Pemeriksaan lanjutan :
• Foto rontgen PA dan lateral
• CT dan MRI
• Pemeriksaan sitologi : sitologi sputum bila pasien ada keluhan seperti batuk. Sitologi juga ada pada cairan
pleura, aspirasi KGB servikal, supraklavikula, bilasan dan sikatan bronkus pada bronkoskopi
• Pemeriksaan histopatologi : gold standard untuk kanker paru. Untuk mendapatkan spesimen bisa dengan
cara bronkoskopi
• Pemeriksaan serologi/tumor marker : CEA, NSE, Cyfra 21-1
9. Kanker paru dapat menyebabkan efusi pleura :
• Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatkan permeabilitas pleura
terhadap air dan protein
• Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya aliran pembuluh
darah vena dan getah bening sehingga rongga pleura gagal dalam
memindahkan cairan dan protein
• Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah terjadi selanjutnya
timbul hipoproteinemua sehingga cairan bisa keluar dari pembuluh
darah dan menuju pleura
• Selanjutnya efusi pleura dapat menyebabkan sesak napas karena
tidak maksimalnya pengembangan paru saat inspirasi
12. Pemberian oksigen bisa mengurangi keluhan karena dapat mengoptimalkan oksigenasi
jaringan dan meminimalkan asidosis respiratorik. Mengurangi sesak napas saat
beraktivitas, meningkatkan kemampuan beraktivitas dan memperbaiki kualitas hidup.
13. Epistaksis atau mimisan dapat terjadi setelah trauma ringan mulai dari mengeluarkan
ingus terlalu kuat, bersin terlalu kuat yang dapat meningkatkan tekanan, mengorek hidung,
atau akibat trauma berat seperti kecelakaan lalu lintas. Epistaksis berat dapat terjadi pada
tumor seperti hemangiomioma, karsinoma, dan angiofibroma.
• Perdarahan dapat berasal dari :
• Bagian anterior cavum nasi : akibat mengorek hidung, rinitis, dan infeksi
• Bagian posterior cavum nasi : akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur, dan tumor
14. Terbentukmnya massa di cavum nasi yang mudah berdarah. Massa yang ada dapat
dicurigai sebagai suatu keganasan saat hal-hal seperti alergi sudah disingkirkan.
Kemungkinan massa tersebut adalah suatu angiofibroma, yaitu terdiri dari komponen
fibrosa dan vaskuler. Kebanyakan vaskuler hanya berupa bagian endotel tanpa ada selubug
lemak sehingga menyebabkan seringnya perdarahan akibat hilangnya kemampuan
pembuluh darah untuk kontraksi. Gambarannya dapat berupa jaringan yang lunak pada
bagian anterior cavum nasi.
15. Riwayat alergi dapat menyebabkan terentuknya polip di hidung yang mengandung
banyak eosinofil, berwarna kemerahan.
16. Trauma menyebabkan pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa
hidung. 80% adalah dari pleksus kiesselbach, terletak di cavum nasi anterior.
17. Untuk menegakkan diagnosis pasti, apakah massa tersebut sebuah keganasan
atau tidak dan untuk menentukan jenis terapi yang akan diberikan
18. Rawat inap : karena akan melakukan biopsi di rongga hidungnya dan untuk
pemeriksaan dan penatalaksanaan lebih lanjut
19. Epistaksis dapat terjadi pada semua usia. Lebih sering pada usia 2-10 tahun dan
usia 50-80 tahun. mimisan berbahaya pada anak usia <2 tahun, durasi >30 menit,
perdarahan yang banyak, dan frekuensi yang sering.
20. Diagnosis untuk pasien pertama yaitu kanker paru dan untuk pasien kedua
curiga angiofibroma tapi masih diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk diagnosis
pastinya.
4. Skema
5. Learning Objective
1. Epidemiologi pada keganasan saluran napas atas dan bawah
2. Etiologi pada keganasan saluran napas atas dan bawah
3. Faktor risiko pada keganasan saluran napas atas dan bawah
4. Patogenesis dan patofisiologi pada keganasan saluran napas atas dan
bawah
5. Manifestasi klinis pada keganasan saluran napas atas dan bawah
6. Pemeriksaan penunjang pada keganasan saluran napas atas dan bawah
7. Diagnosis pada keganasan saluran napas atas dan bawah
8. Tatalaksana pada keganasan saluran napas atas dan bawah
9. Komplikasi pada keganasan saluran napas atas dan bawah
10. Prognosis pada keganasan saluran napas atas dan bawah
Ca Nasofaring
Epidemiologi
• Prevalensinya 4,7 dari 100.000 kasus per tahun
• Menduduki peringkat keempat di Indonesia
• Pria 2-3x lebih berisiko dari wanita
• Insidennya berkisar antara umur 10-80 th dan mencapai puncak pada
usia 40-50 th
• Banyak ditemukan di Asia Selatan
Etiologi
• Virus Epstein Barr (EB)
• Genetik
• Zat kimia
• Menghirup asap dari kayu hangus, asap makanan, cairan antinyamuk
yg terbakar
• Pekerjaan yg sering terpapar zat karsinogen (pabrik kayu dan plastik)
• dll
Patogenesis
• Perkembangan KNF dapat melalui infiltrasi maupun ekspansi di
mukosa yg abnormal (kdg2 tidak ada perubahan di mukosa sama
sekali)
• Selanjutnya tumor berada di submucosa dan berkembang keluar area
nasofaring
• Banyaknya drainase limfatik sekitar leher membantu penyebaran
lebih lanjut
Manifestasi klinis
• Pembesarab KGB (40%)
• Keluhan hidung (tersumbat, mimisan, rhinolalia) -> 20-25%
• Gejala telinga (tuli unilateral, otitis media) -> 20%
• Gejala neurologi (diplopia) -> 20%
• Sakit kepala
Larynx cancer
Epidemiology
• Laryngeal cancers represent one-third of all head and neck cancers
and may be a significant source of morbidity and mortality.
• The mean age of patients is 65 years, with a higher proportion of
males versus females, and blacks versus whites.
• In recent years, age-adjusted incidence rates have decreased by about
2% annually, attributed to decreased rates of tobacco smoking.
• Approximately 98% of laryngeal cancers arise in either the
supraglottic or glottic regions, with glottic cancers being three times
more common that supraglottic cancers, and subglottic cancers
representing approximately 2% of all cases.
Etiology
• Smoking is the most significant risk factor for cancers of the larynx,
associated with an estimated 70% to 95% of all cases. Any history of
smoking portends higher risk, with current smokers exhibiting
increased relative risk versus ex-smokers overall and increased
relative risk for supraglottic versus glottic cancers. An association with
heavy alcohol consumption has also been characterized, though the
independent effect of alcohol is not clear given that combined use
with tobacco is noted in most cases. Marijuana smoking may play a
role in younger patients. In contrast to other cancers of the head and
neck, the role of human papillomavirus (HPV) as a causative agent has
not been established.
History and Physical
• Patients are typically male with a history of current or past tobacco smoking.
• early presenting symptom of glottic cancers due to vocal cord immobility or
fixation, with pain with swallowing and referred ear pain indicating advanced
disease.
• Late symptoms across all subsites include weight loss, dysphagia, aspiration and its
sequelae, and airway compromise.
• The most crucial component of a physical examination is an invasive assessment of
the primary lesion, including indirect laryngoscopy, mirror exam, and often
fiberoptic endoscopy. The objective is to assess local extent of the tumor, noting
size and involvement of adjacent structures, as well as assessing the mobility of the
vocal cord. Direct laryngoscopy offers enhanced ability to delineate the extent of
disease as well as the ability to obtain tissue specimens. Thorough neck
examination is imperative, not only to assess for nodal metastasis but the extension
of the primary lesion. Tenderness of the thyroid cartilage indicates direct tumor
extension, and firm fullness palpated just superior to the thyroid notch classically
indicates pre-epiglottic space invasion.
Diagnosa
• In addition to history, physical examination, and direct visualization of the
larynx
• The most valuable are biopsy during direct laryngoscopy of the suspected
primary lesion, and fine-needle aspiration (FNA) of any suspected nodal
disease.
• For all laryngeal cancers, whether suspected to be early or late stage, imaging
of the primary lesion and draining lymph nodes is indicated, usually with
contrast-enhanced CT of the neck.
• Suspected locally advanced disease would prompt contrast-enhanced CT of
the chest as well as PET/CT to rule out distant metastases. Suspected invasion
into the hypopharynx may prompt esophagogastroduodenoscopy (EGD)
and/or barium swallow, which may differentiate the correct aerodigestive
tissue of cancer origin.
Treatment
• Definitive treatment options for advanced laryngeal cancer include
surgery, radiotherapy, chemoradiotherapy, or a combination of these.
• Surgical options may range from minimally invasive transoral laser or
robotic surgical resection, to open partial laryngectomy, to total
laryngectomy. However, for many cases of advanced larynx cancer,
the only feasible option is total laryngectomy. In the past, this
operation was considered to be the gold standard treatment for
advanced laryngeal cancers.15 However, while it offers excellent local
control, it is associated with significant functional and psychological
sequelae.
Mediastinal Cancer
Classification
• Anterior Mediastinum
1. Thymic Carsinoma
2. Germ Cell Tumors
3. Lymphoma
4. Mediastinal Thyroid Mass
• Posterior Mediastinum
1. Neurogenic Mediastinal Neoplasm
• Middle Mediastinum
1. Thyroid Cancers
2. Mediastinal Thyroid Mass
3. Metastatic Lung Cancer
4. Esophageal Cancer
Epidemiology
Mediastinal cancers are usually rare. Typically, they are diagnosed in
patients aged 30 to 50 years but can develop at any age from any tissue
that is located or passes through the mediastinum. Children usually
present with cancers in the posterior mediastinum, while adults usually
present with cancers in the anterior mediastinum. There is a similar
incidence in men and women, but it can vary with the type of cancer
present.
Etiology
While the causes of mediastinal tumors are as varied as the different
types of these tumor, a past history of radiation therapy (for breast
cancer or lymphoma) may precede the development of cancers within
the mediastinum. The location and type of tumor help define the origin
of these tumors.
Pathogenesis
There are no specific pathogenesis but cancers in the mediastinum can
develop from structures that are anatomically located inside the
mediastinum or that transverse through the mediastinum during
development, and also from metastases or malignancies that originate
elsewhere in the body.
Clinical Manifestation
• Asymptomatic, detected in chest X-ray
• Get larger: decreased pressure to surrounded organs
• Malignant: decreased pressure to surrounded organs + invasion
Many mediastinal masses are asymptomatic. In general, malignant lesions and masses in
children are much more likely to cause symptoms. The most common symptoms are chest
pain and weight loss. Lymphomas may manifest with fever and weight loss. In children,
mediastinal masses are more likely to cause tracheobronchial compression and stridor or
symptoms of recurrent bronchitis or pneumonia.
Symptoms and signs also depend on location. Large anterior mediastinal masses may cause
dyspnea when patients are lying supine. Lesions in the middle mediastinum may compress
blood vessels or airways, causing the superior vena cava syndrome or airway obstruction.
Lesions in the posterior mediastinum may encroach on the esophagus, causing dysphagia
or odynophagia.
DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan fisik akan memberikan informasi sesuai dengan lokasi, ukuran
danketerbatasan organ lain, misalnya telah terjadi penekanan ke organ sekitar
nya.Kemungkinan tumor mediastinum dapat dipikirkan atau dikaitkan dengan
beberapakeadaan klinis lain, misalnya:
• Miastenia gravis mungkin menandakan timoma
• Limfadenopati mungkin menandakan limfoma
• Pemeriksaan penunjang
• Radiologi
• Foto thorax
• CT-scan
• Bronkoskopi
• Pemeriksaan Patologi anatomi
• Pemeriksaan histologi
• Pemeriksaan lab
• Torakotomi eksplorasi
TATALAKSANA
KANKER PARU
1. PENGERTIAN
Kanker paru adalah semua penyakit keganasan di paru,
mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri (primer)
Dalam pengertian klinik yang dimaksud dengan kanker paru
primer adalah tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus (karsinoma
bronkus = bronchogenic carcinoma).
2. EPIDEMIOLOGI
Kanker paru merupakan penyebab utama keganasan di dunia,
mencapai hingga 13 persen dari semua diagnosis kanker. Selain itu,
kanker paru juga menyebabkan 1/3 dari seluruh kematian akibat kanker
pada laki-laki.
Berdasarkan data WHO, kanker paru merupakan jenis kanker
terbanyak pada laki-laki di Indonesia, dan terbanyak kelima untuk
semua jenis kanker pada perempuan.Kanker paru juga merupakan
penyebab kematian akibat kanker terbanyak pada laki-laki dan kedua
pada perempuan.
3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
1. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi:
-polusi udara
-karsinogen di lingkungan
-asap rokok dan rokok (85-90% penyebab)
-makanan
-riwayat penyakit paru seperti PPOK atau fibrosis paru.
2. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi:
-Faktor genetik
-Jenis kelamin (laki-laki>>)
4. DIAGNOSIS
Kanker paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan
pemeriksaan patologi anatomi.
1. Anamnesis
• Gejala klinis kanker paru tidak khas tetapi batuk, sesak napas, atau nyeri dada (gejala respirasi)
yang muncul lama atau tidak kunjung sembuh dengan pengobatan biasa pada “kelompok
risiko” harus ditindak lanjuti untuk prosedur diagnosis kanker paru.
• Gejala yang berkaitan dengan pertumbuhan tumor langsung, seperti batuk, hemoptisis, nyeri
dada dan sesak napas/stridor. Batuk merupakan gejala tersering (60-70%) pada kanker paru.
• Gejala lain berkaitan dengan pertumbuhan regional, seperti efusi pleura, efusi perikard,
sindorm vena kava superior, disfagia, Pancoast syndrome, paralisis diafragma. Pancoast
syndrome merupakan kumpulan gejala dari kanker paru yang tumbuh di sulkus superior, yang
menyebabkan invasi pleksus brakial sehingga menyebabkan nyeri pada lengan, sindrom Horner
(ptosis, miosis, hemifacial anhidrosis).
• Keluhan suara serak menandakan telah terjadi kelumpuhan saraf atau gangguan pada pita
suara. Gejala klinis sistemik yang juga kadang menyertai adalah penurunan berat badan dalam
waktu yang singkat, nafsu makan menurun, demam hilang timbul. Gejala yang berkaitan
dengan gangguan neurologis (sakit kepala, lemah/parese) sering terjadi jika telah terjadi
penyebaran ke otak atau tulang belakang. Nyeri tulang sering menjadi gejala awal pada kanker
yang telah menyebar ke tulang. Terdapat gejala lain seperti gejala paraneoplastik, seperti nyeri
muskuloskeletal, hematologi, vaskuler, neurologi, dan lain-lain
2. Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan fisik mencakup tampilan umum (performance status) penderita yang
menurun, penemuan abnormal terutama pada pemeriksaan fisik paru benjolan leher,
ketiak atau dinding dada, tanda pembesaran hepar atau tanda asites, nyeri ketok di
tulang.
• Pada pemeriksaan fisik, tanda yang dapat ditemukan pada kanker paru dapat
bervariasi tergantung pada letak, besar tumor dan penyebarannya. Pembesaran
kelenjar getah bening (KGB) supraklavikula, leher dan aksila menandakan telah terjadi
penyebaran ke KGB atau tumor di dinding dada, kepala atau lokasi lain juga menjadi
petanda penyebaran. Sesak napas dengan temuan suara napas yang abnormal pada
pemeriksaan fisik yang didapat jika terdapat massa yang besar, efusi pleura atau
atelektasis. Venektasi
• (pelebaran vena) di dinding dada dengan pembengkakan (edema) wajah, leher dan
lengan berkaitan dengan bendungan pada vena kava superior (SVKS). Sindroma Horner
sering terjadi pada tumor yang terletak si apeks (pancoast tumor). Thrombus pada
vena ekstremitas ditandai dengan edema disertai nyeri pada anggota gerak dan
gangguan sistem hemostatis (peningkatan kadar D-dimer) menjadi gejala telah
terjadinya bendungan vena dalam (DVT). Tanda-tanda patah tulang patologik dapat
terjadi pada kanker yang bermetastasis ke tulang. Tanda-tanda gangguan neurologis
akan didapat jika kanker sudah menyebar ke otak atau tulang belakang.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin: Hb, Leukosit, Trombosit, fungsi hati, fungsi ginjal.
4. Pemeriksaan Patologi Anatomik
1. Pemeriksaan Patologi Anatomik (Sitologi dan Histopatologi)
2. Pemeriksaan imunohistokimia untuk menentukan jenis (seperti TTF-1 dan
lain-lain) dilakukan apabila
fasilitas tersedia.
3. Pemeriksaan Penanda molekuler yang telah tersedia diantaranya adalah
mutasi EFGR hanya dilakukan
apabila fasilitas tersedia
• Rekomendasi Pemeriksaan