Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2022

UNIVERSITAS HALU OLEO

LASERASI SERVIKS

Oleh :

Nur Wahda Kusmiah, S.Ked

K1B1 21 049

PEMBIMBING

Dr. dr. Hj. Juminten Saimin., Sp.OG (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Nur Wahda Kusmiah, S.Ked

NIM : K1B1 21 049

Judul referat : Laserasi Serviks

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian

Ilmu Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juli 2022

Mengetahui

Pembimbing

Dr. dr. Hj. Juminten Saimin., Sp.OG (K)


LASERASI SERVIKS
Nur Wahda Kusmiah, Juminten Saimin
A. Pendahuluan

Pada kehamilan dan persalinan dapat terjadi perlukaan pada alat-alat


genital walaupun yang paling sering terjadi ialah perlukaan ketika persalinan.
Perlukaan alat genital pada kehamilan dapat terjadi baik pada uterus,
serviks maupun pada vagina, sedangkan pada persalinan disamping pada
tempat diatas perlukaan dapat juga terjadi pada vulva dan perineum. Derajat
luka dapat ringan dapat berupa luka lecet saja sampai dengan berat berupa
luka robekan yang luas disertai perdarahan yang hebat.1 Perdarahan yang
terjadi saat kontraksi uterus baik, penyebab perdarahan paling sering adalah
atonia uteri serta retensio plasenta, penyebab lain kadang-kadang adalah
laserasi serviks atau vagina, ruptura uteri, dan inversi uteri. Manajemen aktif
kala III adalah upaya pencegahan perdarahan pasca persalinan yang
didiskusikan secara komprehensif oleh WHO. Beberapa jam pertama pasca
persalinan menjadi masa kritis untuk diagnosis dan pengelolaan perdarahan
abnormal.2
Laserasi serviks diketahui sebagai penyebab perdarahan postpartum.
Laserasi serviks merupakan morbiditas yang sering dikaitkan dengan
persalinan pervaginam. Tingkat lesi serviks intrapartum meningkat pada kasus
nulipara, persalinan mendadak, persalinan pervaginam operatif, dan intervensi
bedah serviks seperti servikal cerclage selama kehamilan. Induksi persalinan
juga meningkatkan kemungkinan kerusakan serviks. Robekan serviks dapat
terjadi pada satu tempat atau lebih. Setiap selesai melakukan persalinan
operatif pervaginam, letak sungsang, partus plesipitatus, plasenta manual,
harus dilakukan pemeriksaan keadaan jalan lahir dengan spekulum vagina.3,4

B. Anatomi
Uterus merupakan suatu organ reproduksi berbentuk seperti buah
avokad atau buah pir yang sedikit gepeng kearah depan dan belakang.
Ukurannya sebesar telur ayam dan mempunyai rongga. Dindingnya terdiri atas
otot-otot polos. Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm, lebar di atas 5,25 cm,
tebal 2,5 cm dan tebal dinding 1,25 cm. Letak uterus dalam keadaan fisiologis
adalah anteversiofleksio (serviks ke depan dan membentuk sudut dengan
vagina, sedangkan korpus uteri ke depan dan membentuk sudut dengan
serviks uteri. Uterus terdiri atas (1) fundus uteri, (2) korpus uteri, (3) serviks
uteri. Fundus uteri adalah bagian uterus proksimal, disitu kedua tuba fallopi
masuk ke uterus. Korpus uteri adalah bagian uterus utei yang terbesar. Pada
kehamilan bagian ini mempunyai fungsi utama sebagai tempat janin
berkembang.2
Rongga yang terdapat di dalam uterus disebut kavum uteri (rongga
rahim). Serviks uteri terdiri atas (1) pars vaginalis servis uteri yang dinamakan
portio (2) pars supravaginalis servis uteri yaitu bagian serviks yang berada di
atas vagina. Saluran yang terdapat dalam serviks disebut kanalis servikalis,
berbentuk seperti saluran lonjong dengan panjang 2,5 cm. Pintu saluran
serviks sebelah dalam disebut ostium uteri internum dan di vagina disebut
ostium uteri ekternum.2
Serviks atau leher rahim adalah bagian terendah dari uterus yang
menonjol ke puncak vagina. Panjang rata-rata 3 cm dan lebar 2,5 cm.
Permukaannya konveks dan elips. Pada serviks terdapat kanalis endoservikalis
merupakan saluran yang menghubungkan ostium uteri eksternum dan kavum
uteri. Bentuknya pipih dan lebarnya dapat mencapai 7-8 mm. Konfigurasinya
kompleks berupa lipatan-lipatan mukosa atau plika. Kemudian pada ostium
uteri internum, kanalis endoservikalis berujung pada ostium uteri internum
dan merupakan bukaan dari serviks ke kavum uteri. Bagian ini juga adalah
sambungan anatomik dan histologik antara uterus yang lebih muskuler dan
serviks yang lebih padat dan fibrous.5
Gambar 1. Uterus,Vagina,Ovarium dan Tuba uterina.14

Gambar 2. Arteri pada organa feminina interna.14


Uterus diberi darah oleh arteri uterina kiri dan kanan yang terdiri atas
ramus asendens dan ramus desendens. Pembuluh darah ini berasal dari arteri
iliaka interna (disebut juga arteri hipogastrika) yang melalui dasar ligamentum
latum masuk ke dalam uterus di daerah serviks kira-kira 1,5 cm di atas forniks
lateralis vagina. Pembuluh darah lain yang memberi pula darah ke uterus
adalah arteria ovarika kiri dan kanan. Arteri ini berjalan dari lateral dinding
pelvis, melalui ligamentum infundibulo-pelvikum mengikuti tuba fallopi,
beranastomosis dengan ramus asendens arteri uterina di sebelah lateral, kanan
dan kiri uterus. Bersama-sama dengan arteri-arteri tersebut terdapat vena-vena
yang kembali melalui pleksus vena ke vena hipogastrika. Getah bening yang
berasal dari serviks akan mengalir ke daerah obturatorial dan inguinal,
selanjutnya ke daerah vasa iliaka. Dari korpus uteri saluran getah bening akan
menuju ke daerah paraaorta atau peravertebra dalam.2

C. Laserasi Serviks
1. Definisi
Laserasi serviks adalah robekan serviks yang dapat menimbulkan
perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah rahim. Robekan
yang terjadi pada persalinan yang kadang-kadang sampai ke forniks,
adalah robekan yang terjadi pada serviks yang bisa menimbulkan
perdarahan banyak, khususnya bila robekan jauh ke lateral sebab ditempat
tersebut terdapat ramus desendens dari arteri uterina. Perlukaan ini dapat
terjadi pada persalinan normal, tetapi yang lebih sering adalah akibat
tindakan-tindakan pada persalinan buatan dengan pembukaan yang belum
lengkap. Selain itu, penyebab lain robekan serviks ialah partus
presipitatus. Pada partus ini kontraksi rahim kuat dan sering, sehingga
janin didorong keluar, kadang-kadang sebelum pembukaan lengkap
sehingga menimbulkan perlukaan.1
Laserasi serviks intrapartum secara tradisional dianggap terjadi
karena persalinan janin melalui serviks pada saat kelahiran pervaginam.
Namun, laserasi serviks juga dapat terjadi pada saat kelahiran sesar (SC),
khususnya ketika operasi sesar dilakukan selama kala kedua persalinan
(baik karena kala kedua memanjang atau karena indikasi janin) (Wong, et
al. 2016 ).6,7

2. Epidemiologi
Secara klinis telah dilaporkan laserasi serviks secara signifikan 0.2
hingga 4.8 persen sebagai komplikasi dari semua persalinan pervaginam.
Laserasi serviks yang signifikan secara klinis telah didefinisikan sebagai
laserasi yang berhubungan dengan perdarahan vagina abnormal, yang
membutuhkan penjahitan serviks atau laserasi yang meluas yang
melibatkan segmen bawah rahim atau dinding vagina. 6 Meskipun telah
banyak publikasi penelitian mengenai laserasi vagina dan perineum, data
tentang insidensi, karakteristik klinis, dan faktor risiko laserasi serviks
intrapartum masih jarang. Berdasarkan literatur yang terbatas, telah
dilaporkan bahwa laserasi serviks intrapartum sering terjadi, dengan
keseluruhan insidensi berkisar antara 25 hingga 90 persen dalam laporan
yang berbeda. Namun, sebagian besar kasus tidak menunjukkan gejala dan
hanya dicatat pada pemeriksaan rutin serviks.6

Sebanyak 15.526 persalinan dilakukan selama periode studi, di


mana 1413 pasien mengalami cedera saluran genital bagian bawah,
memberikan prevalensi sebanyak 9,1% dari total persalinan atau 1: 10,9
persalinan. 8
Prevalensi cedera saluran genital bawah dalam penelitian
(Njoku Charles, et al. 2015) adalah (9,1%). Ini sedikit lebih rendah dari
yang dicatat di India (12,35%) dan lebih tinggi dari Pakistan yaitu
(5,06%). Alasan untuk prevalensi yang lebih tinggi dari cedera saluran
genital bawah dalam penelitian di India mungkin karena dimasukkannya
ruptur uteri dalam penelitian tersebut. Perbedaannya juga bisa disebabkan
oleh kelompok usia yang berbeda, kasus rujukan, tempat persalinan,
perawatan yang terampil dalam persalinan dan teknik persalinan /
melahirkan yang mengakibatkan trauma saluran genital.8
Jumlah total pasien dengan persalinan pervaginam dalam periode 5
tahun adalah 16.931. Dari jumlah tersebut, 32 ditemukan memiliki laserasi
serviks yang perlu diperbaiki dengan angka kejadian 0,2%. Faktor
ditemukan signifikan secara statistik. Lesi serviks yang signifikan secara
klinis terjadi pada 0,2– 1,7% dari persalinan pervaginam. Robekan Serviks
telah sering dilaporkan dengan persalinan menggunakan instrumental,
terutama ketika menggunakan forsep.9,4 Kejadian 0,2% dari kasus 16.832
persalinan dengan menggunakan forcep ruang hampa telah dikenal
sebagai faktor risiko signifikan untuk cedera jaringan lunak ibu. Hal
tersebut menjadi alasan mengapa forcep jarang digunakan dalam beberapa
tahun terakhir. Tidak di temukan peningkatan tingkat laserasi serviks
dengan persalinan melalui operasi.9

3. Etiologi
Robekan serviks dapat terjadi pada 3
1. Partus presipitatus
Pada partus ini kontraksi Rahim kuat dan sering, sehingga
janin didorong ke luar dengan kuat dan cepat, sebelum pembukaan
lengkap
2. Pemakaian alat-alat operasi (cunam/forceps, perforator, vakum
ekstraktor)
Persalinan buatan dengan vakum ekstraktor akibat
terjepitnya serviks antara mangkok vakum dengan kepala anak
yang tidak terdeteksi sehingga serviks robek pada saat dilakukan
tarikan pada mangkok vakum ekstraktor.
3. Melahirkan kepala janin pada letak sungsang secara paksa padahal
pembukaan serviks uteri belum lengkap
4. Partus lama, di mana telah terjadi serviks edem, sehingga jaringan
serviks sudah menjadi rapuh dan mudah robek.
5. Kegagalan serviks untuk berdilatasi karena kelainan kongenital
atau jaringan parut akibat luka terdahulu
Robekan serviks dapat terjadi pada satu tempat atau lebih. Setiap
selesai melakukan persalinan operatif pervaginam, letak sungsang, partus
plesipitatus, plasenta manual, harus dilakukan pemeriksaan keadaan jalan
lahir dengan spekulum vagina.3

4. Faktor risiko
Terdapat konsensus pada tiga studi bahwa cervical cerclage adalah
faktor risiko laserasi serviks (Landy et al. 2011; Melamed, et al. 2009;
Parikh et al, 2007). Faktor risiko lain yang diidentifikasi tetapi kurang
konsensus di tiga studi adalah persalinan yang cepat, episiotomi
(Melamed, et al. 2009) ekstraksi vakum (Landy et al 2011; Melamed, et al.
2009) dan induksi persalinan (Landy et al. 2011; Parikh et al, 2007).6
Persalinan spontan melalui lesi serviks intrapartum telah
didokumentasikan pada wanita dengan riwayat medis intervensi serviks.
Termasuk prosedur eksisi bedah loop elektro karena neoplasia intraepitel
serviks dan servikal cerclage pada kehamilan sebelumnya. Kasus robekan
serviks tanpa dilatasi ostium uteri eksterna terjadi pada persalinan yang di
induksi prostaglandin pada seorang wanita dengan riwayat pengguguran
kehamilan secara sukarela dengan teknik dilatasi serviks dan kuretase
uterus. Robekan mengakibatkan terjadinya persalinan spontan janin
melalui lesi dan perdarahan postpartum berhasil diobati dengan jahitan
pada lesi.4,9
Berdasarkan penelitian (Schuitemarker &Mackenzie, 1989), tiga
kasus perdarahan postpartum parah karena laserasi pada saluran
endoserviks digambarkan terjadi pada level ostium uteri interna. Penyebab
laserasi berbeda dalam semua kasus. Setiap kali perdarahan postpartum
terjadi, kemungkinan laserasi pada ostium uteri interna harus
dipertimbangkan. Laserasi pada kanalis endoserviks pada level ostium
uteri interna dapat terjadi dengan berbagai cara. Pada kasus pertama,
laserasi mungkin disebabkan oleh pembukaan yang cepat. Dalam kasus
kedua penyebab laserasi tidak diketahui, sedangkan pada kasus ketiga
adalah iatrogenik. Namun, riwayat kasus ini menggambarkan bahwa
ketika perdarahan postpartum terjadi, kemungkinan laserasi pada ostium
uteri interna juga harus dipertimbangkan.9

Tabel 1. Karakteristik Sosiodemografis Perempuan Dengan Cedera traktus


Genital Bawah (n = 1320).8
Tabel 1 menunjukkan karakteristik sosio-demografi wanita dengan
cedera saluran genital bawah. Rentang usia 15-44 tahun. Sebagian besar
pasien berada dalam kelompok usia 21-30 tahun (56,6%), wanita nulipara
adalah 681 (51,6%), berat janin yang berkontribusi terhadap cedera paling
besar berada di kisaran 3,50-3,99 kg (45,7%) dan wanita dengan
persalinan pervaginam spontan adalah 1.233 (93,4%).8

Tabel 2. Jenis dan Frekuensi dari Cedera Traktus Genital Bawah.8


Tabel 2 menunjukkan jenis dan frekuensi cedera saluran genital
bawah. Robekan perineum derajat pertama (40,2%), robekan perineum
derajat kedua (18,3%), robekan para-uretra (14,5%) dan laserasi serviks
(11,9%) adalah jenis cedera saluran genital bawah yang lebih tinggi
selama periode penelitian. Robekan perineum derajat ketiga adalah 5
(0,4%), sedangkan robekan perineum derajat keempat adalah 7 (0,5%).8

Tabel 3. Pola Cedera Saluran Genital Bawah yang Terkait dengan Paritas.8

Tabel 3 menunjukkan hubungan antara paritas dan jenis cedera


saluran genital. Cedera saluran genital bawah paling umum terjadi pada
wanita nullipara yaitu sebanyak 681 (51,6%). Laserasi vagina (8,4%),
robekan peri-uretra (13,4%), robekan perineum derajat kedua (21,7%) dan
robekan perineum derajat ketiga/keempat (1,2%) paling sering terjadi pada
wanita nulipara (para 0). Juga, laserasi serviks (13,9%) adalah yang paling
umum di antara para 1 sedangkan robekan perineum derajat pertama
paling umum di antara para 5 atau lebih (62,2%).8
Cedera saluran genital bawah setelah kelahiran pervaginam
ditemukan berhubungan dengan usia dan paritas karena diketahui bahwa
prevalensi tertinggi pada kelompok usia 21-30 tahun dan paling sedikit di
antara wanita yang lebih dari 40 tahun. Tingginya tingkat cedera dalam
kelompok usia 21-30 tahun mungkin disebabkan oleh fakta bahwa
kelompok-kelompok perempuan ini adalah yang paling lazim dalam daftar
persalinan dan merupakan usia puncak kelahiran anak. Tingkat tertinggi
cedera saluran genital bawah adalah di antara wanita yang mengalami
kelahiran pervaginam pertama dan ini mungkin disebabkan oleh perineum
yang kaku dan penggunaan episiotomi yang ketat yang mengakibatkan
tingginya tingkat trauma saluran genital bawah selama persalinan normal
pertama.8
Temuan ini konsisten dengan penelitian yang menunjukkan bahwa
sebagian besar wanita yang melahirkan anak mengalami trauma signifikan
dengan tingkat yang lebih tinggi secara konsisten dicatat pada kelahiran
pervagina pertama dan persalinan dengan instrumen. Juga ada tingkat
cedera saluran genital bawah selama persalinan kedua (24,6%). Tingginya
angka cedera saluran genital bawah di antara wanita yang mengalami
kelahiran pervagina keduanya mungkin disebabkan oleh ketakutan yang
tidak dapat dijelaskan yang berkelanjutan setelah persalinan pervaginam
pertama mereka. Sebuah studi rumah sakit di Amerika tentang persalinan
pervaginam pertama mendokumentasikan bahwa risiko robekan perineum
berikutnya paling tinggi di antara mereka yang memiliki episiotomi atau
robekan perineum pada kelahiran vagina pertama dibandingkan dengan
mereka yang perineumnya utuh.8
Cedera saluran genital bawah dalam penelitian Njoku Charles, et
al. 2015, tergolong tinggi di antara wanita dengan durasi persalinan kurang
dari 12 jam dan kisaran berat badan 3,0-3,9 kg. Temuan ini mungkin
disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar wanita selama periode
penelitian memiliki persalinan normal pada bayi dengan berat badan
normal.8
Metode persalinan menunjukkan bahwa cedera saluran genital
bawah adalah yang paling umum di antara wanita dengan persalinan
pervaginam spontan 1233 (93,4%), sementara persalinan dengan
instrument menyumbang 61 (4,6%). Ini mungkin karena insidensi
persalinan dengan instrumen yang umumnya rendah selama periode
penelitian. Kurangnya keterampilan dan pelatihan dalam penggunaan
instrumen persalinan juga dapat berkontribusi pada penurunan persalinan
dengan instrumen seperti yang terlihat dalam penelitian Njoku Charles, et
al. 2015.8
Cedera saluran genital bawah yang paling dominan adalah robekan
perineum derajat pertama. Sebagian besar robekan perineum derajat
pertama biasanya ringan dan sebagian besar sembuh sendiri tanpa
memerlukan penjahitan, namun, ketika sedang berdarah atau dalam,
diperlukan penjahitan. Temuan ini mirip dengan penelitian di Zaria,
Nigeria. Trauma saluran genital bawah spontan umum lainnya dalam
penelitian Njoku Charles, et al. 2015, meliputi robekan perineum derajat
kedua, robekan para-uretra dan laserasi serviks.8
Hubungan antara paritas dan jenis cedera saluran genital bawah
mengungkapkan bahwa laserasi vagina, robekan para-uretra, robekan
perineum derajat kedua dan ketiga paling umum di antara wanita yang
mengalami kelahiran pervagina pertama mereka (para0). Alasannya
mungkin karena perineum yang kaku dan tingginya tingkat kelahiran tanpa
pengawasan di luar rumah sakit. Laserasi serviks adalah yang paling
umum di antara wanita yang mengalami kelahiran pervagina keduanya.
Alasannya mungkin karena bekas luka serviks terganggu, tidak diawasi
dan kelahiran prematur yang mengakibatkan robekan serviks.8

5. Gejala klinis
Pada robekan serviks biasanya ditandai dengan adanya perdarahan.
Robekan biasanya terdapat dipinggir samping serviks bahkan kadang-
kadang sampai ke segmen bawah rahim dan membuka parametrium.
Robekan yang sedemikian dapat membuka pembuluh-pembuluh darah
yang besar dan menimbulkan perdarahan hebat. Robekan serviks bisa
menimbulkan banyak perdarahan, khususnya bila robekan meluas ke arah
kranial sebab di tempat itu terdapat ramus decendens dari arteria uterina.
Robekan serviks yang meluas ke arah kranial dan mencapai dinding
vagina di daerah forniks lateralis perlu diwaspadai sebagai ruptura uteri
karena robekan dapat terus meluas ke atas dan menyebabkan putusnya
arteria uterina. Jika robekan besar dan dalam biasanya keadaan umum
akan memburuk. Pada keadaan ini jika rehidrasi intravena tidak
memperbaiki keadaan umum ibu, maka perlu dilakukan pemasangan
tampon kasa dan rujukan. Perlukaan ini dapat terladi pada persalinan
normal, tetapi yang paling sering ialah akibat upaya melahirkan anak
ataupun persalinan buatan pervaginam pada pembukaan yang belum
lengkap.1
.
6

Robekan serviks dapat terjadi setelah persalinan operatif,


khususnya yang sulit, misainya ekstraksi cunam, dekapitasi, dan
sebagainya. Setelah persalinan operatif yang sulit, dilakukan pemeriksaan
dengan speculum untuk melihat kemungkinan robekan serviks, diikuti
eksplorasi rongga rahim untuk mencari ada tidaknya robekan Rahim.1,3

Gambar
6. Diagnosis

Jika terjadi perdarahan pasca persalinan pada uterus yang


berkontraksi baik dan plasenta lahir lengkap, maka lakukan pemeriksaan
spekulum untuk memeriksa serviks uteri. Diagnosis perlukaan serviks
dapat diketahui dengan pemeriksaan inspekulo. Setelah dilakukan
pemasangan Sims spekulum, lalu amati portio. Selanjutnya bibir serviks
yang utuh (bila mungkin sebaiknya pada daerah jam 06.00 dan jam
12.00) dijepit dengan cunam atraumatik atau Fenster klem, portio ditarik
hati-hati ke luar kemudian diperiksa secara cermat tempat dan sifat-
sifat robekan yang terjadi.1
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan secara
langsung. Untuk dapat menilai luasnya luka terutama bila meliputi bagian
dalam vagina, perlu dilakukan pemeriksaan dengan spekulum. Perdarahan
pada keadaan ini, umumnya adalah perdarahan arterial, sehingga harus
segera dijahit. 1
Bentuk paling serius dari cedera saluran genital bawah seperti
laserasi serviks, vulva hematoma dan robekan perineum derajat tiga
terlihat umum di antara pasien yang tidak tercatat dan wanita yang
melahirkan di luar rumah sakit, tetapi di rujuk ke rumah sakit untuk
penatalaksanaan lanjut. Alasan untuk hal ini mungkin karena persalinan
yang tidak diawasi atau diawasi dengan buruk, ketidakmampuan untuk
mengenali faktor-faktor risiko yang jelas untuk cedera saluran genital
bawah dan episiotomi yang diberikan oleh petugas kelahiran yang tidak
terampil.8

7. Penatalaksanaan
Parikh et al, (2007) melaporkan bahwa laserasi serviks diketahui
sebagai penyebab perdarahan postpartum. Meskipun laserasi serviks
terjadi pada lebih dari separuh persalinan pervaginam, panjangnya kurang
dari 0,5 cm dan jarang memerlukan perbaikan.3,6 Robekan serviks harus
dilakukan penjahitan jika perdarahan atau luka lebih dari 1cm. Kadang
bibir rahim depan serviks tertekan antara kepala anak dan simfisis,
terjadi nekrosis dan terlepas. Biasanya pada robekan serviks terjadi
pada bagian kiri tengah atau kanan tengah (posisi jam 3 atau 9), dan akan
terlihat saat dilakukan inspeksi vagina dan serviks, robekan serviks juga
dapat terjadi pada persalinan spontan, itulah sebabnya pemeriksaan serviks
dan vagina harus dilakukan secara teliti. Pada robekan ringan akan cepat
sembuh,jika robekan meluas harus dijahit. Luka yang terutama meliputi
bagian dalam vagina, umumnya menyebabkan perdarahan arterial
sehingga harus segera dijahit. Penjahitan dilakukan secara simpul terputus
(interupted suture) dilakukan dengan benang katgut kromik No. 0 atau
00, dimulai 1cm proksimal dari ujung luka terus ke bawah sampai luka
terjahit rapi.1
Teknik menjahit laserasi serviks 3

1. Pertama-tama pinggir robekan sebelah kiri dan kanan dijepit


dengan klem, sehingga perdarahan menjadi berkurang atau
berhenti.
2. Kemudian serviks ditarik sedikit, sehingga lebih jelas kelihatan
dari luar.
3. jika pinggir robekan bergerigi, sebaiknya sebelum dijahit, pinggir
tersebut diratakan dulu dengan jalan menggunting pinggir yang
bergerigi tersebut.
4. Setelah itu robekan dijahit dengan catgut khromik nomor o0 atau
000. Jahitan dimulai dari ujung-robekan dengan cara jahitan
terputus-putus atau jahitan angka delapan (figure of eight suture).
5. Pada.robekan.vang dalam, jahitan harus dilakukan lapis demi lapis.
Ini dilakukan untuk menghindarkan terjadinya hematoma dalam
rongga di bawah jahitan.

Gambar 3. Cara melakukan penjahitan pada robekan serviks.3

Trauma berupa laserasi dan hematom karena melahirkan dapat


menyebabkan kehilangan darah yang signifikan, yang berkurang seiring
waktu dan hemostasis. Umumnya pendarahan post-partum didiagnosa
apabila jumlah pendarahan dianggap melebihi batas normal. Tanda dan
gejala klinis dari kehilangan darah meliputi kelemahan,berkeringat, dan
takikardi yang biasanya timbul setelah kehilangan 15-25% kehilangan
darah dari volume total. Penurunan hemodinamik hanya terjadi pada
kehilangan darah 35% dan 45%.13 Penanganan untuk pendarahan post-
partum merupakan hal yang sangat menentukan keselamatan ibu setelah
persalinan. Namun, banyak keadaan dasar yang sering dilupakan oleh
tenaga medis sehingga membuat pasien dirujuk dalam keadaan kritis.
Menurut data tahun 2009-2010 di India, dari 21 pasien pendarahan
post-partum yang dirujuk, 10 diantaranya tidak dilakukan pengukuran
tekanan darah sebelumnya. Takikardi (100-154x/min) terjadi hampir di
semua pasien, hanya satu pasien yang mengalami brandikardi
(54x/min).Dua belas pasien memiliki tanda-tanda yang mengarah pada
DIC.13
Luka pada jaringan yang berkepanjangan dapat mengganggu
hemostatik dengan meningkatnya fibrolisis, yang mengarah ke koagulopati
dan pendarahan. Agen antifibrolitik, umumnya tranexamic acid (TA) dan
aprotinin, telah menunjukkan perannya untuk mengurangi darah yang
hilang dan kebutuhan transfusi. Clinical Randomisation of an
Antifibrinolytic in Significant Hemorrhage (CRASH-2) melakukan study
yang hasilnya menunjukkan TA secara aman mengurangi resiko kematian
pada pasien pendarahan. Dalam penelitian tahun 2011 yang dilakukan di
Perancis, disebutkan bahwa TA dosis tinggi bisa mengurangi darah yang
hilang (menghentikan pendarahan lebih cepat) dan angka kesakitan ibu
(berkurangnya penggunaan obat proagulant).13
Ligasi arteri merupakan salah satu cara yang efektif untuk
mengontrol pendarahan post-partum. Ligasi arteri uteri merupakan yang
paling mudah dan efektif yang sering dilakukan, dibandingkan dengan
ligasi anastomosis arteri utero-ovarian dan hipogastric arteri. Arteri uteri
mensuplai 90% darah ke uterus, sehingga bila diligasi, pendarahan akan
berkurang secara drastis. Teknik ini juga tidak mengganggu fertilitas.13
Dari segala teknik penanganan diatas, keseimbangan
hemodinamik juga merupakan permasalahan utama yang tidak boleh
dilupakan. Apabila pemberian cairan intravena telah mencapai batas dan
tidak memberikan respon yang memadai, transfusi darah merupakan
pilihan. Pilihan terbaik adalah menggunakan darah autologus (darah se
ndiri), baik secara preoperative maupun operatif, untuk mengurangi
penggunaan darah allogenik (orang lain) yang beresiko terhadap
immunologi dan infeksi pada kehamilan.13

8. Pencegahan
Teknik persalinan yang tepat dan pemantauan yang waspada
sangat membantu dalam mengurangi trauma obstetri. Dalam manajemen
persalinan, pilihan metode persalinan yang tepat dan memimpin persalinan
dengan tepat agar mencegah terjadinya trauma obstetri. Menghindari
faktor resiko dengan selalu berkonsultasi dengan tenaga medis yang
berkompeten tampaknya merupakan modal yang utama. Kontrol dan
pengawasan rutin akan membuat segalanya lebih siap untuk kemungkinan
selanjutnya. Berbagai aspek harus dipikirkan seperti masa kehamilan,
proses persalinan, tata laksana, hal yang dapat menghambat pertolongan,
dan tempat persalinan oleh seorang tenaga medis untuk meyakinkan
keselamatan ibu akan bahaya pendarahan post-partum.8,13
Trauma saluran genital adalah komplikasi umum dari persalinan
per vagina yang menyebabkan perdarahan, syok, dan infeksi. Morbiditas
dan mortalitas terkait dari cedera saluran genital bawah yang terjadi di luar
Rumah Sakit biasanya tinggi wanita dari pada mereka yang melahirkan di
Rumah sakit. Peningkatan dalam kualitas perawatan kebidanan yang
tersedia dan pemanfaatan wanita hamil melalui peningkatan pendidikan
dan pemberdayaan ekonomi wanita akan sangat membantu dalam
mengurangi komplikasi di masyarakat. Petugas persalinan yang terlatih
dalam persalinan, pemantauan kewaspadaan persalinan, dan teknik
persalinan yang tepat dan penyediaan layanan perawatan kebidanan
darurat yang dapat diakses dan terjangkau akan banyak membantu dalam
mengurangi tingkat cedera saluran genital dan komplikasinya.8

9. Komplikasi
Komplikasi laserasi serviks yang dapat segera terjadi adalah
perdarahan. Kadang- kadang perdarahan ini sangat banyak sehingga dapat
menimbulkan syok bahkan kematian. Perdarahan post partum adalah
perdarahan yang terjadi segera setelah persalinan melebihi 500 cc dengan
penyebab-penyebab yaitu; Atonia uteri, Retensio Plasenta, Robekan jalan
lahir, Ruptura uteri inkomplet atau komple, Hematoma parametrium,
Perlukaan servikal, Perlukaan vagina atau vulva, Perlukaan perineum.3
Anemia akibat perdarahan post partum primer adalah komplikasi yang
paling umum terjadi pada 591 (44,8%) dan 169 (12,8%) dari pasien ini
mengalami syok hemoragik.8,9
Serviks uteri merupakan jaringan yang mudah mengalami
perlukaan pada waktu persalinan. Akibat perlukaan itu bisa menimbulkan
banyak perdarahan, khususnya bila robekan meluas ke arah kranial sebab
di tempat itu terdapat ramus decendens dari arteria uterina. Robekan
serviks yang meluas ke arah kranial dan mencapai dinding vagina di
daerah forniks lateralis perlu diwaspadai sebagai ruptur uteri karena
robekan dapat terus meluas ke atas dan menyebabkan putusnya arteria
uterina. Perlukaan ini dapat terjadi pada persalinan normal, tetapi yang
paling sering ialah akibat upaya melahirkan anak ataupun persalinan
buatan (bila proses persalinan dengan bantuan tenaga dari luar) pada
pembukaan yang belum lengkap.1,9,10 Pada keadaan di mana robekan
serviks ini tidak ditangani dengan baik, dalam jangka panjang dapat terjadi
inkompetensi serviks (cervical incompetence atau) pun infertilitas
sekunder.3

Pada suatu penelitian yang dilakukan di Soroka University


Medical Center pada wanita dengan dan tanpa riwayat laserasi serviks
pada persalinan sebelumnya tahun 1991-2004 didapatkan bahwa dari
jumlah 429 (0,2%) pada wanita dengan riwayat laserasi serviks pada
kehamilan sebelumnya ditemukan sebagai faktor risiko independen untuk
sectio caesarea berikutnya (OR 1,4, 95% CI 1,1-1,9), laserasi serviks
berulang (OR 29,3, 95% CI 17,7- 48.5), laserasi perineum parah (OR 11.7,
95% CI 5.1-27.2), dan persalinan prematur (OR 1.8, 95% CI 1.1-2.8) pada
kehamilan berikutnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa riwayat laserasi
serviks intrapartum merupakan faktor risiko independen untuk laserasi
serviks berulang, Sectio saesarea, persalinan prematur, dan laserasi
perineum parah pada kehamilan berikutnya.12

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S. 2011. Ilmu Kandungan. P.T BINA PUSTAKA


SARWONO PRAWOROHARDJO: Jakarta.
2. Prawirohardjo S. 2008. Ilmu Kebidanan. P.T BINA PUSTAKA
SARWONO PRAWOROHARDJO: Jakarta.
3. Prawirohardjo, Sarwono, 2000, Ilmu Bedah Kebidanan, P.T BINA
PUSTAKA SARWONO PRAWOROHARDJO: Jakarta.
4. Djokovic Dusan, dkk. 2015. Clinical Case Reports “Spontaneous
delivery through a cervical tear without cervical os dilatation”. Servico
de Obstetrıcia e Ginecologia, Hospital S. Francisco Xavier –CHLO,
Lisbon, Portugal.; 3(1): 3–6
5. Anggi dr. 2011. Anatomi, Histologi dan Fisiologi Leher Rahim.
https://www.scribd.com/doc/54255247/Anatomi-Dan-Fisiologi-Serviks-
Dr-Anggi (Di akses pada 30 Juni 2022)
6. Schuitemaker N.W.E. and Mackenzie M.R. 1989. Postpartum
haemorrhage due to a laceration in the endocervical canal; three case
reports. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive
Biology Elsevier. Department of Gynaecology and Obstetrics, Bronwo
Hospital, The Hague, The Netherlands. 30 (1989) 183-185
7. Jon Barrett Dr, dkk. 2018. Hospital Harm Improvement Resource
Obstetric Trauma. The Canadian Institute for Health Information and the
Canadian Patient Safety Institute have collaborated on a body of work to
address gaps in measuring harm and to support patient safety
improvement efforts in Canadian hospitals.
8. Suzuki Shunji. 2015. Risk of Intrapartum Cervical Lacerations in Vaginal
Singleton Deliveries in Women With Cerclage. Department of Obstetrics
and Gynecology, Japanese Red Cross Katsushika Maternity Hospital, 5-
11-12, Tateishi, Katsushika-ku, Tokyo 124-0012, Japan. J Clin Med Res.
2015;7(9):714-716
9. Parikh Reshma MD, dkk. 2007. Cervical lacerations: some surprising
facts. American Journal of Obstetrics&Gynecology. 17-18
10. Njoku Charles, dkk. 2015. The Pattern and Maternal Outcome of Lower
Genital Tract Injuries Among Women With Vaginal Deliveries in
Calabar; A Niger Delta State of Nigeria. International Journal of
Women’s Health and Reproduction Sciences. Department of Obstetrics
and Gynecology, University of Calabar Teaching Hospital (UCTH),
Calabar, Cross River State, Niger. 3,(4): 190–195
11. F. Wong Luchin MD, dkk. 2016. Intrapartum Cervical Laceration and
Subsequent Pregnancy Outcomes. American Journal of Perinatology
Reports Vol. 6 No. 3/2016. Department of Obstetrics and Gynecology,
University of Utah, Salt Lake City, Utah; Department of Maternal-Fetal
Medicine, Intermountain Healthcare, Salt Lake City, Utah; Department of
Pediatrics, University of Utah, Salt Lake City, Utah; Pediatric Clinical
Program, Intermountain Healthcare, Salt Lake City, Utah. 6:e318–e323
12. Hamou B, Sheiner E, Coreanu T, Walfisch A, Silberstein T. Intrapartum
cervical lacerations and their impact on future pregnancy outcome. J
Matern Fetal Neonatal Med. 2020 Mar ;33(5):883-887. doi:
10.1080/14767058.2018.1505852. Epub 2018 Sep 7. PMID: 30189764.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30189764/ (Diakses pada 30 Jui 2022)
13. Sanjaya G.D.W. 2019. Tanda Bahaya Serta Penatalaksanaan
Perdarahan Post-Partum. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Bali. (3),1: 9-18
https://isainsmedis.id/index.php/ism/article/viewFile/59/60 (Di akses pada
tanggal 5 Juli 2022)
14. Netter, Frank H. 2014. Atlas Of Human Anatomy 25 Edition. Jakarta:
th

EGC.

Anda mungkin juga menyukai