Anda di halaman 1dari 104

MAKALAH TUTORIAL KASUS DEEP VEIN THROMBOSIS

Anggota Kelompok A3 :
1. Syahda Artanti 2010211013
2. Muhammad Pandji Raihan 2010211034
3. Ardesta Edvantinus 2010211045
4. Tasya Zuhriya Putri 2010211060
5. Sarah Shabrina Yusri Anshari 2010211072
6. Dea Eka Oktaviana 2010211074
7. Anisa Tsurayya Shafa 2010211094
8. Bening Anjani Sri Winafebria 2010211114
9. Daffa Fawwaz Bahana 2010211116
10. Nadindya Lutfa Bathari 2010211140

Tutor : Dr. dr. Maria S T,M.Biomed


S1 Kedokteran
Fakultas Kedokteran
Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jakarta
2021
Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
memberikan kesempatan kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat
dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tutorial kasus 3 Deep Vein Thrombosis
dengan tepat waktu. Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas dosen pada tutorial tingkat
2 blok CVS di fakultas kedokteran Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi para pembaca.
Kami ucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Maria S T, M.Biomed selaku dosen
pembimbing tutorial. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang Deep Vein Thrombosis. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan kami terima demi menyempurnakan makalah ini.

Jakarta, 3 Desember 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

1. Learning Progress Report ....................................................................................... 1


2. OVC dan Patofisiologi ............................................................................................ 8
3. Embriologi .............................................................................................................. 14
4. Anatomi dan Histologi ............................................................................................ 30
5. Fisiologi .................................................................................................................. 53
6. Deep Vein Thrombois I .......................................................................................... 57
7. Deep Vein Thrombosis II........................................................................................ 63
8. Limfadema .............................................................................................................. 73
9. Insufisiensi Vena Kronis ......................................................................................... 80
10. Tromboflebitis......................................................................................................... 90
11. Varises..................................................................................................................... 97

ii
LEARNING PROGRESS REPORT

1
2
3
4
5
6
7
OVERVIEW CASE DAN PATOFISIOLOGI

OVC

Ada seorang pasien bernama Ny FH berusia 58 tahun datang ke klinik dengan keluhan utama

KU

- Kaki kiri nyeri disertai bengkak sejak 3 hari yang lalu


Disini bengkak karena adanya inflamasi pada aliran darah/ limfa serta nyeri karena ada
mediator inflamasi dan menyebabkan tertekan saraf sekitarnya

Anamnesis
RPS

• kaki kiri pasien mulai mengalami bengkak, terlihat terutama pada punggung dan
pergelangan kaki kiri sejak 2 minggu lalu, sehingga terasa berat untuk digerakkan
• mencoba meninggikan kaki kiri nya bila tidur di malam hari, namun menurut pasien
bengkaknya tidak berkurang ketika pasien bangun keesokan hari nya = Pembengkan
dikaki sebagian besar karena ada gangguan pada sistem pendarahnya ,dimana tujuan
mengelevasi kaki untuk mengurangi pasokan darah ke kaki/ agar aliran darah lancar,
jika menaikan kaki aliran darah akan menuju ke jantung dan untuk mengurangi aliran
darah ke kaki sehingga eddem dapat diminimalisirkan.
pada kasus pada saat di elevasi edemanya tidak berkurang menunjukan ada
sumbatan pada peredaran darahnya.
• Sejak 3 hari terakhir, kaki semakin terlihat cepat membesar sampai ke betis dan disertai
nyeri pada saat pasien berjalan atau beraktivitas = Karena adanya progesifitas keluhan
pasien yg dipicu oleh aktifitas
• Nyeri hanya sedikit berkurang pada saat beristirahat = pada saat istirahat gerakannya
sedikit sehingga kemungkinan persarafan nyeri tertekan mengecil
• Pasien tidak mengeluh sesak napas, nyeri dada, batuk dan tidak pernah demam
RPD

8
• menyangkal memiliki riwayat sakit jantung, diabetes, hipertensi, tidak pernah operasi
maupun trauma di daerah perut dan kaki.
RPK

• Ayah kandung Ny FH pernah dirawat karena emboli paru


• ibu kandung nya pernah mengalami keluhan yang sama dengan pasien
o Pada pasien ada riwayat keluarga penyakit emboli sehingga menjadi faktor
predisposisi pada keluhan pasien .

RPSos

• tidak memiliki riwayat berpergian jauh dengan mobil maupun pesawat terbang =
Ditanya riwayat karena untuk mengetahui bengkak pada kaki ny.fh apakah disebakan
karena gumpalan darah yang dapat terbentuk dibetis kaki ketika otot betis tidak
bergerak pada kondisi yg lama.
• Ny FH adalah seorang ibu rumah tangga, dan jarang berolahraga
• Sehari harinya lebih sering menghabiskan waktunya dengan menonton sinetron TV
• Pasien tidak merokok dan tidak pernah memakai kontrasepsi = Karena merokok dan
kontrasepsi dapat menganggu sistem pembekuan darah sehingga meningkatkan resiko
membentuk pembengkuan darah. Secara abnormal. Disini penggunaan kontrasepsi
dapat menjadi faktro resiko karena dapat meningkatkan kemampuan darah untuk
menggumpal

Hipotesis
Setelah dilakukan anamnesis, maka dapat ditarik beberapa hipotesis penyakit yang diderita
pasien
1. DVT (Deep Vein Thrombosis)
o Karena terdapat keluhan Kaki pasien nyeri dan juga bengkak. Usia >40 tahun
juga menjadi faktor resiko DVT. Bengkak pada DVT unliteral dipunggung dan
pergelangan kaki kiri. Pada RPK ada Riwayat ayah pasien mengalami emboli
paru dan ibu pasien punya keluhan yang sama dengan Ny FH. Pasien seorang
IRT dan jarang berolahraga
2. Limfadema

9
o Ada pembengkakan di kaki. Usia lebih dari 40 tahun bisa menjadi Faktor resiko.
Ada keluahan Berasa berat pada ekstremitas yang terdapat pembengkakan. Ibu
pasien menderita hal yang sama (limfedema kongenital). Tidak ada demam
3. Infusiensi Vena vaskular
o Usia dan jenis kelamin, yang mana jenis kelamin wanita bisa menjadi faktor
resiko.
o Edem pada punggung kaki dan terasa nyeri

Pemeriksaan Fisik

- Berat badan: 70 kg Tinggi badan: 155 cm


o IMT = 29.1 masuk kategori Obesitas tingkat 1 = menguatkan dvt
- Tanda-tanda vital: TD = 120/70 Nadi = 84x/menit Respirasi = 16x/menit Suhu = 36.6
oC
- Kepala : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
- Leher : JVP: 5 + 1 mmHg
- Thoraks :
o Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris; iktus kordis tidak terlihat
o Palpasi : Iktus kordis di ICS V linea mid clavicula sinistra (LMCS)
o Perkusi :
Batas jantung kanan : linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri: 1 cm media ICS V LMCS
o Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 normal, murmur (-), S3 gallop (-) Suara
pernafasan vesikuler pada kedua paru
- Abdomen : datar lembut, bising usus normal, bruit (-); hepar dan lien tidak teraba
- Kulit : punggung kaki kiri tampak mengkilat dan kemerahan. = Punggung kaki tampak
mengkilat disebabkan karena adanya penumpukan cairan interstitial yg berlebihan
sehingga kulit meregang dan kemerahan disebakan karena adanya inflamasi
- Ekstremitas :
o Atas: tidak ada kelainan,
o Bawah kanan: tidak ada kelainan
o Bawah kiri: edema (+). nyeri tekan (+), hangat (+) disebabkan karena
inflamasi yg ditandainya dengan dolor / nyeri , kolor/ panas .

10
o pada perabaan Stemmer sign (-). Stemmer sign merupakan pemeriksaan fisik
yg digunakan untuk mendiagnosis limfedema ,dengan pemeriksanya mencubit
bagian kulit dorsum dari kaki / tangan jika kulit tdk bisa dicubit berarti hasilnya
positif dan hasil positif menunjukan diagnosis limfedema. Disini hasilya
negatif berarti bisa melemahkan limfadema
PX LAB
- Semua DBN kecuali untuk D-Dimer yang mengalami peningkatan normalnya <500
D-dimer adalah produk hasil pemecahan fibrin, jika hasilnya tinggi menunjukan
terdapat banyak benang-benang fibrin dalam aliran darah.

USG Doppler ekstremitas inferior kiri

- Tampak thrombus parsial di v. saphena magna kiri dan v tibialis posterior kiri diameter
rata-rata 0.3- 0.4 cm pada aspek medial – proksimal cruris
- Aliran arteri normal dari proksimal sampai distal.
Perbedaan usg dopler dengan usg lainnya adalah USG Doppler memakai
gelombang yang dapat mendeteksi kecepatan dan arah aliran darah di sepanjang
pembuluh darah
DIAGNOSIS

- DVT = karena Kaki pasien nyeri dan juga bengkak. Faktor resiko DVT usia lanjut yang
lebih dari 40 tahun. Bengkak pada DVT unliteral dipunggung dan pergelangan kaki kiri
Riwayat ayah emboli paru dan ibu sama dengan Ny FH. Pasien seorang ibu RT dan
jarang berolahraga . Obesitas termasuk factor resiko Kaki tampak kemerahan . Stemmer
sign (-). D-dimer meningkat. USG Doppler menunjukan adanya gangguan aliran pem
darah
ELIMINASI

- Limfadema = Stemmer sign (-), USG Doppler menunjukan adanya gangguan aliran
pem darah Pada kasus pasien merasa nyeri, harusnya tidak nyeri
- Insufisiensi Vena vaskuler = Biasanyaterdapat ulkus dan spider veins serta pada
penyakit ini terdapat gangguan pada katup, dimana katupnya tidak dapat menutup
sempurna

11
Sedangkan pada kasus tidak didapatkan bunyi jantung tambahan saat auskultasi.

TATALAKSANA
Farmakologi
a. Antikoagulan Oral (Warfarin atau Direct Oral Anticoagulant = Rivaroxaban 2
x 15 mg selama 3 minggu, dilanjutkan 20 mg sampai 2 bulan)
b. Anti nyeri (NSAID) bila diperlukan
Non Farmakologi
a. Compression Stocking
b. Turunkan berat badan
c. Aktif berolah raga (setelah DVT membaik)

Patofisiologi
d. Adnya factor keturunan ( ayahnya embolisme paru, ibu memiliki gejala sama)
merupakan salah satu factor resiko turunnya sifat hiperkoagubilitas. Obesitas pada
pasien ini juga merupakan factor resiko, dimana orang obesitas memiliki banyak
kandungan lemak dan dildalam lemak banyak terkandung aromatase. Aromatase
berperan mengubah androgen menjadi estrogen, estrogen yang meningkat
menyebabkan peningkatan produksi plasma yang didalam plasma sendiri banyak
terkandung factor koagulasi seperti (factor ii,vii,x, xii, viii, dan fibrinogen) kedua factor
tadi menyebabkan pasien ini memiliki resiko hiperkoagulitas yang meningkat.
e. Untuk menghilangkan factor resiko obesitas maka pasien harus menurunkan berat
badan
f. Pasien ini juga memiliki kebiasaan menonton tv sambal duduk secara lama dan jarang
berolahraga dan ibu rumah tangga ( tidak terlalu aktif bergerak), sehingga otot bergerak
sedikit yang memperlambat aliran darah vena. Sehingga aliran darah pasien ini menjadi
lambat (aliran darah abnormal).
g. Untuk menghilangkan factor resiko ini maka pasien harus rajin bergerak dan
berolahraga setelah DVT nya sembuh
h. Kedua factor tersebut merupakan 2 dari 3 triad Virchow sehingga pasien ini memiliki
resiko besar terjadinya DVT
i. Akibat kedua factor tersebut terbentuklah thrombus pada vena pasien ini.

12
j. Pembentukan trombus tentu saja akan mengakibatkan tubuh mengeluarkan respon
fibrinolysis sehingga aktivitas fibrinolysis meningkat dan produk hasilnya meningkat
juga dalam darah. Oleh sebab itu kadar D dimer pada pasien ini meningkat
k. Pembentukan ini dapat dicegah secara farmakologi menggunakan Heparin (berikatan
dengan AT-III sehingga menghambat protease, factor iia, xa, ix a), antikoagulan oral
(antagonis vit k sehingga factor pembekuan darah tidak teraktivasi)
l. pembentukan thrombus menyebabkan terhambatnya aliran vena sehinggga darah
berkumpul menjauhi thrombus yang menghambat. Hal tersebut meningkatkan tek
hidrostatik yang mengakibatkan cairan terekstravasasi sehingga terbentuk edema.
m. Dikarenakan aliran darah yang terhambat tadi, maka terjadilah kerusakan endothel vena
(phlebitis) sehingga kerusakan tersebut merangsang pengeluaran mediator inflamasi
(histamin, prostaglandin). Hal tersebut menybabkan terjadinya local hyperemia dan
terbentuknya eksaudat sehingga pada pasien ini daerah terlihat kemerahan dan hangat
pada daerah punggung kakinya dan adanya edema serta nyeri.
n. Mediator inflamasi ini bisa kita intevensi secara farmakologi dengan menggunakan
NSAID yang akan menginhibisi Cox 1 dan 2 sehingga kadar prostaglandin menurun.

13
EMBRIOLOGI PEMBULUH DARAH

Pembuluh darah terbentuk dalam dua cara :


Vaskulogenesis (atas), yaitu pembuluh darah berasal dari pulau-pulau darah dan angiogenesis
(bawah), yaitu pembuluh darah baru ditunaskan dari pembuluh darah yang sudah ada.
• Selama vaskulogenesis, FGF2 berikatan pada reseptornya di subpopulasi sel mesoderm
dan menginduksi sel-sel tersebut untuk membentuk hemangioblas ( suatu prekursor
umum u/ pembentukan pembuluh darah & sel darah ) . Kemudian, di bawah pengaruh
VEGF yang bekerja melalui dua receptor yang berbeda, sel-sel ini menjadi endotelial
dan menyatu untuk membentuk pembuluh darah.

14
• Angiogenesis juga diatur oleh VEGF, yang merangsang proliferasi sel-sel endotelial di
titik tempat pembuluh darah baru akan ditunaskan dari pembuluh darah yang sudah
ada.
• meningkatkan reseptor VEGF yaitu FLK1

• Pembentukan pembuluh darah ekstraembrional di dalam vilus, korion, tangkai


penghubung, dan dinding yolk sac pada mudigah presomit yang berusia sekitar 19 hari.

Perkembangan Arteri
• Arkus Aortae

15
• Arteri (merah) dan vena (biru) intraembrional dan ekstraembrional utama pada
mudigah berukuran 4 mm (akhir minggu keempat). Hanya pembuluh darah di sisi kiri
mudigah yang terlihat.

A. Arkus aortae di akhir minggu keempat. Arkus pertama mengalami obliterasi (menghilang )
sebelum arkus keenam terbentuk.
B. Sistem arkus aortae di awal minggu keenam. Perhatikan septum aortikopulmonale dan
arteri pulmonalais yang besar.

• Saat lengkung faring terbentuk selama perkembangan minggu ke-4 dan ke-5, setiap
lengkung menerima saraf kranial dan arterinya sendiri-sendiri.
• Arteri ini berasal dari sakus aortikus, yang merupakan bagian paling distal dari trunkus
arteriosus yang bermula dari jantung.
• Arkus aorta ini tertanam di dalam mesenkim arkus faring dan berakhir di aorta dorsalis
kanan dan kiri. Pada regio arkus, aorta dorsalis tetap berpasangan, tetapi di sebelah
kaudal dari regio ini, aorta dorsalis menyatu membentuk satu pembuluh darah.
• Sakus aortikus membentuk cabang untuk setiap arkus baru, secara keseluruhan akan
terbentuk lima pasang arteri.
• Arkus V dapat tidak terbentuk sama sekali atau terbentuk sebagian dan kemudian
mengalami regresi. Oleh sebab itu, kelima arkus diberi nomor I, II, III, IV, dan VI.

16
• Selama perkembangan selanjutnya, pola arteri ini mengalami modifikasi, dan beberapa
pembuluh darah mengalami regresi secara sempurna. Nantinya dapat membentuk arteri
baru.

Pada hari ke-27 :


• Arkus aorta I, sudah menghilang, namun sebagian kecil menetap dan membentuk arteri
maksilaris
• Arkus aorta II, akan segera menghilang, bagian yang tersisa dari arkus ini adalah arteri
hioidea dan arteri stapedialis.
• Arkus aorta III, IV, VI, dalam proses pembentukan, tetapi sudah ditemukan arteri
pulmonalis primitif sebagai cabang besar.

Pada hari ke-29 :


• Arkus aorta I dan II hilang.
• Arkus aorta III, IV, VI menjadi pembuluh besar
• Trunkus arteriosus akan mengalami pemisahan oleh septum aortikopulmonale yang
akan membagi saluran aliran keluar jantung menjadi aorta ventralis dan trunkus
pulmonalis.
• Kemudian sakus aortikus membentuk kornu kanan dan kiri, yang kemudian masing-
masing menghasilkan arteri brakiosefalika dan bagian proksimal arkus aortae.
Sehingga arkus aorta VI berlanjut dengan trunkus pulmonalis.

17
A. Arkus aortae dan aorta dorsalis sebelum berubah menjadi pola vaskular definitif.
B. Arkus aortae dan aorta dorsalis sesudah perubahan. Garis putus-putus, komponen yang
mengalami obliterasi. Perhatikan duktus arteriosus paten dan posisi arteri intersegmental
ketujuh di kiri.
C. Arteri-arteri besar pada orang dewasa.
Note : Bandingkan jarak letak pangkal arteri karotis komunis kiri dan arteri subklavia kiri pada
B dan C. Setelah hilangnya bagian distal arkus aortae keenam (arkus kelima tidak pernah
terbentuk sempurna), nervus laringeus rekurens kanan mengait arteri subklavia kanan. Di sisi
kiri, nervus ini tetap berada di tempat dan mengait ligamentum arteriosum.

Perubahan arkus aorta pada awal minggu ke-6:

18
Pada perkembangan selanjutnya, sistem arkus aortae kehilangan bentuk yang semula simetris,
akan membentuk pola definitif. Gambaran ini dapat memperjelas transformasi dari sistem arteri
mudigah ke sistem arteri dewasa. Terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut:
• Arkus aorta ke III, membentuk arteri komunis dan bagian pertama dari arteri karotis
interna. Bagian lain arteri karotis interna dibentuk oleh bagian kranial aorta dorsalis.
Sedangkan arteri karotis eksterna adalah cabang kecil dari arkus aorta ke III
• Arkus aorta ke IV, tetap ada di kedua sisi, tetapi hasil akhirnya berbeda untuk sisi kanan
dan kiri. Di sisi kiri, arkus aortae ini membentuk bagian arkus, di antara arteri karotis
komunis kiri dan arteri subklavia kiri. Di sisi kanan, arkus aortae ini membentuk
bagian paling proksimal arteri subklavia kanan, yang bagian distalnya dibentuk oleh sebagian
dari aorta dorsalis kanan dan arteri intersegmental ketujuh.
• Arkus aortae ke V dapat tidak terbentuk sama sekali atau terbentuk tidak sempurna dan
kemudian mengalami regresi. Seperti yang dibilang di awal.
• Arkus aortae VI, juga dikenal sebagai arkus pulmonal, memberikan cabang penting
yang
tumbuh ke arah tunas paru yang sedang berkembang. Di sisi kanan, bagian proksimal
menjadi segmen proksimal arteri pulmonalis kanan. Bagian distal dari arkus ini
kehilangan hubungannya dengan aorta dorsalis dan lenyap. Di sisi kiri, bagian distal tetap ada
selama kehidupan intrauterin ( posisi janin di dlm ) sebagai duktus arteriosus.

19
Perubahan pada sistem arkus aorta:
• Aorta dorsalis di antara pintu masuk arkus ke III dan ke IV, yang dikenal sebagai duktus
karotikus, mengalami obliterasi.
• Aorta dorsalis kanan menghilang di antara pangkal arteri intersegmental ketujuh dan
tautannya dengan aorta dorsalis kiri
• Pelipatan sefalik, pertumbuhan otak depan dan pemanjangan leher mendorong jantung
masuk ke dalam rongga toraks. Oleh sebab itu, arteri karotis dan arteri brakiosefalika
semakin memanjang, sebagai akibat dari kelanjutan pergeseran ke arah kaudal ini, arteri
subklavia kiri, yang terfiksasi di distal di tunas lengan, menggeser titik pangkalnya yang

20
awalnya dari aorta setinggi arteri intersegmental ketujuh ke titik yang semakin tinggi
hingga mendekati pangkal arteri karotis komunis kiri

• Arteri Vitelina dan Arteri Umbilikalis


• Arteri vitelina, yang pada awalnya berupa sejumlah pembuluh darah berpasangan yang
menyuplai yolk sac, secara bertahap menyatu dan membentuk arteri di mesenterium dorsal
usus.
• Pada orang dewasa, pembuluh darah ini diwakili oleh arteri seliaka, dan arteri
mesenterika superior. Arteri mesenterika inferior berasal dari arteri umbilikalis.
• Ketiga pembuluh darah ini, masing-masing menyuplai turunan usus depan, usus
tengah, dan usus belakang.
• Arteri umbilikalis, yang mula-mula berpasangan dengan cabang ventral dari aorta
dorsalis, berjalan ke plasenta berdekatan dengan alantois. (Allantois adalah membran
lain di sekitar embrio, membran di tali pusat dan membantu pertukaran gas dan
mengambil limbah nitrogen dari janin). Namun, selama minggu keempat, setiap arteri
memperoleh hubungan sekunder dengan cabang dorsal dari aorta, arteri iliaka komunis,
dan kehilangan pangkal aslinya.
• Sesudah lahir, bagian proksimal arteri umbilikalis menetap sebagai arteri iliaka interna
dan arteri vesikalis superior, dan bagian distal mengalami obliterasi membentuk
ligamentum umbilikale medianum.

• Arteri Koronaria
• Arteri koronaria berasal dari dua sumber:
(1) angioblas yang dibentuk dari pertumbuhan sinus venosus yang didistribusi di seluruh
permukaan jantung melalui migrasi sel
(2) epikardium itu sendiri.
• Beberapa sel epikardium mengalami transisi dari epitel-ke-mesenkim yang diinduksi
oleh miokardium di bawahnya.
• Sel-sel mesenkim yang baru terbentuk kemudian ikut membentuk sel-sel otot polos dan
endotel arteri koronaria.

21
• Sel krista neuralis juga ikut membentuk sel otot polos di sepanjang segmen proksimal
arteri-arteri ini.
• Hubungan arteri koronaria ke aorta terjadi melalui pertumbuhan ke dalam sel-sel
endotel arteri dari arteri ke dalam aorta. Melalui mekanisme ini, arteri koronaria
"menginvasi" aorta.

Perkembangan Vena
Pada minggu ke-5, tiga pasang vena utama yang dapat dikenali:
1. Vena Vitelina (vena omphalo mesenterika) : mengangkut darah dari yolk sac ke sinus
venosus. Nantinya akan berubah menjadi Vena Porta.
2. Vena Umbilikalis : mengangkut darah yang mengandung oksigen dari plasenta. Akan
menghilang setelah lahir.
3. Vena Kardinalis : mengembalikan darah dari tubuh janin ke jantungnya. Akan berubah
menjadi vena cava.

• Sistem Vena Vitelina

22
• Sebelum masuk ke sinus venosus, vena vitelina membentuk pleksus mengelilingi
duodenum dan berjalan melalui septum transversum.
• Korda hati yang tumbuh ke dalam septum mengganggu perjalanan vena, dan terbentuk
jaringan vaskular yang luas (sinusoid hati)
• Akibat pengecilan kornu sinus kiri, darah dari sisi kiri hati dialihkan ke kanan,
yang menyebabkan pembesaran vena vitelina kanan (saluran hepatokardiak kanan).
Pada akhirnya, saluran hepatokardiak kanan membentuk bagian hepatokardiak vena
kava inferior.
• Bagian proksimal vena vitelina kiri lenyap. Jaringan anastomosis di sekeliling
duodenum berkembang menjadi satu pembuluh darah, vena porta.
• Vena mesenterika superior, yang mengalirkan darah dari lengkung usus primer, berasal
dari vena vitelina kanan. Bagian distal vena vitelina kiri juga lenyap.

23
• Vena Umbilikalis

Perkembangan vena vitelina dan vena umbilikalis di bulan kedua A dan ketiga B. Perhatikan
pembuatan duktus venosus, vena porta, dan pars hepatika vena kava inferior. Vena lienalis dan
vena mesenterika superior masuk ke vena porta

• Mula-mula, vena umbilikalis berjalan di kedua sisi hati, tetapi sebagian berhubungan
dengan sinusoid hati.
• Bagian proksimal kedua vena umblikalis dan sisa vena umbilikalis kanan kemudian
lenyap sehingga vena kiri adalah satu-satunya pembuluh yang membawa darah dari
plasenta ke hati. Dengan peningkatan sirkulasi plasenta, terbentuk hubungan langsung
antara vena umbilikalis kiri dan saluran hepatokardiak kanan -> duktus venosus.
• Pembuluh darah ini memintas pleksus sinusoid hati.
• Sesudah lahir, vena umbilikalis kiri dan duktus venosus mengalami obliterasi dan
masing-masing membentuk ligamentum teres hepatis dan ligamentum venosum

• Vena Kardinalis
Sistem drainase vena utama pada janin :
• Vena Kardinalis Anterior: mengalirkan darah dari bagian kepala janin
• Vena Kardinalis Posterior: mengalirkan darah dari bagian tubuh janin lainnya
• Vena Kardinalis Anterior dan Posterior akan bersatu sebelum masuk ke kornu sinus ->
Vena Kardinalis Komunis yang pendek

24
Mingu ke-5 hingga ke-7, terbentuk vena tambahan:
▪ Vena Subkardinal: mengalirkan darah dari ginjal
▪ Vena Sakrokardinal: mengalirkan darah dari ekstremitas bawah
▪ Vena Suprakardinal: mengalirkan darah dari dinding tubuh melalui Vena Interkostales
Pembentukan sistem vena kava ditandai dengan munculnya anastomosis antara bagian kiri dan
kanan sedemikian rupa sehingga darah dari kiri disalurkan ke sisi kanan.

• Anastomosis antara vena kardinalis anterior berkembang menjadi vena brakiosefalika


kiri.
• Bagian terminal vena kardinalis posterior kiri yang masuk ke dalam vena brakiosefalika
kiri dipertahankan sebagai suatu pembuluh darah kecil => vena interkostalis superior
kiri
• Vena kava superior dibentuk oleh vena kardinalis komunis kanan dan bagian proksimal
vena kardinalis anterior kanan
• Vena kardinalis anterior merupakan drainase vena primer dari kepala selama minggu
keempat perkembangan dan pada akhirnya, membentuk vena jugularis interna

25
• Anastomosis antara vena subkardinalis membentuk vena renalis kiri. Saat hubungan ini
telah terbentuk, vena subkardinalis kiri lenyap, dan hanya bagian distalnya yang tersisa
sebagai vena gonadalis kiri. Dengan demikian, vena subkardinalis kanan menjadi
saluran drainase utama dan berkembang menjadi segmen renalis, vena kava inferior
• Anastomosis antara vena sakrokardinalis membentuk vena iliaka komunis. Vena
sakrokardinalis kanan menjadi segmen sakrokardinal vena kava inferior. Ketika
segmen renalis vena kava inferior terhubung dengan segmen hepatika, yang berasal dari
vena vitelina kanan, maka vena kava inferior, yang terdiri dari segmen hepatika, renalis
dan sakrokardinal, terbentuk dengan sempurna.
• Dengan obliterasi pada bagian utama vena kardinalis posterior, vena suprakardinalis
mengambil peran yang lebih besar dalam mengalir darah dari dinding tubuh.
• Vena interkostalis kanan IV hingga XI mengosongkan isinya ke dalam vena
suprakardinalis kanan, yang bersama dengan sebagian vena kardinalis posterior
membentuk vena azigos
• Di sisi kiri, vena interkostalis IV hingga VII masuk ke dalam vena suprakardinalis kiri
dan kemudian vena suprakardinalis kiri, yang dikenal sebagai vena hemiazigos,
mengosongkan isinya ke vena hemiazigos

Sirkulasi Sebelum Lahir


Sirkulasi Janin
• Sebelum lahir, darah dari plasenta, yang sekitar 80% tersaturasi dengan oksigen,
kembali ke janin melalui vena umbilikalis.
• Sewaktu mendekati hati, sebagian besar dari darah ini mengalir melintasi hati dan
melalui duktus venosus langsung masuk ke vena kava inferior.
• Sejumlah kecil darah masuk ke sinusoid hati dan bercampur dengan darah dari sirkulasi
porta
• Mekanisme sfingter di dalam duktus venosus, dekat dengan pintu masuk vena
umbilikalis, mengatur aliran darah tali pusat yang akan melalui sinusoid hati.
• Sfingter ini menutup ketika kontraksi uterus menyebabkan aliran balik vena terlalu
tinggi, sehingga dapat mencegah pembebanan berlebihan yang mendadak pada
jantung.
• Sesudah perjalanan singkat di vena kava inferior, tempat darah plasenta bercampur
dengan darah terdeoksigenasi yang kembali dari ekstremitas bawah, darah plasenta
masuk ke atrium kanan.

26
• Di sini, darah plasenta diarahkan ke foramen ovale oleh katup vena kava inferior, dan
sebagian besar darah dialirkan langsung ke dalam atrium kiri. Sehingga darah tidak
melewati paru, namun langsung melalui aorta menuju sirkulasi sistemik.
• Di sini, darah bercampur dengan darah terdesaturasi yang kembali dari kepala dan
lengan melalui vena kava superior
• Dan atrium kiri, tempat darah bercampur dengan sejumlah kecil darah terdesaturasi
yang kembali dari paru, darah masuk ke ventrikel kiri dan aorta asendens.
• Arteri koronaria dan arteri karotis adalah cabang-cabang pertama dari aorta
asendens, sehingga otot jantung dan otak disuplai oleh darah yang teroksigenasi
dengan baik.
• Darah dari vena kava superior masuk ke atrium dextra dan mengalir melalui ventrikel
dextra ke dalam trunkus pulmonalis.
• Sebagian besar dari darah ini mengalir langsung melalui duktus arteriosus ke dalam
aorta desendens, tempat darah bercampur dengan darah dari bagian proksimal aorta.
• Setelah berjalan melalui aorta desendens, darah mengalir ke arah plasenta melalui dua
arteri umbilikalis.
• Saturasi oksigen di dalam arteri umbilikalis sekitar 58%.
• Selama perjalanannya dari plasenta ke organ-organ janin, darah di dalam vena
umbilikalis secara bertahap kehilangan kandungan oksigennya yang tinggi sewaktu
darah ini bercampur dengan darah yang terdesaturasi.
• Secara teoritis, percampuran dapat terjadi di tempat-tempat berikut: di hati
(I), bercampur dengan sejumlah kecil darah yang kembali dari sistem porta; di vena kava
inferior (II), yang membawa darah terdeoksigenasi yang kembali dari ekstremitas bawah,
pelvis, dan ginjal; di dalam atrium kanan
(III), bercampur dengan darah yang kembali dari kepala dan ekstremitas; di atrium kiri (IV),
bercampur dengan darah yang kembali dari paru; dan di muara duktus arteriosus ke dalam aorta
desendens (V)

27
Sirkulasi Setelah Lahir
• Setelah lahir, sirkulasi plasenta terganggu akibat pemutusan tali pusat. Tekanan parsial
CO2 di dalam darah bayi yang baru lahir akan meningkat. Pusat pernapasan akan
terangsang dan paru akan mulai berfungsi. Hubungan aliran darah yang memintas harus
terputus.
Karena ada peningkatan tekanan dalam atrium sinistra, maka terjadi penutupan fungsional
foramen ovale.

28
• Ductus arteriosus menutup oleh kontraksi otot polos, yang dipicu oleh kandungan
oksigen yang tinggi. Biasanya empat hari setelah lahir ductus akan menutup sempurna.
Pada orang dewasa, sisanya akan ditemukan sebagai Lig. Arteriosum
• Ductus venosus mengalami obliterasi menjadi Lig. Venosum.
• Vena umbilicalis mengalami obliterasi menjadi Lig. Teres hepatis antara hati dan
dinding perut.
• Kedua Aa. Umbilicalis berkontraksi dan mencegah kehilangan darah. Kedua sisi bagian
distal membentuk Lig. Umbilicale mediale, yang masing-masing merupakan dasar
plica umbilicalis medialis pada bagian dalam dinding perut.

29
ANATOMI DAN HISTOLOGI VASKULER

ANATOMI

sirkulasi pulmonal →Sirkuit ini, dari ventrikel kanan melalui paru-paru ke atrium kiri, Karbon
dioksida ditukar dengan oksigen di kapiler paru-paru, dan kemudian darah yang kaya oksigen
dikembalikan melalui vena pulmonalis ke atrium kiri jantung.

sirkulasi sistemik → Sirkuit ini, dari ventrikel kiri ke atrium kanan, Ventrikel kiri mendorong
darah kaya oksigen kembali ke jantung dari sirkulasi paru melalui arteri sistemik (aorta dan
cabang-cabangnya), menukar oksigen dan nutrisi untuk karbon dioksida di sisa kapiler tubuh.
Darah rendah oksigen kembali ke atrium kanan jantung melalui vena sistemik (anak sungai
dari vena cava superior dan inferior).

30
Arteri adalah pembuluh darah yang membawa darah di bawah tekanan yang relatif tinggi
(dibandingkan dengan vena yang sesuai) dari jantung dan mendistribusikannya ke tubuh. Darah
melewati arteri kaliber menurun. Berbagai jenis arteri dibedakan satu sama lain berdasarkan
ukuran keseluruhan, jumlah relatif jaringan elastis atau otot di tunika media, ketebalan dinding.
relatif terhadap lumen, dan fungsinya. Ukuran dan jenis arteri adalah suatu kontinum—yaitu,
ada perubahan bertahap dalam karakteristik morfologis dari satu jenis ke jenis lainnya.

31
32
Vena umumnya mengembalikan darah rendah oksigen dari kapiler ke jantung, yang membuat
vena tampak biru tua (Gbr. I.24B). Vena pulmonalis besar tidak khas karena membawa darah
yang kaya oksigen dari paru-paru ke jantung. Karena tekanan darah yang lebih rendah dalam
sistem vena, dinding (khususnya, tunika media) vena lebih tipis daripada arteri pendampingnya
(Gbr. I.23). Biasanya, vena tidak berdenyut dan tidak menyemburkan atau menyemburkan
darah saat parah. Vena lebih banyak daripada arteri. Meskipun dindingnya lebih tipis,
diameternya biasanya lebih besar daripada arteri yang sesuai. Dinding tipis memungkinkan
vena memiliki kapasitas besar untuk ekspansi, dan melakukannya ketika darah kembali ke
jantung terhambat oleh kompresi atau tekanan internal.

33
ARTERIOL
• Cabang pembuluh arteri sbg resistensi utama
• Struktur = sel endotel, sedikit jaringan ikat elastik, lapisan otot polos tebal sirkuler,
dipersarafi oleh serat saraf simpatis
• Diameter arteriol dapat disesuaikan untuk menentukan distribusi darah ke berbagai
organ & menentukan tekanan darah arteri melalui rangsang kimia lokal & hormon
• Metarteriole = saluran yg berjalan antara arteriol dan venula
• Dikelilingi otot polos dan memiliki sfingter prakapiler
• Sfingter prakapiler = berfungsi mengontrol aliran darah yg melalui kapiler

oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh arteri bermanfaat bagi sel-sel yang membentuk jaringan
tubuh, mereka harus meninggalkan pembuluh pengangkut dan memasuki ruang ekstravaskular

34
di antara sel-sel, ruang ekstraseluler (antarseluler) tempat sel hidup. . Kapiler adalah tabung
endotel sederhana yang menghubungkan sisi arteri dan vena dari sirkulasi yang memungkinkan
pertukaran bahan dengan cairan interstisial atau ekstraseluler (ECF). Kapiler umumnya
tersusun dalam lapisan kapiler, jaringan yang menghubungkan arteriol dan venula (Gbr. I.23).
Darah memasuki tempat tidur kapiler melalui arteriol yang mengontrol aliran dan dikeringkan
dari mereka oleh venula.

HISTOLOGI

35
Dinding arteri dan vena memiliki suatu tunika intima, tunika media dan tunika eksterna /
adventisia yang sepadan secara kasar dengan endokardium, miokardium dan epikardium
jantung. Suatu arteri memiliki tunika media yang lebih tebal dan lumen yang relatif sempit.
Suatu vena memiliki lumen yang lebih besar dan tunika eksterna adalah lapisan yang paling
tebal. Tunika intima vena sering terlipat membentuk katup. Kapiler hanya sedikit memiliki
endotel, tanpa lapisan subendotel atau tunika lainnya.

TUNIKA DINDING VASKULAR

Pembandingan ketiga lapisan utama atau tunika di arteri dan vena terbesar (a) Aorta, (b) vena
cava. Selapis sel endotel gepeng (panah) melapisi tunika intima (I) yang memiliki jaringan ikat
longgar subendotel dan dipisahkan dari tunika media oleh lamina elastik internal (IEL), suatu
lembar elastin yang mencolok. tunika media (M) mengandung lamela elastik dan serabut (EF)
bergantian dengan lapisan otot polos.

36
Tunika media jauh lebih lebih di arteri besar ketimbang di vena, dengan lebih banyak elastin.
Serat elastin juga terdapat di tunika adventisia luar (A), yang relatif lebih tebal di vena besar.
Vasa vasorum (V) terlihat di tunika adventisia aorta. Jaringan ikat adventisia selalu menyatu
dengan jaringan ikat yang kurang padat disekitarnya. Kedua gambar 122x. Elastin

VASA VASORUM
Dinding pembuluh besar, seperti aorta, terdapat di tunika adventitia, suatu suplai yang
membawa O2 dan nutrien lain ke sel setempat yang berada jauh dari lumen yang diberi makan
oleh darah ditempat tersebut. Arteriol (A), kapiler, dan venula (V) ini membentuk vasa
vasorum (pembuluh dari pembuluh). Tunika adventisia arteri besar juga lebih sedikit

37
dipersarafi oleh saraf simpatis kecil (N) untuk mengatur vasokonstriksi. Di atas adventisia di
bagian ini dapat dilihat serat otot (SO) dan lamela elastik (E) di media. 100x. H&E.

Arteri elastik

TIPE DIAMETER INTIMA MEDIA ADVENTISIA PERAN

Arteri >10 mm Endotelium; Banyak Jaringan ikat, Mengalirkan


elastik jaringan lamela lebih tipis dari darah dari
ikat dengan elastik media, dengan jantung dan
otot polos bergantian vasa vasorum dengan Recoil
dengan elastik
otot polos membantu
memindahkan
darah ke depan
dalam tekanan
yang kuat

Arteri elastik adalah aorta, arteri paru-paru, dan cabang terbesar itu; pembuluh besar ini juga
disebut konduksi arteri karena peran utama itu adalah untuk membawa darah ke arteri yang
lebih kecil.

38
Arteri terbesar mengandung sejumlah materi elastik dan teregang oleh darah saat jantung
berkontraksi. Potongan melintang melalui bagian arteri elastik besar memperlihatkan tunika
media (M) tebal yang terdiri terutama atas banyak lamela elastik yang berkembang baik.
Tekanan darah kuat yang berdenyut ke dalam arteri tersebut selama sistol meregangkan dinding
arteri, yang akan menurunkan tekanan dan memungkinkan berlanjutnya aliran darah yang deras
selama diastol. Tunika intima (I) aorta yang kosong biasanya terlipat dan tunika adventisia (A)
mengandung vasa vasorum.

Arteri Muskular

TIPE DIAMETER INTIMA MEDIA ADVENTISIA PERAN

Arteri 10-1 mm Endotelium Banyak Jaringan ikat, Mendistribusika


muskula ; jaringan lapisan lebih tipis n darah ke
r ikat dengan otot daripada seluruh organ
otot polos, halus , media; vasa dan menjaga
lamina dengan vasorum bisa tekanan darah
elastik bahan terdapat kuat serta
internal yang mengalir dengan
yang lebih vasodilatasi dan
prominen kurang vasokonstriksi
elastik

Arteri muskular dapat mengendalikan banyaknya darah yang menuju organ dengan
mengontraksikan atau merelaksasikan sel-sel otot polos tunika media. Tunika intima memiliki
lapisan subendotel yang sangat tipis dan lamina elastik interna. Tunika media dapat memiliki
hingga 40 lapisan sel otot polos yang lebih mencolok dan berbaur dengan sejumlah lamela
elastik (bergantung pada ukuran pembuluh). Lamina elastik eksterna, yaitu komponen terakhir
tunika media, hanya terdapat pada arteri muskular yang lebih besar. Tunika adventisia terdiri
atas jaringan ikat. Kapiler limfe, vasa vasorum, dan saraf juga terdapat di dalam tunika
adventisia, dan struktur ini dapat mempenetrasi bagian luar tunika media.

39
Semakin jauh dari jantung, arteri berangsur-angsur memiliki lebih sedikit elastik dan lebih
banyak otot polos di dindingnya. Kebanyakan arteri yang cukup besar untuk diberi nama
merupakan jenis arteri muskular tersebut. Potongan melintang melalui arteri muskular (kaliber
medium) arteri menunjukkan intima sedikit dilipat dengan hanya jaringan ikat tipis antara sel-
sel endotel (E) dan lamina elastik internal (IEL). Beberapa lapisan otot polos (SM) di media
(M) yang lebih tebal dari lamela elastik dan serat yang menyebar. Vasa vasorum (V) terlihat di
tunika adventisia. 100x. H&r.
MIKROVASKULAR

40
Arteriol (A), kapiler (C), dan venula (V) terdiri dari mikrovaskulatur dimana, dalam hampir
setiap organ, pertukaran molekul terjadi antara darah dan cairan interstitial dari jaringan
sekitarnya. Media dan tunik adventisia serta dengan hanya diameter 4-10 μm kurang, kapiler
(C) di bagian parafin dapat dikenali oleh nukleus berdekatan dengan lumen kecil atau oleh sel
darah merah yang sangat eosinofilik di lumen. Seperti dijelaskan pada (Gambar 5-20), tidak
semua cairan interstitial terbentuk pada alas kapiler mengalir ke venula; selisih tersebut disebut
getah bening dan terkumpul di dinding tipis, pembuluh berbentuk irregular limfatik (L), seperti
yang terlihat pada jaringan ikat dan otot polos di sini. 200X H&e.

TIPE DIAMETER INTIMA MEDIA ADVENTISIA PERAN

Arteri 1-0.1 mm Endotelium; 3-10 Jaringan ikat, Mendistribusikan


kecil jaringan ikat lapisan lebih tipis darah ke arteriol,
otot yang otot daripada menyesuaikan
memiliki polos media; tidak aliran dengan
sedikit otot ada vasa vasodilatasi dan
halus vasorum vasokonstriksi

41
Vena 0.1-1 mm Endotelium; Tipis, 2- Jaringan ikat, Mengumpulkan
kecil jaringan ikat 3 lapisan lebih tebal darah dari venula
dengan serat longgar daripada media
otot polos sel otot
yang polos
tersebaR

Arteriol
Arteri muskular bercabang berulang kali menjadi arteri yang berukuran lebih kecil, hingga
mencapai ukuran dengan hanya tiga atau empat lapisan medial otot. Arteri terkecil bercabang
menjadi sebagai arteriol hingga bertemu kapiler untuk melakukan pertukaran gas

TIPE DIAMETER INTIMA MEDIA ADVENTISIA PERAN

Arteriol 100-10 μm Endotelium; 1-3 Lapisan Menahan dan


tidak ada lapisan jaringan ikat mengendalikan
jaringan ikat otot yang sangat aliran darah ke
atau otot polos tipis kapiler;
polos determinan
utama dari
sistem sirkulasi
peredaran darah

Arteriol menyediakan alas kapiler biasanya membentuk cabang yang lebih kecil disebut
metarteriol dalam sel-sel otot polos tersebar seperti pita yang bertindak sebagai sfingter
prekapiler. Bagian distal metarteriol, kadang disebut kanal utama , tidak memiliki sel-sel otot
polos dan menyatu dengan venula pasca kapiler. Bercabang dari metarteriol dan kanal utama
adalah pembuluh terkecil, kapiler sejati yang kurang sel otot polos (meskipun perisit bisa
terdapat). Sfingter prekapiler mengatur aliran darah ke kapiler yang sebenarnya. Bagian a
menunjukkan alas kapiler perfusi dengan baik semua sfingter relaksasi dan terbuka; bagian b
menunjukkan alas kapiler dengan darah didorong jauh oleh kontraksi sfingter. Pada saat
tertentu, sfingter paling setidaknya sebagian tertutup dan darah memasuki alas kapiler secara
berdenyut untuk pertukaran maksimal efisien nutrisi, limbah, O2, dan CO2 di endotelium.

42
Kecuali dalam sirkulasi pulmonal, darah memasuki mikrovaskulatur cukup oksigen dan yang
meninggalkan oksigen

Alas Kapiler

TIPE DIAMETER INTIMA MEDIA ADVENTISIA PERAN

Kapiler 10-4 μm Hanya Hanya Tidak ada Pertukaran


endotelium perisit metabolit oleh
difusi ke dan dari
sel-sel

43
Kapiler hanya terdiri atas suatu endotelial yang tergulung sebagai suatu saluran, tempat
terjadinya pertukaran antara darah dan cairan jaringan. (a) Kapiler biasanya berhubungan
dengan sel kontraktil perivaskular yang disebut perisit (P) yang memiliki berbagai fungsi. Inti
yang lebih gepeng dimiliki oleh sel endotelial 400x. H&E dari penyebaran preparasi
mesenterium

Kapiler kontinu memiliki banyak taut, berkembang dengan baik taut occluding antara sel-sel
endotelial sedikit tumpang tindih, yang memberikan kontinuitas sepanjang endotelium dan
diatur baik pertukaran metabolisme dengan baik diseluruh sel. Kapiler ini merupakan jenis
kapiler tersering dan ditemukan pada semua jenis jaringan otot, jaringan ikat, kelenjar eksokrin
dan jaringan saraf. Vesikel juga tampak sebagai vesikel tersendiri di sitoplasma sel ini dan
berperan pada transitosis makromolekul di kedua arah pada sitoplasma endotelial. memiliki

44
taut kedap yang erat dan menyekat celah antarsel di antara semua sel endotelial untuk
meminimalkan keboc

Kapiler kontinu menjalankan kontrol terketat dengan menentukan jenis molekul yang
meninggalkan dindingnya. (L). TEM memperlihatkan suatu kapiler kontinu pada potongan
melintang. Suatu inti sel endotelial (N) prominen, dan taut erat atau occluding junction
berlimpah di taut kompleks (JC) yang tumpang tindih antar sel-sel endotel (E). Sejumlah besar
vesikel transitotik (V) terlihat jelas. Semua material yang menyeberangi endotel kapiler
kontinu harus menembus sel, biasanya melalui difusi atau transitosis. Sekitar kapiler adalah
lamina basal (LB) dan ekstensi sitoplasma tipis dari perisit (P). serat kolagen (C) dan bahan
ekstraseluler lainnya yang hadir dalam ruang perivaskular

45
Kapiler berfenestra juga memiliki taut erat, tetapi perforasi (fenestra) melalui sel endotelial
memungkinkan pertukaran yang lebih besar melalui endotelial. Membran basal bersifat
kontinu di kedua jenis kapiler. Kapiler berfenestra ditemukan di organ dengan pertukaran
molekular yang penting dengan darah, seperti organ endokrin, dinding usus, dan plexus
choroideus

Kapiler berfenestra dikhususkan untuk ambilan molekul seperti hormon pada kelenjar endokrin
atau untuk aliran keluar molekul seperti pada sistem filtrasi ginjal. Gambaran TEM suatu
kapiler berfenestra yang terpotong secara transversal di regio peritubular ginjal
memperlihatkan banyak fenestra tipikal yang ditutupi oleh diafragma (panah), dengan suatu
lamina eksterna yang kontinu di permukaan luar sel endotel (BL) Di sel ini, apparatus Golgi
(G), inti (N), dan sentriol (C) dapat terlihat. Kapiler berfenestra memungkinkan pertukaran
molekul yang lebih bebas ketimbang di kapiler kontinu dan ditemukan pada dinding usus,
ginjal, dan kelenjar endokrin.

46
Sinusoid biasanya berdiameter lebih besar ketimbang jenis kapiler lain dan memiliki
diskontinuitas di antara sel endotelial, fenestra besar melalui sel, dan membran basal parsial
yang tidak kontinu. Sinusoid ditemukan pada organ tempat terjadinya pertukaran
makromolekul dan sel secara mudah di antara jaringan dan darah, seperti di sumsum tulang,
hati dan limpa.

Sinusoid (S) yang tampak di sini berada pada sumsum tulang dan dikelilingi oleh jaringan yang
mengandung adiposit (A) dan massa sel hematopoietik (H). Endotel tersebut sangat tipis dan
inti sel lebih sulit ditemukan ketimbang di kapiler yang lebih kecil. Secara ultrastruktural,
kapiler sinusoid tampak memiliki fenestra besar yang menembus sel dan diskontinuitas besar
yang berada di antara sel dan menembus lamina basal

47
Venula

TIPE DIAMETE INTIMA MEDIA ADVENTISI PERAN


R A

Venula 10-100 μm Endoteliu Terseba Tidak ada Mengosongka


(mengumpulka m; tidak r sel otot n jaringan
n pascakapiler ada katup polos kapiler; Situs
dan muskular) leukosit
keluar dari
pembuluh
darah

Transisi dari kapiler menjadi venula terjadi secara bertahap. Venula-venula ini bertemu
menjadi venula pengumpul yang berukuran lebih besar yang memiliki lebih banyak sel
kontraktil. Dengan ukuran yang lebih besar, venula dikelilingi oleh tunika media yang dapat
dikenali dengan dua atau tiga lapisan otot polos dan disebut venula muskular. Gambaran khas
semua venula adalah diameter lumen yang besar dibandingkan dengan tebal keseluruhan
dindingnya
Venula pengumpul besar (V) memiliki diameter yang lebih besar ketimbang arterio (A) tetapi
dindingnya masih sangat tipis, yang terdiri atas endotel dengan lebih banyak perisit atau sel
otot polos

VENA

48
TIPE DIAMETER INTIMA MEDIA ADVENTISIA PERAN

Vena >10 mm Endotelium; > 5 lapisan Lapisan paling Darah


jaringan ikat, otot polos, tebal, dengan kembali
sel- sel otot dengan dibundel otot ke
polos; katup banyak polos prominen jantung
prominen kolagen

Vena membawa darah kembali ke jantung dari mikrovaskulatur di seluruh tubuh. Darah yang
memasuki vena menerima tekanan yang sangat rendah dan bergerak menuju jantung melalui
kontraksi tunika media dan kompresi ekstemal dari otot sekitar dan organ lain. Sebagian besar
vena berukuran kecil atau sedang (Gambar 11–22), dengan diameter kurang dari 10 μm (Tabel
11–1). Vena tersebut biasanya berada sejajar dengan arteri muskular padanannya. Tunika
intima umumnya memiliki lapisan subendotel tipis dan tunika media terdiri atas berkas- berkas
kecil sel otot polos yang berbaur dengan serat-serat retikular dan jalinan halus serat elastin.
Lapisan tunika adventisia dengan kolagennya berkembang dengan baik.
Pembuluh vena besar, yang berpasangan dengan arteri elastik di dekat jantung, adalah vena
besar (Gambar 11– 7b). Vena besar memiliki tunika intima yang berkembang baik, tetapi
tunika medianya relatif tipis, dengan beberapa lapisan otot polos dan sejumlah besar jaringan
ikat. Tunika adventisia adalah lapisan tebal dengan vena besar dan sering mengandung berkas
memanjang otot polos. Lapisan tunika media dan adventisia mengandung serat elastin, tetapi
lamina elastik seperti yang terdapat di arteri tidak dijumpai.

49
Vena besar memiliki suatu tunika media (M) muskular yang sangat tipis, dibandingkan dengan
tunika adventisia (A) jaringan ikat iregular padat. Dindingnya sering terlipat seperti yang
terlihat di gambar ini. Tunika intima (I) ini berprojeksi ke dalam lumen sebagai katup (V), yang
terdiri atas jaringan ikat subendotelial dengan endotel di kedua sisi.

Mikrograf vena kecil (V) memperlihatkan lumen yang relatif besar dibandingkan dengan arteri
muskular kecil (A) dengan tunika media tebal (M) dan adventisia (Ad). kecil sangat tipis, yang
mengandung hanya satu atau dua lapisan otot polos 200x

Mikrograf pertemuan antara dua vena kecil yang memperlihatkan katup (panah). Katup
merupakan lipatan tipis tunika intima yang menonjol ke dalam lumen yang bekerja untuk
mencegah aliran balik darah

50
Mikrograf vena medium (MV) yang memperlihatkan dinding yang lebih tebal, tetapi masih
kurang penting ketimbang dinding arteri muskular penyerta (MA). Tunika media dan
adventisia berkembang lebih baik, tetapi dindingnya sering terlipat di sekeliling lumen yang
relatif besar.

Mikrograf vena medium yang mengandung darah dan memperlihatkan lipatan katup

51
Vena besar memiliki suatu tunika media (M) muskular yang sangat tipis, dibandingkan dengan
tunika adventisia (A) jaringan ikat iregular padat. Dindingnya sering terlipat seperti yang
terlihat di gambar ini. Tunika intima (I) ini berprojeksi ke dalam lumen sebagai katup (V), yang
terdiri atas jaringan ikat subendotelial dengan endotel di kedua sisi.

52
FISIOLOGI
A. Tekanan Darah
Tekanan darah, gaya yang ditimbulkan oleh darah terhadap dinding pembuluh, bergantung
pada volume darah yang terkandung di dalam pembuluh dan daya regang, atau distensibilitas,
dinding pembuluh (seberapa mudah pembuluh tersebut diregangkan). Jika volume darah yang
masuk ke arteri sama dengan volume yang keluar dari arteri selama periode yang sama, tekanan
darah arteri akan konstan

Tekanan dapat diukur secara tidak langsung dengan lebih mudah dan cukup akurat dengan
sfigmomanometer, suatu manset yang dapat digembungkan dan dipasang secara eksternal ke
pengukur tekanan. Terdapat dua prosedur, yaitu palpatoir dan auskultoir. Palpatoir
menggunakan dua jari tangan untuk palpasi denyut pada arteri brachialis, sedangkan auskultoir
menggunakan stetoskop untuk mendengarkan denyut dan bunyi korotkoff pada arteri
brachialis.

53
Bunyi yang terdengar ketika memeriksa tekanan darah, yang dikenal sebagai bunyi Korotkoff.
Bunyi korotkoff adalah bunyi aliran darah pertama saat manset dikeluarkan udaranya. Jadi

54
pada tensimeter air raksa, tekanan darah sistolik dapat diperoleh dengan cara mengisi manset
dengan udara sampai darah berhenti mengalir.
Interpretasi hasil pemeriksaan tekanan darah adalah sebagai berikut.

Kesalahan yang biasa terjadi pada pengukuran tekanan darah, yaitu:


1. Ukuran bladder dan cuff tidak tepat (terlalu kecil atau terlalu besar).
2. Pemasangan bladder dan cuff terlalu longgar, tekanan darah terukur lebih tinggi dari
yang seharusnya.
3. Pusat cuff tidak berada di atas arteri brachialis.
4. Cuff dikembangkan terlalu lambat, mengakibatkan kongesti vena, sehingga bunyi
Korotkoff tidak terdengar dengan jelas.
5. Saat mencoba mengulang pemeriksaan, kembali menaikkan tekanan cuff tanpa
mengempiskan dengan sempurna atau reinflasi cuff terlalu cepat.
B. Hormon yang Mempengaruhi Pembuluh Darah
1. Hormon Adrenalin
Hormon yang terbentuk pada kelenjar Adrenal. Dilepaskan saat tubuh mengalami stres,
takut, dan berada dalam situasi menegangkan. Dapat membuat jantung berdetak lebih
cepat dan vasodilatasi. Jika kelebihan bisa menyebabkan tekanan darah tinggi dan
jantung berdebar. Sebaliknya, jika kekurangan bisa menyebabkan fibromyalgia dan
mudah lelah.
2. Hormon Noradrenalin
Hormon yang diproduksi di kelenjar adrenal. Bekerja sama dengan kortisol dalam
mengatur respon tubuh terhadap stres. Mempengaruhi penurunan denyut jantung dan
vasokonstriksi.
3. Hormon Dopamin

55
Hormon yang diproduksi di ginjal dan hipotalamus. Mempengaruhi peningkatan
denyut jantung dan tekanan darah. Jika kelebihan bisa menyebabkan Aritmia.
Sebaliknya, jika kekurangan bisa menyebabkan sulit berkonsentrasi.
4. Hormon Estrogen
Hormon yang diproduksi di ovarium (wanita) dan testis (pria). Hormon ini lebih banyak
diproduksi wanita, terutama pada pertengahan menstruasi. Berfungsi dalam menjaga
fleksibilitas pembuluh darah dan memperlancar aliran darah.

Selain itu ada beberapa hormon yang dapat mempengaruhi jantung serta pembuluh darah jika
jumlah tidak sesuai, antara lain
1. Melatonin
Kekurangan : Aritmia
2. Serotonin
Kelebihan : Aritmia
3. Tiroid
4. Kelebihan : Aritmia
Kekurangan : Tekanan darah tinggi

56
DEEP VEIN THROMBOSIS

a. Definisi
Trombosis vena dalam (DVT) adalah bekuan darah yang terbentuk dalam nadi yang dalam,
biasanya dari kaki, tetapi dapat terjadi pada urat senjata dan vena mesenterika dan otak.
Trombosis vena mendalam adalah penyakit yang umum dan penting. Ini adalah bagian dari
gangguan tromboemboli vena yang mewakili penyebab ketiga yang paling umum dari
kematian kardiovaskular setelah serangan jantung dan stroke. Bahkan pada pasien yang tidak
mendapatkan emboli paru, trombosis berulang dan "sindrom pasca-trombotik" adalah
penyebab utama morbiditas.

Trombus terdiri dari trombosit dan sel darah merah yang membentuk sumbat yang di ikat oleh
serat fibrin. Trombosis_adalah terbentuknya trombus dalam pembuluh darah.
DVT atau Trombosis Vena Dalam adalah suatu kondisi dimana terbentuknya trombus di satu
atau lebih vena dalam, biasanya terjadi di kaki.

b. Etiologi

Menurut Triad Virchow, berikut ini adalah mekanisme patofisiologis utama yang terlibat dalam
DVT:

• Kerusakan pada dinding kapal

57
• Turbulensi aliran darah
• Hypercoagullability.

Trombosis adalah mekanisme perlindungan yang mencegah hilangnya darah dan menutup
pembuluh darah yang rusak. Fibrinolisis menetralkan atau menstabilkan trombosis. Pemicu
trombosis vena sering multifaktorial, dengan berbagai bagian triad Virchow berkontribusi
dalam berbagai tingkat pada setiap pasien, tetapi semuanya menghasilkan interaksi trombus
awal dengan endotelium. Ini kemudian merangsang produksi sitokin lokal dan menyebabkan
adhesi leukosit pada endotelium, yang keduanya mempromosikan trombosis vena. Tergantung
pada keseimbangan relatif antara koagulasi dan jalur trombolitik, propagasi trombus terjadi.
DVT paling umum di tungkai bawah di bawah lutut dan dimulai pada situs aliran rendah,
seperti sinus soleal, di belakang kantong katup vena.

c. Epidemiologi
Insiden dan prevalensi: trombosis vena dalam dan emboli paru sering terjadi dan sering "silent"
sehingga sering kali tidak terdiagnosis atau hanya dijemput pada otopsi. Oleh karena itu,
kejadian dan prevalensi sering diremehkan. Diperkirakan bahwa kejadian tahunan DVT adalah
80 kasus per 100.000, dengan prevalensi DVT tungkai bawah 1 kasus per 1000 populasi. Setiap
tahun di Amerika Serikat, lebih dari 200.000 orang mengembangkan trombosis vena; dari
mereka, 50.000 kasus diperumit oleh emboli paru.

Umur: Deep-vein trombosis jarang terjadi pada anak-anak, dan risikonya meningkat seiring
bertambahnya usia, paling banyak terjadi pada lebih dari 40-an.

Gender: Tidak ada konsensus tentang apakah ada bias jenis kelamin dalam kejadian DVT.

Etnis: Ada bukti dari Amerika Serikat bahwa ada peningkatan kejadian DVT dan peningkatan
risiko komplikasi pada orang Afrika-Amerika dan orang kulit putih bila dibandingkan dengan
Hispanik dan Asia.

Penyakit terkait: Di rumah sakit, kondisi yang paling umum terkait adalah keganasan, gagal
jantung kongestif, penyakit saluran napas obstruktif, dan pasien yang menjalani operasi.

58
d. Faktor risiko

Berikut ini adalah faktor risiko dan dianggap sebagai penyebab trombosis vena dalam:

• Mengurangi aliran darah: imobilitas (tempat tidur, anestesi umum, operasi, stroke,
penerbangan panjang)
• Peningkatan tekanan vena: kompresi mekanis atau gangguan fungsional yang
menyebabkan berkurangnya aliran dalam vena (neoplasma, kehamilan, stenosis, atau
anomali kongenital yang meningkatkan ketahanan arus keluar)
• Cedera mekanis pada vena: trauma, pembedahan, kateter vena yang dimasukkan secara
perifer, DVT sebelumnya, penyalahgunaan narkoba intravena.
• Peningkatan Viskositas Darah: Polycythaemia Rubra Vera, Trombositosis, Dehidrasi
• Variasi anatomi dalam anatomi vena dapat berkontribusi pada trombosis.

Peningkatan risiko koagulasi

• Defisiensi genetik: protein antikoagulasi C dan S, defisiensi antitrombin III, Faktor V


leiden mutasi
• Diakuisisi: Kanker, Sepsis, infark miokard, gagal jantung, vaskulitis, sistemik lupus
erythematosus dan antikoagulan lupus, penyakit radang usus, sindrom nefrotik, luka
bakar, estrogen oral, merokok, hipertensi, diabetes

Faktor Konstitusi

Obesitas, kehamilan, bertambahnya usia, operasi, dan kanker.

e. Gejala Klinis
• Edema
• Nyeri tungkai (50% kasus)

59
• Nyeri tekan (75% kasus)
• Hangat dan eritema pada area thrombosis
• Unilateral / bilateral jarang)
• Dapat asimtomatik

Gejalanya sering dikacaukan dengan kondisi kesehatan lainnya, tetapi ada beberapa tanda DVT
yang penting untuk diwaspadai, terutama jika Anda memiliki faktor risiko, seperti kehamilan,
obesitas, atau Anda cenderung duduk dalam waktu lama:

• Nyeri atau nyeri pada kaki (mungkin hanya saat berjalan atau berdiri)
• Pembengkakan di daerah yang terkena
• Kemerahan atau perubahan warna kulit pada kaki

Sayangnya, orang yang memiliki DVT mungkin tidak mengalami gejala sampai bekuan telah
berkembang menjadi PE.

Tanda dan gejala dari kondisi yang mengancam jiwa ini meliputi:

• Sesak napas yang tidak dapat dijelaskan


• Napas cepat dan detak jantung cepat (denyut nadi)
• Sakit dada
• Batuk berdarah
• Berkeringat
• pusing
• Sakit saat menarik napas dalam-dalam
• Batuk tiba-tiba
• Pingsan

60
Pertanyaan :
1. Jika pada penderita DVT tidak dijumpai gejala klinis, apa yang terjadi pada penderita
tersebut?
Jawab :
DVT pada pasien tersebut bisa tidak terdeteksi sampai ia meninggal dan diagnosis DVT bisa
ditemukan di otopsi.
Atau penderita DVT mungkin tidak mengalami gejala sampai bekuan telah berkembang
menjadi Emboli paru (komplikasinya) yang gejala klinisnya itu :
• Sesak napas yang tidak dapat dijelaskan
• Napas cepat dan detak jantung cepat (denyut nadi)
• Sakit dada
• Batuk berdarah
• Berkeringat
• pusing
• Sakit saat menarik napas dalam-dalam
• Batuk tiba-tiba
• Pingsan

Pada kasus kita :

61
Pasien ini defisiendi protein C (genetic) 🡪 sehingga adanya penignktan koagulasi, jd dia
sekeluarga mudah koagulasi gt. Ini juga meningkatkan pasien bisa mudah terkena komplikasi
emboli paru nantinya.

Kalo DVT nya kemungkinan besar yak arena lifestylenya kurang olehraga atau gmn gt.

Thrombosisnya 🡪 karena genetiknya


Kalo DVT karena sebelumnya mungkin ada varises yg tidak terdeteksi hingga menyebabkan
dia udah sampe DEEP VEIN TROMBOSIS bukan VARISES SUPERFICIAL lagiii (tak ada
screening awal).

62
DEEP VEIN THROMBOSIS 2

1. Definisi
trombosis vena dalam (deep vein thrombosis/ DVT) didefinisikan sebagai kondisi
timbulnya trombus pada vena dalam. Trombosis vena dalam sering tersa- markan karena
tidak ada tanda peradangan lokal yang terlihat seperti pada trombosis vena perifer. Adanya
trombosis akan merusak vena distal beserta katupnya (akibat refluks) sehingga
menyebabkan terjadinya in- sufisiensi vena.
2. Etiologi
Terdapat tiga faktor yang menyebabkan terjadinya trombosis pada vena dalam, yaitu :

Cedera pada pembuluh vena. Timbulnya cedera dapat dipicu oleh tindakan bedah, suntikan
bahan yang menimbulkan iritasi, atau abnormalitas pada pembuluh vena;

Peningkatan risiko terjadinya trombus, misalnya pada pasien kanker, penggunaan


kontrasepsi oral, persalinan, tindakan operasi, geriatri, dehidrasi, dan perokok;

Aliran darah yang lebih lambat pada pembuluh vena. Kondisi ini dapat terjadi pada
penderita yang menjalani perawatan lama (imobilisasi) di rumah sakit atau penerbangan
jarak jauh. Pada kondisi tersebut, otot-otot pada daerah tungkai bawah tidak berkontraksi
sehingga aliran darah dari kaki menuju ke jantung menjadi lambat dan berkurang,
memudahkan terjadinya trombosis.

3. Epidemiologi
Setiap tahunnya ditemukan I kasus di antara 1000 orang yang mengalami masalah ini.
Darijumlah tersebut, sekitar 1-5% penderitanya meninggal dikare- nakan komplikasi yang
ditimbulkan.
4. Faktor resiko
• Usia >40 tahun
• Pasien kanker;
• Gangguan koagulasi darah:
• Perempuan hamil dan pascapersalinan;
• Pasien yang menjalani terapi hormonal; Perempuan yang menggunakan kontrasepsi
hor- monal;

63
• Pasien dengan imobilisasi lama;
• Tindakan operasi dalam jangka waktu >30 menit;
• Riwayat DVT dalam keluarga;
• Pasien dengan varises;
• Pasien dengan komorbiditas penyakit berat.

5. Manifestasi klinis
Trombosis vena dalam umumnya bersifat asimtomatis. Pada sebagian penderita, dapat
timbul gejala klinis yang tidak khas, misalnya nyeri dada akibat dari emboli paru yang
menandakan timbulnya komplika- si. Pada trombus berukuran besar akan menyumbat
pembuluh vena utama sehingga muncul gejala dan tanda berikut:

pembengkakan pada ekstremitas (tungkai/lengan) mulai dari distal,


otot kaku (tidak lunak),nyeri otot terutama saat berdiri dan berjalan, nyeri pada betis saat
pedis di posisikan dorsofleksi dan sendi lutut dalam kondisi ekstensi penuh (ffo- man 's
sign). kulit kebiruan (sianosis).vena superfisial tampak jelas akibat dilatasi vena kolateral
superfisialis, beberapa trombus dapat mengalami perbaikan secara spontan dan
membentuk jaringan parut di sekitar katup. Jaringan parut yang terbentuk dapat merusak
fungsi katup pada pembuluh vena di tungkai bawah yang mengakibatkan trombosis vena
dalam kronis berulang (post phlebitic syn- drome).

6. Patofisiologi
Pembentukan trombus dapat terjadi di vena dalam akibat berbagai faktor. Trombus
yang terbentuk di vena iliaka dan vena femoralis proksimal dapat lepas dari tempatnya
dan mengikuti aliran darah (emboli) hingga ke jantung dan paru. Adanya emboli
kemudian dapat menyumbat pembuluh darah di paru sehingga menimbulkan emboli
paru. Sementara itu, emboli ber- ukuran kecil akan menyumbat kapiler paru sehingga
terjadi infark jaringan paru. Akan tetapi, jika emboli berukuran cukup besar, dapat
terjadi penyumbatan parsial atau bahkan seluruh aliran darah dari ventrikel kanan dan
menyebabkan kematian. Pembuluh vena yang dapat mengalami trombosis vena dalam
antara lain: vena tibialis, vena poplitea, vena iliofemoral, vena cava, dan vena aksilaris.
7. Diagnosis
Anamnesis yang mengarah pada faktor risiko dan gejala klinis,

64
pemeriksaan fisik ditujukan untuk menemukan adanya tanda dan gejala trombosis vena
dalam.
• Nyeri tumpul pada kaki : nyeri yang bukan seperti ditusuk, terutama saat berdiri
dan berjalan
• Permukaan kulit licin
• Bengkak mulai distal
• Panas pada kulit
• Kaku otot
• Hooman sign positif (nyeri dorsofleksi), pengukuran kaki dan paha di 10 cm di
bawah tuberositas tibia dan 10-15 cm di atas tepi atas patella (DVT dicurigai
apabila perbedaan >3 cm antar ekstremitas), nyeri palpasi, kulit sianosis, vena
superfisial tampak jelas akibat dilatasi vena kolateral superfisialis. Thrombus
dapat membentuk jaringan parut yang dapat merusak fungsi katup pembuluh
vena di tungkai bawah yang mengakibatkan DVT kronis berulang (Post
phlebitis syndrome
Secara sederhana dapat digunakan kriteria Wells 2003 lihat Tabel 1).

Pemeriksaan laboratorium: kadar D-Dimer (trombosis yang aktif);

65
• dapat dipengaruhi oleh adanya keganasan atau kerusakan jaringan. D dimer merupakan
produk proteolysis fibrin oleh plasmin. Sensitivitasnya mencapai 90-95%, NPV
(negative predictive value) 99,3% untuk evaluasi DVT vena proksimal dan 98,6%
untuk evaluasi DVT distal. Namun, peningkatan D-dimer juga ditemukan pada pasien
pascaoperasi, pasien trauma, kelainan thrombosis, infeksi, atau saat kehamilan
• Pembekuan darah adalah proses penting yang mencegah kita kehilangan terlalu banyak
darah saat kita terluka. Biasanya, tubuh kita akan melarutkan bekuan darah setelah
cedera kita sembuh. Dengan gangguan pembekuan darah, gumpalan dapat terbentuk
saat kita tidak mengalami cedera yang jelas atau tidak larut saat seharusnya. Kondisi
ini bisa sangat serius dan bahkan mengancam jiwa. Tes D-dimer dapat menunjukkan
jika kitamemiliki salah satu dari kondisi ini.
• Normal < 500 ng/mL


f. Pemeriksaan penunjang lain:
• Non-invasif
USG Doppler, adalah alat pemeriksaan kesehatan menggunakan gelombang suara
berfrekuensi tinggi untuk memantau kondisi aliran darah dan pembuluh darah
• untuk memberikan gambaran aliran darah arteri dan vena pada bagian tungkai. USG
Doppler klasik memiliki nilai sensitivitas 88% dan spesifisitas 88%. sementara USG
Doppler berwarna memiliki nilai sensitivitas 97% dan spesifisitas 98% untuk
mendeteksi adanya trombus.
• Prosedur Pemeriksaan USG Doppler
Sebelum melakukan pemeriksaan dengan USG Doppler, dokter atau perawat akan
mengoleskan gel di permukaan kulit pada area tubuh yang akan diperiksa.

66
Selanjutnya, dokter akan meletakkan transduser atau perangkat pemancar gelombang
suara untuk memantau kondisi organ, jaringan tubuh, dan pembuluh darah di dalam
tubuh pasien. Perangkat tersebut terhubung dengan layar monitor mesin USG Doppler
yang akan menampilkan gambar kondisi organ dan pembuluh darah pada area yang
sedang diperiksa.
Dokter biasanya melakukan pemeriksaan USG Doppler untuk memantau atau
mengevaluasi kondisi tertentu, seperti:
Kondisi aliran darah di pembuluh arteri dan vena yang ada pada lengan, kaki, atau leher
Keberadaan gumpalan darah yang menyumbat pembuluh darah dan menghambat aliran
darah pada organ tubuh tertentu, misalnya paru-paru atau ginjal

Usg doppler showing absence of flow and hyperechogenic content in deep vein thrombosis of
the subsartorial vein.

CT venografi Penggunaan CT venografi ekstremitas bawah ditujukan untuk mendeteksi


trombosis vena dalam dengan sensitivitas I00% dan spesifisitas 96%. Pemeriksaan ini lebih s
uperior dibandingkan venografi konvensional untuk mendeteksi perluasan trombus ke vena
pelvis dan vena cava inferior.

• lnvasif: flebografi. merupakan prosedur inva- sif untuk visualisasi vena (terutama vena
ek- stremitas bawah) yang menggunakan sinar X (dengan kontras). Flebografi dapat
mengonfirmasi diagnosis DVT dan membedakan penggu- mpalan darah dari
penyumbat lainnya

67
8. Tata laksana
Terapi Medikamentosa, tujuan terapi untuk mencegah serta mengurangi risiko
pembentukan trombus yang lebih besar serta mencegah emboli paru. Beberapa obat
yang dapat digunakan antara lain golongan antikoagulan (warfarin atau hepa- rin). Perlu
diperhatikan pula bahwa obat golongan antikoagulan dapat menyebabkan efek samping
perdarahan.

Antikoagulan oral (Warfarin atau direct oral anticoagulant = Rivaroxaban 2x15mg


selama 3 minggu, dilanjutkan 20mg sampai 2 bulan)

anti nyeri (NSAID) bila diperlukan

Terapi
Antikoagulan
Heparin (Penghambat faktor koagulasi IX, X, XI, XII, dan antitrombin-110
Heparin diberikan secara intravena mau - pun subkutan, dan harus dipantau secara tepat
untuk mencapai efek antitrombotik yang diharapkan serta meminimalisasi risiko
perdarahan. Pasien yang mendapat terapi ini memerlukan perawatan di rumah sakit.

• Indikasi indikasi definitif: DVT akut. edema pulmonal, dan angina tidak stabil;
Jndikasi relatif: infark miokard akut (timbul setelah terapi trombolitik) dan
stroke trombosis akut;
• Pada pencegahan untuk DVT dan ede- ma pulmonal, heparin diberikan pada
kasus: paskapembedahan umum, risiko imobilisasi, pembedahan ortopedi, dan
pencegahan trombosis mural.
• Kontraindikasi
Kontraindikasi relatif: hemofilia serta gangguan perdarahan lain, trombosito-
penia dengan jumlah trombosit kurang dari 60.000/μL, riwayat trombosito-
penia karena heparin, ulkus peptikum, riwayat perdarahan otak dalam waktu
dekat, hipertensi berat. gangguan hati berat, varises esofagus, trauma mayor,
riwayat bedah saraf dan mata dalam waktu dekat.
Pemberian heparin tidak dianjurkan bersamaan dengan anestesi epidural
ataupun spinal. Kejadian hipersensitivi- tas dilaporkan terjadi pada beberapa
kasus pasien.

68
• Dosis dan Cara Pemberian, bervariasi ter- gantung dari indikasi: Pada kasus
trombosis vena atau arteri akut:
Dosis inisial 80 IU/KgBB, dilanjutkan dosis rumatan 18 IU/KgBB/hari. Pada
pasien DVT akut, lama pemberian terapi heparin sekitar 10-14 hari dan warfarin
dimulai 4-6 hari sebelum heparin dihentikan Uihat penjelasan mengenai
warfarin di bawah). Heparin tidak boleh dihentikan sebelum terca- pai target
terapi yang menetap selama 24 jam dengan warfarin.
Alternatif pemberian subkutan: Heparin subkutan diberikan dengan dosis inisial
15.000-20.000 Usubku- tan, selanjutnya diatur menggunakan kontrol aPTT
pada 4-6 jam berikutnya. Target terapi sama dengan heparin intravena.
Pengaturan dosis tidak dapat dilakukan sesering pada heparin intravena, namun
hal ini lebih dapat ditoleransi oleh pasien karena tidak ada jalur intravena dan
pemeriksaan aPTT yang lebih jarang
Warfarin (Antagonis vitamin Kl
• Obat ini menurunkan kadar fungsional beberapa faktor koagulasi (faktor II, VII, IX,
dan X) yang aktivitasnya tergantung pada vitamin K. Efek antitrombotik akan tercapai
dalam waktu 3 hari karena waktu paruh faktor II adalah 60 jam. Oleh karena itu,
warfarin tidak dianjurkan sebagai te- rapi tunggal trombosis akut.
• Indikasi
Digunakan untuk profilaksis sekunder ber-ama atau setelah terapi heparin. Warfarin
juga diindikasikan dalam pencegahan dan tata laksana beberapa penyakit
kardiovaskular
• Kontraindikasi absolut
• Terdapat perdarahan berat/ perda- rahan aktif;
Minimnya kontrol penggunaan obat dan monitoring INR; Kehamilan (hindari pada
trimester pertama dan sekitar 2-4 minggu sebelum kelahiran);Alergi atau intoleransi
warfarin (pertimbangkan penggunaan alternatif warfarin).
• Kontraindikasi relatif
Hipertensi tidak terkontrol (di atas 180/100 mmHg);
Penyakit hati berat;
Riwayat operasi dan prosedur yang melibatkan sistem saraf, vertebra, atau mata dalam
beberapa waktu terakhir.

69
• Dosis dan Cara Pemberian
Dosis warfarin sulit ditentukan secara objektif karena variasi yang terlalu besar pada
setiap pasien.
• Umumnya dimulai dengan dosis 10 mg/ hari per oral, kemudian disesuai- kan dengan
target INR (misalnya 3 hari). Pada pasien geriatri. dosis inisial dikurangi menjadi 5-7,5
mg/hari; Ketika tercapai dosis maintenance. INR diperiksa setiap 1 atau 4 minggu.
bergantung pada stabililisasi INR sebelumnya;
• Pasien dengan kasus trombosis vena akut kejadian pertama biasanya men- dapat terapi
warfarin hingga 3 bulan dan bila ada risiko terbentuknya trom- bosis arteri, maka waktu
pemberian terapi warfarin dalam jangka waktu yang tidak menentu.
• oral. digunakan standarisasi INR (interna- tional normalized ratio) sebagai indikator.
Target INR untuk pemantauan berkisar antara 2,0-3,0.
• Komplikasi: perdarahan dan nekrosis kulit.
• Low Molecular Weight Heparin (LMWH) dosis tinggi 1 mg/KgBB/ 12 jam subkutan
selama 14 hari. LMWH memiliki efektivitas yang sama dengan heparin unfractionated
pada kasus trombosis vena dalam akut. LMWH dapat diberikan tanpa pemantauan
ataupun pengaturan dosis.
• Terapi trombolitik:
Sistemik: Kurang direkomendasikan karena tingginya kemungkinan komplikasi
perdarahan.
Catheter-directed:Lebih rendah angka komplikasi perdarahan dibandingkan
trombolitik sistemik dan terbukti lebih efektif.

Terapi Kompresi dan Elevasi. Untuk mengurangi keluhan nyeri dan bengkak pada
tungkai. dapat di- lakukan elevasi atau kompresi pada tungkai yang terkena
menggunakan stocking khusus.

Terapi Endovaskular dengan pemasangan filter yang diletakkan pada vena cava
inferior. Filter ini dapat mencegah terjadinya emboli paru.

compression stocking

70
stoking kompresi memiliki kain elastis yang dirancang agar pas di sekitar pergelangan
kaki, kaki, dan paha. Stoking ini lebih ketat di sekitar pergelangan kaki dan kurang ketat
di sekitar betis dan paha.
Tekanan yang diciptakan oleh stoking mendorong cairan ke atas kaki, yang
memungkinkan darah mengalir bebas dari kaki ke jantung. Stoking kompresi tidak
hanya meningkatkan aliran darah, tetapi juga mengurangi pembengkakan dan rasa
sakit. Stoking ini sangat direkomendasikan untuk pencegahan DVT karena tekanan
menghentikan darah dari pengumpulan dan pembekuan.

turunkan berat badan


aktif berolah raga (setelah DVT membaik
9. Komplikasi
Komplikasi yang paling mungkin adalah emboli paru dan rekurensi dari DVT. Bekuan
darah proksimal berisiko menjadi emboli pulmonal hingga 50% dibandingkan bekuan
darah distal. Tingkat kematian pasien DVT tanpa emboli paru adalah 2-5%. Resiko
rekurensi tinggi, terutama terjadi dalam 6 bulan pertama. Selain itu, pada 20-50%
pasien yang tidak ditangani dengan adekuat dapat ditemukan gambaran sindrom post
trombotik yaitu edema kronik, nyeri, klaudikasio vena, dan ulserasi
10. Prognosis
Insidensi DVT rekuren akut dalam 60 hari mencapai 25-30%. Selama penggunaan
antikoagulan dalam tiga bulan, tingkat rekurensi VTE fatal adalah 0,4% dengan tingkat
fatalitasnya mencapai 11,3%

71
11. Pencegahan
Kaos kaki elastis. Pasien dengan imobilisasi dapat disarankan menggunakan kaos kaki
elastik.

Antikoagulan. Antikoagulan sebagai agen profilaksis diberikan pada pasien yang akan
men- jalani operasi besar dan pada pasien dengan kelainan vaskular. Heparin dosis
rendah (Iow- dose unfractioned heparin / DUH) diberikan 0,2 mL subkutan dua kali
sehari selama 5-7 hari. Tidak diperlukan pemantauan.

72
LIMFADEMA

1. Pendahuluan

• Pembengkakan yang terkait dengan limfedema dapat terjadi di mana saja di tubuh,
termasuk lengan, kaki, alat kelamin, wajah, leher, dinding dada, dan rongga mulut.
• Akumulasi cairan kaya protein yang kronis dan progresif di dalam interstitium dan
jaringan fibro-adiposa melebihi kapasitas sistem limfatik untuk mengangkut cairan.
• Ada banyak gejala sisa psikologis, fisik, dan sosial yang terkait dengan diagnosis
limfedema. Kegiatan ini mengulas presentasi limfedema dan menyoroti peran tim
interprofessional dalam pengelolaannya.
• Pembuluh limfatik mengangkut getah bening. Getah bening terdiri dari sel darah putih,
trigliserida, bakteri, puing-puing sel, air, dan protein. Ini memiliki komposisi yang
sebanding dengan plasma darah.
• Sistem drainase getah bening kompleks dan terdiri dari limfatik awal (kapiler getah
bening), pra-kolektor, pengumpul, batang limfatik, dan kelenjar getah bening.
• Secara topografi, sistem limfa dibedakan menjadi superfisial (subkutan) dan dalam
(subfascial). Sistem superfisial mengalirkan kulit dan area subkutis. Sistem dalam
menguras otot, sendi, selubung tendon, dan saraf. Kedua sistem terhubung melalui
pembuluh perforasi, yang mengalirkan cairan getah bening dari daerah subfascial ke
permukaan.
• Tanda dan gejala limfedema termasuk pembengkakan distal pada ekstremitas, termasuk
lengan, tangan, tungkai, kaki; pembengkakan di bagian proksimal payudara, dada,
bahu, panggul, selangkangan, alat kelamin, wajah/jaringan intraoral; rentang gerak
terbatas pada persendian karena pembengkakan dan perubahan jaringan; perubahan
warna kulit; rasa sakit dan sensasi yang berubah; berat anggota badan; dan kesulitan
menyesuaikan diri dengan pakaian.

73
2. Definisi
Limfedema adalah penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan pengumpulan cairan
limfatik dalam tubuh, menyebabkan pembengkakan, yang dapat menyebabkan perubahan kulit
dan jaringan.

3. Etiologi & Klasifikasi


Limfedema diklasifikasikan sebagai limfedema primer (genetik) atau limfedema sekunder
(didapat)
A. Limfedema primer adalah kondisi bawaan atau bawaan yang menyebabkan malformasi
sistem limfatik, paling sering karena mutasi genetik. Limfedema primer dapat dibagi lagi
menjadi 3 kategori:
1) limfedema kongenital, muncul saat lahir atau dikenali dalam dua tahun kelahiran;
2) limfedema praecox, terjadi pada masa pubertas atau awal dekade ketiga; atau
3) limfedema tarda, yang dimulai setelah usia 35 tahun.
B. Limfedema sekunder merupakan hasil dari cedera, atau obstruksi pada sistem limfatik.
C. Sementara penyebab limfedema yang paling umum di seluruh dunia adalah filariasis
yang disebabkan oleh infeksi Wuchereria bancrofti.

4. Epidemiologi
• Angka kejadian Limfedema di dunia sekitar 1 per 10.000 orang.
• Di Indonesia, insidensinya sekitar lebih dari 150.000 orang per tahun terkena
Limfedema.
• Lebih sering terjadi pada wanita ( diduga estrogen berperan dalam patogenesis ).
• Kaki kiri lebih sering terkena daripada kaki kanan.
• Kasus Limfedema terbanyak di negara tropis disebabkan karena Infeksi parasit,
sedangkan di negara eropa, 7-28% karena kanker payudara.
• 70% limfedema di ekstremitas bawah muncul setelah terapi kanker.

74
• Limfedema sekunder adalah penyebab paling umum dari penyakit dan mempengaruhi
sekitar 1 dari 1000 orang Amerika.
• Identifikasi insiden dan prevalensi limfedema sangat kompleks. Limfedema sangat
lazim, tetapi implikasi populasi dari disfungsi limfatik tidak dipelajari dengan baik.
Perkiraan prevalensi limfedema relatif tinggi, namun prevalensinya cenderung
diremehkan. Tidak ada studi epidemiologi relevan yang dirancang secara prospektif
dan dilakukan secara ketat yang membatasi prevalensi sebenarnya dari penyakit ini.
• Insiden limfedema paling banyak dipelajari pada populasi onkologis. Satu dari 5 wanita
yang selamat dari kanker payudara akan mengalami limfedema.
• Pada kanker kepala dan leher, komplikasi limfatik dan jaringan lunak dapat
berkembang selama 18 bulan pertama pasca perawatan, dengan lebih dari 90% pasien
mengalami beberapa bentuk limfedema internal, eksternal, atau gabungan. Lebih dari
setengah dari pasien tersebut mengembangkan fibrosis.
• Dalam satu studi baru-baru ini, 37% wanita yang dirawat karena kanker ginekologi
memiliki bukti limfedema yang terukur dalam 12 bulan setelah perawatan.
• Pada populasi onkologi ginekologi, diseksi kelenjar getah bening yang lebih luas,
penerimaan kemoterapi dan terapi radiasi, peningkatan indeks massa tubuh, tingkat
aktivitas fisik yang tidak mencukupi, diagnosis kanker vulva/vagina, dan adanya
limfedema pra-perawatan diidentifikasi sebagai risiko potensial. faktor untuk
pengembangan limfedema.

5. Faktor Resiko
• Eksisi KGB aksila
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa risiko terjadinya lymphedema lebih besar pada pasien
dengan KGB yang lebih banyak diangkat, terutama pada tahun pertama setelah diseksi KGB
(53%).
• Obesitas
memiliki risiko lymphedema yang lebih tinggi. Suatu studi pada 138 pasien kanker
payudara menunjukkan bahwa pasien dengan indeks massa tubuh lebih dari sama dengan 30
kg memiliki kemungkinan 3,6 kali dibanding pasien kanker payudara tanpa obesitas.
• Adanya riwayat penyakit herediter
• Wanita 3x lebih beresiko daripada pria ( kemungkinan besar pengaruh hormon )
• Ada riwayat kanker payudara
• Usia > 65 tahun

75
6. Tahapan Klinis ( STAGING )
A. Stage 0 ( Laten )
• Pasien dianggap "berisiko" untuk pengembangan limfedema karena cedera pada
pembuluh limfatik tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda edema.
• Termasuk pasien dengan kanker payudara yang telah menjalani biopsi kelenjar getah
bening sentinel dan atau radiasi tetapi belum mengalami pembengkakan.
• Kapasitas transportasi limfatik telah berkurang, yang menjadi predisposisi pasien untuk
kelebihan limfatik dan edema yang dihasilkan.
B. Stage 1 ( Spontan )
• reversibel
• Mengalami pitting edema
• Pembengkakan pada tahap ini bersifat lunak dan mungkin berespon terhadap elevasi
C. Stage 2
• Memiliki fibrosis/indurasi jaringan
• Pembengkakan tidak merespon elevasi
• Penebalan kulit dan jaringan terjadi saat volume tubuh meningkat
• Pitting mungkin ada tetapi mungkin sulit untuk dinilai karena jaringan dan atau fibrosis
kulit

D. Stage 3
• Edema pitting
• Fibros
• Perubahan kulit
• Selama tahap ini, papiloma dpt terbentuk, infeksi/selulitis dpt tjd, dan kulit menjd
kering
Note : Tanda Stemmer ( stemmer sign ) mungkin tidak ada di stage 1 / 2
7. Gejala Klinis
• Pembengkakan kronis pada ekstremitas mendahului limfedema
• Terutama keterlibatan ekstremitas bawah (80%) tetapi juga dapat melibatkan
ekstremitas atas, wajah, alat kelamin, dan batang tubuh
• Demam, menggigil, dan kelemahan umum

76
• Kelelahan berhubungan dengan ukuran dan berat ekstremitas
• Gangguan berat aktivitas sehari-hari
• Infeksi bakteri atau jamur berulang
• Episode selulitis, limfangitis, fissuring, ulserasi, dan/atau perubahan verukosa yang
berulang

8. Diagnosis
A. Anamnesis
• Dapat asimtomatik / simptomatik, tergantung dari stadium limfedema
• Pasien datang dengan keluhan rasa berat, tidak nyaman, kesulitan bergerak pada
ekstremitas bawah yang unilateral ( biasanya rasa berat serta kurangnya mobilitas
disertai pembengkakan pd punggu maupun dorsal kaki )
• Dapat mengeluhkan juga gangguan kulit seperti kulit kasar dan perubahan warna kulit.
• Nyeri dapat dirasakan apabila terdapat inflamasi berulang dari saluran limfa
• Perlu ditanyakan :
• Sejak usia berapa alami keluhan
• Apakah disekitar tempat tinggal pasien terdapat pasien dgn filariasis / ada yg pernah
bepergian ke daerah filariasis
• Riwayat tumor & talaknya ?
• Jika pada wanita yang sedang hamil, bisa ditanyakan rasa berat & bengkak tjd pd satu
kaki atau dua kaki ?

B. Pemeriksaan FISIK
• Demam
Biasanya terjadi pd pasien dgn filariasis maupun infeksi bakteri pd ekstremitas bawah
• Pada permukaan kulit ; EDEMA ( diawali pd bagian distal ekstremitas, lalu ke bagian
proksimal ekstremitas ) ; tanda inflamasi akibat infeksi seperti kemerahan, nyeri tekan
• Edema pitting dpt ditemukan pd limfedema stadium awal
• Sedangkan kulit hiperkeratosis dan edeme non-pitting dapat ditemukan di stadium
akhir
• Terdapat stemmer sign

77
Pemeriksaan ini dengan mencubit jari 2 pada kaki dengan edema. Apabila tidak dapat dicubit,
tanda tsb positif

C. Pemeriksaan Penunjang
• Pencitraan
• Dapat menggunakan MRI / CT
• Dapat ditemukan penebalan pd jaringan kutan & adanya edema pd lapang epifisial
• Ditemukan gambaran honey comb pd jaringan subkutan
• USG Doppler ; melihat aliran dan tekanan

9. Tata Laksana
A. Farmakologi
• Benzopiron (misalnya, kumarin, flavonoid)
• Agen mirip retinoid (misalnya, acitretin, tazarotene topikal)
• Agen anthelmintik (misalnya, albendazole)
• Produk kulit topikal (misalnya, losion amonium laktat, urea topikal)
• Antibiotik (misalnya, cefazolin, klindamisin, penisilin G)

B. Non Farmakologi
Tindakan onservatif untuk mengelola limfedema meliputi:
• Pemeliharaan kebersihan dan perawatan kulit yang tepat
• Penggunaan terapi fisik kompleks (pengobatan lini pertama) dan stoking kompresi
• Penurunan berat badan (jika kelebihan berat badan)
• Menghindari trauma
• Menghindari pakaian yang ketat
• Mengangkat anggota tubuh yang terkena

10. Komplikasi
• Selulitis: sering berulang
• Limfangitis

78
• Infeksi bakteri dan jamur superfisial
• Lymphangio-adenitis
• Trombosis vena dalam (DVT)
• Gangguan fungsional yang parah
• Disfungsi psikososial
• Rasa malu kosmetik
• Amputasi
• Komplikasi setelah operasi umum terjadi dan meliputi:
• Pemisahan luka sebagian
• seroma
• hematom
• Nekrosis kulit

11. Prognosis
• Penyembuhan jarang dicapai setelah limfedema terjadi.
• Perawatan yang cermat dan tindakan pencegahan dapat membantu mengurangi gejala,
memperlambat atau menghentikan perkembangan penyakit, dan mencegah
komplikasi.
• Pasien dengan limfedema kronis selama sepuluh tahun memiliki risiko 10%
mengembangkan limfangiosarcoma.
• Tumor ini sangat agresif, membutuhkan amputasi radikal pada ekstremitas yang
terlibat, dan memiliki prognosis yang sangat buruk. Kelangsungan hidup lima tahun
kurang dari 10%.

12. Pencegahan
• Menggerakkan kaki atau lengan melalui olahraga ringan selama 4-6 minggu, bila baru
saja melakukan operasi pengangkatan kelenjar getah bening.
• Menjaga berat badan ideal, untuk mengurangi risiko terjadinya limfedema.
• Mengenakan pakaian longgar, agar aliran darah dan cairan limfe tetap lancar.
Di negara maju, sebagian besar kasus limfedema sekunder disebabkan oleh keganasan atau
terkait dengan pengobatan keganasan. Ini termasuk eksisi bedah kelenjar getah bening,
pengobatan radiasi lokal, atau terapi medis. Kanker payudara adalah kanker paling umum yang
terkait dengan limfedema sekunder di negara maju.

79
INSUFISIENSI VENA KRONIS
A. DEFINISI
Insufisiensi vena kronik atau CVI (Chronic Venous Insufficiency) adalah .kondisi hipertensi
vena persisten terutama pada ekstremitas bawah akibat adanya obstruksi dan atau inkompetensi
katup vena, sehingga aliran darah vena berbalik (refluks vena) pada tungkai yang kongesti.
Insufisiensi vena kronik dapat menimbulkan gejala berupa nyeri, edema, kram, perubahan
warna kulit, dan ulserasi.
Penyebab insufisiensi vena kronik umumnya adalah inkompetensi dari katup vena, baik pada
vena luar maupun vena dalam. Namun, pada kasus yang sangat jarang, insufisiensi vena kronik
juga dapat disebabkan penyakit kongenital berupa tidak terbentuknya katup vena.

B.ETIOLOGI
Etiologi insufisiensi vena kronik adalah disfungsi atau inkompetensi katup vena, baik secara
primer maupun sekunder. Inkompetensi primer disebabkan ketiadaan katup vena bawaan.
Sedangkan inkompetensi sekunder disebabkan kelainan dinding vena akibat varises, obstruksi
akibat trauma, dan atau trombosis vena.
- Kongenital 🡪 tidak terbentuknya katup vena superfisial dan vena perforator sejak lahir
- Didapat 🡪 pembentukan thrombus sehingga terjadi gangguan aliran darah vena, jeja kronik
yang tidak sembuh (misalnya ulkus pada ekstremitas bawah), insufisiensi valvular pada vena
dalam , serta thrombosis vena dalam
Semua etiologi tersebut akan menyebabkan aliran darah vena berbalik (refluks) dan hipertensi
vena. Hipertensi vena akan menyebabkan disfungsi kapiler sehingga terjadi peningkatan
permeabilitas dan kebocoran cairan, protein, dan leukosit ke jaringan sekitar. Selain itu,
hipertensi vena juga memicu respon inflamasi, perubahan struktur mikrovaskular, sehingga
berujung pada hipoksia jaringan

C. EPIDEMIOLOGI
- Prevalensi varises diperkirakan antara 5-30% populasi dewasa, lebih sering terjadi pada
perempuan dibandingkan pria (3:1), meskipun studi saat ini menunjukkan prevalensi lebih
besar pada pria.
- The San Valentino Screening Project menemukan bahwa di antara 30.000 subjek yang dinilai
secara klinis dan ultrasonografi duplex, prevalensi varises sebesar 7% dan CVI simptomatik
0,86%.

80
- Dari Framingham Heart Study diperkirakan bahwa insiden tahunan varises pada perempuan
2,6% dan pada pria 1,9%.

D. FAKTOR RESIKO
- Riwayat insufisiensi vena, deep vein thrombosis (DVT), flebitis, atau trauma tungkai bawah
sebelumnya
- Usia: kejadian insufisiensi vena kronik meningkat seiring usia, terutama >50 tahun
- Jenis kelamin: wanita lebih sering dibandingkan pria (3:1)
- Aktivitas: terlalu lama berdiri atau duduk, mengangkat beban berat, keterbatasan gerak
ekstremitas, gaya hidup sedenter
- Hipertensi
- Obesitas: indeks massa tubuh > 30 kg/m2 meningkatkan risiko insufisiensi vena kronik,
dengan odd ratio pada wanita 3,1 dan pria 6,5.
- Riwayat kehamilan multipel
- Riwayat insufisiensi vena atau varises pada keluarga
E. KLASIFIKASI
Insufisiensi vena kronik mempunyai beberapa stadium menurut klasifikasi CEAP (Clinical,
Etiology, Anatomy, Pathology) dengan penanganan yang berbeda-beda. Adapun stadium
Insufisiensi vena kronik secara klinis menurut klasifi kasi CEAP adalah
1. Clinical (tanda klinis), terdiri dari 6 grade, tambahkan keterangan A untuk asimptomatis dan
S untuk simptomatis.
• C0 : tidak ada tanda-tanda penyakit vena yang terlihat atau teraba
• C1 : telangiektasia atau vena retikuler
• C2 : varises (dibedakan dari vena retikuler dengan diameter > 3 mm)
• C3 : edema
• C4 : perubahan pada kulit sekunder terhadap penyakit vena kronik
- C4a : pigmentasi atau eksim
- C4b : lipodermatosklerosis atau atrophie blanche
• C5 : ulkus vena sembuh
• C6 : ulkus vena aktif
2. Etiology (etiologi), terdiri dari Ec (kongenital), Ep (primer tanpa etiologi), Es (ditemukan
etiologi yang jelas).
3. Anatomy (anatomi), terdiri dari As (vena superficial), Ad (vena dalam), Ap (vena
perforator). Masing-masing kategori memiliki segmen anatomi yang berbeda.

81
4. Pathophysiology (patofisiologi), terdiri dari disfungsi vena akibat refluks, disfungsi vena
akibat obstruksi, disfungsi vena akibat refluks dan obstruksi

F. GEJALA KLINIS
Varises paling umum mengenai vena superfisial tungkai, yang muncul pada tekanan tinggi saat
berdiri. Tanda dan gejala varises meliputi:
- Tungkai terasa nyeri dan berat (sering lebih buruk pada malam hari dan setelah latihan atau
berdiri lama).
- Pelebaran vena dekat permukaan kulit
- Munculnya telangiektasia (spider veins) di tungkai yang terkena.
- Pergelangan kaki bengkak, terutama pada malam hari
- Perubahan warna kulit menjadi kuning kecoklatan yang mengilap di dekat pembuluh darah
yang terkena
- Kemerahan, kering, dan gatal di daerah kulit, yang disebut dermatitis atau eksim vena stasis
- Kram bisa terjadi terutama saat pergerakan tiba-tiba, seperti gerakan berdiri.
- Cedera ringan pada daerah yang terkena dapat menyebabkan perdarahan lebih dari normal
atau membutuhkan waktu lama untuk penyembuhannya.
- Pada beberapa orang, kulit di atas pergelangan kaki dapat mengisut (lipodermatosklerosis)
karena lemak di bawah kulit menjadi keras.
- Bercak bekas luka yang memutih dan tidak teratur dapat muncul pada pergelangan kaki;
dikenal sebagai atrophie blanche.
Selain masalah kosmetik, varises bisa menyakitkan/nyeri, terutama saat berdiri. Varises lama
dan berat dapat menyebabkan tungkai bengkak, eksim vena, penebalan kulit
(lipodermatosklerosis), dan ulserasi. Komplikasi yang mengancam jiwa jarang terjadi, namun
varises mungkin disalahartikan dengan trombosis vena dalam, yang mungkin mengancam jiwa.

G. DIAGNOSIS
1. Anamnesis secara holistik, termasuk menggali keluhan pada sisi kontralateral.
Anamnesis yang perlu digali pada pasien dengan kecurigaan insufisiensi vena kronik, antara
lain:
• Gejala seperti nyeri, bengkak, adanya ulkus, atau perubahan warna kulit pada
ekstremitas bawah
• Riwayat varises, deep vein thrombosis (DVT), flebitis, atau trauma tungkai bawah

82
• Gali faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, serta aktivitas fisik seperti terlalu lama
berdiri atau duduk, keterbatasan anggota gerak bawah, dan gaya hidup sedenter
• Adanya riwayat kehamilan multipel, obesitas, atau hipertensi
• Riwayat insufisiensi vena atau varises pada keluarga
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan pada pasien dengan kecurigaan insufisiensi vena
kronik, meliputi inspeksi kulit dan vena tungkai bawah, palpasi sepanjang dilatasi vena dan
otot betis, pengukuran diameter betis, serta pemeriksaan spesifik seperti Brodie-Trendelenburg
test (atau tes Trendelenburg) dan ankle brachial index
Inspeksi
Inspeksi yang penting dalam pemeriksaan insufisiensi vena kronik yaitu inspeksi tungkai
bawah dalam posisi berdiri, inspeksi kulit, dan evaluasi ulkus.
• Inspeksi tungkai bawah dalam posisi berdiri dilakukan untuk menilai adanya dilatasi
vena superfisial, telangiektasis, varises, serta edema tungkai bawah (umumnya pitting
dan tidak mengenai kaki depan atau forefoot).
• Inspeksi kulit dilakukan untuk menilai adanya hiperpigmentasi, dermatitis
stasis, atrophie blanche, dan lipodermatosclerosis. Atrophie blanche adalah
penyembuhan luka berupa skar putih pada kulit karena kurangnya suplai darah
• Deskripsikan ulkus: lokasi, ukuran, karakteristik, banyaknya, dan tipe eksudat yang
ada, adanya nyeri dan skalanya, serta dasar ulkus
Palpasi
Palpasi yang penting dalam pemeriksaan insufisiensi vena kronik yaitu:
• Palpasi konsistensi otot betis dan pengukuran diameternya, dibandingkan dengan sisi
tungkai yang sehat
• Palpasi adanya nyeri tekan sepanjang vena yang terdilatasi
Pemeriksaan Spesifik
Pemeriksaan spesifik yang perlu dilakukan pada kecurigaan insufisiensi vena kronik yaitu tes
Trendelenburg untuk membedakan inkompetensi atau refluks vena terjadi superfisial atau
dalam, serta pengukuran ankle brachial index (ABI) untuk menyingkirkan kemungkinan ulkus
akibat etiologi arteri (peripheral arterial disease / PAD)
Tes Trendelenburg :
Tes Trendelenburg dilakukan dengan cara:
• Pasien dalam posisi supinasi, fleksi panggul tungkai untuk mengosongkan vena

83
• Gunakan torniquet atau lakukan kompresi manual terhadap vena superfisial untuk
mengoklusi vena superfisial
• Pasien diminta berdiri
• Bila terdapat inkompetensi atau refluks vena superfisial, dilatasi vena superfisial akan
muncul setelah >20 detik
• Bila terdapat inkompetensi atau refluks vena dalam atau keduanya, dilatasi vena akan
segera muncul
Ankle Brachial Index:
Evaluasi ankle brachial index (ABI) dilakukan dengan cara:
• Mengukur tekanan sistolik pada kedua lengan (arteri brakialis) dan pada tungkai yang
sakit (di kedua arteri kaki : arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior).
• Pilih angka sistolik tertinggi dari salah satu lengan, dan angka sistolik tertinggi dari
salah satu arteri kaki.
• Bandingkan tekanan sistolik tertinggi pada kaki dengan tekanan sistolik tertinggi arteri
brakialis, hitung hasil sampai 2 angka desimal.
• Nilai ABI normal 0,9-1,4. Kemungkinan terjadi peripheral arterial disease jika ABI
<0.9, dan peripheral arterial disease berat jika ABI <0,5
3. Pemeriksaan penunjang termasuk prosedur non-invasif (USG Dopler, pemeriksaan
penunjang yang utama untuk melihat gambaran vena sehingga dapat mendeteksi adanya
bekuan darah / gangguan pada fungsi vena) maupun prosedur invasif (venografi).
Ultrasonografi / USG
USG duplex saat ini adalah pemeriksaan pilihan untuk menegakkan diagnosis insufisiensi vena
kronik. Color-flow duplex dapat membantu menilai aliran darah baik
menuju transducer (merah) atau menjauhi transducer (biru), sehingga sensitif dan spesifik
untuk mengevaluasi pola refluks vena.
Venografi dengan kontras masih menjadi standar baku untuk diagnosis deep vein
thrombosis (DVT), namun USG duplex lebih sering dipilih sebagai pemeriksaan awal karena
lebih tidak invasif. USG duplex sangat tergantung pada kemampuan operator, namun jika
digunakan oleh operator yang ahli dapat memiliki sensitivitas dan spesifitas yang hampir sama
dengan venografi.
Arah aliran penting dinilai karena adanya aliran ke arah kaki menjadi patokan adanya refluks.
Adanya refluks didefinisikan dengan durasi aliran refluks >0,5 detik untuk vena superfisial dan
1 detik untuk vena dalam. Durasi yang lebih lama memang berhubungan dengan derajat

84
penyakit yang lebih berat, namun tidak berhubungan dengan berat-ringan gejala klinis yang
ditimbulkan.
Phlebografi (Venografi dengan Xray dan Kontras)
Phlebografi adalah metode pencitraan untuk mengevaluasi vena, dengan menggunakan media
kontras dan sinar Xray. Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan karena sudah tergantikan oleh
USG duplex, yang lebih mudah, cepat, tidak invasif, tidak menggunakan kontras sehingga
menghindari reaksi alergi, serta memiliki ketepatan diagnostik yang sama atau lebih baik dari
phlebografi
Venous Plethysmography
Venous plethysmography adalah pemeriksaan noninvasif untuk mengevaluasi refluks,
obstruksi, dan gangguan pompa otot dengan menilai venous filling index (indeks pengisian
vena). Pemeriksaan ini sudah mulai jarang dilakukan karena adanya USG duplex. Ada 3
metode venous plethysmography, yaitu photoplethysmography (atau light reflection
rheography), air plethysmography, dan venous occlusion plethysmography.
• Photoplethysmography: pengukuran durasi pengisian vena (venous filling time) pada
pleksus vena subkutan melalui banyaknya sinar inframerah yang dipantulkan
haemoglobin kapiler. Tingginya pengisian menandakan refluks.
• Air plethysmography: pengukuran perubahan volume vena dengan manset/cuff berisi
udara yang dipasang di tungkai bawah.
• Venous occlusion plethysmography: oklusi drainase vena dengan manset/cuff pada
tungkai atas dan manset lain di tungkai bawah (sebagai strain gauge atau pengukur
tegangan) untuk menilai kapasitas vena dan drainase vena
Computed Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Venography (MRV)
Perkembangan teknologi venografi dengan CT scan atau magnetic resonance venography
(MRV) adalah pencitraan vena (venografi) dengan kontras, yang perlu direncanakan
sedemikian rupa waktunya, agar memperoleh visualisasi vena yang memadai. CT atau MRV
unggul terutama untuk area yang sulit dievaluasi oleh modalitas lainnya. MRV adalah
pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik untuk mengevaluasi vena superfisial dan vena
dalam pada area tungkai dan pelvis, sekaligus menemukan penyebab edema tungkai akibat
jaringan lunak nonvaskular. Venografi dengan CT atau MRV dapat dilakukan bila hasil USG
duplex inkonklusif.
Ambulatory Venous Pressure Monitoring (AVP)
Ambulatory venous pressure (AVP) adalah baku emas dalam menilai hemodinamik dari
insufisiensi vena kronik. Pemeriksaan AVP dilakukan dengan memasang jarum yang

85
terhubung ke pengukur tekanan ke vena dorsalis pedis. AVP bermanfaat dalam mengevaluasi
derajat dan luaran klinis insufisiensi vena kronik, terutama melalui parameter mean AVP dan
refill time. Akan tetapi, teknik ini dianggap tidak mampu merefleksikan tekanan vena dalam
secara akurat. AVP mulai ditinggalkan karena invasif dan tidak praktis, apalagi setelah adanya
USG duplex
H. KOMPLIKASI
- DVT
- Pulmonary Embolism (PE)
- Ulserasi vena
- Limfedema sekunder
I. PENCEGAHAN
- diet yang sehat dan seimbang
- berolahraga secara teratur
- Menurunkan berat badan pada pasien yang obesitas
- Menghindari aktivitas duduk atau berdiri yang terlalu lama
- Menghindari penggunaan pakaian yang ketat.
- Berhenti merokok
J. TATA LAKSANA
Penatalaksanaan gangguan vena menahun meliputi terapi konservatif untuk mengurangi gejala
dan membantu men cegah komplikasi sekunder serta progresivitas penyakit, dan intervensi
aktif. Pemberian terapi secara spesifi k didasarkan pada beratnya penyakit, di mana stadium
klinis CEAP 4-6 sering memerlukan terapi invasif, dan perlu dirujuk ke spesialis vaskuler.
Stadium klinis CEAP 3 dengan edema massif juga perlu dirujuk ke spesialis vaskuler. Pasien
CVI lanjut yang tidak ditangani berisiko terjadi ulkus, ulkus kambuhan, dan ulkus vena yang
tidak sembuh dengan infeksi progresif dan limfedema
- Terapi Konservatif
Gejala varises dapat dikontrol dengan tindakan berikut ini:
1) Mengangkat tungkai, tindakan ini mengurangi edema dan tekanan intraabdominal, serta
sering mengurangi gejala sementara.
2) Olahraga teratur, seperti berjalan, dapat memperkuat otot betis, sehingga memulihkan fungsi
pompa otot betis.
3) Pemakaian stocking kompresi yang merupakan andalan terapi konservatif telah terbukti
dapat memperbaiki pembengkakan, pertukaran nutrisi, dan meningkatkan mikrosirkulasi pada
tungkai yang terkena varises. Stocking pendukung atau stocking kompresi adalah stocking

86
tungkai atau celana ketat yang terbuat dari bahan elastis yang kuat. Stocking ini akan menekan
varises untuk menghambat perkembangannya dan membantu aliran darah di tungkai, serta
mengurangi rasa nyeri.
4) Pemakaian perangkat kompresi pneumatik intermiten, telah terbukti mengurangi
pembengkakan dan meningkatkan sirkulasi.
5) Diosmin / hesperidin 🡪
6) Obat anti-inflamasi seperti ibuprofen atau aspirin dapat digunakan sebagai bagian dari
pengobatan untuk tromboflebitis superfisial bersama dengan stocking.
7) Karena CVI progresif dapat menyebabkan integritas kulit terganggu, penting untuk menjaga
kelembapan kulit yang terkena untuk mengurangi risiko kerusakan dan infeksi kulit. Aplikasi
gel topikal membantu mengelola gejala yang berkaitan dengan varises, seperti peradangan,
nyeri, bengkak, gatal, dan kulit kering. Steroid topikal diperlukan jika terjadi dermatitis stasis.
Silver-impregnated dressing efektif mengontrol infeksi dan memulihkan integritas jaringan.
Pengobatan topikal ber sifat non-invasif dan memiliki tingkat kepatuhan pasien yang baik.
- Terapi Ablasi
Terapi ablasi adalah penggunaan energi termal dalam bentuk radiofrequency atau laser untuk
mengobliterasi vena.
1. Radiofrequency Ablation
Teknik ini seringkali digunakan pada refluks vena safena sebagai alternatif stripping. Panas
yang terbentuk menyebabkan injuri termal lokal pada dinding vena yang menyebabkan
trombosis dan akhirnya fibrosis. Dengan endovenous radiofrequency ablation (ERA) vena
safena besar, 85% pasien mengalami obliterasi lengkap setelah 2 tahun dengan rekanalisasi
sekitar 11%, namun 90% pasien bebas dari refl uks vena safena, dan 95% melaporkan
perbaikan gejala.
Komplikasi ERA meliputi luka bakar, parestesia, fl ebitis klinis, dengan sedikit lebih tinggi
kejadian trombosis vena dalam (0,57%) dan emboli paru (0,17%)
2. Endovenous Laser Therapy
Endovenous Laser Therapy (EVLT) adalah teknik pengobatan gangguan vena menahun
menggunakan energi laser, biasanya dilakukan oleh phlebologist, ahli radiologi intervensi, atau
ahli bedah jantung paru dan pembuluh darah. Australia pada tahun 2008 telah menetapkan
bahwa perawatan laser endovena untuk varises tampaknya lebih efektif dalam jangka pendek,
dan setidaknya sama efektif secara keseluruhan untuk pengobatan varises, sebagai prosedur
komparatif dari ligasi persimpangan dan stripping vena untuk pengobatan varises.

87
Komplikasi EVLT dapat dikategorikan sebagai komplikasi minor atau serius. Komplikasi
minor meliputi memar (51%), hematoma (2,3%), mati rasa sementara (3,8%), fl ebitis (7,4%),
indurasi (46,7%), dan sensasi sesak (24,8%). Komplikasi lebih serius meliputi luka bakar pada
kulit (0,5%), trombosis vena dalam (0,4%), emboli paru (0,1%), dan cedera saraf (0,8%).
Kerusakan retina merupakan komplikasi serius tetapi sangat jarang (< 1%) yang dapat terjadi
selama penggunaan laser
- Intervensi Aktif
Intervensi medis aktif dalam varises dapat dibagi menjadi teknik non-bedah dan teknik bedah
• Teknik Non Bedah
Teknik non-bedah antara lain meliputi skleroterapi dan terapi ablasi dengan radiofrequency
atau laser endovena
1. Skleroterapi
Skleroterapi telah digunakan dalam pengobatan varises selama lebih dari 150 tahun.
Skleroterapi vena merupakan suatu modalitas terapi untuk telangiektasis obliterasi, varises, dan
segmen vena dengan refluks. Skleroterapi dapat digunakan sebagai terapi primer atau bersama
dengan prosedur bedah untuk pengobatan CVI, sclerosant disuntikkan ke dalam pembuluh
darah untuk membuat pembuluh darah menciut. Skleroterapi diindikasikan untuk berbagai
kondisi termasuk spider veins (< 1 mm), varises dengan diameter 1-4 mm, perdarahan varises,
dan hemangioma kavernosus kecil (malformasi vaskuler) Obat yang biasa digunakan sebagai
sclerosant adalah polidokanol, natrium tetradesil sulfat (STS)
Komplikasi skleroterapi jarang terjadi, meliputi hiperpigmentasi kulit sekitar, pembekuan
darah dan ulserasi. Reaksi anafilaksis sangat jarang tetapi dapat mengancam jiwa, dan dokter
harus memiliki peralatan resusitasi yang siap digunakan.
• Terapi Bedah
Pada CVI berat, ulkus vena sering memerlukan terapi hingga 6 bulan sebelum sembuh total,
sering kambuh terutama jika terapi kompresi tidak dipertahankan. Pada CVI yang refrakter
terhadap obat dan terapi yang kurang invasif, maka teknik bedah harus dipertimbangkan untuk
melengkapi terapi kompresi, termasuk pada pasien yang tidak nyaman dengan disabilitas
menetap, atau pada ulkus vena yang tidak kunjung sembuh dengan upaya medis maksimal, dan
pada pasien yang tidak mampu patuh terhadap terapi kompresi, atau dengan varises kambuhan
1. Stripping
Stripping adalah pengambilan seluruh atau sebagian batang utama vena safena (besar/ panjang
atau lebih kecil/pendek). Komplikasi meliputi trombosis vena (5,3%), emboli paru (0,06 %),
dan komplikasi luka termasuk infeksi (2,2%).19 Ada bukti bahwa vena safena besar tumbuh

88
kembali setelah stripping. Untuk operasi, dilaporkan tingkat kekambuhan setelah 10 tahun
berkisar 5-60%.20 Selain itu, karena stripping menghilangkan batang utama safena, tidak
tersedia lagi vena untuk cangkokan bypass vena di masa depan (penyakit arteri koroner atau
tungkai)
2. Ligasi Vena dan Phlebectomy
Ligasi saphenofemoral junction telah dipertimbangkan sebagai terapi standar untuk banyak
pasien CVI. Kumpulan varises vena besar yang berhubungan dengan vena safena inkompeten
dapat diavulsi dengan teknik stab phelebctomy. Ligasi dan stripping CVI tingkatan 2-6 dengan
refl uks vena superfi sial telah menghasilkan perbaikan bermakna hemodinamika vena, dan
menghilangkan gejala CVI stadium lanjut, serta membantu penyembuhan ulkus
3. Cryosurgery
Dalam teknik ini, sebuah cryoprobe diturunkan melalui vena safena panjang setelah ligasi
saphenofemoral. Kemudian probe didinginkan dengan NO2 atau CO2 hingga suhu -85o C.
Vena tersebut membeku ke arah probe dan dapat ditarik secara retrograde setelah 5 detik
pembekuan. Ini adalah varian stripping. Satu-satunya keunggulan teknik ini adalah untuk
menghindari sayatan distal dalam pelepasan stripper
K. PROGNOSIS
Prognosis insufisiensi vena kronik tergantung dari derajat penyakit dan penatalaksanaan yang
adekuat. Insufisiensi vena kronik adalah penyakit yang progresif dengan morbiditas tinggi bila
hipertensi vena dan refluks tidak diatasi. Komplikasi seperti ulkus tungkai kronik berulang
menyebabkan morbiditas tinggi dan mengganggu produktivitas. 100.000 dari 1 juta orang
mengalami disabilitas akibat komplikasi ulkus tungkai pada penyakit vena superfisial.
Prevalensi ulkus tungkai sendiri diperkirakan 0,7%. Pasien insufisiensi vena kronik juga
memiliki peningkatan risiko DVT dan emboli paru, dengan mortalitas keseluruhan 1,6%.

89
TROMBOFEBITIS

1. Definisi
Tromboflebitis adalah gangguan yang terkait dengan peradangan dan trombosis pada vena
superfisialis atau vena luar, tepat di bawah kulit. Sering terjadi pada vena ekstremitas bawah
tetapi dapat juga terjadi di ekstremitas atas. Tromboflebitis didefinisikan sebagai peradangan
vena yang terjadi dikaitkan dengan bekuan intravascular atau thrombus.

Tromboflebitis superfisialis menyerang pembuluh darah subkutan di ekstremitas bawah,


penyebab tersering tromboflebitis pada ekstremitas atas adalah infus intravena, terutama jika
memasukkan larutan asam dan hipertonik. Tromboflebitis superfisialis pada kestremitas bawah
biasanya disebebkan oleh varises vena dan trauma, jika tidak diketahui penyebab pasti
tromboflebitis superfisialis harus dipertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain yang
mendasari, seperti penyakit keganasan.

2. Etiologi
disebabkan oleh 3 hal, yaitu Sesuai trias virchow

:
• Stasis aliran darah
Bila terjadi stasis aliran darah maka interaksi antara platelet dan faktor koagulasi dengan
endotel akan memanjang dan dapat memudahkan terbentuknya thrombus
• Cedera endotel
Menyebabkan terpaparnya kolagen sehingga memudahkan vWF menempel dan menyebabkan
adhesis dan agregasi platelet
• Hiperkoagulabilitas darah
Hiperkoagulabilitas menyebabkan peningkatan jumlah faktor koagulasi yang dapat
menyebabkan terbentuknya thrombus

90
3. Epidemiologi
rata-rata terjadi pada usia 60 tahun ke atas dan bisa meningkat prevalensinya sebesar 90/1000
kasus di usia 85 tahun. Terjadi pada 25-35% Pasien rawat inap dengan pemasangan kateter
intravena. Insidens keseluruhan meningkat seiring pertambahan usia.

4. Faktor risiko
Faktor penyebab terjadinya infeksi tromboflebitis antara lain :
• Mempunyai varises pada vena
Pada vena yang sebelumnya terdapat venaektasia atau varises, maka terdapatnya turbulensi
darah pada kantong-kantong vena di sekitar klep (katup) vena merangsang terjadinya
thrombosis primer tanpa disertai reaksi radang primer, yang kemudian karena faktor lokal,
daerah yang ada thrombusnya tersebut mendapat radang. Menipisnya dinding vena karena
adanya varises sebelumnya, mempercepat proses keradangan. Dalam keadaan ini, maka dua
faktor utama : kelainan dinding vena dan melambatnya aliran darah, menajdi sebab penting
terjadinya thromboflebitis.
• Obesitas
Pada penderita obesitas ini bekaitan dengan naliran darah yang lembat serta kemungkinan
terjadi varises pada penderita obesitas yang menjadi salah satu penyebab dari thromboflebitis,
sehingga pada obesitas pula kemungkinan terjadi tromboflebitis meningkat. Bila kondisi
dehidrasi berat, koagulasi intravascular yang meluas ataupun infkesi sistemik dapat
menimbulkan tromboflebitis.
• Berusia 30 tahun lebih dan pada saat persalinan berada pada posisi stir up untuk waktu
yang lama. Pada proses persalinan tekanan pada arah bawah lebih tinggi sehingga
mengakibatkan terjadinya tromboflebitis
• Trauma
Beberapa kasus khusus Karena rangsangan langsung pada vena dapat menimbulkan keadaan
ini. Umumnya pemberian infus (Dilengan atau di tungkai) dalam jangka waktu lebih dari 2 hari
pada tempat yang sama atau pemberian obat yang iritan secara intra vena.
• Adanya melignitas (karsinoma), yang terjadi pada salah satu segmen vena. tumor-
tumor intra abdominal, umumnya yang memberikan hambatan aliran vena dari
ekstremitas bawah, hingga terjadi rangsangan pada segmen vena tungkai.

5. Klasifikasi
Tromboflebitis berdasarkan letak dibagi menjadi 2, yaitu :

91
• Pelvio tromboflebitis
Pelvio tromboflebitis mengenai vena-vena dinding uterus dan ligamentum latum, yaitu vena
ovarika, vena uterina, dan vena hipogastrika. Vena yang paling sering terkenal ialah vena
ovarika dekstra Karena infeksi pada tempat implantasi plasenta yang terletak di bagian atas
uterus. Proses biasanya unilateral. Perluasan infeksi dari venaa ovarika sinistra ialah ke vena
renalis, sedangkan perluasan infeksi dari vena ovarika dekstra Ialah ke vena kava inferior.
Peritoneum selaput yang menutupi vena ovarika dekstra dapat mengalami infeksi dan dapat
menyebabkan periapendisitis. Perluasan infeksi dari vena uterina ialah ke vena iliaka komunis.
Biasanya terjadi sekitar hari ke-14 atau ke-15 pasca partum.

• Tromboflebitis femoralis
Tromboflebitis femoralis mengenai vena-vena pada tungkai, misalnya vena femoralis, vena
poplitea dan vena safena. Sering terjadi sekiatr hari ke1- pasca partum. Komplikasi yang paling
serius terjadi ketika bekuan darah dislodges, berpergian melalui hati dan occluding lebat
jaringan kapiler paru-paru, ini adalah emboli paru-paru dan sangat mengancam nyawa.
Gangguan ini berjalan secara cepat dan dapat berlanjut menjadi emboli paru-paru yang
berkemampuan menjadi komplikasi fatal

Berdasarkan faktor penyebabnya terbagi atas :


• Chemical flebitis
Flebitis terjadi pad tunika intima vena yang teriritasi dengan bahan kimia yang menyebabkan
reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi akibat dari Jensi cairan yang diberikan atau
bahan material karakter yang digunakan.

• Mechanical flebitis
Flebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau penempatan kateter intravena
saat ekstremitas digerakkan, kateter yang terpasangan ikut bergerak dan menyebabkan trauma
pada dinding vena

• Bacterial flebitis

92
Peradangan vena yang berhubungan dengan adanya kolonisasi bakteri. Bakteri yang dijumpai
pada pemasangan kateter infus adalah staphyloccocus dan bakteri gram negative.

• post-infuse flebitis
Sering dilaporkan kejadiannya sebagai akibat pemasangan infus yang merupakan peradangan
pada vena yang didapatkan 48-96 jam setelah pelepasan infus.

6. Gejala klinis
Manifestasi khas dari tromboflebitis superfisialis adalah nyeri akut disertai rasa terbakar dan
nyeri tekan permukaan. Tromboflebitis usperfisialis biasanya lebih nyeri dari pada trombosis
vena profunda Karena ujung Saraf kulit berdekatan dengan letak proses peradangannya. Kulit
sepanjang vena tersebut mungkin menjadi eritematosa dan hangat. Mungkin kulit juga terlihat
sedikit bengkak. Vena tersebut dapat teraba. Kekakuan vena ini kadang-kadang disebut tali
subkutan, dapat timbul manifestasi sistemik dari peradangan ini, berupa demam.

Pada perabaan, selain nyeri tekan, diraba pula pengerasan dari jalur vena tersebut. Pada tempat-
tempat dimana terdapat katup vena, kadang-kadang diraba fluktuasi, sebagai tanda adanya
hambatan aliran vena dan menggembungnya vena di daerah katup. Fluktuasi ini dapat pula
terjadi karena pembentukan abses.

7. Diagnosis
Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan seperti pada manifestasi klinis yaitu pada Pasien
pelvio tromboflebitis seperti nyeri pada perut dan rasa menggigil, pada Pasien tromboflebitis
femoral ditemukan kaki mengalami pembengkakan, rasa nyeri, tegang. Pada pemeriksaan fisik
pada pasien pelvio tromboflebitis femoral ditemukan nyeri pada bagian betis (tanda homan
positif) Homans sign atau adanya nyeri betis pada saat dorsofleksi kaki dengan lutut lurus,
edema, dll

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan :


• USG Doppler
Teknik doppler memungkinkan penilaian kualitatif terhadap kemampuan katup pada vena
profunda, vena penghubungan dan vena yang mengalami perforasi. Ultrasonografi doppler
dilakukan dengan cara meletakkan probe doppler di atas vena yang tersumbat. Bacaan aliran

93
doppler tampak lebih kecil di banding tungkai sebelahnya atau tidak sama sekali. Metode ini
relatif murah, mudah dilakukan, praktis, cepat dan non infasif.

• Pemeriksaan hematokrit
Untuk mengidentifikasi hemokonsentrasi, terjadinya peningkatan hematokrit. Jika terjadi
peningkatan hematokrit maka akan berpotensial terjadinya pembentukan thrombus.

• Pemeriksaan koagulasi
Untuk menunjukkan hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan koagulasi ini menilai aktifitas faktor
pembekuan seperti uji masa protrombin, uji APTT, TT, dan kadar fibrinogen.

• Biakan darah
Pemeriksaan baik aerob maupun anaerob membantu mengidentifikasi organisme seperti
streptokokus aerob dan anaerob, staphilokokus aureus, eschericia coli, dan bakteriodes.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi kuman di dalam darah.

• Pemindaian ultrasound dupleks


Dengan teknik ini obstruksi vena dan refleks katub dapat dideteksi dan dilokalisasi dan dapat
dilihat pada diagram vena-vena penghubung yang tidak kompeten

• venografi
Bahan kontras disuntikkan kedalam sistem vena untuk memberikan gambaran pada vena-vena
di ekstremitas bawah dan pelvis. Pemeriksaan venografi berguna untuk mendiagnosis
trombosis vena.

8. Komplikasi
• Emboli paru
• Deep vein thrombosis

94
9. Tatalaksana
Farmakologi
• Antibiotik
-indikasinya Apabila tromboflebitis superfisial disebabkan oleh infeksi bakteri
-biasanya digunakan cefotaxime Atau cephalexin
-cara kerjanya dengan menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri
-> pemberian cefotaxime dapat dilakukan secara injeksi intramuskular 1g tiap 12 jam.

• NSAID
- natrium diklofenak : bekerja dengan cara menghambat enzim COX sehingga produksi
prostaglandin diseluruh tubuh akan menurun. Penghambat terhadap enzim COX-1 dan COX-
2 diperkirakan memediasi efek antipiretik (penurunan suhu tubuh saat demam), analgesik
(pengurangan rasa nyeri), dan antiinflamasi (Anti peradangan). Dosis oral : 75-150 mg/hari
dalam 2-3 dosis, sebaiknya Setelah makan.

Non-Farmakologi
• Konservatif
- kateter intravena dilepas : hal ini untuk mencegah penyakit lebih lanjut dengan membatasi
port de entry dari patogen penyebab infeksi yaitu melalui kateter IV
- kompres hangat : dengan adanya kompres hangat maka akan mengaktifkan mekanisme tubuh
untuk terjadi vasodilatasi (untuk membuang panas yang diterima dari kompres) sehingga akan
melancarkan aliran darah dan mengurangi edema dengan memperbaiki drainase vena
- elevasi lengan : saat lengan dielevasi maka drainase vena akan membaik karena arahnya
searah dengan gaya gravitasi sehingga akan membantu mengurangi edema.

• Operatif
- excision and ligation : insisi secara langsung pada vena untuk membuang trombus. Dilakukan
bila diduga ada trombosis vena saphena parva dan vena saphena magna yang dikhawatirkan
masuk ke vena femoralis.

10. Prognosis

95
• Biasanya baik namun bila terhadi di ekstremitas bawah memiliki kemungkinan rekuren
yang tinggi
• Tromboflebitis pada tangan relatif tidak berbahaya, tetapi tromboflebitis superfisialis
pada vena saphena parva dan vena saphena magna bisa berkembang menjadi DVT.

Pada beberapa kasus, pengunaan obat kb digestrol dan etinil estradiol sebagai kontrasepsi oral
akan meningkatkan plasma fibrinogen dan faktor koagulasi II, VII, X, XII, VIII. Hal ini akan
menimbulkan kondisi hiperkoagulabilitas sehingga menjadi faktor risiko terbentukannya
trombus bersama dengan faktor-faktor lain pada trias virchow.

96
VARISES

Vena Varikosa
Vena varikosa merupakan masalah yang umum terjadi pada pembuluh darah vena. Beberapa
orang menganggap hal tersebut merupakan hal yang normal. Semakin tua usia seseorang,
semakin besar kemungkinan vena varikosa akan terlihat. Kebanyakan orang dengan usia lebih
dari 60 tahun memiliki vena varikosa.Vena varikosa dapat terjadi di ekstremitas atas maupun
ekstremitas bawah. Namun vena varikosa di ekstremitas atas sangat jarang terjadi. Berdasarkan
beberapa sumber, hingga saat ini hanya ditemukan sedikit kasus vena varikosa yang melibatkan
ekstremitas atas

Faktor Risiko Vena Varikosa

Hal-hal di bawah ini dapat menjadi faktor risiko


terjadinya vena varikosa:

1.Herediter
Faktor keturunan seperti kelemahan dinding vena, peningkatan disfungsi valvular primer atau
agenesis, dan faktor genetik lain dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya vena varikosa.

2.Kehamilan
Sekitar 70-80% pasien mengalami vena varikosa selama trimester pertama, ketika uterus mulai
sedikit membesar. Pada trimester kedua, 20-25% pasien masien mengalami vena varikosa, dan
1-5% mengalaminya pada trimester ketiga.

3.Penuaan
Insidensi vena varikosa meningkat seiring bertambahnya umur, oleh karena itu kerusakan pada
dinding vena kemungkinan lebih menonjol pada vena pasien yang lanjut usia.

4.Gaya Hidup
Insidensi vena varikosa dapat meningkat pada penggunaan korset atau baju yang ketat, pada
orang dengan obesitas, pada penggunaan toilet duduk, serta pada orang dengan pekerjaan yang
membutuhkan waktu berdiri lama.

97
Gejala dan Tanda Vena Varikosa

Gejala yang dapat timbul pada vena varikosa antara lain


• Rasa nyeri di ekstremitas bawah (saat berdiri atau
duduk lama)
-Sensasi terbakar (neuropati vena)
- Rasa gatal (inflamasi kutaneus)
- Rasa kram di malam hari (pengurangan edema
pada posisi berbaring)
Pemeriksaan Vena Varikosa
Beberapa pemeriksaan berikut dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis vena varikosa:
1. Venografi
Venografi terdiri dari 2 macam, yaitu ascending venography dan descending venography.
Ascending venography dilakukan dengan injeksi zat kontras di dorsum pedis dengan
visualisasi kontras yang naik sepanjang sistem vena dalam di ekstremitas inferior.
Descending venography dilakukan dengan injeksi zat kontras di vena femoralis komunis
pada posisi tubuh semivertikal dan pasien diminta melakukan manuver Valsava.
2. Ambulatory Venous Pressure (AVP)
Pengukuran AVP dilakukan dengan menusukkan jarum di v.dorsalis pedis yang kemudian
disambungkan pressure transducer. Tekanan diukur saat istirahat dan setelah dilakukan
latihan. Selama pengukuran AVP pada ekstremitas normal pada saat latihan, tekanan darah
vena turun dengan cepat (hingga ≤30 detik) dan kembali melalui kapiler dengan lambat (≥20
detik). Pada inkompetensi katup, refluks terjadi saat latihan, sehingga tekanan darah vena
tetap tinggi karena kembalinya darah melalui katup yang inkompeten
terjadi dengan cepat.
3. Pletysmography
Ini merupakan pemeriksaan noninvasif yang dilakukan dengan melingkarkan air chamber di
sekeliling betis dan dihubungkan dengan pressure transducer dan chart recorder. Pengukuran
dilakukan pada posisi istirahat dan posisi berdiri. Parameter pengukurannya adalah venous
filling index (VFI), di mana nilai normalnya adalah < 2 mL/s.9,10
4. Venous Duplex Imaging
Imaging pada vena varikosa hendaknya meliputi

98
hal-hal berikut:
- Adanya obstruksi atau refluks pada vena dalam di ekstremitas bawah
- Obstruksi pada v.saphena magna
- Obstruksi pada v.saphena parva
- Lokasi dan perluasan cabang vena varikosa
- Lokasi vena perforator yang inkompeten
Sistem ultrasonografi (USG) duplex standar dengan B-mode imaging resolusi tinggi, analisis
pulsed Doppler spectral waveform, dan color-flow imaging dapat digunakan untuk scanning
vena extremitas bawah. Color-flow imaging bermanfaat dalam pemeriksaan duplex dengan
membantu dalam identifikasi arteri dan vena secara cepat, sehingga mengurangi waktu
pemeriksaan, terutama untuk pemeriksaan pembuluh darah tibia.

Transducer bervariasi dibutuhkan dalam pemeriksaan duplex vena ekstremitas bawah secara
lengkap. Transducer frekuensi-rendah (2-3 MHz) merupakan yang paling baik untuk
pemeriksaan v.cava inferior dan v.iliaca, sedangkan transducer dengan frekuensi lebih tinggi
(5-10 MHz) secara umum digunakan untuk memeriksa vena ekstremitas bawah. Vena
superfisial biasanya dapat tampak dengan transducer frekuensi tinggi. Secara umum,
transducer dengan frekuensi tertinggi yang dapat memberikan kedalaman penetrasi yang
adekuat hendaknya digunakan untuk memperoleh kualitas gambar yang
paling baik.

Dari berbagai pemeriksaan di atas, 3 di antaranya sudah jarang dilakukan. Saat ini, berdasarkan
The National Institute for Health and Care Excellence (NICE) Guideline untuk vena varikosa,
pemeriksaan duplex ultrasound merupakan yang direkomendasikan untuk menegakkan
diagnosis.
Manajemen Vena Varikosa

Edukasi mengenai hal-hal berikut pada pasien perlu


diberikan dalam penanganan vena varikosa

1. Penurunan berat badan (bagi penderita dengan obesitas)


2. Aktivitas ringan-sedang
3. Menghindari faktor-faktor yang dapat memperburuk gejala

99
Beberapa terapi berikut dapat diberikan pada vena
varikosa:
1. Stoking Kompresi
Peresepan stoking kompresi elastik termasuk tekanan dan panjang stoking. Tekanan yang
diresepkan dipilih berdasarkan tingkat keparahan
klinis: 20-30 mHg untuk CEAP kelas 2-3, 30-40 mmHg untuk CEAP kelas 4-6, 40-50 mmHg
untuk ulkus rekuren. Panjang stoking yang diresepkan biasanya knee-length stocking karena
kepatuhan pasien lebih besar dan pengurangan gejala cukup baik. Penggunaan stoking
setinggi paha atau pinggang diperlukan pada pasien dengan edema hingga di atas lutut.
Pengukuran diameter ekstremitas juga diperlukan dalam peresepan.
2. Terapi Farmakologi
Terdapat 4 kelompok obat yang dapat digunakan dalam penanganan insufisiensi vena kronis:
coumarin (α-benzopyrone), flavonoid (γ-benzopyrone), saponoside (ekstrak horse chestnut),
dan ekstrak tanaman lain. Obat-obatan ini memiliki efek venoaktif. Prinsip penggunaan obat-
obat tersebut adalah untuk meningkatkan tonus vena dan permeabilitas kapiler, meskipun
mekanisme kerjanya masih belum diketahui. Terapi farmakologi yang umum dipakai antara
lain micronised purified flavonoid fraction (MPFF) dengan dosis 2 tablet MPFF 500 mg
perhari. Perbaikan gejala biasanya sudah tampak dalam 2 bulan penggunaan obat ini.

Berdasarkan NICE Guideline untuk vena


varikosa, penanganan vena varikosa sebagai
berikut:
A. Intervensi
1. Skleroterapi
Skleroterapi diindikasikan untuk berbagai kondisi, antara lain: telangiektasia dan vena
varikosa retikularis tanpa maupun dengan refluks superfisial. Terapi ini dilakukan dengan
injeksi agen sklerosan (sodium tetradecyl sulfate, polidocanol, dsb) ke dalam vena varikosa
dengan jarum kecil. Tujuannya adalah membuat perlukan endotelial sehingga menyebabkan
trombosis dan fibrosis.
2. Endovenous ablation
Terapi ini menggunakan energi termal dalam bentuk radiofrekuensi atau laser. Teknik ini
biasa digunakan untuk refluks vena saphena. Energi panas yang dihasilkan menyebabkan
perlukaan termal lokal pada vena sehingga menyebabkan trombosis dan fibrosis. Anestesia
(di sepanjang vena yang akan diterapi dengan teknik ini) dilakukan sebelum tindakan untuk

100
mencegah luka bakar pada kulit dan mengurangi nyeri. Saat ini berkembang teknik baru yang
mulai banyak digunakan, yaitu mechanochemical ablation (MOCA). Teknik ini memadukan
endomechanical abrasion dengan ujung kawat dari kateter berputar (komponen mekanik) dan
endovenous chemical ablation
(EVCA) dengan injeksi simultan agen.
Prognosa
Tidak ada obat untuk varises. Bahkan setelah operasi pengangkatan, kekambuhan sering
terjadi. Mereka yang mengembangkan ulkus vena memiliki morbiditas tertinggi dan kualitas
hidup yang buruk. Berbeda dengan sistem vena dalam, bekuan pada vena superfisial jarang
menjadi emboli dan oleh karena itu risiko emboli paru jarang terjadi. Varises yang tidak diobati
mencerminkan estetika yang buruk dan inilah alasan utama mengapa kebanyakan orang
mencari pengobatan.
Komplikasi
• Ulkus vena
• Nyeri
• Kosmetik yang buruk

101

Anda mungkin juga menyukai