DOSEN PEMBIMBING :
ROSLY ZUNAEDI, S.KEP., NERS., M.KEP
ARYANTI SUKRISNI, S.KEP., NERS
DISUSUN OLEH :
NAMA : VENI EKA SEPTIYANA HIDAYANTI
NIM : 181014201654
Disusun Oleh :
NAMA : VENI EKA SEPTIYANA HIDAYANTI
NIM : 181014201654
Disetujui Pada :
HARI : SABTU
TANGGAL : 18 JUNI 2022
A. DEFINISI
Pneumothorax adalah suatu keadaan dimana terdapatnya udara pada
rongga potensial diantara pleura visceral dan pleura parietal. Pada keadaan
normal rongga peura di penuhi oleh paru-paru yang mengembang pada saat
inspirasi disebabkan karena adanya tegangan permukaaan (tekanan negatif)
antara kedua permukaan pleura, adanya udara pada rongga potensial di
antara pleura visceral dan pleura parietal menyebabkan paru-paru terdesak
sesuai dengan jumlah udara yang masuk kedalam rongga pleura tersebut,
semakin banyak udara yang masuk kedalam rongga pleura akan
menyebabkan paru–paru menjadi kolaps karena terdesak akibat udara yang
masuk meningkat tekanan pada intrapleural. Secara otomatis terjadi juga
gangguan pada proses perfusi oksigen kejaringan atau organ, akibat darah
yang menuju kedalam paru yang kolaps tidak mengalami proses ventilasi,
sehingga proses oksigenasi tidak terjadi (Syaputra, 2019).
Pneumothorax adalah adanya udara yang terdapat antara pleura visceralis
dan cavum pleura. Pneumothorax dapat terjadi secara spontan atau karena
trauma. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga
paruparu dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam
kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh karena adanya kerobekan pleura
visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari alveolus akan
memasuki kavum pleura. Pneumothorax jenis ini disebut sebagai closed
pneumothorax. Apabila kebocoran pleura visceralis berfungsi sebagai katup,
maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum
pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak
sehingga
mendorong mediastinum kearah kontralateral dan menyebabkan terjadinya
tension pneumothorax (Umum et al., 2017).
Yang kedua disebabkan karena robeknya dinding dada dan pleura
parietalis sehingga terdapat hubungan antara kavum pleura dengan dunia
luar. Apabila lubang yang terjadi lebih besar dari 2/3 diameter trakea, maka
udara cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding traktus
respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan dalam rongga
dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang
tadi dan menyebabkan kolaps pada paru ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan
rongga dada meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui
lubang
tersebut. Kondisi ini disebut sebagai open pneumothorax (Salatiga, 2018).
B. ETIOLOGI
Pneumothorax yang disebabkan oleh trauma biasanya dibagi menjadi dua,
yaitu cidera langsung dan tidak langsung pada dada yang selanjutnya
disubklasifikasikan menjadi iatrogenik atau noniatrogenik. Belakangan disebut
juga dengan luka penetrasi atau non-penetrasi (misalnya dari kecelakaan lalu
lintas, luka tembak, fraktur costae yang menyebabkan puncture pada paru,
dan lain-lain). Pneumothorax iatrogenik merupakan kejadian pneumothorax
yang disebabkan oleh komplikasi tindakan atau tertusuknya paru karena
prosedur medis baik sengaja atau tidak disengaja. Tindakan medis tersebut
antara lain pemasanngan subclavian vein cannulation, aspirasi dan biopsi
pleura, transthoracic or transbronchial lung biopsy etc. Selanjutnya dijelaskan
bahwa pneumothorax juga dapat terjadi karena perkembangan dari kondisi
barotrauma (lung injury) yang disebabkan oleh pengaplikasian dari positive
airway pressure selama mechanical ventilation (Amanda & Wijayanti, n.d.
2021).
1. Spontan
Terjadi secara spontan tanpa didahului kecelakaan atau trauma.
Pneumotoraks spontan dapat diklasifikasikan menjadi Pneumotoraks
Spontan Primer dan Pneumotoraks Spontan Sekunder.
a. Pneumotoraks Spontan Primer biasanya disebabkan oleh pecahnya
bleb pada paru (sering terjadi pada pria muda yang tinggi kurus dan
pada Marfan syndrome atau pada orang sehat tanpa didahului oleh
penyakit paru)
b. Pneumotoraks Spontan Sekunder seringkali terjadi akibat komplikasi
dari penyakit paru, misalnya Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK),
cystic fibrosis, dan interstitial lung disesase
2. Traumatis
Pneumothorax yang disebabkan oleh trauma biasanya dibagi menjadi
dua, yaitu cidera langsung dan tidak langsung pada dada yang
selanjutnya disubklasifikasikan menjadi iatrogenik atau noniatrogenik.
Belakangan disebut juga dengan luka penetrasi atau non-penetrasi
(misalnya dari kecelakaan lalu lintas, luka tembak, fraktur costae yang
menyebabkan puncture pada paru, dan lain-lain).
Pneumothorax iatrogenik merupakan kejadian pneumothorax yang
disebabkan oleh komplikasi tindakan atau tertusuknya paru karena
prosedur medis baik sengaja atau tidak disengaja. Tindakan medis
tersebut antara lain pemasanngan subclavian vein cannulation, aspirasi
dan biopsi pleura, transthoracic or transbronchial lung biopsy etc.
Selanjutnya dijelaskan bahwa pneumothorax juga dapat terjadi karena
perkembangan dari kondisi barotrauma (lung injury) yang disebabkan
oleh pengaplikasian dari positive airway pressure selama mechanical
ventilation (Yasmine & Wintoko, 2020a).
D. KLASIFIKASI
Beberapa literatur menyebutkan klasifikasi pneumothoraks menjadi 2 yaitu,
pneumotoraks spontan dan pneumotoraks traumatik. Ada juga yang
mengklasifikasikannya berdasarkan etiloginya seperti Spontan pneumotoraks
(spontan pneumotoraks primer dan spontan pneumotoraks sekunder),
pneumotoraks traumatik, iatrogenik pneumotoraks. serta ada juga yang
mengklasifikasinya berdasarkan mekanisme terjadinya yaitu, pneumotoraks
terbuka (open pneumotoraks), dan pneumotoraks terdesak (tension
pneumotoraks). Seperti dikatakan diatas pneumotoraks dapat diklasifikasikan
sesuai dengan dasar etiologinya seperti Spontan pneumotoraks, dibagi
menjadi 2 yaitu, Spontan Pneumotoraks primer (primery spontane
pneumothorax) dan Spontan Pneumotoraks Sekunder (secondary spontane
pneumothorax), pneumotoraks trauma, iatrogenic pneumotoraks (Salatiga,
2018).
1. Pneumotoraks Spontan Primer (primery spontaneous pneumothorax)
Dari kata “primer” ini dapat diketahui penyebab dari pneumotoraks
belum diketahui secara pasti, banyak penelitian dan terori telah di
kemukakan untuk mencoba menjelaskan tentang apa sebenarnya
penyebab dasar dari tipe pneumotoraks ini. Ada teori yang menyebutkan,
disebabkan oleh factor konginetal, yaitu terdapatnya bula pada subpleura
viseral, yang suatu saat akan pecah akibat tingginya tekanan intra pleura,
sehingga menyebabkan terjadinya pneumotoraks.
Bula subpleura ini dikatakan paling sering terdapat pada bagian
apeks paru dan juga pada percabangan trakeobronkial. Pendapat lain
mengatakan bahwa PSP ini bisa disebabkan oleh kebiasaan merokok.
Diduga merokok dapat menyebabkan ketidakseimbangan dari protease,
antioksidan ini menyebabkan degradasi dan lemahnya serat elastis dari
paru-paru, serta banyak penyebab lain yang kiranya dapat membuktikan
penyebab dari pneumotoraks spontan primer.
2. Pneumotoraks Spontan Sekunder (Secondary Spontaneus
Pneumothorax)
Pneumotoraks spontan sekunder merupakan suatu pneumotoraks
yang penyebabnya sangat berhubungan dengan penyakit paru-paru,
banyak penyakit paru-paru yang dikatakan sebagai penyebab dasar
terjadinya pneumotoraks tipe ini. Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD), infeksi yang disebabkan oleh bakteri pneumocity carinii, adanya
keadaan immunocompremise yang disebabkan oleh infeksi virus HIV,
serta banyak penyebab lainnya, disebutkan penderita pneumotoraks tipe
ini
berumur diantara 60-65 tahun (Yasmine & Wintoko, 2020b).
3. Pneumotoraks Trauma
Pneumotoraks trauma adalah pneumotoraks yang disebabkan oleh
trauma yang secara langsung mengenai dinding dada, bisa disebabkan
oleh benda tajam seperti pisau, atau pedang, dan juga bisa disebabkan
oleh benda tumpul. Mekanisme terjadinya pneumotoraks trauma tumpul,
akibat terjadinya peningkatan tekanan pada alveolar secara mendadak,
sehingga menyebabkan alveolar menjadi rupture akibat kompresi yang
ditimbulkan oleh trauma tumpul tersebut, pecahnya alveolar akan
menyebabkan udara menumpuk pada pleura visceral, menumpuknya
udara terus menerus akan menyebabkan pleura visceral rupture atau
robek sehingga menimbulkan pneumotorak. Jika pada mekanisme
terjadinya pneumotoraks pada trauma tajam disebabkan oleh penetrasi
benda tajam tersebut pada dinding dada dan merobek pleura parietal dan
udara masuk melalui luka tersebut ke dalam rongga pleura sehingga
terjadi pneumotoraks (Erdiyenti & Anggrainy, 2020).
4. Iatrogenik Pneumotoraks
Banyak penyebab yang dilaporkan mendasari terjadinya
pneumotoraks iatrogenic, penyebab paling sering dikatakan pemasangan
thransthoracic needle biopsy. Dilaporkan juga kanalisasi sentral dapat
menjadi salah satu penyebabnya. Pada dasarnya dikatakan ada dua hal
yang menjadi faktor resiko yang menyebabkan terjadinya pneumotoraks
iatrogenic yaitu pertama adalah dalamnya pemasukan jarum pada saat
memasukannya dan kedua, ukuran jarum yang kecil, menurut sebuah
penelitian kedua itu memiliki korelasi yang kuat terjadinya
pneumotoraks.Berdasarkan mekanisme dari terjadinya pneumotoraks
dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks terdesak (tension
pneumotoraks), dan pneumutoraks terbuka (open pneumothorax)
(Suarjaya & Kedokteran, 2020).
5. Pneumotoraks Terdesak (Tension Pneumothorax)
Suatu pneumotoraks yang merupakan salah satu kegawat daruratan
pada cedera dada. Keadaan ini terjadi akibat kerusakan yang
menyebabkan udara masuk kedalam rongga pleura dan udara tersebut
tidak dapat keluar, keadaan ini disebut dengan fenomena ventil (one–
way-valve). Akibat udara yang terjebak didalam rongga pleura ssehingga
menyebabkan tekanan intrapleura meningkat akibatnya terjadi kolaps
pada paru-paru, hingga menggeser mediastinum ke bagian paru-paru
kontralateral, penekanan pada aliran vena balik sehingga terjadi hipoksia.
Banyak literatur masih memperdebatkan efek dari pneumotoraks dapat
menyebabkan terjadinya kolaps pada sistem kardiovaskular. Dikatakan
adanya pergeseran pada mediastinum menyebabkan juga penekanan
pada vena kava anterior dan superior, disebutkan juga hipoksia juga
menjadi dasar penyebabnya, hipoksia yang memburuk menyebabkan
terjadinya resitensi terhadap vaskular dari paru-paru yang diakibatkan
oleh vasokonstriksi. Jika gejala hipoksia tidak ditangani secepatnya,
hipoksia ini akan mengarah pada keadaan asidosis, kemudian disusul
dengan menurunnya cardiac output sampai akhirnya terjadi keadaan henti
jantung (Erdiyenti & Anggrainy, 2020).
6. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothoraks)
Keadaan pneumotoraks terbuka ini tersering disebabkan oleh adanya
penetrasi langsung dari benda tajam pada dinding dada penderita
sehingga meninmbulkan luka atau defek pada dinding dada. Dengan
adanya defek tersebut yang merobek pleura parietal, sehingga udara
dapat masuk kedalam rongga pleura. Terjadinya hubungan antara udara
pada rongga pleura dan udara dilingkungan luar, sehingga menyebabkan
samanya tekanan pada rongga pleura dengan udara di diatmosper. Jika
ini didiamkan akan sangat membahayakan pada penderita. Dikatakan
pada beberapa literatur jika sebuah defek atau perlukaan pada dinding
dada lebih besar 2/3 dari diameter trakea ini akan menyebabkan udara
akan masuk melalui perlukaan ini, disebabkan tekanan yang lebih
kecil dari trakea. Akibat masuknya udara lingkungan luar kedalam rongga
pleura ini, berlangsung lama kolaps paru tak terhindarkan, dan berlanjut
gangguan ventilasi dan perfusi oksigen kejaringan berkurang sehingga
menyebabkan sianosis sampai distress respirasi (Yasmine & Wintoko,
2020).
E. PATOFIOLOGI
Apabila pneumotoraks terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki
tekanan yang lebih tinggi daripada udara dalam paru sebelahnya. Udara
memasuki rongga pleura dari tempat ruptur pleura yang bekerja seperti katup
satu arah. Kesulitan dalam proses ekspirasi akan mengarah pada
terperangkapnya udara didalam pulmo, yang dikenal sebagai hiperinflasi.
Rongga besarberisi udara yang terperangkap. Pada foto polos
thorax, tampak sebagai lesi yang timbul di parenkim pulmo yang normal, yang
dibatasi olehmembran fibrous yang tipis dan irreguler. Pada keadaan infeksi,
selain terisi udara, juga akan terisi cairan. Selain dapat menimbulkan
obstruksipada jaringan pulmo yang berdekatan, juga dapatmenimbulkan
tekanan pada pulmo kontralateral sehingga menggangu fungsinya. Dapat
disimpulkan, bahwa bahkan jaringan pulmo yang tidak terpengaruh.
Langsung, akan menjadi kurang efektif. Sebagian besarmembesar dalam
waktu lama. Namun terdapat kasus dimanamembesar dalam waktu singkat,
sehingga secara cepat akan mempengaruhiparenkim pulmo di sekitarnya.
Selain dengan terapi yang bersifat invasif dapat menghilang atau mengecil
baik secara spontan atau setelah terjadi infeksiatau perdarahan (Ucpinar et
al., 2020).
Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk
melakukan proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang, tulang –
tulang yang menyusun struktur pernapasan seperti tulang klafikula, sternum,
scapula. Kemudian yang kedua adalah otot-otot pernapasan yang sangat
berperan pada proses inspirasi dan ekspirasi. Jika salah satu dari dua struktur
tersebut mengalami kerusakan, akan berpengaruh pada proses ventilasi dan
oksigenasi. contoh kasusnya, adanya fraktur pada tulang iga atau tulang
rangka akibat kecelakaan, sehingga bisa terjadi keadaaan flail chest atau
kerusakan pada otot pernapasan akibat trauma tumpul, serta adanya
kerusakan pada organ viseral pernapasan seperti, paru-paru, jantung,
pembuluh darah dan organ lainnya di abdominal bagian atas, baik itu
disebabkan oleh trauma tumpul, tajam, akibat senapan atau gunshot (Zantah
et al., 2020).
Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses respirasi, udara tidak
akan dapat masuk kedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan tekanan
parsial dari udara pada kapiler pembuluh darah rata-rata (706 mmHg).
Pergerakan udara dari kapiler pembuluh darah ke rongga pleura, memerlukan
tekanan pleura lebih rendah dari -54 mmHg (-36 cmH2O) yang sangat sulit
terjadi pada keadaan normal. Jadi yang menyebabkan masuknya udara pada
rongga pleura adalah akibat trauma yang mengenai dinding dada dan
merobek pleura parietal atau visceral, atau disebabkan kelainan konginetal
adanya bula pada subpleura yang akan pecah jika terjadi peningkatan
tekanan pleura (Quincho-lopez et al., 2020).
F. PATHWAY
Trauma dada (tumpul atau tajam) PNEUMOTHORAKS
MK : Nyeri Akut
Udara dari luar dapat masuk ke rongga pleura
Menekan organ dan
MK : Gangguan Udara dari luar terhisap masuk ke dalam rongga pleura paru yang sehat
Mobilitas Fisik
Perawatan WSD
Pasokan oksigen ke system MK : Pola Nafas
pencernaan menurun Tidak Efektif
Kurangnya prinsip
steril
Mortilitas usus menurun
Suplai oksigen
MK : Risiko Infeksi menurun, kebutuhan
Anoreksia oksigen meningkat
Terjadi keletihan,
kelemahan
MK : Intoleransi
Aktivitas
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium studi
a. Hematokrit dari cairan pleura
1) Pengukuran hematokrit hampir tidak pernah diperlakukan pada
pasien dengan hematothorax traumatis.
2) Studi ini mungkin diperlakukan untuk analisis berdarah
nontraumatik efusi dari penyebabnya. Dalam khusus tersebut,
sebuah efusi pleura dengan hematokrit lebih dari 50 % dari yang
hematokrit beredar deanggap sebagai hematothorax.
b. Imaging study
1) Chest radiography
Chest radiography adalah studi ideal untuk diagnostik dalam
evaluasi hematothorax. Dalam unscarred normal, rongga pleura
yang hemothtorax dicatat sebagai meniskus cairan menumpulkan
costophiremic diafragmatik sudut atau permukaan dan penentuan
atas margin pleura dinding dada saat dilihat pada hasil thorax foto
AP. Pada dasarnya tampakan yang sama ditemukan pada
radiography dada pasien dengan efusi pleura. Pengaturan posisi
pada trauma akut, ialah posisi terlentang agar diagnosa dapat
ditegakkan dan terapi definitif dapat diberikan. Jika kejadian
hematothorax jauh lebih sulit untuk mengevaluasi pada film
terlentang (Ucpinar et al., 2020).
2) Ultrasonography
Ultrasonography USG digunakan di beberapa pusat trauma
untuk melakukan evaluasi awal pasien hematothorax. Salah satu
kekurangan dari USG dalam identifikasi traumatis terkait
hematothorax adalah luka–luka yang terlihat pada radiography
dada pada pasien trauma, seperti cedera tulang, mediastinum
yang
melebar dan pneumothorax, tidak mudah diidentifikasi di dada
Ultrasonograph gambar. Ultrasonography lebih mungkin berperan
dalam kasus–kasus tertentu dimana x–ray dada pada
hematothorax yang samar–samar (Kusuma, 2019).
3) CT Scan
CT scan sangat akurat studi diagnostik cairan pleura atau
darah. Pengaturan trauma tidak memegang peran utama dalam
diagnostik hematothorax tetapi melengkapi data radiography.
Karena banyak korban trauma tumpul melakukan rontgen dada
atau evaluasi CT scan abdomen. Saat ini CT scan adalah penentu
terbesar dalam penegakan diagnostik kemudian untuk lokalisasi
dan klasifikasi
dari setiap temuan dalam rongga pleura.
4) Sinar X Dada
Menyatakan akumulasi udara atau cairan pada era pleura,
dapat menunjukkan penyimanan struktur mediatinal jantung.
2. GDA
Variable tergantung dari serajat fungsi paru yang dipengaruhi,
gangguan mekanisme pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.
P4CO2 mungkin normal atau menurun, saturasi O2 biasanya menurun
3. Torasentesis
Menyatakan darat atau cairan sero anguinora (hemotoraks)
4. HB
Mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah
I. DAFTAR PUSTAKA
Amanda, A. P., & Wijayanti, O. (n.d.). Pneumotoraks pada Tuberkulosis Milier :
Sebuah Laporan Kasus.
Erdiyenti, E. M., & Anggrainy, F. (2020). Pneumothoraks Spontan Inhalasi
Metamfetamin Bilateral : Komplikasi Spontaneous Bilateral
Pneumothorax : Complications of Methamphetamine Inhalation. 28(2),
14–20.
Kusuma, S., & Surakarta, H. (2020). PENGARUH BREATHING EXERCISE
DAN STRETCHING TERHADAP PENURUNAN SESAK PADA KASUS
PNEUMOTHORAX BILATERAL THE EFFECT OF BREATHING
EXERCISE AND STRETCHING FOR DECREASE BREATHING
DIFFICULTIES IN BILATERAL PNEUMOTHORAX Program Studi
Fisioterapi Program Pendidikan Vokasi , Universitas Indonesia P-ISSN E-
ISSN. 1(1).
Parsaoran, R., Simamora, A., Rasyidah, R., Radiologi, D., Abdul, R. H., &
Lampung, M. (2020). Laporan Kasus : Radiografi Thorax pada Pasien Tb
Paru dengan Pneumothorax Spontan Sekunder Case Report : Chest
Radiograpy in Pulmonary Tb Patient with Secondary Spontaneous
Pneumothorax. 9, 2–6.
Pratama, V. D., Studi, P., Iii, D., Kesehatan, F. I., & Surakarta, U. M. (2014).
Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus pneumothorax.
Quincho-lopez, A., Quincho-lopez, D. L., & Hurtado-medina, F. D. (2020).
Case Report : Pneumothorax and Pneumomediastinum as Uncommon
Complications of COVID-19 Pneumonia — Literature Review. 103(3),
1170–1176. https://doi.org/10.4269/ajtmh.20-0815
Salatiga, A. W. (2018). PNEUMOTHORAX BILATERAL DI RS PARU.
Santoso, I. A. J. I. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Pneumothorax, IMAM
AJI SANTOSO, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015.
Suarjaya, P. P., & Kedokteran, F. (2020). EARLY IDENTIFICATION AND
BASIC LIFE SUPPORT FOR. 1–18.
Syaputra, M. A. (2019). Karya tulis ilmiah asuhan keperawatan pada pasien
tuberkulosis paru di ruang seruni rsud abdul wahab sjahranie samarinda.
Ucpinar, B. A., Sahin, C., & Yanc, U. (2020). Journal of Infection and Public
Health Spontaneous pneumothorax and subcutaneous emphysema in
COVID-19 patient : Case report. Journal of Infection and Public Health,
13(6), 887–889. https://doi.org/10.1016/j.jiph.2020.05.012
Umum, S., Haji, P., Malik, A., & Tahun, M. (2017). Skripsi karakteristik pasien
trauma toraks di rumah sakit umum pusat haji adam malik medan tahun
2015.
Universitas indonesia analisis asuhan keperawatan pada pasien
pneumothorax dengan intervensi. (2019).
Wang, W., Gao, R., Zheng, Y., & Jiang, L. (2020). COVID-19 with
spontaneous pneumothorax , pneumomediastinum and subcutaneous
emphysema. April, 1–2. https://doi.org/10.1093/jtm/taaa062
Yasmine, M. N., & Wintoko, R. (2020a). Laporan Kasus : Pneumotoraks
Katamenial pada Wanita 30 Tahun dengan Endometriosis Case Report :
Catamenial Pneumothorax in 30 Year old Woman With Endometriosis. 9,
1–5.
Yasmine, M. N., & Wintoko, R. (2020b). Laporan Kasus : Pneumotoraks
Katamenial pada Wanita 30 Tahun dengan Endometriosis Case Report :
Catamenial Pneumothorax in 30 Year old Woman With Endometriosis. 9,
91–95.
Zantah, M., Castillo, E. D., Townsend, R., Dikengil, F., & Criner, G. J. (2020).
Pneumothorax in COVID-19 disease- incidence and clinical
characteristics. 1–9.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara lengkap dan
sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan
keperawatan yang di hadapi pasien baik fisik, mental, social maupun spiritual
dapat ditentukan. Tahap ini mencakup tiga kegiatan yaitu pengumpulan data,
analisis data penentuan masalah kesehatan serta keperawatan. Diperoleh
data dan informasi mengenai masalah kesehatan yang ada pada pasien
sehingga dapat ditentukan tindakan yang harus di ambil untuk mengatasi
masalah tersebut yang menyangkut aspek fisik, mental, sosial dan spiritual
serta faktor
lingkungan yang mempengaruhinya.
Sistem adaptasi mempunyai input berasal dari internal. Roy
mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus. Stimulus sebagai suatu unit
informasi, kejadian atau energi dari lingkungan. Sejalan dengan adanya
stimulus, tingkat adaptasi individu direspons sebagai suatu input dalam sistem
adaptasi. Tingkat adaptasi tersebut tergantung dari stimulus yang didapat
berdasarkan kemampuan individu. Tingkat respons antara individu sangat
unik dan bervariasi tergantung
pengalaman yang didapatkan sebelumnya, status kesehatan individu, dan
stresor yang diberikan.
Stresor yang dimaksudkan pada input (pengumpulan data) adalah stresor
psikososial yang dapat digunakan dalam pengembangan kerangka berpikir
kritis pada paradigma psikoneuroimmunologi. Pengkajian dan diagnosis
dalam proses keperawatan merupakan suatu input (stresor) yang didasarkan
hasil wawancara, pemeriksaan fisik dan data laboratorium. Permasalahan
timbul jika sistem adaptasi tersebut tidak dapat merespons dan
menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan dalam
upaya mempertahankan integritas sistem. Menghadapi era global saat ini,
diharapkan perawat juga harus mampu menganalisis data-data mulai dari
tingkat sistem, organ, sel, dan molekul/ gen. Indikator imunitas sebagai acuan
perawat untuk mampu merumuskan masalah secara akurat. Masalah yang
ditemukan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Adapun langkah-langkah dalam pengkajian ini menurut Wijaya, dkk (2013),
adalah sebagai berikut :
1. Identitas pasien
Dikaji tentang identitas klien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku bangsa, pendidikan terakhir, status perkawinan, alamat,
diagnosa medis, nomor medrek, tanggal masuk Rumah Sakit dan tanggal
pengkajian. Juga identitas penanggung jawab klien yang meliputi : nama,
umur, jenis kelamin, agama, pendidikan terakhir dan hubungan dengan
klien.
2. Keluhan Utama
Merupakan keluhan yang dirasakan klien saat dilakukan pengkajian,
nyeri biasanya menjadi keluhan yang paling utama terutama pada pasien
post op craniotomy.
3. Alasan Masuk
Merupakan alasan yang mendasari klien dibawa ke Rumah Sakit
atau kronologis yang menggambarkan perilaku klien dalam mencari
pertolongan.
4. Riwayat Kesehatan Sekarang
Merupakan pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien
melalui metode PQRST dalam bentuk narasi:
P (Provokatif/Pariatif) : Hal yang memperberat atau memperingan, nyeri
yang dirasakan biasanya bertambah bila klien berjalan, bersin, batuk atau
napas dalam. Klien dengan post craniotomy biasanya merasakan nyeri
semakin berat saat digerakan, dan nyeri dirasakan berkurang saat
didiamkan.
Q (Quality/Quantity) : Kualitas dari suatu keluhan atau penyakit yang
dirasakan. Biasanya nyeri yang dirasakan klien seperti ditusuk-tusuk.
R (Region/Redition) : adalah daerah atau tempat dimana keluhan
dirasakan, apakah keluhan itu menyebar atau mempengaruhi ke area
lain. Biasanya lokasi nyeri dirasakan sekitar kepala yang telah dilakukan
pembedahan.
S (Saverity/Scale) : adalah keganasan atau intensitas (skala) dari keluhan
tersebut. Skala nyeri antara 0-5. Nyeri yang dirasakan tergantung dari
individu biasanya diukur menggunakan skala nyeri 0-5
T (Time) : adalah waktu dimana keluhan dirasakan pada klien yang
mengeluh nyeri tanyakan apakah nyeri berlangsung terus menerus atau
tidak. Biasanya klien merasakan nyeri terus-menerus.
5. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya Riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemia, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif dan konsumsi alcohol berlebihan
6. Pemeriksaan Fisik
a. Pola pengkajian
Pola fungsi kesehatan daat dikaji melalui pola Gordon dimana
pendekatan ini memungkinkan perawat untuk mengumpulkan
data secara sistematis dengan cara mengevaluasi pola fungsi
kesehatan dan memfokuskan pengkajian fisik pada masalah
khusus. Model konsep dan tipologi pola kesehatan fungsional
menurut Gordon:
1) Pola persepsi manajemen Kesehatan
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan penanganan
kesehatan. Persepsi terhadap arti kesehatan, dan
penatalaksanaan kesehatan, kemampuan menyusun tujuan,
pengetahuan tentang praktek kesehatan. Sensorik dan motorik
menurun atau hilang, mudah terjadi injuri, perubahan persepsi dan
orientasi.
2) Pola nutrisi metabolic
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan dan elektrolit,
nafsu makan, pola makan, diet, fluktasi BB dalam 1 bulan terakhir,
kesulitan menelan, mual/muntah, daya sensori hilang di daerah
lidah, pipi, tenggorokan dan dyspagia. Pada klien post craniotomy
biasanya terjadi penurunan nafsu makan akibat mual dan muntah.
3) Pola eliminasi
Manajemen pola fungsi ekskresi, kandung kemih dan kulit,
kebiasaan defekasi, ada tidaknya masalah defekasi, masalah
miksi (oliguri, disuria, dll), frekuensi defekasi dan miksi,
karakteristik urine dan feses, pola input cairan, infeksi saluran
kemih, distensi abdomen, suara usus hilang. Pada klien post
craniotomy pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Setelah pembedahan klien mungkin
mengalami inkontinensia urine, ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan
mempergunakan system perkemihan karena kerusakan kontrol
motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol spingter urinarius
hilang atau berkurang.
4) Pola latihan aktivitas
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernapasan, dan
sirkulasi, riwayat penyakit jantung. Kesulitan aktifitas akibat
kelemahan, hilangnya rasa, paralisis, hemiplegi, mudah lelah.
Dalam aktivitas sehari-hari dikaji pada pola aktivitas sebelum sakit
dan setelah sakit.
5) Pola kognitif perseptual
Menjelaskan persepsi sensori kognitif. Pola persepsi sensori
meliputi pengkajian fungsi penglihatan, pendengaran, dan
kompensasinya terhadap tubuh. Gangguan penglihatan
(penglihatan kabur), dyspalopia, lapang pandang menyempit.
Hilangnya daya sensori pada bagian yang berlawanan dibagian
ekstremitas dan kadang-kadang pada sisi yang sama di muka.
6) Pola istirahat dan tidur
Menggambarkan pola tidur, istirahat dan persepsi tentang energi.
Jumlah jam tidur pada siang dan malam.
7) Pola konsep diri persepsi diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap
kemampuan.
8) Pola peran hubungan
Mengambarkan dan mengetahui hubungan peran pasien terhadap
anggota keluarga.
9) Pola reproduksi seksual
Menggambarkan pemeriksaan genital.
10) Pola koping stress
Mengambarkan kemampuan untuk mengalami stress dan
penggunaan sistem pendukung. Interaksi dengan orang terdekat,
menangis, kontak mata.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Pasien pernah mengalami trauma kepala, adanya hemato atau
riwayat operasi.
2) Mata
Penglihatan adanya kekaburan, akibat adanya gangguan nervus
optikus (nervus II), gangguan dalam mengangkat bola mata
(nervus III), gangguan dalam memotar bola mata (nervus IV),
gangguan dalam menggerakkan bola mata kelateral (nervus VI).
3) Hidung
Saraf I (pada keadaan post craniotomy klien akan mengalami
kelainan pada fungsi penciuman unilateral atau bilateral.
4) Telinga
Saraf VIII (perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera
kepala ringan biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang
terjadi tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis)
5) Mulut
Saraf V (pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan
paralisis saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan
koordinasi gerak mengunyah), Saraf VII (persepsi pengecapan
mengalami perubahan. Saraf XII (indera pengecapan mengalami
perubahan).
6) Dada atau sistem pernafasan
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari
perubahan jaringan serebral. Pada keadaan hasil dari
pemeriksaan fisik sistem ini akan didapatkan hasil :
1) Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak napas, penggunaan alat bantu napas dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Ekspansi dada : dinilai
penuh atau tidak penuh dan kesimetrisannya. Pada observasi
ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari otot-otot
interkostal, substernal, pernapasan abdomen dan respirasi
paradoks (retraksi abdomen pada saat inspirasi). Pola napas
paradoksal dapat terjadi jika otototot interkostal tidak mampu
menggerakkan dinding dada.
2) Palpasi frenitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
3) Perkusi adanya suara redup sampai pekak.
4) Auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi,
stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi secret
dan kemampuan batuk yang menurun sehingga didapatkan
pada klien dengan penurunan tingkat kesadaran. Pada klien
dengan post craniotomy dan sudah terjadi disfungsi pusat
pernapasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator
dan biasanya klien dirawat di ruang perawatan intensif sampai
kondisi klien menjadi stabil. Pengkajian klien dengan
pemasangan ventilator secara komprehensif merupakan jalur
keperawatan kritis. Pada klien dengan tingkat kesadaran
compos mentis, pengkajian pada inspeksi pernapasan tidak
ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi
napas tambahan.
7) Sistem kardiovaskuler
Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien post craniotomy akibat
cedera kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan
darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardia dan aritmia.
Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan
homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan
oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari perubahan
perfusi jaringan
otak. Kulit kelihatan pucat menunjukkan adanya perubahan perfusi
jaringan atau tanda-tanda awal dari syok
8) Sistem Persayarafan
Post craniotomy akibat cedera kepala menyebabkan berbagai
defisit neurologis terutama akibat pengaruh peningkatan tekanan
intrakranial yang disebabkan adanya perdarahan baik bersifat
hematom intraserebral, subdural dan epidural. Pengkajian sistem
persyarafan merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
9) Ekstremitas
Pengkajian sistem motorik, pada saat inspeksi umum didapatkan
hemiplegia karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda
lain dari tonus otot, kekuatan otot dan keseimbangan dan
koordinasi. Pengkajian refleks dilakukan pemeriksaan refleks
profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum
derajat refleks pada respon normal. Permeriksaan refleks
patologis pada fase akut refleks sisi yang lumpuh akan
menghilang.
c. Analisa data
Analisis data merupakan kemampuan kognitif dalam pengembangan
daya berfikir dan penalaran yang dipengaruhi oleh latar belakang ilmu
dan pengetahuan, pengalaman, dan pengertian keperawatan. Dalam
melakukan analisis data, diperlukan kemampuan mengkaitkan data
dan menghubungkan data tersebut dengan konsep, teori dan prinsip
yang relevan untuk membuat kesimpulan dalam menentukan
masalah kesehatan dan keperawatan pasien.
1) Dasar Analisis
a) Anatomi – fisiologi
b) Patofisiologi penyakit
c) Mikrobiologi – parasitology
d) Farmakologi
e) Ilmu perilaku
f) Konsep-konsep (manusia, sehat-sakit, keperawatan, dll)
g) Tindakan dan prosedur keperawatan
h) Teori-teori keperawatan.
2) Fungsi Analisis
a) Dapat menginterpretasi data keperawatan dan kesehatan,
sehingga data yang diperoleh memiliki makna dan arti dalam
menentukan masalah dan kebutuhan pasien
b) Sebagai proses pengambilan keputusan dalam menentukan
alternatif pemecahan masalah yang dituangkan dalam
rencana asuhan keperawatan, sebelum melakukan Tindakan
keperawatan.
3) Pedoman Analisis Data
a) Menyusun kategorisasi data secara sistematis dan logis
b) Identifikasi kesenjangan data
c) Menentukan pola alternatif pemecahan masalah
d) Menerapkan teori, model, kerangka kerja, nama dan
standart, dibandingkan dengan data senjang
e) Identifikasi kemampuan dan keadaan yang menunjang
asuhan keperawatan pasien
f) Membuat hubungan sebab akibat antara data dengan
masalah yang timbul.
4) Cara Analisis Data
a) Validasi data, teliti kembali data yang telah terkumpul
b) Mengelompokkan data berdasarkan kebutuhan bio-
psikososial dan spiritual
c) Membandingkan dengan standart
d) Membuat kesimpulan tantang kesenjangan (masalah
keperawatan) yang ditemukan
B. PERUMUSAN MASALAH
Masalah kesehatan dirumuskan setelah dilakukan analisa kesehatan.
Masalah kesehatan tersebut ada yang dapat di intervensi dengan asuhan
keperawatan (masalah keperawatan) tetapi ada juga yang tidak dan lebih
memerlukan tindakan medis. Selanjutnya disusun diagnosis keperawatan
sesuai dengan prioritas. Prioritas masalah ditentukan berdasarkan kriteria
penting dan segera. Prioritas masalah juga dapat ditentukan berdasarkan
hierarki kebutuhan menurut Maslow, yaitu : Keadaan yang mengancam
kehidupan, keadaan yang mengancam kesehatan, persepsi tentang
kesehatan dan keperawatan (Muttaqin, 2017).
C. DIAGNOSA
Diagnosis keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon
manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau
kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan
memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan
menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah (Hardman, 2018).
Pemahaman perawat dari konsep penting (atau factor diagnostik)
mengarahkan proses pengkajian dan interpretasi data pengkajian. Perawat
mendiagnosis masalah, kondisi risiko dan kesiapan untuk promosi kesehatan.
Salah satu jenis diagnosis dapat menjadi diagnosis prioritas dan perawat
membuat penilaian klinis. Dalam menghadirkan ilmu pengetahuan
keperawatan, taksonomi menyediakan struktur untuk standar bahasa dalam
mengkomunikasikan diagnosis keperawatan. Dengan menggunakan istilah
SDKI (diagnosis itu sendiri), perawat dapat berkomunikasi satu sama lain
secara professional dengan disiplin ilmu kesehatan lain tentang “apa”
keunikan
keperawatan. Penggunaan diagnosis keperawatan pada interaksi dengan
pasien/perawat dan dapat melibatkan pasien atau keluarga dalam merawat
diri sendiri (Hardman, 2018).
Tujuan pencatatan diagnosa keperawatan adalah
1. Menyediakan definisi yang tepat yang dapat memberikan bahasa yang
sama dalam memahami kebutuhan pasien bagi semua anggota tim
pelayanan Kesehatan.
2. Memungkinkan perawat untuk mengkomunikasikan apa yang mereka
lakukan sendiri, dengan profesi pelayanan kesehatan yang lain, dan
masyarakat.
3. Membedakan peran perawat dari dokter atau penyelenggara pelayanan
kesehatan lain.
4. Membantu perawat berfokus pada bidang praktik keperawatan.
5. Membantu mengembangkan pengetahuan keperawatan.
Perumusan diagnosa keperawatan :
1. Aktual : menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai dengan data klinik
yang ditemukan.
2. Resiko: menjelaskan masalah kesehatan nyata akan terjadi jika tidak
lakukan intervensi.
3. Kemungkinan : menjelaskan bahwa perlu adanya data tambahan
untuk memastikan masalah keperawatan kemungkinan.
4. Wellness : keputusan klinik tentang keadaan individu,keluarga atau
masyarakat dalam transisi dari tingkat sejahtera tertentu ketingkat
sejahtera yang lebih tinggi.
5. Sindrom : diagnosa yang terdiri dar kelompok diagnose keperawatan
aktual dan resiko tinggi yang diperkirakan muncul atau timbul karena
suatu kejadian atau situasi tertentu.
Diagnosa keperawatan asuhan keperawatan pada pasien dengan
pneumothorax adalah sebagai berikut :
1. Gangguan Pertukaran Gas
2. Pola Nafas Tidak Efektif
3. Nyeri Akut
4. Deficit Nutrisi
5. Gangguan Mobilitas Fisik
6. Intoleransi Aktivitas
7. Risiko Infeksi
8. Ansietas
D. INTERVENSI
Roy mendefinisikan bahwa tujuan intervensi keperawatan adalah
meningkatkan respons adaptif berhubungan dengan 4 jenis respons, “nursing
aims is to increase the person’s adaptive response and to decrease ineffective
responses”. Perubahan internal dan eksternal dan stimulus input tergantung
dari kondisi koping individu. Kondisi koping seseorang atau keadaan koping
seseorang merupakan tingkat adaptasi seseorang. Tingkat adaptasi
seseorang akan ditentukan oleh stimulus focal, contextual, dan residual. Focal
adalah suatu respons yang diberikan secara langsung terhadap ancaman /
input yang masuk. Penggunaan focal pada umumnya tergantung tingkat
perubahan yang berdampak terhadap seseorang. Stimulus contextual adalah
semua stimulus lain seseorang baik internal maupun eksternal yang
mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur, dan secara subyektif
disampaikan oleh individu. Stimulus residual adalah karakteristik/riwayat dari
seseorang yang ada dan timbul relevan dengan situasi yang dihadapi tetapi
sulit diukur secara obyektif.
Kolaborasi :
a. Berkolabirasi
dengan dokter
untuk menentukan
dosis yang sesuai
dengan keadaan
pasien
2 Pola Nafas Pola Nafas (L.01004) Intervensi : Observasi :
Tidak Efektif Pemantauan a. Mengetahui
(D.0005) Setelah dilakukan tindakan Respirasi (1.01014) frekuensi, irama,
keperawatan 1 x 24 jam kedalaman dan
Data Mayor : keefektifan pola nafas yang Observasi : upaya bernafas
Subjektif dialami oleh klien teratasi dengan a. Monitor frekuensi, pasien apakah
a. Dipsnea kriteria hasil : irama, kedalaman dalam rentang
dan upaya napas normal
Objektif Indikator 1 2 3 4 5 b. Monitor pola nafas b. Pemantauan pola
a. Penggunaan Dispnea c. Monitor adanya nafas untuk
otot bantu Penggunaan sumbatan jalan mengetahui
pernapasan otot bantu nafas apakah ada
b. Fase nafas d. Palpasi gangguan atau
ekspirasi Pemanjangan kesimetrisan tidak
memanjang fase ekspirasi ekspansi paru c. Pemantauan jalan
c. Pola napas Frekuensi e. Auskultasi bunyi nafas bertujuan
yang nafas nafas untuk mengetahui
abnormal Kedalaman f. Monitor saturasi apakah jalan
(misalnya nafas oksigen nafas pasien ada
takipnea, sumbatan atau
bradipnea, Terapeutik : tidak
hiperventilasi a. Atur interval d. Melakukan palpasi
,kussmaul, pemantauan untuk mengetahui
cheyne- respirasi sesuai kesimetrisan paru
stokes) kondisi pasien pasien saat
b. Dokumentasikan melakukan nafas
Data Minor hasil pemantauan e. Melakukan
Subjektif auskultasi untuk
a. Ortopnea Edukasi : mengetahui bunyi
a. Jelaskan tujuan nafas pasien
Objektif dan proses apakah normal
a. Pernapasan pemantauan apa tidak
pursed lip b. Informasikan hasil f. Pemantauan
b. Pernapasan pemantauan, jika saturasi oksigen
cuping perlu untuk mengetahui
hidung rentang normal
c. Diameter oksigen pada
thoraks pasien
anterior
posterior Terapeutik :
meningkat a. Mengatur interval
d. Ventilasi pasien agar
semenit pernafasan pasien
menurun tetap normal
e. Kapitas vital b. Melakukan
menurun dokumentasi
f. Tekanan untuk pelaporan
Ekspirasi setiap tindakan
menurun yang dilakukan
g. Tekanan pada pasien
Inspirasi
menurun Edukasi :
h. Ekskursi a. Menjelaskan
dada prosedur
berubah pemantauan untuk
menghindari
terjadinya
kesalahan
informasi pada
pasien
b. Menginformasikan
agar keluarga
pasien
mengetahui status
kesehatan pasien
3 Nyeri Akut Tingkat Nyeri (L.08066) Intervensi : Observasi :
(D.0077) Manajemen Nyeri a. Untuk mengetahui
Setelah dilakukan tindakan (1.08238) tingkat nyeri
Data Mayor keperawatan 1 x 24 jam nyeri pasien agar
Subjektif yang dialami oleh klien teratasi Observasi : mendapat
a. Mengeluh dengan kriteria hasil : a. Identifikasi lokasi, intervensi yang
nyeri karakteristik, sesuai
Indikator 1 2 3 4 5 durasi, frekuensi, b. Nyeri dapat diukur
Objektif Keluhan intensitas, dengan skala,
a. Tampak nyeri kualitas nyeri sehingga dapat
meringis Meringis b. Identifikasi skala kita pastikan
b. Bersikap Sikap nyeri penurunan dan
protektif protektif c. Indentifikasi peningkatan
c. Gelisah Gelisah respon non verbal tingkat nyeri
d. Frekuensi Kesulitan c. Penilaian nyeri
nadi tidur Terapeutik : dapat dilihat dari
meningkat Keteganga a. Berikan teknik respon non verbal
e. Sulit tidur n otot non farmakologis pasien
Frekuensi untuk mengurangi
Data Minor : nadi rasa nyeri Terapeutik :
Subjektif b. Kontrol a. Terapi
Tidak tersedia lingkungan yang komplementer
memperberat sebagai
Objektif nyeri penungjang terapi
a. Tekanan c. Fasilitasi istirahat farmakologi
darah dan tidur b. Mengurangi
meningkat tingkat nyeri
b. Pola napas Edukasi : pasien dengan
berubah a. Anjurkan pemberian
c. Nafsu makan monitoring nyeri lingkungan yang
berubah nyaman dan
b. Jelaskan strategi
d. Proses tenang
mengurangi nyeri
berfikir
c. Berikan waktu
terganggu
Kolaborasi : istirahat yang
e. Menarik diri
a. Kolaborasi cukup sehingga
f. Berfokus
pemberian dapat mengurangi
pada diri
analgesik rasa nyeri pada
sendiri
pasien
g. Diaforesis
Edukasi :
a. Evaluasi tingkat
nyeri sebelum
dan sesudah
pemberian
intervensi
b. Peningkatan
pengetahuan
pasien terhadap
nyeri yang dialami
dan cara
penangannya
Kolaborasi :
a. Apabila terapi
manajemen nyeri
tidak dapat
mengurangi rasa
nyeri maka
diperlukan
kolaborasi
dengan tim medis
untuk pemberian
obat anti nyeri
Intervensi : Observasi :
Pengaturan Posisi a. Pemberian
(1.01019) oksigenisaasi tidak
diperlukan apabila
Observasi : pasien tidak
a. Monitor status merasakan nyeri
oksigenisasi dan dapat
sebelum dan pernafasan stabil
sesudah
mengubah posisi Terapeutik :
a. Memudahkan
Terapeutik : pasien
a. Dekatkan objek mendapatkan hal
yang sering yang dibutuhkan
digunakan pasien b. Memudahkan
b. Tempatkan bel pasien dalam
dalam jangkauan meminta batuan
c. Atur posisi yang apabila tidak dapat
disukai (jika tidak dilakukan karena
kontraindikasi) nyeri yang dialami
penggunaan melakukan
Kolaborasi f. Memperlancar
a. Kolaborasi sirkulasi peredaran
premedikasi operasi
sebelum
mengubah posisi, Edukasi :
jika perlu a. Mencegah
terjadinya cedera
pada luka post
operasi
b. Pengurangan
komplikasi post
operasi berkaitan
dengan posisi
yang aman dan
nyaman
Kolaborasi :
a. Apabila nyeri tidak
dapat diatasi
dengan terapi non
farmakologi maka
permberian
premedikasi
sesuai indikasi.
Intervensi : Observasi :
Terapi Relaksasi a. Mengetahui
(1.09326) kondisi psikologis
pasien pada
Observasi : waktu preoperasi
a. Identifikasi b. Penggunaan
penurunan tingkat teknik yang
energi, pernah digunakan
ketidakmampuan dan nyaman bagi
berkonsentrasi, pasien agar dapat
atau gejala lain mengurangi
b. Identifikasi teknik kecemsan
relaksasi yang c. Penilaian teknik
efektif dan pernah relaksasi yang
digunakan digunakan efektif
c. Monitor respon atau tidak
terhadap terapi
relaksasi Terapeutik :
a. Meningkatkan
Terapeutik : efektifitas teknik
a. Ciptakan yang digunakan
lingkungan yang untuk mengurangi
nyaman dan kecemasan
aman b. Mengurangi
b. Berikan prosedur kesalahan dalam
tertulis tas melakukan
tindakan relaksasi prosedur
yang akan
digunakan Edukasi :
a. Meningkatkan
Edukasi : pengetahuan
a. Jelaskan tujuan, pasien terhadap
manfaat, batasan teknik yang
dan jenis diberikan
relaksasi yang b. Agar teknik yang
sesuai dengan digunakan dapat
kondisi efektif dan
b. Anjurkan rileks mengurangi
dan merasakan kecemasan
sensasi yang
c. Teknik paling
digunakan
sederhana yang
c. Demonstrasikan
diberikan yaitu
dan latih teknik
nafas dalam,
relaksasi (nafas
sehingga pasien
dalam)
mampu
mengaplikasikan
secara mandiri
4 Defisit Nutrisi Status Nutrisi (L.03030) Intervensi : Observasi :
(D.0019) Manajemen Nutrisi a. Mengidentifikasi
Setelah dilakukan tindakan (1.03119) status nutrisi untuk
Data Mayor keperawatan 1 x 24 jam mengetahui
Subjektif perubahan nutrisi yang dialami Observasi : perubahan nutrisi
Tidak tersedia oleh klien teratasi dengan kriteria a. Identifikasi status yang dialami oleh
hasil : nutrisi pasien
Objektif b. Identifikasi alergi b. Mengidentifikasi
a. Berat badan Indikator 1 2 3 4 5 dan intoleransi alergi dan
menurun Porsi makanan intoleransi
minimal 10% makanan c. Identifikasi makanan agar
dibawah yang makanan yang tidak terjadi
rentang ideal dihabiskan disukai kesalahan dalam
Kekuatan d. Identifikasi pemberian
Data Minor otot kebutuhan kalori makanan pada
Subjektif mengunya dan jenis nutrient pasien
a. Cepat h e. Identifikasi c. Mengidentifikasi
kenyang Kekuatan perlunya makanan yang
setelah otot penggunaan disukai agar bisa
makan menelan selang nasogastric mengetahui
b. Keram atau Nyeri f. Monitor asupan apakah makanan
nyeri abdomen makanan yang disukai bisa
abdomen Diare g. Monitor berat memicu sakitnya
c. Nafsu makan Berat badan atau tidak
menurun badan h. Monitor hasil d. Mengidentifikasi
Edukasi :
a. Mengajarkan diet
yang
diprogramkan
apabila memang
status nutrisi pada
pasien mengalami
kelebihan
Kolaborasi :
a. Mengkolaborasi
dengan ahli gizi
untuk menentukan
jumlah kalori dan
jenis nutrient yang
dibutuhkan agar
kebutuhan pasien
bisa terpenuhi
5 Gangguan Mobilitas Fisik (L.05042) Intervensi : Observasi :
Mobilitas Fisik Dukungan a. Melakukan
(D.0054) Setelah dilakukan tindakan Mobilisasi (1.05173) identifikasi untuk
keperawatan selama 3x24 jam mengetahui
Data Mayor pasien menunjukkan tidak Observasi : apakah pasien
Subjektif mengalami keterbatasan dalam a. Identifikasi mengalami nyeri
a. Mengeluh gerakan fisik dari satu atau lebih adanya nyeri atau serta mengetahui
sulit ekstermitas secara mandiri keluhan fisik keluhan fisik
menggerakk dibuktikan dengan kriteria hasil : lainnya penyebab nyeri
an b. Identifikasi b. Pemantauan
ekstermitas Indikator 1 2 3 4 5 toleransi fisik keterbatasan
Pergerakan melakukan aktivitas untuk
Objektif ekstermitas pergerakan mengurangi nyeri
a. Kekuatan Kekuatan c. Monitor frekuensi c. Pemantauan
otot menurun otot jantung dan tekanan darah
b. Rentang Rentang tekanan darah untuk mengetahui
gerak gerak sebelum memulai sirkulasi darah
menurun (ROM) mobilisasi pasien tetap
Kecemasan d. Monitor kondisi stabil meskipun
Data Minor Kaku sendi umum selama pasien
Subjektif Gerakan melakukan mengalami fraktur
a. Dyspnea terbatas d. Pemantauan
setelah Kelemahan mobilisasi mobilisasi untuk
aktivitas fisik mengurangi
b. Enggan pergerakan pada
Terapeutik :
melakukan pasien
a. Fasilitasi aktivitas
pergerakan
mobilisasi dengan
c. Merasa tidak Terapeutik :
alat bantu (misal,
nyaman a. Membantu pasien
pagar tempat
setelah untuk melakukan
tidur)
beraktivitas pergerakan bisa
b. Fasilitasi
d. Merasa dengan alat
melakukan
cemas saat bantu untuk
pergerakan, jika
bergerak mencegah pasien
perlu
jatuh
c. Libatkan keluarga
Objektif b. Membantu pasien
untuk membantu
a. Sendi kaku melakukan
pasien dalam
b. Gerakan pergerakan untuk
meningkatkan
tidak mengurangi
pergerakan
terkoordinasi cedera lainnya
c. Gerakan c. Melibatkan
terbatas Edukasi : keluarga untuk
d. Fisik lemah a. Jelaskan tujuan membantu pasien
e. Gambaran dan prosedur agar bisa
EKG mobilisasi melakukan
menunjukan b. Anjurkan mobilisasi
aritmia melakukan
saat/setelah mobilisasi dini Edukasi :
aktivitas c. Ajarkan mobilisasi a. Menjelaskan
f. Gambaran sederhana yang tujuan dan
EKG harus dilakukan prosedur
menunjukan (misal, duduk di mobilisasi untuk
iskemia tempat tidur, mencegah
g. Sianosis duduk di sisi terjadinya
tempat tidur, kesalahan
pindah dari komunikasi
tempat tidur ke antara perawat,
kursi) pasien dan
keluarga
b. Menganjurkan
mobilisasi sedini
mungkin agar
pasien tidak
mengalami
kekauan pada
otot
c. Mengajarkan
mobilisasi
sederhana untuk
mencegah
terjadinya cedera
lebih parah
d.
6 Intoleransi Toleransi Aktivitas (L.05047) Intervensi : Observasi :
Aktivitas Manajemen Energi a. Mengidentifikasi
(SDKI.0056) Setelah dilakukan tindakan (1.051178) gangguan fungsi
keperawatan 1 x 24 jam tubuh yang
Data Mayor hambatan aktivitas yang dialami Observasi : mengalami
Subjektif oleh klien teratasi dengan kriteria a. Identifikasi kelelahan agar
a. Mengeluh hasil : gangguan fungsi bisa memberikan
lelah tubuh yang Tindakan sedini
Indikator 1 2 3 4 5 mengakibatkan mungkin agar
Objektif Frekuensi kelelahan kelelahan yang
a. Frekuensi nadi b. Monitor lokasi dan dialami oleh
jantung Saturasi ketidaknyamann pasien bisa
meningkat oksigen selama melakukan segera diatasi
lebih dari Keluhan lelah aktivitas b. Memonitor lokasi
20% dari Dispnea saat dan
kondisi aktivitas Terapeutik : ketidaknyamanan
istirahat Dispnea a. Lakukan latihan n selama
setelah rentang gerak melakukan
Data Minor aktivitas pasif dan atau aktif aktivitas bisa
Subjektif Sianosis b. Berikan aktivitas membantu
a. Dyspnea Frekuensi distraksi yang pasien agar tidak
setelah nafas menyenangkan terjadi cedera
aktivitas yang berlanjutan
b. Merasa tidak Edukasi :
nyaman a. Anjurkan tirah Terapeutik :
setelah baring a. Melakukan Latihan
beraktivitas b. Anjurkan rentang gerak
c. Merasa melakukan pasif dan atau
lemah aktivitas secara pasif berguna
bertahap untuk mencegah
Objektif c. Ajarkan strategi terjadinya
a. Tekanan koping untuk decubitus yang
darah mengurangi diakibatkan karena
berubah kelelahan terbatasnya pasien
lebih dari ketika tirah baring
20% dari Kolaborasi : b. Memberikan
kondisi a. Kolaborasi dengan aktivitas distraksi
istirahat ahli gizi tentang yang
b. Gambaran cara meningkatkan menyenangkan
EKG asupan makanan guna membantu
menunjukan pasien agar tidak
aritmia terfokus pada rasa
saat/setelah sakit yang
aktivitas dialaminya
c. Gambaran
EKG Edukasi :
menunjukan a. Menganjurkan
iskemia tirah baring untuk
d. Sianosis membantu
memulihkan
tenaga pasien
b. Menganjurkan
melakukan
aktivitas secara
bertahap agar
pasien tidak
mudah mengalami
keletihan
Kolaborasi :
a. Berkolaborasi
dengan ahli gizi
tentang cara
meningkatkan
asupan makanan
agar kebutuhan
nutrisi serta cairan
pada pasien tetap
terpenuhi
7 Risiko Infeksi Tingkat Infeksi (L.14137) Intervensi : Observasi :
(D.0142) Pencegahan Infeksi a. Pemantauan
Setelah dilakukan tindakan (L.14539) tanda gejala
Data Mayor keperawatan selama 1 x 24 jam infeksi untuk
Subjektif pasien menunjukkan tidak Observasi : mencegah
Tidak tersedia mengalami peningkatan a. Monitor tanda dan terjadinya infeksi
Objektif terserang organisme patogenik gejala infeksi
Tidak tersedia dibuktikan dengan kriteria hasil : lokal dan sistemik Terapeutik :
a. Membatasi
Data Minor Indikator 1 2 3 4 5 jumlah
Terapeutik :
Subjektif Demam pengunjung untuk
a. Batasi jumlah
Tidak tersedia Kemerahan mengurangi
pengunjung
Objektif Nyeri penyebaran
b. Berikan
Tidak tersedia Bengkak infeksi
perawatan kulit
Kadar sel b. Melakukan
pada area edema
darah putih perawatan kulit
c. Cuci tangan
Kultur area untuk mencegah
sebelum dan
luka infeksi pada area
sesudah kontak
edema
dengan pasien
c. Mencuci tangan
dan lingkungan
pasien untuk
d. Pertahankan menghindari
teknik aseptik terjadinya
pada pasien penyebaran
berisiko tinggi infeksi
d. Mempertahankan
Edukasi : teknik aseptik
a. Jelaskan tanda untuk mencegah
dan gejala infeksi infeksi pada
b. Ajarkan cara pasien
mencuci tangan
dengan benar Edukasi :
c. Ajarkan cara a. Menjelaskan
memeriksa tanda dan gejala
kondisi luka atau infeksi agar
luka operasi pasien maupun
d. Anjurkan keluarga bisa
meningkatkan mencegah
asupan nutrisi terjadinya infeksi
e. Anjurkan b. Mengajarkan cara
meningkatkan mencuci tangan
asupan cairan agar menghindari
terjadinya
penyebaran
infeksi
c. Mengajarkan
memeriksa luka
operasi untuk
mengetahui
tanda dan gejala
infeksi
d. Menganjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
guna untuk
mencegah
penurunan imun
agar pasien tidak
mudah
mengalami infeksi
e. Menganjurkan
meningkatkan
asupan cairan
guna untuk
mencegah
penurunan imun
agar pasien tidak
mudah
mengalami infeksi
e.
8 Ansietas Tingkat Ansietas (L.09093) Intervensi : Observasi :
(D.0080) Persiapan a. Untuk mengetahui
Setelah dilakukan tindakan Pembedahan kondisi pasien
Data Mayor keperawatan 1 x 24 jam (1.14573) sebelum masuk
Subjektif kecemasan yang dialami oleh kamar operasi baik
a. Merasa klien teratasi dengan kriteria hasil Observasi : secara fisik
bingung : a. Identifikasi maupun psikologis
b. Merasa kondisi umum agar terhindar dari
khawatir Indikator 1 2 3 4 5 pasien komplikasi akibat
dengan Verbalisasi (kesedaran, operasi
akibat dari kebingungan hemodinamik, b. Mengontrol kondisi
kondisi yang Verbalisasi jenis operasi, pasien sebelum
dialami khawatir konsumsi masuk kamar
c. Sulit akibat kondisi koagulan, jenis operasi agar tetap
berkonsentra yang anestesi, penyakit stabil
si dihadapi penyerta, c. Kadar gula darah
Perilaku pengetahuan harus stabil ketika
Objektif gelisah terkait operasi, dilakukan
a. Tampak Perilaku kesiapam pembedahan agar
gelisah tegang psikologis proses
b. Tampak Konsentrasi b. Monitor tekanan penyembuhan luka
tegang Perasaan darah, nasi, operasi baik
c. Sulit tidur keberdayaan pernafasan, suhu
tubuh, BB, EKG Terapeutik :
Data Minor c. Monitor kadar a. Untuk mengetahui
Subjektif gula darah terdapat kelainan
a. Mengeluh darah pada pasien
pusing Terapeutik : sebelum tindakan
b. Anoreksia a. Ambil sampel operasi
c. Palpitasi darah untuk b. Pemeriksaan
d. Merasa tidak pemeriksaan penunjang
berdaya kimia darah dilakukan untuk
b. Fasilitasi mengetahui ada
Objektif pemeriksaan tidaknya gangguan
a. Frekuensi penunjang pada bagian tubuh
nafas c. Puasakan lain
meningkat minimal 6 jam c. Mencegah
b. Frekuensi sebelum terjadinya refluks
nadi pembedahan pada saat
meningkat d. Bebaskan area pembedahan
c. Tekanan kulit yang akan dilakukan
darah dioperasi dari d. Tepat lokasi
meningkat rambu atau bulu pembedahan, dan
d. Diaphoresis ubuh pengurangan
e. Tremor e. Mandikan dengan infeksi luka post
f. Muka cairan antiseptik operasi
tampak minimal 1 jam e. Tindakan
pucat dan maksimal pencegahan
g. Suara malam hari infeksi preoperasi
bergetar sebelum f. Tidak terjadi
h. Kontak mata pembedahan kesalahn yang
buruk f. Pastikan beresiko terhadap
i. Sering kelengkapan keselamatan
berkemih dokumen- pasien
j. Berorientasi dokumen g. Peningkatan
pada masa preoperasi keselamatan
lalu g. Transfer ke pasien preoperasi
kamar operasi hingga post
dengan alat yang operasi
sesuai
Edukasi :
Edukasi : a. Mengurangi
a. Jelaskan tentang kecemasan pada
prosedur, waktu pasien pre operasi
dan lama operasi melalui
b. Jelaskan waktu peningkatan
puasa dan pengetahuan
pemberian obat pasien
premedikasi (jika b. Mengurangi
ada) kecemssan akibat
c. Latih teknik pemberian obat
mengurangi nyeri yang diberikan
pascaoperatif c. Agar pasien
d. Anjurkan mandiri dan dapat
menghentikan manajemen nyeri
obat antikoagulan secara mandiri
e. Ajarkan cara d. Untuk mencegah
mandi dengan terjadinya
antiseptik pendarahan saat
operasi
Kolaborasi : e. Mencegah infeksi
a. Kolaborasi post operasi
pemberian obat
sebelum Kolaborasi :
pembedahan a. Agar tidak terjadi
sesuai indikasi kesalahan dalam
b. Koordinasi pemberian obat
dengan petugas pada pasien pre
gizi tentang dan post operasi
jadwal puasa dan b. Mempercepat
diet pasien penyembuhan
c. Kolaborasi pasien melalui gizi
dengan dokter yang sesuai
bedah jika c. Pencegahan
mengalami komplikasi pada
perburukan pasien akibat
kondisi pembedahan
d. Kolaborasi d. Pemberian
dengan perawat perawatan yang
kamar bedah sesuai dengan
kondisi pasien di
kamar bedah
E. IMPLEMENTASI
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan
ditujukan pada nursing orders untuk membantu pasien mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan
untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan
pasien. Adapun tahap-tahap dalam tindakan keperawatan adalah sebagai
berikut :
1. Tahap 1 : persiapan
Tahap awal tindakan keperawatan ini menuntut perawat untuk
mengevaluasi yang diindentifikasi pada tahap perencanaan.
2. Tahap 2 : intervensi
Fokus tahap pelaksanaan tindakan perawatan adalah kegiatan dan
pelaksanaan tindakan dari perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik
dan emosional. Pendekatan tindakan keperawatan meliputi tindakan
independen, dependen interdependen.
3. Tahap 3 : dokumentasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang
lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan.
F. EVALUASI
Evaluasi merupakan perbandingan yang sistemik dan terencana mengenai
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan secara
berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.
Penilaian dalam keperawatan bertujuan untuk mengatasi pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan
1. Evaluasi Formatif (Proses)
Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi
formatif ini meliputi 4 komponen yang dikenal dengan istilah SOAP :
a. S (subjektif) : Data subjektif dari hasil keluhan klien, kecuali pada klien
yang afasia.
b. O (objektif) : Data objektif dari hasi observasi yang dilakukan oleh
perawat.
c. A (analisis) : Masalah dan diagnosis keperawatan klien yang dianalisis
atau dikaji dari data subjektif dan data objektif.
d. P (perencanaan) : Perencanaan kembali tentang pengembangan
tindakan keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang
dengan tujuan memperbaiki keadaan kesehatan klien.
2. Evaluasi Sumatif (Hasil)
Evaluasi sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan
keperawatan yang telah diberikan. Ada 3 kemungkinan evaluasi yang
terkait dengan pencapaian tujuan keperawatan, yaitu:
a. Tujuan tercapai atau masalah teratasi jika klien menunjukan
perubahan sesuai dengan standar yang telah ditentukan
b. Tujuan tercapai sebagian atau masalah teratasi sebagian atau klien
masih dalam proses pencapaian tujuan jika klien menunjukkan
perubahan pada sebagian kriteria yang telah ditetapkan
c. Tujuan tidak tercapai atau masih belum teratasi jika klien hanya
menunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali
G. DOKUMENTASI
Pendokumentasian yang digunakan dalam kasus ini adalah model
dokumentasi POR (Promblem Oriented Record) menggunakan SOAPIE
(subyek, obyek, analisa, planning, implementasi, evaluasi). Dalam setiap
diagnosa keperawatan penulis melakukan tindakan keperawatan kemudian
penulis mendokumentasikan yaitu dalam memberikan tanda tangan waktu
dan tanggal. Jika ada kesalahan dicoret diberi paraf oleh penulis.