Disusun oleh:
030.15.028
Pembimbing
Disusun oleh:
Annisa Himmatul Ulya
030.15.028
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Irwin, Sp.PD selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Karawang
1.1 Identitas
Nama : Ny. NM
No. RM : 00.77.34.49
Usia : 36 tahun
Agama : Islam
Darurat
Riwayat Pasien datang dengan keluhan sakit kepala sejak 1 minggu SMRS.
Penyakit Sakit kepala terutama dirasakan pada bagian belakang kepala, dan
Sekarang terasa seperti nyut-nyutan. Sakit kepala makin lama makin
memberat. Pasien sempat tidak sadarkan diri selama 1 jam SMRS.
Pasien juga mengeluh terdapat mual dan muntah. Muntah
sebanyak 2x berisi lendir dan makanan. Terdapat bab cair
berwarna kuning sebanyak 1x sejak 2 tahun SMRS . Pasien juga
mengeluh terdapat lemas pada seluruh badan sejak 3 hari SMRS.
Terdapat penurunan berat badan dari 65 kg menjadi 45 kg. Tidak
didapatkan batuk, sesak nafas dan demam.
Riwayat
Penyakit Pernah dirawat dengan diagnosis HIV
Dahulu Hipertensi, DM dan penyakit ginjal disangkal
Riwayat penyakit jantung (-)
Kepala Rambut & kulit kepala: warna hitam, distribusi merata dan tidak
mudah dicabut.
Mata: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor,
refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+,
kelopak mata sembab (-)
Wajah: tampak pucat(+)
Telinga: Deformitas (-), hiperemis (-), oedem (-), serumen (-),
nyeri tekan tragus (-), nyeri tarik (-)
Hidung: Deformitas (-), deviasi septum (-), sekret (-), pernapasan
cuping hidung (-)
Tenggorokan: Uvula di tengah, arcus faring simetris, T1/T1,
hiperemis (-)
Mulut: Sianosis (-), mulut kering (-), gusi berdarah (-), gusi
hiperemis (+), lidah kotor putih (-), plak gigi (-)
Thorax Paru-paru:
Inspeksi: bentuk dada fusiformis, bentuk thorax simetris pada saat
statis dan dinamis, retraksi intercostal (-), sela iga melebar (-), tipe
pernapasan abdominalthorakal
Palpasi: gerak dinding dada simetris, nyeri tekan (-), benjolan (-),
vocal fremitus tidak melemah atau meningkat di kedua lapang
paru depan dan belakang
Perkusi: Hemitoraks kanan dan kiri sonor namun kiri sedikit
redup batas paru hepar setinggi ICS VI linea midclavicularis
dekstra dan batas paru lambung setinggi ICS VII linea axillaris
anterior sinistra
Auskultasi: Suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Jantung:
Inspeksi: pulsasi ictus cordis tampak di ICS IV linea
midclaviculari sinistra
Palpasi: thrill (-), ictus cordis teraba di ICS IV linea
midclaviculari sinistra
Perkusi: batas jantung kanan setinggi ICS IV linea sternalis
dekstra, batas jantung kiri setinggi ICS V linea midclavicularis
sinistra, batas atas jantung setinggi ICS III linea parasternalis
sinistra
Auskultasi: bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-),
pericardial friction rub (-)
Abdomen Inspeksi: Simetris datar, ikterik (-), hiperemis (-), spider nevi (-),
benjolan (-), jejas (-), gerak dinding perut saat bernapas simetris
Auskultasi: bising usus (+) 3x/menit, arterial bruit (-)
Palpasi: teraba supel, massa (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien
tidak membesar, ballottement ginjal (-), undulasi (-), turgor kulit
kembali cepat
Perkusi: shifting dullness (-), timpani seluruh kuadran
Ekstremitas Bawah
Simetris kanan dan kiri, turgor kulit 2 detik, deformitas -/-, CRT <
2 detik, akral hangat +/+, oedem +/+, lesi eritema -/-, jejas -/-
Kulit Sawo matang, tidak tampak sianosis, tidak tampak ikterik, tidak
tampak eritema, tidak tampak jejas atau luka, tampak bintik-bintik
kehitaman dikulit (+)
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.6 TATALAKSANA
Tirah baring
NaCl 0,9% 20 tpm
Inj Ranitidin 1x1 amp iv
Inj Ondancentron 3x4 amp iv
Inj Ketrolac 3x1 amp iv
Tab PCT 3x1
Tab Cotrimoxazole 2 x 960 mg
1.7 PROGNOSIS
ad vitam : dubia ad bonam
ad functional : dubia ad malam
ad sanationam : dubia ad malam
1.6 FOLLOW UP
Hari 1 (19/09/2019)
Pasien mengeluh nyeri kepala bagian belakang seperti ditekan,
S terdapat mual dan muntah berisi makanan sebanyak 2x, nyeri ulu
hati (+) batuk berdahak warna putih, lemas, sesak dan demam
disangkal
Keadaan umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos Mentis
Tekanan darah: 140/80 mmHg
Nadi: 95 x/menit
Pernapasan: 20 x/menit
Saturasi: 99%
O Suhu: 36,8 ˚C
Kepala: normocefali, CA- /-, SI -/-
Leher: KGB dbn, tidak teraba pembesaran tiroid
Thorax: Pul: SNV +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
Cor: BJ I/II reg, m(-), g(-),
Abdomen: BU (+), nyeri tekan epigastrium (+), Supel
Ekstremitas: AH (+/+) OE (-/-)
AIDS
A
Dyspepsia
• NaCl 0,9% 20 tpm
• Inj Ranitidin 2x1
• Inj Ondansetron 3x4 mg
P
• Inj Ketrolac 3x1
• Tab Paracetamol 3x1
• Tab Cotrimoxazol 2x960
Hari 2 (20/09/2019)
Pasien datang dengan keluhan sakit kepala sejak 1 minggu SMRS. Sakit
kepala terutama dirasakan pada bagian belakang kepala, dan terasa seperti nyut-
nyutan. Sakit kepala makin lama makin memberat. Pasien sempat tidak sadarkan
diri selama 1 jam SMRS. Pasien juga mengeluh terdapat mual dan muntah.
Muntah sebanyak 2x berisi lendir dan makanan. Terdapat bab cair berwarna
kuning sebanyak 1x sejak 2 tahun SMRS . Pasien juga mengeluh terdapat lemas
pada seluruh badan sejak 3 hari SMRS. Terdapat penurunan berat badan dari 65
kg menjadi 45 kg. Tidak didapatkan batuk, sesak nafas dan demam. Hasil
pemeriksaan fisik didapatkan bintik-bintik kehitaman pada kulit. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan leukopenia, trombositosis, dan penurunan
hematokrit
3.2 Epidemiologi
Di Indonesia, HIV pertama kali dilaporkan di Bali pada bulan April 1987,terjadi
pada orang berkebangsaan Belanda. Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan
tahun 2011, kasus HIV/AIDS tersebar di 368 (73,9%) dari 498 mkabupaten/kota
di seluruh (33) provinsi di Indonesia. Secara signifikan kasus HIV/AIDS terus
meningkat, berikut disajikan data kasus HIV/AIDS di Indonesia berdasarkan
laporan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011. Jumlah
kumulatif kasus HIV/AIDS yang dilaporkan sampai dengan tahun 2011 sebanyak
76.879 kasus HIV dan 29.879 kasus AIDS. Jumlah kasus HIV tertinggi yaitu DKI
Jakarta (19.899 kasus), diikuti Jawa Timur (9.950 kasus), Papua (7.085 kasus),
Jawa Barat (5.741 kasus) dan Sumatera Utara (5.027 kasus). Jumlah kasus AIDS
tertinggi yaitu DKI Jakarta (5.177 kasus), diikuti Jawa Timur (4.598 kasus),
Papua (4.449 kasus), Jawa Barat (3.939 kasus) dan Bali (2.428 kasus).Persentase
kasus AIDS pada laki-laki sebanyak 70,8% dan perempuan 28,2%. Angka
kematian (CFR) menurun dari 40% pada tahun 1987 menjadi 2,4% pada tahun
2011. 2,5
3.3 Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis
yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun
atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120
yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi
terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau
makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV
dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim
transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme).2,3
3.5 Patogenesis4
a. Penularan dan Masuknya Virus
HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinalis, semen, air mata,
sekresi vagina atau serviks, urin, ASI, dan air liur. Penularan terjadi paling
efisien melalui darah dan semen . HIV juga dapat ditularkan melalui air
susu dan sekresi vagina atau serviks. Tiga cara utama penularan adalah
kontak ibu-bayi. Setelah virus ditularkan akan terjadi serangkaian proses
yang kemudian menyebabkan infeksi.
b. Perlekatan Virus
Virion HIV matang memiliki bentuk hamper bulat. Selubung luarnya, atau
kapsul viral, terdiri dari lemak lapis-ganda yang mengandung banyak
tonjolan protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein: gp120 dan
gp41. Gp mengacu kepada glikoprotein dan angka mengacu kepada massa
protein dalam ribuan Dalton. Gp120 adalah selubung permukaan eksternal
duri, dan gp41 adalah bagian transmembran. Terdapat suatu protein
matriks yang disebut p17 yang mengelilingi segmen bagian dalam
membrane virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein kapsid yang
disebut p24. Di dalam kapsid, p24 terdapat dua untai RNA identik dan
molekul preformed reverse transcriptase, integrase, dan protease yang
sudah terbentuk. HIV adalah suatu retrovirus sehingga materi genetic
berada dalam bentuk RNA bukan DNA. Reverse transcriptase adalah
enzim yang mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus
masuk ke sel sasaran. Enzim-enzim lain yang menyertai RNA adalah
integrase dan protease. HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan
sel sasaran yang memiliki molekul reseptor membrane CD4. Sejauh ini,
sasaran yang disukai oleh HIV adalah limfosit T penolong positif-CD4
atau sel T4 (limfosit CD4+). Gp120 HIV berikatan dengan kuat dengan
limfosit 14 CD4+ sehingga gp41 dapat memerantarai fusi membrane virus
ke membrane sel. Baru-baru ini ditemukan bahwa dua koreseptor
permukaan sel, CCR5 atau CXCR4 diperlukan, agar glikoprotein gp120
dan gp41 dapat berikatan dengan reseptor CD4+ (DOms, Peiper, 1997).
Koreseptor ini menyebabkan perubahan-perubahan konformasi sehingga
gp41 dapat masuk ke membrane sel sasaran. Individu yang mewarisi dua
salinan defektif gen reseptor CCR5 (homozigot) resisten terhadap
timbulnya AIDS, walaupun berlangkali terpajan HIV (sekitar 1% orang
Amerika keturunan Caucasian). Individu yang heterozigot untuk gen
defektif ini (18 sampai 20 %) tidak terkindung dari AIDS, tetapi awitan
penyakit agak melambat. Belum pernah ditemukan homozigot pada
populasi Asia atau Afrika, yang mungkin dapat membantu menerangkan
mengapa mereka lebih rentan terhadap infeksi HIV (O’Brien, Dean, 1997).
Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monosit
dan makrofag. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi
sebagai reservoir untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV
bersifat politrofik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia (Levy,
1994), seperti sel natural killer (NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel
Langerhans, sel densritik (yang terdapat di permukaan mukosa tubuh), sel
microglia, dan berbagai jaringan tubuh. Setelah virus berfusi dengan
limfosit CD4+ maka berlangsung serangkaian proses kompleks yang ,
apabila berjalan lancer, menyebabkan terbentuknya partikel-partikel virus
baru dari sel yang terinfeksi. Lomfosit CD4+ yang terinfeksi mungkin
mengalami siklussiklus replikasi sehingga menghasilkan banyak virus.
Infeksi pada limfosit CD4+ juga dapat menimbulkan sitopatogenisitas
melalui beragam mekanisme, termasuk apoptosis (kematian sel
terprogram), anergi (pencegahan fusi sel lebih lanjut), atau pembentukan
sinsitium (fusi sel).
c. Replikasi Virus
Setelah terjadi fusi sel-virus, RNA virus masuk ke bagian tengah
sitoplasma limfosit CD4+. Setelah nukleokapsid dilepas, maka terjadi
transkripsi terbalik (reverse transcription) dari satu untai-tunggal RNA
menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus. Integrase HIV
membantu insersi cDNA virus ke dalam inti sel pejamu. Apabila sudah
terintegrasi ke dalam kromosom sel pejamu, maka dua untai DNA
sekarang menjadi provirus (Greene, 1993). Provirus menghasilkan RNA
messenger (mRNA) yang meninggalkan inti sel dan masuk ke dalam
sitoplasma. Tahap akhir produksi virus membutuhkan suatu enzim virus
yang disebut HIV protease, yang memotong dan menata protein virus
menjadi segmen-segmen kecil yang mengelilingi RNA virus, membentuk
partikel virus menular yang menonjol dari sel yang terinfeksi. Sewaktu
menonjol dari sel pejamu, partikel-partikel virus tersebut akan terbungkus
oleh sebagian dari membrane sel yang terinfeksi. HIV yang baru terbentuk
sekarang dapat menyerang sel-sel rentan lainnya di seluruh tubuh.
Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode latensi klinis, bahkan saat
hanya terjadi aktivitas virus yang minimal di dalam darah (Embretson et
al., 1993; Panteleo et al., 1993). HIV ditemukan dalam jumlah besar di
dalam limfosit CD4+ dan makrofag di seluruh system limfoid pada semua
tahap infeksi. Partikel-partikel virus juga telah dihubungkan dengan sel-sel
dendritik folikular, yang mungkin memindahkan infeksi ke sel-sel selama
migrasi melalui folikel-folikel limfoid. Walaupun selama masa latensi
klinis tingkat viremia dan replikasi virus di sel-sel mononukleus darah
perifer rendah, namun pada infeksi ini tidak ada latensi yang sejati. HIV
secara terus menerus terakumulasi dan bereplikasi di organ-organ limfoid.
Sebagian data menunjukkan bahwa terjadi replikasi dalam jumlah sangat
besar dan pertukaran sel 16 yang sangat cepat, dengan waktu-paruh virus
dan sel penghasil virus di dalam plasma sekitar 2 hari (Wei et al., 1995;
Ho et al., 1995). Aktivitas ini menunjukkan bahwa terjadi pertempuran
terus menerus antara virus dan system imun pasien
3.5 Klasifikasi6
Penentuan stadium berdasarkan penemuan klinis yang didapatkan dari diagnosis,
evaluasi dan pengelolaan HIV/AIDS yang tidak disertai hasil CD4. Stadium klinis
dikategorikan dari stadium 1 sampai 4. Tahap ini ditentukan oleh kondisi klinis
dan gejala tertentu dan tidak bergantung oleh jumlah CD4.
Klasifikasi CDC merupakan pembagian HIV/AIDS berdasarkan jumlah sel CD4+
dan kondisi tubuh penderita yang berhubungan dengan diagnosa HIV. Klasifikasi
CDC antara lain yaitu :
3.6 Penegakan Diagnosis1,7
3.6.1 Manifestasi klinis
Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan, ruam kulit,
nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai dengan supresi
yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi oportunistik berat yang
sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum (terutama sarcoma Kaposi).
Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh gejala
prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise, demam,
napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan
limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran pencernaan , dari esophagus
sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan. Tanpa pengobatan interval
antara infeksi primer oleh HIV dan timbulnya penyakit klinis pertama kali pada
orang dewasa biasanya panjang, rata-rata sekitar 10 tahun.
Menurut Barakbah et al (2007) karena banyak negara berkembang, yang
belum memiliki fasilitas pemeriksaan serologi maupun antigen HIV
yang memadai, maka WHO menetapkan kriteria diagnosis AIDS. Definisi kasus
AIDS dicurigai bila paling sedikit mempunyai 2 gejala mayor dan 1 gejala
minor dan tidak terdapat sebab-sebab penekanan sistem imun lain yang diketahui,
seperti kanker, malnutrisis berat atau sebab-sebab lainnya.
Gejala Mayor :
Penurunan berat badan > 10% berat badan per bulan.
Diare kronis lebih dari 1 bulan
Demam lebih dari 1 bulan.
Gejala Minor
Batuk selama lebih dari 1 bulan.
Pruritus dermatitis menyeluruh.
Infeksi umum yang rekuren, misalnya herpes zoster.
Kandidiasis orofaringeal.
Infeksi herpes simpleks kronis progresif atau yang meluas.
Limfadenopati generalisata.
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal
antara lain tumor dan infeksi oportunistik :
a. Manifestasi tumor diantaranya;
1) Sarkoma kaposi ;
kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi
kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok
homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang
menjadi sebab kematian primer.
2) Limfoma ganas ;
terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan
bertahan kurang lebih 1 tahun.
b. Manifestasi Oportunistik diantaranya
1) Manifestasi pada Paru
Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan
infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit
bernafas dalam dan demam.
Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada
paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV
merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.
Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan
sulit disembuhkan.
Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan
cepat menyebar ke organ lain diluar paru.
2) Manifestasi pada Gastroitestinal
Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10%
per bulan.
c. Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang
biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang
umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan neuropati
perifer
Gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase, yang mencerminkan
dinamika interaksi antara HIV dan sistem imun :
1. Fase akut.
Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok,
mialgia, demam, ruam dan kadang-kadang meningitis aseptic. Pada fase
ini terdapat produksi virus dalam jumlah yang besar, viremia dan
persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang secara khas
disertai dengan berkurangnya sel T CD4+. Segera setelah hal itu
terjadi, muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang
dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3
hingga 17 minggu setelah pajanan) dan melalui munculnya sel T
sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia
mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal. Namun,
berkurangnya jumlah virus dalam plasma bukan merupakan penanda
berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di dalam
makrofag dan sel T CD4+ jaringan.
2. Fase kronis
Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada
fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi
virus berlanjut hingga beberapa tahun. Para pasien tidak
menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten dan
banyak penderita yang mengalami infeksi opotunistik ringan, seperti
sariawan. Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut.
Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan CD4+
yang berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun yang
besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Setelah
melewati periode yang panjang dan beragam, pertahanan pejamu
mulai menurun dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan jumlah CD4+
hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat
3. Fase kritis
Tahap terakhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan
pejamu yang sangat merugikan, peningkatan viremia yang nyata,
serta penyakit klinis. Para pasien khasnya akan mengalami demam
lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare;
jumlah sel CD4+ menurun di bawah 500 sel/μL. Setelah adanya
interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik
yang serius, neoplasma sekunder dan atau manifestasi neurologis
(disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS). Jika kondisi
lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedo man CDC
yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang
terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan
200 sel/μL sebagai pengidap AIDS. Hampir semua orang yang
terinfeksi HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang menimbulkan
gejala-gejala yang berkaitan dengan HIV atau AIDS.
3.6.2 Pemeriksaan fisik 2,7,8
3.5.3 Pemeriksaan Penunjang2,7,8
Pemeriksaan Infeksi HIV/ AIDS
Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan
diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain
(cerebrospinal fluid) penderita.
1. Diagnosis
a. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah
ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay). Untuk
mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif,
tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain juga bisa menunjukkan
hasil positif sehingga menyebabkan false positif, diantaranya penyakit
autoimun ataupun karena infeksi. Sensivitas ELISA antara 98,1% -
100% dan dapat mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam
darah.
b. Western Blot
Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk
menemukan orang yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% - 100%.
Namun pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu
sekitar 24 jam. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa
menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu,
tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika
test Western Blot tetap tidak bias disimpulkan, maka test Western
Blotharus diulangi lagi setelah 6 bulan.
Terapi Antiretroviral
Antiretroviral therapy ditemukan pada tahun 1996 dan
mendorong suatu evolusi dalam perawatan penderita HIV/AIDS.
Replikasi HIV sangat cepat dan terus-menerus sejak awal infeksi,
sedikitnya terbentuk 10 miliar virus setiap hari. Namun karena waktu
paruh virus bebas (virion) sangat singkat maka sebagian besar virus
akan mati. Penurunan CD4 menunjukkan tingkat kerusakan sistem
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Pemeriksaan CD4 ini
berguna untuk memulai, mengontrol dan mengubah regimen ARV yang
diberikan.
Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja
pada penderita yang dicurigai, tetapi perlu menempuh langkah-langkah
yang arif dan bijaksana, serta mempertimbangkan berbagai faktor; dokter
telah memberikan penjelasan tentang manfaat, efek samping, resistensi
dan tata cara penggunaan ARV, kesanggupan dan kepatuhan penderita
mengkonsumsi obat dalam waktu yang tidak terbatas; serta saat yang tepat
untuk memulai terapi ARV.
Tabel 6. Rekomendasi memulai terapi antiretroviral penderita dewasa
menurut WHO
Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan
profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung
HIV (post exposure prophylaxis). Selain itu juga digunakan untuk pencegahan
penularan dari ibu ke bayi.
Faktor yang harus diperhatikan dalam memilih regimen ART baik di tingkat
program ataupun tingkat individual :
Efika si obat
Profil efek samping obat
Persyaratan pemantauan laboratorium
Kemungkinan kesinambungan sebagai pilihan obat di masa depan
Antisipasi kepatuhan oleh pasien
Kondisi penyakit penyerta
Kehamilan dan risikonya
Penggunaan obat lain secara bersamaan
Infeksi strain virus lain yang berpotensi meningkatkan resistensi
terhadap satu atau lebih ART.
Ketersediaan dan harga ART.
3.7 Prognosis
Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang
didiagnosis AIDS meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5%
kasus pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis
DAFTAR PUSTAKA
3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill
6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006
10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2019 Sep 22];
Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040