Anda di halaman 1dari 16

Definisi

Chronic Kidney Disease (Gagal Ginjal Kronik) adalah adanya kelainan struktur atau fungsi
ginjal (atau keduanya) setidaknya dalam tiga bulan. Hal ini diklasifikasikan berdasarkan tingkat
disfungsi ginjal, yang diukur dengan perkiraan laju filtrasi glomerulus.

Gagal ginjal Kronik ditentukan dengan 2 kriteria yaitu pertama, kerusakan ginjal yang terjadi
lebih dari 3 bulan disertai kelainan structural maupun fungsional dengan atau tanpa penurunan
LFG yang bermanifestasi adanya kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan pada ginjal yang
berupa kelainan pada komposisi darah, urin atau kelainan pada tes pencitraan (imaging tests).
Kedua, LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan
ginjal.

KDIGO. Clinical Practice Guideline Update for the Diagnosis, Evaluation, Prevention and
Treatment for Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone Disorder. 2017.

Klasifikasi

Klasifikasi GGK dibagi atas 5 tingkatan derajat yang didasarkan pada LFG dengan ada atau
tidaknya kerusakan ginjal. Pada derajat 1-3 biasanya belum terdapat gejala apapun
(asimptomatik). Manifestasi klinis muncul pada fungsi ginjal yang rendah yaitu terlihat pada
derajat 4 dan 5.

Derajat LFG Keterangan


1 ≥90 Kerusakan ginjal dengan LFG
normal atau meningkat.
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun ringan.
3a 45-59 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun ringan sampai sedang.
3b 30-44 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun sedang sampai berat.
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun berat.
5 <15 Gagal ginjal.
KDIGO. Clinical Practice Guideline Update for the Diagnosis, Evaluation, Prevention and
Treatment for Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone Disorder. 2017.

Etiologi

Chronic Kidney Disease (CKD) disebabkan oleh bermacam-macam hal:

 Glomerulonephritis, akibat infeksi (endocarditis bacterial, hepatitis C, hepatitis B, HIV)


atau yang bersifat kronik
 Diabetes mellitus menyebabkan nefropati diabetic
 Hipertens, penyakit nefrosklerosis
 Uropati obstruktif (batu saluran kemih, tumor dan lain-lain)
 Lupus eritematosus sistemik, amyloidosis, penyakit ginjal polikistik
 Penggunaan obat-obatan (obat antiinflamasi non steroid, antibiotic, siklosporin,
takrolimus)

Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapius. 2014.

Patofisiologi

Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari, namun perkembangan
proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini menyebabkan berkurangnya massa ginjal.
Sebagai upaya kompensasi, terjadilah hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Akibatnya,
terjadi hiperfiltrasi yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat, hingga pada akhirnya terjadi suatu proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Sklerosis nefron ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron
progresif, walaupun penyakit yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi.

Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati
diabetik merupakan istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada DM .
Mekanisme peningkatan GFR yang terjadi pada keadaan ini masih belum jelas benar, tetapi
kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang
diperantarai oleh hormon vasoaktif, Insuline-like Growth Factor (IGF) – 1, nitric oxide,
prostaglandin dan glukagon. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi non
enzimatik asam amino dan protein. Proses ini terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium
dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis.

Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal ginjal. Hipertensi yang berlangsung
lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai
dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh darah. Salah satu organ sasaran dari
keadaan ini adalah ginjal. Ketika terjadi tekanan darah tinggi, maka sebagai kompensasi,
pembuluh darah akan melebar. Namun di sisi lain, pelebaran ini juga menyebabkan pembuluh
darah menjadi lemah dan akhirnya tidak dapat bekerja dengan baik untuk membuang kelebihan
air serta zat sisa dari dalam tubuh. Kelebihan cairan yang terjadi di dalam tubuh kemudian dapat
menyebabkan tekanan darah menjadi lebih meningkat, sehingga keadaan ini membentuk suatu
siklus yang berbahaya.

Hendromartono. Nefropati Diabetik. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. VI. Jakarta:
Interna Publishing; 2014.

Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. VI. Jakarta:
Interna Publishing; 2014.

Manifestasi klinik

Gambaran klinis pasien CKD meliputi gambaran yang sesuai dengan penyakit yang mendasari,
sindrom uremia dan gejala kompikasi. Pada stadium dini, terjadi kehilangan daya cadang ginjal
dimana GFR masih normal atau justru meningkat. Kemudian terjadi penurunan fungsi nefron
yang progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan. Ketika GFR sebesar 30%, barulah
terasa keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat
badan. Sampai pada GFR di bawah 30%, pasien menunjukkan gejala uremia yang nyata seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual,
muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terserang infeksi, terjadi gangguan
keseimbangan elektrolit dan air. Pada GFR di bawah 15%, maka timbul gejala dan komplikasi
serius dan pasien membutuhkan RRT.

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.

a. Kelainan hemopoeisis Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94


CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat
bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml
per menit.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas,
diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk
amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan
usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah
pembatasan diet protein dan antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal
ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan
gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata
menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal
ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan
gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga
dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme
sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang
dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu
indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi,
dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis,
dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
g. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular,
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.

Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. VI.
Jakarta: Interna Publishing; 2014.

Diagnosis

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan
penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran
klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai
spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan
faal ginjal.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a) sesuai dengan penyakit
yang mendasarinya. b) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa digunakan untuk
memperkirakan fungsi ginjal. c) kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar
hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalamia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic. d)
kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.

b. Radiologi
Pemeriksaan radiologis gagal ginjal kronik meliputi: a) foto polos abdomen, bisa
tampak batu radio-opak. b) pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras
sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c)
pielogragi antegrad atau retrograde dilakukan dengan indikasi. d) ultrasonografi
ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis,
adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. e) pemeriksaan
pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

c. Biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal


Biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal
yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsy
ginjal kontraindikasi pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah mengecil, ginjal
polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan
darah, gagal nafas dan obesitas.

Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. VI.
Jakarta: Interna Publishing; 2014.
Tatalaksana

Tujuan tatalaksana antara lain untuk menghambat penurunan LFG dan mengatasi komplikasi
CKD stadium akhir (stadium 4 dan 5).

Tatalaksana untuk mencegah progesivitas CKD:

a. Kontrol tekanan darah


Target tekanan darah: <130/80 mmHg (tanpa proteinuria), <125/75 mmHg (dengan
proteinuria). Antihipertensi yang disarankan ialah ACE inhibitor, ARB, dan CCB
nonhidropiridine.
b. Restriksi asupan protein.
Untuk mencegah risiko malnutrisi. Rekomendasi asupan protein:
 CKD pre dialysis: 0,6-0,75 g/KgBB ideal/hari
 CKD hemodialysis: 1,2 g/kgBB ideal/hari
 CKD dialysis peritoneal: 1,2-1,3 g/kgBB/hari
 Transplantasi ginjal: 1,3 g/kgBB ideal/hari pada 6 minggu pertama pasca
transplantasi dilanjutkan 0,8-1 g/kgBB ideal/hari
Protein yang dipilih adalah yang memiliki kandungan biologis tinggi (protein hewani),
minimal 50%.
c. Kontrol kadar glukosa darah.
Target HBA1C <7%. Lakukan penyesuaian dosis obat hipoglikemik oral. Hindari
penggunaan metformin. Golongan glitazon dapat dipilih.
d. Restriksi cairan
Rekomendasi asupan cairan pada CKD:
 CKD pre dialysis: cairan tidak dibatasi dengan produksi urin yang normal
 CKD hemodialysis: 500 ml/hari + produksi urin
 CKD dialysis peritoneal: 1500-2000 ml/hari. Lakukan pemantauan harian
 Transplantasi ginjal: pada fase akut pasca transplantasi, pasien dipertahankan
euvolemik/ sedikit hipervolemik dengan insensible water loss diperhitungkan
sebesar 30-60 ml/jam. Untuk pasien normovolemik dan graft berfungsi baik,
asupan cairan dianjurkan minimal 2000 ml/hari/ untuk pasien oliguria, asupan
cairan harus seimbang dengan produksi urin ditambah insensible water loss 500-
750 ml.
e. Restriksi asupan garam
Rekomendasi asupan NaCl per hari:
 CKD predialisis: <5g/hari
 CKD hemodialysis: 5-6g/hari
 CKD dialysis peritoneal: 5-10g/hari
 Tranplantasi ginjal: <6-7 g/hari. Natrium hanya dibatasi pada periode akut pasca
operasi dimana mungkin terjadi fungsi graft yang buruk atau hipertensi pasca
transplantasi.
f. Terapi dyslipidemia. Target LDL <100 mg/dL. Apabila trigliserida ≥200 mg/dL, target
kolesterol non HDL <130 mg/dL/ kolesterol non HDL ialah kadar kolesterol total
dikurang kadar HDL. Tetapi dyslipidemia dapat menggunakan statin, serta pola makan
rendah lemak jenuh. Asupan lemak dianjurkan 25-30% total kalori dengan lemak jenuh
dibatasi <10%. Apabila ada dyslipidemia, asupan kolesterol dalam makanan dianjurkan
<300 mg/hari.
g. Modifikasi gaya hidup. Indeks massa tubuh ideal dilakukan pengaturan berat badan dan
olahraga 30 menit minimal 3 hari dalam seminggu, serta berhenti merokok.
h. Edukasi. Pasien mengerti tentang CKD, factor progesivitas, pilihan modalitas terapi
pengganti ginjal.

Tatalaksana untuk mengatasi komplikasi CKD:

a. Anemia. Lakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan anemia defisiensi besi. Terapi


eritropoietin apabila Hb <10 g/dl dan Ht <30% (target Hb 10-12 g/dL, Ht >30%). Dosis
penggunaaan EPO:
 Fase koreksi: 2000-4000 IU subkutan, 2-3 kali/minggu, selama 4 minggu. Target
Hb naik 1-2 g/dL atau Ht naik 2-4% dalam 4 minggu.
 Apabila target belum tercapai dosis EPO dinaikkan 50%
 Apabila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik ?8% dalam 4 minggu, dosis diturunkan
sebanyak 25%
b. Asidosis metabolic. koreksi apabila konsentrasi HCO3 <22 mmol/L. koreksi dilakukan
dengan suplemen bikarbonat oral untuk mempertahankan kadar HCO3 22-24 mmol/L.
bikarbonat oral diberikan 3x2 tab (325-2000mg) setiap harinya.
c. Hiperfosfatemia. Pilihan terapi tergantung kadar Ca2+ dan PO4 pasien. Koreksi
dilakukan dengan pemberian phosphate binders. Jenis phosphate binders yang tersedia:
 Ca based phosphate binders, contoh: kalsium asetat atau kalsium karbonat 3-6
g/hari
 Non Ca based phosphate binders, contoh: lanthanum, sevelamer, magnesium.
d. Hiperhomosisteinemia. Pemberian suplemen oral: asam folat 15 mg dan vitamin B12
500µg/hari dilakukan untuk mencegah aterosklerosis.

Pada CKD stadium 4, pasien perlu dipersiapkan untuk menjalani terapi pengganti ginjal (TPG).
Terapi pengganti ginjal umumnya dilaksanakan pada CKD stadium 5. Modalitas TPG yang
tersedia untuk pasien CKD dapat berupa hemodialysis (cuci darah), dialysis peritoneal, atau
tranplantasi ginjal.

Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapius. 2014.

TEORI PENUAAN

Teori penuaan sudah tercatat dalam teori evolusi. Di dalam teori evolusi, penuaan diindikasikan
sebagai hasil dari penurunan kekuatan hukum alam. Teori ini dirumuskan pertama dari
pengamatan pasien penyakit Huntington. Dilaporkan bahwa sekuat apapun subyek, penyakit
tersebut tetap ditemukan dalam populasi. Turunnya kekuatan seleksi alam dijelaskan dari
keterlambatan onset penyakit tersebut bagi carrier, sehingga carrier masih berkesempatan untuk
memiliki keturunan. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, teori-teori mengenai penuaan
muncul, lebih dari 300 teori diajukan15, namun hanya beberapa dianggap benar seperti :

1. Teori Radikal Bebas


Teori radikal bebas dikemukakan pertama kali sekitar tahun 1941 oleh Harman
yang menyebutkan bahwa penuaan merupakan proses tunggal yang dimodifikasi oleh
genetik dan faktor lingkungan dimana penumpukan radikal oksigen endogenous yang
terbentuk di sel bertanggungjawab terhadap proses menua dan kematian seluruh makhluk
hidup. Kemudian pada tahun 1972 teori ini direvisi ketika mitokondria diidentifikasi
sebagai penginisiasi sebagian besar reaksi radikal bebas yang berhubungan dengan
penuaan. Dikemukakan juga bahwa rentang hidup seseorang bergantung pada rasio
radikal bebas yang merusak di mitokondria.
Radikal bebas merupakan produk sampingan hasil dari metabolisme dan berbagai
proses selular yang menggunakan oksigen. Radikal bebas merupakan senyawa yang
sangat reaktif dan bersifat merusak. Diketahui pula bahwa radikal bebas sangat mudah
bereaksi dengan Deoxiribosa Nukleat Acid (DNA), protein, dan asam lemak tak jenuh.
Dari teori ini disimpulkan bahwa penumpukan radikal bebas di sel dalam batas tertentu
dianggap sebagai hal yang berhubungan dengan proses penuaan. Hal ini sejalan dengan
bukti bahwa semakin tua umur seseorang, semakin banyak ditemukan radikal bebas di
dalam sel tubuhnya
2. Teori Glikosilasi
Advanced Glycation End Products (AGEs) merupakan kumpulan senyawa kimia yang
terbentuk akibat adanya perubahan struktur serta ikatan silang pada proses glikosilasi
protein. AGEs secara normal terdapat di dalam tubuh dan akan terakumulasi pada
berbagai organ seiring dengan meningkatnya usia. Pembentukan AGEs diawali oleh
reaksi glikosilasi nonenzimatik, atau disebut juga reaksi Maillard. AGEs yang
berakumulasi di jaringan – jaringan tubuh seperti jaringan elastis, kolagen, jaringan mata
secara berlebihan akibat perjalanan waktu akan menyebabkan kehilangan fungsi jaringan
tersebut, seperti kemampuan elastisitas
3. Teori DNA repair
Teori ini dikemukakan karena adanya perbedaan pola laju perbaikan kerusakan DNA
yang diinduksi sinar UV pada berbagai macam fibroblast. Didapatkan bahwa fibroblast
pada umur yang lebih besar (maksimum) mengalami perbaikan DNA. Teori ini sangat
erat kaitannya dengan teori radikal bebas, karena radikal bebas sangat mempengaruhi
mutasi DNA dimana keduanya bertanggungjawab terhadap kematian sel
4. Teori Pemanjangan Telomer
Telomer adalah susunan rantai DNA yang berlokasi di akhir kromosom eukariotik.
Telomer pada manusia tersusun oleh rantai pengulangan basa TTAGGG sampai 15
kilobasa saat lahir. Dalam kehidupan manusia, sel-sel tubuh memiliki kemampuan untuk
membelah. Saat sel mengalami pembelahan, telomer akan mengalami pemendekan.
Pemendekan telomer ini berkaitan dengan besar rentang waktu manusia hidup. Sel-sel
akan terus membelah sampai telomer tidak lagi dapat memendek dan sel tersebut
mengalami kematian. Sel yang mengalami kematian akan membuat jaringan mengalami
penurunan fungsinya.

Sastre J, Pallardo FV, Garcia de la Asuncion J. Mitocondria, oxidative stress and


aging. Free Rad Res. 2000.
David M. Wilson. Preface: DNA damage, DNA repair, aging and age-related
disease. Mech Ageing Dev.2008.

ASSESMENT GERIATRI
Penilaian geriatri adalah penilaian multidimensi, multidisiplin yang dirancang
untuk mengevaluasi kemampuan fungsional orang tua, kesehatan fisik, kognisi dan
kesehatan mental, dan keadaan lingkungan sosial. Biasanya dimulai ketika dokter
mengidentifikasi masalah potensial. Elemen spesifik kesehatan fisik yang dievaluasi
meliputi nutrisi, penglihatan, pendengaran, feses dan kontinensi urin, dan keseimbangan.
Penilaian geriatrik membantu dalam diagnosis kondisi medis; pengembangan rencana
perawatan dan tindak lanjut; koordinasi manajemen perawatan; dan evaluasi kebutuhan
perawatan jangka panjang dan penempatan yang optimal.
 Kemampuan fungsional
 Kesehatan fisik
 Nutrisi
Penilaian gizi penting karena asupan mikronutrien yang tidak memadai sering
terjadi pada orang tua. Beberapa kondisi medis yang berkaitan dengan usia dapat
menyebabkan pasien mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
 Penglihatan
Penyebab paling umum dari gangguan penglihatan pada orang yang lebih tua
termasuk presbiopia, glaukoma, retinopati diabetik, katarak, dan degenerasi
makula terkait usia.
 Pendengaran
Pemeriksaan audioscope, pemeriksaan otoscopic, dan tes suara berbisik juga
direkomendasikan. Tes suara berbisik dilakukan dengan berdiri sekitar 3 kaki di
belakang pasien dan membisikkan serangkaian huruf dan angka setelah
menghembuskan napas untuk memastikan bisikan yang tenang. Kegagalan untuk
mengulang sebagian besar huruf dan angka menunjukkan gangguan pendengaran.
 Inkontinensia urin
Inkontinensia urin memiliki dampak medis yang penting dan berhubungan dengan
ulkus dekubitus, sepsis, gagal ginjal, infeksi saluran kemih, dan peningkatan
mortalitas. Implikasi psikososial dari inkontinensia termasuk hilangnya harga diri,
pembatasan aktivitas sosial dan seksual, dan depresi. Selain itu, inkontinensia
sering menjadi faktor penentu utama untuk penempatan panti jompo. Penilaian
untuk inkontinensia urin harus mencakup evaluasi asupan cairan, obat-obatan,
fungsi kognitif, mobilitas, dan operasi urologis sebelumnya.
 Keseimbangan dan Risiko Jatuh
Orang yang lebih tua dapat mengurangi risiko jatuh mereka dengan olahraga,
terapi fisik, penilaian bahaya di rumah, dan penarikan obat-obatan psikotropika.
 Osteoporosis
Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang yang berdampak rendah atau patah
tulang secara spontan, yang dapat menyebabkan jatuh. Osteoporosis dapat
didiagnosis secara klinis atau radiografi.
 Dementia
Diagnosis dini demensia memungkinkan pasien akses tepat waktu ke obat-obatan
dan membantu keluarga membuat persiapan untuk masa depan. Ini juga dapat
membantu dalam manajemen gejala lain yang sering menyertai tahap awal
demensia, seperti depresi dan lekas marah.

Elsawy, Bassem. The Geriatric Assesment. Am Fam Physician: Texas. 2011.

Anda mungkin juga menyukai