Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pneumonia merupakan penyakit infeksi paru-paru akut yang sering terjadi pada anak-
anak. Pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita di dunia. Penyakit ini
menyumbang sekitar 16% dari seluruh kematian anak di bawah 5 tahun yang berjumlah
920.136 balita diperkirakan 2 anak balita meninggal setiap menit pada tahun 2015.
Pneumonia bisa disebabkan oleh berbagai macam patogen, seperti bakteri, jamur dan virus.
Sedangkan pada tahun 2020 penyebab kejadian pneumonia di seluruh dunia didominasi oleh
infeksi novel coronavirus (SAR COV-2) yang dikenal sebagai infeksi COVID 19.1,2
Hingga saat ini, pneumonia tercatat sebagai masalah kesehatan pada anak di Indonesia.
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada
anak di negara berkembang. Faktor risiko tersebut dapat meliputi: pneumonia yang terjadi
pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapatkan imunisasi, tidak
mendapatkan ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalensi
kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi
industri atau asap rokok).3
Kejadian kasus terkonfirmasi positif COVID-19 pada anak memang relatif jarang
dibandingkan kasus pada orang dewasa. Pada tanggal 4 Februari 2020 di Jerman ditemukan 2
anak yang terkonfirmasi, dan di Filipina 1 anak berusia 5 tahun juga terkonfirmasi. Kasus
COVID-19 juga terbukti dapat terjadi pada neonatus dengan kasus pertama dilaporkan di
Wuhan, Cina 6 pada neonatus usia 3 hari. Penelitian yang dilakukan oleh Dong Y, dkk
melaporkan dari 2143 anak yang didiagnosis dengan COVID-19 secara klinis 90%
diantaranya tanpa gejala, atau gejala ringan atau sedang. Sisanya (0,6–5,2%) menderita
gejala berat dan kritis. Menurut klasifikasi keparahan penyakit yang digunakan oleh beberapa
publikasi Cina, penyakit parah didefinisikan sebagai dyspneu, sianosis sentral dan saturasi
oksigen kurang dari 92%.2,4
Pneumonia yang disebabkan oleh COVID 19 pada anak masih terus dilakukan penelitian
dan pembaharuan dalam segi keilmiahan dan penatalaksanaan. Sehingga pada laporan kasus
ini dirasakan penting untuk membahas kasus pneumonia berat yang disebabkan oleh COVID
19 yang terjadi pada anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia

2.1.1 Definisi
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstisial yang menyebabkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat mengganggu
pertukaran oksigen dan karbondioksida di paru-paru. Pneumonia didefinisikan berdasarkan
gejala dan tanda klinis, serta perjalanan penyakitnya. World Health Organization (WHO)
mendefinisikan pneumonia hanya berdasarkan penemuan klinis yang didapat pada
pemeriksaan inspeksi dan frekuensi pernapasan. 3

2.1.2 Epidemiologi
Pneumonia menjadi penyebab kematian terbanyak pada anak dibandingkan penyakit
menular lainnya. Angka kematian yang disebabkan oleh pneumonia mencapai lebih dari
800.000 anak balita setiap tahun, atau sekitar 2.200 setiap hari. Secara global, terdapat lebih
dari 1.400 kasus pneumonia per 100.000 anak, atau 1 kasus per 71 anak setiap tahun, dengan
insiden terbesar terjadi di Asia Selatan (2.500 kasus per 100.000 anak) dan Afrika Barat dan
Tengah (1.620 kasus per 100.000 anak).5
Berdasarkan data Laporan Rutin Subdit ISPA Tahun 2017, didapatkan insiden (per 1000
balita) di Indonesia sebesar 20,54%. Angka kematian akibat pneumonia pada balita tahun
2016 sebesar 0,22% pada tahun 2017 menjadi 0,34%. Pada tahun 2017, angka kematian
akibat Pneumonia pada kelompok bayi lebih tinggi yaitu sebesar 0,56% dibandingkan pada
kelompok anak umur 1-4 tahun sebesar 0,23%.6
Sedangkan, berdasarkan data dari riset kesehatan dasar (riskesdas) pada tahun 2018,
prevalensi pneumonia mengalami peningkatan dari 1,6% menjadi 2% dan data dari WHO,
Indonesia menempati urutan ke-6 dari seluruh dunia dengan kasus pneumonia terbanyak,
yakni sekitar 6 juta kasus baru setiap tahunnya dengan estimasi insidensi sebesar 0,28%.
Grafik 1: Angka kematian pneumonia1dibandingkan dengan penyakit infeksi lainnya.

Tabel 1. Estimasi kasus baru pneumonia tahun 2016

Negara Angka prediksi Estimasi insiden


kasus baru (per tahun)
(juta)
India 43.0 0.37
China 21.1 0.22
Pakistan 9.8 0.41
Bangladesh 6.4 0.41
Nigeria 6.1 0.34
Indonesia 6.0 0.28
Ethiopia 3.9 0.35
Republik Kongo 3.9 0.39
Vietnam 2.9 0.35
Filipina 2.7 0.27
Sudan 2.0 0.48
Afganistan 2.0 0.45
1
Tanzania 1.9 0.33
Myanmar 1.8 0.43
Brazil 1.8 0.11

2.1.3 Etiologi
Pneumonia disebabkan oleh kombinasi antara pajanan host terhadap faktor risiko,
lingkungan, dan infeksi. Pada sebuah penelitian dikatakan bahwa, Streptococcus pneumoniae
(pneumococcus) dan Haemophilus influenzae merupakan bakteri yang paling banyak
menyebabkan pneumonia¸dengan beberapa kasus berat disebabkan oleh Staphylococcus
aureus dan Klebsiella pneumoniae. Pada era modern ini, pemahaman terhadap penyebab
pneumonia di negara-negara berkembang didasarkan pada dua jenis studi. Jenis pertama
terdiri dari studi prospektif berbasis rumah sakit yang menggunakan kultur darah, dan
aspirasi paru perkutan. Beberapa penelitian lain juga memeriksa spesimen nasofaring untuk
mengidentifikasi virus. Jenis studi yang kedua dalah uji coba vaksin, dimana beban
pneumonia yang dicegah dengan vaksin tertentu dianggap sebagai perkiraan minimum beban
pneumonia karena organisme yang menjadi sasaran vaksin. 3,7
Tabel 2. Faktor risiko pneumonia di negara berkembang2

Faktor risiko terkait host dan lingkungan yang mempengaruhi


insiden pneumonia pada anak di komunitas pada negara
berkembang
Faktor risiko pasti
Malnutrisi (berat berdasarkan usia z-score)
Berat badan lahir rendah (≤2500 gram)
ASI non-eksklusif (selama 4 bulan pertama kehidupan)
Tidak pernah imunisasi campak (dalam 12 bulan pertama
kehidupan)
Polusi dalam ruangan
Lingkungan yang padat
Faktor risiko paling mungkin
Orang tua perokok
Defisiensi Zinc
Pengalaman ibu dalam mengasuh anak
Penyakit ikutan (seperti diare, penyakit jantung, dan asma)

2
World Health Organization (WHO), “Epidemiology and etiology of childhood pneumonia”, 2016,
https://www.who.int/bulletin/volumes/86/5/07-048769-table-Ta.html
Faktor risiko mungkin
Pendidikan orang tua
Kelembaban
Suhu udara yang dingin
Defisiensi vitamin A
Polusi di luar ruangan

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan
karakteristik pneumonia pada anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan
strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi berbeda
dengan anak-anak. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi meliputi Streptococcus grup
B dan bakteri Gram negative seperti E.coli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada balita,
biasanya disebabkan oleh infkesi Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe B,
dan Staphylococcus aureus. Sedangkan pada anak-anak yang lebih besar dan remaja lebih
sering ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.3,7
Pada penelitian yang dilakukan di India terhadap 2.345 anak dengan melakukan aspirasi
nasofaring dan kultur darah. Pada aspirasi nasofaring didapatkan Streptococcus pneumoniae
sebagai bakteri yang paling banyak diikuti oleh Haemophilus influenzae, dan Staphylococcus
aureus. Sedangkan, pada kultur darah didapatkan Staphylococcus aureus mendominasi,
diikuti oleh Streptococcus pneumoniae dan Klebisella pneumoniae. Berdasarkan data yang
ada, Streptcoccus pneumoniae secara luas memang dianggap sebagai patogen yang paling
sering menyebabkan pneumonia dengan gejala akut pada infeksi saluran pernapasan bawah
yang dikenal dengan gejala tipikal pada pneumonia.3,7
Tabel 3. Bakteri penyebab pneumonia pada anak berdasarkan usia3,7

Usia Etiologi paling sering Etiologi yang jarang


Lahir-20 hari E. coli Streptoccous group D
Streptoccus group B Haemophilllus influenzae
Listeria monocytogenes Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
3 minggu-3bulan Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenzae tipe
B
4 bulan-5 tahun Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
Mycoplasma pneumoniae B
Streptococcus pneumoniae Moraxella catharalis
Neisseria meningitidis
5 tahun-remaja Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus

2.1.4 Patofisiologi

Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi
dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang
tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara
inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian atas
sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak
ditemukan jenis mikroorganisme yang sama. Bila pertahanan tubuh tidak kuat, maka
mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan peradangan
pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli
membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:3,8
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/ kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast
juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit,
eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
Beberapa bakteri tertentu memiliki gambaran patologis khas. Streptococcus pneumoniae
biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata diseluruh lapangan paru
(bronkopulmoner), pada anak atau remaja dapat berupa konsolidasi pada satu lobus
(pneumonia lobaris). Staphylococcus aureus pada bayi sering menyebabkan abses-abses kecil
atau pneumotokel, karena kuman ini menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti
hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase yang menyebabkan nekrosis, perdarahan,
dan kavitasi.3,8

2.1.5 Manifestasi Klinis


Sebagian besar gambaran klinik pneumonia pada anak berkisar antara ringan sampai
sedang hingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil berupa penyakit berat dan
mengancam kehidupan serta mungkin berkomplikasi dengan penyakit lain hingga
memerlukan perawatan di rumah sakit.9
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinik pneumonia pada anak adalah
imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinik
yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur
diagnostik invasif, etiologi non-infeksi yang relatif lebih sering dan faktor patogenesis.
Disamping itu kelompok umur pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan
karakteristik penyakit berbeda-beda sehingga perlu dipertimbangkan dalam penatalaksanaan
pneumonia. Secara umum terdapat gambaran klinis penumonia pada bayi dan anak
bergantung pada berat-ringannya sebagai berikut: 3,8
1. Gejala infeksi umum seperti demam, sakit kepala, gelisah, malaise, nafsu makan
berkurang, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare, kadang-kadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
2. Gejala gangguan respiratorik seperti batuk, sesak napas napas, retraksi dada, takipneu,
napas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik anak dengan pneumonia dapat ditemukan tanda klinik seperti
pekak perkusi, suara napas melemah dan ronki. Namun pada neonatus dan bayi kecil gejala
dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat pada perkusi dan auskultasi
umumnya tidak ditemukan kelainan. 3
Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil biasanya tidak khas, mencakup
serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak mau
minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subcostal, dan demam. Gambaran klinis tersebut
sulit dibedakan dengan sepsis atau meningitis. Sepsis pada pneumonia neonatus dan bayi
kecil sering ditemukan sebelum 48 jam pertama. 8
Berdasarkan tempat didapatkannya infeksi dikenal dua bentuk pneumonia yaitu
pneumonia masyarakat atau CAP dan pneumonia rumah-sakit atau pneumonia nosokomial
atau HAP. CAP adalah pneumonia yang infeksinya terjadi di masyarakat. HAP adalah
pneumonia yang infeksinya terjadi di rumah sakit. Kedua bentuk pneumonia ini selain
berbeda dalam lokasi tempat terjadinya infeksi juga berbeda dalam spektrum etiologi,
gambaran klinik, penyakit dasar atau penyakit penyerta dan prognosisnya. 3,8
Community-acquired pneumonia (CAP) mengacu pada infeksi akut yang dicirikan
dengan adanya demam dan atau gejala pernapasan. CAP diklasifikasikan menjadi 3 macam
sindrom. Sering kali, klasifikasi ini sulit dibedakan, oleh karena itu dibuat beberapa kriteria
diagnosis berdasarkan gejala klinis, radiografi, dan laboratorium sebagai berikut: 10

Tabel 4. Manifestasi klinis CAP103

Manifestasi klinis
1. Demam > 39ºC, mendadak
2. Nyeri dada pleuritik (toraks atau epigastrium)
3. Auskultasi fokal (hipoventilasi, crackles)
4. Leukositosis ≥12000/mm3 dengan neutrofilia ≥6000/mm3
5. Konsolidasi pada foto polos toraks
Tipikal CAP : ≥3 kriteria; Atipikal CAP : 0 kriteria; Intermedinat CAP: 1-2
kriteria

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan disertai dengan


pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis 11
- Batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif dengan dahak purulen bahkan
bisa berdarah
- Sesak nafas
- Demam; dapat melebihi 40o C
- Kesulitan makan, minum
- Tampak lemah
- Serangan pertama atau berulang(untuk membedakan kondisi gangguan imun, asma,
atau kelainan anatomi bronkus)

b. Pemeriksaan Fisik8
 Penilaian keadaan umum anak, frekuensi napas, dan nadi harus dilakukan pada awal
pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain menyebabkan anak menjadi rewel
 Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran, dan kemampuan
makan/minum

3
 Gejala distres pernapasan (takipnea, retraksi subkostal, batuk, krepitasi, dan/atau
penurunan suara paru)
 Demam dan sianosis
 Pada balita gejala yang muncul dapat tidak khas, kondisi demam dan sakit akut dapat
menimbulkan rangsang nyeri yang diproyeksikan ke abdomen, selain itu pada bayi
muda gejala yang timbul berupa pernapasan tidak teratur, dan hipopnea

Berdasarkan Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) tahun


2011, berikut merupakan klasifikasi pneumonia yang termasuk dalam kelompok batuk
dan kesukaran bernapas : 3,8

Klasifikasi ini kemudian diadaptasi oleh Manajemen Terpadu Balita Sakit


(MTBS) untuk balita pada tahun 2015 sebagai berikut :12
 Pneumonia Berat: tarikan dinding dada dalam, dan saturasi oksigen < 90%
 Pneumonia: napas cepat

c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium:3,8
- Leukosit dan hitung jenis leukosit: untuk membantu menentukan
antibiotikLeukositosis, biasanya 15.000-40.000/mm3. Jumlah leukosit yang tidak
meningkat berhubungan dengan infeksi virus atau mycoplasma
- Kultur dan pewarnaan gram sputum, kultur darah: pada kasus pneumonia berat,
jika berusia <18 bulan direkomendasikan kultur virus atau pemeriksaan antigen
virus. Pemeriksaan kultur darah seringkali positif terutama pada pneumonia
pneumococcus dan merupakan cara yang lebih pasti untuk mengidentifikasi
organisme dibandingkan dengan kultur yang potensial terkontaminasi
- Pemeriksaan cairan pleura mikroskopis, kultur, pemeriksaan antigen bakteri):
pada pasien dengan efusi pleura
- Pemeriksaan uji tuberkulin: pada anak yang memiliki riwayat kontak dengan
pasien TB dewasa
 Pemeriksaan saturasi oksigen: wajib dilakukan, penentu derajat pneumonia
 Pemeriksaan Radiologis : berupa rontgen thoraks yang dilakukan kasus pneumonia
berat yang dirawat inap, kasus yang membingungkan, dan evaluasi pneumonia
dengan kecurigaan komplikasi
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi
yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus. Pada
pasien yang mengalami perbaikan klinis ulangan foto toraks dapat ditunda karena
resolusi pneumonia berlangsung 4 – 12 minggu.3,8

2.1.7 Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
terutama berdasarkan berat-ringannya, misalnya toksis, distress pernapasan, tidak mau
makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama
mepertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap. Tatalaksana pneumonia dibagi menjadi tatalaksana rawat
jalan dan rawat inap. Pada pneumonia ringan, rawat jalan dapat diberikan antibitoik lini
pertama secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Penelitian multisenter di
Pakistan menemukan bahwa pada pneumonia rawat jalan, pemberian amoksisilin dan
kotrimoksazol dua kali sehari mempunyai efektifitas yang sama. Dosis amoksisilin yang
diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP – 20
mg/kgBB sulfametoksazol). 3,13
Pilihan antibiotik lini pertama untuk pneumonia rawat inap dapat menggunakan antibiotik
golongan beta-laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap
beta-laktam dan kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin,
atau sefalosporin sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Terapi antibiotik
diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, meskipun
tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi antibiotik yang optimal. Pada neonatus dan bayi
13
kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera mungkin. Oleh karena
neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik yang
direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi beta-laktam/klavulanat
dengan aminoglikosida, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan sudah stabil,
antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari. WHO mengelompokkan
pneumonia menjadi 4, yaitu bukan pneumonia, pneumonia, pneumonia berat, dan pneumonia
sangat berat. Dikatakan bukan pneumonia apabila tidak ditemukan takipneu dan tidak ada
retraksi, pneumonia apabila terdapat takipneu tanpa retraksi, pneumonia berat apabila adanya
takipneu, retraksi tanpa sianosis dan pneumonia sangat berat apabila ditemukan retraksi
dengan sianosis yang menyebabkan pasien tidak bisa makan (minum). 3,13
Gambar 2. Revisi penatalaksanaan pneumonia berdasarkan klasifikasi WHO14

World helath organization (WHO) juga memberikan beberapa rekomendasi untuk


penatalaksanaan pneumonia pada pediatric. Rekomendasi yang diberikan terdiri dari
rekomendasi 1, 2, 3 dan 4. Adapaun penjelasan dari setiap rekomendasi, sebagai berikut: 14
1. Rekomendasi 1
Anak-anak dengan napas cepat tanpa disertai dengan tarikan dinding dada atau tanda-
tanda bahaya sebaiknya diberikan oral amoksisilin, setidaknya 40 mg/kgBB/dua kali
sehari (80 mg/kgBB/hari) selama lima hari. Pada area dengan prevalensi HIV yang
rendah, berikan amoksisilin selama 3 hari. Apabila terapi lini pertama dengan
amoksisilin tidak berhasil, sebaiknya diberikan opsi dengan merujuk ke fasilitas
kesehatan yang menyediakan terapi lini kedua.
2. Rekomendasi 2
Anak-anak yang berusia 2-59 bulan dengan adanya tarikan dinding dada sebaiknya
diterapi menggunakan oral amoksisilin setidaknya 40 mg/kgBB/hari selama lima hari.
3. Rekomendasi 3
Anak-anak yang berusia 2-59 bulan dengan pneumonia berat sebaiknya diterapi
dengan parenteral ampicillin (penicillin) dan gentamicin sebagai terapi lini pertama.
- Ampicillin : 50 mg/kgBB, atau benzyl penicillin : 50.000 unit per kgBB IM/IV
setiap 6 jam setidaknya selama 5 hari
- Gentamicin: 7,5 mg/kgBB IM/IV sekali sehari selama lima hari

Ceftriaxone sebaiknya digunakan sebagai terapi lini kedua pada anak dengan
pneumonia berat yang gagal dengan terapi lini pertama.

4. Ampicillin (atau penicillin apabila ampicillin tidak tersedia) plus gentamicin atau
ceftrtiaxone direkomendasikan sebagai regimen antibiotik lini pertama untuk bayi
yang terinfeksi dan terpapar HIV dan untuk anak-anak dibawah 5 tahun dengan
tarikan dinding dada atau pneumonia berat.
5. Pengobatan empiris kotrimokzasol untuk anak-anak dengan suspek Pneumocystis
carinii jiroveci (sebelumnya Pneumocystis carinii) pneumonia (PCP)
direkomendasikan terapi tambahan untuk bayi yang terinfeksi dan terpapar HIV yang
berusia mulai 2 bulan sampai 1 tahun dengan tarikan dindng dada atau pneumonia
berat.
Terapi empiris kotrimokzasol tidak direkomendasikan bagi anak terinfeksi dan
terpapar HIV lebih dari 1 tahun dengan tarikan dinding dada atau pneumonia berat.13

2.2 COVID 19 PADA ANAK

2.2.1 Definisi
Covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru.
Penyakit ini disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 yang merupakan virus RNA positif
rantai tunggal dengan penampakan seperti mahkota dibawah elektron. Beberapa jenis
coronavirus diketahui menyebabkan infeksi saluran napas pada manusia mulai batuk
pilek hingga middle east respiratory syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS). Coronavirus jenis baru yang ditemukan menyebabkan penyakit
Covid-19. Beberapa varian mutasi COVID-19 telah ditemukan, diantaranya dibedakan
menjadi Variant On Concern dan Varian Of Interest. Kedua varian ini memiliki
perbedaan pada penularan, virulensi serta terkait dengan efektivitas terapinya.15

2.2.2 Etiologi
Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. Virus ini utamanya
menginfeksi hewan. Sebelum terjadinya pandemi Covid-19 ada 6 jenis coronavirus yang
dapat menginfeksi manusia seperti alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus NL63,
betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory Illness
Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-
CoV). Dari beberapa hasil penelitian bahwa Covid-19 ini termasuk dalam genus
betacoronavirus. Menurut WHO ada beberapa varian mutasi COVID-19 diantaranya15,16 :

2.2.3 Epidemiologi
Sejak bulan Desember, kasus COVID-19 pertama kali muncul di Wuhan, dengan
penyebaran yang terus meningkat mengakibatkan pada akhir Januari 2020 kasus ini
sudah menyebar lebih ke 25 negara seperti Jepang, Thailand , Amerika Serikat,
Hongkong dan lainnya. Ancaman pandemic semakin besar ketika berbagai kasus
menunjukkan adanya penularan antar manusia (human to human transmission), sehingga
pada akhir Januari 2020 WHO menetapkan status Global Emergency pada kasus virus
Corona ini dan pada 11 Februari 2020 WHO menamakan kasus ini sebagai COVID-19.17

Per tanggal 7 Juli 2021, didapatkan lebih dari 184 juta kasus terkonfirmasi dengan
angka kematian sekitar 3.9 juta kasus secara global. Kasus COVID-19 di Indonesia per
tanggal 7 Juli 20121 saat ini terdapat jumlah kasus kumulatif yang terkonfirmasi pada
2.379.397 dengan jumlah kematian sekitar 62.908 kasus. Sedangkan pada bulan
September 2021 jumlah angka kasus kumulatif di Indonesia 4,1 juta kasus, namun
peningkatan kasus baru berkurang di angka 10.337 kasus baru.18

Gambar 2.2.3 Peta sebaran transmisi lokal di Indonesia18


2.2.4 Patogenesis
Secara umum siklus hidup virus dengan inang terdiri dari 5 langkah berikut:
perlekatan, penetrasi, biosintesis, pematangan, dan pelepasan. Setelah virus mengikat
reseptor inang (attachment), virus memasuki sel inang melalui endositosis atau fusi
membran (penetrasi). Setelah material virus dilepaskan di dalam sel inang, RNA virus
memasuki nukleus untuk replikasi. mRNA virus digunakan untuk membuat protein virus
(biosintesis) dan selanjutnya partikel virus baru dibuat (maturasi) kemudian dilepaskan.19
Coronavirus terdiri dari empat protein struktural; Spike (S), membran (M),
amplop (E) dan nukleokapsid (N). Spike terdiri dari glikoprotein trimetrik transmembran
yang menonjol dari permukaan virus, yang menentukan keragaman coronavirus dan
tropisme inang. Spike terdiri dari dua subunit fungsional; Subunit S1 bertanggung jawab
untuk mengikat reseptor sel inang dan subunit S2 adalah untuk fusi membran virus dan
seluler. Enzim pengubah angiotensin 2 (ACE2) diidentifikasi sebagai reseptor fungsional
untuk SARS-CoV.19
Pada manusia, SARS-CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel pada saluran napas
yang melapisi alveoli. SARS-CoV-2 akan berikatan dengan reseptor dan membuat jalan
masuk ke dalam sel. Glikoprotein pada envelope spike virus akan berikatan dengan
ACE2. SARS-CoV-2 akan melakukan duplikasi materi genetik dan mensintesis protein
yang dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru.16,18
Protein S pada SARS-CoV-2 memfasilitasi masuknya virus corona kedalam sel
target. Akan tetapi hal ini bergantung pada kemampuan virus untuk berikatan dengan
ACE2, yaitu priming protein S dan reseptor membrane ekstraseluler yang diekspresikan
pada sel epitel.16,17
Varian Delta memiliki mutasi pada protein spike yang mengubah cara berinteraksi
dengan protein reseptor ACE2, yang di temukan di permukaan paru-paru dan sel manusia
lainnya dan berfungsi sebagai pintu gerbang sel. Mutasi pada posisi L452R pada protein
spike tampaknya membuat virus lebih mudah menular. Protein spike telah bermutasi
untuk membantu virus menempel pada sel lebih erat. Periode inkubasi untuk Covid-19
antara 3-14 hari. Hal ini ditandai dengan kadar leukosit dan limfosit yang normal atau
sedikit menurun serta pasien belum mengalami gejala. Virus selanjutnya terus menyebar
melalui aliran darah terutama ke organ yang menghasilkan ACE2, pada saat ini pasien
mulai mengalami gejala ringan. Sekitar 3-7 hari dari gejala awal, kondisi pasien
memberat ditandai dengan timbulnya sesak, menurunnya limfosit, perburukan lesi di
paru. Apabila hal ini tidak diatasi dengan baik maka akan terjadi Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan komplikasi lainnya. Tingkat keparahan gejala
berhubungan dengan usia (di atas 70 tahun), komorbiditas seperti diabetes penyakit paru
obstruksi kronis, hipertensi dan obesitas.16

2.2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai dari tanpa
gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga
syok sepsis. Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas
atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau tanpa
sputum), anoreksia, malaise, nyeri. 16
Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai dengan demam, ditambah salah satu
dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2) distres pernapasan berat, atau (3)
saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Sebagian besar anak yang terinfeksi
memiliki manifestasi klinis ringan, dan prognosisnya baik. Sebagian besar pasien anak
pulih dalam 1 hingga 2 minggu setelah onset dan sangat jarang berkembang menjadi
infeksi saluran nafas yang lebih berat.16
Dong Y dkk, mengamati 171 anak-anak dengan penyakit yang dikonfirmasi dan
menyajikan gejala yang lebih rinci. Gejala yang paling umum adalah batuk (48,5%),
eritema faring (46,2%) dan demam setidaknya 37,5°C (41,5%). Para peneliti melaporkan
bahwa 32,1% dari anak-anak mengalami demam di atas 38°C dan di antaranya 38,1–
39,0°C. Gejala lain adalah diare (8,8%), Empat dari 171 anak (2,3%) memiliki saturasi
oksigen rendah kurang dari 92%. Perlu dicatat bahwa beberapa publikasi COVID-19
telah menetapkan saturasi oksigen rendah yang dimaksud adalah di bawah 93% atau
94%. Sebagian besar anak menunjukkan takipnea (28,7%) dan takikardia saat masuk ke
rumah sakit.4
2.2.6 Diagnosis20
1. Anamnesis
a. Gejala
1) Gejala sistemik: demam, malaise, fatigue, nyeri kepala, mialgia
2) Gejala saluran pernapasan: batuk, pilek, nyeri tenggorokan, hidung tersumbat dan
sesak nafas.
b. Gejala lain: diare, mual, muntah, nyeri perut
c. Faktor risiko:
1) Kontak erat dengan kasus probabel atau kasus terkonfirmasi
COVID-19
2) Tinggal atau bepergian ke negara atau ke area terjangkit
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran: komposmentis sampai penurunan kesadaran
b. Desaturasi (SaO2 < 92%)
c. Tanda utama: demam dan peningkatan laju napas sesuai kriteria WHO
d. Napas cuping hidung
e. Sianosis
f. Retraksi subkostal dan atau interkostal
g. Suara paru: ronki, wheezing
h. Pembesaran tonsil
i. Ruam
j. Konjungtivitis
k. Inflamasi mukokutaneus (mulut, tangan dan kaki)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah
1) Darah rutin lengkap dapat menunjukkan leukosit yang
bervariasi (dapat normal, meningkat atau turun), trombositopenia, dan absolute
lymphocyte count yang juga bervariasi
2) LED meningkat pada sebagian besar kasus
3) CRP normal atau meningkat sementara
4) Prokalsitonin normal atau meningkat pada fase lanjut
5) Untuk menilai komplikasi: pemeriksaan gangguan koagulasi, fungsi ginjal, laktat,
Analisa Gas Darah, elektrolit, glukosa, HIV, dan pemeriksaan lain atas indikasi (IDAI,
2020).
b. Pencitraan
1) Foto toraks: gambaran penumonia ringan sampai berat, ground glass opacity bilateral
dengan distribusi pada bagian perifer, subpleural dan atau konsolidasi
2) Ekokardiografi atas indikasi
3) CT-scan toraks: pada tahap awal didapatkan gambaran multiple small plaques dan
interstitial changes, terutama di daerah perifer. Pada kondisi lanjut dapat ditemukan
multiple ground glass opacity dan atau infiltrat. Pada kondisi baru dapat ditemukan
konsolidasi berat.

c. RT-PCR dan sequencing


Spesimen: swab nasofaring, sputum, LCS, swab rektal, feces dan serum. Bila
memungkinkan: bilasan bronkus, bronchoalveolar lavage, dan bila menggunakan
endotracheal tube dapat berupa aspirat endotracheal.
d. Rapid test
Pemeriksaan antibodi dan antigen SARS-Cov-2. Perlu diperhatikan waktu
kontaknya karena false negative yang tinggi.

Serologi Antibodi dan Antigen pada Pasien COVID-1920

2.2.7 Tatalaksana
Tatalaksana COVID 19 pada anak terbaru dikeluarkan oleh pemerintah berdasarkan
himpunan 5 organisasi profesi yang salah satunya IDAI pada tanggal 14 Juli 2021 adalah
sebagai berikut. Klasifisikasi klinis pasien22:
Tatalaksana untuk pasien COVID-19 pada anak bergantung pada ada tidaknya gejala serta
derajat kepalahan gejala.20
1. Tanpa Gejala
a. Isolasi dan pemantauan
Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis
konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan
pemerintah. Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP). Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina untuk pemantauan
klinis.
b. Non-farmakologis
1) Pasien
a) Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat berinteraksi dengan anggota
keluarga.
b) Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin.
c) Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing).
d) Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah.
e) Menerapkan etika batuk (Diajarkan oleh tenaga medis).
f) Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun.
g) Berjemur matahari minimal sekitar10-15menit setiap harinya (sebelum jam 9 pagi dan
setelah jam 3 sore).
h) Pakaian yang telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong plastik / wadah
tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang lainnya sebelum dicuci dan
segera dimasukkan mesin cuci.
i) Ukur dan catat suhu tubuh 2 kali sehari (pagi dan malam hari).
j) Segera beri informasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga jika terjadi peningkatan
suhu tubuh > 38°C.
2) Lingkungan/kamar
a) Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara.
b) Membuka jendela kamar secara berkala.
c) Bila memungkinkan menggunakan APD saat membersihkan kamar (setidaknya masker,
dan bila memungkinkan sarung tangan dan goggle).
d) Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin.
e) Bersihkan kamar setiap hari, bisa dengan air sabun atau bahan desinfektan lainnya.
3) Keluarga
a) Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien sebaiknya memeriksakan diri
ke FKTP/Rumah Sakit.
b) Anggota keluarga senanitasa pakai masker.
c) Jaga jarak minimal 1 meter dari pasien.
d) Senantiasa mencuci tangan.
f) Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar sirkulasi udara tertukar.
g) Bersihkan sesering mungkin daerah yang mungkin tersentuh pasien misalnya gagang
pintu.
Kriteria diagnosis21
Tata laksana Kontak Gejala Suspek/probable/ter Suspek/probable/ Kasus suspek berat
erat anpa terkonfirmasi konfirmasi ringan terkonfirmasi dan kritis kasus
gejala sedang probable/konfirmasi
tanpa berat dan kritis,
MIS-C
Isolasi mandiri dan + + + setelah pulang dari + setelah pulang dari + setelah pulang dari
pemantauan RS, tetap melakukan RS jika terbukti RS, tetap melakukan
protokol pencegahan positif, tetap protokol pencegahan
infeks melakukan protokol infeksi
pencegahan infeks
Isolasi di rumah sakit - - + ventilasi + tekanan negatif Jika + tekanan negatif
alamiah/tekanan terbukti positif, Dilanjutkan isolasi
negative Dilanjutkan dilanjutkan isolasi mandiri jika
isolasi mandiri jika mandiri jika dinyatakan boleh
dinyatakan boleh dinyatakan boleh rawat jalan
rawat jalan rawat jalan
Pemeriksaan darah - Anak dengan + Darah lengkap, + Darah rutin, hitung + Darah rutin, hitung
komobiditas: atas CRP, Ddimer Lain- jenis, analisis gas jenis, analisis gas
pertimbangan lain sesuai darah, CRP. darah, CRP.
khusus indikasi/komorbiditas Pemeriksaan fungsi Pemeriksaan fungsi
ginjal, fungsi hati, ginjal, fungsi hati,
elektrolit, faktor elektrolit, faktor
koagulasi seperti koagulasi seperti
ddimer, fibrinogen, ddimer, fibrinogen,
PT/APTT, penanda PT/APTT, penanda
inflamasi seperti inflamasi seperti
ferritin, LDH, dan ferritin, LDH, dan
marker jantung marker jantung seperti
seperti troponin/NT- troponin/NT-pro BNP
pro BNP Lain-lain Lain-lain sesuai
sesuai indikasi/komorbiditas
indikasi/komorbiditas
Pemeriksaan Rontgen - - Anak dengan + + +
komobiditas: atas
pertimbangan
khusus
Pemeriksaan - - - + +
EKG/Echocardigraph
y
Pemberian - Nutrisi + Oral + Oral/enteral + +
suplementasi Vitamin adekuat Oral/enteral/intravena Oral/enteral/intravena
C, D3 dan Zink
Antivirus spesifik - - Pertimbangan + + +
COVID-19 khusus pada anak  Remdesivir  Remdesivir  Remdesivir
dengan  Alternatif  Alternatif  Alternatif
komorbiditas Favipiravir Favipiravir Favipiravir
 Favipiravir
Antibiotik (panduan - - -/+ -/+ -/+
umum)
 Ceftriakson - - - Hanya jika ada
- Hanya jika ada - Hanya jika ada
tandatanda infeksi
tanda-tanda infeksi tanda-tanda infeksi
bakteri bakteri bakteri
 Azithromisin - - - Hanya jika ada Hanya jika ada
kecurigaan ko-infeksi kecurigaan ko-infeksi
dengan dengan
mikroorganisme mikroorganisme
atipikal atipikal
Antivirus lain: Bukan Bukan untuk Covid Bukan untuk Covid Hanya jika ada Hanya jika ada
 Oseltamivir untuk 19 19 kecurigaan ko-infeksi kecurigaan ko-infeksi
Covid 19 dengan Influenza dengan Influenza
Steroid - Pada komorbiditas + + +
dengan atas indikasi
dan pertimbangan
khusus
Antikoagulan - Pada komorbiditas + sesuai indikasi + sesuai indikasi + sesuai indikasi
dengan atas indikasi
dan pertimbangan
khusus
Immunoglobulin - - - -/+ dengan -/+ dengan
intravena pertimbangan khusus pertimbangan khusus
Support Oksigen - - + Oksigen nasal + Oksigen tekanan + Oksigen tekanan
kanul, sungkup tinggi, ventilasi non- tinggi, ventilasi non-
invasif maupun invasif maupun
invasif invasive
Lain-lain seperti HD, - - Sesuai dengan Sesuai dengan Sesuai dengan
CRRT komorbiditas komorbiditas komorbiditas
Swab ulangan Jika swab Tidak perlu swab Tidak perlu swab Tidak perlu swab Tidak perlu swab
awal ulang kecuali kasus ulang kecuali kasus ulang kecuali kasus ulang kecuali kasus
negatif komorbiditas yang komorbiditas yang komorbiditas yang komorbiditas yang
ulang memerlukan memerlukan memerlukan memerlukan
ketika pengobatan lanjutan pengobatan lanjutan pengobatan lanjutan pengobatan lanjutan
bergejala dan masih harus dan masih harus dan masih harus
melanjutkan melanjutkan melanjutkan
pengobatan rawat pengobatan rawat pengobatan rawat
inap > 7 hari inap > 7 hari inap > 7 hari
Kriteria selesai isolasi 14 hari 10 hari ditambah 3 10 hari ditambah 3 10 hari ditambah 3 10 hari ditambah 3
mandiri hari setelah bebas hari setelah bebas hari setelah bebas hari setelah bebas
gejala. Jika tidak gejala. gejala. gejala.
bergejala 10 hari Immunokompromais Immunokompromais Immunokompromais
dari tes pertama berat 20 hari berat 20 hari berat 20 hari ditambah
positif ditambah 24 jam ditambah 24 jam 24 jam bebas demam
Immunokompromais bebas demam dan bebas demam dan dan gejala perbaikan
berat 20 hari gejala perbaikan gejala perbaikan
ditambah 24 jam
bebas demam
Imunisasi Rutin Jika 1 bulan setelah 1 bulan setelah 1 bulan setelah 1 bulan setelah selesai
selama 14 selesai isolasi selesai isolasi selesai isolasi isolasi
hari
negatif
atau tidak
bergejala
dapat
langsung
diberikan
Imunisasi COVID 19 Jika 3 bulan setelah 3 bulan setelah 3 bulan setelah 3 bulan setelah selesai
selama 14 selesai isolasi selesai isolasi selesai isolasi isolasi
hari
negatif
atau tidak
bergejala
dapat
langsung
diberikan

Jenis-jenis obat-obatan dan dosis penggunaan antivirus pada anak21


2.2.8 Prognosis COVID-19
Data saat ini terus mendukung fakta bahwa meskipun anak-anak terinfeksi SARS-
CoV-2 serupa dengan orang dewasa, mereka lebih cenderung tidak menunjukkan gejala
atau memiliki penyakit yang lebih ringan. Prognosis pasien COVID-19 dengan gejala
gastrointestinal sebagian besar masih belum diketahui. COVID-19 pada anak cenderung
memiliki gejala yang ringan, respon terapi yang baik, serta waktu penyembuhan yang
lebih singkat daripada orang dewasa. Imunitas innate yang dominan pada anak, ACE-2
enzim reseptor pada anak yang belum matur sehingga penempelan virus SARS-CoV-2
terganggu, marker inflamasi seperti interleukin-6 yang cenderung rendah, dan saluran
pernapasan anak yang lebih sehat daripada orang dewasa, menjadi beberapa sebab
prognosis COVID 19 pada anak lebih baik.2
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : An. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 3 bulan
Alamat : Rato, Sila
Suku : Mbojo
Tanggal pemeriksaan : 05-07-2021
Identitas Orang Tua

Keterangan Ayah Ibu


Nama Tn AA Ny. A
Usia 27 tahun 23 tahun
Pekerjaan Pedagang IRT
Pendidikan Terakhir S2 S1

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Bima dibawa ibunya dikeluhkan sesak nafas. Sesak nafas dan
batuk pasien dikatakan ibunya sudah sejak 3 hari yang lalu dan semakin memberat hari ini
SMRS. Sesak nafas terdengar seperti suara mengorok disertai batuk berdahak dan pilek.
Awalnya pasien pilek saja sudah sekitar 5 hari yang lalu tetapi semakin memberat setelah
batuk muncul. Setelah batuk pasien juga menjadi sesak. Pasien juga dikeluhkan demam sejak
kondisinya memberat. Namun demam turun setelah diberikan paracetamol. Selain itu, pasien
juga tampak lemas dan menyusu kurang. Keluhan lain seperti BAB cair sudah 3x sejak tadi
pagi, namun BAK normal. Setelah keluhan berulang pasien dibawa ke praktek dokter sp.A
dan diberikan saran untuk dirujuk ke RSUD.

Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan serupa tidak pernah dialami pasien sebelumnya.
Kesimpulan: tidak ada hubungan antara penyakit pasien yang dahulu dengan keluhan
sekarang

Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga tidak ada yang sedang sakit dan mengalami keluhan serupa seperti pasien.
Akan tetapi orang dewasa yang tinggal di lingkungan pasien merokok.

Genogram Keluarga Pasien

Riwayat Pengobatan
Pasien saat pertama kali sakit diberikan obat sirup paracetamol oleh bidan setempat.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Ibu pasien hamil selama 9 bulan dan merupakan kehamilan yang pertama. Selama
kehamilan, ibu pasien tidak pernah mengalami perdarahan maupun penyakit berat lainnya.
ANC dilakukan rutin setiap bulan di Posyandu dan rutin minum tablet Fe dari awal
kehamilan sampai menjelang persalinan. Riwayat konsumsi obat-obatan maupun jamu
selama hamil disangkal. Pasien lahir normal, ditolong oleh bidan di Puskesmas dengan berat
lahir 3.700 gram dan langsung menangis. Riwayat perdarahan setelah melahirkan (-), riwayat
kuning setelah lahir (-), riwayat tubuh membiru setelah lahir (-).
Kesimpulan: Riwayat kehamilan dan persalinan cukup baik

Riwayat Imunisasi
 HB0 pada usia 0 hari
 BCG dan polio 1 saat usia 1 bulan
 DPT 1, HIB 1 dan polio 2 belum dapat
 DPT 2, HIB 2 dan polio 3 belum dapat

Kesimpulan : Imunisasi dasar pasien tidak lengkap

Riwayat Nutrisi
Hingga saat ini pasien masih mendapatkan ASI tapi ditambah sufor berupa susu SGM
karena beberapa hari terakhir pasien kurang menyusu dan diberikan tambahan sufor oleh
ibu. Pasien minum frekuensi 8-10 kali setiap hari sebelum sakit, reflek hisap kuat, susu
formula setiap kali minum kurang lebih 30 cc. Setelah sakit pasien menjadi malas
minum, frekuensi kurang dari 8 kali, reflek hisap kurang, susu formula sebanyak 30 cc
tidak habis dalam sekali pemberian, terkadang pasien muntah bila terbatuk.

Kesimpulan: Pasien tidak mendapatkan ASI eksklusif dan riwayat makan pasien saat ini
kurang.

Riwayat Tumbuh dan Kembang


Pasien saat ini sudah bisa merespon dengan tersenyum dan mengikuti pergerakan tangan
saat bermain. Berat badan pasien tidak terus mengalami peningkatan setiap bulan dari lahir
BB 3,7 kg dan BB 7,4 kg dan PB lahir 51cm dan kini 58 cm.
Motorik kasar
Tangan dan kaki bergerak aktif : 1 bulan
Motorik halus
Memegang mainan : 3 bulan
Bicara
Bereaksi terhadap bunyi : 1 bulan
Bersuara ooo : 2 bulan
Tertawa/berteriak : 2 bulan
Sosial
Menatap wajah ibu : 1 bulan
Tersenyum spontan : 3 bulan
Kesimpulan : Perkembangan pasien sesuai dengan usia.

Riwayat Ekonomi dan Lingkungan


Pasien tinggal bersama kedua orang tua, beserta kakek dan nenek pasien dari pihak ibu.
Kondisi sosial ekonomi keluarga pasien menengah ke bawah, dimana ayah pasien
sebelumnya bekerja menjadi dosen dan di-PHK sehingga kini bekerja sebagai pedagang
ayam potong dan ibu pasien adala IRT. Penghasilan keluarga tidak menentu, dengan total
penghasilan yaitu sekitar 1-2 juta per bulan.
 Keluarga pasien tinggal di lingkungan padat penduduk di kampung dekat pasar desa
Rato-Sila.
 Ayah dan kakek pasien adalah perokok aktif dan ia tinggal serumah dengan pasien.
 Untuk air minum, keluarga pasien menggunakan air sumur yang sudah dimasak.
 Untuk keperluan MCK, mencuci pakaian dan lain-lain, ibu pasien juga menggunakan air
sumur dan menggunakan kamar mandi yang terletak di dalam rumah.
 Untuk memasak, keluarga pasien menggunakan kompor gas. Pasien memasak di dapur
yang berada di dalam rumah pasien.
Kesimpulan: Kondisi ekonomi menengah ke bawah dan lingkungan kurang baik
3.3 Pemeriksaan Fisik
KU/Kesadaran : lemah/compos mentis
Frek. Nadi : 120 x/menit, isi dan tegangan cukup, teratur
Frek. Nafas : 62 x/menit, tipe thorakoabdominal
Suhu : 37,6 ºC
SpO2 : 91% non air
97% dengan oksigen nasal kanul 1 lpm
Berat Badan : 7,4 kg
Panjang Badan : 55 cm
Status Gizi : BB/U : > +3 SD (Normal)
PB/U : 0 s/d +2 SD (Normal)
BB/PB : +1 s/d +2 SD (Gizi baik)
Klinis :
Edema : negatif
Tampak kurus : negatif

PB/U

BB/U
BB/PB

1. Pemeriksaan Fisik Umum


- Kepala dan Leher
a. Kepala

- Bentuk normal
- Normosefali
- Rambut berwarna hitam
- Ubun-ubun kecil terbuka
- Ubun-ubun besar terbuka
b. Mata

- Palpebra kanan dan kiri tampak normal


- Konjungtiva kanan dan kiri tidak tampak anemis
- Sklera kanan dan kiri tidak tampak ikterik
- Pupil kanan dan kiri isokor
- Refleks pupil kanan dan kiri normal : Refleks cahaya langsung +|+ dan
Refleks cahaya tidak langsung +|+
- Kornea tampak jernih
- Eksoftalmus (-), enoftalmus (-), strabismus (-)
c. Telinga
- Bentuk: telinga kanan dan kiri tampak simetris, tidak ditemukan
deformitas
- Sekret: tidak ditemukan adanya sekret pada telinga kanan dan kiri
d. Hidung
- Bentuk : hidung tampak simetris
- Pernafasan cuping hidung: tidak ada
- Tidak tampak sekret pada lubang hidung kanan dan kiri
e. Tenggorokan
- Faring : tidak dapat dievaluasi
- Tonsil : tidak dapat dievaluasi
f. Mulut
- Bibir: mukosa bibir berwarna kemerahan dan basah, bibir sianosis (-),
stomatitis angularis (-)
- Lidah : atrofi papil lidah (-)
g. Leher
- Massa (-), Pembesaran KGB superficial leher bagian servikal, mastoideal
dan parotideal (-), pembesaran KGB Supraklavikula (-), krepitasi (-),
pembengkakan pada leher
- Thoraks
a. Pulmo
- Inspeksi: pergerakan dinding dada tampak simetris antara kanan dan kiri,
tampak retraksi subcostal minimal (+), retraksi intercosta (-), retraksi
suprasternal (-)
- Palpasi: pergerakan dinding dada simetris, tidak ada ketertinggalan gerak
- Perkusi: tidak dievaluasi
- Auskultasi :Pulmo: suara bronkovesikuler dikedua lapang paru, terdapat
crackles di kedua lapang paru, tidak terdapat wheezing di kedua lapang
paru.
b. Cor
- Inspeksi: Pulsasi iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : iktus kordis teraba pada ruang interkostal sinistra V, agak ke
medial (2 cm) dari linea midklavikula sinistra kuat angkat
- Perkusi : tidak dievaluasi
- Auskultasi Cor : S1 dan S2 tunggal, Murmur (-), Gallop (-)
c. Abdomen
- Inspeksi: perut tidak tampak distensi, tidak tampak adanya masa
- Auskultasi: Bising usus normal
- Perkusi: Timpani di semua kuadran
- Palpasi: tidak teraba massa, turgor normal
- Kulit
Ikterus (-), ruam (-)
- Urogenital
Tidak dievaluasi
- Vertebrae
Tidak tampak kelainan
- Ekstremitas

Tungkai Atas Tungkai Bawah


Kanan Kiri Kanan Kiri
Akral hangat + + + +

Edema - - - -
Kekuatan otot 5 5 5 5

3.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Darah Lengkap

PARAMETE (06-07-2021) NILAI RUJUKAN

R
HGB 9,0 g/dl 9,0 – 13,6
RBC 3,48 juta/uL 2,50 – 5,50
HCT 28,1 % 26 – 50
MCV 80,7 fL 86,0 - 110,0
MCH 25,9 pg 26,0 - 38,0
MCHC 32,0 g/dl 31,0 - 37,0
WBC 19860/uL 5500 – 17500
PLT 631000/uL 150000 – 400000

2. Pemeriksaan Hitung Jenis

PARAMETE (16-07-2021) NILAI RUJUKAN

R
Limfosit 8,44 x 103/µL 1,00 - 3.70
Neutrofil 8,77 x 103/µL 1,50 - 7.00
Monosit 2,48 x103/µL 0,00-0,70
Basofil 0,1 x103/µL 0.00-0.10
Eosinofil 0.3 x103/µL 0.00-0.40

3. Pemeriksaan swab antigen


Swab antigen COVID 19 ( 05/07/2021) hasil negatif

4. Foto thoraks

Interpretasi (Tgl 6 Juli 2021)


- Ground glass opacity pada kedua lapangan paru terutama lapangan atas dan
tengah kedua paru
- Tidak terdapat pemadatan hilus kedua paru
- Cor: bentuk dan ukuran kesan normal
- Kedua sinus dan diagfragma baik
- Tulang-tulang intak
- Jaringan lunak sekitar kesan baik
Kesan:
- Severe pneumonia bilateral, infeksi Covid 19 dapat dipertimbangkan
Usul:
- Konfirmasi swab PCR

3.6 Assesment
- Diagnosis kerja: pneumonia berat
- Diagnosis banding: bronkiolitis
- Diagnosis komplikasi: sepsis

3.7 Planning
1. Terapi
- O2 Nasal kanul 1-2 lpm
- IVFD D51/4NS 10 tpm mikro
- Inj ceftrtiaxone 350 mg/12 jam
- Inj gentamisin 40 mg/24 jam
- Inj dexamethasone 1 mg/8 jam
- Infus paracetamol 70mg/6 jam k/p
- Inj ondasentron 1 mg/8 jam
- L-bio 1x1
- Nebul combivent 1/3 respul + 3cc NaCl 0,9% /6jam
- Diet ASI
2. Diagnostik
- Swab PCR
3. Diet
Kebutuhan cairan : 100cc/kgBB/hari (7,4 x 100) = 740 cc/hari
1. Diet melalui IV line, diberikan infus D5 ¼ NS 10 tpm mikro (240 cc)
2. Pemberian ASI sebanyak 4 kali (150 cc)
4. Monitoring
- Frekuensi pernapasan, dan saturasi oksigen
- Sianosis
- Tanda-tanda bahaya
- Bayi lemas atau penurunan kesadaran
- Malas minum
- Muntah terus menerus

5. Edukasi
1. Menjelaskan kepada orang tua agar kebersihan di sekitar lingkungan selalu terjaga
2. Menjelaskan kepada ayah pasien agar tidak merokok di dekat pasien
3. Apabila keluhan batuk, pilek, ataupun sesak muncul lagi segera bawa ke rumah sakit
tanpa harus menunggu obat habis
4. Waspadai tanda-tanda bahaya seperti anak malas minum, muntah terus-menerus, kejang,
dan lemah.
5. Menjelaskan kepada ibu agar memberikan ASI secara rutin kepada pasien ±setiap 3 jam
6. Antibiotik harus diminum sampai habis
7. Apabila demam, berikan paracetamol sesuai dengan resep yang telah diberikan dokter
8. Apabila tidak ada demam, batuk, ataupun pilek bawa pasien ke posyandu untuk
mendapatkan imunisasi.

3.8 Resume
Pasien bayi laki-laki usia 3 bulan, rujukan dari klinik spesialis anak dengan keluhan
sesak. Sesak nafas dan batuk pasien dikatakan ibunya sudah sejak 3 hari yang lalu dan
semakin memberat hari ini SMRS. Sesak nafas terdengar seperti suara mengorok disertai
batuk berdahak dan pilek. Awalnya pasien pilek saja sudah sekitar 5 hari tetapi semakin
memberat setelah batuk muncul. Setelah batuk pasien juga menjadi sesak. Pasien juga
dikeluhkan demam sejak kondisinya memberat. Namun demam turun setelah diberikan
paracetamol. Selain itu, pasien juga tampak lemas dan menyusu kurang. Keluhan lain seperti
BAB cair sudah 3x sejak tadi pagi, namun BAK normal. Setelah keluhan berulang pasien
dibawa ke praktek dokter sp.A dan diberikan saran untuk dirujuk ke RSUD. Pemeriksaan
dilakukan saat pasien datang ke IGD tgl 05/07/2021. Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan
umum lemah, nadi: 140x/menit, pernapasan: 62x/menit, suhu: 37,6 ºC, dan saturasi oksigen
non air 91% dan setelah menggunakan nasal kanul 1 lpm menjadi 97%. Selain itu, pada
pemeriksaan fisik sudah didapatkan retraksi subcostal minmal, dan crackles pada kedua
lapang paru. Pada penilain antropometri didapatkan BB: 7400 gram, PB: 55 cm. Berdasarkan
penilaian status gizi berdasarkan BB/U: normal, PB/U: normal, dan BB/PB: gizi baik. Maka
dari itu, dapat disimpulkan bahwa pasien dengan gizi baik. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan Hb: 9.0 g/dl. RBC: 3,48 juta/uL, WBC: 19.890/uL dan PLT: 631.000. Hasil
pemeriksaan swab antigen negatif namun pada foto toraks menunjukkan adanya ground glass
opacity pada kedua lapangan paru terutama lapangan atas dan tengah kedua paru yang
terkesan berupa pneumonia berat yang mengarah pada infeksi COVID 19, sehingga
dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa hasil swab PCR.
3.9 Follow Up Pasien

06 Juli 2020
Subyektif Obyektif Assesmant Planning
 Sesak napas  Ku: Lemah  Pneumonia berat  O2 NK 1-2 lpm
 Batuk berdahak  Kes: CM  Suspek COVID 19  D51/4 NS 10 tpm mikro
 Demam (+)  Heart Rate : 134 x /  Injeksi ceftriaxone 350 mg/12 jam
 BAB cair 2x s menit (H2)
 Muntah 1x  RR: 64 x/menit  Inj gentamisin 40 mg/24 jam (H2)
 ASI (+)  Tax: 37,8 °C  Inj dexamethasone 1 mg/8 jam
 Sufor (+)  BB= 7,4 kg  Infus paracetamol 70 mg/6 jam k/p
 SPO2 : 96% dengan O2  Inj ondasentron 1 mg/8 jam
1 lpm  L-bio 1x1
 Retraksi interkostal (+)  Zink 1x10mg
 Terdengar rhonki di  Apyalis drop 1x 0,5 ml
kedua lapang paru  Nebul combivent 1 respul + 3cc
 Tidak terdengar NaCl 0,9% /6jam
wheezing di kedua  Pro PCR
lapang paru
07 Juli 2020
Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Sesak napas  Ku: Lemah  Pneumonia berat  O2 NK 1-2 lpm
 Batuk berdahak berkurang  Kes: CM  Suspek COVID 19  D51/4 NS 10 tpm mikro
 Demam (-)  Heart Rate : 138 x /  Injeksi ceftriaxone 350 mg/12 jam
 BAB cair (-) menit (H3)
 Muntah (-)  RR: 50 x/menit  Inj gentamisin 40 mg/24 jam (H3)
 ASI (+)  Tax: 36,0 °C  Inj dexamethasone 1 mg/8 jam
 Sufor (+)  SPO2 : 97% dengan O2  Infus paracetamol 70mg/6 jam k/p
1 lpm  Inj ondasentron 1 mg/8 jam
 Retraksi intercostal (+)  L-bio 1x1
minimal  Zink 1x10mg
 Terdengar rhonki di  Apyalis drop 1x 0,5 ml
kedua lapang paru  Nebul combivent 1 respul + 3cc
 Tidak terdengar NaCl 0,9% /6jam
wheezing  Follow up hasil PCR
08 Juli 2020
Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Sesak napas berkurang  KU : Sedang  Pneumonia berat  O2 NK 1-2 lpm
 Batuk berdahak berkurang  Kes: CM  Suspek COVID 19  D51/4 NS 10 tpm mikro
 Demam (-)  Heart Rate: 129 x / menit  Injeksi ceftriaxone 350 mg/12 jam
 BAB cair (-)  RR : 46 x/menit (H4)
 Muntah (-)  Tax : 36,3 °C  Inj gentamisin 40 mg/24 jam (H4)
 ASI (+)  SPO2: 97% dengan O2 1  Inj dexamethasone 1 mg/8 jam
 Sufor (+) lpm  Infus paracetamol 70mg/6 jam k/p
 Retraksi intercostal (+)  Inj ondasentron 1 mg/8 jam
minimal  L-bio 1x1
 Terdengar rhonki di  Zink 1x10mg
kedua lapang paru  Apyalis drop 1x 0,5 ml
 Tidak terdengar  Azitromisin 1x70 mg (H1)
wheezing  Nebul combivent 1 respul + 3cc
NaCl 0,9% /6jam
 Follow up hasil PCR
09 Juli 2020
Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Sesak napas berkurang  KU : Sedang  Pneumonia berat  O2 NK 1-2 lpm
 Batuk berdahak berkurang  Kes: CM  Suspek COVID 19  D51/4 NS 10 tpm mikro
 Demam (-)  Heart Rate: 124 x / menit  Injeksi ceftriaxone 350 mg/12 jam
 BAB cair (-)  RR : 42 x/menit (H5)
 Muntah 1 (-)  Tax : 36,5 °C  Inj gentamisin 40 mg/24 jam (H5)
 Bercak putih di mulut  SPO2: 97% dengan O2 1  Inj dexamethasone 1 mg/8 jam
 ASI (+) lpm  Infus paracetamol 70mg/6 jam k/p
 Sufor (+)  Retraksi intercostal (+)  Inj ondasentron 1 mg/8 jam
minimal  L-bio 1x1
 Terdengar rhonki di  Zink 1x10mg
kedua lapang paru  Apyalis drop 1x 0,5 ml
 Tidak terdengar  Azitromisin 1x70 mg (H2)
wheezing  Nystatin 4x2 cc (po)
 Nebul combivent 1 respul selang
seling ventolin 1 respul + 3cc NaCl
0,9% /4jam (O2 tetap dipakai saat
nebul)
 Resfar 300mg dalam NaCl 0,9%
40ml habis dalam 4 jam selama 3
hari
 Injeksi furosemide 3x3mg (iv)
 Follow up hasil PCR
10 Juli 2020
Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Sesak napas berkurang  KU : Sedang  Pneumonia berat  O2 NK 1-2 lpm
 Batuk berdahak berkurang  Kes: CM  Suspek COVID 19  D51/4 NS 10 tpm mikro
 Demam (-)  Heart Rate: 124 x / menit  Injeksi ceftriaxone 350 mg/12 jam
 BAB cair (-)  RR : 40 x/menit (H6)
 Muntah 1 (-)  Tax : 36,3 °C  Inj gentamisin 40 mg/24 jam (H6)
 Bercak putih di mulut  SPO2: 98% dengan O2 1  Inj dexamethasone 1 mg/8 jam
berkurang lpm  Infus paracetamol 70mg/6 jam k/p
 ASI (+)  Retraksi intercostal (+)  Inj ondasentron 1 mg/8 jam
 Sufor (+) minimal  L-bio 1x1
 Terdengar rhonki di  Zink 1x10mg
kedua lapang paru  Apyalis drop 1x 0,5 ml
 Tidak terdengar  Azitromisin 1x70 mg (H3)
wheezing  Nystatin 4x2 cc (po)
 Nebul combivent 1 respul selang
seling ventolin 1 respul + 3cc NaCl
0,9% /4jam (O2 tetap dipakai saat
nebul)
 Resfar 300mg dalam NaCl 0,9%
40ml habis dalam 4 jam selama 3
hari
 Injeksi furosemide 3x3mg (iv)
 Follow up hasil PCR

11 Juli 2020
Subyektif Obyektif Assessment Planning
 Sesak napas berkurang  KU : Sedang  Pneumonia berat  Orang tua pasien menolak untuk
 Batuk berdahak berkurang  Kes: CM  Suspek COVID 19 dilakukan perawatan lebih lanjut
 Demam (-)  Heart Rate: 124 x / menit dan memutuskan untuk pulang.
 BAB cair (-)  RR : 42 x/menit  APS
 Muntah 1 (-)  Tax : 36,5 °C
 Bercak putih di mulut  SPO2: 97% dengan O2 1
 ASI (+) lpm
 Sufor (+)  Retraksi intercostal (+)
minimal
 Terdengar rhonki di
kedua lapang paru
 Tidak terdengar
wheezing

Hasil Swab PCR (+)


BAB IV
PEMBAHASAN
Pneumonia adalah suatu penyakit infeksi paru-paru yang saat ini menjadi ancaman
global. Pneumonia menjadi penyebab pertama angka kematian anak tertinggi di dunia
dibandingkan dengan kasus infeksi lainnya. Saat ini di dunia tengah mengalami pandemi
COVID 19 dengan jumlah kematian yang tinggi di semua kalangan umur. Pneumonia dengan
COVID 19 memiliki kaitan yang erat, sebab salah satu manifestasi pasien yang terinfeksi
virus ini memiliki gambaran klinis berupa pneumonia.
. Pada laporan kasus ini, dilaporkan seorang pasien anak berusia 3 bulan merupakan
rujukan dari klinik spesialis anak dengan keluhan sesak napas yang tidak bisa teratasi. Sesak
napas merupakan salah satu manifestasi dari berbagai macam penyakit, misalnya pneumonia.
Sesak napas merupakan gejala gangguan respiratorik yang terjadi pada pneumonia. Selain
sesak napas, gejala respiratorik lain yang dialami oleh pasien berupa batuk yang semakin
memberat hingga kesulitan bernafas yang dialami pasien. Pada pasien ini kondisi awal pasien
adalah dikatakan ibu memiliki pilek sekitar 5 hari sebelum masuk rumah sakit, namun
keluhan memberat 3 hari yang lalu saat pasien mulai batuk hingga mengalami kesulitan
bernafas. Sejak kesulitan bernafas kondisi pasien juga disertai demam. Akan tetapi, demam
pada pasien turun setelah diberikan obat paracetamol. Kondisi pasien dengan batuk, pilek dan
demam hingga kesulitan bernafas menandakan pasien kemungkinan besar mengalami
pneumonia. Hal ini diperkuat dengan temuan hasil pemeriksaan fisik, yaitu saat pasien
datang pertama kali ke IGD rumah sakit pasien sesak dengan frekuensi nafas 62 kali per
menit, dengan tampakan tarikan dinding dada (retraksi subcostal) minimal dan saturasi
oksigen yang menurun hingga diangkat 91%. Saturasi oksigen pasien bertambah menjadi
97% setalh diberikan bantuan oksigen dengan nasal kanul 1 lpm. Pada pemeriksaan
auskultasi lapang paru terdengar crackles di kedua lapang paru (+/+), dan tidak ditemukan
wheezing pada kedua lapangan paru. Kondisi-kondisi tersebut mengarahkan pasien lebih
kuat mengalami pneumonia. Selanjutnya pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
memastikan kembali kecurigaan pneumonia pada pasien. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan antara lain, pemeriksaan laboratorium berupa swab antigen, darah lengkap dan
GDS. Hasil pemeriksaan lab menunjukkan adanya peningkatan angka leukosit pada pasien
yaitu hingga 19.890/uL. Hal ini meningkatkan dugaan terjadi proses infeksi pada pasien.
Akan tetapi pemeriksaan swab antigen menunjukkan hasil non reaktif, sehingga pasien
ditatalaksanai dengan tatalaksana pasien pneumonia pada umumnya berupa pemberian obat-
obatan antibiotik yaitu ceftriaxone dan gentamisin untuk mengatasi pneumonia pada pasien.
Selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan penunjang lain berupa rontgen thoraks AP dan
didapatkan hasil bahwa adanya ground glass opacity pada kedua lapangan paru terutama
lapangan atas dan tengah kedua paru yang terkesan berupa pneumonia berat yang mengarah
pada infeksi COVID 19, sehingga diberikan usul pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan
swab PCR. Proses pemeriksaan swab PCR pada pasien dilakukan pada hari ke 6 sejak awal
gejala muncul atau hari ke 4 sejak kondisi pasien memberat, namun hasil pemeriksaan
memerlukan waktu cukup lama sehingga sementara menunggu hasil pemeriksaan PCR
pasien masih tetap diberikan tatalaksana sesuai dengan tatalaksana pneumonia berupa
pemberian terapi simptomatik dan antibiotik empiris. Terapi antibiotik pada kasus
pneumonia yang digunakan adalah golongan obat betalaktam dan aminoglikosida. Akan
tetapi, pada pasien bayi kecil resiko sepsis dan meningitis lebih tinggi sehingga antibiotik
yang diberikan lebih agresif dengan pemberian obat antibiotik spectrum luas berupa
kombinasi golongan sefalosporin dan aminoglikosida. Pada pasien ini terapi antibiotik yang
diberikan yaitu dengan kombinasi ceftriaxone dan gentamisin dengan dosis sesuai dengan
berat badan pasien. Selain itu, pemberian antibiotik berupa azitromisin juga diberikan pada
pasien, karena penyebab pneumonia atipikal pada pasien juga mungkin terjadi.
Hasil swab PCR pasien keluar sekitar 5 hari sejak pasien MRS atau sekitar 10 hari dari
awal munculnya gejala dan hasil menunjukkan reaktif. Pemeriksaan tersebut menegakkan
diagnosis pneumonia pada pasien disebabkan oleh COVID 19. Akan tetapi setelah hasil
pemeriksaan keluar, orang tua pasien menolak untuk anaknya dilakukan perawatan lanjutan
di ruang isolasi dan memutuskan pulang paksa. Terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan
swab antigen dan swab PCR pada pasien hal ini menandakan, kemungkinan saat dilakukan
pemeriksaan swab antigen kondisi pasien sedang berada pada kondisi window period
sehingga belum terdeteksi dengan pemeriksaan swab antigen.
Faktor risiko terjadinya pneumonia antara lain adalah seringnya anak mendapatkan
paparan polusi dari dalam rumah, seperti pada ayah dan kakeknya yang merupakan perokok
aktif. Paparan asap rokok yang didapatkan oleh pasien dari lingkungan rumah menyebabkan
kondisi pasien rentan mengalami gangguan saluran nafas hingga pneumonia.
Tatalaksana pneumonia lainnya yang dilakukan adalah pemberian oksigen sesuai kondisi.
Monitor SpO2 sangat penting karena dapat mengindikasikan ancaman gagal napas. Pada
pasien diberikan mulai dari 1 lpm yang dilihat dan dicocokkan dari klinisnya. Pemberian
cairan intravena bertujuan untuk pemberian nutrisi dan jalur pemberian obat. Pemberian
cairan juga penting dilakukan untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan memenuhi kebutuhan
cairan yang meningkat pada pasien dengan kondisi infeksi. Pada pasien cairan yang
diberikan berdasarkan perhitungan kebutuhan cairan pasien dengan rumus holiday segar
maka kebutuhan cairan pasien yaitu sebesar 740 cc/hari yang diberikan dengan jalur
intravena dari infus sebanyak 240 cc (10 tpm mikro) dan asupan dari ASI dan susu formula
sebesar 500cc.
Setelah proses perawatan selama 7 hari di rumah sakit kondisi pasien sudah semakin
membaik namun belum pulih secara total sehingga seharusnya perawatan pasien bisa
dilanjutkan dengan memberikan treatment untuk penatalaksanaan COVID 19 pada pasien
dengan pemberian antivirus. Akan tetapi perawatan pada pasien tidak bisa dilanjutkan karena
orang tua pasien memutuskan pulang paksa karena menolak untuk menerima perawatan di
ruang isolasi COVID 19.
BAB 5

KESIMPULAN

Pneumonia merupakan infeksi pada paru-paru yang menjadi penyebab kematian pada
anak terbanyak di dunia. Pneumonia bisa disebabkan oleh beberapa mikroorganisme seperti
bakteri, virus dan jamur. Pada pasien ini setelah dilakukan pemeriksaan disimpulkan bahwa
pasien mengalami pneumonia yang disebabkan oleh infeksi corona virus sehingga diagnosis
akhir pasien menjadi COVID 19 terkofirmasi dengan gejala berat dan pneumonia berat.
Prognosis pasien pneumonia dengan COVID 19 masih terus diteliti, akan tetapi beberapa kasus
hingga saat ini kematian pada anak dengan COVID 19 relatif lebih jarang dibandingkan
kematian pada orang dewasa dengan pneumonia dan COVID 19. Namun, kondisi pneumonia
pada anak dengan COVID 19 tetap memerlukan penatalaksanaan yang komprehensip.

Penatalaksanaan pada pasien sudah dilakukan secara komprehensip, yang dapat dilihat
dari progresifitas kondisi pasien yang kian membaik setelah beberapa hari perawatan. Akan
tetapi kondisi pasien belum sembuh sepenuhnya sehingga perlu mendapatkan terapi lebih lanjut
dalam hal ini terapi antiviral. Akan tetapi pada pasien tidak dilakukan karena setelah hasil
pemeriksaan gold standar untuk menegakkan COVID 19 berupa swab PCR dilakukan orang tua
pasien memutuskan untuk pulang paksa dan melanjutkan sendiri perawatan di rumah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Data dan Informasi Kesehatan Profil
Kesehatan Indonesia. 2016.
2. Anantyo, DT., Kusumaningrum, AA., Rini, AE., Radityo, AN., Rahardjani, KB., dan
Saroso, G. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) pada Anak (Studi Literatur). Med Hosp
2020; vol 7 (1A) : 344–360. 2020.
3. IDAI. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010.
4. Dong Y, Mo X, Hu Y, Qi X, Jiang F, Jiang Z, et al. Epidemiological Characteristics of 2143
Pediatric Patients With 2019 Coronavirus Disease in China. Pediatrics. 2020.
5. UNICEF analysis based on WHO and Maternal and Child Epidemiology Estimation Group
interim estimates produced in September 2019, applying cause of deaths for the year 2017 to
United Nations Inter-agency Group for Child Mortality Estimation estimates for the year
2018.
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. 2018.
7. Cilloniz, C., et al. "Microbial Etiology of Pneumonia: Epidemiology, Diagnosis and
Resistance Patterns." International Journal of Molecular Sciences 17(12), 2016.
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia, ed.
Antonius HP, Hegar B, Handryastuti S., Idris NS, Ellen PG, Harmoniati, pp. 250-255.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2009.
9. Robert M, et al. Nelson Textbook of Pediatrics ed 18. London: Elsevier Health Sciences,
2007
10. G, G.-E. and D. R.-P. G ,"Basic Concepts on Community-Acquired Bacterial Pneumonia in
Pediatrics." Pediatric Infectious Diseases: Open Access 01(01), 2016.
11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. 2012.
Available at: https://puskespemda.net/download/modul-tatalaksana-standar-pneumonia/.
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit.
2015. Available at: https://puskespemda.net/download/mtbs-2015-manajemen-terpadu-balita-
sakit/.
13. IDAI. Pedoman Pelayanan Medis IDAI Jilid 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010.
14. World Health Organization (WHO), “Revised WHO Classification and Treatment of
Childhood Pneumonia at Health Facilities”, WHO Library Cataloguing-in-Publication Data,
2014.
15. WHO. (online: www.who.int) https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa/qa-
for-public (diakses 8 Juli 2021)
16. Susilo A, Rumende CM, Pitoyo CW, Santoso WD, Yulianti M, Herikurniawan, Sinto R, dkk.
Coronavirus Disease 2019 : Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia.
2020;7(1), p. 45–67.
17. Handayani D, Hadi DR, Isbaniah F, Burhan E, Agustin H. Penyakit Virus Corona 2019.
Jurnal Respirologi Indonesia. 2020; 40(2), p. 119-129
18. Kemenkes RI. Online: https://infeksiemerging.kemkes.go.id/dashboard/covid-19 (diakses 1
September 2021)
19. Yuki, K., Fujiogi, M. and Koutsogiannaki, S. COVID-19 pathophysiology: A review.
Clinical Immunology, 215, p.108427. 2020.
20. Dong Y, Mo X, Hu Y, Qi X, Jiang F, Jiang Z, et al. Epidemiological characteristics of
2143 pediatric patients with 2019 coronavirus disease in China. Pediatrics, 2020.
21. IDAI. 2020. Panduan Klinis Tata Laksana COVID-19 Pada Anak edisi 3.
22. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia  (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis  Kardiovaskula
Indonesia  (PERKI),  Perhimpunan  Dokter  Spesialis  Penyakit  Dalam  Indonesia  (PAPDI),
Perhimpunan  Dokter  Anestesiologi  dan  Terapi  Intensif  Indonesia  (PERDATIN),  Ikatan 
Dokter Anak Indonesia (IDAI. Revisi Protokol Tatalaksana COVID 19. Juli 2021.

Anda mungkin juga menyukai