PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pneumonia merupakan penyakit infeksi paru-paru akut yang sering terjadi pada anak-
anak. Pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita di dunia. Penyakit ini
menyumbang sekitar 16% dari seluruh kematian anak di bawah 5 tahun yang berjumlah
920.136 balita diperkirakan 2 anak balita meninggal setiap menit pada tahun 2015.
Pneumonia bisa disebabkan oleh berbagai macam patogen, seperti bakteri, jamur dan virus.
Sedangkan pada tahun 2020 penyebab kejadian pneumonia di seluruh dunia didominasi oleh
infeksi novel coronavirus (SAR COV-2) yang dikenal sebagai infeksi COVID 19.1,2
Hingga saat ini, pneumonia tercatat sebagai masalah kesehatan pada anak di Indonesia.
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada
anak di negara berkembang. Faktor risiko tersebut dapat meliputi: pneumonia yang terjadi
pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapatkan imunisasi, tidak
mendapatkan ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalensi
kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi
industri atau asap rokok).3
Kejadian kasus terkonfirmasi positif COVID-19 pada anak memang relatif jarang
dibandingkan kasus pada orang dewasa. Pada tanggal 4 Februari 2020 di Jerman ditemukan 2
anak yang terkonfirmasi, dan di Filipina 1 anak berusia 5 tahun juga terkonfirmasi. Kasus
COVID-19 juga terbukti dapat terjadi pada neonatus dengan kasus pertama dilaporkan di
Wuhan, Cina 6 pada neonatus usia 3 hari. Penelitian yang dilakukan oleh Dong Y, dkk
melaporkan dari 2143 anak yang didiagnosis dengan COVID-19 secara klinis 90%
diantaranya tanpa gejala, atau gejala ringan atau sedang. Sisanya (0,6–5,2%) menderita
gejala berat dan kritis. Menurut klasifikasi keparahan penyakit yang digunakan oleh beberapa
publikasi Cina, penyakit parah didefinisikan sebagai dyspneu, sianosis sentral dan saturasi
oksigen kurang dari 92%.2,4
Pneumonia yang disebabkan oleh COVID 19 pada anak masih terus dilakukan penelitian
dan pembaharuan dalam segi keilmiahan dan penatalaksanaan. Sehingga pada laporan kasus
ini dirasakan penting untuk membahas kasus pneumonia berat yang disebabkan oleh COVID
19 yang terjadi pada anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia
2.1.1 Definisi
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstisial yang menyebabkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat mengganggu
pertukaran oksigen dan karbondioksida di paru-paru. Pneumonia didefinisikan berdasarkan
gejala dan tanda klinis, serta perjalanan penyakitnya. World Health Organization (WHO)
mendefinisikan pneumonia hanya berdasarkan penemuan klinis yang didapat pada
pemeriksaan inspeksi dan frekuensi pernapasan. 3
2.1.2 Epidemiologi
Pneumonia menjadi penyebab kematian terbanyak pada anak dibandingkan penyakit
menular lainnya. Angka kematian yang disebabkan oleh pneumonia mencapai lebih dari
800.000 anak balita setiap tahun, atau sekitar 2.200 setiap hari. Secara global, terdapat lebih
dari 1.400 kasus pneumonia per 100.000 anak, atau 1 kasus per 71 anak setiap tahun, dengan
insiden terbesar terjadi di Asia Selatan (2.500 kasus per 100.000 anak) dan Afrika Barat dan
Tengah (1.620 kasus per 100.000 anak).5
Berdasarkan data Laporan Rutin Subdit ISPA Tahun 2017, didapatkan insiden (per 1000
balita) di Indonesia sebesar 20,54%. Angka kematian akibat pneumonia pada balita tahun
2016 sebesar 0,22% pada tahun 2017 menjadi 0,34%. Pada tahun 2017, angka kematian
akibat Pneumonia pada kelompok bayi lebih tinggi yaitu sebesar 0,56% dibandingkan pada
kelompok anak umur 1-4 tahun sebesar 0,23%.6
Sedangkan, berdasarkan data dari riset kesehatan dasar (riskesdas) pada tahun 2018,
prevalensi pneumonia mengalami peningkatan dari 1,6% menjadi 2% dan data dari WHO,
Indonesia menempati urutan ke-6 dari seluruh dunia dengan kasus pneumonia terbanyak,
yakni sekitar 6 juta kasus baru setiap tahunnya dengan estimasi insidensi sebesar 0,28%.
Grafik 1: Angka kematian pneumonia1dibandingkan dengan penyakit infeksi lainnya.
2.1.3 Etiologi
Pneumonia disebabkan oleh kombinasi antara pajanan host terhadap faktor risiko,
lingkungan, dan infeksi. Pada sebuah penelitian dikatakan bahwa, Streptococcus pneumoniae
(pneumococcus) dan Haemophilus influenzae merupakan bakteri yang paling banyak
menyebabkan pneumonia¸dengan beberapa kasus berat disebabkan oleh Staphylococcus
aureus dan Klebsiella pneumoniae. Pada era modern ini, pemahaman terhadap penyebab
pneumonia di negara-negara berkembang didasarkan pada dua jenis studi. Jenis pertama
terdiri dari studi prospektif berbasis rumah sakit yang menggunakan kultur darah, dan
aspirasi paru perkutan. Beberapa penelitian lain juga memeriksa spesimen nasofaring untuk
mengidentifikasi virus. Jenis studi yang kedua dalah uji coba vaksin, dimana beban
pneumonia yang dicegah dengan vaksin tertentu dianggap sebagai perkiraan minimum beban
pneumonia karena organisme yang menjadi sasaran vaksin. 3,7
Tabel 2. Faktor risiko pneumonia di negara berkembang2
2
World Health Organization (WHO), “Epidemiology and etiology of childhood pneumonia”, 2016,
https://www.who.int/bulletin/volumes/86/5/07-048769-table-Ta.html
Faktor risiko mungkin
Pendidikan orang tua
Kelembaban
Suhu udara yang dingin
Defisiensi vitamin A
Polusi di luar ruangan
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan
karakteristik pneumonia pada anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan
strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi berbeda
dengan anak-anak. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi meliputi Streptococcus grup
B dan bakteri Gram negative seperti E.coli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada balita,
biasanya disebabkan oleh infkesi Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe B,
dan Staphylococcus aureus. Sedangkan pada anak-anak yang lebih besar dan remaja lebih
sering ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.3,7
Pada penelitian yang dilakukan di India terhadap 2.345 anak dengan melakukan aspirasi
nasofaring dan kultur darah. Pada aspirasi nasofaring didapatkan Streptococcus pneumoniae
sebagai bakteri yang paling banyak diikuti oleh Haemophilus influenzae, dan Staphylococcus
aureus. Sedangkan, pada kultur darah didapatkan Staphylococcus aureus mendominasi,
diikuti oleh Streptococcus pneumoniae dan Klebisella pneumoniae. Berdasarkan data yang
ada, Streptcoccus pneumoniae secara luas memang dianggap sebagai patogen yang paling
sering menyebabkan pneumonia dengan gejala akut pada infeksi saluran pernapasan bawah
yang dikenal dengan gejala tipikal pada pneumonia.3,7
Tabel 3. Bakteri penyebab pneumonia pada anak berdasarkan usia3,7
2.1.4 Patofisiologi
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi
dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang
tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara
inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian atas
sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak
ditemukan jenis mikroorganisme yang sama. Bila pertahanan tubuh tidak kuat, maka
mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan peradangan
pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli
membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:3,8
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/ kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast
juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit,
eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
Beberapa bakteri tertentu memiliki gambaran patologis khas. Streptococcus pneumoniae
biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata diseluruh lapangan paru
(bronkopulmoner), pada anak atau remaja dapat berupa konsolidasi pada satu lobus
(pneumonia lobaris). Staphylococcus aureus pada bayi sering menyebabkan abses-abses kecil
atau pneumotokel, karena kuman ini menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti
hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase yang menyebabkan nekrosis, perdarahan,
dan kavitasi.3,8
Manifestasi klinis
1. Demam > 39ºC, mendadak
2. Nyeri dada pleuritik (toraks atau epigastrium)
3. Auskultasi fokal (hipoventilasi, crackles)
4. Leukositosis ≥12000/mm3 dengan neutrofilia ≥6000/mm3
5. Konsolidasi pada foto polos toraks
Tipikal CAP : ≥3 kriteria; Atipikal CAP : 0 kriteria; Intermedinat CAP: 1-2
kriteria
2.1.6 Diagnosis
b. Pemeriksaan Fisik8
Penilaian keadaan umum anak, frekuensi napas, dan nadi harus dilakukan pada awal
pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain menyebabkan anak menjadi rewel
Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran, dan kemampuan
makan/minum
3
Gejala distres pernapasan (takipnea, retraksi subkostal, batuk, krepitasi, dan/atau
penurunan suara paru)
Demam dan sianosis
Pada balita gejala yang muncul dapat tidak khas, kondisi demam dan sakit akut dapat
menimbulkan rangsang nyeri yang diproyeksikan ke abdomen, selain itu pada bayi
muda gejala yang timbul berupa pernapasan tidak teratur, dan hipopnea
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium:3,8
- Leukosit dan hitung jenis leukosit: untuk membantu menentukan
antibiotikLeukositosis, biasanya 15.000-40.000/mm3. Jumlah leukosit yang tidak
meningkat berhubungan dengan infeksi virus atau mycoplasma
- Kultur dan pewarnaan gram sputum, kultur darah: pada kasus pneumonia berat,
jika berusia <18 bulan direkomendasikan kultur virus atau pemeriksaan antigen
virus. Pemeriksaan kultur darah seringkali positif terutama pada pneumonia
pneumococcus dan merupakan cara yang lebih pasti untuk mengidentifikasi
organisme dibandingkan dengan kultur yang potensial terkontaminasi
- Pemeriksaan cairan pleura mikroskopis, kultur, pemeriksaan antigen bakteri):
pada pasien dengan efusi pleura
- Pemeriksaan uji tuberkulin: pada anak yang memiliki riwayat kontak dengan
pasien TB dewasa
Pemeriksaan saturasi oksigen: wajib dilakukan, penentu derajat pneumonia
Pemeriksaan Radiologis : berupa rontgen thoraks yang dilakukan kasus pneumonia
berat yang dirawat inap, kasus yang membingungkan, dan evaluasi pneumonia
dengan kecurigaan komplikasi
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi
yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus. Pada
pasien yang mengalami perbaikan klinis ulangan foto toraks dapat ditunda karena
resolusi pneumonia berlangsung 4 – 12 minggu.3,8
2.1.7 Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
terutama berdasarkan berat-ringannya, misalnya toksis, distress pernapasan, tidak mau
makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama
mepertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap. Tatalaksana pneumonia dibagi menjadi tatalaksana rawat
jalan dan rawat inap. Pada pneumonia ringan, rawat jalan dapat diberikan antibitoik lini
pertama secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Penelitian multisenter di
Pakistan menemukan bahwa pada pneumonia rawat jalan, pemberian amoksisilin dan
kotrimoksazol dua kali sehari mempunyai efektifitas yang sama. Dosis amoksisilin yang
diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP – 20
mg/kgBB sulfametoksazol). 3,13
Pilihan antibiotik lini pertama untuk pneumonia rawat inap dapat menggunakan antibiotik
golongan beta-laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap
beta-laktam dan kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin,
atau sefalosporin sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Terapi antibiotik
diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, meskipun
tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi antibiotik yang optimal. Pada neonatus dan bayi
13
kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera mungkin. Oleh karena
neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik yang
direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi beta-laktam/klavulanat
dengan aminoglikosida, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan sudah stabil,
antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari. WHO mengelompokkan
pneumonia menjadi 4, yaitu bukan pneumonia, pneumonia, pneumonia berat, dan pneumonia
sangat berat. Dikatakan bukan pneumonia apabila tidak ditemukan takipneu dan tidak ada
retraksi, pneumonia apabila terdapat takipneu tanpa retraksi, pneumonia berat apabila adanya
takipneu, retraksi tanpa sianosis dan pneumonia sangat berat apabila ditemukan retraksi
dengan sianosis yang menyebabkan pasien tidak bisa makan (minum). 3,13
Gambar 2. Revisi penatalaksanaan pneumonia berdasarkan klasifikasi WHO14
Ceftriaxone sebaiknya digunakan sebagai terapi lini kedua pada anak dengan
pneumonia berat yang gagal dengan terapi lini pertama.
4. Ampicillin (atau penicillin apabila ampicillin tidak tersedia) plus gentamicin atau
ceftrtiaxone direkomendasikan sebagai regimen antibiotik lini pertama untuk bayi
yang terinfeksi dan terpapar HIV dan untuk anak-anak dibawah 5 tahun dengan
tarikan dinding dada atau pneumonia berat.
5. Pengobatan empiris kotrimokzasol untuk anak-anak dengan suspek Pneumocystis
carinii jiroveci (sebelumnya Pneumocystis carinii) pneumonia (PCP)
direkomendasikan terapi tambahan untuk bayi yang terinfeksi dan terpapar HIV yang
berusia mulai 2 bulan sampai 1 tahun dengan tarikan dindng dada atau pneumonia
berat.
Terapi empiris kotrimokzasol tidak direkomendasikan bagi anak terinfeksi dan
terpapar HIV lebih dari 1 tahun dengan tarikan dinding dada atau pneumonia berat.13
2.2.1 Definisi
Covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru.
Penyakit ini disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 yang merupakan virus RNA positif
rantai tunggal dengan penampakan seperti mahkota dibawah elektron. Beberapa jenis
coronavirus diketahui menyebabkan infeksi saluran napas pada manusia mulai batuk
pilek hingga middle east respiratory syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS). Coronavirus jenis baru yang ditemukan menyebabkan penyakit
Covid-19. Beberapa varian mutasi COVID-19 telah ditemukan, diantaranya dibedakan
menjadi Variant On Concern dan Varian Of Interest. Kedua varian ini memiliki
perbedaan pada penularan, virulensi serta terkait dengan efektivitas terapinya.15
2.2.2 Etiologi
Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. Virus ini utamanya
menginfeksi hewan. Sebelum terjadinya pandemi Covid-19 ada 6 jenis coronavirus yang
dapat menginfeksi manusia seperti alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus NL63,
betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory Illness
Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-
CoV). Dari beberapa hasil penelitian bahwa Covid-19 ini termasuk dalam genus
betacoronavirus. Menurut WHO ada beberapa varian mutasi COVID-19 diantaranya15,16 :
2.2.3 Epidemiologi
Sejak bulan Desember, kasus COVID-19 pertama kali muncul di Wuhan, dengan
penyebaran yang terus meningkat mengakibatkan pada akhir Januari 2020 kasus ini
sudah menyebar lebih ke 25 negara seperti Jepang, Thailand , Amerika Serikat,
Hongkong dan lainnya. Ancaman pandemic semakin besar ketika berbagai kasus
menunjukkan adanya penularan antar manusia (human to human transmission), sehingga
pada akhir Januari 2020 WHO menetapkan status Global Emergency pada kasus virus
Corona ini dan pada 11 Februari 2020 WHO menamakan kasus ini sebagai COVID-19.17
Per tanggal 7 Juli 2021, didapatkan lebih dari 184 juta kasus terkonfirmasi dengan
angka kematian sekitar 3.9 juta kasus secara global. Kasus COVID-19 di Indonesia per
tanggal 7 Juli 20121 saat ini terdapat jumlah kasus kumulatif yang terkonfirmasi pada
2.379.397 dengan jumlah kematian sekitar 62.908 kasus. Sedangkan pada bulan
September 2021 jumlah angka kasus kumulatif di Indonesia 4,1 juta kasus, namun
peningkatan kasus baru berkurang di angka 10.337 kasus baru.18
2.2.7 Tatalaksana
Tatalaksana COVID 19 pada anak terbaru dikeluarkan oleh pemerintah berdasarkan
himpunan 5 organisasi profesi yang salah satunya IDAI pada tanggal 14 Juli 2021 adalah
sebagai berikut. Klasifisikasi klinis pasien22:
Tatalaksana untuk pasien COVID-19 pada anak bergantung pada ada tidaknya gejala serta
derajat kepalahan gejala.20
1. Tanpa Gejala
a. Isolasi dan pemantauan
Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis
konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan
pemerintah. Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP). Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina untuk pemantauan
klinis.
b. Non-farmakologis
1) Pasien
a) Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat berinteraksi dengan anggota
keluarga.
b) Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin.
c) Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing).
d) Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah.
e) Menerapkan etika batuk (Diajarkan oleh tenaga medis).
f) Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun.
g) Berjemur matahari minimal sekitar10-15menit setiap harinya (sebelum jam 9 pagi dan
setelah jam 3 sore).
h) Pakaian yang telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong plastik / wadah
tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang lainnya sebelum dicuci dan
segera dimasukkan mesin cuci.
i) Ukur dan catat suhu tubuh 2 kali sehari (pagi dan malam hari).
j) Segera beri informasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga jika terjadi peningkatan
suhu tubuh > 38°C.
2) Lingkungan/kamar
a) Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara.
b) Membuka jendela kamar secara berkala.
c) Bila memungkinkan menggunakan APD saat membersihkan kamar (setidaknya masker,
dan bila memungkinkan sarung tangan dan goggle).
d) Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin.
e) Bersihkan kamar setiap hari, bisa dengan air sabun atau bahan desinfektan lainnya.
3) Keluarga
a) Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien sebaiknya memeriksakan diri
ke FKTP/Rumah Sakit.
b) Anggota keluarga senanitasa pakai masker.
c) Jaga jarak minimal 1 meter dari pasien.
d) Senantiasa mencuci tangan.
f) Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar sirkulasi udara tertukar.
g) Bersihkan sesering mungkin daerah yang mungkin tersentuh pasien misalnya gagang
pintu.
Kriteria diagnosis21
Tata laksana Kontak Gejala Suspek/probable/ter Suspek/probable/ Kasus suspek berat
erat anpa terkonfirmasi konfirmasi ringan terkonfirmasi dan kritis kasus
gejala sedang probable/konfirmasi
tanpa berat dan kritis,
MIS-C
Isolasi mandiri dan + + + setelah pulang dari + setelah pulang dari + setelah pulang dari
pemantauan RS, tetap melakukan RS jika terbukti RS, tetap melakukan
protokol pencegahan positif, tetap protokol pencegahan
infeks melakukan protokol infeksi
pencegahan infeks
Isolasi di rumah sakit - - + ventilasi + tekanan negatif Jika + tekanan negatif
alamiah/tekanan terbukti positif, Dilanjutkan isolasi
negative Dilanjutkan dilanjutkan isolasi mandiri jika
isolasi mandiri jika mandiri jika dinyatakan boleh
dinyatakan boleh dinyatakan boleh rawat jalan
rawat jalan rawat jalan
Pemeriksaan darah - Anak dengan + Darah lengkap, + Darah rutin, hitung + Darah rutin, hitung
komobiditas: atas CRP, Ddimer Lain- jenis, analisis gas jenis, analisis gas
pertimbangan lain sesuai darah, CRP. darah, CRP.
khusus indikasi/komorbiditas Pemeriksaan fungsi Pemeriksaan fungsi
ginjal, fungsi hati, ginjal, fungsi hati,
elektrolit, faktor elektrolit, faktor
koagulasi seperti koagulasi seperti
ddimer, fibrinogen, ddimer, fibrinogen,
PT/APTT, penanda PT/APTT, penanda
inflamasi seperti inflamasi seperti
ferritin, LDH, dan ferritin, LDH, dan
marker jantung marker jantung seperti
seperti troponin/NT- troponin/NT-pro BNP
pro BNP Lain-lain Lain-lain sesuai
sesuai indikasi/komorbiditas
indikasi/komorbiditas
Pemeriksaan Rontgen - - Anak dengan + + +
komobiditas: atas
pertimbangan
khusus
Pemeriksaan - - - + +
EKG/Echocardigraph
y
Pemberian - Nutrisi + Oral + Oral/enteral + +
suplementasi Vitamin adekuat Oral/enteral/intravena Oral/enteral/intravena
C, D3 dan Zink
Antivirus spesifik - - Pertimbangan + + +
COVID-19 khusus pada anak Remdesivir Remdesivir Remdesivir
dengan Alternatif Alternatif Alternatif
komorbiditas Favipiravir Favipiravir Favipiravir
Favipiravir
Antibiotik (panduan - - -/+ -/+ -/+
umum)
Ceftriakson - - - Hanya jika ada
- Hanya jika ada - Hanya jika ada
tandatanda infeksi
tanda-tanda infeksi tanda-tanda infeksi
bakteri bakteri bakteri
Azithromisin - - - Hanya jika ada Hanya jika ada
kecurigaan ko-infeksi kecurigaan ko-infeksi
dengan dengan
mikroorganisme mikroorganisme
atipikal atipikal
Antivirus lain: Bukan Bukan untuk Covid Bukan untuk Covid Hanya jika ada Hanya jika ada
Oseltamivir untuk 19 19 kecurigaan ko-infeksi kecurigaan ko-infeksi
Covid 19 dengan Influenza dengan Influenza
Steroid - Pada komorbiditas + + +
dengan atas indikasi
dan pertimbangan
khusus
Antikoagulan - Pada komorbiditas + sesuai indikasi + sesuai indikasi + sesuai indikasi
dengan atas indikasi
dan pertimbangan
khusus
Immunoglobulin - - - -/+ dengan -/+ dengan
intravena pertimbangan khusus pertimbangan khusus
Support Oksigen - - + Oksigen nasal + Oksigen tekanan + Oksigen tekanan
kanul, sungkup tinggi, ventilasi non- tinggi, ventilasi non-
invasif maupun invasif maupun
invasif invasive
Lain-lain seperti HD, - - Sesuai dengan Sesuai dengan Sesuai dengan
CRRT komorbiditas komorbiditas komorbiditas
Swab ulangan Jika swab Tidak perlu swab Tidak perlu swab Tidak perlu swab Tidak perlu swab
awal ulang kecuali kasus ulang kecuali kasus ulang kecuali kasus ulang kecuali kasus
negatif komorbiditas yang komorbiditas yang komorbiditas yang komorbiditas yang
ulang memerlukan memerlukan memerlukan memerlukan
ketika pengobatan lanjutan pengobatan lanjutan pengobatan lanjutan pengobatan lanjutan
bergejala dan masih harus dan masih harus dan masih harus
melanjutkan melanjutkan melanjutkan
pengobatan rawat pengobatan rawat pengobatan rawat
inap > 7 hari inap > 7 hari inap > 7 hari
Kriteria selesai isolasi 14 hari 10 hari ditambah 3 10 hari ditambah 3 10 hari ditambah 3 10 hari ditambah 3
mandiri hari setelah bebas hari setelah bebas hari setelah bebas hari setelah bebas
gejala. Jika tidak gejala. gejala. gejala.
bergejala 10 hari Immunokompromais Immunokompromais Immunokompromais
dari tes pertama berat 20 hari berat 20 hari berat 20 hari ditambah
positif ditambah 24 jam ditambah 24 jam 24 jam bebas demam
Immunokompromais bebas demam dan bebas demam dan dan gejala perbaikan
berat 20 hari gejala perbaikan gejala perbaikan
ditambah 24 jam
bebas demam
Imunisasi Rutin Jika 1 bulan setelah 1 bulan setelah 1 bulan setelah 1 bulan setelah selesai
selama 14 selesai isolasi selesai isolasi selesai isolasi isolasi
hari
negatif
atau tidak
bergejala
dapat
langsung
diberikan
Imunisasi COVID 19 Jika 3 bulan setelah 3 bulan setelah 3 bulan setelah 3 bulan setelah selesai
selama 14 selesai isolasi selesai isolasi selesai isolasi isolasi
hari
negatif
atau tidak
bergejala
dapat
langsung
diberikan
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Bima dibawa ibunya dikeluhkan sesak nafas. Sesak nafas dan
batuk pasien dikatakan ibunya sudah sejak 3 hari yang lalu dan semakin memberat hari ini
SMRS. Sesak nafas terdengar seperti suara mengorok disertai batuk berdahak dan pilek.
Awalnya pasien pilek saja sudah sekitar 5 hari yang lalu tetapi semakin memberat setelah
batuk muncul. Setelah batuk pasien juga menjadi sesak. Pasien juga dikeluhkan demam sejak
kondisinya memberat. Namun demam turun setelah diberikan paracetamol. Selain itu, pasien
juga tampak lemas dan menyusu kurang. Keluhan lain seperti BAB cair sudah 3x sejak tadi
pagi, namun BAK normal. Setelah keluhan berulang pasien dibawa ke praktek dokter sp.A
dan diberikan saran untuk dirujuk ke RSUD.
Riwayat Pengobatan
Pasien saat pertama kali sakit diberikan obat sirup paracetamol oleh bidan setempat.
Riwayat Imunisasi
HB0 pada usia 0 hari
BCG dan polio 1 saat usia 1 bulan
DPT 1, HIB 1 dan polio 2 belum dapat
DPT 2, HIB 2 dan polio 3 belum dapat
Riwayat Nutrisi
Hingga saat ini pasien masih mendapatkan ASI tapi ditambah sufor berupa susu SGM
karena beberapa hari terakhir pasien kurang menyusu dan diberikan tambahan sufor oleh
ibu. Pasien minum frekuensi 8-10 kali setiap hari sebelum sakit, reflek hisap kuat, susu
formula setiap kali minum kurang lebih 30 cc. Setelah sakit pasien menjadi malas
minum, frekuensi kurang dari 8 kali, reflek hisap kurang, susu formula sebanyak 30 cc
tidak habis dalam sekali pemberian, terkadang pasien muntah bila terbatuk.
Kesimpulan: Pasien tidak mendapatkan ASI eksklusif dan riwayat makan pasien saat ini
kurang.
PB/U
BB/U
BB/PB
- Bentuk normal
- Normosefali
- Rambut berwarna hitam
- Ubun-ubun kecil terbuka
- Ubun-ubun besar terbuka
b. Mata
Edema - - - -
Kekuatan otot 5 5 5 5
R
HGB 9,0 g/dl 9,0 – 13,6
RBC 3,48 juta/uL 2,50 – 5,50
HCT 28,1 % 26 – 50
MCV 80,7 fL 86,0 - 110,0
MCH 25,9 pg 26,0 - 38,0
MCHC 32,0 g/dl 31,0 - 37,0
WBC 19860/uL 5500 – 17500
PLT 631000/uL 150000 – 400000
R
Limfosit 8,44 x 103/µL 1,00 - 3.70
Neutrofil 8,77 x 103/µL 1,50 - 7.00
Monosit 2,48 x103/µL 0,00-0,70
Basofil 0,1 x103/µL 0.00-0.10
Eosinofil 0.3 x103/µL 0.00-0.40
4. Foto thoraks
3.6 Assesment
- Diagnosis kerja: pneumonia berat
- Diagnosis banding: bronkiolitis
- Diagnosis komplikasi: sepsis
3.7 Planning
1. Terapi
- O2 Nasal kanul 1-2 lpm
- IVFD D51/4NS 10 tpm mikro
- Inj ceftrtiaxone 350 mg/12 jam
- Inj gentamisin 40 mg/24 jam
- Inj dexamethasone 1 mg/8 jam
- Infus paracetamol 70mg/6 jam k/p
- Inj ondasentron 1 mg/8 jam
- L-bio 1x1
- Nebul combivent 1/3 respul + 3cc NaCl 0,9% /6jam
- Diet ASI
2. Diagnostik
- Swab PCR
3. Diet
Kebutuhan cairan : 100cc/kgBB/hari (7,4 x 100) = 740 cc/hari
1. Diet melalui IV line, diberikan infus D5 ¼ NS 10 tpm mikro (240 cc)
2. Pemberian ASI sebanyak 4 kali (150 cc)
4. Monitoring
- Frekuensi pernapasan, dan saturasi oksigen
- Sianosis
- Tanda-tanda bahaya
- Bayi lemas atau penurunan kesadaran
- Malas minum
- Muntah terus menerus
5. Edukasi
1. Menjelaskan kepada orang tua agar kebersihan di sekitar lingkungan selalu terjaga
2. Menjelaskan kepada ayah pasien agar tidak merokok di dekat pasien
3. Apabila keluhan batuk, pilek, ataupun sesak muncul lagi segera bawa ke rumah sakit
tanpa harus menunggu obat habis
4. Waspadai tanda-tanda bahaya seperti anak malas minum, muntah terus-menerus, kejang,
dan lemah.
5. Menjelaskan kepada ibu agar memberikan ASI secara rutin kepada pasien ±setiap 3 jam
6. Antibiotik harus diminum sampai habis
7. Apabila demam, berikan paracetamol sesuai dengan resep yang telah diberikan dokter
8. Apabila tidak ada demam, batuk, ataupun pilek bawa pasien ke posyandu untuk
mendapatkan imunisasi.
3.8 Resume
Pasien bayi laki-laki usia 3 bulan, rujukan dari klinik spesialis anak dengan keluhan
sesak. Sesak nafas dan batuk pasien dikatakan ibunya sudah sejak 3 hari yang lalu dan
semakin memberat hari ini SMRS. Sesak nafas terdengar seperti suara mengorok disertai
batuk berdahak dan pilek. Awalnya pasien pilek saja sudah sekitar 5 hari tetapi semakin
memberat setelah batuk muncul. Setelah batuk pasien juga menjadi sesak. Pasien juga
dikeluhkan demam sejak kondisinya memberat. Namun demam turun setelah diberikan
paracetamol. Selain itu, pasien juga tampak lemas dan menyusu kurang. Keluhan lain seperti
BAB cair sudah 3x sejak tadi pagi, namun BAK normal. Setelah keluhan berulang pasien
dibawa ke praktek dokter sp.A dan diberikan saran untuk dirujuk ke RSUD. Pemeriksaan
dilakukan saat pasien datang ke IGD tgl 05/07/2021. Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan
umum lemah, nadi: 140x/menit, pernapasan: 62x/menit, suhu: 37,6 ºC, dan saturasi oksigen
non air 91% dan setelah menggunakan nasal kanul 1 lpm menjadi 97%. Selain itu, pada
pemeriksaan fisik sudah didapatkan retraksi subcostal minmal, dan crackles pada kedua
lapang paru. Pada penilain antropometri didapatkan BB: 7400 gram, PB: 55 cm. Berdasarkan
penilaian status gizi berdasarkan BB/U: normal, PB/U: normal, dan BB/PB: gizi baik. Maka
dari itu, dapat disimpulkan bahwa pasien dengan gizi baik. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan Hb: 9.0 g/dl. RBC: 3,48 juta/uL, WBC: 19.890/uL dan PLT: 631.000. Hasil
pemeriksaan swab antigen negatif namun pada foto toraks menunjukkan adanya ground glass
opacity pada kedua lapangan paru terutama lapangan atas dan tengah kedua paru yang
terkesan berupa pneumonia berat yang mengarah pada infeksi COVID 19, sehingga
dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa hasil swab PCR.
3.9 Follow Up Pasien
06 Juli 2020
Subyektif Obyektif Assesmant Planning
Sesak napas Ku: Lemah Pneumonia berat O2 NK 1-2 lpm
Batuk berdahak Kes: CM Suspek COVID 19 D51/4 NS 10 tpm mikro
Demam (+) Heart Rate : 134 x / Injeksi ceftriaxone 350 mg/12 jam
BAB cair 2x s menit (H2)
Muntah 1x RR: 64 x/menit Inj gentamisin 40 mg/24 jam (H2)
ASI (+) Tax: 37,8 °C Inj dexamethasone 1 mg/8 jam
Sufor (+) BB= 7,4 kg Infus paracetamol 70 mg/6 jam k/p
SPO2 : 96% dengan O2 Inj ondasentron 1 mg/8 jam
1 lpm L-bio 1x1
Retraksi interkostal (+) Zink 1x10mg
Terdengar rhonki di Apyalis drop 1x 0,5 ml
kedua lapang paru Nebul combivent 1 respul + 3cc
Tidak terdengar NaCl 0,9% /6jam
wheezing di kedua Pro PCR
lapang paru
07 Juli 2020
Subyektif Obyektif Assessment Planning
Sesak napas Ku: Lemah Pneumonia berat O2 NK 1-2 lpm
Batuk berdahak berkurang Kes: CM Suspek COVID 19 D51/4 NS 10 tpm mikro
Demam (-) Heart Rate : 138 x / Injeksi ceftriaxone 350 mg/12 jam
BAB cair (-) menit (H3)
Muntah (-) RR: 50 x/menit Inj gentamisin 40 mg/24 jam (H3)
ASI (+) Tax: 36,0 °C Inj dexamethasone 1 mg/8 jam
Sufor (+) SPO2 : 97% dengan O2 Infus paracetamol 70mg/6 jam k/p
1 lpm Inj ondasentron 1 mg/8 jam
Retraksi intercostal (+) L-bio 1x1
minimal Zink 1x10mg
Terdengar rhonki di Apyalis drop 1x 0,5 ml
kedua lapang paru Nebul combivent 1 respul + 3cc
Tidak terdengar NaCl 0,9% /6jam
wheezing Follow up hasil PCR
08 Juli 2020
Subyektif Obyektif Assessment Planning
Sesak napas berkurang KU : Sedang Pneumonia berat O2 NK 1-2 lpm
Batuk berdahak berkurang Kes: CM Suspek COVID 19 D51/4 NS 10 tpm mikro
Demam (-) Heart Rate: 129 x / menit Injeksi ceftriaxone 350 mg/12 jam
BAB cair (-) RR : 46 x/menit (H4)
Muntah (-) Tax : 36,3 °C Inj gentamisin 40 mg/24 jam (H4)
ASI (+) SPO2: 97% dengan O2 1 Inj dexamethasone 1 mg/8 jam
Sufor (+) lpm Infus paracetamol 70mg/6 jam k/p
Retraksi intercostal (+) Inj ondasentron 1 mg/8 jam
minimal L-bio 1x1
Terdengar rhonki di Zink 1x10mg
kedua lapang paru Apyalis drop 1x 0,5 ml
Tidak terdengar Azitromisin 1x70 mg (H1)
wheezing Nebul combivent 1 respul + 3cc
NaCl 0,9% /6jam
Follow up hasil PCR
09 Juli 2020
Subyektif Obyektif Assessment Planning
Sesak napas berkurang KU : Sedang Pneumonia berat O2 NK 1-2 lpm
Batuk berdahak berkurang Kes: CM Suspek COVID 19 D51/4 NS 10 tpm mikro
Demam (-) Heart Rate: 124 x / menit Injeksi ceftriaxone 350 mg/12 jam
BAB cair (-) RR : 42 x/menit (H5)
Muntah 1 (-) Tax : 36,5 °C Inj gentamisin 40 mg/24 jam (H5)
Bercak putih di mulut SPO2: 97% dengan O2 1 Inj dexamethasone 1 mg/8 jam
ASI (+) lpm Infus paracetamol 70mg/6 jam k/p
Sufor (+) Retraksi intercostal (+) Inj ondasentron 1 mg/8 jam
minimal L-bio 1x1
Terdengar rhonki di Zink 1x10mg
kedua lapang paru Apyalis drop 1x 0,5 ml
Tidak terdengar Azitromisin 1x70 mg (H2)
wheezing Nystatin 4x2 cc (po)
Nebul combivent 1 respul selang
seling ventolin 1 respul + 3cc NaCl
0,9% /4jam (O2 tetap dipakai saat
nebul)
Resfar 300mg dalam NaCl 0,9%
40ml habis dalam 4 jam selama 3
hari
Injeksi furosemide 3x3mg (iv)
Follow up hasil PCR
10 Juli 2020
Subyektif Obyektif Assessment Planning
Sesak napas berkurang KU : Sedang Pneumonia berat O2 NK 1-2 lpm
Batuk berdahak berkurang Kes: CM Suspek COVID 19 D51/4 NS 10 tpm mikro
Demam (-) Heart Rate: 124 x / menit Injeksi ceftriaxone 350 mg/12 jam
BAB cair (-) RR : 40 x/menit (H6)
Muntah 1 (-) Tax : 36,3 °C Inj gentamisin 40 mg/24 jam (H6)
Bercak putih di mulut SPO2: 98% dengan O2 1 Inj dexamethasone 1 mg/8 jam
berkurang lpm Infus paracetamol 70mg/6 jam k/p
ASI (+) Retraksi intercostal (+) Inj ondasentron 1 mg/8 jam
Sufor (+) minimal L-bio 1x1
Terdengar rhonki di Zink 1x10mg
kedua lapang paru Apyalis drop 1x 0,5 ml
Tidak terdengar Azitromisin 1x70 mg (H3)
wheezing Nystatin 4x2 cc (po)
Nebul combivent 1 respul selang
seling ventolin 1 respul + 3cc NaCl
0,9% /4jam (O2 tetap dipakai saat
nebul)
Resfar 300mg dalam NaCl 0,9%
40ml habis dalam 4 jam selama 3
hari
Injeksi furosemide 3x3mg (iv)
Follow up hasil PCR
11 Juli 2020
Subyektif Obyektif Assessment Planning
Sesak napas berkurang KU : Sedang Pneumonia berat Orang tua pasien menolak untuk
Batuk berdahak berkurang Kes: CM Suspek COVID 19 dilakukan perawatan lebih lanjut
Demam (-) Heart Rate: 124 x / menit dan memutuskan untuk pulang.
BAB cair (-) RR : 42 x/menit APS
Muntah 1 (-) Tax : 36,5 °C
Bercak putih di mulut SPO2: 97% dengan O2 1
ASI (+) lpm
Sufor (+) Retraksi intercostal (+)
minimal
Terdengar rhonki di
kedua lapang paru
Tidak terdengar
wheezing
KESIMPULAN
Pneumonia merupakan infeksi pada paru-paru yang menjadi penyebab kematian pada
anak terbanyak di dunia. Pneumonia bisa disebabkan oleh beberapa mikroorganisme seperti
bakteri, virus dan jamur. Pada pasien ini setelah dilakukan pemeriksaan disimpulkan bahwa
pasien mengalami pneumonia yang disebabkan oleh infeksi corona virus sehingga diagnosis
akhir pasien menjadi COVID 19 terkofirmasi dengan gejala berat dan pneumonia berat.
Prognosis pasien pneumonia dengan COVID 19 masih terus diteliti, akan tetapi beberapa kasus
hingga saat ini kematian pada anak dengan COVID 19 relatif lebih jarang dibandingkan
kematian pada orang dewasa dengan pneumonia dan COVID 19. Namun, kondisi pneumonia
pada anak dengan COVID 19 tetap memerlukan penatalaksanaan yang komprehensip.
Penatalaksanaan pada pasien sudah dilakukan secara komprehensip, yang dapat dilihat
dari progresifitas kondisi pasien yang kian membaik setelah beberapa hari perawatan. Akan
tetapi kondisi pasien belum sembuh sepenuhnya sehingga perlu mendapatkan terapi lebih lanjut
dalam hal ini terapi antiviral. Akan tetapi pada pasien tidak dilakukan karena setelah hasil
pemeriksaan gold standar untuk menegakkan COVID 19 berupa swab PCR dilakukan orang tua
pasien memutuskan untuk pulang paksa dan melanjutkan sendiri perawatan di rumah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Data dan Informasi Kesehatan Profil
Kesehatan Indonesia. 2016.
2. Anantyo, DT., Kusumaningrum, AA., Rini, AE., Radityo, AN., Rahardjani, KB., dan
Saroso, G. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) pada Anak (Studi Literatur). Med Hosp
2020; vol 7 (1A) : 344–360. 2020.
3. IDAI. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010.
4. Dong Y, Mo X, Hu Y, Qi X, Jiang F, Jiang Z, et al. Epidemiological Characteristics of 2143
Pediatric Patients With 2019 Coronavirus Disease in China. Pediatrics. 2020.
5. UNICEF analysis based on WHO and Maternal and Child Epidemiology Estimation Group
interim estimates produced in September 2019, applying cause of deaths for the year 2017 to
United Nations Inter-agency Group for Child Mortality Estimation estimates for the year
2018.
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. 2018.
7. Cilloniz, C., et al. "Microbial Etiology of Pneumonia: Epidemiology, Diagnosis and
Resistance Patterns." International Journal of Molecular Sciences 17(12), 2016.
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia, ed.
Antonius HP, Hegar B, Handryastuti S., Idris NS, Ellen PG, Harmoniati, pp. 250-255.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2009.
9. Robert M, et al. Nelson Textbook of Pediatrics ed 18. London: Elsevier Health Sciences,
2007
10. G, G.-E. and D. R.-P. G ,"Basic Concepts on Community-Acquired Bacterial Pneumonia in
Pediatrics." Pediatric Infectious Diseases: Open Access 01(01), 2016.
11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. 2012.
Available at: https://puskespemda.net/download/modul-tatalaksana-standar-pneumonia/.
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit.
2015. Available at: https://puskespemda.net/download/mtbs-2015-manajemen-terpadu-balita-
sakit/.
13. IDAI. Pedoman Pelayanan Medis IDAI Jilid 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010.
14. World Health Organization (WHO), “Revised WHO Classification and Treatment of
Childhood Pneumonia at Health Facilities”, WHO Library Cataloguing-in-Publication Data,
2014.
15. WHO. (online: www.who.int) https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa/qa-
for-public (diakses 8 Juli 2021)
16. Susilo A, Rumende CM, Pitoyo CW, Santoso WD, Yulianti M, Herikurniawan, Sinto R, dkk.
Coronavirus Disease 2019 : Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia.
2020;7(1), p. 45–67.
17. Handayani D, Hadi DR, Isbaniah F, Burhan E, Agustin H. Penyakit Virus Corona 2019.
Jurnal Respirologi Indonesia. 2020; 40(2), p. 119-129
18. Kemenkes RI. Online: https://infeksiemerging.kemkes.go.id/dashboard/covid-19 (diakses 1
September 2021)
19. Yuki, K., Fujiogi, M. and Koutsogiannaki, S. COVID-19 pathophysiology: A review.
Clinical Immunology, 215, p.108427. 2020.
20. Dong Y, Mo X, Hu Y, Qi X, Jiang F, Jiang Z, et al. Epidemiological characteristics of
2143 pediatric patients with 2019 coronavirus disease in China. Pediatrics, 2020.
21. IDAI. 2020. Panduan Klinis Tata Laksana COVID-19 Pada Anak edisi 3.
22. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskula
Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI),
Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI. Revisi Protokol Tatalaksana COVID 19. Juli 2021.