Anda di halaman 1dari 37

ASUHAN KEPERAWATAN

TENSION PNEUMOTHORAKS

DISUSUN OLEH :

NAMA : PEBRIANI

NIM : 202001027

KELAS : R2A KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI S1 NERS


STIKES WIDYA NUSANTARA PALU
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya,
penulis dapat menyelesaikan Makalah Seminar Keperawatan Gawat Darurat yang
berjudul “ Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Tension Pneumotoraks” Tugas
ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam penilaian tugas mata kuliah
Keperawatan Komunitas I. Penulis mengucapkan terimakasih pada semua pihak
yang telah membantu dalam proses penyelesaian tugas ini. Oleh karena itu penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada:

PALU, 18 OKTOBER 2021

PENULIS

2
DAFTAR ISI

COVER ..................................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................2
1.3 Tujuan ...............................................................................................................2
1.4 Manfaat .............................................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian ....................................................................................................5
2.2 Etiologi ........................................................................................................5
2.3 Klasifikasi ...................................................................................................5
2.4 Patofisiologi ................................................................................................5
2.5 Web of Caution ...........................................................................................6
2.6 Manifestasi Klinis .......................................................................................7
2.7 Komplikasi ..................................................................................................7
2.8 Penatalaksanaan ..........................................................................................8
BAB 3 : KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ................................................12
3.1 Pengkajian ......................................................................................................11
3.2 Diagnosa Keperawatan ...................................................................................14
3.3 Intervensi Keperawatan ...................................................................................16
BAB 4 : PEMBAHASAN JURNAL .....................................................................12
BAB 5: PENUTUP ...............................................................................................16
5.1 Simpulan .........................................................................................................17
5.2 Saran ................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pneumothorax merupakan kegawatan paru. Di Inggris laki – laki 24 per
100.000 penduduk dan perempuan 9,8 per 100.000 penduduk per tahun.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa pneumothorax terjadi lebih banyak
pada laki – laki dibandingkan perempuan. Sebagai contoh penelitian dari
Khan mengatakan bahwa di Pakistan angka kejadian pneumothorax pada laki
– laki 64,10% dan perempuan 35,90% dengan retara umur 49.13 tahun.
Resiko kambuhnya tergantung pada penyakit paru – paru yang mendasarinya.
Setelah episode kedua terjadi, ada kemungkinan lebih tinggi episode
berikutnya. Perokok memiliki kemungkinan terkena pneumothorax spontan
pertama sekitar Sembilan kali lipat antara perempuan dan 22 kali lipat antara
laki – laki dibandingkan non perokok. (Khan, 2009).
Sebuah survey yang telah dilakukan menunjukkan bahwa di
Menostaangka kejadian pneumothorax tidak terlalu tinggi. Jumlah kasus ini
pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, pada pria kejadian kasus
pneumothorax sekitar 7/100.000 sedangkan pada penduduk wanita
diperkirakan sekitar 1/100.000. hasil dari beberapa penelitian makan
menunjukkan bahwa jumlah pneumothorax pada laki – laki lebih banyak,
(Lim, 2012).
Mayoritas penderita pneumothorax spontan tipe primer berada pada
golongan usia 21 – 30 tahun, sedangkan penderita pneumothorax spontan tipe
sekunder banyak terlihat pada rentang usia 31 – 40 tahun. Fahad Alhameed
menyebutkan bahwa pneumothorax spontan tipe sekunder banyak terjadi pada
penderita di atas 60 tahun karena usia di atas 60 tahun adalah puncak insiden
terjadinya penyakit paru bisa terjadi pada golongan usia manapun, baik muda
maupun tua, (Lim, 2012).
Dalam penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakir di Semarang
ditemuka 138 kasus pneumothorax spontan yang dirawat inap di RS Panti
Wiloso CItarum, RS PAnti Wiloso dr. CIpto, RSUD dr. Kariadi, dan RS
Telogorejo selama peroiode 1 Januari 2000 – 31 Desember 2006, dengan

4
pembagian sebagai berikut : pada tahun 2000 terdapat 13 kasus, tahun 2001
terdapat 19 kasus, tahun 2003 terdapat 25 kasus, tahun 2004 terdapat 25 kasus,
tahun 2005 terdapat 19 kasus, sdangka pada tahun 2005 terdapat 16 kasus,
(Kemenkes RI. 2007). Berdasarkan data rekamedik di RSUD Banyumas
selama tiga bulan terkahir di peroleh data penderita Pneumothorax sebanyak 2
pasien, (rekamedi RSUD BanyUmas 2015).
Pneumothorax jika tidak segera mendapatkan maka akan menyebabkan
yang mengancam manusia dengan cara pembuluh darah kolaps sehingga
pengisian jantung menurun yang menyebabkan tekanan darah menurun. Selain
itu pneumothorax juga dapat menyebabkan hipoksia dan dipsnea berat dan
dapat menyebabkan kematian. Melihat bahaya angka kejadian dari
pneumothorakx yang cukup besar maka kelompok kami bermaksud menyusun
makalah dengan masalah yang diangkat yaitu pneumothorax (Corwin, 2009)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah Definisi Tension Pneumothorak?
2. Apa Etiologi dari Tension Pneumothorak?
3. Apa saja Klasifikasi dari Tension Pneumothorak?
4. Bagaimana Patofisiologi dari Tension Pneumothorak?
5. Apa Manifestasi Klinis dari Tension Pneumothorak?
6. Apa saja komplikasi dari Tension Pneumothorak?
7. Bagaimana penatalaksanaan dengan pasien Tension Pneumothorak?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengidentifikasi asuhan keperawatan pada klien
dengan diagnosa Tension Pneumothorak
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan apa definisi dari Tension Pneumothorak
2. Menjelaskan etiologi dari Tension Pneumothorak
3. Menjelaskan apa saja klasifikasi Tension Pneumothorak
4. Menjelaskan bagaimana patofisiologi dari Tension Pneumothorak

5
5. Menjelaskan apa manifestasi klinis dari Tension Pneumothorak
6. Menjelaskan apa komplikasi yang terjadi dari Tension
Pneumothorak
7. Menjelaskan bagaimana penatalaksanaan dari Tension
Pneumothorak

6
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tension Pneumotoraks


Pneumothoraks adalah udara atau gas dalam kavum pleura yang
memisahkan pleura viseralis dan pleura parietalis sehingga jaringan paru
tertekan. Pneumothorak dapat terjadi sekunder akibat asma, bronchitis
kronis, emfisema (Hinchllift, 1999 : 343).
Pneumothoraks terjadi bila udara masuk kedalam rongga pleura,
akibatnya jaringan paru terdesak seperti halnya rongga pleura kemasukan
cairan. Lebih tepat kalau dikatakan paru kolaps ( jaringan paru elastis ).
( Tambayong, 2000). Pneumotoraks, atau collaps paru-paru, adalah
pengumpulan udara dalam ruang di sekitar paru-paru. Penumpukan udara
menempatkan tekanan pada paru-paru, sehingga tidak dapat memperluas
sebanyak biasanya. (Matt Vera, 2012).
Tension pneumothorax merupakan keadaan dimana meningkatnya
pasokan udara dalam rongga pleura yang biasanya disebabkan karena
laserasi pada paru yang menyebabkan udara masuk ke dalam paru namun
tidak bisa keluar kembali. Tekanan positif ventilasi bisa berkemungkinan
menyebabkan buruknya efek ‘satu-jalur-katup’(PTBMMKI, 2016).

7
Peningkatan tekanan pada rongga pleura mendorong mediastiunum
ke arah yang berlawanan dengan hemithorax, dan obstruksi vena kembali
ke jantung. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan sirkulasi dan
menyebabkan bertahannya trauma yang didapat.

2.2 Etiologi
Adapun etiologi Tension Pneumothoraks, antara lain:

a. Pneumothoraks spontan primer: pecahnya pleura blebs biasanya terjadi


pada orang-orang muda tanpa penyakit paru-paru parenchymal atau
terjadi dalam ketiadaan cedera traumatis dada atau paru-paru
b. Pneumothoraks spontan sekunder: terjadi dalam kehadiran penyakit
paru-paru, emfisema terutama, tetapi juga dapat terjadi dengan
tuberkulosis (TB), Sarkoidosis, cystic fibrosis, keganasan, dan fibrosis
paru
c. Iatrogenik: komplikasi prosedur medis atau operasi, seperti terapi
thoracentesis, trakeostomi, biopsi pleura, kateter vena sentral
penyisipan, ventilasi mekanik tekanan positif, sengaja intubasi bronkus
kanan mainstem
d. Traumatis: bentuk paling umum dari Pneumotoraks dan hemothorax,
disebabkan oleh trauma dada terbuka atau tertutup terkait dengan
cedera tumpul atau menembus. (Matt Vera: 2012)
Penyebab lain tension pneumothoraks menurut Willy (2018), antara lain :

a. Penyakit paru – paru, seperti PPOK (Penyakit Paru Obstruktif


Kronik), infeksi paru – paru atau cystic fibrosis
b. Cidera pada dada, misal luka tembak atau tulang rusuk yang patah
c. Pecahnya kavitas pada paru – paru. Kavitas merupakan kantung
abnormal yang terbentuk didalam paru – paru akibat infeksi
(TBC) atau tumor yang dapat pecah.

8
a. Menggunakan alat bantu pernafasan atau ventilator. Penggunaan
ventilator dapat menjadikan tekanan udara dalam paru – paru
menungkat dan beresiko menyebabkan robeknya kantung udara di
paru – paru.

2.3 Klasifikasi
Terdapat beberapa jenis pneumotoraks yang dikelompokkan
berdasarkan penyebabnya. Pada keadaan normal ronggapleura tidak berisi
udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada.
Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan dan traumatik
1. Pneumotraks spontan terbagi menjadi dua:
a) Pneumotoraks spontan primer: terjadi tanpa disertai penyakit
paru yang mendasarinya.
b) Pneumotoraks spontan sekunder: merupakan komplikasi dari
penyakit paru yang mendahuluinya
2. Pneumotoraks traumatik berdasarkan kejadian:
a) Pneumotoraks traumatik non iatrogenik
b) Pneumotoraks traumatik iatrogenik
3. Pneumotorak berdasarkan fistulanya:
a) Pneumotoraks tertutup: tekanan udara di rongga pleura sedikit
lebih tinggi di bandingkan tekanan pleura pada sisi hemitoraks
kontralateral tetapi tekanan masih lebih rendah dari tekanan
atmosfer.
b) Pneumotoraks terbuka: terjadi karena luka terbuka pada
dinding dada, sehingga pada saat inspirasi udara dapat keluar
melalui luka tersebut
c) Tension pneumotoraks: terjadi karena mekanisme chekvalve
yaitu pada saat inspirasi udara masuk ke rongga pleura, tetapi
pada saat ekspirasi udara dari rongga pleura tidak dapat keluar.

9
2.4 Patofisiologi
Meningkatnya tekanan intra pleural sehingga akan menyebabkan
kemampuan dilatasi alveoli menurun dan lama-kelamaan mengakibatkan
atelektasis (layuhnya paru-paru). Apabila luka pada dinding dada tertutup
dan klien masih mampu bertahan, udara yang berlebihan dapat diserap
hingga tekanan udara di dalam rongga pleura akan kembali normal.
Karena adanya luka terbuka atau oleh pecahnya dinding paru-paru,
kuman dapat terhisap dan berkoloni di dalam pleura hingga terjadi
inspeksi pleuritis. Jenis kuman penyebab radang yang terbanyak adalah F
nechrophorum, chorinebacterium Spp, dan streptococcus spp. Oleh radang
akan terbentuk exudat yang bersifat pnukopurulent, purulent akan
serosanguineus yang disertai pembentukan jonjot-jonjot fibrin.
Pada luka tembus dada, bunyi aliran udara terdengar pada area luka
tembus. Yang selanjutnya disebut “sucking chest wound” (luka dada
menghisap). Jika tidak ditangani maka hipoksia mengakibatkan kehilangan
kesadaran dan koma. Selanjutnya pergeseran mediastinum ke arah
berlawanan dari area cedera dapat menyebabkan penyumbatan aliran vena
kava superior dan inferior yang dapat mengurangi cardiac preload dan
menurunkan cardiac output. Jika ini tidak ditangani, pneumothoraks makin
berat dapat menyebabkan kematian dalam beberapa menit. Beberapa
pneumothoraks spontan disebabkan pecahnya “blebs”, semacam struktur
gelembung pada permukaan paru yang pecah menyebabkan udara masuk
ke dalam kavum pleura. Robekan pada percabangan trakeobronkial
menyebabkan kolaps paru dan pergeseran mediastinum ke sisi yang tidak
sakit.

10
Tension pneumotoraks terjadi ketika udara dalam rongga pleura
memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada udara dalam paru
sebelahnya. Udara memasuki rongga pleura dari tempat ruptur pleura
yang bekerja seperti katup satu arah. Udara dapat memasuki rongga
pleura pada saat inspirasi tetapi tidak bisa keluar lagi karena tempat
ruptur tersebut akan menutup pada saat ekspirasi. Pada saat inspirasi
akan terdapat lebih banyak udara lagi yang masuk dan tekanan udara
mulai melampaui tekanan barometrik. Peningkatan tekanan udara akan
mendorong paru yang dalam keadaan recoiling sehingga terjadi
atelektasis kompresi.

11
2.5 Web of Caution

Pecahnya blebs Trauma / cedera Luka tembus IntervensiMedis


dada medis

Pneumathoraks spontan, traumatic, iatrogenik

Udara masuk ke dalam Sucking chest wound Pergeseran Mediastinum


kavum pleura

hipoksia
Penyumbatan aliran vena
Meningkatkan tekanan kava superior dan inferior
intra pleura
Kehilangan kesadaran

Mengurangi Cardiac Preload


Kemampuan dilatasi
alveoli menurun koma

Menurunkan cardiac
atelektasis Intoleransi aktivitas output
2.6

Hambatan Mobilitas Fisik


Sesak napas
kematian

Pola Napas tidak


efektif Intoleransi aktivitas
Nafsu makan
Intoleransi aktivitas menurun
Napas tidak efektif
Gangguan pola
Nutrisi kurang dari tidur
kebutuhan tubuh

12
2.7 Manifestasi Klinis

Tanda – tanda klasik pada tension pneumothorax adalah deviasi


pada jalur trakea dari samping dengan ketegangan, perluasan (hyper
expanded) area dada, peningkatan perkusi dada dan perluasan bidang
dada yang sedikit bergerak saat respirasi.

Tekanan vena sentral biasanya meningkat, tapi akan normal atau


rendah pada keadaan hipovolemik. Akan tetapi tanda – tanda tersebut
biasanya tidak muncul dan biasanya yang terjadi pada pasien adalah
takikardi, takipnea, dan hipoksia. Tanda – tanda ini diikuti oleh kolaps
sirkulasi dengan hipotensi dan trauma lanjutan dengan pulseless
electrical activity (PEA). Suara nafas dan perkusi suara thorax mungkin
akan sulit diindentifikasi pada bagian yang trauma. (PTBMMKI, 2016)

Gejala dan tandanya sangat bervariasi, tergantung kepada jumlah


udara yang masuk ke dalam rongga pleura dan luasnya paru-paru yang
mengalami kolaps.
a. Gejalanya bisa berupa :
1) Nyeri dada kejam yang timbul secara tiba-tiba dan semakin
nyeri jika penderita menarik nafas dalam atau terbatuk.
2) Sesak nafas
3) Dada terasa sempit
4) Mudah lelah
5) Denyut jantung cepat
6) Warna kulit menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen.

b.Gejala-gejala tersebut mungkin timbul pada saat istirahat akan tidur.


Gejala lain yang mungkin ditemukan :
1) Hidung tampak kemerahan
2) Cemas, stress, tegang
3) Tekanan darah rendah (hipotensi)

13
2.8 Komplikasi
Tension pneumathoraks dapat menyebabkan pembuluh darah kolaps,
akibatnya pengisian jantung menurun sehingga tekanan darah menurun.
Paru yang sehat juga dapat terkena dampaknya.
Pneumothoraks dapat menyebabkan hipoksia dan dispnea berat.
Kematian menjadi akhir dari pneumothoraks jika tidak ditangani dengan
cepat. Gambaran ancaman terhadap kehidupan pada pasien ekstrim yaitu
pertimbangan tension pneumothoraks, nafas pendek, hypotensi,
tachykardy, trachea berubah.
Tension Pneumotoraks terjadi pada 3-5% pasien pneumotoraks dan
dapat mengakibatkan kegagalan respirasi, piopheneumothorak,
hidropneumotoraks, henti jantung dan paru bahkan kematian.

2.9 Penatalaksanaan
1. Pemeriksaan Diagnostik
a Pemeriksaan fisik dengan bantuan sketoskop menunjukkan
adanya penurunan suara
b Gas darah arteri untuk mengkaji PaO2 dan PaCO2
c Pemeriksaan EKG
d Sinar X dada, menyatakan akumulasi udara / cairan pada area
pleural, dapat menunjukan penyimpangan struktur
mediastinal (jantung)
e Torasentensis ; menyatakan darah / cairan serosanguinosa
f Pemeriksaan darah vena untuk pemeriksaan darah lengkap
dan elektrolit. Hb : mungkin menurun, menunjukkan
kehilangan darah
g Pengkajian tingkat kesadaran dengan menggunakan
pendekatan AVPU
h Pulse Oximeter : pertahankan saturasi > 92 %

14
2. Penatalaksanaan Medis
a Chest wound/sucking chest wound
Luka tembus perlu segera ditutup dengan pembalut darurat
atau balutan tekan dibuat kedap udara dengan petroleum jelly
atau plastik bersih. Pembalut plastik yang steril merupan alat
yang baik, namun plastik pembalut kotak rokok (selofan)
dapat juga digunakan. Pita selofan dibentuk segitiga salah
satu ujungnya dibiarkan tebuka untuk memungkinkan udara
yang terhisap dapat dikeluarkan. Hal ini untuk mencegah
terjadinya tension pneumothoraks. Celah kecil dibiarkan
terbuka sebagai katup agar udara dapat keluar dan paru-paru
akan mengembang.
b Blast injury or tention
Jika udara masuk kerongga pleura disebabkan oleh robekan
jaringan paru, perlu penanganan segera. Sebuah tusukan
jarum halus dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan agar
paru dapat mengembang kembali.
c Penatalaksanaan WSD ( Water Sealed Drainage )
d Perawatan Per-hospital
Beberapa paramedis mampu melakukan needle
thoracosentesis untuk mengurangi tekanan intrapleura. Jika
dikehendaki intubasi dapat segera dilakukan jika keadaan
pasien makin memburuk. Perwatan medis lebih lanjut dan
evaluasi sangat dianjurkan segera dilakukan. Termasuk
dukungan ventilasi mekanik. Pendekatan melalui torakotomi
anterior, torakomi poskerolateral dan skernotomi mediana,
selanjutnya dilakukan diseksi bleb, bulektonomi, subtotal
pleurektomi. Parietalis dan Aberasi pleura melalui Video
Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS).

15
2.10 Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penujang pada Tension Peumotoraks, antara lain:

1. Foto Toraks PA :
a. pleural line / garis pleura (+)
b. hiperlusens
c. jantung dan mediastinum terdorong ke arah paru sehat
d. diafragma terdorong ke bawah
2. Analisa Gas Darah
3. Pemeriksaan Computed Tomografi (CT-scan)
4. Pemeriksaan Endoskopi (torakostomi), pemeriksaan enoskopi ini
dibagi menjadi 4 derajat, yaitu:
a DERAJAT I
b DERAJAT II
c DERAJAT III
d DERAJAT IV

16
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

3.1.1 Pengkajian Umum


Klien tampak sakit berat, ditandai dengan wajah pucat, nafas sesak.
3.1.2 Pengkajian AVPU (Kesadaran)
Untuk menentukan tingkat kesadaran klien dapat digunakan perhitungan
Glassglow Coma Scale (GCS). Untuk klien dengan gangguan tension
pneumothoraks, biasanya kesadaranya menurun.
Dapat juga dinilai melalui cara berikut :
1. A = Alert
Penderita sadar dan mengenali keberadaan dan lingkungannya.
2. V = Verbal
Penderita hanya menjawab/bereaksi bila dipanggil atau mendengar suara.
3. P = Pain
Penderita hanya bereaksi terhadap rangsang nyeri yang diberikan oleh
penolong, misalnya dicubit, tekanan pada tulang dada.
4. U = Unrespon
Penderita tidak bereaksi terhadap rangsang apapun yang diberikan oleh
penolong. Tidak membuka mata, tidak bereaksi terhadap suara atau sama
sekali tidak bereaksi pada rangsang nyeri.

Riwayat penyakit :
Keluhan utama : sesak nafas, bernafas terasa berat dan susah untuk melakukan
pernafasan.
Riwayat penyakit sekarang : tiga jam yang lalu klien mendadak mengeluh
sesak nafas dan semakin lama semakin berat disertai nyeri dada seperti
ditusuk – tusuk pada sisi dada sebelah kanan, terasa berat, tertekan dan terasa
lebih nyeri pada gerakan pernafasan. Tidak ada riwayat trauma yang
mengenai rongga dada seperti tertembus peluru, ledakan, trauma tumpul dada

17
akibat kecelakaan lalu lintas maupun tusukan benda tajam langsung
menembus pleura.
Riwayat penyakit dahulu : klien tidak mempunyai riwayat penyakit dahulu
terkait dengan sesak nafas atau penyakit pada paru – paru
Riwayat penyakit keluarga : tidak ada anggota keluarga yang menderita
penyakit yang sama dengan klien saat ini.

3.1.3 Triage
Mengancam jiwa, akan mati tanpa tindakan dan evaluasi segera. Harus
didahulukan langsung ditangani. Area resusitasi. Waktu tunggu 0 menit. Maka
dapat digolongkan P1 (Emergency).

3.1.4 Primary Survey


1. Airway
a. Assessment :
i. Perhatikan patensi airway.
ii. Dengar suara napas.
iii. Perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan
dinding dada
b. Management
i. Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan
chin-lift dan jaw thrust, hilangkan
2. benda yang menghalangi jalan napas
i. Re-posisi kepala, pasang collar-neck
ii. Lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi
(oral / nasal)
3. Breathing
a. Assesment
i. Periksa frekwensi napas
ii. Perhatikan gerakan respirasi
iii. Palpasi toraks
iv. Auskultasi dan dengarkan bunyi napas

18
b. Management:
i. Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
ii. Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension
pneumotoraks
4. Circulation
a. Assesment
i. Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi
ii. Periksa tekanan darah
iii. Pemeriksaan pulse oxymetri
iv. Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
b. Management
i. Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines
ii. Torakotomi emergency bila diperlukan
iii. Operasi Eksplorasi vaskular emergency
iv. Pemasangan WSD
Pada pneumothoraks ventil/ tension pneumothoraks, penderita sering
sesak napas berat dan keadaan ini dapat mengancam jiwa apabila tidak
cepat dilakukan tindakan perbaikan. Tekanan intrapleura tinggi, bisa
terjadi kolaps paru dan ada penekanan pada mediastinum dan jantung.
Himpitan pada jantung menyebabkan kontraksi terganggu dan “venous
return” juga terganggu. Jadi selain menimbulkan gangguan pada
pernapasan, juga menimbulkan gangguan pada sirkulasi darah
(hemodinamik).
Penanganan segera terhadap kondisi yang mengancam kehidupan
meliputi dekompresi pada hemitoraks yang sakit dengan menggunakan
needle thoracostomy (ukuran 14 – 16 G) ditusukkan pada ruang interkostal
kedua sejajar dengan midclavicular line. Selanjutnya dapat dipasang tube
thoracostomy diiringi dengan control nyeri dan pulmonary toilet
(pemasangan selang dada) diantara anterior dan mid-axillaris. Penanganan
Diit dengan tinggi kalori tinggi protein 2300 kkal + ekstra putih telur 3 x 2
butir / hari.

19
3.1.5 Secondary Survey
Pengkajian sekunder dilakukan dengan menggunakan metode
SAMPLE, yaitu sebagai berikut :
S : Sign and Symptom.
Tanda gejala terjadinya tension pneumothoraks, yaitu Ada jejas pada thorak,
nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi, Pembengkakan lokal dan
krepitasi pada saat palpasi, Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek,
Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan, penurunan tekanan darah
A : Allergies
Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik alergi obat-
obatan ataupun kebutuhan akan makan/minum.
M : Medications
(Anticoagulants, insulin and cardiovascular medications especially).
Pengobatan yang diberikan pada klien sebaiknya yang sesuai dengan keadaan
klien dan tidak menimbulka reaksi alergi. Pemberian obat dilakukan sesuai
dengan riwayat pengobatan klien.
P :Previous medical/surgical history.
Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya.
L :Last meal (Time)
Waktu klien terakhir makan atau minum.
E :Events /Environment surrounding the injury; ie. Exactly what happened.
Pengkajian sekunder dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik:
a B1(Breathing)
 Inspeksi : Peningkatan usaha frekuensi pernapasan, serta penggunaan
otot bantu pernpasan. Gerakan pernapasan ekspansi dada yang asimetris
(pergerakan dada tertinggal pada sisi yang sakit), iga melebar, rongga
dada asimetris (cembung pada sisi yang sakit). Pengkajian batuk yang
produktif dengan sputum purulen. Trakhea dan jantung terdorong ke sisi
yang sehat.
 Palpasi : Taktil Fremitus menurun pada sisi yang sakit. Di samping
itu, pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal

20
pada dada yang sakit. Pada sisi yang sakit, ruang antar-iga bisa saja
normal atau melebar.
 Perkusi : Suara ketok pada sisi yang sakit, hipersonor sampai
timpani, dan tidak bergetar. Batas jantung terdorong ke arah thoraks yang
sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi.
 Auskultasi : Suara napas menurun sampai menghilang pada sisi yang
sakit. Pada posisi duduk, semakin ke atas letak cairan maka akan semakin
tipis, sehingga suara napas terdengar amforis, bila ada fistel
brongkhopleura yang cukup besar pada pneumotoraks terbuka.
b B2 (Blood)
Perawat perlu memonitor pneumotoraks pada status kardiovaskular yang
meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah, dan
pengisian kapiler darah. Takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3
atau S4 / irama jantung gallop, nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya
penyimpangan mediastinal, tanda homman (bunyi rendah sehubungan
dengan denyutan jantung, menunjukkan udara dalam mediastinum).

c B2 (Brain)
Pada inspeksi, tingkat kesadaraan perlu dikaji. Selain itu, diperlukan juga
pemeriksaan GCS. Apakah compos mentis, somnolen atau koma.
d B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan.
Oleh kaarena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria. Oliguria
merupakan tanda awal dari syok.
e B5 (Bowel)
Akibat sesak napas, klien biasanya mengalami mual dan muntah,
penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
f B6 (Bone)
Pada trauma di rusuk dada, sering kali didapatkan adanya kerusakan otot
dan jaringan lunak dada sehingga meningkatkan resiko infeksi. Klien
sering dijumpai mengalami gangguan dalam memenuhi kebutuhan

21
aktivitas sehari-hari disebabkan adanya sesak napas, kelemahan dan
keletihan fisik secara umum.
g Aktivitas / istirahat
Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
h Psikososial
Ketakutan, gelisah.
i Nyeri / kenyamanan
Perilaku distraksi, mengerutkan wajah. Nyeri dada unilateral meningkat
karena batuk, timbul tiba-tiba gejala sementara batuk atau regangan,
tajam atau nyeri menusuk yang diperberat oleh napas dalam.
j Keamanan
Adanya trauma dada, radiasi / kemoterapi untuk keganasan.

3.1.6 Pemeriksaan Diagnostik


1. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural;
dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal.
2. GDA : variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi,
gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.
3. Torasentesis : menyatakan darah / cairan sero sanguinosa.
4. Hb : mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah.

3.2 Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnosa keperawatan pada Tension Pneumotoraks, antara lain:


1. Pola pernafasan tak efektif b/d penurunan ekspansi paru (akumulasi
udara/cairan), nyeri, ansietas, ditandai dengan dispnea, takipnea,
perubahan kedalaman pernapasan, penggunaan otot aksesori, pelebaran
nasal, gangguan pengembangan dada, sianosis, GDA tak normal.
2. Resiko tinggi trauma penghentian napas b/d kurang pendidikan
keamanan/pencegahan, ditandai dengan dispnea, takipnea, perubahan
kedalaman pernapasan, hilangnya suara nafas, pasien tidak kooperatif.

22
3. Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan pengobatan b/d kurang
menerima informasi ditandai dengan kurang menerima informasi,
mengekspresikan masalah, meminta informasi, berulangnya masalah.
4. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi
sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
5. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma
jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan
dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.

a. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan


.
1. Pola nafas tidak efektif b.d Setelah dilakukan asuhan 1. Identifikasi faktor
penurunan ekspansi paru keperawatan dalam penyebab kolaps : infeksi
(akumulasi udara/cairan) , waktu .....x 24 jam komplikasi mekanik
nyeri m ansietas , ditandai diharapkan pola nafas pernafasan
dengan dispneu , perubahan kembali efektif dengan 2. Kaji kualitas, frekuensi
kedalaman pernafasan , kriteria hasil : dan kedalaman nafas ,
penggunaan otot aksesori . - Keluhan sesak nafas laporkan setiap
berkurang , tidak nyeri perubahan yang terjadi
DS : saat melakukan pernafasan 3. Baringkan pasien dalam
Klien mengeluh sesak nafas, - Tidak tampak sesak saat posisi nyaman
bernafas terasa berat, susah bernafas 4. Observasi TTV
untuk melakukan - Tidak menggunakan otot 5. Lakukan IPPA tiap 1-
pernafasan, dan nyeri dada bantu pernafasan 2jam
saat bernafas - Pola nafas normal 6. Memberikan oksigen
- Tanda vital dalam batas tambahan nasal kanula
DO : normal 2lpm
- klien tampak sesak - Palpasi getaran simetris 7. Kolaborasi dengan
nafas, keringat dingin, - Perkusi sonor simetris dokter untuk tindakan
nyeri dada, dan gelisah - Auskultasi vesikuler dekompresi dengan
- Penggunaan otot bantu simetris pemasangan selang WSD
nafas tambahan - Radiologi : paru yang
- Pola nafas cepat dan kolaps sudah ekspansi
dangkal
- TTV : TD 110/70
mmHg , RR 32 x/mnt ,
Nadi 92 x/mnt , Suhu
36 C
- Palpasi : getaran
menurun disisi paru

23
yang sakit
- Perkusi : hipersonor
disisi paru yang sakit
- Auskultasi : suara nafas
menghilang disisi paru
yang sakit
- Radiologi : terdapat
foto thoraks gambaran
pneumothorak , paru
kolaps

Implentasi Evaluasi
1. Mengidentifikasi faktor S:
penyebab kolaps : trauma klien mengatakan keluhan sesak nafas dan nyeri dada kanan saat
m infeksi komplikasi tarik nafas sudah berkurang , nafas agak ringan
mekanik pernafasan
2. Mengkaji kualitas, O : - sesak nafas dan nyeri dada klien sudah berkurang
frekuensi dan kedalaman - kecembungan dada kanan mulai berkurang
nafas serta laporkan jika - sudah mulai terlihat pergerakan dada saat bernafas
terjadi perubahan - tidak menggunakan otot bantu nafas
3. Membaringkan klien - pola nafas teratur
dalam posisi nyaman - TTV : TD 110/70 mmHg , RR 28 x/mnt , Nadi 88x/mnt ,
4. Mengukur TTV tiap 6 jam Suhu 36C
5. Melakukan IPPA tiap 6
jam A : masalah pola nafas tidak efektif teratasi sebagian
6. Memberikan oksigen
tambahan nasal kanula 2 P : intervensi dilanjutkan
lpm
7. Asistensi dalam
pelaksanaan tindakan jika
dilakukan pemasangan
dekompresi selang WSD
(persiapan alat, ruang
tindakan, membantu
pelaksanaaan dan evaluasi
pemasangan WSD)

No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan


.
Pola nafas tidak efektif b.d Setelah dilakukan asuhan 8. Identifikasi faktor
penurunan ekspansi paru keperawatan dalam penyebab kolaps : infeksi
(akumulasi udara/cairan) , waktu .....x 24 jam komplikasi mekanik

24
nyeri m ansietas , ditandai diharapkan pola nafas pernafasan
dengan dispneu , perubahan kembali efektif dengan 9. Kaji kualitas, frekuensi
kedalaman pernafasan , kriteria hasil : dan kedalaman nafas ,
penggunaan otot aksesori . - Keluhan sesak nafas laporkan setiap
berkurang , tidak nyeri perubahan yang terjadi
DS : saat melakukan pernafasan 10. Baringkan pasien dalam
Klien mengeluh sesak nafas, - Tidak tampak sesak saat posisi nyaman
bernafas terasa berat, susah bernafas 11. Observasi TTV
untuk melakukan - Tidak menggunakan otot 12. Lakukan IPPA tiap 1-
pernafasan, dan nyeri dada bantu pernafasan 2jam
saat bernafas - Pola nafas normal 13. Memberikan oksigen
- Tanda vital dalam batas tambahan nasal kanula
DO : normal 2lpm
- klien tampak sesak - Palpasi getaran simetris 14. Kolaborasi dengan
nafas, keringat dingin, - Perkusi sonor simetris dokter untuk tindakan
nyeri dada, dan gelisah - Auskultasi vesikuler dekompresi dengan
- Penggunaan otot bantu simetris pemasangan selang
nafas tambahan - Radiologi : paru yang WSD
- Pola nafas cepat dan kolaps sudah ekspansi
dangkal
- TTV : TD 110/70
mmHg , RR 32 x/mnt ,
Nadi 92 x/mnt , Suhu
36 C
- Palpasi : getaran
menurun disisi paru
yang sakit
- Perkusi : hipersonor
disisi paru yang sakit
- Auskultasi : suara nafas
menghilang disisi paru
yang sakit
- Radiologi : terdapat
foto thoraks gambaran
pneumothorak , paru
kolaps

Implentasi Evaluasi
8. Mengidentifikasi faktor S:
penyebab kolaps : trauma klien mengatakan keluhan sesak nafas dan nyeri dada kanan saat
m infeksi komplikasi tarik nafas sudah berkurang , nafas agak ringan
mekanik pernafasan
9. Mengkaji kualitas, O : - sesak nafas dan nyeri dada klien sudah berkurang
frekuensi dan kedalaman - kecembungan dada kanan mulai berkurang
nafas serta laporkan jika - sudah mulai terlihat pergerakan dada saat bernafas
terjadi perubahan - tidak menggunakan otot bantu nafas
10. Membaringkan klien dalam - pola nafas teratur

25
posisi nyaman - TTV : TD 110/70 mmHg , RR 28 x/mnt , Nadi 88x/mnt ,
11. Mengukur TTV tiap 6 jam Suhu 36C
12. Melakukan IPPA tiap 6
jam A : masalah pola nafas tidak efektif teratasi sebagian
13. Memberikan oksigen
tambahan nasal kanula 2 P : intervensi dilanjutkan
lpm
14. Asistensi dalam
pelaksanaan tindakan jika
dilakukan pemasangan
dekompresi selang WSD
(persiapan alat, ruang
tindakan, membantu
pelaksanaaan dan evaluasi
pemasangan WSD)

No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan


.
2. Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan asuhan
kurang dari kebutuhan tubuh keperawatan dalam - Identifikasi status nutrisi
.Batasan karakteristik : waktu .....x 24 jam - Identifikasi kwbutuhan
- Berat badan 2 diharapkan kebutuhan nutrisi klalori dan jenis nutrient
ataulebih di bawah dapat terpenuhi - Monitor asupan makanan
ideal kriteria hasil : - Monitor berat badan
- adanya intakemakanan - Adanya peningkatan - Lakukan oral hygine
yang kurang dar RDA berat badan yang sebelum makan
( rocamanded daily susuai dengan tujuan - Berikan makanan tinggi
allowance ) - Tidak ada tanda- erat untuk mencegah
- membran mukosa dan tanda malnutrisi konstipasi
konjungtiva pucat - Berikana makana tinggi
- Kelemahan otot yang kalori dan tinggi protein
digunakan - Ajarkan diet yang
untukmenelan/mengu diprogramkan
nyah - Kolaborasi pemberian
- sudah merasa medikasi sebelum makan
kenyang-sesaat setelah missal pereda nyei,
makanan antlematik
- kram pada abdomen - Kolaborasi dengan ahli
- Tonus otot jelek gizi untuk menetyuykan
- Nyeri abdominal jumlah kalori dan jenis
dengan atau tanpa nutrient yang dibutuhkan
patologi
- kurang berminat
terhadapmakanan
- Pembuluh darah
kapilermulai rapuh
- -Suara usus hiperaktif

26
3.
Setlaha diberikan asuhan
keperawatan selama …x24 1.Identifikasi adanya nyeri atau
Intoleransi aktivitas b.d jam diharapkan pasien dapat keluhan fisik lainnya
- Kelemahan menyeluruh aktivitas mandiri dengan 2.Identifikasi toleransi fisik
-Tirah baring atau criteria hasil : melakukan pergerakan
imobilitas 1.berpasrtisipasi dalam 3.Monitor jantung dan tekanan
- Ketidakseimbangan antara aktivitas fisik tanpa di sertai darah sebelum memulai
suplain oksigen dengan dengan peningkatan tekanan mobilsasi
kebutuhan darah, nadi dan rr 4.Monitor kondisi umum selama
DS: 2. mampu melakukan melakukan mobilisasi
- Dilaporkan secara aktifitas sehari – hari mandiri 5.fasilitasi aktivtas mobilisasi
verbal 3. keseimbangan aktivitas dengan alat bantu
adanyakelelahan atau dan istirahat 6.Libatkan keluarga untuk
kelemahan. membantu pasien dalam
- adanya dyspneu peningkatan pergerakan
atauketidaknyamanan 7.Ajarkan mobilisasi sederhana
saat beraktivitas. yang harus dilakukan missal
DO : dududk di tempat tidur, duduk di
- Respon abnormal dari sisi tempat tidur, pindah dari
tekanandarah atau tempat tidur ke kursi roda
nadi terhadap aktifitas
- Perubahan aritmia,
iskemi

Setelah diberikan asuhan


keperawatan
selama .....x24jam diharapkan 1.pantau keadaan umum pasien
pasien dapat tidur dengan atau observasi
Gangguan Pola Tidur b.d 2. kaji pola tidur pasien
kriteria hasil :
Kegelisahan dan sering 3. kaji fungsi pernafasan : bunyi
1. Melaporkan istirahat
bangun saat malam nafas, kecepatan nafas
tidur malam yang
optimal. 4. kaji faktor penyebab sulit
2. Tidak menunjukkan tidur
perilaku gelisah.
3. Wajah tidak pucat dan
konjungtiva mata tidak
anemis

Implentasi Evaluasi

27
Dx : Ketidakseimbangan nutrisi S : klien mengatakan nafsu makan meningkat, nyeri telan
kurang dari kebutuhan tubuh berkurang
1. Mengidentifikasi status nutrisi O : membran mukosa lembab dan konjungtiva tidak pucat
2. Mengidentifikasi kwbutuhan A : masalah teratasi sebagian
klalori dan jenis nutrient P : intervensi dilanjutkan
3. Memonitor asupan makanan
4.Memonitor berat badan
5.Melakukan oral hygine sebelum
makan
4.Memerikan makanan tinggi erat
untuk mencegah konstipasi
5.Memberikana makana tinggi
kalori dan tinggi protein
5.Mengjarkan diet yang
diprogramkan
6.Mengkolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan missal
pereda nyei, antlematik
7.Mengkolaborasi dengan ahli gizi
untuk menetyuykan jumlah kalori
dan jenis nutrient yang dibutuhkan
S : klien mengatakan dapat melakukan aktivitas secara mandiri
Dx: Intoleransi Aktivitas O : TTV : TD 120/80 mmHg , RR 20 x/mnt , Nadi 88x/mnt ,
1.Mengidentifikasi adanya nyeri atau Suhu 36C
keluhan fisik lainnya A: masalah teratasi sebagian
2.Mengidentifikasi toleransi fisik P : intervensi dilanjutkan
melakukan pergerakan
3.Memonitor jantung dan tekanan
darah sebelum memulai mobilsasi
4.Memonitor kondisi umum
selama melakukan mobilisasi
5.Memfasilitasi aktivtas mobilisasi
dengan alat bantu
6.Melibatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
peningkatan pergerakan
7.Mengjarkan mobilisasi
sederhana yang harus dilakukan
missal dududk di tempat tidur,
duduk di sisi tempat tidur, pindah
dari tempat tidur ke kursi roda

28
S:
klien mengatakan mulai bisa tidur meskipun hanya beberapa jam

Dx: gangun pola tidur O : - pasien terlihat agak tenang


1.mengidentifikasi tanda – tanda - Pasien tidak lagi gelisah
vital pasien - TTV : TD 110/70 mmHg , RR 20 x/mnt , Nadi 88x/mnt ,
2. kaji pola tidur pasien : pasien Suhu 36C
tidur pada saat pukul berapa ,
kenyamanan tidur pasien , A : masalah pola tidur teratasi sebagian
perasaan tidur pasien tenang atau
masih gelisah P : intervensi dilanjutkan
3. kaji pernafasan pasien : saat
tidur apakah pasien mengalami
sesak di malam hari
4. mengetahui faktor penyebab
sulit tidur pasien : apakah adanya
cahaya lampu

29
BAB 4

PEMBAHASAN TERKAIT JURNAL

Analis Jurnal 1

Derek J Roberts, Simon Leigh-Smith, Peter D


Peneliti/ author :
Faris, Chad G Ball, Helen Lee Robertson,
Christopher Blackmore1, Elijah Dixon,
Andrew W Kirkpatrick, John B Kortbeek and
Henry Thomas Stelfox
Clinical Manifestations Of Tension
Judul dan Tahun :
Pneumothorax: Protocol For A Systematic
Review And Meta-Analysis
Tahun 2014

Nama Jurnal : Artikel studi dan kasus observasional


(kelompok, kontrol kasus, dan lintas seksi)
yang melaporkan data asli pada manifestasi
klinis tension pneumothoraks
Meskipun penyedia layanan kesehatan
Latar belakang riset :
menggunakan tanda dan gejala yang dijelaskan
secara klasik untuk mendiagnosis ketegangan
pneumotoraks, sumber literatur yang tersedia
berbeda dalam deskripsi mereka tentang
manifestasi klinisnya. Apalagi sementara
manifestasi klinis dari tension pneumothorax
telah disarankan untuk berbeda antara subyek
yang berbeda-beda status pernapasan, masih
belum diketahui apakah perbedaan ini
didukung oleh bukti klinis. Jadi, yang utama

30
Sample : Menggunakan 2 kelompok, dengan pasien
dewasa dan pasien anak – anak yang menerima
tekanan positif ventilasi atau nafas tanpa
bantuan.

Metode : Tinjauan sistemasis dan Meta-analisis laporan


Metode / Desain: Kami akan mencari basis
Metode & desain :
data bibliografi elektronik (MEDLINE,
PubMed, EMBASE, dan Cochrane Database
Ulasan Sistematis) dan registrasi uji klinis dari
tanggal pertama yang tersedia serta file pribadi,
mengidentifikasi ulasan artikel, dan termasuk
artikel bibliografi. Dua penyelidik akan secara
mandiri menyaring identifikasi judul dan
abstrak artikel serta studi dan kasus
observasional (kelompok, kontrol kasus, dan
lintas seksi) terpilih laporan dan seri yang
melaporkan data asli pada manifestasi klinis
tension pneumothorax. Simpatisan ini juga
akan secara independen menilai risiko bias dan
mengekstraksi data. Data yang teridentifikasi
pada manifestasi klinis dari ketegangan
pneumotoraks akan dikelompokkan
berdasarkan apakah pasien dewasa atau pasien
anak-anak menerima tekanan positif ventilasi
atau bernapas tanpa bantuan, serta apakah
kedua penyelidik secara independen setuju
bahwa kondisi klinis pasien yang diteliti sesuai
dengan definisi kerja tension pneumothorax
yang dipublikasikan sebelumnya.
Data-data ini kemudian akan dirangkum
menggunakan sintesis naratif formal di

31
samping meta-analisis pengamatan studi dan
kemudian laporan kasus dan seri jika
memungkinkan. Taksiran gabungan atau
gabungan tingkat kejadian manifestasi klinis
akan dihitung menggunakan model efek acak
(untuk studi observasi) dan digeneralisasi
memperkirakan persamaan yang disesuaikan
dengan faktor pembaur yang dilaporkan (untuk
laporan dan seri kasus).
Diskusi: Studi ini akan menyusun literatur
dunia tentang tension pneumothorax dan
memberikan yang sistematis pertama deskripsi
manifestasi klinis gangguan menurut status
pernapasan pasien. Itu juga akan
memperagakan serangkaian metode yang dapat
digunakan untuk mengatasi kesulitan yang
mungkin dihadapi selama pelaksanaan dari
meta-analisis data yang terkandung dalam
laporan dan seri kasus yang dipublikasikan.

Variabel Penelitian : Penelitian ini untuk mengetahui secara


sistematis dan membedakan manisfestasi klinik
dari ketegangan pneumothorak antara pasien
yang menerima ventilasi tekanan positif
dibandingkan dengan mereka yang bernafas
tanpa bantuan.

Hasil Penelitian : (belum diketahui) karena hasil studi untuk


menangani masalah pengganggu atau
modifikasi dan kesalahan klasifikasi belum
jelas

Kesimpulan : Tinjauan sistematis ini akan menyusun literatur

32
dunia pada pneumothoraks tension dan
memberikan sistematis pertama deskripsi
manifestasi klinis yang terkait kepada dokter
dan pengguna akhir lainnya. Sebagai
pneumothorak tension seringkali merupakan
diagnosa yang sulit mungkin ditemui dalam
situasi darurat, data ini akan menjadi
digunakan untuk lebih menginformasikan
penyedia layanan kesehatan pada klinis
manifestasi kondisi dan dapat berkontribisi
untuk meningkatan pemahaman tentang
definisi yang sesuai. Penelitian ini juga
menunjukkan metode untuk melakukan sintesis
naratif hasil tinjauan sistematis bersama
metaanalisis studi observasional

Keterbatasan :
Studi ini akan memberikan kompilasi
Manfaat
sistematis pertama literatur dunia mengenai
manifestasi klinis dari ketegangan
pneumotoraks. Tertunda atau genap diagnosis
yang terlewat dapat menyebabkan hasil yang
buruk dan telah dilaporkan di antara pasien
yang kurang dideskripsikan secara klasik
manifestasi klinis dari gangguan [7,18,19],
deskripsi bukti-bukti tentang manifestasi klinis
dari tension pneumothorax memungkinkan
terciptanya a daftar kriteria berdasarkan bukti
untuk diagnosisnya. Lebih lanjut, jika hasil
kami mendukung perbedaan patofisiologis
yang diamati di antara penelitian hewan
tentang tension pneumothorax, itu dapat juga

33
memungkinkan untuk penciptaan definisi yang
terpisah untuk kondisi sesuai dengan status
pernapasan saat ini dari pasien. Sebagai
keterlambatan dalam pengobatan
pneumotoraks tension dapat mempengaruhi
hasil, dan beberapa dokter dapat menunda
dekompresi toraks di antara mereka yang
dicurigai memiliki kondisi sebagai
hemodinamiknya stabil [65], penelitian ini juga
berpotensi membantu dalam mengidentifikasi
pasien yang mungkin menjadi kandidat yang
tepat untuk perawatan dengan jarum atau
tabung torakostomi

34
BAB 5

PENUTUP

5.1 Simpulan
Pneumotoraks adalah pengumpulan udara atau gas dalam rongga
pleura,yang berada antara paru-paru dan toraks. Pneumotoraks dapat
terjadi secara spontan pada orang tanpa kondisi paru-paru kronis (biasa
disebut PneumotoraksPrimer) dan orang dengan penyakit paru-paru
(Pneumotoraks Sekunder). Selainitu, banyak juga ditemui kasus
pneumotoraks yang disebabkan trauma fisik padadada, cedera akibat
ledakan atau komplikasi dari berbagai pengobatan.
Tension pneumothorax merupakan keadaan dimana meningkatnya
pasokan udara dalam rongga pleura yang biasanya disebabkan karena
laserasi pada paru yang menyebabkan udara masuk ke dalam paru namun
tidak bisa keluar kembali. Tekanan positif ventilasi bisa berkemungkinan
menyebabkan buruknya efek ‘satu-jalur-katup’
Peningkatan tekanan pada rongga pleura mendorong mediastiunum ke
arah yang berlawanan dengan hemithorax, dan obstruksi vena kembali ke
jantung. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan sirkulasi dan menyebabkan
bertahannya trauma yang didapat.
5.2 Saran
Kita sebagai perawat, khusunya perawat gawat darurat sebaiknya
lebih terampil lagi dalam menanggulangi masalah pasien dengan Tension
Pneumothorak. Pelatihan sangat diperlukan untuk memberikan informasi
yang tepat agar bisa memberikan pertolongan jikalau terjadi kecelakaan
dengan Tension Pneumothorak.

35
DAFTAR PUSTAKA

Andi RennyAmita.2012.Referat Pneumothorax. Dibawakan dalam rangka


tugas kepaniteraan klinik bagian radiologi fakultas kedokteran
universitas muhammadiyah makassar2012.
Aru W.Sudoyo,dkk.2009.Buku Ajar Ilmu Penyaki tDalam .JilidIII.EdV.
Jakarta:InternaPublishing.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofiologi Edisi Revisi 3. Jakarta :
EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofiologi Edisi Revisi 3. Jakarta :
EGC
FKUNISSULA. Buku Panduan Skill Lab Pengelolaan Bantuan Nafas Dasar
dan Lanjut
Jacob L, Heller. 2014. Endotracheal Intubation.
https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003449.htm diakses
pada 12 Maret 2019
Jones, Steve. Needle Thoracocentesis Pneumothorax/Hemothorax.
http://www.clemc.us/images/Pneumothorax-
Hemopneumothorax_Needle_Decompression.pdf diakses pada 12
Maret 2019
Perhimpunan Tim Bantuan Medis Mahasiswa Kedokteran Indonesia
Kurikulum PTBMMKI. 2016. Kurikulum pendidikan dan latihan. Deno
Madasa Subing, PMPATD Pakis Rescue Team FK Universitas
Lampung.
Tambayong, Jan . 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
Trauma. 2004. Chest Trauma Pneumothorax Tension.
http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTtension.html diakses
pada 12 Maret 2019
V, Divatia J dan Bhowmick K. 2005. Complication of endotracheal Intubation
and Other Airway Management Procedures.
http://medind.nic.in/iad/t05/i4/iadt05i4p308.pdf diakses pada 12 Maret
2019

36
Hood Alsagaff,AbdulMukty.2008.Dasar-dasar
IlmuPenyakitParu.Surabaya:AirlanggaUniversity Press
Jeremy P.T,dkk.2008. At a Glance SISTEM
RESPIRASI.Jakarta:PenerbitErlangga.
Kowalak, Jennifer P. dkk; BukuAjar Patofisiologi: “SISTEM PERNAPASAN-
PNEUMOTHORAKS : BAB.7-Hal.253 : EGC-Jakarta, 2011

37

Anda mungkin juga menyukai