Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS

DISLOKASI ELBOW

OLEH :

Qotrunnada Alwi Zubaidah


H1A014 065

Pembimbing:
dr. Rudi Febrianto, Sp.OT

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN


KLINIK MADYA BAGIAN/SMF BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/RSUP NTB
2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang tergolong sangat lama


dideskripsikan menyerang manusia yang terdokumentasi pada zaman besi dan
pada mumi yang didapatkan di Mesir dan Peru. Spondilitis tuberculosa (TS) yang
dikenal dengan istilah Pott’s disease pertama kali diperkenalkan oleh Pervical Pott
pada tahun 1779. Percivall Pott mendeskripsikan gambaran klinis klasik penyakit
ini yaitu adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura
tulang belakang. Namun, pada saat itu penyakit Pott belum dihubungkan dengan
basil tuberkulosa sampai ditemukanya basil tersebut oleh Koch pada 1882.1,2,3

TS umumnya merupakan komplikasi sekunder dari TB pulmonal atau


intestinal, namun pada beberapa kasus dapat menjadi manifestasi utama dari TB.
TS merupakan bentuk infeksi TB yang umum terjadi dan paling berbahaya.
Diagnosis dan managemen TS yang terlambat dapat menyebabkan defisit
neurologis permanen seperti kompresi dan deformitas spinal cord.2

Keterlibatan spinal pada pasien dengan infeksi TB terjadi kurang dari 1%,
namun adanya peningkatan frekuensi TB pada negara berkembang juga akan
menyebabkan peningkatan frekuensi TS. TS merupakan jenis TB skeletal yang
paling berbahaya dan memiliki frekuensi 50% dari seluruh kasus TB skeletal.
Lokasi yang paling sering terlibat adalah thoracolumbar junction, namun
demikian, tidak menutup kemungkinan bagian spinal lainnya juga dapat terlibat.
Insidensi komplikasi neurologi pada TS adalah 10-43%. Insidensi spondilitis
tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan kualitas
fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia, serta kondisi sosial di
negara tersebut. Insidensi TS mencapai 1-5% dari seluruh kasus TB yang telah
dilaporkan. Beberapa studi di negara berkembang menunjukkan bahwa
Mycobacterium (M.) tuberculosis merupakan agen kausatif dari infeksi spinal
dengan frekuensi 17-39%.1,2,3

Pada kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi


terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat

2
terkena, tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight
bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering
terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang
belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberculosis tulang, diikuti
kemudian oleh tulang panggul, lutut, dan tulang-tulang lain di kaki; sedangkan
tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torakolumbal terutama torakal
bagian bawah (umumnya T10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang
paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight
bearing mencapai maksimum, lalu diikuti dengan area servikal dan sakral.1,2

Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan


mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di
Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi masalah utama.
Pada negara-negara yang sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami
penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Namun
demikian, petugas kesehatan harus tetap memikirkan diagnosis TS sebagai
diagnosis banding, khususnya pada pasien yang tinggal dikelompok beresiko
tinggi infeksi TB. Pada negara endemik TB, TS umumnya ditemukan pada usia
dewasa muda, namum pada negara berkembang lebih sering ditemukan pada
individu tua.1,2

Adapun gejala dari TS adalah nyeri punggung, kelemahan, penurunan


berat badan, demam, fatigue, dan malaise. Cold abcsess paraspinal ditemukan
pada 80% kasus. selain itu, gejala TS lebih cendrung pada gejala penurunan
fungsi neurologis seperti paraplegia atau yang lainnya. Palpasi prosesus spinosus
pada pemeriksaan fisik adalah hal yang penting untuk diagnosis awal TS. Namun
demikian, diagnosis TS ditegakkan dengan menggali gejala dan tanda tipikal
disertai adanya riwayat terpapar TB, pencitraan menunjukkan pembentukan abses
dan kompresi spinal cord serta respon positif terhadap OAT. Diagnosis pasti
didapatkan melalui pemeriksaan mikrobiologi dan histopatologi. Defisit
neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Di
negara berkembang, penyakit ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi
paraplegia non-traumatik. Paraplegia terjadi lebih tinggi pada orang dewasa

3
dibandingkan dengan anak-anak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia
terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama
(paraplegia jarang ditemukan di usia muda).1,2

Dewasa ini, adanya perkembangan dari multidrug resistant (MDR) TB,


frekuensi infeksi pada individu imumodefisien, modalitas pencitraan yang lebih
akurat, dan teknik rekonstruksi spinal yang advanced mempengaruhi perubahan
konsep terapi TS. Teknik pencitraan advanced seperti MRI dapat membuat
diagnosis awal TS menjadi lebih mudah, dengan demikian semakin banyak pasien
yang dapat terdiagnosis dan mendapatkan terapi lebih awal sehingga dapat
mencegah perkembangan komplikasi lanjut dari penyakit ini. Terapi konservatif
yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya memberikan
hasil yang baik, namun pada kasus-kasus tertentu diperlukan tindakan operatif
serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik sebelum dan setelah
penderita menjalani tindakan operatif.1,3

4
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Liana Listiawati
Usia : 13 tahun
Alamat : Bima
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : Siswa
No MR : 014956
MRS : 19 September 2018
Tanggal periksa : 30 September 2018

B. Anamnesis
KU : nyeri pada siku kanan
RPS : Pasien datang dengan keluhan nyeri pada siku kanan. Keluhan
tersebut dirasakan sejak 4 tahun terakhir. Sekitar 4 tahun yang lalu, pasien
pernah jatuh dari tangga sehingga membuat siku kanan pasien cedera.
Kemudian, keluarga pasien membawa pasien ke tukang urut untuk
mendapatkan pengobatan alternatif karena pasien dan keluarga pasien
takut menjalani operasi apabila dibawa ke rumah sakit. Saat dibawa ke
tukang urut, keluarga pasien mengatakan pasien dipijat dan tangan pasien
dibalut menggunakan bambu dan kain. Setelah beberapa kali berkunjung
ke tukang urut, pasien terkadang masih merasakan nyeri pada sikunya dan
pasien tidak dapat meluruskan tangan kanannya karena kaku pada sikunya.
Selama 4 tahun terakhir, pasien beraktifitas dengan kondisi tangan kanan
yang tidak dapat diluruskan. Tetapi, pasien mengaku masih dapat
menggunakan tangan kanannya untuk beraktifitas seperti biasa seperti,
menulis, makan, dan lain-lain. Pasien baru berkunjung ke rumah sakit
karena pasien merasa malu dan sedikit terganggu karena posisi tangan
kanan yang tidak dapat diluruskan.

5
RPD : Riwayat trauma 4 tahun yang lalu (+), riwayat batuk lama atau
darah serta demam lama hilang timbul disangkal. Riwayat penyakit
jantung (-), penyakit keturunan (-), penyakit tulang (-), penyakit tumor
atau keganasan (-).

RPK : Keluhan serupa (-), riwayat batuk lama atau darah (-), riwayat
tumor atau keganasan (-), riwayat hipertensi (-), diabetes mellitus(-),
penyakit keturunan (-), penyakit tulang (-).

R.Pengobatan : Pasien sebelumnya pernah dibawa ke tukang urut untuk


mendapatkan pengobatan alternatif 4 tahun yang lalu.

R.Alergi : Pasien tidak memiiki riwayat alergi terhadap obat maupun


makanan

B. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis

Keadaan umum : Baik


Kesadaran/GCS : Kompos mentis GCS E4V5M6
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Frekuensi nadi : 84 kali/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi napas : 20 kali/menit
Suhu : 36,7oC

Kepala § Bentuk kepala simetris


§ Ukuran kepala normosefali

Mata § Palpebra : edema -/- , ptosis -/-


§ Konjungtiva : anemis -/-, hiperemi -/-
§ Sklera: ikterik -/-
§ Pupil : refleks cahaya langsung & tak langsung +/+

Telinga § Bentuk aurikula normal, simetris, secret(-), pembesaran

6
limfonodi (-), pendengaran kesan normal

Hidung § Bentuk normal, simetris, deviasi septum (-), penciuman kesan


normal.

Mulut § Bentuk simetris, sianosis (-).

Leher § Tidak tampak luka maupun benjolan


§ Tidak tampak pembesaran tiroid
§ Deviasi trakea (-).
§ Pembesaran kelenjar getah bening (-).
§ SCM tidak aktif, hipertrofi SCM (-)

Toraks Inspeksi
§ Bentuk dan ukuran dinding dada simetris.
§ Permukaan dada: massa (-), jaringan sikatrik (-) dan jejas (-)

Palpasi
§ Pergerakan dinding dada simetris.
§ Nyeri tekan (-), benjolan (-), edema (-), krepitasi (-)

Perkusi
§ Perkusi oritentasi sonor di kedua lapang paru.
§ Batas Paru – Hepar anterior dextra:
Inspirasi : ICS VI
Ekspirasi : ICS IV
§ Batas Jantung:
Dextra anterior: ICS IV linea parasetrnalis dextra
Sinistra anterior: ICS V linea midclavicula sinistra
Auskultasi
§ Pulmo: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-.
§ Cor : S1dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-).

Abdomen Inspeksi
§ Dinding abdomen : distensi (-), massa (-) jaringan sikatrik (-),
jejas (-)

Auskultasi

7
§ Bising Usus (+), bising aorta abdominalis (-), mettalic sounds
(-)

Perkusi
§ Perkusi orientasi timpani di seluruh lapang abdomen

Palpasi
§ Nyeri tekan (-), distensi abdomen (-)
§ Hepar / Lien / Ren : tidak teraba

Ekstremitas § Regio kanan


atas Akral hangat, tidak terdapat edema, CRT < 3 detik, kekuatan
motorik +5
§ Regio kiri
Akral hangat, tidak terdapat edema, CRT < 3 detik, kekuatan
motorik +5

Ekstremitas  Regio kanan


Bawah Akral hangat, tidak terdapat edema, CRT < 3 detik, kekuatan
motorik +5
 Regio kiri
Akral hangat, tidak terdapat edema, CRT < 3 detik, kekuatan
motorik +5

Status Lokalis
Regio elbow dextra
a) Look
- Warna kulit normal, serupa dengan sekitarnya
- Jejas (-), perdarahan aktif (-)
- Deformitas  angulasi (+), shortening (+)
- Pembengkakan (+)
b) Feel
- Hangat, nyeri tekan (+) minimal
- Sensibilitas normal
- Pulsasi A. radialis (+)

8
c) Move
- Pergerakan aktif
- Pergerakan pasif
- ROM  terbatas
C. Resume
- Perempuan usia 13 tahun datang dengan keluhan nyeri pada siku kanan
yang dirasakan sejak 4 tahun terakhir. Riwayat trauma 4 tahun yang lalu
sehingga menyebabkan cedera pada siku kanannya. Cedera tersebut
membuat pasien tidak dapat meluruskan tangan kanannya oleh karena
kaku pada siku kanan.
- Dari pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien baik dengan
kesadaran compos mentis, tanda vital dalam batas normal.
- Pada pemeriksaan status lokalis ditemukan deformitas pada regio elbow
kanan. Pemeriksaan gerakan aktif, gerakan pasif, dan ROM terbatas.

D. Assesment
- Dislokasi elbow dextra

E. Planning Diagnostik
- Pemeriksaan darah lengkap dan kimia klinik
- Foto polos elbow dextra

F. Planing Terapi
 Monitoring :
- Monitoring keadaan umum
- Tanda vital
 Tindakan Bedah
- Pro Rekonstruksi

Hasil pemeriksaan penunjang


a. Laboratorium (1/10/2018)
Paramete Hasil Normal

9
r
HGB 13,0 12,0-16,0 g/dL
RBC 4,55 4,10-5,30 [106/µL]
WBC 9120 5,0-12,0 [103/ µL]
HCT 38 26-50 [%]
PLT 365000 150- 400 [103/ µL]

GDS 105 <160 mg/dL

PT 13,3 11,5-15,5 detik

APTT 31,7 28,0-38,0 detik

b. Rontgen Elbow (3/8/2018)

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Vertebra

Tulang belakang (vertebra) dibagi dalam dua bagian. Di bagian ventral terdiri atas
korpus vertebra yang dibatasi satu sama lain oleh discus intervebra dan ditahan
satu sama lain oleh ligamen longitudinal ventral dan dorsal. Bagian dorsal tidak
begitu kokoh dan terdiri atas masing-masing arkus vertebra dengan lamina dan
pedikel yang diikat satu sama lain oleh berbagai ligament di antaranya ligament
interspinal, ligament intertansversa dan ligament flavum. Pada prosesus spinosus
dan transverses melekat otot-otot yang turut menunjang dan melindungi kolum
vertebra.

Tulang belakang manusia adalah pilar atau tiang yang berfungsi sebagai
penyangga tubuh dan melindungi medulla spinalis. Pilar itu terdiri atas 33 ruas
tulang belakang yang tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang
servikal (vertebra servikalis), 12 ruas tulang torakal (vertebra torakalis), 5 ruas
tulang lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas tulang sakral yang menyatu (vertebra
sakral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra koksigea).

11
Gambar 1. Anatomi Vertebra

Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh
karena adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior.
Pada pandangan dari samping pilar tulang belakang membentuk lengkungan atau
lordosis di daerah servikal, torakal dan lumbal. Keseluruhan vertebra maupun
masing-masing tulang vertebra berikut diskus intervertebralisnya bukanlah
merupakan satu struktur yang mampu melenting, melainkan satu kesatuan yang
kokoh dengan diskus yang memungkinkan gerakan antar korpus ruas tulang
belakang.

Vertebra servikalis yang tipikal mempunyai ciri sebagai berikut.

1. Processus transversus mempunyai foramen trnsversum untuk tempat


lewatnya artri vertebralis dan vena vertebralis.
2. Spina kecil dan bifida.
3. Corpus kecil dan lebar dari sisi ke sisi.
4. Foramen vertebral besar dan berbentuk segitiga.
5. Processus articularis superior mempunyai facies yang menghadap ke
belakang dan atas; procesus articularis inferior mempunyai fascies yang
menghadap ke bawah dan depan.

12
Vertebra servikalis yang atipikal mempunyai ciri sebagai berikut.

1. Tidak mempunyai corpus.


2. Tidak mempunyai processus spinosus.
3. Mempunyai arcus anterior dan posterior.
4. Meempunyai massa lateralis pada masing-masing sisi dengan fasis
articularis pada permukaan atas dan bawah.

Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra
torakal berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk yang membentuk
toraks, sedangkan vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup gerak yang lebih
besar dari torakal tetapi makin ke bawah lingkup geraknya makin kecil.

Tulang vertebra merupakan struktur kompleks yang secara garis besar terbagi
atas 2 bagian. Bagian anterior tersusun atas korpus vertebra, diskus
intervertebralis (sebagai artikulasi), dan ditopang oleh ligamentum longitudinale
anterior dan posterior. Sedangkan bagian posterior tersusun atas pedikel, lamina,
kanalis vertebralis, serta prosesus tranversus dan spinosus yang menjadi tempat
otot penyokong dan pelindung kolumna vertebrale. Bagian posterior vertebra
antara satu dan lain dihubungkan dengan sendi apofisial (fascet joint).

13
Gambar 2. Vertebra Cervicalis

Tulang vertebra ini dihubungkan satu sama lainnya oleh ligamentum dan
tulang rawan. Bagian anterior columna vertebralis terdiri dari corpus vertebra
yang dihubungkan satu sama lain oleh diskus fibrokartilago yang disebut discus
invertebralis dan diperkuat oleh ligamentum longitudinalis anterior dan
ligamentum longitudinalis posterior. Diskus invertebralis menyusun seperempat
panjang columna vertebralis. Diskus ini paling tebal di daerah cervical dan
lumbal, tempat dimana banyak terjadi gerakan columna vertebralis, dan berfungsi
sebagai sendi dan shock absorber agar kolumna vertebralis tidak cedera bila
terjadi trauma.

Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh
karena adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior.
Pada pandangan dari samping, pilar tulang belakang membentuk lengkungan atau
lordosis di daerah servikal dan lumbal. Keseluruhan vertebra maupun masing-
masing tulang vertebra berikut diskus intervertebralisnya merupakan satu
kesatuan yang kokoh dengan diskus yang memungkinkan gerakan antar korpus
ruas tulang belakang. Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang
terbesar. Vertebra torakal berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk
yang membentuk toraks, sedangkan vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup
gerak yang lebih besar dari torakal tetapi makin ke bawah lingkup geraknya
semakin kecil.

14
Vertebra thorakalis yang tipikal mempunyai ciri sebagai berikut.

 Corpus berukuran besar dan berbentuk jantung.


 Foramen vertebrale kecil dan bulat.
 Processus spinosus panjang dan miring ke bawah.
 Fovea costalis terdapat pada ssii-sisi corpus untuk bersendi dengan
capitulum costae.
 Fovea costalis terdapat pada processus transversalis untuk bersendi dengan
tuberculum costae.
 Processus articularis superior mempunyai fascies yang menghadap ke
belakang dan lateral, sedangkan fascies pada procesus articularis inferior
menghadap ke depan dan medial.

Gambar 3. Vertebra Thorakal Tipikal

Vertebra lumbalis yang tipikal mempunyai ciri sebagai berikut.

 Corpus besar dan berbentuk ginjal.


 Pediculus kuat dan mengarah ke belakang.
 Lamina tebal.
 Foramina vertebrale berbentuk segitiga.
 Processus transversum panjang dan langsing.

15
 Processus spinosus pendek, rata, berbentuk segiempat, dan mengarah ke
belakang.
 Fascies articularis processus articularis superior menghadap ke medial dan
yang inferior menghadap ke lateral.

Gambar 4. Vertebra Lumbosacral

Kolumna vertebralis ini terbentuk oleh unit-unit fungsional yang terdiri dari
segmen anterior dan posterior.

a. Segmen anterior: Sebagian besar fungsi segmen ini adalah sebagai


penyangga badan. Segmen ini meliputi korpus vertebrata dan diskus
intervebralis yang diperkuat oleh ligamentum longitudinale anterior di
bagian depan dan limentum longitudinale posterior di bagian belakang.
Sejak dari oksiput, ligament ini menutup seluruh bagian belakang diskus.
Mulai L1 gamen ini menyempit, hingga pada daerah L5-S1 lebar ligament
hanya tinggal separuh asalnya.
b. Segmen posterior: Dibentuk oleh arkus, prosesus transverses dan prosesus
spinosus. Satu dengan lainnya dihubungkan oleh sepasang artikulasi dan
diperkuat oleh ligament serta otot.

Setiap ruas tulang belakang terdiri atas korpus di depan dan arkus neuralis
di belakang yang di situ terdapat sepasang pedikel kanan dan kiri, sepasang

16
lamina, dua pedikel, satu prosesus spinosus, serta dua prosesus transversus.
Beberapa ruas tulang belakang mempunyai bentuk khusus, misalnya tulang
servikal pertama yang disebut atlas dan ruas servikal kedua yang disebut
odontoid. Kanalis spinalis terbentuk antara korpus di bagian depan dan arkus
neuralis di bagian belakang.

Kanalis spinalis ini di daerah servikal berbentuk segitiga dan lebar,


sedangkan di daerah torakal berbentuk bulat dan kecil. Bagian lain yang
menyokong kekompakan ruas tulang belakang adalah komponen jaringan lunak
yaitu ligamentum longitudinal anterior, ligamentum longitudinal posterior,
ligamentum flavum, ligamentum interspinosus, dan ligamentum supraspinosus.

Gambar 5. Perbedaan Anatomi Vertebra

Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu komponen


tulang dan komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan tiga
pilar. Pertama yaitu satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas korpus serta
diskus intervertebralis. Kedua dan ketiga yaitu kolom di belakang kanan dan kiri

17
yang terdiri atas rangkaian sendi intervertebralis lateralis. Secara keseluruhan
tulang belakang dapat diumpamakan sebagai satu gedung bertingkat dengan tiga
tiang utama, satu kolom di depan dan dua kolom di samping belakang, dengan
lantai yang terdiri atas lamina kanan dan kiri, pedikel, prosesus transversus dan
prosesus spinosus.

Semakin tinggi kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas


trauma yang diakibatkan. Misal, jika kerusakan saraf tulang belakang di daerah
leher, hal ini dapat berpengaruh pada fungsi di bawahnya dan menyebabkan
seseorang lumpuh pada kedua sisi mulai dari leher ke bawah dan tidak terdapat
sensasi di bawah leher. Kerusakan yang lebih rendah pada tulang sakral
mengakibatkan sedikit kehilangan fungsi.

Gambar 6. Os Sacrum dan Coccyx

Hubungan antara corpus vertebra servikal (dan juga corpus vertebra


lainnya) dimungkinkan oleh adanya sendi,umumnya disebut sendi faset, biasa
juga disebut sendi apofiseal atau zygapofiseal, memungkinkan adanya pergerakan
(fleksi,ekstensi ataupun rotasi), menyerupai engsel, terletak langsung di belakang
kanalis spinalis. Sendi faset merupakan sendi sinovial, dikelilingi oleh jaringan
ikat dan menghasilkan cairan untuk memelihara dan melicinkan sendi. Pada
permukaan superior dan inferior prosessus uncinate terdapat pula sendi faset,lebih
dikenal dengan nama sendi uncovertebral dari Luschka (joint of Luschka) yang
juga penting dalam biomekanikal dan stabilitas tulang vertebra.

18
Discus intervertebralis terdiri dari lempeng rawan hyalin (Hyalin Cartilage
Plate), nukleus pulposus (gel), dan annulus fibrosus. Sifat setengah cair dari
nukleus pulposus, memungkinkannya berubah bentuk dan vertebra dapat
mengjungkit kedepan dan kebelakang diatas yang lain, seperti pada flexi dan
ekstensi columna vertebralis. Diskus intervertebralis, baik anulus fibrosus maupun
nukleus pulposusnya adalah bangunan yang tidak peka nyeri.

Nukleus Pulposus adalah suatu gel yang viskus terdiri dari proteoglycan
(hyaluronic long chain) mengandung kadar air yang tinggi (80%) dan mempunyai
sifat sangat higroskopis. Nucleus pulposus berfungsi sebagai bantalan dan
berperan menahan tekanan/beban. Dengan bertambahnya usia, kadar air nukleus
pulposus menurun dan diganti oleh fibrokartilago. Sehingga pada usia lanjut,
diskus ini tipis dan kurang lentur, dan sukar dibedakan dari anulus. Ligamen
longitudinalis posterior di bagian L5-S1 sangat lemah, sehingga HNP sering
terjadi di bagian postero lateral. Mulai daerah lumbal 1 ligamentum longitudinal
posterior makin mengecil sehingga pada ruang intervertebre L5-S1 tinggal
separuh dari lebar semula sehingga mengakibatkan mudah terjadinya kelainan
didaerah ini.

Kemampuan menahan air dari nucleus pulposus berkurang secara


progresif dengan bertambahnya usia. Mulai usia 20 tahun terjadi perubahan
degenerasi yang ditandai dengan penurunan vaskularisasi kedalam diskus disertai
berkurangnya kadar air dalam nucleus sehingga diskus mengkerut dan menjadi
kurang elastik.

Epidemiologi

TB diketahui menjadi salah satu penyebab kematian tersering akibat infeksi di


seluruh dunia. Berdasarkan World Health Organization’s Global TB Report tahun
2010, insidensi TB secara global diestimasikan mencapai 9,4 juta atau 137 kasus
per 100.000 populasi dan sebanyak 1,3 juta individu dengan HIV negatif
meninggal, sedangkan untuk HIV positif sebanyak 0,38 juta individu meninggal
karena TB. Kasus TB terbesar ditemukan di Asia yaitu sebesar 55% dari seluruh
insidensi, sedangkan di Afrika ditemukan sebanyak 30%. Persentase kasus di

19
Eropa dan Amerika lebih kecil yaitu sekitar 3-4%. Dari 9,4 juta kasus TB pada
tahun 2009, 1,0-1,2 juta (11-13%) kasus merupakan kasus HIV positif.

Rerata usia pasien dengan TS yang dilaporkan pada beberapa studi


berkisar pada rentang usia 30-40 tahun. Berdasarkan studi Turgut et al dan seluruh
kasus TS yang dilaporkan di Turkey, diketahui bahwa rerata usia pasien TS
adalah 32 tahun. Selain itu, studi epidemiologi di Prancis juga menunjukkan
bahwa TS secara signifikan lebih umum ditemukan pada pasien dibawah usia 40
tahun.

Namun demikian, studi terbaru pada penduduk Jepang menunjukkan


proporsi infeksi TS dari seluruh kasus TB pada usia lebih dari 70 tahun mencapai
31,2% dan semakin meningkat pada tahun 2002 menjadi 41,5%. Adanya
peningkatan usia harapan hidup disertai beberapa faktor lain seperti malnutrisi,
adanya underlying acute atau chronic diseases, dan perubahan fisiologis tubuh
terkait proses degenerative, seluruhnya berperan dalam proses penurunan respon
imun seluler tubuh yang akan mempermudah infeksi agen M. Tuberculosis.

Faktor resiko dari TS meliputi adanya underling diseases seperti diabetes


mellitus dan chronic renal failure ditemukan pada 5-25% dan 2-31% pasien TS.
Selain itu, penggunaan steroid jangka panjang juga ditemukan pada 3-13% pasien
TS. TB merupakan infeksi oportunistik yang paling sering dihubungkan dengan
infeksi HIV, dan TB skeletal lebih sering terjadi pada pasien dengan HIV positif
dibandingkan HIV negatif. Studi oleh Godlwana at di Afrika Selatan
menunjukkan sebanyak 28% pasien TS menunjukkan hasil HIV seropositif, yang
mana hasil ini serupa dengan studi yang dilakukan oleh Leibert dan Rezai pada
studi mereka di USA, dengan hasil 27% dan 25% pasien TS memiliki HIV
seropositif. Pasien dengan nyeri punggung kronik juga harus dipikirkan sebagai
TS jika sebelumnya terdapat riwayat infeksi TB, yang mana gejala ini ditemukan
pada pasien TS dengan proporsi 5-100%.

Tabel di bawah ini menunjukkan perbandingan faktor resiko pada TS


berdasarkan studi yang dilakukan oleh Alavi dan Sharifi pada tahun 2010.

20
Tabel 1. Perbandingan faktor resiko spondilitis tuberkulosa

Berdasarkan tabel di atas, dari beberapa faktor resiko TS, seperti usia,
jenis kelamin, underlying disease, penggunaan kortikosteroid jangka panjang,
riwayat TB sebelumnya dan co-infeksi HIV, faktor resiko yang berhubungan
secara signifikan dengan terjadinya infeksi TS adalah usia. Dimana berdasarkan
studi tersebut menunjukkan bahwa pasien berusia lebih dari 35 tahun lebih
beresiko terkena infeksi TS dibanding pasien berusia kurang dari 35 tahun.

Klasifikasi

Pada tahun 1985, Kumar memperkenalkan 4 point klasifikasi untuk TB spinal


posterior berdasarkan site of involvement dan stadium dari penyakit. Namun
demikian, salah satu kelemahan dari sistem klasifikasi ini adalah TB spinal
posterior umumnya jarang ditemukan. Pada tahun 2001, Mahta dan Bhojraj
memperkenalkan sistem klasifikasi baru untuk TB spinal menggunakan temuan
MRI. Mahta dan Bhojraj membagi pasien ke dalam 4 kelompok klasifikasi
berdasarkan teknik surgical yang dilakukan.

 Grup A adalah kelompok pasien dengan lesi anterior yang stabil dan tanpa
disertai deformitas kifosis, yang diterapi dengan debridement anterior dan
strut grafting.

21
 Grup B terdiri atas pasien dengan lesi global, kifosis dan instabilitas, serta
membutuhkan terapi posterior instrumentation menggunakan closed-loop
rectangle dengan sublaminar wires dan anterior strut grafting.
 Grup C terdiri atas pasien dengan lesi anterior atau global dengan resiko
tinggi operasi trans-torakal akibat adanya penyakit komorbid atau resiko
komplikasi anesthesia.
 Grup D terdiri atas pasien dengan lesi posterior terlokalisir yang hanya
membutuhkan dekompresi posterior.

Kelemahan sistem klasifikasi ini adalah mengelompokkan penyakit hanya


berdasarkan lesi torakal.

Ogus et al membuat sistem klasifikasi terbaru untuk TB spinal, yang mana


TB spinal dibagi menjadi 3 tipe.

a. Tipe I: keterlibatan satu level diskus dan infiltrasi soft tissue tanpa disertai
abses dan defisit neurologis

b. Tipe IA: lesi hanya terbatas pada vertebra sehingga terapi yang dibutuhkan
berupa fine needle biopsy dan terapi medical

c. Tipe IB: pembentukan abses yang menyebar hingga vertebra dan terapi
yang dibutuhkan adalah debridement menggunakan anterior, posterior atau
endoscopic approach.

d. Tipe II: degenerasi satu atau dua level diskus, pembentukan abses dan
kifosis ringan yang dapat dikoreksi dengan operasi anterior. Meskipun tipe
ini tidak menunjukkan instabilitas, namun defisit neurologis dapat terjadi.

e. Tipe III: degenerasi satu atau dua level diskus, pembentukan abses,
instabilitas dan deformitas yang tidak dapat dikoreksi dengan operasi
biasa. Tipe ini membutuhkan operasi dekompresi dan stabilisasi.

Patofisiologi

Spondilitis tuiberkulosa merupakan sekunder infeksi dari ekstraspinal.


Tuberkulosa pada tulang belakang ini dapat terjadi karena penyebaran hematogen

22
atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik
ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang
belakang.

Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan
genitaurinarius. Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang
berasal dari fokus primer di paru. Sementara pada orang dewasa, penyebaran
terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat
terjadi melalui arteri interkostal atau lumbar yang memberikan suplai darah kedua
vertebra yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra di atasnya dan
bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi
kolumna vertebralis sehingga menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal
inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus penyakit ini diawali
dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus
melibatkan tiga taua lebih vertebra.

Lesi dasar dari penyakit ini merupakan kombinasi antara osteomielitis dan
artritis yang melibatkan satu atau lebih dari vertebra. Infeksi tuberkulosa pada
awalnya mengenai bagian cancellous dari vertebra. Area infeksi secara bertahap
bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus vertebra
sepanjang ligament longitudinal anterior, serta melibatkan dua atau lebih vertebra
yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior
atau secara langsung melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan
fokus multipel yang dipisahkan oleh vertebra normal. Infeksi dapat juga
berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral.

Proses lanjut apabila tidak mendapat pengobatan, maka akan terjadi proses
lanjut dimana nekrosis akan mencegah pembentukan tulang baru dan pada saat
yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avaskular pada diskus yang
memberikan manifestasi pada penyempitan rongga diskus, hilangnya tulang
subkondral, dan kolapsnya korpus vertebra. Suplai darah juga akan semakin
terganggu dengan timbulnya endoartritis yang menyebabkan tulang menjadi
nekrosis.

23
Sebagai media untuk menahan beban, kolaps vertebra akan memberikan
dampak terhadap destruksi progresif tulang belakang terutama pada bagian
anterior. Destruksi akan menyebabkan perubahan pada diskus intervertebralis dan
akan timbul deformitas berbentuk kifosis (gibus) yang progresivitasnya
bergantung dari derajat kerusakan, level lesi, serta jumlah vertebra yang terlibat.
Jika deformitas ini sudah timbul, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa
penyakit ini sudah meluas.

Bagan 1. Patofisiologi Spondilitis Tuberkulosa

Diagnosis

24
Pada anamnesis, klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dari bulan hingga tahun.
Keluhan sistemik biasanya lebih sering didapatkan, secara umum dapat berupa
demam yang hilang timbul, keringat malam, anoreksia, serta penurunan berat
badan. Pada anak didapatkan keluhan orang tua, seperti anak yang malas untuk
bermain keluar rumah, hilangnya berat badan, dan berkurangnya nafsu makan.
Hasil anamnesis lain adalah adanya riwayat batuk lama (lebih dari tiga minggu)
berdahak atau berdarah. Keluhan nyeri lokal pada tulang belakang biasanya
ditemukan.

Provoking Incident
Provokator nyeri adalah bertambah apabila melakukan mobilisasi spina. Rasa
nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien
akan menahan punggungnya menjadi kaku.
Quality or quantity of pain
Sebagian besar pasien secara subjektif menyatakan rasa nyeri seperti menusuk
tumpul.
Region, radiation, reffered
Secara umum nyeri bisa bersifat spinal dan radikular.
Keluhan nyeri biasanya terlokalisir pada satu region tulang belakang atau berupa
nyeri yang menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai
nyeri di daerah telinga atau nyeri menjar ke tangan. Lesi torakal atas akan
menampakkan nyeri yang terasa di dada dan interkostal. Pada lesi di bagian
torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut.
Severity (scale) of pain
Skala nyeri biasanya bervariasi dalam rentang 2-3 dalam pengakajian nyeri
subjektif
Time
Sifat nyeri biasanya kronis (chronic back pain), dengan durasi keluhan selama
empat bulan.

Keluhan akibat abnormalitas neurologi terjadi sekitar 50% dari kasus


spondilitis tuberkulosa, berupa keluhan paraplegia, paresis, gangguan sensasi,
nyeri radikal, dan sindrom kauda ekuina. Pada gangguan lanjut biasanya akan ada
deformitas, dapat berupa: kifosis (gibus/angulasi posterior), skoliosis, bayonet
deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi.

25
Walaupun jarang, infeksi yang melibatkan area servikal akan memberikan
manifestasi nyeri dan kekakuan pada leher, disfagia, serta stridor. Nyeri dan
kekakuan leher dikarakteristikkan dengan ketidakmampuan menolehkan kepala,
mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi, dan duduk dalam posisi dagu
disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas
pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis
tortikolis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahu. Abses
yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakea ke sterna notch
memberikan dampak pada disfagia dan stridor. Sementara kompresi medulla
spinalis pada orang dewasa menyebabkan tetraparesis.

Infeksi region torakal akan memberikan manifestasi keluhan adanya


kekakuan pada punggung. Keluhan dirasakan terutama pada saat berbalik dengan
menggerakkan kaki, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil
sesuatu dari lantai ia akan menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetap kaku (coin test). Respons dari penekanan korda pada region
ini menyebabkan keluhan paralisis. Pada beberapa keadaan pasien mengeluh
adanya benjolan pada punggung yang berupa abses paravertebra.

Infeksi pada region lumbar memberikan manifestasi adanya abses pada


pinggang dan di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel
dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak
berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang
belakangnya dengan meletakkan tangannya di atas paha. Adanya kontraktur otot
akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.

Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak ditemukan pada infeksi


di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak kekakuan pada
alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, misalnya pola
jalan yang kaku dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Selain itu, dapat pula
terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.

26
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Yasaratne et al, didapatkan
beberapa gejala klinis yang umum terjadi pada penyakit TS, yang mana gejala
tersebut terangkum pada bagan di bawah ini.

Bagan 1. Perbandingan gejala klinis pada spondilitis tuberkulosa

Berdasarkan hasil studi Yasaratne et al, gejala yang paling sering


ditemukan pada penyakit TS adalah nyeri punggung, yakni sebesar 91%. Adapun
gejala lainnya yang juga umum terjadi yaitu demam, penurunan berat badan,
berkeringat malam, kifosis, deformitas atau gibus, defisit neurologis, dan
gangguan sfingter.

Pemeriksaan fisik regional:

Look : Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas, terlihat adanya


abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, serta
dekubitus pada bokong.

Feel : Jika terdapat abses, maka akan teraba massa yang berfluktuasi
dan kulit atasnya terasa sedikit hangat (cold abscess). Sensasi ini
dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fosa iliaka, retrofaring, atau di
sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), bergantung
dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu

27
diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan
kuantitas pus dalam cold abscess. Spasme otot protektif disertai
keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.

Move : Kelemahan anggota gerak (paraplegia) dan gangguan pergerakan


tulang belakang.

Pemeriksaan penunjang:

 Laboratorium
o Tuberculin skin test atau Tuberculin Purified Proitein Derivative
(PPD) positif
o LED meningkat (tidak spesifik): 20-100 mm/jam
o Leukositosis
o Kultur cairan serebrospinal menunjukkan basil tuberkel
 Radiologi
o Foto polos: pada tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian
anterior superior atau sudut inferior korpus vertebra, osteoporosis
regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak penyempitan
diskus sintervertebralis yang berdekatan, serta erosi korpus
vertebra anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran
infeksi dari area subligamentous.
o CT Scan: terutama bermanfaat untuk memvisualisasi region torakal
dan keterlibatan iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan
lengkung saraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan
CT Scan.
Berikut ini gambaran tipikal dari penyakit TS yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan CT Scan.

28
B. CT axial imaging of lumbar spine showing end plate and
vertebral body destruction.
F. CT shows gross vertebral destruction with gibbus deformity.

o MRI: mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi


yang bersifat kompresif dengan yang bersifat nonkompresif pada
tuberkulosa tulang belakang.
Berikut ini gambaran tipikal dari penyakit TS yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan MRI.

29
A. T2 weighted sagittal MR images showing high signals in
Lumbar 2nd & 3rd vertebral bodies
C. T1 weighted sagittal MRI shows subligamentous spread of
infection
D. Axial MR image shows bilateral psoas abscesses
D. Sagittal MRI showing lumbar 1st destruction, thoracic 12th
intra-osseous abscess formation, epidural extension and cord
compression.

Tabel di bawah ini menunjukkan gejala klinis, dan hasil laboratorium serta
pencitraan pasien dengan infeksi TS berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Alavi dan Sharifi pada tahun 2010.

30
Tabel 2. Perbandingan gejala klinis, hasil laboratorium dan pencitraan pada spondilitis
tuberkulosa

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui beberapa gejala klinis yang dapat
ditemukan pada pasien TS meliputi demam, berkeringan malam, penurunan berat
badan, nyeri punggung, tenderness lokal, paraparesis, kifosis. Di antara gejala
klinis tersebut, gejala nyeri punggung dan tenderness lokal merupakan gejela
tersering yang muncul. Sedangkan berdasarkan pemeriksaan laboratorium,
peningkatan ESR dan CRP juga ditemukan cukup sering, yaitu pada 92% dan
86% pasien dengan TS. Berdasarkan pemeriksaan pencitraan, gambaran TS lebih
umum ditemukan pada pemeriksaan X-ray spinal dibandingkan pemeriksaan
pencitraan lain.

Adapun kriteria diagnosis TS berdasarkan Ching-Yun Weng, et al


disebutkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Kriteria diagnosis spondilitis tuberkulosa

31
Yasaratne et al pada tahun 2013 melakukan studi mengenai penyakit TS
berkaitan dengan jenis lesi yang paling sering ditemukan pada TS. Penentuan
jenis lesi dilakukan berdasarkan pemeriksaan pencitraan meliputi X-ray, CT Scan
dan MRI. Berdasarkan pemeriksaan X-ray, jenis lesi yang paling banyak
ditemukan pada penyakit TS adalah end plate sclerosis/erosion. Sama halnya
dengan X-ray, jenis lesi yang paling umum ditemukan pada CT Scan adalah end
plate sclerosis/erosion. Sedangkan pada pemeriksaa MRI, jenis lesi yang umum
yaitu paraspinal soft tissue masses. Tabel di bawah ini merangkum beberapa jenis
lesi yang umum ditemukan pada penyakit TS yang dilihat melalui pemeriksaan X-
ray, CT Scan dan MRI berdasarkan hasil studi Yasaratne et al.

Tabel 4. Jenis lesi pada spondilitis tuberkulosa

32
Selain itu, Yasaratne et al juga menggambarkan lokasi bagian vertebra
yang paling sering terkena infeksi TS. Gambar ini bawah ini menunjukkan hasil
tersebut.

33
Gambar 7. Penyebaran lokasi infeksi spondilitis tuberkulosa pada vertebra

Berdasarkan gambar di atas, bagian vertebra yang paling sering terlibat


adalah vertebra lumbar, yaitu sebesar 53%. Kemudian diikuti dengan vertebra
torakal bawah (28%), torakal atas (13%) dan terakhir vertebra cervical (6%).

Komplikasi

1. Cedera korda spinalis


Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus
tuberkulosa, sekuester tulang, sekuester dari diskus intervertebralis atau
dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan
granulasi tuberkulosa. Jika cepat diterapi sering berespons baik.
2. Empiema tuberkulosa
Terjadi karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam pleura.

34
Diagnosis banding

1. Infeksi piogenik
2. Infeksi enteric
3. Tumor/penyakit keganasan
4. Scheuermann’s disease
5. Myeloma multipel
6. Kandidiasis
7. Artritis septic
8. Abses korda spina
9. Tuberculosis

Tatalaksana

I. Konservatif
a. Imobilisasi dengan tirah baring panjang atau dengan gips badan
Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut
dan bila tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk
melakukan operasi radikal spinal anterior atau bila terdapat
masalah teknik yang terlalu membahayakan. Istirahat dapat
dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakang
dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase
aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan
dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di
tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu sehingga dicapat
keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis
dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa
nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat
badan meningkat, serta suhu tubuh normal. Hasil laboratorium
menunjukkan penurunan laju endap darah dan tes Mantoux
umumnya <10 mm. pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai
bertambahnya destruksi tulang, kavitasi, ataupun sekuster.
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah
servikal diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra

35
torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body
cast jacket, sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan
sacral dilakukan imobilisasi dengan body jacket atau korset dari
gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama
imobilisasi berlangsung kurang lebih enam bulan, dimulai sejak
penderita diperbolehkan berobat jalan.
Latihan ROM pada anggota gerak dilakukan untuk
mencegah kontraktur dan atrofi otot. Latihan ROM secara pasif
dilakukan pada pasien spondilitis dengan kelumpuhan pada
ekstremitas bawah juga melibatkan anggota keluarga agar tujuan
dapat lebih optimal didapatkan. Latihan ROM yang optimal dapat
menurunkan atrofi otot, perbaikan sirkulasi perifer dan mencegah
kontraktur pada ekstremitas bawah yang mengalami kelemahan.
Dalam posisi netral, alat gerak bawah berada pada posisi
lutut sedikit fleksi. Oleh karena pasien cenderung melakukan
ekstensi pergelangan kaki, kondisi kontraktur pergelangan kaki dan
footdrop sering terjadi. Oleh karena itu, tindakan latihan ROM
dengan fleksi kaki dapat menurunkan resiko footdrop.
b. Kemoterapi dengan OAT selama 6-9 bulan
Terapi utama spondilitis tuberkulosa adalah kemoterapi dengan
OAT. Pemberian OAT dapat secara signifikan mengurangi
morbiditas dan mortalitas. OAT yang diberikan adalah isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, streptomisin dan etambutol. Terdapat
perbedaan terkait durasi pemberian OAT pada TS berdasarkan
WHO dan American Thoracic Society, yang mana WHO
merekomendasikan terapi OAT selama 6 bulan serupa dengan
terapi TB pada umumnya. Sedangkan American Thoracic Society
merekomendasikan pemberian OAT selama 9 bulan, yang mana
untuk dua bulan pertama, jenis OAT yang diberikan sama dengan
WHO kemudian dilanjutkan dengan pemberian isoniazid dan
rifampisin selama tujuh bulan.

36
Tabel di bawah ini menunjukkan jenis OAT yang berikan pada
penyakit TS berdasarkan rekomendasi WHO.

Tabel 5. Terapi OAT berdasarkan rekomendasi WHO

c. Diet tinggi kalori tinggi protein

II. Terapi bedah


Indikasi tindakan bedah:
 Defisit neurologis (deteriorasi neurologis akut, paraparesis,
paraplegia)
 Deformitas spina dengan ketidakstabilan dan adanya nyeri
 Tidak ada respons pada pengobatan OAT dengan disertai adanya
progresifitas kifosis atau ketidakstabilan spina.
 Abses paraspina yang besar
 Diagnosis yang meragukan hingga diperlukan biopsy

Pelaksanaan tindakan bedah dilakukan bersama dengan pemberian OAT.


Pemberian OAT tambahan 10 hari sebelum operasi telah
direkomendasikan. Area nekrotik dengan perkijauan yang mengandung
tulang mati dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian rongga yang

37
ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft dari tulang iga.
Pendekatan langsung secara radikal mendorong penyembuhan yang cepat
dan tercapainya stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan
vertebra yang terkena. Fusi spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat
destruksi dua atau lebih korpus vertebra, adanya instabilisasi karena
destruksi elemen posterior atau konsolidasi tulang terlambat, serta tidak
dapat dilakukan pendekatan dari anterior. Pada kasus dengan kifosis berat
atau defisit neurologis, kemoterapi tambahan dan bracing merupakan
terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusat kesehatan yang tidak
mempunyai perlengkapan untuk operasi spinal anterior.

Intervensi bedah banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai


lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan
neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat
tidur selama 3-6 minggu. Tindakan operasi juga dilakukan bisa setelah 3-4
minggu pemberian OAT dan tirah baring tidak memberikan respons yang
baik. jika tidak ada perbaikan, terapi paling efektif pada lesi spinal adalah
dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi pus
tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa dan tulang yang terinfeksi.

38
BAB IV

PEMBAHASAN

Laki-laki 54 tahun datang dengan keluhan kelemahan pada kedua kaki yang
dirasakan sejak 5 bulan lalu. Kelemahan kaki muncul secara perlahan. Kelemahan
pada kedua kaki umumnya disebut dengan paraplegia. Paraplegia menunjukkan
adanya cedera pada medulla spinalis. Cedera ini dapat disebabkan oleh kompresi
medulla spinalis yang dibagi menjadi dua, yaitu kompresi ekstramedularis dan
intramedularis. Kompresi ekstramedularis dapat terjadi pada beberapa kondisi
seperti hernia diskus intervertebralis, infeksi tuberculosis pada vertebra dan tumor
vertebra (meningioma dan fibroma saraf). Sedangkan kompresi intermedularis
ditemukan pada tumor primer medulla spinalis, seperti glioma. Cedera medulla
spinalis juga dapat terjadi akibat trauma.

Pasien juga mengeluh nyeri punggung sejak 6 bulan lalu, muncul benjolan
pada garis tulang belakang yang tidak nyeri dan tidak membesar, dan penurunan
berat badan. Berdasarkan keempat gejala tersebut, diagnosis banding yang
mungkin pada pasien adalah infeksi tuberkulosa dan tumor. Diagnosis banding
cedera medulla spinalis karena trauma dapat dieksklusi karena pasien tidak
memiliki riwayat terjatuh atau trauma lain sebelumnya. Selain itu, gejala
paraplegia akibat trauma muncul segera setelah trauma terjadi, sedangkan pada
pasien ini gejala paraplegia muncul secara perlahan.

Dari anamnesis lebih lanjut diketahui bahwa pasien dalam kondisi


konsumsi OAT sejak bulan April. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa pasien dicurigai mengalami infeksi tuberkulosa vertebra atau spondilitis
tuberkulosa. Infeksi spondilitis tuberkulosa dapat bersifat primer maupun
sekunder. Pada pasien ini, spondilitis tuberkulosa yang dialami bersifat sekunder
karena berdasarkan pemeriksaan rontgen thoraks baik di RSUD Gerung ataupun
RSUD NTB menunjukkan adanya Tuberkulosa dupleks aktif.

Gejala klinis umum dari spondilitis tuberkulosa meliputi nyeri punggung,


demam, penurunan berat badan, defisit neurologis, berkeringat malam, kifosis dan

39
adanya gibus. Gejala-gejala tersebut sesuai dengan gejala yang dikeluhkan pasien.
Namun demikian, pasien tidak mengeluhkan demam ataupun berkeringat malam.

Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan cold abscess dan penurunan


kekuatan motorik ekstremitas bawah yaitu +3/+3. Cold abscess merupakan tanda
tipikal dari spondilitis tuberkulosa. Adanya penurunan kekuatan motorik
mengindikasikan telah terjadi defisit neurologi pada pasien, serta sfingter ani
eksterna melemah, yang mana hal ini juga merupakan tanda dari spondilitis
tuberkulosa. Deficit neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang
terjadi, namun ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra
torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan
neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini, yang mana pada pasien ini
kelainan juga ditemukan pada vertebra torakalis.

Pemeriksaan foto vertebra torakolumbal pasien juga mendukung diagnosis


spondilitis tuberkulosa, yang mana foto tersebut menunjukkan gambaran adanya
bentuk vertebra cenderung kifosis, kompresi vertebra torakal VI dan abses
paravertebra.

Kerusakan medulla spinalis pada penyakit TS terjadi melalui interaksi 4


faktor yaitu adanya penekanan oleh cold abscess, iskemia akibat penekanan pada
arteri spinalis, terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinal, dan
penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak.

Berdasarkan sistem klasifikasi Ogus et al, pasien ini termasuk dalam


klasifikasi Tipe III, yang mana terdapat degenerasi satu atau dua level diskus,
pembentukan abses, instabilitas dan deformitas. Oleh karena itu pasien
membutuhkan terapi intervensi berupa operasi dekompresi dan stabilisasi. Selain
intervensi bedah, pasien juga membutuhkan terapi medikamentosa berupa OAT.
Pasien telah diberikan terapi OAT sejak bulan April dan berdasarkan teori, terapi
OAT pada spondilitis tuberkulosa diberikan dengan durasi 6-9 bulan, sehingga
pasien harus meneruskan terapi OAT hingga bulan Januari 2019.

40
BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Dilaporkan seorang Laki-laki 54 tahun datang dengan keluhan kelemahan pada


kedua kaki yang dirasakan sejak 5 bulan lalu diawali dengan nyeri punggung
sejak 6 bulan lalu. Terdapat benjolan di punggung tengah sejak 3 bulan lalu tanpa
disertai nyeri. Berat badan turun drastis. Pada pemeriksaan fisik ditemukan abses
pada vertebra torakalis dan ulkus dekubitus di punggung bawah, penurunan
kekuatan motorik pada ekstremitas bawah dan sfingter ani eksterna tidak
mencengkram kuat pada pemeriksaan RT. Pemeriksaan penunjang meliputi foto
polos vertebra torakolumbal menunjukkan gambaran spondilitis tuberkulosa
dengan kompresi pada vertebra torakal VI, abses paravertebra dan bentuk vertebra
kifosis ringan. Pada pasien diberikan terapi medikamentosa berupa OAT dan
intervensi bedah yaitu operasi dekompresi dan stabilisasi.

41
Daftar Pustaka

1. Noor, Z. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Edisi 2. Jakarta: Salemba


Medika, 2016.

2. Trecarichi, E.M., Meco, E., Mazzotta, V., et al. Tuberculous spondylodiscitis:


epidemiology, clinical features, treatment, and outcome. 2012; 16(2).
European Review for Medical and Pharmacological Sciences.

3. Alavi, S.M., dan Sharifib, M. Tuberculous Spondylitis: Risk Factors and


Clinical/Paraclinical Aspects in the South West of Iran. 2010; 3. Journal of
Infection and Public Health (2010) 3, 196—200.

4. Snell, R.S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC.


2006

5. Rasouli, M.R., Mirkoohi, M., Vaccaro, A.R., et al. Spinal Tuberculosis:


Diagnosis and Management. 2012; 6(4). Asian Spine Journal Vol. 6, No. 4,
pp 294~308, 2012.

6. Yasaratne, B.M.G.D., Wijesinghe, S.N.R., dan Madegedara, R.M.D. Spinal


Tuberculosis: A Study of the Disease Pattern, Diagnosis and Outcome of
Medical Management in Sri Lanka. 2013. Indian Journal of Tuberculosis.

42

Anda mungkin juga menyukai