Anda di halaman 1dari 20

Case Report Session

Pneumothoraks

Oleh :
dr. Giovandi Sauky

Preseptor:

UNIT GAWAT DARURAT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
DOMPU
2019

1
BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Pneumothoraks adalah keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga

pleura, terjadi karena adanya hubungan terbuka antara rongga dada dan dunia luar.

Hubungan mungkin melalui luka di dinding dada yang menembus pleura parietalis atau

melalui luka di jalan nafas yang sampai ke pleura visceralis Pada kondisi normal,

rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap

rongga dada.(1) Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang

melapisi paru-paru dan rongga dada.(2)

Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura

yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena.(3) Tersering disebabkan oleh ruptur

spontan pleura visceralis yang menimbulkan kebocoran udara ke rongga torak.

Pneumotorak dapat terjadi berulang kali. (4)

1.2 Epidemiologi
Diperkirakan terdapat 20.000 kasus pneumotoraks spontan setiap tahunnya di

Amerika serikat. Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Persahabatan Jakarta pada tahun

1999 didapat 253 penderita pneumotoraks dan angka ini merupakan 5,5 % kunjungan

dari seluruh kasus respirasi yang datang. Peningkatan angka kejadian kasus

pneumotoraks berdasarkan penelitian setiap tahunnya, belum dapat dijelaskan dengan

pasti. Peningkatan angka kejadian ini mungkin berhubungan dengan polusi udara

perubahan tekanan atmosfir, rokok dan belakangan ini dikatakan juga dipengaruhi oleh

genetik.

Terdapat hubungan antara insiden pneumotoraks spontan dengan jenis kelamin,

umur, dan penyakit penyerta. Pneumotoraks Spontan lebih banyak terjadi pada laki-laki

dibandingkan perempuan. Berdasarkan umur, terlihat 2 kali penambahan

2
kecenderungan pneumotoraks pada usia 20-30an dengan pneumotoraks spontan primer

dan 50-60an dengan pneumotoraks spontan sekunder. Walaupun angka kejadian PSP

pada perempuan lebih kecil daripada laki-laki namun angka rekurensinya lebih besar

dibandingkan laki-laki yaitu 71,4 % : 46,2 %.

1.3 Klasifikasi

Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu


(2,4)
:

1. Pneumotoraks spontan, yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba.

Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:

a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa

diketahui sebabnya atau tanpa penyakit dasar yang jelas. Sebuah penelitian

dilaporkan bahwa bula subpleural ditemukan pada 76-100% pasien pneumotoraks

spontan primer dengan tindakan video-assisted thoracoscopic surgery dan

torakotomi. Terjadi lebih sering pada laki-laki muda sehat dibandingkan wanita.

Timbul akibat ruptur bula kecil (12 cm) subpleural, terutama di bagian puncak paru.

Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam

patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus pneumotoraks

spontan primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti: sindrom marfan,

homosisteinuria, serta sindrom Birt-Hogg-Dube.

b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan didasari

oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, tersering pada pasien

bronkitis dan emfisema yang mengalami ruptur emfisema subpleura atau bula.

Penyakit dasar lain: Tb paru, asma lanjut, pneumonia, abses paru, fibrosis kistik,

penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.

3
2. Pneumotoraks traumatik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu

trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,
(2,4)
dinding dada maupun paru . Pneumotoraks terjadi karena jejas kecelakaan,

misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma. Trauma tumpul atau kontusio pada

dinding dada juga dapat menimbulkan pneumotoraks.

3. Pneumotoraks iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari

tindakan medis. Pneumotoraks jenis ini pun masih dibedakan menjadi dua, yaitu :

- Pneumotoraks iatrogenik aksidental Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi

akibat tindakan medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut,

misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.

- Pneumotoraks iatrogenik artifisial (deliberate) Adalah suatu pneumotoraks yang

sengaja dilakukan dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura.

Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada

pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai

permukaan paru.(2,5)

Berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke

dalam tiga jenis, yaitu (5) :

1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax). Pada tipe ini, pleura dalam keadaan

tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan

dengan dunia luar.Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun

lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya.

Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga

pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi

gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.

4
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax), Yaitu pneumotoraks dimana terdapat

hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar

(terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan

tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol.

Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan
(8)
pernapasan . Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi

tekanan menjadi positif (8). Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan

normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang

terluka (sucking wound) (2).

3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax) Adalah pneumotoraks dengan tekanan

intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di

pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea,

bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang

terbuka(8). Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar .Akibatnya

tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan

atmosfer.Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga

sering menimbulkan gagal napas (2).

1.4 Etiologi

Etiologi Trauma thoraks kebanyakan diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas

yang umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebabkan oleh

tikaman dan tembakan. Trauma pada bagian ini juga sering disertai dengan cedera pada

tempat lain misalnya abdomen, kepala, dan ekstremitas sehingga merupakan cedera

majemuk. Kelainan yang sering timbul secara umum pada setiap trauma thoraks baik

tajam maupun tumpul yaitu luka, memar, dan emfisema subkutis (kulit dan jaringan

lunak), fraktur costa, sternum, pernapasan paradoksal (tulang), pneumothoraks,

5
hemothoraks, hemopneumothoraks, kilothoraks, serothoraks (pleura), traumatic wet

lung (paru), pneumomediastinum, robekan esofagus, robekan bronkus (mediastinum),

hemoperikardium, luka jantung (jantung). (3)

1.5 Patofisiologi

Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Di antara

pleura parietalis danvisceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura normal berisi

sedikit cairan serous jaringan. Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan negatif.

Tekanan negatif pada intrapleura membantu dalam proses respirasi. Proses respirasi

terdiri dari 2 tahap: fase inspirasi dan fase eksprasi. Pada fase inspirasi tekanan

intrapleura: -9 s/d -12 cmH2O; sedangkan pada fase ekspirasi tekanan intrapleura: -3

s/d -6 cmH2O. Pneumotorak adalah adanya udara pada cavum pleura. Adanya udara

pada cavum pleura menyebabkan tekanan negatif pada intrapleura tidak terbentuk.

Sehingga akan mengganggu pada proses respirasi.

Secara garis besar ke semua jenis pneumotorak mempunyai dasar patofisiologi

yang hampir sama, baik itu Pneumotorak spontan, closed pneumotorak, simple

pneumotorak, tension pneumotorak, dan open pneumotorak. Pneumotorak spontan

terjadi karena lemahnya dinding alveolus dan pleura visceralis. Apabila dinding

alveolus dan pleura viceralis yang lemah ini pecah, maka akan ada fistel yang

menyebabkan udara masuk ke dalam cavum pleura. Mekanismenya pada saat inspirasi

rongga dada mengembang, disertai pengembangan cavum pleura yang kemudian

menyebabkan paru dipaksa ikut mengembang, seperti balon yang dihisap.

Pengembangan paru menyebabkan tekanan intraalveolar menjadi negatif sehingga

udara luar masuk. Pada pneumotorak spontan,paru-paru kolpas, udara inspirasi ini

bocor masuk ke cavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak negatif. Pada saat

inspirasi akan terjadi hiperekspansi cavum pleura akibatnya menekan mediastinal ke

6
sisi yang sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal kembali lagi ke posisi semula. Proses

yang terjadi ini dikenal dengan mediastinal flutter (3,4,5).

Terjadinya hiperekspansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock atau

shock dikenal dengan simple pneumotorak. Berkumpulnya udara pada cavum pleura

dengan tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal dengan closed

pneumotorak. Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik secara maksimal

karena elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna. Akibatnya bilamana

proses ini semakin berlanjut, hiperekspansi cavum pleura pada saat inspirasi menekan

mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada paru dan cavum

pleura karena luka yang bersifat katup tertutup terjadilah penekanan vena cava,

shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas.Akibatnya dapat timbulah

gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal

dengan tension pneumotorak.(3,4,5)

Pada open pneumotorak terdapat hubungan antara cavum pleura dengan

lingkungan luar. Open pneumotorak dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan dapat

inkomplit (sebatas pleura parietalis) atau komplit (pleura parietalis dan visceralis).

Bilamana terjadi open pneumotorak inkomplit pada saat inspirasi udara luar akan

masuk ke dalam cavum pleura. Akibatnya paru tidak dapat mengembang karena

tekanan intrapleura tidak negatif. Efeknya akan terjadi hiperekspansi cavum pleura

yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat. Saat ekspirasi mediastinal bergeser

kemediastinal yang sehat.Terjadilah mediastinal flutter. Bilamana open pneumotorak

komplit maka saat inspirasi dapat terjadi hiperekspansi cavum pleura mendesak

mediastinal ke sisi paru yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura

dan paru karena luka yang bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penekanan

vena cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya

7
dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena cava. Kejadian

ini dikenal dengan tension pneumothorax (3,4,5)

1.6 Gejala Klinik

Keluhan dan gejala-gejala klinik pneumothoraks amat bergantung pada besar-

kecilnya lesi pneumothoraks dan ada tidaknya komplikasi penyakit paru. Beberapa

pasien menunjukkan keadaan asimptomatik dan kelainan hanya dapat ditemukan pada

pemeriksaan foto dada rutin. Pada beberapa kasus, pneumothoraks terluput dari

pengamatan.

Gejala utama adalah adanya rasa sakit yang tiba-tiba, umumnya bersifat akut,

terlokalisasi pada sisi yang terkena serta diikuti sesak nafas. Kelainan ini ditemukan

pada 80-95% kasus. Gejala ini akan nampak jelas pada saat penderita melakukan

aktivitas berat. Namun rasa sakit tidak selalu timbul, dapat menghebat atau menetap

bila telah terjadi perlengketan antara pleura parietalis dan visceralis. Pada tekanan kuat

pneumothoraks suatu saat perlengketan ini dapat sobek sehingga terjadi perdarahan

(hemopneumothoraks).

Pada pemeriksaan fisik, tanda vital pasien umumnya normal, namun beberapa

pasien dapat timbul takikardia. Pada inspeksi akan didapatkan sisi dada yang terkena

akan tampak lebih besar dan kurang bergerak saat bernapas. Akan ditemukan pula

penurunan taktil fremitus dan vokal fremitus, perkusi yang hiperresonans, serta suara

napas tidak ada atau berkurang pada sisi yang terkena.

Pada pasien dengan tension pnuemothorax biasanya terdapat manifestasi kolaps

kardiovaskuler dan ketidakstabilan hemodinamik. Biasanya muncul pada pasien

dengan ventilasi mekanik. Secara tipikal pasien biasanya akan mengalami sudden

respiratory distress dan agitasi. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan takikardia

berat (>140 x/menit), hipotensi, sianosis atau deviasi trakea.(6,7)

8
1.7 Diagnosis

Diagnosis didasari dengan gejala yang didapatkan melalui anamnesis dan

pemeriksaan fisik disertai pemeriksaan penunjang. Pemeriksan foto roentgen dada

merupakan prosedur standar untuk menegakkan diagnosa pneumothoraks. Sebaiknya

dilakukan foto dada tegak dengan posisi PA (Posteroanterior) karena dengan posisi

semi supine dan AP tidak selalu tampak pada kedua thoraks. Bila penderita tidak dapat

tegak dilakukan foto dengan posisi lateral dekubits dengan sisi yang tekena di bagian

atas.

Foto rontgen penderita pneumotoraks

Dapat terjadi pengumpulan cairan pada pneumothoraks yang terjadi lebih dari

24 jam. Cairan ini biasanya jernih dan tidak perlu dilakukan analisa cairan. Kejadian

efusi pleura pada penderita pneumothoraks spontan berkisar antara 15-20 %. Efusi

yang luas dengan cairan > 200 cc sering kemerahan akibat robeknya pembuluh darah.

Pasien dengan emfisema bulosa dapat memiliki gambaran radiografi bula yang

besar yang bisa tampak seperti pneumotoraks. Untuk mengidentifikasi adanya

pneumotoraks adalah dengan garis pleura viseral yang tampak lurus atau cembung

9
terhadap dinding dada, sementara pada bula memiliki gambaran konkaf. Pada pasien

yang diagnosisnya belum dapat ditegakkan, pemeriksaan CT-scan dada mungkin

diperlukan untuk membedakan dua keadaan ini karena hanya pneumotoraks yang bisa

diterapi dengan pemasangan tube torakostomi.

Pada pemeriksaan CT-scan pneumotoraks tension didapatkan adanya kolaps

paru, udara di rongga pleura, dan deviasi dari struktur mediastinum. Pemeriksaan CT-

scan lebih sensitif daripada foto toraks pada pneumotoraks yang kecil walaupun gejala

klinisnya masih belum jelas. Penggunaan USG untuk mendiagnosis pneumotoraks

masih dalam pengembangan. Di beberapa pusat trauma, pendeteksian pneumotoraks

sudah dimasukkan sebagai bagian dari pemeriksaan FAST (Focused Abdominal

Sonography for Trauma). (6,7)

1.8 Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksaan pneumotoraks spontan adalah evakuasi udara di

dalam rongga pleura, memfasilitasi penyembuhan pleura dan mencegah terjadinya

rekurensi secara efektif. Pilihan terapi meliputi, yaitu terapi oksigen, observasi,

aspirasi sederhana dengan kateter vena, pemasangan tube, pleurodesis, torakoskopi

single port, dan torakotomi.

a. Terapi oksigen

Pemberian oksigen akan mempercepat absorbsi udara di rongga toraks

sebanyak 4x dibandingkan dengan tanpa oksigen. Oksigen akan mengurangi tekanan

parsial nitrogen di dalam kapiler darah sekitar rongga pleura dan akan meningkatkan

gradien tekanan parsial nitrogen. Hal ini akan menyebabkan nitrogen ke dalam kapiler

pembuluh darah di sekitar rongga pleura dan diikuti oleh gas lain. Pemberian oksigen

pada konsentrasi tinggi harus diberikan pada seluruh kasus pneumotoraks.

10
b. Observasi (tanpa tindakan invasif)

Bila hubungan antara alveoli dan rongga pleura dihilangkan, maka udara di

dalam rongga pleura akan diabsorbsi secara betahap. Kecepatan absorpsi antara

berkisar 1,25 % dari volume hemitoraks setiap 24 jam. ACCP membagi klinis

penderita atas penderita dalam kondisi stabil, jika laju napas < 24 x/menit, denyut

jantung 60-120 x/menit, tekanan darah normal, saturasi oksigen > 90 % (tanpa asupan

oksigen). Setelah observasi penderita dapat dipulangkan dan datang kembali ke rumah

sakit bila terdapat gejala klinik yang memberat. Tindakan fisioterapi dengan

pemberian penyinaran gelombang pendek pada pneumotoraks spontan kurang dari

30%, secara bemakna meningkatkan absorbsi udara dibandingkan dengan hanya

observasi saja.

c. Aspirasi sederhana dengan kateter vena (Mini WSD)

Aspirasi sederhana terutama direkomendasiksan pada terapi awal penderita

pneunotoraks spontan primer (PSP) pertama, karena memiliki tingkat keberhasilan

lebih tinggi (70%) dibandingkan bila dilakukan pada penderita pneumotoraks spontan

sekunder (PSS). Prosedur ini memiliki keuntungan antara lain morbidity yang

minimal dan dapat dilakukan pada pasien rawat jalan sehingga penderita dapat bekerja

kembali serta relatif mudah dan murah. Kelemahan prosedur ini apabila gagal maka

perlu dilakukan pemasangan tube thoracostomy.

d. Pemasangan WSD

Pemasangan WSD atau tube thoracostomy masih merupakan tindakan pertama

sebelum penderita diajukan untuk tindakan yang lebih invasif seperti torakoskopi atau

torakotomi. Pemasangan tube thoracostomy pada pneumotoraks terutama ditujukan

11
pada penderita PSP yang gagal dengan tindakan aspirasi dan penderita PSS, sebelum

menjalani tindakan torakoskopi atau torakotomi.

e. Pleurodesis

Dilakukan terutama untuk mencegah rekurensi terutama penderita dengan

risiko tinggi untuk terjadinya rekurensi. Bahan yang biasanya digunakan adalah

oksitetrasiklin, minosklin, doksisklin, atau talk.

f. Torakoskopi

Tindakan yang dilakukan adalah reseksi bula dan pleurodesis. Torakoskopi

pada PSS harus dilakukan bila paru tidak mengembang setelah 48-72 jam.

g. Torakotomi

Merupakan tindakan akhir apabila tindakan yang lain gagal. Tindakan ini

memiliki angka rekurensi terendah yaitu kurang dari 1 % bila dilakukan pleurektomi

dan 2-5 % bila dilakukan pleurodesis dengan abrasi mekanik. (6,7)

1.9 Komplikasi

1. Tension pneumotoraks

Kejadian ini terjadi pada 3 – 5 % penderita pneumotoraks. Pengobatan adalah

segera melakukan dekompresi dengan jarum, kateter kecil atau pipa interkostalis

dan dihubungkan dengan water sealed drainage.

2. Pyo-pneumotoraks

Ditemukan pneumotoraks disertai dengan empiema secara bersamaan pada satu

sisi paru. Infeksi berasal dari mikroorganisme yang membentuk gas atau dari

robekan jaringan paru atau esophagus ke arah rongga pleura. Kebanyakan dari

abses subpleura dan sering membuat fistula bonko-pleura. Jenis kuman yang sering

terdapat adalah Staphylococcus aureus, Pseudomonas, dan Klebsiella.

12
3. Hidropneumotoraks / hemopneumotoraks

Pada 25% penderita penumotoraks ditemukan sedikit cairan dalam rongga pleura.

Biasanya bersifat serosa, seroanguinus atau kemerahan (berdarah). Jika

pneumotoraks baru saja terjadi, hendaknya segera ditentukan apakah terjadi juga

hidrotoraks. Untuk itu perlu dilakukan tindakan torakosentesis.

4. Pneumomediastinum dan emfisema subkutan

Adanya pneumomediastinum dapat ditentukan dengan pemeriksaan foto dada.

Insidensinya 1 % dari seluruh penumotoraks.

5. Pneumotoraks simultan bilateral

Pneumotoraks yang terjadi pada kedua paru secara serentak terdapat pada 2 % dari

kejadian pneumotoraks. Keadaan ini timbul sebagai kelanjutan

pneumomediastinum yang secara sekunder timbul dari emfisema jaringan

interstitial paru. Sebab lain bisa juga dari emfisema mediastinal yang berasal dari

perforasi esophagus.

6. Pneumotoraks kronik

Dinyatakan kronik bila tetap ada selama waktu > 3 bulan. Pneumotoraks kronik ini

terjadi bila fistula bronco-plelura 5 % dari seluruh penumotoraks. (6,7)

13
BAB 2

LAPORAN KASUS

Telah datang seorang pasien laki-laki usia 52 tahun ke Unit Gawat Darurat RSUD

Dompu pada tanggal 12 April 2019.

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. N

Usia : 52 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Ginte Simpasai

2.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama

Tertusuk gunting ± 30 menit sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang

- Tertusuk gunting ± 30 menit sebelum masuk rumah sakit di punggung sebelah kiri.

- Awalnya sesak dirasakan sedikit, namun makin lama sesak yang dirasakan semakin

berat.

- Sesak tidak disertai dengan bunyi nafas menciut/mengi.

- Sesak tidak dipengaruhi oleh aktifitas

- Sesak dirasakan walapun dalam keadaan istirahat.

- Sesak disertai dengan batuk, tidak berdahak.

- Riwayat batuk lama sebelumnya tidak ada.

- Demam tidak ada.

- Riwayat berkeringat malam tidak ada.

- Riwayat penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas tidak ada.

- Riwayat merokok ada, 1 bungkus sehari selama ± 20 tahun.

14
Riwayat Penyakit Dahulu

- Tidak ada riwayat trauma dada, infeksi paru, penyakit keganasan pada pasien

Riwayat Penyakit Keluarga

- Tidak ada keluarga yang menderita hal yang sama dengan pasien

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan

- Pasien adalah seorang pedagang.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : sakit sedang


Kesadaran : composmentis cooperatif
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 104x/menit
Nafas : 30x/menit
Suhu : 37,3ºC

Status Generalis
Kulit : Sianosis (-), pucat (-), purpura (-), turgor baik
KGB : tidak ada pembesaran KGB
Kepala : Normochepal, rambut hitam, tidak rontok dan tidak mudah dicabut.
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter
3mm/3mm.
Telinga : Pendengaran baik, sekret dari lumen (-)
Hidung : Sekret (-), sumbatan (-), deviasi septum (-)
Mulut : Bibir sumbing (-), carries (-), atrofi papil lidah (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thoraks
Cor
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS
Perkusi : atas : RIC 2 , kanan : 2 jari medial LMCD, kiri : LMCS RIC IV
Au skultasi: bunyi jantung reguler, bising tidak ada

15
Pulmo
Inspeksi : asimetris, dada kiri tertinggal
Palpasi : fremitus kiri < kanan, krepitasi (+)
Perkusi : paru kiri hipersonor, paru kanan sonor
Au skultasi: vesikuler +/-, suara napas melemah -/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, NT (-), NL(-)
Perkusi : timpani
Au skultasi: bising usus (+) normal
Punggung : kifosis (-), skoliosis (-), nyeri tekan CVA (-), nyeri ketok CVA (-)
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-,
edema -/-

2.4 DIAGNOSA KERJA


Open pneumothorax sinistra
Emfisema subkutis regio colli sinistra

2.5 DIAGNOSA BANDING

Tension pneumothorax
Diseksi aorta

2.5 LABORATORIUM
12 April 2019
Hb : 13,3 gr/dl
Leukosit : 13.800
Trombosit : 310.000/mm3
Ht : 40%
Kesan : Leukositosis

2.6 RONTGEN THORAKS


Rontgen thoraks AP tanggal 12 April 2019 sebelum pemasangan WSD:

16
Gambar 1. Rontgen Sebelum pemasangan WSD
Kesan: Tampak area hiperlusen avaskular di hemithorak kiri, tampak pendesakan

terhadap jantung. Tampak gambaran hiperlusen di regio colli sinistra.

2.7 DIAGNOSIS
Open pneumothorax sinistra
Emfisema subkutis regio colli sinistra

2.8 TATALAKSANA
1. Sungkup nasal kanul 3L  NRM 10L
2. Infus RL 8 jam/kolf
3. Tindakan pemasangan Water Sealed Drainage + Thorax Tube dalam lokal anastesi
pada tanggal 12 April 2019
4. Hecting opened wound
5. Inj Ceftriakson 2x1 gr IV bolus
6. Inj Ketorolac 2x1 amp

17
BAB 3

DISKUSI

Telah datang seorang pasien laki-laki usia 52 tahun ke Unit Gawat Darurat RSUD

Dompu pada tanggal 12 April 2019 dengan diagnosis open pneumothorax dan emfisema

subkutis. Dari anamnesis didapatkan keluhan utama pasien berupa tertusuk gunting sejak 30

menit sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas ada, dirasakan semakin lama semakin berat dan

tidak berkurang dengan istirahat. Sesak tidak tidak disertai bunyi nafas menciut/mengi. Pasien

mengatakan bahwa keluhannya disertai dengan batuk, tidak berdahak. Pasien tidak demam,

tidak ada riwayat batuk lama sebelumnya, tidak ada riwayat keringat malam hari, tidak ada

riwayat penurunan berat badan. Tidak ada riwayat trauma dada sebelumnya, tidak ada riwayat

keganasan. Pasien merokok ± 1 bungkus/hari selama 20 tahun.

Dari hasil pemeriksaan fisik vital sign menunjukkan takipnea (napas 30x/i) dan

takikardia (nadi 104x/i). Pemeriksaan thoraks, inspeksi dada kiri tertinggal saat bernafas.

Palpasi dada fremitus kiri berkurang sedangkan kanan normal dan terdapat krepitasi. Perkusi

pada dada kiri hipersonor sedangkan kanan sonor. Suara napas kiri melemah. Pada regio colli

sinistra tampak adanya dua buah luka terbuka, dengan soft tissue swelling dan terdapat

krepitasi pada saat palpasi. Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah lengkap didapatkan

kesan leukositosis. Dari hasil pemeriksaan foto rontgen thorak AP didapatkan gambaran

hiperlusen di hemithorakas kiri.

Pasien tersebut di diagnosis dengan open pneumothoraks dengan diagnosis banding

tension pneumothorax dan suspek ruptur aorta. Diagnosis tension pnuemothorax pada pasien

bisa disingkirkan mengingat belum adanya manifestasi kolaps kardiovaskuler dan

ketidakstabilan hemodinamik seperti takikardia berat (>140 x/menit), hipotensi, sianosis atau

deviasi trakea. Diagnosis diseksi aorta disingkirkan pertama dari anamnesis yaitu nyeri yang

18
dirasakan pasien tidak khas, sedangkan pada diseksi aorta akan terasa sangat nyeri dan sifatnya

khas seperti dirobek. Faktor resiko utama pada diseksi aorta adalah hipertensi dan aneurisma

aorta yang mana hal tersebut tidak dimiliki pasien. Sangat sedikit kasus diseksi aorta yang

disebabkan oleh adanya trauma pada dada.

Pasien juga didiagnosis dengan emfisema subkutis regio colli sinistra yang ditegakkan

dari pemeriksaan fisik terdapat krepitasi dan pemeriksaan rontgen thoraks yang

memperlihatkan adanya soft tissue swelling dan sebaran udara pada subkutan regio colli

sinistra pasien.

Tatalaksana pada pasien di IGD meliputi pemasangan NRM O2 10L. Pemberian

oksigen akan mempercepat absorbsi udara di rongga toraks sebanyak 4x dibandingkan dengan

tanpa oksigen. Oksigen akan mengurangi tekanan parsial nitrogen di dalam kapiler darah

sekitar rongga pleura dan akan meningkatkan gradien tekanan parsial nitrogen. Hal ini akan

menyebabkan nitrogen ke dalam kapiler pembuluh darah di sekitar rongga pleura dan diikuti

oleh gas lain. Pemberian oksigen pada konsentrasi tinggi harus diberikan pada seluruh kasus

pneumotoraks. Pemasangan WSD dilakukan untuk mengeluarkan udara yang terperangkap di

rongga pleura, pada RIC 5-6 anterior axilla line thoraks sinistra. Dilakukan hecting pada luka

tersebut untuk memutus hubungan pleura dengan udara luar. Selain itu, selama perawatan

pasien diberikan antibiotik ceftriakson untuk pencegahan infeksi pada luka dan juga

pencegahan terjadinya infeksi paru karena bakteri yang masuk melalui celah luka. Pasien juga

diberikan injeksi ketorolak 2 amp untuk mengurangi nyeri.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Arief N, Syahruddin E. Pneumotoraks. Hal 1-2 Jakarta. 2008.


2. Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868-74
3. Bascom R. Pneumothorax. 2006. Available from:
http://www.emedicine.com/med/fulltopic/topic1855.htm#section%7EIntroduction
4. Chang AK. Pneumothorax, Iatrogenic, Spontaneous and Pneumomediastinum. 2007.
Available from: http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC469.HTM
5. Boowan JG. Pneumotoraks, Tension and traumatic. 2006. Available from:
http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC470.HTM
6. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA. Fishman’s Pulmonary diseases and disorders ; 2008
7. American College of Chest Physicians. Management of spontaneous pneumothorax: An
American College of Chest Physicians Delphi Consensus Ststement. Chest 2001 ; 119: 590-
602

20

Anda mungkin juga menyukai