Anda di halaman 1dari 19

PAPER 1

Pneumothorax

Laporan kasus ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti


kepaniteraan klinik senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Dr. Pirngadi Medan.

DISUSUN OLEH :
ALDEK PIBRA
(71210891026)

PEMBIMBING:
dr. Hapsah, Sp.P

SMF ILMU PARu


RSUD Dr.
PIRNGADI KOTA
MEDAN
2021

1
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

Dokter Pembimbing

dr. Hapsah, Sp.P

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan “Paper 1” ini guna memenuhi persyaratan
mengikuti Persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Paru Rumah Sakit
Umum Dr. Pirngadi Medan dengan judul “Pneumothorax”
Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Hapsah
Sp.P atas segala bimbingan dan arahannya dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di
Departemen Ilmu Paru Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan dan dalam pembuatan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangannya, oleh sebab
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna memperbaiki
laporan kasus ini di kemudian hari.
Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan bagi kita semua serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu
kedokteran dalam praktik di masyarakat.

Medan, Desember 2021

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Paru merupakan salah satu organ vital manusia. Banyak penyakit paru yang menjadi
salah satu penyebab utama kematian seseorang. Salah satunya yaitu Pneumothoraks.
Pneumothoraks merupakan kondisi dimana terdapat penumpukkan udara pada pleura
viceralis dan parietalis. Pneumothoraks dapat terjadi secara spontan atau karena trauma
yang menyebabkan robekan pleura atau terbukanya dinding dada yang dapat menyebabkan
terjadinya pneumothoraks terbuka atau pneumothoraks tertutup.

Pneumothoraks merupakan salah satu penyakit yang berbahaya yang dialami oleh
orang- orang lanjut usia tapi seiring perkembangan era modern penyakit-penyakit ini bukan
hanya diderita golongan lanjut usia tapi tidak jarang pula diderita oleh golongan usia muda
yang produktif. Faktor utama penyebab penyakit yang menyerang golongan usia muda
produktif adalah pola hidup yang tidak seimbang, jarang berolahraga dan mengkonsumsi
rokok. Salah satu penyakit yang sering diderita yaitu penyakit paru.

Terdapat beberapa tipe Pneumothoraks yang di kelompokkan berdasarkan penyebabnya


yaitu Pneumothoraks spontan (primer atau sekunder), Pneumothoraks traumatik (luka
tusuk, pluru, atau terkena benturan pada kecelakaan), Pneumothoraks karena tekanan
terjadi kurang lebih 75% akibat trauma tusuk diserai juga hemothoraks, Pneumothoraks
juga dapat menjadi komplikasi dari tindakan medis seperti thorakosentesis.

Pneumothoraks menyebabkan paru kollaps Sebagian ataupun keseluruhan yang


menyebabkan tergesernya isi rongga dada ke sisi lain yang dapat menyebabkan gejala
sesak nafas progresif sampai sianosis.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pneumothorax
Definisi
Pneumothoraks merupakan salah satu penyakit yang berbahaya yang dialami oleh
orang- orang lanjut usia tapi seiring perkembangan era modern penyakit-penyakit ini bukan
hanya diderita golongan lanjut usia tapi tidak jarang pula diderita oleh golongan usia muda
yang produktif. Faktor utama penyebab penyakit yang menyerang golongan usia muda
produktif adalah pola hidup yang tidak seimbang, jarang berolahraga dan mengkonsumsi
rokok. Salah satu penyakit yang sering diderita yaitu penyakit paru.

Etiologi
1. Traumatis Pneumotoraks
Penyebab biasa adalah trauma langsung atau tidak langsung dada, misalnya,
kecelakaan, luka-luka tusukan, luka-luka perang.
2. Non Traumatic (spontaneous) Pneumotoraks
a. Primer spontan Pneumothorax
Ada tanpa penyebab yang jelas atau pendahulu trauma. Terjadi pada orang
orang yang tampaknya sehat karena pesawat di ketinggian tekanan atmosfer
dekompresi terlalu cepat untuk tekanan atmosfer penyelam atau caisson
workers, perokok.
b. Pneumotoraks spontan sekunder
Terlihat dalam kasus dengan setiap paru-paru yang mendasari kondisi,
misalnya, PPOK biasanya lebih serius seperti mengurangi lebih lanjut
suboptimal fungsi paru mendasari penyakit paru-paru (Jain et al., 2008).

5
Patofisiologi
Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk melakukan
proses ventilaasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang-tulang yang menyusun struktur
pernapasan seperti tulang klavikula, sternum,scapula. Kemudian yang kedua adalah otot-
otot pernapasan yang sangat berperan pada proses inspirasi dan ekspresi. Jika salah satu
dari dua struktur tersebut mengalami kerusakan, akan berpengaruh pada proses ventilasi
dan oksigenasi. Contoh kasusnya, adanya fraktur pada tulang iga atau tulang rangka akibat
kecelakaan, sehingga bissa terjadi keadaan flail chest atau kerusakan pada otot pernapasan
akibat trauma tumpul, serta adanya kerusakan pada organ visceral pernapasan seperti, paru-
paru, jantung, pembuluh darah dan organ lainnya di abdominal bagian atas, baik itu
disebabkan oleh trauma tumpul, tajam, akibat senapan atau gunshot.
Tekanan intrapleural adalah negative, pada proses respirasi udara tidak akan dapat
masuk kedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan tekanan parsial dari udara pada
kapiler pembuluh darah rata-rata (706 mmHg). Pergerakkan udara dari kapiler pembuluh
darah ke rongga pleura, memerlukan tekanan pleura lebih rendah dari -54 mmHg (-
36cmH2O) yang sangat sulit terjadi pada keadaan normal. Jadi yang menyebabkan
masuknya udara pada rongga pleura adalah akibat trauma yang mengenai dinding dada dan
merobek pleura parietal atau visceral atau disebabkan kelainan kongenital adanya bula pada
subpleural yang akan pecah jika terjadi peningkatan tekanan pleura.

Manifestasi Klinis
1. Tanda Klasik dari pneumothorax
a. Trachea datar
b. Ekspansi menurun
c. Tanda perkusi Meningkat
d. Suara Nafas Menurun
e. Vena leher meningkat
2. Tanda umum yang ditemukan
a. Nyeri dada
b. Sesak
c. Cemas
d. Tachypnea
e. Tachycardia
f. Hyper resonance dinding dada pada sisi yann terkena

6
g. Bunyi nafas berkurang pada sisi yang terkena
3. Tanda yang terlambat ditemukan
a. Penurunan kesadaran
b. Deviasi trachal
c. Hypotension
d. Peningkatan vena leher (kadang tidak terlihat jika hipotensi berat)
e. Cyanosis

Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan fisik biasanya dapat memastikan diagnosa jika pneumotoraks yang
terjadi besar. Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan :
1. Rontgen dada, merupakan pemeriksaan penunjang yang umumnya dilakukan
untuk menunjukkan adanya udara diluar paru-paru
2. CT scan dada, terkadang dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih detail
3. Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemia meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang
berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.

Penatalaksanaan
Tujuan penanganan pneumotoraks adalah untuk menghilangkan tekanan pada
paru-paru, sehingga paru-paru dapat mengembang kembali, dan mencegah terjadinya
kekambuhan. Penanganan yang diberikan tergantung dari seberapa berat paru-paru
yang kollaps dan terkadang kondisi umum penderita.
1. Observasi
Jika hanya sedikit jaringan paru yang kollaps, mungkin pneumotoraks yang ada
hanya akan dipantau menggunakan foto rontgen dada serial, sampai udara di rongga
pleura terserap sepenuhnya dan paru-paru mengembang kembali. Untuk itu,
penderita perlu benar-benar beristirahat, karena kerja berat bisa memperburuk
kollapsnya paru-paru. Oksigen tambahan bisa diberikan untuk mempercepat proses
penyerapan udara dari dalam rongga pleura.
2. Pemasangan WSD
Water Seal Drainage (WSD) adalah Suatu sistem drainage yang menggunakan
water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura ( rongga pleura).
7
Tujuan

8
dari pemasangan WSD adalah untuk mengalirkan/drainage udara atau cairan dari
rongga pleura untuk mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut. Dalam
keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya terisi sedikit
cairan pleura/lubrican. Adapun indikasi pemasangan WSD antara lain :
• Hemotoraks, efusi pleura
• Pneumotoraks ( > 25 % )
• Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk
• Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator
Sementara itu, untuk kontra kontra indikasi pemasangan WSD antara lain :
• Infeksi pada tempat pemasangan
• Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol (6,7,9)

Gambar 1. Pemasangan WSD pada Pneumothorax

3. Tindakan Dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang luasnya
> 15% (Sudoyo, 2006). Pada intinya, tindakan inibertujuan untuk mengurangi
tekanan intra pleura dengan membuathubungan antara rongga pleura dengan udara
luar dengan cara :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan
demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi
negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke
dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal
saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka,

9
akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang berada
di dalam botol.
2) Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan
jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di
dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan
kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa
plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi
air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang
keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol (Alsagaff, 2009).
3) Pipa water sealed drainage (WSD) Pipa khusus (toraks kateter) steril,
dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah
yang telah dibuatdengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada lineamid
aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela
iga ke-2 di garis midklavikula. Setelah troakar masuk, maka toraks kateter
segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga pleura.
Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD
dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang
berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya
gelembung udaradapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan
tersebut. Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura
tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif
sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang.
Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negative kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan ujicoba terlebih
dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan
dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bias dicabut.
Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi
maksimal.

10
4. Pembedahan
Jika pemasangan selang di dada tidak dapat mengatasi pneumotoraks yang ada,
maka mungkin diperlukan pembedahan untuk menutup daerah kebocoran/lubang
tempat udara masuk. Jika tidak ditemukan adanya kebocoran, atau jika penderita
tidak dapat menjalani pembedahan karena kondisi kesehatan yang kurang baik,
maka rongga pleura bisa ditutup dengan cara memberikan bahan khusus seperti talk
ke dalamnya melalui sebuah selang (pleurodesis). Cara ini bertujuan untuk
mengiritasi jaringan di sekeliling paru, sehingga selaput pleura bisa melekat dan
menutup kebocoran yang ada.

5. Pengobatan Tambahan
a. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan
terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT,
terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan
bronkodilator
b. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat .
c. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema
6. Rehabilitasi
a. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan
secara tepat untuk penyakit dasarnya.
b. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu
keras.
c. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan
ringan.
d. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak
napas

11
7. Contoh Clinical Pathway Pneumothorax

Gambar 2. Flowchart of management of spontaneous pneumothorax (MacDuff et al., 2010)


Gambar diatas menjelaskan bagaimana proses urutan dalam penatalaksanaan
dari pneumothorax spontan. Menurut sumber lain yaitu dari Soria et al (2005)
dalam artikelnya yang berjudul Clinical Pathway for the Treatment of Primary
Spontaneous Pneumothorax in a General Surgery Department, Soria menjelaskan
beberapa peran lain dalam lingkup departemen bedah umum termasuk salah
satunya adalah peran perawat dalam penatalaksanaan kasus pneumothorax. Berikut
tabel penjelasan dari peran masing-masing tersebut.

12
13
Tabel 1 dan 2 diatas menjelaskan bagaimana time matrix dalam
penalataksanaan pneumothorax baik yang small maupun yang large di lingkungan
ruang perawatan bedah umum. Diatas juga disebutkan bagaimana peran perawat
dalam penatalaksanaan pneumothorax. Berdasarkan tabel diatas, sudah jelas bahwa
peran perawat adalah melaksanakan asuhan keperawatan baik secara mandiri
maupun secara kolaborasi. Perawat juga memiliki peran penting dalam
14
penatalaksanaan pasien pneumothorax, misalnya adalah perawatan WSD pada pasie
dengan pneumothorax yang besar atau large. Tanpa adanya perawatan WDS, tentu
hal ini akan menimbulkan banyak masalah, misalnya terjadinya infeksi pada tempat
WDS atau yang lain. Bentuk perawatan mandiri yang bisa dilakukan perawat
berdasarkan tabel diatas adalah dengan memberikan asuhan keperawatan pada
penatalaksanaan nyeri pasien. Dalam penatalaksanaan nyeri pasien, perawat dapat
mengajarkan metode distraksi pada pasien agar pasien dapat secara mandiri
melakukan pengalihan nyeri pada sesuatu yang lain.
Selain peran dokter dan perawat, peran profesi lain juga dangat diperlukan,
misalnya peran nutrisionis dalam memilih menu diet yang tepat, peran petugas
laboratorium dalam pemeriksaan diagnostik, dan lain-lain. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa penatalaksanaan pneumothorax memerlukan seluruh profesi
kesehatan agar kesehatan pasien dapat membaik dengan cepat.

15
2. Terapi non-farmakologi
a. Tirah baring (bed rest)

16
Tirah baring dilakukan pada pasien yang membutuhkan perawatan akibat sebuah penyakit
atau kondisi tertentu dan merupakan upaya mengurangi aktivitas yang membuat kondisi
pasien menjadi lebih buruk.

b. Diet lunak rendah serat


Jenis makanan yang harus dijaga adalah diet lunak rendah serat karena pada demam tifoid
terjadi gangguan pada sistem pencernaan. Makanan haruslah cukup cairan, kalori, protein,
dan vitamin. Memberikan makanan rendah serat direkomendasikan, karena makanan
rendah serat akan memungkinkan meninggalkan sisa dan dapat membatasi volume feses
agar tidak merangsang saluran cerna. Demi menghindari terjadinya komplikasi pedarahan
saluran cerna atau perforasi usus direkomendasikan dengan pemberian bubur saring.

b. Menajaga kebersihan
Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan cukup berpengaruh pada kejadian demam
tifoid, untuk itu diperlukan kesadaran diri untuk meningkatkan praktik cuci tangan sebelum
makan untuk mencegah penularan bakteri Salmonella typhi ke dalam makanan yang
tersentuh tangan yang kotor dan mencuci tangan setelah buang air besar agar kotoran atau
feses yang mengandung mikroorganisme patogen tidak ditularkan melalui tangan ke
makanan.

Komplikasi
1. Hemopneumotorak
2. Pneumomediastinum
3. Emfisemakutis
4. Fistel bronkopleural
5. Empiema

17
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. (2009). Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.


Surabaya: Airlangga University Press; p. 162-179.
Bowman, Jeffrey, Glenn. (2010). Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated:
May 27 2017; Available from http://emedicine.medscape.com/article/827551
Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. (2018). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta
: EGC;. p. 598.
Jain, DG,. SN Gosavi, Dhruv D Jain. (2008). Understanding and Managing
Tension Pneumothorax JIACM 2014; 9(1): 42-50

18
19

Anda mungkin juga menyukai