Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

Wanita 36 tahun dengan HIV/AIDS

Disusun oleh:

Annisa Himmatul Ulya

030.15.028

Pembimbing

dr. Irwin, Sp. Pd

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
PERIODE 17 AGUSTUS– 25 OKTOBER 2019
Laporan kasus:
Wanita 36 tahun dengan HIV/AIDS

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Penyakit Dalam RSUD Karawang Periode 19 Agustus – 26 Oktober 2019

Disusun oleh:
Annisa Himmatul Ulya
030.15.028

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Irwin, Sp.PD selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Karawang

Karawang, Oktober 2019

dr. Irwin, Sp. Pd


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena


atas berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus ini yang berjudul “DM Tipe II dengan Dyspepsia” dengan baik dan
tepat waktu. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik
Stase Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Karawang Periode 19 Agustus – 26 Oktober
2019. Dalam menyelesaikan laporan kasus, penulis mendapatkan bantuan dan
bimbingan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. dr. Irwin, Sp.Pd selaku pembimbing yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menimba ilmu dan menjalani Kepaniteraan Klinik Stase
Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Karawang.
2. Staf dan paramedis yang bertugas di RSUD Karawang.
3. Serta rekan-rekan Kepaniteraan Klinik selama di RSUD Karawang.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki kekurangan,


maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari semua pihak agar laporan kasus ini dapat menjadi lebih baik lagi. Semoga
pembuatan referat ini dapat memberikan manfaat, yaitu menambah ilmu
pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk rekan-rekan kedokteran
maupun paramedis lainnya dan masyarakat pada umumnya.

Karawang, Oktober 2019

Annisa Himmatul Ulya


030.15.028
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas
Nama : Ny. NM

No. RM : 00.77.34.49

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 36 tahun

Tempat, Tanggal Lahir : Karawang, 15 Juni 1983

Alamat : Dayeuh Luhur RT 021 RW 011, Kel

Dayeuhluhur, Kec Tempuran, Karawang

Agama : Islam

Suku bangsa : Sunda

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan Terakhir : SMP

Status Pernikahan : Menikah

Tanggal Masuk : Kamis, 19 September 2019 dari Instalasi Gawat

Darurat

Ruangan : Rengasdengklok kamar 212


1.2 ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 19 September 2019, pukul
11.00 WIB
Keluhan Pasien datang dengan keluhan sakit kepala sejak 1 minggu SMRS
Utama
Keluhan  Mual (+)
Tambahan  Muntah (+)
 BAB cair (+)
 Lemas (+)

Riwayat Pasien datang dengan keluhan sakit kepala sejak 1 minggu SMRS.
Penyakit Sakit kepala terutama dirasakan pada bagian belakang kepala, dan
Sekarang terasa seperti nyut-nyutan. Sakit kepala makin lama makin
memberat. Pasien sempat tidak sadarkan diri selama 1 jam SMRS.
Pasien juga mengeluh terdapat mual dan muntah. Muntah
sebanyak 2x berisi lendir dan makanan. Terdapat bab cair
berwarna kuning sebanyak 1x sejak 2 tahun SMRS . Pasien juga
mengeluh terdapat lemas pada seluruh badan sejak 3 hari SMRS.
Terdapat penurunan berat badan dari 65 kg menjadi 45 kg. Tidak
didapatkan batuk, sesak nafas dan demam.
Riwayat
Penyakit  Pernah dirawat dengan diagnosis HIV
Dahulu  Hipertensi, DM dan penyakit ginjal disangkal
 Riwayat penyakit jantung (-)

Riwayat  Keluhan serupa (-)


Penyakit  Hipertensi, DM, Penyakit jantung, paru dan ginjal (-)
Keluarga
Riwayat  Tinggal bersama suami dan anak. Pencahayaan rumah
Lingkungan kurang, pada siang hari menggunakan lampu, ventilasi tidak
ada
Riwayat  Sedang melakukan pengobatan ARV
Pengobatan
Riwayat
Kebiasaan  Penggunaan NAPZA disangkal
 Minum alcohol disangkal

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Kesadaran : Compos mentis
umum Kesan sakit : Tampak sakit sedang
IMT: 45/1.502 = 20 ( Gizi baik )

Tanda vital Tekanan darah : 140/80 mmHg


Nadi : 110 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 36,8oC
SpO2 : 98%

Kepala Rambut & kulit kepala: warna hitam, distribusi merata dan tidak
mudah dicabut.
Mata: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor,
refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+,
kelopak mata sembab (-)
Wajah: tampak pucat(+)
Telinga: Deformitas (-), hiperemis (-), oedem (-), serumen (-),
nyeri tekan tragus (-), nyeri tarik (-)
Hidung: Deformitas (-), deviasi septum (-), sekret (-), pernapasan
cuping hidung (-)
Tenggorokan: Uvula di tengah, arcus faring simetris, T1/T1,
hiperemis (-)
Mulut: Sianosis (-), mulut kering (-), gusi berdarah (-), gusi
hiperemis (+), lidah kotor putih (-), plak gigi (-)

Leher Bentuk tidak tampak kelainan, trakea teraba di tengah, tidak


terdapat pembesaran KGB, JVP dalam batas normal. Kelenjar
tiroid dalam batas normal.

Thorax Paru-paru:
Inspeksi: bentuk dada fusiformis, bentuk thorax simetris pada saat
statis dan dinamis, retraksi intercostal (-), sela iga melebar (-), tipe
pernapasan abdominalthorakal
Palpasi: gerak dinding dada simetris, nyeri tekan (-), benjolan (-),
vocal fremitus tidak melemah atau meningkat di kedua lapang
paru depan dan belakang
Perkusi: Hemitoraks kanan dan kiri sonor namun kiri sedikit
redup batas paru hepar setinggi ICS VI linea midclavicularis
dekstra dan batas paru lambung setinggi ICS VII linea axillaris
anterior sinistra
Auskultasi: Suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Jantung:
Inspeksi: pulsasi ictus cordis tampak di ICS IV linea
midclaviculari sinistra
Palpasi: thrill (-), ictus cordis teraba di ICS IV linea
midclaviculari sinistra
Perkusi: batas jantung kanan setinggi ICS IV linea sternalis
dekstra, batas jantung kiri setinggi ICS V linea midclavicularis
sinistra, batas atas jantung setinggi ICS III linea parasternalis
sinistra
Auskultasi: bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-),
pericardial friction rub (-)

Abdomen Inspeksi: Simetris datar, ikterik (-), hiperemis (-), spider nevi (-),
benjolan (-), jejas (-), gerak dinding perut saat bernapas simetris
Auskultasi: bising usus (+) 3x/menit, arterial bruit (-)
Palpasi: teraba supel, massa (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien
tidak membesar, ballottement ginjal (-), undulasi (-), turgor kulit
kembali cepat
Perkusi: shifting dullness (-), timpani seluruh kuadran

Genital Jenis kelamin perempuan

Ekstremitas Ekstremitas Atas


Simetris kanan dan kiri, turgor kulit 2 detik, deformitas -/-, CRT <
2 detik, akral hangat +/+, oedem +/+, lesi eritema -/- , jejas -/-

Ekstremitas Bawah
Simetris kanan dan kiri, turgor kulit 2 detik, deformitas -/-, CRT <
2 detik, akral hangat +/+, oedem +/+, lesi eritema -/-, jejas -/-

Kulit Sawo matang, tidak tampak sianosis, tidak tampak ikterik, tidak
tampak eritema, tidak tampak jejas atau luka, tampak bintik-bintik
kehitaman dikulit (+)
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


PARAMETER
18/09/19
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10 g/dL 11.7 – 15.5
Eritrosit 3.34 x106/µl 4.50 – 5.90
Leukosit 1.23 x103/µl 4.40 – 11.30
Trombosit 453 x103/µl 150 – 400
Hematokrit 29.7 % 40.0 – 52.0
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 1 % 2-4
Neutrofil 64 % 50 – 70
Limfosit 23 % 25 – 40
Monosit 12 % 2-8
MCV 90 fl 80 – 100
MCH 24 pg 26 – 34
MCHC 32 g/dl 32 – 36
RDW-CV 19 % 12.2 – 15.3

Glukosa Darah 101


mg/dl 70 – 110
Sewaktu
Ureum 35.4 mg/dl 15,0 – 50,0
Creatinin 0,41 mg/dl 0,50 – 0,90

Tanggal 23 Juli 2019


Parameter Hasil Nilai Rujukan
Anti HIV Kualitatif
Reagen I Positif Negatif
Reagen II Positif Negatif
Reagen III Positif Negatif
1.5 DIAGNOSIS
Diagnosis Banding
 AIDS
 Dyspepsia
 Toksoplasmosis Cerebri
Diagnosis Kerja
 AIDS
 Dyspepsia
 Toksoplasmosis Cerebri

1.6 TATALAKSANA
 Tirah baring
 NaCl 0,9% 20 tpm
 Inj Ranitidin 1x1 amp iv
 Inj Ondancentron 3x4 amp iv
 Inj Ketrolac 3x1 amp iv
 Tab PCT 3x1
 Tab Cotrimoxazole 2 x 960 mg

1.7 PROGNOSIS
ad vitam : dubia ad bonam
ad functional : dubia ad malam
ad sanationam : dubia ad malam

1.6 FOLLOW UP

Hari 1 (19/09/2019)
Pasien mengeluh nyeri kepala bagian belakang seperti ditekan,
S terdapat mual dan muntah berisi makanan sebanyak 2x, nyeri ulu
hati (+) batuk berdahak warna putih, lemas, sesak dan demam
disangkal
Keadaan umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos Mentis
Tekanan darah: 140/80 mmHg
Nadi: 95 x/menit
Pernapasan: 20 x/menit
Saturasi: 99%
O Suhu: 36,8 ˚C
Kepala: normocefali, CA- /-, SI -/-
Leher: KGB dbn, tidak teraba pembesaran tiroid
Thorax: Pul: SNV +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
Cor: BJ I/II reg, m(-), g(-),
Abdomen: BU (+), nyeri tekan epigastrium (+), Supel
Ekstremitas: AH (+/+) OE (-/-)
AIDS
A
Dyspepsia
• NaCl 0,9% 20 tpm
• Inj Ranitidin 2x1
• Inj Ondansetron 3x4 mg
P
• Inj Ketrolac 3x1
• Tab Paracetamol 3x1
• Tab Cotrimoxazol 2x960
Hari 2 (20/09/2019)

Pasien mengeluh nyeri kepala bagian belakang seperti ditekan,


S terdapat mual dan muntah berisi makanan, nyeri ulu hati (+) batuk
berdahak warna putih, lemas, sesak dan demam disangkal
Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran umum: compos mentis
O Tekanan darah: 120/90 mmHg
Nadi: 95x/menit
Pernafasan: 18x/menit
Saturasi: 99%
Suhu: 36,7 ˚C
Kepala: normocephaly, CA-/-, SI-/-
Thorax: Pulmo: SNV +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
Cor: BJ I/II reg, m(-), g(-),
Abdomen: BU (+), nyeri tekan di epigastrium (+), Supel
Ekstremitas: AH (+/+), OE (-/-)
AIDS
A
Dyspepsia
• NaCl 0,9% 20 tpm
• Inj Ranitidin 2x1
• Inj Ondansetron 3x4 mg
P
• Inj Ketrolac 3x1
• Tab Paracetamol 3x1
• Tab Cotrimoxazol 2x960
Hari 3 (21/09/2019)
Pasien mengeluh nyeri kepala seperti ditekan, sulit tidur, terdapat
S
mual (+) dan muntah (+) nyeri ulu hati (-)
Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran umum: somnolen
Tekanan darah: 130/90
Nadi: 86x/menit
Pernafasan: 22x/menit
Saturasi: 99%
O
Suhu: 36.6 ˚C
Kepala: normocephaly, CA-/-, SI-/-
Thorax: Pulmo: SNV +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
Cor: BJ I/II reg, m(-), g(-),
Abdomen: BU (+), NT (-), supel
Ekstremitas: AH (+/+), OE (-/-)
GDS : 112
AIDS
A Dyspepsia
Toxoplasma cerebri
• NaCl 0,9% 20 tpm
• Inj Ranitidin 2x1
• Inj Ondansetron 3x4 mg
P
• Inj Ketrolac 3x1
• Tab Paracetamol 3x1
• Tab Cotrimoxazol 2x960
Hari 4 (22/09/2019)
S Os mengatakan sakit kepalaberkurang (+), mual (+) muntah (+)
Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran umum: compos mentis
Tekanan darah: 120/80
Nadi: 69x/menit
Pernafasan: 20x/menit
Saturasi: 98%
O
Suhu: 36,8 ˚C
Kepala: normocephaly, CA-/-, SI-/-
Thorax: Pulmo: SNV +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
Cor: BJ I/II reg, m(-), g(-),
Abdomen: BU (+), tidak ada nyeri tekan abdomen, supel
Ekstremitas: AH (+/+), OE (-/-)
AIDS
A Dyspepsia
SuspToxoplasma cerebri
• NaCl 0,9% 20 tpm
P • Inj Ranitidin 2x1
• Inj Ondansetron 3x4 mg
• Inj Ketrolac 3x1
• Tab Paracetamol 3x1
• Tab Cotrimoxazol 2x960
Hari 5 (23/09/2019)
S Os mengatakan sakit kepala (-), mual (+), muntah (-)
Keadaan umum: tampak baik
Kesadaran umum: compos mentis
Tekanan darah: 130/80 mmHg
Nadi: 88x/menit
Pernafasan: 20x/menit
Saturasi: 99%
O
Suhu: 36,5˚C
Kepala: normocephaly, CA-/-, SI-/-
Thorax: Pulmo: SNV +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
Cor: BJ I/II reg, m(-), g(-),
Abdomen: BU (+),NT (-), supel
Ekstremitas: AH (+/+), OE (+/+)
AIDS
A Dyspepsia
Susp Toxoplasma cerebri
• NaCl 0,9% 20 tpm
• Inj Ranitidin 2x1
• Inj Ondansetron 3x4 mg
P
• Inj Ketrolac 3x1
• Tab Paracetamol 3x1
• Tab Cotrimoxazol 2x960
BAB II
ANALISIS KASUS

Pasien datang dengan keluhan sakit kepala sejak 1 minggu SMRS. Sakit
kepala terutama dirasakan pada bagian belakang kepala, dan terasa seperti nyut-
nyutan. Sakit kepala makin lama makin memberat. Pasien sempat tidak sadarkan
diri selama 1 jam SMRS. Pasien juga mengeluh terdapat mual dan muntah.
Muntah sebanyak 2x berisi lendir dan makanan. Terdapat bab cair berwarna
kuning sebanyak 1x sejak 2 tahun SMRS . Pasien juga mengeluh terdapat lemas
pada seluruh badan sejak 3 hari SMRS. Terdapat penurunan berat badan dari 65
kg menjadi 45 kg. Tidak didapatkan batuk, sesak nafas dan demam. Hasil
pemeriksaan fisik didapatkan bintik-bintik kehitaman pada kulit. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan leukopenia, trombositosis, dan penurunan
hematokrit

2.1 DASAR DIAGNOSIS


1. Temuan diagnosis
a. Anamnesis
 Sakit kepala
 Mual
 Muntah
 BAB cair
 Penurunan BB 20 kg
b. Pemeriksaan fisik
 Bintik-bintik kehitaman pada kulit
c. Pemeriksaan penunjang
 Leukopeni
 Trombositosis
 Penurunan hematokrit
 Limfosit menurun
 Monosit meningkat

2.2 RENCANA PENJAJAKAN


 Pemeriksaan CD4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang system
kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome). Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
adalah kumpulan gejala atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan
kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV)
yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi
HIV.1

3.2 Epidemiologi
Di Indonesia, HIV pertama kali dilaporkan di Bali pada bulan April 1987,terjadi
pada orang berkebangsaan Belanda. Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan
tahun 2011, kasus HIV/AIDS tersebar di 368 (73,9%) dari 498 mkabupaten/kota
di seluruh (33) provinsi di Indonesia. Secara signifikan kasus HIV/AIDS terus
meningkat, berikut disajikan data kasus HIV/AIDS di Indonesia berdasarkan
laporan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011. Jumlah
kumulatif kasus HIV/AIDS yang dilaporkan sampai dengan tahun 2011 sebanyak
76.879 kasus HIV dan 29.879 kasus AIDS. Jumlah kasus HIV tertinggi yaitu DKI
Jakarta (19.899 kasus), diikuti Jawa Timur (9.950 kasus), Papua (7.085 kasus),
Jawa Barat (5.741 kasus) dan Sumatera Utara (5.027 kasus). Jumlah kasus AIDS
tertinggi yaitu DKI Jakarta (5.177 kasus), diikuti Jawa Timur (4.598 kasus),
Papua (4.449 kasus), Jawa Barat (3.939 kasus) dan Bali (2.428 kasus).Persentase
kasus AIDS pada laki-laki sebanyak 70,8% dan perempuan 28,2%. Angka
kematian (CFR) menurun dari 40% pada tahun 1987 menjadi 2,4% pada tahun
2011. 2,5
3.3 Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis
yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun
atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120
yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi
terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau
makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV
dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim
transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme).2,3

Gambar 1 Struktur virus HIV


3.4 Faktor Risiko3
Faktor risiko infeksi HIV adalah sebagai berikut :
1. Perilaku berisiko tinggi :
- Hubungan seksual dengan pasangan berisiko tinggi tanpa
menggunakan kondom
- Pengguna narkotika intravena, terutama bila pemakaian jarum secara
bersama tanpa sterilisasi yang memadai
- Hubungan seksual yang tidak aman : multi partner, pasangan seks
individu yang diketahui terinfeksi HIV, kontaks seks per anal
2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.
3. Riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa penapisan.
4. Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik, atau sirkumsisi dengan alat yang
tidak disterilisasi. Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia.
Cairan yang berpotensial mengandung virus HIV adalah darah, cairan
sperma, cairan vagina dan air susu ibu. Sedangkan cairan yang tidak
berpotensi untuk menularkan virus HIV adalah cairan keringat, air liur, air
mata dan lainlain.

Penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat ditularkan melalui:


a. Hubungan seksual (resiko 0,1 – 1%)
b. Darah
 Transfuse darah yang mengandung HIV (resiko 90 – 98)
 Transfuse jarum yang mengandung HIV (resiko 0,3)
 Terpapar mukosa yang mengandung HIV (resiko 0,09)
c. Transmisi dari ibu ke anak selama kehamilan, saat persalinan dan air susu
ibu

3.5 Patogenesis4
a. Penularan dan Masuknya Virus
HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinalis, semen, air mata,
sekresi vagina atau serviks, urin, ASI, dan air liur. Penularan terjadi paling
efisien melalui darah dan semen . HIV juga dapat ditularkan melalui air
susu dan sekresi vagina atau serviks. Tiga cara utama penularan adalah
kontak ibu-bayi. Setelah virus ditularkan akan terjadi serangkaian proses
yang kemudian menyebabkan infeksi.
b. Perlekatan Virus
Virion HIV matang memiliki bentuk hamper bulat. Selubung luarnya, atau
kapsul viral, terdiri dari lemak lapis-ganda yang mengandung banyak
tonjolan protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein: gp120 dan
gp41. Gp mengacu kepada glikoprotein dan angka mengacu kepada massa
protein dalam ribuan Dalton. Gp120 adalah selubung permukaan eksternal
duri, dan gp41 adalah bagian transmembran. Terdapat suatu protein
matriks yang disebut p17 yang mengelilingi segmen bagian dalam
membrane virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein kapsid yang
disebut p24. Di dalam kapsid, p24 terdapat dua untai RNA identik dan
molekul preformed reverse transcriptase, integrase, dan protease yang
sudah terbentuk. HIV adalah suatu retrovirus sehingga materi genetic
berada dalam bentuk RNA bukan DNA. Reverse transcriptase adalah
enzim yang mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus
masuk ke sel sasaran. Enzim-enzim lain yang menyertai RNA adalah
integrase dan protease. HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan
sel sasaran yang memiliki molekul reseptor membrane CD4. Sejauh ini,
sasaran yang disukai oleh HIV adalah limfosit T penolong positif-CD4
atau sel T4 (limfosit CD4+). Gp120 HIV berikatan dengan kuat dengan
limfosit 14 CD4+ sehingga gp41 dapat memerantarai fusi membrane virus
ke membrane sel. Baru-baru ini ditemukan bahwa dua koreseptor
permukaan sel, CCR5 atau CXCR4 diperlukan, agar glikoprotein gp120
dan gp41 dapat berikatan dengan reseptor CD4+ (DOms, Peiper, 1997).
Koreseptor ini menyebabkan perubahan-perubahan konformasi sehingga
gp41 dapat masuk ke membrane sel sasaran. Individu yang mewarisi dua
salinan defektif gen reseptor CCR5 (homozigot) resisten terhadap
timbulnya AIDS, walaupun berlangkali terpajan HIV (sekitar 1% orang
Amerika keturunan Caucasian). Individu yang heterozigot untuk gen
defektif ini (18 sampai 20 %) tidak terkindung dari AIDS, tetapi awitan
penyakit agak melambat. Belum pernah ditemukan homozigot pada
populasi Asia atau Afrika, yang mungkin dapat membantu menerangkan
mengapa mereka lebih rentan terhadap infeksi HIV (O’Brien, Dean, 1997).
Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monosit
dan makrofag. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi
sebagai reservoir untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV
bersifat politrofik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia (Levy,
1994), seperti sel natural killer (NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel
Langerhans, sel densritik (yang terdapat di permukaan mukosa tubuh), sel
microglia, dan berbagai jaringan tubuh. Setelah virus berfusi dengan
limfosit CD4+ maka berlangsung serangkaian proses kompleks yang ,
apabila berjalan lancer, menyebabkan terbentuknya partikel-partikel virus
baru dari sel yang terinfeksi. Lomfosit CD4+ yang terinfeksi mungkin
mengalami siklussiklus replikasi sehingga menghasilkan banyak virus.
Infeksi pada limfosit CD4+ juga dapat menimbulkan sitopatogenisitas
melalui beragam mekanisme, termasuk apoptosis (kematian sel
terprogram), anergi (pencegahan fusi sel lebih lanjut), atau pembentukan
sinsitium (fusi sel).
c. Replikasi Virus
Setelah terjadi fusi sel-virus, RNA virus masuk ke bagian tengah
sitoplasma limfosit CD4+. Setelah nukleokapsid dilepas, maka terjadi
transkripsi terbalik (reverse transcription) dari satu untai-tunggal RNA
menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus. Integrase HIV
membantu insersi cDNA virus ke dalam inti sel pejamu. Apabila sudah
terintegrasi ke dalam kromosom sel pejamu, maka dua untai DNA
sekarang menjadi provirus (Greene, 1993). Provirus menghasilkan RNA
messenger (mRNA) yang meninggalkan inti sel dan masuk ke dalam
sitoplasma. Tahap akhir produksi virus membutuhkan suatu enzim virus
yang disebut HIV protease, yang memotong dan menata protein virus
menjadi segmen-segmen kecil yang mengelilingi RNA virus, membentuk
partikel virus menular yang menonjol dari sel yang terinfeksi. Sewaktu
menonjol dari sel pejamu, partikel-partikel virus tersebut akan terbungkus
oleh sebagian dari membrane sel yang terinfeksi. HIV yang baru terbentuk
sekarang dapat menyerang sel-sel rentan lainnya di seluruh tubuh.
Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode latensi klinis, bahkan saat
hanya terjadi aktivitas virus yang minimal di dalam darah (Embretson et
al., 1993; Panteleo et al., 1993). HIV ditemukan dalam jumlah besar di
dalam limfosit CD4+ dan makrofag di seluruh system limfoid pada semua
tahap infeksi. Partikel-partikel virus juga telah dihubungkan dengan sel-sel
dendritik folikular, yang mungkin memindahkan infeksi ke sel-sel selama
migrasi melalui folikel-folikel limfoid. Walaupun selama masa latensi
klinis tingkat viremia dan replikasi virus di sel-sel mononukleus darah
perifer rendah, namun pada infeksi ini tidak ada latensi yang sejati. HIV
secara terus menerus terakumulasi dan bereplikasi di organ-organ limfoid.
Sebagian data menunjukkan bahwa terjadi replikasi dalam jumlah sangat
besar dan pertukaran sel 16 yang sangat cepat, dengan waktu-paruh virus
dan sel penghasil virus di dalam plasma sekitar 2 hari (Wei et al., 1995;
Ho et al., 1995). Aktivitas ini menunjukkan bahwa terjadi pertempuran
terus menerus antara virus dan system imun pasien

3.5 Klasifikasi6
Penentuan stadium berdasarkan penemuan klinis yang didapatkan dari diagnosis,
evaluasi dan pengelolaan HIV/AIDS yang tidak disertai hasil CD4. Stadium klinis
dikategorikan dari stadium 1 sampai 4. Tahap ini ditentukan oleh kondisi klinis
dan gejala tertentu dan tidak bergantung oleh jumlah CD4.
Klasifikasi CDC merupakan pembagian HIV/AIDS berdasarkan jumlah sel CD4+
dan kondisi tubuh penderita yang berhubungan dengan diagnosa HIV. Klasifikasi
CDC antara lain yaitu :
3.6 Penegakan Diagnosis1,7
3.6.1 Manifestasi klinis
Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan, ruam kulit,
nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai dengan supresi
yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi oportunistik berat yang
sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum (terutama sarcoma Kaposi).
Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh gejala
prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise, demam,
napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan
limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran pencernaan , dari esophagus
sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan. Tanpa pengobatan interval
antara infeksi primer oleh HIV dan timbulnya penyakit klinis pertama kali pada
orang dewasa biasanya panjang, rata-rata sekitar 10 tahun.
Menurut Barakbah et al (2007) karena banyak negara berkembang, yang
belum memiliki fasilitas pemeriksaan serologi maupun antigen HIV
yang memadai, maka WHO menetapkan kriteria diagnosis AIDS. Definisi kasus
AIDS dicurigai bila paling sedikit mempunyai 2 gejala mayor dan 1 gejala
minor dan tidak terdapat sebab-sebab penekanan sistem imun lain yang diketahui,
seperti kanker, malnutrisis berat atau sebab-sebab lainnya.
Gejala Mayor :
 Penurunan berat badan > 10% berat badan per bulan.
 Diare kronis lebih dari 1 bulan
 Demam lebih dari 1 bulan.
Gejala Minor
 Batuk selama lebih dari 1 bulan.
 Pruritus dermatitis menyeluruh.
 Infeksi umum yang rekuren, misalnya herpes zoster.
 Kandidiasis orofaringeal.
 Infeksi herpes simpleks kronis progresif atau yang meluas.
 Limfadenopati generalisata.
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal
antara lain tumor dan infeksi oportunistik :
a. Manifestasi tumor diantaranya;
1) Sarkoma kaposi ;
kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi
kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok
homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang
menjadi sebab kematian primer.
2) Limfoma ganas ;
terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan
bertahan kurang lebih 1 tahun.
b. Manifestasi Oportunistik diantaranya
1) Manifestasi pada Paru
 Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan
infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit
bernafas dalam dan demam.
 Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada
paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV
merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.
 Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan
sulit disembuhkan.
 Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan
cepat menyebar ke organ lain diluar paru.
2) Manifestasi pada Gastroitestinal
Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10%
per bulan.
c. Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang
biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang
umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan neuropati
perifer

Gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase, yang mencerminkan
dinamika interaksi antara HIV dan sistem imun :
1. Fase akut.
Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok,
mialgia, demam, ruam dan kadang-kadang meningitis aseptic. Pada fase
ini terdapat produksi virus dalam jumlah yang besar, viremia dan
persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang secara khas
disertai dengan berkurangnya sel T CD4+. Segera setelah hal itu
terjadi, muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang
dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3
hingga 17 minggu setelah pajanan) dan melalui munculnya sel T
sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia
mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal. Namun,
berkurangnya jumlah virus dalam plasma bukan merupakan penanda
berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di dalam
makrofag dan sel T CD4+ jaringan.

2. Fase kronis
Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada
fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi
virus berlanjut hingga beberapa tahun. Para pasien tidak
menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten dan
banyak penderita yang mengalami infeksi opotunistik ringan, seperti
sariawan. Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut.
Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan CD4+
yang berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun yang
besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Setelah
melewati periode yang panjang dan beragam, pertahanan pejamu
mulai menurun dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan jumlah CD4+
hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat

3. Fase kritis
Tahap terakhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan
pejamu yang sangat merugikan, peningkatan viremia yang nyata,
serta penyakit klinis. Para pasien khasnya akan mengalami demam
lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare;
jumlah sel CD4+ menurun di bawah 500 sel/μL. Setelah adanya
interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik
yang serius, neoplasma sekunder dan atau manifestasi neurologis
(disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS). Jika kondisi
lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedo man CDC
yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang
terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan
200 sel/μL sebagai pengidap AIDS. Hampir semua orang yang
terinfeksi HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang menimbulkan
gejala-gejala yang berkaitan dengan HIV atau AIDS.
3.6.2 Pemeriksaan fisik 2,7,8
3.5.3 Pemeriksaan Penunjang2,7,8
Pemeriksaan Infeksi HIV/ AIDS
Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan
diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain
(cerebrospinal fluid) penderita.
1. Diagnosis
a. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah
ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay). Untuk
mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif,
tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain juga bisa menunjukkan
hasil positif sehingga menyebabkan false positif, diantaranya penyakit
autoimun ataupun karena infeksi. Sensivitas ELISA antara 98,1% -
100% dan dapat mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam
darah.

b. Western Blot
Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk
menemukan orang yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% - 100%.
Namun pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu
sekitar 24 jam. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa
menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu,
tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika
test Western Blot tetap tidak bias disimpulkan, maka test Western
Blotharus diulangi lagi setelah 6 bulan.

c. PCR (Polymerase chain reaction)


PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik
untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain
tidak jelas. Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan
berdasarkan klasifikasi klinis WHO dan atau CDC. Di Indonesia
diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat bila
menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan dua
gejala mayor dan satu gejala minor.

Salah satu cara penentuan serologi HIV yang dianjurkan adalah


ELISA, mempunyai sensitivitas 93 - 98% dengan spesifitas 98 - 99%.
Pemeriksaan serologi HIV sebaiknya dilakukan dengan 3 metode berbeda.
Dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih spesifik Western blot.
Tes serologi standar terdiri dari EIA dan diikuti konfirmasi WB.
Melalui WB dapat ditentukan antibodi terhadap komponen protein HIV
yang meliputi inti (p17, p24, p55), polimerase (p31, p51, p66), dan
selubung (envelope) HIV (gp41, gp120, gp160). Bila memungkinkan
pemeriksaan WB selalu dilakukan karena tes penapisan melalui EIA
terdapat potensi false positif 2%. Interpretasi WB meliputi:
a. Negatif : tidak ada bentukan pita
b. Positif : reaktif terhadap gp120/160 dan gp41 atau p24
c. Indeterminate :terdapat berbagai pita tetapi tidak memenuhi
kriteria hasil positif.
Akurasi pemeriksaan serologi standar (EIA dan WB atau
immunoflourescent assay) sensitivitas dan spesifitasnya mencapai > 98%.

3.6 Tatalaksana 9,10


a) Penatalaksanaan Umum
Istirahat, dukungan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien
dan mikronutrien untuk penderita HIV&AIDS, konseling termasuk
pendekatan psikologis dan psikososial, membiasakan gaya hidup sehat
antara lain membiasakan senam.
b) Penatalaksanaan Khusus
Pemberian antiretroviral therapy (ART) kombinasi, terapi infeksi sekunder
sesuai jenis infeksi yang ditemukan, terapi malignansi.
Secara umum, penatalaksanaan ODHA terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
1. Pengobatan untuk menekan replikasi HIV dengan obat anti retroviral
(ARV).
2. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
3. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta tidur yang cukup dan menjaga
kebersihan.

Terapi Antiretroviral
Antiretroviral therapy ditemukan pada tahun 1996 dan
mendorong suatu evolusi dalam perawatan penderita HIV/AIDS.
Replikasi HIV sangat cepat dan terus-menerus sejak awal infeksi,
sedikitnya terbentuk 10 miliar virus setiap hari. Namun karena waktu
paruh virus bebas (virion) sangat singkat maka sebagian besar virus
akan mati. Penurunan CD4 menunjukkan tingkat kerusakan sistem
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Pemeriksaan CD4 ini
berguna untuk memulai, mengontrol dan mengubah regimen ARV yang
diberikan.
Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja
pada penderita yang dicurigai, tetapi perlu menempuh langkah-langkah
yang arif dan bijaksana, serta mempertimbangkan berbagai faktor; dokter
telah memberikan penjelasan tentang manfaat, efek samping, resistensi
dan tata cara penggunaan ARV, kesanggupan dan kepatuhan penderita
mengkonsumsi obat dalam waktu yang tidak terbatas; serta saat yang tepat
untuk memulai terapi ARV.
Tabel 6. Rekomendasi memulai terapi antiretroviral penderita dewasa
menurut WHO

Obat anti retroviral terdiri dari beberapa golongan seperti


nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nleotide reverse transcriptase
inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor
protease. Saat ini regimen pengobatan anti retroviral yang dianjurkan
WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen
yang dapat dipergunakan dengan keunggulan dan kerugian masing-
masing. Kombinasi ARV lini pertama yang umumnya digunakan di
Indonesia adalah kombinasi zidovudin(ZDV), lamivudin (3TC), dengan
nevirapin (NVP)
Tabel 8. Kombinasi ART untuk terapi inisial

*Tidak dianjurkan wanita hamil trimester pertama/wanita yang berpotensi


tinggi hamil

Tabel 9. Dosis ARV untuk penderita HIV/AIDS dewasa


Tabel 10.Toksisitas utama pada pada regimen lini pertama dan anjuran obat
penggantinya
Tabel 11. Definisi Kegagalan Terapi secara klinis dan kriteria CD4 pada
ODHA dewasa

Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan
profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung
HIV (post exposure prophylaxis). Selain itu juga digunakan untuk pencegahan
penularan dari ibu ke bayi.
Faktor yang harus diperhatikan dalam memilih regimen ART baik di tingkat
program ataupun tingkat individual :
 Efika si obat
 Profil efek samping obat
 Persyaratan pemantauan laboratorium
 Kemungkinan kesinambungan sebagai pilihan obat di masa depan
 Antisipasi kepatuhan oleh pasien
 Kondisi penyakit penyerta
 Kehamilan dan risikonya
 Penggunaan obat lain secara bersamaan
 Infeksi strain virus lain yang berpotensi meningkatkan resistensi
terhadap satu atau lebih ART.
 Ketersediaan dan harga ART.

3.7 Prognosis
Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang
didiagnosis AIDS meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5%
kasus pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis
DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan


dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.

3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill

4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S,


Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI 2005.

5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2019 Spetember


20]. Available at url: http://www.aidsindonesia.or.id

6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006

7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib


AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV
infection in infants and children in Indonesia: current challenges in
management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
2009

8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis


Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan 2007

9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010:


executive summary. Geneva. 2010.

10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2019 Sep 22];
Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

Anda mungkin juga menyukai