Anda di halaman 1dari 33

Grand Case

CONGENITAL TALIPES EQUINOVARUS

Oleh :

Fitrahul Afifah 1710311032


Luqmanul Hakim 2040312120

Preseptor :
dr. Hermansyah, Sp.OT(K)

BAGIAN ILMU BEDAH


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, puji dan syukur kehadirat Allah yang Maha Esa karena dengan
nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Grand case yang
berjudul “Congenital Talipesequinovarus” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Bedah RSUP DR. M. Djamil Padang,
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Hermansyah, Sp.OT(K) sebagai
pembimbing dalam penyusunan Grand case ini beserta seluruh jajarannya dan semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan Grand case ini. Penulis menyadari
bahwa Grand case ini jauh dari sempurna, maka dari itu sangat diperlukan saran dan
kritik untuk kesempurnaan Grand case ini. Penulis berharap agar Grand case ini
bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan terutama bagi penulis sendiri dan bagi
teman-teman dokter muda yang tengah menjalani kepaniteraan klinik. Akhir kata,
semoga Grand case ini bermanfaat bagi kita semua.

Padang, Agustus 2021

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 5

1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 5

1.2. Tujuan Penulisan ............................................................................................... 6

1.3. Metode Penulisan............................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 7

2.1. Definisi .............................................................................................................. 7

2.2. Epidemiologi...................................................................................................... 7

2.3. Etiologi .............................................................................................................. 8

2.4. Patogenesis ........................................................................................................ 8

2.5. Manifestasi Klinis .............................................................................................. 9

2.6. Klasifikasi ........................................................................................................ 11

2.7. Diagnosis ......................................................................................................... 13

2.8. Tatalaksana ...................................................................................................... 14

2.9. Komplikasi ....................................................................................................... 18

2.10. Prognosis........................................................................................................ 20

BAB III LAPORAN KASUS ..................................................................................... 21

3.1. IDENTITAS PASIEN ..................................................................................... 21

3.2. ANAMNESIS .................................................................................................. 21

3.3. PEMERIKSAAN FISIK .................................................................................. 22

3.4. DIAGNOSIS KERJA ...................................................................................... 27

3.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG .................................................................... 27

3.6. DIAGNOSIS .................................................................................................... 27


3.7. TATALAKSANA............................................................................................ 27

3.8. PROGNOSIS ................................................................................................... 27

BAB IV DISKUSI ...................................................................................................... 28

BAB V KESIMPULAN ............................................................................................. 30

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 31


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) adalah suatu kondisi kelainan
kongenital pada pergelangan kaki dengan manifestasi pergelangan kaki yang menjadi
hiperekstensi sehingga memungkinkan terjadinya perubahan struktur muskuloskeletal
apabila tidak segera dilakukan koreksi.1
Kelainan ini mudah didiagnosis tetapi sulit dikoreksi sempurna. Insidennya dua
per seribu kelahiran hidup, dengan setengahnya terjadi secara bilateral. Rasio penderita
laki-laki dan perempuan adalah 2 berbanding 1. Penyebab penyakit ini masih belum
diketahui secara pasti. Faktor genetik berperan dalam 10% kasus, tapi sisanya
merupakan kelainan yang timbul pertama kali dalam silsilah keluarga. Deformitas ini
diketahui timbul pada usia dini perkembangan embrio pada saat kaki pertama kali
terbentuk.2
Kelainan bawaan ini merupakan gabungan beberapa kelianan, antara lain
adduksi dan supinasi kaki pada sendi tarso-metatarsal, posisi varus kalkaneus pada
sendi subtalar, kedudukan ekuinus pada sendi pergelangan kaki, dan deviasi ke arah
medial seluruh kaki terhadap lutut yang disebabkan oleh angulasi leher talus dan torsi
tibia ke arah dalam. Tingkatannya dapat ringan, sedang, atau berat, bergantujg pada
kekakuan dan tahanannya. Otot pada bagian posterior dan medial kaki, terutama otot
gastreknemius dan otot tibialis posterior memendek, dan sendi pun turut menebal dan
memendek pada sisi konkaf kelainan ini.2
Semua pasien dengan deformitas talipes ekuinovarus harus diberi terapi
percobaan nonoperatif. Sekitar 30 sampai 50 persen deformitas ini akan membaik jika
manipulasi awal dan terapi plaster dimulai dan dilakukan secara dini. Pemasangan gips
harus dimulai secepat mungkin setelah lahir, dan gips harus diganti setiap satu sampai
dua minggu. Untuk kaki yang tidak berespon setelah tiga sampai empat bulan seri
percobaan manipulasi dan pemasangan gips yang diikuti program pembidaian,
intervensi bedah harus dipertimbangkan.3
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami tentang definisi,
epidemiologi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan manifestasi klinis, klasifikasi,
penatalaksanaan, komplikasi, serta prognosis CTEV.

1.3. Metode Penulisan


Penulisan makalah ini menggunakan metode penulisan tinjauan pustaka yang
merujuk pada berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Congenital Talipes Equinovarus atau dikenal dengan clubfoot adalah salah satu
malformasi kongenital yang paling umum dan ditandai dengan berbagai tingkat dan
keparahan kontraktur yang dapat diprediksi yang bermanifestasi dengan empat
komponen utama: cavus midfoot, adductus forefoot, varus tumit/hindfoot dan hindfoot
equinus.4
Congenital talipesequinovarus diperkenalkan oleh Hippocrates sekitar 300 SM.
Dia menggambarkan dua bentuk kaki pengkor yaitu bawaan dan didapat pada masa
bayi. Istilah talipesequinovarus berasal dari bahasa Latin: talus (pergelangan kaki) dan
pes (kaki); equinus: "seperti kuda".5

2.2. Epidemiologi

Angka kejadian CTEV bervariasi terhadap ras dan jenis kelamin. Pada
Caucasian frekuensinya 1,2 dalam 1000 kelahiran, dengan perbandingan
laki-laki : perempuan = 2 : 1.6 Insidensi kejadian dari CTEV di Amerika Serikat adalah
sekitar 1 kasus per 1000 kelahiran hidup, dengan ratio laki-laki : perempuan adalah 2:1.
Insidensi CTEV secara bilateral ditemukan pada 30-50% kasus dan terdapat
kemungkinan 10% dari anak berikutnya jika orangtuanya memiliki CTEV.1 Pada
mereka dengan deformitas unilateral, ada dominasi sisi kanan.7
Di Indonesia, berdasarkan Laporan Surveilans Kelainan Bawaan , presentase
jenis kelainan bawaan pada survey sentinel kelainan bawaan September 2014 hingga
Maret 2018 menunjukkan bahwa Talipes equinovarus menempati urutan pertama yaitu
sebanyak 21,9%. Kemudian diikuti oleh celah orofasial, defek tabung saraf, defek
dinding abdomen, dan atresia ani.8
2.3. Etiologi

Penyebab pasti dari CTEV ini masih belum diketahui. Sebagian besar bayi yang
memiliki CTEV tidak dapat diidentifikasi secara genetik, sindrom gejala, atau
penyebab ekstrinsiknya. Predisposisi yang memungkinkan secara ekstrinsik termasuk
agen teratogenik (misalnya sodium aminopterin) dan oligohidramnion. Sementara itu,
predisposisi yang berhubungan dengan genetic termasuk mendelian inheritance
(misalnya: diastrophic dwarfism, dimana terjadi pola autosomal resesif pada CTEV).1

CTEV secara historis dikaitkan dengan beberapa faktor risiko yaitu,


oligohidramnion, merokok, usia orang tua, pendidikan orang tua, paritas, kecemasan
atau depresi ibu, penggunaan alkohol, dan musim kelahiran. Sebuah studi epidemiologi
sebelumnya berdasarkan perbedaan prevalensi di komunitas yang berbeda
menunjukkan bahwa faktor lingkungan memiliki peran dalam patogenesis.9

2.4. Patogenesis

Anatomi pertama kali dijelaskan oleh Scarpa pada tahun 1800 dan kemudian
diverifikasi oleh penulis lain seperti Kite dan Turco. Menurut Scarpa, CTEV adalah
dislokasi sendi talocalcaneonavicular (TCN) bawaan, yang merupakan pandangan
yang diterima saat ini. Sebaliknya, Goldstein percaya bahwa kelainan utama adalah
rotasi ke luar talus pada mortise pergelangan kaki.10

Congenital Talipesequinovarus ditandai dengan equinus, varus, adductus dan


cavus. Deformitas equinus hadir pada sendi pergelangan kaki, sendi TCN dan kaki
depan. Pada komponen varus, kaki belakang diputar ke dalam dan ini terjadi terutama
pada sendi TCN. Seluruh tarsus, kecuali talus, diputar ke dalam sehubungan dengan
kaki bagian bawah. Karena kaki depan mengikuti kaki belakang, batas medial kaki
depan menghadap ke atas. Deformitas adductus terjadi pada talonavicular dan sendi
subtalar anterior. Komponen cavus melibatkan fleksi plantar kaki depan, yang
berkontribusi pada equinus komposit.10
Patologi tulang individu berkontribusi pada deformitas CTEV. Kelainan
multipel talus meliputi pelebaran bagian anterior troklea, peningkatan deviasi medial
leher, pemendekan leher, tidak adanya konstriksi normal leher dan pendataran kepala
talar. Selain itu, permukaan inferior talus dicirikan oleh hipoplasia pada faset cekung
posterior dan ketiga sisi plantar kepala tampak sebagai satu massa. Kalkaneus terlibat
dalam semua komponen deformitas dan sangat normal kecuali tiga segi pada
permukaan dorsal diratakan dan sustentaculum tali hipoplastik. Navicular bergeser ke
medial dan cekungan proksimalnya diratakan karena tidak pernah diartikulasikan
dengan talus.6 Kubus bergerak ke medial dengan ujung anterior talus. kalkaneus dan
ini menyebabkan konveksitas lateral kaki.10

Dislokasi sendi TCN dengan kontraktur jaringan lunak di sekitar pergelangan


kaki dan sendi TCN yang mempertahankan deformitas ini. Kontraktur ini melibatkan
otot, tendon, selubung tendon, ligamen, dan kapsul sendi. Kontraktur dibagi menjadi
empat kelompok: posterior, plantar medial, subtalar dan plantar. Kontraktur posterior
termasuk tendo Achilles, kapsul tibiotalar, kapsul talocalcaneal, ligamen talofibular
posterior dan ligamen calcaneofibular. Kontraktur plantar medial melibatkan kapsul
talonavicular, ligamen deltoid, tendon tibialis posterior dan ligamen pegas. Kontraktur
subtalar termasuk ligamen interosseus talokalkanealis dan ligamen Y bercabang dua.
Kontraktur plantar adalah abductor hallucis, plantar fascia, dan fleksor jari kaki
intrinsik.10

2.5. Manifestasi Klinis

Gambaran klinik clubfoot sangat karakteristik, kaki dan tungkai bawah seperti
tongkat (clublike). Terdapat lekukan yang dalam pada bagian posterior sendi ankle,
kaki bagian tengah dan kaki bagian depan terjadi aduksi, inversi dan aquinus. Dengan
adanya inversi dan aduksi dari kaki bagian depan akan menyebabkan terabanya
benjolan tulang pada subkutis dorsum pedis sisi lateral. 6
Kulit pada sisi cembung (dorsum pedis), tipis, teregang, dan tidak ada lekukan
kulit, malleolus lateralis lebih menonjol dibanding yang medial. Kulit sisi cekung
(daerah medial dan plantar) terdapat cekungan yang dalam. Tulang naviculare
berdekatan langsung dengan malleolus medialis, sehingga pada palpalsi jarak antara
kedua tulang tersebut tidak terdapat sela. Kaki bagian depan dalam posisi equinus dan
jaringan lunak sisi plantar kaki sangat kontraktur. Dapat diraba ligamentum dan kapsul
sendi sisi medial kaki dan sisi posterior sendi ankle memendek dan menebal. Terdapat
juga atrofi dari otot betis dan pemendekan dari kaki. Keadaan equinus ini kaku dan bila
dilakukan manipulasi pasif hanya terkoreksi sedikit. 6

Bila keadaan ini datang terlambat untuk dikoreksi, maka keadaan kontraktur
akan lebih parah dan akan lebih kaku, anak akan berjalan pada sisi kaki lateral dan pada
malleolus lateralis. Anak tersebut bila berjalan akan terasa sakit dan terbentuk bursa
dengan cepat.6

Gambaran struktur anatomis yanag terjadi pada musculoskeletal adalah sebagai


berikut.1

1. Tibia mengalami sedikti pemendekan.


2. Fibula memendek merupakan gambaran yang lazim terjadi.
3. Talus: mengalami rotasi eksternal, leher talus tertetuk secara medial plantar.
4. Kalkaneus: rotasi medial dan deformitas adduksi.
5. Kaki depan: mengalami adduksi dan supinasi.
6. Pada otot-otot kaki mengalami atrofi otot.
7. Tendon mengalami penebalan terutama dari posterior tibialis dan selubung
peroneal.
8. Ligamen mengalami kontraktur ke dalam.
9. Fasia mengalami plantar kontraktur.
Gambar 2.1 Congenital Talipes Equinovarus
2.6. Klasifikasi

Congenital Talipesequinovarus dahulunya diklasifikasikan menjadi ringan,


sedang dan berat, tetapi ini dianggap terlalu subjektif. Sistem klasifikasi yang diterima
di seluruh dunia adalah sistem klasifikasi Dimeglio et aldan sistem klasifikasi Pirani.10

Dimeglio pada tahun 1991 membagi CTEV menjadi empat kategori


berdasarkan pergerakan sendi dan kemampuan untuk mereduksi deformitas.5

1. Soft foot; dapat disebut juga sebagai postural foot dan dikoreksi dengan
standard casting atau fisioterapi.
2. Soft > Stiff foot; terdapat pada 33% kasus. Biasanya lebih dari 50% kasus dapat
dikoreksi, namun bila lebih dari 7 atau 8 bulan tidak didapatkan koreksi maka
tindakan operatif harus dilakukan.
3. Stiff > Soft foot; terdapat pada 61% kasus. Kurang dari 50% kasus terkoreksi
dan setelah casting dan fisioterapi, kategori ini akan dilakukan tindakan
operatif.
4. Stiff foot; merupakan kategori paling parah, sering kali bilateral dan
memerlukan tindakan koreksi secara operatif.
Sistem klasifikasi Pirani memiliki suatu skala perhitungan yang sederhana,
yang terdiri dari tiga variable pada hindfoot dan tiga pada midfoot. Setiap variable
dapat menerima nilai nol, setengah, dan satu poin.

Gambar 2.2 Parameter Pirani

Gambar 2.3 Sistem Klasifikasi Pirani


2.7. Diagnosis

Clubfoot sering dijumpai selama USG intrauterin rutin janin selama periode
antenatal. Dengan munculnya ultrasound, CTEV sekarang dapat didiagnosis pada usia
kehamilan 18-20 minggu. Namun, ini hanya 80% akurat. Jika diagnosis antenatal
dibuat pada <20 minggu, beberapa penulis telah menyarankan amniosentesis karena
tingginya insiden (14,2%) dari anomali genetik terkait, seperti Trisomi18, sindrom
Larsen, cacat tabung saraf dan cacat jantung bawaan. Mengingat tingginya tingkat
positif palsu dari USG dan risiko terkait kehilangan janin dengan amniosentesis, ini
belum diterima sebagai standar perawatan di Amerika Serikat.10

Namun, di negara-negara tanpa program skrining ultrasonografi prenatal,


identifikasi awal biasanya akan terjadi saat lahir atau selama skrining bayi baru lahir.
Selama pemeriksaan kaki, ada deformitas khas yang terkait dengan CTEV. Ini
termasuk cavus midfoot, adductus forefoot, varus hindfoot serta hindfoot equinus.
Deformitas ini dapat bervariasi relatif terhadap tingkat deformitas dan kekakuannya.4

Pemeriksaan Radiologi

Tidak ada metode penilaian yang memuaskan oleh dokter pada awal
deformitas. Barwell (1896) memperkenalkan radiografi polos untuk menilai status
yang tepat dari kaki pengkor. Namun, saat lahir, pemeriksaan klinis lebih informatif
daripada radiografi. Tulang tarsal tampak seperti ossicles berbentuk bola kecil. Dengan
demikian, film radiografi polos tidak membantu untuk mengevaluasi bentuk dan
orientasi tarsal. Setelah tiga atau empat bulan terjadi osifikasi tulang tarsal dan terlihat
dengan pemeriksaan radiologis. Jadi tidak ada konsensus tentang nilai radiografi dalam
pengelolaan rutin kaki pengkor kongenital.5
Gambar 2.2 Gambaran dari CTEV

Sinar-X tidak dilakukan secara rutin saat lahir karena hanya sedikit tulang di
kaki yang mengalami pengerasan. Namun, jika seseorang mencurigai etiologi
teratologis, maka ia harus segera memesan sinar-X untuk mendokumentasikan hal yang
sama. Sinar-X, jika dilakukan sama sekali, diambil pada usia tiga sampai empat
bulan.20 Dua pandangan yang digunakan adalah AP dan lateral dalam dorsofleksi stres.
Sudut yang diukur pada AP view adalah sudut talocalcaneal (normal 30-50 derajat) dan
sudut talo-first metatarsal (normal 0-10 derajat). Sudut yang diukur pada pandangan
lateral adalah sudut talokalkaneal (normal 30-50 derajat) dan sudut tibiokalkaneus (10-
20 derajat). Di kaki pengkor, semua sudut ini berkurang.10

2.8. Tatalaksana

Metode Ponseti merupakan pilihan yang digunakan untuk bayi dengan CTEV
pada banyak senter di seluruh dunia karena metode ini merupakan terapi non invasif.
CTEV yang diterapi dengan metode Ponseti memiliki keluaran mobilitas dan
fungsional yang baik. Metode terapi ini diutamakan pada bayi sampai usia <2 tahun
untuk mencegah kelemahan jaringan ikat dan potensi dalam remodeling tulang
diharapkan bisa maksimal.11
Pada anak berusia >2 tahun koreksi masih dapat dicapai dengan modifikasi
minor menggunakan teknik terapi ini. Walaupun koreksi komplit tidak tercapai
namun setidaknya dapat membantu dalam mengurangi luas area operasi kelak dan me
nurunkan komplikasi infeksi atau luka sesudah operasi. Sampai saat ini tidak
diketahui batasan usia maksimal untuk melakukan terapi ini.11
Keparahan deformitas dievaluasi menggunakan klasifikasi Dimeglio pada
presentasi klinis awal. Sebelumnya diperlukan foto radiologik posisi anteroposterior
(AP) kaki dalam posisi abduksi dan posisi lateral kaki dalam posisi dorsofleksi
maksimal dan fleksi plantar.12 Terapi deformitas terdiri dari manipulasi ringan pada
kaki dan serial casting dengan maksimal 10 kali menggunakan long-leg cast setiap
minggunya. Selama masa ini, akan didapatkan hasil jelas jika tatalaksana non-operatif
akan berhasil atau tidak dan membutuhkan tatalaksana secara operatif.12,13

Kaki normal Kaki terkena

Gambar 2.3 Metode Ponseti dan Foot Abduction Brace (FAB) tipe Dennis-Brown.
Sumber: Manisha R, Priyanka K, 2017 14
Setelah selesai serial cast, dibutuhkan follow-up dengan pemeriksaan radiologik
kaki untuk melihat hasil koreksi. Jika koreksi telah dicapai, maka dilakukan pemasang-
an tipe ortosis abduksi Dennis-Brown (Gambar 2.3). Namun, jika pada follow-up belum
terlihat perubahan bermakna, maka perlu dilakukan tenotomi tendon Achilles pada usia
6 sampai 12 bulan setelah lahir.14

Selain metode Ponseti, dapat juga dilakukan terapi fisik metode French yang
terdiri atas manipulasi harian, stimulasi otot-otot kaki untuk mempertahankan kekuatan
kaki saat manipulasi pasif, dan imobilisasi temporer kaki menggunakan strapping adesi
elastik maupun non-elastik. Terapi biasanya dilakukan sekitar 2 bulan dan kemudian
frekuensinya dikurangi secara perlahan dan bertahap. Perbaikan biasanya terjadi pada
3 bulan pertama, meskipun capaian menggunakan terapi ini lebih lama dari metode
Ponseti.14 Metode French ini dilakukan oleh ahli terapis dan dimulai sejak jam-jam
pertama setelah bayi lahir dengan melakukan koreksi secara perlahan dan bertahap dan
dilakukan sesuai prinsip Scarpa: saat melakukan manipulasi, bayi harus dalam keadaan
rileks. Pada saat bayi lahir, hanya 35% tulang kaki yang berosifikasi dan tulang masih
seperti kartilago yang fleksibel.15

Tatalaksana operatif yang sering digunakan dewasa ini ialah posteromedial


release (PMR). Metode PMR merupakan tindakan operasi yang dilakukan pada kasus-
kasus CTEV yang tidak terkoreksi atau relaps saat pasien sudah bisa berjalan.14,17
Setelah koreksi operatif berhasil dicapai, dilanjutkan dengan pemasangan 3 K-wires,
dengan mentransfiksasi pertama sendi kalkaneokuboid, dilanjutkan dengan
talonavikular kemudian pergelangan kaki. Kemudian dilakukan penjahitan tendon
Achilles dan tendon tibial posterior. K-wires akan dilepas 4 minggu setelah operasi, dan
kaki pasien kemudian akan diimobilisasi menggunakan cast selama 6 minggu setelah
operasi pelepasan K-wires. Follow-up setelah operasi dilakukan dengan foto x-ray kaki
posisi AP dan lateral serta x-ray kaki lateral dalam posisi dorsifleksi maksimal dan
fleksi plantar maksimal.13
Pasien diinstruksikan mengikuti follow- up antara 1-3 bulan interval dan latihan
range-of-motion (ROM) selalu diedukasi kepada keluarga untuk meningkatkan fleksi-
bilitas. Pada beberapa kasus, intoleransi menggunakan brace merupakan salah satu
alasan utama terjadinya masalah kejadian ulang (re-occurrence), sehingga
membutuhkan pengulangan tatalaksana dari awal dengan serial casting dan
manipulasi serta diperlukan untuk merencanakan prosedur operatif. Pada anak berusia
di atas 3 tahun hanya dibutuhkan serial casting selama 6 minggu untuk memfasilitasi
peregangan otot tanpa menggunakan brace abduksi kaki. Jika posisi yang diatur
sesuai selama terapi, maka akan dilanjutkan dengan operasi transfer tendon anterior
tibialis ke tulang kuneiform ketiga.14

Salah satu terapi tambahan masa postnatal dalam tatalaksana CTEV ialah
dengan injeksi BOTOX (BTX). Onabotulinumtoxin A berasal dari derivat Clostridum
botulinum tipe A atau botulinum toxin (BTX). Injeksi BTX dapat menginhibisi
pelepasan asetilkolin ke celah neuromuskular sehingga secara parsial memberikan
efek denervasi serat otot dan menyebabkan paralisis otot yang terlokalisasi. Indikasi
pada kelompok pediatrik untuk injeksi BTX ini telah berkembang dan masuk dalam
tatalaksana kelainan kondisi otot skeletal.17

Injeksi BTX untuk terapi CTEV diberikan satu atau kombinasi pada kelom- pok
otot berikut: m. gastrocnemius, m. soleus, m. tibialis posterior, dan m. adductor
halluces longus. Onabotulinumtoxin A diberikan dengan diencerkan pada larutan
salin yaitu 100 U/1 mL, sehingga menjadi larutan konsentrasi 10 U/0,1 mL. Kuantitas
untuk injeksi BTX ditentukan menurut berat badan pasien, dimana dosis 10 U/kgBB
dengan dosis maksimal 300 U untuk sekali injeksi. Pada pasien CTEV bilateral, maka
dosis yang dihitung dibagi dua untuk dua ekstremitas. Efek samping yang pernah
dilaporkan setelah penggunaan Onabotulinumtoxin A pada pasien CTEV ialah infeksi
viral, infeksi telinga, kesadaran somnolen, gangguan gait, parestesia, ruam, mialgia,
kelemahan otot, nyeri pada ekstremitas, inkontinensia urin, malaise, nyeri pada
daerah injeksi, dan astenia.17
2.9. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi dibagi atas komplikasi non operatif dan operatif.
Pada komplikasi non-operatif dapat ditemukan flat top talus, rocker bottom, dorsal
bunion, distal tibiofibular bowing, fraktur, dan luka akibat tekanan. Flat top talus
diduga terjadi secara iatrogenik, namun durasi dari manipulasi dan pemasangan
casting lebih dari 3 bulan dapat juga menyebabkan kelainan ini. Perlu diketahui
bahwa deformitas ini sebenarnya sudah terdapat sejak lahir. Flat top talus dapat
disalah-diagnosis karena posisi x-ray lateral pasien CTEV sering memperlihatkan
talus pada posisi proyeksi oblik, sehingga menunjukkan gambaran flat talar dome.18,19

Deformitas rocker bottom merupakan komplikasi tersering akibat tatalaksana


non-operatif manipulasi pada CTEV dengan insidensi 3,2% di seluruh dunia.20
Prinsip penyebab rocker bottom ialah percobaan koreksi equinus pada hindfoot
sebelum forefoot, sehingga varus hindfoot terbuka (koreksi varus). Kite telah
mengindikasikan bahwa ketika hindfoot dan forefoot dibuka, maka equinus hampir
selalu dapat dikoreksi. Umumnya terapi koreksi berulang dapat menyebabkan rocker-
bottom foot. Setelah munculnya komplikasi ini, maka operasi posteriror release
dibutuhkan dengan segera.18 Dorsal bunion ini ditandai oleh adanya peninggian pada
metatarsal I dan muskulus fleksor halusis brevis yang berkontraksi pada tampakan
pemeriksaan fisik.19 Pada distal tibiofibular bowing, posisi bowing selalu berada di
bagian posterior dan/atau medial, sehingga menun- jukkan derajat fibula akan tibia
menjadi besar. Bowing yang terjadi biasanya ringan dan dapat didiagnosis hanya
dengan x-ray. Penyebab terjadinya bowing disebabkan akibat dorsifleksi paksa
dengan terkanan berlebihan.18

Beberapa fraktur yang dapat terjadi ialah: 1) Kompresi metafiseal, yang diduga
disebabkan oleh kompresi anterior pada metafisis tibia dan fibula bagian distal
ditambah dengan dorsifleksi paksa pada kaki; 2) Distal tibial metaphyseal spur,
disebabkan karena adanya infark piring epifiseal. Lokasinya mengindikasikan aki- bat
dorsifleksi paksa; 3) Fraktur torus pada metafisis distal tibia, yang terjadi di antara
piring epifiseal dengan penyebab diduga akibat dorsofleksi paksa; 4) Faktur fibula
distal, yang disebabkan karena adanya eversi paksa atau dorsifleksi paksa. Luka
akibat tekanan kadang-kadang muncul akibat tekanan yang diberikan pada bagian
superfisial.18
Komplikasi operatif dapat berupa overcorrection, nonunion of triple arthro-
deses, slough atau jaringan nekrotik, dan infeksi luka. Pasien dengan overcorrected
biasanya datang beberapa tahun setelah operasi. Gejala onset akut yang muncul ialah
simtomatik dan biasanya berhubungan dengan trauma minor sehingga pasien dapat
mengeluhkan sprain. Sampai usia dewasa muda, gejala yang muncul ialah kekakuan
yang sering terjadi sekitar deformitas sehingga membatasi aktivitas. Hal ini
menyebabkan ketidaknyamanan dan kesu- litan pasien dalam memakai sepatu.19
Nonunion of triple arthrodesis merupakan kasus non-union tulang pada pasca
operasi yang dapat dihindari dengan teknik operasi yang baik. Slough atau jaringan
nekrotik pada bagian anterior sendi pergelangan kaki yang terjadi akibat kesalahan
dalam peng- aplikasian plaster setelah operasi, dimana plester menumpuk pada
bagian anterior pergelangan kaki dan akan terjadi pene- kanan pada daerah tersebut.
Infeksi luka jarang terjadi, hanya sebesar <1% setelah operasi.18
Pasca operasi dapat terjadi rekurensi dan masalah perkembangan motorik kasar.
Kaki memiliki struktur anatomi dan biomekanik yang kuat dan terdiri atas tulang
dan terhubung dengan struktur jaringan lunak. Bila dilakukan kesalahan dalam pro-
ses terapi koreksi, maka kemungkinan besar akan terjadi rekurensi deformitas kelak.
Rekurensi deformitas ditandai dengan metatarsus adduktus, abduksi kaki, kehilangan
kemampuan dorsifleksi dan supinasi dina- mis yang nampak pada gait analysis
ketika pasien mulai berjalan. Mengenai masalah perkembangan motorik kasar,
seiring bertambahnya usia pasien, analisis gait menunjukkan bahwa bahkan setelah
terapi deformitas CTEV dan pasien sudah berada pada keadaan plantigrade foot
yang secara fungsional bisa sempurna dalam berjalan seperti kaki normal, namun
saja tetap masih didapatkan berbeda bila dibandingkan dengan kaki normal
seusianya.21
2.10. Prognosis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat rigiditas
deformitas atau nilai Dimeglio 16-20, dapat menyebabkan peningkatan risiko
rekurensi setelah proses terapi koreksi pertama, namun dengan terapi ulang
menggunakan metode Ponseti pasien masih dapat berespon terhadap terapi.22
Kejadian CTEV bilateral mening- katkan prognosis buruk dibandingkan hanya
unilateral. Pasien pada kategori Dimeglio yang berat berhubungan dengan kualitas
kegagalan terapi; oleh karena itu kebutuhan terapi yang sedini mungkin sangat
diperlukan karena berhubungan dengan angka keberhasilan yang tinggi.23
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : Muhammad Ilham Faqih


Umur : 8 Tahun
Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Belum bekerja
Status Perkawinan : Belum kawin
Agama : Islam
Alamat : Solok
Nomor RM : 01 09 96 40
Tanggal Pemeriksaan : 14 Agustus 2021

3.2. Anamnesis

Keluhan Utama:
- Pasien datang dengan keluhan bentuk kaki yang tidak normal

Riwayat Penyakit Sekarang


- Pasien memiliki bentuk kaki dan tangan yang tidak normal sejak lahir
- Kaki pasien membengkok ke dalam sejak pasien lahir, tapi belum terlihat pada
saat USG kehamilan
- Pasien awalnya hanya dibawa ke tukang urut saat usia 5 bulan selama 3 bulan.
Setelah itu karena tidak ada perbaikan, pasien dibawa ke dokter spesialis
orthopedi dan dilakukan pemasangan casting selama 3 bulan. Setelah itu
dioperasi saat usia 11 bulan dan dipakai sepatu dennis brown. Tetapi hanya
sebentar karena anaknya merasa sakit dan tidak dipakaikan lagi oleh orang
tuanya.
- Pada usia 1 tahun anak sudah bisa berjalan, namun cara berjalan masih belum
normal
- Saat ini pasien pada kaki pasien terpasang gips kembali dan kembali dilakukan
operasi pemotongan tendon achiles

Riwayat Kehamilan
- Pasien merupakan anak pertama
- Lahir cukup bulan dan persalinan ditolong oleh bidan
- Ibu rutin kontrol kehamilan
- Tidak ada riwayat demam saat hamil
- Tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan saat hamil
- Tidak ada riwayat oligohidramnion

Riwayat Penyakit Dahulu


- Tidak ada riwayat penyakit sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada riwayat keluarga dengan penyakit serupa

Riwayat Alergi (makanan, obat bahan tertentu)


- Tidak ada riwayat alergi pada pasien

3.3. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik Umum


Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis koorperatif
TekananDarah : 110/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Nafas : 22x/menit
Suhu : 36,5 C

Status Internus
Rambut : Hitam kecoklatan, tidak mudah dicabut
Kulit : Teraba hangat, turgor kulit baik
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : Tidak ada kelainan
Hidung : Tidak ada kelainan
Gigi dan Mulut : Tidak ada kelainan
Leher : Tidak ada kelainan

Thoraks
Paru :
● Inspeksi : Pengembangan dada simetris kiri dan kanan
● Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan
● Perkusi : Sonor kiri dan kanan
● Auskultasi : bunyi napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung:
● Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
● Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial linea midklavikula kiri RIC V
● Perkusi : Batas jantung normal
● Auskultasi : S1 = S2, murmur (-), Gallop (-)

Abdomen:
● Inspeksi : Distensi (-)
● Auskultasi : Bising usus (+)
● Palpasi : Perabaan supel, massa (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
● Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Status Lokalis
Genitalia : Tidak ditemukan adanya kelainan

Status Lokalis:
- Cruris Dextra
o Look : Terpasang gips/casting. Saat dilepas terlihat kaki
equinus, midfoot cavus (melengkung)
o Feel : Neurovaskular distal baik
o Move : ROM terbatas

- Cruris Sinistra
o Look : Terpasang gips/casting. Saat dilepas terlihat kaki
equinus, midfoot cavus (melengkung)
o Feel : Neurovaskular distal baik
o Move : ROM terbatas

Gambar 3.1 Kaki tampak depan sebelum dilakukan tenotomy achiles


Gambar 3.2 Kaki tampak depan setelah dilakukan tenotomy achiles

Gambar 3.3 Kaki tampak bawah sebelum dilakukan tenotomy achiles


Gambar 3.4 Kaki tampak bawah setelah dilakukan tenotomy achiles

Gambar 3.5 Kaki tampak depan setelag dilakukan pemasangan application casting
3.4. Diagnosis Kerja
CTEV Bilateral

3.5. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium lengkap :

- Hb : 13,3 gr/dl
- Leukosit : 7190/mm3
- Trombosit : 324.000/mm3
- Ht : 41%
- Ureum : 21 mg/dl
- Kreatinin : 0,6 mg/dl
- Albumin : 4,6 mg/dl
- PT : 10,8 detik
- APTT : 29,4 detik
- Na : 133 mEq/L
- K : 3,3 mEq/L
- Cl : 93 mEq/L
- SGOT : 24 µ/L
- SGPT : 8 µ/L

3.6. Diagnosis
Post Release Posterior CTEV bilateral + Application casting

3.7. Tatalaksana
Lanjutkan pemasangan gips/ application casting

3.8. Prognosis
● Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
● Quo ad functionam : Dubia ad Bonam
● Quo ad sanactionam : Dubia ad Bonam
BAB IV
DISKUSI

Telah datang seorang pasien anak laki-laki berusia 8 tahun yang dibawa oleh
Ibunya ke poliklinik RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan keluhan kaki anak yang
tampak tidak normal sejak lahir. Hal ini baru diketahui saat anak lahir dimana kaki
anak tampak membengkok ke dalam. Saat USG kehamilan rutin, tidak tampak adanya
kelainan ini. Pasien pertama kali dibawa ke tukang urut saat usia 5 bulan. Selama
kurang lebih 3 bulan diurut, tidak ada perbaikan pada kaki pasien, sehingga orang tua
pasien memutuskan untuk membawa pasien ke dokter spesialis orthopedi di Padang.
Pada awalnya, saat pertama kali dibawa ke dokter spesialis orthopedi, pada
pasien dilakukan pemasangan serial casting selama 3 bulan. Setelah itu dilakukan
operasi pemotongan tendon achiles dan disambung kembali dimana diharapkan terjadi
pemanjangan dari tendon achiles tersebut dan dapat memperbaiki kelainan bentuk kaki
pasien. Setelah itu dilakukan pemasangan sepatu dennis brown, dimana sepatu ini
dirancang khusus untuk pasien CTEV. Pada pasien sepatu ini digunakan hanya
sebentar karena anak yang mengeluh kakinya sakit dan orang tua memutuskan untuk
menghentikan penggunaan sepatu tersebut.
Pada usia satu tahun, anak sudah bisa berjalan. Namun, cara berjalannya masih
tetap belum normal. Hal ini tetap dibiarkan sampai usia anak 8 tahun dan bentuk kaki
kembali membengkok lagi. Hal ini dikarenakan tidak selesainya terapi dengan sepatu
dennis brown sehingga hasil terapinya tidak maksimal. Namun, terdapat banyak faktor
yang mempengaruhi kembalinya keadaan ini, salah satunya yaitu faktor mekanik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalisata anak dalam batas normal.
Status lokalis pada regio cruris didapatkan pada regio cruris dextra dan sinistra
terpasang gips/ application casting. Saat dilakukan perabaan, didapatkan neurovaskular
distal pada kaki kiri dan kanan baik. Saat gips dibuka, terlihat bentuk kaki anak yang
telihat equinus, midfoot yang cavus, dan forefoot yang adduktus. Terlihat adanya bekas
operasi pada kaki bagian dalam karena memang sudah dilakukan operasi pada saat usia
anak 11 bulan.
Pada anamnesis dapat disimpulkan bahwa kelainan pasien ini merupakan suatu
kelainan kongenital yaitu kelainan yang sudah ada sejak pasien lahir. Dimana kelainan
ini belum diketahui secara pasti apa penyebabnya. Akan tetapi, terdapat beberapa
faktor risiko yang dapat menyebabkan kelainan ini seperti oligohidramnion, merokok,
usia orang tua, pendidikan orang tua, paritas, kecemasan atau depresi ibu, penggunaan
alkohol, dan musim kelahiran. Saat anamnesis, tidak ditemukan adanya faktor risiko
seperti yang disebutkan di atas. Selama kehamilan, ibu sehat dan tidak ada riwayat
mengonsumsi obat-obatan, juga tidak ada riwayat oligohidramnion. Pada pasien juga
tidak ada keluarga dengan riwayat penyakit serupa.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diketahui bahwa anak ini
menderita Congenital Talipesequinovarus karena adanya abnormalitas bentuk kaki
anak yang sudah ditemukan sejak anak ini lahir yang ditandai dengan forefoot
(Metatarsal dan Phalang) yang adduksi dan supinasi, midfoot (Navikular, Cuboid, dan
Cuneiforms) yang cavus atau sangat melengkung, serta hindfoot (Talus dan Kalkaneus)
yang equinus (Plantar fleksi) dan varus.
Penatalaksaan untuk kasus ini dimulai dengan penatalaksanaan nonoperatif
yaitu pemasangan casting dimulai sejak minggu pertama hingga kedua setelah lahir
sampai usia anak 10 minggu, dan masih memungkinkan sampai usia anak 9 bulan. Pada
anak ini, pemasangan gips dimulai sejak usia 8 bulan. Dengan penatalaksanaan
konservatif sedini mungkin, hasil yang baik akan didapatkan saat anak diterapi di klinik
khusus yang memiliki dokter orthopedi, staf perawat, dan fisioterapis untuk melakukan
supervisi pada perawatan pasien ini. Pada pasien ini sudah dilakukan operasi yaitu
relase posterior CTEV Bilateral dimana dilakukan insisi pada posterior ankle kiri dan
kanan, mengindentifikasi tendon achiles, dan dilakukan tenotomy. Kemudian, pada
pasien dipasang application casting kembali sampai bentuk kaki normal. Application
casting ini bertujuan untuk mempertahankan keadaan imobilisasi dan juga
mempertahankan agar tendon yang dilakukan pemanjangan saat tenotomy bisa
memberikan hasil yang maksimal.
BAB V
KESIMPULAN

Congenital talipes equinovarus (CTEV) merupakan salah satu deformitas pada


bayi yang paling sering ditemui, dengan insidensi 1-2:1000 per kelahiran. Sampai saat
ini masih belum dapat dipastikan apa yang menjadi penyebab terjadinya CTEV,
walaupun sudah banyak teori yang diajukan namun belum ada satu pun yang dapat
menjelaskan dengan sempurna. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis,
bermanifestasi dengan empat komponen utama: cavus midfoot, adductus forefoot,
varus tumit/hindfoot dan hindfoot equinus. Pemeriksaan radiologis sebagai penunjang
tidak memberikan informasi yang berarti. Biasanya CTEV muncul sebagai kelaianan
tersendiri, namun tidak jarang merupakan bagian dari suatu sindrom.

Penatalaksanaan CTEV meliputi dua aspek, yaitu non operatif dan operatif.
Para ahli setuju bahwa terapi non operatif haruslah menjadi pilihan utama terapi.
Metode Ponseti dan French method telah banyak digunakan di berbagai belahan dunia
dan memiliki hasil akhir yang memuaskan. Tindakan operatif diperlukan hanya bila
terapi non operatif gagal, hal ini dikarenakan komplikasi jangka panjang yang lebih
buruk dibandingkan terapi non operatif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Noor Z. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Edisi 2. (Puji Lestari P, ed.).


Salemba Medika; 2016.
2. Drajat RS, Rasjad C, Hadi AS, Yurianto H, Ferdiansyah, Irianto KA. Sistem
Muskuloskeletal. In: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2016:997-1000.
3. Han ES, goleman, daniel; boyatzis, Richard; Mckee A. Buku ajar bedah sabiston
bagian 2. J Chem Inf Model. 2019;53(9):1689-1699.
4. Barrie A, Varacallo M. Clubfoot. StatPearls Publ. Published online 2020.
5. Kumari P. Congenital Clubfoot: A Comprehensive Review. Orthop Rheumatol
Open Access J. 2017;8(1):1-5. doi:10.19080/oroaj.2017.08.555728
6. Ismiarto YD. Congenital Talipes Equinovarus (Clubfoot). Published online
2015.
7. Nordin S, Aidura M, Razak S, Faisham W. Controversies in congenital
clubfoot : literature review. Malays J Med Sci. 2002;9(1):34-40.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22969316
8. Kemenkes RI. InfoDATIN: Kelainan bawaan. Pus Data dan Inf Kemeterian
Kesehat RI. Published online 2018:1-6.
9. Pavone V, Chisari E, Vescio A, Lucenti L, Sessa G, Testa G. The etiology of
idiopathic congenital talipes equinovarus: a systematic review. J Orthop Surg
Res. 2018;13(1):206. doi:10.1186/s13018-018-0913-z
10. Anand A, Sala DA. Clubfoot: etiology and treatment. Indian J Orthop.
2008;42(1):22-28. doi:10.4103/0019-5413.38576
11. Banskota B, Banskota AK, Regmi R, Rajbhandary T, Shrestha OP, Spiegel DA.
The Ponseti method in the treatment of children with idiopathic clubfoot
presenting between five and ten years of age. Bone Joint J. 2013;95- B(12):1721-5.
DOI:10.1302/0301- 620x.95b12.32173
12. Machida J, Inaba Y, Nakamura N. Management of foot deformity in children. J
Orthop Sci. 2017:22(2):175-83. DOI:10.1016/j.jos.2016.12.009
13. Richards BS, Faulks S, Rathjen KE, Karol LA, Johnston CE, Jones SA. A
comparison of two nonoperative methods of idiopathic clubfoot correction: the
Ponseti method and the French functional (physiotherapy) method. J Bone Joint
Surg Am. 2008;90(11):2313-21. DOI: 10.2106/JBJS.G.01621
14. Manisha R, Priyanka K. Congenital clubfoot: a comprehensive review. Ortho &
Rheum Open Access. 2017;8(1):1-5, 555728
15. Dimeglio A, Canavese F. The French functional physical therapy
method for the treatment of congenital clubfoot. J Pediatr Orthop B. 2012;21(1):28-
39. DOI:10.1097/bpb.0b013e32834ee5f8
16. Zuber M, Jahan I, Kumar S. Management of congenital talipes equinovarus by
Ponseti Method. J Evol Med Dent Sci. 2014;3(53):12344-57. DOI: 10.14260/
jemds/2014/3631
17. Chhina H, Howren A, Simmonds A, Alvarez CM. Onabotulinumtoxin A®
injections: a safety review of children with clubfoot under 2 years of age at BC
Children’s Hospital. Eur J Paediatr Neuro. 2014; 18(2):171-5.
DOI:10.1016/j.ejpn.2013.11.002
18. Weseley MS, Barenfeld PA, Barrett N. Complications of the treatment of club- foot.
Clin Orthop Relat Res. 1972;84: 93-6. DOI:10.1097/00003086-197205000-00017
19. Burger D, Aiyer A, Myerson MS. Evaluation and surgical management of the
overcorrected clubfoot deformity in the adult patient. Foot Ankle Clin. 2015;
20(4):587-99. DOI:10.1016/j.fcl.2015.07.006

20. Zhang W, Cai H. Management of rockerbottom deformity during Ponseti


treatment of congenital idiopathic clubfoot. Int J Clin Exp Med. 2019;
12(12):13805-11. DOI: 1940-5901/IJCEM0100125

21. Sayit E, Uruc V. The treatment of clubfoot with the Ponseti method: a systematic
review. J Clin Anal Med. 2014;5(3): 400-4. DOI: 10.4328/JCAM.2791

22. Varacallo M, Aiyer A. Metatarsalgia in meta- tarsus adductus patients. Foot Ankle
Clin.2019;24(4):657-67. DOI:10.1016/j.fcl.2019.08.002
23. El Batti S, Solla F, Clément J-L, Rosello O, Oborocianu I, Chau E, et al. Initial
treatment of congenital idiopathic club- foot: prognostic factors. Orthop Traumatol
Surg Res. 2016;102(8):1081- 5. DOI:10.1016/j.otsr.2016.07.012

Anda mungkin juga menyukai