika penyebab yang dipikirkan telah teratasi dan kejang
masih berlangsung maka perlu diberikan obat anti-kejang akut (lini pertama).
Tujuan akhir tata laksana anti-kejang adalah menghindari timbulnya kejang
berulang baik secara klinis maupun elektrografis. 107 Idealnya setelah diberikan
terapi anti-kejang sebaiknya diamati responsnya dengan menggunakan
EEG/aEEG. Hal ini penting karena beberapa neonatus dengan perbaikan gejala
klinis, masih dapat menunjukkan gambaran kejang pada EEG/aEEG. Oleh karena
itu pemeriksaan EEG/aEEG kontinu merupakan modalitas yang baik untuk
mengkonfirmasi respons dari terapi anti-kejang.108

Kejang neonatus sebagian besar penyebabnya merupakan kejadian akut


seperti EHI, kelainan metabolik, perdarahan, sehingga jika penyebab sudah
teratasi maka obat antikejnag dihentikan sesegera mungkin. Jika tidak terdapat
fasilitas pemeriksaan EEG/aEEG maka lama pemberian obat anti-kejang
ditentukan oleh seberapa besar risiko kejang berulang jika obat dihentikan, dan
risiko terjadinya epilepsi (10%-30%). Faktor risiko penentu adalah ; (1)
Pemeriksaan neurologi, jika pada saat pulang terdapat pemeriksaan neurologi
abnormal maka risiko berulangnya kejang sebesar 50%; (2) Penyebab kejang itu
sendiri, etiologi asfiksia berisiko sebesar 30% sedangkan disgenesis korteks
berisiko 100% terhadap berulangnya kejang; (3) Gambaran EEG, jika irama dasar
memperlihatkan kelainan minimal atau ringan maka tidak terdapat risiko
epilepsi, jika terdapat kelainan yang berat maka risiko meningkat menjadi 41%.
Volpe merekomendasikan jika pada saat neonatus akan pulang pemeriksaan
neurologi normal maka semua obat antikejnag dihentikan. Jika abnormal
pertimbangkan etiologi dan dilakukan pemeriksaan EEG. Jika EEG abnormal
fenobarbital dilanjutkan, tetapi jika EEG normal atau etiologi adalah gangguan
metabolik yang bersifat sementara fenobarbital dapat dihentikan. 116

204
Bayi yang dipulangkan dengan fenobarbital, ulangi pemeriksaan neurologi dan
perkembangan saat usia 1 bulan, jika pemeriksaan neurologi normal fenobarbital dapat
dihentikan, jika abnormal lakukan pemeriksaan EEG. Jika tidak terdapat kelainan yang
bermakna pada EEG maka fenobarbital dapat dihentikan, jika EEG abnormal lakukan evaluasi
ulang saat usia 3 bulan. Volpe menyatakan bahwa sedapat mungkin obat anti-kejang
dihentikan sesegera mungkin dan pada keadaan tertentu dapat diberikan sampai usia 3-6
bulan.116

Menurut WHO, pemberian obat anti-kejang dapat dihentikan jika hasil


pemeriksaan neurologis dan/atau EEG telah normal, serta bebas kejang dalam 72
jam.115 Pemberian obat anti-kejang seperti fenobarbital dan fenitoin, bila kadar
terapeutik telah tercapai dan kejang klinis serta elektris sudah tidak ditemukan
maka penurunan dosis dan penghentian terapi anti-kejang dapat dilakukan. Bayi
yang mendapatkan anti-kejang lebih dari satu jenis sebaiknya menurunkan dosis
obat satu persatu terlebih dahulu dengan fenobarbital sebagai obat terakhir yang
dihentikan.116

B. Pemilihan obat anti-kejang


Pemilihan obat anti-kejang ditentukan berdasarkan kondisi neonatus (usia
gestasi, penyakit penyerta), ketersediaan obat, mekanisme kerja obat, dan efek
samping obat anti-kejang. Sampai saat ini di Indonesia belum ada konsensus tata
laksana anti-kejang neonatus dibedakan berdasarkan fasilitas kesehatan lengkap
maupun terbatas. Pembahasan berikut ini dapat digunakan sebagai penuntun
pemilihan obat anti-kejang untuk neonatus disesuaikan dengan berbagai fasilitas
kesehatan di Indonesia.

Survei yang dilakukan oleh European Society for Paediatric


Research pada 13 institusi di negara Eropa melaporkan bahwa fenobarbital
masih merupakan satu-satunya obat anti-kejang lini pertama yang digunakan.
Obat anti-kejang lini kedua yang paling banyak digunakan adalah midazolam
pada 11 institusi, disusul oleh fenitoin dan klonazepam. Sedangkan untuk lini
ketiga, lidokain digunakan hampir pada seluruh institusi diikuti dengan pilihan
lainnya seperti midazolam, diazepam, dan fenitoin. Pilihan obat anti-kejang lini
kedua dan ketiga yang digunakan di negara Amerika sedikit berbeda dikarenakan
telah banyak penelitian-penelitian mengenai obat anti-kejang lain yang
digunakan sebagai alternatif terapi pilihan seperti levetiracetam, fosfenitoin,
lorazepam, dan sebagainya.117

Fenobarbital merupakan obat anti-kejang paling banyak diteliti pada


hewan coba dan kadarnya dalam darah cenderung stabil. Sejak dulu fenobarbital
telah direkomendasikan sebagai obat antikejang lini pertama pada neonatus.

205
Namun penelitian mengenai pengaruh penggunaan jangka panjang fenobarbital
terhadap perkembangan neonatus sangat terbatas. Walaupun demikian, tidak
ada obat anti-kejang lain yang terbukti lebih efektif dan aman untuk digunakan
pada neonatus selain fenobarbital.116,118,119 Fenobarbital injeksi yang tersedia di
Indonesia ada dua macam, yaitu intravena dan intramuskular. Sebelum
pemberian obat pastikan sediaan obat sesuai dengan teknik yang diberikan.
Sediaan intramuskular tidak boleh diberikan secara intravena, begitu pula
sebaliknya. Fenobarbital diberikan secara intravena dengan dosis inisial 20
mg/kgBB, dengan kecepatan tidak melebihi 1 mg/kgBB/menit (menggunakan
infusion pump). Dua dosis tambahan sebesar 10-20 mg/kgBB/dosis dapat
diberikan apabila kejang belum berhenti (maksimal 50 mg/kgBB dalam 24 jam).
Fenobarbital dilanjutkan sebagai terapi rumatan dengan dosis 4-6 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 2 dosis bila kejang telah teratasi.108,116,120,121 Lockman dkk.122
mengemukakan bahwa kadar terapeutik minimal fenobarbital dalam darah yaitu
16,9 µg/mL. Pada pemberian dosis inisial fenobarbital 15-20 mg/kgBB intravena
akan memberikan kadar terapeutik dalam darah sekitar 16,3-25,1 µg/mL. 123
Sebuah studi menunjukkan bahwa kadar fenobarbital dalam plasma akan
mengalami penurunan setelah 24 jam pemberian dosis inisial, sehingga dosis
rumatan harus segera diberikan (12 jam setelah dosis inisial). Pada studi
tersebut, pemberian dosis rumatan sebanyak 2,6-5 mg/kgBB/hari dapat
mencapai kadar terapeutik 15-40 µg/mL. Namun demikian, pemeriksaan kadar
fenobarbital dalam darah tetap perlu dilakukan mengingat pada 1 minggu
pertama kehidupan akan terjadi penumpukan kadar obat dalam darah. Hal ini
kemudian diikuti dengan penurunan kadar fenobarbital secara bertahap
sehingga diperlukan kembali penyesuaian terhadap dosis fenobarbital. 124 Pada
fasilitas terbatas di Indonesia seringkali tidak tersedia fenobarbital intravena,
melainkan sediaan intramuskular (ampul, 100 mg/2 mL), maka fenobarbital
intramuskular diberikan dengan dosis lebih tinggi yaitu 30 mg/kgBB (10-15%
lebih tinggi dari dosis intravena).116,120,122 Bila kejang masih belum teratasi, dosis
ini dapat diulang satu kali dengan selang waktu minimal 15 menit. 120

Obat anti-kejang lini kedua dapat diberikan bila kejang masih belum teratasi dan
kadar fenobarbital dalam darah telah mencapai optimal pada penggunaan dosis
maksimal. Pemilihan obat antikejang lini kedua dipengaruhi oleh tingkat
keparahan kejang, efek samping dan interaksi obat, fungsi kardiovaskular dan
pernapasan neonatus, serta disfungsi organ seperti jantung, ginjal, dan
hati.107,118,121 Pilihan obat anti-kejang lini kedua di negara-negara Eropa dan
Amerika adalah fenitoin, levetirasetam, dan lidokain yang dapat digunakan di
Indonesia berdasarkan ketersediaannya. 107,118,121,125

Berdasarkan telaah sistematik dari 2 penelitian acak terkontrol,


penggunaan fenobarbital dan fenitoin terbukti memiliki efektifitas yang sama
sebagai obat anti-kejang lini pertama, yaitu 43-45%.121,126 Pemberian fenitoin
setelah penggunaan fenobarbital (kombinasi) dapat meningkatkan efektivitas
dalam mengatasi kejang sebanyak 10-15%.118 Namun sediaan fenitoin cenderung

206
tidak stabil dengan pencampuran dan memiliki efek samping lebih besar berupa
hipotensi, aritmia, dan kerusakan pada sistim saraf. Metabolisme fenitoin terjadi
di hati dengan waktu eliminasi yang bervariasi sesuai usia neonatus. Pada satu
minggu pertama kehidupan terjadi penurunan waktu eliminasi yang dapat
menyebabkan fluktuasi kadar fenitoin dalam darah terutama pada bayi prematur
dengan imaturitas fungsi hati. Penggunaan fenitoin sebagai obat anti-kejang lini
pertama sebaiknya diberikan bila pengukuran kadar fenitoin dalam darah dapat
dilakukan.116,118 Dosis inisial fenitoin adalah 20 mg/kgBB/dosis, diberikan secara
intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1 mg/kgBB/menit (untuk mencegah
efek samping aritmia jantung). Dosis dapat ditambahkan hingga tercapai kadar
terapeutik dalam darah yaitu 10-20 mg/L). Pemberian dosis inisial ulangan
fenitoin tidak dianjurkan bila kadar fenitoin dalam darah tidak dapat
diperiksa.116,127 Saat ini di negara maju penggunaan fenitoin mulai ditinggalkan
dan dialihkan menggunakan fosfenitoin (derivat fenitoin). Fosfenitoin memiliki
mekanisme kerja lebih cepat dengan efek samping minimal.118,128

Efektivitas levetirasetam dan keamanan penggunaan pada neonatus belum


sepenuhnya dapat dipahami. Namun obat ini telah terbukti dapat menurunkan
angka kejadian kejang tanpa mengakibatkan kerusakan sistim saraf seperti
apoptosis neuronal, melainkan memberikan efek neuroprotektif. Levetirasetam
mulai dipakai oleh banyak institusi selain berkaitan dengan efek antikejang yang
baik, dikarenakan terdapat bentuk sediaan intravena.116,118,129-132 Namun
demikian, hingga saat ini di Indonesia hanya tersedia levetirasetam sediaan oral
berupa tablet salut sedangkan sirup belum tersedia. Pemberian pada neonatus
relatif sulit mengingat sediaan tablet tidak dapat digerus. Studi mengenai
penggunaan levetirasetam oral pada kejang refrakter neonatal yang belum
teratasi setelah pemberian fenitoin / fenobarbital menunjukkan bahwa
pemberian levetirasetam oral efektif mengatasi kejang tanpa menimbulkan efek
samping.118,131,132 Dosis inisial yang direkomendasikan adalah 10-20 mg/kgBB per
oral atau intravena, dengan dosis rumatan 40-60 mg/kg/hari terbagi dalam 2
dosis.118,133-135

Lidokain intravena banyak digunakan sebagai obat anti-kejang lini kedua di


beberapa negara Eropa.136 Efektivitas lidokain setelah pemberian fenobarbital
menunjukkan respons terapi sebesar 7092% dalam mengatasi kejang dan efek
samping berupa depresi pernapasan hampir tidak pernah dilaporkan. 109,137
Sebuah studi observasional retrospektif yang membandingkan lidokain dan
midazolam intravena sebagai obat anti-kejang lini kedua membuktikan bahwa
penggunaan lidokain pada neonatus menunjukkan respons terapi yang lebih baik
secara signifikan. Namun efektivitasnya lebih rendah pada bayi prematur (55,3%)
dibandingkan dengan bayi cukup bulan (76,1%).109 Dosis yang direkomendasikan
adalah 2 mg/kgBB sebagai dosis inisial yang diberikan selama 10 menit.
Pemberian dilanjutkan dengan dosis rumatan yang diturunkan secara bertahap
dengan target penghentian obat dalam waktu 36 jam untuk menghindari
toksisitas lidokain. Dosis rumatan awal yang diberikan adalah infus kontinu 7

207
mg/kgBB/jam selama 4 jam kemudian diturunkan setengah dosis tiap 12 jam
selama 24 jam.
Perlu diperhatikan pada kondisi bayi prematur dan bayi yang menjalani
terapi cooling, dosis rumatan yang diberikan harus lebih rendah (6
mg/kgBB/jam) karena waktu klirens lidokain menurun pada kondisi
hipotermia.116 Bila kejang belum teratasi, pemberian lidokain dapat ditambahkan
dengan midazolam. Pemberian keduanya secara bersamaan sebagai terapi
kombinasi akan memberikan efek sinergistik yang mampu mengatasi kejang lebih
baik. Oleh karena itu, midazolam lebih efektif bila diberikan sebagai obat anti-
kejang lini ketiga.109 Pemberian lidokain setelah fenitoin dan derivatnya
(difantoin) memerlukan pemantauan terhadap tekanan darah, laju nadi, dan EKG
mengingat efek samping obat berupa kardiodepresif (aritmia dan bradikardia)
walaupun sangat jarang terjadi.114 Untuk mencegah efek samping aritmia,
beberapa studi menyarankan rentang waktu maksimum pemberian infus
lidokain adalah 30-48 jam.109,116,138,139
Kontraindikasi pemberian lidokain adalah neonatus dengan penyakit
jantung bawaan dan penggunaan fenitoin sebelumnya.116,140 Sampai saat ini di
Indonesia lidokain intravena hanya tersedia di fasilitas kesehatan tertentu
(Xylocard tersedia di RS Jantung Harapan Kita), sediaan lainnya adalah untuk
pemberian subkutan / intramuskular.
Midazolam intravena dipertimbangkan sebagai obat antikejang lini ketiga
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Obat ini merupakan pilihan pada kasus
kejang refrakter yang tidak berhasil dengan pemberian obat anti-kejang lini
pertama dan kedua.141 Efek samping yang dikhawatirkan pada pemberian
midazolam yaitu depresi pernapasan dengan risiko intubasi. Namun efek
samping tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan benzodiazepin
lainnya seperti diazepam dan lorazepam. 116,123 Dosis inisial yang diberikan adalah
0,15 mg/kgBB intravena, dilanjutkan dengan infus kontinu 1 µg/kgBB/menit. Jika
masih terdapat kejang, dosis awal dapat diulangi dan dosis infus dapat dinaikkan
0,5-1 µg/kgBB/menit setiap 2 menit hingga dosis maksimal 18
µg/kgBB/menit.116,126

Prinsip tata laksana kejang adalah menghentikan kejang. Pada kondisi


fasilitas terbatas dengan ketersediaan obat anti-kejang yang tidak lengkap, dapat
diberikan obat-obatan yang tersedia sebagai alternatif namun dengan
pemantaun khusus. Diazepam sangat jarang digunakan pada neonatus karena
memiliki efek samping yang sangat berat seperti depresi susunan saraf pusat dan
pernapasan (apne/hipoventilasi), serta kolaps pembuluh darah. 101,142-144 Risiko
pemberian diazepam diikuti dengan fenobarbital intravena dapat memperberat
efek depresi susunan saraf pusat (SSP) dan sistem pernapasan. 101,144 Dosis
terapeutik diazepam pada neonatus sangat bervariasi dan terkadang mencapai
dosis toksik yang menimbulkan henti napas.125,145 Selain itu, klirens diazepam
yang cepat pada otak (beberapa menit setelah dosis intravena) sehingga

208
menyebabkan obat ini tidak dapat dipakai sebagai terapi rumatan. 142,143 Hal lain
yang perlu pula diperhatikan adalah sediaan diazepam umumnya mengandung
sodium benzoat yang dapat melepas ikatan albumin-bilirubin sehingga
meningkatkan risiko terjadinya kernikterus.146 Namun pada fasilitas kesehatan
terbatas di Indonesia yang tidak tersedia fenobarbital, fenitoin maupun
midazolam, maka diazepam dapat digunakan sebagai obat anti-kejang lini
pertama dengan perhatian khusus. Sebuah studi melaporkan bahwa pemberian
drip kontinu diazepam efektif menghentikan kejang pada delapan bayi yang
mengalami asfiksia perinatal berat. Pada laporan kasus tersebut tidak ada bayi
yang membutuhkan bantuan pernapasan walaupun terdapat stupor dan
memerlukan pemasangan pipa orogastrik.147

Mengingat ketersediaan obat anti-kejang di fasilitas kesehatan di Indonesia


dan kompetensi tenaga medis di tempat terpencil, maka rekomendasi
penggunaan diazepam di Indonesia adalah sebagai berikut: bila terpaksa harus
menggunakan diazepam maka pilihan utama adalah infus kontinu (drip)
diazepam untuk mencegah efek yang tidak disukai di atas.116 Namun bila tidak
terdapat tenaga ahli yang dapat memasang akses intravena perifer ataupun
umbilikal, maka dapat diberikan diazepam per rektal (sediaan bentuk supositoria
(5 mg/2,5 mL) dengan menggunakan spuit 1 mL yang disambungkan pada pipa
orogastrik yang dipotong pendek (lihat Gambar 21.) dengan dosis 0,5
mg/kgBB.120,148 Risiko pemberian diazepam bolus ini seperti telah dibahas di atas
yaitu apne, sehingga perlu dipersiapkan pula intubasi. Bila kejang masih belum
teratasi (sambil mempersiapkan rujukan bayi ke fasilitas lebih lengkap bila
memungkinkan), direkomendasikan langsung pemberian diazepam infus secara
kontinu (diencerkan dengan cairan dekstrosa 5%) dengan dosis 0,3
mg/kgBB/jam. Dosis dapat dinaikkan bertahap hingga tercapai rata-rata dosis
diazepam sebesar 0,7-2,75 mg/jam. Apabila kejang telah teratasi selama 1224
jam, dosis diazepam dapat diturunkan dalam 12-24 jam sebanyak 0,1-0,25
mg/jam. Campuran diazepam dan dekstrosa 5% dibuat ulang setiap 4 jam dalam
spuit ditutup dengan
kertas/plastik berwarna gelap.147

Fasilitas dengan keterbatasan pilihan anti-kejang bila tidak didapatkan pula


fenobarbital maupun diazepam, maka midazolam dapat pula dipertimbangkan
sebagai obat anti-kejang lini pertama.141 Efektivitasnya tidak sebaik penggunaan
fenobarbital sebagai anti-kejang lini pertama namun diharapkan dapat mengatasi
kejang sementara waktu hingga bayi dapat dirujuk ke fasilitas lebih lengkap. 118,141
Perlu diingat kembali bahwa penggunaan obat anti-kejang selain fenobarbital
seperti diazepam dan midazolam sebagai lini pertama direkomendasikan sebagai

209
terapi alternatif apabila tidak tersedia fenobarbital, bukan sebagai pilihan
utama.124
Gambar 20. Anti-kejang pada fasilitas terbatas
a. Fenobarbital (sediaan ampul, 100 mg/2 mL, IM), b. Fenitoin (sediaan ampul,
100 mg/2 mL, IM-IV), c. Diazepam (sediaan ampul, 10 mg/2 mL, IM-IV) d.
Midazolam (sediaan ampul, 5mg/5mL, IM-IV), e. Diazepam (sediaan supposituria
5mg/2,5 mL) Sumber: Foto inventaris RSUD Lahat, Sumatra Selatan

Gambar 21. Cara pemberian diazepam


per-rektal di a fasilitas terbatas

a. Sambungkan OGT no. 5 dengan spuit 1 mL.


Potong OGT sehingga hanya tersisa 2 cm.
b. Posisikan bayi, masukkan diazepam ke anus bayi,
kemudian rapatkan kedua bokong bayi

Sumber:
a. Foto inventaris RSUPN Ciptomangunkusumo;
b. Kementrian Kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan neonatal esensial:
Pedoman teknis pelayanan kesehatan
dasar; 2010

Jika penyebab kejang tidak diketahui dan tidak respons terhadap obat anti-
kejang lini pertama dan kedua, maka harus dipikirkan adanya kelainan metabolik
bawaan seperti pyridoxine dependency. Percobaan terapi piridoksin dapat
diberikan dengan dosis 100 mg secara intravena secara lambat (5 menit),
kemudian dapat diulangi setiap 5-15 menit hingga mencapai dosis maksimum
pemberian yaitu 500 mg (15-30 mg/kg/hari per oral yang terbagi dalam tiga
dosis). Sediaan piridoksin yang tersedia di pasaran adalah 50 mg/ml (1 ml) dan
100 mg/ml (1 ml). Pemberian piridoksin secara intravena tidak perlu diencerkan,
tetapi diperlukan pemantauan EEG/aEEG dan fungsi kardiorespirasi (hipotonia
dan apneu).116,134,149 Dosis dan keterangan obat lebih lengkap dapat dilihat dalam
Tabel 10.

210
Tabel 12.Farmakodinamik, obat
mekanisme kerja, keuntungan, kerugian, efek samping dan interaksiAnti
-kejang
Fenobarbital Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain
Farmakodinamik
• Spektrum • Bentuk fosfenitoin • Awitan • Absorbsi cepat dan
luas150 lebih disukai 3 Intravena/drip: 1 - hampir diserap
• Rentang untuk loading menit10 sempurna dengan
terapeutik cepat, efek konsentrasi puncak
Rektal: 2-
lebar150 samping dan menit plasma 1 jam setelah
Awitan reaksi lokal lebih -30 penggunaan oral.
• • Durasi 15
intravena 5 ringan.152 menit
116,133,134
menit, 15 • Hanya
• Waktu paruh 50 -
95 • Konsentrasi puncak
mencapai meningkatkan 10 - 151 plasma dalam 5 -15
maksimum kejang jam menit setelah
% kontrol
dalam 30 setelah kegagalan pemberian intravena.
menit151 fenobarbital 116,133,134
• Durasi 4 -10 mengontrol • Waktu paruh pada
jam151 kejang.152,153 neonatus 18 jam.
60
• Awitan intravena
Waktu 116,133,134
500 paruh
45- 151 30- 152
jam menit
• Durasi 24 jam
153
• Waktu paruh 10 -
15
152
jam
Mekanisme kerja Inhibisi • Menghalangi • Meningkatkan • Berikatan dengan • Menghalangi
neurotransmiter channel Na + fungsi reseptor protein vesikel konduksi saraf
dengan sehingga GABA.128 sinapsis SV2A dengan menurunkan
266
Fenobarbital Fenitoin Diazepam
Midazolam memperpanjang mencegah • Menekan SSP,
waktu terbukanya rangsang neuron termasuk sistem
( channel GABA- berulang150 limbik dan formasi
Na+ 150 • Perubahan retikularis dengan
• Awitan: ≤ 20 5
menit paruh: 3 jam• konduksi Na+, K +, berikatan pada
• Waktu
subkutan) dan -8 Ca2+, membran situs
Awitan intravena
- potensial, dan benzodiazepin
jam untuk (intravena 7
1menit,
jangka panjang)
139 • dalam - menit konsentrasi asam pada kompleks
maksimum
Durasi 20 -30
5 amino, GABA dan
4 men15
• 4 norepinefrin, memodulasi
Waktu
it 12 -124
paruh asetilkolin, serta
jam dan - jam GABA.151
pada
5,5 neonatus gamm-
sangat 15
yang ( aminobutyric
a acid
1
sakit GABA 150
)
Keuntungan - Berat dan usia • Efektivitas hampir • Obat mudah
gestasi tidak sama dengan didapatkan107
terlalu Fenobarbital118,121
mempengaruhi
kadar obat
dalam darah116
- Dapat diberikan
dengan sediaan
IM116
Menekan semua
level SSP, termasuk
sistem limbik dan
266
Levetiracetam Lidokain Midazolam Fenobarbital Fenitoin
sehingga permebilitas sel formasi retikularis, Kerugian dan efek • Depresi napas, • Pemberian secara
mengurangi
pelepasan membran terhadap dengan berikatan samping apne101 intravena cepat
vesikel
116,133,13 Na+ sehingga pada situs menyebabkan
• Tromboflebitis
10
4
. mengurangi lama benzodiazepin pada
• Meningkatkan hipotensi, aritmia,
1
ekspresi gamm waktu depolarisasi, kompleks reseptor bradikardia,
• Hipotensi
101,151
( glutamate a meningkatkan GABA dan kolaps
• Ruam kulit
151
transporter
GLTs), excitato eksitabilitas dan memodulasi kardiovaskular,
• Hepatitis,
( ry
amino acid mencegah aksi GABA.151 kolestatis101,151 dan distres
transporter 1/ potensial. napas.101,151
• Gangguan
glutam-asparta • Menghalangichannel kognitif150,151 • Muntah, iritasi
ate te
transport Na+ pada sel lambung.101
er
EAAT1/GLAST), dan jantung139
• Trombositopenia,
EAAT2/GLT1 yang • Menyebabkan efluks leukopenia, dan
mempunyai peran dari kalium yang granulositosis.101
penting untuk mengakibatkan
116,133 • Makrositosis dan
neuroproteks aritmia.139 anemia
i.
13 ,
megaloblastik.101
4
• Nekrosis dan
• Risiko terjadi efek • Pada bayi cukup • Efektif pada status inflamasi jaringan
samping rendah bulan, Lidokain epileptikum141 bila terjadi
• Terdapat sediaan menunjukkan • Efek samping sedasi ekstravasasi pada
intravena respon terapi kejang dan depresi respirasi tempat
• Tidak ada reaksi yang lebih baik lebih rendah penyuntikan101,151
antar obat116,133,134 sebagai lini kedua dibandingkan • Hepatitis
151
dan ketiga dengan Lorazepam
• Ruam kulit
101,151
dibandingkan dan Diazepam.116,123
• Hipoinsulinemia,
dengan hiperglikemia,
Midazolam109,116 glikosuria101
• Akselerasi
apoptosis neuron
266
Diazepam Levetiracetam Lidokain Midazolam Fenobarbital
• Menganggu ikatan • Efekasi dan • Therapeutic window • Henti jantung
151
albumin- keamanan pada sempit109,116 • Depresi napas, apne,
bilirubin127 pada neonatus • Aritmia
109,116 desaturasi,
• Peningkatan enzim belum banyak laringobronkospasm
• Bradikardia
109,116
hati151 diketahui, namun e 121 Interaksi obat • Pemberian
• Hipotensi
109,116
penggunaan dosis diazepam yang
• Butuh titrasi • Menyebabkan • Nyeri dan reaksi
obat127 40-50 lokal pada tempa t disusul dengan
kejang bila
mikrogram/kgBB penyuntikan, namun fenobarbital
• Depresi sistem digunakan dalam
intravena dapat
saraf pusat (SSP) tidak menimbulkan dosis tinggi109,116 lebih ringan
dan sistem efek samping yang dibandingkan memperberat
• Kejang efek depresi
( pernapasan bermakna.116,133,134 berulang109,116 diazepam.151
SSP dan sistem
apne 101,151 • Belum ada sediaan • Kontraindikasi pada
) intravena di pernapasan,
• Hipotensi
101,151
penyakit jantung
Indonesia apne, dan
• Hipo/hipertermia bawaan109,116
10
1
hipoventilasi.101
• Tidak boleh
• Pemberian
• Nyeri dan flebitis diberikan setelah
fenobarbital
pada tempat fenitoin/fosfenitoin
tidak boleh
penyuntikan101,151 karena dapat
dicampur
menyebabkan
dengan
kardiodepresif 109,116
sebagian besar
antibiotik,
morfin,
norepinefrin,
dan natrium
fenitoin.101
266
Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain Midazolam
pada bayi
prematur101,151
• Pemberian • Pemberian • Pemberian • Pemberian Lidokain • Midazolam akan
bersamaan dengan diazepam yang bersamaan setelah Fenitoin meningkatkan kadar
infus dopamin disusul dengan makanan tidak disarankan fenitoin116
dapat fenobarbital menurunkan karena akan
menyebabkan intravena dapat konsentrasi puncak memperbesar efek
(
hipotensi berat, memperberat efek plasma sampai 20% kardiodepresif
bradikardia, dan depresi SSP dan dan menunda kerja aritmia,
henti jantung sistem obat sampai 1,5 jam; bradikardia)
,139
sehingga bila pernapasan, apne, tetapi tidak
harus diberikan dan mengurangi
secara bersamaan, hipoventilasi.101 bioavailabilitas.
116,133,134
perlu perhatian • Meningkatkan
khusus dan kadar plasma
pemantauan digoksin.101
tejanan darah.101
• Asam folat,
piridoksin,
rifampisin, dan
kloralhidrat dapat
menyebabkan
penurunan serum
fenitoin sehingga
menurunkan
efektivitasnya.101
• Menurunkan
kadar dan
266
Fenobarbital Fenitoin Diazepam Levetiracetam Lidokain
efektivitas teofilin,
digoksin, dan
furosemid.101
• Meningkatkan
metabolisme
kortikosteroid101
• Jangan
memberikan dosis
parasetamol
terlalu tinggi bila
diberikan
bersamaan dengan
fenitoin.101
*) - Berdasarkan awitan kerjanya, pemberian diazepam atau midazolam drip kontinudapat dipertimbangkan
sebagai lini pertama di fasilitas terbatas yang tidak tersedia fenobarbital intravena / intramuskular.
- Pada fasilitas terbatas, diazepam atau midazolam drip diberikan sebagai anti -kejang lini kedua setelah
pemberian fenobarbital intravena atau intramuskular pada lini pertama
- Di Indonesia saat ini hanya tersedia levetiracetam sediaan oral dan belum lazim digunakan lidokain
intravena ( L ignokain)
266
Midazolam
266
Tabel 13. Daftar sediaan, dosis, kompatibilitas, persiapan, administrasi, kecepatan
pemberian obat, dan contoh soal pemberian anti-kejang pada neonatus
Obat FENOBARBITAL
Sediaan Oral : 30 mg, 50 mg, 100 mg, 15 mg/5 mL (cairan) IV/IM : 200
mg/mL, 200 mg/2 mL, 100 mg/mL
Dosis Inisial : 20 mg/kgBB IV dalam 10-15 menit. (jika masih kejang diberikan
10-20 mg/kgBB sampai maksimal 50 mg/kgBB dalam 24 jam) 108,116,121

Rumatan (diberikan 24 jam setelah loading):


4-6 mg/kgBB/hari terbagi 2 dosis IV/PO 155

IM : 10-15% lebih besar dari sediaan IV108,116,121


Kompatibilitas Dekstrosa 5%, dekstrosa 10%, NaCl 0,9%154,156
Persiapan IM : Tidak perlu diencerkan (200mg/mL)154,156

IV : Pengenceran 200 mg dengan cairan pelarut hingga


mendapatkan total cairan 10 mL (=20mg/mL)155
Administrasi dan kecepatan Oral : campuran oral pahit dan toleransi buruk. Dosis inisial per oral
pemberian obat diberikan via OGT jika bayi memiliki kemampuan mengisap yang buruk 155

IV : 1 mg/kgBB/menit atau lebih lambat (Jika keadaan darurat dapat


memberikan 2 mg/kgBB/menit)154,156 dengan syringe pump

Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3 kg


Sediaan ampul: 200 mg/mL

Pengenceran (menjadi 20mg/mL)


- Dengan spuit 10 mL ambil obat sebanyak 1mL (200mg)
- Tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 9 mL (sampai total cairan 10mL)

Inisial IV :
- Dosis = 20 mg/kgBB (3 kg x 20 mg → 60 mg)
- Sediaan setelah pengenceran = 20 mg/mL → Ambil 3 mL untuk
mendapatkan dosis 60 mg
- Berikan secara bolus IV lambat dalam waktu 10-20 menit
- Jika masih kejang, dapat diberikan bolus tambahan 1020 mg/kgBB
(3kg x 10-20 mg → 30-60 mg atau 1,5-3 mL)

Rumatan :
- Dosis = 4-6 mg/kgBB/hari (3 kg x 4-6 mg → 12-18 mg/hari atau
6-9 mg setiap 12 jam)
- Sediaan setelah pengenceran = 20mg/mL → Ambil 0,3-
0,45 mL untuk mendapatkan dosis 6-9mg
- Pemberian bolus intravena lambat dalam 10-20 menit setiap 12 jam

IM :
- 10-15% lebih besar dari dosis IV atau 30 mg/kgBB (3kg x 30 mg →
90 mg)

218
- Tidak perlu diencerkan
- Ambil 0,45 mL untuk mendapatkan dosis sebesar 90mg -
Berikan secara IM

Obat FENITOIN
Sediaan Oral : 30 mg, 100 mg
IV : 100 mg/2 mL, 250 mg/5 mL
Dosis Inisial : 20 mg/kgBB IV (kecepatan pemberian kurang dari 1 mg/kg/menit,
cenderung tidak larut jika dicampur dengan larutan dekstrosa/
aquabides)116

Rumatan (diberikan 12 jam setelah loading) :155


- Usia koreksi <37 minggu
• ≤14 hari = 2 mg/kg/dosis, setiap 12 jam IV
• >14 hari = 5 mg/kg/dosis, setiap 12 jam IV
- Usia koreksi ≥ 37 minggu
• ≤14 hari = 4 mg/kg/dosis, setiap 12 jam IV
• >14 hari = 5 mg/kg/dosis, setiap 8 jam IV
Rumatan dapat diberikan per oral akan tetapi
bioavailibilitasnya buruk pada neonatus116
Kompatibilitas NaCl 0,9% (konsentrasi Fenitoin harus kurang dari 6mg/mL)
154,156

Persiapan IM : tidak direkomendasikan karena mengakibatkan nyeri dan nekrosis


jaringan154,156

IV : Ambil 50 mg fenitoin diencerkan dengan cairan pelarut


(NaCl 0,9%) sampai total cairan menjadi 10 mL (=5 mg/mL)
154,156

Sediaan obat yang telah diencerkan harus segera digunakan dalam waktu
1 jam154,156
Administrasi dan kecepatan Oral : dilakukan flush melalui OGT sebelum dan setelah memberikan
pemberian obat obat, diberikan terpisah dengan enteral feeding

IV : kurang dari 1 mg/kgBB/menit (dosis loading pada umumnya


diberikan bisa mencapai 1 jam, dan dosis rumatan diberikan dalam 15
menit), dengan syringe pump. Diberikan flush dengan NaCl 0,9%
sebelum dan setelah administrasi
obat154,156
Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3 kg
usia koreksi 37 minggu (14 hari)
Sediaan ampul : 100 mg/2 mL

Pengenceran (menjadi 5 mg/mL)

219
- Dengan spuit 10 mL ambil obat sebanyak 1mL (50mg)
- Tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 9 mL (sampai total
cairan 10 mL)

Inisial IV :
- Dosis = 20 mg/kgBB (3 kg x 20 mg → 60 mg)
- Sediaan setelah pengenceran=5 mg/mL → Ambil 12 mL untuk
mendapatkan dosis 60 mg
- Berikan secara bolus IV lambat dalam waktu 20-60 menit

Rumatan :
- Dosis = 4 mg/kgBB/dosis (3 kg x 4 mg → 12 mg
diberikan setiap 12 jam IV/PO)
- Sediaan setelah pengenceran = 5 mg/mL → Ambil 2,4 mL untuk
mendapatkan dosis 12 mg
- Pemberian bolus intravena lambat dalam 15 menit setiap
12 jam

Obat LEVETIRACETAM

Sediaan Oral : 250 mg, 500 mg


IV : saat ini belum tersedia di Indonesia
Dosis Inisial : 30-50 mg/kgBB intravena (total maksimal pemberian
80-100 mg/kgBB)116,133,134 atau 10-20
mg/KgBB per oral

Rumatan (diberikan 8 jam setelah dosis inisial) :


40-60 mg/kgBB per hari IV/PO terbagi dalam 2-3 dosis 116,133,134
Kompatibilitas -

Persiapan -

Administrasi dan Oral : dapat diberikan kapanpun bersamaan dengan pemberian enteral
kecepatan pemberian obat feeding

Contoh soal -

Obat LIDOKAIN
Sediaan IV (Lignocaine/ Xylocard®): ampul 500 mg/5 mL (100 mg/mL)

Dosis Inisial : 2 mg/kgBB IV dalam 10 menit

IV kontinu : 7 mg/kgBB/jam selama 4 jam


Kemudian diturunkan setengah dosis menjadi 3,5 mg/kgBB

setiap 12 jam selama 24 jam berikutnya109,116,138,139

Kompatibilitas NaCl 0,9%, deskrosa 5%

220
Persiapan IV inisial : pengenceran 1 mg/mL154 IV
kontinu : pengenceran 10 mg/mL
Administrasi dan kecepatan Inisial : dalam 10 menit154
pemberian obat
IV infus kontinu : diberikan secara kontinu via syringe pump dimulai
dari 7 mg/kgBB/jam (selama 4 jam) dan diturunkan setengah dosis
setiap 12 jam (3,5 mg/kgBB/jam dan 1,75 mg/kgBB/jam) selama 24
jam154

Diharapkan pemberian lidokain tidak lebih dari 30 jam109,116,138,139


Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3 kg Sediaan : 100
mg/mL

Pengenceran inisial IV (menjadi 1mg/mL) terdiri dari 2 langkah :


Langkah 1 (pengenceran 10 mg/mL)
- Dengan spuit 10mL ambil obat sebanyak 1mL (100mg/mL)
- Tambahkan NaCl 0,9% sebanyak 9mL (sampai total cairan 10 mL).
Telah didapatkan pengenceran 10 mg/mL.
Langkah 2 (pengenceran 1 mg/mL)
- Dengan cara yang sama, ambil 1 mL cairan lidokain 10 mg/mL yang di
dapatkan dari langkah 1, kemudian tambahkan NaCl 0,9% sebanyak
9 mL (sampai total cairan 10 mL). Maka didapatkan pengenceran 1
mg/mL.
- Ambil cairan yang telah diencerkan sebanyak 1 cc
- Dosis inisial : 3 kg x 2 mg/kgBB = 6 mg
- Ambil cairan lidokain yang telah diencerkan (1mg/mL) sebanyak 6
mL
- Berikan perlahan selama 10 menit dengan pemantauan fungsi
kardiovaskular, gunakan syringe pump

Pengenceran dan pemberian IV infus kontinu :


- Dosis IV kontinu : 7 mg/kgBB/jam = 7 mg/kgBB/jam x 3 kg = 21
mg/jam
- Persiapan dosis selama 4 jam → 84 mg
- Menghitung kebutuhan obat dalam sediaan 500 mg/5 mL
→dibutuhkan 0,84 ml lidokain (84 mg) dan dilarutkan dengan 8,4
mL NaCl 0,9% untuk sediaan 4 jam pertama (total
cairan 9,2 mL)
- Jalankan syringe pump dengan kecepatan 7mg/kg/jam atau setara
dengan 2,3 mL/jam selama 4 jam
- Kemudian diturunkan setengah dosis menjadi 1,1 mL/jam (3,5
mg/kgBB/jam) selama 12 jam, dan 0,5 mL/jam (1,75
mg/kgBB/jam) selama 12 jam berikutnya
- Pemberian lidokain tidak melebihi 30 jam

Obat MIDAZOLAM
Sediaan IV : 5 mg/5 mL (1 mg/mL), 15 mg/3 mL (5 mg/mL)
Dosis Inisial IV : 0,15 mg/ kgBB

Infus kontinu 1 µg/kgBB per menit

221
Jika masih terjadi kejang, dosis inisial dapat diulangi dan dosis infus dapat
dinaikkan 0,5-1 µg/kgBB/menit setiap 2 menit hingga mencapai dosis
maksimal 18 µg/kgBB/menit
114,116,18,126,139

Kompatibilitas Dekstrosa 5%, dekstrosa 10%, NaCl 0,9%154,156


Persiapan Inisial IV : jika menggunakan sediaan 5mg/5mL (1mg/mL) tidak perlu
diencerkan154,156

IV infus kontinu : Ambil 3mg/kg lalu tambahkan cairan pelarut sampai


total cairan menjad 50mL154,156 Dari sediaan tersebut :
1mL/jam = 1 µg/kg/menit

Atau dapat dibuat pengenceran "double strength" yaitu : Ambil 3mg/kg


lalu tambahkan cairan pelarut sampai total cairan menjad 25mL, dari
sediaan tersebut:
0,5 mL/jam = 1 µg/kg/menit

Administrasi dan kecepatan IV : diberikan lambat (minimal dalam 5 menit) 116,154,156


pemberian obat
IV infus kontinu : diberikan secara kontinu via syringe pump dimulai
dari 0,5-1 µg/kgBB/menit111,116,118,126,139
Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3kg
Sediaan : 5 mg/5 mL (1 mg/mL)

Inisial IV :
- Dosis = 0,15 mg/kg (3 kg x 0,15 mg → 0,45 mg)
- Tidak perlu diencerkan
- Ambil 0,45 mL untuk mendapatkan dosis 0,45 mg
- Berikan secara bolus intravena dalam waktu 5 menit - Jika
masih terdapat kejang, dosis loading dapat diulangi

Pengenceran dan pemberian IV kontinu :


- Menggunakan spuit 50 mL, ambil 3 mg/kg (3 kg x 3 mg=9 mg → 9
mL) dicampurkan dengan NaCl 0,9% sampai total larutan menjadi
50 mL
- Dari sediaan tersebut didapatkan :
1mL/jam = 1 µg/kg/menit
- Jalankan syringe pump dengan kecepatan 1 µg/kg/menit atau
setara dengan 1 mL/jam
- Jika masih kejang, kecepatan dapat dinaikan 0,5-1

µg/kg/menit setiap 2 menit hingga mencapai dosis maksimal 18


µg/kgBB/menit

Obat DIAZEPAM
Sediaan IV :10 mg/2 mL(5 mg/mL)
Dosis Hanya untuk di fasilitas terbatas yang tidak ada fenobarbital IV/IM,
fenitoin IV atau midazolam IV . Disarankan pemberian terutama dengan
infus kontinu

Dosis infus kontinu : 0,1-0,5 mg/kg/jam IV120,148,157

222
Kompatibilitas Relatif tidak larut dalam seluruh jenis cairan. Dapat digunakan dekstrosa
5% atau 10%120,148,157
Persiapan IV infus kontinu : Pengenceran dengan dekstrosa 10% sampai didapatkan
konsentrasi 0,2 mg/mL*

*Sediaan dipersiapkan setiap 6 jam (untuk mencegah pengendapan)

Administrasi dan kecepatan IV infus kontinu : diberikan secara kontinu via syringe pump** dengan
pemberian obat kecepatan dimulai dari 0,1 mg/kg/jam (jika masih terdapat kejang,
kecepatan dapat dinaikan
0,1mg/kg/jam, selama RR ≥ 30)

**jika tidak terdapat syringe pump elektrik, pemberian IV kontinu


dapat dilakukan dengan infusion bag. Akan tetapi harus
mempertimbangkan risiko tinggi bahwa administrasi obat tidak terukur
dengan tepat (kekurangan/kelebihan dosis). Pengawasan dilakukan
dengan ketat untuk menghindari adanya perubahan kecepatan sekecil
apapun.
Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3 kg
Sediaan : 10 mg/2 mL (5 mg/mL)

Pengenceran dan pemberian IV kontinu :


- Dosis IV kontinu= 0,1 mg/kg/jam (3 kg x 0,1mg→ 0,3 mg/jam)
- Persiapan dosis selama 6 jam → 1,8 mg
- Menghitung kebutuhan obat dalam sediaan 0,2 mg diazepam /
mL dekstrosa →dibutuhkan 1,8 mg diazepam dan dilarutkan
dengan 9 mL dekstrosa untuk sediaan 6 jam pertama)

➢ Membuat pengenceran 0,2 mg/mL :


o Menggunakan spuit 10 mL, ambil 1,8 mg (0,36 mL) obat, lalu
campurkan dengan dekstrosa
10% sejumlah 9 mL o Atau menggunakan spuit 10 mL,
ambil 1 mL diazepam diencerkan dengan dekstrosa 10%
sampai mencapai 10 mL (menjadi 5 mg / 10 mL = 0,5 mg /
mL). Ambil 3,6 mL dari campuran tersebut kemudian
dilarutkan dengan 9 mL dekstrosa

- Kecepatan jalannya infus melalui syringe pump dibagi untuk 6


jam. Sehingga bila hasil akhir pencampuran 9,4 mL / 6 = kecepatan
1,6 mL/jam, atau 12,6 mL / 6 = kecepatan 2,1 mL/jam
- Pantau ketat status pernafasan bayi selama
pemberian infus diazepam

Jika telah mencapai 6 jam, hentikan syringe pump, buang sisa obat
dalam spuit dan siapkan sediaan baru untuk 6 jam berikutnya (idealnya
dengan menggunakan spuit yang baru)

Obat PIRIDOKSIN
Sediaan Oral : 10 mg, 25 mg, 50 mg, 100 mg IV : 100
mg/2 mL

223
Dosis Dosis inisial : 50-100 mg IV116,154,158

Rumatan : 15-30 mg/kgBB/hari (50-100 mg/hari)


IV/PO116,154,158
Kompatibilitas Dekstrosa 5%, NaCl 0,9%154,158
Persiapan IV : Tidak perlu diencerkan154,158
Administrasi dan kecepatan IV : diberikan secara bolus lambat dalam waktu 5 menit154,158
pemberian obat
Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3kg Sediaan : 100
mg/2mL

IV :
- Dosis inisial = 50-100 mg IV
- Tidak perlu diencerkan
- Ambil obat sebanyak 1-2 mL untuk mendapatkan dosis 150-300
mg
- Berikan secara bolus IV selama 5 menit
- Dosis rumatan= 50-100 mg/hari (→ 1-2mL per hari)

Obat MAGNESIUM SULFAT


Sediaan IV/IM : MgSO4 20% (5 g/25 mL; 0,8 mmol/mL), MgSO4 40% (10
g/25 mL; 1,6 mmol/mL)

Dosis IV/IM : 0,2-0,4 mmol/kg diulang tiap 12 jam

Kompatibilitas Dekstrosa 5%, dekstrosa 10%, NaCl 0,9%154

Persiapan IM : diencerkan hingga 0,8 mmol/mL


IV : diencerkan hingga 0,4 mmol/mL

Administrasi dan kecepatan IV : diberikan perlahan selama 20 menit


pemberian obat
Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3 kg (3 x 0,2 mmol = 0,6 mmol)
Sediaan : MgSO4 40% (1,6 mmol/mL)
Kebutuhan MgSO4 40% sebanyak 0,37 mmol ~ 0,4 ml

IM : pengenceran menjadi 0,8 mmol/mL


- Pemberian MgSO4 40% 0,6 mmol = 0,38 mL (0.6 / 1,6 x 1 mL)
diencerkan dengan dekstrose 5% sebanyak 0,8 mL (0,6 / 0,8 x 1 mL)
- Total cairan = 1.18 mL secara IM dibagi di beberapa tempat
suntikan karena maksimal volume obat tiap tempat suntikan adalah
0.5 mL.

IV : pengenceran menjadi 0,4 mmol/mL


- Pemberian MgSO4 40% 0,6 mmol = 0, 38 mL (0.6 / 1,6 x 1 mL)
diencerkan dengan dekstrose 5% sebanyak 1,5 mL (0,6 / 0,4 x 1 mL)
- Total cairan sebanyak 1.9 mL diberikan IV selama 20 menit

Monitor tekanan darah dan tanda-tanda depresi SSP selama pemberian

224
Obat KALSIUM GLUKONAS
Sediaan IV : Ca Glukonas 10% (100 mg/mL)

Dosis Hipokalsemia simptomatik (kejang)


Koreksi cepat dengan IV bolus : 0,5 mL/kgBB IV (Ca glukonas
10%)155

Koreksi perlahan IV : 2 mL/kgBB (Ca glukonas 10%) IV selama 6 jam

Rumatan IV : 4,5 mL/kgBB/hari (Ca glukonas 10%)

Kompatibilitas Dekstrosa 5%, dekstrosa 10%, NaCl 0,9%154,155

Persiapan IV : Pengenceran obat dengan cairan pelarut sebanyak 1:5

Administrasi dan kecepatan Bolus IV : diberikan bolus intravena secara perlahan dalam 30-60 menit
pemberian obat dengan pemantauan fungsi kardiovaskular
(EEG). Hentikan bila terdapat bradikardia

Koreksi perlahan IV : diberikan selama 6 jam

Rumatan IV : dapat dicampurkan dengan cairan TPN harian

Contoh soal Misal : Berat badan bayi 3 kg


Sediaan : Ca glukonas 10% (100 mg/mL)

Pengenceran dan pemberian Loading IV :


- Bolus IV = 0,5 mL/kg ~ 3 kg x 0,5 mg → 1,5 mL
- Encerkan 1: 5. Ambil obat sebanyak 1,5 mL dan tambahkan NaCl
0,9% sebanyak 6 mL (total cairan=7,5 mL)
- Berikan secara bolus IV perlahan selama 30-60 menit

Pengenceran dan pemberian koreksi IV perlahan :


- Koreksi IV = 2 mL/kg ~ 3 kg x 2 mg → 6 mL
- Encerkan 1: 5. Ambil obat sebanyak 6 mL dan tambahkan NaCl
0,9% sebanyak 24 mL (total cairan=30 mL)
- Berikan secara IV perlahan selama 6 jam

Pemberian rumatan IV :
- Dosis= 4,5 mL/kg ~ 3 kg x 4,5 mg → 13,5 mL
- Ambil obat sebanyak 13,5 mL dan tambahkan dalam cairan
parenteral harian dalam 24 jam

Pemberian menggunakan syringe pump dan selama pemberian


lakukan pemantauan fungsi kardiovaskular.

225
226
227
digunakan sebelumnya
Lanjutan dari halaman
G
sebelumnya

A
Bila masih kejang, tata laksana
L
Jika masih kejang: selanjutnya tergantung kebijakan
klinisi
I ***Pertimbangkan

pemberian 100 mg IV,


JIKA KEJANG BERHENTI:
PIRIDOKSIN N
kemudian dilanjutkan dengan: • Lakukan pemantauan EEG/aEEG selama
minimal 24 jam bebas kejang
• Jika sedang dalam terapi rumatan
MIDAZOLAM Fenobarbital, lakukan pemeriksaan kadar
Dosis inisial: 0,15 mg/kgBB IV obat dalam darah dalam 4-5 hari
diikuti dengan • Lakukan pemeriksaan lanjutan untuk
I mempertegas etiologi kejang: Pertimbangkan
infus 1 µg/kgBB/menit IV dapat pencitraan otak (MRI jika memungkinkan),
dinaikkan pungsi lumbal sebagai pemeriksaan rutin
0,5-1 µg/kgBB/menit tiap 2 menit dan/atau pemeriksaan neurotransmitter,
hingga pemeriksaan genetika atau gangguan
dosis maksimal 18 µg/kgBB/menit metabolisme jika diindikasikan
• Lakukan penyapihan terhadap terapi anti-
kejang rumatan sebelum pasien dipulangkan
L T Mulai penyapihan setelah 24 jam
• Pertimbangan penyapihan seluruh terapi anti-
I bebas kejang pada pemantauan
kejang sebelum pasien pulang, jika: kejadian
EEG/aEEG.
N kejang menurun atau hanya ada satu kali
I kejang, bebas kejang dalam 4872 jam, dan
I Lanjutkan terapi rumatan yang telah
rendahnya risiko kejang berulang.
*** Pyridoxine dependency harus dipertimbangkan ketika kejang tidak respons terhadap
S pemberian obat anti-kejang lini kedua. Pemberian Piridoksin harus disertai pengawasan ketat
A terhadap adanya
T apne, kejang berulang, dan fungsi kardiovaskular
U
Gambar 22. Anjuran a lgoritme tata laksana kejang pada fasilitas lengkap

228
I
N
I

D
U
A

Gambar 23. Anjuran algoritme tata laksana kejang pada fasilitas terbatas

229
3.8 Terapi hipotermia pada bayi asfiksia
3.8.1 Definisi dan tujuan terapi hipotermia
Terapi hipotermia merupakan suatu upaya untuk menurunkan suhu inti tubuh
hingga 32 - 34oC pada bayi dengan EHI dengan tujuan mencegah kerusakan
neuron otak akibat asfiksia perinatal.159 Mekanisme neuroprotektif terapi
hipotermia antara lain menurunkan metabolisme serebral, pelepasan glutamat,
produksi oksida nitrit, produksi leukotrien, serta meningkatkan antioksidan
endogen dan sintesis protein sehingga menurunkan kejadian edema serebral
dan apoptosis neuron pada bayi dengan EHI. 160 Pada dasarnya terapi
hipotermia ini mencegah dan memperlambat kaskade kerusakan otak yang
sedang berjalan, namun tidak akan mempengaruhi sel yang telah mengalami

kerusakan ireversibel.34-35,161

Terapi hipotermi dapat dibedakan menjadi 3 fase, yaitu fase induksi, fase
maintenance, dan fase rewarming (Gambar 24). Fase induksi /
inisiasi merupakan fase awal terapi hipotermia. Pada fase ini suhu normal
tubuh bayi diturunkan hingga mencapai 32 - 34 oC dengan kecepatan 3oC / jam,
sehingga diharapkan target suhu akan tercapai dalam waktu kurang lebih 60 -
90 menit. Target suhu ini dipertahankan selama 72 jam pada fase
maintenance, dengan toleransi suhu berkisar antara 0,1 - 0,5 oC. Fase ini
berlanjut dengan fase rewarming yaitu tubuh bayi dihangatkan kembali
hingga mencapai suhu normal (36,5 - 37,5 oC), dengan peningkatan suhu tubuh
tidak boleh terlalu cepat yaitu 0,5oC tiap 1-2 jam agar tidak terjadi efek
samping.162

Fluktuasi suhu pada fase maintenance harus dihindari agar mencegah


komplikasi. Suhu lebih tinggi dari suhu target akan meningkatkan metabolisme
dan menginduksi kaskade sitotoksik serta kejang, sedangkan suhu lebih rendah
dari suhu target meningkatkan risiko efek samping misalnya koagulopati,

bradikardia, atau hipotensi.162

Gambar 24. Tiga fase terapi hipotermia

230
Sumber: Robertson NJ, Kendall GS, Thayyil S. Techniques for therapeutic
hypothermia during transport and in hospital for perinatal asphyxial
encephalopathy. Semin Fetal Neonatal Med. 2010;15:276-86.

3.8.2 Metode pendinginan (cooling) pada terapi hipotermia


Terapi hipotermia harus dimulai selambat-lambatnya sebelum 6 jam setelah
terjadinya cedera hipoksik-iskemik saat / pasca lahir (periode laten / window
of opportunity) untuk mencegah kerusakan neuron.163 Efek neuroprotektif
yang optimal akan tercapai bila terapi hipotermia dilakukan sedini mungkin
pada periode laten ini. Berbagai studi menunjukkan bahwa keterlambatan
dalam diagnosis dan inisiasi hipotermia berkaitan dengan penurunan efikasi
terapi dengan luaran neuro-developmental yang buruk.164-166

Metode pendinginan (cooling) secara garis besar dibedakan menjadi


pendinginan kepala selektif (selective head cooling/ SHC) dan pendinginan
seluruh tubuh (whole body cooling/ WBC) atau).

Pada fasilitas ideal, SHC dilakukan dengan menggunakan Cool


Cap®, sedangkan WBC menggunakan matras pendingin
(Blanketrol®, pilihan di Indonesia). Sedangkan WBC di fasilitas terbatas dapat
dilakukan dengan misalnya sarung tangan yang diisi dengan air dingin atau gel
pack.61,167

Terapi SHC menggunakan penutup kepala (Cool Cap) yang dialirkan air
dingin. Unit pendingin dan pompa berbasis kontrol termostat
(thermostatically controlled cooling unit and pump) mensirkulasikan air
ke penutup kepala (cap) secara merata, dimulai dengan suhu antara 8 - 12 oC.
Suhu air yang bersirkulasi di dalam cap disesuaikan secara manual untuk
mempertahankan suhu rektal antara 34 - 35 oC. Selama fase inisiasi dan fase
maintenance, suhu cap dinaikkan secara perlahan antara 19-23 oC untuk
mempertahankan target suhu rektal. Fase rewarming dilakukan dengan
melepas cap dan menggunakan overhead heating untuk meningkatkan suhu
inti meningkat lebih dari 0,5oC / jam.168 Terapi ini memberikan efek yang lebih
besar ke perifer otak daripada struktur otak sentral. 61

231
Gambar 25. Selective head cooling dengan Cool Cap di fasilitas
ideal
Sumber:https://encryptedtbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTSncTdRWb
oaiBXEVnI5ij2YLCTxXknBs1rlMM1P_zF2phe635_

Terapi WBC memberikan efek pendingin yang lebih homogen ke seluruh


struktur otak, termasuk bagian perifer dan sentral otak. 61 Di fasilitas ideal,
metode ini menggunakan matras pendingin. Bayi dalam keadaan telanjang, di
bawah radiant warmer yang telah dimatikan. Matras pendingin /
Blanketrol® yang berisi cairan pendingin berbasis kontrol termostat digunakan
sebagai alas tidur bayi, sedang probe temperatur rektal terpasang dan
tersambung dengan indikator suhu rektal pada mesin. Suhu cairan pendingin
dimulai dari 10 - 20oC saat fase inisiasi dan disesuaikan secara manual untuk
mempertahankan suhu rektal antara 33 - 34 oC. Suhu cairan ini diperkirakan
mencapai 25 - 30oC pada akhir fase maintenance.61

Gambar 26. Whole body cooling menggunakan Blanketrol® di fasilitas


ideal
Sumber: Foto inventaris RSUPN Ciptomangunkusumo

232
Mekanisme metode SHC didasarkan pada fisiologi otak bayi yang
memproduksi 70% dari total panas tubuh. Pada cedera hipoksik-iskemik bagian
otak sentral lebih rentan terhadap kerusakan otak. Studi menunjukkan bahwa
ternyata SHC cenderung mendinginkan otak perifer dibandingkankan sentral
(thalamus, kapsula interna, ganglia basalis). Sedangkan, metode WBC mencapai
efek hipotermi homogen pada seluruh struktur otak, sehingga memungkinkan
derajat hipotermi lebih dalam dan mencapai struktur otak internal. Beberapa
penelitian memperlihatkan kesan potensi yang lebih unggul pada WBC
dibandingkan SHC, namun hal ini belum dapat disimpulkan terkait metode
penelitian yang bersifat retrospektif.169 Kedua metode cooling ini secara umum
menghasilkan penurunan aliran darah otak dan ambilan oksigen yang sama
serta tidak ditemukan perbedaan yang signifikan terkait kadar penanda
inflamasi, mortalitas, serta tumbuh kembang pada usia 12 bulan. 169,170

Metode hipotermia terapeutik yang dilakukan dalam 6 jam


setelah terjadinya cedera hipoksik-iskemik pascalahir selama
72 jam meningkatkan kesintasan bayi tanpa disabilitas
perkembangan saraf (neurodevelopment) yang berat.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Tidak terdapat perbedaan signifikan terkait kadar penanda


inflamasi, mortalitas, serta tumbuh kembang pada usia 12
bulan pada SHC dan WBC

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

3.8.3 Indikasi dan kontraindikasi melakukan terapi


hipotermia Terapi hipotermia dilakukan pada bayi dengan indikasi sebagai
berikut:

1. Usia gestasi >35 minggu.171,172


2. Dimulai sebelum bayi berusia 6 jam.171,172
3. EHI derajat sedang atau berat*
a. Tanda dan gejala sesuai dengan EHI derajat sedang atau berat, dan /
atau
b. Tanda ensefalopati pada amplitudo EEG (aEEG)

233
4. Bukti asfiksia peripartum (minimal 1)*, yaitu :51,61,171-175

• Nilai Apgar <5 pada menit ke-10, ATAU


• Bayi masih membutuhkan ventilasi mekanik (balon / Tpiece
resuscitator dengan sungkup atau intubasi endotrakeal) atau
resusitasi pada menit ke-10
• pH darah tali pusat <7,0 atau pH arteri <7,0 atau defisit basa >16
dalam 60 menit pertama setelah lahir
Sampai saat ini bukti ilmiah menunjukkan efek proteksi terapi hipotermia
pada EHI sedang dan berat yaitu pada defisit basa >16 pada analisis gas darah.
Kriteria ini dipakai secara luas di negara maju, hanya sebagian perawatan
neonatal yang menggunakan defisit basa >12. 61,175 Namun, sebuah systematic
review melaporkan bahwa 25% bayi dengan EHI ringan mengalami luaran
neurodevelopmental yang buruk.176 Pada bayi tersebut hasil pemeriksaan
neurologis dan monitor amplitude EEG dapat mengalami progresivitas menjadi
EHI berat dalam beberapa jam kehidupan.

Kontraindikasi terapi hipotermia meliputi :51,171, 172

1. Jika hipotermia terapeutik tidak dapat dimulai pada usia <6


jam
2. Berat lahir <1800 - 2000 gram (tergantung kemajuan dan
kesiapan masing-masing pusat kesehatan)
3. Kebutuhan FiO2 >80%
4. Kelainan kongenital mayor
5. Koagulopati berat secara klinis
6. Ancaman kematian tampaknya tidak dapat dihindari
Atresia ani (dapat dipertimbangkan pemasangan probe suhu di esofagus)

3.8.4 Keputusan melakukan terapi hipotermia


Keputusan untuk memulai terapi hipotermia harus didiskusikan dengan
konsultan neonatologi pada sarana pelayanan kesehatan level 3 dan orangtua
bayi. Bila pada suatu fasilitas kesehatan tidak memungkinkan untuk dilakukan
prosedur ini, bayi harus dirujuk ke rumah sakit dengan unit perawatan neonatus
level 3 sesegera mungkin tanpa menunda passive cooling.51

Petunjuk terpenting bagi para klinisi untuk mencegah keterlambatan


diagnosis asfiksia dan inisiasi terapi hipotermia tercantum pada indikasi terapi

234
hipotermia (tanda *), yaitu bukti asfiksia (butir 4) dan ensefalopati sedang atau
berat (butir 3) berdasarkan pemeriksaan neurologis atau amplitude EEG
(bedside). Pemeriksaan tersebut harus dipantau terus sejak dicurigai asfiksia
sampai usia 6 jam sebagai periode emas selambatlambatnya untuk memulai
terapi hipotermia. Sebagai contoh bila saat usia 1 jam pemeriksaan neurologis
atau amplitudo EEG menujukkan EHI ringan, maka bayi terus dipantau dan
diulang kembali pemeriksaan tersebut sampai usia 6 jam sebelum memutuskan
untuk tidak melakukan terapi hipotermia.

Pada keadaan bayi yang terlambat dilakukan terapi hipotermia saat usia 6
jam, perlu dipertimbangkan manfaat dan efikasinya. Sebuah uji klinis acak
terkendali yang membandingkan hasil luaran neonatus cukup bulan usia 6-24
jam dengan EHI yang dilakukan terapi hipotermia dibandingkan dengan yang
tidak dilakukan terapi hipotermia, terdapat 76% probabilitas adanya penurunan
risiko mortalitas dan kecacatan pada yang dilakukan terapi hipotermia.
Sedangkan pada follow up pada usia 18-22 bulan, terdapat 64% probabilitas
penurunan risiko mortalitas dan kecacatan sebanyak 2%. Berdasarkan hasil
studi tersebut dapat disimpulkan bahwa ada keuntungan yang didapatkan pada
bayi dengan EHI yang mendapatkan terapi hipotermia walaupun telah berusia
lebih dari 6 jam, namun masih memerlukan studi lebih lanjut untuk menilai
keefektivitasannya.177

a. Pemeriksaan neurologis

Berbagai sistem skoring standar mengenai status neurologis bayi, dapat


diandalkan untuk menentukan derajat EHI bila penunjang diagnostik lain tidak
tersedia. Sarnat staging (Tabel 12.) merupakan sistem skoring yang umum
digunakan dalam praktik klinis.

Tabel 14. Sarnat staging


EHI derajat sedang EHI derajat berat

Kesadaran Letargik Koma/ tidak sadar


Aktivitas Menurun Menghilang

Postur Fleksi distal Deserebrasi

(ekstensi menyeluruh)

Tonus Hipotonik Flaksid

Refleks primitif Reflek hisap,gag& Moro melemah Refleks hisap, gag& Moro menghilang

235
Pupil Kontriksi Deviasi, dilatasi, tanpa reaksi

Frekuensi jantung Bradikardia Bervariasi

Pernapasan Periodik Apneu

Keterangan: diagnosis dengan Sarnat staging ditegakkan jika terdapat minimal 3


tanda

Sistem skoring ini dilaporkan memiliki korelasi signifikan dengan cedera


hipoksik-iskemik otak serta luaran neurologik yang buruk pada kasus EHI sedang
atau berat.178,179 Sistem skoring lain adalah nilai Thompson (Tabel 13.). Suatu
studi menunjukkan bahwa nilai Thompson lebih dari 6 berkaitan dengan
abnormalitas aEEG dalam 6 jam pertama kehidupan (sensitivitas 100%
spesifisitas 67%) serta merupakan penanda sensitif akan terjadinya EHI berat
atau sedang dalam waktu 72 jam.180 Nilai Thompson >6 merupakan patokan
untuk memulai terapi hipotermia pada bayi dengan EHI.

Evaluasi derajat EHI dengan sistem skoring juga memiliki keterbatasan


berupa kesulitan untuk menilai beberapa parameter klinis seperti ketelitian
penilaian tonus dan refleks primitif segera setelah lahir dan pada bayi yang
memperoleh sedasi.181 Dengan demikian, penentuan derajat EHI dengan
pemeriksaan lain (aEEG dan radiologi) yang lebih akurat sangat dianjurkan jika
memungkinkan. Sarnat staging maupun nilai Thompson sebaiknya dievaluasi
ulang saat jam ke-6 setelah lahir pada bayi dengan EHI ringan yang belum
diberikan terapi hipotermia karena derajat EHI dapat mengalami perburukan
pada jam-jam pertama kehidupan. Pemeriksaan neurologis pada neonatus
merupakan kemampuan klinis yang terbentuk melalui pajanan dan pengalaman,
sehingga sebaiknya dilakukan oleh spesialis neurologi atau setidaknya orang
yang terlatih dan terbiasa mengevaluasi status neurologi pada bayi.

Tabel 15. Nilai Thompson


Tanda Nilai Thompson

0 1 2 3

Tonus normal Hiper hipo flaksid


Tingkat normal hyperalert, letargik koma
kesadaran memandangi

Kejang tidak ada <3x/hari >2x/hari

Postur normal menggengam, gerakan fleksi kuat di distal deserebrasi


seperti
mengayuh sepeda

Refleks Moro normal Parsial tidak ada

Grasp reflex normal Buruk tidak ada

Sucking reflex normal Buruk tidak ada


menggigit

236
Respirasi normal hiperventilasi apne sesaat apne atau
dalam IPPV

Ubun-ubun normal datar, tidak tegang tegang

Nilai total

*IPPV= intermittent positive pressure ventilation; nilai 10 = EHI ringan, 11-14 =


EHI sedang, 15 = EHI berat.

Sumber: Mwakyusa SD, Manji KP, Massawe AW. The hypoxic ischaemic
encephalopathy score in predicting neurodevelopmental outcomes among
infants with birth asphyxia at the Muhimbili

National Hospital, Dar-es Salaam Tanzania; 2008. 182

Evaluasi nilai Thompson dilakukan setiap hari, diplot dalam grafik seperti grafik 1.

Skor Thompson
Skor Thompson

15
10
5
0
1 2 3 4
Usia bayi (hari ke-)

Grafik 1. Pemantauan nilai Thompson harian

Nilai Thompson >6 atau Sarnat stage 2-3 (sedang-berat) pada


usia 3-5 jam merupakan prediktor sensitif dari gambaran
abnormal aEEG pada usia 6 jam atau ensefalopati sedang-
berat dalam 72 jam setelah kelahiran. Penilaian Thompson
dini bermanfaat untuk penentuan apakah bayi akan dilakukan
terapi hipotermia. Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

b. Pemeriksaan amplitude-integrated
electroencephalography (aEEG)

EEG konvensional telah lama digunakan untuk mengevaluasi fungsi otak


neonatus dan sebagai prediktor luaran fungsi perkembangan sistem saraf yang
mengalami cedera otak.183,184 EEG juga dapat memberikan konfirmasi apakah
gejala yang tampak adalah kejang. Tidak semua manifestasi kejang dapat
terdeteksi dengan EEG, seperti kejang subtle. Namun penggunaan EEG sangat

237
kompleks, selain itu perlu keahlian khusus dokter ahli saraf anak di perawatan
intensif neonatus, sehingga EEG kurang dapat diaplikasikan secara bedside.
Amplitude-integrated electroencephalography (aEEG) merupakan alat
pemeriksaan seperti EEG dengan metode yang disederhanakan, dapat merekam
aktivitas fungsi otak secara kontinu, serta neonatologis dapat menganalisis
hasilnya secara bedside.187 Perekaman dapat berlangsung terus menerus
selama dibutuhkan dan pemasangan elektroda lebih mudah daripada EEG
konvensional.183,185

Berbagai studi menunjukkan bahwa aEEG dapat menentukan tingkat


keparahan ensefalopati dalam beberapa jam pertama kehidupan. Pemeriksaan
ini memiliki spesifisitas 88% dan sensitivitas 91% dalam mendiagnosis EHI dalam
6 jam setelah lahir, sehingga sangat membantu untuk menentukan kebutuhan
terapi hipotermia. Pemantauan fungsi otak dilakukan secara kontinu dengan
cara memasang elektroda parietal yang tersambung dengan monitor aEEG
(Gambar 27.). Derajat ensefalopati ditentukan berdasarkan pola gelombang
yang ditemukan (Gambar 28), meliputi continuous normal voltage (CNV),
discontinous normal voltage (DNV), burst suppression (BV), low
voltage (LV), dan flat trace (FT). Pola CNV dan DNV dianggap normal,
sedangkan pola BV, LV, dan FT menunjukkan abnormalitas sedang/berat dan
merupakan indikasi terapi hipotermia pada kasus EHI. aEEG juga dapat
mendeteksi beberapa aktivitas kejang walaupun tidak sebaik EEG
konvensional.186 Interpretasi hasil aEEG sangat tergantung pada pengalaman
dan kemampuan pembaca, sehingga sebaiknya dikonsultasikan pada spesialis
terkait.

Pemeriksaan aEEG juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis


pada bayi dengan EHI. Suatu studi melaporkan bahwa aEEG memiliki positive
predictive value hingga 80% dalam memprediksi kematian atau disabilitas
pada bayi EHI yang tidak mendapat terapi hipotermi. 187 Gabungan pemeriksaan
klinis derajat ensefalopati dan kelainan aEEG semakin meningkatkan akurasi
prediksi.188 Penelitian lain mengemukakan bahwa gelombang aEEG abnormal
persisten lebih dari 24 jam pada bayi EHI dengan normotermia dan 48 jam
dengan hipotermia berkaitan dengan luaran yang buruk. 189

A B

238
Gambar 27. Amplitude integrated electroencephalography
(aEEG)A dan
electroencephalography (EEG)B

Sumber: The Royal Women’s Hospital. Neurology: Clinical evidence for


therapeutic hypothermia for near-term infants with moderate or severe hypoxic
ischaemic encephalopathy. Dalam: The royal women’s hospital neonatal service:
Clinician’s handbook. Melbourne: The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 105-8.

Metode kombinasi aEEG dan pemeriksaan neurologis sesaat


setelah kelahiran meningkatkan kemampuan identifikasi bayi
risiko tinggi dan menurunkan kesalahan identifikasi (falsely
identified) bayi dibandingkankan dengan evaluasi dengan
salah satu metode saja.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Gambar 28. Klasifikasi trace berdasarkan pengenalan pola gelombang dan


voltase untuk penilaian aEEG pada usia 3-6 jam.119

239
Sumber: Thoresen M, Westas LH, Liu X, Vries LS. Effect of hypothermia on
amplitude integrated encephalogram in infants with asphyxia. Pediatrics. 2010; 126:
131-139

c. Pemeriksaan lainnya

• Pemeriksaan laktat serum


Pemeriksaan lain yang dapat digunakan sebagai bukti asfiksia
peripartum adalah kadar laktat serum. Produksi laktat serum meningkat
akibat metabolism anaerob pada kondisi hipoksia dan perfusi jaringan
yang buruk. Kadar laktat serum yang tinggi merupakan prediktor tingkat
keparahan asfiksia janin, serta berkaitan dengan mortalitas dan luaran
neurodevelopmental pada bayi dengan hipoksemia.31,190,191 Suatu
studi memperlihatkan bahwa kadar serum laktat > 7,5 mmol/L dalam 1
jam pertama kehidupan dapat memprediksi EHI sedang-atau-berat
lebih akurat dibandingkan pH dan defisit basa (sensitivitas 94%,
spesifisitas 67%).192 Pada fasilitas lengkap dapat dilakukan pemeriksaan
AGD dilengkapi pemeriksaan laktat bedside untuk mempercepat
diagnosis dan keputusan terapi hipotermia.

• Pemeriksaan ultrasonografi (USG) kepala


USG kepala seringkali dipilih sebagai pemeriksaan pencitraan awal
dalam menilai kelainan otak pada neonatus karena bersifat non-invasif
dan dapat dilakukan bedside. Kelainan USG berupa gambaran infark,
edema serebral dan perdarahan intrakranial dapat ditemukan pada
kasus EHI. Pemeriksaan ini sangat tergantung pada kemampuan
operator serta memiliki sensitivitas yang rendah dalam menilai cedera
hipoksik-iskemik otak pada bayi cukup bulan, sehingga penggunaannya
dalam mendeteksi EHI sangat terbatas. Abnormalitas USG kepala dapat
dikombinasikan dengan pemeriksaan neurologi untuk meningkatkan
kemampuan prediksi luaran neurodevelopmental pada bayi dengan
EHI.187,193

• Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) MRI


merupakan pemeriksaan radiologi dengan sensitivitas dan spesifisitas
optimal dalam menentukan tingkat dan luas kerusakan struktur otak
pada EHI. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi
kelainan otak lain, memprediksi prognosis, dan memperkirakan
penyebab serta saat terjadinya cedera hipoksik-iskemik. 181,194,195

Gambaran MRI sangat bervariasi, tergantung pada maturitas otak,


tingkat keparahan dan durasi asfiksia, serta saat pemeriksaan dilakukan. Akibat
kondisi hipoksik-iskemik ringan hingga sedang, kelainan terutama ditemukan
pada korteks parasagittal dan substansia alba subkortikal yang terletak diatas
zona vaskular (zona watershed). Cedera yang lebih berat terutama
mempengaruhi substansia nigraputamen posterior dan thalamus ventrolateral
(basal gangliathalamus pattern / BGT), hipokampus, dan batang otak

240
bagian dorsal, dengan kelainan difus substansia nigra dan berlanjut secara
kronis menjadi ensefalopati multikistik. Kelainan berat lain yang dapat
ditemukan adalah hilangnya intensitas signal kapsula internal posterior
(PLIC).192,194,195

Pola kerusakan otak ini juga memberikan prediksi yang


signifikan terkait luaran EHI. Kelainan korteks parasagittal umumnya
menimbulkan gangguan neurodevelopmental ringan-sedang
(motorik dan kogntif) dan cenderung lebih baik dibandingkan kelainan
inti substansia nigra. Kelainan intensitas pada PLIC merupakan penanda
akurat luaran neurodevelopmental yang buruk, sedangkan cedera
BGT meningkatkan risiko kematian, ensefalopati berat, luaran neurologi
buruk, defisit motorik berat, dan beban terkait kejang. 194 Saat ini
pemeriksaan MRI merupakan komponen penting yang harus
dipertimbangkan, mengingat hanya sedikit kelainan yang dapat
ditemukan pada hari-hari pertama kehidupan walaupun terjadi cedera
otak signifikan. Kelainan akibat cedera perinatal secara umum dapat
terlihat apabila modalitas MRI konvensional (T1 dan T2-weighted)
dilakukan antara 1-2 minggu setelah lahir. Pada modalitas MRI lain,
yaitu diffusion-weighted imaging (DWI), kelainan dapat ditemukan
lebih dini dalam 6 jam setelah lahir, dengan kelainan lebih jelas antara
2-4 hari dan berakhir dalam 7-14 hari. 195

• Pemeriksaan near infrared spectroscopy (NIRS)


serebral NIRS serebral merupakan alat non-invasif yang dapat
memantau secara kontinu terhadap saturasi hemoglobin, volume
darah, dan metabolisme / penghantaran oksigen serebral. 116 Cara
kerja alat ini berdasarkan selisih penyerapan spektrum sinar infrared
oleh hemoglobin yang teroksidasi (HbO2) dan yang tidak
teroksigenasi (Hb) pada jaringan otak berdasarkan hukum Beer-
Lambert.116, 196-198

Sebuah studi memperlihatkan adanya kecenderungan perubahan


saturasi serebral (rSO2) dan fraksi ekstraksi jaringan serebral (FTOE) yang diukur
dengan menggunakan NIRS pada neonatus dengan asfiksia berat. Dalam usia 24
jam pertama, mulai terlihat kecenderungan peningkatan rSO 2 dan penurunan
FTOE.199,200 Fenomena ini disebabkan oleh kematian sel jaringan otak yang
disebabkan oleh iskemia jaringan diikuti dengan penurunan ambilan oksigen di
otak (secondary energy failure).201,202 Nilai rSO2 yang tinggi dalam usia 24
jam pertama merupakan prediktor yang sensitif untuk luaran yang buruk.
Penggunaan NIRS bersamaan dengan aEEG memiliki fungsi prediktor luaran
jangka pendek lebih baik dibandingkan dengan hanya satu modalitas
pemeriksaan. Pada bayi yang dilakukan terapi hipotermia, pemeriksaan NIRS
bersamaan dengan aEEG memiliki nilai prediktor luaran yang baik terutama
pada usia 18 dan 60 jam

setelah terapi hipotermia.200-204

241
Nilai laktat tertinggi dalam satu jam pertama kehidupan dan
pemeriksaan serial laktat merupakan prediktor penting EHI
sedang-berat.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Pemeriksaan prognostik yang dilakukan secara kombinasi lebih


baik daripada pemeriksaan tunggal.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Sebagai penuntun untuk mempermudah penegakan diagnosis, dibuatlah algoritme


praktis sebagai berikut (Gambar 29 dan 30).

242
Gambar 29. Algoritme diagnosis asfiksia dan terapi hipotermia

243
Bayi asfiksia (terkonfirmasi)
lahir diluar RS

Tiba di RS rujukan dengan tidak


pemberitahuan sebelumnya?

ya

Bayi telah ditransfer dalam tidak Nilai usia bayi (dari lahir
suhu dingin/normal? sampai tiba di RS rujukan)

ya
<6 jam >6 jam
• Catat kapan terapi
hipotermi dimulai
• Lanjutkan terapi hipotermia
sampai 72 jam Mulai terapi hipotermia Tidak memenuhi kriteria
terapi hipotermia

Gambar 30. Algoritme alur terapi hipotermia pada bayi rujukan

3.8.4 Peralatan yang diperlukan dalam terapi hipotermia


Peralatan yang perlu dipersiapkan untuk melakukan terapi hipotermia pada fasilitas
ideal adalah sebagai berikut:171,172

• Radiant warmer
• Pengatur suhu
• Probe suhu rektal ukuran 9Fr (termistor rektal)*
• Kabel penghubung probe ke pengukur / pengatur suhu*
• Blanketrol® *
• Lubrikan
• Plester
• Monitor kardiorespirasi

Pada fasilitas terbatas, sebagian peralatan tersebut tidak tersedia sehingga


perlu disesuaikan sebagai berikut:

• Radiant warmer
• Termometer rektal (yang dapat mengukur suhu hingga 32 oC)
• Gel pack adalah sumber dingin yang direkomendasikan
dibandingkan ice pack karena cair lebih lama. Bila gel pack tidak

244
tersedia, maka pilihan terakhir dapat digunakan sarung tangan
berisi air dingin
• Lubrikan
• Plester
• Monitor kardiorespirasi
Secara umum terdapat dua sistem pengatur suhu yang dapat digunakan,
yaitu sistem manual dan sistem servo. Pada sistem manual suhu diatur oleh
tenaga kesehatan berdasarkan hasil pembacaan di monitor, sedangkan sistem
servo secara otomatis akan mengatur suhu alat pendingin dan menyesuaikan
bila suhu tubuh bayi terlalu rendah atau terlalu tinggi dibandingkan kisaran
suhu target (32 - 340C). Pengaturan suhu secara manual menyebabkan fluktuasi
suhu yang lebih besar sehingga sistem servo lebih cenderung dipilih. 162 Selama
proses pendinginan, probe suhu dapat diletakkan di rektal atau esofagus.
Pengukuran suhu aksila tidak dianjurkan karena berkaitan dengan variasi suhu
yang besar serta tidak mewakili suhu inti. 205,206 Pada pusat pelayanan kesehatan
dengan fasilitas terbatas, probe suhu rektal dapat diganti dengan termometer
yang mampu mengukur suhu hingga 32oC, sedangkan blanketrol® digantikan
dengan sarung tangan yang diisi air dingin atau gel pack.

3.8.5 Prosedur terapi hipotermia – fasilitas lengkap Berikut ini


merupakan prosedur terapi hipotermia dengan menggunakan matras
penghangat (Blanketrol®).171,172

a. Memulai cooling

1. Matikan radiant warmer dan pajankan bayi ke suhu ruangan


(passive cooling). Passive cooling dapat dilakukan sejak di ruang
persalinan. Setelah itu bayi dapat dipindahkan ke unit perawatan
intensif dan diletakkan di bawah radiant warmer bed yang
dimatikan.
2. Bayi dalam keadaan telanjang, tanpa popok, topi, ataupun selimut.
3. Perawatan bayi dalam ventilator, jaga suhu humidifier di suhu
normal 36,5 - 37,5oC.
4. Lakukan pemantauan tekanan darah kontinu dengan memasang
arterial line (umbilikal lebih disukai) untuk 72 jam cooling dan 12
jam rewarming. Akses ini juga dapat digunakan untuk analisis gas
darah (AGD) karena lebih baik daripada AGD kapiler (yang mungkin
terpengaruh oleh penurunan perfusi perifer akibat cooling).
5. Lakukan pemeriksaan laboratorium : AGD, laktat, darah perifer lengkap
(DPL), PT, APTT, glukosa, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, elektrolit (Na,

245
K, Cl, Ca ion).
• Pemeriksaan ini diulang selama 3 hari pertama (hari 0, hari 1, hari 2).
• Pada hari 3 pemeriksaan yang perlu dilakukan lagi adalah: DPL, AGD,
glukosa, elektrolit, ureum, kreatinin, PT, APTT (sesuai klinis).

Uraian pemeriksaan penunjang dapat dilihat pada tabel di bawah ini, dan
dilakukan sesuai klinis dan indikasi:171,172

Tabel 16. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan dalam terapi hipotermia
Hari 0 Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 - 7

(masuk perawatan)

AGD

Laktat

DPL

PT, APTT

GDS

SGOT,SGPT

Ur, Cr

Elektrolit

EKG

Echo

EEG

USG kepala

MRI kepala

Sumber:Lambrechts H, Bali S, Rankin S. Therapeutic hypotermia for infants ≥35


weeks with moderate / severe hypoxic ischaemic encephalopathy (EHI) clinical
guideline; 2010 dan The Royal Women’s Hospital. Neurology: Clinical evidence
for therapeutic hypothermia for near-term infants with moderate or severe
hypoxic ischaemic encephalopathy. Dalam : The Royal Women’s Hospital
neonatal service: Clinician’s handbook; 2008171,172

6. Masukkan probe rektal ke anus sedalam minimal 5 cm (fiksasi


menggunakan plester, sekitar 10 cm ke paha atas bagian dalam)-
kedalaman ini penting untuk pengukuran suhu inti secara akurat.
Probe tidak perlu dikeluarkan untuk dibersihkan berkala.

246
7. Hubungkan probe rektal ke mesin pengukur suhu. Jika suhu rektal lebih
dari 35,5oC, nyalakan blanketrol® dengan target suhu 33-34 oC
(active cooling)
8. Jika bayi tampak tidak nyaman, pertimbangkan morfin dan / atau
midazolam (bila menggunakan ventilator) atau parasetamol (dapat
diberikan per rektal, walaupun terpasang probe rektal).
9. Awasi dan tata laksana efek samping cooling yang terjadi:
• Bradikardia sinus (laju nadi <80 kali/menit)
• Pemanjangan interval QT
• Aritmia yang memerlukan intervensi medis atau penghentian
cooling
• Hipotensi (MAP <40) yang memerlukan inotropik
• Anemia (Hb <10 g/dL, Ht <30%)
• Leukopenia (<5000/uL)
• Trombositopenia (<150.000/uL)
• Koagulopati
• Hipoglikemia
• Hipokalemia
• Peningkatan laktat (>2 mmol/L)
• Penurunan fungsi ginjal
• Sepsis
10. Pemeriksaan EKG dan USG kepala dapat dilakukan pada hari-1 (usia 24
jam), jika terdapat indikasi. aEEG dapat dipasang untuk melihat baseline
gelombang otak dan memantau timbulnya kejang.
11. Suhu bayi dipertahankan antara 33 - 34 oC selama 72 jam, yang dilanjutkan
dengan prosedur rewarming.

b. Memulai rewarming

1. Rewarming dimulai setelah cooling dilakukan selama 72 jam.


2. Tempelkan skin probe dari radiant warmer ke kulit bayi dan
nyalakan radiant warmer dengan target suhu 34,5oC.
3. Naikkan set suhu 0,5oC setiap 2 jam sampai tercapai suhu kulit
36,50C dan suhu rektal 37oC.
4. Rewarming memerlukan waktu 6-12 jam.

247
5. Rewarming harus dilakukan dengan perlahan. Rewarming yang
terlalu cepat dapat mengakibatkan penurunan tajam tekanan darah
atau gangguan elektrolit. Jika kondisi bayi tampak tidak "baik",
penurunan suhu dapat diperlambat.
6. Awasi dampak rewarming yang dapat terjadi, yaitu:

• Hipotensi
• Gangguan elektrolit
• Hipoglikemia (karena peningkatan metabolisme)
• Kejang
• Peningkatkan konsumsi oksigen dan produksi CO2
7. Pemantauan suhu rektal dilanjutkan sampai 12 jam setelah
rewarming dimulai. Buang probe suhu rektal setelah selesai
digunakan. Kabel dan mesin pengukur suhu disimpan kembali.

Prinsip perawatan bayi dengan terapi hipotermia tidak jauh berbeda dengan
perawatan bayi secara umum, antara lain menjaga saturasi kadar oksigen dan
karbondioksida dalam rentang normal, memberi bantuan ventilasi jika
diperlukan, mamantau fungsi kardiovaskular secara rutin, serta menggunakan
inotropik sesuai indikasi. Kecukupan cairan juga harus diperhatikan melalui
pemberian cairan mulai dari 40-60 ml/kg/hari dan disesuaikan dengan diuresis
serta insensible water loss, serta pemantauan natrium serum. Seluruh
rangkaian terapi hipotermia harus diawasi dengan ketat dan didokumentasikan
dalam catatan medis harian pasien oleh dokter dan/atau perawat, dengan
menambahkan catatan suhu rektal per jam. Catatan episode kejang sebaiknya
dibuat terpisah. Dokter harus menuliskan tanggal dan jam dimulainya cooling,
rewarming, dan saat rewarming selesai.

3.8.6 Prosedur terapi hipotermia - fasilitas terbatas


Beberapa metode cooling lain yang pernah terbatas yaitu dengan penggunaan
phase changing material (PCM) (gambar 31) dan botol berisi air dingin
(gambar 32).84,85

248
Gambar 31. Phase changing material
(PCM)

terbuat dari salt hydride


, asam lemak, ester
atau paraffin dapat menyerap suhu lingkungan
yang berdekatan. Matras dengan material
PCM telah digunakan di beberapa uji klinis di
India untuk
active cooling
di fasilitas terbata
s

Gambar 32. Penggunaan botol berisi air dingin Botol diisi air
dingin bersuhu
25oC dan diletakkan di samping bayi

Panduan agar terapi hipotermia tetap dapat dilakukan di sarana pelayanan


kesehatan terbatas dengan prinsip yang sama seperti pada sarana kesehatan
lengkap. Langkah-langkah yang dilakukan meliputi: 207,208

1. Prosedur metode cooling yang disarankan adalah passive cooling


dengan menjaga bayi agar berada dalam suhu 3536°C. Memulai passive
cooling dengan cara mematikan radiant warmer dan memaparkan
bayi ke suhu ruangan. Bayi sedapat mungkin dalam keadaan telanjang.

249
Hati-hati pada pemaparan di ruangan dengan air conditioner akan
terjadi overcooling.
2. Lakukan active cooling dengan menggunakan cool pack
(gambar 33) atau sarung tangan berisi air dengan suhu ~10 0C (jika tidak
memiliki cool pack) (gambar 34), yang telah didinginkan di lemari
pendingin (BUKAN dalam freezer). Sebanyak 4-6 buah cool pack atau
sarung tangan berisi air dingin tersebut dapat diletakkan di dada, leher,
dan di bawah bahu bayi (tabel 17).

Gambar 33. Whole body cooling dengan cool pack


Sumber:
https://www2.health.vic.gov.au/hospitals-and-health-services/patientcare/
perinatal-reproductive/neonatal-ehandbook/procedures/initiationhypothermia-
scn

Gambar 34.Whole body coolingdi fasilitas


terbatas dengan sarung tangan berisi air dingin
Terapi hipotermia menggunakan sarung tangan
yang diisi dengan air dingin.
a. Posisi sarung tangan, b. Sarung tangan berisi
air dingin harus dilapisi kain/linen sebelum
diletakkan di atas badan bayi agar tidak
mengembun.

a b Sumber: Foto inventaris RSUPN


Ciptomangunkusumo

250
Tabel 17. Panduan active cooling dengan menggunakan cool packs
Indikator Suhu (0C) Jumlah cool packs yang Area tubuh
dibutuhkan
>37,0 4 Kepala, bahu, leher, badan
36,1-37,0 3 Bahu, leher, badan
35,1-36,0 2 Bahu, badan
34,1-35,0 1 Badan
33,0-34,0 0 Tidak ada
Sumber: King Edward Memorial Hospital. Systemic cooling for hypoxic ischemic

encephalopathy clinical guidelines. 2014 [accessed on October 8 th 2016].


Available at: http://www.kemh.health.wa.gov209
3. Pantau suhu rektal menggunakan termometer yang mampu mengukur
suhu hingga 32oC (Gambar 35) dan pertahankan target suhu antara 33 -
34oC selama 72 jam. Jika suhu rektal lebih rendah dari 33,5 oC, jauhkan
gel pack dari tubuh bayi, nyalakan radiant warmer and atur tingkat
kehangatan secara manual untuk mencapai target suhu. Setelah suhu
rektal mencapai 34oC, matikan radiant warmer dan letakkan kembali
gel pack pada tubuh bayi sesuai kebutuhan.

Gambar 35.
Termometer

Termometer khusus
untuk mengukur suhu
rektal yang dapat
mengukur suhu
hingga 32oC.

Sumber: Foto inventaris RSUPN


Ciptomangunkusumo

4. Rewarming dilakukan dengan menempatkan bayi di bawah radiant


warmer atau di dalam inkubator dengan servocontrolled. Target
suhu rektal dinaikkan 0,5oC setiap 2 jam sampai tercapai suhu kulit
36,50C dan suhu rektal 37oC.
Waktu yang diperlukan untuk rewarming adalah 6 - 12 jam.
5. Awasi dampak rewarming yang mungkin terjadi (hipotensi,
hipoglikemia, kejang, gangguan elektrolit, dan peningkatan kebutuhan
oksigen). Rewarming tidak boleh dilakukan terlalu cepat untuk
mencegah efek yang merugikan. Bila terdapat komplikasi saat

251
rewarming maka proses menaikkan suhu harus diperlambat menjadi
naik 0,5oC setiap 4-8 jam. Pemantauan suhu rektal disarankan tetap
dilakukan hingga 12 jam setelah rewarming.

Terapi hipotermia menggunakan gel/cool pack terbukti


menurunkan risiko kematian dan gangguan perkembangan
bayi dengan EHI pada usia 6 bulan kehidupan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

3.8.7 Penghentian terapi hipotermia


Penghentian terapi hipotermia dilakukan jika terdapat : PPHN perburukan atau
berat, koagulopati berat, aritmia yang memerlukan terapi (bukan sinus
bradikardia), keluarga dan tim medis memutuskan penghentian life support.
Penghentian terapi hipotermia ini harus didiskusikan terlebih dahulu dengan
tim/ konsultan neonatologi setempat.

3.8.8 Follow up
Diperkirakan lebih dari 80% bayi yang bertahan hidup dengan EHI berat
mengalami komplikasi disabilitas berat, dengan 10-20% komplikasi disabilitas
sedang, dan 10% normal. Sedangkan bayi EHI sedang memiliki kemungkinan 30-
50% untuk menderita komplikasi jangka panjang yang berat dan 10 - 20%
sisanya akan mengalami komplikasi neurologis minor. Oleh karena itu, bayi
asfiksia dengan EHI sedang-berat sebaiknya menjalani pemantauan dan
intervensi jangka panjang. Penilaian psikometrik dapat dilakukan sejak bayi
berusia 18 bulan.42 Konsultasi dengan spesialis neurologi anak sangat
dianjurkan untuk pemantauan neurodevelopmental jangka panjang.

BAB IV

PERINGKAT BUKTI DAN DERAJAT REKOMENDASI

Penggunaan plastik transparan tahan panas yang menutupi bayi sampai leher
dapat digunakan untuk mencegah kehilangan panas tubuh pada bayi dengan
berat lahir sangat rendah di bawah 1500g.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

252
Pengisapan hanya dilakukan jika jalan napas mengalami obstruksi. Bayi baru
lahir bugar tidak membutuhkan pengisapan hidung, mulut atau faring setelah
lahir.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Tindakan mengisap mekonium dari mulut dan hidung bayi ketika kepala masih
di perineum sebelum bahu lahir tidak direkomendasikan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Intubasi dan pengisapan endotrakea pada bayi yang lahir dengan kondisi air
ketuban bercampur mekonium sebaiknya dilakukan bila bayi tidak bugar
dengan mempertimbangkan baik manfaat maupun risiko tertundanya ventilasi
karena pengisapan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Nilai Downe dapat digunakan sebagai alat penilaian klinis gawat pernapasan pada bayi.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Resusitasi awal (initial resuscitation) sebaiknya dilakukan dengan udara


ruangan. Resusitasi awal dengan udara ruangan dapat menurunkan mortalitas
dan disabilitas neurologis pada bayi baru lahir bila dibandingkankan dengan
pemberian oksigen 100%.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Pemberian oksigen dapat ditingkatkan hingga mencapai 100% bila resusitasi awal
dengan udara ruangan gagal

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Apabila pemberian CPAP telah mencapai tekanan positif akhir ekspirasi sebesar
8 cmH2O dan FiO2 telah di atas 40% namun bayi masih mengalami gawat
napas, maka pertimbangkan intubasi.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

253
LMA dapat digunakan dalam resusitasi bila pemberian VTP dengan balon dan sungkup
dan intubasi dengan ETT mengalami kegagalan.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Bila bayi bradikardia (LJ<60x/menit) setelah 90 detik resusitasi menggunakan oksigen


konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen dapat ditingkatkan hingga 100% sampai denyut
jantung bayi normal

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Kompresi dada harus dilakukan pada sepertiga bawah sternum dengan kedalaman
sepertiga dari diameter antero-posterior dada

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Teknik dua ibu jari lebih dianjurkan karena teknik ini dapat memberikan
tekanan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih baik pada bayi baru lahir.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Pemberian epinefrin melalui pipa endotrakeal dapat dijadikan pilihan bila jalur
intravena tidak tersedia walaupun jalur ini kurang efektif dibandingkankan jalur
intravena.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Pemberian epinefrin intraoseus dapat menjadi alternatif dibandingkankan vena


umbilikal pada klinisi yang jarang melakukan pemasangan kateter umbilikal,
tetapi cukup berpengalaman mengakses jalur intraoseus.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Arteri umbilikal tidak direkomendasikan untuk pemberian obatobat resusitasi.

Peringkat bukti IV, derajat rekomendasi C

Pemberian epinefrin melalui jalur endotrakeal perlu diberikan dalam dosis yang
lebih tinggi dibandingkankan pemberian melalui intravena.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

254
Sodium bikarbonat tidak rutin diberikan pada resusitasi bayi baru lahir

Peringkat bukti IV, derajat rekomendasi C

Cairan pengganti volume diberikan pada bayi asfiksia yang menunjukkan


respons lambat terhadap tindakan resusitasi intensif.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Normal saline sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan terapi awal


hipotensi pada bayi baru lahir karena aman, murah, dan mudah didapatkan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

Pemberian nalokson tidak direkomendasikan sebagai bagian awal resusitasi bayi baru
lahir dengan depresi napas.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Metode hipotermia terapeutik yang dilakukan dalam 6 jam setelah terjadinya


cedera hipoksik-iskemik pascalahir selama 72 jam meningkatkan kesintasan
bayi tanpa disabilitas perkembangan saraf (neurodevelopment) yang berat.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Tidak terdapat perbedaan signifikan terkait kadar penanda inflamasi, mortalitas,


serta tumbuh kembang pada usia 12 bulan pada SHC dan WBC

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi

Nilai Thompson >6 atau Sarnat stage 2-3 (sedang-berat) pada usia 3-5 jam
merupakan prediktor sensitif dari gambaran abnormal aEEG pada usia 6 jam
atau ensefalopati sedang-berat dalam 72 jam setelah kelahiran. Penilaian
Thompson dini bermanfaat untuk penentuan apakah bayi akan dilakukan terapi
hipotermia

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

255
Metode kombinasi aEEG dan pemeriksaan neurologis sesaat setelah kelahiran
meningkatkan kemampuan identifikasi bayi risiko tinggi dan menurunkan
kesalahan identifikasi (falsely identified) bayi dibandingkankan dengan
evaluasi dengan salah satu metode saja.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Fenobarbital merupakan obat pilihan utama anti-kejang lini satu. Bila kejang
belum teratasi dapat diberikan dosis tambahan hingga dosis maksimal
terpenuhi.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

MIdazolam adalah pilihan alternatif anti-kejang pada kasus kejang neoantal


yang tidak dapat teratasi dengan pemberian fenobarbital dan fenitoin.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Nilai laktat tertinggi dalam satu jam pertama kehidupan dan pemeriksaan serial
laktat merupakan prediktor penting EHI sedangberat.

Peringkat bukti IIB, derajat rekomendasi B

Pemeriksaan prognostik yang dilakukan secara kombinasi lebih baik daripada


pemeriksaan tunggal.

Peringkat bukti IA, derajat rekomendasi A

Terapi hipotermia menggunakan gel / cool pack terbukti menurunkan risiko


kematian dan gangguan perkembangan bayi dengan EHI pada usia 6 bulan
kehidupan.

Peringkat bukti IB, derajat rekomendasi A

BAB V

SIMPULAN

• Asfiksia neonatorum merupakan salah satu penyebab kematian utama pada


bayi baru lahir

256
• Setiap bayi yang lahir harus dilakukan penilaian awal apakah perlu mendapat
resusitasi atau tidak .
• Langkah resusitasi terdiri atas langkah awal, ventilasi tekanan positif,
kompresi dada, pemberian obat obatan dan pemasangan pipa endotrakeal
yang harus dilakukan sesuai dengan indikasi dan prosedur yang benar.
• Sebaiknya dilakukan pencegahan kelahiran bayi prematur dan asfiksia.
• Terapi hipotermia merupakan pilihan terapi untuk mencegah terjadinya
sekuele atau gangguan perkembangan neurologik akibat asfiksia.

DAFTAR RUJUKAN

1. Lawn JE, Cousens S, Zupan J. 4 million neonatal deaths: When?


Where? Why?. The Lancet. 2005;365:891-900.
2. World Health Organization. Maternal and perinatal health profile.
Diunduh dari
http://www.who.int/maternal_child_adolescent/epidemio
logy/profiles/ maternal/idn.pdf. pada tanggal 20 Juni 2014.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan
Indonesia 2012. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013.
4. World Health Organization. Cause of child mortality. 2000-2012.
Diunduh dari
.http://www.who.int/gho/child_health/mortality/mortality_causes_regi
on_text /en/ pada tanggal 18 September 2014.
5. World Health Organization. World health statistic 2013. Diunduh dari
http://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/EN_WH
S2013_f ull.pdf. pada tanggal 20 Juni 2014.

257
6. Situs Departemen Kesehatan RI. Diunduh dari www.depkes.go.id.
pada tanggal 15 Mei 2009.
7. Rudiger M, Aguar M. Newborn Assesment in the delivery room.
NeoReview. 2012;13:e336-42.
8. Shah P, Riphagen S, Beyene J, Perlman M. Multiorgan dysfunction in
infants with post-asphyxial hypoxic-ischaemic encephalopathy. Arch
Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2004;89:F152-5.
9. van Handel M, Swaab H, de Vries LS, Jongmans MJ. Long-term
cognitive and behavioral consequences of neonatal encephalopathy
following perinatal asphyxia: a review. Eur J Pediatr. 2007;166:645-
54.
10. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Tuttle DJ. Perinatal
asphyxia. Dalam: Gomella T, Cunningham M, Eyal FG, Tuttle DJ.
Neonatology: Management, procedures, on-call problems, diseases,
and drugs. Edisi ke-6. United states: McGraw-Hill education; 2013.
11. World Health Organization. Basic newborn resuscitation: A practical
guiderevision. Geneva: World Health Organization; 2012. Diunduh
dari
http://www.who,int/reproductive-health/publications/newborn_resus_
citation/index.html.
12. World Health Organization. Guidelines on basic newborn
resuscitation. Diunduh dari:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75157/1/9789241
503693_eng.pdf. pada tanggal 19 september 2014.
13. Lee ACC, Mullany LC, Tielsch JM, dkk. Risk factors for neonatal
mortality due to birth asphyxia in Southern Nepal: A prospective,
community-based cohort study.
Pediatrics. 2008;121:e1381-90.
14. American College of Obstetricians and Gynecologist. Umbilical cord
blood gas and acid-based analysis. ACOG committe opinion No. 348.
Obstet Gynecol. 2006;108:1319-22.
15. American Academy of Pediatrics and American College of
Obstetricians and Gynaecologists. Care of the neonate. Dalam:
Gilstrap LC, Oh W, penyunting. Guidelines for perinatal care. Elk
Grove Village (IL): American Academy of Pediatrics; 2002: h.196-7.
16. IDAI. Asfiksia neonatorum. Dalam: Standar pelayanan medis
kesehatan anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004. h.272-6.
17. Saloojee H. Anticonvulsants for preventing mortality and morbidity
in full term newborns with perinatal asphyxia: RHL commentary
(revisi tanggal 10 Oktober 2007). The WHO reproductive health
library; Geneva: World Health Organization.
18. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association.
Buku panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-6. Jakarta: Perinasia;
2011.

258
19. Alonso-Spilsbury M, Mota-Rojas D, Vilanuvea-Garcia D, dkk.
Perinatal asphyxia patophysiology in pig and human: a review. Anim
Reprod Sci. 2005;90:1-30.
20. McGuire W. Perinatal asphyxia. BMJ Clin Evid. 2007;2007:0320.
21. Fahrudin F. Analisis beberapa faktor risiko kejadian asfiksia
neonatorum di Kabupaten Purworejo. Diunduh dari:
http://eprints.undip.ac.id/14393 /1/2003MIKM2003.pdf. pada tanggal
26 september 2014.
22. Oswyn G, Vince JD, Friesen H. Perinatal asphyxia at Port Moresby
general Hospital: a study of incidence, risk factors and outcome. PNG
Med J. 2000;43:110-20.
23. Leone TA, Finer NN. Resuscitation in the delivery room. Dalam:
Gleason CA dan Devaskar SU, penyunting. Avery’s diseases of the
newborn. Edisi ke-9. United Stated of America: Elsevier Inc; 2012.
h.331.
24. Nold JL, Georgieff MK. Infants of diabetic mothers. Pediatr Clin N
Am. 2004;51:619-37.
25. Richardson BS. Fetal adaptive responses to asphyxia. Clin Perinatol.
1989;16:595-611.
26. Williams CE, Mallard C, Tan Gluckman PD. Pathophysiology of
perinatal asphyxia. Clin Perinatol. 1993;20:305-23.
27. Jensen A, Hohmann M, Kunzel W. Dynamic changes in organ blood
flow and oxygen consumption during acute asphyxia in fetal sheep. J
Dev Physiol. 1987;9:337-46.
28. Nishimaki S, Iwasaki S, Minamisawa S, Seki K, Yokota S. Blood
flow velocities in the anterior cerebral artery and basilar artery in
asphyxiated infants. J Ultrasound Med. 2008;27:955-60.
29. Weir FJ, Ohlsson A, Fong K, Amankwah K, Coceani F. Does
endothelin-1 reduce superior mesentric blood flow velocity in preterm
neonates? Arch Dis Child Fetal Neonatal. 1999;80:F123-7.
30. Cipolla MJ. Control of cerebral blood flow. Dalam: Cipolla MY,
penyunting. The cerebral circulation. San Rafael (CA): Morgan &
Claypool Life Sciences; 2009.
31. Varkilova L, Slancheva B, Emilova Z, dkk. Blood lactate
measurement as a diagnostic and prognostic tool after birth asphyxia
in newborn infants with gestational age >34 gestational weeks. Akush
Ginekol. 2013;52:36-43.
32. Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy: Clinical aspects.
Dalam: Fletcher J, penyunting. Neurology of the newborn. Edisi ke-5.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008.h.325-586.
33. Davidson JO, Wassink G, Heuij LG, Bennet L, Gunn AJ. Therapeutic
hypothermia for neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy – where
to from here. Front Neurol. 2015;6:198.

259
34. Antonucci R, Porcella A, Piloni MD. Perinatal asphyxia in the term
newborn. JPNIM. 2014;3:e030269.
35. Gleason CA, Juul SE. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke-9.
Philadelphia: Saunders/Elsevier. 2012
36. Romero CC, Vega CC. Neuroprotection in perinatal hypoxic ischemic
encephalopathy – pharmacology combination therapy. Dalam: Svraka
E, penyunting. Cerebral palsy challenges for the future. Edisi
pertama. Amerika serikat:Intech; 2014. h.123-192.
37. Dixon BJ, Reis C, Ho WM, Tang J, Zhang JH. Neuroprotective
strategies after neonatal hypoxic ischemic encephalopathy. Int J Mol
Sci. 2015;16:2236822401.
38. Vannucci SJ, Hagberg H. Review: Hypoxia-ischemia in the immature
brain. J Exp Biol. 2004;207:3149-54.
39. Behrman RE, Butler AS. Mortality and acute complications in
preterm infants. Dalam: Behrman RE, Butler AS, penyunting.
Preterm birth: causes, consequences, and prevention. Washington:
National Academies Pres (US); 2007.
40. Yu VWH. Neonatal complication in preterms infanys. Dalam: Yu
VWH, Wood EC, penyunting. Prematurity. Edinburg: Churcill
Livingstone;1987. h.148-69.
41. Nelson KB, Leviton A . How much of neonatal encephalopathy is due
to birth asphyxia?. Am J Dis Child. 1991;145:1325-31.
42. Agarwal R, Jain A, Deodari AK, dan Paul VD. Post-resuscitation
management of asphyxia. Ind J Pediatr. 2008;75.
43. Fink S. Intraventricular hemorrhage in the term infant. Neonatal
network. 2000;19:13-8.
44. McIntyre. Neonatal aspects of perinatal asphyxia. Dalam:
Arulkumaran S, Jenkins HML, penyunting. Perinatal asphyxia.
London: Sangam; 2000.
45. Adcock LM, Papile LA. Perinatal asphyxia. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care.
Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams Wilkins; 2008.
46. Lapointe A, Barrington KJ. Pulmonary hypertension and the
asphyxiated newborn. J Pediatr. 2011;158:e19-24.
47. Ranjit MS. Cardiac abnormalities in birth asphyxia. Ind J Pediatr.
2000;67:529-
32.
48. Andreoli SP. Clinical evaluation and management. Dalam: Avner ED,
Harmon P, dan Niaudet P, penyunting. Pediatric neprology.
Philadelphia: Lippincott Williams & wilkins; 2004.
49. Gupta BD, Sharma P, Bagla J, Parakh M, Soni JP. Renal failure in
asphyxiated neonates. Ind Pediatr. 2005;42:928-34.

260
50. Fox TP, Godavitarne. What really causes necrotizing enterocolitis?
ISRN gastroenterology. 2012;2012:1-9.
51. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program.
Queensland maternity and neonatal clinical guideline: Hypoxic-
ischaemic enchephalopathy. Queensland: State of Queensland
(Queensland Health); 2016.
52. Choi YJ, Jung MS, Kim SY. Retinal hemorrhage associated with
perinatal distress in newborn. Korean J Ophtalmology. 2011;25:311-
8.
53. Chen LN, He XP, Huang LP. A survey of high risk factors affecting
retinopathy in China. Int. J. Opthalmol. 2012;5:177-80.
54. Brodsky MC. Semiology of periventricular leucomalacia and its optic
disc morphology. British J Opthal. 2003;87:1309-10.
55. Brodsky MC. Optic atrophy in children. Dalam: Brodsky MC,
penyunting. Pediatric neuro-ophtalmology. Edisi ke-2. Heidelberg:
Springer Science+Business Media; 2010.
56. Morales P, Bustamante D, Espina-Marchant P, dkk. Pathophysiology
of perinatal asphyxia: can we predict and improve individual
outcomes? EPMA Journal. 2011;2:211-30.
57. Leuthner SR, Das UG. Low Apgar scores and the definition of
asphyxia. Pediatr Clin N Am. 2004;51:737-45.
58. Lincetto O. Birth asphyxia-summary of the previous meeting and
protocol overview. Diunduh dari:
http://www.curoservice.com/health_ professionals/news/pdf/10-09-
2007_birth_asphyxia02.pdf. pada tanggal 15 Desember 2014.
59. Chalak LF. Perinatal asphyxia in the delivery room: Initial
management and current cooling guidelines. Neoreview.
2016;17:e463-70.
60. Lee ACC, Mullany LK, Tielsch JM, dkk. Risk factors for neonatal
mortality due to birth asphyxia in Southern Nepal: A prospective
community-based cohort study.
Pediatrics. 2008;121:e1381.
61. Shankaran S, Laptook AR, Ehrenkranz RA, dkk. Whole body
hypotermic for neonates with hypoxic ischemic encephalopathy. N
Engl J Med. 2005;353:157484.
62. Siva Saranappa SB, Chaithanya CN, Madhu GN, Srinivasa S,
Manjunath MN. Clinical profile and outcome of perinatal asphyxia in
tertiary care centre. Curr Pediatr Res. 2015;19:9
63. Boskabadi H, Maamouri G, Sadeghian MH, dkk. Early diagnosis of
perinatal asphyxia by nucleated red blood cell count: A case-control
study. Arch Iran Med. 2010;13:275-80.
64. Colaco SM, Ahmed M, Kshirsagar VY, Bajpai R. Study of nucleated
red blood cell counts in asphyxiated newborns and the fetal outcome.
Int J Clin Pediatr. 2014;3:79-85.

261
65. McCarthy JM, Capullari T, Thompson Z, Zhu Y, Spellacy WN.
Umbilical cord nucleated red blood cell counts: normal values and the
effect of labor. J Perinatol. 2006;26:89-92.
66. Australian Resuscitation Council. Neonatal Guidelines. Diunduh dari
www.resus.org.au. pada tanggal 15 Oktober 2013.
67. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program.
Neonatal resuscitation. Queensland: State of Queensland; 2011. h.7-8.
68. Karlowicz MG, Karotkin EH, Goldsmith JP. Resuscitation. Dalam:
Karotkin EH, Goldsmith JP, penyunting. Assisted ventilation of the
neonate. Edisi ke-5. Missouri: Saunders; 2011. h.76-7.
69. UKK Neonatologi IDAI. Resusitasi neonatus. Jakarta: UKK
neonatologi IDAI; 2014.
70. The Royal Women’s Hospital. Delivery room management. Dalam:
The Royal Women’s Hospital neonatal service: Clinician’s handbook.
Melbourne: The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 26.
71. American Academy of Pediatrics. Textbook of neonatal resuscitation.
Edisi ke-7. Amerika serikat: American Academy of Pediatrics and
American Heart Association. 2016.
72. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, dkk. Part 11: Neonatal
resuscitation. 2010 International consensus on cardiopulmonary
resuscitation and emergency cardiovascular care science with
treatment recommendations. Circulation. 2010;122:S516-38.
73. Kattwinkell J, Perlman J, Azis K, dkk. Neonatal Rescucitation
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Pediatrics
2010;126:e1400
74. Niermeyer S. Evidence-based guidelines for neonatal resuscitation:
Neonatal resuscitation guidelines. Neoreviews. 2001;2:e38-45.
75. Knobel RB, Wimmer Jr JE, Holbert D. Heat loss prevention for
preterm infants in the delivery room. J Perinatol. 2005;25:304-8.
76. Richmond S, Wyllie J. European Resuscitation Council Guidelines
for Resuscitation
2010 Section 7. Resuscitation of babies at birth. Resuscitation.
2010;81:1389– 99
77. Raghuveer TS, Cox AJ. Neonatal resuscitation: an update. Am Fam
Physician. 2011;83:911-8.
78. Grein AJ, Welner GM. Laryngeal mask airway versus bag-mask
ventilation or endotracheal intubation for neonatal resuscitation.
Cochrane Neonatal Review. 2005.
79. UK Resuscitation Council. Section 11 Newborn Life Support. 2010
Resuscitation Guidelines. Diunduh dari www.resus.org.uk/pages/nls.
pdf. pada tanggal 15 Oktober 2013.
80. Kamlin CO1, O'Donnell CP, Davis PG, Morley CJ. Oxygen saturation
in healthy infants immediately after birth. J Pediatr. 2006.148:585-9.

262
81. Dawson JA, Kamlin COF, Vento M, dkk. Defining the reference
range for oxygen saturation for infants after birth. Pediatrics.
2010;125:e1340-7.
82. American College of Obstetricians and Gynecologist; American
Academy of Pediatrics. The APGAR score. ACOG committe opinion
No. 333. Obstet Gynecol. 2006;107:1209-12.
83. American Academy of Pediatrics, Commitee on Fetus and Newborn,
American Colledge of Obstetricians and Gynecologist and Committe
on Obstetric Practice. The Apgar score. Pediatrics. 2006;117;1444.
84. Kattwinkel J. Neonatal resuscitation for ILCOR and NRP: evaluating
the evidence and developing a consensus. J Perinatol. 2008;28:s28-9.
85. Halamek LP, Morley C. Continuous positive airway pressure during
neonatal resuscitation. Clin Perinatol. 2006;33:83–98.
86. Spitzer AR, Clark RH. Positive pressure ventilation in the treatment
of neonatal lung disease. Dalam: Goldsmith dan Karotkin
(penyunting). Assisted ventilation of the neonate. Edisi ke-5.
Missouri: Elseiver Saunder; 2011.
87. Yagui AC, Vale LAPA, Haddad LB, dkk. Bubble CPAP versus
CPAP with variable flow in newborn with respiratory distress: a
randomized control trial. Journal de Pediatria. 2011;87:499-504.
88. Buch P, Makwana AM, Chudasama RK. Usefulness of Downe score
as clinical assessment tool and bubble CPAP as primary respiratory
support in neonatal respiratory distress syndrome. J Pediatr Sci.
2013;5:176-83
89. Trevisanuto D, Cengio VD, Doglioni N, dkk. Oxygen delivery using
a neonatal self-inflating resuscitation bag: effect of oxygen flow.
Pediatrics.
2013;131:e144-9.
90. Benett S, Finer NN, Vaucher Y. A comparison of three neonatal
resuscitation devices. Resuscitation. 2005. 67:113-8.
91. Hussey SG, Ryan CA, Murphy BP. Comparison of three manual
ventilation devices using an intubated manenequin. Arch Dis Child
Fetal Neonatal. 2004; 89:F490-3.

92. Davis PG, Tan A, O’Donnel CPH, Schulze A. Resuscitation of


newborn infants with
100% oxygen or air: a systematic review and meta-analysis. Lancet.
2004; 364:1329-33.
93. Boyle DW, Engle WA. Resuscitation. Dalam: Hertz DE, penyunting.
Care of the newborn. Handbook for primary care. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2005.hal 6-22.
94. Braga MS, Dominguez TE, Pollock AN, dkk. Estimation of optimal
CPR compression depth in children by using computer tomography.
Pediatrics. 2009;124:e69-74.

263
95. Oca MJ, Nelson M, Donn SM. Randomized trial of normal saline
versus 5% albumin for the treatment of neonatal hypotension. J
Perinatol. 2003; 23:43776.
96. McGuire W, Fowlie PW. Naloxone for narcotic exposed newborn
infants: systemic review. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2003;88.
97. The International Liaison Commitee on Resuscitation. The
International Liaison Commitee on Resuscitation (ILCOR) consensus
on science with treatment recommendations for pediatric and neonatal
patients: Neonatal resuscitation. Pediatrics. 2006;117;e978-88.
98. Bissinger RL. Neonatal resuscitation, 2012. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/ 977002-overview pada
tanggal 18 Oktober 2014.
99. World Health Organization. WHO guidelines on hand hygiene in
health care,
2009. Diunduh dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241597906_eng.pdf?
ua=
1 pada tanggal 24 September 2014
100. Davis RP, Mychaliska GB. Neonatal pulmonary physiology. Semin
Pediatr Surg. 2013;22:179–184.
101. Karlsen KA. The STABLE program: Pre-transport/ Post-resuscitation
stabilization care of sick infants, guidelines for neonatal healthcare
providers. 2006. Diunduh dari
http://www.stableprogram.org/docs/
stable_learner_manual_preview.pdfpad a tanggal 24 september 2014
102. Canadian Paediatric Society. Screening guidelines for newborns at
risk for low blood glucose. Paediatr Child Health. 2004;9:723-9.
103. Chakkarapani E, Thoresen M. Use of hypothermia in the asphyxiated
infant.
Perinatology. 2010;3:20-9.
104. Schuchmann S, Schimitz D, Rivera C, dkk. Experimental febrile
seizures are precipitated by a hyperthermia-induced respiratory
alkalosis. Nat Med. 2006;12:817-23.
105. Arciniegas DB. Hypoxic-ischemic brain injury. 2012. Diunduh dari
http://www.internationalbrain.org/ articles/hypoxicischemic-brain-
injury/ pada tanggal 19 Mei 2015.
106. Mizrahi EM. Neonatal seizures and neonatal epileptic syndromes.
Neurologic clinics. 2001;19:427-63.
107. Glass H. Neonatal seizures. Clin Perinatol. 2014;41:177-190.
108. Shellhaas RA, Chang T, Tsuchida T, dkk. The American Clinical
Neurophysiology Society's Guideline on Continuous
Electroencephalography Monitoring in Neonates. J Clin Neurophysiol
2011; 28:611.

264
109. Weeke L, Toet M, van Rooij L, dkk. Lidocaine response rate in
aEEG-confirmed neonatal seizures: Retrospective study of 413 full-
term and preterm infants. Epilepsia. 2015;57:233-242.
110. Divisi Perinatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Guidelines for
administration of IV drugs by infusion on the neonatal unit. Jakarta:
RSUPN Cipto Mangunkusumo; 2005.
111. Hart AR, Pilling EL, Alix JJ. Neonatal seizures–part 2: aetiology of
acute symptomatic seizures, treatments and the neonatal epilepsy
syndromes. Arch Dis Child Educ Pract Ed. 2015;100:226–232.
112. Evans D. Levene M. Neonatal seizures. Arch Dis Child Fetal
Neonatal 1998; 78:F70-5.
113. Srinivasakumar P, Zempel J, Trivedi S, dkk. Treating EEG Seizures
in Hypoxic Ischemic Encephalopathy: A randomized controlled trial.
Pediatrics 2015; 136:e1302.
114. Hellström-Westas L, Boylan G, Ågren J. Systematic review of
neonatal seizure management strategies provides guidance on anti-
epileptic treatment. 2014.
115. Agarwal R. Guidelines on neonatal seizures. World Health
Organization. 2011
116. Volpe J, Inder T, Darras B, dkk. Neurology of the newborn. Edisi ke-
6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2017.h.275-318.
117. Vento M, de Vries L, Alberola A, dkk. Approach to seizures in the
neonatal period: a European perspective. Acta Paediatrica.
2010;99(4):497-501.
118. Slaughter L, Patel A, Slaughter J. Pharmacological Treatment of
Neonatal Seizures. Journal of Child Neurology. 2013;28:351-364.
119. Bourgeois BF, Dodson WE. Phenytoin elimination in newborns.
Neurology 1983; 33:173.
120. Kementerian Kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan neonatal
esensial: Pedoman teknis pelayanan kesehatan dasar. Edisi Revisi.
Jakarta: Kementrian kesehatan, 2010.
121. Painter MJ, Scher MS, Stein AD, dkk. Phenobarbital compared with
phenytoin for the treatment of neonatal seizures. N Engl J Med. 1999;
341:485–489. [PubMed: 10441604]
122. Lockman LA, Kriel R, Zaske D, dkk. Phenobarbital dosage for
control of neonatal seizures. Neurology. 1979;29:1445- 1449.
123. Riviello JJ. Drug therapy for neonatal seizures: Part 2. Pharmacol
Rev. 2004;5:e262-e268.
124. Gherpelli JL, Cruz AM, Tsanaclis LM, dkk. Phenobarbital in
newborns with neonatal seizures. A study of plasma levels after
intravenous administration. Brain Dev. 1993 Jul-Aug;15(4):258-62.
125. McMorris S, McWilliam PK. Status epilepticus in infants and young
children treated with parenteral diazepam. Arch Dis Child.

265
1969;44:604 611.
126. Boylan G, Rennie J, Chorley G, dkk. Second-line anticonvulsant
treatment of neonatal seizures. Neurology. 2004; 62:486–488.
[PubMed: 14872039]
127. Laptook AR, Shalak L, Corbett RJT. Differences in brain temperature
and cerebral blood flow during selective head versus whole-body
cooling. Pediatrics. 2001; 108;1103.
128. Campo-Soria C, Chang Y, Weiss DS. Mechanism of action of
benzodiazepines on GABA receptors. British Journal of
Pharmachology. 2006;148(7).

129. Kilicdag H, Daglıoglu K, Erdogan S, dkk. The effect of levetiracetam


on neuronal apoptosis in neonatal rat model of hypoxic ischemic
brain injury. Early Hum Dev 2013; 89:355.
130. Komur M, Okuyaz C, Celik Y, dkk. Neuroprotective effect of
levetiracetam on hypoxic ischemic brain injury in neonatal rats.
Childs Nerv Syst 2014; 30:1001.
131. Khan O, Chang E, Cipriani C, dkk. Use of intravenous levetiracetam
for management of acute seizures in neonates. Pediatr Neurol 2011;
44:265.
132. Loiacono G, Masci M, Zaccara G, Verrotti A. The treatment of
neonatal seizures: focus on Levetiracetam
133. Sharpe CM, Capparelli EV, Mower A, dkk. A seven-day study of the
pharmacokinetics of intravenous levetiracetam in neonates: marked
changes in pharmacokinetics occur during the first week of life.
Pediatr Res 2012; 72:43.
134. Merhar SL, Schibler KR, Sherwin CM, dkk. Pharmacokinetics
135. Mruk Allison L, L Karen, Garlitz, RL Noelle R. Levetiracetam in
Neonatal Seizure: A Review. J Pediatr Pharmacol Ther 2015;20:76–
89.
136. Vento M, de Vries LS, Alberola A, dkk. Approach to seizures in the
neonatal period: a European perspective. Acta Paediatr. 2010;99:497-
501.
137. Van Rooij LG, Hellstrom-Westas L, de Vries LS. Treatment of
neonatal seizures. Semin Fetal Neonatal Med. 2013;18:209-215
138. Malingré MM, Van Rooij LG, Rademaker CM, dkk. Development of
an optimal lidocaine infusion strategy for neonatal seizures. Eur J
Pediatr 2006; 165:598.
139. Lundqvist M, Ågren J, Hellström-Westas L, Flink R, Wickström R.
Efficacy and safety of lidocaine for treatment of neonatal seizures.
Acta Paediatrica. 2013;102(9):863-867.
140. van Rooij LG, Toet MC, Rademaker KM, dkk. Cardiac arrhythmias
in neonates receiving lidocaine as anticonvulsive treatment. Eur J
Pediatr 2004; 163:637.

266
141. Castro Conde JR, Hernández Borges AA, Doménech Martínez E,
dkk. Midazolam in neonatal seizures with no response to
phenobarbital. Neurology 2005; 64:876.
142. Langslet A, Meberg A, Bredesen JE, dkk. Plasma concentrations of
diazepam and N-desmethyldiazepam in newborn infants after
intravenous, intramuscular, rectal and oral administration. Acta
Paediatr Scand. 1978;67:699-704.
143. Ramsey RE, Hammond EJ, Perchalski RJ, dkk. Brain uptake of
phenytoin, phenobarbital, and diazepam. Arch Neurol. 1979;36:535.
144. Prensky AL, Raff MC, Moore MJ, dkk. Intravenous diazepam in the
treatment of prolonged seizure activity. N Engl J Med. 1967;276:779-
784.
145. Smith BT, Masotti RE. Intravenous diazepam in the treatment of
prolonged seizure activity in neonates and infants. Dev Med Child
Neurol. 1971;13:630-634.
146. Schiff D, Chan G, Stern L. Fixed drug combinations and the
displacement of bilirubin from albumin. Pediatrics.1971;48:139-141.
147. Gamstorp I, Sedin G. Neonatal convulsions treated with continuous,
intravenous infusion of diazepam. Ups J Med Sci. 1982;87:143-149.
148. Committee on Drugs. Drugs for pediatric emergencies. Pediatrics.
1998; 101(1):1-11.
149. Wolf Ni, Bast T, Surtees R. Epilepsy in inborn errors of metabolism.
Epileptic Disord 2005; 7: 67-81.
150. Lehr VT, Chugani HT, Aranda JV. Anticonvulsants. Dalam: Yaffe
SJ, Aranda JV, penyunting. Neonatal and pediatric pharmacology:
Therapeutic principles in practice. Edisi ketiga. Philadhelpia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2005.
151. Taketomo CK, Hodding JH, Kraus DM. Pediatric and neonatal
dosage handbook: A comprehensive resource for all clinicians
treating pediatric and neonatal patients. Edisi ke-18.
152. Hospira UK Ltd. Phenytoin injection. 2014. Diunduh dari
https://www.medicines.org.uk/emc/medicine /650 pada tanggal 15
April 2015.
153. Murphy SA. Emergency management of
seizures. Diunduh dari
https://www.umassmed.edu/.
154. Young T, Mangum B. Neofax 2010. Thomson Reuters;2010:23
155. The Royal Women’s Hospital. Paediatric Pharmacopoeia 13 th Ed.
Royal Women’s Hospital Melbourne.
156. Taketomo CK, Hodding JH, Kraus DM. Pediatric and neonatal
dosage handbook. Hudson (OH): Lexi Comp; 2010.
157. Sophie P. Essential drugs - practical guidelines. 17th ed. Médecins
Sans Frontières; 2017.

267
158. The Royal Women’s Hospital. Neonatal Pharmacopoeia. Pharmacy
Departement 1998;1.
159. World Health Organization. Cooling for newborns with hypoxic
ischaemic ensephalopathy. 2010.
http://apps.who.int/rhl/newborn/cd003311_ballotde_com/en/ pada
tanggal 14 Agustus 2014
160. Salhab WA, Wyckoff AR. Laptook AR, Perlman JM. Initial
hypoglycemia and neonatal brain injury in term infants with severe
fetal acidemia. Pediatrics,2004;114:361-6)
161. Silveira RC, Procianoy RS. Hypothermia therapy for newborns with
hypoxic ischemic encephalopathy. J Pediatr (Rio J). 2015; 9: 578-583
162. Robertson NJ, Kendall GS, Thayyil S. Techniques for therapeutic
hypothermia during transport and in hospital for perinatal asphyxial
encephalopathy. Semin Fetal Neonatal Med. 2010;15:276-86.
163. Shankaran S. Therapeutic hypotermia for neonatal enchephalopathy.
Curr Treat Options Neurol. 2012; 14.
164. Sarafidis K, Soubasi V, Mitsakis K, Agakidou VD. Therapeutic
hypothermia in asphyxiated neonates with hypoxic-ischemic
encephalopathy: A single-center experience from its first application
in Greece. Hippokratia. 2014; 18:226-30.
165. Azzopardi D, Strohm B, Linsell L, dkk. UK TOBY Cooling Register.
Implementation and conduct of therapeutic hypothermia for perinatal
asphyxial encephalopathy in the UK--analysis of national data. PLoS
One. 2012; 7: e38504.
166. Khurshid F, Lee KS, McNamara PJ, Whyte H, Mak W. Lessons
learned during implementation of therapeutic hypothermia for
neonatal hypoxic ischemic encephalopathy in a regional transport
program in Ontario. Paediatr Child Health. 2011; 16: 153-156.
167. Gluckman PD, Wyatt JS, Azzopardi D, dkk. Selective head cooling
with mild systemic hypothermia after neonatal encephalopathy:
multicentre randomized trial. Lancet. 2005; 365:663-70.
168. Hoque N, Chakkarapani E, Liu X, Thoresen M. A comparison of
cooling methods used in therapeutic hypothermia for perinatal
asphyxia. Pediatrics. 2010;126:e124-30.
169. Celik Y, Atici A, Makharoblidze K, Eskandari G, Sungur MA,
Akbayir S. The effects of selective head cooling versus whole-body
cooling on some neural and inflammatory biomarkers: a randomized
controlled pilot study. Italian Journal of Pediatrics. 2015; 41:79
170. Laptook AR, Shalak L, Corbett RJT. Differences in brain temperature
and cerebral blood flow during selective head versus whole-body
cooling. Pediatrics. 2001; 108;1103.
171. Lambrechts H, Bali S, Rankin S. Therapeutic hypotermia for infants
≥35 weeks with moderate/ severe hypoxic ischaemic encephalopathy
(HIE) clinical guideline,2010. Diunduh dari
http://www.northerntrust.hscni.net pada tanggal 14 Agustus 2014.

268
172. The Royal Women’s Hospital. Neurology: Clinical evidence for
therapeutic hypothermia for near-term infants with moderate or
severe hypoxic ischaemic encephalopathy. Dalam: The royal
women’s hospital neonatal service: Clinician’s handbook. Melbourne:
The Royal Women’s Hospital; 2008. h. 105-8.
173. Jacobs SE, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis PG. Cooling
for newborns with hypoxic ischaemic encephalopathy. Cochrane
Database of Systematic Reviews 2007, Issue 4, Art. No: CD003311.
174. Schulzke SM, Rao S, dan Patole SK. A systematic review of cooling
for neuroprotection in neonates with hypoxic ischemic
encephalopathy-are we there yet? BMC Pediatrics. 2007; 7: 1-10.
175. Jacobs SE, Berg M, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis PG.
Cooling for newborns with hypoxic ischaemic encephalopathy.
Cochrane Database of Systematic Reviews 2013, Issue 1. Art. No.:
CD003311.
176. Conway J, Walsh B, Boylan G, Murray D. Mild hypoxic ischaemic
encephalopathy and long term neurodevelopmental outcome - A
systematic review. Early Human Development. 2018;120:80-87.
177. Laptook A, Shankaran S, Tyson J, dkk. Effect of Therapeutic
Hypothermia Initiated After 6 Hours of Age on Death or Disability
Among Newborns With Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. JAMA.
2017;318(16):1550.
178. Lally PJ, Price DL, Pauliah SS, dkk. Neonatal encephalopathic
cerebral injury in South India assessed by perinatal magnetic
resonance biomarkers and early childhood neurodevelopmental
outcome. PLoS ONE 2014;9:e87874.
179. van de Riet JE, Vandenbussche FP, Le Cessie S, Keirse MJ. Newborn
assessment and long-term adverse outcome: a systematic review. Am
J Obstet Gynecol 1999;180:1024-9).
180. Horn AR, Swingler G, Myer L, Linley LL, Raban MS, Joolay Y.
Early clinical signs in neonates with hypoxic-ischemic
encephalopathy predict an abnormal amplitude-integrated
electroencephalogram at age 6 hours. Pediatrics 2013;13:52.
181. Merchant N, Azzopardi D. Early predictors of outcome in infants
treated with hypothermia for hypoxic-ischemic encephalopathy. HIE
supplement 2015;57:816
182. Mwakyusa SD, Manji KP, Massawe AW. The hypoxic ischaemic
encephalopathy score in predicting neurodevelopmental outcomes
among infants with birth asphyxia at the Muhimbili National
Hospital, Dar-es Salaam Tanzania. J Tropical Pediatr. 2008; 55: 8-14.
183. El-Dib M, Chang T, Tsuchida TN, Clancy RR. Amplitude-integrated
electroencephalography in neonates. PediatricNeurology.
2009;41:315-326.
184. Clancy RR, Dicker L, Cho S, dkk. Agreement between long-term
neonatal background classification by conventional and amplitude-

269
integrated EEG. J Clin Neurophysiol. 2011;28:1-9.
185. Foreman SW, Thorngate L, Burr RL, Thomas KA. Electrode
challanges in amplitude-integrated EEG: research application of a
novel noninvasive measure of brain function in preterm infants. Biol
Res Nurs. 2011.
186. Thoresen M, Westas LH, Liu X, Vries LS. Effect of hypothermia on
amplitude integrated encephalogram in infants with asphyxia.
Pediatrics. 2010; 126: 131139
187. van Laerhoven H, de Haan TR, Offringa M, Post B, van der Lee JH.
Prognostic tests in term neonates with hypoxic-ischemic
encephalopathy: a systematic review. Pediatrics 2013;131:88-98
188. Shalak LF, Laptook AR, Velaphi SC, Perlman JM. Amplitude-
integrated electroencephalography coupled with an early neurological
examination enhances prediction of term infants at risk for persistent
encephalopathy. Pediatrics 2003;111:351-7
189. Thoresen M, Hellstrom-Westas L, Liu X, de Vries LS. Effect of
hypothermia on amplitude-integrated electroencephalogram in infants
with asphyxia. Pediatrics 2010;126:e131-9
190. Deshpande SA, Ward Platt MP. Association between blood lactate
and acidbase status and mortality in ventilated babies. Arch Dis Child
Fetal Neonatal Ed 1997;76:F15-20.
191. Cheung PY, Robertson CMT, Finer NN. Plasma lactate as a predictor
of early childhood neurodevelopmental outcome of neonates with
severe hypoxemia requiring extra corporeal membrane oxygenation.
Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1996;74:F47-50.
192. Shah S, Tracy M, Smyth K. Postnatal lactate as an early predictor of
short-term outcome after intrapartum asphyxia. J Perinatol
2004;24:16-20
193. Jongeling BR, Badawi N, Kurinczuk JJ, dkk. Cranial ultrasound as a
predictor of outcome in term newborn encephalopathy. Pediatr Neurol
2002;26:37-42.
194. Varghese B, Xavier R, Manoj VC, Aneesh MK, Priya PS, Kumar A,
Sreenivasan VK. Magnetic resonance imaging spectrum of perinatal
hypoxic-ischemic brain injury. Indian J Radiol Imaging 2016;26:316-
27
195. Rutherford M, Malamateniou C, McGuinness A, Allsop J,Biarge
MM, Counsell S. Magnetic resonance imaging in hypoxic-ischemic
encephalopathy. J Early Human Development 2010;86:351-60
196. Jobsis FF. Noninvasive, infrared monitoring of cerebral and
myocardial oxygen sufficiency and circulatory parameters, Science
1977;198: 1264-1267.
197. Greisen G, Leung T, Wolf M. Has the time come to use near-infrared
spectroscopy as a routine clinical tool in preterm infants undergoing
intensive care? Phil Trans R Soc A 2011;369:4440-51.

270
198. Panerai RB. Transcranial Doppler for evaluation of cerebral
autoregulation. Clin Auton Res 2009; 19: 197–211.
199. Toet M. Cerebral Oxygenation and Electrical Activity After Birth
Asphyxia: Their Relation to Outcome. Pediatrics. 2006;117:333-339.
200. Goeral K, Urlesberger B, Giordano V, dkk. Prediction of Outcome in
Neonates with Hypoxic-Ischemic Encephalopathy II: Role of
Amplitude-Integrated Electroencephalography and Cerebral Oxygen
Saturation Measured by NearInfrared Spectroscopy. Neonatology.
2017;112:193-202.
201. Perlman JM, McMenamin JB, Volpe JJ. Fluctuating cerebral blood-
flow velocity in respiratory distress syndrome. Relation to the
development of intraventricular hemorrhage. N Engl J Med
1983;309:204–209.
202. Perlman JM, Goodman S, Kreusser KL, Volpe JJ. Reduction in
intraventricular hemorrhage by elimination of fluctuating cerebral
blood-flow velocity in preterm infants with respiratory distress
syndrome. N Engl J Med 1985;312:1353–1357.
203. Da Costa CS, Greisen G, Austin T. Is near-infrared spectroscopy
clinically useful in the preterm infant? Arch Dis Child Fetal Neonatal
Ed. 2015;100:F558-F561.
204. Liao SM, Culver JP. Near infrared optical technologies to illuminate
the status of the neonatal brain. Curr Pediatr Rev. 2014;10:73-86.
205. Ergenekon E. Therapeutic hypothermia in neonatal intensive care
unit: challenges and practical points. J Clin Neonatol. 2016; 5:8-17
206. Mitchell AP, Johnston ED. Provision of therapeutic hypothermia
during neonatal transport. Infant. 2013;7:79-82
207. Bharadwaj SK Bhat BV. Therapeutic hypothermia using gel packs for
term neonates with hypoxic ischaemia encephalopathy in resource-
limited settings: a randomized controlled trial. J Trop Pediatr. 2012;
58: 382-8.
208. Robertson NJ, Hagmann CF, Acolet D, dkk. Pilot randomized
controlled trial of therapeutic hypotermia with serial cranial
ultrasound and 18-22 month followup for neonatal encephalopathy in
a low resource hospital setting in Uganda: study protocol. Trials.
2011; 12:138.
209. King Edward Memorial Hospital. Systemic cooling for hypoxic
ischemic encephalopathy clinical guidelines. 2014. Diunduh dari
http://www.kemh.health.wa.gov pada tanggal 8 Oktober 2016.

271
LAMPIRAN 1

Berikut ini merupakan daftar persiapan dan peralatan minimal yang harus
disediakan sebelum resusitasi.
Jumlah Keterangan

Tata laksana suhu

Ruang resusitasi 1 Suhu ruangan diupayakan 24-26oC

Penghangat bayi (infant warmer) 1 Penghangat bayi dihidupkan terlebih dahulu


sebelum bayi lahir untuk menghangatkan barang-
barang yang akan dipakai bayi

Plastik minimal 2 Plastik yang dapat digunakan adalah plastik lebar


atau plastik klip. Bila menggunakan plastik klip,
sebaiknya telah terlebih dahulu dilubangi pada
bagian bawah

Topi bayi 1 Topi harus dibuat dari kain atau wol yang hangat

Linen/kain bedong minimal 5 1 kain dilipat dan digunakan untuk mengganjal


bahu bayi, 1 kain digunakan sebagai alas, 2 kain
digunakan untuk mengeringkan badan bayi, 1
kain untuk membungkus bayi

Inkubator transpor 1 Inkubator telah dikondisikan dalam keadaan


hangat. Bila inkubator tidak tersedia di fasilitas
Baju kanguru 1 terbatas, inkubator ini dapat digantikan dengan
baju kangguru

Termometer/ monitor suhu beserta probe-nya 1 Untuk mengukur suhu bayi

Tata laksana airway dan breathing (ventilasi)

Suction 1 Bertekanan negatif, tidak melebihi -100


mmHg

Kateter suction @1 Umumnya berukuran 5, 6, 8, 10, 12, 14French

Bulb suction 1

Aspirator mekonium 1

Tabung oksigen dan flowmeter 1 Akan lebih baik bila tersedia tabung cadangan

Tabung udara bertekanan dengan 1


indikator tekanan

T-piece resuscitator 1 Periksa kelayakgunaan alat sebelumnya

Jackson rees 1

Balon mengembang sendiri (BMS) 1

272
Katup PEEP 1

Sungkup @1 Berbagai ukuran

OGT 8 French dan spuit 20 mL @1 Untuk dekompresi orogastrik

Pulse oxymetri 1

Monitor EKG 1

Laringoskop + baterai 1 Siapkan baterai cadangan

Ukuran 0 untuk bayi <1000 gram, 00 untuk >1000


gram, 1 untuk >3000 gram. Periksa
kelayakpakaian lampu masingmasing bilah

Bilah lurus laringoskop @1


ETT @1 Umumnya nomor 2,5; 3; 3,5; dan 4

Penyediaan ETT dibuat berdasarkan perkiraan


berat lahir bayi, minimal sediakan ETT berukuran
sesuai perkiraan berat lahir bayi serta 0,5 nomor
di atas dan 0,5 di bawahnya.

Umumnya, berat badan <1000 gram, 1000-2000


gram, dan >2000 gram menggunakan ETT nomor
2,5; 3; dan 3,5 secara berturut-turut

Stilet 1

Plester secukupnya Plester dapat menggunakan hipafix yang telah


dipotong-potong

Benang kasur secukupnya

Gunting 1

Magil 1 Digunakan bila bayi akan dilakukan intubasi


melalui hidung

LMA @1 Berbagai ukuran

Obat-obatan premedikasi Sulfas atropin, morfin

Tata laksana sirkulasi

Kateter intravena minimal 3 Ukuran G24, G26

Set infus 1

Spalk, dressing transparan atau micropore @1

OGT @1 Siapkan ukuran 3,5 dan 5-French. OGT yang


akan dipakai harus telah diisi dengan NaCl 0,9%
Three way 1 dan disambungkan dengan three way

Syringe pump 1

273
NaCl 0,9% secukupnya Cukup untuk melakukan bolus sebanyak 2 kali 10
mL/kgBB

D10% secukupnya Cukup untuk melakukan bolus sebanyak 2


mL/kgBB

Set umbilikal steril 1 set Berisi 1 duk bolong, 1 duk untuk alas alat, 2 klem
duk, 1 pinset lurus, 1 pinset sirurgis, 1 piset
bengkok, 1 klem bengkok, 1 benang silk ukuran
3.0 cutting, 1 needle holder, 1 gunting, 1
mangkok berisi Betadine

Obat-obatan resusitasi @1 Epinefrin 1:10.000, kalsium glukonas 10%,


nalokson hidroklorida, natrium bikarbonat,
dopamin, morfin,
modazolam, fenobarbital, surfaktan

Lain-lain

APD (topi, kacamata, gaun, sarung tangan)

Stetoskop 1 Ukuran neonatus/pediatrik

Spuit @2 Spuit 1 mL, 3 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL

Jarum spuit disposable 2

Glukometer 1

Gluko-stick minimal 1

LAMPIRAN 2. CONTOH KASUS

1. Seorang bayi perempuan, 39 minggu, taksiran berat 3200 gram, lahir secara SC cito
atas indikasi gawat janin dari seorang ibu dengan persalinan tak maju. Saat lahir, bayi
apne dan hipotoni.

Fasilitas ideal Fasilitas terbatas

60 detik • Letakkan bayi di bawah peng hangat, posisikan kepala-leher bayi mengganjal
pertama meghidu/semi-ekstensi dengan bahu bayi menggunakan
kain bedong lipat yang telah dihangatkan sebelumnya.

274
• Keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi.

(Penolong dapat memasang plastik polietilen bila dirasa perlu karena

suhu ruang resusitasi sangat dingin).

• Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan).

• Posisikan bayi kembali

* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil


pada bayi

Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi megap-megap, LJ 100 kali/menit,
hipotoni. nya VTP ditentukan dalam 60 detik

(Keputusan pemberian atau tidak pertama


ini)

Penolong memberikan VTP dengan Penolong memberikan VTP dengan


konsentrasi oksigen 21% menggunakan t- konsentrasi oksigen 21% menggunakan BMS
piece resuscitator dilengkapi dengan tanpa sumber oksigen (hanya menggunakan
blender oksigen eksternal atau udara ruangan).
menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara
tekan, tanpa oksigen murni).

Berikan PIP dan PEEP, umumnya dimulai


dari 30/5. PIP dapat ditingkatkan sampai
dada mengembang, kemudian dapat juga
diturunkan bila dada terlalu mengembang

Penolong lain secara bersamaan mem asang pulse oxymetri untuk memantau
LJ dan saturasi oksigen secara akura t.

275
(dapat mempertimbangkan pengguna an monitor EKG bila tersedia)

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi menangis namun merintih, LJ 110
kali/menit, tonus otot baik.
*setelah
pemberian VTP Bayi mulai terlihat merah dan bergerak aktif.
efektif selama 30
detik

VTP dihentikan dan berikan CPAP dini VTP dihentikan dan berikan CPAP dini
menggunakan t-piece resuscitator menggunakan Jackson Rees dengan PEEP
dengan PEEP 7 cmH2O dan konsentrasi 7 cmH2O
oksigen tetap 21%.

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi menangis, tidak merintih, tidak ada
retraksi, LJ 120 kali/menit, dan tonus otot baik.
saat usia 5
menit Bayi terlihat merah, gerakan aktif, dan saturasi 90%.

Perawatan pasca Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,
resusitasi
GDS 72 g/dL

Temperature : dilakukan pengukuran suhu ulang; 36,8oC

Airway : CPAP, PEEP 7 mmHg

Blood pressure : LJ 120 kali permenit, CRT <3 detik

Laboratory : septic workup

Emotional support : edukasi keluarga

Apakah bayi Tidak, karena berdasarkan informasi kasus ini:


perlu dilakukan
terapi Walaupun terdapat riwayat gawat janin namun setelah lahir:
hipotermia?
• Recall nilai Apgar 3/8/9 (skor Apgar >5 pada menit ke-10)
• bayi tidak memerlukan bantuan ventilasi > 10 menit
• bayi menangis, terlihat aktif, dan tonus otot baik
• perlu dilakukan AGD tali pusat / AGD arteri bayi untuk bukti
terjadinya asfiksia
• saat di ruang perawatan pemeriksaan neurologis harus terus dipantau sampai usia 6
jam

276
2. Seorang bayi perempuan, 30 minggu, taksiran berat 1400 gram, lahir secara SC cito
atas indikasi ibu mempunyai komplikasi eklampsia, tekanan darah tidak terkontrol
dengan obat, ibu kejang, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne dan hipotoni.

Fasilitas ideal Fasilitas terbatas

60 detik • Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-


pertama ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah
dihangatkan sebelumnya.
• Pasang plastik polietilen sampai menutupi leher, keringkan muka bayi dengan kain
kering yang hangat, pasang topi. Pastikan plastik tidak terbuka (tidak ada aliran udara
bebas).
• Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan).
• Posisikan bayi kembali

* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi

Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 60 kali/menit, hipotoni.

(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)

Penolong memberikan VTP dengan Penolong memberikan VTP dengan


konsentrasi oksigen 30% menggunakan t- konsentrasi oksigen 30% (dengan
piece resuscitator dilengkapi dengan menggunakan gabungan oksigen dan udara
blender oksigen eksternal atau tekan sesuai tabel) menggunakan BMS tanpa
menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara sumber oksigen (hanya menggunakan udara
tekan, tanpa oksigen murni).

ruangan) yang dikombinasikan dengan katup


PEEP.

*untuk bayi prematur <1500 gram, sangat


dianjurkan menggunakan katup PEEP 5 agar
Berikan PIP dan PEEP, umumnya dimulai paru bayi tidak kolaps pada saat ekspirasi.
dari 25/5. PIP dapat ditingkatkan sampai
dada mengembang, kemudian dapat juga
diturunkan bila dada terlalu mengembang
Penolong lain secara bersamaan mem asang pulse oxymetri untuk memantau

277
LJ dan saturasi oksigen secara akura t.

(dapat mempertimbangkan pengguna an monitor EKG bila tersedia)

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi dan mulai bernapas, LJ 100 kali/menit,
tonus otot kurang, FiO2 40%, saturasi 88%.
*setelah
pemberian VTP
efektif selama 30
detik

VTP dihentikan dan berikan CPAP dini VTP dihentikan dan berikan CPAP dini
menggunakan t-piece resuscitator menggunakan Jackson Rees dengan PEEP
dengan PEEP 7 cmH2O dan konsentrasi 7 cmH2O konsentrasi oksigen tetap 30%.
oksigen tetap 30%.

*sangat dianjurkan menggunakan campuran


oksigen dan udara bertekanan (konsentrasi
oksigen tetap 21%) sehingga dapat
mengurangi risiko Retinopathy of
prematurity (ROP)

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot →bayi gasping, LJ 110 kali/menit, dan tonus otot
kurang, FiO2 60%, saturasi 88%. Bayi dipersiapkan untuk diintubasi.
saat usia 5 menit

Perawatan pasca Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,
resusitasi
GDS 90 g/dL

Temperature : dilakukan pengukuran suhu ulang;

36,6oC dengan plastik polietilen

Airway : VTP 25/5 FiO2 40%

Blood pressure : LJ 110 kali permenit, CRT <3 detik

Laboratory : septic workup

Emotional support : edukasi keluarga

278
Apakah bayi perlu Tidak, karena berdasarkan informasi kasus ini:
dilakukan terapi
hipotermia? • recall nilai Apgar 3/8/9 (skor Apgar >5 pada menit ke-10)
• bayi memerlukan bantuan ventilasi > 10 menit
• terdapat riwayat episode hipoksik perinatal, perlu dilakukan AGD tali pusat /
AGD arteri bayi untuk bukti terjadinya asfiksia
• usia gestasi < 35 minggu
• berat lahir <1800-2000 g
Bayi memiliki kecurigaan asfiksia namun terdapat kontraindikasi terapi
hipotermia, sehingga tidak dilakukan terapi hipotermia

3. Seorang bayi perempuan, 36 minggu, taksiran berat 2200 gram lahir secara SC cito
atas indikasi gawat janin. Ibu mempunyai komplikasi eklampsia, tekanan darah tidak
dapat diturunkan dengan obat, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne, hipotoni,
dan terlihat sangat pucat

Fasilitas ideal Fasilitas terbatas

60 detik pertama • Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-
ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah
dihangatkan sebelumnya.
• Keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi. (Penolong
dapat memasang plastik polietilen bila dirasa perlu karena suhu ruang resusitasi
sangat dingin).

• Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan).


• Posisikan bayi kembali

* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi

Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 70 kali/menit, hipotoni.

(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)

279
Penolong memberikan VTP dengan Penolong memberikan VTP dengan
konsentrasi oksigen 21% menggunakan konsentrasi oksigen 21% menggunakan
t-piece resuscitator dilengkapi dengan BMS tanpa sumber oksigen (hanya
blender oksigen eksternal atau menggunakan udara ruangan).
menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara
tekan, tanpa oksigen murni). Berikan PIP
dan PEEP, umumnya dimulai dari 30/5.
PIP dapat ditingkatkan sampai dada
mengembang, kemudian dapat juga
diturunkan bila dada terlalu
mengembang

Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan
saturasi oksigen secara akurat.

(dapat mempertimbangkan penggunaan monitor EKG bila tersedia)

Dada tidak mengembang, LJ tidak meningkat → periksa SR IBTA

(Periksa, lakukan koreksi, • Sungkup → telah melekat rapat


dan • Reposisi jalan napas → posisi kepala-leher telah dalam posisi menghidu/semi-
reevaluasi masingmasing ekstensi
langkah)

* Evaluasi : dada tidak mengembang

• Isap mulut dan hidung → tidak ada lendir (tidak dilakukan)


• Buka mulut → mulut telah terbuka

* Evaluasi : dada tidak mengembang

• Tekanan dinaikkan → PIP dinaikkan secara bertahap

* Evaluasi: dada mengembang, pemberian VTP dirasa telah adekuat,


namun bayi tetap apne, LJ 50 kali/menit, hipotoni.

• Penolong melakukan intubasi. Bila • Penolong dapat melakukan intubasi


intubasi sulit dilakukan, penolong atau memasang LMA (bila
dapat menggunakan LMA. VTP tersedia), kemudian melanjutkan
dilanjutkan bag to tube. VTP bag to tube.

280
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →belum bernapas, LJ 100 kali/menit,
hipotoni, saturasi 88%, FiO2 60%, dan bayi mulai kemerahan.
*setelah pemberian VTP
efektif selama
30 detik
Bayi dilakukan intubasi saat usia 2 menit dan belum bernapas
spontan sampai usia 10 menit.

Apakah bayi Ya, berdasarkan informasi kasus ini:


dicurigai asfiksia
dan memerlukan • recall nilai Apgar 2/4/5
terapi hipotermia? • bayi memerlukan bantuan ventilasi (terintubasi dan di-VTP
manual) > 10 menit
(setting: kamar • riwayat episode hipoksik perinatal ada (deselerasi DJJ), perlu
bersalin) dilakukan AGD tali pusat / AGD arteri bayi untuk bukti terjadinya asfiksia
• usia gestasi > 35 minggu
• berat lahir >1800-2000 g

Bayi tersangka asfiksia neonatorum dan memenuhi kriteria usia gestasi


serta berat lahir minimal untuk dilakukan terapi hipotermia.

Perawatan Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,


pascaresusitasi
GDS 62 g/dL

Temperature : dilakukan pengukuran suhu; 36,6oC mulai passive


cooling dengan mematikan lampu penghangat, membuka
topi bayi, melepas plastik (bila sempat dikenakan),

pasang temperatur rektal

Airway : VTP manual, FiO2 80%

Blood pressure : LJ 130 kali permenit, CRT <3 detik

Laboratory :septic workup

Emotional support :edukasi keluarga

Bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan khusus dengan inkubator transpor dalam
keadaan dingin

281
Setting: ruang • Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 7
perawatan

• pH tali pusat 6,9; defisit basa 16 dalam 60 menit pertama lahir.


• usia <6 jam
• konsultasikan rencana active cooling dengan konsultan neonatologi pada
pelayanan kesehatan level 3 dan orang tua bayi.
• mulai active cooling bila prosedur memungkinkan di rumah sakit atau rujuk
sesegera mungkin dalam keadaan dingin

4. Seorang bayi perempuan, 36 minggu, taksiran berat 2200 gram lahir secara SC cito
atas indikasi gawat janin. Ibu mengalami perdarahan antepartum berat karena
plasenta previa totalis, terdapat deselerasi. Saat lahir, bayi apne, hipotoni, dan
terlihat sangat pucat

Fasilitas ideal Fasilitas terbatas

60 detik pertama • Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-
ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah
dihangatkan sebelumnya.
• Keringkan muka bayi dengan kain kering yang hangat, pasang topi. (Penolong
dapat memasang plastik polietilen bila dirasa perlu karena suhu ruang resusitasi
sangat dingin).
• Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan).
• Posisikan bayi kembali

* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi

Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi megap-megap, LJ 70 kali/menit, hipotoni.

(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)

282
Penolong memberikan VTP dengan Penolong memberikan VTP dengan
konsentrasi oksigen 21% menggunakan konsentrasi oksigen 21% menggunakan
t-piece resuscitator dilengkapi dengan BMS tanpa sumber oksigen (hanya
blender oksigen eksternal atau menggunakan udara ruangan).
menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara
tekan, tanpa oksigen murni). Berikan PIP
dan PEEP, umumnya dimulai dari 30/5.
PIP dapat ditingkatkan sampai dada
mengembang, kemudian dapat juga
diturunkan bila dada terlalu
mengembang

Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan
saturasi oksigen secara akurat.

(dapat mempertimbangkan penggunaan monitor EKG bila tersedia)

Dada tidak mengembang, LJ tidak meningkat → periksa SR IBTA

(Periksa, lakukan koreksi, • Sungkup → telah melekat rapat


dan Reposisi jalan napas → posisi kepala-leher telah dalam posisi menghidu/semi-
reevaluasi masingmasing ekstensi
langkah)

* Evaluasi : dada tidak mengembang

• Isap mulut dan hidung → tidak ada lendir (tidak dilakukan)


• Buka mulut → mulut telah terbuka

* Evaluasi : dada tidak mengembang

• Tekanan dinaikkan → PIP dinaikkan menjadi secara bertahap

* Evaluasi: dada mengembang, pemberian VTP telah adekuat,


namun bayi tetap apne, LJ 50 kali/menit,
hipotoni.

283
• Penolong melakukan intubasi. Bila • Penolong dapat melakukan intubasi
intubasi sulit dilakukan, penolong atau memasang LMA (bila tersedia),
dapat menggunakan LMA. VTP kemudian melanjutkan VTP bag to
dilanjutkan bag to tube. tube.

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, LJ 54
kali/menit, hipotoni, saturasi 55%
*setelah pemberian VTP
efektif selama
30 detik

Penolong memberikan VTP bag to tubedengan konsentrasi oksigen 100% dan


kompresi dada dengan rasio perbandingan 3:1 secara adekuat

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →laju napas 40-50 kali/menit, LJ
90-100 kali/menit, nadi lemah, hipotoni, saturasi 75%, pucat.
*setelah pemberian VTP
dan kompresi dada
terkoordinasi
selama 60 detik

Penolong yang lain memasang akses vena umbilikal karena akses perifer umumnya lebih
sulit dilakukan.

Jalur umbilikal berhasil diakses. penolong memberikan cairan penambah


volume NaCl 0,9% (10 mL/kgBB) secara bolus selama 30 menit.

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi

→dada mengembang, LJ 120-130 kali/menit, isi dan kualitas nadi


kurang, saturasi 87%, bayi mulai kemerahan

→dilakukan bolus NaCl 0,9% ke-2 →LJ 110-120 kali/menit, isi dan kualitas
cukup, saturasi 90%, bayi kemerahan.

Apakah bayi Ya, berdasarkan informasi kasus ini:


dicurigai asfiksia
dan memerlukan • recall nilai Apgar 1/3/8
terapi hipotermia? • bayi memerlukan bantuan ventilasi (terintubasi dan di-VTP manual)
> 10 menit
(setting: kamar • riwayat episode hipoksik perinatal ada (deselerasi DJJ, perdarahan
bersalin) fetal-maternal karena plasenta previa totalis)
• perlu dilakukan AGD tali pusat / AGD arteri bayi untuk bukti terjadinya asfiksia
• usia gestasi > 35 minggu
• berat lahir >1800-2000 g

Bayi tersangka asfiksia neonatorum dan memenuhi kriteria usia gestasi


serta berat lahir minimal untuk dilakukan terapi hipotermia.

284
Perawatan Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,
pascaresusitasi
GDS 40 g/dL → dilakukan tata laksana sesuai algoritme

hipoglikemia

Temperature : dilakukan pengukuran suhu; 37,0oC mulai passivecooling


dengan mematikan lampu penghangat,
membuka topi bayi, melepas plastik (bila sempat
dikenakan), pasang temperatur rektal

Airway : VTP manual, FiO2 100%

Blood pressure : LJ 120 kali permenit, CRT <3 detik

Laboratory : septic workup

Emotional support:edukasi keluarga

Bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan khusus dengan inkubator transpor dalam
keadaan dingin

Setting: ruang Bayi kejang 3 kali → dilakukan tata laksana sesuai algoritme kejang
perawatan
• Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 14

• pH tali pusat 6,75; defisit basa 18 dalam 60 menit pertama lahir


• usia <6 jam

• konsultasikan rencana active cooling dengan konsultan neonatologi pada


pelayanan kesehatan level 3 dan orang tua bayi.
• mulai active cooling bila prosedur memungkinkan di rumah sakit atau rujuk
sesegera mungkin dalam keadaan dingin

285
5. Seorang bayi lelaki, 29 minggu, taksiran berat 1200 gram lahir secara SC cito atas
indikasi gawat janin (bradikardia menetap). Ibu merasakan gerakan janin sangat
jarang, ketuban hijau kental merembes, dan demam tinggi. Saat lahir bayi apne,
hipotoni, kulit pucat dengan sianosis perifer dan kehijauan.

Fasilitas ideal Fasilitas terbatas

60 detik pertama • Letakkan bayi di bawah penghangat, posisikan kepala-leher bayi menghidu/semi-
ekstensi dengan mengganjal bahu bayi menggunakan kain bedong lipat yang telah
dihangatkan sebelumnya.
• Pasang plastik polietilen sampai menutupi leher, keringkan muka bayi dengan kain
kering yang hangat, pasang topi. Pastikan plastik tidak terbuka (tidak ada aliran
udara bebas).
• Pengisapan mulut dan hidung bayi (bila diperlukan).
• Posisikan bayi kembali

* Secara tidak langsung, gerakan di atas dapat memberikan rangsang taktil pada bayi

Evaluasi usaha napas, LJ, tonus otot: bayi apne, LJ 40 kali/menit, hipotoni.

(Keputusan pemberian atau tidaknya VTP ditentukan dalam 60 detik pertama ini)

Penolong memberikan VTP dengan Penolong memberikan VTP dengan


konsentrasi oksigen 30% menggunakan t- konsentrasi oksigen 30% menggunakan
piece resuscitator dilengkapi dengan BMS dengan campuran oksigen dan
blender oksigen eksternal atau udara tekan.
menggunakan Mixsafe® (8 L/menit udara
tekan, tanpa oksigen murni). Berikan PIP
dan PEEP, umumnya dimulai dari 25/5. PIP
dapat ditingkatkan sampai dada
mengembang, kemudian dapat juga
diturunkan bila dada terlalu mengembang

Penolong lain secara bersamaan memasang pulse oxymetri untuk memantau LJ dan
saturasi oksigen secara akurat.

(dapat mempertimbangkan penggunaan monitor EKG bila tersedia)

Dada tidak mengembang, LJ tidak meningkat → periksa SR IBTA

286
(Periksa, lakukan koreksi, • Sungkup → telah melekat rapat
dan • Reposisi jalan napas → posisi kepala-leher telah dalam posisi menghidu/semi-
reevaluasi masingmasing ekstensi
langkah)

* Evaluasi : dada tidak mengembang

• Isap mulut dan hidung → tidak ada lendir (tidak dilakukan)


• Buka mulut → mulut telah terbuka

* Evaluasi : dada tidak mengembang

• Tekanan dinaikkan → PIP dinaikkan menjadi secara bertahap

* Evaluasi: dada mengembang, pemberian VTP telah adekuat,


namun bayi tetap apne, LJ 80 kali/menit, hipotoni.

• Penolong melakukan intubasi. Bila • Penolong dapat melakukan intubasi


intubasi sulit dilakukan, penolong atau memasang LMA (bila tersedia),
dapat menggunakan LMA. VTP kemudian melanjutkan VTP bag to
dilanjutkan bag to tube. tube.

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →tidak ada usaha napas, LJ 55
kali/menit, hipotoni, saturasi 60%
*setelah pemberian VTP
efektif selama
30 detik

Penolong memberikan VTP bag to tubedengan konsentrasi oksigen 100% dan kompresi
dada dengan rasio perbandingan 3:1 secara adekuat

Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, tidak ada
usaha napas, LJ 80-90 kali/menit, nadi lemah, hipotoni, saturasi
*setelah pemberian VTP 65%, pucat
dan kompresi dada
terkoordinasi selama 60
detik

Penolong tetap memberikan VTP secara adekuat, sedangkan kompresi dada dihentikan

Penolong yang lain memasang akses vena umbilikal karena akses perifer sulit dilakukan.

Jalur umbilikal berhasil diakses, penolong memberikan cairan penambah


volume NaCl 0,9% (10 mL/kgBB) secara bolus

287
Evaluasi Usaha napas, LJ, tonus otot, dan saturasi →dada mengembang, tidak ada
usaha napas, LJ 90-100 kali/menit, isi dan tegangan nadi kurang,
saturasi 85%, bayi masih pucat →dilakukan bolus NaCl 0,9% ke-2 →LJ 100
kali/menit, isi dan tegangan cukup, saturasi 90%, badan mulai
kemerahan, kaki tangan kebiruan

Apakah bayi berdasarkan informasi kasus ini:


dicurigai asfiksia
dan memerlukan • recall nilai Apgar 1/3/4
terapi hipotermia? • bayi memerlukan bantuan ventilasi (terintubasi dan di-VTP manual)
> 10 menit
(setting: kamar • riwayat episode hipoksik perinatal ada (bradikardia menetap)
bersalin) • usia gestasi < 35 minggu
• berat lahir < 1800-2000 g
Bayi tersangka asfiksia neonatorum namun tidak memenuhi kriteria usia gestasi
serta berat lahir minimal untuk dilakukan terapi hipotermia.

Perawatan Sugar & safe care : dilakukan pemeriksaan gula darah,


pascaresusitasi
GDS 42 g/dL → dilakukan tata laksana

sesuai algoritme hipoglikemia

Temperature : dilakukan pengukuran suhu; 36,5oC

(dengan plastik polietilen) tunda passive cooling namun


cegah hipertermia

Airway : VTP manual, FiO2 100%

Blood pressure : LJ 100 kali permenit, CRT <3 detik

Laboratory :septic workup

Emotional support :edukasi keluarga

Bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan khusus dengan inkubator transpor

288
Setting: ruang Bayi kejang 2 kali → dilakukan tata laksana sesuai algoritme kejang
perawatan
• Pemeriksaan neurologis: nilai Thompson 17

• pH tali pusat 6,7; defisit basa 18 dalam 60 menit pertama lahir (bila mampu laksana)
• usia <6 jam
• bayi asfiksia namun kontraindikasi terapi hipotermia
• konsultasikan pasien dengan konsultan neonatologi pada pelayanan kesehatan level
3 dan orang tua bayi mengenai kondisi bayi dan kontraindikasi terapi hipotermia.

LAMPIRAN 3. LAPORAN KASUS BAYI YANG TELAH MENJALANI


TERAPI HIPOTERMIA

1. Kasus 1 (fasilitas ideal dengan blanketrol®)

Seorang bayi lelaki lahir secara spontan dari persalinan fase aktif memanjang
(>1 jam) pada usia gestasi 38 minggu, taksiran berat 3100 gram. Faktor risiko
ibu, yaitu ketuban pecah dini >9 jam, keputihan, dan tersangka infeksi
saluran kemih. Saat lahir, bayi tidak menangis, LJ 80 kali/menit, tidak ada
tonus otot, tidak ada refleks, sianotik, dan pucat. Nilai Apgar 1/3/6/8. Bayi
diberikan VTP menggunakan t-piece resuscitator. Usia 30 menit, bayi
kejang selama 15 detik. Bayi didiagnosis neonatus cukup bulan (NCB), sesuai
masa kehamilan (SMK), EHI sedang, tersangka sepsis neonatus awitan dini
(SNAD). Setelah dilakukan perhitungan nilai Thompson, didapatkan nilai 11
pada usia 1 jam sehingga bayi diputuskan menjalani terapi hipotermia
dengan Blanketrol . Berikut ini merupakan follow up selama terapi.

Pemantauan Sebelum Fase terapi hipotermi (jam)


terapi

289
hipotermi <24 24-48 48-72

Suhu 35,4 33,8 34 33,6 33,1 33,4


LJ 144 100-110 100-106 115-144 102-137 98-118
Aritmia - - - - - -
MAP 43-81 39-43 49-83 48-65 47-56
(mmHg)
Inotropik - - Dopamin Dopamin Dopamin Dopamin
Hb; Hct 13,3; 40 12,2; 35,7 15,1; 12; 36
(g/dl; %) 44,3
Leukosit 16.000 5.200
(/µL)
Trombosit 127.000 128.000
(/µL)
Faktor PT:25,2 aPTT:77,3 PT:11,8
pembekuan aPTT:51,3
Glukosa 236 116 58 137 167 85
serum
Kalium 3,40 4,31 2,86 3,97 4,07 3,27
(mmol/L)
BUN/Cr 20/0,80
Sepsis Tersangka Tersangka Tersangka Tersangka Tersangka

Tidak ditemukan efek samping saat rewarming. Pemeriksaan USG kepala,


menunjukkan perdarahan intraventrikular grade I, namun tidak dilakukan
MRI. Bayi dipulangkan dari ruang perawatan dengan klinis baik. Pemantauan
perkembangan hanya dilakukan sampai usia 6 bulan karena loss to follow
up. Bayi mengalami keterlambatan motorik kasar (belum dapat tengkurap)
saat pemeriksaan terakhir di usia 6 bulan.

2. Kasus 2 (fasilitas tanpa matras pendingin)

Seorang bayi lelaki lahir secara SC atas indikasi ibu preeklampsia berat. Bayi
lahir pada usia gestasi 39 minggu, taksiran berat 2760 gram. Saat lahir, bayi
tidak menangis, tidak ada tonus otot, LJ 100 kali/menit, sianosis perifer, dan
ketuban sedikit bercampur mekonium. Nilai Apgar 3/4. Bayi diintubasi dan
dilakukan pengisapan endotrakeal diikuti dengan pemberian VTP dengan T-
piece resuscitator dan dilanjutkan dengan penggunaan ventilator
mekanik. Bayi didiagnosis neonatus cukup bulan (NCB), sesuai masa
kehamilan (SMK), EHI sedang, tersangka sepsis neonatus awitan dini (SNAD).
Setelah dilakukan perhitungan nilai Thompson, didapatkan nilai 7 pada usia 1
jam sehingga bayi diputuskan menjalani terapi hipotermia dengan sarung
tangan berisi air dingin. Berikut ini merupakan follow up selama terapi.

290
Pemantauan Sebelum Fase terapi hipotermi (jam)
terapi
hipotermi <24 24-48 48-72

Suhu 36 34 34 34
LJ 100 100 80 80
Aritmia -
MAP (mmHg) 46 54-63 52-72 54-72
Inotropik - - - -
Hb; Hct 17; 51,9 21,4; 63.2 163; 48,6
(g/dl; %)
Leukosit (/µL) 10.800 10.400 7.700
Trombosit 152.000 130.000 137.000
(/µL)
Faktor PT: 23,10 (K:22) aPTT:
pembekuan 41,30 (K:43,5)
Glukosa serum 111 67 71
Kalium
(mmol/L)
BUN/Cr
Sepsis
Tidak Sepsis ec Pseudomonas

Tidak terdapat efek samping saat rewarming. Gambaran EKG (24-48 jam)
sinus bradikardia dan USG kepala dalam batas normal. Bayi dipulangkan dari
ruang perawatan dengan klinis baik. Pada pemantauan perkembangan saat
usia 18 bulan diperlukan terapi okupasi dan terapi wicara. Masalah
perkembangan dapat teratasi dan saat usia 7 tahun anak dapat mengikuti
pelajaran di sekolah dengan bai

291
3. PNPK Hiperbilirubinemia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kematian neonatus masih menjadi masalah global penting. Setiap tahun diperkirakan 4
juta bayi meninggal dalam empat minggu pertama dengan 75% kematian terjadi dalam
7 hari pertama kehidupan.1 Terkait masalah ini, World Health Organization (WHO)
menetapkan penurunan angka kematian anak di bawah usia lima tahun (balita),
termasuk neonatus, sebagai salah satu sasaran Millenium Development Goals
(MDGs) yang dilanjutkan dengan Sustainable Developmental Goals (SDGs) dengan
fokus pada penyelesainan penyebab utama kematiannya. Harapan penurunan kematian
balita 67% pada tahun 2015 tidak tercapai,2 kematian bayi pada tahun 2015 masih
cukup tinggi yaitu sekitar 26,2 per 1000 kelahiran hidup. 3 Target SDGs ditahun 2030
adalah menurunnya angka kematian balita sebesar 25 per 1000 kelahiran hidup dan
neonatus 12 per 1000 kelahiran hidup. 4

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 tentang penyebab


kematian neonatal, kelainan hematologi / hiperbilirubinemia merupakan penyebab
nomor 5 morbiditas neonatal dengan prevalens sebesar 5,6% setelah gangguan napas,
prematuritas, sepsis, dan hipotermia.5 Data multisenter di Indonesia tentang
hiperbilirubinemia belum ada. Data terbaru prevalens hiperbilirubinemia berat
(>20mg/dL) adalah 7%, dengan hiperbilirubinemia ensefalopati akut sebesar 2. 6 Data
multisenter tersebut tidak representatif mewakli data seluruh Indonesia karena hanya
berasal dari delapan rumah sakit di kota besar (Jakarta, 6 rumah sakit; Kupang, satu
rumah sakit, dan Manado, satu rumah sakit).

Hiperbilirubinemia berat dengan hiperbilirubinemia ensefalopati atau kernikterus


merupakan morbiditas pada neonatus yang dapat dicegah. Keadaan ini sudah tidak
ditemukan lagi di negara maju,4, 7 karena adanya panduan hiperbilirubinemia yang
berlaku secara nasional.

1.2 Permasalahan
Pencegahan dan penanganan hiperbilirubinemia di negara berkembang termasuk
Indonesia memiliki berbagai kendala, yaitu bervariasinya panduan tatalaksana
hiperbilirubinemia di Indonesia. Ada panduan menurut Kementerian Kesehatan 8, WHO9,
dan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ikatan dokter anak Indonesia (IDAI) memiliki dua
panduan hiperbilirubinemia, yaitu dalam buku Ajar Neonatologi, 10 dan dalam Pedoman
pelayanan medis jilid II.11 Bervariasinya panduan yang ada menimbulkan tidak
konsistennya pelaksanaan panduan tersebut. 12 Salah satunya adalah persepsi pribadi
dalam melakukan tatalaksana hiperbilirubinemia tersebut. 13 Sebagai upaya mengatasi
berbagai kendala tersebut, disusun suatu standar pedoman nasional penanganan dan
pencegahan hiperbilirubinemia sebagai salah satu kebijakan kesehatan nasional di
Indonesia melalui buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
hiperbilirubinemia.

292
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Menyusun suatu PNPK untuk membantu menurunkan angka kejadian dan
komplikasi bayi di Indonesia akibat hiperbilirubinemia

1.3.2 Tujuan khusus


1. Membuat pernyataan secara sistematis yang berdasarkan bukti ilmiah
(scientific evidence) untuk membantu dokter, bidan, dan perawat dalam hal
pencegahan dan tata laksana hiperbilirubinemia pada neonatus.

4. Memberikan rekomendasi berbasis bukti bagi fasilitas pelayanan kesehatan


primer, sekunder, dan tersier serta penentu kebijakan untuk penyusunan
protokol setempat atau Panduan Praktik Klinis (PPK) dengan melakukan
adaptasi sesuai PNPK.

1.4 Sasaran
1. Semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam perawatan neonatus, meliputi
dokter, bidan, dan perawat. Panduan ini dapat diterapkan di fasilitas pelayanan
kesehatan primer, sekunder, dan tersier.
2. Penentu kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, serta
kelompok profesi terkait.

BAB II

METODOLOGI

2.1 Penelusuran kepustakaan


Penelusuran kepustakaan dilakukan melalui beberapa top level panduan
hiperbilirubinemia berdasarkan Appraisal of Guidelines for Research &
Evaluation II (AGREE II) terutama panduan nasional dari American Academy of
Pediatric (AAP)14, National Institute for Health and Care Excellence (NICE)15,
dan Dutch Guideline untuk hiperbilirubinemia.7 Panduan nasional ini juga dibuat
berdasarkan panduan-panduan nasional Indonesia yang sudah ada sebelumnya. 8-11

2.2 Kajian telaah kritis pustaka

Telaah kritis oleh pakar dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak diterapkan pada setiap
artikel yang diperoleh, meliputi: a. apakah studi tersebut sahih? b. apakah hasilnya
secara klinis penting? c. apakah dapat diterapkan dalam tata laksana pasien?

293
2.3 Peringkat bukti (level of evidence)

Hierarchy of evidence/Peringkat bukti ditentukan berdasarkan klasifikasi yang


dikeluarkan oleh Scottish Intercollegiate Guidelines

Network (SIGN) grading system


http://www.sign.ac.uk/guidelines/fulltext/50/annexoldb.html yang diadaptasi untuk
keperluan praktis. Berikut adalah peringkat bukti yang digunakan:

Ia. Meta-analisis atau telaah sistematik dari uji klinis acak terkontrol

Ib. Uji klinis acak terkontrol

IIa. Uji klinis tanpa randomisasi

IIb. Studi kohort atau kasus-kontrol

IIIa. Studi observasional potong lintang

IIIb. Serial kasus atau laporan kasus

IV. Konsensus dan pendapat ahli

2.4 Derajat rekomendasi

Berdasarkan peringkat bukti , rekomendasi/simpulan dibuat sebagai berikut:

Rekomendasi A berdasarkan bukti level Ia atau Ib

Rekomendasi B berdasarkan bukti level IIa atau IIb

Rekomendasi C berdasarkan bukti level IIIa, IIIb, atau IV

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Definisi hiperbilirubinemia

Istilah hiperbilirubinemia sering disalahartikan sebagai ikterus berat yang membutuhkan


terapi segera. Sesungguhnya, hiperbilirubinemia dan ikterus/jaundice merupakan
terminologi yang merujuk pada keadaan yang sama. 11

3.1.1 Ikterus neonatorum

294
Ikterus neonatorum merupakan keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-
7 mg/dL.16

3.1.2 Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana kadar bilirubin meningkat


dengan nilai normal yang tergantung kepada usia gestasi atau berat lahir serta usia
paska natal dalam jam dan secara klinis membutuhkan fototerapi atau tranfusi tukar.
Hiperbilirubinemia tidak dapat ditentukan dengan nilai ambang absolut. Terdapat suatu
normogram yang digunakan dalam penentuan kadar bilirubin yang memerlukan terapi.

Hiperbilirubinemia adalah keadaan transien yang sering ditemukan baik pada bayi cukup
bulan (50-70%) maupun bayi prematur (8090%). Sebagian besar hiperbilirubinemia
adalah fisiologis dan tidak membutuhkan terapi khusus, tetapi karena potensi toksik dari
bilirubin maka semua neonatus harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan
terjadinya hiperbilirubinemia berat.11

3.1.3 Ensefalopati bilirubin akut

Berdasarkan AAP, definisi ensefalopati bilirubin akut digunakan untuk menjabarkan


manifestasi akut dari toksisitas bilirubin yang ditemui dalam 1 minggu pertama setelah
lahir.14 Pada fase awal dari ensefalopati bilirubin akut, bayi dengan ikterus yang berat
akan memiliki refleks isap yang jelek, gerak tangis menjadi lemah, dan hipotonia. 17, 18
Fase intermediet ditandai dengan gangguan kesadaran, iritabel, dan hipertonia. Bayi ini
dapat mengalami demam dan high-pitched cry, bergantian dengan letargi dan
hipotonia. Manifestasi hipertonia adalah retrocollis (leher melengkung ke belakang)
dan opistotonus (badan melengkung ke belakang).19

Pada fase lanjut, kerusakan pada sistem saraf pusat kemungkinan bersifat
ireversibel, ditandai dengan retrocollisopistotonus yang jelas, high pitched cry,
tidak mampu menyusu, apne, demam, gangguan kesadaran hingga koma, kadang-
kadang mengalami kejang, dan berujung kepada kematian. 17, 18, 20 Pembagian kondisi akut
akibat hiperbilirubinemia diklasifikasikan dalam skor BIND-M (Bilirubin Induced
Neurological DysfunctionModified). 21 (lihat Lampiran 2)

3.1.4 Kernicterus Spectrum Disorder (KSD)


Berdasarkan AAP, istilah kernikterus digunakan untuk menjelaskan tentang gejala sisa yang
kronik dan permanen dari toksisitas bilirubin. 14 Pada kondisi kronik ensefalopati bilirubin,
bayi yang selamat dapat mengalami kondisi yang parah dari athetoid cerebral palsy,
gangguan pendengaran, displasia dentalenamel, upward gaze paralysis, dan pada
situasi yang lebih jarang, disabilitas intelektual atau lainnya. Sebagian besar bayi yang
mengalami kernikterus menunjukkan beberapa atau seluruh tanda yang disebutkan di atas
pada fase akut bilirubin ensefalopati.18, 20, 22 Namun begitu, kadang ada bayi yang
mengalami peningkatan kadar bilirubin yang sangat tinggi dan kemudian tanda kernikterus

295
hanya muncul sebagian (jika ada), mendahului tanda klinis ensefalopati bilirubin akut. 23
(lihat Lampiran 6)

3.2 Epidemiologi hiperbilirubinemia


Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2007, mengenai penyebab kematian neonatal
didapatkan bahwa ikterus menjadi penyebab nomor 5 morbiditas neonatal setelah
gangguan napas, prematuritas, sepsis dan hipotermia dengan prevalens 5,6%. 8
Penelitian terbaru di 8 rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa prevalens
hiperbilirubinemia berat adalah 7% dengan ensefalopati hiperbilirubinemia akut sebesar
2%.6

3.3 Faktor risiko hiperbilirubinemia

Panduan dari AAP dan Belanda menyebutkan adanya risiko tambahan yang terjadi
setelah bayi tersebut lahir yang menyebabkan bayi tersebut lebih mudah mengalami
toksisitas bilirubin (Tabel 1). Hal tersebut membuat bayi tersebut memiliki ambang
batas dimulainya fototerapi maupun transfusi tukar lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok yang lain (risiko tinggi vs risiko standar). Faktor risiko tersebut diantaranya. 7,
14

1. Inkompatibilitas ABO dan Rhesus


2. Hemolisis (G6PD defisiensi, sferositosis herediter, dan lainlain)
3. Asfiksia (Nilai Apgar 1 menit < 5)
4. Asidosis (pH tali pusat < 7,0)
5. Bayi tampak sakit dan kecurigaan infeksi
6. Hipoalbuminemia (kadar serum albumin < 3 mg/dL)

Tabel 1. Faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia14


Faktor risiko mayor • Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin
transkutaneus terletak pada zona risiko tinggi

• Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan

• Inkompabilitas golongan darah dengan tes antiglobulin


direk yang positif atau penyakit hemolitik lainnya
(defisiensi G6PD)
• Umur kehamilan 35-36 minggu

• Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi

• Sefalhematoma atau memar yang bermakna

• ASI eksklusif dengan cara perawatan yang tidak baik dan


kehilangan berat badan yang berlebihan

• Ras Asia Timur

296
Faktor risiko minor • Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin
transkutaneus terletak pada zona risiko sedang

• Usia kehamilan 37-38 minggu

• Sebelum pulang, bayi tampak kuning

• Riwayat anak sebelumnya kuning

• Bayi makrosomia dari ibu DM

• Umur ibu ≥ 25 tahun

• Jenis kelamin bayi laki-laki

Faktor yang • Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus


mengurangi risiko terletak pada daerah risiko rendah

• Umur kehamilan ≥ 41 minggu

• Bayi mendapat susu formula penuh

• Kulit hitam

• Bayi dipulangkan setelah 72 jam kelahiran

3.4 Patofisiologi hiperbilirubinemia

3.4.1 Pembentukan bilirubin

Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga yang merupakan bentuk akhir dari
pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi
yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme
oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ
lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang diekskresikan kedalam
paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase.24

297
Gambar 1. Metabolisme bilirubin24

Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin
melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik
dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh
mengekskresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin. 24 Pada bayi
baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme hemoglobin dari
eritrosit sirkulasi. Satu gram hemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin dan sisanya
(25%) disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan hemoglobin karena
eritropoesis yang tidak efektif didalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung
protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme
bebas.24, 25

Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang
dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan masa hidup eritrosi bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan
orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang
meningkat, dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi
enterohepatik).26

3.4.2 Transportasi Bilirubin

298
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan
ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas
ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah
dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini
merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke
sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf
pusat dan bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap obat-obatan yang bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid. Obat-obat
tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga
bersifat kompetitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat-
obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara menurunkan afinitas
albumin antara lain adalah digoksin, gentamisin, dan furosemid. 24

Pada bayi kurang bulan, ikatan bilirubin akan lebih lemah yang umumnya
merupakan komplikasi dari hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemia, asidosis, hipotermia,
hemolisis, dan septikemia. Hal tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan
jumlah bilirubin bebas dan berisiko pula untuk keadaan neurotoksisitas oleh bilirubin. 24

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda berdasarkan terkonjugasi
tidaknya bilirubin tersebut dan ada tidaknya ikatan dengan albumin, yaitu 10:

1. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin. Sebagian besar bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum ditemukan dalam bentuk ini.
2. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak terikat dengan albumin (bilirubin bebas).
Bilirubin dalam bentuk ini sangat berbahaya dan dapat menyebabkan
neurotoksisitas. Semakin tinggi kadar bilirubin bebas, maka semakin berisiko
mengalami neurotoksisitas bilirubin.
3. Bilirubin terkonjugasi yang tidak terikat dengan albumin. Bilirubin dalam bentuk ini
adalah bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal atau sistem bilier.

4. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin (α-bilirubin).

3.4.3 Intake bilirubin ke hati

Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin


terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel membran
yang berkaitan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitosolik
lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke sirkulasi, dari sintesis de
novo, resirkulasi enterohepatik, perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan
bilirubin oleh sel hati, dan konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak normal. 26

Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan


berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Penelitian menunjukkan hal ini
terjadi karena adanya defisiensi ligandin, tetapi hal itu tidak begitu penting dibandingkan
dengan defisiensi konjugasi bilirubin dalam menghambat transfer bilirubin dari darah ke
empedu selama 3-4 hari pertama kehidupan. Walaupun demikian, defisiensi ambilan ini
dapat menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi ringan pada minggu kedua
299
kehidupan saat konjugasi bilirubin hepatik mencapai kecepatan normal yang sama
dengan orang dewasa.26

3.4.4 Konjugasi bilirubin

Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam
air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridin difosfat glukuronosil
transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Substrat yang digunakan untuk transglukoronidase kanalikuler adalah bilirubin
monoglukoronida. Enzim ini akan memindahkan satu molekul asam glukoronida dari
satu molekul bilirubin monoglukoronida ke yang lain dan menghasilkan pembentukan
satu molekul bilirubin diglukoronida.26

Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikuli empedu. Sedangkan


satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk
rekonjugasi berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke
hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti halnya pada keadaan hemolisis
kronik yang berat dimana pigmen yang tertahan adalah bilirubin monoglukoronida. 26

Penelitian in vivo tentang enzim UDPG-T pada bayi baru lahir didapatkan
defisiensi aktivitas enzim, tetapi setelah 24 jam kehidupan, aktivitas enzim ini meningkat
melebihi bilirubin yang masuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin serum akan
menurun. Kapasitas total konjugasi akan sama dengan orang dewasa pada hari ke-4
kehidupan. Pada periode bayi baru lahir, konjugasi monoglukoronida merupakan
konjugat pigmen empedu yang lebih dominan. 26

3.4.5 Ekskresi bilirubin


Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan kedalam kandung
empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feses. Proses
ekskresi sendiri merupakan proses yang memerlukan energi. Setelah berada dalam usus
halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase
yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke
hati untuk dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik. 24, 26

Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dengan orang dewasa. Pada mukosa
usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat
menghidrolisa monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak
terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu, lumen usus halus
pada bayi baru lahir steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat diubah menjadi
sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat diabsorbsi). 24

Bayi baru lahir mempunyai konsentrasi bilriubin tak terkonjugasi yang relatif
tinggi didalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis
bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan
didalam mekonium. Pada bayi baru lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk
mengurangi bilurubin menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool
bilirubin usus dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa. Peningkatan
300
hidrolisis bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas
βglukoronidase mukosa yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi.
Pemberian substansi oral yang tidak larut seperti agar atau arang aktif yang dapat
mengikat bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin dalam tinja dan mengurangi kadar
bilirubin serum. Hal ini menggambarkan peran kontribusi sirkulasi enterohepatik pada
keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada bayi baru

lahir.24, 26

3.5 Diagnosis hiperbilirubinemia

3.5.1 Anamnesis11

Dalam anamnesis, diagnosis hiperbilirubinemia dapat digunakan untuk mencari faktor


risiko penyebab hiperbilirubinemia sehingga dapat diklasifikasikan apakah bayi yang
lahir ini termasuk dalam kategori risiko tinggi atau risiko rendah. Anamnesis tersebut
mencakup:

1. Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6-


fosfat dehidrogenase (G6PD)

2. Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan galaktosemia,


defisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert,
sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik

3. Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan


inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice

4. Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau


toksoplasma

5. Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan


bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada bayi
dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)

6. Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau


hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan
ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan
intrakranial.
7. Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk
berkepanjangan
8. Pemberian ASI. Harus dibedakan antara breasfeeding jaundice dan
breastmilk jaundice.
• Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh
kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada
waktu produksi ASI belum banyak. Untuk neonatus cukup bulan sesuai
301
masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini tidak perlu
dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat, glikogen, dan
cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72 jam.
Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya
hiperbilirubinemia, yang disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik
akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini tidak selalu disebabkan
oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan
hiperbilirubinemia fisiologis. Breastfeeding jaundice seringkali terjadi
pada bayi-bayi yang mendapatkan ASI eksklusif namun tidak diiringi dengan
manajemen laktasi yang baik. Bayi akan mengalami beberapa tanda sebagai
akibat kekurangan cairan, seperti demam, penurunan berat badan >10%,
dan berkurangnya produksi kencing. Frekuensi buang air besar dapat juga
berkurang pada kasus ini.
• Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu
(ASI). Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar
bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk
jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL pada
usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis dalam 48
jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali naik tetapi
umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi tampak sehat dengan
menunjukkan kemampuan minum yang baik, aktif, lincah, produksi ASI
cukup. Yang diiringi dengan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati
normal, dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk jaundice dapat
berulang (70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme sesungguhnya yang
menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui, tetapi diduga
timbul akibat terhambatnya uridine diphosphoglucuronic acid
glucuronyl transferase (UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron,
yaitu pregnane-3alpha 2-beta-diol yang ada di dalam ASI sebagian ibu.

3.5.2 Pemeriksaan fisik

Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna kulit setelah
dilakukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik dilakukan menggunakan
cahaya matahari. Ikterus dimulai dari kepala dan meluas secara sefalokaudal. 11
Walaupun demikian inspeksi visual tidak dapat dijadikan indikator yang andal untuk
memprediksi kadar bilirubin serum, terutama pada bayi dengan kulit yang gelap. 14
Pemeriksaan visual hanya dapat digunakan untuk melihat bahwa bayi tersebut
menderita ikterus atau menyingkirkan bahwa bayi tersebut sudah tidak menderita
ikterus. Pemeriksaan visual dianjurkan untuk dilakukan oleh semua orangtua yang
memiliki bayi baru lahir dan melihat progresivitasnya. 15 Petugas kesehatan seyogianya
302
tidak menggunakan perkiraan visual sebagai sarana dalam diagnosis hiperbilirubinemia
sebelum dilakukan pemeriksaan TSB.

Pada pemeriksaan fisik, hal-hal yang dapat dicari antara lain 11:

• Tanda-tanda prematuritas
• Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia
• Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan
• Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom, subgaleal hematom
• Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular
• Ptekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
• Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit
hati
• Omfalitis
• Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
• Tanda hipotiroid
• Perubahan warna tinja (lihat Lampiran 7)

3.5.3 Tatalaksana hiperbilirubinemia14

3.5.3.1 Pencegahan hiperbilirubinemia

3.5.3.1.1 Pencegahan primer

Memberi masukan kepada ibu dan memeriksa bayi apakah mereka mendapat ASI yang
cukup dengan beberapa pertanyaan:

1. Apakah bayi minum 8-12x per hari?


2. Apakah BAB > 3x per hari?
3. Apakah BAK > 6x per hari?
4. Apakah BB bayi tidak turun >10% dalam 5 hari pertama kehidupan?
5. Apakah bayi demam?

3.5.3.1.2 Pencegahan sekunder

Dilakukan penilaian secara berkesinambungan untuk risiko terjadinya hiperbilirubinemia


berat selama periode neonatal. Tata cara melakukan penilaian ini dimulai dengan
pemeriksaan secara visual untuk progresivitas hiperbilirubinemia secara sefalokaudal yang
diikuti dengan pemeriksaan TcB /TSB.

Pemeriksaan golongan darah

303
Melakukan komunikasi dengan dokter obstetrik dan ginekologi, bidan, atau perawat
untuk melakukan pemeriksaan ABO dan Rh(D) pada setiap wanita hamil. Apabila
golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan antibodi
direk (tes Coombs), golongan darah dan tipe Rh(D) darah tali pusat bayi. Apabila
golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan darah
dan tes Coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan
pengawasan, penilaian terhadap risiko sebelum keluar rumah sakit dan tindak lanjut
yang memadai.

Penilaian klinis
Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya
progresivitas ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus
dinilai saat memeriksa tanda vital bayi. Protokol untuk penilaian ikterus harus diketahui
oleh seluruh staf perawatan, jika sarana untuk pemeriksaan TcB dan/atau TSB tidak
tersedia di layanan kesehatan, harus dilakukan rujukan untuk pemeriksaan kadar
bilirubin (contoh alat TcB di Gambar 2).

Evaluasi laboratorium
TcB atau TSB diperiksa jika bayi tampak kuning di 24 jam pertama kehidupan. Kemudian
hasil diplot di bilinorm apakah masuk dalam indikasi fototerapi atau transfusi tukar.
Aplikasi bilinorm dapat diunduh di Apps store atau Playstore. Pemeriksaan TcB
dan/atau TSB harus dilakukan jika bayi tampak ikterus. Jika terdapat alat TcB, maka
pengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam untuk melihat progresivitas ikterus
berdasarkan usia postnatal. Tentukan pula ambang batas fototerapi setiap harinya. Jika
kadar TcB yang terukur ± 2-3 mg/dL atau 70% dari ambang batas fototerapi, maka perlu
dilakukan pemeriksaan TSB.27

Pemeriksaan perkiraan secara visual tidak dapat digunakan untuk menentukan


derajat ikterus, terutama pada bayi dengan kulit gelap.

Gambar 2. TcB meter (JM 105


Dräger)

304
Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam (Gambar
3).

Gambar 3. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi
dengan usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia
kehamilan 35-36 minggu dengan berat lahir ≥ 2500 gram
berdasarkan kadar bilirubin serum sesuai dengan usia (dalam jam) 28

Penyebab ikterus
Melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mencari kemungkinan penyebab ikterus
pada bayi yang menerima fototerapi atau TSB meningkat cepat dan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bayi yang mengalami
peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan analisis dan kultur urin.
Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila
terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bayi sakit dan ikterus
pada umur lebih 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk atau
bilirubin konjugasi untuk mengidentifikasi adanya kolestasis. Selain itu, dapat dilakukan
pemeriksaan tiroid dan galaktosemia. Penyebab dari peningkatan bilirubin direk dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan FT4, TSH, dan screening inborn error

305
metabolism (paper test). Apabila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi
meningkat, dilakukan evaluasi tambahan untuk mencari penyebab kolestasis.

Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phospatase dehydrogenase


(G6PD) direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi dengan riwayat
keluarga atau etnis/asal geografis yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD
atau pada bayi dengan respon terhadap fototerapi yang buruk.

Tabel 2. Evaluasi laboratorium pada bayi ikterus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu14
Indikasi Penilaian
Ikterus pada 24 jam pertama Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Ikterus tampak berlebihan untuk usia bayi Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Bayi menerima fototerapi atau kadar TSB Lakukan pemeriksaan golongan darah dan
meningkat secara cepat (melewati tes Coombs
persentil) dan tidak bisa dijelaskan Lakukan pemeriksaan Complete blood
penyebabnya dari anamnesa ataupun count dan pemeriksaan darah tepi
pemeriksaan fisik Jika tersedia fasilitas, lakukan
pemeriksaan hitung retikulosit, dan G6PD.

306
Kadar TSB mencapai batas untuk Jika tersedia fasilitas, Lakukan
dilakukannya transfusi tukar atau tidak pemeriksaan hitung retikulosit, G6PD,
berespon terhadap fototerapi
dan albumin.
Lakukan pemeriksaan urinalisis dan
kultur urine. Evaluasi sepsis jika ada
indikasi berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan fisik

Ikterus tampak saat atau setelah usia 3 Lakukan pemeriksaan kadar bilirubin total
minggu, atau bayi sakit dan direk (atau terkonjugasi)
Jika kadar bilirubin direk meningkat,
lakukan evaluasi penyebab kolestasis
Lakukan pemeriksaan skrining tiroid dan
galaktosemia, dan evaluasi untuk tanda
dan gejala hipotiroid

Pemeriksaan klinis sebelum pulang dari rumah sakit

Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap risiko
berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua perawatan harus menerapkan
protokol untuk menilai risiko ini. Penilaian ini sangat penting pada bayi yang pulang
sebelum umur 72 jam. Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus diperiksa TcB
atau TSB dan diplot di kurva yang sesuai. Untuk yang belum masuk dalam kriteria
fototerapi, disarankan untuk kontrol menemui petugas kesehatan maksimal 2x24 jam.

Ada dua pilihan rekomendasi klinis yaitu :

• Pengukuran kadar TcB atau TSB sebelum keluar rumah sakit, secara individual atau
kombinasi untuk pengukuran yang sistematis terhadap risiko.
• Penilaian faktor risiko klinis.

Kebijakan dan prosedur rumah sakit


Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua, serta memperagakan
bagaimana cara melakukan pemeriksaan ikterus dan evaluasi perkembangannya.

Cara memeriksa ikterus adalah:

• Memucatkan kulit bayi dengan cara menarik kulit pada bagian yang diperiksa ke
arah samping kanan dan kiri dengan menggunakan kedua ibu jari pada bagian dahi,
dada, perut, kaki, dan telapak kaki.
• Evaluasi ikterus dan perkembangannya dilakukan setiap hari pada pencahayaan
yang cukup dan natural menggunakan sinar matahari.
• Evaluasi perkembangan ikterus adalah sefalokaudal.

307
• Jika orangtua mendapati kuning pada bagian telapak kaki dikategorikan sebagai
ikterus yang berat dan harus segera menemui petugas kesehatan (Lampiran 8). 15

Tindak lanjut
Semua bayi harus diperiksan oleh petugas kesehatan profesional yang berkualitas beberapa
hari setelah keluar rumah sakit untuk menilai keadaan bayi dan ada / tidak kuning. Waktu
dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan berdasarkan lamanya perawatan, ada
atau tidaknya faktor risiko untuk hiperbilirubinemia dan risiko masalah neonatal lainnya.
Penilaian yang harus dilakukan pada saat tindak lanjut berikutnya adalah:

• Perkembangan ikterus
• Kecukupan ASI
• Ada tidaknya dehidrasi
• Ada tidaknya faktor risiko masalah neonatal yang lain

Jadwal kunjungan ulang


Untuk bayi yang pulang dari rumah sakit, kunjungan tindak lanjut dilakukan dalam kurun
waktu paling tidak 2-3 hari setelah bayi dipulangkan. Hal ini berguna untuk melihat
progresivitas ikterus dan kadar puncak bilirubin serum yang sering terlihat pada usia 46
hari setelah kelahiran.

Tabel 3. Jadwal kunjungan ulang


Bayi keluar RS Waktu kunjungan ulang pasca
keluar rumah sakit
Sebelum umur 24 jam 72 jam
Antara umur 24 dan 47.9 jam 72 - 96 jam
Antara umur 48 dan 72 jam 96 - 120 jam

3.5.3.2 Fototerapi

Tidak ada metode standar dalam memberikan fototerapi. Unit fototerapi memiliki
variasi yang sangat banyak, termasuk juga jenis lampu yang digunakan. Efektivitas
fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin bergantung pada beberapa hal yang dapat
dimodifikasi diantaranya adalah: jarak sumber cahaya dengan bayi, intensitas lampu
fototerapi, jenis lampu fototerapi yang digunakan, luas permukaan paparan, serta
kondisi klinis pasien sendiri.29

a. Konsep fototerapi
Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara mengkonversi molekul bilirubin
menjadi produk fotoisomer dan produk oksidasi yang kurang lipofilik dan tidak
membutuhkan konjugasi hati untuk bisa di eksresikan. Fotoisomer sebagian besar di

308
ekskresikan dalam empedu dan produk oksidasi sebagian besar dieksresikan dalam
urin.30 Fototerapi akan mengekspos kulit bayi melalui cahaya dengan panjang
gelombang tertentu, dimana mampu menurunkan total bilirubin dengan beberapa
mekanisme berikut ini:31

- Pembentukan isomer menjadi lumirubin, fototerapi merubah bilirubin


menjadi lumirubin melalui struktur isomerase yang bersifat irreversible.
Lumirubin bersifat lebih larut daripada bilirubin lalu di ekskresikan menuju
empedu dan urin.
- Fotoisomer kurang toksik daripada isomer bilirubin, fototerapi merubah
isomer bilirubin 4Z, 15Z menjadi isomer 4Z, 15E dimana lebih polar dan
kurang toksik dibandingkan 4Z, 15Z. Seperti lumirubin, isomer 4Z, 15E
dieksresikan kedalam empedu tanpa dikonjugasi. Tidak seperti struktur
isomerase menjadi lumirubin, fotoisomer bersifat reversibel, tapi kliren
isomer 4Z, 15E sangat pelan, dan fotoisomer menjadi reversibel. Beberapa
isomer 4Z,15E dalam empedu dikonversi kembali menjadi 4Z,15Z, hasilnya
pada alur ini sedikit berefek terhadap bilirubin total.
- Foto-oksidasi molekul polar. Reaksi Foto-oksidasi menjadi bilirubin tidak
berwarna, komponen polar diekskresikan terutama dalam urin.

Gambar 7. Konsep fototerapi

b. Pengukuran kadar fototerapi

309
Tabel 5 menunjukkan cara memodifikasi dalam upaya meningkatkan intensitas
fototerapi. Secara klinis praktis, istilah untuk kekuatan radiasi kita sebut dengan
intensitas yang merupakan spektrum radiasi yang dapat diukur dengan menggunakan
alat yang disebut intensity meter. Intensity meter ini menggunakan panjang
gelombang tertentu sesuai dengan lampu fototerapi yang digunakan. Perlu diperhatikan
bahwa lebar gelombang dari spektrum emisi lampu fototerapi akan memengaruhi
pengukuran intensitas.

Hingga saat ini, tidak ada metode standart dalam mengukur dosis fototerapi,
sehingga akan sangat sulit untuk membandingkan penelitian tentang efikasi dari
fototerapi dan data pabrik untuk intensitas yang dihasilkan jika menggunakan alat yang
berbeda. Pengukuran intensitas dengan alat yang berbeda dapat mengakibatkan
perbedaan yang signifikan.32 Pengukuran di bawah lampu dengan spektrum emisi yang
terfokus akan memberikan perbedaan yang signifikan antara satu radiometer dengan
radiometer lainnya, karena respons spektrum dari intensity meter dari pabrikan satu
dengan lainnya berbeda. Lampu dengan spektrum luas (fluoresen dan haloganjjk)
memiliki variasi yang lebih sedikit pada bacaan intensity meter. Pabrik pembuat
sistem fototerapi umumnya merekomendasikan intensity meter yang spesifik untuk
digunakan dalam mengukur kadar fototerapi ketika sistem mereka digunakan (salah satu
contoh lampu fototerapi yang 1 paket dengan alat intensity meter dapat dilihat pada
Gambar 8).

Gambar 8. Paket lampu fototerapi dengan intensity meter yang berasal dari pabrik yang
sama (Bililux Dräger)
310
Penting juga untuk diketahui bahwa pengukuran radiasi akan sangat bervariasi
tergantung pada tempat dimana pengukuran tersebut dilakukan. Pengukuran radiasi di
bawah pusat sumber lampu dapat menunjukkan hasil dua kali lipat lebih tinggi
dibandingkan pengukuran dari perifer, dan gradasi penurunan di perifer juga bervariasi
antara unit fototerapi yang berbeda-beda. Idealnya radiasi harus diukur pada beberapa
lokasi berbeda dibawah area yang disinari oleh unit fototerapi dan pengukuran tersebut
dirata-rata. Internatinal Electrotechnical
Committee mendifinisikan “luas permukaan area efektif” sebagai luas
permukaan yang ditujukan untuk terapi yang disinari oleh lampu fototerapi. Luas
permukaan yang digunakan sebagai standar adalah seluas 60x30cm.

Berikut adalah silhoulette model yang digunakan oleh ahli bilirubin dari
Belanda dengan mengukur 5 titik yang merepresentasikan bagian pusat dan perifer jika
fototerapi dengan tipe overhead digunakan. Namun jika fototerapi dengan tipe fiber
optic (fototerapi tipe underneath) digunakan, titik yang diukur berjumlah 3 (Gambar
9).27

Gambar 9. Silhouette model untuk titik pengukuran intensitas fototerapi.


Keterangan : a) fototerapi tipe overhead; b) fototerapi tipe underneath27

Pengukuran dosis fototerapi secara rutin


Meskipun tidak perlu untuk mengukur spektrum radiasi sebelum tiap kali menggunakan
fototerapi, namun penting untuk dilakukan pemeriksaan secara periodik terhadap unit
fototerapi (1x/bulan) untuk memastikan bahwa radiasi yang diberikan sudah memenuhi
kadar terapeutik. Penelitian pada 17 rumah sakit di Jawa menunjukkan bahwa 6 dari 17
rumah sakit memiliki intensitas lampu fototerapi dibawah nilai terapeutik
(10-12μW/cm2 per nm) dan 9 dari 17 rumah sakit tidak memiliki kapasitas untuk
melakukan intensif fototerapi (>30μW/cm2 per nm). Hal ini tentu sangat

311
berbahaya jika rumah sakit tidak memiliki alat intensity meter untuk mengetahui
kekuatan lampu fototerapi yang dimiliki (Gambar10). 33

Gambar 10. Kekuatan radiasi alat fototerapi pada 17 rumah sakit di Indonesia

Hubungan antara intensitas fototerapi dan respons penurunan kadar


bilirubin
Ada hubungan langsung antara intensitas fototerapi pada level tertentu dengan
penurunan kadar bilirubin (Gambar 11). 34 Namun ada titik jenuh dimana peningkatan
intensitas tidak meningkatkan kecepatan penurunan kadar bilirubin. Hingga saat ini titik
aman intensitas suatu lampu fototerapi masih belum diketahui. Masih menjadi
perdebatan apakah intensitas yang lebih tinggi (>50 μW/cm2 per nm) diperlukan dalam
proses fototerapi. Penelitian pada hewan coba mendapatkan hasil bahwa penggunaan
fototerapi intensitas yang tinggi (>30 μW/cm2 per nm) ditengarai menyebabkan
mutasi di tingkat DNA.35

Bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia karena penyebab non-hemolisis


dipaparkan pada special blue lamp (Phillips TL 52/20W) dengan intensitas yang
berbeda. Spektrum radiasi diukur sebagai rerata hasil dari pemeriksaan di kepala, badan,
dan lutut.34

312
Gambar 11. Hubungan antara rerata spektrum radiasi dengan penurunan konsentrasi bilirubin
serum34

Hubungan jarak bayi terhadap sumber cahaya dengan peningkatan


intensitas radiasi

Gambar 12 menunjukkan bahwa ketika jarak antara sumber cahaya dengan bayi
berkurang, terdapat peningkatan yang sesuai pada spektrum radiasi. 33 Gambar 12 juga
menunjukkan perbedaan yang dramatis pada radiasi yang dihasilkan dalam pita 425-475
nm oleh berbagai tipe tabung fluoresen.

Gambar 12. Jarak antara sumber cahaya dengan bayi berkorelasi terbalik 33

Berdasarkan Gambar 12, klinisi dapat meningkatkan intensitas lampu fototerapi


dengan cara mendekatkan jarak sumber cahaya dengan bayi. Beberapa lampu fototerapi

313
konvensional (menggunakan tabung fluoresen dan halogen) harus waspada terhadap
efek samping hipertermia jika ingin mendekatkan jarak sumber cahaya. Sangat
disarankan meletakkan sumber cahaya sesuai dengan panduan yang diberikan oleh
pabrik. AAP merekomendasikan jarak yang standar antara sumber cahaya dengan bayi
sejauh 40 cm. Penelitian Mahendra dkk mendapatkan bahwa praktik di lapangan jarak
fototerapi dengan tabung fluoresen masih cukup aman pada kisaran 20 cm. Namun, jika
menggunakan light-emitting diodes (LED), dapat menggunakan jarak yang lebih dekat
lagi. Penelitian mendapatkan bahwa pada jarak 17 cm masih aman. 33

Fototerapi intensif
Fototerapi intensif diartikan sebagai penggunaan radiasi tingkat tinggi pada pita 430-
490 nm (umumnya 30 μW/cm2 per nm atau lebih) yang dipancarkan sebanyak
mungkin pada permukaan tubuh bayi.

Menggunakan fototerapi secara efektif

• Sumber cahaya
Spektrum cahaya yang dipancarkan oleh unit fototerapi tergantung dari tipe
sumber cahaya dan filter yang digunakan. Unit fototerapi yang biasanya
digunakan lampu daylight, cool white, blue, atau special blue
fluorescent tube. Unit yang lain menggunakan lampu tungsten-halogen
pada konfigurasi yang berbeda, antara free-standing atau sebagai bagian dari
alat pemanas bercahaya. Baru-baru ini diperkenalkan sistem yang menggunakan
galium nitride LED dengan intensitas tinggi.36 Sistem fiber optic
memancarkan cahaya dari lampu berintensitas tinggi ke selimut yang memiliki
fiber optic.

Sebagian besar dari alat ini memancarkan luaran yang cukup pada
daerah biru-hijau dari spektrum kasat mata untuk bisa efektif sebagai
penggunaan fototerapi standar. Namun begitu, ketika kadar bilirubin mencapai
rentangan dimana fototerapi intensif direkomendasikan, efisiensi yang maksimal
harus ditemukan. Sumber cahaya yang paling efektif saat ini dan tersedia secara
komersial untuk fototerapi adalah yang menggunakan special blue
fluorescent tube37 atau lampu LED yang didesain secara khusus (Natus Inc,
San Carlos, CA).36 Special blue fluorescent tube diberi label F20T12/BB
(General Electric, Westinghouse, Sylvania) atau TL52/20W (phillips, Eindhoven,
The Netherlands). Penting untuk diketahui bahwa special blue tube
memberikan radiasi yang lebih hebat dibanding tabung biru biasa (yang diberi
label F20T12/B) (Gambar 11). Special blue tube merupakan yang paling
efektif karena mampu menyediakan cahaya yang sebagian besar dalam
spektrum warna biru-hijau.

Pada panjang gelombang ini, cahaya dengan mudah menembus kulit


dan diabsorbsi secara maksimal oleh bilirubin. 37 Terdapat suatu kesalah-
pahaman bahwa tabung fluoresen untuk fototerapi menggunakan sinar
ultraviolet. Padahal, tabung fluoresen hanya memancarkan sedikit sinar
ultraviolet dengan panjang gelombang yang lebih panjang dibandingkan dengan
sinar ultraviolet yang menyebabkan eritema. Sebagai tambahan, hampir semua
sinar ultraviolet diabsorbsi oleh dinding kaca pada tabung fluoresen.

314
• Jarak dari cahaya
Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 12, jarak antara sumber cahaya dengan
bayi memiliki dampak yang siginifikan terhadap peningkatan intensitas. Untuk
mengambil keuntungan dari efek ini, tabung fluoresen harus diletakkan sedekat
mungkin dengan bayi. Untuk melakukan hal ini, bayi harus diletakkan di
keranjang bayi, bukan di inkubator, karena atap dari inkubator mencegah
cahaya untuk dibawa mendekat ke bayi. Pada keranjang bayi, sangat mungkin
untuk membawa tabung fluoresen dalam jarak 20 cm dari bayi. Bayi cukup
bulan yang tidak tertutupi pakaian tidak menjadi terlalu panas di bawah lampu
tersebut. Perlu diperhatikan bahwa lampu fototerapi halogen tidak bisa
diposisikan lebih dekat pada bayi dibandingkan yang direkomendasikan
produsen tanpa menimbulkan risiko terbakar. Ketika lampu halogen digunakan,
rekomendasi dari produsen harus diikuti. Reflektor, sumber cahaya, dan filter
cahaya yang transparan (jika ada) harus selalu dijaga bersih.

• Luas permukaan
Sejumlah sistem telah dikembangkan untuk menyediakan fototerapi diatas dan
dibawah bayi.38, 39 Salah satu sistem yang tersedia secara komersial adalah
Billisphere. Unit ini menyediakan special blue fluorescent tube diatas dan
dibawah bayi. Alternatif lain adalah meletakkan bantalan serat optik dibawah
bayi dengan lampu fototerapi diatasnya. Satu kerugian dari bantalan fiber optik
adalah bahwa alat ini hanya melingkupi luas permukaan yang relatif kecil
sehingga 2-3 bantalan mungkin diperlukan. 40 Ketika kadar bilirubin sangat tinggi
dan harus diturunkan secepatnya, sangat penting untuk memaparkan sebanyak
mungkin permukaan tubuh bayi ke fototerapi.

Pada situasi ini, tambahan paparan luas permukaan dapat dicapai


dengan melapisi sisi keranjang menggunakan aluminium foil atau korden
putih.41, 42 Pada sebagian besar kondisi, tidak diperlukan untuk menyingkirkan
popok bayi, namun ketika kadar bilirubin mencapai rentang kadar transfusi
tukar, popok bayi harus disingkirkan hingga ada bukti yang jelas tentang
penurunan kadar bilirubin yang signifikan. Pada saat ini, sudah tersedia alat
fototerapi yang dapat memberikan fototerapi pada bagian depan dan belakang
tubuh bayi secara bersamaan tanpa perlu perubahan posisi. Lampu fototerapi
dibuat sirkuler mengelilingi tubuh bayi. Namun alat fototerapi ini terbatas pada
bayi besar. Untuk bayi yang kecil, berisiko terjadi hipotermia. Untuk bayi yang
kecil dan masih perlu berada dalam inkubator, dapat diberikan fototerapi
overhead yang dikombinasi dengan underneath/fiber optic (Gambar 13).

Penelitian dengan menggunakan kain satin putih pada 42 bayi di RSCM


dengan menggunakan fototerapi tunggal didapatkan penurunan kadar bilirubin
pada 6 jam dan 12 jam setelah fototerapi tanpa efek samping yang bermakna
untuk kejadian hipertermia dibandingkan dengan fototerapi tunggal tanpa
pemakaian satin putih.43 Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa
penggunaan kain penutup memiliki efek yang berbeda-beda tergantung pada
warna dan lampu fototerapi yang digunakan terhadap intensitas yang dihasilkan.
Penggunaan kain penutup yang berwarna gelap dapat menurunkan intensitas
hingga 6 μW/cm2 per nm. Pada penggunaan kain penutup yang berwarna
terang, pada kondisi dimana lampu fototerapi diberikan dengan intensitas < 25
μW/cm2 per nm, maka peningkatan intensitas ± 2 μW/cm2 per nm. Berbeda
halnya jika menggunakan lampu fototerapi dengan intensitas > 25

315
μW/cm2 per nm, penggunaan kain berwarna putih memberikan peningkatan
intensitas yang bervariasi hingga mencapai 20 μW/cm2 per nm yang
sebetulnya mungkin tidak diperlukan dan dapat membahayakan bayi. 33

Gambar 13 a. Jenis alat fototerapi bilisphere (sirkuler)

Gambar 13 b. Biliblanket (fototerapi underneath/fiber optic)

Penurunan kadar bilirubin


Pada tingkatan dimana kadar bilirubin menurun tergantung pada faktor yang tertulis
pada Tabel 5, dan respon yang berbeda dapat diduga tergantung dari keadaan klinis.
Ketika kadar bilirubin sangatlah tinggi (lebih dari 30 mg/dL [513μmol/L]),
dan fototerapi intensif dilakukan, penurunan sebanyak 10 mg/dL
(171μmol/L) dapat terjadi dalam beberapa jam44, dan penurunan setidaknya 0,51
mg/dL tiap jam dapat diharapkan terjadi pada 4-8 jam pertama. 45 Rata-rata, bayi dengan
316
usia gestasi lebih dari 35 minggu yang masuk kembali untuk fototerapi, fototerapi
intensif dapat menghasilkan penurunan hingga 30-40% dari kadar bilirubin awal dalam
24 jam setelah inisiasi fototerapi.46 Penurunan yang paling signifikan terjadi pada 4-6
jam pertama. Dengan sistem fototerapi standar, penurunan 6-20% dari kadar bilirubin
awal dapat diharapkan untuk terjadi pada 24 jam pertama. 47, 48

Fototerapi intermiten dan terus menerus

Beberapa studi klinis yang membandingkan antara fototerapi intermiten dengan


fototerapi terus menerus menunjukkan hasil yang bertentangan. 49-51 Karena semua
paparan cahaya meningkatan ekskresi bilirubin (dibandingkan tanpa paparan cahaya),
tidak ada penjelasan ilmiah yang masuk akal untuk menggunakan fototerapi secara
intermiten. Namun pada sebagian besar kondisi, fototerapi tidak perlu terus menerus.
Fototerapi dapat diinterupsi ketika diberi ASI atau kunjungan orangtua yang singkat.
Penilaian individu harus dilatih. Jika kadar bilirubin bayi mencapai zona transfusi tukar
(Gambar 5), fototerapi harus dilakukan terus menerus hingga terjadi penurunan kadar
serum bilirubin yang memuaskan atau transfusi tukar dimulai.

Hidrasi
Tidak ada bukti bahwa pemberian cairan yang berlebihan dapat memengaruhi konsentrasi
bilirubin serum. Beberapa bayi yang dirawat karena kadar bilirubin yang tinggi juga
mengalami dehidrasi ringan dan mungkin membutuhkan pemberian cairan tambahan untuk
mengoreksi status dehidrasinya. Karena bayi-bayi ini hampir semuanya diberi ASI, sehingga
cairan terbaik untuk digunakan pada kondisi ini adalah milk-based formula, karena akan
menghambat sirkulasi enterohepatik dari bilirubin dan dapat membantu menurunkan kadar
bilirubin serum. Hasil fotodegradasi bilirubin akan menghasilkan bilirubin yang larut dalam
air yang mudah diekskresikan melalui urin dan empedu. 52 Oleh karena itu, hidrasi yang
cukup dapat membantu meningkatkan efikasi fototerapi. Kecuali ada bukti dehidrasi,
pemberian rutin cairan intravena atau suplementasi lainnya (seperti air dekstrosa) pada
bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang menerima fototerapi tidak diperlukan.

Penghentian fototerapi
Tidak ada standar untuk menghentikan pemberian fototerapi. Kadar TSB untuk
menghentikan fototerapi tergantung pada usia dimana fototerapi dimulai dan penyebab
hiperbilirubinemia.46 Untuk bayi yang dirawat kembali setelah rawat inap kelahiran
mereka (biasanya pada kadar TSB 18 mg/dL [308 μmol/L] atau lebih),
fototerapi dapat dihentikan ketika kadar bilirubin serum turun dibawah 13-14 mg/dL
(239 μmol/L). Pemulangan dari rumah sakit tidak perlu ditunda untuk
mengobservasi bayi yang kembali rebound.46, 53, 54 Jika fototerapi digunakan untuk bayi
dengan penyakit hemolitik atau dimulai lebih awal dan dihentikan sebelum bayi berusia
3-4 hari, pengukuran bilirurin lanjutan dalam waktu 24 jam setelah kepulangan
direkomendasikan.46 Untuk bayi yang masuk kembali dengan hiperbilirubinemia dan
kemudian dipulangkan, kejadian rebound sangat jarang, namun pengukuran TSB
ulangan atau tindak lanjut dalam 24 jam setelah kepulangan merupakan pilihan klinis. 46

317
Paparan sinar matahari

Paparan sinar matahari mampu memberikan radiasi 425-475 nm, dimana telah
diketahui mampu menurunkan bilirubin total, tapi paparan sinar matahari secara
langsung tidak direkomendasikan untuk mencegah hiperbilirubinemia yang berat. Di
negara dengan fasilitas terbatas, pilihan untuk menggunakan perangkat fototerapi
dengan gelombang pendek (transmisi sinar biru atau hijau) sebagai sumber cahaya
adalah dengan penggunaan sinar matahari yang difiltrasi (filtered sunlight) yang
secara selektif memungkinkan tranmisi cahaya biru dan mengurangi paparan radiasi
sinar UV.

Sebuah penelitian observasional di Nigeria menunjukkan bahwa filtered


sunlight dengan menggunakan window tinting films (dimana mampu mengalihkan
sejumlah UV yang berbahaya dan infrared) sehingga metode ini aman dan efektif
mengurangi bilirubin total (Gambar 14). Penelitian berikutnya masih di lokasi yang sama,
menunjukkan bahwa fototerapi filtered sunlight tidak lebih inferior dibandingkan
dengan fototerapi konvensional sebagai terapi hiperbilirubinemia pada bayi aterm dan
late preterm. Penelitian ini melibatkan 447 bayi dengan hiperbilirubinemia yang secara
acak dikelompokkan kedalam filtered sunlight minimal 5 jam pada siang hari, dan
fototerapi konvensional sepanjang malam. Hasilnya adalah tidak ada beda yang
signifikan dalam menurunkan bilirubin total. 55 Efek samping dari penggunaan filtered
sunlight adalah hipertermia, hipotermia, dehidrasi, dan risiko terbakar sinar
matahari.31

Gambar 14. Filtered sunlight 55

m. Terapi lain untuk fototerapi

• Ursodeoxycholic acid (UDCA)


UDCA dapat meningkatkan aliran empedu dan mengurangi kadar TSB. UDCA
dipakai sebagai terapi kolestasis. Masih terbatasnya data tentang keamanan dan
efikasi UDCA sebagai terapi dibandingkan fototerapi, sehingga UDCA tidak
direkomendasikan dipakai rutin.31

• Fenobarbital
Penggunaan fenobarbital setelah lahir masih kontroversial dan secara umum tidak
direkomendasikan. Mengingat efek samping pemberian fenobarbital yaitu sedasi

318
pada bayi baru lahir. Diperlukan waktu beberapa hari sebelum terlihat perubahan
bermakna, hal ini membuat penggunaan fototerapi nampak jauh
lebih mudah. Penggunaan fenobarbital profilaksis untuk
mengurangi pemakaian fototerapi atau tranfusi tukar pada bayi dengan defisiensi
G6PD ternyata tidak memberikan hasil baik. 10, 56
Tabel 5. Faktor yang mempengaruhi dosis dan efikasi fototerapi 14
Faktor Mekanisme/ Implementasi dan Aplikasi klinis
alasan
relevansi klinis
Spektrum lampu Spektrum biru- Special blue Special blue
yang dipancarkan hijau merupakan fluorescent tube fluorescent tube
yang paling efektif. atau sumber cahaya atau sumber lampu
Pada lain yang memiliki LED dengan luaran
panjang gelombang luaran terbanyak spektrum biru-hijau
tersebut, sinar dalam spektrum untuk PT intensif
menembus kulit biru-hijau dan yang
dengan baik dan paling efektif dalam
diabsorbsi secara menurunkan TSB
maksimal oleh
bilirubin
Spektrum radiasi ↑ radiasi → ↑ laju Radiasi diukur Jika special blue
(radiasi pada penurunan TSB dengan radiometer fluorescent tube
panjang gelombang (μW/cm2 per nm). digunakan, bawa
tertentu) yang Standar unit PT tabung sedekat
dipancarkan ke memancarkan 8-10 mungkin kepada
permukaan tubuh μW/cm2 per nm (fig bayi untuk
bayi 6). PT intensif meningkatkan
membutuhkan >30 radiasi (gambar 6).
μW/cm2 per nm Catatan: Tidak
dapat dilakukan
dengan lampu
halogen karena
bahaya terbakar.
Special blue tube
1015 cm diatas bayi
akan menghasilkan
radiasi setidaknya
sebesar 35 μW/cm2
per nm
Kekuatan spektrum ↑ permukaan tubuh Untuk PT intensif, Letakkan lampu
(rerata spektrum yang terpapar → ↑ paparkan permukaan diatas dan bantalan
radiasi yang laju penurunan tubuh bayi serat optik atau
melewati TSB semaksimal special blue
permukaan tubuh) mungkin pada PT fluorescent tube
dibawah bayi.
Untuk paparan
maksimum, lapisi
sisi samping
keranjang bayi,
kasur hangat, atau
inkubator
319
dengan aluminium
foil
Penyebab ikterus PT menjadi kurang Ketika hemolisis
efektif ketika terjadi, mulai PT
ikterus disebabkan pada kadar TSB
oleh hemolisis atau yang rendah.
jika kolestasis Gunakan PT
terjadi. intensif. Kegagalan
dari PT
(↑ bilirubin direk) menunjukkan
bahwa hemolisis
merupakan
penyebab
ikterus.
Jika ↑ bilirubin
direk, awasi
terjadinya
bronze
baby syndrome
atau lepuhan
Kadar TSB pada Semakin tinggi Gunakan PT
saat permulaan PT TSB, semakin intensif untuk kadar
cepat penurunan TSB yang lebih
TSB tinggi. Antisipasi
dengan PT penurunan kadar
TSB secara cepat
ketika TSB >
20 mg/dL (342
μmol/L)

Tabel 6. Komplikasi Fototerapi 16


Efek samping Perubahan spesifik Implikasi klinis
Perubahan suhu dan Peningkatan suhu Dipengaruhi oleh
metabolik lainnya lingkungan dan tubuh kematangan asupan kalori
(energi untuk merespon
Peningkatan konsumsi perubahan suhu), adekuat
oksigen atau tidaknya penyesuaian
Peningkatan laju respirasi terhadap suhu pada unit
fototerapi, jarak dari unit
Peningkatan aliran darah ke bayi, dan inkubator
ke kulit (berkaitan dengan aliran
udara dan kehilangan udara
pada radiant warmer),
penggunaan servocontrol.

320
Perubahan kardiovaskular Perubahan sementara Terbukanya kembali
curah jantung dan duktus arteriosus,
penurunan curah ventrikel kemungkinan karena
kiri fotorelaksasi, biasanya
tidak signifikan terhadap
hemodinamik. Perubahan
hemodinamik terlihat pada
12 jam pertama fototerapi,
setelah itu kembali ke awal
atau meningkat

Status cairan Peningkatan aliran darah Meningkatkan kehilangan


perifer cairan
Dapat mengubah keperluan
pemakaian
medikasi intramuskular
Peningkatan insensible Disebabkan oleh
water loss kehilangan cairan melalui
evaporasi, metabolik, dan
respirasi

Dipengaruhi oleh
lingkungan (aliran udara,
kelembaban, suhu),
karakteristik unit
fototerapi, perubahan suhu,
perubahan suhu kulit dan
suhu inti bayi, denyut
jantung, laju respirasi, laju
metabolik, asupan kalorai,
bentuk tempat tidur
(meningkat dengan
penggunaan radiant
warmer dan
inkubator)
Fungsi saluran cerna Peningkatan jumlah dan Berkaitan dengan
frekuensi buang air besar peningkatan aliran empedu
yang dapat menstimulasi
aktivitas saluran cerna

Feses cair, berwarna hijau Meningkatkan kehilangan


kecoklatan cairan melalui feses

321
Penurunan waktu transit Meningkatkan kehilangan
usus cairan melalui feses dan
risiko dehidrasi

Penurunan absorpsi, retensi Perubahan mendadak


nitrogen, air, dan elektrolit pada cairan dan elektrolit

Perubahan aktivitas Intoleransi sementara


laktosa, riboflavin laktosa dengan penurunan
laktase pada silia epitel dan
peningkatan frekuensi
BAB dan konsistensi air
pada feses

Perubahan aktivitas Letargis, gelisah Dapat memengaruhi


hubungan orangtua-bayi
Perubahan berat badan Penurunan nafsu makan Menyebabkan perubahan
asupan cairan dan kalori

Penurunan pada awalnya Disebabkan oleh


namun terkejar pemberian asupan
dalam waktu 2-4 makanan yang buruk dan
minggu peningkatan kehilangan
melalui saluran cerna

Efek okuler Tidak ada penelitian pada Menurunnya input sensoris


manuisa, namun perlu dan stimulasi sensoris.
perhatian antara efek
cahaya dibandingkan Penutup mata
dengan efek penutup mata meningkatkan risiko
infeksi, aberasi kornea,
peningkatan tekanan
intrakranial (jika
terlalu kencang)

Perubahan kulit Tanning Disebabkan oleh induksi


sintesis melanin atau
disperse oleh sinar
ultraviolet
Rashes Disebabkan oleh cedera
pada sel mast kulit dengan
pelepasan histamin,
eritema dari sinar
ultraviolet

322
Burns Disebabkan oleh
pemaparan yang berlebihan
dari emisi gelombang
pendek sinar
fluorescent
Bronze baby syndrome Disebabkan oleh interaksi
fototerapi dan ikterus
kolestasis, menghasilkan
pigmen cokelat (bilifuscin)
yang mewarnai kulit, dapat
pulih dalam hitungan bulan

Perubahan endokrin Perubahan kadar Belum diketahui secara


gonadotropin serum pasti
(peningkatan LH dan FSH)
Perubahan hematologi Peningkatan turnover Merupakan masalah bagi
trombosit bayi dengan trombosit
yang rendah dan yang
dalam keadaan sepsis

Cedera pada sel darah Menyebabkan hemolisis,


merah dalam sirkulasi meningkatkan kebutuhan
energi
degnan penurunan kalium
dan peningkatan aktivitas
ATP
Perhatian terhadap Isolasi Efek diatasi oleh
perilaku psikologis perawatan yang baik
Perubahan status organisasi Dapat diatasi dengan
dan manajemen perilaku interaksi orangtua-bayi.
Dapat memengaruhi ritme
kardiak

3.5.3.3 Transfusi tukar

Frekuensi tindakan transfusi tukar menurun pada tahun 1990an, sehingga menyebabkan
penurunan pengalaman yang signifikan diantara para personel yang melakukan
prosedur tersebut.57-59 Namun begitu, muncul kembalinya kernikterus sebagai masalah
kesehatan masyarakat membuat transfusi tukar sebagai modalitas terapi yang
berpotensi mencegah komplikasi pada perkembangan

saraf.17, 60

323
a. Definisi

Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah bayi dengan darah donor dengan cara
mengeluarkan dan mengganti sejumlah darah secara berulang kali dalam periode waktu
yang singkat.

b. Indikasi
• Adanya peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi yang signifikan pada bayi baru
lahir karena sebab apapun, ketika fototerapi intensif gagal, atau ada risiko
terjadinya kernikterus. Transfusi tukar sesegera mungkin direkomendasikan jika
terdapat tanda awal gejala ensefalopati bilirubin akut. 14 Gambar 5 menunjukkan
batas kadar TSB pada bayi dengan usia gestasi ≥35 minggu yang
direkomendasikan untuk dilakukan transfusi tukar.
• Penyakit hemolisis alloimun pada bayi baru lahir (HDN) untuk koreksi anemia berat
dan hiperbilirubinemia 57

• Anemia berat dengan gagal jantung kongestif atau


hipervolemia 57, 61

• Polisitemia Vera (PCV)


Walaupun transfusi tukar secara parsial dengan kristaloid atau koloid
mengurangi PCV dan hiperviskositas pada bayi dengan polisitemia, namun
ternyata tidak ada bukti mengenai keuntungan jangka panjang dari prosedur
tersebut
62

• Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) 58

• Leukemia kongenital 63
• Toksin metabolik
- Hiperammonemia 64
- Asidemia organik 65
- Keracunan timbal 66
• Overdosis atau intoksikasi obat-obatan 67, 68
• Eliminasi antibodi atau protein abnormal 69, 70
• Sepsis neonatorum atau malaria 71, 72

c. Kontraindikasi
• Ketika alternatif seperti transfusi sederhana atau fototerapi sama efektifnya dengan
transfusi tukar namun dengan risiko yang lebih rendah 73

324
• Ketika pasien tidak stabil dan risiko dari prosedur transfusi tukar melebihi
keuntungan
Pada pasien dengan anemia berat, dengan gagal jantung atau hipervolemia,
transfusi tukar secara parsial lebih berguna untuk menstabilkan kondisi pasien
sebelum transfusi tukar secara lengkap atau secara double volume dilakukan

• Ketika kontraindikasi untuk memasang jalur pemberian transfusi tukar melebihi


indikasi untuk dilakukan transfusi tukar. Akses alternatif harus dicari jika transfusi
tukar memang dibutuhkan74

d. Perlengkapan
• Neonatal Intesinve Care Unit (NICU)
- Sumber panas yang bisa dikontrol secara automatis dan manual
- Monitor untuk evaluasi suhu
- Monitor untuk evaluasi kardiorespirasi
- Pulse oximetry untuk monitor saturasi oksigen
• Peralatan dan obat-obatan untuk resusitasi
• Pengikat bayi
• Tabung orogastrik
• Peralatan suction
• Alat untuk akses vaskular sentral dan perifer
• Penghangat darah dan koil yang sesuai (lihat bagian pencegahan)
• Alat steril untuk transfusi tukar
Alat sekali pakai yang sudah dirakit dari pabrik Alat yang belum
dirakit:

4. Spuit 10 atau 20 ml (gunakan spuit yang lebih kecil jika jumlah darah yang
digunakan lebih sedkit)
5. Three-way (2 buah) dengan pengunci sambungan
6. Tempat pembuangan (botol infus kosongan)
7. Sambungan tabung infus
• Produk darah yang sesuai
• Tabung dan spuit untuk pemeriksaan darah sebelum dan setelah transfusi tukar

e. Pencegahan
• Stabilkan bayi sebelum melakukan transfusi tukar
• Jangan memulai transfusi tukar hingga tersedia personel untuk melakukan
pemantauan dan sebagai bala bantuan ketika terjadi kegawatdaruratan

325
• Gunakan produk darah yang sesuai dengan indikasi klinis. Gunakan darah yang
paling baru, disarankan <5-7 hari
• Lakukan pemeriksaan kadar kalium pada darah donor jika pasien mengalami
hiperkalemia atau gangguan ginjal
• Lakukan pemantauan dengan seksama ketika dan setelah transfusi tukar dilakukan
• Jangan terbaru-buru dalam melakukan tindakan. Dapat mengakibatkan
pengulangan transfusi tukar jika efikasinya menurun akibat terburu-buru. Hentikan
atau pelankan prosedur jika pasien menjadi tidak stabil.
• Gunakan alat penghangat darah yang dapat diatur suhunya dan lolos uji kontrol
kualitas suhu dan alarm. Pastikan untuk memahami cara pengoperasian dan
prosedur keamanan untuk penghangat darah yang spesifik. Jangan panaskan darah
lebih dari 38oC

• Jangan melakukan suction yang berlebihan jika terjadi kesulitan untuk mengambil
darah. Posisikan ulang saluran atau ganti spuit, katup, dan peralatan-peralatan yang
tersambung
• Ketika prosedur terputus, biarkan darah dengan antikoagulasi tetap didalam saluran
atau bersihkan saluran dengan saline yang mengandung heparin
• Bersihkan saluran dengan saline yang mengandung heparin jika hendak
memasukkan kalsium

f. Persiapan untuk transfusi tukar


1. Produk darah dan volumenya
• Komunikasikan dengan bank darah atau ahli kedokteran transfusi untuk
menentukan produk darah yang paling sesuai untuk transfusi
- Plasma-reduced whole blood atau PRC yang digabungkan kembali dengan
plasma darah, dengan PCV diatur menjadi 0.5-0.6, sesuai untuk transfusi tukar
dengan tujuan koreksi anemia dan hiperbilirubinemia 57, 75-77

- Darah dapat diberi antikoagulan dengan menggunakan CPD (citrate phosphate


dextrose) atau heparin. Penambahan larutan antikoagulan umumnya
dihindari.75-78 Jika hanya tersedia RBC yang disimpan dalam larutan antikoagulan,
maka larutan tersebut dapat disingkirkan dengan cara washing atau
centrifuge, dan saat sel darah merah akan digabungkan dengan plasma, cairan
supernatan dari hasil washing atau centrifuge dibuang
- Darah seharusnya sebaru mungkin (<7 hari)

326
- Darah yang telah diradiasi direkomendasikan untuk seluruh transfusi tukar untuk
mencegah terjadinya graft vs host. Waktu pemberian radiasi pada darah harus
dilakukan sedekat mungkin dengan waktu pemberian transfusi tukar (<24 jam)
karena jika disimpan terlalu lama akan terjadi peningkatan konsentrasi kalium
yang signifikan
- Pemeriksaan standar dari bank darah sangatlah penting, termasuk pemeriksaan
HIV, hepatitis B, dan CMV
- Darah donor harus diperiksa untuk defisiensi G6PD dan HbS pada populasi yang
endemis terhadap kondisi ini 79

• Pada kondisi adanya alloimun (Rh, ABO), pemeriksaan kompatibilitas perlu


dilakukan 57
- Jika kelahiran bayi dengan HDN berat diantisipasi, darah O Rh- yang sudah
dilakukan cross-matched dengan ibu dapat dipersiapkan sebelum bayi lahir
- Darah donor yang dipersiapkan setelah bayi lahir tidak boleh memiliki antigen
yang dapat mengakibatkan penyakit hemolitik, dan harus dilakukan cross-
matched dengan bayi tersebut
- Pada HDN karena inkompatibilitas ABO, golongan darah yang diberikan harus O
dengan Rh negatif atau Rh kompatibel dengan ibu dan bayi. Darah harus
dibersihkan dari plasma atau memiliki titer antibodi anti-A atau anti-B yang
rendah. Golongan darah O dengan plasma AB dapat lebih efektif, namun hal
tersebut mengakibatkan adanya 2 paparan donor yang berbeda pada 1 kali
transfusi tukar 80
- Pada HDN karena Rh, darah yang diberikan harus Rh negatif, dan dapat berupa
golongan darah O atau golongan darah yang sama dengan bayi
• Pada bayi dengan polisitemia, cairan dilusi yang optimal untuk transfusi tukar
parsial adalah saline isotonis daripada plasma atau albumin 81

2. Volume darah donor yang diperlukan


• Gunakan tidak lebih dari 1 unit darah untuk setiap prosedur transfusi tukar jika
memungkinkan untuk mengurangi paparan donor
• Jumlah yang diperlukan untuk prosedur transfusi tukar total = volume yang
dibutuhkan untuk transfusi tukar + dead space tabung + penghangat darah (± 25-
30 mL)
• Volume ganda transfusi tukar untuk menyingkirkan bilirubin, antibodi, dan lainnya:
2x volume darah bayi = 2 x 80-120mL/kg
• Volume tunggal transfusi tukar: ± 85% dari volume darah bayi (Gambar 15)
• Transfusi tukar parsial untuk perbaikan anemia berat:
327
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑥 (𝐻𝑏 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 − 𝐻𝑏 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖)
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (𝑚𝐿) =
𝐻𝑏 𝑃𝑅𝐵𝐶 − 𝐻𝑏 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖
• Volume tunggal atau transfusi tukar parsial untuk koreksi polisitemia:
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑥 𝐻𝐶𝑇 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (𝑚𝐿) =
𝐻𝐶𝑇 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖

Gambar 15. Efektivitas transfusi tukar terhadap fraksi volume darah yang

ditukar

3. Persiapan bayi
• Letakkan bayi pada warmer dengan lingkungan yang dapat diatur dan dikontrol.
Transfusi tukar untuk bayi preterm yang kecil bisa dilakukan di inkubator, asalkan
area steril dapat dipertahankan dan jalur pemberian mudah diakses
• Ikat bayi dengan sesuai. Sedasi dan penghilang nyeri biasanya tidak dibutuhkan.
Bayi yang sadar bisa diberikan dot ketika prosedur berlangsung
• Pasang monitor pada bayi dan tentukan nilai dasarnya (suhu, frekuensi napas,
frekuensi nadi, dan oksigenasi)
• Kosongkan perut bayi
- Jangan beri bayi makan 4 jam sebelum prosedur jika memungkinkan
- Pasang OGT dan kosongkan isi lambung; biarkan dalam keadaan terbuka
• Mulai pemberian glukosa dan obat-obatan secara intravena:
- Jika transfusi tukar mengganggu tingkat infus sebelumnya
- Jika kekurangan pemberian glukosa oral atau parenteral berkepanjangan
menyebabkan terjadinya hipoglikemia
328
- Jalur intravena tambahan mungkin diperlukan untuk pemberian obat-obatan gawat
darurat
• Stabilisasi bayi sebelum memulai prosedur transfusi tukar: beri transfusi PRC pada
kondisi hipovolemia berat dan anemia, atau modifikasi ventilator atau oksigen
ketika terjadi dekompensasi pernafasan.

4. Pembuatan akses untuk transfusi tukar


Teknik push pull: Akses sentral melalui kateter vena umbilikalis

5. Pemeriksaan laboratorium darah bayi sebelum dilakukan


transfusi tukar berdasarkan kondisi klinis
Studi diagnostik sebelum transfusi. Perlu diingat bahwa tes serologis pada bayi,
seperti untuk evaluasi hemolisis, titer antibodi antivirus, skrining metabolik, atau
tes genetik harus dilakukan sebelum transfusi tukar dilakukan

• Hb, Hct, PCT


• Elektrolit, kalsium, BGA
• Glukosa
• Bilirubin
• Profil koagulasi

6. Persiapan darah
• Lakukan identifikasi terhadap produk darah
• Pasang set infus pada tabung penghangat darah dan kantong darah
• Alirkan darah melalui penghangat darah

g. Komplikasi
• Risiko kematian atau sequele yang parah diduga < 1% pada bayi sehat, namun
pada bayi sakit sebesar 12%. Ada keraguan terhadap efek samping dari transfusi
tukar pada bayi yang sudah dalam kondisi kritis 82-84

• Kebanyakan efek samping adalah efek samping hematologi dan biokimia, yang
mana tidak menunjukkan adanya gejala. Efek samping yang paling sering
ditemukan pada saat atau sesaat setelah transfusi tukar, biasanya pada bayi
preterm atau bayi sakit, adalah:
- Apne dan/atau bradikardi
- Hipokalsemia

329
- Trombositopenia (<50.000 pada 10% bayi sehat, atau 67% pada bayi < 32 minggu
usia kehamilan)
- Asidosis metabolik
- Spasme vaskular

• Komplikasi yang dilaporkan pada transfusi tukar adalah yang berhubungan dengan
transfusi darah dan akses vaskular.

Komplikasi yang berpotensi terjadi antara lain:


- Metabolik: hipokalsemia, hipo atau hiperglikemia, hiperkalemia
- Kardiorespirasi: apne, bradikardi, hipotensi, hipertensi
- Hematologi: trombositopenia, dilusi koagulopati, neutropenia,
DIC
- Terkait kateter vaskular: spasme vaskular, thrombosis, embolisasi
- Gastrointestinal: feeding intolerance, iskemia, NEC
- Infeksi: omfalitis, septikemia

Gambar 16. Katup 4-arah.


A. Male adapter; B. Female adapter; C. Penggabungan pada tabung darah; D. Posisi off
(180o dari adapter menuju container pembussangan), untuk pemberian injeksi melalui
karet penahan. Katup digunakan searah jarum jam ketika sudah dirakit dengan benar

330
Gambar 17. Transfusi tukar menggunakan katup 4-arah

Gambar 18. Tranfusi tukar dengan menggunakan arteri radialis dan vena umbilikal

331
BAB IV

REKOMENDASI

4.1. Pencegahan hyperbilirubinemia

4.1.2 Pencegahan primer

Memberi masukan kepada ibu dan memeriksa bayi apakah mereka mendapat ASI yang
cukup dengan beberapa pertanyaan:

a. Apakah bayi minum 8-12x per hari?


b. Apakah BAB > 3x per hari?
c. Apakah BAK > 6x per hari?
d. Apakah BB bayi tidak turun >10% dalam 5 hari pertama kehidupan?
e. Apakah bayi demam?

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat
ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

4.1.2 Pencegahan sekunder

Dilakukan penilaian secara berkesinambnknungan untuk risiko terjadinya


hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal. Tata cara melakukan penilaian ini
dimulai dengan pemeriksaan secara visual untuk progresivitas hiperbilirubinemia secara
sefalokaudal yang diikuti dengan pemeriksaan TcB /TSB.

Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi B


a. Pemeriksaan golongan darah
Melakukan komunikasi dengan dokter obstetrik dan ginekologi, bidan, atau perawat
untuk melakukan pemeriksaan ABO dan Rh(D) pada setiap wanita hamil.

Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi B

332
Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan pemeriksaan antibodi
direk (tes Coombs), golongan darah dan tipe Rh(D) darah tali pusat bayi.

Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi B

Bila golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan
darah dan tes Coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika
dilakukan pengawasan, penilaian terhadap risiko sebelum keluar rumah sakit dan tindak
lanjut yang memadai.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

4.2 Penilaian klinis

Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya
progresivitas ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus
dinilai saat memeriksa tanda vital bayi.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

Protokol untuk penilaian ikterus harus diketahui oleh seluruh staf perawatan, jika sarana
untuk pemeriksaan TcB dan/atau TSB tidak tersedia di layanan kesehatan, harus
dilakukan rujukan untuk pemeriksaan kadar bilirubin (contoh alat TcB di Gambar 2).

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

4.3 Evaluasi laboratorium


4.3.1 Kadar bilirubin

TcB atau TSB diperiksa jika bayi tampak kuning di 24 jam pertama kehidupan. Kemudian
hasil diplot di bilinorm apakah masuk dalam indikasi fototerapi atau transfusi tukar.
Aplikasi bilinorm dapat diunduh di Apps store atau Playstore.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Pemeriksaan TcB dan/atau TSB harus dilakukan jika bayi tampak ikterus. Jika terdapat
alat TcB, maka pengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam untuk melihat
progresivitas ikterus berdasarkan usia postnatal. Tentukan pula ambang batas fototerapi
setiap harinya. Jika kadar TcB yang terukur ± 2-3 mg/dL atau 70% dari ambang batas
fototerapi, maka perlu dilakukan pemeriksaan TSB. 27

Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi B

333
Pemeriksaan perkiraan secara visual tidak dapat digunakan untuk menentukan derajat
ikterus, terutama pada bayi dengan kulit gelap.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Gambar 2. TcB meter (JM 105


Dräger)

Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam (Gambar
3).

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

334
Gambar 3. Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat pada bayi
dengan usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia
kehamilan 35-36 minggu dengan berat lahir ≥ 2500 gram berdasarkan kadar bilirubin
serum sesuai dengan usia (dalam jam)28

4.3.2 Penyebab ikterus

Melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mencari kemungkinan penyebab ikterus


pada bayi yang menerima fototerapi atau TSB meningkat cepat dan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan analisis
dan kultur urin. Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus
dilakukan bila terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Bayi sakit dan ikterus pada umur lebih 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin
total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk mengidentifikasi adanya kolestasis. Selain
itu, dapat dilakukan pemeriksaan tiroid dan galaktosemia. Penyebab dari peningkatan
bilirubin direk dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan FT4, TSH, dan screening
inborn error metabolism

(paper test).

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

Bila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi meningkat, dilakukan evaluasi tambahan
untuk mencari penyebab kolestasis.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phospatase dehydrogenase (G6PD)


direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi dengan riwayat
keluarga atau etnis/asal geografis yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD
atau pada bayi dengan respon terhadap fototerapi yang buruk.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Tabel 2. Evaluasi laboratorium pada bayi ikterus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu14
Indikasi Penilaian
Ikterus pada 24 jam pertama Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB
Ikterus tampak berlebihan untuk usia bayi Lakukan pemeriksaan TcB dan atau TSB

335
Bayi menerima fototerapi atau kadar TSB Lakukan pemeriksaan golongan darah dan
meningkat secara cepat (melewati tes Coombs
persentil) dan tidak bisa dijelaskan Lakukan pemeriksaan Complete blood
penyebabnya dari anamnesa ataupun count dan pemeriksaan darah tepi
pemeriksaan fisik Jika tersedia fasilitas, lakukan
pemeriksaan hitung retikulosit, dan G6PD.
Kadar TSB mencapai batas untuk Jika tersedia fasilitas, Lakukan
dilakukannya transfusi tukar atau tidak pemeriksaan hitung retikulosit, G6PD,
berespon terhadap fototerapi
dan albumin.
Lakukan pemeriksaan urinalisis dan
kultur urine. Evaluasi sepsis jika ada
indikasi berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan fisik

Ikterus tampak saat atau setelah usia 3 Lakukan pemeriksaan kadar bilirubin total
minggu, atau bayi sakit dan direk (atau terkonjugasi)
Jika kadar bilirubin direk meningkat,
lakukan evaluasi penyebab kolestasis
Lakukan pemeriksaan skrining tiroid dan
galaktosemia, dan evaluasi untuk tanda
dan gejala hipotiroid

4.4 Pemeriksaan klinis sebelum pulang dari rumah sakit

Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap risiko
berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua perawatan harus menerapkan
protokol untuk menilai risiko ini. Penilaian ini sangat penting pada bayi yang pulang
sebelum umur 72 jam. Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus diperiksa TcB
atau TSB dan diplot di kurva yang sesuai. Untuk yang belum masuk dalam kriteria
fototerapi, disarankan untuk kontrol menemui petugas kesehatan maksimal 2x24 jam.

Peringkat bukti IIIA, Derajat rekomendasi C

Ada dua pilihan rekomendasi klinis yaitu :

• Pengukuran kadar TcB atau TSB sebelum keluar rumah sakit, secara individual atau
kombinasi untuk pengukuran yang sistematis terhadap risiko.
• Penilaian faktor risiko klinis.
Peringkat bukti IIIA, Derajat rekomendasi C

4.5 Kebijakan dan prosedur rumah sakit

Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua, serta memperagakan
bagaimana cara melakukan pemeriksaan ikterus dan evaluasi perkembangannya.

336
Cara memeriksa ikterus adalah:

• Memucatkan kulit bayi dengan cara menarik kulit pada bagian yang diperiksa ke
arah samping kanan dan kiri dengan menggunakan kedua ibu jari pada bagian dahi,
dada, perut, kaki, dan telapak kaki.
• Evaluasi ikterus dan perkembangannya dilakukan setiap hari pada pencahayaan
yang cukup dan natural menggunakan sinar matahari.
• Evaluasi perkembangan ikterus adalah sefalokaudal.
• Jika orangtua mendapati kuning pada bagian telapak kaki dikategorikan sebagai
ikterus yang berat dan harus segera menemui petugas kesehatan (Lampiran 8). 15
Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

4.6 Tindak lanjut

Semua bayi harus diperiksan oleh petugas kesehatan profesional yang berkualitas
beberapa hari setelah keluar rumah sakit untuk menilai keadaan bayi dan ada / tidak
kuning. Waktu dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan berdasarkan lamanya
perawatan, ada atau tidaknya faktor risiko untuk hiperbilirubinemia dan risiko masalah
neonatal lainnya. Penilaian yang harus dilakukan pada saat tindak lanjut berikutnya
adalah:

• Perkembangan ikterus
• Kecukupan ASI
• Ada tidaknya dehidrasi
• Ada tidaknya faktor risiko masalah neonatal yang lain Peringkat bukti IIIa,
Derajat rekomendasi C

4.7 Jadwal kunjungan ulang


Untuk bayi yang pulang dari rumah sakit, kunjungan tindak lanjut dilakukan dalam kurun
waktu paling tidak 2-3 hari setelah bayi dipulangkan. Hal ini berguna untuk melihat
progresivitas ikterus dan kadar puncak bilirubin serum yang sering terlihat pada usia 46
hari setelah kelahiran.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Tabel 3. Jadwal kunjungan ulang


Bayi keluar RS Waktu kunjungan ulang pasca
keluar rumah sakit
Sebelum umur 24 jam 72 jam
Antara umur 24 dan 47.9 jam 72 - 96 jam
Antara umur 48 dan 72 jam 96 - 120 jam

337
4.8 Terapi

4.8.1 Fototerapi

Rekomendasi terapi terdapat pada Tabel 4, Gambar 4, dan Gambar 5. Jika kadar bilirubin
total serum tidak menurun atau terus meningkat, maka lakukan evaluasi apakah
intensitas lampu fototerapi sudah cukup (30μW/cm2/nm).

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Intensitas dapat ditingkatkan dengan cara:

1. Menggunakan fototerapi ganda.


2. Mendekatkan jarak bayi dengan lampu fototerapi

Dua hal diatas ini berisiko untuk terjadi hipertermia dan dehidrasi pada bayi. Faktor risiko
ini bertambah apabila menggunakan lampu tipe fluoresensi dan halogen. Namun risiko
berkurang jika menggunakan lampu LED. Praktek lama menggunakan korden memberikan
perubahan intensitas yang tidak menentu. Penggunaan korden disarankan dengan
menggunakan warna yang terang atau menggunakan material reflektor. Dianjurkan
melakukan pemeriksaan intensitas lampu fototerapi sebelum dan sesudah modifikasi upaya
peningkatan intensitas untuk melihat apakah intensitas yang ada sudah memenuhi kriteria
intensif fototerapi. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan intensity meter (contoh
intensity meter pada Gambar 6). Jika terjadi hemolisis ketika diberikan fototerapi dan
transfusi tukar, lakukan pemeriksaan retikulosit, Coomb test, ABO, dan Rh(D) ibu dan
bayi.

Gambar 6. Bilirubin blanket meter II (intensity meter) (OHMEDA Medical).

338
Untuk menentukan bayi memerlukan fototerapi atau transfusi tukar, maka kadar
bilirubin yang diplot di normogram adalah total serum bilirubin. Penghentian fototerapi
dilakukan pada kondisi dimana kadar bilirubin direk 50% atau lebih dari bilirubin total,
segera rujuk ke NICU level 3.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

Semua fasilitas perawatan dan pelayanan bayi harus memiliki peralatan untuk fototerapi
intensif yang dilengkapi dengan intensitimeter untuk mengukur secara periodik lampu
fototerapi yang dimiliki minimal 1 bulan sekali.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

4.8.2 Tranfusi tukar

Jika kadar bilirubin total serum berada pada angka untuk rekomendasi dilakukan
transfusi tukar atau jika kadar bilirubin total sebesar 25 mg/dL atau lebih tinggi pada
setiap waktu, hal ini merupakan keadaan emergensi dan bayi harus segera masuk dan
mendapatkan perawatan fototerapi intensif. Bayi-bayi ini tidak harus dirujuk melalui
bagian emergensi karena hal ini dapat menunda terapi (penjelasan lebih lengkap lihat di
bagian transfusi tukar).

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Transfusi tukar harus dilakukan hanya oleh personel yang terlatih di ruangan NICU
dengan observasi ketat dan mampu melakukan resusitasi.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

4.8.3 Pemberian immunoglobulin intravena

Pada penyakit isoimun hemolitik, pemberian imunoglobulin intravena (0,5-1g/kgBB)


direkomendasikan jika kadar bilirubin total serum meningkat walaupun telah mendapat
fototerapi intensif atau kadar TSB berkisar 2-3 mg/dL dari kadar transfusi tukar. Jika
diperlukan dosis ini dapat diulang dalam 12 jam.

Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi B

4.8.4 Kadar serum albumin dan rasio bilirubin/albumin

Disarankan untuk melakukan pemeriksaan kadar serum albumin. Kadar albumin yang
kurang dari 3 mg/dL meningkatkan risiko terjadinya ensefalopati bilirubin akut sehingga
ambang batas fototerapi untuk bayi tersebut harus diturunkan (kelompok risiko tinggi).

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

339
Jika dipertimbangkan transfusi tukar, kadar albumin serum harus diukur dan digunakan
rasio bilirubin/albumin yang berkaitan dengan kadar bilirubin total serum dan faktor-
faktor lainnya yang menentukan dilakukannya transfusi tukar.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

4.8.5 Ensefalopati bilirubin akut


Direkomendasikan untuk segera melakukan transfusi tukar pada setiap bayi
hiperbilirubinemia dengan tanda hemolisis disertai manifestasi ensefalopati bilirubin
akut (hipertonia, arching, retrocollis, opistotonus, demam, menangis, menangis
melengking) meskipun kadar bilirubin total serum masih di bawah batas transfusi tukar.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

4.8.6 Manajemen rawat jalan bayi dengan breastfeeding jaundice

Pada bayi yang menyusu yang memerlukan fototerapi, AAP merekomendasikan bahwa,
jika memungkinkan, menyusui harus diteruskan. Hal ini dapat mengurangi kadar
bilirubin dan atau meningkatkan efektifitas fototerapi. Pada bayi ASI eksklusif yang
mendapat fototerapi, suplementasi dengan pemberian ASI perah atau formula adalah
pilihan yang tepat terutama jika asupan bayi dirasa tidak adekuat, berat badan turun
berlebihan, atau bayi tampak dehidrasi.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Tabel 4. Contoh langkah klinis untuk manajemen bayi baru lahir yang masuk kembali
ke rumah sakit untuk mendapatkan fototerapi atau transfusi tukar14
Terapi
Berikan fototerapi intensif dan/atau transfusi tukar sebagaimana diindikasikan pada
gambar 4 dan 5

Pemeriksaan laboratorium
Kadar TSB dan bilirubin direk
Golongan darah (ABO, Rh)
Tes antibodi direk (Coombs’)

340
Serum albumin
Pemeriksaan darah lengkap dan hapusan darah untuk mengetahui morfologi sel darah
merah
Hitung jenis retikulosit
G6PD (jika tersedia) jika menunjukkan adanya hubungan dengan asal etnis atau asal
geografis tertentu atau jika respon terhadap fototerapi buruk
Pemeriksaan urinalisis, termasuk uji reduksi urin untuk mendeteksi kolestasis
Jika berdasarkan anamnesis dan atau tampilan klinis menunjukkan tanda sepsis,
lakukan pemeriksaan kultur darah dan urin serta pemeriksaan CSF untuk melihat
protein, glukosa, jumlah sel, dan hasil kultur.

Fototerapi
Pemberian minum dilakukan setiap 2-3 jam.
Bila bilirubin total ≥ 25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 2-3 jam
Bila bilirubin total 20-25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 3-4 jam, bila <
20 mg/dL diulang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total terus turun, maka perlu dilakukan
pemeriksaan ulang dalam 8-12 jam.
Bila kadar bilirubin total tidak turun atau malah mendekati kadar transfusi tukar atau
perbandingan bilirubin total dengan albumin (TSB/albumin) meningkat mendekati
angka untuk transfusi tukar maka lakukan transfusi tukar (gambar 5).
Bila kadar bilirubin total < 13-14 mg/dL, hentikan fototerapi
Tergantung pada penyebab hiperbilirubinemia, pemeriksaan bilirubin ulangan boleh
dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang untuk melihat kemungkinan terjadinya
rebound
Transfusi tukar
Bila bilirubin total ≥ 25 mg/dL atau ≥ 20 mg/dL pada bayi sakit atau bayi < 38 minggu,
lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross match pada pasien yang akan
direncanakan untuk mendapat tansfusi tukar.
Pada bayi dengan penyakit autoimun hemolitik dan kadar bilirubin total meningkat
walau telah dilakukan fototerapi intensif atau dalam 2-3 mg/dL kadar transfusi tukar
(gambar 5), berikan imunoglobulin intravena 0.5-1 g/kg selama lebih dari 2 jam dan
boleh diulang bila perlu 12 jam kemudian
Pada bayi yang mengalami penurunan berat badan lebih dari 12% atau secara klinis
atau bukti secara biokimia menujukkan tanda dehidrasi, dianjurkan pemberian susu
formula atau ASI tambahan. Bila pemberian peroral sulit dapat diberikan intravena.

341
Gambar 4. Panduan untuk fototerapi pada bayi dengan usia gestasi ≥ 35 minggu. 14

Keterangan :

• Gunakan TSB. Jangan mengurangi TSB dengan bilirubin direk.


• Faktor risiko: isoimmune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu
tubuh yang tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar albumin <3g/dl
• Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu diperbolehkan untuk melakukan
fototerapi pada kadar bilirubin total sekitar medium risk line. Merupakan pilihan untuk
melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah untuk bayi-bayi
yang mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin total serum yang lebih tinggi
untuk bayi yang berusia mendekati 37 6/7 minggu.
• Diperbolehkan melakukan fototerapi dengan dosis standard (8-10 μW/cm 2 per nm) baik di
rumah sakit atau di rumah pada kadar bilirubin total 2-3 mg/dL di bawah garis yang
ditunjukkan, namun pada bayi-bayi yang memiliki faktor risiko fototerapi sebaiknya tidak
dilakukan di rumah.

Panduan ini berdasarkan bukti yang terbatas dan kadar yang ditunjukkan adalah
perkiraan. Panduan ini mengacu pada penggunaan fototerapi intensif yang mana harus
digunakan ketika kadar TSB melewati garis yang diindikasikan untuk tiap kategori. Bayi
dikategorikan sebagai risiko tinggi karena adanya efek potensial negatif dari kondisi yang
tercatat pada ikatan albumin bilirubin, sawar darah otak, dan kerentanan sel otak
terhadap bilirubin.

Fototerapi intensif adalah fototerapi dengan menggunakan sinar blue-green


spectrum (panjang gelombang kira-kira 430-490 nm) dengan kekuatan minimal
30 μW/cm2 per nm (diukur pada kulit bayi secara langsung dibawah titik tengah dari
unit fototerapi) dan dipancarkan sebanyak mungkin pada permukaan tubuh bayi. Perlu
342
dicatat bahwa radiasi yang diukur di bawah titik tengah dari sumber cahaya lebih tinggi
daripada yang diukur di perifer. Pengukuran harus dilakukan dengan radiometer spesifik
sesuai dengan pabrikan sistem fototerapi.

Jika kadar TSB mendekati atau melewati batas transfusi tukar (Gambar 4), maka
sisi dari keranjang bayi, inkubator, atau infant warmer dapat dilapisi dengan
aluminium foil atau material reflektor 42. Hal ini akan meningkatkan luas permukaan
paparan sehingga meningkatkan efikasi fototerapi. Bila kadar TSB tidak menurun atau
tetap meningkat pada bayi yang sedang mendapatkan fototerapi intensif, maka diduga
kuat adanya hemolisis. Bayi yang mendapatkan fototerapi dan mengalami peningkatan
kadar bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi (kolestasis) bisa berkembang menjadi
bronze-baby syndrome.

Pada panduan ini dilampirkan aplikasi yang dapat membantu klinisi untuk
memutuskan bayi perlu mendapatkan fototerapi atau pertimbangan transfusi tukar
(aplikasi bilinorm). Pada aplikasi bilinorm untuk kategori bayi ≥35 minggu
menggunakan kurva AAP yang dimodifikasi untuk penyederhanaan.
Penyederhanaan dilakukan pada kelompok bayi yang risiko rendah (infants at lower
risk). Pada aplikasi bilinorm, kelompok ini ditiadakan. Kelompok bayi risiko sedang
(infants at medium risk) pada grafik AAP dijadikan kelompok standart risk (>38
minggu). Sedangkan kelompok risiko tinggi (≥35 minggu dan > 38 minggu
dengan faktor risiko) (infants at high risk) tetap sebagai kelompok risiko tinggi
(high risk).

Gambar 5. Panduan untuk transfusi tukar pada bayi dengan usia gestasi ≥ 35
minggu.14 Keterangan :

• Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan keadaan tanpa patokan pasti karena
terdapat pertimbangan klinis yang luas dan tergantung respon terhadap fototerapi.
• Direkomendasikan transfusi tukar segera bila bayi menunjukkan gejala ensefalopati akut
(hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, high pitch cry, demam) atau bila kadar
bilirubin total ≥ 5 mg/dL diatas garis patokan.

343
• Faktor risiko: penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu tidak
stabil, sepsis, asidosis.
• Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total / albumin.
• Gunakan TSB. Jangan mengurangkan dengan bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi
• Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu (risiko sedang) transfusi tukar yang
hendak dilakukan bersifat individual berdasarkan usia kehamilan saat ini.

Perlu diingat bahwa kadar yang disarankan merepresentasikan konsensus dari


sebagian besar komite namun berdasarkan bukti yang terbatas, dan kadar yang
ditunjukkan adalah perkiraan. (lihat Referensi 3 untuk risiko dan komplikasi dari
transfusi tukar). Pada saat dirawat inap lahir, transfusi tukar direkomendasikan jika
kadar TSB meningkat hingga tingkatan ini meskipun dilakukan fototerapi intensif. Untuk
bayi yang masuk kembali, jika kadar TSB di atas tingkatan transfusi tukar, pemeriksaan
ulangan TSB tiap 2-3 jam dan pertimbangkan transfusi tukar jika kadar TSB tetap diatas
kadar yang diindikasikan setelah fototerapi intensif selama 6 jam.

BAB V

SIMPULAN

▪ Kelainan hematologi / hiperbilirubinemia merupakan penyebab nomor 5 morbiditas


neonatal dengan prevalens sebesar 5,6% setelah gangguan napas, prematuritas,
sepsis, dan hipotermia (riset kesehatan dasar, Riskesdas 2007 tentang penyebab
kematian neonatal). Data dari delapan rumah sakit di kota besar di Indonesia

344
(Jakarta, 6 rumah sakit; Kupang, satu rumah sakit, dan Manado, satu rumah sakit),
prevalens hiperbilirubinemia berat (>20mg/dL) adalah 7%, dengan
hiperbilirubinemia ensefalopati akut sebesar 2.
▪ Hiperbilirubinemia berat dengan hiperbilirubinemia ensefalopati atau kernikterus
merupakan morbiditas pada neonatus yang dapat dicegah. Pencegahan dan
penanganan hiperbilirubinemia di Indonesia memiliki kendala karena bervariasi
panduan tatalaksananya. Ada panduan menurut Kementerian Kesehatan, WHO dan
Ikatan Dokter Anak Indonesia (dalam buku Ajar Neonatologi dan dalam Pedoman
pelayanan medis jilid II).
▪ Tatalaksana hiperbilirubinemia dimulai dari upaya pencegahan, penegakkan
diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium;
dilanjutkan dengan fototerapi dan tranfusi tukar.
▪ Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara mengkonversi molekul bilirubin
menjadi produk fotoisomer dan produk oksidasi yang kurang lipofilik dan tidak
membutuhkan konjugasi hati untuk bisa di eksresikan. Efektivitas fototerapi dalam
menurunkan kadar bilirubin bergantung pada beberapa hal yang dapat dimodifikasi
diantaranya adalah: jarak sumber cahaya dengan bayi, intensitas lampu fototerapi,
jenis lampu fototerapi yang digunakan, luas permukaan paparan, serta kondisi klinis
pasien sendiri.
▪ Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah bayi dengan darah donor dengan
cara mengeluarkan dan mengganti sejumlah darah secara berulang kali dalam
periode waktu yang singkat.

345
Lampiran

Lampiran 1. Teknik pelaksanaan dan evaluasi transfusi tukar

A. Teknik pelaksanaan
1. Transfusi tukar dengan teknik push pull
• Baca panduan yang diberikan oleh pabrikan
• Lakukan scrub seperti hendak melakukan prosedur besar. Gunakan masker,
penutup kepala pakaian steril, dan sarung tangan
• Buka tempat peralatan dengan menggunakan teknik aseptik
• Identifikasi posisi katup sesuai arah jarum jam (Gambar 16 dan 17). Arah
pegangan mengarah menunjukkan port mana yang terbuka. Katup yang tersedia
memiliki fungsi sebagai berikut (searah jarum jam): a) menarik dari pasien; b)
membuang ke kantong buangan; c) mengambil darah baru; d) memasukkan ke
dalam pasien. Selalu putar pegangan searah jarum jam untuk mengikuti alur yang
sesuai, dan selalu jaga sambungan dalam keadaan rapat
- Male adaptor pada jalur infus umbilikalis atau perifer
- Female adaptor pada tabung ekstensi dimana kantong buangan akan dipasang
- Hubungkan pada tabung darah untuk dipasangkan pada penghangat darah
- Posisi netral dimana bahan tambahan lainnya dapat diberikan melalui karet
penahan (180o dari kantong buangan)

• Ikuti langkah yang disediakan oleh pabrikan untuk memasang semua koneksi ke
kantong darah dan kantong buangan
• Ketika katup membuka pada kantong darah, kosongkan udara yang ada di spuit
dengan cara memutar 270o searah jarum jam dan keluarkan ke kantong
buangan

346
• Tutup katup dan putar ke bagian yang steril
• Gunakan jalur infus vena umbilikalis yang sudah ada atau masukkan kateter ke
vena umbilikalis menggunakan teknik aseptik
- Pertimbangkan untuk melakukan pengukuran CVP menggunakan transduser pada
bayi yang tidak stabil
- Letakkan kateter pada IVC dan pastikan posisi dengan menggunakan bantuan
radiograf
- Jika kateter tidak dapat diposisikan di IVC, kateter tersebut masih dapat digunakan
secara berhati-hati pada saat ada kegawatan
- Minta salah satu asisten untuk mendokumentasikan tanda vital dan data-data
lainnya
- Periksa kadar glukosa perifer setiap 30-60 menit. Lakukan monitoring terhadap
status kardiorespirasi, periksa saturasi dengan menggunakan pulse oximetry
secara terus menerus. Pemeriksaan BGA dilakukan sebanyak yang diindikasikan
berdasarkan kondisi klinis dan stabilitas pasien sebelum tindakan transfusi tukar
- Lakukan aspirasi darah untuk dilakukan pemeriksaan diagnostik
- Rata-rata pertukaran darah pada transfusi tukar adalah sekitar 5mL/kg dalam 1
siklus (2-4 menit)
- Pada bayi dengan hipovolemia atau memiliki CVP yang rendah, lakukan transfusi
tukar dengan didahului pemberian transfusi (5mL/kg) melalui kateter. Pada bayi
dengan hipervolemia atau memiliki CVP yang tinggi, lakukan transfusi tukar dengan
didahului pengeluaran sebagian volume darah
- Lakukan pemeriksaan ulangan CVP jika ada indikasi. Harapkan untuk terjadi
peningkatan tekanan onkotik plasma jika CVP rendah pada permulaan
- Pastikan bahwa tingkatan dalam mengeluarkan dan memasukkan darah kedalam
bayi dilakukan secara perlahan, membutuhkan setidaknya 1 menit untuk setiap
proses untuk mecegah fluktuasi tekanan darah. Fluktuasi yang cepat pada tekanan
arteri dalam teknik ini dapat diikuti dengan perubahan tekanan intracranial.
Pengeluaran darah yang cepat dari vena umbilikalis menyebabkan terjadinya
tekanan negatif yang akan ditransmisikan ke vena mesenterika yang pada akhirnya
berkontribusi terhadap tingginya kejadian komplikasi iskemia usus
- Goyangkan kantong darah secara gentle setiap 10 hingga 15 menit untuk mecegah
sedimentasi sel darah merah
- Pertimbangkan untuk memberikan suplementasi kalsium pada kondisi:
Hipokalsemia yang terdokumentasi
Muncul gejala atau tanda hipokalsemia seperti: perubahan interval QTc; agitasi
dan takikardi (gejala ini tidak terbukti berhubungan dengan kadar kalsium).

347
Pemberian kalsium saat transfusi tukar pada bayi normokalsemia jarang
dibutuhkan atau tidak menguntungkan. Ketika kalsium diberikan, efek
pemberian hanya berlangsung selama beberapa menit. Kalsium akan
membalikkan efek antikoagulan pada darah donor dan dapat menyebabkan
clotting pada jalur pemberian, sehingga pemberian melalui vena perifer lebih
disarankan. Jika kalsium diberikan melalu kateter vena umbilikalis, bersihkan
saluran dari darah donor dengan NaCl 0.9%. Kalsium yang diberikan adalah Ca
gluconas 10% sebanyak 1mL/KgBB. Masukkan secara perlahan, dengan
observasi yang ketat terhadap denyut nadi dan irama jantung. Bersihkan saluran
dengan NaCl 0.9% setelah kalsium diberikan.

- Hitung jumlah siklus yang sudah dilewati, hingga volume transfusi tukar yang
diharapkan tercapai
- Pastikan jumlah volume darah donor yang tersisa masih cukup untuk dimasukkan
lagi setelah pengeluaran darah yang terakhir jika positive intravascular
balance diharapkan untuk tercapai
- Bersihkan saluran umbilikalis dari darah ibu dan ambil sebagian darah bayi untuk
pemeriksaan laboratorium, termasuk re-cross-matching
- Berikan cairan intravena yang dicampur dengan 0.5 - 1 U heparin/mL melalui
kateter vena umbilikalis jika akan dilakukan transfusi tukar lanjutan
- Durasi prosedur transfusi tukar volume ganda adalah 90-120 menit
- Tulis prosedur lengkap pada rekam medis pasien

B. Evaluasi setelah transfusi tukar


• Lanjutkan monitoring tanda vital secara ketat selama 4-6 jam
• Sesuaikan dosis obat yang dibutuhkan untuk mengompensasi perubahan volume
setelah transfusi tukar85-
87

• Jaga bayi agar tetap puasa selama setidaknya 4 jam. Mulai pemberian ASI secara
hati-hati jika kondisi klinis stabil.
Periksa ketebalan abdomen dan suara usus setiap 3-4 jam selama 24 jam jika
transfusi tukar telah dilakukan menggunakan saluran vena umbilikalis. Observasi
tanda tanda feeding intolerance

• Monitoring kadar glukosa serum setiap 2-4 jam selama 24 jam


• Lakukan pemeriksaan BGA sebanyak yang diindikasikan
• Ukur kadar kalsium terionisasi dan PCT pada bayi sakit sesaat setelah transfusi tukar
dilakukan dan saat diindikasikan
• Ulangi pemeriksaan Hb, HCT, dan bilirubin 4 jam setelah transfusi tukar, dan ketika
ada indikasi secara klinis. Transfusi tukar volume ganda mengganti 85% dari volume
darah bayi, namun hanya mengeliminasi sekitar 50% dari bilirubin intravaskular.
348
Keseimbangan antara bilirubin intra dan ekstravaskular, dan penghancuran RBC
oleh antibodi maternal masih berlanjut, sehingga mengakibatkan rebound kadar
bilirubin setelah transfusi tukar berlangsung, dan mungkin diperlukan untuk
dilakukan transfusi tukar ulangan pada HDN yang berat.

Lampiran 2. Bilirubin Induced Neurological DysfunctionModified


(BIND-M) Scoring System
Tanda klinis Skor Tingkat Tanggal/Wakt
keparahan u
Tingkat kesadaran

Normal 0 None

Tampak mengantuk 1 Mild

Malas menyusu

Lemas 2 Moderate

Reflek hisap melemah dan/ atau


gelisah

Semi-koma 3 Severe

Apnea

Kejang

Koma
Tonus Otot

Normal 0 None

Hipotonia ringan yang menetap 1 Mild

Hipotonia sedang 2 Moderate

Hipertonia sedang

Peningkatan kekakuan leher dan


punggung dengan stimulasi tanpa
adanya spasme lengan dan kaki dan
tanpa disertai trismus
Retrocollis yang menetap 3 Severe

Opisthotonus

Tangan dan kaki menyilang tanpa


adanya spasme di tangan dan kaki dan
tanpa disertai trismus
Pola tangis

Normal 0 None

349
High pitched cry 1 Mild

Tangisan melengking 2 Moderate

Tangisan yang tidak bisa 3 Severe


ditenangkan oleh pengasuh atau

Tangisan lemah atau tidak ada


tangisan pada bayi dengan riwayat
high pitched cry atau tangisan
melengking
Pergerakan Bola Mata

Normal 0 None, Mild

Sunset Phenomenon 3 Severe

Upward Gaze Paralysis

Total Skor
Tanda Tangan Dokter yang memeriksa: Saya percaya bahwa bayi ini
memiliki tanda/gejala bilirubin
ensefalopati akut selain berdasarkan
skor BIND-M.

Lampiran 3. Normogram ambang batas untuk bayi prematur

Bayi prematur memiliki ambang batas yang berbeda dengan bayi cukup bulan. Masih
sedikit panduan dimulainya fototerapi dan transfusi tukar untuk bayi prematur. Diantara
pandian yang ada adalah AAP, NICE, Norway, Martin dan Fanaroff. Panduan masih
350
berbeda dalam hal patokan yang dipakai. Ada yang menggunakan berat lahir namun ada
yang menggunakan patokan usia gestasi. Untuk Indonesia, mengingat kesulitan dalam
menentukan usia gestasi yang tepat maka panduan bayi kurang bulan (<35 mgg)
menggunakan patokan berat lahir. Berdasarkan panduan di atas berikut adalah
rekomendasi yang dipakai di Indonesia untuk bayi prematur.

A. Normogram fototerapi dan transfusi tukar berat lahir < 1000 gram
Berikut adalah normogram ambang batas fototerapi dan tranfusi tukar Indonesia
(Gambar 19) yang sudah dianalisis berdasarkan berbagai panduan normogram
internasional yang sudah terpublikasi. Normogram ini terdapat di dalam aplikasi
Bilinorm yang dapat diakses melalui apps store atau play store pada
smartphoneBilirubin level mg/dL.

12
10 FT

8
6
4 standard risk
2 FT high risk
0 ET standard
ET high risk
0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120
Jam

Gambar 19. Diagram Indonesian bilirubin normogram < 1000 gram (modifikasi)

B. Normogram fototerapi dan transfusi tukar berat lahir 10001249


gram
Berdasarkan acuan pada normogram AAP, Dutch, NICE dan Norway tersebut, maka
berikut adalah normogram bilirubin untuk berat lahir 1000-1249 gram sebagaimana
berikut ini yang dapat dilihat pada aplikasi smartphone bilinorm (gambar 20).

FT high Risk

FT standard Risk

ET High Risk

ET Standard Risk

Jam

Gambar 20. Diagram Indonesian bilirubin normogram bayi dengan berat 1000-
1249 gram

351
C. Normogram fototerapi dan transfusi tukar untuk berat lahir 1250-
1499 gram

Berdasarkan acuan pada normogram AAP, Dutch, NICE dan Norway tersebut, maka
berikut adalah normogram bilirubin untuk berat lahir 1250-1499 gram sebagaimana
berikut ini yang dapat dilihat pada aplikasi smartphone bilinorm (gambar 21).

Bilirubin level mg/dL

FT high Risk

FT

standard Risk

ET High Risk
ET Standard Risk

0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120
Jam

Gambar 21. Diagram Indonesian Bilirubin Normogram untuk bayi usia 1250-1499
gram

D. Normogram fototerapi dan transfusi tukar untuk berat lahir 1500-


1999 gram
Berdasarkan acuan pada normogram AAP, Dutch, NICE dan Norway tersebut, maka
berikut adalah normogram bilirubin untuk berat lahir 1000-1249 gram sebagaimana
berikut ini yang dapat dilihat pada aplikasi smartphone bilinorm (gambar 22).

352
FT high Risk
FT
standard
Risk
ET High Risk
ET Standard Risk

Jam

Gambar 22. Diagram Indonesian bilirubin normogram 1500-1999 gram (modifikasi)


E. Normogram fototerapi dan transfusi tukar untuk usia gestasi > 35
minggu atau berat lahir > 2000 gram Normogram Indonesia untuk bayi >
35 minggu dan berat lahir > 2000 gram mengadopsi dari AAP dengan adaptasi
berupa simplifikasi menjadi dua kategori dan menggunakan nilai 2-3 mg/dl lebih
rendah dari AAP atas alasan tingginya prevalensi faktor resiko hiperbilirubinemia
berat dan adanya peralatan fototerapi yang tidak adekuat (gambar 23).

FT high
Risk
FT standard
Risk
ET High Risk
ET Standard Risk

0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120 Jam

Gambar 23. Diagram Indonesian bilirubin normogram > 2000 gram

353
Lampiran 4. Contoh kasus penggunaan Skor BIND-M

Seorang bayi perempuan lahir pada usia kehamilan 36 minggu secara sectio
caesaria dari ibu berusia 31 tahun. Ini merupakan kehamilan ketiga, anak pertama
lahir hidup saat ini berusia 5 tahun. Anak kedua lahir hidup dan saat ini berusia 3 tahun.
Anak kedua mendapatkan fototerapi 3x24 jam dengan riwayat hiperbilirubin dengan
kadar TSB mencapai 24 mg/dl, namun tidak diketahui secara pasti penyebab dari
hiperbilirubinemia. Berat badan lahir bayi ini 3050 gram, Panjang Badan 50 cm, Lingkar
kepala 33 cm, dan skor Apgar pada menit kesatu 8 dan menit kelima 9. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan bayi tampak ikterik pada usia 24 jam dengan kadar TSB 15
mg/dl, kemudian bayi tersebut dilakukan tindakan fototerapi.

Pada 24 jam setelah fototerapi dilakukan evaluasi ulang bilirubin, dan hasil
menunjukan kadar TSB 20 mg/dl. Pasien direncanakan untuk dilakukan tranfusi tukar
namun darah belum tersedia. Pemeriksaan didapatkan bahwa ibu golongan darah A
rhesus negatif dan bayi golongan darah A rhesus positif. Dilakukan pemeriksaan direct
antibody test (DAT) hasilnya positif. Bayi dilaporkan tampak lemah, bola mata tampak
deviasi ke atas yang permanen, mengalami kondisi desaturasi berulang dengan
periodic breathing, opisotonus, high pitch cry, dan apne berulang.

Kategorisasi penilaian BIND-M :

1. Skor 1-4 : diprediksi indikasi untuk ABE ringan, secara


umum akan reversibel dengan terapi yang tepat dan agresif

2. Skor 5-6 : diprediksi indikasi untuk ABE sedang, mungkin reversibel dengan penurunan
segera bilirubin
3. Skor > 7 : diprediksi indikasi untuk ABE berat dan kemingkinan untuk kerusakan otak
yang ireversibel pada kebanyakan bayi.

354
Cara pengisian Skor BIND-M

TANDA KLINIS SKOR KEPARAHAN WAKTU


STATUS MENTAL
□ Normal 0 Tidak ada
□ Mengantuk namun mudah 1 Ringan
dirangsang
□ Makan/minum menurun
√ Lemah Lesu
□ Hisapan lemah dan atau 2 Sedang
□ Gelisah namun ada sedikit
hisapan kuat
□ Semi koma
□ Henti napas 3 Berat
□ Kejang
□ Koma
TONUS OTOT
□ Normal 0 Tidak ada
□ Hipotonia persisten ringan 1 Ringan
□ Hipotonia sedang
□ Hipertonia sedang
□ Melipat leher dan ekstremitas 2 Sedang
saat ada stimulasi tanpa adanya
kaku pada lengan dan kaki serta
tidak didapatkan trismus
□ Ekstensi persisten pada leher
(retrocolis)
√ Opistothonus 3 Berat
□ Lengan dan kaki menyilang
tanpa didapatkan kaku pada
lengan dan kaki serta tanpa
didapatkan trismus
POLA MENANGIS
□ Normal 0 Tidak ada
□ Nada tinggi 1 Ringan
□ Melengking 2 Sedang
□ Menangis dan tidak dapat
ditenangkan 3 Berat
√ Menangis Lemah/Tidak
Menangis Pada Anak Dengan
Riwayat Menangis Dengan
Nada
Tinggi/Melengking
PERGERAKAN BOLA
MATA
□ Normal 0 Tidak ada
□ Fenomena Sun-setting 3 Berat
√ Kelumpuhan atau upward
gaze
Total Skor ABE 11
Tanda tangan dokter

355
Lampiran 5. Contoh kasus penggunaan normogram AAP
Kasus 1

Seorang bayi perempuan lahir secara spontan dari ibu usia 33 tahun pada usia
gestasi 40 minggu dengan faktor rIsiko minor. Berat badan bayi 3350 g, Panjang badan
bayi 48 cm dan lingkar kepala 34 cm. Skor Apgar bayi pada lima menit pertama setelah
lahir adalah 9, dan pada menit kesepuluh adalah 10. Ini merupakan kehamilan pertama
pada ibu. Ibu dan bayi memiliki rhesus positif. Bayi tampak kuning pada 70 jam setelah
dilahirkan dengan kadar serum bilirubin total (TSB) 12,9 mg/dl. Ibu menyusui secara
ekslusif dan tidak ada riwayat penggunaan obat maupun paparan senyawa naftalen.

Pada usia 120 jam, kadar TSB meningkat menjadi 15,1 mg, tetapi bayi tetap aktif
dan tanda-tanda vital normal. Pada hari ke-7, kadar TSB meningkat menjadi 17,1 mg/dl
(direk (D)/Indirek (I) bilirubin = 0,1/17 mg/dl), kadar G6PD dan OAE (Oto Acoustic
Emission) normal. Berdasarkan pedoman AAP, kadar TSB tetap berada dibawah
ambang batas untuk fototerapi, sehungga bayi dipulangkan tanpa terapi spesifik. Kadar
TSB bayi setelah pulang 16,6 mg/dl dan secara klinis bayi normal.

Kasus 2

Seorang bayi laki-laki usia gestasi 38 minggu lahir secara sectio caesaria atas
indikasi diproporsi kepala panggul. Berat badan lahir bayi 3220 gram, Panjang badan 8
cm, dan lingkar kepala 34 cm. Bayi diklasifikan pada kelompok faktor risiko minor. Skor
Apgar bayi 8 pada lima menit setelah lahir, kemudian meningkat 9 pada menit
kesepuluh. Ibu dan bayi memiliki golongan darah dan rhesus yang sama, yaitu golongan
darah O dengan rhesus positif. Ini merupakan kehamilan pertama ibu, dan usia ibu 30
tahun. Bayi tampak kuning pada usia 70 jam, namun bayi dipulangkan pada usia 73 jam
dengan kadar bilirubin 15,2 mg/dl (D/I = 0,1/15,1 mg/dl).

Bayi minum ASI serta diberikan susu formula hipoalergenik sesuai kebutuhan.
Pada hari ketujuh bayi datang kembali untuk dilakukan evaluasi, dan kadar TSB 15,3
mg/dl (D/I = 0,1/15,2 mg/dl) dengan kadar G6PD normal. Tidak ada intervensi yang
dibutuhkan pada pasien ini, hanya edukasi untuk meyakinkan orangtua mengenai
kondisi bayi. Pada kunjungan berikutnya saat usia 9 hari, kadar TSB 12,9 mg/dl (D/I =
0,1/12,8 mg/dl dan pemeriksaan OAE menunjukan hasil normal.

Kasus 3

Seorang bayi perempuan lahir pada usia 39 minggu dari ibu yang berusia 32
tahun secara ekstraksi vakum. Berat badan lahir bayi 3390 gram, panjang badan 49 cm,
dan lingkar kepal 34 cm. Skor Apgar bayi pada menit kelima stelah dilahirkan adalah, 8,
kemdian meningkat 9 pada menit kesepuluh. Bayi tersebut memiliki faktor risiko minor
dan merupakan anak ketiga ibu tanpa riwayat abortus. Bayi dan ibu memiliki golongan
darah yang sama yaitu golongan darah O dan rhesus positif. Kadar TSB pada usia 43 jam
10,6 mg/dl (D/I = 0,1/10,5 mg/dl). Bayi dipulangkan pada usia dua hari dan diberikan ASI
secara eksklusif. Pengukuran TSB pada usia 91 jam menunjukan nilai 17,1 mg/dl (D/I
356
0,1/17 mg/dl). Kriteria untuk dilakukan fototerapi usia 91 jam yaitu pada kadar TSB ≥
16,5 mg/dl. Bayi dikategorikan risiko rendah karena bayi tanpa gejala, usia
gestasi > 38 minggu dengan kadar TSB diatas ambang batas inetrvensi, kemudian bayi
dilakukan fototerapi.

Kadar G6PD bayi normal, Tes Coomb’s negatif, dan pemeriksaan OAE
normal pada kedua telinga. Kadar TSB diukur ulang dua hari kemudian dan hasilnya
menunjukan kemudian bayi dipulangkan. menjadi 12,5 mg/dl (D/I = 0,1/12/5 mg/dl)

Lampiran 6. Penanganan kasus

Pada kasus hiperbilirubinemia neonatal, langkah-langkah yang harus dilakukan menurut


rekomendasi AAP adalah:

• Identifikasi faktor risiko pada setiap bayi baru lahir, Klasifikasi faktor risiko
berdasarkan kriteria AAP.
• Ikterik dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan fisik dengan cara melakukan
penekanan pada kulit yang akan menunjukan warna pada kulit dan jaringan
subkutan. Pemeriksaan harus dilakukan pada ruangan dengan pencahayaan

357
yang baik, terutama pada bagian ruangan yang terpapar sinar matahri dekat
jendela.
• Melakukan pengukuran kadar bilirubin dan memplotkan hasilnya pada
normogram persentil bilirubin berdasarkan usia lahir dalam jam.

PADA KASUS 1:

• Bayi tampak ikterik pada area wajah hingga dada pada usia 70 jam dengan kadar
TSB menunjukan 12,9 mg/dl, kemudian hasil tersebut diplotkan pada
normogram fototerapi. Berdasarkan normogran, kadar TSB bayi berada pada
low intermediate risk zone.
• Berdasarkan anamnesis bayi ini dimasukan dalam kelompok standard risk,
karena usia gestasi bayi ini ≥ 38 minggu, tidak inkompatibilitas ABO
dan bayi tampak sehat.
• Berdasarkan pada normogram, bayi ini diklasifikasikan pada standard risk,
tidak ada intervensi yang diperlukan berdasarkan pedoman AAP, sehingga bayi
dipulangkan.
• Bayi dijadwalkan kontrol 2x24 jam paska pemunlangan

Gambar 24. Kurva derajat serum bilirubin dengan level high intermediate risk zone

358
Gambar 25. Kurva total bilirubin serum pada bayi dengan faktor risiko tinggi

PADA KASUS 2:

• Kadar TSB pada usia 73 jam 15 mg/dl, bayi ini dikelompokan pada risiko zona
high-intermediate, tetapi masih berada dibawah ambang batas fototerapi,
kemudian bayi dipulangkan.
• Berdasarkan anamnesis, bayi dimasukan dalam kelompok standard risk,
karena usia gestasi bayi ini ≥ 38 minggu, tidak inkompatibilitas ABO
dan bayi tampak sehat.
• Bayi dievaluasi kembali pada hari ketujuh dan kadar TSB menunjukan 15,3 mg/dl
(D/I = 0,1/15,1 mg/dl), dengan kadar G6PD normal. Tidak ada intervensi yang
dibutuhkan bayi ini.
• Pada hari ke-9 bayi dievaluasi ulang dan kadar bilirubin menunjukan 12,9 mg/dl
(D/I = 0,1/12,8 mg/dl) dan OAE menunjukan nilai normal

359
Gambar 27. Kurva serum bilirubin dengan
High Intermediate Risk Zone

Gambar 28. Kurva serum bilirubin total pada Infants Higher at Risk

PADA KASUS 3:

360
• Kadar TSB pada usia 43 jam yaitu 10,6 mg/dl, bayi ini dikelompokan pada risiko
zona high-intermediate, tetapi masih berada dibawah ambang batas
fototerapi, kemudian bayi dipulangkan.
• Pada usia 91 jam, bayi ini dilakukan evaluasi ulang dan kadar TSB menunjukan
hasil 17,1 mg/dl, kemudian bayi ini dirawat berdasarkan kriteria pada pedoman
AAP yaitu bayi sehat usia gestasi ≥ 38 minggu dengan kadar TSB ≥
16,5 mg/dl. Berdasarkan normogram, meskipun nilai TSB dibawah ambang
batas fototerapi untuk low risk masih dapat dibenarkan untuk dimulai
fototerapi pada kadar 2-3 mg/dl dibawah ambang batas.

Gambar 29. Kurva serum bilirubin pada High Intermediate Risk Zone

361
Gambar 30. Kurva serum bilirubin total pada Higher at Risk
Lampiran 7. Diagnosis Kernicterus Spectrum Disorder (KSD)

Berapa nilai bilirubin tertinggi bayi? Skor


< 15 mg/dL 0
15-29 mg/dL, atau bilirubin tidak pernah diukur tetapi anak dirasa sangat 1
kuning oleh keluarga
30-45 mg/dL 2
> 45 mg/dL 3
Apakah ada faktor risiko pada bayi?

Tidak ada 0
Dicurigai adanya infeksi, perbedaan rhesus golongan darah, “sakit”, prematur 1
(<35 minggu)
Infeksi virus atau bakteri yang terbukti, NEC (Necrotizing Enterocolitis), atau 2
asidosis (pH darah < 7,2)
Bagaimana hasil pemeriksaan bayi baru lahir?

Normal 0
Ensefalopati bilirubin akut ringan (letargi, mengantuk, tonus otot 1
rendah/tinggi, ± tangisan bersuara tinggi)
Ensefalopati bilirubin akut berat (ophistotonus, mata setting sun, wajah 2
terlihat takut, demam tanpa penyebab jelas)
Bagaimana hasil dari pemeriksaan bayi terakhir?

Normal 0
Distonia ringan (mata setting sun ± tonus otot sedikit meningkat atau 1
menurun ± pergerakan tubuh abnormal berlebihan)
Distonia sedang-berat (mata setting sun ± pergerakan tubuh abnormal 2
berlebihan)
Ketika gigi bayi tumbuh, bagaimana enamel gigi?

Normal 0
362
Displasia enamel (Adanya pengelupasan pada enamel gigi) 1
Bagaimana hasil ANSD (Auditory Neuropathy Spectrum Disorder)?

Normal, tidak ditemukan adanya ANSD 0


Ringan (Auditory Brainstem Response abnormal, tetapi ada) 1
Sedang-berat (Auditory Brainstem Response tidak ada) 2
Bagaimana hasil MRI (Magnetic Resonance Imaging)?

Normal 0
Kemungkinan hasil MRI abnormal (globus pallidus ± hiperintensitas nucleus 1
subthalamikus kedua sisi tanpa kelainan lain)
Hasil MRI abnormal (hiperintensitas globus pallidus di kedua sisi ± 2
hiperintensitas nukleus subthalamikus tanpa kelainan signifikan struktur lain)
Total Skor

Interpretasi Skor
Definite Kernicterus 10-14
Probable Kernicterus 6-9
Possible Kernicterus 3-5
Bukan Kernicterus 0-2

Lampiran 8. Perubahan warna tinja

363
Warna tinja abnormal

Hasil cetak pada gambar ini dapat menyebabkan perbedaan warna

Warna tinja normal

Lampiran 9. Checklist komunikasi, informasi dan edukasi keluarga


pasien hiperbilirubinemia

Informasi umum:

F Faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan hiperbilirubinemia
F Cara mendeteksi bayi kuning
F Apa yang harus dilakukan apabila curiga kuning pada bayi
F Pentingnya mengenali tanda-tanda kuning pada bayi pada 24 jam pertama dan mencari
pelayanan medis
F Pentingnya mengecek popok bayi untuk mengetahui ada atau tidaknya kencing yang
berwarna gelap atau tinja yang berwarna pucat
F Kuning pada bayi sering terjadi dan meyakinkan bahwa hal tersebut biasanya hanya
sementara dan tidak berbahaya
F Meyakinkan pemberian ASI dapat diteruskan Informasi

terkait terapi:
364
F Antisipasi
lamanya terapi
F Yakinkan untuk melanjutkan ASI, mengganti popok dan sering sering mendekap bayi

Informed consent tindakan fototerapi:

F Mengapa fototerapi dipertimbangkan?


F Mengapa fototerapi dibutuhkan untuk terapi hiperbilirubinemia?
F Kemungkinan efek samping fototerapi
F Pentingnya untuk melindungi mata dan perawatan mata rutin
F Meyakinkan ibu untuk lebih sering menyusui bayinya
F Kemungkinan hal-hal yang terjadi apabila fototerapi gagal
F Kuning berulang dapat terjadi kembali
F Potensi atau kemungkinan efek samping jangka panjang fototerapi Informasi

untuk transfusi tukar:

F Menjelaskan bahwa bila bayi yang mendapatkan transfusi tukar maka bayi harus dirawat
di ruang perawatan intensif
F Alasan mengapa transfusi tukar dipertimbangkan

Informasi untuk pemberian IVIg

F Alasan
mengapa IVIg dipertimbangkan
F Alasan
mengapa IVIg dibutuhkan untuk terapi hiperbilirubinemia F
Kemungkinan efek samping IVIg

PEMBERI CARA
KETERANGA
PENJELASAN EDUKASI PENYAMPAIA JAM TTD
N
N
F
Informasi :
Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan
hyperbilirubinemia.
F Cara mendeteksi bayi kuning
F Apa yang harus dilakukan
apabila curiga kuning pada bayi
F Pentingnya mengenali
tandatanda kuning pada
bayi pada 24 jam pertama
dan mencari
pelayanan medis
F Pentingnya mengecek popok
bayi untuk mengetahui ada atau
tidaknya kencing yang berwarna
gelap atau tinja yang berwarna
pucat
F Kuning pada bayi sering terjadi
dan meyakinkan bahwa hal
tersebut biasanya hanya
sementara dan tidak berbahaya
F Meyakinkan pemberian ASI

365
dapat diteruskan
Informasi terapi :
F Antisipasi lamanya terapi
F Yakinkan untuk melanjutkan ASI,
mengganti popok dan sering sering
mendekap bayi

Inf med consent fototerapi :


or Mengapa fototerapi
F dipertimbangkan?
F Mengapa fototerapi dibutuhkan

untuk terapi hiperbilirubinemia?


F Kemungkinan efek samping
fototerapi
F Pentingnya untuk melindungi mata

dan perawatan mata rutin


F Meyakinkan ibu untuk lebih sering

menyusui bayinya
F Kemungkinan hal-hal yang
terjadi apabila fototerapi gagal
F Kuning berulang dapat terjadi

kembali
F Potensi atau kemungkinan efek

samping jangka panjang terapi

Inf rmai untuk transfusi tukar :


o Menjelaskan bahwa bila bayi yang
F mendapatkan transfusi
tukar maka bayi harus dirawat di
ruang perawatan intensif
F Alasan mengapa transfusi tukar

dipertimbangkan

Informasi untuk pemberian IVIg


F Alasan mengapa IVIg
dipertimbangkan
F Alasan mengapa IVIg dibutuhkan
untuk terapi
hyperbilirubinemia
F Kemungkinan efek samping IVIg

366
367
368
DAFTAR RUJUKAN

1. Lawn JE, Cousens S, Zupan J, dkk. 4 million neonatal deaths: when? where? why?
Lancet. 2005;365:891-900.
2. World Health Organization. Achievement of the health related Millennium
Development Goals in the Western Pacific Region 2016: Transitioning to the Sustainable
Development Goals Geneva: WHO Press; 2016 [Available from:
http://iris.wpro.who.int/bitstream/handle/10665.1/13441/WPR-2016-DHS-011-en.pdf. 3.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2017. 431 p.
4. United Nations Children's Fund. Child survival and the SDGs, 2017 [Available
from:
https://data.unicef.org/topic/child-survival/child-survival-sdgs/.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2007.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2008.
6. Greco C, Arnolda G, Boo N-Y, Iskander IF, Okolo AA, Rohsiswatmo R, et al.
Neonatal jaundice in low and middle income countries: lessons and future
directions from the 2015 Don Ostrow Trieste Yellow Retreat Neonatology.
2016;110:172-80.
7. Dijk PH, de Vries TW, de Beer JJ, Dutch Pediatric A. Guideline prevention,
diagnosis and treatment of hyperbilirubinemia in the neonate with a gestational
age of 35 or more weeks. Nederlands tijdschrift voor geneeskunde.
2009;153:A93.
8. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal
Esensial: Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2012. 134 p.
9. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit:
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota.
Jakarta: WHO Indonesia; 2009. 434 p.
10. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI,
Usman A, editors. Buku Ajar Neonatologi. 1 ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2008. p. 147-69.
11. Dewanto NEF, Dewi R. Hiperbilirubinemia. In: Pudjiaji AH, Hegar B,
Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, et al., editors.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2 ed. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. p. 114-22.
12. Sampurna MTA, Ratnasari KA, Etika R, Hulzebos CV, Dijk PH, Bos AF, et al.
Adherence to hyperbilirubinemia guidelines by midwives, general practitioners,
and pediatricians in Indonesia. PloS one. 2018;13(4):e0196076.
13. Martini, Sampurna MTA, Handayani KD, Angelika D, Utomo MT, Etika R, et al.
Variation of Phototherapy Thresholds By Clinicians In Comparison with
Hyperbilirubinemia Guideline In Indonesia. 2018.
14. American Academy of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the
newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics. 2004;114(1):297-316.
15. Neonatal Jaundice. National Institute for Health and Clinical Excellence:
Guidance. London2010.
16. Blackburn ST. Bilirubin metabolism, maternal, fetal & neonatal physiology: A
clinical perspective. 3 ed. Missouri: Saunders; 2007.

369
17. Johnson LH, Bhutani VK, Brown AK. System-based approach to management of
neonatal jaundice and prevention of kernicterus. The Journal of pediatrics.
2002;140(4):396-403.
18. Volpe JJ. Neurology of the Newborn. 4 ed. Philadelphia, PA: W. B. Saunders;
2001.
19. Harris MC, Bernbaum JC, Polin JR, Zimmerman R, Polin RA. Developmental
followup of breastfed term and near-term infants with marked
hyperbilirubinemia. Pediatrics. 2001;107(5):1075-80.
20. Van Praagh R. Diagnosis of kernicterus in the neonatal period. Pediatrics.
1961;28:870-6.
21. Radmacher PG, Groves FD, Owa JA, Ofovwe GE, Amuabunos EA, Olusanya
BO, et al. A modified Bilirubin-induced neurologic dysfunction (BIND-M)
algorithm is useful in evaluating severity of jaundice in a resource-limited setting.
BMC pediatrics. 2015;15:28. 22. Jones MH, Sands R, Hyman CB, Sturgeon P,
Koch FP. Longitudinal study of the incidence of central nervous system damage
following erythroblastosis fetalis. Pediatrics. 1954;14(4):346-50.
23. Le Pichon JB, Riordan SM, Watchko J, Shapiro SM. The Neurological Sequelae of
Neonatal Hyperbilirubinemia: Definitions, Diagnosis and Treatment of the
Kernicterus Spectrum Disorders (KSDs). Current pediatric reviews. 2017;13(3):199-
209.
24. Mac Mahon JR, Stevenson DK, Oski FA. Bilirubin metabolism. In: Tacusch HW,
Ballard RA, editors. Avery's disease of the newborn. 7 ed. Philadelphia: W. B.
Saunders; 1998. p. 995-1002.
25. Maisles MJ. Jaundice. In: Avery GB, Fletcher MA, McDonald MG, editors.
Neonatology, pathophysiology & management of the newborn. 5 ed. Baltimore:
Lippincot William & Wilkins; 1999. p. 765-819.
26. Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In: Fanaroff AA,
Martin RJ, editors. Neonatal-perinatal medicine: Disease of the fetus and infant. 7
ed. St. Louis: Mosby Inc; 2002. p. 1309-50.
27. van Imhoff DE. The Management of Hyperbilirubinemia in Preterm Infants.
Groningen: University Medical Center Groningen; 2013.
28. Bhutani VK, Johnson L, Sivieri EM. Predictive ability of a predischarge hour-
specific serum bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in healthy
term and near-term newborns. Pediatrics. 1999;103(1):6-14.
29. Maisels MJ. Phototherapy--traditional and nontraditional. Journal of perinatology :
official journal of the California Perinatal Association. 2001;21 Suppl 1:S93-7;
discussion S104-7.
30. Maisels MJ, McDonagh AF. Phototherapy for neonatal jaundice. The New England
journal of medicine. 2008;358(9):920-8.
31. Wong RJ, Bhutani VK. Treatment of unconjugated hyperbilirubinemia in term and
late preterm infants. Uptodate. 2013:5063.
32. Fiberoptic phototherapy systems. Health devices. 1995;24(4):132-53.
33. Sampurna MTA, Saharso D, Hulzebos CV, Dijk PH, Bos AF, Sauer PJJ. Current
Practice Phototherapy In Indonesia. 2018.
34. Tan KL. The pattern of bilirubin response to phototherapy for neonatal
hyperbilirubinaemia. Pediatric research. 1982;16(8):670-4.
35. Aycicek A, Kocyigit A, Erel O, Senturk H. Phototherapy causes DNA damage in
peripheral mononuclear leukocytes in term infants. Jornal de pediatria.
2008;84(2):141-6. 36. Seidman DS, Moise J, Ergaz Z, Laor A, Vreman HJ,
Stevenson DK, et al. A new blue light-emitting phototherapy device: a prospective
randomized controlled study. The Journal of pediatrics. 2000;136(6):771-4.
37. Ennever JF. Blue light, green light, white light, more light: treatment of neonatal
jaundice. Clinics in perinatology. 1990;17(2):467-81.
370
38. Garg AK, Prasad RS, Hifzi IA. A controlled trial of high-intensity double-surface
phototherapy on a fluid bed versus conventional phototherapy in neonatal jaundice.
Pediatrics. 1995;95(6):914-6.
39. Tan KL. Phototherapy for neonatal jaundice. Clinics in perinatology.
1991;18(3):423-39.
40. Maisels MJ. Why use homeopathic doses of phototherapy? Pediatrics. 1996;98(2 Pt
1):283-7.
41. Eggert P, Stick C, Schroder H. On the distribution of irradiation intensity in
phototherapy. Measurements of effective irradiance in an incubator. European
journal of pediatrics. 1984;142(1):58-61.
42. Dachlan TI, Yuniati T, Sukadi A. Effect of phototherapy with alumunium foil
reflectors on neonatal hyperbilirubinemia. Paediatrica Indonesiana. 2015;55(1):13-
7.
43. Djokomuljanto S, Rohsiswatmo R, Hendarto A. Perbandingan Efektivitas antara
Terapi Sinar Tunggal dengan dan Tanpa Kain Putih pada Bayi Berat Lahir Rendah
dengan Hiperbilirubinemia. Sari Pediatri. 2016;18(3):233-9.
44. Institue of Medicine. Crossing the Quality Chasm: A New Health System for the
21st Century. Washington, DC: National Academy Press; 2001.
45. American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians and
Gynecologists. Guidelines for Perinatal Care. 5 ed. Elk Grove Village, IL:
American Academy of Pediatrics; 2002.
46. Bertini G, Dani C, Tronchin M, Rubaltelli FF. Is breastfeeding really favoring early
neonatal jaundice? Pediatrics. 2001;107(3):E41.
47. Penn AA, Enzmann DR, Hahn JS, Stevenson DK. Kernicterus in a full term infant.
Pediatrics. 1994;93(6 Pt 1):1003-6.
48. Maisels MJ, Gifford K. Normal serum bilirubin levels in the newborn and the effect
of breast-feeding. Pediatrics. 1986;78(5):837-43.
49. Yamauchi Y, Yamanouchi I. Breast-feeding frequency during the first 24 hours
after birth in full-term neonates. Pediatrics. 1990;86(2):171-5.
50. De Carvalho M, Klaus MH, Merkatz RB. Frequency of breast-feeding and serum
bilirubin concentration. American journal of diseases of children. 1982;136(8):737-
8.
51. Varimo P, Simila S, Wendt L, Kolvisto M. Frequency of breast-feeding and
hyperbilirubinemia. Clinical pediatrics. 1986;25(2):112.
52. de Carvalho M, Hall M, Harvey D. Effects of water supplementation on
physiological jaundice in breast-fed babies. Archives of disease in childhood.
1981;56(7):568-9.
53. Nicoll A, Ginsburg R, Tripp JH. Supplementary feeding and jaundice in newborns.
Acta paediatrica Scandinavica. 1982;71(5):759-61.
54. Madlon-Kay DJ. Identifying ABO incompatibility in newborns: selective vs
automatic testing. The Journal of family practice. 1992;35(3):278-80.
55. Slusher TM, Olusanya BO, Vreman HJ, Brearley AM, Vaucher YE, Lund TC, et al.
A Randomized Trial of Phototherapy with Filtered Sunlight in African Neonates.
The New England journal of medicine. 2015;373(12):1115-24.
56. Cuperus FJ, Hafkamp AM, Hulzebos CV, Verkade HJ. Pharmacological therapies
for unconjugated hyperbilirubinemia. Current pharmaceutical design.
2009;15(25):292738.
57. Ramasethu J, Luban NLC. Alloimmune hemolytic disease of the newborn. In:
Lichtman MA, Beutler E, Kipps TJ, Seligsohn U, Kaushansky K, Prchal JT, editors.
Williams' Hematology. 7 ed. New York: McGraw-Hill; 2006. p. 715-66.
58. Funato M, Tamai H, Shimada S. Trends in neonatal exchange transfusions at
Yodogawa Christian Hospital. Acta paediatrica Japonica : Overseas edition.
1997;39(3):305-8.
371
59. Seidman DS, Paz I, Armon Y, Ergaz Z, Stevenson DK, Gale R. Effect of
publication of the "Practice Parameter for the management of hyperbilirubinemia"
on treatment of neonatal jaundice. Acta paediatrica. 2001;90(3):292-5.
60. Ebbesen F. Recurrence of kernicterus in term and near-term infants in Denmark.
Acta paediatrica. 2000;89(10):1213-7.
61. Naulaers G, Barten S, Vanhole C, Verhaeghe J, Devlieger H. Management of
severe neonatal anemia due to fetomaternal transfusion. American journal of
perinatology. 1999;16(4):193-6.
62. Dempsey EM, Barrington K. Short and long term outcomes following partial
exchange transfusion in the polycythaemic newborn: a systematic review. Archives
of disease in childhood Fetal and neonatal edition. 2006;91(1):F2-6.
63. Fernandez MC, Weiss B, Atwater S, Shannon K, Matthay KK. Congenital
leukemia: successful treatment of a newborn with t(5;11)(q31;q23). Journal of
pediatric hematology/oncology. 1999;21(2):152-7.
64. Chen CY, Chen YC, Fang JT, Huang CC. Continuous arteriovenous
hemodiafiltration in the acute treatment of hyperammonaemia due to ornithine
transcarbamylase deficiency. Renal failure. 2000;22(6):823-36.
65. Aikoh H, Sasaki M, Sugai K, Yoshida H, Sakuragawa N. Effective immunoglobulin
therapy for brief tonic seizures in methylmalonic acidemia. Brain & development.
1997;19(7):502-5.
66. Mycyk MB, Leikin JB. Combined exchange transfusion and chelation therapy for
neonatal lead poisoning. The Annals of pharmacotherapy. 2004;38(5):821-4.
67. Sancak R, Kucukoduk S, Tasdemir HA, Belet N. Exchange transfusion treatment in
a newborn with phenobarbital intoxication. Pediatric emergency care.
1999;15(4):268-70.
68. Osborn HH, Henry G, Wax P, Hoffman R, Howland MA. Theophylline toxicity in a
premature neonate--elimination kinetics of exchange transfusion. Journal of
toxicology Clinical toxicology. 1993;31(4):639-44.
69. Pasternak JF, Hageman J, Adams MA, Philip AG, Gardner TH. Exchange
transfusion in neonatal myasthenia. The Journal of pediatrics. 1981;99(4):644-6.
70. Dolfin T, Pomeranz A, Korzets Z, Houri C, Manor Y, Feigin M, et al. Acute renal
failure in a neonate caused by the transplacental transfer of a nephrotoxic
paraprotein: successful resolution by exchange transfusion. American journal of
kidney diseases : the official journal of the National Kidney Foundation.
1999;34(6):1129-31.
71. Gunes T, Koklu E, Buyukkayhan D, Kurtoglu S, Karakukcu M, Patiroglu T.
Exchange transfusion or intravenous immunoglobulin therapy as an adjunct to
antibiotics for neonatal sepsis in developing countries: a pilot study. Annals of
tropical paediatrics. 2006;26(1):3942.
72. Virdi VS, Goraya JS, Khadwal A, Seth A. Neonatal transfusion malaria requiring
exchange transfusion. Annals of tropical paediatrics. 2003;23(3):205-7.
73. Maisels MJ, Watchko JF. Treatment of jaundice in low birthweight infants.
Archives of disease in childhood Fetal and neonatal edition. 2003;88(6):F459-63.
74. Burch M, Dyamenahalli U, Sullivan ID. Severe unconjugated hyperbilirubinaemia
with infradiaphragmatic total anomalous pulmonary venous connection. Archives
of disease in childhood. 1993;68(5 Spec No):608-9.
75. Goldenberg NA, Manco-Johnson MJ. Pediatric hemostasis and use of plasma
components. Best practice & research Clinical haematology. 2006;19(1):143-55.
76. Murray NA, Roberts IA. Neonatal transfusion practice. Archives of disease in
childhood Fetal and neonatal edition. 2004;89(2):F101-7.
77. Petaja J, Johansson C, Andersson S, Heikinheimo M. Neonatal exchange
transfusion with heparinised whole blood or citrated composite blood: a prospective
study. European journal of pediatrics. 2000;159(7):552-3.
372
78. Win N, Amess P, Needs M, Hewitt PE. Use of red cells preserved in extended
storage media for exchange transfusion in anti-k haemolytic disease of the newborn.
Transfus Med. 2005;15(2):157-60.
79. Kumar P, Sarkar S, Narang A. Acute intravascular haemolysis following exchange
transfusion with G-6-PD deficient blood. European journal of pediatrics.
1994;153(2):989.
80. Yigit S, Gursoy T, Kanra T, Aydin M, Erdem G, Tekinalp G, et al. Whole blood
versus red cells and plasma for exchange transfusion in ABO haemolytic disease.
Transfus Med. 2005;15(4):313-8.
81. de Waal KA, Baerts W, Offringa M. Systematic review of the optimal fluid for
dilutional exchange transfusion in neonatal polycythaemia. Archives of disease in
childhood Fetal and neonatal edition. 2006;91(1):F7-10.
82. Jackson JC. Adverse events associated with exchange transfusion in healthy and ill
newborns. Pediatrics. 1997;99(5):E7.
83. Keenan WJ, Novak KK, Sutherland JM, Bryla DA, Fetterly KL. Morbidity and
mortality associated with exchange transfusion. Pediatrics. 1985;75(2 Pt 2):417-21.
84. Patra K, Storfer-Isser A, Siner B, Moore J, Hack M. Adverse events associated with
neonatal exchange transfusion in the 1990s. The Journal of pediatrics.
2004;144(5):62631.
85. Ozkan H, Cevik N. Effect of exchange transfusion on elimination of antibiotics in
premature infants. The Turkish journal of pediatrics. 1994;36(1):7-10.
86. Englund JA, Fletcher CV, Johnson D, Chinnock B, Balfour HH, Jr. Effect of blood
exchange on acyclovir clearance in an infant with neonatal herpes. The Journal of
pediatrics. 1987;110(1):151-3.
87. Lackner TE. Drug replacement following exchange transfusion. The Journal of
pediatrics. 1982;100(5):811-4.

373
BAB IV PANDUAN PRAKTIK KLINIS

Standar pelayanan kedokteran yang disusun berdasarkan pendekatan Evidence


Based Medicine (EBM) atau Health Technology Assessment (HTA) yang isinya
menurut buku panduan ini mengikuti format yang ditentukan oleh PP IDAI. Adapun PPK
yang telah disusun oleh UKK Neonatologi adalah sebagai berikut:

4.1 Kriteria rawat inap dan keluar dari rumah sakit

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KRITERIA RAWAT INAP DAN KELUAR


DARI RUMAH SAKIT UNTUK NEONATUS

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik Terbit/Revisi PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Pelayanan kesehatan neonatus yang memerlukan
perawatan inap di rumah sakit. Perawatan neonatus di
rumah sakit memiliki Dokter Penanggung Jawab
Pelayanan (DPJP).

Penilainan klinis neonatus, termasuk pemeriksaan fisik


lengkap, serta identifikasi faktor risiko ibu dan bayi
dilakukan dalam 6–72 jam pasca kelahiran:
• Tentukan rencana serta prosedur manajemen yang
tepat dan berkonsultasi dengan DPJP. Hindari

perlakuan tidak efisien dan berlebihan pada neonatus


• Pemeriksaan klinis dan prosedur tindakan harus dapat
diselesaikan dalam
waktu ≤ 1 jam saat masuk perawatan.
• DPJP memberikan penjelasan pada orangtua
mengenai kondisi klinis neonatus dalam kurun waktu
24 jam dan dicatat dalam lembaran edukasi.

374
PANDUAN MASUK Pelayanan kesehatan neonatus di level 1, di
RAWAT INAP puskesmas dan ruang rawat gabung di RS:
• Tanda vital stabil, menunjukkan sistem organ vital
(susunan saraf pusat, kardio dan respirasi) dalam
keadaan normal. • Berat badan lahir ≥2500
gram dan usia kehamilan ≥37 minggu.
• Tunjangan nutrisi dan medikasi enteral
• Tidak memerlukan tunjangan kardiorespirasi, nutrisi
dan medikasi parenteral.
• Memiliki masalah medik di bidang neonatologi yang
membutuhkan kompetensi DASAR bagi aset tenaga
manusia (ATM).
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 6-8

Pelayanan kesehatan neonatus di level 2A,


di RS tipe D (RS dengan tenaga spesialis
terbatas, minimal 2 spesialistis): • Level 1
ditambah:
• Berat badan lahir ≥2000 gram dan usia
kehamilan ≥36 minggu
• Tunjangan nutrisi dan medikasi parenteral dengan
akses pembuluh darah perifer
• Tidak memerlukan tunjangan kardiorespirasi.
• Memiliki masalah medik di bidang neonatologi yang
membutuhkan

375
kompetensi SPESIALIS bagi aset tenaga manusia
(ATM).
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 3-5

Pelayanan kesehatan neonatus di level 2B,


di RS tipe C (RS dengan tenaga spesialis
minimal 4 spesialistis):
• Level 2A ditambah:
• Berat badan lahir ≥1800 gram dan usia
kehamilan ≥35 minggu.
• Memerlukan tunjangan respirasi dengan ventilasi non-
invasif
• Memerlukan obat kardiotonik dengan akses pembuluh
darah perifer.
• Pada keadaan darurat, pasien memerlukan tunjangan
ventilasi invasif dengan ventilator konvensional ≤5
hari untuk stabilisasi neonatus sebelum dirujuk ke
fasilitas kesehatan tersier.
• Pasien yang memerlukan tindakan bedah minor pada
neonatus.

Pelayanan kesehatan neonatus di level 3A,


di RS tipe B (RS dengan spesialis lengkap
dan subspesialis terbatas):
• Level 2B ditambah:
• Berat badan lahir <1800 gram dan usia kehamilan <35
minggu.
• Memerlukan tunjangan respirasi dengan ventilasi
invasif
• Memerlukan tunjangan nutrisi enteral dan parenteral
melalui akses pembuluh darah sentral.
• Memiliki masalah medik di bidang neonatologi yang
membutuhkan kompetensi SUBSPESIALIS atau
SPESIALIS PLUS bagi aset tenaga manusia (ATM).
• Pasien membutuhkan tindakan bedah major terbatas.

376
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 2.

Pelayanan kesehatan neonatus di level 3B, di


RS tipe B (RS dengan spesialis dan
subspesialis lengkap kecuali bedah jantung):
• Level 3A ditambah:
• Pasien membutuhkan tindakan bedah major lengkap,
kecuali prosedur kardiotorasis.
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 2.

Pelayanan kesehatan neonatus di level 3C,


di RS tipe A (RS dengan spesialis dan
subspesialis lengkap serta bedah jantung
dengan fasilitas terbatas):
• Level 3B ditambah:
• Pasien membutuhkan tindakan bedah major lengkap
dan prosedur kardiotorasis yang tidak memerlukan
ECMO.
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 2.

Pelayanan kesehatan neonatus di level 3D,


di RS yang menjadi pusat rujukan nasional
(RS dengan spesialis dan subspesialis
lengkap serta bedah jantung dengan fasilitas
lengkap):
• Level 3B ditambah:
• Pasien membutuhkan tindakan bedah major lengkap
dan prosedur kardiotorasis memerlukan ECMO.
• Tatalaksana pasien membutuhkan proporsi pasien
dengan perawat 1 banding 2.

KEPUTUSAN Kriteria pulang dari rumah sakit


KELUAR RAWAT • Bayi menunjukkan tanda vital stabil di boks terbuka
INAP selama 24-48 jam, terdapat

377
penambahan berat badan dan memenuhi kebutuhan
nutrisi oral perhari.
• Berat badan telah mencapai 1800 gram atau lebih
• Ibu dan ayah dan atau pengasuh bayi telah mendapat
edukasi mengenai praktik mengasuhan neonatus di
rumah
• Semua obat yang diperlukan dapat diberikan per oral
• Hasil laboratorium normal
• Imunisasi Hepatitis B, OPV dan BCG telah dilakukan
(jika tidak ada kontraindikasi)
• Rujukan kepada konselor ASI setempat
• Administrasi rumah sakit telah diselesaikan

DAFTAR RUJUKAN O’Reilly H. 2 Pilgrim S. 3


Stark, AR. 4
Malarkey M, Kuschel C, Rowley S. 5
Yusna D, Wisnumurti DA, Djauharie EA,
Siswanto JE, Kadi FA, Irawan G 6

378
4.2 Komunikasi interpersonal dan konseling

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN


KONSELING

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik Terbit/Revisi PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Komunikasi perlu memiliki tujuan yang jelas:
1. Membangun komunikasi yang baik adalah suatu
keterampilan.
2. Kebutuhan komunikasi harus bersifat responsif
terhadap kebutuhan pasien.
3. Komunikasi bersifat verbal dan non verbal

Masalah komunikasi dokter dan pasien


Banyak komponen yang menjadi penghalang
komunikasi yang baik antara dokter dan pasien,
diantaranya adalah halhal berikut:
• Buruknya keterampilan komunikasi dokter
• Informasi yang tidak boleh diungkapkan
• Kebiasaan menghindar dokter
• Tidak berkolaborasi
• Penentangan dari pasien

Interaksi antara dokter dan pasien/klien merupakan


bagian penting dari sistem pelayanan kesehatan yang
efektif. Penting sekali untuk memperhatikan hal-hal
berikut:
• Membangun persepsi klien terhadap kompetensi
teknis dokter

379
• Membangun hubungan interpersonal dokter-klien
• Menyampaikan informasi pada klien
• Memberikan pilihan pelayanan yang sesuai
• Memastikan kesinambungan pelayanan
• Pemahaman dan ingatan pasien akan lebih baik
melalui komunikasi yang baik sehingga dapat
meningkatkan kepuasan dan kepatuhan klien.

KETERAMPILAN Komunikasi yang baik memerlukan keterampilan


ANAMNESIS bertanya dan mendengar. Keterampilan ini
mengembangkan rasa percaya dan memungkinkan
pasien menjawab pertanyaan secara benar dan
memberikan seluruh informasi yang dimilikinya.
Keterampilan ini juga membantu dokter untuk
memahami masalah pasien.

Keterampilan bertanya
• Lakukan tanya jawab di tempat yang menjamin privasi.
• Bantulah klien untuk merasa nyaman dengan
membuat diri anda sendiri menjadi rileks. Hindari
berbagai gerakan yang memperlihatkan rasa gugup.
• Dekatkan tubuh anda sedikit ke depan untuk
memperlihatkan ketertarikan anda terhadap apa yang
dikatakan oleh pasien.
• Pertahankan kontak mata.
• Gunakan nada bicara yang memperlihatkan
rasa tertarik, perhatian dan keramahan.
• Ajukan berbagai pertanyaan yang mendorong klien
untuk berbicara mengenai anaknya.
• Mulailah dengan pertanyaan terbuka untuk
memperoleh cerita dari sudut pandang klien.
• Ikuti dengan pertanyaan tertutup untuk memperoleh
informasi spesifik.
• Tanyakan satu pertanyaan saja dalam satu saat, lalu
tunggu klien menjawab.

380
• Tanyakan pertanyaan yang sama dengan beberapa
cara yang berbeda jika anda menganggap klien tidak
memahaminya.
• Hindari pertanyaan yang bersifat
mengarahkan.
• Gunakan suara atau gerakan yang bersifat mendorong
untuk membuat klien mau berbicara.

Keterampilan mendengar
• Diam pada saat yang tepat, perlihatkan rasa hormat
anda dengan tidak menyela pasien sehingga berhenti
berbicara.
• Klarifikasi apapun yang anda tidak pahami.
• Ulangi apa yang klien telah katakan dengan kata-kata
anda sendiri.
• Refleksikan apa yang baru saja dikatakan klien.
• Rangkum apa yang telah anda dengar dari klien pada
akhir anamnesis

BERBAGI Setiap klien memerlukan informasi yang akurat, memadai


INFORMASI dan sesuai yang diperlukan untuk membuat
DENGAN PASIEN keputusan berdasarkan informasi mengenai
kesehatannya dan berpartisipasi dalam menjaga
kesehatannya.

Untuk setiap prosedur medik, klien harus memperoleh


berbagai informasi berikut ini sebelum menandatangani
lembar persetujuan tindakan:
• Mengapa prosedur tersebut perlu
dilakukan
• Apa saja yang akan terjadi dalam prosedur tersebut
• Risiko dan keuntungan dari prosedur tersebut
• Efek jangka panjang dari prosedur tersebut
• Adanya pilihan untuk menolak prosedur tersebut

381
Keterampilan memberikan informasi
• Gunakan bahasa sederhana yang dapat dipahami
klien dengan mudah. Hindari bahasa teknis atau
medik.
• Gunakan gambar atau materi cetak lainnya jika
memungkinkan untuk memperjelas apa yang sedang
anda katakan
• Berikan jeda dari waktu ke waktu dan tanyalah
apakah klien paham dengan penjelasan anda
• Ulangi instruksi yang perlu dipahami oleh
pasien/klien
• Minta klien untuk mengulang instruksi
• Tanya klien apakah ia ingin
menanyakan sesuatu

KONSELING Konseling merupakan suatu interaksi tatap muka antara


petugas dengan klien dimana petugas membantu klien
untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang
didapat terkait dengan kondisi kesehatannya.

Konseling khusus dibidang maternalperinatal salah


satunya adalah dengan memberitahu kapan ibu harus
kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan dan juga
mengajari ibu untuk mengenali tanda bahaya yang
menunjukkan kapan bayi harus segera dibawa ke rumah
sakit serta menilai praktik pemberian ASI dan
memberikan konseling untuk mengatasi masalah yang
ditemukan.

Berikan juga konseling mengenai cara melanjutkan


pengobatan di rumah, merawat bayi muda termasuk
melakukan asuhan dasar di rumah.

KOMUNIKASI • Berikan pelayanan yang baik dan ramah.


ANTARA DOKTER • Berikan pelayanan yang sesuai dan efektif untuk
DAN PASIEN meningkatkan status kesehatan pasien.

382
• Tidak melakukan tindakan berbahaya, bahkan ketika
pasien meminta anda untuk melakukannya.
• Rawat pasien tanpa ada diskriminasi.

Dalam melakukan komunikasi antara dokter dan pasien


dapat diterapkan enam langkah yang sudah dikenal
dengan kata kunci SATU TUJU. Penerapan tidak perlu
dilakukan secara berurutan, harus disesuaikan dengan
kebutuhan klien.

SA: Sapa dan salam kepada klien dengan hangat dan


sopan
T : Tanyakan pada klien informasi tentang dirinya
dan anaknya
U : Uraikan kepada klien apa yang terjadi dan upaya
untuk menyelesaikan masalah TU : Bantu pasien untuk
membuat keputusan dengan memberi informasi yang
sesuai dan memadai
J : Jelaskan dan informasikan
prosedur/pemeriksaan/kondisi medis kepada klien
U : Ingatkan klien untuk melakukan kunjungan ulang jika
menemukan masalah

DAFTAR RUJUKAN Ha JF, Longnecker N.7


Kementrian Kesehatan RI. 8

4.3 Penilaian fisik

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PENILAIAN FISIK DAN PENILAIAN USIA KEHAMILAN

No. Dokumen No. Revisi Halaman


UKK
Neonatologi
2018

383
Tanggal Tebit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Panduan IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Suatu penilaian fisik lengkap untuk setiap neonatus harus dilakukan
pada awal setiap jadwal tugas jaga (shift). Pastikan anda
mendokumentasikan hasil penilaian dengan baik. Penilaian fisik harus
mencakup:
Tanda vital
Ukuran pertumbuhan
Penilaian sistem
ASI: frekuensi, kelekatan, posisi
Untuk neonatus yang baru masuk ke ruangan, data pasien masuk dan
penilaian usia kehamilan juga harus didokumentasi

PERSIAPKAN Sebelum memeriksa bayi, cucilah tangan dengan sabun dan air bersih
DIRI mengalir kemudian keringkan dengan lap bersih dan kering atau
PEMERIKSA dianginkan. Jangan menyentuh bayi jika tangan anda masih basah dan
dingin.
• Gunakan sarung tangan jika tangan menyentuh bagian tubuh yang
ada darah, menyentuh anus yang terkontaminasi mekonium, tali
pusat, atau memasukkan tangan ke dalam mulut bayi.
• Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir setelah
pemeriksaan kemudian keringkan
• Jaga suhu bayi tetap hangat selama pemeriksaan. Buka hanya
bagian yang akan diperiksa atau diamati dalam waktu singkat untuk
mencegah kehilangan panas.

TANDA VITAL Neonatus yang stabil harus diukur dan dilakukan penilaian sistem
sebelum waktu pemberian asupan.

384
Neonatus yang tidak stabil dan neonatus yang terpasang ventilator
harus diukur tanda vitalnya dan dinilai sistemnya setiap 1-2 jam.

Suhu
• Pengukuran suhu rektum dilakukan hanya satu kali pada saat
neonatus masuk ruangan untuk menyingkirkan kemungkinan
imperforasi anus. Semua pengukuran suhu tubuh selanjutnya harus
dilakukan melalui pengukuran suhu aksila.
• Suhu neonatus normal adalah 36,5oC–37,5oC.
• Neonatus yang ditempatkan di tempat tidur dengan penghangat
(infant warmer/incubator) harus dipasangi termometer probe
kulit dan diobservasi sampai mencapai suhu tubuh yang stabil

• Jika neonatus mengalami hipotermia:


- Pastikan tempat tidur penghangat atau inkubator telah
dinyalakan dan bekerja dengan baik, suhu inkubator disesuaikan
- Periksa suhu tubuh neonatus sampai diperoleh hasil pengukuran
yang normal
- Bila tidak tersedia penghangat, dapat dilakukan perawatan
metode kanguru
- Untuk bayi kecil dengan BB< 1500gram, gunakan plastik
- Untuk mencegah hipotermia lebih lanjut, pastikan topi dipakai
oleh bayi.
- Untuk melakukan prosedur atau pemeriksaan. Cobalah
menggunakan jendela pada inkubator jika memungkinkan,
terutama jika suhu tubuh neonatus tidak stabil atau berat badan
kurang dari 1,0 Kg.
- Periksa sumber hilangnya panas seperti oksigen yang dingin,
pengaturan panas yang rendah pada pelembab (humidifier)
ventilator atau ruangan yang dingin

• Jika neonatus mengalami hipertermia:


- Pastikan tempat tidur penghangat bekerja dengan baik.
- Periksa apakah neonatus sedang menangis atau bergerak
dengan kuat atau dibungkus secara berlebihan
- Identifikasi tanda-tanda infeksi

385
Denyut jantung
Denyut jantung harus dinilai dengan melakukan auskultasi di dada kiri
setinggi apeks kordis dan menghitungnya selama satu menit penuh
• Untuk neonatus yang stabil, denyut jantung harus diukur dengan
jadwal penanganan setiap shift
• Untuk neonatus yang tidak stabil, denyut jantung harus diukur setiap
jam atau pasang monitor jantung
• Denyut jantung normal pada neonatus adalah 120160 kali per menit
pada saat istirahat. Kontak kulit dengan kulit membantu
menstabilisasi denyut jantung dan membuat neonatus lebih tenang

• Jika neonatus mengalami takikardia (denyut jantung > 160 x/menit):


- Pastikan bahwa neonatus tidak sedang menangis atau bergerak
dengan kuat

• Jika neonatus mengalami bradikardia (denyut jantung < 100 x/menit):


- Nilai warna dan pola pernapasan neonates
- Pastikan bayi dalam keadaan stabil

Frekuensi napas
• Frekuensi napas normal pada neonatus adalah 4060 per menit, dan
tidak ada tarikan dinding dada kedalam yang kuat ketika bayi sedang
tidak menangis.
• Frekuensi napas harus diukur melalui observasi selama satu menit
penuh.
• Untuk neonatus stabil maka harus diukur dengan penanganan
terjadwal setiap shift
• Jika neonatus tidak stabil, maka napas harus dihitung setiap jam.

Tekanan Darah
• Pada saat masuk ruangan, pembacaan tekanan darah harus dilakukan
pada keempat ekstremitas dengan menggunakan alat pengukur
tekanan darah.
• Untuk neonatus yang stabil, tekanan darah harus diukur pada setiap
jadwal tugas jaga (shift)
• Jika neonatus tidak stabil, tekanan darah harus diukur setiap 1-2 jam

• Tekanan darah dapat meningkat ketika bayi sedang menangis dan


menurun ketika bayi sedang tidur
• Tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia kehamilan dan
usia pasca lahir
• Bila tidak ada manset neonatus, dapat dideteksi dengan melakukan
pemeriksaan Capillary Refill Time
(CRT), bila CRT > 3’’ berarti bayi sudah mengalami

386
gangguan sirkulasi yang harus segera ditangani
UKURAN Terdapat tiga komponen ukuran pertumbuhan pada neonatus.
PERTUMBUHAN • Berat badan harus diukur setiap hari.
• Panjang harus diukur pada saat masuk dan setiap minggu
• Lingkar kepala harus diukur pada saat bayi masuk ruangan dan setiap
minggu.

Berat Badan
• Berat badan harus diukur setiap hari, pada waktu yang tetap setiap
harinya, bersama-sama dengan asuhan rutin dan pembersihan
inkubator.
• Berat badan harus diplot pada grafik berat badan pada saat bayi
masuk ruangan dan setiap hari
• Jika berat badan berbeda secara bermakna dari sehari sebelumnya
maka berat badan harus diukur dua kali. Beritahu dokter jika selisih
berat badan tersebut ternyata akurat
• Jika neonatus tidak stabil untuk dipindahkan dan ditimbang, sesuai
perintah dokter untuk tidak menimbang neonatus.

Panjang Badan
• Panjang bayi dari puncak kepala sampai tumit harus diukur pada saat
bayi masuk dan setiap minggu.
• Panjang harus diplot pada grafik panjang bayi setiap minggu.
• Bayi harus berada dalam posisi terlentang ketika kita mengukur
panjang. Hindari menganggu neonatus selama pengukuran.

Lingkar Kepala
• Lingkar kepala harus diukur pada saat bayi masuk ruangan dan setiap
minggu
• Ukurlah kepala bayi dengan menggunakan pita pengukur di
sekeliling bagian paling menonjol dari
tulang occipital dan tulang frontal

• Lakukan pengukuran setidaknya setiap hari pada neonatus dengan


masalah neurologis seperti perdarahan intraventrikuler, hidrosepalus
atau asfiksia.

387
PENILAIAN Setiap temuan yang abnormal atau tidak biasa harus segera dilaporkan
SISTEM pada dokter.

Penilaian neurologis
• Suatu penilaian neurologis penuh harus dilakukan setiap hari. Untuk
neonatus yang tidak stabil atau neonatus dengan masalah
neurologis, penilaian ini harus dilakukan lebih sering seperti yang
diperintahkan oleh dokter
• Penilaian neurologis harus mencakup parameter pada Tabel
parameter penilaian neurologis neonatus

Tabel 2. Parameter penilaian neurologis neonatus


Parameter Komentar
Aktivitas Diam, bangun, gelisah, tidur

Tingkat
Letargi, waspada atau tersedasi
Kesadaran

Pergerakan Spontan, terhadap nyeri atau tidak ada


Tonus Hipertonik, hipotonik, normal atau lemah
Ukuran: kanan, kiri
Pupil
Reaksi: lambat, cepat atau tidak ada
Jika terdapat nyeri, jika terdapat suara, tidak ada,
Membuka mata
atau spontan
Menangis Diintubasi, lemah, keras atau bernada tinggi
Fontanela Cekung, menonjol atau datar
Sutura Menonjol (bertumpuk) atau terpisah
Kejang Jika ada, tuliskan gambaran lengkapnya

Penilaian pernapasan
• Penilaian harus dilakukan setiap jadwal tugas jaga (shift) atau jika
terdapat perubahan dalam kondisi klinis
• Penilaian pernapasan harus mencakup parameter yang terdapat
pada Tabel parameter penilaian pernapasan neonatus.

388
Tabel 3. Parameter penilaian pernapasan
neonatus
Parameter Komentar
Merah muda, sianotik, pucat, berkabut, kutis
Warna kulit marmorata atau jaundice.
Tidak terlihat usaha keras, merintih, hidung
Pernapasan kembang kempis atau retraksi
Jauh, dangkal, course, stridor, wheezing, atau
Suara napas menghilang, sama atau tidak sama
Dinding dada Pergerakan simetris atau tidak simetris

Apnea/ Denyut jantung terendah yang diamati, warna,


bradikardia pembacaan oksimeter, dan durasi episode

Jumlah : sedikit, sedang, atau banyak


Warna: putih, kuning, bening, hijau atau ada noda
Sekresi
darah
Konsistensi: kental, encer atau mukoid
ETT Cek Kedalaman ETT (cm)

Penilaian kardiovaskular
• Penilaian kardiovaskuler harus dilakukan setiap jadwal tugas jaga
(shift) atau jika terdapat perubahan kondisi klinis.
• Penilaian kardiovaskuler harus mencakup parameter yang terdapat
pada Tabel parameter penilaian kardiovaskuler.

Tabel 4. Parameter penilaian kardiovaskular


Parameter Komentar
Prekordium Diam atau aktif
Bunyi jantung Samar atau dapat didengar dengan mudah
Ritme/Irama Normal atau gambarkan jika ada aritmia
Murmur Gambarkan jika ada.
Pengisian ulang kapiler Berapa detik?
Denyut tepi, femoral dan
Normal, lemah atau tidak ada
brakial

Penilaian Gastrointestinal
• Penilaian gastrointestinal harus dilakukan setiap hari atau jika
terdapat perubahan dalam kondisi klinis dan harus mencakup
parameter yang terdapat pada Tabel parameter penilaian
gastrointestinal.

389
Tabel 5. Parameter penilaian gastrointestinal
Parameter Komentar
Bising usus Ada, tidak ada, hiperaktif atau hipoaktif
Lingkar abdomen Catat ukuran dalam cm setiap hari
Emesis (atau residual)
Volume dan gambaran

Merah atau tidak berwarna


Dinding perut
Teregang atau terlihat adanya lingkaran-lingkaran usus.
Palpasi Lunak, tegang, atau kaku

Menyusui
• Frekuensi: neonatus harus diberi ASI sesuai permintan dan selama
tiga hari pertama, menyusui harus dilakukan setiap dua jam
• Posisi: ibu harus berada dalam posisi yang nyaman. Kepala dan
badan neonatus harus berada di satu garis lurus, menghadapi ibu,
dan dekat dengan payudara. Sentuh bibir bayi dengan jari atau
puting dan biarkan mulut bayi terbuka lebar
• Kelekatan: bibir bawah neonatus harus menekuk ke arah bawah luar
dan sebagian besar areola masuk ke mulut bayi. Areola lebih banyak
terlihat di atas mulut neonatus dan dagunya harus menyentuh
payudara.

Sistem lain
Penilaian lain harus diperoleh, sesuai dengan kebutuhan. Contoh:
- Gambaran luka dan pembalutannya
- Gambaran sistem genitourinari
- Gambaran output kolostomi

PENILAIAN Semua bayi yang masuk ke Unit Pelayanan Neonatus harus mempunyai
USIA penilaian usia kehamilan yang lengkap. Jika mungkin, hal ini harus
KEHAMILAN dilakukan satu jam setelah kelahiran dan tidak lebih dari 12 jam setelah
kelahiran. Tujuan penilaian usia kehamilan adalah untuk:
• Bandingkan bayi menurut nilai standar pertumbuhan neonatus
berdasarkan usia kehamilan. Temuan dianggap akurat dengan
kisaran ± 2 minggu.
• Verifikasi perkiraan obstetri untuk usia kehamilan dan identifikasi
bayi kurang bulan, lebih bulan, besar atau kecil untuk usia kehamilan.

• Amati dan rawat terhadap kemungkinan komplikasi.

Prediksi kemampuan adaptasi bayi berdasarkan taksiran usia


kehamilannya misalnya bayi dengan usia kehamilan kurang dari 34
minggu akan sulit menetek.

390
TEKNIK Perkiraan obstetrik usia kehamilan didasarkan pada tanggal hari pertama
MENILAI USIA haid dan haid terakhir:
KEHAMILAN (H+7), (B-3), (T+1)

Keterangan:
H= hari pertama haid terakhir
B= bulan haid terakhir
T= tahun haid terakhir

Teknik lain seperti pengukuran diameter biparietal janin melalui USG


bisa memberikan informasi tentang usia kehamilan dan pertumbuhan
janin serta perkembangannya sebelum lahir.
Ada berbagai instrumen yang berbeda untuk menilai usia kehamilan
bayi, semuanya mengevaluasi perkembangan fisik, neurologis dan
neuromuskular. Skor Ballard, yang merupakan penyederhanaan skor
Dubowitz memberi nilai 1-5 untuk masing-masing dari enam tanda fisik
dan neurologis.

Skor Ballard
Penilaian usia kehamilan tidak boleh dilakukan terburu-buru tapi harus
sistematis dan dilakukan saat bayi stabil dan dalam keadaan tenang dan
biasa. Maturitas fisik paling akurat dilakukan segera setelah lahir. Jika
bayi mengalami proses yang sulit selama persalinan dan kelahiran atau
terkena efek obat persalinan, maturitas neurologisnya mungkin tidak
bisa dinilai secara akurat pada waktu ini dan dengan demikian harus
diulang setelah 24 jam.
Jika penilaian neurologis tidak dilakukan, perkiraan usia kehamilan bisa
berdasarkan skor ganda penilaian fisik. Prosedur penilaian harus
dilakukan dengan tepat dan petugas pemeriksa berikutnya harus
mempunyai kesempatan untuk mengkaji prosedur dengan staf yang
lebih berpengalaman

MELAKUKAN Perkiraan usia kehamilan menurut skor maturitas Kaji


PENILAIAN riwayat persalinan dan catat informasi pada Bagan Perkiraan Usia
Kehamilan menurut skor maturitas.

391
USIA • Nama
KEHAMILAN • Usia saat diperiksa
• Waktu pemeriksaan
• Usia kehamilan menurut tanggal dan USG
• Menilai maturitas fisik bayi dan beri tanda “X”
pada kotak dalam formulir yang paling menjelaskan tentang
bayi. Jika pemeriksaan kedua dilakukan, tuliskan “0”
pada kotak yang benar.
• Menilai maturitas neuromuskular bayi dan
tuliskan “X” pada kotak dalam formulir yang
paling menjelaskan tentang bayi. Jika pemeriksaan
kedua dilakukan, tuliskan “0” pada kotak yang benar.

Postur paling baik jika dinilai saat bayi terlentang dan tenang. Amati
fleksi tangan dan kaki, bandingkan dengan angka yang ada pada lembar
kerja dan tuliskan
“X” pada angka yang paling sesuai.

Square window dilakukan dengan melakukan fleksi pergelangan


tangan bayi dan amati sudut antara ibu jari dan bagian lengan bawah.
Lakukan fleksi sebanyak mungkin dengan hati-hati, bandingkan sudut
ibu jari dengan angka yang ada pada lembar kerja dan pilih angka yang
paling sesuai.

Arm recoil dievaluasi saat bayi terlentang. Pegang kedua tangan bayi
dan lakukan fleksi lengan bagian bawah sejauh mungkin selama 5 detik,
lanjutkan dengan merentangkan kedua lengan lalu lepaskan. Amati
reaksi bayi saat lengan dilepaskan. Bayi yang tangannya tetap terentang
atau gerakannya acak mendapatkan skor 0; fleksi parsial 140-180 derajat
mendapatkan skor 1; fleksi 110-140 derajat mendapatkan skor 2; fleksi
90-100 derajat mendapatkan skor 3; dan kembali ke fleksi penuh dengan
cepat mendapatkan skor 4.

Untuk menentukan sudut popliteal, letakkan bayi terlentang,


kepala, punggung dan panggulnya menempel pada permukaan. Pegang
paha bayi pada posisi fleksi dengan ibu jari dan telunjuk kiri anda.
Dengan telunjuk tangan kanan, lurus kaki di belakang mata kaki dengan
sedikit tekanan lembut. Bandingkan

392
sudut di belakang lutut atau sudut popliteal, dengan angka pada lembar
kerja.

Untuk mengevaluasi scarf sign letakkan bayi terlentang. Pegang


tangan bayi dan tempelkan lengannya melewati leher ke bahu yang
berlawanan sejauh mungkin. Untuk melakukan manuver ini, siku
mungkin perlu diangkat melewati badan, tapi kedua bahu tetap harus
menempel di permukaan meja periksa dan kepala harus tetap lurus.
Amati posisi sikut pada dada bayi dan bandingkan dengan angka pada
lembar kerja, lalu catat skor manuver ini.

Heel-to-ear-maneuver (manuver tumit telinga) juga dilakukan pada


posisi terlentang. Pegang kaki bayi dengan ibu jari dan telunjuk, tarik
sedekat mungkin dengan kepala tanpa memaksa dan pertahankan
panggul pada permukaan meja periksa. Amati jarak antara kaki dan
kepala serta tingkat ekstensi lutut lalu bandingkan dengan angka pada
lembar kerja.

Setelah menyelesaikan penilaian fisik dan neuromuskular, jumlahkan


nilai yang didapat pada setiap kotak yang diberi tanda dan tuliskan
totalnya pada lembar kerja. Jika pemeriksaan hanya terdiri dari penilaian
fisik, kalikan angka total dengan 2.

Menggunakan Grafik Penilaian Maturitas, bandingkan nilai total yang


didapatkan dari penilaian pada kolom Skor dengan perkiraan usia
kehamilan pada Kolom minggu.

Gunakan informasi ini untuk mendokumentasi perkiraan yang tepat


untuk bayi sesuai klasifikasi berikut:
• Kurang Bulan: 37 minggu
• Cukup Bulan: 37-42 minggu
• Lebih Bulan: > 42 minggu

Pastikan untuk mencatat tanggal dan waktu


pemeriksaan
Pastikan untuk mencatat usia menurut tanggal dan USG

393
KLASIFIKASI Kaji dan catat pengukuran fisik berikut ini pada grafik yang ada di
NEONATUS Gambar Klasifikasi Neonatus berdasarkan maturitas dan pertumbuhan
BERDASARKAN intrauterin.
MATURITAS • Nama
DAN • Usia saat pemeriksaan
PERTUMBUHAN • Berat dalam gram
INTRAUTERIN • Panjang dalam sentimeter
• Lingkar kepala dalam sentimeter

Menggunakan perkiraan usia kehamilan dalam Gambar Perkiraan


Usia Kehamilan Menurut Skor Maturitas, dokumentasikan berat,
panjang dan lingkar kepala bayi.
• BMK (Besar masa kehamilan): di atas 90 persentil
• SMK (Sesuai masa kehamilan): 10 – 90 persentil
• KMK (Kecil masa kehamilan): di bawah 10
persentil

DAFTAR Ballard JL,Khoury JC, Wedig K, Wang L, EilersWalsman BL, Lipp R. 9


RUJUKAN

394
Gambar9. Klasifikasi neonatus berdasarkanmaturitas danpertumbuhan
intrauterin

395
Gambar 10. Perkiraan usia kehamilan menurut maturitasnya
4.4 Dampak penyakit ibu pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIK

DAMPAK PENYAKIT IBU PADA NEONATUS

396
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik Terbit/Revisi PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Ibu
Selama Kehamilan
• Memperhatikan faktor risiko tinggi kehamilan (usia,
jarak kehamilan)
• Kecukupan asuhan prenatal termasuk imunisasi (4
kunjungan atau lebih)
• Menghindari kelebihan berat badan selama kehamilan
(terlalu kurus atau obesitas)
• Kenaikan berat badan yang sesuai dan melakukan
kegiatan fisik
• Keseimbangan nutrisi (asupan mikronutrien;
besi, zinc, asam folat, yodium, kalsium )
• Menghindari paparan buruk lingkungan (nikotin,
NAPZA, obat-obatan, pestisida)
• Kesehatan mental termasuk stres dan depresi

Kurangnya Kepatuhan terhadap hal diatas


bisa secara langsung atau tidak langsung
berhubungan dengan:
• Komplikasi Neonatus Kurang Bulan, berat lahir rendah,
dan hal-hal yang berkaitan dengan kesakitan dan
kematian bayi.
• Kejadian komplikasi neonatus spesifik yang lebih berat,
misalnya anomali

kongenital (kelainan tabung syaraf) dan terhambatnya


pertumbuhan janin.

Peranan Asuhan Prenatal :


• Mengidentifikasi secara dini komplikasi pada ibu dan
memberikan bimbingan tentang perilaku sehat
kepada ibu hamil
• Mendidik ibu dan keluarganya tentang identifikasi
secara dini tanda bahaya selama kehamilan.
• Membantu ibu mempersiapkan kelahiran bayi dan
memberikan pendidikan dasar mengenai asuhan
neonatus/bayi baru lahir termasuk menyusui, IMD.

397
IDENTIFIKASI • Penentuan secara akurat usia kehamilan
DINI KEHAMILAN • Mempromosikan dan diadopsinya perilaku sehat sejak
awal dan menghindari perilaku/paparan yang tidak
sehat.
• Penapisan dini infeksi dan risiko lainnya.
• Meningkatkan kemampuan diagnosis dini dan
perawatan penyakit ibu yang bisa mempengaruhi
kehamilan :
- Anemia
- Malnutrisi ibu
- Kondisi medis ibu yang sudah terjadi sebelum
hamil (hipertensi, diabetes, TB, malaria, infeksi
menular seksual, infeksi saluran kemih)
- Penyakit jantung ibu - Kelainan tiroid

A. Nutrisi Ibu
• Mengevaluasi status nutrisi
▪Kondisi berat badan sebelum hamil
▪Kenaikan berat badan yang optimal (10 – 15 kg)
▪Anemia (Hb 10 gram%)
▪Obesitas (uji tapis hipertensi & diabetes)
▪Defisiensi yodium endemik ( gondok )
▪Evaluasi asupan terutama vitamin

• Rekomendasi

398
▪Asupan yang seimbang
▪Suplementasi Kalsium dan Vit.D (defisiensi yang berat
mungkin berhubungan dengan hipokalsemia pada
neonatus)
▪Asupan asam folat yang mencukupi (dimulai sebelum
kehamilan) mengurangi risiko kelainan tabung syaraf
▪Suplementasi besi yang mencukupi terutama pada
kasus anemia
▪Menghindari Vit.A dosis tinggi (efek teratogenik)

B. Infeksi perinatal Infeksi


Virus :
• Cytomegalovirus
▪ Ditularkan melalui plasenta, ASI
▪ Berkaitan dengan PJT, hepatosplenomegali,
mikrosefali, retinopati dan hydrops
fetalis.
▪ Dicurigai pada neonatus dengan ikterus,
BBLR, trombositopenia dengan petekie
kulit, dan tuli
• Rubella :
▪ Ditularkan melalui plasenta
▪ Dampaknya berbahaya bagi janin termasuk
penyakit jantung kongenital,
PJT, retinopati, kerusakan syaraf
pendengaran, katarak, purpura
dan
hepatosplenomegali
• Herpes simpleks ( HSV)
▪ Infeksi yang ditularkan saat intrapartum.
▪ Dampaknya bagi janin termasuk : PJT,
Ensefalitis/meningitis, kejang, retinitis,
retardasi mental.
• Varicella Zoster
▪ Ditularkan melalui plasenta < 20 minggu
yaitu Varicella kongenital : mikrosefali,
retinitis, jaringan parut pada kulit,

399
▪ dan juga melalui kontak setelah lahir yaitu
Varicella neonatorum.
• HIV
▪ Ditularkan melalui plasenta, selama
proses persalinan dan melalui ASI
▪ Sebagian besar HIV/AIDS pada neonatus
tidak menunjukkan gejala pada periode
neonatus awal meskipun beberapa
diantaranya mengalami PJT
• Hepatitis B
▪ Ditularkan terutama sebagai infeksi yang
masuk melalui ibu dan melalui ASI,
jarang melalui plasenta.
▪ Berkaitan dengan hepatitis kronis
pascanatal, sirosis dan karsinoma
hepatoseluler

Infeksi Non-Virus :
• Neisseria Gonorrhoea
▪ Infeksi yang terjadi pada masa
intrapartum (ascending infection)
▪ Opthalmia neonatorum atau neonatal
conjunctivitis (gejala awal)
• Treponema pallidum (syphilis)
▪ Ditularkan melalui plasenta, di setiap saat
selama kehamilan (dampak paling buruk
jika infeksi dini).
▪ Berkaitan dengan kematian janin, lahir
mati dan syphilis kongenital (lesi kulit
dan selaput mukosa,
hepatosplenomegali, anemia dan
trombositopenia, lesi pada tulang)
• Toxoplasma gondii
▪ Ditularkan melalui plasenta
▪ Infeksi pada trimester awal dapat
mengakibatkan abortus, kematian
janin dalam kandungan, kelahiran
prematur.

400
▪ Bayi dengan toxoplasmosis congenital
menunjukkan gejala: ikterus, chorionitis,
hepatosplenomegali, kejang, hidriosefalus,
mikrosefalus dan retardasi mental, tuli dan
anemia.

C. Penyakit tiroid
• Hipotiroidisme
▪ Dicurigai terjadi pada ibu paska operasi
tiroid, struma, atau Hashimoto Thyroiditis
▪ Dapat menyebabkan lahir mati, PJT,
kelahiran prematur, sindroma hipotiroid
kongenital, diabetes kehamilan, abruption /
solusio plasenta dan preeklamsia.
▪ Indikasi untuk pemberian
Tiroksin
• Hipertiroidisme :
▪ Lebih umum daripada
hipotiroidisme
▪ Harus dicurigai pada kasus dengan gondok
▪ Paling sering disebabkan oleh
penyakit Grave’s
▪ Jika tidak diobati bisa berbahaya bagi ibu
termasuk preeklampsia berat, gagal jantung
dan gangguan irama jantung
▪ Dan pada janin dapat terjadi : abortus,
prematur, PJT dan IUFD.

IDENTIFIKASI A. Preeklampsia
PENYAKIT YANG • Risiko preeklampsia meningkat pada : ▪ Sindrom
DIPERBERAT antifosfolipid
OLEH ▪ Riwayat preeklampsia sebelumnya
KEHAMILAN ▪ Nuliparitas
▪ Usia ibu > 35 tahun
▪ Riwayat keluarga
▪ Penyakit ginjal kronis, hipertensi, dan diabetes
sebelum kehamilan
▪ Kehamilan kembar

401
▪ Obesitas, penyakit jaringan penunjang
▪ Hydrops fetalis

• Manifestasi hipertensi berat pada kehamilan


▪ Sistolik ≥ 160 dan diastolik ≥ 110 ▪
Protein dalam urin ≥ 5 gram dalam urin
24 jam
▪ Jumlah urin sedikit ( < 500 cc /
hari)
▪ Sakit kepala, penglihatan kabur dan kebas
▪ Nyeri epigastrik
▪ Gejala kardiopulmoner, edema
▪ Peningkatan enzym hati, jumlah trombosit
menurun (<100.000)
▪ Pertumbuhan janin buruk

B. Diabetes
• Diabetes sebelum kehamilan :
▪ Diabetes Melitus (DM) pregestasional
merupakan ibu hamil sudah terdiagnosis
diabetes sebelum kehamilan dan berlanjut
selama kehamilan
▪ Angka kematian ibu dengan DM pregestasional
pada kehamilan terutama diinduksi hipertensi,
preeklampsia, partus macet dan distosia bahu 10
▪ Meningkatnya risiko keguguran dan anomali
kongenital jika tidak terkontrol
▪ Penyakit semakin parah jika kasus berlanjut
(komplikasi ginjal dan retina)

• Diabetes kehamilan :
▪ Diabetes melitus gestasional (DMG) merupakan
diabetes atau intoleransi glukosa dengan onset
atau pertama kali terdeteksi pada saat
kehamilan10
▪ Diabetes melitus yang tidak terkontrol selama
kehamilan

402
mengakibatkan peningkatan risiko keguguran
pada trimester pertama, kelainan bawaan
seperti kelainan jantung dan susunan saraf
pusat, peningkatan kematian janin, persalinan
prematur, preeklampsia, ketoasidosis,
polihidramnion, makrosomia, trauma persalinan
khususnya nervus brakhialis, terlambatnya
pematangan paru, sindrom distres pernapasan,
ikterus, hipoglikemia, hipokalsemia serta
peningkatan kematian perinatal11, 12
▪ Ibu yang mengalami diabetes selama kehamilan
setelah diikuti selama 5 tahun berkembang
menjadi DM tipe
2 hingga 60% kasus13
▪ Terjadi pada 2 – 5 % kehamilan
▪ Skrining gula darah dan glukosa urin, dan bila
dicurigai maka dapat dilanjutkan dengan tes
toleransi glukosa pada 18 – 24 minggu
▪ Indikasi untuk tes glukosa urin pada trimester
dua dan tiga
▪ Harus dicurigai pada kasus makrosomia dan
polihidramnion
▪ Meningkatnya kejadian persalinan macet dan
seksio sesaria serta trauma lahir
▪ Jika tidak terkontrol dengan diet, pertimbangkan
insulin
▪ Hipoglikemia / hipokalsemia pada neonatus

MEMPERKIRAKAN • Mengidentifikasi pertumbuhan janin dan ukuran


PARTUS MACET panggul untuk mengetahui kemungkinan disproporsi
sefalopelvik (kepala panggul). Partus lama dapat
memicu terjadinya perdarahan dan ruptur uteri

• Risiko partus lama dapat dideteksi salah satunya


dengan pengukuran tinggi badan dimana tinggi
badan kurang dari 150 cm dianggap sebagai median
untuk memprediksi kehamilan risiko tinggi.

• Di samping itu penyebab partus lama adalah


malposisi atau malpresentasi
• Identifikasi dini kehamilan kembar

403
MEMPERKIRAKAN • Mendiagnosis kasus dengan plasenta previa
KASUS YANG • Mencegah ruptura uteri dengan manajemen aktif kala
BERISIKO III dan suntikan oksitosin
PERDARAHAN • Beberapa faktor risiko terjadinya perdarahan
ANTE DAN postpartum dapat diprediksi saat pemeriksaan
POSTPARTUM antenatal yaitu preeklampsia, riwayat perdarahan
pada kehamilan sebelumnya, kehamilan ganda,
grandemultiparitas
• Mengobati dan memantau kondisi yang berkaitan
dengan solusio plasenta, misalnya :
▪Berusia lanjut
▪Hipertensi
▪Pengguna obat terlarang

MEMANTAU Merupakan bagian rutin dalam kehamilan tapi harus


FUNGSI dipantau terutama pada kasus yang berisiko tinggi,
PLASENTA, misalnya:
PERTUMBUHAN ▪ Hipertensi dalam kehamilan
DAN KESEHATAN ▪ Usia lanjut
JANIN ▪ Diabetes dalam kehamilan
▪ Riwayat janin lahir mati atau persalinan kurang bulan
▪ Riwayat PJT
▪ Paparan terhadap tembakau atau
perokok

Mencurigai buruknya fungsi plasenta : ▪


Terhambatnya pertumbuhan janin
▪ Oligohidramnion
▪ Perubahan pola gerakan janin
▪ Hipertensi berat
▪ Kasus diabetes yang diperberat oleh kehamilan
▪ Masalah tiroid
▪ Terbukti ada infeksi perinatal
Jika terjadi salah satu situasi yang disebutkan di
atas, mungkin perlu dilakukan
pemeriksaan lanjut seperti USG, Doppler

Jika diagnosis dapat ditegakkan, pertimbangkan untuk


terminasi dini kehamilan

404
MEMPERKIRAKAN • Sekitar 30–40% persalinan kurang bulan tidak
TERJADINYA diketahui penyebabnya.
PERSALINAN • Penentu paling kuat terjadinya persalinan kurang
KURANG BULAN bulan adalah kejadian persalinan kurang bulan
DAN BERBAGAI sebelumnya.
RESIKO YANG • Pada 70% kasus persalinan kurang bulan berkaitan
MUNGKIN dengan ketuban pecah dini (KPD).
TERJADI • Kondisi ibu yang berkaitan dengan persalinan kurang
bulan :
▪ Abnormalitas uterus / serviks :
- Malformasi uterus
- Fibroid
- Inkompetensia serviks ▪ Abnormalitas
plasenta :
- Plasenta previa dan solusio plasenta
▪ Penyakit ibu selama kehamilan ;
- Anemia berat, penyakit jantung &
ginjal, hipertensi, diabetes
- Trauma ▪ Infeksi ibu :
- Infeksi saluran kemih
- IMS termasuk HIV
▪ Terpapar terhadap zat : tembakau dan obat-
obatan terlarang

PERTIMBANGAN KHUSUS LAINNYA :


• Inkompatilibitas Rhesus
• Genetik dan penyakit keluarga
• Sindroma Down dan usia lanjut

PENTINGNTA • Penting bagi tenaga kesehatan asuhan neonatus untuk


KERJASAMA TIM mengenali kondisi obstetri yang mungkin
OBSTETRI DAN mempengaruhi kesakitan neonatus
NEONATAL DEMI • Perlu bekerjasama harmonis antar bagian kebidanan
KESEHATAN IBU dan neonatologi untuk mencapai tujuan bersama
DAN NEONATUS dalam

405
menolong persalinan bayi yang memerlukan asuhan
khusus
• Kerjasama seperti ini akan memastikan lingkungan
persalinan yang sesuai dan ketersediaan tenaga
profesional untuk memenuhi kebutuhan neonatus
• Persiapan dan rencana rujukan bayi khusus tetapi
tidak tersedia pada fasilitas pelayanan primer harus
disiapkan jauh hari sebelumnya agar pemilihan
fasilitas dan hasil penanganan rujukan berjalan efektif.
• Peluang bayi untuk tetap hidup akan sangat baik jika
asuhan yang diperlukan tersedia di fasilitas kesehatan
tempat mereka dilahirkan.
• Hasil terbaik bagi ibu dan neonatus tercapai jika
tenaga kesehatan asuhan obstetri dan neonatus
menunjukkan kerjasama dan saling menghargai dan
berdasarkan pada prinsip pengelolaan yang sama.
• Hal ini untuk menghindari akan ” terjadinya
saling menyalahkan ”
• Keberhasilan selalu merupakan hasil pencapaian
bersama
• Tenaga kesehatan asuhan neonatus akan mencapai
hasil yang terbaik jika memiliki sistem pendukung yang
diperlukan untuk membantu mereka melakukan
diagnosis dan perawatan neonatus
• Antisipasi komplikasi neonatus berdasarkan informasi
yang diterima kesehatan ibu akan membantu pemberi
asuhan neonatus untuk mempersiapkan diri dengan
sebaik-baiknya.

DAFTAR RUJUKAN McCance D, McNamara M. 10


Gonzales NG, Davila EG, Castro A , Padron
E. 11
Qadir SY, Yasmin T, Fatima I12
Noctor E, Dunne FP. 13
Duckitt K, Harrington D. 14

406
4.5 Kelainan bawaan yang sering ditemui pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KELAINAN BAWAAN YANG SERING DITEMUI


PADA NEONATUS
(ICD 10: Q00-Q99)

No. Revisi Halaman


No.
UKK Neonatologi 2018
Dokumen

Panduan Praktik Tanggal


Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA
Klinis
PP IDAI
Ikatan Dokter Anak
Indonesia

DEFINISI Kelainan bawaan: kesalahan pembentukan pada


struktur, posisi atau fungsi suatu organ/sistem.
Celah bibir dan celah langit-langit: terdapatnya
celah pada bibir atas dan dapat disertai juga celah pada
langit-langit sehingga terdapat hubungan langsung antara
rongga hidung dan rongga mulut akibat adanya kegagalan
organogenesis pada perkembangan embriologi.
Atresia koana: kelainan kongenital berupa tertutupnya
satu atau dua lubang hidung posterior oleh septum tulang
(90%) dan membran jaringan lunak (10%).
Fistula trakeoesofagus (TEF): adanya hubungan
antara trakea dan esofaugs dan seringkali terkait dengan
kelainan lain yang membentuk sindrom VATER (Vertebral
defect, Anal atresia, Tracheoesophageal fistula
with Esophageal atresia, Radial/Renal anomaly)

407
Hernia diafragmatika: herniasi isi perut ke dalam
rongga toraks melalui defek pada diafragma.
Omfalokel: suatu defek yang menyebabkan usus atau
visera lain menonjol keluar melalui umbilicus (masih
terbungkus selaput)
Gatroskisis: herniasi usus besar dan usus kecil melalui
defek dinding abdomen. Anus imperforata: kelainan
kongenital tidak adanya anus; sering disebut juga atresia
ani. Hipospadia: kelainan urologis yang paling sering
ditemui, dapat bersifat glandular, koronal, anterior,
mid/post penis atau perineal.
Meningomielokel: dilatasi kistik dari meningen yang
terkait dengan spina bifida, dengan atau tanpa defek kulit
di atasnya atau abnormalitas akar saraf.
Spina bifida okulta: celah pada tulang belakang
akibat gagal terbentuk secara utuh, tetapi korda spinalis
dan meningens tidak menonjol.
Dislokasi panggul bawaan: adanya dislokasi pada
tulang panggung akibat pertumbuhan abnormal.
Trisomi 13 (Sindrom Patau): kelainan kongenital
yang ditandai dengan kelebihan kromosom 13.
Trisomi 18 (Sindrom Edward): kelainan kongenital
yang ditandai dengan kelebihan kromosom 18.
Trisomi 21 (Syndrom Down) : kelainan kongenital
yang ditandai dengan kelebihan kromosom 21 yang sering
ditandai adanya kelainan jantung dan saluran cerna.
Sindrom hipotiroid kongenital
TORCH

ANAMNESIS Penyebab: Identifikasi faktor risiko kelainan genetik


hingga gangguan teratogenik terhadap fetus yang tengah
berkembang.

408
PEMERIKSAAN Celah bibir dan celah langit-langit: Kesulitan
FISIS pemberian asupan serta infeksi paru dan telinga berulang.

Atresia koana:
Tidak dapat lewatnya kateter ke nasofaring melalui kedua
sisi hidung sehingga dapat terjadi gawat napas akibat
penyumbatan saluran napas bagian atas.

Fistula trakeoesofagus:
• Bayi yang terkena akan mengeluarkan banyak lendir
(hipersalivasi) dan batuk serta tersedak pada saat diberi
minum.
• Curigai TEF pada kasus dengan
polihidramnion
• Diagnosis dini sebelum terjadinya pneumonia aspirasi
menjadi penting, karena pneumonia aspirasi akan
memperburuk prognosis.
• Diagnosis dipastikan secara cepat dengan gagalnya
selang nasogastrik melewati esofagus proksimal

Hernia diafragmatika:
• Sering ditemui bersamaan dengan
hidramnion.
• Pada saat lahir dapat terjadi sianosis, gawat napas dan
terlihat abdomen skafoid.
• Suara napas pada sisi yang terkena dapat menurun atau
tidak terdengar
• Dapat terjadi masalah pemberian asupan dan gawat
napas ringan

Omfalokel:
Tampak herniasi usus dan pada sejumlah kasus, hati, di
dalam tali pusat.

Gastroskisis:
Tampak herniasi usus besar dan usus kecil melalui defek
dinding abdomen.

409
Anus imperforata:
Pada fistula rendah dapat menyebabkan keluarnya
mekonium melalui vagina atau skrotum, sedangkan fistula
rektovesikal tinggi ditandai dengan terdapatnya
mekonium dalam urine

Hipospadia:
Penis melengkung (korda), defisiensi prepusium ventral,
lubang meatus abnormal, dapat juga disertai testis yang
tidak turun (undescended testis) dan hernia.

Meningomielokel:
• Berbagai derajat defisit motorik dan sensoris terdapat di
bawah ketinggian lesi.
• Kelainan lain anus yang tetap terbuka (patulous),
paralisis kedua ekstremitas bawah dan kelainan bentuk
kaki.
• Hidrosefalus

Spina bifida okulta:


Tidak terlihat kulit yang terbuka, tetapi rambut yang tidak
pada tempatnya, lipoma atau lesung dapat berada di atas
defek medula spinalis.

Dislokasi panggul bawaan:


• Tes Barlow untuk mendorong tulang paha keluar dari
mangkuk acetabulum
• Tes Ortolani untuk mengembalikan sendi yang sudah
mengalami dislokasi

Trisomi 13 (Sindrom Patau):


▪ Backward sloping forehead
▪ Defek kulit kepala
▪ Bentuk dan letak telinga abnormal (low set ears)
▪ Rahang bawah kecil (micrognatia)
▪ Celah bibir dan/atau langit-langit
▪ Rocker bottom feet
▪ Polidaktili

Trisomi 18 (Sindrom Edward):


▪ Oksiput prominen

410
▪ Bentuk dan letak telinga abnormal (low set ears)
▪ Kelainan jantung bawaan
▪ Tangan menggenggam (clenched hand)
▪ Rocker bottom feet

Trisomi 21 (Sindrom Down)


• Mongoloid face
• Epicantus melebar
• Low set ear
• Simian crease
• Makroglossi
• Hipotoni

PEMERIKSAAN Fistula trakeoesofagus:


PENUNJANG Foto rontgen akan memastikan posisi orogastric tube
yang melingkar di esofagus proksimal, dan terlihat udara
dalam lambung. (ICD 9 CM: 87.6)

Hernia diafragmatika:
• Diagnosis pranatal dengan USG (ICD 9 CM: 88.76)
• Rontgen dada akan memperlihatkan gambaran usus
dalam rongga dada (ICD 9 CM: 87.44)

Anus imperforata:
• Rontgen dalam posisi knee chest (ICD 9 CM: 87.44)
• USG dapat mendeteksi ketinggian rektum distal (ICD 9
CM: 88.76)

Meningomielokel:
• Rontgen (ICD 9 CM: 87.2)
• CT Scan (ICD 9 CM: 87.03)
• USG (ICD 9 CM: 88.71)

Dislokasi panggul bawaan:


Rontgen (ICD 9 CM: 87.2)

411
Trisomi 13 (Sindrom Patau):
Pemeriksaan kromosom (ICD 9 CM : V82.79)
Trisomi 18 (Sindrom Edward):
Pemeriksaan kromosom (ICD 9 CM : V82.79)

Trisomi 21 (Sindrom Down):


Pemeriksaan kromosom (ICD 9 CM : V82.79)
Ekokardiografi (ICD 9 CM: 88.72)
Rontgen (ICD 9 CM: 87.44)

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan


KRITERIA DIAGNOSIS pemeriksaan penunjang

DIAGNOSIS KERJA • Cleft palate and cleft lip (ICD 10: Q35Q37)
• Choanal atresia (ICD 10: Q30.0)
• Atresia of oesophagus without fistula (ICD 10:
Q39.0)
• Atresia of oesophagus with
tracheooesophageal fistula (ICD 10: Q39.1)
• Congenital diaphragmatic hernia (ICD 10:
Q79.0)
• Exomphalos (ICD 10: Q79.2)
• Gastroschisis (ICD 10: Q79.3)
• Congenital absence, atresia and stenosis of
anus without fistula (ICD 10: Q42.3)
• Hypospadias (ICD 10: Q54)
• Spina bifida (ICD 10: Q05)
• Congenital deformities of hip (ICD 10:
Q65)

DIAGNOSIS BANDING Other congenital anomalies (Q00-Q99)

TERAPI Celah bibir dan celah langit-langit:


• Penutupan celah dengan pembedahan sebelum fonasi
• Celah bibir pada usia 1-3 bulan
• Celah langit-langit pada usia 6-12 bulan
• Dot panjang
• Hindari aspirasi

Atresia koana:

412
• Jika bilateral, segera diperlukan jalan napas melalui
oral
• Koreksi melalui pembedahan sesegera mungkin

Fistula trakeoesofagus:
• Rujuk ke tempat yang mempunyai fasilitas bedah anak
• Posisikan pada posisi tegak 30o
• Isap faring posterior dan saluran napas atas
• Berikan oksigen

Hernia diafragmatika:
• Ventilasi dengan menggunakan balon dan sungkup
(kantung dan masker) merupakan kontraindikasi
karena akan menyebabkan lebih banyak udara masuk
sehingga akan menkompresi paru
• Pembedahan

Omfalokel:
Harus dilakukan pembedahan sesegera mungkin untuk
menghindari terjadinya peritonitis

Gastroskisis:
Pembedahan

Anus imperforata:
Kolostomi sementara pada neonatus dengan anus
imperforata letak tinggi dengan atau tanpa fistula

Hipospadia:
Pembedahan usia 2 tahun

Meningomielokel:
Pembedahan

Spina bifida okulta:


Pembedahan

Dislokasi panggul bawaan:


Penempatan sebuah brace yang dipasang di atas popok.

413
EDUKASI Hindari faktor risiko terjadinya kelainan bawaan
Kenali tanda dan gejala awal adanya kelainan bawaan pada
bayi

PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Malam


Ad sanationam : Dubia Malam
Ad fungsionam : Malam
DAFTAR RUJUKAN Children's Hospital of Orange Country.15 Mielniczuk M,
Kusza K, Brzeziński P,
Jakubczyk M, Mielniczuk K, CzerwionkaSzaflarska M. 16

4.6 Trauma lahir

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TRAUMA LAHIR
(ICD 10: P10-P15)

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

414
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Trauma lahir: cedera yang didapatkan saat persalinan


dan kelahiran.
Kaput suksadenum: Edema yang tidak berbatas
tegas di bagian kulit kepala yang paling dahulu keluar
dalam persalinan vertex.
Sefalhematoma: Mengumpulnya darah pada
subperiosteal yang melapisi tulang kranial karena
robeknya pembuluh darah melewati periosteum tulang
kepala yang diakibatkan oleh persalinan lama atau sulit
dan trauma mekanis yang disebabkan oleh forsep atau
vakum.
Perdarahan intrakranial: Perdarahan yang dapat
terjadi pada ruang epidural, subdural atau subarachnoid,
parenkim serebrum atau serebelum, atau ventrikel.
Fraktur klavikula: fraktur yang disebabkan
manipulasi yang berlebihan pada lengan dan bahu selama
persalinan dengan presentasi kepala atau sungsang.
Brakial palsi: kelumpuhan yang melibatkan otot bagian
atas ekstremitas setelah

terjadinya trauma mekanis pada akar spinal dari pleksus


brakialis.
Paralisis saraf frenikus: paralisis yang
menyebabkan paralisis diafragma, jarang merupakan lesi
tersendiri (isolated), umumnya unilateral.
Cedera intraabdomen: dapat
mengakibatkan ruptur atau perdarahan subkapsular di
hati, limpa atau kelenjar adrenal.

ANAMNESIS Faktor predisposisi:


• Makrosomia
• Kelahiran kurang bulan
• Disproporsi kepala panggul
• Distosia
• Persalinan lama
• Presentasi abnormal
• Persalinan dengan tindakan (misalnya vakum dan
forsep)
415
• Persalinan kembar
PEMERIKSAAN Kaput suksadenum
FISIS Pembengkakan lunak yang melebar melewati garis sutura
(eksternal dari periosteum).

Sefalhematoma
• Perdarahan terbatas pada garis sutura
• Kulit kepala diatasnya tidak mengalami diskolorasi
• Pembengkakan mungkin timbul beberapa jam atau
hari setelah lahir
• Hilang setelah 2 minggu sampai 3 bulan

Perdarahan intrakranial
• Presentasi tanpa gejala bisa terjadi hingga 50% kasus
• Tanda kehilangan darah antara lain syok, pucat,
gawat napas, DIC dan ikterus
• Tanda disfungsi neurologis
• Fontanela anterior menonjol
• Hipotonia lemah, kejang
• Suhu tidak stabil

416
• Apnea

Fraktur klavikula
• Menurunnya gerakan lengan ipsilateral
• Nyeri saat pergerakan pasif
• Nyeri, krepitasi pada klavikula
• Tidak adanya refleks Moro pada bagian yang terkena
• Kalus bisa dipalpasi pada usia 7-10 hari

Brakial palsi
• Bayi yang terkena biasanya besar dan mengalami
asfiksia.
• Lengan yang terkena biasanya mengalami aduksi,
rotasi internal, memanjang di bagian siku, pronasi
lengan, dan fleksi di bagian pergelangan tangan.

Paralisis saraf frenikus


• Gawat napas
• Tidak ada pengembangan abdomen dengan inspirasi
pada sisi yang terkena

Cedera intraabdomen
• Riwayat persalinan yang sulit
• Manifestasi mendadak termasuk syok dan distensi
abdomen
• Gejala yang mengindikasikan awitan lanjut termasuk
ikterus, pucat, asupan minum yang buruk, takipnea
dan takikardia

PEMERIKSAAN Perdarahan intrakranial


PENUNJANG USG kepala (ICD 9 CM: 88.71)
CT scan (ICD 9 CM: 87.03)
PT/PTT dan jumlah trombosit (ICD 9 CM:
90.05)

Fraktur klavikula
Rontgen klavikula (ICD 9 CM: 87.43)

417
Paralisis saraf frenikus
Pemeriksaan radiologis meningkatnya lengkungan
diafragma (seperti kubah) (ICD
9 CM: 87.49)

Cedera intraabdomen
USG abdomen (ICD 9 CM: 88.76)

Berdasarkan klinis (anamnesis,


KRITERIA
pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang)
DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KERJA Intracranial laceration and haemorrhage due to


birth injury (ICD 10: P10)
Cephalhaematoma due to birth injury
(ICD 10: P12.0)
Fracture of clavicle due to birth injury (ICD 10:
P13.4)
Erb's paralysis due to birth injury (ICD
10: P14.0)
Phrenic nerve paralysis due to birth injury
(ICD 10: P14.2)
Birth injury to liver (ICD 10: P15.0)
Birth injury to spleen (ICD 10: P15.1)
DIAGNOSIS Other birth trauma (ICD 10: P10-P15)
BANDING
TERAPI Kaput suksadenum
Biasanya tidak diperlukan perawatan dan kondisi ini
hilang sendiri dalam waktu beberapa hari.

Sefalhematoma
• Tidak perlu perawatan untuk
sefalhematoma tanpa komplikasi
• Insisi atau aspirasi merupakan
kontraindikasi (risiko infeksi)
• Transfusi darah dilakukan jika berkembang menjadi
anemia berat
• Hiperbilirubinemia yang signifikan mungkin
memerlukan terapi sinar atau bahkan transfusi tukar
tergantung pada kadar bilirubin

418
Perdarahan intrakranial
• Hindari manipulasi yang tidak perlu
• Berikan pengembang volume perlahanlahan (albumin,
plasma dan darah)
• Vitamin K1 harus diberikan jika sudah diidentifikasi
adanya kegagalan koagulasi
• Tatalaksana kejang dan hiperbilirubinemia (jika ada)

Fraktur klavikula
Lengan dan bahu yang terkena tidak dimobilisasi selama 7-
10 hari.

Brakial palsi
• Imobilisasi parsial ekstremitas yang terkena selama 1-2
minggu pada posisi yang berseberangan
• Masase lembut dan latihan pasif setelah 1-2 minggu
dan teruskan hingga 3 bulan.
• Jika tidak ada peningkatan, rujuk ke dokter bedah
untuk mencari kemungkinan dilakukannya intervensi.

Paralisis saraf frenikus


Tidak ada yang spesifik untuk gawat napas

Cedera intraabdomen
Mungkin perlu laparotomi pada kasus cedera hati atau
limpa

Hindari faktor risiko


EDUKASI
PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Bonam
Ad sanationam: Dubia Bonam
Ad fungsionam: Malam
DAFTAR RUJUKAN Akangire G, Carter B. 17

4.7 Resusitasi neonatus


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

RESUSITASI NEONATUS

419
No. Dokumen No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi
2018

Tanggal Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
DEFINISI Resusitasi adalah serangkaian upaya yang sistematis dan
terkoordinir untuk mengembalikan usaha napas dan sirkulasi bayi
baru lahir sehingga terhindar dari kematian dan cacat menetap.

Resusitasi neonatus merupakan suatu prosedur yang diaplikasikan


untuk neonatus yang gagal bernapas secara spontan dan adekuat.

PEMBERITAHUA • Menginformasikan kepada tim resusitasi neonatus bila ada


N ibu dengan kehamilan risiko tinggi.
• Segera setelah pasien obstetrik masuk dan dievaluasi,
informasikan unit neonatologi mengenai rencana tatalaksana
anda dan batas waktu potensial untuk persalinan.
• Setelah keputusan untuk melakukan persalinan berisiko tinggi
darurat dibuat, informasikan unit neonatologi mengenai
rencana tata laksana anda dan batas waktu potensial untuk
persalinan.

LANGKAH UNTUK • Penilaian merupakan salah satu bagian penting dalam resusitasi
KEBERHASILAN neonatus yang perlu dipahami oleh setiap penolong. Tahapan
RESUSITASI ini akan menentukan langkah serta tindakan resusitasi
selanjutnya. Penilaian harus dilakukan segera setelah bayi
lahir dan berlanjut sepanjang resusitasi

420
• Jangan menunggu nilai Apgar satu menit untuk memulai
resusitasi. Semakin lambat anda memulai, akan semakin sulit
melakukan resusitasi
• Semua petugas yang terlibat dalam persalinan harus:
- Memiliki kompetensi melakukan
resusitasi neonatus
- Mampu bekerja efisien
- Dapat bekerja sebagai tim. Tim resusitasi bayi baru
lahir terdiri dari tiga orang, namun apabila adanya
keterbatasan tenaga penolong maka tim resusitasi
dapat berjumlah minimal dua orang. Pembagian tugas
setiap anggota tim harus jelas pada saat menolong
kelahiran bayi baru lahir.
• Orang pertama yang disebut dengan leader / pemimpin tim
yaitu orang yang dianggap paling terampil dan mampu
memberikan instruksi pada anggota tim lainnya. Pemimpin
tim berdiri tepat di sisi kepala bayi. Tanggung jawab utama
pemimpin tim adalah terkait dengan airway dan
breathing.
• Orang kedua (Asisten Circulation) bertanggung jawab
terhadap sirkulasi bayi. Orang ketiga (Asisten Drug and
Equipment) bertanggung jawab terhadap penyiapan alat –
alat resusitasi, penyiapan obat – obatan dan cairan,
mengukur suhu, pemasangan monitor suhu dan alat lainnya.
• Semua peralatan yang diperlukan harus tersedia dan
berfungsi baik.

SEBELUM • Informasikan unit neonatologi mengenai adanya persalinan


PERSALINAN risiko tinggi yang sedang terjadi. Dokter anak/petugas
DIMULAI kesehatan yang terampil dan terlatih dalam resusitasi, harus
menghadiri semua persalinan risiko tinggi.
• Untuk persalinan normal, petugas yang ahli dalam resusitasi
neonatus harus hadir
• Semua peralatan harus disiapkan dan dicek sebelum
persalinan (lihat daftar Peralatan dan pasokan untuk
Resusitasi Neonatus)
• Infant warmer dinyalakan dan handuk hangat tersedia

421
• Cek alat pengisap lendir, oksigen, sungkup wajah dengan
ukuran yang sesuai serta balon resusitasi/ T piece
resucitator.
• Siapkan pipa endotrakeal (ET) dengan berbagai ukuran
• Siapkan obat-obatan, kateter umbilikal dan sebuah meja
tindakan.

SEBELUM BAYI Konsultasi antenatal, brifeing TIM, persiapan alat


LAHIR
SETELAH Segera setelah bayi lahir
PERSALINAN Lakukan penilaian sebagai berikut:
- Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis?
- Apakah tonus otot bayi baik?
• Bila semua pertanyaan di atas dijawab dengan
“ya”, lakukan perawatan rutin (lihat Gambar 11).
Perawatan rutin ialah memberikan kehangatan,
membuka/membersihkan jalan napas dan mengeringkan .
• Bila salah satu atau lebih pertanyaan dijawab
“tidak”, lakukan langkah awal resusitasi.

Langkah awal resusitasi


• Tempatkan bayi di bawah pemanas radian
• Letakkan bayi terlentang pada posisi setengah tengadah
untuk membuka jalan napas. Sebuah gulungan handuk
(handuk kecil/kain bedong) diletakkan di bawah bahu untuk
membantu mencegah fleksi leher dan penyumbatan jalan
napas.
• Bersihkan jalan napas atas dengan mengisap mulut terlebih
dahulu kemudian hidung, dengan menggunakan bulb
syringe, alat pengisap lendir, atau kateter pengisap.
Perhatikan untuk menjaga dari kehilangan panas setiap saat.
Catatan: pengisapan dan pengeringan tubuh dapat
dilakukan bersamaan, bila air ketuban bersih dari mekonium.
• Pengisapan yang kontinyu dibatasi 3-5 detik pada satu
pengisapan. Mulut diisap terlebih dahulu untuk mencegah
aspirasi.
• Pengisapan lebih agresif hanya boleh dilakukan jika terdapat
mekonium pada jalan napas (kondisi ini dapat mengarah ke
bradikardia).

422
Bila terdapat mekonium dan bayi tidak bugar, lakukan
pengisapan, dengan menggunakan suction kateter no 10-12
• Keringkan, stimulasi, dan reposisi kepala.
• Tindakan yang dilakukan sejak bayi lahir sampai reposisi
kepala dilakukan secepatnya
• Menilai pernapasan
• Jika bayi mulai bernapas secara teratur dan memadai, periksa
denyut jantung. Jika denyut jantung >100 kali/menit dan bayi
tidak mengalami sianosis, hentikan resusitasi. Tetapi jika
sianosis ditemui, berikan oksigen aliran bebas.

Ventilasi Tekanan Positif


• Jika bayi tidak bernafas atau bayi megapmegap, atau HR <
100x/mnt dilakukan ventilasi tekanan positif (VTP) diawali
dengan menggunakan balon resusitasi dan sungkup atau T-
Piece resusitator , dengan frekuensi 4060 kali/menit.
• VTP yang diberikan dengan mempergunakan tekanan puncak
inspirasi (PIP) dan tekanan akhir ekspirasi (PEEP)
• Alat yang bisa dipergunakan dalam pemberian PIP dan PEEP
yaitu T Piece resuscitator atau balon mengembang sendiri
yang dilengkapi dengan katup PEEP
• VTP yang diberikan harus efektif, tanda VTP efektif adalah :
Laju denyut jantung yang semakin cepat dan pengembangan
dada adekuat.
VTP yang tidak efektif harus sudah dideteksi kurang dari 15
detik.
Jika VTP tidak efektif maka harus dilakukan langkah koreksi
yang terdiri dari :
- Sungkup melekat rapat
- Reposisi jalan nafas
- Isap mulut dan hidung bila terdapat lendir
- Buka mulut bayi dan berikan ventilasi
- Tingkatkan tekanan puncak inspirasi
- Alternatif jalan nafas jika langkah gagal maka lakukan
intubasi endotrakeal atau pemasangan sungkup laring

423
• Intubasi endotrakeal diperlukan jika bayi tidak berespon
terhadap VTP dengan menggunakan balon dan sungkup.
Kemudian lanjutkan VTP.

Kompresi Dada
• Jika denyut jantung masih <60 kali/menit setelah 30 detik VTP
yang efektif, kompresi dada harus dimulai.
• Bila melakukan kompresi dada, bayi lebih dahulu di intubasi
dan oksigen dinaikan menjadi 100%
• Kompresi dilakukan pada sternum di proksimal dari
proc.xipoideus, jangan menekan/di atas xifoid. Kedua ibu jari
petugas yang meresusitasi digunakan untuk menekan
sternum sementara jari-jari lain mengelilingi dada; atau jari
tengah dan telunjuk dari satu tangan dapat digunakan untuk
kompresi sementara tangan lain menahan punggung bayi.
Sternum dikompresi sedalam 1/3 tebal antero-posterior dada.
• Kompresi dada diselingi ventilasi secara simultan
terkoordinasi dengan rasio 3:1. Kecepatan kombinasi kegiatan
tersebut harus 120/menit (yaitu 90 kompresi dan 30
ventilasi). Jadi dalam 60 detik, dilakukan 15 siklus yaitu 45
kompresi dan 15 ventilasi dengan rasio 3:1. Setelah 60 detik,
evaluasi respon. Jika denyut jantung >60 denyut/menit,
kompresi dada dapat dihentikan dan VTP dilanjutkan hingga
denyut jantung mencapai 100 kali/menit dan bayi bernapas
efektif.
• Terkadang, walaupun paru sudah terventilasi dengan baik
(melalui ventilasi tekanan positif) dan curah jantung membaik
(melalui kompresi dada), sejumlah kecil bayi baru lahir
(kurang dari 2 per 1000 kelahiran) masih memiliki frekuensi
denyut jantung di bawah 60 x/menit. Otot jantung bayi
dengan kondisi seperti ini telah mengalami hipoksia terlalu
lama sehingga gagal berkontraksi secara efektif walau telah
mendapat perfusi dengan darah beroksigen.
• Untuk bayi dengan kondisi demikian, harus berlanjut kepada
tahap selanjutnya dalam resusitasi, yaitu Drugs atau
pemberian obat – obatan

424
PEMBERIAN OBAT Epinefrin
• Epinefrin harus diberikan jika denyut jantung tetap <60
kali/menit setelah 30 detik VTP efektif dan 30 detik lagi VTP
efektif dan kompresi dada. Dosis epinefrin adalah 0,1-0,3
mL/kg berat badan larutan 1:10.000 secara intravena, melalui
vena umbilikal. Bila diberikan melalui pipa endotrakeal, dosis
adalah 0,3-1,0 mL/kg berat badan.

Prosedur pada katerisasi umbilikal:


Persiapan Bahan dan Alat
• Set umbilikal emergensi (lihat pokok bahasan persiapan alat
resusitasi)
• Antiseptik: Alkohol 70%, Iodium povidon, kasa steril.
• Tempat bahan dan alat-alat (trolley) dan kain penutup steril
• Spuit 5ml dan10ml, Three way stopper
• Cairan NaCl 0,9% 25 ml atau 100 ml

Pelaksanaan
• Cuci tangan dengan desinfektan dan menggunakan sarung
tangan steril
• Lihat kondisi pasien dan keperluan pasien dalam terapi
• Isi lebih dahulu kateter ukuran 3.5F atau 5F yang telah
disambung dengan semprit dan stopcock dengan garam
fisiologis.
• Pasang sebuah keran-3-arah (3-way-
stoppcock) steril dan semprit pada kateter 5 FG dan isi
dengan saline normal, lalu tutup keran untuk mencegah
masuknya udara (yang dapat mengakibatkan emboli udara)
• Bersihkan umbilikus dan kulit sekelilingnya dengan larutan
antiseptik, lalu ikat benang mengelilingi dasar umbilikus.
Ikatan ini dapat dikencangkan bila terjadi perdarahan hebat
saat memotong tali pusat
• Potong umbilikus 1-2 cm dari dasar dengan pisau steril.
Tentukan vena umbilikus (pembuluh yang menganga lebar)
dan arteri umbilikus (dua pembuluh berdinding tebal). Pegang
umbilikus (yang dekat dengan
pembuluh vena) dengan forseps steril

425
• Tekan ringan bila ada perdarahan, bersihkan dan asepsis
kembali
• Pegang bagian dekat ujung kateter dengan forseps steril dan
masukkan kateter ke dalam vena (kateter harus dapat
menembus dengan mudah) sepanjang 4-6 cm. Alur vena akan
menuju ke atas, ke arah jantung. Tarik darah sehingga
mengalir dengan mudah ketika membuka stopcock ke arah
semprit dan menghisap secara perlahan
• Periksa kateter tidak menekuk dan darah mengalir balik
dengan mudah; bila ada sumbatan tarik pelan-pelan umbilikus,
tarik ke belakang sebagian kateter dan masukkan kembali
• Kaji jangan sampai ada udara di selang infus dan tutup ujung
set
• Masukkan obat-obatan atau cairan fisiologis
• Bila sudah didapatkan perbaikan denyut jantung, kateter
segera dilepas
• Asepsis kembali area pemasangan kateter umbilikal

Obat Lain
• Tatalaksana pada syok hipovolemik meliputi pemberian
cairan kristaloid dan/atau produk darah (packed red cell/
PRC atau whole blood) guna meningkatkan volume
intravaskular. Cairan kristaloid yang umum digunakan adalah
larutan salin normal atau ringer laktat. Apabila tidak terdapat
kehilangan darah akut, cairan kristaloid tersebut diberikan 10
mL/kg/kali secara intravena, intraoseus, atau melalui kateter
vena umbilikal dalam waktu 1530 menit (pemberian dalam
waktu singkat sesuai kondisi bayi). Hati-hati pemberian bolus
pada bayi premature sebaiknya diberikan lebih dari 20 menit.
Bolus cairan dapat diberikan dua kali atau lebih pada kasus
syok berat. Jika terdapat kehilangan darah kronik, beberapa
bayi dalam keadaan syok berat tidak dapat mentoleransi
pemberian cairan penambah volume secara cepat. Pada
kehilangan darah akut, cairan kristaloid dapat diberikan sambil
menunggu transfusi produk darah. Cairan

426
diberikan sebanyak 10 mL/kg/kali secara intravena,
intraoseus, atau melalui kateter vena umbilikal selama 30
menit-2 jam (dapat lebih cepat tergantung kondisi bayi).
Respons bayi (laju denyut jantung, perfusi, dan tekanan
darah) harus senantiasa dinilai pada akhir pemberian bolus
sehingga dapat diputuskan pemberian bolus selanjutnya.
• Nalokson hidroklorida diberikan kepada bayi dengan keadaan
sebagai berikut. Depresi pernapasan memanjang pada bayi
dari ibu yang mendapat anestesi narkotik dalam waktu 4 jam
sebelum persalinan, sudah dilakukan langkah resusitasi, dan
frekuensi denyut jantung dan warna bayi normal. Nalokson
merupakan kontraindikasi bagi bayi yang ibunya pecandu
narkotika. Nalokson tidak dianjurkan diberikan di Kamar
Bersalin pada resusitasi awal.

PERALATAN DAN Tim Penolong


BAHAN-BAHAN Risiko sangat tinggi
RESUSITASI 1 konsulen neonatologi, 1 perawat, 1 bidan
NEONATUS Risiko sedang atau tinggi
1 dokter spesialis anak, 1 perawat, 1 bidan
Kehamilan multiple : 2 tim

Termoregulasi
• Suhu ruangan 24-26⁰C
• Topi bayi yang sudah dihangatkan
• Kain bedong 3 lapis (kain pengering) yang sudah dihangatkan
• Plastik (untuk bayi BB <1500 gram) 2 buah
• Infant warmer dinyalakan dengan suhu 34⁰C
• Inkubator transport dinyalakan dengan suhu
37⁰C

Airway
• Suction keteter 5F atau 6F, 8F, 10F, 12F atau 14F
• Sungkup berbagai ukuran (35 mm, 42 mm, 50 mm, 60 mm)
• Laringoskop (lampu menyala) dengan blade lurus ukuran:
00 : bayi sangat prematur (<1000 gram)
0 : bayi prematur

427
1 : bayi cukup bulan (> 4 kg)
• Laryngeal Mask Airway (LMA) ukuran no. 1
• Pipa Endotrakeal nomor 2; 2,5; 3,0; 3,5; 4
• Stilet dan Magyll
• Plester
• Gunting steril
• Benang Kasur

Breathing
• Self Inflating Bag (ambung® untuk neonatus)
• PEEP valve + connector
• Tabung Oksigen (sudah diisi penuh)
• T-piece resuscitator (sudah diatur tekanan 2530/ 5)
• Jackson Rees (*jika tidak ada T-piece
resuscitator)

Sirkulasi dan obat-obatan


• Pulse oxymeter portable
• Spuit (1, 5, 10, 50 mL)
• Infus set yang sudah disambungkan dengan needless
connector
• Hecting set
• Umbilical set
• OGT no. 5 dan 8
• NaCl 0,9% (sudah disiapkan 1-2 x 10mL/kg dalam spuit 30cc)
• D 10% (sudah disiapkan 2-4 x 2mL/kg dalam spuit 5cc)
• Umbilikal emergency yang sudah diisi dan siap pakai
• Adrenalin (ampul)
• Dopamin dan dobutamin (ampul)
• Handscoen steril 3 pasang

Semua peralatan dalam keadaan steril dalam troli


Premedikasi:
- Midazolam yang sudah dimasukkan dalam spuit.
- Morphin yang sudah dimasukkan dalam spuit.
- Sulfas atropin sudah dimasukkan dalam spuit

DAFTAR RUJUKAN Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18

428
* Intubasi ET dapat dilakukan pada beberapa tahap resusitasi ini
Gambar 11. Algoritma resusitasi neonatus
4.8 Pedoman stabilisasi neonatus
PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PEDOMAN STABILISASI NEONATUS

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

429
Tanggal Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA
Panduan
PP IDAI
Praktik Klinis

Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Sebagian bayi baru lahir mempunyai keterbatasan adaptasi terhadap
lingkungan ekstrauterin. Keterbatasan tersebut dapat diakibatkan
faktor imaturitas, kelainan bawaan atau kondisi yang terjadi sebelum
persalinan, misalnya gawat janin, ketuban pecah sebelum waktunya,
ibu infeksi, ibu DM, ibu preeklamsia, dan sebagainya.

Resusitasi yang dilakukan setelah bayi lahir adalah tindakan utama


untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Target utama resusitasi
adalah memberikan ventilasi dengan jalan membantu paru terbuka
dan menjaganya senantisa terbuka. Tindakan stabilisasi paska
resusitasi yang diperlukan pada bayi baru lahir dapat terjadi di:
- Ruang persalinan
- Ruang transisi
- Ruang perawatan neonatus
- Ruang rawat gabung

Stabilisasi paska resusitasi dimulai saat resusitasi selesai dilakukan


sampai beberapa jam setelah resusitasi. Diharapkan 2-4 jam stabilisasi
bayi sudah tercapai. Tidak ada batasan yang tegas antara fase
resusitasi dan stabilisasi. Langkah-langkah stabilisasi secara mendasar
meliputi 6 fokus:
- Stabilisasi gula (Sugar and Safe Care)

430
- Stabilisasi suhu (Thermoregulation)
- Stabilisasi jalan nafas (Airway)
- Stabilisasi sirkulasi (Blood Pressure)
- Skrining infeksi (Laboratory)
- Etika dan dukungan emosi pada keluarga
(Emotional Support)

Langkah tataksana stabilisasi berdasarkan kegawatannya terlebih


dahulu. Gangguan pernafasan adalah gejala tersering, bisa
memberikan komplikasi terutama pada otak bila tidak segera
ditangani. Selanjutnya dievaluasi ada tidaknya hipotermia dan
hipoglikemia, ketiga masalah tersebut sering saling berkaitan dan
memberikan hubungan kausal (Trias Hipoglikemia-Hipotermia-
Hipoksia). Kejang bisa merupakan manifestasi klinis dari penyebab
yang bermacam-macam, deteksi dan risiko dini serta mengatasi kejang
merupakan bagian penting dalam upaya stabilisasi neonatus. Stabiisasi
sirkulasi merupakan prioritas berikutnya, menemukan komplikasi
akbibat hipoksia yang terjasi terhadap organ jantung dan sirkulasi.
Selain itu, penapisan risiko infeksi merupak hal yang penting, bila ada
risiko infeksi dipertimbangkan untuk perlu tidaknya pemberian
antibiotik empiris.

HAL YANG • Persiapan alat dan panggil bantuan sebelum bayi dilahirkan.
HARUS Penting penolong persalinan mempunyai komunikasi kerja yang
DILAKUKAN baik.
BILA BAYI • Persetujuan tindakan medik dilakukan oleh suami atau pihak
LAHIR DI keluarga. Di dalam persetujuan tindakan medik, sebaiknya
FASILITAS mencakup penanganan medis 3 hal, yaitu tindakan resusitasi,
TERBATAS stabilisasi, dan rujukan.

• Tentukan tempat rujukan yang TEPAT.


- Menentukan tempat rujukan yang tepat sangat penting dan hal
ini sebaiknya dikomunikasikan sebelumnya dengan pihak
keluarga pada setiap kehamilan atau persalinan risiko tinggi.
Pemilihan tempat rujukan mempertimbangkan beberapa
aspek, yaitu: jarak dari dan ke tempat rujukan, masalah
kegawatan bayi yang akan dirujuk apakah sesuai dengan
tingkat layanan yang dibutuhkan. Disarankan untuk merujuk

431
bayi ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap peralatannya dan
relatif terjangkau.

• Lakukan beberapa hal penting sebelum rujukan.


- Pahami algoritma rujukan (Skema rujukan)
- Lakukan stabilisasi medik yang diperlukan mengacu pada
konsep stabilisasi neonatus.
- Perhatikan keamanan pasien selama proses stabilisasi dan
rujukan.
- Komunikasi dengan pihak keluarga dan RS yang akan dituju
- Merujuk bayi dengan PMK dapat dipakai sebagai alternatif bila
tidak ada inkubator. Merujuk dengan cara ini terbukti aman
karena suhu tubuh dapat terjaga baik. Penting diperhatikan
adalah menjaga posisi kepala agak sedikit ekstensi untuk
menjaga jalan napas terbuka. Suhu tubuh bayi selama dirujuk
dimonitor tiap 30 menit dan bila suhu stabil dimonitor tiap 1
jam. Jangan lupa bayi menggunakan tutup kepala dan
disarankan menggunakan baju kangguru.

Skema Alur persiapan dan komunikasi proses rujukan bayi baru lahir :

Gambar 12. Alur persiapan dan komunikasi proses rujukan


bayi baru lahir

432
BEBERAPA HAL • Daftar tilik persiapan transportasi
YANG HARUS • Persetujuan orangtua, pemberian informasi tentang komplikasi
DILAKUKAN neonatus dan perencanaan awal
SEBELUM • Persiapan bayi
MERUJUK
BAYI: • Gelang identitas (nama, nomor rekam medis, tanggal lahir< jenis
kelamin)
• Non-rebreathing mask (NRM)
• Oro/Naso Gastric Tube (OGT/NGT) ukuran 6-8F
• Akses intravena perifer terfiksasi dan diberikan cairan rumatan
(D10%)
• Kateter vena umbilikal yang telah terfiksasi (bila membutuhkan
infus lebih dari 1, pada bayi dengan keadaan umum buruk)
• Semua jalur intravena diberi label
• Antibiotik intravena, jika memungkinkan telah dilakukan kultur
darah sebelumnya.
• Pemantauan berkelanjutan
• Pemberian antinyeri intravena (morfin 0,05-0,1 mg/kg( atau oral (1-
2 Expressed breast milk atau 0,25 ml sukrosa)
• Inisiasi perkembangan saraf (posisi, pecahayaan, dan reduksi bising)
• Dokumentasi pendukung (surat rujukan, catatan keperawatan,
catatan
• observasi, rekam medis, catatan administrasi cairan, hasil patologi
anatomi, riwayat obstetrik, pilihan ibu dalam pemberian asupan
ASI/susu formula, kontak orangtua.
• Keperluan tambahan (X-ray, skrining bayi baru lahir, spesimen yang
telah duambil, kontak RS)

Stabilisasi medik:
1. Menghangatkan, mengeringkan, serta menutup badan bayi dan
ekstremitas yang bebas dari akses intravena serta memasang
tutup kepala. Bila tidak ada inkubator transpor, segera gunakan
metode kanguru. Pilihan pertama Perawatan Metode Kangguru
(PMK) adalah dengan ibunya bila kondisi ibu memungkinkan
karena ibu yang baru melahirkan mempunyai suhu tubuh yang
lebih tinggi terutama di kedua belah payudara akibat tingginya
aliran darah di payudara tersebut. Sentuhan bayi dengan ibu
secara langsung akan

433
memperkuat ikatan psikologis dan diyakini dapat meningkatkan
produksi ASI ibu. Bila kondisi ibu tidak memungkinkan, PMK dapat
dilakukan oleh suaminya atau pihak keluarga lainnya. Perlu diingat
pada bayi dengan Hypoxic Ischaemic Encephalopathy (HIE)
metode kanguru tidak dianjurkan.

2.Memberi bantuan pernapasan bila bayi sesak/sianosis:


membebaskan jalan napas dengan memposisikan kepala
menghidu dan menghisap jalan napas. Selanjutnya, bila tetap
sesak/sianosis dengan laju denyut jantung >100 kali per menit:
pasang sungkup laring dan hubungkan dengan
CPAP menggunakan BTMS atau t-piece rescucitator. Bila sarana
untuk memberikan CPAP tidak tersedia, beri VTP dengan BMS
dengan laju pemberian VTP tidak lebih dari 20 kali per menit. Bila
bayi tidak mempunyai napas spontan (apnea atau megap-megap)
dengan atau tidak disertai laju denyut jantung <100 kali per menit:
segera berikan VTP dengan BMS atau BTMS melalui sungkup
laring.

3. Pasang akses intravena perifer atau vena umbilikalis dengan cara


yang sangat aseptis. Pada saat pemasangan jalur intravena, ambil
sampel darah 0,2 mL untuk pemeriksaan gula darah, darah rutin,
dan hitung jenis atau sampel darah 2 mL untuk pemeriksaan AGD,
gula darah, golongan darah/rhesus, dan kultur darah (pada
layanan dengan fasilatas laboratorium yang memungkinkan).
Sebelum merujuk bayi, penting untuk memberikan cairan fisiologis
NaCl 0,9% sebanyak 10 mL/kgBB selama • 30’ pada bayi
cukup bulan;
• 1 jam pada bayi kurang bulan >32 minggu;
• 1–2 jam pada bayi kurang bulan kecil <32 minggu.

4. Setelah pemberian cairan fisiologis selesai (d), pasang infus


dekstrosa 10% dengan total kebutuhan cairan 60–80
mL/kgBB/hari; 60 mL/kgBB/hari untuk bayi cukup bulan dan 80
mL/kgBB/hari untuk bayi kurang bulan.

434
5. Bila waktu yang diperlukan untuk sampai di tempat rujukan lebih
dari 3 jam pada bayi dengan risiko infeksi, pertimbangkan
memberikan suntikan antibiotik spektrum luas terlebih dahulu,
yaitu dengan memberikan kombinasi ampisilin (100 mg/kgBB/hari
2 dosis) dan bila sudah ada diuresis dapat diberikan gentamisin (5
mg/kgBB/hari 1 dosis). Pertimbangkan pemberian fenobarbital
dosis bolus 20 mg/kgBB untuk 1 kali pemberian, diberikan selama
30 menit pada bayi dengan kecurigaan kejang atau dengan risiko
tinggi kejang.

6. Pasang pipa orogastrik dan melakukan dekompresi lambung


secara aktif dan selanjutnya pipa orogastrik dibiarkan terbuka.
Pada produksi lendir yang terus menerus sehingga mengganggu
jalan napas, pengisapan dapat dilakukan secara kontinu melalui
mesin isap dengan tekanan minus 8 mmHg. Sebelum pipa
dimasukkan ke lambung, diukur panjang pipa orogastrik dan
mengevaluasi apakah pipa sudah benar di lambung

Gambar 13. Mengukur panjang pipa

Gambar 14. Fiksasi pipa orogastrik

435
KONTROL Tidak semua ibu hamil dan melahirkan selalu diperiksa status hepatitis
INFEKSI B dan HIV. Selain itu, pada ibu yang terinfeksi baik oleh Hepatitis B
SELAMA atau HIV tidak memberikan manifestasi klinis. Dengan demikian, dalam
PROSES melakukan tindakan medis atau perawatan senantiasa mencegah
STABILISASI terjadi kontak langsung antara cairan tubuh bayi dan tenaga
medis/paramedis.

Upaya kontrol infeksi tersebut juga memberi manfaat dalam


mencegah penyebaran infeksi dari bayi yang satu ke bayi yang lain.
Selain itu, memberikan perhatian khusus terhadap upaya pencegahan
infeksi dalam setiap pekerjaan medis, seperti
• sarung tangan harus selalu dipakai pada setiap kontak dengan
cairan tubuh bayi seperti darah, kulit yang luka, membran mukosa,
dan semua cairan tubuh kecuali keringat
• hanya menggunakan 1 sarung tangan untuk 1 bayi
• sarung tangan tidak dapat menggantikan cuci tangan dan
pemakaian alcohol based hand rub sehingga setiap melepas
sarung tangan harus diikuti dengan cuci tangan dan membasuh
tangan dengan cairan antiseptik
• setiap sebelum dan sesudah kontak dengan bayi selalu
membersihkan tangan menggunakan cairan antiseptik
• bayi yang perlu dilakukan isolasi khusus seperti bayi dengan diare,
pneumonia, infeksi kulit terbuka, infeksi stafilokokus (pustulosis,
abses), cacar air, dan TB kongenital. Bila tidak ada ruang khusus,
sebaiknya bayi hanya dirawat oleh satu perawat
• pembuatan infus, pencampuran infus, dan obat sebaiknya
dilakukan dalam kondisi aseptis dan dilakukan di luar unit
perawatan.

EVALUASI • Bila bayi dipasang sungkup laring, jangan lupa meniupkan udara 4
BEBERAPA mL melalui semprit untuk menggembungkan sungkup wajah laring.
ASPEK • Bila terpasang vena umbilikalis, amati ukuran kateter yang berada
KEAMAAN di permukaan umbilikus apakah masih sesuai dengan ukuran yang
PASIEN sudah ditentukan sebelumnya dan apakah kateter telah terfiksasi
SEBELUM dengan baik.
DIRUJUK • Evaluasi kemungkinan infus bengkak

436
• Bayi dengan sumbatan saluran cerna, INGAT pemasangan CPAP
tidak boleh diberikan, demikian juga pada bayi dengan sumbatan
saluran cerna yang belum dapat dipastikan, namun terdapat
riwayat kehamilan dengan polihidramnion. Lebih dari 60% bayi
dengan sindrom Down mengalami sumbatan saluran cerna bagian
atas
(stenosis/atresia duodenum), Bila pada bayi tersebut didapatkan
CPAP Belly syndrome sebaiknya CPAP segera dilepas dan cari
bantuan untuk intubasi
• Pada fasilitas dengan ketersediaan blender oksigen dan pengukur
saturasi oksigen (oksimeter), amati saturasi oksigen agar tidak
memberikan secara berlebihan dengan menetapkan saturasi
oksigen di atas 90–95% pada bayi kurang bulan dan cukup bulan.
Kecuali pada bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) range
saturasi oksigen ideal belum diketahui karena dipengaruhi usia
gestasi, usia kronologis, penyakit dasar dan status transfusi.
Dianjurkan selalu menggunakan batas alarm untuk menghindari
terjadinya hipoksia maupun hiperoksia.
• Jangan lupa memuasakan bayi selama proses stabilisasi atau
selama merujuk. Pada stabilisasi di ruang perawatan, keputusan
memberikan minum harus dengan evaluasi beberapa aspek

DAFTAR Wiegersma JS, Droogh JM, Zijlstra JG, Fokkema J,


RUJUKAN Ligtenberg J. 19
Iwashyna TJ, Courey AJ. 20
Lim MTC, Ratnavel N. 21
Kendall AB, Scott PA, Karlsen KA. 22
McCall EM, Alderdice F, Halliday HL, Jenins JG, Vohra
S. 23
Rohana J, Khairinia W, Boo NY, Shareena I. 24
Reimer-Brady JM.25
Leppala K. 26
Taylor RM, Price-Douglas W. 27
Cummings JJ, Polin RA. 28

4.9 Transportasi neonatus


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TRANSPORTASI NEONATUS

437
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik Terbit/Revisi PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Transportasi neonatus merupakan bagian integral dari
program asuhan Perinatal regional. Tujuannya adalah
menurunkan mortalitas dan morbiditas neonatus jika
tatalaksana bayi sakit ternyata diluar kemampuan rumah
sakit setempat.

JENIS • Transportasi janin (intrauterin): membawa ibu


TRANSPORTASI sebelum melahirkan bayi berisiko tinggi ke rumah
NEONATUS sakit yang mampu memberikan perawatan yang
sesuai untuk neonatus
• Transportasi satu kali jalan: membawa neonatus dari
unit tingkat II ke tingkat III di fasilitas lain
• Transportasi dua kali jalan (pergi pulang): membawa
neonatus ke fasilitas pelayanan yang lebih tinggi dan
membawanya kembali, dilakukan oleh tim khusus
dari fasilitas unit tingkat III
• Transportasi kembali: membawa bayi dari fasilitas
tingkat III ke tingkat II setelah selesai melakukan
tatalaksana kondisi akut yang menjadi penyebab
neonatus dirujuk

Idealnya saat neonatus dirujuk, lakukan asuhan bayi


kangguru yaitu kontak kulit dengan kulit selama
perjalanan

438
INDIKASI • Gawat napas karena penyebab apapun (misalnya
TRANSPORTASI aspirasi mekonium, pnemonia neonatorum,
NEONATUS sindroma gawat napas) di fasilitas yang tidak
memiliki kemampuan untuk memantau terapi
oksigen dan gas darah arteri, dan tanpa kemampuan
memberikan bantuan ventilasi
• Kondisi bedah
• Berat lahir rendah
• Dicurigai penyakit jantung kongenital
• Komplikasi persalinan yang signifikan
• Hipoglikemia yang berulang
• Ensefalopati hipoksik iskemik
• Sepsis dan tanda-tanda infeksi sistemik
• Perdarahan aktif
• Kuning yang memerlukan transfuse tukar
• Gagal jantung atau disritmia
• Dicurigai kelainan metabolik
• Abnormalitas elektrolit berat
• Perlu pemeriksaan diagnostic lebih lanjut atau terapi
lanjutan

PENDEKATAN Program ACCEPT (Assesment, Control,


SISTEMATIK Communication, Evaluation, Preparation,
UNTUK Transportation)
TRANSPORTASI
NEONATUS Assesment ( penilaian awal)
- Menilai indikasi pasien yang dapat dirujuk (kasus
prognosis baik, didasari pada teori kegawatan
neonates)
- Kelayakan pasien yang dirujuk ( pasien harus
stabil)

Control
- Kemampuan Tim ( harus terlatih, memiliki
sertifikasi pelatihan resusitasi dan stable)
- Kelengkapan alat

Communication
- Internal (diantara tim) : Checklist preparation

439
- Eksternal (ke rumah sakit rujukan) : Komunikasi
langsung, catatan rekam medis dan surat rujukan
- Keluarga (baksoku) : menerangkan kondisi pasien
pada keluarga, informed consent

Evaluation
- Klinis pasien harus Warm, Pink and sweet
sebelum dan selama transportasi serta saat tiba
ditempat rujukan

Preparation
- Persiapan rujukan yang dinilai melalui checklist
proses transportasi
(SDM, Kelengkapan medis,
kendaraan, pasien

Transportation
- Pasien siap diberangkatkan ketempat rujukan
dengan kendaraan yang memenuhi syarat

KOMUNIKASI Idealnya harus terdapat pusat komunikasi yang


beroperasi 24 jam di pusat rujukan bayi yang memiliki tim
transport neonatal. Namun jika masih banyak
keterbatasan sarana dan prasarana, permintaan
transport neonatal dapat diminta oleh dokter yang
hendak merujuk kepada tim NICU rumah sakit penerima
rujukan, kemudian rumah sakit rujukan akan
mengirimkan tim transport.

Komunikasi pada transpor neonatal harus terjalin


sebelum bayi ditranspor, selama transport, dan setelah
bayi tiba di rumah sakit rujukan.

Komunikasi dengan pusat rujukan dilakukan sebelum


melakukan transportasi untuk memastikan tersedianya
tempat tidur.
Informasi berikut harus ada pada saat komunikasi melalui
telepon:

440
• Identitas dan tanggal lahir bayi
• Identitas ayah dan ibu bayi
• Riwayat pranatal
• Catatan persalinan dan kelahiran
• Catatan resusitasi neonatus
• Skor Apgar
• Usia kehamilan dan berat badan saat lahir
• Tanda vital: suhu, frekuensi denyut
jantung (FJ), frekuensi napas, Waktu pengisian
ulang kapiler (CRT) dan tekanan darah (jika
ada)
• Persyaratan pendukung oksigen / ventilasi
• Data laboratorium yang sudah ada: misalnya
glukosa, kalsium, hematokrit, penentuan gas
darah
• Akses vaskular.

PERSIAPAN Petugas transportasi harus sangat terampil dalam


melakukan resusitasi dan menangani neonatus berisiko
tinggi. Petugas bisa saja seorang dokter, perawat
neonatus, dan perawat yang khusus dilatih untuk
menangani neonatus selama transportasi rujukan.

Kendaraan dan perlengkapan


Dalam melakukan transport neonatus, pilihan jenis
transportasi tergantung kepentingan klinis, jarak tempuh
transport yang akan dilakukan, kondisi cuaca daerah
setempat, dan ketersediaan jenis transportasi di daerah
tersebut.
Ambulan harus dipersiapkan dengan:
• Kain jika dilakukan posisi kangguru yaitu kontak kulit
dengan kulit selama perjalanan
• Inkubator untuk transportasi
• Alat pemantau untuk hal berikut:
- Monitor
- Frekuensi denyut jantung
- Frekuensi napas
- Suhu
- Tekanan darah arteri (jika ada)

441
- Konsentrasi oksigen yang diisap
- Saturasi oksigen
- Sistem pemberian oksigen
(tabung,regulator, dan selang), alat CPAP
- EKG (bila tersedia)

• Perlengkapan infus Intravaskular:


- Infusion pump
- Kanula IV (ukuran 22 dan 24)
- Alat suntik (ukuran 2,5, 3, 5, 10, 20 dan
50 cc)
- Perangkat infus IV
- Umbilikal kateter
- Pita perekat/ plester
- Kapas alkohol
- Kasa

• Perlengkapan pengisap lendir:


- Bola pengisap/ bulb syringe
- Gel lubrikasi
- Pengisap mekanis
- Kateter pengisap (ukuran 6, 8 dan 10)
- Spuit 20cc

• Obat-obatan untuk resusitasi:


- Epinefrin
- Sodium bikarbonat 8,4% dalam ampul
- Dopamin, dobutamin
- Fenobarbital
- Midazolam, Morfin
- Volume expander (normal salin dan
Ringer laktat)
- Dextrose 10%
- Air steril (aquades)

• Perlengkapan intubasi
- Laringoskop (bilah lurus ukuran 0 dan 1)
- Bola lampu dan baterai cadangan untuk
laringoskop
- Pipa endotrakeal (diameter internal ukuran 2,5, 3
dan 3.5 mm)
- Balon dan sungkup (sungkup yang
tepinya dari bahan lunak)

• Perlengkapan lain:
- Stetoskop
- Sarung tangan steril
- Oral airways (ukuran 0 dan 00)

442
• Perlengkapan bantuan ventilasi (jika ada)
KEGIATAN TIM Tim transportasi akan menilai kondisi neonatus dengan
TRANSPORTASI melakukan pemeriksaan fisik, hasil x-ray dan/atau hasil
DI RUMAH SAKIT laboratorium dan mengukur tanda vital, kadar glukosa
YANG MERUJUK darah dan gas darah sesuai kondisi. Mungkin diperlukan
akses ke laboratorium dan x-ray. Suhu tubuh neonatus
harus dipertahankan selama prosedur berlangsung.

Tim transportasi akan mengandalkan staf rumah sakit


setempat untuk memberikan riwayat pranatal, catatan
persalinan dan kelahiran, catatan resusitasi neonatus,
skor Apgar, masa kehamilan serta berat lahir neonatus.

Jika tanda vital neonatus tidak stabil, tim transportasi


akan tetap berada di rumah sakit yang merujuk hingga
neonatus cukup stabil sehingga kondisinya aman untuk
dibawa. Tidak aman membawa neonatus yang tidak
stabil. Jadi, bergantung pada kondisinya, tim ini dapat
tetap di rumah sakit yang merujuk untuk waktu yang
lama

PENGKAJIAN • Mendapatkan riwayat pranatal dan persalinan lengkap


KLINIS DI termasuk salinan grafik ibu dan neonatus
LAPANGAN • Mengukur tanda vital untuk menegaskan riwayat
• Mempertahankan suhu tubuh neonatus:
- Menutupi kepala neonatus dengan topi
- Menempatkan neonatus kurang bulan dalam
inkubator untuk meminimalkan kehilangan panas
- Untuk bayi sangat kurang bulan (<
1.250 gm), gunakan plastik

443
• Lakukan pemeriksaan fisik dengan penekanan pada
hal berikut:
- Tanda gawat napas
- Perfusi
- Murmur
- Tingkat aktivitas dan pengkajian neurologis
(refleks, tonus)

• Data laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap
- Analisis gas darah
- Kultur darah
- Elektrolit
- Kadar glukosa darah - X-ray

Jangan membuang waktu dengan menunggu hasil


laboratorium, kecuali hasil tersebut penting untuk
bayi.

PENGOBATAN Sistem pernapasan


• Pertahankan pH > 7,25, PaCO2 40-55 dan PaO2 60-80.
• Asidosis respiratorik paling baik diatasi dengan
melakukan intubasi dan ventilasi tekanan positif.
• Asidosis metabolik paling baik diatasi dengan
pemberian bolus cairan isotonik (10 cc/kg) dan/atau
sodium bikarbonat 1-2 mEq/kg.
• Apnea/hipoventilasi akan mengarah pada hipoksia,
yang kemudian mengarah pada bradikardia.
(Hipoksia merupakan penyebab utama bradikardia
neonatorum!)

Sistem kardiovaskuler
• Syok dan hipovolemia diatasi dengan cairan isotonik
bolus (10 cc/kg) hingga 3 kali jika perlu. Jika tidak
efektif, pertimbangkan penggunaan inotropik
(dopamin/dobutamin).

444
Mempertahankan cairan dan glukosa
• <1.000 gram atau 28 minggu: gunakan D5W (atau
D10W) 100 cc/kg/hari
• >1.000 gram atau 28 minggu: gunakan D10W 80
cc/kg/hari

Penyakit menular
• Pastikan melakukan pemeriksaan darah lengkap
dengan hitung jenis dan kultur darah sebelum
memulai antibiotik.
• Antibiotik harus dimulai sebelum transportasi
dilakukan.
• Patogen bakteri neonatus yang paling sering
ditemukan adalah GBS, E. coli dan Listeria, sehingga
antibiotik yang biasa digunakan adalah ampisillin dan
gentamisin

PEMANTAUAN • Sering periksa tanda vital dan suhu


SELAMA DI • Pantau saturasi oksigen dengan
PERJALANAN oksimeter nadi (pulse oxymetry).
• Andalkan keputusan klinis anda. Alat mekanik dapat
saja memberikan rasa aman palsu.
• Bising dalam ambulans membuat auskultasi sangat
sulit
• Hubungi NICU untuk bantuan dan/atau usulan setiap
saat.

DOKUMEN • Dokumen yang akurat setiap transportasi/perjalanan


rujukan dibuat untuk jaminan mutu dan
dokumentasi.
• Catatan medis harus menggambarkan kondisi pasien
secara keseluruhan, alasan transpor, tujuan
transpor, nama dokter yang merujuk dan kepada
siapa dirujuk, status klinis sebelum transport,
kondisi, dan perawatan atau terapi yang diberikan
selama transpor.
• Saat tiba di rumah sakit rujukan, harus ada serah
terima pasien secara formal antara tim transpor dan
tim medis dari rumah sakit.
• Serah terima sebaiknya dibuat secara verbal dan
tertulis, dan didalamnya termasuk catatan medis
dan riwayat penyakit pasien, perubahan klinis

selama transpor, dan terapi yang diberikan

DAFTAR RUJUKAN Wilson AK, Martel IMJ, Saskatoon SK. 29


Hohlagschwandtner M, Husslein P, Weninger KKM, Nardi
A, Langer M. 30
Hauspy J, Jacquemyn Y, Van-Reempts P,
Buytaerta P, Vlieta JV. 31
445
Woodward GA, Insoft RM, Pearson-shaver AL. 32
Das UG, Leuthner SR. 33
Lim M, Ratnavel N. 21
Kempley, Baki, Hayter, Ratnavel, Cavazzoni,
Reyes. 34
McKay S, Cruickshanks J, Skeoch CH. 35
Kulshrestha A, Singh J. 36
Fenton AC, Leslie A, Skeoch CH. 37
Arad I, Baras M, Bar-Oz B, Gofin R.38
Kumar PP, Kumar CD, Venkatlakshmi A. 39
Terrey A, Browning CK. 40
Tingay DG, Stewart MJ, Morley CJ. 41
Lilley CD, Stewart M, Morley CJ. 42
Dani C, Bertini G, Pezzati M, Cecchi A, Caviglioli
C, Rubaltelli FF. 43
Fowlie PW, Booth P, Skeoch CH. 44

4.10 Asfiksia perinatal dan HIE

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

ASFIKSIA PERINATAL DAN


ENSEFALOPATI ISKEMIK HIPOKSIK
(ICD 10: P21 dan P91.6)
Lihat: PNPK ASFIKSI KEMENTERIAN KESEHATAN RI

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

446
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Hipoksia: Kekurangan oksigen parsial atau lengkap


dalam jaringan
Iskemia: Penurunan atau penghentian aliran darah ke
jaringan
Asfiksia perinatal: Keadaan pertukaran gas
terganggu dalam plasenta atau paru yang mengarah ke
hipoksemia progresif,
hiperkarbia dan asidosis
Ensefalopati iskemik hipoksik: Keadaan
ensefalopati neonatal berupa keadaan klinis yang
mendiskripsikan abnormalitas dari tingkat
neurobehavioral yang terdiri dari penurunan tingkat
kesadaran dan gejala lain dari gangguan batang otak dan
atau disfungsi motorik

ANAMNESIS Faktor risiko meliputi:


- Kondisi antepartum (faktor maternal)
- Toksemia (preeklampsia/eklampsia)
- Diabetes
- Hipertensi dalam kehamilan atau hipertensi kronis

447
- Penyakit jantung
- Penyakit vaskuler kolagen
- Infeksi
- Isoimunisasi
- Ketergantungan terhadap obat
- Kondisi obstetrik
- Solusio placenta
- Plasenta previa
- Tali pusat menumbung/prolaps tali pusat
- Ketuban pecah dini (KPD)
- Tidak memadainya plasenta
- Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT)
- Polihidramnion
- Kehamilan kembar/gemeli
- Kondisi intrapartum
- Presentasi abnormal/malpresentasi
- Partus presipitatus atau memanjang
- Distosia atau persalinan sulit
- Kehamilan lewat waktu/postmatur
- Kondisi postpartum
- Kelahiran kurang bulan
- Respiratory Distress Syndrome (RDS)
- Meconium Aspiration Syndrome (MAS)
- Sepsis
- Pneumonia
- Penyakit hemolitik
- Kelainan jantung atau paru
PEMERIKSAAN • HIE Tingkat I (ringan)
FISIS • Periode letargi dan iritabilitas, kewaspadaan
berlebihan dan jitteriness berselang seling
• Kemampuan minum yang buruk
• Tonus otot meningkat, refleks tendon dalam
berlebihan, refleks Moro berlebihan dan/atau
spontan
• Eksitasi simpatik terbukti oleh peningkatan denyut
jantung dan pupil mengalami dilatasi
• Tidak ada aktivitas kejang
• Gejala hilang dalam 24 jam

• HIE Tingkat II (sedang)


• Letargi

448
• Pemberian minum buruk, refleks gag tertekan
• Hipotonia
• Denyut jantung menurun dan konstriksi pupil
yang menunjukkan stimulasi parasimpatik
• 50-70% bayi memperlihatkan kejang, biasanya
dalam waktu 24 jam setelah kelahiran

• HIE Tingkat III (berat)


• Abnormalitas neurologis yang terus berlanjut
• Koma
• Flasiditas
• Tidak ada refleks
• Pupil diam, sedikit reaktif
• Apnea, bradikardia, hipotensi
• Kejang tidak umum tetapi jika ada sulit
ditangani
• Disfungsi sistem multi-organ termasuk:
• Nekrosis tubular akut
• Oliguria
• Hematuria
• Poliuria
• Kardiomiopati
• Hipotensi
• Hipertensi paru menetap pada saat lahir/
Persistent Pulmonary hypertension of
the Newborn
(PPHN)
• Takipnea
• Hipoksemia
• Nekrosis hepatik
• ↑ Ammonia
• ↑ AST/ALT
• Ikterus
• Necrotizing enterocolitis (NEC)
• Kembung
• Feses berdarah
• Kemampuan kelenjar adrenal yang tidak
memadai

• ↓ Glukosa
• ↓ Natrium
• ↓ TD
• Sekresi ADH yang tidak memadai

449
PEMERIKSAAN • Hitung darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
PENUNJANG • Glukosa darah (ICD 9 CM: 90.5)
• BUN dan kreatinin (ICD 9 CM: 90.5)
• Elektrolit darah, kalsium, fosforis, dan magnesium (ICD
9 CM: 90.5)
• Enzim hati (AST/ALT) (ICD 9 CM: 90.5)
• Analisis gas darah (ICD 9 CM: 89.65)
• Analisis urin dan jumlah urin (ICD 9 CM: 91.3)
• Pungsi lumbal mungkin perlu
dipertimbangkan (ICD 9 CM: 90.0)
• USG kepala (ICD 9 CM: 88.71)
• EEG, CT-Scan, dan MRI jika ada indikasi dan tersedia
(ICD 9 CM: 89.14, 87.03, dan 88.91)

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan


KRITERIA
penunjang
DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KERJA Asfiksia Perinatal dan Ensefalopati Iskemik


Hipoksik (ICD 10: P21 dan P91.6)
DIAGNOSIS • Fetus and newborn affected by maternal
BANDING anaesthesia and analgesia in pregnancy,
labour and delivery (ICD 10: P04.0)
• Bacterial sepsis of newborn (ICD 10: P36)
• Meningitis (ICD 10: G00)
• Encepalitis virus (ICD 10: G05)
• Congenital malformations of the nervous
system (ICD 10: Q00-Q07)
• Myoneural disorder, unspecified (ICD
10: G70.9)
• Birth trauma (ICD 10: P10-P15)
TERAPI Pencegahan merupakan tata laksana terbaik
Tindakan pendukung primer mencakup
• Mempertahankan oksigenasi dan keseimbangan
asam-basa, mulai ventilasi mekanik jika perlu
• Memantau dan mempertahankan suhu tubuh

450
• Mengkoreksi dan mempertahankan elektrolit, cairan
dan glukosa
• Mengoreksi hipovolemia
• Menghindari kelebihan cairan, hipertensi dan
hiperviskositas
• Mengobati kejang
- Fenobarbital loading dose 20 mg/kgBB. naikkan 5-10
mg/kgBB atau langsung 10-20 mg/kgBB sampai
kejang terkontrol atau dosis maksimal 40 mg/kgBB
tercapai. Jika kejang berhenti, pertahankan pada
dosis rumatan 3-5 mg/kg/hari dibagi 1-2 dosis, 24
jam setelah loading dose
- Jika kejang tidak dikontrol oleh dosis fenobarbital
maksimal yang diperbolehkan, tambahkan fenitoin
20 mg/kgBB diberikan dengan kecepatan 1
mg/kgBB/menit. Dilanjutkan dengan pemberian
dosis rumatan 24 jam kemudian dengan dosis 5-10
mg/kg/hari, diberikan setiap 8 jam dalam dosis
terbagi rata.
- Jika kejang masih tidak teratasi dapat dilanjutkan
dengan pemberian midazolam 0,15 mg/kgBB
dilanjutkan dosis rumatan 1 mikrogram/kgBB/menit
dan dinaikkan 0,5-1 mikrogram/kgBB/menit sampai
dosis maksimal 18 mikrogram/kgbb/menit
- Alternatif lain jika anda berada di RS dengan fasilitas
lengkap dapat menggunakan algoritma tahun 2013.

Terapi hipotermia
• Dilaksanakan pada neonatus aterm (3637 minggu)
sebelum usia 6 jam dan memenuhi kriteria HIE
• Saat merujuk dipertahankan suhu 34°C–35°C (bila
suhu di atas 35°C dipertimbangkan membuka pintu
transport inkubator atau menurunkan suhu
inkubator transport)

Tidak ada intervensi terapi lain, termasuk kortikosteroid,


fenobarbital profilaksis, furosemida, manitol, dll., karena
belum terbukti bermanfaat dalam ranah klinik.

EDUKASI • Kenali tanda dan gejala awal


• Segera atasi kejang dan kondisi akut

451
PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Malam
Ad sanationam: Dubia Malam
Ad fungsionam: Dubia Malam

Indikator prognosis buruk mencakup:


• Terdapat peningkatan mortalitas dan morbiditas
dengan riwayat yang buruk
• Asidosis metabolik tali pusat parah (pH < 7,0)
• Skor Apgar < 3 untuk 20 menit
• Waktu neonatus untuk mencapai respirasi spontan
terlalu panjang
• Pemeriksaan neurologis abnormal 5 hari
• USG kranial dengan leukomalasia periventrikuler atau
perdarahan serius berkait dengan kekurangan
motorik dan kognitif pada saat tindak lanjut

DAFTAR RUJUKAN Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR. 45

Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG.46

Queensland Clinical Guidelines. 47

Martinello K, Hart AR, Yap S, Mitra S,


Robertson NJ. 48

Chalak L, Kaiser J. 49

Slaughter LA, Patel AD, Slaughter JL.50

4.11 Kejang pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KEJANG PADA NEONATUS


(ICD 10: P90)

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

452
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Kejang pada neonatus adalah gerakan paroksimal dari


perubahan fungsi neurologis (perilaku, motorik dan
fungsi autonomik) yang terjadi pada bayi berumur sampai
dengan 28 hari

ANAMNESIS Penyebab kejang pada neonatus:


1. Hypoxic Ischemic Encephalopathy (HIE): 25-
50%
2. Perdarahan intrakranial dan trauma Susunan Saraf
Pusat: 15-20%
3. Masalah metabolik: 5-30%
a. Hipoglikemia (glukosa darah <40 mg/dL)
b. Hipokalsemia (Ca<8 mg/dL atau Ca ion<1
mmol/L)
c. Hipomagnesemia (Mg<1.2 mg/dL)
d. Hiponatremia/Hipernatremia
e. Defisiensi piridoksin
4. Infeksi Susunan Saraf Pusat
(Meningitis, infeksi TORCH): 5-15%
5. Stroke: cedera iskemik fokal, stroke neonatus,
thrombosis vena serebral

453
6. Inborn Errors of Metabolism: kelainan
metabolisme asam amino, defek siklus urea,
defisiensi Glucose Transporter-1 (GLUT-1)
7. Developmental Malformations: disgenesis
serebral, sindrom neurokutaneus
8. Kejang disebabkan obat-obatan: Withdrawal of
narcotic analgesic, intoksikasi anestesi lokal
9. Sindrom epilepsi neonates

Riwayat ibu dan obstetrik:


• Infeksi ibu, paparan obat, riwayat keguguran
sebelumnya atau bayi dengan kejang (bawaan),
kondisi medis (diabetes, hipertensi, dll.) dan
riwayat kejang neonatus dalam keluarga.
• Korioamnionitis, demam, perdarahan
antepartum, persalinan yang sulit atau gawat
janin dan nilai Apgar rendah.

PEMERIKSAAN Kejang Tonik


FISIS Kejang Tonik Umum atau terfokus di satu area (fokal)
• Kejang tonik umum
• Terutama bermanifestasi pada bayi kurang bulan
(< 2.500 gm).
• Biasanya terlihat sebagai fleksi atau ekstensi
tonus pada ekstremitas bagian atas, leher atau
batang tubuh dan berkaitan dengan ekstensi
tonus pada ekstremitas bagian bawah.
• Pada 85% kasus kejang tonus tidak berkaitan
dengan perubahan sistem otonom apapun seperti
meningkatnya denyut jantung atau tekanan
darah, atau kulit memerah.

454
Kejang Tonik Fokal
• Terlihat dari postur asimetris dari salah satu
ekstremitas atau batang tubuh atau kepala tonik
atau deviasi mata.
• Sebagian besar kejang tonik terjadi bersama
dengan difusi penyakit sistem syaraf pusat dan
perdarahan intraventrikular.

Kejang Klonik
• Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang
perlahan dan berirama (1-3 /menit).
Penyebabnya mungkin berasal dari satu titik atau
multi-fokal.
• Setiap gerakan terdiri dari satu fase gerakan yang
cepat dan diikuti oleh fase yang lambat.
• Perubahan posisi atau memegang ekstremitas
yang bergerak tidak akan menghambat gerakan
tersebut.
• Umumnya terjadi pada neonatus cukup bulan
>2500 gram.
• Tidak terjadi hilang kesadaran.
• Berkaitan dengan trauma fokal, infark atau
gangguan metabolik.

Kejang Mioklonik
• Kejang mioklonik terfokus di satu area, multi-
fokal atau umum.
• Kejang mioklonik fokal biasanya melibatkan otot
fleksor pada ekstremitas.
• Kejang mioklonik multi-fokal yang terlihat sebagai
gerakan kejutan yang tidak sinkron pada
beberapa bagian tubuh.

455
• Kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas
berupa fleksi kepala dan batang tubuh dengan
ekstensi atau fleksi ekstremitas. Kejang ini
berkaitan dengan difusi patologis SSP.

Kejang subtle (Tidak terus menerus)


• Kejang subtle biasanya terjadi dengan jenis
kejang lain dan mungkin bermanifestasi seperti:
• Gerakan stereotip ekstremitas seperti gerakan
mengayuh sepeda atau berenang.
• Deviasi atau gerakan kejutan pada mata dan
mengedip berulang kali.
• Ngiler, mengisap atau mengunyah.
• Apnea atau perubahan tiba-tiba pada pola
pernapasan.
• Fluktuasi yang berirama pada tanda vital.

PEMERIKSAAN Pemeriksaan utama


PENUNJANG • Glukosa darah (ICD 9 CM: 90.5)
• Natrium, kalsium dan magnesium darah (ICD 9 CM:
90.5)
• Pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis leukosit dan
trombosit (ICD 9 CM: 90.5) • Elektrolit (ICD 9 CM:
90.5)
• Analisis Gas darah arteri (ICD 9 CM:
89.65)
• Analisis CSS (ICD 9 CM: 90.0)
• Analisis dan kultur CSS (ICD 9 CM: 90.0)

Pemeriksaan lainnya
• Mencari penyebab spesifik lainnya yang dicurigai
(TORCH, kadar amonia, asam amino dalam urine, USG
kepala dll). (ICD 9 CM: 90,5; 91.3; 88.71)
• Pemeriksaan aEEG (bila fasilitas tersedia) (ICD 9 CM:
89.14)

• USG kranial untuk melihat adanya perdarahan dan


luka parut. (ICD 9 CM: 88.71)
• CT Scan untuk mendiagnosis malformasi dan
perdarahan otak. (ICD 9 CM: 87.03)

456
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
KRITERIA
pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KERJA Convulsions of newborn (ICD 10: P90)

DIAGNOSIS • Other disturbances of cerebral status of


BANDING newborn (ICD 10: P91)
• Disorders of muscle tone of newborn
(ICD 10: P94)
• Transitory disorders of carbohydrate
metabolism specific to fetus and
newborn (ICD 10: P70)
• Transitory neonatal disorders of calcium and
magnesium metabolism (ICD 10: P71)
• Other transitory neonatal electrolyte and
metabolic disturbances (ICD 10: P74)

TERAPI Tatalaksana kejang sesuai algoritma 2018


(dibawah ini)

EDUKASI Kenali tanda dan gejala awal kejang pada neonatus


Segera lakukan tata laksana awal pada saat kejang

PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Bonam


Ad sanationam : Dubia Malam
Ad fungsionam : Dubia Bonam
DAFTAR RUJUKAN Kanhere S. 51
Sarosa G. 52
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG,
Tuttle DJ. 46
Hallberg B, Blennow M. 53
Hamrick S, Zimmermann A. 54
World Health Organization. 55
Shellhaas R. 56
Slaughter LA, Patel AD, Slaughter JL. 50

457
458
Gambar 15. Alogaritma tatalaksana kejang

4.12 Transient tachypnea of newborn (TTN)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TRANSIENT TACHYPNEA OF NEWBORN (TTN)


(ICD 10: P22.1)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

459
Tanggal DITETAPKAN KETUA PP IDAI
Panduan Terbit/Revisi
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada neonatus
yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas pada neonatus
adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya:
• Takipnea (frekuensi napas >60x/menit)
• Aktivitas otot pernapasan
• Napas cuping hidung
• Merintih (grunting)
• Sianosis
• Apnea

Tabel 6. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor Downe

Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
Skor total 4-5: gawat napas sedang

DEFINISI Transient tachypnea of the newborn (TTN) merupakan


kondisi gangguan pernapasan yang bersifat sementara akibat
gangguan adaptasi paru namun jika tidak diatasi segera dapat
menyebabkan gangguan pernapasan yang berat.

460
ANAMNESIS Faktor risiko
• Seksio sesarea elektif
• Makrosomia
• Partus lama
• Laki-laki
• Ibu mendapatkan sedasi berlebihan
• Skor Apgar rendah (≤ 7 pada usia 1 menit)
• Skor Downe > 4
• Ibu dengan diabetes mellitus
• Kehamilan kurang bulan
• Riwayat asma pada keluarga (terutama Ibu)

PEMERIKSAAN • Neonatus biasanya hampir cukup bulan atau cukup bulan dan
FISIS mengalami kesulitan bernapas segera setelah lahir (>80
pernapasan/menit).
• Salah satu petanda penting dari TTN adalah perbaikan pada
neonatus, yang biasanya terjadi pada 48-72 jam setelah lahir.

PEMERIKSAAN • Pemeriksaan laboratorium:


PENUNJANG - Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
- Gas darah biasanya menunjukkan hipoksia ringan (fasilitas
lengkap) (ICD 9 CM: 89.65)

• Pemeriksaan radiologis
- Rontgen toraks : gambaran bisa bervariasi tetapi sering didapati
adanya garis perihilar (ellis damoiseau) dan kardiomegali ringan.
(ICD 9 CM:
87.44)
KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS Transient tachypnea of the newborn (TTN) (ICD 10: P22.1)
KERJA
DIAGNOSIS • Respiratory distress syndrome ( ICD 10: P22.0)
BANDING • Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01)
• Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)
• Pneumonia (ICD 10: P23.0)
TERAPI Self limiting disease, sehingga pengobatan yang ditujukan
biasanya hanya berupa pengobatan suportif, yaitu:
• CPAP (PEEP : 7 cmH2O)
• Suplementasi oksigen bila saturasi tidak mencapai target (90-
95%)
• Pemberian minum setelah hemodinamik stabil

PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko untuk
bayi mengalami problem neurodevelopmental akan meningkat.

461
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS, Kattwinkel J, Perlman
JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67

4.13 Respiratory distress syndrome (RDS)


PANDUAN PRAKTIK KLINIS
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
(RDS)
(ICD 10: P22.0)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

Tanggal DITETAPKAN KETUA PP


Panduan Terbit/Revisi IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada
neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas
pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh
adanya:
• Takipnea (frekuensi napas >60x/menit)
• Aktivitas otot pernapasan
• Napas cuping hidung
• Merintih (grunting)
• Sianosis
• Apnea

462
Tabel 7. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor

Downe

Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan

Skor total 4-5: gawat napas sedang


Skor total ≥6 : gawat napas berat
DEFINISI Respiratory distress syndrome (RDS) merupakan
sindroma pernapasan pada bayi kurang bulan akibat imaturitas
stuktur dan fungsi paru-paru.

ANAMNESIS Faktor risiko


• Kelahiran kurang bulan
• Bayi laki-laki
• Seksio sesarea elektif
• Asfiksia perinatal
• Korioamnionitis
• Neonatus dari ibu diabetes
• Hydrops fetalis
• Perdarahan antepartum
• Kehamilan kembar
PEMERIKSAAN • Biasa ditemui pada bayi kurang bulan terutama ≤ 32
FISIS minggu beberapa saat setelah lahir hingga usia 24 jam
pertama.
• Adanya tanda kegawatan pernapasan

463
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan laboratorium
PENUNJANG - Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
- Kadar glukosa darah biasanya rendah (ICD 9 CM: 90.5)
- Ditemukan hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis dari analisis gas
darah (fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 89.65)
- Kultur darah dan urin untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi (fasilitas lengkap) ( ICD 9
CM: 90.52 dan 91.32)

• Pemerikaan radiologi
- Rontgen thoraks mengungkap kepadatan retikulogranular
bilateral dan air bronchogram.
(ICD 9 CM: 87.44)

KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan


DIAGNOSIS penunjang
DIAGNOSIS Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0)
KERJA
DIAGNOSIS • Transient tachypnea of the newborn (TTN) : (ICD 10:
BANDING P22.1)
• Meconium aspiration syndrome (ICD 10:
P24.01)
• Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)
• Pneumonia (ICD 10: P23.0)

TERAPI Umum
• CPAP dengan PEEP 7 cm H2O, PEEP dapat dinaikkan sampai
8 cm H2O bila pemberian suplementasi oksigen mencapai
40% untuk memenuhi target saturasi 90-95%.
• Dukungan dasar yaitu pengaturan suhu dan cairan
parenteral serta obat-obatan
(antibiotik) secara parenteral.
• Kafein diberikan segera setelah lahir. Bila kafein tidak
tersedia, dapat diberikan alternatif teofilin atau aminofilin.
• Terapi penggantian surfaktan

PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.

464
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67

4.14 Meconium aspiration syndrome (MAS)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

MECONIUM ASPIRATION SYNDROME


(MAS)
(ICD 10: P24.01)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

Tanggal DITETAPKAN KETUA PP


Panduan Terbit/Revisi IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada
neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas
pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya:
• Takipnea (frekuensi napas >60x/menit)
• Aktivitas otot pernapasan
• Napas cuping hidung
• Merintih (grunting)
• Sianosis
• Apnea

465
Tabel 8. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor

Downe

Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
Skor total 4-5: gawat napas sedang Skor total ≥6 :
gawat napas berat
DEFINISI Meconium aspiration syndrome (MAS) gawat napas
ini disebabkan oleh aspirasi mekonium saat intrauterin atau
selama proses persalinan. Mekonium yang teraspirasi dapat
menyebabkan sumbatan jalan napas dan reaksi inflamasi paru.

ANAMNESIS Faktor risiko


• Kehamilan lewat bulan/postmaturIbu dengan riwayat
hipertensi
• Gawat janin
• Preeklampsia
• Diabetes mellitus pada ibu
PEMERIKSAAN • Tercampurnya mekonium dalam cairan ketuban
FISIS • Adanya pewarnaan mekonium pada neonatus setelah lahir.
• Adanya tanda kegawatan pernapasan yang berat dan kadang
disertai PPHN

466
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan laboratorium
PENUNJANG - Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
- CRP (ICD 9 CM: 90.5)
- Analisis gas darah (fasilitas lengkap) (ICD 9
CM: 89.65)

• Pemeriksaan radiologis
- Rontgen dada : infiltrat kasar dan bisa asimetris, ada bagian
konsolidasi atau atelektasis, serta bagian hiperinflasi. (ICD 9 CM:
87.44)
KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
DIAGNOSIS penunjang
DIAGNOSIS Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01)
KERJA
DIAGNOSIS • Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0)
BANDING • Transient tachypnea of the newborn (TTN) : (ICD 10:
P22.1)
• Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)

• Pneumonia (ICD 10: P23.0)

467
TERAPI - Tatalaksana di ruang bersalin (jika cairan ketuban ternodai
mekonium)
• Penghisapan lendir atau mekonium mulai dari mulut
kemudian hidung dengan menggunakan penghisap lendir
ukuran besar (10-12Fr) bila bayi lahir tidak menangis sebelum
melakukan ventilasi tekanan positif
• Tata laksana bayi baru lahir di unit neonatus
Tata laksana umum
- Koreksi kelainan metabolik, yaitu hipoksia, asidosis,
hipoglikemia, hipokalsemia dan hipotermia
- Pemantauan kerusakan hipoksik/iskemik organ akhir
(otak, ginjal, jantung, dan hati)
- Cakupan antibiotik (ampisillin dan gentamisin)
Tata laksana kardiorespiratori
- Oksigenasi dan dukungan pernapasan sesuai
kebutuhan bayi
- Mempertahankan saturasi 90-95%
- Mengoreksi hipotensi sistemik
(hipovolemia, disfungsi miokard) -
Mempertahankan kadar PaCO2 antara 25 - 40 mmHg.
- Mencegah terjadinya PPHN

Tata laksana Lavage dengan surfaktan pada MAS (fasilitas


lengkap)

PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.

DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67

468
4.15 Pneumonia pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PNEUMONIA PADA NEONATUS


(ICD 10 : P28.4))

469
No. No. Revisi Halaman
UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

Tanggal DITETAPKAN KETUA PP


Panduan Terbit/Revisi IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada
neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas
pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh
adanya:
• Takipnea (frekuensi napas >60x/menit)
• Aktivitas otot pernapasan
• Napas cuping hidung
• Merintih (grunting)
• Sianosis
• Apnea

Tabel 9. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor

Downe

Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan
Skor total 4-5: gawat napas sedang Skor total ≥6 :
gawat napas berat
DEFINISI Pneumonia adalah infeksi yang terjadi di jaringan paru yang
disebabkan oleh virus, bakteri atau jamur.

ANAMNESIS Faktor risiko


• Ada tanda-tanda infeksi bada bayi
• Bayi terpasang ventilator yang lama
• Ibu dengan korioamnionitis

PEMERIKSAAN • Dapat timbul pada beberapa hari pertama kehidupan


FISIS • Ada tanda-tanda kegawatan pernapasan

470
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan darah lengkap (ICD 9 CM: 90.5)
PENUNJANG • Pemeriksaan analisis gas darah dan kultur darah, CRP
(fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 89.65; 90.52 dan 90.5)
• Rontgen dada: temuan paling sering berupa infiltrat di
lapang paru yang terkena. (ICD 9 CM: 87.44)
• Kultur bakteri: sejumlah kasus pnemonia mungkin
memperlihatkan kultur negatif (ICD 9 CM: 90.52)

KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan


DIAGNOSIS penunjang
DIAGNOSIS Pneumonia pada neonatus (ICD 10: P23.0)
KERJA
DIAGNOSIS • Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0)
BANDING • Transient tachypnea of the newborn (TTN) : (ICD 10:
P22.1)
• Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01)
• Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)

TERAPI • Pada fasilitas terbatas, pemberian antibiotik secara empiris


selama 7 hari.
• Jika kultur negatif untuk pneumonia, pengobatan terdiri
dari ampisillin dan gentamisin parenteral selama 7 hari
(fasilitas lengkap).

• Jika biakan positif untuk pneumonia, pengobatan terdiri dari


antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur selama 10-14
hari tergantung jenis bakteri (fasilitas lengkap).

PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.

DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
471
4.16 Air leak syndrome

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

AIR LEAK SYNDROME


(ICD 10 : P25.1)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

Tanggal DITETAPKAN KETUA PP


Panduan Terbit/Revisi IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada
neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas
pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya:
• Takipnea (frekuensi napas >60x/menit)
• Aktivitas otot pernapasan
• Napas cuping hidung
• Merintih (grunting)
• Sianosis
• Apnea

472
Tabel 10. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor

Downe

Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan

Skor total 4-5: gawat napas sedang


Skor total ≥6 : gawat napas berat
DEFINISI Air leak syndrome atau sindrom kebocoran udara
(pneumomediastinum, pneumothorax, pulmonary
interstitial emphysema dan pneumopericardium). Akibat
pengembangan alveolar yang berlebihan sehingga mengganggu
integritas jalan napas dan menyebabkan penyebaran udara ke
rongga di sekelilingnya.

ANAMNESIS Faktor risiko


• Penggunaan ventilator
• Aspirasi mekonium
• Terapi surfaktan
• Riwayat resusitasi dengan VTP
PEMERIKSAAN • Bayi yang sebelumnya stabil, tiba-tiba mengalami gawat
FISIS pernapasan atau penurunan saturasi.
• Pengembangan dada yang asimetris disertai dengan suara
napas yang menurun

473
PEMERIKSAAN • Transiluminasi positif pada bagian yang terkena
PENUNJANG • Foto rontgen : ada gambaran lusen pada paru yang terkena.
Diagnosis pasti ditegakkan secara radiografis oleh foto rontgen
A-P dan lateral dada. (ICD 9 CM: 87.44)

KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan


DIAGNOSIS penunjang
DIAGNOSIS Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
KERJA
DIAGNOSIS • Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0)
BANDING • Transient tachypnea of the newborn (TTN) (ICD 10:
P22.1)
• Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)
• Pneumonia (ICD 10: P23.0)

TERAPI Umum
• Oksigenasi (mempertahankan saturasi 9095%)
• Pencegahan: Pada saat resusitasi, hindari pemberian VTP yang
berlebihan. Pemakaian dukungan ventilator secara hati-hati
dalam memberikan tekanan dan PEEP yang tinggi.

Spesifik
• Pungsi pleura untuk kondisi emergensi dan bila perlu dilakukan
WSD
PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.

DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67

474
4.17 Apnea of prematurity
PANDUAN PRAKTIK KLINIS

APNEA OF PREMATURITY
(ICD 10 : P28.4)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

Tanggal DITETAPKAN KETUA PP


Panduan Terbit/Revisi IDAI
Praktik Klinis
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Gangguan napas adalah salah satu kegawatan pada
neonatus yang paling sering dijumpai. Batasan gangguan napas
pada neonatus adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya:
• Takipnea (frekuensi napas >60x/menit)
• Aktivitas otot pernapasan
• Napas cuping hidung
• Merintih (grunting)
• Sianosis
• Apnea

475
Tabel 11. Evaluasi gawat napas dengan menggunakan Skor

Downe

Evaluasi:
Skor total ≤3 : gawat napas ringan

Skor total 4-5: gawat napas sedang


Skor total ≥6 : gawat napas berat
DEFINISI Apnea of prematurity adala berhentinya pernapasan yang
disertai oleh bradikardia dan/atau sianosis selama lebih dari 20
detik.
ANAMNESIS Faktor risiko
- Hiponatremia
- Hipotermia
- Hipoglikemia
- Anemia
- Refluks gastro-esofageal (GER)
- Patent Ductus Arteriosus (PDA)
- Perdarahan intrakranial
- Penyumbatan saluran napas
- Infeksi susunan saraf pusat
PEMERIKSAAN Berhentinya napas disertai oleh bradikardia dan/atau sianosis
FISIS atau lebih dari 20 detik.

476
PEMERIKSAAN • Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan
PENUNJANG darah lengkap dan glukosa serum (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan elektrolit (ICD 9 CM: 90.5) dan analisis gas
darah (fasilitas lengkap) (ICD 9 CM: 86.65)
• Pemeriksaan radiologis harus mencakup rontgen dada (ICD 9
CM: 87.44)
• USG abdomen, USG kepala dan echocardiography (fasilitas
lengkap) (ICD 9 CM: 88.76; 88.71; 88.72)

KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan


DIAGNOSIS penunjang
DIAGNOSIS Apnea of prematurity (ICD 10 : P28.4)
KERJA
DIAGNOSIS • Respiratory distress syndrome (ICD 10: P22.0)
BANDING • Transient tachypnea of the newborn (TTN) (ICD 10:
P22.1)
• Meconium aspiration syndrome (ICD 10: P24.01)
• Air leak syndrome (ICD 10: P25.1)
• Apnea of prematurity (ICD 10: P28.4)
• Pneumonia (ICD 10: P23.0)

TERAPI Umum
• Melakukan rangasangan taktil
• Gunakan nasal kanul low flow atau CPAP pada apnea
berulang dan tidak memberikan respon dengan
rangsangan taktil.
• Terapi farmakologis mungkin diperlukan pada apnea
kelahiran kurang bulan.
• Kafein diberikan segera setelah lahir. Bila kafein tidak
tersedia, dapat diberikan alternatif teofilin atau
aminofilin.
Memantau kadar teofilin

Spesifik
• Cari penyebab dan atasi.

PROGNOSIS Bila bayi segera dapat ditangani, maka prognosis baik. Pada
kebutuhan ventilasi mekanik yang lama (>7 hari), maka resiko
untuk bayi mengalami problem neurodevelopmental akan
meningkat.

477
DAFTAR Priestley J. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad OD. 59
Bancalari E. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk. 61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 18
WHO. 63
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cummings JJ, Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67

4.18 Terapi oksigen


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TERAPI OKSIGEN

No. Dokumen No. Revisi Halaman


UKK
Neonatologi
2018
Panduan Tanggal Terbit/Revisi DITETAPKAN
Praktik Klinis KETUA PP IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

478
PENDAHULUAN Percobaan pertama pembuktian bahwa oksigen itu tidak berwarna,
berbau, dan berasa dilakukan oleh Joseph Priestley dipublikasi
tahun 1774. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk menangani bayi-bayi yang lahir prematur, maka
pemberian oksigen dapat diberikan bersama dengan pemberian
udara atau oksigen 100%, bergantung pada kondisi bayi saat
resusitasi. Untuk bayi cukup bulan resusitasi diawali dengan FiO2
21% sedangkan bayi dengan usia gestasi kurang dari 35 minggu
diberikan FiO2 30%.

Pada tindakan resusitasi terutama pada kondisi bayi baru lahir


bernapas spontan dengan sianosis sentral persisten, perlu
diperhatikan pada pemberian oksigen. Tujuan pemberian oksigen
adalah menargetkan semirip mungkin saturasi oksigen bayi baru
lahir cukup bulan sehat, berapapun usia kehamilan bayinya.

Bayi baru lahir memiliki saturasi oksigen yang rendah dan


membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk mencapai kondisi
normal (85-95%). Setelah itu saturasi dikatakan normal apabila
saturasi mencapai lebih dari 88%, jika kurang dari itu bayi akan
membutuhkan oksigen.

Gambar 16. Peralatan untuk pemberian


oksigen

479
OKSIGEN Persediaan oksigen yang cukup harus tersedia setiap saat. Oksigen
diberikan dengan kecepatan aliran yang tertentu. Inkubator
memerlukan minimal 4-5 liters/menit; Botol air pada continuous
positive airway pressure (CPAP) memerlukan 5-10 liter/menit.
Masker oksigen pada wajah memerlukan 4 liter/menit dan sangat
penting bahwa nasal kateter atau prong mengalirkan 0,5 – 2
liter/menit oksigen kepada neonatus.

Kateter nasal merupakan cara paling efisien untuk mengirimkan


oksigen tetapi oksigennya harus dilembabkan karena gas kering akan
mengiritasi hidung dan dapat menyebabkan pendinginan.
Humidifier atau pelembab merupakan bagian ideal dari sistem ini
tetapi tidak mutlak diperlukan kecuali neonatus menerima oksigen
melalui sebuah kateter CPAP nasal atau selang endotrakeal.

Acuan pada suplementasi oksigen untuk resusitasi bayi baru lahir


dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Mulai pemberian dengan udara (oksigen 21%) pada bayi cukup
bulan atau FiO2 30% pada bayi usia gestasi kurang dari 35
minggu dan berikan oksigen sesuai kebutuhan.
2) Berikan oksigen 100% apabila:

• Saturasi oksigen masih di bawah 70% saat 5 menit atau


di bawah 90% saat usia 10 menit.
• Denyut jantung tidak meningkat di atas 100 x/menit
setelah 60 detik dilakukan ventilasi efektif.
• Mulai memberikan kompresi dada.
3) Fraksi oksigen disesuaikan dengan target yang diinginkan.

480
UDARA Untuk memiliki ketersediaan sumber udara bertekanan untuk
BERTEKANAN dicampurkan dengan oksigen 100% sangatlah penting karena dapat
memberikan konsentrasi oksigen kurang dari 100% yang diperlukan
oleh neonatus.

Harus diingat bahwa beberapa bayi dapat mencapai saturasi di atas


90% walaupun tanpa suplementasi oksigen. Terdapat beberapa
pilihan dalam pemberian oksigen, yaitu oksigen-udara dihubungkan
dengan Y-connector dan Oxygen concentrator (menghasilkan
oksigen 95%) atau oxygen cylinder (oksigen 100%) ditambah
dengan kompresor silinder/udara.

Untuk memperoleh konsentrasi fraksi oksigen yang diinginkan dapat


dilihat pada tabel dibawah ini:

Udara Bertekanan (liter/menit)


% kons. O2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

41 37 34 32 31 30 29 28
1
% % % % % % % %
Oksigen (liter/menit)

61 53 47 44 41 38 37 35 34
2
% % % % % % % % %
80 68 61 55 51 47 45 43 41 39
3
% % % % % % % % % %
84 74 66 61 56 52 50 47 45 44
4
% % % % % % % % % %
86 77 70 65 61 57 54 51 49 47
5
% % % % % % % % % %
88 80 74 68 64 61 57 54 53 51
6
% % % % % % % % % %
Oksigen (liter/menit.)

90 82 76 71 67 64 61 58 56 54
7
% % % % % % % % % %
91 84 78 74 70 66 63 61 58 56
8
% % % % % % % % % %
92 86 80 76 72 68 65 63 61 58
9
% % % % % % % % % %
1 93 87 82 77 74 70 67 65 63 61
0 % % % % % % % % % %

481
BMS merupakan alat resusitasi yang sering dipakai di fasilitas
terbatas maupun fasilitas lengkap. BMS dapat digunakan tanpa
sumber gas (pemberian FiO2 21% sama dengan udara ruangan). Bila
BMS disambungkan dengan sumber oksigen murni, fraksi oksigen
(FiO2) pada masker bergantung dengan campuran aliran oksigen dan
udara bebas yang masuk ke balon (bag) Contoh BMS adalah balon
volume 250 ml.

Gambar 17. Penggunaan BMS dengan atau tanpa reservoir

Studi menunjukkan BMS tanpa reservoir yang disambungkan dengan


sumber oksigen dapat memberikan oksigen sekitar 40% dan
memberikan oksigen 90- 100% bila dilengkapi dengan reservoir.

ANALYZER • Sebuah analyzer oksigen menentukan


OKSGIEN konsentrasi oksigen yang diberikan pada bayi.
• Analyzer ini harus dirawat secara rutin dan dikalibrasi dengan
benar. Setelah pengaturan kalibrasi harus dipasang sensor
analyzer di oxyhood di dekat hidung bayi untuk menentukan
konsentrasi yang paling tepat untuk diterima bayi

OXYHOOD • Oxyhood harus terbuat dari plastik bening, cukup besar untuk
menutupi kepala bayi dan masih memungkinkan bayi untuk
bergerak. Plastik harus keras dan padat sehingga oksigen/udara
tidak bocor atau bercampur dengan udara kamar.
• Harus dipasang termometer pada oxyhood. Suhu di dalam
oxyhood harus diatur dan dipertahankan di dalam kisaran
lingkungan bersuhu netral bayi untuk mencegah bayi menggigil
atau kepanasan.

• Penelitian Jatana dan kawan-kawan tahun 2007 menemukan bahwa


sebaiknya apabila menggunakan oxyhood yang paling kecil
dengan flow di atas 4 L/menit, untuk oxyhood sedang dan besar
dengan flow di atas 3 L/menit untuk mengurangi retensi CO2,
dan memberikan
maksimal flow 10 L/menit

482
MEMANASKAN • Harus tersedia mekanisme untuk memanaskan air yang akan
DAN digunakan untuk mengatur kelembaban.
MENGATUR • Air yang digunakan harus steril karena air ledeng mengandung
KELEMBAPAN organisme bakteri yang akan melipatgandakan diri dalam air
UDARA hangat.
• Kadar air harus dipertahankan pada kadar yang sesuai dan air
diganti dengan air steril baru setiap 24 jam.
• Penting pula untuk memiliki mekanisme untuk menghubungkan
sumber oksigen/udara dengan unit pemanas/pelembab dan
mempertahankan laju aliran kombinasi pada sekitar 4-5
liter/menit.
• Jika oksigen diberikan pada neonatus dengan flow 0,5-1 L/menit
dengan menggunakan kateter nasal atau nasal prong, tidak
diperlukan humidifikasi, sebaliknya oksigen diberikan dengan
flow lebih dari 4 L/menit melalui kateter nasal atau nasal prong
akan memerlukan humidifikasi

DAFTAR Prisetley. 57
RUJUKAN Ballot D. 58
Saugstad. 59
Bancalari. 60
Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS,
Kattwinkel J, Perlman JM, dkk.61
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 62
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 68
WHO. 69
Duc G, Sinclair J. 64
Saugstad OD, Aune D. 65
Cumming JJ Polin RA. 66
Col SJ, Maj SD, Brig MN, Capt GGS. 67
Trevisanuto D, Cengio VD, Doglioni N, Cavallin F, Zanardo V, Parotto
M, dkk. 70

4.19 CPAP
PANDUAN PRAKTIK KLINIS

CONTINUOUS POSITIVE AIRWAY


PRESSURE (CPAP)

No. Revisi Halaman


No.
UKK Neonatologi 2018
Dokumen

483
Tanggal DITETAPKAN KETUA PP
Panduan Praktik Terbit/Revisi IDAI
Klinis
Ikatan Dokter Anak
Indonesia
PENDAHULUAN Sesak napas pada bayi baru lahir adalah suatu kumpulan
gejala klinis berupa laju napas >60x/menit, retraksi
interkostal, retraksi supraklavikula, retraksi epigastrium,
napas cuping hidung, henti napas, sianosis, dan takikardia,
yang timbul akibat gangguan pertukaran gas di dalam paru-
paru bayi baru lahir. Insiden sesak napas pada bayi baru lahir
berkisar 6,7% dari total kelahiran. Sesak napas pada bayi
prematur menyumbang insiden tertinggi sekitar 30%, diikuti
bayi post matur 20,9%, dan terendah terjadi pada bayi cukup
bulan 4,2%. Berdasarkan etiologinya transient tachypnea
of newborn (TTN) merupakan penyebab tersering sesak
napas bayi baru lahir (42,7%), diikuti oleh sepsis neonatorum
(17,0%), sindrom aspirasi mekonium (10,7%), sindrom gawat
napas bayi baru lahir (9,3%), dan asfiksia neonatorum (3,3%).
Sesak napas merupakan masalah tersering dialami bayi, baik
prematur maupun cukup bulan, yang dirawat di neonatal
intensive care unit (NICU)

Kondisi sesak napas haruslah ditangani dengan seksama dan


sedini mungkin untuk mencegah komplikasi lebih lanjut,
bahkan kematian pada bayi. Stabilisasi neonatus yang

terdiri dari mencegah hipotermia, membuka jalan napas,


mempertahankan respirasi optimal dan menjaga sirkulasi
adekuat, serta mencegah hipoglikemia, haruslah dilakukan
pada semua kondisi sesak napas tanpa memandang
etiologinya. Tata laksana respirasi pada sesak napas bayi
baru lahir adalah pemberian tekanan jalan napas positif
berkelanjutan / Continous Positive Airway
Pressure (CPAP)

484
PRINSIP CPAP Tekanan jalan napas positif berkelanjutan(CPAP) akan
tercipta manakala terdapat aliran udara hangat nan lembab
mengalir melalui suatu sirkuit yang memiliki resistensi
tertentu. Berbagai cara untuk dapat menciptakan CPAP di
antaranya menggunakan mesin ventilator, sirkuit bubble
CPAP, T piece resuscitator atau balon tidak mengembang
sendiri. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan
sendiri-sendiri.

CPAP akan terhantarkan dengan baik ke jalan napas bayi


melalui suatu perantara (interface). Berbagai interface
yang dikenal antara lain sungkup, single nasal prong,
short bi nasal prong dan pharingeal prong.

Terdapat 2 tekanan saat bayi bernapas, yaitu tekanan puncak


inspirasi dan tekanan akhir ekspirasi/ positif end-
expiratory pressure (PEEP). Cara paling efektif
menciptakan CPAP adalah dengan memberikan PEEP adekuat
yang berkelanjutan sehingga tercipta kapasitas residual paru
yang optimal.

UKK Neonatologi Indonesia sepakat mulai memberikan PEEP


7 cmH2O, yang selanjutnya dilakukan penyesuaian. Jika bayi
masih mengalami sesak napas, maka tekanan dapat
ditingkatkan, jika sesak napas membaik, maka tekanan
dikurangi 1 cmH2O. PEEP maksimal adalah 8 cmH2O
sementara PEEP minimal adalah 5 cmH2O.

DEFINISI Continuous positive airway pressure (CPAP)


merupakan suatu metode untuk mempertahankan tekanan
positif pada saluran napas neonatus selama pernapasan
spontan.
EFEK • Mencegah kolapsnya alveoli dan atelektasis
FISIOLOGIS • Mendapatkan volume yang lebih baik dengan
CPAP meningkatkan kapasitas residu fungsional
• Memberikan kesesuaian perfusi ventilasi yang lebih baik
dengan menurunkan pirau intrapulmonar
• Mempertahankan surfaktan
• Meningkatkan kompliance paru
• Mempertahankan diameter jalan napas tetap sehingga
menurunkan resistensi jalan napas
• Menurunkan usaha napas

485
GANGGUAN YANG Bayi yang mendapatkan manfaat dari CPAP nasal adalah:
DAPAT DIATASI • Bayi kurang bulan dengan RDS
CPAP NASAL • Bayi dengan TTN (transient tachypnea of the
newborn)
• Bayi dengan sindroma aspirasi mekonium
• Bayi yang sering mengalami apnea
obstruktif
• Pasca ekstubasi dan lepas dari tunjangan ventilator
• Bayi dengan penyakit jalan napas seperti trakeomalasia
dan bronkiolitis
• Bayi pasca operasi abdomen atau dada

KRITERIA MEMULAI Semua bayi, cukup bulan atau kurang bulan, yang
CPAP NASAL menunjukkan SALAH SATU gejala berikut ini harus
dipertimbangkan untuk menggunakan CPAP
• Frekuensi napas >60 x/mnt
• “Merintih (grunting)” dalam derajat sedang
sampai parah
• Retraksi dinding dada
• Napas cuping hidung
• Desaturasi/ Saturasi oksigen <93%
(preduktal)
• Sering mengalami apnea obstruktif
• Pasca ekstubasi dan lepas dari tunjangan ventilator
mekanik apabila diperlukan

• Bayi ekstrim prematur yang bernapas spontan < 28 minggu


atau kurang dari 1000 gram (early CPAP)

KONTRAINDIKASI • Apnea sentral


PEMASANGAN CPAP • Hernia diafragmatika
• Atresia koana
• Fistula trakheoesophageal
• Gastroschisis
• Pneumothorax tanpa chest drain
• Trauma pada nasal, yang kemungkinan dapat memburuk
dengan pemasangan nasal prong
• Instabilitas kardiovaskuler berat

486
KOMPONEN CPAP Sistem CPAP yang umum digunakan adalah terdiri dari tiga
komponen
1. Sebuah sirkuit yang mengalirkan gas terus menerus yang
terdiri atas :
a. Sumber gas oksigen (100%) dan udara bertekanan
(21%) menghasilkan gas dengan konsentrasi oksigen
(FiO2) tertentu.
b. Sebuah flow meter mengontrol kecepatan aliran
terus-menerus dari gas yang dihirup (biasanya
dipertahankan pada kecepatan 5-10 L/menit).
c. Sebuah humidifier menghangatkan dan
melembabkan gas yang dihirup agar mengandung uap
air 44 mg/L dan bersuhu 37 C.
d. Sirkuit inspirasi yang didalamnya terdapat
heated wire sehingga gas yang dihantarkan dari
humidifier tidak kehilangan suhu dan
kelembabannya
e. Sirkuit ekspirasi yang dilengkapi dengan (water
trap)
2. Sebuah alat untuk menghubungkan sirkuit ke saluran
napas neonatus (interface). Untuk tujuan dalam prosedur
ini, Short binasal prong merupakan metode yang lebih
disukai
3. Sebuah alat untuk menghasilkan tekanan positif pada alat
sirkuit. Tekanan positif dalam sirkuit dapat dicapai
dengan memasukkan pipa ekspirasi bagian distal

dalam air sampai kedalaman yang diharapkan (Bubble


CPAP).

487
MATERI UNIT CPAP Sirkuit CPAP lengkap harus dirangkai sebelum dipergunakan.
Jika bayi memerlukan CPAP. Unit CPAP memerlukan
perlengkapan berikut:
• Sumber aliran oksigen dan udara
• Pencampur Oksigen dengan flow meter
• Pipa dari flow meter ke alat pengatur kelembaban
• Humidifier
• Pipa sirkuit berkerut dengan sambungan ke alat pengatur
kelembaban
• Peralatan kateter nasal (terdiri dari nasal prongs, topi
dan Velcro)
• Prong yang ukurannya tepat harus sesuai dengan ukuran
lubang hidung tanpa menekan septum. Jika prong terlalu
kecil, akan ada peningkatan resistensi udara yang tidak
perlu dan udara keluar dari sekitar prong dan sulit untuk
mempertahankan tekanan yang sesuai. Prong yang terlalu
kecil atau terlalu besar bisa merusak selaput lendir dan
septum lecet. Pedoman umum ukuran prong yang tepat
adalah
- Ukuran 2 untuk berat 1000-2000 g
- Ukuran 3 untuk berat 2000-3000 g
- Ukuran 4 untuk berat 3000-4000 g
- Ukuran 5 untuk berat > 4000 g
• Pita pengukur
• Plester hydroksikoloid untuk mencegah trauma hidung
• Tabung yang berisi air steril dengan kedalaman terntentu.

CARA PEMASANGAN 1. Tempelkan selang oksigen dan udara ke pencampur dan


CPAP flow meter lalu hubungkan ke alat pengatur
kelembaban. Pasang flow meter antara 5-10 liter/mnt.
2. Tempelkan satu selang ringan, lemas dan berkerut ke alat
pengatur kelembaban.

488
Hubungkan probe kelembaban dan suhu ke selang kerut
yang masuk ke bayi. Pastikan probe suhu tetap di luar
inkubator atau tidak di dekat sumber panas radian.
3. Jaga kebersihan ujung selang kerut yang lain dan ditutup.
4. Tentukan tekanan CPAP dengan mengatur kedalaman pipa
sesuai dengan PEEP yang diinginkan.

Cuci tangan yang benar sebelum menyentuh prong atau pipa


CPAP bayi adalah suatu keharusan. Sarung tangan steril harus
digunakan saat mengisap lendir jalan napas. Pencegahan dan
pengendalian infeksi merupakan faktor penting untuk
kelangsungan hidup bayi dan tata laksana paru

KARAKTERISTIK • Pipa yang fleksibel dan ringan sehingga pasien bisa


SISTEM CPAP YANG mengubah posisi dengan mudah.
BAIK • Mudah ditempel dan dilepas
• Resistensinya rendah sehingga pasien bisa bernapas
dengan spontan
• Relatif tidak invasif
• Sederhana dan mudah dipahami oleh semua pemakai
• Aman dan efektif dari segi biaya

PENGGUNAAN CPAP Mempersiapkan sistem


• Hubungkan alat pencampur ke FiO2 yang sesuai.
• Nyalakan flow meter ke angka antara 5-10 liter/mnt.
• Isi pipa untuk melembabkan dengan air steril sampai
batas yang telah ditentukan, nyalakan alat pengatur
kelembaban dan sesuaikan kelembabannya sehingga
kekentalan sekresi bisa terjaga dan insensible water
loss bisa dihindari. Atur suhu pada 37oC.
• Pilih ukuran prong yang benar dan hubungkan dengan
ujung selang kerut yang bebas.

489
• Tutup ujung prong nasal untuk menguji fungsi sirkuit.
Amati gelembung yang muncul di permukaan air.
Menghubungkan sistem ini dengan bayi
• Posisikan bayi dan naikkan bagian kepala tempat tidur
30°.
• Hisap lendir dari mulut, hidung dan faring dengan
lembut. Gunakan kateter ukuran besar yang bisa masuk
ke hidung tanpa kesulitan yang berarti. Pastikan bahwa
bayi tidak mengalami atresia koana.
• Letakkan gulungan kecil di bawah leher/bahu bayi.
Sedikit ekstensi leher untuk menjaga jalan napas tetap
terbuka.
• Lembabkan prong dengan air steril atau tetesan NaCl
0,9% sebelum memasukkannya ke dalam hidung bayi,
dengan lengkungan ke bawah. Sesuaikan sudut prong
dan kemudian putar selang kerut hingga dicapai posisi
yang benar. Untuk memastikan posisi yang tepat,
periksa
a. Lubang hidung tertutup sama sekali oleh prong.
b. Kulit hidung tidak tertarik yang terlihat dari
pucatnya warna kulit di sekitar tepi lubang hidung.
c. Selang kerut tidak menyentuh kulit bayi.
d. Tidak ada tekanan lateral pada septum.
e. Ada sedikit ruang antara ujung septum dan bridge
di antara prong.
f. Prong tidak bersandar pada filtrum.

• Masukkan pipa orogastrik dan lakukan aspirasi isi perut.


Anda bisa membiarkan pipa di tempatnya untuk
menghindari distensi lambung.
• Gunakan ukuran topi yang sesuai dan lipat ujungnya 2-3
cm. Pasang topi di kepala bayi sehingga ujungnya tepat
di atas telinga. Atur selang kerut di sebelah kepala.
Pasang

490
peniti di tiap sisi selang. Gunakan gelang karet di sekitar
peniti dan di atas selang kerut untuk
mencegahpergeseran atau berpindahnya peralatan ini.
• Setelah bayi distabilisasi menggunakan CPAP, anda bisa
memasang “moustache” Velcro agar prong tidak
bergeser dari posisinya. Bersihkan pipi dan bibir atas bayi
dengan air dan biarkan kering.Potong plester
hydroxycolloid dan pasang tepat di atas area yang sudah
disiapkan. Potong Velcro dan pasang tepat di atas
hydroxycolloid. Potong dua strip Velcro lunak (lebar 8
mm) dan pasang melingkar area prong yang menutupi
pipi. Tekan kanula prong dengan lembut hingga Velcro
strip yang lunak menempel ke antara bibir dan hidung

MEMPERTAHANKAN Sistem CPAP melalui hidung bayi harus diperiksa setiap 2-4
CPAP NASAL jam
• Respirasi: frekuensi napas, merintih (grunting),
retraksi dan cuping hidung kembang kempis dan suara
napas
• Suhu: ukur dengan cermat. Alat pengatur kelembaban
mempengaruhi suhu tubuh bayi.
• Kardiovaskuler: perfusi sentral dan perifer, tekanan
darah dan auskultasi
• Neurologis: tonus, respon terhadap stimulasi dan
kegiatan
• Gastrointestinal: distensi abdomen, visible loops
dan bising usus
• Teknis: probe saturasi oksigen pre-duktal dan pemantau
kardiopulmonal

- Pengisap lendir rongga hidung, mulut, faring dan perut


setiap 2-4 jam dan sesuai kebutuhan. Meningkatnya
upaya napas, meningkatnya kebutuhan oksigen dan
insiden apnea/bradikardi mungkin merupakan indikasi
untuk melakukan pengisapan lendir. Gunakan kateter
ukuran paling besar yang bisa masuk ke hidung tanpa
kesulitan yang berarti (ukuran 6 tidak cocok untuk
pengisapan lendir hidung).

491
Catat jumlah, konsistensi dan warna sekresi. Untuk
melunakkan sekresi kental dan kering, gunakan beberapa
tetes salin steril (Nacl) 0,9%.

• Periksa fungsi seluruh sistem CPAP


- Apakah alat pencampur diatur pada persentasi yang
sesuai?
- Apakah flow meter diatur antara 5-10 liter/menit?
- Apakah alat pengatur kelembaban berisi jumlah air yang
benar?
- Apakah suhu gas yang dihirup sudah tepat? - Apakah
selang kerut tidak terisi air?
- Apakah ujung pipa di botol outlet ada pada tanda 5 cm?
- Apakah permukaan asam asetat ada pada tanda 0 cm?
- Apakah botol outlet terlihat ada gelembungnya?
- Jaga jangan sampai kanula CPAP menyentuh septum nasal
SEKALIPUN
- Ubah posisi bayi setiap 4-6 jam untuk drainase postur
semua sekresi paru

MENGHENTIKAN Setelah CPAP dipasang, bayi bisa bernapas dengan mudah


PEMAKIAN CPAP dan terlihat penurunan frekuensi napas dan retraksi. FiO 2
harus diturunan secara bertahap 2-5% dengan dipandu
“pulse oxymeter” atau hasil gas darah. Kebutuhan
FiO2 biasanya turun menjadi 25% atau udara ruangan.

Jika bayi sudah nyaman bernapas dengan CPAP dan FiO 2 21%
maka harus dicoba untuk melepaskannya dari CPAP. Prong
nasal harus dilepas dari corrugated tubing saat selang
masih di tempatnya. Bayi harus dinilai selama percobaan ini
apakah mengalami takipnea, retraksi, desaturasi oksigen,
atau apnea. Jika tanda tersebut timbul, percobaan dianggap
gagal. CPAP harus segera dipasang lagi pada bayi paling
sedikit satu hari sebelum dicoba lagi di hari berikutnya.

492
Tidak dianjurkan menurunkan tekanan < 5 cmH2O selama
penyapihan karena bahaya atelektasis paru. Bayi
menggunakan CPAP 5 cm atau sama sekali lepas dari CPAP.

Jika ada keraguan terganggunya pernapasan selama proses


penyapihan, JANGAN disapih. Lebih baik diantisipasi
sebelumnya dan mencegah kolaps paru daripada
menatalaksana paru yang kolap

KOMPLIKASI CPAP • Cedera pada hidung, seperti erosi pada septal nasi, dan
nasal snubbing
• Pneumothoraks
• Impedasi aliran darah paru
• Distensi abdomen
• Nasal prong atau masker pada CPAP dapat menyebabkan
bayi tidak nyaman yang menyebabkan agitasi dan
kesulitan tidur pada bayi

PEMBERIAN MINUM CPAP nasal bukan merupakan kontraindikasi pemberian


DENGAN CPAP asupan enteral. Mungkin perlu melakukan aspirasi udara
yang berlebihan dari dalam perut sebelum pemberian
asupan. Jika stabil secara klinis, bayi dengan CPAP dapat
menetek atau minum melalui sonde, atau diberikan secara
drip terus menerus.

INDIKASI Bayi dengan CPAP nasal dengan tekanan yang optimal akan
VENTILASI memerlukan ventilasi mekanis jika terjadi hal berikut:
MEKANIS • FiO2 > 40 %, PEEP 8
• PaCO2 > 60 mmHg
• Asidosis metabolik menetap dengan defisit basa >
-8
• Terlihat retraksi yang nyata saat dilakukan CPAP
• Sering mengalami apnea dan
bradikardi

Sebelum memulai ventilasi mekanis, periksa:


- Apakah sistem CPAP berfungsi lancar dan menempel
di hidung bayi?
- Bagaimana bayi secara klinis? Jika terlihat baik, ulangi
gas darah untuk menyisihkan kemungkinan
kesalahan pemeriksaan laboratorium.

493
PEMECAHAN Tidak ada gelembung di botol
MASALAH SECARA Hal ini karena ada kebocoran udara di suatu tempat di sirkuit.
CEPAT SELAMA Lepaskan prong dari hidung dan lakukan oklusi. Jika sistem
CPAP menimbulkan gelembung, berarti ukuran prong, tidak tepat
(mungkin terlalu kecil), atau lengkungannya tidak tepat di
dalam hidung, atau tidak pas ukurannya. Kadang-kadang
dengan bayi hanya membuka mulut, sistem akan berhenti
menimbulkan gelembung. Hal ini dapat dikoreksi dengan
menempatkan ‘strip dagu.’

Jika botol tidak menimbulkan gelembung, hal ini berarti


bahwa masalah ada di dalam sirkuit. Periksa setiap
komponen dalam sirkuit secara sistematis.

Prong tidak tetap di tempatnya.


Periksa yang berikut ini:
- Apakah anda menggunakan prong dengan ukuran
yang tepat?
- Apakah topinya pas di kepala bayi?
- Apakah corrugated tubing ditempelkan dengan
benar kedua sisi topi dan pada sudut yang tepat
dengan prong?
- Apakah Velcro moustache perlu diganti?

Bayi tidak tenang


- Periksa sekresi jalan napas.
- Gunakan dot dan bungkus bayi.
- Aspirasi gas yang berlebihan dari perut (jika perlu).

Kerusakan septum nasal


Kerusakan karena tekanan terus menerus dan/atau friksi
dengan septum nasal.
Pencegahan merupakan strategi kunci.
- Gunakan prong yang ukurannya tepat.
- Pasang prong dengan tepat dan topi yang ukurannya
sesuai, peniti yang ditempatkan dengan tepat dan
gelang karet pada corrugated tubing.
- Gunakan Velcro moustache jika perlu.

- Bridge of the prongs tidak boleh menyentuh


septum nasal SATU KALI PUN.
- Hindari memelintir prong karena akan menekan
bagian lateral septum.
Jangan gunakan gel, krem, atau salep untuk melembabkan
hidung (hanya NaCl 0,9% atau aqua steril).

DAFTAR RUJUKAN Wu, S. 71


494
Kattwinkel J. 72
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 68
Spitzer AR, Clardk RH. 73
Gregory GA, Kitterman JA, Phibbs Rh, Tooley WH, Hamilton
WK. 74
Sandri F, Ancora G, Lanzoni A, Tagliabue P,
Colnaghi M, Ventura M , dkk. 75
Subramaniam P, Ho JJ, Davis PG. 76

4.20 Ventilasi invasif


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

VENTILASI INVASIF

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP


Panduan Praktik IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

495
PENDAHULUAN Saat bayi lahir dan sebelumnya mengalami hipoksia perinatal,
didapatkan gambaran bayi bernapas cepat dan bila berlangsung
lama bayi bisa mengalami apne. Apne yang terjadi bisa apne
primer atau apne sekunder

Pada bayi setelah upaya langkah awal tetap tidak timbul nafas
spontan, VTP harus segera diberikan, dan dilanjutkan alat bantu
napas ventilasi invasif bila bayi tetap tidak ada nafas spontan.

PRINSIP Prinsip Ventilasi invasif adalah membuka paru dengan


VENTILASI memberikan bantuan nafas secara aktif melalui ETT dengan
INVASIF tujuan untuk meningkatkan hipoksemia (PaO2) dan eliminasi CO2
(PaCO2) yang berlebihan dengan target saturasi O2 berkisar
antara 90-95% serta tercapainya PaO2 60-80 mmHg dan PaCO2
35-45/50 mmHg (pada bayi prematur)

EFEK FISIOLOGIS • Mencegah kolapsnya alveoli dan atelektasis


• Mendapatkan volume yang lebih baik dengan meningkatkan
kapasitas residu fungsional
• Memberikan kesesuaian perfusi ventilasi yang lebih baik
dengan menurunkan pirau intrapulmonar
• Mempertahankan surfaktan

• Mempertahankan jalan napas dan meningkatkan


diameternya
INDIKASI Bila memenuhi salah satu dari gejala berikut dibawah ini:
1. Apne-bradikardia-desaturasi akibat prematuritas yang
tidak membaik dengan CPAP
2. Gagal CPAP
3. Sianosis menetap meski bayi mendapat CPAP atau NIPPV
4. Hasil analisis gas darah pH < 7,25, pO2 < 40 mmHG, pCO2
> 60 mmHg, dan saturasi oksigen < 90% dengan atau
disertai asidosis metabolik berat dengan defisit basa > -8.
5. Gangguan sirkulasi yang berat

KONDISI KHUSUS - Bayi dengan kelumpuhan diafragma


YANG - Bayi dalam kondisi khusus seperti: atresia koana, hernia
MEMERLUKAN diafragmatika, hidrops fetalis
DUKUNGAN - Bayi tanpa nafas spontan akibat pengaruh obat anestesi (birth
VENTILASI depression, bayi pasca operasi)
INVASIF
KONTRAINDIKASI Bayi dengan kelainan kromosom letal (seperti trisomi 13, 18)

496
UNIT VENTILASI Sirkuit pernafasan Ventilasi invasif harus digunakan secara
INVASIF disposable, dirangkai dan siap digunakan SETIAP SAAT.
Humidifier harus berfungsi
Unit ventilasi invasif memerlukan perlengkapan berikut:
• Sumber aliran Oksigen dan udara
• Pencampur Oksigen dengan flow meter
• Humidifier
• Pipa sirkuit berkerut dengan sambungan ke alat
pengatur kelembaban
• ETT yang sudah terpasang saat bayi
terintubasi sesuai dengan berat bayi

FAKTOR YANG 1. Pulmonary mechanics


MEMENGARUHI Fungsi mekanik paru akan menentukan interaksi ventilator
VENTILASI dan bayi. Adanya pressure gradient mengakibatkan
INVASIF pengembangan alveoli dan berubahnya volume tidal.
Pressure gradient dibutuhkan untuk mendapatkan
ventilasi adekuat dan sebagian besar akan ditentukan oleh
resistensi dan komplain paru.

497
2. Komplain paru merupakan elastisitas paru dan dinding dada.
Merupakan perubahan volume paru.

Komplains paru = ∆ volume


∆ tekanan

Bayi dengan paru normal = 3-5 mL/cmH2O


/kg
Bayi dengan RDS = 0.1 to 1 mL/cmH2O/kg

3. Resistensi
Menggambarkan kemampuan konduksi gas dari bagian
sistem respirasi (paru dan dinding dada) untuk menahan
aliran udara.

Resistensi paru = ∆ tekanan


∆ flow

Bayi dengan paru normal = 25-50


cmH2O/L/detik.
Resistensi paru ditentukan oleh:
• Karakteristik airway : panjang, diameter, karakteristik
cabang dan permukaan paru
• Tipe aliran/flow (laminar atau turbulen)
Normal resistensi paru antara 20-30
cmH2O/L/detik

4.Time constant
Pengukuran waktu penting pada tekanan di alveolar (volume)
untuk mencapai 63% perubahan pada tekanan jalan napas
(atau volume).

Time constant = komplain x resistensi

Contoh:
Komplain paru 2 mL/cmH2O dan resistensi
paru 40 cm H2O/L/detik
Time constant = 0.002 L/cmH2O x 40
cmH2O/L/detik = 0,080 detik

498
Durasi inspirasi atau ekspirasi setara dengan 3-5 time constant
yang dibutuhkan untuk inspirasi atau ekspirasi penuh.
Lamanya inspirasi dan ekspirasi berkisar 0,35-0,5 detik.

Time constant akan menjadi:


Lebih pendek jika komplain paru menurun (misalnya bayi RDS)
atau resistensi meningkat Lebih panjang jika komplain tinggi (bayi
besar dengan paru normal) atau resistensi tinggi (bayi dengan
penyakit paru kronik)

Gambar 18. Inspirasi pendek saat pertukaran gas77

Gambar 19. Akibat waktu ekspirasi terlalu pendek77

5.Hipoksemia
a. Ventilation–perfusion (V/Q) mismatch
- Merupakan penyebab terpenting hipoksemia pada
bayi baru lahir
- Pemberian oksigen dalam jumlah besar akibat
hipoksemia hasil dari V/Q mismatch

499
b. Shunt
– Merupakan penyebab hipoksemia pada bayi baru
lahir
- Shunt mungkin fisiologis, intrakardiak ( seperti PPHN,
penyakit jantung kongenital sianotik), atau paru
(contoh atelektasis)
- Jika V/Q = 0 dan suplemental oksigen tidak dapat
memperbaiki hipoksemia.
c. Hipoventilasi
- Akibat menurunnya VT atau frekuensi napas
- Akibat rendahnya V/Q dan pemberian suplemental
oksigen dapat mengatasi hipoksemia dengan mudah
- Penyebab hipoventilasi : depresi drive pernapasan,
lemahnya otot-otot pernapasan, penyakit paru
restriktif, dan obstruksi jalan napas.
d. Proses difusi yang terganggu
- Terjadi pada bayi dengan problem keterbatasan difusi
yang sering disebabkan problem primer paru atau
proses pirau dari kanan ke kiri (misalnya pada bayi
dengan PPHN)
- Untuk meningkatkan hipoksemia dapat diperbaiki
dengan cara meningkatkan beberapa hal yang dapat
meningkatkan MAP dan konsentrasi oksigen.

Gambar 20. Oksigenasi selama dibantu ventilasi invasif77

500
6. Hiperkapnia
Terjadi pada V/Q mismatch, shunt, hipoventilasi dan
meningkatnya ruang mati fisiologis (physiologic dead
space)

Gambar 21. Eliminasi CO2 selama dibantu ventilasi invasif77


PARAMETER 1. FiO2 (konsentrasi oksigen)
VENTILASI • Bergantung pada konsentrasi oksigen di arteri dan saturasi
INVASIF pada oksimetri
• O2 di arteri 60-80 mmHg
• Saturasi O2 90-95%
• Jika FiO2 > 40% oksigen menjadi toksik pada paru
• Jika saturasi oksigen rendah dan membutuhkan FiO2 lebih
tinggi, MAP dapat dinaikkan dengan :
- Menaikkan PEEP
- Menurunkan waktu ekspirasi
- Menaikkan waktu inspirasi
- Menaikkan PIP
- Menaikkan flow udara

2. Waktu
• Waktu inspirasi /Inspiration time (IT): waktu yang
dibutuhkan untuk paru menghisap udara masuk paru-paru
• Waktu ekspirasi/Expiration time (ET): waktu yang
dibutuhkan paru untuk mengeluarkan gas CO2

501
• IT and ET bergantung pada kondisi paru
• Normal IT 0,35 – 0,5, dengan I: E = 1:2
• Untuk meningkatkan IT : rekrut alveolus, meningkatkan
MAP, meningkatkan menit ventilasi, dan meningkatkan
oksigen

3. Rate (frekuensi)
• Laju pernapasan dalam 1 menit normal 4060 x/menit
• Laju pernapasan = 60 detik/ (IT+ET)
• Minute Volume (Ve)
- Laju pernapasan x VT
- Menentukan tingkat ekskresi CO2 paruparu
- Tidak memengaruhi oksigenasi
- Meningkatkan rate → meningkatkan Ve
→ menurukan PaCO2

4.PIP, akan ditinggikan dengan:


• Meningkatkan PaO2 (meningkatkan ambilan oksigen)
• Menurunkan PaCO2 (meningkatkan ekskresi CO2, CO2 di
arteri menurun)
• Meningkatkan MAP (tekanan jalan napas)
• Meningkatkan VT

5. PEEP
• Tekanan yang dipertahankan untuk mempertahankan
paru terbuka selama ekspirasi biasanya PEEP 5-6 cmH2O
• Jangan menggunakan PEEP di bawah 3 cmH2O →
atelektasis
• PEEP dapat meningkatkan paru yang terekrut

• Rekrut alveolus tetap dijaga terbuka dengan tekanan yang


diberikan
• PEEP dapat meningkatkan MAP dan O2

502
MODUS • AC (assist control ventilation) napas bayi diambil alih
VENTILASI seluruhnya oleh ventilator
INVASIF • SIMV (synchronized intermittent mandatory ventilation),
ventilator hanya membantu tergantung frekuensi pernafasan
ventilator yang diatur
• Pada modus tambahan volume guarantee maka harus di set
volume tidal

MONITORING • Pengembangan dada


• Suara nafas (apakah ada, simetris)
• Saturasi oksigen, AGD (Pada RS dengan fasilitas lengkap)
• Denyut jantung
• Tekanan darah
• Work of breathing (retraksi, mnapas cuping hidung,
takipneu, dan lain-lain

KOMPLIKASI • Udem laring, trauma mukosa trakea, kontaminasi saluran


VENTILASI napas bawah, kehilangan fungsi humidifikasi saluran napas
INVASIF atas
• ventilator menginduksi injury pada paru (VILI), barotrauma,
intoksikasi oksigen ventilatory associated pneumoniae,
• Komplikasi kardiovaskular: menurunkan venous return,
menurunkan cardiac output (CO), hipotensi
• Komplikasi ginjal: menurunkan urin output, meningkatkan
antidiuretik hormon (ADH), dan menurunkan atrial
natriuretic peptide (NAP)
• Komplikasi neuromuskular: kurang tidur, meningkatkan
tekanan intrakranial, dan critical illness weakness.
• Komplikasi asam-basa: asidosis respiratorik dan alkalosis
respiratorik

KEPUTUSAN 1.Weaning secepatnya


WEANING DARI
2. Indikasi weaning:
VENTILASI
INVASIF a.PIP atau working pressure 18 cm H2O (pada bayi cukup
bulan)

503
b.FiO2 < 40%
c.Respiratory Rate (RR) ≤ 30 x/mnt
3. Weaning dilakukan pada setting ventilasi mekanik yang
berpotensi menimbulkan
trauma paru (PIP, VT, dan FiO2)
4. Tahapan weaning:
- Setting AC mode dengan VG: turunkan VT secara bertahap.
Tidak diturunkan PIP.
- Setting AC mode tanpa VG: turunkan PIP
- Ubah AC mode ke SIMV mode bila VT sudah minimal sekitar
3,5-4 ml/kg BB (pada AC-VG).
- atau bila:
a.PIP 18 cmH2O
b.FiO2 < 40 %
c. PaCO2 tercapai (sesuai kasus: RDS=45-55, PPHN= 25-45, atau
BPD= 50-55)
- Setting SIMV: turunkan bertahap rate dan ekstubasi ke N-IPPV
atau N-CPAP bila rate dapat mencapai 20x/menit

DAFTAR RUJUKAN Hess DR dan MacIntyre NR.78


Donn SM dan Sinha SK. 79
Al Hazzani FN, Al Alaiyan S, Al Hussein K, Al Saedi
S, Al Faleh H, Al Harbi F, dkk. 80
Carlo WA dan Ambalavanan N. 77

4.21 Bayi kurang bulan dan PJT

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

BAYI BERAT LAHIR RENDAH


(BAYI KURANG BULAN DAN
PERTUMBUHAN JANIN TERHAMBAT)
(ICD 10: P05.0; P07.0)

504
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik Terbit/Revisi PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
DEFINISI Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi
dengan berat lahir kurang dari 2.500 gram tanpa
memandang usia gestasi.

Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR)


digunakan untuk berat lahir kurang dari
1.500 gram

Bayi Berat Lahir Amat Sangat rendah


(BBLASR) digunakan untuk berat lahir kurang dari
1.000 gram.

Bayi berat lahir rendah mungkin disebabkan oleh:


Kurang bulan (usia kehamilan kurang dari 37 minggu
(<259 hari)
Pertumbuhan janin terhambat (di bawah persentil
ke-10) Keduanya

Pertumbuhan janin terhambat (PJT) adalah


bayi yang lahir dengan tampilan klinis malnutrisi, karena
mengalami hambatan pertumbuhan intrauterin disertai
Doppler arus darah yang tidak normal atau volume
amnion yang berkurang. Untuk

menilai hal tersebut perlu menghitung rasio berat dibagi


panjang badan, yang dikenal dengan indeks Ponderal.

505
PENYEBAB Penyebab Kelahiran Kurang Bulan
Janin
Gawat janin
Kehamilan kembar
Eritroblastosis
Hydrops non imun
Plasenta
Plasenta previa
Solusio plasenta Uterus
Uterus bikornus
Inkompetensia Serviks
Maternal
Preeklampsia
Penyakit kronis (contohnya penyakit jantung
sianotik)
Infeksi (misalnya Listeria monositogen, infeksi
saluran kemih)
Penyalahgunaan obat
Lain-Lain
Ketuban pecah dini
Polihidramnion
Iatrogenik

Penyebab PJT
Faktor janin
Berbagai faktor genetik
Berbagai kelainan kromosom, misalnya trisomi 13,
18 dan 21
Kelainan bawaan misalnya anensefali, atresia
gastrointestinal dan sindrom Potter
Infeksi bawaan seperti rubellaatau citomegalovirus
(CMV)
Penyakit metabolisme saat lahir seperti
galaktosemia dan
fenilketonuria

Faktor Maternal
Preeklampsia dan eklampsia
Penyakit renovaskuler kronis

506
Penyakit vaskuler hipertensi dalam kehamilan dan
kronis
Penyakit infeksi
Malnutrisi
Ibu perokok
Hipoksemia maternal terkait dengan penyakit
jantung kongenital tipe sianotik dan anemia bulan
sabit (
sickle cell anemia )
Faktor maternal lain seperti status sosio ekonomi
yang rendah, usia ibu yang muda, ibu yang
pendek, anak pertama, mutiparitas usia tua, dan
penyalahgunaan obat.

Faktor Plasenta
Insufisiensi plasenta akibat kelainan maternal
seperti preeklampsia dan eklampsia atau akibat
kehamilan lewat waktu.
Kelainan insersi plasenta, seperti plasenta previa
dan plasenta akretaperkreta
Berbagai masalah anatomis seperti infark multipel,
iskemik, trombosis vaskuler umbilikal dan
hemangioma
Kehamilan kembar mungkin terkait dengan masalah
plasenta bermakna seperti anastomose vaskuler
abnormal.

Pola PJT
PJT Simetris
Lingkar kepala, panjang dan berat badan seluruhnya
berkurang secara proporsional untuk usia kehamilan. PJT
simetris disebabkan oleh infeksi kongenital atau kelainan
genetik dan terjadi di awal kehamilan.

PJT Asimetris
Berat badan fetus lebih rendah secara tidak proporsional
terhadap panjang dan lingkar kepala. Pertumbuhan otak
biasanya terpisah. Pertumbuhan otak terjadi di masa

kehamilan lanjut dan disebabkan oleh insufisiensi


uteroplasenta atau nutrisi ibu yang buruk.

507
MASALAH Masalah bayi kurang bulan
1. Ketidakstabilan suhu tubuh
BKB memiliki kesulitan untuk
mempertahankan suhu tubuh akibat:
Peningkatan hilangnya panas
Kurangnya lemak subkutan
Rasio luas permukaan tubuh terhadap berat badan
besar
Produksi panas berkurang akibat lemak coklat yang
tidak memadai dan ketidakmampuan untuk
menggigil

2. Kesulitan Bernapas
Defisiensi surfaktan paru yang mengarah ke Sindrom
Gawat Napas
(Respiratory distress syndrome / RDS)
Risiko aspirasi akibat belum terkordinasinya refleks
batuk, refleks menghisap, dan refleks menelan.
Toraks yang lunak dan otot respirasi yang lemah
Pernapasan periodik dan apnea

3. Kelainan gastrointestinal dan nutrisi


Inkoordinasi refleks isap dan menelan terutama
sebelum 34 minggu
Motilitas usus yang menurun
Pengosongan lambung lambat
Kurangnya pencernaan dan absorbsi vitamin yang
larut dalam lemak
Defisiensi enzim laktase pada jonjot usus
Menurunnya cadangan kalsium, fosfor, protein, zinc
dan zat besi dalam tubuh
Meningkatnya risiko Enterokolitis Nekrotikans (EKN)
Berisiko mengalami kekurangan gizi, yang
disebabkan oleh meningkatnya kecepatan
pertumbuhan, metabolisme yang tinggi, fisiologi

508
tubuh yang belum sempurna, dan cadangan nutrisi
yang tidak cukup.

4. Imaturitas hati
Gangguan konyugasi dan ekskresi bilirubin
Defisiensi Vitamin K

5. Imaturitas Ginjal
Ketidakmampuan untuk mengekskresi beban cairan
yang besar
Akumulasi asam anorganik dengan asidosis
metabolik
Eliminasi obat dari ginjal dapat menghilang
Ketidakseimbangan elektrolit, misalnya
hiponatremia atau hipernatremia, hiperkalemia
atau
glikosuria ginjal

6. Imaturitas Imunologis
Risiko infeksi tinggi akibat:
Tidak banyak transfer IgG maternal melalui plasenta
selama trimester ketiga kehamilan
Fagositosis terganggu
Penurunan faktor komplemen

7. Kelainan neurologis
Refleks isap dan menelan yang imatur
Penurunan motilitas usus
Apnea dan bradikardia berulang
Perdarahan intraventrikel dan leukomalasia
periventrikel
Pengaturan perfusi serebral yang buruk
Ensefalopati Iskemik Hipoksik
(Hypoxic ischemic
encephalopathy/HIE)
Retinopati prematur ( ROP)
Kejang
Hipotonia

509
8. Kelainan Kardiovaskular
Duktus Arteriorus Paten (Patent ductus
arteriosus/PDA), umum
ditemui pada bayi kurang bulan
Hipotensi atau hipertensi

9. Kelainan Hematologis
Anemia (onset dini atau lanjut)
Hiperbilirubinemia
Koagulasi Intravaskuler Diseminata
(Disseminated Intravascular
Coagulation/DIC)
Penyakit Perdarahan Pada Neonatus
(Hemorrhagic Disease of the
Newborn/HDN)

10. Kelainan Metabolisme


Hipokalsemia
Hipoglikemia atau hiperglikemia

Masalah PJT
1. Kematian Fetus
Kematian fetus 5-20 kali lebih tinggi pada bayi PJT
daripada bayi Sesuai Masa Kehamilan (SMK)
Biasanya terjadi antara usia kehamilan 38-42
minggu Penyebab:
- Insufisiensi plasenta
- Hipoksia kronis
- Kelainan bawaan

2. Hipoksia
Asfiksia perinatal
Persistent Pulmonary Hypertension of the
Newborn (PPHN) Aspirasi mekonium
Kontraksi uterus mungkin menambah stress
terhadap fetus yang mengalami hipoksia kronis.
Hipoksia dan asidosis akut pada fetus dapat
mengakibatkan kematian fetus atau asfiksia pada
neonatus.

510
3. Hipotermia
Hipotermia terjadi akibat berkurangnya insulasi
lemak subkutan dan meningkatnya luas
permukaan tubuh. Lebih jauh lagi, hipoglikemia
dan hipoksia mengganggu produksi panas pada
bayi.

4. Hipoglikemia
Akibat menurunnya cadangan glikogen dan
penurunan
glukoneogenesis
Hipotermia memiliki potensi untuk menimbulkan
masalah hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 3 hari pertama.

5. Polisitemia
Diakibatkan peningkatan kadar eritropoetin yang
bersifat sekunder terhadap hipoksia fetus
Polisitemia mungkin juga berperan terhadap
hipoglikemia dan mengarah pada cedera serebral.

6. Keterlambatan Perkembangan
Terjadi terutama pada bayi kurang bulan, bayi PJT
dan pada bayi dengan restriksi pertumbuhan
kepala yang bermakna.
Keterlambatan ini terjadi akibat infeksi bawaan,
malformasi berat, hipoksia kronis, asfiksia pasca
kelahiran atau hipoglikemia
Keterlambatan ini terlihat dengan adanya
pencapaian milestone yang terlambat pada usia
2 dan 5 tahun dengan performa yang buruk di
sekolah.

7. Penurunan kekebalan tubuh (immune


depression)
Keadaan ini terjadi akibat malnutrisi baik pada saat
sebelum lahir maupun

511
sesudah lahir dan infeksi virus bawaan (TORCH)
Keadaan ini mempengaruhi hitung limfosit dan
aktivitas serta kadar Ig (immunoglobulin).
Keadaan ini mungkin ditemui bersamaan dengan
neutropenia.

PEMERIKSAAN Pemeriksaan Penujang Bayi Kurang Bulan


PENUNJANG Laboratorium
- Pemeriksaan morfologi darah tepi, hitung jenis
(ICD 9 CM: 90.5)
- Pengukuran glukosa serial (ICD 9 CM: 90.5)
- Na, K, Kalsium serial (ICD 9 CM: 90.5)
- Pengukuran bilirubin serial (ICD 9 CM: 91.0)
- Analisis Gas Darah (ICD 9 CM: 89.65)
- CRP dan kultur biakan jika diperlukan (ICD 9 CM:
90.5 dan
90.52)

Radiologi
- Rontgen dada (ICD 9 CM: 87.44)
- USG kepala (ICD 9 CM: 88.71)
- Echo jika diperlukan (ICD 9 CM:
88.72)

Pemeriksaan Penunjang PJT


- Darah tepi dengan hitung jenis (ICD 9
CM: 90.5)
- Pengukuran glukosa serial (ICD 9 CM:
90.5)
- Penapisan TORCH (ICD 9 CM: 90.5)
- USG jika diperlukan (ICD 9 CM: 88.7)
- Foto rontgen dada jika diperlukan
(ICD 9 CM: 87.44)

TERAPI Tata laksana Bayi Kurang Bulan


Di ruang bersalin
Persalinan harus dilakukan di rumah sakit yang
memiliki peralatan yang lengkap dan staf yang
baik.
Resusitasi dan stabilisasi memerlukan ketersediaan
staf dan peralatan yang memadai secara cepat.

512
Oksigenisasi yang memadai dan pemeliharaan suhu
sangat penting.
Asuhan ibu.
Bayi memakai topi

Tata laksana bayi baru lahir


Pengaturan suhu tubuh ditujukan untuk mencapai
lingkungan suhu netral sesuai dengan protokol.
Terapi oksigen dan bantuan ventilasi
Terapi cairan dan elektrolit harus menggantikan
IWL (insensible water loss) serta
mempertahankan hidrasi yang baik serta
konsentrasi glukosa dan elektrolit plasma normal.
Nutrisi (lihat: Pemberian Asupan pada Bayi
Berisiko): Bayi kurang bulan mungkin memerlukan
pemberian asupan dengan sonde atau nutrisi
parenteral.
Hiperbilirubinemia: biasanya dapat ditangani secara
efektif dengan pemantauan seksama kadar
bilirubin dan pelaksanaan terapi sinar. Transfusi
tukar mungkin diperlukan dalam berbagai kasus
berat
Antibiotik spektrum luas dapat diberikan jika ada
kecurigaan kuat adanya infeksi. Pertimbangkan
antibiotik anti staphylococcus untuk
BBLSR yang telah nengalami sejumlah besar
prosedur atau yang sudah dirawat dalam waktu
lama di rumah sakit.
Duktus Arteriorus Paten (Patent ductus
arteriosus/PDA)
o Tata laksana awal biasanya bersifat
konservatif, oksigenasi yang memadai,
pembatasan cairan, dan diuretik.
o Pada kasus yang lebih berat, anti
prostaglandin seperti indomethacine mungkin
diperlukan.

513
o Pada kasus yang sangat berat ligasi melalui
pembedahan mungkin diperlukan.

Tata laksana PJT


Di ruang bersalin
Persiapan untuk resusitasi dalam upaya mencegah
HIE
Berikan lingkungan yang suhunya disesuaikan
Penilaian awal untuk usia kehamilan
Nilai tanda-tanda dismorfik dan kelainan bawaan
Periksa glukosa

Ruang bayi
Menyediakan lingkungan dengan melakukan kontak
kulit dengan kulit dan memeriksa suhu setiap 4
jam (lebih sering pada bayi kurang bulan)
Bila mungkin, berikan ASI sedini mungkin (ASI yang
diperah dapat diberikan melalui sonde)
Memberikan asupan dini jika memungkinkan tetapi
jika tidak mungkin maka berikan cairan
intravena segera
Memeriksa intoleransi terhadap pemberian asupan
(risiko NEC)
Memeriksa Hb dan mengobati
polisitemia
Memeriksa glukosa setiap 4 jam pada hari pertama
kemudian setiap 8-12 jam jika stabil

Tindak lanjut jangka panjang


Nutrisi yang memadai dengan rujukan kepada
konselor ASI
Imunisasi tepat waktu
Penilaian perkembangan dengan kunjungan rutin
Rujukan dini untuk intervensi perkembangan dan
program
pendidikan khusus

Konseling maternal untuk kehamilan berikutnya

DAFTAR RUJUKAN Carlo WA. 81


Intrauterine growth restriction: screening, diagnosis, and
management. 82 Sharma D, Shastri S, Sharma P. 83
Damanik SM. 84

514
4.22 Asuhan kontak kulit dengan kulit

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

ASUHAN KONTAK KULIT DENGAN


KULIT

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

515
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Asuhan kontak kulit dengan kulit: bentuk


interaksi orangtua dengan bayi saat menggendong bayi
dengan kontak kulit dengan kulit pada posisi vertikal,
kepala bayi di antara payudara selama 20 menit atau
lebih.

MANFAAT • Menurunkan risiko infeksi pada neonatus dengan


mengupayakan paparan bakteri dari ibu. Bakteri ibu
akan berkolonisasi di usus dan kulit bayi serta
menghalangi bakteri yang lebih berbahaya dari
tenaga kesehatan maupun lingkungan
• Menurunkan risiko apnea dan meningkatkan
oksigenasi dengan cara membuat napas neonatus
teratur
• Menurunkan risiko bradikardia dengan cara
menstimulasi denyut jantung yang teratur
• Memulai pemberian ASI dini dan efektif
• Meningkatkan jangka waktu laktasi

• Menurunkan pemakaian kalori karena stres pada


neonatus berkurang
• Meningkatkan waktu status perilaku yang optimum
• Meningkatkan kelekatan dan ikatan emosional orang
tua
• Meningkatkan berat badan lebih cepat
• Mempersingkat waktu perawatan inap

516
BAYI YANG • Tidak memerlukan syarat usia kehamilan secara
MEMERLUKAN spesifik.
ASUHAN KONTAK • Pada umumnya, neonatus akan stabil secara fisiologis
KULIT DENGAN pada suhu tubuh 36,5°C – 37,5°C.
KULIT • Apabila terjadi apnea atau bradikardi akan hilang
dengan sendirinya atau hanya memerlukan stimulasi
ringan.
• Neonatus yang menerima terapi sinar dapat
diikutsertakan dengan mengeluarkannya sementara
dari terapi sinar dalam waktu singkat .
• Dalam situasi khusus, neonatus yang memerlukan
oksigen, CPAP, atau bahkan bantuan ventilasi dapat
menerima asuhan ini dengan baik.

TATA • Dokter dan perawat harus menentukan neonatus


LAKSANA yang diindikasikan untuk mendapat asuhan kontak
AWAL kulit dengan kulit, dan memberikan informasi adekuat
kepada orang tua tentang cara asuhan ini.
• Dokter dan perawat harus menciptakan lingkungan
yang nyaman/tidak canggung bagi orangtua dan
mendukung keputusan untuk menerapkan asuhan
kontak kulit dengan kulit.
• Suhu tubuh neonatus harus dijaga dalam dalam
rentang 36°C atau lebih dan didokumentasikan di
flow sheet.
• Probe suhu kulit dapat dipasang dengan kabel untuk
monitor, selang akses jalur intravena, dan selang
oksigenasi harus dilekatkan dan bersifat aman untuk
neonatus.

517
• Neonatus tidak perlu menggunakan pakaian, kecuali
popok dan topi.
• Persiapan lain termasuk menganjurkan ibu untuk
memakai baju dengan bukaan depan atau gaun
penutup serta memberikan kesempatan bersifat
privasi dan tenang. Ayah juga dapat memeluk
neonatus dengan cara ini.
• Setelah neonatus dipindahkan dengan hati-hati
kepada orang tua, tanda vital neonatus dan status
oksigenasi harus dipantau dan penyesuaian dibuat
berdasarkan keadaan neonatus.
• Neonatus harus dikembalikan ke inkubator jika
terdapat tanda stres yang menetap termasuk
takipnea, takikardia, ketidakstabilan suhu tubuh, atau
desaturasi oksigen.

The Royal Children's Hospital Melbourne. 85 Children's


DAFTAR RUJUKAN Hospital of Philadelphia. 86

4.23 Kangaroo Mother Care (KMC)


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

ASUHAN METODE KANGGURU


KANGAROO MOTHER CARE (KMC)

518
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik Terbit/Revisi PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia
PENDAHULUAN Asuhan metode kangguru atau Kangaroo Mother
Care (KMC) dirancang sebagai asuhan untuk neonatus
dengan berat badan lahir rendah atau kurang bulan. Di
dalam Kangaroo Mother Care (KMC) ini, bayi berat
badan lahir rendah atau kurang bulan yang stabil
diletakkan telanjang di dada ibu, dengan hanya memakai
popok, topi dan kaus kaki.

Posisi bayi sejajar dengan dada ibu, antara kedua


payudara ibu, di dalam baju ibu dan disangga oleh kain
yang melingkari ibu dan bayi, tujuannya agar bayi
memperoleh panas dari kulit ibu melalui proses konduksi.
Untuk KMC dalam waktu lama, bayi tetap dalam posisi ini
kecuali saat dimandikan, diganti popok atau jika ibu akan
ke kamar mandi. Selama waktu ini, ayah dan anggota
keluarga yang lain dapat membantu dengan cara menjaga
bayi tetap hangat dan menggantikan ibu melakukan
kontak kulit dengan kulit

KOMPONEN KMC • Penempatan bayi pada posisi tegak di dada ibu, antara
kedua payudara ibu, tanpa busana. Bayi dibiarkan
telanjang hanya menggunakan popok, topi dan

kaus kaki sehingga terjadi kontak kulit bayi ibu


(kangaroo position)
• ASI eksklusif atau susu formula sesuai kondisi klinis
bayi (kangaroo nutrition)
• Bantuan secara fisik maupun emosi baik dari tenaga
kesehatan maupun keluarga agar ibu dapat
melakukan KMC untuk bayinya (kangaroo
support)
• Membiasakan ibu melakukan KMC sehingga pada saat
pulang ke rumah ibu tetap dapat melakukannya
sendiri (kangaroo discharge)

519
MEMULAI KMC • Ibu perlu mengenal KMC dan ditawarkan pilihan ini
sebagai metode untuk merawat bayi dengan berat
badan lahir rendah atau kurang bulan.

• Karena KMC memerlukan kehadiran ibu terus


menerus, ibu harus mempunyai waktu dan
kesempatan untuk mendiskusikan dampaknya
bersama keluarganya, karena KMC akan
mengharuskan ibu tinggal lebih lama di rumah sakit
dan melanjutkan asuhan ini di rumah hingga
neonatus cukup bulan (usia kehamilan sekitar 40
minggu) atau 2500 g.

• KMC bisa dilakukan kepada hampir semua bayi kecil.


Bayi dengan sakit yang parah atau memerlukan
perawatan khusus bisa menunggu hingga pulih
sebelum memulai KMC secara penuh.

• Sesi KMC untuk jangka pendek bisa dilakukan saat


pemulihan ketika bayi masih memerlukan perawatan
medis (cairan IV, oksigen tambahan konsentrasi
rendah).

• Untuk KMC terus menerus, kondisi neonatus harus


stabil.
• Kemampuan minum (untuk mengisap dan menelan)
bukan merupakan persyaratan esensial. KMC bisa
mulai dilakukan meskipun minuman diberikan melalui
sonde.

• Bayi dengan berat lahir 1800 gr atau lebih (usia


kehamilan 30-34 minggu atau

lebih) KMC dapat dimulai segera setelah lahir.

• Bayi dengan berat lahir antara 1200 dan 1799 gr (usia


kehamilan 28-32 minggu), masalah terkait
prematuritas seperti sindrom gangguan pernapasan
(RDS) dan komplikasi lain lebih sering terjadi,
sehingga membutuhkan perawatan khusus. Bila bayi
perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih
lengkap, KMC merupakan alternatif terbaik untuk
menjaga bayi tetap hangat dalam proses transport.
Pada kelompok bayi ini mungkin akan butuh waktu
satu minggu atau lebih sebelum KMC dapat dimulai.

520
• Bayi dengan berat kurang dari 1200 gr (usia
kehamilan di bawah 30 minggu) sering mengalami
masalah yang lebih berat, mortalitas sangat tinggi dan
hanya sebagian kecil yang bertahan dari masalah
terkait prematurias. Mungkin diperlukan beberapa
minggu sebelum kondisi mereka memungkinkan
untuk dilakukan inisiasi KMC.

• Kapan tepatnya untuk memulai KMC sangat


bergantung pada kondisi ibu dan bayinya. KMC dapat
dimulai sesegera mungkin setelah kondisi bayi stabil,
ibu bersedia dan telah mengerti tentang KMC. Setiap
ibu harus diberitahu tentang manfaat menyusui,
didorong dan dibantu untuk memeras ASI dari hari
pertama.

POSISI KMC • Mulai KMC di ruang yang hangat dan terjaga


privasinya. Minta ibu duduk dan mengatur posisi
bayi di atas dadanya dengan posisi sejajar. Bayi
menggunakan popok, topi dan kaus kaki

• Sangga bayi dengan kain panjang, kepala


menghadap ke satu sisi dan dalam posisi sedikit
ekstensi. Ekstensi ini akan membantu menjaga jalan
udara tetap terbuka dan memungkin kontak mata
antara ibu dengan bayinya. Tepi kain harus di bawah
telinga bayi

521
• Pinggul dan kaki bayi dilebarkan dan dalam keadaan
tertekuk sehingga seperti posisi “kodok”,
begitu juga lengan tangan juga harus fleksi.
• Pasang kain erat-erat agar bayi tidak lepas saat ibu
berdiri. Pastikan bahwa kain melekat erat di bagian
dada dan bukan di daerah perut. Jangan mengikat
terlalu keras di bagian perut bayi tapi harus di sekitar
epigastrium ibu. Dengan cara ini, bayi leluasa
bernapas dengan perut. Napas ibu akan
menstimulasi bayinya.

Gambar 22. Posisi bayi untuk KMC

Gambar 23. Posisi bayi dalam KMC

MEMASUKKAN • Pegang bayi dengan satu tangan diletakkan di belakang


DAN leher sampi punggung bayi,
MENGELUARKAN • Topang bagian bawah rahang bayi dengan ibu jari dan
BAYI DARI jari-jari lainnya
SANGGAAN • Letakkan tangan lainnya di bawah bokong bayi

522
MERAWAT BAYI • Sebagian besar perawatan tetap dapat dilakukan
DENGAN KMC meskipun pada posisi KMC termasuk menyusui. Bayi
hanya dilepaskan dari kontak kulit dengan kulit saat
- Mengganti popok, melakukan tindakan higiene dan
perawatan tali pusat
- Penilaian klinis sesuai dengan jadwal yang ditentukan
rumah sakit

• Tidak perlu dan tidak direkomendasikan untuk


dimandikan setiap hari. Jika memang kondisi harus
dimandikan, mandikan bayi dengan air cukup hangat
(37°C) dengan waktu yang tidak lama. Cepat
dikeringkan, bungkus dan posisikan lagi sesegera
mungkin
• Ibu dapat bebas beraktivitas walaupun bayi dalam
posisi KMC. Namun ibu harus tetap menjaga
kebersihan diri dan mencuci tangan serta menjaga
lingkungan yang tenang tetap menyusui bayi secara
teratur

LAMA DAN • Kontak kulit dengan kulit harus dimulai secara


KESINAMBUNGAN bertahap dengan transisi perlahan dari asuhan
KMC konvensional menjadi KMC berkesinambungan.
• Sesi selama 60 menit atau kurang harus dihindari
karena perubahan yang terlalu sering akan membuat
bayi stress.
• Waktu kontak kulit dengan kulit diperpanjang secara
bertahap agar menjadi selama mungkin. Ibu bisa tidur
dengan bayi yang diletakkan dengan posisi kangguru
yang benar.

MEMANTAU Suhu
KONDISI BAYI • Bayi yang cukup minum dan dalam kondisi kontak kulit
dengan kulit, dapat dengan mudah mempertahankan
suhu tubuh normalnya (antara 36,5° C - 37° C) saat
berada dalam posisi KMC. Saat KMC dimulai, ukur
suhu aksila setiap 6 jam hingga stabil selama 3 hari
berturut-

523
turut. Setelahnya pengukuran dilakukan hanya dua kali
sehari

Pernapasan
• Frekuensi pernapasan normal BBLR atau kurang bulan
berkisar antara 30-60 kali per menit, dan napas akan
bergiliran dengan interval tidak bernapas (apnea). Jika
interval terlalu lama (20 detik atau lebih) dan bibir dan
muka bayi menjadi biru, sianosis, dan nadinya rendah,
bradikardia, ada risiko kerusakan otak. Penelitian
menunjukkan bahwa kontak kulit dengan kulit dapat
membuat pernapasan lebih teratur pada bayi kurang
bulan dan bisa menurunkan insidensi apnea.
• Ibu harus diajarkan untuk mengenal apnea, risiko,
mengetahui kapan harus melakukan intervensi segera
dan mencari pertolongan. Ibu bisa mengusap
punggung atau kepala bayi untuk menstimulasi
pernapasan, atau dengan cara menimang bayi. Jika
bayi tetap tidak bernapas, ibu harus memanggil tenaga
kesehatan segera dan tenaga kesehatan harus segera
merespon panggilan minta bantuan dari ibu.

Tanda Bahaya
• Awitan penyakit serius pada bayi kecil biasanya samar
dan terabaikan dengan mudah hingga penyakit
menjadi lebih berat dan sulit diatasi. Penting bagi ibu
untuk mengenali tanda-tanda tersebut dan
memberikan perawatan yang diperlukan.
- Sulit bernapas, retraksi, merintih
- Bernapas sangat lambat atau sangat perlahan
- Apnea yang sering dan lama
- Bayi teraba dingin, suhu tubuhnya di bawah
normal meskipun dijaga kehangatannya

524
- Sulit minum: bayi tidak bangun untuk minum,
berhenti minum atau muntah
- Kejang
- Diare
- Kulit menjadi kuning

Minum
• Setiap ibu memproduksi ASI yang khusus untuk
bayinya, tapi ibu dari bayi kurang bulan menghasilkan
ASI rendah laktosa yang penting untuk pencernaan
karena bayi kurang bulan tidak mempunyai laktosa –
enzyme yang menguraikan gula tertentu. Kandungan
ASI manusia berubah sesuai pertumbuhan neonatus.
ASI, terutama kolostrum, kaya akan antibodi –
imunoglobulin, yang melindungi terhadap infeksi.
• Selain itu, ASI manusia mengandung zat anti infeksi
lainnya seperti hormon interferon, faktor
pertumbuhan dan komponen anti inflamasi. Bayi yang
sangat kurang bulan atau sakit dan tidak bisa menyusui
akan mendapatkan manfaat dari sedikit ASI yang
diberikan melalui pipet.
• Untuk bayi dengan usia kehamilan kurang dari 30-32
minggu biasanya perlu diberi minum melalui selang
nasogastrik, yang bisa digunakan juga untuk ASI yang
diperah. Ibu bisa membiarkan bayi mengisap jarinya
saat diberi minum melalui sonde, dan hal ini bisa
dilakukan dalam posisi kangguru.
• Untuk bayi dengan usia kehamilan lebih dari 30-32
minggu, bisa digunakan cangkir kecil untuk
memberikan ASI yang telah diperah. Pemberian
minum menggunakan cangkir bisa dilakukan satu atau
dua kali sehari meskipun bayi masih diberi minum
melalui selang nasogastrik, jika bayi bisa minum dari
cangkir dengan baik, maka pemberian minum melalui
sonde bisa dikurangi

525
secara bertahap. Untuk pemberian minum melalui
cangkir, bayi dilepaskan dari posisi kangguru, ditutup
dengan selimut hangat dan kembali ke posisi
kangguru setelah selesai minum.
• Bayi dengan usia kehamilan lebih dari 32 minggu bisa
mulai belajar mengisap puting. Bayi mungkin hanya
akan mencari puting dan menjilatnya. Teruskan
memberikan ASI yang telah diperah menggunakan
cangkir atau sonde hingga bayi bisa mengisap secara
efektif. Bayi mungkin sering berhenti selama
menyusui dan kadang berhenti lama. Penting untuk
tidak langsung menghentikan menyusui. Kadang-
kadang bayi perlu waktu satu jam untuk selesai
menyusu. Tawarkan minum melalui cangkir setelah
menyusu atau ganti ke payudara lainnya dan berikan
minum melalui cangkir.
• Pastikan posisi yang baik, kelekatan dan frekuensi
menyusui.

Gambar 24. Memberikan ASI yang telah diperah


menggunakan selang nasogastrik

Memantau Pertumbuhan
• Timbang bayi kecil sekali sehari; penimbangan lebih
sering mungkin akan mengganggu bayi dan
menyebabkan kecemasan dan kekhawatiran kepada
ibunya. Saat bayi mulai bertambah berat,

526
timbang setiap dua hari selama satu minggu dan
kemudian sekali seminggu hingga bayi cukup bulan (40
minggu atau 2500g)
• Timbang bayi dengan cara yang sama setiap kali,
misalnya telanjang, dengan timbangan kalibrasi yang
sama (dengan interval 10 g jika mungkin), letakkan
handuk bersih dan hangat pada timbangan untuk
menghindari bayi menjadi dingin
• Timbang bayi di tempat yang
lingkungannya hangat
• Catat beratnya
• Ukur lingkar kepala setiap minggu, saat berat bayi
mulai meningkat, lingkar kepala akan naik antara 0,5
dan 1 cm per minggu.

Kenaikan berat badan tidak memadai


• Jika kenaikan berat badan tidak memadai selama
beberapa hari, nilai teknik, frekuensi, lama dan jadwal
pemberian minum terlebih dahulu, dan periksa apakah
diberi minum saat malam hari. Berikan nasehat
kepada ibu untuk meningkatkan frekuensi pemberian
minum, dan anjurkan ibu untuk minum lebih banyak.
• Kemudian lihat kondisi lainnya;
- Oral thrush – tatalaksana bayi dengan nistatin
suspensi oral (100,000 IU/ml) menggunakan
pipet, berikan 1 ml pada mukosa mulut dan
oleskan pada kedua puting ibu setiap kali setelah
menyusui hingga lesi sembuh. Obati selama 7
hari.
- Rinitis – obati dengan larutan normal saline yang
diteteskan melalui masing-masing lubang hidung
setiap kali sebelum minum
- Infeksi saluran kemih
- Infeksi bakteri

527
Perawatan Preventif
• Bayi kecil tidak memiliki simpanan mikronutrien yang
memadai. Bayi kurang bulan, tanpa melihat
beratnya, harus mendapatkan suplementasi besi dan
asam folat dari sejak umur dua bulan hingga satu
tahun. Dosis besi harian yang direkomendasikan
adalah 2 mg/kg berat badan per hari

KELUAR DARI Bayi KMC dapat diijinkan pulang jika memenuhi kriteria
RUMAH SAKIT berikut:
• Kesehatan umum bayi baik dan tidak ada penyakit
pada saat itu seperti apnea atau infeksi
• Bayi minum dengan baik dan mendapatkan ASI
eksklusif atau sebagian besar minumnya adalah ASI
• Berat badan bayi naik (sedikitnya 15 g/kg/hari paling
sedikit 3 hari berturut-turut)
• Suhu bayi stabil saat berada dalam posis KMC
(dalam kisaran normal selama 3 hari berturut-turut)
• Ibu yakin bisa merawat bayinya dan dapat datang
secara teratur untuk kunjungan tindak lanjut.

DAFTAR RUJUKAN Conde-Agudelo A, Belizan JM, Diaz-


Rossello. 87

4.24 Termoregulasi neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TERMOREGULASI NEONATUS
(ICD 10: P80-P83)

528
No. Dokumen No. Revisi Halaman
UKK
Neonatologi
2018

Panduan Tanggal Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP


Praktik Klinis IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

PENDAHULUAN Termoregulasi adalah keseimbangan antara kehilangan panas dan


produksi panas dan produksi panas tubuh. Tujuannya adalah untuk
mengontrol lingkungan neonatus dalam mempertahankan lingkungan
suhu netral dan meminimalkan pengeluaran energi.
- Suhu normal neonatus: 36,5-37,5°C
- Hipotermia: <36,5°C
- Hipertermia: >37,5°C

Hipotermia dibagi atas:


- Hipotermia ringan (antara 36,0-36,4°C)
- Hipotermia sedang (antara 32-35,9°C)
- Hipotermia berat (< 32°C)

Mekanisme produksi panas pada neonatus:


• Proses metabolisme
• Aktivitas otot polos
• Vasokonstriksi perifer
• Termogenesis tanpa menggigil

Mekanisme kehilangan panas pada neonatus:


Evaporasi
• Merupakan sumber kehilangan panas terbesar pada saat lahir,
dapat terjadi secara disadari (keringat) atau tidak disadari (dari
kulit dan

529
pernapasan). Terjadi saat cairan ketuban menguap dari
permukaan kulit.

Konduksi
• Terjadi saat neonatus ditempatkan pada permukaan yang
lebih dingin dan bersentuhan langsung dengan kulit (tanpa
pakaian) seperti meja periksa, timbangan, tempat tidur.

Radiasi
• Perpindahan panas antara permukaan padat yang tidak
bersentuhan langsung, pada bayi baru lahir terjadi saat
berada di sekitar benda lain yang dingin, seperi dinding,
tanpa bersentuhan langsung dengan permukaannya.

Konveksi
• Terjadi saat neonatus terekspos udara sekitar yang dingin
atau dari pintu ruangan yang terbuka, jendela atau kipas
angin.

Gambar 25. Kehilangan panas pada neonatus

Patofisiologi termoregulasi
Suhu tubuh diatur dengan mengimbangi produksi panas terhadap
kehilangan panas. Bila kehilangan panas dalam tubuh lebih besar, dari
pada laju pembentukan panas, maka akan terjadi penurunan suhu

530
tubuh. Hal sebaliknya begitu juga, bila pembentukan panas dalam
tubuh lebih besar daripada kehilangan panas, maka akan timbul panas
dalam tubuh sehingga suhu tubuh meningkat.

Bayi yang mempunyai risiko terjadi gangguan termoregulasi:


• Bayi preterm dan bayi-bayi kecil lainnya yang dihubungkan dengan
tingginya rasio luas permukaan tubuh dibandingkan dengan berat
badannya.
• Bayi dengan kelainan bawaan, khususnya dengan penutupan kulit
yang tidak sempurna seperti pada meningomielokel, gastroskisis,
omfalokel.
• BBL dengan gangguan saraf sentral seperti pada perdarahan
intrakranial, obat-obatan, asfiksia.
• Bayi dengan sepsis.
• Bayi dengan tindakan resusitasi yang lama.
• Bayi IUGR (intra uterine growth retardation) atau
pertumbuhan janin terhambat.

HIPOTERMIA Hipotermi terjadi jika suhu aksila neonatus dibawah 36,5°C


Kondisi yang membuat risiko kehilangan panas lebih besar:
• Luas permukaan tubuh yang besar dibandingkan rasio massa
tubuh
• Lemak subkutan yang sedikit
• Kadar air dalam tubuh yang lebih besar
• Kulit yang imatur dapat menyebabkan penguapan air dan
kehilangan panas yang lebih besar
• Mekanisme metabolisme tubuh yang kurang berkembang
dalam merespon thermal stress
(misalnya tidak menggigil)
• Perubahan aliran pada pada kulit (misalnya sianosis perifer)

Tanda dan gejala hipotermi:


• Akrosianosis, kulit dingin, bercak-bercak, atau pucat
• Hipoglikemi
• Hiperglikemi sementara
• Bradikardia
• Takipnea, gelisah, napas dangkal dan tidak teratur
• Distres pernapasan, apnea, hipoksemia, asidosis metabolik
• Letargi, hipotonus

531
• Menangis lemah, tidak mau menyusu
• Berat badan turun
Catatan: semua gejala dan tanda diatas tidak spesifik, dan mungkin
mengindikasikan kondisi lain yang berarti seperti infeksi bakteri pada
neonatus

Penatalaksanaan hipotermi:
A. Hipotermi ringan
• Kontak kulit ke kulit pada suhu ruangan yang hangat
(setidaknya 25°C)
• Gunakan topi pada kepala neonatus
• Tutupi ibu dan neonatus dengan selimut hangat
B. Hipotermi sedang
• Letakkan dibawah pemancar panas
• Pada inkubator yang sudah dihangatkan
• Pada matras yang berisi air hangat (contoh: KanBed)
• Jika tidak ada peralatan yang tersedia atau neonatus stabil
secara klinis, maka lakukan kontak kulit ke kulit dengan ibu
pada ruangan dengan suhu hangat (setidaknya 25°C)
C. Hipotermi berat
• Gunakan inkubator yang sudah dihangatkan (diatur 1-1,5°C
lebih tinggi dibanding suhu tubuh neonatus) dan harus
disesuaikan dengan meningkatnya suhu neonatus (harus selalu
dipantau)
• Jika tidak ada peratalan yang tersedia, lakukan kontak kulit ke
kulit atau ruangan yang hangat atau boks bayi yang hangat
dapat digunakan

HIPERTEMIA Hipertermi merupakan kondisi suhu tubuh diatas 37,3°C atau


37,5°C. Hipertermi biasanya berkaitan dengan faktor lingkungan yang
suhunya terlalu tinggi.

Penyebab hipertermi:
• Inkubator, pemancar panas, suhu lingkungan yang terlalu panas
• Ibu demam
• Pasca anestesi epidural pada ibu
• Cahaya fototerapi, sinar matahari
• Membedong yang terlalu kuat

532
• Infeksi
• Kelainan sistem saraf pusat (contoh: asfiksia)
• Dehidrasi

Tanda dan gejala hipertermi:


• Takikardi, takipnea, apnea
• Ektremitas hangat, kemerahan, dan berkeringat
(pada bayi cukup bulan)
• Dehidrasi
• Letargi, hipotonus, tidak mau menyusu
• Iritabilitas
• Menangis lemah

Tatalaksana hipertermi:
• Pendekatan yang biasa dilakukan pada kondisi neonatus yang
mengalami hipertermi adalah menyesuaikan kondisi
lingkungannya. Neonatus harus segera dijauhkan dari sumber
panas, dan jika perlu membuka sebagian atau seluruh pakaiannya.
• Cek suhu lingkungan (infant warmer, blanket, atau inkubator) jika
memungkinkan diturunkan 0,5°C tiap 30-60 menit (infant warmer
dan inkubator).
• Selama proses pendinginan, suhu neonatus harus selalu dipantau
setiap 15-30 menit hingga stabil. Jangan mematikan inkubator
untuk mendinginkan suhu neonatus.
• Ketika terjadi hipertermia berat (suhu tubuh di atas 40°C),
neonatus dapat dimandikan. Air yang digunakan harus hangat
(sekitar 2°C lebih rendah dari suhu tubuh neonatus). Tidak
disarankan menggunakan cooling devices. Jika neonatus tidak
dapat tambahan cairan dari menyusui, harus dipasang cairan
secara intravena atau selang makan.

PENGENDALIAN Di ruang bersalin:


SUHU • Memberikan lingkungan hangat yang bebas dari aliran udara
• Keringkan neonatus segera
• Kontak kulit ibu-bayi segera akan berperan sebagai sumber panas.
Selimuti ibu dan bayinya sekaligus atau tutupi dengan kain/baju.
• Tutup kepala neonatus dengan topi

533
Pemakaian radiant warmer jika tidak mungkin melakukan kontak
kulit dengan kulit (ibu mengalami komplikasi pascanatal)
• Neonatus tidak berpakaian kecuali popok dan diletakkan tepat di
bawah penghangat/ radiant warmer
• Neonatus dapat dihangatkan dengan handuk hangat dan
menggunakan topi
• Probe suhu tubuh harus diletakkan mendatar pada kulit, biasanya
pada abdomen daerah hati
(daerah hipokondrium kanan)
• Suhu servo harus diset pada 36,5oC
• Suhu harus diukur setiap 30 menit atau atas instruksi dokter untuk
menilai bahwa suhu tubuh neonatus dipertahankan dalam kisaran
yang seharusnya
• Bayi > 32 minggu dan atau > 1500 gram
- Keringkan bayi dan pindahkan bayi dari kain yang basah
- Bungkus bayi dengan blanket hangat
- Topi
Jika bayi stabil dapat dilakukan KMC
• Bayi < 32 minggu atau diperkirakan <1500 gram
(b)
- Plastik polietilen dibuka dan diletakkan di meja resusitasi/
infant warmer
- Letakkan bayi di atas plastik
- Secepatnya bungkus bayi sampai bahu di bawah infant warmer
- Lap kepala yang terbuka
- Tutup kepala dengan topi hangat
- Biarkan bayi terbungkus plastik, jika akan dpindahkan ke
ruangan bayi dibungkus lagi dengan blanket hangat

PENGUKURAN Suhu Aksila


SUHU • Letakkan termometer di tengah aksila dengan lengan
ditempelkan secara lembut tetapi kuat pada sisi tubuh bayi
selama sekitar 5 menit

534
• Meskipun suhu sedikit lebih rendah daripada suhu sentral
tubuh sesungguhnya, perubahannya akan sama dengan suhu
tubuh
• Keuntungannya mencakup penurunan risiko neonatus,
kebersihan terjaga, dan
pengukurannya relatif cepat serta akurat

Suhu Rektum
• Suhu darah yang mengalir dari ekstremitas bawah
mempengaruhi suhu rektum
• Pengukuran suhu tubuh dari rektum merupakan prosedur
invasif dan tidak selalu dapat diandalkan
• Pengukuran suhu melalui rektum/anus jika menggunakan alat
yang sama untuk bayi lain dapat menimbulkan penyebaran
infeksi.
• Pengukuran suhu melalui rektum sudah mulai ditinggalkan

Suhu lingkungan
• Setiap kamar harus memiliki termometer dinding
• Jaga suhu lingkungan kamar antara 24-26°C

DAFTAR Newborn Thermoregulation: Self-learning Module. 88


RUJUKAN Rutter N. 89
Knobel NB, Vohra S, Lehmann CU. 90
Lyon A, Puschner P. 91
WHO. 92
Waldron S, MacKinnon R. 93
Knobel-Dail RB. 94
Women and Newborn Health Service Neonatal
Directorate Western Australia. 95
WHO. 96

535
4.25 Hipoglikemia pada neonatus
PANDUAN PRAKTIK KLINIS

HIPOGLIKEMIA PADA NEONATUS


(ICD 10: P70)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

Panduan Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP IDAI
Praktik Klinis

Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Hipoglikemia pada neonatus menurut WHO merupakan


kadar gula darah <47 mg/dl (2,6 mmol/L). Hipoglikemia
pada neonatus menurut American Academy of
Pediatric (AAP) merupakan kadar gula darah < 45 mg/dl
(2,5 mmol/L), sedangkan definisi dari Pediatric
Endocrine Society (PES) menyebutkan hipoglikemia jika
kadar gula darah < 50 mg/dL (2,8 mmol/L). Unit Kerja
Koordinasi
Neonatologi PP IDAI dalam PNPK menggunakan nilai <47
mg/dL berdasarkan definisi dari WHO atau <45 mg/dL
menurut AAP.

ANAMNESIS Bayi Berisiko Hipoglikemia


• Bayi dari ibu diabetes (IDM)
• Bayi besar masa kehamilan (BMK)
• Bayi kecil masa kehamilan (KMK)
• Bayi kurang bulan dan lewat waktu
• Bayi sakit atau stress (RDS, hipotermia)
• Bayi puasa
• Bayi dengan polisitemia
• Bayi dengan eritroblastosis

• Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya steroid, beta


simpatomimetik dan beta blocker

536
PEMERIKSAAN • Jitteriness, rewel/gelisah, hipotonia, tangis high-
FISIS pitch, tangis lemah
• Sianosis
• Kejang atau tremor
• Letargi, gangguan menghisap
• Apnea, takipnea
• Hipotermia
Pemeriksaan glukosa darah (ICD 9 CM: 90.5)
PEMERIKSAAN
PENUNJANG

KRITERIA Hipoglikemia pada neonatus merupakan kadar gula darah <


DIAGNOSIS 45 - 47 mg/dl (2,5 -2,6 mmol/L). Nilai GD tersebut adalah
nilai gula darah dari sampel darah vena. Pada pengambilan
sampel darah kapiler terdapat perbedaan 10-18 mg/dl lebih
tinggi.

Pemeriksaan GD dilakukan pada usia 2-4 jam setelah lahir


karena diusia tersebut kadar hipoglikemia mencapai titik
nadir

Hipoglikemia pada neonatus merupakan kadar gula darah <


45 - 47 mg/dl (2,5 - 2,6 mmol/L). Perbedaan hasil
pemeriksaan dapat terjadi pada bayi baru lahir karena
bergantung pada waktu pemeriksaan. Bayi usia 0 hingga < 4
jam kadar gula darah harus ≥ 40 mg/dl, usia ≥ 4-24 jam
kadar gula darah harus ≥ 45 mg/dl, dan usia ≥ 24 jam
kadar gula darah harus ≥ 50 mg/dL. Oleh karena adanya
proses hipoglikemia fisiologis pada bayi baru lahir, maka
setelah pemeriksaan kadar gula darah pasca-lahir,
pemeriksaan kadar gula darah ulangan disarankan pada 24
jam setelah pemeriksaan kadar gula pertama.

Pediatric Endocrine Society (PES) mengatakan kadar


gula darah bayi < 48 jam harus dipertahankan di atas 50
mg/dL, sedangkan

537
jika usia bayi > 48 jam gula darah harus dipertahankan di atas
60 mg/dL.

Jika bayi menunjukkan gejala simptomatik, maka harus


dikoreksi jika gula darah < 40 mg/dL.

Neonatus risiko tinggi dengan GDS:


AAP: Usia < 4 jam GDS < 25 mg/dL; 4-24 jam GDS < 35 mg/dL
PES: Usia 24-48 jam GDS < 50 mg/dL; >48 jam GDS <
60mg/dL.

Transitory disorders of carbohydrate


DIAGNOSIS
metabolism specific to fetus and newborn
KERJA
(ICD 10: P70)
DIAGNOSIS • Transitory neonatal disorders of calcium
BANDING and magnesium metabolism
(ICD 10: P71)
• Pyridoxine deficiency (ICD 10: E53.1)
• Hyperosmolality and hypernatraemia (ICD
10: E87.0)
• Hypo-osmolality and hyponatraemia
(ICD 10: E87.1)
TERAPI • Penanganan bayi hipoglikemia tergantung pada 2 hal,
yaitu: kadar gula darah rendah dan ada tidaknya gejala
klinis.

• Bayi asimtomatik:
Mulai diberikan minum peroral dalam 1 jam pertama,
kemudian 30 menit sesudahnya dilakukan pemeriksaan
kadar gula darah.

Dapat diberikan koreksi hipoglikemia melalui asupan


enteral apabila kadar gula darah >25-<45 mg/dl.

Apabila kadar gula darah <25 mg/dL diberikan bolus


glukosa 200 mg/kg (dekstrosa 10% dengan dosis 2 ml/kg)
dilanjutkan pemberian infus dekstrosa dengan GIR 5-8
mg/kg/menit (80-100 ml/kg/hari). Kadar glukosa plasma
yang diharapkan 40-50 mg/dL.

• Bayi simtomatik:
Apabila kadar gula > 25-<45 mg/dL diberikan bolus
glukosa 200 mg/kg (dekstrosa 10% dengan dosis 2 ml/kg)
dilanjutkan pemberian infus dekstrosa dengan GIR 5-8
mg/kg/menit (80-100 ml/kg/hari). Kadar glukosa plasma
yang diharapkan 40-50 mg/dL.
538
• Setelah koreksi hipoglikemia, monitoring gula darah
dilakukan kembali setelah 30 menit-1 jam paska koreksi.

• Neonatus risiko tinggi:


Direkomendasikan bayi segera mendapat asupan enteral
dalam 1 jam pertama, kemudian 30 menit sesudahnya
dilakukan pemeriksaan kadar gula darah.

Pada bayi dengan paska resusitasi dengan CPAP atau VTP


bayi tidak dianjurkan untuk diberikan asupan enteral dan
segera mendapat akses IV serta infus dektrosa 10%
60-80 cc/kgBB/24 jam

• Pada bayi dengan infus dekstrosa direkomendasikan


untuk dievaluasi nilai GIR. GIR pada bayi cukup bulan: 4-6
mg/kgBB/menit dan pada bayi kurang bulan: 6-8
mg/kgBB/menit

Bila ada riwayat syok dan normoglikemia, maka pemberian


cairan dibatasi menjadi 60 mL/kgBB/hari menggunakan
D10W (GIR 4,2 mg/kgBB/menit), D12,5W (GIR 5,2
mg/kgBB/menit), atau D15W (GIR 6,2 mg/kgBB/menit).

Akses vena sentral diperlukan untuk pemberian cairan


dekstrosa >12,5% atau dekstrosa 12,5% yang diberi
zat/komponen tambahan.

Tatalaksana hipoglikemia dapat mengikuti algoritma berikut:

539
GD <47 mg/dL

GD < 25 mg/dL atau dengan gejala GD >25 - <47 mg/dL

• I V bolus dekstrosa 10% 2 mL/kgBB • Nutrisi oral /enteral segera : ASI atau
** IVFD dekstrosa 10%, minimal 60 PASI , maksimal 100 mL/kg BB/hari
mL/kgBB/hari ( hari pertama ) sampai ( hari pertama )
mencapai GIR 6 - 8 mg/kgBB/menit • Bila ada kontraindikasi oral atau
• Ora l tetap diberikan bila tidak ada enteral → **
kontraindikasi

GD ulang (30 menit - 1 jam ) GD <36 mg/dL GD 36 - <47 mg/dL

Oral: ASI atau PASI yang


GD <47 mg/dL dilarutkan dengan dektrosa 5%

GD ulang (1 jam)
Dekstrosa ditingkatkan dengan cara:
• Volume ditingkatkan sampai maksimal
100 mL/kgBB/hari (hari pertama) atau
• Konsentrasi ditingkatkan: vena perifer
GD 36 - <47 mg/dL **
maksimal 12,5%, umbilikal 25%

GD > 47 mg/dL

Ulang GD tiap 2 - 4 jam , 15 me nit sebelum jadwal minum berikut, sampai 2 kali berturut - turut normal

Gambar 26. Alogaritma tatalaksana hipoglikemia

EDUKASI Pemberian asupan enteral dini merupakan tindakan


pencegahan tunggal yang paling penting. Jika pemberian
asupan secara enteral akan dimulai, ASI atau D5W harus
digunakan jika bayi dapat mentoleransi pemberian asupan
melalui puting atau selang nasogastrik. Bayi tersebut harus
dipantau sampai mereka mencapai pemberian asupan
penuh dan telah memiliki tiga pembacaan pra-pemberian
asupan di atas 40-45 mg/dl. Kita harus hati-hati untuk
memastikan bahwa ibu menyusui memberikan asupan yang
memadai.
Jika bayi yang berisiko terkena hipoglikemia tidak dapat
mentoleransi pemberian asupan melalui puting atau selang
akibat darah yang tertelan, dapat diupayakan untuk
melakukan satu kali percobaan lavage lambung dan
melanjutkan pemberian asupan melalui mulut. Jika tindakan
ini gagal, terapi IV dengan glukosa 10% harus dimulai dan
kadar glukosa dipantau.

PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia Bonam
Ad sanationam : Dubia Bonam
Ad fungsionam : Dubia Bonam
DAFTAR RUJUKAN Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. 97
Resuscitation ILCo. 98
McCormick M, Cooper P. 99
540
Queensland Clinical Guidelines. 100
USCF Children's Hospital. 101
Thompson-Branch A, Havranek T.102
Sweet CB, Grayson S, Polak M. 103
Thornton PS, Stanley CA, De Leon DD, Harris
D, Haymond MW, Hussain K,et. al. 104

4.26 Hiperbilirubinemia pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS


(ICD 10: P59)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

Panduan Tanggal DITETAPKAN KETUA PP IDAI


Terbit/Revisi
Praktik Klinis

Ikatan Dokter
Anak Indonesia

541
DEFINISI Hiperbilirubinemia: Naiknya kadar bilirubin serum melebihi
normal.
Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi / indirek:
Peningkatan bilirubin serum tidak terkonjugasi di atas normal.
Hiperbilirubinemia terkonjugasi /
direk/ kolestasis:
Peningkatan kadar bilirubin direk >20% dari total bilirubin serum.
Ensefalopati bilirubin:
Deposit bilirubin tidak terkonjugasi/indirek pada basal ganglia
otak yang menimbulkan gangguan pada sistem susunan syaraf
pusat.

ANAMNESIS Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi


• Onset timbulnya ikterus
• Ibu dengan golongan darah O, dengan suami golongan darah
non-O dan perbedaan Rhesus. • Kakak yang mengalami
ikterus atau anemia
• Ibu yang mengkonsumsi obat-obatan
(sulfonamides, aspirin, antimalaria)
• Riwayat perinatal: persalinan traumatis, trauma lahir,
tertundanya penjepitan tali pusat, asfiksia

Hiperbilirubinemia terkonjugasi
• Warna kulit tampak kuning kehijauan
• BAB dempul / pucat
• Urin berwarna seperti teh

542
PEMERIKSAAN Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi:
FISIS • Warna kulit tampak kuning oranye
• Pada bayi kurang bulan, onset terjadinya lebih cepat dan
durasinya lebih lama
• Pada kejadian sefal hematom atau memar bisa terjadi
hiperbilirubinemia
• Pada anemia hemolitik tampak kuning disertai pucat dan
pletora.
• Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi yang berlanjut akan
terjadi bilirubin ensefalopati dengan gejala :

Tahap awal:
Tampak letargis, tidak mau menetek, tonus menurun, tidak
adanya refleks Moro dan tangisan melemah

Tahap intermediate:
Opistotonus/ retrocolis, hipertoni, gangguan kesadaran/iritabel,
demam, dan tangisan melengking.

Tahap lanjut:
Kerusakan SSP bersifat ireversibel, tangisan melengking, tidak
mampu menyusu, apne, demam, gangguan kesadaran hingga
koma dan kejang.

Hiperbilirubinemia terkonjugasi:
• Warna kulit kuning kehijauan
• Muntah
• Distensi abdomen dengan hepatomegali
• Mungkin disertai dengan tanda sepsis
• Kecenderungan mengalami perdarahan
• Dapat disertai mikrosefali maupun korioretinitis

Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi:


PEMERIKSAAN
PENUNJANG • Bilirubin total serum dan bilirubin direk (ICD 9 CM: 91.0)

543
• Golongan darah dan Rhesus dari bayi dan ibu (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan Coomb’s (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan hitung darah lengkap
(Hemoglobin, Hematokrit, morfologi sel darah merah) (ICD 9
CM: 90.5)
• Hitung retikulosit (ICD 9 CM: 90.5)
• Jika ada hemolisis dan tidak ada ketidaksesuaian Rhesus atau
ABO, mungkin diperlukan pemeriksaan hemoglobin
elektroforesis, penapisan G6PD atau pengujian kerentanan
osmotik untuk mendiagnosis defek sel darah merah (ICD 9
CM: 90.5)

Hiperbilirubinemia terkonjugasi:
• Sepsis berlanjut (ICD 9 CM: 90.5)
• Pemeriksaan fungsi hati (ICD 9 CM: 91.0)
• Penapisan TORCH (ICD 9 CM: 90.5)
• USG abdomen (ICD 9 CM: 88.76)
• Jika memungkinkan, penapisan metabolik (ICD 9 CM : V77)

KRITERIA Ikterus fisiologis:


DIAGNOSIS
Pada bayi sehat dan cukup bulan, akan terlihat pada hari ke-2-3
dan biasanya hilang pada hari ke 6-8 tapi mungkin tetap ada
sampai hari ke-14 dengan maksimal total kadar bilirubin serum
<12 mg/dl. Pada bayi kurang bulan sehat, ikterus akan terlihat
pada hari ke 3-4 dan hilang pada hari ke 10-20 dengan kadar
serum maksimal <15 mg/dl.

Breast feeding jaundice : ikterus yang disebabkan oleh


kekurangan asupan ASI biasanya muncul pada hari ke 2 sampai 3
pada waktu produksi ASI belum banyak.

Breastmilk jaundice: Pada hari ke-14, kadar bilirubin terus


meningkat dan bukannya menurun. Kadar bilirubin bisa
mencapai 20-30 mg/dl dan mulai menurun pada usia empat
minggu dan kemudian secara bertahap kembali ke normal.

544
Ikterus non-fisiologis
• Ikterus mulai sebelum berusia 24 jam
• Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dl/jam
• Total bilirubin serum sesuai dengan grafik dibawah untuk
dilakukan terapi sinar

Gambar 27. Penentuan faktor risiko untuk menjadi


hiperbilirubinemia berat pada bayi dengan usia kehamilan ≥
36 minggu dengan berat lahir ≥ 2000 gram, atau dengan usia
kehamilan 35-36 minggu dengan berat lahir ≥ 2500 gram
berdasarkan kadar bilirubin serum sesuai dengan usia (dalam
jam) 105

Penyebab hiperbilirubinemia terkonjugasi


• Obstruksi ekstrahepatik biliaris
• Atresia biliaris
• Kista koledokal
• Kompresi eksternal, misalnya node lymph
• Kolestasis intrahepatik dengan kurangnya duktus biliaris,
misalnya sindrom Alagille
• Kolestasis intrahepatik dengan duktus biliaris normal
• Infeksi (misalnya TORCH atau neonatal hepatitis)
• Kesalahan metabolisme sejak lahir (inborn error of
metabolism) misalnya galaktosemia
• Sindrom Dubin-Johnson, sindrom Rotor’s
• Kolestasis yang disebabkan penggunaan TPN yang lama

Neonatal jaundice from other and unspecified


DIAGNOSIS KERJA causes (ICD 10: P59)

DIAGNOSIS Haemolytic disease of fetus and newborn (ICD 10:


BANDING P55)
Hydrops fetalis due to haemolytic disease (ICD
10: P56)
Kernicterus (ICD 10: P57)
Neonatal jaundice due to other excessive
haemolysis (ICD 10: P58)
545
TERAPI Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi:
• Terapi sinar berdasarkan grafik di atas
• Asuhan nutrisi yang adekuat
• Mengatasi penyakit lain yang menyertai seperti hipoksia,
infeksi, dan asidosis

Hiperbilirubinemia terkonjugasi:
• Kunci tata laksana hiperbilirubinemia terkonjugasi/direk
adalah mengidentifikasi penyebab dasar meningkatnya kadar
bilirubin serum.
• Fasilitas yang tidak dilengkapi dengan instrumen atau teknik
diagnostik yang diperlukan harus merujuk neonatus ke
fasilitas yang tingkatannya lebih tinggi.
• Terapi sinar tidak boleh digunakan pada kasus
hiperbilirubinemia terkonjugasi /direk
(sindrom bayi tembaga)

EDUKASI • Kenali tanda dan gejala hiperbilirubinemia pada neonatus


• Kenali faktor risiko pada neonatus
• Tata laksana segera berdasarkan diagnosis

PROGNOSIS Ad vitam : Bonam


Ad sanationam : Dubia Bonam
Ad fungsionam : Dubia Bonam
DAFTAR Excellence NIfC. 106
RUJUKAN Muchowski KE. 107
Bhutani VK, Johnson L, Sivieri EM. 105
Maisels MJ, Bhutani VK, Bogen D, Newman TB,
Stark AR, Watchko JF. 108
Hamidi M, Aliakbari F. 109
Kaplan M, Merlob P, Regev R. 110
Maisels MJ. 111

4.27 Anemia pada neonatus


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

ANEMIA PADA NEONATUS


(ICD 10: P61.3)

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

546
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Anemia Neonatal didefinisikan sebagai kadar hemoglobin


atau hematrokrit dibawah kurang dari 2 SD, dibawah
ratarata nilai normal pasca lahir. Pengambilan darah
diperoleh melalui vena sentral
Untuk bayi prematur, definisi anemia dikategorikan
berdasarkan berat badan lahir dan usianya.
• ) Bayi BBL 1200-2500 gram
0-7 hari = 16,4 g/dl
7-14 hari = 16 g/dl
>14 hari = 13,5 g/dl
• ) Bayi BBL <1200 gram
0-7 hari = <16 g/dl
7-14 hari = <14,8 g/dl
>14 hari = <13,4 g/dl

ANAMNESIS 1. Anemia perdarahan


2. Hemolisis atau pemecahan sel darah merah
3. Defisiensi

547
A. Penyebab obstetrik ► Kehilangan darah:
o Solusio Plasenta (Abruptio placenta) dan plasenta
previa
o Terpotongnya plasenta selama seksio
sesarea
o Robeknya tali pusat

► Kehilangan darah tersembunyi:


o Perdarahan fetomaternal atau perdarahan
transplasental dari
sirkulasi fetus ke sirkulasi ibu
o Transfusi kembar-kembar: terjadi ketika satu
kembar mengalirkan darah ke saudara kembarnya
akibat kelainan plasenta vaskuler. Donor menjadi
kecil dan anemik, sementara penerima menjadi
besar dan pletorik

B. Perdarahan pada periode neonatus:


► Perdarahan intrakranial
► Hematoma sefal berukuran besar
► Hematoma subkapsuler, hati atau limpa yang
robek, perdarahan adrenal atau renal
► Perdarahan dari umbilikus akibat robek atau
terpotongnya tali pusat
► Iatrogenik dari pengambilan sampel darah
berulang
► Perdarahan karena infeksi
(hematemesis dan atau melena)

2. Anemia hemolitik ► Hemolisis


o Imun: ketidaksesuaian Rhesus, ABO, dan golongan
darah minor
o Anemia hemolitik bawaan: sferositosis, defisiensi
G6PD
o Anemia hemolitik dapatan: infeksi,
DIC, defisiensi vitamin E, vitamin K
(overdosis)

3. Anemia hipoplastik
• Menurunnya produksi darah merah

• Penyebab,
antara lain: Infeksi seperti rubella atau
penekanan produksi oleh obat

PEMERIKSAAN Pucat, tanda kehilangan darah akut, yaitu gejala syok,


FISIS termasuk tekanan darah arteri rendah dan penurunan
hematokrit.

548
PEMERIKSAAN • Hitung darah lengkap/CBC (hemoglobin dan
PENUNJANG hematokrit) (ICD 9 CM: 90.5)
• Hitung retikulosit (ICD 9 CM: 90.5)
• Sediaan apus darah (ICD 9 CM: 90.5)
• Uji Comb Direk (ICD 9 CM: 90.5)
• Bilirubin total dan bilirubin direk (ICD 9 CM: 91.0)
• Golongan darah (ABO) dan tipenya
(Rhesus) (ICD 9 CM: 90.5)
• Profil hemolitik (ICD 9 CM: 90.0)
• Penapisan TORCH jika tersedia (ICD 9 CM: 90.5)
• USG kepala dan perut (ICD 9 CM: 88.71 dan 88.76)

KRITERIA Kadar hemoglobin vena sentral sebesar <13 g/dL atau


DIAGNOSIS kadar hemoglobin kapiler sebesar <14.5 g/dL, selama
periode neonatus (0-28 hari), pada bayi dengan usia
kehamilan > 34 minggu.

Congenital anaemia from fetal blood loss


DIAGNOSIS KERJA (ICD 10: P61.3)

DIAGNOSIS • Anaemia of prematurity (ICD 10: P61.2)


BANDING • Other congenital anaemias, not elsewhere
classified (ICD 10: P61.4)
• Rh isoimmunization of fetus and newborn
(ICD 10: P55.0)
• ABO isoimmunization of fetus and
newborn (ICD 10: P55.1)
• Other haemolytic diseases of fetus and
newborn (ICD 10: P55.8)
• Haemolytic disease of fetus and newborn,
unspecified (ICD 10: P55.9)
• Haemorrhagic disease of fetus and newborn
(ICD 10: P53)
• Haemolytic anaemias (ICD 10: D55-D58)

• Aplastic and other anaemias (ICD 10: D60D64)

549
TERAPI • Kadar hemoglobin, hematokrit, dan bilirubin harus
diperiksa secara sering untuk memantau anemia pada
neonatus
• Transfusi darah utuh (whole blood) atau butir-butir
darah merah (10-20 ml/kg) dapat dipertimbangkan
dalam kondisi ini:
► Anemia perdarahan akut
► Penggantian defisit yang berlanjut
(on going)
► Dipertahankannya kapasitas pengangkutan oksigen
yang efektif
• Ht < 35%,
♦ Dengan penyakit kardiopulmoner
parah, misal IPPV dengan MAP > 6 cm H 2O
▪ Ht < 30%,
♦ Dengan penyakit kardiopulmoner ringan
hingga sedang (FiO2 > 35% dan
memakai CPAP)
♦ Apnea yang bermakna
♦ Penambahan berat badan < 10 g/hari
dengan asupan kalori penuh
♦ Denyut jantung > 180 per menit yang
bertahan selama
24 jam
♦ Jika menjalani pembedahan
▪ Ht < 21%,
♦ Tidak bergejala tetapi hitung retikulositnya
rendah
• Suplemen zat besi tidak disarankan pada neonatus
kurang bulan sebelum usia kehamilan 34 minggu,
karena akan meningkatkan peroksidasi lipid pada
membran sel darah merah akibat oksigen
terbatas, mekanisme scavenger radikal pada
neonatus dengan kelainan ini.

550
Panduan ambang batas Hb dan Ht untuk pemberian
tranfusi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 112
Penggunaan Furosemid:
• Tidak direkomendasikan pada penggunaan
rutin
• Pertimbangakan segera pemberiannya pada
bayi dengan kondisi:
• bayi dengan penyakit paru kronis
• bayi dengan PDA signifikan
• bayi dengan gagal jantung
• bayi dengan edema atau kelebihan cairan

EDUKASI • Kenali gejala anemia pada neonatus


• Lakukan penatalaksanaan yang sesuai
PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia Bonam
Ad sanationam : Dubia Malam
Ad fungsionam : Bonam

DAFTAR RUJUKAN New HV, Berryman J, Bolton‐Maggs PH,


Cantwell C, Chalmers EA, Davies T, dkk. 113
Neonatal guidelines 2017-19.114
Colombatti R, Sainati L, Trevisanuto D, 115
Robert IAG, Murray NA.116
WC, Glader BE.117
Jones LL, Schwartz AL, David BW.118

Tabel 12. Standar transfusi internasional 112

551
4.28 Polisitemia neonatorum
PANDUAN PRAKTIK KLINIK

POLISITEMIA NEONATORUM
(ICD 10: P61.1)

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Panduan Praktik Tanggal


Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Polisitemia atau peningkatan massa sel darah merah


total, didefinisikan sebagai hematokrit vena sentral
≥ 65% pada pasien simptomatik dan ≥ 75%
pada pasien asimptomatik.

ANAMNESIS Penyebab Polisitemia


Transfusi sel darah merah plasenta
► Keterlambatan pemasangan klem pada tali pusat
► Tali pusat yang dikosongkan dengan cara darah
didorong ke arah bayi
(cord stripping)
► Memegang/menahan neonatus lebih rendah dari
ibu pada saat persalinan
► Transfusi maternal-fetal
► Transfusi kembar-kembar

Insufisiensi plasenta
► Bayi kecil untuk masa kehamilan
(KMK)
► Kelainan darah tinggi pada ibu
► Postmaturitas

552
► Bayi yang lahir dari ibu dengan hipoksia kronis
(penyakit jantung)
► Kehamilan pada daerah dengan tingkat ketinggian
yang tinggi (high altitude)
► Ibu adalah perokok

Kondisi-kondisi lain:
► Bayi dari ibu diabetes melitus
► Bayi besar untuk masa kehamilan
(BMK)
► Dehidrasi
► Sindrom trisomi (terutama trisomi 21)

PEMERIKSAAN Kulit: penundaan waktu pengisian ulang kapiler (CRT)


FISIS dan pletora
SSP: refleks hisap yang buruk, letargi, iritabilitas, apnea,
kejang; dan pada kasus parah, infark serebral
Kardiopulmonal: sianosis, takipnea, gagal jantung
kongestif dan peningkatan
resistensi vaskuler paru
Sistem gastrointestinal: enterokolitis nekrotikans
(NEC) karena pemberian minum secara dini
Ginjal: hematuria, proteinuria; dan pada kasus parah,
trombosis vena ginjal Hematologi: trombositopenia
dan ikterus
Lain-lain: hipoglikemia

PEMERIKSAAN Nilai hematrokit/vena sentral (ICD 9 CM:


PENUNJANG 90.5)
Kadar glukosa serum (ICD 9 CM: 90.5)
Kadar bilirubin serum (ICD 9 CM: 91.0)
Kadar kalsium serum (ICD 9 CM: 90.5)
Hitung trombosit (ICD 9 CM: 90.5)
Penilaian secara klinis berdasarkan anamnesis,
KRITERIA
pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KERJA Polycythaemia neonatorum (ICD 10:


P61.1)
DIAGNOSIS Transient neonatal thrombocytopenia (ICD
BANDING 10: P61.0)
Bacterial sepsis of newborn (ICD 10: P36)
Intracranial nontraumatic haemorrhage of fetus
and newborn (ICD 10: P52) Congenital pneumonia
(ICD 10: P23) Cardiovascular disorders
originating in the perinatal period (ICD 10:
P29)

553
TERAPI ► Bayi tanpa gejala dengan hematokrit vena antara 65-
70% dapat ditangani dengan peningkatan asupan
cairan dan mengulang pemeriksaan hematokrit pada
4-6 jam.
► Sebagian besar ahli neonatologi, dalam ketiadaan
gejala, akan melakukan transfusi tukar ketika
hematokrit vena perifer > 70%, meskipun hal ini masih
ini bersifat kontroversial.
► Bayi yang mengalami gejala dengan kadar hematokrit
vena > 65% harus ditangani dengan melakukan
tranfusi tukar parsial. Pertukaran biasanya dilakukan
dengan albumin 5% atau salin normal untuk membuat
kadar hematokrit turun hingga 50%.
Rumus berikut ini digunakan untuk menghitung volume
tukar
Volume tukar dalam ml =
(Hct yg teramati–Hct yg diharapkan) X BB X volume darah Hct yang
teramati

Kenali gejala awal polistemia neonatorum


EDUKASI
PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Bonam
Ad sanationam: Dubia Bonam
Ad fungsionam: Dubia Bonam
DAFTAR RUJUKAN Watchko JF. 119
Celik IH, Demirel G, Canpolat FE, Dilmen U.
120

4.29 Trombositopenia pada neonatus


PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TROMBOSITOPENIA PADA NEONATUS


(ICD 10: P61.0)

No. No. Revisi Halaman


UKK
Dokumen
Neonatologi
2018

554
Panduan Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Praktik Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia

DEFINISI Trombositopenia ditandai oleh hitung trombosit yang rendah


pada neonatus. Trombositopenia neonatal didefinisikan
sebagai turunnya kadar trombosit dengan nilai lebih rendah
dari 150.000/µL.

ANAMNESIS Penyebab trombositopenia pada neonatus:


• Kelainan genetik, misalnya Trisomi 13, 18, 21 , dan TAR
• Penyakit autoimun pada ibu, misalnya lupus eritematosus
sistemik (SLE) atau idiopatik trombositopenia purpura
(ITP)
• Kondisi plasenta
• Infeksi ( bawaan atau dapatan)
• Disseminated intravascular coagulation
(DIC) atau trombosis
• Ibu HELLP syndrome

PEMERIKSAAN • Petekie di seluruh permukaan tubuh


FISIS • Perdarahan mukosa dan perdarahan spontan jika hasil
hitung trombosit < 20.000/mm3

555
• Perdarahan intrakranial mungkin terjadi pada
trombositopenia yang parah

Investigasi
Evaluasi dari trombositopenia awitan dini (< 72 jam sesudah
lahir)
• Bayi prematur dengan onset awal trombositopenia ringan-
sedang yang terbukti insufisiensi placenta, investigasi lanjut
tidak diperlukan sampai hitung trombosit tidak membaik
dalam10-14 hari
• Bayi prematur tanpa insufifsiensi placaenta, investigasi
pertama adalah untuk sepsis
• Bayi cukup bulan investigasi untuk sepsis dan NAIT
• Apabila trombositopenia berat periksa skrining pembekuan
darah
• Lihat adanya perdarahan aktif atau ptekie yang tampak
• Apabila ada kecurigaan infeksi kongenital (misal LFT
abnormal, rash, riwayat maternal dsb) atau
trombositopenia persisten atau tidak bisa dijelaskan,
pemeriksaan infeksi kongenital misal serologi CMV dan
toksoplasma; cek status maternal untuk sifilis, rubella dan
HIV; skrining herpes simpleks dan enterovirus
• Riwayat kehamilan, terutama hitung jumlah trombosit,
obat-obatan, pre eklampsia. Riwayat keluarga adanya
gangguan perdarahan
• Mungkin berhubungan dengan kelainan bawaan (misalnya
trisomi, inherited syndrome)

Evaluasi trombositopenia awitan lambat


• Trombositopenia yang tampak pada bayi setelah umur 3
hari, evaluasi kemungkinan sepsis atau NEC
• Bayi dengan risiko perdarahan, pikirkan keuntungan dari
transfusi trombosit

Pemeriksaan trombosit (ICD 9 CM: 90.5)


PEMERIKSAAN
PENUNJANG

556
KRITERIA Trombositopenia ringan: hitung trombosit 100-
DIAGNOSIS 150x109/L
Trombositopenia sedang: hitung trombosit 50-
100x109/L
Trombositopenia berat: <50x109/L

Hitung trombosit < 150.000/mm3 pada bayi cukup bulan


Hitung trombosit < 100,000/mm 3 pada bayi kurang bulan

DIAGNOSIS Transient neonatal thrombocytopenia (ICD 10: P61.0)


KERJA
DIAGNOSIS • Haemolytic disease of fetus and newborn
BANDING (ICD 10: P55)
• Neonatal jaundice due to other excessive
haemolysis (ICD 10: P58)
• Anaemia of prematurity (ICD 10: P61.2)
• Congenital anaemia from fetal blood loss (ICD
10: P61.3)
• Other congenital anaemias, not elsewhere
classified (ICD 10: P61.4)
• Other specified perinatal haematological
disorders (ICD 10: 61.8)
• Perinatal haematological disorder,
unspecified (ICD 10: 61.9)

TERAPI • Pengobatan penyebab kondisi yang terjadi


• Memberikan transfusi trombosit: satu unit trombosit
tunggal dapat menaikkan hitung trombosit sebesar 40.000-
50.000/mm3
Kenali gejala trombositopenia pada neonatus
EDUKASI
PROGNOSIS Ad vitam: Dubia Bonam
Ad sanationam: Dubia Bonam
Ad fungsionam: Dubia Bonam
DAFTAR Newborn Services Clinical Guideline. 121
RUJUKAN

557
4.30 Hemorrhagic Disease of The Newborn (HDN) pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIK

PENYAKIT PERDARAHAN PADA


NEONATUS
(HEMORRHAGIC DISEASE OF THE NEWBORN/
HDN)
(ICD 10: P55.9)

No. Dokumen No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi
2018

Panduan Praktik TanggalTerbit/Revisi


DITETAPKAN
Klinis
KETUA PP IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Penyakit perdarahan pada neonatus (Hemorrhagic


Disease of the Newborn/ HDN) Sindroma klinis
perdarahan spontan yang ditemukan pada bayi baru lahir
akibat kekurangan Vitamin K dan kofaktor yang
bergantung pada Vitamin K yaitu faktor II, VII, IX, dan X,
atau sering disebut perdarahan defisiensi vitamin K, atau
VKDB. Vitamin K berperan penting dalam pembekuan
darah. Karena vitamin K tidak diturunkan secara efisien
dari ibu ke bayi di dalam rahim, kebanyakan bayi lahir
dengan jumlah simpanan vitamin K yang rendah.

ANAMNESIS Vitamin K diperoleh dari diet dan dari sintesis flora usus.
Faktor ini mengalami defisiensi pada hari pertama
kehidupan. Pada saat simpanan vitamin K ibu menurun
pada hari pertama, defisiensi vitamin K menjadi semakin
parah.

558
Pendarahan dapat terjadi pada satu atau beberapa area,
yakni: perdarahan daerah umbilicus, selaput lendir hidung
dan mulut, saat dilakukan sirkumsisi, vaksinasi, perdarahan
saluran cerna atau benjolan kepala yang muncul sejak dini
(sefalohematoma). Dapat pula terjadi perdarahan
intrakranial yang dapat mengancam jiwa.

PEMERIKSAAN VKDB dikategorikan berdasarkan waktu gejala pertama:


FISIS Awitan dini terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran onset
klasik terjadi dalam dua hingga tujuh hari onset lambat
terjadi dalam dua minggu hinggaenam bulan

HDN Dini
► Mungkin terjadi bersamaan dengan pemaparan
maternal terhadap obat yang mempengaruhi
koagulasi seperti anti koagulan, anti konvulsan, dan
anti tuberkulosis

► Ditemui dengan perdarahan hebat selama


persalinan atau pada hari pertama kehidupan

HDN
► Klasik
Perdarahan biasanya terjadi di kulit,
gastrointestinal, atau berasal dari sunat
► Bayi tampak normal pada saat lahir, kemudian
perdarahan terjadi pada usia 1-7 hari

► Memar secara umum dapat dilihat di sekitar hidung


dan tali pusat

HDN Lambat
► Terjadi antara usia 1-3 bulan, biasanya dalam bentuk
perdarahan intra kranial
• Hitung trombosit normal (ICD 9 CM: 90.5)
PEMERIKSAAN
PENUNJANG • PT dan APTT memanjang (ICD 9 CM: 90.5)

Berdasarkan klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis,


KRITERIA
pemeriksaan penunjang)
DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KERJA Haemolytic disease of fetus and newborn,


unspecified (ICD 10: P55.9)

559
DIAGNOSIS • Haemolytic disease of fetus and newborn
BANDING (ICD 10: P55))
• Other specified perinatal haematological
disorders (ICD 10: 61.8)
• Perinatal haematological disorder,
unspecified (ICD 10: 61.9)
TERAPI Pr ofilaksis
► Vitamin K1 (phytonadione) 0,5-1 mg.

Berikan IM setelah bayi lahir. Pengobatan

► 5 mg vitamin K. Berikan secara IV atau IM


► Transfusi darah segar mungkin diberikan
► Plasma beku segar

EDUKASI Kenali gejala awal HDN pada neonatus Suntikan vitamin K-


1 membantu melindungi bayi baru lahir dari VKDB.

PROGNOSIS Ad vitam: Dubia Malam


Ad sanationam: Dubia Malam Ad
fungsionam: Malam
DAFTAR RUJUKAN Newborn Services Clinical Guideline 122
Brahim EH,Lamia K, Badr SB. 123
Waseem M.124
Sandy CR.125

4.31 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

DISSEMINATED INTRAVASCULAR
COAGULATION (DIC) PADA NEONATUS
(ICD 10: P60)

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

560
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Koagulasi Intravaskuler Diseminata (Disseminated


Intravascular Coagulation/DIC) merupakan proses
patologis yang ditandai oleh aktivasi sistemik dari
pembekuan darah, yang menghasilkan pembentukan dan
pengendapan fibrin, mengarahkan terjadinya trombus
mikrovaskuler di berbagai organ dan berkontribusi
terhadap sindrom disfungsi multi organ (MODS). 126,
127

Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit pada DIC


dapat menyebabkan perdarahan yang mengancam
jiwa.128

ANAMNESIS Faktor risiko DIC:


• Septikemia Gram Negatif
• Asidosis
• Hipoksia
• Hipotensi
• Respiratory distress syndrome (RDS)

• Asfiksia
PEMERIKSAAN • Petekie
FISIS • Perdarahan gastrointestinal
• Keluar darah dari tusukan/lubang pada vena
(venipuncture)
• Perdarahan umum dari berbagai lubang pada tubuh
• Infeksi

PEMERIKSAAN • Penurunan hitung trombosit (ICD 9 CM: 90.5)


PENUNJANG • Peningkatan PT dan PTT (ICD 9 CM: 90.5) • Fragmen sel
darah merah pada preparat apus darah (ICD 9 CM: 90.5)
• Penurunan fibrinogen (ICD 9 CM: 90.5)
• Peningkatan jumlah produk penguraian fibrinogen (ICD
9 CM: 90.5)

Berdasarkan klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis,


KRITERIA
pemeriksaan penunjang)
DIAGNOSIS

561
DIAGNOSIS KERJA Disseminated intravascular coagulation of fetus
and newborn (ICD 10: P60)
DIAGNOSIS BANDING • Haemolytic disease of fetus and newborn (ICD
10: P55)
• Neonatal jaundice due to other excessive
haemolysis (ICD 10: P58)
• Anaemia of prematurity (ICD 10: P61.2)
• Congenital anaemia from fetal blood loss
(ICD 10: P61.3)
• Other congenital anaemias, not elsewhere
classified (ICD 10: P61.4)
• Other specified perinatal haematological
disorders (ICD 10:
61.8)
• Perinatal haematological disorder,
unspecified (ICD 10: 61.9)
TERAPI • Prinsip manajemen adalah memantau tanda vital,
mengkaji dan mendokumentasikan proses perdarahan
dan thrombosis, mengkoreksi hypovolemia, serta
memberikan prosedur pengobatan hemostasis dasar
sesuai indikasi
• Vitamin K 1,0 mg IM

• Trombosit dan plasma beku segar dapat diberikan


• Jika perdarahan terus berlangsung, salah satu hal
berikut ini dilakukan:
► Transfusi tukar dengan darah utuh (whole blood)
sitrat segar atau packed cells yang dicampur
dengan plasma beku segar (FFP)

► Transfusi trombosit dan FFP


► Kriopresipitat (10 ml/kg)
► Jika DIC terkait dengan trombosis, berikan heparin

Kenali gejala awal DIC pada neonatus


EDUKASI
PROGNOSIS Ad vitam : Malam
Ad sanationam: Dubia Malam Ad
fungsionam: Malam
DAFTAR RUJUKAN Newborn Services Clinical Guideline 122
Costello RA, Nehring SM. 126
Vincent JL, De Backer D. 127
Papageorgiou C, Jourdi G, Adjambri E,
Walborn A, Patel P, Fareed J, dkk. 128

562
4.32 Pengendalian infeksi di Unit Perawatan Neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PENGENDALIAN INFEKSI DI UNIT


PERAWATAN NEONATUS

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Panduan Praktik Tanggal


Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter Anak
Indonesia

PENDAHULUAN Faktor yang memengaruhi infeksi nosokomial:


• Imaturitas sistem imun terutama pada bayi kurang
bulan
• Prosedur invasif yang merusak jaringan seperti
dilakukannya intubasi, kateterisasi, dan
pemasangan berbagai jalur intravaskular
• Terlalu banyak bayi dan pengunjung serta kurangnya
staf di unit perinatologi
• Penggunaan antibiotik yang tidak tepat
• Tidak dipatuhinya kebijakan pengendalian
infeksi terutama untuk prosedur cuci tangan

563
PENERAPAN Lingkungan Ruang Bayi
PENGENDALIAN • Ruang bayi harus terpisah dari lingkungan jalan dan
INFEKSI tidak ada jendela yang terbuka ke daerah luar.
• Semua jalan masuk ke ruang perinatologi harus ada
wastafel dengan keran yang bisa dibuka/ditutup
dengan siku atau kaki dan sabun cair serta handuk
sekali pakai untuk cuci tangan yang benar sebelum
masuk ruang bayi.

564
• Batasi jumlah orang di ruang bayi.
• Harus ada ruang atau daerah isolasi.
• Lantai ruang bayi harus bersih sesuai ketentuan PPI
• Linen di dalam inkubator harus diganti sekali sehari
atau jika terkontaminasi. Inkubator harus dibersihkan
dengan air steril sekali sehari atau jika terkontaminasi.
Inkubator harus diganti supaya bisa dibersihkan secara
menyeluruh dengan larutan hipoklorida
0,5%/antiseptik
• Setiap 5 hari untuk bayi <1000 gram
• Setiap minggu untuk bayi >1000 gram
• Label untuk menuliskan tanggal pembersihan harus
ditempel pada setiap inkubator
• Harus ada area yang khusus untuk melakukan
disinfeksi inkubator.
• Harus ada wastafel dinding di dalam ruang bayi, satu
untuk setiap tiga inkubator
• Pemisahan limbah dibagi atas:
• Sampah infeksius (kantung berwarna kuning)
Dressing bedah, kasa, verband, kateter, swab,
plester, masker, sarung tangan, kapas lidi, kantong
urin, sampah yang terkontaminasi dengan cairan
tubuh.
• Sampah domestik/rumah tangga
(kantong berwarna hitam)
Kertas, plastik, plastik bungkus spuit/infus, kardus,
kayu, kaleng, daun, sisa makanan, sampah yang
tidak terkontaminasi cairan tubuh pasien.
• Sampah benda tajam (kotak berwarna kuning)
Jarum suntik, pisau cukur, pecahan ampul, gelas
obyek, lancet, sampah yang memiliki
permukaan/ujung yang tajam.

565
• Semua limbah cair (darah, cairan lendir & sekresi)
dibuang di saluran air kotor dan disiram dengan air
dalam jumlah banyak.
• Semua limbah tajam dibuang kedalam penampungan
yang tahan tusukan dan air tidak pernah
memberikan dari tangan ke tangan untuk dibuang.

Petugas
Prosedur Cuci Tangan
• Gulung lengan baju hingga siku dan lepaskan semua
perhiasan.
• Sebelum masuk ruangan, cuci tangan secara seksama
selama tiga menit dengan sikat untuk cuci tangan pra
bedah yang basah dan larutan pencuci tangan
antiseptik. Mulai dari tangan, bawah kuku dan bagian
sisi jari.
• Bilas secara seksama dengan air
mengalir.
• Keringkan dengan tisu.
• Bilas tangan selama 15 detik atau lebih lama sebelum
menangani pasien berikutnya.
• Direkomendasikan untuk menggunakan sarung
tangan jika akan ada kontak dengan darah, cairan
tubuh, selaput lendir atau kulit yang tidak utuh.

Neonatus
• Tali pusat harus kering dan bersih.
• Salep/tetes mata profilaktik diberikan kepada semua
neonatus pada hari pertama.
• Neonatus yang dirujuk dari masyarakat harus
ditempatkan di area khusus di ruang bayi dan
langkah pencegahan untuk penanganan diterapkan
selama 72 jam pertama. Hal ini harus dinyatakan
dengan jelas pada inkubator atau pintu masuk
ruangan.

566
• Neonatus dalam kondisi berikut memerlukan isolasi
menurut kategori tertentu, yaitu :
• Infeksi stafilokokus
• Konjungtivitis bakteri
• Gastroenteritis
• Luka infeksius
• Infeksi yang menular melalui udara; varicella,
contohnya, memerlukan isolasi di ruang terpisah.

PERLENGKAPAN Pencucian dan sanitasi


• Perlengkapan yang diperlukan untuk pemberian
asupan dan nutrisi:
• Sterilisasi cangkir susu dengan benar. Botol tidak boleh
digunakan karena akan mengakibatkan bingung puting
• Menggunakan air steril untuk mempersiapkan formula
• Sonde lambung untuk asupan diganti setiap 2-3 hari
• Cuci tangan sebelum dan sesudah mempersiapkan
minum.
• Hal yang harus dilakukan untuk jalur infus: o Ganti
cairan infus steril setiap hari o Evaluasi kasa setiap
hari o Ganti kasa jika kotor atau basah
o Evaluasi semua jalur masuk infus setiap hari.
Kultur area yang terlihat terkena infeksi (misal
merah,
bengkak atau teraba panas)
o Ganti buret dan tabung infus setiap
3-5 hari
o Ganti spuit 50 cc untuk infus setiap pergantian
cairan.

• Hal yang harus dilakukan pada perlengkapan


pernapasan:
o Setiap pasien baru, menggunakan alat sirkuit
pernapasan yang baru
• Hal yang harus dilakukan pada perlengkapan pengisap
lendir:
o Ganti air dalam alat pengisap lendir setiap hari

o Cuci selang pengisap lendir setiap kali setelah


digunakan pada satu bayi

567
KEBIJAKAN • Petugas unit perawatan neonatus harus selalu
waspada kemungkinan penyebaran penyakit
oleh mereka kepada neonatus
• Petugas ruang bayi dianjurkan untuk melaporkan
adanya penyakit menular kepada penyelianya.
• Penyakit yang dapat dilaporkan adalah infeksi
stafilokokus kutaneus, penyakit pernapasan,
konjungtivitis dan gastroenteritis.

SURVEILANS • Surveilans rutin insidensi infeksi yang menyebar di


ruang bayi merupakan keharusan.
• Selama terjadinya KLB
• Melakukan kultur dengan mengambil contoh bakteri
yang mungkin ada di permukaan tertentu.
• Melakukan kultur darah neonatus yang terkena
infeksi.
• Mengidentifikasi bakteri yang telah diisolasi.
• Perlu dilakukan kultur bakteri dari petugas,
perlengkapan dan lingkungan di ruang bayi.

DAFTAR RUJUKAN Ramasethu. 129


Winnipeg Regional Health Authority. 130
Polin RA, Denson S, Brady MT, Committee on F, Newborn,
Committee on Infectious D.
131

4.33 Sepsis Neonatorum


PANDUAN PRAKTIK KLINIK

SEPSIS NEONATORUM
(ICD 10: P36)

568
No. Revisi Halaman
UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Tanggal DITETAPKAN KETUA


Panduan Praktik
Terbit/Revisi PP IDAI
Klinis
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis penyakit


sistemik, disebabkan oleh mikroorganisme atau
produknya yang terjadi pada masa neonatus.

Suatu sindroma respon inflamasi janin / FIRS disertai


gejala klinis infeksi yang diakibatkan adanya
mikroorganisme di dalam darah pada neonatus.

• Klasifikasi :
1. Early Onset (dini):
terjadi pada 72 jam pertama kelahiran dengan
manifestasi klinis yang mendukung, dengan
gejala sistemik yang berat.
Faktor risiko :
- Berat badan lahir rendah < 2500 gram atau
prematur
- Ibu dengan demam atau terbukti infeksi dalam 2
minggu sebelum persalinan
- Cairan ketuban bercampur mekonium atau
berbau

569
- Pecah ketuban lebih dari 24 jam
- Pemeriksaan vagina lebih dari 3 kali yang steril
atau 1 kali yang tidak bersih selama persalinan
- Persalinan tidak maju (kala 1 dan kala 2 lebih dari
24 jam)
- Asfiksia perinatal (Apgar skore <4 pada menit
pertama)

2. Late Onset (lambat): timbul setelah usia 72 jam


dengan manifestasi klinis sistemik yang berat.
Faktor risiko:
- Berat badan lahir rendah
- Prematuritas
- Perawatan Neonatal Intensive Care Unit
(NICU)
- Penggunaan ventilasi mekanis
- Prosedur invasif
- Pemberian cairan parenteral

Infeksi nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada


neonatus yang timbul setelah
48 jam dirawat di rumah sakit

ANAMNESIS Faktor Risiko 1)


Maternal :
Ibu dengan toksemia, demam, KPD > 18
jam, ketuban berbau

2) Intrapartum
Trauma kulit dan pembuluh darah selama persalinan,
atau tindakan
obstetri yang invasif

3) Postnatal :
Asfiksia, tindakan invasif seperti insersi intrumen dan
durasinya (misalnya pemasangan selang nasogastrik,
selang endotrakea, ventilasi mekanik, pemasangan
CVC, chest tube, transfusi darah atau transfusi tukar,
dan lumbal

pungsi), penggunaan medikasi bersamaan seperti


nutrisi parenteral.

570
PEMERIKSAAN Gejala tidak spesifik :
FISIS - Instabilitas suhu
- Letargi, sulit menyusu, menangis lemah
- Perfusi buruk, memanjangnya CRT
- Hipotonus, hilangnya refleks neonatal
- Bradikardi atau takikardi
- Gawat nafas, apnea, gasping
- Hipoglikemia atau hiperglikemia
- Asidosis metabolik

Gejala spesifik
- SSP : fontanel anterior menonjol, tangis
melengking, iritabel, stupor atau koma, kejang,
tatapan kosong, dan leher kaku. Dipertimbangkan
meningitis
- Sistem kardiovaskular : hipotensi, perfusi buruk,
syok
- Sistem gastrointestinal : intoleransi buruk,
muntah, diare, distensi abdomen, ileus paralitik,
NEC
- Hepatik : hepatomegali, hiperbilirubinemia direk
- Ginjal : gagal ginjal akut
- Hematologi : perdarahan, ptekiae, purpura
- Perubahan kulit : pustula multipel, abses,
sklerema, mottling, kemerahan dan sekret di
sekitar umbilikal.

PEMERIKSAAN • Rasio imatur/total (rasio I/T) (ICD 9 CM:


PENUNJANG 90.5)
• Hitung total neutrofil (ICD 9 CM: 90.5)
• Rasio imatur/matur (rasio I/M) (ICD 9 CM: 90.5)
• Hitung neutrofil imatur (ICD 9 CM: 90.5)
• Jumlah leukosit (ICD 9 CM: 90.5)
• Perubahan degenerasi neutrofil (ICD 9 CM: 90.5)
• Jumlah trombosit (ICD 9 CM: 90.5)

571
• Kultur darah (ICD 9 CM: 90.52)
• Lumbal pungsi (ICD 9 CM: 03.31)
• Biomarker: reaktan fase akut [C-reactive protein
(CRP), procalcitonin (PCT), Serum
Amiloid-A (SAA), LipopolysacharideBinding
Protein (LBP)], sitokin [tumor necrosis factor
(TNF), interleukin 1 (IL-1), IL-2, IL-8 dan interferon
gamma (IFN-γ)] dan sel antigen permukaan [cluster
differentiation (CD) 11b, reseptor FcgI-III (CD64,
CD32, dan CD16), CD69]. (ICD 9 CM: 90.5)

KRITERIA Berdasarkan klinis (anamnesis, pemeriksaan fisis,


DIAGNOSIS pemeriksaan penunjang)
• FIRS (Fetal inflammatory response
syndrome/ Sindroma respon inflamasi
janin)
• Laju napas > 60 x/menit atau <30 x/menit atau apnea
dengan atau tanpa retraksi dan desaturasi oksigen
• Suhu tubuh tidak stabil (< 360C atau
> 37,50C)
• Waktu pengisian kapiler > 3 detik
• Hitung leukosit < 4.000 x 109/L atau > 34.000 x 109/L
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan tersebut di
atas disebut sebagai FIRS

• TERDUGA/ SUSPEK SEPSIS


Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai
gejala klinis infeksi (letargis, apne, bradikardi,
takikardi, tidak mau menyusu)

• TERBUKTI/ PROVEN SEPSIS


Adanya satu atau lebih kriteria FIRS disertai
bakteremia / kultur darah positif

• Laboratorium :
o Leukositosis (> 34.000 x 109/L) o Leukopenia (<
4.000 x 109/L) o Netrofil muda >10%

o Perbandingan netrofil immatur (stab) dibanding


total (stab+segmen) atau
I/T ratio > 0,2
o Trombositopenia < 100.000 x 109/L) o
Peningkatan CRP serial di atas nilai normal

DIAGNOSIS KERJA Bacterial sepsis of newborn (ICD 10: P36)

572
DIAGNOSIS • Congenital viral diseases (ICD 10: P35)
BANDING • Other congenital infectious and parasitic
diseases (ICD 10: P37)
Antibiotik sesuai pola kuman di rumah sakit masing-
TERAPI
masing
EDUKASI Kenali tanda dan gejala sepsis pada neonatus
Lakukan cuci tangan secara efektif
Tata laksana dengan komprehensif

PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Malam


Ad sanationam: Dubia Malam
Ad fungsionam: Dubia Malam
DAFTAR RUJUKAN Brady MT, Polin RA. 132
133
Rohsiswatmo R, Nisa S.
Wandita. 134
Lusyati, Sauer PJJ. 135
Mustarim. 136
Shane AL, Sanchez P, Stoll JB. 137
Gebremedhin D, Berhe H, Gebrekirstos K. 138
Kung YH, Hsieh YF, Weng YH. 139
Hendrarto TW. 140
Wibowo T. 141
WHO. 142
Aggarwal R, Sarkar N, Deorari AK, Paul VK.
143

4.34 Syok pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

SYOK PADA NEONATUS


(ICD 10: R57)

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

573
Panduan Praktik Tanggal
Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Syok: suatu sindrom akut yang ditandai oleh perfusi


sirkulasi yang tidak memadai pada jaringan untuk dapat
memenuhi kebutuhan metabolisme organ-organ vital
sehingga terjadi disfungsi organ.
Hipotensi: Tekanan darah < 2 standar deviasi sesuai
dengan usia gestasi

ANAMNESIS Penyebab syok hipovolemik


1.Kehilangan darah/cairan intrapartum
• Plasenta
• Tali pusat
• Twin-to-twin transfusion
2. Perdarahan pascanatal : intrakranial, paru
3. Lain-lain : dehidrasi

Penyebab syok septik:


Infeksi berat bakteri, virus atau jamur yang menyebabkan
integritas vaskular hilang sehingga cairan keluar dari
pembuluh darah ke jaringan

Penyebab syok kardiogenik


• Asfiksia intrapartum atau pascapartum
• Penyakit jantung
• Infeksi bakteri atau virus
• Hipoksia dan/atau asidosis metabolik
• Hipoglikemia berat
• Gangguan metabolik dan/atau elektrolit berat
• Gangguan sirkulasi
• Artimia

574
PEMERIKSAAN Tanda penurunan perfusi:
FISIS • SSP : iritabilitas, letargi, dan koma
• Sistem kardiovaskular : takikardia, hipotensi
dan pemanjangan CRT
• Paru : takipnea, merintih, retraksi
• Ginjal : oliguria, anuria dan uremia
• Kulit : pucat, kutis marmorata, ekstremitas dingin,
perfusi buruk, dan sianosis.

PEMERIKSAAN Umum
PENUNJANG Darah perifer lengkap, elektrolit, glukosa
(ICD 9 CM: 90.5)
C-reactive protein (ICD 9 CM: 90.5)
Analisis gas darah (ICD 9 CM: 89.65)

Syok septik
Kultur darah, CSF, urine, dan sumber infeksi lainnya (ICD 9
CM: 90.52; 90.02 dan
91.32)

Syok kardiogenik
Elektrokardiografi (ICD 9 CM: 89.52)

KRITERIA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan didukung


DIAGNOSIS pemeriksaan penunjang

DIAGNOSIS KERJA Syok hipovolemik (ICD 10 : R57.1)


Syok septik (ICD 10 : R57.2)
Syok kardiogenik (ICD 10: R57.0)
Syok lainnya (ICD 10: R57.8)
DIAGNOSIS
Syok, unspecified (ICD 10: R57.9)
BANDING

575
TERAPI Tata Laksana Umum
• Bolus intravena sejumlah 20 ml/kg normal salin (bisa
diulang dua kali).
• Bila ada perdarahan dapat diberikan transfusi darah
dan komponennya.
• Jika tidak terdapat respons, dapat ditambahkan agen
inotropik.
• Agen inotropik: mulai dengan infus dopamin 5-10
mcg/kgBB/menit kemudian tambahkan dobutamin (5-
20 mcg/kgBB/menit)
• Mengoreksi hipoksia dan memberikan dukungan
pernapasan sesuai dengan kebutuhan.
• Mengoreksi hipoglikemia dan ketidakseimbangan
elektrolit jika ditemui.

EDUKASI Mengenali faktor risiko syok pada neonatus


Kenali tanda bahaya syok
Atasi infeksi dengan antibiotik yang sesuai
Segera bawa ke fasilitas kesehatan
PROGNOSIS Ad vitam : Dubia Bonam
Ad sanationam : Dubia Bonam
Ad fungsionam : Bonam

DAFTAR RUJUKAN WHO. 144

Davis, Carcillo JA, Aneja RK, Deymann AJ,


Lin JC, Nguyen TC. 145

4.35 Kelainan jantung yang sering ditemui pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

KELAINAN JANTUNG YANG SERING DITEMUI


PADA NEONATUS
(ICD 10: P29)

No. Dokumen No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi
2018

576
Panduan Praktik TanggalTerbit/Revisi
DITETAPKAN
Klinis
KETUA PP IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Penyakit jantung kongenital: kelainan struktur atau


fungsi jantung akibat gangguan pembentukan jantung,
katup jantung dan pembuluh darah pada saat janin dan
menetap sesudah lahir dengan klinis sianosis maupun
asianosis. Bentuk penyakit jantung kongenital asianosis yang
paling sering ditemui adalah defek septum ventrikel atau
ventricular septal defect (VSD), defek septum atrium
atau atrial septal defect (ASD) dan patent ductus
arteriosus (PDA). Bentuk penyakit jantung kongenital
sianosis yang paling sering ditemui adalah Tetralogy of
Fallot (ToF), dan
Transposition of Great Arteries (TGA)

Duktus arteriosus paten atau patent ductus


asteriosus (PDA): adanya pembuluh darah yang
menghubungkan percabangan arteri pulmonalis kiri ke aorta
desendens tepat di sebelah distal arteri subklavia kiri yang
sifatnya menetap.

Gagal jantung: sindrom klinis akibat jantung tidak


mampu memompakan darah dalam jumlah yang cukup ke
seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan dan menerima
aliran darah balik dari vena sistemik dan pulmonal atau
kombinasi kedua hal tersebut.

ANAMNESIS ▪ Berat badan sulit naik


▪ Menetek terputus-putus
▪ Kesulitan bernapas : napas cepat, tarikan dinding dada
▪ Kadang-kadang tampak kebiruan di sekitar mulut dan
ujung-ujung jari tangan dan kaki

577
PEMERIKSAAN ▪ Adanya bunyi murmur (tergantung penyakit jantung
FISIS kongenital)
▪ Mean arterial pressure (MAP) melebar (interval
normal antara tekanan darah sistolik dan diastolik
bervariasi sesuai dengan usia gestasi)
▪ Sianosis yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespon
terhadap terapi O2 dengan atau tanpa disertai bising
jantung. Pertimbangkan kemungkinan penyakit
jantung kongenital sianotis.
▪ Jika saturasi oksigen dibawah normal (< 90%)
dipertimbangkan kemungkinan penyakit jantung
kongenital sianosis.
▪ Adanya perbedaan saturasi oksigen di ekstremitas atas
dan bawah > 10% dipertimbangkan kemungkinan
koartasio aorta.

Gagal jantung:
• Takipnea dan takikardia
• Peningkatan usaha napas
• Pengisian ulang kapiler memanjang

PEMERIKSAAN • Rontgen dada dapat memperlihatkan kardiomegali


PENUNJANG (Cardiothoracic ratio > 0,65), disertai ada tidaknya
pletora/edema paru (ICD 9 CM: 87.44)
• Elektrokardiografi (EKG) dapat menunjukkan adanya
hipertrofi ventrikel (ICD 9 CM: 89.52)
• Konfirmasi penyakit jantung kongenital dengan
ekokardiografi (ICD 9 CM: 88.72)

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan


KRITERIA
penunjang
DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KERJA Ventricular septal defect (ICD 10: Q21.0)


Atrial septal defect (ICD 10: Q21.1)
Patent ductus arteriosus (ICD 10: Q25.0)
Transposition of great arteries (ICD 10: Q20.3)
Tetralogy of Fallot (ICD 10: Q21.3)
Coarctatio aorta ( ICD 10: Q25.29)
Neonatal cardiac failure (ICD 10: P29.0)
DIAGNOSIS BANDING Cardiovascular disorders originating in the
perinatal period (P29.0-P29.9)

578
TERAPI Terapi suportif
▪ Restriksi cairan
▪ Diuretik apabila dicurigai adanya kelebihan beban
cairan (periksa penambahan berat yang berlebihan
dan edema perifer). Dapat dipertimbangkan pemberian
:
-Spironolakton 1-2 mg/kgBB/kali
- Furosemid 1-2mg/ kgBB/kali
▪ Oksigenasi yang memadai, hati-hati pemberian oksigen
terlalu tinggi pada penyakit jantung kongenital sianotik.
▪ Parasetamol diberikan pada bayi prematur dengan PDA
yang menimbulkan gangguan hemodinamik secara
klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan
ekokardiografi, dengan dosis 1015mg/kgBB/6jam
selama 5 hari atau ibuprofen selama 3 hari dengan
dosis 10 mg/kg hari pertama, dilanjutkan 5 mg/kg pada
hari kedua dan ketiga.

Terapi pembedahan
▪ Ligasi PDA dilakukan pada bayi prematur dengan PDA
yang menunjukkan gejala hemodinamik yang signifikan
yang tidak memberikan respons dengan obat-obatan
atau terdapat kontraindikasi
medikamentosa

Gagal jantung:
▪ Atasi penyebab
▪ Oksigen yang memadai
▪ Perlu rujukan segera ke pusat perawatan khusus yang
memiliki tenaga ahli jantung anak

Kenali tanda dan gejala awal adanya kelainan bawaan pada


EDUKASI
bayi
PROGNOSIS Tergantung besar, jenis defek dan
kompleksitas penyakit jantung kongenital
DAFTAR RUJUKAN Semberova. 146
Terrin G. 147
Ohlsson A, Walia R, Shah SS.148

579
4.36 Pemberian ASI di fasilitas kesehatan

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PEMBERIAN ASI DI FASILITAS


KESEHATAN

No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi No.
2018 Dokumen

Panduan Praktik Tanggal


Terbit/Revisi DITETAPKAN KETUA PP
Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Air Susu Ibu (ASI): minuman yang dianjurkan untuk


semua bayi baru lahir (BBL), termasuk bayi kurang bulan
(BKB) ASI eksklusif: pemberian ASI saja pada bayi
tanpa cairan atau makanan lain; dianjurkan diberikan
selama 6 bulan pertama kehidupannya.
Inisiasi menyusu dini (IMD): memberi
kesempatan bayi menyusu sendiri segera setelah lahir
dengan meletakkan bayi di dada atau perut ibu dan kulit
bayi melekat pada kulit ibu (skin to skin contact)
setidaknya selama 1-2 jam sampai bayi menyusu sendiri.

SEPULUH Berikut 10 langkah menuju keberhasilan menyusui


LANGKAH (expansion):
MENUJU
1. Mempunyai kebijakan tertulis yang secara rutin
KEBERHASILAN dikomunikasikan kepada seluruh karyawan RS
MENYUSUI
2. Mendidik staf tenaga kesehaan agar memiliki
pengetahuan tentang menyusui

580
3. Menginformasikan kepada ibu hamil yang dirawat di
rumah sakit yang berisiko melahirkan bayi prematur
atau bayi sakit tentang manajemen laktasi dan
menyusui, serta manfaat menyusui
4. Mendorong terjadinya kontak kulit ke kulit sedini
mungkin, berkelanjutan, dan dalam jangka panjang
tanpa pembatasan yang tidak perlu
5. Menunjukkan kepada ibu cara memulai dan
mempertahankan laktasi, serta mulai menyusui dini
dengan stabilitas bayi sebagai satu-satunya kriteria
6. Tidak memberikan makanan atau minuman selain ASI,
kecuali ada indikasi medis
7. Membiarkan ibu dan bayinya bersamasama selama
24 jam sehari
8. Mendorong pemberian ASI berdasarkan demand
atau, saat diperlukan, semidemand, sebagai strategi
peralihan bagi bayi prematur dan sakit
9. Memakai alternatif botol hingga menyusui bisa
dilakukan dan menggunakan dot dan nipple shields
hanya jika ada alasan yang jelas
10. Menyiapkan orang tua untuk terus menyusui dan
memastikan akses terhadap kelompok pendukung ASI
setelah keluar dari rumah sakit

TATA LAKSANA IMD a. Anjurkan suami atau anggota keluarga mendampingi


ibu waktu bersalin
b. Anjurkan tindakan non-farmakologis untuk
membantu ibu melalui proses persalinan (berikan
pijatan, aromaterapi, cairan, bergerak)
c. Biarkan persalinan berlangsung sesuai dengan posisi
yang diinginkan oleh ibu
d. Keringkan Bayi secepatnya, biarkan lapisan putih
(verniks) yang melindungi kulit bayi

581
e. Lakukan kontak kulit dengan kulit dengan cara
meletakkan bayi di atas dada ibu, menghadap ibu,
dan tutupi keduanya dengan kain atau selimut
f. Biarkan bayi mencari payudara ibu sendiri. Ibu akan
merangsang bayinya dengan sentuhan dan bisa juga
membantu memposisikan bayinya lebih dekat
dengan puting (jangan memaksakan memasukkan
puting susu ibu ke mulut bayi)
g. Teruskan kontak kulit dengan kulit hingga menyusui
pertama kali berhasil dilselesaikan dan selama bayi
menginginkannya.
h. Ibu yang melahirkan melalui sectio caesaria juga bisa
melakukan kontak kulit dengan kulit setelah bersalin
i. Bayi dipisahkan dari ibunya untuk ditimbang, diukur
dan diberikan obat preventif setelah menyusu awal.
Tunda prosedur yang invasif atau membuat stress
seperti menyuntik vitamin K dan menetesi mata bayi
j. Jangan memberikan minuman atau makanan
pralaktal, kecuali ada indikasi medis yang jelas.

POSISI MENYUSUI • Tubuh bayi dekat dengan tubuh ibu


YANG BENAR • Bayi datang dari arah bawah bayi sehingga dagu bayi
adalah bagian pertama yang melekat pada payu dara
dengan hidung menghadap puting ibu
• Kepala dan tubuh BBL dalam posisi lurus
• Dagu bayi menyentuh payudara ibu, dada bayi
melekat pada dada ibu
• Seluruh tubuh bayi disangga, tidak hanya bagian leher
dan bahu saja

PERLEKATAN YANG • Lebih banyak daerah areola yang terlihat di atas


BAIK mulut daripada di bawah mulut BBL
• Mulut terbuka lebar
• Bibir bawah terlipat ke arah luar
• Dagu menyentuh payudara

• Pengisapan efektif terlihat dari isapan yang lambat,


dalam, menelan dan jeda

582
PENCEGAHAN Pembengkakan
MASALAH DALAM • Memberikan ASI yang sering dan sesuai permintaan
MENYUSUI • Pemberian kompres hangat akan membantu saluran
ASI tetap terbuka dan ASI mengalir.
• Masase payudara dengan lembut
• Pengeluaran ASI dengan tangan bisa membantu
mencegah pembengkakan

Puting Lecet
• Pengeluaran ASI untuk merangsang
aliran ASI
• Masase payudara untuk menjaga patensi saluran ASI
• Memulai pemberian ASI dari payudara yang tidak
sakit atau tidak terkena
• Posisikan bayi dengan hati-hati, dekat dengan ibu
untuk memastikan kelekatan yang tepat
• Perubahan posisi yang sering akan membantu
mencegah iritasi jaringan

TATA LAKSANA Pembengkakan


MASALAH DALAM • Mengevaluasi tanda-tanda mastitis atau infeksi
MENYUSUI payudara yang perlu dirawat dengan pemberian
antibiotika sistemik
• Pemberian kompres hangat bisa menghilangkan
pembengkakan
• ASI harus tetap diberikan selama pembengkakan
terjadi
• Pemerahan ASI secara mekanis mungkin perlu
untuk mengatasi pembengkakan yang parah

Puting Lecet
• Puting harus tetap bersih dan kering untuk
mempercepat pemulihan
• Puting harus dibilas dengan ASI yang dikeluarkan
(bukan sabun atau alkohol)

• Puting harus dibiarkan kering sendiri oleh udara


• Sariawan mungkin menyebabkan puting lecet dan
pecah-pecah. Bila keadaan ini terus berlanjut, ibu
dan bayinya sebaiknya dievaluasi oleh dokter.

583
ASUHAN BAYI • Jika bayi kelihatan mengisap dengan lemah atau
YANG KESULITAN tidak efektif, pengeluaran ASI dengan tangan akan
MENYUSU membantu memulai refleks let down dan
merangsang bayi untuk menetek.
• Bayi dengan refleks isap dan menelan yang tidak
terkoordinasi atau kelainan mengisap harus
dievaluasi selama menetek untuk mengetahui
apakah dengan posisi yang berbeda hasilnya lebih
baik. Metode alternatif, seperti menggunakan
sendok, cangkir atau sonde dapat dipertimbangkan.
• Bayi yang menunjukkan kesulitan menetek harus
dievaluasi menurut protokol berikut
• Mengkaji riwayat perinatal
• Melakukan penilaian fisik yang seksama termasuk
tanda vital dan status kardiopulmonal sebelum dan
selama menetek. Terutama amati koordinasi refleks
isap-menelannapas.
• Oksimetri mungkin bermanfaat selama evaluasi.
Jika perlu, pertimbangkan pemberian oksigen
tambahan melalui kanula hidung atau tiupan
oksigen.
• Selama pemberian ASI bagi bayi berisiko atau
kurang bulan, suhu harus dipertahankan dengan
kontak kulit dengan kulit dan topi.
• Kenaikan berat badan dan asupan nutrisi harus
dipantau.

Indikasi
TEKNIK
1. Pembengkakan payudara
MEMERAH ASI

584
2. BBL sakit dan berisiko yang memerlukan asupan
alternatif
3. Ibu tidak hadir untuk menyusui dan
ASI harus disimpan

Memerah ASI dengan tangan


Alasan
1. Sebagai persediaan saat bayi dan ibu terpisah
2. Meningkatkan produksi ASI
3. Menghilangkan sumbatan duktus
4. Memberi minum bayi sambil bayi belajar mengisap
dari puting yang terbenam
5. Memberi minum bayi yang mengalami kesulitan
mengisap
6. Memberi minum bayi yang ‘menolak’, sambil
bayi belajar minum
7. Memberi minum bayi berat badan lahir rendah yang
tidak dapat menetek
8. Memberi minum bayi sakit yang tidak bisa mengisap
dengan kuat
9. Menjaga keberadaan ASI apabila ibu atau bayi sakit
10. Menyediakan ASI untuk bayi jika ibu pergi atau
bekerja
11. Mengeluarkan ASI langsung ke mulut bayi
12. Mencegah puting dan areola menjadi kering atau
lecet

Panduan
1. Cuci tangan sampai bersih dengan sabun
2. Jika mungkin, perah ASI di tempat yang tenang dan
santai. Bayangkan anda sedang berada di tempat
yang menyenangkan. Pikirkan hal menyenangkan
mengenai bayi anda. Kemampuan anda untuk
merasa santai

585
akan membantu refleks pengeluaran ASI yang lebih
baik.
3. Berikan kompres hangat dan lembab pada payudara
anda selama 3-5 menit sebelum mengeluarkan ASI
4. Pijat payudara anda dengan gerakan melingkar, ikuti
dengan pijatan lembut pada payudara dari sisi luar
ke arah puting
5. Stimulasi puting dengan lembut dan tarik sedikit ke
arah luar atau memutarnya dengan jari
6. Duduk dengan nyaman dan pegang wadah di dekat
payudara
7. Tempatkan ibu jari di bagian atas payudara pada tepi
areola (jam 12) dan jari telunjuk di bawah payudara
pada tepi areola (jam 6). Jari-jari yang lain
menyangga payudara
8. Tekan ke arah belakang kearah dinding dada,
kemudian kearah depan kearah puting tanpa jari-jari
bergesar .Ibu jari dan telunjuk – ibu harus menekan
sinus laktoferus yang ada di belakang areola.
Kadang-kadang sinus dapat teraba seperti biji
kacang. Bila ibu dapat meraba sinus ini, ibu dapat
menekan di atasnya
9. Tidak boleh ada rasa sakit – bila ada rasa sakit
berarti tekniknya salah.
10. Mungkin awalnya tidak ada ASI yang keluar, tapi
menekan beberapa kali, ASI akan mulai menetes. ASI
akan mulai mengalir lebih lancar bila refleks
oksitosin menjadi aktif.
11. Ulangi dengan pola yang teratur, tekan pada
bagian payudara yang berbeda untuk mengosongkan
semua sinus

586
12. Hindari menggosok dengan jari di atas kulit
payudara. Gerakan jari harus memutar.
13. Hindari memerah puting. Menekan atau menarik
puting tidak akan membuat ASI keluar. Hal ini juga
terjadi apabila bayi hanya mengisap puting.
14. Perah setiap payudara selama 3-5 menit sampai
aliran makin sedikit kemudian perah payudara yang
satu lagi, kemudian ulangi pada kedua payudara
15. Masukkan ASI yang sudah diperah, langsung ke
dalam wadah yang bersih (gunakan gelas kaca atau
plastik keras)
16. Setiap kali memerah ASI, mungkin jumlah ASI
yang keluar akan berbeda
17. Setelah selesai, oleskan beberapa tetes ASI pada
setiap puting dan biarkan kering sendiri
18. Tampilan ASI berubah selama pemerahan. Pada
beberapa sendok pertama, ASI akan terlihat bening
dan kemudian ASI akan menjadi putih susu.
Beberapa obat, makanan, vitamin, mungkin akan
sedikit merubah warna ASI. Lemak ASI akan naik ke
atas apabila disimpan
19. Jelaskan bahwa memerah ASI perlu waktu 20-30
menit terutama pada beberapa hari pertama apabila
hanya sedikit ASI yang diproduksi. Penting diketahui
untuk tidak memerah untuk waktu yang lebih
pendek
20. ASI yang disimpan harus ditutup rapat dan diberi
label bertuliskan tanggal, waktu dan jumlah.
Kemudian segera dinginkan atau bekukan.

587
Memerah ASI secara mekanis
Teknik
• Air susu ibu perah dapat disimpan dalam botol kaca
(pyrex), plastic keras (polypropylene) atau
kantong plastik (polyurethane).
• Plastik keras atau kaca merupakan tempat
penyimpanan ASI yang disertai segel kedap udara
sehingga dapat menyimpan ASI lebih lama.
• Kaca dan polypropylene memiliki pengaruh yang
sama terhadap kandungan lemak, imunoglobulin A
dan jumlah sel darah putih.
• Kantong plastik khusus ASI dapat digunakan untuk
penyimpanan ASI dalam waktu yang lebih singkat
(<72 jam).
• Kantong plastik khusus ASI tidak disarankan untuk
penggunaan jangka lama oleh karena mudah
tumpah, terkontaminasi bakteri, dan beberapa
komponen ASI mudah melekat pada plastik.
• Wadah untuk penyimpanan ASI tidak boleh
mengandung Bisphenol A karena bersifat mutagenik.

Panduan
1. Cuci tangan sampai bersih
2. Jika memungkinkan, perah ASI di tempat yang tenang
dan santai. Bayangkan anda sedang berada di tempat
yang menyenangkan. Pikirkan hal menyenangkan
tentang bayi anda. Kemampuan anda untuk merasa
santai akan membantu refleks pengeluaran ASI yang
lebih baik.

588
3. Berikan rasa hangat yang lembab pada payudara
Anda selama 3-5 menit sebelum mengeluarkan ASI
4. Pijat payudara anda dengan gerakan melingkar, ikuti
dengan usapan lembut pada payudara dari sisi luar
payudara menuju puting
5. Stimulasi puting anda dengan lembut dan tarik
sedikit ke arah luar atau memutarnya dengan jari
6. Ikuti instruksi umum yang tercantum pada pompa
payudara
7. Aliran ASI akan bervariasi. Selama beberapa menit
pertama ASI mungkin menetes lambat dan kemudian
memancar kuat setelah ASI keluar. Pola ini akan
berulang beberapa kali selama pengeluaran ASI dari
kedua payudara.
8. Jumlah ASI yang diperoleh pada setiap pengeluaran
mungkin bervariasi dan ini adalah hal yang biasa
9. Ketika sudah selesai, oleskan beberapa tetes ASI
pada setiap puting dan biarkan kering oleh udara
10. Penampilan ASI anda akan berubah selama
pengeluaran. Beberapa sendok pertama akan
terlihat bening dan setelahnya ASI akan berwarna
putih susu. Sejumlah obat, makanan dan vitamin
juga dapat sedikit mengubah warna ASI anda. Lemak
susu akan berada di bagian atas ASI ketika ASI
disimpan.
11. Jika akan disimpan, tutup dan beri label pada
wadah yang bertuliskan tanggal, waktu dan
jumlahnya segera setelah dikeluarkan.

PEMBERIAN ASI Bayi prematur yang diberikan nutrisi per oral lebih baik
PADA BAYI diberikan berdasarkan tanda lapar bayi dibandingkan
PREMATUR diberikan terjadwal, kecuali jika bayi tertidur lebih dari 3
jam setelah minum terakhir

589
ASI DONOR • Pilihan kedua bila ASI tidak tersedia
• Harus menjalani skrining untuk menghindari risiko
infeksi (HIV, CMV, hepatitis, sifilis) atau kontaminasi
toksik (obat, narkotik, alkohol, tembakau).
• Tes mikrobiologi dan pasteurisasi dilakukan pada ASI
donor untuk menghindari kontaminasi bakteri atau
virus.
• Pengolahan dan pemberian ASI donor harus
memenuhi persyaratan skrining donor ASI,
penyimpanan, dan prosedur pengolahan untuk
memastikan keamanan dan optimalisasi kandungan
zat gizi ASI donor.

PENYIMPANAN • Simpan dalam jumlah yang sama dengan yang bisa


ASI dihabiskan BBL dalam satu kali minum.
• Beri label setiap wadah dengan nama, tanggal dan
waktu serta jumlah.
• Jika ASI dibekukan, tinggalkan sedikit ruang dalam
wadah untuk pemuaian
ASI.
• BBL kurang bulan atau sakit memerlukan kehati-
hatian lebih saat pengumpulan dan penyimpanan.
Yang paling aman adalah mendinginkan ASI segera
dan tidak membiarkannya di suhu kamar.

MENCAIRKAN ASI • Cairkan ASI beku dengan memindahkan ASI beku ini
dari freezer ke lemari es ( refrigerator) selama satu
malam .
• Rendam susu sambil diputar-putar dalam mangkuk
berisi air hangat. Panas
berlebihan akan merubah atau menghancurkan
enzim dan protein.
• Cairkan seluruhnya karena lemak terpisah saat proses
pembekuan.
• Jangan pernah menggunakan microwave untuk
mencairkan atau menghangatkan ASI.
• Setelah dicairkan, ASI harus digunakan dalam waktu
24 jam

590
MEMBEKUKAN • Membekukan kembali ASI yang telah dicairkan atau
KEMBALI ASI dicairkan setengah tidak dianjurkan. Pertimbangan
ini berlaku saat membawa ASI ke rumah sakit atau
pulang ke rumah. Disarankan untuk menjaga ASI
sedingin mungkin tanpa membekukannya dan hanya
membekukannya ketika ASI sudah sampai di tujuan
akhir.
• Menggunakan sisa ASI yang tidak habis (ASI yang
dihangatkan untuk persiapan pemberian minum)
• Jangan gunakan kembali bagian ASI yang tidak habis
di botol karena mungkin telah terkontaminasi oleh
air liur BBL.

DAFTAR RUJUKAN Suradi R, Hegar B, Partiwi IGAN, Marzuki


ANS, Ananta Y.149
Besar SD, Eveline NP. 150
UKK Neonatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit
Metabolik, Kadim M, Roeslani R, Nurmalia
L. 151

4.37 Pemberian nutrisi enteral bagi neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL BAGI


NEONATUS BERISIKO TINGGI

No. Dokumen No. Revisi Halaman


UKK
Neonatologi
2018

Panduan Tanggal Terbit/Revisi


DITETAPKAN KETUA PP
Praktik Klinis
IDAI
Ikatan Dokter
Anak
Indonesia

591
DEFINISI Neonatus berisiko tinggi: bayi baru lahir yang berisiko lebih
besar untuk mengalami komplikasi yang dapat terjadi dalam
periode janin, saat persalinan atau pada periode pasca
persalinan

INISIASI • Diberikan apabila kondisi STABLE terpenuhi


PEMBERIAN • Sebelum STABLE terpenuhi, nutrisi diberikan secara
NUTRISI parenteral dalam bentuk trophic feeding yang diberikan
ENTERAL dalam waktu 24 jam pertama diusahakan ASI segar mulai
PADA BAYI 5–10 mL/kgBB/hari yang dinaikkan bertahap sampai
KURANG volume 25 mL/kgBB/hari.
BULAN

JENIS 1. Air Susu Ibu (ASI) merupakan nutrisi yang


NUTRISI direkomendasikan untuk NKB karena efek imunoprotektif,
ENTERAL stimulasi maturitas fungsi gastrointestinal, dan faktor
bioaktif yang berkontribusi untuk luaran
neurodevelopmental.
2. ASI Perah. Produksi ASI perah seharusnya dimulai
segera setelah lahir untuk meningkatkan produksi ASI.

592
3. ASI Donor merupakan pilihan kedua bila ASI tidak
tersedia.
4. Human Milk Fortifier (HMF) perlu dilakukan pada
BBLSR (berat lahir <1500 gram) yang mendapat ASI. Zat gizi
kunci HMF adalah protein dan dapat dibuat dari susu sapi
atau ASI, serta dapat berupa cair atau bubuk.
Satu saset HMF yang dilarutkan ke dalam 25 ml ASI akan
menambah kalori sebanyak 4 kkal/oz sehingga kalori
ASI+HMF menjadi 24 kkal/oz, sedangkan bila satu saset
HMF dilarutkan ke dalam 50 ml ASI akan menambah kalori
sebanyak 2 kkal/oz sehingga kalori ASI+HMF menjadi 22
kkal/oz.
HMF juga mengandung elektrolit, makromineral,
mikromineral, dan vitamin sehingga dapat mencukupi
kecukupan bayi prematur yang lebih tinggi dari bayi cukup
bulan.
5. Hindmilk diperlukan bila HMF tidak memungkinkan,
pemberian hindmilk untuk membantu meningkatkan berat
badan bayi prematur bisa dijadikan alternatif.
6. Formula prematur merupakan formula medis khusus
dengan energi berkisar 80 kkal/100 ml, protein 2,0-2,4
g/100 ml dan diperkaya mineral, vitamin, dan trace
elements untuk mendukung kecukupan nutrisi bayi
prematur agar dapat mencapai laju pertumbuhan
intrauterin.
7. Nutrient-enriched formula atau postdischarge
formula (PDF) pada awalnya dirancang khusus untuk bayi
prematur yang dipulangkan dari rumah sakit. Kandungan
energi berkisar 72-74 kkal/100 ml, kandungan protein 1,8-
1,9 g/100 ml dan diperkaya dengan mineral, vitamin, dan
trace elements.
8. Formula standar dirancang untuk bayi cukup bulan
berdasarkan komposisi ASI matur, yaitu kandungan energi
66-68 kkal/100 ml, konsentrasi protein berkisar 1,4-1,7
g/100 ml, kalsium sekitar 50 mg/100 ml dan fosfat 30
mg/100 ml. Komposisi tersebut tidak cukup untuk
memenuhi

593
kebutuhan nutrisi BBLSR (<1500 gram) dalam fase kejar
tumbuh. Formula standar dapat diberikan pada bayi
prematur yang telah mencapai usia koreksi 0 minggu dan
indikator antropometri menurut grafik WHO 2006
menunjukkan BB menurut usia berada antara -2 sampai +2
z-score dan panjang bayi mencapai 45 cm

RUTE Tabel 13. Rute pemberian nutrisi pada


PEMBERIAN bayi prematur 152
NUTRISI Usia Kematangan fungsi oral Rute
kehamilan pemberian
nutrisi

<28 minggu -Refleks mengisap belum Parenteral


ada
-Gerak dorong usus belum
ada
28-31 minggu -Refleks mengisap payudara Orogastric tube
mulai ada atau
-Belum ada koordinasi nasogastric antara
mengisap, menelan tube
dan bernapas Sesekali
dengan nipples

32-34 minggu -Refleks mengisap hampir dengan nipples


matang
-Koordinasi antara
mengisap, menelan dan
bernapas mulai ada
>34 minggu -Refleks mengisap telah
Menyusu matang
-Koordinasi mengisap,
menelan dan bernapas telah
terbentuk sempurna

CARA 1. Oral langsung. Sebelum memberikan nutrisi oral pada


PEMBERIAN bayi usia gestasi ≥ 32–34 minggu, harus dipastikan bayi
NUTRISI mempunyai kemampuan koordinasi mengisap, menelan,
ENTERAL dan bernapas yang baik. Metode pemberian nutrisi oral
dapat dengan menyusu atau dengan nipples. Menyusui
merupakan metode yang paling dianjurkan. Apabila
menyusui tidak memungkinkan, alternatifnya adalah
dengan menggunakan nipples.
2. Pemberian nutrisi enteral diindikasikan pada bayi
prematur <32–34 minggu, bayi prematur dengan
kemampuan mengisap, menelan dan/atau bernapas yang
belum baik, bayi prematur tidak bisa mendapat nutrisi per
oral karena kondisi medis atau sebagai suplementasi nutrisi
oral yang tidak adekuat. Sebelum memulai nutrisi enteral

594
pastikan saluran cerna dan kondisi hemodinamik baik.
Dapat diberikan dengan NGT atau OGT.

FREKUENSI
DAN VOLUME Tabel 14. Frekuensi dan volume nutrisi enteral bayi
NUTRISI prematur
153
ENTERAL
BBLASR BBLSR
BAYI
Jenis cairan ASI ASI
PREMATUR Mulai 6−48 jam pertama 6−48 jam pertama
Minimal enteral 0,5 ml/kg/jam atau 1 ml/kg/jam atau
feeding 1 ml/kg/2 jam 2 ml/kg/2jam
(MEF)
Durasi MEF 1−4 hari 1−4 hari
Peningkatan 15−25 ml/kg/hari 20−30 ml/kg/hari
minum
Continues +0,5 ml/kg/jam tiap +1 ml/kg/jam tiap 8
feeding 12 jam jam
Intermittent +1 ml/kg/jam tiap 12 +1 ml/kg/jam tiap 8
feeding/ 2 jam jam jam
HMF Sebelum 100 Sebelum 100
ml/kg/hari ml/kg/hari
Target energy 110−130 110−130 kkal/kg/hari
kkal/kg/hari
Target asupan 4−4,5 g/kg/hari 3,5−4 g/kg/hari
protein

PEMANTAUAN
Jangka Pendek
- Akseptabilitas yaitu penilaian perbandingan asupan
yang masuk secara aktual terhadap preskripsi nutrisi
yang direncanakan dokter.
- Toleransi, meliputi penilaian adanya muntah, diare,
residu lambung, food adverse reaction pada
pemberian nutrisi enteral atau oral; parameter
biokimia dan klinis pada pemberian nutrisi parenteral.
- Efisiensi yaitu menilai kenaikan berat badan

595
Tabel 15. Pemantauan laboratorium terkait pemberian
nutrisi pada bayi prematur 154, 155

Nutrisi Enteral
Hemoglobin dan hematokrit 1 x seminggu (sesuai
indikasi)
Glukosa serum 1 x (nilai baseline)
Elektrolit Sesuai indikasi
Ca, Mg dan P darah 1 x (nilai baseline)
Trigliserida Sesuai indikasi

Fungsi Ginjal 1 x seminggu

Enzim hati 1 x seminggu


Alkalin fosfatase 1 x (nilai baseline)

Jangka Panjang
Pemantauan Pertumbuhan
- Berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala diukur
secara berkala. Kecepatan penambahan berat badan
(weight velocity) diukur setiap hari, dalam rangka
mendeteksi dini adanya weight faltering dan
melakukan tata laksana yang tepat untuk
menanggulanginya.

Target terapi nutrisi pada bayi prematur yaitu mencapai laju


pertumbuhan yang sama dengan janin normal yang sesuai usia
gestasi, menyerupai komposisi tubuh janin, dan mencapai
luaran fungsional serupa dengan bayi lahir cukup bulan yaitu: 153
- Penambahan berat badan bayi prematur 15 g/kg/hari.
- Penambahan panjang badan : 0,8−1,0 cm/minggu
- Penambahan lingkar kepala: 0,5−0,8/minggu

Osteopenia Prematuritas
- Pada bayi prematur, deteksi dan pemantauan
osteopenia prematuritas sebaiknya dilakukan bila umur
gestasi <34 minggu dan BB lahir <1800 gram. Temuan
yang khusus pada osteopenia prematuritas ini berupa
penurunan kadar

596
ion kalsium (Ca2+) dan fosfor serta peningkatan serum
alkali fosfatase (ALP).

Tabel 16.Nilai rujukan parameter biokimia pascarawat 156


Parameter Nilai rujukan Interpretasi
Biokima
Alkali 150─420 U/L • Penanda formasi tulang
Fosfatase • Nilai dapat meningkat selama
(ALP) periode pertumbuhan tulang
• Nilai >500 U/L pada bayi
prematur mengindikasikan
resiko osteopenia dan
memerlukan evaluasi lebih
lanjut jika didapatkan juga
nilai kalsium atau fosfor yang
rendah
Kalsium (Ca) 9,0─11.0 mg/dl • Kation ekstraseluler yang
terlibat pada pertumbuhan
skeletal
• Peningkatan nilai sebagai
penanda formasi tulang
• Nilai yang yang lebih rendah
atau lebih tinggi dari angka
referensi perlu dilakukan
evaluasi lebih lanjut
Fosfor (P) 4,5─9 mg/dl • Anion sel ikut terlibat dalam
(<40 minggu pembentukan tulang
umur gestasi) • Peningkatan nilai
4,5─6,7 mg/dl mengindikasikan penyakit
(>40 minggu skeletal, renal, atau
umur gestasi) kelebihan asupan fosfor •
Nilai yang rendah → asupan
fosfor tidak adekuat
• Nilai yang yang lebih rendah
atau lebih tinggi dari angka
referensi perlu dilakukan
evaluasi lebih lanjut
Vitamin D 30─100 mg/ml • Nilai <30 ng/ml menunjukkan
25(OH) insufisiensi
• Nilai <20 ng/ml menunjukkan
defisiensi
• Nilai <5 ng/ml menunjukkan
defisiensi yang berat
(Angka referensi bervariasi
tergantung nilai rujukan)
Hemoglobin 10,5 ─13,5 g/dl • Nilai lebih rendah dariangka
(Hb) referensi menunjukkan
defisiensi besi
Hematokrit (Ht) 33─39 % • Nilai lebih rendah dari angka
referensi
menunjukkan defisiensi besi

597
Indikasi untuk penilaian ulang dari status kalsium, fosfor, dan
alkali fosfatase:
- Satu bulan pascaperawatan untuk semua bayi dengan
BB lahir <1500 gram dan bayi IUGR dengan BB lahir
<1800 gram.
- Satu bulan pascaperawatan, jika hasil laboratorium
saat keluar RS (tidak diketahui) diluar dari nilai
rujukan.
- Jika bayi prematur mengalami pergantian dari ASI ke
susu formula <3 bulan usia koreksi
- Jika asupan dan kecepatan pertumbuhan bayi
prematur berada di bawah batas bawah garis
pertumbuhan.

DAFTAR Lester BM, Andreozzi-Fontaine L, Tronick E,


RUJUKAN Bigsby R. 157
Rauter S, Messler S, Steven D. 158
Karlsen KA. 159
Castrodale V, Rinehart S. 160
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 161
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 162
Sjarif DR, Rohsiswatmo R, Rundjan L, Yuliarti
K.163
Agostoni C, Buonocore G, Carnielli VP.164
American Academy of Pediatrics.165
World Health Organization. 166
Underwood MA. 167
Young L, Morgan J, McCormick FM, McGuire W.
168

Working Group of Pediatrics Chinese Society Of Parenteral and


Enteral Nutrition, Working Group Of Neonatology Chinese
Society Of Pediatrics, Working Group Of Neonatal Surgery
Chinese
Society Of Pediatric Surgery.154
Moyer-Mileur LJ. 155
Koletzko, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R.
153

Corvaglia L, Rotatori R, Ferlini M, Aceti A, Ancora


G, Faldella G. 169
Bertino E, Boni L, Rossi C, Coscia A, Giuliani F, Spada E, dkk. 156
Fenton TR, Nasser R, Eliasziw M, Kim JH, Bilan D, Sauve R. 152

598
4.38 Tatalaksana nutrisi parenteral pada neonatus

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

TATA LAKSANA NUTRISI PARENTERAL


PADA NEONATUS

No. Dokumen No. Revisi Halaman


UKK Neonatologi
2018

Panduan Praktik TanggalTerbit/Revisi


DITETAPKAN
Klinis
KETUA PP IDAI
Ikatan Dokter
Anak Indonesia

DEFINISI Nutrisi parenteral: cara untuk memenuhi persyaratan


nutrisi, sebagian atau seluruhnya, untuk pertumbuhan bayi.

INDIKASI 1. Neonatus kurang bulan dengan usia kehamilan kurang


dari 30 minggu dengan berat lahir kurang dari 1250
gram.
2. Neonatus yang dicurigai atau pasti mengalami
enterokolitis nekrotikans, diperkirakan mendapat
nutrisi parenteral total lebih dari tiga hari
3. Neonatus dengan kasus bedah karena kelainan saluran
cerna kongenital dan tidak dapat menerima asupan
nutrisi enteral dalam periode lima hari dengan
kecukupan 100 mL/kgBB/24jam.

KOMPLIKASI 1. Komplikasi yang berkaitan dengan kateter, antara lain


sepsis, infeksi kulit lokal dan slough, trombosis dan
chylothorax
2. Komplikasi metabolik: hiperglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, asidosis, osteopenia,
kerusakan hati dan kolestasis

Kecukupan nutrisi pada neonatus adalah jumlah asupan


KECUKUPAN adekuat pada bayi baru lahir sesuai dengan grafik
NUTRISI PADA pertumbuhan baik intra maupun ekstra uteri.
NEONATUS

599
KECUKUPAN Bertujuan menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
CAIRAN pada fase diuresis dan mencegah kehilangan cairan
ekstraseluler pada fase pascadiuresis.

Jumlah diuresis dipertahankan pada 1-3 mL/kgBB/jam.


Jumlah cairan yang diberikan pada fase pradiuresis adalah
IWL ditambah jumlah diuresis minimal 1 mL/kgBB/jam.

Kebutuhan cairan ditingkatkan 10-20 mL/kgBB/hari sampai


140-160 mL/kgBB/hari pada minggu pertama (fase
pascadiuresis), maksimal 200 mL/kgBB/hari pada minggu
kedua agar tercapai pertumbuhan optimal intrauterin.

KECUKUPAN Jumlah yang dianjurkan diberikan secara parenteral adalah


ENERGI 90–100 kkal/kg/hari dan secara enteral 115-120 kkal/kg/hari

KECUKUPAN Rekomendasi nutrisi bayi kurang bulan berdasarkan


MAKRONUTRIEN evidence-based (Adamkin, 2009)

Karbohidrat
Pemberian glukosa pada bayi prematur harus dimulai
dalam 24 jam pertama pascalahir dengan kecepatan infus
glukosa (glucose infusion rate, GIR) pada usia gestasi
<32 minggu 6-8 mg/kgBB/menit dan pada usia gestasi >32
minggu 4-6 mg/kgBB/menit, kemudian ditingkatkan
bertahap 1-2 mg/kgBB/menit sampai mencapai kecukupan
maksimal dukungan NPT dengan GIR 12-13
mg/kgBB/menit.

Dalam pemberian glukosa ini perlu pemantauan terhadap


risiko terjadinya hiperglikemi. Kadar gula darah
dipertahankan 50-120 mg/dL

600
Protein
Pemberian protein 2,5 g/kgBB/hari pada 24 jam pertama
pascalahir, ditingkatkan 0,5-1 g/kgBB/hari. Dosis maksimal
protein pada minggu pertama adalah 3,5-4 g/kgBB/hari.
Untuk 1 g protein membutuhkan 20-25 kkal non protein.
Pemberian dosis 1,5 kgBB/hari pada hari pertama
pascalahir ditoleransi dengan baik karena dapat memenuhi
kecukupan protein, mencegah katabolisme protein,
menjaga keseimbangan nitrogen sehingga tercapai
peningkatan tumbuh kembang.
Manfaat lain adalah meningkatkan toleransi glukosa,
mengurangi risiko hiperglikemia melalui sekresi insulin
endogen dan glukoneogenesis.
Protein dalam sediaan nutrisi neonatus harus mengandung
conditionally essential amino acid, yaitu tirosin,
sistein, taurin, histidin, glisin, glutamin, dan arginin.
Mulai infus asam amino, jika tersedia, pada usia dua hari
dengan jumlah 0,5-1,0 g/kg/hari.

Lemak
Pemberian lipid intravena pada bayi prematur dimulai
dalam 24 jam pertama pascalahir dengan dosis 0,5- 1
g/kgBB/hari dinaikkan bertahap sebanyak 0,5-1
g/kgBB/hari sampai mencapai 3-3,5 g/kgBB/hari

KECUKUPAN Elektrolit
MIKRONUTRIEN Kebutuhan natrium (Na) bervariasi pada minggu
pertama sebesar 0-3 mEq/kgBB/hari.
Setelah terdapat diuresis awal, dapat diberikan natrium (Na)
dan kalium (K) dengan dosis 2-3 mEq/kgBB/hari disesuaikan
dengan kondisi klinis dan kadar elektrolit.
Saat asupan cairan mencapai 150 mL/KgBB/hari, cairan
parenteral haruslah mengandung 12.5-15 mmol/L Ca
elemental and 13-15 mmol/L Phospor.
Kebutuhan Ca, P, dan Mg dalam nutrisi enteral bayi
prematur dihitung berdasarkan

601
kandungan komposisi Ca, P, dan Mg dalam ASI dan
variabilitas penyerapan elektrolit tersebut berdasarkan usia
gestasi (Ca2+:40-
70 %, P:60-95%, Mg:40%)

Trace Elements
Besi
Penting dalam perkembangan otak fetus dan neonatus
Pemberian suplementasi besi untuk BBLSR yang mendapat
ASI bila bayi telah memasuki fase pertumbuhan (growing
care), umumnya dimulai pada usia 2 minggu dengan dosis
2 mg/kgBB/hari dan dievaluasi setelah pemberian 3 bulan
untuk ditentukan apakah dilanjutkan atau tidak.

Zinc
Asupan zinc minimal 1,4-2 mg/kgBB/hari diperlukan untuk
mencapai pertumbuhan optimal pada bayi prematur.
Rekomendasi terkini untuk asupan zinc enteral pada bayi
prematur adalah 1-2 mg/kg/hari atau maksimal 1-3
mg/kg/hari.

KECUKUPAN Vitamin A
VITAMIN Dapat menurunkan kematian, kebutuhan oksigen pada 1
bulan, serta kebutuhan oksigen pada usia 36 minggu masa
gestasi.

Vitamin D
Pada bayi yang mendapat ASI eksklusif atau parsial untuk
mendapat vitamin D 400 IU/hari selama minimal setahun
pertama kehidupan. Bayi yang tidak mendapat ASI juga
sebaiknya mendapat suplementasi, sampai 32 fl.oz. (1000
ml) per hari susu formula fortifikasi vitamin D.

Vitamin E
Diet pada bayi prematur sebaiknya mengandung minimal 1
IU vitamin E/gram asam linoleat, setara ± 0.6 mg δ-

602
tocopherol/gram polyunsaturated fatty acids (PUFA).
Bayi prematur yang mendapat nutrisi enteral dan suplemen
multivitamin, di mana asupan setiap harinya mengandung 5
IU vitamin E, mendapat ±5–10 IU/kg/hari vitamin E, tetapi
untuk nutrisi parenteral kadarnya lebih rendah.

NUTRISI Rute pemberian


PARENTERAL Pemberian melalui vena sentral lebih diutamakan.
TOTAL Pemasangan akses vena sentral sesuai dengan prosedur
baku yang telah ditetapkan. Osmolaritas maksimal untuk
akses vena perifer adalah 630 mOsm/L setingkat dengan
konsentrasi dekstrosa 12,5%.

Nutrisi parenteral tidak boleh terpapar sinar matahari


untuk mencegah terbentuknya peroksida yang merusak
lipid dan vitamin.

Perubahan pemberian asupan parenteral menjadi enteral


yang bersumber dari payudara dan/atau puting dapat
dimulai dan ditingkatkan secara bertahap, segera setelah
bayi menunjukkan refleks mengisap dan menelan yang
cukup untuk memperoleh asupan secara oral tanpa
mengalami kelelahan atau apnea.

PEMANTAUAN DAN Meliputi pemantauan jangka pendek dan jangka panjang.


EVALUASI

Jangka pendek :
- Akseptabilitas yaitu penilaian perbandingan
asupan yang masuk secara aktual terhadap preskripsi
nutrisi yang direncanakan dokter.
- Toleransi, meliputi penilaian adanya muntah, diare,
residu lambung, food

603
adverse reaction pada pemberian nutrisi enteral
atau oral; parameter biokimia dan klinis pada
pemberian nutrisi parenteral.
- Efisiensi yaitu menilai kenaikan berat badan

Tabel 17. Pemantauan laboratorium terkait pemberian


nutrisi pada bayi prematur 154, 155
Nutrisi Parenteral
Hemoglobin dan hematokrit 2-3 x seminggu (sesuai
indikasi)
Glukosa serum Sesuai indikasi
Elektrolit 1-3 x seminggu
Ca, Mg dan P darah 2-3 x seminggu
Trigliserida Saat peningkatan dosis
lipid
Fungsi Ginjal 2-3 x seminggu
Enzim hati 1 x seminggu
Alkalin fosfatase 1 x (nilai baseline)

Jangka panjang:
- Untuk menilai pertumbuhan dan osteopenia
prematuritas

DAFTAR RUJUKAN Fusch C, Jochum F.170


Kashyap S, Ohira-Kist K, Abildskov K, Towers
HM, Sahni R, Ramakrishnan R, dkk. 171
Johnson.172
Nutritional&co. 173
Bauer J, Werner C, Gerss J. 174
Embleton ND. 175
Thureen PJ, Hay VW. 176
Poindexter BB, Denne.177
Adamkin DH. 178
Adamkin DH. 179
Velaphi. 180
Kleinman RE, Greer FR. 181
Agostoni C, Buonocore G, Carnielli V, De
Curtis M, Darmaun D, Decsi T, dkk. 182
Darlow BA, Graham P. 183
Working Group Of Pediatrics Chinese Society
Of Parenteral and Enteral Nutrition. 154
Moyer-Mileur LJ. 155

604
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Pembagian tingkatan kompetensi pada pelayanan neonatus diperlukan dalam sistem
Kesehatan Nasional sesuai dengan beberapa Peraturan Menteri Kesehatan yang
terkait dengan ini.
2. Tingkatan pelayanan neonatus juga bermanfaat pada sistem pembiayaan kesehatan
pada era JKN saat ini
3. Panduan pelayanan neonatal diperlukan sebagai upaya menuju standarisasi terutama
dengan lebarnya disparitas jumlah ATM, fasilitas kesehatan, alat kedokteran dan
panduan prosedur yang sama.
4. Inti dari panduan pelayanan neonatal adalah PNPK dan PPK

4.2 Saran
1. Tingkat kompetensi pelayanan neonatus akan selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan IPTEK, untuk itu revisi panduan pelayanan neonatal harus selalu
dilakukan seiring dengan berlangsungnya perkembangan IPTEK, khususnya PPK
minimal dua tahun sekali.
2. Revisi juga harus dilakukan pada kodifikasi diagnosis dan prosedur di bidang
neonatologi seiring dengan perkembangan IPTEK.
3. Revisi dilakukan oleh masing-masing unit layanan neonatus sesuai dengan kapasitas
yang dimiliki, tetapi tetap mengikuti panduan pelayanan neonatal yang disepakati.

DAFTAR RUJUKAN

1. Committee on Fetus and Newborn American Academy of Pediatric. Policy


Statement: Level of Neonatal Care. Pediatrics. 2004;114(5):1341-47.
2. O’Reilly H. Admission of Newborn babies to the Neonatal Unit. Norfolk and
Norwich University Hospital NHS Foundation Trust 2015 [Available from:
www.nnuh.nhs.uk/publication/download/admission-to-nicu-ca4068v3.
3. Pilgrim S. Guideline for Discharge from the Neonatal Unit. Mid Essex Hospital
Services NHS Trust 2014 [Available from: http://www.meht.nhs.uk/EasysiteWeb
/getsource.axd?AssetID=6454&type=full1&servicetype=Attachment.
4. Stark A. Levels of Neonatal Care. Pediatrics 2004;114(5):1341-7.
5. Malarkey M, Kuschel C, Rowley S. Newborn Services Guidelines and Protocols
applies to this guideline. Services Clinical Guideline; 2018.
6. Yusna D, Wisnumurti D, Djauharie E, Siswanto J, Kadi F, Irawan G, et al. Stabilisasi
Bayi Baru Lahir Pasca Resusitasi di layanan tingkat pertama2016.

605
7. Ha J, Longnecker N. Doctor-patient communication: a review. Ochsner J.
2010;10:38-43.
8. Kementrian Kesehatan RI. Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Jakarta
Kemenkes; 2018.
9. Ballard J, Khoury J, Wedig K, Wang L, Eilers-Walsman B, Lipp R. New Ballard
Score, expanded to include extremely premature infants. J Pediatr.
1991;119(3):417-23. 10. McCance D, McNamara M. HSE Guidelines for the
Management of Pregestational And Gestational Diabetes Mellitus from Pre-
conception to the Postnatal period. 2010:188.
11. Gonzalez NG, Davila EG, Castro A, Padron E, Plasencia W. Effect of pregestational
diabetes mellitus on first trimester placental characteristics: three-dimensional
placental volume and power Doppler indices. Placenta. 2014;35(3):147-51.
12. Qadir SY, Yasmin T, Fatima I. Maternal and foetal outcome in gestational
diabetes. Journal of Ayub Medical College Abbottabad. 2012;24(3-4):17-20.
13. Noctor E, Dunne FP. Type 2 diabetes after gestational diabetes: the influence of
changing diagnostic criteria. World journal of diabetes. 2015;6(2):234.
14. Duckitt K, Harrington D. Risk factors for pre-eclampsia at antenatal booking:
systematic review of controlled studie. Bmj 2005;330(7491):565.
15. Children's Hospital of Orange Country. Tracheoesophageal fistula/ esophageal
atresia care guideline 2016 2016 [Available from:
https://www.choc.org/wp/wpcontent/uploads/2016/06/
TracheoesophagealFistula_EsophagealAtresiaCareGuideline.pdf.
16. Mielniczuk M, Kusza K, Brzeziński P, Jakubczyk M, Mielniczuk K,
CzerwionkaSzaflarska M. Current guidelines on management of congenital
diaphragmatic hernia.
Anesthesiol Intensiv Ther. 2012;44(4):232-7.
17. Akangire G, Carter B. Birth injuries in neonates. Pediatrics 2016;37(11):451-62.
18. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku resusitasi neonatus 2017.
19. Wiegersma J, Droogh J, Zijlstra J, Fokkema J, Ligtenberg J. Quality of inter
hospital transport of the critically ill: impact of a mobile intensive care unit with
a specialized retrieval team. Crit Care. 2011;15:R-75.
20. Iwashyna T, Courey A. Guided transfer of critically ill patients: where patients are
transferred can be an informed choice. Curr Opin Crit Care. 2011;17:641-7.
21. Lim M, Ratnavel N. A prospective review of adverse events during inter hospital
transfer of neonates by a dedicated neonatal transfer service. Pediatr Crit Care
Med. 2008;9(289-93).
22. Kendall A, Scott P, Karlsen K. The S.T.A.B.L.E program: the evidence behind the
2012 update. J Perinat Neonat Nurs. 2012;26(2):147-57.
23. McCall E, Alderdice F, Halliday H, Jenins J, Vohra S. Intervention to prevent
hypothermia at birth in preterm and/or birth weight infants (review). Cochrane
Datab System Rev. 2010(3).
24. Rohana J, Khairinia W, Boo N, Shareena I. Reducing hypothermia in preterm
infants with polyethylene wrap. Pediatr Int. 2011;53(468-74).
25. Reimer-Brady J. Legal Issues related to stabilization and transport of the critically
ill neonate. J Perinatol Neonat Nurs. 1998;10(3):59-69.
26. Leppala K. Whether near or far transporting the neonate. J Perinatol Neonat
Nurs. 2010;24(2):167-71.
27. Taylor R, Price-Douglas W. The S.T.A.B.L.E program: Post resuscitation/ pre
transport stabilization care of sick people. J Perinatol Neonat Nurs.
2008;22(2):159-65.
28. Cummings J, Polin R. Oxygen targetting in extremely low birth wieght infants.
Pediatrics 2016;138.

606
29. Wilson A, Martel I, Saskatoon S. Maternal Transport Policy. J Obstet Gynecol Can
2005;27:956-58.
30. Hohlagschwandtner M, Husslein P, Weninger K, Nardi A, Langer M. Perinatal
mortality and morbidity. Comparison between maternal transport, neonatal
transport and inpatient antenatal treatment. Arch Gynecol Obstet
2001;265:113-18.
31. Hauspy J, Jacquemyn Y, Van-Reempts P, Buytaerta P, Vlieta J. Intrauterine versus
postnatal transport of the preterm infant: a short-distance experience. Early
Hum Dev 2001;63:1-7.
32. Woodward G, Insoft R, Pearson-shaver A. The state of pediatric inter-facility
transport: Consensus of the second national pediatric and neonatal inter-facility
transport medicine leadership conference. Pediatr Emerg Care 2002;1:38-43.
33. Das U, Leuthner S. Preparing the neonate for transport. Pediatr Clin North Am
2004;51:581-98.
34. Kempley, Baki, Hayter, Ratnavel, Cavazzoni, Reyes. Effect of a centralised
transfer service on characteristics of inter-hospital neonatal transfers. . Arch Dis
Child Fetal Neonatal Ed 2007;92:185-9.
35. McKay S, Cruickshanks J, Skeoch C. Step by step guide: Transporting neonates
safely. J Neonatal Nurs 2003;1:9.
36. Kulshrestha A, Singh J. Interhospital and intrahospital patient transport: recent
concept. Indian J. 2016;60:451-7.
37. Fenton A, Leslie A, Skeoch C. Optimising neonatal transfer. Arch Dis Child Fetal
Neonatal 2004;89(F215-9).
38. Arad I, Baras M, Bar-Oz B, Gofin R. Neonatal transport of very low birth weight
infants in Jerussalem, revisited. IMAJ 2006;8(477-82).
39. Kumar P, Kumar C, Venkatlakshmi A. Long distance neonatal trasport-the need
of the hour. Indian Pediatr 2008;45:920-2.
40. Terrey A, Browning C. Stabilising the newborn for transfer: Basic principles. Aust
Fam Physician 2008;37:510.
41. Tingay D, Stewart M, Morley C. Monitoring of end tidal carbon dioxide and
transcutaneous carbon dioxide during neonatal transport. . Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2005;90:F523-6.
42. Lilley C, Stewart M, Morley C. Respiratory function monitoring during neonatal
emergency transport. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2005;90:F82-3.
43. Dani C, Bertini G, Pezzati M, Cecchi A, Caviglioli C, Rubaltelli F. Early extubation
and nasal continuous positive airway pressure after surfactant treatment for
respiratory distress syndrome among preterm infants< 30 weeks’ gestation.
Pediatrics 2004;113:560-
3.
44. Fowlie P, Booth P, Skeoch C. Clinical review moving the preterm infant. BMJ.
2004;309:904-6.
45. Cloherty J, Eichenwald E, Hansen A, Stark A. Manual of neonatal care. 7 ed.
Philadelphia: Lippincott William Wilkins; 2012
46. Gomella T, Cunningham M, Eyal F. Neonatology, management, procedures,
oncall problems, diseases and drugs. 7 ed. Philadelphia: Mc Graw hill; 2013.
47. Queensland Clinical Guidelines. Hypoxic-ischaemic encephalopathy (HIE).
Australia : Queensland; 2016.
48. Martinello K, Hart A, Yap S, Mitra S, Robertson N. Management and investigation
of neonatal encephalopathy: 2017 update. Arch Dis Child Fetal. 2017:F11-3.
49. Chalak L, Kaiser J. Neonatal guideline hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE). J
Ark Med Soc. 2017;104(4):87-9.
50. Slaughter L, Patel A, Slaughter J. Pharmacological Treatment of Neonatal
Seizures: A Systematic Review. J Child Neurol. 2013;28(3):351-64.
607
51. Kanhere S. Recent advances in neonatal seizures. Indian J Pediatr.
2014;81(9):917-25.
52. Sarosa G. Kejang dan Spasme. In: Kosim MS YA, Dewi R, Sarosa GI, Usman A,
editor. Buku ajar neonatologi Edisi ke 4. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2014.
53. Hallberg B, Blennow M. Investigations for neonatal seizures. Seminars in Fetal
and Neonatal Medicine. Philadelphia Elsevier 2013.
54. Hamrick S, Zimmermann A. Cerebral Seizures. In: G H, editor. Neonatal
Emergencies. Cambridge: Cambridge University Press; 2009.
55. World Health Organization. Guidelines on neonatal seizures. Geneva World
Health Organization; 2011.
56. Shellhaas R. Neonatal seizures. In: Polin RA YM, editor. Workbook in Practical
Neonatology. Philadelphia: Elsevier Health Sciences; 2015.
57. Priestley J. Experiments and observations on different kinds of air. J Johnson.
1776.
58. Ballot D. Ups and Downs of Oxygen Therapy in Neonatal Care. The United South
African Neonatal Association Conference. OR Tambo: University of the
Witwatersrand; 2017.
59. Saugstad O. Oxygen and retinopathy of prematurity. J Perinatol.
2006;26(S1):S46. 60. Bancalari E. The Newborn Lung: Neonatology Questions
and Controversies EBook: Elsevier Health Sciences; 2012.
61. Wyckoff M, Aziz K, Escobedo M, Kapadia V, Kattwinkel J, Perlman J, et al. Part 13:
neonatal resuscitation: 2015 American Heart Association guidelines update for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation.
2015;132:S543-S60.
62. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
tentang BBLR. Jakarta Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2018.
63. World Health Organization. Oxygen therapy for children: a manual for health
workers.2016.
64. Duc G, Sinclair J. Oxygen administration. Effective care of the newborn
infant.1992.
65. Saugstad O, Aune D. Optimal oxygenation of extremely low birth weight infants:
a meta-analysis and systematic review of the oxygen saturation target studies.
Neonatology. 2014;105(1):55-63.
66. Cummings J, Polin R. Oxygen targeting in extremely low birth weight infants.
Pediatrics. 2016;138(2).
67. Col S, Maj S, Brig M, Capt G. Controlled FiO2 Therapy to Neonates by
Oxygenhood in the Absence of Oxygen Analyzer. Med J Armed Forces India.
2007;63(2):149-53.
68. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Resusitasi Neonatus. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2014.
69. Organization W. Oxygen therapy for children: a manual for health workers. 2016.
70. Trevisanuto D, Cengio V, Doglioni N, Cavallin F, Zanardo V, Parotto M, et al. Oxygen
delivery using a neonatal self-inflating resuscitation bag: effect of oxygen flow.
Pediatrics. 2013;131(4):144-9.
71. Wu S. Molecular bases for lung development, injury, and repair. The Newborn
Lung: Neonatology Questions and Controversies: Expert Consult-Online and
Print: Elsevier Inc. ; 2012
72. Kattwinkel J. Pediatrics AAo, Association AH. Textbook of Neonatal Resuscitation:
Am Acad Pediatrics; 2018.
73. Spitzer A, Clark R. ositive-pressure ventilation in the treatment of neonatal lung
disease. Assisted Ventilation of the Neonate (Fifth Edition): Elsevier; 2011.

608
74. Gregory G, Kitterman J, Phibbs R, Tooley W, Hamilton W. Treatment of the
idiopathic respiratory-distress syndrome with continuous positive airway
pressure. N Engl J Med 1971;284(24):1333-40.
75. Sandri F, Ancora G, Lanzoni A, Tagliabue P, Colnaghi M, Ventura M, et al.
Prophylactic nasal continuous positive airways pressure in newborns of 28–31
weeks gestation: multicentre randomised controlled clinical trial. Arch Dis Child
Fetal Neonatal Ed. 2004;89(5):F394-F8.
76. Subramaniam P, Ho J, Davis P. Prophylactic nasal continuous positive airway
pressure for preventing morbidity and mortality in very preterm infants.
Cochrane Database Syst Rev. 2016.
77. Carlo W, Ambalavanan N. Conventional mechanical ventilation: traditional and
new strategies. Pedsinreview 1999;20:e177-e26.
78. Hess D, MacIntyre N. Mechanical ventilation In: Hess D, MacIntyre N, Mishoe S,
Galvin W, Adams A, editors. Respiratory care. Canada Jones & Baetlett Learning
2012.
79. Donn S, Sinha S. Manual of neonatal respiratory care. Switzerland: Springer
International Publishing Switzerland; 2017.
80. Al Hazzani F, Al Alaiyan S, Al Hussein K, Al Saedi S, Al Faleh H, Al Harbi F, et al.
Mechanical ventilation in newborn infants: Clinical Practice Guidelines of the
Saudi Neonatology Society. J of Clin Neonatology. 2017;6:57-63.
81. Carlo W. Prematurity and Intrauterine Growth Restriction. In: Kliegman RM SB,
Schor NF, Geme JW, dan Behrman R, editor. Nelson Textbook Of Pediatrics Edisi
ke-20. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2016.
82. Intrauterine growth restriction: screening, diagnosis, and management. SOGC
clinical practice guideline No. 295 2013.
83. Sharma D, Shastri S, Sharma P. Intrauterine growth restriction: antenatal and
postnatal aspects. Clin Med Insights Pediatrics. 2016;10.
84. Damanik S. Klasifikasi bayi menurut berat lahir dan masa gestasi. In: Kosim MS
YA, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, editor. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Balai
Penerbit IDAI; 2014.
85. The Royal Children's Hospital Melbourne. Skin to skin care for the newborn 2016
2016 [Available from:
https://www.rch.org.au/rchcpg/hospital_clinical_guideline_index/
Skin_to_Skin_Care_for_the_Newborn/.
86. Children's Hospital of Philadelphia. Skin-to-skin for infants: Guidelines for
professionals.
87. Conde-Agudelo A, Belizan J, Diaz-Rossello. Kangaroo mother care to reduce
morbidity and mortality in low birthweight infants. Cochrane Database Syst Rev
2011;3.
88. Module NTS-l. Interprofessional Education and Research Committee of the
Champlain Maternal Newborn Regional Program (CMNRP). 2013:1-16.
89. Rutter N. Temperature control and its disorders. Churchill Livingstone,
London2005.
90. Knobel R, Vohra S, CU. L. Heat loss prevention in the delivery room for preterm
infants: a national survey of newborn intensive care units. J Perinatol.
2005;25(8):514.
91. Lyon A, Puschner P. Thermo monitoring. wwwdragercom. 1998.
92. WHO, UNICEF. Managing newborn problems: a guide for doctors, nurses, and
midwives. 2003.
93. Waldron S, MacKinnon R. Neonatal thermoregulation. Infant. 2007;3:101-4.
94. Knobel-Dail R. Role of effective thermoregulation in premature neonates. Res
Rep Neonatol. 2014;4:147-56.

609
95. Women and Newborn Health Service Neonatal Directorate Western Australia.
Thermoregulation. Australia: Government of Western Australia North
Metropolitan Health Service 2018.
96. WHO. WHO recommendation on Newborn health. WHO; 2017.
97. Sritipsukho S, Suarod T, Sritipsukho P. Survival and outcome of very low birth
weight infants born in a university hospital with level II NICU. J Med Assoc Thai.
2007;90(7):1323.
98. Resuscitation ILCo. The International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR)
consensus on science with treatment recommendations for pediatric and
neonatal patients: pediatric basic and advanced life support. Pediatrics.
2006;117(5):955-77.
99. McCormick M, Cooper P. Managing newborn problems: a guide for doctors,
nurses, and midwives. World Health Organization; 2003.
100. Queensland Clinical Guidelines. Newborn hypoglycaemia. Australia Queensland
2013.
101. USCF Children's Hospital. Neonatal hypoglycemia
[Available from:
https://www.ucsfbenioffchildrens.org/pdf/manuals/52_Hypoglycemia.pdf.
102. Thompson-Branch A, Havranek T. Neonatal hypoglycemia. Pediatrics.
2017;38(4). 103. Sweet C, Grayson S, Polak M. Management strategies for
neonatal hypoglycemia. J Pediatr Pharmacol Ther. 2013;18(3):199-208.
104. Thornton P, Stanley C, De Leon D, Harris D, Haymond M, Hussain K, et al.
Recommendations from the Pediatric Endocrine Society for Evaluation and Management
of Persistent Hypoglycemia in Neonates, Infants, and children. 167. 2015;2(238-45). 105.
Bhutani V, Johnson L, Sivieri E. Predictive ability of a predischarge hour-specific serum
bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in healthy term and nearterm
newborns. Pediatrics. 1999;103(1):6-14.
106. Excellence NIfC. National Collaborating Centre for Women’s and Children’s
Health. Caesarean section: clinical guideline. 2003.
107. Muchowski K. Evaluation and treatment of neonatal hyperbilirubinemia. Am Fam
Physician. 2014;89(11):873-8.
108. Maisels M, Bhutani V, Bogen D, Newman T, Stark A, Watchko J.
Hyperbilirubinemia in the newborn infant ≥ 35 weeks’ gestation: an update with
clarifications. Pediatrics. 2009;124(4):1193-8.
109. Hamidi M, Aliakbari F. Comparison of Phototherapy with light-editing diodes
(LED) and Conventional Phototherapy (fluorescent lamps) in Reducing Jaundice in Term
and Preterm Newborns. Middle East J Fam Med 2018;7(10):123.
110. Kaplan M, Merlob P, Regev R. Israel guidelines for the management of neonatal
hyperbilirubinemia and prevention of kernicterus. J Perinatol. 2008;28(6):389. 111.
Maisels M. Managing the jaundiced newborn: a persistent challenge. Canadian Medical
Association Journal. 2015;187(5):335-43.
112. von_Lindern J, Lopriore E. Management and preventionof neonatal anemia:
current evidence and guidelines. Expert Rev Hematol. 2014;7(2):195-202.
113. New H, Berryman J, Bolton-Maggs PC, C , Chalmers E, Davies T, dkk. Guidelines
on transfusion for fetuses, neonates and older children. Br J Haematol. 2016;175(5):784-
828. 114. Neonatal guidelines 2017-19: the bedside clinical guidelines partnership in
association with the Staffordshire Shropshire and Black Country, Southern West
Midlands Neonatal; 2017 [Available from:
kids.bch.nhs.uk/wp-content/uploads/2017/05/neonatalguidelines-2015-17.pdf.
115. Colombatti R, Sainati L, Trevisanuto D. Anemia and transfusion in the neonate.
Semin Fetal Neonatal Med. 2015:1-8.
116. Robert I, Murray N. Hematology. In: Rennej J, editor. Robertson's textbook of
neonatology: Elsevier 2005. p. 739-51.
610
117. WC, Glader B. Erytrochyte disorders in infancy. In: Taueusch H, Balard R,
Gleaseon C, editors. Avery's disease of the newborn. 8th Edition. Philadelphia: Elsevier;
2005. p. 1203-7.
118. Jones L, Schwartz A, David B. The blood and hematopoetic system. In: Fannarof
A, Martin R, editors. Neonatal-perinatal medicine disease of the fetus and infant. 6th
Edition. St Louis: Mosby Year Book; 1997. p. 1201-23.
119. Watchko J. Common hematologic problems in the newborn nursery. Pediatr Clin
North Am. 2015;62(2):509-24.
120. Celik I, Demirel G, Canpolat F, Dilmen U. A common problem for neonatal
intensive care units: late preterm infants, a prospective study with term controls in a
large perinatal center. J Matern-Fetal Neonatal Med. 2013;26:459-62. 121. Guideline.
NSC. Neonatal thrombocytopenia. Available from:
http://wwwadhbgovtnz/newborn/Guidelines/
Blood/Platelets/NeonatalThrombocytopeniahtm

122. Newborn Services Clinical Guideline. Neonatal thrombocytopenia [Available


from: http://www.adhb.govt.nz/newborn/Guidelines/
Blood/Platelets/NeonatalThrombocytopenia.htm.
123. Brahim E, Lamia K, Badr S. Newborn haemorrhagic disorders: about 30 cases.
Pan Afr Med J. 2017;28:150.
124. Waseem M. Vitamin K and haemorrhagic disease of newborns. South Med J.
2006;99(11).
125. Sandy C. Haemorrhagic disease of newborns (review). University of
IllinoisChicago, College of Medicine. 2016.
126. Costello R, Nehring S. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC): StatPearls
Publisihing LCC; 2018.
127. Vincent J, De Backer D. Does disseminated intravascular coagulation lead to
multiple organ failure? Crit Care Clin. 2005;21:469-77.
128. Papageorgiou C, Jourdi G, Adjambri E, Walborn A, Patel P, Fareed J, et al.
Disseminated Intravascular Coagulation: An Update on Pathogenesis, Diagnosis,
and Therapeutic Strategies. . Clin Appl Thromb Hemost. 2018;24:8S-28S.
129. Ramasethu J. Prevention and treatment of neonatal nosocomial infection.
Matern Health Neonatol Perinatol. 2017;3:5.
130. Authority. WRH. Infection Prevention for Newborns in Neonatal Areas. Available
from: http://wwwwrhambca/extranet/eipt/files/EIPT-035-014pdf. 2015.
131. Polin R, Denson S, Brady MCoF, Newborn., D. CoI. Strategies for prevention of
health care-associated infections in the NICU. Pediatrics. 2012;129(4)(e1085-93).
132. Brady M, Polin R. Prevention and Management of Infants With Suspected or
Proven Neonatal Sepsis. Pediatrics. 2012;132(1):166-8.
133. Rohsiswatmo R, Nisa S. Manajemen Komprehensif dan Terapi Antibiotik pada
Sepsis Neonatorum. Dalam: Update on Management of Neonatal Infection.
2017;pp:3342.
134. Wandita SPIpNdI. Problem Infeksi pada Neonatus di Indonesia. Dalam: Update
on Management of Neonatal Infection. 2017:pp1-16.
135. Lusyati S, Sauer P. Sepsis Neonatal di NICU RSAB Harapan Kita Jakarta. Sari
Pediatri. 30 Nov 2017;9(3):173-7.
136. Mustarim. Faktor Risiko dan Pencegahan Komplikasi Sepsis Neonatal.
2017:pp134-42.
137. Shane A, Sanchez P, Stoll JNSJoi-. Neonatal Sepsis. Journal of inf. 2017;(17):1-11.
138. Gebremedhin D, Berhe H, Gebrekirstos K. Risk Factors for Neonatal Sepsis in
Public Horpitals of Mekelle City, North Ethiopia. Unmatched Case Control Study
PLoS One2016. 2015.

611
139. Kung Y, Hsieh Y, Weng Y, et a. Risk Factors of Late-onset Neonatal Sepsis in
Taiwan: A matched case-control study. J Microbiol Immunol InfectScience Direct.
2016:430-5.
140. Hendrarto W. Bagaimana Mendiagnosis Dini Sepsis Neonatorum? Dalam:
Update on Management of Neonatal Infection. 2017:pp17-23.
141. Wibowo T. Pemeriksaan Darah pada Sepsis Neonatorum. Dalam: Update on
Management of Neonatal Infection. 2017:pp24-32.
142. Organization. WH. Antibiotic use for sepsis in neonates and children: 2016
evidence update. Geneva: World Health Organization. 2016.
143. Aggarwal R, Sarkar N, Deorari A, Paul V. Sepsis in the Newborn. Indian J Pediatr.
2001;68(12):1143-7.
144. Organization. WH. Shock in newborn. Available from:
http://wwwnewbornwhoccorg/STPs/STP_Shock_Pre-Finalpdf

145. Davis A, Carcillo J, Aneja R, Deymann A, Lin J, Nguyen T, et al. American College
of Critical Care Medicine clinical practice parameters for hemodynamic support
of pediatric and neonatal septic shock. CCM. 2017;45(6)(1063-93).
146. Semberova. Spontaneous closure of patent ductus arteriosus in infants 1500g.
Pediatrics. 2017;140(2).
147. Terrin G. Paracetamol for the treatment of patent ductus arteriosus in preterm
neonates: a systematic review and meta-analysis. Arch Dis Child Fetal Neonatal
2016;101. 148. Ohlsson A, Walia R, Shah S. Ibuprofen for the treatment of patent
ductus arteriosus in preterm or low birth weight (or both) infants. Cochrane
Database Syst Rev 2015.
149. Suradi R, Hegar B, Partiwi I, Marzuki A, Ananta Y. Indonesia menyusui. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010.
150. Besar S, Eveline N. Air susu ibu dan hak bayi. In: Pratiwi IGAN PJ, editor. Bedah
ASI. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.
151. UKK Neonatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Kadim M, Roeslani R,
Nurmalia L. Konsensus asuhan nutrisi pada bayi prematur. Jakarta Ikatan Dokter Anak
Indonesia 2016.
152. Fenton T, Nasser R, Eliasziw M, Kim J, Bilan D, Sauve R. Validating the weight gain
of preterm infants between the reference growth curve of the janin and the term infant.
BMC Pediatr. 2013;13:92.
153. Koletzko B, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R. uidelines on paediatric
parenteral nutrition of the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology
and Nutrition (ESPGHAN) and the European Society for Clinical Nutrition and Metabolism
(ESPEN), Supported by the European Society of Paediatric Research (ESPR). J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2005;41(2):1-87.
154. Working Group of Pediatrics Chinese Society Of Parenteral and Enteral Nutrition,
Working Group Of Neonatology Chinese Society Of Pediatrics, Working Group Of
Neonatal Surgery Chinese Society Of Pediatric Surgery. CSPEN guidelines for nutrition
support in neonates. Asia Pac J Clin Nutr. 2013;22:655-63.
155. Moyer-Mileur L. Anthropometric and laboratory assessment of very low birth
weight infants: the most helpful measurements and why. Semin perinatol.
2007;31(2):96103.
156. Bertino E, Boni L, Rossi C, Coscia A, Giuliani F, Spada E, et al. Evaluation of
postnatal growth in very low birth weight infants: A neonatologist's dilemma. Pediatr
Endocrinol Rev. 2008;6(9-13).
157. Lester B, Andreozzi-Fontaine L, Tronick E, Bigsby R. Assessment and Evaluation of
the High Risk Neonate: The NICU Network Neurobehavioral Scale. . JOVE 2014;90:1-9.
158. Rauter S, Messler S, Steven D. Neonatal golden hour-intervention to improve
quality of care of ELBW. SD Med 2014;67:397-403.
612
159. Karlsen K. The STABLE program: pre-transport/post-resuscitation stabilization
care of sick infants, guidelines for neonatal healthcare providers. 2006.
160. Castrodale V, Rinehart S. The golden hour: improving the stabilization of the very
low birth-weight infant. Adv Neonatal Care 2014;14:9-14.
161. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2014.
162. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Resusitasi neonatus. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2013.
163. Sjarif D, Rohsiswatmo R, Rundjan L, Yuliarti K. Panduan berbasis bukti asuhan
nutrisi untuk bayi prematur2015.
164. Agostoni C, Buonocore G, Carnielli V. Enteral nutrient supply for preterm infants:
commentary from the European Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology and
Nutrition Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50(85-91). 165.
American Academy of Pediatrics. Section on breastfeeding: Breastfeeding and the use of
human milk. Pediatrics. 2012;129:827-41.
166. World Health Organization. Optimal feeding of low-birth-weight infants:
technical review. Switzerland: WHO; 2006.
167. Underwood M. Human milk for the premature infant. Pediatr Clin North Am
2013;60:189-207.
168. Young L, Morgan J, McCormick F, McGuire W. Nutrient-enriched formula versus
standard term formula for preterm infants following hospital discharge. Cochrane
Database Syst Rev 2012 3.
169. Corvaglia L, Rotatori R, Ferlini M, Aceti A, Ancora G, Faldella G. he effect of body
positioning on gastroesophageal reflux in premature infants: Evaluation by combined
impedance and pH monitoring. J Pediatr 2007;151:591-6.
170. Fusch C, Jochum F. Water, sodium, potassium and chloride. . Karger Publisher.
2014(p.99-120).
171. Kashyap S, Ohira-Kist K, Abildskov K, Towers H, Sahni R, Ramakrishnan R, et al.
Effects of quality of energy intake on growth and metabolic response of enterally fed
lowbirth-weight infants. Pediatr Res. 2001;50(3):390.
172. Johnson PRomipnfnicpNN-. Review of macronutrients in parenteral nutrition for
neonatal intensive care population. NN. 2014;33(1):29-34.
173. Nutrition C. Nutritional needs of the preterm infant. In: Kleinrnan RE e,
editor. .Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2009.
174. Bauer J, Werner C, Gerss J. Metabolic rate analysis of healthy preterm and
fullterm infants during the first weeks of life Am J Clin Nutr. 2009;90(6):1517-24.
175. Embleton N. Optimal protein and energy intakes in preterm infants. Early Hum
Dev. 2007;83(12):831-7.
176. Thureen P. Early aggressive nutrition in the neonate. Pediatr Rev.
1999;20(9):e45e55.
177. Denne S. editor Protein and energy requirements in preterm infants. Semin
Fetal. 2001;Elsevier.
178. Adamkin D. Pragmatic approach to in-hospital nutrition in high-risk neonates. J
Perinatol. 2005;25(S2):S7.
179. Adamkin D. Nutrition management of the very low-birth weight infant. Total
parenteral nutrition and minimal enteral nutrition Neonatology Reviews. 2006;7:e602-
e7. 180. Velaphi S. Nutritional requirements and parenteral nutrition in preterm infants.
South African Journal of Clinical Nutrition. 2011;24(3):S27-S31.
181. Kleinman R, Greer F. Nutritional needs of the preterm infant. In: Kleinman RE GF,
editors., editor. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics2014.
182. Agostoni C, Buonocore G, Carnielli VDC, M., Darmaun D, Decsi T, et a. ESPGHAN
Committee on Nutrition. Enteral nutrient supply for preterm infants: commentary from

613
the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition
Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50(1):85-91.
183. Darlow B, Graham P. Vitamin A supplementation to prevent mortality and
shortand long-term morbidity in very low birthweight infants. Cochrane Database Syst
Rev. 2011;10:(10).

Lampiran 1. Kodifikasi diagnosis dan prosedur neonatologi

ICD-9 CM, Neonatal Procedures Coding


Level of Competency:
Level I, basic
Level II, specialist
Chapter Code Type of Procedure Classification Level III,
subspecialist Level
IV, subspecialist
advance
0 00 Procedures and interventions,
not elsewhere classified

614
00.12 Administration of inhaled nitric Significant, IV
oxide Nitric oxide therapy major

00.17 Infusion of vasopressor agent Significant, III, IV


major
03 03.3 Diagnostic procedures on spinal Significant, II, III, IV
cord and spinal canal structures minor

03.39 Other diagnostic procedures on Significant, II, III, IV


spinal cord and spinal canal minor
structures

19 19 Reconstructive operations on Significant, II, III, IV


middle ear major
19.5 Other tympanoplasty Signifiant, II, III, IV
major
22 Operation on nasal sinus Significant, II, III, IV
major
22.9 Other operation on nasal sinuses Significant, II, III, IV
major
34 34.0 Incision of chest wall and pleura Significant, IV
Excludes: that as operative major
approach --omit code
Incision of chest wall
Extrapleural drainage

34.03 Reopening of recent Significant, IV


thoracotomy site: major
Insertion of intercostal catheter
for drainage,
- chest tube
- Closed chest drainage
- Revision of intercostal
catheter

38 38.8 Incision, excision, and occlusion Significant,


of vesels major IV
38.85 Other surgical occlusion of Significanti,
vessels, thoracic vessels major
38.9 Puncture of vessel:
38.91 Arterial catheterization I*), II, III, IV
38.92 Umbilical vein catheterization III, IV
38.93 Venous catheterization, not Minor I*), II, III, IV
elsewhere classified Minor II, III, IV
38.94 Venous cutdown Significant,
38.98 Other puncture of artery major II, III, IV
38.99 Minor
Other puncture of vein → III, IV
®Phlebotomy II, III, IV
Significant,

615
minor *)
Emergency procedure
Minor
Minor
39 39.92 Injecting sclerosing agent into Significant, II, III, IV
vein major
54 54.9 Other operations of abdominal
54.91 region
Percutaneous abdominal Significant, II, III, IV*)
drainage minor *)
Emergency procedure
Paracentesis
57 Operation on urinary bladder
57.1 Cystostomy
57.17 Percutaneous cystostomy
- Closed cystostomy Minor II, III, IV
- Percutaneous Minor II, III, IV
suprapubic cystostomy
67 Operation on cervix
67.32 Destruction of lesion of cervix by Significant,
cauterization minor
75 75.32 Cardiotopography Significant, II, III, IV
Minor
88 88.7 Diagnostic ultrasound, includes
88.71 echography Head and neck Significant, III, IV
- Determination of midline minor
shift of brain III, IV
88.72 - EEG Significant,
Echocardiography minor III, IV
Diagnostic ultrasound of gravid III, IV
uterus Significant,
88.78 minor
Significant,
minor
89 Interview, evaluation, Minor I, II, III,
consultation and examination IV

89.0 Diagnostic interview, Significant, I, II, III,


consultation and evaluation minor IV
89.1 Anatomic and physiologic Minor I, II, III,
measurement and manual IV
89.13 examination, anthropometry Minor
Neurologic examination, Ballard
score

89.5 Other non-operative cardiac and Minor II, III, IV


vascular diagnostic procedures
89.50 Ambulatory cardiac monitoring Minor I*), II, III, IV
(pulse oximetry)
89.51 ECG III, IV
*)
Emergency procedure

89.7 General physical examination Minor I, II, III,


IV
616
93 93.84 Music therapy on premature Minor II, III,
infants IV
93.9 Respiratory therapy Significant, I*), II, III, IV
93.90 Non-invasive ventilation major I*), II, III, IV
93.91 Invasive ventilation Significant, II*), III, IV
93.94 major
Respiratory medication
Significant,
administered by nebulizer (mist
major
therapy) II, III, IV
93.96 Other oxygen enrichment
(oxygen therapy) II*), III, IV
Minor *)
Emergency procedure
Low Flow
High Flow
Significant,
major
94 Physiologic evaluation and Minor I*, II, III, IV
testing
94.1 Psychiatric interview,
consultations, and evaluations
95 95.4 Non-operative procedures
related to hearing
95.42 Oto Acoustic Emission (OAE) Minor II, III, IV

96 Non-operative intubation
and irrigation
96.01 Insertion of Minor I*), II, III, IV
96.02 nasopharyngeal airway
Insertion of
oropharyngeal airway, Significant, I*), II, III, IV
96.05 include laryngeal mask airway minor I*), II, III, IV
96.07 (LMA) Significant,
Other intubation and extubation minor I*), II, III, IV
96.08 of respiratory
Tract Minor II, III, IV
96.09 Insertion of other (naso/ oro-) II, III, IV
96.55 gastric tube Minor II, III, IV

96.6 Insertion of other (naso/ oro-) Minor


intestinal tube Minor II, III, IV
96.7 Insertion of rectal tube
Tracheostomy toilette Minor III, IV
96.70 Enteral infusion of concentrated
nutritional substances Significant,
Other continuous invasive major
ventilation
Continuous invasive mechanical Significant, II, III, IV
ventilation of unspecified major
duration ®
Continuous invasive mechanical III, IV
ventilation for less than 96 Significant,
consecutive hours ® major
Continuous invasive mechanical
ventilation for 96 consecutive

617
hours or more ® Significant,
major

97 Replacement and removal of


therapeutic appliances Minor II, III, IV
97.0 Non-operative replacement of
gastrointestinal appliance Minor II, III, IV
97.01 Replacement of (naso/ oro-
)gastric or esophagostomy tube Minor II, III, IV
97.02 jReplacement of gastrostomy Minor II, III, IV
97.03 tube
Replacement of tube or
enterostomy device of small Minor II, III, IV
97.04 intestine
Replacement of tube or
enterostomy device of large Minor II, III, IV
intestine

97.3 Nonoperative removal Minor II, III, IV


of therapeutic device
from head and neck
97.37 Removal of tracheostomy tube
97.4 Nonoperative removal Minor II, III, IV
of therapeutic device
97.41 from thorax Removal of Minor II, III, IV
thoracotomy tube or pleural
97.5 cavity drain Minor II, III, IV
Nonoperative removal of
therapeutic device from digestive
97.51 system Minor II, III, IV
97.52 Removal of gastrostomy tube Minor II, III, IV
Removal of tube from small
intestine

97.6 Non-operative removal of


therapeutic device from urinary
system Minor II, III, IV
97.63 Removal of cystostomy tube Minor II, III, IV
97.64 Removal of indwelling urinary
catheter Minor II, III, IV

618
99 Other non-operative procedures
99.0 Transfusion of blood and blood Significant, II, III, IV
components minor
Use additional code for that
done via catheter or cutdown
99.00 (38.92- 38.94) II, III, IV
Perioperative autologous Significant,
transfusion of whole blood or minor
blood components
99.01 II*), III, IV
Exchange transfusion
Transfusion: exsanguination
Significant,
replacement
99.02 minor II, III, IV
Transfusion of previously
collected autologous blood
Blood component Significant,
99.03 II, III, IV
Other transfusion of whole minor
blood Transfusion: blood
hemodilution
Transfusion of packed cells Significant,
99.04 Transfusion of platelets II, III, IV
99.05 minor
Transfusion of thrombocytes
Transfusion of coagulation II, III, IV
99.06 factors Transfusion of anti- II, III, IV
99.07 hemophilic factor
Significant,
Transfusion of other serum
minor II, III, IV
Transfusion of plasma
99.08 Transfusion of blood expander Significant,
Transfusion of Dextran minor
Significant, II, III, IV
minor
*)
Emergency procedure

Significant,
minor

Significant,
minor

99.1 Injection or infusion of Significant, II, III, IV


therapeutic or prophylactic minor
99.15 substance II, III, IV
Parenteral infusion of Significant,
concentrated nutritional minor

619
substances
. Hyperalimentation
99.17 . Total parenteral II, III, IV
99.18 nutrition [TPN] II, III, IV
99.19 Peripheral Significant, II, III, IV
parenteral nutrition minor
[PPN] Significant,
Injection of insulin minor
Significant,
Injection or infusion of
minor
electrolytes
Injection of anticoagulant

99.2 Injection or infusion of other Significant, II, III, IV


therapeutic or prophylactic minor
substance ®
99.21 Injection of antibiotic I*), II, III, IV
99.22 Injection of other anti- infective Significant, I*, II, III, IV
99.23 Injection of steroid minor II, III, IV
Significant, *)
Emergency procedure
minor
Significant,
minor
99.3 Prophylactic vaccination and Minor I, II, III,
inoculation against certain IV
bacterial diseases

99.4 Prophylactic vaccination and Minor I, II, III,


inoculation against certain viral IV
diseases

99.5 Other vaccination and Minor I, II, III,


99.56 inoculation Administration of IV
tetanus/
diphteri antitoxin

99.6 Conversion of cardiac rhythm Significant, I, II, III, IV


99.60 Cardiopulmonary resuscitation, major I, II, III, IV
not otherwise specified (NOS) Significant,
99.62 Other electric counter shock of major II, III, IV
heart
Cardioversion: Significant,
. NOS minor
. externalConversion to sinus
rhythm
. DefibrillationExternal
99.63 electrode stimulation I, II, III, IV
Closed chest cardiac massage
. Cardiac massage NOS
Significant,
. Manual external cardiac
minor
massage

620
99.8 Miscellaneous physical
99.81 procedures Hypothermia Significant, II*), III, IV
99.83 (central) (local) major
Other phototherapy: I, II, III, IV
99.84 Phototherapy of the newborn Significant, I, II, III, IV
Isolation minor
. Isolation after contact Minor
with infectious disease
. Protection of individual
from his surroundings/
surroundings from
individual *)
Emergency procedure

99.9 Other miscellaneous procedures Minor I, II, III,


99.98 Extraction of milk from lactating IV
breast

Start

DRG

621
LOS <5 d Yes
Yes 2501
And Sign or Maj or
Discharge type Procedure 2502
= (AX15PBX or
Died or Transfer 15 PDX)

2503
No or
Yes 2504

Minor

Procedure

No (AX15PCX)
or Other No
procedure Died 2505
for newborn
Discharge
type

Transfer
2506
Cardiothoracic (4)
procedure
(AX25PEX ) 2512
9

Sign Procedure
Yes
2507
Adm weight (AX15PBX
)
≥2500 g or
age ≤28 days Yes Maj Procedure 2508
without weight
adm
(AX15PDX
)

No
Minor Procedure
Yes 2509
(AX15PCX)

Yes Other Procedure 2510

For Newborn

622
1
Yes Sign Procedure
Adm weight 2512
≥2000 g

Yes
Maj Procedure
2513

Yes
No 2514
Minor Procedure

Yes
Other Procedure 2515

Yes Sign Procedure xxxx

Adm weight
≥1800 g
Yes
Maj Procedure xxxx

No

Yes Minor Procedure xxxx

Yes
Other Procedure xxxx

Yes xxxx
Sign Procedure

Yes Maj Procedure xxxx


No

Adm weight
Yes xxxx
≥1000 g Minor Procedure

Other Procedure
Yes
xxxx
For Newborn

2
725

Sign Procedure xxxx

Adm weight
≥700 g

Maj Procedure xxxx

2
Minor Procedure xxxx

Other Procedure xxxx

PDx and SDx DRG


Major CC or > 1 25033
Sign Procedure SDx Major CC
(AX25BX
DRG
25032

Maj Procedure
xxxx
(AX15PDX
)

Minor Procedure xxxx

(AX15PCX)

Other Procedure xxxx

For Newborn

STOP

624
ICD-10 Neonatal Diseases Coding
Code Description
A33 Tetanus neonatorum
P000 Fetus & newborn aff by mat H/T disrd
P001 Fetus & newborn aff by mat urinary dis
P002 Fetus & newborn aff by mat infect dis
P003 Fetus newborn aff oth mat circ resp dis

625
P004 Fetus & newborn aff mat nutrit disrd
P005 Fetus & newborn aff by maternal injury
P006 Fetus & newborn aff by maternal surgery
P007 Fetus newborn aff oth mat med proc NEC
P008 Fetus & newborn aff by oth mat cond
P009 Fetus & newborn affected by mat cond NOS
P010 Fetus & newborn aff incompetent cervix
P011 Fetus & newborn affected by PROM
P012 Fetus & newborn aff oligohydramnios
P013 Fetus & newborn aff polyhydramnios
P014 Fetus & newborn aff by ectop pregnancy
P015 Fetus & newborn aff by multiple preg
P016 Fetus & newborn aff by maternal death
P017 Fetus newborn aff malpres before labour
P018 Fetus & newborn aff by oth mat comp preg
P019 Fetus & newborn aff by mat comp preg NOS
P020 Fetus & newborn aff by placenta praevia
P021 Fetus & newborn aff oth placnt sep haem
P022 Fetus aff oth morph fn abn placenta
P023 Fetus & newborn aff placnt transfn syndr
P024 Fetus & newborn aff by prolapsed cord
P025 Fetus newborn aff oth compression umb
P026 Fetus & newborn aff oth cond umb cord
P027 Fetus & newborn aff by chorioamnionitis
P028 Fetus & newborn aff by oth abn membranes
P029 Fetus & newborn by aff abn membranes NOS
P030 Fetus & newborn aff by breech delivery
P031 Fetus newborn aff oth malpres in labour
P032 Fetus & newborn aff by forceps delivery
P033 Fetus & newborn aff by vacuum extract
P034 Fetus & newborn aff caesarean delivery
P035 Fetus & newborn aff precipitate delivery
P036 Fetus newborn aff abn uterine contrctn
P038 Fetus newborn aff oth spec comp labour
P039 Fetus newborn aff comp labour delv NOS
P040 Fetus & newborn aff mat anaes analgesia
P041 Fetus newborn aff oth mat medication
P042 Fetus & newborn aff by mat use of tobacco
P043 Fetus & newborn aff by mat use of alc
P044 Fetus & newborn aff by mat use of drug of addiction
P045 Fetus & newborn aff by mat use of nutri chem subs
P046 Fetus & newborn aff by mat exposure to envir chem subs
P048 Fetus & newborn aff by oth mat noxious influ

P049 Fetus & newborn aff by mat noxious influ unspec


P050 Light for gestational age
P051 Small for gestational age
P052 Fet malnutrit w/o mention light or small for gestational age
P059 Slow fetal growth, unspecified
P070 Extremely low birth weight
P071 Other low birth weight
P072 Extreme immaturity

626
P073 Other preterm infants
P080 Exceptionally large baby
P081 Other heavy for gestational age infants
P082 Post- term infant, not heavy for gest age
P100 Subdural hemorrhage d/t birth inj
P101 Cerebral hemorrhage d/t birth inj
P102 Intraventr hemorrhage d/t birth inj
P103 Subarch hem d/t birth inj
P104 Tentorial tear d/t birth inj
P108 Oth intracr lacerations & hemorrhages dt birth inj
P109 Unsp intracr lacerations & hemorrhages dt birth inj
P110 Cerebral edema dt birth inj
P111 Oth specified brain damage d/t birth inj
P112 Unspecified brain damage d/t birth inj
P113 Birth inj to facial nerve
P114 Birth inj to other cranial nerves
P115 Birth inj to spine & spinal cord
P119 Birth inj to CNS; unspec
P120 Cephalhematoma d/t birth inj
P121 Chignon d/t birth inj
P122 Epicranial subaponeurotic hemorrhage d/t birth inj
P123 Bruising of scalp d/t birth inj
P124 Monitoring inj of scalp of newborn
P128 Other birth inj to scalp
P129 Birth inj to scalp, unspec
P130 Fracture of skull d/t birth inj
P131 Other birth inj to skull
P132 Birth inj to femur
P133 Birth inj to other long bones
P134 Fracture of clavicle d/t birth inj
P138 Birth inj to oth prt of skeleton
P139 Birth inj to skeleton, unspec
P140 Erb’s paralysis d/t birth inj
P141 Klumpke’s paralysis d/t birth inj
P142 Phrenic nerve paralysis d/t birth inj
P143 Other brachial plexus birth inj
P148 Birth inj to oth parts of periph nerv sys
P149 Birth inj to oth parts of periph nerv sys, unspec
P150 Birth inj to liver
P151 Birth inj to spleen
P152 Sternomastoid inj d/t birth inj
P153 Birth inj to eye
P154 Birth inj to face

P155 Birth inj to external genitalia


P156 Subcutaneous fat necrosis d/t birth inj
P158 Other specified birth inj
P159 Birth inj, unspecified
P200 Intrauterine hypoxia first noticed before onset of labor
P201 Intrauterine hypoxia first noticed dur onset of labor
P209 Intrauterine hypoxia, unspec
P210 Severe birth asphyxia

627
P211 Mild & moderate birth asphyxia
P219 Birth asphyxia, unspecified
P220 Resp distress syndrome of newborn
P221 Transient tachypnea of newborn
P228 Other resp distress of newborn
P229 Resp distress of newborn, unspec
P230 Congen pneumonia d/t viral agent
P231 Congen pneumonia d/t Chlamydia
P232 Congen pneumonia d/t staphylococcus
P233 Congen pneumonia d/t streptococcus gr B
P234 Congen pneumonia d/t E. coli
P235 Congen pneumonia d/t Pseudomonas
P236 Congen pneumonia d/t other tract agents
P238 Congen pneumonia d/t other organisms
P239 Congen pneumonia, unspec
P240 Neonatal aspiration of meconium
P241 Neonatal aspiration of amniotic fluid & mucus
P242 Neonatal aspiration of blood
P243 Neonatal aspiration of milk & regurgitated food
P248 Other neonatal aspiration syndromes
P249 Neonatal aspiration syndrome, unspec
P250 Interstitial emphysema orig in perinatal period
P251 Pneumothorax originating in perinat period
P252 Penumomediastinum orig in perinat period
P253 Penumopericardium orig in perinat period
P258 Oth conds rel interstit emphys orig in perinat period
P260 Tracheobronchial hemorr orig in perinat period
P261 Massive pulm hemorr orig in perinat period
P268 Oth pulm hemorr orig in perinat period
P269 Unspec pulm hemorr orig in perinat period
P270 Wilson-Mikity syndrome
P271 Bronchopulmonay dysplasia orig in perinat period
P278 Oth chronic resp dis orig in perinat period
P279 Unspec chr resp dis orig in perinat period
P280 Primary athelectasis of newborn
P281 Other & unspec atelectasis of newborn
P282 Cyanotic attacks of newborn
P283 Primary sleep apnea of newborn
P284 Other apnea of newborn
P285 Respiratory failure of newborn
P288 Oth specified resp conds of newborn
P289 Resp condition of newborn, unspec
P290 Neonatal cardiac failure

P291 Neonatal cardiac dysrhythmia


P292 Neonatal hypertension
P293 Persistent fetal circulation
P294 Transient myocardial ischemia of newborn
P298 Oth cardiovascular dis orig in perinat period
P299 Cardiovascular dis orig in periat period unsp
P350 Congenital rubella syndrome
P351 Congenital cytomegalovirus infection

628
P352 Congenital herpesviral inf
P353 Congenital viral hepatits
P358 Other congen viral diseases
P359 Congen viral disease, unspec
P360 Sepsis of newborn d/t sterptococcus, gr B
P361 Sepsis of newborn d/t oth & unspec sterptococci
P362 Sepsis of newborn d/t Staphylococcus aureus
P363 Sepsis of newborn d/t oth & unspec staphylococci
P364 Sepsis of newborn d/t E coli
P365 Sepsis of newborn d/t anaerobs
P366 Other bacterial sepsis of newborn
P369 Bacterial sepsis of newborn, unspec
P370 Congenital tuberculosis
P371 Congenital toxoplasmosis
P372 Neonatal (disseminated) listeriosis
P373 Congenital falciparum malaria
P374 Other congenital malaria
P375 Neonatal candidiasis
P378 Oth spec cingen inf & parasitic dis
P379 Congen inf or parasitic disease, unspec
P38 Omphalitis of newborn w or w/o mild hemorr
P390 Neonatal infective mastitis
P391 Neonatal conjunctivitis & dacryocystitis
P392 Intra-amniotic infection of fetus , NEC
P393 Neonatal urinary tract infection
P394 Neonatal skin infection
P398 Oth spec inf specific to the perinatal period
P399 Infectn specific to the perinatal period, unspec
P500 Fetal blood loss from vasa previa
P501 Fetal blood loss from ruptured cord
P502 Fetal blood loss from placenta
P503 Hemorrhage into co-twin
P504 Hemorrhage into maternal circulation
P505 Fetal blood loss from cut end of co-twin’s cord
P508 Other fetal blood loss
P509 Fetal blood loss, unspecified
P510 Massive umbilical hemorrhages of newborn
P518 Other umbilical hemorrhages of newborn
P519 Umbilical hemorrhage of newborn, unspec
P520 Intraventic (nontraum) hemorr gr 1 fet newborn
P521 Intraventic (nontraum) hemorr gr 2 fet newborn
P522 Intraventic (nontraum) hemorr gr 3 fet newborn
P523 Unspec intraven (nontraum) hemorr fet newborn

P524 Intracerb (nontraum) hemorr of fet & newborn


P525 Subarach (nontraum) hemorr of fet & newborn
P526 Cerebellar (nontraum) & post fossa hemorr of fet & newborn
P528 Oth intract (nontraum) hemorr of fet & newborn
F529 Intracr (nontraum) hemorr fet & newborn unsp
P53 Hemorrhagic disease of fetus & newborn
P540 Noenatal haematemesis
P541 Neonatal melaena

629
P542 Neonatal rectal hemorrhage
P543 Oth neonatal gastrointest hemorrhage
P544 Neonatal adrenal hemorrhage
P545 Neonatal cutaneus hemorrhage
P546 Neonatal vaginal hemorrhage
P548 Oth spec neonatal hemorrhages
P549 Neonatal hemorrhage, unspec
P550 Rh isoimmunication of fet & newborn
P551 ABO isoimmunization of fet & newborn
P558 Oth hemolytic dis of fet & newborn
P559 Hemolytic disease of fet & newborn, unspec
P560 Hydrops fetalis d/t isoimmunization
P569 Hydrops fetalis d/t oth & unspec hemolytic dis
P570 Kernicterus d/t isoimmunization
P578 Other specified kernicterus
P579 Kernicterus, unspecified
P580 Neonat jaund d/t bruising
P581 Neonat jaund d/t bleeding
P582 Neonat jaund d/t infection
P583 Neonat jaund d/t polycythemia
P584 Neonat jaund d/t drg tox transm from moth orgiven nwbrn
P585 Neonat jaund d/t swallowed mat blood
P588 Neonat jaund d/t oth spec excess hemolysis
P589 Neonat jaund d/t excess hemolysis, unspec
P590 Neonat jaund assoc w preterm deliv
P591 Inspissated bile syndrome
P592 Neonatal jaund from oth & unspec hepatcellu damage
P593 Neonatal jaund from breast milk inhibitor
P596 Neonatal jaund from othr spec causes
P599 Neonatal jaund, unspecified
P60 Dissem intravasc coagul of fetus & newborn
P610 Transient neonatal trombocytopenia
P611 Polycythemia neonatorum
P612 Anemia of prematurity
P613 Congen anemia from fetal blood loss
P614 Other congenital anemias, NEC
P615 Transient neonatal neutropenia
P616 Oth transient neonatal dis of coagulation
P618 Oth specified perinatal hematological dis
P619 Perinatal hematological dis, unspec
P700 Syndrome of infant of moth w gest diabetes
P701 Syndrome of infant of a diabetic mother
P 702 Neonatal Diabetes Mellitus

P 703 Iatrogenic Neonatal Hypoglycemia


P 704 Other Neonatal Hypoglycemia
P 708 Oth trns disrd fetal carbohydrate metab
P 709 Trans disrd fetal carbohydrate metab NOS
P 710 Cow's milk hypocalcaemia in newborn
P 711 Other neonatal hypocalcaemia
P 712 Neonatal hypomagnesaemia
P 713 Neon tetany wo calcium magnesium def

630
P 714 Transitory neonatal hypoparatyhyroidism
P 718 Oth trns neonat dis calcium magns metab
P 719 Trns neonat disrd calcm magns metab NOS
P 720 Neonatal goitre NEC
P 721 Transitory neonatal hyperthyroidism
P 722 Oth trns neonat disrd thyroid fn NEC
P 728 Oth spec trns neonatal endocrine disrd
P 729 Transitory neonatal endocrine disrd NOS
P 740 Late metabolic acidosis of newborn
P 741 Dehydration of newborn
P 742 Disturb of sodium balance of newborn
P 743 Disturb of potassium balance of newborn
P 744 Oth transitory electrolyte disturbance of newborn
P 745 Transitory tyrosinemia of newborn
P 748 Oth transit metabol disturbance of newborn
P 749 Transitory metabol disturb of newborn, unspec
P 75 Meconium ileus
P 760 Meconium plug syndrome
P 761 Transitory ileus of newborn
P 762 Intestinal obstruction due to inspissated milk
P 768 Intestinal obstruction of newborn, unspec
P 77 Necrotizing enterocolitis of fetus & newborn
P 780 Perinatal intestinal perforation
P 781 Other neonatal peritonitis
P 782 Neonatal hematemesis and melena d/t swallowed matern blood
(Neonatal hematemesis and melena due to swallowed maternal
blood)
P 783 Noninfecctive neonatal diarrhea
P 788 Other specified perinatal digestive system disorders
P 789 Perinatal dig sys dis, unspec
P 800 Cold inj syndrome
P 808 Other hypothermia of newborn
P 809 Hypothermia of newborn, unspec
P 810 Environmental hyperthermia of newborn
P 818 Other spec disturb of temp regulation of newborn
P 819 Disturbance of temp regul of newborn
P 830 Sclerema neonatorum
P 831 Neonatal erythem nodosum
P 832 Hydrops fetalis not due to hemolytic dis
P 833 Other & unsp edema spec to newborn
P 834 Breast engorgement of newborn
P 835 Congenital hydrocele
P 836 Umbilical polyp of newborn

P 838 Oth spec condition of integument specific to newborn


P 839 Condition of the integument specific to newborn, unspecified
P 90 Convulsions of newborn
P 910 Neonatal cerebral ischemia
P 911 Acquired periventricular cysts of newborn
P 912 Neonatal cerebral leukomalacia
P 913 Neonatal cerebral irritability
P 914 Neonatal cerebral depression

631
P 915 Neonatal coma
P 916 Hypoxic-Ischemic encephalopathy of newborn
P 918 Other specified disturbance of cerebral status of newborn
P 919 Disturbance of cerebral status of newborn, unspec
P 920 Vomiting in newborn
P 921 Regurgitation and Rumination of newborn
P 922 Slow feeding of newborn
P 923 Underfeeding of newborn
P 924 Overfeeding of newborn
P 925 Neonatal difficulty in feeding at breast
P 928 Other feeding problem of newborn
P 929 Feeding problem of newborn, unspec
P 93 Reactions and intoxications due to drugs administered to
newborn
P 940 Transient neonatal myasthenia gravis
P 941 Congenital hypertonia
P 942 Congenital hypotonia
P 948 Other dis of muscles tone of newborn
P 949 Dis muscles tone of newborn, unspec
P 960 Congenital renal failure
P 961 Neonatal withdrawal symptoms from maternal use of drugs of
addiction
P 962 Withdrawal symptoms from therapeutic use of drugs in
newborn
P 963 Wide cranial sutures of newborn
P 965 Complication to newborn due to (fetal) intrauterine procedure
P 968 Other specified conditions originating in the perinatal period.
P 969 Condition originating in the perinatal period, unspecified.
O 660 Obstructed labor due to shoulder dystocia.
O 661 Fetal hydantoin syndrome
O 662 Obstructed labor due to unusually large fetus
O 666 Obstructed labor due to other multiple fetuses
O 675 Other specific joint derangements left foot, not elsewhere
classified.
O 894 Conjoined twins
O 897 Multiple congenital malformations NEC
O 898 Other specified congenital malformations
O 899 Congenital malformations unspec
Z 380 Single liveborn infant, born in hospital
Z 381 Single liveborn, unspec as to place of birth
Z 383 Twin, born in hospital
Z 384 Twin, born outside hospital
Z 385 Twin, unspec as to place of birth
Z 386 Other multiple, born in hospital
Z 387 Other multiple, born outside hospital
Z 388 Other multiple, unspec as to place of birth

632
633

Anda mungkin juga menyukai