Anda di halaman 1dari 39

Reading Assignment Telah Dibacakan

Divisi Pulmonologi
Dep. Ilmu Penyakit Dalam FK USU

RSUP HAM / RSUD Pirngadi Medan

PNEUMOTORAKS

Heri Gunawan, Alwinsyah Abidin, E.N Keliat


Divisi Pulmonologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU
RSUP H. Adam Malik Medan/RSUD Pirngadi Medan

1. Pendahuluan

Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara bebas di dalam rongga pleura.
Menurut etiologinya pneumotoraks dapat terjadi spontan, karena trauma, dan akibat tindakan
medis. Sebagian besar kasus pneumotoraks terjadi secara spontan. Pneumotoraks spontan dapat
digolongkan menjadi pneumotoraks primer atau sekunder. Pada pneumotoraks spontan primer
(PSP), pneumotoraks terjadi secara spontan, tanpa adanya penyakit yang mendasarinya.
Pada pneumotoraks spontan sekunder (PSS), pneumotoraks yang terjadi disebabkan
oleh penyakit yang mendasarinya, seperti penyakit paru obstruktif kronik, fibrosis kistik,
tuberkulosis atau penyakit paru-paru interstitial. Dalam kasus yang jarang terjadi,
pneumotoraks spontan terjadi dalam hubungannya dengan menstruasi dan disebut
pneumothorax katamenial. Traumatic pneumothorax tidak terjadi secara spontan, tetapi dapat
disebabkan oleh iatrogenik atau karena trauma.
Pneumotoraks mengurangi kapasitas vital paru dan juga menurunkan tekanan oksigen,
yang terjadi karena kebocoran antara alveolus dan rongga pleura sehingga udara akan
berpindah dari alveolus ke rongga pleura hingga tekanan di kedua sisi sama. Akibatnya, volume
paru bekurang dan volume rongga toraks bertambah. Gejala pada pneumotoraks tergantung
pada jenis dan luasnya bidang paru yang terkena. Pemahaman mengenai pneumotoraks sangat
penting untuk mencapai hasil penatalaksanaan yang maksimal.

1
2. Epidemiologi
Insidens pneumotoraks tidak diketahui pasti karena episodenya banyak yang tidak
diketahui, pria lebih banyak daripada wanita dengan perbandingan 5:1. Pneumotoraks spontan
primer (PSP) sering juga dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat penyakit paru
sebelumnya. Pneumotoraks spontan primer sering dijumpai pada pria yang berumur antara
dekade 3 dan 4. Salah satu penelitian menyebutkan sekitar 81% kasus PSP berusia kurang dari
45 tahun. Seaton dkk melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami kompikasi
pneumotoraks sekitar 1,4%, dan jika terdapat kavitas paru, komplikasi pneumotoraks
meningkat lebih dari 90%.
Di Olmested Country, Minnesota, Amerika Serikat, Melton et al melakukan penelitian
selama 25 tahun (1950-1974) pada pasien yang terdiagnosis sebagai pneumotoraks atau
pneumomediastinum, didapatkan 75 pasien disebabkan oleh trauma, 102 pasien karena
iatrogenik dan sisanya 141 pasien karena pneumotoraks spontan. Dari 141 pasien
pneumotoraks spontan tersebut, 77 pasien merupakan PSP dan 64 pasien pneumotoraks
spontan sekunder (PSS). Pada pasien-pasien pneumotoraks spontan didapati angka insidensi
sebagai berikut: PSP terjadi pada 7,4 – 8,6/100.000 per tahun untuk pria dan 1,2/100.000 per
tahun untuk wanita; sedangkan insidensi PSS 6,3/100.000 per tahun untuk pria dan 2,0/100.000
per tahun untuk wanita.1

3. Klasifikasi Pneumotoraks
Dari sudut pandang klinis dan penyebabnya, pneumotoraks diklasifikasikan sebagai
berikut:

Pneumotoraks Spontan Primer


Pneumotoraks spontan adalah setiap pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa adanya
suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenik). Pneumotoraks spontan dapat diklasifikasikan
sebagai primer atau sekunder. Pneumothorax spontan primer (PSP) adalah pneumotoraks yang
terjadi tanpa dilatarbelakangi penyakit paru-paru, terutama terjadi pada usia muda, laki-laki,
perokok dan berperawakan kurus. Hal ini biasanya disebabkan oleh pecahnya blebs pleura atau
bula. Kejadiannya tidak berhubungan dengan aktivitas fisik yang berat, tetapi justru terjadi
pada saat istirahat. Nyeri dada dan kadang-kadang sesak nafas ringan adalah gejala yang
dominan.

2
Pneumotoraks Spontan Sekunder
Pneumotoraks spontan sekunder (PSS) biasanya terjadi pada orang tua dengan didapati
penyakit paru yang mendasarinya, seperti emfisema atau asma, infeksi akut atau kronis, kanker
paru-paru, dan penyakit bawaan termasuk cystic fibrosis, pneumotoraks katamenial, atau
lymphangioleiomyomatosis (LAM). Gejala yang terjadi cenderung lebih berat karena paru-paru
yang sehat tidak mampu menggantikan hilangnya fungsi dari paru-paru yang terkena. Hipoksia
biasanya hadir dan dapat diamati sebagai sianosis ( warna kebiruan pada bibir dan kulit).
Hypercapnia juga kadang-kadang terjadi dan dapat menyebabkan kebingungan dan koma.

Pneumotoraks Traumatik
Pneumotoraks traumatik adalah pneumotoraks yang terjadi akibat suatu trauma, baik
trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun
paru. Pneumotoraks traumatik diperkirakan 40% dari semua kasus pneumotoraks.
Pneumotoraks traumatik tidak harus disertai dengan fraktur iga maupun luka penetrasi yang
terbuka.
Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat menimbulkan
pneumotoraks. Beberapa penyebab trauma penetrasi pada dinding dada adalah luka tusuk, luka
tembak, akibat tusukan jarum maupun pada saat dilakukan kanulasi vena sentral.

Gambar 1. Pneumotoraks Traumatik

3
Gambar di atas menunjukkan lokasi-lokasi dimana saja sumber penyebab pneumotoraks
traumatik:

1. Trauma jaringan lunak pada region subklavia (emfisema subkutis)


2. Trauma pada trakea (emfisema mediastinum, emfisema subkutis)
3. Trauma pada bronkus (emfisema mediastinum, emfisema interstisialis)
4. Ruptur alveoli (emfisema interstisial)
5. Robekan pada pleura visceralis (pneumotoraks)
6. Ruptur dari bulla maupun bleb (pbeumotoraks spontan)
7. Trauma dinding dada dan pleura parietalis (pneumotoraks, emfisema subkutis)
8. Ruptur esofagus (emfisema mediastinum, emfisema subkutis)
9. Robeknya diafragma (emfisema mediastinum, pneumotoraks)

Tension Pneumothorax (Pneumotoraks Ventil).


Tension pneumothorax terjadi karena mekanisme check valve yaitu pada saat inspirasi
udara masuk ke dalam rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi, udara dari rongga pleura tidak
dapat keluar. Semakin lama, tekanan udara di dalam rongga pleura akan meningkat dan
melebihi tekanan atmosfir. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru,
sehingga sering menimbulkan gagal nafas.

Gambar 2. Ilustrasi Tension Pneumothorax

4
4. Patogenesis

Pleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesotelial, ditunjang oleh jaringan
ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening. Rongga pleura dibatasi oleh 2 lapisan
tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura parietalis dan pleura viseralis. Pleura parietalis melapisi
otot-otot dinding dada, tulang dan kartilago, diafragma dan mediastinum, sangat sensitif
terhadap nyeri. Pleura viseralis melapisi paru dan menyusup ke dalam semua fisura dan tidak
sensitif terhadap nyeri. Rongga pleura individu sehat berisi cairan (10-20 ml) dan berfungsi
sebagai pelumas diantara kedua lapisan pleura.

Pneumotoraks Spontan Primer (PSP)


Patogenesis yang pasti dari terjadinya hubungan yang spontan antara ruang alveolar
dan pleura tetap tidak diketahui. Kebanyakan para ahli percaya bahwa pecahnya bleb atau bula
subpleural yang selalu menjadi penyebabnya PSP, tetapi penjelasan alternatif juga tersedia.
Walaupun pasien dengan pneumotoraks spontan primer tidak memiliki klinis penyakit
paru-paru yang jelas, tetapi bula subpleural ditemukan di 76-100% dari pasien selama prosedur
VATS dan di hampir semua pasien selama torakotomi. Bula subpleural di paru-paru
kontralateral ditemukan di 79-96% pasien dengan pneumotoraks yang menjalani prosedur
sternotomi. Computed tomography dada menunjukkan bula ipsilateral pada 89% pasien dengan
pneumotoraks spontan primer. Bahkan di antara perokok dengan riwayat pneumotoraks, 81%
memiliki bula.
Mekanisme pembentukan bula masih bersifat spekulatif. Sebuah penjelasan yang
masuk akal adalah bahwa terjadi degradasi serat elastis di paru-paru, yang disebabkan oleh
masuknya neutrofil dan makrofag yang dipicu oleh merokok. Degradasi ini menyebabkan
ketidakseimbangan dalam sistem protease-antiprotease dan oksidan-antioksidan.

Setelah bula terbentuk, obstruksi yang disebabkan oleh peradangan dari saluran udara
kecil meningkatkan tekanan alveolar, yang mengakibatkan kebocoran udara ke dalam
interstitium paru-paru.Udara kemudian pindah ke hilus, menyebabkan pneumomediastinum;
tekanan mediastinum naik, terjadi pecahnya pleura parietal di mediastinum, sehingga
menyebabkan pneumothorax.

5
Gambar 3. Bleb pada pneumotoraks spontan primer

Pneumotoraks spontan primer yang luas menyebabkan penurunan dalam kapasitas vital
paru dan meningkatkan gradien oksigen alveolar-arteri oksigen, menyebabkan hipoksemia.
Hipoksemia terjadi sebagai akibat dari rasio ventilasi-perfusi yang rendah dan shunting, dengan
tingkat keparahan shunt tergantung pada ukuran pneumotoraks. Karena dari awalnya fungsi
paru-paru normal, maka hiperkapnia tidak terjadi pada pasien dengan pneumotoraks spontan
primer.
Meskipun mayoritas pasien PSP, termasuk anak-anak, blebs atau bula dijumpai, tidak
jelas seberapa sering bahwa lesi ini merupakan tempat dimana terjadi kebocoran udara.
Sebenarnya, hanya sebagian kecil dari blebs pecah pada saat thoracoscopy atau operasi,
sedangkan sering lesi lain yang hadir (''porositas pleura'': area rusaknya sel mesothelial pada
pleura visceral, yang digantikan oleh lapisan inflamasi elastofibrotic dengan peningkatan
porositas, memungkinkan kebocoran udara ke dalam rongga pleura). Fenomena terakhir ini
mungkin bisa menjelaskan tingkat kekambuhan tinggi dari pneumotoraks hingga 20%,
meskipun telah dilakukan bullectomy saja (tanpa pleurodesis terkait) sebagai terapi.
Perkembangan blebs, bula dan daerah porositas pleura mungkin berhubungan dengan
berbagai faktor, termasuk peradangan saluran nafas distal, kecenderungan bawaan, kelainan
anatomi dari pohon bronkial, indeks massa tubuh rendah dan pembatasan kalori, dan jaringan
ikat yang tidak normal. Peran peningkatan konsentrasi aluminium plasma dalam patogenesis
PSP masih belum jelas hingga sekarang.
Lesi ini mungkin merupakan predisposisi PSP bila dikombinasikan dengan faktor
pemicu yang sebagian besar tidak diketahui; dimana blebs dan bula memang juga terjadi pada
sampai dengan 15% dari subyek normal. Teknik-teknik baru seperti fluorescein-enhanced
autofluorescence thoracoscopy atau thoracoscopy inframerah mungkin bisa menjelaskan lebih

6
lanjut tentang masalah ini, dan mungkin membantu mendeteksi bagian mana dari paru yang
beresiko menjadi tempat munculnya “kebocoran” selama thoracoscopy atau operasi.

Pneumotoraks Spontan Sekunder (PSS)


PSS terjadi karena pecahnya bleb visceralis atau bulla subpleura dan sering
berhubungan dengan penyakit paru yang mendasarinya. Patogenesis PSS multifaktorial,
umumnya terjadi akibat komplikasi penyakit PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), asma,
fibrosis kistik, tuberkulosis paru, penyakit-penyakit paru infiltratif lainnya (misalnya
pneumonia supuratif dan termasuk pneumonia P.carinii). Ketika tekanan alveolar melebihi
tekanan dalam interstitium paru-paru, seperti yang terjadi pada pasien dengan PPOK dan
peradangan saluran nafas setelah batuk, udara dari alveolus yang pecah bergerak ke dalam
interstitium dan mundur sepanjang bundel bronchovascular ke hilus ipsilateral paru-paru,
sehingga menyebabkan pneumomediastinum; jika ruptur terjadi di hilus dan udara bergerak
melalui pleura parietal mediastinum ke dalam rongga pleura, maka akan menyebabkan
pneumotoraks.
Mekanisme alternatif untuk pneumotoraks spontan sekunder mungkin melibatkan
udara dari alveolus yang pecah yang bergerak langsung ke rongga pleura akibat nekrosis paru-
paru, seperti yang terjadi dengan P. carinii pneumonia. PSS umumnya lebih serius keadaannya
dibandingkan PSP, karena pada PSS terdapat penyakit paru yang mendasarinya. Pneumotoraks
katamenial (endometriosis pada pleura) adalah bentuk lain dari PSS yang timbulnya
berhubungan dengan menstruasi pada wanita dan sering berulang. Artritis rheumatoid juga
dapat menyebabkan pneumotoraks spontan karena terbentuknya nodul rheumatoid pada paru.
Berikut ini merupakan penyakit-penyakit yang sering menjadi pemicu timbulnya PSS.

Gambar 4. Penyebab PSS

7
5. Manifestasi Klinis
Sangat mungkin untuk mendiagnosis pneumotoraks, atau memasukkannya dalam
daftar kemungkinan diagnosis, atas dasar riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik
yang konsisten. Pasien biasanya melaporkan nyeri pleuritik dan sesak napas yang muncul
secara tiba-tiba. Temuan dari pemeriksaan dapat bervariasi sesuai dengan ukuran
pneumotoraks. Tanda-tanda khas termasuk suara nafas melemah, penurunan ekspansi dada
ipsilateral dan nada perkusi yang hipersonor. Pergeseran trakea menjauhi sisi yang terkena,
takikardia, takipnea dan hipotensi terjadi pada tension pneumotoraks.
Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah:
 Sesak nafas, yang didapati pada 80-100% pasien
 Nyeri dada, yang didapati pada 75-90% pasien
 Batuk-batuk, yang didapati pada 25-35% pasien
 Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada sekitar 5-10% pasien, dan
biasanya pada PSP.
Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi, dan menurut Mills dan Luce,
derajat gangguannya bisa mulai dari asimtomatik atau menimbulkan gangguan ringan sampai
berat.

6. Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik
Presentasi dari pasien dengan pneumotoraks dapat berkisar dari tanpa gejala sama
sekali hingga gangguan pernapasan yang mengancam jiwa. Gejala yang timbul bisa berupa
berkeringat banyak, membebat dinding dada untuk meredakan nyeri pleuritik, dan sianosis
(pada kasus tension pneumotoraks). Temuan pada auskultasi paru juga bervariasi tergantung
pada luas pneumotoraks. Pasien yang terkena juga dapat menunjukkan perubahan status
mental, termasuk penurunan kewaspadaan dan/atau kesadaran (jarang).
Temuan pernapasan bisa berupa berikut ini:
 Distres pernapasan atau henti napas
 Takipnea (atau bradypnea sebagai peristiwa preterminal)
 Ekspansi paru Asymmetric: Pergeseran mediastinal dan trakea ke sisi
kontralateral dapat terjadi pada tension pneumothoraks berat
 Suara pernapasan jauh atau menghilang

8
 Hiperresonansi pada perkusi paru: jarang ditemukan dan mungkin absen bahkan
pada pneumotoraks yang berat
 Penurunan fremitus taktil
 Suara paru tambahan: ronki, mengi di daerah ipsilateral

Temuan kardiovaskular mungkin termasuk yang berikut:


 Takikardia: Ini adalah temuan yang paling umum. Jika denyut jantung lebih
cepat dari 135 denyut per menit (bpm), kemungkinan tension pneumothorax.
 Pulsus paradoksus
 Hipotensi: merupakan temuan tidak selalu ada; meskipun hipotensi biasanya
dianggap sebagai tanda utama dari tension pneumothorax, studi menunjukkan
bahwa hipotensi dapat tidak muncul sampai kolaps kardiovaskular akan terjadi.
 Distensi vena jugularis: ini umumnya terlihat pada tension pneumotoraks,
meskipun mungkin tidak muncul jika disertai hipotensi.
 Perpindahan apikal jantung: jarang ditemui.

Pneumotoraks spontan dan iatrogenik


Tanda-tanda pneumotoraks spontan dan iatrogenik serupa dan tergantung pada
penyakit paru-paru yang mendasari dan beratnya pneumotoraks. Takikardia paling sering
dijumpai, takipnea dan hipoksia juga sering dijumpai.

Tension pneumotoraks
Meskipun tension pneumotoraks mungkin sulit didiagnosis sulit dan mungkin hadir
dengan variabilitas tanda-tanda yang cukup besar, gangguan pernapasan dan nyeri dada
umumnya gejala yang paling sering hadir, dan takikardia dan udara masuk ipsilateral pada
auskultasi juga temuan yang umum.
Temuan dapat dipengaruhi oleh status volume pasien. Pada pasien trauma dan
mengalami hipovolemia akibat perdarahan yang sedang berlangsung, temuan fisik mungkin
tidak muncul karena adanya shock dan kolaps kardiopulmonar. Peningkatan tekanan arteri
pulmonalis dan penurunan curah jantung atau indeks jantung adalah bukti tension
pneumotoraks pada pasien dengan Swan-Ganz kateter.

Ketika memeriksa pasien dengan sangkaan tension pneumothorax, petunjuk apapun


dapat membantu, perbedaan ukuran dada yang halus dan perbedaan mobilitas dada dapat

9
diketahui dengan melakukan inspeksi visual yang teliti sepanjang garis toraks. Pada pasien
terlentang, pemeriksa harus menurunkan diri mereka pada tingkat dengan pasien.

Deviasi trakea merupakan temuan yang tidak konsisten. Meskipun deviasi trakea telah
ditetapkan sebagai temuan penting dari tension pneumotoraks, namun deviasi trakea
merupakan temuan relatif lambat disebabkan oleh pergeseran garis tengah.

Distensi abdomen dapat terjadi dari peningkatan tekanan di dalam rongga dada
sehingga menyebabkan pergeseran ke arah kauda dari diafragma, dan dari pneumoperitoneum
sekunder yang disebabkan oleh udara masuk ke seluruh diafragma melalui pori-pori Kohn.

Pneumomediastinum
Seperti pneumotoraks, temuan fisik pneumomediastinum mungkin bervariasi, termasuk
tidak ada tanda-tanda pada beberapa pasien. Namun, emfisema subkutan adalah tanda yang
paling konsisten. Tanda lain, tanda Hamman, suara berderak di prekordial yang sinkron dengan
detak jantung dan sering ditemukan selama ekspirasi, kira-kira ditemukan sebanyak 10% dari
kasus.

b. Pemeriksaan Penunjang
Riwayat terdahulu dan pemeriksaan fisik tetap menjadi kunci untuk membuat
diagnosis. Ketika pneumotoraks dicurigai, konfirmasi melalui radiografi dada memberi
informasi tambahan di luar konfirmasi, seperti luasnya pneumotoraks, penyebab potensial,
dasar untuk tindakan berikutnya, dan panduan untuk rencana terapeutik.
Dalam evaluasi pasien trauma, jalan napas dan pernapasan adalah perhatian utama.
Radiografi dada selalu disertakan dalam evaluasi radiografi awal korban trauma besar, karena
luka dada yang signifikan dapat ditutupi oleh kurangnya temuan fisik atau cedera terkait.
Trauma menyebabkan sekitar 10-50% dari resiko pneumotoraks yang terkait. Computed
tomography (CT) scanning dada juga harus selalu dilakukan untuk cedera dada signifikan,
karena radiografi polos mungkin melewatkan trauma toraks terkait. Khusus untuk
pneumotoraks, pneumotoraks yang hanya terlihat pada CT scan disebut sebagai okult
(tersembunyi).
Tension pneumotoraks adalah diagnosis klinis yang sekarang lebih mudah dikenali
karena peningkatan dalam layanan darurat medis (EMS) dan aplikasi luas dari program
pendidikan seperti Advanced Trauma Life Support (ATLS) dan Fundamental Critical Care
Support (FCCS).

10
Meskipun laboratorium dan pencitraan membantu menentukan diagnosis, seperti yang
dibahas sebelumnya, tension pneumotoraks adalah diagnosis klinis berdasarkan presentasi
pasien. Kecurigaan tension pneumotoraks, terutama di tahap akhir, mengharuskan pengobatan
segera dan tidak memerlukan studi diagnostik yang berkepanjangan.

b.1. Analisa Gas Darah


Pemeriksaan gas darah arteri mengukur derajat acidemia, hiperkarbia, dan hipoksemia,
yang terjadinya bergantung pada sejauh mana gangguan kardiopulmoner pada saat
pengambilan darah.
Pada pasien pneumotoraks yang didasari dengan penyakit paru-paru yang parah dan
pada pasien dengan gangguan pernapasan persisten meskipun telah diberikan pengobatan,
hipoksemia tidak hanya terjadi dengan peningkatan gradien tekanan oksigen alveolar-arterial,
tetapi juga cenderung lebih parah pada pasien dengan pneumotoraks spontan sekunder.
Analisa gas darah tidak menggantikan posisi pemeriksaan fisik dan tidak menyebabkan
penundaan penatalaksanaan untuk menunggu hasil jika gejala pneumotoraks dicurigai. Namun,
analisis analisa gas darah mungkin berguna dalam mengevaluasi hipoksia, hiperkarbia dan
asidosis respiratorik.

b.2. Radiografi Dada


Saat mengevaluasi rontgen dada untuk pneumotoraks, harus menggunakan pendekatan
sistematis. Selalu menilai rotasi, yang dapat mengaburkan pneumotoraks dan meniru
pergeseran mediastinum. Bandingkan kesimetrisan dan bentuk klavikula, dan lihat panjang
relatif dari tulang rusuk di bidang paru tengah di setiap sisi pada tampilan anteroposterior (AP)
atau posteroanterior (PA). Pada gambar dengan rotasi, tulang rusuk pada setiap sisi sering
memiliki panjang yang tidak sama.
Pada pneumotoraks yang tidak terlokulasi, udara umumnya naik ke bagian non-
dependent dari rongga pleura. Oleh karena itu, amati dengan seksama apeks dari foto rontgen
dada dengan posisi tegak, dan sudut kostofrenikus dan cardiophrenic pada rontgen dada dengan
posisi terlentang. Temuan pneumotoraks pada radiografi dada bisa berupa seperti berikut ini:

 Sebuah bayangan linear pleura visceral dan tidak dijumpainya gambaran parenkim
paru-paru perifer terhadap bayangan pleura visceral, menunjukkan paru-paru yang
mengempis.

11
 Dijumpai gambaran tepi paru ipsilateral sejajar dengan dinding dada.

 Pada pasien terlentang, tanda sulkus dalam (sudut kostofrenikus yang gelap dan dalam)
dengan radiolusensi sepanjang sulkus kostofrenikus dapat membantu untuk
mengidentifikasi pneumotoraks okult.

12
 Efusi pleura sering muncul dan membesar ukurannya jika paru-paru tidak mengembang
lagi.

13
 Pergeseran mediastinum ke arah paru-paru kontralateral juga dapat terlihat.

Walaupun rontgen dada saat ekspirasi diyakini lebih baik untuk menunjukkan
pneumotoraks (volume pneumotoraks adalah konstan dan karenanya proporsional lebih tinggi
pada gambar ekspirasi), namun pada uji coba terkontrol secara acak menunjukkan tidak ada
perbedaan secara signifikan dalam kemampuan para ahli radiologi untuk mendeteksi
pneumotoraks pada gambar rontgen dada inspirasi dan ekspirasi.

Tension Pneumothorax
Pemeriksaan imaging jangan sampai menyebabkan tertundanya penegakan diagnosis
dan penanganan tension pneumothorax, karena kondisi ini adalah keadaan darurat medis. Saat
mempertimbangkan pemeriksaan radiologi, disarankan untuk memanfaatkan analisis risiko
dan manfaat, dimana waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh radiograf seimbang terhadap
perjalanan klinis yang diharapkan, dengan tindakan dekompresi sebelum radiografi dada pada
pasien ventilasi yang rentan terhadap dekompensasi cepat. Dalam beberapa skenario, mungkin
lebih baik untuk mengkonfirmasi dan melokalisasi secara radiologis tension pneumotoraks
sebelum menyebabkan morbiditas pada pasien yang mungkin timbul akibat dari dekompresi.
Subset pasien ini adalah mereka yang terjaga, stabil, dan tidak dalam distress apapun dan
radiologi dada langsung dapat diperoleh, dengan dokter terus menyertai dan siap untuk
melakukan dekompresi mendadak.
Dalam kasus yang jarang terjadi bahwa rontgen dada dilakukan dengan aman, temuan
dapat mencakup kolaps paru ipsilateral pada hilus, peningkatan volume toraks, deviasi

14
mediastinum dan trakea ke sisi kontralateral, ruang interkostal pada sisi yang terkena melebar,
dan perataan batas jantung ipsilateral. Pada tension pneumothorax kiri, hemidiafragma kiri
mungkin tertekan, tapi hati mencegah kejadian ini di sisi kanan.

Meskipun radiografi toraks awal mungkin tidak menunjukkan bukti pneumotoraks, kita
harus mempertimbangkan kemungkinan delayed traumatic pneumothorax berkembang pada
luka dada tembus. Pasien stabil tanpa pneumotoraks pada film-film awal dapat diamati dengan
seri radiografi dada pada 3 jam setelah cedera untuk menyingkirkan delayed traumatic
pneumothorax.

Pneumomediastinum
Emfisema mediastinum muncul sebagai garis tipis radiolusen yang mengelilingi siluet
jantung, serta garis-garis tipis, vertikal, dan lucent di dalam mediastinum. Aorta dan struktur
mediastinum posterior lainnya yang disorot, dan lucency terdefinisi di sekitar arteri pulmonalis
kanan (tanda cincin di sekitar arteri) dapat dilihat.

15
Udara pada retrosternal paling mudah terdeteksi pada foto toraks lateral. Sebuah
rontgen dada AP mungkin tidak menggambarkan temuan dalam 50% kasus. Radiograf saat
ekspirasi dapat membantu mendeteksi pneumotoraks apikal kecil. Tidak seperti udara dalam
pneumotoraks atau pneumoperikardium, udara tetap tetap dalam pneumomediastinum dan
tidak naik ke titik tertinggi.

Memperkirakan Ukuran Pneumotoraks


Dalam mengevaluasi rontgen dada, kesan pertama dari ukuran pneumotoraks dapat
menyesatkan. Metode berikut dapat digunakan untuk memperkirakan ukuran pneumotoraks:
 Volume paru dan hemitoraks dihitung sebagai diameter kubus. Jumlah (isi) paru yang
kolaps ditentukan dengan rata-rata diameter kubus paru dan toraks sebagai nilai
perbandingan (rasio). Misalnya: diameter kubus rata-rata hemitoraks 10 cm dan
diameter kubus rata-rata paru yang kolaps 8 cm, maka rasio diameter kubus adalah
83/103 = 512/1000, sehingga diperkirakan ukuran pneumotoraksnya 50%.
 Cara lain untuk menentukan luas atau persentase pneumotoraks adalah dengan
menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal ditambah dengan
jarak terjauh celah pleura pada garis horizontal ditambah dengan jarak terdekat celah
pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi 3 dan dikali 10.

16
Kekurangan dari radiografi dada
Radiografi dada mungkin gagal untuk mengungkapkan pneumotoraks atau ahli radiologi
atau dokter mungkin gagal menafsirkan untuk mengenali kehadiran pneumotoraks. Kelemahan
lain adalah sebagai berikut:
 Pada pasien dengan penyakit paru yang mendasarinya, garis pleura visceral mungkin
lebih sulit untuk dideteksi, karena paru-paru adalah hyperlucent, dan sedikit perbedaan
ada dalam kepadatan radiografi antara pneumotoraks dan paru-paru emphysematous.
 Sebuah garis vertikal kulit bisa salah diartikan sebagai pneumotoraks, yang mengarah
ke terapi yang tidak perlu dan mungkin berbahaya.
 Bula besar dapat menyerupai pneumotoraks pada radiografi dada, sehingga computed
tomography (CT) scanning mungkin diperlukan untuk memperjelas diagnosis.
 Kadang-kadang, lipatan kulit, tulang belikat, dan seprai dapat meniru garis pleura,
sehingga bisa menunjukkan gambaran seperti pneumotoraks pada rontgen dada.
 Beberapa studi terbaru telah menunjukkan bedside ultrasonografi lebih akurat daripada
radiografi dada posisi terlentang dalam mendeteksi dan mengukur keberadaan
pneumotoraks, termasuk pneumotoraks traumatik.

17
b.3. Contrast-Enhanced Esophagography
Jika pneumotoraks diawali dengan emesis atau muntah-muntah, pemeriksaan
esophagography harus diperoleh untuk mengevaluasi sindrom Boerhaave yang memiliki
tingkat kematian tinggi. Ini adalah modalitas pilihan pada semua kasus yang dicurigai perforasi
esofagus (yaitu, pasien post-endoscopy). Esophagoscopy lanjut bisa dilakukan untuk perforasi
esofagus.

b.4. CT Scanning
Computed tomography (CT) scanning merupakan pencitraan yang paling dapat
diandalkan untuk diagnosis pneumotoraks, tetapi tidak direkomendasikan untuk penggunaan
rutin. Modalitas pencitraan ini dapat membantu untuk mencapai hal-hal berikut:
 Membedakan antara bula besar dan pneumotoraks
 Menunjukkan perubahan emfisema atau emphysema-like yang melatarbelakanginya
(ELCs)
 Tentukan ukuran yang tepat dari pneumotoraks, terutama jika ukurannya kecil
 Konfirmasi diagnosis pneumotoraks pada pasien dengan trauma kepala dengan
ventilasi mekanik
 Mendeteksi okult/pneumotoraks kecil dan pneumomediastinum

CT scan banyak digunakan dalam praktek klinis untuk menilai kemungkinan penyakit
paru lain yang bersamaan atau mendasari pneumotoraks. Hal ini karena keunggulan CT scan
untuk memvisualisasikan parenkim paru dan pleura secara, seperti yang dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.

Computed tomography scan menunjukkan blebs pada pasien COPD

18
Computed tomography scan menunjukkan gambaran pneumotoraks dan bula

Pneumotoraks Spontan
Ketika dilakukan pada pasien pneumotoraks spontan primer, CT mendeteksi beberapa
blebs dan bula. Hal ini belum mempengaruhi manajemen, karena belum ada korelasi antara
jumlah blebs dan kekambuhan. Namun, CT scan mungkin memiliki peran dalam pneumotoraks
spontan sekunder, terutama untuk membedakannya dari emfisema bulosa raksasa.

Pneumotoraks Traumatik dan Tension Pneumothorax


CT scan dapat mendeteksi pneumotoraks okult pada pasien dengan trauma dan operasi
darurat. Modalitas ini juga telah terbukti lebih sensitif dibandingkan radiografi untuk
hemothorax dan pulmonary contusion. Paru-paru yang mengempis, udara di rongga pleura, dan
pergeseran struktur mediastinum dapat ditemui dalam tension pneumotoraks.

Pneumomediastinum
CT scan dapat meningkatkan sensitivitas diagnostik dalam kasus pneumomediastinum.
Penelitian suatu studi kecil menunjukkan bahwa pneumomediastinum ringan kurang bisa
terdiagnosis dengan menggunakan foto toraks, dan CT scan diperlukan untuk menegakkan
diagnosanya.

b.5. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi portabel dapat memberikan manfaat diagnostik dan
terapeutik ketika dilakukan oleh pemeriksa yang mahir. Sebuah studi baru-baru ini melaporkan

19
bahwa di tangan yang berpengalaman, ultrasonografi bisa lebih cepat dan lebih akurat daripada
radiografi untuk membedakan efusi pleura bebas (temuan di pneumotoraks).
Ultrasonografi semakin banyak digunakan dalam perawatan akut, terutama di unit
perawatan intensif (ICU) dan gawat darurat (ED). Modalitas ini menyediakan pilihan
pencitraan yang cepat untuk diagnosis pneumotoraks, dan tidak menunda penanganan terhadap
tension pneumothorax dengan klinis yang jelas.
Banyak pusat trauma yang menggabungkan ultrasonografi dada sebagai modalitas
tambahan pada pemeriksaan Focused Assessment with Sonography in Trauma (FAST).
Knudtson et al, dalam analisis prospektif dari 328 pasien trauma berturut-turut di sebuah pusat
trauma level 1, memperoleh spesifisitas 99,7% dan akurasi 99,4%, dan menyimpulkan bahwa
ultrasonografi adalah modalitas yang dapat diandalkan untuk diagnosis pneumotoraks pada
pasien cedera.
Sebuah studi prospektif oleh Brook et al dirancang untuk menilai akurasi dari para
residen radiologi dalam mendeteksi pneumotoraks sebagai bagian dari FAST menyimpulkan
bahwa deteksi pneumotoraks dengan menggunakan ultrasonografi oleh residen radiologi ini
lebih akurat dan efisien. Para peneliti membandingkan deteksi pneumotoraks ultrasonografi
dengan standar referensi dari CT scan dada di 169 pasien trauma dan didapatkan hasil
sensitivitas 47%, spesifisitas 99%, nilai prediksi positif 87%, dan nilai prediksi negatif 93%.

Temuan Ultrasonografi
Temuan dalam pemeriksaan ultrasonografi untuk diagnosis pneumotoraks termasuk
tidak adanya pergeseran paru-paru (sensitivitas dan spesifisitas tinggi), tidak adanya artefak
ekor-komet (sensitivitas tinggi, spesifisitas rendah), dan adanya titik paru (spesifisitas yang
tinggi, sensitivitas rendah).

Prosedur USG dada

20
Dengan tidak adanya penyakit pleura, pleura visceral bergerak melawan pleura parietal
saat bernapas. Gerakan 2 pleura terdeteksi oleh USG sebagai pergeseran paru-paru, yang
merupakan "semacam bersinar yang sinkron dengan pernapasan" yang dilihat secara real-time
dan mode waktu-gerak. Artinya, pergeseran paru-paru mengacu pada gerakan pleura normal
pada pasien tanpa pneumotoraks. Satu studi menunjukkan, ketiadaan pergeseran paru-paru dari
pendekatan anterior menunjukkan pneumotoraks dengan sensitivitas 81% dan spesifisitas
100%.
Artefak “ekor-komet” adalah artefak udara vertikal yang timbul dari garis pleura
visceral (atau dalam kasus parietal emfisema mungkin timbul di atas garis pleura). Titik paru
adalah lokasi dimana pergeseran paru-paru dan ketiadaan pergeseran paru-paru secara
bergantian muncul; dan telah ditunjukkan dalam beberapa studi memungkinkan untuk
penentuan ukuran pneumotoraks. Zhang et al memperoleh sensitivitas 79% dalam kemampuan
titik paru-paru untuk menentukan ukuran pneumotoraks.

Gambaran normal USG dada

21
Gambaran pneumotoraks pada USG dada

Perbandingan gambaran USG pada Motion-Mode (M-Mode)

22
7. Penatalaksanaan

Pertimbangan Pendekatan
Meskipun telah ada kesepakatan umum tentang pengelolaan pneumotoraks, konsensus
lengkap tentang pengelolaan pneumotoraks awal atau berulang tidak ada. Para profesional
medis berbeda dalam pendekatan mereka untuk manajemen pneumotoraks dan rawat inap.
Bagian ini menyajikan kerangka stratifikasi risiko serta pendekatan-pendekatan lain
untuk memilih di antara opsi untuk mengembalikan volume paru-paru dan rongga pleura yang
bebas udara dan untuk mencegah kekambuhan. Tujuan ini berlaku di semua presentasi klinis
yang beragam. Berbagai pilihan terapi meliputi terapi konservatif dengan atau tanpa oksigen,
aspirasi sederhana, tabung drainase dengan atau tanpa pleurodesis medis, vacuum-assisted
thoracostomy (VATS) dengan pleurodesis dan / atau penutupan kebocoran dan bullectomy,
dan prosedur bedah terbuka seperti torakotomi untuk pleurectomy atau pleurodesis.
Pemilihan antara berbagai pilihan manajemen membutuhkan pemahaman tentang
perjalanan pneumotoraks, risiko pneumotoraks berulang, dan manfaat dan keterbatasan
masing-masing pilihan pengobatan dan diskusi dengan pasien.

Farmakoterapi
Obat-obatan mungkin diperlukan untuk mengobati penyakit/gangguan paru yang
menyebabkan pneumotoraks. Misalnya, antibiotik intravena termasuk dalam pengobatan
pneumotoraks yang berkembang sebagai sequela pneumonia stafilokokus. Selain itu, penelitian
menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis selama pemasangan chest tube dapat
mengurangi kejadian komplikasi seperti emphysema. Jelas, penggunaan analgesik dapat
memberikan kenyamanan pasien sampai tabung thoracostomy dilepas. Beberapa penulis
menganjurkan penggunaan blok saraf interkostal untuk meningkatkan kenyamanan pasien dan
mengurangi kebutuhan untuk analgesik narkotik.

Pengobatan Berdasarkan Stratifikasi Risiko


Keputusan untuk mengamati atau untuk mengobati dengan intervensi langsung harus
dipandu oleh stratifikasi risiko yang mempertimbangkan presentasi/keadaan umum pasien,
kemungkinan resolusi spontan dan kemungkinan kekambuhan.

Keadaan umum pasien


Berikut ini adalah kemungkinan presentasi pasien dengan pneumotoraks:

23
 Asimtomatik (penemuan insidental): keputusan pengobatan yang dipandu oleh
perkiraan risiko kekambuhan jangka panjang.
 Memiliki gejala klinis tapi stabil: Pengobatan bergantung pada sarana dan perlengkapan
yang tersedia. The British Thoracic Society (BTS) menyarankan aspirasi sederhana dan
penundaan rawat inap pada pneumotoraks spontan primer (PSP) sebagai manajemen
awal jika pasien stabil. Sebuah lubang kateter atau pemasangan chest tube yang
direkomendasikan oleh American College of Chest Physicians pernyataan konsensus
(ACCP) Delphi.
 Secara klinis rentan: Pengobatan dipandu oleh pola praktik lokal untuk evakuasi udara
dan observasi. Kondisi komorbiditas mungkin menghalangi pengamatan karena
penurunan cadangan kardiopulmoner.
 Mengancam kehidupan: Pneumotoraks yang menyebabkan ketidakstabilan
hemodinamik adalah mengancam jiwa dan harus segera diobati dengan tabung
thoracostomy.

Kemungkinan resolusi
Kemungkinan pneumotoraks mencapai resolusi diklasifikasikan sebagai berikut:
 Sangat mungkin untuk berresolusi: pneumotoraks kecil pada pasien dengan
hemodinamik stabil tanpa penyakit parenkim paru-paru yang signifikan; pneumotoraks
iatrogenik kecil.
 Dapat/mungkin berresolusi: pneumotoraks besar di paru-paru normal (misalnya, PSP
atau pneumotoraks iatrogenik).
 Tidak mungkin/kecil kemungkinan untuk berresolusi: pneumotoraks sekunder,
pneumotoraks yang membesar (menunjukkan kebocoran udara terus).
 Tidak akan berresolusi, bisa berakibat fatal: Tension pneumothorax; kebocoran udara
yang belum diketahui.

Kemungkinan kekambuhan
Kategori-kategori berikut pneumotoraks kekambuhan kemungkinan harus dinilai:
 Tidak mungkin untuk kambuh: pneumotoraks iatrogenik pada paru-paru normal
 Mungkin kambuh, tetapi pasien kemungkinan akan stabil secara klinis
 Bisa kambuh dan pasien mungkin secara klinis tidak stabil, tetapi perawatan darurat
mudah diakses

24
 Sangat mungkin untuk kambuh: patologi paru yang progresif dan diffuse (misalnya,
lymphangioleiomyomatosis [LAM])
 Kekambuhan bisa mengancam jiwa: cadangan kardiopulmoner yang buruk, akses yang
terbatas pada perawatan medis darurat.

Pemilihan tempat perawatan pasien


Berikut ini adalah pedoman yang disarankan pada menentukan dimana untuk
mengelola perawatan pada pasien dengan pneumotoraks:
 Rawat jalan: pada pasien tanpa gejala atau dengan pneumotoraks kecil dan follow-up
dapat dengan mudah dilakukan.
 Perawatan darurat: periode observasi yang berkepanjangan tidak efisien dan secara
klinis kurang optimal; prosedur aspirasi manual dan pemasangan katup 1-way
merupakan upaya untuk mengatasi keadaan ini.
 Rawat inap: rawat inap umumnya dipilih bila diperlukan high-flow oxygen,
pneumotoraks meluas tetapi pasien stabil, atau komorbiditas meningkatkan
kekhawatiran tentang risiko atau tindak lanjut. Rata-rata lama rawat inap di rumah sakit
adalah 2,8 hari.
 Unit perawatan intensif (ICU): observasi dan perawatan di ICU tepat untuk pasien
dengan hemodinamik tidak stabil atau diintubasi.

Interval Follow-up
Tidak ada protokol mengenai radiografi atau imaging serial; dokter biasanya meninjau
tanda-tanda vital dan penilaian klinis serial, menggunakan arah dan laju perubahan status klinis
pasien untuk memilih frekuensi pencitraan. Pemantauan ukuran pneumotoraks selama durasi
ini penting, sebagai berikut:
 Pada 0-6 jam: The ACCP Delphi merekomendasikan observasi dalam ED (Emergency
Department) selama 6 jam, dan bisa dipulangkan ke rumah jika follow-up rontgen dada
tidak menunjukkan pembesaran lesi, pada pasien yang stabil. Observasi di ED dengan
radiografi ulangan 6 jam kemudian sering digunakan dulu, tetapi sekarang sudah jarang
dilakukan.
 Pada 24-96 jam: Tambahan follow-up dalam 2 hari dianjurkan, dengan preferensi
follow-up radiologi 24-48 jam dalam settingan rawat jalan. Follow-up rawat jalan

25
selama periode 96 jam (4 hari) penting untuk membedakan antara pneumotoraks telah
berresolusi atau malah membutuhkan tindakan evakuasi. CT scan saat ini membedakan
antara PSP dan SSP.
 Pada 1 bulan: ekspansi paru penuh dapat terjadi, rata-rata, 3 minggu setelah kejadian
awal.

Mengembalikan Air-free Pleural Space


Beberapa pilihan yang tersedia untuk mengembalikan air-free pleural space, termasuk
observasi tanpa oksigen, pemberian oksigen tambahan, aspirasi sederhana, pemasangan chest
tube, pemasangan katup 1-way, dan thoracostomy dengan penghisapan terus-menerus.
Contou et al merekomendasikan kepada para dokter untuk mempertimbangkan
menggunakan drainase melalui kateter kecil sebagai pengobatan lini pertama untuk
pneumotoraks dari setiap penyebab. Para peneliti ini menemukan bahwa drainase melalui
kateter atau melalui tabung dada juga sama efektif untuk manajemen untuk pengelolaan
pneumotoraks, termasuk pneumotoraks primer spontan, pneumotoraks spontan sekunder, dan
pneumotoraks traumatik dan iatrogenik.

 Observasi tanpa pemberian oksigen


Observasi sederhana sesuai untuk pasien tanpa gejala dengan pneumotoraks minimal
(<15-20% dengan kriteria Light, 2-3 cm dari puncak ke kubah dengan kriteria alternatif)
dengan follow-up rutin, memastikan tidak ada perluasan pneumotoraks. Udara diserap secara
spontan sebanyak 1,25% dari ukuran pneumotoraks per hari.
Sebuah penelitian multicenter, prospektif, dan observasional melaporkan lebih dari 500
pasien trauma dengan pneumotoraks occult diidentifikasi dengan menggunakan CT scan,
dengan rontgen dada yang awalnya normal. Kontroversi muncul tentang pengobatan semua
pasien dengan pneumotoraks occult, apakah hanya akan mengobservasi pasien dengan
pneumotoraks occult atau memasang chest tube. Hal ini bahkan lebih kontroversial pada pasien
dengan ventilasi tekanan positif. Pada umumnya, penanganan pneumotoraks yang terlihat pada
radiografi dada setelah trauma dengan torakostomi pemasangan chest tube. Perubahan menjadi
tension pneumotoraks merupakan komplikasi terburuk jika tidak ditangani. Poin penting
penelitian ini adalah observasi versus chest tube torakostomi. Hanya 6% dari pasien gagal
dalam terapi observasi dan berkembang menjadi pneumotoraks, termasuk hanya 15% yang
gagal dengan observasi pada ventilasi tekanan positif. Dalam analisis regresi multivariat,
kegagalan terapi observasi terlihat pada pasien dengan pneumotoraks yang meluas dengan
26
bukti radiografi dada dan gejala gangguan pernapasan. Menurut penelitian ini, adalah aman
untuk mengobservasi dengan seksama pasien trauma dengan pneumotoraks occult pada
radiografi dada, bahkan jika menerima ventilasi mekanis.

 Pemberian suplemen oksigen


Pemberian oksigen sebanyak 3 L / min dengan nasal canula atau aliran yang lebih tinggi
dapat mengatasi kemungkinan hipoksemia dan berhubungan dengan peningkatan 4 kali lipat
dalam tingkat penyerapan udara pleura dibandingkan dengan udara ruangan saja.

 Aspirasi sederhana
Aspirasi sederhana dalam 131 kasus pneumotoraks spontan kecil menghasilkan hasil
yang sukses hingga 87%. Penelitian lain menunjukkan tingkat kesuksesan lebih terbatas dalam
70% kasus. Sebuah studi gawat darurat (ED) terbaru mendukung aspirasi jarum sebagai metode
yang sama aman dan efektif dengan pemasangan chest tube untuk pneumotoraks spontan
primer (PSP), memberikan manfaat tambahan berupa penurunan tingkat kebutuhan rawat inap
dan lama rawat inap yang memendek.

 Pemasangan chest tube


Sebuah selang dimasukkan ke dalam rongga pleura dan terhubung ke perangkat dengan
1-way flow untuk mengeluarkan udara. Contoh perangkat tersebut adalah katup Heimlich atau
tabung water-seal, dan tabung terhubung ke perangkat hisap.

27
 Pemasangan katup satu arah
Tujuan memasang sistem katup 1-way portabel adalah sebagai penanganan terhadap
pneumotoraks spontan tanpa perlu rawat inap di rumah sakit. Katup satu arah juga dapat
mempercepat lama rawatan di rumah sakit dan dapat digunakan selama transportasi pasien
yang terluka.
Katup Heimlich adalah sebuah katup 1-way, dengan katup yang terbuat dari karet katup
yang memungkinkan untuk evakuasi udara. Ujung proksimal menempel pada tabung dada atau
kateter, dan ujung distal menghubungkan ke perangkat hisap atau dibiarkan terbuka ke
atmosfer.

Katup Heimlich

Katup Heimlich tidak memerlukan penghisapan dan dengan demikian menghilangkan


kemungkinan terjadinya tension pneumothorax; dan juga memungkinkan mobilitas yang lebih
besar dan lebih nyaman bagi pasien. Dengan mengurangi lama rawatan di rumah sakit dan
memungkinkan untuk rawat jalan, biaya medis juga berkurang.
Dalam studi percontohan, Marquette et al menunjukkan bahwa menggunakan sistem 1-
way (kateter kaliber kecil / katup Heimlich) pada pasien dengan episode pertama dari PSP sama
efektifnya dengan aspirasi jarum manual sederhana atau pemasangan chest tube konvensional.
Pada 41 pria yang berperawakan kurus, muda, dan merokok, katup Heimlich 1-way,
memungkinkan udara mengalir secara spontan keluar selama 24-48 jam. Setelah itu, jika paru-
paru gagal untuk memperluas kembali, penghisapan bisa diterapkan. Pasien dengan kebocoran
udara bertahan selama lebih dari 4 hari dirujuk untuk operasi.

28
Katup Heimlich banyak digunakan dalam perawatan pasien dengan acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) yang memiliki lama rata-rata pemasangan chest-tube 20
hari untuk memudahkan perawatan dan mobilitas.

 Chest tube thoracostomy dengan penghisapan terus-menerus


Pneumotoraks spontan sekunder (PSS) pertama kali (termasuk penyakit paru obstruktif
kronik) dan pneumotoraks traumatik biasanya memerlukan pendekatan ini. Sebuah kateter
kecil (misalnya, 7-14F) aman digunakan pada kebanyakan pasien, sedangkan selang dada yang
lebih besar (24F) juga sesuai, dan peningkatan tekanan hisap dapat digunakan jika paru-paru
gagal mengembang.
Sebuah selang yang lebih besar (misalnya, 28F) dapat mengurangi resistensi pada
pasien yang berventilasi dan berisiko lebih besar untuk kebocoran udara. Kebocoran udara
dapat berhenti dalam waktu 7 hari pengobatan, dengan rata-rata lama rawatan di rumah sakit 5
hari.

Perawatan di Rumah Sakit


Perhatian segera untuk ABC (airway, breathing, circulation) saat menilai tanda-tanda
vital dan saturasi oksigen adalah yang terpenting, terutama pada pasien dengan trauma dada.
Evaluasi patensi jalan napas dan kecukupan upaya ventilasi. Nilai status sirkulasi dan integritas
dinding dada. Hati-hati mengevaluasi sistem kardiovaskular, karena tension pneumotoraks dan
tamponade perikardial dapat menyebabkan temuan serupa.
Perawatan di ruang gawat darurat tergantung pada stabilitas hemodinamik pasien.
Semua pasien harus menerima oksigen untuk meningkatkan saturasi oksigen dan
meningkatkan reabsorpsi udara bebas.

Pneumotoraks spontan primer dan sekunder


Jika pneumotoraks spontan primer (PSP) lebih kecil dari 15% (atau diperkirakan kecil),
dan pasien memiliki gejala klinis tetapi hemodinamik stabil, aspirasi jarum adalah pengobatan
pilihan. Jika PSP lebih kecil dari 15% dan jika pasien asimtomatik, banyak yang menganggap
observasi menjadi terapi pilihan.
Jika PSP lebih besar dari 15% (atau diperkirakan besar) aspirasi menggunakan kateter
pigtail yang dihubungkan dengan water seal dianjurkan. Penghisapan yang kuat tidak boleh
dilakukan pada pneumotoraks spontan karena bisa meningkatkan resiko edema paru.

29
Pneumotoraks spontan adalah kondisi yang mengancam jiwa pada pasien dengan
penyakit paru-paru yang mendasari berat; dengan demikian, chest tube thoracostomy adalah
prosedur pilihan dalam pneumotoraks spontan sekunder (SSP).

Pneumotoraks iatrogenik dan traumatik


Aspirasi adalah teknik pilihan untuk pneumotoraks iatrogenik, karena kekambuhan
biasanya bukan faktor yang perlu dipertimbangkan. Tube chest thoracostomy dicadangkan
untuk pasien yang sangat simtomatik.
Secara umum, pneumotoraks traumatik harus ditangani dengan penyisipan chest tube,
terutama jika pasien tidak dapat diobservasi dengan seksama. Chest tube dihubungkan dengan
katup satu arah yang menggunakan ruang air untuk menghindari koneksi langsung ke tekanan
atmosfer (sehingga saat inspirasi, ketika tekanan negatif yang dihasilkan, udara tidak masuk ke
dalam rongga pleura) dan memungkinkan untuk terus menerus membuang udara dari rongga
pleura selama respirasi. Setelah kebocoran udara telah berhenti selama 24 jam, chest tube dapat
dilepas.

Tension pneumotoraks
Tension pneumotoraks tetap menjadi kondisi yang mengancam jiwa, dengan prosedur
darurat yang sederhana sebagai pengobatan yaitu, jarum dekompresi. Pastikan tidak ada
kontraindikasi untuk penempatan kateter dekompresi darurat ke dada. Torakotomi sebelumnya,
pneumonectomy sebelumnya, dan adanya gangguan koagulasi, merupakan kontraindikasi
relatif, karena kegagalan untuk mengobati tension pneumotoraks dapat mengakibatkan
kematian pasien.
Dalam keadaan darurat, pasang kateter dekompresi di sela rusuk kedua di linea
midclavicular. Lokasi ini telah dikonfirmasi oleh Wax dan Leibowitz, yang mengkaji 100 CT
scan dada dengan mengukur jarak dari midline ke arteri mamaria interna dan ketebalan rata-
rata jaringan. Prosedur ini menusuk melalui kulit dan, mungkin, melalui otot pectoralis utama,
interkostalis eksternal, interkostalis internal dan pleura parietal. Penempatan di sepertiga
tengah klavikula meminimalkan risiko cedera pada arteri mammaria internal selama prosedur
darurat. Tempatkan kateter tepat di atas perbatasan cephalad dari tulang rusuk, karena
pembuluh interkostal yang terbesar di tepi bawah tulang rusuk.

Pneumotoraks katamenial
Kontrasepsi oral membawa tingkat keberhasilan yang tinggi dalam pengobatan
pneumotoraks katamenial, meskipun kondisi ini juga (jarang) bisa membutuhkan pembedahan.

30
Sebagian besar kasus hadir selama atau segera setelah menstruasi, dan pneumotoraks spontan
biasanya sisi kanan.

Pneumomediastinum
Kebanyakan pasien dengan pneumomediastinum harus diamati untuk tanda-tanda
komplikasi serius (misalnya, pneumothorax, ketegangan pneumotoraks, mediastinitis). Jika
pneumomediastinum terjadi karena menghirup kokain atau merokok ganja, pengamatan di ED
untuk kemajuan dapat diindikasikan.
Follow-up rontgen dada harus diperoleh dalam 12-24 jam untuk mendeteksi setiap
perkembangan atau komplikasi, seperti pneumotoraks. Jika tidak ada perburukan terjadi pada
24 jam dan jika tidak ada bukti mediastinitis, pasien dapat dipulangkan.

Indikasi Bantuan Tindakan Bedah


Jika pasien memiliki episode berulang dari pneumothorax atau jika paru-paru tetap
tidak reekspansi setelah 5 hari dengan chest tube terpasang, terapi operatif mungkin diperlukan.
Dokter bedah dapat menggunakan pilihan pengobatan seperti thoracoscopy, elektrokauter,
perawatan laser, reseksi blebs atau pleura, atau torakotomi terbuka. Indikasi bedah lainnya
adalah sebagai berikut:
 Kebocoran udara terus-menerus selama lebih dari 7 hari
 Pneumotoraks ipsilateral berulang
 Pneumotoraks kontralateral
 Pneumotoraks bilateral
 Pneumotoraks pertama kali pada pasien dengan pekerjaan yang berisiko tinggi
(misalnya, penyelam, pilot)
 Pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) (sering kali karena
nekrosis luas)
 Risiko pneumotoraks berulang untuk pasien yang tinggal di lokasi terpencil
 Lymphangiomyomatosis, kondisi yang menyebabkan risiko tinggi pneumotoraks

VATS
Video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) dipilih untuk pneumotoraks spontan
primer atau sekunder berulang, terutama untuk pasien anak yang telah terbukti memiliki hasil
yang lebih baik dan masa pemulihan lebih pendek. VATS adalah sebuah alternatif untuk

31
torakotomi dan dilakukan dengan anestesi umum menggunakan kamera dan akses port trocar
kecil. Indikasi lain termasuk paru-paru tidak reekspansi 5 hari setelah pemasangan chest tube
thoracostomy, fistula bronkopleural bertahan selama 5 hari atau lebih, pneumotoraks berulang
setelah pleurodesis kimia, dan alasan pekerjaan (misalnya, pilot pesawat, penyelam laut
dalam).
Dalam meta-analisis dari 12 percobaan yang secara acak pada 670 pasien, VATS
dikaitkan dengan lama rawat inap yang memendek (pengurangan 1,0-4,2 hari) dan rasa sakit
yang lebih sedikit atau penggunaan obat penghilang rasa sakit yang lebih sedikit dibandingkan
torakotomi pada 5 dari 7 percobaan di mana teknik ini digunakan untuk pneumothorax atau
reseksi paru ringan.

Torakotomi
Meskipun torakotomi merupakan kriteria standar, VATS telah menggantikan dalam
pengobatan pneumotoraks kronis atau bertahan karena alasan tersebut. Tingkat kekambuhan
dengan torakotomi serendah 4%.

Pleurodesis
Pada pasien dengan pneumotoraks berulang yang bukan calon yang baik untuk operasi,
pleurodesis (atau sclerotherapy) mungkin diperlukan. Pleurodesis mengurangi kemungkinan
kekambuhan pneumotoraks dan harus dilakukan melalui konsultasi dengan ahli bedah. Dua
agen sclerosing utama adalah bedak dan turunan tetrasiklin (misalnya, minocycline,
doxycycline).
Talk didominasi magnesium silikat terhidrasi (Mg3Si4O10(OH)2), dan pertama kali
digunakan untuk pleurodesis pada tahun 1935. Sejumlah kalsium, aluminium, dan besi dapat
ditemui, tergantung variasi asal formulasi. Talk juga mengandung beberapa kontaminan
mineral (misalnya, magnesium, dolomit, kaolinit, kalsit, klorit, serpentine, dan kuarsa). Talk
biasanya dihembuskan selama prosedur VATS atau torakotomi, tetapi salah satu penelitian
terhadap 32 pasien menunjukkan temuan pengobatan yang berhasil dengan chest tube (10%
kekambuhan pada 5 tahun).
Dalam penelitian oleh Department of Veterans Affairs, pleurodesis tetrasiklin memiliki
kekambuhan 25% pada pasien dibandingkan dengan 41% pada subyek kontrol. Namun,
tetrasiklin tidak lagi tersedia untuk pleurodesis karena persyaratan manufaktur yang ketat.
Meskipun demikian, turunannya minocycline dan doxycycline telah terbukti menjadi agen
sclerosing baik.

32
8. Komplikasi
Kesalahan diagnosa adalah komplikasi yang paling umum dari dekompresi jarum. Jika
pneumotoraks ditemukan, tetapi bukan tension pneumothorax, jarum dekompresi menciptakan
pneumotoraks terbuka. Atau, jika tidak ada pneumotoraks, pasien dapat menjadi pneumotoraks
setelah dekompresi jarum dilakukan. Selain itu, jarum dapat menyayat paru-paru, yang
meskipun jarang, dapat menyebabkan cedera paru yang signifikan atau hemotoraks. Jika jarum
awalnya ditempatkan terlalu medial pada tulang dada, jarum dekompresi dapat menyebabkan
hemotoraks dengan mengoyak inferior set dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria
interna.
Kerusakan pada bundel interkostalis neurovaskular dan cedera parenkim paru-paru
dapat terjadi setelah thoracostomy penempatan chest tube, terutama jika Trocars yang
digunakan untuk penempatan, dan ada peningkatan risiko perdarahan pasca operasi setelah
transplantasi paru-paru untuk pleurodesis medis dan pembedahan.
Komplikasi pneumotoraks adalah sebagai berikut:
 Gagal napas Hypoxemic
 Henti nafas atau henti jantung
 Hemopneumotoraks
 Fistula bronkopulmoner
 Edema paru (setelah reexpansion paru)
 Empiema
 Pneumomediastinum
 Pneumoperikardium
 Pneumoperitoneum
 Pyopneumotoraks

Komplikasi prosedur bedah meliputi berikut ini:


 Kegagalan untuk menyembuhkan masalah
 Gangguan atau gagal pernapasan akut
 Infeksi pada rongga pleura
 Infeksi kulit atau sistemik
 Kebocoran udara persisten
 Edema paru akibat reekspansi
 Nyeri di tempat penyisipan chest tube

33
 Tube drainase berkepanjangan

Edema paru akibat reekspansi


Edema paru reekspansi adalah edema paru unilateral yang terlihat setelah reinflasi dari
paru-paru yang kolaps. Hal ini juga dapat terjadi pada paru-paru yang di sisi berlawanan.
Insiden, etiologi, risiko, dan tingkat kematian dari kondisi ini masih kontroversial.
Temuan dari studi hewan dan beberapa laporan kasus pada manusia menunjukkan
bahwa edema paru reekspansi dapat terjadi lebih sering jika pneumotoraks hadir selama lebih
dari 3 hari, jika volume evakuasi lebih besar dari 2000 mL, dan jika penghisapan dilakukan.
Informasi ini penting karena dalam sebuah penelitian, 46% pasien menunggu lebih dari 2 hari
setelah gejala mereka mulai, baru mencari bantuan medis, dan dalam penelitian lain, 18%
menunggu lebih dari 7 hari.

Tension pneumothorax
Pneumotoraks yang memburuk, biasanya dengan fenomena katup 1-way, dapat
memungkinkan udara ke dalam ruang intrapleural tetapi mencegah udara keluar, sehingga
menyebabkan pergeseran mediastinum, shunting paru, dan kolaps peredaran darah.
Penanganan terhadap tension pneumothorax bersifat emergency dan harus dilakukan
sebelum konfirmasi radiologis. Dekompresi jarum dilakukan sebelum pengobatan definitif
dengan chest tube thoracostomy.
Pada pasien dengan ventilasi mekanik, tekanan udara yang tinggi dan udara yang
terperangkap menempatkan pasien dalam resiko tension pneumotoraks jika thoracostomy tidak
berfungsi.

Pencegahan Pneumotoraks Berulang


Strategi untuk pencegahan pneumotoraks berulang meliputi observasi, pleurodesis
bedah dan non-bedah, dan bleb reseksi.
Sebuah studi oleh Chen et al menemukan bahwa abrasi pleura dengan pleurodesis
minocycline sama efektifnya dengan pleurectomy apikal untuk pasien dengan PSP dengan
risiko kekambuhan tinggi. Pasien yang menjalani kedua prosedur memiliki jangka waktu yang
sama drainase dada pasca operasi, lama rawatan di rumah sakit, tingkat komplikasi, nyeri dada
jangka panjang, dan fungsi paru jangka panjang. Tingkat kekambuhan sebesar 3,8% untuk
kedua prosedur.

34
Sebuah studi di Italia melaporkan ada fibrin sealant baru yang telah terbukti menjadi
alat yang aman dan efektif untuk mencegah kebocoran udara alveolar setelah reseksi paru.
Sealant juga dilaporkan memperpendek durasi kebocoran udara alveolar pasca operasi.

Pleurodesis Non-Bedah (Thoracoscopy Medis)


Thoracoscopy medis hanya membutuhkan anestesi lokal atau sedasi sadar, dalam
endoskopi suite, dengan menggunakan instrumen yang kaku dan nondisposable. Dengan
demikian, prosedur ini sangat kurang invasif dan lebih murah, tetapi juga kurang efektif,
terutama di tangan yang kurang berpengalaman. Komorbiditas pasien berperan dalam
pemilihan intervensi yang tepat. Indikasi diagnostik dan terapi utama untuk thoracoscopy
medis adalah efusi pleura dan pneumotoraks.
Tetrasiklin dan talc adalah agen yang terbukti efektif untuk pleurodesis medis; talc 5%
lebih efektif dalam satu penelitian secara acak. Tingkat keberhasilan untuk agen sclerosing
kimia hingga 91% dibandingkan 95-100% dengan menggunakan teknik bedah. Dalam sebuah
studi sebelumnya, pleurodesis kimia mengakibatkan penurunan yang signifikan dari
kekambuhan dibandingkan dengan chest tube drainase saja. Pleurodesis kimia dan operasi
sama-sama efektif dan keduanya lebih unggul dibandingkan terapi konservatif dalam
mencegah kekambuhan pneumotoraks di lymphangioleiomyomatosis (LAM).

Pleurodesis Bedah
Pasien yang diterapi dengan pleurodesis bedah memiliki tingkat pencegahan
kekambuhan lebih besar dari 90%. Talk adalah agen pilihan untuk pleurodesis, dan dapat
digunakan dengan cara insuflasi (dihembuskan) atau sebagai bubur. Variasi tindakan
tergantung pada pengalaman praktisi, sumber daya, dengan pendekatan mulai dari video-
assisted thoracotomy (VAT) (direkomendasikan oleh American College of Chest Physicians
[ACCP]) sampai ke torakotomi bedah dan pleurectomy (direkomendasikan oleh British
Thoracic Society [BTS]).

Pemantauan Jangka Panjang


Jika pneumothorax terjadi pada perokok, ini dianggap sebagai kesempatan untuk
menekankan nyata peningkatan risiko kekambuhan pada mereka yang terus merokok, dan
banyak manfaat dari berhenti merokok. Dianjurkan bagi pasien pasca pneumotoraks spontan
untuk cuti selama seminggu. Jika pasien merupakan pekerja fisik yang berat, cuti beberapa
minggu mungkin diperlukan. Bagi pasien yang baru menjalani pleurodesis, perlu cuti dua
sampai tiga minggu untuk pulih.

35
Perjalanan udara tidak disarankan sampai tujuh hari setelah resolusi lengkap
pneumotoraks jika kekambuhan tidak terjadi. Menyelam dianggap tidak aman setelah episode
pneumotoraks kecuali prosedur pencegahan telah dilakukan.

9. Prognosis

Prognosis bervariasi berdasarkan jenis pneumotoraks yang diderita.

Pneumotoraks Spontan Primer, Sekunder, dan Berulang

Resolusi lengkap dari pneumotoraks yang tidak terkomplikasi memakan waktu sekitar
10 hari. PSP biasanya ringan dan sering sembuh tanpa memerlukan perawatan medis. Banyak
orang yang terkena tidak mencari bantuan medis untuk beberapa hari setelah timbul gejala.
Fakta ini penting karena kejadian edema paru akibat reekspansi meningkat pada pasien yang
telah dipasang chest tube selama 3 hari atau lebih setelah pneumotoraks terjadi.

Kekambuhan biasanya muncul dalam 6 bulan sampai 3 tahun pertama. Tingkat


kekambuhan 5 tahun adalah 28-32% untuk PSP dan 43% untuk SSP.

Kekambuhan lebih umum di antara pasien yang merokok, pasien dengan PPOK dan
pasien dengan AIDS. Prediktor kekambuhan termasuk fibrosis paru, usia yang lebih muda, dan
peningkatan rasio height-to-weight. Dalam sebuah penelitian retrospektif dari 182 pasien
berturut-turut dengan episode pertama didiagnosis pneumotoraks, tingkat yang lebih tinggi dari
kekambuhan tercatat pada pasien dengan tinggi badan lebih tinggi, lebih kurus, dan pasien
dengan SSP.

Tension Pneumothorax

Tension Pneumothorax dapat disebabkan oleh berbagai dan cepat berkembang menjadi
depresi pernapasan, kolaps kardiovaskular, dan akhirnya, kematian jika tidak cepat dideteksi
dan ditangani. Oleh karena itu, jika gambaran klinis sesuai tension pneumothorax, harus
ditangani secara cepat sebelum menyebabkan instabilitas hemodinamik dan kematian.

Pneumomediastinum

Pneumomediastinum umumnya ringan. Pneumomediastinum berat atau tension


pneumomediastinum, pertama kali dilaporkan pada tahun 1944. Namun, semua pasien yang

36
dilaporkan dalam laporan ini memiliki kondisi komorbiditas yang serius, sering berhubungan
dengan trauma atau berhubungan dengan sindroma Boerhaave.

Tidak ada laporan yang fatal dari pasien dengan pneumomediastinum spontan tanpa
adanya penyakit yang mendasarinya. Tingkat kematian sebesar 70% pada pasien dengan
pneumomediastinum sekunder akibat sindroma Boerhaave, bahkan meskipun telah diterapi
dengan intervensi bedah.

37
Daftar Pustaka

1. Noppen, M., Spontaneous pneumothorax: epidemiology, pathophysiology and cause,


2010, European Respiratory Review, Belgium.
2. Graeme P Currie, Ratna Alluri, Gordon L Christie, Pneumothorax: an update, 2007,
Department of Respiratory Medicine, Aberdeen Royal Infirmary, Skotlandia.
3. Shi-ping LUH, Diagnosis and treatment of primary spontaneous pneumothorax, 2010,
Department of Surgery, St. Martin de Porres Hospital, China.
4. Stevena. Sahn, M.D., Johne. Heffner, M.D, Spontaneous Pneumothorax, 2000, The
New England Journal of Medicine.
5. Andrew MacDuff, Anthony Arnold, John Harvey, Management of spontaneous
pneumothorax: British Thoracic Society pleural disease guideline 2010, 2010,
Department of Respiratory Medicine, Castle Hill Hospital, Cottingham, East Yorkshire,
UK.
6. Michael H. Baumann, MD, FCCP; Charlie Strange, MD, FCCP; John E. Heffner, MD,
FCCP, et al, Management of Spontaneous Pneumothorax: An American College of
Chest Physicians Delphi Consensus Statement, 2001, American College of Chest
Physicians Delphi.
7. Tschopp JM, Rami-Porta R, Noppen M, Astoul P. Management of spontaneous
pneumothorax: state of the art. Eur Respir J. 2006 Sep. 28(3):637-50.
8. Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous pneumothorax. N Engl J Med. 2000 Mar 23.
342(12):868-74.
9. Noppen M, Dekeukeleire T, Hanon S, Stratakos G, Amjadi K, Madsen P. Fluorescein-
enhanced autofluorescence thoracoscopy in patients with primary spontaneous
pneumothorax and normal subjects. Am J Respir Crit Care Med. 2006 Jul 1. 174(1):26-
30.
10. Tabakoglu E, Ciftci S, Hatipoglu ON, Altiay G, Caglar T. Levels of superoxide
dismutase and malondialdehyde in primary spontaneous pneumothorax. Mediators
Inflamm. 2004 Jun. 13(3):209-10.
11. Haraguchi S, Fukuda Y. Histogenesis of abnormal elastic fibers in blebs and bullae of
patients with spontaneous pneumothorax: ultrastructural and immunohistochemical
studies. Acta Pathol Jpn. 1993 Dec. 43(12):709-22.

38
12. Gunji Y, Akiyoshi T, Sato T, Kurihara M, Tominaga S, Takahashi K. Mutations of the
Birt Hogg Dube gene in patients with multiple lung cysts and recurrent pneumothorax.
J Med Genet. 2007 Sep. 44(9):588-93.
13. Lal A, Anderson G, Cowen M, Lindow S, Arnold AG. Pneumothorax and pregnancy.
Chest. 2007 Sep. 132(3):1044-8.
14. Chiu HT, Garcia CK. Familial spontaneous pneumothorax. Curr Opin Pulm Med. 2006
Jul. 12(4):268-72.

39

Anda mungkin juga menyukai