Anda di halaman 1dari 17

PenyakitAkibatKerja

(Asma)

OLEH:

NANDA FITRIANI (70200118024)

NURWAHIDAH ( 70200118094)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan dalam bidang industri sampai sekarang telah menghasilkan sekitar 70.000
jenis bahan berupa logam, kimia, pelarut, plastik, karet, pestisida, gas, dan sebagainya yang
digunakan secara umum dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan kenyaman dan
kemudahan bagi penduduk di seluruh dunia. Namun di lain pihak, bahan-bahan tersebut
menimbulkan berbagai dampak seperti cedera dan penyakit. Cedera akibat kerja dapat
bersifat ergonomik, ortopedik, fisik, mengenai mata, telinga dan lainnya. Penyakit-penyakit
akibat pajanan di lingkungan kerja dapat berupa toksik, infeksi, kanker, gangguan hati, saraf,
alat reproduksi, kardiovaskular, kulit dan saluran napas. Biological dan chemical terrorism
yang mulai banyak dikhawatirkan ditujukan untuk menimbulkan kematian atau penyakit pada
manusia, hewan dan tanaman dengan menggunakan bahan seperti anthrax, cacar, virus
ensefalitis yang dikeringkan dan dijadikan bubuk sehingga mudah disebarkan Penyakit
Akibat Kerja merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan
kerja . Pajanan faktor biologi, kimia, fisik atau psikologi di tempat kerja menjadi faktor
tertinggi yang berhubungan dengan penyakit akibat kerja. Penyakit akibat kerja yang
sering ditemukan merupakan yang mengenai saluran nafas yaitu asma dan rhinitis. Asma
merupakan penyakit gangguan aliran nafas dan hiperaktifitas bronkus dikarenakan proses
inflamasi saluran nafas dengan sel-sel yang berperan khususnya sel mast, limfosit T dan
eusinofil . Sedangkan Asma akibat kerja (AAK) merupakan penyakit asma yang terjadi
akibat suatu keadaan di lingkungan kerja dan tidak terjadi pada rangsangan diluar tempat
kerja. Sekitar 17% dari semua kasus asma pada dewasa terkait dengan pajanan pekerjaan.
Prevalensi rata-rata asma yang diperparah di antara orang dewasa dengan asma adalah 22%,
tetapi beberapa penelitian telah menunjukkan hingga 58% . Di Indonesia belum ada data pasti
terkait penyakit asma akibat kerja diperkirakan 2-10% penduduk dan 2% dari seluruh
penderita asma merupakan asma akibat kerja. Asma di tempat kerja dibedakan antara asma
akibat kerja dan asma yang diperburuk oleh lingkungan kerja. Untuk menegakkan diagnosis
asma akibat kerja berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang terdiri dari tes provokasi bronkus, tes fungsi paru dan tes imunologi atau test pajanan
dengan alergen spesifik . Pengobatan asma akibat kerja secara umum sama seperti tatalaksana
asma lain tetapi yang terpenting dalam mentatalaksana asma akibat kerja yaitu menghindari
dari pajanan yang dapat menimbulkan asma yang bisa membuat prognosisnya lebih baik. Di
pelayanan kesehatan tingkat primer yang diutamakan adalah promotive dan preventive
kesehatan. Sehingga asma akibat kerja dapat dicegah dan disembuhkan bila didiagnosis lebih
dini. Penyakit pertama yang diduga merupakan Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah silikosis
yang sudah terjadi pada masa manusia membuat peralatan dari batu api. Pengetahuan
mengenai penyakit akibat kerja (PAK) masih terbatas karena sulitnya melakukan studi
epidemiologi; hal ini disebabkan berbagai hal seperti definisi PAK yang belum jelas, praktek
higiene industri dan cara-cara laporan yang berbeda, tidak ada studi kontrol, tidak mungkin
menentukan gejala minimal, banyak karyawan tidak melapor dan sudah meninggalkan tempat
kerja sewaktu penelitian dilakukan sehingga hanya ditemukan survivor population. Hal
tersebut terlihat dari sedikitnya laporan penyakit akibat kerja (PAK) di Indonesia. Penyakit
akibat kerja (PAK) tersering adalah yang mengenai saluran napas yaitu asma dan rinitis. PAK
imunologik lain yaitu pneumonitis hipersensitif yang mengenai paru dan PAK yang
mengenaikulit.
Asma Akibat Kerja (AAK) ditandai dengan obstruksi saluran napas yang variabel dan
bronkus hiperesponsif yang disebabkan oleh inflamasi bronkial akut dan kronis. Hal tersebut
bermula dari inhalasi debu, uap, gas yang diproduksi atau digunakan karyawan atau secara
tidak sengaja ditemukan dalam lingkungan kerja. Ciri dari semua asma kronis adalah
iritabilitas berlebihan terhadap berbagai rangsangan/faktor dalam lingkungan kerja. Asma
yang timbul dalam lingkungan kerja dibedakan dalam dua kategori. Pertama adalah asma
yang disebabkan bahan/faktor dalam lingkungan kerja dan kedua asma yang sudah ada
sebelum bekerja dan dipicu (eksaserbasi) oleh bahan/ faktor dalam lingkungan kerja. Pada
karyawan yang sudah menderita asma sebelum bekerja, 15% akan memburuk akibat pajanan
terhadap bahan atau faktor dalam linkungan kerja. Untuk menegakkan diagnosis asma akibat
kerjaberdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik danpemeriksaan penunjang yang terdiri dari
tes provokasibronkus, tes fungsi paru dan tes imunologi atau testpajanan dengan alergen
spesifik. Pengobatan asmaakibat kerja secara umum sama seperti tatalaksanaasma lain tetapi
yang terpenting dalam mentatalaksana. asma akibat kerja yaitu menghindari dari pajanan
yangdapat menimbulkan asma yang bisa membuatprognosisnya lebih baik. Di pelayanan
kesehatantingkat primer yang diutamakan adalah promotive danpreventive kesehatan.
Sehingga asma akibat kerjadapat dicegah dan disembuhkan bila didiagnosis lebihdini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud penyakit akibat kerja?
2. Apa yang dimaksud asma akibat kerja?
3.Apa saja bentuk-bentuk Asma?
4. Apa yang di maksud dengan patasmaogenesis asma akibat kerja?
5. Apa saja gejala asma akibat kerja?
6. Bagaimana penatalaksanaan asma akibat kerja?
7. Bagaimana perncegahan dan manajemen asma akibat kerja?
8. Bagaiaman pengobatan asma?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu penyakit akibat kerja
2. Untuk mengetahui asma akibat kerja
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk asma akibat kerja
4. Untuk mengetahui patogenesis serta gambaran ringkas skematis patofisiologi dalam asma
akibat kerja
5. Untuk mengetahui gejala yang muncul pada penyakit asma akibat kerja
6. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan asma akibat kerja
7. Untuk mengetahui bagaimana pencegahan dan manajemen asma akibat kerja
8. Untuk mengetahui cara pengobatan asma
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Penyakit Kerja


Penyakit Akibat Kerja merupakan suatupenyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan ataulingkungan kerja. Pajanan faktor biologi, kimia, fisikatau psikologi di
tempat kerja menjadi faktor tertinggiyang berhubungan dengan penyakit akibat
kerja.Penyakit akibat kerja yang sering ditemukanmerupakan yang mengenai saluran
nafas yaitu asmadan rhinitis.
B. Pengertian Asma
Asma adalah suatu keadaan kondisi paru – paru kronis yangditandai dengan
kesulitan bernafas, dan menimbulkan gejala sesak nafas,dada terasa berat, dan batuk
terutama pada malam menjelang dini hari.Dimana saluran pernafasan mengalami
penyempitan karena hiperaktivitasterhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan
penyempitan atauperadangan yang bersifat sementara.
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik pada jalan nafas
dandikarakteristikkan dengan hiperresponsivitas, produksi mukus, dan edemamukosa.
Inflamasi ini berkembang menjadi episode gejala asma yangberkurang yang meliputi
batuk, sesak dada, mengi, dan dispnea. Penderitaasma mungkin mengalami periode
gejala secara bergantian danberlangsung dalam hitungan menit, jam, sampai hari .
Asma yang berhubungan dengan pekerjaandi induksi atau dipicu oleh zat atau
kondisi khususpada tempat kerja. Kejadian ini telah menjadi penyakitpernapasan kerja
yang paling umum di banyak negara.Sekitar 10 persen dari semua kasus asma
dewasadisebabkan oleh etiologi kerja. Namun jumlah inisebagian besar tidak
memperdulikan secara signifikan.asma akibat kerja yaitu menghindari dari pajanan
yangdapat menimbulkan asma yang bisa membuatprognosisnya lebih baik. Di
pelayanan kesehatantingkat primer yang diutamakan adalah promotive danpreventive
kesehatan. Sehingga asma akibat kerjadapat dicegah dan disembuhkan bila
didiagnosis lebihdini.
Asma akibat kerja (AAK) ditandai dengan obstruksi saluran napas yang
variabel dan bronkus hiperesponsif yang disebabkan oleh inflamasi bronkial akut dan
kronis. Hal tersebut bermula dari inhalasi debu, uap, gas yang diproduksi atau
digunakan karyawan atau secara tidak sengaja di temukan dalam dunia kerja.
Asma akibat kerja memiliki korelasi antara gejala asma dan kerja, serta
perbaikan ketika libur dari pekerja selama beberapa hari dan pengukuran arus puncak
secara seri selama sebulan penuh, misalnya saat bekerja maupun diakhir pekan atau
hari libur dapat membantu dalam mengidentifikasi pola-pola yang mungikn mengarah
ke asma akibat kerja.

C. Bentuk-Bentuk Asma
1. Irritant InducedOccupational Asthma
Irritant InducedOccupational Asthma biasanya berkembang setelahsatu
kali paparan yang sangat tinggi terhadap bahankimia yang mengiritasi. Ini
merupaka efek"membakar" langsung pada saluran udara dan tidakterkait
dengan sistem kekebalan.
Contoh
Agenpenyebab termasuk amonia, asam dan asap. Tingginyatingkat paparan
yang diperlukan biasanya merupakanhasil dari kecelakaan atau beberapa
kegagalan kontrol,sering kali di ruang tertutup. Para pasien hampir selalu
menunjukkan gejala asma dalam 24 jam setelahpemaparan, yaitu tidak ada
periode laten. tetapi mungkin juga jika gejalabertahan di luar 6 bulan, masalah
persisten mungkinterjadi.
2. Allergic Occupational Asthma
Allergic Occupational Asthma disebabkanoleh sensitisasi atau menjadi alergi
terhadap agenkimia tertentu di tempat kerja selama jangka waktutertentu. Ini
adalah mekanisme untuk sebagian besar (>90%) kasus asma akibat kerja.
Proses sensitisasi tidakterjadi setelah satu paparan tetapi berkembang seiring
waktu (yaitu, periode latensi). Periode laten bervariasidan bisa sesingkat
beberapa minggu atau selama 30tahun. Jika eksposur konsisten, periode risiko
terbesar adalah dua tahun pertama paparan tetapi risiko tidakhilang setelah itu
D. Patogenesis asma
Patogenesis asma yang diinduksioleh iritasi. Mekanisme asma yang disebabkan
olehiritasi tidak diketahui. Banyak laporan menunjukkanbahwa eksposur iritasi
pernapasan tingkat tinggi yangtidak disengaja dapat menyebabkan timbulnya
asmabaru. Karena jenis AAK ini terjadi setelah menghiruptingkat iritasi yang tinggi,
target utama untuk cederaawal adalah epitel bronkial, yang menjadi gundul
dankehilangan sifat protektifnya. Konsekuensi kerusakanpada epitel bronkial adalah
hilangnya faktor relaksasiyang berasal dari epitel, paparan ujung saraf yang
mengarah ke peradangan neurogenik, dan pelepasanmediator inflamasi dan sitokin
setelah aktivasinukpesifik sel mast. Konsekuensi lebih lanjut darigangguan epitelium
disertai dengan sekresi faktorpertumbuhan sel epitel, otot polos dan
fibroblast,bersama dengan degradasi matriks, adalah responjaringan regeneratif dan
remodeling. Perubahanpatologis terdiri dari fibrosis ditandai dari dinding
bronkus dan denudasi mukosa dengan eksudatfibrinohemorrhagik di submukosa.

Gejala biasanya timbul sesaat setelah terpaparoleh alergen dan seringkali


berkurang atau menghilangjika penderita meninggalkan tempat kerjanya. Gejala
seringkali semakin memburuk selama hari kerja danmembaik pada akhir minggu atau
hari libur. Beberapapenderita baru mengalami gejalanya dalam waktu 12jam setelah
terpapar oleh alergen. gejalanya berupasesak nafas, bengek, batuk, merasakan sesak di
dada.
Diagnosis AAK dapat dilakukan dalam tigalangkah:
1. Membuat diagnosis asma. Diagnosis asma dilakukansesuai dengan pedoman
internasional terbarUNamun, diagnosis asma tidak selalu mudah. Asmaadalah
penyakit heterogen dan kriteria diagnostik tidakjelas dan bervariasi antar
penelitian. Selanjutnya, adabanyak tumpang tindih antara asma dan penyakit
paruobstruktif kronik (PPOK). Diagnosis dokter tentangasma mungkin sering
dipertanyakan.
2. Identifikasi tempat kerja sebagai penyebab asmapasien. Verifikasiobjektif
dari hubungan antarapaparan kerja dan pembatasan aliran udara adalahdasar
untuk mendiagnosis AAK, baik untuk onsetasma kerja baru atau asma yang
diperburuk karenapekerjaan.
3. Identifikasi agen khusus yang menyebabkan AAK.Langkah ini paling
menuntut pada sumber daya.Diagnosis spesifik diperlukan sebelum
tindakanperbaikan yang tepat dapat dilakukan di tempat kerja,tetapi
armamentarium diagnostik lengkap hanyatersedia di beberapa pusat seluruh
dunia. Tingkatinvestigasi diagnostik akan tergantung pada sumberdaya apa
yang tersedia dan pada keputusan analisisyang memperhitungkan konsekuensi
dari diagnosispositif dan negatif palsu.
E. Gejala asma akibat kerja
Beberapa gejala asma yang mungkin dialami pekerja setelah terpapar antara lain
adalah:
1. Batuk
2. Desah (mengi)
3. Dada sesak
4. Sesak napas
5. Konjungtivitis (mata gatal, merah, meradang)
6. Rinitis (di mana bagian dalam hidung Anda meradang dengan gejala seperti
hidung tersumbat, berair atau gatal).
Gejala-gejala ini sering hilang saat pekerja berada jauh dari lokasi kerja.
Memburuknya asma atau asma baru pada pekerja seharusnya menimbulkan
pertanyaan tentang penyebab di tempat kerja. Gejala asma dapat berkembang segera
setelah terpapar, atau dapat berkembang berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah
terpapar zat berbahaya berulang kali.
F. Pentalaksanaan
1. Penatalaksanaan Asma kerja terutama bagi bekerja yang peka terhadap bahan-
bahan tertentu di tempaat kerja.
2. Memindahkan pekerja ketempat lain.
3. Pencegahan terhadap pejanan dapat dilllakukan denan menghilaankan bahan
penyebab dari tempat kerja, atau penderita yang harus menghindari
linggkungan kerja tersebut.
4. Menggunakan APD.
G. Pencegahan & Manajemen Asma Akibat Kerja

Untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi pekerja dengan asma,
Perusahaan harus menggunakan Hirarki Pengendalian. Ini mencakup eliminasi
pemicu, melakukan pengendalian untuk melindungi pekerja, menerapkan praktik atau
kebijakan untuk mengurangi paparan, dan melatih pekerja tentang tindakan
pencegahan yang harus diambil. Memberi pekerja alat pelindung diri adalah langkah
terakhir.

Karyawan dengan asma terkait pekerjaan harus:

1. Identifikasi dan hindari pajanan di tempat kerja.


2. Laporkan kondisi baru atau yang memburuk kepada Perusahaan dan dokter.
3. Dapatkan vaksinasi flu.
4. Berhenti merokok (jika merokok).
5. Minum obat sesuai resep.
H. Pengobatan Penyakit Asma
Pilihan obat controller pada asmaPanduan klinis terbaru
mengklasifikasikanasma berdasarkan tingkat keparahan denganmenggunakan gejala,
fungsi paru, dan penggunaanobat sebagai variabel. Obat-obatan yang tersediauntuk
terapi asma dibagi menjadi pengobatankontrol jangka panjang atau controller dan
pengobatan kerja cepat atau reliever berdasarkanfarmakodinamik dan efek klinisnya.
Controlleradalah terapi yang diberikan untuk menurunkaninflamasi saluran nafas
kronik, kontrol gejala, danmenurunkan risiko eksaserbasi dan penurunanfungsi paru.
Reliever adalah terapi yang diberikanketika timbul perburukan gejala.
Terapi controller adalah terapi untuk mencapaikontrol gejala asma yang baik,
mempertahankanaktivitas normal, dan meminimalisir terjadinyaeksaserbasi. Terapi ini
digunakan secara reguler.Obat controller ini terdiri dari kortikosteroid inhalasi, long-
acting β2 agonist (LABA),leukotriene receptor antagonist (LTRA),methylxanthin,
long-acting muscarinic antagonist(LAMA), dan anti-IgE.

1. Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid


Kortikosteroid inhalasiKortikosteroid digunakan sebagai terapi
padabeberapa kelainan inflamasi pada paru.Kortikosteroid oral pertama kali
diperkenalkansebagai terapi asma pada tahun 1950an dan masihmenjadi terapi
controller yang paling efektif padaasma. Namun, beberapa efek samping
munculsehingga beberapa penelitian mulai mencaripengobatan yang
menggunakan aksi yangbermanfaat pada jalan nafas tanpa adanya
efeksamping. Pengenalan kortikosteroid inhalasimerevolusi penatalaksanaan
pada asma. Karenaasma merupakan kelainan inflamasi yang
kronis,kortikosteroid inhalasi dipertimbangkan sebagaiterapi lini pertama pada
asma.
Farmakokinetik kortikosteroid inhalasi/inhaled corticosteroid (ICS)
penting dalamhubungannya dengan efek sistemik. Fraksi steroidyang
diinhalasi ke paru beraksi secara lokal padamukosa jalan nafas dan diabsorbsi
di permukaanjalan nafas dan alveoli. Dengan demikian, sebagiankecil dosis
inhalasi masuk ke sirkulasi.
Kortikosteroid inhalasi direkomendasikansebagai terapi lini pertama
untuk semua pasienasma. George menyatakan bahwa ICSmerupakan terapi
controller paling efektif untukasma, bahkan aman untuk kehamilan. Terapi
inisebaiknya segera dimulai pada pasien yangmembutuhkan inhaler agonis β2
untuk kontrolgejala. Untuk sebagian besar pasien, ICS sebaiknyadiberikan dua
kali sehari. Dosis kortikosteroidinhalasi seharusnya merupakan dosis
yangminimal untuk mengontrol asma.
Prednison dan prednisolon merupakan steroidoral yang seringdigunakan.
Perbaikan klinisdengan steroid oral membutuhkan beberapa hari.Biasanya
efek maksimal dicapai dengan dosis 30-40 mg prednison per hari. Dosis
pemeliharaanyang sering digunakan adalah 10-15 mg perhari.Agonis β2 juga
memperkuat aksi reseptorglukokortikoid, menyebabkan peningkatan
translokasi nuklear reseptor glukokortikoid danmemperkuat ikatan reseptor
glukokortikoid padaDNA. Hal ini menyimpulkan bahwa agonis β2 dan
kortikosteroid memperkuat efek satu sama laindalam terapi asma.10,13
Kortikosteroid inhalasi memiliki efek sampinglokal karena deposisi steroid
inhalasi padaorofaring. Masalah yang sering ditemukan adalahsuara serak dan
disfonia akibat atrofi plika vokaliskarena deposisi steroid pada laring.
Iritasikerongkongan dan batuk setelah inhalasi seringterjadi pada pemakaian
MDI.
2. Long-acting β2 agonist (LABA)Agonis β2 inhalasi
Long-acting β2 agonist (LABA)Agonis β2 inhalasi merupakan pilihan
bronkodilator pada asma karena obat inimerupakan bronkodilator paling
efektif danmemiliki efek samping yang minimal jikadigunakan dengan tepat.
Pengobatan β2 selektifinhalasi memiliki durasi aksi 3-6 jam. Agonis β2
agonis kerja panjang inhalasi/ long-acting β2agonist (LABA), seperti
salmeterol dan formoterol,memiliki durasi kerja yang lebih panjang sehingga
efek bronkodilatasi dan bronkoproteksi bertahanlebih dari 12 jam.3,13
Okupasi reseptor β2 oleh agonis menyebabkanaktivasi jalur Gs-adenylyl-
cyclase-cAMP-PKA,menghasilkan relaksasi otot polos bronkus.Agonis β
menyebabkan bronkodilatasi dengansecara langsung merangsang reseptor β2
padaotot polos jalan nafas. Secara in vivo, terjadipenurunan resistensi jalan
nafas yang cepat.
Agonis β2 bisa menyebabkan bronkodilatasisecara in vivo tidak hanya
melalui aksi langsungpada otot polos jalan nafas, namun juga secaratidak
langsung dengan menghambat pelepasanmediator dari sel inflamasi dan
neurotransmiterbronkokonstriktor dari persarafan jalan nafas.Agonis β2 kerja
panjang inhalasi (LABA),seperti salmeterol, formoterol, dan arformoteroltelah
terbukti memiliki efek yang baik pada asma.Obat ini memiliki aksi
bronkodilator lebih dari 12jam. Pengobatan ini meningkatkan kontrol
asmadengan pemberian dua kali sehari. Belhassenmenyatakan bahwa
pemberian LABAdikombinasikan dengan ICS untuk mencapaikontrol gejala
asma yang baik. Dosis yangdianjurkan adalah fluticasone 100mcg,
250mcg,500mcg/ salmeterol 50mcg atau budenoside80mcg, 160mcg/
formoterol 4,5mcg. Efek samping dari β2 agonis tergantung padadosis dan
rangsangan reseptor β ekstrapulmoner.Johnston menyatakan bahwa efek
sampingjarang ditemukan pada pemberian denganinhalasi, namun sering pada
pemberian denganoral atau intravena. Takikardia dan palpitasidisebabkan oleh
rangsangan refleks kardiaksekunder terhadap vasodilatasi perifer,
darirangsangan langsung reseptor β2 atrium dankemungkinan juga berasal dari
perangsanganreseptor β1 miokardial. Hipokalemia, merupakanefek samping
yang serius, disebabkan olehperangsangan reseptor β2 untuk
memasukkankalium ke dalam otot rangka.
3. Leukotriene receptor antagonist (LTRA)
Leukotriene receptor antagonist (LTRA)Terdapat bukti bahwa
cysteinyl-leukotriene(LT) diproduksi pada asma dan memiliki efekyang poten
terhadap fungsi jalan nafas, termasukbronkokonstriksi, AHR, eksudasi plasma,
sekresimukus, dan inflamasi eosinofilik. Data ini juga
mendukung bahwa dengan menghambat jalurleukotrien dengan leukotriene
modifier akanbermanfaat pada terapi asma, menyebabkanpembentukan
-lipoxygenase enzyme inhibitordan beberapa antagonis reseptor cys-LT1,
termasuk montelukast, zafirlukast, danpranlukast, Leukotriene receptor
antagonist (LTRA) telahditeliti secara intensif pada beberapa studi klinis.
LTRA menghambat efek bronkokonstriksi LTD4yang diinhalasi pada orang
normal dan pasiendengan asma. Terapi tersebut juga menghambat
bronkokonstriksi yang diinduksi oleh beberapapaparan. Hasil yang sama
didapatkan padainhibitor 5-LO zileuton. Pengobatan ini diberikan
secara oral dan bermanfaat pada pemberianjangka panjang. Dosis yang
dianjurkan adalahmontelukast 10mg, zafirlukast 20mg 2 kali sehari,dan
zileuton 400mg 4 kali sehari. Pada pasien dengan asma, anti-leukotrien
menyebabkan peningkatan yang signifikan padafungsi paru dan gejala asma,
dengan penurunanpenggunaan agonis β2 kerja pendek. Papierniak
(2013) menunjukkan efek bronkodilator, denganpeningkatan pada fungsi paru,
yangmenyimpulkan bahwa leukotrien berkonstribusipada bronkokonstriksi
pada asma. Namun, anti-leukotrien masih kurang efektif jika
dibandingkandengan kortikosteroid inhalasi dan tidak bisadipertimbangkan
sebagai terapi lini pertama.Anti-leukotrien diindikasikan sebagai terapi
tambahan pada pasien yang tidak terkontroldengan kortikosteroid inhalasi.
Keuntunganpenambahannya kecil, ekivalen denganpelipatgandaan dosis
kortikosteroid inhalasi, dankurang efektif dibandingkan dengan penambahan
dengan LABA. Zileuton, zafirlukast, dan montelukastberhubungan dengan
disfungsi hati yang jarangterjadi. Oleh karena itu, enzim yang
menggambarkan fungsi hati sebaiknya dipantau.Beberapa kasus sindrom
Churg-Straussdihubungkan dengan penggunaan zafirlukast danmontelukast.
4. Methylxanthin
Methylxanthin, seperti teofilin, sudahdigunakan untuk terapi asma sejak
tahun 1930.Teofilin hingga saat ini masih digunakan secaraluas di negara
berkembang karena harganya yangtidak mahal. Teofilin menjadi lebih
bermanfaatdengan availabilitas plasma cepat dan lepaslambat. Namun,
seringnya terjadi efek sampingdan efikasi yang relatif rendah dari teofilin
menyebabkan penurunan penggunaan obat inikarena agonis β2 didapatkan
lebih efektif sebagaibronkodilator dan kortikosteroid inhalasi lebih
efektif sebagai antiinflamasi.3,10Dosis yang dianjurkan adalah 10mg/kg berat
badan/hari. Untuk terapi jangka panjang,pemberian dua kali sehari dengan
dosis8mg/kg/kali disarankan. Penelitian terbarumenunjukkan, pemberian satu
kali teofilin oralmemberikan efektivitas yang lebih baik.3,10Terdapat
hubungan yang erat antarapeningkatan fungsi jalan nafas dengan konsentrasi
teofilin serum. Di bawah 10 mg/L, efek terapeutikdianggap kecil, di atas 20
mg/L kegunaan teofilinmeningkat disertai dengan peningkatan efek
samping, sehingga dosis terapeutik dari teofilinadalah 10-20 mg/L. Bahkan di
dalam kisaran itu,toksisitas obat masih ditemukan sehinggamembuat teofilin
menjadi pengobatan yang susahdigunakan. Dosis teofilin bervariasi pada
pasienyang berbeda karena perbedaan dalam klirensobat.Efek samping yang
paling sering dari teofilinadalah sakit kepala, mual, dan muntah yang
disebabkan oleh inhibisi PDE4. Pada konsentrasiyang lebih tinggi, teofilin
menyebabkan aritmiajantung dan kejang. Penggunaan dosis rendahteofilin,
dengan target konsentrasi plasma 5-10mg/L, mencegah efek samping dan
interaksi obatserta menurunkan kepentingan untuk memeriksaulang
konsentrasi plasma.
5. Long-acting muscarinic antagonist (LAMA)
Long-acting muscarinic antagonist (LAMA)Agen ini bersifat antagonis
kompetitif ikatanasetilkolin dengan reseptor kolinergik muskarinik.Obat ini
akan menghambat efek asetilkolinendogen pada reseptor muskarinik, termasuk
efekkonstriksi langsung pada otot polos bronkus.Rangsangan pada reseptor
tersebut akanmengaktivasi parasimpatis yang menyebabkanbronkokonstriksi.
Efek asetilkolin pada sistemrespirasi tidak hanya bronkokonstriksi, namun
juga meningkatkan sekresi trakeobronkial danmerangsang kemoreseptor pada
badan karotiddan aorta.
Tiotropium bromida merupakan antikolinergikjangka panjang yang bisa
diberikan dengan dosis18mcg satu kali sehari dengan DPI.
Tiotropiumberikatan dengan semua subtipe reseptormuskarinik.
Antikolinergik inhalasi secara umum diterimadengan baik. Efek samping yang
signifikan adalah
rasa tidak enak di lidah yang dapatmempengaruhi kepatuhan berobat.
Tiotropiumbromida menyebabkan rasa kering pada mulutpada 10-15% pasien,
namun biasanya menghilangketika pengobatan dilanjutkan.
6. Anti-IgE
Peningkatan IgE spesifik merupakan gambaranfundamental pada asma
alergi. Omalizumabmerupakan antibodi monoklonal yangmenghambat ikatan
IgE terhadap reseptor IgEberafinitas tinggi pada sel mast dan kemudian
menghambat aktivasinya oleh alergen. Terapi inijuga menghambat ikatan IgE
dengan reseptor IgEberafinitas rendah pada sel inflamasi yang lain,
seperti limfosit T dan B, makrofag, dan eosinofil,untuk menghambat inflamasi
kronik. Omalizumabjuga menurunkan kadar IgE dalam sirkulasi. Omalizumab
digunakan untuk terapi pasiendengan asma berat. Antibodi diberikan
secarainjeksi subkutan dengan dosis 150-375 mg setiap2-4 minggu, dan
dosisnya ditentukan oleh kadarIgE sirkulasi. Omalizumab menurunkan
kebutuhan kortikosteroid oral dan inhalasi dan menurunkan kejadian
eksaserbasi. Namun, karenabiayanya yang mahal, terapi ini digunakan untuk
pasien dengan asma berat yang tidak terkontroldengan kortikosteroid. Efek
samping utam dariomalizumab adalah anafilaktik, yang kejadiannya
sangat jarang (<0,1%).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit akibat kerja merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan
atau lingkungan kerja. Pajanan factor biologi, kimia, fisik, atau psikologi di tempat
kerja menjadi factor tertinggi yang berhubungan dengan penyakit akibat kerja.
Penyakit akibat kerja yang seringditemukan merupakan yang mengenai saluran nafas
yaitu asma dan rhinits. Asma adalah suatu keadaan kondisi paru kronis yang di tandai
dengan kesulitan bernafas dan menimbulkan gejala sesak nafas, dada terasa berat dan
batuk terutama pada malam menjelang dini hari. Inflamasi ini berkembang menjadi
episode gejala asma yang berkurang yang meliputi batuk, sesak dada, mengi, dan
dispne.
Asma yang berhubungan dengan pekerjaan induksi atau dipicu oleh zat atau
kondisi khusus pada tempat kerja. Kejadian ini telah menjadi penyakit pernapasan
kerja yang paling umum di banyak negara. Namun jumlah ini Sebagian besar tidak
memperdulikan secara signifkan. Asma akibat kerja yaitu menghindari dari pajanan
yang dapat menimbulkan asma yang bias membuat prognosisnya lebih baik. Sehingga
asma akibat kerja dapat dicegah dan disembuhkan bila di diagnosis lebih dini. Asma
akibat kerja ditandai dengan obstruksi saluran napas yang variable bronkus
hiperesponsif yang disebabkan oleh inflamasi bronkialakut dan kronis.
Verifikasi objektif dari hubungan antara paparan kerja dan pembatasan aliran
udara adalah dasar untuk mendignosis Asma akibat kerja, baik untuk onset asma kerja
baru atau asma yang diperburuk karena pekerjaan. Gejala asma akibat kerja yang
mungkin dialami pekerja setelah terpapar antara lain adalah:
1. Batuk
2. Desah (mengi)
3. Dada sesak
4. Sesak napas
5. Konjungtivitis (mata gatal, merah, meradang)
6. Rinitis (di mana bagian dalam hidung Anda meradang dengan gejala seperti
hidung tersumbat, berair atau gatal).
Untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi pekerja dengan asma,
Perusahaan harus menggunakan Hirarki Pengendalian. Ini mencakup eliminasi
pemicu, melakukan pengendalian untuk melindungi pekerja, menerapkan praktik atau
kebijakan untuk mengurangi paparan, dan melatih pekerja tentang tindakan
pencegahan yang harus diambil. Memberi pekerja alat pelindung diri adalah langkah
terakhir.

Karyawan dengan asma terkait pekerjaan harus:

1. Identifikasi dan hindari pajanan di tempat kerja.


2. Laporkan kondisi baru atau yang memburuk kepada Perusahaan dan dokter.
3. Dapatkan vaksinasi flu.
4. Berhenti merokok (jika merokok).
5. Minum obat sesuai resep

B. Saran
1. Untuk mengantisipasi terjadinya pernyakit akibat kerja yang dominan
berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja maka perlu untuk lebih banyak
dilakukan sosialisasi dan pengaraha nmelalui safety meeting atau pertemuan-
pertemuan di lapangan yang diikuti oleh semua pihak mulai dari pekerja, mandor,
sub-kontraktor agar pekerja memiliki budaya kerja yang sehat, aman, disiplin,
dan lebih megutamakan keselamatan kerja.
2. Pemeriksaan dan inspeksi terhadapa material-material alat yang akan digunakan
perlu dilaksanakan dengan baik dan seksama agar tidak menimbulkan potensi
terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
DAFTAR PUSTAKA

Mathur SK, Busse WW. The Biology oh Asthma. In Fishman's Pulmonary Diseases and Disorders
fourth edition.: McGraw-Hill; 2008.

Orihara K, Dil N, Anaparti V, Moqbel R. What's new in asthma pathophysiology and


immunopathology? Expert Rev Resp Med. 2010; 4(5).

Sundaru H, Sukamto. Asma Bronkial. In Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 20146

Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention, 2021.
Tersedia di www.ginasthma.org

Kim YM, Kim YS, Jeon SG, Kim YK. Immunopathogenesis of allergic asthma: more than the Th2
hypothesis. Allergy Asthma Immunol Res. 2013; 5(4).

Buc M, Dzurilla M, Vrlik M, Bucova M. Immunopathogenesis of bronchial asthma. Arch Immunol Ther
Exp. 2009; 57

Pynn MC, Thornton CA, Davies GA. Asthma pathogenesis. Pulmao RJ. 2012; 21(2).

Papadakis M, McPhee S. Current Medical Diagnosis & Treatment USA: McGraw-Hill; 2016.

Barnes PJ. Pulmonary Pharmacology. In Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of
Therapeutics twelfth edition.: McGraw-Hill; 2011

Rempell DM, Janowitz IL. Ergonomics & the prevention of occupational injuries. Dalam: LaDou (ed).
Occupational and Environmental Medicine. Lange Medical Books/McGraw-Hill. NY 1997: 41-63.

Bardana EJ. Occupational Asthma. Dalam: Slavin RG, Reisman RE (eds). Asthma. ACP, Philadelphia
2002:173-90.

Baratawidjaja KG. Bisinosis dan hubungannya dengan obstruksi kronis. Tesis, 1989.

Slavin Raymond G. 2010. Update on occupational rhinitis andasthma, Allergy and asthma
Proceedings.

Tarlo SM, Lemiere C. Occupational asthma. N Engl J Med. 2014;370(7):640–9.

Maestrelli P, Boschetto P, Fabbri LM, Mapp CE. Mechanisms of occupational asthma. Vol. 123,
Journal of Allergy and Clinical Immunology. 2009. 531–42

Anda mungkin juga menyukai