Anda di halaman 1dari 25

Case Report Session

Sepsis ec. Ulkus Diabetikum

OLEH

Anatharao 1740312421

PRESEPTOR
Dr. Djunianto, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD LUBUK BASUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018

1
BAB I

LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. D
RM : 20.23.34
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 50 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Lubuk basung
Status : Menikah
Suku Bangsa : Minangkabau
Agama : Islam
Tanggal perawatan : 25 Sep 2018
Jam masuk : 22:00
Tanggal pemeriksaan: 25 Sep 2018

1.1 DATA DASAR


A. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 25 Sep 2018 pukul 2300 WIB
di Bangsal Interne lantai 2 RSUD Lubuk Basung

Keluhan Utama :
Luka pada kaki kanan dan kaki kiri tidak sembuh-sembuh sejak 1 bulan yang lalu
SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan nyeri dan bengkak pada telapak kaki kanan
dan kiri sejak 1 bulan SMRS. Terdapat luka pada kaki kiri pada digiti II yang
awalnya berupa lepuhan dan makin lama menjadi bengkak dan mati
rasa/hipoanethesia sejak 3 tahun SMRS. Kaki terasa nyeri dan sulit digerakkan.
Pasien juga mengeluh demam yang naik perlahan dan tidak turun, namun tidak
sampai mengigil.Riwayat DM tipe 2 tidak terkontrol(+) dan pemakaian Insulin
tidak sambung.
. Keluhan lain dikemukakan pasien adalah nyeri ulu hati yang sering dirasakan,
rasa tidak enak seperti begah, dan mual setiap telat makan. Keluhan ini sudah
dirasakan sejak lama dan pasien diberi obat maag oleh dokter.. BAB tidak ada
keluhan, BAK tidak ada keluhan.

2
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengaku luka ini pernah terjadi dua kali, yang pertama pada tahun
2015 dan yang kedua pada tahun 2016. Pada tahun 2015 luka terdapat di telapak
kaki bawah jempol, dan pasien dirawat dirumah sakit untuk lukanya. Pada tahun
2016 pasien dirawat lagi karena luka pada telapak kaki bagian belakang.
Hipertensi disangkal, Asma disangkal, Sakit Jantung disangkal, Stroke disangkal,
Hepatitis B, C disangkal.

Riwayat Penyakit Keluaga :


Ada anggota keluarga yang menderita diabetes melitus maupun hipertensi.
Asma disangkal, Sakit Jantung disangkal, Stroke disangkal, Gagal ginjal atau
Penyakit Ginjal lainnya disangkal, Hepatitis B, C disangkal.

Riwayat Kebiasaan Sosial :


Pasien memiliki kebiasaan beraktivitas dirumah seperti memasak,
menyapu. Sehari-hari pasien menggunakan alas kaki sandal jepit yang empuk dan
kakinya rajin dibersihkan dengan NaCl oleh anak pasien.

Riwayat Pengobatan :
Pasien mengkonsumsi metformin selama 6 tahun, dan insulin injeksi
selama 4 tahun. Pasien tidak pernah mengkonsumsi jamu-jamu herbal.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Berat badan : 58kg
Tinggi badan :155cm
IMT : 24.16 kg/m2(Normoweight)
2. Vital Sign
Tekanan darah : 120/80mmHg
Frekuensi nadi :90x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi nafas : 24 x/menit, regular, torakoabdominal
Suhu : 37,60 C per axilla

3. Status Generalis

3
Kepala : Normocephal, distribusi rambut merata
Mata : Konjungtiva pucat, Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), perdarahan (-), lendir (-)
Mulut : Mukosa mulut dan lidah kering, bau nafas normal
Telinga : Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-)
Leher :Tampak simetris, deviasi trakea (-), KGB tidak
teraba, JVP 5+0 cmH2O
Thoraks
Paru
Inspeksi : bentuk dada normal, gerak dada simetris saat
statis dan dinamis, venektasi (-), spider naevi (-),
retraksi intercostal (-), pernapasan kussmaul (-)
Palpasi: :taktil fremitus kedua paru simetris, chest
expansionsimetris, nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : sonor pada kedua paru
Auskultasi : vesicular kedua lapang paru, ronkhi (-/-) ,
wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi :iktus kordis teraba di ICS V Linea midclavicularis
Perkusi
Batas kanan : ICS V linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS V 1 jari medial linea midclavicula sinistra
Batas atas : ICS III linea parasternal sinistra
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II reg, murmur (-) gallop (–)

Abdomen
Inspeksi : datar, sikatriks (-), Ascites (-),
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani pada seluruh kuadran abdomen
Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrik (-), hepar dan lien tidak
teraba massa (-), turgor baik
Pinggang : Nyeri ketuk CVA (-/-)

Ekstremitas

4
Akral hangat, edema (-/+), CRT <2 detik, terdapat luka
berukuran 3x2 cm di MTP II kaki kiri, luka berukuran 2x2
cm dibawah MTP II kaki kiri, luka berukuran 10x5 cm di
pedis kaki kanan dan 4x3 cm di MTP I kaki kanan.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium Darah
Jenis Pemeriksaan HASIL Nilai Rujukan
HEMATOLOGI 25/09
Hemoglobin 8.0 12-16 g/dL
Hematokrit 23 40-52%
Eritrosit 3.01 4.3-6 juta/L
Leukosit 12700 4.800-10.800/L
Trombosit 362000 150.000-400.000/L
MCV - 80-96 fL
MCH - 27-32 pg

2. X-foto pedis sinistra:


Hasil pembacaan:
 Tampak iregulitas distal metatarsal I dan phalanx proksimal digiti I,
disertai penebalan jaringan lunak pada level tersebut.
 Dislokasi metatarsophalangeal digiti II kiri ke lateral.
 Fraktur metafisis distal phalanx proksimal digiti II dengan subluksasi
interphalang proksimal.
 Celah sendi tarso menyempit dengan multipel kista subchondral.
 Penebalan jaringan lunak sublentis regio pedis.

3. X-foto thorax:
Kesan:
Jantung dan paru dalam batas normal

4. EKG

1.2 RESUME

5
Pasien perempuan berusia 50 tahun datang dengan keluhan nyeri dan
bengkak pada telapak kaki kanan sejak 1 bulan SMRS. Terdapat luka pada MTP II
kaki kiri yang mati rasa dan tampak nekrosis. Keluhan disertai dengan demam
sejak 3 hari SMRS. Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak 10 tahun yang
lalu dan mengkonsumsi metformin selama 6 tahun lalu diganti insullin suntik
selama 4 tahun ini. Pasien juga mengeluh sering nyeri ulu hati dan perut begah
saat telat makan.
Pada pemeriksaan fisik didapatakan tekanan darah 120/80, suhu 37,4 C,
nadi 90x, nafas 24x, Terdapat luka berukuran 3x2 cm di bawah MTP I kaki kiri,
luka berukuran 2x2 cm dibawah MTP II kaki kiri, luka berukuran 10x5 cm di
pedis kaki kanan. Semua luka berwarna kemerahan dan bagian nekrosis
kehitaman.
Pada pemeriksaan lab darah didapatkan Hb rendah, eritrosit rendah, Ht
rendah, leukositosis, GDS 255, aseton (+),. Pada pemeriksaan x-foto pedis sinistra
didapatkan iregularitas digiti phalanx I dan MTP II, penebalan jaringan lunak,
dislokasi MTP I, fraktur epifisis digiti II. Pada pemeriksaan x-foto thorax
didapatkan jantung dan paru dalam batas normal. EKG didapatkan normal

1.3 DAFTAR MASALAH


- Sepsis
- KAD pada Diabetes Melitus tipe 2 normoweight, GD tidak regulasi
- Ulkus diabetikum pedis dextra
- Charcoal foot

1.4 PENGKAJIAN MASALAH


1. Sepsis
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh demam yang naik
perlahan sejak 1 minggu yang lalu namun tidak sampai mengigil. Pada
pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan suhu pasien 37,40C; RR: 25x,
Nadi: 92x dan pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukosit 12.700.
Penemuan ini sesuai dengan kriteria sepsis dari American Society of
Critical Care Medicine Consensus Conference Committee dimana terdapat
tanda-tanda SIRS disertai dengan kemungkinan sumber infeksi yang jelas.
Pada pasien ini didapatkan nadi > 90x, nafas > 24x, suhu >37 0C dan luka
pada kaki kanan yang berwarna kemerahan dan tampak membengkak serta
keluar pus dari luka tersebut yang merupakan sumber infeksi yang pada
akhirnya menyebabkan sepsis.

6
2. Ketoasidosis diabetikum (KAD) pada Diabetes Melitus tipe 2
normoweight GD tidak terregulasi
Pada pasien ini didapatkan tanda-tanda ketoasidosis sesuai dengan kriteria
diagnosis KAD dimana didapatkan glukosa darah sewaktu 255 mg/dl,
bikarbonat 16,8; aseton darah positif. Dari anamnesis didapatkan pasien
didiagnosis diabetes melitus sejak 10 tahun yang lalu melalui hasil gula
darah lab yang tinggi dan menjalani pengobatan dengan metformin selama
6 tahun yang kemudian diganti insulin suntik 15 unit selama 4 tahun ini.
Pasien mengaku terdapat gejala polifagi, polidipsi, poliuria. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan GDS pasien 255 mg/dL.

3. Selulitis ulkus diabetikum pedis dextra


Dari anamnesis pasien didiagnosis diabetes melitus sejak 10 tahun yang
lalu. Pasien mengeluh luka pada telapak kaki kirinya yang awalnya tidak
disadari. Luka berukuran 3x2 cm di bawah MTP I kaki kiri, luka berukuran
2x2 cm dibawah MTP II kaki kiri, luka berukuran 10x5 cm di pedis kaki
kanan teraba fluktuasi pada luka tersebut. Luka berwarna kemerahan dan
mengeluarkan nanah. Luka tersebut tidak kunjung sembuh sejak 1 bulan
ini, dan pasien memiliki riwayat luka yang sama di kaki tersebut 2 tahun
yang lalu.

4. Charchoal foot
Pasien telah menderita DM sejak 10 tahun yang lalu, dan telapak kaki
pasien tampak datar disertai kontraktur jari-jari.

1.5 RENCANA PENATALAKSANAAN


A. Rencana Diagnosis
GDS, keton,Albumin/globulin

B. Rencana Terapeutik
 O2 nasal 3L/menit
 Terapi cairan
- IVFD: NaCl 500cc/6 jam

 Inj. Ranitin 2 x 50 mg
 Inj. Ceftriaxon
 Neurodex 2x1
 Bicarbonat 3x1

7
 Paracetamol 3 x 1000 mg IV bila suhu > 38.5
 Dressing luka setiap hari
 Raber Bedah ortophedi
 Diet DM rendah garam 1700 kkal/hari

1.6 TINDAK LANJUT

Tanggal Follow SOAP


Up
26/9/2018 S :Pasien mengeluhkan badan masih lemas. Pasien masih
merasa demam.Pasien tidak nafsu makan. Gatal masih
dirasakan,. mual maupun muntah tidak ada. BAB dan
BAK pasien dalam batas normal.

O : KU sakit sedang, Kesadaran compos mentis


TTV  BP : 120/70mmHg
RR : 20 x/m , pernafasan cuping hidung (-)
HR : 80 x/m, kuat, isi penuh, reguler
Temp : 37.6º C
Mata: Conjungtiva anemis -/- sklera ikterik -/- edama
palpebral +/+
Mulut : Mukosa mulut dan lidah kering, terdapat plak
putih pada mukosa buccal dan pada pallatum molle ada
pendarahan
Leher :Pembesaran KGB (-) JVP 5-2 cm H2O
Paru : Normovesikuler, Ronchi (-/-)
Jantung : BJ I-II regular, murmur (-) gallop(-)
Abdomen : Supel, bising usus (+), ascites (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2detik, Petekie (-),
Edema (-)
Kulit: bekas bekas ekskoriasi (+), kemerahan

A:
Sepsis ec.Ulkus Diabetikum
P : Tirah baring
IVFD RL 500 cc/8 jam

8
IVFD Aminofluid/12 jam
Paracetamol 3x500mg
Dressing luka dengan NaCl 0.9%
27/09/2018 S :Pasien mengeluhkan badan sudah tidak lemas. Pasien
merasa demam sudah turun.Nafsu makan mulai
membaik. Gatal masih dirasakan,. mual maupun muntah
tidak ada. BAB dan BAK pasien dalam batas normal.

O : TD : 120/70 mmHg
Nadi : 84 x/m, kuat angkat, isi penuh, regular
RR : 20 x/m, kussmaul (-)
Temp : 37º C
Mata : konjungtiva tidak pucat, anikterik, edema
palpebral +/+
Mulut : Mukosa mulut dan lidah kering, terdapat plak
putih pada mukosa buccal dan pada pallatum molle ada
pendarahan
Leher : JVP 5-2cm H2O
Paru : Vesikuler, rhonki (-)
Jantung : BJ I-II regular, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Supel, bising usus (+), ascites (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2detik, Petekie (-),
Edema (-)
Kulit: bekas bekas ekskoriasi (+), kemerahan

A :

P : Diet biasa 1900 kkal


IVFD RL 500 cc/8 jam
Metronidazole

Konsul bedah:

1.7 PROGNOSIS
Ad vitam : Ad malam
Ad fungsional : Ad malam
Ad sanamtionam : Ad malam

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi SEPSIS

Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan


dengan biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah
tidak harus positif. Systemic Inflamatory Respons Syndrome adalah pasien yang
memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut ini:
1. Suhu > 380C atau < 360C.
2. Denyut jantung > 90x/menit.
3. Respirasi >20/menit atau Pa CO2 < 32 mmHg.
4. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur (band)
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan
hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi tidak terbatas)
pada: 1. Asidosis laktat; 2. Oliguria; 3. Atau perubahan akut pada status mental.
Berdasarkan konferensi internasional pada tahun 2001, terdapat tambahan
terhadap kriteria sebelumnya. Dimana pada konferensi tahun 2001 menambahkan
beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Bagian yang terpenting adalah
dengan memasukkan petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-
reactive protein (CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis.
Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan
Predisposition, insul Infection, Response, and Organ disfunction (PIRO) unuk
menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien
dengan stratifikasi gejala dan resiko yang individual.

Etiologi sepsis
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60
sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel
imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk
yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau
endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar
dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok
pada penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab
terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphylococci, Pneumococci, Strepcocci

10
dan bakteri gram positif lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka
kejadian 20 sampai 40% dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur oportunistik,
virus atau protozoa dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang.
Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman,
pemberian infus substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip
pemberian endotoksin. Peptidoglikan diketahui dapat menyebabkan agregasi
trombosit.
Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman, misalnya a-
hemolisin (S.Aureus), E. Coli haemolisin (E. Coli) dapat merusak integritas
membran sel imun secara langsung.
Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS
endotoksin gram negatif dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS
dapat langsung sebagai penyabab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung
mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan
perkembangan gejala septikemia. LPS sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi
merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap
sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang disebut faktor nekrosis tumor
(TNF) dan interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci
dan sering meningkat sangat tinggi pada penderita immunocompromise yang
mengalami sepsis.

Patogenesis sepsis
Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan fokus infeksi jaringan sebagai
sumber bakteriemia, hal ini disebut sebagai bakteriaemia sekunder. Sepsis gram
negatif merupakan komensal normal dalam saluran gastrointestinal, yang
kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan, seperti pada peritonitis setelah
perforasi apendikal, atau bisa berpindah dari perineum ke urethra atau kandun
kemih. Selain itu sepsis gram negatif fokus primernya dapat berasal dari saluran
genitourinarium, saluran empedu dan saluran gastrointestinum. Sepsis gram
positif biasanya timbul dari infeksi kulit, saluran respirasi dan juga bisa berasal
dari luka terbuka, misalnya pada luka bakar. Inflamasi sebagai tanggapan imunitas
tubuh terhadap berbagai macam stimulasi imunogen dari luar. Inflamasi
sesungguhnya merupakan upaya tubuh untuk menghilangkan dan eradikasi
organisme penyebab. Berbagai jenis sel akan teraktivasi dan memproduksi
berbagai jenis mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Mediator inflamasi

11
sangat komplek karena melibatkan banyak sel dan mediator yang dapat
mempengaruhi satu sama lain.
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis.
Masih banyak faktor lain yang sangat berperan dalam menentukan perjalanan
suatu penyakit. Respon tubuh terhadap suatu patogen melibatkan bermacam-
macam komponen sistem imun dan antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi
dan antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1, Interferon
yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang
menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1 reseptor
antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau
represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila keseimbangan kerja antara pro-
inflamasi dan anti-inflamasi mediator ini tidak tercapai dengan sempurna maka
dapat memberikan kerugian bagi tubuh.
Penyebab sepsis dan syok septik yang paling banyak berasal dari stimulasi
toksin, baik dari endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Endotoksin
dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama dengna antibodi dalam
serum darah penderita membentuk LPSab (Lipo PoliSakarida Antibodi). LPSab
yang berada dalam darah penderita akan bereaksi dengan makrofag melalui
TLRs4 (Toll Like Receptors 4) sebagai reseptor transmembran dengan perantaraan
reseptor CD 14+ dan makrofag mengekspresikan imuno modulator, hal ini hanya
dapat terjadi pada bakteri gram negatif yang mempunyai LPS dalam dindingnya.
Pada bakteri gram positif eksotoksin dapat merangsang langsung terhadap
makrofag dengan melalui TLRs2 (Toll Like Receptors 2) tetapi ada juga
eksotoksin sebagai superantigen.
Padahal sepsis dapat terjadi pada rangsangan endotoksin, eksotoksin, virus
dan parasit, maka mekanisme tersebut diatas masih kurang lengkap dan tidak
dapat menerangkan patogenesis sepsis dalam arti keseluruhan, oleh karena konsep
tersebut tidak melibatkan peran limfosit T dalam keadaan sepsis dan kejadian
syok septik.
Di Indonesia dan negara berkembang sepsis tidak hanya disebabkan oleh
gram negatif saja, tetapi juga disebabkan oleh gram positif yang mengeluarkan
eksotoksin. Eksotoksin, virus dan parasit yang dapat berperan sebagai Antigen
Processing Cell dan kemudian ditampilkan dalam Antigen Presenting Cell (APC).
Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major
Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan peptida MHC kelas

12
II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR
(T Cell Receptor).
Sebagai usaha tubuh untuk beraksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu:
IFN-ᵧ, IL-2 dan M-CSF (Macrophage colony stimulating factor). Limfosit Th2
akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. IFN-ᵧ merangsang makrofag
mengeluarkan IL-1b dan TNF-α. IFN-ᵧ, IL-1β dan TNF-α merupakan sitokin
proinflamatori, sehingga pada keadaan sepsis terjadi peningkatan kadar IL-1β dan
TNF-α serum penderita. Pada beberapa kajian biasanya selama terjadi sepsis
tingkat IL-1β dan TNF-α berkorelasi dengan keparahan penyakit dalam kematian,
tetapi ternyata sitokin IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi terhadap sepsis
dapat pula merusakkan endotel pembuluh darah yang mekanismenya sampai
dengan saat ini belum jelas. IL-1β sebagai imunoregulator utama juga mempunyai
efek pada sel endotelial termasuk di dalamnya pembentukan prostaglandin E2
(PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1).
Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitisasi oleh
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah
mengadakan adhesi. Interaksi endotel dengan neutrofil terdiri dari tiga langkah,
yaitu:
1. Bergulirnya neutrofil, P dan E-selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan
L-selektin neutrofil dalam mengikat ligan respektif.
2. Merupakan langkah sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang
mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada
endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel.
3. Transmigrasi netrofil menembus dinding endotel.

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang


akan menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga
membawa superoksidan yang termasuk dalam radikal bebas yang akan
mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs. Akibat dari proses
tersebut endotel menjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh
darah. Ternyata kerusakan endotel pembuluh darah tersebut akan menyebabkan
terjadinya gangguan vaskuler (Vascular leak) sehingga menyebabkan kerusakan
organ multipel sesuai dengan pendapat Bone bahwa kelainan organ multipel tidak
disebabkan oleh infeksi tetapi akibat inflamasi yang sistemik dengan sitokin
sebagai mediator. Pendapat tersebut diperkuat oleh Cohen bahwa kelainan orgna

13
multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil
sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian.
Menurut Dale DC, bahwa pada penderita diabetes melitus, sirosis hati,
gagal ginjal kronik dan usia lanjut yang merupakan kelompok IC lebih mudah
menderita sepsis. Pada penderita IC bila mengalami sepsis sering terjadi
komplikasi yang berat yaitu syok septik dan berakhir dengan kematian. Untuk
mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th-2 mengekspresikan IL-10
sebagai sitokin anti-inflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-ᵧ, TNF-α dan
fungsi APC, IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan.
Apabila IL-10 meningkat lebih tinggi, kemungkinan kejadian syok septik pada
sepsis dapat dicegah.

Gejala klinik sepsis


Gejala klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda-tanda
sepsis non spesifik, meliputi demam, mengigil, dan gejala konstitutif seperti lelah,
malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan
dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat
infeksi yang paling sering: paru, traktus digestivus, traktus urinarius, kulit,
jaringan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksimerupakan diterminan penting
untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut
akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker,
gagal organ utama, dan pasien dengan gnralusitopenia. Yang sering diikuti gejala
MODS sampai dengan terjadinya syok sepsis.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:
 Sindroma distress pernafasan pada dewasa
 Koagulasi intravaskular
 Gagal ginjal akut
 Perdarahan akut
 Gagal hati
 Disfungsi sistem saraf pusat
 Gagal jantung
 Kematian

Diagnosis

14
Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis
yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut
status hemodinamik.

Pemeriksaan fisik
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua pasien
neutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan fisik harus
meliputi pemeriksaan rektum, pelvis dan genital. Pemeriksaan tersebut akan
mengungkap abses rektal, periretkal, dan/atau perineal, penyakit dan/atau abses
inflamasi pelvis, atau prostatitis.

Data laboratorium
Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung
diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen,
kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, EKG, dan
ronsen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus
dilakukan. Lakukan Gram stain di tempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan
artikular, ruang pleura) dengan aspirasi. Minimal 2 set (ada yang menganggap 3)
biakan darah harus diperoleh dalam periode 24 jam. Volume sampel sering
terdapat kurang dari 1 bakterium/ml opada dewasa (pada anak lebih tinggi). Ambil
10-20 ml per sampling pada dewasa (1-5 ml pada anak) dan inokulasikan dengan
trypticase soy broth dan thioglycolate soy broth. Waktu sampel untuk spike. Jika
terapi antibiotik sudah dimulai, beberapa macam antibiotik dapat dideaktivasi di
laboratorium klinis.

Temuan laboratorium lain:


Sepsis awal. Leukositosis dengah shitf kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia
dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Neutrofil mengandung granulasi
toksikm badan Dohle, atau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan
alkalosis respirator. Hipoksemia dapat diokreksi dengan oksigen. Penderita
diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
Selanjutnya. Trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin,
penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC.
Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver)
meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis
metabolik (peningkatan gap anion) terjadi setelah alkalosis respirator. Hipoksemia

15
tidak dapat dikoreksi bahkan dengan oksigen 100%. Hiperglikemia diabetik dapat
menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.

Komplikasi
 Sindroma distress pernapasan dewasa (ARDS, adult respiratory distress
syndrome)
 Koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
 Gagal ginjal akut
 Perdarahan usus
 Gagal hati
 Disfungsi sistem saraf pusat
 Gagal jantung
 Kematian

Terapi sepsis
Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu:
1. Stabilisasi Pasien Langsung
Masalah mendesak yang diharapi pasien dengan sepsis berat adalah pemulihan
abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC: airway, breathing, circulation).
Pemberian resusitasi awal sangat penting pada penderita sepsis, dapat diberikan
kristaloid atau koloid untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik. Perubahan
status mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan
perlindungan langsung terhadap jalan napas pasien. Intubasi diperlukan juga
untuk memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu
menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan peningkatan ketersediaan
oksigen untuk jaringan lain. Peredaran darah terancam, dan penurunan bermakna
pada tekanan darah memerlukan terapi empirik gabungan yang agresif dengan
cairan (ditambah kristaloid atau koloid) dan inotrop/vasopresor (dopamin,
dobutamin, fenilefrin, epinefrin, atau norepinefrin). Pada sepsis berat diperlukan
pemantauan peredaran darah. CVP 8-12 mmHg; Mean arterial pressure ≥
65mmHg; Urine output ≥ 0.5 mL/kg/jam; Central venous (superior vena cava)
oxygen saturation ≥ 70% atau mixed venous ≥ 65%. (Sepsis Campaign, 2008).
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital
pasien (tekanan darah, denyut jantung, laju napas, dan suhu badan) harus
dipantau. Frekuensinya tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah jantung

16
dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu
fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat
vasoakfif, misal, dopamin, dobutamin, atau norepinefrin.

2. Pemberian antibiotik yang adekuat


Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini bahwa
antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga
menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien. Antimikrobial yang tidak
menyebabkan pasien memburu adalah: karbapenem, sefriakson, sefepim,
glikopeptida, aminoglikosida, dan quinolon.
Perlu segera diberikan terapi empirik dengan antimikrobial, artinya bahwa
diberikan antibiotika sebelum hasil kultur dan sensivitas tes terhadap kuman
didapatkan. Pemberian antimikrobial secara dini diketahui menurunkan
perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah hasil kultur dan sensitivitas
didapatkan maka terapi empirik dirubah menjadi terapi rasional sesuai dengan
hasil kultur dan sensivitas, pengobatan tersebut akan mengurangi jumlah
antibiotika yang diberikan sebelumnya (dieskalasi). Diperlukan regimen
antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas sesuai dengan hasil kultur. Hal ini
karena terapi antimikrobial hampir selalu diberikan sebelum organisme yang
menyebabkan sepsis diidentifikasi. Obat yang digunakan tergantung sumber
sepsis
1. Untuk pneumonia dapatan komunitas biasanya digunakan 2 regimen obat.
Biasanya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepim)
diberikan dengan aminoglikosida (biasanya gentamisin).
2. Pneumonia nosokomial: Sefipim atau iminem-silastatin dan
aminoglikosida.
3. Infeksi abdomen: imipenem-silastatin dan aminoglikosida atau pipersilin-
tazobaktam dan amfoterisin B.
4. Infeksi abdomen nosokomial: imipenem-silastatin dan aminoglikosida atau
pipersilin-tazobaktam dan amfoterisin B.
5. Kulit/jaringan lunak: vankomisin dan imipenem-silastatin atau piperasilin-
tazobaktam.
6. Kulit/jaringan lunak nosokomial: vankomisin dan sefipim.
7. Infeksi traktus urinaris: siprofloksasin dan aminoglikosida.
8. Infeksi traktus urinaris nosokomial: vankomisin dan sefipim.

17
9. Infeksi CNS: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau
meropenem.
10. Infeksi CNS nosokomial: meropenem dan vankomisin.
Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan bila organisme penyebab
sepsis telah diidentifikasi dan uji sensitivitas antibiotik menunjukkan macam
antimikrobial yang terhadap organisme memiliki sensitivitas.

3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi.


Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi
anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang
gangren.

4. Pemberian Nutrisi yang adequat


Pemberian nutrisi merupakan terapi tambahan yang sangat penting berupa makro
dan mikronutrient. Makronutrient terdiri dari omega-3 dan golongan nukluetida
yaitu glutamin sedangkan mikronutrient berupa vitamin dan trace element.

5. Terapi suportif
Eli Lilly and Company mengumumkan bahwa hasil uji klinis Phase III
menunjukkan drotrecogin alfa (protein C teraktifkan rekombinan, Zovant)
menurunkan resiko relatif kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ akut
terkait (dikenal sebagai sepsis berat) sebesar 19,4 persen. Zovant merupakan
antikoagulan.

Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid masih banyak kontroversial, ada yang menggunakan
pada awal terjadinya sepsis, ada yang menggunakan terapi steroid sesuai dengan
kebutuhan dan kekurangan yang ada di dalam darah dengan memeriksa kadar
steroid pada saat itu (pengobatan suplementasi). Penggunaan steroid ada yang
menganjurkan setelah terjadi septic shock. Penggunaan kortikosteroid
direkomendasikan adalah dengan low doses corticosteroid > 300 mg
hydrocotisone per hari dalam keadaan septic shock. Penggunaan high dose
corticosteroid tidak efektif sama sekali pada keadaan sepsis dan septic shock.

Glukosa kontrol

18
Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula darah yang tidak mengalami
dan yang mengalami diabetes mellitus. Sebaiknya kadar gula darah dipertahankan
sampai dengan < 150 mg/dL. Dengan melakukan monitoring pada gula darah
setiap 1-2 jam dan dipertahankan minimal sampai dengah 4 hari.
Mencegah terjadinya stress ulcer dapat diberikan profilaksis dengan
menggunakan H2 broker protonpan inhibitor. Apabila terjadi kesulitan pernafasan
penderita memerlukan ventilator dimana tersida di ICU.

Pencegahan
 Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri
Gram-negatif.
 Gunakan trimetoprim-sulfametoksazol secara profilaktik pada anak
penderita leukemia.
 Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazin perak, atau sulfamilon secara
profilaktik pada pasien luka bakar.
 Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring posterior untuk
mencegah pneumonia Gram-negatif nosokomial.
 Streilisasi flora aerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin
dengan vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis Gram-
negatif pada pasien neutropenia.
 Lingkungan yang protektif bagi pasien beresiko kurang berhasil karena
sebagian besar infeksi berasal dari dalam (endogen).
 Untuk melindungi neonatus dari sepsis strep Grup B ambil apusan (swab)
vagina/rektum pada kehamilan 35 hingga 37 minggu. Biakkan untuk
Streptococcus agalatiae (penyebab utama sepsis pada neonatus). Jika
positif untuk strep Grup B, berikan penisilin intrapartum pada ibu hamil.
Hal ini akan menurunkan infeksi Grup B sebesar 78%.

KETOASIDOSIS DIABETIK
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik
yang diandai oleh trias hipergllikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan
oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan

19
kompilkasi akut diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan
pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami
dehidrasi berat dan bahkan sampai menyebabkan syok.

Faktor pencetus
Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui penderita DM untuk pertama
kali. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali
adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan
dan pencegahan ketoasidosis berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk
terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard akut, pankreatisis akut,
penggunaan obat golongan steroid, menghetikan atau mengurangi dosis insulin.
Sementara itu 20% pasien KAD tidak didapatkan faktor pencetus.
Menghentikan atau mengurangi dosis insulin merupakan salah satu
pencetus terjadinya KAD. Data seri kasus KAD tahun 1998-99 di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo menunjukkan 5% kasus menyuntik dosis insulin kurang. Musey
et al melaporkan 56 kasus KAD negro Amerika yang tinggal di daerah perkotaan.
Di antara 56 kasus tersebut, 75% telah diketahui DM sebelumnya dan 67% faktor
pencetusnya adalah menghetikan dosis insulin. Adapun alasannya adalah sebagai
berikut 50% tidak mempunyai uang untuk membeli, 21% nafsu makan menurun,
14% masalah psikologis, 14% tidak paham mengatasi masa-masa sakit akut. Pada
seri kasus di atas 55% menyadari adanya gejala hiperglikemia, walaupun
demikian hanya 5% yang menghubungi klinik diabetes untuk mengatasi masalah
tersebut.

Patofisiologi
KAD adalah suatu keadaan di mana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif
dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan
hormon pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati
meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir
hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan
berat ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu:
 Akibat hiperglikemia
 Akibat ketosis
Walaupun sel tubuh tidak dapat mmenggunakan glukosa, sistem homeostasis
tubuh terus teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam jumlah banyak

20
sehingga terjadi hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan
konsentrasi hormon kontra regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormon
lipase sensitif pada jaringan lemak. Akbatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi
peningkatan produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik
asidosis. benda keton utama ialah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi
butirat (3HB); dalam keadaan normal konsentrasi 3HB meliputi 75-85% dan
aseton darah merupakan benda keton yang tidak begitu penting. Meskipun sudah
tersedia bahan bakar tersebut sel-sel tubuh masih tetap lapar dan terus
memproduksi glukosa.
Hanya insulin yang dapat menginduksi transpor glukosa ke dalam sel,
memberi signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen, meghambat
lipolisis pada sel lemak ( menekan pembentukan asam lemak bebas), menghambat
glukoneogenesis pada sel hati serta mendorong proses oksidasi melalui siklus
Krebs dalam mitokonrdia sel. Melalui proses oksidasi tersebut akan dihasilkan
adenin trifosfat (ATP) yang merupakan sumber energi utama sel.
Resitensi insulin juga berperan dalam memberperat keadaan defisiensi
insulin relatif. Meningkatnya hormon kontra regulator insulin, meningkatnya
asam lemak bebas, hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-
basa dapat menggangu sensitivitas insulin.

Peranan insulin
Pada KAD terjadi defisiensi insulin absolut atau relatif terhadap hormon kontra
regulasi yang berlebihan (glukagon, epinefrin, kortisol, dan hormon
pertumbuhan). Defisiensi insulin dapat disebabkan oleh resistensi insulin atau
suplai insulin endogen atau eksogen yang berkurang. Defisiensi aktivitas insulin
tersebut, menyebabkan 3 proses patofisiologi yang nyata pada 3 organ, yaitu sel-
sel lemak, hati, dan otot. Perubahan terjadi terutama melibatkan metabolisme
lemak dan karbohidrat.

Peranan glukagon
Di antara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang paling berperan dalam
patogenesis KAD. Glukagon menghambat proses glikolisis dan menghambat
pembentukan malonyl CoA. Malonyl CoA adalah suatu penghambat carnitin acyl
transferases (CPT1 dan 2) yang bekerja pada transfer asam lemak bebas ke dalam
mitokondria. Dengan demikian peningkatan glukagon akan merangsang oksidasi
beta asam lemak dan ketogenesis.

21
Pada pasien DM tipe 1, konsentrasi glukagon darah tidak teregulasi
dengan baik. Bila konsentrasi insulin rendah maka konsentrasi glukagon darah
sangat meningkat serta mengakibatkan reaksi kebalikan respons insulin pada sel-
sel lemak dan hati.

Hormon Kontra Regulator Insulin Lain


Konsentrasi epinefrin dan kortisol darah meningkat pada KAD. Hormon
pertumbuhan (GH) pada awal terapi KAD konsentrasinya kadang-kadang
meningkat dan lebih meningkat lagi dengan pemberian insulin.
Keadaan stress sendiri meningkatkan hormon kontra regulasi yang pada
akhirnya akan menstimulasi pembentukan benda-benta keton, glukoneogenesis
serta potensial sebagai pencetus KAD. Sekali proses KAD terjadi maka akan
terjadi stress yang berkepanjangan.

Gejala klinis KAD


Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan ini
tentunya sangat membantu untuk menganali KAD akan lebih cepat sebagai
komplikasi akut DM dan segera mengatasinya.
Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai
pernapasan cepat ddan dalam (kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit
berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai
syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium.
Areataeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan
poliuri dan polidipsi sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat
berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan
gejala sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut
yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung.
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium,
atau depresi sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan
penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum
alkohol).
Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering. Di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta, faktor pencetus infeksi didapatkan sekitar 80%. Infeksi
yang sering ditemukan ialah infeksi saluran kemih dan pneumonia. Walaupun
faktor pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan pasien tak mengalami demam. Bila
dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu dipikirkan kemungkinan kolesistitis,

22
iskemia usus, apendisitis, divertikulitis, atau perforasi usus. Bila ternyata pasien
tidak menunjukkan respons yang baik terhadap pengobatan KAD, maka perlu
dicari kemungkinan infeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirektal).

Diagnosis
Ketoasidosis diabetik perlu dibedakan dengan ketosis diabetik ataupun
hiperglikemia hiperosmolar nonketotik. Berat hiperglikemia, ketonemia, dan
asidosis dapat dipakai dengan kriteria diagnosis KAD. Dimana kadar glukosa >
250 mg%, pH < 7.35, HCO3 rendah, anion gap yang tinggi, keton serum positif.
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien dengan KAD terdiri dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama
memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan
kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat menentukan
jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga
penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.
Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera
dilakukan setelah dilakukannya aamnesis dan pemeriksaan fisik adalah
pemeriksaan konsentrasi glukosa darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan
urine dengan menggunakan urine stip untuk melihat secara kualitatif jumlah
glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium
lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi
konsentrasi HCO3, anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan
konsentrasi AcAc dan laktat serta 3HB.

Prinsip pengobatan KAD


Begitu masalah diagnosis KAD ditegakkan, segera pengelolaan dimulai.
Pengelolaan KAD tentunya berdasarkan patofisiologi dan patogenesis penyakit,
merupakan terapi titerasim sehingga sebaiknya dirawat di ruang perawatan
intensif. Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah : 1). penggantian cairan dan
garam yang hilang; 2) menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis
sel hati dengan pemberian insulin

23
DAFTAR PUSTAKA

1. AVERT, 2011. What is AIDS. Available from:


http://www.avert.org/aids.htm.

2. Brooks, S., 2009. What is HIV/AIDS?.Voices AIDS, 6.

3. Centers for Disease Control and Prevention, 2006.HIV/AIDS Basics.


Available from: http://www.cdc.gov/hiv/resources/qa/definitions.htm.

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008.Pedoman Tatalaksana


InfeksiHIV dan Terapi Anti retroviral di Indonesia.Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2008

5. Fauci, S.A. & Lane, C.H., 2008.Human Immunodefeficiency Virus


Disease: AIDS and Related Disorders. In: Fauci, S.A., Braunwald, E.,
Kasper, L.D., Hauser, L.S., Longo, L.D., Jameson, L.J. & Loscatzo, J.,
Harrison’s Principles of Internal Medicine, USA: The McGraw-Hill
Companies, 1164-1169.

6. Finch, R.G., Moss, P., Jeffries, D.J., & Anderson, J., 2007.Infectious
diseases, tropical medicine and sexually transmitted diseases.In: Kumar, P.
&Clark, M., Clinical Medicine. Philadelphia: Elsevier, 129-133.

24
7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang dewasa.Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

8. Levinson, W., 2006.Human Immunodeficiency Virus.In: Weitz, M. &


Naglieri, C., Review of Medical Microbiology and Immunology, USA: The
McGraw Hill Companies, 322-330. Levy, J.A, 2007. Discovery, Structure,
Heterogeneity and Origins of HIV 1 In: HIV and the Pathogenesis of
AIDS. Washington: ASM Press, 7-12.
9. MacCann, J.A.S., 2008. Blood Tests.In: Catagnus, J.M. & Hager, L.,
Deciphering diagnostic tests. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 215-
216.

10. Mesquita, F., Winarso, I., Atmosukarto, I., Eka, B., Nevendorff, L.,
Rahmah, A., Handoyo, P., Anastasia, P., and Angela, R., 2007.Public
health the leading force of the Indonesian response to the HIV/AIDS crisis
among people who inject drugs. Harm Reduction Journal, 1-6.

11. Pontali, E., Vareldzis, B., Perriens, J., & Lo, Y.R., 2004.Antiretroviral
Treatment in Resource-limited Settings.In: Narain, J.P., AIDS in Asia: the
challenge ahead. New Delhi: Sage Publication India Pvt Ltd, 287- 299.

12. University of California San Francisco, 2011.HIV Diagnosis.Available


from: http://www.ucsfhealth.org/conditions/hiv/diagnosis.html.

13. Weber, J., 2001. The pathogenesis of HIV-1 infection.The changing face of
HIV and AIDS, 61-71.

25

Anda mungkin juga menyukai