Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN PUSTAKA

RICKETS DISEASE

OLEH :
Qotrunnada Alwi Zubaidah
H1A014065

Pembimbing :
dr. Rudi Febrianto., Sp.OT

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Rickets disease atau penyakit rakhitis adalah suatu kondisi yang terkait dengan
deformitas tulang karena mineralisasi yang tidak memadai dalam pertumbuhan tulang yang
terjadi pada anak-anak dan remaja karena kekurangan kalsium, fosfat dan / atau vitamin D,
sehingga mineralisasi jaringan osteoid tidak memadai di bagian epifisis dan matriks tulang.
Penyebab paling sering penyakit rakitis di seluruh dunia, berupa kekurangan vitamin D. 1
Penyebab genetik (hereditary rickets) jarang terjadi: terhitung sekitar 13% dari total rakitis,
berhubungan dengan penyakit ginjal.2

Ricket disease pertama kali dilaporkan pada pertengahan tahun 1600-an di Eropa.
Glisson dan lain-lain menggambarkan temuan khas deformitas tulang dengan melengkung
pada kaki. Ricket terus dilaporkan selama berabad-abad berturut-turut. Pada tahun 1800-an,
sinar matahari (radiasi ultraviolet) dan minyak ikan cod (cod-liver oil) ditemukan efektif
dalam mengobati ricket disease, dan pada awal tahun 1900-an, vitamin D diisolasi dan
ditemukan sebagai bahan penting dari minyak ikan cod. Dengan pengenalan suplementasi
vitamin D, penyakit rakhitis ini menjadi langka di negara-negara industri selama abad ke-20.
Namun, pada akhir abad terakhir, penyakit rakhitis muncul kembali sebagai masalah yang
penting dan banyak ditemukan di Amerika Utara.3

Rakhitis adalah salah satu penyakit anak yang paling sering dibanyak negara
berkembang. Terjadinya rhakitis merupakan rangkaian awal terjadinya osteoporosis, pada
saat sekarang ini angka kejadian tersebut sangat meningkat tajam. Berdasarkan hasil
penelitian University of Otago, Selandia Baru, bekerja sama dengan Seameo Tropmed
RCCN, Universitas Indonesia dan Universitas Putra Malaysia yang dipublikasikan European
Journal of Clinical Nutrition tahun 2007, perempuan Indonesia hanya mengkonsumsi 270 mg
kalsium perhari.4

Hal tersebut berarti asupan kalsium perempuan Indonesia bahkan berkurang 50% dari
rekomendasi kalsium harian yang dibutuhkan. Data kepadatan tulang yang dianalisa oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) ditemukan bahwa 2 dari 5 orang anak
Indonesia beresiko menderita kerapuhan tulang.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Rakhitis adalah pelunakan dan melemahnya tulang pada anak-anak, biasanya


karena kekurangan vitamin D yang ekstrim dan berkepanjangan. Vitamin D sangat
penting dalam penyerapan kalsium dan fosfor dari saluran pencernaan, yang dibutuhkan
anak untuk membentuk tulang yang kuat.5

Rakhitis dapat dibagi menjadi dua kelompok: 1) vitamin D-dependent rickets yang
tergantung-vitamin D disebabkan oleh mutasi baik dalam enzim yang terlibat dalam
biosintesis vitamin D atau reseptor vitamin D dan 2) hypophosphatemic rickets (HR)
yang disebabkan oleh gangguan reabsorpsi fosfat di tubular ginjal atau transportasi
karena kelainan genetik yang terkait dengan phosphatonins atau phosphate co-
transporters.6,7

Kalsium adalah salah satu mineral yang paling umum di dalam tubuh dan terutama
berasal dari sumber makanan.8 Ini penting untuk metabolisme tulang dan berbagai fungsi
biologis.8 Sementara lebih dari 99% dari total kalsium disimpan dalam jaringan tulang
sebagai kompleks kalsium-fosfat, kurang dari 1% didistribusikan antara kompartemen
intraseluler dan ekstraseluler.9 Dari <1% kalsium di luar jaringan tulang, 40% terikat
pada protein, 9% terkandung dalam kompleks ionik dan sisanya 51% dalam bentuk ion
Ca2+ bebas yang merupakan bagian biologis aktif dari kalsium tubuh. Kalsium terionisasi
menyeimbangkan kalsium di ruang ekstraselular intraseluler dan memainkan peran
penting dalam metabolisme tulang. Keseimbangan ini dicapai melalui efek beberapa
hormon seperti hormon paratiroid (PTH) dan 1,25-dihidroksivitamin D [1,25 (OH) 2D]
dan organ-organ seperti ginjal, tulang dan sistem usus. Jika kadar kalsium serum
menurun, reseptor penginderaan kalsium yang terletak di sel paratiroid memediasi
peningkatan sekresi PTH, yang berikatan dengan reseptor PTH1 (PTH1R, diekspresikan
pada tulang dan ginjal) untuk meningkatkan resorpsi kalsium dari tulang dan reabsorpsi
dari ginjal. PTH juga mengaktifkan 25 hydroxyvitamin D3-1α-hydroxylase, yang
mengarah ke peningkatan sintesis 1,25 (OH)2D, yang merupakan bentuk aktif vitamin D
untuk meningkatkan penyerapan kalsium dari usus dan reabsorpsi dari tubulus proksimal
ginjal.8,9,10

2
Fosfat dalam sirkulasi dapat diambil ke dalam sel untuk berbagai aktivitas biologis
atau dapat disimpan dalam jaringan tulang. Sekitar 85% dari fosfat diserap kembali oleh
sodium-dependent phosphate transporter 2A (NaPi-2a, dikodekan oleh gen SLC34A1)
dan sodium-dependent phosphate transporter 2C (NaPi-2c, disandikan oleh gen
SLC34A3) yang keduanya diekspresikan di tubulus proksimal ginjal. 1,25 (OH) 2D
meningkatkan penyerapan fosfat di usus dan reabsorpsi di tubular ginjal, sedangkan PTH
menurunkan reabsorpsi tubular fosfat/ tubular reabsorption of phosphate (TRP). Selain
itu, molekul lain yang memiliki efek fosfat, yang disebut phosphatonins, memiliki
dampak signifikan pada keseimbangan serum fosfat dengan mengurangi TRP.11,12

B. EPIDEMIOLOGI.
Helen Keller International (Dhaka, Bangladesh) melakukan survei nasional pada
tahun 2000 dan mengulanginya pada tahun 2004. Rakhitis diidentifikasi sebagai kelainan
varus dan / atau valgus pada anak-anak berusia 1–15 tahun. Secara nasional, kelainan
bentuk tubuh ditemukan pada 0,26% dari 21.571 anak yang disurvei pada tahun 2000
dan 0,12% dari 10.005 anak yang disurvei pada tahun 2004. Sebuah survei yang lebih
rinci yang dilakukan oleh Institut Kesehatan Anak dan Ibu di divisi Chittagong
menemukan bahwa 8,7% anak-anak memiliki setidaknya satu temuan klinis yang
menunjukkan rakhitis; 4% memiliki cacat dari ekstremitas bawah sugestif dari rakhitis;
0,9% memiliki bukti radiologis dari rakhitis; dan 2,2% memiliki peningkatan kadar
serum alkalin fosfatase.13
Di bagian lain Asia, seperti bagian utara China (termasuk Tibet), dan Afghanistan,
penyakit rakhitis terutama disebabkan oleh kekurangan vitamin D yang terkait dengan
lintang tinggi, musim dingin dan paparan kulit yang terbatas.14
C. ETIOLOGI5
Etilogi rakhitis tergantung dari klasifikasinya, rakhitis dapat disebabkan karena
kurangnya vitamin D atau kurangnya kadar fosfat.
1. Rakhitis akibat kurangnya vitamin D disebut sebagai vitamin D-dependent rickets
atau Calcipenic rickets terjadi akibat inadekuat asupan vitamin D, pemanfaatan vitamin
D yang kurang atau kalsium yang tidak memadai, termasuk:
 Nutritional vitamin D deficiency
 Calcium deficiency
 Vitamin D deficiency sebagai penyabab sekunder dari:
o Malabsorption

3
o Antiepileptic drug therapy
o Chronic renal failure
o Liver failure
o Distal renal tubular acidosis
o 25 hydroxylase deficiency in liver (rare)
o Vitamin D resistant rickets
2. Rakhitis akibat defisiensi fosfat atau disebut hypophosphatemic rickets atau
Phosphopenic rickets jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh suatu kondisi :
 Low phosphorous intake
 Prematurity/ Total parenteral nutrition
 Renal phosphate wasting
 Proximal renal tubular acidosis
 Fibrous dysplasia
 Oncogenic hypophosphataemic rickets
 Hereditary hypophosphataemic rickets:
o X -linked dominant (XLH)
o Autosomal dominant
o Autosomal recessive
o Hereditary hypophosphataemia with hypercalciuria (HHRH)
D. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan yang cukup vitamin D atau ketika serum 25 − hydroxyvitamin D
(25 (OH) D) > 20 ng / mL (50 nmol / L), penyerapan Ca ++ di usus dapat setinggi 80%
dari asupan, terutama selama periode pertumbuhan aktif. Di sisi lain, dalam keadaan
kekurangan vitamin D, penyerapan Ca++ di usus dapat menurun hingga 10−15% dan juga
penurunan total reabsorpsi maksimal fosfat. Dalam keadaan ini, kadar Ca ++ serum
terionisasi rendah menstimulasi sekresi hormon paratiroid (PTH), yang menyebabkan
pelepasan Ca++ dan fosfor (P) dari tulang dalam upaya untuk mempertahankan kadar Ca +
+
yang normal. Peningkatan kadar PTH juga menyebabkan peningkatan ekskresi P urin.
Akhirnya, penurunan kadar serum P dan Ca++ menghasilkan penurunan mineralisasi
tulang. Selain itu, kadar P serum yang rendah menyebabkan kegagalan apoptosis yang
diduga dari hipertrofik kondrosit dan ini menghasilkan “ballooning” seluler dan
disorganisasi lempeng pertumbuhan. Awalnya, pada janin yang sedang berkembang,
prechondrocytes menginduksi proses perkembangan jaringan tulang dengan agregasi sel

4
mesenchymal selama pengerasan endochondral di plat pertumbuhan. Ini diikuti oleh
pembentukan matriks chondroblast, chondrocytes dan kartilago.15

Gambar 1. Pengerasan endochondral dari plat pertumbuhan.15


Selama pengerasan jaringan kartilago, chondrocytes berdiferensiasi menjadi zona
zona istirahat, zona proliferasi, zona hipertrofik dan zona pengerasan dari kondrosit.
Chondrocytes hipertrofik, kalsifikasi matriks sekitarnya untuk membentuk pusat utama
pengerasan sebelum apoptosis. Ini diikuti oleh vaskularisasi jaringan kalsifikasi dan
kedatangan osteoklas dan osteoblas. Pemodelan jaringan tulang selanjutnya terjadi.
Dengan cara ini, pusat osifikasi sekunder terbentuk dan pertumbuhan tulang sehat
membujur dipastikan sampai epiphyses ditutup oleh osifikasi jaringan kartilago di plate
pertumbuhan.15

Dalam rakhitis, kegagalan apoptosis dari chondrocytes hipertrofik menghasilkan


ekspansi tidak teratur dan deformasi jaringan tulang rawan yang dibentuk oleh
hipertrofik chondrocytes di plate pertumbuhan. Kondisi ini menyebabkan cupping dan
brush like appearance pada ujung epiphyseal pada radiogram. Ketidakpatuhan apoptosis
dari chondrocytes hipertrofik dilaporkan berkorelasi dengan hypophosphatemia dan
mengarah ke jaringan osteoid unilateral yang diperbesar yang terlihat pada plate
pertumbuhan.15

5
Gambar 2. Dalam rakhitis, pertumbuhan tulang rawan yang dibentuk oleh hipertrofik
kondrosit tidak diserap kembali karena gangguan apoptosis dan pengerasan plat
pertumbuhan yang tidak teratur.15

Kekurangan vitamin D jelas merupakan penyebab utama rakhitis atau sebagai akibat
kurangnya asupan makanan tinggi kalsium atau meningkatnya asupan makanan yang
mengandung phytate. Adanya defisiensi kalsium meyebabkan terjadinya peningkatan
produksi hormon paratiroid untuk meningkatkan resorpsi kalsium dari tulang dan
reabsorpsi dari ginjal. PTH juga mengaktifkan 25 hydroxyvitamin D3-1α-hydroxylase,
yang mengarah ke peningkatan sintesis 1,25 (OH)2D, yang merupakan bentuk aktif
vitamin D untuk meningkatkan penyerapan kalsium dari usus dan reabsorpsi dari tubulus
proksimal ginjal, Serta menurunkan reabsorpsi fosfat melalui peningkatan renal
phosphate loss. Sehingga secara langsung dapat menimbulkan rickets disease. Selain itu,
ricket disease dapat terjadi pada individu yang berisiko kekurangan vitamin D seperti
orang Amerika Afrika dan Asia Selatan yang berkulit gelap, terjadi penurunan sintesis
dermal vitamin D sebagai akibat dari penyerapan radiasi UV oleh pigmentasi melanin
meningkat.16

6
Gambar 3. Jalur skematik produksi vitamin D.17

Gambar 4. Patofisiologi rickets disease.16

7
E. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
1. Gambaran klinis
Gambaran klinis perlunakan dari lempeng epifisis sebagai akibat dari mineralisasi
yang berkurang. Dengan menahan beban, tekanan gravitasi menyebabkan tulang lunak
melengkung sebagai respons terhadap gaya yang diberikan di seluruh sendi. Dengan
demikian, tulang panjang kaki menjadi melengkung ‘bow legs’ atau, muncul kemudian
timbulnya rakhitis dalam bentuk ‘knocked knees’. Metafisis melebar secara lateral
sehingga pergelangan tangan dan pergelangan kaki dapat terlihat lebar dengan jelas.
Junction costochondral juga berkembang dengan struktur tulang demineralisasi, dan
terjadi beading atau pearling dari dinding dada. Fontanela terlambat menutup, dan
terjadi karies gigi.3
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik spesifik untuk diagnosis rakhitis, sulit dilakukan. Temuan
pemeriksaan fisik khusus untuk jaringan tulang di rakhitis termasuk penutupan fontanel
yang tertunda, pembesaran pergelangan tangan (wide wrists), karies gigi, hipoplasia
email, “O“ atau “X“ kelainan bentuk kaki, kyphosis dan panggul sempit yang dapat
mempengaruhi persalinan pada tahun-tahun berikutnya, deformitas dada, fraktur costa
atau ekstremitas (terutama fraktur greenstick). Terdapat rentang waktu yang lama untuk
terjadinya kelengkungan ekstremitas bawah, penilaian penutupan fontanel, dan erupsi
gigi. Cacat yang disebabkan oleh pelunakan tulang ekstremitas bawah (tibia dan
femoralis) berkembang setelah bayi mulai berjalan. Genu varum deformitas terjadi
ketika jarak antar-femur femoralis melebihi 5 cm dan itu adalah kelainan sistem
kerangka yang paling umum pada bayi dengan rakhitis yang tidak diobati. Valgum genu
dan kelainan bentuk kaki lainnya dapat diharapkan berkembang pada usia lanjut.
Kyphoscoliosis terkait raviets diamati setelah usia 2 tahun. Rosario Rachit yang
disebabkan oleh hipertrofi di persimpangan costochondral dan dipalpasi sebagai beads
rib yang jelas diamati setelah usia 1 tahun.15
Berdasarkan penelitian di Nigeria telah memberikan beberapa dasar untuk diagnosis
klinis dari rickets ketika pemeriksaan alkalin fosfatase dan radiografi pergelangan tangan
/ lutut tidak tersedia. Khususnya, untuk anak-anak dengan deformitas ekstremitas bawah,
temuan setidaknya tiga dari lima kategori berikut; 1) usia kurang dari 5 tahun, 2)
perawakan pendek, 3) nyeri kaki saat berjalan, 4) pergelangan tangan lebar, 5) costal
beading. Adanya 3 dari 5 kategori mengidentifikasi 87% anak-anak dengan rakhitis
aktif.3

8
3. Pemeriksaan penunjang
Ketika sumber daya tersedia, pemeriksaan laboratorium dan radiologis harus
digunakan untuk mengkonfirmasikan diagnosis dan etiologi rakhitis. Level serum alkalin
fosfatase meningkat ketika terdapat rakhitis. Konsentrasi hormon paratiroid serum
biasanya meningkat. Dengan rakhitis kekurangan vitamin D, kadar 25-hydroxyvitamin D
rendah, biasanya di bawah 10 ng / mL (25 mmol / L). Tanpa kekurangan vitamin D,
defisiensi kalsium menstimulasi peningkatan kadar 1,25-dihidroksivitamin D, sementara
kadar 25-hydroxyvitamin D tetap normal atau mendekati normal.3

Tabel 1. Karakteristik aboratorium pada penyakit rakhitis.

Temuan radiologi paling awal terbatas pada daerah ulnar distal pada bayi dan
metafisis lutut bagian bawah dan atas pada anak yang lebih tua. Awalnya, garis
"radiolusen" yang dihasilkan dari metafisis yang tidak dikalsifikasikan antara epifisis
dan metafisis dapat terlihat. Perluasan metafisis, ketidakteraturan margin metaphyseal,
penampilan seperti brush like appearance, cupping dan osteopenia umum adalah temuan
radiologi yang khas pada kasus klasik. Di sisi lain, temuan radiologis yang pasti
mungkin tidak ditemukan selama masa bayi dan remaja awal.15

9
Gambar 5. Penampakan radiologis cupping dan brush like appearance struktur epifisis
pada rakhitis.15

Gambar 6. Penampakan radiologis rakhitis. Kaki O, fraktur tulang panjang akibat


penipisan korteks karena osteopenia umum, dan ekspansi di persimpangan costochondral
(rosario rachitis) adalah temuan radiologi rakhitis.15
F. TERAPI
Intervensi bedah mungkin diperlukan untuk memperbaiki kelainan tulang yang
parah, tetapi untuk penyembuhan tulang yang optimal, ketidakseimbangan metabolik
dan nutrisi harus diperbaiki terlebih dahulu. Vitamin D dan suplemen kalsium dan fosfor
digunakan untuk mengobati rakhitis.17
Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki temuan klinis, biokimia dan
radiologi dan untuk mengembalikan cadangan vitamin D. Untuk tujuan ini, vitamin D

10
tidak aktif (cholecalciferol atau ergocalciferol) dapat digunakan. Umumnya, terdapat dua
metode perawatan yang dapat diberikan, antara lain:
1. Dosis rendah dengan terapi vitamin D jangka panjang:
Ada pandangan yang berbeda tentang dosis dan durasi terapi vitamin D. Dalam model
perawatan ini, tergantung pada usia anak, vitamin D biasanya diberikan dengan dosis
1000-10.000 IU / hari selama 2−3 bulan. Vitamin D dapat diberikan sesuai dengan
usia bayi sebagai berikut: 1000 IU / hari untuk bayi di bawah usia 1 bulan, 1000
hingga 5000 IU / hari untuk anak-anak 1 hingga 12 bulan, dan 5000 IU / hari untuk
anak-anak lebih tua dari 12 bulan. Setelah itu, direkomendasikan untuk memberikan
terapi pemeliharaan 400 IU / hari. Tingkat Ca dan P dinormalisasi dalam 6-10 hari
dengan terapi ini, sementara itu membutuhkan 1−2 bulan untuk PTH untuk mencapai
tingkat normal. Tergantung pada tingkat keparahan penyakit, mungkin diperlukan
waktu 3 bulan untuk tingkat serum ALP normal untuk dipulihkan dan temuan
radiologis dari rakhitis menghilang. Dalam model perawatan ini, kurangnya
kepatuhan merupakan penyebab penting dari kurangnya respon.15
2. Terapi Stoss: Untuk pasien yang diduga memiliki kepatuhan buruk, dosis tinggi
vitamin D dapat diberikan secara oral atau intramuskular sebagai dosis tunggal
100.000−600.000 IU setelah bulan pertama kehidupan. Sebuah penelitian terbaru juga
menunjukkan bahwa pemberian intramuskular dosis tunggal 300.000 IU vitamin D
efektif dalam kasus rakhitis. Shah dan Finberg telah berhasil mengatur 100.000 IU
vitamin D setiap dua jam selama periode dua belas jam. Perawatan ini
membangkitkan respons klinis yang cepat, menghasilkan pemulihan biokimia dalam
beberapa hari dan pemulihan radiologis dalam 10−15 hari.15

Beberapa penelitian merekomendasikan terapi Ca selama 1−2 minggu untuk


memberikan Ca dasar juga pada pasien yang tidak memiliki gejala hipokalsemia. Ca
parenteral biasanya diberikan sebagai Ca glukonat (1−2 ml / kg 10% Ca glukonat,
memberikan 10−20 mg / kg unsur Ca) dan diberikan secara intravena dan perlahan,
lebih dari 5−10 menit. Pemberian Ca menjadi penting ketika ada tanda-tanda klinis
dari tetani atau konvulsi. Kadar Ca harus dipelihara dengan suplemen Ca oral.15

DAFTAR PUSTAKA

11
1. Misra M, Pacaud D, Petryk A, Collett-Solberg PF, Kappy M Drug and Therapeutics
Committee of the Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society. Vitamin D deficiency in
children and its management: review of current knowledge and
recommendations. Pediatrics. 2008;122:398–417.
2. Beck-Nielsen SS, Brock-Jacobsen B, Gram J, Brixen K, Jensen TK. Incidence and
prevalence of nutritional and hereditary rickets in southern Denmark. Eur J
Endocrinol. 2009;160:491–497
3. Craviari T, Pettifor JM, Thacher TD, et al. Rickets: An Overview and Future Directions,
with Special Reference to Bangladesh: A Summary of the Rickets Convergence Group
Meeting, Dhaka, 26–27 January 2006. Journal of Health, Population, and Nutrition.
2008;26(1):112-121.
4. University of Otago, Selandia Baru, bekerja sama dengan Seameo Tropmed RCCN,
Universitas Indonesia dan Universitas Putra Malaysia yang dipublikasikan European
Journal of Clinical Nutrition tahun 2007.
5. Atapattu, N. Approach to a child presenting with rickets. Sri Lanka Journal of Child
Health, 2013; 42(1): 40-44
6. Miller WL. Genetic disorders of Vitamin D biosynthesis and degradation. J Steroid
Biochem Mol Biol. 2017;165:101–108. 
7. Bastepe M, Jüppner H. Inherited hypophosphatemic disorders in children and the
evolving mechanisms of phosphate regulation. Rev Endocr Metab Disord. 2008;9:171–
180.
8. Peacock M. Calcium metabolism in health and disease. Clin J Am Soc
Nephrol. 2010;5(Suppl 1):S23–30. 
9. Wang L, Nancollas GH, Henneman ZJ, Klein E, Weiner S. Nanosized particles in bone
and dissolution insensitivity of bone mineral. Biointerphases. 2006;1:106–111.
10. Robertson WG, Marshall RW. Calcium measurements in serum and plasma--total and
ionized. CRC Crit Rev Clin Lab Sci. 1979;11:271–304.
11. Shaikh A, Berndt T, Kumar R. Regulation of phosphate homeostasis by the
phosphatonins and other novel mediators. Pediatr Nephrol. 2008;23:1203–1210.
12. Masi L. Phosphatonins: new hormones involved in numerous inherited bone
disorders. Clin Cases Miner Bone Metab. 2011;8:9–13.

12
13. Durmaz E, Zou M, Al-Rijjal RA, Bircan I, Akçurin S, Meyer B, Shi Y. Clinical and
genetic analysis of patients with vitamin D-dependent rickets type 1A. Clin Endocrinol
(Oxf) 2012;77:363–369.
14. Thacher TD, Fischer PR, Strand MA, Pettifor JM. Nutritional rickets around the world:
causes and future directions. Ann Trop Paediatr 2006; 26 : 1-16.
15. Ozkan B. Nutritional Rickets. Journal of Clinical Research in Pediatric Endocrinology.
2010;2(4):137-143. doi:10.4274/jcrpe.v2i4.137.
16. Pettifor, JM. Vitamin D &/or calcium deficiency rickets in infants & children: a global
perspective. Indian Journal Medical Research 127, March 2008, pp 245-249
17. Nield, LS., Joshi, A., Kamat, D. Rickets: Not a Disease of the Past. American Family
Physician. 2006 Aug 15;74(4):619-626.
18.

13

Anda mungkin juga menyukai