Oleh :
Silva Mandenas
(0120840101)
Pembimbing :
dr. Albinus, Sp.An., M.Kes
b. Labia Mayora
Merupakan kelanjutan dari mons veneris berbentuk lonjong, panjang labia
mayora 7-8 cm, lebar 2-3 cm dan agak meruncing pada ujung bawah.
c. Labia Minora
Merupakan lipatan kulit yang panjang, sempit, terletak di bagian labia mayora
tanpa ditutupi oleh rambut yang memanjang kearah bawah klitorisdan menyatu
dengan fourchette.
d. Klitoris
Merupakan bagian penting alat reproduksi luar yang bersifat erektil, dan letaknya
dekat ujung superior vulva. Organ ini mengandung banyak pembuluh darah dan serat
saraf sensoris sehingga sangat sensitive analog dengan penis laki-laki. Fungsi utama
klitoris adalah menstimulasi dan meningkatkan ketegangan seksual.
e. Vestibulum
Merupakan alat reproduksi bagian luar yang berbentuk seperti perahu atau
lonjong, terletak di antara labia minora, klitoris dan fourchette. Vestibulum terdiri dari
muara uretra, kelenjar parauretra, vagina dan kelenjar paravagina. Permukaan
vestibulum yang tipis dan agak berlendir mudah teriritasi oleh bahan kimia dan panas.
f. Perinium
Merupakan daerah muskular yang ditutupi kulit antara introitus vagina dan anus.
g. Kelenjar Bartholin
Kelenjar penting di daerah vulva dan vagina yang bersifat rapuh dan mudah
robek. Pada saat hubungan seks pengeluaran lendir meningkat.
i. Fourchette
Merupakan lipatan jaringan transversal yang pipih dan tipis, terletak pada
pertemuan ujung bawah labia mayoradan labia minora. Di garis tengah berada di
bawah orifisium vagina. Suatu cekungan kecil dan fosa navikularis terletak di antara
fourchette dan himen.
b. Uterus
Merupakan jaringan otot yang kuat, berdinding tebal, muskular, pipih, cekung dan
tampak seperti bola lampu/buah pir terbalik yang terletak di pelvis minor diantara
kandung kemih dan rectum. Uterus normal memiliki bentuk simetris, nyeri bila
ditekan, licin dan teraba padat.
Uterus terdiri dari tiga bagian yaitu: fundus uteri yaitu bagian corpus uteri yang
terletak di atas kedua pangkal tuba fallopi, corpus uteri merupakan bagian utama yang
mengelilingi kavum uteri dan berbentuk segitiga, dan seviks uteri yang berbentuk
silinder. Dinding belakang, dinding depan dan bagian atas tertutup peritoneum
sedangkan bagian bawahnya berhubungan dengan kandung kemih.
Untuk mempertahankan posisinya uterus disangga beberapa ligamentum, jaringan
ikat dan peritoneum. Ukuran uterus tergantung dari usia wanita, pada anak-anak
ukuran uterus sekitar 2-3 cm, nullipara 6-8 cm, dan multipara 8-9 cm. Dinding uterus
terdiri dari tiga lapisan yaitu peritoneum, miometrium / lapisan otot, dan
endometrium.
c. Tuba Fallopi
Tuba Fallopi merupakan saluran ovum yang terentang antara kornu uterine hingga
suatu tempat dekat ovarium dan merupakan jalan ovum mencapai rongga uterus.
Terletak di tepi atas ligamentum latum berjalan ke arah lateral mulai dari ostium
internum pada dinding rahim. Panjang Tuba falopi 12 cm diameter 3-8 cm. Dinding
tuba terdiri dari tiga lapisan yaitu serosa, muskular, serta mukosa dengan epitel
bersilia.
Fungsi tuba fallopi :
- Sebagai jalan transportasi ovum dari ovarium sampai kavum uteri.
- Untuk menangkap ovum yang dilepaskan saat ovulasi.
- Sebagai saluran dari spermatozoa ovum dan hasil konsepsi.
- Tempat terjadinya konsepsi.
- Tempat pertumbuahn dan perkembangan hasil konsepsi sampai mencapai bentuk
blastula yang siap mengadakan implantasi.
d. Ovarium
Ovarium berfungsi dalam pemebentukan dan pematangan folikel menjadi ovum,
ovulasi, sintesis dan sekresi hormon-hormon steroid. Letak: Ovarium ke arah uterus
bergantung pada ligamentum infundibulo pelvikum dan melekat pada ligamentum
latum melalui mesovarium.
b. Epidemiologi
Dari seluruh wanita, insiden mioma uteri diperkirakan terjadi sekitar 20% – 30%.
Mioma uteri sering ditemukan pada wanita usia reproduksi sekitar 20% – 25%, angka
kejadian ini lebih tinggi pada usia diatas 35 tahun, yaitu sekitar 40%. Tingginya kejadian
mioma uteri antara usia 35 – 50 tahun menunjukkan adanya hubungan antara mioma uteri
dengan hormon estrogen. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi pada usia
sebelum menarche sedangkan angka kejadian mioma uteri pada wanita menopause hanya
sekitar 10% (Hall, 2016). Ditemukan bahwa mereka yang menarche pada usia <10 tahun
beresiko mendapat penyakit reproduksi 10% lebih cepat dibandingkan dengan wanita
yang memulai menstruasi pada usia 14 tahun. Menarche dini (<10 tahun) ditemukan
meningkatkan resiko relatif mioma uteri 1,24 kali sedangkan menarche lambat (>16
tahun) menurunkan resiko relatif mioma uteri.
Di Indonesia angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,39% - 11,87 % dari semua
penderita ginekologi yang dirawat (Prawiroharjo, 2008). Di USA wanita kulit hitam 3-9
kali lebih tinggi menderita mioma uteri dibandingkan wanita berkulit putih, sedangkan di
Afrika wanita kulit hitam sedikit sekali menderita mioma uteri. Wanita yang sering
melahirkan sedikit kemungkinannya untuk perkembangan mioma uteri dibandingkan
dengan wanita yang tak pernah hamil atau hanya satu kali hamil. Statistik menunjukkan
60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak pernah hamil atau hanya hamil
satu kali. Prevalensi meningkat apabila ditemukan riwayat keluarga, ras, kegemukan, dan
nullipara.
c. Etiologi
Hingga saat ini penyebab pasti dari mioma uteri masih belum diketahui dan diduga
merupakan penyakit multifaktorial. Mioma merupakan sebuah tumor monoklonal yang
dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal yang berada di antara
otot polos miometrium. Tumbuh mulai dari benih multiple yang sangat kecil dan tersebar
pada miometrium sangat lambat tetapi progresif. Terdapat korelasi antara pertumbuhan
tumor dengan peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada jaringan mioma uteri,
serta adanya faktor predisposisi yang bersifat herediter, faktor hormon pertumbuhan, dan
Human Placental Lactogen. Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi
somatik dari sel-sel miometrium. Mutasi ini mencakup rentetan perubahan kromosom
baik secara parsial maupun keseluruhan. Aberasi kromosom ditemukan pada 23%-50%
dari mioma uteri yang diperiksa dan yang terbanyak (36,6%) ditemukan pada kromosom
7 (del(7) (q 21) /q 21 q 32).
Pengaruh hormon dalam pertumbuhan dan perkembangan mioma uteri antara lain:
Esterogen
Mioma uteri kaya akan reseptor estrogen. Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell
nest atau teori genitoblast, teori ini menyatakan bahwa untuk terjadinya mioma uteri
harus terdapat dua komponen penting yaitu sel nest (sel muda yang terangsang) dan
estrogen (perangsang sel nest secara terus menerus). Percobaan Lipschutz yang
memberikan estrogen kepada kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor
fibromatosa baik pada permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Hormon
estrogen dapat diperoleh melalui penggunaan alat kontrasepsi yang bersifat hormonal.
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat pertumbuhan tumor yang
cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada
saat menopause dan pengangkatan ovarium. Mioma uteri banyak ditemukan
bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. Selama fase
sekretorik, siklus menstruasi dan kehamilan, jumlah reseptor estrogen di miometrium
normal berkurang. Pada mioma reseptor estrogen dapat ditemukan sepanjang siklus
menstruasi, tetapi ekskresi reseptor tersebut tertekan selama kehamilan.
Progesteron
Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma sepanjang siklus menstruasi
dan kehamilan. Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen. Progesteron
menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara yaitu mengaktifkan 17 - Beta
hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada tumor.
d. Faktor Predisposisi
Adapun faktor Predisposisi dari mioma uteri;
Umur
Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi antara usia 35-50 tahun yaitu mendekati
angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia dibawah 20 tahun, sedangkan pada
usia menopause hampir tidak pernah ditemukan. Penelitian Chao-Ru Chen di New
York menemukan wanita kulit putih umur 40-44 tahun beresiko 6,3 kali menderita
mioma uteri dibandingkan umur < 30 tahun. Sedangkan pada wanita kulit hitam umur
40-44 tahun beresiko 27,5 kali untuk menderita mioma uteri jika dibandingkan umur <
30 tahun.
Riwayat Keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma uteri
mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan dengan
wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri. Pada wanita tertentu, khususnya
wanita berkulit hitam, angka kejadian mioma uteri lebih tinggi.
Obesitas
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin berhubungan
dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim aromatase di jaringan
lemak. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen tubuh, dimana hal ini dapat
menerangkan hubungannya dengan peningkatan prevalensi dan pertumbuhan mioma
uteri.
Paritas
Wanita yang sering melahirkan lebih sedikit kemungkinan untuk terjadinya
perkembangan mioma ni dibandingkan wanita yang tidak pernah hamil atau satu kali
hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak
pernah hamil atau hanya hamil satu kali.
Kehamilan
Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah dilakukan
ditemukan sebesar 0,3 % - 7,2 % selama kehamilan. Kehamilan dapat mempengaruhi
mioma uteri karena tinginya kadar esterogen dalam kehamilan dan bertambahnya
vaskularisasi ke uterus. Keadaan ini ada kemungkinan dapat mempercepat
pembesaran mioma uteri.
e. Klasifikasi
Secara Anatomi reproduksi wanita, penyakit mioma uteri terbagi atas;
Mioma Subserosa
Mioma subserosa merupakan mioma yang tumbuh di bawah lapisan serosa uterus dan
dapat bertumbuh ke arah luar dan juga bertangkai, dapat hanya sebagai tonjolan saja,
dapat pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan uterus melalui tangkai.
Pertumbuhan kearah lateral dapat berada di dalam ligamentum latum, dan disebut
sebagai mioma intraligamen. Mioma yang cukup besar akan mengisi rongga
peritoneum sebagai suatu massa. Perlekatan dengan omentum di sekitarnya
menyebabkan sistem peredaran darah diambil alih dari tangkai ke omentum.
Akibatnya tangkai semakin mengecil dan terputus, sehingga mioma terlepas dari
uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam rongga peritoneum.
Mioma Intramural
Mioma Intramural merupakan mioma yang berkembang di antara miometrium dan
biasanya multiple. Apabila masih kecil, mioma tidak akan merubah bentuk uterus
tetapi bila besar mioma akan menyebabkan uterus berbenjol-benjol dengan konsistensi
yang padat, uterus bertambah besar, dan berubah bentuknya.
Mioma Submukosa
Mioma yang berada di bawah lapisan mukosa uterus atau endometrium dan tumbuh
kearah kavum uteri. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan bentuk dan besar
kavum uteri. Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas permukaan endometrium
menyebabkan terjadinya perdarahan ireguler. Bila tumor ini tumbuh dan bertangkai,
maka tumor dapat keluar dan masuk ke dalam vagina yang disebut mioma geburt,
yang harus diperhatikan dalam menangani mioma bertangkai (mioma submukosa
pedinkulata) ialah kemungkinan terjadinya torsi dan nekrosis sehingga risiko infeksi
sangatlah tinggi. Mioma submukosa walaupun hanya kecil selalu memberikan keluhan
perdarahan melalui vagina. Perdarahan sulit dihentikan, sehingga sebagai terapinya
dilakukan histerektomi. Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dengan
tindakan kuretase, dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal sebagai currete bump
dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi tangkai tumor.
f. Manifestasi Klinis
Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung dari lokasi, arah
pertumbuhan, jenis, besar, dan jumlah cairan. Hanya dijumpai pada 35%-50% saja
mioma uteri menimbulkan keluhan sedangkan siasanya tidak mengeluh apapun, terutama
pada penderita dengan obesitas. Hipermenore, merupakan gejala klasik dari mioma uteri.
Dari penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 penderita ditemukan 44% gejala
perdarahan, yang paling sering ialah jenis mioma submukosa, sekitar 65% wanita dengan
mioma mengeluh dismenore, nyeri perut bagian bawah, serta nyeri pinggang. Tergantung
dari lokasi dan arah pertumbuhan mioma, maka kandung kemih, ureter, dan usus dapat
terganggu, peneliti melaporkan keluhan disuri (14%) dan keluhan obstipasi (13%).
Mioma uteri sebagai penyebab infertilitas hanya dijumpai pada 2% – 10% kasus.
Infertilitas terjadi sebagai akibat obstruksi mekanis tuba falopii. Abortus spontan dapat
terjadi bila mioma uteri menghalangi pembesaran uterus, dimana menyebabkan kontraksi
uterus yang abnormal, dan mencegah terlepas atau tertahannya uterus di dalam panggul.
Pemeriksaan Fisik
Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual rutin uterus. Diagnosis
mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih
massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini adalah
bagian dari uterus.
Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan perdarahan
uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang- kadang mioma
menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia.
Adanya hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat
penekanan mioma terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan balik
ureter dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoietin ginjal.
- Imaging
Pemeriksaan dengan USG Transabdominal dan trasvaginal bermanfaat dalam
menetapkan adanya mioma uteri.
h. Diagnosis Banding
Diagnosis Banding Mioma Uteri antara lain Neoplasma Ovarium dan Adenomyosis.
Neoplasma Ovarium
Kista yang berisi cairan yang bersifat jinak juga dapat menyebabkan keganasan yang
biasanya disebabkan oleh gangguan hormon pada hipotalamus, hipofisis, dan gagalnya
sel telur (folikel) untuk berovulasi. Ada 3 jenis yaitu cysadenoma mucinosum,
cysadenoma serrosum, cysta dermoid. Biasanya sering tanpa gejala, nyeri saat
menstruasi.
Adenomyosis
Adenomyosis adalah penetrasi dan bertumbuhnya jaringan endometrium (jaringan
yang melapisi dinding dalam rahim) ke dalam myometrium (lapisan otot rahim),
sering disebut pula dengan endometriosis internal. Jadi penyakit ini sejenis dengan
endometriosis. Bisa tanpa gejala tapi ada triad gejala yakni pembesaran rahim, nyeri
pelvis dan menstruasi yang abnormal. Nyeri yang dirasakan terutama selama
menstruasi disebut dysmenorrhea dapat berupa kram yang hebat atau seperti disayat
pisau.
i. Tatalaksana
Penatalaksanaan mioma uteri harus memperhatikan usia, paritas, kehamilan, konservasi
fungsi reproduksi, keadaan umum, dan gejala yang ditimbulkan. Bila kondisi pasien
sangat buruk, lakukan upaya perbaikan yang diperlukan termasuk nutrisi, suplementasi
zat esensial, ataupun transfusi. Pada keadaan gawat darurat akibat infeksi atau gejala
abdominal akut, siapkan tindakan bedah gawat darurat untuk menyelamatkan penderita.
Pilihan prosedur bedah terkait dengan mioma uteri adalah miomektomi atau histerektomi.
Konservatif
Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan pengobatan, tetapi
harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma lebih besar dari kehamilan 10-12
minggu, tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada tangkai, perlu diambil
tindakan operasi. Terapi konservatif dilakukan bila mioma uteri terjadi tanpa adanya
keluhan dan tanda-tanda degenerasi ganas.
Medikamentosa
Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan mioma uteri
secara menetap belum tersedia pada saat ini. Terapi medikamentosa masih merupakan
terapi tambahan (adjuvan) atau terapi pengganti sementara dari operatif. Preparat yang
selalu digunakan untuk terapi medikamentosa adalah analog GnRHA (Gonadotropin
Realising Hormon Agonis), progesteron, androgen (danazol, gestrinon), tamoksifen,
goserelin, antiprostaglandin (NSAID), COCs (combination oral contraceptive pills),
agen-agen lain seperti gossypol dan amantadine (Chegini dkk., 2003; Parsanezhad
dkk., 2012). GnRH agonis diberikan 3-6 kali setiap bulan sekali yang dimulai pada
hari ke-3 sampai 5 mentruasi dengan dosis 375 mg intramuskuler gluteal.
Perempuan dengan dismenore memiliki kadar prostaglandin F2α dan E2 endometrium
yang lebih tinggi dibandingkan wanita dengan mioma uteri tanpa gejala. Dengan
demikian, pengobatan dismenore dan menoragia terkait dengan leiomioma didasarkan
pada peran prostaglandin sebagai mediator dari gejala- gejala ini, sehingga
penggunaan NSAID dapat dikatakan efektif untuk penderita dengan dismenore.
Operatif
Terapi operatif tergantung pada:
- Adanya keluhan gangguan haid serta komplikasinya dan atau keluhan pendesakan
organ sekitar.
- Infertilitas post terapi GnRH agonis
- Nyeri pelvik kronis akibat pendesakan, perlekatan, dismenore, disparunea,
hemorhoid, disuria berulang, nyeri defekasi, dan manipulasi.
Ketentuan:
- Umur penderita lebih dari 50 tahun adalah TAH-BSO atau SVH tergantung kondisi
serviks.
- Menginginkan anak dilakukan miomektomi atau enukleasi mioma baik post GnRH
agonist maupun langsung.
- Pada kasus dengan gangguan haid dimana umur lebih dari 40 tahun
- Pendekatan operatif adalah laparotomi dan atau laparoskopi
Tindakan operatif yang dapat dilakukan meliputi miomektomi, histerektomi, dan
embolisasi arteri uterus. Miomektomi merupakan tindakan pengambilan sarang mioma
saja tanpa pengangkatan uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma
submukosa dan mioma geburt dengan cara ekstirpasi lewat vagina.
Histerektomi merupakan tindakan pengangkatan uterus yang paling umum
dilakukan pada kasus mioma uteri. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan
alasan mencegah timbulnya mioma uteri berulang atau timbulnya karsinoma servisis
uteri. Histerektomi untuk mioma uteri dapat dilakukan secara vaginally, abdominally,
atau laparoscopically Endometrial Ablation, Hysteroscopy.
Embolisasi arteri uterus (Uterin Artery Embolization / UAE) merupakan injeksi
arteri uterina dengan butiran polyvinyl alkohol melalui kateter yang nantinya akan
menghambat aliran darah ke mioma dan menyebabkan nekrosis. Nyeri setelah UAE
lebih ringan daripada setelah pembedahan mioma dan pada UAE tidak dilakukan
insisi serta waktu penyembuhannya lebih cepat (Swine, 2009).
Radiasi dengan radioterapi
Radioterapi dilakukan untuk menghentikan perdarahan yang terjadi pada beberapa
kasus.
Keluhan positif:
- Infertilitas.
Pada mioma uterus dengan keluhan infertilitas dilakukan histerosalfingografi untuk
mengetahui kavum uterus, patensi tuba, hidrosalfing, dan tanda-tanda infeksi
kronis.
- AUB-L berupa menoragia, metroragia, dan menometroragia.
- Komplikasi perdarahan seperti lemah, lesu, penyakit jantung, anemia, mudah
infeksi, penuruanan kinerja, dan konsentrasi.
- Pendesakan ke organ pelviks sehingga menimbulkan gangguan seperti gangguan
berkemih dan defekasi, nyeri pelvik kronik, serta nyeri di regio suprasimfisis.
2.3 Histerektomi
a. Pengertian Histerektomi
Histerektomi berasal dari bahasa Yunani yakni hystera yang berarti “rahim” dan
ektmia yang berarti “pemotongan”. Histerektomi berarti operasi pengangkatan rahim.28
Akibat dari histerektomi ini adalah si wanita tidak bisa hamil lagi dan berarti tidak bisa
pula mempunyai anak lagi.
Walaupun tidak pernah diharapkan, wanita tak jarang mengalami berbagai penyakit
yang berkaitan dengan organ reproduksinya. Penyakit itu diantaranya kanker rahim atau
kanker mulut rahim, fiBbroid (tumor jinak pada rahim), dan endometriosis (kelainan
akibat dinding rahim bagian dalam tumbuh pada indung telur,tuba fallopi, atau bagian
tubuh lain, padahal seharusnya hanya tumbuh di rahim).
Penyakit-penyakit tersebut sangat membahayakan bagi seorang wanita, bahkan dapat
mengancam jiwanya, karena itu, perlu tindakan medis untuk mengatasinya. Menghadapi
penyakit-penyakit tersebut tindakan medis yang harus dilakukan adalah histerektomi.
Prosedur histerektomi biasanya dipilih berdasarkan diagnosa penyakit, juga berdasarkan
pengalaman dan kecenderungan ahli bedah. Namun, demikian, prosedur histerektomi
melalui vagina memiliki resiko yang lebih kecil dan waktu pemulihan yang lebih cepat
dibanding prosedur histerektomi melalui perut.29
d. Jenis-Jenis Histerektomi
Ada beberapa jenis-jenis histerektomi yang dilakukan oleh wanita yaitu:32
1. Histerektomi Radikal
Histerektomi radikal yaitu mereka yang menjalani prosedur ini akan kehilangan
seluruh sistem reproduksi seperti seluruh rahim dan serviks, tuba fallopi, ovarium,
bagian atas vagina, jaringan lemak dan kelenjar getah bening. Prosedur ini dilakukan
pada mereka yang mengidap kanker.
Prosedur ini melibatkan operasi yang luas dari pada histerektomi abdominal
totalis,karena prosedur ini juga mengikutsertakan pengangkatan jaringan lunak yang
mengelilingi uterus serta mengangkat bagian atas dari vagina. Histerektomi radikal ini
sering dilakukan pada kasus-kasus karsinom serviks stadium dini. Komplikasi lebih
sering terjadi pada histerektomi jenis ini dibandingkan pada histerektomi tipe
abdominal. Hal ini juga menyangkut perlukaan pada usus dan sistem urinarius.33
2. Histerektomi Abdominal
- Histerektomi Total
Histerektomi total yaitu seluruh rahim dan serviks diangkat jika menjalani
prosedur ini. Namun ada pula jenis histerektomi total bilateral saplingoooforektomi
yaitu prosedur ini melibatkan tuba fallopi dan ovarium. Keuntungan dilakukan
histerektomi total adalah ikut diangkatnya serviks yang menjadi sumber terjadinya
karsinoma dan prekanker.Akan tetapi, histerektomi total lebih sulit daripada
histerektomi supraservikal karena insiden komplikasinya yang lebih besar.
Operasi dapat dilakukan dengan tetap meninggalkan atau mengeluarkan
ovarium pada satu atau keduanya. Pada penyakit, kemungkinan dilakukannya
ooforektomi unilateral atau bilateral harus didiskusikan dengan pasien. Sering
kali, pada penyakit ganas, tidak ada pilihan lain, kecuali mengeluarkan tuba dan
ovarium karena sudah sering terjadi mikrometastase.
Berbeda dengan histerektomi sebagian, pada histerektomi total seluruh bagian
rahim termasuk mulut rahim (serviks) diangkat. Selain itu, terkadang histerektomi
total juga disertai dengan pengangkatan beberapa organ reproduksi lainnya secara
bersamaan. Misalnya, jika organ yang diangkat itu adalah kedua saluran telur (tuba
fallopi) maka tindakan itu disebut salpingo.
Jika organ yang diangkat adalah kedua ovarium atau indung telur maka
tindakan itu disebut oophor.Jadi, yang disebut histerektomi bilateral salpingo-
oophorektomi adalah pengangkatan rahim bersama kedua saluran telur dan kedua
indung telur. Pada tindakan histerektomi ini, terkadang juga dilakukan tindakan
pengangkatan bagian atas vagina dan beberapa simpul (nodus) dari saluran kelenjar
getah bening, atau yang disebut sebagai histerektomi radikal (radical
hysterectomy).
Banyak gangguan yang dapat menyebabkan diputuskannya tindakan
hsterektomi. Terutama untuk keselamatan nyawa ibu, seperti pendarahan hebat
yang disebabkan oleh adanya miom atau persalinan, kanker rahim atau mulut
rahim, kanker indung telur, dan kanker saluran telur (fallopi). Selain itu, beberapa
gangguan atau kelainan reproduksi yang sangat mengganggu kualitas hidup wanita,
seperti miom atau endometriosis dapat menyebabkan dokter mengambil pilihan
dilakukannya histerektomi.34
- Histerektomi Subtotal
Histerektomi subtotal adalah Pengangkatan bagian atas uterus dengan
meninggalkan bagian segmen bawah rahim. Tindakan ini umumnya dilakukan pada
kasus gawat darurat obstetrik seperti pendarahanpaska persalinan yang disebabkan
atonia uteri, prolapsus uteri, dan plasenta akreta. Oleh karena itu, penderita masih
dapat terkena kanker mulut rahim sehingga masih perlu pemeriksaan papsmear
(pemeriksaan leher rahim) secara rutin.
e. Proses Histerektomi
Sebelum operasi, dokter akan melakukan beberapa tes untuk memeriksa apakah
dapat menjalani operasi. Ahli bedah juga akan memilih jenis operasi yang tepat untuk
penderita penyakit akut tersebut. Tes yang diperlukan adalah:
- Tes Pap (dikenal sebagai tes Papanicolaou), yang mendeteksi secara dini adanya sel-
sel serviks yang abnormal atau kanker leher rahim.
- Biopsi endometrium, yang mendeteksi sel abnormal pada endometrium atau
memeriksa keberadaan kanker endometrium.
- USG panggul, yang membantu dokter mengidentifikasi ukuran fibrosis rahim, polip
endometrium, atau kanker ovarium.
Setelah operasi, biasanya pasien harus tinggal di rumah sakit selama 1-2 hari,
kadang-kadang bisa lebih lama. Setelah operasi, pasien harus menggunakan pembalut
karena darah dan cairan vagina akan mengalir cukup banyak. Pendarahan vagina dapat
berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu. Pasien harus menyadari bahwa
jika pasien mengalami pendarahan sebanyak yang dialami selama periode menstruasi,
pasien harus segera memberitahu dokter.
- Gejala-Gejala Menopause
Kedua ovarium diangkat maka akan segera memasuki periode menopause tanpa
memperhatikan usia saat ini. Menopuse adalah masa dimana berhentinya periode
menstruasi seorang wanita. Hal ini umumnya terjadi pada wanita sekitar usia 40-45
tahun dengan riwayat histerektomi. Normalnya menopause terjadi ketika seorang
wanita berusia 45-65 tahun. Ovarium adalah organ yang menghasilkan hormon seks
perempuan termasuk estrogen dan progestin.
Apabila dilakukan operasi pengangkatan rahim (histerektomi) tanpa
pengangkatan indung telur maka gejala menopause dini tidak akan terjadi karena
indung telur masih mampu menghasilkan hormon. Wanita yang mengalami
menopause dini memiliki gejala yang sama dengan menopause pada umumnya seperti
hot flashes (perasaan hangat di seluruh tubuh yang terutama terasa pada dada dan
kepala), gangguan emosi, kekeringan pada vagina, dan menurunnya keinginan
berhubungan seksual.
Wanita yang mengalami menopause dini memiliki kejadian keropos tulang lenih
besar dari mereka yang mengalami menopause lebih lama. Kejadian ini meningkatkan
angka kejadian osteoporosis dan patah tulang. Menopause dini adalah menopause
yang terjadi sebelum usia 40 tahun.39
- Nyeri Kronis
Setelah histerektomi terjadi nyeri kronis yaitu nyeri neuropati, yang berasal dari
ujung saraf yang mengirimkan sinyal rasa sakit. Menyentuh bagian ini dapat
menyebabkan rasa sakit. Rasa sakit seperti ini dapat diobati dengan mengurangi sinyal
saraf yang abnormal yang menjadi penyebab awal.40
- Penyempitan Vagina yang Luas
Penyempitan vagina yang luas disebabkan oleh pemotongan mukosa vagina
yang berlebihan. Lebih baik keliru meninggalkan mukosa vagina terlalu banyak
daripada terlalu sedikit. Komplikasi ini memerlukan insisi lateral dan packing atau
stinit vaginal, mirip dengan rekonstruksi vagina.
2.4 Anestesi Umum
a. Definis
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah
suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat
induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat
anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi
SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat
anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum
yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di
antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi
umum yang digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa
alkaloid lain dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin.1
Untuk menentukan prognosis ASA (American Society of Anesthesiologists)
membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien
kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut:
ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.1
ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan
hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan
febris.1
ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan
karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia,
atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium.1
ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehiduannya.1
ASA 5, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang sudah tidak mungkin di
tolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal. Contohnya
pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda
darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E.1
b. Tahap-tahap Anestesi
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi
volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya
kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil,
dapat terjadi urinasi dan defekasi.
Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai
permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak
menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis,
hipertensi, dan takikardia.
Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang
ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan
thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra,
konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal
dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III,
ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut
relaksasi. Stadium III dibagi dalam 4 plana:
Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata
yang tidak menurut kehendak pupil miosis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat,
refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang
sempurna (tonus otot mulai menurun).
Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi
meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya
mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan
intubasi.
Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi
tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi
otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil
sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan kelenjar air mata tidak
ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).
Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis
otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata
ikan karena terhentinya sekresi lakrima
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, atau lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem organ
tubuh pasien.
Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah (Hb,
leukosit, masa perdarahan, dan masa pembekuan) dan urinalisis.
Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi
anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anestesi. Minuman air putih, teh manis sampai 3 jam, dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anestesi.
b) Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasiyaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi di antaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
Menghilangkan rasa khawatir melalui:
- Kunjungan pre-anestesi.
- Pengertian masalah yang dihadapi.
- Keyakinan akan keberhasilan operasi.
Memberikan ketenangan (sedatif).
Membuat amnesia.
Mengurangi rasa sakit (analgesik non-narkotik atau narkotik).
Mencegah mual dan muntah.
2. Memudahkan atau memperlancar induksi. Pemberian hipnotik sedatif atau
narkotik.
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi. Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah atau liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
c) Induksi Anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidaksadar
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksidapat
dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskuler, atau rektal. Setelahpasien tidur
akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaananestesi sampai
tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S: Scope -Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop
pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T: Tube - Pipa trakea pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5
tahun dengan balon (cuffed).
A: Airway - Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa hidung-
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T: Tape - Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I: Introducer - Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel)yang mudah
dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector - Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S : Suction - penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.
2. Induksi intramuskuler
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
3. Induksi Inhalasi
N2O(gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
Berbentuk gas, tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi, tidak terbakar, dan
beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%.
Bersifat anastetik lemah dan analgesi kuat sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan tunggal, sering dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain
seperti halotan.
Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya cukup
dalam, stabil, dan sebelum tindakan diberikan analgesik semprot lidokain 4%
atau 10% sekitar faring-laring. Induksi halotan memerlukan gas pendorong
O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt
atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt. Kalau pasien batuk
konsentrasi halotan diturunkan, untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikan
lagi sampai konsentrasi yang diperlukan. Kelebihan dosis dapat
menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan
inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesik lemah tetapi anestesi kuat.
Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula
darah.
Enfluran
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif
disbanding halotan. Depresi sirkulasi lebih kuat dibanding halotan tetapi
lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih
baik dibanding halotan.
Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran
darah otak dan tekanan intrakranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek
terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga digemari untuk
anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan
gangguan koroner.
Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%) bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napas
seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak
digunakan untuk induksi anestesi.
Sevofluran (ultane)
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk
walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %.
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk
induksi anestesi inhalasi di samping halotan.
4. Induksi per Rektal
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan selanjutnya
sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic (katerisasi jantung,
roentgen foto, pemeriksaan mata, telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb)
terutama pada bayi-bayi dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose
dengan inhalasi pada bayi dan anak-anak.
Syaratnya adalah:
a) Rectum betul-betul kosong
b) Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB
Intubasi
Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat intubasi trachea oleh orang
yang tidak berpengalaman. Kerusakan gigi geligi akan terjadi lebih serius jika
disertai kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses paru. Jika dibiarkan
tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat menyebabkan epistaksis yang tak
menyenangkan dan kadang–kadang sonde dapat membentuk saluran di bawah
mukosa hidung, intubasi hidung sering memfraktura concha. Kerusakan pada
struktur tonsila dan larynx (terutama pita suara) untungnya sering terjadi, tetapi
penanganan mulut posterior struktur yang kasar menyokong sakit tenggorokan
pasca bedah.
Saraf Superfisial
Tekanan langsung terus menerus akan merusak saraf, seperti poplitea lateralis
sewaktu mengelilingi caput fibulae, yang menyebabkan “foot drop”, fasialis
sewaktu ia menyilang mandibula, yang menyebabkan paralisis otot wajah, ulnaris
sewaktu ia menyilang epicondylus medialis, yang menyebabkan paralisis dan
kehilangan sensasi dalam tangan serta nervus radialis sewaktu ia mengelilingi
humerus di posterior, yang menyebabkan “wrist drop”. Pleksus brachialis dapat
dirusak dengan meregangnya di atas caput humeri, jika lengan diabduksi atau rotasi
eksternal terlalu jauh.2
2. Pernapasan
Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk hipoksemia yang tidak
terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia, pneumonia lobaris, kongesti
pulmonal hipostatik, plurisi, dan superinfeksi. 2
Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah obstruksi saluran
pernapasan akut selama atau segera setelah induksi anestesi. Spasme Larynx dan
penahanan napas dapat sulit dibedakan serta dapat timbul sebagai respon terhadap
anestesi yang ringan, terutama jika saluran pernapasan dirangsang oleh uap anestesi
iritan atau materi asing yang mencakup sekresi dan kandungan asam lambung.
Intubasi yang gagal dapat menjadi mimpi buruk, bila mungkin terjadi aspirasi
lambung, seperti pasien obstetri dan kedaruratan yang tak dipersiapkan.2
Gagal pernapasan terutama merupakan fenomena pasca bedah, biasanya karena
kombinasi kejadian. Kelamahan otot setelah pemulihan dari relaksan yang tidak
adekuat, depresi sentral dengan opioid dan zat anestesi, hambatan batuk dan ventilasi
alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri luka bergabung untuk
menimbulkan gagal pernapasan restriktif dengan retensi CO2 serta kemudian narcosis
CO2, terutama jika PO2 dipertahankan dengan pemberian oksigen.2
3. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi, hipertensi,
aritmia jantung, dan payah jantung. Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah
systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya.
Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan,
overdosis obat anestetika, penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia,
hipertensi, dan reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan reaksi
transfusi.2
Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan pemulihan anestesi.
Komplikasi hipertensi disebabkan oleh analgesa dan hipnosis yang tidak adekuat,
batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat.
Sementara faktor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia,
tindakan intubasi, gangguan elektrolit, dan pengaruh beberapa obat tertentu.2
4. Hati
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan. Insidens virus
Hepatitis A aktif dalam populasi umum mungkin jauh lebih lazim, yang diperkirakan
sekitar 100–400 per sejuta pada suatu waktu. Mungkin bahwa zat anestesi mengurangi
kemanjuran susunan kekebalan dan membuat pasien lebih cenderung ke infeksi yang
mencakup hepatitis virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu
mungkin harus dihalangi. 2
5. Suhu Tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi menyebabkan
penurunan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama, terutama dengan
pemaparan vesera, bisa timbul hipotermi yang parah, yang menyebabkan
pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi perifer tidak adekuat.
Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika kebutuhan oksigen meningkat sebagai
akibat menggigil selama masa pasca bedah.2
Bahaya Anestesi
Bahaya utama anestesi dapat disebabkan banyak penyebab. Sebagian penyebab
pada mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya tersebut tidak diperhatikan sama sekali,
atau tidak diatasi dengan baik, maka bencana dapat terjadi. Bahaya lain mungkin tidak
berbahaya tetapi merupakan sumber utama ketidaknyamanan, nyeri, atau iritasi terhadap
penderita. Bahaya anestesi yang mungkin dapat terjadi antara lain:2
Bahaya anestesi yang dapat mematikan
Kematian akibat anestesi mungkin disebabkan oleh hipoksia dan henti jantung
yang saling terkait, pada kedua kasus kematian dapat disebabkan oleh gangguan
penyediaan oksigen otak dan /atau jantung baik primer (yang disebabkan oleh
hipoksia respiratorik) maupun sekunder (sebagai akibat terhentinya sirkulasi setelah
henti jantung). Bahaya lain akibat anestesi yang dapat mematikan karena anestesi
adalah anafilaksis akut karena obat yang digunakan pada anestesi, dan hipertermia
yang ganas.2
2. Cairan Koloid
Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam
ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien dengan
defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hemorrhagik sebelum diberikan
transfusi darah, pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein
jumlah besar (misalnya pada luka bakar). Cairan koloid merupakan turunan dari
plasma protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki sifat yaitu plasma expander
yang merupakan suatu sediaam larutan steril yang digunakan untuk menggantikan
plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka bakar dan operasi. Kerugian dari
‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match.
Berdasarkan jenis pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:15
a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia (5% dan 25%).
Dibuat dengan cara memanaskan plasma 60°C selama 10 jam untuk membunuh
virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin
(83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. Selain albumin,aktivator
Prekalikrein (Hageman’s factorfragments) terdapat dalam fraksi protein plasma
dan sering menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
b. Koloid sintetik
Dextran
Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah yang besar.
Dextran diproduksi untuk mengganti cairan karena peningkatan berat
molekulnya, sehingga memiliki durasi tindakan yang lebih lama di dalam ruang
intravaskular. Namun, jarang digunakan karena efek samping terkait yang
meliputi gagal ginjal sekunder akibat pengendapan di dalam tubulus ginjal,
gangguan fungsi platelet, koagulopati dan gangguan pada cross-matching darah.
Tersedia dalam bentuk Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul
40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000.
Hydroxylethyl Starch (HES)
Cairan koloid sintetik yang sering digunakan saat ini. Pemberian 500 ml larutan
ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan
sisanya, yaitu starch yang bermolekul besar, sebesar 64% dalam waktu 8 hari.
Hetastarch nonantigenik dan jarang dilaporkan adanya reaksi anafilaktoid. Low
molecular weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch,
mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan
dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume
expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu
koagulasi maka Pentastarch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan jumlah
besar.
Gelatin
Merupakan bagian dari koloid sintesis yang terbuat dari gelatin, biasanya berasal
dari collagen bovine serta dapat memberikan reaksi. Larutan gelatin adalah urea
atau modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen sapi. Berat molekul
gelatin relatif rendah, 30,35 kDa, jika dibandingkan dengan koloid lain. Tidak
ada batasan dosis maksimum untuk gelatin. Gelatin dapat memicu reaksi
hipersensitivitas, lebih sering daripada larutan HES. Meskipun produk
mentahnya bersumber dari sapi, gelatin dipercaya bebas dari resiko penyebaran
infeksi. Kebanyakan gelatin dieskskresi melalui ginjal.
Berdasarkan penggunaannya, cairan intravena dapat digolongkan menjadi empat
kelompok, yaitu:
1) Cairan Pemeliharaan
Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu pada penyediaan
IV cairan dan elektrolit untuk pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
mereka dengan rute enteral, namun sebaliknya baik dalam hal keseimbangan
cairan dan elektrolit dan penanganan (yaitu mereka yang pada dasarnya
euvolemik tanpa signifikan defisit elektrolit, kerugian yang abnormal yang
sedang berlangsung atau masalah redistribusi internal yang kompleks).
Tujuan saat memberikan cairan perawatan rutin adalah untuk menyediakan
cukup cairan dan elektrolit untuk memenuhi insensible losses (500-1000 ml),
mempertahankan status normal tubuh kompartemen cairan dan
memungkinkan ekskresi ginjal dari produk-produk limbah (500-1500 ml).
Jenis cairan rumatan yang dapat digunakan seperti NaCl 0,9%, glukosa 5%,
glukosa salin, ringer laktat/asetat, NaCl 0,9% hanya untuk rumatan yang
tinggi kandungan NaCl dari saluran cerna ataupun ginjal, glukosa 5% atau
glukosa salin.
2) Cairan Pengganti
Banyak pasien yang membutuhkan cairan intravena memiliki kebutuhan
spesifik untuk menutupi penggantian dari defisit cairan atau kehilangan
cairan atau elektrolit serta permasalahan redistribusi cairan internal yang
sedang berlangsung, sehingga harus dihitung untuk pemilihan cairan
intravena yang optimal. Cairan dan elektrolit intravena pengganti dibutuhkan
untuk menangani defisit yang ada atau kehilangan yang tidak normal yang
sedang berlangsung, biasanya dari saluran pencernaan (ileostomy, fistula,
drainase nasogastrium, dan drainase bedah) atau saluran kencing (saat
pemulihan dari gagal ginjal akut). Secara umum, terapi cairan intravena
untuk penggantian harus bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekstra dari
cairan dan elektrolit seperti kebutuhan pemeliharaan, sehingga homeostasis
dapat kembali dan terjaga. Lakukan penilaian cairan dan elektrolit pasien
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, monitor klinis, dan pemeriksaan
laboratorium. Cari defisit, kehilangan yang sedang berlangsung, distribusi
yang tidak normal atau permasalahan kompleks lainnya. Periksa kehilangan
cairan yang sedang berlangsung dan perkirakan jumlahnya dengan mengecek
untuk muntah dan kehilangan cairan melalui nasogastric tube, diare,
kehilangan darah yang berlangsung. Periksa redistribusi dan masalah
kompleks lainnya dengan memeriksa pembengkakan, sepsis berat, dan
lainnya. Berikan tambahan cairan dari kebutuhan pemeliharaan rutin,
mengatur sumber-sumber cairan dan elektrolit yang lain.
3) Cairan untuk Tujuan Khusus
Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya
natrium bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus
terhadap gangguan keseimbangan elektrolit.
4) Cairan Nutrisi
Cairan nutrisi biasanya digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang
tidak mau makan, tidak boleh makan dan tidak bisa makan peroral. Jenis
cairan nutrisi parenteral pada saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik
untuk parenteral parsial atau total maupun untuk kasus penyakit tertentu.
Adapun syarat pemberian nutrisi parenteral yaitu berupa:
- Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula enterokutanateus, atresia
intestinal, kolitis infektiosa, obstruksi usus halus.
- Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis berat,
status preoperatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal, stenosis arteri
mesenterika, diare berulang.
- Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan, pseudo-
obstruksi dan skleroderma.
- Kondisi dimana jalur enteral tidak dimungkinkan seperti pada gangguan
makan, muntah terus menerus, gangguan hemodinamik, hiperemesis
gravidarum.
Teknik Pemberian
Secara umum telah disepakati bahwa pemberian terapi cairan dilakukan melalui
jalur vena, baik vena perifer maupun vena sentral melalui kanulasi tertutup atau terbuka
dengan seksi vena.15
1. Kanulasi Vena Perifer
Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah vena di daerah ekstremitas atas berikutnya
dilanjutkan pada vena bagian ekstremitas bawah. Hindari vena di daerah kepala
karena sangat tidak terfiksasi, sehingga mudah terjadi hematom. Pada bayi baru lahir,
vena umbilikalis bisa digunakan untuk kanulasi terutama dalam keadaan darurat.
Tujuan dilakukannya kanulasi vena perifer ini adalah untuk:15
- Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Apabila lebih dari tiga hari, harus
pindah lokasi vena dan set infus harus diganti pula.
- Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk menganti kehilangan cairan
tubuh atau perdarahan akut.
- Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara kontinyu atau berulang.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 22 September
2022, pukul 09.00 WIT di ruang OK RSUD Jayapura.
a. Keluhan utama: Benjolan di jalan lahir dan keluarnya darah yang semakin memberat ± 3
hari terakhir.
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan di jalan lahir disertai keluarnya
bercak darah yang sudah dialami kira-kira 1 tahun ini. Awalnya benjolan tersebut masih
kecil, lama kelamaan membesar. Benjolan ini bersifat hilang timbul, timbul di saat pasien
bekerja dan menghilang disaat pasien tidur atau duduk. Ada rasa nyeri perut saat
berjalan, tapi tidak menyebar, nyeri bersifat perih. Keluarnya darah dari kemaluan secara
terus menerus kurang lebih sejak 2 tahun yang lalu dan memberat 3 hari ini. Darah yang
keluar seperti darah haid (+). Gangguan buang air kecil dan air besar (+). Pasien pernah
pasang cicin di daerah kemaluan 1 bulan yang lalu tapi terlepas.
c. Riwayat penyakit dahulu:
1) Riwayat Hipertensi disangkal
2) Riwayat penyakit jantung disangkal
3) Riwayat diabetes melitus disangkal
4) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
f. Riwayat Perkawinan : Pasien menikah 1 kali. Sudah menikah dengan suami selama 2
tahun.
g. Riwayat Ginekologi : Menarche saat 17 tahun. Siklus haid tidak teratur setiap 20 hari
dengan lama haid 2 minggu. Banyaknya haid 4-6 kali ganti pembalut. Nyeri haid (-)
sampai tidak bisa bekerja.
h. Riwayat Obstetri : Semua anak pasien lahir secara normal dan tanpa penyulit.
Status Gizi :
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 59 kg
Indeks Massa Tubuh : 24,6 k/m2
Status Generalis
Kepala : Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Pupil: bulat, isokor Ø= 3 mm/3mm,
Refleks cahaya (+/+)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-).
Telinga : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-).
Oral candidiasis (-), lidah kotor (-), faring
Mulut : hiperemis (-), tonsil (T1=T1), karies (-), mallampati
skor I.
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP normal
Paru
Gerak dinding dada simetris, retraksi dinding dada
Inspeksi :
(-), jejas (-)
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing
Thoraks : Auskultasi :
(-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat, thrill (-)
Iktus Cordis teraba pada ICS V Midline clavicula
Palpasi :
sinistra
PEMERIKSAAN GINEKOLOGI
Inspeksi : fluksus (-), fluor (-), vulva tak ada kelainan, tampak uterus kemerahan keluar
sampai ke introtus vagina
Inspekulo : fluksus (-), vagina tak ada kelainan, tampak uterus keluar dari introtus vagina,
portio tampak licin, erosi (+),livide(-), OUE tertutup
PD : flukus (-), vulva/vagina tak ada kelainan, portio kenyal, teraba licin, OUE
tertutup, nyeri goyang portio (-) .Corpus Uteri tak menonjol, Adneksa/parametrium bilateral
lemas, tak teraba pole bawah massa, nyeri (-), Cavum Douglasi tak menonjol
RT : TSA cekat, mukosa licin, ampula kosong
EKG
Tidak ada kelainan, konsul jantung tidak ada kontra indikasi tindakan, ritme sinus dbn.
110 110
100
92 93 95 94
90 90
85
80 80 80
72 75 75 73
72 75
70 70 70 70
63 65 64
62
60 60 60 60
11:00
11:30
11:50
12:00
9:36
10:50
11:10
11:20
11:40
12:10
7:12
Seorang wanita usia 30 tahun dengan riwayat P4A0 datang ke RSUD Jayapura pada tanggal 20
September 2022, datang dengan keluhan terdapat benjolan di jalan lahir disertai keluarnya bercak darah
yang sudah dialami kira-kira 1 tahun ini. Awalnya benjolan tersebut masih kecil, lama kelamaan
membesar. Benjolan ini bersifat hilang timbul, timbul di saat pasien bekerja dan menghilang disaat pasien
tidur atau duduk. Ada rasa nyeri perut saat berjalan, tapi tidak menyebar, nyeri bersifat perih. Keluarnya
darah dari kemaluan secara terus menerus kurang lebih sejak 2 tahun yang lalu dan memberat 3 hari ini.
Darah yang keluar seperti darah haid (+). Gangguan buang air kecil dan air besar (+). Pasien pernah
pasang cicin di daerah kemaluan 1 bulan yang lalu tapi terlepas.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital dan laboratorium, didapatkan hasil tinggi badan 155 cm dan
berat badan 59 kg dengan indeks massa tubuh 24,6 , perfusi akral hangat kering merah, Tekanan darah
120/80 mmHg, Nadi 89x/menit, Respirasi 22x/ menit, Suhu Badan 36,8 º C, dan pemeriksaan ginekologi
uterus menonjol sampai batas introitus vagina. Dari pemeriksaan penunjang, USG tampak memberi kesan
gambaran Mioma uterus sebesar 5 cm, serta Hasil laboratorium didapatkan HB 10,4 g/dl.Leukosit: 8,
60^3/mm3.
Dari kasus tersebut dengan diagnosis Mioma Uteri dengan tindakan total vaginal histerektomi
maka penulis akan membahas beberapa hal sebagai berikut:
Pembesaran KGB(-),
nyeri tekan (-)
B1
Mallampati score : III,
Breathing: Thorax
simetris, ikut gerak- Hipoksia dan- Menjaga kesimbangan antara
napas, pernapasan Hiperkarbia O2 dan CO2 dengan
thorakoabdominal. - memberikan O2 tinggi,
- Takipneu hiperventilasi, dan volume
RR: 20x/mnit, palpasi tidal yang tidak terlalu besar.
vocal fremitus D=S, - Monitoring tanda-tanda vital
perkusi :sonor, SN:
vesikuler +/+, rhonki -/-,
wheezing -/-
riwayat kejang(-),
pingsan (-)
Selama preoperatif pasien diberikan cairan isotonik golongan Kristaloid yaitu Ringer
Laktat yang merupakan cairan resusitasi dan cairan rumatan dan juga gangguan
keseimbangan elektrolit. Cairan ini di distribusikan ke intraseluler. Kebutuhan cairan
preoperatif pasien sebagai pengganti puasa 11 jam sebesar 1254 cc – 1562 cc, aktualnya
input cairan yang diberikan sebelum tindakan operasi sebanyak 500 cc. Pada kasus ini
kebutuhan cairan pasien selama preoperatif belum cukup terpenuhi.
Terapi Cairan post operatif bertujuan untuk menggantikan cairan selama puasa, pada
kasus ini pasien puasa 11 jam Pasca tindakan operatif. Total cairan yang dibutuhkan untuk
menggantikan kehilangan cairan selama 11 jam pada pasien ini sebanyak 1.500 – 1.880 cc
ini merupakan hasil dari kebutuhan maintenence berdasarkan berat badan pasien selama
puasa 11 jam. Aktualnya pada kasus ini pasien diberikan input cairan sebanyak 1500 cc /24
jam post operatif. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan cairan post operatif sudah bisa
terpenuhi.
Setelah operasi, pasien diobservasi di ruang pemulihan, dan dipindahkan ke RG Obsgyn
setelah evaluasi skor ALDERATE > 9.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1) Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosis dengan Mioma Uteri pada P4A0.
2) Untuk tindakan total laparotomi histerektomi pemilihan anestesi umum yaitu, agen
anestesi intravena yang digunakan adalah Propofol dan pemeliharaan anestesi dengan
menggunakan anestesi inhalasi berupa Sevoflurant ini sudah sesuai, yaitu:
- Untuk mengurangi ansietas dan ketidaknyamanan pada pasien akibat insuflasi CO2.
- Untuk pembedahan yang diperkirakan kemungkinan akan memakan waktu yang
lama, karena hemodinamik yang stabil selama anestesi dan waktu pemulihan yang
cepat.
3) Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anestesi umum laparoskopi yaitu: adanya resiko
regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan intraabdominal saat insuflasi;
perlunya ventilasi terkontrol untuk mencegah hiperkapnea, dibutuhkan tekanan
inspirsai yang tinggi secara relatif karena pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot
selama pembedahan karena tekanan insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi
yang lebih baik, dan mencegah pergerakan pasien yang tidak diinginkan.
4) Premedikasi diberikan midazolam untuk sedasi dan pemberian fentanyl serta petidin
untuk analgesia. Obat medikasi tambahan pada pasien ini diberikan ondansetron dan
ranitidin sebagai pencegahan dan pengobatan mual muntah pasca operasi. Sebagai
analgetik post operasi diberikan Metamizole (Antrain).
5) Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA II karena pasien merupakan pasien Mioma
Uteri yang akan menjalani operasi.
6) Resusitasi dan terapi cairan pre-operasiyang diberikan pada pasien ini belum cukup
terpenuhi. Namun untuk durante dan post operasi, resusitasi dan terapi cairan yang
diberikan sudah bisa mencukupi kebutuhan replacement pasien selama operasi dan
setelah operasi.
5.2 Saran
Penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari pre anestesi, tindakan
anestesi hingga observasi post operasi, serta perlu melihat kembali perhitungan dan
kebutuhan cairan harian pasien agar dapat tercukupi.
DAFTAR PUSTAKA