Oleh :
Preseptor :
dr. Hermansyah, Sp.OT(K)
Alhamdulilah, puji dan syukur kehadirat Allah yang Maha Esa karena dengan
nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Grand case yang
berjudul “Congenital Talipesequinovarus” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Bedah RSUP DR. M. Djamil Padang,
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Hermansyah, Sp.OT(K) sebagai
pembimbing dalam penyusunan Grand case ini beserta seluruh jajarannya dan semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan Grand case ini. Penulis menyadari
bahwa Grand case ini jauh dari sempurna, maka dari itu sangat diperlukan saran dan
kritik untuk kesempurnaan Grand case ini. Penulis berharap agar Grand case ini
bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan terutama bagi penulis sendiri dan bagi
teman-teman dokter muda yang tengah menjalani kepaniteraan klinik. Akhir kata,
semoga Grand case ini bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 5
2.2. Epidemiologi...................................................................................................... 7
2.10. Prognosis........................................................................................................ 20
2.1. Definisi
Congenital Talipes Equinovarus atau dikenal dengan clubfoot adalah salah satu
malformasi kongenital yang paling umum dan ditandai dengan berbagai tingkat dan
keparahan kontraktur yang dapat diprediksi yang bermanifestasi dengan empat
komponen utama: cavus midfoot, adductus forefoot, varus tumit/hindfoot dan hindfoot
equinus.4
Congenital talipesequinovarus diperkenalkan oleh Hippocrates sekitar 300 SM.
Dia menggambarkan dua bentuk kaki pengkor yaitu bawaan dan didapat pada masa
bayi. Istilah talipesequinovarus berasal dari bahasa Latin: talus (pergelangan kaki) dan
pes (kaki); equinus: "seperti kuda".5
2.2. Epidemiologi
Angka kejadian CTEV bervariasi terhadap ras dan jenis kelamin. Pada
Caucasian frekuensinya 1,2 dalam 1000 kelahiran, dengan perbandingan
laki-laki : perempuan = 2 : 1.6 Insidensi kejadian dari CTEV di Amerika Serikat adalah
sekitar 1 kasus per 1000 kelahiran hidup, dengan ratio laki-laki : perempuan adalah 2:1.
Insidensi CTEV secara bilateral ditemukan pada 30-50% kasus dan terdapat
kemungkinan 10% dari anak berikutnya jika orangtuanya memiliki CTEV.1 Pada
mereka dengan deformitas unilateral, ada dominasi sisi kanan.7
Di Indonesia, berdasarkan Laporan Surveilans Kelainan Bawaan , presentase
jenis kelainan bawaan pada survey sentinel kelainan bawaan September 2014 hingga
Maret 2018 menunjukkan bahwa Talipes equinovarus menempati urutan pertama yaitu
sebanyak 21,9%. Kemudian diikuti oleh celah orofasial, defek tabung saraf, defek
dinding abdomen, dan atresia ani.8
2.3. Etiologi
Penyebab pasti dari CTEV ini masih belum diketahui. Sebagian besar bayi yang
memiliki CTEV tidak dapat diidentifikasi secara genetik, sindrom gejala, atau
penyebab ekstrinsiknya. Predisposisi yang memungkinkan secara ekstrinsik termasuk
agen teratogenik (misalnya sodium aminopterin) dan oligohidramnion. Sementara itu,
predisposisi yang berhubungan dengan genetic termasuk mendelian inheritance
(misalnya: diastrophic dwarfism, dimana terjadi pola autosomal resesif pada CTEV).1
2.4. Patogenesis
Anatomi pertama kali dijelaskan oleh Scarpa pada tahun 1800 dan kemudian
diverifikasi oleh penulis lain seperti Kite dan Turco. Menurut Scarpa, CTEV adalah
dislokasi sendi talocalcaneonavicular (TCN) bawaan, yang merupakan pandangan
yang diterima saat ini. Sebaliknya, Goldstein percaya bahwa kelainan utama adalah
rotasi ke luar talus pada mortise pergelangan kaki.10
Gambaran klinik clubfoot sangat karakteristik, kaki dan tungkai bawah seperti
tongkat (clublike). Terdapat lekukan yang dalam pada bagian posterior sendi ankle,
kaki bagian tengah dan kaki bagian depan terjadi aduksi, inversi dan aquinus. Dengan
adanya inversi dan aduksi dari kaki bagian depan akan menyebabkan terabanya
benjolan tulang pada subkutis dorsum pedis sisi lateral. 6
Kulit pada sisi cembung (dorsum pedis), tipis, teregang, dan tidak ada lekukan
kulit, malleolus lateralis lebih menonjol dibanding yang medial. Kulit sisi cekung
(daerah medial dan plantar) terdapat cekungan yang dalam. Tulang naviculare
berdekatan langsung dengan malleolus medialis, sehingga pada palpalsi jarak antara
kedua tulang tersebut tidak terdapat sela. Kaki bagian depan dalam posisi equinus dan
jaringan lunak sisi plantar kaki sangat kontraktur. Dapat diraba ligamentum dan kapsul
sendi sisi medial kaki dan sisi posterior sendi ankle memendek dan menebal. Terdapat
juga atrofi dari otot betis dan pemendekan dari kaki. Keadaan equinus ini kaku dan bila
dilakukan manipulasi pasif hanya terkoreksi sedikit. 6
Bila keadaan ini datang terlambat untuk dikoreksi, maka keadaan kontraktur
akan lebih parah dan akan lebih kaku, anak akan berjalan pada sisi kaki lateral dan pada
malleolus lateralis. Anak tersebut bila berjalan akan terasa sakit dan terbentuk bursa
dengan cepat.6
1. Soft foot; dapat disebut juga sebagai postural foot dan dikoreksi dengan
standard casting atau fisioterapi.
2. Soft > Stiff foot; terdapat pada 33% kasus. Biasanya lebih dari 50% kasus dapat
dikoreksi, namun bila lebih dari 7 atau 8 bulan tidak didapatkan koreksi maka
tindakan operatif harus dilakukan.
3. Stiff > Soft foot; terdapat pada 61% kasus. Kurang dari 50% kasus terkoreksi
dan setelah casting dan fisioterapi, kategori ini akan dilakukan tindakan
operatif.
4. Stiff foot; merupakan kategori paling parah, sering kali bilateral dan
memerlukan tindakan koreksi secara operatif.
Sistem klasifikasi Pirani memiliki suatu skala perhitungan yang sederhana,
yang terdiri dari tiga variable pada hindfoot dan tiga pada midfoot. Setiap variable
dapat menerima nilai nol, setengah, dan satu poin.
Clubfoot sering dijumpai selama USG intrauterin rutin janin selama periode
antenatal. Dengan munculnya ultrasound, CTEV sekarang dapat didiagnosis pada usia
kehamilan 18-20 minggu. Namun, ini hanya 80% akurat. Jika diagnosis antenatal
dibuat pada <20 minggu, beberapa penulis telah menyarankan amniosentesis karena
tingginya insiden (14,2%) dari anomali genetik terkait, seperti Trisomi18, sindrom
Larsen, cacat tabung saraf dan cacat jantung bawaan. Mengingat tingginya tingkat
positif palsu dari USG dan risiko terkait kehilangan janin dengan amniosentesis, ini
belum diterima sebagai standar perawatan di Amerika Serikat.10
Pemeriksaan Radiologi
Tidak ada metode penilaian yang memuaskan oleh dokter pada awal
deformitas. Barwell (1896) memperkenalkan radiografi polos untuk menilai status
yang tepat dari kaki pengkor. Namun, saat lahir, pemeriksaan klinis lebih informatif
daripada radiografi. Tulang tarsal tampak seperti ossicles berbentuk bola kecil. Dengan
demikian, film radiografi polos tidak membantu untuk mengevaluasi bentuk dan
orientasi tarsal. Setelah tiga atau empat bulan terjadi osifikasi tulang tarsal dan terlihat
dengan pemeriksaan radiologis. Jadi tidak ada konsensus tentang nilai radiografi dalam
pengelolaan rutin kaki pengkor kongenital.5
Gambar 2.2 Gambaran dari CTEV
Sinar-X tidak dilakukan secara rutin saat lahir karena hanya sedikit tulang di
kaki yang mengalami pengerasan. Namun, jika seseorang mencurigai etiologi
teratologis, maka ia harus segera memesan sinar-X untuk mendokumentasikan hal yang
sama. Sinar-X, jika dilakukan sama sekali, diambil pada usia tiga sampai empat
bulan.20 Dua pandangan yang digunakan adalah AP dan lateral dalam dorsofleksi stres.
Sudut yang diukur pada AP view adalah sudut talocalcaneal (normal 30-50 derajat) dan
sudut talo-first metatarsal (normal 0-10 derajat). Sudut yang diukur pada pandangan
lateral adalah sudut talokalkaneal (normal 30-50 derajat) dan sudut tibiokalkaneus (10-
20 derajat). Di kaki pengkor, semua sudut ini berkurang.10
2.8. Tatalaksana
Metode Ponseti merupakan pilihan yang digunakan untuk bayi dengan CTEV
pada banyak senter di seluruh dunia karena metode ini merupakan terapi non invasif.
CTEV yang diterapi dengan metode Ponseti memiliki keluaran mobilitas dan
fungsional yang baik. Metode terapi ini diutamakan pada bayi sampai usia <2 tahun
untuk mencegah kelemahan jaringan ikat dan potensi dalam remodeling tulang
diharapkan bisa maksimal.11
Pada anak berusia >2 tahun koreksi masih dapat dicapai dengan modifikasi
minor menggunakan teknik terapi ini. Walaupun koreksi komplit tidak tercapai
namun setidaknya dapat membantu dalam mengurangi luas area operasi kelak dan me
nurunkan komplikasi infeksi atau luka sesudah operasi. Sampai saat ini tidak
diketahui batasan usia maksimal untuk melakukan terapi ini.11
Keparahan deformitas dievaluasi menggunakan klasifikasi Dimeglio pada
presentasi klinis awal. Sebelumnya diperlukan foto radiologik posisi anteroposterior
(AP) kaki dalam posisi abduksi dan posisi lateral kaki dalam posisi dorsofleksi
maksimal dan fleksi plantar.12 Terapi deformitas terdiri dari manipulasi ringan pada
kaki dan serial casting dengan maksimal 10 kali menggunakan long-leg cast setiap
minggunya. Selama masa ini, akan didapatkan hasil jelas jika tatalaksana non-operatif
akan berhasil atau tidak dan membutuhkan tatalaksana secara operatif.12,13
Gambar 2.3 Metode Ponseti dan Foot Abduction Brace (FAB) tipe Dennis-Brown.
Sumber: Manisha R, Priyanka K, 2017 14
Setelah selesai serial cast, dibutuhkan follow-up dengan pemeriksaan radiologik
kaki untuk melihat hasil koreksi. Jika koreksi telah dicapai, maka dilakukan pemasang-
an tipe ortosis abduksi Dennis-Brown (Gambar 2.3). Namun, jika pada follow-up belum
terlihat perubahan bermakna, maka perlu dilakukan tenotomi tendon Achilles pada usia
6 sampai 12 bulan setelah lahir.14
Selain metode Ponseti, dapat juga dilakukan terapi fisik metode French yang
terdiri atas manipulasi harian, stimulasi otot-otot kaki untuk mempertahankan kekuatan
kaki saat manipulasi pasif, dan imobilisasi temporer kaki menggunakan strapping adesi
elastik maupun non-elastik. Terapi biasanya dilakukan sekitar 2 bulan dan kemudian
frekuensinya dikurangi secara perlahan dan bertahap. Perbaikan biasanya terjadi pada
3 bulan pertama, meskipun capaian menggunakan terapi ini lebih lama dari metode
Ponseti.14 Metode French ini dilakukan oleh ahli terapis dan dimulai sejak jam-jam
pertama setelah bayi lahir dengan melakukan koreksi secara perlahan dan bertahap dan
dilakukan sesuai prinsip Scarpa: saat melakukan manipulasi, bayi harus dalam keadaan
rileks. Pada saat bayi lahir, hanya 35% tulang kaki yang berosifikasi dan tulang masih
seperti kartilago yang fleksibel.15
Salah satu terapi tambahan masa postnatal dalam tatalaksana CTEV ialah
dengan injeksi BOTOX (BTX). Onabotulinumtoxin A berasal dari derivat Clostridum
botulinum tipe A atau botulinum toxin (BTX). Injeksi BTX dapat menginhibisi
pelepasan asetilkolin ke celah neuromuskular sehingga secara parsial memberikan
efek denervasi serat otot dan menyebabkan paralisis otot yang terlokalisasi. Indikasi
pada kelompok pediatrik untuk injeksi BTX ini telah berkembang dan masuk dalam
tatalaksana kelainan kondisi otot skeletal.17
Injeksi BTX untuk terapi CTEV diberikan satu atau kombinasi pada kelom- pok
otot berikut: m. gastrocnemius, m. soleus, m. tibialis posterior, dan m. adductor
halluces longus. Onabotulinumtoxin A diberikan dengan diencerkan pada larutan
salin yaitu 100 U/1 mL, sehingga menjadi larutan konsentrasi 10 U/0,1 mL. Kuantitas
untuk injeksi BTX ditentukan menurut berat badan pasien, dimana dosis 10 U/kgBB
dengan dosis maksimal 300 U untuk sekali injeksi. Pada pasien CTEV bilateral, maka
dosis yang dihitung dibagi dua untuk dua ekstremitas. Efek samping yang pernah
dilaporkan setelah penggunaan Onabotulinumtoxin A pada pasien CTEV ialah infeksi
viral, infeksi telinga, kesadaran somnolen, gangguan gait, parestesia, ruam, mialgia,
kelemahan otot, nyeri pada ekstremitas, inkontinensia urin, malaise, nyeri pada
daerah injeksi, dan astenia.17
2.9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dibagi atas komplikasi non operatif dan operatif.
Pada komplikasi non-operatif dapat ditemukan flat top talus, rocker bottom, dorsal
bunion, distal tibiofibular bowing, fraktur, dan luka akibat tekanan. Flat top talus
diduga terjadi secara iatrogenik, namun durasi dari manipulasi dan pemasangan
casting lebih dari 3 bulan dapat juga menyebabkan kelainan ini. Perlu diketahui
bahwa deformitas ini sebenarnya sudah terdapat sejak lahir. Flat top talus dapat
disalah-diagnosis karena posisi x-ray lateral pasien CTEV sering memperlihatkan
talus pada posisi proyeksi oblik, sehingga menunjukkan gambaran flat talar dome.18,19
Beberapa fraktur yang dapat terjadi ialah: 1) Kompresi metafiseal, yang diduga
disebabkan oleh kompresi anterior pada metafisis tibia dan fibula bagian distal
ditambah dengan dorsifleksi paksa pada kaki; 2) Distal tibial metaphyseal spur,
disebabkan karena adanya infark piring epifiseal. Lokasinya mengindikasikan aki- bat
dorsifleksi paksa; 3) Fraktur torus pada metafisis distal tibia, yang terjadi di antara
piring epifiseal dengan penyebab diduga akibat dorsofleksi paksa; 4) Faktur fibula
distal, yang disebabkan karena adanya eversi paksa atau dorsifleksi paksa. Luka
akibat tekanan kadang-kadang muncul akibat tekanan yang diberikan pada bagian
superfisial.18
Komplikasi operatif dapat berupa overcorrection, nonunion of triple arthro-
deses, slough atau jaringan nekrotik, dan infeksi luka. Pasien dengan overcorrected
biasanya datang beberapa tahun setelah operasi. Gejala onset akut yang muncul ialah
simtomatik dan biasanya berhubungan dengan trauma minor sehingga pasien dapat
mengeluhkan sprain. Sampai usia dewasa muda, gejala yang muncul ialah kekakuan
yang sering terjadi sekitar deformitas sehingga membatasi aktivitas. Hal ini
menyebabkan ketidaknyamanan dan kesu- litan pasien dalam memakai sepatu.19
Nonunion of triple arthrodesis merupakan kasus non-union tulang pada pasca
operasi yang dapat dihindari dengan teknik operasi yang baik. Slough atau jaringan
nekrotik pada bagian anterior sendi pergelangan kaki yang terjadi akibat kesalahan
dalam peng- aplikasian plaster setelah operasi, dimana plester menumpuk pada
bagian anterior pergelangan kaki dan akan terjadi pene- kanan pada daerah tersebut.
Infeksi luka jarang terjadi, hanya sebesar <1% setelah operasi.18
Pasca operasi dapat terjadi rekurensi dan masalah perkembangan motorik kasar.
Kaki memiliki struktur anatomi dan biomekanik yang kuat dan terdiri atas tulang
dan terhubung dengan struktur jaringan lunak. Bila dilakukan kesalahan dalam pro-
ses terapi koreksi, maka kemungkinan besar akan terjadi rekurensi deformitas kelak.
Rekurensi deformitas ditandai dengan metatarsus adduktus, abduksi kaki, kehilangan
kemampuan dorsifleksi dan supinasi dina- mis yang nampak pada gait analysis
ketika pasien mulai berjalan. Mengenai masalah perkembangan motorik kasar,
seiring bertambahnya usia pasien, analisis gait menunjukkan bahwa bahkan setelah
terapi deformitas CTEV dan pasien sudah berada pada keadaan plantigrade foot
yang secara fungsional bisa sempurna dalam berjalan seperti kaki normal, namun
saja tetap masih didapatkan berbeda bila dibandingkan dengan kaki normal
seusianya.21
2.10. Prognosis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat rigiditas
deformitas atau nilai Dimeglio 16-20, dapat menyebabkan peningkatan risiko
rekurensi setelah proses terapi koreksi pertama, namun dengan terapi ulang
menggunakan metode Ponseti pasien masih dapat berespon terhadap terapi.22
Kejadian CTEV bilateral mening- katkan prognosis buruk dibandingkan hanya
unilateral. Pasien pada kategori Dimeglio yang berat berhubungan dengan kualitas
kegagalan terapi; oleh karena itu kebutuhan terapi yang sedini mungkin sangat
diperlukan karena berhubungan dengan angka keberhasilan yang tinggi.23
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2. Anamnesis
Keluhan Utama:
- Pasien datang dengan keluhan bentuk kaki yang tidak normal
Riwayat Kehamilan
- Pasien merupakan anak pertama
- Lahir cukup bulan dan persalinan ditolong oleh bidan
- Ibu rutin kontrol kehamilan
- Tidak ada riwayat demam saat hamil
- Tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan saat hamil
- Tidak ada riwayat oligohidramnion
Status Internus
Rambut : Hitam kecoklatan, tidak mudah dicabut
Kulit : Teraba hangat, turgor kulit baik
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : Tidak ada kelainan
Hidung : Tidak ada kelainan
Gigi dan Mulut : Tidak ada kelainan
Leher : Tidak ada kelainan
Thoraks
Paru :
● Inspeksi : Pengembangan dada simetris kiri dan kanan
● Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan
● Perkusi : Sonor kiri dan kanan
● Auskultasi : bunyi napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung:
● Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
● Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial linea midklavikula kiri RIC V
● Perkusi : Batas jantung normal
● Auskultasi : S1 = S2, murmur (-), Gallop (-)
Abdomen:
● Inspeksi : Distensi (-)
● Auskultasi : Bising usus (+)
● Palpasi : Perabaan supel, massa (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
● Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Status Lokalis
Genitalia : Tidak ditemukan adanya kelainan
Status Lokalis:
- Cruris Dextra
o Look : Terpasang gips/casting. Saat dilepas terlihat kaki
equinus, midfoot cavus (melengkung)
o Feel : Neurovaskular distal baik
o Move : ROM terbatas
- Cruris Sinistra
o Look : Terpasang gips/casting. Saat dilepas terlihat kaki
equinus, midfoot cavus (melengkung)
o Feel : Neurovaskular distal baik
o Move : ROM terbatas
Gambar 3.5 Kaki tampak depan setelag dilakukan pemasangan application casting
3.4. Diagnosis Kerja
CTEV Bilateral
- Hb : 13,3 gr/dl
- Leukosit : 7190/mm3
- Trombosit : 324.000/mm3
- Ht : 41%
- Ureum : 21 mg/dl
- Kreatinin : 0,6 mg/dl
- Albumin : 4,6 mg/dl
- PT : 10,8 detik
- APTT : 29,4 detik
- Na : 133 mEq/L
- K : 3,3 mEq/L
- Cl : 93 mEq/L
- SGOT : 24 µ/L
- SGPT : 8 µ/L
3.6. Diagnosis
Post Release Posterior CTEV bilateral + Application casting
3.7. Tatalaksana
Lanjutkan pemasangan gips/ application casting
3.8. Prognosis
● Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
● Quo ad functionam : Dubia ad Bonam
● Quo ad sanactionam : Dubia ad Bonam
BAB IV
DISKUSI
Telah datang seorang pasien anak laki-laki berusia 8 tahun yang dibawa oleh
Ibunya ke poliklinik RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan keluhan kaki anak yang
tampak tidak normal sejak lahir. Hal ini baru diketahui saat anak lahir dimana kaki
anak tampak membengkok ke dalam. Saat USG kehamilan rutin, tidak tampak adanya
kelainan ini. Pasien pertama kali dibawa ke tukang urut saat usia 5 bulan. Selama
kurang lebih 3 bulan diurut, tidak ada perbaikan pada kaki pasien, sehingga orang tua
pasien memutuskan untuk membawa pasien ke dokter spesialis orthopedi di Padang.
Pada awalnya, saat pertama kali dibawa ke dokter spesialis orthopedi, pada
pasien dilakukan pemasangan serial casting selama 3 bulan. Setelah itu dilakukan
operasi pemotongan tendon achiles dan disambung kembali dimana diharapkan terjadi
pemanjangan dari tendon achiles tersebut dan dapat memperbaiki kelainan bentuk kaki
pasien. Setelah itu dilakukan pemasangan sepatu dennis brown, dimana sepatu ini
dirancang khusus untuk pasien CTEV. Pada pasien sepatu ini digunakan hanya
sebentar karena anak yang mengeluh kakinya sakit dan orang tua memutuskan untuk
menghentikan penggunaan sepatu tersebut.
Pada usia satu tahun, anak sudah bisa berjalan. Namun, cara berjalannya masih
tetap belum normal. Hal ini tetap dibiarkan sampai usia anak 8 tahun dan bentuk kaki
kembali membengkok lagi. Hal ini dikarenakan tidak selesainya terapi dengan sepatu
dennis brown sehingga hasil terapinya tidak maksimal. Namun, terdapat banyak faktor
yang mempengaruhi kembalinya keadaan ini, salah satunya yaitu faktor mekanik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalisata anak dalam batas normal.
Status lokalis pada regio cruris didapatkan pada regio cruris dextra dan sinistra
terpasang gips/ application casting. Saat dilakukan perabaan, didapatkan neurovaskular
distal pada kaki kiri dan kanan baik. Saat gips dibuka, terlihat bentuk kaki anak yang
telihat equinus, midfoot yang cavus, dan forefoot yang adduktus. Terlihat adanya bekas
operasi pada kaki bagian dalam karena memang sudah dilakukan operasi pada saat usia
anak 11 bulan.
Pada anamnesis dapat disimpulkan bahwa kelainan pasien ini merupakan suatu
kelainan kongenital yaitu kelainan yang sudah ada sejak pasien lahir. Dimana kelainan
ini belum diketahui secara pasti apa penyebabnya. Akan tetapi, terdapat beberapa
faktor risiko yang dapat menyebabkan kelainan ini seperti oligohidramnion, merokok,
usia orang tua, pendidikan orang tua, paritas, kecemasan atau depresi ibu, penggunaan
alkohol, dan musim kelahiran. Saat anamnesis, tidak ditemukan adanya faktor risiko
seperti yang disebutkan di atas. Selama kehamilan, ibu sehat dan tidak ada riwayat
mengonsumsi obat-obatan, juga tidak ada riwayat oligohidramnion. Pada pasien juga
tidak ada keluarga dengan riwayat penyakit serupa.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diketahui bahwa anak ini
menderita Congenital Talipesequinovarus karena adanya abnormalitas bentuk kaki
anak yang sudah ditemukan sejak anak ini lahir yang ditandai dengan forefoot
(Metatarsal dan Phalang) yang adduksi dan supinasi, midfoot (Navikular, Cuboid, dan
Cuneiforms) yang cavus atau sangat melengkung, serta hindfoot (Talus dan Kalkaneus)
yang equinus (Plantar fleksi) dan varus.
Penatalaksaan untuk kasus ini dimulai dengan penatalaksanaan nonoperatif
yaitu pemasangan casting dimulai sejak minggu pertama hingga kedua setelah lahir
sampai usia anak 10 minggu, dan masih memungkinkan sampai usia anak 9 bulan. Pada
anak ini, pemasangan gips dimulai sejak usia 8 bulan. Dengan penatalaksanaan
konservatif sedini mungkin, hasil yang baik akan didapatkan saat anak diterapi di klinik
khusus yang memiliki dokter orthopedi, staf perawat, dan fisioterapis untuk melakukan
supervisi pada perawatan pasien ini. Pada pasien ini sudah dilakukan operasi yaitu
relase posterior CTEV Bilateral dimana dilakukan insisi pada posterior ankle kiri dan
kanan, mengindentifikasi tendon achiles, dan dilakukan tenotomy. Kemudian, pada
pasien dipasang application casting kembali sampai bentuk kaki normal. Application
casting ini bertujuan untuk mempertahankan keadaan imobilisasi dan juga
mempertahankan agar tendon yang dilakukan pemanjangan saat tenotomy bisa
memberikan hasil yang maksimal.
BAB V
KESIMPULAN
Penatalaksanaan CTEV meliputi dua aspek, yaitu non operatif dan operatif.
Para ahli setuju bahwa terapi non operatif haruslah menjadi pilihan utama terapi.
Metode Ponseti dan French method telah banyak digunakan di berbagai belahan dunia
dan memiliki hasil akhir yang memuaskan. Tindakan operatif diperlukan hanya bila
terapi non operatif gagal, hal ini dikarenakan komplikasi jangka panjang yang lebih
buruk dibandingkan terapi non operatif.
DAFTAR PUSTAKA
21. Sayit E, Uruc V. The treatment of clubfoot with the Ponseti method: a systematic
review. J Clin Anal Med. 2014;5(3): 400-4. DOI: 10.4328/JCAM.2791
22. Varacallo M, Aiyer A. Metatarsalgia in meta- tarsus adductus patients. Foot Ankle
Clin.2019;24(4):657-67. DOI:10.1016/j.fcl.2019.08.002
23. El Batti S, Solla F, Clément J-L, Rosello O, Oborocianu I, Chau E, et al. Initial
treatment of congenital idiopathic club- foot: prognostic factors. Orthop Traumatol
Surg Res. 2016;102(8):1081- 5. DOI:10.1016/j.otsr.2016.07.012