Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERMETROPIA

1. Konsep Dasar Penyakit


1.1 Definisi
Hipermetropi atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan
pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik
fokusnya terletak dibelakang retina. Pada hipermetropia sinar sejajar difokuskan
di belakang makula lutea (Sidarta Ilyas, 2010 : 78).
Hipermetropia adalah suatu kondisi ketika kemampuan refraktif mata
terlalu lemah yang menyebabkan sinar yang sejajar dengan sumbu mata tanpa
akomodasi difokuskan di belakang retina. Gangguan ini terjadi pada diameter
anteroposterior bola mata yang pendek sehingga jarak antara lensa dan retina juga
pendek dan sinar difokuskan di belakang retina. Hal ini menyebabkan kesulitan
melihat objek dekat dan disebut farsightedness atau hyperopia (Indriani
Istiqomah, 2014 : 205).
Rabun dekat adalah cacat mata yang mengakibatkan seseorang tidak dapat
melihat benda pada jarak dekat. Titik dekat penderita rabun dekat akan
bertambah, tidak lagi sebesar 25 cm tapi mencapai jarak tertentu yang lebih jauh.
Penderita rabun dekat hanya dapat melihat benda pada jarak yang jauh.Mata
hipermetropi disebabkan oleh keadaan fisik lensa mata yang terlalu pipih atau
tidak dapat mencembung dengan optimal, oleh sebab itu bayangan yang dibentuk
lensa mata jatuh di belakang retina. Rabun dekat dapat tolong menggunakan kaca
mata lensa cembung, yang berfungsi untuk mengumpulkan sinar sebelum masuk
mata, sehingga terbentuk bayangan yang tepat jatuh di retina.
Jadi, hipermetropia adalah keadaan mata yang tidak berakomodasi
memfokuskan bayangan di belakang retina. Hipermetropia terjadi jika
kekuatan yang tidak sesuai antara bola mata dan kekuatan pembiasan
kornea dan lensa lemah sehingga titik fokus sinar terletak di belakang retina
(Patu, 2010).
1.2 Etiologi
Penyebab timbulnya hipermetropi ini diakibatkan oleh empat hal yaitu:
1) Sumbu utama bola mata yang terlalu pendek.
Hipermetropia jenis ini disebut juga hipermetropi axial. Hipermetropi axial
ini dapat disebabkan oleh mikropthalmia, retinitis sentralis, ataupun ablasio retina
(lapisan retina lepas lari ke depan sehingga titik fokus cahaya tidak tepat
dibiaskan).
2) Daya pembiasan bola mata yang terlalu lemah
Hipermetopia jenis ini disebut juga hipermetropi refraksi. Dimana dapat
terjadi gangguan-gangguan refraksi pada kornea, aqueus humor, lensa, dan vitreus
humor. Gangguan yang dapat menyebabkan hipermetropia refraksi ini adalah
perubahan pada komposisi kornea dan lensa sehingga kekuatan refraksinya
menurun dan perubahan pada komposisi aqueus humor dan vitreus humor ( mis.
pada penderita diabetes mellitus, hipermetropia dapat terjadi bila kadar gula darah
di bawah normal, yang juga dapat mempengaruhi komposisi aueus dan vitreus
humor tersebut)
3) Kelengkungan Kornea dan Lensa tidak Adekuat
Hipermetropia jenis ini disebut juga hipermetropi kurvatura. Dimana
kelengkungan dari kornea ataupun lensa berkurang sehingga bayangan difokuskan
di belakang retina.
4) Perubahan posisi lensa.
Dalam hal ini didapati pergeseran posisi lensa menjadi lebih posterior.tidak
ada lagi (afakia).

1.3 Klasifikasi
Klasifikasi hipermetropia terbagi menjadi lima, yaitu:
1) Hipermetropia manifest
Adalah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif
maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri
atas hipermetropia absolut ditambah dengan hipermetropia fakultatif.
Hipermetropia manifes didapatkan tanpa siklopegik dan hipermetropia yang dapat
dilihat dengan koreksi kacamata yang maksimal.
2) Hipermetropia Absolut
Dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengan akomodasi dan
memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya hipermetropia laten
yang ada berakhir dengan hipermetropia absolut ini. Hipermetropia manifes yang
tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali disebut sebagai hipermetropia
absolut, sehingga jumlah hipermatropia fakultatif dengan hipermetropia absolut
adalah hipermetropia manifes.
3) Hipermetropia Fakultatif
Dimana kelainan hipermatropia dapat diimbangi dengan akomodasi ataupun
dengan kaca mata positif. Pasien yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif
akan melihat normal tanpa kaca mata yang bila diberikan kaca mata positif yang
memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan mendapatkan
istrahat. Hipermetropia manifes yang masih memakai tenaga akomodasi disebut
sebagai hipermetropia fakultatif.
4) Hipermetropia Laten
Dimana kelainan hipermetropia tanpa siklopegi ( atau dengan obat yang
melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia
laten hanya dapat diukur bila siklopegia. Makin muda makin besar komponen
hipermetropi laten seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi kelemahan
akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi hipermetropia fakultatif dan
kemudian akan menjadi hipermetropia absolut. Hipermetropia laten sehari-hari
diatasi pasien dengan akomodasi terus menerus, teritama bila pasien masih muda
dan daya akomodasinya masih kuat.
5) Hipermetropia Total
Hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan siklopegia.
(Sidarta Ilyas, 2010 : 78-79).
1.4 Patofisiologi
Sumbu utama bola mata yang terlalu pendek, daya pembiasan bola mata
yang terlalu lemah, kelengkungan kornea dan lensa tidak adekuat perubahan
posisi lensa dapat menyebapkan sinar yang masuk dalam mata jatuh di belakang
retina sehingga penglihatan dekat jadi terganggu.
Akibat dari bola mata yang terlalu pendek, yang menyebabkan bayangan
terfokus di belakang retina
Diameter anterior posterior bola mata yang lebih pendek, kurvatura kornea
dan lensa yang lebih lemah, dan perubahan indeks refraktif menyebabkan sinar
sejajar yang dating dari objek terletak jauh tak terhingga di biaskan di belakang
retina.
1.5 WOC HIPERMETROMIA

Mikrothalimia Perubahan pada Kelengkungan Trauma herediter Usia (>60th)


rhinitis seniralis komposisi kornea kornea dan lensa
dan ablasio dan lensa tidak adekuat
retina

Lapisan Kekuatan Bayangan difokuskan Perubahan posisi Daya


retina lepas refraksi dan perubahan dibelakang retina lensa akomodasi
rari ke depan pada komposisi aqueus berkurang
humor dan vitreus humor

Lensa mata tidak mampu memfokuskan cahaya objek jauh dari yang tepat dari retina

Bayangan
difokuskan di
belakang retina
HIPERMETROPI

Pasien cemas Melihat objek jauh kabur dan objek dekat lebih kabur kurang adekuatnya
Bertanya akan informasi akan
Kondisi Mata berkerja keras untuk berakomodasi prognosis penyakitnya
Penglihatannya
Sakit kepala silau pandangan
Kurang pengetahuan
Ansietas di frontal, ganda, merasa juling
mata lelah, Daya akomodasi mata
mata panas menurun Resiko cidera
mata sakit
Perubahan sensori
persepsi visual
Nyeri akut
1.6 Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)
Gejala yang ditemukan pada hipermetropia adalah:
1) Penglihatan dekat dan jauh kabur
2) Penglihatan tidak nyaman (asthenopia)
Terjadi ketika harus fokus pada suatu jarak tertentu untuk waktu yang lama.
3) Akomodasi akan lebih cepat lelah terpaku pada suatu level tertentu dari
ketegangan
4) Sakit kepala
Sakit kepala biasanya pada daerah frontal dan dipacu oleh kegiatan melihat
dekat jangka panjang. Jarang terjadi pada pagi hari, cenderung terjadi setelah
siang hari dan bisa membaik spontan kegiatan melihat dekat dihentikan.
5) Silau/Sensitive terhadap cahaya
6) Bila 3 dioptri atau lebih, atau pada usia tua, pasien mengeluh penglihatan
jauh kabur.
7) Penglihatan dekat lebih cepat buram
Akan lebih terasa lagi pada keadaan kelelahan, atau penerangan yang
kurang
8) kadang rasa juling atau lihat ganda
Akibat terus menerus berakomodasi, maka bola mata bersama-sama
melakukn konvergasi dan mata akan sering terlihat mempunyai kedudukan
esotropia atau juling ke dalam

1.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah esotropia dan glaucoma. Esotropia
atau juling ke dalam terjadi akibat pasien selamanya melakukan akomodasi.
Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi otot siliar pada badan siliar yang akan
mempersempit sudut bilik mata.
1.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien hipermetropia adalah sebagai berikut:
1) Refraksi subjektif
Metode “trial and error” dengan menggunakan kartu snellen, mata diperiksa
satu persatu, ditentukan visus masing-masing mata, pada dewasa dan visus tidak
6/6 dikoreksi dengan lensa sferis positif. Pada anak-anak dan remaja dengan
dengan visus 6/6 dan keluhan astenopia akomodasi dikoreksi dengan sikloplegik.
2) Refraksi objektif
Retinoskop dengan lensa kerja S +2.00 pemeriksa mengawasi reaksi fundus
yang bergerak berlawanan dengan gerakan retinoskop (agains movement)
kemudian dikoreksi dengan lensa sferis positif sampai tercapai netralisasi,
autorefraktometer (computer).

1.9 Penatalaksanaan Medis


Pengobatan hipermetropia adalah diberikan koreksi hipermetropia manifes
dimana tanpa sikloplegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang
memberikan tajaman penglihatan normal.
Bila terdapat juling ke dalam atau esotropia diberikan kacamata koreksi
hipermetropia total. Bila terdapat tanda atau bakat juling keluar (eksoforia) maka
diberikan kacamata koreksi positif kurang.
Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata sferis
positif terkuat atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam
penglihatan maksimal. Bila pasien dengan + 3.0 ataupun dengan + 3.25
memberikan ketajaman penglihatan 6/6, maka diberikan kacamata + 3.25. Hal ini
untuk memberikan istirahat pada mata. Pada pasien dimana akomodasi masih
sangat kuat atau pada anak-anak, maka sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan
memberikan sikloplegik atau melumpuhkan otot akomodasi. Dengan
melumpuhkan otot akomodasi, maka pasien akan mendapatkan koreksi kacamata
dengan mata yang istirahat.
Pada pasien muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan
karena matanya masih masih mampu melalukan akomodasi kuat untuk melihat
benda dengan jelas. Pada pasien dengan banyak membaca atau mempergunakan
matanya, terutama pada pasien yang telah lanjut, akan memberikan keluhan
kelelahan setelah membaca. Keluhan tersebut berupa sakit kepala, mata terasa
pedas dan tertekan.
Pada pasien ini diberikan kacamata sferis positif terkuat yang memberikan
penglihatan maksimal. Penyulit yang dapat terjadi pada pasien dengan
hipermetropia adalah esotropia dan glaucoma. Estropia atau juling ke dalam
terjadi akibat pasien selamanya melakukan akomodasi. Glaukoma sekunder
terjadi akibat hipertrofi otot silisr pada badan siliar yang akan mempersempit
sudut bilik mata.

2. Manajemen Asuhan Keperawatan


2.1 Pengkajian Keperawatan
Melakuakan pengkajian meliputi hal berikut :
1) Data Demografi
 Biodata
 Penanggung jawab
2) Riwayat Kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang
 Keluhan Utama
 Riwayat Keluhan Utama
 Riwayat kesehatan lalu
 Riwayat kesehatan keluarg
3) Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien:
 Kesadaran
 Tanda-tanda vital
 Suhu
 Nadi
 Pernafasan
 Tekanan darah
4) Sistem pernafasan
Bentuk hidung simetris, tidak terdapat sekret, mukosa hidung kering, tidak
ada nyeri tekan pada hidung, tidak ada pernapasan cuping hidung, bentuk leher
simetris, tidak ada benjolan atau massa, bentuk dada simetris, pernapasan 20
X/Menit, tidak terdengar suara napas tambahan, tidak ada retraksi otot - otot dada.
5) Sistem kardiovaskuler
6) Sistem perncernaan
7) Sistem indra
Mata:
 Kesulitan membaca tulisan dengan huruf yang kecil, menjauhkan bacaan
pada saat membaca, mampu membedakan warna, bisa menggerakan bola
mata kesegala arah, mata tampak bersih, tidak ada nyeri tekan.
8) Sistem saraf
 Nervus I (olvactorius) : Fungsi penciuman baik.
 Nervus II ( Optikus ) : Penglihatan kabur saat melihat dekat.
- Nervus III, IV, VI (Okulomotorius, troklearis, abdusen )
: fungsi kontraksi terhadap cahaya baik.
 Nervus V (Trigeminus) : Dapat merasakan usapan
 Nervus VII (fasialis) : Mampu merasakan rasa asin,
manis dan pahit.
 Nervus VIII (Auditorius) : Klien mengatakan tidak
bisa mendengar dengan baik.
 Nervus IX (Glasofaringeus) : Mampu menelan
 Nervus X (Vagus) : Mampu bersuara
 Nervus XI (Assesorius) : Mampu menoleh dan
mengangkat bahu.
 Nervus XII (Hipoglosus) : Mampu menggerakan lidah.
9) Aktivitas Sehari-Hari
10) Data psikososial
11) Data psikologis
12) Data spritual
2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang dapat diambil pada kasus hipermetropia adalah sebagai
berikut :
1) Nyeri akut berhubungan dengan kelelahan otot-otot penggerak lensa
2) Gangguan persepsi sensori (visual) berhubungan dengan penurunan retraksi
lensa
3) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
4) Risiko cidera berhubungan dengan keterbatasan penglihatan

2.3 Intervensi Keperawatan


Intervensi dari masing-masing diagnosa di atas adalah sebagai berikut:

Dx 1 : Nyeri akut berhubungan dengan kelelahan otot-otot penggerak lensa


Intervensi :
1) Observasi keadaan, intensitas nyeri dan tanda-tanda vital
Rasional: Dapat membantu dalam menentukan intervensi selanjutnya
2) Ajarkan Klien untuk mengalihkan suasana dengan melakukan metode
relaksasi saat nyeri yang teramat sangat muncul, relaksasi yang seperti
menarik nafas panjang.
Rasional: Metode pengalihan suasana dengan melakukan relaksasi bisa
mengurangi nyeri yang diderita klien
3) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic
Rasional: Analgesik merupakan pereda nyeri yang efektif pada pasien untuk
mengurangi sensasi nyeri dari dalam
4) Kolaborasi untuk pemeriksaan kemampuan otot-otot penggerak lensa.
Rasional: Penyebap nyeri adalah kelelahan otot-otot penggerak lensa,
dengan mengetahui kemampuanya dapat menentukan tindakan selanjutnya

Dx 2: Gangguan persepsi sensori (visual) berhubungan dengan penurunan retraksi


lensa
Intervensi:
1) Kaji kemampuan penglihatan dan jarak pandang klien

Rasional: Dapat membantu untuk menentukan intervensi selanjutnya.


2) Anjurkan klien untuk tidak membaca terlalu lama
Rasional: Membaca terlalu lama dapat menyakiti mata
3) Berikan penerangan yang cukup
Rasional: Membantu memperjelas objek
4) Kolaborasi untuk penggunaan alat bantu penglihatan seperti kacamata
Rasional: Kacamata membantu memfokuskan bayangan obyek agar tepat
jatuh di retina

Dx 3: Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan


Intervensi:
1) Observasi tingkat kecemasan klien
Rasional: Dapat membantu dalam menentukan intervensi selanjutnya
2) Mendengar memungkinkan deteksi dan koreksi mengenai kesalahpahaman
dan kesalahan informasi.
Rasional: Dengarkan dengan cermat apa yang di katakan klien tentang
penyakit dan tindakanya
3) Menambah pengetahuan klien tentang penyakit yang dideritanya
Rasional: Berikan penyuluhan tentang penyakit klien

Dx 4: Resiko cidera berhubungan dengan keterbatasan penglihatan


Intervensi:
1) Jelaskan tentang kemungkinan yang terjadi akibat penurunan tajam
penglihatan. Rasional : perubahan ketajaman penglihatan dan kedalaman
persepsi dapat meningkatkan risiko cidera sampai klien belajar
untukmengkompensasi.
2) Beritahu klien agar lebih berhati-hati dalam melakukan aktivitas
Rasional: Untuk menghindari cidera
3) Batasi aktivitas seperti mengendarai kendaraan pada malam hari
Rasional : mengurangi potensial bahaya karena penglihatan kabur
4) Gunakan kacamata koreksi atau pertahankan perlindungan mata sesuai
indikasi Rasional: untuk menghindari cidera
2.4 Implementasi Keperawatan
Merupakan langkah keempat dalam proses keperawatan pada kasus
hipermetropia dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan
keperawatan) khususnya pada hipermetropia dimana ini telah direncanakan dalam
rencana tindakan keperawatan.

2.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi merupakan proses akhir dari keperawatan khususnya pada
hipermetropia dengan cara identifikasi/ melihat sejauh mana tujuan dari
implementasi hipermetropia tercapai atau tidak (Lukman and Sorensen, 2011).

Anda mungkin juga menyukai