Anda di halaman 1dari 52

BUKU SAKU NEUROEMERGENCY

Disusun Oleh:
Raymond Jeremy Saerang
Aristo Rinaldi Pangestu
Audric Albertus
Thiofany Veony
Steven Alviano Yuwono
Dwi Hartanto Wongso
Dyah Ayu Tirta Nuratikah
Renaldy Santoso Thio
Jennifer

Editor:
Audric Albertus
Terapi Umum dalam Neuroemergency
Raymond Jeremy Saerang, Jennifer
Terapi Awal
• terdiri dari komponen ABCDE yang dilakukan secara simultan
o Airway with cervical spine protection
o Breathing and Ventilation
o Circulation with hemorrhage control
o Disability
o Exposure and environment

1. airway dan proteksi tulang belakang bagian servikal


tujuan : menjaga patensi dan stabilisasi jalan napas
yang dilakukan:
• membersihkan jalan nafas ( contoh : suction)
• jaw thrust, chin lift
• oropharyngeal airway
• definitive airway ( intubasi endotrakeal, trakeostomi ) --> GCS <8
• Kontrol tulang belakang servikal dengan hard collar neck

2. breathing and ventilation


• dinilai dengan : LLF ( look, listen, Feel )
• yang dilakukan:
o monitor saturasi oksigen, support ventilasi
• circulation with hemorrhage control (lihat terapi cairan)
melihat apakah ada inadekuasi sirkulasi seperti gagal nafas perubahan tingkat
kesadaran, tanda asidosis metabolik ( nafas cepat dan dalam), penurunan jumlah urin,
dan pendarahan
• yang dilakukan :
o mengukur:
§ nadi,
§ tekanan darah
§ capillary refill time
§ temperatur tubuh
§ melihat warna kulit
3. disability : neurologic status
• menilai status mental dengan menilai AVPU
A : Alert
V : Voice
P : Pain
U : Unresponsif
• dilakukan juga pemeriksaan neurologis lainnya seperti pemeriksaan pupil, motorik,
dll.
4. exposure and environment
• exposure ( pemaparan ) --> memaparkan seluruh tubuh pasien
tujuan : memastikan tidak adanya luka lainnya yang terlewatkan untuk diperiksa
yang dapat mengancam hidup pasien

• environment ( lingkungan) --> untuk mencegah perburukan keadaan pasien yang


dapat disebabkan karena lingkungan
yang dilakukan contohnya menyelimuti pasien dengan selimut kering dan hangat,
alat penghangat eksternal

Referensi
1.Surgeon ACf. Advance Trauma Life Support. 9th ed. Chicago: American College for Surgeon ;
2012.
2. Victoria T. http://trauma.reach.vic.gov.au/. [Online].; 2016 [cited 2016 May 15. Available
from: http://trauma.reach.vic.gov.au/guidelines/early-trauma-care/primary-survey
Terapi Cairan
• Jenis Terapi Cairan:
o Cairan Resusitasi
o Cairan Maintenance
o Cairan Replacement dan Redistribusi

• Jenis Cairan
§ Umum
• Kristalloid (isotonik)
• Koloid (hipertonik
§ Berdasarkan osmolaritas
• Isotonik
Cairan yang osmolaritasnya mendekati serum. Fungsinya untuk mengkoreksi
hypovolemia. Contoh cairan Ringer-Laktat (RL), NaCL 0,9%, dan Asering.
• Hipotonik
Cairan yang osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum. Fungsinya
untuk cairan pembuluh darah keluar ke interstisial dan seluler. Indikasinya
untuk dehidrasi seluler (dialisis dan DKA). Contoh cairan NaCL 45% dan
Dekstrosa 2,5%
• Hipertonik
Cairan yang osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum. Fungsinya
untuk menarik cairan dari interstisial ke dalam pembuluh darah. Indikasinya
untuk mengurangi edema. Contoh Mannitol 20%, NaCl 45%, dan albumin.

Referensi
§ National Institute for Health and Care Excellence (NICE). Intravenous fluid therapy in adults in
hospital. 2013.
§ Tanto, Chris. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.

Stroke Iskemik Akut


Steven Alviano Yuwono
Definisi
• Stroke: menifestasi klinis dari gangguan fungsi serebral akibat gangguan serebrovaskular,
baik secara fokal maupun menyeluruh yang berlangsung dengan cepat, selama lebih dari 24
jam, yang dapat berakhir dengan kematian.
• Infark sistem saraf pusat adalah kematian sel pada otak, medulla spinalis, atau retina yang
disebabkan oleh keadaan iskemik, dan diketahui dari gejala klinis ataupun pemeriksaan
patologi, radiologi, atau yang lainnya.

Patomekanisme
• Thrombosis arterial terjadi akibat adanya pembentukan thrombus pada arteri.
o Arteri besar
stenosis atau penyempitan pada arteri carodid interna, vertebralis, atau arteri
intracranial menyebabkan kurangnbya aliran darah di atas lokasi lesi. Penyebab:
atherosclerosis, vaskulitis, diseksi
o Arteri kecil
hipertensi kronik atau diabetes mellitus yang menyebabkan terjadinya penebalan
dinding arteri yang mengakibatkan penyempitan lumen pembuluh darah. Lokasi:
paling sering di end arteri (basal ganglia, capsula interna, thalamus)
• Cardioemboli
penyumbatan aliran arteri serebral akibat partikel (thrombus) yang berasal dari jantung.
Lokasi: arteri proksimal MCA (paling sering). Penyebab: fibrilasi atrial(paling sering),
penyakit katup jantung rheumatic, katup jantung prostetik, infark miokard, endocarditis
infeksi.
• Hipoperfusi sistemik
iskemik pada serebral secara global, biasanya akibat kegagalan pompa jantung.

Klasifikasi
• Stroke dibedakan menjadi 2 jenis yaitu stroke iskemik dan hemorrhagic.
• NIHSS mengkategorikan stroke berdasarkan keparahannya menjadi 4 yaitu mild stroke (skor
NIHSS 1-4), moderate stroke (skor NIHSS 5-15), moderate to severe stroke (skor NIHSS 16-
20), dan severe stroke (skor NIHSS 21-42).
• Klasifikasi Oxford yang membagi stroke menjadi 4:
a. Total anterior circulation stroke, dimana terdapat kelemahan unilateral, homonymous
hemianopia, dan disfungsi serebral (dysphasia, visuospatial disorder)
b. Partial anterior circulation syndrome, dengan 2 dari 3 gejala berikut yaitu kelemahan
unilateral, homonymous hemianopia, atau disfungsi serebral (dysphasia, visuospatial
disorder)
c. Posterior circulation syndrome, dengan salah satu dari gejala berikut: sindrom
cerebellar atau batang otak, kehilangan kesadaran, atau isolated homonymous
hemianopia
d. Lacunar syndrome, dengan satu dari gejala berikut: kelemahan unilateral (dan/atau
defisit sensoris), stroke sensorik murni, atau hemiparesis ataxia.

Tatalaksana
• Airway, Breathing, Circulation
• Monitor BP (peningkatan BP akut, dapat berguna untuk mempertahankan penumbra)
BP tidak di turunkan, obat anti hipertensi mulai di berikan setelah onset hari ke 5, kecuali
SBP >220mmHg atau DBP >120mmHg, atau terdapat kondisi infark miokard akut, gagal
ginjal, atau diseksi aorta.
• Monitor glukosa darah, hindari hiperglikemi
• Monitor suhu, turunkan suhu bila demam
• Thrombolisis jika memungkinkan (<3-4.5 jam dari onset gejala)
• Poin kunci anamnesis: adanya deficit neurologis (kelemahan, pelo, gangguan bicara,
menelan), tiba-tiba, saat beristirahat: stroke iskemik, saat beraktivitas, terdapat nyeri kepala:
stroke perdarahan, riwayat hipertensi, riwayat DM
• Pemeriksaan: CT scan kepala non kontras (untuk eksklusi adanya perdarahan, dan usia
infark), ECG (deteksi atrial fibrilasi, cardioemboli), Lab (CBC, GDS, elektrolit, PT, aPTT,
ureum, kreatinin)
• Gambaran CT scan:
Hiperakut(<6jam) Akut(6-48jam)
Normal (50-60%)
Hiperdens arteri (dense MCA sign)
Hilangnya gambaran white-gray (insular ribbon sign)
Hilangnya sulkus kortikal atau penyempitan fisura sylvian
Kompresi system ventrikel dan basal cisterna
Gambaran hipodensitas
Subakut (48jam-minggu)
Pembengkakan jaringan otak
Efek masa
Fogging effect
Transformasi perdarahan
Kronik (minggu-bulan)
Encephalomalacia dan gliosis
Efek masa negatif
• Fibrinolisis
Fibrinolisis intravena menggunakan rTPA. kriteria inklusi dan eksklusi, antara lain:
1. Kriteria inklusi
a. Terdiagnosis stroke iskemik dengan defisit neurologis
b. Onset gejala <3 jam sebelum memulai pengobatan
c. Usia >=18 tahun
2. Kriteria eksklusi
a. Trauma kepala yang berat atau riwayat stroke dalam 3 bulan terakhir
b. Gejala pendarahan subarachnoid
c. Pungsi arteri pada tempat yang tidak diketahui dalam 7 hari terakhir
d. Riwayat pendarahan intrakranial
e. Neoplasma intrakranial, arteriovenous malformation, aneurysm
f. RIwayat operasi intracranial atau intraspinal baru
g. Tekanan darah systole >185 mmHg atau diastole >110 mmHg
h. Pendarahan internal akut
i. Kecenderungan pendarahan
j. Platelet <100000/mm3
k. Menerima heparin dalam 48 jam terakhir, menghasilkan aPTT lebih tinggi
dari normal
l. Pasien mengkonsumsi antikoagulan dengan INT > 1.7 atau PT > 15 detik
m. Pasien mengkonsumsi direct thrombin inhibitors atau direct factor Xa
inhibitors yang menyebabkan peningkatan hasil pemeriksaan laboratorium
(aPTT, INR, Platelet count, ECT)
n. Gula darah <50 mg/dL
o. Terdapat multilobsar infarction pada CT scan
3. Kriteria eksklusi relatif
a. Stroke minor atau membaik dengan cepat secara spontan
b. Hamil
c. Kejang saat onset stroke dengan gangguan neurologis residual postictal
d. Pasien menjalani operasi mayor atau trauma serius dalam 14 hari terakhir
e. Pendarahan gastrointestinal atau traktus urinarius dalam 21 hari terakhir
f. Infark myokardial akut dalam 3 bulan terakhir
Tambahan kriteria inklusi dan eksklusi untuk menjalankan pengobatan rTPA pada pasien
dengan onset stroke 3 – 4.5 jam:
a. Kriteria inklusi
• Terdiagnosis stroke iskemik dengan defisit neurologis
• Onset gejala 3 – 4.5 jam sebelum memulai pengobatan
b. Kriteria eksklusi relative
• Usia >80 tahun
• Severe stroke berdasarkan NIHSS (score >25)
• Menggunakan antikoagulan oral, tanpa memperhatikan INR
• Riwayat diabetes dan stroke
Apabila pasien memenuhi kriteria untuk menjalankan fibrinolysis dengan IV rTPA, maka
terapi dapat dimulai:
a. Berikan 0.9 mg/kgBB (maksimal 90 mg) dalam 60 menit, dengan 10% dosisnya
diberikan secara bolus dalam 1 menit
b. Masukkan pasien ke unit intensive care atau stroke unit
c. Apabila pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat, mual atau muntah, atau gejala
neurologis yang memburuk, hentikan pemberian rTPA dan lakukan CT scan darurat.
d. Lakukan pengukuran tekanan darah dan penilaian neurologis setiap 15 menit ketika
melakukan terapi dan hingga 2 jam setelahnya, lalu setiap 30 menit untuk 6 jam
berikutnya, lalu setiap jam sampai 24 jam setelah pengobatan rTPA
Lakukan pemeriksaan follow up CT atau MRI 24 jam setelah pemberian IV rTPA
sebelum memulai pemberian antiplatelet.

Referensi
1. Hemphill JC, 3rd, Greenberg SM, Anderson CS, Becker K, Bendok BR, Cushman M, et
al. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage: A Guideline for
Healthcare Professionals From the American Heart Association/American Stroke Association.
Stroke; a journal of cerebral circulation. 2015;46(7):2032-60.
2. Jauch EC, Saver JL, Adams HP, Jr., Bruno A, Connors JJ, Demaerschalk BM, et al.
Guidelines for the early management of patients with acute ischemic stroke: a guideline for
healthcare professionals from the American Heart Association/American Stroke Association.
Stroke; a journal of cerebral circulation. 2013;44(3):870-947.
3. Kernan WN, Ovbiagele B, Black HR, Bravata DM, Chimowitz MI, Ezekowitz MD, et al.
Guidelines for the prevention of stroke in patients with stroke and transient ischemic attack: a
guideline for healthcare professionals from the American Heart Association/American Stroke
Association. Stroke; a journal of cerebral circulation. 2014;45(7):2160-236.
4. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJ, Culebras A, et al. An
updated definition of stroke for the 21st century: a statement for healthcare professionals from
the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke; a journal of cerebral
circulation. 2013;44(7):2064-89.
5. Wijdicks EF, Sheth KN, Carter BS, Greer DM, Kasner SE, Kimberly WT, et al.
Recommendations for the management of cerebral and cerebellar infarction with swelling: a
statement for healthcare professionals from the American Heart Association/American Stroke
Association. Stroke; a journal of cerebral circulation. 2014;45(4):1222-38.

Perdarahan Intraserebral
Renaldy Santoso Thio
Definisi
Perdarahan dalam parenkim otak, sekitar ~ 10% dari kejadian stroke dapat masuk ke dalam
sistem ventrikel (IVH) atau melalui permukaan kortikal (SAH)

Etiologi
• Non - Trauma

• Kerusakan hipertensi
1. Hipertensi
2. Eklampsia
3. Obat (amfetamin, kokain, alkohol, antikoagulan, dll)
• Anomali vaskular
1. Aneurisma, AVMs, dan malformasi vaskular lainnya
2. Trombosis sinus vena
3. Arteriopathies (angiopati amiloid serebral, lipohialinosis, vaskulitis)
• Disfungsi autoregulasi
1. Cedera reperfusi
2. Transformasi dengue (reperfusi pasca stroke, operasi, latihan berat, dll)
3. Paparan dingin
• Perubahan Hemostasis
1. Trombolisis
2. Antikoagulasi
3. Perdarahan diathesis
• Arteriopati
1. Cerebral angiopati amiloid
2. Moyamoya
• Obstruksi vena
1. Trombosis vena serebral
• Nekrosis hemoragik
1. Tumor (1%): GBM, limfoma, metastasis
2. Infeksi SSP (jamur, granuloma, herpes simpleks ensefalitis)
• Koagulopati (iatrogenik, leukemia, TTP, anemia aplastik)
• Idiopatik
• Trauma

• Pasca trauma (segera atau ditunda, lobus frontal dan temporal yang paling sering terluka
melalui mekanisme coup-contrecoup)
• Pasca operasi (pasca-endarterektomi reperfusi otak, kraniotomi)
Hipertensi kronis menghasilkan vasculopathy pembuluh darah kecil yang mempengaruhi arteri
penetrasi jaringan otak, ciri vasculopathy:
• Lipohialinosis
• Nekrosis fibrinoid
• Aneurisma charcot-bouchard

Situs predileksi
• Basal ganglia (40-50%)
• Daerah Lobar (20-50%)
• Thalamus (10-15%)
• Pons (5-12%)
• Cerebellum (5-10%)
• situs batang otak lain (1-5%)

Epidemiologi
• 12-15 kasus / 100.000 penduduk / tahun

Faktor Resiko
“CALL HARM”
CVA past history (riwayat stroke)
Age >55 yr (umur >55 tahun)
Liver disease (gangguan fungsi hati)
Liquid blood – anticoagulated (pengguanan antikoagulasi)
Hipertension (hipertensi)
Alcohol, cocaine, amphetamines (penggunaan alkohol, kokain, amfetamin)
Race - Black/Asian > Caucasian (ras)
Male (laki – laki)

Clinical Features
Supratentorial Hematoma
Mass effect:
Sudden onset of headache fllowed by eaither a rapid loss of consiusness or gradual deterioration
in consiuness level over 24-48 hours.
Focal Sign:
Hemiparesis, hemisensory loss, homonymous hemianopia are common. The patient may be
aware of limb weakness developing prior to losing consciousness. NIII palsy indicates
transtentorial herniation.

Cerebellar Haematome
Sudden onset of headache (acute or sub acute)
Cerebellar and brainstem syntomps and sign ex: severe ataxia, dysarthria, nystagmus, vertigo and
vomiting

Pontine Haematoma
Sudden loss of consiouness
Quadriplegia
Respiratory irregularities à slowed respiration
Pinpoint pupils, pyraxia
Skewed/dysconjugate eye movement
Death

Tatalaksana
Gangguan koagulasi
• Vitamin K 10 mg dengan kecepatan pemberian <1 mg/menit. Efek akan timbul6 jam kemudian.
• FFP 2-6 unit à mengoreksi dengan cepat defisiensi factor pembekuan darah.
• Mencegah tromboemboli vena à pneumatic intermittent compression selain dengan stoking
elastis
• Efek heparin à proamin sulfat 10-50 mg IV dalam waktu 1-3 menit.

Tekanan Darah
• TDS >200 mmHg atau MAP >150 mmHg à diturunkan dengan IV antihipertensi kontiniu + TD
tiap 5 menit.
• TDS 150-220 mmHg à TDS 140 mmHg (cukup aman)
Obat antihipertensi
Golongan beta blocker
Labetalol & esmolol
Ø Dosis: 10-80 mg IV tiap 10 menit sampai 300 mg/hari / infuse 0.5 – 2 mg/menit.
CCB
Nikardipin & diltiazem
Ø Dosis: 5mg/jam IV di naikkan 2,5 mg tiap 15 menit hingga target tensi tercapai

Penanganan di Rumah Sakit dan Pencegahaan Kerusakan Otak Sekunder

Rekomendasi ruangan: ICU

Obat kejang dan antiepilepsi


• Kejang sebaiknya diterapi dengan obat antiepilepsi
• Pemantauan EEG secara kontinu à indikasikan: kesadaran menurun tanpa mempertimbangkan
kerusakan otak yang terjadi.
• Pasien dengan perubahan status kesadaran yang didapatkan gelombang epiloptogenik pada à
obat antiepilepsi

Prosedur/ Operasi

Penanganan dan Pemantauan Tekanan Intrakranial


GCS <8 dengan tanda klinis herniasi transtentorial / perdarahan intraventrikuler yang luas /
hidrosefalus à penanganan dan pemantauan tekanan intrakranial. (Tekanan perfusi otak 50-70
mmHg)
Penurunan tingakt kesadaran à Pertimbangkan drainase ventrikular sebagai tata laksana
hidrosefalus

Perdarahan Intraventikuler à pemberian intraventrikuler rTPA

Evakuasi hematom

• Mengalami perburukan neurologis / kompresi batang otak / hidrosefalus akibat obstruksi


ventirkel à operasi evakuasi bekuan darah secepatnnya.
• GCS 6-8 dengan kontusio frontal atau temporal >20cc in volume dengan midline shift ≥5mm dan
atau cisternal compression on CT scan à tatalaksana operasi.
• >50cc à tatalaknsana operasi
• Bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di 1 cm dari permukaan, à vakuasi perdarahan
intrakranial supratentorial dengan kraniotomi standar.

Cara mengukur luas pendarahan

Rumus ABC
𝐴𝑥𝐵𝑥𝐶
2

A: Lebar terpanjang dari CT/MRI


B: panjang terpanjang dari CT/MRI
C: jumlah slice

Referensi
Kenneth W L dan Ian B . Neurology and Neurosurgery Illustrated. 4th edition. United Kingdom:
Elsevier, 2005
Perdosi. Guideline Stroke Tahun 2011. Indonesia: Perdosi, 211
Rose M B, Randal C, Jamshid G. Surgical Management of Traumatic Brain Injury. Brazil: Brain
Trauma Foundation, 2016
David S L. Intracranial Hemorage. Medscape, 2016. available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1163977-overview
Justin H dan Azra P. Essential Med Notes 2015. 31th edition. Canada: Tronro Notes for Medical
Student Inc, 2015

Pendarahan Subaraknoid
Aristo Rinaldi Pangestu
Definisi
Pendarahan pada ruang subaraknoid ( antara meninges dura mater dan pia mater)
Etiologi
• Traumatik
• Non trumatik : Ruptur aneurysm, ruptur AVM, Idiopatik
Epidemiologi
• Insidens 9 dari 100.000 orang/tahun
• Paling sering terjadi pada usia dewasa tua (55-60 tahun), 20% terjadi di bawah usia 45 tahun
Faktor risiko
• Hipertensi, usia tua, pre-existing aneurisma atau avm, merokok, substance abuse (alkohol dan
kokain), oral kontrasepsi, dan riwayat keluarga aneurisma, jenis kelamin perempuan
Patofisiologi
• Aneurisma lebih sering terjadi pada sirkulasi anterior (88-90%), dibanding sirkulasi posterior (10-
12%)
• Pembuluh darah otak rentan mengalami aneurisma karena tidak memunyai lamina elastica externa,
kurangnya jaringan suportif perivaskular, dan tunika media yang relatif tipis.
• Paling sering pada percabangan arteri-arteri (ex. Bifurcation MCA) karena irregularitas struktural
pada matriks kolagen pada percabangan arteri dan peningkatan stress hemodinamik pada percabangan
arteri
• Aneurisma dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuknya : saccular (Berry aneurysm) dan non
saccular (fusiform, dolichoecthatic, mycotic). Berdasarkan ukuran : small (10 mm), large (10-25
mm), giant (>25 mm)
• Apabila tekanan intraarterial > elastitas dinding arteri : ruptur aneurisma
• Semakin besar aneurisma, semakin tinggi resiko ruptur.
Manifestasi klinis
• Penurunan kesadaran : akibat peningkatan ICP
• Sakit kepala hebat yang muncul tiba-tiba, thunderclap headache, worst headache in my life
• Meningismus : kaku kuduk
• Defisit neurologis fokal : efek emboli dari aneurisma, akibat massa dari aneurisma, atau karena efek
dari vasospasme.
• Funduskopi : pendarahan subhyaloid (peningkatan tekanan tiba tiba pada central retina vein)
• Riwayat sakit kepala yang muncul tiba-tiba namun dengan skala nyeri yang lebih ringan, durasi < 1
hari : sentinel headache (menandakan adanya minor rupture dari anurisma)
Grading
• Hunt and Hess Grading
0 : Tidak ada gejala
1 : Sakit kepala/meningismus minimal
2 : Sakit kepala atau dan meningismus disertai palsy saraf kranial
3 : Konfusi, hemiparese ringan
4 : GCS 8-15. Hemiparese sedang-berat, postur decebrate awal
5 : GCS <8, postur decebrate
• World Federation of Neurological Surgeon (WFNS) Grading
1 : GCS 15
2 : GCS 13-14
3 : GCS 13-14 + gejala motorik (aphasia, hemiparese)
4 : GCS 7-12
5 : GCS 3-6
• Fisher Grade
1 : Tidak ditemukan pendarahan subaraknoid
2 : Lapisan pendarahan araknoid yang tipis (< 1mm)
3 : Clot local atau lapisan pendarahan yang tebal (>1mm)
4 : Pendarahan Intracerebral atau intraventricular
• Hunt & Hess dan WFNS digunakan untuk menilai prognosis. Fisher grading digunakan untuk menilai
resiko vasospasme

Diagnosa Banding :
• Sentinel headache
• CVDH
• Meningitis
• Cerebral venous sinus thrombosis
• Migraine
• Cervical artery/Vertebrobasilar artery/ICA dissection
• Primary Thundeclap headache (Reversible Cerebral Vasoconstriction Syndrome)
• Pituitary apoplexy
• Benign exertional headache

Pemeriksaan Penunjang
• CT Scan Brain non contrast :
Ø Menunjukkan pendarahan yang mengisi sulcus-sulcus dan gyrus, fissure Sylvian, dan
cisterna.
Ø Pada imaging pendarahan dapat berupa : generalized, convexal, dan perimesencephalic
• Lumbar Puncture : dilakukan apabila pada CT Brain non contrast tidak menunjukkan adanya
pendarahan subaraknoid namun dugaan masih mengarah ke PSA
Ø Opening pressure > 18
Ø Warna : Darah, xantochromia supernatant dengan sentifugasi. Perbedaan dengan
traumatic tap : pada traumatic tap, csf yang dialirkan makin lama akan makin bening
(clear), pada SAH csf yang dialirkan tidak menjadi clear.
Ø RBC > 100.000
Ø Protein tinggi akibat degradasi produk darah
• Angiography : digunakan setelah diagnosis SAH, untuk mencari abnormalitas structural
pembuluh darah (aneurisma, AVM)
Ø CTA / MRA : 97 % sensitivitas. CTA > MRA pada aneurisma yang kecil
Ø Gold standard : four vessel angiography
Penatalaksanaan
• Tatalaksana ABCD
• Tatalaksana TTIK
• Tekanan darah dijaga pada kisaran 140 -160 mm Hg dengan menggunakan labetalol, esmolol,
atau nicardipine. Dosis nicardipine 5 mg/jam dengan titrasi 2.5 mg tiap 5-15 menit, dosis max 15
mg/jam
• Monitor jantung
• Surgical :
Ø Clipping : lebih invasive, pada ruptured aneurysm, giant aneurysm, dan aneurisma pada
anterior circulation terutama, MCA
Ø Coiling : kurang invasive, pada unruptured aneurysm, aneurysm pada posterior
circulation
Penanganan Komplikasi
• Vasospasme : terjadi akibat iritasi pembuluh darah akibat oxyhemoglobin
Ø Vasospasme terjadi pada hari 3-4, puncak hari 7-10, mereda pada hari ke 14-21
Ø Gejala : penurunan kesadaran, defisit neurologis fokal, dan konfusi
Ø Berikan nimodipine 60 mg q4 jam : mencegah vasospasme
Ø Resiko vasospasm berdasarkan gambaran radiologi (Fisher scale)
Ø Diagnosis pasti : penurunan aliran darah pada transcranial Doppler
Ø Terapi 3H (Hipertensi Hypervolemia Hemodilusi) digunakan untuk mengatasi vasospasm
terutama pada ruptured anurisma yang telah diclip/coil.
Ø Alternatif terapi ada;ah pemberian vasodilator langsung melalui angioplasty
• Hidrosefalus : akibat obstruksi aliran CSF oleh darah (Hidrosefalus non communicans) atau
akibat gangguan penyerapan di subarachnoid vili (Hidrosefalus communicans). Tatalaksana :
EVD, VP shunt
• Hiponatremia : cerebral wasting salt syndrome
• SIADH
• Cardiac arrythmia

Referensi
1. Souza S. Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. Neurosurg Anesthesiol 2015; 27(3): 222-240.
2. Seibert B, Tummala RP, Chow R, Faridar A, Mousavi S, Divani AA. Intracranial aneurysms:
review of current treatment options and outcomes. Frontier in Neurology 2011; 2(45):1-8
3. Marder CP, Narla V, Fink JR, Fink KRT. Subarachnoid Hemorrhage: Beyond Aneurysms. AJR
2014; 202(4): 25-37
4. Toronto Medical Notes. Essential Med Notes, 31th ed. Toronto: Toronto Notes for Medical
Students, Inc; 2015

Trauma Kapitis
Dyah Ayu Tirta Nuratikah
Jenis trauma kapitis:
1. Primary à terjadi akibat trauma yang memberikan efek langsung (misalnya fraktur yang
menyebabkan robek pembuluh darah). Klasifikasi primary head injury : EDH, SDH &
SAH.
2. Secondary à merupakan efek lanjutan dari trauma kepala yang terjadi. misalnya iskemik
akibat kurangnya suplai darah dan oksigen ke otak, edema serebri, hipoksia serebri,
hipotensi dan peningkatan TIK
• Mekanisme yang dapat menimbulkan head trauma : kontusio, coup injury, countre-coup
injury, akselerasi-deselerasi.

Pendarahan Epidural
• Anatomi Meninges
• Urutan dari luar ke dalam: tulang kranium à dura mater à arachnoid mater à pia
mater.

• Dura mater adalah lapisan keras pembungkus otak yang paling luar/dekat dengan
tulang kranium, memiliki 2 lapisan, yaitu lapisan periosteal yang menempel pada
tulang kranium dan lapisan meningeal.
• Arachnoid mater adalah lapisan halus yang memisahkan dura mater dengan pia mater
dan berisi cairan otak (LCS/CSF).
• Pia mater adalah lapisan terdalam dari meninges.

Definisi
Pendarahan epidural: perdarahan yang terjadi diantara tulang kranium dan dura mater.
Etiologi
• Spontan : ruptur aneurisma; non spontan : trauma, AVM, infeksi, dan koagulopati.
• Etiologi paling sering adalah trauma. Lokasi paling sering pada EDH adalah di bagian
temporal à terdapat pterion yang rapuh yang berada di atas arteri meningea media à fraktur
à merobek A. Meningea media à akumulasi/hematoma epidural à menekan struktur
intrakranial à muncul gejala dan tanda sesuai struktur yang terlibat.
• Vaskulitis à pembuluh darah pecah (A. Meningea media), bertekanan tinggi dan cepat
terakumulasi karena berasal dari arteri.
Tanda dan gejala klinis
• Lucid interval diikuti dengan penurunan kesadaran.
• Tanda TTIK (mual, muntah, nyeri kepala).
• Parese nervus 3/okulomotor à posisi bola mata ke arah bawah dan luar, mengganggu serabut
parasimpatis sehingga reflex cahaya negatif ipsilateral dengan hematoma.
• Pupil midriasis.
• Pada hematoma yang sudah membesar dapat menyebabkan herniasi unkus (jika hematoma
ada di daerah frontal). Tanda herniasi : pupil anisokor, homonimus hemianopsia, hemiparesis
kontralateral.
• Pada tahap akhir maka akan timbul cushing’s triad : hipertensi, takikardia,
bradypnea/irregular breathing.

Pemeriksaan Penunjang
• Lab : cbc (Hb, Ht, WBC), PT/aPTT, kimia darah à koreksi yang memperberat kondisi
pasien.
• Elektrolit, analisa gas darah à koreksi yang memperberat kondisi pasien.
• Sampel urin à intoksikasi alkohol
• CT-Scan kepala non kontras (baku emas) à akut à lesi hyperdense biconvex shape
Sub akut à lesi isodense biconvex shape (2-4 minggu)
Kronik à lesi hypodense biconvex shape
Diagnosis
Klinis + ct-scan non kontras.

Tatalaksana
• Primary survey
Airway: Pasang collar neck hingga dibuktikan bahwa tidak ada cedera leher; lihat apakah ada
sumbatan jalan napas, dapat dipasang goedle atau suction apabila pasien gurgling .
Breathing: O2 dengan target saturasi >98%; pasien terventilasi 100% hingga dilakukan
analisis gas darah. Jaga agar PCO2 berada pada 35 mmHg.
Circulation: Pasang akses Intravena dan loading cairan NaCl 0.9% 500 ml untuk menjaga
euvolemia.
Lakukan pemeriksaan neurologis untuk melihat adanya tanda-tanda herniasi, pada EDH
terutama adalah herniasi unkus.
• Tatalaksana peningkatan TIK (terapi konservatif).

Hiperventilasi: lakukan hiperventilasi dan jaga PCO2 maksimal 35 mmHg jika ada deficit
neurologis.
Analgesik: Untuk meringankan nyeri kepala melihat kemungkinan adanya peningkatan
tekanan darah akibat nyeri kepala.
Mannitol: Berikan mannitol 20 gram dalam 100 ml cairan. Jika ditemukan adanya defisit
neurologis, seperti dilatasi pupil, hemiparesis atau penurunan kesadaran, berikan bolus
manitol 1 gr/kg bb dalam 5 menit dan segera lakukan CT-scan.
Barbiturat (pada pasien gelisah sehingga dapat menurunkan tekanan darah tinggi).
• Tatalaksana operatif à evakuasi EDH, kraniotomi.
Indikasi operasi :

Operatif Non-operatif
GCS Berapapun >8
Volume perdarahan >30cc <30 cc
Ketebalan hematoma pada >15 mm <15 mm
CT-scan
Midline shift >5mm <5mm
Lokasi Temporal dan oksipital Selain di temporal dan
oksipital

Perdarahan Subdural
Definisi
SDH adalah perdarahan yang terdapat diantara lapisan dura (dibawah lapisan meningeal) dan
lapisan araknoid. Perdarahan SDH biasanya berasal dari bridging vein pada dura, sehingga
bersifat lebih tekanan rendah dan akumulasi perdarahan tidak secepat EDH.

Etiologi
Head trauma; koagulopati à obat-obatan: aspirin, warfarin; spontan : ruptur aneurisma, AVM
dan perdarahan tumor.

Faktor Resiko
Usia tua à atrofi serebri à bridging vein lebih terekspos/tertarik menjadi memanjang à mudah
robek.

Patofisiologi
Benturan karena kecepatan tinggi à menyebabkan akselerasi-deselerasi pada otak à menarik
dan merobek vena à akumulasi darah di ruang subdura à menekan struktur intrakranial.

Tanda dan gejala klinis


• Tergantung pada letak perdarahan.
• Pada status generalis lihat adanya jejas pada bagian kepala.
• Gangguan kesadaran
• TTIK (nyeri kepala, mual dan muntah)
• Deviated gaze à parese nervus okulomotor.
• Amnesia
• Kejang
• Gelisah
• Hiper reflex
• Sindrom herniasi à tergantung jenis herniasi.

Pemeriksaan Penunjang
• Lab: cbc (Hb, Ht, WBC), kimia darah, elektrolit à kontrol pco2 pd manajemen
hiperventilasi. Pemeriksaan lab dilakukan untuk menyingkirkan adanya kemungkinan
penyebab metabolik pada penurunan kesadaran. Faktor koagulasi à etiologi.
• Urin à intoksikasi alkohol?
• CT-Scan kepala non kontras (gold standard) à akut à lesi hyperdense crescent shape.
Sub akut à lesi isodense crescent shape
Kronik à lesi hypodense crescent shape
• Lesi hyperacute mungkin saja tidak terdapat gambaran crescent shape akibat masih
sedikitnya akumulasi dari Hb sehingga absorpsi radiasi pada CT-Scan hanya sedikit oleh
sebab itu pada gambaran radiologi masih belum timbul gambaran crescent shape.
Diagnosis
Anamnesis/riwayat trauma kepala + klinis + CT-SCAN non kontras.

Tatalaksana :
Primary survey:
• ABCD
• Tatalaksana peningkatan TIK
• Indikasi operasi :
1. Midline shift > 5 mm
2. Ketebalan hematoma pada ct-scan > 1 cm
3. Penurunan 2 poin GCS dari waktu kejadian hingga evaluasi di rumah sakit.
4. Lokasi perdarahan berada di posterior fossa, dan volume perdarah > 10 ml.

Perbandingan EDH dengan SDH:

Subdural
Hematoma type Epidural

Between the skull and the outer endosteal layer of Within the meningeal layer of the dura
Location
the dura mater mater.

Temperoparietal locus (most likely) - Middle


meningeal artery
Involved vessel Frontal locus - anterior ethmoidal artery Bridging veins
Occipital locus - transverse or sigmoid sinuses
Vertex locus - superior sagittal sinus

Symptoms (depend on Gradually


Lucid interval followed by unconsciousness
severity)[10] increasing headache and confusion

CT appearance Biconvex lens Crescent-shaped

Referensi
American College of Surgeon. 2012. Advance Trauma Life Support. Head Trauma: page 165.
United states.
University of Vermont College of Medicine. "Neuropathology: Trauma to the CNS."February 6,
2007.
Epidural Hematoma in Emergency Medicine at Medscape. Author: Daniel D Price. Updated:
Nov 3, 2010.
Mishra A, Mohanty S (2001). "Contre-coup extradural haematoma: A short report".Neurology
India 49 (94): 94–5.
Graham DI and Gennareli TA. Chapter 5, "Pathology of Brain Damage After Head Injury"
Cooper P and Golfinos G. 2000. Head Injury, 4th Ed. Morgan Hill, New York
Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, Gordon D, Hartl R, Newell DW. Surgical management of
acute epidural hematomas. Neurosurgery. 2006 Mar. 58(3 Suppl):S7-15; discussion Si-iv.

Infeksi
Thiofany Veony

Tetanus (source:)
• Definisi
Sindroma akut dari hipertonus otot dengan atau kontraksi otot yang sangat nyeri (umumnya otot
pada rahang dan leher), dan spasme otot secara menyeluruh (CDC).
• Etiologi
Clostridium tetani

à gram (+), anaerob obligat, berspora, hidup di tanah dan kotoran hewan
à masuk ke jaringan yang rendah akan oksigenasi melalui luka yang kotor, luka bakar, tali pusar
yang terkontaminasi, luka operasi melalui alat yang tidak steril.
à menghasilkan tetanospasmin dan tetanolisin:
•Tetanospasmin:
Berjalan secara retrograde melalui akson menuju substansia grisea pada medulla spinalis
(menyerang Renshaw cell) à mengikat secara ireversibel pada presinaptik dan menghambat
pelepasan GABA.
• Tetanolisin : memiliki sifat hemolisis dan menyebabkan rusaknya membran pada sel,
mengoptimalkan multiplikasi bakteri, namun tidak berperan pada gejala klinis tetanus.
• Klasifikasi
Tetanus generalisata, Tetanus sefalik, Tetanus lokalis, Tetanus neonatorum
— Gejala klinis

— Trismus
— Board-like abdomen
— Risus sardonicus
— Kekauan otot skeletal yang diselingi dengan spasme otot periodic dan kejang tonik tanpa
kehilangan kesadaran >> membentuk postur opistotonus. Dipicu oleh stimulus sensoris
seperti cahaya, suara.
— Disfagia
— Apnea karena spasme otot-otot pernapasan, laring dan faring
— Gangguan sistem autonomic (diaphoresis, takikardi, hipertensi, demam)
— Tatalaksana
à mengentikan produksi tetanospasmin
• Manajemen luka : cross incision + H2O2
• Antibiotik :
Metronidazole 500 mg IV/6-8 jam (1st line)
Penicillin G 2-4 juta unit IV/4-6 jam
Ampisilin 1 gr IV/8 jam

àmenetralkan tetanospasmin yang belum terikat


• HTIG (Human Tetanoimmunoglobulin) : 500-3000 units IM (single dose)
• ATS (Anti tetanus serum) : 20.000 units IM/hari selama 3-5 hari [lakukan skin test untuk
mencegah reaksi hipersensitifitas dengan menyuntikkan 0,1 ml diencerkan 1:10 SC]
• Imunisasi aktif : 0,5 ml IM tetanus toksoid, dosis ke-2 dan ke-3 1 bulan dan 6 bulan
kemudian
àmengontrol spasme otot
• Diazepam:
à10 mg IV bolus perlahan 2-5 menit setiap kejang, max dose 600 mg/ hari pada kasus berat
(WHO).
à10 ampul dalam 500 ml cairan infus untuk dosis maintenance, tapering setelah 2 hari bebas
kejang
àmenggunakan ventilator untuk menghindari depresi nafas.
• Neuromuscular blocking agents:
à MgSO4 : 75 mg/kg IV loading dose, 2-3 gram/jam sampai spasme terkontrol

àmengontrol gejala autonom


• MgSO4 : 75 mg/kg IV loading dose, 2-3 gram/jam
• Beta blocker sudah tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan hipotensi
àterapi suportif
• Cairan IVFD dekstrose 5% : RL = 1:1/6 jam
• Ventilator
• Trakeostomi
• Enteral nutrition
• Kateter urin
• Mengindari pencetus kejang (cahaya, suara)

Post exposure prophylaxis pada luka menurut CDC:


Luka kecil dan bersih Jenis luka lain*
Riwayat
Tdap atau Td HTIG Tdap atau Td HTIG
vaksinasi
Tidak diketahui
atau kurang dari Diberikan Tidak diberikan Diberikan Diberikan
3 dosis
Tiga dosis atau Tidak Tidak
Tidak diberikan Tidak diberikan
lebih diberikan** diberikan***

*Luka yang terkontaminasi oleh tanah, feses, air liur, luka dalam, avulsi, luka akibat senjata api,
luka bakar, radang dingin.
**Diberikan bila vaksin terakhir telah lewat dari 10 tahun.
***Diberikan bila vaksin terakhir telah lewat dari 5 tahun.

Skor Phillips
Faktor yang
Masa inkubasi Lokasi infeksi Imunisasi memberatkan
Penyakit atau
trauma yang
membahayakan
<48 jam 5 internal/umbilikal 5 Tidak 10 jiwa 10
Keadaan
langsung yang
Mungkin tidak
Kepala, leher, ada/ibu membahayakan
2-5 hari 4 dinding tubuh 4 mendapat 8 jiwa 8
Keadaan yang
tidak
6-10 Ekstrimitas >10 tahun membahayakan
hari 3 proksimal 3 yang lalu 4 jiwa 4
11-14 <10 tahun Trauma/penyakit
hari 2 Ekstrimitas distal 2 yang lalu 2 ringan 2
>14 Proteksi
hari 1 Tidak diketahui 1 lengkap 0 ASA derajat 1 0

Ringan (1-8) ; Sedang (9-16); Berat (>16)

Ablett Tetanus Grading System


Derajat I (ringan) = trismus ringan, tidak ada kesulitan bernapas, tidak ada disfagia,
tidak ada spasme

Derajat II (sedang) = trismus sedang, kekakuan, spasme berdurasi singkat, disfagia


ringan, kesulitan bernapas ringan, RR > 35

Derajat III (parah) =trismus parah, spastik generalisata, spasme dengan durasi lebih
lama, apneic spell, RR > 40, disfagia parah, takikardia dengan nadi
> 120.
Derajat IV (sangat parah) = derajat III dengan gangguan sistem saraf autonomik yang
meliputi sistem kardiovaskular, yakni hipertensi berat dan
takikardia yang diselinngi dengan hipotensi dan bradikardia.
Referensi
cdc, uptodate, spm perdossi, manson

Rabies
Definisi
Ensefalitis akut progresif yang disebabkan oleh virus rabies, bermanisfestasi sebagai kelainan
neurologi yang umumnya berakhir dengan kematian.

Etiologi
à Virus rabies ditemukan umumnya pada hewan: anjing, kucing, raccoon, kelelawar, rubah,
monyet.
àMasuk ke tubuh manusia melalui gigitan atau kontak langsung dengan jaringan yang terinfeksi
(saliva) dengan kulit atau mucous membranes.
àvirus berjalan secara retrograde ke SSPàbermutiplikasià menyebar ke organ lain termasuk
di kelenjar saliva

Gejala klinis
à periode inkubasi (1-3 bulan)
à gejala prodromal (<1 minggu)
• Influenza-like illness: demam subfebris, malaise, anoreksia, mual/muntah, nyeri kepala, sakit
tenggorokan
• Nyeri, pruritus dan paraesthesia muncul pada tempat luka
à gejala neurologis (<1 minggu):
• Bentuk spastik: hyperactivity, penurunan kesadaran, hidrofobia, aerofobia, hipersalivasi,
demam, kejang, kontraksi otot faring dan esophagus. Meninggal 3-5 hari
• Bentuk demensia : kepekaan terhadap rangsangan bertambah, gila mendadak, dapat
melakukan tindakan kekerasan.
• Bentuk paralitik : monoplegi/paraplegi flaksid, kelumpuhan otot nafas, gejala bulbar.
Meninggal 7-10 hari.
• Bentuk atipikal.
à Koma
• Paralisis flaksid, gagal nafas dan jantung
àKematian (dalam beberapa hari sampai beberapa minggu setelah muncul gejala)

Investigasi:
à pemeriksaan penunjang:
• CBC:
WBC: 8000-13000/mm3 ; HT : menurun ; Hb : menurun
• Urine analysis: Albuminuria, sedikit leukosit
• CSF: Protein dan sel normal atau sedikit meningkat
• Pencitraan : CT scan untuk mengeksklusi penyebab àpost mortem: direct
immunofluorescence pada jaringan otak (ditemukan Negri bodies)

Tatalaksana:
Kriteria tersangka rabies:
1. Anjing/hewan yang mengigit terbukti secara laboratorium adalah positif rabies.
2. Anjing atau hewan yang mengigit mati dalam waktu 5-10 hari.
3. Anjing atau hewan yang mengigit mengilang atau terbunuh.
4. Anjing atau hewan yang mengigit dengan gejala rabies.

Catatan:
1. Penyuntikan dilakukan secara lengkap bila:
a. hewan atau anjing mengigit positif rabies
b. hewan atau anjing liar atau gila yang tidak dapat di observasu atau hewan tsb dibunuh.
2. Penyuntikan VAR (vaksin anti rabies) tidak dilanjutkan apabila hewan atau anjing yang
menggigit penderita tetap sehat selama observasi sampai dengan 10 hari.
3. Petugas medis dan perawat harus memakai sarung tangan, pakaian, dan masker.
4. Dokter/perawat harus terlebih dahulu memberikan penjelasan secukupnya tentang jumlah
kali pemberian VAR/SAR (serum anti rabies), termasuk manfaat maupun efek samping yang
mungkin timbul.
5. Sebelum dilakukan vaksinasi dengan VAR/SAR, penderita dan keluarga harus setuju.

No Indikasi Tindakan Jenis VAR Booster Keterangan


+ dosis
1. Luka 1. Cuci dengan air - - 1. Menunda
gigitan sabun (detergen) penjahitan luka, jika
5-10 menit penjahitan diperlukan
kemudian dibilas gunakan anti serum
dengan air bersih. lokal.
2. Alkohol 40-70%.
3. Berikan yodium, 2. Bila diperlukan
betadin solusio dapat diberi TT,
atau senyawa antibioyik, anti
ammonium inflamasi, dan
kuartener 0,1%. analgesic.
4. Penyuntikan SAR
secara infiltrasi di
sekeliling luka
2. Kontak, - - - -
tetapi tanpa
lesi, kontak
tak
langsung,
tak ada
kontak
3. Menjilat Berikan VAR - Dosis untuk semua
kulit, 1. hari 0 : 2x suntikan Imovax atau umur sama.
garukan IM. verorab 0,5
atau abrasi ml deltoid
kulit, kiri dan 0,5
gigitan ml deltoid
kecil kanan.
(daerah 2. hari 7 : 1x suntikan 0,5 ml
tertutup), IM. deltoid
lengan, kanan/kiri.
badan, dan 3. hari 21 : 1x
tungkai suntikan IM. 0,5 ml
deltoid
kanan/kiri.
4. Menjilat SAR:
mukosa, 1. ½ dosis Imovag
luka disuntikkan secara rabies 20
gigitan infiltrasi di sekitar IU/kg BB.
besar atau luka.
dalam, 2. ½ dosis yang sissa Imovag, Hari
multiplel, disuntikkan IM di verorab 90: 0,5
luka pada region gluteus. ml pada
muka, deltoid
kepala, kanan/k
leher, jari VAR (dosis sama iri.
tangan dan dengan di atas)
kaki.
5. Kasus 0,5 ml IM deltoid jika
gigitan umur < 3 tahun.
ulang: 0,1 ml IC flexor
1. kurang Berikan VAR hari 0. Imovag, - lengan bawah jika
dari 1 verorab, umur > 3 tahun.
tahun SMBV 0,25 ml IC flexor
lengan bawah.

Poin 1,3,4,5

Berikan SAR+VAR Imovax,


2. Lebih scr lengkap. verorab,
dari 1 SMBV,
tahun imogan
rabies
6. Bila ada Anti histamine
reaksi sistemik/local. Tidak
penyuntika boleh berikan
n: reaksi kortikosteroid.
local,
kemerahan,
gatal,
pembengka
kkan
Bila timbul efek samping pemberian VAR (meningoensefalitis) berikan kortikosteroid dosis
tinggi.

Referensi
spm perdossi, Toronto notes, WHO

Trauma Medula Spinalis


Hartanto Wongso

Definisi

Kerusakan pada tulang belakang yang menyebabkan perubahan, baik sementara atau permanen, dalam
fungsi normal motorik, sensorik, atau otonom.

Patofisiologi
Dapat disebabkan:
• Trauma langsung
• Kompresi fragmen tulang
• Hematoma atau material diskus

Gambar 1. Dermatom

Syok Neurogenik
• Memiliki triad hemodinamik: hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer
• Hipothermia
• Terjadi pada cidera korda spinalis dengan level di atas T6

Syok Spinal
• Kehilangan seluruh aktivitas neurologis di bawah lesi cidera
• Terdiri dari 4 fase:
o Fase I: arefleksia / hiporefleks (0 – 1 hari)
o Fase II: kembalinya refleks awal (1 – 3 hari)
o Fase III: hiperrefleks awal (4 hari – 1 bulan)
o Fase IV: spastisitas / hiperrefleks (1 bulan – 12 bulan)

Pemeriksaan Fisik
• Survei primer: ABC
• Logroll à palpasi vertebra untuk mencari lokasi cidera
• Pemeriksaan neurologis: fungsi motorik, fungsi sensorik, deep tendon reflexes dan evaluasi perineal.

Sindroma Medulla Spinalis


• Posterior Cord Syndrome: hilangnya sensasi dan
propiospetik dengan fungsi motorik intak.
• Anterior Cord Syndrome: paraplegia dan kehilangan
sensorik disosiasi dengan hilangnya sensasi nyeri dan
suhu. Fungsi columna posterior intak
• Central Cord Syndrome: hilangnya kekuatan motorik,
lebih banyak pada ekstremitas atas dibanding bawah,
dan hilang sensorik yang bervariasi.

• Brown-Séquard Syndrome: terjadi akibat hemiseksi


medulla spinalis; kehilangan motorik ipsilateral dan
sensasi posisi, disertai hilangnya sensasi suhu dan nyeri
kontralateral mulai 1-2 level di atas trauma.

Pemeriksaan Penunjang
• Analisa gas darah
• Cek darah lengkap, level laktat
• Urinalisis
• CT-Scan à deteksi fraktur spinalis
• MRI à pada suspek lesi pada korda spinalis, cedera ligament, dan cedera atau patologi pada jaringan
lunak lainnya
Terapi
• Stabilisasi dan imobilisasi
• Methylprednisolone: pada 8 jam pertama dengan dosis 30 mg/kg bolus selama 15 menit, dilanjutkan 5,4
mg/kg/jam selama 23 jam 45 menit
• Dekompresi korda spinalis

Referensi
1. Westgren N, Levi R. Quality of life and traumatic spinal cord injury. Arch Phys Med Rehabil. 1998 Nov.
79(11):1433-9.

2. Ditunno JF, Little JW, Tessler A, Burns AS. Spinal Shock revisited: a four-phase model. Spinal Cord.
2004; 42: 393 – 395.

3. American Spinal Injury Association. International Standards for Neurological Classifications of Spinal
Cord Injury. revised ed. Chicago, Ill: American Spinal Injury Association; 2000. 1-23.

4. Ditunno JF Jr, Young W, Donovan WH, Creasey G. The international standards booklet for neurological
and functional classification of spinal cord injury. American Spinal Injury Association. Paraplegia. 1994
Feb. 32(2):70-80

5. Wuermser LA, Ho CH, Chiodo AE, Priebe MM, Kirshblum SC, Scelza WM. Spinal cord injury
medicine. 2. Acute care management of traumatic and nontraumatic injury. Arch Phys Med Rehabil. 2007
Mar. 88(3 Suppl 1):S55-61.

Status Epileptikus
Aristo Rinaldi Pangestu

Definisi
• Status Epileptikus adalah kejang yang berlangsung 30 menit atau lebih atau kejang
intermitten yang berlangsung lebih dari 30 menit dimana pasien tidak sadar di antara
kejang.
• Penetapan durasi menjadi 20 menit, 10 menit, dan yang terbaru adalah 5 menit.
Penetapan durasi yang makin singkat (5 menit), bersifat operasional.
• Penanganan status epileptikus dapat dilakukan secepatnya, tanpa harus menunggu durasi
30 menit

Epidemiologi
• Angka kejadian status epileptikus pada populasi umum dilaporkan 20 sampai 40
penduduk / 100.000 penduduk per tahun di Amerika Serikat
• Angka kematian akibat status epileptikus adalah 14% untuk kelompok usia dewasa (16-
59 tahun), dan 38% untuk kelompok usia lanjut (>60 tahun).

Pathogenesis
• Pada studi immunocytochemical menunjukkan bahwa pada keadaan status epilepticus
subunit gamma dan beta dari GABA receptor menunjukkan pengurangan jumlah pada
membrane sinaptik dan penambahan jumlah di dalam sel.
• Endocytosis reseptor dari GABA sehingga proses inhibisi dan terminasi kejang terganggu
• Subunit NR1 pada NMDA reseptor menunjukkan adanya penambahan jumlah pada
membrane sinaps, menunjukkan adanya peningkatan eksitatori pada neuron cortical
• Studi imunocytochemical menunjukkan adanya reduksi jumlah neuropeptide
preinhibitory seperti dysmorphin, galanin, somatostatin, dan neuroperptida Y pada pasien
dengan self-sustained status epilepticus, serta adanya peningkatan jumlah neuropeptide
eksitatorik seperti substance P dan neurokinin B

Klasifikasi
• Berdasarkan durasi :
Ø SE dini
Kejang yang berlangsung secara kontinyu atau intermiten dengan durasi lebih dari
5 menit dengan keadaan tidak sadar di antara kejang
Ø SE menetap
Kejang konvulsi secara klinis maupun secara elektroencefalogram dengan durasi
lebih dari 30 menit, dengan keadaan tidak sadar diantara dua kejang
Ø Subtle SE
Kejang walaupun secara klinis telah mereda, namun gelombang kejang masih
dapat terjadi pada otak.Dibuktikan dengan Electroencephalogram
• Berdasarkan manifestasi klinis :
Ø Konvulsif (general, fokal, myoklonik)
Ø Nonkonvulsif (absans tipikal, parsial kompleks, absans atipikal)

Tatalaksana
• Tatalaksana ABC
• 50 mL 50% dextrose diberikan pada keadaan hipoglikemia Tiamin 100 mg secara
intravena diberikan bila terdapat kecurigaan intoksikasi alcohol
• Pemeriksaan laboratorium rutin harus mencakup
Ø Pemeriksaan darah lengkap,
Ø Pemeriksaan kimia darah termasuk di dalamnya serum glukosa, elektrolit, fungsi
liver dan hati
Ø Analisis gas darah
Ø Penentuan kadar obat antilepsi di dalam darah, dan uji toksikologi.
• CT Scan kepala dapat digunakan untuk menyingkirakan kemungkinan lesi structural di
otak. Pungsi lumbar dapat dilakukan bila terdapat kecurigaan adanya infeksi di otak.
• Terminasi kejang :

Algoritma tatalaksana status epileptikus ( American Epilepsy Society, 2016)

• Status Epilepticus refrakter


Ø Kejang yang terus berlanjut walaupun telah diberikan pengobatan dengan
benzodiazepin dan satu obat anti epilepsi
Ø Pilihan obat pada keadaan refractory status epilepticus adalah midazolam,
thiopentane, dan propofol. Penanganan di lakukan di ruang intensif.
Ø Dosis loading midazolam pada penanganan refractory status epilepticus adalah
0.1-0.5 mg/kg, diikuti infus 0.05-0.5 mg/kg/menit.
Ø Propofol diberikan dengan dosis 1-2 mg / kg dengan laju 10 mg/menit dilanjutkan
dosis maintenance 1-5 mg/kg/jam.
Ø Thiopentane diberikan dalam dosis loadng 3-5 mg/kg dengan laju 0.2-0.4
mg/kg/menit dilanjutkan dosis maintenance 3-5 mg/kg/jam.
• Super Refractory Status Epilepticus
Ø Kejang status epileptikus yang berlangsung 24 jam atau lebih setelah pemberian
agen anestesi
Ø Infus ketamine menurut hasil penelitian, dapat mengontrol kejang pada 82 %
pasien dengan Super Refractory Status Epilepticus.16 Ketamine adalah antagonis
non-kompetitif dari N-methyl-D-aspartate (NMDA) glutamate reseptor
• Tatalaksana status epileptikus di Indonesia
SE Dini SE SE Refrakter
Menetap
5 menit 30 menit

Prahospital IGD ICU



Diazepam Lorazepam Phenytoin Dan/atau Propofol 1-2
rektal 10-20 (intravena) intravena bolus mg/kgBB
mg, dapat 0.1 mg/kg BB dosis 15-20 Fenobarbital bolus,
diulang sekali (maksimal mg/kg 10-15 mg/kg dilanjutkan 2-
setelah 15 diberikan 4 dengan i.v dengan 10 mg/kg/jam
mg bolus, kecepatan kecepatan
diulang satu pemberian pemberian Midazolam 0.1-
kali setelah 0.2 mg/kgBB
bolus,
10-20 menit)
dilanjutkan 0.05

– 0.5 mg/kg/
Berikan OAE
jam.
yang biasa
digunakan
Monitor EEG
Observasi jalan nafas, tekanan darah, temperature, akses IV, Pemeriksaan kimia darah, darah lengkap, glukosa, elektrolit,

kadar OAE, Toksikologi

Tatalaksana status epilepticus (PERDOSSI, 2014)

• Penanganan status epilepticus non convulsive


Ø Kondisi status epileptikus absens umumnya diobati dengan benzodiazepine
(diazepam 0.2-0.3 mg/kg, maksimal dosis 10 mg atau lorazepam 0,07 mg/kg
maksimal dosis 4 mg) secara intravena
Ø Status epileptikus kompleks parsial yang memunyai riwayat epilepsi, kejang
biasanya respon dengan pemberian benzodiazepine intravena (diazepam 0.2-0.3
mg/kg, maksimal dosis 10 mg atau lorazepam 0,07 mg/kg maksimal dosis 4 mg).
Ø Pada pasien dengan status epileptikus kompleks partial de novo, biasanya
refrakter terhadap pengobatan lini pertama (benzodiazepin). Fenitoin (Fenitoin
(15-20 mg/kg BB ), leviracetam (30-40 mg/kgBB) , maupun asam valproat (25-45
mg/kgBB) dapat diberikan bila belum diberikan sebelumnya. .
Ø Status epileptikus absans atipikal memunyai respon yang buruk dengan
pengobatan benzodiazepin. . Pengobatan dengan oral lebih disarankan dibanding
dengan rute intravena, dengan pilihan obat utama adalah asam valproate,
lamotriginin, clonazepam, dan clobazam

Komplikasi
• Komplikasi akut dapat berupa demam, asidosis, aritmia, dan depresi nafas
• Epilepsi adalah komplikasi jangka panjang yang paling umum terjadi pada pasien dengan
status epileptikus.
• Resiko menderita epilepsy adalah 40 % setelah status epileptikus, dibandingkan 8 %
setelah kejang simtomatik akut.
• Kerusakan neuron melalui NMDA-exotoxicity akibat status epilepticus mengakibatkan
neuronal loss, yang selanjutnya dapat membentuk fokus epileptic yang menyebabkan
aktivitas epilepsi.

Referensi
1. Hughes. Neurological Emergencies, 4th ed. London: BMJ; 2004.
2. Suarez JI, Tarse D. Critical Care Neurology and Neurosurgery, 1st ed. New Jersey:
Humana; 2004.
3. Chen JW, Westerlain CG. Status epilepticus : pathophysiology and management in adult.
Lancet neuronal 2006; 5(5): 246-256
4. Glacier T, Shiner S, Gloss D, Alldredge B, Arya R, Bainbridge J et al. Evidence-Based
Guideline: Treatment of Convulsive Status Epilepticus in Children and Adults: Report of
the Guideline Committee of the American Epilepsy Society. Epilepsy Currents 2016;
16(1): 48-61.
5. Abend NS, Dlugos DJ. Treatment of Refractory Status Epilepticus: Literature Review
and a Proposed Protocol. Pediatri Neuro 2008; 7(38): 377-390 .
6. Costello DJ, Cole AJ. Treatment of Acute Seizures and Status Epilepticus. Journal of
intensive care medicine 2006; 20(10): 1- 20
7. Holtkamp M, Meierkord H. Nonconvulsive status epilepticus: a diagnostic and
therapeutic challenge in the intensive care setting. Ther Adv Neurol Disord 2011; 4(3):
169 -181
8. Lawn ND, Widjicks EF. Status epilepticus: A critical review of management options.
Neurol J Southeast Asia 2002; 3(7): 47-59
9. Olsen KB, Tauboll E, Gjerstad L. Valproate Is an Effective, Well-Tolerated Drug for
Treatment of Status Epilepticus/Serial Attacks in Adults. Epilepsy Curr. 2008; 8(3): 66-
67
10. Kam PC, Cardone D. Propofol Infusion Syndrome. Anaesthesia 2007; 62(8): 690-701
11. Menon R, Radhakrishnan A, Rashakrishnan K. Status Epilepticus. Journal of the
association of physicians of India 2013; 61(7) : 58-62.
12. Fountain NB. Status Epilepticus : Risk Factor and Complications. Epilepsia 2000; 41(2):
23-30.
13. Fithri A, Winifred K, Sinardja AM, Kusumastuti K, Warongoan AW, Husna M et al.
Pedoman Tatalaksana Epilepsi, 5th ed. Surabaya : Airlangga University Press; 2014

Acute Neuromuscular Weakness


Hartanto Wongso, Raymond Jeremy Saerang

Guillain Barré Syndrome


• Definisi
Sekumpulan gejala yang bermanifestasi sebagai polineuropati akut atau subakut yang mengikuti penyakit
infeksi minor, inokulasi, atau tindakan bedah. Kelemahan yang timbul bersifat ascending disertai hipo
atau arefleksia.

• Etiologi

Infeksi Campylobacter jejuni merupakan etiologic yang paling sering ditemukan pada penderita GBS.
Hampir 40% pasien GBS di seluruh dunia menderita infeksi C. jejuni 1 sampai 3 minggu sebelum
penyakit ini.

• Patofisiologi

Infeksi yang timbul menginduksi antibodi antigangliosida melalui


mimikri molekuler antara sel pada bakteri dengan gangliosida
saraf perifer. Mimikri menyebabkan kerusakan di bagian saraf
tepi. Lokasi kerusakan akan menimbulkan gejala klinis yang
berbeda sehingga GBS dibagi menjadi 4 tipe:

• Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP)


oKerusakan pada myelin yang berujung merusak akson.
oMenimbulkan gejala kelemahan ascending yang arefleksik disertai
gangguan sensorik.
o Kelemahan dapat naik hingga otot pernafasan sehingga menimbulkan kondisi emergensi.
o Gejala umumnya hilang dengan remyelinisasi.
• Acute Axonal Neuropathy
o Terbagi menjadi 2 subtipe: Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) dan Acute Motor and Sensory
Axonal Neuropathy (AMSAN).
o Kerusakan terjadi langsung pada akson sehingga onset lebih akut dibanding AIDP.
o Gejala AMAN sama seperti AIDP tanpa gangguan sensorik.
o Gejala AMSAN sama seperti AIDP, namun dengan onset yang lebih cepat dan prognosis yang lebih
buruk.
• Miller Fisher’s Syndrome (MFS)
o Patofisiologi menyerupai AIDP dan AAN, disertai kerusakan langsung pada saraf okulomotor dan
bulbar.
o Gejala yang muncul dimulai dari defisit saraf kranialis seperti ophtalmoplegia, ataxia, dan arefleksia
tanpa kelemahan. Gejala akan berlanjut menyerupai gejala klasik GBS.

• Pemeriksaan Penunjang
o CSF: disosiasi sitoalbumin (peningkatan protein CSF namun
dengan jumlah sel normal).
o EMG: gambaran demyelinisasi, penurunan amplitudo
motor/sensor.
o Serum antibody: Anti-GM1, Anti-GQ1b

• Terapi
o IVIg dengan dosis 2 g/kg total selama 2-5 hari.
o Plasma Exchange (PE) dosis 50mL/kg sebanyak 5x dalam 1-2
minggu.
o Terapi suportif: monitor TTV, ventilator bila gagal nafas.

Referensi
Aminoff, Michael J., David A. Greenberg, and Roger P. Simon. Clinical Neurology. 6th ed. New York:
McGraw-Hill Medical, 2005. Print.

Van Doorn, Pieter A. " Guillain-Barré Syndrome." Erasmus MC, University Medical Center Rotterdam.
Orphanet Encyclopedia, Sept. 2004. Web. 22 Mar. 2016.

Dimachkie, Mazen M. and Richard J. Barohn. "Guillain-Barré Syndrome and Variants."HHS Author
Manuscripts, 19 Feb. 2013 . Web. 23 Mar. 2016

Burns, Ted M. “Guillain-Barré Syndrome." (2008): 152-167. Seminars in Neurology/Volume 28, Number
2, April. 2008. Web. 23 Feb. 2016.
Myasthenia Gravis
• Definisi
Myasthenia (kelainan muscular) + Gravis (pemakaman) = penyakit muskuler yang mempunyai
prognosis buruk.

• Epidemiologi
Ras Amerika dan Eropa -> mayoritas tipe generalisata
Ras Asia -> mayoritas tipe okuler

• Tanda dan Gejala


• Kelemahan otot bulbar
o Ptosis
o Disartria
o Disfagia
o Wajah tanpa ekspresi / sulit senyum
o Dropped head syndrome
• Kelemahan ekstrimitas (proksimal)
• Kelemahan otot pernapasan

• Klasifikasi
• MGFA

• Subtipe
o Generalisata
§ Remisi periodik
§ Progresif perlahan
§ Progresif cepat
§ Fulminant.
o Okular
o Neonatal

• Diagnosis
• Anamnesis: kelemahan otot bulbar dan skeletal lainnya yang membaik dengan istirahat
• Pemeriksaan fisik: Ocular cooling/ ice pack,
• Pemeriksaan penunjang
o EMG
§ Inkonsistensi variasi interval
§ Blokade total antara unit motoris dan serabut otot

• Tes neostigmin 1,5 mg/ edrophonium 1cc untuk menilai perbaikan klinis setelah pemberian
antikolinesterase
• Deteksi antibody AchR-ab dan MuSK (sensitif dan spesifik)
• CT-scan/ MRI untuk mencari timoma dan menyingkirkan diagnosis banding
• Etiologi, Patogensis, Patofisiologi
• Etiologi: Penelitian menunjukkan adanya keterlibatan organ timus
• Patogenesis: lolosnya sel imun adaptif yang sangat sensitive dengan AchR
• Patofisiologi

• Kasus emergensi
o Krisis miastenik (gagal nafas akibat kelemahan otot nafas) -> BIPAP + plasmaferesis/
IVIG
o Krisis kolinergik (gagal nafas akibat overdosis antikolinesterase) -> Atropin sulfat 0,6
mg IV

• Tatalaksana
• Antikolinesterase (neostigmine 7,5-45 mg/ pyridostigmine 30-90 mg setiap 2-6 jam dan 6
jam) -> untuk MGFA class I dan II
• Kortikosteroid (prednisone 15-25 mg) -> untuk MGFA class III
• Imunosupresif (azathioprine 50 mg/ hari) -> jika tidak toleran dengan kortikosteroid
• Plasmaferesis (55 ml/kg/hari selama 5 hari) -> untuk MGFA class IV dan V
• IVIG (400 mg/kg/hari selama 5 hari atau 1 g/kg/hari selama 2 hari) -> untuk MGFA class IV
dan V
• Timektomi (masih dalam penelitian)

• Prognosis
• Kematian dapat terjadi karena gagal nafas dan infeksi
• Risiko relaps dan remisi masih tinggi jika ada pencetus

• Referensi
• Ropper, Allan H. 2014. Adams and Victor’s Principles of Neurology. McGraw-Hill: United
States. 10th ed.
• McCance, L Kathryn. 2014. PATHOPHYSIOLOGY, The Biologic Basis for Diseases in
Adults and Children. 7th ed. Saunders-Elsevier Science.
• Longo, Dan L. 2012. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18 ed. U.S.: McGraw-Hill
Companies.
• Jaretzki A 3rd, Barohn RJ, Ernstoff RM, et al. Myasthenia gravis: recommendations for
clinical research standards. Task Force of the Medical Scientific Advisory Board of the
Myasthenia Gravis Foundation of America. Neurology. 2000 Jul 12. 55(1):16-23.
• Harkitasari, Saktivi. Diagnosis dan Terapi Miastenia Gravis pada Anak. CDK-226/ vol. 42
no. 3, th. 2015

Tekanan Tinggi Intrakranial (TTIK)


Audric Albertus

Etiologi:
• Ruptur aneurisma, perdarahan subaraknoid, tumor otak, ensefalitis, cedera kepala,
hidrosefalus, dll.

Patofisiologi:
• Doktrin Monro Kellie: Volume otak, cairan serebrospinal (CSS), dan darah adalah tetap.
• Rata-rata volume intrakranial orang dewasa (1700 mL): otak (1400 mL), CSS (150 mL),
dan darah (150 mL)
• Tekanan intrakranial orang dewasa : 5 – 15 mmHg (7,5 – 20 cm H2O)
• Kompensasi Intrakranial: ↑ volume otak/CSS/darah à ↓ volume CSS & darah
• Dekompensasi intracranial: ↑ Tekanan Intrakranial (TIK) tidak terkompensasi à herniasi
• Rumus Tekanan Perfusi Otak:
TPO = MAP – TIK
dimana MAP = (1/3 sistol) + (2/3 diastol)
- TPO (Tekanan Perfusi Otak) = 50 – 150 mmHg
- MAP (Mean Arterial Pressure) = 70 – 105 mmHg
- TIK (Tekanan Intrakranial) = 5 – 15 mmHg
• TTIK : TIK > 20 mmHg

Gejala Klinis:
• Nyeri Kepala : kronik progresif, memburuk ketika bangun pagi, diperparah dengan batuk,
aktivitas, atau perubahan posisi
• Gejala penyerta: kelemahan, penglihatan ganda, penurunan penglihatan, atau baal
• Gejala gastrointestinal : mual, muntah
• Kejang: Simple partial seizure
• Perubahan mental
• Kelainan fokal neurologis

Diagnosis
• Pemeriksaan Neurologis
• Pemeriksaan Penunjang: MRI, CT Scan kontras/ nonkontras, laboratorium, funduskopi
(papilledema)
• Biopsi à menentukan jenis tumor

Tatalaksana
• Tujuan: menjaga normal TPO dan menyelamatkan fungsi neuron; menjaga TIK < 20
mmHg dan TPO > 70 mmHg
• Penanganan Awal
o Optimalkan Aliran Balik Vena
§ Tekanan intrakranial dapat dikurangi dengan lancarnya jalan vena dan
cairan serebrospinal intracranial menuju spinal
§ Elevasi kepala 30° dengan posisi kepala netral
o Kontrol Jalan Napas dan Ventilasi
§ Hipoksia dan hiperkapnia dapat meningkatkan TIK secara cepat
§ Tatalaksana napas yang optimal sangat penting untuk mengontrol TIK.
o Sedasi dan Analgetik
§ Agitasi dan nyeri dapat secara signifikan meningkatkan tekanan darah dan
TIK.
§ Golongan Benzodiazepin: ↓ CMRO2 dan aliran darah otak
§ Golongan Narkotika: ↑ TIK
§ Agen jangka pendek dapat digunakan dengan interupsi jangka pendek
untuk mengevaluasi status neurologis.
o Kontrol Demam
§ Demam dapat meningkatkan kecepatan metabolisme 10% - 13% per
derajat celcius dan merupakan vasodilator yang poten.
§ Antipiretik (acetaminophen), selimut, dan penurunan suhu ruangan.
o Kontrol Hipertensi
§ Karakteristik hipertensi: peningkatan sistolik lebih besar dibandingkan
peningkatan diastolic
§ Pemberian antihipertensi tidak disarankan pada pasien hipertensi dengan
massa intracranial
§ MAP diturunkan apabila TIK diketahui
§ Pemilihan antihipertensi: β-bloker (labetalol, esmolol) ; central acting α-
receptor agonist (clonidine)
o Anemia
§ Jaga tingkat konsentrasi Hb min. 10 g/dL.
§ Transfusi darah : Hb < 7 g/dL.
• Penanganan TTIK Refrakter
o Terapi Hiperosmolar
§ Manitol
• Dosis loading: bolus 0,25 - 1 gr/kgBB
• Rumatan : 0,25 – 0,5 gr/kgBB diulang tiap 2 – 6 jam
• TIK akan turun dalam 1 – 5 menit dengan efek puncak 20 – 60
menit dan berlangsung selama 1,5 – 6 jam, tergantung kondisi
klinis.
• Diberikan pada pasien euvolemik
• Kontraindikasi: alergi dengan mannitol, riwayat gagal jantung,
penyakit ginjal, gangguan pernapasan, perdarahan pada otak, dan
dehidrasi berat.
§ Hipertonik Salin (3% - 23,4%)
• Menarik air dari ruang interstitial parenkim otak menuju
kompartmen intravaskular dengan sawar darah otak yang intak
• Dapat diberikan pada pasien hipovolemik dan hipotensif
o Hiperventilasi
§ ↑ PaCO2 → dilatasi arteri serebral à ↑ TIK
§ Hiperventilasi à mengalkalinisasi cairan darah otak à ↓ CO2 à
konstriksi arteri serebral à penurunan TIK
§ Target PaCO2 adalah 33 – 37 mmHg
§ Berlangsung hanya dalam rentang 11 – 20 jam sehingga hanya dilakukan
ketika untuk mengulur waktu untuk dilakukan terapi definitif lainnya
o Barbiturat
§ Pentobarbital:
Dosis loading : 10 mg/kgBB diikuti dengan 5 mg/kgBB / jam sebanyak 3
dosis.
Dosis rumatan : 1 – 2 mg/kg/h
o Steroid
§ Digunakan untuk mengurangi edema vasogenik karena tumor otak
§ Deksametason IV 4 mg / 6 jam
§ TTIK berkurang dalam 2 – 5 hari
• Terapi definitif
o Kraniotomi à pasien tumor otak
o Ventriculoperitoneal (VP) shunt à pasien hidrosefalus

Referensi
• Miller JD, Sullivan HG. Severe intracranial hypertension. Int Anesthesiol Clin.
1979;17:19-75
• Buckner JC, Brown PD, O'Neill BP, Meyer FB, Wetmore CJ, Uhm JH. Central nervous
system tumors. Mayo Clin Proc. 2007;82(10):1271-86.
• Castilla LR, Gopinath S, Robertson CS. Management of intracranial hypertension. Neurol
Clin. 2008;26 (2): 521-41

Pungsi Lumbal
Jennifer

Indikasi :
1. diagnosa : proses infeksius, inflamasi, oklogis dan metabolik.
2. terapi : memberikan agen kemoterapi, antibiotik dan anastesi.

Kontraindikasi
1. ada tanda peningkatan tekanan intrakranial.
2. ada infeksi kulit/ luka bernanah sekitar tempat LP.
3. ada deformitas korpus vertebra di tempat pungsi.
4. ada kelainan darah ( hemofilia).
5. tidak ada persetujuan dari pasien/keluarga.

Langkah-langkah
1. “inform consent” kepada pasien dan keluarganya.
2. mempersiapkan alat dan bahan.
3. meminta pasien duduk/ berbaring dalam posisi lateral recumbent.
4. gunakan sarung tangan tidak steril, palpasi krista iliaka superior kanan, gerakkan jari
secara medial disepanjang tulang belakang untuk melokalisir celah antara L3-L4.
5. bersihkan daerah yang akan dipungsi dengan betadine dan alkohol secara sirkular.
6. pasang dock steril berlubang dan masukkan lidocaine sebagai anastesi lokal disekitar
daerah yang akan dipungsi.
7. siapkan jarum spinal. Dengan mandrein terpasang tusukkan jarum spinal dengan posisi
paralel dengan permukaan tempat tidur dan mengarah ke umbilikus/sefalik/ evel dari
jarum harus menghadap ke atas ( posisi jam 12)
8. stabilisasi jarum spinal dengan jari telunjuk dan dorong dengan jempol,
9. setelah menembus ligamentum flavum, maka akan teras menembus kertas, setelah
menembus daerah ini, masukkan sedikit kemudian putarlah jarum spinal ke arah jam 9
10. tarik mandrein untuk melihat apakah liquor serebrospinal sudah mengalir
11. jika liqor serebrospinal sudah mengalir, tutup kembali mandreinnya
12. ambil manometer untuk mengukur tekanan cairan serebrospinal dengan menarik
mandreinnya
13. tampung liquor ke dalam 2 botol pengumpul yang bersih dan kering.
14. setelah jumlah yang diinginkan terpenuh, masukkan kembali mandreinnya dan putar
jarum ke posisi jam 12
15. tarik jarum spinal dengan 1kali tarikan dan tutup dengan kassa yang sudah diberi
povidone iodine dan plester
16. edukasi pasien untuk tidur terlentang selama 6 jam.

• tekanan normal liquor serebrospinal adalah 5-20 mH2o


• jika prosedur dilakukan dengan benar maka jarum yang diinsersi akan menembus lapisan
kulit , jaringan subkutan, ligament supraspinosus, ligament interspinosus, ligamentum
flavum, ruang epidural posterior, dura dan ruang subaraknoid .
Komplikasi
• sakit kepala paska pungsi lumbar
• infeksi
• pendarahan
• herniasi serebri
• nyeri radikular
• baal
• kebocoran liquor serebrospinal
• nyeri punggung

Gambaran cairan serebrospinal pada meningitis


normal Bacterial viral Tuberculosis fungal
Makroskopi Jernih Keruh Jernih/ Jernih/ opalescent Jernih
k Tak berwarna opalescent
Tekanan Normal Meningkat Normal atau meningkat Normal/ meningkat
meningkat
Sel 0-5/mm3 100-60000/mm3 5-100 mm3 5-1000/mm3 20-500/mm3
Neutrophil Tidak ada >80% <50% <50% <50%
Glukosa 75% glukosa Rendah(<40%gl Normal Rendah (<50% Rendah(<80%
darah ukosa darah) glukosa darah) glukosa darah)
Protein < 0,4 g/L 1-5 g/L > 0,4-0,9 g/L 1-5 g/L 0,5-5 g/L
Lainnya Gram positif PCR kultur Kultur positif 50- Gram negative;
<90% kultur positif <50% 80% kultur positif 25-
positif <80% 50%
kultur darah
positif <60%

Referensi
1. Miles S. Ellenby , Ken Tegtmeyer , Susanna Lai , Dana AV Brenner. Lumbar Puncture. New
England Journal of Medicine. 2006 September 28.
2.Sunaryo U. Perdossi. [Online].; 2007 [cited 2016 April 23. Available from:
www.Perdossi.co.id.

3. Gogor Meisadona , Anne DIna Soebroto , Riwanti Estiasari. www.kalbemed.com. [Online].


Jakarta: kalbemed; 2015 [cited 2016 May 15. Available from:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_224Diagnosis%20dan%20Tatalaksana%20Meningitis%
20Bakterialis.pdf

Funduskopi
Raymond Jeremy Saerang

Tujuan : menilai fundus bola mata


Prinsip : pantulan cahaya pada fundus yang kembali ditangkap
Jenis
• Langsung -> Funduskopi portable yang biasa digunakan
• Tidak langsung (Funduskopi yang dikenakan di kepala dengan lensanya dipegang di tangan)
-> butuh keahlian khusus
• Alternatif (Digital Fundus Fotography)

Prosedur
• Inform consent
• Siapkan alat dan bahan
o Funduskopi
o Midiriatil (Tropikamide 0,5%-1% atau Fenilefrin hidroklorida 2,5%)
• Teteskan midriatil jika perlu
• Redupkan cahaya
• Instrusikan pasien untuk melihat lurus ke depan
• Mata pemeriksa dengan mata yang ingin diperiksa harus sama
• Posisikan lensa funduskopi pada angka 0 (sesuaikan dengan refraksi pemeriksa)
• Posisikan funduskopi pada 10 cm di depan mata pasien
• Nilai ada tidaknya red reflex
• Dekatkan funduskopi pada mata pasien dengan sinar difokuskan pada papil saraf optikus
• Perhatikan warna, tepi, dan pembuluh darah yang keluar dari papil.

Hasil dan Interpretasi (khusus untuk neurologi)


Tekanan Tinggi Intrakranial (TTIK)
• Akut (Papilledema)

• K
ronik
(Papillat
rophy)
o C
hampagn
e cork
o Eksudat dan perdarahan (-)
o Residu yang berkilau sekitar
diskus.

Referensi
• Eva-Riordan, Paul. 2007. Vaughn & Asbury’s General Ophthalmology. McGraw-Hill’s: U.S.
17th ed.
• Walker, K. H. 1990. Clinical Methods The History, Physical, and Laboratory Examination.
Boston: Butterworths. 3rd edition.
• Ropper, Allan H. 2014. Adams and Victor’s Principles of Neurology. McGraw-Hill: United
States. 10th ed.
• Frisen L. Swelling of the optic nerve head: A staging scheme. J Neurol Neurosurg Psychiatry
1982; 45:13-18.

Anda mungkin juga menyukai