Anda di halaman 1dari 57

GENERAL ANASTESI PADA PASIEN MIOMA UTERI P4A0 USIA 30

TAHUN DENGAN LAPARATOMI


Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik Madya di
SMF Ilmu Kesehatan Anestesi Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

Oleh :
Silva Mandenas
(0120840101)

Pembimbing :
dr. Albinus, Sp.An., M.Kes

KEPANITERAAN SMF ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN
JAYAPURA
PAPUA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesiologi adalah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan
nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan. Anestesiologi
berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran.Secara harfiah anestesi
berarti ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu
keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestesi dilakukan untuk
mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan
pembedahan. Anestesi menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan.1
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa” dan aesthesos,
“persepsi,kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh.1,2
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah suatu
keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi
obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum
terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel
dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat
diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk
tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih
panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah
rekonstruksi tulang, dan lain-lain.2
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan
kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan
anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi
kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan.1
Dibidang obstetri dan ginekologi, salah satu tindakan yang menggunakan bantuan
anestesi adalah seksio sesarea. Seksio sesarea merupakan pengeluaran janin melalui insisi
dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerektomi).
Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos yang terdiri dari sel-sel jaringan otot polos,
jaringan pengikat fibroid dan kolagen.1 Mioma uteri merupakan tumor pelvis yang
terbanyak pada organ reproduksi wanita. Kejadian mioma uteri sebesar 20-40% pada wanita
yang berusia > 35 tahun dan sering menimbulkan gejala klinis berupa menorage dan
dismenore. Selain itu mioma juga dapat menimbulkan kompresi traktus urinarius, sehingga
menimbulkan gangguan berkemih. Mioma uteri dapat diduga dengan pemeriksaan luar
sebagai tumor yang keras, bentuk yang tidak teratur, gerakan bebas, tidak sakit.3
Oleh karena itu pada laporan kasus ini akan dibahas tentang Histerektomi yang
umumnya merupakan tindakan terpilih. Histerektomi dikerjakan pada pasien dengan gejala
dan keluhan yang jelas mengganggu. Histerektomi bisa dilakukan pervaginam pada ukuran
tumor yang kecil. Tetapi pada umumnya histerektomi dilakukan perabdomial karena lebih
mudah.3
Pemilihan jenis anestesi untuk histerektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,
kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,
dokter anestesi dan perawat anestesi.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Alat Rproduksi Wanita


Anatomi fisiologi sistem reproduksi wanita dibagi menjadi 2 bagian yaitu: alat
reproduksi wanita bagian dalam yang terletak di dalam rongga pelvis, dan alat reproduksi
wanita bagian luar yang terletak di perineum.

1) Alat Genitalia Wanita Bagian Luar


a. Mons Pubis
Disebut juga gunung venus merupakan bagian yang menonjol di bagian depan
simfisis terdiri dari jaringan lemak dan sedikit jaringan ikat setelah dewasa tertutup
oleh rambut yang bentuknya segitiga. Mons pubis mengandung banyak kelenjar
sebasea (minyak) berfungsi sebagai bantal pada waktu melakukan hubungan seks.

Gambar 1. Organ Eksterna Wanita (Bobak, IM, 2000)

b. Labia Mayora
Merupakan kelanjutan dari mons veneris berbentuk lonjong, panjang labia
mayora 7-8 cm, lebar 2-3 cm dan agak meruncing pada ujung bawah.

c. Labia Minora
Merupakan lipatan kulit yang panjang, sempit, terletak di bagian labia mayora
tanpa ditutupi oleh rambut yang memanjang kearah bawah klitorisdan menyatu
dengan fourchette.

d. Klitoris
Merupakan bagian penting alat reproduksi luar yang bersifat erektil, dan letaknya
dekat ujung superior vulva. Organ ini mengandung banyak pembuluh darah dan serat
saraf sensoris sehingga sangat sensitive analog dengan penis laki-laki. Fungsi utama
klitoris adalah menstimulasi dan meningkatkan ketegangan seksual.
e. Vestibulum
Merupakan alat reproduksi bagian luar yang berbentuk seperti perahu atau
lonjong, terletak di antara labia minora, klitoris dan fourchette. Vestibulum terdiri dari
muara uretra, kelenjar parauretra, vagina dan kelenjar paravagina. Permukaan
vestibulum yang tipis dan agak berlendir mudah teriritasi oleh bahan kimia dan panas.

f. Perinium
Merupakan daerah muskular yang ditutupi kulit antara introitus vagina dan anus.

g. Kelenjar Bartholin
Kelenjar penting di daerah vulva dan vagina yang bersifat rapuh dan mudah
robek. Pada saat hubungan seks pengeluaran lendir meningkat.

h. Hymen (Selaput Dara)


Merupakan jaringan yang menutupi lubang vagina bersifat rapuh dan mudah
robek, himen ini berlubang sehingga menjadi saluran dari lendir yang di keluarkan
uterus dan darah saat menstruasi.

i. Fourchette
Merupakan lipatan jaringan transversal yang pipih dan tipis, terletak pada
pertemuan ujung bawah labia mayoradan labia minora. Di garis tengah berada di
bawah orifisium vagina. Suatu cekungan kecil dan fosa navikularis terletak di antara
fourchette dan himen.

2) Alat Genitalia Wanita Bagian Dalam


a. Vagina
Vagina adalah suatu tuba berdinding tipis yang dapat melipat dan mampu
meregang secara luas karena tonjolan serviks ke bagian atas vagina. Panjang dinding
anterior vagina hanya sekitar 9 cm, sedangkan panjang dinding posterior 11 cm.
Vagina terletak di depan rectum dan di belakang kandung kemih. Vagina merupakan
saluran muskulo- membraneus yang menghubungkan rahim dengan vulva. Jaringan
muskulusnya merupakan kelanjutan dari muskulus sfingter ani dan muskulus levator
ani oleh karena itu dapat dikendalikan.
Pada dinding vagina terdapat lipatan-lipatan melintang disebut rugae dan terutama
di bagian bawah. Pada puncak (ujung) vagina menonjol serviks pada bagian uterus.
Bagian servik yang menonjol ke dalam vagina di sebut portio. Portio uteri membagi
puncak vagina menjadi empat yaitu: fornik anterior, fornik posterior, fornik dekstra,
fornik sinistra.
Sel dinding vagina mengandung banyak glikogen yang menghasilkan asam susu
dengan PH 4,5. Keasaman vagina memberikan proteksi terhadap infeksi. Fungsi
utama vagina yaitu sebagai saluran untuk mengeluarkan lendir uterus dan darah
menstruasi, alat hubungan seks dan jalan lahir pada waktu persalinan.
Gambar 2. Organ Interna Wanita (Sobotta, 2018)

b. Uterus
Merupakan jaringan otot yang kuat, berdinding tebal, muskular, pipih, cekung dan
tampak seperti bola lampu/buah pir terbalik yang terletak di pelvis minor diantara
kandung kemih dan rectum. Uterus normal memiliki bentuk simetris, nyeri bila
ditekan, licin dan teraba padat.
Uterus terdiri dari tiga bagian yaitu: fundus uteri yaitu bagian corpus uteri yang
terletak di atas kedua pangkal tuba fallopi, corpus uteri merupakan bagian utama yang
mengelilingi kavum uteri dan berbentuk segitiga, dan seviks uteri yang berbentuk
silinder. Dinding belakang, dinding depan dan bagian atas tertutup peritoneum
sedangkan bagian bawahnya berhubungan dengan kandung kemih.
Untuk mempertahankan posisinya uterus disangga beberapa ligamentum, jaringan
ikat dan peritoneum. Ukuran uterus tergantung dari usia wanita, pada anak-anak
ukuran uterus sekitar 2-3 cm, nullipara 6-8 cm, dan multipara 8-9 cm. Dinding uterus
terdiri dari tiga lapisan yaitu peritoneum, miometrium / lapisan otot, dan
endometrium.

c. Tuba Fallopi
Tuba Fallopi merupakan saluran ovum yang terentang antara kornu uterine hingga
suatu tempat dekat ovarium dan merupakan jalan ovum mencapai rongga uterus.
Terletak di tepi atas ligamentum latum berjalan ke arah lateral mulai dari ostium
internum pada dinding rahim. Panjang Tuba falopi 12 cm diameter 3-8 cm. Dinding
tuba terdiri dari tiga lapisan yaitu serosa, muskular, serta mukosa dengan epitel
bersilia.
Fungsi tuba fallopi :
- Sebagai jalan transportasi ovum dari ovarium sampai kavum uteri.
- Untuk menangkap ovum yang dilepaskan saat ovulasi.
- Sebagai saluran dari spermatozoa ovum dan hasil konsepsi.
- Tempat terjadinya konsepsi.
- Tempat pertumbuahn dan perkembangan hasil konsepsi sampai mencapai bentuk
blastula yang siap mengadakan implantasi.

d. Ovarium
Ovarium berfungsi dalam pemebentukan dan pematangan folikel menjadi ovum,
ovulasi, sintesis dan sekresi hormon-hormon steroid. Letak: Ovarium ke arah uterus
bergantung pada ligamentum infundibulo pelvikum dan melekat pada ligamentum
latum melalui mesovarium.

2.2 Mioma Uteri


a. Definisi
Mioma uteri adalah neoplasma otot polos jinak yang berasal dari miometrium,
terdiri dari sel-sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid, dan kolagen. Mioma
uteri disebut juga dengan leiomioma uteri atau fibromioma uteri, karena jumlah kolagen
mereka yang cukup besar dapat menciptakan konsistensi yang berserat maka mereka
sering disebut sebagai fibroid. Mioma uteri berbatas tegas, tidak berkapsul, dan berasal
dari otot polos jaringan fibrous sehingga mioma uteri dapat berkonsistensi padat jika
jaringan ikatnya dominan, dan berkonsistensi lunak jika otot rahimnya yang dominan.
Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang paling umum dan sering dialami oleh
wanita. Neoplasma ini akan memperlihatkan gejala klinis berdasarkan pada besar dan
letak mioma di uterus.

b. Epidemiologi
Dari seluruh wanita, insiden mioma uteri diperkirakan terjadi sekitar 20% – 30%.
Mioma uteri sering ditemukan pada wanita usia reproduksi sekitar 20% – 25%, angka
kejadian ini lebih tinggi pada usia diatas 35 tahun, yaitu sekitar 40%. Tingginya kejadian
mioma uteri antara usia 35 – 50 tahun menunjukkan adanya hubungan antara mioma uteri
dengan hormon estrogen. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi pada usia
sebelum menarche sedangkan angka kejadian mioma uteri pada wanita menopause hanya
sekitar 10% (Hall, 2016). Ditemukan bahwa mereka yang menarche pada usia <10 tahun
beresiko mendapat penyakit reproduksi 10% lebih cepat dibandingkan dengan wanita
yang memulai menstruasi pada usia 14 tahun. Menarche dini (<10 tahun) ditemukan
meningkatkan resiko relatif mioma uteri 1,24 kali sedangkan menarche lambat (>16
tahun) menurunkan resiko relatif mioma uteri.
Di Indonesia angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,39% - 11,87 % dari semua
penderita ginekologi yang dirawat (Prawiroharjo, 2008). Di USA wanita kulit hitam 3-9
kali lebih tinggi menderita mioma uteri dibandingkan wanita berkulit putih, sedangkan di
Afrika wanita kulit hitam sedikit sekali menderita mioma uteri. Wanita yang sering
melahirkan sedikit kemungkinannya untuk perkembangan mioma uteri dibandingkan
dengan wanita yang tak pernah hamil atau hanya satu kali hamil. Statistik menunjukkan
60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak pernah hamil atau hanya hamil
satu kali. Prevalensi meningkat apabila ditemukan riwayat keluarga, ras, kegemukan, dan
nullipara.

c. Etiologi
Hingga saat ini penyebab pasti dari mioma uteri masih belum diketahui dan diduga
merupakan penyakit multifaktorial. Mioma merupakan sebuah tumor monoklonal yang
dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal yang berada di antara
otot polos miometrium. Tumbuh mulai dari benih multiple yang sangat kecil dan tersebar
pada miometrium sangat lambat tetapi progresif. Terdapat korelasi antara pertumbuhan
tumor dengan peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada jaringan mioma uteri,
serta adanya faktor predisposisi yang bersifat herediter, faktor hormon pertumbuhan, dan
Human Placental Lactogen. Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi
somatik dari sel-sel miometrium. Mutasi ini mencakup rentetan perubahan kromosom
baik secara parsial maupun keseluruhan. Aberasi kromosom ditemukan pada 23%-50%
dari mioma uteri yang diperiksa dan yang terbanyak (36,6%) ditemukan pada kromosom
7 (del(7) (q 21) /q 21 q 32).
Pengaruh hormon dalam pertumbuhan dan perkembangan mioma uteri antara lain:
 Esterogen
Mioma uteri kaya akan reseptor estrogen. Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell
nest atau teori genitoblast, teori ini menyatakan bahwa untuk terjadinya mioma uteri
harus terdapat dua komponen penting yaitu sel nest (sel muda yang terangsang) dan
estrogen (perangsang sel nest secara terus menerus). Percobaan Lipschutz yang
memberikan estrogen kepada kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor
fibromatosa baik pada permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Hormon
estrogen dapat diperoleh melalui penggunaan alat kontrasepsi yang bersifat hormonal.
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat pertumbuhan tumor yang
cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada
saat menopause dan pengangkatan ovarium. Mioma uteri banyak ditemukan
bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. Selama fase
sekretorik, siklus menstruasi dan kehamilan, jumlah reseptor estrogen di miometrium
normal berkurang. Pada mioma reseptor estrogen dapat ditemukan sepanjang siklus
menstruasi, tetapi ekskresi reseptor tersebut tertekan selama kehamilan.

 Progesteron
Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma sepanjang siklus menstruasi
dan kehamilan. Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen. Progesteron
menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara yaitu mengaktifkan 17 - Beta
hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada tumor.

d. Faktor Predisposisi
Adapun faktor Predisposisi dari mioma uteri;
 Umur
Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi antara usia 35-50 tahun yaitu mendekati
angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia dibawah 20 tahun, sedangkan pada
usia menopause hampir tidak pernah ditemukan. Penelitian Chao-Ru Chen di New
York menemukan wanita kulit putih umur 40-44 tahun beresiko 6,3 kali menderita
mioma uteri dibandingkan umur < 30 tahun. Sedangkan pada wanita kulit hitam umur
40-44 tahun beresiko 27,5 kali untuk menderita mioma uteri jika dibandingkan umur <
30 tahun.

 Riwayat Keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma uteri
mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan dengan
wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri. Pada wanita tertentu, khususnya
wanita berkulit hitam, angka kejadian mioma uteri lebih tinggi.

 Obesitas
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin berhubungan
dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim aromatase di jaringan
lemak. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen tubuh, dimana hal ini dapat
menerangkan hubungannya dengan peningkatan prevalensi dan pertumbuhan mioma
uteri.

 Paritas
Wanita yang sering melahirkan lebih sedikit kemungkinan untuk terjadinya
perkembangan mioma ni dibandingkan wanita yang tidak pernah hamil atau satu kali
hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak
pernah hamil atau hanya hamil satu kali.

 Kehamilan
Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah dilakukan
ditemukan sebesar 0,3 % - 7,2 % selama kehamilan. Kehamilan dapat mempengaruhi
mioma uteri karena tinginya kadar esterogen dalam kehamilan dan bertambahnya
vaskularisasi ke uterus. Keadaan ini ada kemungkinan dapat mempercepat
pembesaran mioma uteri.

e. Klasifikasi
Secara Anatomi reproduksi wanita, penyakit mioma uteri terbagi atas;
 Mioma Subserosa
Mioma subserosa merupakan mioma yang tumbuh di bawah lapisan serosa uterus dan
dapat bertumbuh ke arah luar dan juga bertangkai, dapat hanya sebagai tonjolan saja,
dapat pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan uterus melalui tangkai.
Pertumbuhan kearah lateral dapat berada di dalam ligamentum latum, dan disebut
sebagai mioma intraligamen. Mioma yang cukup besar akan mengisi rongga
peritoneum sebagai suatu massa. Perlekatan dengan omentum di sekitarnya
menyebabkan sistem peredaran darah diambil alih dari tangkai ke omentum.
Akibatnya tangkai semakin mengecil dan terputus, sehingga mioma terlepas dari
uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam rongga peritoneum.
 Mioma Intramural
Mioma Intramural merupakan mioma yang berkembang di antara miometrium dan
biasanya multiple. Apabila masih kecil, mioma tidak akan merubah bentuk uterus
tetapi bila besar mioma akan menyebabkan uterus berbenjol-benjol dengan konsistensi
yang padat, uterus bertambah besar, dan berubah bentuknya.

 Mioma Submukosa
Mioma yang berada di bawah lapisan mukosa uterus atau endometrium dan tumbuh
kearah kavum uteri. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan bentuk dan besar
kavum uteri. Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas permukaan endometrium
menyebabkan terjadinya perdarahan ireguler. Bila tumor ini tumbuh dan bertangkai,
maka tumor dapat keluar dan masuk ke dalam vagina yang disebut mioma geburt,
yang harus diperhatikan dalam menangani mioma bertangkai (mioma submukosa
pedinkulata) ialah kemungkinan terjadinya torsi dan nekrosis sehingga risiko infeksi
sangatlah tinggi. Mioma submukosa walaupun hanya kecil selalu memberikan keluhan
perdarahan melalui vagina. Perdarahan sulit dihentikan, sehingga sebagai terapinya
dilakukan histerektomi. Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dengan
tindakan kuretase, dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal sebagai currete bump
dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi tangkai tumor.

f. Manifestasi Klinis
Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung dari lokasi, arah
pertumbuhan, jenis, besar, dan jumlah cairan. Hanya dijumpai pada 35%-50% saja
mioma uteri menimbulkan keluhan sedangkan siasanya tidak mengeluh apapun, terutama
pada penderita dengan obesitas. Hipermenore, merupakan gejala klasik dari mioma uteri.
Dari penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 penderita ditemukan 44% gejala
perdarahan, yang paling sering ialah jenis mioma submukosa, sekitar 65% wanita dengan
mioma mengeluh dismenore, nyeri perut bagian bawah, serta nyeri pinggang. Tergantung
dari lokasi dan arah pertumbuhan mioma, maka kandung kemih, ureter, dan usus dapat
terganggu, peneliti melaporkan keluhan disuri (14%) dan keluhan obstipasi (13%).
Mioma uteri sebagai penyebab infertilitas hanya dijumpai pada 2% – 10% kasus.
Infertilitas terjadi sebagai akibat obstruksi mekanis tuba falopii. Abortus spontan dapat
terjadi bila mioma uteri menghalangi pembesaran uterus, dimana menyebabkan kontraksi
uterus yang abnormal, dan mencegah terlepas atau tertahannya uterus di dalam panggul.

g. Pemeriksaan dan Diagnosis


 Anamnesis
Cari keluhan utama serta gejala klinis mioma, faktor risiko, serta kemungkinan
komplikasi yang terjadi. Biasanya teraba massa menonjol keluar dari jalan lahir yang
dirasakan bertambah panjang serta adanya riwayat pervaginam terutama pada wanita
usia diatas 40 tahun.

 Pemeriksaan Fisik
Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual rutin uterus. Diagnosis
mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih
massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini adalah
bagian dari uterus.

 Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan perdarahan
uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang- kadang mioma
menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia.
Adanya hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat
penekanan mioma terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan balik
ureter dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoietin ginjal.

- Imaging
Pemeriksaan dengan USG Transabdominal dan trasvaginal bermanfaat dalam
menetapkan adanya mioma uteri.

Ultrasonografi transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang kecil.


Uterus atau massa yang paling besar baik diobservasi melalui ultrasonografi
transabdominal. Mioma uteri secara khas menghasilkan gambaran ultrasonografi
yang mendemonstrasikan irregularitas kontur maupun pembesaran uterus.
Gambaran tumor bentuk bulat atau bulat lonjong baik soliter maupun multipel
dengan hiperekoik homogen, dinding tegas, tanpa efek lateral dan pantulan
posterior, pembuluh darah diluar massa tumor.
Histeroskopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri submukosa, jika
mioma kecil serta bertangkai. Mioma tersebut sekaligus dapat diangkat.
MRI (Magnetic Resonance Imaging) sangat akurat dalam menggambarkan
jumlah, ukuran, dan likasi mioma uteri tetapi jarang diperlukan.

h. Diagnosis Banding
Diagnosis Banding Mioma Uteri antara lain Neoplasma Ovarium dan Adenomyosis.
 Neoplasma Ovarium
Kista yang berisi cairan yang bersifat jinak juga dapat menyebabkan keganasan yang
biasanya disebabkan oleh gangguan hormon pada hipotalamus, hipofisis, dan gagalnya
sel telur (folikel) untuk berovulasi. Ada 3 jenis yaitu cysadenoma mucinosum,
cysadenoma serrosum, cysta dermoid. Biasanya sering tanpa gejala, nyeri saat
menstruasi.

 Adenomyosis
Adenomyosis adalah penetrasi dan bertumbuhnya jaringan endometrium (jaringan
yang melapisi dinding dalam rahim) ke dalam myometrium (lapisan otot rahim),
sering disebut pula dengan endometriosis internal. Jadi penyakit ini sejenis dengan
endometriosis. Bisa tanpa gejala tapi ada triad gejala yakni pembesaran rahim, nyeri
pelvis dan menstruasi yang abnormal. Nyeri yang dirasakan terutama selama
menstruasi disebut dysmenorrhea dapat berupa kram yang hebat atau seperti disayat
pisau.

i. Tatalaksana
Penatalaksanaan mioma uteri harus memperhatikan usia, paritas, kehamilan, konservasi
fungsi reproduksi, keadaan umum, dan gejala yang ditimbulkan. Bila kondisi pasien
sangat buruk, lakukan upaya perbaikan yang diperlukan termasuk nutrisi, suplementasi
zat esensial, ataupun transfusi. Pada keadaan gawat darurat akibat infeksi atau gejala
abdominal akut, siapkan tindakan bedah gawat darurat untuk menyelamatkan penderita.
Pilihan prosedur bedah terkait dengan mioma uteri adalah miomektomi atau histerektomi.
 Konservatif
Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan pengobatan, tetapi
harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma lebih besar dari kehamilan 10-12
minggu, tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada tangkai, perlu diambil
tindakan operasi. Terapi konservatif dilakukan bila mioma uteri terjadi tanpa adanya
keluhan dan tanda-tanda degenerasi ganas.

 Medikamentosa
Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan mioma uteri
secara menetap belum tersedia pada saat ini. Terapi medikamentosa masih merupakan
terapi tambahan (adjuvan) atau terapi pengganti sementara dari operatif. Preparat yang
selalu digunakan untuk terapi medikamentosa adalah analog GnRHA (Gonadotropin
Realising Hormon Agonis), progesteron, androgen (danazol, gestrinon), tamoksifen,
goserelin, antiprostaglandin (NSAID), COCs (combination oral contraceptive pills),
agen-agen lain seperti gossypol dan amantadine (Chegini dkk., 2003; Parsanezhad
dkk., 2012). GnRH agonis diberikan 3-6 kali setiap bulan sekali yang dimulai pada
hari ke-3 sampai 5 mentruasi dengan dosis 375 mg intramuskuler gluteal.
Perempuan dengan dismenore memiliki kadar prostaglandin F2α dan E2 endometrium
yang lebih tinggi dibandingkan wanita dengan mioma uteri tanpa gejala. Dengan
demikian, pengobatan dismenore dan menoragia terkait dengan leiomioma didasarkan
pada peran prostaglandin sebagai mediator dari gejala- gejala ini, sehingga
penggunaan NSAID dapat dikatakan efektif untuk penderita dengan dismenore.

 Operatif
Terapi operatif tergantung pada:
- Adanya keluhan gangguan haid serta komplikasinya dan atau keluhan pendesakan
organ sekitar.
- Infertilitas post terapi GnRH agonis
- Nyeri pelvik kronis akibat pendesakan, perlekatan, dismenore, disparunea,
hemorhoid, disuria berulang, nyeri defekasi, dan manipulasi.

Ketentuan:
- Umur penderita lebih dari 50 tahun adalah TAH-BSO atau SVH tergantung kondisi
serviks.
- Menginginkan anak dilakukan miomektomi atau enukleasi mioma baik post GnRH
agonist maupun langsung.
- Pada kasus dengan gangguan haid dimana umur lebih dari 40 tahun
- Pendekatan operatif adalah laparotomi dan atau laparoskopi
Tindakan operatif yang dapat dilakukan meliputi miomektomi, histerektomi, dan
embolisasi arteri uterus. Miomektomi merupakan tindakan pengambilan sarang mioma
saja tanpa pengangkatan uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma
submukosa dan mioma geburt dengan cara ekstirpasi lewat vagina.
Histerektomi merupakan tindakan pengangkatan uterus yang paling umum
dilakukan pada kasus mioma uteri. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan
alasan mencegah timbulnya mioma uteri berulang atau timbulnya karsinoma servisis
uteri. Histerektomi untuk mioma uteri dapat dilakukan secara vaginally, abdominally,
atau laparoscopically Endometrial Ablation, Hysteroscopy.
Embolisasi arteri uterus (Uterin Artery Embolization / UAE) merupakan injeksi
arteri uterina dengan butiran polyvinyl alkohol melalui kateter yang nantinya akan
menghambat aliran darah ke mioma dan menyebabkan nekrosis. Nyeri setelah UAE
lebih ringan daripada setelah pembedahan mioma dan pada UAE tidak dilakukan
insisi serta waktu penyembuhannya lebih cepat (Swine, 2009).
 Radiasi dengan radioterapi
Radioterapi dilakukan untuk menghentikan perdarahan yang terjadi pada beberapa
kasus.
Keluhan positif:
- Infertilitas.
Pada mioma uterus dengan keluhan infertilitas dilakukan histerosalfingografi untuk
mengetahui kavum uterus, patensi tuba, hidrosalfing, dan tanda-tanda infeksi
kronis.
- AUB-L berupa menoragia, metroragia, dan menometroragia.
- Komplikasi perdarahan seperti lemah, lesu, penyakit jantung, anemia, mudah
infeksi, penuruanan kinerja, dan konsentrasi.
- Pendesakan ke organ pelviks sehingga menimbulkan gangguan seperti gangguan
berkemih dan defekasi, nyeri pelvik kronik, serta nyeri di regio suprasimfisis.

2.3 Histerektomi
a. Pengertian Histerektomi
Histerektomi berasal dari bahasa Yunani yakni hystera yang berarti “rahim” dan
ektmia yang berarti “pemotongan”. Histerektomi berarti operasi pengangkatan rahim.28
Akibat dari histerektomi ini adalah si wanita tidak bisa hamil lagi dan berarti tidak bisa
pula mempunyai anak lagi.
Walaupun tidak pernah diharapkan, wanita tak jarang mengalami berbagai penyakit
yang berkaitan dengan organ reproduksinya. Penyakit itu diantaranya kanker rahim atau
kanker mulut rahim, fiBbroid (tumor jinak pada rahim), dan endometriosis (kelainan
akibat dinding rahim bagian dalam tumbuh pada indung telur,tuba fallopi, atau bagian
tubuh lain, padahal seharusnya hanya tumbuh di rahim).
Penyakit-penyakit tersebut sangat membahayakan bagi seorang wanita, bahkan dapat
mengancam jiwanya, karena itu, perlu tindakan medis untuk mengatasinya. Menghadapi
penyakit-penyakit tersebut tindakan medis yang harus dilakukan adalah histerektomi.
Prosedur histerektomi biasanya dipilih berdasarkan diagnosa penyakit, juga berdasarkan
pengalaman dan kecenderungan ahli bedah. Namun, demikian, prosedur histerektomi
melalui vagina memiliki resiko yang lebih kecil dan waktu pemulihan yang lebih cepat
dibanding prosedur histerektomi melalui perut.29

b. Tujuan atau Kegunaan Histerektomi


Tujuan atau kegunaan histerektomi adalah untuk mengangkat rahim wanita yang
mengidap penyakit tertentu dan sudah menjalani berbagai perawatan medis, namun
kondisinya tidak kunjung membaik.Pengangkatan uterus merupakan solusi terakhir yang
direkomendasikan pada pasien, jika tidak ada pengobatan lain atau prosedur yang lebih
rendah resiko untuk mengatasi masalah tumor atau kista pada organ reproduksinya.30

c. Alasan Melakukan Histerektomi


Wanita yang melakukan histerektomi memiliki alasan masing- masing. Alasan-
alasan melakukan histerektomi adalah:31
- Menorrhagia atau menstruasi berlebihan. Selain darah menstruasi yang keluar
berlebihan, gejala lainnya adalah kram dan sakit pada perut.
- Endometriosis yaitu kondisi yang terjadi ketika sel-sel yang melintang di rahim
ditemukan di luar dinding rahim.
- Penyakit radang panggul yaitu terinfeksinya sistem reproduksi oleh bakteri bisa
menyebabkan penyakit ini. Sebenarnya penyakit radang panggul bisa diatasi dengan
antibiotik, namun jika kondisinya telah parah atau infeksi sudah menyebar
dibutuhkan tindakan histerektomi.
- Fibroid atau tumor jinak yang tumbuh di area rahim.
- Kekenduran rahim yaitu terjadi ketika jaringan dan ligamen yang menopang rahim
menjadi lemah. Gejalanya adalah nyeri punggung, urine bocor, sulit berhubungan
seks, dan merasa ada sesuatu yang turun dari vagina.
- Adenomiosis atau penebalan rahim yaitu kondisi ketika jaringan yang biasanya
terbentang di rahim menebal ke dalam dinding otot rahim. Hal tersebut bisa membuat
menstruasi terasa menyakitkan dan nyeri panggul.
- Kanker kewanitaan seperti: serviks, ovarium, tuba fallopi dan rahim.

d. Jenis-Jenis Histerektomi
Ada beberapa jenis-jenis histerektomi yang dilakukan oleh wanita yaitu:32
1. Histerektomi Radikal
Histerektomi radikal yaitu mereka yang menjalani prosedur ini akan kehilangan
seluruh sistem reproduksi seperti seluruh rahim dan serviks, tuba fallopi, ovarium,
bagian atas vagina, jaringan lemak dan kelenjar getah bening. Prosedur ini dilakukan
pada mereka yang mengidap kanker.
Prosedur ini melibatkan operasi yang luas dari pada histerektomi abdominal
totalis,karena prosedur ini juga mengikutsertakan pengangkatan jaringan lunak yang
mengelilingi uterus serta mengangkat bagian atas dari vagina. Histerektomi radikal ini
sering dilakukan pada kasus-kasus karsinom serviks stadium dini. Komplikasi lebih
sering terjadi pada histerektomi jenis ini dibandingkan pada histerektomi tipe
abdominal. Hal ini juga menyangkut perlukaan pada usus dan sistem urinarius.33
2. Histerektomi Abdominal
- Histerektomi Total
Histerektomi total yaitu seluruh rahim dan serviks diangkat jika menjalani
prosedur ini. Namun ada pula jenis histerektomi total bilateral saplingoooforektomi
yaitu prosedur ini melibatkan tuba fallopi dan ovarium. Keuntungan dilakukan
histerektomi total adalah ikut diangkatnya serviks yang menjadi sumber terjadinya
karsinoma dan prekanker.Akan tetapi, histerektomi total lebih sulit daripada
histerektomi supraservikal karena insiden komplikasinya yang lebih besar.
Operasi dapat dilakukan dengan tetap meninggalkan atau mengeluarkan
ovarium pada satu atau keduanya. Pada penyakit, kemungkinan dilakukannya
ooforektomi unilateral atau bilateral harus didiskusikan dengan pasien. Sering
kali, pada penyakit ganas, tidak ada pilihan lain, kecuali mengeluarkan tuba dan
ovarium karena sudah sering terjadi mikrometastase.
Berbeda dengan histerektomi sebagian, pada histerektomi total seluruh bagian
rahim termasuk mulut rahim (serviks) diangkat. Selain itu, terkadang histerektomi
total juga disertai dengan pengangkatan beberapa organ reproduksi lainnya secara
bersamaan. Misalnya, jika organ yang diangkat itu adalah kedua saluran telur (tuba
fallopi) maka tindakan itu disebut salpingo.
Jika organ yang diangkat adalah kedua ovarium atau indung telur maka
tindakan itu disebut oophor.Jadi, yang disebut histerektomi bilateral salpingo-
oophorektomi adalah pengangkatan rahim bersama kedua saluran telur dan kedua
indung telur. Pada tindakan histerektomi ini, terkadang juga dilakukan tindakan
pengangkatan bagian atas vagina dan beberapa simpul (nodus) dari saluran kelenjar
getah bening, atau yang disebut sebagai histerektomi radikal (radical
hysterectomy).
Banyak gangguan yang dapat menyebabkan diputuskannya tindakan
hsterektomi. Terutama untuk keselamatan nyawa ibu, seperti pendarahan hebat
yang disebabkan oleh adanya miom atau persalinan, kanker rahim atau mulut
rahim, kanker indung telur, dan kanker saluran telur (fallopi). Selain itu, beberapa
gangguan atau kelainan reproduksi yang sangat mengganggu kualitas hidup wanita,
seperti miom atau endometriosis dapat menyebabkan dokter mengambil pilihan
dilakukannya histerektomi.34

- Histerektomi Subtotal
Histerektomi subtotal adalah Pengangkatan bagian atas uterus dengan
meninggalkan bagian segmen bawah rahim. Tindakan ini umumnya dilakukan pada
kasus gawat darurat obstetrik seperti pendarahanpaska persalinan yang disebabkan
atonia uteri, prolapsus uteri, dan plasenta akreta. Oleh karena itu, penderita masih
dapat terkena kanker mulut rahim sehingga masih perlu pemeriksaan papsmear
(pemeriksaan leher rahim) secara rutin.

3. Histerektomi Eksenterasi Pelvik


Histerektomi eksenterasi Pelvik yaitu pengangkatan semua jaringan dalam rongga
panggul. Tindakan ini dilakukan pada kasus metastase daerah panggul.

e. Proses Histerektomi
Sebelum operasi, dokter akan melakukan beberapa tes untuk memeriksa apakah
dapat menjalani operasi. Ahli bedah juga akan memilih jenis operasi yang tepat untuk
penderita penyakit akut tersebut. Tes yang diperlukan adalah:
- Tes Pap (dikenal sebagai tes Papanicolaou), yang mendeteksi secara dini adanya sel-
sel serviks yang abnormal atau kanker leher rahim.
- Biopsi endometrium, yang mendeteksi sel abnormal pada endometrium atau
memeriksa keberadaan kanker endometrium.
- USG panggul, yang membantu dokter mengidentifikasi ukuran fibrosis rahim, polip
endometrium, atau kanker ovarium.

Sebelum tes, dokter akan memberikan beberapa obat-obatan untuk membersihkan


saluran pencernaan. Ini merupakan proses yang diperlukan dalam pembedahan. Selain
itu, perlu pembersihan vagina (douchevagina) untuk mengurangi resiko infeksi sebelum
dan setelah operasi. Tepat sebelum operasi, dokter akan menyuntikkan antibiotic melalui
pembuluh darah untuk mengurangi risiko infeksi setelah operasi.
Operasi dilakukan di bawah anastesi. Biasanya memakan waktu satu jam. Proses
operasinya sebagai berikut:
- Pertama,dokter bedah membuat sayatan, yang biasanya berada di bawah garis pusar
perut.
- Kedua,dokter bedah akan menarik dan membuka dinding perut kedua sisi dan
memasukkan instrument untuk mengangkat rahim.
- Ketiga, setelah usai pengangkatan rahim, baian perut yang disayat tersebut dijahit
untuk menutup luka. Dalam kebanyakan kasus, ahli bedah juga akan mengangkat
leher rahim.35
Setelah operasi, anda perlu dirawat di rumah sakit selama beberapa jam untuk
pemulihan. Dokter akan:
- Mengamati jika pasien memiliki nyeri perut.
- Memberikan beberapa obat-obatan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah infeksi
setelah operasi.
- Membantu pasien untuk berdiri dengan segera dan berjalan di sekitar ruangan setelah
operasi untuk pemulihan.

Setelah operasi, biasanya pasien harus tinggal di rumah sakit selama 1-2 hari,
kadang-kadang bisa lebih lama. Setelah operasi, pasien harus menggunakan pembalut
karena darah dan cairan vagina akan mengalir cukup banyak. Pendarahan vagina dapat
berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu. Pasien harus menyadari bahwa
jika pasien mengalami pendarahan sebanyak yang dialami selama periode menstruasi,
pasien harus segera memberitahu dokter.

f. Resiko dan Efek Samping Histerektomi


Histerektomi tentunya memiliki efek samping. Efek sampig dari histerektomi adalah:37
- Pendarahan Vagina
Pada pasien dengan riwayat histerektomi total, maka adanya pendarahan ini
kemungkinan disebabkan oleh iritasi pada vagina atau infeksi pada vagina. Sedangkan
pada partial histerektomi, kemungkinan pendarahan ini dapat berasal dari vagina,
ataupun dari serviks.
Histerektomi partial dilakukan dengan ovarium dan serviks tetap bertahan.
Kemungkinan karena adanya pendarahan karena adanya selaput lendir dari serviks,
sehingga dengan ovarium dan hormon kewanitaan masih menjalankan fungsinya,
maka kemungkinan adanya respon menstruasi dapat menjadi pertimbangan juga.
Kondisi ini juga dapat dipicu oleh kelelahan fisik, stres yang mungkin dialami.38
- Gangguan Kandung Kemih dan Kerusakan Usus
Kejang kandung kemih Juga terjadi setelah proses histerektomi dan hal semacam ini
biasanya akan terus meningkat secara bertahap selama beberapa minggu pertama
setelah operasi.Paling sering terjadi karena langkah awal yang memerlukan diseksi
untuk memisahkan kandung kemih dari serviks anterior tidak dilakukan pada bidang
avaskular yang tepat.
Kerusakan usus terjadi jika loop usus menempel pada kavum douglas, menempel
pada uterus atau adneksa. Walaupun jarang, komplikasi yang serius ini dapat
diketahui dari terciumnya bau feses atau melihat material fekal yang cair pada
lapangan operasi. Pentatalaksanaan memerlukan laparotomi untuk perbaikan atau
kolostomi.

- Gejala-Gejala Menopause
Kedua ovarium diangkat maka akan segera memasuki periode menopause tanpa
memperhatikan usia saat ini. Menopuse adalah masa dimana berhentinya periode
menstruasi seorang wanita. Hal ini umumnya terjadi pada wanita sekitar usia 40-45
tahun dengan riwayat histerektomi. Normalnya menopause terjadi ketika seorang
wanita berusia 45-65 tahun. Ovarium adalah organ yang menghasilkan hormon seks
perempuan termasuk estrogen dan progestin.
Apabila dilakukan operasi pengangkatan rahim (histerektomi) tanpa
pengangkatan indung telur maka gejala menopause dini tidak akan terjadi karena
indung telur masih mampu menghasilkan hormon. Wanita yang mengalami
menopause dini memiliki gejala yang sama dengan menopause pada umumnya seperti
hot flashes (perasaan hangat di seluruh tubuh yang terutama terasa pada dada dan
kepala), gangguan emosi, kekeringan pada vagina, dan menurunnya keinginan
berhubungan seksual.
Wanita yang mengalami menopause dini memiliki kejadian keropos tulang lenih
besar dari mereka yang mengalami menopause lebih lama. Kejadian ini meningkatkan
angka kejadian osteoporosis dan patah tulang. Menopause dini adalah menopause
yang terjadi sebelum usia 40 tahun.39
- Nyeri Kronis
Setelah histerektomi terjadi nyeri kronis yaitu nyeri neuropati, yang berasal dari
ujung saraf yang mengirimkan sinyal rasa sakit. Menyentuh bagian ini dapat
menyebabkan rasa sakit. Rasa sakit seperti ini dapat diobati dengan mengurangi sinyal
saraf yang abnormal yang menjadi penyebab awal.40
- Penyempitan Vagina yang Luas
Penyempitan vagina yang luas disebabkan oleh pemotongan mukosa vagina
yang berlebihan. Lebih baik keliru meninggalkan mukosa vagina terlalu banyak
daripada terlalu sedikit. Komplikasi ini memerlukan insisi lateral dan packing atau
stinit vaginal, mirip dengan rekonstruksi vagina.
2.4 Anestesi Umum
a. Definis
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah
suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat
induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat
anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi
SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat
anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum
yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di
antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi
umum yang digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa
alkaloid lain dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin.1
Untuk menentukan prognosis ASA (American Society of Anesthesiologists)
membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien
kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut:
 ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.1
 ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan
hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan
febris.1
 ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan
karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia,
atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium.1
 ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehiduannya.1
 ASA 5, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang sudah tidak mungkin di
tolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal. Contohnya
pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda
darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E.1

Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering dipakai dalam anastesi


umum. Anestesi seimbang terdiri dari:1
1. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya
2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya, midazolam dan
antikolinergik (contoh, atropin) untuk mengurangi sekresi diberikan kira-kira 1 jam
sebelum pembedahan
3. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental (Pentothal)
4. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen
5. Pelemas otot jika diperlukan.

b. Tahap-tahap Anestesi
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi
volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya
kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil,
dapat terjadi urinasi dan defekasi.
Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai
permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak
menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis,
hipertensi, dan takikardia.
Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang
ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan
thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra,
konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal
dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III,
ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut
relaksasi. Stadium III dibagi dalam 4 plana:
Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata
yang tidak menurut kehendak pupil miosis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat,
refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang
sempurna (tonus otot mulai menurun).
Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi
meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya
mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan
intubasi.
Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi
tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi
otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil
sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan kelenjar air mata tidak
ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).
Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis
otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata
ikan karena terhentinya sekresi lakrima

Tabel 3. Tahap Anestesi


Tahap Nama Keterangan
1 Analgesia Dimulai dengan keadaan sadar dan diakhiri
dengan hilangnya kesadaran. Sulit untuk
bicara; indra penciuman dan rasa nyeri
hilang. Mimpi serta halusinasi pendengaran
dan penglihatan mungkin terjadi. Tahap ini
dikenal juga sebagai tahap induksi
2 Eksitasi atau delirium Terjadi kehilangan kesadaran akibat
penekanan korteks serebri. Kekacauan
mental, eksitasi, atau delirium dapat terjadi.
Waktu induksi singkat.
3 Surgical Prosedur pembedahan biasanyadilakukan
pada tahap ini
4 Paralisis medular tahap toksik dari anestesi. Pernapasan
hilang dan terjadi kolaps sirkular. Perlu
diberikan bantuan ventilasi.

c. Sifat-sifat Anestesi Umum yang Ideal


Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan
baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar; (4) tidak bersifat
toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar
yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi).
Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar
obat anastesi dalam SSP.1

d. Obat-obat Anestesi Umum


Tahapan Tindakan Anestesi Umum7
1. Penilaian dan persiapan pra-anestesi
Persiapan pra-bedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya kecelakaan
dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien
terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar.
Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
a) Penilaian pra-bedah
 Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau
sesak napas pasca bedah sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya dengan
baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang dapat menimbulkan masalah di
masa lalu sebaiknya jangan digunakan ulang misalnya halotan jangan digunakan
ulang dalam waktu 3 bulan atau suksinilkolin yang menimbulkan apnea
berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan
1-2 hari sebelumnya.

 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, atau lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem organ
tubuh pasien.

 Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah (Hb,
leukosit, masa perdarahan, dan masa pembekuan) dan urinalisis.

 Kebugaran untuk Anestesi


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar. Sebaliknya pada operasi sito, penundaan yang
tidak perlu harus dihindari.
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA).
Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan risiko anestesi karena efek samping
anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.
 Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
 Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
 Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas rutin
terbatas.
 Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat.
 Kelas V : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang sudah tidak dapat
ditolong lagi, di operasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal.
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

 Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi
anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anestesi. Minuman air putih, teh manis sampai 3 jam, dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anestesi.

b) Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasiyaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi di antaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
 Menghilangkan rasa khawatir melalui:
- Kunjungan pre-anestesi.
- Pengertian masalah yang dihadapi.
- Keyakinan akan keberhasilan operasi.
 Memberikan ketenangan (sedatif).
 Membuat amnesia.
 Mengurangi rasa sakit (analgesik non-narkotik atau narkotik).
 Mencegah mual dan muntah.
2. Memudahkan atau memperlancar induksi. Pemberian hipnotik sedatif atau
narkotik.
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi. Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah atau liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung

Pemberian antikolinergik atropin, primperan, rantin, atau H2 antagonis.


Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara
intramuskuler minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat
dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan
secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Jika pembedahan
belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi
intramuskuler, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi jika diberikan
secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropin dan hiosin.
Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan:
1. Analgesik narkotik
 Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
 Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
 Fentanyl (fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3μgr/kgBB
2. Hipnotik
 Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
 Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
3. Sedatif
 Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
 Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg), dosis 0,1mg/kgBB
 Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
 Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
4. Antikolinergik
 Sulfas atropin (antikolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg), dosis 0,001 mg/kgBB
5. Neuroleptik
 Droperidol, dosis 0,1 mg/kgBB

c) Induksi Anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidaksadar
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksidapat
dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskuler, atau rektal. Setelahpasien tidur
akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaananestesi sampai
tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S: Scope -Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop
pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T: Tube - Pipa trakea pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5
tahun dengan balon (cuffed).
A: Airway - Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa hidung-
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T: Tape - Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I: Introducer - Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel)yang mudah
dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector - Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S : Suction - penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.

Macam-macam induksi pada anestesi umum yaitu:


1. Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan. Indikasi intravena dikerjakan dengan hati-hati,
perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi,
dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada
pasien yang kooperatif.
Obat-obat induksi intravena:
 Tiophental (pentothal, tiophenton)
Sediaan ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam
akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1 ml = 25 mg). Hanya digunakan
untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan
tiophental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hipnosis,
anestesi, atau depresi napas. Tiophental menurunkan aliran darah otak,
tekanan likuor, tekanan intrakranial, dan diduga dapat melindungi otak akibat
kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti-analgesik.
Kontra Indikasi:
- Anak-anak di bawah 4 tahun
- Shock, anemia, uremia dan penderita-penderita yang lemah
- Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi mulut dan saluran
nafas
- Penyakit jantung
- Penyakit hati
- Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk menemukan vena yang
baik.

 Propofol (diprivan, recofol)


Propofol (2,6 – diisopropylphenol) merupakan derivat fenol yang banyak
digunakan sebagai anastesia intravena. Dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg).
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk
induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12
mg/kg/jam, dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.
Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak
< 3 tahun dan pada wanita hamil. Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih
kurang diketahui, tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor
GABA – A (Gamma Amino Butired Acid).
 Ketamin (ketalar)
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan
“rapid acting non barbiturate general anesthesia”. Kurang digemari karena
sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, serta
pasca anestesi dapat timbul mual-muntah, pandangan kabur, dan mimpi
buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan
untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus
1-2 mg/kg dan untuk intramuskuler 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan
bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (1 ml = 100
mg).

 Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanyl)


Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskuler sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesi
opioid digunakan fentanyl dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.

2. Induksi intramuskuler
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
3. Induksi Inhalasi
 N2O(gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
Berbentuk gas, tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi, tidak terbakar, dan
beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%.
Bersifat anastetik lemah dan analgesi kuat sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan tunggal, sering dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain
seperti halotan.
 Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya cukup
dalam, stabil, dan sebelum tindakan diberikan analgesik semprot lidokain 4%
atau 10% sekitar faring-laring. Induksi halotan memerlukan gas pendorong
O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt
atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt. Kalau pasien batuk
konsentrasi halotan diturunkan, untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikan
lagi sampai konsentrasi yang diperlukan. Kelebihan dosis dapat
menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan
inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesik lemah tetapi anestesi kuat.
Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula
darah.
 Enfluran
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif
disbanding halotan. Depresi sirkulasi lebih kuat dibanding halotan tetapi
lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih
baik dibanding halotan.
 Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran
darah otak dan tekanan intrakranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek
terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga digemari untuk
anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan
gangguan koroner.
 Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%) bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napas
seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak
digunakan untuk induksi anestesi.
 Sevofluran (ultane)
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk
walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %.
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk
induksi anestesi inhalasi di samping halotan.
4. Induksi per Rektal
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan selanjutnya
sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic (katerisasi jantung,
roentgen foto, pemeriksaan mata, telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb)
terutama pada bayi-bayi dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose
dengan inhalasi pada bayi dan anak-anak.
Syaratnya adalah:
a) Rectum betul-betul kosong
b) Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB

e. Komplikasi Anestesi dan Bahaya Anestesi


Komplikasi Anestesi
Komplikasi yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan oleh tindakan
anestesi sendiri dan atau kondisi pasien. Komplikasi segera dapat timbul pada waktu
pembedahan atau kemudian segera ataupun belakangan setelah pembedahan.
Komplikasi anestesi dapat berakhir dengan kematian atau tidak diduga walaupun
tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Secara umum komplikasi anestesi
yang sering dijumpai antara lain:
1. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi antara lain: pembuluh
darah, intubasi, dan saraf superfisialis.2
 Pembuluh Darah
Kesalahan teknik dalam venapunksi dapat menyebabkan memar, eksavasasi
obat yang dapat menyebabkan ulserasi kulit di atasnya, infeksi lokal, tromboflebitis
serta kerusakan struktur berdekatan, terutama arteri dan saraf. Beberapa obat yang
mencakup Benzodiazepin dan Propanidid menyebabkan tromboflebitis. Kanulasi
vena yang lama lebih mungkin menyebabkan tromboflebitis dan infeksi.2

 Intubasi
Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat intubasi trachea oleh orang
yang tidak berpengalaman. Kerusakan gigi geligi akan terjadi lebih serius jika
disertai kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses paru. Jika dibiarkan
tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat menyebabkan epistaksis yang tak
menyenangkan dan kadang–kadang sonde dapat membentuk saluran di bawah
mukosa hidung, intubasi hidung sering memfraktura concha. Kerusakan pada
struktur tonsila dan larynx (terutama pita suara) untungnya sering terjadi, tetapi
penanganan mulut posterior struktur yang kasar menyokong sakit tenggorokan
pasca bedah.

 Saraf Superfisial
Tekanan langsung terus menerus akan merusak saraf, seperti poplitea lateralis
sewaktu mengelilingi caput fibulae, yang menyebabkan “foot drop”, fasialis
sewaktu ia menyilang mandibula, yang menyebabkan paralisis otot wajah, ulnaris
sewaktu ia menyilang epicondylus medialis, yang menyebabkan paralisis dan
kehilangan sensasi dalam tangan serta nervus radialis sewaktu ia mengelilingi
humerus di posterior, yang menyebabkan “wrist drop”. Pleksus brachialis dapat
dirusak dengan meregangnya di atas caput humeri, jika lengan diabduksi atau rotasi
eksternal terlalu jauh.2

2. Pernapasan
Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk hipoksemia yang tidak
terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia, pneumonia lobaris, kongesti
pulmonal hipostatik, plurisi, dan superinfeksi. 2
Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah obstruksi saluran
pernapasan akut selama atau segera setelah induksi anestesi. Spasme Larynx dan
penahanan napas dapat sulit dibedakan serta dapat timbul sebagai respon terhadap
anestesi yang ringan, terutama jika saluran pernapasan dirangsang oleh uap anestesi
iritan atau materi asing yang mencakup sekresi dan kandungan asam lambung.
Intubasi yang gagal dapat menjadi mimpi buruk, bila mungkin terjadi aspirasi
lambung, seperti pasien obstetri dan kedaruratan yang tak dipersiapkan.2
Gagal pernapasan terutama merupakan fenomena pasca bedah, biasanya karena
kombinasi kejadian. Kelamahan otot setelah pemulihan dari relaksan yang tidak
adekuat, depresi sentral dengan opioid dan zat anestesi, hambatan batuk dan ventilasi
alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri luka bergabung untuk
menimbulkan gagal pernapasan restriktif dengan retensi CO2 serta kemudian narcosis
CO2, terutama jika PO2 dipertahankan dengan pemberian oksigen.2

3. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi, hipertensi,
aritmia jantung, dan payah jantung. Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah
systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya.
Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan,
overdosis obat anestetika, penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia,
hipertensi, dan reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan reaksi
transfusi.2
Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan pemulihan anestesi.
Komplikasi hipertensi disebabkan oleh analgesa dan hipnosis yang tidak adekuat,
batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat.
Sementara faktor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia,
tindakan intubasi, gangguan elektrolit, dan pengaruh beberapa obat tertentu.2

4. Hati
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan. Insidens virus
Hepatitis A aktif dalam populasi umum mungkin jauh lebih lazim, yang diperkirakan
sekitar 100–400 per sejuta pada suatu waktu. Mungkin bahwa zat anestesi mengurangi
kemanjuran susunan kekebalan dan membuat pasien lebih cenderung ke infeksi yang
mencakup hepatitis virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu
mungkin harus dihalangi. 2

5. Suhu Tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi menyebabkan
penurunan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama, terutama dengan
pemaparan vesera, bisa timbul hipotermi yang parah, yang menyebabkan
pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi perifer tidak adekuat.
Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika kebutuhan oksigen meningkat sebagai
akibat menggigil selama masa pasca bedah.2

Bahaya Anestesi
Bahaya utama anestesi dapat disebabkan banyak penyebab. Sebagian penyebab
pada mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya tersebut tidak diperhatikan sama sekali,
atau tidak diatasi dengan baik, maka bencana dapat terjadi. Bahaya lain mungkin tidak
berbahaya tetapi merupakan sumber utama ketidaknyamanan, nyeri, atau iritasi terhadap
penderita. Bahaya anestesi yang mungkin dapat terjadi antara lain:2
 Bahaya anestesi yang dapat mematikan
Kematian akibat anestesi mungkin disebabkan oleh hipoksia dan henti jantung
yang saling terkait, pada kedua kasus kematian dapat disebabkan oleh gangguan
penyediaan oksigen otak dan /atau jantung baik primer (yang disebabkan oleh
hipoksia respiratorik) maupun sekunder (sebagai akibat terhentinya sirkulasi setelah
henti jantung). Bahaya lain akibat anestesi yang dapat mematikan karena anestesi
adalah anafilaksis akut karena obat yang digunakan pada anestesi, dan hipertermia
yang ganas.2

 Hipoksia atau anoksia respiratorik selama anestesi


Hipoksia atau anoksia terjadi selama anestesi akibat c. Keadaan seperti ini dapat
terjadi pada semua titik mulai dari sumber penyediaan oksigen, mesin anestesi, saluran
pernapasan atas dan bawah, paru–paru, pembuluh darah utama sampai kapiler, dan
akhirnya sampai kepada pemindahan oksigen ke dan dalam sel. Sebagian sel akan
pulih dari hipoksia atau bahkan anoksia yang berlangsung dalam beberapa menit,
tetapi pada otak akan terjadi kerusakan yang irreversibel setelah 4–6 menit
kekurangan oksigen, demikian juga yang terjadi jika jantung berhenti dengan efektif
(henti jantung).2

2.5 Terapi Cairan


Terapi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan keberhasilan
penanganan pasien kritis. Dalam langkah-langkah resusitasi, langkah D (“drug and fluid
treatment”) dalam bantuan hidup lanjut, merupakan langkah penting yang dilakukan secara
simultan dengan langkah-langkah lainnya. Tindakan ini seringkali merupakan langkah “life
saving” pada pasien yang menderita kehilangan cairan yang banyak seperti dehidrasi karena
muntah mencret dan syok hipovolemik.1,14 Dengan terapi cairan kebutuhan akan air dan
elektrolit akan terpenuhi.15
 Jenis Cairan dan Indikasinya
Secara garis besar, cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid dan
koloid.14
1. Cairan Kristaloid
Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida). Kristaloid tidak
mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas dalam ruang intravaskular
dengan waktu paruh kristaloid di intravaskular adalah 20-30 menit. Beberapa peneliti
merekomendasikan untuk setiap 1 liter darah, diberikan 3 liter kristaloid isotonik.
Kristaloid murah, mudah dibuat, dan tidak menimbulkan reaksi imun. Larutan
kristaloid adalah larutan primer yang digunakan untuk terapi intravena prehospital.
Ada 3 jenis tonisitas kristaloid, yaitu:15
a. Isotonis
Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia memiliki
konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “isotonik” (iso, sama; tonik;
konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid isotonis, tidak terjadi perpindahan yang
signifikan antara cairan di dalam intravaskular dan sel. Dengan demikian, hampir
tidak ada atau minimal osmosis. Keuntungan dari cairan kristaloid adalah murah,
mudah didapat, mudah penyimpanannya, bebas reaksi, dapat segera dipakai untuk
mengatasi defisit volume sirkulasi, menurunkan viskositas darah, dan dapat
digunakan sebagai fluid challenge test. Efek samping yang perlu diperhatikan
adalah terjadinya edema perifer dan edema paru pada jumlah pemberian yang
besar. Contoh larutan kristaloid isotonis seperti ringer laktat, normal saline (NaCl
0.9%), dan dextrose 5% dalam ¼ NS.
b. Hipertonis
Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, lebih terkonsentrasi maka
disebut sebagai “hipertonik” (hiper; tinggi, tonik; konsentrasi). Administrasi dari
kristaloid hipertonik menyebabkan cairan tersebut akan menarik cairan dari sel ke
ruang intravaskular. Efek larutan garam hipertonik lain adalah meningkatkan curah
jantung. Efek samping dari pemberian larutan garam hipertonik adalah
hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh larutan kristaloid hipertonis seperti
dextrose 5% dalam ½ NS, dextrose 5% dalam NS, salin 3%, salin 5%, dan dextrose
5% dalam ringer laktat.
c. Hipotonis
Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari plasma dan kurang
terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik” (hipo; rendah, tonik; konsentrasi).
Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan berpindah dari
intravaskular ke sel. Contoh larutan kristaloid hipotonis seperti dextrose 5% dalam
air, ½ normal salin.

Tabel 7. Komposisi Plasma dan Cairan Kristaloid


Osmolaritas pH Na+ K+ HCO3- Cl- Glukosa
(mosmol/kg) (mmol/l) (mmol/l) (mmol/l) (mmol/l)
Plasma 295 7.40 140 3.6-5.1 30 100 5
Salin 0.9% 308 5.0 154 0 0 154 0
Salin 7.5% 2400 3.5- 1250 0 0 1250 0
7.0
Ringer laktat 274 6.5 130 4 30 110 0
Ringer asetat 270 6.0 130 4 30 110 0
Plasma-lyte A 294 7.4 140 5 27 98 0
Glukosa (5%) 278 5.0 0 0 0 0 278
Glukosa 280 6.0 70 0 25 45 139
(2.5%) +
elektrolit

2. Cairan Koloid
Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam
ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien dengan
defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hemorrhagik sebelum diberikan
transfusi darah, pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein
jumlah besar (misalnya pada luka bakar). Cairan koloid merupakan turunan dari
plasma protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki sifat yaitu plasma expander
yang merupakan suatu sediaam larutan steril yang digunakan untuk menggantikan
plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka bakar dan operasi. Kerugian dari
‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match.
Berdasarkan jenis pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:15
a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia (5% dan 25%).
Dibuat dengan cara memanaskan plasma 60°C selama 10 jam untuk membunuh
virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin
(83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. Selain albumin,aktivator
Prekalikrein (Hageman’s factorfragments) terdapat dalam fraksi protein plasma
dan sering menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
b. Koloid sintetik
 Dextran
Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah yang besar.
Dextran diproduksi untuk mengganti cairan karena peningkatan berat
molekulnya, sehingga memiliki durasi tindakan yang lebih lama di dalam ruang
intravaskular. Namun, jarang digunakan karena efek samping terkait yang
meliputi gagal ginjal sekunder akibat pengendapan di dalam tubulus ginjal,
gangguan fungsi platelet, koagulopati dan gangguan pada cross-matching darah.
Tersedia dalam bentuk Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul
40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000.
 Hydroxylethyl Starch (HES)
Cairan koloid sintetik yang sering digunakan saat ini. Pemberian 500 ml larutan
ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan
sisanya, yaitu starch yang bermolekul besar, sebesar 64% dalam waktu 8 hari.
Hetastarch nonantigenik dan jarang dilaporkan adanya reaksi anafilaktoid. Low
molecular weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch,
mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan
dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume
expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu
koagulasi maka Pentastarch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan jumlah
besar.
 Gelatin
Merupakan bagian dari koloid sintesis yang terbuat dari gelatin, biasanya berasal
dari collagen bovine serta dapat memberikan reaksi. Larutan gelatin adalah urea
atau modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen sapi. Berat molekul
gelatin relatif rendah, 30,35 kDa, jika dibandingkan dengan koloid lain. Tidak
ada batasan dosis maksimum untuk gelatin. Gelatin dapat memicu reaksi
hipersensitivitas, lebih sering daripada larutan HES. Meskipun produk
mentahnya bersumber dari sapi, gelatin dipercaya bebas dari resiko penyebaran
infeksi. Kebanyakan gelatin dieskskresi melalui ginjal.
Berdasarkan penggunaannya, cairan intravena dapat digolongkan menjadi empat
kelompok, yaitu:
1) Cairan Pemeliharaan
Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu pada penyediaan
IV cairan dan elektrolit untuk pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
mereka dengan rute enteral, namun sebaliknya baik dalam hal keseimbangan
cairan dan elektrolit dan penanganan (yaitu mereka yang pada dasarnya
euvolemik tanpa signifikan defisit elektrolit, kerugian yang abnormal yang
sedang berlangsung atau masalah redistribusi internal yang kompleks).
Tujuan saat memberikan cairan perawatan rutin adalah untuk menyediakan
cukup cairan dan elektrolit untuk memenuhi insensible losses (500-1000 ml),
mempertahankan status normal tubuh kompartemen cairan dan
memungkinkan ekskresi ginjal dari produk-produk limbah (500-1500 ml).
Jenis cairan rumatan yang dapat digunakan seperti NaCl 0,9%, glukosa 5%,
glukosa salin, ringer laktat/asetat, NaCl 0,9% hanya untuk rumatan yang
tinggi kandungan NaCl dari saluran cerna ataupun ginjal, glukosa 5% atau
glukosa salin.
2) Cairan Pengganti
Banyak pasien yang membutuhkan cairan intravena memiliki kebutuhan
spesifik untuk menutupi penggantian dari defisit cairan atau kehilangan
cairan atau elektrolit serta permasalahan redistribusi cairan internal yang
sedang berlangsung, sehingga harus dihitung untuk pemilihan cairan
intravena yang optimal. Cairan dan elektrolit intravena pengganti dibutuhkan
untuk menangani defisit yang ada atau kehilangan yang tidak normal yang
sedang berlangsung, biasanya dari saluran pencernaan (ileostomy, fistula,
drainase nasogastrium, dan drainase bedah) atau saluran kencing (saat
pemulihan dari gagal ginjal akut). Secara umum, terapi cairan intravena
untuk penggantian harus bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekstra dari
cairan dan elektrolit seperti kebutuhan pemeliharaan, sehingga homeostasis
dapat kembali dan terjaga. Lakukan penilaian cairan dan elektrolit pasien
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, monitor klinis, dan pemeriksaan
laboratorium. Cari defisit, kehilangan yang sedang berlangsung, distribusi
yang tidak normal atau permasalahan kompleks lainnya. Periksa kehilangan
cairan yang sedang berlangsung dan perkirakan jumlahnya dengan mengecek
untuk muntah dan kehilangan cairan melalui nasogastric tube, diare,
kehilangan darah yang berlangsung. Periksa redistribusi dan masalah
kompleks lainnya dengan memeriksa pembengkakan, sepsis berat, dan
lainnya. Berikan tambahan cairan dari kebutuhan pemeliharaan rutin,
mengatur sumber-sumber cairan dan elektrolit yang lain.
3) Cairan untuk Tujuan Khusus
Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya
natrium bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus
terhadap gangguan keseimbangan elektrolit.
4) Cairan Nutrisi
Cairan nutrisi biasanya digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang
tidak mau makan, tidak boleh makan dan tidak bisa makan peroral. Jenis
cairan nutrisi parenteral pada saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik
untuk parenteral parsial atau total maupun untuk kasus penyakit tertentu.
Adapun syarat pemberian nutrisi parenteral yaitu berupa:
- Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula enterokutanateus, atresia
intestinal, kolitis infektiosa, obstruksi usus halus.
- Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis berat,
status preoperatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal, stenosis arteri
mesenterika, diare berulang.
- Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan, pseudo-
obstruksi dan skleroderma.
- Kondisi dimana jalur enteral tidak dimungkinkan seperti pada gangguan
makan, muntah terus menerus, gangguan hemodinamik, hiperemesis
gravidarum.

 Terapi Cairan Perioperatif


Terapi cairan perioperatif mencakup penggantian kehilangan cairan atau defisiensi
cairan yang ada sebelumnya, dan kehilangan darah pada tindakan bedah seperti pada
sebelum tindakan pembedahan, selama, dan pasca pembedahan. National Confidential
Enquiry into Patient Outcome and Death menyatakan bahwa pasien dengan hipovolemik
yang mendapatkan terapi cairan perioperatif dengan jumlah tidak adekuat mengalami
peningkatan angka mortalitas 20,5% dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan
terapi cairan dengan jumlah yang adekuat.15

1. Terapi cairan prabedah


Prinsip pemberian cairan prabedah adalah untuk mengganti cairan dan kalori yang
dialami pasien prabedah akibat puasa. Cairan yang digunakan adalah untuk mengganti
puasa diberikan cairan pemeliharaan, untuk koreksi defisit puasa atau dehidrasi
diberikan cairan kristaloid, perdarahan akut diberikan cairan kristaloid dan koloid atau
transfusi.15
2. Terapi cairan selama operasi
Tujuan dari pemberian cairan selama operasi adalah sebagai koreksi kehilangan cairan
melalui luka operasi, mengganti perdarahan dan mengganti cairan yang hilang melalui
organ eksresi. Idealnya, perdarahan seharusnya diatasi dengan penggantian cairan
dengan kristaloid atau koloid untuk menjaga volum intravaskular (normovolemia)
sehingga risiko terjadinya anemia dapat diatasi. Namun jika terjadi anemia berat pada
pasien dapat diatasi dengan pemberian transfusi darah. Untuk menentukan jumlah
transfusi yang akan diberikan dapat ditentukan dari hematokrit dan dengan
menghitung estimated blood volume. Hal yang terpenting juga berdasarkan dari
kondisi klinis pasien dan prosedur operasi yang akan pasien jalani. Jumlah kehilangan
darah dapat dihitung dengan beberapa cara diantaranya menghitung estimated blood
volume yakni volume darah (65ml/kg untuk wanita dewasa, 75 ml/kg untuk pria
dewasa) dikalikan dengan berat badan pasien.Jumlah perdarahan selama operasi
dihitung berdasarkan jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampung atau
tabung suction, tambahan berat kasa yang digunakan (1 gram=1 ml darah), ditambah
dengan faktor koreksi sebesar 25% kali jumlah yang terukur ditambah terhitung
(jumlah darah yang tercecer dan melekat pada kain penutup lapangan operasi).15
3. Terapi cairan pasca bedah
Pemberian cairan pasca bedah digunakan tergantung dengan masalah yang dijumpai,
bisa mempergunakan cairan pemeliharaan, cairan pengganti atau cairan nutrisi. Prinsip
dari pemberian cairan pasca bedah adalah:15
a. Dewasa
- Pasien yang diperbolehkan makan/minum pasca bedah, diberikan cairan
pemeliharaan
- Apabila pasien puasa dan diperkirakan <3 hari maka diberikan cairan nutrisi
dasar yang mengandung air, elektrolit, karbohidrat, dan asam amino esensial.
- Apabila diperkirakan puasa >3 hari maka bisa diberikan cairan nutrisi yang
sama dan pada hari ke lima ditambahkan dengan emulsi lemak
- Pada keadaan tertentu, misalnya pada status nutrisi pra bedah yang buruk segera
diberikan nutrisi parenteral total.
b. Bayi dan anak, memiliki prinsip pemberian cairan yang sama, hanya komposisinya
berbeda, misalnya dilihat dari kandungan elektrolitnya, jumlah karbohidrat dan
lain-lain.
c. Pada keadaan tertentu misalnya pada penderita syok atau anemia,
penatalaksanaannya disesuaikan dengan etiologinya.

 Teknik Pemberian
Secara umum telah disepakati bahwa pemberian terapi cairan dilakukan melalui
jalur vena, baik vena perifer maupun vena sentral melalui kanulasi tertutup atau terbuka
dengan seksi vena.15
1. Kanulasi Vena Perifer
Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah vena di daerah ekstremitas atas berikutnya
dilanjutkan pada vena bagian ekstremitas bawah. Hindari vena di daerah kepala
karena sangat tidak terfiksasi, sehingga mudah terjadi hematom. Pada bayi baru lahir,
vena umbilikalis bisa digunakan untuk kanulasi terutama dalam keadaan darurat.
Tujuan dilakukannya kanulasi vena perifer ini adalah untuk:15
- Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Apabila lebih dari tiga hari, harus
pindah lokasi vena dan set infus harus diganti pula.
- Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk menganti kehilangan cairan
tubuh atau perdarahan akut.
- Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara kontinyu atau berulang.

2. Kanulasi Vena Sentral


Kanulasi dengan penggunaan jangka panjang, misalnya untuk nutrisi parenteral total,
kanulasi dilakukan melalui vena subklavikula atau vena jugularis interna. Sedangkan
untuk jangka pendek, dilakukan melalui vena-vena di atas ekstremitas atas secara
tertutup atau terbuka dengan vena seksi. Tujuan dari kanulasi vena sentral ini adalah:
- Terapi cairan dan nutrisi parenteral jangka panjang. Terutama untuk cairan nutrisi
parenteral dengan osmolaritas yang tinggi untuk mencegah iritasi pada vena.
- Jalur pintas terapi cairan pada keadaan darurat, misalnya kardiovaskular, vena
perifer sulit diidentifikasi.

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny.O.I
Jenis Kelamin : Perempuan
TTL/Umur : 13 Juni 1992 / 30 tahun
Agama : Kristen Protestan
Alamat : APO Bukit Barisan
Tanggal Pemeriksaan : 20 September 2022
Ruangan Rawat Inap : Ruang Ginekologi
Tanggal Operasi : 22 September 2022
No. RM : 309041

3.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 22 September
2022, pukul 09.00 WIT di ruang OK RSUD Jayapura.
a. Keluhan utama: Benjolan di jalan lahir dan keluarnya darah yang semakin memberat ± 3
hari terakhir.
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan di jalan lahir disertai keluarnya
bercak darah yang sudah dialami kira-kira 1 tahun ini. Awalnya benjolan tersebut masih
kecil, lama kelamaan membesar. Benjolan ini bersifat hilang timbul, timbul di saat pasien
bekerja dan menghilang disaat pasien tidur atau duduk. Ada rasa nyeri perut saat
berjalan, tapi tidak menyebar, nyeri bersifat perih. Keluarnya darah dari kemaluan secara
terus menerus kurang lebih sejak 2 tahun yang lalu dan memberat 3 hari ini. Darah yang
keluar seperti darah haid (+). Gangguan buang air kecil dan air besar (+). Pasien pernah
pasang cicin di daerah kemaluan 1 bulan yang lalu tapi terlepas.
c. Riwayat penyakit dahulu:
1) Riwayat Hipertensi disangkal
2) Riwayat penyakit jantung disangkal
3) Riwayat diabetes melitus disangkal
4) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal

d. Riwayat penyakit keluarga:


1) Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita sakit seperti pasien
2) Riwayat Diabetes Mellitus : Disangkal
3) Riwayat Jantung : Disangkal
4) Riwayat Asma : Disangkal
5) Riwayat Hipertensi : Disangkal
e. Riwayat Sosio Ekonomi : Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Suami bekerja
sebagai swasta. Biaya kesehatan ditanggung oleh KPS.

f. Riwayat Perkawinan : Pasien menikah 1 kali. Sudah menikah dengan suami selama 2
tahun.

g. Riwayat Ginekologi : Menarche saat 17 tahun. Siklus haid tidak teratur setiap 20 hari
dengan lama haid 2 minggu. Banyaknya haid 4-6 kali ganti pembalut. Nyeri haid (-)
sampai tidak bisa bekerja.

h. Riwayat Obstetri : Semua anak pasien lahir secara normal dan tanpa penyulit.

NO Jenis Persalinan Penolong BB Jenis Kelamin Hidup/Mati


1 Spontan Bidan ? P Hidup
2 Spontan Bidan ? P Hidup
3 Spontan Bidan ? P Hidup
4 Spontan Bidan ? L Hidup

i. Riwayat KB : KB pil selama 1 tahun

3.3 Pemeriksan Fisik


Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
GCS : E4V5M6 = 15
Vital Sign :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Suhu : 36,8C
Pernafasan : 22 x/menit

Status Gizi :
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 59 kg
Indeks Massa Tubuh : 24,6 k/m2

Status Generalis
Kepala : Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Pupil: bulat, isokor Ø= 3 mm/3mm,
Refleks cahaya (+/+)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-).
Telinga : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-).
Oral candidiasis (-), lidah kotor (-), faring
Mulut : hiperemis (-), tonsil (T1=T1), karies (-), mallampati
skor I.
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP normal
Paru
Gerak dinding dada simetris, retraksi dinding dada
Inspeksi :
(-), jejas (-)
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing
Thoraks : Auskultasi :
(-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat, thrill (-)
Iktus Cordis teraba pada ICS V Midline clavicula
Palpasi :
sinistra

Perkusi : Pekak (Batas jantung dalam batas normal)

Auskultasi : Bunyi jantung I-IIreguler, murmur (-), gallop (-)


Inspeksi : Tampak datar, jejas (-)
Supel (+),Nyeri tekan (-)
Palpasi :
Abdomen : Hepar/Lien : tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+), 2-4 x/menit.
Akral : hangat, kering dan merah, CRT< 2”
Ekstremitas :
Edema (-), ulkus (-), fraktur (-), kekuatan otot superior et inferior: 5

PEMERIKSAAN GINEKOLOGI
Inspeksi : fluksus (-), fluor (-), vulva tak ada kelainan, tampak uterus kemerahan keluar
sampai ke introtus vagina
Inspekulo : fluksus (-), vagina tak ada kelainan, tampak uterus keluar dari introtus vagina,
portio tampak licin, erosi (+),livide(-), OUE tertutup
PD : flukus (-), vulva/vagina tak ada kelainan, portio kenyal, teraba licin, OUE
tertutup, nyeri goyang portio (-) .Corpus Uteri tak menonjol, Adneksa/parametrium bilateral
lemas, tak teraba pole bawah massa, nyeri (-), Cavum Douglasi tak menonjol
RT : TSA cekat, mukosa licin, ampula kosong

Status Anestesi Pre Operasi


B1 Airway: bebas, spontan,Mallampati score I, gigi tanggal (-). Breathing:
thorax simetris, ikut gerak napas, RR: 20 x/m, palpasi: Vocal fremitus
D=S, perkusi: sonor, suara napas vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-.
B2 Perfusi : hangat, kering, merah. Capilary Refill Time < 2 detik, BJ I-II
murni regular, murmur (-), gallop (-), nadi: 80 x/m; TD: 110/70 mmHg
B3 Kesadaran : Compos Mentis, GCS : E4V5M6, riwayat kejang (-), riwayat
pingsan (-), Pupil isokor, refleks cahaya +/+
B4 Belum terpasang DC
B5 Simetris, datar, BU 4 – 5 x/menit ; Hepar/Lien : Tidak teraba; Nyeri
tekan (+) pada titik Mc Burney
B6 Akral hangat (+), CRT < 2” edema (-), fraktur (-), deformitas (-).

3.4 Pemeriksaan Penunjang


 Laboratorium
Pemeriksaan 19 September 2022 Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 10.4 11,5-15,5 g/dL
Leukosit 18,60 4800-10800/L
Hematokrit 27.7 35-45%
Eritrosit 4,61 4,0-5,2x106/
Trombosit 476 150000-450000/L
MCV 57,6 80,0-99,0 fl
MCH 17,3 27,0-31,0 pg
MCHC 30,0 33,0-37,0 %
RDW 14.5 11,5-14,5 %
MPV 9.3 7,2-14,1 fl
CT 4.00 1-3 menit
BT 2.00 1-6 menit
Gol. Darah B
Kimia Klinik
SGOT 19.0 <31 U/L
SGPT 20.0 <32 U/L
Ureum 16,9 10-50 mg/dL
Creatinin 0,73 0,60-0,90 mg/dL
GDS 85 ≤ 200 mg/dL
Seroimmunologi
HbsAg Negatif Negatif

 EKG
Tidak ada kelainan, konsul jantung tidak ada kontra indikasi tindakan, ritme sinus dbn.

3.5 Konsultsi Terkait


Konsultasi Bagian Anestesi (20 September 2022)
Advice:
 PS ASA II
 Informed Consent
 Puasa 8 jam pre operasi
 Pasang IVFD RL per 8jam

3.6 Penentuan PS ASA/ Status Anestesi


PS ASA : II
Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai sedang, aktivitas rutin tidak terbatas.
Comorbidnya yaitu Prolaps Uteri dan kadar leukosit yang tinggi 18,60 103/µL.

3.7 Persiapan Anestesi

Hari/Tanggal : Kamis, 22 September 2022


Persiapan
: Informed consent (+), SIO (+), puasa (+)
Operasi
Makan/Minum
: 11 jam sebelum operasi
Terakhir
BB/TB : 59 kg / 155 cm
Tekanan darah: 110/70 mmHg, Nadi: 85x/m, reguler,
TTV di Ruang
: kuat angkat, terisi penuh; respirasi: 20-22x/ menit; suhu
Operasi
badan:36,8 oC
SpO2 : 99%
DiagnosaPra
: P4A0 30 Tahun dengan Mioma Uteri Multipel
Bedah
Airway:
Jalan napas bebas, terpasang O2 nasal 2-3
Look :
lpm, Mallampati Score: 1
Terasa hembusan nafas pasien di pipi
Feel :
pemeriksa.
Terdengar hembusan napas pasien,
Listen :
Pasien bicara spontan.
B1 : Breathing:
Gerak dinding dada simetris, retraksi sela
Inspeksi :
iga (-), frekuensi napas: 20-22 kali/menit
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra.
Perkusi : Sonor (+/+)
Suara nafas vesikuler (+/+), suara rhonki
Auskultasi
: (-/-),
suara wheezing (-/-).
Akral: teraba hangat, kering, warna:
merah muda, Capillary Refill Time< 2”
Perfusi :
Nadi: 85x/m, reguler, kuat angkat, terisi
penuh
Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Batas atas : ICS II linea parasternalis
sinistra
B2 : Pinggang : ICS III linea parasternalis
sinistra
Perkusi :
Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial linea
midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternalis
dextra
Bunyi jantung I-II, regular, murmur(-),
Auskultasi :
gallop (-)
Compos Mentis, GCS:E4V5M6 = 15,
Riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-),
B3 : : Nyeri kepala (-), pandangan kabur (-),
Kesadaran
Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+)
B4 : Terpasang kateter, produksi urin (+) , warna kuning.

B5 : Inspeksi : Tampak Datar


Supel (+), nyeri tekan epigastrium (-),
Palpasi : nyeri tekan hipokondrium kanan(-), hepar
dan lien tidak teraba membesar.
Perkusi : Tymphani.
Auskultasi : Bising usus (+), 2-4 kali/menit
Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill
B6 : Time< 2”, Edema (-), fraktur (-), ulkus (-), kekuatan otot
di ekstremitas superior et inferior: 5

3.8 Laporan Durante Operasi


Laporan Anestesi

Ahli Anestesiologi : dr. Albinus Cobis, Sp.An, M. Kes


Ahli Bedah : dr. Ariel Timy C. Sp.OG
Jenis Pembedahan : Total Vaginal Histerektomi
Lama Operasi : 09.56 – 11.30WIT
Lama Anestesi : 09.56 – 11.30 WIT
Jenis Anestesi : General Anesthesi
Anestesi dengan : Sevoflurance + O2
 Premedikasi
 Preoksigenasi ±5menit
 Induksi
Teknik Anestesi :
 Intubasi: dengan ETT no.7,5, cuff (+)
 Fiksasi
 Medikasi
Pernafasan : Kontrol Pernapasan
Posisi : Supine
Pada tangan kanan terpasang IV Line
Infus : Abocath No. 18 dengan cairan Ringer
Laktat
Penyulit Pembedahan : (-)
Obat yang digunakan
Midazolam 5 mg (iv)
Premedikasi : Fentanyl 50 mcg (iv)
Petidin 30 mg (iv)
Propofol 50 mg (iv)
Induksi dan Maintenance :
Atracurium Besilate 20 mg (iv)
-
Dexamethasone 5 mg (iv)
-
Ranitidine 50 mg (iv)
Medikasi Durante Operasi :
-
Ondansentron 4 mg (iv)
-
Natrium Metamizole 1000 mg (iv)
Perfusi: dingin, kering, merah,
CRT<2”
Tanda-tanda vital pada akhir
: Tekanan darah: 100/60 mmHg, Nadi:
pembedahan
70 x/mnt, Respirasi: 20 x/mnt, SpO2 :
99%

Diagram Observasi Durante Operatif

110 110
100
92 93 95 94
90 90
85
80 80 80
72 75 75 73
72 75
70 70 70 70
63 65 64
62
60 60 60 60
11:00

11:30

11:50

12:00
9:36

10:50

11:10

11:20

11:40

12:10
7:12

Sistole Diastole Nadi

3.9 Laporan Operasi


Nama Pasien Ny.O.I
Umur 30 tahun
Nomor DM 309041
Nama Ahli Bedah dr. Ariel Timy C, Sp.OG
Nama Asisten coAss
Nama Perawat Br. Oktaf
Nama Ahli Anestesi dr. Albinus Cobis, Sp.An, M. Kes
Jenis Anestesi Anestesi umum
Diagnosis Pre Operatif P4A0 dengan Mioma Uteri
Diagnosis Post Operatif Post Total Vaginal Histerektomi Mioma Uteri
Tanggal Operasi 22 September 2022
Jam mulai operasi 09.56 WIT
Jam selesai operasi 11.30 WIT
Lama operasi berlangsung 1 jam
Laporan Operasi:
Pasien posisi litotomi diatas meja operasi dalam keadaan general anestesi
Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah abdomen, vulva, vagina
dan sekitarnya
Kandung kemih dikosongkan dengan foley kateter
Speculum dipasang, portio dijepit dengan tenakulum, sonde dimasukkan untuk
mengukur besar uterus ±6 cm arah antefleksi
Dilakukan infiltrasi pada submucosa vagina anterior dengan NaCl 20 cc
Dibuat insisi sirkuler mengelilingi serviks
Mukosa vagina dibebaskan secara tumpul dengan jari yang dibungkus kasa
Vesical dan rektum didorong ke atas
Ligamentum kardinale dan saktrouterina kanan dan kiri dijepit dan dipotong
dan diikat
Cavum douglasi dikenali, dibuka dan dilebarkan
Plika vesikouterina dikenali, dibuka dan dilebarkan
Vasa uterine kanan dan kiri dikenali, dijepit dipotong dan diikat
Uterus dibelah pada garis tengah, pangkal tuba dan ligamentum ovarii
propium, ligamentum rotundum kanan dan kiri dijepit, dipotong dan dijahit
Uterus dikeluarkan.
Perdarahan selama operasi 100 cc. dipasang tampon vagina
Operasi selesai.
Intruksi Post Operasi
1. Awasi keadaan umum, tanda vital dan perdarahan
2. IVFD Ringer laktat : D5% 20 tpm makro
3. Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 gr (iv)
4. Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg (iv)
5. Injeksi Ketorolak 3 x 30 mg (iv)
6. Injeksi Asam tranexamat 1 amp (k/p)
7. Injeksi Carnavit vial 3 x 750 mg
8. Injeksi Torasic 3 x 30 mg
9. Cek Hb 6 jam post Op bila Hb<8 gr/dl transfuse PRC
Sadar penuh diet bebas

3.10 Terapi Cairan


Cairan yang Dibutuhkan Aktual
Pre Operasi Pre Operasi Pre Operasi
- Kebutuhan cairan harian 40-50 cc/kgBB/hari Input : Ringer laktat
±500 cc
1. Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/24 jam
Output: Urine : -
68 kg x 40 - 50 cc = 2720 cc – 3400cc/hari
Kebutuhan cairan per Jam:
2720 cc – 3400 cc : 24 = 114cc – 142 cc/jam
2. Replacement
Pengganti puasa 11 jam
11 jam x kebutuhan cairan per jam
11 x 114 – 142 cc/jam = 1254 cc – 1562cc
Durante Kebutuhan cairan selama operasi 1 jam Durante Operasi
Operasi 1. Maintenance
Kebutuhan cairan per Jam 1254 cc – 1562cc/ Total Input : 800 cc
Jam RL I ±500 cc
RL II ± 300 cc
2. Replacement
EBV = 65 cc x BB = 65 x 68 kg Total Output : 300 cc
= 4420cc Urin: 200 cc (terpasang
EBL = DC)
10% x 4420 = 442 cc Total Perdarahan =
20% x 4420 = 884cc ±100 cc
30% x 4420 = 1326 cc Cairan yang diberikan
Total Perdarahan durante operatif =±100 cc durante operasi:
Perdarahan kurang <10 % EBL, maka Ringer laktat I ± 500 cc
replacement selama durante operatif dapat + Ringer laktat II ± 300
diatasi dengan : cc
Kristaloid 2 – 4 x EBL : Total: ± 800 cc
2 – 4 x 100cc =200 cc s/d 400 cc
Koloid 1 x EBL :
1 x 100 = 100 cc

3. Pergantian kehilangan cairan karena penguapan


selama operasi
Operasi kecil : 4-6 ml x BB
Operasi sedang : 6 – 8 ml x BB
Operasi besar : 8 – 10 ml x BB
BB x jenis operasi sedang =
6-8 cc x 68 kg= 408-544 cc
6,8 – 9 cc/menit
Lama operasi 1 jam
Selama 60 menit operasi, cairan yang hilang:
60 x 6,8 -9 cc = 408-540 cc dlm 1 jam
Total kebutuhan cairan durante operatif :
Maintenance + Replacement + Penguapan
= (1254 cc- 1562 cc) + (200 cc – 400 cc) + (408cc-
540 cc)
= 646 cc – 622 cc
POST OPERASI Post Operasi
Kebutuhan Cairan Harian: 22 September 2022 jam 11.30 s/d besok
siang 11.30 wit (24 jam)
40-50cc/kgBB/24jam
Input :
40-50 cc x 68 kg= 2720cc-3400 cc/24jam Volume cairan:
RL 1500/24 jam
114-142 cc/jam
Total input : 1500 cc/24 jam

3.11 Follow Up Post Operatif


Hari/Tanggal : Jumat, 23 September 2022

S :Nyeri luka post operasi Planning :


O :
IVFD RL 500 cc / 8 jam
B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 22 x/m, suara
nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr (iv)
B2: Perfusi hangat, kering, merah, CRT<2”,
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg (iv)
TD:100/60 mmHg, Nadi 92 x/mnt, Reguler, Kuat
angkat Inj. Ranitidin 2 x 50 mg(iv)
B3: Kesadaran : Compos Mentis, GCS (E4V5M6)
Rawat luka dan personal
Pupil bulat, Isokorر3 mm/3mm refleks cahaya (+/+)
B4 : Terpasang DC, Produksi urine (+), warna kuning hygine
jernih.
Mobilisasi jalan
B5 : Simetris, Supel, BU(+) 3 x/m ; Hepar/Lien: Tidak
Teraba Besar; Nyeri Tekan (-)
B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-), ulkus (-),
kekuatan otot superior et inferior: 5
A : P4A0 30 tahun post total vaginal histerektomi atas
indikasi Mioma Uteri
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang wanita usia 30 tahun dengan riwayat P4A0 datang ke RSUD Jayapura pada tanggal 20
September 2022, datang dengan keluhan terdapat benjolan di jalan lahir disertai keluarnya bercak darah
yang sudah dialami kira-kira 1 tahun ini. Awalnya benjolan tersebut masih kecil, lama kelamaan
membesar. Benjolan ini bersifat hilang timbul, timbul di saat pasien bekerja dan menghilang disaat pasien
tidur atau duduk. Ada rasa nyeri perut saat berjalan, tapi tidak menyebar, nyeri bersifat perih. Keluarnya
darah dari kemaluan secara terus menerus kurang lebih sejak 2 tahun yang lalu dan memberat 3 hari ini.
Darah yang keluar seperti darah haid (+). Gangguan buang air kecil dan air besar (+). Pasien pernah
pasang cicin di daerah kemaluan 1 bulan yang lalu tapi terlepas.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital dan laboratorium, didapatkan hasil tinggi badan 155 cm dan
berat badan 59 kg dengan indeks massa tubuh 24,6 , perfusi akral hangat kering merah, Tekanan darah
120/80 mmHg, Nadi 89x/menit, Respirasi 22x/ menit, Suhu Badan 36,8 º C, dan pemeriksaan ginekologi
uterus menonjol sampai batas introitus vagina. Dari pemeriksaan penunjang, USG tampak memberi kesan
gambaran Mioma uterus sebesar 5 cm, serta Hasil laboratorium didapatkan HB 10,4 g/dl.Leukosit: 8,
60^3/mm3.
Dari kasus tersebut dengan diagnosis Mioma Uteri dengan tindakan total vaginal histerektomi
maka penulis akan membahas beberapa hal sebagai berikut:

4.1 Penentuan PS ASA


Pasien yang akan menjalani proses pembiusan dan pembedahan dapat dikatergorikan dalam
beberapa kelas status fisik, yang semula di usulkan dan digunakan oleh teori Physical Status :
American Society of Anesthesiologist adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menentukan
prognosis pada pasien sebelum dilakukan tindakan anestesi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
risiko apa yang bisa terjadi pada pasien tersebut dan tindakan apa yang bisa dilakukan untuk
mencegah hal tersebut. Status fisik diklasifikasikan menjadi 6 kelas, yaitu ASA1 sampai dengan
ASA 6 pada tabel berikut:

Tabel 4.1 Klasifikasi Status Fisik ASA


Klasifikasi Definisi Contoh
ASA I Pasien dalam keadaan normal dan Sehat, tidak merokok, tidak
sehat mengkonsumsi alkohol secara
minimal
ASA II Pasien dengan kelainan sistemik Gangguan sistemik ringan, tanpa
ringan sampai sedang baik karena batasan aktivitas fungsional.
penyakit bedah maupun penyakit Contohnya termasuk perokok,
lainnya peminum alkohol, wanita hamil,
obesitas , DM/ Hipertensi terkontrol.
ASA III Pasein dengan gangguan atau Contohnya DM tidak terkontrol atau
penyakit sistemik berat yang Hipertensi, PPOK, Obesitas (BMI >
diakibatka karena berbagai penyakit 40), Hepatitis aktif, implant,
hemodialisis, bayi premature, CVA,
TIA, CAD.
ASA IV Pasien dengan keainn sistemik berat Contohnya Iskemia, Sepsis, DIC
yang secara langsung mengancam
kehidupannya
ASA V Pasien tidak dapat hidup setelah 24 Kemungkinan tidak bertahan hidup
jam dengan atau tanpa operasi > 24 jam tanpa tindakan operasi,
kemungkinan meninggal dalam
waktu dekat (MODS), hemodinamik
tidak stabil, Hipotermia.
ASA VI Pasien dengan Brain dead yang organnya akan diambil untuk di donorkan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien tergolong PS ASA II,
yaitu pada kasus ini didapatkan kelainan sistemik ringan sampai sedang, aktivitas rutin tidak
terbatas. Comorbidnya yaitu Prolaps Uteri dan kadar leukosit yang tinggi 18,60 103/µL.

4.2 Penentuan Jenis Anestesi


Pada kasus ini dilakukan tindakan laparaskopi histerektomi dengan general anestesi
(anestesi umum). Laparotomi merupakan operasi yang dilakukan untuk membuka bagian
abdomen, laparotomi merupakan suatu bentuk pembedahan mayor dengan melakukan
pengayatan pada lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan bagian organ yang
mengalami masalah (hemoragi, perforasi, kanker dan obstruksi).
Histerektomi merupakan salah satu bedah yang paling sering dilakukan di bidang
ginekologi. Ini merupakan histerektomi vaginal setelah adhesiolisis laparoskopi, eksisi
endommetriosis atau ooforektomi. Istilah ini juga digunakan ligamen uterus bagian atas
( seperti ligamentum rotundum, infundobulopelvikum atau utero-ovarian) relatif normal
yang diligasi dengan diseksi bipolar atau staple.
Anestesi umum memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yang
dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan
fisiologis tubuh yang ekstrim, dan menghasilkan kesan yang tidak menyenangkan.
Tindakan laparoskopi memerlukan relaksasi otot agar visualisasi menjadi lebih baik dan
tekanan insuflasi yang diperlukan lebih rendah, sehingga diperlukan relaksan otot. Relaksan
otot ini bekerja pada otot rangka, sehingga terjadi kelumpuhan otot pernapasan, otot
interostalis, abdominalis, dan relaksasi otot-otot ekstremitas. Kondisi ini tidak
memungkinkan pasien untuk bernapas spontan karena otot pernapasan lumpuh, sehingga
diperlukan teknik ventilasi yang menjamin zat anestesi inhalasi dan O2 masuk ke trakea
dengan benar.
Tindakan histerektomi merupakan bedah terbuka dilakukan di bawah pengaruh bius
total dan membutuhkan sayatan dengan panjang 5-7 inci di perut untuk mengakses Rahim.
Ini adalah pilihan terbaik bagi pasien, meskipun umumnya aman, histerektomi dapat
mengakibatkan komplikasi berikut : inkontinensia urin, vagina prolapse, pembentukan
fistula antara kandung kemih dan vagina, perforasi struktur organ vagina.
Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh otot disertai
pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karena beberapa alasan : adanya resiko
regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan intraabdominal saat insuflasi; perlunya
ventilasi terkontrol untuk mencegah hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirasi yang tinggi
secara relatif karena pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan
karena tekanan insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang lebih baik, mencegah
pergerakan pasien yang tidak diinginkan.

4.3 Penentuan Obat Anestesi Yang Dipilih


Untuk tatalaksana anestesi pada kasus ini, digunakan anestesi umum dengan inhalasi.
Untuk anestesi inhalasi pada kasus digunakan sevoflurant. Induksi dengan sevoflurant lebih
disenangi karena pasien jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi
tinggi sampai 8 vol %. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi inhalasi di samping halotan.
Pada kasus ini pasien dengan comorbid Obesitas dan Hipertensi terkontrol, maka Obat-
obatan yang digunakan untuk premedikasi diantaranya midazolam 5 mg,fentanil 50 mcg,
dan petidin 30 mg. Midazolam merupakan obat golongan benzodiazepine, merupakan obat
penenang (transquilizer) yang memiliki sifat antiansietas, sedatif, amnesik, antikonvulsan
dan relaksan otot skelet. Dosis midazolam yaitu 0,1-0,2 mg/kgBB (5mg/5cc). Amnesia
yang ditimbulkan akan mengurangi memori buruk yang dialami pasien akibat suatu
tindakan karena obat ini bekerja pada sistem limbik dan menimbulkan amnesia antero grad.
Dengan reseptor spesifik GABAA akan meningkatkan afinitas neurotransmiter inhibisi
dengan reseptor GABA. Ikatan ini akan membuka kanal Cl¯ yang menyebabkan
meningkatnya konduksi ion Cl¯ sehingga menghasilkan hiperpolarisasi pada membran sel
pasca sinap dan saraf pasca sinap menjadi resisten untuk dirangsang. Pada pasien ini
diberikan midazolam 1,5 mg secara intravena, hal ini dikarenakan pada pemberian
intramuskular dapat menimbulkan rasa nyeri pada daerah suntikan. Dosis midazolam untuk
pasien geriatri 1-1,5 mg IV, (mula kerja 30-60 detik, dengan efek puncak 2-3 menit, lama
kerja 15-80 menit) tidak melebihi >1.5 mg dalam periode 2 menit/dosis dapat diulang 1 mg/
dosis selama 2-3 menit sesuai kebutuhan, hati-hati pemberian midazolam, efek yang
ditimbulkan lebih lambat dibandingkan pasien dewasa.
Selain itu pada kasus ini, pasien diberikan fentanyl dan petidin yang merupakan
analgesik opioid. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa indikasi pemberian
petidin dan fentanyl yaitu untuk analgesia perioperatif, premedikasi. Pemberian fentanyl
untuk meredakan rasa sakit dan Petidin merupakan analgetik narkotik yang digunakan untuk
mengurangi cemas dan ketegangan pasien menghadapi pembedahan, mengurangi nyeri,
menghindari takipnea pada anestesia dengan trikloretilen, dan membantu agar anestesia
berlangsung baik. Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut,
kekaburan pandangan, dan takikardia. Dosis yang besar menimbulkan depresi napas dan
hipotensi. Sebagai analgetik, obat ini bekerja pada thalamus dan substansia gelatinosa
medula spinalis.
Pada kasus ini, induksi anestesia dilakukan dengan menggunakan propofol karena
tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi. Pemulihan
kesadaran yang lebih cepat dengan efek minimal terhadap susunan saraf pusat merupakan
salah satu keuntungan penggunaan propofol dibandingkan obat anestesi intravena lainnya.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira – kira 30 % tetapi efek ini lebih
disebabkan oleh vasodilatasi perifer ketimbang penurunan curah jantung. Tekanan darah
sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak menimbulkan aritmia atau
iskemia otot jantung, tetapi terjadi sensitisasi jantung terhadap katekolamin. Efek propofol
terhadap pernapasan mirip dengan efek thiopental sesudah pemberian IV yakni terjadi
depresi napas sampai apneu selama 30 detik. Hal ini diperkuat bila digunakan opioid
sebagai medikasi pra-anestetik.
Pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini berupa Atrakurium 30 mg. Atrakurium
(tramus) merupakan pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-
kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi. Hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja. Dosis awal atrakurium 0,5-0,6
mg/kg, sedangkan dosis rumatan 0,1 mg/kg.
Selain itu, pasien juga diberikan dexamethasone 5 mg. Dexamethasone adalah
glukokortikoid sintetik dengan aktivitas imunosupresan dan anti-inflamasi. Sebagai
imunosupresan dexamethasone bekerja dengan menurunkan respon imun tubuh terhadap
stimulasi rangsang. Aktivitas anti-inflamasi dexamethasone dengan jalan mengurangi
inflamasi dengan menekan migrasi neutrofil, mengurangi produksi mediator inflamasi, dan
menurunkan permeabilitas kapiler yang semula tinggi dan menekan respon imun.
Selain itu pasien juga diberikan ranitidin dan ondansentron adalah untuk mencegah
PONV (Post Operative Nausea and Vomiting) akibat anestesi umum terutama pada
penggunaan opioid, bedah laparoskopi dan hipotensi. Ranitidin merupakan golongan obat
antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja ranitidin adalah menghambat reseptor
histamin 2 secara selektif dan reversibel sehingga dapat menghambat sekresi cairan
lambung. Ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dai sel parietal akan
menurun sejalan dengan penurunan volume cairan lambung. Ranitidin diberikan untuk
mengurangi sekresi asam lambung yang berlebihan dan pada pasien ini diberikan 50 mg.
Ondansetron suatu antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja secara selektif dan kompetitif
dalam mencegah maupun mengatasi mual dan muntah.Dosis ondansentron adalah 0,05-0,1
mg/kg secara intravena, pada pasien ini diberikan dosis 4 mg.
Sebelum tindakan anestesi dihentikan, pasien diberi injeksi metamizole 1000 mg
(sediaan 1 ampul(2ml) 500 mg/ml) untuk meredakan nyeri akibat operasi.

4.4 Critical Point

Problem Actual Potensial Antisipasi


List

Airway bebas, spontan,- Aspirasi oleh- Pemberian O2 nasal atau


stomatitis (-), gigi palsu sekresi saliva, masker sesuai saturasi O2,
(-) cariess gigi (-) jatuhnya pangkal Chin Lift, suction bila perlu
tonsilitis(-) lidah -

Pembesaran KGB(-),
nyeri tekan (-)
B1
Mallampati score : III,

Breathing: Thorax
simetris, ikut gerak- Hipoksia dan- Menjaga kesimbangan antara
napas, pernapasan Hiperkarbia O2 dan CO2 dengan
thorakoabdominal. - memberikan O2 tinggi,
- Takipneu hiperventilasi, dan volume
RR: 20x/mnit, palpasi tidal yang tidak terlalu besar.
vocal fremitus D=S, - Monitoring tanda-tanda vital
perkusi :sonor, SN:
vesikuler +/+, rhonki -/-,
wheezing -/-

Nadi : 82 x/m Hipovolemik - Resusitasi Cairan

B2 TD : 120/80 mmHg Hipotensi Observasi tekanan darah


- Bila kekurangan cairan,
rehidrasi dengan kristaloid

Perdarahan Monitoring tanda-tanda vital


Hitung EBV dan EBL
Perfusi hangat, kering,
Pengantian kehilangan darah
merah
dengan kristaloid (2-4x EBL),
Conjugtiva Anemis (-/-) koloid (1-2x EBL), atau
produk darah (1x EBL)
CRT<2’ detik, Suhu
Badan : 37,2 0C Syok hipovolemi Pemberian cairan preoperative
yang adekuat
Loading cairan preoperasi
500-1000 cc
Bunyi Jantung I-II
reguler, murmur (-) Takikardi Pemberian obat sedative
(contohnya midazolam)

EKG (+) Bradikardia Pemberian sulfas atropin 0,5


mg

B3 Kesadaran: compos -Penurunan Observasi kesadaran dan


mentis GCS E4V56, kesadaran tanda-tanda TIK
pupil bulat isokor, ODS 3
mm -peningkatan TIK
akibat obat anestesi
Refleks fisiologi (+)

Refleks patologis (-)

riwayat kejang(-),
pingsan (-)

B4 Produksi urin dipantau Retensi urin Rehidrasi


melalui kateter, produksi Monitoring produksi dan
(+) 100 cc, warna kuning warna urin

B5 Perut tampak cembung, Refluks Pemberian Ranitidin dan


teraba massa dengan gastroesofageal saat Ondansentron
konsistensi lunak, mobile operasi
(-) tinggi fundus uteri 2
jari diatas symphysis
pubis, nyeri tekan (-) Waktu operasi Pemasangan OGT
palpasi: lingkar perut = memanjang
96 cm, nyeri tekan(+) di
regio hypogastric
(pubic), perkusi :
tympani, BU (+) 2-4
x/mnt

B6 Obesitas Sulit untuk Posisikan pasien dengan tepat


memasang IFVD
Akral hangat (+), edema Evaluasi Vena besar untuk
pada kedua tungkai pemasangan IVFD 2 jalur
bawah (-), Kekuatan
motorik (+/+) fraktur (-)

Tindakan laparoskopi dilakukan dengan cara memasukkan gas ke dalam rongga


abdomen (pneumoperitoneum) untuk mengembangkan rongga abdomen sehingga area kerja
di dalam rongga abdomen menjadi lebih luas.
Pneumoperitoneum meningkatkan tekanan intra-abdomen yang akan menekan
diafragma ke arah cephalad, pengembangan paru menjadi terhambat sehingga difusi CO2 ke
luar terhambat pula. Bila dibiarkan terus-menerus, kondisi ini akan menyebabkan
hiperkarbia dan hipoksia. Hiperkarbia akan merangsang sistem saraf simpatis, yang akan
meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, dan kemungkinan disritmia. Kondisi ini harus
dicegah dengan cara menjaga keseimbangan antara O2 dan CO2, yaitu dengan memberikan
O2 tinggi, respiratory rate tinggi (hiperventilasi), dan volume tidal yang tidak terlalu besar
(karena jika volume tidal besar namun tidak disertai dengan kemampuan pengembangan
paru yang cukup maka dapat terjadi pneumotoraks).
Tekanan insuflasi CO2 yang tidak terlalu tinggi biasanya menyebabkan sedikit
peningkatan atau tidak sama sekali dari denyut jantung, tekanan vena sentral, atau curah
jantung. Tekanan insuflasi yang tinggi cenderung menyebabkan penekanan organ-organ di
sekitarnya, antara lain kolaps vena utama abdomen (inferior vena cava) dan aorta
abdominalis, yang akan menyebabkan penurunan venous return, yang akan diikuti dengan
penurunan curah jantung pada beberapa pasien. Karena itu, sebelum penekanan oleh CO2
berlangsung, vaskuler harus terisi penuh sehingga menjaga aliran darah balik agar adekuat.
Caranya adalah dengan pemberian infus cairan.
Pada saat laparoskopi, biasanya pasien diposisikan pada posisi Trendelenburg (head-
down position), posisi ini menyebabkan organ-organ di rongga abdomen dan diafragma
berpindah ke arah cephalad yang akan menyebabkan pasien sesak napas jika pasien sadar
pada anestesi regional, sehingga pada pasien ini dilakukan anestesi umum.

4.5 Terapi dan Resusitasi Cairan Pre-Operatif


Selain penentuan pemilihan anestesi pada pasien ini, juga dipertimbangkan mengenai
terapi cairan selama masa perioperatif. Terapi cairan sendiri adalah tindakan untuk
memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus
kristaloid atau koloid secara intravena.
Kebutuhan cairan pre-operatif bertujuan untuk menggantikan kehilangan cairan selama
puasa dan untuk memenuhi kebutuhan maintenance-nya.
Cairan yang dibutuhkan
PRE-OPERATIF
1. Maintenance (BB : 68 kg)
Kebutuhan cairan/hari :
40 – 50 cc/kgBB/hari
40 – 50 cc x 45 kg = 2720 – 3400 cc/hari
Kebutuhan cairan/jam :
2720 cc – 3400 cc : 24 = 114 cc – 142 cc / jam
2. Replacement (Puasa 11 jam)
11 jam x kebutuhan cairan/jam
11 jam x 114 cc – 142 cc = 1254 cc – 1562 cc
Perdarahan (-)

Selama preoperatif pasien diberikan cairan isotonik golongan Kristaloid yaitu Ringer
Laktat yang merupakan cairan resusitasi dan cairan rumatan dan juga gangguan
keseimbangan elektrolit. Cairan ini di distribusikan ke intraseluler. Kebutuhan cairan
preoperatif pasien sebagai pengganti puasa 11 jam sebesar 1254 cc – 1562 cc, aktualnya
input cairan yang diberikan sebelum tindakan operasi sebanyak 500 cc. Pada kasus ini
kebutuhan cairan pasien selama preoperatif belum cukup terpenuhi.

4.6 Terapi dan Resusitasi Cairan Durante Operatif


Resusitasi cairan durante operatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan maintenance
cairan menurut jenis operasi dan lama waktunya serta kebutuhan replacement cairan yang
hilang selama operatif dan perdarahan berdasarkan total estimasi kehilangan darah selama
operasi.

Durante Operasi Aktual


Kebutuhan cairan selama operasi 1 jam Total Input : 800 cc
3. Maintenance RL I ± 500 cc
Kebutuhan cairan per Jam 114 – 142 cc / RL II ± 300 cc
Jam
Total Output : 300 cc
Urin: 200 cc (terpasang DC)
4. Replacement Total Perdarahan = ±100 cc
EBV = 65 cc x BB = 65 x 68 kg Cairan yang diberikan durante
= 4420 cc operasi:
EBL = 10% x 4420 = 442 cc Ringer laktat I ± 500 cc + Ringer
20% x 4420 = 884 cc laktat II ± 300 cc
30% x 4420 = 1326 cc Total: ± 800 cc
Total Perdarahan durante operatif = ±100
cc
Perdarahan kurang <10 % EBL, maka
replacement selama durante operatif dapat
diatasi dengan :
Kristaloid 2 – 4 x EBL :
2 – 4 x 100 cc =200 cc s/d 400 cc
Koloid 1 x EBL :
1 x 100 = 100 cc
1. Pergantian kehilangan cairan karena
penguapan selama operasi
Operasi kecil : 4-6 ml x BB
Operasi sedang : 6 – 8 ml x BB
Operasi besar : 8 – 10 ml x BB
BB x jenis operasi sedang =
6-9 cc x 68 kg= 408- 612cc
6,8 – 10,2 cc/menit
Lama operasi 1 jam
Selama 60 menit operasi, cairan yang
hilang:
60 x 6,8-10,2 cc =408 - 612 cc dlm 1 jam
Total kebutuhan cairan durante operatif :
Maintenance + Replacement + Penguapan
= (114 cc- 142 cc) + (200 cc – 400 cc) + (408 cc-
612 cc
= 722 cc – 1154 cc

Kebutuhan cairan replacement yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan


maintenance durante operasi pada kasus ini adalah berjumlah 722 – 1154 cc pada kasus
diberikan 800cc dan sudah bisa mencukupi kebutuhan replacement pasien selama operasi
60 menit.
Selama durante operasi, perdarahan pada pasien ini yaitu ± 100 cc, dengan Estimate
Blood Loss (EBL)= 10% EBV. Bila meninjau dari teori jika jumlah perdarahan <10 %
EBV,maka pasien tidak perlu dilakukan transfusi. Perdarahan pada pembedahan tidak selalu
perlu transfusi, untuk perdarahan di bawah 20% dari volume darah total cukup diganti
dengan cairan infus yang komposisi elektrolitnya kira-kira sama dengan komposisi elektrolit
serum misalnya dengan Ringer Laktat.Dapat juga diberikan campuran cairan kristaloid +
koloid. Pemberian koloid adalah untuk mengatasi gejala defisit plasma pada pasien selama
operatif berupa hipotensi.

4.7 Terapi dan Resusitasi Cairan Post Operatif


Kebutuhan cairan post operatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan maintenence
cairan selama puasa post operasi.
POST OPERASI Post Operasi
Kebutuhan Cairan Harian: Input :
40-50cc/kgBB/24jam Volume cairan:
RL 1500 cc/24 jam
40-50 cc x 68 kg= 2720 cc - 3400 cc/24jam Total input : 1500 cc/24 jam
114 cc – 142 cc/jam
22 September 2022 jam 11.30 s/d besok pagi 11.30
(20 jam)
1. Maintenance
= BB x Kebutuhan cairan/ jam x 20 jam
= 114-142 cc / jam x 20 jam
= 2280- 2840cc

Terapi Cairan post operatif bertujuan untuk menggantikan cairan selama puasa, pada
kasus ini pasien puasa 11 jam Pasca tindakan operatif. Total cairan yang dibutuhkan untuk
menggantikan kehilangan cairan selama 11 jam pada pasien ini sebanyak 1.500 – 1.880 cc
ini merupakan hasil dari kebutuhan maintenence berdasarkan berat badan pasien selama
puasa 11 jam. Aktualnya pada kasus ini pasien diberikan input cairan sebanyak 1500 cc /24
jam post operatif. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan cairan post operatif sudah bisa
terpenuhi.
Setelah operasi, pasien diobservasi di ruang pemulihan, dan dipindahkan ke RG Obsgyn
setelah evaluasi skor ALDERATE > 9.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1) Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosis dengan Mioma Uteri pada P4A0.
2) Untuk tindakan total laparotomi histerektomi pemilihan anestesi umum yaitu, agen
anestesi intravena yang digunakan adalah Propofol dan pemeliharaan anestesi dengan
menggunakan anestesi inhalasi berupa Sevoflurant ini sudah sesuai, yaitu:
- Untuk mengurangi ansietas dan ketidaknyamanan pada pasien akibat insuflasi CO2.
- Untuk pembedahan yang diperkirakan kemungkinan akan memakan waktu yang
lama, karena hemodinamik yang stabil selama anestesi dan waktu pemulihan yang
cepat.
3) Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anestesi umum laparoskopi yaitu: adanya resiko
regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan intraabdominal saat insuflasi;
perlunya ventilasi terkontrol untuk mencegah hiperkapnea, dibutuhkan tekanan
inspirsai yang tinggi secara relatif karena pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot
selama pembedahan karena tekanan insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi
yang lebih baik, dan mencegah pergerakan pasien yang tidak diinginkan.
4) Premedikasi diberikan midazolam untuk sedasi dan pemberian fentanyl serta petidin
untuk analgesia. Obat medikasi tambahan pada pasien ini diberikan ondansetron dan
ranitidin sebagai pencegahan dan pengobatan mual muntah pasca operasi. Sebagai
analgetik post operasi diberikan Metamizole (Antrain).
5) Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA II karena pasien merupakan pasien Mioma
Uteri yang akan menjalani operasi.
6) Resusitasi dan terapi cairan pre-operasiyang diberikan pada pasien ini belum cukup
terpenuhi. Namun untuk durante dan post operasi, resusitasi dan terapi cairan yang
diberikan sudah bisa mencukupi kebutuhan replacement pasien selama operasi dan
setelah operasi.

5.2 Saran
Penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari pre anestesi, tindakan
anestesi hingga observasi post operasi, serta perlu melihat kembali perhitungan dan
kebutuhan cairan harian pasien agar dapat tercukupi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children. Otolaryngology Head


and Neck Surgery 2011; 144 (15):1-30.
2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif, FKUI.
Jakarta: CV Infomedia.
3. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNPAD. Tumor Alat Kandungan . Ginekologi edisi 2 ,
2010 . Bandung : Elstar Offset. Hal : 154 – 161.
4. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk Pendidikan S1
Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
5. Lab/SMFAnestesiologi & reanimasi.2010. Panduan Kepaniteraan Klinik Anestesiologi.
6. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi ke- 4.
Jakarta:Gaya baru.
7. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
8. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran FKUI.
Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta:Media Aesculapius
Mangku, Gde.; Senapathi, Tjokorda Gde Agung Senaphati. Ilmu Anestesi dan Reanimasi.
Jakarta : Indeks Jakarta. 2010. p.49-65.
9. Latief, Said A.; Suryadi, Kartini A,; Dachlan, M. Ruswan. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
3. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia. 2007. p.48-53.
10. Aitkenhead, Alan R.; Rowbotham, David J.; Smith, Graham. Textbook of Anesthesia 4th
edition. London : Churchill Livingstone. 2001. p.152-63.
11. Rafael FV, Geraldine EE. Pathophysiology of uterine myomas and its clinical implications. New
York: Springer; 2015 2.
12. Andrea C, Jacopo DG, Piergiorgio S, Nina M, Stefano RG, Petro L, et al. Uterine fibroids:
Pathogenesis and interactions with endometrium and endomyometrial junction. Obstet Gynecol
Int. 2013;2013:173184.
13. Maria SD, Edward MB. Uterine fibroids: Diagnosis and treatment. Am Fam Physician.
2017;95(2):100-7
14. Laparoscopic Techniques for Hysterectomy. Available at: www.nice.org.uk.2007
15. Soto E, Lo Y, Friedman K et al. Total Laparoscopic Hysterectomy versus da Vinci Robotic
Hysterectomy: is Using The Robot Beneficial. Department of Obstetric Gynecology and
Reproductive Science, Mount Sinai School of Medicine, New York, USA, Department of
Surgery, Hospital San Jose-Tec de Monterrey, Mexico, Department of Obstetrics and
Gynecology, St.Luke’s and Roosevelt Hospitals, New York, USA.2011
16. Park S, Cho H, Kim H. Factors Determining Conversion to Laparotomy in Patients Undergoing
Total Laparoscopic Hysterectomy. Department of Obstetric and Gynecologicy, Kang-Nam
Sacred Heard Hospital, Seoul, Korea.2010
17. Kumra VP. Issues in geriatric anaesthesia. SAARC J. Anesthesia. New Delhi, 2008. Hal:39 - 49
18. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Geriatric Anesthesia. Dalam: Clinical Anesthesiology,
4th Edition. Philadelphia, 2006. Lange Medical Books/ McGraw-Hill, hal: 951-8 .
19. Silverstein JH. The Practice of Geriatric Anesthesia. Dalam: Silverstein JH, Rooke GA, Reves
JG, Mcleskey CH. Geriatric anesthesiology 2nd Edition. New York. 2008. Springer, hal:3-15
20. Priebe HJ. The aged cardiovascular risk patient. British Journal of Anaesthesia 85 (5): 763±78
(2000) [cited 2011 December 06]. Available from:
http://www.bja.oxfordjournals.org/content/85/5/763.long
21. Kanonidou Z, Krystianou G. Anesthesia for Elderly. Hippokratia 2007, 11, 4: 175-177. [cited
2011 December 06]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC255979/
22. Stoelting RK, Hillier SC. Physiology of the newborn and elderly. Dalam: Handbook of
pharmacology and physiology in anesthetic practice, 2nd ed. Philadelphia, 2006. Lippincott
Williams & Wilkins, hal: 871-81
23. Anonym. Geriatrics (Anesthesia Text) [cited 2011 December 06]. Available from:
http://www.OpenAnesthesia.org
24. Kelly F. Anesthesia for the erderly patient. [cited 2011 December 06]. Available from:
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/15/u15513_01.htm
25. Ceba RC, Sprung J, Gajic O, Warner DO. The aging respiratory system: anesthetic strategies to
minimize perioperative pulmonary complications. Dalam: Silverstein JH, Rooke GA, Reves JG,
Mcleskey CH. Geriatric anesthesiology 2nd Edition. New York. 2008. Springer, hal: 149- 163
26. Anwer HM. Postoperative cognitive dysfunction in adult and elderly patients. M.E.J. Anseth 18
(6), 2006
27. Lewis MC. Alterations in metabolic functions and electrolytes. Dalam: Silverstein JH, Rooke
GA, Reves JG, Mcleskey CH. Geriatric anesthesiology 2nd Edition. New York. 2008. Springer,
hal: 97- 105
28. Hazen SE, Larsen PD, Martin L. General anesthesia and elderly surgical patients.[cited 2011
December 06]. Available from:http://www.fidarticles/p/articles/mi_m0FSL/is_n4_v65/ai..
29. Kleinger SH. Anesthesia of the geriatric patient. 81stWestern veteranary

Anda mungkin juga menyukai